Pendekar Rambut Emas Jilid 11 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 11
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
SAI-MO-ONG terbelalak. “Itu perbuatan kalian?”

Siauw-bin-kwi tertawa. “Benar, Mo-ong. Aku mencetuskan peperangan itu karena Gurba membunuh dua orang muridku!” dan ketika Siauw-bin-kwi menceritakan asal mula kejadian di luar tembok besar itu dan menceritakan pula terbunuhnya Uyin dan Unga di tangan Gurba tiba-tiba Sai-mo-ong tersenyum dan kagum memandang Iblis Muka Ketawa ini.

“Aih, sudah kuduga. Aku juga telah mendengar semuanya itu, Bin-kwi. Tapi tak kukira kalau Uyin kakak beradik itu adalah murid-muridmu!”

“Ya, dan kematian mereka membuat aku dendam, Mo-ong. Karena itu kuobrak-abrik suku bangsa Tar-tar itu agar mereka hancur di tangan kerajaan. Tapi kepandaian Gurba sungguh mengejutkan, suheng Kim-mou-eng itu bahkan membunuh empat dari Tujuh Panglima Naga!”

“Hm,” Sai-mo-ong teringat sesuatu. “Benarkah Singa Daratan Tandus itu lihai bukan main? Bagaimana dibanding Pendekar Rambut Emas sendiri?”

Hek-bong Siang-lo-mo menyela, “’Kami rasa kepandaiannya memang tinggi, Mo-ong. Tapi kami sanggup menghadapinya. Raksasa itu memang hebat, tapi kami berdua tak gentar menghadapinya!”

“Hm,” Tok-gan Sin-ni tiba-tiba mengejek. “KaIau tak gentar tentunya kalian berdua tak melarikan diri, Lo-mo. Kalian tak takut tapi nyatanya pengecut. Kalian terbirit-birit seperti anjing dibabat ekornya!”

Hek-bong Siang-lo-mo mendelik. “Yang mengajak kami melarikan diri adalah Siauw-bin-kwi, Sin-ni. Bukan kami. Dan kami mendengar kau ketakutan menghadapi Kim-mou-eng itu! Benarkah?”

Tok-gan Sin-ni merah mukanya, merasa dibalas. “Aku tak takut menghadapi siapapun, Lo-mo. Termasuk kalian kalau ingin bukti... wut!” wanita itu menggerakkan rambut, mengibas perlahan tapi tahu-tahu menyambar Twa-lo-mo, orang yang dia benci. Rambut yang tiba-tiba lurus bagai kawat. Tapi Twa-lo-mo yang mendongkol menjengek pendek tiba-tiba mengangkat lengannya menangkis.

“Plak!” rambut Tok-gan Sin-ni tertahan, bertemu lengan kakek cebol itu dan siap melecut dengan kibasan kedua. Lagi-lagi hendak bertanding. Tapi Sai-mo-ong yang buru-buru mencegah dan repot menghadapi dua orang rekannya ini sudah berseru,

“Sin-ni, tak perlu menyerang teman sendiri. Kita sama-sama menghadapi Kim-mou-eng!”

Tok-gan Sin-ni mengendorkan rambutnya. “Baik, tapi suruh si cebol ini tak perlu besar mulut, Mo-ong. Aku telah mendengar sikapnya yang tak tahu malu itu dan tak perlu bicara besar!”

“Hm, kami tak bicara besar, Sin-ni. Kalau kau tak percaya boleh saja kita coba!” Twa-lo-mo juga marah, melotot pada lawannya itu tapi Sai-mo-ong lagi-lagi berteriak, mencegah dua rekannya itu saling serang. Dan ketika mereka duduk kembali dan Siauw-bin-kwi senyum-senyum memandang semuanya tiba-tiba kakek iblis ini mengangkat lengannya.

“Lo-mo, apa yang dikata Mo-ong memang benar. Kita diundang bukan untuk saling bermusuhan. Begitu pula Tok-gan Sin-ni. Sebaiknya kita dengar apa maksud tuan rumah mengundang kita. Bagaimana cara menghadapi Kim-mou-eng dan saudara-saudaranya itu!”

Sai-mo-ong mengangguk. “Apa yang kau katakan memang betul, Bin-kwi. Aku mengundang untuk mencari bersama kalian bagaimana cara menghadapi Pendekar Rambut Emas itu. Aku harus mengakui bahwa Pendekar Rambut Emas itu memang hebat!”

“Dan dia memiliki Tiat-lui-kang!” Ji-lo-mo, orang kedua dari Hek-bong Siang-lo-mo bicara.

“Ya, dan bukan hanya Tiat-lui-kang, Ji-lo-mo. Tapi juga Pek-sian-ciang yang luar biasa itu!” Sai-mo-ong bergidik, ngeri membayangkan pertempurannya dulu dan membuat teman-temannya terkejut. Dan ketika Sai-mo-ong menceritakan semuanya itu dan Siauw-bin-kwi dan dua temannya mendengarkan dengan mata terbelalak akhirnya Sai-mo-ng berkata, “Pek-sian-ciang lebih berbahaya dibanding Tiat-lui-kang, Lo-mo. Dan terus terang aku mengakui keunggulan Pendekar Rambut Emas itu. Mungkin hanya dengan jalan dikeroyok pendekar itu dapat kita kalahkan!”

Siauw-bin-kwi dan teman-temannya tertegun. Mereka sendiri sudah merasakan kehebatan Gurba, suheng dari Pendekar Rambut Emas itu. Dan Tok-gan Sin-ni yang juga telah merasakan kelihaian Salima yang tak kalah hebat dengan Kim-mou-eng akhirnya mendengarkan rencana tuan rumah untuk menghadapi lawan-lawan mereka itu.

“Bin-kwi, tak perlu kita malu-malu lagi mengakui kelemahan kita sendiri. Aku mengakui keunggulan Kim-mou-eng itu, seperti juga kalian mengakui keunggulan si Singa Daratan Tandus Gurba. Dan karena kita sama-sama mempunyai musuh yang sama maka kita harus bersiasat membalas kekalahan kita. Bagaimana kalau kita cari tiga orang itu dan mengeroyoknya bersama?”

Siauw-bin-kwi batuk-batuk. “Aku setuju, Mo-ong. Tapi bagaimana kalau tiga lawan lima kita juga masih kalah?”

“Ah,” Twa-lo-mo meradang. “Kau terlalu kecil hati. Bin-kwi. Kita tak mungkin kalah kalau mengeroyok secara berlima!”

“Hm,” Iblis Muka Ketawa ini menyeringai. “Tak perlu mulut besar, Lo-mo. Kita bertiga melawan Gurba saja harus mengakui kelihaiannya. Bagaimana kalau terjadi kejadian ulang seperti dulu?”

“Maksudmu?”

“Kita temukan mereka bertiga. Dan kita kembali bertempur seperti dulu lagi. Mo-ong menghadapi Kim-mou-eng sedang kita menghadapi si Singa Daratan Tandus itu sementara Tok-gan Sin-ni menghadapi Salima. Bukankah sama saja kalau begini? Memang tampaknya mengeroyok tapi formasinya tak berubah!”

Twa-lo-mo terkejut. “Hm, ini...” dia tak meneruskan kata-katanya, merasa omongan itu betul. Ada benarnya juga.

Dan Sai-mo-ong yang mengerutkan alis merasa Siauw-bin-kwi tak berlebih-Iebihan akhirnya bertanya, “Jadi maumu bagaimana, Bin-kwi?”

“Kita cari mereka seorang demi seorang. Baru keroyokan ini dapat dipastikan hasilnya!”

“Ah, betul!” Twa-lo-mo sekarang berjingkat, tertawa dan mengacungkan jempolnya. “Kau memang betul, Setan Ketawa. Dengan begitu kita dapat membunuh dan membalas kekalahan kita itu!”

Yang lain tiba-tiba tersenyum. Mereka dapat menangkap kebenaran itu. betapapun sangsi kalau harus menghadapi tiga kakak-beradik itu meskipun mereka berlima. Merasa kurang aman dan tidak “sreg” mengingat Kim-mou-eng dan suheng serta sumoinya itu memang manusia-manusia hebat. Kepandaian mereka tinggi sekali dan masing-masing telah sama membuktikannya. Dan ketika Ji-lo-mo juga mengangguk dan Tok-gan Sin-ni bersinar matanya maka wanita ini berkata,

“Bin-kwi, otakmu ternyata masih jalan dengan cerdik. Kau memang pintar, tapi dimana kita dapat mencari mereka itu? Bagaimana pula kalau mereka secara kebetulan kedapatan bertiga?”

“Kita pisahkan mereka kalau kedapatan bersama, Sin-ni. Dan kita bergabung di satu tempat begitu dua yang lain kita tinggalkan.”

“Baik, dan bagaimana cara kita mencari mereka? Berpencar atau tetap berlima begini saja?”

“Sebaiknya bergabung. Atau boleh berpencar tapi jangan lama-lama.”

Dan ketika mereka meneruskan percakapan dan lima tokoh itu tampak asyik dalam pembicaraan mereka akhirnya malam itu Sai-mo-ong mempersilahkan tamunya beristirahat. Mereka telah memperoleh kesepakatan, yakni mencari dan membunuh Kim-mou-eng, juga Gurba dan Salima itu. Dan ketika mereka semua meninggalkan ruangan dan masing-masing telah mengatur rencana dimana mereka akan mencari musuh-musuh mereka itu maka Hek-bong Siang-lo-mo teringat janji tuan rumah.

“Mo-ong, aku tak mau tidur sendiri. Mana itu selimut hidup untukku?”

Mo-ong tertawa. “Kau masih menghendakinya juga, Lo-mo?”

“Tentu, mana bisa aku lupa? Kami bisa mati kedinginan kalau tidur sendirian, Mo-ong. Karena itu bawa ke mari wanita-wanita cantik itu!”

Mo-ong memanggil muridnya. Bu Ham muncul dengan muka berseri, girang karena tiga tamu gurunya datang memenuhi undangan. Berarti Salima bakal tertangkap dan telah memberi tahu gurunya agar untuk gadis Tar-tar itu mereka tak boleh menurunkan tangan maut. Dan ketika dia mendengar permintaan gurunya agar mempersiapkan wanita cantik untuk dua kakek cebol itu maka pemuda ini tersenyum, memanggil wanita-wanita yang sudah dia siapkan, dua wanita penghibur dari kota Ceng-tu, cantik-cantik dan cukup menggairahkan karena mereka adalah “bunga-bunga” yang paling top.

Dan Hek-bong Siang-lo-mo yang menyeringai memandang dua wanita ini tiba-tiba tanpa malu lagi menyambar seorang diantaranya, langsung mendaratkan ciuman di pipi. “Heh, siapa namamu?”

Wanita itu menggigil, jijik tapi berusaha untuk tersenyum manis. “Aku... aku Ni Hwa, locianpwe. Aku siap melayanimu kalau kau suka...”

“Heh, siapa tak suka? Kau cantik dan cukup montok!” Twa-lo-mo tertawa, meremas buah dada wanita ini dan langsung merobek pakaiannya hingga baju Ni Hwa terkuak lebar, mengejutkan wanita muda itu. Dan ketika Ji-lo-mo juga tertawa dan menyambar wanita satunya maka kakek cebol ini bertanya, “Kau siapa?”

Teman Ni Hwa gemetar. “Aku... aku Bi Ciu, locianpwe. Siap melayanimu kalau kaupun suka...!”

“Ah, siapa tak suka? Kaupun cantik, juga montok!” dan Ji-lo-mo yang juga meremas buah dada orang dan langsung merobek bajunya tiba-tiba mendengus dan sudah menciumi dada wanita itu. Tentu saja membuat Bi Ciu menggeliat dan mengeluh takut. Tapi ketika dua kakek cebol itu terbahak dan Siauw-bin-kwi dan yang lain-lain masih ada di situ mendadak mereka saling melempar pasangan membuat Ni Hwa dan Bi Ciu menjerit.

“Twako, yang ini empuk dan kenyal. Kau lihatlah!”

“Ha-ha, dan yang ini lunak tapi enak, ji-te. Kau lihatlah dan periksa!” Twa-lo-mo juga melempar Ni Hwa, menangkap dan menerima Bi Ciu yang sudah dilontarkan adiknya. Dan ketika mereka tertawa-tawa dan Bi Ciu serta Ni Hwa pucat mukanya mendadak dua kakek ini melompat ke dalam memasuki kamar mereka. “Mo-ong, terima kasih. Aku ingin main-main dengan mereka!”

Mo-ong tersenyum. Dia melihat dua kakek cebol itu lenyap di kamar belakang, bukan memasuki dua kamar melainkan satu kamar saja, yakni kamar Twa-lo-mo. Dan ketika yang lain tersenyum dan Tok-gan Sin-ni melirik Bu Ham akhirnya Siauw-bin-kwi terkekeh melompat keluar.

“Mo-ong, semuanya tampak gembira benar. Biar aku mencari kesukaanku di luar!” dan ketika kakek itu berkelebat lenyap dan Mo-ong juga meninggalkan tempat itu maka Sin-ni sudah menyambar Bu Ham.

“Kenapa baru keluar sekarang?”

“Suhu melarangku, bibi. Dan aku sibuk di belakang.”

“Hm, takut menghadapi tua-tua bangka itu?”

“Tidak. Kenapa harus begitu? Bukankah mereka sahabat suhu?”

“Ah,” Tok-gan Sin-ni yang tak menjawab tiba-tiba menyendal lengan Bu Ham. “Kau agaknya memang tak tahu, Bu Ham. Kalau begitu ikuti aku!”

Bu Ham mengangguk. Dia menyangka Tok-gan Sin-ni hendak membawanya ke kamar, seperti biasa. Tapi ketika wanita itu celingukan di luar dan tampaknya mencari-cari sesuatu akhirnya Bu Ham bertanya, “Kau mencari apa, bibi?”

“Setan Ketawa itu.”

“Paman Siauw-bin-kwi?”

“Ya.”

“Ah, ada apa dengan dia?”

“Gurumu tak memberi tahu?”

“Tidak.”

“Kalau begitu kau akan kuberi tahu!” dan Tok-gan Sin-ni yang kembali sudah menyambar Bu Ham dan mengajak pemuda itu berputar-putar di taman akhirnya membuat Bu Ham terheran dan tidak mengerti, berkeliling ke segala penjuru tapi tidak menemukan kakek itu. Dan ketika Tok-gan Sin-ni jengkel dan tampak gemas akhirnya wanita ini menggerundel dengan muka merah.

“Tua bangka itu licin, Bu Ham. Rupanya dia bersembunyi dan sengaja ngumpet!”

“Ada apa?” Bu Ham akhirnya mengerutkan kening. “Kenapa kau mencari-carinya, bibi? Padahal tadi dia ada bersamamu!”

“Ya, tapi sekarang lain. Aku ingin menunjukkan perbuatan setan tua itu. Kau harus berhati-hati. Jauhi dia dan jangan dekat-dekat!”

“Hm,” Bu Ham menjadi heran bukan main. “Sebenarnya apa yang hendak kau katakan, bibi? Kenapa demikian serius?”

“Gurumu tak mengatakan apa-apa?”

“Tidak, kecuali melarang seperti yang kau katakan tadi. Agar aku tak dekat-dekat dengan kakek iblis itu.”

“Itulah. Kau yang tolol!” dan ketika Bu Ham ditarik dan kembali diajak pergi akhirnya wanita ini menuju ke dalam. “Kalau begitu kita cari dia, Bu Ham. Cari sampai dapat dan lihat apa yang dia lakukan!”

Bu Ham bingung. Dia benar-benar tak tahu apa sebenarnya yang ingin ditunjukkan wanita ini kepadanya. Tapi karena sikap wanita itu tampak serius dan Tok-gan Sin-ni bersungguh-sungguh akhirnya Bu Ham menjadi tertarik juga. Mereka sekarang mencari ke dalam, berhati-hati. Menyelinap ke sana ke mari tapi tak menemukan jejak Setan Ketawa itu. Dan ketika mereka melewati kamar Twa-lo-mo dan di situ terdengar jerit ditahan tiba-tiba Tok-gan Sin-ni tersenyum dan berhenti di kamar ini, matanya bersinar-sinar.

“Ayo kita lihat apa yang dilakukan cebol-cebol itu!”

Bu Ham terkejut. Dia melihat Tok-gan Sin-ni telah melayang naik, hinggap di atas belandar dan menggantolkan kakinya di situ, tampak tertarik. Dan ketika dia juga melayang naik dan berjungkir balik di sebelah wanita ini, akhirnya Tok-gan Sin-ni menutup bibirnya memberi isyarat.

“Sst, hati-hati. Jangan mengeluarkan suara!”

Bu Ham mengangguk. Dia sendiri sudah terlampau hati-hati saat itu, menahan napas, mengintai ke dalam. Tahu bahwa Hek-bong Siang-lo-mo adalah sepasang kakek iblis yang sakti. Kepandaiannya tinggi dan tak kalah dengan suhunya sendiri. Dan ketika dia memandang ke dalam dan melihat apa yang terjadi tiba-tiba dia tersenyum dan Tok-gan Sin-ni hampir terkekeh.

Ternyata dua kakek itu mempermainkan Ni Hwa dan Bi Ciu. Mereka sama-sama telanjang bulat, tapi karena Hek-bong Siang-lo-mo adalah manusia-manusia cebol yang tingginya hanya sepundak Bi Ciu maupun Ni Hwa maka dua kakek ini “menggantol” dengan sikap yang lucu, persis anak sepuluh tahunan yang tampaknya mau menyusu ibunya. Dan karena maksud mereka kurang kesampaian dan dua kakek itu tampak gemas akhirnya Ni Hwa dan Bi Ciu digigit hingga menjerit!

“Ayo, kalian tundukkan kepala. Tekuk kaki kalian. Tolol!”

Bu Ham tersenyum. Dia hampir tertawa saat itu, geli melihat ulah si kakek yang menyuruh Bi Ciu maupun Ni Hwa menundukkan tubuh mereka. Dan ketika tubuh mereka sama tinggi dan Twa-lo-mo maupun Ji-lo-mo terkekeh menyeringai tiba-tiba mereka menerkam dua wanita muda itu bagai singa kelaparan. Dan kakek cebol itu tampak mendengus-dengus, membuat Ni Hwa maupun Bi Ciu menahan sakit. Sama sekali tidak merasakan nikmat karena dua kakek cebol itu kasar sikapnya. Tidak peduli akan keadaan lawan. Dan ketika maksud mereka kesampaian dan Twa-lo-mo terkekeh tiba-tiba kakek ini bertukar pasangan dengan adiknya.

“Ji-te, coba yang ini. Gantian...!”

Ji-lo-mo menangkap. Dia sekarang menerima Bi Ciu, mempermainkan wanita itu sementara kakaknya menerima Ni Hwa. Dan ketika dua kakek itu tertawa-tawa dan Bu Ham menonton di atas maka Tok-gan Sin-ni mendengus mengejek perlahan.

“Huh, setan-setan yang liar!”

Bu Ham tak menjawab. Dia asyik menonton kejadian di bawah, nafsunya bangkit dan Tok-gan Sin-ni tersenyum. Dan ketika dia menahan napas dan dua kakek cebol di bawah mempermainkan Ni Hwa dan Bi Ciu semakin ganas tiba-tiba lengan Tok-gan Sin-ni telah melingkar di lehernya.

“Kau kepingin?”

Bu Ham terkejut.

“Hi-hik, menonton memang lebih asyik, Bu Ham. Ayo kita main-main juga kalau kau kepingin!”

Tok-gan Sin-ni tiba-tiba mendekatkan mukanya, mencium Bu Ham dan tahu-tahu menggelendot di pundak pemuda itu. Dan ketika Bu Ham terkejut karena mereka berada di atas belandar tahu-tahu wanita ini melepas pakaiannya dan menyerbu dengan nafsunya yang berkobar-kobar. “Bu Ham, ayo main. Kita tandingi mereka!”

Bu Ham tersentak. Tok-gan Sin-ni telah meIepas bajunya pula, mengusap dadanya dan sebentar kemudian melepas pakaian dalamnya juga. Dan ketika dia terbelalak dan mulut wanita sakti itu menciumnya dengan ganas tahu-tahu mereka berdua terguling dari atas belandar!

“Hei...!”

Namun Tok-gan Sin-ni terkekeh. Dia menangkap Bu Ham, menjejakkan kaki berjungkir balik melayang turun. Dan ketika Bu Ham terbelalak dan mereka sudah berada di atas tanah tahu-tahu wanita ini menggelutinya dan tak peduli lagi pada keadaan sekitar. Bangkit nafsunya gara-gara menonton Hek-bong Siang-lo-mo!

“Bu Ham, ayo layani aku!”

Bu Ham tak berkutik. Dia sendiri telah dibakar dengan pemandangan dua kakek cebol itu, lucu tapi terbakar oleh perbuatan orang. Dan ketika Tok-gan Sin-ni menggeliat dan memagutnya bertubi-tubi tiba-tiba Bu Ham mengeluh dan bergulingan bersama wanita bermata satu ini. Tak peduli lagi akan keadaan sekitar dan sama-sama bertelanjang bulat. Bagai hewan-hewan liar yang tak malu-malu. Dan ketika mereka tenggelam dan mabuk dalam nafsu sendiri tiba-tiba beberapa saat kemudian terdengar jerit mengerikan dua kali. Bu Ham terkejut. Jerit itu terdengar dari kamar Twa-lo-mo, jelas suara Ni Hwa dan Bi Ciu. Dan ketika dia tersentak dan nafsu padam oleh jerit ini tahu-tahu dua sosok tubuh melayang menimpa mereka.

“Brukk...!”

