PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 13
KARYA BATARA
“SIN-PIAUW Ang-lojin, kau tua bangka pemberontak hina. Atas nama Siauw-ong-ya (pangeran muda) kau kutangkap!”
Sin-piauw Ang-lojin terkejut. “Kau siapa?”
“Aku Malaikat Kecil, utusan khusus Siauw-ong-ya!”
“Keparat!” Sin-piauw Ang-lojin yang marah merasa dipermainkan tiba-tiba melompat maju. “Anak muda, kau tak perlu main-main di sini. Aku bertanya yang benar!”
“Hm,” pemuda itu mengejek. “Aku juga tak main-main, Sin-piauw Ang-lojin. Aku telah bicara benar bahwa aku utusan Siauw-ong-ya!”
“Apa buktinya?”
“Lihat...!” dan pemuda itu yang mengeluarkan cincin bermata biru tiba-tiba mengelebatkannya di depan Sin-piauw Ang-lojin. “Apakah ini bukan tanda yang kau kenal?”
Sin-piauw Ang-lojin tertegun. Dia melihat lukisan naga pada cincin itu, gambar yang menyilaukan terpantul sinar. Benar bahwa cincin itu milik Pangeran Muda, seorang pangeran yang diam-diam berambisi merebut kekuasaan. Tentu saja membuat dia terkejut dan mundur selangkah memandang pemuda ini, yang tertawa mengejek padanya. Dan ketika dia tertegun dan terbelalak ke depan maka Lo-hoat Tosu ganti ditegur.
“Kau, Lo-hoat Tosu. Kenapa ada di sini mencampuri urusan? Tak tahukah kau bahwa ketua Seng-piauw-pang ini adalah pemberontak? Apakah Kun-lun-pai sekarang berkhianat pada pemerintah dan ingin menjadi pemberontak pula?”
Lo-hoat Tosu terkejut. “Pinto tak membawa-bawa nama Kun-lun-pai, anak muda. Ini adalah urusan pinto pribadi dan tidak ada sangkut pautnya dengan partai!”
“Bagus, kalau begitu aku bebas bergerak. Kaupun kutangkap!”
“Siapa kau?”
“Aku Malaikat Kecil, kau sudah dengar tadi?”
“Tidak, pinto ingin menanya namamu, anak muda. Pinto selamanya belum pernah mengenal dirimu.”
“Baik, aku Bu Ham. Orang menyebutku Bu-kongcu.”
“Ah, kau murid Sai-mo-ong?”
“Benar.”
“Siancai...!” dan Lo-hoat Tosu yang tampak terkejut melangkah mundur tiba-tiba mencabut tongkatnya itu. “Anak muda, kiranya Siauw-ong-ya telah mempergunakan tenaga-tenaga yang keliru. Justeru sekarang pinto yakin bahwa Sin-piauw Ang-lojin berada di pihak benar. Nah, sekarang pinto semakin mantap. Kaki tangan Siauw-ong-ya kiranya orang-orang sesat. Bebaskan murid pinto itu!”
Bu Ham, murid Sai-mo-ong itu tertawa. Dia telah kita kenal sebagai pemuda yang licik dan cerdik. Memang diam-diam mengadakan hubungan dengan Pangeran Muda yang tak puas pada kedudukannya. Menganggap dia mendapat perlakuan lain dari kaisar, memusuhi putera mahkota dan diam-diam mengadakan persekutuan untuk merebut kekuasaan, kelak kalau kaisar menyerahkan kedudukannya pada putera mahkota.
Hal yang diatur perlahan-lahan dan direncanakan berjangka panjang. Tentu saja belum didengar kaisar dan karena itu tenang-tenang saja tak tahu ada ular di balik selimut. Dan Bu Ham yang tertawa mendengar omongan tosu itu tiba-tiba menotok Beng Lam, melemparnya pada seorang busu.
“Lo-hoat Tosu, enak saja kau bicara. Aku utusan Siauw-ong-ya, segala perintah dan kata-kata akulah yang menentukan. Berani kau bicara begitu padahal keselamatanmu di tanganku? Ha-ha, rupanya kau ngelindur, orang tua. Sebaiknya buka dulu matamu dan lihat siapa yang berkuasa. Aku hendak menangkapmu, kalian berdua. Sekarang menyerahlah baik-baik kalau nama Kun-lun-pai tak ingin terlibat!”
Bu Ham tiba-tiba mengebutkan kipasnya, menjulurkan ular yang tahu-tahu mendesis menyerang tosu itu. Dan ketika lawan mengelak dan ganti menggerakkan tongkat tiba-tiba pemuda ini menarik ularnya dan secepat kilat menotok dahi tosu itu, dengan kipas tertutup.
“Trak!” Lo-hoat Tosu terkejut. Bu Ham tertawa melompat mundur, membuat tosu itu berkeringat karena pemuda itu menggetarkan tongkatnya, hampir saja nyelonong dan menotok dahi kalau dia tidak menekuk tongkat, terkecoh oleh gerakan ular yang kiranya hanya gertakan saja. Satu gebrakan yang rupanya sikap coba-coba, menjajal dan mengetahui kekuatan lawan. Dan ketika tosu itu mundur dan Bu Ham tertawa mengejek maka pemuda ini memberi aba-aba pada para busu.
“Kurung mereka itu. Rupanya dua tua bangka ini tak mau menyerah kalau belum coba-coba merasakan kelihaianku!”
Para busu bergerak. Mereka telah mengurung dua laki-laki tua itu, membuat Sin-piauw Ang-lojin dan Lo-hoat Tosu marah. Dan ketika mereka membentak dan Sin-piauw Ang-lojin maju ke depan maka kakek tinggi besar ini berkata, “Tojin, kau mundur saja. Biar bocah ini aku yang menghadapi!”
“Tidak,” Lo-hoat Tosu gemas memandang Beng Lam. “Murid pinto ada di tangan pemuda ini, lojin. Biar pinto saja yang maju dan kau menjaga para busu.”
“Ha-ha, kalau begitu kalian maju berdua, Sin-piauw Ang-lojin. Aku tak mentertawakan dan boleh maju berdua!”
Sin-piauw Ang-lojin marah. Dia tersinggung oleh kata-kata ini, mendengar Bu Ham mengejek membuat perut terasa panas. Maka belum temannya bergerak tiba-tiba ketua Seng-piauw-pang ini mencabut pisau gadingnya. “Tojin, mundur sajalah. Biar aku yang menghadapi bocah ini!” dan ketika lawan tersenyum dan mengebut-ngebutkan kipasnya kakek tinggi besar ini telah membentak, “Bocah, kau majulah. Aku akan mengalah tiga jurus kepadamu!”
“Ah, benar?” Bu Ham tertawa. “Jangan coba-coba merendahkan aku, Seng-piauw-pangcu. Awas kualat nanti.”
“Tak perlu banyak cakap. Ayo majulah!” dan baru habis bentakan ini diserukan mendadak Bu-kongcu sudah berkelebat menggerakkan kipasnya, tertawa menyerang kakek tinggi besar itu yang cepat menggerakkan pisau menangkis. Tapi begitu kipas terpental dan pisau juga tertolak tahu-tahu ular di tangan kanan pemuda itu menyambar membuka mulutnya.
“Ssh!”
Sin-piauw Ang-lojin menyampok. Dia menggerakkan lengan kirinya, membuat ular terdorong tapi mencium uap amis. Dan ketika Bu Ham terbahak dan ketua Seng-piauw-pang itu agak pening tiba-tiba Lo-hoat Tosu berseru, “Lojin, jangan sedot napas ular itu. Itu berbahaya...!”
Kakek ini mengangguk. Dia sudah tahu itu, merasakan sendiri semburan ular yang berbau amis itu, bau yang tiba-tiba membuat kepala pening. Maka ketika lawan tertawa dan kembali menyerangnya tiba-tiba kakek ini mainkan Sin-piauw Kun-hoatnya dan menggerak-gerakkan lengan kiri mendorong tubuh ular, mempergunakan pukulan sinkangnya hingga ular tak dapat mendekat, tertampar pukulan jarak jauh. Dan ketika kipas berkelebatan dan mengebut ke sana-sini akhirnya Sin-piauw Ang-lojin membentak mengerahkan tenaganya.
Bu Ham tertawa. Pemuda ini mendapat kenyataan tenaga si tua sudah mulai mengendor, rupanya habis dipakai menghadapi Ki Siong Cinjin dan Wan Tiong Lojin tadi, meskipun masih kuat untuk menolak atau mengebut ularnya. Dan ketika dia mengadu kecepatan dan Sin-piauw Ang-lojin juga mengikuti gerakan pemuda ini tiba-tiba dengan cerdik dan amat licin Bu Ham mengadu napas, mengajak kakek ini bergerak sama cepat untuk mengimbangi dirinya.
Beberapa jurus masih kelihatan kuat dan pertempuran berjalan imbang, Sin-piauw Ang-lojin diam-diam kaget melihat lawan memiliki tenaga yang tidak berselisih jauh dengannya, kipas sama terpental sementara pisaunya juga tertolak. Harus mengaku bahwa murid Sai-mo-ong ini memang hebat, bahkan kepada Sai-mo-ong sendiri dia harus mengaku kalah dan bukan tandingan kakek iblis itu. Dan ketika pertandingan berjalan beberapa jurus lagi dan Bu Ham mulai mengadu tenaga mendadak kakek ini terkejut ketika pukulan-pukulannya mulai lemah.
“Lojin, hemat tenagamu. Jangan terpancing keras lawan keras!”
Sin-piauw Ang-lojin sadar. Dia memang marah pada pemuda ini, mengadu keras sama keras, begitu juga sering mengejar dan mengadu kecepatan dengan lawan. Lupa bahwa dia telah bertempur dengan dua sutenya yang diam-diam telah mengurangi tenaganya. Betapapun tenaga tua memang tak dapat dibandingkan dengan tenaga muda. Tapi karena kakek ini memang ulet dan semangat pun masih tinggi maka Bu Ham sedikit kecewa tak dapat mengendorkan tenaga lawan dengan cepat.
Namun Bun Ham adalah pemuda cerdik. Dia melihat pisau di tangan lawannya itu memang cukup berbahaya, di samping menangkis juga tidak jarang melancarkan serangan, cepat dan tidak terduga. Tapi karena dia mempunyai dua senjata di tangan kiri dan kanan dan sering benturan-benturan diantara mereka menguntungkan pemuda ini karena ular maupun kipasnya dapat nyelonong di saat senjata yang lain menangkis, maka betapapun lawannya itu harus berhati-hati terhadapnya.
Dan kini Sin-piauw Ang-lojin menghemat tenaga. Kakek itu tak mau banyak bergerak jika dirasa tak perlu, mulai sering mengelak daripada mengadu tenaga. Dan karena kakek itu lebih banyak bersikap bertahan daripada menyerang akhirnya Bu Hampun menyiapkan jarum-jarum beracun untuk merobohkan kakek itu, betapapun dia juga belum dapat mendesak kakek tinggi besar ini karena pertahanan Sin-piauw Ang-Iojin cukup kuat pisaunya masih menangkis dan membabat, sering ularnya hampir putus kalau dia tidak berhati-hati. Dan ketika satu saat kipasnya bergerak sementara lawan mengelak maka saat itu Bu Ham menyambarkan ularnya.
“Wutt...!” Sin-piauw Ang-lojin menggerakkan pisau. Ular itu dibabat, untuk kesekian kalinya ditangkis agar putus menjadi dua. Tapi Bu Ham yang tiba-tiba melepas ular dan sengaja mengorbankan ularnya itu mendadak tertawa membuka kipasnya.
“Sin-piauw Ang-lojin, mampuslah...!”
Kakek tinggi besar itu terkejut. Ular menyambar dirinya, tentu saja disambut gerakan pisau yang membabat dari bawah ke atas, menahan napas tak mau menghirup hawa ular, langsung membentak membuat ular mendesis tertahan, putus tubuhnya dibabat kakek ini, darah menyembur hampir mengenai muka kakek itu.
Dan persis ular dibacok putus tiba-tiba kipas di tangan Bu Ham mengebut tiba, menyambar kakek ini menyembunyikan serangan gelap, sengaja dibuka karena saat itu juga Bu Ham meluncurkan jarum-jarum halus di balik kipasnya, tentu saja membuat kakek ini terkejut dan berseru keras. Tapi karena kipas harus ditangkis sementara jarum juga menyerang di balik kebutan kipas akhirnya Sin-piauw Ang-lojin pucat memaki pemuda itu.
“Bu-kongcu, kau curang...!”
Kakek ini membanting tubuh bergulingan. Saat itu tak ada kesempatan baginya untuk berbuat lain, pisau sudah menangkis ular dan kipas, harus melempar tubuh untuk menjauhi serangan jarum-jarum berbahaya itu. Tapi Bu-kongcu yang mengejar dan berkelebat ke depan tiba-tiba menyambitkan lagi jarum-jarum beracunnya itu, tertawa bergelak tak memberi kesempatan lawannya itu melompat bangun. Tentu saja membuat kakek ini terkejut dan menggerakkan pisau sebisanya sambil bergulingan itu. Tapi karena jarum bergerak dari atas ke bawah dan Sin-piauw Ang-lojin jelas tak dapat mengelak akhirnya tiga jarum menancap di tubuh kakek ini, yang sudah mengerahkan sinkang tapi sia-sia.
“Cep-cep-cep!”
Sin- piauw Ang-lojin mengeluh. Tiga jarum amblas di ketiak dan pundak kirinya, saat itu juga merasa sakit dan nyeri yang sangat. Dan ketika dia melompat bangun tapi kaki terhuyung tiba-tiba Bu Ham menampar sambil menendang pula.
“Plak-dess”
Kakek ini terpelanting. Bu Ham tertawa melanjutkan serangan, dielak dengan cara bergulingan oleh kakek itu tak berhasil semuanya karena Sin-piauw Ang-lojin menyeringai menahan sakit, jarum semakin tembus tertindih tubuh yang bergulingan. Dan ketika Bu Ham tertawa dan membiarkan kakek itu bangun berdiri menyerangnya tiba-tiba tanpa diserang lagi kakek tinggi besar ini terjerembab roboh.
“Bluk!” Sin-piauw Ang-lojin pingsan. Kakek itu sampat memaki Bu Ham, mengeluh pendek dan terjungkal oleh racun yang membuat lumpuhnya tenaga, pusing dan ambruk tanpa sadar lagi. Seluruh mukanya pucat kehijauan. Dan ketika Bu Ham menendang dan memberikan tubuh kakek tinggi besar itu pada seorang busu maka Lo-hoat Tosu yang sadar dari rasa terkejutnya tiba-tiba membentak,
“Bu-kongcu, kau curang!”
Bu Ham tertawa mengejek. “Kau maju, tosu bau? Minta kurobohkan pula?”
“Pinto yang akan merobohkanmu, bocah curang. Pinto tak akan segan-segan lagi pada nama besar gurumu!” Lo-hoat Tosu menggigil, marah sekali. Dan ketika Bu Ham ganda ketawa dan mengebutkan kipasnya tiba-tiba kakek ini sudah menerjang menggerakkan tongkat.
“Trak-trak!”
Bu Ham menangkis dua kali, terhuyung dan kaget oleh tenaga lawan yang kuat, sadar bahwa dia telah kehilangan tenaga melawan Sin-piauw Ang-lojin tadi. Tapi Bu Ham yang tertawa mengelak dan berlompatan ke sani-sini tiba-tiba sudah menerima kemplangan dan sodokan tongkat yang bertubi-tubi datang menyerang, melihat tosu itu benar-benar marah dan mulai mendesaknya dengan pukulan-pukulan berbahaya. Dan ketika Bu Ham menangkis dan tongkat menyambar mendadak dua jari Lo-hoat Tosu juga menotok mengenai lehernya.
“Plak-plak!”
Bu Ham terbanting. Dia kaget dan bergulingan menjauh, untung totokan sedikit meleset tapi membuat lehernya nyeri. Terkejut bahwa tosu ini memiliki pukulan ampuh, dua jari yang berbahaya. Dan ketika Lo-hoat Tosu juga mengebutkan lengan bajunya yang kaku menyambar bagai lempengan baja tiba-tiba Bu Ham dibuat sibuk oleh pukulan-pukulan tosu ini.
“Plak-plak!”
Bu Ham kembali terpental. Dia terpaksa membuka kipasnya, membentak dan marah oleh beberapa pukulan yang menyengat tubuh, menangkis dan balas menyerang tosu itu yang mempergunakan tongkat dan ujung baju. Dan ketika Bu Ham menahan dan mulai melepas jarum-jarum halusnya pula akhirnya Lo-hoat Tosu memaki dan menggerakkan lengan kirinya, menyampok.
“Bu-kongcu, kau pemuda tak tahu malu!”
“Ha-ha, tak perlu pentang bacot, tosu tua. Kalau kau ingin menang boleh robohkan aku. Kalau tidak diamlah...wut-wut!” dan belasan jarum yang kembali menyambar menahan serangan tongkat akhirnya membuat tosu ini marah-marah dan berhati-hati, betapapun hilangnya ular bagi Bu-kongcu masih dapat diganti dengan jarum-jarum rahasianya itu. Dan ketika keduanya sama bergerak cepat dan Bu-kongcu melihat sinkang tosu Kun-Iun-pai ini dapat mengebut kipasnya akhirnya Bu-kongcu tertegun dan mulai terdesak.
“Tosu bau, kau hebat juga!”
Lo-hoat Tosu tak menjawab. Dia terus menyerang dan membuat Bu Ham kewalahan, mengerutkan alis karena senjata-senjata rahasianya diketahui lawan, dikebut dan selalu disampok runtuh oleh tangan kiri tosu Kun-lun itu. Dan ketika pertandingan berjalan belasan jurus dan sedikit tetapi pasti Bu Ham mulai tersudut tiba-tiba pemuda ini bersiul. “Kerbau-kerbau dungu, bantu aku...!”
Lo-hoat Tosu terkejut. Dia meudengar lawan minta bantuan, melihat lima busu melompat maju mencabut senjata. Tapi ketika mereka maju dan tosu ini menggerakkan tongkat tiba-tiba senjata para busu itu patah-patah dan mereka terbanting roboh.
