Pendekar Rambut Emas Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 08
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
"HM, aku dapat memberikan jaminan apa saja. Tar-tar khan. Tapi aku juga ragu apakah kata-katamu juga benar. Apakah kau tidak mengada-ada dan sengaja menutupi persoalan sebenarnya!"

"Maksudmu?"

"Aku khawatir kau mengarang cerita belaka tentang tiga orang iblis itu. Juga tentang utusan yang terbunuh itu!"

"Ah, kau tak percaya?"

"Sama seperti dirimu yang juga meragukan keterangan Bu-ciangkun!"

Gurba menjublak. Dia mendadak dipukul balik oleh kecurigaan kaisar yang juga tidak percaya pula keterangan Bu-ciangkun. Tapi Gurba yang mendengus mendengar omongan lawan tiba-tiba berseru, "Kaisar yang mulia, aku bukan laki-laki pengecut yang harus mengelak dari perbuatan sendiri. Aku dan bangsaku benar-benar tak tahu akan orang-orang utusanmu itu. Kalau aku bohong. Biarlah arwah leluhurku mengutuk aku seumur hidup!"

"Hm, aku juga memberikan kesaksian yang sama. Kalau aku bersekongkol dengan tiga iblis itu, biarlah arwah leluhurku juga mengutuk aku seumur hidup!"

Gurba tertegun. Dia melihat kaisar bersungguh-sungguh, mata yang bersinar itu tak berkedip memandang matanya, penuh kesungguhan dan jujur. Dan Gurba yang tentu saja tak mungkin tidak percaya pada lawan yang sudah bersikap ksatria ini lalu mundur melepas Bu-ciangkun dengan muka merah. Sadar bahwa kiranya permusuhan itu disulut oleh pihak ke tiga, entah siapa, yang membunuh utusan kaisar dan terjadi kesalahpahaman yang hebat ini hingga dua belah pihak jatuh korban, timbul peperangan dan masing-masing sama-sama menderita rugi. Tapi ingat pada Siauw-bin-kwi dan dua temannya itu yang muncul di perkemahannya tiba-tiba Gurba menggeram dan menjura pada kaisar, untuk pertama kalinya menghormat lawan!

"Sri baginda, kiranya kita sama-sama terjebak oleh musuh yang tak bertanggung jawab. Biarlah ku selidiki hal itu dan maaf atas semua kejadian yang tidak menyenangkan ini. Aku berjanji akan menangkap biang keladi ini dan kelak membawanya kepadamu!"

Kaisar tersenyum. "Boleh, dan maaf pula atas semua sikap pihakku, Tar-tar khan. Betapapun kita kini menyadari bahwa permusuhan kita dicetuskan atas dasar kesalahpahaman. Kutunggu janjimu!“

Gurba tak banyak bicara lagi. Sekarang dia maklum akan semua kejadian itu, marah dan geram pada Siauw-bin-kwi. Keras dugaannya bahwa iblis itulah yang menjadi gara-gara. Bahkan mungkin utusan kaisar dibunuh pula oleh İblis ini dan kawan-kawannya. Dan Gurba yang marah membalikkan tubuh tiba-tiba berkelebat meninggalkan kaisar, melewati kepala banyak orang dan sebentar saja sudah keluar dari istana.

Tapi Bi Nio yang bangkit berdiri tiba-tiba berteriak padanya, Gurba terkejut. Dia berhenti dan melihat selir kaisar itu tersedu-sedu mengejarnya, menubruk dan memeluk kakinya dengan air mata bercucuran. Dan Bi Nio yang menyesal atas semua kejadian di malam itu dan sudah mengguguk di kaki raksasa ini berkata dengan pundak berguncang-guncang,

"Maafkan aku, hanggoda. Aku hanya melaksanakan tugas atas perintah junjunganku. Aku menyesal... aku ikut bersalah...!"

Gurba mengerutkan kening. Pernyataan itu bahkan membuat hatinya tertusuk, tapi kaisar yang melangkah maju tiba tiba berseru,

"Tar-tar khan, selirku telah menjadi isterimu. Aku ingin bersahabat, ku persembahkan selirku itu untukmu!"

Gurba terkejut. Tapi kaisar yang tertawa dan mengangkat bangun Bi Nio tiba-tiba menepuk pundak wanita itu. "Bi Nio, kau rupanya kagum pada raksasa ini. Dia memang patut menjadi pelindungmu. Ikut dan keluarlah dari kaputren!"

Bi Nio mengangguk. "Terima kasih, sri baginda. Tapi hamba... di..."

“Tak perlu khawatir. Tar-tar khan akan menerimamu. Sebagai tanda persahabatan!"

Gurba semakin terkejut. Saat itu suasana sudah bukan suasana permusuhan lagi. Masing-masing menyadari bahwa mereka "dikerjai" orang lain. Mungkin Siauw-bin-kwi dan kawan-kawannya itu. Tapi Gurba yang teringat pada Salima dan diam-diam mengharap sumoinya itu tiba-tiba mundur dan menggeleng dengan muka pucat. "Tidak, jangan sri baginda!" raksasa itu menggigil. "Aku... aku belum niat untuk mempunyai isteri!"

"Ah," kaisar tersenyum. "Bi Nio cukup menjadi selirmu saja. Tar-tar khan. Tak perlu menjadi isteri atau permaisuri. Aku tahu keinginanmu pada sumoimu yang gagah perkasa itu!"

Gurba seketika tertegun. Dia menjadi merah oleh kata-kata ini, tapi ingat bahwa Bi Nio hanya menjadi penghalang saja di perjalanan dan mungkin suku bangsanya tak cocok pada selir ini, tiba-tiba Gurba menjadi bingung. Tapi kaisar Yuan Ti yang rupanya bermata tajam dan awas pandangan itu dapat membaca isi hatinya. Karena begitu kaisar ini melangkah maju dan menepuk pundaknya kaisar ini berkata,

"Tar-tar khan. Bi Nio dapat kau titipkan disini apabila kau keberatan. Dia sah menjadi milikimu. Aku tak akan mengganggunya. Dan bila sewaktu-waktu keadaan sudah mengijinkan kau boleh membawanya pergi kapan saja. Aku tahu kerepotanmu, aku tahu watak suku bangsamu yang keras dan belum dapat menerima bangsa Han!"

Gurba tak dapat bicara lagi. Sekarang dia harus menyerah, tak mau melukai kaisar karena kaisar telah tulus memberikan selirnya demi persahabatan. Hal yang tentu saja sukar ditolak dan mau tak mau harus diterima. Dan Gurba yang mengangguk mengucap terima kasih akhirnva berkata,

"Baiklah, terima kasih atas kebaikanmu, sri baginda. Bi Nio boleh tinggal di sini dulu sampai semua kesibukanku selesai. Aku masih harus mencari biang penyakit itu. Orang-orang yang telah membuat kita bermusuhan!"

Kaisar girang. "Boleh, dan kapan saja kau boleh ke kaputren, Tar-tar khan. Aku memberi ijin khusus padamu untuk menengok Bi Nio!"

Gurba semburat. Kata-kata itu mempunyai arti yang dalam, melihat Bi Nio melirik dan menghapus air matanya. Tapi begitu dia mengangguk dan memutar tubuh tiba-tiba Gurba tak mau diganggu lagi dan melompat keluar. Gerakannya seperti iblis, lenyap begitu saja di luar gerbang istana. Dan ketika Gurba melompati tembok dan hilang dari pandangan mata maka raksasa ini menjadi buah bibir yang tidak kalah hangat dengan pembicaraan ketika Kim-mou-eng dulu membuat geger di kota raja. Sama-sama membuat orang kagum dan gentar.

Tapi begitu raksasa itu lenyap di luar sana dan kaisar masuk ke dalam maka semua pengawal bekerja keras sibuk merawat yang luka atau tewas. Tak kurang dari tiga ratus korban. Dan ketika semuanya melupakan kejadian itu dan Bu-ciangkun sendıri bersama Cu ciangkun kakak beradik mengobati lukanya maka jauh di luar sana Gurba tiba kembali di perkemahan suku bangsanya, tertegun dan hampir tak percaya melihat apa yang terjadi. Bahwa mayat bergelimpangan di sana-sini, disertai banjir darah dibalik tumpukan senjata-senjata yang patah.

Tapi begitu raksasa itu sadar dan melihat Siga berlutut tersedu-sedu menghadapi ratusan mayat mendadak Gurba mencelat dan sudah menghadapi pembantunya ini, membentak dan mengejutkan pemuda Tar-tar itu akan kehadiran pemimpinnya, mendengar suara "apa yang terjadi", mendengar Siga terisak isak menceritakan semua kejadian itu dari awal sampai akhir. 

Dan begitu Gurba mendengar dengan jelas tiba tiba raksasa ini mengeluarkan pekik yang membuat tanah tergetar, langit seakan roboh dan Siga sendiri terlempar oleh getaran suara yang amat dahsyat itu, dan ketika Gurba menyebut-nyebut nama Siu-bin kwi dan raksasa itu gemetar seluruh tubuhnya tiba-tiba Gurba menjejakkan kaki lenyap dari tempat itu!

"Siga, kembali keluar tembok besar. Tunggu aku di sana...."

Siga mematung. Dia hanya mendengar pesan singkat itu, seruan penuh gusar yang amat dalam. Kemarahan serta sakit hati penuh dendam. Tapi karena tangsa Tar-tar memang sudah pecah dan semrawut tak karuan akhirnya pemuda Tar-tar ini bangkit terhuyung dan mengangguk lemah, mengumpulkan sisa-sisa anak buahnya yang tidak berarti. Dan begitu dia mengajak mereka berangkat, akhirnya rombongan kecil ini meninggalkan bekas perkemahan yang porak-poranda itu.

* * * * * * * *

Agaknya cukup lama kita meninggalkan Kim mou-eng, Mari kita ikuti dulu kisah pendekar ini. Berhasilkah dia mengejar sumoinya? Berhasilkah dia meredakan kemarahan sumoinya itu? Ternyata tidak. Salima telah lenyap mengerahkan ginkangnya, masuk keluar hutan tak mau dipanggil suhengnya itu. Dan ketika dua hari kejar mengejar itu berakhir di luar hutan cemara mendadak tanpa sadar Kim mou-eng tiba di Chi-cou. Inilah tempat di mana bupati Wang memerintah. Bupati yang jujur dan keras pendirian.

Dan Kim-mou eng yang putus asa dan sedih melihat sumoinya tak mau diajak bicara tiba-tiba berpikir untuk menemui Cao Cun, gadis cantik puteri bupati Wang itu. Tentu saja kedatangannya disambut girang oleh bupati itu, langsung menubruk dan terisak-isak memeluk pendekar ini. Tapi ketika Wang taijin mengguguk dan isterinya muncul menjerit berlutut di depan pendekar ini mendadak Kim-mou-eng terkejut dan terkesima.

"Taijin, ada apa? Mana Cao Cun?"

Bupati itu tak dapat menjawab. Dia mencucurkan air mata dengan deras sekali, tapi ketika kedukaannya reda dan bupati itu menekan semua himpitan batinnya maka orang tua yang gemetar menggigit bibir ini berkata, "Cao Cun tak ada di sini, taihiap. Puteriku itu dikurung di Istana Dingin beberapa bulan yang lalu!"

"Ah, apa itu Istana Dingin? Di mana letaknya? Apa yang terjadi?"

Bupati Wang menghapus air matanya. "Mari duduk dulu, taihiap. Aku akan mençeritakannya secara urut. Aku bertubi-tubi mendapat cobaan," dan ketika Kim mou-eng duduk dan dua suami isteri itu memandangnya penuh harap maka bupati ini berkata, "Taihiap, kami mengharap pertolonganmu. Tanpa kau Cao Cun akan celaka."

"Ya. tapi apa yang terjadi, taijin? Mana pula Hok Gwan pengawalmu?"

Bupati Wang menarik napas, sedih sekali. Dia kusuruh mencarimu, taihiap. Tapi sampai hari ini tak kunjung pulang. Baiklah dengarkan ceritaku." dan Wang taijin yang mulai bercerita tentang kejadian itu lalu secara urut menceritakan peristiwa yang dia alami. Betapa puterinya terpilih oleh kaisar, lewat Mao-taijin memanggil puterinya itu dan membawanya ke kota raja.

Tapi karena menteri Mao adalah menteri yang mata duitan dan menahan Cao Cun kalau Wang-taijin belum membayarkan uang jasa sebanyak lima ratus ons emas untuk "budi" kebaikannya mempertemukan Cao Cun pada kaisar maka gadis yang seharusnya sudag sampai di istana itu tak jadi menghadap kaisar gara-gara polah menteri ini.

Dan Wang-taijin harus berjuang keras. Menemui menteri itu dan bentrok di rumahnya, gagal dan menemui atasannya gubernur Liang, gagal lagi dan akhirnya menghadap Han taijin, penasihat kaisar itu. Tapi ketika untuk yang terakhir inipun gagal dan bupati itu putus asa maka bupati ini kembali pulang dengan tangan hampa, menangis sepanjang hari.

"Kami tak berdaya lagi, taihiap Kami merasa gagal dan putus asa menghadapi menteri yang kuat kedudukannya itu. Mao-taijin banyak dilindungi menteri menteri lain, dia culas dan licik!"

Kim-mou-eng mengerutkan kening, marah, "Jadi Cao Cun sekarang ditahan di Istana Dingin, taijin? Di mana tempat itu?"

"Di luar kota raja, taihiap. Dekat bukit Niu-san. Aku tak dapat mendatangi tempat itu karena dijaga ketat oleh pengawal-pengawal tangguh dan temboknya pun tinggi."

"Baik, aku akan ke sana!" Kim-mou-eng bangkit berdiri. "Aku akan membawa kembali Cao Cun padamu, taijin. Dan jangan khawatir, aku akan membawa puterimu dengan selamat!"

"Ah, kau mau membantu kami, taihiap?"

"Tentu saja. Bukankah kau diperlakukan semena-mena, taijin? Dan akan kucari menteri she Mao itu. Akan kuhajar dia!"

Wang-taijin girang. Dia sudah menjatuhkan diri berlutut di kaki pendekar ini, air matanya kembali bercucuran seperti tadi. Bukan sedih melainkan penuh harap dan kegembiraan besar, yakin akan kesaktian pemuda ini dan dapat berkumpul lagi dengan puterinya tercinta itu. Dan bupati Wang yang terisak di kaki Pendekar Rambut Emas berkata menggigil,

"Taihiap, beribu terima kasih atas perhatianmu yang tak terhingga ini. Kami ibu dan ayah tak dapat menahan rindu lagi untuk bertemu dengan Cao Cun. Kembalilah cepat cepat, Istana Dingin tiada ubahnya penjara seumur hidup bagi puteriku itu!"

"Sudahlah," Kim-mou-eng mengangkat bangun bupati ini. "Aku dan Cao Cun seperti kakak dan adik, taijin. Tak perlu mengucap terima kasih. Karena itu adalah tugasku juga!" dan begitu bupati Wang bangun berdiri tiba-tiba Pendekar Rambut Emas berkelebat lenyap meninggalkan tempat itu.

"Taihiap, terima kasih. Hati-hati....!"

Kim-mou-eng tersenyum di kejauhan. Sebenarnya dia terkejut mendengar berita itu, tak menyangka menteri Mao bertindak terlampau jauh dengan menawan Cao Cun, meskipun tampaknya gadis ita ditaruh baik-baik di Istana Dingin, tempat di mana kaisar biasanya memilih calon-calon selir baru untuk mengganti selir-selir yang dianggap tua. Dan Kim-mou-eng yang langsung menuju ke Istana Dingin untuk menolong Cao Cun tiba-tiba sejenak melupakan urusannya sendiri dengan sumoinya itu, Salima.

Dan ketika sore itu dia tiba di bukit Niu-san dan mencari di mana letaknya Istana Dingin ini maka Kim-mou-eng tertegun ketika dia menemukan tempat itu. Istana Dingin kiranya terletak di atas bukit. Menjulang kokoh di puncak gunung kecil itu, terlindung pepohonan besar yang mengelilingi hampir seluruh bangunan hingga menimbulkan kesan sejuk, bahkan dingin. Jadi cocok dengan nama istana itu. Tapi karena tempat itu di atas bukit dan para penjaga dapat bebas memandang ke bawah sementara orang di bawah tentu ketahuan kalau mendaki ke atas maka Kim-mou-eng meagerutkan alis melihat keadaan ini.

Hanya ada satu jalan khusus yang dibuatkan menuju puncak. Tentunya untuk kaisar dan rombongannya kalau tetirah kesitu. Jadi yang lain adalah semak belukar yang tidak begitu tinggi karena selalu dibabat, agaknya sengaja dilakukan begitu agar pendatang liar dapat terlihat kalau coba-coba mendatangi Istana Dingin.

Dan Kim-mou-eng yang tentu saja tertegun melihat semuanya ini lalu berhenti dan semakin dalam mengerutkan kening. Jarak ke puncak bukit sekitar delapan ratus meter. Cukup panjang, tak mungkin bagi orang yang hebat sekalipun untuk datang tanpa ketahuan. Jangankan orang, burung yang terbang pun dapat terlihat. Dan karena Kim-mou-eng tak bermaksud membuat kekacauan dan kedatangannya itu adalah untuk membawa Cao Cua maka tak ada lain jalan kecaali dia menunggu datangnya gelap.

Begitulah. Kim-mou-eng lalu melompat ke atas pohon, bersandar dan tidur-tidur ayam disitu, melamun, mengenang pertemuannya deagan Cao Cun dulu. Gadis cantik yang sanggup mengguncang hati itu. Berkulit bersih tapi keras dan jujur seperti ayahnya. Menghabiskan waktu sampai matahari tenggelàm di ufuk barat. Dan ketika saat itu tiba dan malam mulai datang maka Kim-mou-eng mempergunakan ginkangnya berkelebat menuju puncak.

Tak ada kesukaran baginya, kegelapan malam cukup melindunginya. Dan ketika dia tiba di bawah istana dan menghadapi temboknya yang tebal menjulang tinggi mendadak pendekar ini menjejakkan kakinya melompat ke atas. Orang tentu kagum melihat perbuatan pendekar ini. Mumbul begitu saja dengan ringan dan enak, seolah kedua kakinya berpegas dan hinggap dengan mudah di puncak tembok yang tinggi. Tapi lampu sorot yang tiba tiba berkelebat dan memancar mengenai dirinya mendadak disusul teriakan kaget seorang pengawal, yang rupanya mengetahui kedatangannya, tanda tempat itu benar-benar dijaga ketat!

"Hei, siapa kau!"

Kim-mou-eng terkejut. Dia terpaksa berjungkir balik dan menghilang menghindari lampu sorot itu, begitu cepat gerakannya hingga seperti iblis saja. Dan ketika dua orang pengawal datang berlari-lari dan menyorot tempat itu, maka terdengar seruan heran dua penjaga itu,

"Eh, ke mana dia? Setankah tadi?"

Kim-mou-eng tertawa di tempat persembunyiannya. Dia telah menggelantung di sebuah belandar, mirip kelelawar menunggu dua pengawal itu pergi. Berhati-hati karena sekarang dia tahu bahwa tempat itu benar-benar terdapat banyak penjaga. Mungkin ada yang bersembunyi dan tidak dia ketahui, seperti dua penjaga itu tadi misalnya. Dan ketika dua penjaga itu ribut-ribut dan menyorot ke lain-lain tempat tapi tak menemukan bayangan pendekar iní akhirnya dua penjaga itu mengumpat dan kembali ke tempat jaganya tadi.

"Bangsat, rupanya kita kedatangan hantu!"

Yang lain juga mengomel. Mereka pergi tanpa curiga apa-apa lagi, tampak kedinginan seperti orang menggigil. Rupanya bulu roma mereka berdiri karena lawan tak terlihat ke mana menghilangnya, menganggap yang dilihatnya tadi adalah hantu atau siluman yang biasanya keluyuran di saat gelap tiba. Dan Kim-mou-eng yang turun kembali dari atas belandar setelah dua penjaga pergi lalu menyelinap dan mulai memeriksa Istana Dingin itu.

Kepandaiannya yang tinggi dan geraknya yang tanpa suara memungkinkan dia bergerak leluasa, berkali-kali menghindari pengawal yang juga ketat berjaga di dalam. Dan ketika dia mulai memasuki lorong-lorong kamar di mana calon selir disimpan akhirnya Kim-mou eng terpaksa mengintai dan melubangi jendela untuk melihat di mana Cao Cun berada.

Dan Kim-mou-eng tertegun. Dia melihat tak kurang dari seratus wanita cantik di situ, rata-rata dibawah dua puluh tahun dan berkulit bersih-bersih, ranum dan menggairahkan karena mereka adalah gadis-gadis remaja yang masih belia adanya. Bahkan ada yang masih kekanak kanakan dan usianya tak lebih dari lima belas tahun. Bukan main. Masih terlalu muda dan mengherankan bagaimana bisa berada di tempat itu, entah sipa yang membawa.

Tapi karena semua wanita yang dicari itu tak terdapat Cao Cun puteri Wang-taijin akhirnya Kim-mou-eng mengerutkan kening dan bingung serta gelisah Ke mana gadis itu disimpan? Tinggal dua kamar terakhir saja yang belum diselidiki, di bagian paling belakang dan agak ke dalam di mana lima orang pengawal tampak hilir mudik menjaga. Dan Kim-mou-eng yang harus berhati-hati mendekati tempat ini akhirnya melompat dan merayap di langit langit ruangan.