Bu Ham ditendang mencelat oleh Tok-gan Sin-ni. Wanita sakti itu membentak, marah oleh perbuatan Hek-bong Siang-lo-mo yang tiba-tiba berkelebat di depan mereka. Dan ketika Bu Ham melompat bangun dan Tok-gan Sin-ni juga menyambar pakaiannya maka dua kakek cebol ini terkekeh melihat keadaan mereka yang tidak karuan.

“Heh-heh, kalian kiranya yang mengintip kami, Sin-ni?”

Tok-gan Sin-ni mendelik. Bu Ham telah mengenakan pakaiannya buru-buru, melihat Ni Hwa dan Bi Ciu telah menjadi mayat. Sekujur tubuh mereka penuh gigitan. Dan ketika dia terbelalak dan Tok-gan Sin-ni merasa terganggu maka wanita ini membentak, “Lo-mo, tak perlu kalian mengganggu aku. Pergilah!”

Twa-lo-mo tertawa. “Kau menyuruh pergi setelah mengintai kami, Sin-ni? Tidak, sekarang kita gantian. Ayo kami menonton kalian!”

Tok-gan Sin-ni marah. Dia terang tak sudi menuruti kemauan kakek cebol itu, melihat Ji-lo-mo menyeringai dan maju dengan mata berkedip-kedip. Dan maklum kakek cebol itu tak mau pergi kalau tak mendapat perlawanan tiba-tiba Tok-gan Sin-ni melengking menyabetkan rambutnya.

“Plak...!” Ji-lo-mo terjengkang, mendapat serangan ini karena dia yang terdekat, memaki tapi melompat bangun. Dan ketika lawan membentak dan maju menerjang maka kakaknya sudah menyambut dan terkekeh menghadapi wanita yang marah ini.

“Heh-heh, kau mau melawan kami, Sin-ni? Boleh, ayo kita main-main sebentar. Plak-plak...!”

Dan Twa-lo-mo yang menangkis serta balas menyerang tiba-tiba berkelebatan menghadapi serangan rambut yang gencar, bertubi-tubi meledak dan melecut, hebat bukan main karena rambut-rambut itu telah berubah menjadi kawat-kawat baja yang dapat menghancurkan batu karang, penuh tenaga sinkang dan bercuitan membuat bulu roma berdiri. Dan ketika dua orang itu bertanding dan Tok-gan Sin-ni maupun Twa-lo-mo sama-sama mengerahkan kepandaian masing-masing maka pertempuran itu menjadi hebat dan membuat beberapa tanaman roboh oleh pukulan-pukulan mereka.

Tapi kejadian ini tak lama. Sai-mo-ong telah mendengar suara pertempuran itu, kegaduhan di luar kamar Twa-lo-mo. Dan ketika iblis ini muncul dan melihat dua temannya bergebrak saling serang tiba-tiba kakek ini membentak melerai pertempuran. “Lo-mo, berhenti? Sin-ni, berhenti...!”

Dua orang itu masih nekat. Sai-mo-ong terpaksa meloncat ke tengah pertempuran, menarik salah seorang diantaranya dan menyuruh yang lain berhenti. Dan ketika kakek itu memandang marah dan Tok-gan Sin-ni berjungkir balik akhirnya tuan rumah menegur dengan suaranya yang parau,

“Sin-ni, apa-apaan ini?”

Tok-gan Sin-ni berdiri tegak, matanya berapi-api. “Hek-bong Siang-lo-mo menggangguku, Mo-ong. Setan cebol itu tak mau pergi dan merongrong diriku!”

“Hm, kenapa begitu, Lo-mo?”

Ji-lo-mo kali ini menjawab, terkekeh dan bersinar-sinar matanya, “Dia yang mengintai kami, Mo-ong. Kalau tidak tentu kami juga tak akan mengganggunya!”

“Mengintai?”

“Ya, dia bersama muridmu itu!”

Mo-ong tertegun, memandang muridnya. “Bu Ham, kenapa mengganggu tamu dan tidak masuk ke dalam?”

Bu Ham terkejut. “Bibi Tok-gan Sin-ni yang mengajakku, suhu. Aku tak tahu apa-apa dan sekedar hanya ikut-ikutan!”

“Hm, benarkah, Sin-ni?”

Tok-gan Sin-ni tak mau kalah. “Dua setan cebol ini gaduh sekali di kamarnya, Mo-ong. Aku sebal dan datang hendak menegur mereka!”

Mo-ong jadi serba salah. Kalau urusan itu dimulai bukan oleh muridnya memang sukar baginya untuk bersikap keras. Maklum, mereka adalah teman-teman sendiri yang harus dibaiki, tak boleh diajak bermusuhan. Tapi Bu Ham yang melihat gurunya muncul dan merasa itu adalah satu kesempatan baik baginya tiba-tiba mengajak Tok-gan Sin-ni pergi.

“Bibi, sebaiknya kita pergi saja. Ayo kita cari paman Siauw-bin-kwi!”

Tok-gan Sin-ni mengangguk. Memang itu adalah cara terbaik agar Hek-bong Siang-lo-mo tak mengganggunya lagi, karena Mo-ong ada di situ. Maka menjengek menyambar Bu Ham tiba-tiba wanita ini berkelebat lenyap. “Mo-ong, suruh dua setan cebol itu tak membuat gaduh. Biar aku menyingkir di tempat lain!”

Mo-ong menarik napas. Twa-lo-mo tampak kecewa, di samping marah juga penasaran karena Tok-gan Sin-ni tak menghiraukan mereka. Tapi melihat lawan lenyap dan Mo-ong sebagai tuan rumah harus dihargai juga akhirnya dua kakek cebol ini menyeringai dan pergi meninggalkan tempat itu. “Mo-ong, maaf...!”

Mo-ong tersenyum. Pernyataan itu membuat dia lega, maklum bahwa Hek-bong Siang-lo-mo tak akan ribut-ribut lagi dan pergi mencari tempat tenang. Dan karena mereka adalah orang-orang aneh yang bersikap ganjil maka Sai-mo-ong berkelebat memasuki kamarnya sendiri, lega karena Tok -gan Sin-ni sudah pergi bersama muridnya menjauhi dua kakek cebol itu yang memang dapat ribut melulu kalau bertemu. Dan begitu Sai-mo-ong kembali ke kamarnya sementara Bu Ham mengajak Tok-gan Sin-ni mencari Siauw-bin-kwi maka suasana di tempat itupun sepi kembali dan tenang.

“Bibi, kemana kita cari paman Siauw-bin-kwi itu?”

“Tak tahulah. Pokoknya kita cari, Bu Ham. Kalau tak ada di sini tentu di luar. Ayo kita ke hutan itu!” Tok-gan Sin-ni ganti mengajak pemuda ini, menyendal Bu Ham dan keluar dari rumah gedung itu, menuju hutan di depan karena Siauw-bin-kwi tak ada di rumah. Dan ketika mereka tiba di sana dan Bu Ham celingukan merasa heran tiba-tiba wanita ini mendesis,

“Sst, kudengar sesuatu...!”

Bu Ham terbelalak. Dia tak mendengar apa-apa, tapi ketika Tok-gan Sin-ni mengajak lebih ke dalam dan menuju ke arah sebelah kiri tiba-tiba suara yang dimaksud Tok-gan Sin-ni itu tertangkap telinganya. “Ya, ada suara sesuatu!”

Tok- gan Sin-ni tersenyum. Dia tak menjawab, menyeret tangan pemuda ini dan merunduk sambil berbisik menyuruh Bu Ham berhati-hati. Dan ketika suara itu semakin jelas terdengar dan Bu Ham mengerutkan kening tiba-tiba Tok-gan Sin-ni mengajaknya berhenti dan mengawasi ke depan. “Awas, itulah si tua bangka itu...!”

Bu Ham tertegun. Dia masih belum melihat apa-apa, terhalang pandangannya oleh semak belukar di depan. Tapi ketika dia menajamkan pandangan dan Tok-gan Sin-ni mengangkat telunjuknya tiba-tiba Bu Ham tersentak melihat apa yang ada di depan, mendengar suara-suara aneh mirip keluhan kucing, atau mungkin keluhan manusia. Dan begitu melihat apa yang ada, sekonyong-konyong pemuda ini bengong.

“Kau sudah melihatnya?”

Bu Ham mengangguk.

“Itulah kesukaan si Setan Ketawa!”

Bu Ham membelalakkan matanya. Sekarang dia melihat kakek itu, bergumul dengan seorang laki-laki muda. Tampak terkekeh-kekeh sementara laki-laki muda itu mendengus-dengus menggeluti kakek ini, mukanya merah sementara kedua mata terpejam. Laki-laki yang ternyata setelah diamati adalah Hok Ciang, pelayannya. Pelayan di dapur! Dan ketika dia masih menjublak dan Tok-gan Sin-ni tersenyum maka Hok Ciang mengeluh ketika kakek itu mencium mulutnya.

“Siauw-bin-kwi seorang homo, Bu Ham. Karena itu hati-hati menghadapinya karena mata kakek itu liar sekali memandang pemuda tampan!”

Bu Ham tertegun. Sekarang dia mengerti apa yang sesungguhnya terjadi, mendusin bahwa kiranya Siauw-bin-kwi ini adalah seorang homosex. Yakni seorang laki-laki yang akan mencari pemuasan nafsunya dengan laki-laki pula. Jadi penyimpangan tak normal dari penyakit kejiwaan. Tak akan tertarik pada wanita karena berahinya hanya bangkit pada laki-laki sejenis. Pantas saja Uyin dan Unga menjadi muridnya, dua pemimpin gagah dari suku U-fak itu, dua laki-laki yang tak pernah kawin meskipun umur mereka sudah di atas empatpuluh tahun! Dan Bu Ham yang bengong oleh kejadian ini tiba-tiba mendengar bisikan Tok-gan Sin-ni, yang kebetulan juga menyebut-nyebut dua orang murid Setan Ketawa itu,

“Sekarang kau tahu mengapa Siauw-bin-kwi amat dendam atas kematian dua orang muridnya, Bu Ham? Mereka itu murid sekaligus kekasih-kekasih yang amat disayang kakek itu. Tak heran kalau dia bagai kambing kebakaran jenggot melihat muridnya dibunuh Gurba!”

Bu Ham mengangguk-angguk. Sekarang dia mengerti betul, paham akan keganjilan kakek ini yang pantas saja selalu meliriknya, senyum-senyum dengan pandangan aneh. Diam-diam kiranya naksir! Dan ketika dia tertegun memandang ke depan dan Tok-gan Sin-ni tersenyum mengejek tiba-tiba Hok Ciang merintih diterkam kakek itu.

“Aduh, sakit, locianpwe... sakit...!”

Bu Ham terbelalak. Dia melihat Siauw-bin-kwi melakukan gerakan tak pantas, menusuk bokong pemuda itu. Dan ketika Hok Ciang mengeluh namun Siauw-bin-kwi tak peduli tiba-tiba kakek ini terkekeh menggerakkan jarinya. “Kau tak akan sakit, anak manis. Sekarang kau akan merasa nikmat!”

Hok Ciang menggeliat. Pelayan muda itu melenguh, hilang rintihannya terganti erangan nikmat. Dan ketika Bu Ham tak mengerti dan Hok Ciang mendengus-dengus maka Tok-gan Sin-ni memberi tahu padanya.

“Siauw-bin- kwi merangsang pemuda itu dengan arak harumnya, Bu Ham. Karenanya pemuda itu tak akan mengeluh lagi setiap si kakek melakukan apa saja terhadap dirinya.”

“Ah, arak perangsang?”

“Ya.”

“Sebelum pemuda itu dibelejeti?”

“Tentu saja. Dan ciuman mulut dari Setan Ketawa itu akan menggigit bagian terpeka di lidah lawannya, Bu Ham. Pemuda itu akan kesakitan sejenak tapi terbawa nikmat yang luar biasa ketika Siauw-bin-kwi melepas hajatnya!”

Bu Ham bergidik. Dia melihat Hok Ciang memang tak mengeluh lagi, menggeliat-geliat dan mendengus-dengus diterkam kakek itu. Mengeluarkan suara tak jelas karena pemuda itu tampak tenggelam dalam nafsu berahinya yang hebat, tentu pengaruh obat perangsang dan ciuman Siauw-bin-kwi tadi. Ciuman disertai gigitan pada daerah paling sensitif. Bagian yang akan membuat orang mabuk dan hanyut dalam nafsu yang membuat dia tak sadar lagi akan segala-galanya.

Dan ketika dua orang itu bergulingan dan Siauw-bin-kwi juga mengeluarkan suara-suara aneh akhirnya pertandingan di depan mata ini berakhir. Siauw-bin-kwi terkekeh, matanya bersinar-sinar dengan cahaya menakutkan. Dan ketika Hok Ciang menggeletak lemah di atas tanah tiba-tiba, tanpa disangka Bu Ham kakek ini menggerakkan jarinya menotok dahi pelayan muda itu!

“Anak manis, kau cukup menyenangkan. Tapi kau tak tahan lama. Tidurlah... crep!” jari Siauw-bin-kwi menembus dahi, kontan disambut jeritan tinggi Hok Ciang yang telah dikerjai kakek ini. Dan ketika Bu Ham berseru kaget dan tanpa sadar mengeluarkan suara berkerosak hingga Siauw-bin- kwi menoleh tahu-tahu kakek itu membentak dan langsung menghantam gerumbul dimana mereka bersembunyi!

“Awas...!” Tok-gan Sin-ni terkejut, keluar dan menendang Bu Ham yang mencelat terguling-guling menjauhi tempat itu.

Dan ketika Bu Ham melompat bangun dan Siauw-bin-kwi berkelebat ke arah mereka maka kakek ini telah berhadapan dengan dua orang itu yang dipandang dengan muka kaget. “Kau?”

“Ya!” Tok-gan Sin-ni mengangguk, terkekeh melindungi Bu Ham yang menggigil di belakangnya. “Kami datang memang untuk melihat perbuatanmu, Siauw-bin-kwi. Dan sekarang anak muda ini tahu apa yang telah kau lakukan!”

Siauw-bin-kwi terkejut. Kakek ini tampak marah tapi Siauw-bin-kwi yang memang berjuluk Setan Ketawa itu tiba-tiba tertawa dan hilang sudah kemarahannya, bersinar memandang Bu Ham. “Ah, murid Mo-ong ini hendak berkencan denganku, Sin-ni? Itu yang kau maksud?”

“Cih,” Tok-gan Sin-ni mencibir. “Siapa mau begituan denganmu, tua bangka? Dia datang untuk melihat perbuatanmu. Murid Mo-ong ini bahkan jijik, dia lebih suka aku daripada kau!”

“Heh-heh, itu karena kau memeletnya, Sin-ni. Kalau tidak tentu dia juga tak akan mau mendekati nenek-nenek macam dirimu. Pemuda ini perlu kusadarkan, dia harus dibebaskan dari cengkeramanmu!” dan Siauw-bin-kwi yang tertawa memandang Bu Ham tiba-tiba merayu. “Bu-kongcu, kau tak suka nenek ini, bukan? Dia tentu memaksamu, bukan? Aku dapat menolongmu, kongcu. Kemarilah dan tinggalkan nenek itu. Tok-gan Sin-ni memang tak tahu malu. Dia pelalap daun-daun muda untuk mengawetkan umurnya!”

Bu Ham ngeri. Dia melihat Siauw-bin-kwi maju mendekatinya, mengulurkan lengan dan siap menyambar pundaknya. Tapi Tok-gan Sin-ni yang membentak marah tiba-tiba berseru, “Bin-kwi, tak perlu main-main. Pemuda ini milikku!”

“Tidak, dia milikku, Sin-ni. Kau memaksanya agar menurut!” Siauw-bin-kwi terkekeh, sudah meneruskan gerakannya dan menangkap Bu Ham. Tapi Tok-gan Sin-ni yang marah dan membentak perlahan tahu-tahu menyerang dengan rambutnya itu.

“Plak!” Gerakan Siauw-bin-kwi tertahan. Kakek Setan Ketawa itu mundur, terdorong membelalakkan matanya. Dan Bu Ham yang melihat dua orang ini siap bertempur tiba-tiba menjadi bingung dan berseru mengangkat lengannya.

“Ji-wi locianpwe, tahan. Aku tak suka kalian cekcok!”

“Hm, apa maksudmu, kongcu?”

“Kalian tak boleh bertempur, locianpwe. Suhu berkali-kali memperingatkan agar kita bersatu. Musuh kalian adalah Kim-mou-eng, bukan teman sendiri!”

“Tapi kami akan memperebutkan dirimu, kongcu. Aku akan membebaskanmu dari cengkeraman nenek ini!”

“Cih!” Tok-gan Sin-ni meludah. “Justeru aku yang harus mempertahankan pemuda ini dari tanganmu, Bin-kwi. Kau berpura-pura untuk ganti memaksa pemuda ini!”

“Tidak, kau yang memaksanya. Aku hanya akan menolong pemuda ini dari cengkeramanmu!” dan Siauw-bin-kwi yang ngotot mempertahankan kemauan sendiri tiba-tiba melejit dan menyambar Bu Ham. “Kongcu, ayo kau ikut aku. Tinggalkan nenek ini...wutt!”

Bu Ham terkejut. Dia sudah disambar si Setan Ketawa itu, lolos dari perlindungan Tok-gan Sin-ni. Dan Tok-gan Sin-ni yang marah membentak keras tiba-tiba melihat Bu Ham sudah digondol dan dibawa terbang kakek itu!

“Bu-kongcu, Tok-gan Sin-ni nenek-nenek yang sudah tua. Dia tak akan dapat memberimu kepuasan yang sempurna. Hayo kau ikut aku!” dan Bu Ham yang sudah dibawa terbang kakek ini keluar hutan tiba-tiba disentak dan dipencet pergelangan tangannya, merasa sakit dan melihat kakek itu menguasai jalan darah pi-pet-hiatnya, tak mungkin dia melawan dan mau tak mau harus mengikuti kakek itu. Dan Tok-gan Sin-ni yang marah mengejar di belakang tiba-tiba melengking.

“Bu Ham, lepaskan dirimu. Pukul kepala kakek itu!”

Siauw-bin-kwi terkekeh. “Tak mungkin, Sin-ni. Bu-kongcu adalah pemuda baik-baik. Dia tak akan menyerangku,” dan Siauw-bin-kwi yang memperkeras pencetannya pada jalan darah pi-pet-hiat berbisik, “Kau tak perlu bergerak macam-macam, kongcu. Sekali menyerang tentu kau akan binasa!”

Dan Bu Ham yang tentu saja tak dapat berkutik akhirnya mengangguk dan diam saja dibawa kakek ini, terbang berputar -putar mencari tempat sembunyi. Tapi karena Tok-gan Sin-ni terus mengejar dan wanita sakti itu berlari sama cepat akhirnya Siauw-bin- kwi jengkel karena jarak diantara mereka tetap sama. Bahkan Tok-gan Sin-ni berkali-kali melecutkan rambutnya di belakang!

“Sin-ni, kau tak perlu mengikuti. Pergilah, besok kucarikan gantinya!”

“Tidak, kau lepaskan dulu pemuda itu, Bin kwi. Besok aku yang akan mencarikan gantinya untukmu!” Tok-gan Sin-ni melengking, terus mengejar dan kembali menggerakkan rambutnya menyerang kakek itu. Dan karena gangguan ini terpaksa membuat Siauw-bin-kwi harus menangkis dan berkali-kali berhenti akhirnya untuk lecutan itupun Siauw-bin-kwi membalik dan terpaksa menggerakkan lengannya ke belakang.

“Plak!” Siauw-bin-kwi menjadi gemas, menolak rambut dan kini benar-benar berhenti, marah memandang nenek itu. Dan ketika lawan tertawa dan Bu Ham dilepas akhirnya dua jago tua itu berhadapan dengan saling memaki, “Sin-ni, kau tak tahu malu!”

“Dan kau manusia homo tak kenal aturan, Bin-kwi. Kita harus bertanding untuk memperebutkan Bu-kongcu!” dan Bu Ham yang terbelalak melihat dua orang itu sama melotot akhirnya melihat Tok-gan Sin-ni berteriak menerjang maju.

“Plak-plak!” Siauw-bin-kwi kembali menangkis, membentak dan balas menyerang wanita ini. Dan ketika Tok-gan Sin-ni melengking dan maju berkelebatan dengan rambut menyambar-nyambar akhirnya dua tokoh itu bertempur dan sama-sama marah.

Bu Ham bingung. Dia melihat dua sahabat gurunya itu serang menyerang dengan amat hebat, Tok-gan Sin-ni masih mempergunakan rambutnya sementara Siauw- bin-kwi mempergunakan tangan dan kakinya. Masing-masing sama hebat. Dan ketika pertandingan berjalan belasan jurus dan kedua pihak tak mau kalah tiba-tiba keduanya saling membentak dan lenyap dalam gulungan bayangan masing-masing.

“Setan Ketawa, kau akan kubunuh!”

“Tidak, kau yang akan kubunuh, Sin-ni. Aku akan membuatmu menjadi perkedel dan tak mengganggu Bu-kongcu lagi!”

Bu Ham melihat keduanya sama-sama memekik. Baik Tok-gan Sin-ni maupun Siauw-bin-kwi mulai mengeluarkan kepandaiannya masing-masing. Kedua pihak agaknya memiliki kepandaian seimbang dan tentu saja membuat pertempuran berjalan lama dan alot. Tapi ketika mereka muIai mengadu tenaga dan Tok-gan Sin-ni maupun lawannya mulai terpental akhirnya Bu Ham menjadi cemas dan gelisah. Teringat bahwa hanya dengan pertolongan merekalah dia bisa memiliki SaIima.

“Locianpwe, tahan. Jangan bertempur, tahan...!”