“Goblok, bantu saja dari jauh!” Bu Ham berteriak, memaki para busu itu hingga yang lain tertegun, tak maju kembali karena Bu Ham membentak mereka. Tapi komandan mereka yang rupanya mengerti maksud pemuda itu tiba-tiba mencabut panah.
“Serang kakek itu dengan panah...!”
Bu Ham tertawa. Memang itu yang dimaksud, mengganggu Lo-hoat Tosu agar bisa dipecah konsentrasinya. Dan ketika belasan anak panah meluncur mengganggu tosu itu dan Lo-hoat Tosu harus menangkis dan mementalkan panah maka saat itu jarum-jarum Bu-kongcu mulai bekerja tak mendapat rintangan.
“Tosu bau, kaupun agaknya menyusul Sin-piauw Ang-Iojin. Mampuslah!”
Lo-hoat Tosu marah. Dia jadi dikeroyok secara curang, tak dapat memusatkan perhatian karena para busu menyerangnya dengan panah. Dan ketika dia harus menyampok dan Bu Ham melempar jarum dan mengebutkan kipasnya akhirnya tosu ini mengeluh ketika sebuah jarum tak dapat dikelit, mengenai lengannya dan membuat dia terhuyung. Dan ketika anak panah kembali berhamburan dan jarum-jarum yang lain mengenai tubuhnya tiba-tiba tosu ini terguling ketika kipas menyambar tengkuknya.
“Plak!” Lo-hoat Tosu roboh. Kakek ini tak dapat menahan keroyokan, terutama jarum-jarum Bu Ham yang amat beracun itu. Dan ketika dia terguling dan pingsan dengan muka kehijauan maka Bu Ham menendang tubuhnya sambil tertawa bergelak.
“Bawa tikus-tikus busuk ini. Kerangkeng mereka!”
Lo-hoat Tosu dan muridnya serta Sin-piauw Ang-lojin ditangkap. Mereka ditelikung dan dimasukkan ke sebuah kerangkeng besar, masih pingsan dan begitu saja diseret ke rumah Siong-taijin. Dan ketika Bu Ham menyusul masuk dan menyuruh dua busu mencari Siong Gwan dan dua gurunya maka malam itu bayangan Hong Jin dan teman-temannya muncul.
“Kongcu, apa yang harus kita lakukan kepada mereka ini?”
“Biarkan mereka sadar. Surat rahasia itu harus kita peroleh!”
“Tidak dibunuh saja mereka itu?”
“Jangan, Siauw-ong-ya minta surat itu harus ditemukan dulu, Hong Jin. Kalau beres tentu saja mereka itu boleh dibunuh!”
Sin-piauw Ang-lojin lamat-lamat mendengar percakapan ini. Dan sudah sadar, mulai membuka mata dan merasa panas seluruh tubuhnya. Teringat pertempurannya melawan Bu-kongcu itu dan mengenal suara orang. Tapi ketika dia menggerakkan kaki tangan namun terasa sakit karena terbelenggu maka tertegunlah kakek ini melihat Lo-hoat Tosu dan Beng Lam ada juga di sebelahnya, sama-sama terikat di sebuah kurungan jeruji besi.
“Ha-ha, kau sudah sadar, Sin-piauw Ang-lojin?”
Kakek ini menggeram. Dia melihat sebuah bayangan berkelebat ke depannya, disusul dua bayangan lain. Dan ketika dia melihat Hong Jin dan Wan Tiong Lojin dua sutenya itu berada di dekat Bu-kongcu tiba-tiba kakek ini membentak gusar, “Sute, kalian iblis-iblis terkutuk. Tak nyana kalau kau bergaul pula dengan setan macam Bu-kongcu ini!”
“Ha-ha, tak perlu memaki, lojin. Buruk baiknya nasibmu ada di tanganku. Ayolah, tenang...!” dan Bu-kongcu yang melepas ikatan belenggunya tapi menotok kakek itu tiba-tiba menyeret ketua Seng-piauw-pang ini keluar dari kerangkengnya. “Seng-piauw-pangcu, kau mau baik-baik bicara dengan kami, bukan? Nah, tunjukkan dimana surat untuk putera mahkota itu. Aku akan memberimu obat penawar kalau kau mau membantu kami.”
“Tidak, aku tak tahu apa-apa. Aku tak mau bersekutu dengan iblis-iblis macam kalian!”
“Hm, kau tak ingin sembuh, lojin?”
Kakek ini gusar. “Bu-kongcu, kau boleh bunuh aku atau siksa tapi tak mungkin si tua bangka ini menyerah. Aku tahu pengkhianatan Siauw-ong-ya, sebaiknya tak perlu banyak cakap dan kau bunuhlah aku!”
“Ha,” Bu-kongcu tersenyum. “Aku tak mau membunuhmu, pangcu. Tapi menghendaki surat yang kau sembunyikan itu. Aku akan mengampunimu. Dimana surat itu?”
Sin-piauw Ang-lojin tak menjawab, matanya bahkan mendelik.
“Kau tak perlu keras kepala, pangcu. Kita sebaiknya berdamai saja dan kubebaskan pula dua orang temanmu itu. Lihat, tosu itupun mulai sadar, begitu pula muridnya.”
Kakek tinggi besar ini menggigit bibir. Dia melihat Lo-hoat Tosu menyeringai menahan sakit, tubuhnya penuh luka-luka, kecil berbintik-bintik hitam dari jarum-jarum beracun yang dimiliki Bu-kongcu, melihat sebatang anak panah menancap pula di pundak kakek itu, belum dicabut. Dan ketika Beng Lam sang murid juga membuka matanya dan mendesis menahan sakit maka dua orang guru dan murid itu bertemu pandang dengannya, yang anehnya tiba-tiba membuat tosu ini tersenyum.
“Lojin, kita bertemu di surga?”
“Tidak, kita di neraka, tojin. Bu-kongcu dan dua suteku itu ada di sini. Lihat!”
Lo-hoat Tosu menoleh. Dia memutar leher dengan sukar, tampak menahan sakit, menggigil dan melihat Wan Tiong Lojin dan suhengnya ada di situ. Dan ketika Hong Jin tertawa mengejek dan tosu ini tersenyum pahit maka Beng Lam sang murid berseru nyaring,
“Suhu, kiranya kita ditangkap tikus-tikus tak tahu malu. Sebaiknya meram saja tak perlu membuka mata. Aku muak melihat tampang mereka!”
“Hm,” Hong Jin tertawa dingin. “Kau tak perlu berlagak tengik, anak muda. Kami dapat membunuhmu kalau kami mau.”
“Kalau begitu bunuhlah, aku tak takut!” Beng Lam membentak, membuat Hong Jin merah mukanya dan marah.
Tapi Bu-kongcu yang tertawa tenang tiba-tiba berkata mendahului. “Hong Jin, tak perlu hiraukan kicauan anak muda itu. Kita tanya saja mereka baik-baik tentang surat rahasia untuk pangeran mahkota,” dan menghadapi Lo-hoat Tosu dan teman-temannya itu Bu-kongcu berdehem. “Sin-piauw Ang-lojin, bagaimana dengan pertanyaanku tadi? Dimana kau sembunyikan surat itu? Ingat, dua temanmu ikut-ikutan di sini gara-gara permintaanmu. Kalau kau tidak bicara baik-baik tentu mereka ini kubunuh!”
Sin-piauw Ang-lojin menggereng. “Aku tak tahu-menahu tentang surat segala, Bu-kongcu. Aku datang karena mengejar-ngejar dua suteku itu!”
“Kau tak mau mengaku?”
“Tidak, karena aku tak tahu!”
“Baiklah, kalau begitu kebebasanmu sulit kau dapat,” dan memutar tubuh menghadapi Lo-hoat Tosu pemuda ini tersenyum. “Dan kau, Lo-hoat Tosu. Apakah kau juga tak tahu tentang surat yang dibawa kakek ini? Ataukah kau pura-pura tak tahu?”
“Pinto tak tahu apa-apa, bocah iblis. Kalau pinto ada di bawah kekuasaanmu lekas saja kau bunuh pinto!”
“Hm, dan kau,” Bu-kongcu tetap tersenyum. “Namamu Beng Lam, bukan? Bagaimana jawabanmu untuk pertanyaan yang sama? Tidakkah kau mengetahui dimana surat rahasia yang dibawa kakek ini?”
Beng Lam menjengek. “Kau geledah saja tubuhnya, Bu-kongcu. Kalau ada silahkan ambil kalau tidak tak perlu tanya pada kami. Aku tak tahu apa-apa!”
“Tapi kau ingin suhu dan dirimu bebas, bukan? Masih demikian kaku sikapmu?”
“Aku tak ingin bebas, pemuda iblis. Kalau suhu ada di sini aku juga tak mau melarikan diri!”
“Baiklah, kalau begitu kalian boleh keras kepala. Ingin kulihat sampai berapa lama kalian keras kepala!”
Bu-kongcu tiba-tiba menarik Beng Lam, menyentak pemuda itu hingga keluar kerangkeng. Dan ketika pemuda itu mengeluarkan sebatang jarumnya tiba-tiba Bu-kongcu tertawa dingin, mendekatkan jarum ini pada mata kiri Beng Lam. “Bocah she Beng, kau belum pernah ditusuk buta, kan? Bagaimana kalau kini kau merasakan ditusuk jarum?”
Beng Lam pucat. Dia terbelalak melihat jarum hitam di tangan lawannya itu, muka tiba-tiba berubah dan jelas takut. Tapi begitu pandangan bentrok dengan mata gurunya tiba-tiba pemuda ini membentak, “Bu-kongcu, kau memang manusia iblis. Kau boleh bunuh atau siksa diriku tapi aku tak takut!”
“Benarkah?” Bu Ham menyeringai keji. “Kau sungguh-sungguh tak takut, Beng Lam? Kalau begitu mari kulihat!” dan Beng Lam yang cepat menutup matanya ketika jarum mendekat tiba-tiba ditusuk dengan keji oleh murid Sai-mo-ong itu. “Beng Lam, ini jarum tidak begitu berbahaya, nyawamu tak akan terancam. Tapi gatal dan pedih akan membuat kau bergulingan mencukil matamu sendiri... crep!” jarum yang sudah ditusukkan itu tiba-tiba amblas ke mata Beng Lam, disambut jerit ngeri anak muda ini. Dan ketika Bu Ham tertawa dan membebaskan totokannya tiba-tiba Beng Lam meraung menggosok-gosok matanya itu, bergulingan.
“Bu-kongcu, kau iblis keji. Keparat kau!”
Bu-kongcu tertawa. Dengan enak dia melihat murid Lo-hoat Tosu itu mencakar-cakar mukanya sendiri, merasakan gatal dan pedih yang amat menyiksa. Tentu saja jarum semakin amblas dan hilang di bola mata, mengerikan. Dan ketika Beng Lam berteriak-teriak dan meraung bagai anjing kesakitan tiba-tiba pemuda ini mencukil biji matanya.
“Crep!” Sin-piauw Ang-lojin dan Lo-hoat Tosu ngeri. Dua orang tua ini melihat biji mata Beng Lam tercukil keluar, penuh darah, membasahi muka Beng Lam sendiri hingga muka pemuda itu menjadi mengerikan. Satu matanya copot. Tapi berbareng dengan terkoreknya bola mata itu tiba-tiba Beng Lam mengeluh dan roboh pingsan.
“Bluk!”
Lo-hoat Tosu mendelik. Dia tadi tak dapat bicara apa-apa melihat semua kejadian itu, tercekik tenggorokannya oleh penderitaan sang murid. Tapi begitu mundur dan melihat muridnya roboh tiba-tiba kakek ini menggeram. “Bu-kongcu, kau benar-benar manusia iblis. Terkutuk kau. Pinto tak akan membiarkanmu sewenang-wenang... !” tapi kakek ini yang mengeluh dan kesakitan oleh jarum dan panah yang menancap di tubuhnya tiba-tiba mendelik dan kejang di tempat, batuk-batuk dan menghentikan kata-katanya karena dada terasa sakit.
Dan Bu-kongcu yang terbahak melihat kakek itu tiba-tiba melangkah maju, memegang gagang panah yang menancap di pundak kakek ini. “Seng-piauw-pangcu, tegakah kau melihat anak panah ini kukoyak-koyak di tubuh temanmu? Lihat, tosu ini menyeringai. Tentu sakit ditusuk dagingnya!” dan Bu Ham yang menepuk panah hingga amblas semakin dalam tiba-tiba membuat tosu Kun-lun itu menjerit.
“Augh!”
Sin-piauw Ang-lojin memejamkan mata. Dia tak kuat melihat pemandangan ini, anak panah dikoyak-koyak sementara Lo-hoat Tosu mengaduh dan memaki-maki pemuda itu. Tapi ketika Bu Ham menghentikan perbuatannya dan tertawa padanya pemuda ini bertanya,
“Bagaimana, kau menghendaki aku membunuh tosu bau ini, Lojin?”
Sin-piauw Ang-lojin menggigit bibir. “Tidak, kau bebaskan dia dan kau bununlah aku. Lo-hoat Tosu tak bersalah!”
“Tapi surat rahasia harus kau tunjukkan dulu, Lojin. Kalau tidak tentu saja permintaanmu tak mungkin terkabul. Ayo, kesabaranku hampir habis. Aku akan menyiksamu juga kalau tosu ini sudah tak kuat!” Bu Ham melangkah maju, menghampiri kakek itu dan tampak menyeringai dengan mata penuh ancaman, sikapnya tidak main-main dan membuat Sin-piauw Ang-lojin gusar.
Tapi baru pemuda itu melangkah tiga tindak tiba-tiba Lo-hoat Tosu berseru, “Lojin, jangan berikan apa yang diminta pemuda iblis itu. Pinto siap mati mempertahankan kebenaran!”
“Hm, jadi surat benar-benar ada di tangan kalian?”
Sin-piauw Ang-lojin menggigil.
“Ayo, mana surat itu, lojin. Kalau tidak kalian semua akan kubunuh!” Bu Ham mengeluarkan lagi sebatang jarum, terkekeh menghampiri kakek tinggi besar itu dan siap mencobloskan di mata Sin-piauw Ang-lojin. Tapi Lo-hoat Tosu yang lagi-lagi berseru mendadak membentak gemetar,
“Bu-kongcu, surat ada di tanganku. Kalau kau menghendaki surat bebaskanlah sahabatku itu dan suruh dia pergi!”
Bu-kongcu melengak. “Kau tak main-main?”
“Pinto tak main-main denganmu, bocah busuk. Apa yang pinto kata adalah benar sesuai omongan pinto. Bebaskan Sin-piauw Ang-lojin, juga muridku!” dan berseru pada Sin-piauw Ang-lojin tosu ini berkata, “Lojin, bawa murid pinto keluar dari tempat ini. Selamatkan dia!”
Sin-piauw Ang-lojin terbelalak. Dia tertegun oleh semua kata- kata tosu itu, seolah melihat temannya itu benar-benar membawa surat rahasia padahal surat sebenarnya tak ada di tangan mereka. Hal yang tentunya telah dibuktikan Bu-kongcu dengan menggeledah tubuh mereka, di saat mereka pingsan. Tapi sadar bahwa tosu itu kiranya ingin menyelamatkan dirinya dan Beng Lam dengan jalan mengorbankan diri tiba-tiba Sin-piauw Ang-lojin tertawa bergelak.
“Lo-hoat Tosu, kau tua bangka sialan. Kenapa berbohong kepada musuh? Tidak, surat tidak berada di tanganmu tetapi di tanganku. Sebaiknya kau yang bebas dan biarkan aku menghadapi pemuda ini!” dan berseru pada Bu Ham kakek itu mengedikkan kepala, “Bocah siluman, kau bebaskan dua temanku yang tidak bersalah. Surat rahasia ada di tanganku, tak perlu percaya padanya?”
Bu Ham terbelalak. “Siapa yang benar?”
“Aku!”
Tidak, aku, Bu-kongcu. Tua bangka itu bohong!” Lo-hoat Tosu berteriak, marah pada temannya tapi Sin-piauw Ang-lojin tertawa bergelak. Dan ketika dua kakek itu saling membentak dan menyebut diri sendiri sebagai pembawa surat akhirnya Bu Ham yang bingung dan mendongkol berkata dengan muka merah,
“Lo- hoat Tosu, dan kau Sin-piauw Ang-lojin, sebaiknya tak perlu main-main di saat ini. Kalian berdua sama mengaku membawa surat. Kalau kalian ingin yang lain bebas sebaiknya tunjukkan surat itu dan buktikan! Nah, mana surat itu?”
Sin-piauw Ang-lojin terkejut. “Kau siapa?”
“Aku Malaikat Kecil, utusan khusus Siauw-ong-ya!”
“Keparat!” Sin-piauw Ang-lojin yang marah merasa dipermainkan tiba-tiba melompat maju. “Anak muda, kau tak perlu main-main di sini. Aku bertanya yang benar!”
“Hm,” pemuda itu mengejek. “Aku juga tak main-main, Sin-piauw Ang-lojin. Aku telah bicara benar bahwa aku utusan Siauw-ong-ya!”
“Apa buktinya?”
“Lihat...!” dan pemuda itu yang mengeluarkan cincin bermata biru tiba-tiba mengelebatkannya di depan Sin-piauw Ang-lojin. “Apakah ini bukan tanda yang kau kenal?”
Sin-piauw Ang-lojin tertegun. Dia melihat lukisan naga pada cincin itu, gambar yang menyilaukan terpantul sinar. Benar bahwa cincin itu milik Pangeran Muda, seorang pangeran yang diam-diam berambisi merebut kekuasaan. Tentu saja membuat dia terkejut dan mundur selangkah memandang pemuda ini, yang tertawa mengejek padanya. Dan ketika dia tertegun dan terbelalak ke depan maka Lo-hoat Tosu ganti ditegur.
