Pendekar Rambut Emas Jilid 14 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 14
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“A-CIONG...!”

“Siapa dia?”

Seng-piauw-pangcu tak menjawab. Dia sudah menubruk dan menangis menyambar mayat ini, mukanya pucat sekali, mengguguk dan tiba-tiba memaki Bu-kongcu dan dua sutenya kalang-kabut. Tapi ketika dia sadar dan melompat bangun maka Kim-mou-eng menepuk pundaknya, lembut namun kuat.

“Pangcu, siapa dia?”

“Dia... dia A-ciong, taihiap. Bocah yang kutitipi surat rahasia itu!” kakek ini hampir tak dapat bicara, tenggorokannya tercekat karena kematian bocah itu sungguh membuat dia terpukul, kaget dan marah. Sungguh tak menyangka kalau musuh mencium jejaknya, mengetahui perbuatannya dan kini membunuh anak itu, mengambil surat rahasia karena surat itu sudah tak ada lagi di tubuh anak ini. Dan Kim-mou-eng yang tertegun mengerutkan kening akhirnya menghela napas, menegur kakek ini,

“Pangcu, kau sembrono sekali. Kenapa anak demikian ingusan kau titipi surat berharga?”

“Aku... aku tak menduga, taihiap. Semua ini kulakukan dengan perhitungan cermat, tapi musuh rupanya tahu juga. Keparat Bu-kongcu itu!”

“Tapi kukira bukan Bu-kongcu yang melakukannya. Anak ini tewas enam jam yang lalu, padahal saat itu Bu-kongcu masih berada di Pi-yang.”

“Kalau begitu siapa?”

“Orang lain, mungkin saja bayangan hitam yang menolong sutemu itu.”

“Ah, lagi-lagi dia?”

“Mungkin saja, pangcu. Tapi mungkin juga orang lain.”

Kakek tinggi besar ini lemas. Dia gemetar mengetrukkan giginya, hilang sudah harapannya untuk membawa surat rahasia ke putera mahkota. Tapi ingat bahwa tugasnya masih ada lagi dan satu-satunya jalan ialah menghubungi putera mahkota itu dan mengisiki (memberi tahu) bahwa bahaya mengancam pangeran itu maka kakek ini tak putus asa meskipun tak membawa bukti.

“Taihiap, kita ke kota raja kalau begitu. Temani aku menghadap pangeran mahkota!”

“Baik, tapi hati-hati, pangcu. Tapi siapa sebetulnya A-ciong ini?”

“Dia kacung Sin Meng. Dialah satu-satunya orang yang lolos ketika kakek itu dan dua anak perempuannya ditangkap. Suteku membiarkan anak ini pergi karena tak menduga anak itulah yang membawa surat rahasia!”

Kim-mou-eng menarik napas. Dia tak tahu kejadian di kota Pi-yang itu, ketika Sin Meng dan dua anak perempuannya ditangkap. Ketika Hong Jin muncul dan menawan ayah dan anak ini, bahwa A-ciong adalah bocah yang menarik uang dari sumbangan para penonton. Jadi kacung itulah yang sebenarnya dititipi surat rahasia. Memang tak akan diduga oleh siapapun bahwa anak ini yang menyimpan surat. Tapi karena anak itu sekarang tewas dan Sin Meng serta anak gadisnya juga tewas di tangan Hong Jin maka kakek tinggi besar ini tak dapat berbuat apa-apa kecuali menyesali nasib, marah pada dua sutenya dan teman-temannya itu, Bu-kongcu dan lain-lain.

Dan ketika Kim -mou-eng mengajaknya pergi dan siap mengantarnya ke kota raja akhirnya kakek ini mengangguk dan langsung memukul remuk ular di tangan Kim-mou-eng, gemas, mengubur mayat kacung itu berkali-kali memaki musuh-musuhnya. Tapi begitu semuanya selesai dan kakek ini tampak berang akhirnya Sin-piauw Ang-lojin berkelebat ke kota raja dikawal Pendekar Rambut Emas.

* * * * * * * *

Sesungguhnya, apa yang terjadi di kota raja? Benarkah Pangeran Muda diam-diam hendak membunuh pangeran mahkota? Untuk melihat ini sebaiknya kita mendahului dua orang itu ke kota raja. Mari kita lihat keadaan dua pangeran ini yang sama-sama tinggal di istana, Pangeran Muda di sebelah timur sementara pangeran mahkota di sebelah barat.

Pangeran mahkota, yang masih berumur duapuluh dua tahun memang masih terlalu muda saat itu. Dia adalah seorang pangeran yang lembut dan halus tutur katanya, berwajah tampan dan seperti biasa pangeran-pangeran lain suka kesenangan dan keindahan, termasuk pula wajah cantik sebagaimana biasanya kaum muda, apalagi kaum bangsawan, hidup tenteram dan tenang karena selalu dilindungi pengawal yang menjaga istana. Hampir tak mengenal kesusahan karena di istana tak ada apa yang dinamakan kesusahan itu, semua kebutuhan makan minumnya tercukupi, bahkan berlebihan kalau tak mau dikatakan mewah.

Tapi karena dia juga manusia biasa dan manusia dikenal sebagai makhluk yang tak kenal cukup maka ada beberapa hal yang membuat putera mahkota ini murung, tak puas. Pertama adalah tentang kebebasannya. Dia hampir tak pernah keluar tanpa pengawal, selalu ada saja pengiring yang mengikuti gerak-geriknya. Padahal dia ingin menikmati kebebasan itu dalam arti yang utuh.

Artinya, suatu hari kelak dia ingin keluyuran di luar istana seorang diri, melihat rakyatnya dari dekat dan bergaul dengan mereka, karena pangeran ini terkenal ramah dan suka berdamai dengan setiap orang. Suka berbuat baik dan menderma sana-sini, terutama pada orang-orang dekat yang tentu saja membuat orang simpatik padanya dan mencintainya. Tapi karena dia tak dapat bebas seperti yang diinginkan maka pangeran ini merasa tidak puas pada keadaannya yang seperti itu. Dan seorang pengawal menasihatinya.

“Paduka adalah putera mahkota, pangeran. Kenapa paduka ingin keluyuran seperti rakyat biasa? Sri baginda tentu tak akan memperkenankan, apalagi kalau tahu paduka melanggar peraturan ini. Ini adalah ketentuan sri baginda, demi keselamatan paduka juga!”

“Tapi aku tak mempunyai musuh, pengawal. Demi keselamatan siapa? Aku ingin bebas, ayahanda terlalu mengekang!”

“Tapi hamba tak berani membiarkan paduka pangeran. Sri baginda tentu marah dan bakal menghukum hamba. Paduka tak kasihan pada hamba?”

Pangeran ini menghela napas. Pengawalnya memang benar, kalau dia berani keluyuran dan ketahuan tentu pengawalnya itu akan mendapat hukuman berat. Salah-salah dihukum mati. Hukuman yang bakal membuat dia menyesal juga karena pengawal ini sudah beranak isteri, tentu tak tega dia meneruskan niatnya itu karena berat pada sang pengawal. Tapi karena semakin dikekang semakin kuat pula keinginannya itu berontak akhirnya pangeran ini gelisah juga dan mulai melirik kesempatan, yang sayangnya tak pernah ada karena situasinya tak mengijinkan, memang dibuat begitu agar dia terawasi.

Dan karena berbulan-bulan tak pernah juga dia mendapat kesempatan itu akhirnya sang pangeran melepas jengkel dengan sering duduk termenung di kolam ikan. Itu yang pertama. Yang kedua, ini juga membuat sang pangeran tidak puas. Dia tidak mengenal bahagia di kompleks istana itu. Aneh! Orang mendambakan kedudukan seperti dirinya tapi dia yang mendapat anugerah itu sama sekali tidak merasakan apa yang dinamakan bahagia. Pangeran ini merasa hidupnya biasa-biasa saja, itu-itu saja dan cenderung lama-lama membuat dia bosan. Gejala apa ini?

Refleksi dari ketidakpuasannya tak bisa kelayapan di luar istana? Entahlah. Dia heran juga. Pangeran ini merasa hidupnya terkurung, meskipun terlindung, persis isi telur dibungkus kulitnya. Dan karena dia tak merasakan apa yang disebut bahagia itu maka pangeran ini ingin keluar dan mengetahui apa yang sebenarnya dinamai bahagia itu. Dia ingin mengetahui sesuatu di luar sana, mendengar dan membaca buku tentang kehidupan di muka bumi. Tentang pahlawan dan petani. Tentang rumput-rumput yang hijau dan gembala. Tentang apa dan apa saja yang pokoknya bukan di dalam istana, karena apa yang di dalam istana sudah dia ketahui, sudah dia lihat dan rasakan.

Dan karena keinginan ini kian hari kian menyiksa jiwanya maka suatu hari pangeran ini memberanikan diri menghadap ayahnya, mohon ijin untuk mencari apa yang dinamai bahagia itu. Tapi apa jawab baginda? Kaisar malah marah-marah, menegur puteranya ini.

“Pangeran, engkau adalah orang yang paling bahagia saat ini. Engkau adalah pewaris tahta yang kelak menggantikan kedudukanku. Bahagia apalagi yang kau cari? Justeru ketidakbahagiaan itu ada di luar istana. Kau tak akan mendapatkannya di sana. Tidak, kau tak boleh keluyuran. Perasaanmu itu hanya mengada-ada dan menipu dirimu belaka!” dan memanggil seorang thaikam (pembesar kebiri) yang sudah dipercaya kaisar menyuruh thaikam ini menghibur puteranya. “Cu-thaikam, bawa puteraku ini keluar. Dia lagi gundah, hibur dia!”

Thaikam itu mengangguk. Dia sudah membawa pangeran mahkota ini keluar ruangan, mendapat isyarat kaisar apa yang harus dilakukan. Dan ketika putera mahkota itu menghela napas dan mengikutinya maka thaikam ini, seorang thaikam yang cerdik dan banyak tahu soal-soal lelaki sudah mengajak sang pangeran ke Bangsal Dewa-dewi.

“Pangeran, kepepatan hati bermula dari kekecewaan. Agaknya paduka mengalami suatu tekanan batin. Marilah, hamba perkenalkan paduka pada seseorang yang dapat menghibur paduka. Hamba tanggung paduka tak akan murung lagi!” thaikam itu sudah masuk ke dalam, memanggil seorang dayang, berbisik-bisik dan sejenak kemudian disambut senyum manis dayang ini. Dan ketika dayang itu lenyap dan muncul lagi maka seseorang telah dibawanya menghadap Cu-thaikam.

“Taijin, inilah Fung-siocia (nona Fung)...!”

Cu-thaikam gembira. Dia menyambut dua orang itu, menyuruh sang dayang pergi, kini berhadapan dengan seorang gadis cantik yang tunduk malu-malu, pipinya memerah sementara putera mahkota tertegun, tampak kesima memandang gadis ini. Dan ketika gadis itu berlutut dan Cu-thaikam mengangkatnya bangun maka pembesar ini tertawa berkata, memperkenalkannya pada pangeran mahkota,

“Pangeran, inilah Fung Miao. Dia pandai menari serta menyanyi dan membaca sajak. Suaranya merdu, ayahanda paduka sendiri sering terlena kalau ditemani Fung-siocia ini!”

“Ah, dia dari kaputren?”

“Tidak, dia tinggal di Bangsal Dewa-dewi ini, pangeran. Anggota penabuh musik yang khusus menghibur sri baginda.”

“Hm, baiklah. Boleh kita bercakap-cakap...” dan ketika thaikam itu mengedip dan Fung Miao mendapat isyarat maka pembesar ini meminta diri, memutar tubuhnya. “Pangeran, hamba masih akan mengerjakan tugas yang lain. Silahkan paduka bercakap-cakap dengan Fung-siocia ini...!”

Sang pangeran mengangguk. Dia sudah tertarik melihat kecantikan gadis ini, belum mengenalnya. Baru tahu bahwa ada seorang gadis lain di situ, gadis yang menawan, lembut dan halus lengannya. Dan ketika Cu-thaikam pergi dan gadis itu tersipu malu maka pangeran ini sudah mengajak Fung Miao ke kolam ikan, satu kegemaran yang tak dapat ditinggalkan. Tak jauh dari Bangsal Dewa-dewi dan terhampar pula rerumputan yang menghijau. Dan begitu mereka sama duduk di bangku kolam segera pangeran ini bertanya,

“Fung Miao, apa yang dapat kau berikan padaku?”

Gadis itu tersenyum, mengangkat mukanya tapi menunduk lagi. “Terserah paduka, pangeran. Apa yang harus hamba berikan,” suara itu mendesah lembut dan untuk pertama kalinya dikeluarkan, serak-serak basah dan benar-benar merdu.

Dan sang pangeran yang tergetar mendengar suara ini tiba-tiba menangkap lengan orang. “Kau bisa menari, kan? Bisa menyanyi? Nah, perlihatkan itu padaku. Ingin kulihat gerak tari dan nyanyianmu!”

Gadis ini menggigit bibir. Sang pangeran menyuruh dia menari, menyanyi, tapi kalau tangan dipegangi begitu mana bisa dia bangkit berdiri! “Ih, kalau begitu lepaskan hamba, pangeran. Hamba akan menari dan menyanyi untuk paduka,” Fung Miao akhirnya melepaskan diri, membuat sang pangeran sadar dan cepat-cepat melepaskan gadis itu. Dan ketika Fung Miao mengambil alat musik dan mulai menari dengan suling di bibir maka sebuah lagu yang lembut mulai ditiup dengan suara yang merdu.

“Ah, bagus. Itu lagu gembala, Fung Miao!”

Gadis itu mengangguk. Fung Miao masih meneruskan tiupan sulingnya, mata melirik dan berseri-seri memandang putera mahkota, menghabiskan lagu itu. Dan ketika lagu itu selesai dan tubuh si gadis juga berhenti bergerak maka Fung Miao menyimpan sulingnya menjura di depan sang pangeran. “Pangeran, paduka pandai sekali. Agaknya paduka mengenal lagu-lagu rakyat yang hamba mainkan.”

“Ah, itu kegemaranku, Fung Miao. Aku suka lagu-lagu rakyat yang sederhana tapi mengena di hati. Kau bisa mainkan lagu apalagi?”

“Banyak, pangeran,” Fung Miao tersenyum. “Coba paduka dengarkan yang ini,” dan ketika gadis itu meniup sulingnya lagi dan mainkan sebuah lagu yang lain maka pangeran tertegun dengan muka berseri-seri, mendengar lagu yang tenang tapi kuat iramanya.

“Itu lagu orang pesisir, Nelayan Di Laut Tung-hai!”

Fung Miao lagi-lagi mengangguk. Dia semakin bersinar memandang pangeran mahkota itu, tampaknya kagum dan mendendangkan irama yang kuat, tinggi rendah beraturan menggambarkan nelayan di Laut Tung-hai, pencari ikan yang gigih melawan ombak. Dan ketika suling berakhir dengan tiupan pendek yang menukik rendah tiba-tiba lagu itupun berakhir diiringi tepuk tangan sang putera mahkota.

“Hebat, kau menguasai benar lagu-lagu daerah, Fung Miao. Agaknya kau pernah ke Laut Tung-hai!”

“Ah,” Fung Miao tersipu. “Hamba memang berasal dari sana, pangeran. Hamba adalah puteri seorang nelayan di tempat itu.”

“Jadi kau penduduk pesisir?”

“Sejak kecil, pangeran. Sampai beberapa tahun yang lalu hamba menjadi pengiring musik.”

“Pantas, kalau begitu ceritakan tentang indahnya lautan!” sang pangeran gembira, menyambar lengan gadis ini dan menyuruh Fung Miao bercerita tentang lautan, karena dia memang belum pernah melihat lautan, terlalu jauh dari kota raja. Dan ketika Fung Miao mulai bercerita tentang laut dan isinya akhirnya pangeran menjadi gembira dan hanyut dalam buaian cerita gadis ini. Mendengar tentang nelayan dan ikan lumba-lumba, mendengar keakraban kaum nelayan itu dengan ikan lumba-lumba ini, yang konon katanya dapat menolong manusia yang tersesat di lautan. Dan ketika Fung Miao mulai bercerita pula tentang asyiknya berenang di laut akhirnya pangeran tertarik dan bangkit berdiri, menyambar lengan gadis ini.

“Fung Miao, mari antar aku ke sana. Ajari aku berenang!”

“Ah,” Fung Miao terkejut. “Paduka mau kemana, pangeran?”

“Ke laut Tung-hai. Ke tempatmu yang indah itu!”

“Ih, paduka melantur? Ini istana, pangeran. Tempat itu terlalu jauh dan tak mungkin hamba berani mengajak paduka ke sana!”

Sang pangeran sadar. Dia segera teringat kedudukannya saat itu, melepas Fung Miao dan terhuyung duduk kembali, mukanya penuh kecewa. Tapi Fung Miao yang telah mendengar perihal pangeran ini segera mendekati dengan pipi memerah.

“Pangeran, paduka tak usah kecewa. Kalau hanya ingin berenang hamba sanggup mengajari paduka. Tempat inipun indah, tak kalah dengan laut Tung-hai. Bagaimana kalau kita berenang di kolam ini?”

Sang pangeran tertegun. “Campur bersama ikan-ikan emas itu?”

Fung Miao tertawa. “Mereka akan menyibak minggir, pangeran. Paduka tak perlu khawatir diganggu ikan-ikan itu.”

“Tidak, aku tak khawatir diganggu, melainkan mengganggu. Bagaimana kalau mereka terusik?”

“Ah, hidup mereka tergantung berkah paduka, pangeran. Siapa berani terusik? Marilah, hamba tunjukkan cara berenang,”

Dan Fung Miao yang melepas baju mendekati kolam tiba-tiba dipandang terbelalak pangeran muda ini, melihat Fung Miao tinggal mengenakan pakaian dalam yang tipis menerawang. Kulitnya halus dan bersih sekali, tanpa cacad. Dan ketika dengan gerak yang lembut gadis itu menekuk pinggangnya dan mencebur ke kolam maka pangeran mahkota terbelalak melihat pinggul yang bulat itu menyembul di permukaan air.

“Byur!”

Fung Miao sudah berenang dengan cara lumba-lumba. Gadis ini menaikturunkan pinggulnya, seolah tak sengaja tapi jelas merangsang sekali, berputar mengelilingi kolam dan terkekeh-kekeh. Dan ketika dia kembali ke tempat semula dan melihat sang pangeran tertegun membelalakkan mata maka gadis ini menggapai dengan suara merdu. “Mari, pangeran. Terjun ke sini, hamba akan menerima paduka...!”

Sang pangeran sadar. Dia menekan gejolak berahinya yang timbul, muka tiba-tiba merah karena pemandangan di kolam itu menarik sekali. Fung Miao memperlihatkan tubuhnya sebatas dada, tentu saja dadanya yang membusung itu menonjol di permukaan air, bulat menggairahkan. Tak kalah menarik dengan pinggul yang indah itu. Pinggul yang segar! Tapi karena sang pangeran belum dapat berenang dan dia melenggong tak mau mendekat tiba-tiba Fung Miao melompat keluar dan terkekeh gemas.

“Pangeran, mari. Kita renang bersama!”

Sang pangeran terkesiap. Sekarang Fung Miao si cantik ini keluar dari kolam, seluruh tubuhnya basah. Tubuh yang seolah telanjang saja karena pakaian yang tipis itu melekat penuh air. Tentu saja lebih hebat daripada tadi, yang hanya memperlihatkan tonjolan bukit yang sepasang mempesona, membuat sang pangeran naik turun jakunnya tapi tertawa menyeringai. Dan ketika Fung Miao menanggalkan pakaiannya dan tanpa sadar pangeran inipun setengah telanjang maka Fung Miao sudah menariknya ke kolam terkekeh-kekeh.

“Pangeran, mari, tak perlu takut. Hamba akan membantu paduka.”

Pangeran itu menurut. Dia jadi goncang melihat semuanya itu, ditarik dan sudah mencebur bersama si cantik, sejenak gelagapan tapi Fung Miao memimpinnya, merdu tertawa dan mulai mengajarinya berenang. Dan ketika gadis cantik itu harus memegang-megang tubuh sang pangeran, sementara jari yang Ientik mengusap sana-sini akhirnya sang pangeran belajar dengan perasaan tak karuan, tertawa-tawa tapi mata mulai memandang mesra. Dan ketika sang pangeran mulai bisa dan Fung Miao semakin gembira tiba-tiba pangeran itu menangkap lengan gadis ini.

