Pendekar Rambut Emas Jilid 16 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 16
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“ORANG she Bu, kau sungguh curang...!” belasan jarum disampok runtuh, tiga batang malah terbang ke arah Bu-kongcu sendiri, membalik dan menancap di tubuh pemuda itu. Disambut pekik Bu-kongcu yang roboh terjengkang. Dan ketika panah dan jarum runtuh di tanah semua Kim-mou-eng sudah melesat di luar tembok, menghilang.

“Kejar...!”

Mo-ong dan teman-temannya bangkit berdiri. Mereka sudah sadar, terbelalak dan marah mengejar Kim-mou-eng. Dan sementara para pengawal ribut dan Kim-mou-eng melarikan diri akhirnya Pendekar Rambut Emas itu menjadi buruan dan menyelinap ke sana-sini, dikejar Sai-mo-ong dan kawan-kawannya itu.

Dan karena lima iblis itu memecah di lima bagian dan masing-masing mencari penuh semangat akhirnya Kim-mou-eng kebingungan mencari persembunyian. Betapapun dia masih di kompleks istana yang amat luas, semua lampu dipasang hingga tempat itu terang-benderang, tiada ubahnya siang hari. Dan karena dia juga belum begitu hapal dan para pengejar berteriak-teriak di semua penjuru akhirnya pendekar ini kesasar di Istana Dingin.

Kim-mou-eng bingung. Sebenarnya, kalau dia tidak dibebani Sin-piauw Ang-lojin ini tentu lebih mudah baginya melarikan diri. Tapi karena kakek tinggi besar itu pingsan dan dia harus menyelamatkan temannya ini maka Pendekar Rambut Emas menjadi gelisah. Betapapun beban yang diterimanya ini cukup berat, apalagi dia dikeroyok lima iblis macam Sai-mo-ong dan teman-temannya itu. Perhatian terpecah sebab di satu pihak dia harus menyelamatkan diri sendiri sementara di pihak lain dia harus menyelamatkan ketua Seng-piauw-pang itu. Tapi persis dia tiba di istana ini dan celingukan ke sana ke mari mendadak sebuah suara memanggilnya lembut.

“Kim-twako...!”

Kim-mou-eng terkejut. Dia melihat sesosok bayangan wanita muncul, terisak di tempat gelap, menggapainya perlahan. Sejenak tak dapat dikenali karena tersembunyi diantara bayang-bayang pohon. Tapi ketika suara itu memanggilnya kembali dan wanita ini menampakkan diri mendadak Kim-mou-eng tersentak membelalakkan mata.

“Cao Cun...!”

Cao Cun, wanita yang gemetar itu menangis. Dia memang Cao Cun, puteri bupati Wang yang kembali ke Istana Dingin itu, setelah Kim-mou-eng meninggalkannya di Chi- cou. Tentu saja membuat Kim-mou-eng tertegun karena tak menyangka Cao Cun ada di situ, karena dulu dia telah mengantar gadis itu kepada ayah ibunya, meninggalkannya dan kemudian pergi tanpa pamit. Mengira Cao Cun telah selamat dan berada dalam perlindungan ayah ibunya. Sungguh tak menduga kalau gadis itu kembali ke Istana Dingin. Dan Cao Cun yang mengguguk menubruk pendekar ini akhirnya menangis tersedu-sedu.

“Kim-twako, ayo masuk. Aku telah mendengar keributan yang terjadi!”

Kim-mou-eng bengong. Dia juga tak menyangka kalau dirinya memasuki kompleks Istana Dingin, bingung dan gelisah dalam usahanya menyelamatkan Seng-piauw-pangcu. Tapi Cao Cun yang menariknya dengan air mata bercucuran sudah berkata gemetar,

“Ayo masuk, twako. Aku telah menyiapkan sebuah tempat persembunyian untukmu...!”

Kim-mou-eng sadar. Saat itu dia mendengar suara Hek-bong Siang-Io-mo dan teman-temannya, melihat Cao Cun tersedu tapi berusaha menutup mulutnya, menangis tanpa suara dengan pundak berguncang-guncang. Dan ketika tanpa sadar dia mengikuti gadis ini dan masuk ke dalam tiba-tiba suara Hek-bong Siang-lo-mo ada di belakang.

“Dia ada di sini. Kim-mou-eng memasuki Istana Dingin...!”

Kim-mou-eng terkesiap. Cao Cun telah mengajaknya ke kamar belakang, menyelinap dan cepat mendorong pendekar itu ke sebuah kamar remang-remang. Dan ketika pendekar ini tertegun dan bersiap-siap menghadapi bahaya mendadak seorang gadis lain muncul di sebelah kiri.

“Cao Cun, cepat. Semuanya telah kupersiapkan!”

Kim-mou-eng tertegun. Untuk kedua kalinya dia terbelalak, melihat gadis itu menarik mulut dan cemberut padanya, melengos dan tidak mau memandang lagi. Gadis yang bukan lain adalah Wan Hoa, sahabat atau teman akrab Cao Cun. Gadis yang dulu juga pernah ditolongnya! Dan ketika pendekar ini bengong dan Cao Cun menariknya ke tengah ruangan tiba-tiba puteri bupati Wang itu berbisik,

“Letakkan di sini temanmu itu, twako. Wan Hoa akan menjaganya dan kau masuklah... bres!”

Kim-mou-eng tiba-tiba terkejut, kakinya amblas memasuki lubang sumur di bawah, hampir berjungkir balik dan otomatis menyangga tutup lubang. Siap menghantamnya dengan gerakan refleks seorang ahli silat. Tapi bertemu pandang dengan Cao Cun yang terisak dan memberi isyarat tiba-tiba tubuhnya sudah meluncur ke bawah tak dapat ditahan lagi, memasuki sebuah jebakan sementara Sin-piauw Ang-lojin terlepas dari tangannya, ditarik Wan Hoa. Dan ketika Kim-mou-eng menginjak lantai bawah dan sebuah lampu menyala otomatis tiba-tiba pendekar ini tertegun mendapat kenyataan dirinya berada di sebuah ruang hangat di bawah tanah!

“Ah, apa yang mau kau lakukan, Cao Cun?” Kim-mou-eng terkesima, tak mengerti tapi percaya pada puteri bupati Wang itu, berbisik seorang diri melihat sebuah pintu menyekat ruangan itu. Tentu saja membukanya dan cepat keluar. Tapi persis dia mendorong daun pintu ini mendadak suara gesekan batu terdengar di sebelahnya disusul munculnya Cao Cun dan Wan Hoa, yang melorot dari sebuah ruang rahasia.

“Twako...!”

“Cao Cun...!”

Dua orang itu tiba-tiba sama bergerak. Cao Cun telah menubruk pendekar ini, tak menahan lagi tangisnya dan berguncang-guncang di pundak pendekar itu. Demikian sedih dan pilu suaranya, membuat Pendekar Rambut Emas melelehkan air mata dan tanpa terasa memeluk gadis ini, penuh sayang dan rindu. Dan ketika Cao Cun mengguguk dan Pendekar Rambut Emas mengusap rambutnya akhirnya Cao Cun gemetar melepaskan diri.

“Twako, apa yang telah kau lakukan kepadaku?”

Pendekar Rambut Emas tak menjawab, tertegun. “Ayo, apa yang telah kau lakukan padaku, twako. Kenapa kau meninggalkan aku dan membohongiku!” gadis itu tiba-tiba menjerit, setengah histeris dan mengguncang-guncang tubuh pendekar ini. Dan ketika pendekar itu menunduk dan meruntuhkan pandang ke bawah tiba-tiba Cao Cun mengguguk dan mencengkeram lengan pendekar ini.

“Twako, kau kejam. Kau menipu. Kau tak berperasaan...!”

Kim-mou-eng menghela napas. Dia terpukul oleh semua teguran ini, harus mengakui bahwa dia menipu Cao Cun, meninggalkannya di Chi-cou setelah dia menyerahkan gadis itu pada ayahnya. Perbuatan yang tidak disangka sia-sia belaka karena Cao Cun ternyata kembali lagi ke Istana Dingin, mungkin ditangkap Mao-taijin dan dipaksa pembesar itu. Bayangan yang tiba-tiba membuat pendekar ini marah dan mengangkat kepalanya. Tapi ketika Cao Cun mengguguk dan memukul-mukul dadanya akhirnya pendekar ini menenangkan menangkap lengan gadis itu.

“Cun-moi, maafkan aku. Tak kusangka kalau Mao-taijin kembali memaksamu ke neraka ini. Aku akan menghajar menteri dorna itu. Aku akan...”

“Tidak, tidak! Aku tak dipaksa siapapun kembali ke tempat ini, twako. Aku datang karena itu kemauanku sendiri. Istana Dingin jauh lebih baik dibanding rumah orang tuaku!” Cao Cun menangis, kecewa sekali memandang pujaannya ini.

Dan ketika dua mata beradu dan Kim-mou-eng tergetar tiba-tiba pendekar ini memejamkan mata. Tak kuat beradu dengan bola mata yang begitu tajam menusuk. Begitu pedih. “Cun-moi, maafkan aku. Aku mengakui kesalahanku, tapi... tapi mana temanku itu? Mana Sin-piauw Ang-lojin?” Kim-mou-eng teringat temannya, coba mengalihkan perhatian dan mengusir kenangan mereka berdua.

Dan Cao Cun yang mengguguk menarik lengannya tiba-tiba menutupi mukanya. “Temanmu dibawa Wan Hoa, twako. Kau tanyalah dia dan jangan kepadaku.”

Wan Hoa maju selangkah, sikapnya sengit. “Kau tak guna menolongnya, Kim-mou-eng. Ketua Seng-piauw-pang itu tewas dengan luka-luka yang parah. Sebaiknya kau urus saja sahabatku Cao Cun ini, orang yang masih hidup!”

Kim-mou-eng tertegun. “Dia tewas?”

“Ya, kau tak percaya?” dan ketika Wan Hoa membalikkan tubuh memasuki lorong bawah tanah tiba-tiba gadis ini telah kembali lagi membawa mayat Sin-piauw Ang-lojin, yang telah menjadi dingin! “Nah, inilah, Kim-mou-eng. Kami tak pernah bohong seperti dirimu!”

Kim-mou-eng terpukul. Dia terkejut dan semburat oleh kata-kata Wan Hoa ini, melihat ketua Seng-piauw-pang itu benar tewas dan tak dapat ditolong lagi. Tiga batang panah menancap sementara beberapa jarum Bu-kongcu juga menembus dagingnya, bengkak dan membusuk. Tapi Kim-mou-eng yang bergerak menotok cepat tiba-tiba menekan punggung kakek tinggi besar ini. “Wan Hoa, tolong sebentar. Aku hendak menghidupkan mayat!”

Wan Hoa terkejut. “Apa? Kau...”

“Ya, aku hendak mempergunakan ilmuku, Wan Hoa. Tolong sandarkan kakek ini dan pegang ibu jari kakinya!” Kim-mou-eng bergerak cepat, menekan dan menotok jaIan darah di punggung, membuat Wan Hoa terbelalak tapi ngeri menuruti perintah. Baru kali ini mendengar sesosok mayat hendak dihidupkan. Tapi ketika Pendekar Rambut Emas memijat dan mengurut pergelangan nadi tangan tiba-tiba kakek yang sudah tewas itu hidup, ngorok dan membuka matanya!

“Ih...!” Wan Hoa hampir melepaskan pegangan di ibu jari kaki, melonjak dan hampir menjerit melihat Kim-mou-eng benar-benar mampu menghidupkan orang mati!

Tapi Kim-mou-eng yang gugup tak memperhatikan gadis itu tiba-tiba sudah memencet pergelangan tangan kakek ini dan meniup ubun-ubunnya. “Lojin, adakah sesuatu yang harus kukerjakan? Adakah yang dapat kutolong untuk menutup penasaranmu?”

Aneh, kakek ini mengangguk, masih ngorok. “Ya, aku... aku... sampaikan peringatan pada pangeran mahkota, taihiap. Balaskan sakit hatiku pada Pangeran Muda dan orang-orangnya itu...!”

“Tapi pangeran mahkota tak mempercayai kita, lojin. Mana mungkin melakukan itu? Kita tak punya bukti!”

“Tidak,” kakek ini tiba-tiba menggeliat. “Cari muridku bernama Sam-tiat, taihiap. Dia mungkin dapat menolongmu dan...” Sin-piauw Ang-lojin roboh, tak dapat meneruskan kata-katanya dan nadi di pergelangan tangan tak berdenyut lagi. Tubuh itu kembali menjadi dingin. Kim-mou-eng tak dapat memperpanjang lagi “umur” mayat itu. Dan Kim-mou-eng yang tertegun meletakkan mayat ini akhirnya berkata pada Wan Hoa,

“Lepaskan, aku sudah mendapat apa yang kuingini, Wan Hoa. Terima kasih untuk bantuanmu.”

Wan Hoa gemetar. Dia pucat melihat mayat dapat hidup sejenak, bicara dan ngorok seperti itu. Merasa tubuh ketua Seng-piauw-pang itu dingin kembali dan tidak bernapas. Tapi mengangguk melepaskan ibu jari mayat ini, Wan Hoa mundur menjauhkan diri. “Kim-mou-eng, ilmu siluman apa yang kau pergunakan itu?”

Kim-mou- eng tersenyum pahit. “Bukan ilmu siluman, Wan Hoa. Tapi kau tak akan mengerti meskipun kujelaskan.”

“Ya, dan aku juga tak mengerti akan sikapmu terhadap Cao Cun. Kau sungguh laki-laki aneh yang sukar dimengerti!”

Pendekar ini semburat merah. Sekarang Wan Hoa menyudutkannya sedemikian rupa, sementara Cao Cun juga sudah memutar tubuhnya menghadapinya. Dan ketika dua gadis itu memandang penuh tuntutan dan Pendekar Rambut Emas menarik napas akhirnya pendekar ini bicara dengan suara lirih,

“Cao Cun, dan kau Wan Hoa, sebelumnya kuulang kembali permintaan maafku pada kalian. Aku tak bermaksud menyakiti kalian. Apa yang kulakukan kupikir demi kebaikan kalian juga. Kalau tindak tandukku salah sungguh ini di luar dugaanku. Sekarang kita bicara jujur, kenapa kalian ada di sini dan kembali ke Istana Dingin? Betulkah bukan paksaan Mao-taijin dan orang-orangnya?”

Cao Cun tak menjawab, bercucuran air matanya. Dan Wan Hoa yang marah memandang pendekar itu tiba-tiba maju menjawab dengan suara berapi-api, “Kim-mou-eng, seharusnya kau tahu sendiri jawabannya itu. Cao Cun mencintaimu, kau berjanji melindunginya dan tak akan meninggalkannya. Tapi kau dusta, kau menipu dirinya dan juga menipu aku. Kau tinggalkan kami, kau biarkan hati sahabatku terluka dan merana. Apakah kau kira semuanya ini membuat Cao Cun senang? Meskipun kau kembalikan dia ke Chi-cou dan bertemu kembali dengan ayah ibunya tapi Cao Cun lebih suka dekat denganmu daripada keluarganya, Kim-mou-eng. Dan karena dia sakit hati kau tipu maka Cao Cun memutuskan untuk tinggal seumur hidup di Istana Dingin, tak usah jumpa denganmu dan mati di sini! Kau jelas?”

“Dan kau?” Kim-mou-eng pucat.

“Aku menemani sahabatku, Kim-mou-eng. Aku tak mau membiarkan Cao Cun menderita di sini mengenangmu si pembohong. Kalau dia ingin tinggal di sini sampai nenek-nenek biarlah aku juga mendampinginya sampai menjadi nenek pula. Kami berdua tak mau keluar sampai mati. Atau kau mengambilnya sebagai isteri sesuai janjimu dulu yang menyatakan cinta pada Cao Cun!”

“Ah...!” Kim-mou-eng menggigil, seketika memejamkan mata dipukul kata-kata itu. Tertampar mukanya dan seketika teringat kejadian itu, ketika dia menolong Cao Cun dan terpaksa mengatakan dia mencintai gadis itu agar semata Cao Cun mau diajak pergi. Segala akal dikerahkan karena dia harus memenuhi janji terhadap ayah gadis ini di Chi-cou. Bahwa dia pasti berhasil membawa Cao Cun dan mengembalikan gadis itu pada ayah ibunya. Padahal Cao Cun tak mau kalau dia tidak mencintai gadis itu, biarlah menderita di Istana Dingin dan hidup merana di situ kalau Kim-mou-eng tak mau selalu mendampinginya.

Dan karena keadaan waktu itu amat mendesak dan Kim-mou-eng tak mau berpikir panjang akhirnya dengan buru-buru dan sedikit berbohong pendekar ini menyatakan cintanya dan berhasil membawa gadis itu pada orang tuanya. Berhasil memenuhi janji pada bupati Wang tapi sebaliknya berbohong pada Cao Cun, karena dia akhirnya meninggalkan gadis itu. Pergi tanpa pamit. Berarti membohongi Cao Cun dan tak memenuhi janji sendiri, yang memang diucapkan dalam keadaan terpaksa dan apa boleh buat.

Maka ketika kini Wan Hoa menyemprotnya habis-habisan dan segala kata-kata gadis itu tak dapat dibantah akhirnya Kim-mou-eng menggigil dan menitikkan dua butir air matanya, pucat dan merah berganti-ganti.

“Wan Hoa, maafkan aku. Aku tak menyangka kalau semuanya berakhir begini.”

“Hm, bukan kepadaku kau minta maaf, Kim-mou-eng. Kalau kau hendak minta maaf mintalah pada Cao Cun. Aku tak ada hubungan dengan persoalan ini. Ini persoalanmu dengan Cao Cun!”

“Baik, aku minta maaf padamu, Cun-moi. Kau maafkanlah aku dan...”

“Nanti dulu,” Wan Hoa memotong. “Orang yang minta maaf tak akan mengulang kesalahannya, Kim-mou-eng. Kalau kau tetap meninggalkan Cao Cun berarti permintaan maafmu kosong belaka. Kau pikir dulu sebelum menyebutkan itu!”

Kim-mou-eng pucat. “Maksudmu...”

“Ya,” Wan Hoa menukas, cepat bukan main. “Kau tak boleh meninggalkan Cao Cun lagi kalau kau mengakui kesalahanmu, Kim-mou-eng. Tapi kalau kau meninggalkannya lagi berarti sepak terjangmu kau anggap benar. Bohongmu itu tidak salah dan karena itu boleh diteruskan. Kalau begini yang kau kehendaki maka tak perlu minta maaf dan pergi sajalah tinggalkan dia!”

Kim-mou-eng terhuyung. “Wan Hoat kata-katamu pedas sekali. Kau... kau...”

“Aku mengatakan sesuai apa yang kulihat, Kim-mou-eng. Pedas atau tidak pedas itu adalah penerimaanmu belaka. Aku membela sahabatku, biar kau bunuh aku sekalipun aku tetap membela Cao Cun...!”

“Wan Hoa...!”

Wan Hoa tiba-tiba menangis. Gadis itu telah melepaskan semua kemarahannya pada Kim-mou-eng, mengguguk dan tersedu memutar tubuhnya. Tiba-tiba membalik dan meninggalkan dua orang itu. Pembelaannya sungguh menikam perasaan. Dan ketika Kim-mou-eng bengong dan Wan Hoa lenyap di lorong bawah tanah tiba-tiba Cao Cun juga mengguguk meninggalkan Pendekar Rambut Emas.

“Cao Cun...!”

Cao Cun tak menoleh. Gadis inipun saat itu dilanda duka. Bercampur perasaan mengaduk hatinya. Antara girang dan pilu, antara rindu dan marah. Girang dan rindu karena Kim-mou-eng datang, jumpa dan dapat melihat kekasihnya itu. Tapi mendengar semua kata-kata Wan Hoa dan temannya itu seolah memaksa Pendekar Rambut Emas agar minta maaf dan menyambut cintanya tiba-tiba gadis ini malu dan menangis menutupi mukanya, tersedu-sedu menyusul Wan Hoa.

Tapi Pendekar Rambut Emas yang sadar dan terbelalak ke depan tiba-tiba menyambar gadis ini, mencengkeram pundaknya. “Cao Cun, jangan pergi...!”

“Tidak,” Cao Cun tersentak. “Tinggalkan kami, twako. Kau pergilah dan selamatkan dirimu!”

“Ah, tidak. Aku ingin bicara, Cun-moi. Dengarkan dan lihatlah aku!” Kim-mou-eng pucat, memutar gadis itu dan tidak memperbolehkan Cao Cun pergi. Dan ketika Cao Cun mengguguk dan roboh dalam pelukan pendekar ini akhirnya Kim-mou-eng gemetar bicara dengan suara tersendat-sendat, “Cun-moi, aku menyesal akan apa yang telah kuperbuat. Aku tak mengira kalau hatimu demikian keras. Baiklah, aku mengaku salah. Tapi tentang itu... tentang cinta... hm, bagaimana aku harus bicara, Cun-moi? Aku memang sayang padamu. Aku suka padamu, tapi... tapi terus terang aku tak tahu apakah aku mencintaimu atau tidak...!”

“Kalau begitu tinggalkan aku, twako. Lepaskan aku dan biarkan aku di sini!”

“Tidak, tidak... aku juga tak menghendaki kau tinggal di neraka ini, Cun-moi. Aku, ah... aku bingung...!” Kim-mou-eng tiba-tiba memejamkan matanya, melihat gadis itu berguncang-guncang di pelukannya. Sungguh bingung karena dia memang bingung!

