Pendekar Rambut Emas Jilid 10 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 10
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“SUMOI, kau tak perlu membenci Kim-sute. Ada aku di sini. Aku yang akan melindungimu, aku yang akan mencintaimu...!” dan Gurba yang sudah mengangkat wajah sumoinya untuk dicium tiba-tiba disambut gerakan Salima yang memberontak lepas, terkejut oleh perbuatan suhengnya itu. Dan ketika Gurba nekat dan hendak melanjutkan usahanya tahu-tahu Salima menendang dan menggaplok muka suhengnya itu!

“Twa-heng, apa yang mau kau lakukan? Lepaskan aku... plak-plak!”

Dan Gurba yang terhuyung mundur tiba-tiba sadar dan merah mukanya oleh ciuman yang gagal itu. Maklum bahwa sumoinya ini bukanlah Bi Nio yang lemah tak berdaya melainkan singa betina yang dapat melawan dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi! Dan Gurba yang tersipu oleh perbuatan sendiri tiba-tiba menunduk dan lirih memohon maaf.

“Maaf, aku... aku lupa diri, sumoi. Aku tak dapat menahan perasaan hatiku kepadamu...!”

Salima tertegun. Ia luluh oleh sikap suhengnya yang memelas ini, tampak terpukul dan malu pada perbuatan sendiri. Tapi Salima yang mengeraskan hati dan masih marah pada suhengnya berkata menegur, belum hilang kagetnya oleh kenekatan suhengnya yang hendak memaksa mencium, “Suheng, lain kali jangan berbuat begitu lagi. Kau tahu aku bukan wanita sembarangan!”

“Maaf,” Gurba semakin menunduk. “Aku tahu, sumoi. Aku tak akan mengulanginya.”

Salima reda kembali. Dia merasa berdebar juga oleh perbuatan suhengnya itu tadi, maklum suhengnya ini ada hati padanya tapi dia sendiri tak tergerak, tertambat hatinya pada sang suheng nomor dua, Kim-mou-eng. Tapi karena orang telah minta maaf dan Salima juga melihat twa-suhengnya itu menyesali perbuatan sendiri akhirnya gadis ini melupakan kejadian itu dan kembali bicara tentang ji-suhengnya.

“Twa-heng, apa yang sekarang harus kita lakukan dengan perbuatan ji-suheng itu? Dan kenapa kau ada di sini? Bagaimana dengan suku bangsa kita di luar tembok besar sana?”

Gurba mendadak murung. “Suku bangsa kita porak-poranda, sumoi. Aku keluar karena kita hancur di dalam!”

“Apa?” Salima terkejut. “Hancur bagaimana, suheng? Porak-poranda bagaimana?”

Gurba mengepal tinju. “Kita diadu domba oleh tiga iblis tua, sumoi. Bangsa Tar-tar hancur gara-gara tiga iblis ini!”

“Siapa mereka?”

“Hek bong Siang-lo-mo dan Siauw-bin-kwi!”

“Ah, siapa mereka itu?”

“Tiga dari Jit-mo Kang-ouw!”

Salima berseru kaget. Sampai di sini dia membelalakkan mata lebar-lebar, terkejut sekali. Tapi heran bagaimana bangsa Tar-tar yang demikian besar bisa hancur dan porak-poranda seperti kata suhengnya itu tiba-tiba Salima bertanya, menggigil suaranya, hampir tak percaya, “Suheng, bagaimana asal mula kejadian ini? Bagaimana bangsa kita menjadi hancur seperti katamu tadi?”

“Panjang ceritanya, sumoi.” Gurba mengerutkan kening. “Bermula dari kejadian suku U-fak yang dipimpin Uyin dan Unga.” dan ketika Gurba mulai menceritakan kejadian itu yang berawal dari perbuatan dua kakak beradik Uyin dan Unga yang ternyata adalah murid-murid Siauw-bin-kwi yang membunuh tujuh wanita hamil dari suku bangsa mereka.

aka Salima mendengarkan dengan penuh perhatian dan kening berkerut-kerut, berkali-kali mengeluarkan seruan marah ketika mendengar kekejaman kakak beradik itu, membelek perut wanita hamil dan mengeluarkan oroknya. Satu tindakan keji yang amat biadab. Dan ketika cerita meluncur pada tewasnya dua kakak beradik itu dan Siauw-bin-kwi muncul mengganggu perkemahan bangsa Tar-tar akhirnya Gurba mengepal tinju terkenang ini.

“Kakek iblis itu membuat huru-hara, sumoi. Dia membakar kemah dan membawa dua temannya yang lain, Hek-bong Siang-lo-mo yang cebol-cebol itu. Merekalah biang keladi, jahat dan kepandaiannya memang tinggi tapi kemudian melarikan diri setelah membuat onar!”

Salima merah mukanya. “Dan kau tak dapat membunuh musuh-musuhmu itu, suheng?”

“Inilah salahmu,” Gurba menyesali sumoinya ini. “Kau tak ada bersama kami, sumoi. Kalau saja kau ada tentu tiga iblis itu tak dapat main-main dengan bangsa Tar-tar!”

“Ah,” Salima cemberut. “Kau sendiri yang memberikan ijin padaku untuk keluar, suheng. Aku mencari ji-suheng karena dia meninggalkan kita untuk kelayapan ke Tionggoan. Kau tak dapat menyalahkan aku, ji-suhenglah yang salah!”

“Ya,” Gurba mengangguk, geram juga pada sutenya yang minggat itu. “Kau benar, sumoi. Kalau saja Kim-sute tak minggat meninggalkan kita tentu bangsa Tar-tar tak akan begini jadinya. Sekarang kita porak-poranda, bangsa kita hancur dipermainkan tiga siluman tua itu!”

Tapi Salima ingat sesuatu. “Tapi, suheng,” tanyanya tak mengerti. “Bagaimana bangsa kita begitu mudah dihancurkan? Bukankah kau dan teman-teman ada di sana?”

Gurba mengerutkan alis, mengarang cerita. “Aku tak ada di sana waktu itu, sumoi. Aku meninggalkan mereka ketika Siauw-bin-kwi dan kawan-kawannya datang.”

“Eh, bagaimana ini?”

Gurba merah mukanya. “Aku mencari tiga iblis itu keluar, sumoi. Tapi ketika aku keluar justeru mereka masuk!”

Salima tertegun. “Begitukah?”

“Ya, begitu, sumoi. Dan mereka berhasil mengadu domba anak-anak buah kita hingga Siga dan Munga saling bermusuhan. Siga membunuh Munga dan terjadi kekacauan diantara dua pengikut pembantu-pembantu kita hingga pecah perang saudara dan masing-masing saling membunuh!”

Salima kaget bukan main. “Perang saudara, suheng?”

“Itulah yang terjadi, sumoi. Dan kekacauan ini ditambah lagi dengan datangnya pasukan kerajaan yang menyerbu bangsa kita,” Gurba tak tanggung-tanggung, merasa kepalang basah. “Dan aku menyesali sekali kejadian itu, sumoi. Aku datang ketika semuanya sudah hancur dan porak-poranda!”

Salima tiba-tiba menjerit. Gadis Tar-tar ini pilu dan marah sekali, terhuyung membayangkan suku bangsanya hancur begitu cepat. Tapi sadar dan marah mendengar pasukan kerajaan menyerbu datang mendadak gadis ini melejit dan terbang menuju kota raja!

“Suheng, kalau begitu kita bunuh kaisar dan orang-orangnya itu. Tentu Jit-liong Ciangkun menyuruh orang-orangnya membasmi bangsa kita!” Salima teringat pada kejadian diri sendiri, mengira Jit-liong Ciangkun membalas dendam atas perbuatannya di kota raja dulu bersama suhengnya nomor dua, Kim-mou-eng. Jadi semakin salah paham dan tidak karuan jalan ceritanya!

Dan Gurba yang terkejut melihat sumoinya marah tiba-tiba berkelebat menangkap lengan sumoinya itu. “Sumoi, tunggu. Tahan dulu...!”

“Tidak,” Salima mengipatkan lengan. “Aku ingin membunuh dulu orang-orangnya kaisar itu, suheng. Dan setelah itu kita bicara lagi!” Salima sudah meluncur terbang, cepat sekali mengerahkan ginkangnya meninggalkan sang suheng, yang terbelalak dan tertegun oleh keberingasan sumoinya ini.

Tapi Gurba yang khawatir dan tentu saja cemas akan nasib kaisar dan Jit-liong Ciangkun yang telah berbaik dengannya dan menjalin tali persahabatan tiba-tiba membentak dan mengejar sumoinya itu. “Sumoi, jangan terburu nafsu. Dengar dulu omonganku... plak!” Gurba menepuk pandak sumoinya itu, tepukan sekaligus totokan yang membuat Salima mengeluh, terguling kaget. Dan ketika gadis itu melompat bangun dan Gurba pucat memandang sumoinya maka raksasa tinggi besar ini buru-buru menyabarkan.

“Sumoi, maaf. Kita tak perlu ke kota raja tapi mencari dulu tiga biang penyakit ini. Kaisar dan orang-orangnya gampang dicari, mereka tak akan lari. Sebaiknya cari dulu Hek-bong Siang-lo-mo ini dan Siauw-bin-kwi!”

Salima marah. “Tapi Jit-liong Ciangkun berani mati menyerang bangsa Tar-tar, suheng. Ini tak dapat kubiarkan dan harus dibalas!”

“Sabar, berita terakhir menyatakan mereka itu juga diadu domba Siauw-bin-kwi dan teman-temannya ini, sumoi. Jadi terhadap tiga iblis tua inilah kita harus menuntut balas. Kau tekan dulu kemarahanmu. Kita cari dulu biang keroknya karena yang lain-lain gampang!”

Dan Gurba yang membujuk dan menyabarkan sumoinya dengan segala kepandaian akhirnya berhasil menyadarkan sumoinya akan kata-katanya itu. Bahwa kaisar dan orang-orangnya tak mungkin Iari, lain dengan tiga iblis yang membuat huru-hara ini, pangkal dari segala pangkal penyakit. Dan Gurba yang membujuk dan terus berusaha membujuk akhirnya mengajak sumoinya itu pergi mencari Siauw-bin-kwi dan kawan-kawannya.

“Sebaiknya kita cari tiga iblis ini, sumoi. Mereka dulu juga mencari-carimu untuk menantang adu kepandaian. Sungguh marah aku, dikira kau bersembunyi karena takut!” Gurba menyalakan api, membangkitkan kemarahan sumoinya dengan kata-kata bualan itu, menyentil tepat letak keberingasan sumoinya.

Dan Salima yang tentu saja marah mendengar ini langsung membanting kaki mengepal tinju. “Baik, kita cari mereka itu, suheng. Aku akan bertempur seribu jurus dengan mereka!”

Gurba girang. Ini siasatnya yang bagus, berhasil mengajak sumoinya mencari Siauw-bin-kwi dan kawan-kawannya itu. Dan karena semua sudah beres dan Salima menunda dulu kepergiannya ke kota raja akhirnya raksasa tinggi besar ini mengajak sumoinya cepat-cepat pergi khawatir sumoinya itu berubah pikiran lagi. Mumpung berhasil dibakar dengan tantangan Siauw-bin-kwi yang sengaja dia buat-buat. Dan begitu kakak beradik ini berkelebat keluar akhirnya Gurba mengajak sumoinya itu ke selatan mencari Siauw-bin-kwi dan dua kakek cebol Hek-bong Siang-lo-mo yang lihai tapi ganas!

* * * * * * * *

Agaknya, tiada orang sesial Kim-mou-eng. Dia telah kejatuhan getah dari nangka yang dinikmati Gurba. Tak tahu bahwa sumoinya dan kakak seperguruannya itu mencari-carinya, tak tahu pula bahwa perjuangannya membebaskan Cao Cun dan Wan Hoa juga sia-sia karena dua gadis cantik itu kembali ke Istana Dingin, atas kemauan sendiri dan bukan paksaan orang lain.

Ditambah kemarahan sumoinya yang telah dia cium, gara-gara bangkit gairahnya melihat sang sumoi yang demikian memikat, bibir yang merah basah dengan bola mata yang bening. Indah mempesona sebagaimana adanya gadis-gadis remaja. Dan Kim-mou-eng yang pagi itu duduk di sebuah kedai menikmati arak hangat tak tahu bahwa diam-diam sepasang muda-mudi memperhatikan dirinya dengan mata beringas.

Pagi itu dia lagi gundah. Tidak sadar, karena yang dia pikir adalah kebohongannya terhadap Cao Cun yang dia tinggal pergi. Juga tentang sumoinya yang melarikan diri tak mau ditemui, gara-gara ciumannya itu. Atau lebih tepat, gara-gara dia tak menanggapi cinta sumoinya yang sudah rela memberikan bibir untuk dicium itu. Dan dia yang juga heran tentang diri sendiri kenapa dia ragu-ragu berbicara tentang cinta mendadak menarik napas ketika untuk kelima kalinya dia meneguk araknya itu.

Pagi itu cukup indah. Burung pipit dan murai berkicau, bertengger di atas dahan tak jauh dari tempat duduknya. Maklum, kedai itu di pinggir jalan dan belum banyak orang berlalu-lalang. Suasana masih segar dan sejuk, matahari belum menyengat benar hingga kulit merasa hangat. Dan ketika secara tak sengaja dia melihat sepasang pipit bercumbu di atas dahan tiba-tiba Kim-mou-eng tersenyum.

Dia jadi teringat ketika dia mencium mulut sumoinya itu, persis sepasang pipit yang kini berdekatan di atas pohon, saling mendekatkan muka dan paruh mereka bertemu, bergerak dan mengeluarkan cicitan perlahan sebagaimana layaknya burung bercumbu. Tak beda dengan manusia yang berbisik-bisik manja. Agaknya begitulah. Tapi ketika dia lagi asyik dan tersenyum memandangi sepasang burung ini mendadak sebatang sumpit menyambar dan langsung menusuk burung jantan yang ada di sebelah kanan. Dan persis sumpit pertama menyambar mendadak sumpit kedua juga bergerak, meluncur menembus pipit yang betina.

“Cep-cep!”

Dua ekor burung itu terguling roboh. Mereka seketika mati, tak sempat menggelepar karena dua sumpit itu menembus dada mereka. Dan ketika Kim-mou-eng terkejut dan memandang darimana asal sumpit melayang maka dua muda-mudi yang memperhatikannya sejak tadi tiba-tiba bangkit berdiri.

“Sin-ko, sumpitmu kalah dulu. Kau kalah cepat!”

“Tidak, kau yang kalah jitu, Ling-moi. Sumpitku biar lambat tapi lebih tepat mengenai jantung. Kau kalah jitu!” pemuda di sebelah membantah, mengambil dua ekor burung itu dan mengamati bersama.

Dan ketika si gadis berseru tertahan dan melihat kenyataan sumpitnya tidak tepat di tengah jantung mendadak si gadis membanting burung jantan hingga mencelat ke arah meja Kim-mou-eng! “Sialan, rupanya kepandaianku selalu begitu-begitu saja... crot!” bangkai burung itu mengenai arak Kim-mou-eng, tumpah dan seketika membasahi baju Pendekar Rambut Emas ini.

Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan terbelalak memandang dua muda-mudi itu mendadak dua muda-mudi ini membalikkan tubuh dan kembali ke mejanya sendiri, seolah-olah tidak tahu bahwa perbuatan si gadis menumpahkan arak Kim-mou-eng. Tidak minta maaf. Dan ketika Kim-mou-eng terbelalak dan marah melihat perbuatan orang tiba-tiba dua muda-mudi itu tertawa dan mengeluarkan kata-kata ejekan.

“Hi-hik, rupanya ada burung besar melotot pada kita, Sin-ko. Apakah perlu dikerjai lagi dengan sumpit?”

“Tak perlu. Biar dia mendongkol dulu, Ling-moi. Kalau macam-macam baru kita kerjai!”

Kim-mou-eng tertegun. Saat itu beberapa orang lain juga memandang mereka, rupanya heran dan kaget oleh perbuatan dua muda-mudi ini. Tapi Kim-mou-eng yang menahan kemarahan dan bersikap sabar tiba-tiba menggapai meminta sebotol arak baru. “Maaf, berikan padaku sebotol lagi, twako. Arakku tumpah ditimpa kucing!”

Sang gadis melotot, tiba-tiba membalik. “Siapa yang kau maksud kucing? Aku kah?”

Kim-mou-eng tersenyum. Dia melihat gadis ini masih berusia sembilan belasan tahun, cantik tapi sombong dengan sikapnya yang pongah. Melihat bajunya yang bagus tentu anak seorang kaya, mungkin hartawan. Tapi dia yang mendongkol pada perbuatan gadis ini tiba-tiba memutar tubuh dan pura-pura tidak tahu pertanyaan orang. “Twako, cepat arakku yang baru. Aku haus...!”

Gadis itu terang merasa terhina. Dia marah melihat Kim-mou-eng tak menggubrisnya, melihat pelayan datang dengan sebotol arak baru. Dan persis pelayan itu meletakkan arak di meja Kim-mou-eng tiba-tiba dengan cepat dan luar biasa dia menyambarkan sumpitnya yang lain ke botol arak ini.

“Prakk...!” Botol itu pecah. Kim-mou-eng dan sang pelayan terkejut, tentu saja marah oleh tumpahnya arak yang membanjir di atas meja. Dan Kim-mou-eng yang melotot tapi berusaha menahan sabarnya tiba-tiba mendesis bertanya perlahan, “Kenapa kau memecahkan botol arakku?”

Gadis itu, seperti tadi ketika Kim-mou-eng membalikkan tubuh tiba-tiba juga tak menggubris, memutar tubuhnya menghadap meja sendiri. Dan ketika Kim-mou-eng merah mukanya dan malu tak dijawab tiba-tiba si pemuda yang dipanggil Sin-ko terbahak.

“Ling-moi, si rambut emas ini melotot. Apa jawabmu kalau dia marah?”

“Huh, biar si sombong itu minum botolnya yang kosong, Sin-ko. Aku tak perlu menjawab karena dia juga tak menjawab pertanyaanku!”

“Ha-ha, kalau begitu biar dia pesan sebotol baru lagi, Ling-moi. Atau kalau dia berani biar minum dan makan saja semeja dengan kita!”

Kim-mou-eng mengerutkan alis. Dia marah, tapi melihat dua muda-mudi itu rupanya pongah dan dia harus menahan emosinya maka pendekar ini menarik napas duduk kembali menenangkan kemarahannya. “Pelayan, tolong ambil lagi sebotol yang baru. Aku tak mau membuat onar.”

Pelayan itu tertegun. “Dan yang pecah tadi, tanggung jawab siapa?”

“Tak perlu dipikir, bung pelayan. Masukkan dalam rekeningku dan biar aku yang bayar!”

Sang pelayan mengangguk, pucat mukanya dan kembali ke dalam mengambil arak baru. Tapi Kim-mou-eng yang melihat si pemuda bersiap menggetarkan sumpit di tangan kiri mendadak mengerutkan kening semakin dalam ketika pemuda itu memandang bersinar-sinar ke arah si pelayan yang membawa arak baru, datang mendekat di mejanya dan siap meletakkan arak itu. Tapi persis arak diangkat tahu-tahu sumpit di tangan si pemuda bergerak meluncur menghantam botol arak ini, rupanya sengaja membuat ribut. Dan Kim-mou-eng yang tentu saja tak mau bersabar lagi tiba-tiba mengebutkan lengan ke udara.

“Pelayan, letakkan arak itu dengan tenang. Ada lalat busuk mengganggu kita... wutt!” pelayan ini terkejut, melihat sumpit si pemuda menyambar dan sudah serambut saja jarak dari botol araknya, tiba-tiba dikebut dan sumpit mental seolah dipukul tenaga tak kelihatan, tahu-tahu membalik dan kini menyambar pemuda itu yang tentu saja terkejut melihat senjata makan tuan, meluncur dengan kecepatan luar biasa, hampir tak ada waktu untuk berkelit.

Dan si pemuda yang terpaksa menangkis dan bangkit berdiri tahu-tahu mengibaskan lengan bajunya dan berseru kaget ketika sumpit masih saja menembus dan menancap di ujung lengan bajunya itu! “Bret!” Pemuda ini terjengkang roboh. Dia merasa didorong kekuatan yang amat hebat, langsung terduduk pucat memandang Kim-mou-eng, tergetar dan merasakan sinkang lawan yang meluncur bersama sumpit itu, sungguh tak menyangka. Dan gadis baju merah yang ada di sebelah kirinya tiba-tiba melompat bangun menolong pemuda ini, berteriak tertahan.

“Sin-ko, kau tak apa-apa?”

Pemuda yang dipanggil Sin-ko itu menggeleng. Dia sudah bangkit berdiri, terbelalak memandang Kim-mou-eng. Tapi Kim-mou-eng yang tidak memandang kepadanya dan bersikap acuh menenggak arak ternyata tenang-tenang saja seolah kejadian itu tak ada di depan matanya. Sekejap telah mendemonstrasikan sinkangnya kepada lawan yang sombong. Dan pemuda itu yang tampak gentar tiba-tiba melompat keluar.