Hebat sekali! Pendekar itu rupanya memiliki ilmu yang disebut Pek-houw-yu-chong. Ilmu merayap seperti cecak yang sepenuhnya mengandalkan sinkang yang hebat di telapak tangan, melekat dan tak mungkin jatuh ketika merayap di langit langit itu, menggantung dengan punggung di bawah. Persis tokek! Dan ketika sebentar kemudian dia melewati kepala lima orang penjaga di bawah yang cukup tinggi jaraknya akhirnya perdekar ini tiba di ujung dan melompat berjungkir balik meletakkan kakinya di lantai.

"Cring..."

Suara ini mengejutkan kedua pihak. Kim mou-eng terkejut karena secara tak sengaja dia menginjak seuntai benang emas, benang yang rupanya dipasang dengan kedua ujung dipasangi gembreng rangkap, begitu benang terinjak otomatis gembreng ini barbunyi. Jadi semacam "alarm" (tanda bahaya) bagi yang masuk ke tempat itu tanpa ijin. Dan Kim-mou-eng yang tentu saja terkejut dan melihat lima pengawal berseru kaget melihat kedatangannya tiba tiba sudah diserang lima golok panjang yang mendesing menyambar tubuhnya.

"Hei, kau siluman keparat...."

Lima golok itu menyambar bersusulan. Kim mou-eng harus bergerak cepat untuk menangkis lima serangan itu, mengerahkan sinkang di kedua tangan hingga golok mental bertemu lengannya. Dan ketika lima oraag itu terkejut dan golok terlepas dari tangan mèreka tahu-tahu jari Kim-mou-eng bergerak menotok dengan kecepatan luar biasa di belakang leher.

"Tuk-tuk!"

Lima orang itu roboh bergelimpangan. Mereka memang bukan tandingan pendekar ini, mudah saja dibabat dan berdebuk di lantai. Pingsan. Dan ketika Kim-mon-eng menghapus peluh karena dia khawatir keributan kecil itu bakal terdengar oleh pengawal-pangawal lain yang ada di sekitar situ, maka pendekar ini telah menendang lima tubuh itu kesudut ruangan, tersembunyi di balik tanaman perdu terlindung kegelapan malam, Tapi persis dia memberesi lima penjaga yang pingsan ini mendadak pintu pertama dari dua kamar yang agak menyendiri ini terbuka dan seorang gadis bermata lebar muncul membelalakkan matanya, terkejut melihat kedatangannya.

"Siapa kau?"

Kim-mou-eng tertegun. Dia terkesiap melihat gadis itu, mengira Cao Cun, terkejut melihat kedatangannya diketahui orang lain. Dan sementara gadis itu menunggu jawabannya dan Kim-mou-eng tersenyum lebar mendadak jari pendekar ini bergerak ke depan menotok dari jauh. ”Nona, kau masuklah kembali, tuk!"

Gadis itu roboh. Dia menimpa pintu kamarnya sendiri, membuat gaduh, mengeluh dan terjengkang ke belakang. Tapi Kim-mou-eng yang telah berkelebat dan menyambar gadis itu tahu-tahu telah masuk ke kamar ini dan secepat kilat menutup pintunya, membungkam mulut gadis itu dan membebaskan totokannya. Dan ketika gadis itu tertegun membelalakkan matanya yang lebar jernih maka Kim-mou-eng membentak perlahan dengan ancaman dingin,

"Jangan membuat ribut. Aku mencari seseorang di sini!"

Gadis itü menjublak. Sekarang dua pasang mata beradu, yang satu menggigil ketakutan sedang yang lain mencorong menakutkan. Tapi begitu gadis ini mengangguk dan melihat rambut Kim-mou-eng yang keemasan tiba-tiba dia berseru dengan wajah kegirangan, "Kau Kim-mou-eng!"

Kim-mou-eng terkejut. "Dari mana kau tahu? Siapa kau?"

"Ah, kau Kim-mou-eng, kan?" gadis itu mengulang.

"Ya."

"Kalau begitu cocok! Cao Cun menunggu-nunggumu selama ini. Dan gadis itu yang tiba-tiba tertawa menyambar lengan Kim-mou-eng mendadak menerobos keluar menuju kamar sebelah, menggedor pintunya keras sekali. "Cao Cun, kakakmu datang. Kim-mou-eng datang."

Kim-mou-eng terkejut. Dia melihat gadis ini membuat ribut, khawatir pengawal datang dan agaknya terlampau gembira oleh kedatangannya ini. Tapi ketika pintu terbuka dan sesosok tubuh ramping bermuka pucat berdiri menggigil di dalam kamar tiba-tiba Kim-mou eng tertegun melihat Cao Cun ada di situ.

"Kim-twako...!"

"Cao Con....!"

Dua orang itu sudah saling tubruk. Cao Cun menjerit dan terisak mendekap pendekar ini langsung menyusupkan mukanya dan menangis tersedu-sedu di dada pendekar itu. Tapi ketika bayangan pengawal tampak berkelebat datang tiba-tiba Kim mou-eng melesat ke dalam mendorong gadis ini, menyuruh Cao Cun diam sementara gadis pertama yang belum dikenal Kim-mou-eng itu terkejut, sadar karena keributan kecil itu gara gara ulahnya. Dan ketika pengawal datang dan bertanya kenapa mereka ributribut maka gadis itu dan Cao Cun menjawab menggigil,

"Tidak... tidak apa-apa. Aku hanya teringat ayah dan kampung halamanku."

"Tapi mana Sun Tek dan teman-temannya?"

Cao Cun terkejut, sadar akan lima pengawal yang menjaga di situ, tak melihat mereka. Dapat menduga tentu dirobohkan kakak angkatnya tadi dan entah menggeletak di mana. Tapi gadis pertama yang tahu kejadian tadi dan bersikap tenang berkata kalem, "Mereka meronda ke belakang, sebentar tentu kembali," dan ketika pengawal itu percaya dan mengangguk pergi maka selamatlah Cao Cun dari kecurigaan penjaga, berterima kasih pada temannya itu dan mengajak gadis pertama ini masuk.

Dan begitu mereka menutup pinto maka Kim-mou eng keluar menemui Cao Con, kembali ditubruk dan Cao Cun melepaskan rindunya pada pendekar ini, terisak-isak tapi tak berani menangis terlampau keras. Dan ketika Pendekar Rambut Emas mengusap rambutnya dan Cao Cun tampak gembira tapi sedih akhirnya pendekar ini teringat gadis pertama itu, yang kini ada di dalam dan ikut mencucurkan air mata melihat kebahagiaan Cao Cun, dan kegembiraannya,

"Cun-moi, siapa temanmu ini?"

Cao Cun teringat, melepaskan diri. Dia sahabatku, twako. Dia bernama Li Wan Hoa...."

Gadis itu memberi hormat. "Kim-mou-eng, aku tak pantas disebut sahabat Cao Cun. Aku teman biasa saja, penghiburnya."

"Ah, kau jangan main-main, Wan Hoa. Kau telah memberiku kekuatan dan semangat untukbertahan hidup sampai saat ini." Cao Cun menegur, memeluk gadis itu dan mencium pipinya.

Dan ketika Wan Hoa tersenyum tapi muka yang berseri itu mendadak gelap tiba-tiba gadis ini pamit mohon diri. "Cao Cun, kau tentu ingin melepas rindumu pada Kim-taihiap ini. Biarlah aku menunggu di kamarku dulu. Hati-hati, jangan terlampau keras menangis!"

Cao Cun menahan. "Tidak, jangan Wan Hoa, Kim-twako tak merasa terganggu oleh kehadiranmu. Bukankah begitu, twako?"

Tapi Wan Hoa yang tersenyum melepaskan diri mengerling pada Kim-mou eng. "Kim taihiap. Cao Cun ada banyak pembicaraan yang ingin disampaikan padamu. Biarlah aku menjaga di luar demi keamanan!" dan belum Cao Cun menahan lagi tiba-tiba gadis itu sudah membuka pintu kamar, mandur dan keluar tanpa banyak cakap lagi, dipandang Cao Cun yang tertegun memandang temannya itu. Tapi Kim-mou-eng yang belum kenal benar siapa adanya Wan Hoa justeru mengangguk dan berkata.

"Biarlah, kita memang dapat bebas bicara, Cun-moi Tapi apakah dia tak berbahaya? Jangan-jangan dia memanggil pengawal memberi tahu kedatanganku!"

"Tidak!" Cao Cun yakin dan pasti. "Wan Hoa senasib dengan diriku, twako. Dia juga gadis malang yaag bernasib buruk!" dan ketika Cao Cun terisak dan heran bagaimana Kim-mou-eng dapat mengetahui keberadaannya di situ maka bertanyalah gadis ini.

“Twako, dari mana kau tahu aku ada di sini? Kebetulan sajakah?"

Kim-mou-eng menghela napas. "Ayahmu yang memberi tahu, Cun-moi. Aku telah ke Chi-cou ingin bertemu dengan ayah ibumu İtu!"

"Ah, bagaimana keadaan mereka? Baik baik sajakah?"

"Mereka kurus, Cun moi. Ayah ibumu sedih melihat kau terkurung di sini!"

Cao Cun tiba-iba menangis, menggigit bibir. “Twako, ini semua gara-gara Mao -tajin yang busuk iu. Dia jahat dan penipu!"

"Ya. aku tahu. Dan aku datang memang untuk membawamu pergi!"

Cao Cun tiba-tiba menghentikan tangisnya, membelalakkan mata. "Kau mau membawaku pergi, twako?"

"Ya."

"Ke mana?"

"Eh, tentu saja ke rumahmu! Kenapa pertanyaanmu demikian aneh. Kim-mou-eng heran, mengerutkan kening memandang puteri Wang taijin itu. Tapi Cao Cun yang tiba tiba tersedu dan menggigit bibir kuat kuat mendadak memutar tubuh membanting diri di pembaringan, menangis di situ dengan pundak bêrguncang-guncang, menutupi mukanya dengan bantal. Dan ketika Kim mou eng tertegun dan heran akan sikapnya maka gadis ini bérkata, menggelengkan kepalanya berulang-ulang.

"Tidak.. tidak, twako. Kalau begitu percuma saja. Aku tak mau ikut!"

"Ah,... kau gila!"

Cao Cun Tiba-tiba mengangkat mukanya, meletakkan bantal yang kini penuh air mata itu, " Twako,,," Suaranya menggigil kalau hanya membawaku ke Chi-cou kenapa harus bersusah payah kemari? Mao tajin tentu akan mengejar menyuruh pengawal-pengawalnya itu. Aka akan tertangkap dan akan dibawa kembali kesini...!"

Kim-mou-eng tertegun, "aku akan menghajar mao taijin, aku akan..."

"Tidak" Cao Cun memotong, bangkit berdiri. "Percuma saja hal itu, twako. Kalau Mao-taijin dihajar maka menteri lain yang bakal disuruh kaisar. Satu-satunya jalan adalah..." Cao Cun menggigil, basah kédua matanya hingga pipi yang pucat kemerah-merahan itu tampak mengibakan sekali, menghentikan kata-katanya dan tidak meneruskan kata-katanya itu. karena Kim-mou eng memandangnya heran, Dan ketika Cao Cun tersedu dan menubruk pendekar itu dengan mata terpejam maka Pendekar Rambut Emes ini terkejut bukan main ketika Cao Com melanjutkan kata-katanya yang tertunda, "Aku hanya mau kau bawa dari sini apabila selamanya aku selalu di dekatmu, twako. Kalau tidak biarlah aku mati sampai tua di sini!"

Kim-mou-eng bengong. "Apa? Kau gila, Cun moi? Mana bisa selamanya kau ikut aku?”

"Itulah, kalau tidak bisa, biarkan aku sendiri twako, aku tak mau kembali ke Chin Chou karena ayah ibuku tentu tak dapat melawan orang orang kaisar kecuali kau ada di sampingku, kau akan melindungi kami!"

Kim-mou-eng tertegun. Sekarang Cao Cun memeluknya dengan air mata bercucuran. sekarang dadanya basah oleh air mata gadis itu. tapi ketika pundak gadis itu masih berguncang-guncang belum berhenti juga dan pendekar ini penasaran oleh sikap Cao Cun, tiba-tiba pendekar ini melepaskan diri dan mendorong pundak gadis itu.

"Cun-moi, aku berjanji pada ayah ibumu untuk membawamu kembali dengan selamat di Chin Chau dan sekarang aku harus menepati janji itu. Aku ada disini sekarang. Kenapa kau bersikap yang aneh-aneh, padahal ayah ibumu menunggu dengan cemas disana. kau mau membuat kedua orang tuamu menderita seumur hidup?"

Cao Cun menutupi mukanya. "Aku mau kembali asal kau juga di sana, twako. Kalau tidak biarlah aku tinggal di sini saja. Tak usah!"

Kim-mou-eng membelalakkan mata. Dia melihat gadis itu memutar tubuh membanting diri lagi di pembaringan, mengguguk, menutupi mukanya dengan bantal dan guling. Dan sementara dia penasaran dan terkejut oleh sikap Cao Cun mendadak pintu terbuka dan Wan Hoa muncul.

"Ssttt.." gadis itu memberi tanda. "Lebih baik kau ikut aku, taihiap. Dia tak akan bicara meskipun kau mendesaknya!"

Kim-mou eng heran. Dia sudah mengangguk dan berkelebat keluar, menutup pintu dan sebentar kemudian telah berada di kamar sebelah, kamar Wan Hoa. Dan ketika gadis itu mempersilahkannya duduk tapi Kim-mou-eng menolak akhirnya Wan Hoa berdiri berhadapan dengan pendekar ini, alisnya yang hitam menyelirit berkerut sementara matanya yang lebar jernih itu menatap tajam.

"Kim-taihiap, tak tahukah kau apa yang menjadi alasan utama bagi Cao Cun kenapa dia menolakmu?"

"Hm," Kim-mou-eng mengangguk. "Katanya takut dikejar-kejar anak buah Mao-taijin, nona. Karena itu memintaku untuk melindunginya selalu dan tidak jauh darinya!"

"Betul, tapi hanya itukah tangkapanmu mendengar permintaannya? Kau tak tahu ada yang lebih dalam dari sekedar alasan itu?"

Kim-mou-eng heran. "Apa itu, nona?"

Wan Hoa menepuk meja. "Kim-taihiap, sebaiknya buang dulu sebutan nona-nona itu. Kau panggil saja aku Wan Hoa atau adik Hoa!"

"Baik, apa itu, adik Hoa?"

Dan Wan Hoa tersenyum aneh. "Kau benar-benar tak tahu, taihiap?"

"Kalau aku tahu tentu tak akan bertanya padamu!" Kim-mou-eng mendongkol. "Kau katakan saja, adik Hoa. Apa alasan utama itu hingga Cao Cun minta kulindungi selamanya!"

Dan Wan Hoa tertawa, manis sekali tapi kata-katanya mengejutkan Kim-mou-eng, "Karena dia mencintaimu, taihiap. Cao Cun mencintaimu lahir batin dan setiap hari hanya kau saja yang dibicarakan. Itulah!"

Kim-mou-eng terkejut. Dia mundur selangkah dengan mata terbelalak lebar, memandang gadis bermata jernih ini. Tapi Wan Hoa yang mengangguk dan menyambar lengannya tiba-tiba berbisik sungguh-sungguh, "Benar, Cao Cun mengharap-harap kedatanganmu, taihiap. Dia siap mati di tempat ini kalau kau menolak cintanya. Itulah sebabnya dia minta berdekatan denganmu kalau kau hendak membawanya pergi. Kalau tidak dia tak akan mau dibawa meskipun kau paksa!"

Kim-mou-eng tertegun. Sekarang dia menjublak, pucat dan merah mukanya berganti-ganti mendengar kata-kata itu, bingung dan seakan dipukul palu godam, melihat bayangan sumoinya tiba-tiba berdiri di samping bayangan Cao Cun, tegak dan marah melihat dia menggandeng puteri Wang-taijin itu. Ingat kejadian beberapa minggu yang lalu ketika dia mencium sumoinya itu. Dan Kim-mou-eng yang tertegun dengan kaki menggigil mendadak melepaskan diri dan berseru perlahan, "Tak mungkin!"

Wan Hoa mengerutkan alis. "Apanya yang tak mungkin, taihiap? Cao Cun bukan adikmu sendiri, kalian tak ada hubungan darah!"

"Tapi..."

"Tapi apa, taihiap? Kau mau membiarkan Cao Cun merana seumur hidup di sini? Kalau begitu tinggalkan saja dia. Biar dia mati bersama aku di sini!"

Kim-mou-eng kaget. "Wan Hoa...!"

Wan Hoa tersenyum mengejek, dadanya tiba tiba dibusungkan. "Kim-Taihiap," gadis itu mulai berkata berapi-api. "Aku tahu apa yang menjadi penderitaan Cao Cun. Aku dan dia sama sama senasib dan sependeritaan. Kami masing-masing telah menceritakan apa yang menjadi isi hati kami. Cao Cun mencintaimu, kalau kau menolak dia juga tak dapat berbuat apa apa tapi segeralah tinggalkanlah tempat ini. Kami sadar bahwa kami wanita lemah, lain dengan lelaki. Tapi sekali kami menjatuhkan cinta tak mudah bagi kami untuk menariknya kembali!"

Kim-mou-eng tertegun.

"Dan Cao Cun tak main-main, taihiap," Wan Hoa melanjutkan dengan mata masih berapi-api sama seperti tadi. "la siap menerima kegagalan ataupun keberhasilannya. Kalau ia gagal dan kau menolak cintanya maka ia akan tinggal di sini seumur hidup bersamaku. Itu sumpahnya. Tapi kalau ia berhasil dan kau mau membawanya pergi maka ke manapun ia akan ikut padamu. Bahkan ke bangsamu yang dianggap setengah liar itupun!"

Kim-mou-eng terpukul. Memang ada anggapan dikalangan bangsa Han bahwa bangsa Tar-tar adalah bangsa liar. Kurang beradab dan karena itu dijauhi bangsa bangsa lain yang menganggap diri sendiri sudah beradab, labih tinggi kebudayaannya dan lebih "sopan" dibanding bangsa Tar-tar itu, bangsa nomad yang masih suka berpindah pindah tempat karena keadaannya yang memang memaksa.

Tapi karena urusan tidak membicarakan bangsa Tar-tar melainkan membicarakan Cao Cun yang mencintai dirinya dan mau diajak pergi kalau dia menerima cinta kasih gadis itu mendadak Kim-mou-eng meniadi bingung dan "pusing" oleh urusan ini, mendelong mendengar semua kata kata Wan Hoa itu. Tapi ketika pintu terbuka dan balik Cao Cun yang memasuki kamar sahabatnya tiba tiba puteri Wang taijin itu berseru, menegur temannya,

"Wan Hoa, tak perlu kau membuka rahasia hatiku pada Kim-twako. Dia tak perlu kau paksa, Kim twako bebas memilih!"

Wan Hoa tertegun. Dia melihat Cao Cun sudah balik lagi menutup pintunya, tersedu menuju kamar sendiri dan membanting tubuh di tempat tidurnya itu. Dan Wan Hoa yang terbelalak memandang Kim-mou-eng tiba tiba bertanya. "Bagaimana, kau meninggalkan Cao Cun atau menerimanya, taihiap? Aku mendapat marah gara-gara menceritakan cintanya padamu!"

Kim-mou-eng bingung. Dia berdebar dan iba sekali melihat keadaan gadis itu, gadis cantik yang kusut mukanya. Tak enak dan tentu saja tak mau membiarkan Cao Cun hidup di Istana Dingin, penjara yang tiada ubahnya neraka bagi gadis itu. Dan karena dia mulai mendengar langkah-langkah kaki mendatangi tempat itu tiba-tiba pendekar ini mengangguk dan berkelebat menuju kamar Cao Cun. "Baiklah, aku akan membawanya pergi!"

Wan Hoa girang. "Ah, kalau begitu Cao Cun tak bertepuk sebelah tangan, taihiap?"

Kim-mou-eng tak menjawab. Telinganya yang tajam mendengar langkah kaki yang banyak sekali, lebih dari sepuluh orang. Jumlah yang baginya tidak berarti tapi bisa membuat ribut, hal yang tidak dia kehendaki. Maka begitu tiba di kamar Cao Cun dan melihat gadis itu tengkurap di pembaringannya mendadak dia menyambar dan sudah memanggul gadis ini. "Cun-moi, kita harus lari. Banyak pengawal datang meluruk!"

Cao Cun tertegun. "Kau....?"

"Ya, aku menerimamu. Cinta kita tak bertepuk sebelah tangan!" dan ketika Cao Cun terpekik dan mengeluh lirih mendadak gadis itu meronta melepaskan diri, mencium pipi Kim-mou-eng dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan, dua kali di kanan kiri. Tapi bentakan pengawal yang sudah di depan kamar tiba-tiba membuat Kim-nou-eng gugup dan tidak merasakan ciuman di pipinya itu, menyambar dan memanggul kembali puteri Wang taijin yang terisak dengan air mata bercucuran ini, bukan duka melainkan bahagia.