Dan ketika Cao Cun tersedu-sedu dan menahan tangis menumpahkan semua perasaan mendadak gadis itu merenggangkan diri. Mata yang basah itu bercucuran memandang Kim-mou-eng. “Kim-twako, kalau begitu bagaimana jika diputuskan sekarang saja?”

“Maksudmu?”

“Aku tak ingin memaksamu mencintai diriku, twako. Kalau kau tidak mencintaiku biarlah kau tinggalkan diriku di sini. Tapi kalau kau mencintaiku bawalah aku pergi. Aku tak akan memaksamu.”

Kim-mou-eng menggigil. “Itulah yang membuatku bingung, Cun-moi. Aku tak tahu apakah aku mencintaimu atau tidak?”

“Kalau begitu tinggalkan aku, kita lihat perasaanmu itu.”

“Tidak, aku juga tak dapat membiarkanmu di sini, Cun-moi. Kau harus bebas dan kembali bersama ayah ibumu.”

“Kalau begitu kau mencintaiku, twako. Kau memperhatikan aku dan tidak menghendaki aku menderita!”

“Aku tak tahu, aku...”

“Begini saja, twako,” Cao Cun juga menggigil, terisak. “Kalau kau ingin membuktikan cinta atau tidak cinta itu sebaiknya lakukan sesuatu untuk mengujinya. Lakukan sesuatu kepadaku...”

“Apa yang harus kulakukan?”

“Apa saja, twako. Apa saja yang kau suka!”

“Umpamanya?”

“Umpamanya mencium bibirku!”

Kim-mou-eng tersentak. Dia kaget bagai disengat ular berbisa, melihat Cao Cun menangis memejamkan mata, mukanya merah padam. Pipi yang halus itu basah oleh derasnya air yang mengalir, bibir digigit kuat-kuat. Jelas menahan perasaan malu yang hebat bukan main. Tapi Kim-mou-eng yang menunduk tergetar oleh kata-kata ini mendadak mengeluh mendekap kepala itu. “Cun-moi, apa... apa katamu? Kau menyuruhku mencium?”

Cao Cun tak menjawab. Gadis ini tersedu-sedu. Mencapai klimaks dalam penentuan yang amat tegang. Menyuruh Kim-mou-eng mencium kalau pendekar itu mencintainya, atau tidak sama sekali bila pendekar itu tidak mencintainya. Dan Kim-mou-eng yang menjublak oleh semua keadaan ini tiba-tiba membelalakkan mata dengan muka merah padam pula.

Sebenarnya, Pendekar Rambut Emas ini dalam keadaan kalut. Dia tak tahu apakah dia mencintai gadis ini atau tidak. Kalau perasaan suka memang jelas, perasaan itu ada di dalam hatinya. Tak perlu ragu. Juga perasaan sayang, perasaan itupun tumbuh di hatinya dan hangat ingin melindungi gadis ini. Apalagi Cao Cun adalah gadis jelita, gadis yang berhasil meruntuhkan hati kaisar hingga dicari dalam alam mimpinya.

Begitu hebat dan amat memikat, meskipun Cao Cun termasuk gadis yang bersahaja dan tidak banyak tingkah. Memiliki kecerdasan yang sedang tapi hati mulia. Lembut dan jelas gadis baik-baik yang sepatutnya diidamkan setiap pemuda. CaIon seorang ibu dan kekasih yang tentu dapat membangun rumah tangga bahagia. Tapi teringat Salima di sana dan dia tergetar oleh bayangan sumoinya ini yang juga mencintainya mendadak Kim-mou-eng mengeluh mendorong mundur Cao Cun.

“Cun-moi, aku, aku...”

Cao Cun terpukul. Sebagai wanita berperasaan dia malu sekali melihat Kim-mou-eng menjauhkan dirinya. Otomatis menganggap pendekar itu tak mencintainya, tak mau menciumnya karena tubuh yang sudah begitu dekat tiba-tiba dilepas. Padahal dia menunggu. Maka begitu Kim-mou-eng terbata dan tidak dapat bicara mendadak gadis ini memutar tubuhnya tersedu menutupi muka. “Kim-twako, kau pergilah tinggalkan aku...!”

Kim-mou-eng terbelalak. Saat itu Cao Cun meninggalkannya, rambut yang panjang itu bergoyang di belakang punggung. Manis dan mengharukan diiringi tangis yang begitu memilukan. Padahal bukan maksud pendekar ini untuk tidak mencium Cao Cun, melepaskan diri karena bayangan sumoinya tiba-tiba datang mengganggu, muncul diantara Cao Cun dan dirinya. Tapi melihat Cao Cun menangis meloncat pergi mendadak pendekar ini berkelebat menyambar menahan gadis itu.

“Cun-moi, tunggu. Aku belum selesai bicara...!”

Cao Cun terputar. Untuk kedua kalinya ia tertahan, tak mungkin melepaskan diri dari cengkeraman Kim-mou-eng yang begitu kuat. Kuat namun lembut. Dan ketika dia mengguguk dan coba melepaskan diri maka Kim-mou-eng sudah berkata dengan suara gemetar,

“Nanti dulu, dengarkan aku, Cun-moi... aku hendak bicara melanjutkan kata-kataku. Aku ingin membuktikannya. Kau sabarlah sebentar...!”

Cao Cun mengguncang-guncang pundaknya. “Tidak, tidak... aku mengerti, twako. Kau hendak bicara tentang sumoimu dan menghibur aku. Aku tak mau, aku mengerti apa yang akan kau katakan...”

“Ah, nanti dulu, Cun-moi. Aku bukan bicara tentang sumoiku melainkan tentang kita berdua. Aku ingin mengetahui apakah aku mencintaimu atau tidak!”

“Maksudmu?”

“Kau diamlah, Cun-moi. Kau berilah kesempatan pada hatiku untuk menjawabnya sendiri. Kau minta dicium, bukan? Nah, diamlah. Aku akan membuktikannya dan melihat perasaanku sendiri. Aku juga ingin menentukan apakah aku mencintaimu atau tidak!”

Cao Cun menggigil. “Kau... kau mau menciumku, twako?”

“Aku tak tahu, Cun-moi. Tapi berilah aku kesempatan untuk melihat perasaanku sendiri. Aku juga ingin mengujinya!”

“Ooh...!” Cao Cun tiba-tiba lemas, pucat dan merah berganti-ganti di pelukan pendekar ini tiba-tiba tak dapat menahan kakinya dan roboh di pelukan Pendekar Rambut Emas.

Dan ketika Pendekar Rambut Emas juga menggigil dan memeluk gadis itu tiba-tiba Kim mou-eng berbisik, “Cun-moi, tengadahkan mukamu...”

Cao Cun menengadahkan mukanya. Sebenarnya dia berat melakukan itu, entah kenapa menurut tanpa diulang sementara tubuh semakin lemas, lunglai menggantung seolah kehabisan tenaga. Mata terpejam. Takut dan entah perasaan apalagi yang mengaduk-aduk hatinya. Tak karuan.

Dan ketika Pendekar Rambut Emas gemetar dan juga panas dingin seperti Cao Cun tiba-tiba pendekar inipun memejamkan mata dan menelan ludah berulang-ulang. Dia memaksa diri untuk menuntut perasaannya. Sepenuh hati dan kekuatan ingin mengetahui cintanya itu. Apakah dia mencintai Cao Cun atau tidak. Dan ketika kedua-duanya sama menggigil dan Kim-mou-eng diguncang tangis mendadak pendekar ini membuka mata memandang wajah yang tengadah itu.

Kim-mou-eng tergetar. Dia melihat wajah yang pucat dan merah berubah-ubah, membentuk warna aneh yang demikian mempesona. Begitu mengharukan dan lembut. Dan ketika wajah yang terpejam itu gemetar dan bibir yang digigit itu juga menggigil seolah menanti sesuatu mendadak tanpa diperintah sebuah perasaan nikmat menyelinap di hati Kim-mou-eng, menggetarkan denyut nadinya dan menimbulkan rasa haru yang luar biasa. Rasa haru yang cenderung menjadi rasa sayang. Rasa sayang yang cenderung menjadi rasa cinta. Dan ketika rasa cinta itu berkembang dan tumbuh begitu cepat mendadak, tanpa disadari pendekar ini tahu-tahu Kim-mou -eng telah mencium bibir yang menggigil itu dalam sebuah ciuman yang lembut dan mesra!

“Cun-moi, aku mencintaimu...!”

“Oooh...!” Cao Cun menggeliat, tersedak dan hampir berteriak girang oleh pengakuan ini, begitu gembira hingga dia terguling. Roboh dan seketika merasakan ciuman hangat pendekar pujaannya. Ciuman mesra yang bertubi-tubi. Dan ketika gadis itu menangis dan menerima ciuman dengan penuh bahagia mendadak Cao Cun yang diliputi kegembiraan dan kebahagiaan besar setelah menanti ketegangan ini roboh pingsan di pelukan Pendekar Rambut Emas. Lemas!

“Cun-moi...!” Kim-mou-eng sadar, terkejut dan cepat menangkap pinggang yang mematah ini, gontai dan lemah di dalam pelukannya. Tapi ketika dia melihat bahwa gadis itu hanya pingsan saja setelah dicekam ketegangan memuncak mendadak pendekar ini menarik napas menekan guncangannya, tentu saja melepaskan ciuman itu dan merebahkan Cao Cun di lantai.

Dan ketika Wan Hoa juga muncul menghampiri sahabatnya akhirnya Kim-mou-eng merah padam memberi keterangan. “Dia pingsan, Wan Hoa. Tak apa-apa dan sebentar lagi tentu sadar.”

“Ya, aku tahu,” Wan Hoa lega, mengangguk dan tahu sahabatnya memang tidak apa-apa, melihat semuanya dari dalam. “Dan aku girang kau memberikan cintamu, Kim-mou-eng. Semoga Cao Cun hidup bahagia di sampingmu!”

Kim-mou-eng semburat. Dia mendapat lirikan penuh arti dari Wan Hoa ini senyum yang mengembang disertai isak gembira. Tahu bahwa Wan Hoa telah melihat semuanya itu, melihat dia mencium Cao Cun dan menyatakan cintanya. Kali ini tidak pura-pura karena perasaan cinta memang menyelinap di hatinya. Membuat dia tak sadar dan begitu saja mencium puteri Wang-taijin ini. Perbuatan yang mereka anggap cinta! Dan ketika Kim-mou-eng menotok dan mengurut sana-sini akhirnya tak lama kemudian Cao Cun membuka matanya.

“Kim-twako, dimanakah aku ini? Di surga?”

Pendekar Rambut Emas lagi-lagi semburat. “Kau ditempat semula, Cun-moi. Kau pingsan dan kini baru saja sadar.”

“Ooh...!” Cao Cun teringat, bangkit duduk dan tiba-tiba merangkul pendekar ini, tak tahu Wan Hoa ada di belakangnya karena sahabatnya itu berdiri mematung, diam tak bergerak, memandang semuanya itu dengan penuh haru dan air mata berlinang. Dan ketika Kim-mou-eng menyambut dan memeluknya mesra Cao Cun sudah berbisik, “Aku ingin kau cium lagi, koko. Aku ingin merasakan hangatnya cintamu!”

“Hush...!” Kim-mou-eng jengah, mendengar Wan Hoa terkikik tanpa sadar, baru membuat Cao Cun tahu sahabatnya ada di situ, di belakangnya. Dan ketika Wan Hoa tertawa dan memutar tubuhnya meninggalkan mereka mendadak Cao Cun yang sadar dan tersipu jengah tiba-tiba mengejar.

“Wan Hoa, kau nakal. Kau tak memberi tahu kehadiranmu!”

“Hi-hik, aku sudah lama di situ, Cao Cun. Kaulah yang dimabuk bahagia dan tidak tahu...!” Wan Hoa tertawa, dikejar dan akhirnya dicubit temannya ini. Dan ketika gadis itu menjerit dan Cao Cun memukul-mukul lengannya akhirnya gadis ini berteriak pada Kim-mou-eng.

“Kim-koko, aih... Kim-taihiap, tolong. Kekasihmu menggigit!”

Cao Cun dan Kim-mou-eng tersipu. Mereka mendengar Wan Hoa sengaja merubah panggilan, menirukan Cao Cun tadi yang menyebut Pendekar Rambut Emas dengan “koko” (kanda), sebutan yang begitu mesra dan lembut. Dan Cao Cun yang tentu saja gemas dan marah-marah mendongkol akhirnya mencubit temannya keras-keras.

“Aduh, ampun Cao Cun, tobat...!” Wan Hoa berteriak, tertawa tapi berhasil melepaskan dirinya dari cubitan Cao Cun, melarikan diri dan lenyap di lorong bawah tanah. Dan ketika Cao Cun hendak mengejar tapi Kim-mou-eng menangkap gadis ini akhirnya Cao Cun menunduk tergetar jengah.

“Cun-moi, sekarang persoalan kita tuntas. Aku hendak bicara padamu.”

Cao Cun mengangkat mukanya, menggigil bahagia. “Kau hendak membawaku pergi?”

Pendekar Rambut Emas mengerutkan kening. “Tidak, justeru meninggalkanmu sementara di sini, moi-moi. Aku harus pergi untuk menyelesaikan persoalan-persoalanku yang menumpuk!”

“Ah, kau mau meninggalkan aku?”

“Demi tugas yang belum kuselesaikan, Cun-moi. Aku masih harus mencari orang-orang yang mempunyai persoalan denganku.”

“Sumoimu itu?”

“Bukan dia saja, moi-moi. Tapi juga murid Seng-piauw-pangcu ini dan suheng serta pamanku. Aku belum menyelesaikan pekerjaanku itu!”

Cao Cun tiba-tiba menangis. “Jadi kau mempermainkan aku lagi, koko? Kau hendak membuatku merana lagi?”

“Dengarlah,” Pendekar Rambut Emas murung mukanya. “Aku tidak meninggalkanmu, Cun-moi, melainkan menitipkan dirimu sementara sampai tugasku selesai. Aku akan membawamu kelak kalau pekerjaanku rampung.”

“Tapi itu berarti meninggalkan aku lagi, koko. Dan aku takut kau tak akan kembali!”

“Hm, kenapa begitu?”

“Tentu, bukankah kau akan mencari somoimu yang keras itu, koko? Dan kalian tentu bertengkar, kalian tentu bermusuhan dan sumoimu itu mungkin saja membunuhmu. Atau mungkin membunuhku kalau tahu kita... kita...” Cao Cun menangis, tak meneruskan kata-katanya yang dimaksudkan Salima mengetahui cinta mereka. Tahu gadis Tar-tar itu juga mencintai Pendekar Rambut Emas dan Cao Cun takut ditinggal sendirian, cemas kalau Salima mencari dirinya dan membunuh dia tanpa diketahui pendekar ini.

Dan Kim-mou-eng yang muram menarik napas tiba-tiba mendesah. “Cun-moi, apa yang kau khawatirkan sebetulnya sudah terlambat. Tanpa mengetahui hubungan kitapun dia telah memusuhi diriku. Sumoi dan suhengku itu memusuhiku mati-matian, mereka hendak membunuhku. Aku akan mencari mereka untuk meminta keterangan!”

“Dan kau yakin dapat mengatasi mereka, koko? Kau tak khawatir sumoi dan suhengmu itu mencelakaimu?”

“Aku tak khawatir selama aku di jalan kebenaran, moi-moi. Tapi kalau mereka hendak membunuhku tentu saja aku tak tinggal diam. Justeru aku penasaran oleh sikap mereka ini!”

“Dan apa sebab mereka memusuhimu? Semata kau meninggalkan suku bangsamu?”

“Aku kurang jelas, moi-moi. Tapi mereka menyebutku sebagai pengkhianat. Aku penasaran oleh tuduhan ini!”

Cao Cun menggigil. Dia terbayang Salima, gadis Tar-tar yang tinggi semampai itu, sumoi kekasihnya yang memiliki kepandaian tinggi. Sepak terjangnya ganas dan hatinyapun juga keras, sekali mereka bertemu dan dia ngeri melihat tindak-tanduknya. Harus mengakui bahwa adik seperguruan pendekar ini adalah seorang gadis yang hebat. Cantik dan agung seperti seorang ratu. Ada kesan sombong, angkuh. Tapi menyadari tak mungkin dia dapat menahan Kim-mou-eng kalau pendekar itu hendak pergi akhirnya Cao Cun melepaskan diri dengan bibir gemetar, sayu memandang kekasihnya itu.

“Baiklah, kau pergilah, koko. Kunanti kembalimu dengan sabar. Aku tahu keadaan diriku, aku tahu kelemahanku yang tiada guna. Tapi ingat, kalau kau tak kembali dan menipuku jangan kau ke sini lagi untuk selamanya!”

Kim-mou-eng tergetar. Tiba-tiba dia ditarik ke alam sadar lagi, akan kenyataan bahwa puteri Wang-taijin ini adalah seorang gadis lemah biasa. Jauh dibanding dengan sumoinya itu, Salima si singa betina yang gagah perkasa. Keras dan ganas kalau sudah punya kemauan. Tak gampang memberi ampun. Tapi pahit membayangkan semuanya ini tiba-tiba pendekar itu menggenggam lengan Cao Cun, merasa dia telah terlanjur maju satu langkah.

“Cun-moi, apa yang kau pikir sebaiknya tak perlu menggores perasaanmu sendiri. Aku mencintaimu, aku telah membuktikan isi hatiku sendiri dan aku telah menciummu. Aku tak tahu bagaimana sikap sumoiku kelak, tapi aku berharap dapat menyelesaikan semuanya ini dengan baik. Kau mengerti perasaanku?”

“Aku tahu, tapi aku khawatir kau roboh di tangan sumoimu, koko. Aku takut kau akan meninggalkan aku.”

“Ah, tidak. Aku dapat mengatasi sumoiku itu, moi-moi. Tapi...”

“Tidak, bukan itu yang kumaksud. Aku khawatir kau jatuh cinta pula pada sumoimu, koko. Betapapun laki-laki lemah menghadapi wanita. Firasatku mengatakan itu!”

Kim-mou-eng terkejut. “Kau maksudkan aku laki-laki sinting?”

“Sudahlah,” Cao Cun menangis. “Kau pergilah, koko. Tapi ingat pesanku tadi, kalau kau melupakan aku dan roboh di tangan sumoimu itu sebaiknya tak perlu kau kembali ke sini dan biarkan aku sendiri!”

Kim-mou-eng tergetar. Cao Cun menubruknya, untuk terakhir kali menyusupkan kepalanya di dadanya, begitu penuh ketakutan dan kegelisahan seolah anak ayam khawatir kehilangan induknya. Dan ketika muka yang penuh air mata itu diangkat dan bibir yang gemetar itu setengah terbuka tiba-tiba Cao Cun berbisik,

“Koko, ciumlah aku kembali...!”

Kim-mou-eng tersentak. Dia melihat Cao Cun menengadahkan muka dengan mata terpejam, minta dicium sementara bibir itu juga menggigil. Bibir yang merah dan basah, bibir yang lembut. Dan Kim-mou-eng yang tentu saja tak tahan diminta begini tiba-tiba sudah menunduk dan mencium bibir itu. “Cun-moi...!”

Cao Cun terisak. Kim-mou-eng telah menciumnya, melumatnya dan mendekapnya begitu ketat. Tubuh seolah dialiri listrik hingga masing-masing sama bertegangan tinggi, melekat tak mau berpisah. Cao Cun tentu saja membalas dan mencium kekasihnya itu, tak kalah hangat, saling lumat dan merasakan kebahagiaan luar biasa. Begitu nikmat dan menina-bobok. Raga seakan melayang di awang-awang. Dan ketika keduanya terengah dan Cao Cun melepaskan diri akhirnya gadis ini mundur dengan kaki menggigil, semangat seakan terbang entah kemana.

“Koko, terima kasih. Sekarang kau pergilah...!”

Kim-mou-eng gemetar. Untuk pertama kali dia merasa limbung oleh buaian asmara yang demikian memabukkan. Begitu berkesan dan membuat dia lupa diri, hampir saja menangkap dan kembali menyambar Cao Cun. Tapi melihat gadis itu menjauh dan menangis dengan air mata bercucuran akhirnya pemuda ini teringat keadaannya dan mengangguk. “Baiklah, sampai jumpa, moi-moi. Kau jagalah dirimu baik-baik dan hati-hati...!”

Cao Cun menggigit bibir. Dia juga mengangguk, memberi tahu bahwa di ujung lorong pendekar itu dapat keluar, memesan agar pendekar itu berhati-hati. Dan ketika Kim-mou-eng berkelebat dan Cao Cun mendelong akhirnya Pendekar Rambut Emas telah meninggalkan puteri bupati Wang ini, menikmati dan memberikan kenangan yang luar biasa indah bagi Cao Cun. Masing-masing sama menyadari keadaan saat itu. Cao Cun tak mungkin dibawa karena pendekar ini harus menyelesaikan tugas-tugasnya dulu. Dan begitu Kim-mou-eng lenyap dan Cao Cun menangis tersedu tiba-tiba gadis inipun memutar tubuhnya memasuki lorong bawah tanah.

Kim-mou-eng terus bergerak ke depan. Pendekar ini memang harus keluar dari tempat persembunyian itu tak mungkin bersembunyi terus dan membawa mayat Sin-piauw Ang- lojin, tak lupa menyambarnya karena dia memang harus merawat jenazah itu, menguburnya di luar. Tapi persis dia meloncat keluar dari lorong bawah tanah tiba-tiba lima orang sesat itu muncul.

“Ha-ha, kau keluar juga, Kim-mou-eng? Temanmu telah mampus?”