“Ling-moi, si Rambut Emas itu rupanya lihai. Biar kita tunggu dia di luar dusun!”

Gadis ini terkejut. Dia marah memandang Kim-mou-eng, yang juga tidak memandang padanya, masih acuh dengan keadaan sekitar dan minum araknya seorang diri. Tapi melihat temannya sudah keluar mendahului dan dia tinggal sendirian di situ tiba-tiba gadis ini melempar sekeping uang melampiaskan marah, menyambar ke meja Kim-mou-eng karena pelayan kebetulan berdiri dekat di tempat itu.

“Pelayan, terima pembayaran kami!”

Sang pelayan terbelalak. Gadis itu memang membayar makan minumnya, sekeping uang emas yang tentu lebih dari cukup. Tapi melihat uang itu menyambar Kim-mou-eng padahal laki-laki ini tampaknya tak tahu sambaran logam yang menuju lehernya itu mendadak pelayan ini pucat mukanya siap memberi tahu. Tapi aneh, Kim-mou-eng tersenyum padanya, tidak menengok ke arah uang yang menyambar lehernya itu. Namun persis uang mendekati lehernya tiba-tiba pendekar ini meraup dan tanpa menoleh telah ganti menyambar uang emas itu.

“Pelayan, rupanya nona ini terlalu royal padamu. Biarlah harga makananku dibayarnya juga!” Kim-mou-eng telah menangkap, menyerahkannya pada sang pelayan tapi diam-diam mengerahkan tenaga meremas uang itu. Dan ketika si pelayan menerima dan si gadis terbelalak tahu-tahu sang pelayan berseru kaget ketika uang emas itu hancur menjadi bubuk.

“Hei...!”

Si gadis pucat mukanya. Dia melihat uangnya, menjadi tepung logam di tangan sang pelayan yang marah padanya, mengira dia main-main. Maklum bahwa untuk kedua kalinya Kim-mou-eng telah mendemonstrasikan kepandaiannya yang hebat. Tapi gadis itu yang sudah memutar tubuh berseru marah tiba-tiba melompat keluar meninggalkan kedai arak itu.

“Hei, kau belum bayar, nona...!”

Kim-mou-eng tertawa. “Tak perlu dikejar, biar aku yang mengganti makan minum mereka, pelayan. Mungkin mereka kehabisan bekal!” Kim-mou-eng menancapkan sekeping uang emas lain, diam-diam mengambil bubuk uang emas yang hancur. Dan ketika si pelayan terbelalak tahu-tahu bubuk uang emas yang dikepal pendekar ini telah utuh kembali dan menjadi sekeping uang emas baru. Tak dapat dibedakan lagi dengan yang pertama!

“Ah, ilmu siluman...!”

Kim-mou-eng tersenyum, tahu bahwa semua mata tiba-tiba memandangnya, heran dan kagum. Tapi bangkit berdiri menepuk si pelayan tiba-tiba pendekar ini berkelebat lenyap seolah hantu. “Pelayan, terima kasih. Aku cukup menikmati arakmu...!”

Sang pelayan tertegun. Dia tentu saja mengira Pendekar Rambut Emas itu siluman, sebentar kemudian berteriak ribut karena tak melihat lagi bayangan pendekar itu, sama seperti majikannya dan orang-orang lain yang ada di situ. Kaget dan melongo karena pemuda yang aneh itu tak ada di kedai mereka lagi, hilang seperti asap. Dan ketika semua orang ribut-ribut membicarakan pendekar itu maka yang bersangkutan sudah melenggang keluar dusun.

Kim-mou-eng memang tak mau lama-lama tinggal di situ. Maklum sepasang muda-mudi itu menunggunya di luar, seperti tadi yang telah dia dengar dan sesungguhnya membuat pendekar ini heran karena dia tak merasa mempunyai permusuhan dengan orang. Jadi tak mengerti kenapa dua muda-mudi itu memusuhinya, sikapnya jelas tak bersahabat. Dan ketika dia tiba di luar dusun dan sudah menduga bakal dihadang ternyata benar dua muda-mudi itu berdiri di tengah jalan menantinya, mata mereka beringas, kedua-duanya mencabut pedang yang tadi disimpan di belakang punggung.

“Kim-mou-eng, berhenti. Kami akan menuntut balas!”

Kim-mou-eng berhenti. Dua orang muda itu telah melompat di depannya, memalangkan senjata, diam-diam membuat pendekar ini tertawa karena dia telah mengukur kepandaian orang dengan gebrakan di kedai arak tadi. Tahu bahwa dia tak perlu khawatir menghadapi muda-mudi yang entah siapa ini. Hal yang juga ingin dia ketahui. Dan melihat mereka melotot dan berkata akan menuntut balas tiba-tiba pendekar ini tersenyum dan memandang mereka dengan sabar.

“Kalian siapakah? Sudah mengenal namaku?”

Si pemuda menarik muka gelap. “Kami putera-puteri Ang-bin Ciangkun, Kim-mou-eng. Kami menunggumu untuk membalas kematian ayah kami!”

Kim-mou-eng terkejut. “Ang-bin Ciangkun? Seorang dari Jit-liong Ciangkun itu?”

“Ya, kami anaknya. Aku Ang Sin Kok, ini adikku Ang Hwi Ling!”

“Ah, ada apa dengan ayah kalian itu? Kenapa hendak menuntut balas?” Kim-mou-eng terang terkejut, mengerutkan alis karena dia mengenal panglima bermuka merah itu. Panglima yang gagah, yang dulu mengenalnya pertama kali karena panglima itu bertugas di utara, jadi tahu namanya karena berdekatan dengan bangsa Tar-tar.

Dan Ang Sin Kok yang gemetar memutar pedang tiba-tiba membentak marah memandang Pendekar Rambut Emas ini. “Kim-mou-eng, tak perlu kau berpura-pura. Ayah tewas gara-gara perbuatan suhengmu, kini kami datang untuk menuntut pertanggungjawabanmu atas perbuatan suhengmu itu!”

Kim-mou-eng membelalakkan mata. “Suhengku? Kalian mengenal suhengku pula?”

“Keparat, tak perlu bertanya-tanya, Kim- mou-eng. Sekarang serahkan nyawamu dan kami akan mencari pula suhengmu yang biadab itu... sing!” Sin Kok tiba-tiba menyerang, menusuk cepat leher lawan.

Dan membuat Kim-mou-eng terkejut mendengar sesuatu yang masih tidak jelas ini, tak tahu bahwa suhengnya telah membawa bangsa Tar-tar menyerbu kerajaan dan membunuh empat dari tujuh panglima naga, seorang diantaranya adalah Ang-bin Ciangkun itu. Tak mendengar karena dia sibuk dengan urusan pribadi, sama seperti Salima yang juga belum mendengar sepak terjang Gurba si Singa Daratan Tandus itu. Jadi merasa heran kenapa sekarang putera-puteri Ang-bin Ciangkun ini memusuhinya. Tapi melihat pedang menyambar dan Sin Kok tampak beringas sekali tiba-tiba pendekar ini mengelak menampar dari samping.

“Tunggu dulu, aku mau bicara... takk!” Sin Kok terpental pedangnya, terpelanting dan tentu saja kaget oleh tamparan Kim-mou-eng yang membuat senjatanya hampir terlepas, pedas dan panas serta sakit.

Tapi Hwi Ling yang gusar melihat kakaknya terpelanting mendadak memekik menggerakkan pedangnya pula. “Kim-mou-eng, tak perlu banyak cakap. Kami tak mau bicara denganmu... sing-singg...!” Hwi Ling sudah menerjang maju, membantu kakaknya dan sebentar kemudian melakukan tusukan atau bacokan bertubi-tubi, pedang menyambar-nyambar tak kenal ampun. Dan Kim-mou-eng yang tentu saja mengerutkan alis semakin dalam tiba-tiba melihat Sin Kok melompat bangun dan maju kembali bersama adiknya itu.

“Benar, kami tak mau mendengar bicaramu lagi, Kim-mou-eng. Kami menghendaki nyawamu dan karena itu mampuslah... wut-sing!” pedang Sin Kok juga bergerak membabat, membantu adiknya dan sebentar kemudian dua kakak beradik itu menyerang ganas, masing-masing saling mendahului dan tampak benci sekali memandang Kim-mou-eng.

Dan Pendekar Rambut Emas yang tentu saja mendongkol oleh sikap dua kakak beradik ini tiba-tiba menangkis mementalkan senjata lawan. “Sin Kok, kalian orang-orang muda yang berangasan. Aku tak tahu-menahu persoalan itu...plak-plak!”

Sin Kok dan adiknya menjerit. Mereka terpental oleh tangkisan Kim-mou-eng yang mempergunakan tangan telanjang, hebat menggetarkan karena lengan Pendekar Rambut Emas itu penuh getaran sinkang. Dan ketika dua kakak beradik itu nekat dan kembali menyerang dengan pedang mereka akhirnya Kim-mou-eng menunjukkan kelihaiannya yang luar biasa.

Saat itu Sin Kok membacok lehernya, tak dielak. Dan Hwi Ling yang juga menusuk lambungnya dengan tusukan sengit dibiarkan saja oleh pendekar ini, mengherankan dua kakak beradik itu yang justeru merasa girang, membentak menambah tenaga. Tapi begitu pedang mengenai tubuh pendekar ini mendadak Kim-mou-eng mengibas ke kiri kanan dan dua kakak beradik itu menjerit.

“Sin Kok, sekarang kalian robohlah... krak-krak!” pedang dua kakak beradik itu patah, membentur kekebalan Pendekar Rambut Emas yang telah melindungi diri dengan sinkangnya, tentu saja membuat dua kakak beradik itu kaget. Dan ketika mereka tertegun dan menjublak bengong tahu-tahu kibasan lengan pendekar ini menyambar mereka.

“Plak-dess!”

Sin Kok dan adiknya terlempar bergulingan. Mereka roboh tunggang-langgang, disapu angin pukulan lawan yang hebat luar biasa. Dan ketika mereka melompat bangun tapi lawan menggerakkan jari tahu-tahu Sin Kok dan Hwi Ling mengeluh ketika dua totokan mengenai pundak mereka.

“Tuk-tuk!” dua kakak beradik itu roboh terjengkang. Mereka kembali terbelalak, kaget dan ngeri memandang Kim-mou-eng. Tapi ketika Kim-mou-eng tertawa dan menggerakkan ujung kakinya tahu-tahu dua kakak beradik ini dibebaskan totokannya dan dapat melompat bangun, membuat dua kakak beradik itu tercengang!

“Nah, bagaimana, Sin Kok? Kalian masih mau bertempur lagi?”

Sin Kok dan adiknya tertegun. Mereka jelas bengong, mengakui kekalahan yang begitu mudah. Tapi Hwi Ling yang terisak menangis tiba-tiba menerjang menghantam pendekar itu. “Kim-mou-eng, kau boleh bunuh kami, tak usah menghina...!” dan gadis yang melancarkan pukulan menyodok perut lawan tiba-tiba dipandang dengan alis berkerut oleh pendekar ini. Kim-mou-eng tidak mengelak, diam saja. Tapi begitu jari mengenai perutnya sekonyong-konyong Hwi Ling mengaduh.

“Krek!” jari gadis itu keseleo, langsung bengkak dan salah urat. Dan Hwi Ling yang menjerit terpelanting roboh tiba-tiba memaki dan nekat bangun menyerang dengan kakinya, kali ini juga didiamkan oleh Pendekar Rambut Emas itu. Dan ketika gadis itu lagi-lagi menjerit dan kini kakinya terkilir dan juga bengkak seperti tangannya itu maka Pendekar Rambut Emas menegur dengan suara tak senang.

“Nona, kau harus tahu diri. Aku tak memusuhi kalian. Kalianlah yang memusuhi aku!” dan ketika Hwi Ling mendesis-desis dan mendelik padanya, Kim-mou-eng sudah memberi tanda pada Sin Kok. “Sin Kok, beri adikmu itu obat ini. Kalian pergilah dan jangan ganggu aku...!” Kim-mou-eng melempar sebotol arak anti bengkak, obat yang biasa dibawa kemana-mana.

Dan Sin Kok yang tertegun melihat adiknya kesakitan tiba-tiba melompat menolong adiknya itu, tak mau mengambil obat pemberian Pendekar Rambut Emas, menggigit bibir, mengambil obatnya sendiri dan cepat melumurkan obat itu ke bagian urat adiknya yang bengkak. Dan ketika Hwi Ling menyeringai dan kaki dapat dipergunakan lagi akhirnya Sin Kok memapah adiknya itu menghadapi Kim-mou-eng.

“Pendekar Rambut Emas, kami ternyata memang harus tahu diri. Kau memang hebat, tapi sakit hati yang kami miliki ini tak mungkin kami hapus begitu saja. Biarlah lain kali kita bertemu. Kami ingin menguji kepandaian lagi!”

“Hm, kau keras kepala?”

“Jiwa orang tua kami tak dapat dibayar dengan apapun, Pendekar Rambut Emas. Kalau kau membebaskan kami jangan harap hutang itu lunas!”

“Baiklah, itu terserah kalian. Tapi kunasehati kalian untuk tidak bersikap sombong, Sin Kok. Kalian tahu dirilah dan tak perlu takabur,” Kim-mou-eng mengerutkan alisnya, semakin muram. Dan ketika dua kakak beradik itu masih memandangnya penuh kebencian dan memutar tubuh tiba-tiba Kim-mou-eng berkelebat lenyap mendahului mereka.

Sin Kok dan adiknya hanya mendengar angin berdesir di sebelah mereka, dan ketika mereka menoleh tapi bayangan Pendekar Rambut Emas itu tak ada lagi di dekat mereka maka dua kakak beradik inipun pergi dengan muka gelap.

Hari itu Kim-mou-eng mengalahkan sekaligus mengampuni mereka. Hal yang membuat mereka sakit hati tapi juga sekaligus merasa “hutang budi”. Sikap yang bagi mereka membingungkan tapi juga kagum. Tapi karena Pendekar Rambut Emas itu memang hebat dan kepandaian mereka kalah jauh maka dua kakak beradik ini menyimpan semua perasaan yang membuat mereka tak karuan.

Bagaimanapun melihat bahwa Pendekar Rambut Emas itu adalah seorang laki-laki gagah yang simpatik. Tak seharusnya mereka mendendam. Tapi karena kematian ayah mereka di tangan suheng pendekar itu tak mungkin dihapus begitu saja maka dua kakak beradik ini pergi dengan sikap gundah.

Begitulah. Untuk pertama kalinya Kim-mou-eng mulai mencicipi “getah” dari perbuatan suhengnya. Sesungguhnya tak tahu-menahu persoalan suhengnya dengan orang-orangnya Jit-liong Ciangkun itu. Diam-diam cemas dan kaget. Dan ketika tengah hari itu dia melanjutkan perjalanan dan masih memikirkan permusuhan putera-puteri Ang-bin Ciangkun kepadanya mendadak untuk kedua kali dia dihadang tiga orang musuh baru, tiga laki-laki pendek yang memandangnya penuh kebencian, persis di mulut hutan pinus!

“Kim-mou-eng, berhenti. Kami hendak menagih hutang!”

Kim-mou-eng terkejut. Dia melihat sikap orang yang tidak bersahabat, orang-orang tak dikenal. Tapi karena dia memang ramah dan pendekar ini cukup sabar maka Kim-mou-eng berhenti dan justeru menjura di depan tiga laki-laki pendek ini. “Sam-wi enghiong (tiga tuan gagah) ini siapakah? Bagaimana menghadang perjalanan dan hendak menagih hutang?”

“Hm, tak perlu pura-pura. Kami Sin-to Sam-enghiong (Tiga Pendekar Golok Sakti), Kim-mou-eng. Mencegat karena hendak membalas kematian kakak seperguruan kami. Kau bersiaplah, bayar hutang jiwa ini dengan jiwa pula!”

“Lho, jiwa siapa?” Kim-mou-eng tentu saja tercengang, terkejut. “Kalian tidak salah mencegat sam-wi enghiong? Aku tak merasa membunuh siapapun, harap jangan salah menuduh!”

“Hm,” seorang diantaranya maju ke depan, mencabut goloknya yang berkeredep menyilaukan mata, desingnya mengerikan. “Kami tidak salah orang, Kim-mou-eng. Justeru kami tahu bahwa kami menuntut pada orang yang tepat. Kami sute (adik seperguruan) Beng-ciangkun, kini datang untuk menuntut tanggung jawab perbuatan suhengmu yang biadab!”

“Ah, apa yang dilakukannya?”

“Jangan pura-pura!” orang itu membentak. “Suhengmu telah membunuh suhengku, Kim-mou-eng. Karena itu kami datang untuk menuntut balas!”

Kim-mou-eng tercekat. Sekarang dia tertegun, lagi-lagi mendengar perbuatan suhengnya yang kini katanya membunuh Beng-ciangkun, panglima pendek kekar yang merupakan rekan Bin-ciangkun, jadi sama-sama orangnya Jit-Iiong Ciangkun dan tentu saja membuat dia bengong. Dan ketika dia terbelalak dan laki-laki di depan itu mengibaskan golok tiba-tiba dua yang lain juga mencabut senjatanya dan langsung melompat mengurungnya.

“Kim-mou-eng, tak perlu ah-oh-ah-oh. Kau jangan bengong saja, kami tahu kau bukan seorang blo’on!”

Kim-mou-eng sadar. Sekarang dia melihat tiga orang lawannya itu beringas memandangnya, cekalan golok mereka menandakan orang-orang ini cukup lihai, jauh di atas Sin Kok maupun Hwi Ling. Tapi Kim-mou-eng yang tersenyum pahit oleh kemarahan orang tiba-tiba menarik napas mencoba berdamai.

“Sam-wi enghiong, aku sesungguhnya tak tahu-menahu perbuatan suhengku itu. Kenapa kalian marah-marah kepadaku? Sebaiknya jelaskan dulu apa yang terjadi. Aku tak tahu itu dan kalian bersabarlah.”

“Hm, bersabar untuk orang yang telah membunuh saudara kami, Kim-mou-eng? Tak mungkin, kami tak mau bersabar lagi dan akan mencari juga suhengmu itu!”

“Kalau begitu kenapa tidak cari saja suhengku itu? Aku tak tahu apa-apa, tak seharusnya kalian menuntut aku!”

“Kau takut?”

Kim-mou-eng tertawa getir. “Sam-wi enghiong, aku tak takut menghadapi siapapun. Juga aku tak takut menghadapi kalian. Tapi kalian ngawur, aku hendak memperingatkan bahwa urusan ini aku tak tahu menahu.”

“Tapi kau sutenya, kau saudara dari Singa Daratan Tandus itu!”

“Benar, tapi aku tak tahu-menahu perbuatan suhengku, sam-wi enghiong. Aku tak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Aku justeru heran, kenapa suhengku membunuh Beng-ciangkun!”

“Hm, tak perlu banyak cakap. Semua orang tahu itu, Kim-mou-eng. Kami tak menghasut atau mengada-ada. Kau bersiaplah dan tak perlu banyak cing-cong lagi...sing!” laki-laki pertama tiba-tiba menggerakkan golok, membacok kepala Kim-mou-eng dari atas ke bawah, sikapnya penuh kebencian sekali, desing goloknya membuat kulit serasa teriris. Demikian tajam! Dan ketika Kim -mou-eng mengelak dan terkejut melihat serangan lawan tiba-tiba dua yang lain juga menyerang dari kiri kanan tubuhnya.

“Kim-mou-eng, kamipun ingin membunuhmu. Bersiaplah... sing-singg...!” dua golok itu membelah dari kiri kanan, menyambar pinggang dan sudah membalik ketika Kim-mou-eng menghindar. Dan ketika Kim-mou-eng berseru keras dan laki-laki pertama juga maju kembali membentak dengan goloknya tiba-tiba pendekar ini sudah dikurung dan dihujani serangan golok yang bertubi-tubi.

Terpaksa, Kim-mou-eng berlompatan, menangkis dan menyuruh orang-orang itu tak menyerangnya lagi dan menghentikan pertempuran. Tapi ketika hujan serangan semakin menghebat dan seruannya itu seolah merupakan api dalam sekam yang membara mendadak pendekar ini disambut lengkingan dan pekikan panjang ketika tak satupun dari tiga golok itu mampu menyentuh tubuhnya.

“Pendekar Rambut Emas, tak perlu banyak cakap lagi. Kau mampuslah atau kami yang mengorbankan nyawa!”

Kim-mou-eng sudah dikerubut. Dia dikeroyok dari kiri kanan di tiga penjuru, bahkan muka belakang karena tiga orang itu mulai berpindah-pindah tempat mengikuti gerakannya yang melompat-lompat. Cepat sekali dan sebentar kemudian membuat pendekar ini kewalahan dan ruang geraknya dipersempit. Dan ketika Kim-mou-eng masih juga berteriak, tapi lawan memperhebat serangan mendadak Sin-to Sam-enghiong lenyap membentuk bayangan tiga golok terbang!

