Pendekar Rambut Emas Jilid 12 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 12
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“DIA tak akan datang. Kau tak perlu cerewet lagi dan cepat saja robohkan raksasa hitam ini!”

Mo-ong kembali membentak, merasa gemas dan kagum juga pada lawannya karena Gurba memang hebat dan dapat menghadapi mereka berdua, terutama kekebalannya itu. Kekebalan yang selalu membuat rambut maupun kipas terpental bertemu tenaga yang kuat. Terkejut oleh sinkang lawan yang ternyata dua tingkat di atas dirinya sendiri. Dan ketika Tiat-lui-kang membalas sementara Bin-kwi masih ragu-ragu mendadak Telapak Petir raksasa itu menyambar pundaknya.

“Plak!” Mo-ong meraung, untuk pertama kalinya dia terpukul, baju pundaknya hancur sementara kulit pundaknya hitam kebiruan, terguling-guling dan memaki-maki si Setan Ketawa itu yang tidak cepat maju. Dan ketika Bin-kwi terkejut dan Tok-gan Sin-ni juga terbelalak tiba-tiba rambut wanita itu terpental dan Tiat-lui-kang menyambar dada wanita ini.

“Aih... dess!” Tok-gan Sin-ni kurang cepat berkelit, berteriak dan menjatuhkan diri bergulingan ketika pangkal lengannya terpukul, hampir membuat dia menangis. Sakitnya bukan alang-kepalang, persis disambar petir. Dan ketika dua orang itu berteriak memaki Siauw-bin-kwi dan Siauw-bin-kwi melihat temannya terdesak maka iblis ini maju menerjang ketika Mo-ong dan Sin-ni melompat bangun.

“Mo-ong, maaf. Aku kira kalian main-main!”

“Main-main hidungmu!” Tok-gan Sin-ni marah. “Raksasa ini harus dikeroyok bertiga, Bin-kwi. Kalau tidak justeru kau yang akan kami tonton!”

“Eh, jangan!” Siauw-bin-kwi terkejut. “Aku akan meninggalkan juga raksasa ini, Sin-ni. Ayo bantu dan mari kita keroyok!”

Sin-ni mendengus. Sebenarnya ia marah pada si Setan Ketawa itu, kenapa terlambat maju hingga ia terpukul. Tapi Mo-ong yang membentak menerjang ke depan sudah mengajaknya agar tidak tinggal diam, tak perlu membalas sikap si Setan Ketawa itu yang menonton mereka. “Sin-ni, bunuh si Tar-tar ini. Ayo maju...!”

Tok-gan Sin-ni mengangguk. Dia melihat Mo-ong sudah mengebutkan kipasnya itu, bersama Siauw-bin-kwi mengeroyok si tinggi besar, karena Siauw-bin-kwi terpental ketika beradu lengan, mendesis menerima Tiat-lui-kang. Dan ketika Tok-gan Sin-ni meledakkan rambut dan Gurba dikeroyok tiga maka pertandingan menjadi lebih seru dan raksasa ini mulai sering menerima hantaman, baik pukulan rambut maupun totokan kipas, bertubi-tubi sementara Siauw-bin-kwi mencari kelengahan di belakang, menyodok atau menampar raksasa itu dengan pukulannya yang berbahaya. Dan karena Gurba mulai berat menerima tekanan lawan tiba-tiba raksasa ini terdesak dan marah-marah.

“Siauw-bin-kwi, kau setan hina-dina!”

“Ha-ha, hina-dina tak apa, Gurba. Pokoknya menang dan kau mampus!” Siauw-bin-kwi terkekeh, terus menyerang dan mengganggu Gurba dengan serangan-serangan di belakang. Dan ketika Mo-ong membentak sementara Tok-gan Sin-ni juga melecutkan rambut maka Siauw-bin-kwi sudah menghentakkan kaki “menjalu” tengkuk raksasa ini.

“Plak-duk-dess!”

Gurba terlempar. Tiga serangan yang hampir berbareng itu memang tak mungkin ditangkisnya secara serentak, betapapun hanya pukulan dan hantaman Mo-ong dan Tok-gan Sin-ni yang ditahan, membuat dia tergetar dan marah. Tapi karena Siauw -bin-kwi berbuat curang dibelakang dan tengkuknya persis “dijalu” akhirnya raksasa tinggi besar ini berteriak dan mencelat terlempar.

Dan saat itu tiga lawannya terkekeh, berkelebat menyambar dengan serangan masing-masing yang tak kenal ampun, melihat Gurba masih dapat bangun karena terlindung oleh kekebalan sinkangnya yang hebat itu. Dan ketika mereka bertiga hampir berbareng melepas pukulan maka saat itu Gurba memekik menggetarkan tubuhnya, secepat kilat mengembangkan lengan di kanan kiri tubuhnya, kedua kakinya menancap kuat. Dan begitu tiga serangan menuju dadanya tiba-tiba dari kedua lengan raksasa ini muncul sinar putih berkeredep seperti bintang.

“Awas, Pek-sian-ciang (Pukulan Tangan Dewa)...!”

Namun terlambat. Tiga serangan itu telah bertemu lengan raksasa ini, menggelegar dan membuat bumi terguncang, daun-daun di sekitar mereka tiba-tiba rontok. Dan ketika Siauw-bin-kwi berseru memperingatkan kedua temannya maka saat itu juga tiga tubuh terlempar di udara sementara rambut dan kipas hancur berkeping-keping.

“Krakk!”

Mo-ong dan teman-temannya menjerit. Mereka berjungkir balik di udara, Tok-gan Sin-ni sendiri brodol rambutnya, putus separuh. Dan ketika mereka melayang turun dan ketiga-tiganya melontakkan darah maka Gurba sendiri juga melesak tak dapat mencabut kakinya yang amblas sekitar lutut!

“Hebat...!” Siauw-bin-kwi gemetar. “Si Singa Daratan Tandus ini memang luar biasa...!”

“Ya, dan... augh!” Mo-ong mendekap dadanya. “Pukulannya ampuh, Bin-kwi. Dia membuat jantungku serasa pedot...!” dan dua iblis itu yang terhuyung menyeringai sakit tiba-tiba cepat menelan obat dan melihat Tok-gan Sin-ni batuk-batuk.

“Mo-ong, Pek-sian-ciang memang hebat. Tapi ilmu pukulan itu kabarnya dimiliki Bu-beng Sian-su. Bagaimana Kim-mou-eng dan suhengnya ini mewarisi ilmu itu?”

Dua iblis itu tak dapat menjawab. Mereka memang mendengar bahwa Pek-sian-ciang adalah ilmu sakti yang dimiliki manusia sakti Bu-beng Sian-su. Tokoh dewa yang selalu misterius itu. Tak dikenal mukanya karena selalu tertutup halimun, itupun tak sembarang orang dapat menjumpainya. Dan heran serta gentar oleh Pukulan Tangan Dewa yang dimiliki raksasa ini tiba-tiba Siauw-bin-kwi bermaksud mundur, betapapun ngeri oleh pukulan yang hebat itu.

Tapi jeritan Salima tiba-tiba menarik perhatian mereka, melihat gadis Tar-tar itu mencelat terbanting oleh pukulan Hek-bong Siang-lo-mo, baru teringat bahwa di samping mereka masih ada pertempuran lain. Yakni Salima melawan dua kakek cebol itu. Dan ketika Salima terlempar dan Hek-bong Siang-lo-mo mengejar maka dua kakek cebol itu terkekeh menyusuli serangannya, tak sempat dikelit lagi karena Salima sesungguhnya sudah terdesak oleh dua orang lawan yang maju berbareng ini, terlalu berat baginya. Dan ketika gadis itu mengeluh dan terlempar bergulingan maka secara tak sengaja dia mendekati suhengnya itu.

“Des-dess!”

Salima pucat. Dia sudah menabrak kaki suhengnya yang terbenam sebatas lutut, berhenti di situ dan muntahkan darah. Tapi Hek-bong Siang-lo-mo yang rupanya penasaran melihat gadis itu belum tewas tiba-tiba berkelebat lagi menurunkan tangan maut, dicegah Mo-ong yang terkejut melihat rekannya lupa diri. Tak boleh membunuh gadis Tar-tar itu!

Tapi Gurba yang menggeram dan tentu saja tak membiarkan sumoinya dibunuh tiba-tiba mengeluarkan Pek-sian-ciangnya itu, membentak dan menangkis. Dan begitu dua pukulan kakek cebol itu bertemu lengan raksasa ini akhirnya Hek-bong Siang-lo-mo menjerit dan ganti melontakkan darah.

“Bress!” Dua kakek itu mencelat bergulingan. Mereka kaget oleh tangkisan ini, sadar akan adanya Gurba. Dan Gurba sendiri yang mendelik menerima pukulan itu tiba-tiba melesak semakin dalam hingga di atas lututnya. Tentu saja tak dapat bergerak.

Dan Salima yang sudah pingsan oleh getaran benturan itu tiba-tiba menggeletak di depan suhengnya tak tahu apa-apa lagi, tak tahu betapa Tok-gan Sin-ni melengking menerjang maju, nekat menyuruh dua temannya yang lain menyerang raksasa itu. Mumpung Gurba terbenam. Dan begitu Mo-ong dan Bin-kwi mengangguk tiba-tiba Gurba sudah dikeroyok dalam keadaan yang begitu buruk. Kedua lutut masih terkubur di dalam tanah!

“Plak-plak-plak!”

Gurba memaki-maki. Dia menangkis dan kerepotan oleh serangan lawan yang bebas bergerak di sekitar dirinya, menerima serangan dan pukulan lawan yang gencar. Yang untungnya sudah terluka hingga pukulan mereka tak sekuat tadi, mungkin tinggal separuh. Tapi karena dia terbenam dan kedua kaki tak dapat digerakkan maka betapapun hebat raksasa ini dia harus mengakui kelemahannya juga, lama-lama menjadi nanar dan pandangan menjadi gelap.

Dan ketika Hek-bong Siang-lo-mo juga diajak mengeroyok raksasa tinggi besar ini yang menjadi pendek karena lutut terbenam akhirnya kepala dan tengkuk pemuda Tar-tar itu menjadi bulan-bulanan pukulan. Gurba mulai mengeluh dan benar-benar bertahan mengandalkan sinkangnya saja. Tapi karena dia tak dapat membalas dan lawan tak memberi kesempatan padanya untuk mencabut kaki akhirnya satu pukulan keras mendarat di telinga kanannya.

“Plak!” Gurba berputar. Dia tak dapat roboh, hanya mendoyong saja karena kaki tertahan di dalam tanah. Dan ketika satu tamparan lagi mengenai tengkuknya raksasa ini mengeluh dan tergoyang perlahan.

“Dukk!” Gurba juga tak mampu mengelak. Dia hanya menggigit bibir, melihat lawan berputar dan terkekeh-kekeh mempermainkannya, kembali menerima pukulan di sana-sini sementara pertahanannya mulai lemah. Dan ketika Tok-gan Sin-ni melengking mengibaskan rambutnya yang masih separuh tiba-tiba dengan keji wanita ini menyambar mata lawan agar menjadi buta, disusul yang lain yang tertawa-tawa melihat keadaan Gurba yang kian limbung. Kekebalannya mulai punah karena sinkang juga mulai lemah. Tapi persis raksasa itu menerima serangan rambut tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat membentak orang-orang ini,

“Tok-gan Sin-ni, kau wanita keji... plak!”

Tok-gan Sin-ni terkejut. Dia terlempar oleh tangkisan itu, melihat seorang pemuda berambut keemasan muncul menangkis serangannya. Dan ketika pemuda itu juga berkelebatan dan menangkis serangan yang lain maka berturut-turut Siauw-bin-kwi dan teman-temannya itu terpental sementara pemuda yang baru datang ini telah mencabut Gurba dari dalam tanah.

“Kim-mou-eng...!”

Tok-gan Sin-ni dan teman-temannya berseru kaget. Mereka melihat bahwa pendatang baru ini memang bukan lain Kim-mou-eng adanya, Pendekar Rambut Emas. Dan ketika mereka tertegun dan Gurba juga terbelalak maka Kim-mou-eng, pemuda sakti itu telah memandang suhengnya.

“Suheng, kau tak apa-apa?”

Gurba sadar. Raksasa tinggi besar ini menggeleng, terkejut tapi girang di samping cemas meIihat munculnya sang adik. Tapi menekan perasaan sendiri dan melihat Salima masih pingsan tiba-tiba raksasa ini memandang Siauw-bin-kwi dan teman-temannya itu, menggereng. “Sute, orang-orang ini hendak membunuhku. Mereka mengeroyok secara curang. Hek-bong Siang-lo-mo bahkan melukai sumoi kita. Ayo basmi dan bunuh mereka itu...!”

Dan Gurba yang melompat membentak marah tiba-tiba melepas pukulan menghantam Siauw-bin-kwi, ditangkis tapi membuat iblis itu mencelat. Dan ketika Siauw-bin-kwi terkejut dan Gurba menyerang lagi maka Setan Ketawa ini berteriak pada teman-temannya.

“Mo-ong, tolong. Bantu aku...!”

Sai-mo-ong tertegun. Dia telah membuktikan kelihaian raksasa tinggi besar ini, juga kelihaian Pendekar Rambut Emas yang tak kalah dengan raksasa itu. Tapi melihat temannya terdesak dan pukulan Pek-sian-ciang mulai menyambar-nyambar dan Siauw-bin-kwi berlompatan ke sana ke mari akhirnya iblis tua ini mengangguk melompat maju.

“Sin-ni, ayo pukul si Tar-tar ini. Biar Hek-bong Siang-lo-mo menghadapi Kim-mou-eng!”

Tok-gan Sin-ni mengangguk. Dia juga melihat kesempatan baik itu, melihat kecerdikan Mo-ong dengan mengeroyok Gurba, menyerahkan Kim-mou-eng yang masih segar pada Hek-bong Siang-lo-mo sementara mereka menghadapi raksasa yang sudah kelelahan ini. Tentu saja satu akal licik yang diketahui Hek-bong Siang-lo-mo, yang mengerutkan kening tak senang memandang Mo-ong.

Tapi karena Siauw-bin-kwi dan Tok-gan Sin-ni sudah maju mendahului dan mau tak mau mereka harus menghadapi Kim-mou-eng akhirnya dua kakek cebol ini terkekeh melepas kemendongkolan, melihat Pendekar Rambut Emas memandang pertempuran itu.

“Kim-mou-eng, tak perlu cemas. Suhengmu bakal diantar ke neraka, menyusullah...!” dan mereka berdua yang sudah menubruk dan menyerang dari belakang tiba-tiba mengeluarkan Bola Saktinya itu dan menghantam Kim-mou-eng.

“Plak-plak!”

Kim-mou-eng menangkis, melihat lawan terpental tapi membalik lagi seperti balon karet. Dan ketika Hek-bong Siang-lo-mo tertawa dan Kim-mou-eng mengerutkan alis maka dua kakek cebol itu bertubi-tubi menghujani serangan.

“Kim-mou-eng, kau mampuslah!”

Kim-mou-eng berkelebatan mengerahkan ginkang. Dia merasa aneh dengan pukulan lawan yang asing, tentu saja mengeluarkan Tiat-lui-kangnya itu dan menangkis ke sana ke mari, melihat pertempuran suhengnya dengan pandangan khawatir. Tapi karena Hek-bong Siang-lo-mo selalu mendesak dan mengejek padanya tiba-tiba pendekar ini marah dan berseru pada suhengnya itu, “Suheng, serahkan saja Tok-gan Sin-ni dan Mo-ong padaku. Kau hadapilah Siauw-bin-kwi seorang diri!”

“Weh, kau berani dikeroyok empat?” Hek-bong Siang-lo-mo terbelalak, terus melakukan serangan dan merasa tak dipandang sebelah mata oleh pendekar ini. Tapi ketika Balon Sakti mereka mulai terpental dan Tiat-lui-kang yang dimiliki pendekar ini jauh lebih kuat dibanding dengan yang dimiliki Salima tiba-tiba dua iblis itu terkejut ketika Kim-mou-eng mulai mengarahkan pukulan pada mulut mereka. Jadi tahu pengapesan (kunci kelemahan) mereka, persis seperti Gurba!

“Keparat, kau jahanam keparat, Kim-mou-eng. Kau dan suhengmu itu rupanya manusia-manusia tengik yang suka mencari tahu kelemahan orang!”

Kim-mou-eng tak menjawab. Ia memang tak kalah jauh dengan suhengnya itu, kalau tak mau dikata berimbang. Maka ketika Hek-bong Siang-lo-mo memekik dan ia terus berteriak agar Mo-ong dan Tok-gan Sin-ni diserahkan padanya mendadak pendekar ini berkelebat menarik baju Tok-gan Sin-ni, tahu kerepotan suhengnya yang betapapun mulai lelah. Dan ketika Tok-gan Sin-ni berteriak dan wanita itu dilempar ke arah Hek-bong Siang-lo-mo maka Pendekar Rambut Emas telah menyambar Sai-mo-ong, ganti melempar kakek iblis ini.

“Mo-ong, kalian boleh keroyok aku saja. Biarkan suheng menghadapi si Setan Ketawa itu...!”

Mo-ong dan Tok-gan Sin-ni marah-marah. Mereka merasa dipermainkan oleh pemuda sakti ini, coba kembali ke tempat Gurba tapi lagi-lagi diganggu, disambar pundak mereka. Dan ketika tiga empat kali kejadian itu terus berlangsung dan Hek-bong Siang-lo-mo juga berkaok-kaok akhirnya Sai-mo-ong dan Tok-gan Sin-ni benar-benar mengeroyok Pendekar Rambut Emas!

“Kim-mou-eng, kau bangsat jahanam. Kau sombong sekali!”

Kim-mou-eng tertawa. Sekarang dia dapat menarik empat orang ini mengeroyok dirinya, tahu meskipun dikeroyok empat tapi sesungguhnya sama dengan dikeroyok dua. Karena empat iblis itu telah menguras tenaganya melawan suhengnya, jadi tenaganya tinggal separuh atau kurang. Perhitungan yang membuat dia berani mengambil alih keroyokan itu karena lawan memang kehilangan banyak tenaga, sementara dia masih segar. Dan ketika Tiat-lui-kang mulai menangkis dan sesekali Pek-sian-ciang juga membentur pukulan-pukulan lawan akhirnya Sai-mo-ong dan teman-temannya itu terhuyung, memaki-maki.

“Kim-mou-eng, kau sombong kelewat sombong. Kau pemuda keparat!”

Kim-mou-eng tersenyum. Dia telah memperhitungkan semuanya itu, tahu kesegaran tenaga sendiri dan tak menghiraukan makian lawan. Dan ketika dia mulai membalas dan Mo-ong serta teman-temannya sering terpental maka Siauw-bin-kwi yang bertempur melawan Gurba mulai berkaok-kaok. Kiranya Setan Ketawa itu kalah lihai, mendapat tekanan dan mulai menerima pukulan-pukulan berat. Tentu saja gentar dan marah bukan main pada Kim-mou-eng yang menyeret teman-temannya agar meninggalkan raksasa tinggi besar itu, padahal dia butuh bantuan. Dan ketika Gurba menggereng dan satu pukulan Pek-sian-ciang mengenai pundaknya tiba-tiba iblis ini menjerit dan terlempar bergulingan.

“Dess!” Siauw-bin-kwi berkaok. Dia merasa daging pundaknya lumat, padahal Gurba juga sudah kehilangan banyak tenaganya dalam pertempuran ini. Dan ketika raksasa itu mengejar dan satu pukulan lagi menyerempet telinganya akhirnya si Setan Ketawa ini menjerit melompat tinggi.

“Mo-ong, aku permisi dulu. Kuserahkan saja pertempuran ini padamu...!” Siauw-bin-kwi melarikan diri. Dia terlanjur pucat menghadapi pukulan Pek-sian-ciang itu, hanya seorang diri.

Dan ketika iblis itu berkelebat dan Gurba membentak tiba-tiba raksasa ini mengejar dengan seruan geram. “Bin-kwi, jangan lari kau. Kubunuh dulu!”

Tapi Siauw-bin-kwi sudah melesat jauh. Iblis Ketawa ini tak mau ambil resiko, merogoh baju dan secepat kilat melemparkan granat tangan ke arah Gurba. Dan ketika Gurba berkelit dan granat itu meledak maka asap hitam menghalangi raksasa tinggi besar ini.

“Dar!”

Gurba marah-marah. Dia terhalang asap itu, mengejar ke tempat lain. Tapi ketika dia tak menemukan lagi musuhnya itu karena lawan lenyap di balik asap akhirnya raksasa ini kembali dan melampiaskan kemarahannya pada empat orang lawan Kim-mou-eng. “Mo-ong, kalian iblis-iblis busuk yang tidak tahu malu. Biar kalian saja yang kubunuh duluan... wut-plak!”

