Pendekar Rambut Emas Jilid 15 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 15
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“TlO-ClANGKUN, jangan buang-buang tenagamu. Jarumku itu akan bekerja sepeminuman teh lamanya. Lebih baik kau pulang dan laporkan pada tuanmu sebelum kau mampus!” pedang menyeleweng, dikelit dan menemui angin kosong karena Bu Ham mengelak.

Dan ketika Tio-ciangkun membentak dan marah menyerang lagi maka Bu-kongcu tertawa-tawa tak balas menyerang, berlompatan kesana-sini mengajak panglima itu menjauhi kamar, diserang tapi ha-ha he-he saja menghadapi pedang panglima ini. Dan ketika Tio-ciangkun menggeram dan pucat membelalakkan mata mendadak panglima ini mengeluh ketika pundaknya tak dapat digerakkan, tubuh terasa sakit bagai dikeroyok ribuan semut, terhuyung dan tiba -tiba terjungkal tanpa diserang, roboh diketawai lawan.

Dan ketika panglima itu mendelik dan mendesis menahan sakit tiba-tiba terdengar suara ribut di kompleks istana sebelah selatan, tempat para pemikul tandu diistirahatkan, disusul suara senjata beradu dan berkobarnya api yang membakar daerah itu. Dan sementara panglima ini melotot dan maklum apa yang terjadi maka Bu-kongcu berkelebat pergi tertawa-tawa mengejeknya.

“Tio-ciangkun, dua menit lagi dirimu mampus. Maaf aku tak dapat menemanimu lagi, ha-ha!”

Tio-ciangkun mendelik. Saat itu dia sadar akan bahaya dirinya, menyesal kenapa dia tak segera saja melapor pada junjungannya, merasakan racun yang memasuki darahnya telah membakar tubuhnya sedemikian rupa. Tak mungkin ditolong lagi. Dan melihat Bu-kongcu tertawa meninggalkannya dan keributan itu tentu dicetuskan orang-orangnya Kung-ghoda akhirnya panglima ini menggigil mengangkat tubuhnya, susah payah.

“Bu-kongcu, kau dan Siauw-ong-ya ternyata orang-orang keji. Terkutuk kalian!”

Bu-kongcu tak mendengar. Pemuda itu telah meninggalkan panglima ini jauh di tempat keributan itu, api berkobar dimana-mana dan membuat istana geger. Tapi teringat jiwa terancam dua menit lagi dan putera mahkota harus segera ditemui maka panglima ini terhuyung jatuh bangun mencari junjungannya itu, berhasil tapi dalam keadaan sekarat ketika bertemu. Dan ketika sang pangeran terbelalak dan Tio-ciangkun menahan sakit panglima ini hanya sempat mengucapkan beberapa patah kata saja.

“Pangeran, Siauw-ong-ya tak dapat dipercaya. Mereka itu bersekongkol, hamba... hamba dicelakai Bu... Bu...” Tio-ciangkun mengeluh, mengaduh dan tiba-tiba terguling di depan junjungannya itu, tak dapat meneruskan kata-katanya. Tewas.

Dan ketika putera mahkota bengong dan menjublak di tempat maka suara hiruk-pikuk pertempuran menyebut-nyebut tentang pemberontakan pasukan tamu. “Pasukan liar memberontak...! Pasukan liar memberontak...!”

Pangeran ini tertegun. Ribut-ribut di luar itu membuat semua orang terkejut, bahkan kaisar juga tersentak, bangun dari tidurnya. Tapi ketika dua jam kemudian keributan itu berhasil dipadamkan dan Siauw-ong-ya muncul memberi laporan maka kaisar ini tertegun melihat sebuah kepala dibawa puteranya itu, kepala Kung-ghoda!

“Ayahanda, maafkan hamba. Pengiring Kung-ghoda ternyata pasukan khusus yang disiapkan untuk menyerang paduka. Inilah buktinya, hamba membawa kepala pemimpin suku liar itu yang dibunuh Bu-kongcu!”

Kaisar tertegun. Siauw-ong-ya lalu menceritakan kejadian itu, asal mulanya. Menyadap berita bahwa pemimpin Kung sebenarnya akan membuat huru-hara, menyerang istana dan ingin membunuh kaisar di saat persembahan upeti. Satu siasat untuk mengelabuhi orang. Dan ketika kaisar bertanya darimana pangeran itu mendapatkan bahannya dan siapa pula yang menyelamatkan istana maka pangeran ini menonjolkan dua temannya, Wan Cu dan Bu-kongcu.

“Wan Cu inilah yang memberi tahu segala-galanya, ayahanda. Kalau bukan karena dia tentu kita semua sudah menjadi korban kebiadaban Kung-ghoda!”

“Ah, isteri pemimpin liar itu?”

“Benar, ayahanda. Dan paduka boleh bertanya padanya.”

Kaisar terbelalak. Baginya terlalu aneh bahwa Wan Cu mengkhianati suami sendiri, melaporkan kejadian itu dan berakibat suaminya dibunuh. Tapi ketika dengan menangis Wan Cu mengatakan bahwa dia harus membela bangsanya karena dia wanita Han akhirnya kaisar tertegun dan dapat menerima alasan ini, yang kiranya terdorong oleh patriotisme karena Wan Cu memang bukan suku bangsa liar, mendengar bahwa Kung-ghoda ternyata diam-diam amat berambisi sekali. Ingin menjadi raja di atas raja, menjadi kaisar. Dan ketika satu-persatu semua rencana Kung-ghoda dibeberkan wanita itu dan kaisar terhenyak membelalakkan mata akhirnya Wan Cu malah dibebaskan dan mendapat hadiah kaisar, menduduki menteri kewanitaan dan budaya. Satu kedudukan tinggi yang tentu saja tak diduga wanita ini.

Dan ketika semuanya beres dan Wan Cu menangis kegirangan maka keesokan harinya dua kekasih ini bertemu, bersenang-senang dan memadu cinta sepuas mungkin, memberi hadiah Bu-kongcu pula karena pemuda inilah yang membantu mereka dengan jasa besar. Tentu saja tak melupakan murid Sai-mo-ong itu. Tapi ketika putera mahkota datang bertamu dan Siauw-ong-ya terkejut menyambut maka sang adik yang terbelalak melihat Wan Cu di situ segera mengerutkan keningnya.

“Aih, ada apa, adik pangeran? Kau tak memberi tahu pengawal?”

“Maaf,” putera mahkota ini menggeleng. “Aku datang secara diam-diam, kanda. Aku tak ingin diketahui pengawal karena ingin bicara empat mata denganmu.”

“Boleh, mari. Silahkan duduk!” tapi teringat pada Wan Cu tiba-tiba pangeran ini sadar. “Aih, maaf. Aku sedang menjamu kekasihku ini, adik pangeran. Aku ingin mengucapkan syukur dan bahagia atas hadiah ayahanda pada Wan Cu!”

“Ya, aku tahu. Dan rupanya perlu kuucapkan selamat pula pada kekasihmu ini.”

Wan Cu tersipu, cepat mebmeri hormat. “Pangeran, hamba hanya sekedar menerima anugerah belaka. Terima kasih atas ucapan paduka.”

“Dan dia boleh mendengar urusanmu, adik pangeran?”

“Hm,” putera mahkota mengangguk. “Kalau dia di sini tentu saja boleh, kanda. Aku ingin bertanya tentang Tio-ciangkun!”

“Tio-ciangkun?” Siauw-ong-ya terkejut. “Bukankah dia tewas, adik pangeran? Apa yang ingin kau ketahui?”

“Justeru itulah. Kematiannya yang membuat aku penasaran, kanda. Katanya dia dibunuh oleh...”

“Buyima!” sang kakak tiba-tiba memotong, merah mukanya mengepal tinju. “Dia tewas dibunuh tangan kanan Kung-ghoda itu, adik pangeran. Aku menyesal tak dapat menolongnya karena aku terlambat datang!”

Sang pangeran tertegun. Jawaban yang mantap dan penuh kepastian ini membuat dia terbelalak, tadinya mengira Bu-kongcu karena Tio-ciangkun hanya mengatakan kata-kata “Bu” itu sebelum ajal. Tak menyangka kalau Buyima yang dimaksudkan, jadi dia salah duga. Dan sebelum dia bertanya ini-itu maka kakaknya sudah memberi keterangan, berapi-api.

“Aku ikut berbela sungkawa atas kematian pengawalmu, adik pangeran. Sungguh tak kukira kalau Buyima yang gagah perkasa itu demikian kejam. Dia membunuh Tio-ciangkun tanpa perasaan ini gara-gara Kung-ghoda. Kalau saja tak ada Bu-kongcu di sini mungkin kitapun ikut dibunuhnya. Keparat, Kung-ghoda dan tangan kanannya itu ternyata orang-orang kejam. Buyima masuk dan bertemu pengawalmu itu ketika mengintai pembicaraan kami. Dia menyerang, tapi Tio-ciangkun mencegah. Dan karena Tio-ciangkun kalah lihai dan Buyima memang kosen maka pengawalmu itu terbunuh sementara kami juga nyaris binasa!”

Pangeran mahkota ini mengerutkan kening. “Jadi Buyima masuk ke kamarmu, kanda?”

“Benar, adik pangeran. Dan Tio-ciangkun pun mengintai pembicaraan kami. Entah atas suruhanmu ataukah karena melihat bayangan Buyima itu, ” sang kakak menyindir cerdik, pura-pura tak tahu. “Dan ketika Buyima masuk dan marah-marah menegur Wan Cu maka kami berdua diserangnya tapi pengawalmu itu muncul. Mereka bertempur, tapi Tio-ciangkun roboh. Dan ketika Buyima hendak membunuh kami dan menangkap Wan Cu maka muncullah Bu-kongcu itu yang segera menyelamatkan kami membunuh Buyima!”

“Sayang,” pangeran mahkota ini menarik napas. “Kalau kau mencegahnya Buyima tak perlu dibunuh, kanda. Sebenarnya kita perlu keterangan-keterangan darinya tentang semua kejadian ini.”

“Ah, kau tak percaya?”

“Bukan begitu, tapi kematian Buyima melenyapkan semua keterangan, kanda. Apalagi Kung-ghoda juga dibunuh sebelum membela dirinya. Harusnya dua orang itu ditangkap atau salah satunya diberi hak hidup agar memberi keterangan jelas.”

Siauw-ong-ya bangkit berdiri, membelalakkan mata. “Adik pangeran, kau tampaknya mencurigai kami. Bukankah Wan Cu sebagai satu-satunya saksi yang dapat memberi keterangan? Dia telah menyelamatkan kita dari kebiadaban suaminya. Dia lebih berharga dibanding Kung-ghoda atau Buyima itu. Untuk apalagi memberi hidup pada dua orang keparat itu?”

“Maaf,” putera mahkota agak terkejut, sadar sikapnya yang menuduh. “Aku tidak memaksudkannya begitu, kanda. Hanya aku sedikit menyesal karena kematian Buyima menghentikan penyelidikanku tentang kematian pengawalku. Aku tidak bercuriga, melainkan semata-mata terdorong kekecewaanku tentang kematian Tio-ciangkun itu. Sudahlah, aku percaya. Tapi bagaimana sekarang janjimu dengan Wan Cu ini?”

“Maksudmu?”

“Kau tak akan berhubungan di luar batas seperti katamu dulu, kanda. Atau...”

“Ah, nanti dulu,” sang kakak tertawa, memotong cepat. “Apa yang kukatakan dulu tentunya tak berlaku sekarang ini, adik pangeran. Dulu Wan Cu masih terikat oleh suaminya, sedang sekarang dia janda. Masa janjiku dulu harus dipegang sekaku itu? Tidak, justeru aku minta pendapatmu bagaimana kalau dia kuambil isteri, adik pangeran. Apakah kau berkenan menyetujuinya atau aku harus memberi tahu ayahanda kaisar.”

“Kau mau menikahinya?” putera mahkota tertegun.

“Kalau kau setuju, adik pangeran. Atau mungkin kau akan bersikap kejam pada kami berdua yang sudah saling mencinta!”

Sang adik dibuat bengong. Kakaknya itu sudah menunduk, mata tiba-tiba berkaca-kaca. Sikapnya mendadak lemah khawatir pangeran mahkota itu tak setuju. Bukan menghalangi pernikahan dua orang itu melainkan tak senang pada Wan Cu. Perasaan yang mungkin dapat mengganggu hubungan mereka kelak kalau putera mahkota sudah menjadi kaisar, sementara Siauw-ong-ya menjadi penasihatnya. Tapi putera mahkota yang tersenyum dan memegang lengan kakaknya mendadak tertawa geli.

“Kanda, kenapa sikapmu seperti anak kecil begini? Bukankah urusan pernikahan adalah urusan pribadi? Kau menikahpun tentu tak ada orang melarangnya, apalagi Wan Cu juga berjasa besar kepada kita. Siapa tak setuju dan harus takut menghadapi pendapatku? Kita kelak harus bekerja sama, apa yang kau rasa baik tentunya tak perlu kau tolak pula. Itu urusanmu, bukan urusanku!”

“Jadi kau setuju?”

“Kalau kau suka padanya, kanda. Kalau kalian memang sudah sama-sama mencintai!”

“Ah, terima kasih...!” dan Siauw-ong-ya yang menyambar adiknya penuh kegembiraan tiba-tiba berseru pada Wan Cu. “Wan Cu, calon kaisar sendiri sudah menyetujui hubungan kita. Ayo ucapkan terima kasih!”

Wan Cu tersipu-sipu, maju memberi hormat. “Pangeran, terima kasih atas perkenan paduka. Semoga kami mendapat berkah kebahagiaan yang melimpah atas restu paduka!”

Siauw-ong-ya tertawa bergelak. Persetujuan adiknya itu berarti melenyapkan ganjalan yang mungkin ada, tentu saja gembira bukan main.

Tapi sang adik yang melepaskan diri memandang kakaknya tiba-tiba bertanya, “Dan kapan pernikahan itu dilangsungkan, kanda?”

Wan Cu, yang melihat sorot ganjil dari pandangan putera mahkota tiba-tiba mendahului, “Maaf, kami tak tergesa melaksanakan pernikahan, pangeran. Apalagi jelek-jelek hamba juga harus berkabung untuk kematian suami hamba.”

“Ah, kau setia pada pemberontak?”

Wan Cu tersenyum sedih, kembali melihat sorot ganjil putera mahkota itu, yang rupanya ingin mengujinya. “Pangeran, mohon paduka pisahkan kedudukan hamba sebagai isteri seorang pemberontak dan isteri dari laki-laki pemimpin liar bernama Kung itu. Suami hamba memang memberontak, dan untuk itu dia telah menebus dosa dengan kematiannya. Tapi kedudukan hamba sebagai isteri seorang laki-laki biasa, yang dulu mencintai dan menyayangi hamba, haruskah kedudukan itu dicampuradukkan dengan pemberontakan Kung-ghoda? Hamba wanita biasa, pangeran. Untuk kedudukan ini hamba harus mengingat segala kebaikan suami hamba. Hamba menyatakan berkabung bukan sebagai isteri seorang pemberontak melainkan sebagai isteri biasa terhadap suami yang biasa pula, sesuai hukum adat!”

“Ah, bagus!” sang pangeran terbelalak, melihat watak dan sikap yang agung dari wanita ini. “Kau mendapatkan wanita yang mulia, kanda pangeran. Sungguh beruntung kalau calon isterimu demikian hebat!”

“Dan hamba berjanji tak mau disentuh sebelum menikah, pangeran. Paduka boleh tanya kakak paduka kalau tidak percaya!” Wan Cu menambahi, tentu saja melirik kekasihnya agar mereka dapat bersandiwara dengan baik.

Dan ketika Siauw-ong-ya tertawa bergelak dan menyatakan itu betul akhirnya pangeran mahkota ini terperangah dan kagum pada Wan Cu. Menganggap Wan Cu sebagai isteri yang benar-benar luar biasa. Dapat menjaga kesuciannya, harga dirinya. Silap dan terkecoh oleh permainan dua orang itu, pasangan yang dapat bekerja sama dengan baik. Sama-sama dusta! Dan ketika sang pangeran tertawa dan kakaknya menuangkan arak akhirnya kecurigaan dan kekecewaannya tentang kematian Tio-ciangkun tersapu bersih oleh sikap dan kata-kata manis pasangan yang berbahaya ini.

Kecurigaannya tentang Bu- kongcu lenyap begitu saja. Percaya omongan kakaknya dan mengira bahwa kematian pengawalnya memang betul di tangan Buyima, bukan Bu-kongcu. Dan ketika putera mahkota itu kembali dan Siauw-ong-ya berhasil menanamkan kepercayaan yang mantap maka ketika itu pula pangeran ini menyambar lengan kekasihnya.

“Wan Cu, kau hebat. Omonganmu itu berhasil mengelabuhi adikku!”

Wan Cu tersenyum. “Demi kebaikan kita, kanda. Kalau tidak kunyatakan begitu bukankah adikmu akan menganggapku rendah?”

“Ya, dan sekarang kedudukanmu demikian tinggi di matanya, Wan Cu. Adikku yang tolol itu tentu tak akan menyangka kalau kita sudah... ha-ha!” pangeran ini mendekap kekasihnya, menciumi bertubi-tubi sementara tangan menggerayang ke sana-sini, membuat Wan Cu terkekeh dan menggeliat geli. Tentu saja membuat Siauw-ong-ya semakin beringas dan gemas.

Dan ketika Wan Cu disambar dan dipondong ke dalam akhirnya wanita ini mengeluh membalas ciuman kekasihnya, tidak mengelak lagi dan mandah dibawa ke pembaringan. Dan ketika Siauw-ong-ya menubruk dan menutup pintu kamar akhirnya apa yang dikata wanita ini bertolak belakang dengan apa yang dilakukan. Sayang tak dilihat putera mahkota karena pangeran itu telah pergi. Dan begitu keduanya cekikikan dan tertawa-tawa maka hanya setanlah yang tahu apa yang dikerjakan dua orang ini.

* * * * * * * *

Hari itu, sebulan setelah kejadian di atas Kim -mou-eng dan Sin-piauw Ang-lojin memasuki kota raja. Mereka tentu saja tak masuk di siang hari, bersikap waspada dan tahu musuh tentu menyulitkan mereka, kalau kepergok. Dan Sin-piauw Ang-lojin yang mengajak temannya memasuki istana di kala gelap sudah disambut pendekar ini dengan kening dikerutkan.

“Lojin, tahukah kau dimana letak gedung pangeran mahkota?”

“Tentu, pangeran itu tinggal di sebelah barat istana, taihiap. Dan kita akan ke sana menemui pangeran itu.”

“Kau tak salah?”

“Tidak, marilah...!” dan Sin-piauw Ang-lojin yang pasti menggerakkan langkah sudah melayang ke atas tembok memasuki kompleks istana, kim-mou-eng mengikuti, bergerak seperti hantu di malam gelap. Dan ketika dua orang itu bergerak merupakan bayangan hitam yang sering menyelinap di balik pohon-pohon besar akhirnya dua orang ini tiba di sebuah gedung yang tinggi bergenteng merah.

“Itulah, di sana putera mahkota tinggal!”

Kim-mou-eng mengangguk. Ketua Seng-piauw-pang itu mengajaknya turun, melayang menginjak rumput yang tebal. Tapi Kim-mou-eng yang melihat sesuatu di bawah sana tiba-tiba menarik lengan kakek tinggi besar ini dengan sentakan kuat, berjungkir balik ke atas tembok kembali, mengejutkan kakek itu. Dan ketika ketua Seng-piauw-pang ini terbelalak dan berseru tertahan tahu-tahu puluhan ular mendesis bangun terkejut oleh suara Sin-piauw Ang-lojin tadi.

“Ah, ular-ular jahanam?”

Kim-mou-eng mengangguk. “Dan kau hampir menginjaknya, lojin. Ular-ular ini rupanya dipasang untuk menjaga kedatangan kita. Hati-hatilah!”

Kakek itu tertegun. Puluhan ular yang mendesis di bawah semak-semak itu tiba-tiba berisik suaranya, mendesis-desis. Dan persis mereka tertegun ke bawah mendadak sebuah lampu sorot menyinar ke arah mereka.

“Slap!”

Kim-mou-eng bergerak cepat. Pendekar ini lagi-lagi membetot temannya, secepat kilat melayang ke atas pohon. Begitu cepat hingga lampu sorot itu tak menangkap bayangannya. Dan ketika Sin-piauw Ang-lojin lagi-lagi terkejut maka bayangan dua orang pengawal berlari ke tempat itu.

“Siapa di sini?”

Sin-piauw Ang-lojin gusar. Dia tak menyangka sekitar gedung pangeran mahkota sudah dijaga ketat, bahkan ularpun ikut digerakkan menanti musuh. Rupanya memang menunggu kedatangan mereka. Tapi belum kakek ini bergerak menyerang tiba-tiba Kim-mou-eng mendahului melempar dua daun kering menyambar dua orang itu.

“Cep-cep!”

Dua pengawal itu roboh. Sin-piauw Ang-Iojin kagum melihat dua daun kering itu melekat di tenggorokan dua pengawal, mencekik jalan darah gi-heng-hiat, tentu saja membuat mereka roboh dan tidak sempat berteriak lagi. Masing-masing tak tahu apa yang terjadi, lampu kecil yang mereka bawa tiba-tiba jatuh dan pecah ke tanah, membakar sekitar membuat ular-ular ribut melarikan diri. Sekarang tampak bahwa disepanjang tembok ternyata banyak barisan ular! Dan Sin-piauw Ang-lojin yang terbelalak dan mengumpat marah tiba-tiba disorot lagi sebuah lampu yang entah berasal darimana.