“Ah, Sin-to Sha-kak-tin (Tiga Kedudukan Golok Sakti)...!” Kim-mou-eng berseru kaget, membelalakkan mata dan kagum oleh tiga bayangan sinar golok yang luar biasa itu, mengelilingi dirinya tanpa henti sementara desing golok juga semakin tajam mengiris kulit, sebentar saja bajunya robek-robek oleh hawa sinar golok itu, belum tersentuh senjatanya sendiri. Dan ketika Kim-mou-eng memuji kagum dan dia harus menangkis ke sana ke mari maka untuk pertama kalinya lengan bajunya robek disambar golok.

“Bret!” Kim-mou-eng terkejut. Dia melihat tiga pendekar golok ini memang hebat, jauh di atas Sin Kok maupun Hwi Ling. Merupakan lawan berat yang cukup tangguh. Dan karena mempertahankan diri tanpa membalas adalah cukup berbahaya maka dengan menyesal pendekar ini terpaksa membentak mengeluarkan Tiat-lui-kangnya itu, Tamparan Tangan Petir.

“Sam-wi enghiong, maafkan aku. Kalian memang cukup hebat, aku terpaksa membalas!” Kim-mou-eng memperingatkan lawan, kali ini menjejakkan kaki melompat tinggi menggerakkan kedua lengannya itu, meledak dan tiba-tiba membentur tiga golok di tangan Sin-to Sam-enghiong. Dan ketika lawan terkejut dan Kim-mou-eng meluncur kembali tiba-tiba pendekar ini telah memutar pinggang melepas Tiat-lui-kangnya itu, langsung menampar.

“Plak-plak-plak!”

Tiga pendekar golok itu berteriak. Mereka terpental mundur, terdorong oleh pukulan Kim-mou-eng yang membuat senjata mereka panas bagai disentuh api, hampir saja melepaskan golok! Dan ketika Kim-mou-eng kembali bergerak dan mereka menangkis mendadak golok mengeluarkan lelatu api disentuh pukulan Tia-lui-kang.

“Crang!”

Sin-to Sam-enghiong terkejut. Mereka merasa golok di tangan seolah terbakar, persis disambar petir. Dan ketika mereka mencelos melihat golok hangus kebiruan mendadak Kim-mou-eng berseru untuk ketiga kalinya.

“Sam-wi enghiong, maafkan aku... plak-plak!” dan dua orang diantara mereka yang terpaksa membanting tubuh bergulingan akhirnya menjerit melepaskan golok mereka, tak tahan oleh hawa panas yang menjalar sampai ke telapak tangan mereka. Begitu menyengat, tiada ubahnya aliran listrik! Dan ketika seorang diantaranya harus mengelak dan membanting tubuh bergulingan pula maka tiga pendekar golok ini melompat bangun memandang Kim-mou-eng, semuanya pucat.

“Tiat-lui-kang...!”

“Ya, benar. Dan sekarang kalian mau menghentikan pertempuran, sam-wi enghiong?” Kim-mou-eng berhenti, berdiri tegak memandang tiga orang lawannya itu dengan mulut tersenyum.

Tapi Sin-to Sam-enghiong yang tiba-tiba saling pandang dan merah mukanya mendadak maju kembali menerjang marah. “Tidak, kami tak jera, Kim-mou-eng. Kami siap membela Beng-suheng (kakak Beng) dengan taruhan nyawa kami... wut-sing!” dan tiga golok yang kembali bersiutan menyambar-nyambar tiba-tiba membuat Kim-mou-eng gelap mukanya dan tidak senang, terpaksa menangkis dan kembali meledakkan Tiat-lui-kangnya itu. Tapi Sin-to Sam-enghiong yang tak berani menangkis dan selalu melencengkan senjata menghindari pukulan Tiat-lui-kangnya akhirnya membuat pertempuran menjadi seru dan sengit seperti semula.

Kim-mou-eng mengerutkan alis. Dia melihat persamaan orang-orang ini dengan Sin Kok dan Hwi Ling. Yakni keras kepala dan tak tahu diri. Tak tahu bahwa sesungguhnya dia masih bermurah hati pada tiga pendekar golok itu. Hanya membuat hangus golok mereka bukan tubuh mereka. Karena kalau dia mengerahkan semua Tiat-lui-kangnya itu tentu tubuh tiga orang lawannya ini bakal hancur, bisa menjadi perkedel karena pukulan Tiat-lui-kangnya memang tiada ubahnya dengan petir sendiri. Maka melihat lawan nekat menyerang dan mereka minta dihajar lebih keras akhirnya pendekar ini menggigit bibir terbawa kemarahan.

“Sin-to Sam-enghiong, kalian rupanya orang-orang sombong. Baiklah, kita selesaikan pertempuran ini dengan jalan kekerasan!” dan begitu Kim-mou-eng membentak dan maju membalas tiba-tiba tiga orang lawannya terpental mundur, terdorong oleh hawa panas yang mulai keluar dari lengan Pendekar Rambut Emas ini. Dan ketika Kim-mou-eng mulai mengebut dan dua tangannya menampar lebih keras mendadak sebuah golok langsung hancur ketika pemiliknya tak sempat menyelamatkan senjatanya.

“Krakk!”

Dua yang lain terkejut. Mereka melihat saudara mereka itu terjengkang, mengaduh dan seketika bergulingan mendesis-desis karena tangan yang memegang golok juga kebiruan, disambar pukulan Tiat-lui-kang yang menjalar cepat dari ujung golok sampai ke pergelangan tangan. Tentu saja tak dapat dipakai lagi. Dan ketika Kim-mou-eng bergerak dan seorang diantaranya lagi-lagi tak sempat menghindar maka dengan terpaksa orang kedua ini menangkis mempergunakan goloknya.

“Krekk!” Golok itupun hancur. Orang ketiga jadi pucat, melihat saudaranya nomor dua itu sudah berteriak dan menderita lebih hebat dari orang pertama, tangan sampai sikunya gosong kebiruan menerima Tiat-lui-kang. Dan ketika Kim-mou-eng kembali bergerak dan orang ketiga ngeri membabatkan goloknya maka Kim-mou-eng menangkis sekaligus menampar.

“Krak-dess!” orang terakhir inipun menjerit. Dia terlempar bergulingan bagai layang-layang putus talinya, pundak dan pangkal lengannya hangus kebiruan. Dan ketika dia melompat bangun dengan kaki menggigil dan muka pucat maka dua saudaranya yang lain juga berdiri di sebelahnya dengan mulut mendesis-desis. Gentar!

Kim-mou-eng maju menghampiri. “Bagaimana, kalian masih akan menyerang lagi, sam-wi enghiong?”

“Tidak,” orang tertua diantara mereka mengatupkan mulut. “Kami sudah kalah, Kim-mou-eng. Dan kau boleh bunuh kami agar sekalian menyusul Beng-suheng!”

“Hm,” Kim-mou-eng tersenyum getir. “Nyawa manusia bukanlah semut, sam-wi enghiong. Aku tak akan membunuh kalian karena kalian bukanlah musuhku.”

“Kau tak membunuh kami?”

“Tidak.”

“Kau bersungguh-sungguh?”

“Ah, pernahkah kalian mendengar aku main-main, sam-wi enghiong? Aku tak suka membunuh orang. Apalagi orang-orang macam kalian yang sudah berjuluk pendekar!”

Sin-to Sam-enghiong mendadak terpukul. Mereka semburat oleh kata-kata Kim-mou-eng itu, sungguh tak menyangka Kim-mou-eng tak membunuh mereka. Tapi dendam atas kematian kakak mereka di tangan Gurba, tiga orang laki-laki ini menggigit bibir. “Kim-mou-eng, kami tak akan sudah meskipun kau tak membunuh kami. Kau tak menyesal membebaskan kami?”

Kim-mou-eng menarik napas. “Sam-wi enghiong, sebenarnya yang bermusuhan bukanlah aku dan kalian. Melainkan kalian dengan suhengku itu. Sekarang kalian sakit hati padaku, padahal aku tak tahu apa-apa. Kenapa kalian berpikir cupat begini untuk dendam padaku pula? Tapi aku tak takut ancaman kalian, sam-wi enghiong. Kalau kalian masih sakit hati dan kelak mencari aku hal itu tak akan kuhindari. Hanya kusayangkan, kalian yang berjuluk pendekar masih juga berpikiran sempit dan kekanak-kanakan. Sungguh menyesal aku!”

Dan ketika orang-orang itu merah mukanya dan meringis menahan sakit bekas pukulan Tiat-lui-kang tiba-tiba Kim-mou-eng melempar sebungkus obat, berkata sungguh-sungguh, “Sam-wi enghiong, luka bekas Tiat-lui-kang tak gampang disembuhkan begitu saja. Kuharap kalian menerima obatku ini dan minumlah. Sehari tentu sembuh!” dan sementara orang kembali terbelalak dan tertegun oleh pemberiannya tiba-tiba Kim-mou-eng menjura. “Selamat tinggal, sam-wi enghiong. Kita akan berjumpa kelak...!”

Dan begitu pendekar ini tersenyum memutar tubuh mendadak bayangannya lenyap berkelebat meninggalkan tiga orang pendekar golok itu, yang tentu saja bengong dan semakin terpukul oleh kebaikan Pendekar Rambut Emas ini. Sungguh tak disangka! Tapi begitu lawan meninggalkan mereka dan mereka juga sadar dari rasa bengongnya tadi tiba-tiba Sin-to Sam-enghiong bergerak mengambil bungkusan obat penawar luka bekas pukulan Tiat-lui-kang itu.

“Aneh... pendekar yang aneh...!”

Dua saudaranya yang lain juga mengangguk. “Ya, Kim-mou-eng memang aneh, twako. Sungguh tak kukira kalau dia membalas kemarahan kita dengan kesabarannya yang luar biasa itu. Sungguh Pendekar Rambut Emas itu orang yang aneh!”

“Dan kepandaiannya luar biasa sekali, ji-heng. Kita benar-benar bukan tandingannya!” orang ketiga berseru, ngeri dan gentar memijat pergelangannya yang bengkak. Dan ketika dua yang lain mengangguk dan sama-sama mengakui akhirnya orang tertua diantara mereka berkata,

“Kita sekarang harus menambah kepandaian kita, sute. Kita mungkin harus berlatih sepuluh atau duapuluh tahun lagi untuk mencari Kim-mou-eng! Bagaimana pendapat kalian?”

“Ya, kita pulang saja, twako. Kita harus tahu diri dan memperdalam ilmu silat kita!”

“Kalian setuju?”

“Tentu.”

“Baik, kalau begitu mari kita pergi!” dan begitu semuanya mengangguk dan berangkat meninggalkan tempat itu maka hutan pinus itupun sepi kembali seperti semula.

Kim-mou-eng juga sudah tak ada di situ. Pendekar ini telah jauh berada di timur, melanjutkan perjalanannya dengan kening berkerut-kerut. Dua kali mendapat gangguan tak enak gara-gara perbuatan suhengnya, hal yang membuat ia terkejut dan heran, di samping penasaran. Dan ketika dia coba menyelidiki kebenaran cerita Sin Kok dan Sin-to Sam-enghiong itu dan mendapat kenyataan bahwa memang benar suhengnya membunuh empat dari Jit-liong Ciangkun dan menyerbu dengan suku bangsanya itu ke kota raja maka pendekar ini terhenyak dengan mata dibuka lebar-lebar, kaget bagai disengat Iebah.

Dia tak habis pikir, alasan apa yang membuat suhengnya itu menyerbu pedalaman? Semata mencari dirinya? Rasanya tak mungkin. Suhengnya itu tak akan melakukan tindakan gila-gilaan hanya untuk urusan seperti itu, hanya karena ia meninggalkan suku bangsa Tar-tar dan masuk ke wilayah kota raja. Tidak, ia tak percaya! Dan ketika dia mencari berita lebih lanjut dan mendengar kaisar memberikan hadiah selir pada suhengnya itu mendadak pendekar ini melongo.

Lho, apa lagi ini? Bagaimana musuh yang sudah dirugikan malah memberi hadiah? Dan katanya suhengnya telah menerima itu. Suku bangsa Tar-tar telah mundur kembali dan kini mengikat persahabatan dengan kaisar. Kim-mou-eng jadi semakin bingung. Dia sungguh tak mengerti jalan cerita sebenarnya. Dan karena semuanya itu merupakan teka-teki yang membuat dia penasaran akhirnya Kim-mou-eng memutuskan untuk mencari suhengnya ini. Sama sekali tak tahu bahwa suhengnya juga mencari dirinya, bergabung dengan Salima.

Dan karena dua kakak beradik itu siap menuntut tanggung jawabnya untuk perbuatannya yang “berkhianat” pada suku bangsa Tar-tar maka pendekar ini ibarat seekor harimau yang terjebak memasuki sarang naga. Tak menduga sedikit pun juga bahwa justeru dari suhengnya itulah dia akan celaka. Tapi karena semuanya itu tampaknya memang sudah permainan cerita dan Kim-mou-eng juga memang tidak tahu maka biarlah kita lihat saja apa yang terjadi.

* * * * * * * *

Mari kita tinggalkan sejenak perjalanan Kim-mou-eng itu. Kita beralih sebentar ke kota Ceng-tu, kota dimana tinggal Bu-kongcu bersama gurunya itu, si datuk sesat Sai-mo-ong. Dan karena kita tahu datuk sesat itu telah mengukur kepandaian Kim-mou-eng bersama rekannya si iblis wanita Tok-gan Sin-ni maka sore itu tampak kesibukan yang agak lain di rumah Bu-kongcu.

Tidak seperti biasa, sore itu Sai-mo-ong menjamu tamu-tamu istimewa. Tok-gan Sin-ni tampak di situ, ditambah lagi dengan tiga tamu baru yang terdiri dari sepasang kakek cebol berkulit hitam dan seorang kakek lain yang mulutnya tersenyum-senyum tapi matanya keji berkilat-kilat. Siapa mereka itu kalau bukan Hek-bong Siang-lo-mo dan Siauw-bin-kwi?

Memang benar, itulah Hek-bong Siang-Io-mo dan Siauw-bin-kwi. Sai-mo-ong telah mengundang tiga sahabatnya dari Jit-mo Kang-ouw ini, termasuk Tok-gan Sin-ni yang belakangan ini sering berkunjung. Tepatnya sejak mereka mengadu kepandaian bersama Kim-mou-eng dan Salima dan mendapat kenyataan bahwa Pendekar Rambut Emas itu memang hebat.

Kejadian dulu itu telah membuat dua datuk ini penasaran. Mereka geram dan marah, harus mengakui keunggulan lawan bila mereka bertanding satu lawan satu. Dan karena Bu-kongcu juga tergila-gila pada Tiat-ciang Sian-li Salima dan merengek pada gurunya agar menangkap gadis Tar-tar yang luar biasa itu akhirnya Sai-mo-ong mendongkol dan marah pula pada muridnya ini.

“Gadis itu bukan kucing betina yang jinak, Bu Ham. Kau harus tahu itu dan jangan merajuk seperti anak kecil!”

“Aku tahu. Dan justeru karena itu aku ingin memilikinya, suhu. Aku minta tangkaplah dia dan jadikan dia sebagai isteriku!”

“Kau kira gampang? Kau main-main?”

“Tidak, aku bersungguh-sungguh, suhu. Kalau kau tak dapat menangkapnya seorang diri kau dapat minta bantuan bibi Tok-gan Sin-ni!”

Sai-mo-ong mendelik. “Bu Ham, kau rupanya mabuk kepayang seperti bocah tidak waras! Bukankah banyak wanita-wanita lain yang dapat kau peroleh? Jangan macam-macam seperti itu. Kubunuh kau nanti!”

Bu Ham tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut. “Suhu, teecu (aku) rela kau bunuh. Aku tak akan menghentikan permintaanku ini. Kalau kau tak dapat memenuhi permintaan muridmu lebih baik kau bunuh aku agar tidak menanggung rindu dan sengsara seperti ini!”

Bu Ham menangis, membuat gurunya terkejut dan tertegun memandang sang murid, kaget juga oleh kenekatan muridnya ini. Tapi membentak dan reda oleh sikap Bu Ham yang sungguh-sungguh akhirnya datuk ini mengangguk tapi menendang muridnya itu.

“Baiklah, pergi kau. Kuturuti permintaanmu!”

Dan Bu Ham yang mencelat terlempar oleh tendangan gurunya ini akhirnya berseru girang mendengar janjinya itu. Tahu bahwa permintaannya terkabul. Gurunya akan meminta Tok-gan Sin-ni membantu agar meringkus Salima si gadis Tar-tar yang hebat. Tapi ketika Tok-gan Sin-ni mendengar dan tertawa mengejek tiba-tiba Bu Ham dipanggil.

“Bocah, kau benar-benar tergila-gila pada kucing betina itu?”

Bu Ham tak malu-malu. “Ya, aku jatuh cinta padanya, bibi. Mohon kau membantu suhu menangkap gadis itu. Aku tak dapat tidur setiap malam!”

“Hi-hik, kalau begitu bagaimana jika aku tak mau membantu?”

Bu Ham terkejut.

“Ayo, bagaimana kalau aku tak mau membantu?”

Bu Ham tiba-tiba menangis. “Bibi, sukalah kau mengasihani aku. Aku benar-benar mabuk kepayang pada gadis pujaanku itu. Kau tolonglah aku... kau tolonglah suhu...”

“Hm!” Tok-gan Sin-ni membentak. Kau hanya memikirkan nasib dirimu saja, Bu Ham. Kau tak memikirkan nasib muridku yang juga tergila-gila padamu!”

Bu Ham terkejut. “Leng Hwat?”

“Ya, siapa lagi? Bukankah kau berhubungan dengan muridku itu?”

“Ah,” Bu Ham mengelak. “Hubungan kami tak ikat-mengikat, bibi. Aku dan dia sama-sama melakukan itu kalau lagi sama-sama mau!”

“Jadi tak serius?”

“Benar, bibi. Kami memang tidak serius.”

“Kalau begitu bagaimana jika kucing betina yang kau puja tak suka padamu?”

“Aku akan memaksanya, bibi. Kalau dia telah menjadi isteriku dan hamil oleh hubungan suami isteri tentu lama-lama dia menerima juga. Asal bibi membantu!”

“Hm, kalau aku tak mau?”

“Jangan menolak, bibi.” Bu Ham pucat. “Suhu juga sering menolongmu kalau kau menemui kesulitan!”

“Keparat, kau minta aku membayar budi kebaikan gurumu? Sialan, kurobek mulutmu Bu Ham, kau lancang... plak-plak!”

Dan Bu Ham yang mendapat gaplokan dua kali tiba-tiba terjengkang dan ditinggal pergi wanita itu, mengaduh dan melapor pada gurunya akan perbuatan bibinya itu. Dan ketika Sai-mo-ong marah dan mencari wanita ini maka Tok-gan Sin-ni berkacak pinggang berkata menantang.

“Mo-ong, kau tahu diantara kita pantang bicara soal budi dan segalanya itu. Itu adalah urusan orang-orang bersih, kita dicap sebagai orang sesat! Masa muridmu begitu kurang ajar bicara tentang budi dan hutang? Kalau dia mau bantuan harus bersikap baik, jangan kurang ajar seperti itu!”

Mo-ong melotot. “Tapi kau tak perlu menamparnya, Sin-ni. Dia muridku, bukan muridmu!”

“Peduli apa?” wanita ini menarik urat. “Kalau muridku kurang ajar kau juga boleh menamparnya, Mo-ong. Aku tak akan peduli atau marah-marah sepertimu ini!”

Mo-ong tertegun. Mereka memang mempunyai semacam peraturan aneh, yakni tak perlu berbuat baik atau apa-apa yang bersifat baik kepada orang lain, terutama musuh. Bahkan menganggap perbuatan baik adalah busuk belaka karena itu adalah pura-pura. Memegang semacam peraturan bahwa yang baik adalah munafik. Jadi tak perlu berbuat baik karena yang baik itu adalah omong kosong belaka, milik orang-orang sombong yang menamakan dirinya pendekar. Dan karena mereka adalah orang-orang sesat yang pikirannya jungkir balik tak karuan maka Mo-ong dapat menerima dan justeru menegur muridnya itu.

“Benar, kau yang salah, Bu Ham. Kalau kau mau minta tolong pada bibimu seharusnya tak perlu mengungkit-ungkit tentang jasa dan utang budi. Kita adalah orang-orang sesat, apa yang kita lakukan sudah terhitung dalam timbal balik yang sama. Bibimu juga pernah menolong aku!”

Bu Ham marah. Dia tak mau disalahkan, tapi karena dia butuh bantuan Tok-gan Sin-ni untuk menangkap Salima yang diketahui bersama Kim-mou-eng maka pemuda ini mengangguk dan perintah gurunya itu diturut. Dia minta maaf, diketawai Tok-gan Sin-ni yang menjengek kepadanya. Dan ketika kembali dia mengulang permintaannya tanpa menyebut-nyebut segala kebaikan gurunya mendadak wanita sakti itu melompat pergi mengejek padanya.

“Bu Ham, aku mual pada rengekanmu. Biarlah kau bantu sendiri gurumu itu, hi-hik...!”