“Kau, Lo-hoat Tosu. Kenapa ada di sini mencampuri urusan? Tak tahukah kau bahwa ketua Seng-piauw-pang ini adalah pemberontak? Apakah Kun-lun-pai sekarang berkhianat pada pemerintah dan ingin menjadi pemberontak pula?”
Lo-hoat Tosu terkejut. “Pinto tak membawa-bawa nama Kun-lun-pai, anak muda. Ini adalah urusan pinto pribadi dan tidak ada sangkut pautnya dengan partai!”
“Bagus, kalau begitu aku bebas bergerak. Kaupun kutangkap!”
“Siapa kau?”
“Aku Malaikat Kecil, kau sudah dengar tadi?”
“Tidak, pinto ingin menanya namamu, anak muda. Pinto selamanya belum pernah mengenal dirimu.”
“Baik, aku Bu Ham. Orang menyebutku Bu-kongcu.”
“Ah, kau murid Sai-mo-ong?”
“Benar.”
“Siancai...!” dan Lo-hoat Tosu yang tampak terkejut melangkah mundur tiba-tiba mencabut tongkatnya itu. “Anak muda, kiranya Siauw-ong-ya telah mempergunakan tenaga-tenaga yang keliru. Justeru sekarang pinto yakin bahwa Sin-piauw Ang-lojin berada di pihak benar. Nah, sekarang pinto semakin mantap. Kaki tangan Siauw-ong-ya kiranya orang-orang sesat. Bebaskan murid pinto itu!”
Bu Ham, murid Sai-mo-ong itu tertawa. Dia telah kita kenal sebagai pemuda yang licik dan cerdik. Memang diam-diam mengadakan hubungan dengan Pangeran Muda yang tak puas pada kedudukannya. Menganggap dia mendapat perlakuan lain dari kaisar, memusuhi putera mahkota dan diam-diam mengadakan persekutuan untuk merebut kekuasaan, kelak kalau kaisar menyerahkan kedudukannya pada putera mahkota.
Hal yang diatur perlahan-lahan dan direncanakan berjangka panjang. Tentu saja belum didengar kaisar dan karena itu tenang-tenang saja tak tahu ada ular di balik selimut. Dan Bu Ham yang tertawa mendengar omongan tosu itu tiba-tiba menotok Beng Lam, melemparnya pada seorang busu.
“Lo-hoat Tosu, enak saja kau bicara. Aku utusan Siauw-ong-ya, segala perintah dan kata-kata akulah yang menentukan. Berani kau bicara begitu padahal keselamatanmu di tanganku? Ha-ha, rupanya kau ngelindur, orang tua. Sebaiknya buka dulu matamu dan lihat siapa yang berkuasa. Aku hendak menangkapmu, kalian berdua. Sekarang menyerahlah baik-baik kalau nama Kun-lun-pai tak ingin terlibat!”
Bu Ham tiba-tiba mengebutkan kipasnya, menjulurkan ular yang tahu-tahu mendesis menyerang tosu itu. Dan ketika lawan mengelak dan ganti menggerakkan tongkat tiba-tiba pemuda ini menarik ularnya dan secepat kilat menotok dahi tosu itu, dengan kipas tertutup.
“Trak!” Lo-hoat Tosu terkejut. Bu Ham tertawa melompat mundur, membuat tosu itu berkeringat karena pemuda itu menggetarkan tongkatnya, hampir saja nyelonong dan menotok dahi kalau dia tidak menekuk tongkat, terkecoh oleh gerakan ular yang kiranya hanya gertakan saja. Satu gebrakan yang rupanya sikap coba-coba, menjajal dan mengetahui kekuatan lawan. Dan ketika tosu itu mundur dan Bu Ham tertawa mengejek maka pemuda ini memberi aba-aba pada para busu.
“Kurung mereka itu. Rupanya dua tua bangka ini tak mau menyerah kalau belum coba-coba merasakan kelihaianku!”
Para busu bergerak. Mereka telah mengurung dua laki-laki tua itu, membuat Sin-piauw Ang-lojin dan Lo-hoat Tosu marah. Dan ketika mereka membentak dan Sin-piauw Ang-lojin maju ke depan maka kakek tinggi besar ini berkata, “Tojin, kau mundur saja. Biar bocah ini aku yang menghadapi!”
“Tidak,” Lo-hoat Tosu gemas memandang Beng Lam. “Murid pinto ada di tangan pemuda ini, lojin. Biar pinto saja yang maju dan kau menjaga para busu.”
“Ha-ha, kalau begitu kalian maju berdua, Sin-piauw Ang-lojin. Aku tak mentertawakan dan boleh maju berdua!”
Sin-piauw Ang-lojin marah. Dia tersinggung oleh kata-kata ini, mendengar Bu Ham mengejek membuat perut terasa panas. Maka belum temannya bergerak tiba-tiba ketua Seng-piauw-pang ini mencabut pisau gadingnya. “Tojin, mundur sajalah. Biar aku yang menghadapi bocah ini!” dan ketika lawan tersenyum dan mengebut-ngebutkan kipasnya kakek tinggi besar ini telah membentak, “Bocah, kau majulah. Aku akan mengalah tiga jurus kepadamu!”
“Ah, benar?” Bu Ham tertawa. “Jangan coba-coba merendahkan aku, Seng-piauw-pangcu. Awas kualat nanti.”
“Tak perlu banyak cakap. Ayo majulah!” dan baru habis bentakan ini diserukan mendadak Bu-kongcu sudah berkelebat menggerakkan kipasnya, tertawa menyerang kakek tinggi besar itu yang cepat menggerakkan pisau menangkis. Tapi begitu kipas terpental dan pisau juga tertolak tahu-tahu ular di tangan kanan pemuda itu menyambar membuka mulutnya.
“Ssh!”
Sin-piauw Ang-lojin menyampok. Dia menggerakkan lengan kirinya, membuat ular terdorong tapi mencium uap amis. Dan ketika Bu Ham terbahak dan ketua Seng-piauw-pang itu agak pening tiba-tiba Lo-hoat Tosu berseru, “Lojin, jangan sedot napas ular itu. Itu berbahaya...!”
Kakek ini mengangguk. Dia sudah tahu itu, merasakan sendiri semburan ular yang berbau amis itu, bau yang tiba-tiba membuat kepala pening. Maka ketika lawan tertawa dan kembali menyerangnya tiba-tiba kakek ini mainkan Sin-piauw Kun-hoatnya dan menggerak-gerakkan lengan kiri mendorong tubuh ular, mempergunakan pukulan sinkangnya hingga ular tak dapat mendekat, tertampar pukulan jarak jauh. Dan ketika kipas berkelebatan dan mengebut ke sana-sini akhirnya Sin-piauw Ang-lojin membentak mengerahkan tenaganya.
Bu Ham tertawa. Pemuda ini mendapat kenyataan tenaga si tua sudah mulai mengendor, rupanya habis dipakai menghadapi Ki Siong Cinjin dan Wan Tiong Lojin tadi, meskipun masih kuat untuk menolak atau mengebut ularnya. Dan ketika dia mengadu kecepatan dan Sin-piauw Ang-lojin juga mengikuti gerakan pemuda ini tiba-tiba dengan cerdik dan amat licin Bu Ham mengadu napas, mengajak kakek ini bergerak sama cepat untuk mengimbangi dirinya.
Beberapa jurus masih kelihatan kuat dan pertempuran berjalan imbang, Sin-piauw Ang-lojin diam-diam kaget melihat lawan memiliki tenaga yang tidak berselisih jauh dengannya, kipas sama terpental sementara pisaunya juga tertolak. Harus mengaku bahwa murid Sai-mo-ong ini memang hebat, bahkan kepada Sai-mo-ong sendiri dia harus mengaku kalah dan bukan tandingan kakek iblis itu. Dan ketika pertandingan berjalan beberapa jurus lagi dan Bu Ham mulai mengadu tenaga mendadak kakek ini terkejut ketika pukulan-pukulannya mulai lemah.
“Lojin, hemat tenagamu. Jangan terpancing keras lawan keras!”
Sin-piauw Ang-lojin sadar. Dia memang marah pada pemuda ini, mengadu keras sama keras, begitu juga sering mengejar dan mengadu kecepatan dengan lawan. Lupa bahwa dia telah bertempur dengan dua sutenya yang diam-diam telah mengurangi tenaganya. Betapapun tenaga tua memang tak dapat dibandingkan dengan tenaga muda. Tapi karena kakek ini memang ulet dan semangat pun masih tinggi maka Bu Ham sedikit kecewa tak dapat mengendorkan tenaga lawan dengan cepat.
Namun Bun Ham adalah pemuda cerdik. Dia melihat pisau di tangan lawannya itu memang cukup berbahaya, di samping menangkis juga tidak jarang melancarkan serangan, cepat dan tidak terduga. Tapi karena dia mempunyai dua senjata di tangan kiri dan kanan dan sering benturan-benturan diantara mereka menguntungkan pemuda ini karena ular maupun kipasnya dapat nyelonong di saat senjata yang lain menangkis, maka betapapun lawannya itu harus berhati-hati terhadapnya.
Dan kini Sin-piauw Ang-lojin menghemat tenaga. Kakek itu tak mau banyak bergerak jika dirasa tak perlu, mulai sering mengelak daripada mengadu tenaga. Dan karena kakek itu lebih banyak bersikap bertahan daripada menyerang akhirnya Bu Hampun menyiapkan jarum-jarum beracun untuk merobohkan kakek itu, betapapun dia juga belum dapat mendesak kakek tinggi besar ini karena pertahanan Sin-piauw Ang-Iojin cukup kuat pisaunya masih menangkis dan membabat, sering ularnya hampir putus kalau dia tidak berhati-hati. Dan ketika satu saat kipasnya bergerak sementara lawan mengelak maka saat itu Bu Ham menyambarkan ularnya.
“Wutt...!” Sin-piauw Ang-lojin menggerakkan pisau. Ular itu dibabat, untuk kesekian kalinya ditangkis agar putus menjadi dua. Tapi Bu Ham yang tiba-tiba melepas ular dan sengaja mengorbankan ularnya itu mendadak tertawa membuka kipasnya.
“Sin-piauw Ang-lojin, mampuslah...!”
Kakek tinggi besar itu terkejut. Ular menyambar dirinya, tentu saja disambut gerakan pisau yang membabat dari bawah ke atas, menahan napas tak mau menghirup hawa ular, langsung membentak membuat ular mendesis tertahan, putus tubuhnya dibabat kakek ini, darah menyembur hampir mengenai muka kakek itu.
Dan persis ular dibacok putus tiba-tiba kipas di tangan Bu Ham mengebut tiba, menyambar kakek ini menyembunyikan serangan gelap, sengaja dibuka karena saat itu juga Bu Ham meluncurkan jarum-jarum halus di balik kipasnya, tentu saja membuat kakek ini terkejut dan berseru keras. Tapi karena kipas harus ditangkis sementara jarum juga menyerang di balik kebutan kipas akhirnya Sin-piauw Ang-lojin pucat memaki pemuda itu.
“Bu-kongcu, kau curang...!”
Kakek ini membanting tubuh bergulingan. Saat itu tak ada kesempatan baginya untuk berbuat lain, pisau sudah menangkis ular dan kipas, harus melempar tubuh untuk menjauhi serangan jarum-jarum berbahaya itu. Tapi Bu-kongcu yang mengejar dan berkelebat ke depan tiba-tiba menyambitkan lagi jarum-jarum beracunnya itu, tertawa bergelak tak memberi kesempatan lawannya itu melompat bangun. Tentu saja membuat kakek ini terkejut dan menggerakkan pisau sebisanya sambil bergulingan itu. Tapi karena jarum bergerak dari atas ke bawah dan Sin-piauw Ang-lojin jelas tak dapat mengelak akhirnya tiga jarum menancap di tubuh kakek ini, yang sudah mengerahkan sinkang tapi sia-sia.
“Cep-cep-cep!”
Sin- piauw Ang-lojin mengeluh. Tiga jarum amblas di ketiak dan pundak kirinya, saat itu juga merasa sakit dan nyeri yang sangat. Dan ketika dia melompat bangun tapi kaki terhuyung tiba-tiba Bu Ham menampar sambil menendang pula.
“Plak-dess”
Kakek ini terpelanting. Bu Ham tertawa melanjutkan serangan, dielak dengan cara bergulingan oleh kakek itu tak berhasil semuanya karena Sin-piauw Ang-lojin menyeringai menahan sakit, jarum semakin tembus tertindih tubuh yang bergulingan. Dan ketika Bu Ham tertawa dan membiarkan kakek itu bangun berdiri menyerangnya tiba-tiba tanpa diserang lagi kakek tinggi besar ini terjerembab roboh.
“Bluk!” Sin-piauw Ang-lojin pingsan. Kakek itu sampat memaki Bu Ham, mengeluh pendek dan terjungkal oleh racun yang membuat lumpuhnya tenaga, pusing dan ambruk tanpa sadar lagi. Seluruh mukanya pucat kehijauan. Dan ketika Bu Ham menendang dan memberikan tubuh kakek tinggi besar itu pada seorang busu maka Lo-hoat Tosu yang sadar dari rasa terkejutnya tiba-tiba membentak,
“Bu-kongcu, kau curang!”
Bu Ham tertawa mengejek. “Kau maju, tosu bau? Minta kurobohkan pula?”
“Pinto yang akan merobohkanmu, bocah curang. Pinto tak akan segan-segan lagi pada nama besar gurumu!” Lo-hoat Tosu menggigil, marah sekali. Dan ketika Bu Ham ganda ketawa dan mengebutkan kipasnya tiba-tiba kakek ini sudah menerjang menggerakkan tongkat.
“Trak-trak!”
Bu Ham menangkis dua kali, terhuyung dan kaget oleh tenaga lawan yang kuat, sadar bahwa dia telah kehilangan tenaga melawan Sin-piauw Ang-lojin tadi. Tapi Bu Ham yang tertawa mengelak dan berlompatan ke sani-sini tiba-tiba sudah menerima kemplangan dan sodokan tongkat yang bertubi-tubi datang menyerang, melihat tosu itu benar-benar marah dan mulai mendesaknya dengan pukulan-pukulan berbahaya. Dan ketika Bu Ham menangkis dan tongkat menyambar mendadak dua jari Lo-hoat Tosu juga menotok mengenai lehernya.
“Plak-plak!”
Bu Ham terbanting. Dia kaget dan bergulingan menjauh, untung totokan sedikit meleset tapi membuat lehernya nyeri. Terkejut bahwa tosu ini memiliki pukulan ampuh, dua jari yang berbahaya. Dan ketika Lo-hoat Tosu juga mengebutkan lengan bajunya yang kaku menyambar bagai lempengan baja tiba-tiba Bu Ham dibuat sibuk oleh pukulan-pukulan tosu ini.
“Plak-plak!”
Bu Ham kembali terpental. Dia terpaksa membuka kipasnya, membentak dan marah oleh beberapa pukulan yang menyengat tubuh, menangkis dan balas menyerang tosu itu yang mempergunakan tongkat dan ujung baju. Dan ketika Bu Ham menahan dan mulai melepas jarum-jarum halusnya pula akhirnya Lo-hoat Tosu memaki dan menggerakkan lengan kirinya, menyampok.
“Bu-kongcu, kau pemuda tak tahu malu!”
“Ha-ha, tak perlu pentang bacot, tosu tua. Kalau kau ingin menang boleh robohkan aku. Kalau tidak diamlah...wut-wut!” dan belasan jarum yang kembali menyambar menahan serangan tongkat akhirnya membuat tosu ini marah-marah dan berhati-hati, betapapun hilangnya ular bagi Bu-kongcu masih dapat diganti dengan jarum-jarum rahasianya itu. Dan ketika keduanya sama bergerak cepat dan Bu-kongcu melihat sinkang tosu Kun-Iun-pai ini dapat mengebut kipasnya akhirnya Bu-kongcu tertegun dan mulai terdesak.
“Tosu bau, kau hebat juga!”
Lo-hoat Tosu tak menjawab. Dia terus menyerang dan membuat Bu Ham kewalahan, mengerutkan alis karena senjata-senjata rahasianya diketahui lawan, dikebut dan selalu disampok runtuh oleh tangan kiri tosu Kun-lun itu. Dan ketika pertandingan berjalan belasan jurus dan sedikit tetapi pasti Bu Ham mulai tersudut tiba-tiba pemuda ini bersiul. “Kerbau-kerbau dungu, bantu aku...!”
Lo-hoat Tosu terkejut. Dia meudengar lawan minta bantuan, melihat lima busu melompat maju mencabut senjata. Tapi ketika mereka maju dan tosu ini menggerakkan tongkat tiba-tiba senjata para busu itu patah-patah dan mereka terbanting roboh.
“Goblok, bantu saja dari jauh!” Bu Ham berteriak, memaki para busu itu hingga yang lain tertegun, tak maju kembali karena Bu Ham membentak mereka. Tapi komandan mereka yang rupanya mengerti maksud pemuda itu tiba-tiba mencabut panah.
“Serang kakek itu dengan panah...!”
Bu Ham tertawa. Memang itu yang dimaksud, mengganggu Lo-hoat Tosu agar bisa dipecah konsentrasinya. Dan ketika belasan anak panah meluncur mengganggu tosu itu dan Lo-hoat Tosu harus menangkis dan mementalkan panah maka saat itu jarum-jarum Bu-kongcu mulai bekerja tak mendapat rintangan.
“Tosu bau, kaupun agaknya menyusul Sin-piauw Ang-Iojin. Mampuslah!”
Lo-hoat Tosu marah. Dia jadi dikeroyok secara curang, tak dapat memusatkan perhatian karena para busu menyerangnya dengan panah. Dan ketika dia harus menyampok dan Bu Ham melempar jarum dan mengebutkan kipasnya akhirnya tosu ini mengeluh ketika sebuah jarum tak dapat dikelit, mengenai lengannya dan membuat dia terhuyung. Dan ketika anak panah kembali berhamburan dan jarum-jarum yang lain mengenai tubuhnya tiba-tiba tosu ini terguling ketika kipas menyambar tengkuknya.
