Pendekar Rambut Emas Jilid 06 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 06
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
SALIMA membuka mata. Kim-mou-eng melihat betapa sumoinya itu menahan rasa malu yang amat sangat, tapi gadis yang tahu akan keadaan darurat ini akhirnya gemetar, bertanya lirih, “Jadi bagaimana, suheng? Tak dapatkah diambil?”

“Dapat, tapi...” Kim-mou-eng ragu.

“Tapi apa, suheng?”

Kim-mou-eng tak menjawab, merah mukanya dan menggigil memandang sumoinya itu. Dan ketika Salima terisak dan gadis itu mengeluh kesakitan akhirnya pendekar ini bicara juga, gemetar suaranya, “Jarum terlalu dalam, sumoi. Tak dapat dicabut kecuali disedot. Maaf, kau mau atau tidak aku melakukan hal itu!”

Salima tiba-tiba mengerang gadis ini merah padam tak kalah oleh suhengnya sendiri, bibir digigit kuat-kuat tapi mata terpejam. Tapi menyadari bahwa itulah satu-satunya cara untuk mengambil jarum beracun akhirnya Salima menangis tersedu. “Baiklah, kau lakukan itu, suheng. Kau sedot jarumnya dan cepat ambil. Aku tahu keadaan ini!”

Kim-mou-eng mengangguk. Dia sudah minta maaf pada sumoinya itu, mendekatkan muka menempelkan mulut di buah dada sumoinya, mata juga terpejam karena dia tak berani lama-lama memandang bagian yang membuat jantung pria serasa terbetot. Dan begitu mulut menempel lekat tiba-tiba Kim- mou-eng sudah menghisap, menekan semua guncangan berahinya yang timbul bagai dibakar, mengerahkan segala kekuatan batinnnya untuk memusatkan perhatian pada penyedotan jarum beracun itu. Dan begitu jarum terhisap dan tersedot keluar akhirnya Salima menangis mengguguk mencengkeram kepala suhengnya.

“Suheng, aku malu... malu...!”

Kim-mou-eng gemetaran. Dia juga malu melakukan hal itu, baru kali itu meraba sekaligus menghisap buah dada sumoinya. Bukan kesengajaan melainkan keterpaksaan belaka, gara-gara jarum beracun. Tapi ketika pekerjaan itu selesai dan jarum yang berwarna hitam itu telah tersedot keluar akhirnya Kim-mou-eng melepaskan diri mendorong sumoinya itu, memberi obat penawar racun dan bangkit berdiri. Dan ketika sumoinya mengguguk dan Salima merah padam maka pendekar ini terhuyung keluar dengan kaki menggigil.

“Sumoi, kau beristirahatlah. Aku akan bersamadhi di ruang depan!”

Salima bercucuran air mata. Bahaya itu telah lewat, tapi kejadian yang baru saja mereka alami dan tak mungkin dilupakannya seumur hidup itu membuat gadis ini diguncang bermacam perasaan. Ada malu dan marah. Ada benci tapi juga girang. Aneh! Dan Salima yang mengguguk menutupi mukanya akhirnya tepekur dan merenungkan apa yang baru saja ia alami, gemetar menggigit bibir karena dia masih teringat perbuatan suhengnya tadi. Menghisap buah dadanya, menyedot racun hingga dia merinding, pucat dan merah berganti-ganti. Tapi membayangkan ada perasaan nikmat ketika suhengnya itu melakukan perbuatan itu mendadak Salima tertegun dan memejamkan matanya.

Sungguh mati, kalau bukan suhengnya itu yang melakukan perbuatan itu tentu sudah dia bunuh laki-laki itu. Tak sudi dia disentuh. Tak sudi sembarangan pria meraba-raba tubuhnya. Tapi karena yang melakukan itu adalah suhengnya sendiri dan diam - diam dia memang mencinta suhengnya itu mendadak Salima tersenyum dan ingin dilukai jarum lagi!

Wanita memang aneh. Siapa tahu perasaannya? Siapa dapat menyelami hatinya? Dan Salima yang tersenyum dengan air mata yang masih bercucuran itu mendadak bangkit berdiri. Sekarang jarum tak ada lagi di tubuhnya. Racun telah hilang. Dan dia yang merasa pulih dan sehat kembali akhirnya berindap hati-hati menuju ruang depan. Di situlah suhengnya bersamadhi, tentu menenangkan guncangan setelah kejadian itu. Dan ketika dilihatnya suhengnya duduk bersila dengan punggung tegak tiba-tiba Salima bersinar matanya dan menyorot kemesraan memandang pria berambut keemasan itu.

Betapa tampan suhengnya itu. Betapa gagah. Gagah dan agung, juga sopan karena tak mau mempergunakan kesempatan tadi untuk mempermainkan tubuhnya. Benar-benar menghisap jarum dan tidak nggrayang ke sana ke mari seperti biasanya kaum hidung belang. Pria yang menarik dan simpatik! Dan Salima yang tersenyum memandang suhengnya itu dengan mata bersinar-sinar akhirnya maju mendekat dengan seruan lirih, “Suheng...!”

Kim-mou-eng membuka mata, terbangun dari samadhinya, memandang sumoinya yang sudah ada di depannya, berlutut. Sejenak terkejut tapi berseri melihat sumoinya ini sembuh. Dan Salima yang tersenyum memandang suhengnya tiba-tiba membuat Kim-mou-eng balas memandang dengan pandangan mesra. “Sumoi, kau telah sembuh?”

Salima mengangguk, menundukkan mukanya. “Berkat kau, suheng. Terima kasih...!”

“Ah, untuk apa berterima kasih, sumoi? Itu memang sudah menjadi kewajibanku. Justeru aku yang, ah... aku yang harus minta maaf padamu, sumoi. Aku telah lancang mengetahui bagian tubuhmu yang terlarang!”

Salima tiba-tiba merah mukanya, menggigil seperti orang kedinginan. Dan ketika dia terisak dan Kim-mou-eng juga semburat merah tahu-tahu gadis ini telah menubruk suhengnya dan menangis tersedu-sedu. “Suheng, kau tak akan menghinaku, bukan?”

Kim-mou-eng terkejut. “Menghina bagaimana, sumoi?”

“Menghina setelah... setelah kejadian itu!”

“Aku tak akan menghinamu, sumoi. Justeru aku yang patut kau hina atau kau maki kalau perbuatanku menyakitimu!”

“Tidak, tidak...!” Salima menggeleng. “Itu bukan kesengajaanmu, suheng. Itu terjadi karena di luar kemauan kita!”

“Jadi bagaimana kemauanmu?”

“Aku minta kau tak memperolok-olok aku, suheng. Bahwa... bahwa kau tak akan menceritakan pada siapapun apa yang telah terjadi itu!”

Kim-mou-eng tiba-tiba tersenyum. “Sumoi, siapa mau berbuat gila seperti itu? Kenapa kau berpikir begitu?” dan ketika Salima tidak menjawab dan Kim-mou-eng mengangkat dagu gadis ini akhirnya Salima memandang suhengnya itu, sekejap saja, karena sedetik kemudian dia telah memejamkan mata dan mau melengos. Tapi suhengnya yang menahan gerakan itu dan berbisik lembut tahu-tahu sudah menggeserkan pertanyaan di belakang telinganya, “Sumoi, kau tak marah padaku, bukan?”

Salima menggeleng.

“Kenapa memejamkan mata?”

Salima tak menjawab.

“Ayo, kenapa kau tak mau membuka matamu, sumoi? Apakah kau marah?”

“Tidak,” Salima akhirnya menjawab lirih. “Aku malu, suheng. Aku malu padamu!”

Kim-mou-eng tiba-tiba tertawa, mencium rambut sumoinya itu hingga Salima tersentak. Dan ketika Kim-mou-eng mendorong sumoinya itu dan menyuruh Salima duduk berhadapan akhirnya gadis ini tak dapat menyembunyikan diri lagi dan berpandangan dengan suhengnya itu, malu-malu gugup dan tampak bingung. Tapi ketika suhengnya memandang mesra dan dua pasang mata beradu lembut tiba-tiba Salima mengeluh menutupi mukanya.

“Suheng, aku takut...!”

“Takut apa?” Kim-mou-eng menyentuh pundaknya, tergetar dan berguncang melihat kecantikan sumoinya ini, mengusap lembut dan tiba-tiba merasa hangat berdekatan dengan sumoinya itu. Dan ketika Salima tidak menjawab dan Kim-mou-eng meraih Salima tahu-tahu gadis itu telah merapat dipelukannya yang mesra. “Kau takut apa, sumoi? Bukankah ada aku di sini?”

“Itulah,” Salima menggigil. “Aku takut kehilangan dirimu, suheng. Takut kalau kau... kalau kau...” Salima tak meneruskan kata-katanya, terisak dan tiba-tiba menangis dipelukan suhengnya itu. Dan ketika Kim-mou-eng lagi-lagi mencium rambutnya dan Salima mengguguk tak dapat menahan diri mendadak gadis ini melompat bangun melarikan diri! “Suheng, aku tak mau kau menipuku...!”

Kim-mou-eng terkejut. Salima telah berkelebat keluar kelenteng dengan cepat sekali, melesat di luar pintu dan menangis dengan penuh kesedihan. Dan Kim-mou-eng yang tentu saja kaget dan heran tak mengerti tiba-tiba mengejar dan berteriak memanggil, “Sumoi, tunggu...!”

Namun Salima tancap gas. Gadis ini tak peduli, meneruskan larinya dan menangis tersedu-sedu. Tapi Kim-mou-eng yang telah mengerahkan ginkangnya dan berkelebat melompati kepala sumoinya tiba-tiba mencengkeram dan menahan sumoinya itu.

“Sumoi, tunggu...!”

Salima hampir terguling. Ia menabrak dan langsung terjungkal dalam pelukan suhengnya itu, kaget dan berteriak keras melepaskan diri, meronta. Namun Kim-mou-eng yang menotok tubuhnya hingga lemas tak berdaya akhirnya membuat gadis ini menangis tersedu-sedu, menutupi mukanya. “Suheng, kau jahat. Kau buruk!”

Kim-mou-eng membebaskan totokan sumoinya. Sekarang Salima tak melarikan diri lagi, mengguguk dalam pelukannya. Dan ketika tangis itu reda dan Kim-mou-eng mengerutkan alisnya maka bertanyalah dia, “Sumoi, kenapa kau melarikan diri? Kenapa kau takut?”

Salima terguncang. Pundak yang terangkat naik turun itu masih terisak, tapi ketika suhengnya mengusap dan Kim-mou-eng memandang mesra serta mencium keningnya mendadak Salima mengeluh. “Suheng, kau sayang padaku, bukan?”

“Tentu.”

“Dan kau tak akan membiarkan aku berduka?”

“Tentu. Ada apa, sumoi? Kenapa pertanyaanmu demikian aneh?” Kim-mou-eng tersenyum, mengangkat wajah sumoinya itu dan tergetar melihat pandangan sumoinya yang lembut menusuk jantung, mesra menggetarkan hatinya hingga hampir dia meram. Tak kuat melihat mata yang begitu bening indah menyapu wajahnya. Dan ketika Salima tersenyum dan bibir yang merah basah itu bergetar bergerak-gerak tapi sukar mengeluarkan suara mendadak seperti orang tersihir tahu-tahu Kim-mou-eng menunduk dan mencium bibir yang penuh daya pesona itu. Begitu saja mengejutkan Salima! “Sumoi, kau cantik!”

Salima tersentak. Bibirnya tahu-tahu telah dicium lembut, dikecup perlahan dan akhirnya dilepaskan dengan kaget pula oleh Kim-mou-eng. Sadar setelah berbuat. Seolah dia terbius oleh pengaruh sihir yang melumpuhkannya sekejap tadi! Dan Salima yang mengeluh tapi berseri girang mendadak merangkul suhengnya itu dan terengah memejamkan mata. “Suheng, kau... kau nakal!”

Kim-mou-eng tertegun. Sekarang dia sadar akan perbuatannya tadi, mengeluh dan diam-diam memaki kenapa dia tak dapat menahan diri. Mabuk sedetik oleh bibir yang bergerak-gerak indah itu. Tapi melihat sumoinya tak marah dan kini gadis itu mendekap tubuhnya erat tiba-tiba Kim-mou-eng mundur tersenyum pahit.

“Sumoi, maaf. Aku... aku tak sengaja!”

Salima mengangkat mukanya. Kim-mou-eng terpaksa ganti memejamkan mata melihat pandangan yang begitu bening menghunjam tak malu-malu memandangnya, hilang sudah rasa likat Salima tadi setelah suhengnya menciumnya. Seakan mendapat kekuatan aneh dan pernyataan langsung dari adanya getaran cinta. Dan Salima yang tertawa setengah tersenyum tiba-tiba menggeliat mencubit suhengnya. “Suheng, kau memang nakal. Tapi aku tak marah! Kau mencintaiku, bukan?”

Kim-mou-eng membuka matanya. Dia tersentak mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan cinta! Tapi melihat sumoinya tersipu manja dan dia juga telah melakukan sesuatu “panjar” hingga sumoinya tak akan melupakannya seumur hidup akhirnya Kim-mou-eng kebat-kebit menenangkan guncangan perasaannya, harus jujur. “Entahlah, mungkin saja, sumoi. Tapi kalau cinta sebagai kakak dan adik memang tak kusangkal!”

Salima tertegun, membelalakkan matanya. “Eh, apa maksudmu, suheng?”

“Maksudku,” Kim-mou-eng menekan semua ketegangannya. “Aku harus jujur dan hati-hati menjawab persoalan yang satu ini, sumoi. Bahwa aku tak ingin membuatmu kecewa di kelak kemudian hari!”

“Tapi... tapi...”

Kim-mou-eng menyesal. “ Sudahlah, biar kita bicarakan persoalan yang satu ini lain hari saja, sumoi. Aku tak ingin melukai hatimu sebelum aku sendiri mendapat keyakinan.”

“Ah...!” Salima tiba-tiba mundur selangkah. “Tapi kau telah mencium bibirku, suheng. Kau telah melakukan itu tanpa kuminta! Apakah itu bukan tanda cintamu kepadaku?”

Kim-mou-eng merah mukanya. “Aku kehilangan pikiran saat itu, sumoi. Aku memang khilaf. Aku...”

“Tidak!” Salima tiba-tiba membentak, pucat mukanya. “Kau jawab saja sekarang, suheng. Apakah perbuatanmu itu untuk menghina diriku atau memang timbul dari hasrat kasih sayangmu. Aku tak mau dipermainkan!”

Kim-mou-eng kaget. “Sumoi, kenapa begini? Aku...” Kim-mou-eng menggigil, melihat sumoinya itu memandangnya berapi-api dengan air mata bercucuran. Tapi karena dia saat itu juga tak tahu apakah sebenarnya yang mendorongnya untuk melakukan ciuman tadi akhirnya pemuda ini diam saja dan tak meneruskan kata-katanya, disambut kemarahan Salima yang tiba-tiba tersinggung, merasa terhina. Marah bukan main. Merasa dipermainkan. Dan Salima yang memekik tinggi tahu-tahu mencelat ke depan menampar suhengnya itu.

“Suheng, kau menghina diriku...Plak-plak!”

Kim-mou-eng terjengkang. Dia roboh oleh tamparan sumoinya itu, pecah bibirnya, melelehkan darah dan melompat bangun dengan muka berubah-ubah, kaki semakin gemetaran tapi tidak membalas perbuatan sumoinya itu. Dan Salima yang tertegun melihat suhengnya kembali tidak bicara apa-apa selain mendelong bagai orang bersalah mendadak menangis tersedu-sedu dan memutar tubuhnya melarikan diri.

“Suheng, kau pemuda tak berperasaan. Kau kejam. Aku bersumpah tak mau disentuh lain pria setelah perbuatanmu tadi. Awas, aku akan membunuh setiap wanita yang coba-coba kau cintai!”

Kim-mou-eng bengong. Dia sadar setelah sumoinya berkelebat lenyap, sadar oleh ancaman yang mengejutkan itu. Maka meloncat berteriak pendek dia coba memanggil, “Sumoi, tunggu dulu. Aku akan memberi penjelasan...!”

Namun Salima terlanjur dibakar kemarahannya. Dia melengking dikejauhan sana, lengking penuh kecewa dan marah. Dan ketika Kim-mou-eng terhuyung dan terseok mengejar mendadak pendekar ini terguling kesrimpet sebatang akar pohon. Tak ayal Kim-mou-eng mengeluh, tubuh tiba-tiba menggigil tak karuan. Ada rasa salah dan cemas. Tapi takut pada sepak terjang sumoinya yang bakal membuat geger tiba-tiba pendekar ini melompat bangun, menggigit bibir dan mengeraskan hati mengejar sumoinya, mengerahkan ginkang dan sebentar kemudian berkelebat ke arah dimana sumoinya tadi menghilang. Dan begitu pendekar ini memanggil mengejar sumoinya maka tempat itupun sunyi ditinggal pergi.

* * * * * * * *

Memasuki daratan tandus di luar tembok besar memang cukup menakutkan. Padang ilalang disertai semak belukar yang kering dan gersang menimbulkan semacam perasaan ngeri untuk tinggal di situ, melihat sekeliling penjuru hanya tanah-tanah keras dan bumi yang retak. Jarang ada rumput-rumput segar atau pepohonan yang hijau. Tapi kalau orang mau menjelajah seluruh wilayah ini maka orang akan tercengang dan merasa heran bahwa banyak pemukiman yang sifatnya terpencar-pencar mengisi daratan yang gersang itu.

Itulah kaum atau suku nomad. Bangsa pengembara yang terdiri atas banyak suku. Tapi, satu dari sekian banyak suku adalah bangsa Tar-tar yang mendominasi wilayah daratan tandus ini. Mereka berjumlah ribuan, hidup dari memelihara ternak yang jumlahnya juga ribuan. Tidak kurang dari seratus ribu ekor hewan baik domba maupun sapi. Maklum, mereka tak dapat hidup dari bercocok tanam karena tanah di daerah itu tidak subur dan hanya cocok untuk peternakan saja. Dan bangsa Tar-tar yang hidup di tengah-tengah alam yang keras ini memang menciptakan mereka sebagai orang-orang yang keras pula.

Tapi mereka, seperti bangsa lain di dunia juga menyadari arti pentingnya peraturan. Mereka hidup dari satu wilayah ke wilayah lain, mengembalakan ternak-ternak mereka untuk mencari rumput-rumput baru. Dan karena wilayah yang luas itu juga diisi oleh suku-suku bangsa lain yang sama-sama mencari makan maka sering terjadi bentrokan dan permusuhan diantara kalangan orang-orang nomad ini. Tak jarang diantara mereka terjadi saling bunuh besar-besaran, hanya untuk sekedar mempertahankan daerah berumput yang mereka kuasai.

Dan karena hidup yang keras membuat mereka juga keras maka pertempuran atau pembunuhan yang terjadi diantara mereka lama-lama menjadikan mereka biasa akan segala permusuhan itu. Terbiasa melihat darah dan menggelimpangnya tubuh-tubuh tak bernyawa, kadang berserakan diantara bangkai-bangkai binatang yang juga ikut terbunuh. Pemandangan yang tidak lagi mengerikan bagi suku-suku nomad itu yang lama-lama menjadi kebal akan penglihatan seperti itu.

Tapi ketika suatu hari suku bangsa Tar-tar dikejutkan oleh pemandangan yang tidak biasa di pagi hari itu dengan terbunuhnya wanita-wanita hamil yang ada dikalangan mereka dan tujuh wanita tewas dengan orok yang masih merah di dalam perut maka kejadian pagi itu cukup membuat gempar semua suku bangsa ini. Apalagi orok yang masih di dalam perut itu juga dicincang hingga berujud perkedel!

“Keparat, siapa melakukan kekejian ini?”