Bu Ham tertegun. Dia melihat gurunya menyeringai, juga melompat pergi dan meninggalkannya sendirian. Dan ketika seminggu itu dia merengek tapi tetap juga tak berhasil mendadak keesokan paginya dia dipanggil wanita sakti itu, disuruh ke kamarnya.

Bu Ham dag-dig-dug. “Ada apa, bibi?”

Tok-gan Sin-ni terkekeh. “Kau tak marah padaku?”

“Marah tentang apa?”

“Aku tak mau membantumu! Persoalan gadis Tar-tar itu!”

Bu Ham terdiam, menggigil kakinya. Sebenarnya dia marah dan benci sekali pada sahabat gurunya ini. Kalau saja dia mampu, mungkin sudah dicekiknya wanita bermata satu ini. Tapi Bu Ham yang cerdik dan dapat melihat keadaan dan pengalamannya bergaul dengan orang-orang sesat tiba-tiba malah tertawa dan menjatuhkan diri berlutut. “Bibi, aku tak marah sama sekali biarpun kau menolaknya. Aku sudah punya jalan, rencanaku pasti berhasil.”

“Hm, jalan apa? Rencana apa?”

Bu Ham yang berotak encer langsung menjawab, “Aku akan meminta teman-teman suhu yang lain membantu, bibi. Seperti paman Siauw-bin-kwi itu atau Hek-bong Siang-lo-mo. Mereka pasti mau membantu. Aku yakin!”

Tok-gan Sin-ni tampak terkejut. “Kau sudah bertemu mereka?”

“Sudah!” Bu Ham menjawab seenaknya, bersikap gembira dan tertawa ringan memandang wanita itu. “Aku sudah bertemu mereka, bibi. Dan suhu siap mengundangnya.”

“Bohong!” Tok-gan Sin-ni tiba-tiba berkelebat, menyambar leher baju pemuda ini. “Kau bohong, Bu Ham. Kau dusta padaku!”

“Bu Ham terkejut, sesak napasnya. “Aku tidak bohong, bibi. Kau boleh tanya suhu kalau tidak percaya!”

“Kau tidak main-main?”

“Kenapa main-main? Kau tak mau membantuku, bibi. Karena itu aku cari yang lain karena mungkin kau takut pada Kim-mou-eng dan sumoinya itu!”

“Plak...!” Tok-gan Sin-ni tiba-tiba menampar, membuat Bu Ham mencelat membentur tembok. “Aku tak takut pada Kim-mou-eng atau siapapun, Bu Ham. Aku tak mau membantu karena aku muak padamu!” dan ketika Bu Ham melompat bangun dan Tok-gan Sin-ni merah mukanya maka wanita sakti ini mendesis, “Bu Ham, siapa mengajarimu begitu lancang menyebut aku takut? Gurumu?”

Bu Ham terkejut. Dia gentar melihat wanita ini marah, menyebut-nyebut nama gurunya dan persoalan bisa runyam. Karena sesungguhnya dia sendiri yang berkata begitu untuk melepas kejengkelannya. Dan ketika Tok-gan Sin-ni kembali membentak dan bertanya siapa yang mengajari dia berkata begitu mendadak Bu Ham tertawa getir bangkit berdiri.

“Bibi, tak ada siapa-siapa yang mengajari aku. Aku sendiri yang berkata begitu. Aku mendongkol padamu.”

“Hm, bukan gurumu?”

“Bukan.”

“Kau berani kubunuh kalau bohong?”

Bu Ham semakin tertawa pahit. “Tok-gan Sin-ni, jangan kau mentang-mentang di tempat ini. Ini adalah rumahku. Kalau kau membunuh aku maka suhu juga akan membunuh muridmu dan menuntut tanggung jawabmu. Tak perlu menggertak!”

Tok-gan Sin-ni terkejut. Bu Ham tidak lagi menyebutnya “bibi”, melainkan namanya begitu saja karena pemuda ini mendongkol. Menunjukkan kemarahannya. Dan Tok-gan Sin-ni yang tersenyum teringat sangkalan Bu Ham tiba-tiba sadar dan maklum bahwa pemuda ini telah mengibulinya. Hal yang membuat Bu Ham justeru tertegun.

“Hi-hik, kiranya kau mempermainkan aku, Bu Ham. Sekarang kau menunjukkan bahwa sesungguhnya kau marah padaku karena aku tak membantumu! Hayo, berani kau bilang bahwa sesungguhnya kau tidak marah padaku?”

Bu Ham terbelalak.

“Dan kau juga menipuku tentang Siauw-bin-kwi dan Hek-bong Siang-lo-mo itu, Bu Ham. Sekarang aku tahu bahwa semuanya itu adalah hasil rekaanmu belaka!” dan ketika Bu Ham menjublak dan Tok-gan Sin-ni mengetahui akalnya maka pemuda ini telah disambar wanita sakti itu.

“Bu Ham, ayo jawab sekarang. Maukah kau kubantu menangkap gadis Tar-tar itu?”

Bu Ham seakan tak percaya. “Bibi bersungguh-sungguh?”

“Cerewet, jawab dulu pertanyaanku itu. Maukah kau kubantu menangkap kucing betina itu?”

“Ah,” Bu Ham tentu saja girang bukan main, melihat perubahan keadaan itu. “Tentu saja mau, bibi! Siapa bilang tidak? Kenapa baru sekarang menyatakan kesediaan ini?”

Tok-gan Sin-ni melepaskan cekalannya. “Untuk melihat kesungguhanmu, bocah. Kau setengah-setengah atau tidak!” dan ketika Bu Ham tertawa dan menjatuhkan diri mengucap terima kasih tiba-tiba Tok-gan Sin-ni mendengus. “Jangan buru-buru, Bu Ham. Aku masih ada syarat untuk semua bantuanku ini. Kau sanggup?”

“Sanggup, bibi.” Bu Ham langsung menjawab. “Aku sanggup melakukan apa saja asal aku mampu!”

“Hm, tentu kau mampu,” Tok-gan Sin-ni bersinar matanya. “Kau mampu melakukannya, Bu Ham. Tapi tak tahu apakah kau mau melakukannya!”

“Apa itu?”

“Mencumbu diriku!”

“Hah?”

“Ya, menjadi kekasihku sebelum kau dapatkan siluman betina itu. Kau mau?”

Bu Ham menjublak. Dia bengong mendengar pertanyaan ini, sungguh tak mengira kalau wanita sakti itu ingin menjadi kekasihnya. Padahal Tok-gan Sin-ni sudah berusia setengah abad! Tapi Bu Ham yang benar-benar membutuhkan bantuan wanita ini untuk memperoleh Salima tiba-tiba tersenyum dan bangkit berdiri, langsung memeluk wanita itu. “Bibi, kenapa baru sekarang kau katakan hasratmu ini? Dulupun kalau kau mau tentu aku suka melayanimu. Baik, aku siap menjadi kekasihmu dan melakukan apa saja untuk kesenanganmu!”

Dan Bu Ham yang tartawa melihat Tok-gan Sin-ni tersenyum tahu-tahu sudah mencium dan tak segan-segan memeluk wanita bermata satu itu, tak jijik pada mata tunggalnya yang tertutup kain hitam. Dan ketika Tok-gan Sin-ni terkekeh dan balas mencium tiba-tiba Bu Ham sudah dilempar ke atas pembaringannya.

“Bu Ham, ayo buka bajuku!”

Bu Ham tersenyum. Tok-gan Sin-ni sudah menubruknya, mendengus dan minta bajunya dibuka. Dan ketika dia tertawa dan membuka baju wanita itu maka berturut-turut Bu Ham telah melepas pula pakaian lainnya yang melekat di tubuh wanita itu, tertegun dan kagum juga melihat tubuh si wanita sakti yang masih kencang, singsat dan padat karena wanita ini dapat menjaga tubuhnya. Dan ketika Tok-gan Sin-ni juga membuka pakaian Bu Ham dan dua laki-laki dan perempuan itu saling pagut di atas pembaringan akhirnya mereka bergumul dengan tawa dan dengus ditahan.

Tok-gan Sin-ni ternyata ganas pula permainannya di atas ranjang. Wanita ini minta yang aneh-aneh, tapi karena Bu Ham juga seorang pemuda yang luas pergaulannya dengan pelacur dan wanita-wanita penghibur maka pemuda ini dapat melayani Tok-gan Sin-ni dengan amat baiknya. Tok-gan Sin-ni ternyata tergila-gila, tiga hari tak mau keluar dari kamar saking senangnya. Dan ketika hari keempat Leng Hwat mencari gurunya dan tertegun melihat gurunya bermain cinta dengan Bu Ham mendadak gurunya itu terkekeh dan menyuruh dia masuk.

“Leng Hwat, tutup pintu dan masuklah ke dalam!”

Leng Hwat terkejut. “Mau apa, subo?”

“Hi-hik, kau cemburu padaku, bukan?”

“Ah, tidak!” Leng Hwat pucat, berseru menggelengkan kepalanya. “Teecu tak merasa cemburu atau apapun, subo. Bu-kongcu milik siapapun kalau subo mau!”

“Kalau begitu masuklah, tutup pintu dan kita minta pemuda ini melayanimu!”

Tok-gan Sin-ni tertawa, berseru mengejutkan Leng Hwat dan Bu Ham yang sudah turun dari pembaringannya, terbelalak memandang Tok-gan Sin-ni. Tapi ketika wanita sakti itu mengibaskan rambutnya dan turun pula dari pembaringannya maka wanita ini tertawa memandang Bu-kongcu, kagum pada pemuda itu.

“Bu Ham, kau kuat sekali. Aku letih, ketuaanku ini benar-benar tak sanggup menambah tenaga lagi. Kau layanilah Leng Hwat, aku ingin menonton!”

Bu Ham terkejut, ingat pergumulannya selama tiga hari itu. “Tapi aku juga lelah, bibi. Masa aku...”

“Hm, kau tak menolak semua permintaan yang kuajukan, bukan? Kalau kau lelah kau dapat menelan ini. Obat ini khusus untuk laki-laki, kau terimalah...!” Tok-gan Sin-ni melempar sebutir kapsul, obat pembangkit nafsu dan tertawa memandang Bu Ham. Dan ketika Bu Ham menerima dan terbelalak memandang wanita itu maka Tok-gan Sin-ni ganti memandang muridnya.

“Leng Hwat, sekarang kau ajak Bu Ham bermain cinta. Ayo, aku lelah. Aku ingin menonton kalian bertarung!”

Leng Hwat tertegun. Dia tak menyangka gurunya memberi perintah seperti itu, tapi karena dia juga bukan wanita baik-baik dan semua perbuatan buruk sudah biasa dia lakukan tiba-tiba Leng Hwat tersenyum dan mengangguk, langsung melepas bajunya dan telanjang bulat di depan Bu Ham. Dan ketika Bu Ham terbelalak dan obat pemberian Tok-gan Sin-ni sudah dia telan tiba-tiba pemuda ini mendengus dan menyambar murid Tok-gan Sin-ni itu.

“Leng Hwat, kau cantik...!”

Leng Hwat tertawa. Tok-gan Sin-ni juga tertawa, melihat bekerjanya obat yang begitu cepat. Dan ketika Bu Ham mencium dan pemuda itu sudah membanting tubuh bergulingan bersama Leng Hwat akhirnya wanita sakti ini menonton “pertandingan” itu, melihat keduanya saling pagut dan tertawa-tawa. Sebentar kemudian lekat menjadi satu seolah lintah yang menempel, ketat tak malu-malu lagi. Ditonton Tok-gan Sin-ni yang bersinar-sinar matanya dan sering tertawa melihat adegan-adegan yang lucu. Dan ketika pertandingan itu semakin seru dan Leng Hwat mulai merintih akhirnya Tok-gan Sin-ni bangkit nafsunya dan timbul keinginannya yang baru!

“Bu Ham, kau layani kami berdua!”

Bu Ham terkejut. Dia melihat Tok-gan Sin-ni menyela diantara mereka, menubruk. Tapi karena dia telah dimabuk nafsu dan permainan itu amat menggairahkan maka Bu Ham tertawa dan menyambut wanita ini, dikeroyok dan sebentar kemudian bergulingan kesana-sini. Dan ketika mereka bertiga bertingkah semakin gila akhirnya pergumulan di dalam kamar itu tak pantas disaksikan lagi. Baik Bu Ham maupun Tok-gan Sin-ni sama-sama menjadi hamba setan, tak lagi mempedulikan norma-norma susila. Menjadi hamba nafsu berahi yang tiada putus menimba kenikmatan.

Dan ketika Bu Ham telah menjadi “milik” dua wanita cabul ini dan Tok-gan Sin-ni maupun Leng Hwat sama-sama memuji kekuatan Bu Ham yang luar biasa, akhirnya beberapa hari kemudian Hek-bong Siang-lo-mo dan Siauw-bin-kwi muncul. Mereka datang atas permintaan Sai-mo-ong karena iblis ini mendapat permintaan pula dari Bu Ham, yang secara cerdik dan diam-diam telah membujuk gurunya itu. Khawatir Tok-gan Sin-ni mengingkari janji. Dan ketika seminggu kemudian tiga iblis tua itu muncul mengherankan Tok-gan Sin-ni yang tidak tahu muslihat Bu Ham maka sore itu mereka berhadapan di meja besar.

“Ha-ha, kau sekarang tampak cantik, Sin-ni. Rupanya kau telah menyedot tenaga segar dari pemuda pilihan!” Siauw-bin-kwi sore itu mengeluarkan suara, tertawa melihat wajah yang berseri dari nenek ini. Tahu kesukaan Tok-gan Sin-ni dan maklum bahwa wanita itu telah “menyedot” tenaga baru dari seorang pemuda yang segar, dipandang dengan mulut tersenyum dan mata berminyak oleh Hek-bong Siang-lo-mo yang kagum pada nenek ini. Dan ketika Tok-gan Sin-ni tersenyum dan terkekeh ditahan maka Sai-mo-ong menepuk tangannya.

“Siauw-bin-kwi, Tok-gan Sin-ni memang telah mendapatkan kesukaannya di sini. Muridku telah melayaninya dua minggu penuh. Kau iri pada keberuntungannya?”

“Aih...!” Siauw-bin-kwi terbelalak. “Muridmu sendiri yang dilahap nenek ini, Mo-ong? Kau tak mencegahnya? Awas, salah-salah darah muridmu disedot pula. Sungguh nenek ini tak tahu diri!”

Mo-ong tertawa. “Kau tak perlu khawatir, Siauw-bin-kwi. Kami semua adalah teman. Sin-ni hanya main-main saja.”

“Dan kau masih kuat, nenek cantik?” Hek-bong Siang-lo-mo menimpali, menyeringai dan tampak bernafsu memandang nenek ini.

Tapi Tok-gan Sin-ni yang mendengus mencibirkan mulut justeru menjengek. “Lo-mo, kau tak perlu memandangku dengan mata berminyak. Aku tak sudi melayani kalian kakek-kakek cebol yang buruk!”

“Ah, tapi kami tak kalah dengan pemuda manapun, Sin-ni. Coba dulu kalau ingin bukti!”

“Ha-ha!” Siauw-bin-kwi tertawa bergelak. “Memang omongan mereka benar, Sin-ni. Hek-bong Siang-lo-mo telah mengerjai tujuh wanita Tar-tar hingga mereka mati. Dua kakek ini hebat meskipun cebol tapi, wah...!” Siauw-bin-kwi mengeluarkan kata-kata kotor, memuji kekuatan dua temannya ini yang dikata luar biasa. Memiliki tenaga kuda. Dan ketika Tok-gan Sin-ni mencibir dan Hek-bong Twa-lo-mo bangkit berdiri maka orang tertua dari Sepasang Iblis Kuburan itu menggoyang pantat.

“Sin-ni, kau boleh uji bokongku ini. Lihat, masih bulat dan kuat!”

Tok-gan Sin-ni bersinar matanya. Dia memang melihat bokong orang yang bulat dan kuat, tampak penuh tenaga. Tak kalah dengan bokongnya Bu Ham! Tapi ingin menguji dan tertawa mengejek tiba-tiba dia menyambar sumpit dan langsung menimpukkannya pada bokong orang. “Twa-lo-mo, coba kuuji kalau begitu. Awas...!”

Twa-lo-mo menyeringai. Dia menghentikan goyangan pinggulnya itu, melihat sambaran sumpit yang luar biasa cepat. Tapi tertawa tak mengelak serangan tiba-tiba dia menerima sambaran sumpit itu yang tepat mengenai bokongnya.

“Tass!” sumpit mental ke atas, jatuh dan membalik seperti mengenai barang dari karet. Tapi Tok-gan Sin-ni yang lagi-lagi berseru dan menyambarkan sumpit kedua tiba-tiba membentak mengerahkan tenaganya.

“Krek!” dan sumpit kali ini patah. Tok-gan Sin-ni terbelalak, kagum dan harus memuji bokong orang yang memang kuat, kenyal dan penuh seperti pinggul orang-orang muda. Tapi Hek-bong Twa-lo-mo yang terbahak mendemonstrasikan kekuatannya tiba-tiba meloncat dan mencium wanita ini.

“Sin-ni, kau sekarang harus memberikan imbalannya. Sumpitmu membuat nafsuku bangkit...ngok!” pipi Tok-gan Sin-ni yang tercium dengan suara keras disaat wanita itu tertegun tiba-tiba membuat wanita ini marah, kaget karena ia memang tak menduga. Dan ketika Twa-lo-mo mencoba untuk mencium pipi satunya mendadak wanita ini menampar dan menendang meja.

“Lo-mo, pergi kau... brakk!” meja terguling mengejutkan semua orang, hampir saja menimpa Siauw-bin-kwi dan dua temannya yang Iain. Tapi Hek-bong Twa-lo-mo yang sudah berjungkir balik melesat jauh tiba-tiba mengusap bibirnya yang berhasil mendaratkan satu ciuman di pipi lawannya, tertawa bergelak.

“Sin-ni, kau memang hebat. Pipimu masih halus...!”

Tok-gan Sin-ni marah, berkilat matanya. “Lo-mo, kau jangan main-main kepadaku. Kubunuh kau nanti!”

“Ha-ha, kau tak dapat membunuhku, nenek cantik? Jangan sombong, kaulah yang akan kutelanjangi dan kubuat tak berdaya!” dan ketika Hek-bong Twa-lo-mo melompat turun dan Tok-gan Sin-ni melompat maju tiba-tiba tanpa banyak cakap wanita sakti itu menyerang lawannya, bertubi-tubi memukul dan menampar. Tapi Hek-bong Twa-lo-mo yang mengelak berlompatan ke sana ke mari tiba-tiba menangkis dan untuk pertama kalinya beradu tenaga.

“Duk-dukk!”

Dua orang itu sama-sama tergetar. Baik Twa-lo-mo maupun Tok-gan Sin-ni sama-sama terdorong, masing- masing selangkah mundur. Tapi ketika keduanya hendak bergebrak lagi dan Siauw-bin-kwi bersorak gembira tiba-tiba Mo-ong sebagai tuan rumah meloncat maju, melerai di tengah.

“Lo-mo, Sin-ni, tahan kemarahan kalian. Tak perlu bertempur...!” dan ketika keduanya didorong minggir dan Tok-gan Sin-ni tampak penasaran maka Sai-mo-ong sudah berkata lagi, “Sin-ni, kita berkumpul bukan untuk mengadu jiwa. Melainkan menghadapi bersama Kim-mou-eng dan saudara-saudaranya itu. Kenapa harus tarik urat untuk persoalan begini? Hayo padamkan kemarahan kalian itu, dan Lo-mo harap tidak menggoda lagi!”

“Heh-heh, aku menggoda karena wanita ini masih menggairahkan, Mo-ong. Siapa salahkan mata lelaki menghadapi wanita begini menarik? Aku tak akan menggoda kalau kau dapat mencarikan gantinya. Ayo, mana dia itu?”

Sai-mo-ong tersenyum pahit. “Dia ada di beIakang, Lo-mo. Banyak kusiapkan wanita-wanita cantik kalau kau mau!”

“Sungguh?”

“Tentu. Muridku akan membantu kalian!” dan ketika Hek-bong Twa-lo-mo tertawa dan Tok-gan Sin-ni menjengek maka Sai-mo-ong sudah menyuruh keduanya duduk kembali, mengatur meja yang terjungkir-balik.

“Lo-mo, kalian katanya telah bertemu dengan si Singa Daratan Tandus itu. Benarkah?”

Hek-bong Siang-lo-mo tiba-tiba gelap mukanya. “Benar, dan kami mengeroyoknya bersama Siauw-bin-kwi ini, Mo-ong. Kau tahu darimana?”

“Aku mendengarnya dari kabar di luar. Katanya kalian kalah, benarkah?”

“Hm, siapa bilang?” Siauw-bin-kwi tiba-tiba bangkit bicara. “Kami melarikan diri bukan karena kalah, Mo-ong. Tapi karena sengaja untuk membuat onar dan huru-hara!”

“Maksudmu?”

“Kau sudah mendengar serbuan Jit-liong Ciangkun, bukan?”

“Ya.”

“Nah, itulah. Itu pekerjaan kami atas kesombongan si Singa Daratan Tandus itu. Aku mengadu dombanya. Mereka saling hantam dan sama-sama jatuh korban...!”