Dan Mo-ong yang menerima tumbukan pukulan tiba-tiba mencelat dan terlempar berseru kaget, terguling-guling dan sudah diserang raksasa ini. Dan ketika Gurba juga menyerang yang lain dan Tok-gan Sin-ni serta Hek-bong Siang-lo-mo mendesah kaget tiba-tiba empat orang iblis itu mawut.

“Sin-ni, lari...!”

Tok-gan Sin-ni mengangguk. Ia juga telah merasakan kegagalan misi ini, tak dapat membunuh Gurba karena Kim-mou-eng datang. Lawan yang tak kalah berat dengan raksasa hitam itu. Dan ketika Mo-ong berteriak agar mereka lari saja tiba-tiba nenek ini melecutkan rambutnya, merogoh jarum-jarum beracun sekaligus menyambitkannya ke arah raksasa itu, karena Gurba menyerangnya. Dan ketika Gurba mundur dan Mo-ong juga melepas pelornya tiba-tiba puluhan senjata rahasia berhamburan ke arah kakak dan adik seperguruan ini.

“Wut-plak-plak!”

Gurba dan Kim-mou-eng menangkis. Mereka meruntuhkan hamburan senjata gelap itu. Gurba bahkan menggeram-geram. Tapi ketika semua senjata runtuh dan mereka hendak mengejar ternyata bayangan Tok-gan Sin-ni dan teman-temannya lenyap, hanya kekeh mereka saja yang terdengar di kejauhan sana.

“Gurba, tak perlu sombong. Kami titipkan dulu nyawamu di situ. Biar lain kali kami ambil!”

“Ya, dan kau juga, Kim-mou-eng. Jaga baik-baik nyawamu itu biar lain kali kami datang, heh-heh!”

Gurba dan Kim-mou-eng mendongkol. Raksasa tinggi besar itu marah, tapi karena dia tak dapat mengejar dan lawan tentu akan mengeluarkan lagi senjata-senjata rahasianya itu padahal dia sudah lelah akhirnya raksasa ini berhadapan dengan sutenya, Kim-mou-eng yang tidak menduga apa-apa terhadap suhengnya itu. Tapi begitu dua mata beradu dan Kim-mou-eng bertanya apakah suhengnya tidak apa-apa mendadak Gurba menghantamnya dengan satu pukulan maut.

“Sute, kau pengkhianat keparat!”

Kim-mou-eng terkejut. Dia tentu saja mengelak, terkesiap melihat angin pukulan suhengnya lewat di sisi telinganya. Dan ketika Gurba kembali menyerangnya dan Kim-mou-eng membelalakkan mata tiba-tiba pendekar ini menangkis dengan penuh ketidak-mengertian.

“Dukk!” Dua lengan mereka tergetar. Kim-mou-eng terdorong, sementara suhengnya juga terhuyung. Dan belum sang suheng menyerang kembali buru-buru Kim-mou-eng berseru,

“Suheng, tahan. Aku tidak mengerti!” dan Kim-mou-eng yang melompat mundur dengan muka terkejut sudah menegur, “Suheng, apa-apaan ini? Kenapa kau menyerangku?”

“Hm, kau mengkhianati bangsa Tar-tar, sute. Kau tak perlu bertanya lagi karena kau sudah tahu... wutt!” dan Gurba yang menggeram mencelat maju tiba-tiba melepas pukulan, marah dan tidak memberi kesempatan sutenya bicara.

Dan karena Gurba terus menyerang dan tidak membiarkan dia berhenti akhirnya Kim-mou-eng berlompatan ke sana ke mari sambil berseru berulang-ulang, bertanya kenapa suhengnya marah-marah begitu. Tapi ketika suhengnya mulai mengeluarkan Pek-sian-ciang dan Kim-mou-eng kaget melihat suhengnya hendak membunuhnya tiba-tiba pendekar ini terpekik meloncat jauh.

“Suheng, kau gila. Kau benar-benar hendak membunuhku!”

“Ya, aku hendak membunuhmu, sute. Kau membuat malu bangsa Tar-tar dan karena itu pantas dibunuh!” dan Gurba yang mengejar dan tampak beringas melancarkan pukulan tiba-tiba diterima dan ditangkis sutenya ini.

“Duk-dukk...!”

Kim-mou-eng terpental. Dia tercekat dan benar-benar kaget melihat suhengnya bersungguh-sungguh, merasakan suhengnya mengerahkan segenap kekuatan pada pukulannya itu, yang untungnya masih tidak sepenuh bagian karena suhengnya sudah lelah. Dan ketika dia berteriak-teriak dan Gurba tak menjawab selain memperhebat serangannya itu maka Salima yang pingsan tiba-tiba sadar dan melompat bangun, langsung berdiri dan mengeroyoknya dengan lengking tinggi!

“Kim-mou-eng, kau pengkhianat bangsa Tar-tar...!”

Kim-mou-eng kaget, bertambah kaget. Dia melihat sumoinya juga bersungguh-sungguh, langsung melepas Tiat-lui-kang menghantam kepalanya. Satu serangan maut! Dan karena tak mau begitu saja dibunuh tanpa sebab padahal Gurba juga menyerangnya di sebelah kanan tiba-tiba Kim-mou-eng menjadi marah dan membentak menangkis dua serangan itu.

“Des-dess!”

Tiga saudara seperguruan itu sama terlempar. Baik Salima maupun suhengnya terpental setombak lebih, untung bagi Kim-mou-eng karena Salima juga masih belum mendapatkan tenaganya secara penuh, baru sadar dan masih pusing. Tapi karena dua serangan itu dilakukan hampir berbareng dan masing-masing tak berselisih jauh maka Pendekar Rambut Emas ini juga mencelat dan terbanting setombak lebih, melompat bangun dan kembali berteriak kenapa dua saudaranya itu menyerangnya. Tapi Salima yang benci dan mata gelap tidak menjawab, bahkan menerjang semakin ganas seperti Gurba sendiri. Dan karena suheng dan sumoinya tampak menyerang bersungguh-sungguh akhirnya Kim-mou-eng menjadi pucat dan penasaran.

“Suheng, kalian seperti setan-setan kelaparan. Apa dosa dan salahku hingga kalian kalap begini? Apa maksud kalian?”

Gurba dan Salima tak menjawab. Raksasa tinggi besar itu bahkan menggereng, melepas Pek-sian-ciang hingga menyerempet pundak sutenya, baju hancur dan seketika membuat kulit pundak Kim-mou-eng terbakar. Dan ketika Salima juga melepas Tiat -lui-kang dan hampir saja meledakkan kepalanya tiba-tiba Kim-mou-eng mengeluh dan melarikan diri!

“Baiklah, kalian seperti manusia-manusia bisu, suheng. Aku penasaran dan sungguh benci pada sikap kalian!”

“Keparat, kami yang benci padamu, Kim-mou-eng. Kau tak tahu malu dan mengkhianati bangsa Tar-tar!” Salima memekik, mengejar suhengnya itu sementara Gurba juga mengikuti, membentak dan tak mau melepas sutenya ini pergi.

Tapi karena Kim-mou-eng memiliki tenaga yang lebih segar dibanding suheng dan sumoinya itu akhirnya Kim-mou-eng berhasil melarikan diri dan disambut caci-maki sumoinya, yang marah karena pemuda itu lolos. Dan ketika Salima terengah-engah di tepi hutan dan Gurba menggigil di sebelahnya tiba-tiba gadis ini jatuh terduduk, menangis tersedu-sedu.

“Suheng, manusia jahanam itu lolos. Kita gagal!”

“Sudahlah, kita dapat mencarinya di lain waktu, sumoi. Kali ini kita gagal tapi di lain kesempatan tentu berhasil!” Gurba juga melempar tubuhnya di atas tanah, lelah dan gemetar akibat pertempuran yang berat.

Dan ketika Salima teringat pada bayangan Hek-bong Siang-lo-mo dan teman-temannya mendadak gadis ini menghentikan tangisnya, mengerutkan kening. “Suheng, dimana Hek-bong Siang-lo-mo dan teman-temannya itu?”

Gurba terkejut. “Mereka melarikan diri, sumoi.”

“Kalah olehmu?”

“Tidak,” Gurba berhati-hati, maklum sumoinya ini dapat mengukur sampai dimana kemampuannya. Dan merasa tak ada gunanya berbohong tentang hal itu akhirnya raksasa ini berterus terang juga, gelap mukanya. “Dia datang, sumoi. Dan dialah sesungguhnya yang menyelamatkan kita dari keganasan Hek-bong Siang-lo-mo dan teman-temannya itu.”

“Kim-suheng?”

“Ya.”

“Ah, kita berhutang budi!” Salima membanting kaki. “Kalau begitu anggap saja lolosnya kali ini sebagai imbalannya, suheng. Tapi lain kali kita bertemu dia harus dibunuh!”

Gurba mengangguk. Sebenarnya dia menyesal sutenya itu lolos, apalagi saat itu sumoinya pingsan. Jadi kesempatan bagus kalau dia membunuh sutenya itu, agar bungkam dan selama-lamanya tak bicara lagi. Jadi rahasianya tetap tersimpan. Tapi karena sutenya melarikan diri dan ini satu peluang yang membahayakan kedudukannya tiba-tiba Gurba bangkit berdiri mengajak mencari lagi.

“Sumoi, dia tentu tak akan jauh dari kita. Ayolah, kita cari lagi dan sergap dia!”

Salima mengangguk. Dia juga panas dan marah melihat ji-suhengnya itu melarikan diri, diam-diam benci dan menangis lagi teringat suhengnya itu menikah dengan wanita Han, meninggalkan dirinya dan tidak mengacuhkan cintanya. Tapi ketika Kim-mou-eng tak dapat mereka temukan dan orang yang mereka cari entah pergi kemana akhirnya Salima dan Gurba menuju ke barat, melanjutkan langkah yang harap-harap cemas.

* * * * * * * *

Pagi itu, di kota Pi-yang sekelompok penjual obat beraksi di tengah kota. Suara tambur dan gembreng yang mereka pukul menarik perhatian semua orang. Bukan kepada bunyi-bunyian yang riuh ini melainkan kepada penabuhnya, dua orang gadis cantik yang duduk di atas roda, semacam tong kayu yang bergulir ke sana ke mari, lincah dipermainkan dua gadis itu sementara tangan mereka menabuh alat-alat pukul yang ribut bunyinya. Dan ketika seorang laki- laki tua mulai menggelarkan barang dagangannya dan para penonton mulai berdatangan maka seperti biasa aksi pedagang obat kakek ini menyuruh dua gadis itu bersilat.

“Ayo, kalian lompati dua tangga tali itu, anak-anak. Ramaikan dan buat suasana ini menjadi cerah!”

Dua gadis itu mengangguk. Mereka tersenyum manis, tetap memukul tambur dan gembreng tapi meninggalkan tong kayu itu, meloncat ringan di atas tangga tali yang telah dipasang si kakek. Dan ketika keduanya berseru keras dan tambur serta gembreng sejenak berhenti tiba-tiba keduanya sudah melompat tinggi dan berjungkir balik melewati tangga tali itu, turun di tempat berlawanan dan membunyikan kembali alat-alat musiknya itu. Dan ketika si tua berteriak dan menyuruh mereka kembali mengulang perbuatannya tiba-tiba dua gadis ini mengangguk dan mulai berjumpalitan di atas tanah.

“Bagus, teruskan gerak kalian, anak-anak. Lompati tangga tali itu, diam di atasnya!”

Dua gadis itu tertawa. Mereka kembali berseru keras, tambur dan gembreng masih dipukul. Dan ketika keduanya tiba di puncak tangga dan saling menahan mendadak keduanya sudah bertengger di sana seperti dua ayam betina, disambut seruan kagum dan tepuk tangan para penonton. Dan ketika keduanya membentak dan ganti-berganti mendorong dan memukul mendadak dua gadis ini sudah bersilat di puncak tangga seperti para akrobat.

“Ha-ha, mainkan Bianglala Mencari Naga, Pek-ji (anak Pek). Buat para penonton tertarik dan memuji gerakan kalian!” si tua berseru pada si gadis baju putih, yang berkulit bersih dan rambut dikepang.

Dan ketika gadis itu mengangguk dan menyuruh temannya diam akhirnya dia bergerak-gerak sendiri di puncak tangga tali itu, hanya dibantu seutas tali sebagai tempat berpijak, lincah menari dan melompat-lompat, tangannya bergerak ke sana-sini melakukan gerak-gerak silat yang indah. Dan ketika para penonton bertepuk-tangan dan gadis itu berseru keras mendadak dia menghentikan permainannya dan melompat turun, berjungkir balik dua kali dan ringan menyentuh tanah, tak terdengar injakan kakinya yang lembut.

Dan ketika si tua terbahak gembira dan seorang kacung menyodorkan kantung uang maka penonton mulai diminta sumbangannya untuk pertunjukan itu. “Cuwi sekalian (tuan-tuan semua), maafkan bila pertunjukan puteriku masih buruk. Kami memang tak seberapa pandai. Tapi kalau cuwi ingin melihat pertunjukan singa melawan manusia maka inilah persembahannya!”

Si tua bertepuk tangan, membuka sebuah kerangkeng besar yang tertutup terpal, mengejutkan para penonton karena seekor singa tiba-tiba mengaum, bangkit dari kerangkeng yang tadi tertutup itu, tak mengira isinya adalah seekor binatang buas! Dan ketika beberapa diantara penonton menjerit melompat mundur maka gadis satunya yang berbaju merah sudah diberi tanda oleh kakek ini.

“Ang-ji, turun. Hadapi Ui-sai-ong ini!”

Gadis yang ditunjuk melayang turun. Dia meninggalkan tangga tali itu, gembreng dan tambur dipukul yang lain. Dan ketika singa dilepas dan beberapa penonton lari sipat kuping maka si tua itu tertawa gembira.

“Cuwi sekalian, tak perlu takut. Singa kami ini jinak...!”

Para penonton tertegun. Mereka melihat singa itu sudah menjilat-jilat kaki si nona, Ang-ji, gadis baju merah itu. Tentu saja mulai berani dan melihat singa itu rupanya memang jinak, mengaum pendek dan menekuk lututnya, bersimpuh di dekat Ang-ji. Dan ketika Ang-ji tersenyum dan mengibaskan lengannya maka singa itu bangun berdiri seolah mengerti isyarat.

“Sai-ong, beri hormat pada para penonton...!”

Aneh, singa ini mengangguk. Dia sudah memutar tubuhnya empat kali, mengangkat kedua kaki depan dengan cara yang Iucu, menurunkannya lagi dan mengibas-ngibaskan ekornya. Dan ketika penonton tertawa dan Ang-ji melompat mundur maka gadis itu menghadap ayahnya, si kakek yang tersenyum lebar.

“Ayah, mohon penonton tidak mengganggu Sai-ong. Kami hendak main-main sebentar.”

Kakek itu mengangguk, ganti menghadap penonton. “Cuwi sekalian, mohon cuwi tidak mengganggu permainan puteri kami dengan menggoda Sai-ong, melempari batu umpamanya. Cuwi boleh ribut atau bersorak tapi jangan sekali-kali menyakiti binatang peliharaan kami!” dan ketika penonton mengangguk dan tertarik memandang gadis baju merah itu maka Ang-ji sudah menggapai teman bermainnya yang masih mengibas-ngibaskan ekor.

“Sai-ong, ayo ke mari. Tunjukkan permainan kita pada para penonton...!”

Sai-ong tiba-tiba menubruk. Para penonton terkejut ketika dengan gerakan cepat singa itu melompat ke depan, begitu cepat hingga tahu-tahu telah berada di muka Ang-ji, mengaum dan membuka mulutnya hingga taringnya yang tajam dan putih mengkilat itu siap mencaplok kepala Ang-ji. Tapi Ang-ji yang merunduk dan menyelinap di bawah perutnya tiba-tiba tertawa menusuk perut binatang itu.

“Luput, kau bodoh, Sai-ong. Awas pukulan pertama...bluk!”

Binatang itu terbanting. Sai-ong mengaum kesakitan, rupanya tusukan itu cukup keras baginya. Tapi binatang yang sudah melompat bangun dan kembali menerjang ini tiba-tiba membalik dan menyerang lawannya, mengaum dan mencengkeram dengan kuku-kukunya yang tajam itu. Setajam pisau belati. Dan ketika lawan mengelak dan kembali tertawa mengejek maka pertarungan singa dan manusia itu berlangsung. Ang-ji berlompatan ke sana ke mari, menowel dan menusuk tubuh binatang itu. Kian lama kian ramai karena tubrukan Sai-ong selalu luput, diketawai penonton yang mulai kagum akan kelincahan si gadis baju merah. Dan ketika pertarungan semakin seru dan penonton bertambah banyak karena atraksi itu memang menarik tiba-tiba seseorang menyeruak ke depan.

“Hei, pertunjukan macam apa ini?”

Penonton di depan terkejut. Mereka sudah tak takut lagi pada singa itu, menonton tak terlalu jauh dan lupa bahwa Sai-ong adalah binatang buas, menganggap singa itu seperti kucing besar saja yang tak perlu ditakuti. Maka ketika seseorang menyeruak dan bertanya pada mereka maka seorang penonton tertawa menjawab.

“Kakek ini menjual obat. Dia sedang mengadu puterinya dengan singa!”

“Huh, singa jinak begitu mana berbahaya? Akupun juga dapat melakukannya!” dan, sebelum orang lain mengerti apa yang dimaui penyeruak ini, seorang pemuda berpakaian perlente tiba-tiba dengan amat berani dan mengejutkan, pemuda itu melompat ke depan. “Nona, berikan singamu itu padaku. Akupun juga dapat mengelak setiap tubrukannya!” dan ketika Ang-ji terkejut dan terbelalak memandang pemuda itu tiba-tiba si pemuda menendang Ang-ji menyambut tubrukan Sai-ong.

“Buk!” singa itu langsung dihantam, terpental dan mengaum panjang oleh hadirnya seorang asing. Tentu saja membuat penonton dan kakek tua terperanjat, gempar dan heran oleh datangnya pemuda tak dikenal. Tapi belum mereka berteriak atau apa tiba-tiba pemuda itu sudah tertawa dan ganti menubruk Sai-ong.

“Cuwi sekalian, pertandingan mengelak tentunya kurang ramai. Nona itu harusnya membalas. Kenapa tidak? Biar aku yang menghajar singa ini dan merobohkannya sebagai seorang petarung...!” dan pemuda tak dikenal yang sudah menubruk dan mencengkeram Sai-ong tiba-tiba telah mengangkat dan membanting binatang itu.

“Bluk!” Sai-ong menguik. Binatang buas itu tertekuk kakinya, kesakitan. Tapi belum dia bangun berdiri ternyata lawannya itu menubruk dan kembali mencengkeramnya, mengangkat tinggi dan membantingnya di atas tanah, untuk kedua kali membuat singa itu kesakitan. Dan ketika untuk ketiga kalinya si pemuda hendak membanting dan menyakiti binatang itu maka si kakek yang marah dan membentak maju dan sudah berseru keras,

“Tahan, jangan sakiti binatang kesayanganku...!” dan begitu dia melompat maju dan tegak menghalang di tengah maka kakek ini mendelik memandang si pemuda. “Kongcu, kau siapakah? Kenapa hendak membuat onar di sini?”

“Ha-ha, aku anak walikota Pi-yang, kakek tua. Tanganku gatal melihat puterimu tidak bersungguh-sungguh menghadapi singa ini!”

“Ah, kau Siong-kongcu?”

“Ya, aku Siong Gwan! Kau kenal namaku?”

Kakek ini terkejut. Dia tampak tertegun mendengar pemuda perlente itu adalah putera walikota Pi-yang, pemuda yang sudah didengar sebagai pemuda berandalan dan banyak ditakuti orang. Tapi marah menahan diri dia berkata, “Bagus, kalau begitu maafkan aku orang tua, Siong-kongcu. Tapi rupanya kau salah main-main di sini. Kami orang rendahan tak pantas menerima kehadiranmu.”

“Apa maksudmu? Kau mau mengusir?”

“Tidak,” kakek itu menahan sabar. “Tapi kami penjual obat tak layak menerima kehadiranmu, kongcu. Ini penghormatan yang terlalu besar bagi kami. Kau anak seorang pejabat tinggi!”

“Tak apa,” pemuda itu tertawa. “Aku biasa main-main kemana aku suka, orang tua. Tapi, eih...!” pemuda itu terkejut, melihat Sai-ong tiba-tiba menubruk dan mengaum padanya. Dan ketika dia mengelak dan Sai-ong kembali menyambar mendadak kakek penjual obat menangkap singanya.

“Sai-ong, jangan serang Siong-kongcu...!”