“Awas...!”

Kali ini Kim-mou-eng tak dapat menolong. Dia saat itu memeriksa ke bawah, terkejut melihat sebuah sinar menyorot temannya. Dan ketika Sin-piauw Ang-lojin menghindar tapi kurang cepat bergerak akhirnya seorang pengawal berteriak dari jauh,

“Ada orang...!”

Ketua Seng-piauw-pang ini mengumpat. Dia melayang turun keluar tembok, marah dan menyesal kenapa dia konangan. Tapi sebuah tali yang menjirat di bawah tiba-tiba membuat kakek ini terpelanting dan berteriak kaget. Tak tahu dia menginjak perangkap. Sebatang tombak tiba-tiba meluncur menyambar dadanya. Tapi Kim-mou-eng yang membentak mengibaskan lengannya tiba-tiba membuat tombak patah dan menendang kakek tinggi besar ini.

“Lojin, hati-hati. Sebaiknya tak jauh dariku!”

Sin-piauw Ang-lojin semburat. Dia malu dan kaget kenapa dia tak begitu awas, kalah dibanding pendekar ini. Menyesal kenapa dia menjauhkan diri dari Kim-mou-eng. Kini berjungkir balik melompat bangun dengan muka merah. Dan ketika dia terbelalak dan Kim-mou-eng menyentuh bahunya maka saat itu juga beberapa pengawal ribut-ribut mendatangi mereka.

“Ada orang...! Ada maling...!”

Lampu tiba-tiba dipasang dimana-mana. Tempat itu menjadi terang, tentu saja membuat kakek ini gusar tapi tak berani bertindak sendiri, menunggu Kim-mou-eng. Dan ketika Pendekar Rambut Emas mengangguk dan menyambar lengannya mendadak pendekar itu berkelebat ke arah timur.

“Lojin, kita masuk melalui pohon besar itu. Kau sanggup meloncat lurus?”

“Akan kucoba, taihiap. Tapi kalau gagal tolong kau bantu!”

“Ya,” dan Pendekar Rambut Emas yang sudah berkelebat ke arah pohon besar yang dimaksud tiba-tiba menjejakkan kakinya meluncur lurus, begitu saja seolah papan yang dilontar ke atas. Tegak namun ringan mencapai dahan yang tertinggi.

Tapi ketika ketua Seng-piauw-pang itu mencoba tapi berhasil setengah jalan tiba-tiba kakek ini mengumpat meneruskan lompatannya dengan berjungkir balik, tak tahu gerakannya itu menimbulkan berisik dan punggungnya beradu dengan sebatang dahan yang melintang di tengah, membuat pohon bergoyang dan tiba-tiba belasan anak panah menyambar, tersentuh talinya oleh guncangan yang dibuat Sin-piauw Ang-lojin. Dan ketika kakek itu terkejut dan menggerakkan lengannya ke kiri kanan maka Kim-mou-eng yang ada di atas terpaksa menolong dengan mengibaskan lengannya ke arah panah-panah yang disiapkan secara rahasia itu.

“Lojin, jangan membuat berisik. Kita menghadapi banyak jebakan dimana-mana...!”

Kakek itu pucat. Sekarang dia berhasil membebaskan dirinya, semua anak panah runtuh dipukul dorongan Kim-mou-eng, sedikit saja yang dipukulnya sendiri. Dan ketika dia terbelalak dan pucat berendeng di samping pendekar ini segera dia berbisik, heran dan agak gemetar, “Taihiap, darimana kau tahu pohon inipun berbahaya kita datangi?”

“Aku melihat rentangan tali di balik daun-daun ini, lojin. Karena itu menyuruhmu meluncur lurus agar tidak menggetarkan pohon.”

“Dan aku gagal. Ginkangku tak sehebat yang kau miliki. Sungguh tua bangka ini harus banyak belajar!” kakek itu menyesal, menyalahkan diri sendiri dan kembali kagum pada Pendekar Rambut Emas.

Tapi Pendekar Rambut Emas yang tidak menjawab sudah bertanya lagi, “Dan kau sanggup ke wuwungan itu, lojin? Kita harus melompat sepuluh tombak lebih!”

“Ah, mana mungkin, taihiap? Terus terang aku tak bisa, tentu jatuh di tengah jalan!”

“Baik, kalau begitu lompat ke punggungku. Kita berdua ke sana!” dan Kim-mou-eng yang mematahkan dahan menyuruh kakek itu melompat di punggungnya akhirnya dipandang terbelalak oleh kakek tinggi besar ini.

“Apa, kau mau menggendongku, taihiap?”

“Ya, bukankah kau tak sampai sendiri? Kau lompat ke punggungku, kita berdua ke sana!”

“Tapi... tapi...”

Kim-mou-eng tak sabar. “Lojin, waktu kita sempit. Aku hendak mengajakmu ke sana dengan bantuan sepotong kayu ini. Ayo naiklah!”

Sin-piauw Ang-lojin masih ragu. Sebenarnya, dia malu melakukan itu. Seorang kakek tinggi besar minta gendong seorang pemuda! Tapi ketika Kim-mou-eng mengajaknya tak sabar dan banyak pengawal semakin ribut-ribut di tempat itu akhirnya dengan perasaan berat dan malu hati kakek ini melompat di punggung Kim-mou-eng, persis kadal hinggap di punggung bunglon. “Taihiap, maafkan aku. Aku sungguh tua bangka tak berguna...!”

“Sudahlah, tak perlu malu, lojin. Keadaan memaksa kita untuk berbuat begini. Tapi hati-hati, aku akan melemparmu ke wuwungan bila potongan kayu ini kupergunakan sebagai penyambung!” dan, sebelum kakek itu bertanya lagi tiba-tiba Kim-mou- eng melesat, melempar potongan dahan ke mukanya. Dan begitu potongan kayu itu meluncur di udara tiba-tiba dengan gerakan luar biasa pendekar ini menginjaknya, hinggap sejenak dan berjungkir balik ke wuwungan di depan mata, jarak sudah setengah dan tiba-tiba melempar Sin-piauw Ang-lojin agar beban tak berat menekannya.

Dan begitu kakek tinggi besar itu juga berjungkir balik dan sudah ditolong setengah jalan tiba-tiba dengan gerakan hampir berbareng keduanya selamat hinggap di puncak wuwungan itu, disambut dengan perasaan berdesir oleh kakek tinggi besar ini yang kagum luar biasa pada Kim-mou-eng.

“Taihiap, kepandaianmu hebat sekali...!”

“Sst, tak perlu memuji. Kita sudah di sini, lojin. Mari ke tengah dan lanjutkan perjalanan kita!”

Sin-piauw Ang-lojin mengangguk. Dia ngeri melirik ke bawah, diam-diam membayangkan bagaimana seandainya Pendekar Rambut Emas itu gagal, jatuh dan dia ikut terpelanting ke bawah. Tentu gedubrakan dan disambut musuh. Itu kalau mereka tidak luka-luka! Dan Sin-piauw Ang-lojin yang tak habis kagum memandang tuan penolongnya ini akhirnya tiba di tengah-tengah gedung, dimana Pendekar Rambut Emas memberi isyarat berhenti.

“Kau mendengar sesuatu, lojin?”

“Tidak.”

“Aku mendengar orang bicara. Tempelkan telingamu.”

Sin-piauw Ang-lojin membungkuk. Dia menempelkan telinga di permukaan genteng, kini mendengar dan kagum akan ketajaman telinga pendekar itu. Dan ketika dia mengangguk dan bangun berdiri segera Kim-mou-eng bertanya,

“Kau mengenal suara orang-orang itu?”

“Hm, seperti Bu-kongcu, taihiap. Dan...”

“Benar, ada lima orang di bawah. Aku tak tahu yang mana suara putera mahkota. Kau mengenalnya?”

Kakek ini menggigil. Dia hanya mendengar suara empat orang, bukan lima. Tapi ketika Kim-mou-eng bertanya apakah dia mengenal suara pangeran mahkota akhirnya kakek ini menggeleng dan kebat-kebit. “Aku tak tahu, taihiap. Tapi kita dapat menangkap seorang pengawal atau pelayan.”

“Ya, berarti aku harus turun dulu. Kau tinggallah di sini!” dan sementara kakek itu mendelong tiba-tiba Kim-mou-eng membuka genteng dan menerobos ke bawah. Kakek ini terkejut, temannya lenyap begitu saja. Demikian cepat dan lincah, seperti belut. Dan ketika dia menunggu dan berdebar menanti maka Kim-mou-eng muncul lagi membawa seseorang. Begitu cepat seperti iblis!

“Pengawal ini kudapatkan di bawah. Dia mungkin tahu tentang pangeran mahkota!”

Kakek tinggi besar itu tertegun. Dia bengong oleh semua sepak terjang pendekar ini, kagum akan kepandaiannya yang begitu luar biasa. Hilang dan datang seperti siluman, sungguh hampir tak dapat dipercaya. Tapi melihat pengawal itu melotot ke arah mereka akhirnya kakek ini membungkuk membuka totokannya, memencet jalan darah di tengkuk yang membuat pengawal itu tak dapat berteriak.

“Kau tahu dimana putera mahkota?”

“Tahu...” pengawal itu menggigil.

“Dimana?”

“Di... di bawah.”

“Bawah mana? Maksudmu ruang tengah itu?”

Pengawal ini mengangguk. Dia tampak ketakutan memandang Kim-mou-eng, betapapun mengenal pendekar itu karena Kim-mou-eng pernah membuat geger di kota raja, beberapa waktu yang lalu. Tapi Sin-piauw Ang-lojin yang ragu pada pengawal ini tiba-tiba mendesis,

“Kau bohong. Di bawah sana ada Bu-kongcu! Mana mungkin pangeran mahkota berdekatan dengan pemuda iblis itu? Kau mau menipu kami?”

“Tidak... tidak, maksudku pangeran mahkota ada dibelakang ruangan tengah itu. Mungkin membaca buku karena tadi habis memasuki ruang perpustakaan!”

“Baiklah, kami akan membuktikannya!” Sin-piauw Ang-lojin yang menotok pengawal ini membungkam mulutnya akhirnya bertanya pada temannya, “Bagaimana, kita turun ke bawah, taihiap? Atau kita membagi tugas?”

Kim-mon-eng mengerutkan alis. “Kita harus bersama, lojin. Kau sebaiknya selalu berdekatan denganku. Aku merasakan sesuatu yang ganjil.”

“Kalau begitu kita turun bersama?”

“Ya,” dan Kim-mou-eng yang sudah mengajak temannya menerobos ke bawah tiba-tiba menyelinap dan turun melalui genteng yang mereka buka itu, sebentar kemudian sudah tiba di bawah disebuah ruangan yang besar. Tak lagi mendengar percakapan itu karena Bu-kongcu dan teman-temannya mungkin pergi, hal yang membuat pendekar ini mengerutkan keningnya. Dan ketika ruangan itu juga sepi dan mereka maju ke ruangan yang lain mendadak mereka berdetak melihat seseorang duduk di tengah ruangan membaca buku, agaknya putera mahkota dan persis seperti yang dikatakan si pengawal.

“Pangeran... !” Sin-piauw Ang-lojin berseru girang, sudah melompat mendekat dan yakin itulah pangeran mahkota.

Tapi ketika lima bayangan berkelebat masuk dan tawa yang nyaring mengejutkan kakek ini tiba-tiba orang itu, yang disangka putera mahkota dan memutar kursinya tiba-tiba tertawa berseru pada kakek tinggi besar ini, “Seng-piauw-pangcu, bagus sekali kau datang...!”

Sin-piauw Ang-lojin tertegun. Sekarang dia melihat jelas siapa orang ini, seorang laki-laki berusia tigapuluh limaan tahun, tampan dan bersih dengan wajah bersinar-sinar. Pandangan matanya tajam dan cerdik. Dan begitu lima bayangan yang lain tertawa mengejek kakek itu maka Sin-piauw Ang-lojin mundur berseru kaget, “Pangeran Muda...!”

“Ha-ha, kau mengenal aku, pangcu? Bagus, mari duduk. Dan temanmu itu tentu Kim-mou-eng. Aih, apa kabar, Pendekar Rambut Emas? Kalian mencari aku?” dan Pangeran Muda yang bangkit tertawa dikelilingi orang-orangnya tiba-tiba bertepuk tangan menyuruh orang memberikan kursi, tentu saja tak disambut kakek ini dan Kim-mou-eng, yang melihat Bu-kongcu muncul bersama seorang kakek bercawat yang ha-ha he-he memandang Kim-mou-eng, tangannya membawa suling dan tongkat ular. Dan ketika dua orang itu tertegun dan Bu-kongcu tersenyum-senyum maka Pangeran Muda memperkenalkan kakek bercawat itu.

“Kim-mou-eng, ini Coa-ong Tok-kwi locianpwe. Datang dibawa Bu-kongcu karena ingin berkenalan denganmu. Kau belum mengenalnya, bukan?” dan ketika kakek itu hah-hah-heh-heh dan Kim-mou-eng mengerutkan alis maka pangeran itu sudah berkata lagi, “Dan itu Hek-bong Siang-Io-mo. Kau mengenalnya?”

Hek-bong Siang-lo-mo, dua iblis cebol yang datang bersama Bu-kongcu sudah tertawa menggoyang pantat. “Tentu, pangeran. Kim-mou-eng tentu mengenal kami. Kami sudah pernah bertemu!”

“Dan aku ingin menguji kepandaianmu, Kim-mou-eng. Suling dan tongkat ularku ini penasaran mendengar kelihaianmu!” kakek bercawat menimpali, berseru serak dan sudah maju mendekat dengan mata bersinar-sinar, siap menerjang.

Tapi Pangeran Muda yang tertawa mengulapkan lengan keburu mencegah. “Coa-ong locianpwe, tahan dulu. Sabar. Kita tak boleh menyambut dua tamu kita kalau mereka datang dengan maksud baik!” dan ketika Coa-ong terkekeh melompat mundur pangeran ini sudah berkata dengan suaranya yang manis, “Kim-mou-eng, kau tentu mengantar Seng-piauw-pangcu ini, bukan? Kalian mencari aku?”

“Tidak,” Kim -mou-eng berterus terang. “Kami tidak mencarimu, pangeran. Melainkan...”

“Mencari adikku putera mahkota?”

“Benar.”

“Bagus, kalau begitu tentu atas kehendak Seng-piauw-pangcu ini,” dan ganti menghadapi kakek tinggi besar itu pangeran ini bertanya, “Pangcu, kau ingin bertemu dengan adikku itu? Dia tak ada di sini, adikku sedang beristirahat di gedungku. Tapi kalau benar kau ingin menemuinya biarlah Bu-kongcu menemanimu.” dan tidak memberi kesempatan kakek ini membantah Pangeran Muda sudah memanggil Bu-kongcu. “Kongcu, antarkan tamu kita ke pangeran mahkota. Kim-mou-eng biar kujamu dengan segala kegembiraan!”

Sin- piauw Ang-lojin terkejut. Melihat semuanya itu dia jadi tertegun memandang pangeran muda ini, sepintas menyajikan maksud baik yang demikian menyejukkan. Manis dan ramah. Seolah diantara mereka tak ada permusuhan apa-apa padahal Bu-kongcu tentunya telah melapor semua kejadian di kota Pi-yang. Jadi pangeran itu tahu. Dan Bu-kongcu sendiri yang sudah maju tertawa menyambut perintah Pangeran Muda sudah mendekati Sin-piauw Ang-lojin dengan muka yang tidak kalah ramah pula, berkata manis,

“Pangcu, mari kuantar. Pangeran mahkota memang ada di gedung Pangeran Muda. Hari ini mereka bertukar tempat!”

Kakek ini terbelalak. Dia tentu saja menolak, marah dan melotot memandang pemuda iblis itu, yang pernah menyiksanya, yang hampir saja membuatnya malu dengan cara begitu hina. Menyuruh seorang kakek bermain gila dengan pelacur lewat arak perangsang. Tapi Bu-kongcu yang pura-pura tak tahu akan segala permusuhan mereka satu bulan yang lewat kembali tertawa ramah mengajak kakek itu.

“Mari, kuantar ke sana, pangcu. Bukankah kau mau menemui putera mahkota?”

“Tidak!” Sin-piauw Ang-lojin akhirnya membentak. “Aku tak mau kau antar, pemuda iblis. Aku tak percaya padamu dan dapat ke sana sendiri!”

“Ah, kau menolak perintah Pangeran Muda?”

Kakek ini mendelik. “Bu-kongcu, tak perlu memulas segala kelicikanmu dengan maksud baikmu. Kau sendiri masih berhutang jiwa padaku, mana mungkin berendeng menghadap putera mahkota? Kalau dia ada dan benar di sana biarlah aku pergi sendiri. Tak perlu kalian menipu!” dan, memandang temannya kakek ini bertanya, “Bagaimana, taihiap, kita tinggalkan orang-orang busuk ini?”

Kim-mou-eng menarik napas. Sebenarnya dia berdebar dikelilingi Coa-ong Tok-kwi dan Hek-bong Siang-lo-mo itu, bukan berdebar untuk diri sendiri melainkan berdebar untuk keselamatan ketua Seng-piauw-pang ini. Diam-diam melihat ketenangan yang berbahaya dari Pangeran Muda itu, dapat menangkap getaran kecerdikan yang amat tinggi dari pangeran yang tampan itu, yang katanya akan memberontak dan diam-diam mempersiapkan diri untuk menggulingkan pangeran mahkota, berambisi untuk menjadi kaisar dan tampaknya memang cukup ambisius. Ramah tapi menyembunyikan sesuatu yang mengerikan. Dan mendengar pertanyaan temannya dan Sin-piauw Ang-lojin rupanya mau pergi tiba-tiba pendekar ini memandang tawar tersenyum pahit.

“Lojin, apa yang kau inginkan rupanya tak disukai lawan-lawan kita. Bagaimana kalau kita tanya Pangeran Muda? Mungkin pangeran mau mengalah kepada kita, atau kita dapat kembali setelah menemui putera mahkota.”

“Ah, mana bisa begitu, Kim-mou-eng?” Pangeran Muda tertawa. “Kami belum menyuguhkan arak, tak mungkin kalian pergi sebelum menikmati jamuan. Sebaiknya temanmu itu diantar Bu-kongcu atau tinggal sekalian di sini saja, bersamamu!”

Kim-mou-eng tahu itu. Dia sudah menduga pangeran ini akan menahan mereka, tak mungkin pula membiarkan Seng-piauw- pangcu sendirian menghadap putera mahkota. Sengaja menyuruh Bu -kongcu untuk mengawal dan mungkin membunuhnya secara diam-diam, karena murid Sai-mo-ong itu memang tinggi kepandaiannya dan Sin-piauw Ang-lojin kalah lihai. Tapi tertawa getir memandang temannya dia balik bertanya,

“Nah, bagaimana jawabanmu, pangcu? Apakah kita sambut saja ajakan pangeran dan menunda dulu keperluan kita menghadap pangeran mahkota?”

Sin-piauw Ang-lojin menggertak gigi. “Taihiap, apa yang mereka perlihatkan tidak sama dengan apa yang mereka lakukan. Aku tak mau tinggal di sini dan ingin secepatnya pergi!”

“Tapi kau memasuki rumah tanpa ijin, pangcu. Haruskah kami lepaskan begitu saja sepak terjang kalian ini? Kusambut kalian dengan baik saja sudah untung, seharusnya kau tahu diri!” Pangeran Muda mengejek, memandang ketua Seng-piauw-pang itu dengan pandangan dingin.

Dan Bu-kongcu yang juga tertawa mengebutkan kipasnya tiba-tiba menyambung, “Benar, seharusnya kau tahu diri Seng-piauw-pangcu. Pangeran telah menyambut kalian baik-baik. Kalau tak ingin membuat onar tentunya kalian mematuhi tuan rumah dan tidak banyak cingcong lagi. Bagaimana?”

“Tidak,” kakek ini menggeram. “Aku tetap tak mau tinggal di sini dan ingin pergi!” dan meloncat mengibaskan lengannya tiba-tiba kakek ini berkelebat keluar.

Tentu saja tak dibiarkan Pangeran Muda yang sudah memberi isyarat pada Bu-kongcu. Dan begitu kakek itu keluar dan Bu-kongcu menjengek mendadak pemuda ini berkelebat pula menggerakkan kipasnya.

“Pangcu, tunggu dulu. Mari kuantar...!” kipas bergerak ke depan, menotok punggung kakek itu dengan satu ketukan kuat. Dan Sin-piauw Ang-lojin yang tentu saja mendengar angin serangan ini sudah membalik dan cepat menangkis, terpaksa menghentikan larinya.

“Plak!” Kakek ini terhuyung, disambut tawa mengejek Bu-kongcu yang melipat kipasnya. Dan ketika kakek itu tegak kembali dan marah memandang lawan maka Kim-mou-eng berkelebat di samping temannya ini, dipandang gentar Bu-kongcu yang cepat mengerutkan keningnya.

“Kau mau apa?”

Kim-mou-eng tersenyum, melindungi temannya. “Aku tak suka kau berbuat curang, Bu-kongcu. Kalau pangeran tak mengijinkan biarlah kami coba-coba menjalankan niat kami sendiri. Nah, kau pergilah. Aku yang akan menghadapi lawan-lawanku, pangcu. Berangkat dan tenangkan hatimu!”

Pendekar Rambut Emas menepuk pundak temannya, memulihkan kembali bekas pukulan Bu-kongcu yang menggetarkan ketua Seng-piauw-pang itu. Tapi Hek-bong Siang-lo-mo dan Coa-ong Tok-kwi serta orang terakhir yang tidak dikenal Kim-mou-eng tiba-tiba berkelebat mengepung mereka.