“Fung Miao, cukup. Aku letih.”

“Ah, paduka berhenti, pangeran? Kita...”

“Sudahlah, aku panas dingin. Mari kita keluar!” dan sang pangeran yang menyeret Fung Miao keluar akhirnya gemetar menggulingkan tubuh di rumput yang hijau, memejamkan mata dan tampak terengah-engah.

Dan Fung Miao yang terbelalak tapi mengerti tiba-tiba tersenyum mengusap tubuh sang pangeran. “Pangeran, kalau begitu biar hamba memijit paduka. Telentanglah?”

Sang pangeran telentang. Dia sudah dipijat perlahan-lahan, mendesah dan merasakan jari-jari lembut itu mengurut dan membelai penuh sayang, semakin bergetar dan merasakan nikmat yang membubung mengajaknya ke awang-awang. Dan ketika belaian serta pijatan itu semakin tinggi dan lembut membuat sang pangeran mabuk tiba-tiba urat sang pangeran yang tegang menjadi lemas sementara yang lemas menjadi kencang.

“Fung Miao, kau cantik!”

“Ih!” Fung Miao tersipu. “Hamba biasa-biasa aja, pangeran. Hamba... oh!” Fung Miao menghentikan kata-katanya, ditarik dan sudah dipeluk pangeran mahkota itu, mendapat ciuman dan dengus bertubi-tubi. Betapapun pangeran ini bukanlah laki-laki bodoh yang tak tahu apa yang disajikan padanya.

Dan ketika Fung Miao mengeluh dan sang pangeran menindih akhirnya putera mahkota itu mendapat hiburan dan mengajak gadis cantik ini bergulingan di rumput yang hijau, bersenang-senang dan disambut Fung Miao yang memang ditugaskan Cu-thaikam untuk menghibur putera mahkota ini. Tapi ketika semuanya selesai dan Fung Miao membetulkan rambutnya mendadak sang pangeran menghela napas merasakan kekosongannya yang mengganggu. Ketidakbahagiaannya itu.

“Fung Miao, kau merasakan bahagia?”

Fung Miao tertegun. “Bahagia?”

“Ya, bahagia itu, Fung Miao. Kau merasa bahagia kah?”

Fung Miao tiba-tiba tersenyum. “Pangeran, hamba tentu saja bahagia sekali. Hamba dapat menghibur paduka, hamba dapat memberikan apa yang paduka ingini. Bagaimana hamba tak bahagia dengan semuanya ini?”

“Jadi kau bahagia karena dapat memberikan sesuatu padaku?”

“Benar. Kenapa, pangeran?”

Pangeran itu tiba-tiba bangkit duduk, memandang tajam. “Fung Miao, kau bahagia karena dapat memberikan sesuatu kepada orang lain? Jadi bagaimana itu kalau kau memberikan pemberian yang sama pada ayahanda kaisar umpamanya, bahagiakah kau?”

Gadis ini terkejut. “Maksud paduka?”

“Hm, aku bertanya tentang bahagia, Fung Miao. Apakah kau bahagia dan benar bahagia apabila memberikan sesuatu kepada orang lain. Kepada ayahanda kaisar umpamanya, kepada laki-laki lain atau apa saja dimana kau dapat memberikan apa yang diinginkan orang lain itu. Bahagiakah kau?”

Gadis ini terbelalak. “Pangeran, hamba menjadi bingung. Kemana arah dan tujuan kata-kata paduka ini? Paduka marah kepada hamba? Paduka, maaf... paduka cemburu pada ayahanda kaisar?” pertanyaan terakhir ini diserukan dengan seruan lirih, takut-takut dan cemas memandang pangeran mahkota itu.

Tapi sang pangeran yang tiba-tiba tersenyum dan tertawa lebar mendadak menepuk pundak gadis cantik itu. “Fung Miao, kau salah. Aku tidak cemburu. Aku hanya menanyakan tentang bahagia itu! Kenapa kau melantur begini?”

“Jadi maksud paduka?”

“Begini, Fung Miao. Aku merasakan hidupku ini sama sekali tidak bahagia. Aku kenyang dan tercukupi segala kebutuhan hidupku, tapi secara batiniah aku menderita. Aku merasa tak bebas, aku merasa terkekang di tempat ini. Jadi apakah bahagia itu? Aku bergelimang dengan benda-benda duniawi, tapi aku merasa kosong dengan semua benda-benda itu. Aku hidup banyak menikmati kesenangan, tapi aku tak puas dengan kesenanganku itu semua. Gejala apakah ini? Bukankah aku tak bahagia?”

Fung Miao tertegun. “Kalau begitu paduka benar tak bahagia.”

“Nah, itulah! Karena itu aku bertanya padamu apakah kau bahagia. Benarkah kau bahagia dan dapatkah kau menerangkan padaku apakah bahagia itu. Kau paham?”

Gadis ini mulai mengangguk-angguk. “Pangeran, paduka bertanya tentang sesuatu yang di luar jangkauan akal. Paduka mencoba menguraikan sesuatu itu “bahagia itu” dengan kemampuan akal untuk menjelaskannya. Mungkinkah ini?”

“Ha, kau mengerti?”

“Maaf,” gadis ini tersipu. “Hamba pernah membaca kitab-kitab filsafat tentang bahagia, pangeran. Tapi tak ada satupun di antara kitab-kitab itu yang mampu mengupas bahagia dengan uraian sempurna. Yang hamba tahu adalah, bahagia berkaitan erat dengan perasaan senang. Jadi kalau seseorang senang maka disebutlah orang itu bahagia!”

“Hm,” sang pangeran mengerutkan kening. “Tapi aku merasakan sebaliknya, Fung Miao. Aku dapat bersenang-senang tapi tak merasakan bahagia. Bagaimana ini? Aku yang salah atau teori itu yang tidak benar? Kesenangan tak dapat langgeng, sedang kebahagiaan katanya abadi. Nah, itulah yang kucari. Aku bosan dengan semua kesenangan yang bersifat sementara ini padahal aku tahu ada sesuatu yang abadi di sana. Aku menginginkan itu, tapi aku tak dapat memperolehnya. Ini mungkin karena kedangkalan pengetahuanku yang terkurung di istana, tak boleh keluar!”

Fung Miao terkejut. Dia melihat sang pangeran marah, menyesali kaisar yang tak membolehkan dia keluar. Tapi tersenyum menggeraikan rambutnya tiba-tiba gadis ini menunduk. “Pangeran, paduka mungkin kecewa karena belum ada tambatan hati yang berkenan di hati paduka. Orang muda mencari kebahagiaan pada pasangannya, sementara orang tua mencari kebahagiaan pada ketenangan hidupnya. Bahagia bagi orang muda belum tentu sama dengan bahagia bagi orang tua. Bahagia itu relatif, bagaimana kalau paduka cari dulu kebahagiaan paduka itu pada seorang wanita dimana kelak paduka mencintainya?”

“Hm, kau menyuruhku mencari permaisuri?”

“Bisa jadi, pangeran. Atau mungkin juga selir.”

“Dan kau?”

“Ah, hamba hanya penghibur, pangeran. Hamba tak mengimpikan kedudukan itu karena hamba orang biasa!”

Sang pangeran menghela napas. Dia memang tahu itu, tak mungkin mengambil gadis ini sebagai selir. Fung Miao sudah sering “dipakai” ayahnya, kecuali kalau ayahnya meninggal kelak. Dan murung tak menemukan kebahagiaannya akhirnya pangeran ini mengangguk. “Fung Miao, kau benar. Tapi kita dapat menjadi sahabat, bukan? Setidak-tidaknya kau dapat menghiburku seperti ini, bercakap-cakap atau apa saja untuk melepas gundahku. Kau pandai, tarian dan nyanyianmu telah kudengar. Bagaimana sekarang dengan sajak-sajakmu?”

“Ah, hamba sekedar bisa, pangeran. Tidak pandai benar seperti yang paduka bayangkan. Hamba suka syair dan membaca kitab-kitab To-tik-king.”

“Kau hafal kitab orang bijaksana itu?”

“Sedikit-sedikit, pangeran. Tidak semuanya tapi hafal juga. Misalnya tentang keadaan paduka ini, mungkin cocok dengan kitab nabi itu pada bagian ke tujuh. Paduka hafal?”

“Tidak. Kau hafal?”

“Hafal, tapi kalau salah mohon dimaafkan, pangeran. Hamba hanya mengira-ngira saja kalau cocok. Kalau tidak, ya mohon diampunkan. Paduka mau dengar?”

“Ah, tentu, Fung Miao. Siapa tahu kebahagiaan itu akan kudapatkan!” sang pangeran girang. “Coba kau baca, Fung Miao. Baca dan biarkan aku yang dengar!”

Fung Miao tersenyum. Sekarang ia dapat mengembalikan kegembiraan sang pangeran, melihat putera mahkota itu berseri-seri memandangnya, mulut sedikit terbuka. Dan ketika dia membenarkan duduknya dan sang pangeran menyuruh ia membaca akhirnya gadis ini bersenandung, membaca syair itu dengan alunan irama merdu:

Langit dan Bumi itu abadi
sebabnya Langit dan Bumi abadi
adalah karena tidak hidup untuk diri sendiri
maka itu abadi

Inilah sebabnya orang suci
membelakangkan dirinya
dan oleh karenanya dirinya tampil ke depan
ia menyampingkan dirinya
dan oleh karenanya dirinya utuh

Karena ia tak ada kehendak pribadi maka ia dapat menyempurnakan pribadinya


“Nah, anda paham, pangeran?” Fung Miao menghentikan senandungnya, habis sudah syair itu ia baca.

Dan sang pangeran yang tertegun memandangnya tiba-tiba mengangguk. “Fung Miao, rupanya bahagia itu harus begitu. Tak boleh hidup sendiri!”

“Ya, tapi penafsiran orang bisa berbeda-beda, pangeran. Hamba hanya membacakannya saja dan paduka menafsirkannya sendiri. Terserah paduka, tapi mungkin keadaan paduka itu mirip dengan isi syair ini.”

“Kau maksudkan aku suka hidup sendiri?”

“Bukan, tapi bait terakhir itu, pangeran. Tentang kehendak pribadi dan menyempurnakan kepribadian-nya.”

“Kau dapat mengupasnya?”

Fung Miao tertawa. “Pangeran, tafsiran dari kitab itu bisa berbeda-beda. Apa yang hamba tafsir mungkin lain dengan paduka tafsir. Atau apa yang paduka tafsir mungkin lain dengan yang orang tafsir. Masing-masing boleh berpendapat sendiri. Tapi inti pokoknya, tentang keabadian itu mungkin orang sama berpendapat bahwa kita memang tak boleh hidup sendiri. Dalam arti sempit maupun luas. Paduka setuju, bukan?”

“Ya, tapi apakah aku hidup bersendiri, Fung Miao? Apakah kau lihat aku bersikap begitu?”

“Tidak.”

“Kalau begitu kenapa aku tak bahagia?”

“Mungkin adanya kehendak pribadi itu, pangeran. Bahwa paduka menginginkan sesuatu yang di luar paduka. Padahal yang di dalam paduka, yang paduka peroleh, paduka tak dapat menghayatinya.”

“Hm, aku bingung, Fung Miao. Tapi kata-katamu akan kurenungkan. Aku mencoba mencari sesuatu di luar diriku, karena yang ada di dalam kurasa kosong, tak menarik. Apakah ini salah?”

Fung Miao tersenyum. “Pangeran, salah atau tidak salah rupanya paduka sendiri yang tahu. Kesalahan membawa ketidakenakan, sedang kebenaran membawa kenyamanan. Kalau paduka merasa tinggal di istana tak bahagia lalu apa yang paduka cari? Sebaiknya paduka bandingkan dulu kehidupan paduka dengan orang lain. Adakah yang lebih bahagia dibanding paduka. Kalau ada coba selidiki, kalau tidak sebaiknya paduka tinggalkan khayal tentang kebahagiaan itu yang tidak ada manfaatnya!”

Sang pangeran terkejut. “Tidak ada manfaatnya?”

“Ya, bukankah persoalannya tak akan habis-habisnya? Hamba sendiri merasa bahagia dapat berdekatan dengan paduka, pangeran. Kalau kebahagiaan itu ternyata kesenangan biarlah kesenangan itu hamba nikmati sampai sepuas-puasnya!” Fung Miao tertawa, mengajak pangeran ini untuk tidak mengupas tentang bahagia, satu “benda” yang a gaknya tak mungkin dikupas, jauh di luar kesadaran akal.

Dan sang pangeran yang tersenyum menganggukkan kepala tiba-tiba menghela napas. “Fung Miao, agaknya kau benar. Aku mempunyai kehendak pribadi, dan kehendak inilah yang menyeretku ke dalam ketidakbahagiaan. Aku rupanya ingin mencari sesuatu yang tidak kupegang ingin meraihnya. Padahal kalau kuhitung kebahagiaanku sebenarnya sudah cukup, jauh lebih cukup dibanding orang-orang lainnya. Jadi kebahagiaan apalagi yang harus kucari? Aku terseret jalan pikiranku sendiri, Fung Miao. Rupanya ayahanda benar, aku dimabuk perasaanku yang mengada-ada dan meninabobok!”

“Paduka sadar?”

“Entahlah, Fung Miao. Betapapun keinginan itu tak hilang juga pada lubuk hatiku. Tapi aku akan berusaha, menghayati sesuatu yang sudah kudapat dan tidak mencari-cari sesuatu yang di luar, jauh di luar jangkauan?”

Fung Miao tertawa. “Kalau begitu paduka mulai mengerti, pangeran. Bahwa mencari kebahagiaan itu memang sia-sia. Apapun namanya, manusia telah menyamakan kesenangan dengan kebahagiaan. Rupanya hanya Bu-beng Sian-su yang dapat mengupas tentang kebahagiaan itu!”

“Apa?” sang pangeran terkejut. “Bu-beng Sian-su?”

“Ya, paduka telah mendengar namanya, pangeran?”

“Tentu,” sang pangeran terbelalak. “Konon katanya dia adalah manusia dewa yang sakti dan bijak! Darimana kau tahu?”

“Hamba mendengarnya dari Bi Nio, pangeran. Bekas selir ayahanda paduka.”

“Ah, yang diserahkan pada raksasa Tar-tar itu?”

“Benar.”

“Bagaimana katanya?”

“Hamba mendengar sedikit saja, pangeran. Katanya raksasa itu adalah murid si kakek dewa.”

“Hm, aku ingin bertemu.”

“Dengan siapa?”

“Kakek dewa itu, Bu-beng Sian-su!”

Fung Miao terbelalak. “Paduka serius?”

“Tentu, kau kira aku main-main, Fung Miao? Sebaiknya kau antar aku ke kaputren, aku ingin menemui bekas ibuku itu!” sang pangeran bergegas, menyambar lengan Fung Miao dan mengajak si gadis menuju ke tempat itu.

Tapi belum mereka tiba di sana mendadak Cu-thaikam muncul. “Pangeran, seseorang mencari paduka.”

“Siapa?”

“Siauw-ong-ya.”

“Ah, kakakku itu?”

“Benar, pangeran. Dia menunggu di ruang depan.”

“Ada perlu apa?”

“Tak tahu, pangeran. Tapi mungkin penting.”

“Baiklah, aku ke sana,” sang pangeran yang terpaksa membatalkan perjalanannya menuju kaputren akhirnya menyuruh Fung Miao pergi, “Fung Miao, kakakku datang, kau pergilah. Terima kasih atas semua pelayananmu.”

“Kapan kita jumpa lagi, pangeran?”

“Besok, Fung Miao. Atau malam nanti!” sang pangeran sudah memutar tubuh, tergesa menuju ruang depan karena kakaknya datang.

Dan Fung Miao yang tersenyum menghela napas tiba-tiba berseru, lirih dan manja, “Pangeran, hamba ingin lagi kita berduaan seperti ini. Apapun hamba sanggup lakukan untuk paduka...!”

Sang pangeran mengangguk. Cu-thaikam mengantarnya ke ruang depan, melihat dua muda mudi itu saling lirik dengan mesra, dan ketika mereka berada di sana dan melihat seorang laki-laki tampan duduk menunggu akhirnya putera mahkota ini berseru, “Kanda pangeran...!”

Laki-laki itu, yang bukan lain Siauw-ong-ya adanya bangkit berdiri. Dia adalah seorang pangeran berusia tigapuluh-limaan tahun, berkumis dan tampan serta rapi, tinggi tegap dan memiliki mata yang cerdik. Dan begitu melihat putera mahkota datang berseru maka pangeran ini sudah menyambut dengan senyum lebar. “Aih, adik pangeran. Kau tampak segar sekali. Rupanya Fung Miao benar-benar berhasil menyegarkan hatimu. Ha-ha!”

Pangeran ini tersipu. “Darimana kau tahu, kanda? Cu-thaikam?”

“Maaf, hamba memang memberitahunya, pangeran. Siauw-ong-ya minta agar segera secepatnya memanggil paduka,” Cu-thaikam tersenyum, maju menjawab dan melihat dua kakak adik itu sudah berangkulan, masing-masing tampak gembira.

Dan ketika Siauw-ong-ya tertawa dan sang putera mahkota juga tidak marah akhirnya thaikam ini melangkah pergi, mendapat isyarat junjungannya. Kini pangeran mahkota itu duduk berhadapan dengan kakaknya. “Ada perlu apa, kanda? Diutus ayahanda?”

“Ah, tidak. Kedatanganku membawa urusan pribadi, adik pangeran. Aku, hm...” Siauw-ong-ya tiba-tiba mengerutkan kening, tampak sedih dan muram.

Dan adiknya yang ikut mengerutkan kening melihat kesedihan sang kakak tiba-tiba bertanya, “Ada apa, kanda? Kau tampak susah?”

“Benar, aku ada persoalan, adik pangeran. Dan terus terang saja aku ingin mohon bantuanmu.”

“Soal apa?”

“Soal, hmm... soal pribadi.”

“Ya, tentang apa, kanda? Bisakah aku membantumu?”

Siauw-ong-ya tak segera menjawab. Dia memilin kumisnya, tampak semakin murung dan menghela napas. Tapi ketika sang adik mendesak dan bertanya apa persoalannya itu maka dengan hati-hati pangeran yang cerdik ini berkata, “Adik pangeran, besok ayahanda kaisar mendapat tamu. Kau tentu ikut menerimanya, bukan?”

“Ah, pemimpin Kung?” sang putera mahkota teringat, terkejut. “Memang benar, kanda. Ada apa?”

“Ada sesuatu yang harus dijaga, adik pangeran. Katanya pemimpin Kung membawa isterinya yang cantik!”

“Darimana kau tahu?”

“Penyelidikan orang-orang istana, juga dari isteri pemimpin itu sendiri!”

“Ah, kau tahu itu?”

“Maaf,” pangeran ini menunduk. “Aku... hm, aku punya persoalan pribadi, adik pangeran. Maukah kau menyimpan rahasia ini untukku seorang?”

“Tentu, kalau kau percaya, kanda. Kalau tidak tentu saja tak perlu kau ceritakan.”

“Tidak, tidak... aku percaya. Aku percaya padamu!” dan Siauw-ong-ya yang mengangkat mukanya memandang putera mahkota tiba-tiba menangis dan menyambar lengan adiknya ini. “Adik pangeran, aku ada hubungan dengan isteri pemimpin Kung itu. Kedatangannya besok sungguh merobek lukaku yang lama!”

Sang adik terkejut. “Luka yang bagaimana, kanda? Hubungan apa yang kau maksud?”

“Begini...” sang kakak gemetar, terbata-bata. “Aku ada hubungan cinta dengan isteri pemimpin Kung itu, adik pangeran, karena dia adalah sahabat sekaligus bekas kekasihku dulu. Pemimpin Kung itu datang karena permintaan isterinya, Wan Cu, yang sebenarnya ingin menemuiku secara diam-diam untuk melepas rindu!”

“Ah!” sang putera mahkota terkejut. “Kau...?”

“Ya,” kakaknya memotong. “Isteri pemimpin Kung itu datang karena cintanya padaku, adik pangeran. Dan karena kami sudah bertahun-tahun tak ketemu lagi maka bekas kekasihku itu ingin menemuiku untuk melepas rindu...!”

“Hm!” sang adik pucat. “Kalau begitu kalian akan mengkhianati suaminya itu, kanda. Kalian...”