Pendekar Rambut Emas Jilid 10

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 10
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“SUMOI, kau tak perlu membenci Kim-sute. Ada aku di sini. Aku yang akan melindungimu, aku yang akan mencintaimu...!” dan Gurba yang sudah mengangkat wajah sumoinya untuk dicium tiba-tiba disambut gerakan Salima yang memberontak lepas, terkejut oleh perbuatan suhengnya itu. Dan ketika Gurba nekat dan hendak melanjutkan usahanya tahu-tahu Salima menendang dan menggaplok muka suhengnya itu!

“Twa-heng, apa yang mau kau lakukan? Lepaskan aku... plak-plak!”

Dan Gurba yang terhuyung mundur tiba-tiba sadar dan merah mukanya oleh ciuman yang gagal itu. Maklum bahwa sumoinya ini bukanlah Bi Nio yang lemah tak berdaya melainkan singa betina yang dapat melawan dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi! Dan Gurba yang tersipu oleh perbuatan sendiri tiba-tiba menunduk dan lirih memohon maaf.

“Maaf, aku... aku lupa diri, sumoi. Aku tak dapat menahan perasaan hatiku kepadamu...!”

Salima tertegun. Ia luluh oleh sikap suhengnya yang memelas ini, tampak terpukul dan malu pada perbuatan sendiri. Tapi Salima yang mengeraskan hati dan masih marah pada suhengnya berkata menegur, belum hilang kagetnya oleh kenekatan suhengnya yang hendak memaksa mencium, “Suheng, lain kali jangan berbuat begitu lagi. Kau tahu aku bukan wanita sembarangan!”

“Maaf,” Gurba semakin menunduk. “Aku tahu, sumoi. Aku tak akan mengulanginya.”

Salima reda kembali. Dia merasa berdebar juga oleh perbuatan suhengnya itu tadi, maklum suhengnya ini ada hati padanya tapi dia sendiri tak tergerak, tertambat hatinya pada sang suheng nomor dua, Kim-mou-eng. Tapi karena orang telah minta maaf dan Salima juga melihat twa-suhengnya itu menyesali perbuatan sendiri akhirnya gadis ini melupakan kejadian itu dan kembali bicara tentang ji-suhengnya.

“Twa-heng, apa yang sekarang harus kita lakukan dengan perbuatan ji-suheng itu? Dan kenapa kau ada di sini? Bagaimana dengan suku bangsa kita di luar tembok besar sana?”

Gurba mendadak murung. “Suku bangsa kita porak-poranda, sumoi. Aku keluar karena kita hancur di dalam!”

“Apa?” Salima terkejut. “Hancur bagaimana, suheng? Porak-poranda bagaimana?”

Gurba mengepal tinju. “Kita diadu domba oleh tiga iblis tua, sumoi. Bangsa Tar-tar hancur gara-gara tiga iblis ini!”

“Siapa mereka?”

“Hek bong Siang-lo-mo dan Siauw-bin-kwi!”

“Ah, siapa mereka itu?”

“Tiga dari Jit-mo Kang-ouw!”

Salima berseru kaget. Sampai di sini dia membelalakkan mata lebar-lebar, terkejut sekali. Tapi heran bagaimana bangsa Tar-tar yang demikian besar bisa hancur dan porak-poranda seperti kata suhengnya itu tiba-tiba Salima bertanya, menggigil suaranya, hampir tak percaya, “Suheng, bagaimana asal mula kejadian ini? Bagaimana bangsa kita menjadi hancur seperti katamu tadi?”

“Panjang ceritanya, sumoi.” Gurba mengerutkan kening. “Bermula dari kejadian suku U-fak yang dipimpin Uyin dan Unga.” dan ketika Gurba mulai menceritakan kejadian itu yang berawal dari perbuatan dua kakak beradik Uyin dan Unga yang ternyata adalah murid-murid Siauw-bin-kwi yang membunuh tujuh wanita hamil dari suku bangsa mereka.

aka Salima mendengarkan dengan penuh perhatian dan kening berkerut-kerut, berkali-kali mengeluarkan seruan marah ketika mendengar kekejaman kakak beradik itu, membelek perut wanita hamil dan mengeluarkan oroknya. Satu tindakan keji yang amat biadab. Dan ketika cerita meluncur pada tewasnya dua kakak beradik itu dan Siauw-bin-kwi muncul mengganggu perkemahan bangsa Tar-tar akhirnya Gurba mengepal tinju terkenang ini.

“Kakek iblis itu membuat huru-hara, sumoi. Dia membakar kemah dan membawa dua temannya yang lain, Hek-bong Siang-lo-mo yang cebol-cebol itu. Merekalah biang keladi, jahat dan kepandaiannya memang tinggi tapi kemudian melarikan diri setelah membuat onar!”

Salima merah mukanya. “Dan kau tak dapat membunuh musuh-musuhmu itu, suheng?”

“Inilah salahmu,” Gurba menyesali sumoinya ini. “Kau tak ada bersama kami, sumoi. Kalau saja kau ada tentu tiga iblis itu tak dapat main-main dengan bangsa Tar-tar!”

“Ah,” Salima cemberut. “Kau sendiri yang memberikan ijin padaku untuk keluar, suheng. Aku mencari ji-suheng karena dia meninggalkan kita untuk kelayapan ke Tionggoan. Kau tak dapat menyalahkan aku, ji-suhenglah yang salah!”

“Ya,” Gurba mengangguk, geram juga pada sutenya yang minggat itu. “Kau benar, sumoi. Kalau saja Kim-sute tak minggat meninggalkan kita tentu bangsa Tar-tar tak akan begini jadinya. Sekarang kita porak-poranda, bangsa kita hancur dipermainkan tiga siluman tua itu!”

Tapi Salima ingat sesuatu. “Tapi, suheng,” tanyanya tak mengerti. “Bagaimana bangsa kita begitu mudah dihancurkan? Bukankah kau dan teman-teman ada di sana?”

Gurba mengerutkan alis, mengarang cerita. “Aku tak ada di sana waktu itu, sumoi. Aku meninggalkan mereka ketika Siauw-bin-kwi dan kawan-kawannya datang.”

“Eh, bagaimana ini?”

Gurba merah mukanya. “Aku mencari tiga iblis itu keluar, sumoi. Tapi ketika aku keluar justeru mereka masuk!”

Salima tertegun. “Begitukah?”

“Ya, begitu, sumoi. Dan mereka berhasil mengadu domba anak-anak buah kita hingga Siga dan Munga saling bermusuhan. Siga membunuh Munga dan terjadi kekacauan diantara dua pengikut pembantu-pembantu kita hingga pecah perang saudara dan masing-masing saling membunuh!”

Salima kaget bukan main. “Perang saudara, suheng?”

“Itulah yang terjadi, sumoi. Dan kekacauan ini ditambah lagi dengan datangnya pasukan kerajaan yang menyerbu bangsa kita,” Gurba tak tanggung-tanggung, merasa kepalang basah. “Dan aku menyesali sekali kejadian itu, sumoi. Aku datang ketika semuanya sudah hancur dan porak-poranda!”

Salima tiba-tiba menjerit. Gadis Tar-tar ini pilu dan marah sekali, terhuyung membayangkan suku bangsanya hancur begitu cepat. Tapi sadar dan marah mendengar pasukan kerajaan menyerbu datang mendadak gadis ini melejit dan terbang menuju kota raja!

“Suheng, kalau begitu kita bunuh kaisar dan orang-orangnya itu. Tentu Jit-liong Ciangkun menyuruh orang-orangnya membasmi bangsa kita!” Salima teringat pada kejadian diri sendiri, mengira Jit-liong Ciangkun membalas dendam atas perbuatannya di kota raja dulu bersama suhengnya nomor dua, Kim-mou-eng. Jadi semakin salah paham dan tidak karuan jalan ceritanya!

Dan Gurba yang terkejut melihat sumoinya marah tiba-tiba berkelebat menangkap lengan sumoinya itu. “Sumoi, tunggu. Tahan dulu...!”

“Tidak,” Salima mengipatkan lengan. “Aku ingin membunuh dulu orang-orangnya kaisar itu, suheng. Dan setelah itu kita bicara lagi!” Salima sudah meluncur terbang, cepat sekali mengerahkan ginkangnya meninggalkan sang suheng, yang terbelalak dan tertegun oleh keberingasan sumoinya ini.

Tapi Gurba yang khawatir dan tentu saja cemas akan nasib kaisar dan Jit-liong Ciangkun yang telah berbaik dengannya dan menjalin tali persahabatan tiba-tiba membentak dan mengejar sumoinya itu. “Sumoi, jangan terburu nafsu. Dengar dulu omonganku... plak!” Gurba menepuk pandak sumoinya itu, tepukan sekaligus totokan yang membuat Salima mengeluh, terguling kaget. Dan ketika gadis itu melompat bangun dan Gurba pucat memandang sumoinya maka raksasa tinggi besar ini buru-buru menyabarkan.

“Sumoi, maaf. Kita tak perlu ke kota raja tapi mencari dulu tiga biang penyakit ini. Kaisar dan orang-orangnya gampang dicari, mereka tak akan lari. Sebaiknya cari dulu Hek-bong Siang-lo-mo ini dan Siauw-bin-kwi!”

Salima marah. “Tapi Jit-liong Ciangkun berani mati menyerang bangsa Tar-tar, suheng. Ini tak dapat kubiarkan dan harus dibalas!”

“Sabar, berita terakhir menyatakan mereka itu juga diadu domba Siauw-bin-kwi dan teman-temannya ini, sumoi. Jadi terhadap tiga iblis tua inilah kita harus menuntut balas. Kau tekan dulu kemarahanmu. Kita cari dulu biang keroknya karena yang lain-lain gampang!”

Dan Gurba yang membujuk dan menyabarkan sumoinya dengan segala kepandaian akhirnya berhasil menyadarkan sumoinya akan kata-katanya itu. Bahwa kaisar dan orang-orangnya tak mungkin Iari, lain dengan tiga iblis yang membuat huru-hara ini, pangkal dari segala pangkal penyakit. Dan Gurba yang membujuk dan terus berusaha membujuk akhirnya mengajak sumoinya itu pergi mencari Siauw-bin-kwi dan kawan-kawannya.

“Sebaiknya kita cari tiga iblis ini, sumoi. Mereka dulu juga mencari-carimu untuk menantang adu kepandaian. Sungguh marah aku, dikira kau bersembunyi karena takut!” Gurba menyalakan api, membangkitkan kemarahan sumoinya dengan kata-kata bualan itu, menyentil tepat letak keberingasan sumoinya.

Dan Salima yang tentu saja marah mendengar ini langsung membanting kaki mengepal tinju. “Baik, kita cari mereka itu, suheng. Aku akan bertempur seribu jurus dengan mereka!”

Gurba girang. Ini siasatnya yang bagus, berhasil mengajak sumoinya mencari Siauw-bin-kwi dan kawan-kawannya itu. Dan karena semua sudah beres dan Salima menunda dulu kepergiannya ke kota raja akhirnya raksasa tinggi besar ini mengajak sumoinya cepat-cepat pergi khawatir sumoinya itu berubah pikiran lagi. Mumpung berhasil dibakar dengan tantangan Siauw-bin-kwi yang sengaja dia buat-buat. Dan begitu kakak beradik ini berkelebat keluar akhirnya Gurba mengajak sumoinya itu ke selatan mencari Siauw-bin-kwi dan dua kakek cebol Hek-bong Siang-lo-mo yang lihai tapi ganas!

* * * * * * * *

Agaknya, tiada orang sesial Kim-mou-eng. Dia telah kejatuhan getah dari nangka yang dinikmati Gurba. Tak tahu bahwa sumoinya dan kakak seperguruannya itu mencari-carinya, tak tahu pula bahwa perjuangannya membebaskan Cao Cun dan Wan Hoa juga sia-sia karena dua gadis cantik itu kembali ke Istana Dingin, atas kemauan sendiri dan bukan paksaan orang lain.

Ditambah kemarahan sumoinya yang telah dia cium, gara-gara bangkit gairahnya melihat sang sumoi yang demikian memikat, bibir yang merah basah dengan bola mata yang bening. Indah mempesona sebagaimana adanya gadis-gadis remaja. Dan Kim-mou-eng yang pagi itu duduk di sebuah kedai menikmati arak hangat tak tahu bahwa diam-diam sepasang muda-mudi memperhatikan dirinya dengan mata beringas.

Pagi itu dia lagi gundah. Tidak sadar, karena yang dia pikir adalah kebohongannya terhadap Cao Cun yang dia tinggal pergi. Juga tentang sumoinya yang melarikan diri tak mau ditemui, gara-gara ciumannya itu. Atau lebih tepat, gara-gara dia tak menanggapi cinta sumoinya yang sudah rela memberikan bibir untuk dicium itu. Dan dia yang juga heran tentang diri sendiri kenapa dia ragu-ragu berbicara tentang cinta mendadak menarik napas ketika untuk kelima kalinya dia meneguk araknya itu.

Pagi itu cukup indah. Burung pipit dan murai berkicau, bertengger di atas dahan tak jauh dari tempat duduknya. Maklum, kedai itu di pinggir jalan dan belum banyak orang berlalu-lalang. Suasana masih segar dan sejuk, matahari belum menyengat benar hingga kulit merasa hangat. Dan ketika secara tak sengaja dia melihat sepasang pipit bercumbu di atas dahan tiba-tiba Kim-mou-eng tersenyum.

Dia jadi teringat ketika dia mencium mulut sumoinya itu, persis sepasang pipit yang kini berdekatan di atas pohon, saling mendekatkan muka dan paruh mereka bertemu, bergerak dan mengeluarkan cicitan perlahan sebagaimana layaknya burung bercumbu. Tak beda dengan manusia yang berbisik-bisik manja. Agaknya begitulah. Tapi ketika dia lagi asyik dan tersenyum memandangi sepasang burung ini mendadak sebatang sumpit menyambar dan langsung menusuk burung jantan yang ada di sebelah kanan. Dan persis sumpit pertama menyambar mendadak sumpit kedua juga bergerak, meluncur menembus pipit yang betina.

“Cep-cep!”

Dua ekor burung itu terguling roboh. Mereka seketika mati, tak sempat menggelepar karena dua sumpit itu menembus dada mereka. Dan ketika Kim-mou-eng terkejut dan memandang darimana asal sumpit melayang maka dua muda-mudi yang memperhatikannya sejak tadi tiba-tiba bangkit berdiri.

“Sin-ko, sumpitmu kalah dulu. Kau kalah cepat!”

“Tidak, kau yang kalah jitu, Ling-moi. Sumpitku biar lambat tapi lebih tepat mengenai jantung. Kau kalah jitu!” pemuda di sebelah membantah, mengambil dua ekor burung itu dan mengamati bersama.

Dan ketika si gadis berseru tertahan dan melihat kenyataan sumpitnya tidak tepat di tengah jantung mendadak si gadis membanting burung jantan hingga mencelat ke arah meja Kim-mou-eng! “Sialan, rupanya kepandaianku selalu begitu-begitu saja... crot!” bangkai burung itu mengenai arak Kim-mou-eng, tumpah dan seketika membasahi baju Pendekar Rambut Emas ini.

Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan terbelalak memandang dua muda-mudi itu mendadak dua muda-mudi ini membalikkan tubuh dan kembali ke mejanya sendiri, seolah-olah tidak tahu bahwa perbuatan si gadis menumpahkan arak Kim-mou-eng. Tidak minta maaf. Dan ketika Kim-mou-eng terbelalak dan marah melihat perbuatan orang tiba-tiba dua muda-mudi itu tertawa dan mengeluarkan kata-kata ejekan.

“Hi-hik, rupanya ada burung besar melotot pada kita, Sin-ko. Apakah perlu dikerjai lagi dengan sumpit?”

“Tak perlu. Biar dia mendongkol dulu, Ling-moi. Kalau macam-macam baru kita kerjai!”

Kim-mou-eng tertegun. Saat itu beberapa orang lain juga memandang mereka, rupanya heran dan kaget oleh perbuatan dua muda-mudi ini. Tapi Kim-mou-eng yang menahan kemarahan dan bersikap sabar tiba-tiba menggapai meminta sebotol arak baru. “Maaf, berikan padaku sebotol lagi, twako. Arakku tumpah ditimpa kucing!”

Sang gadis melotot, tiba-tiba membalik. “Siapa yang kau maksud kucing? Aku kah?”

Kim-mou-eng tersenyum. Dia melihat gadis ini masih berusia sembilan belasan tahun, cantik tapi sombong dengan sikapnya yang pongah. Melihat bajunya yang bagus tentu anak seorang kaya, mungkin hartawan. Tapi dia yang mendongkol pada perbuatan gadis ini tiba-tiba memutar tubuh dan pura-pura tidak tahu pertanyaan orang. “Twako, cepat arakku yang baru. Aku haus...!”

Gadis itu terang merasa terhina. Dia marah melihat Kim-mou-eng tak menggubrisnya, melihat pelayan datang dengan sebotol arak baru. Dan persis pelayan itu meletakkan arak di meja Kim-mou-eng tiba-tiba dengan cepat dan luar biasa dia menyambarkan sumpitnya yang lain ke botol arak ini.

“Prakk...!” Botol itu pecah. Kim-mou-eng dan sang pelayan terkejut, tentu saja marah oleh tumpahnya arak yang membanjir di atas meja. Dan Kim-mou-eng yang melotot tapi berusaha menahan sabarnya tiba-tiba mendesis bertanya perlahan, “Kenapa kau memecahkan botol arakku?”

Gadis itu, seperti tadi ketika Kim-mou-eng membalikkan tubuh tiba-tiba juga tak menggubris, memutar tubuhnya menghadap meja sendiri. Dan ketika Kim-mou-eng merah mukanya dan malu tak dijawab tiba-tiba si pemuda yang dipanggil Sin-ko terbahak.

“Ling-moi, si rambut emas ini melotot. Apa jawabmu kalau dia marah?”

“Huh, biar si sombong itu minum botolnya yang kosong, Sin-ko. Aku tak perlu menjawab karena dia juga tak menjawab pertanyaanku!”

“Ha-ha, kalau begitu biar dia pesan sebotol baru lagi, Ling-moi. Atau kalau dia berani biar minum dan makan saja semeja dengan kita!”

Kim-mou-eng mengerutkan alis. Dia marah, tapi melihat dua muda-mudi itu rupanya pongah dan dia harus menahan emosinya maka pendekar ini menarik napas duduk kembali menenangkan kemarahannya. “Pelayan, tolong ambil lagi sebotol yang baru. Aku tak mau membuat onar.”

Pelayan itu tertegun. “Dan yang pecah tadi, tanggung jawab siapa?”

“Tak perlu dipikir, bung pelayan. Masukkan dalam rekeningku dan biar aku yang bayar!”

Sang pelayan mengangguk, pucat mukanya dan kembali ke dalam mengambil arak baru. Tapi Kim-mou-eng yang melihat si pemuda bersiap menggetarkan sumpit di tangan kiri mendadak mengerutkan kening semakin dalam ketika pemuda itu memandang bersinar-sinar ke arah si pelayan yang membawa arak baru, datang mendekat di mejanya dan siap meletakkan arak itu. Tapi persis arak diangkat tahu-tahu sumpit di tangan si pemuda bergerak meluncur menghantam botol arak ini, rupanya sengaja membuat ribut. Dan Kim-mou-eng yang tentu saja tak mau bersabar lagi tiba-tiba mengebutkan lengan ke udara.

“Pelayan, letakkan arak itu dengan tenang. Ada lalat busuk mengganggu kita... wutt!” pelayan ini terkejut, melihat sumpit si pemuda menyambar dan sudah serambut saja jarak dari botol araknya, tiba-tiba dikebut dan sumpit mental seolah dipukul tenaga tak kelihatan, tahu-tahu membalik dan kini menyambar pemuda itu yang tentu saja terkejut melihat senjata makan tuan, meluncur dengan kecepatan luar biasa, hampir tak ada waktu untuk berkelit.

Dan si pemuda yang terpaksa menangkis dan bangkit berdiri tahu-tahu mengibaskan lengan bajunya dan berseru kaget ketika sumpit masih saja menembus dan menancap di ujung lengan bajunya itu! “Bret!” Pemuda ini terjengkang roboh. Dia merasa didorong kekuatan yang amat hebat, langsung terduduk pucat memandang Kim-mou-eng, tergetar dan merasakan sinkang lawan yang meluncur bersama sumpit itu, sungguh tak menyangka. Dan gadis baju merah yang ada di sebelah kirinya tiba-tiba melompat bangun menolong pemuda ini, berteriak tertahan.

“Sin-ko, kau tak apa-apa?”

Pemuda yang dipanggil Sin-ko itu menggeleng. Dia sudah bangkit berdiri, terbelalak memandang Kim-mou-eng. Tapi Kim-mou-eng yang tidak memandang kepadanya dan bersikap acuh menenggak arak ternyata tenang-tenang saja seolah kejadian itu tak ada di depan matanya. Sekejap telah mendemonstrasikan sinkangnya kepada lawan yang sombong. Dan pemuda itu yang tampak gentar tiba-tiba melompat keluar.