Tapi Siauw-bin-kwi maupun Tok-gan Sin-ni tak menggubris. Mereka sama-sama memusatkan perhatian pada pertandingan itu, bahkan kian menghebat setiap Bu Ham berteriak. Agaknya masing-masing hendak mengalahkan yang lain dan menunjukkan keunggulannya pada pemuda yang sama- sama diincar. Dan ketika untuk kesekian kalinya lagi dua tenaga bertemu di udara tiba-tiba Tok-gan Sin-ni dan Siauw-bin-kwi mencelat terlempar.

“Dukk...!”

Udara tergetar hebat. Bu Ham sendiri sampai roboh terpelanting kaget oleh benturan yang luar biasa itu, yang menggetarkan dadanya dan membuat jantung sakit. Dan ketika Bu Ham melompat bangun dan melihat keduanya sudah siap untuk saling serang tiba-tiba dengan nekat pemuda ini maju ke tengah. Harus dapat mengatasi pertikaian itu tanpa gurunya!

“Locianpwe, tahan. Kalian tak boleh bertempur lagi!”

Siauw-bin-kwi dan Tok-gan Sin-ni terkejut.

“Minggir, Bu Ham. Biar kubunuh kakek itu dulu!” Tok-gan Sin-ni berteriak, menyuruh pemuda itu minggir namun Bu Ham bahkan berdiri tegak, menggeleng dan membuat dua tokoh itu tentu saja tak berani menyerang. Takut mengenai pemuda ini.

Dan ketika Siauw-bin-kwi menyeringai dan Bu Ham meminta mereka untuk tidak serang-menyerang lagi akhirnya kakek ini terkekeh. “Bu-kongcu, agaknya kau berpihak padaku. Kalau begitu kau ikut aku saja!”

“Tidak!” Tok-gan Sin-ni menyambar sebelah lengan Bu Ham. “Dia ikut aku, Bin-kwi. Atau kubunuh kau kalau kau berani memaksa!”

“Heh-heh,” Siauw-bin-kwi tiba-tiba menyambar sebelah lengan Bu Ham yang lain. “Dia ikut aku, Sin-ni. Atau kubunuh kau kalau berani memaksa!” dan Bu Ham yang sudah dipegangi dua orang ini dengan sikap siap bertempur akhirnya menjadi bingung dan memandang Tok-gan Sin-ni.

“Bibi, lepaskan aku. Biar aku bicara dengan paman Siauw-bin-kwi.”

“Tidak, kau akan dipermainkannya, Bu Ham. Sebaiknya kau ikut aku dan tinggalkan kakek itu!”

Dan ketika Bu Ham bingung dan terbelalak memandang dua orang ini tiba-tiba Siauw-bin-kwi tertawa. “Bu-kongcu, kau menghendaki bantuanku untuk menangkap gadis Tar-tar itu, bukan? Nah, sekarang terserah kau saja. Kalau kau tak menghendaki kami bertempur kau harus dapat memberi imbalannya padaku. Kau tinggalkanlah nenek itu. Kau main-main denganku. Atau kalau kau tak suka padaku boleh kau tinggalkan aku dan aku akan pergi tak mau menangkap gadis Tar-tar itu! Bagaimana?”

Bu Ham terkejut. Dia tentu saja semakin bingung, tapi belum dia menjawab tiba-tiba Tok-gan Sin-ni melengking. “Tidak, kau tak boleh turuti kakek itu, Bu Ham. Atau kalau kau turuti dia aku yang akan pergi meninggalkanmu tak mau menangkap Salima!”

“Heh-heh,” Siauw-bin-kwi menyahut. “Kau satu lawan tiga, Sin-ni. Bu-kongcu tentu memilih aku daripada kau. Aku masih dibantu Hek-bong Siang-lo-mo, kau tidak!” dan ketika Bu Ham tertegun dan Tok-gan Sin-ni terkejut maka Siauw-bin-kwi sudah melepaskan cekalannya. “Nah, sekarang terserah kau, kongcu. Kalau kau cerdik tentu kau memilih aku. Tapi kalau kau bodoh boleh saja pilih nenek itu!”

Bu Ham berada di persimpangan jalan. Dia terang bingung, maklum apa yang dikatakan kakek ini memang betul. Pihak Setan Ketawa ada tiga orang. Tapi karena bantuan Tok-gan Sin-ni juga tak dapat diabaikannya dan bantuan nenek sakti itu amat berharga akhirnya Bu Ham mengambil keputusan yang amat berani, menerima kedua-duanya!

“Locianpwe, sebaiknya tak perlu aku menerima yang satu dan meninggalkan yang lain. Kalian semua adalah sahabat-sahabat guruku. Dan karena suhu sendiri selalu menekankan artinya persahabatan ini biarlah aku menerima kalian berdua sebagaimana adanya. Bibi Tok-gan Sin-ni sudah menjadi kekasihku, dan paman Siauw-bin-kwi juga boleh menjadi teman akrabku! Bagaimana?”

Siauw-bin-kwi terbelalak. “Kau menerima kami berdua?”

“Ya.”

“Kau kuat?”

“Bibi Tok-gan Sin-ni telah mengujinya, paman. Kau boleh buktikan nanti kalau tidak percaya!”

“Ah,” Siauw-bin-kwi tertegun, tapi tiba-tiba tertawa bergelak. “Bu-kongcu, kau rupanya pemuda istimewa. Pantas saja kalau Tok-gan Sin-ni tergila-gila padamu. Sungguh tak nyana!” dan Siauw-bin-kwi yang sudah menyambar lengan orang tiba-tiba berseru, “Sin-ni, bagaimana pendapatmu? Omongan pemuda ini memang betul, kita tak usah bertempur kalau dia mau melayani kita berdua!”

Tok-gan Sin-ni cemberut. Sebenarnya dia tak rela, tapi maklum kakek ini juga sakti dan pertempuran diantara mereka bakal merunyamkan keadaan karena belum tentu masing-masing ada yang menang akhirnya nenek ini menggaplok muka Bu Ham dan meloncat pergi. “Baiklah, tapi kembalikan dia secepatnya, Bin-kwi. Suruh Bu Ham ke kamarku kalau urusan kalian selesai!”

Siauw bin-kwi tertawa bergelak. Bu Ham sendiri sudah mengusap pipinya, menyeringai menerima gaplokan itu. Dan ketika Tok-gan Sin-ni lenyap di luar hutan dan Siauw-bin-kwi mencengkeram pemuda ini tahu-tahu Bu Ham diangkat tubuhnya. “Bu-kongcu, ayo sekarang kau ikut aku. Kita bersenang-senang...!”

Bu Ham tak dapat menolak. Dia telah menerima keputusannya sendiri, dibawa terbang kakek ini dan diam-diam berdebar. Untuk pertama kalinya melayani manusia homo! Dan ketika mereka berdua tiba di tempat sunyi dan Siauw-bin-kwi mendengus menerkam pemuda itu maka Bu Ham melayani kakek ini dan berada di sebuah dunia yang lain. Untuk pertama kalinya merasakan keganjilan dari hubungan antara lelaki dengan lelaki. Tapi karena dia telah siap menerima semuanya itu demi Salima akhirnya Bu Ham terbiasa dan dapat juga bertindak yang sama. Aneh!

* * * * * * * *

“Suheng, kemana kita sekarang?”

Gurba berhenti. Dia telah tiba di sebuah pegunungan kapur, ditanya sumoinya dan melihat sumoinya itu mengusap peluh. Anak rambut didekat kening tampak melingkar sedikit, manis sekali. Dan ketika Gurba menarik napas dan tidak menjawab pertanyaan sumoinya itu pemuda tinggi besar ini bahkan memejamkan mata. “Sumoi, kau cantik sekali. Tak heran kalau banyak lelaki memandangmu dengan kagum!”

Salima cemberut. “Apa yang kau katakan ini, suheng? Aku tidak bertanya tentang itu, aku bertanya kemana kita sekarang!”

Gurba membuka mata, Dia mendengar sumoinya membentak, tersenyum dan bersinar-sinar memandang sumoinya itu. Dan duduk menepuk batu di sebelahnya pemuda ini berkata, “Sebaiknya kita beristirahat dulu, sumoi. Perjalanan sebelas hari ini cukup melelahkan kita.”

Salima tak senang. “Tapi kita telah beristirahat tadi, suheng. Aku tak capai dan ingin meneruskan perjalanan!”

“Ah, tunggu dulu. Sabar!” Gurba terkejut, bangkit berdiri dan mengerutkan keningnya. Dan melihat sang sumoi masih juga cemberut dan tampak tak senang akhirnya pemuda ini mengangguk. “Baiklah, kalau kau tak capai kita boleh teruskan perjalanan ini, sumoi. Tapi hati-hati sedikit menjaga kesehatanmu. Kau tampaknya tak enak badan.”

Salima mengangguk. “Aku memang tak enak badan, suheng. Aku ingin mencari sebuah losmen.”

“Bagaimana kalau sebuah kuil tua?”

“Adakah disekitar sini?”

“Ya, lebih kurang sepuluh li di depan, sumoi. Atau kita mungkin dapat mencari pertolongan pada penduduk dusun.”

“Tidak, aku tak suka itu,” Salima menggeleng. “Aku tak mau mengganggu penduduk dusun!”

“Jadi kita ke kuil tua itu saja?”

“Ya.”

“Baiklah, mari kuantar,” dan Gurba yang menarik sumoinya melanjutkan perjalanan tiba-tiba ditepis dengan muka cemberut.

“Suheng, tak perlu pegang-pegang. Aku dapat berjalan sendiri!”

Gurba terkejut. Mukanya seketika menjadi merah, tapi melihat sumoinya marah dan melanjutkan perjalanan dengan tubuh terhuyung tiba-tiba Gurba melompat di depan sumoinya ini. “Sumoi, kau sakit. Mukamu pucat!”

“Biarlah, aku juga tak akan mati dengan sakitku ini, suheng. Sebaiknya tak perlu banyak cakap lagi dan kita ke kuil yang kau maksud itu!” Salima bersikap ketus, kembali membuat Gurba terpukul dan merah mukanya.

Tapi melihat sang sumoi melanjutkan perjalanannya dan dagu yang mengeras itu menunjukkan tak mau dibantah akhirnya raksasa tinggi besar ini mengalah dan mengikuti sumoinya itu. Diam-diam Gurba merasa marah. Sudah sebelas hari ini sumoinya melakukan perjalanan bersama, tapi sebelas hari itu pula sumoinya tak memberikan muka manis padanya. Padahal dia telah memberikan semua perhatian dan sikap manis pada sumoinya itu. Kenapa sumoinya begitu? Masih teringat pada sutenya?

Gurba mendongkol. Sebab hari ini pertanyaan Salima selalu berkisar pada Kim-mou-eng itu, sutenya yang sudah dibenci tapi diam-diam dibuat rindu. Selalu bertanya apa-apa tentang Pendekar Rambut Emas itu. Dan karena dia telah memutar balikkan fakta dan Kim-mou-eng kini kejatuhan getah dari nangka yang dia makan maka Gurba semakin memburuk-burukkan cerita tentang sutenya itu, yang anehnya selalu disambut tangis sumoinya ini yang benci tapi rindu.

Dan ketika sebelas hari itu Gurba tak merasakan kesenangan dalam perjalanan bersama sumoinya ini maka dia menjadi marah dan mendongkol juga, melihat sumoinya mulai pucat dan jarang makan. Kata-katanya tak enak. Dan ketika hari itu Salima kelihatan sakit dan gadis itu berjalan dengan tubuh limbung tiba-tiba sumoinya terisak ketika tiba di kuil tua itu, masuk dan langsung jatuh terduduk menekan kepalanya.

“Suheng, aku pusing. Perut rasanya ingin muntah...!”

Gurba terkejut. “Kau memang keras kepala, sumoi. Kenapa tidak beristirahat tadi saja dan turuti nasihatku? Kau tak mau menelan obat, dan kini mengeluh segala macam.”

“Kau tak suka?” Salima tiba-tiba berdiri, berapi memandang suhengnya itu. “Kalau begitu tinggalkan aku, suheng. Aku tak akan mengeluh padamu!” dan Salima yang terhuyung menuju belakang kuil tiba-tiba mencari air untuk mengompres kepalanya. Tapi gadis ini jatuh terbanting, terduduk dan hampir berteriak ketika kepala serasa berdentang. Seolah ditumbuk paIu baja. Dan ketika gadis itu menggeliat dan Gurba meloncat terkejut maka raksasa tinggi besar ini membantu sumoinya menotok dua jalan darah, cepat memberikan sebutir obat ke mulut sumoinya.

“Sumoi, maafkan aku. Kau tak perlu marah-marah begini!”

Salima menangis. Dia telah ditolong suhengnya itu, melihat suhengnya gugup dan pergi mencarikan air. Dan ketika Gurba mengompres kepalanya dan menyuruh dia tidur maka raksasa ini melepas bajunya untuk alas berbaring. “Sumoi, kau harus beristirahat. Tubuhmu panas sekali!”

Salima tak menjawab. Dia telah diserang demam, panas dan dingin berganti-ganti, menggigil. Dan Gurba yang menempelkan lengan di pundak sumoinya akhirnya menyalurkan hawa sinkang untuk membantu sumoinya ini, betapapun gelisah dan mendengar sumoinya merintih. Dan ketika bantuan hawa sinkang itu menyalurkan hawa hangat dan Salima tak merintih lagi akhirnya gadis itu tertidur dan mengigau.

“Kim-suheng, kau kejam... kau menyakiti hatiku...”

Gurba terpukul. Sumoinya menyebut-nyebut Kim-mou-eng, kembali mengigau dan menangis menyebut-nyebut tentang hubungan mereka berdua. Dan ketika gadis itu menyatakan cintanya dan Gurba terbelalak marah tiba-tiba raksasa ini menarik tangannya menghentikan bantuan sinkang itu.

“Keparat, aku yang menolong dia yang diperhatikan!” Gurba mengomel, merah mukanya dan marah pada sumoinya yang mengigau itu. Dan ketika dua jam kemudian Salima membuka mata dan sadar dengan kepala masih pening maka raksasa itu tak ada lagi di tempatnya dan membuat Salima duduk dengan kepala berputar.

“Suheng, dimana kau?”

Tak ada jawaban. Salima kembali bertanya, dan ketika kembali tak ada jawaban maka gadis ini terhuyung mencari ke belakang. Dan dilihatnya suhengnya itu duduk di sudut ruangan, mukanya keruh dan tidak menjawab pertanyaannya. Dan ketika dia menghampiri dan Gurba menyambutnya dengan muka gelap maka Salima duduk tak jauh dari suhengnya ini.

“Suheng, apa yang kau pikirkan?”

Gurba menggeram. “Kalau bukan dirimu siapa lagi, sumoi? Aku mati-matian memperhatikan dirimu tapi orang lain pula yang mendapat perhatianmu!”

“Apa maksudmu?”

“Kau menyebut-nyebut, Kim-sute. Kau mengigau dan jelas tidak membenci si keparat itu.”

Salima terkejut. “Aku mengigau?”

“Ya.”

“Apa saja yang kukatakan?”

“Kau mengutuk bocah itu, tapi kau juga mencintainya!”

Salima tiba-tiba menangis. Dan belum dia menjawab tiba-tiba Gurba bangkit berdiri. “Sumoi, Kim-mou-eng telah mencemarkan nama suku bangsa kita. Dia mengawini wanita Han, berkhianat dan secara diam-diam meninggalkan kita tanpa pesan atau apa. Masa untuk manusia macam begini kau ada hati padanya? Dia pemuda terkutuk, sumoi. Kim-te harus dibunuh dan dilenyapkan bersama isterinya itu. Kau tak boleh jatuh cinta padanya!”

Salima mengguguk. “Aku... aku tak cinta padanya, suheng. Aku bahkan benci pada sepak terjangnya itu!”

“Tapi kau mengigau dan menyebut-nyebut cinta. Berarti tak sungguh-sungguh kau mengucapkan kata-katamu ini!”

“Tidak, aku mengigau juga tak salah, suheng. Yang kumaksudkan cinta di situ adalah cinta seorang kakak dan adik. Bukan cinta seorang pria terhadap wanita. Sekarang dia sudah beristeri, aku harus menghapus semua perasaan cinta itu dan tak boleh lagi mengasihinya!” Salima bangkit berdiri mengepal tinju dengan air mata bercucuran tapi dipandang senyum mengejek oleh suhengnya. Dan ketika Gurba mendengus dan bangkit berdiri maka Salima lari ke tempatnya tadi menangis tersedu-sedu.

“Suheng, kau tak perlu bicara lagi tentang itu. Aku benci Kim-mou-eng!”

Gurba menjengek. Dia mengikuti sumoinya itu, tahu apa yang terjadi dan tentu saja tidak percaya. Diam-diam mendongkol dan marah bahwa sutenya masih juga dicintai sumoinya ini. Padahal sutenya itu telah dikatakan sudah beristeri. Jadi kedudukannya bisa bertepuk sebelah tangan. Hal yang membuat Gurba penasaran! Dan ketika dia mengikuti sumoinya itu dan melihat sumoinya menangis menutupi muka akhirnya Gurba menahan napas berkata pada sumoinya ini,

“Sumoi, apa yang ada di hatimu tak dapat kau sembunyikan dariku. Aku sendiri tahu kehancuran hatimu. Tapi apakah sesuatu yang hancur tak dapat diperbaiki lagi? Aku siap menolongmu, sumoi. Aku siap membangun yang hancur itu di hatimu!”

Salima mengangkat mukanya, terbelalak. “Apa maksudmu?”

Dan Gurba memasang muka kuyu, hati-hati duduk di dekat sumoinya ini. Dan ketika sumoinya menanti jawaban dan Gurba berdebar menekan perasaan sendiri maka dengan terang-terangan pemuda tinggi besar ini buka kartu, “Artinya aku sanggup mengisi kekosongan hatimu itu, sumoi. Bahwa aku mencintaimu dan siap melakukan apa saja untuk kebahagiaanmu!”

“Ah!” Salima tertegun, mundur mendorong tubuh sendiri hingga mepet di dinding. Dan ketika suhengnya mengerutkan kening dan ganti menunggu jawabannya maka Salima berseru gemetar, “Kita, aku... ah, kau memang mencintaiku sebagai suheng dan sumoi, twa-heng. Bukankah ini sudah kuketahui lama?”

“Tidak, bukan itu maksudku, sumoi. Melainkan cinta sebagai pria terhadap wanita. Aku mencintaimu seperti itu, bukan melulu hubungan kakak dan adik seperguruan!” dan ketika Salima terbelalak dan memandang dengan muka merah tiba-tiba Gurba mendekat maju dan memegang lengan sumoinya itu, berkata gemetar, “Sumoi, kau tak akan mengecewakan perasaan hatiku, bukan? Kita sama-sama berdarah Tar-tar, sumoi. Kau lupakan Kim-sute itu dan kita menikah!”

“Tidak...!” Salima tiba-tiba menjerit, melepaskan dirinya. “Aku... aku belum berpikiran ke situ, suheng. Aku tidak mencintai dirimu seperti yang kau maksudkan itu!”

“Hm, kalau begitu kau mencintai Kim-sute?”

“Juga tidak. Aku benci laki-laki itu!” dan Salima yang menggigil memandang suhengnya akhirnya menangis lagi. “Suheng, kuminta dengan sangat kita tidak membicarakan soal yang satu ini. Aku benci laki-laki. Aku sedang phobi terhadap mereka!” dan Salima yang kembali duduk sambil menangis tersedu-sedu akhirnya dipandang dengan muka pucat oleh raksasa tinggi besar itu. Kecewa tapi juga heran, tak mengerti jalan pikiran wanita. Tapi penasaran dan menganggap sumoinya ini masih mencintai Kim-mou-eng tiba-tiba Gurba menguji.

“Sumoi, agaknya Kim-sute memang harus segera dicari. Persoalan ini tak mungkin dibiarkan mengambang. Aku mencintaimu, kau telah dengar itu. Dan kalau kau tak membunuh Kim-sute dan mengampuni kesalahannya maka kuanggap kaupun berkhianat pada bangsa Tar-tar dan mempermainkan aku! Bagaimana kalau sampai terjadi begini?”

Salima mengedikkan kepalanya. “Tak mungkin terjadi begitu, suheng. Aku memang akan membunuh Kim-suheng kalau kita temukan dia. Atau, kalau aku kalah biar dia yang ganti membunuh aku. Ini sumpahku!”

“Bagus, kalau begitu kau tak akan percaya pada setiap alasannya?”

“Alasan apa?”

“Dia mungkin akan memutarbalikkan fakta, sumoi. Mengarang cerita dan mungkin saja menyebut aku sebagai tertuduh utama. Dan karena kita tak tahu jalan pikiran manusia mungkin saja dia telah memfitnah dan justeru menyebar berita akulah yang kawin dengan selir kaisar itu! Bagaimana?”

Salima terkejut. Dan Gurba lagi-lagi melangkah jauh, tak tanggung-tanggung. “Dan Kim-sute memang cerdik, sumoi. Kalau berita itu sudah disebar dan orang menganggap akulah yang menerima hadiah selir kaisar maka kau harus hati-hati dan waspada menghadapi fitnah ini. Kau tahu Kim-sute orangnya pintar, karena itu kalau kau mendengar pemutarbalikan berita ini dan aku dinyatakan mendapat hadiah selir itu maka jangan kau percaya dan bunuh saja pembawa berita itu!”

Salima terbelalak. “Kim-suheng akan melakukan tindakan sejauh itu?”

“Itu menurut perhitunganku. Mungkin saja ya, tapi mudah-mudahan tidak!”

“Ah... !” dan ketika Salima tertegun dan Gurba tak mau diam, raksasa ini berkata lagi, “Kim-sute orangnya cerdik, sumoi. Mungkin untuk menghindari kejaran kita dia lalu melakukan fitnah itu. Agar kau benci padaku, agar kau memusuhi aku. Tapi karena kebetulan kita bertemu lebih dulu dan aku sempat memberitahumu maka berhati-hatilah bila mendengar cerita seperti itu. Bahwa Kim-sute memfitnah untuk menyelamatkan dirinya sendiri!”