Semua suku bangsa Tar-tar marah. Mereka melapor pada pemimpin mereka, Gurba, laki-laki tinggi besar berkulit hitam yang biasa mereka panggil “hanggoda” (pemimpin), yakni suheng dari Kim-mou-eng dan Salima yang tinggal sendiri di tempat itu, tak lagi bersama adik-adik seperguruannya karena Kim-mou-eng telah meninggalkan tempat itu disusul Salima. Jadi membuat pertahanan suku bangsa Tar-tar lemah karena Gurba harus mengurus rakyatnya seorang diri, hanya dibantu beberapa orang yang tentu saja tak dapat diandalkan seperti dua adiknya laki-laki dan perempuan itu. Dan Gurba yang terkejut serta marah besar mendengar laporan ini lalu menuju tempat peristiwa dengan kumis terangkat naik.

Dan raksasa tinggi besar ini terbelalak. Dia melihat mayat tujuh wanita hamil itu, dibelek perutnya dan tampak cincangan daging dari orok di dalam perut, hampir yang lain muntah melihat pemandangan itu. Perbuatan yang tidak berperikemanusiaan. Namun Gurba yang melihat sesuatu di balik mayat seorang diantaranya tiba-tiba membungkuk mengambil secarik kertas, berisi pengakuan atau pertanggungjawaban dari seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan perbuatan ini. Dan begitu dia membaca apa yang terjadi tiba-tiba saja raksasa tinggi hitam ini mendelik.

“Jahanam, kiranya dari suku U-fak.”

Semua orang terkejut. Mereka teringat siapa suku U-fak itu, sebuah suku yang jumlahnya besar dan yang paling memusuhi mereka. Dua bulan yang lalu pernah bertempur habis-habisan dan saling bantai. Hampir mereka kalau kalau tidak ada Gurba di situ, sebuah suku yang kuat dan tidak mau tunduk kepada mereka. Bahkan hendak memaksa mereka tunduk pada suku U-fak itu yang dipimpin dua orang laki-laki bernama Uyin dan Unga, dua laki-laki bersaudara yang pandai melempar lembing dan panah, juga memiliki ilmu silat tinggi yang hebat dan mengagumkan karena mereka mempunyai seorang guru dari pedalaman (Tionggoan).

Konon katanya hebat dan jauh lebih sakti daripada dua pemimpin U-fak itu. Dan Gurba yang tentu saja menggereng melihat perbuatan orang-orang U-fak itu akhirnya membentak berang, berkata pada seorang pembantunya bernama Siga, pemuda bertubuh kekar yang biasanya mendampinginya sejak kepergian dua adik-adik seperguruannya itu,

“Siga, siapkan duaratus orang menemani aku. Kita serbu tempat tinggal suku bangsa U-fak itu. Kita bunuh Uyin dan Unga!”

Siga, pemuda Tar-tar ini mengangguk. Dia juga marah melihat pembantaian terhadap tujuh wanita hamil itu. Ada semacam undang-undang tak tertulis di kalangan suku nomad bahwa mereka tak boleh mengganggu wanita, apalagi membunuhnya biarpun itu musuh. Dan Siga yang tentu saja marah oleh perbuatan suku bangsa U-fak yang biadab ini lalu mengumpulkan duaratus teman-temannya untuk memenuhi permintaan “hanggoda”

Dan duaratus pasukan kecil itu siap di tempat. Mereka adalah pasukan inti, biasa menemani Gurba kalau raksasa tinggi besar ini berperang membela rakyatnya. Merupakan pasukan terpercaya karena Gurba sendiri yang menggembleng mereka. Dan begitu mereka siap dan Gurba mengajak mereka berangkat maka duaratus orang ini serentak berderap menuju ke tempat suku bangsa U-fak, pemuda-pemuda Tar-tar yang gagah berani dan sedikit banyak pandai juga ilmu silat. Gurba lah yang mengajarinya. Pokok-pokok ilmu bela diri termasuk ilmu gulat.

Karena bangsa Tar-tar memang suka akan ilmu yang satu ini, gulat dicampur cengkeraman mirip Sin-na-jiu (ilmu cengkeraman) hingga mereka cukup tangguh dan rata-rata memiliki buku-buku jari yang besar dan keras, kuat dan sanggup meremas hancur sebuah batu sekepalan tangan. Tanda dari kekuatan yang cukup terlatih. Dan ketika dua hari perjalanan mereka tiba di tempat suku bangsa U-fak yang tinggal di sebelah timur daratan tandus akhirnya Gurba memecah pasukannya menjadi empat bagian.

“Siga, kau pimpin teman-temanmu di sebelah utara. Dan Tomba serta Lisang memimpin yang lain di selatan dan barat. Aku akan masuk melalui pintu timur.”

Siga dan dua temannya mengangguk. Mereka sudah cukup terlatih, tahu apa yang dikehendaki sang hanggoda yang tegas ini. Tak banyak bicara dan langsung memecah diri menjadi bagian-bagian kecil seperti yang diperintahkan Gurba tadi. Dan ketika semuanya siap dan masing- masing mengepung dari empat penjuru maka Gurba menghentikan pasukannya yang limapuluh orang itu untuk menantinya sebentar.

“Kalian tinggal dulu di sini. Aku akan melihat keadaan.”

Limapuluh orang itupun mengangguk. Mereka juga sudah terbiasa ditinggal sebentar, tahu bahwa sang hanggoda akan menyelidiki dulu tempat musuh sebelum mereka menyerbu. Maklum akan kesaktian sang pemimpin ini. Tapi Malunga yang sedikit khawatir teringat suku bangsa U-fak yang besar jumlahnya bertanya juga, “Hanggoda, apakah aku tak boleh ikut?”

Gurba tertegun. “Kau di situ saja. Aku sebentar akan kembali.”

“Tapi Uyin dan Unga tentu telah bersiap-siap, hanggoda. Sebaiknya ada seorang diantara kami yang ikut agar tahu bila ada sesuatu.”

“Baiklah,” Gurba tersenyum juga, senyum mengejek. “Kau boleh ikut. Malunga. Tapi tak boleh berbuat apa-apa bila dua keparat jahanam itu tak ada di tempat. Mengerti?”

Malunga mengangguk. Dia seorang pemuda yang tegap, tangkas dan cerdik serta cukup berhati-hati, adik dari Siga yang biasa membantu Gurba untuk hal-hal serius. Memiliki kepandaian silat dan gulat yang cukup baik. Dan, yang penting, merupakan seorang pemuda yang berani hingga sering membuat Gurba kagum. Dan begitu keduanya berangkat dan Malunga menyimpan lembingnya maka dua orang itu telah meninggalkan pasukan mendekati perkemahan suku U-fak yang bertebaran di sekeliling padang rumput.

Gurba tampak geram. Raksasa tinggi besar ini berkerot-kerot giginya, tinjunya yang sebesar buah kelapa itu dikepal. Rontok kepala orang kalau kena tinju raksasa ini. Dahsyat mirip penggada saja. Dan ketika mereka mendekati perkemahan suku bangsa U-fak itu dan Gurba tampak tak sabar maka raksasa ini tiba-tiba berkelebat ketika dua orang terlihat muncul menjaga kemah, sedang bercakap-cakap dan tentu saja terkejut melihat bayangan raksasa tinggi besar itu. Tapi belum mereka berteriak atau apa tahu-tahu keduanya roboh ketika Gurba membenturkan tinjunya pada kepala dua orang itu.

“Dukk!”

Malunga kagum. Dia melihat dua orang laki-laki itu telah roboh tak berkutik, tombak mereka lepas dan Gurba telah menendangnya hingga mereka itu mencelat ke arahnya. Dan ketika Malunga menangkap dan dua laki-laki itu dicekik jari-jari Gurba yang sebesar pisang ambon maka dua orang ini terbelalak dan mendelik tak dapat bernapas. “Hayo, dimana pimpinan kalian!”

Dua laki-laki bangsa U-fak itu mengeluh. Mereka tak dapat bicara, kaget melihat siapa yang datang. Gurba tokoh Tar-tar yang hebat itu! Tapi ketika cekikan mengeras dan mereka semakin tak dapat bicara tiba-tiba Gurba yang lupa akan kekuatannya yang dahsyat ini telah meremas hancur tulang leher seorang diantara tangkapannya.

“Krekk!”

Malunga terkejut. Dia melihat laki-laki itu kontan tewas, terkulai kepalanya, tak dapat mengeluh atau menjerit lagi karena tenggorokannya hancur. Persis ayam disembelih! Dan Malunga yang sadar akan keselamatan laki-laki satunya tiba -tiba berseru memperingatkan, “Hanggoda, jangan bunuh dia. Kendorkan cekikan, dia tak dapat bicara...!”

Gurba tertegun. Dia sadar kini akan apa yang terjadi, bahwa cekikannya terlalu kuat hingga tawanannya tak dapat bicara, membuat dia geram dan kelupaan hingga tawanannya yang seorang tewas. Tapi menendang mayat laki-laki U-fak itu dan mengendorkan cekikannya Gurba bertanya pada tawanan satunya yang masih hidup ini, “Hayo, dimana pemimpinmu itu. Kalau tidak kau juga akan kubunuh!”

Laki-laki itu ngewel. Dia sudah ketakutan melihat kehadiran raksasa tinggi besar ini, ngeri melihat kematian temannya yang demikian mudah di tangan Gurba ini, melihat kekuatan jari-jari Gurba yang dahsyat. Maka ketika Gurba mengendorkan cekikannya dan dia dapat bernapas serta berkali-kali menelan ludah akhirnya laki-laki ini bicara sambil menjatuhkan diri berlutut, gemetaran, “Ampun, aku... aku tak tahu dimana pemimpin berada, tai-ong (raja besar). Tapi mereka tadi mengadakan perjamuan di kemah besar... aku tak tahu selain itu. Ampun...!”

“Dimana kemah besar?”

“Di tengah-tengah pusat perkemahan, tai-ong. Kemah berwarna hitam!”

“Hm, kau tak bohong?”

“Tidak, berani sumpah!”

Tapi Gurba mendengus. Dia telah mendupak laki-laki ini, membuat laki-laki itu mencelat dan mengaduh terguling-guling. Tapi ketika laki-laki itu melompat bangun dan lari terbirit-birit mendadak dia berteriak-teriak, “Awas, pemimpin bangsa Tar-tar datang. Dia membunuh U-kiat...!” dan begitu dia berteriak-teriak maka semua orang di dalam tenda tiba-tiba menjadi ribut. Suku bangsa U-fak geger, terkejut mendengar kedatangan tokoh Tar-tar yang ditakuti ini. Tapi Malunga yang marah oleh teriakan orang itu tiba-tiba melempar lembingnya.

“Crep!” Laki-laki itu roboh terjengkang di tanah. Dia tersungkur dengan lembing menancap di belakang punggung, seketika menembus jantungnya dan tentu saja tak dapat menjerit-jerit lagi. Tewas seketika itu juga. Tapi suku bangsa U-fak yang telah berhamburan mendengar kedatangan Gurba dan mengepung tempat itu tiba-tiba telah mengelilingi dua orang ini dengan senjata di tangan, masing-masing tampak beringas tapi gentar, tertegun melihat kedatangan Gurba yang tersenyum mengejek memandang mereka. Maklum akan kesaktian raksasa tinggi besar ini yang hebat luar biasa. Dan ketika sebelas orang mendadak melempar tombak dan menyerang dari belakang sekonyong-konyong Gurba mendengus dan mengebutkan ujung bajunya tanpa menoleh.

“Plak-plak-plak!”

Sebelas tombak itu runtuh. Gurba demikian gampang menangkis, memutar tubuh dan kini memandang sebelas penyerangnya yang terkejut melihat tombak tak berhasil mengenai raksasa tinggi besar itu. Dan ketika Gurba menghentakkan kaki dan sebelas tombak di atas tanah itu terpental melenting berdiri mendadak Gurba mengebutkan kembali ujung bajunya, mendorong tombak yang tiba-tiba “bangkit” secara aneh itu. Dan ketika dia mengibas dan angin pukulan menyambar dari jauh tiba-tiba sebelas tombak itu terbang dan balik menyerang tuannya sendiri!

“Crep-crep-crep!”

Jeritan ngeri terdengar dengan cepat, sedetik saja, susul-menyusul. Dan ketika orang memandang apa yang terjadi mendadak sebelas tubuh roboh bergelimpangan dengan dada ditembus tombak. Itulah penyerang-penyerang gelap tadi! Dan Gurba yang tertawa bergelak mengerahkan kekuatannya tiba-tiba membentak.

“Tikus-tikus busuk, suruh dua pemimpinmu ke mari. Kalau tidak kalian akan mati satu-persatu!”

Suku bangsa U-fak gempar. Mereka telah melihat kematian sebelas orang teman mereka tadi. Tapi seorang diantaranya yang tiba-tiba berteriak menyuruh maju mendadak membuat yang lain sadar, kaget dan marah pada raksasa Tar-tar ini. Dan begitu mereka membentak dan menerjang maju mendadak puluhan tombak menyerang dan menusuk Gurba, bertubi-tubi merupakan hujan serangan yang tiada henti.

Namun Malunga yang membentak melompat ke depan tiba-tiba menangkis dengan lembingnya yang sudah dicabut dari mayat laki-laki pertama tadi, melindungi Gurba dan tampak berani menyambut puluhan tombak yang menghambur maju. Tapi Gurba yang terbahak dengan suaranya yang menyeramkan tiba- tiba menarik kedua pundak pembantunya itu, melempar Malunga keluar dari kepungan. Begitu saja seolah Malunga adalah boneka yang terbuat dari bahan yang ringan. Dan begitu dia membentak dan Malunga terkejut diluar sana maka puluhan tombak yang mengenai tubuh raksasa ini mental semua dan patah!

“Tak-krek-krek...!”

Semua orang terkejut. Mereka melihat kekebalan raksasa tinggi besar itu, melihat mata Gurba yang mencorong berkilat-kilat. Dan belum mereka melompat mundur untuk menyelamatkan diri tahu-tahu Gurba telah menangkapi mereka dan membanting orang-orang itu satu persatu di atas tanah. Tak ayal jerit kesakitan terdengar di sana-sini. Orang-orang itu mawut, patah tulang-tulangnya dan banyak diantaranya tak dapat bangun berdiri. Roboh berpelantingan dan tumpang-tindih. Tak karuan lagi. Sebentar saja telah limapuluh orang yang menjadi korban! Tapi ketika Gurba menggereng-gereng dan memanggil Uyin dan Unga agar keluar menemui dirinya dan lawan mundur dengan muka pucat dan ketakutan mendadak dua bayangan laki-laki berkelebat keluar melempar lembingnya.

“Gurba, kami ada di sini... wuut!”

Gurba terkejut. Dua lembing panjang menyambarnya dahsyat, dilontarkan oleh tangan yang ahli dan kuat. Tapi Gurba yang lagi-lagi tak menangkis dan menjengekkan mulutnya tiba-tiba telah menerima sambaran dua lembing itu, runtuh dan patah mengenai tubuhnya yang sudah dilindungi kekebalan, sedikit terdorong tapi tidak apa-apa. Dan ketika dia berdiri tegak dan dua bayangan itu berjungkir balik turun di depannya maka tampaklah dua laki-laki gagah perkasa berumur sekitar empatpuluhan tahun telah berhadapan dengannya dengan mata berapi-api, kepala mereka mengenakan topi burung. Uyin dan Unga!

“Gurba, kami telah datang di sini. Jangan mengganggu orang-orang kecil yang bukan lawanmu!”

Gurba menggeram. Dia ganti memandang dua pemimpin suku bangsa U-fak itu dengan mata seolah siap menerkam, teringat kematian tujuh wanita hamil yang menjadi rakyatnya itu, sedikit tertegun dan juga heran karena dua kakak beradik yang pernah dikalahkan itu tidak menampakkan rasa takut sedikit pun juga. Beda dengan dulu. Bahkan kini memandangnya dengan marah dan berapi- api. Begitu berani! Tapi Gurba yang mengira keberanian dua orang pemimpin U-fak ini mungkin didorong oleh banyaknya suku bangsa U-fak di situ akhirnya mendengus bertanya dingin,

“Uyin, kenapa kau membunuh tujuh wanita Tar-tar yang menjadi rakyatku? Menyangkalkah kau akan perbuatan biadab ini?”

Uyin, laki-laki di sebelah kanan tertawa mengejek. “Kami tak menyangkal perbuatan itu, Gurba. Dan kami sengaja melakukan itu untuk membalas dendam! Tapi mana itu pasukanmu yang gagah berani? Kenapa datang berdua?”

Gurba tertawa dingin. “Aku tak perlu banyak bantuan untuk membunuhmu, Uyin. Sekalian ingin menguji apakah peraturan kaum nomad masih kau patuhi. Dulu kau kuampuni, kenapa sekarang demikian berani mati mencari penyakit? Rangkapkah nyawamu?”

Unga, laki-laki di sebelah kiri ini menjawab, “Gurba, kami telah siap menyambut kau dan pasukanmu. Peraturan kaum nomad tetap kami pegang teguh. Apa yang kau maui sekarang?”

“Tentu saja membunuh kalian!” Gurba membentak marah. “Mau apalagi? Apakah kalian mengira aku melancong datang ke tempat ini? Kalian telah menyalahi undang-undang tak tertulis, Unga. Kalian telah mengganggu dan membunuh wanita!”

“Peduli amat!” Unga menjengek. “Kami menganggap semua orang Tar-tar adalah musuh, Gurba. Dan sekarang kami ganti akan membunuhmu... sing!”

Unga yang telah mengambil senjata baru dan menusukkan tombaknya ke perut Gurba tiba-tiba membentak menyuruh kakaknya membantu, menerjang ke depan dan tidak banyak cakap lagi menyerang lawannya itu. Dan ketika Uyin juga mencabut gendewa dan menyerang dengan anak panahnya yang dilakukan seperti menyerang dengan sebatang tombak kecil maka raksasa tinggi besar itu telah dikeroyok dua oleh pemimpin suku bangsa U-fak ini, mendengus dan menangkis dengan kedua lengannya hingga tombak dan anak panah mental. Dan ketika Unga berteriak keras menerjang kembali maka Uyin melengking tinggi di belakang adiknya itu.

“Unga, mainkan Coa-mo-kun (Silat Ular Iblis)...!”

Unga mengangguk. Dia telah meliuk-liuk dengan tombak di tangan, melenggak-lenggok dengan lemas, mata tombak menyambar-nyambar dan merupakan mulut ular yang mematuk segala penjuru. Sebentar saja memagut lawan bertubi-tubi. Dan ketika Uyin membentak dan mainkan anak panah seperti adiknya pula maka dua kakak beradik ini telah mainkan Coa-mo-kun secara berpasangan.

“Wut... plak-sing!”

Gurba menggeram. Sebenarnya dia telah mengetahui ilmu silat dua pemimpin suku bangsa U-fak itu, tahu mereka mahir mainkan Coa-mo-kun. Tapi karena dia memiliki ilmu silat lebih tinggi dan sinkangnya mampu memberikan kekebalan menerima tusukan senjata tajam maka dia tidak takut dikeroyok seperti itu. Tapi Unga dan kakaknya ternyata kali ini bersikap lain. Mereka menyerang secara ganti-berganti, sebentar di belakang sebentar di muka. Tombak tidak melulu menyerang ke bawah tapi juga ke atas, mengarah kedua mata Gurba yang tentu saja tak dapat dilindungi sinkang, membuat raksasa ini terbelalak.

Dan ketika satu kali keningnya tergurat dan Unga tertawa gembira mendadak Gurba menggeram ketika mendengar sorak-sorai para suku U-fak yang gembira melihat keberhasilan ini. Marah karena lawan selalu mengincar matanya. Dan ketika kembali tombak dan anak panah menyambar matanya tapi luput mengenai sasaran karena Gurba merendahkan kepalanya mendadak raksasa tinggi besar ini meledakkan telapak tangannya, mengeluarkan Tiat-lui-kang, ilmu yang sebenarnya jarang dia keluarkan kalau tidak ingin cepat merobohkan lawan.