“Ling-moi, si Rambut Emas itu rupanya lihai. Biar kita tunggu dia di luar dusun!”

Gadis ini terkejut. Dia marah memandang Kim-mou-eng, yang juga tidak memandang padanya, masih acuh dengan keadaan sekitar dan minum araknya seorang diri. Tapi melihat temannya sudah keluar mendahului dan dia tinggal sendirian di situ tiba-tiba gadis ini melempar sekeping uang melampiaskan marah, menyambar ke meja Kim-mou-eng karena pelayan kebetulan berdiri dekat di tempat itu.

“Pelayan, terima pembayaran kami!”

Sang pelayan terbelalak. Gadis itu memang membayar makan minumnya, sekeping uang emas yang tentu lebih dari cukup. Tapi melihat uang itu menyambar Kim-mou-eng padahal laki-laki ini tampaknya tak tahu sambaran logam yang menuju lehernya itu mendadak pelayan ini pucat mukanya siap memberi tahu. Tapi aneh, Kim-mou-eng tersenyum padanya, tidak menengok ke arah uang yang menyambar lehernya itu. Namun persis uang mendekati lehernya tiba-tiba pendekar ini meraup dan tanpa menoleh telah ganti menyambar uang emas itu.

“Pelayan, rupanya nona ini terlalu royal padamu. Biarlah harga makananku dibayarnya juga!” Kim-mou-eng telah menangkap, menyerahkannya pada sang pelayan tapi diam-diam mengerahkan tenaga meremas uang itu. Dan ketika si pelayan menerima dan si gadis terbelalak tahu-tahu sang pelayan berseru kaget ketika uang emas itu hancur menjadi bubuk.

“Hei...!”

Si gadis pucat mukanya. Dia melihat uangnya, menjadi tepung logam di tangan sang pelayan yang marah padanya, mengira dia main-main. Maklum bahwa untuk kedua kalinya Kim-mou-eng telah mendemonstrasikan kepandaiannya yang hebat. Tapi gadis itu yang sudah memutar tubuh berseru marah tiba-tiba melompat keluar meninggalkan kedai arak itu.

“Hei, kau belum bayar, nona...!”

Kim-mou-eng tertawa. “Tak perlu dikejar, biar aku yang mengganti makan minum mereka, pelayan. Mungkin mereka kehabisan bekal!” Kim-mou-eng menancapkan sekeping uang emas lain, diam-diam mengambil bubuk uang emas yang hancur. Dan ketika si pelayan terbelalak tahu-tahu bubuk uang emas yang dikepal pendekar ini telah utuh kembali dan menjadi sekeping uang emas baru. Tak dapat dibedakan lagi dengan yang pertama!

“Ah, ilmu siluman...!”

Kim-mou-eng tersenyum, tahu bahwa semua mata tiba-tiba memandangnya, heran dan kagum. Tapi bangkit berdiri menepuk si pelayan tiba-tiba pendekar ini berkelebat lenyap seolah hantu. “Pelayan, terima kasih. Aku cukup menikmati arakmu...!”

Sang pelayan tertegun. Dia tentu saja mengira Pendekar Rambut Emas itu siluman, sebentar kemudian berteriak ribut karena tak melihat lagi bayangan pendekar itu, sama seperti majikannya dan orang-orang lain yang ada di situ. Kaget dan melongo karena pemuda yang aneh itu tak ada di kedai mereka lagi, hilang seperti asap. Dan ketika semua orang ribut-ribut membicarakan pendekar itu maka yang bersangkutan sudah melenggang keluar dusun.

Kim-mou-eng memang tak mau lama-lama tinggal di situ. Maklum sepasang muda-mudi itu menunggunya di luar, seperti tadi yang telah dia dengar dan sesungguhnya membuat pendekar ini heran karena dia tak merasa mempunyai permusuhan dengan orang. Jadi tak mengerti kenapa dua muda-mudi itu memusuhinya, sikapnya jelas tak bersahabat. Dan ketika dia tiba di luar dusun dan sudah menduga bakal dihadang ternyata benar dua muda-mudi itu berdiri di tengah jalan menantinya, mata mereka beringas, kedua-duanya mencabut pedang yang tadi disimpan di belakang punggung.

“Kim-mou-eng, berhenti. Kami akan menuntut balas!”

Kim-mou-eng berhenti. Dua orang muda itu telah melompat di depannya, memalangkan senjata, diam-diam membuat pendekar ini tertawa karena dia telah mengukur kepandaian orang dengan gebrakan di kedai arak tadi. Tahu bahwa dia tak perlu khawatir menghadapi muda-mudi yang entah siapa ini. Hal yang juga ingin dia ketahui. Dan melihat mereka melotot dan berkata akan menuntut balas tiba-tiba pendekar ini tersenyum dan memandang mereka dengan sabar.

“Kalian siapakah? Sudah mengenal namaku?”

Si pemuda menarik muka gelap. “Kami putera-puteri Ang-bin Ciangkun, Kim-mou-eng. Kami menunggumu untuk membalas kematian ayah kami!”

Kim-mou-eng terkejut. “Ang-bin Ciangkun? Seorang dari Jit-liong Ciangkun itu?”

“Ya, kami anaknya. Aku Ang Sin Kok, ini adikku Ang Hwi Ling!”

“Ah, ada apa dengan ayah kalian itu? Kenapa hendak menuntut balas?” Kim-mou-eng terang terkejut, mengerutkan alis karena dia mengenal panglima bermuka merah itu. Panglima yang gagah, yang dulu mengenalnya pertama kali karena panglima itu bertugas di utara, jadi tahu namanya karena berdekatan dengan bangsa Tar-tar.

Dan Ang Sin Kok yang gemetar memutar pedang tiba-tiba membentak marah memandang Pendekar Rambut Emas ini. “Kim-mou-eng, tak perlu kau berpura-pura. Ayah tewas gara-gara perbuatan suhengmu, kini kami datang untuk menuntut pertanggungjawabanmu atas perbuatan suhengmu itu!”

Kim-mou-eng membelalakkan mata. “Suhengku? Kalian mengenal suhengku pula?”

“Keparat, tak perlu bertanya-tanya, Kim- mou-eng. Sekarang serahkan nyawamu dan kami akan mencari pula suhengmu yang biadab itu... sing!” Sin Kok tiba-tiba menyerang, menusuk cepat leher lawan.

Dan membuat Kim-mou-eng terkejut mendengar sesuatu yang masih tidak jelas ini, tak tahu bahwa suhengnya telah membawa bangsa Tar-tar menyerbu kerajaan dan membunuh empat dari tujuh panglima naga, seorang diantaranya adalah Ang-bin Ciangkun itu. Tak mendengar karena dia sibuk dengan urusan pribadi, sama seperti Salima yang juga belum mendengar sepak terjang Gurba si Singa Daratan Tandus itu. Jadi merasa heran kenapa sekarang putera-puteri Ang-bin Ciangkun ini memusuhinya. Tapi melihat pedang menyambar dan Sin Kok tampak beringas sekali tiba-tiba pendekar ini mengelak menampar dari samping.

“Tunggu dulu, aku mau bicara... takk!” Sin Kok terpental pedangnya, terpelanting dan tentu saja kaget oleh tamparan Kim-mou-eng yang membuat senjatanya hampir terlepas, pedas dan panas serta sakit.

Tapi Hwi Ling yang gusar melihat kakaknya terpelanting mendadak memekik menggerakkan pedangnya pula. “Kim-mou-eng, tak perlu banyak cakap. Kami tak mau bicara denganmu... sing-singg...!” Hwi Ling sudah menerjang maju, membantu kakaknya dan sebentar kemudian melakukan tusukan atau bacokan bertubi-tubi, pedang menyambar-nyambar tak kenal ampun. Dan Kim-mou-eng yang tentu saja mengerutkan alis semakin dalam tiba-tiba melihat Sin Kok melompat bangun dan maju kembali bersama adiknya itu.

“Benar, kami tak mau mendengar bicaramu lagi, Kim-mou-eng. Kami menghendaki nyawamu dan karena itu mampuslah... wut-sing!” pedang Sin Kok juga bergerak membabat, membantu adiknya dan sebentar kemudian dua kakak beradik itu menyerang ganas, masing-masing saling mendahului dan tampak benci sekali memandang Kim-mou-eng.

Dan Pendekar Rambut Emas yang tentu saja mendongkol oleh sikap dua kakak beradik ini tiba-tiba menangkis mementalkan senjata lawan. “Sin Kok, kalian orang-orang muda yang berangasan. Aku tak tahu-menahu persoalan itu...plak-plak!”

Sin Kok dan adiknya menjerit. Mereka terpental oleh tangkisan Kim-mou-eng yang mempergunakan tangan telanjang, hebat menggetarkan karena lengan Pendekar Rambut Emas itu penuh getaran sinkang. Dan ketika dua kakak beradik itu nekat dan kembali menyerang dengan pedang mereka akhirnya Kim-mou-eng menunjukkan kelihaiannya yang luar biasa.

Saat itu Sin Kok membacok lehernya, tak dielak. Dan Hwi Ling yang juga menusuk lambungnya dengan tusukan sengit dibiarkan saja oleh pendekar ini, mengherankan dua kakak beradik itu yang justeru merasa girang, membentak menambah tenaga. Tapi begitu pedang mengenai tubuh pendekar ini mendadak Kim-mou-eng mengibas ke kiri kanan dan dua kakak beradik itu menjerit.

“Sin Kok, sekarang kalian robohlah... krak-krak!” pedang dua kakak beradik itu patah, membentur kekebalan Pendekar Rambut Emas yang telah melindungi diri dengan sinkangnya, tentu saja membuat dua kakak beradik itu kaget. Dan ketika mereka tertegun dan menjublak bengong tahu-tahu kibasan lengan pendekar ini menyambar mereka.

“Plak-dess!”

Sin Kok dan adiknya terlempar bergulingan. Mereka roboh tunggang-langgang, disapu angin pukulan lawan yang hebat luar biasa. Dan ketika mereka melompat bangun tapi lawan menggerakkan jari tahu-tahu Sin Kok dan Hwi Ling mengeluh ketika dua totokan mengenai pundak mereka.

“Tuk-tuk!” dua kakak beradik itu roboh terjengkang. Mereka kembali terbelalak, kaget dan ngeri memandang Kim-mou-eng. Tapi ketika Kim-mou-eng tertawa dan menggerakkan ujung kakinya tahu-tahu dua kakak beradik ini dibebaskan totokannya dan dapat melompat bangun, membuat dua kakak beradik itu tercengang!

“Nah, bagaimana, Sin Kok? Kalian masih mau bertempur lagi?”

Sin Kok dan adiknya tertegun. Mereka jelas bengong, mengakui kekalahan yang begitu mudah. Tapi Hwi Ling yang terisak menangis tiba-tiba menerjang menghantam pendekar itu. “Kim-mou-eng, kau boleh bunuh kami, tak usah menghina...!” dan gadis yang melancarkan pukulan menyodok perut lawan tiba-tiba dipandang dengan alis berkerut oleh pendekar ini. Kim-mou-eng tidak mengelak, diam saja. Tapi begitu jari mengenai perutnya sekonyong-konyong Hwi Ling mengaduh.

“Krek!” jari gadis itu keseleo, langsung bengkak dan salah urat. Dan Hwi Ling yang menjerit terpelanting roboh tiba-tiba memaki dan nekat bangun menyerang dengan kakinya, kali ini juga didiamkan oleh Pendekar Rambut Emas itu. Dan ketika gadis itu lagi-lagi menjerit dan kini kakinya terkilir dan juga bengkak seperti tangannya itu maka Pendekar Rambut Emas menegur dengan suara tak senang.

“Nona, kau harus tahu diri. Aku tak memusuhi kalian. Kalianlah yang memusuhi aku!” dan ketika Hwi Ling mendesis-desis dan mendelik padanya, Kim-mou-eng sudah memberi tanda pada Sin Kok. “Sin Kok, beri adikmu itu obat ini. Kalian pergilah dan jangan ganggu aku...!” Kim-mou-eng melempar sebotol arak anti bengkak, obat yang biasa dibawa kemana-mana.

Dan Sin Kok yang tertegun melihat adiknya kesakitan tiba-tiba melompat menolong adiknya itu, tak mau mengambil obat pemberian Pendekar Rambut Emas, menggigit bibir, mengambil obatnya sendiri dan cepat melumurkan obat itu ke bagian urat adiknya yang bengkak. Dan ketika Hwi Ling menyeringai dan kaki dapat dipergunakan lagi akhirnya Sin Kok memapah adiknya itu menghadapi Kim-mou-eng.

“Pendekar Rambut Emas, kami ternyata memang harus tahu diri. Kau memang hebat, tapi sakit hati yang kami miliki ini tak mungkin kami hapus begitu saja. Biarlah lain kali kita bertemu. Kami ingin menguji kepandaian lagi!”

“Hm, kau keras kepala?”

“Jiwa orang tua kami tak dapat dibayar dengan apapun, Pendekar Rambut Emas. Kalau kau membebaskan kami jangan harap hutang itu lunas!”

“Baiklah, itu terserah kalian. Tapi kunasehati kalian untuk tidak bersikap sombong, Sin Kok. Kalian tahu dirilah dan tak perlu takabur,” Kim-mou-eng mengerutkan alisnya, semakin muram. Dan ketika dua kakak beradik itu masih memandangnya penuh kebencian dan memutar tubuh tiba-tiba Kim-mou-eng berkelebat lenyap mendahului mereka.

Sin Kok dan adiknya hanya mendengar angin berdesir di sebelah mereka, dan ketika mereka menoleh tapi bayangan Pendekar Rambut Emas itu tak ada lagi di dekat mereka maka dua kakak beradik inipun pergi dengan muka gelap.

Hari itu Kim-mou-eng mengalahkan sekaligus mengampuni mereka. Hal yang membuat mereka sakit hati tapi juga sekaligus merasa “hutang budi”. Sikap yang bagi mereka membingungkan tapi juga kagum. Tapi karena Pendekar Rambut Emas itu memang hebat dan kepandaian mereka kalah jauh maka dua kakak beradik ini menyimpan semua perasaan yang membuat mereka tak karuan.

Bagaimanapun melihat bahwa Pendekar Rambut Emas itu adalah seorang laki-laki gagah yang simpatik. Tak seharusnya mereka mendendam. Tapi karena kematian ayah mereka di tangan suheng pendekar itu tak mungkin dihapus begitu saja maka dua kakak beradik ini pergi dengan sikap gundah.

Begitulah. Untuk pertama kalinya Kim-mou-eng mulai mencicipi “getah” dari perbuatan suhengnya. Sesungguhnya tak tahu-menahu persoalan suhengnya dengan orang-orangnya Jit-liong Ciangkun itu. Diam-diam cemas dan kaget. Dan ketika tengah hari itu dia melanjutkan perjalanan dan masih memikirkan permusuhan putera-puteri Ang-bin Ciangkun kepadanya mendadak untuk kedua kali dia dihadang tiga orang musuh baru, tiga laki-laki pendek yang memandangnya penuh kebencian, persis di mulut hutan pinus!

“Kim-mou-eng, berhenti. Kami hendak menagih hutang!”

Kim-mou-eng terkejut. Dia melihat sikap orang yang tidak bersahabat, orang-orang tak dikenal. Tapi karena dia memang ramah dan pendekar ini cukup sabar maka Kim-mou-eng berhenti dan justeru menjura di depan tiga laki-laki pendek ini. “Sam-wi enghiong (tiga tuan gagah) ini siapakah? Bagaimana menghadang perjalanan dan hendak menagih hutang?”

“Hm, tak perlu pura-pura. Kami Sin-to Sam-enghiong (Tiga Pendekar Golok Sakti), Kim-mou-eng. Mencegat karena hendak membalas kematian kakak seperguruan kami. Kau bersiaplah, bayar hutang jiwa ini dengan jiwa pula!”

“Lho, jiwa siapa?” Kim-mou-eng tentu saja tercengang, terkejut. “Kalian tidak salah mencegat sam-wi enghiong? Aku tak merasa membunuh siapapun, harap jangan salah menuduh!”

“Hm,” seorang diantaranya maju ke depan, mencabut goloknya yang berkeredep menyilaukan mata, desingnya mengerikan. “Kami tidak salah orang, Kim-mou-eng. Justeru kami tahu bahwa kami menuntut pada orang yang tepat. Kami sute (adik seperguruan) Beng-ciangkun, kini datang untuk menuntut tanggung jawab perbuatan suhengmu yang biadab!”

“Ah, apa yang dilakukannya?”

“Jangan pura-pura!” orang itu membentak. “Suhengmu telah membunuh suhengku, Kim-mou-eng. Karena itu kami datang untuk menuntut balas!”

Kim-mou-eng tercekat. Sekarang dia tertegun, lagi-lagi mendengar perbuatan suhengnya yang kini katanya membunuh Beng-ciangkun, panglima pendek kekar yang merupakan rekan Bin-ciangkun, jadi sama-sama orangnya Jit-Iiong Ciangkun dan tentu saja membuat dia bengong. Dan ketika dia terbelalak dan laki-laki di depan itu mengibaskan golok tiba-tiba dua yang lain juga mencabut senjatanya dan langsung melompat mengurungnya.

“Kim-mou-eng, tak perlu ah-oh-ah-oh. Kau jangan bengong saja, kami tahu kau bukan seorang blo’on!”

Kim-mou-eng sadar. Sekarang dia melihat tiga orang lawannya itu beringas memandangnya, cekalan golok mereka menandakan orang-orang ini cukup lihai, jauh di atas Sin Kok maupun Hwi Ling. Tapi Kim-mou-eng yang tersenyum pahit oleh kemarahan orang tiba-tiba menarik napas mencoba berdamai.

“Sam-wi enghiong, aku sesungguhnya tak tahu-menahu perbuatan suhengku itu. Kenapa kalian marah-marah kepadaku? Sebaiknya jelaskan dulu apa yang terjadi. Aku tak tahu itu dan kalian bersabarlah.”

“Hm, bersabar untuk orang yang telah membunuh saudara kami, Kim-mou-eng? Tak mungkin, kami tak mau bersabar lagi dan akan mencari juga suhengmu itu!”

“Kalau begitu kenapa tidak cari saja suhengku itu? Aku tak tahu apa-apa, tak seharusnya kalian menuntut aku!”

“Kau takut?”

Kim-mou-eng tertawa getir. “Sam-wi enghiong, aku tak takut menghadapi siapapun. Juga aku tak takut menghadapi kalian. Tapi kalian ngawur, aku hendak memperingatkan bahwa urusan ini aku tak tahu menahu.”

“Tapi kau sutenya, kau saudara dari Singa Daratan Tandus itu!”

“Benar, tapi aku tak tahu-menahu perbuatan suhengku, sam-wi enghiong. Aku tak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Aku justeru heran, kenapa suhengku membunuh Beng-ciangkun!”

“Hm, tak perlu banyak cakap. Semua orang tahu itu, Kim-mou-eng. Kami tak menghasut atau mengada-ada. Kau bersiaplah dan tak perlu banyak cing-cong lagi...sing!” laki-laki pertama tiba-tiba menggerakkan golok, membacok kepala Kim-mou-eng dari atas ke bawah, sikapnya penuh kebencian sekali, desing goloknya membuat kulit serasa teriris. Demikian tajam! Dan ketika Kim -mou-eng mengelak dan terkejut melihat serangan lawan tiba-tiba dua yang lain juga menyerang dari kiri kanan tubuhnya.

“Kim-mou-eng, kamipun ingin membunuhmu. Bersiaplah... sing-singg...!” dua golok itu membelah dari kiri kanan, menyambar pinggang dan sudah membalik ketika Kim-mou-eng menghindar. Dan ketika Kim-mou-eng berseru keras dan laki-laki pertama juga maju kembali membentak dengan goloknya tiba-tiba pendekar ini sudah dikurung dan dihujani serangan golok yang bertubi-tubi.

Terpaksa, Kim-mou-eng berlompatan, menangkis dan menyuruh orang-orang itu tak menyerangnya lagi dan menghentikan pertempuran. Tapi ketika hujan serangan semakin menghebat dan seruannya itu seolah merupakan api dalam sekam yang membara mendadak pendekar ini disambut lengkingan dan pekikan panjang ketika tak satupun dari tiga golok itu mampu menyentuh tubuhnya.

“Pendekar Rambut Emas, tak perlu banyak cakap lagi. Kau mampuslah atau kami yang mengorbankan nyawa!”

Kim-mou-eng sudah dikerubut. Dia dikeroyok dari kiri kanan di tiga penjuru, bahkan muka belakang karena tiga orang itu mulai berpindah-pindah tempat mengikuti gerakannya yang melompat-lompat. Cepat sekali dan sebentar kemudian membuat pendekar ini kewalahan dan ruang geraknya dipersempit. Dan ketika Kim-mou-eng masih juga berteriak, tapi lawan memperhebat serangan mendadak Sin-to Sam-enghiong lenyap membentuk bayangan tiga golok terbang!

