Pendekar Rambut Emas Jilid 09 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 09
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“AKU tak perlu memberitahukan nama. Namaku terlalu tinggi bagi kalian. Sebaiknya kalian pergi dan jangan mencari penyakit!” Salima mengusir, menggerakkan lengan menyuruh lelaki-lelaki itu pergi, duduk kembali dan menangis seperti tadi terisak-isak, tak menghiraukan Cen Hok dan kawan-kawannya itu yang melenggong melihat sikapnya.

Heran dan mengira gadis ini tak waras. Bisa menangis begitu saja padahal baru bicara seperti orang sehat. Hal yang aneh! Dan Cen Hok yang menjublak bengong tiba-tiba mendengar seruan seorang anak buahnya, yang tadi hendak mencolek Salima,

“Cen-twako, rupanya gadis ini gila. Tangkap saja dia dan telanjangi tubuhnya!”

“Ya,” yang lain tiba-tiba menyahut. “Gadis ini meskipun gila tapi cantik, twako. Sebaiknya belejeti dia dan kita nikmati beramai-ramai!”

Cen Hok tertegun. Dia melihat anak buahnya ribut-ribut, tertawa dan merubung maju seperti laron, siap memeluk atau menubruk Salima dari segala penjuru. Tapi Salima yang tiba-tiba bangkit berdiri dan berkilat memandang semua orang mendadak membuat semua orang menghentikan gerakannya.

“Tikus-tikus busuk, kalian tak dengar perintahku tadi? Kalian tuli dan minta mati?”

Semua orang membelalakkan mata, terkejut sejenak. “Nah, kalau begitu yang ingin kurang ajar kepadaku boleh maju!” Salima melanjutkan, memandang semua orang. “Yang ingin mencium boleh mencium!”

Semua orang tiba-tiba ribut. Mereka kembali bersuara gaduh seperti tadi, berbisik, tertawa-tawa dan menganggap Salima bersikap lucu. Maklum, ancamannya tadi disertai senyum yang masih mempesona itu, senyum yang mengembang dan membuat orang mengira gadis ini main-main, kilatan matanya tertutup oleh senyum yang manis itu. Senyum mengejek yang sebenarnya penuh nafsu membunuh! Dan ketika si pencolek yang tadi gagal melompat maju dan “mendaftar” untuk mendapatkan ciuman lebih dulu mendadak Salima memasang pipinya dan melebarkan senyumnya itu.

“Boleh, kalau begitu kau majulah!”

Orang itu tertawa-tawa. Dia sudah maju mendekat, lagi-lagi tak merasakan kilatan mata Salima yang mengerikan itu, tertutup oleh senyumnya yang manis mempesona dan membuat semua orang mabuk. Tapi ketika dia mendekat dan Salima menggerakkan jarinya mendadak sebuah jerit ngeri terdengar ketika laki-laki itu roboh dengan dahi tertembus jari telunjuk!

“Crat...!”

Semua orang gempar. Mereka langsung mundur melihat robohnya teman mereka itu, tak mengira jari telunjuk yang begitu halus mampu menembus dahi sekeras pisau. Jari yang mengejutkan! Dan Cen Hok serta anak buahnya yang tiba-tiba terkejut dan sadar mendadak menjadi marah dan mencabut senjata.

“Twako, gadis ini gadis siluman. Dia membunuh A-swie, tangkap dan bunuh dia...!” dan semua orang yang tiba-tiba kembali ribut dan membentak Salima tiba-tiba menyerbu dan menyerang gadis itu.

“Sing-singg...!”

Salima menjengek. Dia menjejakkan kakinya, mumbul ke atas seperti orang terbang. Dan ketika orang terkejut karena Salima menghilang begitu saja dengan cepat tahu-tahu golok dan pedang yang berhamburan menghujani gadis ini mendadak saling bacok dan bentur di tengah udara, mengenai sesama teman sendiri.

“Hei... crat-aduh!”

Orang-orang saling kaget. Mereka tak melihat kemana Salima pergi, maklum Salima mempergunakan ginkangnya yang luar biasa itu, mencelat ke atas di tengah-tengah hujan golok. Dan ketika orang-orang itu saling berteriak kaget karena golok atau pedang mengenai teman sendiri maka saat itulah Salima melayang turun. Gerakannya juga cepat, berputar ke kiri kanan dan tahu-tahu disusul pekik ngeri ketika tujuh kepala ditendang pecah, rontok dan terkulai roboh ketanah.

Dan ketika Salima berdiri di tempatnya semula dan kembali memandang orang-orang itu maka Cen Hok dan anak buahnya berteriak tertahan, mundur dengan muka pucat, melihat delapan mayat yang sekejap saja sudah malang-melintang di depan mereka!

“Siluman...!” Cen Hok sekarang sadar. Dia sekarang tahu bahwa gadis yang disangkanya biasa-biasa saja ini ternyata memiliki kepandaian begitu tinggi. Gerakannya cepat dan sukar ditangkap mata. Tapi melihat delapan anak buahnya roboh binasa mendadak laki-laki tinggi besar ini menjadi marah. “Siluman betina, kau kiranya iblis pembunuh!”

Cen Hok membentak, maju sendiri dan kini menyuruh anak buahnya yang masih banyak itu mengeroyok pula, menimbulkan keberanian anak buahnya karena sang pemimpin maju. Tapi begitu Salima menangkis dan menggerakkan kedua lengannya menerima senjata-senjata tajam itu mendadak golok dan pedang patah-patah bertemu kedua lengan telanjang gadis ini.

“Pletak-pletak!”

Cen Hok dan anak buahnya kaget bukan main. Mereka melihat Salima tertawa mengejek, dan ketika mereka terbelalak memandang tiba-tiba Salima menggerakkan kakinya ke bawah, menyontek dan menendang pedang dan golok yang patah-patah itu, berhamburan ke arah mereka dan tiba-tiba menyerang bagai hujan yang luar biasa banyaknya. Dan ketika patahan pedang maupun golok itu mengenai tubuh mereka dan menancap sampai tembus ke dalam maka Cen Hok dan anak buahnya berteriak ngeri dan roboh mandi darah, Cen Hok sendiri kutung kakinya sebatas lutut, dibabat patahan golok terbang!

“Crep-crep!”

Cen Hok dan anak buahnya bergelimpangan. Dua puluh tiga orang tiba-tiba tewas binasa, yang masih hidup tinggal Cen Hok dan dua anak buahnya, masing-masing buntung pergelangan tangan dan jari-jari kaki, darah mengucur bagai pancuran bocor! Dan Cen Hok yang merintih dan terbelalak memandang Salima tiba-tiba melihat gadis itu maju menghampirinya dengan sinar mata yang membuat laki-laki ini terbang semangatnya!

“Am... ampun, lihiap... ak... aku jangan dibunuh...!”

Salima berhenti. Dia telah berdiri di depan laki-laki yang tersungkur mandi darah ini, roboh dengan kaki putus. Dan Salima yang mengejek memandang yang lain tiba-tiba menginjak punggung lawan.

“Kau minta ampun setelah terlambat? Mana itu kegaranganmu semula?”

Cen Hok mengerang. “Ampunkan aku, lihiap... aku... aku tak tahu dengan siapa aku berhadapan...!”

“Hm, dan sekarang tahu?”

“Ya, tapi...”

Salima menggerakkan jarinya. Dia sudah terlanjur marah pada perampok-perampok kasar yang mengganggunya itu, kemarahan yang sudah ditahan-tahan sejak kekecewaannya terhadap suhengnya, Kim-mou-eng. Maka begitu Cen Hok meratap dan jarinya bergerak ke bawah tahu-tahu ubun-ubun laki-laki tinggi besar itu telah ditusuk ujung jarinya.

“Crep!” Cen Hok menjerit satu kali. Pemimpin rampok itu berkelejotan sejenak, mendelik dan akhirnya roboh dengan nyawa melayang. Tewas di saat itu juga. Dan ketika Salima menggerakkan kaki menendang dua kerikil hitam tiba-tiba dua anak buah Cen Hok yang masih hidup tapi terluka parah tiba-tiba juga menjerit ngeri roboh menyusul pemimpinnya itu.

“Aduh...!”

Suasana hutan sunyi kembali. Salima dengan tangan dingin telah menyelesaikan pertempuran itu. Pertempuran yang berat sebelah karena tentu saja para perampokitu bukan tandingannya. Gemas karena orang-orang itu tak mau pergi, mengeluarkan kata-kata kotor. Dan ketika semua orang menggeletak mandi darah dan Salima menendang mayat Cen Hok maka di saat itulah terdengar kekeh yang mengerikan di dalam hutan.

“Heh-heh, kau pantas menjadi anggota kami, Tiat-ciang Sian-li. Sepak terjangmu telengas dan cocok menjadi orang kedelapan dari Jit-mo Kang-ouw!”

Salima terkejut. Dia merasakan getaran kuat dari suara ketawa di dalam hutan itu, bumi berderak dan daun pohon bergerak -gerak, seolah kedatangan gempa. Tapi Salima yang tak melihat seorang pun keluar dari hutan tiba-tiba berkelebat ke dalam. “Kau siapa?”

Bentakan itu disambut kekeh yang semakin mengerikan. Tawa yang dalam dan bergulung-gulung mendadak membuat sebatang pohon roboh, hampir menimpa Salima? Dan Salima yang marah mendengar tawa di sebelah kirinya tiba-tiba melejit dan membentak gusar,

“Setan jahanam, kau siapa bersikap pengecut? Ayo keluar dan hadapi aku... krak-bumm!” Salima menghantam roboh sebatang pohon dimana tawa itu terdengar, pekik tertahan tapi tawa yang semakin terkekeh-kekeh, melingkar dan tak melihat sebuah bayangan pun di tempat itu. Dan ketika Salima marah-marah dan mengobrak-abrik pohon-pohon besar yang disangka sebagai tempat persembunyian lawan sekonyong-konyong tiga buah benda berwarna merah menyambar dirinya.

“Sshh...!”

Salima menjengek. Ia melihat tiga buah benda terbang itu bukan lain adalah tiga ular merah yang berbahaya, bisanya ganas dan tentu saja amat beracun. Tapi Salima yang meniup dan mengibaskan lengan ke depan tiba-tiba membuat tiga ekor ular yang menyambar mukanya itu roboh dan hancur di tengah jalan.

“Krekk!”

Tawa yang tadi bergulung-gulung mendadak lenyap. Salima mendengar seruan marah di sebelah kanannya, sebuah benda hitam tiba-tiba kembali menyambar dari belakang, kali ini jelas sebuah bokongan yang amat curang. Tapi Salima yang lagi-Iagi mendengus dan mengibaskan lengan tanpa menoleh tahu-tahu memukul runtuh benda terbang ini, yang lagi-lagi seekor ular.

“Pletak!”

Sekarang empat bangkai ular malang-melintang di depan kaki Salima. Salima tak mendengar lagi suara lawan yang ada di sebelah kanan, tapi mendengar suling ditiup dan tiba-tiba isi hutan bergerak oleh suara suling yang aneh ini, tinggi rendah melenggang-lenggok. Dan ketika Salima waspada dan siap mencari bayangan si penyuling tahu-tahu suara berkeresek terdengar di sekelilingnya dan ratusan ekor ular merayap datang!

“Ha-ha, kau bertemu dengan Coa-ong Tok-kwi, Salima. Anak buahku datang menyambut memberi hormat!”

Salima terbelalak. Dia jijik memandang ratusan ular yang tahu-tahu sudah mengepung, mendesis-desis disekitar dirinya dan tak ada jalan keluar lagi, melenggang-lenggok membuat dia ingin muntah karena bau yang amis dari ratusan ular itu benar-benar membuat perut mual. Tentu saja tak mau dikurung dan siap meloncat ke atas sebatang pohon, tak jauh dari tempatnya berdiri.

Tapi ketika suling ditiup tinggi dan puluhan ular merayap naik ke pohon yang diincar Salima mendadak Salima tertegun, melihat seluruh pohon sudah ditempeli oleh binatang-binatang melata itu, termasuk tanah dimana Salima berdiri, bergaris tengah sepuluh meter. Cepat sekali kejadiannya, sekejap mata! Dan Salima yang melotot memandang marah tiba-tiba melihat sebuah bayangan berkelebat, terkekeh-kekeh di belakang barisan ular itu. Seorang kakek tua yang hanya bercawat!

“Heh-heh, kau tak dapat keluar lagi, Tiat-ciang Sian-li. Sekarang dirimu terkepung dan tak mungkin terbang tanpa sayap!”

Salima tertegun, bersiap-siap menghadapi ratusan ular yang kini berhenti dalam jarak dua meter atas perintah suling yang mengalun rendah. “Kau siapa?” bentaknya marah, memandang kakek yang hanya bercawat itu dan membuat mukanya merah.

Tapi kakek kurus yang terkekeh-kekeh di belakang barisan ular itu menjawab pendek, “Aku Coa-ong Tok-kwi (Iblis Beracun Raja Ular)!”

“Darimana kau tahu nama julukanku?”

Kakek itu, yang bernama Coa-ong Tok-kwi tertawa nyaring. “Aku tahu karena aku telah mendengar ciri-cirimu, Salima. Kau gadis Tar-tar yang telah membuat onar di kota raja. Heh-heh, aku gembira, sepak terjangmu membunuh tikus-tikus busuk ini pantas mendudukkan dirimu dalam jajaran Jit-mo Kang-ouw!” dan Coa-ong Tok-kwi yang kembali terkekeh-kekeh mendadak meniup sulingnya menyuruh ular-ularnya menegakkan kepala.

“Anak-anak, beri hormat pada calon ibu kalian!”

Salima terbelalak. Dia melihat ratusan ular itu tiba-tiba mengangkat tubuhnya, sebatas perut, menegakkan kepala dan mendesis-desis di depan tubuhnya, secara aneh mengangguk dan kembali meletakkan tubuh ke tanah. Jadi persis orang memberi hormat. Dan ketika dia tertegun dan tak mengerti akan maksud kata-kata “calon ibu” mendadak Coa-ong Tok-kwi sendiri berlutut di belakang barisan ularnya dan menyembah padanya, mengangkat sebatang tongkat ular kering yang diacungkan ke atas.

“Tiat-ciang Sian-li, kita berjodoh menjadi suami isteri. Dewa Ular mempertemukan kita... wushh!” dan Coa-ong Tok-kwi yang tiba-tiba meniup tongkat ularnya mendadak menyemburkan lima jarum merah ke rambut Salima.

“Plak!” Salima terang menangkis, marah pada perbuatan kakek itu dan membuat Coa-ong Tok-kwi tertegun. Dan ketika Salima membentak dan melotot pada kakek itu maka Coa-ong Tok-kwi yang tinggi kurus dengan tubuh yang kerempeng itu mendelong mendengar kata-katanya.

“Coa-ong, aku bukan penyembah dewa ularmu. Kau jangan gila bicara tentang suami isteri!”

“Ah, kau menolak pertemuan ini?” Coa-ong terbelalak. “Kau merendahkan Dewa Ular yang telah mempertemukan kita untuk saling mengikat perjodohan? Uweh, jangan main-main kau, Tiat-ciang Sian-li. Kita telah ditakdirkan bertemu di sini dan berjodoh menjadi suami isteri. Aku telah lama menunggu-nunggu calon ibu anakku!”

Salima jijik, mual memandang cawat yang tampak dekil itu. Baunya minta ampun, tercium sampai sepuluh meter! “Coa-ong Tok-kwi!” gadis ini membentak. “Kau jangan gila-gilaan membicarakan soal jodoh. Kau tua bangka tak tahu malu, siapa sudi menjadi isterimu? Menjadi pelayanmu pun tak ada gadis yang sudi, apalagi menjadi isterimu. Cih, kau tua bangka gila yang tak tahu malu!”

Coa-ong Tok-kwi tiba-tiba terkekeh. “Tiat-ciang Sian-li, kau memang calon isteri yang aneh. Dewa Ular memberi tahu padaku untuk menyambutmu baik baik, kenapa sekarang kau memaki-maki aku? Lihat, meskipun tua aku masih kuat, Tiat-ciang Sian-li. Semalam aku dapat menggauli sepuluh gadis dusun tanpa letih. Kau tak perlu malu mendapat suami seperti aku!” dan Coa-ong Tok-kwi yang tiba-tiba tertawa dan menari meliuk-liukkan pinggang tiba-tiba meniup sulingnya. “Anak-anak, bawa calon ibumu ke mari!”

Salima terkejut. Suara suling yang melengking tinggi tiba-tiba membuat barisan ular yang tadi berhenti itu bergerak, merayap maju dengan mulut terbuka, mendesis-desis, tubuh melenggang-lenggok menuruti irama suling. Sebentar kemudian sudah di depan kaki Salima. Dan Salima yang tentu saja marah dan mengira ular-ular itu akan menyerang dirinya mendadak berkelebat ke depan menginjak hancur ular-ular yang berada paling dekat.

“Kres-kres!”

Coa-ong Tok-kwi terbelalak. Dia otomatis menghentikan tiupan sulingnya, membuat ular yang tadi bergerak juga berhenti. Dan ketika Salima mundur kembali dan Raja Ular ini mendelik akhirnya kakek itu mencak-mencak. “Tiat-ciang Sian-li, kenapa kau membunuh-bunuhi calon anak-anak tirimu sendiri? Mereka tidak menyerang, mereka akan membawamu baik-baik dan tidak menggigit!”

Salima menjengek, tentu saja tak percaya. “Kalau mereka tak menyerang tentunya tak akan membuka mulut, Tok-kwi. Tapi karena mereka bergerak maka mereka juga akan kubunuh!”

“Tidak bisa! Mereka anak-anak yang baik, mereka penurut pada suara sulingku. Lihat...!” dan Coa-ong-Tok-kwi yang kembali meniup suling tinggi rendah tiba-tiba menyuruh barisan ularnya menari. “Hayo, tunjukkan pada calon ibu kalian bahwa kalian anak-anak baik, anak-anak. Menari dan melengganglah sesuka hati. Yang lucu, buat ibu kalian tertawa!”

Salima mengerutkan kening. Dia melihat Coa-ong ini rupanya orang tidak waras, gerak-geriknya gila tapi rupanya lihai bukan main. Suara tawanya cukup membuktikan khikangnya yang kuat. Dengan tawa yang begitu saja mampu merobohkan sebatang pohon! Dan Salima yang waspada memandang ke depan tiba-tiba hampir terkekeh melihat ratusan ular itu tiba-tiba bergerak, maju mundur melenggang-lenggok dan beberapa diantaranya bahkan saling belit, berdiri dan bercumbu dan akhirnya berpacaran antara yang betina dan yang jantan, mengikuti perintah Raja Ular itu. Dan ketika suara suling meninggi dan iramanya menunjukkan irama panas tiba-tiba Coa-ong tertawa.

“Lihat, mereka kawin di depan mata kita, Sian-li. Itulah cara anak-anak memadu berahi!”

Salima semburat mukanya. Pasangan ular yang “berpelukan” di depan matanya itu mendadak lekat menjadi satu, berdiri dengan cara yang aneh karena kedua tubuh ditunjang oleh ekor, saling belit dan kedua muka menjadi satu. Dan ketika yang jantan melepaskan hajatnya dan sang betina roboh ke tanah tiba-tiba Salima merah mukanya ketika melihat tubuh dua ekor ular itu penun lendir!

“Ha-ha, bagaimana, Sian-li? Nikmat mereka bermesraan, bukan?”

Salima muak. Dia jengah dan juga marah oleh pertunjukan yang dilakukan oleh Raja Ular ini, cepat melengos ketika pasangan yang lain roboh ke tanah dan satu-persatu melepaskan diri, maklum bahwa hajat sang jantan telah terlampiaskan. Dan Salima yang melotot dan marah memandang kakek itu akhirnya membanting kaki berseru nyaring, “Tok-kwi, aku muak dengan segala pertunjukanmu ini. Usir ular-ularmu dan jangan ganggu aku!”

“Heh -heh, itu tentu kulakukan kalau kau mau memenuhi permintaanku, Sian-li. Kita menjadi suami isteri dan bikin anak-anak yang banyak!”

“Cih!” Salima semakin marah. “Kau tak mau mengusir ular-ularmu ini? Baik, kalau begitu mereka akan kubunuh!” dan Salima yang sudah berkelebat ke depan mendorongkan tangannya ke kiri kanan tiba-tiba melepas pukulan membunuh ular-ular itu, marah dan tak mau banyak bicara lagi dengan Coa-ong Tok-kwi yang gila itu, membuat ular-ular itu mendesis dan banyak diantaranya yang terlempar oleh pukulannya, hangus oleh Tiat-lui-kang yang berhawa panas.

Tentu saja mengejutkan si Raja Ular itu yang melihat Salima benar-benar membunuh ular-ularnya. Dan ketika Salima juga mulai berlompatan dan menginjak hancur kepala ular-ular yang ada di situ dan masih diam karena Coa-ong belum meniup sulingnya sebagai tanda, mendadak kakek bercawat ini membentak dan mulai meniup sulingnya itu, tinggi dalam nada marah!