Dan ketika Kim-mou-eng melompat dan menerjang pintu kamar mendadak lima golok menyerangnya ganas disusul sambaran sebuah cakar ayam yang terbuat diri baja, mendengar bentakan Sin-kee Lo-jin yang sudah dikenal,

"Kim-mou-eng, kiranya kau.... sing-plak!"

Lima golok dan cakar baja itu terpental semua. Kim-mou-eng terkejut melihat pengawal Mao-taijin itu ada di situ, tertegun melihat lima pengawal pertama yang bükan lain Sun Tek dan teman temannya tadi sadar kembali, rupanya sudah siuman dan terlalu lama dia di dalam kamar bercakap cakap dengan Wan Hoa dan Cao Cun hingga melupakan lima pengawal yang tadi ditendang dalam semak belukar itu. Dan ketika Sin-kee Lo-jin kembali membentak dan menyuruh yang lain-lain maju menyerbu mendadak dua puluhan pengawal yang dibawa kakek yang Sakti ini menerjang dengan senjata masing-masing.

"Kim-mou-eng, kau akan kami bunuh!"

Kim-mou-ong berkelebat. Dia kembali menangkis dan membuat lawan menjerit dengan senjata terlepas, mental semua dikebut angin pukulannya yang dahsyat. Tapi Sin-kee Lo-jin yang rupanya dendam pada pendekar ini mendadak melontarkan cakar bajanya itu dari belakang, menyerang secara curang dan menyuruh yang lain menyerbu dari depan.

Tapi Kim-moa-eng yang waspada dan sudah melompat tinggi mendadak menendang senjata yang menyambar dari belakang ini, tahu akan kecurangan lawan dan mengerutkan kening karena cakar baja itu sesungguhnya menyerang Cao Cun karena gadis itu ada di belakang punggungnya. Dan begitu cakar baja ditendang membalik tahu-tahu Sin-kee Lo-jin berteriak kaget ketika Kim-mou-eng berjungkir balik lenyap dari kamar itu sementara senjatanya menyambar dadanya sendiri dengan kecepatan luar biasa.

"Hei...bluk!"

Sin-kee Lo-jin terbanting bergulingan. Dia tak dapat mengelak senjatanya sendiri, mengaduh dan melontarkan darah segar karena dadanya serasa rontok, dihantam cakar bajarya sendiri yang merupakan senjata makan tuan. Dan ketika para pengawal ribut-ribut dan Kakek Ayam Sakti ini terhuyuug bangkit berdiri maka Istana Dingin menjadi gempar oleh genta yang dipukul bertalu-talu.

"Kim-mou-eng menculik calon selir. pendekar rambut emas datang...!"

Suasana menjadi gaduh. Istana itu tiba-tiba diluruk banyak orang, semuanya menuju ke dalam berlarian meluruk kamar Cao Cun karena dari sinilah barmulanya keributan, berteriak-teriak dan terkejut mendengar kedatangan Kim-mou-eng, pemuda sakti yang telah menggegerkan kota raja dan tentu saja membuat nyalı semua pengawal kecut. Tapi ketika melihat Kim-mou-eng tak ada lagi ditempat itu dan para pengawal di dalam justeru berteriak berlarian keluar, tiba-tiba suasana menjadi hiruk pikuk bercampur maki-makian.

Pengawal di luar bingung. Mereka berlarian kembali seperti semut digebah, masing-masing mencari ke delapan sudut. Dan ketika pengawa di atas menara melihat bayangan Kim-meu-eng dan pendekar itu mełompati tembok yang tinggi tiba-tiba di tempat ini para pengawal menghambur.

"Dia naik ke tembok, awas....!"

Kim-mou-eng memang benar ada di situ. Dia telah menyelinap mełoloskan diri, merobohkan pengawal tapi tak mau membunuh mereka, keluar dari Istana Dingin itu dan kini berada di bawah dinding yang tinggi, siap melompat naik dengan ginkangnya yang luar biasa. Tapi Cao Cun yang bergerak di bełakang punggungnya tiba-tiba berseru menggigil, "Kim-twako, jangan tinggalkan Wan Hoa, Ambil dia..!"

"Apa?" Kim mou-eng terkejut. "Kau berarti menyuruhku kembali ke dalam, Cun-moi? Gila, para pengawal mengejarnya. Aku tak mau ribut-ribut!"

Cao Cun menangis. "Kalau begitu tinggalkan aku, twako. Kau larilah dan biar aku membawa Wan Hoa!"

Kim-mou-eng semakin terkejut. “Kau gila Cun-moi? Kita sudah di batas istana, aku siap melompat keluar!"

"Tidak, tidak... kalau begitu aku turun di sini. Kau larilah dan selamatkan dirimu!" dan Cao Cun yang melorot turun dari punggung Kim-mou-eng tiba-tiba menangis dan mengguguk kembali memasuki istana, memanggil-manggil Wan Hoa dan menyuruh gadis itu berlari bersamanya. Dan Kim-mou-eng yang tentu saja tertegun melihat ini tiba-tiba melihat sebatang tombak meluncur dari depan, menyambar dada Cao Cun.

"Awas...!" Kim-mou-eng marah, berkelebat menangkis dan kaget melihat seorang pengawal mau membunuh Cao Cun, pengawal Mao-taijin karena dia melihat sekat pita di rambut pengawal itu, kiranya anak buah Sin-kee Lo-jin. Dan Kim-mou-eng yang gusar tak dapat menahan diri tiba-tiba menangkap tombak itu dan menimpukannya ke dada sang pengawal.

"Crep!" pengawal itu menjerit. Dia langsung roboh mandi darah, mendelik pada Kim-mou-eng. Tapi Kim-mou-eng sendiri yang sudah menyambar Cao Cun dan marah pada gadis ini akhirnya membalik dan terpaksa kembali ke istana, membentak dan menyerbu ke depan mendorongkan pukulan sinkangnya, membuat para pengawal mawut dan roboh berpelantingan di kiri kanan, terbuka jalan memasuki istana. Dan begitu Kim-mou-eng berkelebat dan para pengawal yang lain berteriak-teriak maka pendekar ini lenyap memasuki lorong-lorong di dalam.

"Dia kembali, awas...!"

Para pengawal kembali ribut. Mereka gentar tapi juga bingung, berlarian ke dalam mengejar pendekar itu. Tapi karena gerakan Kim-mou-eng luar biasa cepat dan pendekar itu selalu merobohkan pengawal yang ada di depan akhirnya pendekar ini tiba kembali di kamar Wan Hoa, melihat gadis itu menggigil membelalakkan mata, pucat dan gemetar menyaksikan semua keributan itu, sepak terjang Kim-mou-eng yang benar-benar luar biasa. Dan Cao Cun yang sudah berteriak girang melihat temannya tiba-tiba meloncat turun dari pondongan Kim-mou-eng.

"Wan Hoa, lari.... ayo lari."

Wan Hoa tertegun. "Lari ke mana, Cao Cun? Dengan siapa? Kenapa kau kembali lagi?"

"Ah, tak perlu banyak tanya, Wan Hoa. Aku kembali karena tak mau kau sendirian di tempat ini. Kita lari bersama Kim-twako. Ayo, cepat....." Cao Cun sudah menarik temannya itu, menyeret Wan Hoa yang masih bengong terlongong-longong.

Tapi para pengawal yang sudah mengejar di belakang mereka tiba-tiba berteriak-tariak. "Hei, kalian selir jangan merat. Tunggu putusan Mao taijin!"

Namun Cao Cun tak perduli. Dia sudah menarik lengan Wan Hoa, mendekati Kim-mou-eng. Tapi Kim-mou-eng yang mendengus perlahan tiba-tiba menyambar tubuh mereka berdua, membawa Cao Cun dan temannya yang berteriak kaget karena mereka taha-tahu telah dikempit di bawah ketiak, Cao Cun di sebelah kanan sementara Wan Hoa di sebelah kiri. Dan begitu mereka roboh tak berdaya tahu-tahu Kim-mou-eng menerobos dalam kamar dan langsung mendobrak jendela.

"Brakk...! Para pengawal terbelalak. Mereka melihat Kim-mou-eng lolos dari tempat itu, melesat dan berjungkir balik ke atas genteng. Dan ketika mereka tertegun dan kaget oleh perbuatan Kim-mou eng yang kini bahkan menculik dua calon selir tahu-tahu Kim mou-eng telah berkelebatan di atas genteng bagai kelelawar malam.

"Kejar, dia, jangan ndomblong....!

Bentakan Sin-kee Lo-jin itu membuat mereka sadar. Para pengawal berhamburan keluar, terkejut dan berteriak-teriak munuding genteng, melihat bayangan Kim-mou-eng yang berlompatan dari satu wuwungan ke wuwungan lain, begitu ringan padahal mengempit dua orang. Seolah yang dikempit adalah boneka kertas yang sama sekali tidak berbobot. Tentu saja membuat para pengawal kagum dan membelalakkan mata lebar-lebar. Dan ketika mereka berhamburan mengejar dan mengepung istana itu tiba-tiba Kim mou-eng telah sampai di batas tembok yang tinggi.

"Lepaskan panah. Serang...!"

Aba-aba Sin-kee Lo-jin ini kembali merobek keheningan malam. Para pengawal sudah menjepret panah mereka, puluhan bahkan ratusan, menyerang dan menghujani tubuh Pendekar Rambut Emas itu yang mengempit dua orang. Tapi Pendekar Rambut Emas yang berjungkir balik di udara dan lenyap melewati tembok yang tinggi tiba-tiba telah meaghilang darı tempat itu, membuat ratusan panah sia-sia runtuh ke bawah. Tak ada satupun yang mengenai sasarannya. Dan ketika para pengawal kembali tertegun dan bengong di bawah maka Sin-kee Lo-jin memaki-maki dan membentak mereka itu.

"Goblok! Buka pintu gérbang, susul dia....!"

Para pengawal sadar. Mereka sebenarnya sudah jerih menghadapi pendekar yang amat tinggi kepandaiannya itu, diam-diam simpatik karena mereka melihat meskipun mereka menyerang mati-matian pendekar itu namun tak satupun balasan Kim-mou-eng yang membuat mereka tewas, kecuali si pengawal bertombak yang hendak membunuh Cao Cun. Paling-paling roboh atau patah tulang, cedera yang sebenarnya tak berarti bila dibanding keinginan mereka yang hendak membunuh pendekar itu.

Dan ketika Sin-kee Lo-jin marah-marah dan pintu gerbang istana dibuka maka para pengawal yang lebih takut pada kemarahan Sin kee Lojin yang dapat menghukum mereka tiba-tiba sudah berhamburan keluar mengejar Pendekar Rambut Emas itu.

Tapi siapa dapat menangkap pendekar ini? Sin-kee Lojin sendiri biar dibantu orang orang lihaipun tak mungkin dapat menangkap pendekar itu, apalagi hanya pengawal pengawal yang tidak memiliki kepandaian berarti. Maka begitu Kim-mou-eng menghilang dan kegelapan malam juga membantu pendekar itu melarikan diri akhirnya para pengawal pulang kembali dengan tangan hampa, sementara Sin-kee Lojin berkaok kaok bagai kambing kebakaran jenggot.

Ke mana Pendekar Rambut Emas itu melarikan diri? Bukan lain ke Chi-cou. Pendekar ini langsung ke sana, tak berhenti dalam perjalanan dan ingin secepatnya mempertemukan Cao Cun dengan ayah ibunya. Tidak beristirahat sama sekali, membuat Cao Cun dan temannya kagum bukan main akan ketahanan tubuh pendekar ini. Dan ketika pagi itu Cao Cun telah berada di belakang halaman rumahnya dan Kim mou eng menurunkan mereka berdua, maka hal pertama yang dilakukan puteri Wang-taijin ini adalah pujian.

"Ah,,hebat kau Kim Twako..Kami sendiri merasa capai. Tidak lelahkah kau?"

"Hi,,hik,,mana dia capai Cao Cun, taihiap orangnya memang luar biasa. Apalagi kalau..." Wan Hoa terkekeh melirik temannya dan melupakan sejenak ketegangan yang telah mereka alami tadi, disambut muka merah oleh Cao Cun yang mengerti kemana arah sambungan kata-kata itu. Bukan lain kalau Kim-mou-eng mengempit tubuhnya, memanggulnya atau memondongnya semalam suntuk. Tapi Kim-mou-eng yang mengusap peluh dengan kening dikerutkan menegur,

"Cun-moi, sebaiknya kita tak perlu bergurau. Kalian telah tiba di tempat aman. Ayo kita temui ayah ibumu."

Wan Hoa mengangguk. "Ya, deh... hi-hik, keringatmu harum, Kim-taihiap. Pantas kalau Cao Cun betah di bawah ketiakmu!"

Cao Cun terkejut. "Wan Hoa...!"

Wan Hoa tak perduli. Dia pura-pura tak melihat muka Kim-mou-eng yang merah, mengendus-endus tangannya sendiri yang basah oleh keringat pendekar itu. Memang harum, keharuman tubuh pria yang aneh tapi keras, tertawa-tawa. Dan ketika Cao Cun melompat dan hendak mencubitnya sekonyong-konyong gadis ini berteriak,

"Aduh, tolong, Kim-taihiap. Kekasihmu mau menggigit aku...!"

"Hush!" Cao Cun terpaksa berhenti, semburat mukanya. Dan ketika dia bentrok dengan pandangan Kim-mou-eng yang juga merah oleh kata-kata Wan Hoa ini mendadak Wang taijin dan isterinya muncul, mendengar ribut-ribut di halaman belakang rumahnya itu, kebetulan sedang menikmati minuman panas.

"Siapa itu? Kalian, eh... Cun-ji!" bupati Wang tiba-tiba terpekik, seolah tak percaya pada matanya sendiri melihat Cao Cun ada di situ, berdiri di sebelah Wan Hoa yang tak dikenal. Tapi begitu melihat Kim-mou-eng mendadak bupati ini melompat berlari lari kecil menubruk anak perempuannya itu berteriak girang. "Cun-ji!"

Cao Cun sendiri sudah terisak. Dia juga menubruk ayahnya itu., tersedu sedu. Sebentar kemudian menangis dan mengguguk di dada ayahnya ini. Dan ketika ibunya juga menyusul dan wanita tua itu jatuh dua kali tersandung batu tiba-tiba tiga orang ini telah berpelukan dan menangis bersama-sama.

"Ayah, kau kurus! Ibu, kau pucat sekali!"

Wang-taijin dan isterinya ikut tersedu-sedu. Mereka diserang keharuan dan kegembiraan besar. Tak dapat mengekang karena kedatangan puterinya itu memang tiba- iba sekali. Begitu cepat dan juga serasa mimpi, Tapi teringat Kim-mou-eng yang teah menepati janji membawa puterinya ke situ mendadak bupati ini menjatuhkan diri berlutut di kaki Pendekar Rambut Emas ini.

"Kim-taihiap, terima kasih. Kau benar-benar telah menepati janjimu...!"

Kim-mou-eng mengangkat bangun bupati ini. Dia melihat Wang-hujin (nyonya Wang) juga berlutut di kakinya, terseda sedu oleh kebahagiaan bertemu dengan anak perempuannya itu. Bersukur dan berterima kasih sekali pada pendekar yang telah melepas budi ini. Tapi Kin-mou-eng yang menarik bangun duà suami isteri itu suduk meoghela napas berkata perlahan,

"Taijin, bangunlah. Keberhasilanku sesungguhnya berkat puterimu juga, Cao Cun hampir membelot!"

Wang taijin terkejut. "Kenapa, taihiap?"

Dan Wan Hoa tiba-tiba terkekeh, mengejutkan semua orang.

"Hei.., siapa gadis ini ?" Wang taijn semakin terkejut, teringat bahwa di situ masih ada satu nona lain.

Dan Wan Hoa yang menjura di depan bupati itu lalu memperkenalkan diri mendahului yang lain. "Taijin, maafkan aku. Aku Wan Hoa Li, Wan Hoa penghibur puterimu ini. Aku juga tinggal di Istana Dingin senasib dengan puterimu."

"Ah. Wan Hoa?"

"Ya," Cao Cun kini melangkah maja. Dia adalah sahabatku, ayah. Juga diperas oleh Mao-taijin yang jahat itu. Kami sama-sama tinggal di Istana Dingin!"

"Ah! Wang taijin mendelong, mengerti seketika itu juga. Jadi kau korban menteri pemeras itu, nona? Ayahmu...?"

"Ayah sama seperti dirimu, taijin. Tak mau menyuap dan mengakibatkan aku masuk ke neraka dı bukit Niu-san itu. Menteri she Mao memang busuk, aku dan Cao Cun menjadi akrab setelah kami bertemu di sana."

Wang-taijin mengangguk angguk. Dia bersinar-sinar memandang gadis ini melihat wan Hoa gädis cantik. Gadis cantik yang lincah, agaknya lebih gembira dibanding watak puterinya yang akhir-akhir ini agak murung. Tapi mengerutkan kening mengapa gadis itu tadi tertawa mendadak bupati ini bertanya, "Nona, kenapa kau tertawa. Apakah membelotnya anakku perempuan ini ada yang lucu?"

Wan Hoa tiba-tiba tersenyum ke Cao Cun. "Maaf, aku tadi tak dapat menahan diriku, taijin, Memang Cao Cun itu lucu, dia tak mau pulang kalau Kim-taihiap tak mau selamanya tinggal di sisinya!"

"Ah, maksudmu?"

"Cao Cun mengikat Kim taihiap agar terbang bersamanya, taijin. Ke mana Kim Taihiap pergi ke situ Cao Cun ada. Mereka telah saling mengikat janji, aku gembira puterimu mendapat tambatan hati yang gagah perkasa seperti Kim-taihiap ini!"

"Wan Hoa....!"

Wan Hoa terkekeh. Dia melihat Cao Cun melotot padanya, membentak perlahan, Dan ketika semua orang tertegun memandang Cao Cun mendadak gadis yang menjadi pusat perhatian itu tiba-tiba melompat pergi, masuk ke kamar.

"Ayah, Wan Hoa memang nakal. Tangkap dan kurung dia di kamar belakang!"

Wang-taijin tiba-tiba tertawa bergelak. Sekarang dia mengerti apa yang dikatakan Wan Hoa itu, girang bukan main memandang Kim-mou-eng. Membayangkan betapa hebat dan bahagianya dia mendapat mantu seperti Pendekar Rambut Emas itu. Pendekar yang hebat dan gagah perkasa! Dan Wan Hoa yang tertawa nemandang Kim-mou-eng tiba-tiba menjura dan memutar tubuh mengejar sahabatnya itu.

"Tajin, siapkan pesta pernikahan yang meriah. Aku akan memandikan air bunga kepada Cao Cun!"

Wang taijin semakin terbahak. Dia merasa kejatuhan rejeki luar biasa besar. Maklum, sebelumnya dia telah merasa gagal untuk menarik pendekar itu sebagai mantunya, menjodohkau Cao Cun dengan pendekar yang gagah ini. Tampan dan menarik. Bahkan Mao-taijin pun takut padanya.

Tapi Kim mou-eng yang merah padam mukanya tiba-tiba menggigil memandang dua suami isteri itu, Wang-taijin dan Wang-hujin. "Taijin, maafkan kata-kata Wan Hoa. Dia... tak tahu apa yang sebenarnya terjadi!"

"Ah, ada apa, taihiap?"

Kim-mou-eng gemetar. Dia bingung, menelan ludah yang terasa kering memasuki kerongkongan. Tapi sadar bahwa saat itu adalah saat yang amat menegangkan baginya karena dia harus berterus terang akhirnya pendekar ini redup memandang ke depan. "Taijin, aku tak dapat lama-lama tinggal di sini. Aku harus segera pergi. Omongan wan Hoa anggap saja kata-kata anak kecil!"

Wang-taijin terkejut. "Maksud taihiap?"

"Aku mendustai Cao Cun, taijin. Aku terpaksa melakukan akal itu agar dia dapat bertemu denganmu. Aku mengakui salah. Aku tak dapat lama-lama lagi di sini karena secepatnya aku harus pergi. Maaf!"

Wang-taijin tertegun. Sinar kekecewaan besar tiba-tiba membayangi muka bupati ini, gelap dan marah memandang pendekar itu. Tapi ingat bahwa pendekar itu berkali-kali menolongnya dari kesulitan hidup tiba-tiba bupati ini menarik napas dan sadar bahwa mengharap pendekar itu sebagai mantu memang terlalu jauh. Impian yang terlalu tinggi, karena dia maklum puterinya sendıri adalah seorang anak perempuan lemah, bukan seperti pendekar ini yang galang-gulung dalam dunia kang-ouw. Dan menyadari bahwa jasa pendekar itu jauh lebih besar dibanding "dosanya" akhirnya bupati ini melelehkan air mata terpukul oleh perbuatan itu.

"Baiklah, aku menyadari kedudukan puteriku, taihiap. Tapi aku tak tahu apa yang akan dilakukan puteriku bila melihatmu pergi. Maaf, aku agaknya terlampau mengharap jatuhnya bintang!"