“Ah, Sin-to Sha-kak-tin (Tiga Kedudukan Golok Sakti)...!” Kim-mou-eng berseru kaget, membelalakkan mata dan kagum oleh tiga bayangan sinar golok yang luar biasa itu, mengelilingi dirinya tanpa henti sementara desing golok juga semakin tajam mengiris kulit, sebentar saja bajunya robek-robek oleh hawa sinar golok itu, belum tersentuh senjatanya sendiri. Dan ketika Kim-mou-eng memuji kagum dan dia harus menangkis ke sana ke mari maka untuk pertama kalinya lengan bajunya robek disambar golok.

“Bret!” Kim-mou-eng terkejut. Dia melihat tiga pendekar golok ini memang hebat, jauh di atas Sin Kok maupun Hwi Ling. Merupakan lawan berat yang cukup tangguh. Dan karena mempertahankan diri tanpa membalas adalah cukup berbahaya maka dengan menyesal pendekar ini terpaksa membentak mengeluarkan Tiat-lui-kangnya itu, Tamparan Tangan Petir.

“Sam-wi enghiong, maafkan aku. Kalian memang cukup hebat, aku terpaksa membalas!” Kim-mou-eng memperingatkan lawan, kali ini menjejakkan kaki melompat tinggi menggerakkan kedua lengannya itu, meledak dan tiba-tiba membentur tiga golok di tangan Sin-to Sam-enghiong. Dan ketika lawan terkejut dan Kim-mou-eng meluncur kembali tiba-tiba pendekar ini telah memutar pinggang melepas Tiat-lui-kangnya itu, langsung menampar.

“Plak-plak-plak!”

Tiga pendekar golok itu berteriak. Mereka terpental mundur, terdorong oleh pukulan Kim-mou-eng yang membuat senjata mereka panas bagai disentuh api, hampir saja melepaskan golok! Dan ketika Kim-mou-eng kembali bergerak dan mereka menangkis mendadak golok mengeluarkan lelatu api disentuh pukulan Tia-lui-kang.

“Crang!”

Sin-to Sam-enghiong terkejut. Mereka merasa golok di tangan seolah terbakar, persis disambar petir. Dan ketika mereka mencelos melihat golok hangus kebiruan mendadak Kim-mou-eng berseru untuk ketiga kalinya.

“Sam-wi enghiong, maafkan aku... plak-plak!” dan dua orang diantara mereka yang terpaksa membanting tubuh bergulingan akhirnya menjerit melepaskan golok mereka, tak tahan oleh hawa panas yang menjalar sampai ke telapak tangan mereka. Begitu menyengat, tiada ubahnya aliran listrik! Dan ketika seorang diantaranya harus mengelak dan membanting tubuh bergulingan pula maka tiga pendekar golok ini melompat bangun memandang Kim-mou-eng, semuanya pucat.

“Tiat-lui-kang...!”

“Ya, benar. Dan sekarang kalian mau menghentikan pertempuran, sam-wi enghiong?” Kim-mou-eng berhenti, berdiri tegak memandang tiga orang lawannya itu dengan mulut tersenyum.

Tapi Sin-to Sam-enghiong yang tiba-tiba saling pandang dan merah mukanya mendadak maju kembali menerjang marah. “Tidak, kami tak jera, Kim-mou-eng. Kami siap membela Beng-suheng (kakak Beng) dengan taruhan nyawa kami... wut-sing!” dan tiga golok yang kembali bersiutan menyambar-nyambar tiba-tiba membuat Kim-mou-eng gelap mukanya dan tidak senang, terpaksa menangkis dan kembali meledakkan Tiat-lui-kangnya itu. Tapi Sin-to Sam-enghiong yang tak berani menangkis dan selalu melencengkan senjata menghindari pukulan Tiat-lui-kangnya akhirnya membuat pertempuran menjadi seru dan sengit seperti semula.

Kim-mou-eng mengerutkan alis. Dia melihat persamaan orang-orang ini dengan Sin Kok dan Hwi Ling. Yakni keras kepala dan tak tahu diri. Tak tahu bahwa sesungguhnya dia masih bermurah hati pada tiga pendekar golok itu. Hanya membuat hangus golok mereka bukan tubuh mereka. Karena kalau dia mengerahkan semua Tiat-lui-kangnya itu tentu tubuh tiga orang lawannya ini bakal hancur, bisa menjadi perkedel karena pukulan Tiat-lui-kangnya memang tiada ubahnya dengan petir sendiri. Maka melihat lawan nekat menyerang dan mereka minta dihajar lebih keras akhirnya pendekar ini menggigit bibir terbawa kemarahan.

“Sin-to Sam-enghiong, kalian rupanya orang-orang sombong. Baiklah, kita selesaikan pertempuran ini dengan jalan kekerasan!” dan begitu Kim-mou-eng membentak dan maju membalas tiba-tiba tiga orang lawannya terpental mundur, terdorong oleh hawa panas yang mulai keluar dari lengan Pendekar Rambut Emas ini. Dan ketika Kim-mou-eng mulai mengebut dan dua tangannya menampar lebih keras mendadak sebuah golok langsung hancur ketika pemiliknya tak sempat menyelamatkan senjatanya.

“Krakk!”

Dua yang lain terkejut. Mereka melihat saudara mereka itu terjengkang, mengaduh dan seketika bergulingan mendesis-desis karena tangan yang memegang golok juga kebiruan, disambar pukulan Tiat-lui-kang yang menjalar cepat dari ujung golok sampai ke pergelangan tangan. Tentu saja tak dapat dipakai lagi. Dan ketika Kim-mou-eng bergerak dan seorang diantaranya lagi-lagi tak sempat menghindar maka dengan terpaksa orang kedua ini menangkis mempergunakan goloknya.

“Krekk!” Golok itupun hancur. Orang ketiga jadi pucat, melihat saudaranya nomor dua itu sudah berteriak dan menderita lebih hebat dari orang pertama, tangan sampai sikunya gosong kebiruan menerima Tiat-lui-kang. Dan ketika Kim-mou-eng kembali bergerak dan orang ketiga ngeri membabatkan goloknya maka Kim-mou-eng menangkis sekaligus menampar.

“Krak-dess!” orang terakhir inipun menjerit. Dia terlempar bergulingan bagai layang-layang putus talinya, pundak dan pangkal lengannya hangus kebiruan. Dan ketika dia melompat bangun dengan kaki menggigil dan muka pucat maka dua saudaranya yang lain juga berdiri di sebelahnya dengan mulut mendesis-desis. Gentar!

Kim-mou-eng maju menghampiri. “Bagaimana, kalian masih akan menyerang lagi, sam-wi enghiong?”

“Tidak,” orang tertua diantara mereka mengatupkan mulut. “Kami sudah kalah, Kim-mou-eng. Dan kau boleh bunuh kami agar sekalian menyusul Beng-suheng!”

“Hm,” Kim-mou-eng tersenyum getir. “Nyawa manusia bukanlah semut, sam-wi enghiong. Aku tak akan membunuh kalian karena kalian bukanlah musuhku.”

“Kau tak membunuh kami?”

“Tidak.”

“Kau bersungguh-sungguh?”

“Ah, pernahkah kalian mendengar aku main-main, sam-wi enghiong? Aku tak suka membunuh orang. Apalagi orang-orang macam kalian yang sudah berjuluk pendekar!”

Sin-to Sam-enghiong mendadak terpukul. Mereka semburat oleh kata-kata Kim-mou-eng itu, sungguh tak menyangka Kim-mou-eng tak membunuh mereka. Tapi dendam atas kematian kakak mereka di tangan Gurba, tiga orang laki-laki ini menggigit bibir. “Kim-mou-eng, kami tak akan sudah meskipun kau tak membunuh kami. Kau tak menyesal membebaskan kami?”

Kim-mou-eng menarik napas. “Sam-wi enghiong, sebenarnya yang bermusuhan bukanlah aku dan kalian. Melainkan kalian dengan suhengku itu. Sekarang kalian sakit hati padaku, padahal aku tak tahu apa-apa. Kenapa kalian berpikir cupat begini untuk dendam padaku pula? Tapi aku tak takut ancaman kalian, sam-wi enghiong. Kalau kalian masih sakit hati dan kelak mencari aku hal itu tak akan kuhindari. Hanya kusayangkan, kalian yang berjuluk pendekar masih juga berpikiran sempit dan kekanak-kanakan. Sungguh menyesal aku!”

Dan ketika orang-orang itu merah mukanya dan meringis menahan sakit bekas pukulan Tiat-lui-kang tiba-tiba Kim-mou-eng melempar sebungkus obat, berkata sungguh-sungguh, “Sam-wi enghiong, luka bekas Tiat-lui-kang tak gampang disembuhkan begitu saja. Kuharap kalian menerima obatku ini dan minumlah. Sehari tentu sembuh!” dan sementara orang kembali terbelalak dan tertegun oleh pemberiannya tiba-tiba Kim-mou-eng menjura. “Selamat tinggal, sam-wi enghiong. Kita akan berjumpa kelak...!”

Dan begitu pendekar ini tersenyum memutar tubuh mendadak bayangannya lenyap berkelebat meninggalkan tiga orang pendekar golok itu, yang tentu saja bengong dan semakin terpukul oleh kebaikan Pendekar Rambut Emas ini. Sungguh tak disangka! Tapi begitu lawan meninggalkan mereka dan mereka juga sadar dari rasa bengongnya tadi tiba-tiba Sin-to Sam-enghiong bergerak mengambil bungkusan obat penawar luka bekas pukulan Tiat-lui-kang itu.

“Aneh... pendekar yang aneh...!”

Dua saudaranya yang lain juga mengangguk. “Ya, Kim-mou-eng memang aneh, twako. Sungguh tak kukira kalau dia membalas kemarahan kita dengan kesabarannya yang luar biasa itu. Sungguh Pendekar Rambut Emas itu orang yang aneh!”

“Dan kepandaiannya luar biasa sekali, ji-heng. Kita benar-benar bukan tandingannya!” orang ketiga berseru, ngeri dan gentar memijat pergelangannya yang bengkak. Dan ketika dua yang lain mengangguk dan sama-sama mengakui akhirnya orang tertua diantara mereka berkata,

“Kita sekarang harus menambah kepandaian kita, sute. Kita mungkin harus berlatih sepuluh atau duapuluh tahun lagi untuk mencari Kim-mou-eng! Bagaimana pendapat kalian?”

“Ya, kita pulang saja, twako. Kita harus tahu diri dan memperdalam ilmu silat kita!”

“Kalian setuju?”

“Tentu.”

“Baik, kalau begitu mari kita pergi!” dan begitu semuanya mengangguk dan berangkat meninggalkan tempat itu maka hutan pinus itupun sepi kembali seperti semula.

Kim-mou-eng juga sudah tak ada di situ. Pendekar ini telah jauh berada di timur, melanjutkan perjalanannya dengan kening berkerut-kerut. Dua kali mendapat gangguan tak enak gara-gara perbuatan suhengnya, hal yang membuat ia terkejut dan heran, di samping penasaran. Dan ketika dia coba menyelidiki kebenaran cerita Sin Kok dan Sin-to Sam-enghiong itu dan mendapat kenyataan bahwa memang benar suhengnya membunuh empat dari Jit-liong Ciangkun dan menyerbu dengan suku bangsanya itu ke kota raja maka pendekar ini terhenyak dengan mata dibuka lebar-lebar, kaget bagai disengat Iebah.

Dia tak habis pikir, alasan apa yang membuat suhengnya itu menyerbu pedalaman? Semata mencari dirinya? Rasanya tak mungkin. Suhengnya itu tak akan melakukan tindakan gila-gilaan hanya untuk urusan seperti itu, hanya karena ia meninggalkan suku bangsa Tar-tar dan masuk ke wilayah kota raja. Tidak, ia tak percaya! Dan ketika dia mencari berita lebih lanjut dan mendengar kaisar memberikan hadiah selir pada suhengnya itu mendadak pendekar ini melongo.

Lho, apa lagi ini? Bagaimana musuh yang sudah dirugikan malah memberi hadiah? Dan katanya suhengnya telah menerima itu. Suku bangsa Tar-tar telah mundur kembali dan kini mengikat persahabatan dengan kaisar. Kim-mou-eng jadi semakin bingung. Dia sungguh tak mengerti jalan cerita sebenarnya. Dan karena semuanya itu merupakan teka-teki yang membuat dia penasaran akhirnya Kim-mou-eng memutuskan untuk mencari suhengnya ini. Sama sekali tak tahu bahwa suhengnya juga mencari dirinya, bergabung dengan Salima.

Dan karena dua kakak beradik itu siap menuntut tanggung jawabnya untuk perbuatannya yang “berkhianat” pada suku bangsa Tar-tar maka pendekar ini ibarat seekor harimau yang terjebak memasuki sarang naga. Tak menduga sedikit pun juga bahwa justeru dari suhengnya itulah dia akan celaka. Tapi karena semuanya itu tampaknya memang sudah permainan cerita dan Kim-mou-eng juga memang tidak tahu maka biarlah kita lihat saja apa yang terjadi.

* * * * * * * *

Mari kita tinggalkan sejenak perjalanan Kim-mou-eng itu. Kita beralih sebentar ke kota Ceng-tu, kota dimana tinggal Bu-kongcu bersama gurunya itu, si datuk sesat Sai-mo-ong. Dan karena kita tahu datuk sesat itu telah mengukur kepandaian Kim-mou-eng bersama rekannya si iblis wanita Tok-gan Sin-ni maka sore itu tampak kesibukan yang agak lain di rumah Bu-kongcu.

Tidak seperti biasa, sore itu Sai-mo-ong menjamu tamu-tamu istimewa. Tok-gan Sin-ni tampak di situ, ditambah lagi dengan tiga tamu baru yang terdiri dari sepasang kakek cebol berkulit hitam dan seorang kakek lain yang mulutnya tersenyum-senyum tapi matanya keji berkilat-kilat. Siapa mereka itu kalau bukan Hek-bong Siang-lo-mo dan Siauw-bin-kwi?

Memang benar, itulah Hek-bong Siang-Io-mo dan Siauw-bin-kwi. Sai-mo-ong telah mengundang tiga sahabatnya dari Jit-mo Kang-ouw ini, termasuk Tok-gan Sin-ni yang belakangan ini sering berkunjung. Tepatnya sejak mereka mengadu kepandaian bersama Kim-mou-eng dan Salima dan mendapat kenyataan bahwa Pendekar Rambut Emas itu memang hebat.

Kejadian dulu itu telah membuat dua datuk ini penasaran. Mereka geram dan marah, harus mengakui keunggulan lawan bila mereka bertanding satu lawan satu. Dan karena Bu-kongcu juga tergila-gila pada Tiat-ciang Sian-li Salima dan merengek pada gurunya agar menangkap gadis Tar-tar yang luar biasa itu akhirnya Sai-mo-ong mendongkol dan marah pula pada muridnya ini.

“Gadis itu bukan kucing betina yang jinak, Bu Ham. Kau harus tahu itu dan jangan merajuk seperti anak kecil!”

“Aku tahu. Dan justeru karena itu aku ingin memilikinya, suhu. Aku minta tangkaplah dia dan jadikan dia sebagai isteriku!”

“Kau kira gampang? Kau main-main?”

“Tidak, aku bersungguh-sungguh, suhu. Kalau kau tak dapat menangkapnya seorang diri kau dapat minta bantuan bibi Tok-gan Sin-ni!”

Sai-mo-ong mendelik. “Bu Ham, kau rupanya mabuk kepayang seperti bocah tidak waras! Bukankah banyak wanita-wanita lain yang dapat kau peroleh? Jangan macam-macam seperti itu. Kubunuh kau nanti!”

Bu Ham tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut. “Suhu, teecu (aku) rela kau bunuh. Aku tak akan menghentikan permintaanku ini. Kalau kau tak dapat memenuhi permintaan muridmu lebih baik kau bunuh aku agar tidak menanggung rindu dan sengsara seperti ini!”

Bu Ham menangis, membuat gurunya terkejut dan tertegun memandang sang murid, kaget juga oleh kenekatan muridnya ini. Tapi membentak dan reda oleh sikap Bu Ham yang sungguh-sungguh akhirnya datuk ini mengangguk tapi menendang muridnya itu.

“Baiklah, pergi kau. Kuturuti permintaanmu!”

Dan Bu Ham yang mencelat terlempar oleh tendangan gurunya ini akhirnya berseru girang mendengar janjinya itu. Tahu bahwa permintaannya terkabul. Gurunya akan meminta Tok-gan Sin-ni membantu agar meringkus Salima si gadis Tar-tar yang hebat. Tapi ketika Tok-gan Sin-ni mendengar dan tertawa mengejek tiba-tiba Bu Ham dipanggil.

“Bocah, kau benar-benar tergila-gila pada kucing betina itu?”

Bu Ham tak malu-malu. “Ya, aku jatuh cinta padanya, bibi. Mohon kau membantu suhu menangkap gadis itu. Aku tak dapat tidur setiap malam!”

“Hi-hik, kalau begitu bagaimana jika aku tak mau membantu?”

Bu Ham terkejut.

“Ayo, bagaimana kalau aku tak mau membantu?”

Bu Ham tiba-tiba menangis. “Bibi, sukalah kau mengasihani aku. Aku benar-benar mabuk kepayang pada gadis pujaanku itu. Kau tolonglah aku... kau tolonglah suhu...”

“Hm!” Tok-gan Sin-ni membentak. Kau hanya memikirkan nasib dirimu saja, Bu Ham. Kau tak memikirkan nasib muridku yang juga tergila-gila padamu!”

Bu Ham terkejut. “Leng Hwat?”

“Ya, siapa lagi? Bukankah kau berhubungan dengan muridku itu?”

“Ah,” Bu Ham mengelak. “Hubungan kami tak ikat-mengikat, bibi. Aku dan dia sama-sama melakukan itu kalau lagi sama-sama mau!”

“Jadi tak serius?”

“Benar, bibi. Kami memang tidak serius.”

“Kalau begitu bagaimana jika kucing betina yang kau puja tak suka padamu?”

“Aku akan memaksanya, bibi. Kalau dia telah menjadi isteriku dan hamil oleh hubungan suami isteri tentu lama-lama dia menerima juga. Asal bibi membantu!”

“Hm, kalau aku tak mau?”

“Jangan menolak, bibi.” Bu Ham pucat. “Suhu juga sering menolongmu kalau kau menemui kesulitan!”

“Keparat, kau minta aku membayar budi kebaikan gurumu? Sialan, kurobek mulutmu Bu Ham, kau lancang... plak-plak!”

Dan Bu Ham yang mendapat gaplokan dua kali tiba-tiba terjengkang dan ditinggal pergi wanita itu, mengaduh dan melapor pada gurunya akan perbuatan bibinya itu. Dan ketika Sai-mo-ong marah dan mencari wanita ini maka Tok-gan Sin-ni berkacak pinggang berkata menantang.

“Mo-ong, kau tahu diantara kita pantang bicara soal budi dan segalanya itu. Itu adalah urusan orang-orang bersih, kita dicap sebagai orang sesat! Masa muridmu begitu kurang ajar bicara tentang budi dan hutang? Kalau dia mau bantuan harus bersikap baik, jangan kurang ajar seperti itu!”

Mo-ong melotot. “Tapi kau tak perlu menamparnya, Sin-ni. Dia muridku, bukan muridmu!”

“Peduli apa?” wanita ini menarik urat. “Kalau muridku kurang ajar kau juga boleh menamparnya, Mo-ong. Aku tak akan peduli atau marah-marah sepertimu ini!”

Mo-ong tertegun. Mereka memang mempunyai semacam peraturan aneh, yakni tak perlu berbuat baik atau apa-apa yang bersifat baik kepada orang lain, terutama musuh. Bahkan menganggap perbuatan baik adalah busuk belaka karena itu adalah pura-pura. Memegang semacam peraturan bahwa yang baik adalah munafik. Jadi tak perlu berbuat baik karena yang baik itu adalah omong kosong belaka, milik orang-orang sombong yang menamakan dirinya pendekar. Dan karena mereka adalah orang-orang sesat yang pikirannya jungkir balik tak karuan maka Mo-ong dapat menerima dan justeru menegur muridnya itu.

“Benar, kau yang salah, Bu Ham. Kalau kau mau minta tolong pada bibimu seharusnya tak perlu mengungkit-ungkit tentang jasa dan utang budi. Kita adalah orang-orang sesat, apa yang kita lakukan sudah terhitung dalam timbal balik yang sama. Bibimu juga pernah menolong aku!”

Bu Ham marah. Dia tak mau disalahkan, tapi karena dia butuh bantuan Tok-gan Sin-ni untuk menangkap Salima yang diketahui bersama Kim-mou-eng maka pemuda ini mengangguk dan perintah gurunya itu diturut. Dia minta maaf, diketawai Tok-gan Sin-ni yang menjengek kepadanya. Dan ketika kembali dia mengulang permintaannya tanpa menyebut-nyebut segala kebaikan gurunya mendadak wanita sakti itu melompat pergi mengejek padanya.

“Bu Ham, aku mual pada rengekanmu. Biarlah kau bantu sendiri gurumu itu, hi-hik...!”