Namun Siong-kongcu yang rupanya marah oleh tubrukan singa itu tiba-tiba berkelebat menampar, mengejutkan kakek penjual obat karena Sai-ong terpukul telak, terputar dan roboh terbanting lepas dari cekalannya. Begitu keras tamparan itu. Dan ketika Sai-ong memekik dan bangun berdiri mendadak singa itu menubruk dan membabi-buta menyerang Siong-kongcu.

“Sai-ong, jangan. Tahan...!”

Tapi binatang buas itu lupa diri. Dia telah kesakitan dihajar Siong-kongcu, tak mau lagi mendengar seruan tuannya dan lepas kendali. Benar- benar marah. Dan Siong-kongcu yang mengelak sambil mengangkat alisnya tiba-tiba tertawa mengejek menghadapi binatang buas itu.

“Orang tua, biarkan saja. Aku mampu menaklukkan kucing kesayanganmu ini... wut-plak!” dan tangkisan Siong-kongcu yang membuat Sai-ong terpental akhirnya membuat binatang itu mengaum-ngaum terbanting bergulingan, membuat baju Siong-kongcu robek-robek terkena cakarnya tapi singa itu sendiri dihajar jatuh bangun, marah tapi gentar. Dan ketika Siong-kongcu tertawa dan singa itu mulai takut mendadak Sai-ong melepas geramnya menubruk penonton!

“Hei...!”

“Celaka...!”

Para penonton ribut. Mereka sudah diserang binatang yang marah itu, maksudnya mau keluar kepungan menghindari Siong-kongcu. Betapapun nalurinya menyatakan pemuda itu berbahaya untuknya, sementara tuannya tak mau menolong. Dan ketika penonton ribut dan Sai-ong mengamuk maka dua orang terdekat menjadi korbannya.

“Bret-brett!”

Dua pekik kesakitan menjerit tinggi. Mereka adalah korban pertama yang digigit singa ini, hancur dadanya terobek lebar, memuncratkan darah membuat Sai-ong bertambah buas. Dan ketika Sai-ong juga menubruk yang lain dan singa itu ganas mencium darah tiba-tiba seorang lelaki sudah disambar dibawa lari, keluar dari kepungan.

“Aduh, tolong... tolong...!”

Kakek penjual obat pucat. Saat itu penonton buyar berantakan, suasana menjadi geger dan ribut. Hewan kesayangannya menjadi buas dan tak mau diperintah lagi. Tapi Pek-ji dan Ang-ji yang sudah melompat mengejar tiba-tiba menangkap ekor binatang itu.

“Sai-ong, kembali. Lepaskan orang itu...!”

Sai-ong menggereng. Dia membalik ditahan ekornya, marah pada dua orang gadis itu. Dan ketika dia mengaum melepaskan korbannya mendadak dia menyerang dua orang gadis itu dengan tubrukan maut.

“Pek-ji, awas...!”

Gadis baju putih berkelit. Dia terkejut melihat kebuasan singanya yang sungguh-sungguh, tak mengenal lagi dia sebagai tuannya. Tapi Sai-ong yang sudah membalik dan menyerang lagi dua orang gadis itu akhirnya membuat si tua melompat maju, membentak singanya dan menyuruh dua anaknya mundur. Dan ketika dua gadis itu terhuyung dan pucat menerima cakaran Sai-ong maka sang ayah sudah menghadapi binatang buas ini dengan pukulan dan tendangan, menangkis kuku-kuku Sai-ong yang tajam tanpa luka, membuat binatang itu gentar dan teringat peristiwa dulu, ketika kakek itu menundukkan dan menjinakkan dirinya. Tapi ketika Sai-ong mengaum dan mulai mundur-mundur mendadak sebatang pisau menyambar dahinya.

“Crep!” Sai-ong roboh terbanting. Singa itu mengaum panjang, berkelojotan sejenak dan akhirnya tewas. Pisau menembus otaknya. Dan ketika kakek penjual obat terkejut dan terbelalak memandang ke depan tahu-tahu dua laki-laki muncul menjengek dingin.

“Tua bangka, siapa suruh kau membuat onar di Pi-yang?”

Kakek ini tertegun. Dia melihat dua laki-laki bengis muncul di depannya, seorang kakek muka kuning dan temannya yang bermuka kurus. Tapi tak merasa salah dan justeru merasa marah melihat singanya dibunuh kakek penjual obat ini melangkah maju, berapi-api memandang dua pendatang itu, tak menjawab.

“Jiwi totiang, kalian siapa dan kenapa membunuh hewan peliharaanku?”

“Hm, kau berani bertanya sebelum menjawab? Aku Hong Jin, ini adikku Ki Siong Cinjin!” kakek muka kuning mendengus, marah pada kakek penjual obat itu tapi tak dikenal kakek ini.

Dan ketika kakek itu tertegun dan Pek-ji serta Ang-ji melompat di sampingnya maka Siong-kongcu, pemuda yang sejak tadi terbelalak memandang semuanya tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan kakek muka kuning.

“Suhu, teecu melihat kakek ini memiliki dasar-dasar ilmu silat Kun-lun-pai. Bagaimana kalau dia ditangkap dan ditanyai?”

Kakek penjual obat terkejut.

“Boleh, dan mungkin dia komplotan pemberontak, Siong-ji. Tapi hati-hati menghadapi pukulannya. Kau berani menghadapinya?”

“Kenapa tidak, suhu?” pemuda itu tertawa. “Dan teecu juga akan menangkap dua gadis cantik itu. Siapa tahu mereka juga anggota pemberontak!”

Dan ketika kakek penjual obat terbelalak dan Pek-ji serta Ang-ji melotot memandang Siong-kongcu maka pemuda ini bangkit berdiri mendapat isyarat gurunya.

“Orang tua, kau dan semua anak buahmu kutangkap. Kau menunjukkan gejala-gejala mencurigakan, berani kau melawan hukum?”

Kakek itu sadar, merah mukanya. “Siong-kongcu, kami ayah dan anak tak tahu-menahu tentang hukum dan pemberontakan. Kami rakyat kecil, tak tahu apa-apa tentang omonganmu tadi. Perbuatan mencurigakan apa yang telah kami lakukan? Bukankah yang membuat ribut-ribut dan kekacauan ini adalah dirimu?”

“Hm, guruku sekarang ada di sini, orang tua. Kalau kau ingin membela diri sebaiknya di gedung pemeriksaan, tak perlu banyak cakap. Pokoknya kalian semua kutangkap!”

“Kami tidak sudi!” kakek itu marah. “Kami bukan pemberontak atau pengacau yang melanggar hukum!”

“Tapi kau membawa binatang buas tanpa ijin, orang tua. Apakah ini bukan melanggar hukum hingga untuk itu kau tak mau kutangkap?”

Kakek ini melengak. Dia tersudut, tapi dua anaknya yang maju melengking nyaring tiba-tiba berseru, “Ayah, orang rupanya memang mau mengganggu kita. Siong-kongcu ini yang membuat gara-gara, kalau dia tidak menyakiti Sai-ong tentu semua keributan ini tak bakal terjadi. Kenapa banyak cakap dengan pemuda berandalan ini?”

Sang ayah terkejut. Dia melihat omongan puterinya benar, tapi Hong Jin si kakek muka kuning tiba-tiba menjengek berkelebat ke depan. “Bocah mulut besar, kepada siapa kau bicara ini? Kalau tidak mau ditangkap justeru kalian akan di bunuh. Robohlah...!”

Pek-ji terkejut. Dia tadi yang bicara lantang, membela sang ayah dan marah pada Siong-kongcu yang tampak sombong itu. Tapi melihat bayangan Hong Jin berkelebat menamparnya tiba-tiba dia mengelak dan mundur selangkah. Tapi lengan kakek itu terjulur, membalik dan tahu-tahu mencengkeram pundaknya, sungguh cepat gerakannya. Dan ketika Pek-ji terpekik dan mengeluh pendek tahu-tahu pundaknya dicengkeram dan dibanting roboh.

“Bluk!” Gadis ini pingsan. Sang ayah terkejut melihat semuanya itu, kaget melihat kepandaian lawan yang demikian tinggi. Segebrakan saja puterinya roboh dan terbanting di tanah. Tapi sadar dan maklum akan keadaan yang tidak menguntungkan tiba-tiba kakek ini mendesis dipandang Siong-kongcu.

“Bagaimana, kau tak mau menyerah, orang tua?”

Kakek itu mengangguk. “Baiklah, tapi harap bebaskan puteriku, kongcu. Aku orang tua yang bertanggung jawab!”

“Maksudmu kau seorang diri yang minta di periksa?”

“Benar.”

“Tidak bisa,” pemuda itu tertawa. “Kalian semua harus diperiksa, orang tua. Kalau tidak kalian bahkan semakin mencurigakan!”

Terpaksa, orang tua itu menggeram. Dan ketika Ang-ji terisak dan menubruk saudaranya yang pingsan akhirnya tiga ayah beranak ini mengikuti perintah Siong-kongcu. Tak berani main-main karena Hong Jin dan Ki Siong Cinjin ada di situ, menjaga muridnya. Dan ketika Pek-ji dibawa dan kakek itu bersama gadis baju merah menuju gedung pemeriksaan akhirnya tiga ayah dan anak ini dihadapkan pada Siong-taijin (pembesar Siong) yang sudah diberi tahu akan keributan itu, seorang laki -laki gendut dengan mata sipit, di bawah pengawasan dua kakek lihai yang rupanya berpengaruh sekali, Hong Jin dan saudaranya itu.

“Siapa kalian, orang tua?” Siong-taijin bertanya, mendengar bisik-bisik dari puteranya.

“Hamba Sin Meng, taijin. Sedang dua puteri hamba itu adalah Sin Pek dan Sin Ang.”

“Kau penjual obat keliling?”

“Benar.”

“Boleh kuperiksa peti obatmu?”

Kakek ini tertegun.

“Kenapa diam?” pembesar itu mengulang. “Bolehkah kuperiksa peti obatmu?”

Kakek itu mengangguk, tampak was-was. Dan ketika Siong-taijin menyuruh pengawal membuka peti obat yang dibawa kakek itu maka segala isi peti ini diperiksa. Tapi tak ada apa-apa, semuanya benar-benar berisi obat dan tidak ada sesuatu yang mencurigakan, membuat Siong-kongcu melengak dan tampak heran. Tapi Ki Siong Cinjin yang melangkah maju menyambar pundak Sin Meng tiba-tiba membentak,

“Tua bangka, dimana kau simpan surat untuk Seng-piauw-pang?”

Kakek ini terkejut. “Aku tak tahu apa-apa totiang. Aku tak mengenal dan tak berhubungan dengan Seng-piauw-pang (Perkumpulan Pisau Bintang).”

“Bohong, kau jelas mata-mata Seng-piauw-pang...plak!” dan si kakek yang terbanting roboh menerima tamparan Ki Siong Cinjin tiba-tiba bangun berdiri dengan pipi bengap.

“Ki Siong Cinjin, kau mau merampok atau apa? Apa yang hendak kalian lakukan kepada kami?”

“Hm, kami hendak memeriksamu, tua bangka. Kami mendengar kabar bahwa Seng-piauw-pang mengutus seseorang mengirim surat rahasia. Kaulah orangnya!”

“Tidak, kalian gila. Aku tak tahu apa-apa...!” dan Sin Meng si kakek penjual obat yang marah memandang Ki Siong Cinjin tiba-tiba berseru keras menerjang kakek itu, lupa dan merasa sakit hati atas sikap orang. Menubruk dan mencengkeram. Tapi Ki Siong Cinjin yang mendengus pendek tiba-tiba menangkis dan menolak tubuh kakek penjual obat itu.

“Plak-dess!”

Kakek ini terbanting. Untuk kedua kalinya dia terlempar bergulingan di lantai, disambut pekik kecil anaknya yang terbelalak memandang perkelahian itu. Tapi Sin Meng yang sudah melompat bangun menerjang lagi ternyata bersikap nekat, bertubi-tubi melancarkan serangan dan memaki-maki Ki Siong Cinjin. Gerak silatnya cepat dan pukulannya mantap. Dan ketika kakek itu mulai menyerang dan Ki Siong Cinjin mengelak dan berIompatan ke sana ke mari maka Hong Jin, kakek muka kuning yang bukan lain bekas wakil Seng-piauw-pang yang berdiri menonton tiba-tiba mengangguk-angguk.

“Benar, gerak silatnya dari Kun-lun-pai. Mungkin dia murid si tosu Lo-hoat!”

Ki Siong Cinjin juga mengeluarkan suara dari hidung. “Agaknya memang begitu, suheng. Apa yang harus kulakukan pada kakek bandel ini?”

“Lempar saja dia keluar. Tahan anak-anaknya!”

Sin Meng memekik. Saat itu semua pukulannya dikelit Ki Siong Cinjin, marah karena lawan dapat bercakap-cakap dengan temannya. Dan ketika dia menubruk dan kembali melancarkan pukulan tiba-tiba Ki Siong Cinjin membalik menangkis dengan sebuah tendangan berputar.

“Dess...!” Kakek itu menjerit. Dia seketika terlempar jauh, berdebuk bergulingan di lantai dengan keluh tertahan. Bokongnya menimpa keras hingga dia tak dapat bangun berdiri, pening. Dan Ang-ji yang terpekik melihat keadaan sang ayah tiba-tiba menubruk maju dengan lengking cemas.

“Ayah...!” Sin Meng menggigil. Dia sudah ditubruk puterinya, dipeluk dan melihat Ang-ji menangis tersedu-sedu. Tapi bangkit terhuyung dengan muka pucat tiba-tiba kakek ini berbisik, “Ang-ji, selamatkan encimu. Bawa peti obat itu dan encimu keluar...!”

Gadis baju merah ini sadar. Dia tak mengerti ayahnya bicara apa, kenapa menyebut-nyebut peti obat dan tampak khawatir memandang benda itu, yang masih menggeletak di lantai. Dan ketika dia menggigil dan pucat memandang sang ayah tiba-tiba ayahnya mencabut sebatang pedang, yang disembunyikan di belakang punggung.

“Ki Siong Cinjin, kau sungguh terlalu memperlakukan aku si tua bangka. Aku tak mengenal padamu, kenapa sekarang kau menyakiti aku?”

“Hm, kau mau main-main dengan pedangmu yang berkarat itu? Kau tidak segera mengaku?”

“Aku tak tahu maksudmu, keledai kurus. Tapi aku pantang dihina... singg!” dan kakek penjual obat yang sudah meloncat dengan pedangnya tiba-tiba membacok dan menusuk Ki Siong Cinjin, ilmu silatnya cukup baik tapi tenaga sudah mulai gemetar. Dan ketika Ki Siong Cinjin mendengus dan mengelak serangan pedang maka saat itu Pek-ji yang pingsan sadar dari bekas pukulan Hong Jin.

Gadis ini membuka mata, rupanya masih nanar tapi segera melihat pertempuran itu, juga saudaranya yang terbelalak memandang ke depan. Dan melihat dirinya berada di sebuah ruangan besar tapi musuh menjaga ketat tiba-tiba gadis ini bangun berdiri melompat marah. “Ayah, mana itu angin timur?”

Sang ayah terbelalak. “Angin timur menyusup ditempatnya, Pek-ji. Kalian pergilah dan bawa adikmu.”

“Tidak, aku tak mau orang berbuat kurang ajar padamu, ayah. Kalau angin timur masih di tempatnya biarlah kita hadapi orang-orang jahat ini!” dan Pek-ji yang melompat maju mencabut pedang tiba-tiba menubruk dan menyerang Ki Siong Cinjin, membantu sang ayah.

Dan Ang-ji yang melihat saudaranya maju ke depan tiba-tiba juga mencabut senjata menerjang Ki Siong Cinjin, tak mengerti omongan apa yang dibicarakan sang enci dengan ayahnya, memekik karena dia juga marah melihat ayahnya berkali-kali terhuyung, ditolak Ki Siong Cinjin yang lihai. Dan begitu ayah dan anak ini mengeroyok bertiga tiba- tiba pedang sudah berkelebatan menyambar-nyambar tubuh Ki Siong Cinjin.

“Plak-trang-trang!”

Ki Siong Cinjin menangkis. Dia menjengek melihat ayah dan anak itu maju, menangkis dan membuat pedang terpental ke kiri kanan. Dan ketika Pek-ji dan ayahnya mengeluh terhuyung maka Siong Gwan, putera walikota Pi-yang yang marah melompat maju.

“Susiok (paman guru), serahkan saja mereka ini padaku!”

“Tidak, kau mundur sajalah, Siong Gwan. Aku hendak menangkap yang laki ini hidup-hidup... plak-plak-plak!” dan Ki Siong Cinjin kembali menangkis dan menyuruh mundur Siong Gwan akhirnya membentak mengibaskan lengan, berkelebat ke depan memberi totokan pada tiga orang itu. Dan karena Ki Siong Cinjin memang lihai dan Sin Meng berkali-kali mengeluh akhirnya tanpa ampun kakek penjual obat itu roboh, tertotok ujung baju lawan yang kaku menghantam pundaknya. Dan ketika Pek-ji dan adiknya juga mengeluh dan pedang di tangan terlepas mencelat tiba-tiba dua kakak beradik inipun terbanting roboh di atas lantai.

“Bluk-bluk!”

Ki Siong Cinjin mengusap bajunya. Dia membersihkan debu dengan sikap tak acuh, lalu menendang lawan yang melotot padanya dia berseru, “Tua bangka, angin timur sudah kuketahui jejaknya. Jadi begitu kiranya kalian menyimpan?” dan ketika kakek ini menghampiri peti obat dan membuka tutupnya mendadak, tanpa disangka Sin Meng kakek ini telah mencabut sebuah surat di lipatan peti itu.

“Sret!” Sin Meng dan Pek- ji terbelalak. Muka mereka seketika pucat, melihat Ki Siong Cinjin menemukan apa yang mereka sembunyikan. Dan ketika kakek itu tertawa bergelak dan Hong Jin berkelebat maju tiba-tiba kakek ini berseru, “Suheng, inilah surat yang kita cari-cari itu. Tua bangka ini memang betul mata-mata!”

Kakek penjual obat dan Pek-ji menggigil. Mereka tak dapat mengeluarkan kata-kata, dipandang Ang-ji yang keheranan tak mengerti melihat sikap ayah dan kakaknya, kenapa sampai begitu. Pucat pasi bagai kertas. Dan ketika Hong Jin menerima surat itu dan membebernya lebar-lebar maka Ki Siong Cinjin sudah menghampiri ayah dan anak ini dengan pandangan mengancam.

“Tua bangka, masih berani kau mengaku bukan utusan Seng-piauw-pang?”

“Tidak... tidak, aku...”

“Hm, kau mau mungkir?” Ki Siong Cinjin menginjak pinggangnya. “Apa itu kalau bukan bukti?” dan ketika kakek ini mengeluh dan pinggang serasa patah maka Ki Siong Cinjin menghadap suhengnya. “Suheng, bacalah!”

Hong Jin tertegun. Kakek muka kuning ini sebenarnya sudah membaca surat itu, surat yang dianggap surat rahasia. Tapi mendelik mengepal tinju tiba-tiba dia melempar surat itu, berseru pada adiknya, “Kau lihatlah, sute. Kau baca sendiri kalau bisa!”

Ki Siong Cinjin menangkap. Dia terheran melihat sang suheng yang justeru melempar surat padanya, tidak segera membaca. Kenapa suhengnya tampak marah dan mukanya merah padam. Tapi ketika dia menerima surat ini dan membaca isinya mendadak kakek ini tertegun dan melotot lebar-lebar.

“Kosong, surat ini tak ada isinya...!”

Ternyata surat itu memang kosong. Dan Sin Meng serta Pek-ji yang tampak tertegun tapi girang tiba-tiba disambar Hong Jin, sang kakek muka kuning.

“Tua bangka, mana itu surat yang asli?”

Kakek ini tertawa. “Aku tak tahu-menahu surat apapun, Hong Jin. Kalau kau mau bunuh aku bunuhlah!”

“Hm, kau kira begitu enak?” dan Hong Jin yang ganti menyambar Pek-ji tiba-tiba merobek pakaian gadis ini. “Tua bangka, kau ingin anakmu ditelanjangi dan ditonton?”

“Tidak!” Sin Meng terpekik. “Jangan lakukan itu, manusia biadab. Kami ayah dan anak benar-benar tidak tahu-menahu tentang surat segala macam!”

“Tapi kau menyembunyikan kertas ini, apa artinya kalau bukan mempermainkan kami?”

Kakek Sin Meng gemetar. “Hong Jin, jangan mendesak kami untuk mengatakan apa yang tidak kami ketahui. Surat itu titipan seseorang, kami tidak tahu ada isinya atau tidak!”

“Hm, kau mulai mengaku?”