“Anak-anak, serang dan tangkap wanita liar itu...!”

Ratusan ular itu tiba-tiba bergerak. Salima mungkin telah membunuh tigapuluh ekor, sementara yang belasan ekor menggeliat-geliat dalam sekarat. Tak ada yang melawan karena perintah si Raja Ular belum terdengar. Tapi begitu Coa-ong meniup sulingnya dan nada tinggi yang marah itu jelas sebagai aba-aba menyerang mendadak ratusan ular yang merayap ke depan dengan cepat itu sudah menyerbu Salima.

“Ssh-sshh...!”

Salima terbelalak. Dia melihat lidah yang menjulur keluar masuk itu, lidah yang bercabang dari ular yang beraneka ragam. Ada besar ada kecil, semuanya menyerbu mengikuti perintah suling. Dan Salima yang tentu saja marah dan jijik tak mau ditangkap tiba-tiba melengking tinggi dan mengibaskan tangannya ke sana-sini, memukul dengan Tiat-lui-kang hingga sebentar kemudian seratus ular roboh bergelimpangan, menggunduk di depan kakinya, merupakan daging menjijikkan yang menggeliat-geliat lemah.

Dan ketika Coa-ong meniup sulingnya semakin tinggi dan ular-ular yang masih hidup menyerang tanpa menghiraukan kematian teman-temannya yang lain tiba-tiba Salima pusing dan mau muntah oleh bau yang amat amis dan uap beracun yang mulai keluar dari tubuh ular-ular itu.

“Coa-ong, berhenti. Kalau tidak kubunuh semua ular-ularmu ini!”

Coa-ong tak menghentikan tiupan sulingnya. Dia melihat Salima mulai batuk-batuk, berlompatan sambil terus melepas pukulan, hebat sekali karena ular tak ada yang dapat mendekati tubuhnya dalam jarak dua tombak, selalu terlempar dan mati sebelum menggigit gadis Tar-tar itu. Tapi karena uap beracun semakin memenuhi tempat itu dan jumlah ular juga luar biasa banyaknya hingga Salima semakin pusing mendadak gadis ini mulai terhuyung dan muntah-muntah, tak dapat menahan mualnya perut!

“Ha-ha, sekarang kau roboh, Salima. Anak-anakku akan memberimu pelajaran dan tunduk padaku...!” Coa-ong Tok-kwi tertawa, betapapun kagum tapi juga marah melihat ular-ularnya tinggal separoh, bangkainya menggunduk dimana-mana dan Salima mulai limbung, tak dapat keluar dari tempat itu karena delapan penjuru sudah dipenuhi ular yang demikian banyak. Dan ketika Salima memaki-maki dan mengeluh mendekap dadanya yang sesak tiba-tiba tanpa diduga seseorang muncul membawa obor.

“Lihiap, ular takut dengan api. Terimalah ini...!”

Salima dan Coa-ong Tok-kwi terkejut. Mereka melihat munculnya seorang pemuda bertubuh tegap, usianya sekitar tigapuluh tahun dan gagah dengan dagu berlekuk, matanya bersinar-sinar. Dan ketika Salima tertegun dan pemuda itu melempar obornya maka barisan ular tiba-tiba menyibak dan mundur ketakutan.

“Wutt!” Salima menangkap obor itu, mendengar Coa-ong berteriak marah dan ular tiba-tiba membalik, mendesis-desis menjauhi obor yang dipegang. Sebentar kemudian lari berserabutan dan saling menyusup diantara teman sendiri, tentu saja membuat Coa-ong marah dan mencak-mencak. Dan ketika suling berhenti ditiup dan kakek bercawat itu berkelebat ke arah pemuda yang baru datang ini mendadak si Raja Ular melepaskan totokan ke ubun-ubun pemuda itu.

“Orang she Yu, kau berani mati!”

Pemuda itu mengelak. Dia tak berani menerima totokan, terang terlalu berbahaya baginya. Tapi Coa-ong yang menggerakkan kaki dari bawah tahu-tahu menendang membuat pemuda itu terlempar. “Dess!” pemuda itu berteriak kaget. Dia bergulingan menjauh, meloncat bangun dan secepat kilat mencabut siang-kiam (sepasang pedang), melihat bayangan kakek bercawat itu mengejarnya. Dan ketika suling bergerak dan kembali menotok ubun-ubun kepalanya maka pemuda gagah yang sudah melenting bangun ini langsung menangkis.

“Trak!”

Salima terbelalak. Dia melihat pedang pemuda itu mental, kalah oleh suling di tangan Coa-ong Tok-kwi, kalah tenaga. Dan Coa-ong yang sudah menggerakkan kaki dari kiri ke kanan tiba-tiba membuat pemuda itu mencelat dan jatuh di tengah-tengah barisan ular!

“Heii...!”

Salima melihat adanya bahaya. Dia melejit dan mendorongkan lengannya, tapi si pemuda yang berjungkir balik dan mempergunakan pedang menusuk tanah tahu-tahu sudah berjempalitan dan keluar dari kepungan ular, dipandang kagum oleh gadis Tar-tar ini yang melihat orang mengusap peluh. Dan ketika dua mata bentrok dan pemuda itu mengucap terima kasih atas bantuan Salima yang gagal karena si pemuda sudah mampu menyelamatkan diri sendiri maka Salima tergetar oleh senyum pemuda tak dikenal itu.

“Lihiap, terima kasih. Coa-ong memang cukup berbahaya!”

Salima tertegun. Barisan ular sekarang sudah menjauhi mereka, meskipun masih mengepung. Dan si pemuda tak dikenal yang kini berada di tengah kurungan ular bersama dirinya tiba -tiba menghadapi Coa-ong Tok-kwi yang marah-marah mengepal tinju.

“Siang-kiam-houw Yu Bing, kau benar-benar mencari penyakit. Kubunuh kau, keparat!”

Siang-kiam-houw (Harimau Berpedang Sepasang) yang berdiri di sebelah Salima tersenyum mengejek, tak kelihatan takut sedikitpun. “Tok-kwi, kau berkali-kali menyatakan hendak membunuhku. Tapi setiap kali itu pula aku selamat. Apakah ancamanmu kali ini juga terbukti? Kau memang iblis yang berbahaya, Tok-kwi. Tapi aku orang she Yu akan selalu menentangmu setiap kejahatan kau perbuat!”

“Keparat, apakah pamanmu tidak mengajar adat padamu? Kenapa kau selalu usil mencampuri urusanku?” si Raja Ular mencak-mencak, agaknya memandang seseorang yang berada di belakang pemuda itu.

Tapi si Harimau Berpedang Sepasang yang gagah mengedikkan kepalanya justeru menghadapinya dengan tenang. “Tok-kwi, tak perlu kau menyebut-nyebut pamanku. Kita berhadapan secara pribadi. Kau majulah kalau kau ingin mengganggu nona ini!”

“Kau minta mampus?”

“Kalau kau bisa membunuh aku. Aku siap membela nona ini!” dan Siang-kiam-houw Yu Bing yang membuat Coa-ong Tok-kwi mencak-mencak dan semakin marah tiba-tiba memencet tongkat ularnya dua kali.

“Bocah, mampuslah... cet-cett!”

Yu Bing mengelak. Dia lupa kalau Salima kebetulan ada di belakangnya, ganti menerima sambaran dua sinar merah itu yang bukan lain adalah jarum-jarum berbahaya. Tapi Salima yang meniup dan memukul runtuh dua jarum itu tiba-tiba melompat maju ke depan, penasaran dan marah pada kakek iblis ini.

“Saudara Yu, kau mundurlah...!”

Yu Bing terkejut. Saat itu Coa-ong kembali menyerang, tiga sinar hitam kali ini menyambar mukanya. Tapi karena Salima meloncat ke depan dan otomatis menerima sambaran tiga sinar hitam itu maka Yu Bing berteriak kaget ketika Salima tak mengelak. “Nona, awas...!”

Salima tersenyum mengejek. Dia terang tahu sambaran tiga sinar hitam itu, sengaja tidak mengelak, menggerakkan lengan dan mengepret dengan kelima jarinya mempergunakan Tiat-lui-kang. Dan ketika jarum kembali dipukul runtuh dan Salima sudah berhadapan dengan kakek iblis itu sementara ular di sekeliling dirinya kian mundur menjauh karena takut pada obor di tangan kirinya maka Coa-ong terbelalak sementara Yu Bing terpesona memandang kagum.

“Tok-kwi, kau kiranya suka mempergunakan senjata-senjata rahasia. Nah, mari kita bertempur dan biarkan ular-ularmu menyingkir... blub!” Salima melempar obor di tengah-tengah barisan ular, tiba-tiba membuat ular berserabutan menyingkir karena obor meledak, tumpah minyaknya dan seketika membuat kebakaran di tempat itu, menjilat ranting-ranting kering dan tentu saja ular-ular itu berlarian menjauh, kelabakan! Dan ketika Coa-ong berteriak dan Salima bebas menghadapi kakek ini maka Siang-kiam-houw Yu Bing juga melompat maju, khawatir membiarkan Salima.

“Nona, mundur. Biarkan aku saja yang menghadapinya!”

Salima menggeleng. “Tidak, biarkan aku yang menghadapinya, saudara Yu. Lebih baik kau gebah saja ular-ular yang lain kalau kakek ini memerintahkan anak buahnya.”

“Tapi iblis ini licik sekali, nona. Dia...”

“Sudahlah,” Salima memotong. “Aku tak takut pada segala kecurangannya, saudara Yu. Kau mundur dan biarkan aku sendiri!”

Yu Bing tertegun. Dia melihat kekerasan Salima yang tak dapat dibantah, kembali beradu dengan sinar mata si gadis Tar-tar yang dingin menusuk tulang, angkuh dan agak sombong. Perintahnya seperti perintah seorang ratu! Dan Yu Bing yang menghela napas mengangguk mundur akhirnya berkata perlahan, “Baiklah, tapi hati-hati menghadapinya, nona. Coa-ong Tok-kwi terkenal sekali dengan permainan Sin-coa-kunnya. Tongkatnya menyimpan banyak senjata rahasia yang aneh-aneh!”

Salima tersenyum, senyum ewah. Tak menghiraukan kata-kata itu dan percaya pada kemampuan diri sendiri. Dan ketika lawan mendelik meremas tongkat dia sudah berkata menantang, menggosok telapak tangannya bersiap-siap dengan Tiat-lui-kang, “Coa-ong, kau boleh maju kalau ingin merasakan kelihaianku. Pergunakan senjatamu, aku akan bertangan kosong!”

“Hieh!” kakek ini mendelik. “Kau sombong berani mati, Tiat-ciang Sian-li? Kalau begitu awas, aku akan membekukmu ... heh!” dan Coa-ong Tok-kwi yang menggeliatkan pinggang seperti ular sekonyong-konyong membentak menubruk ke depan, kedua lengan terulur cepat membentuk paruh, atau mungkin kepala ular. Dan ketika tangan yang mirip moncong itu mendekati sasaran tiba-tiba kakek ini membuka jarinya dan secepat kilat memagut.

“Wussh...!” Salima mendengar desis seperti ular, tertawa dingin dan tidak mengelak pagutan itu. Dan ketika lawan menubruk dan dia ingin mengadu kekuatan tiba-tiba dengan bentakan yang sama dia menangkis dan mengerahkan Tiat-lui-kangnya itu.

“Plak!”

Coa-ong Tok-kwi berteriak tergetar. Lengannya mental, terbelalak melihat tangan lawan yang merah seperti besi membara, panas menyengat dan membuat dia kaget. Tapi Coa-ong Tok-kwi yang sudah membalik seperti ular mendadak meliuk dan kembali menyerang, kali ini tangan kirinya menyambar, juga membentuk paruh atau moncong ular itu, mematuk dan memagut, sebentar kemudian membuka dan menutup seolah ular yang menggigit, gerakannya cepat dan melenggang-lenggok dengan pinggang patah-patah.

Hebat dan berbahaya sekali karena kedua lengannya mulai mengeluarkan bau amis, berlendir dan tiba-tiba membuat Salima mengerutkan kening. Jijik separuh heran bagaimana kakek itu dapat mengeluarkan bau wengur, persis seperti ular beracun. Dan ketika dia menangkis dan kali ini lengannya meleset bertemu lengan lawan yang licin menjijikkan sekonyong-konyong Coa-ong Tok-kwi berkelebat lenyap terkekeh-kekeh, menyerang dari segala penjuru.

Sebentar kemudian lendir yang membasahi kedua lengannya itu bercipratan ke sana ke mari, membuat Salima ingin muntah, harus menampar atau mengibas mempergunakan ujung bajunya agar lendir yang bercipratan itu tak mengenai tubuhnya. Dan ketika Coa-ong juga mempergunakan sulingnya dan senjata pemanggil ular itu mengaung-ngaung mengiringi Sin-coa-kunnya mendadak Salima terdesak dan kaget ketika suara suling menggelitik membuat telinganya gatal.

“Awas, tutup pendengaranmu dari suara suling, nona. Kakek itu mempergunakan Sin-coa-siauw-imnya (Suara Suling Ular)...!” Yu Bing berseru, melihat Salima terdesak dan sudah menutupi telinganya sendiri dengan kapas, terpengaruh dan gatal pula oleh Suara Suling Ular yang dilancarkan kakek itu.

Dan Salima yang membentak menyobek baju sendiri tiba-tiba menyumbat telinganya menuruti seruan Siang-kiam-houw, memang benar dapat menahan suara suling yang membuat telinga gatal itu, tentu saja membuat Tok-kwi marah-marah dan mencak-mencak memaki pemuda itu. Dan ketika Salima dapat bertahan dan melengking tinggi sekonyong-konyong dia telah membalas dan ganti menyerang kakek itu.

“Plak-plak-plak!”

Salima mulai maju kembali. Dia mempergunakan Tiat-lui-kangnya itu, Tamparan Tangan Petir, membalas dan mendesak lawan dengan tubuh berkelebatan. Dan ketika Salima juga mengerahkan ginkang dan berteriak mengimbangi kakek itu tiba-tiba pertempuran seru terjadi diantara dua orang ini, saling pukul dan tangkis, saling tak mau mengalah dan desak-mendesak. Sebentar saja limapuluh jurus berlangsung dengan cepat. Dan ketika Salima juga berani menangkis suling dan senjata di tangan kakek itu mulai berpeletakan bertemu Tiat-lui-kang mendadak beberapa saat kemudian senjata itu hancur.

“Prakk!”

Coa-ong Tok-kwi memaki kalang-kabut. Dia membuang sulingnya itu, marah bukan main, dipandang terbelalak oleh Yu Bing yang kagum akan kehebatan Tiat-lui-kang. Maklum, Tiat-lui-kang ternyata lebih ampuh dibanding sepasang pedangnya itu, yang tadi bahkan terpental dan tak mampu membacok suling. Padahal senjata itu terbuat dari bambu! Dan ketika suling hancur dan Salima ganti mendesak kakek itu dengan tamparan atau kepretan jarinya yang bertubi-tubi mendadak kakek ini mencabut tongkat ularnya.

“Tiat-ciang Sian-li, kali ini kau tak dapat menghancurkan senjataku!”

Salima bersinar-sinar. Dia besar hati oleh gebrakan terakhir tadi, mampu meremukkan suling dan melihat sinkangnya hampir berimbang dengan kakek itu. Tiat-lui-kangnya mampu menghadapi lawan meskipun hancurnya suling belum boleh dibilang suatu kemenangan baginya, karena kini lawan mengambil senjata baru yang lebih hebat, sebatang tongkat ular yang lebih keras dan liat. Dan ketika benar kakek itu maju kembali dan Tiat-Iui-kang tak dapat menghancurkan tongkat karena senjata di tangan kakek itu bisa lentur dan membalik secara aneh tiba-tiba Tok-kwi terkekeh dan melepas jarum-jarum beracunnya.

“Heh-heh, ini lebih berbahaya, Sian-li. Kau akan roboh dan terjungkal di hadapanku... cet-cet!” Coa-ong memencet gagang tongkatnya, menyemburkan tiga sinar kuning yang berkeredep seperti emas, menyambar dan membuat Salima terkejut karena jarak mereka terlalu dekat.

Dan ketika dia membentak dan terpaksa menangkis maka kakek bercawat yang kembali di atas angin ini mendesaknya, dipandang gelisah oleh Siang-kiam-houw Yu Bing yang terbelalak melihat Salima harus menangkis dan berkali-kali membatalkan serangannya sendiri, diganggu oleh semburan senjata-senjata rahasia yang melesat tanpa disangka-sangka. Dan ketika Salima kembali mundur-mundur dan Coa-ong Tok-kwi melancarkan pukulan dengan tangan kiri mendadak jari yang kurus-kurus panjang itu mulur!

“Heh-heh, mampus kau, bocah...!”

Salima terkejut. Dia baru meruntuhkan lima jarum merah yang menyambar mukanya, mau membalas dan melihat lawan sudah menubruk dengan tangan terulur itu, mendengar jari-jari berkerotok dan tangan lawan memanjang. Dan ketika dia terkejut dan mengelak sambil membentak tahu-tahu tangan yang mulur seperti karet itu mencengkeram dadanya!

“Aih... bret!”

Salima membanting tubuh bergulingan. Dia hampir saja diremas dadanya, cepat melompat bangun, mendengar kakek itu tertawa kurang ajar dan baju luarnya koyak, memperlihatkan baju dalam. Dan ketika Coa-ong mengejar dan kakek itu kembali memencet tongkat untuk melepas jarum tiba-tiba Salima melengking tinggi mencabut benderanya, ingat pada bendera Tar-tar yang dulu dipergunakan untuk mempengaruhi suhengnya agar pulang keluar tembok besar.

“Coa-ong, kau tua bangka keparat... crep-crep!” Salima mengebut benderanya, menyambut tujuh sinar hitam yang kini menancap di kain benderanya itu, mengejutkan lawan. Dan ketika Coa-ong terbelalak dan kaget melihat gadis itu mencabut senjata yang aneh tahu-tahu Salima telah mengibas dan mengebutkan benderanya untuk kedua kali untuk meretour jarum-jarum beracun ke arah pemiliknya, tujuh sinar hitam yang kini terbang dan menyambar Coa-ong Tok-kwi!

“Aih, tak-tak-tak...!” Coa-ong menangkis, mempergunakan tongkat ularnya itu untuk meruntuhkan jarum-jarum sendiri. Dan ketika dia tergetar dan membelalakkan mata tahu-tahu Salima telah melompat dan menyerbu dengan benderanya itu.

“Wut-wuut...!”

Coa-ong terkejut. Kain bendera menyambar secara berkibar, bergerak dari atas ke bawah. Siap menakupi kepalanya dan membuat pandangan terhalang. Tentu saja berbahaya. Dan ketika dia menangkis dan tongkat bergerak ke depan tahu-tahu pukulan Tiat-lui-kang menyambar dari bawah tersembunyi oleh kain bendera.

“Dess!” kakek ini mencelat. Dia menjerit marah, terpukul mentah-mentah dan menerima pukulan dengan telak. Dada terasa panas dan sukar bernapas. Ampeg. Dan ketika dia memaki-maki dan melompat bangun Salima sudah mengejar dengan pukulan seperti itu, mengibaskan kain bendera sementara Tiat-lui-kang menyambar dari belakangnya, terlindung, tertutup karena kain bendera bergerak kian ke mari mengebut dan menghalangi pandangannya. Tentu saja berbahaya dan membuat kakek ini mencak- mencak. Kalang-kabut. Dan ketika Salima menyerang dan tidak memberi kesempatan kakek itu membalas tiba-tiba Coa-ong terdesak dan mundur-mundur dengan muka pucat. Benar-benar kewalahan!

“Tiat-ciang Sian-li, kau wanita curang! Benderamu menutupi mata!”

Salima tak peduli. Dia tersenyum mengejek mendengar lawan berkaok-kaok, terus mendesak dan kembali mendaratkan Tiat-lui-kang di tubuh kakek itu, kali ini mengenai lehernya. Tapi Coa-ong yang dapat bangun kembali dan terus bertahan diam-diam membuatnya kagum juga. Kalau tidak memiliki sinkang kuat tak mungkin Raja Ular ini mampu menerima Tiat-lui-kang. Tentu remuk dan hangus tubuhnya.

Tapi si kakek yang hanya memar dan kebiruan saja menerima pukulannya menunjukkan kekuatan kakek ini, hal yang membuat Salima penasaran dan justeru memperberat tekanan. Dan ketika kembali lawan menerima Tiat-lui-kang dan Coa-ong terguling-guling sambil mengumpat caci tiba-tiba Salima berkelebat melepas pukulan berbareng.

“Tok-kwi, kau mampuslah...!”