“Heh-heh, mana bisa begitu mudah, Kim-mou-eng? Kalau Seng-piauw-pangcu itu mau coba-coba keluar atas perlindunganmu biarlah dia coba-coba niatmu itu. Ingin kulihat, bisakah dia keluar dengan hidup kalau paduka pangeran tak menghendaki!” Hek-bong Twa-lo-mo berseru, menggerakkan kedua tangannya yang tiba-tiba berubah hitam. Siap melepaskan pukulan maut pada ketua Seng-piauw-pang itu.

Dan Coa-ong Tok-kwi yang juga menggerak-gerakkan tongkat dan suling tiba-tiba terkekeh nyaring. “Kim-mou-eng, jangan sombong dengan kepandaian yang kau agul-agulkan itu. Aku telah memanggil semua ularku di luar, mana bisa temanmu merat tanpa seijin kami? Kalau kau tidak percaya lihatlah...!” kakek ini meniup sulingnya, tinggi melengking dan tiba-tiba disambut desis ratusan ular. Dan ketika dia tertawa dan menuding ke depan mendadak Sin-piauw Ang-lojin berseru kaget melihat ratusan ular merayap masuk.

“Heh-heh, bagaimana, pangcu? Kau berani keluar?”

Sin-piauw Ang-lojin pucat. Dia terang tak dapat melewati ratusan ular itu, yang kini memasuki ruangan dengan tubuh melenggang-lenggok, licin menjijikkan dengan lidahnya keluar masuk itu, merah bercabang. Dan ketika Coa-ong Tok-kwi meniup tinggi memberi tanda mendadak ular-ular yang masuk itu berhenti di depan si Raja Ular ini, beberapa tombak dari Sin-piauw Ang-lojin dan Kim-mou-eng.

Tapi Kim-mou-eng tersenyum. “Kau berani keluar, pangcu?”

“Tentu berani, tapi...”

“Nah, teruskan niatmu, pangcu. Aku akan menolongmu!” Kim-mou-eng mendadak mengambil obor, menyulutnya dan secepat kilat melemparnya ke barisan ular itu, persis yang di depan pintu. Dan ketika semua orang terkejut dan marah oleh perbuatannya tiba-tiba pendekar ini telah mendorong temannya pergi dari situ.

“Pangcu, keluarlah...!”

Sin-piauw Ang-lojin sadar. Kakek itu berseru keras, melihat ular menyibak dan otomatis memberi jalan, ketakutan oleh obor yang dilempar Kim-mou-eng. Dan begitu Kim-mou-eng mendorongnya mencelat pergi tiba-tiba kakek ini berseru girang melompat keluar. “Taihiap, terima kasih!”

Namun Coa-ong Tok-kwi membentak. Raja Ular ini berteriak marah, mendorong tangannya melepas pukulan jarak jauh. Tapi Kim-mou-eng yang sudah bersiap melindungi temannya tiba-tiba menggerakkan pula lengannya menangkis dari samping.

“Plak!” dan pukulan Raja Ular itu melenceng, membuat Raja Ular ini mencak-mencak dan memaki lawannya. Dan ketika Sin-piauw Ang-lojin lenyap di luar dan Hek-bong Siang-lo-mo juga membentak marah maka dua iblis cebol ini menyerang Kim-mou-eng yang cepat menggerakkan tubuhnya menghadapi tiga orang lawannya itu.

“Kim-mou-eng, kau jahanam keparat... plak-duk-dukk!” tiga pukulan itu ditangkis, membuat ketiganya terpental sementara Kim-mou-eng sendiri hanya tergetar, mengerahkan Tiat-lui-kangnya dan sudah diserang kembali oleh tiga iblis yang marah kepadanya ini. Dan ketika orang terakhir juga ikut membantu dan Coa-ong Tok-kwi serta teman-temannya berkaok-kaok maka Bu-kongcu yang gentar menghadapi Kim-mou-eng tiba-tiba berkelebat keluar mengejar Sin-piauw Ang-lojin.

“Paman, kalian robohkan si Rambut Emas itu. Biar aku mengejar ketua Seng-piauw-pang...!”

Kim-mou-eng mengerutkan kening. Dia khawatir pemuda itu mencari temannya, tahu Bu-kongcu tak akan mengampuni lawan sebelum Sin-piauw Ang-lojin mendapatkan putera mahkota. Maka melihat pemuda itu mengejar keluar tiba-tiba pendekar ini berseru melakukan pukulan menyedot, “Bu-kongcu, kau kembalilah...!”

Bu-kongcu terkejut. Saat itu dia sudah menginjak pintu keluar, tentu saja tak mengira diserang, mendengar angin pukulan menyambar tengkuknya. Tapi mengelak tak berani menangkis tiba-tiba pemuda ini menghindar dan melompat ke kiri, mendengar angin berkesiur dan lewat di sampingnya, tiba-tiba membalik dan menerjangnya dari depan, tentu saja membuat pemuda ini terkejut.

Dan ketika dia terbelalak dan berseru kaget tahu-tahu angin pukulan yang seolah siluman itu sudah membungkusnya dan menariknya kuat, melibat seluruh tubuhnya dan sekejap kemudian membuat dia terjirat, mencekik pemuda ini. Dan sementara Bu-kongcu terbelalak dan pucat mukanya tahu-tahu tubuhnya sudah terbanting bergulingan dan masuk kembali ke dalam ruangan itu.

“Bress...!” Bu-kongcu berteriak tertahan. Dia ngeri oleh pukulan sinkang Pendekar Rambut Emas yang seolah bernyawa ini. Seolah hidup. Begitu hebat dan memiliki daya sedot yang tinggi, mampu menghisapnya jatuh bergulingan. Dan ketika dia melompat bangun dan pukulan itu lenyap membebaskannya segera pemuda ini membentak marah memaki gentar,

“Kim-mou-eng, kau jangan main sihir...!”

Kim-mou-eng tersenyum. Saat itu dia kembali dikeroyok empat lawannya, melihat Bu-kongcu marah-marah dan gentar memakinya. Tapi Coa-ong Tok-kwi yang gusar menerjang pendekar ini sudah berteriak pada Bu-kongcu,

“Kau teruskan larimu, bocah. Tangkap ketua Seng-piauw-pang itu dan jangan berkaok-kaok di situ!”

Bu-kongcu melotot. Dia mendongkol oleh ucapan si Raja Ular ini, tentu saja mengerti dan memang berniat meneruskan pengejarannya. Tapi ketika untuk kedua kalinya kembali dia disedot dan jatuh bergulingan di muka pintu akhirnya pemuda ini marah dan memaki si Raja Ular itu, “Paman, kaupun jangan berkaok-kaok saja. Lindungi aku...!”

Coa-ong terbelalak. Dia terkejut oleh sinkang Pendekar Rambut Emas ini, membuat dua kali keponakannya jatuh bangun. Tapi ketika Hek-bong Siang-lo-mo juga membentak dan menerjang pendekar ini ganti dua iblis cebol itu berseru pada Bu-kongcu, “Kau ulangilah, bocah. Kim-mou-eng kami tahan!”

Bu-kongcu melompat bangun. Dia gentar oleh kepandaian Pendekar Rambut Emas yang luar biasa itu, ragu. Tapi ketika Hek-bong Siang-lo-mo menyerang dan Coa-ong Tok-kwi juga menahan pukulan pendekar ini akhirnya pemuda itu berhasil dan dapat keluar dari pintu. Memang ditahan sejenak oleh Kim-mou-eng agar Sin-piauw Ang-lojin dapat bernapas lega di luar sana, sempat mencari dan mungkin mendapat perlindungan pula dari putera mahkota.

Dan begitu lawan mengeroyoknya lagi dan Bu-kongcu mengejar Sin-piauw Ang-lojin akhirnya Pendekar Rambut Emas ini menghadapi lawan-lawannya dan mulai menangkis serta membalas, melihat dari empat orang itu hanya Hek-bong Siang-lo-mo dan Coa-ong Tok-kwi saja yang paling tinggi kepandaiannya. Jadi kepada tiga orang inilah perhatiannya dicurahkan. Dan begitu mereka semua mengeroyok dan saling melepas pukulan maka Pendekar Rambut Emas inipun harus berlompatan ke sana-sini mengerahkan kepandaiannya.

Betapapun mampu menahan dan diam-diam membuat kagum semua lawannya, terutama kagum pada Tiat-lui-kang yang dipakai pendekar ini, pukulan berhawa panas yang selalu mementalkan pukulan mereka. Tapi karena Pendekar Rambut Emas hanya bersikap bertahan dan sesekali balas menyerang tanpa nafsu bertempur yang tinggi maka pendekar ini mulai mencari jalan keluar untuk melepaskan dirinya.

Sebenarnya, kalau Kim-mou-eng mau bersungguh-sungguh agaknya pertempuran itu akan dimenangkannya, meskipun dengan perjuangan yang keras. Tapi karena kedatangannya ke situ bersifat mengawal Sin-piauw Ang-lojin dan tak ada maksud untuk membunuh atau bertempur mati-matian maka kepada kakek tinggi besar inilah pikirannya tertuju.

Diam-diam melirik sana-sini melihat jalan keluar, tak lagi melihat Pangeran Muda yang justeru membuatnya berdebar itu. Mungkin meninggalkan ruangan merencanakan sesuatu. Dan karena lawan terus mendesak dan Hek-bong Siang-lo-mo serta Coa-ong Tok-kwi tampak penasaran menyerang pendekar ini akhirnya Kim-mou-eng melihat ular mulai dikerahkan pula oleh Coa-ong yang marah besar.

“Anak anak, maju kalian...!”

Kim-mou-eng mengerutkan alis. Ruangan itu sudah penuh ular, kini semuanya bergerak menuju kakinya, siap menyerang dari bawah mengikuti irama suling. Hebat Raja Ular itu karena tangan yang satu meniup suling sementara tangan yang lain menggerakkan tongkat ular, dibantu Hek-bong Siang-lo-mo dan orang terakhir itu.

Dan ketika atas dan bawah mulai dikepung sementara Kim-mou-eng tertuju pikirannya pada ketua Seng-piauw-pang akhirnya pendekar ini memutuskan untuk meninggalkan pertempuran lewat atas, dimana tadi dia membuka genteng. Dan begitu lawan menyerang dan ular juga mulai bergerak tiba-tiba Pendekar Rambut Emas menangkis serangan Hek-bong Siang-lo-mo yang menghantam kepalanya.

“Plak-dukk!”

Hek-bong Siang-lo-mo mendesis. Untuk kesekian kalinya pula mereka terpental, Kim-mou-eng sudah memutar menangkis pukulan si Raja Ular. Dan ketika Raja Ular itu juga terhuyung dan Kim-mou-eng tertawa mengejek tiba-tiba pendekar ini mencelat ke atas menghilang di langit-langit ruangan.

“Tok-kwi, nanti saja kita ketemu!”

Coa-ong Tok-kwi mencak-mencak. Dia menyusul menyumpah-serapah, ular-ularnya di bawah tiada guna. Dan Hek-bong Siang-lo-mo yang juga mengejar sambil membentak marah tiba-tiba melesat keluar melalui lubang yang dipakai Kim-mou-eng, bertiga mencari Pendekar Rambut Emas itu. Dan ketika bayangan pendekar itu tampak berkelebat menuju ke timur akhirnya ke sinilah mereka bertiga berkaok-kaok.

“Kim-mou-eng, jangan lari!”

“Kim-mou-eng, rasakan dulu gebukan kami...!”

Kim-mou-eng tak menjawab. Dia menuju ke timur karena di sanalah dia melihat ribut-ribut, rupanya Sin-piauw Ang-Iojin menghadapi rintangan. Sebentar kemudian tiba di tempat itu dan benar melihat ketua Seng-piauw-pang ini dikeroyok. Puluhan pengawal menyerangnya dengan tombak dan golok, mendengar kakek tinggi besar itu membentak-bentak menyebut nama pangeran mahkota. Berkali-kali memberi tahu lawan bahwa dia ingin menghadap pangeran itu.

Tapi ketika Bu-kongcu muncul dan menyerang kakek ini tiba-tiba dalam keroyokan yang kalut itu ketua Seng-piauw-pang ini mengeluh untuk kesekian kalinya lagi mendapat serangan jarum rahasia Bu-kongcu yang melepasnya di kala kakek itu menghadapi puluhan pengawal. Dan ketika kakek itu terhuyung dan mendelik memaki pemuda ini maka Bu-kongcu menerjang menyuruh para pengawal mundur.

“Biarkan tua bangka ini menjadi bagianku. Kalian mundurlah...!”

Sin-piauw Ang-Iojin marah. Untuk kedua kalinya di tempat itu dia menggigil keracunan, tiga jarum menembus tubuhnya. Dan ketika kipas bergerak dan menyerang gencar akhirnya kakek ini mundur-mundur dengan muka pucat, mencabut pisau panjangnya yang bergagang gading itu menangkis dan berkali-kali terhuyung menahan sakit. Racun yang memasuki tubuhnya mulai mengikuti aliran darah. Dan ketika lawan menyerang dan Bu-kongcu tertawa hendak membunuh kakek ini maka satu ketukan kipas tak dapat dihindari ketua Seng-piauw-pang ini.

“Tuk!” Sin-piauw Ang-lojin roboh. Kakek itu terbanting, tapi dapat melompat bangun lagi karena daya tahan tubuhnya memang kuat. Menggereng menangkis totokan kipas yang mengejar dengan mata berkunang, tenaga semakin dilolosi karena racun bergerak cepat, muka berubah kehijauan tanpa disadari. Dan ketika dua tiga kali serangan kipas kembali menyengat tubuhnya maka di saat itulah Kim-mou-eng datang, berkelebat menyerang Bu-kongcu.

“Bu-kongcu, tahan kekejianmu. Pergilah... plak!” kipas hancur di tangan pemuda itu, ditangkis Kim- mou-eng yang sudah menyambar temannya. Sin-piauw Ang-lojin roboh sementara Bu-kongcu juga terpelanting, berteriak kaget. Dan ketika Kim-mou-eng menjejalkan obat tapi Hek-bong Siang-lo-mo dan Coa-ong Tok-kwi juga menyambar datang maka tiga iblis yang marah ini langsung menerjang.

“Kim-mou-eng, kaulah yang keparat. Mampuslah..!”

Kim-mou-eng bergerak cepat. Dia memutar tubuhnya menangkis tiga serangan itu, dengan sebelah lengan, karena lengan yang lain membawa temannya. Dan ketika lawan-lawannya terpental dan Sin-piauw Ang-lojin mengeluh maka kakek ini sudah berseru,

“Taihiap, masuk saja ke dalam. Putera mahkota memang ada di sana. Cepat...!”

Kim-mou-eng mengerutkan alis. Saat itu Hek-bong Siang-Io-mo dan Coa-ong sudah kembali menyerang, masing-masing penasaran benar. Tampak beringas dan ingin membunuhnya. Tapi mendengar putera mahkota ada di dalam dan keadaan Sin-piauw Ang-lojin mendadak gawat tiba-tiba pendekar ini berkilat menganggukkan kepalanya.

“Baiklah, aku akan menerjang ke depan, lojin. Kau peganglah erat -erat punggungku. Awas...!” dan Kim-mou-eng yang membentak melepas Tiat-lui-kangnya tiba -tiba membentur tiga pukulan Hek -bong Siang-lo-mo dan Coa -ong Tok-kwi. Begitu hebat hingga tiga iblis itu menjerit, terjengkang roboh. Dan sementara mereka bergulingan tiba-tiba pendekar ini mengibaskan lengannya mendorong pengawal, yang menjaga pintu masuk. Dan begitu angin pukulan menerjang ke depan mendadak duapuluh pengawal yang ada di situ berpelantingan roboh berteriak kaget.

“Hei...!”

“Aduh...!”

Kim-mou-eng tak membuang-buang waktu. Dia sudah berkelebat memasuki pintu masuk itu, melesat seperti kijang, lenyap di dalam disambut teriakan kaget Hek-bong Siang-lo-mo dan Coa-ong Tok-kwi. Dan ketika tiga iblis ini juga mengejar dan berkelebat ke dalam maka Kim-mou-eng sudah tiba di tengah, tak menghiraukan teriakan di luar yang membuat tempat itu menjadi ribut, gaduh membangunkan pangeran mahkota yang ada di dalam. Dan persis pendekar ini memasuki ruangan dalam tiba-tiba dua orang telah menunggu kedatangannya, putera mahkota dan Pangeran Muda!

“Kim-mou-eng, apa yang kau lakukan ini?”

Kim-mou-eng tertegun. Otomatis dia berhenti, Sin-piauw Ang-lojin diturunkan dan terbelalak memandang dua orang itu, melotot pada Pangeran Muda. Tapi menjatuhkan diri berlutut berseru menggigil kakek ini sudah berkata girang,

“Pangeran, hamba ingin bertemu paduka...!” Kiranya Sin-piauw Ang-lojin sudah mengenal putera mahkota.

Sang pangeran sendiri mengerutkan kening, sudah mendengar maksud kakek ini yang ribut-ribut ingin menemuinya, mengangguk dan melangkah maju ke depan. Dan ketika kakek itu disuruh berdiri dan dua mata beradu pandang akhirnya pangeran ini bertanya, “Aku tahu, tapi apa yang hendak kau bicarakan, pangcu? Bukankah kau Sin-piauw Ang-lojin ketua Seng-piauw-pang?”

“Benar, pangeran. Hamba... hamba hendak membicarakan sesuatu yang penting...!”

“Hm, katakan. Kau datang bersama Kim-mou-eng tentu memang untuk urusan penting. Apa yang hendak kau bicarakan?”

Kakek ini beringas, tapi Kim-mou-eng mendahului dengan suara tenang, melihat berkelebatnya bayangan Coa-ong dan Hek-bong Siang-lo-mo. “Seng-piauw-pangcu hendak bicara empat mata, pangeran. Sebaiknya kakak paduka dipersilahkan mundur.”

“Hm...” putera mahkota ini mengerutkan keningnya. “Kau selalu datang membawa persoalan, Kim-mou-eng. Beginikah sepak terjangmu sehari-hari? Aku kagum pada kelihaianmu, tapi tak simpatik pada keonaran yang selalu kau buat. Apa maksudmu dengan menyuruh kakakku pergi!”

Sin-piauw Ang-lojin menggigil, ganti mendahului, “Karena urusan ini menyangkut kakak paduka, pangeran. Sebaiknya daripada tersinggung paduka persilahkan mundur saja kakak paduka itu!”

Sang putera mahkota membelalakkan mata, melihat kesungguhan dua orang itu. Tapi Hek-bong Siang-lo-mo dan Coa-ong Tok-kwi yang sudah datang menerjang tiba-tiba berteriak, “Pangeran, dua orang ini pengacau jahanam. Sebaiknya dibunuh mereka itu tak perlu dilayani...!”

Hek-bong Siang-Io-mo dan temannya berkelebat. Mereka menyerang Kim- mou-eng sekaligus Sin-piauw Ang -lojin, menampar dan mendorong. Tapi Kim-mou-eng yang maju menggerakkan ke dua lengannya menangkis tiga pukulan ini segera membentak melindungi temannya,

“Lo-mo, kalian jangan kurang ajar. Biarkan kami bicara dulu... duk duk!” tiga iblis itu berseru tertahan, untuk kesekian kalinya lagi terpental dan memaki-maki pendekar itu, Kim-mou-eng hanya tergetar.

Tapi sebelum mereka menyerang lagi dan putera mahkota membentak marah tiba-tiba semuanya dicegah saling serang, “Hek- bong Siang-lo-mo, tahan. Mereka benar tamuku...!”

Hek-bong Siang-Io-mo dan Coa-ong Tok-kwi tak berani menyerang. Mereka mendapat isyarat pula dari Pangeran Muda yang tetap tenang, bahkan tersenyum pada Kim- mou -eng dan Sin-piauw Ang-lojin. Sedikitpun tak cemas bila dua orang itu akan melaporkan rencana pemberontakannya. Mungkin sudah bersiap-siap. Sikap yang bagi Kim-mou-eng justeru berbahaya dan mendebarkan. Dan ketika semuanya tak ada yang mau menyerang dan Bu-kongcu juga muncul di tempat itu maka Pangeran Muda tertawa memandang kakek tinggi besar itu.

“Sin-piauw Ang-lojin, rupanya kau mau melaporkan sesuatu yang bersifat fitnah. Kenapa menyuruh aku pergi kalau beritamu benar? Adikku siap mendengarkan semuanya dengan tenang. Kau bicaralah, tak perlu khawatir aku tersinggung!”

“Aku memang hendak bicara, pangeran,” kakek ini mendelik. “Tapi sama sekali bukan fitnah seperti apa yang kau bilang!”

“Bagus, kalau begitu kenapa takut didengar semua orang? Bicaralah, kita lihat saja benarkah bukan fitnah atau justeru kau yang harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu bila tidak benar!”

Sin-piauw Ang-lojin gusar. Tapi sebelum kakek itu mengeluarkan kata- kata keras sang putera mahkota sudah mengulapkan lengannya. “Lojin, apa yang dikata kakakku memang benar. Kau tak perlu khawatir, kakakku tak akan tersinggung. Kau bicaralah, kami akan mendengarnya apa yang hendak kau katakan ini.”

Sang kakek otomatis tertegun. Dia hendak membuka kebusukan Pangeran Muda, rencana pemberontakannya itu dan segalanya yang bersangkut paut dengan itu. Hubungannya dengan menteri-menteri jahat macam Mao-taijin dan lain-lain. Jelas akan membeberkan semuanya itu di depan sang pangeran mahkota. Maksudnya agar pangeran itu hati-hati dan waspada.