“Plak!” Lo-hoat Tosu roboh. Kakek ini tak dapat menahan keroyokan, terutama jarum-jarum Bu Ham yang amat beracun itu. Dan ketika dia terguling dan pingsan dengan muka kehijauan maka Bu Ham menendang tubuhnya sambil tertawa bergelak.
“Bawa tikus-tikus busuk ini. Kerangkeng mereka!”
Lo-hoat Tosu dan muridnya serta Sin-piauw Ang-lojin ditangkap. Mereka ditelikung dan dimasukkan ke sebuah kerangkeng besar, masih pingsan dan begitu saja diseret ke rumah Siong-taijin. Dan ketika Bu Ham menyusul masuk dan menyuruh dua busu mencari Siong Gwan dan dua gurunya maka malam itu bayangan Hong Jin dan teman-temannya muncul.
* * * * * * * *
“Kongcu, apa yang harus kita lakukan kepada mereka ini?”
“Biarkan mereka sadar. Surat rahasia itu harus kita peroleh!”
“Tidak dibunuh saja mereka itu?”
“Jangan, Siauw-ong-ya minta surat itu harus ditemukan dulu, Hong Jin. Kalau beres tentu saja mereka itu boleh dibunuh!”
Sin-piauw Ang-lojin lamat-lamat mendengar percakapan ini. Dan sudah sadar, mulai membuka mata dan merasa panas seluruh tubuhnya. Teringat pertempurannya melawan Bu-kongcu itu dan mengenal suara orang. Tapi ketika dia menggerakkan kaki tangan namun terasa sakit karena terbelenggu maka tertegunlah kakek ini melihat Lo-hoat Tosu dan Beng Lam ada juga di sebelahnya, sama-sama terikat di sebuah kurungan jeruji besi.
“Ha-ha, kau sudah sadar, Sin-piauw Ang-lojin?”
Kakek ini menggeram. Dia melihat sebuah bayangan berkelebat ke depannya, disusul dua bayangan lain. Dan ketika dia melihat Hong Jin dan Wan Tiong Lojin dua sutenya itu berada di dekat Bu-kongcu tiba-tiba kakek ini membentak gusar, “Sute, kalian iblis-iblis terkutuk. Tak nyana kalau kau bergaul pula dengan setan macam Bu-kongcu ini!”
“Ha-ha, tak perlu memaki, lojin. Buruk baiknya nasibmu ada di tanganku. Ayolah, tenang...!” dan Bu-kongcu yang melepas ikatan belenggunya tapi menotok kakek itu tiba-tiba menyeret ketua Seng-piauw-pang ini keluar dari kerangkengnya. “Seng-piauw-pangcu, kau mau baik-baik bicara dengan kami, bukan? Nah, tunjukkan dimana surat untuk putera mahkota itu. Aku akan memberimu obat penawar kalau kau mau membantu kami.”
“Tidak, aku tak tahu apa-apa. Aku tak mau bersekutu dengan iblis-iblis macam kalian!”
“Hm, kau tak ingin sembuh, lojin?”
Kakek ini gusar. “Bu-kongcu, kau boleh bunuh aku atau siksa tapi tak mungkin si tua bangka ini menyerah. Aku tahu pengkhianatan Siauw-ong-ya, sebaiknya tak perlu banyak cakap dan kau bunuhlah aku!”
“Ha,” Bu-kongcu tersenyum. “Aku tak mau membunuhmu, pangcu. Tapi menghendaki surat yang kau sembunyikan itu. Aku akan mengampunimu. Dimana surat itu?”
Sin-piauw Ang-lojin tak menjawab, matanya bahkan mendelik.
“Kau tak perlu keras kepala, pangcu. Kita sebaiknya berdamai saja dan kubebaskan pula dua orang temanmu itu. Lihat, tosu itupun mulai sadar, begitu pula muridnya.”
Kakek tinggi besar ini menggigit bibir. Dia melihat Lo-hoat Tosu menyeringai menahan sakit, tubuhnya penuh luka-luka, kecil berbintik-bintik hitam dari jarum-jarum beracun yang dimiliki Bu-kongcu, melihat sebatang anak panah menancap pula di pundak kakek itu, belum dicabut. Dan ketika Beng Lam sang murid juga membuka matanya dan mendesis menahan sakit maka dua orang guru dan murid itu bertemu pandang dengannya, yang anehnya tiba-tiba membuat tosu ini tersenyum.
“Lojin, kita bertemu di surga?”
“Tidak, kita di neraka, tojin. Bu-kongcu dan dua suteku itu ada di sini. Lihat!”
Lo-hoat Tosu menoleh. Dia memutar leher dengan sukar, tampak menahan sakit, menggigil dan melihat Wan Tiong Lojin dan suhengnya ada di situ. Dan ketika Hong Jin tertawa mengejek dan tosu ini tersenyum pahit maka Beng Lam sang murid berseru nyaring,
“Suhu, kiranya kita ditangkap tikus-tikus tak tahu malu. Sebaiknya meram saja tak perlu membuka mata. Aku muak melihat tampang mereka!”
“Hm,” Hong Jin tertawa dingin. “Kau tak perlu berlagak tengik, anak muda. Kami dapat membunuhmu kalau kami mau.”
“Kalau begitu bunuhlah, aku tak takut!” Beng Lam membentak, membuat Hong Jin merah mukanya dan marah.
Tapi Bu-kongcu yang tertawa tenang tiba-tiba berkata mendahului. “Hong Jin, tak perlu hiraukan kicauan anak muda itu. Kita tanya saja mereka baik-baik tentang surat rahasia untuk pangeran mahkota,” dan menghadapi Lo-hoat Tosu dan teman-temannya itu Bu-kongcu berdehem. “Sin-piauw Ang-lojin, bagaimana dengan pertanyaanku tadi? Dimana kau sembunyikan surat itu? Ingat, dua temanmu ikut-ikutan di sini gara-gara permintaanmu. Kalau kau tidak bicara baik-baik tentu mereka ini kubunuh!”
Sin-piauw Ang-lojin menggereng. “Aku tak tahu-menahu tentang surat segala, Bu-kongcu. Aku datang karena mengejar-ngejar dua suteku itu!”
“Kau tak mau mengaku?”
“Tidak, karena aku tak tahu!”
“Baiklah, kalau begitu kebebasanmu sulit kau dapat,” dan memutar tubuh menghadapi Lo-hoat Tosu pemuda ini tersenyum. “Dan kau, Lo-hoat Tosu. Apakah kau juga tak tahu tentang surat yang dibawa kakek ini? Ataukah kau pura-pura tak tahu?”
“Pinto tak tahu apa-apa, bocah iblis. Kalau pinto ada di bawah kekuasaanmu lekas saja kau bunuh pinto!”
“Hm, dan kau,” Bu-kongcu tetap tersenyum. “Namamu Beng Lam, bukan? Bagaimana jawabanmu untuk pertanyaan yang sama? Tidakkah kau mengetahui dimana surat rahasia yang dibawa kakek ini?”
Beng Lam menjengek. “Kau geledah saja tubuhnya, Bu-kongcu. Kalau ada silahkan ambil kalau tidak tak perlu tanya pada kami. Aku tak tahu apa-apa!”
“Tapi kau ingin suhu dan dirimu bebas, bukan? Masih demikian kaku sikapmu?”
“Aku tak ingin bebas, pemuda iblis. Kalau suhu ada di sini aku juga tak mau melarikan diri!”
“Baiklah, kalau begitu kalian boleh keras kepala. Ingin kulihat sampai berapa lama kalian keras kepala!”
Bu-kongcu tiba-tiba menarik Beng Lam, menyentak pemuda itu hingga keluar kerangkeng. Dan ketika pemuda itu mengeluarkan sebatang jarumnya tiba-tiba Bu-kongcu tertawa dingin, mendekatkan jarum ini pada mata kiri Beng Lam. “Bocah she Beng, kau belum pernah ditusuk buta, kan? Bagaimana kalau kini kau merasakan ditusuk jarum?”
Beng Lam pucat. Dia terbelalak melihat jarum hitam di tangan lawannya itu, muka tiba-tiba berubah dan jelas takut. Tapi begitu pandangan bentrok dengan mata gurunya tiba-tiba pemuda ini membentak, “Bu-kongcu, kau memang manusia iblis. Kau boleh bunuh atau siksa diriku tapi aku tak takut!”
“Benarkah?” Bu Ham menyeringai keji. “Kau sungguh-sungguh tak takut, Beng Lam? Kalau begitu mari kulihat!” dan Beng Lam yang cepat menutup matanya ketika jarum mendekat tiba-tiba ditusuk dengan keji oleh murid Sai-mo-ong itu. “Beng Lam, ini jarum tidak begitu berbahaya, nyawamu tak akan terancam. Tapi gatal dan pedih akan membuat kau bergulingan mencukil matamu sendiri... crep!” jarum yang sudah ditusukkan itu tiba-tiba amblas ke mata Beng Lam, disambut jerit ngeri anak muda ini. Dan ketika Bu Ham tertawa dan membebaskan totokannya tiba-tiba Beng Lam meraung menggosok-gosok matanya itu, bergulingan.
“Bu-kongcu, kau iblis keji. Keparat kau!”
Bu-kongcu tertawa. Dengan enak dia melihat murid Lo-hoat Tosu itu mencakar-cakar mukanya sendiri, merasakan gatal dan pedih yang amat menyiksa. Tentu saja jarum semakin amblas dan hilang di bola mata, mengerikan. Dan ketika Beng Lam berteriak-teriak dan meraung bagai anjing kesakitan tiba-tiba pemuda ini mencukil biji matanya.
“Crep!” Sin-piauw Ang-lojin dan Lo-hoat Tosu ngeri. Dua orang tua ini melihat biji mata Beng Lam tercukil keluar, penuh darah, membasahi muka Beng Lam sendiri hingga muka pemuda itu menjadi mengerikan. Satu matanya copot. Tapi berbareng dengan terkoreknya bola mata itu tiba-tiba Beng Lam mengeluh dan roboh pingsan.
“Bluk!”
Lo-hoat Tosu mendelik. Dia tadi tak dapat bicara apa-apa melihat semua kejadian itu, tercekik tenggorokannya oleh penderitaan sang murid. Tapi begitu mundur dan melihat muridnya roboh tiba-tiba kakek ini menggeram. “Bu-kongcu, kau benar-benar manusia iblis. Terkutuk kau. Pinto tak akan membiarkanmu sewenang-wenang... !” tapi kakek ini yang mengeluh dan kesakitan oleh jarum dan panah yang menancap di tubuhnya tiba-tiba mendelik dan kejang di tempat, batuk-batuk dan menghentikan kata-katanya karena dada terasa sakit.
Dan Bu-kongcu yang terbahak melihat kakek itu tiba-tiba melangkah maju, memegang gagang panah yang menancap di pundak kakek ini. “Seng-piauw-pangcu, tegakah kau melihat anak panah ini kukoyak-koyak di tubuh temanmu? Lihat, tosu ini menyeringai. Tentu sakit ditusuk dagingnya!” dan Bu Ham yang menepuk panah hingga amblas semakin dalam tiba-tiba membuat tosu Kun-lun itu menjerit.
“Augh!”
Sin-piauw Ang-lojin memejamkan mata. Dia tak kuat melihat pemandangan ini, anak panah dikoyak-koyak sementara Lo-hoat Tosu mengaduh dan memaki-maki pemuda itu. Tapi ketika Bu Ham menghentikan perbuatannya dan tertawa padanya pemuda ini bertanya,
“Bagaimana, kau menghendaki aku membunuh tosu bau ini, Lojin?”
Sin-piauw Ang-lojin menggigit bibir. “Tidak, kau bebaskan dia dan kau bununlah aku. Lo-hoat Tosu tak bersalah!”
“Tapi surat rahasia harus kau tunjukkan dulu, Lojin. Kalau tidak tentu saja permintaanmu tak mungkin terkabul. Ayo, kesabaranku hampir habis. Aku akan menyiksamu juga kalau tosu ini sudah tak kuat!” Bu Ham melangkah maju, menghampiri kakek itu dan tampak menyeringai dengan mata penuh ancaman, sikapnya tidak main-main dan membuat Sin-piauw Ang-lojin gusar.
Tapi baru pemuda itu melangkah tiga tindak tiba-tiba Lo-hoat Tosu berseru, “Lojin, jangan berikan apa yang diminta pemuda iblis itu. Pinto siap mati mempertahankan kebenaran!”
“Hm, jadi surat benar-benar ada di tangan kalian?”
Sin-piauw Ang-lojin menggigil.
“Ayo, mana surat itu, lojin. Kalau tidak kalian semua akan kubunuh!” Bu Ham mengeluarkan lagi sebatang jarum, terkekeh menghampiri kakek tinggi besar itu dan siap mencobloskan di mata Sin-piauw Ang-lojin. Tapi Lo-hoat Tosu yang lagi-lagi berseru mendadak membentak gemetar,
“Bu-kongcu, surat ada di tanganku. Kalau kau menghendaki surat bebaskanlah sahabatku itu dan suruh dia pergi!”
Bu-kongcu melengak. “Kau tak main-main?”
“Pinto tak main-main denganmu, bocah busuk. Apa yang pinto kata adalah benar sesuai omongan pinto. Bebaskan Sin-piauw Ang-lojin, juga muridku!” dan berseru pada Sin-piauw Ang-lojin tosu ini berkata, “Lojin, bawa murid pinto keluar dari tempat ini. Selamatkan dia!”
Sin-piauw Ang-lojin terbelalak. Dia tertegun oleh semua kata- kata tosu itu, seolah melihat temannya itu benar-benar membawa surat rahasia padahal surat sebenarnya tak ada di tangan mereka. Hal yang tentunya telah dibuktikan Bu-kongcu dengan menggeledah tubuh mereka, di saat mereka pingsan. Tapi sadar bahwa tosu itu kiranya ingin menyelamatkan dirinya dan Beng Lam dengan jalan mengorbankan diri tiba-tiba Sin-piauw Ang-lojin tertawa bergelak.
“Lo-hoat Tosu, kau tua bangka sialan. Kenapa berbohong kepada musuh? Tidak, surat tidak berada di tanganmu tetapi di tanganku. Sebaiknya kau yang bebas dan biarkan aku menghadapi pemuda ini!” dan berseru pada Bu Ham kakek itu mengedikkan kepala, “Bocah siluman, kau bebaskan dua temanku yang tidak bersalah. Surat rahasia ada di tanganku, tak perlu percaya padanya?”
Bu Ham terbelalak. “Siapa yang benar?”
“Aku!”
Tidak, aku, Bu-kongcu. Tua bangka itu bohong!” Lo-hoat Tosu berteriak, marah pada temannya tapi Sin-piauw Ang-lojin tertawa bergelak. Dan ketika dua kakek itu saling membentak dan menyebut diri sendiri sebagai pembawa surat akhirnya Bu Ham yang bingung dan mendongkol berkata dengan muka merah,
“Lo- hoat Tosu, dan kau Sin-piauw Ang-lojin, sebaiknya tak perlu main-main di saat ini. Kalian berdua sama mengaku membawa surat. Kalau kalian ingin yang lain bebas sebaiknya tunjukkan surat itu dan buktikan! Nah, mana surat itu?”
Sin-piauw Ang-lojin terdiam. Lo-hoat Tosu juga terdiam. Tapi ketika keduanya saling pandang dan tertawa tiba-tiba kakek tinggi besar itu menjawab, “Bu-kongcu, kau pemuda siluman yang tak gampang dipercaya. Kalau ingin surat tentu saja dua temanku itu kau bebaskan dulu. Mana bisa begitu enak?”
“Ya, dan kau tinggal percaya siapa, bocah setan. Pinto juga akan memberikan surat kalau murid dan sahabat pinto kau bebaskan!”
Bu Ham marah. Dia juga kesulitan memaksa dua kakek ini, telah menggeledah tapi tak menemukan apa yang dicari di tubuh kakek itu. Tapi melihat Beng Lam yang pingsan tiba-tiba pemuda ini tertawa dingin, tahu-tahu telah menyambar tubuh orang. “Lo-hoat Tosu, dan kau Sin-piauw Ang-lojin. Rupanya kalian sengaja mempermainkan aku untuk melihat kesungguhanku. Sekarang aku tak mau banyak omong, siapa yang benar harus mengaku dengan jujur, yang tidak membawa surat tak perlu pentang bacot. Katakan, siapa diantara kalian yang betul-betul membawa surat? Awas, sekali kalian berteriak berbareng aku akan menikam pemuda ini!” Bu Ham meraih pisau Ang-lojin, siap menusukkannya di dada Beng Lam yang pingsan, beringas memandang dua kakek itu.
Tapi Sin-piauw Ang-lojin dan Lo-hoat Tosu yang rupanya ingin mendahului bicara tiba-tiba berseru, “Aku...!”
“Aku!” dan begitu dua kakek itu tanpa sadar bicara berbareng mendadak tanpa ampun Bu Ham menusukkan pisaunya dengan keji, langsung ke dada Beng Lam. “Cep!”
Dua orang tua itu terbelalak. Mereka melihat Bu Ham betul-betul melaksanakan ancamannya itu, menikamkan belati dengan sikap begitu dingin. Tentu saja membuat Beng Lam tewas dan tidak menjerit lagi. Terbang rohnya di saat pingsan! Dan Lo-hoat Tosu serta Seng-piauw-pangcu yang tertegun tak menyangka tiba-tiba menggerung ketika sadar dan melihat Bu-kongcu mencabut pisaunya. Pisau yang penuh darah segar!
“Bu-kongcu, kau iblis terkutuk. Kau jahanam keparat!”
“Ha-ha, aku sudah memberi tahu, tosu bau. Kalian menghabiskan kesabaranku dan sekarang kalian lihat buktinya. Aku tak main-main!” lalu melompat menghampiri dua orang kakek itu Bu-kongcu mengoleskan darah di baju Sin-piauw Ang-lojin, sikapnya bagai iblis. “Seng-piauw-pangcu, siapa yang benar diantara kalian sebagai pembawa surat? Ayo, aku akan menusuk matamu kalau tidak mau bicara!”