“Tapi aku tak percaya, suheng. Tak mungkin Kim-suheng akan melakukan perbuatan sekeji itu, memfitnah!”

“Ah, orang yang dalam keadaan bingung bisa melakukan apa saja, sumoi. Kim-sute memang biasanya gagah. Tapi kali ini urusannya lain. Dia mengkhianati bangsa kita, dia menikahi wanita Han itu dan sadar akan kesalahannya. Dan takut pada bayangan sendiri yang telah melakukan dosa bisa saja dia berbuat nekat dan tidak terpuji!”

Salima kembali tertegun. Gurba lalu kembali bercerita dengan amat licinnya, menggosok dan berusaha melimpahkan semua perbuatannya untuk dipikul sutenya itu, Pendekar Rambut Emas. Dan karena Salima juga sedang membenci suhengnya nomor dua itu gara-gara kejadian dulu dimana dia merasa kecewa pada Pendekar Rambut Emas akhirnya semua omongan Gurba termakan dan dipercaya penuh oleh gadis yang sedang patah hati ini!

Salima tak ragu-ragu lagi, marah bukan main dan bola matanya berpijar. Penuh dendam dan sakit hati. Dan ketika Gurba selesai dan Salima percaya pada suhengnya ini maka gadis Tar-tar itu memiliki kebencian setinggi langit terhadap Kim-mou-eng. Dan, kebetulan sekali ketika beberapa hari kemudian mereka melanjutkan perjalanan dan Salima sembuh dari demamnya mendadak rombongan Siauw-bin-kwi dan teman-temannya itu muncul!

“Ha-ha, ini dia orang yang kita cari-cari, Mo-ong. Si Singa Daratan Tandus ini lagi bermesraan dan asyik bersama sumoinya!”

Gurba dan Salima terkejut. Saat itu mereka tiba di tepi sebuah sungai, siap menyeberang. Dan melihat Siauw-bin-kwi dan rombongannya muncul dengan tawanya yang nyaring tiba-tiba raksasa tinggi besar ini mendelik, merah mukanya. Teringat hancurnya suku bangsa Tar-tar gara-gara perbuatan iblis ini.

“Siauw-bin-kwi, sungguh bagus sekali kalau kau datang. Kau siap menyerahkan nyawamu?” Gurba membentak.

“Ha-ha, siapa yang akan menyerahkan nyawa, Gurba?” Siauw-bin-kwi mengejek. “Aku datang justeru untuk mencabut nyawamu. Tapi dimana itu Kim-mou-eng? Mana dia?”

Gurba menggereng, tapi Salima keburu melompat maju, melengking marah. “Siauw-bin-kwi, kau iblis jahanam terkutuk. Kau membuat suku bangsaku hancur dengan perbuatanmu yang hina-dina. Kau tak akan kuampuni dan siaplah menerima kematian!”

“Ha-ha, kau sudah tahu semuanya, Salima? Bagus, tapi kau mungkin tak tahu sesuatu yang sudah dilakukan suhengmu ini. Dia membunuh muridku, Uyin dan Unga. Dan karena itu aku membalas kematian muridku agar perhitungan kita impas!”

Tapi kau mengadu domba, Siauw-bin-kwi. Kau mengadu suku bangsa Tar-tar dengan pasukan kerajaan!”

“Heh-heh, itu tak kusangkal, Salima. Tapi itu juga berkat kebodohan suhengmu sendiri. Kalau suhengmu pintar tentu tak akan terjadi seperti itu!”

“Keparat, terkutuk...!” dan Salima yang siap menyerang menggetarkan lengan tiba-tiba disambut ledakan rambut Tok-gan Sin-ni yang maju bersama teman-temannya, mengurung.

“Tiat-ciang Sian-li, kau tak perlu cecowetan di tempat ini. Kami datang untuk membunuhmu. Bersiaplah... tar-tar!” rambut Tok-gan Sin-ni pecah menjadi tujuh bagian, meledak dan siap menyerang mengulang pertandingan dulu.

Tapi Mo-ong yang tertawa mengibaskan baju tiba-tiba berseru, “Sin-ni, dua orang musuh kita ini adalah kawan lama yang harus dihormat dulu. Gurba tampaknya gatal melihat Siauw-bin-kwi, dan Salima ini tampaknya gatal melihat dirimu. Bagaimana kalau kita memberi kesempatan pada yang lain untuk saling bertukar pasangan? Aku dulu telah berkenalan dengan Dewi Bertangan Besi (Tiat-ciang Sian-li) ini, dan Siauw-bin-kwi telah berkenalan dengan si Singa Daratan Tandus. Sebaiknya Siauw-bin-kwi atau Hek-bong Siang-lo-mo itu main-main dulu dengan Dewi Bertangan Besi ini, kita menonton. Akur?”

“Heh-heh,” Hek-bong Siang-lo-mo tertawa menyeringai, maju menggoyang bokong. “Aku setuju-setuju saja dihadapkan gadis cantik ini, Mo-ong. Tapi bagaimana kau sendiri?”

“Aku dan Sin-ni bisa menghadapi si Singa Daratan Tandus itu. Kami belum berkenalan dengannya. Kalian sudah, bukan?”

“Ya, kami sudah berkenalan dengan raksasa hitam itu. Tapi Siauw-bin-kwi tak ada lawannya, Mo-ong. Mana adil?”

“Ha-ha, aku dapat menjadi wasit dulu, Lo-mo,” Siauw-bin-kwi menyela. “Kalian bertanding saja dan aku maju kalau kalian terdesak!”

“Uwah, kau maju belakangan?”

“Terserah Mo-ong, dia yang mengatur!” Setan Ketawa itu tertawa, memandang temannya yang disebut dan membuat Salima dan suhengnya tersinggung, marah sekali karena mereka seolah dijadikan barang aduan. Tapi Mo-ong yang maju menganggukkan kepalanya tiba-tiba tersenyum dengan mata licik.

“Lo-mo, kau tak perlu iri. Masing-masing akan mendapatkan bagiannya nanti. Bukankah kita masih harus berjaga-jaga terhadap Kim-mou-eng? Siapa tahu dia datang di saat kita menghadapi mereka ini. Sebaiknya kau memanaskan badan dulu, hadapi siluman betina itu dan kami menonton. Kalau raksasa ini maju kami yang akan menghadapinya!”

Lengkaplah sudah. Rencana itu sudah diatur, dan karena Hek-bong Siang-lo-mo selalu melotot padanya dan pandangan dua iblis cebol itu tampak berminyak tiba-tiba Salima melengking menerjang dua orang ini, yang maju mendekatinya,

“Hek-bong Siang-lo-mo, kalianpun harus menerima hukuman... wut-wuut!” dan Salima yang menerjang menggerakkan kedua lengannya tiba-tiba membuat yang lain mundur karena pukulan Tiat-lui-kang mulai menyambar, dielak dua kakek cebol itu yang terkekeh melihat kemarahan lawan. Tapi ketika Salima membalik dan Twa-lo-mo berseru keras tiba-tiba iblis tertua ini menangkis.

“Ji-te, kau mundur dulu. Biar kuhadapi si cantik ini... plak!”

Salima dan lawannya terkejut. Twa-lo-mo terpental, maklum dia bicara pada adiknya hingga pemusatan tenaga kurang sepenuh bagian. Tapi Salima yang juga terhuyung dan merasa benturan panas dari lengan si cebol tiba-tiba membentak dan kembali menerjang.

“Lo-mo, kau akan kubunuh!”

“Ha-ha, kalau bisa, Tiat-ciang Sian-li. Tapi kalau tidak justeru kau akan kugendong dan kupermainkan!”

Twa-lo-mo berkelit, tertawa dan sudah menghadapi serangan lawan yang gencar bukan kepalang, masih main-main dan tidak kelihatan serius. Tapi ketika pukulan-pukulan Tiat-lui-kang membuat dia mundur dan hawa panas dari pukulan Telapak Tangan Petir itu membuat dia terpental tiba-tiba iblis ini terkejut membelalakkan mata, memusatkan perhatian dan tidak berani main-main lagi. Dan ketika Salima melengking dan Tiat-lui-kang mengurung iblis cebol itu tiba-tiba Twa-lo-mo mendesah dan mulai membalas.

Demikianlah, pertandingan pertama ini mulai berjalan seru. Masing-masing pihak telah cukup mengetahui kepandaian yang lain. Salima mendapat kenyataan bahwa iblis cebol ini berani menerima Tiat-lui-kangnya, menangkis dan tahan pukulan panas yang menyambar dari Telapak Petir itu.

Tapi ketika dia menambah tenaga dan Tiat-lui-kang mulai menekan kakek cebol ini tiba-tiba Twa-lo-mo membentak mainkan silat aneh, meliuk-liuk bagai penari cebol dengan kedua lengan naik turun, tiba-tiba menyambar serangkum hawa dingin menyambut Tiat-lui-kang yang berhawa panas. Dan ketika satu saat pukulan petir disambut kakek itu tiba-tiba ledakan keras mengguncangkan bumi.

“Blub!”

Salima terkejut. Tangkisan lawan berbunyi seperti letupan balon Twa-lo-mo terpental tapi membalik lagi seolah karet, membal dan terkekeh melihat dia terkejut oleh terlemparnya kakek ini. Dan ketika Tiat-lui-kang kembali menyambar tapi kakek itu mempergunakan tangkisannya yang aneh mendadak iblis ini mencelat-celat seperti bola dipukul-pukul.

“Silat Bola Sakti...!”

Salima terbelalak. Dia mendengar suhengnya berseru tertahan, rupanya mengenal ilmu silat lawan yang aneh tapi luar biasa, baru kali itu mendengar nama yang ganjil bagi sebuah ilmu silat. Tapi Hek-bong Siang-lo-mo yang tampak terkejut oleh seruan ini justeru membelalakkan mata memandang Gurba, yang saat itu mengerutkan kening dan tampak berpikir keras oleh ilmu silat lawan yang aneh. Dan ketika Salima kembali menyerang tapi Twa-lo-mo mental tak apa-apa akhirnya raksasa ini berseru,

“Sumoi, arahkan pukulan ke mulut setan cebol itu. Dia apes di bagian itu!”

Twa-lo-mo terkejut. “Keparat kau curang, Gurba. Sumoimu yang bertempur tapi kau yang memberi tahu!”

Tapi Salima sudah mengangguk. Dia sudah melejit dan menyerang mulut lawannya itu, yang setiap kali menangkis tentu terbuka. Dan ketika Tiat-lui-kang meledak dan Twa-lo-mo berteriak melihat mulutnya diserang tiba-tiba si cebol ini terpaksa bungkam dan menangkis dengan lengan kirinya.

“Dukk!” Twa-lo-mo terbanting. Untuk pertama kalinya iblis itu memekik, gusar dan melompat bangun dengan marah. Dan ketika Salima mengincar mulutnya dan tetap menyerang ke bagian itu tiba-tiba Silat Bola Sakti kakek iblis ini tak jalan karena harus selalu membungkam mulutnya, tak dapat mengempos (menarik) hawa sakti!

“Duk-dukk!”

Twa-lo-mo mulai tunggang-langgang. Iblis cebol ini marah, meraung tapi kelabakan ketika Tiat-lui-kang selalu menyambar mukanya. Dan ketika dia kalang-kabut dan pukulan Telapak Petir itu meledak dan memburu mulutnya akhirnya iblis ini terdesak dan membuat Ji-lo-mo, adiknya yang menonton menjadi marah bukan main.

“Twako, pergunakan saja ilmu silat lain, Simpan Balon Saktimu itu...!”

Twa-lo-mo mengangguk. Dia sudah diserang gencar pukulan petir yang luar biasa ini, terus mundur-mundur dan membuat iblis ini berkaok-kaok. Dan ketika dia tak dapat mempergunakan tenaga Balon Saktinya itu sementara Salima terus merangsek dan Gurba memberi petunjuk-petunjuk di luar pertandingan tiba-tiba Ji-lo-mo meloncat dan mengeroyok Salima!

“Siluman betina, kau tak boleh mendesak kakakku. Ayo lepaskan dia... plak-dess! ” Ji-lo-mo menyerang, ditangkis Salima dan membuat Twa-lo-mo melompat bangun sambil memaki-maki. Dan ketika Salima terkejut dan khawatir Gurba masih memberi petunjuk pada sumoinya tiba-tiba iblis cebol itu berseru,

“Mo-ong, ringkus raksasa hitam itu. Bunuh agar dia tak mengganggu kami!”

Sai-mo-ong terbelalak. Sebenarnya dia sedang asyik memandang ilmu silat dua iblis cebol itu, diam-diam girang bahwa Gurba mengetahui kelemahan ilmu silat Balon Sakti. Berarti dia tak perlu takut kalau Hek-bong Siang-lo-mo mempergunakan ilmunya itu padanya, kelak kalau umpama mereka bermusuhan. Maklum, kalangan hitam sendiri memang jarang akur dan selalu cekcok.

Tapi mendengar seruan itu dan melihat Gurba memang berbahaya tiba-tiba Mo-ong mengalihkan perhatiannya dan memandang raksasa tinggi besar itu, yang saat itu juga memandangnya. Dan ketika mereka saling bentrok dan mata Gurba tampak beringas tiba-tiba Tok-gan Sin-ni terkekeh meledakkan rambutnya.

“Mo-ong, bagaimana kalau kita main-main sebentar dengan si hitam ini? Rupanya dia haus darah, lihat matanya melotot padamu!”

“Heh- heh, kita boleh main-main, Sin-ni. Tapi sebaiknya kau maju saja bersama Bin-kwi. Aku menjaga Kim-mou-eng!”

“Eh, kau takut?” Bin-kwi tiba-tiba tertawa, maklum temannya ini gentar, sudah mendengar kelihaian Gurba dari keterangannya. Dan belum Mo-ong menjawab dengan muka merah Setan Ketawa itu menyeringai melejit mundur. “Mo-ong, ingat kata-katamu sendiri. Kau sendiri mengatakan akan menghadapi lawanmu ini bersama Sin-ni. Kenapa menyuruh aku maju? Kalau kau takut boleh saja aku maju, tapi kalau tidak kau harus menepati janjimu itu!”

Mo-ong semakin merah. Dia jadi terkejut oIeh kata-kata si Setan Ketawa ini, belum apa-apa sudah disudutkan dan mau tak mau harus berhadapan dengan Gurba. Tapi karena dia tak mau dikata takut dan ejekan itu terang membuat dia marah tiba-tiba kakek iblis ini menggereng maju mencabut kipas hitamnya.

“Bin-kwi, aku tak takuti segala macam manusia Tar-tar. Raksasa ini memang bagianku, tapi kalau kau jeri dengan kekalahanmu dulu boleh kau menyingkir dan tonton pertandingan kami!”

“Ha-ha, aku juga tak takuti musuhmu itu, Mo-ong. Tapi karena kau sendiri telah berjanji menghadapi musuhmu itu biarlah aku mundur dulu melihat kegagahanmu. Jangan khawatir, aku tidak jeri. Kalau kau terdesak tentu tetap kubantu!” Siauw-bin-kwi membalas, tak mau kalah dan secara cerdik mengembalikan mukanya dari ejekan Mo-ong. Dan ketika Mo-ong mendengus dan Tok-gan Sin-ni terkekeh melihat dua orang rekannya saling berolok tiba-tiba rambutnya diledakkan menjeletar nyaring.

“Mo-ong, tak perlu bersilat lidah dengan si Setan Ketawa itu. Dia pandai bicara, percuma debat kusir!” dan ketika rambut meledak dan Tok-gan Sin-ni melompat maju maka Gurba sudah dikurung dan dipandang dua orang lawannya ini. Tok-gan Sin-ni dengan rambutnya yang tegak kaku sementara Mo-ong dengan kipas hitamnya itu, kipas aneh yang terbuat dari bulu-bulu suri singa jantan. Tak mau bertangan kosong, maklum akan kehebatan si raksasa tinggi besar ini. Dan ketika Gurba menggeram dan Siauw-bin-kwi bertepuk tangan tiba-tiba dengan cepat sekali dan tidak memberi tanda Tok-gan Sin-ni sudah melecut rambutnya itu menyambar muka Gurba.

“Tarr...!” Gurba mengelak. Dia marah melihat rambut menyambar mata, melakukan totokan ganas. Tapi ketika dia berkelit dan Tok-gan Sin-ni membalik tahu-tahu kaki wanita itu menendang mengarah kemaluannya, ditangkis dan sudah berputar meliukkan pinggang, menghantam dengan tumit satunya dan kemudian meledakkan rambut lagi menotok lehernya.

Dan ketika Gurba menggeram dan berlompatan menghindar tahu-tahu Tok-gan Sin-ni lenyap berkelebatan menyusuli dengan serangannya yang bertubi-tubi, terkekeh disusul Mo-ong yang mengosekkan kakinya mirip singa mengincar korban, melejit dan tiba-tiba menggerakkan kipasnya di tangan kanan sementara tangan kiri menyambar dengan lima kuku mencuat panjang. Dan ketika Gurba mengelak dan serangan masih menyusul tiba-tiba raksasa ini menangkis dan membentak keras.

“Plak-dukk!”

Dua orang itu mulai mengeroyok Gurba. Gurba sudah mengerahkan sinkangnya, menangkis dan membalas ketika lawan mulai bergerak cepat. Dan ketika Mo-ong dan Sin-ni melengking mempercepat gerakan mereka tiba-tiba dua orang kakek dan nenek iblis itu lenyap mengelilingi Gurba, menjeletarkan rambut dan mengebutkan kipas sementara kaki dan tangan mereka yang lain menendang dan mencungkil. Apa saja dijadikan serangan hingga Gurba sibuk. Dan ketika raksasa itu mulai mendesah dan marah dikeroyok dua tiba-tiba satu dua pukulan mulai mengenai tubuhnya.

“Plak-dess!”

Gurba melotot. Rambut dan kipas lawan menyengat pedas, untung dia mengerahkan sinkang hingga tenaga saktinya itu membuat senjata lawan mental, bertemu kekebalannya dan membuat Tok-gan Sin-ni maupun Mo-ong terkejut. Membuktikan omongan si Setan Ketawa bahwa raksasa ini memiliki kekebalan mengagumkan. Dan ketika kipas maupun rambut bertubi-tubi menyambar tubuh raksasa itu tapi selalu membalik bertemu kekebalan sinkang akhirnya Mo-ong maupun Tok-gan Sin-ni memekik marah.

“Mo-ong, serang saja matanya!”

“Ya, dan kau serang ulu hatinya, Sin-ni. Aku yang atas sementara kau yang bawah!”

Gurba marah. Dua orang lawannya itu mulai menyerangnya secara licik, Mo-ong bagian atas sementara Sin-ni bagian bawah. Dua-duanya bekerja sama dengan amat baik dan rapi, tak ada yang tak berbahaya karena kipas maupun rambut selalu menyambar dengan tenaga sinkang, hebat melecut dan meledak dengan suara nyaring.

Dan karena Sin-ni maupun Mo-ong tampak berusaha keras untuk merobohkan lawannya ini maka Gurba berteriak mengeluarkan Tiat-lui-kangnya, kini membalik dan balas menyerang dua orang lawannya itu, selalu mengelak bila kipas menyambar mata dan menangkis kalau rambut menotok ulu hati. Dan karena Gurba juga marah dan geram pada dua orang lawannya ini maka pertandingan tiba-tiba menjadi hebat dan seru bukan main, dipandang Siauw-bin-kwi yang mulai bertepuk-tepuk tangan.

“Bagus, teter terus, Mo-ong. Desak dia dan bunuh raksasa hitam itu...!” tapi ketika Mo-ong meleset dan Tok-gan Sin-ni ganti menyerang iblis ini mendecah, “Ah, kurang tenaga, Sin-ni. Rambutmu terlalu lemah dan kurang tepat...!”

Tok-gan Sin-ni dan Mo-ong mendongkol. Mereka mendengar si Setan Ketawa itu berkomentar panjang pendek tentang pertempuran mereka. Suatu ketika memuji tapi di lain waktu mencaci. Katanya kurang ini atau itu. Dan ketika Siauw-bin-kwi terus berceloteh dan Mo-ong maupun Tok-gan Sin-ni menjadi gusar akhirnya iblis itu bahkan dimaki.

“Siauw-bin-kwi, tutup mulutmu itu. Tak perlu cerewet!”

“Ya, dan kau maju saja kalau merasa lebih pintar, manusia homo. Kau bisa mencela tak bisa membuktikan kepandaianmu!”

“Ah,” Siauw- bin-kwi tertawa. “Aku justeru memberi petunjuk, Mo-ong. Kenapa mengomel dan malah memaki aku? Seharusnya kalian berterima kasih, bukan menegur atau mengumpat!”

“Terima kasih hidungmu, Bin-kwi. Kau cecowetan saja seperti monyet!” Tok-gan Sin-ni membentak, masih terus menyerang tapi mulai terpental oleh Tiat-lui-kang yang menyambar dari lengan Gurba.

Dan ketika Mo-ong juga mendesis dan sering terhuyung oleh tangkisan raksasa ini akhirnya kakek iblis itu berseru agar si Setan Ketawa itu maju saja. “Bin-kwi, kau membuat kami muak. Sebaiknya maju dan bunuh si Tar-tar ini!”

“Weh, kalian kewalahan?”

“Kewalahan!” Mo-ong gusar. “Kau lihat raksasa ini mampu menghadapi kami berdua, Bin-kwi. Sebaiknya tak perlu banyak cakap lagi dan maju membantu kami!”

“Kalau Kim-mou-eng datang?” Siauw-bin-kwi membantah....