“Aku tidak mengaku, keledai buruk. Tapi itu kukatakan demi bebasnya puteriku. Lepaskan mereka!”

“Begitu enak?” kakek muka kuning menjengek. “Kami dapat membebaskanmu kalau kau baik-baik mengaku semuanya, tua bangka. Sekarang coba katakan siapa orang yang memberimu titipan ini, Sin-piauw Ang-lojin?”

“Aku tidak tahu. Aku tidak kenal namanya!”

“Kau pura-pura?”

“Sumpah, aku sungguh tak mengenal namanya!”

“Hm, tapi kau kenal orangnya, bukan? Seorang kakek tinggi besar?”

Sin Meng menggigil.

“Kenapa diam? Kau berbohong?” dan ketika lagi-lagi Hong Jin merobek pakaian puterinya akhirnya kakek ini mendesis.

“Hong Jin, orang yang menitipkan benda itu tidak seperti katamu. Dia laki-laki muda, mukanya ditutup kedok.”

“Siapa?”

“Aku tak tahu!”

“Bret...!” Hong Jin menyeringai, menguak pakaian dalam gadis baju putih hingga Pek-ji menjerit. “Kau pura-pura tak tahu atau memang benar tak tahu, kakek busuk? Atau kau ingin puterimu benar-benar kutelanjangi? Hayo, bicara terus terang atau aku benar-benar akan melepas semua pakaian anak perempuanmu ini... bret-bret!” dan Hong Jin yang benar-benar merobek pakaian luar Pek-ji hingga gadis itu tinggal mengenakan pakaian dalam tiba-tiba membuat ayahnya menggereng dan melotot penuh kemarahan memandang lawan, disambut pekik kecil Ang-ji yang pucat melihat encinya mau ditelanjangi. Tapi ketika ayah dan anak itu terbelalak dengan muka merah mendadak Siong-kongcu menyambar Ang-ji.

“Suhu, agaknya gadis inipun perlu dihajar. Bolehkah kupermainkan dia di depan ayahnya?”

Ang-ji pucat. “Tidak... jangan...!”

Kakek Sin semakin berang. Tapi ketika Hong Jin lepas perhatiannya pada sang murid tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat menyambar. “Sin-lopek, bawa lari dua orang puterimu... plak-dukk!” dan bayangan ini yang terus menyerang Hong Jin dan membebaskan totokan Pek-ji tiba-tiba menendang gadis itu ke arah ayahnya, berputar dan sudah membalik menyerang Siong-kongcu pula, menolong Ang-ji. Dan ketika dua gadis itu terbebas dan terlempar ke arah ayahnya maka bayangan ini berkelebatan menyambar-nyambar menyerang semua orang.

“Sin-lopek, lari...!”

Sin Meng tertegun. Saat itu dia sudah dibebaskan pula, bangkit bersama puterinya melihat siapa penolong mereka ini, seorang laki-laki muda yang mukanya coreng- moreng, tak dapat dikenal karena rupanya sengaja menyembunyikan muka. Tapi Hong Jin yang terkejut ketika lawan menyerang dan membuat dia terpental tiba-tiba membelalakkan mata mendengar suara ribut-ribut di luar.

“Sute, apa yang terjadi disana? Kau lihatlah di luar!”

“Tapi bocah ini, suheng?”

“Biar aku yang menghadapinya. Kunyuk ini jelas komplotan si tua bangka itu!”

“Baik!” dan Ki Siong Cinjin yang meninggalkan lawan untuk melihat keributan di luar tiba-tiba sudah kembali lagi dengan muka pucat. “Suheng, pemberontak datang menyerbu. Rupanya bocah ini tidak sendirian!”

“Siapa mereka itu?”

“Tak tahu, suheng. Semuanya mencoreng muka seperti pemuda ini. Mungkin saja anggota Seng-piauw-pang atau apa!”

“Keparat, kalau begitu panggil Wan Tiong-sute. Bunuh dan basmi mereka itu!”

Tapi baru kata-kata ini diucapkan tiba-tiba Wan Tiong Lojin, sute nomor dua dari kakek muka kuning itu muncul, berkelebat dari belakang. “Suheng, Lo-hoat Tosu dan Sin-piauw Ang-loheng datang. Mereka mencari kita!”

“Apa? dimana mereka itu?”

“Di belakang, suheng. Mereka mengamuk mencari kita!”

“Jahanam...!” dan Hong Jin yang marah disambut tawa bergelak pemuda tak dikenal tiba-tiba menerjang ganas. “Sute, kalian berdua hadapi dulu orang-orang di luar itu. Biar aku selesaikan pemuda ini!” dan ketika dua sutenya mengangguk meloncat keluar kakek itu berseru pada muridnya, “Siong-ji, selamatkan ayahmu. Bawa dia ke dalam...!”

Dan ketika keadaan menjadi ribut dan suara pertempuran di luar semakin dekat tiba-tiba Sin Meng, kakek penjual obat itu bersama dua puterinya mengeroyok kakek muka kuning ini. “Keledai tua, sekarang kau menerima hukumanmu!”

Pemuda tak dikenal terkejut. Dia sebenarnya menyuruh kakek itu melarikan diri saja, tak mengira bakal mengeroyok bekas wakil ketua Seng-piauw-pang itu, melihat dia terdesak tapi sebenarnya dapat bertahan menghadapi kakek yang lihai ini. Maka melihat ayah dan anak itu menerjang Hong Jin sementara pertempuran di luar agaknya semakin dekat saja tiba-tiba pemuda ini berseru pada kakek Meng,

“Sin-lopek, kalian pergi saja. Kakek ini dapat kuhadapi!”

“Tapi dia telah menghina kami, orang muda. Sebaiknya kami balas dulu perbuatannya dan biar impas utang sakit hati ini!”

“Tapi kalian bukan lawannya, dia terlalu lihai...!” Tapi si pemuda yang terpaksa menghentikan seruannya dan menangkis serangan lawan tiba-tiba terpental ketika Hong Jin membentak marah, mencabut pisau belatinya dan kini menghadapi pengeroyoknya itu dengan mata berapi-api, ganas dan menakutkan karena kakek itu ingin segera menyelesaikan pertempuran. Dan ketika kakek Meng tetap membandel dan pemuda itu repot membujuk orang tahu-tahu Hong Jin mengambil senjata rahasianya dan langsung menimpuk ayah dan anak itu, tiga pisau kecil yang meluncur dengan kecepatan luar biasa.

“Sin-lopek, awas...!”

Kakek itu terkejut. Memang dia bukan tandingan kakek yang lihai ini, melihat berkeredepnya sinar putih dari pisau bintang. Dan ketika dia terpekik dan tak sempat mengelak tahu-tahu dua pisau yang lainnya juga menyambar dua anak perempuannya yang menjerit roboh.

“Aduh...!” Sin Meng dan dua anak gadisnya terjengkang. Pisau yang dilempar Hong Jin menancap di dada mereka, dalam sekali. Sin-lopek bahkan ditembus sampai punggungnya. Tentu saja membuat kakek ini berkelojotan dan tewas tak lama kemudian. Dan ketika Pek-ji dan Ang-ji juga roboh mengeluh tertahan tiba-tiba dua gadis itupun menyusul ayah mereka. Tewas!

“Hong Jin, kau tua bangka siluman...!”

Kakek muka kuning ini tertawa mengejek. Dia puas membunuh ayah dan anak itu, tak menghiraukan bentakan lawan. Kini merogoh lagi sebatang pisau bintang yang merupakan senjata maut itu. Tapi persis dia menimpuk senjatanya itu dan si pemuda mengelak kurang cepat tiba-tiba sebatang tongkat menangkis pisau bintang ini.

“Trak!” Pisau itu mental, jatuh di lantai dan seorang tosu muncul menghadang di tengah. Dan ketika Hong Jin terkejut dan mundur selangkah maka tosu ini, seorang kakek berjenggot jarang melintangkan tongkat di depan dadanya.

“Siancai, keganasanmu tak tanggung-tanggung, Hong Jin. Pantas kalau twa-suhengmu marah dan minta pinto (aku) membantunya!” dan ketika Hong Jin terbelalak dan merah mukanya maka tosu ini mendorong si pemuda. “Beng Lam, bawa mayat Sin Meng dan anak perempuannya itu keluar. Biar pinto menghadapi lawanmu ini.”

Beng Lam, pemuda tak dikenal itu mengangguk. Dia menyebut “suhu” pada tosu yang baru datang ini, kiranya muridnya. Dan Hong Jin yang sadar membelalakkan mata tiba-tiba menggeram.

“Lo-hoat Tosu, ada alasan apa yang membuatmu mencampuri urusan pribadi? Sejak kapan tosu-tosu Kun-lun lancang mencampuri urusan orang lain?”

“Hm, aku lancang karena terpaksa, Hong Jin. Suhengmu minta bantuanku untuk menangkap dirimu. Kalau kau baik-baik menyerah tentu pinto akan mintakan hukuman yang ringan pada suhengmu.”

“Keparat, siapa sudi bergaul dengan tosu bau macam dirimu? Kau lancang, Lo-hoat Tosu. Kau pergilah ke neraka...!” dan Hong Jin yang sudah menyerang menggerakkan pisau panjangnya tiba-tiba membentak dan marah menerjang tosu ini, ditangkis dan sudah membalik begitu lawan mementalkan pisau. Dan ketika Lo-hoat Tosu menyeringai dan mengelak ke sana-sini akhirnya kakek muka kuning ini bertubi-tubi melancarkan serangan seraya memaki-maki.

Tapi pertempuran rupanya berjalan Iain. Tongkat di tangan tosu tua itu rupanya dapat menahan pisau di tangan lawannya, berkali-kali menangkis dan berkali-kali itu pula membuat Hong Jin terkejut. Tongkat sama sekali tidak putus dan pisaunya malah terpental. Dan ketika Hong Jin memekik dan Lo-hoat Tosu melayani dengan tenang tiba-tiba pisau membentur tongkat untuk kesekian kalinya.

“Trak!” Pisau di tangan kakek ini melengkung. Hong Jin terkejut melihat kekuatan lawan, jelas sinkangnya kalah seusap. Dan ketika dia menusuk lagi dan Lo-hoat Tosu menangkis akhirnya pisau patah menjadi dua dan lepas dari tangannya.

“Krek!”

Hong Jin pucat. Dia membanting tubuh bergulingan ketika tongkat menyelinap cepat, menotok pundaknya dan menyambar dari atas ke bawah. Dan ketika lawan membentak berseru keras tiba-tiba Hong Jin mencabut senjatanya yang amat berbahaya, golok-tombak yang berisi jarum-jarum rahasia itu, senjata yang dulu telah membuat suhengnya terluka dan hampir roboh. Dan ketika tongkat menyambar dan kakek ini melompat bangun tiba-tiba golok-tombak itu telah menangkis dan langsung dipencet tombol rahasianya.

“Trak-cet-cet...!”

Lo-hoat Tosu terkejut. Golok-tombak tiba-tiba meluncurkan jarum -jarum halus yang berkilauan sinarnya, menangkis sekaligus menyerang mukanya dengan amat curang. Tapi tosu yang membentak dan sudah berseru keras ini tiba-tiba mengibaskan lengan jubahnya, menghantam dan menolak balik hamburan jarum-jarum halus itu. Dan ketika semua jarum runtuh dan Hong Jin memaki gusar maka kakek muka kuning ini sudah menerjang dengan senjata barunya itu.

“Lo-hoat Tosu, kau rupanya sudah dikisiki (diberi tahu) suheng...!”

Lo- hoat Tosu tersenyum. Dia tak menjawab memang sudah diberi tahu Sin-piauw Ang-lojin tentang senjata curang ini, golok-tombak yang dapat meluncurkan jarum-jarum rahasia kalau gagangnya dipencet. Jadi dapat bersiap dulu kalau lawannya mempergunakan senjata itu. Maka ketika Hong Jin membentak dan marah-marah padanya tosu inipun tak menggubris dan tetap tenang, mata jeli mengawasi setiap gerak-gerik senjata golok-tombak itu. Dan ketika pertempuran berjalan tigapuluh jurus dan Hong Jin tak dapat mendesak tosu itu akhirnya kakek ini melarikan diri, saat itu Wan Tiong Lojin dan Ki Siong Cinjin muncul, masuk dengan napas terengah-engah, menyerah.

“Suheng, musuh tak dapat kami tahan. Limapuluh pengawal roboh binasa...!”

Hong Jin terbelalak. Dia melihat seorang laki-laki tinggi besar mengejar dua sutenya itu, kakek yang gagah bermuka merah. Bukan lain ketua Seng-piauw-pang yang benci padanya, suhengnya yang amat lihai itu. Sin-piauw Ang-lojin! Dan ketika dia terbelalak meninggalkan Lo-hoat Tosu maka ketua Seng-piauw-pang yang berang itu membentak,

“Sam-wi sute, kalian mau kemana?”

Hong Jin terkejut. Suhengnya sudah tiba di belakang dua sutenya itu, menghantam melepas pukulan. Dan ketika dua adiknya menangkis tapi terlempar bergulingan maka Lo-hoat Tosu juga mengejar seraya berseru, “Hong Jin, kaupun mau kemana?”

Hong Jin menyambar kursi. Dia melempar benda itu pada Lo -hoat Tosu, ditangkis tongkat dan hancur berantakan, melarikan diri dan berseru pada dua adiknya untuk masuk ke dalam. Tapi ketika mereka memutar tubuh memasuki gedung Siong-taijin mendadak dari luar menyerbu masuk orang-orang yang mukanya dicoreng-moreng.

“Anak-anak, tahan tiga orang itu!”

Hong Jin dan dua sutenya mengamuk. Mereka mengeluarkan pisau- pisau bintang yang puluhan jumlahnya, menimpuk dan merobohkan orang-orang yang ada di depan, sejenak terhenti dan mau tidak mau tertahan gerakannya. Dan Lo-hoat Tosu serta Sin-piauw Ang-lojin yang berkelebat ke depan menyerang tiga orang ini akhirnya terpaksa membuat Hong Jin dan saudaranya membalik.

“Twa-heng, kau manusia jahanam!”

“Lo-hoat Tosu, kau keledai busuk!”

Tiga orang itu marah. Mereka memaki dan menangkis serangan suheng mereka, juga Lo-hoat Tosu yang mempergunakan tongkatnya itu. Tapi karena mereka sudah terdesak dan keadaan memang tidak menguntungkan akhirnya tiga orang ini terpelanting bergulingan ketika tongkat dan pukulan mengenai mereka.

“Des-dess!”

Hong Jin dan sute-sutenya mengeluh. Mereka sudah melompat bangun dengan muka pucat para penyerbu sudah mengurung rapat di sekitar mereka, ditahan Sin-piauw Ang-lojin yang tak ingin jatuh korban pada anak buahnya. Dan ketika kakek itu menerjang dan Hong Jin serta adik-adiknya mengumpat marah maka Lo-hoat Tosu juga sudah menggerakkan tongkat menyuruh tiga bersaudara itu menyerah.

“Hong Jin, kalian berlututlah baik-baik. Suheng kalian tak akan menghukum kelewat takaran!”

“Keparat, kaulah yang berlutut, tosu bau. Kau tak perlu ikut campur masalah ini... wut-trang!” dan Hong Jin yang kembali menghadapi Lo-hoat Tosu sementara dua adiknya menghadapi Sin-piauw Ang-lojin akhirnya memecah pertempuran menjadi dua, nekat menyerang dan tidak mau menyerah.

Dan ketika pertempuran kembali berjalan sengit namun Hong Jin dan kawan-kawannya terdesak maka tongkat di tangan Lo-hoat Tosu akhirnya menggebuk pundak kakek muka kuning ini, membuat Hong Jin berteriak sementara dua adiknya juga mendapat pukulan ketua Seng-piauw-pang, terpelanting roboh dan senjata hampir terlepas dari tangan. Dan ketika pertempuran berjalan beberapa saat lagi dan Ki Siong Cinjin yang merupakan orang terlemah diantara semuanya menangkis pukulan mendadak tanpa disangka kaki Sin-piauw Ang-Iojin menyambar pinggangnya.

“Dess...!” kakek muka kurus ini mencelat, menjerit dan terbanting dengan muka kesakitan. Senjatanya terlepas dan roboh terjerembab. Dan ketika dia melompat bangun tapi terhuyung dengan kepala berputar tahu-tahu suhengnya yang marah itu menerima tusukan Wan Tiong Lojin, ditangkis dan membuat pisau panjang di tangan Wan Tiong Lojin mencelat, terlempar dari tangan kakek itu, yang celakanya menyambar Ki Siong Cinjin. Dan persis Ki Siong Cinjin melompat terhuyung pisaupun menyambar dadanya.

“Crep!” Ki Siong Cinjin mendelik. Kakek ini mengeluh, mendekap dadanya dan seketika roboh terjengkang. Tentu saja kaget dan kesakitan. Pisau menembus dadanya terlalu dalam. Dan ketika dia melotot dan Wan Tiong Lojin terkejut maka Ki Siong Cinjin sudah berkelojotan dan tewas tak lama kemudian. Terbunuh secara tak sengaja oleh saudaranya sendiri. Dan persis kakek muka kurus itu roboh tiba-tiba sesosok bayangan hitam berkelebat melempar granat.

“Hong Jin, lari...!”

Orang-orang terkejut. Mereka sedang tertegun sejenak oleh kematian Ki Siong Cinjin, tak menyangka seseorang menyambar masuk melempar granat, meledak dan membuat orang-orang yang terdekat menjerit terpelanting, roboh dan kalut. Dan ketika asap hitam juga membubung memenuhi tempat itu maka Hong Jin yang girang berseru pendek tiba-tiba menyambitkan jarum-jarum halus ke arah Lo-hoat Tosu.

“Tosu bau, terimalah kematianmu...!”

Lo-hoat Tosu mengelak. Dia melompat mundur mengibaskan lengan bajunya, meruntuhkan jarum dan terkejut oleh ledakan granat. Dan Hong Jin yang mempergunakan kesempatan ini melarikan diri tiba-tiba menyambar mayat sutenya berseru pada Wan Tiong Lojin.

“Ji-sute (adik kedua), lari...!”

Wan Tiong Lojin mengangguk. Dia sudah menyelinap di balik asap, memang tahu bahwa itu kesempatan satu- satunya untuk menyelamatkan diri. Dan ketika dia membalik dan bayangan hitam berkelebat keluar kakek inipun mengikuti dan meninggalkan lawannya yang marah-marah.

“Sute, kalian tak boleh lari!”

Namun bentakan Sin-piauw Ang-lojin itu sia-sia. Kakek tinggi besar ini sudah dilempar granat, berjungkir balik dan dikurung asap tebal yang mengelilingi dirinya, tentu saja tak dapat mengejar. Dan ketika asap menipis dan Sin-piauw Ang-lojin marah-marah maka musuh melarikan diri entah kemana, membuat kakek itu berjingkrak dan menyesal bukan main, melihat Lo-hoat Tosu juga mencari tapi kembali dengan tangan hampa. Tapi ketika mereka teringat pada Siong-taijin yang menyembunyikan diri akhirnya kakek ini mencari pembesar itu. Dan Siong-taijin ketemu di kamarnya, bersembunyi di balik tubuh seorang selir. Dan Sin-piauw Ang-lojin yang melompat mencengkeram pembesar ini akhirnya bertanya dengan suara geram,

“Manusia busuk, dimana itu suteku bersembunyi?”

“Aku... aku tak tahu, lojin. Mungkin anakku dapat bercerita...!”

“Dimana anakmu?”

“Di belakang. Dia bersembunyi di... di...”

Sin-piauw Ang-lojin membanting pembesar ini. Siong-taijin sudah tak dapat meneruskan kata-katanya karena tubuhnya sudah dilempar, membentur tembok dan pingsan dengan hidung berdarah, ujungnya remuk dan tentu saja membuat selirnya ketakutan, hampir pula pingsan seperti pembesar itu. Tapi ketika Sin-piauw Ang-lojin mencari putera Siong-taijin ternyata Siong Gwan melarikan diri bersama gurunya.

“Keparat, kita harus lapor pada Liang-taijin (gubernur Liang)!” Sin-piauw Ang-lojin marah-marah, disambut kerut yang dalam di alis Lo-hoat Tosu yang tebal, agaknya masih berpikir.

Tapi ketika mereka keluar lagi dan menemui anak buah mereka mendadak mereka tertegun melihat anak buah mereka, orang-orang yang mencoreng mukanya itu sudah terkapar di halaman depan sementara Beng Lam, murid Lo-hoat Tosu yang tadi menolong Sin-lopek tampak ditelikung tangannya oleh seorang pemuda bermuka pucat, membawa kipas dan ular di tangan kiri sementara belasan busu (pengawal istana) berdiri tegak di belakang pemuda itu...!