Tentu saja tak membayangkan sebelumnya bahwa orang yang hendak dilaporkan, Pangeran Muda sendiri, siap mendengarkan di samping putera mahkota seperti seorang baik-baik yang tak punya salah. Membuat kakek ini gugup dan bingung. Seketika grogi! Dan ketika Sin-piauw Ang-lojin masih juga bungkam padahal pangeran mahkota menunggu kata-katanya maka pangeran ini marah melangkah maju.

“Pangcu, kau kini telah berhasil menemuiku. Kau hendak bicara sesuatu, kenapa diam setelah bertemu? Kau segan pada kakakku yang ada di sini?”

“Ha-ha, bukan segan, adik pangeran. Tapi mungkin takut kalau nanti kata-katanya itu memang fitnah!” sang Pangeran Muda tertawa, mengejek kakek itu membuat Sin-piauw Ang-lojin gusar, marah sekali. Tapi sebelum kakek itu bicara maka Kim-mou-eng menegur temannya ini.

“Lojin, apa yang hendak kau katakan memang sebaiknya katakan saja. Orang yang kau tuduh ada di sini, atas permintaannya sendiri. Kenapa enggan dan ragu mengatakannya pada putera mahkota? Kalau kau ingin bicara sebaiknya bicara saja, tak perlu ditunda!”

“Baik,” kakek ini menggeram, lagi-lagi mendengar Pangeran Muda tertawa mengejek. “Hamba hendak menceritakan kebusukan kakak paduka, pangeran. Bahwa...” kakek ini mengepal tinju. “Bahwa kakak paduka hendak memberontak, hendak membunuh paduka!”

“Ha-ha,” Pangeran Muda tiba-tiba tertawa bergelak, tak mempedulikan pangeran mahkota yang terkejut. “Kau membawa kentut busuk, Seng-piauw-pangcu. Sungguh kata-katamu ini boleh dibilang fitnah! Tapi baiklah, teruskan laporanmu. Apa lagi yang hendak kau katakan? Kau hendak mengatakan bahwa aku bersekongkol dengan menteri-menteri jahat dan hendak menggulingkan tahta istana pula? Bahwa aku merencanakan ini-itu untuk membunuh ayahku pula? Ayo, Sin-piauw Ang-lojin. Teruskan fitnahmu ini dan aku akan mendengarnya, tidak tersinggung!”

Sin-piauw Ang-lojin tertegun. Sungguh tidak disangka olehnya bahwa apa yang hendak dilaporkan itu kini terang-terangan dikatakan Pangeran Muda sendiri, jelas dan tidak tedeng aling-aling. Blak-blakan dan tidak ditutup-tutupi lagi. Seolah apa yang hendak dikatakan sudah dibaca pangeran itu. Pangeran yang cerdik dan sungguh berbahaya. Demikian berani mati mengakui perbuatan sendiri! Tapi menjengek dengan mata bersinar-sinar kakek ini mengangguk, merasa mendapat kemenangan.

“Benar, aku memang hendak melaporkan seperti apa yang telah kau katakan itu, pangeran. Bahwa kau merencanakan pemberontakan dan hendak membunuh kaisar pula. Kau siap merebut kursi tahta lewat putera mahkota. Kau licik dan culas!”

“Sudah? Masih ada lagi?” pangeran ini tertawa, sikapnya luar biasa tenang. “Kalau belum silahkan melapor lagi, lojin. Aku tak tahu atas dasar apa kau menaruh sakit hati demikian luar biasa kepadaku!” Kakek ini lagi-lagi tertegun. Dia melihat putera mahkota pucat mukanya, memandang dia dan sang kakak berganti-ganti. Tapi ketika dia tak bicara lagi dan kata-katanya terhenti di situ maka pangeran mahkota menggigil membentaknya, “Seng-piauw-pangcu, sadar kah kau dengan semua ucapanmu ini? Sadarkah kau akan segala akibat dan tanggung jawab dari semua kata-katamu ini?”

“Tentu, ” kakek ini menjawab pasti. “Hamba sadar akan semua kata-kata hamba, pangeran. Dan sumpah demi langit dan bumi apa yang hamba katakan adalah benar!”

“Dan kau punya buktinya?” mendadak Pangeran Muda bertanya, tersenyum sinis. “Kau dapat membuktikan semua kata-katamu ini, pangcu? Kau dapat memberikan pada adikku pangeran mahkota bahwa apa yang kau katakan tidak merupakan fitnah?”

“Ini... ini...”

“Jangan ini-ini, Seng-piauw-pangcu. Kalau kau mengatakan aku hendak memberontak dan segalanya itu sebaiknya kau tunjukkan pula bukti- buktinya pada adikku. Aku siap menghadapinya. Kalau tidak terpaksa aku menuntut tanggung jawabmu dan minta pada adikku agar membunuhmu!”

Sin-piauw Ang-lojin pucat. Sebenarnya, kedatangannya ke situ adalah hendak memberi tahu sang pangeran mahkota akan segala rencana Pangeran Muda. Bicara empat mata dan tidak disaksikan begini banyak orang, kecuali Kim-mou-eng yang sengaja diminta bantuannya untuk mengawal. Sungguh tak dinyana keadaan berubah begini runyam. Pangeran Muda minta buktinya kalau semua kata-katanya itu benar.

Dan karena bukti satu-satunya hilang karena A-ciong yang membawa daftar rencana Pangeran Muda itu dibunuh tanpa diketahui siapa pembunuhnya tentu saja kakek ini jadi tertegun dan bengong di tempat, tak dapat menjawab. Dan ketika Pangeran Muda tertawa dan kakek itu menggigil maka pangeran ini sudah menghadapi adiknya.

“Nah, kau lihat, adik pangeran. Apa yang kukatakan di dalam tadi betul. Ketua Seng-piauw-pang ini hendak memfitnahku. Dia datang bersama Kim-mou-eng, mungkin saja disuruh Pendekar Rambut Emas ini karena ada hubungannya dengan suku bangsanya di luar tembok besar itu, memecah belah kita dan hendak mengacau di sini. Mungkin dendam atas kehancuran suku bangsa Tar-tar. Bagaimana pendapatmu?”

Putera mahkota terbelalak. Sebenarnya, di dalam tadi dia sudah ditemui adiknya, eh... kakaknya ini. Mendengar ribut-ribut di luar dari keterangan kakaknya. Bahwa ketua Seng-piauw-pang datang dikawal Kim-mou-eng. Dan karena Kim-mou-eng dianggap bangsa Tar-tar karena darah Tar-tar lebih menonjol di tubuh pendekar itu ketimbang darah ibunya maka kakaknya memberi tahu dia mungkin kedatangan ketua Seng-piauw-pang itu atas hasutan Kim-mou eng. Bahwa Kim-mou-eng mungkin mau membalas dendam atas kehancuran suku bangsanya setelah dulu Gurba datang menyerang, mengacau istana dan kini hendak memecah-belah mereka. Menggunakan ketua Seng-piauw pang itu sebagai alat.

Dan karena Sin-piauw Ang-lojin sendiri tak dapat memberi bukti sebagai pelengkap semua laporannya tadi maka tentu saja putera mahkota ini termakan omongan kakaknya dan menganggap Sin-piauw Ang-lojin memang datang untuk mengacau. Untuk memfitnah! Dan ketika kakek itu melenggong tak dapat bicara tiba-tiba pangeran ini membentak melotot gusar, memandang Kim-mou-eng pula.

“Sin-piauw Ang-lojin, sungguh tak kunyana pula sebagai orang Han kau hendak membela suku bangsa Tar-tar. Mana bukti seperti yang dituntut kakakku itu? Mana pelengkap dari semua laporanmu ini? Aku menuntut buktinya, lojin. Kalau kau tak dapat menunjukkannya maka kuanggap kau memfitnah. Kau melancarkan kecurigaan dan permusuhan diantara kami!”

“Dan kalau aku hendak membunuh adikku sendiri tak perlu berlama-lama, lojin. Sekarangpun aku dapat minta tolong pada Hek-bong Siang-lo-mo atau Coa-ong Tok-kwi itu. Tapi aku tak melakukannya, karena aku memang tidak merencanakan niat seperti yang kau laporkan itu. Apalagi mengkhianati sri baginda. Bukankah beliau ayah kandungku sendiri? Kau sengaja mengadu domba, Sin-piauw Ang-lojin. Kau memfitnah dan rupanya dihasut Pendekar Rambut Emas ini. Kalian berpolitik, mungkin malah hendak membunuh kami!”

Sin-piauw Ang-lojin terbelalak. Kim-mou-eng sendiri terkejut, berubah mukanya. Keadaan tiba-tiba dibalik oleh Pangeran Muda yang licin dan cerdik itu. Kedudukan mereka terancam. Dan karena bukti memang tak dapat diberikan karena daftar berharga di tangan A-ciong hilang karena bocah itu dibunuh seseorang tiba-tiba Sin-piauw Ang-lojin kalap menyerang Pangeran Muda.

“Siauw-ong-ya, kau memang jahanam busuk. Bukti yang kau minta telah kau rebut lewat orang-orangmu dari tangan A-ciong...!”

Semuanya terkejut. Sin-piauw Ang-lojin sudah menubruk Pangeran Muda, demikian sengit hendak membunuh pangeran itu. Tapi Coa-ong Tok-kwi yang berdiri lebih dekat dengan sang pangeran tiba-tiba membentak, menghantam ketua Seng-piauw-pang ini.

“Tua bangka busuk, pergilah...!”

Sin-piauw Ang-lojin terbelalak. Saat itu dia melepas pukulan tanpa mempedulikan diri, menerjang saking marahnya melihat diri sendiri terjebak. Menuduh balik dituduh. Maka ketika dia menyerang dan Coa-ong Tok-kwi menghantamnya dari samping mendadak ketua Seng-piauw-pang ini mengeluh dan terbanting roboh, sebelum pukulannya mengenai Pangeran Muda.

“Dess!” kakek itu mencelat bergulingan. Kim-mou-eng terkejut, cepat berkelebat menolong temannya ini, tak menduga ketua Seng-piauw-pang itu menyerang Pangeran Muda. Jadi jauh dengannya. Tapi Pangeran Muda yang memberi aba-aba dan sudah diikuti bayangan Hek-bong Siang-lo-mo dan yang lain-lain tiba-tiba mengejar Pendekar Rambut Emas ini, mendengar aba-aba pangeran itu.

“Lo-mo, tangkap mereka ini. Bunuh keduanya...!”

Sin-piauw Ang-Iojin dan Kim-mou-eng terkejut. Kakek ketua Seng-piauw-pang itu menyeringai karena hantaman Coa -ong membuat dadanya sesak, ampeg. Darah tiba-tiba melontak dari mulutnya. Membuat Kim-mou-eng mengerutkan kening karena temannya itu terluka dalam, memang bukan tandingan Coa-ong Tok-kwi. Dan sementara dia menyesali kesembronoan temannya ini maka Hek-bong Siang-lo -mo dan yang lain-lain menyerang, pangeran mahkota malah masuk ke dalam marah-marah kepada mereka, yang dianggap memfitnah!

“Kim-mou-eng, sekarang ajalmu sudah tiba!”

“Ya, dan kau juga, Seng-piauw-pangcu. Terimalah kematian kalian... wut-wutt!” empat pukulan menyambar dua orang ini, terutama Sin-piauw Ang-lojin yang hendak ditutup mulutnya, mendapat isyarat Pangeran Muda bahwa ketua Seng-piauw-pang itu harus dibunuh. Rahasianya di tangan kakek itu, tak boleh diberi hidup lagi karena Sin-piauw Ang-lojin mungkin mencari gara-gara di lain kesempatan. Dan Kim-mou-eng yang membentak meloncat tinggi tiba-tiba menyambar temannya menangkis semua pukulan itu.

“Plak-des-dess!”

Empat orang itu terdorong semua. Kim-mou-eng sudah berjungkir balik, tahu keadaan mereka berbahaya dan tak mungkin menghubungi pangeran mahkota lagi. Mereka tak dipercaya dan kini malah dianggap mengacau. Dan begitu dia membentak membuat lawan mundur-mundur tiba-tiba pendekar ini sudah melesat melalui pintu keluar, melihat Sin-piauw Ang-lojin pingsan di atas pundaknya.

“Lo-mo, kalian iblis-iblis licik...!”

Hek-bong Siang-lo-mo terbelalak. Mereka melihat lawan mereka itu sudah berjungkir balik melarikan diri, berkelebat ke pintu keluar dan kini menyelamatkan Sin-piauw Ang-lojin. Tapi mereka yang tentu saja tak mau melepaskan pendekar itu dan memburu keluar sudah membentak mengejar, menyuruh pengawal menghadang tak boleh membiarkan Kim-mou-eng pergi.

“Tangkap mereka itu. Cegat larinya...!”

Pengawal tiba-tiba bermunculan. Mereka ini sebenarnya sudah disiapkan di luar, dipimpin seorang panglima bertubuh pendek bernama Shi Bung, anak buah jenderal Bu. Dan begitu Kim-mou-eng melompat dan kelihatan di luar tiba-tiba saja tombak dan golok menyerang pendekar ini.

“Plak-plak-krakk...!”

Tombak dan golok mencelat beterbangan. Kim-mou-eng telah mengibaskan lengannya, melakukan pukulan jarak jauh. Membuat golok dan tombak patah-patah sementara pemiliknya terbanting tak karuan sambil mengaduh, menjerit berpelantingan. Tapi ketika pendekar ini berlari ke utara dihadang pengawal-pengawal yang lain maka Hek-bong Siang-Io-mo dan teman-temannya itu mengejar.

“Kim-mou-eng, jangan lari. Tahan dulu pukulan-pukulan kami...!”

Kim-mou-eng terbelalak. Saat itu ratusan pengawal muncul, kejadian mirip dengan waktu dia ke kota raja dulu. Hanya bedanya tak ada pentolan-pentolan sesat macam Hek-bong Siang-lo-mo dan si Raja Ular ini, yang terus menguntit dan menyerangnya dari belakang. Dan karena dia juga membawa Sin-piauw Ang-lojin yang pingsan dan terluka dalam akhirnya pendekar ini dikepung tak dapat melarikan diri.

“Ha-ha, kau tak dapat keluar, Rambut Emas. Berhenti dan terimalah kematianmu di sini...!” Hek-bong Siang-lo-mo melompat, terbang menampar pendekar itu sementara Coa-ong Tok-kwi menggerakkan tongkat ularnya, tak mau kalah. Dan ketika tiga orang ini bergerak hampir berbareng dan para pengawal terdorong oleh sapuan tiga iblis ini akhirnya Kim-mou-eng kembali menangkis dan mengerahkan Tiat-lui-kangnya.

“Des-dess!”

Hek-bong Siang-lo-mo dan temannya berjungkir balik. Mereka terlontar ke atas, menukik dan menyerang kembali dari atas ke bawah. Coa-ong bahkan mengemplangkan tongkatnya itu ke arah ubun-ubun. Tapi Pendekar Rambut Emas yang marah merendahkan kepala tiba-tiba menyambut dan menerima serangan tiga orang lawannya itu.

“Krakk...!” tongkat di tangan si Raja Ular tiba-tiba patah, ujungnya hancur sementara jari Kim-mou-eng ganti menampar kakek ini. Dan ketika si Raja Ular berjungkir balik dan memaki lawannya maka pukulan Hek-bong Siang-lo-mo tiba diterima pendekar ini.

“Plak-plak!”

Dua orang itu kembali terpental. Kim-mou-eng sudah berseru keras, melihat para pengawal kembali berteriak menggerakkan senjatanya, diperintah Bu-kongcu. Dan ketika Kim-mou-eng menangkis dan para pengawal terlempar mundur akhirnya Hek-bong Siang-lo-mo dan Coa-ong Tok-kwi kembali menerjang berseru marah.

“Tok-kwi, kerahkan saja ular-ularmu!”

“Ya, dan suruh para pengawal mundur. Kepung melebar...!”

Coa-ong Tok-kwi terbelalak. Dia setuju, menyuruh para pengawal mundur dan membentak Bu-kongcu agar maju membantu. Dan ketika murid Sai-mo-ong itu bergerak dan semua pengawal meloncat ke belakang akhirnya empat orang ini mengeroyok Pendekar Rambut Emas yang memanggul Sin-piauw Ang-lojin, berkelebatan ke sana-sini mementalkan pukulan-pukulan lawan. Dibuat sibuk ketika Coa-ong mulai mengerahkan ularnya, meniup suling sementara pengawal ikut melepas panah menghujani tubuh pendekar ini. Dan ketika pertempuran menjadi seru dan Kim-mou-eng marah atas kerubutan itu tiba-tiba sebatang panah mendesing di belakang pendekar ini.

“Cep! ” Kim-mou-eng menangkap, melihat orang tak dikenal muncul di belakang pengawal, membalik dan secepat kilat mempergunakan panah tangkapan itu menangkis hujan serangan yang lain. Tapi ketika panah kedua kembali mendesing dan Hek-bong Siang-lo-mo dan si Raja Ular saat itu menyerang berbareng tiba-tiba Sin-piauw Ang-lojin menjadi korban, terpanah tengkuknya.

“Augh!”

Kim-mou-eng terkejut. Ketua Seng-piauw-pang itu menggeliat, menjerit tanpa sadar. Rupanya hunjaman panah itu terlalu dalam, tentu saja membuat pendekar ini melengking dan membentak marah. Dan ketika dua bayangan kembali berkelebat dan Tok-gan Sin-ni serta Sai-mo-ong muncul mengejutkan pendekar ini mendadak rambut dan kipas bulu singa menyambar dada pendekar ini.

“Ha-ha, selamat bertemu, Kim-mou-eng. Selamat berjumpa!”

“Ya, dan terimalah lecutan rambutku, Kim-mou-eng. Sungguh dunia terlalu sempit untuk kita... plak-plak!” rambut Tok-gan Sin-ni meledak mengiringi kipas bulu singa yang dilancarkan Sai-mo-ong, mengebut dada Pendekar Rambut Emas. Lima pentolan sesat tiba-tiba muncul hampir berbareng, tentu saja mengejutkan pendekar ini.

Dan ketika lima serangan menyerbu tanpa ampun sementara panah dan ular juga mulai menyerang dari segala penjuru mendadak Pendekar Rambut Emas mengeluh ketika ujung kipas mengebut mukanya, perih di mata sementara rambut Tok-gan Sin-ni juga menyengat, mengenai pundaknya tapi mental karena dia telah mengerahkan sinkangnya, terhuyung dan pucat memandang lima orang lawannya itu. Tak menyangka Sai-mo-ong dan Tok-gan Sin-ni datang memberi bantuan. Tapi ketika lawan kembali berkelebat dan ular serta hujan panah masih menyerangnya dari luar tiba-tiba pendekar ini menggetarkan kedua lengannya.

“Sai-mo-ong, keparat kalian...!”

“Heh-heh, kau yang keparat, Kim-mou-eng. Kau mengganggu Pangeran Muda!”

Kim-mou-eng melengking. Saat itu dia mengerahkan sinkangnya, menyalurkannya ke kedua lengan hingga uap putih tiba-tiba bergetar di lengan pendekar ini. Dan ketika lawan menyerang dan semua pukulan menghantam dirinya mendadak pendekar ini membentak menggerakkan kedua lengannya itu, didahului ledakan dan kilatan sinar yang mengejutkan Sai-mo-ong.

“Awas Pek-sian-ciang (Pukulan Dewa Putih)...!”

Hek-bong Siang-lo-mo dan lain-lain terkejut. Teriakan Sai-mo-ong yang ada di depan itu terlambat bagi mereka, serangan tak dapat ditarik lagi. Dan ketika lima benturan mengenai lengan pendekar ini mendadak Tok-gan Sin-ni dan yang lain-lainnya itu mencelat.

“Des-dess!”

Tok-gan Sin-ni dan kawan-kawannya menjerit. Pukulan Dewa Putih telah menangkis serangan mereka, untung terpecah karena pukulan itu harus menyambut lima serangan, bukan satu serangan saja. Tapi Tok-gan Sin-ni dan kawan-kawannya yang terlempar bergulingan dan kaget bukan main tiba-tiba melompat bangun tapi roboh lagi, masih tergetar dan ampeg oleh pukulan yang dahsyat ini. Dada terasa nyeri dan Ji-lo-mo tiba-tiba melontakkan darah. Terluka. Dan Kim-mou-eng sendiri yang juga terhuyung dan menahan sakit tiba -tiba meloncat melarikan diri, mengisi kesempatan selagi lima lawannya itu terduduk.

“Mo-ong, lain kali kita bertemu...!”

Mo-ong terkejut. Dia saat itu bengong, mengatur napas oleh guncangan Pek-sian-ciang yang baru dia terima. Tentu saja melotot melihat lawan memutar tubuhnya. Tapi Shi Bung yang memberi aba-aba menyuruh pasukan melepas panah tiba-tiba menyambut pendekar itu yang melarikan diri. Menghujani pendekar ini yang melompat tinggi di tembok istana, menangkis dan memukul runtuh hujan panah yang begitu gencar.

Tapi karena dia baru melepas tenaganya dan gempuran lima orang lawan juga masih mengguncangnya di bagian dalam akhirnya pendekar ini tak dapat menyelamatkan sebatang panah yang kembali menyambar temannya, menancap di punggung Seng-piauw-pangcu yang dipanggul dibelakang. Dan ketika Seng-piauw-pangcu kembali mengeluh dan Bu-kongcu muncul melepas senjata rahasianya tiba-tiba pendekar ini geram membentak gusar...