Sin-piauw Ang-lojin menggigil. Seumur hidup, baru kali itu dia melihat seseorang dengan keji membunuh seseorang yang masih pingsan. Begitu kejam dan dingin. Seolah manusia adalah benda tak berharga yang boleh dihabisi nyawanya sewaktu-waktu. Tapi tak takut memandang pisau yang mendekati matanya kakek ini membentak, “Bocah iblis, aku bukan penakut atau pengkhianat. Kalau kau mau tusuk mataku tusuklah, tapi aku tak akan memberi tahu dimana surat rahasia itu!”
“Ya, dan pinto juga tak akan mengaku padamu, bocah. Pinto akan menyimpan surat rahasia itu dengan nyawa pinto!”
Bu Ham habis sabar. Dia menggerakkan pisaunya menusuk mata kiri Sin-piauw Ang-lojin, marah karena dua kakek itu ternyata orang-orang yang keras hati. Tapi Hong Jin yang berkelebat menahan tiba-tiba berseru,
“Kongcu, jangan bunuh dia!” dan pisau yang tertahan di udara tiba-tiba membuat Bu Ham geram.
“Kenapa?”
Hong Jin mengerutkan kening. “Karena suhengku ini yang kurasa menyimpan surat, kongcu. Lo-hoat Tosu hanya mengaku-aku untuk menyelamatkan teman. Sebaiknya mereka...” Hong Jin berbisik-bisik, tak terdengar bicaranya karena mendekatkan mulut pada telinga Bu-kongcu. Dan ketika Bu -kongcu mengangguk dan tertawa kecil tiba-tiba pemuda ini berseru gembira,
“Baik, aku setuju usulmu, Hong Jin. Agaknya kakek ini akan menyerah kalau dibuat begitu. Masukkan mereka, obati luka-lukanya.”
Aneh, Sin-piauw Ang-lojin dan Lo-hoat Tosu dibebaskan. Mereka kembali dimasukkan ke kerangkeng, luka -lukanya diobati. Diberi makan dan minum hingga dua kakek itu sehat. Tentu saja membuat dua orang tua ini tertegun. Heran tapi was-was menduga apa yang bakal dilakukan lawan. Dan ketika beberapa hari kemudian mereka dibawa masuk tapi tubuh ditotok mendadak mereka tercengang ketika dibawa masuk ke sebuah kamar yang indah, dua gadis cantik menemani Bu-kongcu yang duduk di tengah kamar tertawa lebar.
“Jiwi taihiap (dua pendekar) yang gagah, kalian sudah sehat kembali dan merasa segar?”
Sin-piauw Ang-lojin mendengus, tak menjawab. Tapi Lo-hoat Tosu yang diam-diam mengerahkan sinkang mencoba melancarkan jalan darahnya tiba-tiba membentak dengan muka merah, teringat kematian muridnya yang mengenaskan.
“Bu-kongcu, apapun tak dapat membujuk kami untuk menyerahkan surat rahasia. Kami dua tua bangka siap mampus untuk mempertahankan kebenaran!”
“Ha-ha, tak perlu marah, totiang. Aku menyambutmu baik-baik justeru untuk berdamai yang terakhir kalinya. Kematian muridmu tak perlu membuatmu dendam. Itu salahnya sendiri. Sekarang kalian sudah mencukur jenggot dan kumis?” pemuda itu bangkit berdiri, memandang dua kakek ini yang kelihatan bersih mukanya, licin.
Dan ketika Lo-hoat Tosu dan temannya tak mengerti apa yang dimaui pemuda ini Bu-kongcu sudah mengeluarkan sebotol arak.
“Sin-piauw Ang-lojin, ini arak harum yang paling nikmat. Kalian memang dua kakek yang gagah perkasa, ku akui itu. Tapi kalian belum pernah ditonton bermain cinta, kan? Nah, ini dua kekasihku yang siap melayani kalian. Mereka cantik dan montok, tentu gembira melayani kalian yang sudah bercukur demikian rapi. Kalian mau menikmati arak harum?”
Bu-kongcu membuka tutup arak itu, bertepuk tangan dua kali dan beberapa bayangan muncul, Hong Jin dan sutenya serta Siong Gwan, putera Siong-taijin yang mengiler memandang dua wanita cantik di kamar itu. Tapi Lo-hoat Tosu dan Sin-piauw Ang-lojin yang masih kurang mengerti akan kata-kata orang tiba-tiba mendamprat,
“Bu-kongcu, apa yang mau kau lakukan?”
“Ha-ha, aku ingin menikmati pertunjukan menarik, Seng-piauw-pangcu,” Bu Ham tertawa. “Aku ingin memaksa kalian menyerahkan surat rahasia.”
“Tak mungkin, kau tak akan berhasil!”
“Begitukah?” pemuda ini tersenyum. “Lihat dulu, Seng-piauw-pangcu. Arakku ini arak perangsang yang membuat kalian berlaku binal. Aku ingin melihat, kalian mau bicara atau tidak!” dan Bu-kongcu yang memberi tanda pada dua wanita cantik di belakangnya tiba-tiba disambut gerakan gemulai ketika dua wanita cantik itu melepas pakaiannya.
“Bu-kongcu, kau jahanam terkutuk!” Lo-hoat Tosu terkejut, baru mengerti bahwa kiranya mereka hendak “diadu” dengan wanita-wanita itu. Rupanya dua pelacur yang sudah dibeli Bu-kongcu, mengharap mereka bermain cinta sementara Bu Ham dan teman-temannya menonton. Satu perbuatan yang hina dan memalukan!
Tapi Bu-kongcu yang tertawa gembira tiba-tiba sudah memberi isyarat agar dua wanita itu maju. “Ang-hwa, dua kakek ini tentu hebat sekali. Kalian pilih yang mana?”
Ang-hwa, wanita baju merah menghampiri Lo-hoat Tosu. Ia tersenyum manis, melenggang dan sisa pakaiannya tersingkap lebar, memperlihatkan pahanya yang gempal dan putih, montok dan mulus bak batu pualam.
Tapi Lo-hoat Tosu yang terbelalak memandang wanita ini tiba-tiba membentak, marah dan jijik. “Pelacur hina, jangan dekati pinto. Pergilah!”
Ang-hwa tersenyum. Ia tidak menghiraukan bentakan itu, bahkan tertawa kecil. Dan ketika lawan melotot padanya tiba-tiba dia telah melingkarkan lengan di leher tosu ini, membelai dagunya. “Totiang, Bu-kongcu menyuruhku melayanimu. Kau baik-baiklah bersikap padaku... cup!” dan sebuah ciuman yang mendarat di pipi tosu itu tiba-tiba membuat Lo-hoat Tosu mencak-mencak dan marah bukan main.
“Bu-kongcu, suruh pergi siluman betina ini. Pinto tak tahan!”
Bu-kongcu tertawa. Dia tak menghiraukan seruan lawannya, memandang wanita baju hijau yang merupakan teman Ang-hwa. Dan ketika Lo-hoat Tosu berteriak-teriak dan jijik serta jengah maka pemuda ini memberi isyarat. “Cheng Kiok, kau tak segera melaksanakan tugasmu?”
Cheng Kiok, pelacur satunya itu tersenyum. Ia mengangguk dan sudah menghampiri Sin-piauw Ang-lojin, pertama agak gentar karena ketua Seng-piauw-pang itu tampak angker, bengis dan menakutkan. Tapi karena Bu-kongcu sudah memberi tanda dan temannya juga sudah mulai melaksanakan tugas maka pelacur inipun maju dan ragu tapi menenangkan diri menghampiri kakek tinggi besar itu.
“Kau mau apa?”
Bentakan itu membuat wanita ini tertegun. Sin-piauw Ang-lojin memandangnya dengan mata berkilat, tampak bengis penuh wibawa. Tapi Bu-kongcu yang tiba-tiba menepuk dan menyuruhnya maju akhirnya membuat wanita ini memberanikan diri. “Aku disuruh melayanimu, pangcu. Jangan salahkan aku karena ini tugasku.”
Cheng Kiok sudah mendekat, melingkarkan lengan dan memeluk leher kakek tinggi besar itu. Tapi sebelum wanita ini mendaratkan ciuman seperti yang tadi dilakukan Ang-hwa tiba-tiba Sin-piauw Ang-lojin sudah menggereng,
“Pergi kau, siluman hina. Aku tak butuh pelayananmu!”
Cheng Kiok tiba-tiba terpelanting, kaget oleh bentakan kakek tinggi besar itu yang penuh wibawa, menggetarkan ruangan. Tapi Bu-kongcu yang tertawa berkelebat ke depan tiba-tiba menotok rahang kakek ini.
“Cheng Kiok, tak perlu takut. Dia sudah kubuat gagu... tuk!”
Sin-piauw Ang-lojin benar-benar melotot. Dia dibuat gagu oleh pemuda itu, tak dapat menggerakkan rahang dan tentu saja tak dapat memaki-maki. Dan ketika kakek itu terbelalak dan Bu-kongcu melompat mundur maka Cheng Kiok sudah maju kembali memberanikan hati.
“Pangcu, tak perlu galak. Kalau kau galak tentu Bu-kongcu akan segera memberimu arak pemabuk itu!”
Cheng Kiok terkekeh, menggeliatkan pinggang dan tahu-tahu memeluk leher kakek ini. Dan ketika kakek itu melotot tapi tak dapat berbuat sesuatu tiba-tiba wanita inipun mendaratkan sebuah ciuman di pipi kakek itu.
“Cup!”
Muka Sin-piauw Ang-lojin merah padam. Dia menggerak-gerakkan rahang tapi tak ada suara keluar, rupanya memaki kalang-kabut tapi tak ada sesuatu yang terucapkan. Dan sementara dia melotot dan mendelik tak karuan maka Bu-kongcu sudah mengambil cawan dengan mata bersinar-sinar.
“Seng-piauw-pangcu, dan kau Lo-hoat Tosu. Kali ini kami tak mau berpanjang mulut lagi. Kalau kalian tutup mulut menyimpan surat rahasia maka dengan menyesal kalian akan menikmati arak perangsang ini. Arak ini amat hebat, milik bibiku Tok-gan Sin-ni. Secawan saja sudah membuat seekor kuda menjadi binal. Kalian akan dipengaruhi nafsu berahi, begitu hebatnya hingga kalian tak akan malu-malu lagi. Ang-hwa dan Cheng Kiok akan melayani kalian, kami tonton. Masihkah kalian keras kepala tak mau bicara?”
Dua kakek itu pucat dan merah berganti-ganti. Mereka tentu saja marah bukan main, malu tapi juga takut pemuda itu membuktikan omongannya. Maklum, pemuda ini adalah pemuda iblis yang tak segan-segan melakukan segala macam perbuatan, termasuk mempermalukan mereka dengan mencekoki arak perangsang agar bermain cinta dengan dua pelacur itu. Dan membayangkan mereka akan bermain cinta dengan cara memalukan sementara orang-orang muda akan menonton mereka tiba-tiba Lo-hoat Tosu mendelik hampir pingsan.
“Bocah, kau bunuhlah pinto. Kau siksalah pinto tapi jangan melakukan yang satu itu!”
“Ha-ha, itu tak mudah kau lakukan, totiang. Kalau kau ingin kusiksa maka inilah siksaannya. Tapi kalau kau ingin bebas cepat katakan dimana surat itu!”
Lo-hoat Tosu mencak-mencak. Dia memaki kalang-kabut pemuda itu, mencercanya sebagai pemuda biadab yang melebihi anjing. Makian yang membuat pemuda itu marah dan berang. Dan ketika tosu itu mendelik dan masih mengumpat-umpatnya dengan segala cacian keras tiba-tiba Bu Ham menghampiri tosu ini, ganti meninggalkan Sin-piauw Ang-lojin.
“Tosu bau, rupanya mulutmupun bau. Nah, minum arak ini. Harumkan mulutmu!” dan Bu Ham yang sudah menotok rahang kakek itu agar terbuka tiba-tiba sudah memasukkan arak ke mulut tosu ini, membebaskan totokan dan arak amblas di dalam perut. Tentu saja membuat lawan memaki dan mencercanya habis-habisan. Tapi ketika Lo-hoat Tosu mengeluh dan segala makian hilang dalam sekejap tiba-tiba kakek ini limbung dan roboh, mendengkur dan mengeluarkan suara aneh mirip kucing dicekik. Muka tiba-tiba merah seperti udang direbus. Sekejap saja keringat bercucuran ditubuh kakek itu. Dan ketika Bu Ham tertawa menyuruh Ang-hwa membangunkan kakek itu tiba-tiba pelacur ini menggeliatkan pinggang.
“Totiang, mari. Kita bersenang-senang...!”
Lo-hoat Tosu menggigil. Saat itu pandang matanya gelap, bumi serasa berputar. Ketika diangkatpun masih terhuyung dan terpaksa mendekap tubuh Ang-hwa. Nafsu berahi bangkit dan membakar dengan hebatnya. Begitu saja hingga membuat tosu ini gerah, rasanya ingin melepaskan pakaian dan telanjang bulat mencebur di kolam. Tapi karena Ang-hwa balas memeluk dan pelacur itupun menempelkan tubuhnya tiba-tiba kakek ini lupa diri dan menubruk Ang-hwa. Mulai terpengaruh arak perangsang!
“Nona, kau cantik!”
“Hi-hik, aku memang cantik, totiang. Ayo kemarilah...!” Ang-hwa terkekeh, menyambut Lo-hoat Tosu dan mengajak kakek itu ke pembaringan. Maklum bahwa kakek ini sudah dibangkitkan tenaganya oleh nafsu berahi. Tapi ketika mereka terguling dan Bu-kongcu terbahak mendadak Lo-hoat Tosu sadar dan Ienyap-lenyap ingat akan keadaan dirinya.
“Lo-hoat Tosu, kaupun kiranya tak melebihi anjing. Ayo, bangkit, Ang-hwa. Lari dan biar kakek itu mengejar-ngejarmu...!”
Lo-hoat Tosu membuka matanya lebar-lebar. Dia merasa berat sekali saat itu, mata mau memejam saja. Gejolak berahi membuat kakek ini tak kalah dengan pemuda. Tenaga terkumpul begitu hebatnya hingga gunungpun rasanya sanggup dia angkat! Tapi ketika lawan bicara seperti itu dan harga diri terinjak oleh kata-kata Bu-kongcu sementara Ang-hwa menyingkir dan menggodanya berlari-lari kecil di ruangan itu tiba-tiba Lo-hoat Tosu menggereng. Saat itu, dalam detik menentukan kakek ini menyadari kedudukannya.
Harga dirinya tersinggung, begitu hebatnya hingga sedetik mengalahkan nafsunya. Sadar dan maklum bahwa dia tak dapat melepaskan diri dari nafsu berahi yang akan menghantarnya dalam perbuatan tak tahu malu. Bermain cinta dengan seorang pelacur sementara Bu-kongcu dan teman-temannya menonton. Dan ketika kesadaran itu muncul sekilas dan tawa Bu-kongcu yang menyakitkan menghentak kakek ini dalam kesadaran yang jernih tiba-tiba, tanpa disangka siapapun tosu ini menumbukkan kepalanya ke dinding. Maklum dia tak akan menguasai diri lagi kalau kesadaran itu hilang, tertutup oleh arak perangsang yang kembali bekerja di tubuhnya. Dan begitu kakek ini menggeram dan meloncat kuat tiba-tiba kepala itu telah menumbuk dinding.
“Prakk!”
Bu-kongcu dan teman-temannya tertegun. Mereka terkejut oleh kejadian cepat itu, tak menyangka tindakan Lo-hoat Tosu yang demikian nekat. Bunuh diri! Tapi begitu sadar dan kecewa oleh kegagalannya ini tiba-tiba Bu-kongcu membentak, menyuruh mayat kakek itu dibawa keluar sementara Ang-hwa pucat dan menggigil tubuhnya, tak menduga sama sekali bahwa “lawan” bermainnya bakal membenturkan kepala ke tembok yang tebal.
Tapi ketika Bu-kongcu marah-marah dan semua orang tertegun oleh kejadian ini maka pemuda itu telah menghampiri Sin-piauw Ang-lojin, yang saat itu juga terbelalak dan kaget oleh kematian temannya, menyesal tapi tak melihat jalan lain kecuali tindakan seperti itu. Dapat juga menerimanya dan diam-diam merencanakan untuk mengikuti jejak rekannya, siap bunuh diri kalau Bu-kongcu mencekokinya dengan arak perangsang.
Tapi Bu-kongcu yang telah menotok rahangnya dan kiranya dapat membaca pikiran kakek itu ternyata tertawa mengejek. “Seng-piauw-pangcu, jangan harap perbuatan temanmu dapat kau contoh. Aku tak akan membiarkanmu bunuh diri. Kau akan kutotok dan tak akan kubebaskan kalau belum dikuasai pengaruh arak ini benar-benar. Kau siap memberikan surat atau kupaksa bermain cinta?”
Sin-piauw Ang-lojin tak dapat menjawab.
“Ah, aku lupa, orang tua. Kau tertotok gagu. Nah, jawab saja dengan gampang. Kau menerima kebebasanmu dan mengangguk atau kau menolak dan cukup gelengkan kepalamu itu.”
Sin-piauw Ang-lojin mendelik. Saat itu memang dia tak dapat bicara, masih ditotok pemuda iblis ini. Tapi karena dia dapat mengangguk atau menggeleng karena urat lehernya dapat digerakkan akhirnya kakek ini melotot saja dengan sikap ragu-ragu. Haruskah menggeleng atau mengangguk! Menggeleng berarti melakukan perbuatan terkutuk atau mengangguk tapi dia mengkhianati pangeran mahkota! Tapi Sin-piauw Ang-lojin masih bingung, tak menjawab juga ketika lawan mengulang pertanyaannya, sampai tiga kali.
Dan ketika Bu Ham mulai gusar dan melihat kakek itu tidak mengangguk ataupun menggeleng tiba-tiba dengan keji dia menuangkan arak ke dalam cawan. “Nah, kalau begitu kau boleh dilayani dua pelacur ini, pangcu. Kulihat dan kelak kubeberkan pada semua orang betapa Seng-piauw-pangcu yang gagah perkasa ini bermain cinta di depan mataku. Ha-ha!”