“Nanti dulu. Permintaan ini adalah atas kehendak Wan Cu itu, adik pangeran, bukan atas kehendakku. Tapi karena aku juga masih mencintainya dan tentu tak dapat menolak keinginannya maka aku bersedia menemuinya pula. Hanya aku harus berhati-hati, kami tak boleh ketahuan pemimpin Kung itu dan bertemu secara rahasia. Aku tak bermaksud melakukan sesuatu yang tak pantas dengan bekas kekasihku yang telah menjadi isteri orang lain itu!”

“Tapi kenangan lama bisa melupakan segalanya, kanda. Aku khawatir pertemuan itu bakal berekor panjang.”

“Tidak, aku berjanji tak akan menggaulinya, adik pangeran. Ini adalah pertemuan terakhir dan paling akhir dari hubungan kami!”

“Lalu apa maksudmu?”

“Aku ingin minta bantuanmu, adik pangeran. Kau temanilah pemimpin Kung itu sementara kami berdua!”

Sang adik terkejut. “Kau menyodorkan aku sementara kalian bertemu? Bagaimana jawabanku nanti kalau pemimpin Kung itu bertanya tentang isterinya?”

“Wan Cu dapat mengatur semuanya itu, adik pangeran. Pokoknya dia ingin lolos dari suaminya di saat menemuiku. Itu urusan dia, pemimpin Kung tak mungkin bertanya padamu!”

“Hm...” putera mahkota ini mengerutkan keningnya, bingung. Tampak berpikir keras dengan muka tiba-tiba gelap, teringat bahwa dia besok harus menemani ayahnya untuk menerima tamunya itu. Pemimpin suku Iiar di luar tembok besar, yang sebenarnya telah menjalin hubungan baik dengan ayahnya dan tentu saja hubungan itu tak boleh rusak gara-gara perbuatan orang lain, karena ayahnya ingin berdamai dan menjaga ketenteraman hidup rakyatnya. Tentu bakal geger kalau hubungan kakaknya dengan isteri pemimpin Kung itu ketahuan.

Tapi karena dia juga tak tega mendengar permintaan tolong kakaknya ini dan katanya kedatangan pemimpin itupun atas desakan isterinya maka sang putera mahkota ini menjadi bimbang diantara meluluskan dan menolak. Takut kalau kakaknya berdua lupa daratan, menjalin hubungan cinta kembali yang semakin hangat dan berkobar. Tapi belum dia menjawab atau apa tiba-tiba kakaknya itu telah memegang lengannya.

“Adik pangeran, tak percayakah kau padaku? Kami hanya sekedar ingin bercakap-cakap, adikku, tak lebih tak kurang. Kami tak akan melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan permusuhan, aku bersumpah!”

Sang adik tertegun.

“Sungguh, aku tak akan melakukan sesuatu yang di luar batas, adikku. Ini permintaan bekas kekasihku itu untuk melepas kangennya. Katanya ada sesuatu yang penting yang hendak dibicarakan juga, menyangkut gerak-gerik suaminya yang mencurigakan!”

“Maksudmu?”

“Pemimpin Kung katanya mau memberontak. Dia hendak merebut kekuasaan dan menyiapkan pasukan besar untuk menyerang ayahanda kaisar!”

“Ah...!” putera mahkota ini terkejut. “Kau yakin?”

“Begitu kata bekas kekasihku itu, adik pangeran. Maka dapat kau bayangkan betapa pentingnya pertemuanku besok dengan isteri pemimpin Kung itu!” sang kakak mengambil sesuatu, mengeluarkan sehelai surat dan langsung memberikannya pada sang adik. Dan ketika sang adik menerima dan membaca surat itu, yang ternyata dari Wan Cu, isteri sang pemimpin Kung tiba-tiba hati putera mahkota ini goncang dan pucat, menggigil dan mengembalikan surat itu kepada kakaknya. Mendapat kabar bahwa apa yang dikata kakaknya ini sesuai dengan isi surat itu. Rencana pemberontakan pemimpin Kung!

“Baik, kau pergilah besok, kanda pangeran. Korek dan dapatkan seluruh keterangan dari bekas kekasihmu itu. Tapi ingat, karena ini baru merupakan dugaan dan kita harus bertindak hati-hati maka jangan kau menggauli isteri pemimpin Kung itu? Kau berjanji?”

“Aku berjanji, adik pangeran. Dan terima kasih atas kepercayaanmu ini!” Siauw-ong-ya bangkit, memeluk dan merangkul adiknya itu, penuh kegembiraan, menepuk dan akhirnya berseri-seri memandang sang adik. Kilatan matanya tampak begitu bercahaya dan aneh. Dan ketika adiknya mengangguk dan sang kakak pamit maka Siauw-ong-ya meninggalkan putera mahkota yang masih tercenung di tempatnya.

Hari itu putera mahkota ini gelisah. Dia telah melibatkan diri dalam hubungan kakaknya dengan isteri orang lain, betapapun was-was dan tak enak. Karena pemimpin Kung adalah tamu yang harus dihormati, begitu pula isterinya. Tentunya tak patut kalau diam-diam ada “skandal”, meninggalkan sang suami untuk diam-diam bercengkerama dengan orang lain. Tapi karena surat yang dibaca tadi cukup mengguncangkan hatinya dan pertemuan itu penting untuk mengorek keterangan lebih lanjut maka pangeran ini menindas perasaan tak enaknya dengan alasan yang lebih kuat.

Bahwa dia mengijinkan kakaknya berduaan dengan isteri orang lain untuk mendapatkan rencana pemberontakan bakal tamu itu, pemimpin Kung yang sungguh tak diduga akan memberontak, menyerang ayahnya. Dan karena keselamatan negara lebih penting daripada urusan pribadi maka pangeran ini menggigit bibir dan akhirnya kembali ke tempatnya sendiri, tak tahu diam-diam kakaknya terbahak di sana, tertawa bergelak sampai mengeluarkan air mata. Begitu girang dan gembiranya. Dan ketika dua kakak beradik ini berpisah dan sang pangeran mahkota menjadi gelap dan gelisah oleh berita yang dibawa kakaknya maka rencana dan akal yang licik siap menggoncangkan kedudukan putera mahkota itu.

* * * * * * * *

Pagi itu, seperti apa yang dikata Siauw-ong-ya memang istana mendapat tamu. Seorang laki-laki tinggi gagah bermuka merah menghadap kaisar, diiringi seorang wanita cantik bersanggul kupu-kupu, semampai dengan pinggang yang ramping diikuti ratusan pengiring yang membawa berpeti-peti sutera dan bahan-bahan makanan, dipikul dan memasuki kota raja dengan mendapat sambutan hangat. Tentu saja semarak dan meriah. Dan ketika iringan itu tiba di istana dan laki-laki tinggi besar ini, yang bukan lain pemimpin Kung adanya bersama isteri menaiki tangga istana maka putera mahkota telah menyambutnya mewakili kaisar, yang duduk di dalam menanti tamunya.

“Selamat datang, kami gembira menerima kunjunganmu, Kung-ghoda (pemimpin Kung). Semoga Tuhan memberkahi kunjungan ini!” putera mahkota berseru, saling memberi hormat dan diam-diam melirik wanita di sebelah laki-laki gagah itu, harus mengakui dan sedikit tergetar bahwa wanita itu memang cantik. Tak heran kalau kakaknya pernah tergila-gila.

Dan ketika laki-laki tinggi besar itu tersenyum dan balas memberi hormat seraya memperkenalkan beberapa pembantu dekatnya maka sang pangeran telah membawa tamunya ini masuk ke dalam. Di situ kaisar mendapat penghormatan lebih besar. Pemimpin Kung menekuk satu kakinya, sementara yang lain berlutut. Dan ketika kaisar balas menyambut dan menyuruh pemimpin itu duduk di kursi yang telah disediakan maka dua suami isteri ini mendapat pelayanan istimewa.

Pemimpin Kung mempersembahkan upeti, sebagaimana biasa tata-cara setiap tahun. Persembahan sebagai hormat dan tunduk pada kaisar, yang memiliki kekuasaan lebih di atas dirinya. Dan ketika mereka mulai bercakap-cakap dan kaisar menanyakan kesejahteraan negeri tamunya ini maka putera mahkota, yang tajam dan tampak penuh selidik memandang tamunya mulai memperhatikan gerak-gerik tamunya itu.

Tapi pemimpin Kung tak menampakkan gejala mencurigakan. Laki-laki gagah itu memperlihatkan sikap biasa, sementara isterinya mulai mengerling dan melirik putera mahkota, agaknya tahu bahwa putera mahkota telah mendapat isyarat Siauw-ong-ya, tentang pertemuan itu. Dan ketika satu jam kemudian kaisar mempersilahkan tamunya beristirahat sementara sutera-sutera halus dan lainnya sebagai upeti telah diterima kaisar maka pemimpin Kung mendapat gedung kehormatan untuk beristirahat di gedung sebelah timur, satu istana kecil yang indah.

Di sini pemimpin Kung itu dijamu makan minum. Pangeran mahkota tetap menyertai, mendampingi tamunya dan mulai mendapat kerling yang semakin gencar dari isteri tamunya itu. Dan ketika malam tiba dan Wan Cu, isteri pemimpin Kung itu memberi tahu suaminya agar melihat tari-tarian istana sebagai hiburan menjelang tidur maka pangeran mahkota yang sementara ini hanya dikerling mulai diajak bercakap-cakap wanita cantik itu, setelah suaminya cukup puas ngobrol.

“Pangeran, ada tarian Dewi Naga di sini, bukan? Suamiku tertarik sekali, mungkin paduka dapat memperlihatkannya.”

“Ah, memang ada, hujin (nyonya). Tapi apakah Kung-ghoda benar tertarik atau tidak aku tak tahu. Tarian itu agak menyeramkan, berbau mistik.”

“Itulah, suamiku suka sekali, pangeran. Paduka mungkin dapat memperlihatkannya!” dan, membujuk sang suami wanita ini berkata, “Suamiku, agaknya ini malam paling tepat bagimu untuk melihat tarian mistik itu. Konon katanya siapa dapat memegang lengan Dewi Naga akan panjang umur dan banyak bahagia!”

“Ah,” suaminya tertawa. “Kau ini ada-ada saja, isteriku. Bukankah umur di tangan Tuhan? Dan bahagia itu tinggal di tangan manusianya sendiri, kalau dapat mengatur hidup tentu bahagia. Bukankah demikian, pangeran?”

Sang pangeran mengangguk. “Memang benar, Kung-ghoda. Apa yang kau katakan memang tepat. Umur di tangan Tuhan, tapi kalau manusia macam-macam tentu umurpun menjadi pendek!”

Dengan kata-kata ini sang pangeran hendak menyindir tamunya itu, teringat rencana pemberontakannya dan surat Wan Cu. Tapi sang tamu yang tak mengerti dan tertawa bergelak justeru mendukung kata-katanya.

“Benar, kau juga tepat sekali, pangeran. Manusia yang macam-macam memang tak bakal berumur panjang. Sebaiknya manusia harus berdamai dan menjaga ketenteraman hidupnya!”

“Dan kau tak menonton tarian klasik itu?”

“Ah, tergantung pangeran, isteriku. Kalau dia mau memperlihatkannya tentu aku mau, kalau tidak tentu aku juga tak dapat memaksa.”

“Ah, sang pangeran tentu mau, suamiku. Bukankah tak setiap hari kita tinggal di sini? Sebaiknya kau menonton itu, sang pangeran tentu mengajak!” dan mengerling pada sang pangeran wanita ini berbisik, “Pangeran, paduka mau membawa suamiku, bukan? Tolong hibur dia, aku ingin beristirahat.”

“Hujin capai?”

“Benar, pangeran. Aku ingin menikmati kesendirianku. Lagi pula dewa bulan tentu telah menunggu kedatanganku, di alam mimpi!”

Sang pangeran tertegun. Isteri pemimpin Kung itu telah mengeluarkan kata-kata sandi, ucapan tersamar yang mengandung rahasia. Isyarat bahwa wanita itu ingin menemui kakaknya. Dan pemimpin Kung yang terheran mendengar bisik-bisik itu segera bertanya,

“Kau bicara apa?”

Sang isteri tertawa, manis sekali. “Aku mengantuk, suamiku. Aku berkata pada pangeran agar mengijinkan aku beristirahat.”

“Ah, kau tak nonton Dewi Naga?”

“Tidak, biar kau saja yang mewakiliku. Bukankah sama?”

Sang suami jadi tertegun. Tapi pangeran mahkota yang melihat berkelebatnya bayangan sang kakak tiba-tiba menghela napas, menengahi. “Kung-ghoda, apa yang dikata isterimu memang benar. Wanita mudah capai, biarlah dia beristirahat dan kau kuantar melihat tarian itu,” lalu, memanggil seorang dayang, pangeran ini memandang Wan Cu. “Hujin, silahkan beristirahat. Biar dayang ini melayani segala keperluanmu.”

“Aih, terima kasih, pangeran... terima kasih!” dan ketika sang dayang sudah maju mendekat dan Wan Cu tak memberi kesempatan pada suaminya untuk banyak menolak wanita ini sudah berkata dengan suara lembut, “Suamiku, maafkan aku. Aku lelah, seharian acara ini membuat tubuhku penat. Aku ingin beristirahat dulu!” dan mengangguk pada sang pangeran memutar tubuhnya wanita ini sudah melenggang manis menuju ke dalam.

Sang pangeran berdebar. “Isterimu cantik sekali, Kung-ghoda. Sungguh beruntung kau memiliki dia.”

“Ha-ha, itu nasib baikku, pangeran. Dan yang lebih beruntung lagi adalah kesetiaannya, dia amat mencintaiku!”

Sang pangeran tak menjawab. Dia sudah mengajak tamunya ini ke gedung lain, gedung hiburan dimana dipentaskan bermacam-macam tarian untuk menghibur tamu, juga kaisar sendiri di kala penat. Tapi tak percaya pada sang kakak dan ingin menjaga suasana diam-diam pangeran mahkota ini menyuruh seorang kepercayaannya mengikuti gerak-gerik dua orang itu, Wan Cu dan Siauw-ong-ya, mengintai dan melihat apakah benar kakaknya dapat memegang janji, tak melakukan skandal karena betapapun Wan Cu adalah isteri seorang tamu.

Tapi begitu pangeran ini menyuruh orang kepercayaannya untuk mengikuti gerak-gerik Wan Cu maka di lain pihak sesosok bayangan juga berkelebat mengikuti gerak-gerik dua orang itu, Wan Cu dan Siauw-ong-ya yang sudah bertemu dalam sebuah kamar, tak jauh dari tempat penginapan Kung-ghoda. Dan begitu dua bayangan sama-sama berkelebat mengintai dua orang ini maka di sudut tersembunyi, terlindung gerumbulan perdu dan semak-semak sesosok bayangan juga mengintai sambil tersenyum mengejek. Bayangan ketiga, bayangan yang bukan lain Bu-kongcu adanya!

* * * * * * * *

“Ha-ha, bagaimana, Wan Cu? Selamat?”

“Ih, selamat apanya, kanda? Aku nyaris gagal, suamiku tak mau pergi!”

“Tapi sekarang kau di sini, bukan? Kita sudah bertemu, dan aku dapat melepas rinduku. Aih, aku harus melakukan banyak akal untuk pertemuan ini, Wan Cu. Dan dua orang itu sama-sama kita tipu. Ha-ha, mereka kerbau-kerbau dungu yang gampang kita kelabuhi...!” dan Siauw-ong-ya yang sudah memeluk Wan Cu di dalam kamar tiba-tiba mendesis, “Wan Cu, kau semakin cantik. Betapa rindu dan cintaku kepadamu. Kau masih sayang padaku, bukan?”

Wan Cu menggigil, terisak lirih, mengangguk.

“Dan kau siap melepas si tua bangka itu?”

“Aku... aku tak tahu, kanda. Aku bingung.”

“Bingung apanya? Semuanya sudah diatur, kita tinggal memencet tombol dan semuanya akan berjalan sesuai rencana!”

“Tapi aku takut, kanda. Aku takut kalau kita gagal.”

“Gagal? Ha-ha, tak ada yang akan gagal, Wan Cu. Semuanya tinggal dirimu saja, kalau kau sudah mempersiapkan orang-orangmu dan bergerak malam ini juga tentu pemberontakan itu berjalan. Dan suamimu serta ayahanda akan sama-sama terkejut, tapi sebelum mereka sadar akan apa yang terjadi maka suamimu malam ini juga akan terbunuh!”

Siauw-ong-ya tertawa bergelak, meraih pinggang yang ramping itu tiba-tiba mencium, mendekap dan melumat bibir yang merah basah itu, disambut keluhan dan rintih lirih wanita cantik ini. Dan ketika Wan Cu menggigil dan melepaskan diri maka Siauw-ong-ya bersinar-sinar memandang kekasihnya itu.

“Wan Cu, kau kekasih yang hebat. Persekutuan kita tak boleh gagal!”

“Ya, tapi...”

“Tapi apalagi? Kau tak perlu khawatir, kasihku. Akupun telah menyiapkan orang-orangku untuk menumpas pemberontakan itu. Malam ini rencana kita harus tetap jalan, suamimu harus dibunuh!”

Wan Cu tiba-tiba menangis.

“Kenapa kau menangis? Kau mencintai tua bangka itu?”

Wan Cu tersedu-sedu. “Aku tak mencintainya, kanda. Tapi betapapun dia baik kepadaku. Aku teringat kasih sayangnya. Aku... aku tak tega melihat dia terbunuh...!”

“Hm, kalau begitu tak perlu kau ke sini. Kenapa datang?” Siauw-ong-ya marah, memandang kekasihnya itu dan tampak tidak puas.

Tapi Wan Cu yang tak menjawab dan menangis semakin sedih tiba-tiba menubruk pangeran ini. “Kanda, benarkah semua janji yang kau katakan itu? Benarkah kau akan mempermaisurikan aku jika kelak kau dapat merebut tahta?”

“Hm, aku tak pernah menipu, Wan Cu. Kenapa bertanya itu? Kalau kau ragu batalkan saja semua rencana ini. Kita tak perlu bersekutu!”

Wan Cu terisak. Dia didorong melepaskan diri, dua mata beradu dan masing-masing sama bersinar penuh pertanyaan dan keraguan. Tapi begitu Siauw-ong-ya mengeraskan dagu tiba-tiba wanita ini menghentikan tangisnya dan berdiri tegak, teringat pertemuan mereka sebulan yang lalu, melalui kurir (utusan), menghela napas dan akhirnya mengangguk. Dan begitu pandangan sama melembut dan kembali mesra tiba-tiba wanita ini berbisik,

“Aku percaya, kanda. Aku percaya padamu!”

“Nah, kalau begitu tak perlu ragu. Buang semua kebimbanganmu itu dan kita teruskan rencana. Bukankah pekerjaan kita sudah setengah jalan?”

“Ya.”

“Dan pengawalku juga melindungiku, Wan Cu. Kau tak perlu takut atau cemas. Apa yang sudah kita atur harus kita laksanakan juga.”

Wan Cu mengangguk. Saat itu dia teringat surat kekasihnya ini, seorang pangeran yang dulu mencintainya juga dicintainya. Memadu kasih dan bersama menikmati kebahagiaan. Sayang tak berlangsung lama karena bertemu dengan suaminya yang sekarang itu, meninggalkan Siauw-ong-ya karena pangeran itu kepergok “ada main” dengan wanita lain. Dibakar cemburu dan menerima suaminya sekarang itu. Bertahun-tahun hidup di luar tembok besar bersama sang suami, berhasil melupakan Siauw-ong-ya tapi akhirnya dilanda kecewa karena perkawinannya dengan pemimpin Kung itu tak membuahkan keturunan.

Entah dia yang mandul atau suaminya. Sebulan yang lalu mandadak menerima kunjungan Bu-kongcu, utusan Siauw-ong-ya, memberikan sepucuk surat yang isinya berupa bujukan. Mengajak mereka menjalin lagi hubungan lama dan mengungkit-ungkit ketidak bahagiaannya itu, keturunan yang belum juga didapatkan setelah sekian tahun menjadi isteri Kung-ghoda. Menceritakan betapa Siauw-ong-ya amat menderita dan terpukul sekali oleh kepergiannya, sampai kini tak berhasil mendapatkan idaman karena cintanya pada Wan Cu.