Raja Ular ini terbelalak. Dia melihat Salima mengebutkan bendera, gagangnya menotok sementara Tiat-lui-kang kembali menyambar dibalik kain bendera, menuju ulu hatinya. Dua serangan berbahaya yang tidak kalah satu sama lain. Dan Tok-kwi yang pucat menggereng marah tiba-tiba menggerakkan tongkatnya, menangkis bendera sementara tangan kirinya merogoh baju mengeluarkan seekor ular kecil berkulit emas. Dan begitu Tiat-lui-kang menyambar dan tongkat bertemu bendera mendadak kakek ini melempar ular emasnya ke pundak Salima, membuat Yu Bing berteriak kaget.

“Awas, Kim-siauw-liong (Naga Kecil Emas), nona...!”

Salima terkejut. Dia melihat berkelebatnya ular emas itu, mencium bau harum yang enak tapi memabukkan. Tentu saja kaget karena maklum bahwa itu kiranya ular simpanan Coa-ong. Ular beracun yang paling berbahaya di dunia, Kim-siauw-liong, ular bertubuh harum tapi bisanya luar biasa ganas! Dan Salima yang menarik bendera mengebut ular ini tiba-tiba berseru kaget ketika Kim-siauw-liong menggigit dan menerobos kain bendera yang sudah berlubang itu, menyambar dan tetap menuju pundaknya untuk menancapkan bisanya, padahal saat itu Coa-ong terkekeh dan terbanting menerima Tiat-lui-kang, memandang Kim-siauw-liong yang merupakan ular tak kenal menyerah, akan menggigit korban sampai korban roboh!

Dan Salima yang tentu saja marah dan melempar tubuh bergulingan mendadak melihat ular itu sudah mendekati pundaknya, membuka mulut lebar-lebar dan dua taringnya yang kecil putih itu siap memagut, harum tubuhnya semakin menyengat dan membuat Salima pening. Tapi Yu Bing yang berkelebat ke depan melempar sesuatu tiba-tiba menghentikan gerakan ular yang otomatis menggigit dan terkejut oleh sambaran benda ini, sebuah lengan karet yang menyerupai lengan manusia.

“Awas... crep!” ular itu menggigit marah. Dia tertahan oleh lengan ini, mendesis mengejutkan Coa-ong yang melihat ularnya jatuh ke tanah, gagal menyerang Salima yang bergulingan menyelamatkan diri. Dan ketika gadis itu melompat bangun dan Coa-ong membentak memaki Yu Bing tiba-tiba kakek itu melejit menyambar ularnya.

“Siang-kiam-houw, kau pemuda tak tahu aturan!”

Yu Bing mengelak. Dia melihat kakek itu melepas sebuah jarum, bersiap-siap kalau kakek itu lagi-lagi menyerang. Tapi Coa -ong yang telah menyambar ularnya dan melompat pergi ternyata melarikan diri, hanya memaki dan menyerang pemuda itu sekali saja, memekik-mekik dikejauhan dan rupanya penasaran atas bantuan pemuda itu kepada Salima, gadis yang hampir saja dia robohkan.

Dan Salima yang tertegun melihat kakek itu melarikan diri tiba-tiba membentak, “Coa-ong, jangan lari kau...!” tapi baru menggerakkan kaki mengejar mendadak Salima terguling dan mengeluh roboh.

“Aih... bluk!”

Yu Bing terkejut. Dia melihat Salima terguling tanpa sebab, melihat gadis itu mengeluh dan tidak melompat bangun. Dan ketika dia berkelebat menghampiri dan berseru memanggil Salima ternyata Salima telah pingsan oleh bau harum Kim-siauw-liong yang tersedot hidungnya. Harum ular yang mengandung racun!

“Ah, celaka...!” Yu Bing sadar, teringat akan berbahayanya ular itu yang amat ganas. Bau tubuhnya saja sudah cukup membuat orang pingsan. Dan Yu Bing yang cepat bergerak menyambar Salima tiba-tiba terbang dan meninggalkan tempat itu menuju ke barat, khawatir kalau Coa-ong kembali dan tempat itu tak aman untuk menolong Salima. Dan begitu dia mengerahkan ginkang membawa Salima akhirnya Siang-kiam-houw Yu Bing ini lenyap meninggalkan hutan sementara Coa-ong juga melarikan diri atas kegagalannya merobohkan Salima.

* * * * * * * *

“Nona, bagaimana?”

Salima membuka mata. Dia berada disebuah gua yang terang saat itu, masih pening dan mendengar pertanyaan Siang-kiam-houw Yu Bing, pemuda yang gagah dan menolongnya itu. Dan ketika Salima lapat-lapat teringat semua kejadian di dalam hutan dan terkejut oleh bayangan Coa-ong mendadak gadis ini melompat bangun tapi roboh terguling, kaget melihat tenaganya seakan hilang begitu saja!

“Ah, mana setan tua itu, saudara Yu? Kenapa tenagaku hilang begini?”

Salima pucat, ditolong Yu Bing yang cepat mengangkatnya bangun, tergetar meraba pundak yang halus dan mata yang terbelalak bersinar-sinar itu. Dan Yu Bing yang menahan debaran jantung dan mendudukkan Salima di pembaringan batu lalu memejamkan mata berkata perlahan, “Coa-ong tak ada di sini lagi, nona. Kau aman di tempat tinggalku sendiri.”

Salima tertegun. “Begitukah?” dia melihat orang memejamkan mata. “Kenapa kau menutup matamu, saudara Yu? Sakitkah?”

Yu Bing tersenyum. “Tidak,” katanya mengherankan Salima, kini membuka matanya itu. “Aku tidak apa-apa, nona. Tapi...”

“Tapi kenapa mulutmu meringis?” Salima memotong, melihat bahwa ketika memejamkan mata tadi pemuda ini seperti orang meringis, seakan menahan sakit. Jadi mengherankan hatinya kalau sekarang pemuda ini tersenyum. Dan Yu Bing yang tertawa pahit dengan muka merah tiba-tiba menunduk menghela napas.

“Aku tidak apa-apa, nona. Aku, hm... aku hanya kagum akan kepandaianmu yang hebat itu!”

Salima tak percaya. Dia melihat pemuda itu berbohong, menyembunyikan sesuatu. Tapi Yu Bing yang berkata akan mengambil bubur tiba-tiba meninggaIkannya sebentar dan menyuruh dia beristirahat, mengumpulkan tenaga. “Maaf, aku harus menyiapkan makananmu, nona. Seharian kau pingsan membiarkan perutmu kosong. Tunggu sebentar...”

Salima tertegun. Ia melihat pemuda itu telah lenyap meninggalkannya, terbelalak juga mendengar dirinya pingsan sehari penuh. Dan ketika pemuda itu pergi dan ia merasa perutnya lapar tiba-tiba Salima menjadi malu ketika perutnya berkeruyuk! Dan tak lama kemudian Yu Bing muncul, membawa semangkok besar bubur ayam dan teh panas, tersenyum padanya, meletakkan itu di atas meja.

“Nona, kau harus memulihkan tenagamu dengan cepat. Hawa beracun dari ular Kim-siauw-liong telah lenyap meninggalkan tubuhmu. Ayo makan!”

Salima kembali tertegun. Dia melihat pemuda itu mempersiapkan segalanya dengan cepat, ramah dan tertawa padanya menyuruh makan. Tapi ketika pemuda itu hendak meninggalkannya dan Salima bangkit duduk tiba-tiba dia mengulapkan lengan berseru memanggil, “Saudara Yu, tunggu...!”

Yu Bing berhenti. “Ada apa, nona?”

“Kau hendak kemana?”

“Aku, ah... aku hendak mengisi bak mandi, nona. Membiarkanmu makan dengan bebas dan setelah itu mandi kalau kau ingin membersihkan dirimu!”

“Hm,” Salima heran juga. “Di sini ada sumber air?”

“Ya, di belakang, nona. Dan aku membuat bak mandi dari tong kayu. Kau dapat mandi setelah makan!” Yu Bing tertawa, kembali hendak keluar tapi dicegah Salima. Dan ketika pemuda itu heran dan ganti membelalakkan mata maka Salima bangkit berdiri memandang bubur ayam yang masih panas itu.

“Siapa yang membuat ini?”

“Aku sendiri.”

“Kau tak berteman?”

“Maksudmu?” Yu Bing bertanya heran. “Kau tak beristeri? Kau belum berkeluarga?”

Yu Bing tiba-tiba terbahak. “Nona, apa maksudmu dengan pertanyaan itu? Aku tinggal sendiri di sini, aku belum berkeluarga dan tidak mempunyai isteri!”

Salima mengerutkan kening, masih serius. “Kalau begitu kau pintar masak!” katanya sungguh-sungguh. “Bubur ayam ini rupanya mirip bubur naga yang biasa dihidangkan untuk kaisar!”

Yu Bing terkejut, tiba-tiba menghentikan tawanya. “Nona tahu itu?”

“Tentu saja!” Salima bangga menjawab. “Kau memberi keningar dan kembang cengkeh di sini. Bubur itu harum dan merupakan salah satu makanan yang paling digemari kaisar. Aku heran bagaimana kau dapat membuat itu!”

Yu Bing membelalakkan mata lebar-lebar. “Nona, kau sungguh hebat sekali. Tebakanmu tidak meleset sedikit pun juga. Itu memang bubur naga yang dagingnya kuganti dengan ayam!”

“Dan kau membiarkan aku makan sendiri?”

“Ah, maumu...?”

“Aku tak habis makan sedemikian banyak, saudara Yu. Sebaiknya bagi dua dan kau juga makan sebagian!” Salima duduk, memandang dengan mata bersinar dan kagum pada pemuda yang pandai menghidangkan bubur sedemikian lezat.

Tapi Yu Bing yang tertawa lebar tiba-tiba melompat keluar. “Nona, kau habiskan saja masakan itu. Kalau tidak biar sisanya nanti kumakan!”

“Apa?”

Tapi Yu Bing telah lenyap. Salima mendengar tawanya yang gembira di luar sana, terkejut dan merah mukanya mendengar pernyataan orang. Tapi menganggap pemuda itu main-main dan berolok-olok saja, Salima duduk dan sudah menghadapi buburnya. Perut yang lapar tiba-tiba terasa makin lapar. Maklum, bubur itu amat harum dan sedap sekali, membuat perut merintih dan Salima tidak sungkan-sungkan lagi menyikatnya, sebentar kemudian melahap dan merasa tenaganya mulai pulih. Dan ketika seperempat jam kemudian Salima kekenyangan dan bubur itu tak dapat dihabiskan semuanya maka Yu Bing muncul dengan muka berseri.

“Bagaimana, habis, nona?”

“Tidak, perutku telah terisi penuh. Aku tak dapat menghabiskannya,” Salima menjawab, melihat pemuda itu memandang mangkuk buburnya dan tersenyum lebar. Dan teringat pemuda itu menggodanya untuk makan sisanya tiba-tiba Salima berkata tertawa, “Nah, kau boleh makan sisaku kalau kau mau, saudara Yu. Tapi aku tak memaksa kalau kau tak suka!”

Aneh. Yu Bing mengangguk. Pemuda itu ikut tertawa, dan sementara Salima terheran tahu-tahu pemuda ini menyambar mangkuk buburnya dan betul-betul makan sisa makanannya itu! “Ha-ha, ini satu kehormatan besar bagiku, nona. Terima kasih...!”

Salima bengong. Dia melihat pemuda itu lahap menghabiskan sisanya, mempergunakan sumpit yang dia pergunakan pula. Dan ketika sekejap kemudian sisa bubur itu habis dan Yu Bing menghapus mulutnya dengan ujung lengan baju tiba-tiba Salima tertegun dan hampir tak percaya. “Kau mau...?”

Yu Bing membalikkan tubuhnya, menghadapi Salima. “Kenapa tidak?” dia balas bertanya. “Bukankah kau yang menyuruhku, nona? Dan aku merasakan buburku semakin sedap saja, ha-ha!” dan Yu Bing yang menghentikan tawanya melihat Salima merah mukanya mendadak terkejut dan buru-buru menjura. “Maaf, aku telah menyiapkan air untukmu, nona. Kalau kau mau mandi silahkan, kuantar ke belakang!”

Salima sadar. Dia tadinya memang mau marah melihat Yu Bing tertawa, seolah mau kurang ajar dengan kata-katanya itu. Tapi melihat pemuda ini bersikap wajar dan kata-katanya tidak dibuat-buat akhirnya Salima menghela napas dan ingat bantuan orang. “Saudara Yu, terima kasih. Kau agaknya amat memperhatikan diriku!”

Yu Bing tersenyum. “Itu bukan soal, nona. Sesama orang gagah kita wajib tolong-menolong. Marilah, nona ingin mandi, bukan?”

Salima mengangguk. Dia merasa tubuhnya gerah, peluh membuat tubuhnya lengket dengan baju. Dan ketika Yu Bing mengantarnya ke belakang dan pemuda itu berhenti disebuah pintu bersekat Salima melihat pemuda itu membungkuk sopan.

“Nona, silahkan masuk. Aku akan menunggumu di luar.” dan Yu Bing yang melangkah pergi dengan sikap ramah akhirnya membuat Salima kembali tertegun memandang punggung orang.

“Saudara Yu, adakah handuk di dalam?”

“Ada,” Yu Bing berhenti sebentar. “Semuanya lengkap di dalam, nona. Tapi maaf, gayungnya dari tempurung kelapa!”

Salima mengangguk. Dia melihat pemuda itu kembali pergi, sebentar kemudian lenyap di luar dan tidak kembali. Dan Salima yang masuk ke tempat yang ditunjuk dan melihat perlengkapan di kamar mandi tiba-tiba tersenyum melihat gayung yang dikata pemuda itu. Memang benar, dari tempurung kelapa tapi berukuran besar. Bak mandinya penuh air dan tampak jernih, dingin menyegarkan. Tapi Salima yang mengerutkan kening melihat pakaian wanita ada di situ mendadak cemberut dan keluar lagi. “Saudara Yu, dimana kau?”

Yu Bing tiba-tiba muncul, tampak gesit dan sigap. “Ada apa nona? Ada yang kurang?”

“Tidak,” Salima memandang curiga pemuda ini. “Tapi dari mana kau dapat pakaian-pakaian wanita itu? Kau bilang tidak berkeluarga, tapi...”

“Nanti dulu!” Yu Bing tampak terkejut, melihat Salima bersinar marah. “Itu kudapatkan dari dusun di sebelah, nona. Aku membelinya dan bukan dari siapa-siapa. Kusiapkan itu karena tak kulihat kau membawa pakaian ganti!”

“Hm,” Salima sadar, semburat mukanya. “Kalau begitu maaf, saudara Yu. Rupanya aku terlalu curiga. Baik, terima kasih...!” dan Salima yang kembali ke kamar mandinya dan menyuruh Yu Bing pergi akhirnya membuat pemuda ini tertegun menggeleng-geleng kepala.

“Hebat, kalau marah seperti singa betina!” Yu Bing menunggu di luar. Setengah jam itu dia mendengar gejebar-gejeburnya air, melihat Salima rupanya gembira benar mandi dengan air yang dia siapkan itu, tak tahu bahwa dia harus mengambil air itu cukup jauh juga, tak kurang dari dua kilometer, air yang jernih di kaki bukit. Dan ketika setengah jam kemudian Salima muncul dan berganti pakaian dengan pakaian baru mendadak pemuda ini bengong dan kagum bukan main, melihat kecantikan asli dari gadis Tar-tar itu.

“Aih, kau seperti seorang dewi saja, nona...!”

Salima terkejut. “Kau di sini?”

“Ya, eh... maaf!” Yu Bing bangkit berdiri, masih ternganga tapi kini sadar akan sikapnya, bengong oleh rambut panjang Salima yang tergerai di belakang punggung, hitam lebat dan memikat sekali, dibiarkan mengering karena rambut itu masih basah. Dan ketika Salima tersenyum dan Yu Bing jungkir balik oleh senyum ini akhirnya pemuda itu mendengar Salima tertawa.

“Saudara Yu, dimana aku bisa menyisir rambutku? Aku butuh tempat berangin, airnya segar sekali!”

“Ah, mari, nona.” Yu Bing melompat keluar gua. “Kau dapat berangin di batu besar itu, tunggu sebentar aku mengambil sisir!”

Salima mengangguk. Dia sudah keluar dari gua itu, melihat sebuah batu besar yang enak untuk tempat duduk. Dan ketika Yu Bing tergopoh masuk mengambil keperluannya Salima sudah melompat dan duduk di atas batu besar itu, melonjorkan kaki, menunggu pemuda itu sambil mengibas-ibaskan rambutnya. Dan ketika pemuda itu muncul dan Salima juga sudah mengering rambutnya akhirnya Yu Bing berdiri di bawah terbelalak ke atas, melihat pipi Salima yang kemerah-merahan sementara gadis itu mulai menyisir rambutnya.

“Saudara Yu, ada apa kau mendelong di sana?”

Yu Bing terkejut. “Eh, tidak... aku, ah... aku menunggu kalau kalau kau memerlukan sesuatu lagi, nona. Mungkin kau butuh ini-itu yang harus kuambilkan!”

Salima tertawa. “Kau lucu, aku tak memerlukan apa-apa lagi. Sebaiknya kita bercakap-cakap dan kau naiklah ke sini!”

Yu Bing merah mukanya. “Tidak,” katanya tersipu. “Aku di sini saja, nona. Dan kalau kau ingin bercakap-cakap tentu saja aku gembira menerimanya!” Yu Bing melihat Salima telah selesai menyisir rambut, menyanggul dan kini mengenakan topi bulu burungnya itu, gagah dan terganti anggun dan agung.

Dan ketika Salima tersenyum dan Yu Bing menahan debaran jantungnya oleh senyum gadis Tar-tar itu tiba-tiba Salima melompat turun. “Baik, kalau begitu aku juga tak mau duduk di atas,” Salima berkata. “Dan kita bercakap-cakap sebagai sahabat, saudara Yu. Tapi sebelum itu biarkan aku kembali mengucap terima kasih atas semua bantuanmu!” dan Salima yang mengangguk merangkapkan tangan tiba-tiba membuat Siang-kiam-houw Yu Bing kikuk.

“Aih, jangan begitu, nona. Tak perlu!”

Salima tersenyum, mulai tertarik memandang pemuda ini. Dan ketika dua pasang mata beradu dan Yu Bing semburat merah tiba-tiba Salima menarik napas. “Saudara Yu, kau ini sebenarnya siapakah? Bagaimana dapat datang secara kebetulan membantuku menghadapi si Raja Ular itu?”

Yu Bing dag-dig-dug. “Aku, hm... aku pengelana biasa saja, nona. Datang secara kebetulan karena aku ingin mendatangi para perampok-perampok itu. Cen Hok membunuh seorang hartawan berikut anak isterinya. Aku ingin menghajar kepala rampok itu, apalagi dia main-main mempergunakan nama Hek-eng Taihiap yang menjadi sahabatku!”

“Hm,” Salima tertarik. “Jadi dia bukan Hek-eng Taihiap?”

“Tentu saja bukan!” Yu Bing berkata gemas. “Sahabatku Hek-eng Taihiap sedang bepergian, nona. Dia seorang gagah bukan penjahat macam Cen Hok dan anak-anak buahnya itu!”

“Lalu bagaimana orang she Cen itu ada di hutan itu?”

“Dia datang untuk membalas sakit hati.”

“Maksudmu?”

“Cen Hok pernah dihajar sahabatku, nona. Dia mendapat hukuman keras tapi rupanya tidak kapok. Dia mendengar sahabatku pergi, mempergunakan hutan itu dan merusak nama baik dengan menyebut diri sebagai Hek-eng Taihiap, membunuh dan merampok hingga aku mendengar perbuatannya. Tapi ketika aku datang ternyata kau telah membunuh manusia busuk itu!”

“Tentu saja,” Salima menjawab. Dia coba-coba menggangguku, saudara Yu. Sudah kuperingatkan tapi tak mau pergi. Dan karena dia memang menyebalkan maka kubunuh perampok itu bersama anak buahnya yang kasar dan kurang ajar!”

Yu Bing mengangguk. “Memang tepat, nona. Kalau kau tidak datang tentu aku yang akan memberesi tikus-tikus busuk itu. Dan kau sendiri, bagaimana bisa berada di hutan itu?”

Salima tiba-tiba muram. Pertanyaan ini mengingatkan kisahnya dengan sang suheng, betapa dia marah dan membenci suhengnya itu. Dada tiba-tiba sesak dan mata menjadi merah.

Tapi Yu Bing yang melihat Salima tak menjawab tiba-tiba merangkapkan tangan. “Maaf, pertanyaanku rupanya tak berkenan di hatimu, nona. Aku menarik kembali pertanyaan itu dan biarlah kita bicara yang lain.”

Salima mengangguk. “Saudara Yu, kau rupanya seorang gagah yang baik hati. Kita memang sebaiknya bicara yang lain, aku tak dapat menjawab pertanyaanmu karena pertanyaan itu akan mengungkit kepedihan hatiku. Sekarang bicara tentang dirimu, siapa itu pamanmu yang agaknya disegani Coa-ong? Dan ilmu silatmu lumayan juga, tapi kau masih tak dapat menandingi Raja Ular itu!”