Kim-mou-eng terkejut. Dia telah melalui jalan berliku-liku yang cukup panjang di lorong bawah tanah tadi, sebelum keluar. Tentu saja terperanjat melihat lima lawannya masih menunggunya, tak mau melepaskannya dan kini hari telah berganti pagi. Jadi semalam dia kucing-kucingan dan meninggalkan lawan-lawannya ini. Tapi tak takut dan marah meletakkan mayat temannya dia justeru geram pada Sai-mo-ong dan empat temannya ini, tiba-tiba mencabut sebatang pit (alat melukis) yang jarang dipergunakan.

“Mo-ong, kau masih juga mengejar-ngejarku tak mau sudah? Kalian mau mengeroyok untuk membunuh aku?”

“Ha-ha, tentu tidak, Kim-mou-eng. Kalau kau menyerahkan diri baik-baik dan ikut kami!”

“Ya, dan kau minta maaf pada Siauw-ong-ya, Kim-mou-eng. Setelah itu jalan-jalan bersamaku dan kita bersahabat!” Tok-gan Sin-ni terkekeh melecutkan ujung rambutnya yang berbunyi nyaring. Diam-diam kagum dan penasaran pada Pendekar Rambut Emas ini. Sungguh lawan yang amat lihai.

Tapi Pendekar Rambut Emas yang marah memandangnya tiba-tiba membentak, “Sin-ni, kau wanita tak tahu malu. Aku tak akan minta maaf dan bersahabat denganmu. Kalian iblis-iblis yang licik!”

“Kalau begitu terima kematianmu, Kim-mou-eng. Kami juga tahu kau bakal keras kepala... wutt!” Coa-ong Tok-kwi tiba-tiba menyambar berkelebat menggerakkan tongkatnya itu yang tinggal separuh, ujungnya hancur dipukul pendekar ini dan disusul Hek-bong Siang-lo-mo yang juga membentak marah, bergerak melakukan pukulan sinkang yang menderu menghantam pendekar itu. Dan ketika Mo-ong juga menyerang dan Sin-ni ikut menggerakkan rambut menerjang Kim-mou-eng akhirnya Pendekar Rambut Emas menangkis dan berkelebat memutar pitnya.

“Trak-trakk...!”

Lima senjata bertemu pit di tangan Kim-mou-eng, terpental dan kini menyambar lagi lebih hebat. Pemiliknya marah karena pit di tangan Kim-mou-eng yang kecil itu mampu menolak senjata mereka, hampir saja membalik dan menghantam muka sendiri, membuat lima iblis itu gusar dan tentu saja memperhebat serangan. Dan ketika mereka berlima kembali menyerang dan Kim-mou-eng dikeroyok di tengah akhirnya pendekar ini berkelebatan menyambut dan menangkis serta menggerakkan batang pitnya yang ampuh itu.

“Coa-ong, kalian memang iblis-iblis busuk!”

Coa-ong dan teman-temannya tak menjawab. Mereka gencar menyerang pendekar itu, membentak dan mengerahkan segenap kekuatan yang ada. Tongkat dan lengan menyambar-nyambar ganti berganti melepas pukulan membentur senjata di tangan Kim-mou-eng. Tapi ketika Kim-mou-eng menangkis dan semua pukulan terpental akhirnya Raja Ular ini mencabut sulingnya pula menyuruh teman-temannya yang lain memperhebat serangan.

“Mo-ong, Lo-mo, serang saja dari belakang. Biar aku dan Sin-ni menyerangnya dari depan...!”

Sai-mo-ong mengangguk. Kakek iblis ini juga mulai mencabut kipas bulu singanya, mengebut dan menampar, berkelebat ke belakang menyerang pendekar itu seperti permintaan temannya. Dan Tok-gan Sin-ni yang juga terkekeh melecutkan rambutnya di belakang Pendekar Rambut Emas akhirnya berseru dengan suara penuh kagum,

“Coa-ong, keluarkan saja senjata rahasia kalian. Sibukkan dia dengan jarum-jarum beracun!”

Coa-ong mengangguk. Dia marah dan penasaran sekali oleh kelihaian lawannya ini, tongkatnya berkali-kali terpental. Tapi setelah mereka memecah diri dan tiga lawan menyerang di belakang dan dia juga mencabut sulingnya akhirnya Pendekar Rambut Emas terdesak dan mulai mengeluh. Betapapun tak sanggup menghadapi lima pentolan iblis itu secara berbareng, apalagi masing-masing memiliki keistimewaan sendiri-sendiri, meskipun Tiat-lui-kang berhasil menahan semua serangan dengan baik. Dan ketika Mo-ong juga melepaskan pelor-pelornya yang berbahaya itu dibalik kebutan kipas akhirnya Kim-mou-eng tak dapat menghindarkan diri dari beberapa pukulan yang mulai mendarat di tubuhnya.

“Des-dess!”

Dua pukulan Coa-ong dan Hek-bong Siang-lo-mo mulai menimpa pendekar ini, Kim-mou-eng terhuyung, terdorong dan menerima lagi lecutan rambut Tok-gan Sin-ni yang menjeletar nyaring, terasa pedih kulitnya namun tidak terluka, pendekar ini telah melindungi diri dengan kekuatan sinkangnya. Membuat lawan gemas dan semakin marah. Dan ketika bertubi-tubi pukulan dan gebukan mulai menggoyahkan pendekar ini namun tetap saja pendekar itu tidak roboh akhirnya Hek-bong Siang-lo-mo berteriak melepas pukulannya.

“Sin-ni, lepaskan jarum-jarum rahasiamu itu...!”

Tok-gan Sin-ni terkekeh. “Sabar dulu, Lo-mo. Biar Mo-ong dan Coa-ong saja yang melepas senjata -senjata rahasianya. Aku masih sayang pada kulitnya yang halus.”

“Tapi kita harus bunuh pendekar ini, Sin-ni. Tak perlu menunda atau kasihan padanya!”

Tok-gan Sin-ni tetap tertawa. Sebenarnya, dia merasa sayang kalau membunuh Kim-mou-eng. Tak melepas jarum karena dia khawatir Pendekar Rambut Emas binasa, terlalu banyak dihamburi senjata rahasia. Betapapun kagum dan jatuh hati pada pendekar yang hebat ini. Murid Bu-beng Sian-su. Tapi ketika kawan-kawannya mulai berteriak dan Pendekar Rambut Emas tak roboh juga meskipun terhuyung dan terpental sana-sini akhirnya wanita ini menjadi tak enak juga pada teman-temannya.

“Baiklah, kalian berkaok-kaok kayak jago kalah tarung saja, Lo-mo. Kalau diminta mengeluarkan jarum baiklah, kalian rupanya kurang becus... wut-plak!” dan rambut Tok-gan Sin-ni yang menampar leher Kim-mou-eng tiba-tiba membalik dan melibat pendekar ini, membelit lengan di saat Pendekar Rambut Emas menangkis serangannya, mengembang dan telah dibetot wanita ini.

Dan ketika Hek-bong Siang-lo-mo berseru keras dan Mo-ong juga mengebutkan kipasnya mendadak tiga iblis tua ini menyerang berbareng dengan pekik gembira. “Sekarang kau mampus, Kim-mou-eng...!”

“Dan kau menghadap Giam-lo-ong (Raja Maut), Pendekar Rambut Emas...!” dan tiga pukulan bertubi yang hampir serentak menghujani pendekar ini tiba-tiba membuat Pendekar Rambut Emas pucat, menangkis dengan lengan satunya sementara lengan yang lain masih digubat rambut, tentu saja marah dan tak mau mati konyol. Tapi ketika Coa-ong juga meloncat dan terbahak menggerakkan tongkatnya tiba-tiba dalam waktu yang begitu singkat lima serangan telah menghantam pendekar ini tak kenal ampun.

“Haitt...!” Pendekar Rambut Emas tiba-tiba melengking, membentak menggetarkan seluruh tubuhnya. Rambut Tok-gan Sin-ni yang melibat lengannya tiba-tiba putus, membuat wanita itu berseru kaget, terjengkang kebelakang, secepat kilat melepas jarum-jarum rahasianya yang berhamburan di depan Kim-mou-eng. Dan ketika Kim-mou-eng menerima pukulan tongkat dan hujan serangan yang lain sementara semua serangan itu tak dapat dihindarkan lagi tiba-tiba dalam satu bentakan dahsyat pendekar ini mengeluarkan Pek-sian-ciangnya.

“Krak-des-dess...!”

Benturan di depan mata itu mengejutkan sekali. Kim-mou-eng tampak terpental, tongkat di tangan Coa-ong hancur berkeping-keping, disusul sulingnya yang juga remuk menimpa kepala pendekar ini, bertemu hawa sinkang yang begitu kuat sementara Pek-sian-ciang menyambar Hek-bong Siang-lo-mo dan Mo-ong, ketiganya bertemu dalam satu benturan dahsyat, disusul terlemparnya tiga iblis tua itu yang mencelat sambil mengaduh, hampir berbareng jatuh berdebuk di atas tanah, tak ubahnya dibanting.

Dan karena saat itu Pendekar Rambut Emas sudah mengeluarkan tenaga berlebih-lebihan sementara lawan terlempar ke kiri kanan padahal jarum-jarum Tok-gan Sin-ni menyambar tubuhnya akhirnya pendekar ini tak dapat melindungi diri ketika tujuh jarum menancap di tubuhnya, persis ketika pendekar ini mengendor sinkangnya.

“Cep-cep!”

Kim- mou-eng mendesis. Dia langsung terguling, menerima tujuh jarum beracun wanita sakti itu yang mengenai tubuhnya, disengat rasa panas dan pedih. Kepala tiba-tiba pening, maklum racun langsung bekerja dan dia kehabisan tenaga. Sinkangnya baru saja dipergunakan menghadapi lima pukulan maut. Dan ketika pendekar itu mengeluh dan melotot pada lawan yang demikian curang mendadak pendekar ini tak dapat mempertahankan diri dan roboh pingsan!

“Bluk!”

Tok-gan Sin-ni mendesis. Wanita sakti ini tertawa, menyeringai menahan sakit karena dia juga menerima akibat dari pukulan Pek-sian-ciang, dadanya sesak tapi keburu melempar tubuh bergulingan, menjauhkan diri melihat empat temannya sudah duduk menenangkan guncangan, masing-masing terkena Pukulan Dewa Putih itu yang demikian dahsyat, terluka dalam. Tapi ketika dia terhuyung hendak menghampiri pendekar itu tiba-tiba sesosok bayangan setan berkelebat menyambar Kim-mou-eng. Begitu cepat hingga wanita ini tak dapat mencegah, tertegun di tempat dengan mata terbelalak, langsung terhenti dan tentu saja bengong. Tapi ketika bayangan itu lenyap dan Kim-mou-eng disambar pergi mendadak wanita ini terkejut dan sadar berteriak,

“Hei...!”

Namun bayangan itu lenyap di depan. Tok-gan Sin-ni hanya mendengar suara mendengus mirip kuda jalang, pendek tapi berat. Hilang seperti hantu membawa Kim-mou-eng, begitu saja. Tapi Tok-gan Sin-ni yang marah membentak nyaring tiba-tiba mengejar dan tentu saja tak mau sudah. “Siluman hina, lepaskan buruan kami...!”

Tapi bayangan itu lenyap seperti asap. Tok-gan Sin-ni terkejut melihat ginkang yang begitu luar biasa, tak melihat lagi kemana bayangan itu lari. Lenyap di balik pohon-pohon di depan dan tentu saja membuat dia mengumpat-caci, mencari ke sana ke mari tapi tak melihat lagi kemana bayangan itu. Dan ketika dia berputar-putar tapi bayangan yang dicari tetap juga tak ketemu akhirnya empat temannya muncul dengan kaki terhuyung, masih belum pulih dari bekas pukulan Pek-sian-ciang.

“Mana Kim-mou-eng?”

Tok-gan Sin-ni tertegun. “Diculik seseorang, Mo-ong. Aku mengejarnya tapi tak berhasil.”

“Siapa?”

“Ku tak tahu. Hanya bayangannya ke utara dan kukejar sampai ke sini.”

“Keparat, kau juga tak tahu mukanya?”

“Mukanya tak jelas, Mo-ong. Riap-riapan tapi sekilas kulihat sinar kehijauan di mukanya itu.”

“Ah, Cheng-bin Yu-lo (Si Tua Yu Bermuka Hijau)... !” Mo-ong tiba-tiba tertegun, berseru kaget dengan mata meliar, mendadak membanting kaki dan memaki Tok-gan Sin-ni. Dan ketika Tok-gan Sin-ni marah dan ganti melotot padanya tiba-tiba iblis tua ini berkelebat ke timur.

“Sin-ni, dia adalah Cheng-bin Yu-lo. Dialah paman Kim-mou-eng itu. Ayo kejar!”

Tok-gan Sin-ni terbelalak. Dia tertegun mendengar kata-kata ini, baru tahu bahwa yang menculik Kim-mou-eng adalah Cheng-bin Yu-lo, rekan nomor tujuh dari golongannya sendiri. Iblis yang aneh tindak tanduknya karena jarang bertemu mereka, bahkan memusuhi mereka dengan sepak terjangnya yang sukar dimengerti. Kadang baik kadang jahat. Kadang berteman kadang berlawan. Tapi melihat Mo-ong mengejar dan berseru itulah Cheng-bin Yu-lo tiba-tiba Tok-gan Sin-ni berkelebat disusul teman-temannya yang lain.

“Mo-ong, tadi dia ke utara, kenapa ke timur?”

“Bodoh, kau dikecohnya, Sin-ni. Cheng-bin Yu-Io tinggal di timur bukannya di utara. Dia memutar!”

“Oh...!” Tok-gan Sin-ni yang mengerti akhirnya menyusul pula di belakang rekannya ini, sadar dan maklum bahwa Sai-mo-ong itulah yang agaknya tahu dimana tempat tinggal Yu-lo bersembunyi, disusul Hek-bong Siang-lo-mo dan Coa-ong Tok-kwi yang masih menahan sakit bekas pukulan Pek-sian-ciang. Sering batuk-batuk. Dan begitu empat iblis itu mengikuti Sai-mo-ong akhirnya lima orang ini menuju ke timur mencari Cheng-bin Yu-Io. Atau tepatnya, mencari Kim-mou-eng yang telah mereka robohkan itu dan tidak peduli sama sekali pada mayat Sin-piauw Ang-lojin yang tadi dibawa Kim-mou-eng!

* * * * * * * *

Kemana Pendekar Rambut Emas dibawa? Benarkah Cheng-bin Yu-lo yang membawanya? Untuk melihat ini memang kita harus mengikuti bayangan yang secepat setan itu, manusia berambut riap-riapan yang tidak dikenal Tok-gan Sin-ni, melesat seperti terbang dan kemudian meninggalkan Tok-gan Sin-ni jauh di belakang. Dan karena Tok-gan Sin-ni sendiri masih tergetar oleh bekas pukulan Pek-sian-ciang maka iblis wanita ini tak berhasil mengejar karena lawan yang dikejar memiliki ginkang yang memang hebat.

Saat itu jauh meninggalkan lawannya di belakang, bayangan ini bergerak ke utara. Dan terus memanggul Kim-mou-eng di atas pundaknya, sama sekali tak terganggu larinya oleh beban yang cukup berat ini. Berbelok dan akhirnya benar memutar menuju timur, persis seperti yang dikata Sai-mo-ong. Dan ketika dia berlari beberapa jam lagi dan sampai di sebuah hutan bambu tiba-tiba bayangan ini lenyap di sebuah rumpun bambu yang gelap.

Orang tak akan tahu kemana bayangan ini lenyap. Tubuhnya menyelinap begitu saja di tengah, masuk dan hilang seperti ditelan bumi. Tapi kalau orang mengikutinya dan tahu bayangan ini membuka sebuah semak-semak dan pintu kuburan menganga menyambutnya tentu orang akan berdiri bulu tengkuknya melihat apa yang dilakukan bayangan ini.

Dia masuk di sebuah celah, pintu kuburan menutup kembali, semak alang-alangpun merapat seperti semula. Dan ketika dia menuruni anak tangga berbatu dan terus menuju ke dalam tahulah kita bahwa orang ini memasuki sebuah tempat rahasia di bawah tanah. Semacam istana kuno!

Bayangan itu meneruskan langkahnya. Dia menurun dan naik tiga belokan, tiba di sebuah tempat terang yang menyeramkan. Sekeliling dindingnya penuh tengkorak. Dan ketika dia melempar Kim-mou-eng dan membalik dengan mata dingin tiba-tiba seorang pemuda muncul berkelebat dengan sepasang pedang di punggung.

“Paman, kau datang?”

Bayangan itu, yang ternyata seorang kakek dengan muka kehijauan mendengus, tidak menjawab. membalikkan tubuh Kim-mou-eng yang kini mukanya menjadi hitam. Racun dari jarum Tok-gan Sin-ni telah merubah kulitnya. Dan ketika si pemuda melihat dan kaget membelalakkan mata tiba-tiba dia melompat maju mengenal Kim-mou-eng.

“Pendekar Rambut Emas...!”

“Ya, kau kenal?” bayangan itu, kakek yang bersikap dingin ini bertanya. Dia baru kali itu bicara, suaranya berat dan serak, pendek dan singkat saja.

Tapi si pemuda yang berjongkok dan sudah meraba denyut nadi Kim-mou-eng tiba-tiba melihat tujuh jarum yang menancap di tubuh pendekar ini. “Ah, jarum beracun!” pemuda itu langsung mencabut, seketika merah mukanya dan maklum Kim-mou-eng mendapat serangan curang, menotok pundak dan dada pendekar ini. Dan ketika semua jarum dibuang jauh akhirnya pemuda ini berdiri menghadapi pamannya.

“Paman, apa yang terjadi? Kau telah memberinya obat?”

Kakek itu mendengus. “Buat apa kau tanya? Kalau tidak kuberi bukankah dia sudah mampus sejak tadi?”

“Tapi kau tak menahan aliran racun, paman. Kau membiarkan saja racun itu bekerja!”

“Aku tak mengharap dia hidup, tapi aku juga tak mengharap dia mampus!”

“Kalau begitu kenapa dia dibawa ke sini? Sebaiknya paman tak perlu bekerja setengah-setengah bila tidak berniat menolong!” pemuda itu marah, tiba-tiba menghisap tujuh lubang di tubuh Kim-mou-eng, menyedot racunnya dan berkali-kali mengeluarkan darah hitam. Darah yang busuk dan amis. Dan ketika dia mengambil sebutir mutiara dan menempelkannya di bekas tusukan jarum tiba-tiba kakek berwajah dingin ini membentak,

“Yu Bing, kau mau melancangi pamanmu?”

Yu Bing, pemuda berpedang sepasang itu terkejut. Dia sudah menempelkan mutiaranya, mutiara penyedot racun, benda yang akan membersihkan sisa-sisa racun yang ada di tubuh Kim-mou-eng tadi tiba-tiba mencelat terlepas, terbang ke kakek berwajah dingin itu. Melihat pamannya marah dan menegurnya dengan pandangan keras. Mutiara tahu-tahu berpindah tangan dengan gerakan begitu cepat. Tapi Yu Bing yang bangkit berdiri dengan kepala tegak tiba-tiba menghadapi pamannya dengan muka keras.

“Paman, dia adalah Kim-mou-eng. Dia adalah keponakanmu yang selama ini mencari-carimu. Kenapa kau mencegah aku mengeluarkan sisa racun dengan Pek-houw-cu (Mutiara Harimau Putih)?”

“Hm, kau tak boleh sembrono, Yu Bing. Aku tak tahu apakah benar dia keponakanku atau bukan. Aku masih hendak menyelidikinya, aku tak percaya begitu saja omonganmu!”

“Tapi dia suheng Salima, paman. Dan Salima telah menceritakan segalanya kepadaku. Dia...”

“Stop! Tak perlu cerewet. Bocah ini boleh ditolong tapi sifatnya sementara saja. Kau mundurlah, biar aku yang menyelesaikannya!” dan si kakek yang menampar Yu Bing membuat pemuda itu mencelat tiba-tiba bergerak sudah menendang Kim-mou-eng yang masih pingsan. Tiga jalan darah ditotoknya dengan aneh, dengan ujung kaki, totokan luar biasa yang membuat Kim-mou-eng mengeluh, membuka mata dan tiba-tiba sadar. Jarum sudah dicabut tapi racun masih mengeram di tubuhnya, muka masih kehitaman dan tubuh terasa panas dingin, tak karuan.

Dan ketika Kim-mou-eng membuka mata dan melihat pajangan tengkorak di seluruh dinding tiba-tiba matanya beradu dengan sepasang mata dingin yang dimiliki kakek menyeramkan itu, bentrok dengan mata yang kehijauan pula seperti telaga yang dingin, jauh dan membawanya ke dasar yang dalam membuat Kim-mou-eng terkejut. Tapi belum dia bicara atau apa mendadak pemilik mata yang menyeramkan ini sudah menyambar tengkuknya.

“Kau Kim-mou-eng?”

Kim-mou-eng tersentak, tidak menjawab.

“Kau Kim-mou eng?”

Kim-mou-eng akhirnya mengangguk, tersenyum getir. “Ya, kau siapakah, locianpwe? Aku memang Kim-mou-eng, sudah matikah aku ini?”

Kakek ini mendengus, melepaskan cengkeramannya. “Kau belum mampus, tapi bisa sewaktu-waktu mampus!” dan ketika Kim-mou-eng mengerutkan keningnya kakek itu bicara lagi, “Pendekar Rambut Emas, kau katanya mencari-cari seseorang. Benarkah?”

Kim-mou-eng tak segera menjawab.

“Kau tuli?” kakek itu membentak. “Apakah kau tidak dengar pertanyaanku?”