Bahwa dulu “ada mainnya” bersama wanita lain itu hanyalah sekedar iseng, tidak sungguh-sungguh. Tetap mencintai Wan Cu sebagai satu-satunya wanita di dunia ini, yang dipuja lahir dan batin. Dan karena wanita memang lemah terhadap puji dan sanjung dan kata-kata manis Siauw-ong-ya meluluhkan Wan Cu akhirnya wanita ini tergerak dan terbujuk. Mendapat janji akan menjadi permaisuri kelak, kalau rencana itu berhasil, kalau Siauw-ong-ya dapat menjadi kaisar. Dan karena janji dan bujukan manis itu memang amat memikat dan hebat sekali maka Wan Cu tergelincir dan bersedia mengkhianati suaminya.

Begitulah, wanita ini mulai mengadakan hubungan. Mereka mulai mengatur rencana, diam-diam melakukan ini-itu yang tidak diketahui siapa pun. Kian hari kian dekat dan semakin dekat saja, “love-affair” mereka tumbuh dan berkembang melebihi yang dulu-dulu, hangat dan jauh lebih berkobar dibanding tujuh tahun yang lalu. Dan ketika saat itu tiba dan semua rencana sudah disiapkan matang akhirnya hari itu Wan Cu mengajak suaminya ke kota raja menghadap kaisar.

Sebenarnya, waktu mempersembahkan upeti masih dua minggu lagi. Wan Cu sengaja mengajak suaminya mempercepat persembahan, karena kaisar katanya akan tetirah di pegunungan Hweng-san, dua minggu lagi. Dan karena sang suami amat mencintai dan percaya pada isterinya ini maka Kung-ghoda menyambut baik meskipun pada mulanya dia menolak. Dan hari itu mereka telah datang, Kung-ghoda tak menyangka seujung rambut pun bahwa malam itu dia akan celaka, gara-gara perbuatan sang isteri.

Karena Wan Cu yang membawa pengiring mempersembahkan upeti sesungguhnya membawa pasukan khusus yang menyamar sebagai pemikul tandu, atas petunjuk Siauw-ong-ya! Dan Siauw-ong-ya yang malam itu mendekap dan memeluk kekasihnya tentu akan membuat pemimpin suku liar itu mendelik kalau tahu apa yang terjadi, melihat isterinya main gila dengan laki-laki lain!

“Bagaimana, kau masih bimbang juga, Wan Cu?”

Wan Cu menggeleng, mulai tersenyum manis.

“Kalau begitu kenapa kau diam? Kau merenungkan apa?”

“Aku merenungkan suratmu, kanda,” Wan Cu memperlebar senyumnya. “Aku teringat semua janji-janjimu yang manis.”

“Kau tak percaya?”

“Bukan begitu, hanya sampai dimana kebenaran ceritamu tentunya aku ingin tahu,” Wan Cu menghampiri pembaringan, duduk memandang kekasihnya itu. Dan ketika sang kekasih mengerutkan alis dan bertanya apa yang dimaksud akhirnya wanita ini menghela napas. “Kanda, aku ingin tahu benar sampai dimana cintamu itu. Apakah benar kau hanya mencintaiku seorang. Bagaimana kalau kau main gila lagi seperti dulu?”

“Ah, aku tak akan mengulangi kebodohanku itu, Wan Cu. Itu kesalahanku yang amat besar!”

“Jadi kau berjanji?”

“Aku berjanji, Wan Cu, dengan segenap jiwa dan ragaku. Aku tak akan menoleh lagi pada wanita lain selain dirimu!”

“Sampai kelak rencana kita berhasil? Sampai kau dapat menjadi kaisar?”

“Maksudmu?” Siauw-ong-ya tertegun.

“Begini, kanda. Aku mempunyai syarat yang belum kunyatakan, kini tiba saatnya kita bicarakan itu. Aku ingin kau memiliki diriku seorang, seperti halnya akupun memiliki dirimu seorang. Bagaimana kalau kelak kau tak mengambil selir sebagai bukti cintamu padaku seorang?”

Sang pangeran tertegun, mukanya berubah. “Maksudmu...” suaranya menggigil, “aku tak boleh bersenang-senang meskipun kesenanganku itu sebagai hak seorang kaisar?”

“Ya, aku muak dengan sepak terjang segala kaisar, kanda. Kalau kau benar mencintaiku tentunya tak keberatan kau menerima usulku ini. Atau...” Wan Cu berhenti sejenak, tersenyum mengejek, pandangan tiba-tiba menjadi dingin. “Kalau kau ingin bersenang-senang akupun akan mengimbangimu. Kita sama-sama berhak mencari pasangan lain sebagai iseng-iseng kita!”

“Tidak!” Siauw-ong-ya tiba-tiba pucat. “Aku tak akan melakukan itu, Wan Cu. Dan kaupun juga tak boleh melakukan itu!” dan membelalakkan mata menunjukkan rasa marah tiba-tiba pangeran ini mencengkeram pundak kekasihnya. “Wan Cu, tak perlu kita bicarakan hal-hal yang dapat membuat kita panas. Aku mencintaimu, dan selamanya akan mencintaimu. Kalau kau menghendaki aku tak mengambil selir baiklah, permintaanmu akan kupenuhi!”

“Sungguh?”

“Demi arwah nenek moyangku!”

“Terima kasih...” dan Wan Cu yang girang merangkul kekasihnya tiba-tiba memberi ciuman hangat yang mesra. “Kanda, aku percaya sumpahmu. Kalau begitu kita boleh lakukan apa yang kita ingini!”

Dua orang itu tiba-tiba saling kecup. Mereka telah menggulingkan tubuh bersama di pembaringan itu, Siauw-ong-ya tertawa, gembira karena kekasihnya telah melenyapkan ganjalan, mulai menyerang dan saling memberi ciuman yang panas. Tubuh tiba-tiba lekat seolah tak mau dipisahkan lagi. Dan ketika masing-masing sama bergelut dan pakaian satu-persatu mulai lepas dari tubuh mendadak, mengejutkan dua orang ini muncul sesosok bayangan mendobrak pintu.

“Hujin, perbuatanmu sungguh terkutuk!”

Wan Cu dan sang pangeran terkejut. Mereka sudah setengah telanjang, tertegun dan tersentak di tempat tidur. Muka tiba-tiba pucat seperti kertas, Wan Cu bahkan terpekik menarik selimut, menutupi dadanya. Tapi begitu sadar dan terbelalak melihat pendatang ini tiba-tiba Wan Cu tergetar, berseru lirih,

“Buyima...!”

Laki- laki itu, lelaki tinggi besar berkulit hitam mendelik. Dia adalah Buyima, tangan kanan suaminya. Tak dikenal Siauw-ong-ya tapi tentu saja dikenal Wan Cu, seorang laki-laki gagah yang amat setia pada Kung-ghoda. Dan sementara Wan Cu terbelalak dan kaget memandang laki-laki itu maka Buyima sudah berkelebat mencengkeram keduanya.

“Hujin, dan kau, pangeran. Maafkan hamba yang harus membawa kalian berdua ke hadapan pemimpin!”

Wan Cu dan Siauw-ong-ya terkejut. Mereka tak berdaya, sedetik kehilangan akal karena kedatangan Buyima memang di luar dugaan. Pucat dan ngeri karena mereka tertangkap basah, sebentar lagi akan dihadapkan pada Kung-ghoda dan bakal mendapat marah pula dari kaisar. Sesuatu yang memalukan! Tapi belum mereka menjawab atau apa mendadak sesosok bayangan lain muncul menangkis cengkeraman laki-laki tinggi besar ini.

“Buyima, kau tak boleh lancang... duk!”

Seorang laki-laki tinggi kurus muncul. Dia menangkis dan mementalkan cengkeraman Buyima, segera membuat laki-laki itu terdorong sementara pendatang baru ini juga terhuyung. Buyima berseru tertahan. Dan ketika mereka sama tegak kembali dan Siauw-ong-ya melihat siapa yang datang tiba-tiba pangeran ini ganti berseru,

“Tio-ciangkun...!”

“Maaf,” Tio-ciangkun, laki-laki itu menjura. “Hamba diperintah putera mahkota, pangeran. Mengawasi gerak-gerik Buyima ini dan harus menyelamatkan paduka. Silahkan paduka menyingkir, hamba akan menghadapinya!” dan Tio-ciangkun yang sudah menghadapi Buyima dengan kepala tegak tiba-tiba membentak, “Buyima, kau laki-laki tak tahu aturan. Ini kamar Siauw-ong-ya, kenapa kau berani masuk?”

Buyima, tangan kanan Kung-ghoda itu menggigil. Dia terkejut melihat kehadiran Tio-ciangkun, mendengar kelihaian pengawal ini yang konon katanya dekat dengan putera mahkota. Tapi tak takut dan marah melihat perbuatan Wan Cu laki-laki tinggi besar ini balas membentak, “Aku datang karena hendak menangkap dua orang itu, Tio-ciangkun. Mereka melakukan zina dan harus kutangkap basah, sebagai bukti!”

“Tapi kau bukan di rumah sendiri, Buyima. Kau melanggar aturan dan sopan santun istana.”

“Kalau begitu mereka akan siap-siap. Mereka akan melarikan diri dan menyangkal perbuatan mereka. Keparat, apa yang kau maui, Tio-ciangkun? Kau akan membela orang-orang bersalah itu?”

Tio-ciangkun tertawa dingin. “Buyima, ini adalah tempat tinggal kami. Aku pengawal istana, sudah sepantasnya kalau aku yang mengamankan tempat ini dan menertibkan setiap kejadian. Kau seorang tamu, kenapa lancang membuat onar? Kau kutangkap, sepak terjangmu tak tahu aturan dan kurang ajar!” dan Tio-ciangkun yang menubruk menyerang lawannya tiba-tiba membuat Buyima marah dan menangkis.

“Duk-dukk!”

Dua orang itu kembali tergetar. Mereka sama-sama terdorong dan terhuyung, mengerutkan kening karena kekuatan berimbang. Tapi Buyima yang geram membentak gusar tiba-tiba ganti menubruk dan menyerang, dielak dan segera di balas Tio-ciangkun ini. Dan ketika mereka bergebrak dan sama-sama marah akhirnya dua orang itu bertanding dan mengeluarkan kepandaian masing-masing.

“Siauw-ong-ya, paduka menyingkirlah...!”

Siauw-ong-ya sadar. Saat itu dia melihat pertandingan meningkat ramai, Buyima dan Tio-ciangkun sama-sama keras lawan keras. Masing-masing tak mau mengalah. Buyima ingin mengalahkan lawannya itu untuk membawa Siauw-ong-ya sementara Tio-ciangkun mencegah dan melindungi Siauw-ong-ya, diam-diam membuat pangeran ini kaget karena Tio-ciangkun adalah orang kepercayaan adiknya. Segera sadar bahwa Tio-ciangkun rupanya dikirim adiknya sengaja untuk mengawasi gerak-geriknya, mungkin adiknya bercuriga! Tapi melihat dia harus menyelamatkan diri dan keadaan memang berbahaya akhirnya pangeran ini mengajak Wan Cu menyelinap keluar, mumpung dua orang itu bertanding.

“Wan Cu, ayo...!”

Wan Cu mengangguk. Dia sebenarnya terkesiap melihat pengawal suaminya itu, kaget dirinya tertangkap basah. Tentu tak diampuni lagi kalau sampai Buyima melaporkan kejadian itu. Tapi melihat Buyima bertempur sengit dan mereka memang harus menyelamatkan diri maka wanita cantik ini sudah mengikuti kekasihnya untuk melarikan diri, memutar dan mendekati pintu keluar yang tadi didobrak Buyima. Tapi Buyima yang tak membiarkan dua orang itu merat tiba-tiba melepas dua pisau kecil.

“Pangeran, dan kau, hujin. Berhentilah...!”

Dua pisau itu menyambar. Siauw-ong-ya dan Wan Cu tentu saja tak dapat mengelak, tapi Tio-ciangkun yang balas mencabut pisau tiba-tiba menimpukkannya ke pisau yang dilontarkan Buyima, membuat pisau-pisau itu runtuh berdentang di lantai, nyaring suaranya, tentu saja membuat Buyima marah dan memaki-maki panglima ini. Dan ketika sang pangeran selamat dan Buyima siap melontar pisaunya lagi maka panglima ini berseru,

“Pangeran, larilah. Hamba akan melindungi paduka...!”

Buyima mencak-mencak. Tio-ciangkun benar-benar melindungi pangeran itu, untuk kedua kali menahan serangan pisaunya. Dan karena pangeran sudah melarikan diri dan Wan Cu juga lenyap di luar kamar akhirnya laki-laki ini mencabut senjatanya, pedang berukuran besar. “Tio-ciangkun, kau manusia keparat!”

“Tidak, aku melakukan apa yang menjadi tugasku, Buyima. Kaulah yang keparat dan tak tahu diri!”

Buyima sudah menerjang. Pedangnya yang besar itu berkeredep membacok ke sana-sini, anginnya dingin menyambar tajam. Dan karena Tio-ciangkun bertangan kosong padahal lawan berimbang dengannya akhirnya panglima ini terdesak mencabut senjatanya pula sebatang pedang berukuran lebih kecil, menangkis dan ternyata tak kalah tajam dengan pedang di tangan lawannya itu. Dan ketika mereka serang-menyerang lagi dengan senjata di tangan tiba- tiba pertempuran menjadi seru dan lebih hebat daripada tadi.

“Trang-trang!”

Mereka sama-sama menggigit bibir. Dalam keadaan beginipun mereka mendapat kenyataan kedudukan mereka sama kuat, masing-masing pandai memainkan senjata dan tak kalah tangkas. Tapi karena Buyima amat bernafsu sementara Tio-ciangkun lebih banyak menyimpan tenaga akhirnya sedikit tetapi pasti panglima ini mulai terdesak, meskipun bukan berarti kalah, sebuah taktik yang sengaja dilakukan panglima ini untuk menerobos dalam keadaan tak terduga. Membiarkan lawan memboroskan tenaga sementara dia menghematnya, berhati-hati namun kewalahan juga menerima tusukan dan bacokan lawan yang bertubi-tubi hingga dua kali pundaknya nyaris termakan.

Dan ketika pertandingan berjalan tigapuluh jurus dan masing-masing sama berkeringat mendadak satu tendangan tak dapat dihindarkan Tio-ciangkun ini, lengah karena dia lebih memperhatikan pedang. Dan ketika panglima itu terguling dan Buyima melompat mendadak pedang menikam dari atas ke bawah.

“Tio-ciangkun, kau mampuslah!”

Tio-ciangkun terkesiap. Saat itu dia bergulingan, siap melompat bangun tapi mendapat serangan ganas, pedang sudah menyambar tiba. Tapi membentak menggerakkan pedang tiba-tiba panglima ini menangkis sambil melipat kaki lawan.

“Trang-bluk!”

Buyima roboh terguling. Laki-laki tinggi besar itu tak menyangka panglima ini dapat menjegal kakinya, tentu saja membuat dia terkejut dan marah, pedang sama terpental karena tangkisan itu dilakukan dengan kuat sekali oleh Tio-ciangkun. Dan ketika dia melompat bangun dan menggereng marah ternyata lawan juga melakukan hal yang sama dan kini menyerangnya dengan tikaman cepat, membalas dan ganti mendesak dirinya merubah kedudukan, ditangkis dan segera bertempur lagi dengan sengit. Tapi ketika pertempuran berjalan belasan jurus lagi dan kepandaian berimbang itu membuat mereka lelah mendadak sesosok bayangan melompat masuk tertawa mengejek.

“Tio- ciangkun, tikus besar ini rupanya sulit kau robobkan. Baiklah, kubantu dirimu, maaf...!” dan bayangan itu yang melepas tiga jarum hitam tiba-tiba mengebutkan lengannya menyerang Buyima.

Membuat Buyima kaget karena saat itu dia harus juga menghadapi pedang Tio-ciangkun. Tentu saja tak dapat menangkis karena pedang dipakai ke depan, mengelak dan mengira hanya dua jarum yang menyambar, desirnya didengar menuju pundak dan punggung. Tak tahu bahwa jarum ketiga menuju belakang kepalanya, halus dan tak terdengar karena tertutup oleh tawa, dikelit dan Buyima memaki lawan mendadak jarum ketiga menyambar dan langsung mengenai bagian belakang kepala laki-laki tinggi besar ini, amblas memasuki otaknya.

“Crep-augh...!” Buyima langsung terguling. Serangan Tio-ciangkun tak dapat dilayani lagi. Buyima menjerit dan roboh bergulingan mendekap kepalanya. Dan ketika laki-laki itu mengeluh dan merintih perlahan tiba-tiba tubuhnya tak bergerak lagi dan kejang di tempat. Tewas!

“Bu-kongcu...!”

Bayangan itu, yang bukan lain Bu-kongcu adanya tertawa bergelak. Dia telah memberesi pengawal Kung-ghoda ini, melihat Tio-ciangkun menggigil dan terhuyung mundur, pedang lemas di tangan, menggantung lunglai. Dan dua bayangan yang kembali masuk ke dalam tiba-tiba membuat Tio-ciangkun tertegun, melihat Siauw-ong-ya dan kekasihnya muncul dengan muka berseri-seri.

“Bu-kongcu, terima kasih atas bantuanmu. Kukira kau melepaskan tanggung jawabmu!”

“Ah, siapa melepaskan tanggung jawab, pangeran? Hamba telah lama di sini, tahu akan kedatangan dua orang ini dan sengaja menonton mereka!”

Tio-ciangkun terkejut. “Kau mengetahui kedatangan Buyima?”

“Ya, dan juga kedatanganmu, ciangkun. Tapi aku tak bergerak karena ingin melihat apa yang akan kau lakukan. Ternyata kau membela pangeran, terima kasih atas pertolonganmu itu!” Bu-kongcu yang tertawa membungkukkan tubuh tiba-tiba bertanya pada Siauw-ong-ya, “Pangeran, apa yang harus hamba lakukan dengan Tio-ciangkun ini? Perlukah hamba mengantar pada putera mahkota?”

“Tak perlu,” sang pangeran tersenyum. “Biar dia sampaikan saja terima kasihku, Bu-kongcu. Dan kau mengurus mayat Buyima ini,” dan menghadapi Tio-ciangkun pangeran ini berkata, “Tio-ciangkun, terima kasih atas semua bantuanmu. Kau kembalilah, sampaikan beritaku dan keselamatanku ini.”

Tio-ciangkun tertegun, tak segera pergi.

“Kau mau bicara?”

“Maaf,” panglima ini mengangguk. “Hamba hendak mengingatkan paduka, pangeran. Bukankah paduka mempunyai janji terhadap adik paduka?”

“Ha-ha, aku tahu, ciangkun. Katakan aku selalu ingat janjiku itu.”

“Tapi wanita ini...”

Sang pangeran mengulapkan lengan. “Ciangkun, katakan pada adikku pangeran mahkota bahwa hubunganku dengan wanita ini terlanjur intim kami ingin menumpas pemberontakan, urusan pribadi boleh diabaikan dulu. Kau kembalilah dan katakan saja pada adikku tentang apa yang kau lihat dan kau dengar. Kau paham?”

“Jadi paduka...?”

“Itu urusan pribadiku, kau tak perlu ikut campur!” dan sang pangeran yang tersenyum memutar tubuh tiba-tiba menggandeng Wan Cu, memberi isyarat pada Bu-kongcu. Dan ketika Tio-ciangkun terkesima dan dua orang itu keluar kamar tiba-tiba Bu-kongcu terbahak menepuk pundak panglima ini.

“Ciangkun, tak perlu bengong. Kau kembalilah!”

Tio-ciangkun terkejut. Saat itu Siauw-ong-ya dan kekasihnya lenyap di luar kamar, sekilas memberi senyum yang aneh padanya. Tapi ketika Bu-kongcu tertawa dan menepuk pundaknya tiba-tiba panglima ini menjerit dan terjungkal roboh. Tak menyangka Bu-kongcu menusukkan sebatang jarum kepadanya, ketika menepuk tadi jarum yang amblas dan kini membuat pundaknya bengkak. Begitu cepat dan amat tiba-tiba. Dan Tio-ciangkun yang sadar Bu-kongcu hendak membunuhnya tiba-tiba berteriak melihat pemuda itu berkelebat keluar.

“Bu-kongcu, kau jahanam keparat...!”

Bu-kongcu terkekeh. Murid Sai-mo-ong itu memang menancapkan jarum beracunnya ke pundak Tio-ciangkun, mendapat isyarat Siauw-ong-ya agar panglima itu dibunuh, karena Tio-ciangkun telah melihat dan mendengar semua kejadian di dalam kamar. Jadi terlalu berbahaya kalau dilepaskan begitu saja. Tapi melihat panglima itu mengejar dan menusuknya dengan pedang gemetar, pemuda ini tersenyum dan mengelak tanpa menoleh...