Pendekar Rambut Emas Jilid 15

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 15
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“TlO-ClANGKUN, jangan buang-buang tenagamu. Jarumku itu akan bekerja sepeminuman teh lamanya. Lebih baik kau pulang dan laporkan pada tuanmu sebelum kau mampus!” pedang menyeleweng, dikelit dan menemui angin kosong karena Bu Ham mengelak.

Dan ketika Tio-ciangkun membentak dan marah menyerang lagi maka Bu-kongcu tertawa-tawa tak balas menyerang, berlompatan kesana-sini mengajak panglima itu menjauhi kamar, diserang tapi ha-ha he-he saja menghadapi pedang panglima ini. Dan ketika Tio-ciangkun menggeram dan pucat membelalakkan mata mendadak panglima ini mengeluh ketika pundaknya tak dapat digerakkan, tubuh terasa sakit bagai dikeroyok ribuan semut, terhuyung dan tiba -tiba terjungkal tanpa diserang, roboh diketawai lawan.

Dan ketika panglima itu mendelik dan mendesis menahan sakit tiba-tiba terdengar suara ribut di kompleks istana sebelah selatan, tempat para pemikul tandu diistirahatkan, disusul suara senjata beradu dan berkobarnya api yang membakar daerah itu. Dan sementara panglima ini melotot dan maklum apa yang terjadi maka Bu-kongcu berkelebat pergi tertawa-tawa mengejeknya.

“Tio-ciangkun, dua menit lagi dirimu mampus. Maaf aku tak dapat menemanimu lagi, ha-ha!”

Tio-ciangkun mendelik. Saat itu dia sadar akan bahaya dirinya, menyesal kenapa dia tak segera saja melapor pada junjungannya, merasakan racun yang memasuki darahnya telah membakar tubuhnya sedemikian rupa. Tak mungkin ditolong lagi. Dan melihat Bu-kongcu tertawa meninggalkannya dan keributan itu tentu dicetuskan orang-orangnya Kung-ghoda akhirnya panglima ini menggigil mengangkat tubuhnya, susah payah.

“Bu-kongcu, kau dan Siauw-ong-ya ternyata orang-orang keji. Terkutuk kalian!”

Bu-kongcu tak mendengar. Pemuda itu telah meninggalkan panglima ini jauh di tempat keributan itu, api berkobar dimana-mana dan membuat istana geger. Tapi teringat jiwa terancam dua menit lagi dan putera mahkota harus segera ditemui maka panglima ini terhuyung jatuh bangun mencari junjungannya itu, berhasil tapi dalam keadaan sekarat ketika bertemu. Dan ketika sang pangeran terbelalak dan Tio-ciangkun menahan sakit panglima ini hanya sempat mengucapkan beberapa patah kata saja.

“Pangeran, Siauw-ong-ya tak dapat dipercaya. Mereka itu bersekongkol, hamba... hamba dicelakai Bu... Bu...” Tio-ciangkun mengeluh, mengaduh dan tiba-tiba terguling di depan junjungannya itu, tak dapat meneruskan kata-katanya. Tewas.

Dan ketika putera mahkota bengong dan menjublak di tempat maka suara hiruk-pikuk pertempuran menyebut-nyebut tentang pemberontakan pasukan tamu. “Pasukan liar memberontak...! Pasukan liar memberontak...!”

Pangeran ini tertegun. Ribut-ribut di luar itu membuat semua orang terkejut, bahkan kaisar juga tersentak, bangun dari tidurnya. Tapi ketika dua jam kemudian keributan itu berhasil dipadamkan dan Siauw-ong-ya muncul memberi laporan maka kaisar ini tertegun melihat sebuah kepala dibawa puteranya itu, kepala Kung-ghoda!

“Ayahanda, maafkan hamba. Pengiring Kung-ghoda ternyata pasukan khusus yang disiapkan untuk menyerang paduka. Inilah buktinya, hamba membawa kepala pemimpin suku liar itu yang dibunuh Bu-kongcu!”

Kaisar tertegun. Siauw-ong-ya lalu menceritakan kejadian itu, asal mulanya. Menyadap berita bahwa pemimpin Kung sebenarnya akan membuat huru-hara, menyerang istana dan ingin membunuh kaisar di saat persembahan upeti. Satu siasat untuk mengelabuhi orang. Dan ketika kaisar bertanya darimana pangeran itu mendapatkan bahannya dan siapa pula yang menyelamatkan istana maka pangeran ini menonjolkan dua temannya, Wan Cu dan Bu-kongcu.

“Wan Cu inilah yang memberi tahu segala-galanya, ayahanda. Kalau bukan karena dia tentu kita semua sudah menjadi korban kebiadaban Kung-ghoda!”

“Ah, isteri pemimpin liar itu?”

“Benar, ayahanda. Dan paduka boleh bertanya padanya.”

Kaisar terbelalak. Baginya terlalu aneh bahwa Wan Cu mengkhianati suami sendiri, melaporkan kejadian itu dan berakibat suaminya dibunuh. Tapi ketika dengan menangis Wan Cu mengatakan bahwa dia harus membela bangsanya karena dia wanita Han akhirnya kaisar tertegun dan dapat menerima alasan ini, yang kiranya terdorong oleh patriotisme karena Wan Cu memang bukan suku bangsa liar, mendengar bahwa Kung-ghoda ternyata diam-diam amat berambisi sekali. Ingin menjadi raja di atas raja, menjadi kaisar. Dan ketika satu-persatu semua rencana Kung-ghoda dibeberkan wanita itu dan kaisar terhenyak membelalakkan mata akhirnya Wan Cu malah dibebaskan dan mendapat hadiah kaisar, menduduki menteri kewanitaan dan budaya. Satu kedudukan tinggi yang tentu saja tak diduga wanita ini.

Dan ketika semuanya beres dan Wan Cu menangis kegirangan maka keesokan harinya dua kekasih ini bertemu, bersenang-senang dan memadu cinta sepuas mungkin, memberi hadiah Bu-kongcu pula karena pemuda inilah yang membantu mereka dengan jasa besar. Tentu saja tak melupakan murid Sai-mo-ong itu. Tapi ketika putera mahkota datang bertamu dan Siauw-ong-ya terkejut menyambut maka sang adik yang terbelalak melihat Wan Cu di situ segera mengerutkan keningnya.

“Aih, ada apa, adik pangeran? Kau tak memberi tahu pengawal?”

“Maaf,” putera mahkota ini menggeleng. “Aku datang secara diam-diam, kanda. Aku tak ingin diketahui pengawal karena ingin bicara empat mata denganmu.”

“Boleh, mari. Silahkan duduk!” tapi teringat pada Wan Cu tiba-tiba pangeran ini sadar. “Aih, maaf. Aku sedang menjamu kekasihku ini, adik pangeran. Aku ingin mengucapkan syukur dan bahagia atas hadiah ayahanda pada Wan Cu!”

“Ya, aku tahu. Dan rupanya perlu kuucapkan selamat pula pada kekasihmu ini.”

Wan Cu tersipu, cepat mebmeri hormat. “Pangeran, hamba hanya sekedar menerima anugerah belaka. Terima kasih atas ucapan paduka.”

“Dan dia boleh mendengar urusanmu, adik pangeran?”

“Hm,” putera mahkota mengangguk. “Kalau dia di sini tentu saja boleh, kanda. Aku ingin bertanya tentang Tio-ciangkun!”

“Tio-ciangkun?” Siauw-ong-ya terkejut. “Bukankah dia tewas, adik pangeran? Apa yang ingin kau ketahui?”

“Justeru itulah. Kematiannya yang membuat aku penasaran, kanda. Katanya dia dibunuh oleh...”

“Buyima!” sang kakak tiba-tiba memotong, merah mukanya mengepal tinju. “Dia tewas dibunuh tangan kanan Kung-ghoda itu, adik pangeran. Aku menyesal tak dapat menolongnya karena aku terlambat datang!”

Sang pangeran tertegun. Jawaban yang mantap dan penuh kepastian ini membuat dia terbelalak, tadinya mengira Bu-kongcu karena Tio-ciangkun hanya mengatakan kata-kata “Bu” itu sebelum ajal. Tak menyangka kalau Buyima yang dimaksudkan, jadi dia salah duga. Dan sebelum dia bertanya ini-itu maka kakaknya sudah memberi keterangan, berapi-api.

“Aku ikut berbela sungkawa atas kematian pengawalmu, adik pangeran. Sungguh tak kukira kalau Buyima yang gagah perkasa itu demikian kejam. Dia membunuh Tio-ciangkun tanpa perasaan ini gara-gara Kung-ghoda. Kalau saja tak ada Bu-kongcu di sini mungkin kitapun ikut dibunuhnya. Keparat, Kung-ghoda dan tangan kanannya itu ternyata orang-orang kejam. Buyima masuk dan bertemu pengawalmu itu ketika mengintai pembicaraan kami. Dia menyerang, tapi Tio-ciangkun mencegah. Dan karena Tio-ciangkun kalah lihai dan Buyima memang kosen maka pengawalmu itu terbunuh sementara kami juga nyaris binasa!”

Pangeran mahkota ini mengerutkan kening. “Jadi Buyima masuk ke kamarmu, kanda?”

“Benar, adik pangeran. Dan Tio-ciangkun pun mengintai pembicaraan kami. Entah atas suruhanmu ataukah karena melihat bayangan Buyima itu, ” sang kakak menyindir cerdik, pura-pura tak tahu. “Dan ketika Buyima masuk dan marah-marah menegur Wan Cu maka kami berdua diserangnya tapi pengawalmu itu muncul. Mereka bertempur, tapi Tio-ciangkun roboh. Dan ketika Buyima hendak membunuh kami dan menangkap Wan Cu maka muncullah Bu-kongcu itu yang segera menyelamatkan kami membunuh Buyima!”

“Sayang,” pangeran mahkota ini menarik napas. “Kalau kau mencegahnya Buyima tak perlu dibunuh, kanda. Sebenarnya kita perlu keterangan-keterangan darinya tentang semua kejadian ini.”

“Ah, kau tak percaya?”

“Bukan begitu, tapi kematian Buyima melenyapkan semua keterangan, kanda. Apalagi Kung-ghoda juga dibunuh sebelum membela dirinya. Harusnya dua orang itu ditangkap atau salah satunya diberi hak hidup agar memberi keterangan jelas.”

Siauw-ong-ya bangkit berdiri, membelalakkan mata. “Adik pangeran, kau tampaknya mencurigai kami. Bukankah Wan Cu sebagai satu-satunya saksi yang dapat memberi keterangan? Dia telah menyelamatkan kita dari kebiadaban suaminya. Dia lebih berharga dibanding Kung-ghoda atau Buyima itu. Untuk apalagi memberi hidup pada dua orang keparat itu?”

“Maaf,” putera mahkota agak terkejut, sadar sikapnya yang menuduh. “Aku tidak memaksudkannya begitu, kanda. Hanya aku sedikit menyesal karena kematian Buyima menghentikan penyelidikanku tentang kematian pengawalku. Aku tidak bercuriga, melainkan semata-mata terdorong kekecewaanku tentang kematian Tio-ciangkun itu. Sudahlah, aku percaya. Tapi bagaimana sekarang janjimu dengan Wan Cu ini?”

“Maksudmu?”

“Kau tak akan berhubungan di luar batas seperti katamu dulu, kanda. Atau...”

“Ah, nanti dulu,” sang kakak tertawa, memotong cepat. “Apa yang kukatakan dulu tentunya tak berlaku sekarang ini, adik pangeran. Dulu Wan Cu masih terikat oleh suaminya, sedang sekarang dia janda. Masa janjiku dulu harus dipegang sekaku itu? Tidak, justeru aku minta pendapatmu bagaimana kalau dia kuambil isteri, adik pangeran. Apakah kau berkenan menyetujuinya atau aku harus memberi tahu ayahanda kaisar.”

“Kau mau menikahinya?” putera mahkota tertegun.

“Kalau kau setuju, adik pangeran. Atau mungkin kau akan bersikap kejam pada kami berdua yang sudah saling mencinta!”

Sang adik dibuat bengong. Kakaknya itu sudah menunduk, mata tiba-tiba berkaca-kaca. Sikapnya mendadak lemah khawatir pangeran mahkota itu tak setuju. Bukan menghalangi pernikahan dua orang itu melainkan tak senang pada Wan Cu. Perasaan yang mungkin dapat mengganggu hubungan mereka kelak kalau putera mahkota sudah menjadi kaisar, sementara Siauw-ong-ya menjadi penasihatnya. Tapi putera mahkota yang tersenyum dan memegang lengan kakaknya mendadak tertawa geli.

“Kanda, kenapa sikapmu seperti anak kecil begini? Bukankah urusan pernikahan adalah urusan pribadi? Kau menikahpun tentu tak ada orang melarangnya, apalagi Wan Cu juga berjasa besar kepada kita. Siapa tak setuju dan harus takut menghadapi pendapatku? Kita kelak harus bekerja sama, apa yang kau rasa baik tentunya tak perlu kau tolak pula. Itu urusanmu, bukan urusanku!”

“Jadi kau setuju?”

“Kalau kau suka padanya, kanda. Kalau kalian memang sudah sama-sama mencintai!”

“Ah, terima kasih...!” dan Siauw-ong-ya yang menyambar adiknya penuh kegembiraan tiba-tiba berseru pada Wan Cu. “Wan Cu, calon kaisar sendiri sudah menyetujui hubungan kita. Ayo ucapkan terima kasih!”

Wan Cu tersipu-sipu, maju memberi hormat. “Pangeran, terima kasih atas perkenan paduka. Semoga kami mendapat berkah kebahagiaan yang melimpah atas restu paduka!”

Siauw-ong-ya tertawa bergelak. Persetujuan adiknya itu berarti melenyapkan ganjalan yang mungkin ada, tentu saja gembira bukan main.

Tapi sang adik yang melepaskan diri memandang kakaknya tiba-tiba bertanya, “Dan kapan pernikahan itu dilangsungkan, kanda?”

Wan Cu, yang melihat sorot ganjil dari pandangan putera mahkota tiba-tiba mendahului, “Maaf, kami tak tergesa melaksanakan pernikahan, pangeran. Apalagi jelek-jelek hamba juga harus berkabung untuk kematian suami hamba.”

“Ah, kau setia pada pemberontak?”

Wan Cu tersenyum sedih, kembali melihat sorot ganjil putera mahkota itu, yang rupanya ingin mengujinya. “Pangeran, mohon paduka pisahkan kedudukan hamba sebagai isteri seorang pemberontak dan isteri dari laki-laki pemimpin liar bernama Kung itu. Suami hamba memang memberontak, dan untuk itu dia telah menebus dosa dengan kematiannya. Tapi kedudukan hamba sebagai isteri seorang laki-laki biasa, yang dulu mencintai dan menyayangi hamba, haruskah kedudukan itu dicampuradukkan dengan pemberontakan Kung-ghoda? Hamba wanita biasa, pangeran. Untuk kedudukan ini hamba harus mengingat segala kebaikan suami hamba. Hamba menyatakan berkabung bukan sebagai isteri seorang pemberontak melainkan sebagai isteri biasa terhadap suami yang biasa pula, sesuai hukum adat!”

“Ah, bagus!” sang pangeran terbelalak, melihat watak dan sikap yang agung dari wanita ini. “Kau mendapatkan wanita yang mulia, kanda pangeran. Sungguh beruntung kalau calon isterimu demikian hebat!”

“Dan hamba berjanji tak mau disentuh sebelum menikah, pangeran. Paduka boleh tanya kakak paduka kalau tidak percaya!” Wan Cu menambahi, tentu saja melirik kekasihnya agar mereka dapat bersandiwara dengan baik.

Dan ketika Siauw-ong-ya tertawa bergelak dan menyatakan itu betul akhirnya pangeran mahkota ini terperangah dan kagum pada Wan Cu. Menganggap Wan Cu sebagai isteri yang benar-benar luar biasa. Dapat menjaga kesuciannya, harga dirinya. Silap dan terkecoh oleh permainan dua orang itu, pasangan yang dapat bekerja sama dengan baik. Sama-sama dusta! Dan ketika sang pangeran tertawa dan kakaknya menuangkan arak akhirnya kecurigaan dan kekecewaannya tentang kematian Tio-ciangkun tersapu bersih oleh sikap dan kata-kata manis pasangan yang berbahaya ini.

Kecurigaannya tentang Bu- kongcu lenyap begitu saja. Percaya omongan kakaknya dan mengira bahwa kematian pengawalnya memang betul di tangan Buyima, bukan Bu-kongcu. Dan ketika putera mahkota itu kembali dan Siauw-ong-ya berhasil menanamkan kepercayaan yang mantap maka ketika itu pula pangeran ini menyambar lengan kekasihnya.

“Wan Cu, kau hebat. Omonganmu itu berhasil mengelabuhi adikku!”

Wan Cu tersenyum. “Demi kebaikan kita, kanda. Kalau tidak kunyatakan begitu bukankah adikmu akan menganggapku rendah?”

“Ya, dan sekarang kedudukanmu demikian tinggi di matanya, Wan Cu. Adikku yang tolol itu tentu tak akan menyangka kalau kita sudah... ha-ha!” pangeran ini mendekap kekasihnya, menciumi bertubi-tubi sementara tangan menggerayang ke sana-sini, membuat Wan Cu terkekeh dan menggeliat geli. Tentu saja membuat Siauw-ong-ya semakin beringas dan gemas.

Dan ketika Wan Cu disambar dan dipondong ke dalam akhirnya wanita ini mengeluh membalas ciuman kekasihnya, tidak mengelak lagi dan mandah dibawa ke pembaringan. Dan ketika Siauw-ong-ya menubruk dan menutup pintu kamar akhirnya apa yang dikata wanita ini bertolak belakang dengan apa yang dilakukan. Sayang tak dilihat putera mahkota karena pangeran itu telah pergi. Dan begitu keduanya cekikikan dan tertawa-tawa maka hanya setanlah yang tahu apa yang dikerjakan dua orang ini.

* * * * * * * *

Hari itu, sebulan setelah kejadian di atas Kim -mou-eng dan Sin-piauw Ang-lojin memasuki kota raja. Mereka tentu saja tak masuk di siang hari, bersikap waspada dan tahu musuh tentu menyulitkan mereka, kalau kepergok. Dan Sin-piauw Ang-lojin yang mengajak temannya memasuki istana di kala gelap sudah disambut pendekar ini dengan kening dikerutkan.

“Lojin, tahukah kau dimana letak gedung pangeran mahkota?”

“Tentu, pangeran itu tinggal di sebelah barat istana, taihiap. Dan kita akan ke sana menemui pangeran itu.”

“Kau tak salah?”

“Tidak, marilah...!” dan Sin-piauw Ang-lojin yang pasti menggerakkan langkah sudah melayang ke atas tembok memasuki kompleks istana, kim-mou-eng mengikuti, bergerak seperti hantu di malam gelap. Dan ketika dua orang itu bergerak merupakan bayangan hitam yang sering menyelinap di balik pohon-pohon besar akhirnya dua orang ini tiba di sebuah gedung yang tinggi bergenteng merah.

“Itulah, di sana putera mahkota tinggal!”

Kim-mou-eng mengangguk. Ketua Seng-piauw-pang itu mengajaknya turun, melayang menginjak rumput yang tebal. Tapi Kim-mou-eng yang melihat sesuatu di bawah sana tiba-tiba menarik lengan kakek tinggi besar ini dengan sentakan kuat, berjungkir balik ke atas tembok kembali, mengejutkan kakek itu. Dan ketika ketua Seng-piauw-pang ini terbelalak dan berseru tertahan tahu-tahu puluhan ular mendesis bangun terkejut oleh suara Sin-piauw Ang-lojin tadi.

“Ah, ular-ular jahanam?”

Kim-mou-eng mengangguk. “Dan kau hampir menginjaknya, lojin. Ular-ular ini rupanya dipasang untuk menjaga kedatangan kita. Hati-hatilah!”

Kakek itu tertegun. Puluhan ular yang mendesis di bawah semak-semak itu tiba-tiba berisik suaranya, mendesis-desis. Dan persis mereka tertegun ke bawah mendadak sebuah lampu sorot menyinar ke arah mereka.

“Slap!”

Kim-mou-eng bergerak cepat. Pendekar ini lagi-lagi membetot temannya, secepat kilat melayang ke atas pohon. Begitu cepat hingga lampu sorot itu tak menangkap bayangannya. Dan ketika Sin-piauw Ang-lojin lagi-lagi terkejut maka bayangan dua orang pengawal berlari ke tempat itu.

“Siapa di sini?”

Sin-piauw Ang-lojin gusar. Dia tak menyangka sekitar gedung pangeran mahkota sudah dijaga ketat, bahkan ularpun ikut digerakkan menanti musuh. Rupanya memang menunggu kedatangan mereka. Tapi belum kakek ini bergerak menyerang tiba-tiba Kim-mou-eng mendahului melempar dua daun kering menyambar dua orang itu.

“Cep-cep!”

Dua pengawal itu roboh. Sin-piauw Ang-Iojin kagum melihat dua daun kering itu melekat di tenggorokan dua pengawal, mencekik jalan darah gi-heng-hiat, tentu saja membuat mereka roboh dan tidak sempat berteriak lagi. Masing-masing tak tahu apa yang terjadi, lampu kecil yang mereka bawa tiba-tiba jatuh dan pecah ke tanah, membakar sekitar membuat ular-ular ribut melarikan diri. Sekarang tampak bahwa disepanjang tembok ternyata banyak barisan ular! Dan Sin-piauw Ang-lojin yang terbelalak dan mengumpat marah tiba-tiba disorot lagi sebuah lampu yang entah berasal darimana.