Yu Bing merah mukanya. “Aku memang kalah dibanding iblis tua itu, nona. Tapi aku tetap menentang perbuatannya yang jahat. Berkali-kali aku bertemu tapi berkali-kali pula aku lolos dari tangan mautnya.”

“Dan pamanmu itu, siapa dia?”

“Ah,” Yu Bing mendadak muram. “Pamanku itu adalah seorang yang aneh, nona. Sebaiknya aku tak usah memberitahukannya padamu. Dia orang she Yu, tindak-tanduknya luar biasa dan acap kali aku sendiri harus memusuhinya. Tapi dia sayang padaku, dia pulalah yang memberiku sekedar ilmu silat hingga aku mahir mempergunakan sepasang pedang. Aku tak suka menceritakan keadaan dirinya, maaf!”

Salima mengerutkan kening. “Kau mau membalas sikapku?”

“Ah, tidak!” Yu Bing terkejut. “Aku tidak bermaksud membalas sikapmu, nona. Tapi demi kebaikan kita bersama sebaiknya cerita tentang pamanku itu tak perlu kusebut. Kau nanti akan benci padaku. Aku tak menghendaki itu!”

Salima merasa aneh. “Kenapa, saudara Yu? Jahatkah pamanmu itu?”

Yu Bing tiba-tiba menutupi mukanya, gemetar. “Nona, jangan desak aku tentang cerita pamanku itu. Aku tak menghendaki persahabatan kita menjadi terganggu oleh persoalan ini. Kau kasihanilah aku, aku tak mau membicarakannya.”

Salima mengangguk, matanya tiba-tiba bersinar. “Baiklah, aku mengerti perasaanmu, saudara Yu. Aku tak akan mendesak kalau tak suka. Tapi seandainya, secara kebetulan aku bertemu pamanmu itu, aku tak tahu, lalu terjadi kesalahpahaman, kami bertempur, apa yang akan kau lakukan bila sampai pamanmu terbunuh?”

Yu Bing pucat. “Aku tak mengharap kejadian itu, nona. Dan kaupun tak akan gampang bertemu dengan pamanku itu!”

“Ya, tapi seandainya...”

“Tak ada pengandaian, nona. Aku tak mengharap kau bertemu pamanku itu!” Yu Bing berseru keras, meninggi nadanya dan pucat memandang Salima.

Dan Salima yang merasa heran dan curiga tiba-tiba tersenyum manis. “Baiklah, aku juga tak mengharap persahabatan ini terganggu oleh hal-hal lain, Yu-twako. Tapi kita berdua harus cukup terbuka dan jujur satu sama lain.” Salima merubah sebutannya, tak lagi memanggil saudara Yu melainkan Yu-twako (kakak Yu).

Dan Yu Bing yang mengangguk menghela napas akhirnya berkata memandang gadis itu, “Ya, keterbukaan dan kejujuran memang diperlukan satu sama lain, nona. Tapi tentu saja kita harus luwes mempergunakannya. Kudengar suhengmu mengamuk di kota raja, betulkah?”

Salima mengerutkan kening. “Kau tahu dari mana?”

“Ah, semua orang mendengarnya, nona. Masa kau tak tahu? Dan katanya kaisar memberikan selirnya yang paling cantik pada suhengmu itu. Betapa beruntungnya dia!”

Salima kaget bukan main, tiba-tiba melompat bangun. “Apa? Apa katamu...?”

Yu Bing heran, terkejut juga. “Aku mengatakan bahwa kaisar memberikan selirnya pada suhengmu itu, nona. Dan katanya keributan itu terjadi karena salah paham!”

Salima tiba-tiba mencelat. “Bohong!” bentakannya ini mengejutkan Yu Bing. “Kau bohong, orang she Yu. Kau penipu...!”

Yu Bing tiba-tiba juga melompat bangun, kaget hatinya. “Eh, siapa bohong, nona? Kenapa aku harus bohong? Kau boleh tanya semua orang bahwa kaisar memang memberikan selirnya itu pada suhengmu. Kalau tidak salah namanya Bi Nio, aku...”

“Plak-plak!” Salima tiba-tiba menampar, berkelebat memekik marah dan membuat Yu Bing terpelanting roboh dengan hati kaget bukan main, tak tahu bahwa percakapan menjurus pada kesalahpahaman yang hebat, Salima mengira yang dimaksud Yu Bing adalah Kim-mou-eng, padahal sebenarnya adalah Gurba! Dan Salima yang melengking membanting kaki tiba-tiba membentak ketika Yu Bing melompat bangun,

“Orang she Yu, kau pemfitnah jahanam! Kau benar-benar memiliki lidah tak bertulang. Siapa bilang suhengku mendapat hadiah selir dari kaisar? Apa maumu dengan omongan yang tidak karuan ini? Keparat kau, hati-hati menjaga lidahmu. Kalau tidak ingat pertolonganmu tentu sudah kubunuh kau. Jahanam...!”

Dan keadaan yang tiba-tiba berubah seratus delapanpuluh derajat dengan kemarahan Salima tiba-tiba membuat Yu Bing tertegun dan bengong memandang gadis ini. Tak tahu kenapa gadis Tar-tar itu tiba tiba marah demikian besar. Seolah harimau diganggu anaknya! Dan Salima yang membanting kaki mendeliki pemuda itu tiba-tiba memutar tubuh melompat pergi.

“Orang she Yu, hati-hati menjaga lidahmu...!”

Yu Bing terbelalak. Dia seolah menerima petir di siang bolong, atau mendapat serangan angin topan di saat hari sedang cerah. Tapi Yu Bing yang kaget dan marah melihat Salima pergi tiba-tiba mengejar dan berseru dari belakang, “Nona, tunggu...!”

Salima mendengus. Dia tak menghiraukan seruan pemuda itu, mengerahkan ginkang dan tancap gas dengan mata berapi. Panas dan marah sekali mendengar berita suhengnya mendapat selir kaisar. Padahal baru saja beberapa waktu yang lalu dia berpisah dengan suhengnya itu. Jadi Yu Bing berbohong. Entah untuk maksud apa. Tapi melihat pemuda itu sering meliriknya dan memandang secara diam-diam dengan penuh kagum langsung saja dia menduga pemuda itu ada hati padanya.

Mungkin naksir, tahu akan kegagalan cintanya terhadap Kim-mou-eng dan kini coba-coba membangkitkan kebencian dengan cara mengarang cerita palsu. Sebuah taktik agar dia mudah terjebak dalam rayuan pemuda itu. Agar menerima cintanya. Jadi semakin nggladrah (ngawur) dan salang surup (salah mengerti), maklum orang yang lagi patah hati memang gampang sekali tersinggung. Darah naik ke kepala kalau mendengar tentang sesuatu yang menyakitkan dari orang yang dicintai.

Tapi Yu Bing yang tetap mengejar dan berteriak-teriak menyuruh gadis itu berhenti ternyata semakin membuat Salima marah. Gadis ini menambah kecepatannya, siap memasuki hutan di depan dan meninggalkan pemuda itu. Dan karena ginkangnya memang lebih tinggi dan Yu Bing masih di bawah kelasnya tiba-tiba Salima telah tiba di hutan itu dan langsung masuk.

Tapi sesosok bayangan tiba-tiba berkelebat dari samping, bayangan seorang laki-laki yang gagah dengan kumis pendek, mengenakan celana hitam dengan ikat pinggang merah. Dan persis Salima memasuki hutan itu dikejar Yu Bing tiba-tiba bayangan ini telah mencengkeram pundaknya dan langsung membentak,

“Nona, berhenti...!”

Salima terkejut. Ia marah melihat bayangan tak dikenal tiba-tiba muncul mencengkeramnya, menyerang dari samping. Tapi Salima yang membentak menendang dengan kaki kanannya tiba-tiba menyambut dan menampar mempergunakan Tiat-lui-kangnya.

“Pergi kau... plak-dess!”

Orang itu berteriak kaget. Dia terjengkang oleh pukulan Tiat-lui-kang, juga tendangan yang mencuat dari bawah ke atas, tendangan miring. Dan ketika dia bergulingan melompat bangun maka saat itu Yu Bing datang dengan napas terengah-engah, berteriak,

“Siok-twako tunggu... tahan. Dia Tiat-ciang Sian-li Salima...!”

Orang ini terkejut. Dia melihat Salima sudah berdiri tegak, matanya berapi-api, mukanya merah dan kedua lengan juga berkerotok membuatnya terbelalak. Dan ketika Salima memandang mereka berdua dengan muka tidak bersahabat maka Yu Bing yang sudah tiba di situ buru-buru merangkapkan kedua tangannya.

“Nona, maaf, jangan serang menyerang. Inilah sahabatku Hek-eng Taihiap Siok Gwan Beng. Dia baru datang, tak tahu persoalan kita!”

Salima tertegun. Hek-eng Taihiap Siok Gwan Beng juga tertegun, merasakan kelihaian Salima dalam gebrak yang cepat itu. Tapi Hek-eng Taihiap yang tiba-tiba tersenyum lebar dan mengebutkan bajunya mendadak melompat maju, merangkapkan tangannya.

“Aih, maaf nona. Kiranya kau sumoi dari Kim-mou-eng yang gagah perkasa itu. Pantas, ilmu silatmu hebat sekali dan pukulanmu juga luar biasa. Tentu itu Tiat-lui-kang!”

“Hm!” Salima mendengus, masih marah oleh persoalan Yu Bing. “Kau ada apa mengejar-ngejarku menyuruh berhenti? Kau mau mengeluarkan omongan tak benar lagi?”

Yu Bing pucat, memandang menggigil. “Nona, kenapa kau marah-marah begini? Siapa bilang aku mengeluarkan omongan tak benar? Semua orang tahu akan suhengmu yang menyerang kota raja itu, dan aku berani bersumpah Siok-twako inipun mendengar sepak terjang suhengmu yang telah bertemu kaisar itu!”

Hek-eng Taihiap mengerutkan alis, merasakan ketegangan itu. “Ada apa, Bing-te (adik Bing)? Kau maksudkan keributan yang baru-baru ini terjadi antara suheng nona ini dengan Jit-liong Ciangkun?”

“Ya, betul, twako. Dan aku mengatakan bahwa kaisar memberi hadiah selirnya pada suheng nona ini. Semua orang tahu, tapi Tiat-ciang Sian-li menganggapku memfitnah!”

Hek-eng Taihiap terkejut. Dia memang telah mendengar pertempuran besar antara suku bangsa Tar-tar dengan pasukan kerajaan. Mendengar kehebatan Gurba yang membuat Jit-liong Ciangkun kelabakan, bahkan konon empat panglima Jit-liong Ciangkun tewas di tangan raksasa Tar-tar itu, suheng Salima yang lihai bukan main, mengamuk bagai seekor naga hingga tak seorangpun sanggup menahan.

Tapi ketika pertempuran selesai dan kabar memberitakan bahwa semuanya itu terjadi akibat adu domba Hek-bong Lo-mo dan Siauw-bin-kwi dan kaisar menyatakan penyesalannya atas kejadian itu dan Gurba sendiri telah mohon maaf untuk mencari biang keladi orang-orang sesat ini maka kesalahpahaman itu berakhir dan dapat diselesaikan baik-baik.

Kaisar bahkan memberikan selirnya yang paling disayang sebagai “pengikat tali persahabatan”, konon Gurba terjebak dan menerima selir cantik itu, Bi Nio, kejadian yang didengar hampir semua orang dan membuat kota raja ribut. Maka heran, Salima tak percaya pada omongan itu dan menganggap Yu Bing memfitnah tiba-tiba Pendekar Garuda Hitam ini tersenyum pahit, menduga Salima tak mendengar karena gadis itu berada di selatan, jauh dari kota raja yang terletak di utara.

“Nona, apa yang dikata sahabatku Yu Bing memang tidak salah. Mungkin kau merantau terlalu jauh. Tapi aku yang baru dari utara dan mendengar kabar berita itu memang ikut membenarkan berita ini. Kaisar telah memberikan selirnya pada suhengmu, dan pertikaian itupun berakhir. Masa kau tak tahu?”

Salima pucat. “Dan suheng menerima pemberian itu?”

“Ya, begitu yang kudengar.”

“Kalian bohong!” Salima tiba-tiba membentak. “Kalian dusta, orang she Siok. Kau dan temanmu ini sama saja. Ah...!” dan Salima yang menangis tersedu-sedu mendadak memutar tubuhnya melompat pergi, merintih dan melengking membuat bulu roma berdiri.

Dan ketika Yu Bing dan Hek-eng Taihiap terbelalak tahu-tahu Salima lenyap memasuki hutan. “Nona...!”

Salima lenyap di dalam. Yu Bing hendak mengejar, mengeluarkan seruan kagetnya itu dan memanggil Salima. Tapi Hek-eng Taihiap yang mencekal lengannya dan berdiri mengerutkan alis tiba- tiba menahan.

“Jangan kejar, gadis Tar-tar itu agaknya mendapat pukulan batin, Bing-te. Aneh sekali kenapa ia harus marah-marah mendengar suhengnya mendapat selir.”

Yu Bing gemetar. “Apakah...”

“Mungkin saja,” Hek-eng Taihiap mengangguk, langsung mengerti dan menduga kemana arah pertanyaan temannya, memotong cepat. “Mungkin saja memang begitu, Bing-te. Tapi kita tak perlu ikut campur. Itu urusan pribadi. Mereka orang-orang yang luar biasa dan amat hebat. Terlalu berbahaya bermusuhan dengan mereka!”

Yu Bing tiba-tiba lemas. Pemuda ini pucat, mukanya mendadak kuyu, sinar mata tak bergerak lagi dan berdiri mematung memandang kepergian Salima. Tak menduga sedikitpun juga bahwa pertemuan mereka yang berawal dengan kegembiraan dan keakraban itu mendadak sontak berubah seratus delapanpuluh derajat, drastis berbalik menjadi saling bermusuhan.

Dan Hek-eng Taihiap yang menekan pergelangannya dan agaknya tahu apa yang terjadi tiba-tiba mengajak pemuda itu pergi, mengajak Siang-kiam-houw Yu Bing yang baru terlena asmara menjauhi hutan dimana Salima lenyap. Dan begitu Pendekar Garuda Hitam ini menyendal temannya akhirnya Yu Bing mengikuti dan berlari sambil memejamkan mata.

* * * * * * * *

“Suheng, kau laki-laki keparat. Kau laki-laki terkutuk...!” Salima menangis tersedu-sedu, sakit hatinya dan malam itu tiba di sebuah kelenteng rusak di kaki sebuah bukit kecil, duduk dan melempar tubuh dengan menutupi kedua muka, pedih sekali. Hati serasa tertusuk-tusuk duri dan sakit bukan main membayangkan suhengnya itu, Kim-mou-eng. Dua kali mendengar suhengnya mendapat hadiah selir dari kaisar.

Padahal beberapa saat yang lalu suhengnya itu telah menyatakan cinta padanya, mengecup dan mencium bibirnya penuh mesra. Kecupan yang membuat dia terbawa ke awang-awang dan bahagia sekali. Mengharap kejadian itu akan berulang dan dia menikmati manisnya anggur cinta. Tak menyangka sedikitpun juga bahwa dalam waktu yang begitu singkat suhengnya itu telah berbalik pikir, menerima dan mencintai perempuan lain, selir kaisar yang tentu saja cantik. Mungkin dia kalah cantik dan karena itu suhengnya tergila-gila! Dan Salima yang marah dan menangis tersedu-sedu mendadak memukul hancur sebuah arca toa-pe-kong yang ada di sebelah kirinya.

“Suheng, kau laki-laki hidung belang. Kau laki-laki busuk dan rusak macam arca ini. Kubunuh kau...bumm!” arca itu menjadi tepung, hancur dan hangus oleh tamparan Tiat-lui-kang yang dahsyat dari lengan gadis Tar-tar ini. Dan ketika Salima melompat bangun dan arca lain bergoyang-goyang oleh getaran pukulannya yang membuat lantai bergerak tiba-tiba gadis ini melengking melihat arca yang bergoyang-goyang itu seakan tertawa mengejeknya.

“Kau mentertawakan aku? Kau berani mengejek aku? Mampus kau, kubunuh kau... bum-bumm!” dan tiga arca yang sebentar saja roboh ditampar dengan pukulan jarak jauh tiba-tiba membuat gadis ini menjadi sengit dan semakin marah saja, melihat arca lain dan meja altar juga bergoyang-goyang seolah mengejek.

Dan Salima yang berkelebat menampar ke sana-sini akhirnya memukul dan menendang benda-benda yang ada di kelenteng rusak itu, tentu saja berantakan dan hancur menerima Tiat-lui-kangnya. Suasana tiba-tiba menjadi ribut dan gaduh seolah kelenteng itu diserang hantu! Dan ketika Salima marah-marah dan semua benda yang ada di situ berantakan tak karuan lagi mendadak sebuah bayangan tinggi besar muncul menegur gadis ini.

“Sumoi, apa yang kau lakukan? Kau gila?”

Salima terkejut. Dia melihat suhengnya nomor satu tahu-tahu ada di situ, berdiri tegak kokoh tak bergeming seolah arca besi memandangnya, terbelalak lebar, heran akan sepak terjangnya yang dianggap tidak waras. Dan Salima yang tertegun oleh kedatangan sang suheng yang tidak dinyana-nyana mendadak menubruk dan meledakkan tangisnya di dada twa-suheng (kakak nomor satu) ini.

“Twa-heng, ji-suheng (kakak nomor dua) menyakiti hatiku. Dia kawin dengan wanita Han yang menjadi musuh besar kita!”

Gurba tertegun. “Apa, Kim-mou-eng kawin? Kawin dengan siapa dan kapan menikahnya?”

“Aku tak tahu, twa-heng. Tapi kabar memberitakan bahwa ji-suheng mendapat selir kaisar. Dia menikah dengan wanita Han, katanya bernama Bi Nio...!” dan Salima yang sudah mengguguk dan meledakkan tangisnya di dada sang suheng tiba-tiba membuat Gurba tertegun dan untuk kedua kalinya membelalakkan mata.

Raksasa ini terkejut, sejenak aliran darah tersirap cepat, memenuhi mukanya dan menggigil dipeluk sumoinya. Tapi Gurba yang maklum akan kesalahpahaman sumoinya mendadak mengetrukkan gigi dan mengepal tinju. Sedetik itu saja dia telah maklum apa yang terjadi. Tahu bahwa sumoinya mendapat berita yang salah, atau sumoinya ini yang menangkap berita secara salah. Dan Gurba yang menggigil memejamkan mata tiba-tiba mencengkeram dan mendekap tubuh sumoinya itu.

Sebenarnya inilah yang dia ingin. Memeluk dan mendekap sumoinya, bukan sebagai suheng dan sumoi melainkan sebagai laki-laki dan perempuan. Sebagai pasangan yang saling mencinta dan hidup berdua mereguk kenikmatan bersama. Dan Gurba yang memejamkan mata mendengar disebutnya nama Bi Nio mendadak menggeram dan teringat pada selir cantik itu, yang kini menjadi isterinya, isteri selir karena dia tak mau menjadikan wanita itu sebagai isteri utama.

Merah mukanya dan malu pada diri sendiri kenapa dia menggauli wanita itu. Kenapa dia roboh dan hanyut dalam nafsu berahinya. Padahal yang dia incar adalah sumoinya ini. Gadis yang gagah dan diam-diam membuat dia tergila-gila. Dan Gurba yang tergetar serta terkejut oleh tangis Salima tiba-tiba berada di ambang pintu keadilan untuk menentukan sikapnya. Memberi tahu secara jujur bahwa yang dituduh sumoinya itu bukanlah Kim-mou-eng melainkan dirinya sendiri dengan resiko kehilangan sumoinya ini ataukah membiarkannya begitu saja hingga sumoinya tetap membenci sutenya, Pendekar Rambut Emas itu.

Dan Gurba yang sejenak terombang-ambing oleh kepentingan pribadi tiba-tiba memilih jalan kedua dan tetap membiarkan Salima terbawa oleh salah pahamnya itu, menuduh Kim-mou-eng memperisterikan wanita Han. Dan karena dia juga maklum bahwa diam-diam sumoinya ini menaruh hati pada sutenya yang gagah dan tampan itu tiba-tiba Gurba menggereng dan untuk pertama kalinya bersikap memalukan, memaki sutenya sendiri!

“Keparat, jadi Kim-te menikahi wanita Han, sumoi? Dia tak mau menikah dengan gadis bangsa sendiri dan memperisteri wanita asing? Jahanam dia itu, Kim-sute mengkhianati bangsa kita dan harus dibunuh!”

Dan Gurba yang menggigit bibir melawan tuntutan hati nurani tiba-tiba menggelapkan muka dan mendorong sumoinya, memandang sumoinya yang menangis tersedu-sedu dengan air mata bercucuran. Dan ketika Salima mengguguk dan Gurba menggigil menahan nafsu tiba-tiba raksasa ini menyambar kembali tubuh sumoinya dan mencium...!