Kim mou-eng mengigit bibir. Dia melihat dua suami isteri itu terisak, jelas terpukul dan kecewa oleh pernyataannya tadi. Tapi melhat Wang-taijin tak marah-marah padanya dan justeru bersikap lembut mendadak dia malu hati dan tak kalah terpukulnya oleh bupati ini. Jauh lebih baik menerima maki makian yang kasar daripada menghadapı sikap yang halus dan lembut begitu tapı menusuk jantung. Sikap yang cukup menyiksanya, membuatnya tak enak dan muka selalu merah. Dia sadar bahwa, secepatnya dia harus pergi meninggalkan Cao Cun. Dan Kim-mou-eng sudah menjura di depan dua suami isteri itu, membungkuk dalam meninggalkan penyesalan.

"Wang-taijin, maafkan semua kesalahanku. Aku mengakui dosaku terhadap Cao Cun, sampaikan permintaan maafku pula padanya dan harap jaga puterimu baik baik. Selamat tinggal..." Kim-mou-eng memutar tubuh, langsung menggerakkan kaki dan mendengar Wang taijin tersedu, lenyap dari tempat itu dengan muka merah padam. Baru kali itu melakukan "dosa" dalam keadaan terpaksa, semata memenuhi janjinya pada bupati she Wang itu bahwa dia akan mempertemukan bupati itu dengan anak perempuannya. Janji yang memang berhasil dia tepati tapi sekaligus memberi "aib" di mukanya, seorang pendekar melanggar janji. Janji terhadap Cao Cun Dan begitu Kim-mou-eng pergi tiba-tiba Wang-hujin roboh pingsan!

Sekarang rumah Wang-taijin menjadi ribut. Cao Cun kaget mendengar Kim-mou-eng telah meninggalkan mereka, melihat ibunya pingsan sementara Wan Hoa menjublak seakan tak percaya. Melihat Kim-mou-eng benar-bénar meninggalkan mereka dan melanggar janjinya terhadap Cao Cun. Jadi seolah mempermainkan gadis itu padahal Cao Cun telah begitu bahagia menerima janji Kim-mou-eng. Tak mengira sama sekali bahwa semuanya itu adalah tipuan belaka dari Pendekar Rambut emas itu. Dan Cao Cun yang tersentak melihat semuanya "nggeblak" (roboh) seperti ibunya pula!

Wang-taijin semakin panik. Dia menolong isterinya dan puterinya itu, berseru memanggil-manggil dengan gugup dan bingung. Mengharukan sekali melihat keadaan bupati ini. Dan ketika dua-duanya sadar dan Cao Cun membuka mata mendadak gadis itu menangis tersedu-sedu dan lari ke dalam kamarnya. Tiga hari penuh mencucurkan air mata hingga bengkak, membandul mengenaskan. Dan Wan Hoa yang lagi-lagi menarik napas menghibur kawannya akhirnya menemani Cao Cun sepanjang hari, tak segan-segan menunggu.

"Cao Cun, Kim-mou-eng rupanya memang bukan jodohmu. Sebaiknya lupakan dia dan hapus air matamu itu."

"Ah, mana bisa kuhapus air mata ini, Wan Hoa?" Cao Cun tersedu-sedu. "Mana bisa sakit hati ini kuhapus begitu saja? Dia satu-satunya orang yang kucinta, tapi dia pula yang mempermainkan hatiku seenak hatinya!" Cao Cun mengguguk, sakit bukan main teringat sikap Pendekar Rambat Emas, jantung serasa dirobek dan kulit diiris-iris. Pedih sekali. Sakit sekali. Dan wan Hoa yang ikut menangis melihat penderitaan kawannya akhirnya memeluk puteri Wang taijin itu.

"Kalau begitu apa yang harus kita lakukan, Cao Cun? Apa yang dapat kubantu untuk meringankan dukamu ini?"

Cao Cun mengguguk. Ia melihat kecintaan yang begitu besar dari sahabatnya ini, balas merangkul dan menciumi Wan Hoa, terharu sekali oleh sikap Wan Hoa yang begitu penuh perhatian. Tak ada lain kecuali memikırkan dirinya. Dan Cao Cun yang tersedu-sedu memeluk sahabatnya itu tiba-tiba menggeleng dan berseru berulang-ulang, "Tidak, tak ada, Wan Hoa... biarkan aku sendiri dan kau pergilah. Pulanglah dan kembalilah ke ayah ibumu."

Wan Hoa mendadak melepaskan dirinya. "Apa, kau mengusirku pergi, Cao Cun?"

Cao Cun menggeleng dengan air mata bercucuran. "Tidak, jangan salah paham, Wan Hoa. Bukankah sekarang kita bebas dan kau dapat pulang. Aku tidak mengusirmu, justeru ingin menyelamatkan kau kalau-kalau Mao-taijin menyuruh pengawal-pengawalnya datang menangkap kita!"

"Kalau begitu jangan suruh aku berpisah, Cao Can. Seumur hidup kita boleh bersama, Ingat janjimu."

Cao Cun terpukul. Memang dia telah berjanji bahkan bersumpah untuk bersama dengan sahabatnya ini kalau Kim-mou-eng menołaknya. Tapi ingat keselamatan Wan Hoa yang mungkin dikejar-kejar pengawal kalau Sin-kee Lo-jin melapor mendadak Cao Cun bingung dan mengguguk memeluk sahabatnya itu. "Wan Hoa, aku.... aku tak ingin membuat dirimu susah. Kau tinggalkanlah aku sebentar di sini....!"

"Kau mau apa, Cao Cun? Kau mau bunuh diri?"

Cao Cum mengguguk, menggeleng.

"Kalau begitu mau apa?"

Cao Cun tak tahan lagi. "Aku ingin sendiri di kamar ini, Wan Hoa, sejenak saja. Kau tinggalkanlah aku dan biarkan aku sendiri!"

"Tidak!" Wan Hoa melihat gelagat tak baik, mengenal betul sifat kawannya ini. "Aku tak mau pergi kalau kau mau bunuh diri, Cao Cun. Aku siap mendampingimu kalau kau berbuat yang tidak-tidak!"

Cao Cun menangis tak keruan. Memang sebenarnya dia ingin bunuh diri di kamar itu. mengikat leher dan menggantung di belandar. Habis perkara. Tapi sahabatnya ini, yang tahu dan dapat menduga jalan pikirannya tiba-tiba membuat Cao Cun tersedu dan semakin berduka. Hilang sudah harapannya itu kalau Wan Hoa mengenal maksudnya. Dan Wan Hoa yang menggigil melepaskan pundaknya berkata sungguh-sungguh,

"Cao Cun, bunuh diri adalah suatu perbuatan yang tidak baik. Itu pikiran orang sesat. Hidup memang penuh suka dan duka, kita harus menerimanya dengan pikiran jernih. Kau kehilangan kekasih, tapi kau tak kehilangan sahabat, bukan? Aku tetap setia mendampingimu, Cao Cun. Aku mencinta dan menyayangmu sebagai saudara. Kalau saja aku bisa berganti sebagai laki-laki tentu kedudukan Kim-mou-eng akan kuganti!"

Cao Cun menjerit. Dia mengeluh lirih oleh pernyataan yang meremangkan bulu kuduk itu, merasakan getaran kasih sayang dan cinta Wan Hoa yang membuat hatinya diremas remas. Dan dua sahabat yang akhirnya kembali berpelukan itu akhirnya sama-sama menangis dan mengguguk.

"Cao Cun, kau tak akan bunuh diri, bukan?"

Cao Cun menggeleng

"Berani kau sumpah?"

Cao Cun mengguguk.

"Kalau begitu pegang kepalaku, Cao Cun. Bersumpahlah demi arwah nenek moyangmu bahwa kau tak akan bunuh diri. Tak akan meninggalkan aku!"

Cao Cun tak mau. Dia memeluk sahabatnya itu erat‐erat, menangis dengan air mata deras mengalir. Tapi ketika Wan Hoa membawa telapak tangannya ke atas kepala gadis itu akhirnya Wan Hoa memaksa agar sahabatnya itu tidak bunuh diri. Bahwa mereka akan menerima pahit getir kehidupan dengan batin yang tabah. Pikiran yang jernih. Dan ketika keduanya bertangis-tangisan dan lelah rasanya batin ini menerima himpitan duka mendadak keduanya tertidur dan saling berpelukan di satu pembaringan. Mengharukan.

Sejarah memang membuktikan kecintaan dan keluhuran budi Wan Hoa itu. Betapa gadis inilah yang memberi banyak hiburan kepada Cao Cun, mendampinginya dan benar-benar setia sebagai sahabat sejati. Gadis yang berhati mulia dan sering meringankan penderitaan batin puteri Wang-taijin itu. Dan ketika beberapa jam kemudian Cao Cun merasa tenang dan lebih dulu bangun dibanding sahabatnya itu maka puteri Wang-taijin ini bangkit dudük dan tarun dari pembaringannya.

Cao Cun berkaca-kaca. Sikap Wan Hoa yang demikian penuh perhatian kepadanya membuatnya terharu. Tapi ingat pelanggaran janji yang dilakuan Kim-mou-eng tiba-tiba Cao Cun terisak, menutupi mukanya. Apa yang harus dilakukan? Sebaiknya dia menyingkir. Patah hati yang dialaminya itu terlalu berat, meskipun Wan Hoa sebagai sahabat yang dapat dipercaya dapat meringankan penderitaannya.

Tapi asmara adalah urusan lain. Perasaan cinta terhadap pria idaman lain dengan perasaan cinta terhadap seorang sahabat. Betapapun Wan Hoa berusaha menghapus lukanya. Dan Cao Cun yang menangis tanpa suara tiba-tiba menggigit bibir mendekati Wan Hoa, bermaksud akan meninggalkan tempat itu dan kembali ke Istana Dingin. Mengurung diri dan biar berduka disana sampai mati. Dan Cao Cun yang menunduk mencium pipi sahabatnya tiba-tiba berbisik hampir tak terdéngar,

"Wan Hoa, selamat tinggal. Aku tak akan bunuh diri, tapi aku juga tak mau menyeret dirimu merasakan penderitaanku. Kau bahagialah, pulang dan kembalilah ke kampung halamanmu....!" dan begitu Cao Cun memutar tubuhnya melepas kecupan halus tiba-tiba puteri Wang-taijin itu membuka pintu dan keluar dari kamarnya, terisak menahan-nahan tangis yang akan meledak di dadanya. Begitu berat menyesakkan napas. Tapi persis setelah berlari keluar sekonyong-konyong sahabatnya bangun.

"Cao Cun...."

Cao Cun terkejut. Dia menoleh sekejap, melihat Wan Hoa terbelalak kepadanya. Tapi Cao Cun yang menangis melanjutkan larinya tiba-tiba sudah menuju ke kandang kuda, mengambil seekor kuda dan membedal meloncat di atas punggungnya, mengguguk melihat Wan Hoa mengejar dengan teriakannya berkali-kali, memanggil-manggil namanya. Dan persis kuda mencongklang melewati pagar depan maka di saat itulah Wan Hoa terlihat melambaikan lengannya, di pintu samping.

"Cao Cun...."

Cao Cun tak perduli. Dia pura-pura tak melihat temannya itu, menjepit perut kuda dan menyuruh kuda itu mencongklang secepat angin, langsung menuju ke Istana Dingin karena di situlah tekadnya untuk menghabiskan umur, menangis bercucuran air mata sepanjang jalan. Tak perduli pada malam yang gelap karena gadis ini juga pepat (gelap pikiran), tak ada pikiran jernih lagi karena kedukaan masih menghimpit batinnya.

Tapi ketika pagi harinya dia tiba di bukit Niu-san dan siap memasuki gerbang Istana Dingin mendadak Wan Hoa muncul di situ memanggil namanya, mengguguk di atas punggung kuda, rambut riap-riapan dan mata membengkak karena Wan Hoa juga menangis sepanjang jalan. Dan Cao Cun yang tertegun membelalakkan mata tiba-tiba untuk kesekian kalinya lagi mendengar sahabatnya itu memanggil, serak dengan pakaian koyak-koyak,

"Cao Cun, kau tega meninggalkan aku..."

Cao Cun tergetar. Wan Hoa sudah mendekatinya, turun dari atas kuda dengan tubuh menggggil, memégang tali kudanya dan memandang dengan mata yang menusuk begitu pedih, membuat Cao Cun tak kuat mengendalikan dirinya lagi. Dan begitu Wan Hoa bertanya dan Cao Cun tersedu, tiba-tiba gadis ini melompat turun dan menubruk kawannya itu, bertangisan.

"Wan Hoa, maafkan aku. Aku... aku tak ingin menyeretmu dalam kedukaan pribadi ini...!"

Wan Hoa mengguguk. "Kau salah, Cao Cun. Tak ada kedukaan pribadi di atara kita. Duka dan suka kita adalah milik bersama, bukan pribadi!"

Cao Cun tak kuat lagi. Mereka sudah bertangisan bersama, berciuman bersama. Untuk terakhir kalinya melihat cinta kasih Wan Hoa yang begitu besar. Cinta seorang sahabat. Kasih seorang sahabat, Perhatiannya yang begitu besar dan melihat Wan Hoa benar benar tak mmau berpisah. Rela berbagi duka bersamanya meskipun itu adalah dukanya pribadi. Dan Cao Cun yang tersedu menciumi sahabatnya ini akhirnya diketahui pengawal yang melihat kedatangan mereka, dibentak,

"Kalian ada di sini?"

Cao Cun melepaskan diri. Ia menghapus air matanya, tapi Wan Hoa yang mengedikkan kepala membusungkan dada sudah mendahului, berseru nyaring. "Pangawal, tak perlu kalian menangkap kami. Kami datang memang untuk kembli ke Istana Dingin. Antarkan kami ke kamar kami!"

Sang pengawal tertegun. "Kalian menyerahkan diri?"

"Ya!" dan Wan Hoa yang sudah menyeret Cao Cun melangkah ke depan akhirnya benar-benar memasuki pintu gerbang Istana Dingin, membuat para pengawal "mendelo" (tercengang) seakan tak percaya pada apa yang mereka lihat. Bahwa dua gadis itu datang untuk kembali minta dikurung. Hal yang aneh!

Tapi karena Wan Hoa tak menghiraukan mereka dan para pengawal sadar akhirnya dua orang gadis ini benar-benar diantar dan kembali ke kamar mereka, jauh di belakang Istana Dingin dipandang heran dan tak mengerti oleh calon-calon selir lain yang terbelalak memandang mereka berdua. Tapi begitu Wan Hoa dan Cao Cun tiba di kamar mereka, akhirnya dua gadis ini menutup diri dan mengunci pintu kamar masing-masing.

Demikianlah, kejadian yang luar biasa ini mencengangkan banyak orang juga. Para pengawal dan orang-orang lain bengong, tak mengerti pikiran dua orang gadis itu. Tapi karena dua gadis itu telah kembali ke Istana Dingin dan Kim-mou-eng tak nampak di antara mereka akhirnya para pengawal melapor dan membuat Sin-kee Lo-jin sendiri menjublak (tertegun).

"Apa, mereka datang secara baik-baik kembali ke sini?"

"Ya, dan tampaknya telah terjadi pertengkaran di kamar mereka?" dan di antara mereka dengan Kim-mou-eng, Lo-jin. Kami mendengar mereka menyebat-nyebut nama Pendekar Rambut Emas itu dengan marah!"

Sin-kee Lo-jin tertawa bergelak. Dia tak mengerti apa sesungguhnya yang telah terjadi, ia telah melapor dan membuat Mao taijin ikut tercengang. Tapi karena keduanya telah kembali dan Mao taijin khawatir Kim-mou-eng akan datang lagi maka Menteri ini memerintahkan agar penjaga lebih diperkuat, menambah dengan pengawal-pengawal istana yang memiliki kepandaian tinggi, untuk menjaga Cao Cun dan Wan Hoa.

Tapi karena Kim-mou-eng juga tak menduga bahwa Cao Cun kembali ke Istana Dingin atas kehendaknya sendiri karena didorong kekecewaannya atas perbuatannya itu maka Pendekar Rambut Emas ini juga tak tahu dan tak mungkin ke Istana Dingin. Tak tahu bahwa hasil perjuangannya sia-sia. Dan begitu dua gadis itu menyerahkan diri ke Istana Dingin maka berita Cao Cun dan Wan Hoa ini tak didengar orang lagi sampai beberapa bulan kemudian.

* * * * * * * *

"Hei, berhenti, nona cantik. Siapa kau menangis di sini?"

Salima mengangkat mukanya. la tiba di sebuah hutan lebat siang itu, duduk tersedu-sedu teringat suhengnya, tak tahu langkah kaki yang banyak mendatangi karena kesedihannya membuat dia tenggelam dalam kedukaannya itu, kini terganggu oleh bentakan seorang laki-laki yang telah berdiri di depannya, sebatang golok tersisip di pinggang dengan garang. Dan Salima yang mengangkat muka mendengar bentakan itu tiba-tiba disambut suitan sana-sini dari banyak laki-laki yang telah mengepung dirinya, kagum akan kecantikannya.

"Aih, luar biasa. Kecantikannya bagai seorang dewi!"

"Ya, dan dia pantas hidup di tengah tengah kita, Cen-twako. Sebaiknya tangkap dan nikmati tubuhnya beramai-ramai!"

Suara tawa bergelak yang sambung-menyambung membuat Salima merah mukanya. la mendengar kata-kata kotor di antara kaum lelaki itu, suasana tiba-tiba ribut dan gaduh. Banyak diantara mereka melahap tubuhnya dengan mata mengilar, tiba-tiba melangkah maju dan mengepung semakin rapat. Dan ketika seorang diantaranya hendak mencolek tubuhnya tiba-tiba Salima membentak bangkit berdiri,

“Mundur!"

Laki-laki itu terjengkang. Entah apa vang menyebabkan dia begitu kaget, seolah suara Salima adalah suara petir. Disambut ketawa kawan-kawannya yang merasa geli oleh kejadian itu. Tapi Salima yang kini bangkit berdiri dengan tubuhnya yang tinggi semampai dan ganti menyapu semua orang dengan matanya yang berkilat kilat mendadak membuat semua laki-laki itu tertegun, tanpa terasa melangkah mundur oleh wibawanya yang demikian mengejutkan. Seolah seorang ratu!

Dan Salima mendengus memandang laki-laki bergolok yang tadi membentak kini bertanya dêngan suara dingin, "Kalian siapa? Kenapa mengganggu wanita di tengah hutan?"

Laki-laki itu, yang dipanggil Cen-twako kini hilang kagetnya. Dia tadi juga tersentak oleh bantakan Salima, tergetar dan terkejut oleh wibawa gadis ini. Tapi melihat gadis itu tak membawa senjata dan tampaknya seperti gadis biasa-biasa saja kecuali sikapnya yang anggun dan angkuh tiba-tiba terbahak mengusir ketegangan hatinya sendiri.

"Ha-ha, seharusnya kami yang harus bertanya kepadamu, nona. Siapa kau dan mengapa menangis di sini? Ini wilayah Hek-eng Taihiap (Pendekar Garuda Hitam), kau masuk tanpa ijin dan patut dicurigai!"

Salima mengerutkan alis. "Siapa itu Hek-eng Taihiap?"

"Aku sendiri!" laki-laki itu menepuk dada. "Aku Hek-eng Taihiap Cen Hok, penguasa wilayah ini dan kebetulan masih bujangan!"

"Hm...! Salima mengerutkan alis, mendengar suara tawa di sana-sini oleh kata-kata terakhir itu, menjengek melihat kesombongan orang. Tapi ketika dia berapi api memandang sekeliling tiba-tiba suara tawa itu berhenti dan orang lagi-lagi terkejut oleh sinar matanya yang mencorong.

"Cen Hok, apa sekarang maumu mengganggu aku?" Salima menyebut nama orang begitu saja, tak memakai julukannya. "Apa maksud kalian mengelilingi aku?"

Cen Hok, laki-laki sombong yang memakai julukan Pendekar Garuda Hitam itu mengernyitkan kening, melihat sikap tak menghormat lawan. "Aku datang untuk bertanya baik-baik padamu, nona. Kau siapa dan kenapa masuk tanpa ijin!"

"Memangnya ini wilayahmu?"

"Tentu saja, ini wilayahku!"

"Kau merampoknya dari mana?"

"Apa?" Cen Hok terkejut. "Merampok apa, nona? Ini wilayahku yang sudah ku kuasai belasan tahun. Aku mendapatkannya dengan sah!" laki-laki itu marah, melotot pada Salima tapi akhirnya tertegun oleh senyum Salima yang manis di bibir, mengembang penuh ejekan tapi mempesona sekali untuk dipandang lelaki, penuh daya tarik dan amat memikat.

Dan Salima yang tahu bahwa dia berhadapan dengan perampok-perampok liar tiba-tiba tertawa dengan suaranya yang merdu, membuat kaum lelaki di situ tiba-tiba mabok. "Cen Hok, apa dasarmu mengakui tempat ini sebagai milikmu? Adakah surat kaisar yang memberi wewenang padamu untuk menguasai hutan ini? Cih, kau ternyata perampok rendahan, orang she Cen. Aku jadi muak dan sebal padamu. Sebaiknya kalian pergi dan jangan ganggu aku. Saat ini hutan ini adalah milikku!"

Cen Hok, si Garuda Hitam terbelalak. "Nona, kau siapa? Bicaramu besar sekali, dan sombong!" laki-laki itu gusar, marah tapi masih kesengsem (terpesona) oleh senyum Salima. Dan Salima yang tertawa mengejek tiba-tiba mengangkat lengannya...