“Awas...!”

Kali ini Kim-mou-eng tak dapat menolong. Dia saat itu memeriksa ke bawah, terkejut melihat sebuah sinar menyorot temannya. Dan ketika Sin-piauw Ang-lojin menghindar tapi kurang cepat bergerak akhirnya seorang pengawal berteriak dari jauh,

“Ada orang...!”

Ketua Seng-piauw-pang ini mengumpat. Dia melayang turun keluar tembok, marah dan menyesal kenapa dia konangan. Tapi sebuah tali yang menjirat di bawah tiba-tiba membuat kakek ini terpelanting dan berteriak kaget. Tak tahu dia menginjak perangkap. Sebatang tombak tiba-tiba meluncur menyambar dadanya. Tapi Kim-mou-eng yang membentak mengibaskan lengannya tiba-tiba membuat tombak patah dan menendang kakek tinggi besar ini.

“Lojin, hati-hati. Sebaiknya tak jauh dariku!”

Sin-piauw Ang-lojin semburat. Dia malu dan kaget kenapa dia tak begitu awas, kalah dibanding pendekar ini. Menyesal kenapa dia menjauhkan diri dari Kim-mou-eng. Kini berjungkir balik melompat bangun dengan muka merah. Dan ketika dia terbelalak dan Kim-mou-eng menyentuh bahunya maka saat itu juga beberapa pengawal ribut-ribut mendatangi mereka.

“Ada orang...! Ada maling...!”

Lampu tiba-tiba dipasang dimana-mana. Tempat itu menjadi terang, tentu saja membuat kakek ini gusar tapi tak berani bertindak sendiri, menunggu Kim-mou-eng. Dan ketika Pendekar Rambut Emas mengangguk dan menyambar lengannya mendadak pendekar itu berkelebat ke arah timur.

“Lojin, kita masuk melalui pohon besar itu. Kau sanggup meloncat lurus?”

“Akan kucoba, taihiap. Tapi kalau gagal tolong kau bantu!”

“Ya,” dan Pendekar Rambut Emas yang sudah berkelebat ke arah pohon besar yang dimaksud tiba-tiba menjejakkan kakinya meluncur lurus, begitu saja seolah papan yang dilontar ke atas. Tegak namun ringan mencapai dahan yang tertinggi.

Tapi ketika ketua Seng-piauw-pang itu mencoba tapi berhasil setengah jalan tiba-tiba kakek ini mengumpat meneruskan lompatannya dengan berjungkir balik, tak tahu gerakannya itu menimbulkan berisik dan punggungnya beradu dengan sebatang dahan yang melintang di tengah, membuat pohon bergoyang dan tiba-tiba belasan anak panah menyambar, tersentuh talinya oleh guncangan yang dibuat Sin-piauw Ang-lojin. Dan ketika kakek itu terkejut dan menggerakkan lengannya ke kiri kanan maka Kim-mou-eng yang ada di atas terpaksa menolong dengan mengibaskan lengannya ke arah panah-panah yang disiapkan secara rahasia itu.

“Lojin, jangan membuat berisik. Kita menghadapi banyak jebakan dimana-mana...!”

Kakek itu pucat. Sekarang dia berhasil membebaskan dirinya, semua anak panah runtuh dipukul dorongan Kim-mou-eng, sedikit saja yang dipukulnya sendiri. Dan ketika dia terbelalak dan pucat berendeng di samping pendekar ini segera dia berbisik, heran dan agak gemetar, “Taihiap, darimana kau tahu pohon inipun berbahaya kita datangi?”

“Aku melihat rentangan tali di balik daun-daun ini, lojin. Karena itu menyuruhmu meluncur lurus agar tidak menggetarkan pohon.”

“Dan aku gagal. Ginkangku tak sehebat yang kau miliki. Sungguh tua bangka ini harus banyak belajar!” kakek itu menyesal, menyalahkan diri sendiri dan kembali kagum pada Pendekar Rambut Emas.

Tapi Pendekar Rambut Emas yang tidak menjawab sudah bertanya lagi, “Dan kau sanggup ke wuwungan itu, lojin? Kita harus melompat sepuluh tombak lebih!”

“Ah, mana mungkin, taihiap? Terus terang aku tak bisa, tentu jatuh di tengah jalan!”

“Baik, kalau begitu lompat ke punggungku. Kita berdua ke sana!” dan Kim-mou-eng yang mematahkan dahan menyuruh kakek itu melompat di punggungnya akhirnya dipandang terbelalak oleh kakek tinggi besar ini.

“Apa, kau mau menggendongku, taihiap?”

“Ya, bukankah kau tak sampai sendiri? Kau lompat ke punggungku, kita berdua ke sana!”

“Tapi... tapi...”

Kim-mou-eng tak sabar. “Lojin, waktu kita sempit. Aku hendak mengajakmu ke sana dengan bantuan sepotong kayu ini. Ayo naiklah!”

Sin-piauw Ang-lojin masih ragu. Sebenarnya, dia malu melakukan itu. Seorang kakek tinggi besar minta gendong seorang pemuda! Tapi ketika Kim-mou-eng mengajaknya tak sabar dan banyak pengawal semakin ribut-ribut di tempat itu akhirnya dengan perasaan berat dan malu hati kakek ini melompat di punggung Kim-mou-eng, persis kadal hinggap di punggung bunglon. “Taihiap, maafkan aku. Aku sungguh tua bangka tak berguna...!”

“Sudahlah, tak perlu malu, lojin. Keadaan memaksa kita untuk berbuat begini. Tapi hati-hati, aku akan melemparmu ke wuwungan bila potongan kayu ini kupergunakan sebagai penyambung!” dan, sebelum kakek itu bertanya lagi tiba-tiba Kim-mou- eng melesat, melempar potongan dahan ke mukanya. Dan begitu potongan kayu itu meluncur di udara tiba-tiba dengan gerakan luar biasa pendekar ini menginjaknya, hinggap sejenak dan berjungkir balik ke wuwungan di depan mata, jarak sudah setengah dan tiba-tiba melempar Sin-piauw Ang-lojin agar beban tak berat menekannya.

Dan begitu kakek tinggi besar itu juga berjungkir balik dan sudah ditolong setengah jalan tiba-tiba dengan gerakan hampir berbareng keduanya selamat hinggap di puncak wuwungan itu, disambut dengan perasaan berdesir oleh kakek tinggi besar ini yang kagum luar biasa pada Kim-mou-eng.

“Taihiap, kepandaianmu hebat sekali...!”

“Sst, tak perlu memuji. Kita sudah di sini, lojin. Mari ke tengah dan lanjutkan perjalanan kita!”

Sin-piauw Ang-lojin mengangguk. Dia ngeri melirik ke bawah, diam-diam membayangkan bagaimana seandainya Pendekar Rambut Emas itu gagal, jatuh dan dia ikut terpelanting ke bawah. Tentu gedubrakan dan disambut musuh. Itu kalau mereka tidak luka-luka! Dan Sin-piauw Ang-lojin yang tak habis kagum memandang tuan penolongnya ini akhirnya tiba di tengah-tengah gedung, dimana Pendekar Rambut Emas memberi isyarat berhenti.

“Kau mendengar sesuatu, lojin?”

“Tidak.”

“Aku mendengar orang bicara. Tempelkan telingamu.”

Sin-piauw Ang-lojin membungkuk. Dia menempelkan telinga di permukaan genteng, kini mendengar dan kagum akan ketajaman telinga pendekar itu. Dan ketika dia mengangguk dan bangun berdiri segera Kim-mou-eng bertanya,

“Kau mengenal suara orang-orang itu?”

“Hm, seperti Bu-kongcu, taihiap. Dan...”

“Benar, ada lima orang di bawah. Aku tak tahu yang mana suara putera mahkota. Kau mengenalnya?”

Kakek ini menggigil. Dia hanya mendengar suara empat orang, bukan lima. Tapi ketika Kim-mou-eng bertanya apakah dia mengenal suara pangeran mahkota akhirnya kakek ini menggeleng dan kebat-kebit. “Aku tak tahu, taihiap. Tapi kita dapat menangkap seorang pengawal atau pelayan.”

“Ya, berarti aku harus turun dulu. Kau tinggallah di sini!” dan sementara kakek itu mendelong tiba-tiba Kim-mou-eng membuka genteng dan menerobos ke bawah. Kakek ini terkejut, temannya lenyap begitu saja. Demikian cepat dan lincah, seperti belut. Dan ketika dia menunggu dan berdebar menanti maka Kim-mou-eng muncul lagi membawa seseorang. Begitu cepat seperti iblis!

“Pengawal ini kudapatkan di bawah. Dia mungkin tahu tentang pangeran mahkota!”

Kakek tinggi besar itu tertegun. Dia bengong oleh semua sepak terjang pendekar ini, kagum akan kepandaiannya yang begitu luar biasa. Hilang dan datang seperti siluman, sungguh hampir tak dapat dipercaya. Tapi melihat pengawal itu melotot ke arah mereka akhirnya kakek ini membungkuk membuka totokannya, memencet jalan darah di tengkuk yang membuat pengawal itu tak dapat berteriak.

“Kau tahu dimana putera mahkota?”

“Tahu...” pengawal itu menggigil.

“Dimana?”

“Di... di bawah.”

“Bawah mana? Maksudmu ruang tengah itu?”

Pengawal ini mengangguk. Dia tampak ketakutan memandang Kim-mou-eng, betapapun mengenal pendekar itu karena Kim-mou-eng pernah membuat geger di kota raja, beberapa waktu yang lalu. Tapi Sin-piauw Ang-lojin yang ragu pada pengawal ini tiba-tiba mendesis,

“Kau bohong. Di bawah sana ada Bu-kongcu! Mana mungkin pangeran mahkota berdekatan dengan pemuda iblis itu? Kau mau menipu kami?”

“Tidak... tidak, maksudku pangeran mahkota ada dibelakang ruangan tengah itu. Mungkin membaca buku karena tadi habis memasuki ruang perpustakaan!”

“Baiklah, kami akan membuktikannya!” Sin-piauw Ang-lojin yang menotok pengawal ini membungkam mulutnya akhirnya bertanya pada temannya, “Bagaimana, kita turun ke bawah, taihiap? Atau kita membagi tugas?”

Kim-mon-eng mengerutkan alis. “Kita harus bersama, lojin. Kau sebaiknya selalu berdekatan denganku. Aku merasakan sesuatu yang ganjil.”

“Kalau begitu kita turun bersama?”

“Ya,” dan Kim-mou-eng yang sudah mengajak temannya menerobos ke bawah tiba-tiba menyelinap dan turun melalui genteng yang mereka buka itu, sebentar kemudian sudah tiba di bawah disebuah ruangan yang besar. Tak lagi mendengar percakapan itu karena Bu-kongcu dan teman-temannya mungkin pergi, hal yang membuat pendekar ini mengerutkan keningnya. Dan ketika ruangan itu juga sepi dan mereka maju ke ruangan yang lain mendadak mereka berdetak melihat seseorang duduk di tengah ruangan membaca buku, agaknya putera mahkota dan persis seperti yang dikatakan si pengawal.

“Pangeran... !” Sin-piauw Ang-lojin berseru girang, sudah melompat mendekat dan yakin itulah pangeran mahkota.

Tapi ketika lima bayangan berkelebat masuk dan tawa yang nyaring mengejutkan kakek ini tiba-tiba orang itu, yang disangka putera mahkota dan memutar kursinya tiba-tiba tertawa berseru pada kakek tinggi besar ini, “Seng-piauw-pangcu, bagus sekali kau datang...!”

Sin-piauw Ang-lojin tertegun. Sekarang dia melihat jelas siapa orang ini, seorang laki-laki berusia tigapuluh limaan tahun, tampan dan bersih dengan wajah bersinar-sinar. Pandangan matanya tajam dan cerdik. Dan begitu lima bayangan yang lain tertawa mengejek kakek itu maka Sin-piauw Ang-lojin mundur berseru kaget, “Pangeran Muda...!”

“Ha-ha, kau mengenal aku, pangcu? Bagus, mari duduk. Dan temanmu itu tentu Kim-mou-eng. Aih, apa kabar, Pendekar Rambut Emas? Kalian mencari aku?” dan Pangeran Muda yang bangkit tertawa dikelilingi orang-orangnya tiba-tiba bertepuk tangan menyuruh orang memberikan kursi, tentu saja tak disambut kakek ini dan Kim-mou-eng, yang melihat Bu-kongcu muncul bersama seorang kakek bercawat yang ha-ha he-he memandang Kim-mou-eng, tangannya membawa suling dan tongkat ular. Dan ketika dua orang itu tertegun dan Bu-kongcu tersenyum-senyum maka Pangeran Muda memperkenalkan kakek bercawat itu.

“Kim-mou-eng, ini Coa-ong Tok-kwi locianpwe. Datang dibawa Bu-kongcu karena ingin berkenalan denganmu. Kau belum mengenalnya, bukan?” dan ketika kakek itu hah-hah-heh-heh dan Kim-mou-eng mengerutkan alis maka pangeran itu sudah berkata lagi, “Dan itu Hek-bong Siang-Io-mo. Kau mengenalnya?”

Hek-bong Siang-lo-mo, dua iblis cebol yang datang bersama Bu-kongcu sudah tertawa menggoyang pantat. “Tentu, pangeran. Kim-mou-eng tentu mengenal kami. Kami sudah pernah bertemu!”

“Dan aku ingin menguji kepandaianmu, Kim-mou-eng. Suling dan tongkat ularku ini penasaran mendengar kelihaianmu!” kakek bercawat menimpali, berseru serak dan sudah maju mendekat dengan mata bersinar-sinar, siap menerjang.

Tapi Pangeran Muda yang tertawa mengulapkan lengan keburu mencegah. “Coa-ong locianpwe, tahan dulu. Sabar. Kita tak boleh menyambut dua tamu kita kalau mereka datang dengan maksud baik!” dan ketika Coa-ong terkekeh melompat mundur pangeran ini sudah berkata dengan suaranya yang manis, “Kim-mou-eng, kau tentu mengantar Seng-piauw-pangcu ini, bukan? Kalian mencari aku?”

“Tidak,” Kim -mou-eng berterus terang. “Kami tidak mencarimu, pangeran. Melainkan...”

“Mencari adikku putera mahkota?”

“Benar.”

“Bagus, kalau begitu tentu atas kehendak Seng-piauw-pangcu ini,” dan ganti menghadapi kakek tinggi besar itu pangeran ini bertanya, “Pangcu, kau ingin bertemu dengan adikku itu? Dia tak ada di sini, adikku sedang beristirahat di gedungku. Tapi kalau benar kau ingin menemuinya biarlah Bu-kongcu menemanimu.” dan tidak memberi kesempatan kakek ini membantah Pangeran Muda sudah memanggil Bu-kongcu. “Kongcu, antarkan tamu kita ke pangeran mahkota. Kim-mou-eng biar kujamu dengan segala kegembiraan!”

Sin- piauw Ang-lojin terkejut. Melihat semuanya itu dia jadi tertegun memandang pangeran muda ini, sepintas menyajikan maksud baik yang demikian menyejukkan. Manis dan ramah. Seolah diantara mereka tak ada permusuhan apa-apa padahal Bu-kongcu tentunya telah melapor semua kejadian di kota Pi-yang. Jadi pangeran itu tahu. Dan Bu-kongcu sendiri yang sudah maju tertawa menyambut perintah Pangeran Muda sudah mendekati Sin-piauw Ang-lojin dengan muka yang tidak kalah ramah pula, berkata manis,

“Pangcu, mari kuantar. Pangeran mahkota memang ada di gedung Pangeran Muda. Hari ini mereka bertukar tempat!”

Kakek ini terbelalak. Dia tentu saja menolak, marah dan melotot memandang pemuda iblis itu, yang pernah menyiksanya, yang hampir saja membuatnya malu dengan cara begitu hina. Menyuruh seorang kakek bermain gila dengan pelacur lewat arak perangsang. Tapi Bu-kongcu yang pura-pura tak tahu akan segala permusuhan mereka satu bulan yang lewat kembali tertawa ramah mengajak kakek itu.

“Mari, kuantar ke sana, pangcu. Bukankah kau mau menemui putera mahkota?”

“Tidak!” Sin-piauw Ang-lojin akhirnya membentak. “Aku tak mau kau antar, pemuda iblis. Aku tak percaya padamu dan dapat ke sana sendiri!”

“Ah, kau menolak perintah Pangeran Muda?”

Kakek ini mendelik. “Bu-kongcu, tak perlu memulas segala kelicikanmu dengan maksud baikmu. Kau sendiri masih berhutang jiwa padaku, mana mungkin berendeng menghadap putera mahkota? Kalau dia ada dan benar di sana biarlah aku pergi sendiri. Tak perlu kalian menipu!” dan, memandang temannya kakek ini bertanya, “Bagaimana, taihiap, kita tinggalkan orang-orang busuk ini?”

Kim-mou-eng menarik napas. Sebenarnya dia berdebar dikelilingi Coa-ong Tok-kwi dan Hek-bong Siang-lo-mo itu, bukan berdebar untuk diri sendiri melainkan berdebar untuk keselamatan ketua Seng-piauw-pang ini. Diam-diam melihat ketenangan yang berbahaya dari Pangeran Muda itu, dapat menangkap getaran kecerdikan yang amat tinggi dari pangeran yang tampan itu, yang katanya akan memberontak dan diam-diam mempersiapkan diri untuk menggulingkan pangeran mahkota, berambisi untuk menjadi kaisar dan tampaknya memang cukup ambisius. Ramah tapi menyembunyikan sesuatu yang mengerikan. Dan mendengar pertanyaan temannya dan Sin-piauw Ang-lojin rupanya mau pergi tiba-tiba pendekar ini memandang tawar tersenyum pahit.

“Lojin, apa yang kau inginkan rupanya tak disukai lawan-lawan kita. Bagaimana kalau kita tanya Pangeran Muda? Mungkin pangeran mau mengalah kepada kita, atau kita dapat kembali setelah menemui putera mahkota.”

“Ah, mana bisa begitu, Kim-mou-eng?” Pangeran Muda tertawa. “Kami belum menyuguhkan arak, tak mungkin kalian pergi sebelum menikmati jamuan. Sebaiknya temanmu itu diantar Bu-kongcu atau tinggal sekalian di sini saja, bersamamu!”

Kim-mou-eng tahu itu. Dia sudah menduga pangeran ini akan menahan mereka, tak mungkin pula membiarkan Seng-piauw- pangcu sendirian menghadap putera mahkota. Sengaja menyuruh Bu -kongcu untuk mengawal dan mungkin membunuhnya secara diam-diam, karena murid Sai-mo-ong itu memang tinggi kepandaiannya dan Sin-piauw Ang-lojin kalah lihai. Tapi tertawa getir memandang temannya dia balik bertanya,

“Nah, bagaimana jawabanmu, pangcu? Apakah kita sambut saja ajakan pangeran dan menunda dulu keperluan kita menghadap pangeran mahkota?”

Sin-piauw Ang-lojin menggertak gigi. “Taihiap, apa yang mereka perlihatkan tidak sama dengan apa yang mereka lakukan. Aku tak mau tinggal di sini dan ingin secepatnya pergi!”

“Tapi kau memasuki rumah tanpa ijin, pangcu. Haruskah kami lepaskan begitu saja sepak terjang kalian ini? Kusambut kalian dengan baik saja sudah untung, seharusnya kau tahu diri!” Pangeran Muda mengejek, memandang ketua Seng-piauw-pang itu dengan pandangan dingin.

Dan Bu-kongcu yang juga tertawa mengebutkan kipasnya tiba-tiba menyambung, “Benar, seharusnya kau tahu diri Seng-piauw-pangcu. Pangeran telah menyambut kalian baik-baik. Kalau tak ingin membuat onar tentunya kalian mematuhi tuan rumah dan tidak banyak cingcong lagi. Bagaimana?”

“Tidak,” kakek ini menggeram. “Aku tetap tak mau tinggal di sini dan ingin pergi!” dan meloncat mengibaskan lengannya tiba-tiba kakek ini berkelebat keluar.

Tentu saja tak dibiarkan Pangeran Muda yang sudah memberi isyarat pada Bu-kongcu. Dan begitu kakek itu keluar dan Bu-kongcu menjengek mendadak pemuda ini berkelebat pula menggerakkan kipasnya.

“Pangcu, tunggu dulu. Mari kuantar...!” kipas bergerak ke depan, menotok punggung kakek itu dengan satu ketukan kuat. Dan Sin-piauw Ang-lojin yang tentu saja mendengar angin serangan ini sudah membalik dan cepat menangkis, terpaksa menghentikan larinya.

“Plak!” Kakek ini terhuyung, disambut tawa mengejek Bu-kongcu yang melipat kipasnya. Dan ketika kakek itu tegak kembali dan marah memandang lawan maka Kim-mou-eng berkelebat di samping temannya ini, dipandang gentar Bu-kongcu yang cepat mengerutkan keningnya.

“Kau mau apa?”

Kim-mou-eng tersenyum, melindungi temannya. “Aku tak suka kau berbuat curang, Bu-kongcu. Kalau pangeran tak mengijinkan biarlah kami coba-coba menjalankan niat kami sendiri. Nah, kau pergilah. Aku yang akan menghadapi lawan-lawanku, pangcu. Berangkat dan tenangkan hatimu!”

Pendekar Rambut Emas menepuk pundak temannya, memulihkan kembali bekas pukulan Bu-kongcu yang menggetarkan ketua Seng-piauw-pang itu. Tapi Hek-bong Siang-lo-mo dan Coa-ong Tok-kwi serta orang terakhir yang tidak dikenal Kim-mou-eng tiba-tiba berkelebat mengepung mereka.