Pendekar Rambut Emas Jilid 09

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 09
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“AKU tak perlu memberitahukan nama. Namaku terlalu tinggi bagi kalian. Sebaiknya kalian pergi dan jangan mencari penyakit!” Salima mengusir, menggerakkan lengan menyuruh lelaki-lelaki itu pergi, duduk kembali dan menangis seperti tadi terisak-isak, tak menghiraukan Cen Hok dan kawan-kawannya itu yang melenggong melihat sikapnya.

Heran dan mengira gadis ini tak waras. Bisa menangis begitu saja padahal baru bicara seperti orang sehat. Hal yang aneh! Dan Cen Hok yang menjublak bengong tiba-tiba mendengar seruan seorang anak buahnya, yang tadi hendak mencolek Salima,

“Cen-twako, rupanya gadis ini gila. Tangkap saja dia dan telanjangi tubuhnya!”

“Ya,” yang lain tiba-tiba menyahut. “Gadis ini meskipun gila tapi cantik, twako. Sebaiknya belejeti dia dan kita nikmati beramai-ramai!”

Cen Hok tertegun. Dia melihat anak buahnya ribut-ribut, tertawa dan merubung maju seperti laron, siap memeluk atau menubruk Salima dari segala penjuru. Tapi Salima yang tiba-tiba bangkit berdiri dan berkilat memandang semua orang mendadak membuat semua orang menghentikan gerakannya.

“Tikus-tikus busuk, kalian tak dengar perintahku tadi? Kalian tuli dan minta mati?”

Semua orang membelalakkan mata, terkejut sejenak. “Nah, kalau begitu yang ingin kurang ajar kepadaku boleh maju!” Salima melanjutkan, memandang semua orang. “Yang ingin mencium boleh mencium!”

Semua orang tiba-tiba ribut. Mereka kembali bersuara gaduh seperti tadi, berbisik, tertawa-tawa dan menganggap Salima bersikap lucu. Maklum, ancamannya tadi disertai senyum yang masih mempesona itu, senyum yang mengembang dan membuat orang mengira gadis ini main-main, kilatan matanya tertutup oleh senyum yang manis itu. Senyum mengejek yang sebenarnya penuh nafsu membunuh! Dan ketika si pencolek yang tadi gagal melompat maju dan “mendaftar” untuk mendapatkan ciuman lebih dulu mendadak Salima memasang pipinya dan melebarkan senyumnya itu.

“Boleh, kalau begitu kau majulah!”

Orang itu tertawa-tawa. Dia sudah maju mendekat, lagi-lagi tak merasakan kilatan mata Salima yang mengerikan itu, tertutup oleh senyumnya yang manis mempesona dan membuat semua orang mabuk. Tapi ketika dia mendekat dan Salima menggerakkan jarinya mendadak sebuah jerit ngeri terdengar ketika laki-laki itu roboh dengan dahi tertembus jari telunjuk!

“Crat...!”

Semua orang gempar. Mereka langsung mundur melihat robohnya teman mereka itu, tak mengira jari telunjuk yang begitu halus mampu menembus dahi sekeras pisau. Jari yang mengejutkan! Dan Cen Hok serta anak buahnya yang tiba-tiba terkejut dan sadar mendadak menjadi marah dan mencabut senjata.

“Twako, gadis ini gadis siluman. Dia membunuh A-swie, tangkap dan bunuh dia...!” dan semua orang yang tiba-tiba kembali ribut dan membentak Salima tiba-tiba menyerbu dan menyerang gadis itu.

“Sing-singg...!”

Salima menjengek. Dia menjejakkan kakinya, mumbul ke atas seperti orang terbang. Dan ketika orang terkejut karena Salima menghilang begitu saja dengan cepat tahu-tahu golok dan pedang yang berhamburan menghujani gadis ini mendadak saling bacok dan bentur di tengah udara, mengenai sesama teman sendiri.

“Hei... crat-aduh!”

Orang-orang saling kaget. Mereka tak melihat kemana Salima pergi, maklum Salima mempergunakan ginkangnya yang luar biasa itu, mencelat ke atas di tengah-tengah hujan golok. Dan ketika orang-orang itu saling berteriak kaget karena golok atau pedang mengenai teman sendiri maka saat itulah Salima melayang turun. Gerakannya juga cepat, berputar ke kiri kanan dan tahu-tahu disusul pekik ngeri ketika tujuh kepala ditendang pecah, rontok dan terkulai roboh ketanah.

Dan ketika Salima berdiri di tempatnya semula dan kembali memandang orang-orang itu maka Cen Hok dan anak buahnya berteriak tertahan, mundur dengan muka pucat, melihat delapan mayat yang sekejap saja sudah malang-melintang di depan mereka!

“Siluman...!” Cen Hok sekarang sadar. Dia sekarang tahu bahwa gadis yang disangkanya biasa-biasa saja ini ternyata memiliki kepandaian begitu tinggi. Gerakannya cepat dan sukar ditangkap mata. Tapi melihat delapan anak buahnya roboh binasa mendadak laki-laki tinggi besar ini menjadi marah. “Siluman betina, kau kiranya iblis pembunuh!”

Cen Hok membentak, maju sendiri dan kini menyuruh anak buahnya yang masih banyak itu mengeroyok pula, menimbulkan keberanian anak buahnya karena sang pemimpin maju. Tapi begitu Salima menangkis dan menggerakkan kedua lengannya menerima senjata-senjata tajam itu mendadak golok dan pedang patah-patah bertemu kedua lengan telanjang gadis ini.

“Pletak-pletak!”

Cen Hok dan anak buahnya kaget bukan main. Mereka melihat Salima tertawa mengejek, dan ketika mereka terbelalak memandang tiba-tiba Salima menggerakkan kakinya ke bawah, menyontek dan menendang pedang dan golok yang patah-patah itu, berhamburan ke arah mereka dan tiba-tiba menyerang bagai hujan yang luar biasa banyaknya. Dan ketika patahan pedang maupun golok itu mengenai tubuh mereka dan menancap sampai tembus ke dalam maka Cen Hok dan anak buahnya berteriak ngeri dan roboh mandi darah, Cen Hok sendiri kutung kakinya sebatas lutut, dibabat patahan golok terbang!

“Crep-crep!”

Cen Hok dan anak buahnya bergelimpangan. Dua puluh tiga orang tiba-tiba tewas binasa, yang masih hidup tinggal Cen Hok dan dua anak buahnya, masing-masing buntung pergelangan tangan dan jari-jari kaki, darah mengucur bagai pancuran bocor! Dan Cen Hok yang merintih dan terbelalak memandang Salima tiba-tiba melihat gadis itu maju menghampirinya dengan sinar mata yang membuat laki-laki ini terbang semangatnya!

“Am... ampun, lihiap... ak... aku jangan dibunuh...!”

Salima berhenti. Dia telah berdiri di depan laki-laki yang tersungkur mandi darah ini, roboh dengan kaki putus. Dan Salima yang mengejek memandang yang lain tiba-tiba menginjak punggung lawan.

“Kau minta ampun setelah terlambat? Mana itu kegaranganmu semula?”

Cen Hok mengerang. “Ampunkan aku, lihiap... aku... aku tak tahu dengan siapa aku berhadapan...!”

“Hm, dan sekarang tahu?”

“Ya, tapi...”

Salima menggerakkan jarinya. Dia sudah terlanjur marah pada perampok-perampok kasar yang mengganggunya itu, kemarahan yang sudah ditahan-tahan sejak kekecewaannya terhadap suhengnya, Kim-mou-eng. Maka begitu Cen Hok meratap dan jarinya bergerak ke bawah tahu-tahu ubun-ubun laki-laki tinggi besar itu telah ditusuk ujung jarinya.

“Crep!” Cen Hok menjerit satu kali. Pemimpin rampok itu berkelejotan sejenak, mendelik dan akhirnya roboh dengan nyawa melayang. Tewas di saat itu juga. Dan ketika Salima menggerakkan kaki menendang dua kerikil hitam tiba-tiba dua anak buah Cen Hok yang masih hidup tapi terluka parah tiba-tiba juga menjerit ngeri roboh menyusul pemimpinnya itu.

“Aduh...!”

Suasana hutan sunyi kembali. Salima dengan tangan dingin telah menyelesaikan pertempuran itu. Pertempuran yang berat sebelah karena tentu saja para perampokitu bukan tandingannya. Gemas karena orang-orang itu tak mau pergi, mengeluarkan kata-kata kotor. Dan ketika semua orang menggeletak mandi darah dan Salima menendang mayat Cen Hok maka di saat itulah terdengar kekeh yang mengerikan di dalam hutan.

“Heh-heh, kau pantas menjadi anggota kami, Tiat-ciang Sian-li. Sepak terjangmu telengas dan cocok menjadi orang kedelapan dari Jit-mo Kang-ouw!”

Salima terkejut. Dia merasakan getaran kuat dari suara ketawa di dalam hutan itu, bumi berderak dan daun pohon bergerak -gerak, seolah kedatangan gempa. Tapi Salima yang tak melihat seorang pun keluar dari hutan tiba-tiba berkelebat ke dalam. “Kau siapa?”

Bentakan itu disambut kekeh yang semakin mengerikan. Tawa yang dalam dan bergulung-gulung mendadak membuat sebatang pohon roboh, hampir menimpa Salima? Dan Salima yang marah mendengar tawa di sebelah kirinya tiba-tiba melejit dan membentak gusar,

“Setan jahanam, kau siapa bersikap pengecut? Ayo keluar dan hadapi aku... krak-bumm!” Salima menghantam roboh sebatang pohon dimana tawa itu terdengar, pekik tertahan tapi tawa yang semakin terkekeh-kekeh, melingkar dan tak melihat sebuah bayangan pun di tempat itu. Dan ketika Salima marah-marah dan mengobrak-abrik pohon-pohon besar yang disangka sebagai tempat persembunyian lawan sekonyong-konyong tiga buah benda berwarna merah menyambar dirinya.

“Sshh...!”

Salima menjengek. Ia melihat tiga buah benda terbang itu bukan lain adalah tiga ular merah yang berbahaya, bisanya ganas dan tentu saja amat beracun. Tapi Salima yang meniup dan mengibaskan lengan ke depan tiba-tiba membuat tiga ekor ular yang menyambar mukanya itu roboh dan hancur di tengah jalan.

“Krekk!”

Tawa yang tadi bergulung-gulung mendadak lenyap. Salima mendengar seruan marah di sebelah kanannya, sebuah benda hitam tiba-tiba kembali menyambar dari belakang, kali ini jelas sebuah bokongan yang amat curang. Tapi Salima yang lagi-Iagi mendengus dan mengibaskan lengan tanpa menoleh tahu-tahu memukul runtuh benda terbang ini, yang lagi-lagi seekor ular.

“Pletak!”

Sekarang empat bangkai ular malang-melintang di depan kaki Salima. Salima tak mendengar lagi suara lawan yang ada di sebelah kanan, tapi mendengar suling ditiup dan tiba-tiba isi hutan bergerak oleh suara suling yang aneh ini, tinggi rendah melenggang-lenggok. Dan ketika Salima waspada dan siap mencari bayangan si penyuling tahu-tahu suara berkeresek terdengar di sekelilingnya dan ratusan ekor ular merayap datang!

“Ha-ha, kau bertemu dengan Coa-ong Tok-kwi, Salima. Anak buahku datang menyambut memberi hormat!”

Salima terbelalak. Dia jijik memandang ratusan ular yang tahu-tahu sudah mengepung, mendesis-desis disekitar dirinya dan tak ada jalan keluar lagi, melenggang-lenggok membuat dia ingin muntah karena bau yang amis dari ratusan ular itu benar-benar membuat perut mual. Tentu saja tak mau dikurung dan siap meloncat ke atas sebatang pohon, tak jauh dari tempatnya berdiri.

Tapi ketika suling ditiup tinggi dan puluhan ular merayap naik ke pohon yang diincar Salima mendadak Salima tertegun, melihat seluruh pohon sudah ditempeli oleh binatang-binatang melata itu, termasuk tanah dimana Salima berdiri, bergaris tengah sepuluh meter. Cepat sekali kejadiannya, sekejap mata! Dan Salima yang melotot memandang marah tiba-tiba melihat sebuah bayangan berkelebat, terkekeh-kekeh di belakang barisan ular itu. Seorang kakek tua yang hanya bercawat!

“Heh-heh, kau tak dapat keluar lagi, Tiat-ciang Sian-li. Sekarang dirimu terkepung dan tak mungkin terbang tanpa sayap!”

Salima tertegun, bersiap-siap menghadapi ratusan ular yang kini berhenti dalam jarak dua meter atas perintah suling yang mengalun rendah. “Kau siapa?” bentaknya marah, memandang kakek yang hanya bercawat itu dan membuat mukanya merah.

Tapi kakek kurus yang terkekeh-kekeh di belakang barisan ular itu menjawab pendek, “Aku Coa-ong Tok-kwi (Iblis Beracun Raja Ular)!”

“Darimana kau tahu nama julukanku?”

Kakek itu, yang bernama Coa-ong Tok-kwi tertawa nyaring. “Aku tahu karena aku telah mendengar ciri-cirimu, Salima. Kau gadis Tar-tar yang telah membuat onar di kota raja. Heh-heh, aku gembira, sepak terjangmu membunuh tikus-tikus busuk ini pantas mendudukkan dirimu dalam jajaran Jit-mo Kang-ouw!” dan Coa-ong Tok-kwi yang kembali terkekeh-kekeh mendadak meniup sulingnya menyuruh ular-ularnya menegakkan kepala.

“Anak-anak, beri hormat pada calon ibu kalian!”

Salima terbelalak. Dia melihat ratusan ular itu tiba-tiba mengangkat tubuhnya, sebatas perut, menegakkan kepala dan mendesis-desis di depan tubuhnya, secara aneh mengangguk dan kembali meletakkan tubuh ke tanah. Jadi persis orang memberi hormat. Dan ketika dia tertegun dan tak mengerti akan maksud kata-kata “calon ibu” mendadak Coa-ong Tok-kwi sendiri berlutut di belakang barisan ularnya dan menyembah padanya, mengangkat sebatang tongkat ular kering yang diacungkan ke atas.

“Tiat-ciang Sian-li, kita berjodoh menjadi suami isteri. Dewa Ular mempertemukan kita... wushh!” dan Coa-ong Tok-kwi yang tiba-tiba meniup tongkat ularnya mendadak menyemburkan lima jarum merah ke rambut Salima.

“Plak!” Salima terang menangkis, marah pada perbuatan kakek itu dan membuat Coa-ong Tok-kwi tertegun. Dan ketika Salima membentak dan melotot pada kakek itu maka Coa-ong Tok-kwi yang tinggi kurus dengan tubuh yang kerempeng itu mendelong mendengar kata-katanya.

“Coa-ong, aku bukan penyembah dewa ularmu. Kau jangan gila bicara tentang suami isteri!”

“Ah, kau menolak pertemuan ini?” Coa-ong terbelalak. “Kau merendahkan Dewa Ular yang telah mempertemukan kita untuk saling mengikat perjodohan? Uweh, jangan main-main kau, Tiat-ciang Sian-li. Kita telah ditakdirkan bertemu di sini dan berjodoh menjadi suami isteri. Aku telah lama menunggu-nunggu calon ibu anakku!”

Salima jijik, mual memandang cawat yang tampak dekil itu. Baunya minta ampun, tercium sampai sepuluh meter! “Coa-ong Tok-kwi!” gadis ini membentak. “Kau jangan gila-gilaan membicarakan soal jodoh. Kau tua bangka tak tahu malu, siapa sudi menjadi isterimu? Menjadi pelayanmu pun tak ada gadis yang sudi, apalagi menjadi isterimu. Cih, kau tua bangka gila yang tak tahu malu!”

Coa-ong Tok-kwi tiba-tiba terkekeh. “Tiat-ciang Sian-li, kau memang calon isteri yang aneh. Dewa Ular memberi tahu padaku untuk menyambutmu baik baik, kenapa sekarang kau memaki-maki aku? Lihat, meskipun tua aku masih kuat, Tiat-ciang Sian-li. Semalam aku dapat menggauli sepuluh gadis dusun tanpa letih. Kau tak perlu malu mendapat suami seperti aku!” dan Coa-ong Tok-kwi yang tiba-tiba tertawa dan menari meliuk-liukkan pinggang tiba-tiba meniup sulingnya. “Anak-anak, bawa calon ibumu ke mari!”

Salima terkejut. Suara suling yang melengking tinggi tiba-tiba membuat barisan ular yang tadi berhenti itu bergerak, merayap maju dengan mulut terbuka, mendesis-desis, tubuh melenggang-lenggok menuruti irama suling. Sebentar kemudian sudah di depan kaki Salima. Dan Salima yang tentu saja marah dan mengira ular-ular itu akan menyerang dirinya mendadak berkelebat ke depan menginjak hancur ular-ular yang berada paling dekat.

“Kres-kres!”

Coa-ong Tok-kwi terbelalak. Dia otomatis menghentikan tiupan sulingnya, membuat ular yang tadi bergerak juga berhenti. Dan ketika Salima mundur kembali dan Raja Ular ini mendelik akhirnya kakek itu mencak-mencak. “Tiat-ciang Sian-li, kenapa kau membunuh-bunuhi calon anak-anak tirimu sendiri? Mereka tidak menyerang, mereka akan membawamu baik-baik dan tidak menggigit!”

Salima menjengek, tentu saja tak percaya. “Kalau mereka tak menyerang tentunya tak akan membuka mulut, Tok-kwi. Tapi karena mereka bergerak maka mereka juga akan kubunuh!”

“Tidak bisa! Mereka anak-anak yang baik, mereka penurut pada suara sulingku. Lihat...!” dan Coa-ong-Tok-kwi yang kembali meniup suling tinggi rendah tiba-tiba menyuruh barisan ularnya menari. “Hayo, tunjukkan pada calon ibu kalian bahwa kalian anak-anak baik, anak-anak. Menari dan melengganglah sesuka hati. Yang lucu, buat ibu kalian tertawa!”

Salima mengerutkan kening. Dia melihat Coa-ong ini rupanya orang tidak waras, gerak-geriknya gila tapi rupanya lihai bukan main. Suara tawanya cukup membuktikan khikangnya yang kuat. Dengan tawa yang begitu saja mampu merobohkan sebatang pohon! Dan Salima yang waspada memandang ke depan tiba-tiba hampir terkekeh melihat ratusan ular itu tiba-tiba bergerak, maju mundur melenggang-lenggok dan beberapa diantaranya bahkan saling belit, berdiri dan bercumbu dan akhirnya berpacaran antara yang betina dan yang jantan, mengikuti perintah Raja Ular itu. Dan ketika suara suling meninggi dan iramanya menunjukkan irama panas tiba-tiba Coa-ong tertawa.

“Lihat, mereka kawin di depan mata kita, Sian-li. Itulah cara anak-anak memadu berahi!”

Salima semburat mukanya. Pasangan ular yang “berpelukan” di depan matanya itu mendadak lekat menjadi satu, berdiri dengan cara yang aneh karena kedua tubuh ditunjang oleh ekor, saling belit dan kedua muka menjadi satu. Dan ketika yang jantan melepaskan hajatnya dan sang betina roboh ke tanah tiba-tiba Salima merah mukanya ketika melihat tubuh dua ekor ular itu penun lendir!

“Ha-ha, bagaimana, Sian-li? Nikmat mereka bermesraan, bukan?”

Salima muak. Dia jengah dan juga marah oleh pertunjukan yang dilakukan oleh Raja Ular ini, cepat melengos ketika pasangan yang lain roboh ke tanah dan satu-persatu melepaskan diri, maklum bahwa hajat sang jantan telah terlampiaskan. Dan Salima yang melotot dan marah memandang kakek itu akhirnya membanting kaki berseru nyaring, “Tok-kwi, aku muak dengan segala pertunjukanmu ini. Usir ular-ularmu dan jangan ganggu aku!”

“Heh -heh, itu tentu kulakukan kalau kau mau memenuhi permintaanku, Sian-li. Kita menjadi suami isteri dan bikin anak-anak yang banyak!”

“Cih!” Salima semakin marah. “Kau tak mau mengusir ular-ularmu ini? Baik, kalau begitu mereka akan kubunuh!” dan Salima yang sudah berkelebat ke depan mendorongkan tangannya ke kiri kanan tiba-tiba melepas pukulan membunuh ular-ular itu, marah dan tak mau banyak bicara lagi dengan Coa-ong Tok-kwi yang gila itu, membuat ular-ular itu mendesis dan banyak diantaranya yang terlempar oleh pukulannya, hangus oleh Tiat-lui-kang yang berhawa panas.

Tentu saja mengejutkan si Raja Ular itu yang melihat Salima benar-benar membunuh ular-ularnya. Dan ketika Salima juga mulai berlompatan dan menginjak hancur kepala ular-ular yang ada di situ dan masih diam karena Coa-ong belum meniup sulingnya sebagai tanda, mendadak kakek bercawat ini membentak dan mulai meniup sulingnya itu, tinggi dalam nada marah!