Pendekar Rambut Emas Jilid 08

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 08
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
"HM, aku dapat memberikan jaminan apa saja. Tar-tar khan. Tapi aku juga ragu apakah kata-katamu juga benar. Apakah kau tidak mengada-ada dan sengaja menutupi persoalan sebenarnya!"

"Maksudmu?"

"Aku khawatir kau mengarang cerita belaka tentang tiga orang iblis itu. Juga tentang utusan yang terbunuh itu!"

"Ah, kau tak percaya?"

"Sama seperti dirimu yang juga meragukan keterangan Bu-ciangkun!"

Gurba menjublak. Dia mendadak dipukul balik oleh kecurigaan kaisar yang juga tidak percaya pula keterangan Bu-ciangkun. Tapi Gurba yang mendengus mendengar omongan lawan tiba-tiba berseru, "Kaisar yang mulia, aku bukan laki-laki pengecut yang harus mengelak dari perbuatan sendiri. Aku dan bangsaku benar-benar tak tahu akan orang-orang utusanmu itu. Kalau aku bohong. Biarlah arwah leluhurku mengutuk aku seumur hidup!"

"Hm, aku juga memberikan kesaksian yang sama. Kalau aku bersekongkol dengan tiga iblis itu, biarlah arwah leluhurku juga mengutuk aku seumur hidup!"

Gurba tertegun. Dia melihat kaisar bersungguh-sungguh, mata yang bersinar itu tak berkedip memandang matanya, penuh kesungguhan dan jujur. Dan Gurba yang tentu saja tak mungkin tidak percaya pada lawan yang sudah bersikap ksatria ini lalu mundur melepas Bu-ciangkun dengan muka merah. Sadar bahwa kiranya permusuhan itu disulut oleh pihak ke tiga, entah siapa, yang membunuh utusan kaisar dan terjadi kesalahpahaman yang hebat ini hingga dua belah pihak jatuh korban, timbul peperangan dan masing-masing sama-sama menderita rugi. Tapi ingat pada Siauw-bin-kwi dan dua temannya itu yang muncul di perkemahannya tiba-tiba Gurba menggeram dan menjura pada kaisar, untuk pertama kalinya menghormat lawan!

"Sri baginda, kiranya kita sama-sama terjebak oleh musuh yang tak bertanggung jawab. Biarlah ku selidiki hal itu dan maaf atas semua kejadian yang tidak menyenangkan ini. Aku berjanji akan menangkap biang keladi ini dan kelak membawanya kepadamu!"

Kaisar tersenyum. "Boleh, dan maaf pula atas semua sikap pihakku, Tar-tar khan. Betapapun kita kini menyadari bahwa permusuhan kita dicetuskan atas dasar kesalahpahaman. Kutunggu janjimu!“

Gurba tak banyak bicara lagi. Sekarang dia maklum akan semua kejadian itu, marah dan geram pada Siauw-bin-kwi. Keras dugaannya bahwa iblis itulah yang menjadi gara-gara. Bahkan mungkin utusan kaisar dibunuh pula oleh İblis ini dan kawan-kawannya. Dan Gurba yang marah membalikkan tubuh tiba-tiba berkelebat meninggalkan kaisar, melewati kepala banyak orang dan sebentar saja sudah keluar dari istana.

Tapi Bi Nio yang bangkit berdiri tiba-tiba berteriak padanya, Gurba terkejut. Dia berhenti dan melihat selir kaisar itu tersedu-sedu mengejarnya, menubruk dan memeluk kakinya dengan air mata bercucuran. Dan Bi Nio yang menyesal atas semua kejadian di malam itu dan sudah mengguguk di kaki raksasa ini berkata dengan pundak berguncang-guncang,

"Maafkan aku, hanggoda. Aku hanya melaksanakan tugas atas perintah junjunganku. Aku menyesal... aku ikut bersalah...!"

Gurba mengerutkan kening. Pernyataan itu bahkan membuat hatinya tertusuk, tapi kaisar yang melangkah maju tiba tiba berseru,

"Tar-tar khan, selirku telah menjadi isterimu. Aku ingin bersahabat, ku persembahkan selirku itu untukmu!"

Gurba terkejut. Tapi kaisar yang tertawa dan mengangkat bangun Bi Nio tiba-tiba menepuk pundak wanita itu. "Bi Nio, kau rupanya kagum pada raksasa ini. Dia memang patut menjadi pelindungmu. Ikut dan keluarlah dari kaputren!"

Bi Nio mengangguk. "Terima kasih, sri baginda. Tapi hamba... di..."

“Tak perlu khawatir. Tar-tar khan akan menerimamu. Sebagai tanda persahabatan!"

Gurba semakin terkejut. Saat itu suasana sudah bukan suasana permusuhan lagi. Masing-masing menyadari bahwa mereka "dikerjai" orang lain. Mungkin Siauw-bin-kwi dan kawan-kawannya itu. Tapi Gurba yang teringat pada Salima dan diam-diam mengharap sumoinya itu tiba-tiba mundur dan menggeleng dengan muka pucat. "Tidak, jangan sri baginda!" raksasa itu menggigil. "Aku... aku belum niat untuk mempunyai isteri!"

"Ah," kaisar tersenyum. "Bi Nio cukup menjadi selirmu saja. Tar-tar khan. Tak perlu menjadi isteri atau permaisuri. Aku tahu keinginanmu pada sumoimu yang gagah perkasa itu!"

Gurba seketika tertegun. Dia menjadi merah oleh kata-kata ini, tapi ingat bahwa Bi Nio hanya menjadi penghalang saja di perjalanan dan mungkin suku bangsanya tak cocok pada selir ini, tiba-tiba Gurba menjadi bingung. Tapi kaisar Yuan Ti yang rupanya bermata tajam dan awas pandangan itu dapat membaca isi hatinya. Karena begitu kaisar ini melangkah maju dan menepuk pundaknya kaisar ini berkata,

"Tar-tar khan. Bi Nio dapat kau titipkan disini apabila kau keberatan. Dia sah menjadi milikimu. Aku tak akan mengganggunya. Dan bila sewaktu-waktu keadaan sudah mengijinkan kau boleh membawanya pergi kapan saja. Aku tahu kerepotanmu, aku tahu watak suku bangsamu yang keras dan belum dapat menerima bangsa Han!"

Gurba tak dapat bicara lagi. Sekarang dia harus menyerah, tak mau melukai kaisar karena kaisar telah tulus memberikan selirnya demi persahabatan. Hal yang tentu saja sukar ditolak dan mau tak mau harus diterima. Dan Gurba yang mengangguk mengucap terima kasih akhirnva berkata,

"Baiklah, terima kasih atas kebaikanmu, sri baginda. Bi Nio boleh tinggal di sini dulu sampai semua kesibukanku selesai. Aku masih harus mencari biang penyakit itu. Orang-orang yang telah membuat kita bermusuhan!"

Kaisar girang. "Boleh, dan kapan saja kau boleh ke kaputren, Tar-tar khan. Aku memberi ijin khusus padamu untuk menengok Bi Nio!"

Gurba semburat. Kata-kata itu mempunyai arti yang dalam, melihat Bi Nio melirik dan menghapus air matanya. Tapi begitu dia mengangguk dan memutar tubuh tiba-tiba Gurba tak mau diganggu lagi dan melompat keluar. Gerakannya seperti iblis, lenyap begitu saja di luar gerbang istana. Dan ketika Gurba melompati tembok dan hilang dari pandangan mata maka raksasa ini menjadi buah bibir yang tidak kalah hangat dengan pembicaraan ketika Kim-mou-eng dulu membuat geger di kota raja. Sama-sama membuat orang kagum dan gentar.

Tapi begitu raksasa itu lenyap di luar sana dan kaisar masuk ke dalam maka semua pengawal bekerja keras sibuk merawat yang luka atau tewas. Tak kurang dari tiga ratus korban. Dan ketika semuanya melupakan kejadian itu dan Bu-ciangkun sendıri bersama Cu ciangkun kakak beradik mengobati lukanya maka jauh di luar sana Gurba tiba kembali di perkemahan suku bangsanya, tertegun dan hampir tak percaya melihat apa yang terjadi. Bahwa mayat bergelimpangan di sana-sini, disertai banjir darah dibalik tumpukan senjata-senjata yang patah.

Tapi begitu raksasa itu sadar dan melihat Siga berlutut tersedu-sedu menghadapi ratusan mayat mendadak Gurba mencelat dan sudah menghadapi pembantunya ini, membentak dan mengejutkan pemuda Tar-tar itu akan kehadiran pemimpinnya, mendengar suara "apa yang terjadi", mendengar Siga terisak isak menceritakan semua kejadian itu dari awal sampai akhir. 

Dan begitu Gurba mendengar dengan jelas tiba tiba raksasa ini mengeluarkan pekik yang membuat tanah tergetar, langit seakan roboh dan Siga sendiri terlempar oleh getaran suara yang amat dahsyat itu, dan ketika Gurba menyebut-nyebut nama Siu-bin kwi dan raksasa itu gemetar seluruh tubuhnya tiba-tiba Gurba menjejakkan kaki lenyap dari tempat itu!

"Siga, kembali keluar tembok besar. Tunggu aku di sana...."

Siga mematung. Dia hanya mendengar pesan singkat itu, seruan penuh gusar yang amat dalam. Kemarahan serta sakit hati penuh dendam. Tapi karena tangsa Tar-tar memang sudah pecah dan semrawut tak karuan akhirnya pemuda Tar-tar ini bangkit terhuyung dan mengangguk lemah, mengumpulkan sisa-sisa anak buahnya yang tidak berarti. Dan begitu dia mengajak mereka berangkat, akhirnya rombongan kecil ini meninggalkan bekas perkemahan yang porak-poranda itu.

* * * * * * * *

Agaknya cukup lama kita meninggalkan Kim mou-eng, Mari kita ikuti dulu kisah pendekar ini. Berhasilkah dia mengejar sumoinya? Berhasilkah dia meredakan kemarahan sumoinya itu? Ternyata tidak. Salima telah lenyap mengerahkan ginkangnya, masuk keluar hutan tak mau dipanggil suhengnya itu. Dan ketika dua hari kejar mengejar itu berakhir di luar hutan cemara mendadak tanpa sadar Kim mou-eng tiba di Chi-cou. Inilah tempat di mana bupati Wang memerintah. Bupati yang jujur dan keras pendirian.

Dan Kim-mou eng yang putus asa dan sedih melihat sumoinya tak mau diajak bicara tiba-tiba berpikir untuk menemui Cao Cun, gadis cantik puteri bupati Wang itu. Tentu saja kedatangannya disambut girang oleh bupati itu, langsung menubruk dan terisak-isak memeluk pendekar ini. Tapi ketika Wang taijin mengguguk dan isterinya muncul menjerit berlutut di depan pendekar ini mendadak Kim-mou-eng terkejut dan terkesima.

"Taijin, ada apa? Mana Cao Cun?"

Bupati itu tak dapat menjawab. Dia mencucurkan air mata dengan deras sekali, tapi ketika kedukaannya reda dan bupati itu menekan semua himpitan batinnya maka orang tua yang gemetar menggigit bibir ini berkata, "Cao Cun tak ada di sini, taihiap. Puteriku itu dikurung di Istana Dingin beberapa bulan yang lalu!"

"Ah, apa itu Istana Dingin? Di mana letaknya? Apa yang terjadi?"

Bupati Wang menghapus air matanya. "Mari duduk dulu, taihiap. Aku akan mençeritakannya secara urut. Aku bertubi-tubi mendapat cobaan," dan ketika Kim mou-eng duduk dan dua suami isteri itu memandangnya penuh harap maka bupati ini berkata, "Taihiap, kami mengharap pertolonganmu. Tanpa kau Cao Cun akan celaka."

"Ya. tapi apa yang terjadi, taijin? Mana pula Hok Gwan pengawalmu?"

Bupati Wang menarik napas, sedih sekali. Dia kusuruh mencarimu, taihiap. Tapi sampai hari ini tak kunjung pulang. Baiklah dengarkan ceritaku." dan Wang taijin yang mulai bercerita tentang kejadian itu lalu secara urut menceritakan peristiwa yang dia alami. Betapa puterinya terpilih oleh kaisar, lewat Mao-taijin memanggil puterinya itu dan membawanya ke kota raja.

Tapi karena menteri Mao adalah menteri yang mata duitan dan menahan Cao Cun kalau Wang-taijin belum membayarkan uang jasa sebanyak lima ratus ons emas untuk "budi" kebaikannya mempertemukan Cao Cun pada kaisar maka gadis yang seharusnya sudag sampai di istana itu tak jadi menghadap kaisar gara-gara polah menteri ini.

Dan Wang-taijin harus berjuang keras. Menemui menteri itu dan bentrok di rumahnya, gagal dan menemui atasannya gubernur Liang, gagal lagi dan akhirnya menghadap Han taijin, penasihat kaisar itu. Tapi ketika untuk yang terakhir inipun gagal dan bupati itu putus asa maka bupati ini kembali pulang dengan tangan hampa, menangis sepanjang hari.

"Kami tak berdaya lagi, taihiap Kami merasa gagal dan putus asa menghadapi menteri yang kuat kedudukannya itu. Mao-taijin banyak dilindungi menteri menteri lain, dia culas dan licik!"

Kim-mou-eng mengerutkan kening, marah, "Jadi Cao Cun sekarang ditahan di Istana Dingin, taijin? Di mana tempat itu?"

"Di luar kota raja, taihiap. Dekat bukit Niu-san. Aku tak dapat mendatangi tempat itu karena dijaga ketat oleh pengawal-pengawal tangguh dan temboknya pun tinggi."

"Baik, aku akan ke sana!" Kim-mou-eng bangkit berdiri. "Aku akan membawa kembali Cao Cun padamu, taijin. Dan jangan khawatir, aku akan membawa puterimu dengan selamat!"

"Ah, kau mau membantu kami, taihiap?"

"Tentu saja. Bukankah kau diperlakukan semena-mena, taijin? Dan akan kucari menteri she Mao itu. Akan kuhajar dia!"

Wang-taijin girang. Dia sudah menjatuhkan diri berlutut di kaki pendekar ini, air matanya kembali bercucuran seperti tadi. Bukan sedih melainkan penuh harap dan kegembiraan besar, yakin akan kesaktian pemuda ini dan dapat berkumpul lagi dengan puterinya tercinta itu. Dan bupati Wang yang terisak di kaki Pendekar Rambut Emas berkata menggigil,

"Taihiap, beribu terima kasih atas perhatianmu yang tak terhingga ini. Kami ibu dan ayah tak dapat menahan rindu lagi untuk bertemu dengan Cao Cun. Kembalilah cepat cepat, Istana Dingin tiada ubahnya penjara seumur hidup bagi puteriku itu!"

"Sudahlah," Kim-mou-eng mengangkat bangun bupati ini. "Aku dan Cao Cun seperti kakak dan adik, taijin. Tak perlu mengucap terima kasih. Karena itu adalah tugasku juga!" dan begitu bupati Wang bangun berdiri tiba-tiba Pendekar Rambut Emas berkelebat lenyap meninggalkan tempat itu.

"Taihiap, terima kasih. Hati-hati....!"

Kim-mou-eng tersenyum di kejauhan. Sebenarnya dia terkejut mendengar berita itu, tak menyangka menteri Mao bertindak terlampau jauh dengan menawan Cao Cun, meskipun tampaknya gadis ita ditaruh baik-baik di Istana Dingin, tempat di mana kaisar biasanya memilih calon-calon selir baru untuk mengganti selir-selir yang dianggap tua. Dan Kim-mou-eng yang langsung menuju ke Istana Dingin untuk menolong Cao Cun tiba-tiba sejenak melupakan urusannya sendiri dengan sumoinya itu, Salima.

Dan ketika sore itu dia tiba di bukit Niu-san dan mencari di mana letaknya Istana Dingin ini maka Kim-mou-eng tertegun ketika dia menemukan tempat itu. Istana Dingin kiranya terletak di atas bukit. Menjulang kokoh di puncak gunung kecil itu, terlindung pepohonan besar yang mengelilingi hampir seluruh bangunan hingga menimbulkan kesan sejuk, bahkan dingin. Jadi cocok dengan nama istana itu. Tapi karena tempat itu di atas bukit dan para penjaga dapat bebas memandang ke bawah sementara orang di bawah tentu ketahuan kalau mendaki ke atas maka Kim-mou-eng meagerutkan alis melihat keadaan ini.

Hanya ada satu jalan khusus yang dibuatkan menuju puncak. Tentunya untuk kaisar dan rombongannya kalau tetirah kesitu. Jadi yang lain adalah semak belukar yang tidak begitu tinggi karena selalu dibabat, agaknya sengaja dilakukan begitu agar pendatang liar dapat terlihat kalau coba-coba mendatangi Istana Dingin.

Dan Kim-mou-eng yang tentu saja tertegun melihat semuanya ini lalu berhenti dan semakin dalam mengerutkan kening. Jarak ke puncak bukit sekitar delapan ratus meter. Cukup panjang, tak mungkin bagi orang yang hebat sekalipun untuk datang tanpa ketahuan. Jangankan orang, burung yang terbang pun dapat terlihat. Dan karena Kim-mou-eng tak bermaksud membuat kekacauan dan kedatangannya itu adalah untuk membawa Cao Cua maka tak ada lain jalan kecaali dia menunggu datangnya gelap.

Begitulah. Kim-mou-eng lalu melompat ke atas pohon, bersandar dan tidur-tidur ayam disitu, melamun, mengenang pertemuannya deagan Cao Cun dulu. Gadis cantik yang sanggup mengguncang hati itu. Berkulit bersih tapi keras dan jujur seperti ayahnya. Menghabiskan waktu sampai matahari tenggelàm di ufuk barat. Dan ketika saat itu tiba dan malam mulai datang maka Kim-mou-eng mempergunakan ginkangnya berkelebat menuju puncak.

Tak ada kesukaran baginya, kegelapan malam cukup melindunginya. Dan ketika dia tiba di bawah istana dan menghadapi temboknya yang tebal menjulang tinggi mendadak pendekar ini menjejakkan kakinya melompat ke atas. Orang tentu kagum melihat perbuatan pendekar ini. Mumbul begitu saja dengan ringan dan enak, seolah kedua kakinya berpegas dan hinggap dengan mudah di puncak tembok yang tinggi. Tapi lampu sorot yang tiba tiba berkelebat dan memancar mengenai dirinya mendadak disusul teriakan kaget seorang pengawal, yang rupanya mengetahui kedatangannya, tanda tempat itu benar-benar dijaga ketat!

"Hei, siapa kau!"

Kim-mou-eng terkejut. Dia terpaksa berjungkir balik dan menghilang menghindari lampu sorot itu, begitu cepat gerakannya hingga seperti iblis saja. Dan ketika dua orang pengawal datang berlari-lari dan menyorot tempat itu, maka terdengar seruan heran dua penjaga itu,

"Eh, ke mana dia? Setankah tadi?"

Kim-mou-eng tertawa di tempat persembunyiannya. Dia telah menggelantung di sebuah belandar, mirip kelelawar menunggu dua pengawal itu pergi. Berhati-hati karena sekarang dia tahu bahwa tempat itu benar-benar terdapat banyak penjaga. Mungkin ada yang bersembunyi dan tidak dia ketahui, seperti dua penjaga itu tadi misalnya. Dan ketika dua penjaga itu ribut-ribut dan menyorot ke lain-lain tempat tapi tak menemukan bayangan pendekar iní akhirnya dua penjaga itu mengumpat dan kembali ke tempat jaganya tadi.

"Bangsat, rupanya kita kedatangan hantu!"

Yang lain juga mengomel. Mereka pergi tanpa curiga apa-apa lagi, tampak kedinginan seperti orang menggigil. Rupanya bulu roma mereka berdiri karena lawan tak terlihat ke mana menghilangnya, menganggap yang dilihatnya tadi adalah hantu atau siluman yang biasanya keluyuran di saat gelap tiba. Dan Kim-mou-eng yang turun kembali dari atas belandar setelah dua penjaga pergi lalu menyelinap dan mulai memeriksa Istana Dingin itu.

Kepandaiannya yang tinggi dan geraknya yang tanpa suara memungkinkan dia bergerak leluasa, berkali-kali menghindari pengawal yang juga ketat berjaga di dalam. Dan ketika dia mulai memasuki lorong-lorong kamar di mana calon selir disimpan akhirnya Kim-mou eng terpaksa mengintai dan melubangi jendela untuk melihat di mana Cao Cun berada.

Dan Kim-mou-eng tertegun. Dia melihat tak kurang dari seratus wanita cantik di situ, rata-rata dibawah dua puluh tahun dan berkulit bersih-bersih, ranum dan menggairahkan karena mereka adalah gadis-gadis remaja yang masih belia adanya. Bahkan ada yang masih kekanak kanakan dan usianya tak lebih dari lima belas tahun. Bukan main. Masih terlalu muda dan mengherankan bagaimana bisa berada di tempat itu, entah sipa yang membawa.

Tapi karena semua wanita yang dicari itu tak terdapat Cao Cun puteri Wang-taijin akhirnya Kim-mou-eng mengerutkan kening dan bingung serta gelisah Ke mana gadis itu disimpan? Tinggal dua kamar terakhir saja yang belum diselidiki, di bagian paling belakang dan agak ke dalam di mana lima orang pengawal tampak hilir mudik menjaga. Dan Kim-mou-eng yang harus berhati-hati mendekati tempat ini akhirnya melompat dan merayap di langit langit ruangan.