“Unga, kalian tak dapat mengalahkan aku. Aku yang akan membunuh kalian, awas... darr!” Gurba tiba-tiba mengejutkan lawan, mengeluarkan Tiat-lui-kangnya yang dahsyat itu hingga meledak nyaring, bumi seketika bergetar hingga sepuluh orang jatuh terlempar roboh. Kaget oleh suara ledakan yang mengguncang itu. Dan ketika Uyin dan Unga juga tersentak dan mereka menyeringai menahan jantung yang seolah dipecah dari depan mendadak Gurba telah berkelebat maju menangkap tombak dan anak panah mereka.

“Cep-krak!”

Unga dan kakaknya terkejut. Senjata mereka tahu-tahu telah diremas hancur, begitu saja menjadi bubuk di telapak Gurba yang penuh getaran tenaga Tiat-lui-kang, hangus terbakar. Dan ketika mereka membelalakkan mata dan kaget oleh kelengahan ini tahu-tahu Gurba telah menampar kepala mereka dengan telapak dibuka lebar-lebar.

“Unga, awas...!”

Uyin telah membanting tubuh bergulingan. Pemimpin utama suku U-fak ini kaget setengah mati, ngeri melihat telapak Gurba yang merah membara persis besi dibakar sementara angin panas juga menyambar dari telapak raksasa itu, dahsyat sekali. Dan ketika Uyin berteriak dan membanting tubuh bergulingan maka pada saat yang sama Unga juga telah menyelamatkan dirinya dari pukulan Tiat-Iui-kang itu.

“Bress!”

Bumi hangus kehitaman. Uyin dan adiknya telah melompat bangun, gentar dan ngeri oleh kedahsyatan raksasa ini. Tiat-lui-kang yang amat ditakuti dua kakak beradik itu, ilmu yang dulu juga telah mengalahkan mereka. Tapi ketika Gurba melompat dan menubruk mereka bagai singa haus darah tiba-tiba Uyin menjepret gendewanya meluncurkan lima batang anak panah yang telah dilepas secepat kilat, disusul adiknya yang juga menyerang dengan lima batang anak panah menyambut tubrukan Gurba. Tapi ketika raksasa itu menggeram dan sepuluh anak panah runtuh mengenai tubuhnya maka saat itulah tamparan Tiat-lui-kang menderu menyambar mereka.

“Plak-dess!”

Dua kakak beradik ini mencelat. Mereka mengeluh tertahan, hangus baju pundaknya dan terguling-guling. Hampir menjerit kalau tidak malu. Dan Uyin serta adiknya yang sudah melompat bangun dengan kaki terhuyung tiba-tiba berseru, “Bunuh orang ini. Lepaskan anak panah...!”

Dan, begitu mereka melompat mundur dan ratusan orang mementang gendewa tiba-tiba Gurba diserang hujan panah yang bukan main banyaknya, membuat raksasa ini menggereng-gereng dan melindungi mukanya dari sambaran hujan panah itu, membiarkan panah-panah lain runtuh dan patah mengenai bagian tubuhnya yang lain karena dia kebal. Dan ketika Gurba membentak dan mengibaskan tangannya ke kiri kanan tiba-tiba penyerang yang ada di depan bergelimpangan roboh, mendapat pukulan jarak jauhnya yang hebat bukan kepalang. Menderu bagai angin topan, mengejar Uyin dan adiknya yang berteriak-teriak di belakang pasukan.

Dan ketika pasukan mawut dan barisan depan tunggang- langgang dikibas raksasa tinggi besar ini hingga terbuka sebuah lubang maka saat itulah secepat kilat Gurba menyambar dua lawannya itu, berkelebat mencengkeram mereka dengan jari-jari berkerotok. Tapi persis Uyin dan adiknya terkesiap kaget mendadak sebuah bayangan terkekeh panjang menangkis serangan Gurba ini.

“Hanggoda, tahan... dukk!”

Gurba tergetar. Dia melihat seorang kakek muncul dengan amat tiba-tiba, mukanya selalu ketawa tapi matanya jelalatan, seorang kakek pendek kecil yang menangkis cengkeramannya tadi, membuat Gurba terdorong sementara kakek itu berseru kaget terpental ke atas, berjungkir balik dan kini melindungi dua pemimpin U-fak itu. Dan ketika Gurba berhadapan dan Uyin serta Unga berlutut menyebut “suhu” (guru), segera sadarlah raksasa tinggi besar ini bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang berkepandaian tinggi!

Namun Gurba tidak gentar. Dia terdorong setindak, sementara kakek itu terpental beberapa tindak. Berarti tenaganya lebih kuat dan tidak perlu takut. Tapi Gurba yang tidak mengenal kakek ini dan baru kali itu berjumpa muka segera membentak dengan pertanyaan mengguntur, dikelilingi ratusan suku U-fak yang kini mundur tapi mengelilingi mereka dari jauh, “Tua bangka, siapa kau dan kenapa mencampuri urusan ini? Kau jelas orang Han, bukan suku nomad. Kenapa berani mati mencari penyakit?”

Kakek itu terkekeh, nyaring melengking. “Aku Siauw-bin-kwi, hanggoda. Memang betul bukan orang nomad tapi dua orang ini adalah muridku. Kau berani mati mencari penyakit di sarang naga!”

“Siauw-bin-kwi (Iblis Muka Ketawa)?” Gurba tak mengenal, mengerutkan keningnya karena dia memang belum pernah ke daerah pedalaman, tak mengenal orang-orang sakti di sana dan tak tahu bahwa Siauw-bin-kwi adalah satu dari Jit-mo Kang-ouw (Tujuh Iblis Dunia Persilatan), iblis yang sakti dan tentu saja berkepandaian tinggi. Setingkat dengan Sai-mo-ong dan kawan-kawannya itu. Dan Siauw-bin-kwi yang terkekeh dan mengangguk memandang kagum tiba-tiba maju ke depan membelai jenggotnya yang putih, jenggot pendek mirip jenggot kambing.

“Ya, aku Siauw-bin-kwi, hanggoda. Kau pemimpin suku Tar-tar, bukan?”

“Benar.”

“Kalau begitu baik-baik saja kita bersahabat. Dua orang muridku ingin menggabung suku U-fak dengan bangsa Tar-tar. Kau dapat menjadi pembantunya, ilmumu cukup hebat. Sebaiknya kau tak perlu memusuhi kami dan tinggal bersama kami!”

Gurba mendelik. “Siauw-bin-kwi, siapa sudi berteman dengan musuh? Mereka telah membunuh tujuh orang rakyatku. Aku tak terima dan harus membalas kekejaman ini!”

“Heh-heh, siapa yang membunuh cacing-cacing betina itu, hanggoda? Mereka tidak melakukannya, yang melakukan adalah aku. Aku sebal melihat orok mereka bakal menambah rakyatmu saja. Mereka tak diperlukan. Suku U-fak kelebihan wanita. Sebaiknya orang-orang Tar-tar mengawini wanita U-fak saja!”

Gurba meraung. Dia terang marah mendengar omongan ini, marah sekali, melihat kakek itu bicara tenang sambil mengelus-elus jenggot, sikapnya tak memandang sebelah mata. Dan Gurba yang membentak melihat kakek itu menunggu jawaban tiba-tiba menerjang maju dengan pukulan Tiat-lui-kangnya. Kaget dan marah bahwa kakek ini yang membunuh tujuh wanita hamil itu. “Siauw-bin-kwi, kau iblis laknat keparat...!”

Siauw-bin- kwi tersenyum. Dia mengelak sedikit, menyuruh dua orang muridnya mundur. Tapi ketika Gurba membalik dan serangkum angin dahsyat menyambar dirinya tiba-tiba kakek ini menangkis.

“Dukk!” dan Siauw -bin-kwi terkejut. Dia lagi-lagi terpental, kaget melihat lawan memiliki tenaga hebat yang membuatnya tergetar. Dan ketika Gurba membentak dan bertubi-tubi menyerang dirinya yang jauh lebih kecil dibanding raksasa tinggi besar itu akhirnya Siauw-bin-kwi berteriak berlompatan ke sana ke mari, mengerutkan alis karena Gurba memang hebat. Pukulan petirnya itu meledak dan membuat dia selalu terdorong, kaget oleh hawa panas yang menyambar-nyambar dari lengan raksasa ini. Dan ketika dia terdesak dan lagi-lagi satu benturan membuat dia terpental akhirnya kakek ini berseru memuji, mulai menggeliat dan mainkan kedua kaki tangannya bagai ular hidup.

“Hanggoda, kau memang hebat. Tak heran kalau dua muridku kalah!”

Gurba tak menjawab. Dia terus menyerang dengan tamparan atau pukulannya yang menderu, diam-diam kaget dan heran juga karena kakek ini cukup lihai, terpental tapi tidak pernah roboh. Lain dengan Uyin dan Unga tadi yang selalu terlempar bila menerima Tiat-lui-kang. Dan ketika kakek itu membalas dan mulai meliuk-liukkan tubuh seperti orang menari tapi dari ujung jari-jarinya keluar sinar hitam yang berkeredep menyambut Tiat-lui-kangnya tiba-tiba Gurba terkejut dan berseru tertahan,

“Hek-kong-ci (Jari Asap Hitam)...!”

Siauw-bin-kwi terkekeh. “Kau kenal pukulanku, hanggoda? Bagus, kalau begitu pengetahuanmu cukup luas juga... crit-bret!” dan Tiat-lui-kang yang lagi-lagi disambut Hek-kong-ci tiba-tiba membuat Gurba menggeram dan terdorong setindak, melihat kakek itu terhuyung dua langkah dan terbelalak memandangnya. Tapi Gurba yang membentak dan maju kembali akhirnya meledakkan Tiat-lui-kang untuk menghadapi Hek-kong-ci.

Begitulah. Dua orang ini lalu bertempur. Mereka sama-sama mencari kelemahan lawan, sambar-menyambar dan kian lama kian terkejut, melihat masing-masing pihak memiliki kelebihan yang tak dipunyai lawan. Gurba dengan tenaganya yang dahsyat itu sedang Siauw-bin-kwi dengan kelincahan tubuhnya yang mengagumkan, memiliki ginkang demikian ringan hingga selalu terdorong dihembus pukulan Tiat-lui-kang. Tentu saja tak dapat disentuh! Dan Gurba yang kaget serta penasaran oleh pertandingan ini sekonyong-konyong merubah gerakan.

“Siauw-bin-kwi, kau akan kubunuh mampus... !”

Siauw-bin-kwi tertawa. Diam-diam dia juga penasaran oleh tenaga lawan yang hebat ini, merasa sinkangnya kalah setingkat. Atau mungkin lebih sedikit. Hal yang tentu saja membuat kakek iblis itu terbelalak karena dia tak menyangka kelihaian raksasa Tar-tar ini. Tak mengira bahwa di luar tembok besar dia menjumpai musuh begini tangguh. Hebat dan tidak kalah oleh rekan-rekannya Jit-mo Kang-ouw di pedalaman sana.

Dan ketika Gurba membentaknya dengan ancaman menggeledek dan dia tertawa karena mengira lawannya itu hanya bermulut besar saja mendadak Siauw-bin-kwi terperanjat ketika dua sinar putih meluncur dari lengan Gurba, menyambar dan meledak menangkis Hek-kong-cinya. Dan ketika kakek itu terpental dan asap Hek-kong-ci buyar berantakan oleh pukulan yang lain ini sekonyong-konyong tubuhnya terangkat naik dan untuk pertama kalinya menerima hantaman dahsyat dari dorongan Gurba.

“Dess!” Siauw-bin-kwi merasa lumpuh. Dia terbanting dan terguling-guling oleh pukulan bersinar perak itu, bukan lagi Tiat-lui-kang yang panas membara melainkan jauh lebih hebat menekan dan mendorong Hek-kong-cinya, membuat Hek-kong-cinya buyar berantakan dan tentu saja dia kaget bukan main, mencelat terlempar oleh dahsyatnya pukulan baru ini. Dan ketika Gurba mengejar dan dia baru saja melompat bangun dengan kaki terhuyung tahu-tahu pukulan kedua kembali menyambar tak dapat dielak.

“Dess...!” Siauw-bin-kwi kali ini memekik. Iblis Muka Ketawa itu tak dapat tertawa, mengeluh dan terbanting keras di atas tanah. Dan ketika Gurba kembali mengejar dan dia cepat menggulingkan tubuh ke kanan tiba-tiba kakek ini telah melenting bangun dengan muka pucat, mengenal pakulan itu.

“Pek-sian-ciang (Pukulan Tangan Dewa)...!”

Gurba tertegun. Dia menahan pukulannya sejenak, kaget bagaimana lawannya itu mengenal pukulannya. Tapi Siauw-bin-kwi yang rupanya gentar dan ngeri oleh pukulan ini tiba-tiba memutar tubuh dan... melarikan diri.

“Uyin, kalian menyingkir saja. Raksasa hitam ini rupanya ada hubungan dengan Bu-beng Sian-su!”

Uyin dan adiknya terkejut. Mereka melihat guru mereka itu ngacir, sebentar kemudian lenyap di luar padang rumput, hal yang membuat mereka kaget dan kecut bukan main karena harus menghadapi Gurba seorang diri! Dan ketika benar Gurba mendelik pada mereka berdua dan raksasa itu teringat kematian tujuh orang rakyatnya mendadak Gurba menggeram menubruk mereka!

“Uyin, kalian terimalah kematian dengan tenang...!”

Uyin terkejut. Dia melempar tubuh ke belakang, berteriak menyuruh anak buahnya melindungi. Dan Unga yang juga bergulingan menghindari pukulan Gurba tiba-tiba membentak menyuruh pasukannya maju, melepas panah atau lembing hingga raksasa Tar-tar itu terhalang. Tapi Malunga yang melepas panah api sebagai isyarat bagi teman-temannya untuk datang menyerbu tiba-tiba memekik membantu pemimpinnya.

“Hanggoda, kejar dan tangkap dua pemimpin U-fak itu. Biar aku yang menghadapi tikus-tikus busuk ini!” dan Malunga yang sudah menggerakkan lembingnya menangkis hujan serangan pasukan U-fak lalu membentak dan bertempur bagai macan haus darah, sebentar kemudian disambut pekik kesakitan dari lawan yang mencelat atau tertusuk lembingnya, pandangnya bagai singa kelaparan.

Dan ketika sorakan duaratus pembantu Gurba datang menyerbu menyerang pasukan U-fak di bagian belakang akhirnya anak buah Uyin dan Unga ini berteriak kaget, kocar-kacir dan tentu saja kalah mental. Sudah dipengaruhi kehebatan Gurba yang menggiriskan itu, mencari dan mengejar Uyin dua kakak beradik dan menyapu roboh setiap penghalang. Tak ada satupun senjata yang mempan melukai tubuhnya, hal yang membuat pasukan U-fak gentar dan mawut, selalu menyingkir bila raksasa ini mendatangi mereka.

Dan karena suku U-fak memang ketakutan menghadapi Gurba yang mengamuk mencari Uyin kakak beradik akhirnya dua pemimpin U-fak itu tak dapat menyembunyikan diri lagi, terkejar dan terbelalak ketika Gurba menggeram di belakang mereka. Tentu saja menjadi nekat dan memekik melepas panah mereka.

Tapi ketika semua panah runtuh dan Gurba telah berada di dekat mereka akhirnya dua kakak beradik ini mencabut tombak, menyerang membabi-buta dan marah tapi juga ngeri melawan raksasa Tar-tar ini. Sia-sia saja karena tombak mereka menusuk tubuh yang terbuat dari karet, atos tapi kenyal. Dan ketika Gurba menggeram dan tombak ditangkis patah oleh tangan raksasa ini yang dahsyat mengerikan akhirnya dua kakak beradik suku U-fak itu tertangkap!

“Hah, kalian mau apa lagi sekarang, Uyin?” Gurba menyambar dua kakak beradik itu, diangkat dan dicengkeram tengkuknya persis seorang dewasa menangkap dua ekor kelinci cilik, membuat dua kakak beradik itu pucat tak dapat mengeluarkan suara. Dan ketika Uyin dan adiknya megap-megap minta ampun mendadak Gurba telah mengadu dua kepala pemimpin suku U-fak itu, melepas kemarahannya.

“Prakk!” Uyin dan Unga pecah kepalanya. Mereka tentu saja tewas, disambut mata terbelalak dan ngeri oleh anak buahnya yang ada di situ. Dan ketika Gurba melempar mayat dua orang laki-laki itu dan suku U-fak gempar oleh kematian kakak beradik ini tiba-tiba pertempuran berhenti suku U-fak menyerah.

Mereka tak berani lagi melawan. Semuanya takut. Apalagi pemimpin mereka sudah mati terbunuh, tewas di tangan Gurba yang mengerikan itu, si Singa Daratan Tandus. Dan ketika Gurba mengampuni dan semua suku U-fak diharuskan membuang senjata maka anak buah Uyin dan Unga ini dibawa ke tempat perkemahan suku bangsa Tar-tar, beberapa hari menjadi tawanan perang. Tapi setelah semuanya menyatakan takluk dan mereka minta sendiri untuk bergabung dan membantu suku bangsa Tar-tar akhirnya orang-orang U-fak ini diberi kelonggaran dan membantu suku Tar-tar menggembalakan ternak.

Begitulah, Gurba memperoleh tambahan tenaga baru. Rakyat Tar-tar semakin banyak, namanya semakin dikenal. Dan karena orang-orang U-fak memang tunduk dan takut akan kesaktian raksasa tinggi besar ini akhirnya mereka membaur dalam suku bangsa Tar-tar yang kian besar. Jumlahnya dua kali lipat dibanding dulu, banyak terjadi perkawinan silang. Dan karena Gurba pada dasarnya bukanlah pemimpin kejam yang suka mengandalkan kekuatan sendiri maka suku U-fak yang telah lebur dalam suku bangsa Tar-tar itu akhirnya merasa lega dan girang karena mereka benar-benar diampuni, mendapat hak-hak yang sama seperti yang diperoleh suku Tar-tar pula.

Tapi kemenangan Gurba yang gilang-gemilang atas suku U-fak ini ternyata membuat cemas dan gelisah suku bangsa Han (Tiongkok) yang ada di pedalaman, mendengar kehebatan raksasa tinggi besar itu yang menundukkan suku-suku nomad untuk disatukan dalam panji bendera Tar-tar. Dan ketika beberapa bulan kemudian suku yang masih suka berpindah-pindah untuk menggembalakan ternak ini mendapat pemukiman tetap di dekat perbatasan maka orang-orang Han, khususnya Ang Bin-ciangkun yang menjadi panglima di perbatasan sebelah utara menjadi gelisah dan mengirim utusan untuk coba menjajagi keinginan bangsa Tar-tar. Apakah mereka mau menyerang pedalaman atau tidak. Pura-pura mengulurkan tali persahabatan.

Tapi ketika tiga orang utusan itu pulang dan menjadi mayat tanpa kepala maka kaget dan marahlah panglima ini atas kejadian itu. Menganggap bangsa Tar-tar adalah bangsa biadab, liar dan tak mengenal aturan. Dan begitu panglima ini menyiapkan pasukan dan melapor ke kota raja maka suku bangsa Tar-tar bakal terbelalak kaget oleh serbuan besar-besaran yang akan dilakukan panglima itu. Tak tahu akan tiga orang utusan yang terbunuh karena sesungguhnya memang bukan mereka yang membunuh tiga utusan Bin-ciangkun!

* * * * * * * *

Malam itu, tak menduga sesuatu yang jelek Gurba duduk di kamarnya. Dia sedang bersamadhi, memulihkan kelelahan setelah sehari penuh mengurus rakyatnya yang kian besar. Tak ada seorangpun yang boleh mengganggunya kalau dia sudah begitu. Dan ketika raksasa ini hening dalam samadhinya yang penuh konsentrasi tiba-tiba suara burung kulik terdengar di malam yang sepi itu.