“Anak-anak, serang dan tangkap wanita liar itu...!”

Ratusan ular itu tiba-tiba bergerak. Salima mungkin telah membunuh tigapuluh ekor, sementara yang belasan ekor menggeliat-geliat dalam sekarat. Tak ada yang melawan karena perintah si Raja Ular belum terdengar. Tapi begitu Coa-ong meniup sulingnya dan nada tinggi yang marah itu jelas sebagai aba-aba menyerang mendadak ratusan ular yang merayap ke depan dengan cepat itu sudah menyerbu Salima.

“Ssh-sshh...!”

Salima terbelalak. Dia melihat lidah yang menjulur keluar masuk itu, lidah yang bercabang dari ular yang beraneka ragam. Ada besar ada kecil, semuanya menyerbu mengikuti perintah suling. Dan Salima yang tentu saja marah dan jijik tak mau ditangkap tiba-tiba melengking tinggi dan mengibaskan tangannya ke sana-sini, memukul dengan Tiat-lui-kang hingga sebentar kemudian seratus ular roboh bergelimpangan, menggunduk di depan kakinya, merupakan daging menjijikkan yang menggeliat-geliat lemah.

Dan ketika Coa-ong meniup sulingnya semakin tinggi dan ular-ular yang masih hidup menyerang tanpa menghiraukan kematian teman-temannya yang lain tiba-tiba Salima pusing dan mau muntah oleh bau yang amat amis dan uap beracun yang mulai keluar dari tubuh ular-ular itu.

“Coa-ong, berhenti. Kalau tidak kubunuh semua ular-ularmu ini!”

Coa-ong tak menghentikan tiupan sulingnya. Dia melihat Salima mulai batuk-batuk, berlompatan sambil terus melepas pukulan, hebat sekali karena ular tak ada yang dapat mendekati tubuhnya dalam jarak dua tombak, selalu terlempar dan mati sebelum menggigit gadis Tar-tar itu. Tapi karena uap beracun semakin memenuhi tempat itu dan jumlah ular juga luar biasa banyaknya hingga Salima semakin pusing mendadak gadis ini mulai terhuyung dan muntah-muntah, tak dapat menahan mualnya perut!

“Ha-ha, sekarang kau roboh, Salima. Anak-anakku akan memberimu pelajaran dan tunduk padaku...!” Coa-ong Tok-kwi tertawa, betapapun kagum tapi juga marah melihat ular-ularnya tinggal separoh, bangkainya menggunduk dimana-mana dan Salima mulai limbung, tak dapat keluar dari tempat itu karena delapan penjuru sudah dipenuhi ular yang demikian banyak. Dan ketika Salima memaki-maki dan mengeluh mendekap dadanya yang sesak tiba-tiba tanpa diduga seseorang muncul membawa obor.

“Lihiap, ular takut dengan api. Terimalah ini...!”

Salima dan Coa-ong Tok-kwi terkejut. Mereka melihat munculnya seorang pemuda bertubuh tegap, usianya sekitar tigapuluh tahun dan gagah dengan dagu berlekuk, matanya bersinar-sinar. Dan ketika Salima tertegun dan pemuda itu melempar obornya maka barisan ular tiba-tiba menyibak dan mundur ketakutan.

“Wutt!” Salima menangkap obor itu, mendengar Coa-ong berteriak marah dan ular tiba-tiba membalik, mendesis-desis menjauhi obor yang dipegang. Sebentar kemudian lari berserabutan dan saling menyusup diantara teman sendiri, tentu saja membuat Coa-ong marah dan mencak-mencak. Dan ketika suling berhenti ditiup dan kakek bercawat itu berkelebat ke arah pemuda yang baru datang ini mendadak si Raja Ular melepaskan totokan ke ubun-ubun pemuda itu.

“Orang she Yu, kau berani mati!”

Pemuda itu mengelak. Dia tak berani menerima totokan, terang terlalu berbahaya baginya. Tapi Coa-ong yang menggerakkan kaki dari bawah tahu-tahu menendang membuat pemuda itu terlempar. “Dess!” pemuda itu berteriak kaget. Dia bergulingan menjauh, meloncat bangun dan secepat kilat mencabut siang-kiam (sepasang pedang), melihat bayangan kakek bercawat itu mengejarnya. Dan ketika suling bergerak dan kembali menotok ubun-ubun kepalanya maka pemuda gagah yang sudah melenting bangun ini langsung menangkis.

“Trak!”

Salima terbelalak. Dia melihat pedang pemuda itu mental, kalah oleh suling di tangan Coa-ong Tok-kwi, kalah tenaga. Dan Coa-ong yang sudah menggerakkan kaki dari kiri ke kanan tiba-tiba membuat pemuda itu mencelat dan jatuh di tengah-tengah barisan ular!

“Heii...!”

Salima melihat adanya bahaya. Dia melejit dan mendorongkan lengannya, tapi si pemuda yang berjungkir balik dan mempergunakan pedang menusuk tanah tahu-tahu sudah berjempalitan dan keluar dari kepungan ular, dipandang kagum oleh gadis Tar-tar ini yang melihat orang mengusap peluh. Dan ketika dua mata bentrok dan pemuda itu mengucap terima kasih atas bantuan Salima yang gagal karena si pemuda sudah mampu menyelamatkan diri sendiri maka Salima tergetar oleh senyum pemuda tak dikenal itu.

“Lihiap, terima kasih. Coa-ong memang cukup berbahaya!”

Salima tertegun. Barisan ular sekarang sudah menjauhi mereka, meskipun masih mengepung. Dan si pemuda tak dikenal yang kini berada di tengah kurungan ular bersama dirinya tiba -tiba menghadapi Coa-ong Tok-kwi yang marah-marah mengepal tinju.

“Siang-kiam-houw Yu Bing, kau benar-benar mencari penyakit. Kubunuh kau, keparat!”

Siang-kiam-houw (Harimau Berpedang Sepasang) yang berdiri di sebelah Salima tersenyum mengejek, tak kelihatan takut sedikitpun. “Tok-kwi, kau berkali-kali menyatakan hendak membunuhku. Tapi setiap kali itu pula aku selamat. Apakah ancamanmu kali ini juga terbukti? Kau memang iblis yang berbahaya, Tok-kwi. Tapi aku orang she Yu akan selalu menentangmu setiap kejahatan kau perbuat!”

“Keparat, apakah pamanmu tidak mengajar adat padamu? Kenapa kau selalu usil mencampuri urusanku?” si Raja Ular mencak-mencak, agaknya memandang seseorang yang berada di belakang pemuda itu.

Tapi si Harimau Berpedang Sepasang yang gagah mengedikkan kepalanya justeru menghadapinya dengan tenang. “Tok-kwi, tak perlu kau menyebut-nyebut pamanku. Kita berhadapan secara pribadi. Kau majulah kalau kau ingin mengganggu nona ini!”

“Kau minta mampus?”

“Kalau kau bisa membunuh aku. Aku siap membela nona ini!” dan Siang-kiam-houw Yu Bing yang membuat Coa-ong Tok-kwi mencak-mencak dan semakin marah tiba-tiba memencet tongkat ularnya dua kali.

“Bocah, mampuslah... cet-cett!”

Yu Bing mengelak. Dia lupa kalau Salima kebetulan ada di belakangnya, ganti menerima sambaran dua sinar merah itu yang bukan lain adalah jarum-jarum berbahaya. Tapi Salima yang meniup dan memukul runtuh dua jarum itu tiba-tiba melompat maju ke depan, penasaran dan marah pada kakek iblis ini.

“Saudara Yu, kau mundurlah...!”

Yu Bing terkejut. Saat itu Coa-ong kembali menyerang, tiga sinar hitam kali ini menyambar mukanya. Tapi karena Salima meloncat ke depan dan otomatis menerima sambaran tiga sinar hitam itu maka Yu Bing berteriak kaget ketika Salima tak mengelak. “Nona, awas...!”

Salima tersenyum mengejek. Dia terang tahu sambaran tiga sinar hitam itu, sengaja tidak mengelak, menggerakkan lengan dan mengepret dengan kelima jarinya mempergunakan Tiat-lui-kang. Dan ketika jarum kembali dipukul runtuh dan Salima sudah berhadapan dengan kakek iblis itu sementara ular di sekeliling dirinya kian mundur menjauh karena takut pada obor di tangan kirinya maka Coa-ong terbelalak sementara Yu Bing terpesona memandang kagum.

“Tok-kwi, kau kiranya suka mempergunakan senjata-senjata rahasia. Nah, mari kita bertempur dan biarkan ular-ularmu menyingkir... blub!” Salima melempar obor di tengah-tengah barisan ular, tiba-tiba membuat ular berserabutan menyingkir karena obor meledak, tumpah minyaknya dan seketika membuat kebakaran di tempat itu, menjilat ranting-ranting kering dan tentu saja ular-ular itu berlarian menjauh, kelabakan! Dan ketika Coa-ong berteriak dan Salima bebas menghadapi kakek ini maka Siang-kiam-houw Yu Bing juga melompat maju, khawatir membiarkan Salima.

“Nona, mundur. Biarkan aku saja yang menghadapinya!”

Salima menggeleng. “Tidak, biarkan aku yang menghadapinya, saudara Yu. Lebih baik kau gebah saja ular-ular yang lain kalau kakek ini memerintahkan anak buahnya.”

“Tapi iblis ini licik sekali, nona. Dia...”

“Sudahlah,” Salima memotong. “Aku tak takut pada segala kecurangannya, saudara Yu. Kau mundur dan biarkan aku sendiri!”

Yu Bing tertegun. Dia melihat kekerasan Salima yang tak dapat dibantah, kembali beradu dengan sinar mata si gadis Tar-tar yang dingin menusuk tulang, angkuh dan agak sombong. Perintahnya seperti perintah seorang ratu! Dan Yu Bing yang menghela napas mengangguk mundur akhirnya berkata perlahan, “Baiklah, tapi hati-hati menghadapinya, nona. Coa-ong Tok-kwi terkenal sekali dengan permainan Sin-coa-kunnya. Tongkatnya menyimpan banyak senjata rahasia yang aneh-aneh!”

Salima tersenyum, senyum ewah. Tak menghiraukan kata-kata itu dan percaya pada kemampuan diri sendiri. Dan ketika lawan mendelik meremas tongkat dia sudah berkata menantang, menggosok telapak tangannya bersiap-siap dengan Tiat-lui-kang, “Coa-ong, kau boleh maju kalau ingin merasakan kelihaianku. Pergunakan senjatamu, aku akan bertangan kosong!”

“Hieh!” kakek ini mendelik. “Kau sombong berani mati, Tiat-ciang Sian-li? Kalau begitu awas, aku akan membekukmu ... heh!” dan Coa-ong Tok-kwi yang menggeliatkan pinggang seperti ular sekonyong-konyong membentak menubruk ke depan, kedua lengan terulur cepat membentuk paruh, atau mungkin kepala ular. Dan ketika tangan yang mirip moncong itu mendekati sasaran tiba-tiba kakek ini membuka jarinya dan secepat kilat memagut.

“Wussh...!” Salima mendengar desis seperti ular, tertawa dingin dan tidak mengelak pagutan itu. Dan ketika lawan menubruk dan dia ingin mengadu kekuatan tiba-tiba dengan bentakan yang sama dia menangkis dan mengerahkan Tiat-lui-kangnya itu.

“Plak!”

Coa-ong Tok-kwi berteriak tergetar. Lengannya mental, terbelalak melihat tangan lawan yang merah seperti besi membara, panas menyengat dan membuat dia kaget. Tapi Coa-ong Tok-kwi yang sudah membalik seperti ular mendadak meliuk dan kembali menyerang, kali ini tangan kirinya menyambar, juga membentuk paruh atau moncong ular itu, mematuk dan memagut, sebentar kemudian membuka dan menutup seolah ular yang menggigit, gerakannya cepat dan melenggang-lenggok dengan pinggang patah-patah.

Hebat dan berbahaya sekali karena kedua lengannya mulai mengeluarkan bau amis, berlendir dan tiba-tiba membuat Salima mengerutkan kening. Jijik separuh heran bagaimana kakek itu dapat mengeluarkan bau wengur, persis seperti ular beracun. Dan ketika dia menangkis dan kali ini lengannya meleset bertemu lengan lawan yang licin menjijikkan sekonyong-konyong Coa-ong Tok-kwi berkelebat lenyap terkekeh-kekeh, menyerang dari segala penjuru.

Sebentar kemudian lendir yang membasahi kedua lengannya itu bercipratan ke sana ke mari, membuat Salima ingin muntah, harus menampar atau mengibas mempergunakan ujung bajunya agar lendir yang bercipratan itu tak mengenai tubuhnya. Dan ketika Coa-ong juga mempergunakan sulingnya dan senjata pemanggil ular itu mengaung-ngaung mengiringi Sin-coa-kunnya mendadak Salima terdesak dan kaget ketika suara suling menggelitik membuat telinganya gatal.

“Awas, tutup pendengaranmu dari suara suling, nona. Kakek itu mempergunakan Sin-coa-siauw-imnya (Suara Suling Ular)...!” Yu Bing berseru, melihat Salima terdesak dan sudah menutupi telinganya sendiri dengan kapas, terpengaruh dan gatal pula oleh Suara Suling Ular yang dilancarkan kakek itu.

Dan Salima yang membentak menyobek baju sendiri tiba-tiba menyumbat telinganya menuruti seruan Siang-kiam-houw, memang benar dapat menahan suara suling yang membuat telinga gatal itu, tentu saja membuat Tok-kwi marah-marah dan mencak-mencak memaki pemuda itu. Dan ketika Salima dapat bertahan dan melengking tinggi sekonyong-konyong dia telah membalas dan ganti menyerang kakek itu.

“Plak-plak-plak!”

Salima mulai maju kembali. Dia mempergunakan Tiat-lui-kangnya itu, Tamparan Tangan Petir, membalas dan mendesak lawan dengan tubuh berkelebatan. Dan ketika Salima juga mengerahkan ginkang dan berteriak mengimbangi kakek itu tiba-tiba pertempuran seru terjadi diantara dua orang ini, saling pukul dan tangkis, saling tak mau mengalah dan desak-mendesak. Sebentar saja limapuluh jurus berlangsung dengan cepat. Dan ketika Salima juga berani menangkis suling dan senjata di tangan kakek itu mulai berpeletakan bertemu Tiat-lui-kang mendadak beberapa saat kemudian senjata itu hancur.

“Prakk!”

Coa-ong Tok-kwi memaki kalang-kabut. Dia membuang sulingnya itu, marah bukan main, dipandang terbelalak oleh Yu Bing yang kagum akan kehebatan Tiat-lui-kang. Maklum, Tiat-lui-kang ternyata lebih ampuh dibanding sepasang pedangnya itu, yang tadi bahkan terpental dan tak mampu membacok suling. Padahal senjata itu terbuat dari bambu! Dan ketika suling hancur dan Salima ganti mendesak kakek itu dengan tamparan atau kepretan jarinya yang bertubi-tubi mendadak kakek ini mencabut tongkat ularnya.

“Tiat-ciang Sian-li, kali ini kau tak dapat menghancurkan senjataku!”

Salima bersinar-sinar. Dia besar hati oleh gebrakan terakhir tadi, mampu meremukkan suling dan melihat sinkangnya hampir berimbang dengan kakek itu. Tiat-lui-kangnya mampu menghadapi lawan meskipun hancurnya suling belum boleh dibilang suatu kemenangan baginya, karena kini lawan mengambil senjata baru yang lebih hebat, sebatang tongkat ular yang lebih keras dan liat. Dan ketika benar kakek itu maju kembali dan Tiat-Iui-kang tak dapat menghancurkan tongkat karena senjata di tangan kakek itu bisa lentur dan membalik secara aneh tiba-tiba Tok-kwi terkekeh dan melepas jarum-jarum beracunnya.

“Heh-heh, ini lebih berbahaya, Sian-li. Kau akan roboh dan terjungkal di hadapanku... cet-cet!” Coa-ong memencet gagang tongkatnya, menyemburkan tiga sinar kuning yang berkeredep seperti emas, menyambar dan membuat Salima terkejut karena jarak mereka terlalu dekat.

Dan ketika dia membentak dan terpaksa menangkis maka kakek bercawat yang kembali di atas angin ini mendesaknya, dipandang gelisah oleh Siang-kiam-houw Yu Bing yang terbelalak melihat Salima harus menangkis dan berkali-kali membatalkan serangannya sendiri, diganggu oleh semburan senjata-senjata rahasia yang melesat tanpa disangka-sangka. Dan ketika Salima kembali mundur-mundur dan Coa-ong Tok-kwi melancarkan pukulan dengan tangan kiri mendadak jari yang kurus-kurus panjang itu mulur!

“Heh-heh, mampus kau, bocah...!”

Salima terkejut. Dia baru meruntuhkan lima jarum merah yang menyambar mukanya, mau membalas dan melihat lawan sudah menubruk dengan tangan terulur itu, mendengar jari-jari berkerotok dan tangan lawan memanjang. Dan ketika dia terkejut dan mengelak sambil membentak tahu-tahu tangan yang mulur seperti karet itu mencengkeram dadanya!

“Aih... bret!”

Salima membanting tubuh bergulingan. Dia hampir saja diremas dadanya, cepat melompat bangun, mendengar kakek itu tertawa kurang ajar dan baju luarnya koyak, memperlihatkan baju dalam. Dan ketika Coa-ong mengejar dan kakek itu kembali memencet tongkat untuk melepas jarum tiba-tiba Salima melengking tinggi mencabut benderanya, ingat pada bendera Tar-tar yang dulu dipergunakan untuk mempengaruhi suhengnya agar pulang keluar tembok besar.

“Coa-ong, kau tua bangka keparat... crep-crep!” Salima mengebut benderanya, menyambut tujuh sinar hitam yang kini menancap di kain benderanya itu, mengejutkan lawan. Dan ketika Coa-ong terbelalak dan kaget melihat gadis itu mencabut senjata yang aneh tahu-tahu Salima telah mengibas dan mengebutkan benderanya untuk kedua kali untuk meretour jarum-jarum beracun ke arah pemiliknya, tujuh sinar hitam yang kini terbang dan menyambar Coa-ong Tok-kwi!

“Aih, tak-tak-tak...!” Coa-ong menangkis, mempergunakan tongkat ularnya itu untuk meruntuhkan jarum-jarum sendiri. Dan ketika dia tergetar dan membelalakkan mata tahu-tahu Salima telah melompat dan menyerbu dengan benderanya itu.

“Wut-wuut...!”

Coa-ong terkejut. Kain bendera menyambar secara berkibar, bergerak dari atas ke bawah. Siap menakupi kepalanya dan membuat pandangan terhalang. Tentu saja berbahaya. Dan ketika dia menangkis dan tongkat bergerak ke depan tahu-tahu pukulan Tiat-lui-kang menyambar dari bawah tersembunyi oleh kain bendera.

“Dess!” kakek ini mencelat. Dia menjerit marah, terpukul mentah-mentah dan menerima pukulan dengan telak. Dada terasa panas dan sukar bernapas. Ampeg. Dan ketika dia memaki-maki dan melompat bangun Salima sudah mengejar dengan pukulan seperti itu, mengibaskan kain bendera sementara Tiat-lui-kang menyambar dari belakangnya, terlindung, tertutup karena kain bendera bergerak kian ke mari mengebut dan menghalangi pandangannya. Tentu saja berbahaya dan membuat kakek ini mencak- mencak. Kalang-kabut. Dan ketika Salima menyerang dan tidak memberi kesempatan kakek itu membalas tiba-tiba Coa-ong terdesak dan mundur-mundur dengan muka pucat. Benar-benar kewalahan!

“Tiat-ciang Sian-li, kau wanita curang! Benderamu menutupi mata!”

Salima tak peduli. Dia tersenyum mengejek mendengar lawan berkaok-kaok, terus mendesak dan kembali mendaratkan Tiat-lui-kang di tubuh kakek itu, kali ini mengenai lehernya. Tapi Coa-ong yang dapat bangun kembali dan terus bertahan diam-diam membuatnya kagum juga. Kalau tidak memiliki sinkang kuat tak mungkin Raja Ular ini mampu menerima Tiat-lui-kang. Tentu remuk dan hangus tubuhnya.

Tapi si kakek yang hanya memar dan kebiruan saja menerima pukulannya menunjukkan kekuatan kakek ini, hal yang membuat Salima penasaran dan justeru memperberat tekanan. Dan ketika kembali lawan menerima Tiat-lui-kang dan Coa-ong terguling-guling sambil mengumpat caci tiba-tiba Salima berkelebat melepas pukulan berbareng.

“Tok-kwi, kau mampuslah...!”