Pendekar Rambut Emas Jilid 14

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 14
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“A-CIONG...!”

“Siapa dia?”

Seng-piauw-pangcu tak menjawab. Dia sudah menubruk dan menangis menyambar mayat ini, mukanya pucat sekali, mengguguk dan tiba-tiba memaki Bu-kongcu dan dua sutenya kalang-kabut. Tapi ketika dia sadar dan melompat bangun maka Kim-mou-eng menepuk pundaknya, lembut namun kuat.

“Pangcu, siapa dia?”

“Dia... dia A-ciong, taihiap. Bocah yang kutitipi surat rahasia itu!” kakek ini hampir tak dapat bicara, tenggorokannya tercekat karena kematian bocah itu sungguh membuat dia terpukul, kaget dan marah. Sungguh tak menyangka kalau musuh mencium jejaknya, mengetahui perbuatannya dan kini membunuh anak itu, mengambil surat rahasia karena surat itu sudah tak ada lagi di tubuh anak ini. Dan Kim-mou-eng yang tertegun mengerutkan kening akhirnya menghela napas, menegur kakek ini,

“Pangcu, kau sembrono sekali. Kenapa anak demikian ingusan kau titipi surat berharga?”

“Aku... aku tak menduga, taihiap. Semua ini kulakukan dengan perhitungan cermat, tapi musuh rupanya tahu juga. Keparat Bu-kongcu itu!”

“Tapi kukira bukan Bu-kongcu yang melakukannya. Anak ini tewas enam jam yang lalu, padahal saat itu Bu-kongcu masih berada di Pi-yang.”

“Kalau begitu siapa?”

“Orang lain, mungkin saja bayangan hitam yang menolong sutemu itu.”

“Ah, lagi-lagi dia?”

“Mungkin saja, pangcu. Tapi mungkin juga orang lain.”

Kakek tinggi besar ini lemas. Dia gemetar mengetrukkan giginya, hilang sudah harapannya untuk membawa surat rahasia ke putera mahkota. Tapi ingat bahwa tugasnya masih ada lagi dan satu-satunya jalan ialah menghubungi putera mahkota itu dan mengisiki (memberi tahu) bahwa bahaya mengancam pangeran itu maka kakek ini tak putus asa meskipun tak membawa bukti.

“Taihiap, kita ke kota raja kalau begitu. Temani aku menghadap pangeran mahkota!”

“Baik, tapi hati-hati, pangcu. Tapi siapa sebetulnya A-ciong ini?”

“Dia kacung Sin Meng. Dialah satu-satunya orang yang lolos ketika kakek itu dan dua anak perempuannya ditangkap. Suteku membiarkan anak ini pergi karena tak menduga anak itulah yang membawa surat rahasia!”

Kim-mou-eng menarik napas. Dia tak tahu kejadian di kota Pi-yang itu, ketika Sin Meng dan dua anak perempuannya ditangkap. Ketika Hong Jin muncul dan menawan ayah dan anak ini, bahwa A-ciong adalah bocah yang menarik uang dari sumbangan para penonton. Jadi kacung itulah yang sebenarnya dititipi surat rahasia. Memang tak akan diduga oleh siapapun bahwa anak ini yang menyimpan surat. Tapi karena anak itu sekarang tewas dan Sin Meng serta anak gadisnya juga tewas di tangan Hong Jin maka kakek tinggi besar ini tak dapat berbuat apa-apa kecuali menyesali nasib, marah pada dua sutenya dan teman-temannya itu, Bu-kongcu dan lain-lain.

Dan ketika Kim -mou-eng mengajaknya pergi dan siap mengantarnya ke kota raja akhirnya kakek ini mengangguk dan langsung memukul remuk ular di tangan Kim-mou-eng, gemas, mengubur mayat kacung itu berkali-kali memaki musuh-musuhnya. Tapi begitu semuanya selesai dan kakek ini tampak berang akhirnya Sin-piauw Ang-lojin berkelebat ke kota raja dikawal Pendekar Rambut Emas.

* * * * * * * *

Sesungguhnya, apa yang terjadi di kota raja? Benarkah Pangeran Muda diam-diam hendak membunuh pangeran mahkota? Untuk melihat ini sebaiknya kita mendahului dua orang itu ke kota raja. Mari kita lihat keadaan dua pangeran ini yang sama-sama tinggal di istana, Pangeran Muda di sebelah timur sementara pangeran mahkota di sebelah barat.

Pangeran mahkota, yang masih berumur duapuluh dua tahun memang masih terlalu muda saat itu. Dia adalah seorang pangeran yang lembut dan halus tutur katanya, berwajah tampan dan seperti biasa pangeran-pangeran lain suka kesenangan dan keindahan, termasuk pula wajah cantik sebagaimana biasanya kaum muda, apalagi kaum bangsawan, hidup tenteram dan tenang karena selalu dilindungi pengawal yang menjaga istana. Hampir tak mengenal kesusahan karena di istana tak ada apa yang dinamakan kesusahan itu, semua kebutuhan makan minumnya tercukupi, bahkan berlebihan kalau tak mau dikatakan mewah.

Tapi karena dia juga manusia biasa dan manusia dikenal sebagai makhluk yang tak kenal cukup maka ada beberapa hal yang membuat putera mahkota ini murung, tak puas. Pertama adalah tentang kebebasannya. Dia hampir tak pernah keluar tanpa pengawal, selalu ada saja pengiring yang mengikuti gerak-geriknya. Padahal dia ingin menikmati kebebasan itu dalam arti yang utuh.

Artinya, suatu hari kelak dia ingin keluyuran di luar istana seorang diri, melihat rakyatnya dari dekat dan bergaul dengan mereka, karena pangeran ini terkenal ramah dan suka berdamai dengan setiap orang. Suka berbuat baik dan menderma sana-sini, terutama pada orang-orang dekat yang tentu saja membuat orang simpatik padanya dan mencintainya. Tapi karena dia tak dapat bebas seperti yang diinginkan maka pangeran ini merasa tidak puas pada keadaannya yang seperti itu. Dan seorang pengawal menasihatinya.

“Paduka adalah putera mahkota, pangeran. Kenapa paduka ingin keluyuran seperti rakyat biasa? Sri baginda tentu tak akan memperkenankan, apalagi kalau tahu paduka melanggar peraturan ini. Ini adalah ketentuan sri baginda, demi keselamatan paduka juga!”

“Tapi aku tak mempunyai musuh, pengawal. Demi keselamatan siapa? Aku ingin bebas, ayahanda terlalu mengekang!”

“Tapi hamba tak berani membiarkan paduka pangeran. Sri baginda tentu marah dan bakal menghukum hamba. Paduka tak kasihan pada hamba?”

Pangeran ini menghela napas. Pengawalnya memang benar, kalau dia berani keluyuran dan ketahuan tentu pengawalnya itu akan mendapat hukuman berat. Salah-salah dihukum mati. Hukuman yang bakal membuat dia menyesal juga karena pengawal ini sudah beranak isteri, tentu tak tega dia meneruskan niatnya itu karena berat pada sang pengawal. Tapi karena semakin dikekang semakin kuat pula keinginannya itu berontak akhirnya pangeran ini gelisah juga dan mulai melirik kesempatan, yang sayangnya tak pernah ada karena situasinya tak mengijinkan, memang dibuat begitu agar dia terawasi.

Dan karena berbulan-bulan tak pernah juga dia mendapat kesempatan itu akhirnya sang pangeran melepas jengkel dengan sering duduk termenung di kolam ikan. Itu yang pertama. Yang kedua, ini juga membuat sang pangeran tidak puas. Dia tidak mengenal bahagia di kompleks istana itu. Aneh! Orang mendambakan kedudukan seperti dirinya tapi dia yang mendapat anugerah itu sama sekali tidak merasakan apa yang dinamakan bahagia. Pangeran ini merasa hidupnya biasa-biasa saja, itu-itu saja dan cenderung lama-lama membuat dia bosan. Gejala apa ini?

Refleksi dari ketidakpuasannya tak bisa kelayapan di luar istana? Entahlah. Dia heran juga. Pangeran ini merasa hidupnya terkurung, meskipun terlindung, persis isi telur dibungkus kulitnya. Dan karena dia tak merasakan apa yang disebut bahagia itu maka pangeran ini ingin keluar dan mengetahui apa yang sebenarnya dinamai bahagia itu. Dia ingin mengetahui sesuatu di luar sana, mendengar dan membaca buku tentang kehidupan di muka bumi. Tentang pahlawan dan petani. Tentang rumput-rumput yang hijau dan gembala. Tentang apa dan apa saja yang pokoknya bukan di dalam istana, karena apa yang di dalam istana sudah dia ketahui, sudah dia lihat dan rasakan.

Dan karena keinginan ini kian hari kian menyiksa jiwanya maka suatu hari pangeran ini memberanikan diri menghadap ayahnya, mohon ijin untuk mencari apa yang dinamai bahagia itu. Tapi apa jawab baginda? Kaisar malah marah-marah, menegur puteranya ini.

“Pangeran, engkau adalah orang yang paling bahagia saat ini. Engkau adalah pewaris tahta yang kelak menggantikan kedudukanku. Bahagia apalagi yang kau cari? Justeru ketidakbahagiaan itu ada di luar istana. Kau tak akan mendapatkannya di sana. Tidak, kau tak boleh keluyuran. Perasaanmu itu hanya mengada-ada dan menipu dirimu belaka!” dan memanggil seorang thaikam (pembesar kebiri) yang sudah dipercaya kaisar menyuruh thaikam ini menghibur puteranya. “Cu-thaikam, bawa puteraku ini keluar. Dia lagi gundah, hibur dia!”

Thaikam itu mengangguk. Dia sudah membawa pangeran mahkota ini keluar ruangan, mendapat isyarat kaisar apa yang harus dilakukan. Dan ketika putera mahkota itu menghela napas dan mengikutinya maka thaikam ini, seorang thaikam yang cerdik dan banyak tahu soal-soal lelaki sudah mengajak sang pangeran ke Bangsal Dewa-dewi.

“Pangeran, kepepatan hati bermula dari kekecewaan. Agaknya paduka mengalami suatu tekanan batin. Marilah, hamba perkenalkan paduka pada seseorang yang dapat menghibur paduka. Hamba tanggung paduka tak akan murung lagi!” thaikam itu sudah masuk ke dalam, memanggil seorang dayang, berbisik-bisik dan sejenak kemudian disambut senyum manis dayang ini. Dan ketika dayang itu lenyap dan muncul lagi maka seseorang telah dibawanya menghadap Cu-thaikam.

“Taijin, inilah Fung-siocia (nona Fung)...!”

Cu-thaikam gembira. Dia menyambut dua orang itu, menyuruh sang dayang pergi, kini berhadapan dengan seorang gadis cantik yang tunduk malu-malu, pipinya memerah sementara putera mahkota tertegun, tampak kesima memandang gadis ini. Dan ketika gadis itu berlutut dan Cu-thaikam mengangkatnya bangun maka pembesar ini tertawa berkata, memperkenalkannya pada pangeran mahkota,

“Pangeran, inilah Fung Miao. Dia pandai menari serta menyanyi dan membaca sajak. Suaranya merdu, ayahanda paduka sendiri sering terlena kalau ditemani Fung-siocia ini!”

“Ah, dia dari kaputren?”

“Tidak, dia tinggal di Bangsal Dewa-dewi ini, pangeran. Anggota penabuh musik yang khusus menghibur sri baginda.”

“Hm, baiklah. Boleh kita bercakap-cakap...” dan ketika thaikam itu mengedip dan Fung Miao mendapat isyarat maka pembesar ini meminta diri, memutar tubuhnya. “Pangeran, hamba masih akan mengerjakan tugas yang lain. Silahkan paduka bercakap-cakap dengan Fung-siocia ini...!”

Sang pangeran mengangguk. Dia sudah tertarik melihat kecantikan gadis ini, belum mengenalnya. Baru tahu bahwa ada seorang gadis lain di situ, gadis yang menawan, lembut dan halus lengannya. Dan ketika Cu-thaikam pergi dan gadis itu tersipu malu maka pangeran ini sudah mengajak Fung Miao ke kolam ikan, satu kegemaran yang tak dapat ditinggalkan. Tak jauh dari Bangsal Dewa-dewi dan terhampar pula rerumputan yang menghijau. Dan begitu mereka sama duduk di bangku kolam segera pangeran ini bertanya,

“Fung Miao, apa yang dapat kau berikan padaku?”

Gadis itu tersenyum, mengangkat mukanya tapi menunduk lagi. “Terserah paduka, pangeran. Apa yang harus hamba berikan,” suara itu mendesah lembut dan untuk pertama kalinya dikeluarkan, serak-serak basah dan benar-benar merdu.

Dan sang pangeran yang tergetar mendengar suara ini tiba-tiba menangkap lengan orang. “Kau bisa menari, kan? Bisa menyanyi? Nah, perlihatkan itu padaku. Ingin kulihat gerak tari dan nyanyianmu!”

Gadis ini menggigit bibir. Sang pangeran menyuruh dia menari, menyanyi, tapi kalau tangan dipegangi begitu mana bisa dia bangkit berdiri! “Ih, kalau begitu lepaskan hamba, pangeran. Hamba akan menari dan menyanyi untuk paduka,” Fung Miao akhirnya melepaskan diri, membuat sang pangeran sadar dan cepat-cepat melepaskan gadis itu. Dan ketika Fung Miao mengambil alat musik dan mulai menari dengan suling di bibir maka sebuah lagu yang lembut mulai ditiup dengan suara yang merdu.

“Ah, bagus. Itu lagu gembala, Fung Miao!”

Gadis itu mengangguk. Fung Miao masih meneruskan tiupan sulingnya, mata melirik dan berseri-seri memandang putera mahkota, menghabiskan lagu itu. Dan ketika lagu itu selesai dan tubuh si gadis juga berhenti bergerak maka Fung Miao menyimpan sulingnya menjura di depan sang pangeran. “Pangeran, paduka pandai sekali. Agaknya paduka mengenal lagu-lagu rakyat yang hamba mainkan.”

“Ah, itu kegemaranku, Fung Miao. Aku suka lagu-lagu rakyat yang sederhana tapi mengena di hati. Kau bisa mainkan lagu apalagi?”

“Banyak, pangeran,” Fung Miao tersenyum. “Coba paduka dengarkan yang ini,” dan ketika gadis itu meniup sulingnya lagi dan mainkan sebuah lagu yang lain maka pangeran tertegun dengan muka berseri-seri, mendengar lagu yang tenang tapi kuat iramanya.

“Itu lagu orang pesisir, Nelayan Di Laut Tung-hai!”

Fung Miao lagi-lagi mengangguk. Dia semakin bersinar memandang pangeran mahkota itu, tampaknya kagum dan mendendangkan irama yang kuat, tinggi rendah beraturan menggambarkan nelayan di Laut Tung-hai, pencari ikan yang gigih melawan ombak. Dan ketika suling berakhir dengan tiupan pendek yang menukik rendah tiba-tiba lagu itupun berakhir diiringi tepuk tangan sang putera mahkota.

“Hebat, kau menguasai benar lagu-lagu daerah, Fung Miao. Agaknya kau pernah ke Laut Tung-hai!”

“Ah,” Fung Miao tersipu. “Hamba memang berasal dari sana, pangeran. Hamba adalah puteri seorang nelayan di tempat itu.”

“Jadi kau penduduk pesisir?”

“Sejak kecil, pangeran. Sampai beberapa tahun yang lalu hamba menjadi pengiring musik.”

“Pantas, kalau begitu ceritakan tentang indahnya lautan!” sang pangeran gembira, menyambar lengan gadis ini dan menyuruh Fung Miao bercerita tentang lautan, karena dia memang belum pernah melihat lautan, terlalu jauh dari kota raja. Dan ketika Fung Miao mulai bercerita tentang laut dan isinya akhirnya pangeran menjadi gembira dan hanyut dalam buaian cerita gadis ini. Mendengar tentang nelayan dan ikan lumba-lumba, mendengar keakraban kaum nelayan itu dengan ikan lumba-lumba ini, yang konon katanya dapat menolong manusia yang tersesat di lautan. Dan ketika Fung Miao mulai bercerita pula tentang asyiknya berenang di laut akhirnya pangeran tertarik dan bangkit berdiri, menyambar lengan gadis ini.

“Fung Miao, mari antar aku ke sana. Ajari aku berenang!”

“Ah,” Fung Miao terkejut. “Paduka mau kemana, pangeran?”

“Ke laut Tung-hai. Ke tempatmu yang indah itu!”

“Ih, paduka melantur? Ini istana, pangeran. Tempat itu terlalu jauh dan tak mungkin hamba berani mengajak paduka ke sana!”

Sang pangeran sadar. Dia segera teringat kedudukannya saat itu, melepas Fung Miao dan terhuyung duduk kembali, mukanya penuh kecewa. Tapi Fung Miao yang telah mendengar perihal pangeran ini segera mendekati dengan pipi memerah.

“Pangeran, paduka tak usah kecewa. Kalau hanya ingin berenang hamba sanggup mengajari paduka. Tempat inipun indah, tak kalah dengan laut Tung-hai. Bagaimana kalau kita berenang di kolam ini?”

Sang pangeran tertegun. “Campur bersama ikan-ikan emas itu?”

Fung Miao tertawa. “Mereka akan menyibak minggir, pangeran. Paduka tak perlu khawatir diganggu ikan-ikan itu.”

“Tidak, aku tak khawatir diganggu, melainkan mengganggu. Bagaimana kalau mereka terusik?”

“Ah, hidup mereka tergantung berkah paduka, pangeran. Siapa berani terusik? Marilah, hamba tunjukkan cara berenang,”

Dan Fung Miao yang melepas baju mendekati kolam tiba-tiba dipandang terbelalak pangeran muda ini, melihat Fung Miao tinggal mengenakan pakaian dalam yang tipis menerawang. Kulitnya halus dan bersih sekali, tanpa cacad. Dan ketika dengan gerak yang lembut gadis itu menekuk pinggangnya dan mencebur ke kolam maka pangeran mahkota terbelalak melihat pinggul yang bulat itu menyembul di permukaan air.

“Byur!”

Fung Miao sudah berenang dengan cara lumba-lumba. Gadis ini menaikturunkan pinggulnya, seolah tak sengaja tapi jelas merangsang sekali, berputar mengelilingi kolam dan terkekeh-kekeh. Dan ketika dia kembali ke tempat semula dan melihat sang pangeran tertegun membelalakkan mata maka gadis ini menggapai dengan suara merdu. “Mari, pangeran. Terjun ke sini, hamba akan menerima paduka...!”

Sang pangeran sadar. Dia menekan gejolak berahinya yang timbul, muka tiba-tiba merah karena pemandangan di kolam itu menarik sekali. Fung Miao memperlihatkan tubuhnya sebatas dada, tentu saja dadanya yang membusung itu menonjol di permukaan air, bulat menggairahkan. Tak kalah menarik dengan pinggul yang indah itu. Pinggul yang segar! Tapi karena sang pangeran belum dapat berenang dan dia melenggong tak mau mendekat tiba-tiba Fung Miao melompat keluar dan terkekeh gemas.

“Pangeran, mari. Kita renang bersama!”

Sang pangeran terkesiap. Sekarang Fung Miao si cantik ini keluar dari kolam, seluruh tubuhnya basah. Tubuh yang seolah telanjang saja karena pakaian yang tipis itu melekat penuh air. Tentu saja lebih hebat daripada tadi, yang hanya memperlihatkan tonjolan bukit yang sepasang mempesona, membuat sang pangeran naik turun jakunnya tapi tertawa menyeringai. Dan ketika Fung Miao menanggalkan pakaiannya dan tanpa sadar pangeran inipun setengah telanjang maka Fung Miao sudah menariknya ke kolam terkekeh-kekeh.

“Pangeran, mari, tak perlu takut. Hamba akan membantu paduka.”

Pangeran itu menurut. Dia jadi goncang melihat semuanya itu, ditarik dan sudah mencebur bersama si cantik, sejenak gelagapan tapi Fung Miao memimpinnya, merdu tertawa dan mulai mengajarinya berenang. Dan ketika gadis cantik itu harus memegang-megang tubuh sang pangeran, sementara jari yang Ientik mengusap sana-sini akhirnya sang pangeran belajar dengan perasaan tak karuan, tertawa-tawa tapi mata mulai memandang mesra. Dan ketika sang pangeran mulai bisa dan Fung Miao semakin gembira tiba-tiba pangeran itu menangkap lengan gadis ini.