Gurba tak mendengar. Dia telah masuk dalam alam keheningannya sendiri, menarik semua panca indra hingga tak merasa atau mendengar apapun. Sikap samadhi yang sempurna. Dan ketika suara burung itu terdengar bersahut-sahutan tiga kali di perkemahan suku bangsa Tar-tar ini mendadak jeritan tertahan terdengar di tiga tempat. Namun jeritan itu tak berkelanjutan, lenyap seolah orang tercekik. Dan ketika suara burung kulik itu kembali terdengar dalam tempat yang berbeda tahu-tahu tiga bayangan meloncat masuk di kemah raksasa tinggi besar ini.

Tiga orang kakek telah berdiri di situ. Seorang diantaranya adalah Siauw-bin-kwi, Iblis Muka Ketawa itu, menyeringai memberi isyarat dan tertegun memandang Gurba yang duduk tak bergeming. Mirip arca yang menakutkan karena muka raksasa yang hitam berkilat itu. Tak mengetahui kedatangan mereka. Dan ketika Siauw-bin-kwi menggerakkan jarinya menuding tanpa suara tiba-tiba temannya yang ada di sebelah kanan melompat dan menghantam kepala raksasa itu.

“Dess!” Gurba mencelat terlempar. Raksasa ini masih duduk dalam sikap tak bergeming, tak berubah posisi kaki tangannya, bersila tapi kini membuka mata karena kaget tubuhnya mencelat menghantam dinding, hampir saja kemah itu jebol! Dan ketika Gurba terbelalak dan raksasa ini sadar akan adanya bahaya dalam keadaan setengah terguncang mendadak kakek satunya yang di sebelah kiri juga meloncat menghantam pelipisnya.

“Dess...!” Gurba kembali terpental. Raksasa ini sekarang berteriak keras, tubuhnya terbanting dan menggetarkan atap kemah. Tapi begitu dia menggereng dan melompat berdiri maka tiga orang lawannya terbelalak melihat raksasa itu sama sekali tidak apa-apa. Seolah dua pukulan maut tadi hanyalah pukulan anak-anak kecil yang tidak bertenaga. Hanya pukulan main-main saja. Tapi Siauw-bin-kwi dan dua temannya yang tentu saja mengerti bahwa itu adalah akibat kekebalan raksasa ini dengan sinkangnya yang luar biasa akhirnya mendelong dan tertegun memandang pemimpin bangsa Tar-tar itu.

Dan Gurba juga terbelalak. Dia melihat Siauw-bin-kwi di situ, bersama dua kakek cebol yang tidak dikenal tapi dari merekalah dia mendapat pukulan curang. Hal yang membuat raksasa tinggi besar ini marah. Maka meloncat mengguncang tubuh, Gurba membentak lawan, “Siauw-bin -kwi, kau ada perlu apa datang ke sini? Siapa temanmu yang tidak tahu malu menyerang orang di saat siu-lian (samadhi)?”

Siauw-bin-kwi terkejut. Dia sekarang sadar, tapi dua kakek cebol yang kini kagum memandang raksasa itu mendadak mencabut sabit bermata dua, terkekeh serak seperti burung malam di tengah kuburan, “Heh-heh, kami Hek-bong Siang-lo-mo (Sepasang Iblis Kuburan Hitam), bocah Tar-tar. Kami datang untuk maksud membunuhmu. Kau telah membunuh dua murid sahabatku, Uyin dan Unga!”

Gurba tertegun. “Kau Hek-bong Siang-Io-mo?”

“Benar. Kau telah mendengar nama kami?”

“Tidak, tapi rupanya kalian orang-orang pedalaman suka mencampuri urusan orang lain. Bagus, kalian akan kutangkap!” dan Gurba yang tidak mau banyak bicara lagi dan sudah membentak ke depan tiba-tiba menubruk dan mencengkeram dua kakek cebol itu, menggereng melepas Tiat-lui-kangnya.

Tapi Hek-bong Siang-lo-mo yang sudah siap dengan sabit di tangan tiba-tiba tertawa menggerakkan senjata mengerikan itu, menyelinap ke kiri dan ke kanan. “Crat-bret!”

Gurba terkejut. Dia melihat dua kakek cebol itu gesit bukan main, mampu menghindar terkamannya dan menyelinap di bawah ketiaknya, membalik dan membabatkan sabit mereka itu ke tubuhnya hingga bajunya robek, lawan juga terkejut karena sabit juga mental bertemu tubuh Gurba yang atos! Dan ketika Gurba kembali menggeram dan menyerang lawannya itu maka Hek-bong Siang-lo-mo berseru pada Siauw-bin-kwi,

“Setan ketawa, rupanya raksasa ini kebal akan senjata tajam. Hayo maju dan ganggu dia, dia memang hebat!”

Siauw-bin-kwi tertawa, matanya bersinar-sinar. “Aku sudah memberi tahu pada kalian, Lo-mo. Karena itu hati-hati. Awas pukulan Pek-sian-ciangnya!”

Dan ketika Gurba menggeram dan Hek-bong Siang-lo-mo menyerang berputaran mendadak Siauw-bin-kwi maju menerjang melepas Hek-kong-cinya. Kini mengerubut tiga raksasa tinggi besar itu, membentak dan membuat Gurba marah. Dan ketika pukulan serta sabit mulai menyambar-nyambar sedangkan kemah itu tidak begitu besar untuk dipakai sebagai ajang pertempuran maka tiba-tiba kemah itu roboh ketika empat orang yang bertempur ini saling hantam.

“Bress!” Gurba dan tiga orang lawannya terkejut. Mereka semua tergulung di dalam, terbungkus bagai babi terjebak. Tapi Hek-bong Siang-lo-mo yang mempunyai sabit sudah keluar membacok kemah itu dengan teriakan tinggi, melesat disusul Siauw-bin-kwi dan Gurba yang juga tak mau dijadikan umpan sasaran.

Dan begitu empat orang ini meloncat dan mengejutkan kemah-kemah lain yang bertebaran tak jauh dari kemah itu akhirnya suku bangsa Tar-tar bangun dan kaget oleh keributan ini, melihat pemimpin mereka dikeroyok tiga orang lawan yang tak mereka ketahui kedatangannya. Tapi begitu melihat Siauw-bin-kwi yang mereka kenal sebagai guru Uyin dan Unga dan beberapa orang berteriak melihat tiga mayat di tempat mereka akhirnya orang-orang Tar-tar ini menjadi gempar dan marah.

“Hanggoda, kakek itu telah membunuh tiga orang di sini.”

Gurba gusar. Semua kemah tiba-tiba memasang obor, membuat tempat itu terang benderang sementara Siauw-bin-kwi dan dua temannya terkekeh, menyerang dan kini bergerak cepat sekali hingga lenyap tubuh mereka. Hanya merupakan bayangan cepat yang bagi orang awam tak diketahui lagi mana Hek-bong Siang-lo-mo atau Siauw-bin-kwi. Dan ketika Gurba mendapat beberapa pukulan dan terhuyung mundur mendadak Siga dan adiknya yang sudah ada di situ membentak maju membantu pemimpin mereka ini.

“Hei, mundur...!” Gurba terkejut, melihat pembantunya itu menyerang penuh keberanian.

Tapi Siga dan Malunga yang rupanya terlanjur maju tak dapat menarik diri. Mereka telah menusuk Hek-bong Siang-lo-mo dengan tombak mereka, disambut kekeh dua kakek iblis itu yang menggerakkan sabit. Dan begitu tombak ditangkis dan patah menjadi dua sekonyong-konyong senjata mengerikan di tangan Hek-bong Siang-lo-mo menyambar leher dua kakak beradik ini.

“Awas...! Plak-bret!” Gurba melepas Tiat-lui-kangnya, kaget dan berseru keras melihat ancaman bahaya bagi dua pembantunya itu, menarik dan melempar mereka jauh keluar pertempuran. Dan ketika Siga dan adiknya terbanting di luar sana maka dua kakak beradik ini tertegun melihat leher baju mereka terkuak lebar sementara kulit sedikit tergores berdarah!

“Ah...!” suku bangsa Tar-tar terkejut. Mereka melihat kelihaian dua kakek cebol itu, mendengar mereka tertawa dan menantang agar yang lain maju. Tentu saja disambut rasa gentar dan kaget oleh semua yang ada di situ. Dan ketika Gurba membentak dan melarang pembantunya maju karena dia dapat menghadapi tiga orang lawannya itu maka pertempuran kembali terjadi dan kini mulai berpindah-pindah. Siauw-bin-kwi dan dua temannya bertempur seperti orang bermain kucing-kucingan. Sebentar di belakang sebentar di muka.

Dan ketika pertempuran berjalan empatpuluh jurus dan masing-masing pihak sama penasaran karena belum ada yang roboh mendadak saat itulah terjadi kegemparan baru karena barisan besar yang tidak diketahui siapa tahu-tahu menyerang dari belakang, disusul derap kuda yang meringkik di tengah keheningan malam, menyerbu dan menggilas perkemahan suku bangsa Tar-tar itu yang tentu saja kaget bukan main. Dan ketika jerit kesakitan terdengar memecah malam maka saat itu muncullah seorang panglima yang memimpin serbuan besar-besaran ini, Ang Bin-ciangkun, panglima kerajaan yang bermuka merah itu!

“Gurba, kau tak tahu dihormat orang. Kami datang atas nama kaisar untuk menuntut pertanggung jawabanmu!”

Gurba dan suku bangsanya terkejut. Sekarang mereka mengetahui penyerang itu, kiranya orang-orang kerajaan, pasukan di balik tembok besar. Hal yang tidak mereka sangka dan tentu saja mengejutkan di samping mengherankan. Tapi pasukan besar yang sudah menyerang dan kini menyerbu di balik kegelapan itu tahu-tahu sudah meluruk dan membuat gaduh, membunuh dan mulai membasmi suku bangsa yang dianggap liar ini dengan tombak dan golok.

Sebentar kemudian orang-orang Tar-tar mulai roboh karena mereka berada di tempat terbuka, terang oleh obor yang mereka buat sendiri. Dan ketika korban mulai bergelimpangan dan jerit serta pekik kematian terdengar dimana-mana mendadak Gurba membentak menggetarkan bumi, marah bukan main dan menyuruh semua orang memadamkan obor!

“Matikan obor, jangan biarkan musuh menyerang kalian di tempat terbuka...!”

Orang-orang itu sadar. Dua ratus pasukan Tar-tar yang merupakan pasukan khusus sudah berpencar memadamkan obor, bahkan diantaranya ada yang membuang obor itu ke tanah hingga padam sendiri. Tentu saja keadaan menjadi gelap gulita dan pasukan musuh terkejut, tak menyangka kecerdikan Gurba yang menyelamatkan rakyatnya. Dan karena orang-orang Tar-tar jelas lebih mengenal tempat sendiri dibanding mereka akhirnya pasukan Ang Bin-ciangkun ini ganti memekik dan terguling roboh ketika suku bangsa itu balik menyerang mereka.

“Crat-aduh...!” Orang-orang Ang Bin-ciangkun berteriak. Mereka ganti mendapat serangan di tempat gelap, ribut dan mencari selamat sementara lembing dan panah meluncur membabi -buta, menuju ke arah mereka karena orang-orang Ang Bin-ciangkun itu terjebak di tengah. Tentu saja menjadi sasaran yang mudah dan empuk. Dan ketika Gurba menyuruh pasukannya melepas panah berapi dan orang-orang Tar-tar berteriak membalas penuh semangat tiba-tiba pasukan kerajaan itu terbakar dan banyak yang bergulingan menjerit-jerit, jatuh dari atas punggung kudanya atau roboh ke semak belukar.

Suasana menjadi kalut dan balik pasukan lawan di bantai habis-habisan. Tentu saja Ang Bin-ciangkun marah dan menyuruh pasukannya mundur. Dan ketika suku bangsa Tar-tar menyerbu dan kegelapan malam membantu mereka karena orang-orang itu lebih mengenal tempat sendiri dibanding lawan akhirnya Ang Bin-ciangkun terdesak hebat dan mengorbankan banyak pasukannya. Panglima bermuka merah ini mengumpat caci, tak dapat memberi komando karena anak buahnya kocar-kacir.

Sebentar kemudian separuh lebih binasa. Dan karena lawan terlalu kuat dan pertempuran di dalam gelap jelas tidak menguntungkan pihaknya akhirnya panglima ini menyuruh pasukannya melarikan diri ke dalam tembok besar, dikejar dan diserang pasukan Gurba yang marah oleh serbuan tiba-tiba itu.

Tapi karena keadaan memang gelap dan musuh juga melawan mati-matian akhirnya suku bangsa ini kembali dan tertegun memandang Gurba yang ditancapi puluhan batang panah, tegak di tengah-tengah perkemahan yang porak-poranda itu sementara tiga orang lawannya tak ada lagi, entah kemana. Tapi ketika raksasa itu mengguncang tubuh dan puluhan anak panah itu rontok ke bawah terdengarlah geraman pemimpin suku bangsa Tar-tar ini.

“Siga, mana adikmu?”

Siga menangis. Dia membawa adiknya yang telah menjadi mayat, korban dari pertempuran sekejap yang mengguncangkan itu. Malunga ternyata tewas dalam perang yang kalut di tengah-tengah kekacauan. Dan ketika Gurba melihat bahwa Tomba dan Lisang juga luka parah sementara suku bangsanya tewas lebih dari empatratus orang akhirnya Gurba mendelik memaki-maki panglima she Ang dari dalam tembok besar itu, menyangka Siauw-bin-kwi dan Hek-bong Siang-lo-mo datang mengacau atas suruhan panglima itu. Dan Gurba yang tentu saja marah besar oleh kejadian ini lalu menyiapkan pasukannya untuk bergerak ke dalam tembok besar. Membalas!

Malam itu semua suku bangsa Tar-tar berkabung. Sepuluh pembantu terbaik Gurba tewas, termasuk Lisang dan Tomba yang tak dapat diselamatkan lagi. Terlampau berat luka-luka mereka karena pertempuran yang kacau itu. Dan ketika keesokan harinya Gurba mengurus sisa-sisa pasukannya dan mendapat kenyataan bahwa pihak lawan juga banyak yang terbunuh karena mayat pasukan Ang Bin-ciangkun berceceran dimana-mana akhirnya raksasa ini mengajak semua rakyatnya meluruk ke tembok besar.

Di sini Gurba membalas, menyuruh wanita dan anak-anak tinggal di luar tembok, menerjang dan maju mendobrak tembok besar yang kokoh serta tinggi itu. Tapi karena raksasa ini memiliki kesaktian tinggi dan dia dapat memasuki tembok besar seorang diri dan mengamuk di dalam sana maka pasukan Ang Bin-ciangkun geger.

Pemimpin bangsa Tar-tar itu benar-benar hebat. Dia mirip singa kelaparan, tak ada satupun yang mampu melukainya dan tahan akan amukannya yang dahsyat. Dan ketika pasukan Ang Bin-ciangkun mawut karena mereka juga masih kelelahan oleh pertempuran semalam dan Gurba mengamuk seorang diri akhirnya Ang Bin-ciangkun melarikan diri dan Gurba membuka pintu gerbang. Di sinilah serbuan suku bangsa Tar-tar dimulai. Mereka bergerak bagai air bah yang membanjir masuk, terus bergerak ke dalam karena Gurba mengajak pasukannya untuk membasmi dan membunuh orang-orang kerajaan secara besar-besaran. Merasa dilukai lebih dulu, diserang tanpa diberi alasan.

Dan begitu raksasa ini mengamuk dan kota demi kota direbut akhirnya kota raja menjadi gempar oleh sepak terjang raksasa tinggi besar ini. Kaisar terkejut, terbelalak dan tertegun mendengar kehebatan pemimpin suku bangsa Tar-tar itu. Melihat panglimanya sendiri terluka karena Ang Bin- ciangkun tak dapat menghadapi raksasa yang lihai itu. Dan ketika sebulan kemudian Gurba telah berada di luar kota raja dan tinggal beberapa kilometer lagi dari pusat pemerintahan kaisar Yuan Ti akhirnya kaisar dan seluruh pembantunya panik.

“Panggilkan Kim-taijin. Juga Han-taijin suruh menghadap!”

Dua penasihat kaisar itu datang. Mereka telah mendengar kekacauan yang terjadi, mengerutkan kening dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan junjungannya. Dan ketika kaisar bertanya pada mereka apa yang harus dilakukan untuk menahan serbuan bangsa Tar-tar akhirnya Kim-taijin memberi saran.

“Sri baginda, apa yang terjadi adalah kesalahan kita. Kita terlalu merendahkan suku bangsa yang kita anggap liar itu. Kita tak menyelidiki kekuatan lawan. Sekarang mereka menyerbu, bahkan lima kota telah mereka rebut secara gemilang. Bagaimana kalau Jit-liong Ciangkun menghadapi raksasa yang lihai itu dan mengerahkan seluruh kekuatan? Hamba khawatir kemajuan mereka tak dapat dicegah, sri baginda. Sebaiknya suruh saja Jit-liong Ciangkun menghadapi lawan dengan pasukan besar!”

“Hm, tapi Bu-ciangkun khawatir kegagalannya, taijin. Kabarnya raksasa itu adalah suheng dari Kim-mou-eng!”

“Tapi kita belum mencobanya, sri baginda. Kenapa takut?”

Kaisar bingung, memandang Bu-ciangkun yang berjuluk Tangan Baja itu. “Bagaimana pendapatmu, ciangkun? Benarkah kata-kata Kim-taijin ini?”

Bu-ciangkun menunduk, merah mukanya. “Maaf, hamba bukan takut sebelum kalah, sri baginda. Tapi kenyataan yang lalu mengecilkan hati hamba. Kim-mou-eng saja tak dapat kami hadapi secara bertujuh, bagaimana suhengnya yang kini mengamuk itu dapat kami tundukkan? Raksasa itu kabarnya hebat sekali, hamba sangsi kalau ucapan Kim-taijin dapat dilaksanakan dengan mudah!”

“Jadi bagaimana? Apakah kita harus membiarkan saja raksasa liar dan bangsanya yang biadab itu menyerbu istana? Kalian harus dapat mengatasi persoalan ini, ciangkun. Kalau tidak percuma saja kalian kuangkat sebagai panglima!”

“Baik,” Bu-ciangkun terpukul. “Hamba akan mencobanya, sri baginda. Tapi mohon ampun kalau kami gagal!”

Kaisar menjadi marah. Dia tersinggung oleh sikap panglimanya yang tampak kecil hati itu. Karena enam panglima yang lain juga menundukkan kepala dan bersikap seperti panglima Bu itu, masing-masing cemas karena mereka telah mendengar kehebatan Gurba dari mulut Ang Bin-ciangkun. Terkejut dan tak menyangka bahwa pemimpin bangsa Tar-tar itu ternyata adalah suheng dari Kim-mou-eng. Tapi karena mereka juga malu dan menganggap Gurba sebagai pengacau liar yang telah membunuh tiga utusan kerajaan akhirnya tujuh panglima ini mengepal tinju membesarkan hati.

Gerakan suku bangsa Tar-tar itu harus dibendung, bahkan kalau bisa harus dipukul mundur dan dihancurkan. Dan ketika Kim-taijin sebagai penasihat kaisar menyarankan pada mereka agar menyerang dari tujuh sudut pasukan lawan yang kini berada di luar kota raja itu akhirnya Jit-liong Ciangkun setuju dan mengatur siasat. Han-taijin sementara diam saja, menyetujui dan mengiyakan rekannya yang ditanya sang junjungan. Belum mempunyai akal karena diapun ingin tahu lebih dulu bagaimana hasil usaha Tujuh Panglima Naga ini. Dan ketika serbuan itu dilakukan dan bangsa Tar-tar mendapat serangan besar-besaran dari gabungan Tujuh Panglima Naga ini maka pertempuran besar yang amat hebat tak dapat dicegah lagi.