“Heh-heh, mana bisa begitu mudah, Kim-mou-eng? Kalau Seng-piauw-pangcu itu mau coba-coba keluar atas perlindunganmu biarlah dia coba-coba niatmu itu. Ingin kulihat, bisakah dia keluar dengan hidup kalau paduka pangeran tak menghendaki!” Hek-bong Twa-lo-mo berseru, menggerakkan kedua tangannya yang tiba-tiba berubah hitam. Siap melepaskan pukulan maut pada ketua Seng-piauw-pang itu.

Dan Coa-ong Tok-kwi yang juga menggerak-gerakkan tongkat dan suling tiba-tiba terkekeh nyaring. “Kim-mou-eng, jangan sombong dengan kepandaian yang kau agul-agulkan itu. Aku telah memanggil semua ularku di luar, mana bisa temanmu merat tanpa seijin kami? Kalau kau tidak percaya lihatlah...!” kakek ini meniup sulingnya, tinggi melengking dan tiba-tiba disambut desis ratusan ular. Dan ketika dia tertawa dan menuding ke depan mendadak Sin-piauw Ang-lojin berseru kaget melihat ratusan ular merayap masuk.

“Heh-heh, bagaimana, pangcu? Kau berani keluar?”

Sin-piauw Ang-lojin pucat. Dia terang tak dapat melewati ratusan ular itu, yang kini memasuki ruangan dengan tubuh melenggang-lenggok, licin menjijikkan dengan lidahnya keluar masuk itu, merah bercabang. Dan ketika Coa-ong Tok-kwi meniup tinggi memberi tanda mendadak ular-ular yang masuk itu berhenti di depan si Raja Ular ini, beberapa tombak dari Sin-piauw Ang-lojin dan Kim-mou-eng.

Tapi Kim-mou-eng tersenyum. “Kau berani keluar, pangcu?”

“Tentu berani, tapi...”

“Nah, teruskan niatmu, pangcu. Aku akan menolongmu!” Kim-mou-eng mendadak mengambil obor, menyulutnya dan secepat kilat melemparnya ke barisan ular itu, persis yang di depan pintu. Dan ketika semua orang terkejut dan marah oleh perbuatannya tiba-tiba pendekar ini telah mendorong temannya pergi dari situ.

“Pangcu, keluarlah...!”

Sin-piauw Ang-lojin sadar. Kakek itu berseru keras, melihat ular menyibak dan otomatis memberi jalan, ketakutan oleh obor yang dilempar Kim-mou-eng. Dan begitu Kim-mou-eng mendorongnya mencelat pergi tiba-tiba kakek ini berseru girang melompat keluar. “Taihiap, terima kasih!”

Namun Coa-ong Tok-kwi membentak. Raja Ular ini berteriak marah, mendorong tangannya melepas pukulan jarak jauh. Tapi Kim-mou-eng yang sudah bersiap melindungi temannya tiba-tiba menggerakkan pula lengannya menangkis dari samping.

“Plak!” dan pukulan Raja Ular itu melenceng, membuat Raja Ular ini mencak-mencak dan memaki lawannya. Dan ketika Sin-piauw Ang-lojin lenyap di luar dan Hek-bong Siang-lo-mo juga membentak marah maka dua iblis cebol ini menyerang Kim-mou-eng yang cepat menggerakkan tubuhnya menghadapi tiga orang lawannya itu.

“Kim-mou-eng, kau jahanam keparat... plak-duk-dukk!” tiga pukulan itu ditangkis, membuat ketiganya terpental sementara Kim-mou-eng sendiri hanya tergetar, mengerahkan Tiat-lui-kangnya dan sudah diserang kembali oleh tiga iblis yang marah kepadanya ini. Dan ketika orang terakhir juga ikut membantu dan Coa-ong Tok-kwi serta teman-temannya berkaok-kaok maka Bu-kongcu yang gentar menghadapi Kim-mou-eng tiba-tiba berkelebat keluar mengejar Sin-piauw Ang-lojin.

“Paman, kalian robohkan si Rambut Emas itu. Biar aku mengejar ketua Seng-piauw-pang...!”

Kim-mou-eng mengerutkan kening. Dia khawatir pemuda itu mencari temannya, tahu Bu-kongcu tak akan mengampuni lawan sebelum Sin-piauw Ang-lojin mendapatkan putera mahkota. Maka melihat pemuda itu mengejar keluar tiba-tiba pendekar ini berseru melakukan pukulan menyedot, “Bu-kongcu, kau kembalilah...!”

Bu-kongcu terkejut. Saat itu dia sudah menginjak pintu keluar, tentu saja tak mengira diserang, mendengar angin pukulan menyambar tengkuknya. Tapi mengelak tak berani menangkis tiba-tiba pemuda ini menghindar dan melompat ke kiri, mendengar angin berkesiur dan lewat di sampingnya, tiba-tiba membalik dan menerjangnya dari depan, tentu saja membuat pemuda ini terkejut.

Dan ketika dia terbelalak dan berseru kaget tahu-tahu angin pukulan yang seolah siluman itu sudah membungkusnya dan menariknya kuat, melibat seluruh tubuhnya dan sekejap kemudian membuat dia terjirat, mencekik pemuda ini. Dan sementara Bu-kongcu terbelalak dan pucat mukanya tahu-tahu tubuhnya sudah terbanting bergulingan dan masuk kembali ke dalam ruangan itu.

“Bress...!” Bu-kongcu berteriak tertahan. Dia ngeri oleh pukulan sinkang Pendekar Rambut Emas yang seolah bernyawa ini. Seolah hidup. Begitu hebat dan memiliki daya sedot yang tinggi, mampu menghisapnya jatuh bergulingan. Dan ketika dia melompat bangun dan pukulan itu lenyap membebaskannya segera pemuda ini membentak marah memaki gentar,

“Kim-mou-eng, kau jangan main sihir...!”

Kim-mou-eng tersenyum. Saat itu dia kembali dikeroyok empat lawannya, melihat Bu-kongcu marah-marah dan gentar memakinya. Tapi Coa-ong Tok-kwi yang gusar menerjang pendekar ini sudah berteriak pada Bu-kongcu,

“Kau teruskan larimu, bocah. Tangkap ketua Seng-piauw-pang itu dan jangan berkaok-kaok di situ!”

Bu-kongcu melotot. Dia mendongkol oleh ucapan si Raja Ular ini, tentu saja mengerti dan memang berniat meneruskan pengejarannya. Tapi ketika untuk kedua kalinya kembali dia disedot dan jatuh bergulingan di muka pintu akhirnya pemuda ini marah dan memaki si Raja Ular itu, “Paman, kaupun jangan berkaok-kaok saja. Lindungi aku...!”

Coa-ong terbelalak. Dia terkejut oleh sinkang Pendekar Rambut Emas ini, membuat dua kali keponakannya jatuh bangun. Tapi ketika Hek-bong Siang-lo-mo juga membentak dan menerjang pendekar ini ganti dua iblis cebol itu berseru pada Bu-kongcu, “Kau ulangilah, bocah. Kim-mou-eng kami tahan!”

Bu-kongcu melompat bangun. Dia gentar oleh kepandaian Pendekar Rambut Emas yang luar biasa itu, ragu. Tapi ketika Hek-bong Siang-lo-mo menyerang dan Coa-ong Tok-kwi juga menahan pukulan pendekar ini akhirnya pemuda itu berhasil dan dapat keluar dari pintu. Memang ditahan sejenak oleh Kim-mou-eng agar Sin-piauw Ang-lojin dapat bernapas lega di luar sana, sempat mencari dan mungkin mendapat perlindungan pula dari putera mahkota.

Dan begitu lawan mengeroyoknya lagi dan Bu-kongcu mengejar Sin-piauw Ang-lojin akhirnya Pendekar Rambut Emas ini menghadapi lawan-lawannya dan mulai menangkis serta membalas, melihat dari empat orang itu hanya Hek-bong Siang-lo-mo dan Coa-ong Tok-kwi saja yang paling tinggi kepandaiannya. Jadi kepada tiga orang inilah perhatiannya dicurahkan. Dan begitu mereka semua mengeroyok dan saling melepas pukulan maka Pendekar Rambut Emas inipun harus berlompatan ke sana-sini mengerahkan kepandaiannya.

Betapapun mampu menahan dan diam-diam membuat kagum semua lawannya, terutama kagum pada Tiat-lui-kang yang dipakai pendekar ini, pukulan berhawa panas yang selalu mementalkan pukulan mereka. Tapi karena Pendekar Rambut Emas hanya bersikap bertahan dan sesekali balas menyerang tanpa nafsu bertempur yang tinggi maka pendekar ini mulai mencari jalan keluar untuk melepaskan dirinya.

Sebenarnya, kalau Kim-mou-eng mau bersungguh-sungguh agaknya pertempuran itu akan dimenangkannya, meskipun dengan perjuangan yang keras. Tapi karena kedatangannya ke situ bersifat mengawal Sin-piauw Ang-lojin dan tak ada maksud untuk membunuh atau bertempur mati-matian maka kepada kakek tinggi besar inilah pikirannya tertuju.

Diam-diam melirik sana-sini melihat jalan keluar, tak lagi melihat Pangeran Muda yang justeru membuatnya berdebar itu. Mungkin meninggalkan ruangan merencanakan sesuatu. Dan karena lawan terus mendesak dan Hek-bong Siang-lo-mo serta Coa-ong Tok-kwi tampak penasaran menyerang pendekar ini akhirnya Kim-mou-eng melihat ular mulai dikerahkan pula oleh Coa-ong yang marah besar.

“Anak anak, maju kalian...!”

Kim-mou-eng mengerutkan alis. Ruangan itu sudah penuh ular, kini semuanya bergerak menuju kakinya, siap menyerang dari bawah mengikuti irama suling. Hebat Raja Ular itu karena tangan yang satu meniup suling sementara tangan yang lain menggerakkan tongkat ular, dibantu Hek-bong Siang-lo-mo dan orang terakhir itu.

Dan ketika atas dan bawah mulai dikepung sementara Kim-mou-eng tertuju pikirannya pada ketua Seng-piauw-pang akhirnya pendekar ini memutuskan untuk meninggalkan pertempuran lewat atas, dimana tadi dia membuka genteng. Dan begitu lawan menyerang dan ular juga mulai bergerak tiba-tiba Pendekar Rambut Emas menangkis serangan Hek-bong Siang-lo-mo yang menghantam kepalanya.

“Plak-dukk!”

Hek-bong Siang-lo-mo mendesis. Untuk kesekian kalinya pula mereka terpental, Kim-mou-eng sudah memutar menangkis pukulan si Raja Ular. Dan ketika Raja Ular itu juga terhuyung dan Kim-mou-eng tertawa mengejek tiba-tiba pendekar ini mencelat ke atas menghilang di langit-langit ruangan.

“Tok-kwi, nanti saja kita ketemu!”

Coa-ong Tok-kwi mencak-mencak. Dia menyusul menyumpah-serapah, ular-ularnya di bawah tiada guna. Dan Hek-bong Siang-lo-mo yang juga mengejar sambil membentak marah tiba-tiba melesat keluar melalui lubang yang dipakai Kim-mou-eng, bertiga mencari Pendekar Rambut Emas itu. Dan ketika bayangan pendekar itu tampak berkelebat menuju ke timur akhirnya ke sinilah mereka bertiga berkaok-kaok.

“Kim-mou-eng, jangan lari!”

“Kim-mou-eng, rasakan dulu gebukan kami...!”

Kim-mou-eng tak menjawab. Dia menuju ke timur karena di sanalah dia melihat ribut-ribut, rupanya Sin-piauw Ang-Iojin menghadapi rintangan. Sebentar kemudian tiba di tempat itu dan benar melihat ketua Seng-piauw-pang ini dikeroyok. Puluhan pengawal menyerangnya dengan tombak dan golok, mendengar kakek tinggi besar itu membentak-bentak menyebut nama pangeran mahkota. Berkali-kali memberi tahu lawan bahwa dia ingin menghadap pangeran itu.

Tapi ketika Bu-kongcu muncul dan menyerang kakek ini tiba-tiba dalam keroyokan yang kalut itu ketua Seng-piauw-pang ini mengeluh untuk kesekian kalinya lagi mendapat serangan jarum rahasia Bu-kongcu yang melepasnya di kala kakek itu menghadapi puluhan pengawal. Dan ketika kakek itu terhuyung dan mendelik memaki pemuda ini maka Bu-kongcu menerjang menyuruh para pengawal mundur.

“Biarkan tua bangka ini menjadi bagianku. Kalian mundurlah...!”

Sin-piauw Ang-Iojin marah. Untuk kedua kalinya di tempat itu dia menggigil keracunan, tiga jarum menembus tubuhnya. Dan ketika kipas bergerak dan menyerang gencar akhirnya kakek ini mundur-mundur dengan muka pucat, mencabut pisau panjangnya yang bergagang gading itu menangkis dan berkali-kali terhuyung menahan sakit. Racun yang memasuki tubuhnya mulai mengikuti aliran darah. Dan ketika lawan menyerang dan Bu-kongcu tertawa hendak membunuh kakek ini maka satu ketukan kipas tak dapat dihindari ketua Seng-piauw-pang ini.

“Tuk!” Sin-piauw Ang-lojin roboh. Kakek itu terbanting, tapi dapat melompat bangun lagi karena daya tahan tubuhnya memang kuat. Menggereng menangkis totokan kipas yang mengejar dengan mata berkunang, tenaga semakin dilolosi karena racun bergerak cepat, muka berubah kehijauan tanpa disadari. Dan ketika dua tiga kali serangan kipas kembali menyengat tubuhnya maka di saat itulah Kim-mou-eng datang, berkelebat menyerang Bu-kongcu.

“Bu-kongcu, tahan kekejianmu. Pergilah... plak!” kipas hancur di tangan pemuda itu, ditangkis Kim- mou-eng yang sudah menyambar temannya. Sin-piauw Ang-lojin roboh sementara Bu-kongcu juga terpelanting, berteriak kaget. Dan ketika Kim-mou-eng menjejalkan obat tapi Hek-bong Siang-lo-mo dan Coa-ong Tok-kwi juga menyambar datang maka tiga iblis yang marah ini langsung menerjang.

“Kim-mou-eng, kaulah yang keparat. Mampuslah..!”

Kim-mou-eng bergerak cepat. Dia memutar tubuhnya menangkis tiga serangan itu, dengan sebelah lengan, karena lengan yang lain membawa temannya. Dan ketika lawan-lawannya terpental dan Sin-piauw Ang-lojin mengeluh maka kakek ini sudah berseru,

“Taihiap, masuk saja ke dalam. Putera mahkota memang ada di sana. Cepat...!”

Kim-mou-eng mengerutkan alis. Saat itu Hek-bong Siang-Io-mo dan Coa-ong sudah kembali menyerang, masing-masing penasaran benar. Tampak beringas dan ingin membunuhnya. Tapi mendengar putera mahkota ada di dalam dan keadaan Sin-piauw Ang-lojin mendadak gawat tiba-tiba pendekar ini berkilat menganggukkan kepalanya.

“Baiklah, aku akan menerjang ke depan, lojin. Kau peganglah erat -erat punggungku. Awas...!” dan Kim-mou-eng yang membentak melepas Tiat-lui-kangnya tiba -tiba membentur tiga pukulan Hek -bong Siang-lo-mo dan Coa -ong Tok-kwi. Begitu hebat hingga tiga iblis itu menjerit, terjengkang roboh. Dan sementara mereka bergulingan tiba-tiba pendekar ini mengibaskan lengannya mendorong pengawal, yang menjaga pintu masuk. Dan begitu angin pukulan menerjang ke depan mendadak duapuluh pengawal yang ada di situ berpelantingan roboh berteriak kaget.

“Hei...!”

“Aduh...!”

Kim-mou-eng tak membuang-buang waktu. Dia sudah berkelebat memasuki pintu masuk itu, melesat seperti kijang, lenyap di dalam disambut teriakan kaget Hek-bong Siang-lo-mo dan Coa-ong Tok-kwi. Dan ketika tiga iblis ini juga mengejar dan berkelebat ke dalam maka Kim-mou-eng sudah tiba di tengah, tak menghiraukan teriakan di luar yang membuat tempat itu menjadi ribut, gaduh membangunkan pangeran mahkota yang ada di dalam. Dan persis pendekar ini memasuki ruangan dalam tiba-tiba dua orang telah menunggu kedatangannya, putera mahkota dan Pangeran Muda!

“Kim-mou-eng, apa yang kau lakukan ini?”

Kim-mou-eng tertegun. Otomatis dia berhenti, Sin-piauw Ang-lojin diturunkan dan terbelalak memandang dua orang itu, melotot pada Pangeran Muda. Tapi menjatuhkan diri berlutut berseru menggigil kakek ini sudah berkata girang,

“Pangeran, hamba ingin bertemu paduka...!” Kiranya Sin-piauw Ang-lojin sudah mengenal putera mahkota.

Sang pangeran sendiri mengerutkan kening, sudah mendengar maksud kakek ini yang ribut-ribut ingin menemuinya, mengangguk dan melangkah maju ke depan. Dan ketika kakek itu disuruh berdiri dan dua mata beradu pandang akhirnya pangeran ini bertanya, “Aku tahu, tapi apa yang hendak kau bicarakan, pangcu? Bukankah kau Sin-piauw Ang-lojin ketua Seng-piauw-pang?”

“Benar, pangeran. Hamba... hamba hendak membicarakan sesuatu yang penting...!”

“Hm, katakan. Kau datang bersama Kim-mou-eng tentu memang untuk urusan penting. Apa yang hendak kau bicarakan?”

Kakek ini beringas, tapi Kim-mou-eng mendahului dengan suara tenang, melihat berkelebatnya bayangan Coa-ong dan Hek-bong Siang-lo-mo. “Seng-piauw-pangcu hendak bicara empat mata, pangeran. Sebaiknya kakak paduka dipersilahkan mundur.”

“Hm...” putera mahkota ini mengerutkan keningnya. “Kau selalu datang membawa persoalan, Kim-mou-eng. Beginikah sepak terjangmu sehari-hari? Aku kagum pada kelihaianmu, tapi tak simpatik pada keonaran yang selalu kau buat. Apa maksudmu dengan menyuruh kakakku pergi!”

Sin-piauw Ang-lojin menggigil, ganti mendahului, “Karena urusan ini menyangkut kakak paduka, pangeran. Sebaiknya daripada tersinggung paduka persilahkan mundur saja kakak paduka itu!”

Sang putera mahkota membelalakkan mata, melihat kesungguhan dua orang itu. Tapi Hek-bong Siang-lo-mo dan Coa-ong Tok-kwi yang sudah datang menerjang tiba-tiba berteriak, “Pangeran, dua orang ini pengacau jahanam. Sebaiknya dibunuh mereka itu tak perlu dilayani...!”

Hek-bong Siang-Io-mo dan temannya berkelebat. Mereka menyerang Kim- mou-eng sekaligus Sin-piauw Ang -lojin, menampar dan mendorong. Tapi Kim-mou-eng yang maju menggerakkan ke dua lengannya menangkis tiga pukulan ini segera membentak melindungi temannya,

“Lo-mo, kalian jangan kurang ajar. Biarkan kami bicara dulu... duk duk!” tiga iblis itu berseru tertahan, untuk kesekian kalinya lagi terpental dan memaki-maki pendekar itu, Kim-mou-eng hanya tergetar.

Tapi sebelum mereka menyerang lagi dan putera mahkota membentak marah tiba-tiba semuanya dicegah saling serang, “Hek- bong Siang-lo-mo, tahan. Mereka benar tamuku...!”

Hek-bong Siang-Io-mo dan Coa-ong Tok-kwi tak berani menyerang. Mereka mendapat isyarat pula dari Pangeran Muda yang tetap tenang, bahkan tersenyum pada Kim- mou -eng dan Sin-piauw Ang-lojin. Sedikitpun tak cemas bila dua orang itu akan melaporkan rencana pemberontakannya. Mungkin sudah bersiap-siap. Sikap yang bagi Kim-mou-eng justeru berbahaya dan mendebarkan. Dan ketika semuanya tak ada yang mau menyerang dan Bu-kongcu juga muncul di tempat itu maka Pangeran Muda tertawa memandang kakek tinggi besar itu.

“Sin-piauw Ang-lojin, rupanya kau mau melaporkan sesuatu yang bersifat fitnah. Kenapa menyuruh aku pergi kalau beritamu benar? Adikku siap mendengarkan semuanya dengan tenang. Kau bicaralah, tak perlu khawatir aku tersinggung!”

“Aku memang hendak bicara, pangeran,” kakek ini mendelik. “Tapi sama sekali bukan fitnah seperti apa yang kau bilang!”

“Bagus, kalau begitu kenapa takut didengar semua orang? Bicaralah, kita lihat saja benarkah bukan fitnah atau justeru kau yang harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu bila tidak benar!”

Sin-piauw Ang-lojin gusar. Tapi sebelum kakek itu mengeluarkan kata- kata keras sang putera mahkota sudah mengulapkan lengannya. “Lojin, apa yang dikata kakakku memang benar. Kau tak perlu khawatir, kakakku tak akan tersinggung. Kau bicaralah, kami akan mendengarnya apa yang hendak kau katakan ini.”

Sang kakek otomatis tertegun. Dia hendak membuka kebusukan Pangeran Muda, rencana pemberontakannya itu dan segalanya yang bersangkut paut dengan itu. Hubungannya dengan menteri-menteri jahat macam Mao-taijin dan lain-lain. Jelas akan membeberkan semuanya itu di depan sang pangeran mahkota. Maksudnya agar pangeran itu hati-hati dan waspada.