Kim-mou-eng menghela napas, teringat pertempurannya dengan Hek-bong Siang-lo-mo dan teman-temannya itu. “Locianpwe, sebelum menjawab pertanyaan itu sebaiknya terangkan dulu dimana aku ini. Kaukah yang menolongku dari cengkeraman musuh-musuhku? Mana itu Tok-gan Sin-ni dan yang lain-lain?”

“Mereka tak perlu kau cari, Kim-mou-eng. Aku telah membawamu pergi dari tempat berbahaya itu.”

“Ah, sudah kuduga. Terima kasih...!” dan Kim-mou-eng yang bangkit memberi hormat tiba-tiba mengeluh merasa kepalanya berputar, terguling dan roboh kembali karena racun dari jarum Tok-gan Sin-ni masih menguasainya.

Tapi si kakek yang mendengus tak mengacuhkannya tiba-tiba menjambak rambutnya. “Kau mencari seseorang?”

Kim-mou-eng mendongkol. “Orang tua, beginikah sikapmu menolong orang? Kalau kau tak suka padaku sebaiknya lepaskan aku. Aku dapat menolong diriku sendiri!”

“Plak-plak...!” kakek itu tiba-tiba menampar, marah rupanya. “Kau tak perlu sombong, anak muda. Kalau aku tak menolongmu tak mungkin kau dapat menolong dirimu sendiri! Ayo bangun, kuhajar kau nanti!”

Kim-mou-eng terhuyung, marah dan pusing. Tapi Yu Bing yang sejak tadi diam tak bicara mendadak melompat maju. “Paman, tak perlu kau bersikap kasar padanya. Kim-mou-eng mencari dirimu!”

“Diam!” kakek itu membentak. “Aku tak ingin kau ikut campur, Yu Bing. Kalau tidak kubunuh kau nanti!”

Kim-mou-eng terkejut. Sekarang dia melihat pemuda yang gagah ini, yang bukan lain Siang-kiam-houw Yu Bing adanya, Harimau Berpedang Sepasang yang dulu bertemu Salima. Tapi belum dia bicara sesuatu tiba-tiba kakek itu sudah mencengkeramnya kembali.

“Kim-mou-eng, kau mencari seseorang?”

Kim-mou-eng menahan sakit, tiga kali mendapat pertanyaan yang sama. Tapi mengangguk menggigit bibir dia menjawab juga, “Ya, darimana kau tahu?”

“Hm,” kakek itu masih bengis. “Siapa yang kau cari?”

“Banyak, suheng dan sumoiku, juga... augh!” Kim-mou-eng mendesis, kakek itu tiba-tiba mencekik lehernya, menjepit jalan darah pi-pet-hiat yang menimbulkan rasa nyeri yang luar biasa. Hampir saja dia mengaduh.

Tapi kakek bermuka hijau yang rupanya tidak sabar oleh jawaban yang bertele-tele itu tiba-tiba membentak kembali, “Kim-mou-eng, nyawamu berada di tanganku. Sebaiknya tak perlu kau main-main. Ceritakan siapa orang yang kau cari dan siapa ayah ibumu!”

Kim-mou-eng marah. Dia jadi tak menjawab pertanyaan itu, diserang dua rasa sakit berbareng dari racun dan jepitan di jalan darah. Tapi ketika dia terbelalak dan tak mau menjawab tiba-tiba pemuda yang ada di belakang kakek itu berbisik mengirim suaranya, “Kim-mou-eng, sebaiknya ceritakan saja kedatanganmu ke Tionggoan ini. Bukankah kau mencari pamanmu dan susah payah menemukannya? Dialah pamanmu itu, tapi kau harus dapat membuktikan bahwa dirimu adalah keponakannya. Tunjukkan siapa dirimu, siapa ayah ibumu!”

Kim-mou-eng tertegun. Dia tak menyangka bisikan pemuda itu, terkejut mendengar semua kata-katanya. Tapi mengeluh menahan sakit tiba-tiba pendekar ini mendesis memandang kakek itu, “Kau siapakah, orang tua? Kenapa bertanya urusan pribadiku?”

“Keparat, kau menjawab pertanyaan dengan pertanyaan? Kau minta kugampar lagi?” kakek itu marah. “Tak perlu banyak tanya, Kim-mou-eng. Sebutkan saja benarkah kau mencari seseorang dan siapa orang itu. Lalu ceritakan pula siapa dirimu!”

Kim-mou-eng tergetar, memandang tajam kakek itu. “Aku mencari pamanku...!” jawabnya lirih.

“Siapa?”

“Yu -Iopek.”

“Yu siapa?”

“Yu Siu.”

“Asal darimana?”

Kim-mou-eng tegang. “Ayo, darimana?”

Kim-mou-eng membuang ketegangan. “Dari dusun Yu-chung!”

“Dan siapa ayahmu? Siapa ibumu?”

Kim- mou-eng tak mau menjawab. Dia merasa jari-jari yang mencengkeramnya itu gemetar, menggigil entah karena apa, melihat mata yang kehijauan itu tiba-tiba mencorong menakutkan, rupanya beringas dan berkilat-kilat. Seperti api! Dan ketika dia diam dan tidak menjawab tiba-tiba kakek itu berseru gusar,

“Bocah, teruskan jawabanmu. Siapa ayah dan siapa ibumu!”

Kim-mou-eng berdebar. “Perlukah kau ketahui?”

“Tentu.”

“Kalau begitu ada hubungan apa?”

“Keparat!” kakek itu menggigil. “Kau tak perlu tanya, bocah. Sebutkan saja setiap jawabanmu dan tidak perlu banyak cakap!”

“Baik, ibuku adalah Yu Ma, sedang ayahku bernama...”

“Hongga!” kakek itu menukas, cepat dan marah dan tiba-tiba melengking. Dan belum Kim-mou-eng sadar tiba-tiba sebuah tendangan dan tamparan mengenai tubuhnya. “Plak-bluk!”

Kim-mou-eng terlempar, mencelat terguling-guling menghantam dinding. Tentu saja kaget dan mengeluh tertahan, kesakitan. Tapi belum dia bangkit berdiri tahu-tahu kakek itu mengejarnya dan menghajarnya dengan pukulan dan tendangan.

“Bocah, kau bukan anak Yu Ma. Kau anak Hongga dari ibu yang lain... des-dess!”

Kim-mou-eng mencelat kembali, jatuh bangun dihajar kakek yang tiba-tiba marah ini, berteriak dan mendesis menggigit bibir. Dan ketika Kim-mou-eng terkejut dan tak berdaya diserang bertubi-tubi tiba-tiba kakek ini tertawa bergelak, tawa yang aneh mirip tawa bercampur tangis.

“Bocah, kau bukan keponakanku. Kau adalah musuh dari Hongga yang melarikan adikku... wutt!” dan sebuah pukulan yang menyambar dada Kim-mou-eng dengan kecepatan kilat tiba-tiba tak dapat dielakkan pendekar ini yang terkesiap membelalakkan mata, melihat sorot buas dari sepasang mata yang mengerikan itu. Mirip Iblis.

Tapi karena Kim-mou-eng tak mau mati konyol dan dia marah oleh sepak terjang kakek ini tiba-tiba dengan sekuat tenaga Kim-mou-eng mencabut kalungnya, benda yang selama ini menempel di leher menggantung di dada, sebuah kalung emas yang bermata giok. Indah karena itulah kalung pemberian ibunya, sebelum ibunya meninggal. Dan begitu pukulan tiba dan Kim-mou-eng menyabitkan kalungnya itu maka dalam saat yang bersamaan kalung menangkis pukulan lawan, menyambar telapak tangan kakek itu.

“Plak!”

Kim-mou-eng roboh. Dia kalah kuat, hawa pukulan masih menyambar dadanya, betapapun dia sudah terluka sebelumnya. Tak kuat menerima pukulan yang dilancarkan lawan. Sekilas melihat lawan terkejut dan berseru tertahan, hawa pukulan berkurang tapi telah membuatnya terjengkang, pingsan. Dan ketika dia terguling dan si kakek menerima kalungnya tiba-tiba kakek itu terkejut sementara Yu Bing berteriak membentak pamannya.

“Paman, kau kejam!”

Kakek itu bergoyang. Dia telah menerima kalung itu, memperhatikannya, tidak menghiraukan teguran Yu Bing yang marah pada pamannya. Tapi ketika kalung ditimang-timang dan dibalik sana-sini tiba-tiba kakek itu menggereng menghampiri Kim-mou-eng. “Buka sepatunya. Lihat kakinya!”

Yu Bing tertegun. Dia melihat pamannya seperti orang tidak sehat, terhuyung limbung sementara gigi berkerot-kerot. Kebuasannya sedikit berkurang tapi sikap tetap menyeramkan. Dan ketika dia tertegun tak mengerti apa yang dikehendaki pamannya tiba-tiba kakek itu membanting keponakannya ini.

“Yu Bing, buka sepatunya. Lihat kakinya!”

Yu Bing mengeluh. Dia nanar melompat bangun, terkesiap melihat sikap pamannya itu. Tapi terbiasa oleh tindak-tanduk pamannya yang aneh pemuda ini bangkit berdiri membuka sepatu Kim-mou-eng. “Paman, kenapa tidak kau sendiri yang membukanya? Bukankah aku tak tahu apa yang ingin kau lakukan?”

“Cerewet, aku tak mau menyentuh anak Hongga, Yu Bing. Kalau dia betul anak adik perempuanku ingin kulihat sebuah tanda di telapak kakinya. Buka, cepat buka!”

Yu Bing tergetar. Dia sudah cepat membuka sepatu Kim-mou-eng, melepas kaosnya dan mengendorkan seluruh pakaian pendekar itu. Kim-mou-eng masih pingsan. Dan ketika Yu Bing selesai dan si kakek menyambar kaki Kim-mou-eng mendadak kakek itu tertegun berseru tertahan,

“Kimsan...!”

Kakek itu terhuyung. Yu Bing melihat sebuah tanda di telapak kiri kaki Kim-mou-eng, sebuah tanda kehitaman bekas luka bakar, melihat pamannya terkejut dan mundur dua langkah. Tubuh tiba-tiba gemetar tak karuan seperti orang disengat listrik. Dan ketika keadaan itu berlalu sekejap dan si kakek melotot dengan mata merah mendadak kakek ini menubruk Kim-mou-eng menangis tersedu.

“Kimsan, dia benar keponakanku...!”

Yu Bing mendelong. Dia melihat pamannya mengguguk di dada Kim-mou-eng, mencengkeram dan mengguncang-guncang tubuh Kim-mou-eng. Tentu saja pendekar itu masih tidak bergerak. Tapi begitu sadar berteriak gembira tiba-tiba kakek ini menyambar tubuh keponakannya dibawa ke sebuah sumur dangkal.

“Kim-mou-eng, kau benar keponakanku. Kau Kimsan yang dulu kulukai kakimu... byur!” kakek itu melempar Kim-mou-eng, langsung ke dalam air setelah menekan jalan darah kesadaran di belakang tengkuk, tentu saja membuat Yu Bing terkejut tapi lega melihat Kim-mou-eng membuka mata, kaget oleh rasa dingin yang memasuki tubuh terendam di sumur dangkal itu. Dan ketika Kim-mou-eng baru sadar dan si kakek terbahak gembira tahu-tahu kakek itupun ikut mencebur memeluk tubuhnya, menciumi seluruh mukanya.

“Kimsan, kau benar keponakanku. Kau anak dari adik perempuanku... byur!”

Kim-mou-eng terkejut. Dia sudah didekap dan diangkat naik turun, begitu gembira diguncang-guncang oleh si kakek. Dan ketika dia terbelalak dan mengeluh menggigit bibir tahu-tahu kakek itu melompat keluar melempar tubuhnya di sudut dinding.

“Ha-ha, hayo ganti pakaian, anak baik. Keringkan tubuhmu dan kita makan besar... bress! ” Kim-mou-eng nanar, masih terheran dan sakit oleh semua cengkeraman si kakek, menumbuk dinding dan pedih menyeringai menggigit bibir. Tapi ketika si kakek menari-nari dan dia sadar oleh semua kejadian itu tiba-tiba si kakek berkelebat keluar tertawa bergelak. “Yu Bing, siapkan ikan pe-hi. Kita panggang dan adakan pesta...!”

Kim-mou-eng tertegun. Dia melihat kakek yang aneh itu lenyap, melihat Yu Bing tersenyum dan menitikkan air mata kepadanya, menghampirinya dan memberinya pakaian kering, pakaian pemuda itu sendiri. Dan ketika Kim-mou-eng bangkit duduk segera pemuda itu menegurnya,

“Kim-mou-eng, kiranya nama Tar-tar mu adalah Kimsan. Terimalah, dan ganti pakaianmu itu. Paman telah mengakui dirimu!”

Kim-mou-eng bengong. “Kau mengetahui nama kecilku?”

“Tidak, bukan aku yang menyebutnya, Kim-mou-eng. Tapi pamanmu itulah, paman Yu!”

“Jadi dia Yu-lopek?”

“Benar, dialah Yu Siu yang kau cari-cari itu!”

“Ah...!” dan Kim-mou-eng yang sudah menerima pakaian ini dan tertegun di tempat segera melihat kakinya yang telanjang itu, melihat sepatunya di dekat Yu Bing. Tapi belum dia bertanya ini-itu, Yu Bing sudah mengambilkan sepatunya itu.

“Kim-mou-eng, tadi kami melepas sepatumu. Paman ingin mengetahui tanda di telapak kakimu. Dan ternyata benar, kaulah Kimsan yang dilahirkan dari ibumu Yu Ma itu. Pakailah...!”

Kim-mou -eng mendelong. Dia sudah menerima sepatunya ini, mengenakan pula kaos yang diserahkan Yu Bing, pemuda yang cepat menarik hatinya. Pemuda yang gagah dan baik. Tapi ketika dia membungkuk dan kepala terasa pening tiba-tiba dia roboh terguling oleh racun yang masih belum dibersihkan. Dan saat itu kakek aneh itu muncul, berkelebat membawa segelas air yang merendam Pek-houw-cu, mutiara yang bening itu di dalam gelas. Dan persis Kim-mou-eng mengeluh kakek ini telah memberikan air penawar racun.

“Kimsan, minumlah ini. Racun segala racun akan lenyap oleh air Pek-houw-cu.”

Kim-mou-eng tertegun. Dia mendengar suara yang manis dari kakek ini, cepat menerima dan meneguk isinya. Dan ketika rasa pening itu lenyap dan mukanya yang tadi kehitaman juga pulih kembali akhirnya kakek ini memeluknya dengan penuh haru.

“Kimsan, maafkan aku. Aku tadi sangsi benarkah kau anak dari ibumu. Kau kenal pamanmu, bukan? Akulah Yu Siu, aku yang dulu menyelomot (membakar) telapak kakimu itu, ketika aku bertengkar dengan ayahmu!” kakek itu tiba-tiba menangis, rambutnya yang riap-riapan terasa apek di hidung Kim-mou-eng. Agaknya tidak pernah dibersihkan, penuh kutu rambut!

Tapi Kim-mou-eng yang tersedak menyambut pelukan segera mundur dengan mata basah. “Paman, jadi benar kau Yu-lopek? Tapi bagaimana keadaanmu ini? Bukankah kau dulu orang biasa-biasa saja?”

“Aku memang telah berubah, Kimsan. Sepak terjang ayahmu yang membuat aku begini!”

“Hm, ceritakan itu. Aku tak mengerti.”

“Baik, tapi ini kalung ibumu, bukan? Dimana ibumu sekarang?”

“Ibu telah meninggal...”

“Ohh...!” kakek itu tiba-tiba menutupi mukanya. “Siapa yang membunuhnya?” suaranya terdengar geram, muka dibuka kembali. “Ayahmu itukah?”

“Bukan,” Kim-mou-eng menggeleng sedih. “Ibu meninggal karena sakit.”

“Dan ayahmu, dimana keparat itu?”

“Ayah juga sudah meninggal, paman. Beberapa waktu sebelum ibu.”

Kakek itu tertegun. “Kau tak bohong?”

Kim-mou-eng tersenyum pahit. “Paman, perlukah aku membohongimu? Buat apa pula aku membohongi-mu? Kau tampaknya benci benar pada ayahku itu. Ada apakah?”

Kakek ini berkerot gigi. “Dia membawa ibumu, Kimsan. Aku benci itu karena dia membujuk ibumu!”

“Tapi ayah amat mencintai ibu. Beliau melindungi dan mempertahankan ibu!”

“Ya, tapi ayahmu telah beristeri, Kimsan. Aku tak setuju karena ibumu menjadi madu. Aku benci itu, aku melarang. Tapi ibumu nekat dan tega meninggalkan aku!”

Kim-mou-eng tergetar. “Paman bisa menceritakan kisah mereka?”

Aneh, kakek ini tiba-tiba menangis. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan mengerutkan keningnya tiba-tiba kakek ini menghantam tanah. “Kimsan, ayah dan ibumu adalah orang-orang yang keras kepala. Ibumu untuk pertama kalinya memberontak, aku merasa dimusuhi. Dan karena ibumu membela ayahmu maka aku merasa disingkirkan dan tidak dihargai ibumu itu. Aku sakit hati, ini semua gara-gara perbuatan ayahmu!”

Kim-mou-eng menghela napas. Sebenarnya, dia telah mendengar cerita ibunya tentang hal itu. Tentang percekcokan ibunya dengan pamannya ini, juga antara paman dengan ayahnya. Bahwa pamannya tak menghendaki ibunya menjadi isteri ayahnya. Bukan semata ayahnya seorang suku Tar-tar melainkan karena ayahnya sebelumnya sudah beristeri. Jadi ibunya menjadi isteri nomor dua, menjadi madu.

Tapi karena waktu itu Kim-mou-eng masih kecil dan terlalu kanak-kanak untuk menangkap pembicaraan orang-orang tua maka pendekar ini tak tahu apa sebenarnya yang membuat ibunya mengikuti ayahnya. Tak tahu bahwa sebenarnya hubungan yang kelewat dalam telah membuat ibunya hamil. Dua pasangan itu telah saling mencintai tanpa menghiraukan sekelilingnya. Hongga bertanggung jawab dan tak mau meninggalkan kekasihnya itu, Yu Ma, meninggalkan Tionggoan untuk kembali ke bangsa Tar-tar.

Tak diketahui Yu Siu bahwa adiknya telah berbadan dua, tentu saja tak dapat menuruti kehendak kakaknya itu dan rela meninggalkan pedalaman. Dan karena Yu Siu sendiri tak mengetahui adiknya hamil muda maka laki-laki ini menganggap Hongga membujuk dan menculik adik perempuannya.

Demikianlah, untuk bagian terakhir ini orang memang tidak tahu. Dan lagi, mana Yu Ma mau berterus terang bahwa dia hamil? Meskipun adat pernikahan waktu itu agak longgar tapi hamil sebelum nikah betapapun tetap membuat wanita ini malu. Yu Ma tak menceritakan hal itu pada kakaknya, diam-diam mengikuti suami dan meninggalkan Tionggoan, memasuki kehidupan baru di suku asing di luar tembok besar. Tapi karena Hongga amat mencintai isterinya itu dan benar-benar bertanggung jawab akhirnya laki-laki ini menikahi isterinya di luar tembok sana.

Beberapa bulan kemudian melahirkan bayinya laki laki, yakni Kim-mou-eng atau yang nama kecilnya Kimsan itu, panggilan akrab bagi seorang anak Tar-tar, yang sama artinya dengan anak Kim. Dan karena waktu itu Kim-mou-eng masih kanak-kanak dan cerita ibunya tentang kisah kasih itu tak dapat dimengerti maka hanya sampai di situlah pendekar ini mengetahui riwayat ibunya.

Hubungannya dengan sang ayah yang ternyata amat dicintai pula oleh ibunya. Hidup bahagia tapi sayang tak berumur panjang, ayahnya meninggal sebelum dia dewasa, disusul kemudian oleh ibunya yang terserang penyakit. Dan ketika Kim-mou-eng menghela napas dan pedih oleh kenangan yang tidak menyenangkan ini maka pamannya mulai bercerita,

“Ayahmu itu menculik ibumu, Kimsan. Aku mengejar dan akhirnya bertemu. Kau masih setahun. Kami cekcok dan aku membujuk ibumu. Tapi ibumu keras kepala, tidak mau kembali dan setia pada ayahmu itu. Aku marah, ayahmu muncul, dan kami lalu bertengkar. Aku memukul tapi ayahmu membalas. Dan karena ayahmu memang pandai akhirnya aku roboh sementara ibumu menangis menjerit-jerit!”

Kim- mou-eng muram mukanya. “Dan paman lalu kembali?”

“Tidak,” kakek ini marah. “Ibumu menolong aku, Kimsan. Waktu itu aku tak sadarkan diri. Pukulan ayahmu antep, aku pingsan. Tapi karena aku penasaran oleh sikap ibumu justeru aku tinggal di sana berminggu-minggu!”

“Untuk membujuk ibu?”

“Ya, aku memberi tahu ibumu tentang kedudukan suaminya itu. Bahwa suaminya sudah mempunyai isteri sebelum ibumu. Bahwa ayahmu yang pandai merayu itu mencelakakan hidupnya karena isteri pertamanya sering mengganggu. Dan ketika suatu hari benar isteri tuanya itu datang dan kami cekcok akhirnya kami ribut mulut dan ibumu berkelahi. Aku menolong, isteri ayahmu itu kupukul, datang saudaranya yang lain dan aku dikeroyok. Aku dan ibumu hampir tewas, tapi ketika ayahmu datang dan kami semua dirobohkan akhirnya ayahmu itu mengusir isteri tuanya...!”