Jit-liong Ciangkun langsung mengeroyok Gurba. Merencanakan mereka harus membunuh raksasa itu karena lawan inilah yang paling berbahaya. Pemimpin sekaligus dewa yang amat diandalkan suku bangsa Tar-tar. Jadi harus melumpuhkan raksasa itu karena yang lain-lain tentu gampang diatur kalau raksasa ini dapat dirobohkan. Tapi ketika Gurba mengamuk dan untuk pertama kalinya Jit-liong Ciangkun merasakan kelihaian raksasa ini mendadak semua keinginan buyar berantakan karena Jit-liong Ciangkun mengorbankan tiga orang rekan mereka yang tewas terbunuh!

Gurba terlampau hebat, terlalu sakti bagi mereka dan kebal akan semua pukulan maupun bacokan senjata tajam. Benar-benar membuat orang kewalahan. Dan ketika berturut-turut Ang Bin-ciangkun dan Liok-ciangkun roboh disusul Beng-ciangkun yang bersenjata golok itu tewas di tangan raksasa tinggi besar ini akhirnya Bu-ciangkun dan tiga rekannya yang masih hidup terpaksa mundur dan melarikan diri!

Gurba dan pasukannya mengejar. Tapi ketika Bu-ciangkun dan kawan-kawannya memasuki kota raja dan semua pintu gerbang ditutup sementara pasukan kerajaan yang besar jumlahnya bertahan mati-matian maka empat panglima yang masih selamat ini dapat menyelamatkan dirinya. Mereka melapor, menggigil dan pucat menghadap kaisar yang terbelalak oleh berita ini. Kaget bahwa tiga dari Tujuh Panglima Naga tewas di tangan pemimpin suku bangsa Tar-tar itu. Dan kaisar yang tertegun oleh kekalahan ini akhirnya gemetar dan cemas memandang semua pembantunya. Merasa putus asa. Tapi Han-taijin yang kini maju melangkah menjatuhkan diri berlutut berkata dengan suara nyaring, jelas dan memberi harapan baru,

“Sri baginda, hamba mempunyai akal untuk menyelesaikan persoalan ini. Kalau sri baginda mau akal ini boleh dicoba!”

Sri baginda terbelalak, masih ragu dan bingung. “Akal apa, taijin? Meminta bantuan orang luar?”

“Tidak, orang kita sendiri dapat melakukannya, sri baginda. Tapi terus terang saja mengandung resiko yang berat.”

“Apa itu? Siapa yang dapat melakukannya?”

Han-taijin lalu bercerita. Dia menerangkan pada sri baginda bahwa Gurba adalah seorang gagah perkasa yang keras hati, kaku dan tak mudah diajak kompromi kalau keadaan sudah seperti itu. Tapi Han-taijin yang telah menyelidiki keadaan raksasa Tar-tar yang lihai ini mendapat kenyataan akan satu kelemahan raksasa itu. Bahwa Gurba tak akan menyerang wanita, amat menghargai wanita dan selama ini masih bujangan.

Konon katanya secara diam-diam mencintai sumoinya dan merana karena sumoinya tak mengacuhkannya karena Salima mungkin mencintai suhengnya nomor dua, Kim-mou-eng. Dan Han-taijin yang hendak memasuki kelemahan ini dengan mengajukan seorang wanita untuk menggoda pemimpin bangsa Tar-tar itu akhirnya berkata pada sri baginda,

“Sebaiknya kirim seorang selir paduka yang terpandai, sri baginda. Bujuk dan jebak raksasa itu agar melakukan hubungan badan!”

Kaisar terkejut. “Kenapa begitu? Apakah tak berbahaya?”

“Tidak, karena ini memang resikonya, sri baginda. Tapi begitu raksasa itu terjebak dan melakukan hubungan badan dengan selir paduka maka seluruh bangsa Tar-tar akan membenci dan mengutuk perbuatannya karena suku bangsa ini pantang berzina dengan wanita yang sudah bersuami!”

Kaisar terkejut, tapi girang bukan main. “Ah, kalau begitu boleh kuterima akalmu, taijin. Kirimkan saja Bi Nio ke sana. Dia pandai dan merupakan selirku yang mahir bermain cinta!”

Han-taijin gembira. Dia merasa optimis akan usulnya ini, sementara yang lain masih ragu-ragu dan kurang percaya. Tapi kaisar yang sudah memanggil Bi Nio dan menyuruh selirnya yang cantik itu menghadap dan mendengarkan apa yang direncanakan akhirnya ditanya kaisar tentang kesanggupannya. Apakah selir itu bersedia dan berani memikul tugas yang berat ini, siap dikirim ke tempat suku bangsa yang dianggap liar itu.

Liar tapi pantang berzina dengan wanita yang sudah bersuami karena perbuatan itu dianggap pengecut. Tidak jantan. Jadi bertolak belakang dengan kegagahan dan keberanian yang diagul-agulkan bangsa itu. Dan Bi Nio yang tentu saja terkejut dan berdebar mendengar tugas yang berat ini akhirnya mengangguk, terang tak berani menolak dan menjatuhkan dirinya berlutut.

“Hamba akan coba melaksanakannya sekuat mungkin, sri baginda. Tapi kalau gagal mohon paduka sudi memberi ampun!”

Pendekar Rambut Emas Jilid 06

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 06
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
SALIMA membuka mata. Kim-mou-eng melihat betapa sumoinya itu menahan rasa malu yang amat sangat, tapi gadis yang tahu akan keadaan darurat ini akhirnya gemetar, bertanya lirih, “Jadi bagaimana, suheng? Tak dapatkah diambil?”

“Dapat, tapi...” Kim-mou-eng ragu.

“Tapi apa, suheng?”

Kim-mou-eng tak menjawab, merah mukanya dan menggigil memandang sumoinya itu. Dan ketika Salima terisak dan gadis itu mengeluh kesakitan akhirnya pendekar ini bicara juga, gemetar suaranya, “Jarum terlalu dalam, sumoi. Tak dapat dicabut kecuali disedot. Maaf, kau mau atau tidak aku melakukan hal itu!”

Salima tiba-tiba mengerang gadis ini merah padam tak kalah oleh suhengnya sendiri, bibir digigit kuat-kuat tapi mata terpejam. Tapi menyadari bahwa itulah satu-satunya cara untuk mengambil jarum beracun akhirnya Salima menangis tersedu. “Baiklah, kau lakukan itu, suheng. Kau sedot jarumnya dan cepat ambil. Aku tahu keadaan ini!”

Kim-mou-eng mengangguk. Dia sudah minta maaf pada sumoinya itu, mendekatkan muka menempelkan mulut di buah dada sumoinya, mata juga terpejam karena dia tak berani lama-lama memandang bagian yang membuat jantung pria serasa terbetot. Dan begitu mulut menempel lekat tiba-tiba Kim- mou-eng sudah menghisap, menekan semua guncangan berahinya yang timbul bagai dibakar, mengerahkan segala kekuatan batinnnya untuk memusatkan perhatian pada penyedotan jarum beracun itu. Dan begitu jarum terhisap dan tersedot keluar akhirnya Salima menangis mengguguk mencengkeram kepala suhengnya.

“Suheng, aku malu... malu...!”

Kim-mou-eng gemetaran. Dia juga malu melakukan hal itu, baru kali itu meraba sekaligus menghisap buah dada sumoinya. Bukan kesengajaan melainkan keterpaksaan belaka, gara-gara jarum beracun. Tapi ketika pekerjaan itu selesai dan jarum yang berwarna hitam itu telah tersedot keluar akhirnya Kim-mou-eng melepaskan diri mendorong sumoinya itu, memberi obat penawar racun dan bangkit berdiri. Dan ketika sumoinya mengguguk dan Salima merah padam maka pendekar ini terhuyung keluar dengan kaki menggigil.

“Sumoi, kau beristirahatlah. Aku akan bersamadhi di ruang depan!”

Salima bercucuran air mata. Bahaya itu telah lewat, tapi kejadian yang baru saja mereka alami dan tak mungkin dilupakannya seumur hidup itu membuat gadis ini diguncang bermacam perasaan. Ada malu dan marah. Ada benci tapi juga girang. Aneh! Dan Salima yang mengguguk menutupi mukanya akhirnya tepekur dan merenungkan apa yang baru saja ia alami, gemetar menggigit bibir karena dia masih teringat perbuatan suhengnya tadi. Menghisap buah dadanya, menyedot racun hingga dia merinding, pucat dan merah berganti-ganti. Tapi membayangkan ada perasaan nikmat ketika suhengnya itu melakukan perbuatan itu mendadak Salima tertegun dan memejamkan matanya.

Sungguh mati, kalau bukan suhengnya itu yang melakukan perbuatan itu tentu sudah dia bunuh laki-laki itu. Tak sudi dia disentuh. Tak sudi sembarangan pria meraba-raba tubuhnya. Tapi karena yang melakukan itu adalah suhengnya sendiri dan diam - diam dia memang mencinta suhengnya itu mendadak Salima tersenyum dan ingin dilukai jarum lagi!

Wanita memang aneh. Siapa tahu perasaannya? Siapa dapat menyelami hatinya? Dan Salima yang tersenyum dengan air mata yang masih bercucuran itu mendadak bangkit berdiri. Sekarang jarum tak ada lagi di tubuhnya. Racun telah hilang. Dan dia yang merasa pulih dan sehat kembali akhirnya berindap hati-hati menuju ruang depan. Di situlah suhengnya bersamadhi, tentu menenangkan guncangan setelah kejadian itu. Dan ketika dilihatnya suhengnya duduk bersila dengan punggung tegak tiba-tiba Salima bersinar matanya dan menyorot kemesraan memandang pria berambut keemasan itu.

Betapa tampan suhengnya itu. Betapa gagah. Gagah dan agung, juga sopan karena tak mau mempergunakan kesempatan tadi untuk mempermainkan tubuhnya. Benar-benar menghisap jarum dan tidak nggrayang ke sana ke mari seperti biasanya kaum hidung belang. Pria yang menarik dan simpatik! Dan Salima yang tersenyum memandang suhengnya itu dengan mata bersinar-sinar akhirnya maju mendekat dengan seruan lirih, “Suheng...!”

Kim-mou-eng membuka mata, terbangun dari samadhinya, memandang sumoinya yang sudah ada di depannya, berlutut. Sejenak terkejut tapi berseri melihat sumoinya ini sembuh. Dan Salima yang tersenyum memandang suhengnya tiba-tiba membuat Kim-mou-eng balas memandang dengan pandangan mesra. “Sumoi, kau telah sembuh?”

Salima mengangguk, menundukkan mukanya. “Berkat kau, suheng. Terima kasih...!”

“Ah, untuk apa berterima kasih, sumoi? Itu memang sudah menjadi kewajibanku. Justeru aku yang, ah... aku yang harus minta maaf padamu, sumoi. Aku telah lancang mengetahui bagian tubuhmu yang terlarang!”

Salima tiba-tiba merah mukanya, menggigil seperti orang kedinginan. Dan ketika dia terisak dan Kim-mou-eng juga semburat merah tahu-tahu gadis ini telah menubruk suhengnya dan menangis tersedu-sedu. “Suheng, kau tak akan menghinaku, bukan?”

Kim-mou-eng terkejut. “Menghina bagaimana, sumoi?”

“Menghina setelah... setelah kejadian itu!”

“Aku tak akan menghinamu, sumoi. Justeru aku yang patut kau hina atau kau maki kalau perbuatanku menyakitimu!”

“Tidak, tidak...!” Salima menggeleng. “Itu bukan kesengajaanmu, suheng. Itu terjadi karena di luar kemauan kita!”

“Jadi bagaimana kemauanmu?”

“Aku minta kau tak memperolok-olok aku, suheng. Bahwa... bahwa kau tak akan menceritakan pada siapapun apa yang telah terjadi itu!”

Kim-mou-eng tiba-tiba tersenyum. “Sumoi, siapa mau berbuat gila seperti itu? Kenapa kau berpikir begitu?” dan ketika Salima tidak menjawab dan Kim-mou-eng mengangkat dagu gadis ini akhirnya Salima memandang suhengnya itu, sekejap saja, karena sedetik kemudian dia telah memejamkan mata dan mau melengos. Tapi suhengnya yang menahan gerakan itu dan berbisik lembut tahu-tahu sudah menggeserkan pertanyaan di belakang telinganya, “Sumoi, kau tak marah padaku, bukan?”

Salima menggeleng.

“Kenapa memejamkan mata?”

Salima tak menjawab.

“Ayo, kenapa kau tak mau membuka matamu, sumoi? Apakah kau marah?”

“Tidak,” Salima akhirnya menjawab lirih. “Aku malu, suheng. Aku malu padamu!”

Kim-mou-eng tiba-tiba tertawa, mencium rambut sumoinya itu hingga Salima tersentak. Dan ketika Kim-mou-eng mendorong sumoinya itu dan menyuruh Salima duduk berhadapan akhirnya gadis ini tak dapat menyembunyikan diri lagi dan berpandangan dengan suhengnya itu, malu-malu gugup dan tampak bingung. Tapi ketika suhengnya memandang mesra dan dua pasang mata beradu lembut tiba-tiba Salima mengeluh menutupi mukanya.

“Suheng, aku takut...!”

“Takut apa?” Kim-mou-eng menyentuh pundaknya, tergetar dan berguncang melihat kecantikan sumoinya ini, mengusap lembut dan tiba-tiba merasa hangat berdekatan dengan sumoinya itu. Dan ketika Salima tidak menjawab dan Kim-mou-eng meraih Salima tahu-tahu gadis itu telah merapat dipelukannya yang mesra. “Kau takut apa, sumoi? Bukankah ada aku di sini?”

“Itulah,” Salima menggigil. “Aku takut kehilangan dirimu, suheng. Takut kalau kau... kalau kau...” Salima tak meneruskan kata-katanya, terisak dan tiba-tiba menangis dipelukan suhengnya itu. Dan ketika Kim-mou-eng lagi-lagi mencium rambutnya dan Salima mengguguk tak dapat menahan diri mendadak gadis ini melompat bangun melarikan diri! “Suheng, aku tak mau kau menipuku...!”

Kim-mou-eng terkejut. Salima telah berkelebat keluar kelenteng dengan cepat sekali, melesat di luar pintu dan menangis dengan penuh kesedihan. Dan Kim-mou-eng yang tentu saja kaget dan heran tak mengerti tiba-tiba mengejar dan berteriak memanggil, “Sumoi, tunggu...!”

Namun Salima tancap gas. Gadis ini tak peduli, meneruskan larinya dan menangis tersedu-sedu. Tapi Kim-mou-eng yang telah mengerahkan ginkangnya dan berkelebat melompati kepala sumoinya tiba-tiba mencengkeram dan menahan sumoinya itu.

“Sumoi, tunggu...!”

Salima hampir terguling. Ia menabrak dan langsung terjungkal dalam pelukan suhengnya itu, kaget dan berteriak keras melepaskan diri, meronta. Namun Kim-mou-eng yang menotok tubuhnya hingga lemas tak berdaya akhirnya membuat gadis ini menangis tersedu-sedu, menutupi mukanya. “Suheng, kau jahat. Kau buruk!”

Kim-mou-eng membebaskan totokan sumoinya. Sekarang Salima tak melarikan diri lagi, mengguguk dalam pelukannya. Dan ketika tangis itu reda dan Kim-mou-eng mengerutkan alisnya maka bertanyalah dia, “Sumoi, kenapa kau melarikan diri? Kenapa kau takut?”

Salima terguncang. Pundak yang terangkat naik turun itu masih terisak, tapi ketika suhengnya mengusap dan Kim-mou-eng memandang mesra serta mencium keningnya mendadak Salima mengeluh. “Suheng, kau sayang padaku, bukan?”

“Tentu.”

“Dan kau tak akan membiarkan aku berduka?”

“Tentu. Ada apa, sumoi? Kenapa pertanyaanmu demikian aneh?” Kim-mou-eng tersenyum, mengangkat wajah sumoinya itu dan tergetar melihat pandangan sumoinya yang lembut menusuk jantung, mesra menggetarkan hatinya hingga hampir dia meram. Tak kuat melihat mata yang begitu bening indah menyapu wajahnya. Dan ketika Salima tersenyum dan bibir yang merah basah itu bergetar bergerak-gerak tapi sukar mengeluarkan suara mendadak seperti orang tersihir tahu-tahu Kim-mou-eng menunduk dan mencium bibir yang penuh daya pesona itu. Begitu saja mengejutkan Salima! “Sumoi, kau cantik!”

Salima tersentak. Bibirnya tahu-tahu telah dicium lembut, dikecup perlahan dan akhirnya dilepaskan dengan kaget pula oleh Kim-mou-eng. Sadar setelah berbuat. Seolah dia terbius oleh pengaruh sihir yang melumpuhkannya sekejap tadi! Dan Salima yang mengeluh tapi berseri girang mendadak merangkul suhengnya itu dan terengah memejamkan mata. “Suheng, kau... kau nakal!”

Kim-mou-eng tertegun. Sekarang dia sadar akan perbuatannya tadi, mengeluh dan diam-diam memaki kenapa dia tak dapat menahan diri. Mabuk sedetik oleh bibir yang bergerak-gerak indah itu. Tapi melihat sumoinya tak marah dan kini gadis itu mendekap tubuhnya erat tiba-tiba Kim-mou-eng mundur tersenyum pahit.

“Sumoi, maaf. Aku... aku tak sengaja!”

Salima mengangkat mukanya. Kim-mou-eng terpaksa ganti memejamkan mata melihat pandangan yang begitu bening menghunjam tak malu-malu memandangnya, hilang sudah rasa likat Salima tadi setelah suhengnya menciumnya. Seakan mendapat kekuatan aneh dan pernyataan langsung dari adanya getaran cinta. Dan Salima yang tertawa setengah tersenyum tiba-tiba menggeliat mencubit suhengnya. “Suheng, kau memang nakal. Tapi aku tak marah! Kau mencintaiku, bukan?”

Kim-mou-eng membuka matanya. Dia tersentak mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan cinta! Tapi melihat sumoinya tersipu manja dan dia juga telah melakukan sesuatu “panjar” hingga sumoinya tak akan melupakannya seumur hidup akhirnya Kim-mou-eng kebat-kebit menenangkan guncangan perasaannya, harus jujur. “Entahlah, mungkin saja, sumoi. Tapi kalau cinta sebagai kakak dan adik memang tak kusangkal!”

Salima tertegun, membelalakkan matanya. “Eh, apa maksudmu, suheng?”

“Maksudku,” Kim-mou-eng menekan semua ketegangannya. “Aku harus jujur dan hati-hati menjawab persoalan yang satu ini, sumoi. Bahwa aku tak ingin membuatmu kecewa di kelak kemudian hari!”

“Tapi... tapi...”

Kim-mou-eng menyesal. “ Sudahlah, biar kita bicarakan persoalan yang satu ini lain hari saja, sumoi. Aku tak ingin melukai hatimu sebelum aku sendiri mendapat keyakinan.”

“Ah...!” Salima tiba-tiba mundur selangkah. “Tapi kau telah mencium bibirku, suheng. Kau telah melakukan itu tanpa kuminta! Apakah itu bukan tanda cintamu kepadaku?”

Kim-mou-eng merah mukanya. “Aku kehilangan pikiran saat itu, sumoi. Aku memang khilaf. Aku...”

“Tidak!” Salima tiba-tiba membentak, pucat mukanya. “Kau jawab saja sekarang, suheng. Apakah perbuatanmu itu untuk menghina diriku atau memang timbul dari hasrat kasih sayangmu. Aku tak mau dipermainkan!”

Kim-mou-eng kaget. “Sumoi, kenapa begini? Aku...” Kim-mou-eng menggigil, melihat sumoinya itu memandangnya berapi-api dengan air mata bercucuran. Tapi karena dia saat itu juga tak tahu apakah sebenarnya yang mendorongnya untuk melakukan ciuman tadi akhirnya pemuda ini diam saja dan tak meneruskan kata-katanya, disambut kemarahan Salima yang tiba-tiba tersinggung, merasa terhina. Marah bukan main. Merasa dipermainkan. Dan Salima yang memekik tinggi tahu-tahu mencelat ke depan menampar suhengnya itu.