“Fung Miao, cukup. Aku letih.”

“Ah, paduka berhenti, pangeran? Kita...”

“Sudahlah, aku panas dingin. Mari kita keluar!” dan sang pangeran yang menyeret Fung Miao keluar akhirnya gemetar menggulingkan tubuh di rumput yang hijau, memejamkan mata dan tampak terengah-engah.

Dan Fung Miao yang terbelalak tapi mengerti tiba-tiba tersenyum mengusap tubuh sang pangeran. “Pangeran, kalau begitu biar hamba memijit paduka. Telentanglah?”

Sang pangeran telentang. Dia sudah dipijat perlahan-lahan, mendesah dan merasakan jari-jari lembut itu mengurut dan membelai penuh sayang, semakin bergetar dan merasakan nikmat yang membubung mengajaknya ke awang-awang. Dan ketika belaian serta pijatan itu semakin tinggi dan lembut membuat sang pangeran mabuk tiba-tiba urat sang pangeran yang tegang menjadi lemas sementara yang lemas menjadi kencang.

“Fung Miao, kau cantik!”

“Ih!” Fung Miao tersipu. “Hamba biasa-biasa aja, pangeran. Hamba... oh!” Fung Miao menghentikan kata-katanya, ditarik dan sudah dipeluk pangeran mahkota itu, mendapat ciuman dan dengus bertubi-tubi. Betapapun pangeran ini bukanlah laki-laki bodoh yang tak tahu apa yang disajikan padanya.

Dan ketika Fung Miao mengeluh dan sang pangeran menindih akhirnya putera mahkota itu mendapat hiburan dan mengajak gadis cantik ini bergulingan di rumput yang hijau, bersenang-senang dan disambut Fung Miao yang memang ditugaskan Cu-thaikam untuk menghibur putera mahkota ini. Tapi ketika semuanya selesai dan Fung Miao membetulkan rambutnya mendadak sang pangeran menghela napas merasakan kekosongannya yang mengganggu. Ketidakbahagiaannya itu.

“Fung Miao, kau merasakan bahagia?”

Fung Miao tertegun. “Bahagia?”

“Ya, bahagia itu, Fung Miao. Kau merasa bahagia kah?”

Fung Miao tiba-tiba tersenyum. “Pangeran, hamba tentu saja bahagia sekali. Hamba dapat menghibur paduka, hamba dapat memberikan apa yang paduka ingini. Bagaimana hamba tak bahagia dengan semuanya ini?”

“Jadi kau bahagia karena dapat memberikan sesuatu padaku?”

“Benar. Kenapa, pangeran?”

Pangeran itu tiba-tiba bangkit duduk, memandang tajam. “Fung Miao, kau bahagia karena dapat memberikan sesuatu kepada orang lain? Jadi bagaimana itu kalau kau memberikan pemberian yang sama pada ayahanda kaisar umpamanya, bahagiakah kau?”

Gadis ini terkejut. “Maksud paduka?”

“Hm, aku bertanya tentang bahagia, Fung Miao. Apakah kau bahagia dan benar bahagia apabila memberikan sesuatu kepada orang lain. Kepada ayahanda kaisar umpamanya, kepada laki-laki lain atau apa saja dimana kau dapat memberikan apa yang diinginkan orang lain itu. Bahagiakah kau?”

Gadis ini terbelalak. “Pangeran, hamba menjadi bingung. Kemana arah dan tujuan kata-kata paduka ini? Paduka marah kepada hamba? Paduka, maaf... paduka cemburu pada ayahanda kaisar?” pertanyaan terakhir ini diserukan dengan seruan lirih, takut-takut dan cemas memandang pangeran mahkota itu.

Tapi sang pangeran yang tiba-tiba tersenyum dan tertawa lebar mendadak menepuk pundak gadis cantik itu. “Fung Miao, kau salah. Aku tidak cemburu. Aku hanya menanyakan tentang bahagia itu! Kenapa kau melantur begini?”

“Jadi maksud paduka?”

“Begini, Fung Miao. Aku merasakan hidupku ini sama sekali tidak bahagia. Aku kenyang dan tercukupi segala kebutuhan hidupku, tapi secara batiniah aku menderita. Aku merasa tak bebas, aku merasa terkekang di tempat ini. Jadi apakah bahagia itu? Aku bergelimang dengan benda-benda duniawi, tapi aku merasa kosong dengan semua benda-benda itu. Aku hidup banyak menikmati kesenangan, tapi aku tak puas dengan kesenanganku itu semua. Gejala apakah ini? Bukankah aku tak bahagia?”

Fung Miao tertegun. “Kalau begitu paduka benar tak bahagia.”

“Nah, itulah! Karena itu aku bertanya padamu apakah kau bahagia. Benarkah kau bahagia dan dapatkah kau menerangkan padaku apakah bahagia itu. Kau paham?”

Gadis ini mulai mengangguk-angguk. “Pangeran, paduka bertanya tentang sesuatu yang di luar jangkauan akal. Paduka mencoba menguraikan sesuatu itu “bahagia itu” dengan kemampuan akal untuk menjelaskannya. Mungkinkah ini?”

“Ha, kau mengerti?”

“Maaf,” gadis ini tersipu. “Hamba pernah membaca kitab-kitab filsafat tentang bahagia, pangeran. Tapi tak ada satupun di antara kitab-kitab itu yang mampu mengupas bahagia dengan uraian sempurna. Yang hamba tahu adalah, bahagia berkaitan erat dengan perasaan senang. Jadi kalau seseorang senang maka disebutlah orang itu bahagia!”

“Hm,” sang pangeran mengerutkan kening. “Tapi aku merasakan sebaliknya, Fung Miao. Aku dapat bersenang-senang tapi tak merasakan bahagia. Bagaimana ini? Aku yang salah atau teori itu yang tidak benar? Kesenangan tak dapat langgeng, sedang kebahagiaan katanya abadi. Nah, itulah yang kucari. Aku bosan dengan semua kesenangan yang bersifat sementara ini padahal aku tahu ada sesuatu yang abadi di sana. Aku menginginkan itu, tapi aku tak dapat memperolehnya. Ini mungkin karena kedangkalan pengetahuanku yang terkurung di istana, tak boleh keluar!”

Fung Miao terkejut. Dia melihat sang pangeran marah, menyesali kaisar yang tak membolehkan dia keluar. Tapi tersenyum menggeraikan rambutnya tiba-tiba gadis ini menunduk. “Pangeran, paduka mungkin kecewa karena belum ada tambatan hati yang berkenan di hati paduka. Orang muda mencari kebahagiaan pada pasangannya, sementara orang tua mencari kebahagiaan pada ketenangan hidupnya. Bahagia bagi orang muda belum tentu sama dengan bahagia bagi orang tua. Bahagia itu relatif, bagaimana kalau paduka cari dulu kebahagiaan paduka itu pada seorang wanita dimana kelak paduka mencintainya?”

“Hm, kau menyuruhku mencari permaisuri?”

“Bisa jadi, pangeran. Atau mungkin juga selir.”

“Dan kau?”

“Ah, hamba hanya penghibur, pangeran. Hamba tak mengimpikan kedudukan itu karena hamba orang biasa!”

Sang pangeran menghela napas. Dia memang tahu itu, tak mungkin mengambil gadis ini sebagai selir. Fung Miao sudah sering “dipakai” ayahnya, kecuali kalau ayahnya meninggal kelak. Dan murung tak menemukan kebahagiaannya akhirnya pangeran ini mengangguk. “Fung Miao, kau benar. Tapi kita dapat menjadi sahabat, bukan? Setidak-tidaknya kau dapat menghiburku seperti ini, bercakap-cakap atau apa saja untuk melepas gundahku. Kau pandai, tarian dan nyanyianmu telah kudengar. Bagaimana sekarang dengan sajak-sajakmu?”

“Ah, hamba sekedar bisa, pangeran. Tidak pandai benar seperti yang paduka bayangkan. Hamba suka syair dan membaca kitab-kitab To-tik-king.”

“Kau hafal kitab orang bijaksana itu?”

“Sedikit-sedikit, pangeran. Tidak semuanya tapi hafal juga. Misalnya tentang keadaan paduka ini, mungkin cocok dengan kitab nabi itu pada bagian ke tujuh. Paduka hafal?”

“Tidak. Kau hafal?”

“Hafal, tapi kalau salah mohon dimaafkan, pangeran. Hamba hanya mengira-ngira saja kalau cocok. Kalau tidak, ya mohon diampunkan. Paduka mau dengar?”

“Ah, tentu, Fung Miao. Siapa tahu kebahagiaan itu akan kudapatkan!” sang pangeran girang. “Coba kau baca, Fung Miao. Baca dan biarkan aku yang dengar!”

Fung Miao tersenyum. Sekarang ia dapat mengembalikan kegembiraan sang pangeran, melihat putera mahkota itu berseri-seri memandangnya, mulut sedikit terbuka. Dan ketika dia membenarkan duduknya dan sang pangeran menyuruh ia membaca akhirnya gadis ini bersenandung, membaca syair itu dengan alunan irama merdu:

Langit dan Bumi itu abadi
sebabnya Langit dan Bumi abadi
adalah karena tidak hidup untuk diri sendiri
maka itu abadi

Inilah sebabnya orang suci
membelakangkan dirinya
dan oleh karenanya dirinya tampil ke depan
ia menyampingkan dirinya
dan oleh karenanya dirinya utuh

Karena ia tak ada kehendak pribadi maka ia dapat menyempurnakan pribadinya


“Nah, anda paham, pangeran?” Fung Miao menghentikan senandungnya, habis sudah syair itu ia baca.

Dan sang pangeran yang tertegun memandangnya tiba-tiba mengangguk. “Fung Miao, rupanya bahagia itu harus begitu. Tak boleh hidup sendiri!”

“Ya, tapi penafsiran orang bisa berbeda-beda, pangeran. Hamba hanya membacakannya saja dan paduka menafsirkannya sendiri. Terserah paduka, tapi mungkin keadaan paduka itu mirip dengan isi syair ini.”

“Kau maksudkan aku suka hidup sendiri?”

“Bukan, tapi bait terakhir itu, pangeran. Tentang kehendak pribadi dan menyempurnakan kepribadian-nya.”

“Kau dapat mengupasnya?”

Fung Miao tertawa. “Pangeran, tafsiran dari kitab itu bisa berbeda-beda. Apa yang hamba tafsir mungkin lain dengan paduka tafsir. Atau apa yang paduka tafsir mungkin lain dengan yang orang tafsir. Masing-masing boleh berpendapat sendiri. Tapi inti pokoknya, tentang keabadian itu mungkin orang sama berpendapat bahwa kita memang tak boleh hidup sendiri. Dalam arti sempit maupun luas. Paduka setuju, bukan?”

“Ya, tapi apakah aku hidup bersendiri, Fung Miao? Apakah kau lihat aku bersikap begitu?”

“Tidak.”

“Kalau begitu kenapa aku tak bahagia?”

“Mungkin adanya kehendak pribadi itu, pangeran. Bahwa paduka menginginkan sesuatu yang di luar paduka. Padahal yang di dalam paduka, yang paduka peroleh, paduka tak dapat menghayatinya.”

“Hm, aku bingung, Fung Miao. Tapi kata-katamu akan kurenungkan. Aku mencoba mencari sesuatu di luar diriku, karena yang ada di dalam kurasa kosong, tak menarik. Apakah ini salah?”

Fung Miao tersenyum. “Pangeran, salah atau tidak salah rupanya paduka sendiri yang tahu. Kesalahan membawa ketidakenakan, sedang kebenaran membawa kenyamanan. Kalau paduka merasa tinggal di istana tak bahagia lalu apa yang paduka cari? Sebaiknya paduka bandingkan dulu kehidupan paduka dengan orang lain. Adakah yang lebih bahagia dibanding paduka. Kalau ada coba selidiki, kalau tidak sebaiknya paduka tinggalkan khayal tentang kebahagiaan itu yang tidak ada manfaatnya!”

Sang pangeran terkejut. “Tidak ada manfaatnya?”

“Ya, bukankah persoalannya tak akan habis-habisnya? Hamba sendiri merasa bahagia dapat berdekatan dengan paduka, pangeran. Kalau kebahagiaan itu ternyata kesenangan biarlah kesenangan itu hamba nikmati sampai sepuas-puasnya!” Fung Miao tertawa, mengajak pangeran ini untuk tidak mengupas tentang bahagia, satu “benda” yang a gaknya tak mungkin dikupas, jauh di luar kesadaran akal.

Dan sang pangeran yang tersenyum menganggukkan kepala tiba-tiba menghela napas. “Fung Miao, agaknya kau benar. Aku mempunyai kehendak pribadi, dan kehendak inilah yang menyeretku ke dalam ketidakbahagiaan. Aku rupanya ingin mencari sesuatu yang tidak kupegang ingin meraihnya. Padahal kalau kuhitung kebahagiaanku sebenarnya sudah cukup, jauh lebih cukup dibanding orang-orang lainnya. Jadi kebahagiaan apalagi yang harus kucari? Aku terseret jalan pikiranku sendiri, Fung Miao. Rupanya ayahanda benar, aku dimabuk perasaanku yang mengada-ada dan meninabobok!”

“Paduka sadar?”

“Entahlah, Fung Miao. Betapapun keinginan itu tak hilang juga pada lubuk hatiku. Tapi aku akan berusaha, menghayati sesuatu yang sudah kudapat dan tidak mencari-cari sesuatu yang di luar, jauh di luar jangkauan?”

Fung Miao tertawa. “Kalau begitu paduka mulai mengerti, pangeran. Bahwa mencari kebahagiaan itu memang sia-sia. Apapun namanya, manusia telah menyamakan kesenangan dengan kebahagiaan. Rupanya hanya Bu-beng Sian-su yang dapat mengupas tentang kebahagiaan itu!”

“Apa?” sang pangeran terkejut. “Bu-beng Sian-su?”

“Ya, paduka telah mendengar namanya, pangeran?”

“Tentu,” sang pangeran terbelalak. “Konon katanya dia adalah manusia dewa yang sakti dan bijak! Darimana kau tahu?”

“Hamba mendengarnya dari Bi Nio, pangeran. Bekas selir ayahanda paduka.”

“Ah, yang diserahkan pada raksasa Tar-tar itu?”

“Benar.”

“Bagaimana katanya?”

“Hamba mendengar sedikit saja, pangeran. Katanya raksasa itu adalah murid si kakek dewa.”

“Hm, aku ingin bertemu.”

“Dengan siapa?”

“Kakek dewa itu, Bu-beng Sian-su!”

Fung Miao terbelalak. “Paduka serius?”

“Tentu, kau kira aku main-main, Fung Miao? Sebaiknya kau antar aku ke kaputren, aku ingin menemui bekas ibuku itu!” sang pangeran bergegas, menyambar lengan Fung Miao dan mengajak si gadis menuju ke tempat itu.

Tapi belum mereka tiba di sana mendadak Cu-thaikam muncul. “Pangeran, seseorang mencari paduka.”

“Siapa?”

“Siauw-ong-ya.”

“Ah, kakakku itu?”

“Benar, pangeran. Dia menunggu di ruang depan.”

“Ada perlu apa?”

“Tak tahu, pangeran. Tapi mungkin penting.”

“Baiklah, aku ke sana,” sang pangeran yang terpaksa membatalkan perjalanannya menuju kaputren akhirnya menyuruh Fung Miao pergi, “Fung Miao, kakakku datang, kau pergilah. Terima kasih atas semua pelayananmu.”

“Kapan kita jumpa lagi, pangeran?”

“Besok, Fung Miao. Atau malam nanti!” sang pangeran sudah memutar tubuh, tergesa menuju ruang depan karena kakaknya datang.

Dan Fung Miao yang tersenyum menghela napas tiba-tiba berseru, lirih dan manja, “Pangeran, hamba ingin lagi kita berduaan seperti ini. Apapun hamba sanggup lakukan untuk paduka...!”

Sang pangeran mengangguk. Cu-thaikam mengantarnya ke ruang depan, melihat dua muda mudi itu saling lirik dengan mesra, dan ketika mereka berada di sana dan melihat seorang laki-laki tampan duduk menunggu akhirnya putera mahkota ini berseru, “Kanda pangeran...!”

Laki-laki itu, yang bukan lain Siauw-ong-ya adanya bangkit berdiri. Dia adalah seorang pangeran berusia tigapuluh-limaan tahun, berkumis dan tampan serta rapi, tinggi tegap dan memiliki mata yang cerdik. Dan begitu melihat putera mahkota datang berseru maka pangeran ini sudah menyambut dengan senyum lebar. “Aih, adik pangeran. Kau tampak segar sekali. Rupanya Fung Miao benar-benar berhasil menyegarkan hatimu. Ha-ha!”

Pangeran ini tersipu. “Darimana kau tahu, kanda? Cu-thaikam?”

“Maaf, hamba memang memberitahunya, pangeran. Siauw-ong-ya minta agar segera secepatnya memanggil paduka,” Cu-thaikam tersenyum, maju menjawab dan melihat dua kakak adik itu sudah berangkulan, masing-masing tampak gembira.

Dan ketika Siauw-ong-ya tertawa dan sang putera mahkota juga tidak marah akhirnya thaikam ini melangkah pergi, mendapat isyarat junjungannya. Kini pangeran mahkota itu duduk berhadapan dengan kakaknya. “Ada perlu apa, kanda? Diutus ayahanda?”

“Ah, tidak. Kedatanganku membawa urusan pribadi, adik pangeran. Aku, hm...” Siauw-ong-ya tiba-tiba mengerutkan kening, tampak sedih dan muram.

Dan adiknya yang ikut mengerutkan kening melihat kesedihan sang kakak tiba-tiba bertanya, “Ada apa, kanda? Kau tampak susah?”

“Benar, aku ada persoalan, adik pangeran. Dan terus terang saja aku ingin mohon bantuanmu.”

“Soal apa?”

“Soal, hmm... soal pribadi.”

“Ya, tentang apa, kanda? Bisakah aku membantumu?”

Siauw-ong-ya tak segera menjawab. Dia memilin kumisnya, tampak semakin murung dan menghela napas. Tapi ketika sang adik mendesak dan bertanya apa persoalannya itu maka dengan hati-hati pangeran yang cerdik ini berkata, “Adik pangeran, besok ayahanda kaisar mendapat tamu. Kau tentu ikut menerimanya, bukan?”

“Ah, pemimpin Kung?” sang putera mahkota teringat, terkejut. “Memang benar, kanda. Ada apa?”

“Ada sesuatu yang harus dijaga, adik pangeran. Katanya pemimpin Kung membawa isterinya yang cantik!”

“Darimana kau tahu?”

“Penyelidikan orang-orang istana, juga dari isteri pemimpin itu sendiri!”

“Ah, kau tahu itu?”

“Maaf,” pangeran ini menunduk. “Aku... hm, aku punya persoalan pribadi, adik pangeran. Maukah kau menyimpan rahasia ini untukku seorang?”

“Tentu, kalau kau percaya, kanda. Kalau tidak tentu saja tak perlu kau ceritakan.”

“Tidak, tidak... aku percaya. Aku percaya padamu!” dan Siauw-ong-ya yang mengangkat mukanya memandang putera mahkota tiba-tiba menangis dan menyambar lengan adiknya ini. “Adik pangeran, aku ada hubungan dengan isteri pemimpin Kung itu. Kedatangannya besok sungguh merobek lukaku yang lama!”

Sang adik terkejut. “Luka yang bagaimana, kanda? Hubungan apa yang kau maksud?”

“Begini...” sang kakak gemetar, terbata-bata. “Aku ada hubungan cinta dengan isteri pemimpin Kung itu, adik pangeran, karena dia adalah sahabat sekaligus bekas kekasihku dulu. Pemimpin Kung itu datang karena permintaan isterinya, Wan Cu, yang sebenarnya ingin menemuiku secara diam-diam untuk melepas rindu!”

“Ah!” sang putera mahkota terkejut. “Kau...?”

“Ya,” kakaknya memotong. “Isteri pemimpin Kung itu datang karena cintanya padaku, adik pangeran. Dan karena kami sudah bertahun-tahun tak ketemu lagi maka bekas kekasihku itu ingin menemuiku untuk melepas rindu...!”

“Hm!” sang adik pucat. “Kalau begitu kalian akan mengkhianati suaminya itu, kanda. Kalian...”