Raja Ular ini terbelalak. Dia melihat Salima mengebutkan bendera, gagangnya menotok sementara Tiat-lui-kang kembali menyambar dibalik kain bendera, menuju ulu hatinya. Dua serangan berbahaya yang tidak kalah satu sama lain. Dan Tok-kwi yang pucat menggereng marah tiba-tiba menggerakkan tongkatnya, menangkis bendera sementara tangan kirinya merogoh baju mengeluarkan seekor ular kecil berkulit emas. Dan begitu Tiat-lui-kang menyambar dan tongkat bertemu bendera mendadak kakek ini melempar ular emasnya ke pundak Salima, membuat Yu Bing berteriak kaget.

“Awas, Kim-siauw-liong (Naga Kecil Emas), nona...!”

Salima terkejut. Dia melihat berkelebatnya ular emas itu, mencium bau harum yang enak tapi memabukkan. Tentu saja kaget karena maklum bahwa itu kiranya ular simpanan Coa-ong. Ular beracun yang paling berbahaya di dunia, Kim-siauw-liong, ular bertubuh harum tapi bisanya luar biasa ganas! Dan Salima yang menarik bendera mengebut ular ini tiba-tiba berseru kaget ketika Kim-siauw-liong menggigit dan menerobos kain bendera yang sudah berlubang itu, menyambar dan tetap menuju pundaknya untuk menancapkan bisanya, padahal saat itu Coa-ong terkekeh dan terbanting menerima Tiat-lui-kang, memandang Kim-siauw-liong yang merupakan ular tak kenal menyerah, akan menggigit korban sampai korban roboh!

Dan Salima yang tentu saja marah dan melempar tubuh bergulingan mendadak melihat ular itu sudah mendekati pundaknya, membuka mulut lebar-lebar dan dua taringnya yang kecil putih itu siap memagut, harum tubuhnya semakin menyengat dan membuat Salima pening. Tapi Yu Bing yang berkelebat ke depan melempar sesuatu tiba-tiba menghentikan gerakan ular yang otomatis menggigit dan terkejut oleh sambaran benda ini, sebuah lengan karet yang menyerupai lengan manusia.

“Awas... crep!” ular itu menggigit marah. Dia tertahan oleh lengan ini, mendesis mengejutkan Coa-ong yang melihat ularnya jatuh ke tanah, gagal menyerang Salima yang bergulingan menyelamatkan diri. Dan ketika gadis itu melompat bangun dan Coa-ong membentak memaki Yu Bing tiba-tiba kakek itu melejit menyambar ularnya.

“Siang-kiam-houw, kau pemuda tak tahu aturan!”

Yu Bing mengelak. Dia melihat kakek itu melepas sebuah jarum, bersiap-siap kalau kakek itu lagi-lagi menyerang. Tapi Coa -ong yang telah menyambar ularnya dan melompat pergi ternyata melarikan diri, hanya memaki dan menyerang pemuda itu sekali saja, memekik-mekik dikejauhan dan rupanya penasaran atas bantuan pemuda itu kepada Salima, gadis yang hampir saja dia robohkan.

Dan Salima yang tertegun melihat kakek itu melarikan diri tiba-tiba membentak, “Coa-ong, jangan lari kau...!” tapi baru menggerakkan kaki mengejar mendadak Salima terguling dan mengeluh roboh.

“Aih... bluk!”

Yu Bing terkejut. Dia melihat Salima terguling tanpa sebab, melihat gadis itu mengeluh dan tidak melompat bangun. Dan ketika dia berkelebat menghampiri dan berseru memanggil Salima ternyata Salima telah pingsan oleh bau harum Kim-siauw-liong yang tersedot hidungnya. Harum ular yang mengandung racun!

“Ah, celaka...!” Yu Bing sadar, teringat akan berbahayanya ular itu yang amat ganas. Bau tubuhnya saja sudah cukup membuat orang pingsan. Dan Yu Bing yang cepat bergerak menyambar Salima tiba-tiba terbang dan meninggalkan tempat itu menuju ke barat, khawatir kalau Coa-ong kembali dan tempat itu tak aman untuk menolong Salima. Dan begitu dia mengerahkan ginkang membawa Salima akhirnya Siang-kiam-houw Yu Bing ini lenyap meninggalkan hutan sementara Coa-ong juga melarikan diri atas kegagalannya merobohkan Salima.

* * * * * * * *

“Nona, bagaimana?”

Salima membuka mata. Dia berada disebuah gua yang terang saat itu, masih pening dan mendengar pertanyaan Siang-kiam-houw Yu Bing, pemuda yang gagah dan menolongnya itu. Dan ketika Salima lapat-lapat teringat semua kejadian di dalam hutan dan terkejut oleh bayangan Coa-ong mendadak gadis ini melompat bangun tapi roboh terguling, kaget melihat tenaganya seakan hilang begitu saja!

“Ah, mana setan tua itu, saudara Yu? Kenapa tenagaku hilang begini?”

Salima pucat, ditolong Yu Bing yang cepat mengangkatnya bangun, tergetar meraba pundak yang halus dan mata yang terbelalak bersinar-sinar itu. Dan Yu Bing yang menahan debaran jantung dan mendudukkan Salima di pembaringan batu lalu memejamkan mata berkata perlahan, “Coa-ong tak ada di sini lagi, nona. Kau aman di tempat tinggalku sendiri.”

Salima tertegun. “Begitukah?” dia melihat orang memejamkan mata. “Kenapa kau menutup matamu, saudara Yu? Sakitkah?”

Yu Bing tersenyum. “Tidak,” katanya mengherankan Salima, kini membuka matanya itu. “Aku tidak apa-apa, nona. Tapi...”

“Tapi kenapa mulutmu meringis?” Salima memotong, melihat bahwa ketika memejamkan mata tadi pemuda ini seperti orang meringis, seakan menahan sakit. Jadi mengherankan hatinya kalau sekarang pemuda ini tersenyum. Dan Yu Bing yang tertawa pahit dengan muka merah tiba-tiba menunduk menghela napas.

“Aku tidak apa-apa, nona. Aku, hm... aku hanya kagum akan kepandaianmu yang hebat itu!”

Salima tak percaya. Dia melihat pemuda itu berbohong, menyembunyikan sesuatu. Tapi Yu Bing yang berkata akan mengambil bubur tiba-tiba meninggaIkannya sebentar dan menyuruh dia beristirahat, mengumpulkan tenaga. “Maaf, aku harus menyiapkan makananmu, nona. Seharian kau pingsan membiarkan perutmu kosong. Tunggu sebentar...”

Salima tertegun. Ia melihat pemuda itu telah lenyap meninggalkannya, terbelalak juga mendengar dirinya pingsan sehari penuh. Dan ketika pemuda itu pergi dan ia merasa perutnya lapar tiba-tiba Salima menjadi malu ketika perutnya berkeruyuk! Dan tak lama kemudian Yu Bing muncul, membawa semangkok besar bubur ayam dan teh panas, tersenyum padanya, meletakkan itu di atas meja.

“Nona, kau harus memulihkan tenagamu dengan cepat. Hawa beracun dari ular Kim-siauw-liong telah lenyap meninggalkan tubuhmu. Ayo makan!”

Salima kembali tertegun. Dia melihat pemuda itu mempersiapkan segalanya dengan cepat, ramah dan tertawa padanya menyuruh makan. Tapi ketika pemuda itu hendak meninggalkannya dan Salima bangkit duduk tiba-tiba dia mengulapkan lengan berseru memanggil, “Saudara Yu, tunggu...!”

Yu Bing berhenti. “Ada apa, nona?”

“Kau hendak kemana?”

“Aku, ah... aku hendak mengisi bak mandi, nona. Membiarkanmu makan dengan bebas dan setelah itu mandi kalau kau ingin membersihkan dirimu!”

“Hm,” Salima heran juga. “Di sini ada sumber air?”

“Ya, di belakang, nona. Dan aku membuat bak mandi dari tong kayu. Kau dapat mandi setelah makan!” Yu Bing tertawa, kembali hendak keluar tapi dicegah Salima. Dan ketika pemuda itu heran dan ganti membelalakkan mata maka Salima bangkit berdiri memandang bubur ayam yang masih panas itu.

“Siapa yang membuat ini?”

“Aku sendiri.”

“Kau tak berteman?”

“Maksudmu?” Yu Bing bertanya heran. “Kau tak beristeri? Kau belum berkeluarga?”

Yu Bing tiba-tiba terbahak. “Nona, apa maksudmu dengan pertanyaan itu? Aku tinggal sendiri di sini, aku belum berkeluarga dan tidak mempunyai isteri!”

Salima mengerutkan kening, masih serius. “Kalau begitu kau pintar masak!” katanya sungguh-sungguh. “Bubur ayam ini rupanya mirip bubur naga yang biasa dihidangkan untuk kaisar!”

Yu Bing terkejut, tiba-tiba menghentikan tawanya. “Nona tahu itu?”

“Tentu saja!” Salima bangga menjawab. “Kau memberi keningar dan kembang cengkeh di sini. Bubur itu harum dan merupakan salah satu makanan yang paling digemari kaisar. Aku heran bagaimana kau dapat membuat itu!”

Yu Bing membelalakkan mata lebar-lebar. “Nona, kau sungguh hebat sekali. Tebakanmu tidak meleset sedikit pun juga. Itu memang bubur naga yang dagingnya kuganti dengan ayam!”

“Dan kau membiarkan aku makan sendiri?”

“Ah, maumu...?”

“Aku tak habis makan sedemikian banyak, saudara Yu. Sebaiknya bagi dua dan kau juga makan sebagian!” Salima duduk, memandang dengan mata bersinar dan kagum pada pemuda yang pandai menghidangkan bubur sedemikian lezat.

Tapi Yu Bing yang tertawa lebar tiba-tiba melompat keluar. “Nona, kau habiskan saja masakan itu. Kalau tidak biar sisanya nanti kumakan!”

“Apa?”

Tapi Yu Bing telah lenyap. Salima mendengar tawanya yang gembira di luar sana, terkejut dan merah mukanya mendengar pernyataan orang. Tapi menganggap pemuda itu main-main dan berolok-olok saja, Salima duduk dan sudah menghadapi buburnya. Perut yang lapar tiba-tiba terasa makin lapar. Maklum, bubur itu amat harum dan sedap sekali, membuat perut merintih dan Salima tidak sungkan-sungkan lagi menyikatnya, sebentar kemudian melahap dan merasa tenaganya mulai pulih. Dan ketika seperempat jam kemudian Salima kekenyangan dan bubur itu tak dapat dihabiskan semuanya maka Yu Bing muncul dengan muka berseri.

“Bagaimana, habis, nona?”

“Tidak, perutku telah terisi penuh. Aku tak dapat menghabiskannya,” Salima menjawab, melihat pemuda itu memandang mangkuk buburnya dan tersenyum lebar. Dan teringat pemuda itu menggodanya untuk makan sisanya tiba-tiba Salima berkata tertawa, “Nah, kau boleh makan sisaku kalau kau mau, saudara Yu. Tapi aku tak memaksa kalau kau tak suka!”

Aneh. Yu Bing mengangguk. Pemuda itu ikut tertawa, dan sementara Salima terheran tahu-tahu pemuda ini menyambar mangkuk buburnya dan betul-betul makan sisa makanannya itu! “Ha-ha, ini satu kehormatan besar bagiku, nona. Terima kasih...!”

Salima bengong. Dia melihat pemuda itu lahap menghabiskan sisanya, mempergunakan sumpit yang dia pergunakan pula. Dan ketika sekejap kemudian sisa bubur itu habis dan Yu Bing menghapus mulutnya dengan ujung lengan baju tiba-tiba Salima tertegun dan hampir tak percaya. “Kau mau...?”

Yu Bing membalikkan tubuhnya, menghadapi Salima. “Kenapa tidak?” dia balas bertanya. “Bukankah kau yang menyuruhku, nona? Dan aku merasakan buburku semakin sedap saja, ha-ha!” dan Yu Bing yang menghentikan tawanya melihat Salima merah mukanya mendadak terkejut dan buru-buru menjura. “Maaf, aku telah menyiapkan air untukmu, nona. Kalau kau mau mandi silahkan, kuantar ke belakang!”

Salima sadar. Dia tadinya memang mau marah melihat Yu Bing tertawa, seolah mau kurang ajar dengan kata-katanya itu. Tapi melihat pemuda ini bersikap wajar dan kata-katanya tidak dibuat-buat akhirnya Salima menghela napas dan ingat bantuan orang. “Saudara Yu, terima kasih. Kau agaknya amat memperhatikan diriku!”

Yu Bing tersenyum. “Itu bukan soal, nona. Sesama orang gagah kita wajib tolong-menolong. Marilah, nona ingin mandi, bukan?”

Salima mengangguk. Dia merasa tubuhnya gerah, peluh membuat tubuhnya lengket dengan baju. Dan ketika Yu Bing mengantarnya ke belakang dan pemuda itu berhenti disebuah pintu bersekat Salima melihat pemuda itu membungkuk sopan.

“Nona, silahkan masuk. Aku akan menunggumu di luar.” dan Yu Bing yang melangkah pergi dengan sikap ramah akhirnya membuat Salima kembali tertegun memandang punggung orang.

“Saudara Yu, adakah handuk di dalam?”

“Ada,” Yu Bing berhenti sebentar. “Semuanya lengkap di dalam, nona. Tapi maaf, gayungnya dari tempurung kelapa!”

Salima mengangguk. Dia melihat pemuda itu kembali pergi, sebentar kemudian lenyap di luar dan tidak kembali. Dan Salima yang masuk ke tempat yang ditunjuk dan melihat perlengkapan di kamar mandi tiba-tiba tersenyum melihat gayung yang dikata pemuda itu. Memang benar, dari tempurung kelapa tapi berukuran besar. Bak mandinya penuh air dan tampak jernih, dingin menyegarkan. Tapi Salima yang mengerutkan kening melihat pakaian wanita ada di situ mendadak cemberut dan keluar lagi. “Saudara Yu, dimana kau?”

Yu Bing tiba-tiba muncul, tampak gesit dan sigap. “Ada apa nona? Ada yang kurang?”

“Tidak,” Salima memandang curiga pemuda ini. “Tapi dari mana kau dapat pakaian-pakaian wanita itu? Kau bilang tidak berkeluarga, tapi...”

“Nanti dulu!” Yu Bing tampak terkejut, melihat Salima bersinar marah. “Itu kudapatkan dari dusun di sebelah, nona. Aku membelinya dan bukan dari siapa-siapa. Kusiapkan itu karena tak kulihat kau membawa pakaian ganti!”

“Hm,” Salima sadar, semburat mukanya. “Kalau begitu maaf, saudara Yu. Rupanya aku terlalu curiga. Baik, terima kasih...!” dan Salima yang kembali ke kamar mandinya dan menyuruh Yu Bing pergi akhirnya membuat pemuda ini tertegun menggeleng-geleng kepala.

“Hebat, kalau marah seperti singa betina!” Yu Bing menunggu di luar. Setengah jam itu dia mendengar gejebar-gejeburnya air, melihat Salima rupanya gembira benar mandi dengan air yang dia siapkan itu, tak tahu bahwa dia harus mengambil air itu cukup jauh juga, tak kurang dari dua kilometer, air yang jernih di kaki bukit. Dan ketika setengah jam kemudian Salima muncul dan berganti pakaian dengan pakaian baru mendadak pemuda ini bengong dan kagum bukan main, melihat kecantikan asli dari gadis Tar-tar itu.

“Aih, kau seperti seorang dewi saja, nona...!”

Salima terkejut. “Kau di sini?”

“Ya, eh... maaf!” Yu Bing bangkit berdiri, masih ternganga tapi kini sadar akan sikapnya, bengong oleh rambut panjang Salima yang tergerai di belakang punggung, hitam lebat dan memikat sekali, dibiarkan mengering karena rambut itu masih basah. Dan ketika Salima tersenyum dan Yu Bing jungkir balik oleh senyum ini akhirnya pemuda itu mendengar Salima tertawa.

“Saudara Yu, dimana aku bisa menyisir rambutku? Aku butuh tempat berangin, airnya segar sekali!”

“Ah, mari, nona.” Yu Bing melompat keluar gua. “Kau dapat berangin di batu besar itu, tunggu sebentar aku mengambil sisir!”

Salima mengangguk. Dia sudah keluar dari gua itu, melihat sebuah batu besar yang enak untuk tempat duduk. Dan ketika Yu Bing tergopoh masuk mengambil keperluannya Salima sudah melompat dan duduk di atas batu besar itu, melonjorkan kaki, menunggu pemuda itu sambil mengibas-ibaskan rambutnya. Dan ketika pemuda itu muncul dan Salima juga sudah mengering rambutnya akhirnya Yu Bing berdiri di bawah terbelalak ke atas, melihat pipi Salima yang kemerah-merahan sementara gadis itu mulai menyisir rambutnya.

“Saudara Yu, ada apa kau mendelong di sana?”

Yu Bing terkejut. “Eh, tidak... aku, ah... aku menunggu kalau kalau kau memerlukan sesuatu lagi, nona. Mungkin kau butuh ini-itu yang harus kuambilkan!”

Salima tertawa. “Kau lucu, aku tak memerlukan apa-apa lagi. Sebaiknya kita bercakap-cakap dan kau naiklah ke sini!”

Yu Bing merah mukanya. “Tidak,” katanya tersipu. “Aku di sini saja, nona. Dan kalau kau ingin bercakap-cakap tentu saja aku gembira menerimanya!” Yu Bing melihat Salima telah selesai menyisir rambut, menyanggul dan kini mengenakan topi bulu burungnya itu, gagah dan terganti anggun dan agung.

Dan ketika Salima tersenyum dan Yu Bing menahan debaran jantungnya oleh senyum gadis Tar-tar itu tiba-tiba Salima melompat turun. “Baik, kalau begitu aku juga tak mau duduk di atas,” Salima berkata. “Dan kita bercakap-cakap sebagai sahabat, saudara Yu. Tapi sebelum itu biarkan aku kembali mengucap terima kasih atas semua bantuanmu!” dan Salima yang mengangguk merangkapkan tangan tiba-tiba membuat Siang-kiam-houw Yu Bing kikuk.

“Aih, jangan begitu, nona. Tak perlu!”

Salima tersenyum, mulai tertarik memandang pemuda ini. Dan ketika dua pasang mata beradu dan Yu Bing semburat merah tiba-tiba Salima menarik napas. “Saudara Yu, kau ini sebenarnya siapakah? Bagaimana dapat datang secara kebetulan membantuku menghadapi si Raja Ular itu?”

Yu Bing dag-dig-dug. “Aku, hm... aku pengelana biasa saja, nona. Datang secara kebetulan karena aku ingin mendatangi para perampok-perampok itu. Cen Hok membunuh seorang hartawan berikut anak isterinya. Aku ingin menghajar kepala rampok itu, apalagi dia main-main mempergunakan nama Hek-eng Taihiap yang menjadi sahabatku!”

“Hm,” Salima tertarik. “Jadi dia bukan Hek-eng Taihiap?”

“Tentu saja bukan!” Yu Bing berkata gemas. “Sahabatku Hek-eng Taihiap sedang bepergian, nona. Dia seorang gagah bukan penjahat macam Cen Hok dan anak-anak buahnya itu!”

“Lalu bagaimana orang she Cen itu ada di hutan itu?”

“Dia datang untuk membalas sakit hati.”

“Maksudmu?”

“Cen Hok pernah dihajar sahabatku, nona. Dia mendapat hukuman keras tapi rupanya tidak kapok. Dia mendengar sahabatku pergi, mempergunakan hutan itu dan merusak nama baik dengan menyebut diri sebagai Hek-eng Taihiap, membunuh dan merampok hingga aku mendengar perbuatannya. Tapi ketika aku datang ternyata kau telah membunuh manusia busuk itu!”

“Tentu saja,” Salima menjawab. Dia coba-coba menggangguku, saudara Yu. Sudah kuperingatkan tapi tak mau pergi. Dan karena dia memang menyebalkan maka kubunuh perampok itu bersama anak buahnya yang kasar dan kurang ajar!”

Yu Bing mengangguk. “Memang tepat, nona. Kalau kau tidak datang tentu aku yang akan memberesi tikus-tikus busuk itu. Dan kau sendiri, bagaimana bisa berada di hutan itu?”

Salima tiba-tiba muram. Pertanyaan ini mengingatkan kisahnya dengan sang suheng, betapa dia marah dan membenci suhengnya itu. Dada tiba-tiba sesak dan mata menjadi merah.

Tapi Yu Bing yang melihat Salima tak menjawab tiba-tiba merangkapkan tangan. “Maaf, pertanyaanku rupanya tak berkenan di hatimu, nona. Aku menarik kembali pertanyaan itu dan biarlah kita bicara yang lain.”

Salima mengangguk. “Saudara Yu, kau rupanya seorang gagah yang baik hati. Kita memang sebaiknya bicara yang lain, aku tak dapat menjawab pertanyaanmu karena pertanyaan itu akan mengungkit kepedihan hatiku. Sekarang bicara tentang dirimu, siapa itu pamanmu yang agaknya disegani Coa-ong? Dan ilmu silatmu lumayan juga, tapi kau masih tak dapat menandingi Raja Ular itu!”