“Suheng, kau menghina diriku...Plak-plak!”

Kim-mou-eng terjengkang. Dia roboh oleh tamparan sumoinya itu, pecah bibirnya, melelehkan darah dan melompat bangun dengan muka berubah-ubah, kaki semakin gemetaran tapi tidak membalas perbuatan sumoinya itu. Dan Salima yang tertegun melihat suhengnya kembali tidak bicara apa-apa selain mendelong bagai orang bersalah mendadak menangis tersedu-sedu dan memutar tubuhnya melarikan diri.

“Suheng, kau pemuda tak berperasaan. Kau kejam. Aku bersumpah tak mau disentuh lain pria setelah perbuatanmu tadi. Awas, aku akan membunuh setiap wanita yang coba-coba kau cintai!”

Kim-mou-eng bengong. Dia sadar setelah sumoinya berkelebat lenyap, sadar oleh ancaman yang mengejutkan itu. Maka meloncat berteriak pendek dia coba memanggil, “Sumoi, tunggu dulu. Aku akan memberi penjelasan...!”

Namun Salima terlanjur dibakar kemarahannya. Dia melengking dikejauhan sana, lengking penuh kecewa dan marah. Dan ketika Kim-mou-eng terhuyung dan terseok mengejar mendadak pendekar ini terguling kesrimpet sebatang akar pohon. Tak ayal Kim-mou-eng mengeluh, tubuh tiba-tiba menggigil tak karuan. Ada rasa salah dan cemas. Tapi takut pada sepak terjang sumoinya yang bakal membuat geger tiba-tiba pendekar ini melompat bangun, menggigit bibir dan mengeraskan hati mengejar sumoinya, mengerahkan ginkang dan sebentar kemudian berkelebat ke arah dimana sumoinya tadi menghilang. Dan begitu pendekar ini memanggil mengejar sumoinya maka tempat itupun sunyi ditinggal pergi.

* * * * * * * *

Memasuki daratan tandus di luar tembok besar memang cukup menakutkan. Padang ilalang disertai semak belukar yang kering dan gersang menimbulkan semacam perasaan ngeri untuk tinggal di situ, melihat sekeliling penjuru hanya tanah-tanah keras dan bumi yang retak. Jarang ada rumput-rumput segar atau pepohonan yang hijau. Tapi kalau orang mau menjelajah seluruh wilayah ini maka orang akan tercengang dan merasa heran bahwa banyak pemukiman yang sifatnya terpencar-pencar mengisi daratan yang gersang itu.

Itulah kaum atau suku nomad. Bangsa pengembara yang terdiri atas banyak suku. Tapi, satu dari sekian banyak suku adalah bangsa Tar-tar yang mendominasi wilayah daratan tandus ini. Mereka berjumlah ribuan, hidup dari memelihara ternak yang jumlahnya juga ribuan. Tidak kurang dari seratus ribu ekor hewan baik domba maupun sapi. Maklum, mereka tak dapat hidup dari bercocok tanam karena tanah di daerah itu tidak subur dan hanya cocok untuk peternakan saja. Dan bangsa Tar-tar yang hidup di tengah-tengah alam yang keras ini memang menciptakan mereka sebagai orang-orang yang keras pula.

Tapi mereka, seperti bangsa lain di dunia juga menyadari arti pentingnya peraturan. Mereka hidup dari satu wilayah ke wilayah lain, mengembalakan ternak-ternak mereka untuk mencari rumput-rumput baru. Dan karena wilayah yang luas itu juga diisi oleh suku-suku bangsa lain yang sama-sama mencari makan maka sering terjadi bentrokan dan permusuhan diantara kalangan orang-orang nomad ini. Tak jarang diantara mereka terjadi saling bunuh besar-besaran, hanya untuk sekedar mempertahankan daerah berumput yang mereka kuasai.

Dan karena hidup yang keras membuat mereka juga keras maka pertempuran atau pembunuhan yang terjadi diantara mereka lama-lama menjadikan mereka biasa akan segala permusuhan itu. Terbiasa melihat darah dan menggelimpangnya tubuh-tubuh tak bernyawa, kadang berserakan diantara bangkai-bangkai binatang yang juga ikut terbunuh. Pemandangan yang tidak lagi mengerikan bagi suku-suku nomad itu yang lama-lama menjadi kebal akan penglihatan seperti itu.

Tapi ketika suatu hari suku bangsa Tar-tar dikejutkan oleh pemandangan yang tidak biasa di pagi hari itu dengan terbunuhnya wanita-wanita hamil yang ada dikalangan mereka dan tujuh wanita tewas dengan orok yang masih merah di dalam perut maka kejadian pagi itu cukup membuat gempar semua suku bangsa ini. Apalagi orok yang masih di dalam perut itu juga dicincang hingga berujud perkedel!

“Keparat, siapa melakukan kekejian ini?”

Semua suku bangsa Tar-tar marah. Mereka melapor pada pemimpin mereka, Gurba, laki-laki tinggi besar berkulit hitam yang biasa mereka panggil “hanggoda” (pemimpin), yakni suheng dari Kim-mou-eng dan Salima yang tinggal sendiri di tempat itu, tak lagi bersama adik-adik seperguruannya karena Kim-mou-eng telah meninggalkan tempat itu disusul Salima. Jadi membuat pertahanan suku bangsa Tar-tar lemah karena Gurba harus mengurus rakyatnya seorang diri, hanya dibantu beberapa orang yang tentu saja tak dapat diandalkan seperti dua adiknya laki-laki dan perempuan itu. Dan Gurba yang terkejut serta marah besar mendengar laporan ini lalu menuju tempat peristiwa dengan kumis terangkat naik.

Dan raksasa tinggi besar ini terbelalak. Dia melihat mayat tujuh wanita hamil itu, dibelek perutnya dan tampak cincangan daging dari orok di dalam perut, hampir yang lain muntah melihat pemandangan itu. Perbuatan yang tidak berperikemanusiaan. Namun Gurba yang melihat sesuatu di balik mayat seorang diantaranya tiba-tiba membungkuk mengambil secarik kertas, berisi pengakuan atau pertanggungjawaban dari seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan perbuatan ini. Dan begitu dia membaca apa yang terjadi tiba-tiba saja raksasa tinggi hitam ini mendelik.

“Jahanam, kiranya dari suku U-fak.”

Semua orang terkejut. Mereka teringat siapa suku U-fak itu, sebuah suku yang jumlahnya besar dan yang paling memusuhi mereka. Dua bulan yang lalu pernah bertempur habis-habisan dan saling bantai. Hampir mereka kalau kalau tidak ada Gurba di situ, sebuah suku yang kuat dan tidak mau tunduk kepada mereka. Bahkan hendak memaksa mereka tunduk pada suku U-fak itu yang dipimpin dua orang laki-laki bernama Uyin dan Unga, dua laki-laki bersaudara yang pandai melempar lembing dan panah, juga memiliki ilmu silat tinggi yang hebat dan mengagumkan karena mereka mempunyai seorang guru dari pedalaman (Tionggoan).

Konon katanya hebat dan jauh lebih sakti daripada dua pemimpin U-fak itu. Dan Gurba yang tentu saja menggereng melihat perbuatan orang-orang U-fak itu akhirnya membentak berang, berkata pada seorang pembantunya bernama Siga, pemuda bertubuh kekar yang biasanya mendampinginya sejak kepergian dua adik-adik seperguruannya itu,

“Siga, siapkan duaratus orang menemani aku. Kita serbu tempat tinggal suku bangsa U-fak itu. Kita bunuh Uyin dan Unga!”

Siga, pemuda Tar-tar ini mengangguk. Dia juga marah melihat pembantaian terhadap tujuh wanita hamil itu. Ada semacam undang-undang tak tertulis di kalangan suku nomad bahwa mereka tak boleh mengganggu wanita, apalagi membunuhnya biarpun itu musuh. Dan Siga yang tentu saja marah oleh perbuatan suku bangsa U-fak yang biadab ini lalu mengumpulkan duaratus teman-temannya untuk memenuhi permintaan “hanggoda”

Dan duaratus pasukan kecil itu siap di tempat. Mereka adalah pasukan inti, biasa menemani Gurba kalau raksasa tinggi besar ini berperang membela rakyatnya. Merupakan pasukan terpercaya karena Gurba sendiri yang menggembleng mereka. Dan begitu mereka siap dan Gurba mengajak mereka berangkat maka duaratus orang ini serentak berderap menuju ke tempat suku bangsa U-fak, pemuda-pemuda Tar-tar yang gagah berani dan sedikit banyak pandai juga ilmu silat. Gurba lah yang mengajarinya. Pokok-pokok ilmu bela diri termasuk ilmu gulat.

Karena bangsa Tar-tar memang suka akan ilmu yang satu ini, gulat dicampur cengkeraman mirip Sin-na-jiu (ilmu cengkeraman) hingga mereka cukup tangguh dan rata-rata memiliki buku-buku jari yang besar dan keras, kuat dan sanggup meremas hancur sebuah batu sekepalan tangan. Tanda dari kekuatan yang cukup terlatih. Dan ketika dua hari perjalanan mereka tiba di tempat suku bangsa U-fak yang tinggal di sebelah timur daratan tandus akhirnya Gurba memecah pasukannya menjadi empat bagian.

“Siga, kau pimpin teman-temanmu di sebelah utara. Dan Tomba serta Lisang memimpin yang lain di selatan dan barat. Aku akan masuk melalui pintu timur.”

Siga dan dua temannya mengangguk. Mereka sudah cukup terlatih, tahu apa yang dikehendaki sang hanggoda yang tegas ini. Tak banyak bicara dan langsung memecah diri menjadi bagian-bagian kecil seperti yang diperintahkan Gurba tadi. Dan ketika semuanya siap dan masing- masing mengepung dari empat penjuru maka Gurba menghentikan pasukannya yang limapuluh orang itu untuk menantinya sebentar.

“Kalian tinggal dulu di sini. Aku akan melihat keadaan.”

Limapuluh orang itupun mengangguk. Mereka juga sudah terbiasa ditinggal sebentar, tahu bahwa sang hanggoda akan menyelidiki dulu tempat musuh sebelum mereka menyerbu. Maklum akan kesaktian sang pemimpin ini. Tapi Malunga yang sedikit khawatir teringat suku bangsa U-fak yang besar jumlahnya bertanya juga, “Hanggoda, apakah aku tak boleh ikut?”

Gurba tertegun. “Kau di situ saja. Aku sebentar akan kembali.”

“Tapi Uyin dan Unga tentu telah bersiap-siap, hanggoda. Sebaiknya ada seorang diantara kami yang ikut agar tahu bila ada sesuatu.”

“Baiklah,” Gurba tersenyum juga, senyum mengejek. “Kau boleh ikut. Malunga. Tapi tak boleh berbuat apa-apa bila dua keparat jahanam itu tak ada di tempat. Mengerti?”

Malunga mengangguk. Dia seorang pemuda yang tegap, tangkas dan cerdik serta cukup berhati-hati, adik dari Siga yang biasa membantu Gurba untuk hal-hal serius. Memiliki kepandaian silat dan gulat yang cukup baik. Dan, yang penting, merupakan seorang pemuda yang berani hingga sering membuat Gurba kagum. Dan begitu keduanya berangkat dan Malunga menyimpan lembingnya maka dua orang itu telah meninggalkan pasukan mendekati perkemahan suku U-fak yang bertebaran di sekeliling padang rumput.

Gurba tampak geram. Raksasa tinggi besar ini berkerot-kerot giginya, tinjunya yang sebesar buah kelapa itu dikepal. Rontok kepala orang kalau kena tinju raksasa ini. Dahsyat mirip penggada saja. Dan ketika mereka mendekati perkemahan suku bangsa U-fak itu dan Gurba tampak tak sabar maka raksasa ini tiba-tiba berkelebat ketika dua orang terlihat muncul menjaga kemah, sedang bercakap-cakap dan tentu saja terkejut melihat bayangan raksasa tinggi besar itu. Tapi belum mereka berteriak atau apa tahu-tahu keduanya roboh ketika Gurba membenturkan tinjunya pada kepala dua orang itu.

“Dukk!”

Malunga kagum. Dia melihat dua orang laki-laki itu telah roboh tak berkutik, tombak mereka lepas dan Gurba telah menendangnya hingga mereka itu mencelat ke arahnya. Dan ketika Malunga menangkap dan dua laki-laki itu dicekik jari-jari Gurba yang sebesar pisang ambon maka dua orang ini terbelalak dan mendelik tak dapat bernapas. “Hayo, dimana pimpinan kalian!”

Dua laki-laki bangsa U-fak itu mengeluh. Mereka tak dapat bicara, kaget melihat siapa yang datang. Gurba tokoh Tar-tar yang hebat itu! Tapi ketika cekikan mengeras dan mereka semakin tak dapat bicara tiba-tiba Gurba yang lupa akan kekuatannya yang dahsyat ini telah meremas hancur tulang leher seorang diantara tangkapannya.

“Krekk!”

Malunga terkejut. Dia melihat laki-laki itu kontan tewas, terkulai kepalanya, tak dapat mengeluh atau menjerit lagi karena tenggorokannya hancur. Persis ayam disembelih! Dan Malunga yang sadar akan keselamatan laki-laki satunya tiba -tiba berseru memperingatkan, “Hanggoda, jangan bunuh dia. Kendorkan cekikan, dia tak dapat bicara...!”

Gurba tertegun. Dia sadar kini akan apa yang terjadi, bahwa cekikannya terlalu kuat hingga tawanannya tak dapat bicara, membuat dia geram dan kelupaan hingga tawanannya yang seorang tewas. Tapi menendang mayat laki-laki U-fak itu dan mengendorkan cekikannya Gurba bertanya pada tawanan satunya yang masih hidup ini, “Hayo, dimana pemimpinmu itu. Kalau tidak kau juga akan kubunuh!”

Laki-laki itu ngewel. Dia sudah ketakutan melihat kehadiran raksasa tinggi besar ini, ngeri melihat kematian temannya yang demikian mudah di tangan Gurba ini, melihat kekuatan jari-jari Gurba yang dahsyat. Maka ketika Gurba mengendorkan cekikannya dan dia dapat bernapas serta berkali-kali menelan ludah akhirnya laki-laki ini bicara sambil menjatuhkan diri berlutut, gemetaran, “Ampun, aku... aku tak tahu dimana pemimpin berada, tai-ong (raja besar). Tapi mereka tadi mengadakan perjamuan di kemah besar... aku tak tahu selain itu. Ampun...!”

“Dimana kemah besar?”

“Di tengah-tengah pusat perkemahan, tai-ong. Kemah berwarna hitam!”

“Hm, kau tak bohong?”

“Tidak, berani sumpah!”

Tapi Gurba mendengus. Dia telah mendupak laki-laki ini, membuat laki-laki itu mencelat dan mengaduh terguling-guling. Tapi ketika laki-laki itu melompat bangun dan lari terbirit-birit mendadak dia berteriak-teriak, “Awas, pemimpin bangsa Tar-tar datang. Dia membunuh U-kiat...!” dan begitu dia berteriak-teriak maka semua orang di dalam tenda tiba-tiba menjadi ribut. Suku bangsa U-fak geger, terkejut mendengar kedatangan tokoh Tar-tar yang ditakuti ini. Tapi Malunga yang marah oleh teriakan orang itu tiba-tiba melempar lembingnya.

“Crep!” Laki-laki itu roboh terjengkang di tanah. Dia tersungkur dengan lembing menancap di belakang punggung, seketika menembus jantungnya dan tentu saja tak dapat menjerit-jerit lagi. Tewas seketika itu juga. Tapi suku bangsa U-fak yang telah berhamburan mendengar kedatangan Gurba dan mengepung tempat itu tiba-tiba telah mengelilingi dua orang ini dengan senjata di tangan, masing-masing tampak beringas tapi gentar, tertegun melihat kedatangan Gurba yang tersenyum mengejek memandang mereka. Maklum akan kesaktian raksasa tinggi besar ini yang hebat luar biasa. Dan ketika sebelas orang mendadak melempar tombak dan menyerang dari belakang sekonyong-konyong Gurba mendengus dan mengebutkan ujung bajunya tanpa menoleh.

“Plak-plak-plak!”

Sebelas tombak itu runtuh. Gurba demikian gampang menangkis, memutar tubuh dan kini memandang sebelas penyerangnya yang terkejut melihat tombak tak berhasil mengenai raksasa tinggi besar itu. Dan ketika Gurba menghentakkan kaki dan sebelas tombak di atas tanah itu terpental melenting berdiri mendadak Gurba mengebutkan kembali ujung bajunya, mendorong tombak yang tiba-tiba “bangkit” secara aneh itu. Dan ketika dia mengibas dan angin pukulan menyambar dari jauh tiba-tiba sebelas tombak itu terbang dan balik menyerang tuannya sendiri!

“Crep-crep-crep!”

Jeritan ngeri terdengar dengan cepat, sedetik saja, susul-menyusul. Dan ketika orang memandang apa yang terjadi mendadak sebelas tubuh roboh bergelimpangan dengan dada ditembus tombak. Itulah penyerang-penyerang gelap tadi! Dan Gurba yang tertawa bergelak mengerahkan kekuatannya tiba-tiba membentak.

“Tikus-tikus busuk, suruh dua pemimpinmu ke mari. Kalau tidak kalian akan mati satu-persatu!”

Suku bangsa U-fak gempar. Mereka telah melihat kematian sebelas orang teman mereka tadi. Tapi seorang diantaranya yang tiba-tiba berteriak menyuruh maju mendadak membuat yang lain sadar, kaget dan marah pada raksasa Tar-tar ini. Dan begitu mereka membentak dan menerjang maju mendadak puluhan tombak menyerang dan menusuk Gurba, bertubi-tubi merupakan hujan serangan yang tiada henti.

Namun Malunga yang membentak melompat ke depan tiba-tiba menangkis dengan lembingnya yang sudah dicabut dari mayat laki-laki pertama tadi, melindungi Gurba dan tampak berani menyambut puluhan tombak yang menghambur maju. Tapi Gurba yang terbahak dengan suaranya yang menyeramkan tiba- tiba menarik kedua pundak pembantunya itu, melempar Malunga keluar dari kepungan. Begitu saja seolah Malunga adalah boneka yang terbuat dari bahan yang ringan. Dan begitu dia membentak dan Malunga terkejut diluar sana maka puluhan tombak yang mengenai tubuh raksasa ini mental semua dan patah!

“Tak-krek-krek...!”

Semua orang terkejut. Mereka melihat kekebalan raksasa tinggi besar itu, melihat mata Gurba yang mencorong berkilat-kilat. Dan belum mereka melompat mundur untuk menyelamatkan diri tahu-tahu Gurba telah menangkapi mereka dan membanting orang-orang itu satu persatu di atas tanah. Tak ayal jerit kesakitan terdengar di sana-sini. Orang-orang itu mawut, patah tulang-tulangnya dan banyak diantaranya tak dapat bangun berdiri. Roboh berpelantingan dan tumpang-tindih. Tak karuan lagi. Sebentar saja telah limapuluh orang yang menjadi korban! Tapi ketika Gurba menggereng-gereng dan memanggil Uyin dan Unga agar keluar menemui dirinya dan lawan mundur dengan muka pucat dan ketakutan mendadak dua bayangan laki-laki berkelebat keluar melempar lembingnya.

“Gurba, kami ada di sini... wuut!”