Pendekar Rambut Emas Jilid 12

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 12
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“DIA tak akan datang. Kau tak perlu cerewet lagi dan cepat saja robohkan raksasa hitam ini!”

Mo-ong kembali membentak, merasa gemas dan kagum juga pada lawannya karena Gurba memang hebat dan dapat menghadapi mereka berdua, terutama kekebalannya itu. Kekebalan yang selalu membuat rambut maupun kipas terpental bertemu tenaga yang kuat. Terkejut oleh sinkang lawan yang ternyata dua tingkat di atas dirinya sendiri. Dan ketika Tiat-lui-kang membalas sementara Bin-kwi masih ragu-ragu mendadak Telapak Petir raksasa itu menyambar pundaknya.

“Plak!” Mo-ong meraung, untuk pertama kalinya dia terpukul, baju pundaknya hancur sementara kulit pundaknya hitam kebiruan, terguling-guling dan memaki-maki si Setan Ketawa itu yang tidak cepat maju. Dan ketika Bin-kwi terkejut dan Tok-gan Sin-ni juga terbelalak tiba-tiba rambut wanita itu terpental dan Tiat-lui-kang menyambar dada wanita ini.

“Aih... dess!” Tok-gan Sin-ni kurang cepat berkelit, berteriak dan menjatuhkan diri bergulingan ketika pangkal lengannya terpukul, hampir membuat dia menangis. Sakitnya bukan alang-kepalang, persis disambar petir. Dan ketika dua orang itu berteriak memaki Siauw-bin-kwi dan Siauw-bin-kwi melihat temannya terdesak maka iblis ini maju menerjang ketika Mo-ong dan Sin-ni melompat bangun.

“Mo-ong, maaf. Aku kira kalian main-main!”

“Main-main hidungmu!” Tok-gan Sin-ni marah. “Raksasa ini harus dikeroyok bertiga, Bin-kwi. Kalau tidak justeru kau yang akan kami tonton!”

“Eh, jangan!” Siauw-bin-kwi terkejut. “Aku akan meninggalkan juga raksasa ini, Sin-ni. Ayo bantu dan mari kita keroyok!”

Sin-ni mendengus. Sebenarnya ia marah pada si Setan Ketawa itu, kenapa terlambat maju hingga ia terpukul. Tapi Mo-ong yang membentak menerjang ke depan sudah mengajaknya agar tidak tinggal diam, tak perlu membalas sikap si Setan Ketawa itu yang menonton mereka. “Sin-ni, bunuh si Tar-tar ini. Ayo maju...!”

Tok-gan Sin-ni mengangguk. Dia melihat Mo-ong sudah mengebutkan kipasnya itu, bersama Siauw-bin-kwi mengeroyok si tinggi besar, karena Siauw-bin-kwi terpental ketika beradu lengan, mendesis menerima Tiat-lui-kang. Dan ketika Tok-gan Sin-ni meledakkan rambut dan Gurba dikeroyok tiga maka pertandingan menjadi lebih seru dan raksasa ini mulai sering menerima hantaman, baik pukulan rambut maupun totokan kipas, bertubi-tubi sementara Siauw-bin-kwi mencari kelengahan di belakang, menyodok atau menampar raksasa itu dengan pukulannya yang berbahaya. Dan karena Gurba mulai berat menerima tekanan lawan tiba-tiba raksasa ini terdesak dan marah-marah.

“Siauw-bin-kwi, kau setan hina-dina!”

“Ha-ha, hina-dina tak apa, Gurba. Pokoknya menang dan kau mampus!” Siauw-bin-kwi terkekeh, terus menyerang dan mengganggu Gurba dengan serangan-serangan di belakang. Dan ketika Mo-ong membentak sementara Tok-gan Sin-ni juga melecutkan rambut maka Siauw-bin-kwi sudah menghentakkan kaki “menjalu” tengkuk raksasa ini.

“Plak-duk-dess!”

Gurba terlempar. Tiga serangan yang hampir berbareng itu memang tak mungkin ditangkisnya secara serentak, betapapun hanya pukulan dan hantaman Mo-ong dan Tok-gan Sin-ni yang ditahan, membuat dia tergetar dan marah. Tapi karena Siauw -bin-kwi berbuat curang dibelakang dan tengkuknya persis “dijalu” akhirnya raksasa tinggi besar ini berteriak dan mencelat terlempar.

Dan saat itu tiga lawannya terkekeh, berkelebat menyambar dengan serangan masing-masing yang tak kenal ampun, melihat Gurba masih dapat bangun karena terlindung oleh kekebalan sinkangnya yang hebat itu. Dan ketika mereka bertiga hampir berbareng melepas pukulan maka saat itu Gurba memekik menggetarkan tubuhnya, secepat kilat mengembangkan lengan di kanan kiri tubuhnya, kedua kakinya menancap kuat. Dan begitu tiga serangan menuju dadanya tiba-tiba dari kedua lengan raksasa ini muncul sinar putih berkeredep seperti bintang.

“Awas, Pek-sian-ciang (Pukulan Tangan Dewa)...!”

Namun terlambat. Tiga serangan itu telah bertemu lengan raksasa ini, menggelegar dan membuat bumi terguncang, daun-daun di sekitar mereka tiba-tiba rontok. Dan ketika Siauw-bin-kwi berseru memperingatkan kedua temannya maka saat itu juga tiga tubuh terlempar di udara sementara rambut dan kipas hancur berkeping-keping.

“Krakk!”

Mo-ong dan teman-temannya menjerit. Mereka berjungkir balik di udara, Tok-gan Sin-ni sendiri brodol rambutnya, putus separuh. Dan ketika mereka melayang turun dan ketiga-tiganya melontakkan darah maka Gurba sendiri juga melesak tak dapat mencabut kakinya yang amblas sekitar lutut!

“Hebat...!” Siauw-bin-kwi gemetar. “Si Singa Daratan Tandus ini memang luar biasa...!”

“Ya, dan... augh!” Mo-ong mendekap dadanya. “Pukulannya ampuh, Bin-kwi. Dia membuat jantungku serasa pedot...!” dan dua iblis itu yang terhuyung menyeringai sakit tiba-tiba cepat menelan obat dan melihat Tok-gan Sin-ni batuk-batuk.

“Mo-ong, Pek-sian-ciang memang hebat. Tapi ilmu pukulan itu kabarnya dimiliki Bu-beng Sian-su. Bagaimana Kim-mou-eng dan suhengnya ini mewarisi ilmu itu?”

Dua iblis itu tak dapat menjawab. Mereka memang mendengar bahwa Pek-sian-ciang adalah ilmu sakti yang dimiliki manusia sakti Bu-beng Sian-su. Tokoh dewa yang selalu misterius itu. Tak dikenal mukanya karena selalu tertutup halimun, itupun tak sembarang orang dapat menjumpainya. Dan heran serta gentar oleh Pukulan Tangan Dewa yang dimiliki raksasa ini tiba-tiba Siauw-bin-kwi bermaksud mundur, betapapun ngeri oleh pukulan yang hebat itu.

Tapi jeritan Salima tiba-tiba menarik perhatian mereka, melihat gadis Tar-tar itu mencelat terbanting oleh pukulan Hek-bong Siang-lo-mo, baru teringat bahwa di samping mereka masih ada pertempuran lain. Yakni Salima melawan dua kakek cebol itu. Dan ketika Salima terlempar dan Hek-bong Siang-lo-mo mengejar maka dua kakek cebol itu terkekeh menyusuli serangannya, tak sempat dikelit lagi karena Salima sesungguhnya sudah terdesak oleh dua orang lawan yang maju berbareng ini, terlalu berat baginya. Dan ketika gadis itu mengeluh dan terlempar bergulingan maka secara tak sengaja dia mendekati suhengnya itu.

“Des-dess!”

Salima pucat. Dia sudah menabrak kaki suhengnya yang terbenam sebatas lutut, berhenti di situ dan muntahkan darah. Tapi Hek-bong Siang-lo-mo yang rupanya penasaran melihat gadis itu belum tewas tiba-tiba berkelebat lagi menurunkan tangan maut, dicegah Mo-ong yang terkejut melihat rekannya lupa diri. Tak boleh membunuh gadis Tar-tar itu!

Tapi Gurba yang menggeram dan tentu saja tak membiarkan sumoinya dibunuh tiba-tiba mengeluarkan Pek-sian-ciangnya itu, membentak dan menangkis. Dan begitu dua pukulan kakek cebol itu bertemu lengan raksasa ini akhirnya Hek-bong Siang-lo-mo menjerit dan ganti melontakkan darah.

“Bress!” Dua kakek itu mencelat bergulingan. Mereka kaget oleh tangkisan ini, sadar akan adanya Gurba. Dan Gurba sendiri yang mendelik menerima pukulan itu tiba-tiba melesak semakin dalam hingga di atas lututnya. Tentu saja tak dapat bergerak.

Dan Salima yang sudah pingsan oleh getaran benturan itu tiba-tiba menggeletak di depan suhengnya tak tahu apa-apa lagi, tak tahu betapa Tok-gan Sin-ni melengking menerjang maju, nekat menyuruh dua temannya yang lain menyerang raksasa itu. Mumpung Gurba terbenam. Dan begitu Mo-ong dan Bin-kwi mengangguk tiba-tiba Gurba sudah dikeroyok dalam keadaan yang begitu buruk. Kedua lutut masih terkubur di dalam tanah!

“Plak-plak-plak!”

Gurba memaki-maki. Dia menangkis dan kerepotan oleh serangan lawan yang bebas bergerak di sekitar dirinya, menerima serangan dan pukulan lawan yang gencar. Yang untungnya sudah terluka hingga pukulan mereka tak sekuat tadi, mungkin tinggal separuh. Tapi karena dia terbenam dan kedua kaki tak dapat digerakkan maka betapapun hebat raksasa ini dia harus mengakui kelemahannya juga, lama-lama menjadi nanar dan pandangan menjadi gelap.

Dan ketika Hek-bong Siang-lo-mo juga diajak mengeroyok raksasa tinggi besar ini yang menjadi pendek karena lutut terbenam akhirnya kepala dan tengkuk pemuda Tar-tar itu menjadi bulan-bulanan pukulan. Gurba mulai mengeluh dan benar-benar bertahan mengandalkan sinkangnya saja. Tapi karena dia tak dapat membalas dan lawan tak memberi kesempatan padanya untuk mencabut kaki akhirnya satu pukulan keras mendarat di telinga kanannya.

“Plak!” Gurba berputar. Dia tak dapat roboh, hanya mendoyong saja karena kaki tertahan di dalam tanah. Dan ketika satu tamparan lagi mengenai tengkuknya raksasa ini mengeluh dan tergoyang perlahan.

“Dukk!” Gurba juga tak mampu mengelak. Dia hanya menggigit bibir, melihat lawan berputar dan terkekeh-kekeh mempermainkannya, kembali menerima pukulan di sana-sini sementara pertahanannya mulai lemah. Dan ketika Tok-gan Sin-ni melengking mengibaskan rambutnya yang masih separuh tiba-tiba dengan keji wanita ini menyambar mata lawan agar menjadi buta, disusul yang lain yang tertawa-tawa melihat keadaan Gurba yang kian limbung. Kekebalannya mulai punah karena sinkang juga mulai lemah. Tapi persis raksasa itu menerima serangan rambut tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat membentak orang-orang ini,

“Tok-gan Sin-ni, kau wanita keji... plak!”

Tok-gan Sin-ni terkejut. Dia terlempar oleh tangkisan itu, melihat seorang pemuda berambut keemasan muncul menangkis serangannya. Dan ketika pemuda itu juga berkelebatan dan menangkis serangan yang lain maka berturut-turut Siauw-bin-kwi dan teman-temannya itu terpental sementara pemuda yang baru datang ini telah mencabut Gurba dari dalam tanah.

“Kim-mou-eng...!”

Tok-gan Sin-ni dan teman-temannya berseru kaget. Mereka melihat bahwa pendatang baru ini memang bukan lain Kim-mou-eng adanya, Pendekar Rambut Emas. Dan ketika mereka tertegun dan Gurba juga terbelalak maka Kim-mou-eng, pemuda sakti itu telah memandang suhengnya.

“Suheng, kau tak apa-apa?”

Gurba sadar. Raksasa tinggi besar ini menggeleng, terkejut tapi girang di samping cemas meIihat munculnya sang adik. Tapi menekan perasaan sendiri dan melihat Salima masih pingsan tiba-tiba raksasa ini memandang Siauw-bin-kwi dan teman-temannya itu, menggereng. “Sute, orang-orang ini hendak membunuhku. Mereka mengeroyok secara curang. Hek-bong Siang-lo-mo bahkan melukai sumoi kita. Ayo basmi dan bunuh mereka itu...!”

Dan Gurba yang melompat membentak marah tiba-tiba melepas pukulan menghantam Siauw-bin-kwi, ditangkis tapi membuat iblis itu mencelat. Dan ketika Siauw-bin-kwi terkejut dan Gurba menyerang lagi maka Setan Ketawa ini berteriak pada teman-temannya.

“Mo-ong, tolong. Bantu aku...!”

Sai-mo-ong tertegun. Dia telah membuktikan kelihaian raksasa tinggi besar ini, juga kelihaian Pendekar Rambut Emas yang tak kalah dengan raksasa itu. Tapi melihat temannya terdesak dan pukulan Pek-sian-ciang mulai menyambar-nyambar dan Siauw-bin-kwi berlompatan ke sana ke mari akhirnya iblis tua ini mengangguk melompat maju.

“Sin-ni, ayo pukul si Tar-tar ini. Biar Hek-bong Siang-lo-mo menghadapi Kim-mou-eng!”

Tok-gan Sin-ni mengangguk. Dia juga melihat kesempatan baik itu, melihat kecerdikan Mo-ong dengan mengeroyok Gurba, menyerahkan Kim-mou-eng yang masih segar pada Hek-bong Siang-lo-mo sementara mereka menghadapi raksasa yang sudah kelelahan ini. Tentu saja satu akal licik yang diketahui Hek-bong Siang-lo-mo, yang mengerutkan kening tak senang memandang Mo-ong.

Tapi karena Siauw-bin-kwi dan Tok-gan Sin-ni sudah maju mendahului dan mau tak mau mereka harus menghadapi Kim-mou-eng akhirnya dua kakek cebol ini terkekeh melepas kemendongkolan, melihat Pendekar Rambut Emas memandang pertempuran itu.

“Kim-mou-eng, tak perlu cemas. Suhengmu bakal diantar ke neraka, menyusullah...!” dan mereka berdua yang sudah menubruk dan menyerang dari belakang tiba-tiba mengeluarkan Bola Saktinya itu dan menghantam Kim-mou-eng.

“Plak-plak!”

Kim-mou-eng menangkis, melihat lawan terpental tapi membalik lagi seperti balon karet. Dan ketika Hek-bong Siang-lo-mo tertawa dan Kim-mou-eng mengerutkan alis maka dua kakek cebol itu bertubi-tubi menghujani serangan.

“Kim-mou-eng, kau mampuslah!”

Kim-mou-eng berkelebatan mengerahkan ginkang. Dia merasa aneh dengan pukulan lawan yang asing, tentu saja mengeluarkan Tiat-lui-kangnya itu dan menangkis ke sana ke mari, melihat pertempuran suhengnya dengan pandangan khawatir. Tapi karena Hek-bong Siang-lo-mo selalu mendesak dan mengejek padanya tiba-tiba pendekar ini marah dan berseru pada suhengnya itu, “Suheng, serahkan saja Tok-gan Sin-ni dan Mo-ong padaku. Kau hadapilah Siauw-bin-kwi seorang diri!”

“Weh, kau berani dikeroyok empat?” Hek-bong Siang-lo-mo terbelalak, terus melakukan serangan dan merasa tak dipandang sebelah mata oleh pendekar ini. Tapi ketika Balon Sakti mereka mulai terpental dan Tiat-lui-kang yang dimiliki pendekar ini jauh lebih kuat dibanding dengan yang dimiliki Salima tiba-tiba dua iblis itu terkejut ketika Kim-mou-eng mulai mengarahkan pukulan pada mulut mereka. Jadi tahu pengapesan (kunci kelemahan) mereka, persis seperti Gurba!

“Keparat, kau jahanam keparat, Kim-mou-eng. Kau dan suhengmu itu rupanya manusia-manusia tengik yang suka mencari tahu kelemahan orang!”

Kim-mou-eng tak menjawab. Ia memang tak kalah jauh dengan suhengnya itu, kalau tak mau dikata berimbang. Maka ketika Hek-bong Siang-lo-mo memekik dan ia terus berteriak agar Mo-ong dan Tok-gan Sin-ni diserahkan padanya mendadak pendekar ini berkelebat menarik baju Tok-gan Sin-ni, tahu kerepotan suhengnya yang betapapun mulai lelah. Dan ketika Tok-gan Sin-ni berteriak dan wanita itu dilempar ke arah Hek-bong Siang-lo-mo maka Pendekar Rambut Emas telah menyambar Sai-mo-ong, ganti melempar kakek iblis ini.

“Mo-ong, kalian boleh keroyok aku saja. Biarkan suheng menghadapi si Setan Ketawa itu...!”

Mo-ong dan Tok-gan Sin-ni marah-marah. Mereka merasa dipermainkan oleh pemuda sakti ini, coba kembali ke tempat Gurba tapi lagi-lagi diganggu, disambar pundak mereka. Dan ketika tiga empat kali kejadian itu terus berlangsung dan Hek-bong Siang-lo-mo juga berkaok-kaok akhirnya Sai-mo-ong dan Tok-gan Sin-ni benar-benar mengeroyok Pendekar Rambut Emas!

“Kim-mou-eng, kau bangsat jahanam. Kau sombong sekali!”

Kim-mou-eng tertawa. Sekarang dia dapat menarik empat orang ini mengeroyok dirinya, tahu meskipun dikeroyok empat tapi sesungguhnya sama dengan dikeroyok dua. Karena empat iblis itu telah menguras tenaganya melawan suhengnya, jadi tenaganya tinggal separuh atau kurang. Perhitungan yang membuat dia berani mengambil alih keroyokan itu karena lawan memang kehilangan banyak tenaga, sementara dia masih segar. Dan ketika Tiat-lui-kang mulai menangkis dan sesekali Pek-sian-ciang juga membentur pukulan-pukulan lawan akhirnya Sai-mo-ong dan teman-temannya itu terhuyung, memaki-maki.

“Kim-mou-eng, kau sombong kelewat sombong. Kau pemuda keparat!”

Kim-mou-eng tersenyum. Dia telah memperhitungkan semuanya itu, tahu kesegaran tenaga sendiri dan tak menghiraukan makian lawan. Dan ketika dia mulai membalas dan Mo-ong serta teman-temannya sering terpental maka Siauw-bin-kwi yang bertempur melawan Gurba mulai berkaok-kaok. Kiranya Setan Ketawa itu kalah lihai, mendapat tekanan dan mulai menerima pukulan-pukulan berat. Tentu saja gentar dan marah bukan main pada Kim-mou-eng yang menyeret teman-temannya agar meninggalkan raksasa tinggi besar itu, padahal dia butuh bantuan. Dan ketika Gurba menggereng dan satu pukulan Pek-sian-ciang mengenai pundaknya tiba-tiba iblis ini menjerit dan terlempar bergulingan.

“Dess!” Siauw-bin-kwi berkaok. Dia merasa daging pundaknya lumat, padahal Gurba juga sudah kehilangan banyak tenaganya dalam pertempuran ini. Dan ketika raksasa itu mengejar dan satu pukulan lagi menyerempet telinganya akhirnya si Setan Ketawa ini menjerit melompat tinggi.

“Mo-ong, aku permisi dulu. Kuserahkan saja pertempuran ini padamu...!” Siauw-bin-kwi melarikan diri. Dia terlanjur pucat menghadapi pukulan Pek-sian-ciang itu, hanya seorang diri.

Dan ketika iblis itu berkelebat dan Gurba membentak tiba-tiba raksasa ini mengejar dengan seruan geram. “Bin-kwi, jangan lari kau. Kubunuh dulu!”

Tapi Siauw-bin-kwi sudah melesat jauh. Iblis Ketawa ini tak mau ambil resiko, merogoh baju dan secepat kilat melemparkan granat tangan ke arah Gurba. Dan ketika Gurba berkelit dan granat itu meledak maka asap hitam menghalangi raksasa tinggi besar ini.

“Dar!”

Gurba marah-marah. Dia terhalang asap itu, mengejar ke tempat lain. Tapi ketika dia tak menemukan lagi musuhnya itu karena lawan lenyap di balik asap akhirnya raksasa ini kembali dan melampiaskan kemarahannya pada empat orang lawan Kim-mou-eng. “Mo-ong, kalian iblis-iblis busuk yang tidak tahu malu. Biar kalian saja yang kubunuh duluan... wut-plak!”