Bu Ham tertegun. Dia melihat gurunya menyeringai, juga melompat pergi dan meninggalkannya sendirian. Dan ketika seminggu itu dia merengek tapi tetap juga tak berhasil mendadak keesokan paginya dia dipanggil wanita sakti itu, disuruh ke kamarnya.

Bu Ham dag-dig-dug. “Ada apa, bibi?”

Tok-gan Sin-ni terkekeh. “Kau tak marah padaku?”

“Marah tentang apa?”

“Aku tak mau membantumu! Persoalan gadis Tar-tar itu!”

Bu Ham terdiam, menggigil kakinya. Sebenarnya dia marah dan benci sekali pada sahabat gurunya ini. Kalau saja dia mampu, mungkin sudah dicekiknya wanita bermata satu ini. Tapi Bu Ham yang cerdik dan dapat melihat keadaan dan pengalamannya bergaul dengan orang-orang sesat tiba-tiba malah tertawa dan menjatuhkan diri berlutut. “Bibi, aku tak marah sama sekali biarpun kau menolaknya. Aku sudah punya jalan, rencanaku pasti berhasil.”

“Hm, jalan apa? Rencana apa?”

Bu Ham yang berotak encer langsung menjawab, “Aku akan meminta teman-teman suhu yang lain membantu, bibi. Seperti paman Siauw-bin-kwi itu atau Hek-bong Siang-lo-mo. Mereka pasti mau membantu. Aku yakin!”

Tok-gan Sin-ni tampak terkejut. “Kau sudah bertemu mereka?”

“Sudah!” Bu Ham menjawab seenaknya, bersikap gembira dan tertawa ringan memandang wanita itu. “Aku sudah bertemu mereka, bibi. Dan suhu siap mengundangnya.”

“Bohong!” Tok-gan Sin-ni tiba-tiba berkelebat, menyambar leher baju pemuda ini. “Kau bohong, Bu Ham. Kau dusta padaku!”

“Bu Ham terkejut, sesak napasnya. “Aku tidak bohong, bibi. Kau boleh tanya suhu kalau tidak percaya!”

“Kau tidak main-main?”

“Kenapa main-main? Kau tak mau membantuku, bibi. Karena itu aku cari yang lain karena mungkin kau takut pada Kim-mou-eng dan sumoinya itu!”

“Plak...!” Tok-gan Sin-ni tiba-tiba menampar, membuat Bu Ham mencelat membentur tembok. “Aku tak takut pada Kim-mou-eng atau siapapun, Bu Ham. Aku tak mau membantu karena aku muak padamu!” dan ketika Bu Ham melompat bangun dan Tok-gan Sin-ni merah mukanya maka wanita sakti ini mendesis, “Bu Ham, siapa mengajarimu begitu lancang menyebut aku takut? Gurumu?”

Bu Ham terkejut. Dia gentar melihat wanita ini marah, menyebut-nyebut nama gurunya dan persoalan bisa runyam. Karena sesungguhnya dia sendiri yang berkata begitu untuk melepas kejengkelannya. Dan ketika Tok-gan Sin-ni kembali membentak dan bertanya siapa yang mengajari dia berkata begitu mendadak Bu Ham tertawa getir bangkit berdiri.

“Bibi, tak ada siapa-siapa yang mengajari aku. Aku sendiri yang berkata begitu. Aku mendongkol padamu.”

“Hm, bukan gurumu?”

“Bukan.”

“Kau berani kubunuh kalau bohong?”

Bu Ham semakin tertawa pahit. “Tok-gan Sin-ni, jangan kau mentang-mentang di tempat ini. Ini adalah rumahku. Kalau kau membunuh aku maka suhu juga akan membunuh muridmu dan menuntut tanggung jawabmu. Tak perlu menggertak!”

Tok-gan Sin-ni terkejut. Bu Ham tidak lagi menyebutnya “bibi”, melainkan namanya begitu saja karena pemuda ini mendongkol. Menunjukkan kemarahannya. Dan Tok-gan Sin-ni yang tersenyum teringat sangkalan Bu Ham tiba-tiba sadar dan maklum bahwa pemuda ini telah mengibulinya. Hal yang membuat Bu Ham justeru tertegun.

“Hi-hik, kiranya kau mempermainkan aku, Bu Ham. Sekarang kau menunjukkan bahwa sesungguhnya kau marah padaku karena aku tak membantumu! Hayo, berani kau bilang bahwa sesungguhnya kau tidak marah padaku?”

Bu Ham terbelalak.

“Dan kau juga menipuku tentang Siauw-bin-kwi dan Hek-bong Siang-lo-mo itu, Bu Ham. Sekarang aku tahu bahwa semuanya itu adalah hasil rekaanmu belaka!” dan ketika Bu Ham menjublak dan Tok-gan Sin-ni mengetahui akalnya maka pemuda ini telah disambar wanita sakti itu.

“Bu Ham, ayo jawab sekarang. Maukah kau kubantu menangkap gadis Tar-tar itu?”

Bu Ham seakan tak percaya. “Bibi bersungguh-sungguh?”

“Cerewet, jawab dulu pertanyaanku itu. Maukah kau kubantu menangkap kucing betina itu?”

“Ah,” Bu Ham tentu saja girang bukan main, melihat perubahan keadaan itu. “Tentu saja mau, bibi! Siapa bilang tidak? Kenapa baru sekarang menyatakan kesediaan ini?”

Tok-gan Sin-ni melepaskan cekalannya. “Untuk melihat kesungguhanmu, bocah. Kau setengah-setengah atau tidak!” dan ketika Bu Ham tertawa dan menjatuhkan diri mengucap terima kasih tiba-tiba Tok-gan Sin-ni mendengus. “Jangan buru-buru, Bu Ham. Aku masih ada syarat untuk semua bantuanku ini. Kau sanggup?”

“Sanggup, bibi.” Bu Ham langsung menjawab. “Aku sanggup melakukan apa saja asal aku mampu!”

“Hm, tentu kau mampu,” Tok-gan Sin-ni bersinar matanya. “Kau mampu melakukannya, Bu Ham. Tapi tak tahu apakah kau mau melakukannya!”

“Apa itu?”

“Mencumbu diriku!”

“Hah?”

“Ya, menjadi kekasihku sebelum kau dapatkan siluman betina itu. Kau mau?”

Bu Ham menjublak. Dia bengong mendengar pertanyaan ini, sungguh tak mengira kalau wanita sakti itu ingin menjadi kekasihnya. Padahal Tok-gan Sin-ni sudah berusia setengah abad! Tapi Bu Ham yang benar-benar membutuhkan bantuan wanita ini untuk memperoleh Salima tiba-tiba tersenyum dan bangkit berdiri, langsung memeluk wanita itu. “Bibi, kenapa baru sekarang kau katakan hasratmu ini? Dulupun kalau kau mau tentu aku suka melayanimu. Baik, aku siap menjadi kekasihmu dan melakukan apa saja untuk kesenanganmu!”

Dan Bu Ham yang tartawa melihat Tok-gan Sin-ni tersenyum tahu-tahu sudah mencium dan tak segan-segan memeluk wanita bermata satu itu, tak jijik pada mata tunggalnya yang tertutup kain hitam. Dan ketika Tok-gan Sin-ni terkekeh dan balas mencium tiba-tiba Bu Ham sudah dilempar ke atas pembaringannya.

“Bu Ham, ayo buka bajuku!”

Bu Ham tersenyum. Tok-gan Sin-ni sudah menubruknya, mendengus dan minta bajunya dibuka. Dan ketika dia tertawa dan membuka baju wanita itu maka berturut-turut Bu Ham telah melepas pula pakaian lainnya yang melekat di tubuh wanita itu, tertegun dan kagum juga melihat tubuh si wanita sakti yang masih kencang, singsat dan padat karena wanita ini dapat menjaga tubuhnya. Dan ketika Tok-gan Sin-ni juga membuka pakaian Bu Ham dan dua laki-laki dan perempuan itu saling pagut di atas pembaringan akhirnya mereka bergumul dengan tawa dan dengus ditahan.

Tok-gan Sin-ni ternyata ganas pula permainannya di atas ranjang. Wanita ini minta yang aneh-aneh, tapi karena Bu Ham juga seorang pemuda yang luas pergaulannya dengan pelacur dan wanita-wanita penghibur maka pemuda ini dapat melayani Tok-gan Sin-ni dengan amat baiknya. Tok-gan Sin-ni ternyata tergila-gila, tiga hari tak mau keluar dari kamar saking senangnya. Dan ketika hari keempat Leng Hwat mencari gurunya dan tertegun melihat gurunya bermain cinta dengan Bu Ham mendadak gurunya itu terkekeh dan menyuruh dia masuk.

“Leng Hwat, tutup pintu dan masuklah ke dalam!”

Leng Hwat terkejut. “Mau apa, subo?”

“Hi-hik, kau cemburu padaku, bukan?”

“Ah, tidak!” Leng Hwat pucat, berseru menggelengkan kepalanya. “Teecu tak merasa cemburu atau apapun, subo. Bu-kongcu milik siapapun kalau subo mau!”

“Kalau begitu masuklah, tutup pintu dan kita minta pemuda ini melayanimu!”

Tok-gan Sin-ni tertawa, berseru mengejutkan Leng Hwat dan Bu Ham yang sudah turun dari pembaringannya, terbelalak memandang Tok-gan Sin-ni. Tapi ketika wanita sakti itu mengibaskan rambutnya dan turun pula dari pembaringannya maka wanita ini tertawa memandang Bu-kongcu, kagum pada pemuda itu.

“Bu Ham, kau kuat sekali. Aku letih, ketuaanku ini benar-benar tak sanggup menambah tenaga lagi. Kau layanilah Leng Hwat, aku ingin menonton!”

Bu Ham terkejut, ingat pergumulannya selama tiga hari itu. “Tapi aku juga lelah, bibi. Masa aku...”

“Hm, kau tak menolak semua permintaan yang kuajukan, bukan? Kalau kau lelah kau dapat menelan ini. Obat ini khusus untuk laki-laki, kau terimalah...!” Tok-gan Sin-ni melempar sebutir kapsul, obat pembangkit nafsu dan tertawa memandang Bu Ham. Dan ketika Bu Ham menerima dan terbelalak memandang wanita itu maka Tok-gan Sin-ni ganti memandang muridnya.

“Leng Hwat, sekarang kau ajak Bu Ham bermain cinta. Ayo, aku lelah. Aku ingin menonton kalian bertarung!”

Leng Hwat tertegun. Dia tak menyangka gurunya memberi perintah seperti itu, tapi karena dia juga bukan wanita baik-baik dan semua perbuatan buruk sudah biasa dia lakukan tiba-tiba Leng Hwat tersenyum dan mengangguk, langsung melepas bajunya dan telanjang bulat di depan Bu Ham. Dan ketika Bu Ham terbelalak dan obat pemberian Tok-gan Sin-ni sudah dia telan tiba-tiba pemuda ini mendengus dan menyambar murid Tok-gan Sin-ni itu.

“Leng Hwat, kau cantik...!”

Leng Hwat tertawa. Tok-gan Sin-ni juga tertawa, melihat bekerjanya obat yang begitu cepat. Dan ketika Bu Ham mencium dan pemuda itu sudah membanting tubuh bergulingan bersama Leng Hwat akhirnya wanita sakti ini menonton “pertandingan” itu, melihat keduanya saling pagut dan tertawa-tawa. Sebentar kemudian lekat menjadi satu seolah lintah yang menempel, ketat tak malu-malu lagi. Ditonton Tok-gan Sin-ni yang bersinar-sinar matanya dan sering tertawa melihat adegan-adegan yang lucu. Dan ketika pertandingan itu semakin seru dan Leng Hwat mulai merintih akhirnya Tok-gan Sin-ni bangkit nafsunya dan timbul keinginannya yang baru!

“Bu Ham, kau layani kami berdua!”

Bu Ham terkejut. Dia melihat Tok-gan Sin-ni menyela diantara mereka, menubruk. Tapi karena dia telah dimabuk nafsu dan permainan itu amat menggairahkan maka Bu Ham tertawa dan menyambut wanita ini, dikeroyok dan sebentar kemudian bergulingan kesana-sini. Dan ketika mereka bertiga bertingkah semakin gila akhirnya pergumulan di dalam kamar itu tak pantas disaksikan lagi. Baik Bu Ham maupun Tok-gan Sin-ni sama-sama menjadi hamba setan, tak lagi mempedulikan norma-norma susila. Menjadi hamba nafsu berahi yang tiada putus menimba kenikmatan.

Dan ketika Bu Ham telah menjadi “milik” dua wanita cabul ini dan Tok-gan Sin-ni maupun Leng Hwat sama-sama memuji kekuatan Bu Ham yang luar biasa, akhirnya beberapa hari kemudian Hek-bong Siang-lo-mo dan Siauw-bin-kwi muncul. Mereka datang atas permintaan Sai-mo-ong karena iblis ini mendapat permintaan pula dari Bu Ham, yang secara cerdik dan diam-diam telah membujuk gurunya itu. Khawatir Tok-gan Sin-ni mengingkari janji. Dan ketika seminggu kemudian tiga iblis tua itu muncul mengherankan Tok-gan Sin-ni yang tidak tahu muslihat Bu Ham maka sore itu mereka berhadapan di meja besar.

“Ha-ha, kau sekarang tampak cantik, Sin-ni. Rupanya kau telah menyedot tenaga segar dari pemuda pilihan!” Siauw-bin-kwi sore itu mengeluarkan suara, tertawa melihat wajah yang berseri dari nenek ini. Tahu kesukaan Tok-gan Sin-ni dan maklum bahwa wanita itu telah “menyedot” tenaga baru dari seorang pemuda yang segar, dipandang dengan mulut tersenyum dan mata berminyak oleh Hek-bong Siang-lo-mo yang kagum pada nenek ini. Dan ketika Tok-gan Sin-ni tersenyum dan terkekeh ditahan maka Sai-mo-ong menepuk tangannya.

“Siauw-bin-kwi, Tok-gan Sin-ni memang telah mendapatkan kesukaannya di sini. Muridku telah melayaninya dua minggu penuh. Kau iri pada keberuntungannya?”

“Aih...!” Siauw-bin-kwi terbelalak. “Muridmu sendiri yang dilahap nenek ini, Mo-ong? Kau tak mencegahnya? Awas, salah-salah darah muridmu disedot pula. Sungguh nenek ini tak tahu diri!”

Mo-ong tertawa. “Kau tak perlu khawatir, Siauw-bin-kwi. Kami semua adalah teman. Sin-ni hanya main-main saja.”

“Dan kau masih kuat, nenek cantik?” Hek-bong Siang-lo-mo menimpali, menyeringai dan tampak bernafsu memandang nenek ini.

Tapi Tok-gan Sin-ni yang mendengus mencibirkan mulut justeru menjengek. “Lo-mo, kau tak perlu memandangku dengan mata berminyak. Aku tak sudi melayani kalian kakek-kakek cebol yang buruk!”

“Ah, tapi kami tak kalah dengan pemuda manapun, Sin-ni. Coba dulu kalau ingin bukti!”

“Ha-ha!” Siauw-bin-kwi tertawa bergelak. “Memang omongan mereka benar, Sin-ni. Hek-bong Siang-lo-mo telah mengerjai tujuh wanita Tar-tar hingga mereka mati. Dua kakek ini hebat meskipun cebol tapi, wah...!” Siauw-bin-kwi mengeluarkan kata-kata kotor, memuji kekuatan dua temannya ini yang dikata luar biasa. Memiliki tenaga kuda. Dan ketika Tok-gan Sin-ni mencibir dan Hek-bong Twa-lo-mo bangkit berdiri maka orang tertua dari Sepasang Iblis Kuburan itu menggoyang pantat.

“Sin-ni, kau boleh uji bokongku ini. Lihat, masih bulat dan kuat!”

Tok-gan Sin-ni bersinar matanya. Dia memang melihat bokong orang yang bulat dan kuat, tampak penuh tenaga. Tak kalah dengan bokongnya Bu Ham! Tapi ingin menguji dan tertawa mengejek tiba-tiba dia menyambar sumpit dan langsung menimpukkannya pada bokong orang. “Twa-lo-mo, coba kuuji kalau begitu. Awas...!”

Twa-lo-mo menyeringai. Dia menghentikan goyangan pinggulnya itu, melihat sambaran sumpit yang luar biasa cepat. Tapi tertawa tak mengelak serangan tiba-tiba dia menerima sambaran sumpit itu yang tepat mengenai bokongnya.

“Tass!” sumpit mental ke atas, jatuh dan membalik seperti mengenai barang dari karet. Tapi Tok-gan Sin-ni yang lagi-lagi berseru dan menyambarkan sumpit kedua tiba-tiba membentak mengerahkan tenaganya.

“Krek!” dan sumpit kali ini patah. Tok-gan Sin-ni terbelalak, kagum dan harus memuji bokong orang yang memang kuat, kenyal dan penuh seperti pinggul orang-orang muda. Tapi Hek-bong Twa-lo-mo yang terbahak mendemonstrasikan kekuatannya tiba-tiba meloncat dan mencium wanita ini.

“Sin-ni, kau sekarang harus memberikan imbalannya. Sumpitmu membuat nafsuku bangkit...ngok!” pipi Tok-gan Sin-ni yang tercium dengan suara keras disaat wanita itu tertegun tiba-tiba membuat wanita ini marah, kaget karena ia memang tak menduga. Dan ketika Twa-lo-mo mencoba untuk mencium pipi satunya mendadak wanita ini menampar dan menendang meja.

“Lo-mo, pergi kau... brakk!” meja terguling mengejutkan semua orang, hampir saja menimpa Siauw-bin-kwi dan dua temannya yang Iain. Tapi Hek-bong Twa-lo-mo yang sudah berjungkir balik melesat jauh tiba-tiba mengusap bibirnya yang berhasil mendaratkan satu ciuman di pipi lawannya, tertawa bergelak.

“Sin-ni, kau memang hebat. Pipimu masih halus...!”

Tok-gan Sin-ni marah, berkilat matanya. “Lo-mo, kau jangan main-main kepadaku. Kubunuh kau nanti!”

“Ha-ha, kau tak dapat membunuhku, nenek cantik? Jangan sombong, kaulah yang akan kutelanjangi dan kubuat tak berdaya!” dan ketika Hek-bong Twa-lo-mo melompat turun dan Tok-gan Sin-ni melompat maju tiba-tiba tanpa banyak cakap wanita sakti itu menyerang lawannya, bertubi-tubi memukul dan menampar. Tapi Hek-bong Twa-lo-mo yang mengelak berlompatan ke sana ke mari tiba-tiba menangkis dan untuk pertama kalinya beradu tenaga.

“Duk-dukk!”

Dua orang itu sama-sama tergetar. Baik Twa-lo-mo maupun Tok-gan Sin-ni sama-sama terdorong, masing- masing selangkah mundur. Tapi ketika keduanya hendak bergebrak lagi dan Siauw-bin-kwi bersorak gembira tiba-tiba Mo-ong sebagai tuan rumah meloncat maju, melerai di tengah.

“Lo-mo, Sin-ni, tahan kemarahan kalian. Tak perlu bertempur...!” dan ketika keduanya didorong minggir dan Tok-gan Sin-ni tampak penasaran maka Sai-mo-ong sudah berkata lagi, “Sin-ni, kita berkumpul bukan untuk mengadu jiwa. Melainkan menghadapi bersama Kim-mou-eng dan saudara-saudaranya itu. Kenapa harus tarik urat untuk persoalan begini? Hayo padamkan kemarahan kalian itu, dan Lo-mo harap tidak menggoda lagi!”

“Heh-heh, aku menggoda karena wanita ini masih menggairahkan, Mo-ong. Siapa salahkan mata lelaki menghadapi wanita begini menarik? Aku tak akan menggoda kalau kau dapat mencarikan gantinya. Ayo, mana dia itu?”

Sai-mo-ong tersenyum pahit. “Dia ada di beIakang, Lo-mo. Banyak kusiapkan wanita-wanita cantik kalau kau mau!”

“Sungguh?”

“Tentu. Muridku akan membantu kalian!” dan ketika Hek-bong Twa-lo-mo tertawa dan Tok-gan Sin-ni menjengek maka Sai-mo-ong sudah menyuruh keduanya duduk kembali, mengatur meja yang terjungkir-balik.

“Lo-mo, kalian katanya telah bertemu dengan si Singa Daratan Tandus itu. Benarkah?”

Hek-bong Siang-lo-mo tiba-tiba gelap mukanya. “Benar, dan kami mengeroyoknya bersama Siauw-bin-kwi ini, Mo-ong. Kau tahu darimana?”

“Aku mendengarnya dari kabar di luar. Katanya kalian kalah, benarkah?”

“Hm, siapa bilang?” Siauw-bin-kwi tiba-tiba bangkit bicara. “Kami melarikan diri bukan karena kalah, Mo-ong. Tapi karena sengaja untuk membuat onar dan huru-hara!”

“Maksudmu?”

“Kau sudah mendengar serbuan Jit-liong Ciangkun, bukan?”

“Ya.”

“Nah, itulah. Itu pekerjaan kami atas kesombongan si Singa Daratan Tandus itu. Aku mengadu dombanya. Mereka saling hantam dan sama-sama jatuh korban...!”