Gurba terkejut. Dua lembing panjang menyambarnya dahsyat, dilontarkan oleh tangan yang ahli dan kuat. Tapi Gurba yang lagi-lagi tak menangkis dan menjengekkan mulutnya tiba-tiba telah menerima sambaran dua lembing itu, runtuh dan patah mengenai tubuhnya yang sudah dilindungi kekebalan, sedikit terdorong tapi tidak apa-apa. Dan ketika dia berdiri tegak dan dua bayangan itu berjungkir balik turun di depannya maka tampaklah dua laki-laki gagah perkasa berumur sekitar empatpuluhan tahun telah berhadapan dengannya dengan mata berapi-api, kepala mereka mengenakan topi burung. Uyin dan Unga!

“Gurba, kami telah datang di sini. Jangan mengganggu orang-orang kecil yang bukan lawanmu!”

Gurba menggeram. Dia ganti memandang dua pemimpin suku bangsa U-fak itu dengan mata seolah siap menerkam, teringat kematian tujuh wanita hamil yang menjadi rakyatnya itu, sedikit tertegun dan juga heran karena dua kakak beradik yang pernah dikalahkan itu tidak menampakkan rasa takut sedikit pun juga. Beda dengan dulu. Bahkan kini memandangnya dengan marah dan berapi- api. Begitu berani! Tapi Gurba yang mengira keberanian dua orang pemimpin U-fak ini mungkin didorong oleh banyaknya suku bangsa U-fak di situ akhirnya mendengus bertanya dingin,

“Uyin, kenapa kau membunuh tujuh wanita Tar-tar yang menjadi rakyatku? Menyangkalkah kau akan perbuatan biadab ini?”

Uyin, laki-laki di sebelah kanan tertawa mengejek. “Kami tak menyangkal perbuatan itu, Gurba. Dan kami sengaja melakukan itu untuk membalas dendam! Tapi mana itu pasukanmu yang gagah berani? Kenapa datang berdua?”

Gurba tertawa dingin. “Aku tak perlu banyak bantuan untuk membunuhmu, Uyin. Sekalian ingin menguji apakah peraturan kaum nomad masih kau patuhi. Dulu kau kuampuni, kenapa sekarang demikian berani mati mencari penyakit? Rangkapkah nyawamu?”

Unga, laki-laki di sebelah kiri ini menjawab, “Gurba, kami telah siap menyambut kau dan pasukanmu. Peraturan kaum nomad tetap kami pegang teguh. Apa yang kau maui sekarang?”

“Tentu saja membunuh kalian!” Gurba membentak marah. “Mau apalagi? Apakah kalian mengira aku melancong datang ke tempat ini? Kalian telah menyalahi undang-undang tak tertulis, Unga. Kalian telah mengganggu dan membunuh wanita!”

“Peduli amat!” Unga menjengek. “Kami menganggap semua orang Tar-tar adalah musuh, Gurba. Dan sekarang kami ganti akan membunuhmu... sing!”

Unga yang telah mengambil senjata baru dan menusukkan tombaknya ke perut Gurba tiba-tiba membentak menyuruh kakaknya membantu, menerjang ke depan dan tidak banyak cakap lagi menyerang lawannya itu. Dan ketika Uyin juga mencabut gendewa dan menyerang dengan anak panahnya yang dilakukan seperti menyerang dengan sebatang tombak kecil maka raksasa tinggi besar itu telah dikeroyok dua oleh pemimpin suku bangsa U-fak ini, mendengus dan menangkis dengan kedua lengannya hingga tombak dan anak panah mental. Dan ketika Unga berteriak keras menerjang kembali maka Uyin melengking tinggi di belakang adiknya itu.

“Unga, mainkan Coa-mo-kun (Silat Ular Iblis)...!”

Unga mengangguk. Dia telah meliuk-liuk dengan tombak di tangan, melenggak-lenggok dengan lemas, mata tombak menyambar-nyambar dan merupakan mulut ular yang mematuk segala penjuru. Sebentar saja memagut lawan bertubi-tubi. Dan ketika Uyin membentak dan mainkan anak panah seperti adiknya pula maka dua kakak beradik ini telah mainkan Coa-mo-kun secara berpasangan.

“Wut... plak-sing!”

Gurba menggeram. Sebenarnya dia telah mengetahui ilmu silat dua pemimpin suku bangsa U-fak itu, tahu mereka mahir mainkan Coa-mo-kun. Tapi karena dia memiliki ilmu silat lebih tinggi dan sinkangnya mampu memberikan kekebalan menerima tusukan senjata tajam maka dia tidak takut dikeroyok seperti itu. Tapi Unga dan kakaknya ternyata kali ini bersikap lain. Mereka menyerang secara ganti-berganti, sebentar di belakang sebentar di muka. Tombak tidak melulu menyerang ke bawah tapi juga ke atas, mengarah kedua mata Gurba yang tentu saja tak dapat dilindungi sinkang, membuat raksasa ini terbelalak.

Dan ketika satu kali keningnya tergurat dan Unga tertawa gembira mendadak Gurba menggeram ketika mendengar sorak-sorai para suku U-fak yang gembira melihat keberhasilan ini. Marah karena lawan selalu mengincar matanya. Dan ketika kembali tombak dan anak panah menyambar matanya tapi luput mengenai sasaran karena Gurba merendahkan kepalanya mendadak raksasa tinggi besar ini meledakkan telapak tangannya, mengeluarkan Tiat-lui-kang, ilmu yang sebenarnya jarang dia keluarkan kalau tidak ingin cepat merobohkan lawan.

“Unga, kalian tak dapat mengalahkan aku. Aku yang akan membunuh kalian, awas... darr!” Gurba tiba-tiba mengejutkan lawan, mengeluarkan Tiat-lui-kangnya yang dahsyat itu hingga meledak nyaring, bumi seketika bergetar hingga sepuluh orang jatuh terlempar roboh. Kaget oleh suara ledakan yang mengguncang itu. Dan ketika Uyin dan Unga juga tersentak dan mereka menyeringai menahan jantung yang seolah dipecah dari depan mendadak Gurba telah berkelebat maju menangkap tombak dan anak panah mereka.

“Cep-krak!”

Unga dan kakaknya terkejut. Senjata mereka tahu-tahu telah diremas hancur, begitu saja menjadi bubuk di telapak Gurba yang penuh getaran tenaga Tiat-lui-kang, hangus terbakar. Dan ketika mereka membelalakkan mata dan kaget oleh kelengahan ini tahu-tahu Gurba telah menampar kepala mereka dengan telapak dibuka lebar-lebar.

“Unga, awas...!”

Uyin telah membanting tubuh bergulingan. Pemimpin utama suku U-fak ini kaget setengah mati, ngeri melihat telapak Gurba yang merah membara persis besi dibakar sementara angin panas juga menyambar dari telapak raksasa itu, dahsyat sekali. Dan ketika Uyin berteriak dan membanting tubuh bergulingan maka pada saat yang sama Unga juga telah menyelamatkan dirinya dari pukulan Tiat-Iui-kang itu.

“Bress!”

Bumi hangus kehitaman. Uyin dan adiknya telah melompat bangun, gentar dan ngeri oleh kedahsyatan raksasa ini. Tiat-lui-kang yang amat ditakuti dua kakak beradik itu, ilmu yang dulu juga telah mengalahkan mereka. Tapi ketika Gurba melompat dan menubruk mereka bagai singa haus darah tiba-tiba Uyin menjepret gendewanya meluncurkan lima batang anak panah yang telah dilepas secepat kilat, disusul adiknya yang juga menyerang dengan lima batang anak panah menyambut tubrukan Gurba. Tapi ketika raksasa itu menggeram dan sepuluh anak panah runtuh mengenai tubuhnya maka saat itulah tamparan Tiat-lui-kang menderu menyambar mereka.

“Plak-dess!”

Dua kakak beradik ini mencelat. Mereka mengeluh tertahan, hangus baju pundaknya dan terguling-guling. Hampir menjerit kalau tidak malu. Dan Uyin serta adiknya yang sudah melompat bangun dengan kaki terhuyung tiba-tiba berseru, “Bunuh orang ini. Lepaskan anak panah...!”

Dan, begitu mereka melompat mundur dan ratusan orang mementang gendewa tiba-tiba Gurba diserang hujan panah yang bukan main banyaknya, membuat raksasa ini menggereng-gereng dan melindungi mukanya dari sambaran hujan panah itu, membiarkan panah-panah lain runtuh dan patah mengenai bagian tubuhnya yang lain karena dia kebal. Dan ketika Gurba membentak dan mengibaskan tangannya ke kiri kanan tiba-tiba penyerang yang ada di depan bergelimpangan roboh, mendapat pukulan jarak jauhnya yang hebat bukan kepalang. Menderu bagai angin topan, mengejar Uyin dan adiknya yang berteriak-teriak di belakang pasukan.

Dan ketika pasukan mawut dan barisan depan tunggang- langgang dikibas raksasa tinggi besar ini hingga terbuka sebuah lubang maka saat itulah secepat kilat Gurba menyambar dua lawannya itu, berkelebat mencengkeram mereka dengan jari-jari berkerotok. Tapi persis Uyin dan adiknya terkesiap kaget mendadak sebuah bayangan terkekeh panjang menangkis serangan Gurba ini.

“Hanggoda, tahan... dukk!”

Gurba tergetar. Dia melihat seorang kakek muncul dengan amat tiba-tiba, mukanya selalu ketawa tapi matanya jelalatan, seorang kakek pendek kecil yang menangkis cengkeramannya tadi, membuat Gurba terdorong sementara kakek itu berseru kaget terpental ke atas, berjungkir balik dan kini melindungi dua pemimpin U-fak itu. Dan ketika Gurba berhadapan dan Uyin serta Unga berlutut menyebut “suhu” (guru), segera sadarlah raksasa tinggi besar ini bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang berkepandaian tinggi!

Namun Gurba tidak gentar. Dia terdorong setindak, sementara kakek itu terpental beberapa tindak. Berarti tenaganya lebih kuat dan tidak perlu takut. Tapi Gurba yang tidak mengenal kakek ini dan baru kali itu berjumpa muka segera membentak dengan pertanyaan mengguntur, dikelilingi ratusan suku U-fak yang kini mundur tapi mengelilingi mereka dari jauh, “Tua bangka, siapa kau dan kenapa mencampuri urusan ini? Kau jelas orang Han, bukan suku nomad. Kenapa berani mati mencari penyakit?”

Kakek itu terkekeh, nyaring melengking. “Aku Siauw-bin-kwi, hanggoda. Memang betul bukan orang nomad tapi dua orang ini adalah muridku. Kau berani mati mencari penyakit di sarang naga!”

“Siauw-bin-kwi (Iblis Muka Ketawa)?” Gurba tak mengenal, mengerutkan keningnya karena dia memang belum pernah ke daerah pedalaman, tak mengenal orang-orang sakti di sana dan tak tahu bahwa Siauw-bin-kwi adalah satu dari Jit-mo Kang-ouw (Tujuh Iblis Dunia Persilatan), iblis yang sakti dan tentu saja berkepandaian tinggi. Setingkat dengan Sai-mo-ong dan kawan-kawannya itu. Dan Siauw-bin-kwi yang terkekeh dan mengangguk memandang kagum tiba-tiba maju ke depan membelai jenggotnya yang putih, jenggot pendek mirip jenggot kambing.

“Ya, aku Siauw-bin-kwi, hanggoda. Kau pemimpin suku Tar-tar, bukan?”

“Benar.”

“Kalau begitu baik-baik saja kita bersahabat. Dua orang muridku ingin menggabung suku U-fak dengan bangsa Tar-tar. Kau dapat menjadi pembantunya, ilmumu cukup hebat. Sebaiknya kau tak perlu memusuhi kami dan tinggal bersama kami!”

Gurba mendelik. “Siauw-bin-kwi, siapa sudi berteman dengan musuh? Mereka telah membunuh tujuh orang rakyatku. Aku tak terima dan harus membalas kekejaman ini!”

“Heh-heh, siapa yang membunuh cacing-cacing betina itu, hanggoda? Mereka tidak melakukannya, yang melakukan adalah aku. Aku sebal melihat orok mereka bakal menambah rakyatmu saja. Mereka tak diperlukan. Suku U-fak kelebihan wanita. Sebaiknya orang-orang Tar-tar mengawini wanita U-fak saja!”

Gurba meraung. Dia terang marah mendengar omongan ini, marah sekali, melihat kakek itu bicara tenang sambil mengelus-elus jenggot, sikapnya tak memandang sebelah mata. Dan Gurba yang membentak melihat kakek itu menunggu jawaban tiba-tiba menerjang maju dengan pukulan Tiat-lui-kangnya. Kaget dan marah bahwa kakek ini yang membunuh tujuh wanita hamil itu. “Siauw-bin-kwi, kau iblis laknat keparat...!”

Siauw-bin- kwi tersenyum. Dia mengelak sedikit, menyuruh dua orang muridnya mundur. Tapi ketika Gurba membalik dan serangkum angin dahsyat menyambar dirinya tiba-tiba kakek ini menangkis.

“Dukk!” dan Siauw -bin-kwi terkejut. Dia lagi-lagi terpental, kaget melihat lawan memiliki tenaga hebat yang membuatnya tergetar. Dan ketika Gurba membentak dan bertubi-tubi menyerang dirinya yang jauh lebih kecil dibanding raksasa tinggi besar itu akhirnya Siauw-bin-kwi berteriak berlompatan ke sana ke mari, mengerutkan alis karena Gurba memang hebat. Pukulan petirnya itu meledak dan membuat dia selalu terdorong, kaget oleh hawa panas yang menyambar-nyambar dari lengan raksasa ini. Dan ketika dia terdesak dan lagi-lagi satu benturan membuat dia terpental akhirnya kakek ini berseru memuji, mulai menggeliat dan mainkan kedua kaki tangannya bagai ular hidup.

“Hanggoda, kau memang hebat. Tak heran kalau dua muridku kalah!”

Gurba tak menjawab. Dia terus menyerang dengan tamparan atau pukulannya yang menderu, diam-diam kaget dan heran juga karena kakek ini cukup lihai, terpental tapi tidak pernah roboh. Lain dengan Uyin dan Unga tadi yang selalu terlempar bila menerima Tiat-lui-kang. Dan ketika kakek itu membalas dan mulai meliuk-liukkan tubuh seperti orang menari tapi dari ujung jari-jarinya keluar sinar hitam yang berkeredep menyambut Tiat-lui-kangnya tiba-tiba Gurba terkejut dan berseru tertahan,

“Hek-kong-ci (Jari Asap Hitam)...!”

Siauw-bin-kwi terkekeh. “Kau kenal pukulanku, hanggoda? Bagus, kalau begitu pengetahuanmu cukup luas juga... crit-bret!” dan Tiat-lui-kang yang lagi-lagi disambut Hek-kong-ci tiba-tiba membuat Gurba menggeram dan terdorong setindak, melihat kakek itu terhuyung dua langkah dan terbelalak memandangnya. Tapi Gurba yang membentak dan maju kembali akhirnya meledakkan Tiat-lui-kang untuk menghadapi Hek-kong-ci.

Begitulah. Dua orang ini lalu bertempur. Mereka sama-sama mencari kelemahan lawan, sambar-menyambar dan kian lama kian terkejut, melihat masing-masing pihak memiliki kelebihan yang tak dipunyai lawan. Gurba dengan tenaganya yang dahsyat itu sedang Siauw-bin-kwi dengan kelincahan tubuhnya yang mengagumkan, memiliki ginkang demikian ringan hingga selalu terdorong dihembus pukulan Tiat-lui-kang. Tentu saja tak dapat disentuh! Dan Gurba yang kaget serta penasaran oleh pertandingan ini sekonyong-konyong merubah gerakan.

“Siauw-bin-kwi, kau akan kubunuh mampus... !”

Siauw-bin-kwi tertawa. Diam-diam dia juga penasaran oleh tenaga lawan yang hebat ini, merasa sinkangnya kalah setingkat. Atau mungkin lebih sedikit. Hal yang tentu saja membuat kakek iblis itu terbelalak karena dia tak menyangka kelihaian raksasa Tar-tar ini. Tak mengira bahwa di luar tembok besar dia menjumpai musuh begini tangguh. Hebat dan tidak kalah oleh rekan-rekannya Jit-mo Kang-ouw di pedalaman sana.

Dan ketika Gurba membentaknya dengan ancaman menggeledek dan dia tertawa karena mengira lawannya itu hanya bermulut besar saja mendadak Siauw-bin-kwi terperanjat ketika dua sinar putih meluncur dari lengan Gurba, menyambar dan meledak menangkis Hek-kong-cinya. Dan ketika kakek itu terpental dan asap Hek-kong-ci buyar berantakan oleh pukulan yang lain ini sekonyong-konyong tubuhnya terangkat naik dan untuk pertama kalinya menerima hantaman dahsyat dari dorongan Gurba.

“Dess!” Siauw-bin-kwi merasa lumpuh. Dia terbanting dan terguling-guling oleh pukulan bersinar perak itu, bukan lagi Tiat-lui-kang yang panas membara melainkan jauh lebih hebat menekan dan mendorong Hek-kong-cinya, membuat Hek-kong-cinya buyar berantakan dan tentu saja dia kaget bukan main, mencelat terlempar oleh dahsyatnya pukulan baru ini. Dan ketika Gurba mengejar dan dia baru saja melompat bangun dengan kaki terhuyung tahu-tahu pukulan kedua kembali menyambar tak dapat dielak.

“Dess...!” Siauw-bin-kwi kali ini memekik. Iblis Muka Ketawa itu tak dapat tertawa, mengeluh dan terbanting keras di atas tanah. Dan ketika Gurba kembali mengejar dan dia cepat menggulingkan tubuh ke kanan tiba-tiba kakek ini telah melenting bangun dengan muka pucat, mengenal pakulan itu.

“Pek-sian-ciang (Pukulan Tangan Dewa)...!”

Gurba tertegun. Dia menahan pukulannya sejenak, kaget bagaimana lawannya itu mengenal pukulannya. Tapi Siauw-bin-kwi yang rupanya gentar dan ngeri oleh pukulan ini tiba-tiba memutar tubuh dan... melarikan diri.

“Uyin, kalian menyingkir saja. Raksasa hitam ini rupanya ada hubungan dengan Bu-beng Sian-su!”

Uyin dan adiknya terkejut. Mereka melihat guru mereka itu ngacir, sebentar kemudian lenyap di luar padang rumput, hal yang membuat mereka kaget dan kecut bukan main karena harus menghadapi Gurba seorang diri! Dan ketika benar Gurba mendelik pada mereka berdua dan raksasa itu teringat kematian tujuh orang rakyatnya mendadak Gurba menggeram menubruk mereka!

“Uyin, kalian terimalah kematian dengan tenang...!”

Uyin terkejut. Dia melempar tubuh ke belakang, berteriak menyuruh anak buahnya melindungi. Dan Unga yang juga bergulingan menghindari pukulan Gurba tiba-tiba membentak menyuruh pasukannya maju, melepas panah atau lembing hingga raksasa Tar-tar itu terhalang. Tapi Malunga yang melepas panah api sebagai isyarat bagi teman-temannya untuk datang menyerbu tiba-tiba memekik membantu pemimpinnya.

“Hanggoda, kejar dan tangkap dua pemimpin U-fak itu. Biar aku yang menghadapi tikus-tikus busuk ini!” dan Malunga yang sudah menggerakkan lembingnya menangkis hujan serangan pasukan U-fak lalu membentak dan bertempur bagai macan haus darah, sebentar kemudian disambut pekik kesakitan dari lawan yang mencelat atau tertusuk lembingnya, pandangnya bagai singa kelaparan.

Dan ketika sorakan duaratus pembantu Gurba datang menyerbu menyerang pasukan U-fak di bagian belakang akhirnya anak buah Uyin dan Unga ini berteriak kaget, kocar-kacir dan tentu saja kalah mental. Sudah dipengaruhi kehebatan Gurba yang menggiriskan itu, mencari dan mengejar Uyin dua kakak beradik dan menyapu roboh setiap penghalang. Tak ada satupun senjata yang mempan melukai tubuhnya, hal yang membuat pasukan U-fak gentar dan mawut, selalu menyingkir bila raksasa ini mendatangi mereka.