Pendekar Rambut Emas Jilid 16

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 16
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“ORANG she Bu, kau sungguh curang...!” belasan jarum disampok runtuh, tiga batang malah terbang ke arah Bu-kongcu sendiri, membalik dan menancap di tubuh pemuda itu. Disambut pekik Bu-kongcu yang roboh terjengkang. Dan ketika panah dan jarum runtuh di tanah semua Kim-mou-eng sudah melesat di luar tembok, menghilang.

“Kejar...!”

Mo-ong dan teman-temannya bangkit berdiri. Mereka sudah sadar, terbelalak dan marah mengejar Kim-mou-eng. Dan sementara para pengawal ribut dan Kim-mou-eng melarikan diri akhirnya Pendekar Rambut Emas itu menjadi buruan dan menyelinap ke sana-sini, dikejar Sai-mo-ong dan kawan-kawannya itu.

Dan karena lima iblis itu memecah di lima bagian dan masing-masing mencari penuh semangat akhirnya Kim-mou-eng kebingungan mencari persembunyian. Betapapun dia masih di kompleks istana yang amat luas, semua lampu dipasang hingga tempat itu terang-benderang, tiada ubahnya siang hari. Dan karena dia juga belum begitu hapal dan para pengejar berteriak-teriak di semua penjuru akhirnya pendekar ini kesasar di Istana Dingin.

Kim-mou-eng bingung. Sebenarnya, kalau dia tidak dibebani Sin-piauw Ang-lojin ini tentu lebih mudah baginya melarikan diri. Tapi karena kakek tinggi besar itu pingsan dan dia harus menyelamatkan temannya ini maka Pendekar Rambut Emas menjadi gelisah. Betapapun beban yang diterimanya ini cukup berat, apalagi dia dikeroyok lima iblis macam Sai-mo-ong dan teman-temannya itu. Perhatian terpecah sebab di satu pihak dia harus menyelamatkan diri sendiri sementara di pihak lain dia harus menyelamatkan ketua Seng-piauw-pang itu. Tapi persis dia tiba di istana ini dan celingukan ke sana ke mari mendadak sebuah suara memanggilnya lembut.

“Kim-twako...!”

Kim-mou-eng terkejut. Dia melihat sesosok bayangan wanita muncul, terisak di tempat gelap, menggapainya perlahan. Sejenak tak dapat dikenali karena tersembunyi diantara bayang-bayang pohon. Tapi ketika suara itu memanggilnya kembali dan wanita ini menampakkan diri mendadak Kim-mou-eng tersentak membelalakkan mata.

“Cao Cun...!”

Cao Cun, wanita yang gemetar itu menangis. Dia memang Cao Cun, puteri bupati Wang yang kembali ke Istana Dingin itu, setelah Kim-mou-eng meninggalkannya di Chi- cou. Tentu saja membuat Kim-mou-eng tertegun karena tak menyangka Cao Cun ada di situ, karena dulu dia telah mengantar gadis itu kepada ayah ibunya, meninggalkannya dan kemudian pergi tanpa pamit. Mengira Cao Cun telah selamat dan berada dalam perlindungan ayah ibunya. Sungguh tak menduga kalau gadis itu kembali ke Istana Dingin. Dan Cao Cun yang mengguguk menubruk pendekar ini akhirnya menangis tersedu-sedu.

“Kim-twako, ayo masuk. Aku telah mendengar keributan yang terjadi!”

Kim-mou-eng bengong. Dia juga tak menyangka kalau dirinya memasuki kompleks Istana Dingin, bingung dan gelisah dalam usahanya menyelamatkan Seng-piauw-pangcu. Tapi Cao Cun yang menariknya dengan air mata bercucuran sudah berkata gemetar,

“Ayo masuk, twako. Aku telah menyiapkan sebuah tempat persembunyian untukmu...!”

Kim-mou-eng sadar. Saat itu dia mendengar suara Hek-bong Siang-Io-mo dan teman-temannya, melihat Cao Cun tersedu tapi berusaha menutup mulutnya, menangis tanpa suara dengan pundak berguncang-guncang. Dan ketika tanpa sadar dia mengikuti gadis ini dan masuk ke dalam tiba-tiba suara Hek-bong Siang-lo-mo ada di belakang.

“Dia ada di sini. Kim-mou-eng memasuki Istana Dingin...!”

Kim-mou-eng terkesiap. Cao Cun telah mengajaknya ke kamar belakang, menyelinap dan cepat mendorong pendekar itu ke sebuah kamar remang-remang. Dan ketika pendekar ini tertegun dan bersiap-siap menghadapi bahaya mendadak seorang gadis lain muncul di sebelah kiri.

“Cao Cun, cepat. Semuanya telah kupersiapkan!”

Kim-mou-eng tertegun. Untuk kedua kalinya dia terbelalak, melihat gadis itu menarik mulut dan cemberut padanya, melengos dan tidak mau memandang lagi. Gadis yang bukan lain adalah Wan Hoa, sahabat atau teman akrab Cao Cun. Gadis yang dulu juga pernah ditolongnya! Dan ketika pendekar ini bengong dan Cao Cun menariknya ke tengah ruangan tiba-tiba puteri bupati Wang itu berbisik,

“Letakkan di sini temanmu itu, twako. Wan Hoa akan menjaganya dan kau masuklah... bres!”

Kim-mou-eng tiba-tiba terkejut, kakinya amblas memasuki lubang sumur di bawah, hampir berjungkir balik dan otomatis menyangga tutup lubang. Siap menghantamnya dengan gerakan refleks seorang ahli silat. Tapi bertemu pandang dengan Cao Cun yang terisak dan memberi isyarat tiba-tiba tubuhnya sudah meluncur ke bawah tak dapat ditahan lagi, memasuki sebuah jebakan sementara Sin-piauw Ang-lojin terlepas dari tangannya, ditarik Wan Hoa. Dan ketika Kim-mou-eng menginjak lantai bawah dan sebuah lampu menyala otomatis tiba-tiba pendekar ini tertegun mendapat kenyataan dirinya berada di sebuah ruang hangat di bawah tanah!

“Ah, apa yang mau kau lakukan, Cao Cun?” Kim-mou-eng terkesima, tak mengerti tapi percaya pada puteri bupati Wang itu, berbisik seorang diri melihat sebuah pintu menyekat ruangan itu. Tentu saja membukanya dan cepat keluar. Tapi persis dia mendorong daun pintu ini mendadak suara gesekan batu terdengar di sebelahnya disusul munculnya Cao Cun dan Wan Hoa, yang melorot dari sebuah ruang rahasia.

“Twako...!”

“Cao Cun...!”

Dua orang itu tiba-tiba sama bergerak. Cao Cun telah menubruk pendekar ini, tak menahan lagi tangisnya dan berguncang-guncang di pundak pendekar itu. Demikian sedih dan pilu suaranya, membuat Pendekar Rambut Emas melelehkan air mata dan tanpa terasa memeluk gadis ini, penuh sayang dan rindu. Dan ketika Cao Cun mengguguk dan Pendekar Rambut Emas mengusap rambutnya akhirnya Cao Cun gemetar melepaskan diri.

“Twako, apa yang telah kau lakukan kepadaku?”

Pendekar Rambut Emas tak menjawab, tertegun. “Ayo, apa yang telah kau lakukan padaku, twako. Kenapa kau meninggalkan aku dan membohongiku!” gadis itu tiba-tiba menjerit, setengah histeris dan mengguncang-guncang tubuh pendekar ini. Dan ketika pendekar itu menunduk dan meruntuhkan pandang ke bawah tiba-tiba Cao Cun mengguguk dan mencengkeram lengan pendekar ini.

“Twako, kau kejam. Kau menipu. Kau tak berperasaan...!”

Kim-mou-eng menghela napas. Dia terpukul oleh semua teguran ini, harus mengakui bahwa dia menipu Cao Cun, meninggalkannya di Chi-cou setelah dia menyerahkan gadis itu pada ayahnya. Perbuatan yang tidak disangka sia-sia belaka karena Cao Cun ternyata kembali lagi ke Istana Dingin, mungkin ditangkap Mao-taijin dan dipaksa pembesar itu. Bayangan yang tiba-tiba membuat pendekar ini marah dan mengangkat kepalanya. Tapi ketika Cao Cun mengguguk dan memukul-mukul dadanya akhirnya pendekar ini menenangkan menangkap lengan gadis itu.

“Cun-moi, maafkan aku. Tak kusangka kalau Mao-taijin kembali memaksamu ke neraka ini. Aku akan menghajar menteri dorna itu. Aku akan...”

“Tidak, tidak! Aku tak dipaksa siapapun kembali ke tempat ini, twako. Aku datang karena itu kemauanku sendiri. Istana Dingin jauh lebih baik dibanding rumah orang tuaku!” Cao Cun menangis, kecewa sekali memandang pujaannya ini.

Dan ketika dua mata beradu dan Kim-mou-eng tergetar tiba-tiba pendekar ini memejamkan mata. Tak kuat beradu dengan bola mata yang begitu tajam menusuk. Begitu pedih. “Cun-moi, maafkan aku. Aku mengakui kesalahanku, tapi... tapi mana temanku itu? Mana Sin-piauw Ang-lojin?” Kim-mou-eng teringat temannya, coba mengalihkan perhatian dan mengusir kenangan mereka berdua.

Dan Cao Cun yang mengguguk menarik lengannya tiba-tiba menutupi mukanya. “Temanmu dibawa Wan Hoa, twako. Kau tanyalah dia dan jangan kepadaku.”

Wan Hoa maju selangkah, sikapnya sengit. “Kau tak guna menolongnya, Kim-mou-eng. Ketua Seng-piauw-pang itu tewas dengan luka-luka yang parah. Sebaiknya kau urus saja sahabatku Cao Cun ini, orang yang masih hidup!”

Kim-mou-eng tertegun. “Dia tewas?”

“Ya, kau tak percaya?” dan ketika Wan Hoa membalikkan tubuh memasuki lorong bawah tanah tiba-tiba gadis ini telah kembali lagi membawa mayat Sin-piauw Ang-lojin, yang telah menjadi dingin! “Nah, inilah, Kim-mou-eng. Kami tak pernah bohong seperti dirimu!”

Kim-mou-eng terpukul. Dia terkejut dan semburat oleh kata-kata Wan Hoa ini, melihat ketua Seng-piauw-pang itu benar tewas dan tak dapat ditolong lagi. Tiga batang panah menancap sementara beberapa jarum Bu-kongcu juga menembus dagingnya, bengkak dan membusuk. Tapi Kim-mou-eng yang bergerak menotok cepat tiba-tiba menekan punggung kakek tinggi besar ini. “Wan Hoa, tolong sebentar. Aku hendak menghidupkan mayat!”

Wan Hoa terkejut. “Apa? Kau...”

“Ya, aku hendak mempergunakan ilmuku, Wan Hoa. Tolong sandarkan kakek ini dan pegang ibu jari kakinya!” Kim-mou-eng bergerak cepat, menekan dan menotok jaIan darah di punggung, membuat Wan Hoa terbelalak tapi ngeri menuruti perintah. Baru kali ini mendengar sesosok mayat hendak dihidupkan. Tapi ketika Pendekar Rambut Emas memijat dan mengurut pergelangan nadi tangan tiba-tiba kakek yang sudah tewas itu hidup, ngorok dan membuka matanya!

“Ih...!” Wan Hoa hampir melepaskan pegangan di ibu jari kaki, melonjak dan hampir menjerit melihat Kim-mou-eng benar-benar mampu menghidupkan orang mati!

Tapi Kim-mou-eng yang gugup tak memperhatikan gadis itu tiba-tiba sudah memencet pergelangan tangan kakek ini dan meniup ubun-ubunnya. “Lojin, adakah sesuatu yang harus kukerjakan? Adakah yang dapat kutolong untuk menutup penasaranmu?”

Aneh, kakek ini mengangguk, masih ngorok. “Ya, aku... aku... sampaikan peringatan pada pangeran mahkota, taihiap. Balaskan sakit hatiku pada Pangeran Muda dan orang-orangnya itu...!”

“Tapi pangeran mahkota tak mempercayai kita, lojin. Mana mungkin melakukan itu? Kita tak punya bukti!”

“Tidak,” kakek ini tiba-tiba menggeliat. “Cari muridku bernama Sam-tiat, taihiap. Dia mungkin dapat menolongmu dan...” Sin-piauw Ang-lojin roboh, tak dapat meneruskan kata-katanya dan nadi di pergelangan tangan tak berdenyut lagi. Tubuh itu kembali menjadi dingin. Kim-mou-eng tak dapat memperpanjang lagi “umur” mayat itu. Dan Kim-mou-eng yang tertegun meletakkan mayat ini akhirnya berkata pada Wan Hoa,

“Lepaskan, aku sudah mendapat apa yang kuingini, Wan Hoa. Terima kasih untuk bantuanmu.”

Wan Hoa gemetar. Dia pucat melihat mayat dapat hidup sejenak, bicara dan ngorok seperti itu. Merasa tubuh ketua Seng-piauw-pang itu dingin kembali dan tidak bernapas. Tapi mengangguk melepaskan ibu jari mayat ini, Wan Hoa mundur menjauhkan diri. “Kim-mou-eng, ilmu siluman apa yang kau pergunakan itu?”

Kim-mou- eng tersenyum pahit. “Bukan ilmu siluman, Wan Hoa. Tapi kau tak akan mengerti meskipun kujelaskan.”

“Ya, dan aku juga tak mengerti akan sikapmu terhadap Cao Cun. Kau sungguh laki-laki aneh yang sukar dimengerti!”

Pendekar ini semburat merah. Sekarang Wan Hoa menyudutkannya sedemikian rupa, sementara Cao Cun juga sudah memutar tubuhnya menghadapinya. Dan ketika dua gadis itu memandang penuh tuntutan dan Pendekar Rambut Emas menarik napas akhirnya pendekar ini bicara dengan suara lirih,

“Cao Cun, dan kau Wan Hoa, sebelumnya kuulang kembali permintaan maafku pada kalian. Aku tak bermaksud menyakiti kalian. Apa yang kulakukan kupikir demi kebaikan kalian juga. Kalau tindak tandukku salah sungguh ini di luar dugaanku. Sekarang kita bicara jujur, kenapa kalian ada di sini dan kembali ke Istana Dingin? Betulkah bukan paksaan Mao-taijin dan orang-orangnya?”

Cao Cun tak menjawab, bercucuran air matanya. Dan Wan Hoa yang marah memandang pendekar itu tiba-tiba maju menjawab dengan suara berapi-api, “Kim-mou-eng, seharusnya kau tahu sendiri jawabannya itu. Cao Cun mencintaimu, kau berjanji melindunginya dan tak akan meninggalkannya. Tapi kau dusta, kau menipu dirinya dan juga menipu aku. Kau tinggalkan kami, kau biarkan hati sahabatku terluka dan merana. Apakah kau kira semuanya ini membuat Cao Cun senang? Meskipun kau kembalikan dia ke Chi-cou dan bertemu kembali dengan ayah ibunya tapi Cao Cun lebih suka dekat denganmu daripada keluarganya, Kim-mou-eng. Dan karena dia sakit hati kau tipu maka Cao Cun memutuskan untuk tinggal seumur hidup di Istana Dingin, tak usah jumpa denganmu dan mati di sini! Kau jelas?”

“Dan kau?” Kim-mou-eng pucat.

“Aku menemani sahabatku, Kim-mou-eng. Aku tak mau membiarkan Cao Cun menderita di sini mengenangmu si pembohong. Kalau dia ingin tinggal di sini sampai nenek-nenek biarlah aku juga mendampinginya sampai menjadi nenek pula. Kami berdua tak mau keluar sampai mati. Atau kau mengambilnya sebagai isteri sesuai janjimu dulu yang menyatakan cinta pada Cao Cun!”

“Ah...!” Kim-mou-eng menggigil, seketika memejamkan mata dipukul kata-kata itu. Tertampar mukanya dan seketika teringat kejadian itu, ketika dia menolong Cao Cun dan terpaksa mengatakan dia mencintai gadis itu agar semata Cao Cun mau diajak pergi. Segala akal dikerahkan karena dia harus memenuhi janji terhadap ayah gadis ini di Chi-cou. Bahwa dia pasti berhasil membawa Cao Cun dan mengembalikan gadis itu pada ayah ibunya. Padahal Cao Cun tak mau kalau dia tidak mencintai gadis itu, biarlah menderita di Istana Dingin dan hidup merana di situ kalau Kim-mou-eng tak mau selalu mendampinginya.

Dan karena keadaan waktu itu amat mendesak dan Kim-mou-eng tak mau berpikir panjang akhirnya dengan buru-buru dan sedikit berbohong pendekar ini menyatakan cintanya dan berhasil membawa gadis itu pada orang tuanya. Berhasil memenuhi janji pada bupati Wang tapi sebaliknya berbohong pada Cao Cun, karena dia akhirnya meninggalkan gadis itu. Pergi tanpa pamit. Berarti membohongi Cao Cun dan tak memenuhi janji sendiri, yang memang diucapkan dalam keadaan terpaksa dan apa boleh buat.

Maka ketika kini Wan Hoa menyemprotnya habis-habisan dan segala kata-kata gadis itu tak dapat dibantah akhirnya Kim-mou-eng menggigil dan menitikkan dua butir air matanya, pucat dan merah berganti-ganti.

“Wan Hoa, maafkan aku. Aku tak menyangka kalau semuanya berakhir begini.”

“Hm, bukan kepadaku kau minta maaf, Kim-mou-eng. Kalau kau hendak minta maaf mintalah pada Cao Cun. Aku tak ada hubungan dengan persoalan ini. Ini persoalanmu dengan Cao Cun!”

“Baik, aku minta maaf padamu, Cun-moi. Kau maafkanlah aku dan...”

“Nanti dulu,” Wan Hoa memotong. “Orang yang minta maaf tak akan mengulang kesalahannya, Kim-mou-eng. Kalau kau tetap meninggalkan Cao Cun berarti permintaan maafmu kosong belaka. Kau pikir dulu sebelum menyebutkan itu!”

Kim-mou-eng pucat. “Maksudmu...”

“Ya,” Wan Hoa menukas, cepat bukan main. “Kau tak boleh meninggalkan Cao Cun lagi kalau kau mengakui kesalahanmu, Kim-mou-eng. Tapi kalau kau meninggalkannya lagi berarti sepak terjangmu kau anggap benar. Bohongmu itu tidak salah dan karena itu boleh diteruskan. Kalau begini yang kau kehendaki maka tak perlu minta maaf dan pergi sajalah tinggalkan dia!”

Kim-mou-eng terhuyung. “Wan Hoat kata-katamu pedas sekali. Kau... kau...”

“Aku mengatakan sesuai apa yang kulihat, Kim-mou-eng. Pedas atau tidak pedas itu adalah penerimaanmu belaka. Aku membela sahabatku, biar kau bunuh aku sekalipun aku tetap membela Cao Cun...!”

“Wan Hoa...!”

Wan Hoa tiba-tiba menangis. Gadis itu telah melepaskan semua kemarahannya pada Kim-mou-eng, mengguguk dan tersedu memutar tubuhnya. Tiba-tiba membalik dan meninggalkan dua orang itu. Pembelaannya sungguh menikam perasaan. Dan ketika Kim-mou-eng bengong dan Wan Hoa lenyap di lorong bawah tanah tiba-tiba Cao Cun juga mengguguk meninggalkan Pendekar Rambut Emas.

“Cao Cun...!”

Cao Cun tak menoleh. Gadis inipun saat itu dilanda duka. Bercampur perasaan mengaduk hatinya. Antara girang dan pilu, antara rindu dan marah. Girang dan rindu karena Kim-mou-eng datang, jumpa dan dapat melihat kekasihnya itu. Tapi mendengar semua kata-kata Wan Hoa dan temannya itu seolah memaksa Pendekar Rambut Emas agar minta maaf dan menyambut cintanya tiba-tiba gadis ini malu dan menangis menutupi mukanya, tersedu-sedu menyusul Wan Hoa.

Tapi Pendekar Rambut Emas yang sadar dan terbelalak ke depan tiba-tiba menyambar gadis ini, mencengkeram pundaknya. “Cao Cun, jangan pergi...!”

“Tidak,” Cao Cun tersentak. “Tinggalkan kami, twako. Kau pergilah dan selamatkan dirimu!”

“Ah, tidak. Aku ingin bicara, Cun-moi. Dengarkan dan lihatlah aku!” Kim-mou-eng pucat, memutar gadis itu dan tidak memperbolehkan Cao Cun pergi. Dan ketika Cao Cun mengguguk dan roboh dalam pelukan pendekar ini akhirnya Kim-mou-eng gemetar bicara dengan suara tersendat-sendat, “Cun-moi, aku menyesal akan apa yang telah kuperbuat. Aku tak mengira kalau hatimu demikian keras. Baiklah, aku mengaku salah. Tapi tentang itu... tentang cinta... hm, bagaimana aku harus bicara, Cun-moi? Aku memang sayang padamu. Aku suka padamu, tapi... tapi terus terang aku tak tahu apakah aku mencintaimu atau tidak...!”

“Kalau begitu tinggalkan aku, twako. Lepaskan aku dan biarkan aku di sini!”

“Tidak, tidak... aku juga tak menghendaki kau tinggal di neraka ini, Cun-moi. Aku, ah... aku bingung...!” Kim-mou-eng tiba-tiba memejamkan matanya, melihat gadis itu berguncang-guncang di pelukannya. Sungguh bingung karena dia memang bingung!