Bu Ham gemas, meletakkan botol araknya dan mendekatkan cawan ke mulut lawan, tertawa melihat kakek itu mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Tanda menolak. Tapi karena dia menguasai lawan dan apapun dapat diperbuatnya maka sekali sentak tiba-tiba mulut ketua Seng-piauw-pang ini dibuka. “Kakek keras kepala, minumlah!”
Sin-piauw Ang-lojin tak berdaya lagi. Dia benar-benar tak mampu mengelak, cawan pun diangkat dan siap digelogok isinya. Tapi persis arak dituangkan ke mulut kakek ini tiba-tiba sebutir batu menyambar cepat, menghantam cawan di tangan Bu-kongcu. Dan ketika cawan pecah dan tumpah isinya maka sesosok bayangan berambut emas telah berkelebat di depan Bu-kongcu.
“Bu-kongcu, kau pemuda terkutuk...!”
Bu-kongcu kaget bukan main. Saat itu dia melompat mundur kecipratan arak, terbelalak dan marah melihat seseorang datang menyerang. Menggagalkan niatnya pada ketua Seng-piauw-pang itu. Tapi begitu melihat siapa yang datang dan bayangan ini telah tegak di depannya dengan mata bersinar-sinar tiba-tiba saja kekagetan Bu-kongcu bertambah sekian kali lipat. “Kim-mou-eng...!”
Memang benar. Saat itu yang berdiri di depan Bu-kongcu adalah Kim-mou-eng. Pendekar Rambut Emas, yang kebetulan saja tiba di kota Pi-yang dan melihat kejadian di rumah Siong-taijin. Terlambat selangkah dengan kematian Lo-hoat Tosu. Tapi Bu-kongcu yang kaget dan gentar memandang pendekar ini tiba-tiba menyambitkan dua jarumnya membunuh Seng-piauw-pangcu.
“Plak plak!”
Bu-kongcu tertegun. Kim-mou-eng telah menangkis dua jarumnya itu, mengebut dari jauh, meruntuhkan jarum dan mendengus memandang pemuda itu. Dan sementara pemuda ini membelalakkan mata dengan muka merah tiba-tiba Kim-mou-eng berkelebat dan membebaskan totokan Sin-piauw Ang-lojin.
“Pangcu, beristirahatlah...!”
Sin-piauw Ang-lojin girang bukan main. Dia saat itu tak menduga sama sekali kalau pendekar ini datang, membebaskan dirinya dan menyelamatkannya dari aib yang memalukan. Maka begitu bebas dan terhuyung melompat bangun tiba-tiba kakek ini menangis. “Kim-mou-eng, terima kasih!”
Bu-kongcu pucat. Dia melihat ketua Seng-piauw-pang itu menubruk Pendekar Rambut Emas, mengguguk dan terharu serta gembira oleh pertolongan yang di luar dugaan ini. Pertolongan yang mengembalikan nama baik dan jiwanya. Tapi Bu-kongcu yang sadar dan marah tiba-tiba menerjang, “Hong Jin, bunuh dua orang ini...!”
Hong Jin dan sutenya terkejut. Mereka bengong, melihat kedatangan Kim-mou-eng seperti melihat datangnya hantu. Maklum dan tahu benar kelihaian pendekar ini, kesaktiannya. Tapi karena Bu-kongcu memerintah dan pemuda itu sudah menggerakkan kipas dan melepas jarum-jarumnya akhirnya dua kakek ini menyerang juga dengan senjata mereka, menyuruh pula Siong Gwan sang murid membantu.
“Siong Gwan, bantu sebisamu...!”
Siong Gwan, putera walikota Siong itu marah. Dia terkejut melihat kedatangan Kim-mou-eng, telah mendengar namanya belum merasakan kelihaiannya. Melihat Kim-mou-eng adalah orang biasa-biasa saja yang kelihatannya tidak menakutkan, seorang pemuda tampan yang aneh dengan rambut yang kekuning emasan itu. Maka begitu suhunya berteriak dan Bu-kongcu juga maju ke depan tiba-tiba pemuda ini menyerang mencabut pedangnya.
“Plak-plak!” Siong Gwan menjerit. Saat itu dia menyerang dari belakang, membacok pendekar itu karena Bu-kongcu dan suhunya menyerang dari depan. Jadi di tempat inilah dia merasa leluasa membokong orang. Tapi begitu pedang bergerak dan mengenai punggung tiba-tiba pedangnya macet tertolak semacam tenaga yang tidak kelihatan, membuat pedang terpental dan tentu saja membuat pemuda ini penasaran. Dan ketika dia membentak lagi dan mengayun pedang dengan tenaga sekuatnya mendadak pedangnya patah dan mengenai pundaknya sendiri.
“Pletak, aduh...!” Siong Gwan langsung terguling.
Kim-mou-eng sama sekali tidak menyerangnya, dialah yang menyerang tapi berbalik terpukul. Dan karena pedangnya patah dan pundak sendiri mengucurkan darah akhirnya pemuda ini melompat bangun dengan muka pucat, disuruh Bu-kongcu menyerang lagi tapi gentar. Menganggap pendekar itu seperti siluman yang mempunyai ilmu aneh.
Tapi karena Bu-kongcu membentaknya lagi dan Siong Gwan takut terhadap pemuda ini maka pemuda itu mengambil sebatang tombak, menyerang tapi lagi-lagi patah sebelum mengenai tubuh Kim-mou-eng. Membuat putera Siong-taijin ini semakin pucat. Ngeri. Dan ketika dia mengambil senjata golok tapi golok itu juga patah sebelum bertemu lawan tiba-tiba pemuda ini menjerit ketika patahan golok menyambar dan menancap di pahanya sendiri.
“Aduh... augh!” Siong Gwan berteriak-teriak, bergulingan dan akhirnya ditendang gurunya agar dia menyingkir dari tempat itu. Didamprat Bu-kongcu pula yang memaki dia sebagai pemuda goblok. Bisanya main perempuan saja tak bisa main senjata. Dan ketika Kim-mou-eng ditinggal dan Bu-kongcu serta Hong Jin dan sutenya mengeroyok pendekar ini maka Sin-piauw Ang-lojin yang marah melompat maju membentak nyaring,
“Kim-mou-eng, berikan saja dua suteku yang berkhianat itu. Serahkan mereka!”
Kim-mou-eng tersenyum, mengelak sana-sini dengan enak. “Tidak, kau beristirahat saja, pangcu. Mereka ini bukan lawan-lawan yang berat bagiku!”
“Tapi mereka mencelakai aku, Kim-mou-eng. Aku harus menghukum mereka!” “Baiklah, kalau begitu terserah padamu,” dan Kim-mou-eng yang mengibas mempergunakan Tiat-lui-kangnya tiba-tiba membuat Hong Jin dan adiknya berseru tertahan, terdorong dan terhuyung mendekati suhengnya. Dan Sin-piauw Ang-lojin yang marah menyambut geram tiba-tiba melancarkan pukulan miring menghantam dua sutenya itu.
“Ji-sute, kalian mampuslah!”
Hong Jin terkejut. Dia mengelak tapi keserempet pukulan, jatuh terjengkang dan pucat memandang suhengnya. Dan ketika sutenya juga terpental dan Wan Tiong Lojin ngeri memandang ketua Seng-piauw-pang ini akhirnya Hong Jin memutar tubuh mengajak sutenya lari. “Sute, lari...!”
Wan Tiong Lojin mengangguk. Dia memang takut saat itu, gentar melihat munculnya Kim-mou-eng dan maklum mereka tak mungkin menang. Apalagi Bu-kongcu juga terdesak dan mereka bertiga tak mungkin diampuni, terutama oleh suheng mereka yang marah itu. Dan Wan Tiong Lojin yang meloncat mengikuti suhengnya tiba -tiba meninggalkan Sin-piauw Ang-lojin sambil melepas senjata rahasia.
Tapi kakek tinggi besar ini membentak. Sin-piauw Ang-lojin tak membiarkan sutenya minggat, menyampok senjata-senjata rahasia yang dilancarkan sutenya. Dan ketika dua sutenya lari meninggalkan ruangan maka kakek tinggi besar itu berkelebat dan tiba di pintu, langsung melepaskan pukulan jarak jauh. “Sute, mampuslah!”
Hong Jin dan sutenya menangkis. Mereka terpaksa melakukan itu, pukulan keburu menyambar. Dan ketika mereka terdorong dan terjengkang di luar maka Sin-piauw Ang-lojin mengejar dengan muka beringas, benar-benar tak mau kehilangan dua sutenya itu. Dua laki-laki jahat yang telah bersekutu dengan Bu-kongcu. Bahkan Hong Jin itulah yang merencanakan agar dia bermain gila dengan pelacur! Tapi persis kakek ini menyambar lawannya mendadak dari pintu samping muncul bayangan hitam yang membentak ketua Seng-piauw-pang ini,
“Pangcu, kau kembalilah... plak!”
Sin-piauw Ang-lojin terkejut. Dia menangkis pukulan bayangan hitam itu, terpental dan roboh terbanting. Tentu saja kaget karena mengenal, itulah bayangan yang dulu menyelamatkan sutenya ketika dia dan Lo-hoat Tosu datang menyerang. Dan ketika dia melompat bangun dan berteriak marah maka Hong Jin dan Wan Tiong Lojin disambar bayangan ini, mendengus dan tiba-tiba melempar sebuah granat tangan. Dan ketika granat itu meledak dan Sin-piauw Ang-lojin berjungkir balik maka asap hitam mengepul menghalangi pandangan.
“Dar!”
Sin-piauw Ang-lojin mengumpat caci. Dia lagi-lagi gagal, terhalang asap itu dan marah-marah tak karuan. Dan ketika asap menipis tapi bayangan sutenya hilang entah kemana maka saat itu Kim-mou-eng muncul di depannya.
“Mana Bu-kongcu, pangcu?”
“Mana suteku, taihiap?”
Dua-duanya tertegun. Mereka melancarkan pertanyaan hampir berbareng, masing-masing menanyakan musuhnya. Tapi melihat keduanya sama melenggong dan musuh tak ada di tempat itu akhirnya ketua Seng-piauw-pang ini membanting kaki dengan uring-uringan.
“Kim-taihiap, suteku lolos. Dia dibantu bayangan hitam!”
“Hm, dan Bu-kongcu juga begitu, pangcu. Lawanku itu diselamatkan seseorang yang mengenakan kedok. Dia melempar granat.”
Sin-piauw Ang-lojin melotot. Dia sungguh kecewa sekali, gusar dan menyesal kenapa dibantu Kim-mou-eng masih juga dia tak dapat membunuh sutenya itu. Tapi karena semuanya sudah berlalu dan Kim-mou-eng menarik napas akhirnya pendekar ini kembali ke ruangan semula, melihat mayat Lo-hoat Tosu masih di sana, membujur kaku. Kepalanya pecah dan tentu saja membuat pendekar ini mengerutkan alis.
Dan ketika Sin-piauw Ang-lojin ikut masuk dan merawat jenazah temannya itu maka kakek ini mengepal tinju menghapus dua titik air matanya, menangis tapi menggigit bibir kuat-kuat. Dan ketika Kim-mou-eng bertanya padanya dan Sin-piauw Ang-lojin masih tak dapat menahan kesedihan akhirnya ketua Seng-piauw-pang ini mengajak Pendekar Rambut Emas pergi, membawa mayat Lo-hoat Tosu.
“Pangcu, apa sebenarnya yang telah terjadi?” Sin-piauw Ang-lojin menarik napas.
Mereka telah duduk tenang disatu tempat, di hutan kecil. Baru saja menguburkan mayat Lo-hoat Tosu dan duduk dengan muka termenung, Sin-piauw Ang-lojin masih menyesal dan tak habis-habisnya mengepal tinju.
Tapi mendengar pertanyaan Kim-mou-eng dan kakek tinggi besar itu melemaskan muka akhirnya kakek ini mendesis, “Sebuah pengkhianatan, taihiap. Rencana pengkhianatan dari Pangeran Muda.”
“Pengkhianatan?”
“Ya.”
“Apa yang akan dilakukan?”
“Merebut kursi putera mahkota dan membunuh pewaris kaisar itu!”
“Hm,” Kim-mou-eng agak terkejut. “Kau tahu darimana ini, pangcu? Siapa yang bilang?”
“Aku tahu dengan mata kepalaku sendiri, taihiap. Aku yang memegang surat rahasia itu!”
“Surat rahasia?”
Kakek ini mengangguk. “Aku mengetahui rencana Pangeran Muda itu, taihiap. Dia pangeran cerdik dan amat berbahaya. Sai-mo-ong dan muridnya ternyata telah membantu pangeran pintar itu. Juga suteku!”
“Hm,” Kim-mou-eng masih tak mengerti. “Kau bisa menceritakannya secara lengkap, pangcu? Aku kurang jelas, aku belum paham benar akan duduk persoalannya.”
“Baiklah,” kakek itu bersinar-sinar. “Aku memang butuh bantuanmu, taihiap. Kebetulan kau datang dan menyelamatkan aku. Dengarlah...” lalu melipat kakinya menarik napas kakek ini mulai bercerita, “Dulu, setahun yang lalu kaisar telah meresmikan puteranya yang dipilih untuk menggantikan kedudukan, kelak kalau sri baginda meninggal. Dan peresmian yang disaksikan menteri-menteri istana itu berjalan lancar. Tapi apa yang nampak dari luar ini ternyata tidak sama dengan apa yang terjadi di dalam, karena Pangeran Muda, yang lahir dari selir kesepuluh ternyata diam-diam ingin merubah keputusan kaisar. Pangeran ini menganggap putera mahkota masih terlalu muda, kekanak-kanakan dan menurutnya tak cakap mengendalikan roda pemerintahan. Menganggap diri sendiri yang lebih patut karena dia lebih tua, meskipun hanya dari selir. Dan karena pangeran ini memang pandai dan bakat kepemimpinannya besar maka kaisar telah memilihnya untuk kelak menjadi penasihat putera mahkota, menggantikan kedudukan Han-taijin atau Kim-taijin yang kini membantu kaisar, kelak menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan pada Pangeran Muda yang memang pandai itu. Tapi karena pangeran ini amat berambisi sekali dan tidak puas pada keputusan kaisar, maka diam-diam dia ingin memberontak!”
“Hm, begitukah?” Kim-mou-eng memutus.
“Ya, dan rencana pangeran itu telah diberitahukan pada beberapa sahabatnya, taihiap. Satu diantaranya adalah Mao-taijin!”
Kim-mou-eng terkejut. “Mao-taijin?”
“Ya, menteri itu, taihiap. Dia menteri dorna yang benar-benar mata duitan!” kakek ini mengepal tinju. “Pangeran Muda telah menjanjikan sebuah kedudukan manis untuk menteri ini, hadiah sebuah wilayah di propinsi Kui-chou. Kelak dapat diduduki menteri itu sebagai raja muda di sana kalau rencana ini berhasil, tentu saja membuat Mao-taijin makin gendut dan merajalela. Terkutuk!”
Kim-mou- eng tertegun. “Dan surat rahasia itu, apa hubungannya?”
“Surat rahasia itu menyebut nama-nama menteri yang menjadi pembantu Pangeran Muda ini, taihiap. Dan karena surat itu menyangkut nama-nama orang tertentu maka tentu saja isinya penting bukan main dan amat berharga!”
“Dan sekarang dimana surat itu? Kau bawa?”
“Tidak, tapi ada di tempat yang tidak disangka musuh.”
“Hm, aku jadi tertarik, pangcu. Lalu bagaimana kelanjutannya? Kenapa kau disiksa Bu-kongcu itu?”
“Aku tertangkap gara-gara mencari suteku, taihiap. Dan karena aku tak mengira Sai-mo-ong dan muridnya menjadi kaki tangan Pangeran Muda maka aku tertawan dan disiksa pemuda iblis itu. Sungguh keji dia, mirip gurunya!”
“Dan kau mencari sutemu karena ada perhitungan dulu?”
“Benar, taihiap, tapi masih ada lain lagi. Aku mendengar suteku menjadi antek Pangeran Muda pula, melalui Siong-taijin. Dan karena aku tak ingin suteku menjadi hamba Pangeran Muda dan main-main dengan politik, maka aku ingin melepaskan mereka dari perbuatan yang berbahaya itu. Sungguh tak kusangka kalau sepak terjang mereka sudah kelewat jauh, tak dapat disadarkan lagi!”
“Dan Lo-hoat Tosu itu, kau ajak?”
Kakek itu tiba-tiba menangis, menggigit bibir. “Dia kuajak karena ingin menangkap suteku itu, taihiap. Tak kukira kalau Bu-kongcu muncul dan muridnya pun tewas. Semua ini gara-gara suteku!”
“Muridnya?”
“Ya, sahabatku itu membawa muridnya, taihiap. Namanya Beng Lam. Tapi Bu-kongcu dengan keji telah membunuhnya dengan sikap begitu dingin!” kakek ini lalu menceritakan terbunuhnya Beng Lam, ditikam ketika pingsan.
Dan Kim-mou-eng yang mendengar dengan kening berkerut tiba-tiba menjadi marah dan merah mukanya. “Terkutuk, murid Sai-mo-ong itu benar-benar iblis.”
“Ya, dia iblis seperti gurunya, taihiap. Atau mungkin lebih lagi. Dan sahabatku tewas gara-gara perbuatan pemuda ini. Aku kelak harus menuntut balas!”
“Baiklah, kembali pada persoalan semula. Kau katakan bahwa Pangeran Muda telah mengatur rencana untuk membunuh putera mahkota, padahal kelihatannya kota raja tenang-tenang saja. Lalu apa buktinya pangeran ini akan merebut kedudukan, pangcu? Apakah surat rahasia yang kau sembunyikan itu juga menyebut-nyebut suatu gerakan?”