Pendekar Rambut Emas Jilid 11

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 11
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
SAI-MO-ONG terbelalak. “Itu perbuatan kalian?”

Siauw-bin-kwi tertawa. “Benar, Mo-ong. Aku mencetuskan peperangan itu karena Gurba membunuh dua orang muridku!” dan ketika Siauw-bin-kwi menceritakan asal mula kejadian di luar tembok besar itu dan menceritakan pula terbunuhnya Uyin dan Unga di tangan Gurba tiba-tiba Sai-mo-ong tersenyum dan kagum memandang Iblis Muka Ketawa ini.

“Aih, sudah kuduga. Aku juga telah mendengar semuanya itu, Bin-kwi. Tapi tak kukira kalau Uyin kakak beradik itu adalah murid-muridmu!”

“Ya, dan kematian mereka membuat aku dendam, Mo-ong. Karena itu kuobrak-abrik suku bangsa Tar-tar itu agar mereka hancur di tangan kerajaan. Tapi kepandaian Gurba sungguh mengejutkan, suheng Kim-mou-eng itu bahkan membunuh empat dari Tujuh Panglima Naga!”

“Hm,” Sai-mo-ong teringat sesuatu. “Benarkah Singa Daratan Tandus itu lihai bukan main? Bagaimana dibanding Pendekar Rambut Emas sendiri?”

Hek-bong Siang-lo-mo menyela, “’Kami rasa kepandaiannya memang tinggi, Mo-ong. Tapi kami sanggup menghadapinya. Raksasa itu memang hebat, tapi kami berdua tak gentar menghadapinya!”

“Hm,” Tok-gan Sin-ni tiba-tiba mengejek. “KaIau tak gentar tentunya kalian berdua tak melarikan diri, Lo-mo. Kalian tak takut tapi nyatanya pengecut. Kalian terbirit-birit seperti anjing dibabat ekornya!”

Hek-bong Siang-lo-mo mendelik. “Yang mengajak kami melarikan diri adalah Siauw-bin-kwi, Sin-ni. Bukan kami. Dan kami mendengar kau ketakutan menghadapi Kim-mou-eng itu! Benarkah?”

Tok-gan Sin-ni merah mukanya, merasa dibalas. “Aku tak takut menghadapi siapapun, Lo-mo. Termasuk kalian kalau ingin bukti... wut!” wanita itu menggerakkan rambut, mengibas perlahan tapi tahu-tahu menyambar Twa-lo-mo, orang yang dia benci. Rambut yang tiba-tiba lurus bagai kawat. Tapi Twa-lo-mo yang mendongkol menjengek pendek tiba-tiba mengangkat lengannya menangkis.

“Plak!” rambut Tok-gan Sin-ni tertahan, bertemu lengan kakek cebol itu dan siap melecut dengan kibasan kedua. Lagi-lagi hendak bertanding. Tapi Sai-mo-ong yang buru-buru mencegah dan repot menghadapi dua orang rekannya ini sudah berseru,

“Sin-ni, tak perlu menyerang teman sendiri. Kita sama-sama menghadapi Kim-mou-eng!”

Tok-gan Sin-ni mengendorkan rambutnya. “Baik, tapi suruh si cebol ini tak perlu besar mulut, Mo-ong. Aku telah mendengar sikapnya yang tak tahu malu itu dan tak perlu bicara besar!”

“Hm, kami tak bicara besar, Sin-ni. Kalau kau tak percaya boleh saja kita coba!” Twa-lo-mo juga marah, melotot pada lawannya itu tapi Sai-mo-ong lagi-lagi berteriak, mencegah dua rekannya itu saling serang. Dan ketika mereka duduk kembali dan Siauw-bin-kwi senyum-senyum memandang semuanya tiba-tiba kakek iblis ini mengangkat lengannya.

“Lo-mo, apa yang dikata Mo-ong memang benar. Kita diundang bukan untuk saling bermusuhan. Begitu pula Tok-gan Sin-ni. Sebaiknya kita dengar apa maksud tuan rumah mengundang kita. Bagaimana cara menghadapi Kim-mou-eng dan saudara-saudaranya itu!”

Sai-mo-ong mengangguk. “Apa yang kau katakan memang betul, Bin-kwi. Aku mengundang untuk mencari bersama kalian bagaimana cara menghadapi Pendekar Rambut Emas itu. Aku harus mengakui bahwa Pendekar Rambut Emas itu memang hebat!”

“Dan dia memiliki Tiat-lui-kang!” Ji-lo-mo, orang kedua dari Hek-bong Siang-lo-mo bicara.

“Ya, dan bukan hanya Tiat-lui-kang, Ji-lo-mo. Tapi juga Pek-sian-ciang yang luar biasa itu!” Sai-mo-ong bergidik, ngeri membayangkan pertempurannya dulu dan membuat teman-temannya terkejut. Dan ketika Sai-mo-ong menceritakan semuanya itu dan Siauw-bin-kwi dan dua temannya mendengarkan dengan mata terbelalak akhirnya Sai-mo-ng berkata, “Pek-sian-ciang lebih berbahaya dibanding Tiat-lui-kang, Lo-mo. Dan terus terang aku mengakui keunggulan Pendekar Rambut Emas itu. Mungkin hanya dengan jalan dikeroyok pendekar itu dapat kita kalahkan!”

Siauw-bin-kwi dan teman-temannya tertegun. Mereka sendiri sudah merasakan kehebatan Gurba, suheng dari Pendekar Rambut Emas itu. Dan Tok-gan Sin-ni yang juga telah merasakan kelihaian Salima yang tak kalah hebat dengan Kim-mou-eng akhirnya mendengarkan rencana tuan rumah untuk menghadapi lawan-lawan mereka itu.

“Bin-kwi, tak perlu kita malu-malu lagi mengakui kelemahan kita sendiri. Aku mengakui keunggulan Kim-mou-eng itu, seperti juga kalian mengakui keunggulan si Singa Daratan Tandus Gurba. Dan karena kita sama-sama mempunyai musuh yang sama maka kita harus bersiasat membalas kekalahan kita. Bagaimana kalau kita cari tiga orang itu dan mengeroyoknya bersama?”

Siauw-bin-kwi batuk-batuk. “Aku setuju, Mo-ong. Tapi bagaimana kalau tiga lawan lima kita juga masih kalah?”

“Ah,” Twa-lo-mo meradang. “Kau terlalu kecil hati. Bin-kwi. Kita tak mungkin kalah kalau mengeroyok secara berlima!”

“Hm,” Iblis Muka Ketawa ini menyeringai. “Tak perlu mulut besar, Lo-mo. Kita bertiga melawan Gurba saja harus mengakui kelihaiannya. Bagaimana kalau terjadi kejadian ulang seperti dulu?”

“Maksudmu?”

“Kita temukan mereka bertiga. Dan kita kembali bertempur seperti dulu lagi. Mo-ong menghadapi Kim-mou-eng sedang kita menghadapi si Singa Daratan Tandus itu sementara Tok-gan Sin-ni menghadapi Salima. Bukankah sama saja kalau begini? Memang tampaknya mengeroyok tapi formasinya tak berubah!”

Twa-lo-mo terkejut. “Hm, ini...” dia tak meneruskan kata-katanya, merasa omongan itu betul. Ada benarnya juga.

Dan Sai-mo-ong yang mengerutkan alis merasa Siauw-bin-kwi tak berlebih-Iebihan akhirnya bertanya, “Jadi maumu bagaimana, Bin-kwi?”

“Kita cari mereka seorang demi seorang. Baru keroyokan ini dapat dipastikan hasilnya!”

“Ah, betul!” Twa-lo-mo sekarang berjingkat, tertawa dan mengacungkan jempolnya. “Kau memang betul, Setan Ketawa. Dengan begitu kita dapat membunuh dan membalas kekalahan kita itu!”

Yang lain tiba-tiba tersenyum. Mereka dapat menangkap kebenaran itu. betapapun sangsi kalau harus menghadapi tiga kakak-beradik itu meskipun mereka berlima. Merasa kurang aman dan tidak “sreg” mengingat Kim-mou-eng dan suheng serta sumoinya itu memang manusia-manusia hebat. Kepandaian mereka tinggi sekali dan masing-masing telah sama membuktikannya. Dan ketika Ji-lo-mo juga mengangguk dan Tok-gan Sin-ni bersinar matanya maka wanita ini berkata,

“Bin-kwi, otakmu ternyata masih jalan dengan cerdik. Kau memang pintar, tapi dimana kita dapat mencari mereka itu? Bagaimana pula kalau mereka secara kebetulan kedapatan bertiga?”

“Kita pisahkan mereka kalau kedapatan bersama, Sin-ni. Dan kita bergabung di satu tempat begitu dua yang lain kita tinggalkan.”

“Baik, dan bagaimana cara kita mencari mereka? Berpencar atau tetap berlima begini saja?”

“Sebaiknya bergabung. Atau boleh berpencar tapi jangan lama-lama.”

Dan ketika mereka meneruskan percakapan dan lima tokoh itu tampak asyik dalam pembicaraan mereka akhirnya malam itu Sai-mo-ong mempersilahkan tamunya beristirahat. Mereka telah memperoleh kesepakatan, yakni mencari dan membunuh Kim-mou-eng, juga Gurba dan Salima itu. Dan ketika mereka semua meninggalkan ruangan dan masing-masing telah mengatur rencana dimana mereka akan mencari musuh-musuh mereka itu maka Hek-bong Siang-lo-mo teringat janji tuan rumah.

“Mo-ong, aku tak mau tidur sendiri. Mana itu selimut hidup untukku?”

Mo-ong tertawa. “Kau masih menghendakinya juga, Lo-mo?”

“Tentu, mana bisa aku lupa? Kami bisa mati kedinginan kalau tidur sendirian, Mo-ong. Karena itu bawa ke mari wanita-wanita cantik itu!”

Mo-ong memanggil muridnya. Bu Ham muncul dengan muka berseri, girang karena tiga tamu gurunya datang memenuhi undangan. Berarti Salima bakal tertangkap dan telah memberi tahu gurunya agar untuk gadis Tar-tar itu mereka tak boleh menurunkan tangan maut. Dan ketika dia mendengar permintaan gurunya agar mempersiapkan wanita cantik untuk dua kakek cebol itu maka pemuda ini tersenyum, memanggil wanita-wanita yang sudah dia siapkan, dua wanita penghibur dari kota Ceng-tu, cantik-cantik dan cukup menggairahkan karena mereka adalah “bunga-bunga” yang paling top.

Dan Hek-bong Siang-lo-mo yang menyeringai memandang dua wanita ini tiba-tiba tanpa malu lagi menyambar seorang diantaranya, langsung mendaratkan ciuman di pipi. “Heh, siapa namamu?”

Wanita itu menggigil, jijik tapi berusaha untuk tersenyum manis. “Aku... aku Ni Hwa, locianpwe. Aku siap melayanimu kalau kau suka...”

“Heh, siapa tak suka? Kau cantik dan cukup montok!” Twa-lo-mo tertawa, meremas buah dada wanita ini dan langsung merobek pakaiannya hingga baju Ni Hwa terkuak lebar, mengejutkan wanita muda itu. Dan ketika Ji-lo-mo juga tertawa dan menyambar wanita satunya maka kakek cebol ini bertanya, “Kau siapa?”

Teman Ni Hwa gemetar. “Aku... aku Bi Ciu, locianpwe. Siap melayanimu kalau kaupun suka...!”

“Ah, siapa tak suka? Kaupun cantik, juga montok!” dan Ji-lo-mo yang juga meremas buah dada orang dan langsung merobek bajunya tiba-tiba mendengus dan sudah menciumi dada wanita itu. Tentu saja membuat Bi Ciu menggeliat dan mengeluh takut. Tapi ketika dua kakek cebol itu terbahak dan Siauw-bin-kwi dan yang lain-lain masih ada di situ mendadak mereka saling melempar pasangan membuat Ni Hwa dan Bi Ciu menjerit.

“Twako, yang ini empuk dan kenyal. Kau lihatlah!”

“Ha-ha, dan yang ini lunak tapi enak, ji-te. Kau lihatlah dan periksa!” Twa-lo-mo juga melempar Ni Hwa, menangkap dan menerima Bi Ciu yang sudah dilontarkan adiknya. Dan ketika mereka tertawa-tawa dan Bi Ciu serta Ni Hwa pucat mukanya mendadak dua kakek ini melompat ke dalam memasuki kamar mereka. “Mo-ong, terima kasih. Aku ingin main-main dengan mereka!”

Mo-ong tersenyum. Dia melihat dua kakek cebol itu lenyap di kamar belakang, bukan memasuki dua kamar melainkan satu kamar saja, yakni kamar Twa-lo-mo. Dan ketika yang lain tersenyum dan Tok-gan Sin-ni melirik Bu Ham akhirnya Siauw-bin-kwi terkekeh melompat keluar.

“Mo-ong, semuanya tampak gembira benar. Biar aku mencari kesukaanku di luar!” dan ketika kakek itu berkelebat lenyap dan Mo-ong juga meninggalkan tempat itu maka Sin-ni sudah menyambar Bu Ham.

“Kenapa baru keluar sekarang?”

“Suhu melarangku, bibi. Dan aku sibuk di belakang.”

“Hm, takut menghadapi tua-tua bangka itu?”

“Tidak. Kenapa harus begitu? Bukankah mereka sahabat suhu?”

“Ah,” Tok-gan Sin-ni yang tak menjawab tiba-tiba menyendal lengan Bu Ham. “Kau agaknya memang tak tahu, Bu Ham. Kalau begitu ikuti aku!”

Bu Ham mengangguk. Dia menyangka Tok-gan Sin-ni hendak membawanya ke kamar, seperti biasa. Tapi ketika wanita itu celingukan di luar dan tampaknya mencari-cari sesuatu akhirnya Bu Ham bertanya, “Kau mencari apa, bibi?”

“Setan Ketawa itu.”

“Paman Siauw-bin-kwi?”

“Ya.”

“Ah, ada apa dengan dia?”

“Gurumu tak memberi tahu?”

“Tidak.”

“Kalau begitu kau akan kuberi tahu!” dan Tok-gan Sin-ni yang kembali sudah menyambar Bu Ham dan mengajak pemuda itu berputar-putar di taman akhirnya membuat Bu Ham terheran dan tidak mengerti, berkeliling ke segala penjuru tapi tidak menemukan kakek itu. Dan ketika Tok-gan Sin-ni jengkel dan tampak gemas akhirnya wanita ini menggerundel dengan muka merah.

“Tua bangka itu licin, Bu Ham. Rupanya dia bersembunyi dan sengaja ngumpet!”

“Ada apa?” Bu Ham akhirnya mengerutkan kening. “Kenapa kau mencari-carinya, bibi? Padahal tadi dia ada bersamamu!”

“Ya, tapi sekarang lain. Aku ingin menunjukkan perbuatan setan tua itu. Kau harus berhati-hati. Jauhi dia dan jangan dekat-dekat!”

“Hm,” Bu Ham menjadi heran bukan main. “Sebenarnya apa yang hendak kau katakan, bibi? Kenapa demikian serius?”

“Gurumu tak mengatakan apa-apa?”

“Tidak, kecuali melarang seperti yang kau katakan tadi. Agar aku tak dekat-dekat dengan kakek iblis itu.”

“Itulah. Kau yang tolol!” dan ketika Bu Ham ditarik dan kembali diajak pergi akhirnya wanita ini menuju ke dalam. “Kalau begitu kita cari dia, Bu Ham. Cari sampai dapat dan lihat apa yang dia lakukan!”

Bu Ham bingung. Dia benar-benar tak tahu apa sebenarnya yang ingin ditunjukkan wanita ini kepadanya. Tapi karena sikap wanita itu tampak serius dan Tok-gan Sin-ni bersungguh-sungguh akhirnya Bu Ham menjadi tertarik juga. Mereka sekarang mencari ke dalam, berhati-hati. Menyelinap ke sana ke mari tapi tak menemukan jejak Setan Ketawa itu. Dan ketika mereka melewati kamar Twa-lo-mo dan di situ terdengar jerit ditahan tiba-tiba Tok-gan Sin-ni tersenyum dan berhenti di kamar ini, matanya bersinar-sinar.

“Ayo kita lihat apa yang dilakukan cebol-cebol itu!”

Bu Ham terkejut. Dia melihat Tok-gan Sin-ni telah melayang naik, hinggap di atas belandar dan menggantolkan kakinya di situ, tampak tertarik. Dan ketika dia juga melayang naik dan berjungkir balik di sebelah wanita ini, akhirnya Tok-gan Sin-ni menutup bibirnya memberi isyarat.

“Sst, hati-hati. Jangan mengeluarkan suara!”

Bu Ham mengangguk. Dia sendiri sudah terlampau hati-hati saat itu, menahan napas, mengintai ke dalam. Tahu bahwa Hek-bong Siang-lo-mo adalah sepasang kakek iblis yang sakti. Kepandaiannya tinggi dan tak kalah dengan suhunya sendiri. Dan ketika dia memandang ke dalam dan melihat apa yang terjadi tiba-tiba dia tersenyum dan Tok-gan Sin-ni hampir terkekeh.

Ternyata dua kakek itu mempermainkan Ni Hwa dan Bi Ciu. Mereka sama-sama telanjang bulat, tapi karena Hek-bong Siang-lo-mo adalah manusia-manusia cebol yang tingginya hanya sepundak Bi Ciu maupun Ni Hwa maka dua kakek ini “menggantol” dengan sikap yang lucu, persis anak sepuluh tahunan yang tampaknya mau menyusu ibunya. Dan karena maksud mereka kurang kesampaian dan dua kakek itu tampak gemas akhirnya Ni Hwa dan Bi Ciu digigit hingga menjerit!

“Ayo, kalian tundukkan kepala. Tekuk kaki kalian. Tolol!”

Bu Ham tersenyum. Dia hampir tertawa saat itu, geli melihat ulah si kakek yang menyuruh Bi Ciu maupun Ni Hwa menundukkan tubuh mereka. Dan ketika tubuh mereka sama tinggi dan Twa-lo-mo maupun Ji-lo-mo terkekeh menyeringai tiba-tiba mereka menerkam dua wanita muda itu bagai singa kelaparan. Dan kakek cebol itu tampak mendengus-dengus, membuat Ni Hwa maupun Bi Ciu menahan sakit. Sama sekali tidak merasakan nikmat karena dua kakek cebol itu kasar sikapnya. Tidak peduli akan keadaan lawan. Dan ketika maksud mereka kesampaian dan Twa-lo-mo terkekeh tiba-tiba kakek ini bertukar pasangan dengan adiknya.

“Ji-te, coba yang ini. Gantian...!”

Ji-lo-mo menangkap. Dia sekarang menerima Bi Ciu, mempermainkan wanita itu sementara kakaknya menerima Ni Hwa. Dan ketika dua kakek itu tertawa-tawa dan Bu Ham menonton di atas maka Tok-gan Sin-ni mendengus mengejek perlahan.

“Huh, setan-setan yang liar!”

Bu Ham tak menjawab. Dia asyik menonton kejadian di bawah, nafsunya bangkit dan Tok-gan Sin-ni tersenyum. Dan ketika dia menahan napas dan dua kakek cebol di bawah mempermainkan Ni Hwa dan Bi Ciu semakin ganas tiba-tiba lengan Tok-gan Sin-ni telah melingkar di lehernya.

“Kau kepingin?”

Bu Ham terkejut.

“Hi-hik, menonton memang lebih asyik, Bu Ham. Ayo kita main-main juga kalau kau kepingin!”

Tok-gan Sin-ni tiba-tiba mendekatkan mukanya, mencium Bu Ham dan tahu-tahu menggelendot di pundak pemuda itu. Dan ketika Bu Ham terkejut karena mereka berada di atas belandar tahu-tahu wanita ini melepas pakaiannya dan menyerbu dengan nafsunya yang berkobar-kobar. “Bu Ham, ayo main. Kita tandingi mereka!”

Bu Ham tersentak. Tok-gan Sin-ni telah meIepas bajunya pula, mengusap dadanya dan sebentar kemudian melepas pakaian dalamnya juga. Dan ketika dia terbelalak dan mulut wanita sakti itu menciumnya dengan ganas tahu-tahu mereka berdua terguling dari atas belandar!

“Hei...!”

Namun Tok-gan Sin-ni terkekeh. Dia menangkap Bu Ham, menjejakkan kaki berjungkir balik melayang turun. Dan ketika Bu Ham terbelalak dan mereka sudah berada di atas tanah tahu-tahu wanita ini menggelutinya dan tak peduli lagi pada keadaan sekitar. Bangkit nafsunya gara-gara menonton Hek-bong Siang-lo-mo!

“Bu Ham, ayo layani aku!”

Bu Ham tak berkutik. Dia sendiri telah dibakar dengan pemandangan dua kakek cebol itu, lucu tapi terbakar oleh perbuatan orang. Dan ketika Tok-gan Sin-ni menggeliat dan memagutnya bertubi-tubi tiba-tiba Bu Ham mengeluh dan bergulingan bersama wanita bermata satu ini. Tak peduli lagi akan keadaan sekitar dan sama-sama bertelanjang bulat. Bagai hewan-hewan liar yang tak malu-malu. Dan ketika mereka tenggelam dan mabuk dalam nafsu sendiri tiba-tiba beberapa saat kemudian terdengar jerit mengerikan dua kali. Bu Ham terkejut. Jerit itu terdengar dari kamar Twa-lo-mo, jelas suara Ni Hwa dan Bi Ciu. Dan ketika dia tersentak dan nafsu padam oleh jerit ini tahu-tahu dua sosok tubuh melayang menimpa mereka.

“Brukk...!”