Dan ketika Cao Cun tersedu-sedu dan menahan tangis menumpahkan semua perasaan mendadak gadis itu merenggangkan diri. Mata yang basah itu bercucuran memandang Kim-mou-eng. “Kim-twako, kalau begitu bagaimana jika diputuskan sekarang saja?”

“Maksudmu?”

“Aku tak ingin memaksamu mencintai diriku, twako. Kalau kau tidak mencintaiku biarlah kau tinggalkan diriku di sini. Tapi kalau kau mencintaiku bawalah aku pergi. Aku tak akan memaksamu.”

Kim-mou-eng menggigil. “Itulah yang membuatku bingung, Cun-moi. Aku tak tahu apakah aku mencintaimu atau tidak?”

“Kalau begitu tinggalkan aku, kita lihat perasaanmu itu.”

“Tidak, aku juga tak dapat membiarkanmu di sini, Cun-moi. Kau harus bebas dan kembali bersama ayah ibumu.”

“Kalau begitu kau mencintaiku, twako. Kau memperhatikan aku dan tidak menghendaki aku menderita!”

“Aku tak tahu, aku...”

“Begini saja, twako,” Cao Cun juga menggigil, terisak. “Kalau kau ingin membuktikan cinta atau tidak cinta itu sebaiknya lakukan sesuatu untuk mengujinya. Lakukan sesuatu kepadaku...”

“Apa yang harus kulakukan?”

“Apa saja, twako. Apa saja yang kau suka!”

“Umpamanya?”

“Umpamanya mencium bibirku!”

Kim-mou-eng tersentak. Dia kaget bagai disengat ular berbisa, melihat Cao Cun menangis memejamkan mata, mukanya merah padam. Pipi yang halus itu basah oleh derasnya air yang mengalir, bibir digigit kuat-kuat. Jelas menahan perasaan malu yang hebat bukan main. Tapi Kim-mou-eng yang menunduk tergetar oleh kata-kata ini mendadak mengeluh mendekap kepala itu. “Cun-moi, apa... apa katamu? Kau menyuruhku mencium?”

Cao Cun tak menjawab. Gadis ini tersedu-sedu. Mencapai klimaks dalam penentuan yang amat tegang. Menyuruh Kim-mou-eng mencium kalau pendekar itu mencintainya, atau tidak sama sekali bila pendekar itu tidak mencintainya. Dan Kim-mou-eng yang menjublak oleh semua keadaan ini tiba-tiba membelalakkan mata dengan muka merah padam pula.

Sebenarnya, Pendekar Rambut Emas ini dalam keadaan kalut. Dia tak tahu apakah dia mencintai gadis ini atau tidak. Kalau perasaan suka memang jelas, perasaan itu ada di dalam hatinya. Tak perlu ragu. Juga perasaan sayang, perasaan itupun tumbuh di hatinya dan hangat ingin melindungi gadis ini. Apalagi Cao Cun adalah gadis jelita, gadis yang berhasil meruntuhkan hati kaisar hingga dicari dalam alam mimpinya.

Begitu hebat dan amat memikat, meskipun Cao Cun termasuk gadis yang bersahaja dan tidak banyak tingkah. Memiliki kecerdasan yang sedang tapi hati mulia. Lembut dan jelas gadis baik-baik yang sepatutnya diidamkan setiap pemuda. CaIon seorang ibu dan kekasih yang tentu dapat membangun rumah tangga bahagia. Tapi teringat Salima di sana dan dia tergetar oleh bayangan sumoinya ini yang juga mencintainya mendadak Kim-mou-eng mengeluh mendorong mundur Cao Cun.

“Cun-moi, aku, aku...”

Cao Cun terpukul. Sebagai wanita berperasaan dia malu sekali melihat Kim-mou-eng menjauhkan dirinya. Otomatis menganggap pendekar itu tak mencintainya, tak mau menciumnya karena tubuh yang sudah begitu dekat tiba-tiba dilepas. Padahal dia menunggu. Maka begitu Kim-mou-eng terbata dan tidak dapat bicara mendadak gadis ini memutar tubuhnya tersedu menutupi muka. “Kim-twako, kau pergilah tinggalkan aku...!”

Kim-mou-eng terbelalak. Saat itu Cao Cun meninggalkannya, rambut yang panjang itu bergoyang di belakang punggung. Manis dan mengharukan diiringi tangis yang begitu memilukan. Padahal bukan maksud pendekar ini untuk tidak mencium Cao Cun, melepaskan diri karena bayangan sumoinya tiba-tiba datang mengganggu, muncul diantara Cao Cun dan dirinya. Tapi melihat Cao Cun menangis meloncat pergi mendadak pendekar ini berkelebat menyambar menahan gadis itu.

“Cun-moi, tunggu. Aku belum selesai bicara...!”

Cao Cun terputar. Untuk kedua kalinya ia tertahan, tak mungkin melepaskan diri dari cengkeraman Kim-mou-eng yang begitu kuat. Kuat namun lembut. Dan ketika dia mengguguk dan coba melepaskan diri maka Kim-mou-eng sudah berkata dengan suara gemetar,

“Nanti dulu, dengarkan aku, Cun-moi... aku hendak bicara melanjutkan kata-kataku. Aku ingin membuktikannya. Kau sabarlah sebentar...!”

Cao Cun mengguncang-guncang pundaknya. “Tidak, tidak... aku mengerti, twako. Kau hendak bicara tentang sumoimu dan menghibur aku. Aku tak mau, aku mengerti apa yang akan kau katakan...”

“Ah, nanti dulu, Cun-moi. Aku bukan bicara tentang sumoiku melainkan tentang kita berdua. Aku ingin mengetahui apakah aku mencintaimu atau tidak!”

“Maksudmu?”

“Kau diamlah, Cun-moi. Kau berilah kesempatan pada hatiku untuk menjawabnya sendiri. Kau minta dicium, bukan? Nah, diamlah. Aku akan membuktikannya dan melihat perasaanku sendiri. Aku juga ingin menentukan apakah aku mencintaimu atau tidak!”

Cao Cun menggigil. “Kau... kau mau menciumku, twako?”

“Aku tak tahu, Cun-moi. Tapi berilah aku kesempatan untuk melihat perasaanku sendiri. Aku juga ingin mengujinya!”

“Ooh...!” Cao Cun tiba-tiba lemas, pucat dan merah berganti-ganti di pelukan pendekar ini tiba-tiba tak dapat menahan kakinya dan roboh di pelukan Pendekar Rambut Emas.

Dan ketika Pendekar Rambut Emas juga menggigil dan memeluk gadis itu tiba-tiba Kim mou-eng berbisik, “Cun-moi, tengadahkan mukamu...”

Cao Cun menengadahkan mukanya. Sebenarnya dia berat melakukan itu, entah kenapa menurut tanpa diulang sementara tubuh semakin lemas, lunglai menggantung seolah kehabisan tenaga. Mata terpejam. Takut dan entah perasaan apalagi yang mengaduk-aduk hatinya. Tak karuan.

Dan ketika Pendekar Rambut Emas gemetar dan juga panas dingin seperti Cao Cun tiba-tiba pendekar inipun memejamkan mata dan menelan ludah berulang-ulang. Dia memaksa diri untuk menuntut perasaannya. Sepenuh hati dan kekuatan ingin mengetahui cintanya itu. Apakah dia mencintai Cao Cun atau tidak. Dan ketika kedua-duanya sama menggigil dan Kim-mou-eng diguncang tangis mendadak pendekar ini membuka mata memandang wajah yang tengadah itu.

Kim-mou-eng tergetar. Dia melihat wajah yang pucat dan merah berubah-ubah, membentuk warna aneh yang demikian mempesona. Begitu mengharukan dan lembut. Dan ketika wajah yang terpejam itu gemetar dan bibir yang digigit itu juga menggigil seolah menanti sesuatu mendadak tanpa diperintah sebuah perasaan nikmat menyelinap di hati Kim-mou-eng, menggetarkan denyut nadinya dan menimbulkan rasa haru yang luar biasa. Rasa haru yang cenderung menjadi rasa sayang. Rasa sayang yang cenderung menjadi rasa cinta. Dan ketika rasa cinta itu berkembang dan tumbuh begitu cepat mendadak, tanpa disadari pendekar ini tahu-tahu Kim-mou -eng telah mencium bibir yang menggigil itu dalam sebuah ciuman yang lembut dan mesra!

“Cun-moi, aku mencintaimu...!”

“Oooh...!” Cao Cun menggeliat, tersedak dan hampir berteriak girang oleh pengakuan ini, begitu gembira hingga dia terguling. Roboh dan seketika merasakan ciuman hangat pendekar pujaannya. Ciuman mesra yang bertubi-tubi. Dan ketika gadis itu menangis dan menerima ciuman dengan penuh bahagia mendadak Cao Cun yang diliputi kegembiraan dan kebahagiaan besar setelah menanti ketegangan ini roboh pingsan di pelukan Pendekar Rambut Emas. Lemas!

“Cun-moi...!” Kim-mou-eng sadar, terkejut dan cepat menangkap pinggang yang mematah ini, gontai dan lemah di dalam pelukannya. Tapi ketika dia melihat bahwa gadis itu hanya pingsan saja setelah dicekam ketegangan memuncak mendadak pendekar ini menarik napas menekan guncangannya, tentu saja melepaskan ciuman itu dan merebahkan Cao Cun di lantai.

Dan ketika Wan Hoa juga muncul menghampiri sahabatnya akhirnya Kim-mou-eng merah padam memberi keterangan. “Dia pingsan, Wan Hoa. Tak apa-apa dan sebentar lagi tentu sadar.”

“Ya, aku tahu,” Wan Hoa lega, mengangguk dan tahu sahabatnya memang tidak apa-apa, melihat semuanya dari dalam. “Dan aku girang kau memberikan cintamu, Kim-mou-eng. Semoga Cao Cun hidup bahagia di sampingmu!”

Kim-mou-eng semburat. Dia mendapat lirikan penuh arti dari Wan Hoa ini senyum yang mengembang disertai isak gembira. Tahu bahwa Wan Hoa telah melihat semuanya itu, melihat dia mencium Cao Cun dan menyatakan cintanya. Kali ini tidak pura-pura karena perasaan cinta memang menyelinap di hatinya. Membuat dia tak sadar dan begitu saja mencium puteri Wang-taijin ini. Perbuatan yang mereka anggap cinta! Dan ketika Kim-mou-eng menotok dan mengurut sana-sini akhirnya tak lama kemudian Cao Cun membuka matanya.

“Kim-twako, dimanakah aku ini? Di surga?”

Pendekar Rambut Emas lagi-lagi semburat. “Kau ditempat semula, Cun-moi. Kau pingsan dan kini baru saja sadar.”

“Ooh...!” Cao Cun teringat, bangkit duduk dan tiba-tiba merangkul pendekar ini, tak tahu Wan Hoa ada di belakangnya karena sahabatnya itu berdiri mematung, diam tak bergerak, memandang semuanya itu dengan penuh haru dan air mata berlinang. Dan ketika Kim-mou-eng menyambut dan memeluknya mesra Cao Cun sudah berbisik, “Aku ingin kau cium lagi, koko. Aku ingin merasakan hangatnya cintamu!”

“Hush...!” Kim-mou-eng jengah, mendengar Wan Hoa terkikik tanpa sadar, baru membuat Cao Cun tahu sahabatnya ada di situ, di belakangnya. Dan ketika Wan Hoa tertawa dan memutar tubuhnya meninggalkan mereka mendadak Cao Cun yang sadar dan tersipu jengah tiba-tiba mengejar.

“Wan Hoa, kau nakal. Kau tak memberi tahu kehadiranmu!”

“Hi-hik, aku sudah lama di situ, Cao Cun. Kaulah yang dimabuk bahagia dan tidak tahu...!” Wan Hoa tertawa, dikejar dan akhirnya dicubit temannya ini. Dan ketika gadis itu menjerit dan Cao Cun memukul-mukul lengannya akhirnya gadis ini berteriak pada Kim-mou-eng.

“Kim-koko, aih... Kim-taihiap, tolong. Kekasihmu menggigit!”

Cao Cun dan Kim-mou-eng tersipu. Mereka mendengar Wan Hoa sengaja merubah panggilan, menirukan Cao Cun tadi yang menyebut Pendekar Rambut Emas dengan “koko” (kanda), sebutan yang begitu mesra dan lembut. Dan Cao Cun yang tentu saja gemas dan marah-marah mendongkol akhirnya mencubit temannya keras-keras.

“Aduh, ampun Cao Cun, tobat...!” Wan Hoa berteriak, tertawa tapi berhasil melepaskan dirinya dari cubitan Cao Cun, melarikan diri dan lenyap di lorong bawah tanah. Dan ketika Cao Cun hendak mengejar tapi Kim-mou-eng menangkap gadis ini akhirnya Cao Cun menunduk tergetar jengah.

“Cun-moi, sekarang persoalan kita tuntas. Aku hendak bicara padamu.”

Cao Cun mengangkat mukanya, menggigil bahagia. “Kau hendak membawaku pergi?”

Pendekar Rambut Emas mengerutkan kening. “Tidak, justeru meninggalkanmu sementara di sini, moi-moi. Aku harus pergi untuk menyelesaikan persoalan-persoalanku yang menumpuk!”

“Ah, kau mau meninggalkan aku?”

“Demi tugas yang belum kuselesaikan, Cun-moi. Aku masih harus mencari orang-orang yang mempunyai persoalan denganku.”

“Sumoimu itu?”

“Bukan dia saja, moi-moi. Tapi juga murid Seng-piauw-pangcu ini dan suheng serta pamanku. Aku belum menyelesaikan pekerjaanku itu!”

Cao Cun tiba-tiba menangis. “Jadi kau mempermainkan aku lagi, koko? Kau hendak membuatku merana lagi?”

“Dengarlah,” Pendekar Rambut Emas murung mukanya. “Aku tidak meninggalkanmu, Cun-moi, melainkan menitipkan dirimu sementara sampai tugasku selesai. Aku akan membawamu kelak kalau pekerjaanku rampung.”

“Tapi itu berarti meninggalkan aku lagi, koko. Dan aku takut kau tak akan kembali!”

“Hm, kenapa begitu?”

“Tentu, bukankah kau akan mencari somoimu yang keras itu, koko? Dan kalian tentu bertengkar, kalian tentu bermusuhan dan sumoimu itu mungkin saja membunuhmu. Atau mungkin membunuhku kalau tahu kita... kita...” Cao Cun menangis, tak meneruskan kata-katanya yang dimaksudkan Salima mengetahui cinta mereka. Tahu gadis Tar-tar itu juga mencintai Pendekar Rambut Emas dan Cao Cun takut ditinggal sendirian, cemas kalau Salima mencari dirinya dan membunuh dia tanpa diketahui pendekar ini.

Dan Kim-mou-eng yang muram menarik napas tiba-tiba mendesah. “Cun-moi, apa yang kau khawatirkan sebetulnya sudah terlambat. Tanpa mengetahui hubungan kitapun dia telah memusuhi diriku. Sumoi dan suhengku itu memusuhiku mati-matian, mereka hendak membunuhku. Aku akan mencari mereka untuk meminta keterangan!”

“Dan kau yakin dapat mengatasi mereka, koko? Kau tak khawatir sumoi dan suhengmu itu mencelakaimu?”

“Aku tak khawatir selama aku di jalan kebenaran, moi-moi. Tapi kalau mereka hendak membunuhku tentu saja aku tak tinggal diam. Justeru aku penasaran oleh sikap mereka ini!”

“Dan apa sebab mereka memusuhimu? Semata kau meninggalkan suku bangsamu?”

“Aku kurang jelas, moi-moi. Tapi mereka menyebutku sebagai pengkhianat. Aku penasaran oleh tuduhan ini!”

Cao Cun menggigil. Dia terbayang Salima, gadis Tar-tar yang tinggi semampai itu, sumoi kekasihnya yang memiliki kepandaian tinggi. Sepak terjangnya ganas dan hatinyapun juga keras, sekali mereka bertemu dan dia ngeri melihat tindak-tanduknya. Harus mengakui bahwa adik seperguruan pendekar ini adalah seorang gadis yang hebat. Cantik dan agung seperti seorang ratu. Ada kesan sombong, angkuh. Tapi menyadari tak mungkin dia dapat menahan Kim-mou-eng kalau pendekar itu hendak pergi akhirnya Cao Cun melepaskan diri dengan bibir gemetar, sayu memandang kekasihnya itu.

“Baiklah, kau pergilah, koko. Kunanti kembalimu dengan sabar. Aku tahu keadaan diriku, aku tahu kelemahanku yang tiada guna. Tapi ingat, kalau kau tak kembali dan menipuku jangan kau ke sini lagi untuk selamanya!”

Kim-mou-eng tergetar. Tiba-tiba dia ditarik ke alam sadar lagi, akan kenyataan bahwa puteri Wang-taijin ini adalah seorang gadis lemah biasa. Jauh dibanding dengan sumoinya itu, Salima si singa betina yang gagah perkasa. Keras dan ganas kalau sudah punya kemauan. Tak gampang memberi ampun. Tapi pahit membayangkan semuanya ini tiba-tiba pendekar itu menggenggam lengan Cao Cun, merasa dia telah terlanjur maju satu langkah.

“Cun-moi, apa yang kau pikir sebaiknya tak perlu menggores perasaanmu sendiri. Aku mencintaimu, aku telah membuktikan isi hatiku sendiri dan aku telah menciummu. Aku tak tahu bagaimana sikap sumoiku kelak, tapi aku berharap dapat menyelesaikan semuanya ini dengan baik. Kau mengerti perasaanku?”

“Aku tahu, tapi aku khawatir kau roboh di tangan sumoimu, koko. Aku takut kau akan meninggalkan aku.”

“Ah, tidak. Aku dapat mengatasi sumoiku itu, moi-moi. Tapi...”

“Tidak, bukan itu yang kumaksud. Aku khawatir kau jatuh cinta pula pada sumoimu, koko. Betapapun laki-laki lemah menghadapi wanita. Firasatku mengatakan itu!”

Kim-mou-eng terkejut. “Kau maksudkan aku laki-laki sinting?”

“Sudahlah,” Cao Cun menangis. “Kau pergilah, koko. Tapi ingat pesanku tadi, kalau kau melupakan aku dan roboh di tangan sumoimu itu sebaiknya tak perlu kau kembali ke sini dan biarkan aku sendiri!”

Kim-mou-eng tergetar. Cao Cun menubruknya, untuk terakhir kali menyusupkan kepalanya di dadanya, begitu penuh ketakutan dan kegelisahan seolah anak ayam khawatir kehilangan induknya. Dan ketika muka yang penuh air mata itu diangkat dan bibir yang gemetar itu setengah terbuka tiba-tiba Cao Cun berbisik,

“Koko, ciumlah aku kembali...!”

Kim-mou-eng tersentak. Dia melihat Cao Cun menengadahkan muka dengan mata terpejam, minta dicium sementara bibir itu juga menggigil. Bibir yang merah dan basah, bibir yang lembut. Dan Kim-mou-eng yang tentu saja tak tahan diminta begini tiba-tiba sudah menunduk dan mencium bibir itu. “Cun-moi...!”

Cao Cun terisak. Kim-mou-eng telah menciumnya, melumatnya dan mendekapnya begitu ketat. Tubuh seolah dialiri listrik hingga masing-masing sama bertegangan tinggi, melekat tak mau berpisah. Cao Cun tentu saja membalas dan mencium kekasihnya itu, tak kalah hangat, saling lumat dan merasakan kebahagiaan luar biasa. Begitu nikmat dan menina-bobok. Raga seakan melayang di awang-awang. Dan ketika keduanya terengah dan Cao Cun melepaskan diri akhirnya gadis ini mundur dengan kaki menggigil, semangat seakan terbang entah kemana.

“Koko, terima kasih. Sekarang kau pergilah...!”

Kim-mou-eng gemetar. Untuk pertama kali dia merasa limbung oleh buaian asmara yang demikian memabukkan. Begitu berkesan dan membuat dia lupa diri, hampir saja menangkap dan kembali menyambar Cao Cun. Tapi melihat gadis itu menjauh dan menangis dengan air mata bercucuran akhirnya pemuda ini teringat keadaannya dan mengangguk. “Baiklah, sampai jumpa, moi-moi. Kau jagalah dirimu baik-baik dan hati-hati...!”

Cao Cun menggigit bibir. Dia juga mengangguk, memberi tahu bahwa di ujung lorong pendekar itu dapat keluar, memesan agar pendekar itu berhati-hati. Dan ketika Kim-mou-eng berkelebat dan Cao Cun mendelong akhirnya Pendekar Rambut Emas telah meninggalkan puteri bupati Wang ini, menikmati dan memberikan kenangan yang luar biasa indah bagi Cao Cun. Masing-masing sama menyadari keadaan saat itu. Cao Cun tak mungkin dibawa karena pendekar ini harus menyelesaikan tugas-tugasnya dulu. Dan begitu Kim-mou-eng lenyap dan Cao Cun menangis tersedu tiba-tiba gadis inipun memutar tubuhnya memasuki lorong bawah tanah.

Kim-mou-eng terus bergerak ke depan. Pendekar ini memang harus keluar dari tempat persembunyian itu tak mungkin bersembunyi terus dan membawa mayat Sin-piauw Ang- lojin, tak lupa menyambarnya karena dia memang harus merawat jenazah itu, menguburnya di luar. Tapi persis dia meloncat keluar dari lorong bawah tanah tiba-tiba lima orang sesat itu muncul.

“Ha-ha, kau keluar juga, Kim-mou-eng? Temanmu telah mampus?”