Hebat sekali! Pendekar itu rupanya memiliki ilmu yang disebut Pek-houw-yu-chong. Ilmu merayap seperti cecak yang sepenuhnya mengandalkan sinkang yang hebat di telapak tangan, melekat dan tak mungkin jatuh ketika merayap di langit langit itu, menggantung dengan punggung di bawah. Persis tokek! Dan ketika sebentar kemudian dia melewati kepala lima orang penjaga di bawah yang cukup tinggi jaraknya akhirnya perdekar ini tiba di ujung dan melompat berjungkir balik meletakkan kakinya di lantai.

"Cring..."

Suara ini mengejutkan kedua pihak. Kim mou-eng terkejut karena secara tak sengaja dia menginjak seuntai benang emas, benang yang rupanya dipasang dengan kedua ujung dipasangi gembreng rangkap, begitu benang terinjak otomatis gembreng ini barbunyi. Jadi semacam "alarm" (tanda bahaya) bagi yang masuk ke tempat itu tanpa ijin. Dan Kim-mou-eng yang tentu saja terkejut dan melihat lima pengawal berseru kaget melihat kedatangannya tiba tiba sudah diserang lima golok panjang yang mendesing menyambar tubuhnya.

"Hei, kau siluman keparat...."

Lima golok itu menyambar bersusulan. Kim mou-eng harus bergerak cepat untuk menangkis lima serangan itu, mengerahkan sinkang di kedua tangan hingga golok mental bertemu lengannya. Dan ketika lima oraag itu terkejut dan golok terlepas dari tangan mèreka tahu-tahu jari Kim-mou-eng bergerak menotok dengan kecepatan luar biasa di belakang leher.

"Tuk-tuk!"

Lima orang itu roboh bergelimpangan. Mereka memang bukan tandingan pendekar ini, mudah saja dibabat dan berdebuk di lantai. Pingsan. Dan ketika Kim-mon-eng menghapus peluh karena dia khawatir keributan kecil itu bakal terdengar oleh pengawal-pangawal lain yang ada di sekitar situ, maka pendekar ini telah menendang lima tubuh itu kesudut ruangan, tersembunyi di balik tanaman perdu terlindung kegelapan malam, Tapi persis dia memberesi lima penjaga yang pingsan ini mendadak pintu pertama dari dua kamar yang agak menyendiri ini terbuka dan seorang gadis bermata lebar muncul membelalakkan matanya, terkejut melihat kedatangannya.

"Siapa kau?"

Kim-mou-eng tertegun. Dia terkesiap melihat gadis itu, mengira Cao Cun, terkejut melihat kedatangannya diketahui orang lain. Dan sementara gadis itu menunggu jawabannya dan Kim-mou-eng tersenyum lebar mendadak jari pendekar ini bergerak ke depan menotok dari jauh. ”Nona, kau masuklah kembali, tuk!"

Gadis itu roboh. Dia menimpa pintu kamarnya sendiri, membuat gaduh, mengeluh dan terjengkang ke belakang. Tapi Kim-mou-eng yang telah berkelebat dan menyambar gadis itu tahu-tahu telah masuk ke kamar ini dan secepat kilat menutup pintunya, membungkam mulut gadis itu dan membebaskan totokannya. Dan ketika gadis itu tertegun membelalakkan matanya yang lebar jernih maka Kim-mou-eng membentak perlahan dengan ancaman dingin,

"Jangan membuat ribut. Aku mencari seseorang di sini!"

Gadis itü menjublak. Sekarang dua pasang mata beradu, yang satu menggigil ketakutan sedang yang lain mencorong menakutkan. Tapi begitu gadis ini mengangguk dan melihat rambut Kim-mou-eng yang keemasan tiba-tiba dia berseru dengan wajah kegirangan, "Kau Kim-mou-eng!"

Kim-mou-eng terkejut. "Dari mana kau tahu? Siapa kau?"

"Ah, kau Kim-mou-eng, kan?" gadis itu mengulang.

"Ya."

"Kalau begitu cocok! Cao Cun menunggu-nunggumu selama ini. Dan gadis itu yang tiba-tiba tertawa menyambar lengan Kim-mou-eng mendadak menerobos keluar menuju kamar sebelah, menggedor pintunya keras sekali. "Cao Cun, kakakmu datang. Kim-mou-eng datang."

Kim-mou-eng terkejut. Dia melihat gadis ini membuat ribut, khawatir pengawal datang dan agaknya terlampau gembira oleh kedatangannya ini. Tapi ketika pintu terbuka dan sesosok tubuh ramping bermuka pucat berdiri menggigil di dalam kamar tiba-tiba Kim-mou eng tertegun melihat Cao Cun ada di situ.

"Kim-twako...!"

"Cao Con....!"

Dua orang itu sudah saling tubruk. Cao Cun menjerit dan terisak mendekap pendekar ini langsung menyusupkan mukanya dan menangis tersedu-sedu di dada pendekar itu. Tapi ketika bayangan pengawal tampak berkelebat datang tiba-tiba Kim mou-eng melesat ke dalam mendorong gadis ini, menyuruh Cao Cun diam sementara gadis pertama yang belum dikenal Kim-mou-eng itu terkejut, sadar karena keributan kecil itu gara gara ulahnya. Dan ketika pengawal datang dan bertanya kenapa mereka ributribut maka gadis itu dan Cao Cun menjawab menggigil,

"Tidak... tidak apa-apa. Aku hanya teringat ayah dan kampung halamanku."

"Tapi mana Sun Tek dan teman-temannya?"

Cao Cun terkejut, sadar akan lima pengawal yang menjaga di situ, tak melihat mereka. Dapat menduga tentu dirobohkan kakak angkatnya tadi dan entah menggeletak di mana. Tapi gadis pertama yang tahu kejadian tadi dan bersikap tenang berkata kalem, "Mereka meronda ke belakang, sebentar tentu kembali," dan ketika pengawal itu percaya dan mengangguk pergi maka selamatlah Cao Cun dari kecurigaan penjaga, berterima kasih pada temannya itu dan mengajak gadis pertama ini masuk.

Dan begitu mereka menutup pinto maka Kim-mou eng keluar menemui Cao Con, kembali ditubruk dan Cao Cun melepaskan rindunya pada pendekar ini, terisak-isak tapi tak berani menangis terlampau keras. Dan ketika Pendekar Rambut Emas mengusap rambutnya dan Cao Cun tampak gembira tapi sedih akhirnya pendekar ini teringat gadis pertama itu, yang kini ada di dalam dan ikut mencucurkan air mata melihat kebahagiaan Cao Cun, dan kegembiraannya,

"Cun-moi, siapa temanmu ini?"

Cao Cun teringat, melepaskan diri. Dia sahabatku, twako. Dia bernama Li Wan Hoa...."

Gadis itu memberi hormat. "Kim-mou-eng, aku tak pantas disebut sahabat Cao Cun. Aku teman biasa saja, penghiburnya."

"Ah, kau jangan main-main, Wan Hoa. Kau telah memberiku kekuatan dan semangat untukbertahan hidup sampai saat ini." Cao Cun menegur, memeluk gadis itu dan mencium pipinya.

Dan ketika Wan Hoa tersenyum tapi muka yang berseri itu mendadak gelap tiba-tiba gadis ini pamit mohon diri. "Cao Cun, kau tentu ingin melepas rindumu pada Kim-taihiap ini. Biarlah aku menunggu di kamarku dulu. Hati-hati, jangan terlampau keras menangis!"

Cao Cun menahan. "Tidak, jangan Wan Hoa, Kim-twako tak merasa terganggu oleh kehadiranmu. Bukankah begitu, twako?"

Tapi Wan Hoa yang tersenyum melepaskan diri mengerling pada Kim-mou eng. "Kim taihiap. Cao Cun ada banyak pembicaraan yang ingin disampaikan padamu. Biarlah aku menjaga di luar demi keamanan!" dan belum Cao Cun menahan lagi tiba-tiba gadis itu sudah membuka pintu kamar, mandur dan keluar tanpa banyak cakap lagi, dipandang Cao Cun yang tertegun memandang temannya itu. Tapi Kim-mou-eng yang belum kenal benar siapa adanya Wan Hoa justeru mengangguk dan berkata.

"Biarlah, kita memang dapat bebas bicara, Cun-moi Tapi apakah dia tak berbahaya? Jangan-jangan dia memanggil pengawal memberi tahu kedatanganku!"

"Tidak!" Cao Cun yakin dan pasti. "Wan Hoa senasib dengan diriku, twako. Dia juga gadis malang yaag bernasib buruk!" dan ketika Cao Cun terisak dan heran bagaimana Kim-mou-eng dapat mengetahui keberadaannya di situ maka bertanyalah gadis ini.

“Twako, dari mana kau tahu aku ada di sini? Kebetulan sajakah?"

Kim-mou-eng menghela napas. "Ayahmu yang memberi tahu, Cun-moi. Aku telah ke Chi-cou ingin bertemu dengan ayah ibumu İtu!"

"Ah, bagaimana keadaan mereka? Baik baik sajakah?"

"Mereka kurus, Cun moi. Ayah ibumu sedih melihat kau terkurung di sini!"

Cao Cun tiba-iba menangis, menggigit bibir. “Twako, ini semua gara-gara Mao -tajin yang busuk iu. Dia jahat dan penipu!"

"Ya. aku tahu. Dan aku datang memang untuk membawamu pergi!"

Cao Cun tiba-tiba menghentikan tangisnya, membelalakkan mata. "Kau mau membawaku pergi, twako?"

"Ya."

"Ke mana?"

"Eh, tentu saja ke rumahmu! Kenapa pertanyaanmu demikian aneh. Kim-mou-eng heran, mengerutkan kening memandang puteri Wang taijin itu. Tapi Cao Cun yang tiba tiba tersedu dan menggigit bibir kuat kuat mendadak memutar tubuh membanting diri di pembaringan, menangis di situ dengan pundak bêrguncang-guncang, menutupi mukanya dengan bantal. Dan ketika Kim mou eng tertegun dan heran akan sikapnya maka gadis ini bérkata, menggelengkan kepalanya berulang-ulang.

"Tidak.. tidak, twako. Kalau begitu percuma saja. Aku tak mau ikut!"

"Ah,... kau gila!"

Cao Cun Tiba-tiba mengangkat mukanya, meletakkan bantal yang kini penuh air mata itu, " Twako,,," Suaranya menggigil kalau hanya membawaku ke Chi-cou kenapa harus bersusah payah kemari? Mao tajin tentu akan mengejar menyuruh pengawal-pengawalnya itu. Aka akan tertangkap dan akan dibawa kembali kesini...!"

Kim-mou-eng tertegun, "aku akan menghajar mao taijin, aku akan..."

"Tidak" Cao Cun memotong, bangkit berdiri. "Percuma saja hal itu, twako. Kalau Mao-taijin dihajar maka menteri lain yang bakal disuruh kaisar. Satu-satunya jalan adalah..." Cao Cun menggigil, basah kédua matanya hingga pipi yang pucat kemerah-merahan itu tampak mengibakan sekali, menghentikan kata-katanya dan tidak meneruskan kata-katanya itu. karena Kim-mou eng memandangnya heran, Dan ketika Cao Cun tersedu dan menubruk pendekar itu dengan mata terpejam maka Pendekar Rambut Emes ini terkejut bukan main ketika Cao Com melanjutkan kata-katanya yang tertunda, "Aku hanya mau kau bawa dari sini apabila selamanya aku selalu di dekatmu, twako. Kalau tidak biarlah aku mati sampai tua di sini!"

Kim-mou-eng bengong. "Apa? Kau gila, Cun moi? Mana bisa selamanya kau ikut aku?”

"Itulah, kalau tidak bisa, biarkan aku sendiri twako, aku tak mau kembali ke Chin Chou karena ayah ibuku tentu tak dapat melawan orang orang kaisar kecuali kau ada di sampingku, kau akan melindungi kami!"

Kim-mou-eng tertegun. Sekarang Cao Cun memeluknya dengan air mata bercucuran. sekarang dadanya basah oleh air mata gadis itu. tapi ketika pundak gadis itu masih berguncang-guncang belum berhenti juga dan pendekar ini penasaran oleh sikap Cao Cun, tiba-tiba pendekar ini melepaskan diri dan mendorong pundak gadis itu.

"Cun-moi, aku berjanji pada ayah ibumu untuk membawamu kembali dengan selamat di Chin Chau dan sekarang aku harus menepati janji itu. Aku ada disini sekarang. Kenapa kau bersikap yang aneh-aneh, padahal ayah ibumu menunggu dengan cemas disana. kau mau membuat kedua orang tuamu menderita seumur hidup?"

Cao Cun menutupi mukanya. "Aku mau kembali asal kau juga di sana, twako. Kalau tidak biarlah aku tinggal di sini saja. Tak usah!"

Kim-mou-eng membelalakkan mata. Dia melihat gadis itu memutar tubuh membanting diri lagi di pembaringan, mengguguk, menutupi mukanya dengan bantal dan guling. Dan sementara dia penasaran dan terkejut oleh sikap Cao Cun mendadak pintu terbuka dan Wan Hoa muncul.

"Ssttt.." gadis itu memberi tanda. "Lebih baik kau ikut aku, taihiap. Dia tak akan bicara meskipun kau mendesaknya!"

Kim-mou eng heran. Dia sudah mengangguk dan berkelebat keluar, menutup pintu dan sebentar kemudian telah berada di kamar sebelah, kamar Wan Hoa. Dan ketika gadis itu mempersilahkannya duduk tapi Kim-mou-eng menolak akhirnya Wan Hoa berdiri berhadapan dengan pendekar ini, alisnya yang hitam menyelirit berkerut sementara matanya yang lebar jernih itu menatap tajam.

"Kim-taihiap, tak tahukah kau apa yang menjadi alasan utama bagi Cao Cun kenapa dia menolakmu?"

"Hm," Kim-mou-eng mengangguk. "Katanya takut dikejar-kejar anak buah Mao-taijin, nona. Karena itu memintaku untuk melindunginya selalu dan tidak jauh darinya!"

"Betul, tapi hanya itukah tangkapanmu mendengar permintaannya? Kau tak tahu ada yang lebih dalam dari sekedar alasan itu?"

Kim-mou-eng heran. "Apa itu, nona?"

Wan Hoa menepuk meja. "Kim-taihiap, sebaiknya buang dulu sebutan nona-nona itu. Kau panggil saja aku Wan Hoa atau adik Hoa!"

"Baik, apa itu, adik Hoa?"

Dan Wan Hoa tersenyum aneh. "Kau benar-benar tak tahu, taihiap?"

"Kalau aku tahu tentu tak akan bertanya padamu!" Kim-mou-eng mendongkol. "Kau katakan saja, adik Hoa. Apa alasan utama itu hingga Cao Cun minta kulindungi selamanya!"

Dan Wan Hoa tertawa, manis sekali tapi kata-katanya mengejutkan Kim-mou-eng, "Karena dia mencintaimu, taihiap. Cao Cun mencintaimu lahir batin dan setiap hari hanya kau saja yang dibicarakan. Itulah!"

Kim-mou-eng terkejut. Dia mundur selangkah dengan mata terbelalak lebar, memandang gadis bermata jernih ini. Tapi Wan Hoa yang mengangguk dan menyambar lengannya tiba-tiba berbisik sungguh-sungguh, "Benar, Cao Cun mengharap-harap kedatanganmu, taihiap. Dia siap mati di tempat ini kalau kau menolak cintanya. Itulah sebabnya dia minta berdekatan denganmu kalau kau hendak membawanya pergi. Kalau tidak dia tak akan mau dibawa meskipun kau paksa!"

Kim-mou-eng tertegun. Sekarang dia menjublak, pucat dan merah mukanya berganti-ganti mendengar kata-kata itu, bingung dan seakan dipukul palu godam, melihat bayangan sumoinya tiba-tiba berdiri di samping bayangan Cao Cun, tegak dan marah melihat dia menggandeng puteri Wang-taijin itu. Ingat kejadian beberapa minggu yang lalu ketika dia mencium sumoinya itu. Dan Kim-mou-eng yang tertegun dengan kaki menggigil mendadak melepaskan diri dan berseru perlahan, "Tak mungkin!"

Wan Hoa mengerutkan alis. "Apanya yang tak mungkin, taihiap? Cao Cun bukan adikmu sendiri, kalian tak ada hubungan darah!"

"Tapi..."

"Tapi apa, taihiap? Kau mau membiarkan Cao Cun merana seumur hidup di sini? Kalau begitu tinggalkan saja dia. Biar dia mati bersama aku di sini!"

Kim-mou-eng kaget. "Wan Hoa...!"

Wan Hoa tersenyum mengejek, dadanya tiba tiba dibusungkan. "Kim-Taihiap," gadis itu mulai berkata berapi-api. "Aku tahu apa yang menjadi penderitaan Cao Cun. Aku dan dia sama sama senasib dan sependeritaan. Kami masing-masing telah menceritakan apa yang menjadi isi hati kami. Cao Cun mencintaimu, kalau kau menolak dia juga tak dapat berbuat apa apa tapi segeralah tinggalkanlah tempat ini. Kami sadar bahwa kami wanita lemah, lain dengan lelaki. Tapi sekali kami menjatuhkan cinta tak mudah bagi kami untuk menariknya kembali!"

Kim-mou-eng tertegun.

"Dan Cao Cun tak main-main, taihiap," Wan Hoa melanjutkan dengan mata masih berapi-api sama seperti tadi. "la siap menerima kegagalan ataupun keberhasilannya. Kalau ia gagal dan kau menolak cintanya maka ia akan tinggal di sini seumur hidup bersamaku. Itu sumpahnya. Tapi kalau ia berhasil dan kau mau membawanya pergi maka ke manapun ia akan ikut padamu. Bahkan ke bangsamu yang dianggap setengah liar itupun!"

Kim-mou-eng terpukul. Memang ada anggapan dikalangan bangsa Han bahwa bangsa Tar-tar adalah bangsa liar. Kurang beradab dan karena itu dijauhi bangsa bangsa lain yang menganggap diri sendiri sudah beradab, labih tinggi kebudayaannya dan lebih "sopan" dibanding bangsa Tar-tar itu, bangsa nomad yang masih suka berpindah pindah tempat karena keadaannya yang memang memaksa.

Tapi karena urusan tidak membicarakan bangsa Tar-tar melainkan membicarakan Cao Cun yang mencintai dirinya dan mau diajak pergi kalau dia menerima cinta kasih gadis itu mendadak Kim-mou-eng meniadi bingung dan "pusing" oleh urusan ini, mendelong mendengar semua kata kata Wan Hoa itu. Tapi ketika pintu terbuka dan balik Cao Cun yang memasuki kamar sahabatnya tiba tiba puteri Wang taijin itu berseru, menegur temannya,

"Wan Hoa, tak perlu kau membuka rahasia hatiku pada Kim-twako. Dia tak perlu kau paksa, Kim twako bebas memilih!"

Wan Hoa tertegun. Dia melihat Cao Cun sudah balik lagi menutup pintunya, tersedu menuju kamar sendiri dan membanting tubuh di tempat tidurnya itu. Dan Wan Hoa yang terbelalak memandang Kim-mou-eng tiba tiba bertanya. "Bagaimana, kau meninggalkan Cao Cun atau menerimanya, taihiap? Aku mendapat marah gara-gara menceritakan cintanya padamu!"

Kim-mou-eng bingung. Dia berdebar dan iba sekali melihat keadaan gadis itu, gadis cantik yang kusut mukanya. Tak enak dan tentu saja tak mau membiarkan Cao Cun hidup di Istana Dingin, penjara yang tiada ubahnya neraka bagi gadis itu. Dan karena dia mulai mendengar langkah-langkah kaki mendatangi tempat itu tiba-tiba pendekar ini mengangguk dan berkelebat menuju kamar Cao Cun. "Baiklah, aku akan membawanya pergi!"

Wan Hoa girang. "Ah, kalau begitu Cao Cun tak bertepuk sebelah tangan, taihiap?"

Kim-mou-eng tak menjawab. Telinganya yang tajam mendengar langkah kaki yang banyak sekali, lebih dari sepuluh orang. Jumlah yang baginya tidak berarti tapi bisa membuat ribut, hal yang tidak dia kehendaki. Maka begitu tiba di kamar Cao Cun dan melihat gadis itu tengkurap di pembaringannya mendadak dia menyambar dan sudah memanggul gadis ini. "Cun-moi, kita harus lari. Banyak pengawal datang meluruk!"

Cao Cun tertegun. "Kau....?"

"Ya, aku menerimamu. Cinta kita tak bertepuk sebelah tangan!" dan ketika Cao Cun terpekik dan mengeluh lirih mendadak gadis itu meronta melepaskan diri, mencium pipi Kim-mou-eng dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan, dua kali di kanan kiri. Tapi bentakan pengawal yang sudah di depan kamar tiba-tiba membuat Kim-nou-eng gugup dan tidak merasakan ciuman di pipinya itu, menyambar dan memanggul kembali puteri Wang taijin yang terisak dengan air mata bercucuran ini, bukan duka melainkan bahagia.