Bu Ham ditendang mencelat oleh Tok-gan Sin-ni. Wanita sakti itu membentak, marah oleh perbuatan Hek-bong Siang-lo-mo yang tiba-tiba berkelebat di depan mereka. Dan ketika Bu Ham melompat bangun dan Tok-gan Sin-ni juga menyambar pakaiannya maka dua kakek cebol ini terkekeh melihat keadaan mereka yang tidak karuan.

“Heh-heh, kalian kiranya yang mengintip kami, Sin-ni?”

Tok-gan Sin-ni mendelik. Bu Ham telah mengenakan pakaiannya buru-buru, melihat Ni Hwa dan Bi Ciu telah menjadi mayat. Sekujur tubuh mereka penuh gigitan. Dan ketika dia terbelalak dan Tok-gan Sin-ni merasa terganggu maka wanita ini membentak, “Lo-mo, tak perlu kalian mengganggu aku. Pergilah!”

Twa-lo-mo tertawa. “Kau menyuruh pergi setelah mengintai kami, Sin-ni? Tidak, sekarang kita gantian. Ayo kami menonton kalian!”

Tok-gan Sin-ni marah. Dia terang tak sudi menuruti kemauan kakek cebol itu, melihat Ji-lo-mo menyeringai dan maju dengan mata berkedip-kedip. Dan maklum kakek cebol itu tak mau pergi kalau tak mendapat perlawanan tiba-tiba Tok-gan Sin-ni melengking menyabetkan rambutnya.

“Plak...!” Ji-lo-mo terjengkang, mendapat serangan ini karena dia yang terdekat, memaki tapi melompat bangun. Dan ketika lawan membentak dan maju menerjang maka kakaknya sudah menyambut dan terkekeh menghadapi wanita yang marah ini.

“Heh-heh, kau mau melawan kami, Sin-ni? Boleh, ayo kita main-main sebentar. Plak-plak...!”

Dan Twa-lo-mo yang menangkis serta balas menyerang tiba-tiba berkelebatan menghadapi serangan rambut yang gencar, bertubi-tubi meledak dan melecut, hebat bukan main karena rambut-rambut itu telah berubah menjadi kawat-kawat baja yang dapat menghancurkan batu karang, penuh tenaga sinkang dan bercuitan membuat bulu roma berdiri. Dan ketika dua orang itu bertanding dan Tok-gan Sin-ni maupun Twa-lo-mo sama-sama mengerahkan kepandaian masing-masing maka pertempuran itu menjadi hebat dan membuat beberapa tanaman roboh oleh pukulan-pukulan mereka.

Tapi kejadian ini tak lama. Sai-mo-ong telah mendengar suara pertempuran itu, kegaduhan di luar kamar Twa-lo-mo. Dan ketika iblis ini muncul dan melihat dua temannya bergebrak saling serang tiba-tiba kakek ini membentak melerai pertempuran. “Lo-mo, berhenti? Sin-ni, berhenti...!”

Dua orang itu masih nekat. Sai-mo-ong terpaksa meloncat ke tengah pertempuran, menarik salah seorang diantaranya dan menyuruh yang lain berhenti. Dan ketika kakek itu memandang marah dan Tok-gan Sin-ni berjungkir balik akhirnya tuan rumah menegur dengan suaranya yang parau,

“Sin-ni, apa-apaan ini?”

Tok-gan Sin-ni berdiri tegak, matanya berapi-api. “Hek-bong Siang-lo-mo menggangguku, Mo-ong. Setan cebol itu tak mau pergi dan merongrong diriku!”

“Hm, kenapa begitu, Lo-mo?”

Ji-lo-mo kali ini menjawab, terkekeh dan bersinar-sinar matanya, “Dia yang mengintai kami, Mo-ong. Kalau tidak tentu kami juga tak akan mengganggunya!”

“Mengintai?”

“Ya, dia bersama muridmu itu!”

Mo-ong tertegun, memandang muridnya. “Bu Ham, kenapa mengganggu tamu dan tidak masuk ke dalam?”

Bu Ham terkejut. “Bibi Tok-gan Sin-ni yang mengajakku, suhu. Aku tak tahu apa-apa dan sekedar hanya ikut-ikutan!”

“Hm, benarkah, Sin-ni?”

Tok-gan Sin-ni tak mau kalah. “Dua setan cebol ini gaduh sekali di kamarnya, Mo-ong. Aku sebal dan datang hendak menegur mereka!”

Mo-ong jadi serba salah. Kalau urusan itu dimulai bukan oleh muridnya memang sukar baginya untuk bersikap keras. Maklum, mereka adalah teman-teman sendiri yang harus dibaiki, tak boleh diajak bermusuhan. Tapi Bu Ham yang melihat gurunya muncul dan merasa itu adalah satu kesempatan baik baginya tiba-tiba mengajak Tok-gan Sin-ni pergi.

“Bibi, sebaiknya kita pergi saja. Ayo kita cari paman Siauw-bin-kwi!”

Tok-gan Sin-ni mengangguk. Memang itu adalah cara terbaik agar Hek-bong Siang-lo-mo tak mengganggunya lagi, karena Mo-ong ada di situ. Maka menjengek menyambar Bu Ham tiba-tiba wanita ini berkelebat lenyap. “Mo-ong, suruh dua setan cebol itu tak membuat gaduh. Biar aku menyingkir di tempat lain!”

Mo-ong menarik napas. Twa-lo-mo tampak kecewa, di samping marah juga penasaran karena Tok-gan Sin-ni tak menghiraukan mereka. Tapi melihat lawan lenyap dan Mo-ong sebagai tuan rumah harus dihargai juga akhirnya dua kakek cebol ini menyeringai dan pergi meninggalkan tempat itu. “Mo-ong, maaf...!”

Mo-ong tersenyum. Pernyataan itu membuat dia lega, maklum bahwa Hek-bong Siang-lo-mo tak akan ribut-ribut lagi dan pergi mencari tempat tenang. Dan karena mereka adalah orang-orang aneh yang bersikap ganjil maka Sai-mo-ong berkelebat memasuki kamarnya sendiri, lega karena Tok -gan Sin-ni sudah pergi bersama muridnya menjauhi dua kakek cebol itu yang memang dapat ribut melulu kalau bertemu. Dan begitu Sai-mo-ong kembali ke kamarnya sementara Bu Ham mengajak Tok-gan Sin-ni mencari Siauw-bin-kwi maka suasana di tempat itupun sepi kembali dan tenang.

“Bibi, kemana kita cari paman Siauw-bin-kwi itu?”

“Tak tahulah. Pokoknya kita cari, Bu Ham. Kalau tak ada di sini tentu di luar. Ayo kita ke hutan itu!” Tok-gan Sin-ni ganti mengajak pemuda ini, menyendal Bu Ham dan keluar dari rumah gedung itu, menuju hutan di depan karena Siauw-bin-kwi tak ada di rumah. Dan ketika mereka tiba di sana dan Bu Ham celingukan merasa heran tiba-tiba wanita ini mendesis,

“Sst, kudengar sesuatu...!”

Bu Ham terbelalak. Dia tak mendengar apa-apa, tapi ketika Tok-gan Sin-ni mengajak lebih ke dalam dan menuju ke arah sebelah kiri tiba-tiba suara yang dimaksud Tok-gan Sin-ni itu tertangkap telinganya. “Ya, ada suara sesuatu!”

Tok- gan Sin-ni tersenyum. Dia tak menjawab, menyeret tangan pemuda ini dan merunduk sambil berbisik menyuruh Bu Ham berhati-hati. Dan ketika suara itu semakin jelas terdengar dan Bu Ham mengerutkan kening tiba-tiba Tok-gan Sin-ni mengajaknya berhenti dan mengawasi ke depan. “Awas, itulah si tua bangka itu...!”

Bu Ham tertegun. Dia masih belum melihat apa-apa, terhalang pandangannya oleh semak belukar di depan. Tapi ketika dia menajamkan pandangan dan Tok-gan Sin-ni mengangkat telunjuknya tiba-tiba Bu Ham tersentak melihat apa yang ada di depan, mendengar suara-suara aneh mirip keluhan kucing, atau mungkin keluhan manusia. Dan begitu melihat apa yang ada, sekonyong-konyong pemuda ini bengong.

“Kau sudah melihatnya?”

Bu Ham mengangguk.

“Itulah kesukaan si Setan Ketawa!”

Bu Ham membelalakkan matanya. Sekarang dia melihat kakek itu, bergumul dengan seorang laki-laki muda. Tampak terkekeh-kekeh sementara laki-laki muda itu mendengus-dengus menggeluti kakek ini, mukanya merah sementara kedua mata terpejam. Laki-laki yang ternyata setelah diamati adalah Hok Ciang, pelayannya. Pelayan di dapur! Dan ketika dia masih menjublak dan Tok-gan Sin-ni tersenyum maka Hok Ciang mengeluh ketika kakek itu mencium mulutnya.

“Siauw-bin-kwi seorang homo, Bu Ham. Karena itu hati-hati menghadapinya karena mata kakek itu liar sekali memandang pemuda tampan!”

Bu Ham tertegun. Sekarang dia mengerti apa yang sesungguhnya terjadi, mendusin bahwa kiranya Siauw-bin-kwi ini adalah seorang homosex. Yakni seorang laki-laki yang akan mencari pemuasan nafsunya dengan laki-laki pula. Jadi penyimpangan tak normal dari penyakit kejiwaan. Tak akan tertarik pada wanita karena berahinya hanya bangkit pada laki-laki sejenis. Pantas saja Uyin dan Unga menjadi muridnya, dua pemimpin gagah dari suku U-fak itu, dua laki-laki yang tak pernah kawin meskipun umur mereka sudah di atas empatpuluh tahun! Dan Bu Ham yang bengong oleh kejadian ini tiba-tiba mendengar bisikan Tok-gan Sin-ni, yang kebetulan juga menyebut-nyebut dua orang murid Setan Ketawa itu,

“Sekarang kau tahu mengapa Siauw-bin-kwi amat dendam atas kematian dua orang muridnya, Bu Ham? Mereka itu murid sekaligus kekasih-kekasih yang amat disayang kakek itu. Tak heran kalau dia bagai kambing kebakaran jenggot melihat muridnya dibunuh Gurba!”

Bu Ham mengangguk-angguk. Sekarang dia mengerti betul, paham akan keganjilan kakek ini yang pantas saja selalu meliriknya, senyum-senyum dengan pandangan aneh. Diam-diam kiranya naksir! Dan ketika dia tertegun memandang ke depan dan Tok-gan Sin-ni tersenyum mengejek tiba-tiba Hok Ciang merintih diterkam kakek itu.

“Aduh, sakit, locianpwe... sakit...!”

Bu Ham terbelalak. Dia melihat Siauw-bin-kwi melakukan gerakan tak pantas, menusuk bokong pemuda itu. Dan ketika Hok Ciang mengeluh namun Siauw-bin-kwi tak peduli tiba-tiba kakek ini terkekeh menggerakkan jarinya. “Kau tak akan sakit, anak manis. Sekarang kau akan merasa nikmat!”

Hok Ciang menggeliat. Pelayan muda itu melenguh, hilang rintihannya terganti erangan nikmat. Dan ketika Bu Ham tak mengerti dan Hok Ciang mendengus-dengus maka Tok-gan Sin-ni memberi tahu padanya.

“Siauw-bin- kwi merangsang pemuda itu dengan arak harumnya, Bu Ham. Karenanya pemuda itu tak akan mengeluh lagi setiap si kakek melakukan apa saja terhadap dirinya.”

“Ah, arak perangsang?”

“Ya.”

“Sebelum pemuda itu dibelejeti?”

“Tentu saja. Dan ciuman mulut dari Setan Ketawa itu akan menggigit bagian terpeka di lidah lawannya, Bu Ham. Pemuda itu akan kesakitan sejenak tapi terbawa nikmat yang luar biasa ketika Siauw-bin-kwi melepas hajatnya!”

Bu Ham bergidik. Dia melihat Hok Ciang memang tak mengeluh lagi, menggeliat-geliat dan mendengus-dengus diterkam kakek itu. Mengeluarkan suara tak jelas karena pemuda itu tampak tenggelam dalam nafsu berahinya yang hebat, tentu pengaruh obat perangsang dan ciuman Siauw-bin-kwi tadi. Ciuman disertai gigitan pada daerah paling sensitif. Bagian yang akan membuat orang mabuk dan hanyut dalam nafsu yang membuat dia tak sadar lagi akan segala-galanya.

Dan ketika dua orang itu bergulingan dan Siauw-bin-kwi juga mengeluarkan suara-suara aneh akhirnya pertandingan di depan mata ini berakhir. Siauw-bin-kwi terkekeh, matanya bersinar-sinar dengan cahaya menakutkan. Dan ketika Hok Ciang menggeletak lemah di atas tanah tiba-tiba, tanpa disangka Bu Ham kakek ini menggerakkan jarinya menotok dahi pelayan muda itu!

“Anak manis, kau cukup menyenangkan. Tapi kau tak tahan lama. Tidurlah... crep!” jari Siauw-bin-kwi menembus dahi, kontan disambut jeritan tinggi Hok Ciang yang telah dikerjai kakek ini. Dan ketika Bu Ham berseru kaget dan tanpa sadar mengeluarkan suara berkerosak hingga Siauw-bin- kwi menoleh tahu-tahu kakek itu membentak dan langsung menghantam gerumbul dimana mereka bersembunyi!

“Awas...!” Tok-gan Sin-ni terkejut, keluar dan menendang Bu Ham yang mencelat terguling-guling menjauhi tempat itu.

Dan ketika Bu Ham melompat bangun dan Siauw-bin-kwi berkelebat ke arah mereka maka kakek ini telah berhadapan dengan dua orang itu yang dipandang dengan muka kaget. “Kau?”

“Ya!” Tok-gan Sin-ni mengangguk, terkekeh melindungi Bu Ham yang menggigil di belakangnya. “Kami datang memang untuk melihat perbuatanmu, Siauw-bin-kwi. Dan sekarang anak muda ini tahu apa yang telah kau lakukan!”

Siauw-bin-kwi terkejut. Kakek ini tampak marah tapi Siauw-bin-kwi yang memang berjuluk Setan Ketawa itu tiba-tiba tertawa dan hilang sudah kemarahannya, bersinar memandang Bu Ham. “Ah, murid Mo-ong ini hendak berkencan denganku, Sin-ni? Itu yang kau maksud?”

“Cih,” Tok-gan Sin-ni mencibir. “Siapa mau begituan denganmu, tua bangka? Dia datang untuk melihat perbuatanmu. Murid Mo-ong ini bahkan jijik, dia lebih suka aku daripada kau!”

“Heh-heh, itu karena kau memeletnya, Sin-ni. Kalau tidak tentu dia juga tak akan mau mendekati nenek-nenek macam dirimu. Pemuda ini perlu kusadarkan, dia harus dibebaskan dari cengkeramanmu!” dan Siauw-bin-kwi yang tertawa memandang Bu Ham tiba-tiba merayu. “Bu-kongcu, kau tak suka nenek ini, bukan? Dia tentu memaksamu, bukan? Aku dapat menolongmu, kongcu. Kemarilah dan tinggalkan nenek itu. Tok-gan Sin-ni memang tak tahu malu. Dia pelalap daun-daun muda untuk mengawetkan umurnya!”

Bu Ham ngeri. Dia melihat Siauw-bin-kwi maju mendekatinya, mengulurkan lengan dan siap menyambar pundaknya. Tapi Tok-gan Sin-ni yang membentak marah tiba-tiba berseru, “Bin-kwi, tak perlu main-main. Pemuda ini milikku!”

“Tidak, dia milikku, Sin-ni. Kau memaksanya agar menurut!” Siauw-bin-kwi terkekeh, sudah meneruskan gerakannya dan menangkap Bu Ham. Tapi Tok-gan Sin-ni yang marah dan membentak perlahan tahu-tahu menyerang dengan rambutnya itu.

“Plak!” Gerakan Siauw-bin-kwi tertahan. Kakek Setan Ketawa itu mundur, terdorong membelalakkan matanya. Dan Bu Ham yang melihat dua orang ini siap bertempur tiba-tiba menjadi bingung dan berseru mengangkat lengannya.

“Ji-wi locianpwe, tahan. Aku tak suka kalian cekcok!”

“Hm, apa maksudmu, kongcu?”

“Kalian tak boleh bertempur, locianpwe. Suhu berkali-kali memperingatkan agar kita bersatu. Musuh kalian adalah Kim-mou-eng, bukan teman sendiri!”

“Tapi kami akan memperebutkan dirimu, kongcu. Aku akan membebaskanmu dari cengkeraman nenek ini!”

“Cih!” Tok-gan Sin-ni meludah. “Justeru aku yang harus mempertahankan pemuda ini dari tanganmu, Bin-kwi. Kau berpura-pura untuk ganti memaksa pemuda ini!”

“Tidak, kau yang memaksanya. Aku hanya akan menolong pemuda ini dari cengkeramanmu!” dan Siauw-bin-kwi yang ngotot mempertahankan kemauan sendiri tiba-tiba melejit dan menyambar Bu Ham. “Kongcu, ayo kau ikut aku. Tinggalkan nenek ini...wutt!”

Bu Ham terkejut. Dia sudah disambar si Setan Ketawa itu, lolos dari perlindungan Tok-gan Sin-ni. Dan Tok-gan Sin-ni yang marah membentak keras tiba-tiba melihat Bu Ham sudah digondol dan dibawa terbang kakek itu!

“Bu-kongcu, Tok-gan Sin-ni nenek-nenek yang sudah tua. Dia tak akan dapat memberimu kepuasan yang sempurna. Hayo kau ikut aku!” dan Bu Ham yang sudah dibawa terbang kakek ini keluar hutan tiba-tiba disentak dan dipencet pergelangan tangannya, merasa sakit dan melihat kakek itu menguasai jalan darah pi-pet-hiatnya, tak mungkin dia melawan dan mau tak mau harus mengikuti kakek itu. Dan Tok-gan Sin-ni yang marah mengejar di belakang tiba-tiba melengking.

“Bu Ham, lepaskan dirimu. Pukul kepala kakek itu!”

Siauw-bin-kwi terkekeh. “Tak mungkin, Sin-ni. Bu-kongcu adalah pemuda baik-baik. Dia tak akan menyerangku,” dan Siauw-bin-kwi yang memperkeras pencetannya pada jalan darah pi-pet-hiat berbisik, “Kau tak perlu bergerak macam-macam, kongcu. Sekali menyerang tentu kau akan binasa!”

Dan Bu Ham yang tentu saja tak dapat berkutik akhirnya mengangguk dan diam saja dibawa kakek ini, terbang berputar -putar mencari tempat sembunyi. Tapi karena Tok-gan Sin-ni terus mengejar dan wanita sakti itu berlari sama cepat akhirnya Siauw-bin- kwi jengkel karena jarak diantara mereka tetap sama. Bahkan Tok-gan Sin-ni berkali-kali melecutkan rambutnya di belakang!

“Sin-ni, kau tak perlu mengikuti. Pergilah, besok kucarikan gantinya!”

“Tidak, kau lepaskan dulu pemuda itu, Bin kwi. Besok aku yang akan mencarikan gantinya untukmu!” Tok-gan Sin-ni melengking, terus mengejar dan kembali menggerakkan rambutnya menyerang kakek itu. Dan karena gangguan ini terpaksa membuat Siauw-bin-kwi harus menangkis dan berkali-kali berhenti akhirnya untuk lecutan itupun Siauw-bin-kwi membalik dan terpaksa menggerakkan lengannya ke belakang.

“Plak!” Siauw-bin-kwi menjadi gemas, menolak rambut dan kini benar-benar berhenti, marah memandang nenek itu. Dan ketika lawan tertawa dan Bu Ham dilepas akhirnya dua jago tua itu berhadapan dengan saling memaki, “Sin-ni, kau tak tahu malu!”

“Dan kau manusia homo tak kenal aturan, Bin-kwi. Kita harus bertanding untuk memperebutkan Bu-kongcu!” dan Bu Ham yang terbelalak melihat dua orang itu sama melotot akhirnya melihat Tok-gan Sin-ni berteriak menerjang maju.

“Plak-plak!” Siauw-bin-kwi kembali menangkis, membentak dan balas menyerang wanita ini. Dan ketika Tok-gan Sin-ni melengking dan maju berkelebatan dengan rambut menyambar-nyambar akhirnya dua tokoh itu bertempur dan sama-sama marah.

Bu Ham bingung. Dia melihat dua sahabat gurunya itu serang menyerang dengan amat hebat, Tok-gan Sin-ni masih mempergunakan rambutnya sementara Siauw- bin-kwi mempergunakan tangan dan kakinya. Masing-masing sama hebat. Dan ketika pertandingan berjalan belasan jurus dan kedua pihak tak mau kalah tiba-tiba keduanya saling membentak dan lenyap dalam gulungan bayangan masing-masing.

“Setan Ketawa, kau akan kubunuh!”

“Tidak, kau yang akan kubunuh, Sin-ni. Aku akan membuatmu menjadi perkedel dan tak mengganggu Bu-kongcu lagi!”

Bu Ham melihat keduanya sama-sama memekik. Baik Tok-gan Sin-ni maupun Siauw-bin-kwi mulai mengeluarkan kepandaiannya masing-masing. Kedua pihak agaknya memiliki kepandaian seimbang dan tentu saja membuat pertempuran berjalan lama dan alot. Tapi ketika mereka muIai mengadu tenaga dan Tok-gan Sin-ni maupun lawannya mulai terpental akhirnya Bu Ham menjadi cemas dan gelisah. Teringat bahwa hanya dengan pertolongan merekalah dia bisa memiliki SaIima.

“Locianpwe, tahan. Jangan bertempur, tahan...!”