Tentu saja tak membayangkan sebelumnya bahwa orang yang hendak dilaporkan, Pangeran Muda sendiri, siap mendengarkan di samping putera mahkota seperti seorang baik-baik yang tak punya salah. Membuat kakek ini gugup dan bingung. Seketika grogi! Dan ketika Sin-piauw Ang-lojin masih juga bungkam padahal pangeran mahkota menunggu kata-katanya maka pangeran ini marah melangkah maju.

“Pangcu, kau kini telah berhasil menemuiku. Kau hendak bicara sesuatu, kenapa diam setelah bertemu? Kau segan pada kakakku yang ada di sini?”

“Ha-ha, bukan segan, adik pangeran. Tapi mungkin takut kalau nanti kata-katanya itu memang fitnah!” sang Pangeran Muda tertawa, mengejek kakek itu membuat Sin-piauw Ang-lojin gusar, marah sekali. Tapi sebelum kakek itu bicara maka Kim-mou-eng menegur temannya ini.

“Lojin, apa yang hendak kau katakan memang sebaiknya katakan saja. Orang yang kau tuduh ada di sini, atas permintaannya sendiri. Kenapa enggan dan ragu mengatakannya pada putera mahkota? Kalau kau ingin bicara sebaiknya bicara saja, tak perlu ditunda!”

“Baik,” kakek ini menggeram, lagi-lagi mendengar Pangeran Muda tertawa mengejek. “Hamba hendak menceritakan kebusukan kakak paduka, pangeran. Bahwa...” kakek ini mengepal tinju. “Bahwa kakak paduka hendak memberontak, hendak membunuh paduka!”

“Ha-ha,” Pangeran Muda tiba-tiba tertawa bergelak, tak mempedulikan pangeran mahkota yang terkejut. “Kau membawa kentut busuk, Seng-piauw-pangcu. Sungguh kata-katamu ini boleh dibilang fitnah! Tapi baiklah, teruskan laporanmu. Apa lagi yang hendak kau katakan? Kau hendak mengatakan bahwa aku bersekongkol dengan menteri-menteri jahat dan hendak menggulingkan tahta istana pula? Bahwa aku merencanakan ini-itu untuk membunuh ayahku pula? Ayo, Sin-piauw Ang-lojin. Teruskan fitnahmu ini dan aku akan mendengarnya, tidak tersinggung!”

Sin-piauw Ang-lojin tertegun. Sungguh tidak disangka olehnya bahwa apa yang hendak dilaporkan itu kini terang-terangan dikatakan Pangeran Muda sendiri, jelas dan tidak tedeng aling-aling. Blak-blakan dan tidak ditutup-tutupi lagi. Seolah apa yang hendak dikatakan sudah dibaca pangeran itu. Pangeran yang cerdik dan sungguh berbahaya. Demikian berani mati mengakui perbuatan sendiri! Tapi menjengek dengan mata bersinar-sinar kakek ini mengangguk, merasa mendapat kemenangan.

“Benar, aku memang hendak melaporkan seperti apa yang telah kau katakan itu, pangeran. Bahwa kau merencanakan pemberontakan dan hendak membunuh kaisar pula. Kau siap merebut kursi tahta lewat putera mahkota. Kau licik dan culas!”

“Sudah? Masih ada lagi?” pangeran ini tertawa, sikapnya luar biasa tenang. “Kalau belum silahkan melapor lagi, lojin. Aku tak tahu atas dasar apa kau menaruh sakit hati demikian luar biasa kepadaku!” Kakek ini lagi-lagi tertegun. Dia melihat putera mahkota pucat mukanya, memandang dia dan sang kakak berganti-ganti. Tapi ketika dia tak bicara lagi dan kata-katanya terhenti di situ maka pangeran mahkota menggigil membentaknya, “Seng-piauw-pangcu, sadar kah kau dengan semua ucapanmu ini? Sadarkah kau akan segala akibat dan tanggung jawab dari semua kata-katamu ini?”

“Tentu, ” kakek ini menjawab pasti. “Hamba sadar akan semua kata-kata hamba, pangeran. Dan sumpah demi langit dan bumi apa yang hamba katakan adalah benar!”

“Dan kau punya buktinya?” mendadak Pangeran Muda bertanya, tersenyum sinis. “Kau dapat membuktikan semua kata-katamu ini, pangcu? Kau dapat memberikan pada adikku pangeran mahkota bahwa apa yang kau katakan tidak merupakan fitnah?”

“Ini... ini...”

“Jangan ini-ini, Seng-piauw-pangcu. Kalau kau mengatakan aku hendak memberontak dan segalanya itu sebaiknya kau tunjukkan pula bukti- buktinya pada adikku. Aku siap menghadapinya. Kalau tidak terpaksa aku menuntut tanggung jawabmu dan minta pada adikku agar membunuhmu!”

Sin-piauw Ang-lojin pucat. Sebenarnya, kedatangannya ke situ adalah hendak memberi tahu sang pangeran mahkota akan segala rencana Pangeran Muda. Bicara empat mata dan tidak disaksikan begini banyak orang, kecuali Kim-mou-eng yang sengaja diminta bantuannya untuk mengawal. Sungguh tak dinyana keadaan berubah begini runyam. Pangeran Muda minta buktinya kalau semua kata-katanya itu benar.

Dan karena bukti satu-satunya hilang karena A-ciong yang membawa daftar rencana Pangeran Muda itu dibunuh tanpa diketahui siapa pembunuhnya tentu saja kakek ini jadi tertegun dan bengong di tempat, tak dapat menjawab. Dan ketika Pangeran Muda tertawa dan kakek itu menggigil maka pangeran ini sudah menghadapi adiknya.

“Nah, kau lihat, adik pangeran. Apa yang kukatakan di dalam tadi betul. Ketua Seng-piauw-pang ini hendak memfitnahku. Dia datang bersama Kim-mou-eng, mungkin saja disuruh Pendekar Rambut Emas ini karena ada hubungannya dengan suku bangsanya di luar tembok besar itu, memecah belah kita dan hendak mengacau di sini. Mungkin dendam atas kehancuran suku bangsa Tar-tar. Bagaimana pendapatmu?”

Putera mahkota terbelalak. Sebenarnya, di dalam tadi dia sudah ditemui adiknya, eh... kakaknya ini. Mendengar ribut-ribut di luar dari keterangan kakaknya. Bahwa ketua Seng-piauw-pang datang dikawal Kim-mou-eng. Dan karena Kim-mou-eng dianggap bangsa Tar-tar karena darah Tar-tar lebih menonjol di tubuh pendekar itu ketimbang darah ibunya maka kakaknya memberi tahu dia mungkin kedatangan ketua Seng-piauw-pang itu atas hasutan Kim-mou eng. Bahwa Kim-mou-eng mungkin mau membalas dendam atas kehancuran suku bangsanya setelah dulu Gurba datang menyerang, mengacau istana dan kini hendak memecah-belah mereka. Menggunakan ketua Seng-piauw pang itu sebagai alat.

Dan karena Sin-piauw Ang-lojin sendiri tak dapat memberi bukti sebagai pelengkap semua laporannya tadi maka tentu saja putera mahkota ini termakan omongan kakaknya dan menganggap Sin-piauw Ang-lojin memang datang untuk mengacau. Untuk memfitnah! Dan ketika kakek itu melenggong tak dapat bicara tiba-tiba pangeran ini membentak melotot gusar, memandang Kim-mou-eng pula.

“Sin-piauw Ang-lojin, sungguh tak kunyana pula sebagai orang Han kau hendak membela suku bangsa Tar-tar. Mana bukti seperti yang dituntut kakakku itu? Mana pelengkap dari semua laporanmu ini? Aku menuntut buktinya, lojin. Kalau kau tak dapat menunjukkannya maka kuanggap kau memfitnah. Kau melancarkan kecurigaan dan permusuhan diantara kami!”

“Dan kalau aku hendak membunuh adikku sendiri tak perlu berlama-lama, lojin. Sekarangpun aku dapat minta tolong pada Hek-bong Siang-lo-mo atau Coa-ong Tok-kwi itu. Tapi aku tak melakukannya, karena aku memang tidak merencanakan niat seperti yang kau laporkan itu. Apalagi mengkhianati sri baginda. Bukankah beliau ayah kandungku sendiri? Kau sengaja mengadu domba, Sin-piauw Ang-lojin. Kau memfitnah dan rupanya dihasut Pendekar Rambut Emas ini. Kalian berpolitik, mungkin malah hendak membunuh kami!”

Sin-piauw Ang-lojin terbelalak. Kim-mou-eng sendiri terkejut, berubah mukanya. Keadaan tiba-tiba dibalik oleh Pangeran Muda yang licin dan cerdik itu. Kedudukan mereka terancam. Dan karena bukti memang tak dapat diberikan karena daftar berharga di tangan A-ciong hilang karena bocah itu dibunuh seseorang tiba-tiba Sin-piauw Ang-lojin kalap menyerang Pangeran Muda.

“Siauw-ong-ya, kau memang jahanam busuk. Bukti yang kau minta telah kau rebut lewat orang-orangmu dari tangan A-ciong...!”

Semuanya terkejut. Sin-piauw Ang-lojin sudah menubruk Pangeran Muda, demikian sengit hendak membunuh pangeran itu. Tapi Coa-ong Tok-kwi yang berdiri lebih dekat dengan sang pangeran tiba-tiba membentak, menghantam ketua Seng-piauw-pang ini.

“Tua bangka busuk, pergilah...!”

Sin-piauw Ang-lojin terbelalak. Saat itu dia melepas pukulan tanpa mempedulikan diri, menerjang saking marahnya melihat diri sendiri terjebak. Menuduh balik dituduh. Maka ketika dia menyerang dan Coa-ong Tok-kwi menghantamnya dari samping mendadak ketua Seng-piauw-pang ini mengeluh dan terbanting roboh, sebelum pukulannya mengenai Pangeran Muda.

“Dess!” kakek itu mencelat bergulingan. Kim-mou-eng terkejut, cepat berkelebat menolong temannya ini, tak menduga ketua Seng-piauw-pang itu menyerang Pangeran Muda. Jadi jauh dengannya. Tapi Pangeran Muda yang memberi aba-aba dan sudah diikuti bayangan Hek-bong Siang-lo-mo dan yang lain-lain tiba-tiba mengejar Pendekar Rambut Emas ini, mendengar aba-aba pangeran itu.

“Lo-mo, tangkap mereka ini. Bunuh keduanya...!”

Sin-piauw Ang-Iojin dan Kim-mou-eng terkejut. Kakek ketua Seng-piauw-pang itu menyeringai karena hantaman Coa -ong membuat dadanya sesak, ampeg. Darah tiba-tiba melontak dari mulutnya. Membuat Kim-mou-eng mengerutkan kening karena temannya itu terluka dalam, memang bukan tandingan Coa-ong Tok-kwi. Dan sementara dia menyesali kesembronoan temannya ini maka Hek-bong Siang-lo -mo dan yang lain-lain menyerang, pangeran mahkota malah masuk ke dalam marah-marah kepada mereka, yang dianggap memfitnah!

“Kim-mou-eng, sekarang ajalmu sudah tiba!”

“Ya, dan kau juga, Seng-piauw-pangcu. Terimalah kematian kalian... wut-wutt!” empat pukulan menyambar dua orang ini, terutama Sin-piauw Ang-lojin yang hendak ditutup mulutnya, mendapat isyarat Pangeran Muda bahwa ketua Seng-piauw-pang itu harus dibunuh. Rahasianya di tangan kakek itu, tak boleh diberi hidup lagi karena Sin-piauw Ang-lojin mungkin mencari gara-gara di lain kesempatan. Dan Kim-mou-eng yang membentak meloncat tinggi tiba-tiba menyambar temannya menangkis semua pukulan itu.

“Plak-des-dess!”

Empat orang itu terdorong semua. Kim-mou-eng sudah berjungkir balik, tahu keadaan mereka berbahaya dan tak mungkin menghubungi pangeran mahkota lagi. Mereka tak dipercaya dan kini malah dianggap mengacau. Dan begitu dia membentak membuat lawan mundur-mundur tiba-tiba pendekar ini sudah melesat melalui pintu keluar, melihat Sin-piauw Ang-lojin pingsan di atas pundaknya.

“Lo-mo, kalian iblis-iblis licik...!”

Hek-bong Siang-lo-mo terbelalak. Mereka melihat lawan mereka itu sudah berjungkir balik melarikan diri, berkelebat ke pintu keluar dan kini menyelamatkan Sin-piauw Ang-lojin. Tapi mereka yang tentu saja tak mau melepaskan pendekar itu dan memburu keluar sudah membentak mengejar, menyuruh pengawal menghadang tak boleh membiarkan Kim-mou-eng pergi.

“Tangkap mereka itu. Cegat larinya...!”

Pengawal tiba-tiba bermunculan. Mereka ini sebenarnya sudah disiapkan di luar, dipimpin seorang panglima bertubuh pendek bernama Shi Bung, anak buah jenderal Bu. Dan begitu Kim-mou-eng melompat dan kelihatan di luar tiba-tiba saja tombak dan golok menyerang pendekar ini.

“Plak-plak-krakk...!”

Tombak dan golok mencelat beterbangan. Kim-mou-eng telah mengibaskan lengannya, melakukan pukulan jarak jauh. Membuat golok dan tombak patah-patah sementara pemiliknya terbanting tak karuan sambil mengaduh, menjerit berpelantingan. Tapi ketika pendekar ini berlari ke utara dihadang pengawal-pengawal yang lain maka Hek-bong Siang-Io-mo dan teman-temannya itu mengejar.

“Kim-mou-eng, jangan lari. Tahan dulu pukulan-pukulan kami...!”

Kim-mou-eng terbelalak. Saat itu ratusan pengawal muncul, kejadian mirip dengan waktu dia ke kota raja dulu. Hanya bedanya tak ada pentolan-pentolan sesat macam Hek-bong Siang-lo-mo dan si Raja Ular ini, yang terus menguntit dan menyerangnya dari belakang. Dan karena dia juga membawa Sin-piauw Ang-lojin yang pingsan dan terluka dalam akhirnya pendekar ini dikepung tak dapat melarikan diri.

“Ha-ha, kau tak dapat keluar, Rambut Emas. Berhenti dan terimalah kematianmu di sini...!” Hek-bong Siang-lo-mo melompat, terbang menampar pendekar itu sementara Coa-ong Tok-kwi menggerakkan tongkat ularnya, tak mau kalah. Dan ketika tiga orang ini bergerak hampir berbareng dan para pengawal terdorong oleh sapuan tiga iblis ini akhirnya Kim-mou-eng kembali menangkis dan mengerahkan Tiat-lui-kangnya.

“Des-dess!”

Hek-bong Siang-lo-mo dan temannya berjungkir balik. Mereka terlontar ke atas, menukik dan menyerang kembali dari atas ke bawah. Coa-ong bahkan mengemplangkan tongkatnya itu ke arah ubun-ubun. Tapi Pendekar Rambut Emas yang marah merendahkan kepala tiba-tiba menyambut dan menerima serangan tiga orang lawannya itu.

“Krakk...!” tongkat di tangan si Raja Ular tiba-tiba patah, ujungnya hancur sementara jari Kim-mou-eng ganti menampar kakek ini. Dan ketika si Raja Ular berjungkir balik dan memaki lawannya maka pukulan Hek-bong Siang-lo-mo tiba diterima pendekar ini.

“Plak-plak!”

Dua orang itu kembali terpental. Kim-mou-eng sudah berseru keras, melihat para pengawal kembali berteriak menggerakkan senjatanya, diperintah Bu-kongcu. Dan ketika Kim-mou-eng menangkis dan para pengawal terlempar mundur akhirnya Hek-bong Siang-lo-mo dan Coa-ong Tok-kwi kembali menerjang berseru marah.

“Tok-kwi, kerahkan saja ular-ularmu!”

“Ya, dan suruh para pengawal mundur. Kepung melebar...!”

Coa-ong Tok-kwi terbelalak. Dia setuju, menyuruh para pengawal mundur dan membentak Bu-kongcu agar maju membantu. Dan ketika murid Sai-mo-ong itu bergerak dan semua pengawal meloncat ke belakang akhirnya empat orang ini mengeroyok Pendekar Rambut Emas yang memanggul Sin-piauw Ang-lojin, berkelebatan ke sana-sini mementalkan pukulan-pukulan lawan. Dibuat sibuk ketika Coa-ong mulai mengerahkan ularnya, meniup suling sementara pengawal ikut melepas panah menghujani tubuh pendekar ini. Dan ketika pertempuran menjadi seru dan Kim-mou-eng marah atas kerubutan itu tiba-tiba sebatang panah mendesing di belakang pendekar ini.

“Cep! ” Kim-mou-eng menangkap, melihat orang tak dikenal muncul di belakang pengawal, membalik dan secepat kilat mempergunakan panah tangkapan itu menangkis hujan serangan yang lain. Tapi ketika panah kedua kembali mendesing dan Hek-bong Siang-lo-mo dan si Raja Ular saat itu menyerang berbareng tiba-tiba Sin-piauw Ang-lojin menjadi korban, terpanah tengkuknya.

“Augh!”

Kim-mou-eng terkejut. Ketua Seng-piauw-pang itu menggeliat, menjerit tanpa sadar. Rupanya hunjaman panah itu terlalu dalam, tentu saja membuat pendekar ini melengking dan membentak marah. Dan ketika dua bayangan kembali berkelebat dan Tok-gan Sin-ni serta Sai-mo-ong muncul mengejutkan pendekar ini mendadak rambut dan kipas bulu singa menyambar dada pendekar ini.

“Ha-ha, selamat bertemu, Kim-mou-eng. Selamat berjumpa!”

“Ya, dan terimalah lecutan rambutku, Kim-mou-eng. Sungguh dunia terlalu sempit untuk kita... plak-plak!” rambut Tok-gan Sin-ni meledak mengiringi kipas bulu singa yang dilancarkan Sai-mo-ong, mengebut dada Pendekar Rambut Emas. Lima pentolan sesat tiba-tiba muncul hampir berbareng, tentu saja mengejutkan pendekar ini.

Dan ketika lima serangan menyerbu tanpa ampun sementara panah dan ular juga mulai menyerang dari segala penjuru mendadak Pendekar Rambut Emas mengeluh ketika ujung kipas mengebut mukanya, perih di mata sementara rambut Tok-gan Sin-ni juga menyengat, mengenai pundaknya tapi mental karena dia telah mengerahkan sinkangnya, terhuyung dan pucat memandang lima orang lawannya itu. Tak menyangka Sai-mo-ong dan Tok-gan Sin-ni datang memberi bantuan. Tapi ketika lawan kembali berkelebat dan ular serta hujan panah masih menyerangnya dari luar tiba-tiba pendekar ini menggetarkan kedua lengannya.

“Sai-mo-ong, keparat kalian...!”

“Heh-heh, kau yang keparat, Kim-mou-eng. Kau mengganggu Pangeran Muda!”

Kim-mou-eng melengking. Saat itu dia mengerahkan sinkangnya, menyalurkannya ke kedua lengan hingga uap putih tiba-tiba bergetar di lengan pendekar ini. Dan ketika lawan menyerang dan semua pukulan menghantam dirinya mendadak pendekar ini membentak menggerakkan kedua lengannya itu, didahului ledakan dan kilatan sinar yang mengejutkan Sai-mo-ong.

“Awas Pek-sian-ciang (Pukulan Dewa Putih)...!”

Hek-bong Siang-lo-mo dan lain-lain terkejut. Teriakan Sai-mo-ong yang ada di depan itu terlambat bagi mereka, serangan tak dapat ditarik lagi. Dan ketika lima benturan mengenai lengan pendekar ini mendadak Tok-gan Sin-ni dan yang lain-lainnya itu mencelat.

“Des-dess!”

Tok-gan Sin-ni dan kawan-kawannya menjerit. Pukulan Dewa Putih telah menangkis serangan mereka, untung terpecah karena pukulan itu harus menyambut lima serangan, bukan satu serangan saja. Tapi Tok-gan Sin-ni dan kawan-kawannya yang terlempar bergulingan dan kaget bukan main tiba-tiba melompat bangun tapi roboh lagi, masih tergetar dan ampeg oleh pukulan yang dahsyat ini. Dada terasa nyeri dan Ji-lo-mo tiba-tiba melontakkan darah. Terluka. Dan Kim-mou-eng sendiri yang juga terhuyung dan menahan sakit tiba -tiba meloncat melarikan diri, mengisi kesempatan selagi lima lawannya itu terduduk.

“Mo-ong, lain kali kita bertemu...!”

Mo-ong terkejut. Dia saat itu bengong, mengatur napas oleh guncangan Pek-sian-ciang yang baru dia terima. Tentu saja melotot melihat lawan memutar tubuhnya. Tapi Shi Bung yang memberi aba-aba menyuruh pasukan melepas panah tiba-tiba menyambut pendekar itu yang melarikan diri. Menghujani pendekar ini yang melompat tinggi di tembok istana, menangkis dan memukul runtuh hujan panah yang begitu gencar.

Tapi karena dia baru melepas tenaganya dan gempuran lima orang lawan juga masih mengguncangnya di bagian dalam akhirnya pendekar ini tak dapat menyelamatkan sebatang panah yang kembali menyambar temannya, menancap di punggung Seng-piauw-pangcu yang dipanggul dibelakang. Dan ketika Seng-piauw-pangcu kembali mengeluh dan Bu-kongcu muncul melepas senjata rahasianya tiba-tiba pendekar ini geram membentak gusar...