Dan ketika Kim-mou-eng melompat dan menerjang pintu kamar mendadak lima golok menyerangnya ganas disusul sambaran sebuah cakar ayam yang terbuat diri baja, mendengar bentakan Sin-kee Lo-jin yang sudah dikenal,

"Kim-mou-eng, kiranya kau.... sing-plak!"

Lima golok dan cakar baja itu terpental semua. Kim-mou-eng terkejut melihat pengawal Mao-taijin itu ada di situ, tertegun melihat lima pengawal pertama yang bükan lain Sun Tek dan teman temannya tadi sadar kembali, rupanya sudah siuman dan terlalu lama dia di dalam kamar bercakap cakap dengan Wan Hoa dan Cao Cun hingga melupakan lima pengawal yang tadi ditendang dalam semak belukar itu. Dan ketika Sin-kee Lo-jin kembali membentak dan menyuruh yang lain-lain maju menyerbu mendadak dua puluhan pengawal yang dibawa kakek yang Sakti ini menerjang dengan senjata masing-masing.

"Kim-mou-eng, kau akan kami bunuh!"

Kim-mou-ong berkelebat. Dia kembali menangkis dan membuat lawan menjerit dengan senjata terlepas, mental semua dikebut angin pukulannya yang dahsyat. Tapi Sin-kee Lo-jin yang rupanya dendam pada pendekar ini mendadak melontarkan cakar bajanya itu dari belakang, menyerang secara curang dan menyuruh yang lain menyerbu dari depan.

Tapi Kim-moa-eng yang waspada dan sudah melompat tinggi mendadak menendang senjata yang menyambar dari belakang ini, tahu akan kecurangan lawan dan mengerutkan kening karena cakar baja itu sesungguhnya menyerang Cao Cun karena gadis itu ada di belakang punggungnya. Dan begitu cakar baja ditendang membalik tahu-tahu Sin-kee Lo-jin berteriak kaget ketika Kim-mou-eng berjungkir balik lenyap dari kamar itu sementara senjatanya menyambar dadanya sendiri dengan kecepatan luar biasa.

"Hei...bluk!"

Sin-kee Lo-jin terbanting bergulingan. Dia tak dapat mengelak senjatanya sendiri, mengaduh dan melontarkan darah segar karena dadanya serasa rontok, dihantam cakar bajarya sendiri yang merupakan senjata makan tuan. Dan ketika para pengawal ribut-ribut dan Kakek Ayam Sakti ini terhuyuug bangkit berdiri maka Istana Dingin menjadi gempar oleh genta yang dipukul bertalu-talu.

"Kim-mou-eng menculik calon selir. pendekar rambut emas datang...!"

Suasana menjadi gaduh. Istana itu tiba-tiba diluruk banyak orang, semuanya menuju ke dalam berlarian meluruk kamar Cao Cun karena dari sinilah barmulanya keributan, berteriak-teriak dan terkejut mendengar kedatangan Kim-mou-eng, pemuda sakti yang telah menggegerkan kota raja dan tentu saja membuat nyalı semua pengawal kecut. Tapi ketika melihat Kim-mou-eng tak ada lagi ditempat itu dan para pengawal di dalam justeru berteriak berlarian keluar, tiba-tiba suasana menjadi hiruk pikuk bercampur maki-makian.

Pengawal di luar bingung. Mereka berlarian kembali seperti semut digebah, masing-masing mencari ke delapan sudut. Dan ketika pengawa di atas menara melihat bayangan Kim-meu-eng dan pendekar itu mełompati tembok yang tinggi tiba-tiba di tempat ini para pengawal menghambur.

"Dia naik ke tembok, awas....!"

Kim-mou-eng memang benar ada di situ. Dia telah menyelinap mełoloskan diri, merobohkan pengawal tapi tak mau membunuh mereka, keluar dari Istana Dingin itu dan kini berada di bawah dinding yang tinggi, siap melompat naik dengan ginkangnya yang luar biasa. Tapi Cao Cun yang bergerak di bełakang punggungnya tiba-tiba berseru menggigil, "Kim-twako, jangan tinggalkan Wan Hoa, Ambil dia..!"

"Apa?" Kim mou-eng terkejut. "Kau berarti menyuruhku kembali ke dalam, Cun-moi? Gila, para pengawal mengejarnya. Aku tak mau ribut-ribut!"

Cao Cun menangis. "Kalau begitu tinggalkan aku, twako. Kau larilah dan biar aku membawa Wan Hoa!"

Kim-mou-eng semakin terkejut. “Kau gila Cun-moi? Kita sudah di batas istana, aku siap melompat keluar!"

"Tidak, tidak... kalau begitu aku turun di sini. Kau larilah dan selamatkan dirimu!" dan Cao Cun yang melorot turun dari punggung Kim-mou-eng tiba-tiba menangis dan mengguguk kembali memasuki istana, memanggil-manggil Wan Hoa dan menyuruh gadis itu berlari bersamanya. Dan Kim-mou-eng yang tentu saja tertegun melihat ini tiba-tiba melihat sebatang tombak meluncur dari depan, menyambar dada Cao Cun.

"Awas...!" Kim-mou-eng marah, berkelebat menangkis dan kaget melihat seorang pengawal mau membunuh Cao Cun, pengawal Mao-taijin karena dia melihat sekat pita di rambut pengawal itu, kiranya anak buah Sin-kee Lo-jin. Dan Kim-mou-eng yang gusar tak dapat menahan diri tiba-tiba menangkap tombak itu dan menimpukannya ke dada sang pengawal.

"Crep!" pengawal itu menjerit. Dia langsung roboh mandi darah, mendelik pada Kim-mou-eng. Tapi Kim-mou-eng sendiri yang sudah menyambar Cao Cun dan marah pada gadis ini akhirnya membalik dan terpaksa kembali ke istana, membentak dan menyerbu ke depan mendorongkan pukulan sinkangnya, membuat para pengawal mawut dan roboh berpelantingan di kiri kanan, terbuka jalan memasuki istana. Dan begitu Kim-mou-eng berkelebat dan para pengawal yang lain berteriak-teriak maka pendekar ini lenyap memasuki lorong-lorong di dalam.

"Dia kembali, awas...!"

Para pengawal kembali ribut. Mereka gentar tapi juga bingung, berlarian ke dalam mengejar pendekar itu. Tapi karena gerakan Kim-mou-eng luar biasa cepat dan pendekar itu selalu merobohkan pengawal yang ada di depan akhirnya pendekar ini tiba kembali di kamar Wan Hoa, melihat gadis itu menggigil membelalakkan mata, pucat dan gemetar menyaksikan semua keributan itu, sepak terjang Kim-mou-eng yang benar-benar luar biasa. Dan Cao Cun yang sudah berteriak girang melihat temannya tiba-tiba meloncat turun dari pondongan Kim-mou-eng.

"Wan Hoa, lari.... ayo lari."

Wan Hoa tertegun. "Lari ke mana, Cao Cun? Dengan siapa? Kenapa kau kembali lagi?"

"Ah, tak perlu banyak tanya, Wan Hoa. Aku kembali karena tak mau kau sendirian di tempat ini. Kita lari bersama Kim-twako. Ayo, cepat....." Cao Cun sudah menarik temannya itu, menyeret Wan Hoa yang masih bengong terlongong-longong.

Tapi para pengawal yang sudah mengejar di belakang mereka tiba-tiba berteriak-tariak. "Hei, kalian selir jangan merat. Tunggu putusan Mao taijin!"

Namun Cao Cun tak perduli. Dia sudah menarik lengan Wan Hoa, mendekati Kim-mou-eng. Tapi Kim-mou-eng yang mendengus perlahan tiba-tiba menyambar tubuh mereka berdua, membawa Cao Cun dan temannya yang berteriak kaget karena mereka taha-tahu telah dikempit di bawah ketiak, Cao Cun di sebelah kanan sementara Wan Hoa di sebelah kiri. Dan begitu mereka roboh tak berdaya tahu-tahu Kim-mou-eng menerobos dalam kamar dan langsung mendobrak jendela.

"Brakk...! Para pengawal terbelalak. Mereka melihat Kim-mou-eng lolos dari tempat itu, melesat dan berjungkir balik ke atas genteng. Dan ketika mereka tertegun dan kaget oleh perbuatan Kim-mou eng yang kini bahkan menculik dua calon selir tahu-tahu Kim mou-eng telah berkelebatan di atas genteng bagai kelelawar malam.

"Kejar, dia, jangan ndomblong....!

Bentakan Sin-kee Lo-jin itu membuat mereka sadar. Para pengawal berhamburan keluar, terkejut dan berteriak-teriak munuding genteng, melihat bayangan Kim-mou-eng yang berlompatan dari satu wuwungan ke wuwungan lain, begitu ringan padahal mengempit dua orang. Seolah yang dikempit adalah boneka kertas yang sama sekali tidak berbobot. Tentu saja membuat para pengawal kagum dan membelalakkan mata lebar-lebar. Dan ketika mereka berhamburan mengejar dan mengepung istana itu tiba-tiba Kim mou-eng telah sampai di batas tembok yang tinggi.

"Lepaskan panah. Serang...!"

Aba-aba Sin-kee Lo-jin ini kembali merobek keheningan malam. Para pengawal sudah menjepret panah mereka, puluhan bahkan ratusan, menyerang dan menghujani tubuh Pendekar Rambut Emas itu yang mengempit dua orang. Tapi Pendekar Rambut Emas yang berjungkir balik di udara dan lenyap melewati tembok yang tinggi tiba-tiba telah meaghilang darı tempat itu, membuat ratusan panah sia-sia runtuh ke bawah. Tak ada satupun yang mengenai sasarannya. Dan ketika para pengawal kembali tertegun dan bengong di bawah maka Sin-kee Lo-jin memaki-maki dan membentak mereka itu.

"Goblok! Buka pintu gérbang, susul dia....!"

Para pengawal sadar. Mereka sebenarnya sudah jerih menghadapi pendekar yang amat tinggi kepandaiannya itu, diam-diam simpatik karena mereka melihat meskipun mereka menyerang mati-matian pendekar itu namun tak satupun balasan Kim-mou-eng yang membuat mereka tewas, kecuali si pengawal bertombak yang hendak membunuh Cao Cun. Paling-paling roboh atau patah tulang, cedera yang sebenarnya tak berarti bila dibanding keinginan mereka yang hendak membunuh pendekar itu.

Dan ketika Sin-kee Lo-jin marah-marah dan pintu gerbang istana dibuka maka para pengawal yang lebih takut pada kemarahan Sin kee Lojin yang dapat menghukum mereka tiba-tiba sudah berhamburan keluar mengejar Pendekar Rambut Emas itu.

Tapi siapa dapat menangkap pendekar ini? Sin-kee Lojin sendiri biar dibantu orang orang lihaipun tak mungkin dapat menangkap pendekar itu, apalagi hanya pengawal pengawal yang tidak memiliki kepandaian berarti. Maka begitu Kim-mou-eng menghilang dan kegelapan malam juga membantu pendekar itu melarikan diri akhirnya para pengawal pulang kembali dengan tangan hampa, sementara Sin-kee Lojin berkaok kaok bagai kambing kebakaran jenggot.

Ke mana Pendekar Rambut Emas itu melarikan diri? Bukan lain ke Chi-cou. Pendekar ini langsung ke sana, tak berhenti dalam perjalanan dan ingin secepatnya mempertemukan Cao Cun dengan ayah ibunya. Tidak beristirahat sama sekali, membuat Cao Cun dan temannya kagum bukan main akan ketahanan tubuh pendekar ini. Dan ketika pagi itu Cao Cun telah berada di belakang halaman rumahnya dan Kim mou eng menurunkan mereka berdua, maka hal pertama yang dilakukan puteri Wang-taijin ini adalah pujian.

"Ah,,hebat kau Kim Twako..Kami sendiri merasa capai. Tidak lelahkah kau?"

"Hi,,hik,,mana dia capai Cao Cun, taihiap orangnya memang luar biasa. Apalagi kalau..." Wan Hoa terkekeh melirik temannya dan melupakan sejenak ketegangan yang telah mereka alami tadi, disambut muka merah oleh Cao Cun yang mengerti kemana arah sambungan kata-kata itu. Bukan lain kalau Kim-mou-eng mengempit tubuhnya, memanggulnya atau memondongnya semalam suntuk. Tapi Kim-mou-eng yang mengusap peluh dengan kening dikerutkan menegur,

"Cun-moi, sebaiknya kita tak perlu bergurau. Kalian telah tiba di tempat aman. Ayo kita temui ayah ibumu."

Wan Hoa mengangguk. "Ya, deh... hi-hik, keringatmu harum, Kim-taihiap. Pantas kalau Cao Cun betah di bawah ketiakmu!"

Cao Cun terkejut. "Wan Hoa...!"

Wan Hoa tak perduli. Dia pura-pura tak melihat muka Kim-mou-eng yang merah, mengendus-endus tangannya sendiri yang basah oleh keringat pendekar itu. Memang harum, keharuman tubuh pria yang aneh tapi keras, tertawa-tawa. Dan ketika Cao Cun melompat dan hendak mencubitnya sekonyong-konyong gadis ini berteriak,

"Aduh, tolong, Kim-taihiap. Kekasihmu mau menggigit aku...!"

"Hush!" Cao Cun terpaksa berhenti, semburat mukanya. Dan ketika dia bentrok dengan pandangan Kim-mou-eng yang juga merah oleh kata-kata Wan Hoa ini mendadak Wang taijin dan isterinya muncul, mendengar ribut-ribut di halaman belakang rumahnya itu, kebetulan sedang menikmati minuman panas.

"Siapa itu? Kalian, eh... Cun-ji!" bupati Wang tiba-tiba terpekik, seolah tak percaya pada matanya sendiri melihat Cao Cun ada di situ, berdiri di sebelah Wan Hoa yang tak dikenal. Tapi begitu melihat Kim-mou-eng mendadak bupati ini melompat berlari lari kecil menubruk anak perempuannya itu berteriak girang. "Cun-ji!"

Cao Cun sendiri sudah terisak. Dia juga menubruk ayahnya itu., tersedu sedu. Sebentar kemudian menangis dan mengguguk di dada ayahnya ini. Dan ketika ibunya juga menyusul dan wanita tua itu jatuh dua kali tersandung batu tiba-tiba tiga orang ini telah berpelukan dan menangis bersama-sama.

"Ayah, kau kurus! Ibu, kau pucat sekali!"

Wang-taijin dan isterinya ikut tersedu-sedu. Mereka diserang keharuan dan kegembiraan besar. Tak dapat mengekang karena kedatangan puterinya itu memang tiba- iba sekali. Begitu cepat dan juga serasa mimpi, Tapi teringat Kim-mou-eng yang teah menepati janji membawa puterinya ke situ mendadak bupati ini menjatuhkan diri berlutut di kaki Pendekar Rambut Emas ini.

"Kim-taihiap, terima kasih. Kau benar-benar telah menepati janjimu...!"

Kim-mou-eng mengangkat bangun bupati ini. Dia melihat Wang-hujin (nyonya Wang) juga berlutut di kakinya, terseda sedu oleh kebahagiaan bertemu dengan anak perempuannya itu. Bersukur dan berterima kasih sekali pada pendekar yang telah melepas budi ini. Tapi Kin-mou-eng yang menarik bangun duà suami isteri itu suduk meoghela napas berkata perlahan,

"Taijin, bangunlah. Keberhasilanku sesungguhnya berkat puterimu juga, Cao Cun hampir membelot!"

Wang taijin terkejut. "Kenapa, taihiap?"

Dan Wan Hoa tiba-tiba terkekeh, mengejutkan semua orang.

"Hei.., siapa gadis ini ?" Wang taijn semakin terkejut, teringat bahwa di situ masih ada satu nona lain.

Dan Wan Hoa yang menjura di depan bupati itu lalu memperkenalkan diri mendahului yang lain. "Taijin, maafkan aku. Aku Wan Hoa Li, Wan Hoa penghibur puterimu ini. Aku juga tinggal di Istana Dingin senasib dengan puterimu."

"Ah. Wan Hoa?"

"Ya," Cao Cun kini melangkah maja. Dia adalah sahabatku, ayah. Juga diperas oleh Mao-taijin yang jahat itu. Kami sama-sama tinggal di Istana Dingin!"

"Ah! Wang taijin mendelong, mengerti seketika itu juga. Jadi kau korban menteri pemeras itu, nona? Ayahmu...?"

"Ayah sama seperti dirimu, taijin. Tak mau menyuap dan mengakibatkan aku masuk ke neraka dı bukit Niu-san itu. Menteri she Mao memang busuk, aku dan Cao Cun menjadi akrab setelah kami bertemu di sana."

Wang-taijin mengangguk angguk. Dia bersinar-sinar memandang gadis ini melihat wan Hoa gädis cantik. Gadis cantik yang lincah, agaknya lebih gembira dibanding watak puterinya yang akhir-akhir ini agak murung. Tapi mengerutkan kening mengapa gadis itu tadi tertawa mendadak bupati ini bertanya, "Nona, kenapa kau tertawa. Apakah membelotnya anakku perempuan ini ada yang lucu?"

Wan Hoa tiba-tiba tersenyum ke Cao Cun. "Maaf, aku tadi tak dapat menahan diriku, taijin, Memang Cao Cun itu lucu, dia tak mau pulang kalau Kim-taihiap tak mau selamanya tinggal di sisinya!"

"Ah, maksudmu?"

"Cao Cun mengikat Kim taihiap agar terbang bersamanya, taijin. Ke mana Kim Taihiap pergi ke situ Cao Cun ada. Mereka telah saling mengikat janji, aku gembira puterimu mendapat tambatan hati yang gagah perkasa seperti Kim-taihiap ini!"

"Wan Hoa....!"

Wan Hoa terkekeh. Dia melihat Cao Cun melotot padanya, membentak perlahan, Dan ketika semua orang tertegun memandang Cao Cun mendadak gadis yang menjadi pusat perhatian itu tiba-tiba melompat pergi, masuk ke kamar.

"Ayah, Wan Hoa memang nakal. Tangkap dan kurung dia di kamar belakang!"

Wang-taijin tiba-tiba tertawa bergelak. Sekarang dia mengerti apa yang dikatakan Wan Hoa itu, girang bukan main memandang Kim-mou-eng. Membayangkan betapa hebat dan bahagianya dia mendapat mantu seperti Pendekar Rambut Emas itu. Pendekar yang hebat dan gagah perkasa! Dan Wan Hoa yang tertawa nemandang Kim-mou-eng tiba-tiba menjura dan memutar tubuh mengejar sahabatnya itu.

"Tajin, siapkan pesta pernikahan yang meriah. Aku akan memandikan air bunga kepada Cao Cun!"

Wang taijin semakin terbahak. Dia merasa kejatuhan rejeki luar biasa besar. Maklum, sebelumnya dia telah merasa gagal untuk menarik pendekar itu sebagai mantunya, menjodohkau Cao Cun dengan pendekar yang gagah ini. Tampan dan menarik. Bahkan Mao-taijin pun takut padanya.

Tapi Kim mou-eng yang merah padam mukanya tiba-tiba menggigil memandang dua suami isteri itu, Wang-taijin dan Wang-hujin. "Taijin, maafkan kata-kata Wan Hoa. Dia... tak tahu apa yang sebenarnya terjadi!"

"Ah, ada apa, taihiap?"

Kim-mou-eng gemetar. Dia bingung, menelan ludah yang terasa kering memasuki kerongkongan. Tapi sadar bahwa saat itu adalah saat yang amat menegangkan baginya karena dia harus berterus terang akhirnya pendekar ini redup memandang ke depan. "Taijin, aku tak dapat lama-lama tinggal di sini. Aku harus segera pergi. Omongan wan Hoa anggap saja kata-kata anak kecil!"

Wang-taijin terkejut. "Maksud taihiap?"

"Aku mendustai Cao Cun, taijin. Aku terpaksa melakukan akal itu agar dia dapat bertemu denganmu. Aku mengakui salah. Aku tak dapat lama-lama lagi di sini karena secepatnya aku harus pergi. Maaf!"

Wang-taijin tertegun. Sinar kekecewaan besar tiba-tiba membayangi muka bupati ini, gelap dan marah memandang pendekar itu. Tapi ingat bahwa pendekar itu berkali-kali menolongnya dari kesulitan hidup tiba-tiba bupati ini menarik napas dan sadar bahwa mengharap pendekar itu sebagai mantu memang terlalu jauh. Impian yang terlalu tinggi, karena dia maklum puterinya sendıri adalah seorang anak perempuan lemah, bukan seperti pendekar ini yang galang-gulung dalam dunia kang-ouw. Dan menyadari bahwa jasa pendekar itu jauh lebih besar dibanding "dosanya" akhirnya bupati ini melelehkan air mata terpukul oleh perbuatan itu.

"Baiklah, aku menyadari kedudukan puteriku, taihiap. Tapi aku tak tahu apa yang akan dilakukan puteriku bila melihatmu pergi. Maaf, aku agaknya terlampau mengharap jatuhnya bintang!"