Yu Bing merah mukanya. “Aku memang kalah dibanding iblis tua itu, nona. Tapi aku tetap menentang perbuatannya yang jahat. Berkali-kali aku bertemu tapi berkali-kali pula aku lolos dari tangan mautnya.”

“Dan pamanmu itu, siapa dia?”

“Ah,” Yu Bing mendadak muram. “Pamanku itu adalah seorang yang aneh, nona. Sebaiknya aku tak usah memberitahukannya padamu. Dia orang she Yu, tindak-tanduknya luar biasa dan acap kali aku sendiri harus memusuhinya. Tapi dia sayang padaku, dia pulalah yang memberiku sekedar ilmu silat hingga aku mahir mempergunakan sepasang pedang. Aku tak suka menceritakan keadaan dirinya, maaf!”

Salima mengerutkan kening. “Kau mau membalas sikapku?”

“Ah, tidak!” Yu Bing terkejut. “Aku tidak bermaksud membalas sikapmu, nona. Tapi demi kebaikan kita bersama sebaiknya cerita tentang pamanku itu tak perlu kusebut. Kau nanti akan benci padaku. Aku tak menghendaki itu!”

Salima merasa aneh. “Kenapa, saudara Yu? Jahatkah pamanmu itu?”

Yu Bing tiba-tiba menutupi mukanya, gemetar. “Nona, jangan desak aku tentang cerita pamanku itu. Aku tak menghendaki persahabatan kita menjadi terganggu oleh persoalan ini. Kau kasihanilah aku, aku tak mau membicarakannya.”

Salima mengangguk, matanya tiba-tiba bersinar. “Baiklah, aku mengerti perasaanmu, saudara Yu. Aku tak akan mendesak kalau tak suka. Tapi seandainya, secara kebetulan aku bertemu pamanmu itu, aku tak tahu, lalu terjadi kesalahpahaman, kami bertempur, apa yang akan kau lakukan bila sampai pamanmu terbunuh?”

Yu Bing pucat. “Aku tak mengharap kejadian itu, nona. Dan kaupun tak akan gampang bertemu dengan pamanku itu!”

“Ya, tapi seandainya...”

“Tak ada pengandaian, nona. Aku tak mengharap kau bertemu pamanku itu!” Yu Bing berseru keras, meninggi nadanya dan pucat memandang Salima.

Dan Salima yang merasa heran dan curiga tiba-tiba tersenyum manis. “Baiklah, aku juga tak mengharap persahabatan ini terganggu oleh hal-hal lain, Yu-twako. Tapi kita berdua harus cukup terbuka dan jujur satu sama lain.” Salima merubah sebutannya, tak lagi memanggil saudara Yu melainkan Yu-twako (kakak Yu).

Dan Yu Bing yang mengangguk menghela napas akhirnya berkata memandang gadis itu, “Ya, keterbukaan dan kejujuran memang diperlukan satu sama lain, nona. Tapi tentu saja kita harus luwes mempergunakannya. Kudengar suhengmu mengamuk di kota raja, betulkah?”

Salima mengerutkan kening. “Kau tahu dari mana?”

“Ah, semua orang mendengarnya, nona. Masa kau tak tahu? Dan katanya kaisar memberikan selirnya yang paling cantik pada suhengmu itu. Betapa beruntungnya dia!”

Salima kaget bukan main, tiba-tiba melompat bangun. “Apa? Apa katamu...?”

Yu Bing heran, terkejut juga. “Aku mengatakan bahwa kaisar memberikan selirnya pada suhengmu itu, nona. Dan katanya keributan itu terjadi karena salah paham!”

Salima tiba-tiba mencelat. “Bohong!” bentakannya ini mengejutkan Yu Bing. “Kau bohong, orang she Yu. Kau penipu...!”

Yu Bing tiba-tiba juga melompat bangun, kaget hatinya. “Eh, siapa bohong, nona? Kenapa aku harus bohong? Kau boleh tanya semua orang bahwa kaisar memang memberikan selirnya itu pada suhengmu. Kalau tidak salah namanya Bi Nio, aku...”

“Plak-plak!” Salima tiba-tiba menampar, berkelebat memekik marah dan membuat Yu Bing terpelanting roboh dengan hati kaget bukan main, tak tahu bahwa percakapan menjurus pada kesalahpahaman yang hebat, Salima mengira yang dimaksud Yu Bing adalah Kim-mou-eng, padahal sebenarnya adalah Gurba! Dan Salima yang melengking membanting kaki tiba-tiba membentak ketika Yu Bing melompat bangun,

“Orang she Yu, kau pemfitnah jahanam! Kau benar-benar memiliki lidah tak bertulang. Siapa bilang suhengku mendapat hadiah selir dari kaisar? Apa maumu dengan omongan yang tidak karuan ini? Keparat kau, hati-hati menjaga lidahmu. Kalau tidak ingat pertolonganmu tentu sudah kubunuh kau. Jahanam...!”

Dan keadaan yang tiba-tiba berubah seratus delapanpuluh derajat dengan kemarahan Salima tiba-tiba membuat Yu Bing tertegun dan bengong memandang gadis ini. Tak tahu kenapa gadis Tar-tar itu tiba tiba marah demikian besar. Seolah harimau diganggu anaknya! Dan Salima yang membanting kaki mendeliki pemuda itu tiba-tiba memutar tubuh melompat pergi.

“Orang she Yu, hati-hati menjaga lidahmu...!”

Yu Bing terbelalak. Dia seolah menerima petir di siang bolong, atau mendapat serangan angin topan di saat hari sedang cerah. Tapi Yu Bing yang kaget dan marah melihat Salima pergi tiba-tiba mengejar dan berseru dari belakang, “Nona, tunggu...!”

Salima mendengus. Dia tak menghiraukan seruan pemuda itu, mengerahkan ginkang dan tancap gas dengan mata berapi. Panas dan marah sekali mendengar berita suhengnya mendapat selir kaisar. Padahal baru saja beberapa waktu yang lalu dia berpisah dengan suhengnya itu. Jadi Yu Bing berbohong. Entah untuk maksud apa. Tapi melihat pemuda itu sering meliriknya dan memandang secara diam-diam dengan penuh kagum langsung saja dia menduga pemuda itu ada hati padanya.

Mungkin naksir, tahu akan kegagalan cintanya terhadap Kim-mou-eng dan kini coba-coba membangkitkan kebencian dengan cara mengarang cerita palsu. Sebuah taktik agar dia mudah terjebak dalam rayuan pemuda itu. Agar menerima cintanya. Jadi semakin nggladrah (ngawur) dan salang surup (salah mengerti), maklum orang yang lagi patah hati memang gampang sekali tersinggung. Darah naik ke kepala kalau mendengar tentang sesuatu yang menyakitkan dari orang yang dicintai.

Tapi Yu Bing yang tetap mengejar dan berteriak-teriak menyuruh gadis itu berhenti ternyata semakin membuat Salima marah. Gadis ini menambah kecepatannya, siap memasuki hutan di depan dan meninggalkan pemuda itu. Dan karena ginkangnya memang lebih tinggi dan Yu Bing masih di bawah kelasnya tiba-tiba Salima telah tiba di hutan itu dan langsung masuk.

Tapi sesosok bayangan tiba-tiba berkelebat dari samping, bayangan seorang laki-laki yang gagah dengan kumis pendek, mengenakan celana hitam dengan ikat pinggang merah. Dan persis Salima memasuki hutan itu dikejar Yu Bing tiba-tiba bayangan ini telah mencengkeram pundaknya dan langsung membentak,

“Nona, berhenti...!”

Salima terkejut. Ia marah melihat bayangan tak dikenal tiba-tiba muncul mencengkeramnya, menyerang dari samping. Tapi Salima yang membentak menendang dengan kaki kanannya tiba-tiba menyambut dan menampar mempergunakan Tiat-lui-kangnya.

“Pergi kau... plak-dess!”

Orang itu berteriak kaget. Dia terjengkang oleh pukulan Tiat-lui-kang, juga tendangan yang mencuat dari bawah ke atas, tendangan miring. Dan ketika dia bergulingan melompat bangun maka saat itu Yu Bing datang dengan napas terengah-engah, berteriak,

“Siok-twako tunggu... tahan. Dia Tiat-ciang Sian-li Salima...!”

Orang ini terkejut. Dia melihat Salima sudah berdiri tegak, matanya berapi-api, mukanya merah dan kedua lengan juga berkerotok membuatnya terbelalak. Dan ketika Salima memandang mereka berdua dengan muka tidak bersahabat maka Yu Bing yang sudah tiba di situ buru-buru merangkapkan kedua tangannya.

“Nona, maaf, jangan serang menyerang. Inilah sahabatku Hek-eng Taihiap Siok Gwan Beng. Dia baru datang, tak tahu persoalan kita!”

Salima tertegun. Hek-eng Taihiap Siok Gwan Beng juga tertegun, merasakan kelihaian Salima dalam gebrak yang cepat itu. Tapi Hek-eng Taihiap yang tiba-tiba tersenyum lebar dan mengebutkan bajunya mendadak melompat maju, merangkapkan tangannya.

“Aih, maaf nona. Kiranya kau sumoi dari Kim-mou-eng yang gagah perkasa itu. Pantas, ilmu silatmu hebat sekali dan pukulanmu juga luar biasa. Tentu itu Tiat-lui-kang!”

“Hm!” Salima mendengus, masih marah oleh persoalan Yu Bing. “Kau ada apa mengejar-ngejarku menyuruh berhenti? Kau mau mengeluarkan omongan tak benar lagi?”

Yu Bing pucat, memandang menggigil. “Nona, kenapa kau marah-marah begini? Siapa bilang aku mengeluarkan omongan tak benar? Semua orang tahu akan suhengmu yang menyerang kota raja itu, dan aku berani bersumpah Siok-twako inipun mendengar sepak terjang suhengmu yang telah bertemu kaisar itu!”

Hek-eng Taihiap mengerutkan alis, merasakan ketegangan itu. “Ada apa, Bing-te (adik Bing)? Kau maksudkan keributan yang baru-baru ini terjadi antara suheng nona ini dengan Jit-liong Ciangkun?”

“Ya, betul, twako. Dan aku mengatakan bahwa kaisar memberi hadiah selirnya pada suheng nona ini. Semua orang tahu, tapi Tiat-ciang Sian-li menganggapku memfitnah!”

Hek-eng Taihiap terkejut. Dia memang telah mendengar pertempuran besar antara suku bangsa Tar-tar dengan pasukan kerajaan. Mendengar kehebatan Gurba yang membuat Jit-liong Ciangkun kelabakan, bahkan konon empat panglima Jit-liong Ciangkun tewas di tangan raksasa Tar-tar itu, suheng Salima yang lihai bukan main, mengamuk bagai seekor naga hingga tak seorangpun sanggup menahan.

Tapi ketika pertempuran selesai dan kabar memberitakan bahwa semuanya itu terjadi akibat adu domba Hek-bong Lo-mo dan Siauw-bin-kwi dan kaisar menyatakan penyesalannya atas kejadian itu dan Gurba sendiri telah mohon maaf untuk mencari biang keladi orang-orang sesat ini maka kesalahpahaman itu berakhir dan dapat diselesaikan baik-baik.

Kaisar bahkan memberikan selirnya yang paling disayang sebagai “pengikat tali persahabatan”, konon Gurba terjebak dan menerima selir cantik itu, Bi Nio, kejadian yang didengar hampir semua orang dan membuat kota raja ribut. Maka heran, Salima tak percaya pada omongan itu dan menganggap Yu Bing memfitnah tiba-tiba Pendekar Garuda Hitam ini tersenyum pahit, menduga Salima tak mendengar karena gadis itu berada di selatan, jauh dari kota raja yang terletak di utara.

“Nona, apa yang dikata sahabatku Yu Bing memang tidak salah. Mungkin kau merantau terlalu jauh. Tapi aku yang baru dari utara dan mendengar kabar berita itu memang ikut membenarkan berita ini. Kaisar telah memberikan selirnya pada suhengmu, dan pertikaian itupun berakhir. Masa kau tak tahu?”

Salima pucat. “Dan suheng menerima pemberian itu?”

“Ya, begitu yang kudengar.”

“Kalian bohong!” Salima tiba-tiba membentak. “Kalian dusta, orang she Siok. Kau dan temanmu ini sama saja. Ah...!” dan Salima yang menangis tersedu-sedu mendadak memutar tubuhnya melompat pergi, merintih dan melengking membuat bulu roma berdiri.

Dan ketika Yu Bing dan Hek-eng Taihiap terbelalak tahu-tahu Salima lenyap memasuki hutan. “Nona...!”

Salima lenyap di dalam. Yu Bing hendak mengejar, mengeluarkan seruan kagetnya itu dan memanggil Salima. Tapi Hek-eng Taihiap yang mencekal lengannya dan berdiri mengerutkan alis tiba- tiba menahan.

“Jangan kejar, gadis Tar-tar itu agaknya mendapat pukulan batin, Bing-te. Aneh sekali kenapa ia harus marah-marah mendengar suhengnya mendapat selir.”

Yu Bing gemetar. “Apakah...”

“Mungkin saja,” Hek-eng Taihiap mengangguk, langsung mengerti dan menduga kemana arah pertanyaan temannya, memotong cepat. “Mungkin saja memang begitu, Bing-te. Tapi kita tak perlu ikut campur. Itu urusan pribadi. Mereka orang-orang yang luar biasa dan amat hebat. Terlalu berbahaya bermusuhan dengan mereka!”

Yu Bing tiba-tiba lemas. Pemuda ini pucat, mukanya mendadak kuyu, sinar mata tak bergerak lagi dan berdiri mematung memandang kepergian Salima. Tak menduga sedikitpun juga bahwa pertemuan mereka yang berawal dengan kegembiraan dan keakraban itu mendadak sontak berubah seratus delapanpuluh derajat, drastis berbalik menjadi saling bermusuhan.

Dan Hek-eng Taihiap yang menekan pergelangannya dan agaknya tahu apa yang terjadi tiba-tiba mengajak pemuda itu pergi, mengajak Siang-kiam-houw Yu Bing yang baru terlena asmara menjauhi hutan dimana Salima lenyap. Dan begitu Pendekar Garuda Hitam ini menyendal temannya akhirnya Yu Bing mengikuti dan berlari sambil memejamkan mata.

* * * * * * * *

“Suheng, kau laki-laki keparat. Kau laki-laki terkutuk...!” Salima menangis tersedu-sedu, sakit hatinya dan malam itu tiba di sebuah kelenteng rusak di kaki sebuah bukit kecil, duduk dan melempar tubuh dengan menutupi kedua muka, pedih sekali. Hati serasa tertusuk-tusuk duri dan sakit bukan main membayangkan suhengnya itu, Kim-mou-eng. Dua kali mendengar suhengnya mendapat hadiah selir dari kaisar.

Padahal beberapa saat yang lalu suhengnya itu telah menyatakan cinta padanya, mengecup dan mencium bibirnya penuh mesra. Kecupan yang membuat dia terbawa ke awang-awang dan bahagia sekali. Mengharap kejadian itu akan berulang dan dia menikmati manisnya anggur cinta. Tak menyangka sedikitpun juga bahwa dalam waktu yang begitu singkat suhengnya itu telah berbalik pikir, menerima dan mencintai perempuan lain, selir kaisar yang tentu saja cantik. Mungkin dia kalah cantik dan karena itu suhengnya tergila-gila! Dan Salima yang marah dan menangis tersedu-sedu mendadak memukul hancur sebuah arca toa-pe-kong yang ada di sebelah kirinya.

“Suheng, kau laki-laki hidung belang. Kau laki-laki busuk dan rusak macam arca ini. Kubunuh kau...bumm!” arca itu menjadi tepung, hancur dan hangus oleh tamparan Tiat-lui-kang yang dahsyat dari lengan gadis Tar-tar ini. Dan ketika Salima melompat bangun dan arca lain bergoyang-goyang oleh getaran pukulannya yang membuat lantai bergerak tiba-tiba gadis ini melengking melihat arca yang bergoyang-goyang itu seakan tertawa mengejeknya.

“Kau mentertawakan aku? Kau berani mengejek aku? Mampus kau, kubunuh kau... bum-bumm!” dan tiga arca yang sebentar saja roboh ditampar dengan pukulan jarak jauh tiba-tiba membuat gadis ini menjadi sengit dan semakin marah saja, melihat arca lain dan meja altar juga bergoyang-goyang seolah mengejek.

Dan Salima yang berkelebat menampar ke sana-sini akhirnya memukul dan menendang benda-benda yang ada di kelenteng rusak itu, tentu saja berantakan dan hancur menerima Tiat-lui-kangnya. Suasana tiba-tiba menjadi ribut dan gaduh seolah kelenteng itu diserang hantu! Dan ketika Salima marah-marah dan semua benda yang ada di situ berantakan tak karuan lagi mendadak sebuah bayangan tinggi besar muncul menegur gadis ini.

“Sumoi, apa yang kau lakukan? Kau gila?”

Salima terkejut. Dia melihat suhengnya nomor satu tahu-tahu ada di situ, berdiri tegak kokoh tak bergeming seolah arca besi memandangnya, terbelalak lebar, heran akan sepak terjangnya yang dianggap tidak waras. Dan Salima yang tertegun oleh kedatangan sang suheng yang tidak dinyana-nyana mendadak menubruk dan meledakkan tangisnya di dada twa-suheng (kakak nomor satu) ini.

“Twa-heng, ji-suheng (kakak nomor dua) menyakiti hatiku. Dia kawin dengan wanita Han yang menjadi musuh besar kita!”

Gurba tertegun. “Apa, Kim-mou-eng kawin? Kawin dengan siapa dan kapan menikahnya?”

“Aku tak tahu, twa-heng. Tapi kabar memberitakan bahwa ji-suheng mendapat selir kaisar. Dia menikah dengan wanita Han, katanya bernama Bi Nio...!” dan Salima yang sudah mengguguk dan meledakkan tangisnya di dada sang suheng tiba-tiba membuat Gurba tertegun dan untuk kedua kalinya membelalakkan mata.

Raksasa ini terkejut, sejenak aliran darah tersirap cepat, memenuhi mukanya dan menggigil dipeluk sumoinya. Tapi Gurba yang maklum akan kesalahpahaman sumoinya mendadak mengetrukkan gigi dan mengepal tinju. Sedetik itu saja dia telah maklum apa yang terjadi. Tahu bahwa sumoinya mendapat berita yang salah, atau sumoinya ini yang menangkap berita secara salah. Dan Gurba yang menggigil memejamkan mata tiba-tiba mencengkeram dan mendekap tubuh sumoinya itu.

Sebenarnya inilah yang dia ingin. Memeluk dan mendekap sumoinya, bukan sebagai suheng dan sumoi melainkan sebagai laki-laki dan perempuan. Sebagai pasangan yang saling mencinta dan hidup berdua mereguk kenikmatan bersama. Dan Gurba yang memejamkan mata mendengar disebutnya nama Bi Nio mendadak menggeram dan teringat pada selir cantik itu, yang kini menjadi isterinya, isteri selir karena dia tak mau menjadikan wanita itu sebagai isteri utama.

Merah mukanya dan malu pada diri sendiri kenapa dia menggauli wanita itu. Kenapa dia roboh dan hanyut dalam nafsu berahinya. Padahal yang dia incar adalah sumoinya ini. Gadis yang gagah dan diam-diam membuat dia tergila-gila. Dan Gurba yang tergetar serta terkejut oleh tangis Salima tiba-tiba berada di ambang pintu keadilan untuk menentukan sikapnya. Memberi tahu secara jujur bahwa yang dituduh sumoinya itu bukanlah Kim-mou-eng melainkan dirinya sendiri dengan resiko kehilangan sumoinya ini ataukah membiarkannya begitu saja hingga sumoinya tetap membenci sutenya, Pendekar Rambut Emas itu.

Dan Gurba yang sejenak terombang-ambing oleh kepentingan pribadi tiba-tiba memilih jalan kedua dan tetap membiarkan Salima terbawa oleh salah pahamnya itu, menuduh Kim-mou-eng memperisterikan wanita Han. Dan karena dia juga maklum bahwa diam-diam sumoinya ini menaruh hati pada sutenya yang gagah dan tampan itu tiba-tiba Gurba menggereng dan untuk pertama kalinya bersikap memalukan, memaki sutenya sendiri!

“Keparat, jadi Kim-te menikahi wanita Han, sumoi? Dia tak mau menikah dengan gadis bangsa sendiri dan memperisteri wanita asing? Jahanam dia itu, Kim-sute mengkhianati bangsa kita dan harus dibunuh!”

Dan Gurba yang menggigit bibir melawan tuntutan hati nurani tiba-tiba menggelapkan muka dan mendorong sumoinya, memandang sumoinya yang menangis tersedu-sedu dengan air mata bercucuran. Dan ketika Salima mengguguk dan Gurba menggigil menahan nafsu tiba-tiba raksasa ini menyambar kembali tubuh sumoinya dan mencium...!