“Benar, mereka akan membunuh putera mahkota pada bulan kedelapan hari kelimabelas, taihiap. Di situ dijelaskan tentang apa-apa yang harus mereka perbuat. Saat itu kaisar akan tetirah di pegunungan Hweng-san, menikmati pergantian musim bersama permaisuri dan selir-selir tersayang. Dan di saat itulah pangeran mahkota akan dibunuh!”
“Hm, tapi istana dikawal orang-orang pandai. Masa begitu mudah orang luar membunuh pangeran mahkota?”
“Teoritis memang begitu, taihiap. Tapi inilah cerdiknya Pangeran Muda. Kejadian itu masih tiga bulan, dan Pangeran Muda diam-diam akan menggantikan pengawal-pengawal istana yang dirasa mendukung pangeran mahkota. Dan sekali kejadian itu berhasil dilaksanakan tentu pangeran mahkota tak dapat menyelamatkan dirinya karena dia bakal terkepung oleh orang-orangnya Pangeran Muda!”
Kim-mou-eng terkejut. “Begitu licik?”
“Ya, dan aku harus melapor kepada pangeran mahkota, taihiap. Dan dengan surat rahasia itu ditanganku tentu putera mahkota akan percaya!”
Kim-mou-eng mengangguk-angguk, mulai mengerti. “Dan kau, tidak kebetulan saja ke Pi-yang, pangcu? Maksudku kau telah tahu bahwa dua sutemu ada di sana?”
“Aku tahu melalui penyelidikan, taihiap. Dan satu diantara penyelidikku adalah Sin Meng.”
“Siapa itu?”
“Murid luar Kun-lun-pai. Dia penjual obat yang membantuku bersama dua orang anak perempuannya. Tapi sayang, mereka tewas dibunuh suteku nomor dua. Keparat suteku itu!” kakek ini mendelik, berapi matanya dan tampak marah.
Tapi Kim-mou-eng yang tak mengenal kakek Sin Meng segera bertanya lagi, “Dan penyelidikanmu menghasilkan apa lagi, pangcu? Mana itu anak buahmu?”
“Mereka tewas, taihiap. Dibantai Bu-kongcu,” Sin-piauw Ang-lojin menggigil, terbayang anggota-anggota Seng-piauw-pang yang malang melintang di halaman rumah Siong-taijin, geram tapi juga ngeri oleh sepak terjang Bu Ham. Dendam tapi tentu saja tidak takut menghadapi pemuda iblis itu. Dan ketika dua titik air mata kembali runtuh membasahi pipi kakek ini akhirnya Sin-piauw Ang-lojin mendesis, “Taihiap, Bu-kongcu dan dua suteku telah melakukan kejahatan di luar batas. Aku harus membunuh dua suteku itu, juga Bu-kongcu. Tapi sebelum mencari mereka aku hendak mengambil surat rahasia dan menyerahkannya pada putera mahkota. Taihiap mau membantuku mengantar ke kota raja?” dan, ketika Pendekar Rambut Emas mengerutkan kening buru-buru kakek ini berkata, “Maaf, aku bukan takut seperti anak kecil, taihiap. Maksudku kau melindungi surat itu bukan aku. Pangeran Muda tentu mencegat jalanku setelah Bu-kongcu dan suteku lolos!”
Kim-mou-eng mengangguk. “Aku mengerti, tapi... hm, aku juga punya persoalan, pangcu. Bisakah kutolong dirimu?”
Kakek ini pucat, menggigil dan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar itu. “Kim-taihiap, aku mohon demi keselamatan bangsaku, rakyat Tionggoan yang tidak bersalah, sudilah kau menolong aku menyelamatkan surat rahasia itu. Atau kalau tidak biarlah kubantu dulu persoalanmu setelah itu kau ganti membantu aku!”
Kim-mou-eng terkejut, buru-buru membangunkan kakek ini. “Pangcu, jangan begitu. Bangunlah, aku tak dapat menerima penghormatanmu yang demikian besar!” dan ketika kakek itu bangun berdiri dan pucat menitikkan air mata akhirnya Kim-mou-eng berkata, “Pangcu, aku tahu itu adalah urusan bangsamu. Tapi aku juga berdarah Han, sudah semestinya kubantu meskipun orang menganggapku sebagai suku bangsa Tar-tar. Kau tahu bahwa kejahatan harus dilawan, bukan? Nah, jangan khawatir, pangcu. Karena ini juga tugas seorang pendekar tentu tanpa diminta aku siap membantumu. Sekarang katakan apa yang harus kukerjakan, mengantarmu sekarang ke kota raja?”
“Ah,” Sin-piauw Ang-lojin girang bukan main. “Kau mau membantuku, taihiap?”
“Tentu saja, meskipun aku juga punya persoalan pribadi.”
“Ah, kalau begitu terima kasih, taihiap... terima kasih!” dan kakek ini yang terharu serta menjura di depan pendekar itu akhirnya membuat Kim-mou-eng tersipu.
“Sudahlah, sekarang katakan apa yang harus kubantu, pangcu. Ke kota raja sekarang juga atau apa?”
“Tidak,” kakek itu berseri-seri. “Kalau kau ada urusan pribadi sebaiknya kubantu kau dulu, taihiap. Setelah itu kita ke kota raja.”
“Hm, kau kira begitu mudah?”
Kakek ini terkejut. “Maaf, aku rupanya lupa, taihiap. Kalau kau yang berkepandaian tinggi saja agaknya kerepotan, maka aku rupanya tak dapat berbuat apa-apa untuk membantumu. Ah, aku menyesal sekali. Dan, eh... mana sumoimu?” kakek itu bertanya teringat bahwa dulu pendekar ini datang bersama Salima dan sadar bahwa gadis itu tak ada di samping Kim-mou-eng, terlupa ditanya karena dia sibuk dengan urusannya sendiri, tiba-tiba ingat dan melihat muka Pendekar Rambut Emas gelap. Dan ketika penolongnya itu mengeluh dan memejamkan mata tiba-tiba kakek ini sadar bahwa sebuah urusan pribadi agaknya menyulitkan pendekar itu dalam sebuah masalah berat.
“Maaf.” kakek ini menyesal. “Aku rupanya salah tanya, taihiap. Baiklah kutarik kembali pertanyaan itu dan kita kembali pada persoalan biasa. Kalau aku tak dapat membantumu biarlah kau saja yang menentukan apa yang harus kulakukan. Aku menyerahkannya padamu.”
“Tidak,” Kim-mou-eng membuka matanya, kerut di tengah kening tiba-tiba semakin dalam. “Aku tak menyesali pertanyaanmu, pangcu. Kau memang benar. Aku kehilangan sumoiku itu dan sebuah masalah berat menindih batinku. Tapi karena ada urusan penting di sini biarlah kusingkirkan dulu masalah pribadiku itu. Aku akan membantumu, boleh ke kota raja. Tapi siapa itu bayangan hitam yang melemparkan bahan peledak?”
“Dia orang yang dulu menyelamatkan suteku, taihiap. Barangkali kau ingat karena sumoimu pernah mengejarnya, waktu kalian masih di Seng-piauw-pang!”
“Ah, orang itu?”
“Ya.”
“Siapa dia?”
“Aku tak tahu jelas, taihiap. Tapi mungkin saja pembantu menteri-menteri dorna yang sudah memelet suteku!”
Kim-mou-eng terdiam. Dia mengangguk-angguk tapi mulai curiga pada bayangan hitam yang ternyata berkali-kali menyelamatkan Hong Jin, rupanya betul pembantu menteri dorna bahkan Pangeran Muda. Terbukti berkali-kali bayangan itu menyerang mereka, melindungi dua sute ketua Seng-piauw-pang ini dan tindak-tanduknya menyembunyikan rahasia. Tapi teringat persoalan semula dan dia harus mengantar ketua Seng-piauw-pang ini akhirnya Kim-mou-eng bangkit berdiri membersihkan baju.
“Pangcu, sebaiknya kita kerjakan saja apa yang harus kita kerjakan. Dimana surat itu kau simpan?”
“Di sebuah tempat, taihiap. Kalau kau ingin membantunya baiklah kita berangkat,” kakek ini juga berdiri, tampang berseri dan merasa mantap dibantu Kim-mou-eng. Seolah Kim-mou-eng adalah jaminan yang dapat dipercaya. Dan ketika Kim-mou-eng mengangguk dan kakek itu melompat keluar tiba-tiba kakek ini berkelebat ke arah timur. “Taihiap, mari...!”
Pendekar Rambut Emas mengikuti. Ketua Seng-piauw-pang itu mengajaknya keluar hutan, menyusur tepinya dan akhirnya menuju ke sebuah bukit berbatu, penuh koral dan gua-gua kecil, tidak dalam dan tidak begitu jauh dari tempat itu perjalanan mungkin memakan waktu satu jam. Dan ketika kakek itu berhenti dan celingukan ke sana ke mari tiba-tiba dia menghampiri sebuah batu karang dimana di depannya terdapat sebuah gua kecil, hampir tak kelihatan karena tertutup alang-alang.
“A-ciong, kau di situ?”
Tak ada jawaban. Kakek ini menunggu lagi, berseru ulang dengan menyebut nama seseorang. Tapi ketika tak ada suara menyahut dan kakek ini tampak tak sabar tiba-tiba dia memasuki gua itu, setengah merunduk karena langit-langitnya rendah. “A-ciong, ini aku, Seng-piauw-pangcu. Dimana kau?”
Tapi kakek ini berseru kaget. Dia sudah memasuki gua yang dangkal itu, berteriak karena seekor ular tiba-tiba menyerangnya. Begitu cepat dan hampir memagut mukanya. Dan ketika dia menarik tubuh dan menggerakkan tangannya tiba-tiba ular itu telah ditangkap dan dilempar keluar.
“Sshh...!” Ular itu terbanting. Seng-piauw-pangcu pucat memandang ular itu, seekor ular belang, tubuhnya mengkilap bintik-bintik putih. Jelas ular beracun. Dan ketika ular itu melenting berdiri dan lehernya yang tegak menjulur ke depan tiba-tiba kakek tinggi besar ini mendelik merasa telapaknya perih, melihat telapaknya sudah berwarna merah kehitaman terkena ular beracun itu, yang ternyata sisiknya juga amat berbisa ketika tadi dia tangkap. Dan ketika kakek ini marah dan ular mendesis-desis mendadak kakek ini menggigil tak dapat menggerakkan tangan kanannya. Kaku.
“Pangcu kau keracunan. Cepat telan pil ini!”
Kakek itu mengangguk. Dia menyambar Pil yang diberikan Kim-mou-eng dengan tangan kirinya, cepat menelan dan maklum dia terserang racun yang ganas. Tapi ketika dia hendak menyerang dan membunuh ular itu tahu-tahu Kim-mou-eng berkelebat menangkap ular, mengenakan sarung tangan dan menipu ular dengan satu gerakan jari, membuat ular mematuk. Dan ketika ular itu mengangkat leher dan semakin meninggikan badannya tiba-tiba Kim-mou-eng telah menangkap dan menjepit leher ular ini.
“Crep!” ular tak berdaya lagi, meronta tapi Kim-mou-eng mengurut punggungnya dari atas ke bawah. Satu gerakan ahli yang membuat ular kehilangan tenaga, lolos seluruh kekuatannya. Dan ketika ular tak dapat menggeliat lagi dan tinggal terbelalak memandang penangkapnya maka Kim-mou-eng berkata,
“Pangcu, ini ular belang dari pegunungan Himalaya. Bagaimana bisa ada di sini?”
“Tak tahulah, tapi jelas ular ini ular beracun, taihiap. Sisiknya pun berbahaya sekali bila dipegang!”
“Benar, dan rupanya seseorang meletakkan ular ini di sini. Mungkin ada apa-apa di dalam. Biar aku yang melihatnya,” dan Kim-mou-eng yang merunduk memasuki gua tiba-tiba sudah kembali lagi membawa sesosok mayat, seorang anak berusia empat belasan tahun. Dan begitu Seng-piauw-pangcu melihat anak ini tiba-tiba dia tersentak...
“Aduh... augh!” Siong Gwan berteriak-teriak, bergulingan dan akhirnya ditendang gurunya agar dia menyingkir dari tempat itu. Didamprat Bu-kongcu pula yang memaki dia sebagai pemuda goblok. Bisanya main perempuan saja tak bisa main senjata. Dan ketika Kim-mou-eng ditinggal dan Bu-kongcu serta Hong Jin dan sutenya mengeroyok pendekar ini maka Sin-piauw Ang-lojin yang marah melompat maju membentak nyaring,
“Kim-mou-eng, berikan saja dua suteku yang berkhianat itu. Serahkan mereka!”
Kim-mou-eng tersenyum, mengelak sana-sini dengan enak. “Tidak, kau beristirahat saja, pangcu. Mereka ini bukan lawan-lawan yang berat bagiku!”
“Tapi mereka mencelakai aku, Kim-mou-eng. Aku harus menghukum mereka!” “Baiklah, kalau begitu terserah padamu,” dan Kim-mou-eng yang mengibas mempergunakan Tiat-lui-kangnya tiba-tiba membuat Hong Jin dan adiknya berseru tertahan, terdorong dan terhuyung mendekati suhengnya. Dan Sin-piauw Ang-lojin yang marah menyambut geram tiba-tiba melancarkan pukulan miring menghantam dua sutenya itu.
“Ji-sute, kalian mampuslah!”
Hong Jin terkejut. Dia mengelak tapi keserempet pukulan, jatuh terjengkang dan pucat memandang suhengnya. Dan ketika sutenya juga terpental dan Wan Tiong Lojin ngeri memandang ketua Seng-piauw-pang ini akhirnya Hong Jin memutar tubuh mengajak sutenya lari. “Sute, lari...!”
Wan Tiong Lojin mengangguk. Dia memang takut saat itu, gentar melihat munculnya Kim-mou-eng dan maklum mereka tak mungkin menang. Apalagi Bu-kongcu juga terdesak dan mereka bertiga tak mungkin diampuni, terutama oleh suheng mereka yang marah itu. Dan Wan Tiong Lojin yang meloncat mengikuti suhengnya tiba -tiba meninggalkan Sin-piauw Ang-lojin sambil melepas senjata rahasia.
Tapi kakek tinggi besar ini membentak. Sin-piauw Ang-lojin tak membiarkan sutenya minggat, menyampok senjata-senjata rahasia yang dilancarkan sutenya. Dan ketika dua sutenya lari meninggalkan ruangan maka kakek tinggi besar itu berkelebat dan tiba di pintu, langsung melepaskan pukulan jarak jauh. “Sute, mampuslah!”
Hong Jin dan sutenya menangkis. Mereka terpaksa melakukan itu, pukulan keburu menyambar. Dan ketika mereka terdorong dan terjengkang di luar maka Sin-piauw Ang-lojin mengejar dengan muka beringas, benar-benar tak mau kehilangan dua sutenya itu. Dua laki-laki jahat yang telah bersekutu dengan Bu-kongcu. Bahkan Hong Jin itulah yang merencanakan agar dia bermain gila dengan pelacur! Tapi persis kakek ini menyambar lawannya mendadak dari pintu samping muncul bayangan hitam yang membentak ketua Seng-piauw-pang ini,
“Pangcu, kau kembalilah... plak!”
Sin-piauw Ang-lojin terkejut. Dia menangkis pukulan bayangan hitam itu, terpental dan roboh terbanting. Tentu saja kaget karena mengenal, itulah bayangan yang dulu menyelamatkan sutenya ketika dia dan Lo-hoat Tosu datang menyerang. Dan ketika dia melompat bangun dan berteriak marah maka Hong Jin dan Wan Tiong Lojin disambar bayangan ini, mendengus dan tiba-tiba melempar sebuah granat tangan. Dan ketika granat itu meledak dan Sin-piauw Ang-lojin berjungkir balik maka asap hitam mengepul menghalangi pandangan.
“Dar!”
Sin-piauw Ang-lojin mengumpat caci. Dia lagi-lagi gagal, terhalang asap itu dan marah-marah tak karuan. Dan ketika asap menipis tapi bayangan sutenya hilang entah kemana maka saat itu Kim-mou-eng muncul di depannya.
“Mana Bu-kongcu, pangcu?”
“Mana suteku, taihiap?”
Dua-duanya tertegun. Mereka melancarkan pertanyaan hampir berbareng, masing-masing menanyakan musuhnya. Tapi melihat keduanya sama melenggong dan musuh tak ada di tempat itu akhirnya ketua Seng-piauw-pang ini membanting kaki dengan uring-uringan.
“Kim-taihiap, suteku lolos. Dia dibantu bayangan hitam!”
“Hm, dan Bu-kongcu juga begitu, pangcu. Lawanku itu diselamatkan seseorang yang mengenakan kedok. Dia melempar granat.”
Sin-piauw Ang-lojin melotot. Dia sungguh kecewa sekali, gusar dan menyesal kenapa dibantu Kim-mou-eng masih juga dia tak dapat membunuh sutenya itu. Tapi karena semuanya sudah berlalu dan Kim-mou-eng menarik napas akhirnya pendekar ini kembali ke ruangan semula, melihat mayat Lo-hoat Tosu masih di sana, membujur kaku. Kepalanya pecah dan tentu saja membuat pendekar ini mengerutkan alis.
Dan ketika Sin-piauw Ang-lojin ikut masuk dan merawat jenazah temannya itu maka kakek ini mengepal tinju menghapus dua titik air matanya, menangis tapi menggigit bibir kuat-kuat. Dan ketika Kim-mou-eng bertanya padanya dan Sin-piauw Ang-lojin masih tak dapat menahan kesedihan akhirnya ketua Seng-piauw-pang ini mengajak Pendekar Rambut Emas pergi, membawa mayat Lo-hoat Tosu.
* * * * * * * *
“Pangcu, apa sebenarnya yang telah terjadi?” Sin-piauw Ang-lojin menarik napas.
Mereka telah duduk tenang disatu tempat, di hutan kecil. Baru saja menguburkan mayat Lo-hoat Tosu dan duduk dengan muka termenung, Sin-piauw Ang-lojin masih menyesal dan tak habis-habisnya mengepal tinju.