Dan Mo-ong yang menerima tumbukan pukulan tiba-tiba mencelat dan terlempar berseru kaget, terguling-guling dan sudah diserang raksasa ini. Dan ketika Gurba juga menyerang yang lain dan Tok-gan Sin-ni serta Hek-bong Siang-lo-mo mendesah kaget tiba-tiba empat orang iblis itu mawut.

“Sin-ni, lari...!”

Tok-gan Sin-ni mengangguk. Ia juga telah merasakan kegagalan misi ini, tak dapat membunuh Gurba karena Kim-mou-eng datang. Lawan yang tak kalah berat dengan raksasa hitam itu. Dan ketika Mo-ong berteriak agar mereka lari saja tiba-tiba nenek ini melecutkan rambutnya, merogoh jarum-jarum beracun sekaligus menyambitkannya ke arah raksasa itu, karena Gurba menyerangnya. Dan ketika Gurba mundur dan Mo-ong juga melepas pelornya tiba-tiba puluhan senjata rahasia berhamburan ke arah kakak dan adik seperguruan ini.

“Wut-plak-plak!”

Gurba dan Kim-mou-eng menangkis. Mereka meruntuhkan hamburan senjata gelap itu. Gurba bahkan menggeram-geram. Tapi ketika semua senjata runtuh dan mereka hendak mengejar ternyata bayangan Tok-gan Sin-ni dan teman-temannya lenyap, hanya kekeh mereka saja yang terdengar di kejauhan sana.

“Gurba, tak perlu sombong. Kami titipkan dulu nyawamu di situ. Biar lain kali kami ambil!”

“Ya, dan kau juga, Kim-mou-eng. Jaga baik-baik nyawamu itu biar lain kali kami datang, heh-heh!”

Gurba dan Kim-mou-eng mendongkol. Raksasa tinggi besar itu marah, tapi karena dia tak dapat mengejar dan lawan tentu akan mengeluarkan lagi senjata-senjata rahasianya itu padahal dia sudah lelah akhirnya raksasa ini berhadapan dengan sutenya, Kim-mou-eng yang tidak menduga apa-apa terhadap suhengnya itu. Tapi begitu dua mata beradu dan Kim-mou-eng bertanya apakah suhengnya tidak apa-apa mendadak Gurba menghantamnya dengan satu pukulan maut.

“Sute, kau pengkhianat keparat!”

Kim-mou-eng terkejut. Dia tentu saja mengelak, terkesiap melihat angin pukulan suhengnya lewat di sisi telinganya. Dan ketika Gurba kembali menyerangnya dan Kim-mou-eng membelalakkan mata tiba-tiba pendekar ini menangkis dengan penuh ketidak-mengertian.

“Dukk!” Dua lengan mereka tergetar. Kim-mou-eng terdorong, sementara suhengnya juga terhuyung. Dan belum sang suheng menyerang kembali buru-buru Kim-mou-eng berseru,

“Suheng, tahan. Aku tidak mengerti!” dan Kim-mou-eng yang melompat mundur dengan muka terkejut sudah menegur, “Suheng, apa-apaan ini? Kenapa kau menyerangku?”

“Hm, kau mengkhianati bangsa Tar-tar, sute. Kau tak perlu bertanya lagi karena kau sudah tahu... wutt!” dan Gurba yang menggeram mencelat maju tiba-tiba melepas pukulan, marah dan tidak memberi kesempatan sutenya bicara.

Dan karena Gurba terus menyerang dan tidak membiarkan dia berhenti akhirnya Kim-mou-eng berlompatan ke sana ke mari sambil berseru berulang-ulang, bertanya kenapa suhengnya marah-marah begitu. Tapi ketika suhengnya mulai mengeluarkan Pek-sian-ciang dan Kim-mou-eng kaget melihat suhengnya hendak membunuhnya tiba-tiba pendekar ini terpekik meloncat jauh.

“Suheng, kau gila. Kau benar-benar hendak membunuhku!”

“Ya, aku hendak membunuhmu, sute. Kau membuat malu bangsa Tar-tar dan karena itu pantas dibunuh!” dan Gurba yang mengejar dan tampak beringas melancarkan pukulan tiba-tiba diterima dan ditangkis sutenya ini.

“Duk-dukk...!”

Kim-mou-eng terpental. Dia tercekat dan benar-benar kaget melihat suhengnya bersungguh-sungguh, merasakan suhengnya mengerahkan segenap kekuatan pada pukulannya itu, yang untungnya masih tidak sepenuh bagian karena suhengnya sudah lelah. Dan ketika dia berteriak-teriak dan Gurba tak menjawab selain memperhebat serangannya itu maka Salima yang pingsan tiba-tiba sadar dan melompat bangun, langsung berdiri dan mengeroyoknya dengan lengking tinggi!

“Kim-mou-eng, kau pengkhianat bangsa Tar-tar...!”

Kim-mou-eng kaget, bertambah kaget. Dia melihat sumoinya juga bersungguh-sungguh, langsung melepas Tiat-lui-kang menghantam kepalanya. Satu serangan maut! Dan karena tak mau begitu saja dibunuh tanpa sebab padahal Gurba juga menyerangnya di sebelah kanan tiba-tiba Kim-mou-eng menjadi marah dan membentak menangkis dua serangan itu.

“Des-dess!”

Tiga saudara seperguruan itu sama terlempar. Baik Salima maupun suhengnya terpental setombak lebih, untung bagi Kim-mou-eng karena Salima juga masih belum mendapatkan tenaganya secara penuh, baru sadar dan masih pusing. Tapi karena dua serangan itu dilakukan hampir berbareng dan masing-masing tak berselisih jauh maka Pendekar Rambut Emas ini juga mencelat dan terbanting setombak lebih, melompat bangun dan kembali berteriak kenapa dua saudaranya itu menyerangnya. Tapi Salima yang benci dan mata gelap tidak menjawab, bahkan menerjang semakin ganas seperti Gurba sendiri. Dan karena suheng dan sumoinya tampak menyerang bersungguh-sungguh akhirnya Kim-mou-eng menjadi pucat dan penasaran.

“Suheng, kalian seperti setan-setan kelaparan. Apa dosa dan salahku hingga kalian kalap begini? Apa maksud kalian?”

Gurba dan Salima tak menjawab. Raksasa tinggi besar itu bahkan menggereng, melepas Pek-sian-ciang hingga menyerempet pundak sutenya, baju hancur dan seketika membuat kulit pundak Kim-mou-eng terbakar. Dan ketika Salima juga melepas Tiat -lui-kang dan hampir saja meledakkan kepalanya tiba-tiba Kim-mou-eng mengeluh dan melarikan diri!

“Baiklah, kalian seperti manusia-manusia bisu, suheng. Aku penasaran dan sungguh benci pada sikap kalian!”

“Keparat, kami yang benci padamu, Kim-mou-eng. Kau tak tahu malu dan mengkhianati bangsa Tar-tar!” Salima memekik, mengejar suhengnya itu sementara Gurba juga mengikuti, membentak dan tak mau melepas sutenya ini pergi.

Tapi karena Kim-mou-eng memiliki tenaga yang lebih segar dibanding suheng dan sumoinya itu akhirnya Kim-mou-eng berhasil melarikan diri dan disambut caci-maki sumoinya, yang marah karena pemuda itu lolos. Dan ketika Salima terengah-engah di tepi hutan dan Gurba menggigil di sebelahnya tiba-tiba gadis ini jatuh terduduk, menangis tersedu-sedu.

“Suheng, manusia jahanam itu lolos. Kita gagal!”

“Sudahlah, kita dapat mencarinya di lain waktu, sumoi. Kali ini kita gagal tapi di lain kesempatan tentu berhasil!” Gurba juga melempar tubuhnya di atas tanah, lelah dan gemetar akibat pertempuran yang berat.

Dan ketika Salima teringat pada bayangan Hek-bong Siang-lo-mo dan teman-temannya mendadak gadis ini menghentikan tangisnya, mengerutkan kening. “Suheng, dimana Hek-bong Siang-lo-mo dan teman-temannya itu?”

Gurba terkejut. “Mereka melarikan diri, sumoi.”

“Kalah olehmu?”

“Tidak,” Gurba berhati-hati, maklum sumoinya ini dapat mengukur sampai dimana kemampuannya. Dan merasa tak ada gunanya berbohong tentang hal itu akhirnya raksasa ini berterus terang juga, gelap mukanya. “Dia datang, sumoi. Dan dialah sesungguhnya yang menyelamatkan kita dari keganasan Hek-bong Siang-lo-mo dan teman-temannya itu.”

“Kim-suheng?”

“Ya.”

“Ah, kita berhutang budi!” Salima membanting kaki. “Kalau begitu anggap saja lolosnya kali ini sebagai imbalannya, suheng. Tapi lain kali kita bertemu dia harus dibunuh!”

Gurba mengangguk. Sebenarnya dia menyesal sutenya itu lolos, apalagi saat itu sumoinya pingsan. Jadi kesempatan bagus kalau dia membunuh sutenya itu, agar bungkam dan selama-lamanya tak bicara lagi. Jadi rahasianya tetap tersimpan. Tapi karena sutenya melarikan diri dan ini satu peluang yang membahayakan kedudukannya tiba-tiba Gurba bangkit berdiri mengajak mencari lagi.

“Sumoi, dia tentu tak akan jauh dari kita. Ayolah, kita cari lagi dan sergap dia!”

Salima mengangguk. Dia juga panas dan marah melihat ji-suhengnya itu melarikan diri, diam-diam benci dan menangis lagi teringat suhengnya itu menikah dengan wanita Han, meninggalkan dirinya dan tidak mengacuhkan cintanya. Tapi ketika Kim-mou-eng tak dapat mereka temukan dan orang yang mereka cari entah pergi kemana akhirnya Salima dan Gurba menuju ke barat, melanjutkan langkah yang harap-harap cemas.

* * * * * * * *

Pagi itu, di kota Pi-yang sekelompok penjual obat beraksi di tengah kota. Suara tambur dan gembreng yang mereka pukul menarik perhatian semua orang. Bukan kepada bunyi-bunyian yang riuh ini melainkan kepada penabuhnya, dua orang gadis cantik yang duduk di atas roda, semacam tong kayu yang bergulir ke sana ke mari, lincah dipermainkan dua gadis itu sementara tangan mereka menabuh alat-alat pukul yang ribut bunyinya. Dan ketika seorang laki- laki tua mulai menggelarkan barang dagangannya dan para penonton mulai berdatangan maka seperti biasa aksi pedagang obat kakek ini menyuruh dua gadis itu bersilat.

“Ayo, kalian lompati dua tangga tali itu, anak-anak. Ramaikan dan buat suasana ini menjadi cerah!”

Dua gadis itu mengangguk. Mereka tersenyum manis, tetap memukul tambur dan gembreng tapi meninggalkan tong kayu itu, meloncat ringan di atas tangga tali yang telah dipasang si kakek. Dan ketika keduanya berseru keras dan tambur serta gembreng sejenak berhenti tiba-tiba keduanya sudah melompat tinggi dan berjungkir balik melewati tangga tali itu, turun di tempat berlawanan dan membunyikan kembali alat-alat musiknya itu. Dan ketika si tua berteriak dan menyuruh mereka kembali mengulang perbuatannya tiba-tiba dua gadis ini mengangguk dan mulai berjumpalitan di atas tanah.

“Bagus, teruskan gerak kalian, anak-anak. Lompati tangga tali itu, diam di atasnya!”

Dua gadis itu tertawa. Mereka kembali berseru keras, tambur dan gembreng masih dipukul. Dan ketika keduanya tiba di puncak tangga dan saling menahan mendadak keduanya sudah bertengger di sana seperti dua ayam betina, disambut seruan kagum dan tepuk tangan para penonton. Dan ketika keduanya membentak dan ganti-berganti mendorong dan memukul mendadak dua gadis ini sudah bersilat di puncak tangga seperti para akrobat.

“Ha-ha, mainkan Bianglala Mencari Naga, Pek-ji (anak Pek). Buat para penonton tertarik dan memuji gerakan kalian!” si tua berseru pada si gadis baju putih, yang berkulit bersih dan rambut dikepang.

Dan ketika gadis itu mengangguk dan menyuruh temannya diam akhirnya dia bergerak-gerak sendiri di puncak tangga tali itu, hanya dibantu seutas tali sebagai tempat berpijak, lincah menari dan melompat-lompat, tangannya bergerak ke sana-sini melakukan gerak-gerak silat yang indah. Dan ketika para penonton bertepuk-tangan dan gadis itu berseru keras mendadak dia menghentikan permainannya dan melompat turun, berjungkir balik dua kali dan ringan menyentuh tanah, tak terdengar injakan kakinya yang lembut.

Dan ketika si tua terbahak gembira dan seorang kacung menyodorkan kantung uang maka penonton mulai diminta sumbangannya untuk pertunjukan itu. “Cuwi sekalian (tuan-tuan semua), maafkan bila pertunjukan puteriku masih buruk. Kami memang tak seberapa pandai. Tapi kalau cuwi ingin melihat pertunjukan singa melawan manusia maka inilah persembahannya!”

Si tua bertepuk tangan, membuka sebuah kerangkeng besar yang tertutup terpal, mengejutkan para penonton karena seekor singa tiba-tiba mengaum, bangkit dari kerangkeng yang tadi tertutup itu, tak mengira isinya adalah seekor binatang buas! Dan ketika beberapa diantara penonton menjerit melompat mundur maka gadis satunya yang berbaju merah sudah diberi tanda oleh kakek ini.

“Ang-ji, turun. Hadapi Ui-sai-ong ini!”

Gadis yang ditunjuk melayang turun. Dia meninggalkan tangga tali itu, gembreng dan tambur dipukul yang lain. Dan ketika singa dilepas dan beberapa penonton lari sipat kuping maka si tua itu tertawa gembira.

“Cuwi sekalian, tak perlu takut. Singa kami ini jinak...!”

Para penonton tertegun. Mereka melihat singa itu sudah menjilat-jilat kaki si nona, Ang-ji, gadis baju merah itu. Tentu saja mulai berani dan melihat singa itu rupanya memang jinak, mengaum pendek dan menekuk lututnya, bersimpuh di dekat Ang-ji. Dan ketika Ang-ji tersenyum dan mengibaskan lengannya maka singa itu bangun berdiri seolah mengerti isyarat.

“Sai-ong, beri hormat pada para penonton...!”

Aneh, singa ini mengangguk. Dia sudah memutar tubuhnya empat kali, mengangkat kedua kaki depan dengan cara yang Iucu, menurunkannya lagi dan mengibas-ngibaskan ekornya. Dan ketika penonton tertawa dan Ang-ji melompat mundur maka gadis itu menghadap ayahnya, si kakek yang tersenyum lebar.

“Ayah, mohon penonton tidak mengganggu Sai-ong. Kami hendak main-main sebentar.”

Kakek itu mengangguk, ganti menghadap penonton. “Cuwi sekalian, mohon cuwi tidak mengganggu permainan puteri kami dengan menggoda Sai-ong, melempari batu umpamanya. Cuwi boleh ribut atau bersorak tapi jangan sekali-kali menyakiti binatang peliharaan kami!” dan ketika penonton mengangguk dan tertarik memandang gadis baju merah itu maka Ang-ji sudah menggapai teman bermainnya yang masih mengibas-ngibaskan ekor.

“Sai-ong, ayo ke mari. Tunjukkan permainan kita pada para penonton...!”

Sai-ong tiba-tiba menubruk. Para penonton terkejut ketika dengan gerakan cepat singa itu melompat ke depan, begitu cepat hingga tahu-tahu telah berada di muka Ang-ji, mengaum dan membuka mulutnya hingga taringnya yang tajam dan putih mengkilat itu siap mencaplok kepala Ang-ji. Tapi Ang-ji yang merunduk dan menyelinap di bawah perutnya tiba-tiba tertawa menusuk perut binatang itu.

“Luput, kau bodoh, Sai-ong. Awas pukulan pertama...bluk!”

Binatang itu terbanting. Sai-ong mengaum kesakitan, rupanya tusukan itu cukup keras baginya. Tapi binatang yang sudah melompat bangun dan kembali menerjang ini tiba-tiba membalik dan menyerang lawannya, mengaum dan mencengkeram dengan kuku-kukunya yang tajam itu. Setajam pisau belati. Dan ketika lawan mengelak dan kembali tertawa mengejek maka pertarungan singa dan manusia itu berlangsung. Ang-ji berlompatan ke sana ke mari, menowel dan menusuk tubuh binatang itu. Kian lama kian ramai karena tubrukan Sai-ong selalu luput, diketawai penonton yang mulai kagum akan kelincahan si gadis baju merah. Dan ketika pertarungan semakin seru dan penonton bertambah banyak karena atraksi itu memang menarik tiba-tiba seseorang menyeruak ke depan.

“Hei, pertunjukan macam apa ini?”

Penonton di depan terkejut. Mereka sudah tak takut lagi pada singa itu, menonton tak terlalu jauh dan lupa bahwa Sai-ong adalah binatang buas, menganggap singa itu seperti kucing besar saja yang tak perlu ditakuti. Maka ketika seseorang menyeruak dan bertanya pada mereka maka seorang penonton tertawa menjawab.

“Kakek ini menjual obat. Dia sedang mengadu puterinya dengan singa!”

“Huh, singa jinak begitu mana berbahaya? Akupun juga dapat melakukannya!” dan, sebelum orang lain mengerti apa yang dimaui penyeruak ini, seorang pemuda berpakaian perlente tiba-tiba dengan amat berani dan mengejutkan, pemuda itu melompat ke depan. “Nona, berikan singamu itu padaku. Akupun juga dapat mengelak setiap tubrukannya!” dan ketika Ang-ji terkejut dan terbelalak memandang pemuda itu tiba-tiba si pemuda menendang Ang-ji menyambut tubrukan Sai-ong.

“Buk!” singa itu langsung dihantam, terpental dan mengaum panjang oleh hadirnya seorang asing. Tentu saja membuat penonton dan kakek tua terperanjat, gempar dan heran oleh datangnya pemuda tak dikenal. Tapi belum mereka berteriak atau apa tiba-tiba pemuda itu sudah tertawa dan ganti menubruk Sai-ong.

“Cuwi sekalian, pertandingan mengelak tentunya kurang ramai. Nona itu harusnya membalas. Kenapa tidak? Biar aku yang menghajar singa ini dan merobohkannya sebagai seorang petarung...!” dan pemuda tak dikenal yang sudah menubruk dan mencengkeram Sai-ong tiba-tiba telah mengangkat dan membanting binatang itu.

“Bluk!” Sai-ong menguik. Binatang buas itu tertekuk kakinya, kesakitan. Tapi belum dia bangun berdiri ternyata lawannya itu menubruk dan kembali mencengkeramnya, mengangkat tinggi dan membantingnya di atas tanah, untuk kedua kali membuat singa itu kesakitan. Dan ketika untuk ketiga kalinya si pemuda hendak membanting dan menyakiti binatang itu maka si kakek yang marah dan membentak maju dan sudah berseru keras,

“Tahan, jangan sakiti binatang kesayanganku...!” dan begitu dia melompat maju dan tegak menghalang di tengah maka kakek ini mendelik memandang si pemuda. “Kongcu, kau siapakah? Kenapa hendak membuat onar di sini?”

“Ha-ha, aku anak walikota Pi-yang, kakek tua. Tanganku gatal melihat puterimu tidak bersungguh-sungguh menghadapi singa ini!”

“Ah, kau Siong-kongcu?”

“Ya, aku Siong Gwan! Kau kenal namaku?”

Kakek ini terkejut. Dia tampak tertegun mendengar pemuda perlente itu adalah putera walikota Pi-yang, pemuda yang sudah didengar sebagai pemuda berandalan dan banyak ditakuti orang. Tapi marah menahan diri dia berkata, “Bagus, kalau begitu maafkan aku orang tua, Siong-kongcu. Tapi rupanya kau salah main-main di sini. Kami orang rendahan tak pantas menerima kehadiranmu.”

“Apa maksudmu? Kau mau mengusir?”

“Tidak,” kakek itu menahan sabar. “Tapi kami penjual obat tak layak menerima kehadiranmu, kongcu. Ini penghormatan yang terlalu besar bagi kami. Kau anak seorang pejabat tinggi!”

“Tak apa,” pemuda itu tertawa. “Aku biasa main-main kemana aku suka, orang tua. Tapi, eih...!” pemuda itu terkejut, melihat Sai-ong tiba-tiba menubruk dan mengaum padanya. Dan ketika dia mengelak dan Sai-ong kembali menyambar mendadak kakek penjual obat menangkap singanya.

“Sai-ong, jangan serang Siong-kongcu...!”