Kim-mou-eng terkejut. Dia telah melalui jalan berliku-liku yang cukup panjang di lorong bawah tanah tadi, sebelum keluar. Tentu saja terperanjat melihat lima lawannya masih menunggunya, tak mau melepaskannya dan kini hari telah berganti pagi. Jadi semalam dia kucing-kucingan dan meninggalkan lawan-lawannya ini. Tapi tak takut dan marah meletakkan mayat temannya dia justeru geram pada Sai-mo-ong dan empat temannya ini, tiba-tiba mencabut sebatang pit (alat melukis) yang jarang dipergunakan.

“Mo-ong, kau masih juga mengejar-ngejarku tak mau sudah? Kalian mau mengeroyok untuk membunuh aku?”

“Ha-ha, tentu tidak, Kim-mou-eng. Kalau kau menyerahkan diri baik-baik dan ikut kami!”

“Ya, dan kau minta maaf pada Siauw-ong-ya, Kim-mou-eng. Setelah itu jalan-jalan bersamaku dan kita bersahabat!” Tok-gan Sin-ni terkekeh melecutkan ujung rambutnya yang berbunyi nyaring. Diam-diam kagum dan penasaran pada Pendekar Rambut Emas ini. Sungguh lawan yang amat lihai.

Tapi Pendekar Rambut Emas yang marah memandangnya tiba-tiba membentak, “Sin-ni, kau wanita tak tahu malu. Aku tak akan minta maaf dan bersahabat denganmu. Kalian iblis-iblis yang licik!”

“Kalau begitu terima kematianmu, Kim-mou-eng. Kami juga tahu kau bakal keras kepala... wutt!” Coa-ong Tok-kwi tiba-tiba menyambar berkelebat menggerakkan tongkatnya itu yang tinggal separuh, ujungnya hancur dipukul pendekar ini dan disusul Hek-bong Siang-lo-mo yang juga membentak marah, bergerak melakukan pukulan sinkang yang menderu menghantam pendekar itu. Dan ketika Mo-ong juga menyerang dan Sin-ni ikut menggerakkan rambut menerjang Kim-mou-eng akhirnya Pendekar Rambut Emas menangkis dan berkelebat memutar pitnya.

“Trak-trakk...!”

Lima senjata bertemu pit di tangan Kim-mou-eng, terpental dan kini menyambar lagi lebih hebat. Pemiliknya marah karena pit di tangan Kim-mou-eng yang kecil itu mampu menolak senjata mereka, hampir saja membalik dan menghantam muka sendiri, membuat lima iblis itu gusar dan tentu saja memperhebat serangan. Dan ketika mereka berlima kembali menyerang dan Kim-mou-eng dikeroyok di tengah akhirnya pendekar ini berkelebatan menyambut dan menangkis serta menggerakkan batang pitnya yang ampuh itu.

“Coa-ong, kalian memang iblis-iblis busuk!”

Coa-ong dan teman-temannya tak menjawab. Mereka gencar menyerang pendekar itu, membentak dan mengerahkan segenap kekuatan yang ada. Tongkat dan lengan menyambar-nyambar ganti berganti melepas pukulan membentur senjata di tangan Kim-mou-eng. Tapi ketika Kim-mou-eng menangkis dan semua pukulan terpental akhirnya Raja Ular ini mencabut sulingnya pula menyuruh teman-temannya yang lain memperhebat serangan.

“Mo-ong, Lo-mo, serang saja dari belakang. Biar aku dan Sin-ni menyerangnya dari depan...!”

Sai-mo-ong mengangguk. Kakek iblis ini juga mulai mencabut kipas bulu singanya, mengebut dan menampar, berkelebat ke belakang menyerang pendekar itu seperti permintaan temannya. Dan Tok-gan Sin-ni yang juga terkekeh melecutkan rambutnya di belakang Pendekar Rambut Emas akhirnya berseru dengan suara penuh kagum,

“Coa-ong, keluarkan saja senjata rahasia kalian. Sibukkan dia dengan jarum-jarum beracun!”

Coa-ong mengangguk. Dia marah dan penasaran sekali oleh kelihaian lawannya ini, tongkatnya berkali-kali terpental. Tapi setelah mereka memecah diri dan tiga lawan menyerang di belakang dan dia juga mencabut sulingnya akhirnya Pendekar Rambut Emas terdesak dan mulai mengeluh. Betapapun tak sanggup menghadapi lima pentolan iblis itu secara berbareng, apalagi masing-masing memiliki keistimewaan sendiri-sendiri, meskipun Tiat-lui-kang berhasil menahan semua serangan dengan baik. Dan ketika Mo-ong juga melepaskan pelor-pelornya yang berbahaya itu dibalik kebutan kipas akhirnya Kim-mou-eng tak dapat menghindarkan diri dari beberapa pukulan yang mulai mendarat di tubuhnya.

“Des-dess!”

Dua pukulan Coa-ong dan Hek-bong Siang-lo-mo mulai menimpa pendekar ini, Kim-mou-eng terhuyung, terdorong dan menerima lagi lecutan rambut Tok-gan Sin-ni yang menjeletar nyaring, terasa pedih kulitnya namun tidak terluka, pendekar ini telah melindungi diri dengan kekuatan sinkangnya. Membuat lawan gemas dan semakin marah. Dan ketika bertubi-tubi pukulan dan gebukan mulai menggoyahkan pendekar ini namun tetap saja pendekar itu tidak roboh akhirnya Hek-bong Siang-lo-mo berteriak melepas pukulannya.

“Sin-ni, lepaskan jarum-jarum rahasiamu itu...!”

Tok-gan Sin-ni terkekeh. “Sabar dulu, Lo-mo. Biar Mo-ong dan Coa-ong saja yang melepas senjata -senjata rahasianya. Aku masih sayang pada kulitnya yang halus.”

“Tapi kita harus bunuh pendekar ini, Sin-ni. Tak perlu menunda atau kasihan padanya!”

Tok-gan Sin-ni tetap tertawa. Sebenarnya, dia merasa sayang kalau membunuh Kim-mou-eng. Tak melepas jarum karena dia khawatir Pendekar Rambut Emas binasa, terlalu banyak dihamburi senjata rahasia. Betapapun kagum dan jatuh hati pada pendekar yang hebat ini. Murid Bu-beng Sian-su. Tapi ketika kawan-kawannya mulai berteriak dan Pendekar Rambut Emas tak roboh juga meskipun terhuyung dan terpental sana-sini akhirnya wanita ini menjadi tak enak juga pada teman-temannya.

“Baiklah, kalian berkaok-kaok kayak jago kalah tarung saja, Lo-mo. Kalau diminta mengeluarkan jarum baiklah, kalian rupanya kurang becus... wut-plak!” dan rambut Tok-gan Sin-ni yang menampar leher Kim-mou-eng tiba-tiba membalik dan melibat pendekar ini, membelit lengan di saat Pendekar Rambut Emas menangkis serangannya, mengembang dan telah dibetot wanita ini.

Dan ketika Hek-bong Siang-lo-mo berseru keras dan Mo-ong juga mengebutkan kipasnya mendadak tiga iblis tua ini menyerang berbareng dengan pekik gembira. “Sekarang kau mampus, Kim-mou-eng...!”

“Dan kau menghadap Giam-lo-ong (Raja Maut), Pendekar Rambut Emas...!” dan tiga pukulan bertubi yang hampir serentak menghujani pendekar ini tiba-tiba membuat Pendekar Rambut Emas pucat, menangkis dengan lengan satunya sementara lengan yang lain masih digubat rambut, tentu saja marah dan tak mau mati konyol. Tapi ketika Coa-ong juga meloncat dan terbahak menggerakkan tongkatnya tiba-tiba dalam waktu yang begitu singkat lima serangan telah menghantam pendekar ini tak kenal ampun.

“Haitt...!” Pendekar Rambut Emas tiba-tiba melengking, membentak menggetarkan seluruh tubuhnya. Rambut Tok-gan Sin-ni yang melibat lengannya tiba-tiba putus, membuat wanita itu berseru kaget, terjengkang kebelakang, secepat kilat melepas jarum-jarum rahasianya yang berhamburan di depan Kim-mou-eng. Dan ketika Kim-mou-eng menerima pukulan tongkat dan hujan serangan yang lain sementara semua serangan itu tak dapat dihindarkan lagi tiba-tiba dalam satu bentakan dahsyat pendekar ini mengeluarkan Pek-sian-ciangnya.

“Krak-des-dess...!”

Benturan di depan mata itu mengejutkan sekali. Kim-mou-eng tampak terpental, tongkat di tangan Coa-ong hancur berkeping-keping, disusul sulingnya yang juga remuk menimpa kepala pendekar ini, bertemu hawa sinkang yang begitu kuat sementara Pek-sian-ciang menyambar Hek-bong Siang-lo-mo dan Mo-ong, ketiganya bertemu dalam satu benturan dahsyat, disusul terlemparnya tiga iblis tua itu yang mencelat sambil mengaduh, hampir berbareng jatuh berdebuk di atas tanah, tak ubahnya dibanting.

Dan karena saat itu Pendekar Rambut Emas sudah mengeluarkan tenaga berlebih-lebihan sementara lawan terlempar ke kiri kanan padahal jarum-jarum Tok-gan Sin-ni menyambar tubuhnya akhirnya pendekar ini tak dapat melindungi diri ketika tujuh jarum menancap di tubuhnya, persis ketika pendekar ini mengendor sinkangnya.

“Cep-cep!”

Kim- mou-eng mendesis. Dia langsung terguling, menerima tujuh jarum beracun wanita sakti itu yang mengenai tubuhnya, disengat rasa panas dan pedih. Kepala tiba-tiba pening, maklum racun langsung bekerja dan dia kehabisan tenaga. Sinkangnya baru saja dipergunakan menghadapi lima pukulan maut. Dan ketika pendekar itu mengeluh dan melotot pada lawan yang demikian curang mendadak pendekar ini tak dapat mempertahankan diri dan roboh pingsan!

“Bluk!”

Tok-gan Sin-ni mendesis. Wanita sakti ini tertawa, menyeringai menahan sakit karena dia juga menerima akibat dari pukulan Pek-sian-ciang, dadanya sesak tapi keburu melempar tubuh bergulingan, menjauhkan diri melihat empat temannya sudah duduk menenangkan guncangan, masing-masing terkena Pukulan Dewa Putih itu yang demikian dahsyat, terluka dalam. Tapi ketika dia terhuyung hendak menghampiri pendekar itu tiba-tiba sesosok bayangan setan berkelebat menyambar Kim-mou-eng. Begitu cepat hingga wanita ini tak dapat mencegah, tertegun di tempat dengan mata terbelalak, langsung terhenti dan tentu saja bengong. Tapi ketika bayangan itu lenyap dan Kim-mou-eng disambar pergi mendadak wanita ini terkejut dan sadar berteriak,

“Hei...!”

Namun bayangan itu lenyap di depan. Tok-gan Sin-ni hanya mendengar suara mendengus mirip kuda jalang, pendek tapi berat. Hilang seperti hantu membawa Kim-mou-eng, begitu saja. Tapi Tok-gan Sin-ni yang marah membentak nyaring tiba-tiba mengejar dan tentu saja tak mau sudah. “Siluman hina, lepaskan buruan kami...!”

Tapi bayangan itu lenyap seperti asap. Tok-gan Sin-ni terkejut melihat ginkang yang begitu luar biasa, tak melihat lagi kemana bayangan itu lari. Lenyap di balik pohon-pohon di depan dan tentu saja membuat dia mengumpat-caci, mencari ke sana ke mari tapi tak melihat lagi kemana bayangan itu. Dan ketika dia berputar-putar tapi bayangan yang dicari tetap juga tak ketemu akhirnya empat temannya muncul dengan kaki terhuyung, masih belum pulih dari bekas pukulan Pek-sian-ciang.

“Mana Kim-mou-eng?”

Tok-gan Sin-ni tertegun. “Diculik seseorang, Mo-ong. Aku mengejarnya tapi tak berhasil.”

“Siapa?”

“Ku tak tahu. Hanya bayangannya ke utara dan kukejar sampai ke sini.”

“Keparat, kau juga tak tahu mukanya?”

“Mukanya tak jelas, Mo-ong. Riap-riapan tapi sekilas kulihat sinar kehijauan di mukanya itu.”

“Ah, Cheng-bin Yu-lo (Si Tua Yu Bermuka Hijau)... !” Mo-ong tiba-tiba tertegun, berseru kaget dengan mata meliar, mendadak membanting kaki dan memaki Tok-gan Sin-ni. Dan ketika Tok-gan Sin-ni marah dan ganti melotot padanya tiba-tiba iblis tua ini berkelebat ke timur.

“Sin-ni, dia adalah Cheng-bin Yu-lo. Dialah paman Kim-mou-eng itu. Ayo kejar!”

Tok-gan Sin-ni terbelalak. Dia tertegun mendengar kata-kata ini, baru tahu bahwa yang menculik Kim-mou-eng adalah Cheng-bin Yu-lo, rekan nomor tujuh dari golongannya sendiri. Iblis yang aneh tindak tanduknya karena jarang bertemu mereka, bahkan memusuhi mereka dengan sepak terjangnya yang sukar dimengerti. Kadang baik kadang jahat. Kadang berteman kadang berlawan. Tapi melihat Mo-ong mengejar dan berseru itulah Cheng-bin Yu-lo tiba-tiba Tok-gan Sin-ni berkelebat disusul teman-temannya yang lain.

“Mo-ong, tadi dia ke utara, kenapa ke timur?”

“Bodoh, kau dikecohnya, Sin-ni. Cheng-bin Yu-Io tinggal di timur bukannya di utara. Dia memutar!”

“Oh...!” Tok-gan Sin-ni yang mengerti akhirnya menyusul pula di belakang rekannya ini, sadar dan maklum bahwa Sai-mo-ong itulah yang agaknya tahu dimana tempat tinggal Yu-lo bersembunyi, disusul Hek-bong Siang-lo-mo dan Coa-ong Tok-kwi yang masih menahan sakit bekas pukulan Pek-sian-ciang. Sering batuk-batuk. Dan begitu empat iblis itu mengikuti Sai-mo-ong akhirnya lima orang ini menuju ke timur mencari Cheng-bin Yu-Io. Atau tepatnya, mencari Kim-mou-eng yang telah mereka robohkan itu dan tidak peduli sama sekali pada mayat Sin-piauw Ang-lojin yang tadi dibawa Kim-mou-eng!

* * * * * * * *

Kemana Pendekar Rambut Emas dibawa? Benarkah Cheng-bin Yu-lo yang membawanya? Untuk melihat ini memang kita harus mengikuti bayangan yang secepat setan itu, manusia berambut riap-riapan yang tidak dikenal Tok-gan Sin-ni, melesat seperti terbang dan kemudian meninggalkan Tok-gan Sin-ni jauh di belakang. Dan karena Tok-gan Sin-ni sendiri masih tergetar oleh bekas pukulan Pek-sian-ciang maka iblis wanita ini tak berhasil mengejar karena lawan yang dikejar memiliki ginkang yang memang hebat.

Saat itu jauh meninggalkan lawannya di belakang, bayangan ini bergerak ke utara. Dan terus memanggul Kim-mou-eng di atas pundaknya, sama sekali tak terganggu larinya oleh beban yang cukup berat ini. Berbelok dan akhirnya benar memutar menuju timur, persis seperti yang dikata Sai-mo-ong. Dan ketika dia berlari beberapa jam lagi dan sampai di sebuah hutan bambu tiba-tiba bayangan ini lenyap di sebuah rumpun bambu yang gelap.

Orang tak akan tahu kemana bayangan ini lenyap. Tubuhnya menyelinap begitu saja di tengah, masuk dan hilang seperti ditelan bumi. Tapi kalau orang mengikutinya dan tahu bayangan ini membuka sebuah semak-semak dan pintu kuburan menganga menyambutnya tentu orang akan berdiri bulu tengkuknya melihat apa yang dilakukan bayangan ini.

Dia masuk di sebuah celah, pintu kuburan menutup kembali, semak alang-alangpun merapat seperti semula. Dan ketika dia menuruni anak tangga berbatu dan terus menuju ke dalam tahulah kita bahwa orang ini memasuki sebuah tempat rahasia di bawah tanah. Semacam istana kuno!

Bayangan itu meneruskan langkahnya. Dia menurun dan naik tiga belokan, tiba di sebuah tempat terang yang menyeramkan. Sekeliling dindingnya penuh tengkorak. Dan ketika dia melempar Kim-mou-eng dan membalik dengan mata dingin tiba-tiba seorang pemuda muncul berkelebat dengan sepasang pedang di punggung.

“Paman, kau datang?”

Bayangan itu, yang ternyata seorang kakek dengan muka kehijauan mendengus, tidak menjawab. membalikkan tubuh Kim-mou-eng yang kini mukanya menjadi hitam. Racun dari jarum Tok-gan Sin-ni telah merubah kulitnya. Dan ketika si pemuda melihat dan kaget membelalakkan mata tiba-tiba dia melompat maju mengenal Kim-mou-eng.

“Pendekar Rambut Emas...!”

“Ya, kau kenal?” bayangan itu, kakek yang bersikap dingin ini bertanya. Dia baru kali itu bicara, suaranya berat dan serak, pendek dan singkat saja.

Tapi si pemuda yang berjongkok dan sudah meraba denyut nadi Kim-mou-eng tiba-tiba melihat tujuh jarum yang menancap di tubuh pendekar ini. “Ah, jarum beracun!” pemuda itu langsung mencabut, seketika merah mukanya dan maklum Kim-mou-eng mendapat serangan curang, menotok pundak dan dada pendekar ini. Dan ketika semua jarum dibuang jauh akhirnya pemuda ini berdiri menghadapi pamannya.

“Paman, apa yang terjadi? Kau telah memberinya obat?”

Kakek itu mendengus. “Buat apa kau tanya? Kalau tidak kuberi bukankah dia sudah mampus sejak tadi?”

“Tapi kau tak menahan aliran racun, paman. Kau membiarkan saja racun itu bekerja!”

“Aku tak mengharap dia hidup, tapi aku juga tak mengharap dia mampus!”

“Kalau begitu kenapa dia dibawa ke sini? Sebaiknya paman tak perlu bekerja setengah-setengah bila tidak berniat menolong!” pemuda itu marah, tiba-tiba menghisap tujuh lubang di tubuh Kim-mou-eng, menyedot racunnya dan berkali-kali mengeluarkan darah hitam. Darah yang busuk dan amis. Dan ketika dia mengambil sebutir mutiara dan menempelkannya di bekas tusukan jarum tiba-tiba kakek berwajah dingin ini membentak,

“Yu Bing, kau mau melancangi pamanmu?”

Yu Bing, pemuda berpedang sepasang itu terkejut. Dia sudah menempelkan mutiaranya, mutiara penyedot racun, benda yang akan membersihkan sisa-sisa racun yang ada di tubuh Kim-mou-eng tadi tiba-tiba mencelat terlepas, terbang ke kakek berwajah dingin itu. Melihat pamannya marah dan menegurnya dengan pandangan keras. Mutiara tahu-tahu berpindah tangan dengan gerakan begitu cepat. Tapi Yu Bing yang bangkit berdiri dengan kepala tegak tiba-tiba menghadapi pamannya dengan muka keras.

“Paman, dia adalah Kim-mou-eng. Dia adalah keponakanmu yang selama ini mencari-carimu. Kenapa kau mencegah aku mengeluarkan sisa racun dengan Pek-houw-cu (Mutiara Harimau Putih)?”

“Hm, kau tak boleh sembrono, Yu Bing. Aku tak tahu apakah benar dia keponakanku atau bukan. Aku masih hendak menyelidikinya, aku tak percaya begitu saja omonganmu!”

“Tapi dia suheng Salima, paman. Dan Salima telah menceritakan segalanya kepadaku. Dia...”

“Stop! Tak perlu cerewet. Bocah ini boleh ditolong tapi sifatnya sementara saja. Kau mundurlah, biar aku yang menyelesaikannya!” dan si kakek yang menampar Yu Bing membuat pemuda itu mencelat tiba-tiba bergerak sudah menendang Kim-mou-eng yang masih pingsan. Tiga jalan darah ditotoknya dengan aneh, dengan ujung kaki, totokan luar biasa yang membuat Kim-mou-eng mengeluh, membuka mata dan tiba-tiba sadar. Jarum sudah dicabut tapi racun masih mengeram di tubuhnya, muka masih kehitaman dan tubuh terasa panas dingin, tak karuan.

Dan ketika Kim-mou-eng membuka mata dan melihat pajangan tengkorak di seluruh dinding tiba-tiba matanya beradu dengan sepasang mata dingin yang dimiliki kakek menyeramkan itu, bentrok dengan mata yang kehijauan pula seperti telaga yang dingin, jauh dan membawanya ke dasar yang dalam membuat Kim-mou-eng terkejut. Tapi belum dia bicara atau apa mendadak pemilik mata yang menyeramkan ini sudah menyambar tengkuknya.

“Kau Kim-mou-eng?”

Kim-mou-eng tersentak, tidak menjawab.

“Kau Kim-mou eng?”

Kim-mou-eng akhirnya mengangguk, tersenyum getir. “Ya, kau siapakah, locianpwe? Aku memang Kim-mou-eng, sudah matikah aku ini?”

Kakek ini mendengus, melepaskan cengkeramannya. “Kau belum mampus, tapi bisa sewaktu-waktu mampus!” dan ketika Kim-mou-eng mengerutkan keningnya kakek itu bicara lagi, “Pendekar Rambut Emas, kau katanya mencari-cari seseorang. Benarkah?”

Kim-mou-eng tak segera menjawab.

“Kau tuli?” kakek itu membentak. “Apakah kau tidak dengar pertanyaanku?”