Tapi mendengar pertanyaan Kim-mou-eng dan kakek tinggi besar itu melemaskan muka akhirnya kakek ini mendesis, “Sebuah pengkhianatan, taihiap. Rencana pengkhianatan dari Pangeran Muda.”
“Pengkhianatan?”
“Ya.”
“Apa yang akan dilakukan?”
“Merebut kursi putera mahkota dan membunuh pewaris kaisar itu!”
“Hm,” Kim-mou-eng agak terkejut. “Kau tahu darimana ini, pangcu? Siapa yang bilang?”
“Aku tahu dengan mata kepalaku sendiri, taihiap. Aku yang memegang surat rahasia itu!”
“Surat rahasia?”
Kakek ini mengangguk. “Aku mengetahui rencana Pangeran Muda itu, taihiap. Dia pangeran cerdik dan amat berbahaya. Sai-mo-ong dan muridnya ternyata telah membantu pangeran pintar itu. Juga suteku!”
“Hm,” Kim-mou-eng masih tak mengerti. “Kau bisa menceritakannya secara lengkap, pangcu? Aku kurang jelas, aku belum paham benar akan duduk persoalannya.”
“Baiklah,” kakek itu bersinar-sinar. “Aku memang butuh bantuanmu, taihiap. Kebetulan kau datang dan menyelamatkan aku. Dengarlah...” lalu melipat kakinya menarik napas kakek ini mulai bercerita, “Dulu, setahun yang lalu kaisar telah meresmikan puteranya yang dipilih untuk menggantikan kedudukan, kelak kalau sri baginda meninggal. Dan peresmian yang disaksikan menteri-menteri istana itu berjalan lancar. Tapi apa yang nampak dari luar ini ternyata tidak sama dengan apa yang terjadi di dalam, karena Pangeran Muda, yang lahir dari selir kesepuluh ternyata diam-diam ingin merubah keputusan kaisar. Pangeran ini menganggap putera mahkota masih terlalu muda, kekanak-kanakan dan menurutnya tak cakap mengendalikan roda pemerintahan. Menganggap diri sendiri yang lebih patut karena dia lebih tua, meskipun hanya dari selir. Dan karena pangeran ini memang pandai dan bakat kepemimpinannya besar maka kaisar telah memilihnya untuk kelak menjadi penasihat putera mahkota, menggantikan kedudukan Han-taijin atau Kim-taijin yang kini membantu kaisar, kelak menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan pada Pangeran Muda yang memang pandai itu. Tapi karena pangeran ini amat berambisi sekali dan tidak puas pada keputusan kaisar, maka diam-diam dia ingin memberontak!”
“Hm, begitukah?” Kim-mou-eng memutus.
“Ya, dan rencana pangeran itu telah diberitahukan pada beberapa sahabatnya, taihiap. Satu diantaranya adalah Mao-taijin!”
Kim-mou-eng terkejut. “Mao-taijin?”
“Ya, menteri itu, taihiap. Dia menteri dorna yang benar-benar mata duitan!” kakek ini mengepal tinju. “Pangeran Muda telah menjanjikan sebuah kedudukan manis untuk menteri ini, hadiah sebuah wilayah di propinsi Kui-chou. Kelak dapat diduduki menteri itu sebagai raja muda di sana kalau rencana ini berhasil, tentu saja membuat Mao-taijin makin gendut dan merajalela. Terkutuk!”
Kim-mou- eng tertegun. “Dan surat rahasia itu, apa hubungannya?”
“Surat rahasia itu menyebut nama-nama menteri yang menjadi pembantu Pangeran Muda ini, taihiap. Dan karena surat itu menyangkut nama-nama orang tertentu maka tentu saja isinya penting bukan main dan amat berharga!”
“Dan sekarang dimana surat itu? Kau bawa?”
“Tidak, tapi ada di tempat yang tidak disangka musuh.”
“Hm, aku jadi tertarik, pangcu. Lalu bagaimana kelanjutannya? Kenapa kau disiksa Bu-kongcu itu?”
“Aku tertangkap gara-gara mencari suteku, taihiap. Dan karena aku tak mengira Sai-mo-ong dan muridnya menjadi kaki tangan Pangeran Muda maka aku tertawan dan disiksa pemuda iblis itu. Sungguh keji dia, mirip gurunya!”
“Dan kau mencari sutemu karena ada perhitungan dulu?”
“Benar, taihiap, tapi masih ada lain lagi. Aku mendengar suteku menjadi antek Pangeran Muda pula, melalui Siong-taijin. Dan karena aku tak ingin suteku menjadi hamba Pangeran Muda dan main-main dengan politik, maka aku ingin melepaskan mereka dari perbuatan yang berbahaya itu. Sungguh tak kusangka kalau sepak terjang mereka sudah kelewat jauh, tak dapat disadarkan lagi!”
“Dan Lo-hoat Tosu itu, kau ajak?”
Kakek itu tiba-tiba menangis, menggigit bibir. “Dia kuajak karena ingin menangkap suteku itu, taihiap. Tak kukira kalau Bu-kongcu muncul dan muridnya pun tewas. Semua ini gara-gara suteku!”
“Muridnya?”
“Ya, sahabatku itu membawa muridnya, taihiap. Namanya Beng Lam. Tapi Bu-kongcu dengan keji telah membunuhnya dengan sikap begitu dingin!” kakek ini lalu menceritakan terbunuhnya Beng Lam, ditikam ketika pingsan.
Dan Kim-mou-eng yang mendengar dengan kening berkerut tiba-tiba menjadi marah dan merah mukanya. “Terkutuk, murid Sai-mo-ong itu benar-benar iblis.”
“Ya, dia iblis seperti gurunya, taihiap. Atau mungkin lebih lagi. Dan sahabatku tewas gara-gara perbuatan pemuda ini. Aku kelak harus menuntut balas!”
“Baiklah, kembali pada persoalan semula. Kau katakan bahwa Pangeran Muda telah mengatur rencana untuk membunuh putera mahkota, padahal kelihatannya kota raja tenang-tenang saja. Lalu apa buktinya pangeran ini akan merebut kedudukan, pangcu? Apakah surat rahasia yang kau sembunyikan itu juga menyebut-nyebut suatu gerakan?”
“Benar, mereka akan membunuh putera mahkota pada bulan kedelapan hari kelimabelas, taihiap. Di situ dijelaskan tentang apa-apa yang harus mereka perbuat. Saat itu kaisar akan tetirah di pegunungan Hweng-san, menikmati pergantian musim bersama permaisuri dan selir-selir tersayang. Dan di saat itulah pangeran mahkota akan dibunuh!”
“Hm, tapi istana dikawal orang-orang pandai. Masa begitu mudah orang luar membunuh pangeran mahkota?”
“Teoritis memang begitu, taihiap. Tapi inilah cerdiknya Pangeran Muda. Kejadian itu masih tiga bulan, dan Pangeran Muda diam-diam akan menggantikan pengawal-pengawal istana yang dirasa mendukung pangeran mahkota. Dan sekali kejadian itu berhasil dilaksanakan tentu pangeran mahkota tak dapat menyelamatkan dirinya karena dia bakal terkepung oleh orang-orangnya Pangeran Muda!”
Kim-mou-eng terkejut. “Begitu licik?”
“Ya, dan aku harus melapor kepada pangeran mahkota, taihiap. Dan dengan surat rahasia itu ditanganku tentu putera mahkota akan percaya!”
Kim-mou-eng mengangguk-angguk, mulai mengerti. “Dan kau, tidak kebetulan saja ke Pi-yang, pangcu? Maksudku kau telah tahu bahwa dua sutemu ada di sana?”
“Aku tahu melalui penyelidikan, taihiap. Dan satu diantara penyelidikku adalah Sin Meng.”
“Siapa itu?”
“Murid luar Kun-lun-pai. Dia penjual obat yang membantuku bersama dua orang anak perempuannya. Tapi sayang, mereka tewas dibunuh suteku nomor dua. Keparat suteku itu!” kakek ini mendelik, berapi matanya dan tampak marah.
Tapi Kim-mou-eng yang tak mengenal kakek Sin Meng segera bertanya lagi, “Dan penyelidikanmu menghasilkan apa lagi, pangcu? Mana itu anak buahmu?”
“Mereka tewas, taihiap. Dibantai Bu-kongcu,” Sin-piauw Ang-lojin menggigil, terbayang anggota-anggota Seng-piauw-pang yang malang melintang di halaman rumah Siong-taijin, geram tapi juga ngeri oleh sepak terjang Bu Ham. Dendam tapi tentu saja tidak takut menghadapi pemuda iblis itu. Dan ketika dua titik air mata kembali runtuh membasahi pipi kakek ini akhirnya Sin-piauw Ang-lojin mendesis, “Taihiap, Bu-kongcu dan dua suteku telah melakukan kejahatan di luar batas. Aku harus membunuh dua suteku itu, juga Bu-kongcu. Tapi sebelum mencari mereka aku hendak mengambil surat rahasia dan menyerahkannya pada putera mahkota. Taihiap mau membantuku mengantar ke kota raja?” dan, ketika Pendekar Rambut Emas mengerutkan kening buru-buru kakek ini berkata, “Maaf, aku bukan takut seperti anak kecil, taihiap. Maksudku kau melindungi surat itu bukan aku. Pangeran Muda tentu mencegat jalanku setelah Bu-kongcu dan suteku lolos!”
Kim-mou-eng mengangguk. “Aku mengerti, tapi... hm, aku juga punya persoalan, pangcu. Bisakah kutolong dirimu?”
Kakek ini pucat, menggigil dan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar itu. “Kim-taihiap, aku mohon demi keselamatan bangsaku, rakyat Tionggoan yang tidak bersalah, sudilah kau menolong aku menyelamatkan surat rahasia itu. Atau kalau tidak biarlah kubantu dulu persoalanmu setelah itu kau ganti membantu aku!”
Kim-mou-eng terkejut, buru-buru membangunkan kakek ini. “Pangcu, jangan begitu. Bangunlah, aku tak dapat menerima penghormatanmu yang demikian besar!” dan ketika kakek itu bangun berdiri dan pucat menitikkan air mata akhirnya Kim-mou-eng berkata, “Pangcu, aku tahu itu adalah urusan bangsamu. Tapi aku juga berdarah Han, sudah semestinya kubantu meskipun orang menganggapku sebagai suku bangsa Tar-tar. Kau tahu bahwa kejahatan harus dilawan, bukan? Nah, jangan khawatir, pangcu. Karena ini juga tugas seorang pendekar tentu tanpa diminta aku siap membantumu. Sekarang katakan apa yang harus kukerjakan, mengantarmu sekarang ke kota raja?”
“Ah,” Sin-piauw Ang-lojin girang bukan main. “Kau mau membantuku, taihiap?”
“Tentu saja, meskipun aku juga punya persoalan pribadi.”
“Ah, kalau begitu terima kasih, taihiap... terima kasih!” dan kakek ini yang terharu serta menjura di depan pendekar itu akhirnya membuat Kim-mou-eng tersipu.
“Sudahlah, sekarang katakan apa yang harus kubantu, pangcu. Ke kota raja sekarang juga atau apa?”
“Tidak,” kakek itu berseri-seri. “Kalau kau ada urusan pribadi sebaiknya kubantu kau dulu, taihiap. Setelah itu kita ke kota raja.”
“Hm, kau kira begitu mudah?”
Kakek ini terkejut. “Maaf, aku rupanya lupa, taihiap. Kalau kau yang berkepandaian tinggi saja agaknya kerepotan, maka aku rupanya tak dapat berbuat apa-apa untuk membantumu. Ah, aku menyesal sekali. Dan, eh... mana sumoimu?” kakek itu bertanya teringat bahwa dulu pendekar ini datang bersama Salima dan sadar bahwa gadis itu tak ada di samping Kim-mou-eng, terlupa ditanya karena dia sibuk dengan urusannya sendiri, tiba-tiba ingat dan melihat muka Pendekar Rambut Emas gelap. Dan ketika penolongnya itu mengeluh dan memejamkan mata tiba-tiba kakek ini sadar bahwa sebuah urusan pribadi agaknya menyulitkan pendekar itu dalam sebuah masalah berat.
“Maaf.” kakek ini menyesal. “Aku rupanya salah tanya, taihiap. Baiklah kutarik kembali pertanyaan itu dan kita kembali pada persoalan biasa. Kalau aku tak dapat membantumu biarlah kau saja yang menentukan apa yang harus kulakukan. Aku menyerahkannya padamu.”
“Tidak,” Kim-mou-eng membuka matanya, kerut di tengah kening tiba-tiba semakin dalam. “Aku tak menyesali pertanyaanmu, pangcu. Kau memang benar. Aku kehilangan sumoiku itu dan sebuah masalah berat menindih batinku. Tapi karena ada urusan penting di sini biarlah kusingkirkan dulu masalah pribadiku itu. Aku akan membantumu, boleh ke kota raja. Tapi siapa itu bayangan hitam yang melemparkan bahan peledak?”
“Dia orang yang dulu menyelamatkan suteku, taihiap. Barangkali kau ingat karena sumoimu pernah mengejarnya, waktu kalian masih di Seng-piauw-pang!”
“Ah, orang itu?”
“Ya.”
“Siapa dia?”
“Aku tak tahu jelas, taihiap. Tapi mungkin saja pembantu menteri-menteri dorna yang sudah memelet suteku!”
Kim-mou-eng terdiam. Dia mengangguk-angguk tapi mulai curiga pada bayangan hitam yang ternyata berkali-kali menyelamatkan Hong Jin, rupanya betul pembantu menteri dorna bahkan Pangeran Muda. Terbukti berkali-kali bayangan itu menyerang mereka, melindungi dua sute ketua Seng-piauw-pang ini dan tindak-tanduknya menyembunyikan rahasia. Tapi teringat persoalan semula dan dia harus mengantar ketua Seng-piauw-pang ini akhirnya Kim-mou-eng bangkit berdiri membersihkan baju.
“Pangcu, sebaiknya kita kerjakan saja apa yang harus kita kerjakan. Dimana surat itu kau simpan?”
“Di sebuah tempat, taihiap. Kalau kau ingin membantunya baiklah kita berangkat,” kakek ini juga berdiri, tampang berseri dan merasa mantap dibantu Kim-mou-eng. Seolah Kim-mou-eng adalah jaminan yang dapat dipercaya. Dan ketika Kim-mou-eng mengangguk dan kakek itu melompat keluar tiba-tiba kakek ini berkelebat ke arah timur. “Taihiap, mari...!”
Pendekar Rambut Emas mengikuti. Ketua Seng-piauw-pang itu mengajaknya keluar hutan, menyusur tepinya dan akhirnya menuju ke sebuah bukit berbatu, penuh koral dan gua-gua kecil, tidak dalam dan tidak begitu jauh dari tempat itu perjalanan mungkin memakan waktu satu jam. Dan ketika kakek itu berhenti dan celingukan ke sana ke mari tiba-tiba dia menghampiri sebuah batu karang dimana di depannya terdapat sebuah gua kecil, hampir tak kelihatan karena tertutup alang-alang.
“A-ciong, kau di situ?”
Tak ada jawaban. Kakek ini menunggu lagi, berseru ulang dengan menyebut nama seseorang. Tapi ketika tak ada suara menyahut dan kakek ini tampak tak sabar tiba-tiba dia memasuki gua itu, setengah merunduk karena langit-langitnya rendah. “A-ciong, ini aku, Seng-piauw-pangcu. Dimana kau?”
Tapi kakek ini berseru kaget. Dia sudah memasuki gua yang dangkal itu, berteriak karena seekor ular tiba-tiba menyerangnya. Begitu cepat dan hampir memagut mukanya. Dan ketika dia menarik tubuh dan menggerakkan tangannya tiba-tiba ular itu telah ditangkap dan dilempar keluar.
“Sshh...!” Ular itu terbanting. Seng-piauw-pangcu pucat memandang ular itu, seekor ular belang, tubuhnya mengkilap bintik-bintik putih. Jelas ular beracun. Dan ketika ular itu melenting berdiri dan lehernya yang tegak menjulur ke depan tiba-tiba kakek tinggi besar ini mendelik merasa telapaknya perih, melihat telapaknya sudah berwarna merah kehitaman terkena ular beracun itu, yang ternyata sisiknya juga amat berbisa ketika tadi dia tangkap. Dan ketika kakek ini marah dan ular mendesis-desis mendadak kakek ini menggigil tak dapat menggerakkan tangan kanannya. Kaku.
“Pangcu kau keracunan. Cepat telan pil ini!”
Kakek itu mengangguk. Dia menyambar Pil yang diberikan Kim-mou-eng dengan tangan kirinya, cepat menelan dan maklum dia terserang racun yang ganas. Tapi ketika dia hendak menyerang dan membunuh ular itu tahu-tahu Kim-mou-eng berkelebat menangkap ular, mengenakan sarung tangan dan menipu ular dengan satu gerakan jari, membuat ular mematuk. Dan ketika ular itu mengangkat leher dan semakin meninggikan badannya tiba-tiba Kim-mou-eng telah menangkap dan menjepit leher ular ini.
“Crep!” ular tak berdaya lagi, meronta tapi Kim-mou-eng mengurut punggungnya dari atas ke bawah. Satu gerakan ahli yang membuat ular kehilangan tenaga, lolos seluruh kekuatannya. Dan ketika ular tak dapat menggeliat lagi dan tinggal terbelalak memandang penangkapnya maka Kim-mou-eng berkata,
“Pangcu, ini ular belang dari pegunungan Himalaya. Bagaimana bisa ada di sini?”
“Tak tahulah, tapi jelas ular ini ular beracun, taihiap. Sisiknya pun berbahaya sekali bila dipegang!”
“Benar, dan rupanya seseorang meletakkan ular ini di sini. Mungkin ada apa-apa di dalam. Biar aku yang melihatnya,” dan Kim-mou-eng yang merunduk memasuki gua tiba-tiba sudah kembali lagi membawa sesosok mayat, seorang anak berusia empat belasan tahun. Dan begitu Seng-piauw-pangcu melihat anak ini tiba-tiba dia tersentak...