Namun Siong-kongcu yang rupanya marah oleh tubrukan singa itu tiba-tiba berkelebat menampar, mengejutkan kakek penjual obat karena Sai-ong terpukul telak, terputar dan roboh terbanting lepas dari cekalannya. Begitu keras tamparan itu. Dan ketika Sai-ong memekik dan bangun berdiri mendadak singa itu menubruk dan membabi-buta menyerang Siong-kongcu.

“Sai-ong, jangan. Tahan...!”

Tapi binatang buas itu lupa diri. Dia telah kesakitan dihajar Siong-kongcu, tak mau lagi mendengar seruan tuannya dan lepas kendali. Benar- benar marah. Dan Siong-kongcu yang mengelak sambil mengangkat alisnya tiba-tiba tertawa mengejek menghadapi binatang buas itu.

“Orang tua, biarkan saja. Aku mampu menaklukkan kucing kesayanganmu ini... wut-plak!” dan tangkisan Siong-kongcu yang membuat Sai-ong terpental akhirnya membuat binatang itu mengaum-ngaum terbanting bergulingan, membuat baju Siong-kongcu robek-robek terkena cakarnya tapi singa itu sendiri dihajar jatuh bangun, marah tapi gentar. Dan ketika Siong-kongcu tertawa dan singa itu mulai takut mendadak Sai-ong melepas geramnya menubruk penonton!

“Hei...!”

“Celaka...!”

Para penonton ribut. Mereka sudah diserang binatang yang marah itu, maksudnya mau keluar kepungan menghindari Siong-kongcu. Betapapun nalurinya menyatakan pemuda itu berbahaya untuknya, sementara tuannya tak mau menolong. Dan ketika penonton ribut dan Sai-ong mengamuk maka dua orang terdekat menjadi korbannya.

“Bret-brett!”

Dua pekik kesakitan menjerit tinggi. Mereka adalah korban pertama yang digigit singa ini, hancur dadanya terobek lebar, memuncratkan darah membuat Sai-ong bertambah buas. Dan ketika Sai-ong juga menubruk yang lain dan singa itu ganas mencium darah tiba-tiba seorang lelaki sudah disambar dibawa lari, keluar dari kepungan.

“Aduh, tolong... tolong...!”

Kakek penjual obat pucat. Saat itu penonton buyar berantakan, suasana menjadi geger dan ribut. Hewan kesayangannya menjadi buas dan tak mau diperintah lagi. Tapi Pek-ji dan Ang-ji yang sudah melompat mengejar tiba-tiba menangkap ekor binatang itu.

“Sai-ong, kembali. Lepaskan orang itu...!”

Sai-ong menggereng. Dia membalik ditahan ekornya, marah pada dua orang gadis itu. Dan ketika dia mengaum melepaskan korbannya mendadak dia menyerang dua orang gadis itu dengan tubrukan maut.

“Pek-ji, awas...!”

Gadis baju putih berkelit. Dia terkejut melihat kebuasan singanya yang sungguh-sungguh, tak mengenal lagi dia sebagai tuannya. Tapi Sai-ong yang sudah membalik dan menyerang lagi dua orang gadis itu akhirnya membuat si tua melompat maju, membentak singanya dan menyuruh dua anaknya mundur. Dan ketika dua gadis itu terhuyung dan pucat menerima cakaran Sai-ong maka sang ayah sudah menghadapi binatang buas ini dengan pukulan dan tendangan, menangkis kuku-kuku Sai-ong yang tajam tanpa luka, membuat binatang itu gentar dan teringat peristiwa dulu, ketika kakek itu menundukkan dan menjinakkan dirinya. Tapi ketika Sai-ong mengaum dan mulai mundur-mundur mendadak sebatang pisau menyambar dahinya.

“Crep!” Sai-ong roboh terbanting. Singa itu mengaum panjang, berkelojotan sejenak dan akhirnya tewas. Pisau menembus otaknya. Dan ketika kakek penjual obat terkejut dan terbelalak memandang ke depan tahu-tahu dua laki-laki muncul menjengek dingin.

“Tua bangka, siapa suruh kau membuat onar di Pi-yang?”

Kakek ini tertegun. Dia melihat dua laki-laki bengis muncul di depannya, seorang kakek muka kuning dan temannya yang bermuka kurus. Tapi tak merasa salah dan justeru merasa marah melihat singanya dibunuh kakek penjual obat ini melangkah maju, berapi-api memandang dua pendatang itu, tak menjawab.

“Jiwi totiang, kalian siapa dan kenapa membunuh hewan peliharaanku?”

“Hm, kau berani bertanya sebelum menjawab? Aku Hong Jin, ini adikku Ki Siong Cinjin!” kakek muka kuning mendengus, marah pada kakek penjual obat itu tapi tak dikenal kakek ini.

Dan ketika kakek itu tertegun dan Pek-ji serta Ang-ji melompat di sampingnya maka Siong-kongcu, pemuda yang sejak tadi terbelalak memandang semuanya tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan kakek muka kuning.

“Suhu, teecu melihat kakek ini memiliki dasar-dasar ilmu silat Kun-lun-pai. Bagaimana kalau dia ditangkap dan ditanyai?”

Kakek penjual obat terkejut.

“Boleh, dan mungkin dia komplotan pemberontak, Siong-ji. Tapi hati-hati menghadapi pukulannya. Kau berani menghadapinya?”

“Kenapa tidak, suhu?” pemuda itu tertawa. “Dan teecu juga akan menangkap dua gadis cantik itu. Siapa tahu mereka juga anggota pemberontak!”

Dan ketika kakek penjual obat terbelalak dan Pek-ji serta Ang-ji melotot memandang Siong-kongcu maka pemuda ini bangkit berdiri mendapat isyarat gurunya.

“Orang tua, kau dan semua anak buahmu kutangkap. Kau menunjukkan gejala-gejala mencurigakan, berani kau melawan hukum?”

Kakek itu sadar, merah mukanya. “Siong-kongcu, kami ayah dan anak tak tahu-menahu tentang hukum dan pemberontakan. Kami rakyat kecil, tak tahu apa-apa tentang omonganmu tadi. Perbuatan mencurigakan apa yang telah kami lakukan? Bukankah yang membuat ribut-ribut dan kekacauan ini adalah dirimu?”

“Hm, guruku sekarang ada di sini, orang tua. Kalau kau ingin membela diri sebaiknya di gedung pemeriksaan, tak perlu banyak cakap. Pokoknya kalian semua kutangkap!”

“Kami tidak sudi!” kakek itu marah. “Kami bukan pemberontak atau pengacau yang melanggar hukum!”

“Tapi kau membawa binatang buas tanpa ijin, orang tua. Apakah ini bukan melanggar hukum hingga untuk itu kau tak mau kutangkap?”

Kakek ini melengak. Dia tersudut, tapi dua anaknya yang maju melengking nyaring tiba-tiba berseru, “Ayah, orang rupanya memang mau mengganggu kita. Siong-kongcu ini yang membuat gara-gara, kalau dia tidak menyakiti Sai-ong tentu semua keributan ini tak bakal terjadi. Kenapa banyak cakap dengan pemuda berandalan ini?”

Sang ayah terkejut. Dia melihat omongan puterinya benar, tapi Hong Jin si kakek muka kuning tiba-tiba menjengek berkelebat ke depan. “Bocah mulut besar, kepada siapa kau bicara ini? Kalau tidak mau ditangkap justeru kalian akan di bunuh. Robohlah...!”

Pek-ji terkejut. Dia tadi yang bicara lantang, membela sang ayah dan marah pada Siong-kongcu yang tampak sombong itu. Tapi melihat bayangan Hong Jin berkelebat menamparnya tiba-tiba dia mengelak dan mundur selangkah. Tapi lengan kakek itu terjulur, membalik dan tahu-tahu mencengkeram pundaknya, sungguh cepat gerakannya. Dan ketika Pek-ji terpekik dan mengeluh pendek tahu-tahu pundaknya dicengkeram dan dibanting roboh.

“Bluk!” Gadis ini pingsan. Sang ayah terkejut melihat semuanya itu, kaget melihat kepandaian lawan yang demikian tinggi. Segebrakan saja puterinya roboh dan terbanting di tanah. Tapi sadar dan maklum akan keadaan yang tidak menguntungkan tiba-tiba kakek ini mendesis dipandang Siong-kongcu.

“Bagaimana, kau tak mau menyerah, orang tua?”

Kakek itu mengangguk. “Baiklah, tapi harap bebaskan puteriku, kongcu. Aku orang tua yang bertanggung jawab!”

“Maksudmu kau seorang diri yang minta di periksa?”

“Benar.”

“Tidak bisa,” pemuda itu tertawa. “Kalian semua harus diperiksa, orang tua. Kalau tidak kalian bahkan semakin mencurigakan!”

Terpaksa, orang tua itu menggeram. Dan ketika Ang-ji terisak dan menubruk saudaranya yang pingsan akhirnya tiga ayah beranak ini mengikuti perintah Siong-kongcu. Tak berani main-main karena Hong Jin dan Ki Siong Cinjin ada di situ, menjaga muridnya. Dan ketika Pek-ji dibawa dan kakek itu bersama gadis baju merah menuju gedung pemeriksaan akhirnya tiga ayah dan anak ini dihadapkan pada Siong-taijin (pembesar Siong) yang sudah diberi tahu akan keributan itu, seorang laki -laki gendut dengan mata sipit, di bawah pengawasan dua kakek lihai yang rupanya berpengaruh sekali, Hong Jin dan saudaranya itu.

“Siapa kalian, orang tua?” Siong-taijin bertanya, mendengar bisik-bisik dari puteranya.

“Hamba Sin Meng, taijin. Sedang dua puteri hamba itu adalah Sin Pek dan Sin Ang.”

“Kau penjual obat keliling?”

“Benar.”

“Boleh kuperiksa peti obatmu?”

Kakek ini tertegun.

“Kenapa diam?” pembesar itu mengulang. “Bolehkah kuperiksa peti obatmu?”

Kakek itu mengangguk, tampak was-was. Dan ketika Siong-taijin menyuruh pengawal membuka peti obat yang dibawa kakek itu maka segala isi peti ini diperiksa. Tapi tak ada apa-apa, semuanya benar-benar berisi obat dan tidak ada sesuatu yang mencurigakan, membuat Siong-kongcu melengak dan tampak heran. Tapi Ki Siong Cinjin yang melangkah maju menyambar pundak Sin Meng tiba-tiba membentak,

“Tua bangka, dimana kau simpan surat untuk Seng-piauw-pang?”

Kakek ini terkejut. “Aku tak tahu apa-apa totiang. Aku tak mengenal dan tak berhubungan dengan Seng-piauw-pang (Perkumpulan Pisau Bintang).”

“Bohong, kau jelas mata-mata Seng-piauw-pang...plak!” dan si kakek yang terbanting roboh menerima tamparan Ki Siong Cinjin tiba-tiba bangun berdiri dengan pipi bengap.

“Ki Siong Cinjin, kau mau merampok atau apa? Apa yang hendak kalian lakukan kepada kami?”

“Hm, kami hendak memeriksamu, tua bangka. Kami mendengar kabar bahwa Seng-piauw-pang mengutus seseorang mengirim surat rahasia. Kaulah orangnya!”

“Tidak, kalian gila. Aku tak tahu apa-apa...!” dan Sin Meng si kakek penjual obat yang marah memandang Ki Siong Cinjin tiba-tiba berseru keras menerjang kakek itu, lupa dan merasa sakit hati atas sikap orang. Menubruk dan mencengkeram. Tapi Ki Siong Cinjin yang mendengus pendek tiba-tiba menangkis dan menolak tubuh kakek penjual obat itu.

“Plak-dess!”

Kakek ini terbanting. Untuk kedua kalinya dia terlempar bergulingan di lantai, disambut pekik kecil anaknya yang terbelalak memandang perkelahian itu. Tapi Sin Meng yang sudah melompat bangun menerjang lagi ternyata bersikap nekat, bertubi-tubi melancarkan serangan dan memaki-maki Ki Siong Cinjin. Gerak silatnya cepat dan pukulannya mantap. Dan ketika kakek itu mulai menyerang dan Ki Siong Cinjin mengelak dan berIompatan ke sana ke mari maka Hong Jin, kakek muka kuning yang bukan lain bekas wakil Seng-piauw-pang yang berdiri menonton tiba-tiba mengangguk-angguk.

“Benar, gerak silatnya dari Kun-lun-pai. Mungkin dia murid si tosu Lo-hoat!”

Ki Siong Cinjin juga mengeluarkan suara dari hidung. “Agaknya memang begitu, suheng. Apa yang harus kulakukan pada kakek bandel ini?”

“Lempar saja dia keluar. Tahan anak-anaknya!”

Sin Meng memekik. Saat itu semua pukulannya dikelit Ki Siong Cinjin, marah karena lawan dapat bercakap-cakap dengan temannya. Dan ketika dia menubruk dan kembali melancarkan pukulan tiba-tiba Ki Siong Cinjin membalik menangkis dengan sebuah tendangan berputar.

“Dess...!” Kakek itu menjerit. Dia seketika terlempar jauh, berdebuk bergulingan di lantai dengan keluh tertahan. Bokongnya menimpa keras hingga dia tak dapat bangun berdiri, pening. Dan Ang-ji yang terpekik melihat keadaan sang ayah tiba-tiba menubruk maju dengan lengking cemas.

“Ayah...!” Sin Meng menggigil. Dia sudah ditubruk puterinya, dipeluk dan melihat Ang-ji menangis tersedu-sedu. Tapi bangkit terhuyung dengan muka pucat tiba-tiba kakek ini berbisik, “Ang-ji, selamatkan encimu. Bawa peti obat itu dan encimu keluar...!”

Gadis baju merah ini sadar. Dia tak mengerti ayahnya bicara apa, kenapa menyebut-nyebut peti obat dan tampak khawatir memandang benda itu, yang masih menggeletak di lantai. Dan ketika dia menggigil dan pucat memandang sang ayah tiba-tiba ayahnya mencabut sebatang pedang, yang disembunyikan di belakang punggung.

“Ki Siong Cinjin, kau sungguh terlalu memperlakukan aku si tua bangka. Aku tak mengenal padamu, kenapa sekarang kau menyakiti aku?”

“Hm, kau mau main-main dengan pedangmu yang berkarat itu? Kau tidak segera mengaku?”

“Aku tak tahu maksudmu, keledai kurus. Tapi aku pantang dihina... singg!” dan kakek penjual obat yang sudah meloncat dengan pedangnya tiba-tiba membacok dan menusuk Ki Siong Cinjin, ilmu silatnya cukup baik tapi tenaga sudah mulai gemetar. Dan ketika Ki Siong Cinjin mendengus dan mengelak serangan pedang maka saat itu Pek-ji yang pingsan sadar dari bekas pukulan Hong Jin.

Gadis ini membuka mata, rupanya masih nanar tapi segera melihat pertempuran itu, juga saudaranya yang terbelalak memandang ke depan. Dan melihat dirinya berada di sebuah ruangan besar tapi musuh menjaga ketat tiba-tiba gadis ini bangun berdiri melompat marah. “Ayah, mana itu angin timur?”

Sang ayah terbelalak. “Angin timur menyusup ditempatnya, Pek-ji. Kalian pergilah dan bawa adikmu.”

“Tidak, aku tak mau orang berbuat kurang ajar padamu, ayah. Kalau angin timur masih di tempatnya biarlah kita hadapi orang-orang jahat ini!” dan Pek-ji yang melompat maju mencabut pedang tiba-tiba menubruk dan menyerang Ki Siong Cinjin, membantu sang ayah.

Dan Ang-ji yang melihat saudaranya maju ke depan tiba-tiba juga mencabut senjata menerjang Ki Siong Cinjin, tak mengerti omongan apa yang dibicarakan sang enci dengan ayahnya, memekik karena dia juga marah melihat ayahnya berkali-kali terhuyung, ditolak Ki Siong Cinjin yang lihai. Dan begitu ayah dan anak ini mengeroyok bertiga tiba- tiba pedang sudah berkelebatan menyambar-nyambar tubuh Ki Siong Cinjin.

“Plak-trang-trang!”

Ki Siong Cinjin menangkis. Dia menjengek melihat ayah dan anak itu maju, menangkis dan membuat pedang terpental ke kiri kanan. Dan ketika Pek-ji dan ayahnya mengeluh terhuyung maka Siong Gwan, putera walikota Pi-yang yang marah melompat maju.

“Susiok (paman guru), serahkan saja mereka ini padaku!”

“Tidak, kau mundur sajalah, Siong Gwan. Aku hendak menangkap yang laki ini hidup-hidup... plak-plak-plak!” dan Ki Siong Cinjin kembali menangkis dan menyuruh mundur Siong Gwan akhirnya membentak mengibaskan lengan, berkelebat ke depan memberi totokan pada tiga orang itu. Dan karena Ki Siong Cinjin memang lihai dan Sin Meng berkali-kali mengeluh akhirnya tanpa ampun kakek penjual obat itu roboh, tertotok ujung baju lawan yang kaku menghantam pundaknya. Dan ketika Pek-ji dan adiknya juga mengeluh dan pedang di tangan terlepas mencelat tiba-tiba dua kakak beradik inipun terbanting roboh di atas lantai.

“Bluk-bluk!”

Ki Siong Cinjin mengusap bajunya. Dia membersihkan debu dengan sikap tak acuh, lalu menendang lawan yang melotot padanya dia berseru, “Tua bangka, angin timur sudah kuketahui jejaknya. Jadi begitu kiranya kalian menyimpan?” dan ketika kakek ini menghampiri peti obat dan membuka tutupnya mendadak, tanpa disangka Sin Meng kakek ini telah mencabut sebuah surat di lipatan peti itu.

“Sret!” Sin Meng dan Pek- ji terbelalak. Muka mereka seketika pucat, melihat Ki Siong Cinjin menemukan apa yang mereka sembunyikan. Dan ketika kakek itu tertawa bergelak dan Hong Jin berkelebat maju tiba-tiba kakek ini berseru, “Suheng, inilah surat yang kita cari-cari itu. Tua bangka ini memang betul mata-mata!”

Kakek penjual obat dan Pek-ji menggigil. Mereka tak dapat mengeluarkan kata-kata, dipandang Ang-ji yang keheranan tak mengerti melihat sikap ayah dan kakaknya, kenapa sampai begitu. Pucat pasi bagai kertas. Dan ketika Hong Jin menerima surat itu dan membebernya lebar-lebar maka Ki Siong Cinjin sudah menghampiri ayah dan anak ini dengan pandangan mengancam.

“Tua bangka, masih berani kau mengaku bukan utusan Seng-piauw-pang?”

“Tidak... tidak, aku...”

“Hm, kau mau mungkir?” Ki Siong Cinjin menginjak pinggangnya. “Apa itu kalau bukan bukti?” dan ketika kakek ini mengeluh dan pinggang serasa patah maka Ki Siong Cinjin menghadap suhengnya. “Suheng, bacalah!”

Hong Jin tertegun. Kakek muka kuning ini sebenarnya sudah membaca surat itu, surat yang dianggap surat rahasia. Tapi mendelik mengepal tinju tiba-tiba dia melempar surat itu, berseru pada adiknya, “Kau lihatlah, sute. Kau baca sendiri kalau bisa!”

Ki Siong Cinjin menangkap. Dia terheran melihat sang suheng yang justeru melempar surat padanya, tidak segera membaca. Kenapa suhengnya tampak marah dan mukanya merah padam. Tapi ketika dia menerima surat ini dan membaca isinya mendadak kakek ini tertegun dan melotot lebar-lebar.

“Kosong, surat ini tak ada isinya...!”

Ternyata surat itu memang kosong. Dan Sin Meng serta Pek-ji yang tampak tertegun tapi girang tiba-tiba disambar Hong Jin, sang kakek muka kuning.

“Tua bangka, mana itu surat yang asli?”

Kakek ini tertawa. “Aku tak tahu-menahu surat apapun, Hong Jin. Kalau kau mau bunuh aku bunuhlah!”

“Hm, kau kira begitu enak?” dan Hong Jin yang ganti menyambar Pek-ji tiba-tiba merobek pakaian gadis ini. “Tua bangka, kau ingin anakmu ditelanjangi dan ditonton?”

“Tidak!” Sin Meng terpekik. “Jangan lakukan itu, manusia biadab. Kami ayah dan anak benar-benar tidak tahu-menahu tentang surat segala macam!”

“Tapi kau menyembunyikan kertas ini, apa artinya kalau bukan mempermainkan kami?”

Kakek Sin Meng gemetar. “Hong Jin, jangan mendesak kami untuk mengatakan apa yang tidak kami ketahui. Surat itu titipan seseorang, kami tidak tahu ada isinya atau tidak!”

“Hm, kau mulai mengaku?”