“Nanti dulu. Permintaan ini adalah atas kehendak Wan Cu itu, adik pangeran, bukan atas kehendakku. Tapi karena aku juga masih mencintainya dan tentu tak dapat menolak keinginannya maka aku bersedia menemuinya pula. Hanya aku harus berhati-hati, kami tak boleh ketahuan pemimpin Kung itu dan bertemu secara rahasia. Aku tak bermaksud melakukan sesuatu yang tak pantas dengan bekas kekasihku yang telah menjadi isteri orang lain itu!”

“Tapi kenangan lama bisa melupakan segalanya, kanda. Aku khawatir pertemuan itu bakal berekor panjang.”

“Tidak, aku berjanji tak akan menggaulinya, adik pangeran. Ini adalah pertemuan terakhir dan paling akhir dari hubungan kami!”

“Lalu apa maksudmu?”

“Aku ingin minta bantuanmu, adik pangeran. Kau temanilah pemimpin Kung itu sementara kami berdua!”

Sang adik terkejut. “Kau menyodorkan aku sementara kalian bertemu? Bagaimana jawabanku nanti kalau pemimpin Kung itu bertanya tentang isterinya?”

“Wan Cu dapat mengatur semuanya itu, adik pangeran. Pokoknya dia ingin lolos dari suaminya di saat menemuiku. Itu urusan dia, pemimpin Kung tak mungkin bertanya padamu!”

“Hm...” putera mahkota ini mengerutkan keningnya, bingung. Tampak berpikir keras dengan muka tiba-tiba gelap, teringat bahwa dia besok harus menemani ayahnya untuk menerima tamunya itu. Pemimpin suku Iiar di luar tembok besar, yang sebenarnya telah menjalin hubungan baik dengan ayahnya dan tentu saja hubungan itu tak boleh rusak gara-gara perbuatan orang lain, karena ayahnya ingin berdamai dan menjaga ketenteraman hidup rakyatnya. Tentu bakal geger kalau hubungan kakaknya dengan isteri pemimpin Kung itu ketahuan.

Tapi karena dia juga tak tega mendengar permintaan tolong kakaknya ini dan katanya kedatangan pemimpin itupun atas desakan isterinya maka sang putera mahkota ini menjadi bimbang diantara meluluskan dan menolak. Takut kalau kakaknya berdua lupa daratan, menjalin hubungan cinta kembali yang semakin hangat dan berkobar. Tapi belum dia menjawab atau apa tiba-tiba kakaknya itu telah memegang lengannya.

“Adik pangeran, tak percayakah kau padaku? Kami hanya sekedar ingin bercakap-cakap, adikku, tak lebih tak kurang. Kami tak akan melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan permusuhan, aku bersumpah!”

Sang adik tertegun.

“Sungguh, aku tak akan melakukan sesuatu yang di luar batas, adikku. Ini permintaan bekas kekasihku itu untuk melepas kangennya. Katanya ada sesuatu yang penting yang hendak dibicarakan juga, menyangkut gerak-gerik suaminya yang mencurigakan!”

“Maksudmu?”

“Pemimpin Kung katanya mau memberontak. Dia hendak merebut kekuasaan dan menyiapkan pasukan besar untuk menyerang ayahanda kaisar!”

“Ah...!” putera mahkota ini terkejut. “Kau yakin?”

“Begitu kata bekas kekasihku itu, adik pangeran. Maka dapat kau bayangkan betapa pentingnya pertemuanku besok dengan isteri pemimpin Kung itu!” sang kakak mengambil sesuatu, mengeluarkan sehelai surat dan langsung memberikannya pada sang adik. Dan ketika sang adik menerima dan membaca surat itu, yang ternyata dari Wan Cu, isteri sang pemimpin Kung tiba-tiba hati putera mahkota ini goncang dan pucat, menggigil dan mengembalikan surat itu kepada kakaknya. Mendapat kabar bahwa apa yang dikata kakaknya ini sesuai dengan isi surat itu. Rencana pemberontakan pemimpin Kung!

“Baik, kau pergilah besok, kanda pangeran. Korek dan dapatkan seluruh keterangan dari bekas kekasihmu itu. Tapi ingat, karena ini baru merupakan dugaan dan kita harus bertindak hati-hati maka jangan kau menggauli isteri pemimpin Kung itu? Kau berjanji?”

“Aku berjanji, adik pangeran. Dan terima kasih atas kepercayaanmu ini!” Siauw-ong-ya bangkit, memeluk dan merangkul adiknya itu, penuh kegembiraan, menepuk dan akhirnya berseri-seri memandang sang adik. Kilatan matanya tampak begitu bercahaya dan aneh. Dan ketika adiknya mengangguk dan sang kakak pamit maka Siauw-ong-ya meninggalkan putera mahkota yang masih tercenung di tempatnya.

Hari itu putera mahkota ini gelisah. Dia telah melibatkan diri dalam hubungan kakaknya dengan isteri orang lain, betapapun was-was dan tak enak. Karena pemimpin Kung adalah tamu yang harus dihormati, begitu pula isterinya. Tentunya tak patut kalau diam-diam ada “skandal”, meninggalkan sang suami untuk diam-diam bercengkerama dengan orang lain. Tapi karena surat yang dibaca tadi cukup mengguncangkan hatinya dan pertemuan itu penting untuk mengorek keterangan lebih lanjut maka pangeran ini menindas perasaan tak enaknya dengan alasan yang lebih kuat.

Bahwa dia mengijinkan kakaknya berduaan dengan isteri orang lain untuk mendapatkan rencana pemberontakan bakal tamu itu, pemimpin Kung yang sungguh tak diduga akan memberontak, menyerang ayahnya. Dan karena keselamatan negara lebih penting daripada urusan pribadi maka pangeran ini menggigit bibir dan akhirnya kembali ke tempatnya sendiri, tak tahu diam-diam kakaknya terbahak di sana, tertawa bergelak sampai mengeluarkan air mata. Begitu girang dan gembiranya. Dan ketika dua kakak beradik ini berpisah dan sang pangeran mahkota menjadi gelap dan gelisah oleh berita yang dibawa kakaknya maka rencana dan akal yang licik siap menggoncangkan kedudukan putera mahkota itu.

* * * * * * * *

Pagi itu, seperti apa yang dikata Siauw-ong-ya memang istana mendapat tamu. Seorang laki-laki tinggi gagah bermuka merah menghadap kaisar, diiringi seorang wanita cantik bersanggul kupu-kupu, semampai dengan pinggang yang ramping diikuti ratusan pengiring yang membawa berpeti-peti sutera dan bahan-bahan makanan, dipikul dan memasuki kota raja dengan mendapat sambutan hangat. Tentu saja semarak dan meriah. Dan ketika iringan itu tiba di istana dan laki-laki tinggi besar ini, yang bukan lain pemimpin Kung adanya bersama isteri menaiki tangga istana maka putera mahkota telah menyambutnya mewakili kaisar, yang duduk di dalam menanti tamunya.

“Selamat datang, kami gembira menerima kunjunganmu, Kung-ghoda (pemimpin Kung). Semoga Tuhan memberkahi kunjungan ini!” putera mahkota berseru, saling memberi hormat dan diam-diam melirik wanita di sebelah laki-laki gagah itu, harus mengakui dan sedikit tergetar bahwa wanita itu memang cantik. Tak heran kalau kakaknya pernah tergila-gila.

Dan ketika laki-laki tinggi besar itu tersenyum dan balas memberi hormat seraya memperkenalkan beberapa pembantu dekatnya maka sang pangeran telah membawa tamunya ini masuk ke dalam. Di situ kaisar mendapat penghormatan lebih besar. Pemimpin Kung menekuk satu kakinya, sementara yang lain berlutut. Dan ketika kaisar balas menyambut dan menyuruh pemimpin itu duduk di kursi yang telah disediakan maka dua suami isteri ini mendapat pelayanan istimewa.

Pemimpin Kung mempersembahkan upeti, sebagaimana biasa tata-cara setiap tahun. Persembahan sebagai hormat dan tunduk pada kaisar, yang memiliki kekuasaan lebih di atas dirinya. Dan ketika mereka mulai bercakap-cakap dan kaisar menanyakan kesejahteraan negeri tamunya ini maka putera mahkota, yang tajam dan tampak penuh selidik memandang tamunya mulai memperhatikan gerak-gerik tamunya itu.

Tapi pemimpin Kung tak menampakkan gejala mencurigakan. Laki-laki gagah itu memperlihatkan sikap biasa, sementara isterinya mulai mengerling dan melirik putera mahkota, agaknya tahu bahwa putera mahkota telah mendapat isyarat Siauw-ong-ya, tentang pertemuan itu. Dan ketika satu jam kemudian kaisar mempersilahkan tamunya beristirahat sementara sutera-sutera halus dan lainnya sebagai upeti telah diterima kaisar maka pemimpin Kung mendapat gedung kehormatan untuk beristirahat di gedung sebelah timur, satu istana kecil yang indah.

Di sini pemimpin Kung itu dijamu makan minum. Pangeran mahkota tetap menyertai, mendampingi tamunya dan mulai mendapat kerling yang semakin gencar dari isteri tamunya itu. Dan ketika malam tiba dan Wan Cu, isteri pemimpin Kung itu memberi tahu suaminya agar melihat tari-tarian istana sebagai hiburan menjelang tidur maka pangeran mahkota yang sementara ini hanya dikerling mulai diajak bercakap-cakap wanita cantik itu, setelah suaminya cukup puas ngobrol.

“Pangeran, ada tarian Dewi Naga di sini, bukan? Suamiku tertarik sekali, mungkin paduka dapat memperlihatkannya.”

“Ah, memang ada, hujin (nyonya). Tapi apakah Kung-ghoda benar tertarik atau tidak aku tak tahu. Tarian itu agak menyeramkan, berbau mistik.”

“Itulah, suamiku suka sekali, pangeran. Paduka mungkin dapat memperlihatkannya!” dan, membujuk sang suami wanita ini berkata, “Suamiku, agaknya ini malam paling tepat bagimu untuk melihat tarian mistik itu. Konon katanya siapa dapat memegang lengan Dewi Naga akan panjang umur dan banyak bahagia!”

“Ah,” suaminya tertawa. “Kau ini ada-ada saja, isteriku. Bukankah umur di tangan Tuhan? Dan bahagia itu tinggal di tangan manusianya sendiri, kalau dapat mengatur hidup tentu bahagia. Bukankah demikian, pangeran?”

Sang pangeran mengangguk. “Memang benar, Kung-ghoda. Apa yang kau katakan memang tepat. Umur di tangan Tuhan, tapi kalau manusia macam-macam tentu umurpun menjadi pendek!”

Dengan kata-kata ini sang pangeran hendak menyindir tamunya itu, teringat rencana pemberontakannya dan surat Wan Cu. Tapi sang tamu yang tak mengerti dan tertawa bergelak justeru mendukung kata-katanya.

“Benar, kau juga tepat sekali, pangeran. Manusia yang macam-macam memang tak bakal berumur panjang. Sebaiknya manusia harus berdamai dan menjaga ketenteraman hidupnya!”

“Dan kau tak menonton tarian klasik itu?”

“Ah, tergantung pangeran, isteriku. Kalau dia mau memperlihatkannya tentu aku mau, kalau tidak tentu aku juga tak dapat memaksa.”

“Ah, sang pangeran tentu mau, suamiku. Bukankah tak setiap hari kita tinggal di sini? Sebaiknya kau menonton itu, sang pangeran tentu mengajak!” dan mengerling pada sang pangeran wanita ini berbisik, “Pangeran, paduka mau membawa suamiku, bukan? Tolong hibur dia, aku ingin beristirahat.”

“Hujin capai?”

“Benar, pangeran. Aku ingin menikmati kesendirianku. Lagi pula dewa bulan tentu telah menunggu kedatanganku, di alam mimpi!”

Sang pangeran tertegun. Isteri pemimpin Kung itu telah mengeluarkan kata-kata sandi, ucapan tersamar yang mengandung rahasia. Isyarat bahwa wanita itu ingin menemui kakaknya. Dan pemimpin Kung yang terheran mendengar bisik-bisik itu segera bertanya,

“Kau bicara apa?”

Sang isteri tertawa, manis sekali. “Aku mengantuk, suamiku. Aku berkata pada pangeran agar mengijinkan aku beristirahat.”

“Ah, kau tak nonton Dewi Naga?”

“Tidak, biar kau saja yang mewakiliku. Bukankah sama?”

Sang suami jadi tertegun. Tapi pangeran mahkota yang melihat berkelebatnya bayangan sang kakak tiba-tiba menghela napas, menengahi. “Kung-ghoda, apa yang dikata isterimu memang benar. Wanita mudah capai, biarlah dia beristirahat dan kau kuantar melihat tarian itu,” lalu, memanggil seorang dayang, pangeran ini memandang Wan Cu. “Hujin, silahkan beristirahat. Biar dayang ini melayani segala keperluanmu.”

“Aih, terima kasih, pangeran... terima kasih!” dan ketika sang dayang sudah maju mendekat dan Wan Cu tak memberi kesempatan pada suaminya untuk banyak menolak wanita ini sudah berkata dengan suara lembut, “Suamiku, maafkan aku. Aku lelah, seharian acara ini membuat tubuhku penat. Aku ingin beristirahat dulu!” dan mengangguk pada sang pangeran memutar tubuhnya wanita ini sudah melenggang manis menuju ke dalam.

Sang pangeran berdebar. “Isterimu cantik sekali, Kung-ghoda. Sungguh beruntung kau memiliki dia.”

“Ha-ha, itu nasib baikku, pangeran. Dan yang lebih beruntung lagi adalah kesetiaannya, dia amat mencintaiku!”

Sang pangeran tak menjawab. Dia sudah mengajak tamunya ini ke gedung lain, gedung hiburan dimana dipentaskan bermacam-macam tarian untuk menghibur tamu, juga kaisar sendiri di kala penat. Tapi tak percaya pada sang kakak dan ingin menjaga suasana diam-diam pangeran mahkota ini menyuruh seorang kepercayaannya mengikuti gerak-gerik dua orang itu, Wan Cu dan Siauw-ong-ya, mengintai dan melihat apakah benar kakaknya dapat memegang janji, tak melakukan skandal karena betapapun Wan Cu adalah isteri seorang tamu.

Tapi begitu pangeran ini menyuruh orang kepercayaannya untuk mengikuti gerak-gerik Wan Cu maka di lain pihak sesosok bayangan juga berkelebat mengikuti gerak-gerik dua orang itu, Wan Cu dan Siauw-ong-ya yang sudah bertemu dalam sebuah kamar, tak jauh dari tempat penginapan Kung-ghoda. Dan begitu dua bayangan sama-sama berkelebat mengintai dua orang ini maka di sudut tersembunyi, terlindung gerumbulan perdu dan semak-semak sesosok bayangan juga mengintai sambil tersenyum mengejek. Bayangan ketiga, bayangan yang bukan lain Bu-kongcu adanya!

* * * * * * * *

“Ha-ha, bagaimana, Wan Cu? Selamat?”

“Ih, selamat apanya, kanda? Aku nyaris gagal, suamiku tak mau pergi!”

“Tapi sekarang kau di sini, bukan? Kita sudah bertemu, dan aku dapat melepas rinduku. Aih, aku harus melakukan banyak akal untuk pertemuan ini, Wan Cu. Dan dua orang itu sama-sama kita tipu. Ha-ha, mereka kerbau-kerbau dungu yang gampang kita kelabuhi...!” dan Siauw-ong-ya yang sudah memeluk Wan Cu di dalam kamar tiba-tiba mendesis, “Wan Cu, kau semakin cantik. Betapa rindu dan cintaku kepadamu. Kau masih sayang padaku, bukan?”

Wan Cu menggigil, terisak lirih, mengangguk.

“Dan kau siap melepas si tua bangka itu?”

“Aku... aku tak tahu, kanda. Aku bingung.”

“Bingung apanya? Semuanya sudah diatur, kita tinggal memencet tombol dan semuanya akan berjalan sesuai rencana!”

“Tapi aku takut, kanda. Aku takut kalau kita gagal.”

“Gagal? Ha-ha, tak ada yang akan gagal, Wan Cu. Semuanya tinggal dirimu saja, kalau kau sudah mempersiapkan orang-orangmu dan bergerak malam ini juga tentu pemberontakan itu berjalan. Dan suamimu serta ayahanda akan sama-sama terkejut, tapi sebelum mereka sadar akan apa yang terjadi maka suamimu malam ini juga akan terbunuh!”

Siauw-ong-ya tertawa bergelak, meraih pinggang yang ramping itu tiba-tiba mencium, mendekap dan melumat bibir yang merah basah itu, disambut keluhan dan rintih lirih wanita cantik ini. Dan ketika Wan Cu menggigil dan melepaskan diri maka Siauw-ong-ya bersinar-sinar memandang kekasihnya itu.

“Wan Cu, kau kekasih yang hebat. Persekutuan kita tak boleh gagal!”

“Ya, tapi...”

“Tapi apalagi? Kau tak perlu khawatir, kasihku. Akupun telah menyiapkan orang-orangku untuk menumpas pemberontakan itu. Malam ini rencana kita harus tetap jalan, suamimu harus dibunuh!”

Wan Cu tiba-tiba menangis.

“Kenapa kau menangis? Kau mencintai tua bangka itu?”

Wan Cu tersedu-sedu. “Aku tak mencintainya, kanda. Tapi betapapun dia baik kepadaku. Aku teringat kasih sayangnya. Aku... aku tak tega melihat dia terbunuh...!”

“Hm, kalau begitu tak perlu kau ke sini. Kenapa datang?” Siauw-ong-ya marah, memandang kekasihnya itu dan tampak tidak puas.

Tapi Wan Cu yang tak menjawab dan menangis semakin sedih tiba-tiba menubruk pangeran ini. “Kanda, benarkah semua janji yang kau katakan itu? Benarkah kau akan mempermaisurikan aku jika kelak kau dapat merebut tahta?”

“Hm, aku tak pernah menipu, Wan Cu. Kenapa bertanya itu? Kalau kau ragu batalkan saja semua rencana ini. Kita tak perlu bersekutu!”

Wan Cu terisak. Dia didorong melepaskan diri, dua mata beradu dan masing-masing sama bersinar penuh pertanyaan dan keraguan. Tapi begitu Siauw-ong-ya mengeraskan dagu tiba-tiba wanita ini menghentikan tangisnya dan berdiri tegak, teringat pertemuan mereka sebulan yang lalu, melalui kurir (utusan), menghela napas dan akhirnya mengangguk. Dan begitu pandangan sama melembut dan kembali mesra tiba-tiba wanita ini berbisik,

“Aku percaya, kanda. Aku percaya padamu!”

“Nah, kalau begitu tak perlu ragu. Buang semua kebimbanganmu itu dan kita teruskan rencana. Bukankah pekerjaan kita sudah setengah jalan?”

“Ya.”

“Dan pengawalku juga melindungiku, Wan Cu. Kau tak perlu takut atau cemas. Apa yang sudah kita atur harus kita laksanakan juga.”

Wan Cu mengangguk. Saat itu dia teringat surat kekasihnya ini, seorang pangeran yang dulu mencintainya juga dicintainya. Memadu kasih dan bersama menikmati kebahagiaan. Sayang tak berlangsung lama karena bertemu dengan suaminya yang sekarang itu, meninggalkan Siauw-ong-ya karena pangeran itu kepergok “ada main” dengan wanita lain. Dibakar cemburu dan menerima suaminya sekarang itu. Bertahun-tahun hidup di luar tembok besar bersama sang suami, berhasil melupakan Siauw-ong-ya tapi akhirnya dilanda kecewa karena perkawinannya dengan pemimpin Kung itu tak membuahkan keturunan.

Entah dia yang mandul atau suaminya. Sebulan yang lalu mandadak menerima kunjungan Bu-kongcu, utusan Siauw-ong-ya, memberikan sepucuk surat yang isinya berupa bujukan. Mengajak mereka menjalin lagi hubungan lama dan mengungkit-ungkit ketidak bahagiaannya itu, keturunan yang belum juga didapatkan setelah sekian tahun menjadi isteri Kung-ghoda. Menceritakan betapa Siauw-ong-ya amat menderita dan terpukul sekali oleh kepergiannya, sampai kini tak berhasil mendapatkan idaman karena cintanya pada Wan Cu.