Tapi Siauw-bin-kwi maupun Tok-gan Sin-ni tak menggubris. Mereka sama-sama memusatkan perhatian pada pertandingan itu, bahkan kian menghebat setiap Bu Ham berteriak. Agaknya masing-masing hendak mengalahkan yang lain dan menunjukkan keunggulannya pada pemuda yang sama- sama diincar. Dan ketika untuk kesekian kalinya lagi dua tenaga bertemu di udara tiba-tiba Tok-gan Sin-ni dan Siauw-bin-kwi mencelat terlempar.

“Dukk...!”

Udara tergetar hebat. Bu Ham sendiri sampai roboh terpelanting kaget oleh benturan yang luar biasa itu, yang menggetarkan dadanya dan membuat jantung sakit. Dan ketika Bu Ham melompat bangun dan melihat keduanya sudah siap untuk saling serang tiba-tiba dengan nekat pemuda ini maju ke tengah. Harus dapat mengatasi pertikaian itu tanpa gurunya!

“Locianpwe, tahan. Kalian tak boleh bertempur lagi!”

Siauw-bin-kwi dan Tok-gan Sin-ni terkejut.

“Minggir, Bu Ham. Biar kubunuh kakek itu dulu!” Tok-gan Sin-ni berteriak, menyuruh pemuda itu minggir namun Bu Ham bahkan berdiri tegak, menggeleng dan membuat dua tokoh itu tentu saja tak berani menyerang. Takut mengenai pemuda ini.

Dan ketika Siauw-bin-kwi menyeringai dan Bu Ham meminta mereka untuk tidak serang-menyerang lagi akhirnya kakek ini terkekeh. “Bu-kongcu, agaknya kau berpihak padaku. Kalau begitu kau ikut aku saja!”

“Tidak!” Tok-gan Sin-ni menyambar sebelah lengan Bu Ham. “Dia ikut aku, Bin-kwi. Atau kubunuh kau kalau kau berani memaksa!”

“Heh-heh,” Siauw-bin-kwi tiba-tiba menyambar sebelah lengan Bu Ham yang lain. “Dia ikut aku, Sin-ni. Atau kubunuh kau kalau berani memaksa!” dan Bu Ham yang sudah dipegangi dua orang ini dengan sikap siap bertempur akhirnya menjadi bingung dan memandang Tok-gan Sin-ni.

“Bibi, lepaskan aku. Biar aku bicara dengan paman Siauw-bin-kwi.”

“Tidak, kau akan dipermainkannya, Bu Ham. Sebaiknya kau ikut aku dan tinggalkan kakek itu!”

Dan ketika Bu Ham bingung dan terbelalak memandang dua orang ini tiba-tiba Siauw-bin-kwi tertawa. “Bu-kongcu, kau menghendaki bantuanku untuk menangkap gadis Tar-tar itu, bukan? Nah, sekarang terserah kau saja. Kalau kau tak menghendaki kami bertempur kau harus dapat memberi imbalannya padaku. Kau tinggalkanlah nenek itu. Kau main-main denganku. Atau kalau kau tak suka padaku boleh kau tinggalkan aku dan aku akan pergi tak mau menangkap gadis Tar-tar itu! Bagaimana?”

Bu Ham terkejut. Dia tentu saja semakin bingung, tapi belum dia menjawab tiba-tiba Tok-gan Sin-ni melengking. “Tidak, kau tak boleh turuti kakek itu, Bu Ham. Atau kalau kau turuti dia aku yang akan pergi meninggalkanmu tak mau menangkap Salima!”

“Heh-heh,” Siauw-bin-kwi menyahut. “Kau satu lawan tiga, Sin-ni. Bu-kongcu tentu memilih aku daripada kau. Aku masih dibantu Hek-bong Siang-lo-mo, kau tidak!” dan ketika Bu Ham tertegun dan Tok-gan Sin-ni terkejut maka Siauw-bin-kwi sudah melepaskan cekalannya. “Nah, sekarang terserah kau, kongcu. Kalau kau cerdik tentu kau memilih aku. Tapi kalau kau bodoh boleh saja pilih nenek itu!”

Bu Ham berada di persimpangan jalan. Dia terang bingung, maklum apa yang dikatakan kakek ini memang betul. Pihak Setan Ketawa ada tiga orang. Tapi karena bantuan Tok-gan Sin-ni juga tak dapat diabaikannya dan bantuan nenek sakti itu amat berharga akhirnya Bu Ham mengambil keputusan yang amat berani, menerima kedua-duanya!

“Locianpwe, sebaiknya tak perlu aku menerima yang satu dan meninggalkan yang lain. Kalian semua adalah sahabat-sahabat guruku. Dan karena suhu sendiri selalu menekankan artinya persahabatan ini biarlah aku menerima kalian berdua sebagaimana adanya. Bibi Tok-gan Sin-ni sudah menjadi kekasihku, dan paman Siauw-bin-kwi juga boleh menjadi teman akrabku! Bagaimana?”

Siauw-bin-kwi terbelalak. “Kau menerima kami berdua?”

“Ya.”

“Kau kuat?”

“Bibi Tok-gan Sin-ni telah mengujinya, paman. Kau boleh buktikan nanti kalau tidak percaya!”

“Ah,” Siauw-bin-kwi tertegun, tapi tiba-tiba tertawa bergelak. “Bu-kongcu, kau rupanya pemuda istimewa. Pantas saja kalau Tok-gan Sin-ni tergila-gila padamu. Sungguh tak nyana!” dan Siauw-bin-kwi yang sudah menyambar lengan orang tiba-tiba berseru, “Sin-ni, bagaimana pendapatmu? Omongan pemuda ini memang betul, kita tak usah bertempur kalau dia mau melayani kita berdua!”

Tok-gan Sin-ni cemberut. Sebenarnya dia tak rela, tapi maklum kakek ini juga sakti dan pertempuran diantara mereka bakal merunyamkan keadaan karena belum tentu masing-masing ada yang menang akhirnya nenek ini menggaplok muka Bu Ham dan meloncat pergi. “Baiklah, tapi kembalikan dia secepatnya, Bin-kwi. Suruh Bu Ham ke kamarku kalau urusan kalian selesai!”

Siauw bin-kwi tertawa bergelak. Bu Ham sendiri sudah mengusap pipinya, menyeringai menerima gaplokan itu. Dan ketika Tok-gan Sin-ni lenyap di luar hutan dan Siauw-bin-kwi mencengkeram pemuda ini tahu-tahu Bu Ham diangkat tubuhnya. “Bu-kongcu, ayo sekarang kau ikut aku. Kita bersenang-senang...!”

Bu Ham tak dapat menolak. Dia telah menerima keputusannya sendiri, dibawa terbang kakek ini dan diam-diam berdebar. Untuk pertama kalinya melayani manusia homo! Dan ketika mereka berdua tiba di tempat sunyi dan Siauw-bin-kwi mendengus menerkam pemuda itu maka Bu Ham melayani kakek ini dan berada di sebuah dunia yang lain. Untuk pertama kalinya merasakan keganjilan dari hubungan antara lelaki dengan lelaki. Tapi karena dia telah siap menerima semuanya itu demi Salima akhirnya Bu Ham terbiasa dan dapat juga bertindak yang sama. Aneh!

* * * * * * * *

“Suheng, kemana kita sekarang?”

Gurba berhenti. Dia telah tiba di sebuah pegunungan kapur, ditanya sumoinya dan melihat sumoinya itu mengusap peluh. Anak rambut didekat kening tampak melingkar sedikit, manis sekali. Dan ketika Gurba menarik napas dan tidak menjawab pertanyaan sumoinya itu pemuda tinggi besar ini bahkan memejamkan mata. “Sumoi, kau cantik sekali. Tak heran kalau banyak lelaki memandangmu dengan kagum!”

Salima cemberut. “Apa yang kau katakan ini, suheng? Aku tidak bertanya tentang itu, aku bertanya kemana kita sekarang!”

Gurba membuka mata, Dia mendengar sumoinya membentak, tersenyum dan bersinar-sinar memandang sumoinya itu. Dan duduk menepuk batu di sebelahnya pemuda ini berkata, “Sebaiknya kita beristirahat dulu, sumoi. Perjalanan sebelas hari ini cukup melelahkan kita.”

Salima tak senang. “Tapi kita telah beristirahat tadi, suheng. Aku tak capai dan ingin meneruskan perjalanan!”

“Ah, tunggu dulu. Sabar!” Gurba terkejut, bangkit berdiri dan mengerutkan keningnya. Dan melihat sang sumoi masih juga cemberut dan tampak tak senang akhirnya pemuda ini mengangguk. “Baiklah, kalau kau tak capai kita boleh teruskan perjalanan ini, sumoi. Tapi hati-hati sedikit menjaga kesehatanmu. Kau tampaknya tak enak badan.”

Salima mengangguk. “Aku memang tak enak badan, suheng. Aku ingin mencari sebuah losmen.”

“Bagaimana kalau sebuah kuil tua?”

“Adakah disekitar sini?”

“Ya, lebih kurang sepuluh li di depan, sumoi. Atau kita mungkin dapat mencari pertolongan pada penduduk dusun.”

“Tidak, aku tak suka itu,” Salima menggeleng. “Aku tak mau mengganggu penduduk dusun!”

“Jadi kita ke kuil tua itu saja?”

“Ya.”

“Baiklah, mari kuantar,” dan Gurba yang menarik sumoinya melanjutkan perjalanan tiba-tiba ditepis dengan muka cemberut.

“Suheng, tak perlu pegang-pegang. Aku dapat berjalan sendiri!”

Gurba terkejut. Mukanya seketika menjadi merah, tapi melihat sumoinya marah dan melanjutkan perjalanan dengan tubuh terhuyung tiba-tiba Gurba melompat di depan sumoinya ini. “Sumoi, kau sakit. Mukamu pucat!”

“Biarlah, aku juga tak akan mati dengan sakitku ini, suheng. Sebaiknya tak perlu banyak cakap lagi dan kita ke kuil yang kau maksud itu!” Salima bersikap ketus, kembali membuat Gurba terpukul dan merah mukanya.

Tapi melihat sang sumoi melanjutkan perjalanannya dan dagu yang mengeras itu menunjukkan tak mau dibantah akhirnya raksasa tinggi besar ini mengalah dan mengikuti sumoinya itu. Diam-diam Gurba merasa marah. Sudah sebelas hari ini sumoinya melakukan perjalanan bersama, tapi sebelas hari itu pula sumoinya tak memberikan muka manis padanya. Padahal dia telah memberikan semua perhatian dan sikap manis pada sumoinya itu. Kenapa sumoinya begitu? Masih teringat pada sutenya?

Gurba mendongkol. Sebab hari ini pertanyaan Salima selalu berkisar pada Kim-mou-eng itu, sutenya yang sudah dibenci tapi diam-diam dibuat rindu. Selalu bertanya apa-apa tentang Pendekar Rambut Emas itu. Dan karena dia telah memutar balikkan fakta dan Kim-mou-eng kini kejatuhan getah dari nangka yang dia makan maka Gurba semakin memburuk-burukkan cerita tentang sutenya itu, yang anehnya selalu disambut tangis sumoinya ini yang benci tapi rindu.

Dan ketika sebelas hari itu Gurba tak merasakan kesenangan dalam perjalanan bersama sumoinya ini maka dia menjadi marah dan mendongkol juga, melihat sumoinya mulai pucat dan jarang makan. Kata-katanya tak enak. Dan ketika hari itu Salima kelihatan sakit dan gadis itu berjalan dengan tubuh limbung tiba-tiba sumoinya terisak ketika tiba di kuil tua itu, masuk dan langsung jatuh terduduk menekan kepalanya.

“Suheng, aku pusing. Perut rasanya ingin muntah...!”

Gurba terkejut. “Kau memang keras kepala, sumoi. Kenapa tidak beristirahat tadi saja dan turuti nasihatku? Kau tak mau menelan obat, dan kini mengeluh segala macam.”

“Kau tak suka?” Salima tiba-tiba berdiri, berapi memandang suhengnya itu. “Kalau begitu tinggalkan aku, suheng. Aku tak akan mengeluh padamu!” dan Salima yang terhuyung menuju belakang kuil tiba-tiba mencari air untuk mengompres kepalanya. Tapi gadis ini jatuh terbanting, terduduk dan hampir berteriak ketika kepala serasa berdentang. Seolah ditumbuk paIu baja. Dan ketika gadis itu menggeliat dan Gurba meloncat terkejut maka raksasa tinggi besar ini membantu sumoinya menotok dua jalan darah, cepat memberikan sebutir obat ke mulut sumoinya.

“Sumoi, maafkan aku. Kau tak perlu marah-marah begini!”

Salima menangis. Dia telah ditolong suhengnya itu, melihat suhengnya gugup dan pergi mencarikan air. Dan ketika Gurba mengompres kepalanya dan menyuruh dia tidur maka raksasa ini melepas bajunya untuk alas berbaring. “Sumoi, kau harus beristirahat. Tubuhmu panas sekali!”

Salima tak menjawab. Dia telah diserang demam, panas dan dingin berganti-ganti, menggigil. Dan Gurba yang menempelkan lengan di pundak sumoinya akhirnya menyalurkan hawa sinkang untuk membantu sumoinya ini, betapapun gelisah dan mendengar sumoinya merintih. Dan ketika bantuan hawa sinkang itu menyalurkan hawa hangat dan Salima tak merintih lagi akhirnya gadis itu tertidur dan mengigau.

“Kim-suheng, kau kejam... kau menyakiti hatiku...”

Gurba terpukul. Sumoinya menyebut-nyebut Kim-mou-eng, kembali mengigau dan menangis menyebut-nyebut tentang hubungan mereka berdua. Dan ketika gadis itu menyatakan cintanya dan Gurba terbelalak marah tiba-tiba raksasa ini menarik tangannya menghentikan bantuan sinkang itu.

“Keparat, aku yang menolong dia yang diperhatikan!” Gurba mengomel, merah mukanya dan marah pada sumoinya yang mengigau itu. Dan ketika dua jam kemudian Salima membuka mata dan sadar dengan kepala masih pening maka raksasa itu tak ada lagi di tempatnya dan membuat Salima duduk dengan kepala berputar.

“Suheng, dimana kau?”

Tak ada jawaban. Salima kembali bertanya, dan ketika kembali tak ada jawaban maka gadis ini terhuyung mencari ke belakang. Dan dilihatnya suhengnya itu duduk di sudut ruangan, mukanya keruh dan tidak menjawab pertanyaannya. Dan ketika dia menghampiri dan Gurba menyambutnya dengan muka gelap maka Salima duduk tak jauh dari suhengnya ini.

“Suheng, apa yang kau pikirkan?”

Gurba menggeram. “Kalau bukan dirimu siapa lagi, sumoi? Aku mati-matian memperhatikan dirimu tapi orang lain pula yang mendapat perhatianmu!”

“Apa maksudmu?”

“Kau menyebut-nyebut, Kim-sute. Kau mengigau dan jelas tidak membenci si keparat itu.”

Salima terkejut. “Aku mengigau?”

“Ya.”

“Apa saja yang kukatakan?”

“Kau mengutuk bocah itu, tapi kau juga mencintainya!”

Salima tiba-tiba menangis. Dan belum dia menjawab tiba-tiba Gurba bangkit berdiri. “Sumoi, Kim-mou-eng telah mencemarkan nama suku bangsa kita. Dia mengawini wanita Han, berkhianat dan secara diam-diam meninggalkan kita tanpa pesan atau apa. Masa untuk manusia macam begini kau ada hati padanya? Dia pemuda terkutuk, sumoi. Kim-te harus dibunuh dan dilenyapkan bersama isterinya itu. Kau tak boleh jatuh cinta padanya!”

Salima mengguguk. “Aku... aku tak cinta padanya, suheng. Aku bahkan benci pada sepak terjangnya itu!”

“Tapi kau mengigau dan menyebut-nyebut cinta. Berarti tak sungguh-sungguh kau mengucapkan kata-katamu ini!”

“Tidak, aku mengigau juga tak salah, suheng. Yang kumaksudkan cinta di situ adalah cinta seorang kakak dan adik. Bukan cinta seorang pria terhadap wanita. Sekarang dia sudah beristeri, aku harus menghapus semua perasaan cinta itu dan tak boleh lagi mengasihinya!” Salima bangkit berdiri mengepal tinju dengan air mata bercucuran tapi dipandang senyum mengejek oleh suhengnya. Dan ketika Gurba mendengus dan bangkit berdiri maka Salima lari ke tempatnya tadi menangis tersedu-sedu.

“Suheng, kau tak perlu bicara lagi tentang itu. Aku benci Kim-mou-eng!”

Gurba menjengek. Dia mengikuti sumoinya itu, tahu apa yang terjadi dan tentu saja tidak percaya. Diam-diam mendongkol dan marah bahwa sutenya masih juga dicintai sumoinya ini. Padahal sutenya itu telah dikatakan sudah beristeri. Jadi kedudukannya bisa bertepuk sebelah tangan. Hal yang membuat Gurba penasaran! Dan ketika dia mengikuti sumoinya itu dan melihat sumoinya menangis menutupi muka akhirnya Gurba menahan napas berkata pada sumoinya ini,

“Sumoi, apa yang ada di hatimu tak dapat kau sembunyikan dariku. Aku sendiri tahu kehancuran hatimu. Tapi apakah sesuatu yang hancur tak dapat diperbaiki lagi? Aku siap menolongmu, sumoi. Aku siap membangun yang hancur itu di hatimu!”

Salima mengangkat mukanya, terbelalak. “Apa maksudmu?”

Dan Gurba memasang muka kuyu, hati-hati duduk di dekat sumoinya ini. Dan ketika sumoinya menanti jawaban dan Gurba berdebar menekan perasaan sendiri maka dengan terang-terangan pemuda tinggi besar ini buka kartu, “Artinya aku sanggup mengisi kekosongan hatimu itu, sumoi. Bahwa aku mencintaimu dan siap melakukan apa saja untuk kebahagiaanmu!”

“Ah!” Salima tertegun, mundur mendorong tubuh sendiri hingga mepet di dinding. Dan ketika suhengnya mengerutkan kening dan ganti menunggu jawabannya maka Salima berseru gemetar, “Kita, aku... ah, kau memang mencintaiku sebagai suheng dan sumoi, twa-heng. Bukankah ini sudah kuketahui lama?”

“Tidak, bukan itu maksudku, sumoi. Melainkan cinta sebagai pria terhadap wanita. Aku mencintaimu seperti itu, bukan melulu hubungan kakak dan adik seperguruan!” dan ketika Salima terbelalak dan memandang dengan muka merah tiba-tiba Gurba mendekat maju dan memegang lengan sumoinya itu, berkata gemetar, “Sumoi, kau tak akan mengecewakan perasaan hatiku, bukan? Kita sama-sama berdarah Tar-tar, sumoi. Kau lupakan Kim-sute itu dan kita menikah!”

“Tidak...!” Salima tiba-tiba menjerit, melepaskan dirinya. “Aku... aku belum berpikiran ke situ, suheng. Aku tidak mencintai dirimu seperti yang kau maksudkan itu!”

“Hm, kalau begitu kau mencintai Kim-sute?”

“Juga tidak. Aku benci laki-laki itu!” dan Salima yang menggigil memandang suhengnya akhirnya menangis lagi. “Suheng, kuminta dengan sangat kita tidak membicarakan soal yang satu ini. Aku benci laki-laki. Aku sedang phobi terhadap mereka!” dan Salima yang kembali duduk sambil menangis tersedu-sedu akhirnya dipandang dengan muka pucat oleh raksasa tinggi besar itu. Kecewa tapi juga heran, tak mengerti jalan pikiran wanita. Tapi penasaran dan menganggap sumoinya ini masih mencintai Kim-mou-eng tiba-tiba Gurba menguji.

“Sumoi, agaknya Kim-sute memang harus segera dicari. Persoalan ini tak mungkin dibiarkan mengambang. Aku mencintaimu, kau telah dengar itu. Dan kalau kau tak membunuh Kim-sute dan mengampuni kesalahannya maka kuanggap kaupun berkhianat pada bangsa Tar-tar dan mempermainkan aku! Bagaimana kalau sampai terjadi begini?”

Salima mengedikkan kepalanya. “Tak mungkin terjadi begitu, suheng. Aku memang akan membunuh Kim-suheng kalau kita temukan dia. Atau, kalau aku kalah biar dia yang ganti membunuh aku. Ini sumpahku!”

“Bagus, kalau begitu kau tak akan percaya pada setiap alasannya?”

“Alasan apa?”

“Dia mungkin akan memutarbalikkan fakta, sumoi. Mengarang cerita dan mungkin saja menyebut aku sebagai tertuduh utama. Dan karena kita tak tahu jalan pikiran manusia mungkin saja dia telah memfitnah dan justeru menyebar berita akulah yang kawin dengan selir kaisar itu! Bagaimana?”

Salima terkejut. Dan Gurba lagi-lagi melangkah jauh, tak tanggung-tanggung. “Dan Kim-sute memang cerdik, sumoi. Kalau berita itu sudah disebar dan orang menganggap akulah yang menerima hadiah selir kaisar maka kau harus hati-hati dan waspada menghadapi fitnah ini. Kau tahu Kim-sute orangnya pintar, karena itu kalau kau mendengar pemutarbalikan berita ini dan aku dinyatakan mendapat hadiah selir itu maka jangan kau percaya dan bunuh saja pembawa berita itu!”

Salima terbelalak. “Kim-suheng akan melakukan tindakan sejauh itu?”

“Itu menurut perhitunganku. Mungkin saja ya, tapi mudah-mudahan tidak!”

“Ah... !” dan ketika Salima tertegun dan Gurba tak mau diam, raksasa ini berkata lagi, “Kim-sute orangnya cerdik, sumoi. Mungkin untuk menghindari kejaran kita dia lalu melakukan fitnah itu. Agar kau benci padaku, agar kau memusuhi aku. Tapi karena kebetulan kita bertemu lebih dulu dan aku sempat memberitahumu maka berhati-hatilah bila mendengar cerita seperti itu. Bahwa Kim-sute memfitnah untuk menyelamatkan dirinya sendiri!”