“Aku tidak mengaku, keledai buruk. Tapi itu kukatakan demi bebasnya puteriku. Lepaskan mereka!”

“Begitu enak?” kakek muka kuning menjengek. “Kami dapat membebaskanmu kalau kau baik-baik mengaku semuanya, tua bangka. Sekarang coba katakan siapa orang yang memberimu titipan ini, Sin-piauw Ang-lojin?”

“Aku tidak tahu. Aku tidak kenal namanya!”

“Kau pura-pura?”

“Sumpah, aku sungguh tak mengenal namanya!”

“Hm, tapi kau kenal orangnya, bukan? Seorang kakek tinggi besar?”

Sin Meng menggigil.

“Kenapa diam? Kau berbohong?” dan ketika lagi-lagi Hong Jin merobek pakaian puterinya akhirnya kakek ini mendesis.

“Hong Jin, orang yang menitipkan benda itu tidak seperti katamu. Dia laki-laki muda, mukanya ditutup kedok.”

“Siapa?”

“Aku tak tahu!”

“Bret...!” Hong Jin menyeringai, menguak pakaian dalam gadis baju putih hingga Pek-ji menjerit. “Kau pura-pura tak tahu atau memang benar tak tahu, kakek busuk? Atau kau ingin puterimu benar-benar kutelanjangi? Hayo, bicara terus terang atau aku benar-benar akan melepas semua pakaian anak perempuanmu ini... bret-bret!” dan Hong Jin yang benar-benar merobek pakaian luar Pek-ji hingga gadis itu tinggal mengenakan pakaian dalam tiba-tiba membuat ayahnya menggereng dan melotot penuh kemarahan memandang lawan, disambut pekik kecil Ang-ji yang pucat melihat encinya mau ditelanjangi. Tapi ketika ayah dan anak itu terbelalak dengan muka merah mendadak Siong-kongcu menyambar Ang-ji.

“Suhu, agaknya gadis inipun perlu dihajar. Bolehkah kupermainkan dia di depan ayahnya?”

Ang-ji pucat. “Tidak... jangan...!”

Kakek Sin semakin berang. Tapi ketika Hong Jin lepas perhatiannya pada sang murid tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat menyambar. “Sin-lopek, bawa lari dua orang puterimu... plak-dukk!” dan bayangan ini yang terus menyerang Hong Jin dan membebaskan totokan Pek-ji tiba-tiba menendang gadis itu ke arah ayahnya, berputar dan sudah membalik menyerang Siong-kongcu pula, menolong Ang-ji. Dan ketika dua gadis itu terbebas dan terlempar ke arah ayahnya maka bayangan ini berkelebatan menyambar-nyambar menyerang semua orang.

“Sin-lopek, lari...!”

Sin Meng tertegun. Saat itu dia sudah dibebaskan pula, bangkit bersama puterinya melihat siapa penolong mereka ini, seorang laki-laki muda yang mukanya coreng- moreng, tak dapat dikenal karena rupanya sengaja menyembunyikan muka. Tapi Hong Jin yang terkejut ketika lawan menyerang dan membuat dia terpental tiba-tiba membelalakkan mata mendengar suara ribut-ribut di luar.

“Sute, apa yang terjadi disana? Kau lihatlah di luar!”

“Tapi bocah ini, suheng?”

“Biar aku yang menghadapinya. Kunyuk ini jelas komplotan si tua bangka itu!”

“Baik!” dan Ki Siong Cinjin yang meninggalkan lawan untuk melihat keributan di luar tiba-tiba sudah kembali lagi dengan muka pucat. “Suheng, pemberontak datang menyerbu. Rupanya bocah ini tidak sendirian!”

“Siapa mereka itu?”

“Tak tahu, suheng. Semuanya mencoreng muka seperti pemuda ini. Mungkin saja anggota Seng-piauw-pang atau apa!”

“Keparat, kalau begitu panggil Wan Tiong-sute. Bunuh dan basmi mereka itu!”

Tapi baru kata-kata ini diucapkan tiba-tiba Wan Tiong Lojin, sute nomor dua dari kakek muka kuning itu muncul, berkelebat dari belakang. “Suheng, Lo-hoat Tosu dan Sin-piauw Ang-loheng datang. Mereka mencari kita!”

“Apa? dimana mereka itu?”

“Di belakang, suheng. Mereka mengamuk mencari kita!”

“Jahanam...!” dan Hong Jin yang marah disambut tawa bergelak pemuda tak dikenal tiba-tiba menerjang ganas. “Sute, kalian berdua hadapi dulu orang-orang di luar itu. Biar aku selesaikan pemuda ini!” dan ketika dua sutenya mengangguk meloncat keluar kakek itu berseru pada muridnya, “Siong-ji, selamatkan ayahmu. Bawa dia ke dalam...!”

Dan ketika keadaan menjadi ribut dan suara pertempuran di luar semakin dekat tiba-tiba Sin Meng, kakek penjual obat itu bersama dua puterinya mengeroyok kakek muka kuning ini. “Keledai tua, sekarang kau menerima hukumanmu!”

Pemuda tak dikenal terkejut. Dia sebenarnya menyuruh kakek itu melarikan diri saja, tak mengira bakal mengeroyok bekas wakil ketua Seng-piauw-pang itu, melihat dia terdesak tapi sebenarnya dapat bertahan menghadapi kakek yang lihai ini. Maka melihat ayah dan anak itu menerjang Hong Jin sementara pertempuran di luar agaknya semakin dekat saja tiba-tiba pemuda ini berseru pada kakek Meng,

“Sin-lopek, kalian pergi saja. Kakek ini dapat kuhadapi!”

“Tapi dia telah menghina kami, orang muda. Sebaiknya kami balas dulu perbuatannya dan biar impas utang sakit hati ini!”

“Tapi kalian bukan lawannya, dia terlalu lihai...!” Tapi si pemuda yang terpaksa menghentikan seruannya dan menangkis serangan lawan tiba-tiba terpental ketika Hong Jin membentak marah, mencabut pisau belatinya dan kini menghadapi pengeroyoknya itu dengan mata berapi-api, ganas dan menakutkan karena kakek itu ingin segera menyelesaikan pertempuran. Dan ketika kakek Meng tetap membandel dan pemuda itu repot membujuk orang tahu-tahu Hong Jin mengambil senjata rahasianya dan langsung menimpuk ayah dan anak itu, tiga pisau kecil yang meluncur dengan kecepatan luar biasa.

“Sin-lopek, awas...!”

Kakek itu terkejut. Memang dia bukan tandingan kakek yang lihai ini, melihat berkeredepnya sinar putih dari pisau bintang. Dan ketika dia terpekik dan tak sempat mengelak tahu-tahu dua pisau yang lainnya juga menyambar dua anak perempuannya yang menjerit roboh.

“Aduh...!” Sin Meng dan dua anak gadisnya terjengkang. Pisau yang dilempar Hong Jin menancap di dada mereka, dalam sekali. Sin-lopek bahkan ditembus sampai punggungnya. Tentu saja membuat kakek ini berkelojotan dan tewas tak lama kemudian. Dan ketika Pek-ji dan Ang-ji juga roboh mengeluh tertahan tiba-tiba dua gadis itupun menyusul ayah mereka. Tewas!

“Hong Jin, kau tua bangka siluman...!”

Kakek muka kuning ini tertawa mengejek. Dia puas membunuh ayah dan anak itu, tak menghiraukan bentakan lawan. Kini merogoh lagi sebatang pisau bintang yang merupakan senjata maut itu. Tapi persis dia menimpuk senjatanya itu dan si pemuda mengelak kurang cepat tiba-tiba sebatang tongkat menangkis pisau bintang ini.

“Trak!” Pisau itu mental, jatuh di lantai dan seorang tosu muncul menghadang di tengah. Dan ketika Hong Jin terkejut dan mundur selangkah maka tosu ini, seorang kakek berjenggot jarang melintangkan tongkat di depan dadanya.

“Siancai, keganasanmu tak tanggung-tanggung, Hong Jin. Pantas kalau twa-suhengmu marah dan minta pinto (aku) membantunya!” dan ketika Hong Jin terbelalak dan merah mukanya maka tosu ini mendorong si pemuda. “Beng Lam, bawa mayat Sin Meng dan anak perempuannya itu keluar. Biar pinto menghadapi lawanmu ini.”

Beng Lam, pemuda tak dikenal itu mengangguk. Dia menyebut “suhu” pada tosu yang baru datang ini, kiranya muridnya. Dan Hong Jin yang sadar membelalakkan mata tiba-tiba menggeram.

“Lo-hoat Tosu, ada alasan apa yang membuatmu mencampuri urusan pribadi? Sejak kapan tosu-tosu Kun-lun lancang mencampuri urusan orang lain?”

“Hm, aku lancang karena terpaksa, Hong Jin. Suhengmu minta bantuanku untuk menangkap dirimu. Kalau kau baik-baik menyerah tentu pinto akan mintakan hukuman yang ringan pada suhengmu.”

“Keparat, siapa sudi bergaul dengan tosu bau macam dirimu? Kau lancang, Lo-hoat Tosu. Kau pergilah ke neraka...!” dan Hong Jin yang sudah menyerang menggerakkan pisau panjangnya tiba-tiba membentak dan marah menerjang tosu ini, ditangkis dan sudah membalik begitu lawan mementalkan pisau. Dan ketika Lo-hoat Tosu menyeringai dan mengelak ke sana-sini akhirnya kakek muka kuning ini bertubi-tubi melancarkan serangan seraya memaki-maki.

Tapi pertempuran rupanya berjalan Iain. Tongkat di tangan tosu tua itu rupanya dapat menahan pisau di tangan lawannya, berkali-kali menangkis dan berkali-kali itu pula membuat Hong Jin terkejut. Tongkat sama sekali tidak putus dan pisaunya malah terpental. Dan ketika Hong Jin memekik dan Lo-hoat Tosu melayani dengan tenang tiba-tiba pisau membentur tongkat untuk kesekian kalinya.

“Trak!” Pisau di tangan kakek ini melengkung. Hong Jin terkejut melihat kekuatan lawan, jelas sinkangnya kalah seusap. Dan ketika dia menusuk lagi dan Lo-hoat Tosu menangkis akhirnya pisau patah menjadi dua dan lepas dari tangannya.

“Krek!”

Hong Jin pucat. Dia membanting tubuh bergulingan ketika tongkat menyelinap cepat, menotok pundaknya dan menyambar dari atas ke bawah. Dan ketika lawan membentak berseru keras tiba-tiba Hong Jin mencabut senjatanya yang amat berbahaya, golok-tombak yang berisi jarum-jarum rahasia itu, senjata yang dulu telah membuat suhengnya terluka dan hampir roboh. Dan ketika tongkat menyambar dan kakek ini melompat bangun tiba-tiba golok-tombak itu telah menangkis dan langsung dipencet tombol rahasianya.

“Trak-cet-cet...!”

Lo-hoat Tosu terkejut. Golok-tombak tiba-tiba meluncurkan jarum -jarum halus yang berkilauan sinarnya, menangkis sekaligus menyerang mukanya dengan amat curang. Tapi tosu yang membentak dan sudah berseru keras ini tiba-tiba mengibaskan lengan jubahnya, menghantam dan menolak balik hamburan jarum-jarum halus itu. Dan ketika semua jarum runtuh dan Hong Jin memaki gusar maka kakek muka kuning ini sudah menerjang dengan senjata barunya itu.

“Lo-hoat Tosu, kau rupanya sudah dikisiki (diberi tahu) suheng...!”

Lo- hoat Tosu tersenyum. Dia tak menjawab memang sudah diberi tahu Sin-piauw Ang-lojin tentang senjata curang ini, golok-tombak yang dapat meluncurkan jarum-jarum rahasia kalau gagangnya dipencet. Jadi dapat bersiap dulu kalau lawannya mempergunakan senjata itu. Maka ketika Hong Jin membentak dan marah-marah padanya tosu inipun tak menggubris dan tetap tenang, mata jeli mengawasi setiap gerak-gerik senjata golok-tombak itu. Dan ketika pertempuran berjalan tigapuluh jurus dan Hong Jin tak dapat mendesak tosu itu akhirnya kakek ini melarikan diri, saat itu Wan Tiong Lojin dan Ki Siong Cinjin muncul, masuk dengan napas terengah-engah, menyerah.

“Suheng, musuh tak dapat kami tahan. Limapuluh pengawal roboh binasa...!”

Hong Jin terbelalak. Dia melihat seorang laki-laki tinggi besar mengejar dua sutenya itu, kakek yang gagah bermuka merah. Bukan lain ketua Seng-piauw-pang yang benci padanya, suhengnya yang amat lihai itu. Sin-piauw Ang-lojin! Dan ketika dia terbelalak meninggalkan Lo-hoat Tosu maka ketua Seng-piauw-pang yang berang itu membentak,

“Sam-wi sute, kalian mau kemana?”

Hong Jin terkejut. Suhengnya sudah tiba di belakang dua sutenya itu, menghantam melepas pukulan. Dan ketika dua adiknya menangkis tapi terlempar bergulingan maka Lo-hoat Tosu juga mengejar seraya berseru, “Hong Jin, kaupun mau kemana?”

Hong Jin menyambar kursi. Dia melempar benda itu pada Lo -hoat Tosu, ditangkis tongkat dan hancur berantakan, melarikan diri dan berseru pada dua adiknya untuk masuk ke dalam. Tapi ketika mereka memutar tubuh memasuki gedung Siong-taijin mendadak dari luar menyerbu masuk orang-orang yang mukanya dicoreng-moreng.

“Anak-anak, tahan tiga orang itu!”

Hong Jin dan dua sutenya mengamuk. Mereka mengeluarkan pisau- pisau bintang yang puluhan jumlahnya, menimpuk dan merobohkan orang-orang yang ada di depan, sejenak terhenti dan mau tidak mau tertahan gerakannya. Dan Lo-hoat Tosu serta Sin-piauw Ang-lojin yang berkelebat ke depan menyerang tiga orang ini akhirnya terpaksa membuat Hong Jin dan saudaranya membalik.

“Twa-heng, kau manusia jahanam!”

“Lo-hoat Tosu, kau keledai busuk!”

Tiga orang itu marah. Mereka memaki dan menangkis serangan suheng mereka, juga Lo-hoat Tosu yang mempergunakan tongkatnya itu. Tapi karena mereka sudah terdesak dan keadaan memang tidak menguntungkan akhirnya tiga orang ini terpelanting bergulingan ketika tongkat dan pukulan mengenai mereka.

“Des-dess!”

Hong Jin dan sute-sutenya mengeluh. Mereka sudah melompat bangun dengan muka pucat para penyerbu sudah mengurung rapat di sekitar mereka, ditahan Sin-piauw Ang-lojin yang tak ingin jatuh korban pada anak buahnya. Dan ketika kakek itu menerjang dan Hong Jin serta adik-adiknya mengumpat marah maka Lo-hoat Tosu juga sudah menggerakkan tongkat menyuruh tiga bersaudara itu menyerah.

“Hong Jin, kalian berlututlah baik-baik. Suheng kalian tak akan menghukum kelewat takaran!”

“Keparat, kaulah yang berlutut, tosu bau. Kau tak perlu ikut campur masalah ini... wut-trang!” dan Hong Jin yang kembali menghadapi Lo-hoat Tosu sementara dua adiknya menghadapi Sin-piauw Ang-lojin akhirnya memecah pertempuran menjadi dua, nekat menyerang dan tidak mau menyerah.

Dan ketika pertempuran kembali berjalan sengit namun Hong Jin dan kawan-kawannya terdesak maka tongkat di tangan Lo-hoat Tosu akhirnya menggebuk pundak kakek muka kuning ini, membuat Hong Jin berteriak sementara dua adiknya juga mendapat pukulan ketua Seng-piauw-pang, terpelanting roboh dan senjata hampir terlepas dari tangan. Dan ketika pertempuran berjalan beberapa saat lagi dan Ki Siong Cinjin yang merupakan orang terlemah diantara semuanya menangkis pukulan mendadak tanpa disangka kaki Sin-piauw Ang-Iojin menyambar pinggangnya.

“Dess...!” kakek muka kurus ini mencelat, menjerit dan terbanting dengan muka kesakitan. Senjatanya terlepas dan roboh terjerembab. Dan ketika dia melompat bangun tapi terhuyung dengan kepala berputar tahu-tahu suhengnya yang marah itu menerima tusukan Wan Tiong Lojin, ditangkis dan membuat pisau panjang di tangan Wan Tiong Lojin mencelat, terlempar dari tangan kakek itu, yang celakanya menyambar Ki Siong Cinjin. Dan persis Ki Siong Cinjin melompat terhuyung pisaupun menyambar dadanya.

“Crep!” Ki Siong Cinjin mendelik. Kakek ini mengeluh, mendekap dadanya dan seketika roboh terjengkang. Tentu saja kaget dan kesakitan. Pisau menembus dadanya terlalu dalam. Dan ketika dia melotot dan Wan Tiong Lojin terkejut maka Ki Siong Cinjin sudah berkelojotan dan tewas tak lama kemudian. Terbunuh secara tak sengaja oleh saudaranya sendiri. Dan persis kakek muka kurus itu roboh tiba-tiba sesosok bayangan hitam berkelebat melempar granat.

“Hong Jin, lari...!”

Orang-orang terkejut. Mereka sedang tertegun sejenak oleh kematian Ki Siong Cinjin, tak menyangka seseorang menyambar masuk melempar granat, meledak dan membuat orang-orang yang terdekat menjerit terpelanting, roboh dan kalut. Dan ketika asap hitam juga membubung memenuhi tempat itu maka Hong Jin yang girang berseru pendek tiba-tiba menyambitkan jarum-jarum halus ke arah Lo-hoat Tosu.

“Tosu bau, terimalah kematianmu...!”

Lo-hoat Tosu mengelak. Dia melompat mundur mengibaskan lengan bajunya, meruntuhkan jarum dan terkejut oleh ledakan granat. Dan Hong Jin yang mempergunakan kesempatan ini melarikan diri tiba-tiba menyambar mayat sutenya berseru pada Wan Tiong Lojin.

“Ji-sute (adik kedua), lari...!”

Wan Tiong Lojin mengangguk. Dia sudah menyelinap di balik asap, memang tahu bahwa itu kesempatan satu- satunya untuk menyelamatkan diri. Dan ketika dia membalik dan bayangan hitam berkelebat keluar kakek inipun mengikuti dan meninggalkan lawannya yang marah-marah.

“Sute, kalian tak boleh lari!”

Namun bentakan Sin-piauw Ang-lojin itu sia-sia. Kakek tinggi besar ini sudah dilempar granat, berjungkir balik dan dikurung asap tebal yang mengelilingi dirinya, tentu saja tak dapat mengejar. Dan ketika asap menipis dan Sin-piauw Ang-lojin marah-marah maka musuh melarikan diri entah kemana, membuat kakek itu berjingkrak dan menyesal bukan main, melihat Lo-hoat Tosu juga mencari tapi kembali dengan tangan hampa. Tapi ketika mereka teringat pada Siong-taijin yang menyembunyikan diri akhirnya kakek ini mencari pembesar itu. Dan Siong-taijin ketemu di kamarnya, bersembunyi di balik tubuh seorang selir. Dan Sin-piauw Ang-lojin yang melompat mencengkeram pembesar ini akhirnya bertanya dengan suara geram,

“Manusia busuk, dimana itu suteku bersembunyi?”

“Aku... aku tak tahu, lojin. Mungkin anakku dapat bercerita...!”

“Dimana anakmu?”

“Di belakang. Dia bersembunyi di... di...”

Sin-piauw Ang-lojin membanting pembesar ini. Siong-taijin sudah tak dapat meneruskan kata-katanya karena tubuhnya sudah dilempar, membentur tembok dan pingsan dengan hidung berdarah, ujungnya remuk dan tentu saja membuat selirnya ketakutan, hampir pula pingsan seperti pembesar itu. Tapi ketika Sin-piauw Ang-lojin mencari putera Siong-taijin ternyata Siong Gwan melarikan diri bersama gurunya.

“Keparat, kita harus lapor pada Liang-taijin (gubernur Liang)!” Sin-piauw Ang-lojin marah-marah, disambut kerut yang dalam di alis Lo-hoat Tosu yang tebal, agaknya masih berpikir.

Tapi ketika mereka keluar lagi dan menemui anak buah mereka mendadak mereka tertegun melihat anak buah mereka, orang-orang yang mencoreng mukanya itu sudah terkapar di halaman depan sementara Beng Lam, murid Lo-hoat Tosu yang tadi menolong Sin-lopek tampak ditelikung tangannya oleh seorang pemuda bermuka pucat, membawa kipas dan ular di tangan kiri sementara belasan busu (pengawal istana) berdiri tegak di belakang pemuda itu...!