Bahwa dulu “ada mainnya” bersama wanita lain itu hanyalah sekedar iseng, tidak sungguh-sungguh. Tetap mencintai Wan Cu sebagai satu-satunya wanita di dunia ini, yang dipuja lahir dan batin. Dan karena wanita memang lemah terhadap puji dan sanjung dan kata-kata manis Siauw-ong-ya meluluhkan Wan Cu akhirnya wanita ini tergerak dan terbujuk. Mendapat janji akan menjadi permaisuri kelak, kalau rencana itu berhasil, kalau Siauw-ong-ya dapat menjadi kaisar. Dan karena janji dan bujukan manis itu memang amat memikat dan hebat sekali maka Wan Cu tergelincir dan bersedia mengkhianati suaminya.

Begitulah, wanita ini mulai mengadakan hubungan. Mereka mulai mengatur rencana, diam-diam melakukan ini-itu yang tidak diketahui siapa pun. Kian hari kian dekat dan semakin dekat saja, “love-affair” mereka tumbuh dan berkembang melebihi yang dulu-dulu, hangat dan jauh lebih berkobar dibanding tujuh tahun yang lalu. Dan ketika saat itu tiba dan semua rencana sudah disiapkan matang akhirnya hari itu Wan Cu mengajak suaminya ke kota raja menghadap kaisar.

Sebenarnya, waktu mempersembahkan upeti masih dua minggu lagi. Wan Cu sengaja mengajak suaminya mempercepat persembahan, karena kaisar katanya akan tetirah di pegunungan Hweng-san, dua minggu lagi. Dan karena sang suami amat mencintai dan percaya pada isterinya ini maka Kung-ghoda menyambut baik meskipun pada mulanya dia menolak. Dan hari itu mereka telah datang, Kung-ghoda tak menyangka seujung rambut pun bahwa malam itu dia akan celaka, gara-gara perbuatan sang isteri.

Karena Wan Cu yang membawa pengiring mempersembahkan upeti sesungguhnya membawa pasukan khusus yang menyamar sebagai pemikul tandu, atas petunjuk Siauw-ong-ya! Dan Siauw-ong-ya yang malam itu mendekap dan memeluk kekasihnya tentu akan membuat pemimpin suku liar itu mendelik kalau tahu apa yang terjadi, melihat isterinya main gila dengan laki-laki lain!

“Bagaimana, kau masih bimbang juga, Wan Cu?”

Wan Cu menggeleng, mulai tersenyum manis.

“Kalau begitu kenapa kau diam? Kau merenungkan apa?”

“Aku merenungkan suratmu, kanda,” Wan Cu memperlebar senyumnya. “Aku teringat semua janji-janjimu yang manis.”

“Kau tak percaya?”

“Bukan begitu, hanya sampai dimana kebenaran ceritamu tentunya aku ingin tahu,” Wan Cu menghampiri pembaringan, duduk memandang kekasihnya itu. Dan ketika sang kekasih mengerutkan alis dan bertanya apa yang dimaksud akhirnya wanita ini menghela napas. “Kanda, aku ingin tahu benar sampai dimana cintamu itu. Apakah benar kau hanya mencintaiku seorang. Bagaimana kalau kau main gila lagi seperti dulu?”

“Ah, aku tak akan mengulangi kebodohanku itu, Wan Cu. Itu kesalahanku yang amat besar!”

“Jadi kau berjanji?”

“Aku berjanji, Wan Cu, dengan segenap jiwa dan ragaku. Aku tak akan menoleh lagi pada wanita lain selain dirimu!”

“Sampai kelak rencana kita berhasil? Sampai kau dapat menjadi kaisar?”

“Maksudmu?” Siauw-ong-ya tertegun.

“Begini, kanda. Aku mempunyai syarat yang belum kunyatakan, kini tiba saatnya kita bicarakan itu. Aku ingin kau memiliki diriku seorang, seperti halnya akupun memiliki dirimu seorang. Bagaimana kalau kelak kau tak mengambil selir sebagai bukti cintamu padaku seorang?”

Sang pangeran tertegun, mukanya berubah. “Maksudmu...” suaranya menggigil, “aku tak boleh bersenang-senang meskipun kesenanganku itu sebagai hak seorang kaisar?”

“Ya, aku muak dengan sepak terjang segala kaisar, kanda. Kalau kau benar mencintaiku tentunya tak keberatan kau menerima usulku ini. Atau...” Wan Cu berhenti sejenak, tersenyum mengejek, pandangan tiba-tiba menjadi dingin. “Kalau kau ingin bersenang-senang akupun akan mengimbangimu. Kita sama-sama berhak mencari pasangan lain sebagai iseng-iseng kita!”

“Tidak!” Siauw-ong-ya tiba-tiba pucat. “Aku tak akan melakukan itu, Wan Cu. Dan kaupun juga tak boleh melakukan itu!” dan membelalakkan mata menunjukkan rasa marah tiba-tiba pangeran ini mencengkeram pundak kekasihnya. “Wan Cu, tak perlu kita bicarakan hal-hal yang dapat membuat kita panas. Aku mencintaimu, dan selamanya akan mencintaimu. Kalau kau menghendaki aku tak mengambil selir baiklah, permintaanmu akan kupenuhi!”

“Sungguh?”

“Demi arwah nenek moyangku!”

“Terima kasih...” dan Wan Cu yang girang merangkul kekasihnya tiba-tiba memberi ciuman hangat yang mesra. “Kanda, aku percaya sumpahmu. Kalau begitu kita boleh lakukan apa yang kita ingini!”

Dua orang itu tiba-tiba saling kecup. Mereka telah menggulingkan tubuh bersama di pembaringan itu, Siauw-ong-ya tertawa, gembira karena kekasihnya telah melenyapkan ganjalan, mulai menyerang dan saling memberi ciuman yang panas. Tubuh tiba-tiba lekat seolah tak mau dipisahkan lagi. Dan ketika masing-masing sama bergelut dan pakaian satu-persatu mulai lepas dari tubuh mendadak, mengejutkan dua orang ini muncul sesosok bayangan mendobrak pintu.

“Hujin, perbuatanmu sungguh terkutuk!”

Wan Cu dan sang pangeran terkejut. Mereka sudah setengah telanjang, tertegun dan tersentak di tempat tidur. Muka tiba-tiba pucat seperti kertas, Wan Cu bahkan terpekik menarik selimut, menutupi dadanya. Tapi begitu sadar dan terbelalak melihat pendatang ini tiba-tiba Wan Cu tergetar, berseru lirih,

“Buyima...!”

Laki- laki itu, lelaki tinggi besar berkulit hitam mendelik. Dia adalah Buyima, tangan kanan suaminya. Tak dikenal Siauw-ong-ya tapi tentu saja dikenal Wan Cu, seorang laki-laki gagah yang amat setia pada Kung-ghoda. Dan sementara Wan Cu terbelalak dan kaget memandang laki-laki itu maka Buyima sudah berkelebat mencengkeram keduanya.

“Hujin, dan kau, pangeran. Maafkan hamba yang harus membawa kalian berdua ke hadapan pemimpin!”

Wan Cu dan Siauw-ong-ya terkejut. Mereka tak berdaya, sedetik kehilangan akal karena kedatangan Buyima memang di luar dugaan. Pucat dan ngeri karena mereka tertangkap basah, sebentar lagi akan dihadapkan pada Kung-ghoda dan bakal mendapat marah pula dari kaisar. Sesuatu yang memalukan! Tapi belum mereka menjawab atau apa mendadak sesosok bayangan lain muncul menangkis cengkeraman laki-laki tinggi besar ini.

“Buyima, kau tak boleh lancang... duk!”

Seorang laki-laki tinggi kurus muncul. Dia menangkis dan mementalkan cengkeraman Buyima, segera membuat laki-laki itu terdorong sementara pendatang baru ini juga terhuyung. Buyima berseru tertahan. Dan ketika mereka sama tegak kembali dan Siauw-ong-ya melihat siapa yang datang tiba-tiba pangeran ini ganti berseru,

“Tio-ciangkun...!”

“Maaf,” Tio-ciangkun, laki-laki itu menjura. “Hamba diperintah putera mahkota, pangeran. Mengawasi gerak-gerik Buyima ini dan harus menyelamatkan paduka. Silahkan paduka menyingkir, hamba akan menghadapinya!” dan Tio-ciangkun yang sudah menghadapi Buyima dengan kepala tegak tiba-tiba membentak, “Buyima, kau laki-laki tak tahu aturan. Ini kamar Siauw-ong-ya, kenapa kau berani masuk?”

Buyima, tangan kanan Kung-ghoda itu menggigil. Dia terkejut melihat kehadiran Tio-ciangkun, mendengar kelihaian pengawal ini yang konon katanya dekat dengan putera mahkota. Tapi tak takut dan marah melihat perbuatan Wan Cu laki-laki tinggi besar ini balas membentak, “Aku datang karena hendak menangkap dua orang itu, Tio-ciangkun. Mereka melakukan zina dan harus kutangkap basah, sebagai bukti!”

“Tapi kau bukan di rumah sendiri, Buyima. Kau melanggar aturan dan sopan santun istana.”

“Kalau begitu mereka akan siap-siap. Mereka akan melarikan diri dan menyangkal perbuatan mereka. Keparat, apa yang kau maui, Tio-ciangkun? Kau akan membela orang-orang bersalah itu?”

Tio-ciangkun tertawa dingin. “Buyima, ini adalah tempat tinggal kami. Aku pengawal istana, sudah sepantasnya kalau aku yang mengamankan tempat ini dan menertibkan setiap kejadian. Kau seorang tamu, kenapa lancang membuat onar? Kau kutangkap, sepak terjangmu tak tahu aturan dan kurang ajar!” dan Tio-ciangkun yang menubruk menyerang lawannya tiba-tiba membuat Buyima marah dan menangkis.

“Duk-dukk!”

Dua orang itu kembali tergetar. Mereka sama-sama terdorong dan terhuyung, mengerutkan kening karena kekuatan berimbang. Tapi Buyima yang geram membentak gusar tiba-tiba ganti menubruk dan menyerang, dielak dan segera di balas Tio-ciangkun ini. Dan ketika mereka bergebrak dan sama-sama marah akhirnya dua orang itu bertanding dan mengeluarkan kepandaian masing-masing.

“Siauw-ong-ya, paduka menyingkirlah...!”

Siauw-ong-ya sadar. Saat itu dia melihat pertandingan meningkat ramai, Buyima dan Tio-ciangkun sama-sama keras lawan keras. Masing-masing tak mau mengalah. Buyima ingin mengalahkan lawannya itu untuk membawa Siauw-ong-ya sementara Tio-ciangkun mencegah dan melindungi Siauw-ong-ya, diam-diam membuat pangeran ini kaget karena Tio-ciangkun adalah orang kepercayaan adiknya. Segera sadar bahwa Tio-ciangkun rupanya dikirim adiknya sengaja untuk mengawasi gerak-geriknya, mungkin adiknya bercuriga! Tapi melihat dia harus menyelamatkan diri dan keadaan memang berbahaya akhirnya pangeran ini mengajak Wan Cu menyelinap keluar, mumpung dua orang itu bertanding.

“Wan Cu, ayo...!”

Wan Cu mengangguk. Dia sebenarnya terkesiap melihat pengawal suaminya itu, kaget dirinya tertangkap basah. Tentu tak diampuni lagi kalau sampai Buyima melaporkan kejadian itu. Tapi melihat Buyima bertempur sengit dan mereka memang harus menyelamatkan diri maka wanita cantik ini sudah mengikuti kekasihnya untuk melarikan diri, memutar dan mendekati pintu keluar yang tadi didobrak Buyima. Tapi Buyima yang tak membiarkan dua orang itu merat tiba-tiba melepas dua pisau kecil.

“Pangeran, dan kau, hujin. Berhentilah...!”

Dua pisau itu menyambar. Siauw-ong-ya dan Wan Cu tentu saja tak dapat mengelak, tapi Tio-ciangkun yang balas mencabut pisau tiba-tiba menimpukkannya ke pisau yang dilontarkan Buyima, membuat pisau-pisau itu runtuh berdentang di lantai, nyaring suaranya, tentu saja membuat Buyima marah dan memaki-maki panglima ini. Dan ketika sang pangeran selamat dan Buyima siap melontar pisaunya lagi maka panglima ini berseru,

“Pangeran, larilah. Hamba akan melindungi paduka...!”

Buyima mencak-mencak. Tio-ciangkun benar-benar melindungi pangeran itu, untuk kedua kali menahan serangan pisaunya. Dan karena pangeran sudah melarikan diri dan Wan Cu juga lenyap di luar kamar akhirnya laki-laki ini mencabut senjatanya, pedang berukuran besar. “Tio-ciangkun, kau manusia keparat!”

“Tidak, aku melakukan apa yang menjadi tugasku, Buyima. Kaulah yang keparat dan tak tahu diri!”

Buyima sudah menerjang. Pedangnya yang besar itu berkeredep membacok ke sana-sini, anginnya dingin menyambar tajam. Dan karena Tio-ciangkun bertangan kosong padahal lawan berimbang dengannya akhirnya panglima ini terdesak mencabut senjatanya pula sebatang pedang berukuran lebih kecil, menangkis dan ternyata tak kalah tajam dengan pedang di tangan lawannya itu. Dan ketika mereka serang-menyerang lagi dengan senjata di tangan tiba- tiba pertempuran menjadi seru dan lebih hebat daripada tadi.

“Trang-trang!”

Mereka sama-sama menggigit bibir. Dalam keadaan beginipun mereka mendapat kenyataan kedudukan mereka sama kuat, masing-masing pandai memainkan senjata dan tak kalah tangkas. Tapi karena Buyima amat bernafsu sementara Tio-ciangkun lebih banyak menyimpan tenaga akhirnya sedikit tetapi pasti panglima ini mulai terdesak, meskipun bukan berarti kalah, sebuah taktik yang sengaja dilakukan panglima ini untuk menerobos dalam keadaan tak terduga. Membiarkan lawan memboroskan tenaga sementara dia menghematnya, berhati-hati namun kewalahan juga menerima tusukan dan bacokan lawan yang bertubi-tubi hingga dua kali pundaknya nyaris termakan.

Dan ketika pertandingan berjalan tigapuluh jurus dan masing-masing sama berkeringat mendadak satu tendangan tak dapat dihindarkan Tio-ciangkun ini, lengah karena dia lebih memperhatikan pedang. Dan ketika panglima itu terguling dan Buyima melompat mendadak pedang menikam dari atas ke bawah.

“Tio-ciangkun, kau mampuslah!”

Tio-ciangkun terkesiap. Saat itu dia bergulingan, siap melompat bangun tapi mendapat serangan ganas, pedang sudah menyambar tiba. Tapi membentak menggerakkan pedang tiba-tiba panglima ini menangkis sambil melipat kaki lawan.

“Trang-bluk!”

Buyima roboh terguling. Laki-laki tinggi besar itu tak menyangka panglima ini dapat menjegal kakinya, tentu saja membuat dia terkejut dan marah, pedang sama terpental karena tangkisan itu dilakukan dengan kuat sekali oleh Tio-ciangkun. Dan ketika dia melompat bangun dan menggereng marah ternyata lawan juga melakukan hal yang sama dan kini menyerangnya dengan tikaman cepat, membalas dan ganti mendesak dirinya merubah kedudukan, ditangkis dan segera bertempur lagi dengan sengit. Tapi ketika pertempuran berjalan belasan jurus lagi dan kepandaian berimbang itu membuat mereka lelah mendadak sesosok bayangan melompat masuk tertawa mengejek.

“Tio- ciangkun, tikus besar ini rupanya sulit kau robobkan. Baiklah, kubantu dirimu, maaf...!” dan bayangan itu yang melepas tiga jarum hitam tiba-tiba mengebutkan lengannya menyerang Buyima.

Membuat Buyima kaget karena saat itu dia harus juga menghadapi pedang Tio-ciangkun. Tentu saja tak dapat menangkis karena pedang dipakai ke depan, mengelak dan mengira hanya dua jarum yang menyambar, desirnya didengar menuju pundak dan punggung. Tak tahu bahwa jarum ketiga menuju belakang kepalanya, halus dan tak terdengar karena tertutup oleh tawa, dikelit dan Buyima memaki lawan mendadak jarum ketiga menyambar dan langsung mengenai bagian belakang kepala laki-laki tinggi besar ini, amblas memasuki otaknya.

“Crep-augh...!” Buyima langsung terguling. Serangan Tio-ciangkun tak dapat dilayani lagi. Buyima menjerit dan roboh bergulingan mendekap kepalanya. Dan ketika laki-laki itu mengeluh dan merintih perlahan tiba-tiba tubuhnya tak bergerak lagi dan kejang di tempat. Tewas!

“Bu-kongcu...!”

Bayangan itu, yang bukan lain Bu-kongcu adanya tertawa bergelak. Dia telah memberesi pengawal Kung-ghoda ini, melihat Tio-ciangkun menggigil dan terhuyung mundur, pedang lemas di tangan, menggantung lunglai. Dan dua bayangan yang kembali masuk ke dalam tiba-tiba membuat Tio-ciangkun tertegun, melihat Siauw-ong-ya dan kekasihnya muncul dengan muka berseri-seri.

“Bu-kongcu, terima kasih atas bantuanmu. Kukira kau melepaskan tanggung jawabmu!”

“Ah, siapa melepaskan tanggung jawab, pangeran? Hamba telah lama di sini, tahu akan kedatangan dua orang ini dan sengaja menonton mereka!”

Tio-ciangkun terkejut. “Kau mengetahui kedatangan Buyima?”

“Ya, dan juga kedatanganmu, ciangkun. Tapi aku tak bergerak karena ingin melihat apa yang akan kau lakukan. Ternyata kau membela pangeran, terima kasih atas pertolonganmu itu!” Bu-kongcu yang tertawa membungkukkan tubuh tiba-tiba bertanya pada Siauw-ong-ya, “Pangeran, apa yang harus hamba lakukan dengan Tio-ciangkun ini? Perlukah hamba mengantar pada putera mahkota?”

“Tak perlu,” sang pangeran tersenyum. “Biar dia sampaikan saja terima kasihku, Bu-kongcu. Dan kau mengurus mayat Buyima ini,” dan menghadapi Tio-ciangkun pangeran ini berkata, “Tio-ciangkun, terima kasih atas semua bantuanmu. Kau kembalilah, sampaikan beritaku dan keselamatanku ini.”

Tio-ciangkun tertegun, tak segera pergi.

“Kau mau bicara?”

“Maaf,” panglima ini mengangguk. “Hamba hendak mengingatkan paduka, pangeran. Bukankah paduka mempunyai janji terhadap adik paduka?”

“Ha-ha, aku tahu, ciangkun. Katakan aku selalu ingat janjiku itu.”

“Tapi wanita ini...”

Sang pangeran mengulapkan lengan. “Ciangkun, katakan pada adikku pangeran mahkota bahwa hubunganku dengan wanita ini terlanjur intim kami ingin menumpas pemberontakan, urusan pribadi boleh diabaikan dulu. Kau kembalilah dan katakan saja pada adikku tentang apa yang kau lihat dan kau dengar. Kau paham?”

“Jadi paduka...?”

“Itu urusan pribadiku, kau tak perlu ikut campur!” dan sang pangeran yang tersenyum memutar tubuh tiba-tiba menggandeng Wan Cu, memberi isyarat pada Bu-kongcu. Dan ketika Tio-ciangkun terkesima dan dua orang itu keluar kamar tiba-tiba Bu-kongcu terbahak menepuk pundak panglima ini.

“Ciangkun, tak perlu bengong. Kau kembalilah!”

Tio-ciangkun terkejut. Saat itu Siauw-ong-ya dan kekasihnya lenyap di luar kamar, sekilas memberi senyum yang aneh padanya. Tapi ketika Bu-kongcu tertawa dan menepuk pundaknya tiba-tiba panglima ini menjerit dan terjungkal roboh. Tak menyangka Bu-kongcu menusukkan sebatang jarum kepadanya, ketika menepuk tadi jarum yang amblas dan kini membuat pundaknya bengkak. Begitu cepat dan amat tiba-tiba. Dan Tio-ciangkun yang sadar Bu-kongcu hendak membunuhnya tiba-tiba berteriak melihat pemuda itu berkelebat keluar.

“Bu-kongcu, kau jahanam keparat...!”

Bu-kongcu terkekeh. Murid Sai-mo-ong itu memang menancapkan jarum beracunnya ke pundak Tio-ciangkun, mendapat isyarat Siauw-ong-ya agar panglima itu dibunuh, karena Tio-ciangkun telah melihat dan mendengar semua kejadian di dalam kamar. Jadi terlalu berbahaya kalau dilepaskan begitu saja. Tapi melihat panglima itu mengejar dan menusuknya dengan pedang gemetar, pemuda ini tersenyum dan mengelak tanpa menoleh...