“Tapi aku tak percaya, suheng. Tak mungkin Kim-suheng akan melakukan perbuatan sekeji itu, memfitnah!”

“Ah, orang yang dalam keadaan bingung bisa melakukan apa saja, sumoi. Kim-sute memang biasanya gagah. Tapi kali ini urusannya lain. Dia mengkhianati bangsa kita, dia menikahi wanita Han itu dan sadar akan kesalahannya. Dan takut pada bayangan sendiri yang telah melakukan dosa bisa saja dia berbuat nekat dan tidak terpuji!”

Salima kembali tertegun. Gurba lalu kembali bercerita dengan amat licinnya, menggosok dan berusaha melimpahkan semua perbuatannya untuk dipikul sutenya itu, Pendekar Rambut Emas. Dan karena Salima juga sedang membenci suhengnya nomor dua itu gara-gara kejadian dulu dimana dia merasa kecewa pada Pendekar Rambut Emas akhirnya semua omongan Gurba termakan dan dipercaya penuh oleh gadis yang sedang patah hati ini!

Salima tak ragu-ragu lagi, marah bukan main dan bola matanya berpijar. Penuh dendam dan sakit hati. Dan ketika Gurba selesai dan Salima percaya pada suhengnya ini maka gadis Tar-tar itu memiliki kebencian setinggi langit terhadap Kim-mou-eng. Dan, kebetulan sekali ketika beberapa hari kemudian mereka melanjutkan perjalanan dan Salima sembuh dari demamnya mendadak rombongan Siauw-bin-kwi dan teman-temannya itu muncul!

“Ha-ha, ini dia orang yang kita cari-cari, Mo-ong. Si Singa Daratan Tandus ini lagi bermesraan dan asyik bersama sumoinya!”

Gurba dan Salima terkejut. Saat itu mereka tiba di tepi sebuah sungai, siap menyeberang. Dan melihat Siauw-bin-kwi dan rombongannya muncul dengan tawanya yang nyaring tiba-tiba raksasa tinggi besar ini mendelik, merah mukanya. Teringat hancurnya suku bangsa Tar-tar gara-gara perbuatan iblis ini.

“Siauw-bin-kwi, sungguh bagus sekali kalau kau datang. Kau siap menyerahkan nyawamu?” Gurba membentak.

“Ha-ha, siapa yang akan menyerahkan nyawa, Gurba?” Siauw-bin-kwi mengejek. “Aku datang justeru untuk mencabut nyawamu. Tapi dimana itu Kim-mou-eng? Mana dia?”

Gurba menggereng, tapi Salima keburu melompat maju, melengking marah. “Siauw-bin-kwi, kau iblis jahanam terkutuk. Kau membuat suku bangsaku hancur dengan perbuatanmu yang hina-dina. Kau tak akan kuampuni dan siaplah menerima kematian!”

“Ha-ha, kau sudah tahu semuanya, Salima? Bagus, tapi kau mungkin tak tahu sesuatu yang sudah dilakukan suhengmu ini. Dia membunuh muridku, Uyin dan Unga. Dan karena itu aku membalas kematian muridku agar perhitungan kita impas!”

Tapi kau mengadu domba, Siauw-bin-kwi. Kau mengadu suku bangsa Tar-tar dengan pasukan kerajaan!”

“Heh-heh, itu tak kusangkal, Salima. Tapi itu juga berkat kebodohan suhengmu sendiri. Kalau suhengmu pintar tentu tak akan terjadi seperti itu!”

“Keparat, terkutuk...!” dan Salima yang siap menyerang menggetarkan lengan tiba-tiba disambut ledakan rambut Tok-gan Sin-ni yang maju bersama teman-temannya, mengurung.

“Tiat-ciang Sian-li, kau tak perlu cecowetan di tempat ini. Kami datang untuk membunuhmu. Bersiaplah... tar-tar!” rambut Tok-gan Sin-ni pecah menjadi tujuh bagian, meledak dan siap menyerang mengulang pertandingan dulu.

Tapi Mo-ong yang tertawa mengibaskan baju tiba-tiba berseru, “Sin-ni, dua orang musuh kita ini adalah kawan lama yang harus dihormat dulu. Gurba tampaknya gatal melihat Siauw-bin-kwi, dan Salima ini tampaknya gatal melihat dirimu. Bagaimana kalau kita memberi kesempatan pada yang lain untuk saling bertukar pasangan? Aku dulu telah berkenalan dengan Dewi Bertangan Besi (Tiat-ciang Sian-li) ini, dan Siauw-bin-kwi telah berkenalan dengan si Singa Daratan Tandus. Sebaiknya Siauw-bin-kwi atau Hek-bong Siang-lo-mo itu main-main dulu dengan Dewi Bertangan Besi ini, kita menonton. Akur?”

“Heh-heh,” Hek-bong Siang-lo-mo tertawa menyeringai, maju menggoyang bokong. “Aku setuju-setuju saja dihadapkan gadis cantik ini, Mo-ong. Tapi bagaimana kau sendiri?”

“Aku dan Sin-ni bisa menghadapi si Singa Daratan Tandus itu. Kami belum berkenalan dengannya. Kalian sudah, bukan?”

“Ya, kami sudah berkenalan dengan raksasa hitam itu. Tapi Siauw-bin-kwi tak ada lawannya, Mo-ong. Mana adil?”

“Ha-ha, aku dapat menjadi wasit dulu, Lo-mo,” Siauw-bin-kwi menyela. “Kalian bertanding saja dan aku maju kalau kalian terdesak!”

“Uwah, kau maju belakangan?”

“Terserah Mo-ong, dia yang mengatur!” Setan Ketawa itu tertawa, memandang temannya yang disebut dan membuat Salima dan suhengnya tersinggung, marah sekali karena mereka seolah dijadikan barang aduan. Tapi Mo-ong yang maju menganggukkan kepalanya tiba-tiba tersenyum dengan mata licik.

“Lo-mo, kau tak perlu iri. Masing-masing akan mendapatkan bagiannya nanti. Bukankah kita masih harus berjaga-jaga terhadap Kim-mou-eng? Siapa tahu dia datang di saat kita menghadapi mereka ini. Sebaiknya kau memanaskan badan dulu, hadapi siluman betina itu dan kami menonton. Kalau raksasa ini maju kami yang akan menghadapinya!”

Lengkaplah sudah. Rencana itu sudah diatur, dan karena Hek-bong Siang-lo-mo selalu melotot padanya dan pandangan dua iblis cebol itu tampak berminyak tiba-tiba Salima melengking menerjang dua orang ini, yang maju mendekatinya,

“Hek-bong Siang-lo-mo, kalianpun harus menerima hukuman... wut-wuut!” dan Salima yang menerjang menggerakkan kedua lengannya tiba-tiba membuat yang lain mundur karena pukulan Tiat-lui-kang mulai menyambar, dielak dua kakek cebol itu yang terkekeh melihat kemarahan lawan. Tapi ketika Salima membalik dan Twa-lo-mo berseru keras tiba-tiba iblis tertua ini menangkis.

“Ji-te, kau mundur dulu. Biar kuhadapi si cantik ini... plak!”

Salima dan lawannya terkejut. Twa-lo-mo terpental, maklum dia bicara pada adiknya hingga pemusatan tenaga kurang sepenuh bagian. Tapi Salima yang juga terhuyung dan merasa benturan panas dari lengan si cebol tiba-tiba membentak dan kembali menerjang.

“Lo-mo, kau akan kubunuh!”

“Ha-ha, kalau bisa, Tiat-ciang Sian-li. Tapi kalau tidak justeru kau akan kugendong dan kupermainkan!”

Twa-lo-mo berkelit, tertawa dan sudah menghadapi serangan lawan yang gencar bukan kepalang, masih main-main dan tidak kelihatan serius. Tapi ketika pukulan-pukulan Tiat-lui-kang membuat dia mundur dan hawa panas dari pukulan Telapak Tangan Petir itu membuat dia terpental tiba-tiba iblis ini terkejut membelalakkan mata, memusatkan perhatian dan tidak berani main-main lagi. Dan ketika Salima melengking dan Tiat-lui-kang mengurung iblis cebol itu tiba-tiba Twa-lo-mo mendesah dan mulai membalas.

Demikianlah, pertandingan pertama ini mulai berjalan seru. Masing-masing pihak telah cukup mengetahui kepandaian yang lain. Salima mendapat kenyataan bahwa iblis cebol ini berani menerima Tiat-lui-kangnya, menangkis dan tahan pukulan panas yang menyambar dari Telapak Petir itu.

Tapi ketika dia menambah tenaga dan Tiat-lui-kang mulai menekan kakek cebol ini tiba-tiba Twa-lo-mo membentak mainkan silat aneh, meliuk-liuk bagai penari cebol dengan kedua lengan naik turun, tiba-tiba menyambar serangkum hawa dingin menyambut Tiat-lui-kang yang berhawa panas. Dan ketika satu saat pukulan petir disambut kakek itu tiba-tiba ledakan keras mengguncangkan bumi.

“Blub!”

Salima terkejut. Tangkisan lawan berbunyi seperti letupan balon Twa-lo-mo terpental tapi membalik lagi seolah karet, membal dan terkekeh melihat dia terkejut oleh terlemparnya kakek ini. Dan ketika Tiat-lui-kang kembali menyambar tapi kakek itu mempergunakan tangkisannya yang aneh mendadak iblis ini mencelat-celat seperti bola dipukul-pukul.

“Silat Bola Sakti...!”

Salima terbelalak. Dia mendengar suhengnya berseru tertahan, rupanya mengenal ilmu silat lawan yang aneh tapi luar biasa, baru kali itu mendengar nama yang ganjil bagi sebuah ilmu silat. Tapi Hek-bong Siang-lo-mo yang tampak terkejut oleh seruan ini justeru membelalakkan mata memandang Gurba, yang saat itu mengerutkan kening dan tampak berpikir keras oleh ilmu silat lawan yang aneh. Dan ketika Salima kembali menyerang tapi Twa-lo-mo mental tak apa-apa akhirnya raksasa ini berseru,

“Sumoi, arahkan pukulan ke mulut setan cebol itu. Dia apes di bagian itu!”

Twa-lo-mo terkejut. “Keparat kau curang, Gurba. Sumoimu yang bertempur tapi kau yang memberi tahu!”

Tapi Salima sudah mengangguk. Dia sudah melejit dan menyerang mulut lawannya itu, yang setiap kali menangkis tentu terbuka. Dan ketika Tiat-lui-kang meledak dan Twa-lo-mo berteriak melihat mulutnya diserang tiba-tiba si cebol ini terpaksa bungkam dan menangkis dengan lengan kirinya.

“Dukk!” Twa-lo-mo terbanting. Untuk pertama kalinya iblis itu memekik, gusar dan melompat bangun dengan marah. Dan ketika Salima mengincar mulutnya dan tetap menyerang ke bagian itu tiba-tiba Silat Bola Sakti kakek iblis ini tak jalan karena harus selalu membungkam mulutnya, tak dapat mengempos (menarik) hawa sakti!

“Duk-dukk!”

Twa-lo-mo mulai tunggang-langgang. Iblis cebol ini marah, meraung tapi kelabakan ketika Tiat-lui-kang selalu menyambar mukanya. Dan ketika dia kalang-kabut dan pukulan Telapak Petir itu meledak dan memburu mulutnya akhirnya iblis ini terdesak dan membuat Ji-lo-mo, adiknya yang menonton menjadi marah bukan main.

“Twako, pergunakan saja ilmu silat lain, Simpan Balon Saktimu itu...!”

Twa-lo-mo mengangguk. Dia sudah diserang gencar pukulan petir yang luar biasa ini, terus mundur-mundur dan membuat iblis ini berkaok-kaok. Dan ketika dia tak dapat mempergunakan tenaga Balon Saktinya itu sementara Salima terus merangsek dan Gurba memberi petunjuk-petunjuk di luar pertandingan tiba-tiba Ji-lo-mo meloncat dan mengeroyok Salima!

“Siluman betina, kau tak boleh mendesak kakakku. Ayo lepaskan dia... plak-dess! ” Ji-lo-mo menyerang, ditangkis Salima dan membuat Twa-lo-mo melompat bangun sambil memaki-maki. Dan ketika Salima terkejut dan khawatir Gurba masih memberi petunjuk pada sumoinya tiba-tiba iblis cebol itu berseru,

“Mo-ong, ringkus raksasa hitam itu. Bunuh agar dia tak mengganggu kami!”

Sai-mo-ong terbelalak. Sebenarnya dia sedang asyik memandang ilmu silat dua iblis cebol itu, diam-diam girang bahwa Gurba mengetahui kelemahan ilmu silat Balon Sakti. Berarti dia tak perlu takut kalau Hek-bong Siang-lo-mo mempergunakan ilmunya itu padanya, kelak kalau umpama mereka bermusuhan. Maklum, kalangan hitam sendiri memang jarang akur dan selalu cekcok.

Tapi mendengar seruan itu dan melihat Gurba memang berbahaya tiba-tiba Mo-ong mengalihkan perhatiannya dan memandang raksasa tinggi besar itu, yang saat itu juga memandangnya. Dan ketika mereka saling bentrok dan mata Gurba tampak beringas tiba-tiba Tok-gan Sin-ni terkekeh meledakkan rambutnya.

“Mo-ong, bagaimana kalau kita main-main sebentar dengan si hitam ini? Rupanya dia haus darah, lihat matanya melotot padamu!”

“Heh- heh, kita boleh main-main, Sin-ni. Tapi sebaiknya kau maju saja bersama Bin-kwi. Aku menjaga Kim-mou-eng!”

“Eh, kau takut?” Bin-kwi tiba-tiba tertawa, maklum temannya ini gentar, sudah mendengar kelihaian Gurba dari keterangannya. Dan belum Mo-ong menjawab dengan muka merah Setan Ketawa itu menyeringai melejit mundur. “Mo-ong, ingat kata-katamu sendiri. Kau sendiri mengatakan akan menghadapi lawanmu ini bersama Sin-ni. Kenapa menyuruh aku maju? Kalau kau takut boleh saja aku maju, tapi kalau tidak kau harus menepati janjimu itu!”

Mo-ong semakin merah. Dia jadi terkejut oIeh kata-kata si Setan Ketawa ini, belum apa-apa sudah disudutkan dan mau tak mau harus berhadapan dengan Gurba. Tapi karena dia tak mau dikata takut dan ejekan itu terang membuat dia marah tiba-tiba kakek iblis ini menggereng maju mencabut kipas hitamnya.

“Bin-kwi, aku tak takuti segala macam manusia Tar-tar. Raksasa ini memang bagianku, tapi kalau kau jeri dengan kekalahanmu dulu boleh kau menyingkir dan tonton pertandingan kami!”

“Ha-ha, aku juga tak takuti musuhmu itu, Mo-ong. Tapi karena kau sendiri telah berjanji menghadapi musuhmu itu biarlah aku mundur dulu melihat kegagahanmu. Jangan khawatir, aku tidak jeri. Kalau kau terdesak tentu tetap kubantu!” Siauw-bin-kwi membalas, tak mau kalah dan secara cerdik mengembalikan mukanya dari ejekan Mo-ong. Dan ketika Mo-ong mendengus dan Tok-gan Sin-ni terkekeh melihat dua orang rekannya saling berolok tiba-tiba rambutnya diledakkan menjeletar nyaring.

“Mo-ong, tak perlu bersilat lidah dengan si Setan Ketawa itu. Dia pandai bicara, percuma debat kusir!” dan ketika rambut meledak dan Tok-gan Sin-ni melompat maju maka Gurba sudah dikurung dan dipandang dua orang lawannya ini. Tok-gan Sin-ni dengan rambutnya yang tegak kaku sementara Mo-ong dengan kipas hitamnya itu, kipas aneh yang terbuat dari bulu-bulu suri singa jantan. Tak mau bertangan kosong, maklum akan kehebatan si raksasa tinggi besar ini. Dan ketika Gurba menggeram dan Siauw-bin-kwi bertepuk tangan tiba-tiba dengan cepat sekali dan tidak memberi tanda Tok-gan Sin-ni sudah melecut rambutnya itu menyambar muka Gurba.

“Tarr...!” Gurba mengelak. Dia marah melihat rambut menyambar mata, melakukan totokan ganas. Tapi ketika dia berkelit dan Tok-gan Sin-ni membalik tahu-tahu kaki wanita itu menendang mengarah kemaluannya, ditangkis dan sudah berputar meliukkan pinggang, menghantam dengan tumit satunya dan kemudian meledakkan rambut lagi menotok lehernya.

Dan ketika Gurba menggeram dan berlompatan menghindar tahu-tahu Tok-gan Sin-ni lenyap berkelebatan menyusuli dengan serangannya yang bertubi-tubi, terkekeh disusul Mo-ong yang mengosekkan kakinya mirip singa mengincar korban, melejit dan tiba-tiba menggerakkan kipasnya di tangan kanan sementara tangan kiri menyambar dengan lima kuku mencuat panjang. Dan ketika Gurba mengelak dan serangan masih menyusul tiba-tiba raksasa ini menangkis dan membentak keras.

“Plak-dukk!”

Dua orang itu mulai mengeroyok Gurba. Gurba sudah mengerahkan sinkangnya, menangkis dan membalas ketika lawan mulai bergerak cepat. Dan ketika Mo-ong dan Sin-ni melengking mempercepat gerakan mereka tiba-tiba dua orang kakek dan nenek iblis itu lenyap mengelilingi Gurba, menjeletarkan rambut dan mengebutkan kipas sementara kaki dan tangan mereka yang lain menendang dan mencungkil. Apa saja dijadikan serangan hingga Gurba sibuk. Dan ketika raksasa itu mulai mendesah dan marah dikeroyok dua tiba-tiba satu dua pukulan mulai mengenai tubuhnya.

“Plak-dess!”

Gurba melotot. Rambut dan kipas lawan menyengat pedas, untung dia mengerahkan sinkang hingga tenaga saktinya itu membuat senjata lawan mental, bertemu kekebalannya dan membuat Tok-gan Sin-ni maupun Mo-ong terkejut. Membuktikan omongan si Setan Ketawa bahwa raksasa ini memiliki kekebalan mengagumkan. Dan ketika kipas maupun rambut bertubi-tubi menyambar tubuh raksasa itu tapi selalu membalik bertemu kekebalan sinkang akhirnya Mo-ong maupun Tok-gan Sin-ni memekik marah.

“Mo-ong, serang saja matanya!”

“Ya, dan kau serang ulu hatinya, Sin-ni. Aku yang atas sementara kau yang bawah!”

Gurba marah. Dua orang lawannya itu mulai menyerangnya secara licik, Mo-ong bagian atas sementara Sin-ni bagian bawah. Dua-duanya bekerja sama dengan amat baik dan rapi, tak ada yang tak berbahaya karena kipas maupun rambut selalu menyambar dengan tenaga sinkang, hebat melecut dan meledak dengan suara nyaring.

Dan karena Sin-ni maupun Mo-ong tampak berusaha keras untuk merobohkan lawannya ini maka Gurba berteriak mengeluarkan Tiat-lui-kangnya, kini membalik dan balas menyerang dua orang lawannya itu, selalu mengelak bila kipas menyambar mata dan menangkis kalau rambut menotok ulu hati. Dan karena Gurba juga marah dan geram pada dua orang lawannya ini maka pertandingan tiba-tiba menjadi hebat dan seru bukan main, dipandang Siauw-bin-kwi yang mulai bertepuk-tepuk tangan.

“Bagus, teter terus, Mo-ong. Desak dia dan bunuh raksasa hitam itu...!” tapi ketika Mo-ong meleset dan Tok-gan Sin-ni ganti menyerang iblis ini mendecah, “Ah, kurang tenaga, Sin-ni. Rambutmu terlalu lemah dan kurang tepat...!”

Tok-gan Sin-ni dan Mo-ong mendongkol. Mereka mendengar si Setan Ketawa itu berkomentar panjang pendek tentang pertempuran mereka. Suatu ketika memuji tapi di lain waktu mencaci. Katanya kurang ini atau itu. Dan ketika Siauw-bin-kwi terus berceloteh dan Mo-ong maupun Tok-gan Sin-ni menjadi gusar akhirnya iblis itu bahkan dimaki.

“Siauw-bin-kwi, tutup mulutmu itu. Tak perlu cerewet!”

“Ya, dan kau maju saja kalau merasa lebih pintar, manusia homo. Kau bisa mencela tak bisa membuktikan kepandaianmu!”

“Ah,” Siauw- bin-kwi tertawa. “Aku justeru memberi petunjuk, Mo-ong. Kenapa mengomel dan malah memaki aku? Seharusnya kalian berterima kasih, bukan menegur atau mengumpat!”

“Terima kasih hidungmu, Bin-kwi. Kau cecowetan saja seperti monyet!” Tok-gan Sin-ni membentak, masih terus menyerang tapi mulai terpental oleh Tiat-lui-kang yang menyambar dari lengan Gurba.

Dan ketika Mo-ong juga mendesis dan sering terhuyung oleh tangkisan raksasa ini akhirnya kakek iblis itu berseru agar si Setan Ketawa itu maju saja. “Bin-kwi, kau membuat kami muak. Sebaiknya maju dan bunuh si Tar-tar ini!”

“Weh, kalian kewalahan?”

“Kewalahan!” Mo-ong gusar. “Kau lihat raksasa ini mampu menghadapi kami berdua, Bin-kwi. Sebaiknya tak perlu banyak cakap lagi dan maju membantu kami!”

“Kalau Kim-mou-eng datang?” Siauw-bin-kwi membantah....