Kim-mou-eng menghela napas, teringat pertempurannya dengan Hek-bong Siang-lo-mo dan teman-temannya itu. “Locianpwe, sebelum menjawab pertanyaan itu sebaiknya terangkan dulu dimana aku ini. Kaukah yang menolongku dari cengkeraman musuh-musuhku? Mana itu Tok-gan Sin-ni dan yang lain-lain?”

“Mereka tak perlu kau cari, Kim-mou-eng. Aku telah membawamu pergi dari tempat berbahaya itu.”

“Ah, sudah kuduga. Terima kasih...!” dan Kim-mou-eng yang bangkit memberi hormat tiba-tiba mengeluh merasa kepalanya berputar, terguling dan roboh kembali karena racun dari jarum Tok-gan Sin-ni masih menguasainya.

Tapi si kakek yang mendengus tak mengacuhkannya tiba-tiba menjambak rambutnya. “Kau mencari seseorang?”

Kim-mou-eng mendongkol. “Orang tua, beginikah sikapmu menolong orang? Kalau kau tak suka padaku sebaiknya lepaskan aku. Aku dapat menolong diriku sendiri!”

“Plak-plak...!” kakek itu tiba-tiba menampar, marah rupanya. “Kau tak perlu sombong, anak muda. Kalau aku tak menolongmu tak mungkin kau dapat menolong dirimu sendiri! Ayo bangun, kuhajar kau nanti!”

Kim-mou-eng terhuyung, marah dan pusing. Tapi Yu Bing yang sejak tadi diam tak bicara mendadak melompat maju. “Paman, tak perlu kau bersikap kasar padanya. Kim-mou-eng mencari dirimu!”

“Diam!” kakek itu membentak. “Aku tak ingin kau ikut campur, Yu Bing. Kalau tidak kubunuh kau nanti!”

Kim-mou-eng terkejut. Sekarang dia melihat pemuda yang gagah ini, yang bukan lain Siang-kiam-houw Yu Bing adanya, Harimau Berpedang Sepasang yang dulu bertemu Salima. Tapi belum dia bicara sesuatu tiba-tiba kakek itu sudah mencengkeramnya kembali.

“Kim-mou-eng, kau mencari seseorang?”

Kim-mou-eng menahan sakit, tiga kali mendapat pertanyaan yang sama. Tapi mengangguk menggigit bibir dia menjawab juga, “Ya, darimana kau tahu?”

“Hm,” kakek itu masih bengis. “Siapa yang kau cari?”

“Banyak, suheng dan sumoiku, juga... augh!” Kim-mou-eng mendesis, kakek itu tiba-tiba mencekik lehernya, menjepit jalan darah pi-pet-hiat yang menimbulkan rasa nyeri yang luar biasa. Hampir saja dia mengaduh.

Tapi kakek bermuka hijau yang rupanya tidak sabar oleh jawaban yang bertele-tele itu tiba-tiba membentak kembali, “Kim-mou-eng, nyawamu berada di tanganku. Sebaiknya tak perlu kau main-main. Ceritakan siapa orang yang kau cari dan siapa ayah ibumu!”

Kim-mou-eng marah. Dia jadi tak menjawab pertanyaan itu, diserang dua rasa sakit berbareng dari racun dan jepitan di jalan darah. Tapi ketika dia terbelalak dan tak mau menjawab tiba-tiba pemuda yang ada di belakang kakek itu berbisik mengirim suaranya, “Kim-mou-eng, sebaiknya ceritakan saja kedatanganmu ke Tionggoan ini. Bukankah kau mencari pamanmu dan susah payah menemukannya? Dialah pamanmu itu, tapi kau harus dapat membuktikan bahwa dirimu adalah keponakannya. Tunjukkan siapa dirimu, siapa ayah ibumu!”

Kim-mou-eng tertegun. Dia tak menyangka bisikan pemuda itu, terkejut mendengar semua kata-katanya. Tapi mengeluh menahan sakit tiba-tiba pendekar ini mendesis memandang kakek itu, “Kau siapakah, orang tua? Kenapa bertanya urusan pribadiku?”

“Keparat, kau menjawab pertanyaan dengan pertanyaan? Kau minta kugampar lagi?” kakek itu marah. “Tak perlu banyak tanya, Kim-mou-eng. Sebutkan saja benarkah kau mencari seseorang dan siapa orang itu. Lalu ceritakan pula siapa dirimu!”

Kim-mou-eng tergetar, memandang tajam kakek itu. “Aku mencari pamanku...!” jawabnya lirih.

“Siapa?”

“Yu -Iopek.”

“Yu siapa?”

“Yu Siu.”

“Asal darimana?”

Kim-mou-eng tegang. “Ayo, darimana?”

Kim-mou-eng membuang ketegangan. “Dari dusun Yu-chung!”

“Dan siapa ayahmu? Siapa ibumu?”

Kim- mou-eng tak mau menjawab. Dia merasa jari-jari yang mencengkeramnya itu gemetar, menggigil entah karena apa, melihat mata yang kehijauan itu tiba-tiba mencorong menakutkan, rupanya beringas dan berkilat-kilat. Seperti api! Dan ketika dia diam dan tidak menjawab tiba-tiba kakek itu berseru gusar,

“Bocah, teruskan jawabanmu. Siapa ayah dan siapa ibumu!”

Kim-mou-eng berdebar. “Perlukah kau ketahui?”

“Tentu.”

“Kalau begitu ada hubungan apa?”

“Keparat!” kakek itu menggigil. “Kau tak perlu tanya, bocah. Sebutkan saja setiap jawabanmu dan tidak perlu banyak cakap!”

“Baik, ibuku adalah Yu Ma, sedang ayahku bernama...”

“Hongga!” kakek itu menukas, cepat dan marah dan tiba-tiba melengking. Dan belum Kim-mou-eng sadar tiba-tiba sebuah tendangan dan tamparan mengenai tubuhnya. “Plak-bluk!”

Kim-mou-eng terlempar, mencelat terguling-guling menghantam dinding. Tentu saja kaget dan mengeluh tertahan, kesakitan. Tapi belum dia bangkit berdiri tahu-tahu kakek itu mengejarnya dan menghajarnya dengan pukulan dan tendangan.

“Bocah, kau bukan anak Yu Ma. Kau anak Hongga dari ibu yang lain... des-dess!”

Kim-mou-eng mencelat kembali, jatuh bangun dihajar kakek yang tiba-tiba marah ini, berteriak dan mendesis menggigit bibir. Dan ketika Kim-mou-eng terkejut dan tak berdaya diserang bertubi-tubi tiba-tiba kakek ini tertawa bergelak, tawa yang aneh mirip tawa bercampur tangis.

“Bocah, kau bukan keponakanku. Kau adalah musuh dari Hongga yang melarikan adikku... wutt!” dan sebuah pukulan yang menyambar dada Kim-mou-eng dengan kecepatan kilat tiba-tiba tak dapat dielakkan pendekar ini yang terkesiap membelalakkan mata, melihat sorot buas dari sepasang mata yang mengerikan itu. Mirip Iblis.

Tapi karena Kim-mou-eng tak mau mati konyol dan dia marah oleh sepak terjang kakek ini tiba-tiba dengan sekuat tenaga Kim-mou-eng mencabut kalungnya, benda yang selama ini menempel di leher menggantung di dada, sebuah kalung emas yang bermata giok. Indah karena itulah kalung pemberian ibunya, sebelum ibunya meninggal. Dan begitu pukulan tiba dan Kim-mou-eng menyabitkan kalungnya itu maka dalam saat yang bersamaan kalung menangkis pukulan lawan, menyambar telapak tangan kakek itu.

“Plak!”

Kim-mou-eng roboh. Dia kalah kuat, hawa pukulan masih menyambar dadanya, betapapun dia sudah terluka sebelumnya. Tak kuat menerima pukulan yang dilancarkan lawan. Sekilas melihat lawan terkejut dan berseru tertahan, hawa pukulan berkurang tapi telah membuatnya terjengkang, pingsan. Dan ketika dia terguling dan si kakek menerima kalungnya tiba-tiba kakek itu terkejut sementara Yu Bing berteriak membentak pamannya.

“Paman, kau kejam!”

Kakek itu bergoyang. Dia telah menerima kalung itu, memperhatikannya, tidak menghiraukan teguran Yu Bing yang marah pada pamannya. Tapi ketika kalung ditimang-timang dan dibalik sana-sini tiba-tiba kakek itu menggereng menghampiri Kim-mou-eng. “Buka sepatunya. Lihat kakinya!”

Yu Bing tertegun. Dia melihat pamannya seperti orang tidak sehat, terhuyung limbung sementara gigi berkerot-kerot. Kebuasannya sedikit berkurang tapi sikap tetap menyeramkan. Dan ketika dia tertegun tak mengerti apa yang dikehendaki pamannya tiba-tiba kakek itu membanting keponakannya ini.

“Yu Bing, buka sepatunya. Lihat kakinya!”

Yu Bing mengeluh. Dia nanar melompat bangun, terkesiap melihat sikap pamannya itu. Tapi terbiasa oleh tindak-tanduk pamannya yang aneh pemuda ini bangkit berdiri membuka sepatu Kim-mou-eng. “Paman, kenapa tidak kau sendiri yang membukanya? Bukankah aku tak tahu apa yang ingin kau lakukan?”

“Cerewet, aku tak mau menyentuh anak Hongga, Yu Bing. Kalau dia betul anak adik perempuanku ingin kulihat sebuah tanda di telapak kakinya. Buka, cepat buka!”

Yu Bing tergetar. Dia sudah cepat membuka sepatu Kim-mou-eng, melepas kaosnya dan mengendorkan seluruh pakaian pendekar itu. Kim-mou-eng masih pingsan. Dan ketika Yu Bing selesai dan si kakek menyambar kaki Kim-mou-eng mendadak kakek itu tertegun berseru tertahan,

“Kimsan...!”

Kakek itu terhuyung. Yu Bing melihat sebuah tanda di telapak kiri kaki Kim-mou-eng, sebuah tanda kehitaman bekas luka bakar, melihat pamannya terkejut dan mundur dua langkah. Tubuh tiba-tiba gemetar tak karuan seperti orang disengat listrik. Dan ketika keadaan itu berlalu sekejap dan si kakek melotot dengan mata merah mendadak kakek ini menubruk Kim-mou-eng menangis tersedu.

“Kimsan, dia benar keponakanku...!”

Yu Bing mendelong. Dia melihat pamannya mengguguk di dada Kim-mou-eng, mencengkeram dan mengguncang-guncang tubuh Kim-mou-eng. Tentu saja pendekar itu masih tidak bergerak. Tapi begitu sadar berteriak gembira tiba-tiba kakek ini menyambar tubuh keponakannya dibawa ke sebuah sumur dangkal.

“Kim-mou-eng, kau benar keponakanku. Kau Kimsan yang dulu kulukai kakimu... byur!” kakek itu melempar Kim-mou-eng, langsung ke dalam air setelah menekan jalan darah kesadaran di belakang tengkuk, tentu saja membuat Yu Bing terkejut tapi lega melihat Kim-mou-eng membuka mata, kaget oleh rasa dingin yang memasuki tubuh terendam di sumur dangkal itu. Dan ketika Kim-mou-eng baru sadar dan si kakek terbahak gembira tahu-tahu kakek itupun ikut mencebur memeluk tubuhnya, menciumi seluruh mukanya.

“Kimsan, kau benar keponakanku. Kau anak dari adik perempuanku... byur!”

Kim-mou-eng terkejut. Dia sudah didekap dan diangkat naik turun, begitu gembira diguncang-guncang oleh si kakek. Dan ketika dia terbelalak dan mengeluh menggigit bibir tahu-tahu kakek itu melompat keluar melempar tubuhnya di sudut dinding.

“Ha-ha, hayo ganti pakaian, anak baik. Keringkan tubuhmu dan kita makan besar... bress! ” Kim-mou-eng nanar, masih terheran dan sakit oleh semua cengkeraman si kakek, menumbuk dinding dan pedih menyeringai menggigit bibir. Tapi ketika si kakek menari-nari dan dia sadar oleh semua kejadian itu tiba-tiba si kakek berkelebat keluar tertawa bergelak. “Yu Bing, siapkan ikan pe-hi. Kita panggang dan adakan pesta...!”

Kim-mou-eng tertegun. Dia melihat kakek yang aneh itu lenyap, melihat Yu Bing tersenyum dan menitikkan air mata kepadanya, menghampirinya dan memberinya pakaian kering, pakaian pemuda itu sendiri. Dan ketika Kim-mou-eng bangkit duduk segera pemuda itu menegurnya,

“Kim-mou-eng, kiranya nama Tar-tar mu adalah Kimsan. Terimalah, dan ganti pakaianmu itu. Paman telah mengakui dirimu!”

Kim-mou-eng bengong. “Kau mengetahui nama kecilku?”

“Tidak, bukan aku yang menyebutnya, Kim-mou-eng. Tapi pamanmu itulah, paman Yu!”

“Jadi dia Yu-lopek?”

“Benar, dialah Yu Siu yang kau cari-cari itu!”

“Ah...!” dan Kim-mou-eng yang sudah menerima pakaian ini dan tertegun di tempat segera melihat kakinya yang telanjang itu, melihat sepatunya di dekat Yu Bing. Tapi belum dia bertanya ini-itu, Yu Bing sudah mengambilkan sepatunya itu.

“Kim-mou-eng, tadi kami melepas sepatumu. Paman ingin mengetahui tanda di telapak kakimu. Dan ternyata benar, kaulah Kimsan yang dilahirkan dari ibumu Yu Ma itu. Pakailah...!”

Kim-mou -eng mendelong. Dia sudah menerima sepatunya ini, mengenakan pula kaos yang diserahkan Yu Bing, pemuda yang cepat menarik hatinya. Pemuda yang gagah dan baik. Tapi ketika dia membungkuk dan kepala terasa pening tiba-tiba dia roboh terguling oleh racun yang masih belum dibersihkan. Dan saat itu kakek aneh itu muncul, berkelebat membawa segelas air yang merendam Pek-houw-cu, mutiara yang bening itu di dalam gelas. Dan persis Kim-mou-eng mengeluh kakek ini telah memberikan air penawar racun.

“Kimsan, minumlah ini. Racun segala racun akan lenyap oleh air Pek-houw-cu.”

Kim-mou-eng tertegun. Dia mendengar suara yang manis dari kakek ini, cepat menerima dan meneguk isinya. Dan ketika rasa pening itu lenyap dan mukanya yang tadi kehitaman juga pulih kembali akhirnya kakek ini memeluknya dengan penuh haru.

“Kimsan, maafkan aku. Aku tadi sangsi benarkah kau anak dari ibumu. Kau kenal pamanmu, bukan? Akulah Yu Siu, aku yang dulu menyelomot (membakar) telapak kakimu itu, ketika aku bertengkar dengan ayahmu!” kakek itu tiba-tiba menangis, rambutnya yang riap-riapan terasa apek di hidung Kim-mou-eng. Agaknya tidak pernah dibersihkan, penuh kutu rambut!

Tapi Kim-mou-eng yang tersedak menyambut pelukan segera mundur dengan mata basah. “Paman, jadi benar kau Yu-lopek? Tapi bagaimana keadaanmu ini? Bukankah kau dulu orang biasa-biasa saja?”

“Aku memang telah berubah, Kimsan. Sepak terjang ayahmu yang membuat aku begini!”

“Hm, ceritakan itu. Aku tak mengerti.”

“Baik, tapi ini kalung ibumu, bukan? Dimana ibumu sekarang?”

“Ibu telah meninggal...”

“Ohh...!” kakek itu tiba-tiba menutupi mukanya. “Siapa yang membunuhnya?” suaranya terdengar geram, muka dibuka kembali. “Ayahmu itukah?”

“Bukan,” Kim-mou-eng menggeleng sedih. “Ibu meninggal karena sakit.”

“Dan ayahmu, dimana keparat itu?”

“Ayah juga sudah meninggal, paman. Beberapa waktu sebelum ibu.”

Kakek itu tertegun. “Kau tak bohong?”

Kim-mou-eng tersenyum pahit. “Paman, perlukah aku membohongimu? Buat apa pula aku membohongi-mu? Kau tampaknya benci benar pada ayahku itu. Ada apakah?”

Kakek ini berkerot gigi. “Dia membawa ibumu, Kimsan. Aku benci itu karena dia membujuk ibumu!”

“Tapi ayah amat mencintai ibu. Beliau melindungi dan mempertahankan ibu!”

“Ya, tapi ayahmu telah beristeri, Kimsan. Aku tak setuju karena ibumu menjadi madu. Aku benci itu, aku melarang. Tapi ibumu nekat dan tega meninggalkan aku!”

Kim-mou-eng tergetar. “Paman bisa menceritakan kisah mereka?”

Aneh, kakek ini tiba-tiba menangis. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan mengerutkan keningnya tiba-tiba kakek ini menghantam tanah. “Kimsan, ayah dan ibumu adalah orang-orang yang keras kepala. Ibumu untuk pertama kalinya memberontak, aku merasa dimusuhi. Dan karena ibumu membela ayahmu maka aku merasa disingkirkan dan tidak dihargai ibumu itu. Aku sakit hati, ini semua gara-gara perbuatan ayahmu!”

Kim-mou-eng menghela napas. Sebenarnya, dia telah mendengar cerita ibunya tentang hal itu. Tentang percekcokan ibunya dengan pamannya ini, juga antara paman dengan ayahnya. Bahwa pamannya tak menghendaki ibunya menjadi isteri ayahnya. Bukan semata ayahnya seorang suku Tar-tar melainkan karena ayahnya sebelumnya sudah beristeri. Jadi ibunya menjadi isteri nomor dua, menjadi madu.

Tapi karena waktu itu Kim-mou-eng masih kecil dan terlalu kanak-kanak untuk menangkap pembicaraan orang-orang tua maka pendekar ini tak tahu apa sebenarnya yang membuat ibunya mengikuti ayahnya. Tak tahu bahwa sebenarnya hubungan yang kelewat dalam telah membuat ibunya hamil. Dua pasangan itu telah saling mencintai tanpa menghiraukan sekelilingnya. Hongga bertanggung jawab dan tak mau meninggalkan kekasihnya itu, Yu Ma, meninggalkan Tionggoan untuk kembali ke bangsa Tar-tar.

Tak diketahui Yu Siu bahwa adiknya telah berbadan dua, tentu saja tak dapat menuruti kehendak kakaknya itu dan rela meninggalkan pedalaman. Dan karena Yu Siu sendiri tak mengetahui adiknya hamil muda maka laki-laki ini menganggap Hongga membujuk dan menculik adik perempuannya.

Demikianlah, untuk bagian terakhir ini orang memang tidak tahu. Dan lagi, mana Yu Ma mau berterus terang bahwa dia hamil? Meskipun adat pernikahan waktu itu agak longgar tapi hamil sebelum nikah betapapun tetap membuat wanita ini malu. Yu Ma tak menceritakan hal itu pada kakaknya, diam-diam mengikuti suami dan meninggalkan Tionggoan, memasuki kehidupan baru di suku asing di luar tembok besar. Tapi karena Hongga amat mencintai isterinya itu dan benar-benar bertanggung jawab akhirnya laki-laki ini menikahi isterinya di luar tembok sana.

Beberapa bulan kemudian melahirkan bayinya laki laki, yakni Kim-mou-eng atau yang nama kecilnya Kimsan itu, panggilan akrab bagi seorang anak Tar-tar, yang sama artinya dengan anak Kim. Dan karena waktu itu Kim-mou-eng masih kanak-kanak dan cerita ibunya tentang kisah kasih itu tak dapat dimengerti maka hanya sampai di situlah pendekar ini mengetahui riwayat ibunya.

Hubungannya dengan sang ayah yang ternyata amat dicintai pula oleh ibunya. Hidup bahagia tapi sayang tak berumur panjang, ayahnya meninggal sebelum dia dewasa, disusul kemudian oleh ibunya yang terserang penyakit. Dan ketika Kim-mou-eng menghela napas dan pedih oleh kenangan yang tidak menyenangkan ini maka pamannya mulai bercerita,

“Ayahmu itu menculik ibumu, Kimsan. Aku mengejar dan akhirnya bertemu. Kau masih setahun. Kami cekcok dan aku membujuk ibumu. Tapi ibumu keras kepala, tidak mau kembali dan setia pada ayahmu itu. Aku marah, ayahmu muncul, dan kami lalu bertengkar. Aku memukul tapi ayahmu membalas. Dan karena ayahmu memang pandai akhirnya aku roboh sementara ibumu menangis menjerit-jerit!”

Kim- mou-eng muram mukanya. “Dan paman lalu kembali?”

“Tidak,” kakek ini marah. “Ibumu menolong aku, Kimsan. Waktu itu aku tak sadarkan diri. Pukulan ayahmu antep, aku pingsan. Tapi karena aku penasaran oleh sikap ibumu justeru aku tinggal di sana berminggu-minggu!”

“Untuk membujuk ibu?”

“Ya, aku memberi tahu ibumu tentang kedudukan suaminya itu. Bahwa suaminya sudah mempunyai isteri sebelum ibumu. Bahwa ayahmu yang pandai merayu itu mencelakakan hidupnya karena isteri pertamanya sering mengganggu. Dan ketika suatu hari benar isteri tuanya itu datang dan kami cekcok akhirnya kami ribut mulut dan ibumu berkelahi. Aku menolong, isteri ayahmu itu kupukul, datang saudaranya yang lain dan aku dikeroyok. Aku dan ibumu hampir tewas, tapi ketika ayahmu datang dan kami semua dirobohkan akhirnya ayahmu itu mengusir isteri tuanya...!”