Kim mou-eng mengigit bibir. Dia melihat dua suami isteri itu terisak, jelas terpukul dan kecewa oleh pernyataannya tadi. Tapi melhat Wang-taijin tak marah-marah padanya dan justeru bersikap lembut mendadak dia malu hati dan tak kalah terpukulnya oleh bupati ini. Jauh lebih baik menerima maki makian yang kasar daripada menghadapı sikap yang halus dan lembut begitu tapı menusuk jantung. Sikap yang cukup menyiksanya, membuatnya tak enak dan muka selalu merah. Dia sadar bahwa, secepatnya dia harus pergi meninggalkan Cao Cun. Dan Kim-mou-eng sudah menjura di depan dua suami isteri itu, membungkuk dalam meninggalkan penyesalan.

"Wang-taijin, maafkan semua kesalahanku. Aku mengakui dosaku terhadap Cao Cun, sampaikan permintaan maafku pula padanya dan harap jaga puterimu baik baik. Selamat tinggal..." Kim-mou-eng memutar tubuh, langsung menggerakkan kaki dan mendengar Wang taijin tersedu, lenyap dari tempat itu dengan muka merah padam. Baru kali itu melakukan "dosa" dalam keadaan terpaksa, semata memenuhi janjinya pada bupati she Wang itu bahwa dia akan mempertemukan bupati itu dengan anak perempuannya. Janji yang memang berhasil dia tepati tapi sekaligus memberi "aib" di mukanya, seorang pendekar melanggar janji. Janji terhadap Cao Cun Dan begitu Kim-mou-eng pergi tiba-tiba Wang-hujin roboh pingsan!

Sekarang rumah Wang-taijin menjadi ribut. Cao Cun kaget mendengar Kim-mou-eng telah meninggalkan mereka, melihat ibunya pingsan sementara Wan Hoa menjublak seakan tak percaya. Melihat Kim-mou-eng benar-bénar meninggalkan mereka dan melanggar janjinya terhadap Cao Cun. Jadi seolah mempermainkan gadis itu padahal Cao Cun telah begitu bahagia menerima janji Kim-mou-eng. Tak mengira sama sekali bahwa semuanya itu adalah tipuan belaka dari Pendekar Rambut emas itu. Dan Cao Cun yang tersentak melihat semuanya "nggeblak" (roboh) seperti ibunya pula!

Wang-taijin semakin panik. Dia menolong isterinya dan puterinya itu, berseru memanggil-manggil dengan gugup dan bingung. Mengharukan sekali melihat keadaan bupati ini. Dan ketika dua-duanya sadar dan Cao Cun membuka mata mendadak gadis itu menangis tersedu-sedu dan lari ke dalam kamarnya. Tiga hari penuh mencucurkan air mata hingga bengkak, membandul mengenaskan. Dan Wan Hoa yang lagi-lagi menarik napas menghibur kawannya akhirnya menemani Cao Cun sepanjang hari, tak segan-segan menunggu.

"Cao Cun, Kim-mou-eng rupanya memang bukan jodohmu. Sebaiknya lupakan dia dan hapus air matamu itu."

"Ah, mana bisa kuhapus air mata ini, Wan Hoa?" Cao Cun tersedu-sedu. "Mana bisa sakit hati ini kuhapus begitu saja? Dia satu-satunya orang yang kucinta, tapi dia pula yang mempermainkan hatiku seenak hatinya!" Cao Cun mengguguk, sakit bukan main teringat sikap Pendekar Rambat Emas, jantung serasa dirobek dan kulit diiris-iris. Pedih sekali. Sakit sekali. Dan wan Hoa yang ikut menangis melihat penderitaan kawannya akhirnya memeluk puteri Wang taijin itu.

"Kalau begitu apa yang harus kita lakukan, Cao Cun? Apa yang dapat kubantu untuk meringankan dukamu ini?"

Cao Cun mengguguk. Ia melihat kecintaan yang begitu besar dari sahabatnya ini, balas merangkul dan menciumi Wan Hoa, terharu sekali oleh sikap Wan Hoa yang begitu penuh perhatian. Tak ada lain kecuali memikırkan dirinya. Dan Cao Cun yang tersedu-sedu memeluk sahabatnya itu tiba-tiba menggeleng dan berseru berulang-ulang, "Tidak, tak ada, Wan Hoa... biarkan aku sendiri dan kau pergilah. Pulanglah dan kembalilah ke ayah ibumu."

Wan Hoa mendadak melepaskan dirinya. "Apa, kau mengusirku pergi, Cao Cun?"

Cao Cun menggeleng dengan air mata bercucuran. "Tidak, jangan salah paham, Wan Hoa. Bukankah sekarang kita bebas dan kau dapat pulang. Aku tidak mengusirmu, justeru ingin menyelamatkan kau kalau-kalau Mao-taijin menyuruh pengawal-pengawalnya datang menangkap kita!"

"Kalau begitu jangan suruh aku berpisah, Cao Can. Seumur hidup kita boleh bersama, Ingat janjimu."

Cao Cun terpukul. Memang dia telah berjanji bahkan bersumpah untuk bersama dengan sahabatnya ini kalau Kim-mou-eng menołaknya. Tapi ingat keselamatan Wan Hoa yang mungkin dikejar-kejar pengawal kalau Sin-kee Lo-jin melapor mendadak Cao Cun bingung dan mengguguk memeluk sahabatnya itu. "Wan Hoa, aku.... aku tak ingin membuat dirimu susah. Kau tinggalkanlah aku sebentar di sini....!"

"Kau mau apa, Cao Cun? Kau mau bunuh diri?"

Cao Cum mengguguk, menggeleng.

"Kalau begitu mau apa?"

Cao Cun tak tahan lagi. "Aku ingin sendiri di kamar ini, Wan Hoa, sejenak saja. Kau tinggalkanlah aku dan biarkan aku sendiri!"

"Tidak!" Wan Hoa melihat gelagat tak baik, mengenal betul sifat kawannya ini. "Aku tak mau pergi kalau kau mau bunuh diri, Cao Cun. Aku siap mendampingimu kalau kau berbuat yang tidak-tidak!"

Cao Cun menangis tak keruan. Memang sebenarnya dia ingin bunuh diri di kamar itu. mengikat leher dan menggantung di belandar. Habis perkara. Tapi sahabatnya ini, yang tahu dan dapat menduga jalan pikirannya tiba-tiba membuat Cao Cun tersedu dan semakin berduka. Hilang sudah harapannya itu kalau Wan Hoa mengenal maksudnya. Dan Wan Hoa yang menggigil melepaskan pundaknya berkata sungguh-sungguh,

"Cao Cun, bunuh diri adalah suatu perbuatan yang tidak baik. Itu pikiran orang sesat. Hidup memang penuh suka dan duka, kita harus menerimanya dengan pikiran jernih. Kau kehilangan kekasih, tapi kau tak kehilangan sahabat, bukan? Aku tetap setia mendampingimu, Cao Cun. Aku mencinta dan menyayangmu sebagai saudara. Kalau saja aku bisa berganti sebagai laki-laki tentu kedudukan Kim-mou-eng akan kuganti!"

Cao Cun menjerit. Dia mengeluh lirih oleh pernyataan yang meremangkan bulu kuduk itu, merasakan getaran kasih sayang dan cinta Wan Hoa yang membuat hatinya diremas remas. Dan dua sahabat yang akhirnya kembali berpelukan itu akhirnya sama-sama menangis dan mengguguk.

"Cao Cun, kau tak akan bunuh diri, bukan?"

Cao Cun menggeleng

"Berani kau sumpah?"

Cao Cun mengguguk.

"Kalau begitu pegang kepalaku, Cao Cun. Bersumpahlah demi arwah nenek moyangmu bahwa kau tak akan bunuh diri. Tak akan meninggalkan aku!"

Cao Cun tak mau. Dia memeluk sahabatnya itu erat‐erat, menangis dengan air mata deras mengalir. Tapi ketika Wan Hoa membawa telapak tangannya ke atas kepala gadis itu akhirnya Wan Hoa memaksa agar sahabatnya itu tidak bunuh diri. Bahwa mereka akan menerima pahit getir kehidupan dengan batin yang tabah. Pikiran yang jernih. Dan ketika keduanya bertangis-tangisan dan lelah rasanya batin ini menerima himpitan duka mendadak keduanya tertidur dan saling berpelukan di satu pembaringan. Mengharukan.

Sejarah memang membuktikan kecintaan dan keluhuran budi Wan Hoa itu. Betapa gadis inilah yang memberi banyak hiburan kepada Cao Cun, mendampinginya dan benar-benar setia sebagai sahabat sejati. Gadis yang berhati mulia dan sering meringankan penderitaan batin puteri Wang-taijin itu. Dan ketika beberapa jam kemudian Cao Cun merasa tenang dan lebih dulu bangun dibanding sahabatnya itu maka puteri Wang-taijin ini bangkit dudük dan tarun dari pembaringannya.

Cao Cun berkaca-kaca. Sikap Wan Hoa yang demikian penuh perhatian kepadanya membuatnya terharu. Tapi ingat pelanggaran janji yang dilakuan Kim-mou-eng tiba-tiba Cao Cun terisak, menutupi mukanya. Apa yang harus dilakukan? Sebaiknya dia menyingkir. Patah hati yang dialaminya itu terlalu berat, meskipun Wan Hoa sebagai sahabat yang dapat dipercaya dapat meringankan penderitaannya.

Tapi asmara adalah urusan lain. Perasaan cinta terhadap pria idaman lain dengan perasaan cinta terhadap seorang sahabat. Betapapun Wan Hoa berusaha menghapus lukanya. Dan Cao Cun yang menangis tanpa suara tiba-tiba menggigit bibir mendekati Wan Hoa, bermaksud akan meninggalkan tempat itu dan kembali ke Istana Dingin. Mengurung diri dan biar berduka disana sampai mati. Dan Cao Cun yang menunduk mencium pipi sahabatnya tiba-tiba berbisik hampir tak terdéngar,

"Wan Hoa, selamat tinggal. Aku tak akan bunuh diri, tapi aku juga tak mau menyeret dirimu merasakan penderitaanku. Kau bahagialah, pulang dan kembalilah ke kampung halamanmu....!" dan begitu Cao Cun memutar tubuhnya melepas kecupan halus tiba-tiba puteri Wang-taijin itu membuka pintu dan keluar dari kamarnya, terisak menahan-nahan tangis yang akan meledak di dadanya. Begitu berat menyesakkan napas. Tapi persis setelah berlari keluar sekonyong-konyong sahabatnya bangun.

"Cao Cun...."

Cao Cun terkejut. Dia menoleh sekejap, melihat Wan Hoa terbelalak kepadanya. Tapi Cao Cun yang menangis melanjutkan larinya tiba-tiba sudah menuju ke kandang kuda, mengambil seekor kuda dan membedal meloncat di atas punggungnya, mengguguk melihat Wan Hoa mengejar dengan teriakannya berkali-kali, memanggil-manggil namanya. Dan persis kuda mencongklang melewati pagar depan maka di saat itulah Wan Hoa terlihat melambaikan lengannya, di pintu samping.

"Cao Cun...."

Cao Cun tak perduli. Dia pura-pura tak melihat temannya itu, menjepit perut kuda dan menyuruh kuda itu mencongklang secepat angin, langsung menuju ke Istana Dingin karena di situlah tekadnya untuk menghabiskan umur, menangis bercucuran air mata sepanjang jalan. Tak perduli pada malam yang gelap karena gadis ini juga pepat (gelap pikiran), tak ada pikiran jernih lagi karena kedukaan masih menghimpit batinnya.

Tapi ketika pagi harinya dia tiba di bukit Niu-san dan siap memasuki gerbang Istana Dingin mendadak Wan Hoa muncul di situ memanggil namanya, mengguguk di atas punggung kuda, rambut riap-riapan dan mata membengkak karena Wan Hoa juga menangis sepanjang jalan. Dan Cao Cun yang tertegun membelalakkan mata tiba-tiba untuk kesekian kalinya lagi mendengar sahabatnya itu memanggil, serak dengan pakaian koyak-koyak,

"Cao Cun, kau tega meninggalkan aku..."

Cao Cun tergetar. Wan Hoa sudah mendekatinya, turun dari atas kuda dengan tubuh menggggil, memégang tali kudanya dan memandang dengan mata yang menusuk begitu pedih, membuat Cao Cun tak kuat mengendalikan dirinya lagi. Dan begitu Wan Hoa bertanya dan Cao Cun tersedu, tiba-tiba gadis ini melompat turun dan menubruk kawannya itu, bertangisan.

"Wan Hoa, maafkan aku. Aku... aku tak ingin menyeretmu dalam kedukaan pribadi ini...!"

Wan Hoa mengguguk. "Kau salah, Cao Cun. Tak ada kedukaan pribadi di atara kita. Duka dan suka kita adalah milik bersama, bukan pribadi!"

Cao Cun tak kuat lagi. Mereka sudah bertangisan bersama, berciuman bersama. Untuk terakhir kalinya melihat cinta kasih Wan Hoa yang begitu besar. Cinta seorang sahabat. Kasih seorang sahabat, Perhatiannya yang begitu besar dan melihat Wan Hoa benar benar tak mmau berpisah. Rela berbagi duka bersamanya meskipun itu adalah dukanya pribadi. Dan Cao Cun yang tersedu menciumi sahabatnya ini akhirnya diketahui pengawal yang melihat kedatangan mereka, dibentak,

"Kalian ada di sini?"

Cao Cun melepaskan diri. Ia menghapus air matanya, tapi Wan Hoa yang mengedikkan kepala membusungkan dada sudah mendahului, berseru nyaring. "Pangawal, tak perlu kalian menangkap kami. Kami datang memang untuk kembli ke Istana Dingin. Antarkan kami ke kamar kami!"

Sang pengawal tertegun. "Kalian menyerahkan diri?"

"Ya!" dan Wan Hoa yang sudah menyeret Cao Cun melangkah ke depan akhirnya benar-benar memasuki pintu gerbang Istana Dingin, membuat para pengawal "mendelo" (tercengang) seakan tak percaya pada apa yang mereka lihat. Bahwa dua gadis itu datang untuk kembali minta dikurung. Hal yang aneh!

Tapi karena Wan Hoa tak menghiraukan mereka dan para pengawal sadar akhirnya dua orang gadis ini benar-benar diantar dan kembali ke kamar mereka, jauh di belakang Istana Dingin dipandang heran dan tak mengerti oleh calon-calon selir lain yang terbelalak memandang mereka berdua. Tapi begitu Wan Hoa dan Cao Cun tiba di kamar mereka, akhirnya dua gadis ini menutup diri dan mengunci pintu kamar masing-masing.

Demikianlah, kejadian yang luar biasa ini mencengangkan banyak orang juga. Para pengawal dan orang-orang lain bengong, tak mengerti pikiran dua orang gadis itu. Tapi karena dua gadis itu telah kembali ke Istana Dingin dan Kim-mou-eng tak nampak di antara mereka akhirnya para pengawal melapor dan membuat Sin-kee Lo-jin sendiri menjublak (tertegun).

"Apa, mereka datang secara baik-baik kembali ke sini?"

"Ya, dan tampaknya telah terjadi pertengkaran di kamar mereka?" dan di antara mereka dengan Kim-mou-eng, Lo-jin. Kami mendengar mereka menyebat-nyebut nama Pendekar Rambut Emas itu dengan marah!"

Sin-kee Lo-jin tertawa bergelak. Dia tak mengerti apa sesungguhnya yang telah terjadi, ia telah melapor dan membuat Mao taijin ikut tercengang. Tapi karena keduanya telah kembali dan Mao taijin khawatir Kim-mou-eng akan datang lagi maka Menteri ini memerintahkan agar penjaga lebih diperkuat, menambah dengan pengawal-pengawal istana yang memiliki kepandaian tinggi, untuk menjaga Cao Cun dan Wan Hoa.

Tapi karena Kim-mou-eng juga tak menduga bahwa Cao Cun kembali ke Istana Dingin atas kehendaknya sendiri karena didorong kekecewaannya atas perbuatannya itu maka Pendekar Rambut Emas ini juga tak tahu dan tak mungkin ke Istana Dingin. Tak tahu bahwa hasil perjuangannya sia-sia. Dan begitu dua gadis itu menyerahkan diri ke Istana Dingin maka berita Cao Cun dan Wan Hoa ini tak didengar orang lagi sampai beberapa bulan kemudian.

* * * * * * * *

"Hei, berhenti, nona cantik. Siapa kau menangis di sini?"

Salima mengangkat mukanya. la tiba di sebuah hutan lebat siang itu, duduk tersedu-sedu teringat suhengnya, tak tahu langkah kaki yang banyak mendatangi karena kesedihannya membuat dia tenggelam dalam kedukaannya itu, kini terganggu oleh bentakan seorang laki-laki yang telah berdiri di depannya, sebatang golok tersisip di pinggang dengan garang. Dan Salima yang mengangkat muka mendengar bentakan itu tiba-tiba disambut suitan sana-sini dari banyak laki-laki yang telah mengepung dirinya, kagum akan kecantikannya.

"Aih, luar biasa. Kecantikannya bagai seorang dewi!"

"Ya, dan dia pantas hidup di tengah tengah kita, Cen-twako. Sebaiknya tangkap dan nikmati tubuhnya beramai-ramai!"

Suara tawa bergelak yang sambung-menyambung membuat Salima merah mukanya. la mendengar kata-kata kotor di antara kaum lelaki itu, suasana tiba-tiba ribut dan gaduh. Banyak diantara mereka melahap tubuhnya dengan mata mengilar, tiba-tiba melangkah maju dan mengepung semakin rapat. Dan ketika seorang diantaranya hendak mencolek tubuhnya tiba-tiba Salima membentak bangkit berdiri,

“Mundur!"

Laki-laki itu terjengkang. Entah apa vang menyebabkan dia begitu kaget, seolah suara Salima adalah suara petir. Disambut ketawa kawan-kawannya yang merasa geli oleh kejadian itu. Tapi Salima yang kini bangkit berdiri dengan tubuhnya yang tinggi semampai dan ganti menyapu semua orang dengan matanya yang berkilat kilat mendadak membuat semua laki-laki itu tertegun, tanpa terasa melangkah mundur oleh wibawanya yang demikian mengejutkan. Seolah seorang ratu!

Dan Salima mendengus memandang laki-laki bergolok yang tadi membentak kini bertanya dêngan suara dingin, "Kalian siapa? Kenapa mengganggu wanita di tengah hutan?"

Laki-laki itu, yang dipanggil Cen-twako kini hilang kagetnya. Dia tadi juga tersentak oleh bantakan Salima, tergetar dan terkejut oleh wibawa gadis ini. Tapi melihat gadis itu tak membawa senjata dan tampaknya seperti gadis biasa-biasa saja kecuali sikapnya yang anggun dan angkuh tiba-tiba terbahak mengusir ketegangan hatinya sendiri.

"Ha-ha, seharusnya kami yang harus bertanya kepadamu, nona. Siapa kau dan mengapa menangis di sini? Ini wilayah Hek-eng Taihiap (Pendekar Garuda Hitam), kau masuk tanpa ijin dan patut dicurigai!"

Salima mengerutkan alis. "Siapa itu Hek-eng Taihiap?"

"Aku sendiri!" laki-laki itu menepuk dada. "Aku Hek-eng Taihiap Cen Hok, penguasa wilayah ini dan kebetulan masih bujangan!"

"Hm...! Salima mengerutkan alis, mendengar suara tawa di sana-sini oleh kata-kata terakhir itu, menjengek melihat kesombongan orang. Tapi ketika dia berapi api memandang sekeliling tiba-tiba suara tawa itu berhenti dan orang lagi-lagi terkejut oleh sinar matanya yang mencorong.

"Cen Hok, apa sekarang maumu mengganggu aku?" Salima menyebut nama orang begitu saja, tak memakai julukannya. "Apa maksud kalian mengelilingi aku?"

Cen Hok, laki-laki sombong yang memakai julukan Pendekar Garuda Hitam itu mengernyitkan kening, melihat sikap tak menghormat lawan. "Aku datang untuk bertanya baik-baik padamu, nona. Kau siapa dan kenapa masuk tanpa ijin!"

"Memangnya ini wilayahmu?"

"Tentu saja, ini wilayahku!"

"Kau merampoknya dari mana?"

"Apa?" Cen Hok terkejut. "Merampok apa, nona? Ini wilayahku yang sudah ku kuasai belasan tahun. Aku mendapatkannya dengan sah!" laki-laki itu marah, melotot pada Salima tapi akhirnya tertegun oleh senyum Salima yang manis di bibir, mengembang penuh ejekan tapi mempesona sekali untuk dipandang lelaki, penuh daya tarik dan amat memikat.

Dan Salima yang tahu bahwa dia berhadapan dengan perampok-perampok liar tiba-tiba tertawa dengan suaranya yang merdu, membuat kaum lelaki di situ tiba-tiba mabok. "Cen Hok, apa dasarmu mengakui tempat ini sebagai milikmu? Adakah surat kaisar yang memberi wewenang padamu untuk menguasai hutan ini? Cih, kau ternyata perampok rendahan, orang she Cen. Aku jadi muak dan sebal padamu. Sebaiknya kalian pergi dan jangan ganggu aku. Saat ini hutan ini adalah milikku!"

Cen Hok, si Garuda Hitam terbelalak. "Nona, kau siapa? Bicaramu besar sekali, dan sombong!" laki-laki itu gusar, marah tapi masih kesengsem (terpesona) oleh senyum Salima. Dan Salima yang tertawa mengejek tiba-tiba mengangkat lengannya...