Dan karena suku U-fak memang ketakutan menghadapi Gurba yang mengamuk mencari Uyin kakak beradik akhirnya dua pemimpin U-fak itu tak dapat menyembunyikan diri lagi, terkejar dan terbelalak ketika Gurba menggeram di belakang mereka. Tentu saja menjadi nekat dan memekik melepas panah mereka.

Tapi ketika semua panah runtuh dan Gurba telah berada di dekat mereka akhirnya dua kakak beradik ini mencabut tombak, menyerang membabi-buta dan marah tapi juga ngeri melawan raksasa Tar-tar ini. Sia-sia saja karena tombak mereka menusuk tubuh yang terbuat dari karet, atos tapi kenyal. Dan ketika Gurba menggeram dan tombak ditangkis patah oleh tangan raksasa ini yang dahsyat mengerikan akhirnya dua kakak beradik suku U-fak itu tertangkap!

“Hah, kalian mau apa lagi sekarang, Uyin?” Gurba menyambar dua kakak beradik itu, diangkat dan dicengkeram tengkuknya persis seorang dewasa menangkap dua ekor kelinci cilik, membuat dua kakak beradik itu pucat tak dapat mengeluarkan suara. Dan ketika Uyin dan adiknya megap-megap minta ampun mendadak Gurba telah mengadu dua kepala pemimpin suku U-fak itu, melepas kemarahannya.

“Prakk!” Uyin dan Unga pecah kepalanya. Mereka tentu saja tewas, disambut mata terbelalak dan ngeri oleh anak buahnya yang ada di situ. Dan ketika Gurba melempar mayat dua orang laki-laki itu dan suku U-fak gempar oleh kematian kakak beradik ini tiba-tiba pertempuran berhenti suku U-fak menyerah.

Mereka tak berani lagi melawan. Semuanya takut. Apalagi pemimpin mereka sudah mati terbunuh, tewas di tangan Gurba yang mengerikan itu, si Singa Daratan Tandus. Dan ketika Gurba mengampuni dan semua suku U-fak diharuskan membuang senjata maka anak buah Uyin dan Unga ini dibawa ke tempat perkemahan suku bangsa Tar-tar, beberapa hari menjadi tawanan perang. Tapi setelah semuanya menyatakan takluk dan mereka minta sendiri untuk bergabung dan membantu suku bangsa Tar-tar akhirnya orang-orang U-fak ini diberi kelonggaran dan membantu suku Tar-tar menggembalakan ternak.

Begitulah, Gurba memperoleh tambahan tenaga baru. Rakyat Tar-tar semakin banyak, namanya semakin dikenal. Dan karena orang-orang U-fak memang tunduk dan takut akan kesaktian raksasa tinggi besar ini akhirnya mereka membaur dalam suku bangsa Tar-tar yang kian besar. Jumlahnya dua kali lipat dibanding dulu, banyak terjadi perkawinan silang. Dan karena Gurba pada dasarnya bukanlah pemimpin kejam yang suka mengandalkan kekuatan sendiri maka suku U-fak yang telah lebur dalam suku bangsa Tar-tar itu akhirnya merasa lega dan girang karena mereka benar-benar diampuni, mendapat hak-hak yang sama seperti yang diperoleh suku Tar-tar pula.

Tapi kemenangan Gurba yang gilang-gemilang atas suku U-fak ini ternyata membuat cemas dan gelisah suku bangsa Han (Tiongkok) yang ada di pedalaman, mendengar kehebatan raksasa tinggi besar itu yang menundukkan suku-suku nomad untuk disatukan dalam panji bendera Tar-tar. Dan ketika beberapa bulan kemudian suku yang masih suka berpindah-pindah untuk menggembalakan ternak ini mendapat pemukiman tetap di dekat perbatasan maka orang-orang Han, khususnya Ang Bin-ciangkun yang menjadi panglima di perbatasan sebelah utara menjadi gelisah dan mengirim utusan untuk coba menjajagi keinginan bangsa Tar-tar. Apakah mereka mau menyerang pedalaman atau tidak. Pura-pura mengulurkan tali persahabatan.

Tapi ketika tiga orang utusan itu pulang dan menjadi mayat tanpa kepala maka kaget dan marahlah panglima ini atas kejadian itu. Menganggap bangsa Tar-tar adalah bangsa biadab, liar dan tak mengenal aturan. Dan begitu panglima ini menyiapkan pasukan dan melapor ke kota raja maka suku bangsa Tar-tar bakal terbelalak kaget oleh serbuan besar-besaran yang akan dilakukan panglima itu. Tak tahu akan tiga orang utusan yang terbunuh karena sesungguhnya memang bukan mereka yang membunuh tiga utusan Bin-ciangkun!

* * * * * * * *

Malam itu, tak menduga sesuatu yang jelek Gurba duduk di kamarnya. Dia sedang bersamadhi, memulihkan kelelahan setelah sehari penuh mengurus rakyatnya yang kian besar. Tak ada seorangpun yang boleh mengganggunya kalau dia sudah begitu. Dan ketika raksasa ini hening dalam samadhinya yang penuh konsentrasi tiba-tiba suara burung kulik terdengar di malam yang sepi itu.

Gurba tak mendengar. Dia telah masuk dalam alam keheningannya sendiri, menarik semua panca indra hingga tak merasa atau mendengar apapun. Sikap samadhi yang sempurna. Dan ketika suara burung itu terdengar bersahut-sahutan tiga kali di perkemahan suku bangsa Tar-tar ini mendadak jeritan tertahan terdengar di tiga tempat. Namun jeritan itu tak berkelanjutan, lenyap seolah orang tercekik. Dan ketika suara burung kulik itu kembali terdengar dalam tempat yang berbeda tahu-tahu tiga bayangan meloncat masuk di kemah raksasa tinggi besar ini.

Tiga orang kakek telah berdiri di situ. Seorang diantaranya adalah Siauw-bin-kwi, Iblis Muka Ketawa itu, menyeringai memberi isyarat dan tertegun memandang Gurba yang duduk tak bergeming. Mirip arca yang menakutkan karena muka raksasa yang hitam berkilat itu. Tak mengetahui kedatangan mereka. Dan ketika Siauw-bin-kwi menggerakkan jarinya menuding tanpa suara tiba-tiba temannya yang ada di sebelah kanan melompat dan menghantam kepala raksasa itu.

“Dess!” Gurba mencelat terlempar. Raksasa ini masih duduk dalam sikap tak bergeming, tak berubah posisi kaki tangannya, bersila tapi kini membuka mata karena kaget tubuhnya mencelat menghantam dinding, hampir saja kemah itu jebol! Dan ketika Gurba terbelalak dan raksasa ini sadar akan adanya bahaya dalam keadaan setengah terguncang mendadak kakek satunya yang di sebelah kiri juga meloncat menghantam pelipisnya.

“Dess...!” Gurba kembali terpental. Raksasa ini sekarang berteriak keras, tubuhnya terbanting dan menggetarkan atap kemah. Tapi begitu dia menggereng dan melompat berdiri maka tiga orang lawannya terbelalak melihat raksasa itu sama sekali tidak apa-apa. Seolah dua pukulan maut tadi hanyalah pukulan anak-anak kecil yang tidak bertenaga. Hanya pukulan main-main saja. Tapi Siauw-bin-kwi dan dua temannya yang tentu saja mengerti bahwa itu adalah akibat kekebalan raksasa ini dengan sinkangnya yang luar biasa akhirnya mendelong dan tertegun memandang pemimpin bangsa Tar-tar itu.

Dan Gurba juga terbelalak. Dia melihat Siauw-bin-kwi di situ, bersama dua kakek cebol yang tidak dikenal tapi dari merekalah dia mendapat pukulan curang. Hal yang membuat raksasa tinggi besar ini marah. Maka meloncat mengguncang tubuh, Gurba membentak lawan, “Siauw-bin -kwi, kau ada perlu apa datang ke sini? Siapa temanmu yang tidak tahu malu menyerang orang di saat siu-lian (samadhi)?”

Siauw-bin-kwi terkejut. Dia sekarang sadar, tapi dua kakek cebol yang kini kagum memandang raksasa itu mendadak mencabut sabit bermata dua, terkekeh serak seperti burung malam di tengah kuburan, “Heh-heh, kami Hek-bong Siang-lo-mo (Sepasang Iblis Kuburan Hitam), bocah Tar-tar. Kami datang untuk maksud membunuhmu. Kau telah membunuh dua murid sahabatku, Uyin dan Unga!”

Gurba tertegun. “Kau Hek-bong Siang-Io-mo?”

“Benar. Kau telah mendengar nama kami?”

“Tidak, tapi rupanya kalian orang-orang pedalaman suka mencampuri urusan orang lain. Bagus, kalian akan kutangkap!” dan Gurba yang tidak mau banyak bicara lagi dan sudah membentak ke depan tiba-tiba menubruk dan mencengkeram dua kakek cebol itu, menggereng melepas Tiat-lui-kangnya.

Tapi Hek-bong Siang-lo-mo yang sudah siap dengan sabit di tangan tiba-tiba tertawa menggerakkan senjata mengerikan itu, menyelinap ke kiri dan ke kanan. “Crat-bret!”

Gurba terkejut. Dia melihat dua kakek cebol itu gesit bukan main, mampu menghindar terkamannya dan menyelinap di bawah ketiaknya, membalik dan membabatkan sabit mereka itu ke tubuhnya hingga bajunya robek, lawan juga terkejut karena sabit juga mental bertemu tubuh Gurba yang atos! Dan ketika Gurba kembali menggeram dan menyerang lawannya itu maka Hek-bong Siang-lo-mo berseru pada Siauw-bin-kwi,

“Setan ketawa, rupanya raksasa ini kebal akan senjata tajam. Hayo maju dan ganggu dia, dia memang hebat!”

Siauw-bin-kwi tertawa, matanya bersinar-sinar. “Aku sudah memberi tahu pada kalian, Lo-mo. Karena itu hati-hati. Awas pukulan Pek-sian-ciangnya!”

Dan ketika Gurba menggeram dan Hek-bong Siang-lo-mo menyerang berputaran mendadak Siauw-bin-kwi maju menerjang melepas Hek-kong-cinya. Kini mengerubut tiga raksasa tinggi besar itu, membentak dan membuat Gurba marah. Dan ketika pukulan serta sabit mulai menyambar-nyambar sedangkan kemah itu tidak begitu besar untuk dipakai sebagai ajang pertempuran maka tiba-tiba kemah itu roboh ketika empat orang yang bertempur ini saling hantam.

“Bress!” Gurba dan tiga orang lawannya terkejut. Mereka semua tergulung di dalam, terbungkus bagai babi terjebak. Tapi Hek-bong Siang-lo-mo yang mempunyai sabit sudah keluar membacok kemah itu dengan teriakan tinggi, melesat disusul Siauw-bin-kwi dan Gurba yang juga tak mau dijadikan umpan sasaran.

Dan begitu empat orang ini meloncat dan mengejutkan kemah-kemah lain yang bertebaran tak jauh dari kemah itu akhirnya suku bangsa Tar-tar bangun dan kaget oleh keributan ini, melihat pemimpin mereka dikeroyok tiga orang lawan yang tak mereka ketahui kedatangannya. Tapi begitu melihat Siauw-bin-kwi yang mereka kenal sebagai guru Uyin dan Unga dan beberapa orang berteriak melihat tiga mayat di tempat mereka akhirnya orang-orang Tar-tar ini menjadi gempar dan marah.

“Hanggoda, kakek itu telah membunuh tiga orang di sini.”

Gurba gusar. Semua kemah tiba-tiba memasang obor, membuat tempat itu terang benderang sementara Siauw-bin-kwi dan dua temannya terkekeh, menyerang dan kini bergerak cepat sekali hingga lenyap tubuh mereka. Hanya merupakan bayangan cepat yang bagi orang awam tak diketahui lagi mana Hek-bong Siang-lo-mo atau Siauw-bin-kwi. Dan ketika Gurba mendapat beberapa pukulan dan terhuyung mundur mendadak Siga dan adiknya yang sudah ada di situ membentak maju membantu pemimpin mereka ini.

“Hei, mundur...!” Gurba terkejut, melihat pembantunya itu menyerang penuh keberanian.

Tapi Siga dan Malunga yang rupanya terlanjur maju tak dapat menarik diri. Mereka telah menusuk Hek-bong Siang-lo-mo dengan tombak mereka, disambut kekeh dua kakek iblis itu yang menggerakkan sabit. Dan begitu tombak ditangkis dan patah menjadi dua sekonyong-konyong senjata mengerikan di tangan Hek-bong Siang-lo-mo menyambar leher dua kakak beradik ini.

“Awas...! Plak-bret!” Gurba melepas Tiat-lui-kangnya, kaget dan berseru keras melihat ancaman bahaya bagi dua pembantunya itu, menarik dan melempar mereka jauh keluar pertempuran. Dan ketika Siga dan adiknya terbanting di luar sana maka dua kakak beradik ini tertegun melihat leher baju mereka terkuak lebar sementara kulit sedikit tergores berdarah!

“Ah...!” suku bangsa Tar-tar terkejut. Mereka melihat kelihaian dua kakek cebol itu, mendengar mereka tertawa dan menantang agar yang lain maju. Tentu saja disambut rasa gentar dan kaget oleh semua yang ada di situ. Dan ketika Gurba membentak dan melarang pembantunya maju karena dia dapat menghadapi tiga orang lawannya itu maka pertempuran kembali terjadi dan kini mulai berpindah-pindah. Siauw-bin-kwi dan dua temannya bertempur seperti orang bermain kucing-kucingan. Sebentar di belakang sebentar di muka.

Dan ketika pertempuran berjalan empatpuluh jurus dan masing-masing pihak sama penasaran karena belum ada yang roboh mendadak saat itulah terjadi kegemparan baru karena barisan besar yang tidak diketahui siapa tahu-tahu menyerang dari belakang, disusul derap kuda yang meringkik di tengah keheningan malam, menyerbu dan menggilas perkemahan suku bangsa Tar-tar itu yang tentu saja kaget bukan main. Dan ketika jerit kesakitan terdengar memecah malam maka saat itu muncullah seorang panglima yang memimpin serbuan besar-besaran ini, Ang Bin-ciangkun, panglima kerajaan yang bermuka merah itu!

“Gurba, kau tak tahu dihormat orang. Kami datang atas nama kaisar untuk menuntut pertanggung jawabanmu!”

Gurba dan suku bangsanya terkejut. Sekarang mereka mengetahui penyerang itu, kiranya orang-orang kerajaan, pasukan di balik tembok besar. Hal yang tidak mereka sangka dan tentu saja mengejutkan di samping mengherankan. Tapi pasukan besar yang sudah menyerang dan kini menyerbu di balik kegelapan itu tahu-tahu sudah meluruk dan membuat gaduh, membunuh dan mulai membasmi suku bangsa yang dianggap liar ini dengan tombak dan golok.

Sebentar kemudian orang-orang Tar-tar mulai roboh karena mereka berada di tempat terbuka, terang oleh obor yang mereka buat sendiri. Dan ketika korban mulai bergelimpangan dan jerit serta pekik kematian terdengar dimana-mana mendadak Gurba membentak menggetarkan bumi, marah bukan main dan menyuruh semua orang memadamkan obor!

“Matikan obor, jangan biarkan musuh menyerang kalian di tempat terbuka...!”

Orang-orang itu sadar. Dua ratus pasukan Tar-tar yang merupakan pasukan khusus sudah berpencar memadamkan obor, bahkan diantaranya ada yang membuang obor itu ke tanah hingga padam sendiri. Tentu saja keadaan menjadi gelap gulita dan pasukan musuh terkejut, tak menyangka kecerdikan Gurba yang menyelamatkan rakyatnya. Dan karena orang-orang Tar-tar jelas lebih mengenal tempat sendiri dibanding mereka akhirnya pasukan Ang Bin-ciangkun ini ganti memekik dan terguling roboh ketika suku bangsa itu balik menyerang mereka.

“Crat-aduh...!” Orang-orang Ang Bin-ciangkun berteriak. Mereka ganti mendapat serangan di tempat gelap, ribut dan mencari selamat sementara lembing dan panah meluncur membabi -buta, menuju ke arah mereka karena orang-orang Ang Bin-ciangkun itu terjebak di tengah. Tentu saja menjadi sasaran yang mudah dan empuk. Dan ketika Gurba menyuruh pasukannya melepas panah berapi dan orang-orang Tar-tar berteriak membalas penuh semangat tiba-tiba pasukan kerajaan itu terbakar dan banyak yang bergulingan menjerit-jerit, jatuh dari atas punggung kudanya atau roboh ke semak belukar.

Suasana menjadi kalut dan balik pasukan lawan di bantai habis-habisan. Tentu saja Ang Bin-ciangkun marah dan menyuruh pasukannya mundur. Dan ketika suku bangsa Tar-tar menyerbu dan kegelapan malam membantu mereka karena orang-orang itu lebih mengenal tempat sendiri dibanding lawan akhirnya Ang Bin-ciangkun terdesak hebat dan mengorbankan banyak pasukannya. Panglima bermuka merah ini mengumpat caci, tak dapat memberi komando karena anak buahnya kocar-kacir.

Sebentar kemudian separuh lebih binasa. Dan karena lawan terlalu kuat dan pertempuran di dalam gelap jelas tidak menguntungkan pihaknya akhirnya panglima ini menyuruh pasukannya melarikan diri ke dalam tembok besar, dikejar dan diserang pasukan Gurba yang marah oleh serbuan tiba-tiba itu.

Tapi karena keadaan memang gelap dan musuh juga melawan mati-matian akhirnya suku bangsa ini kembali dan tertegun memandang Gurba yang ditancapi puluhan batang panah, tegak di tengah-tengah perkemahan yang porak-poranda itu sementara tiga orang lawannya tak ada lagi, entah kemana. Tapi ketika raksasa itu mengguncang tubuh dan puluhan anak panah itu rontok ke bawah terdengarlah geraman pemimpin suku bangsa Tar-tar ini.

“Siga, mana adikmu?”

Siga menangis. Dia membawa adiknya yang telah menjadi mayat, korban dari pertempuran sekejap yang mengguncangkan itu. Malunga ternyata tewas dalam perang yang kalut di tengah-tengah kekacauan. Dan ketika Gurba melihat bahwa Tomba dan Lisang juga luka parah sementara suku bangsanya tewas lebih dari empatratus orang akhirnya Gurba mendelik memaki-maki panglima she Ang dari dalam tembok besar itu, menyangka Siauw-bin-kwi dan Hek-bong Siang-lo-mo datang mengacau atas suruhan panglima itu. Dan Gurba yang tentu saja marah besar oleh kejadian ini lalu menyiapkan pasukannya untuk bergerak ke dalam tembok besar. Membalas!

Malam itu semua suku bangsa Tar-tar berkabung. Sepuluh pembantu terbaik Gurba tewas, termasuk Lisang dan Tomba yang tak dapat diselamatkan lagi. Terlampau berat luka-luka mereka karena pertempuran yang kacau itu. Dan ketika keesokan harinya Gurba mengurus sisa-sisa pasukannya dan mendapat kenyataan bahwa pihak lawan juga banyak yang terbunuh karena mayat pasukan Ang Bin-ciangkun berceceran dimana-mana akhirnya raksasa ini mengajak semua rakyatnya meluruk ke tembok besar.

Di sini Gurba membalas, menyuruh wanita dan anak-anak tinggal di luar tembok, menerjang dan maju mendobrak tembok besar yang kokoh serta tinggi itu. Tapi karena raksasa ini memiliki kesaktian tinggi dan dia dapat memasuki tembok besar seorang diri dan mengamuk di dalam sana maka pasukan Ang Bin-ciangkun geger.

Pemimpin bangsa Tar-tar itu benar-benar hebat. Dia mirip singa kelaparan, tak ada satupun yang mampu melukainya dan tahan akan amukannya yang dahsyat. Dan ketika pasukan Ang Bin-ciangkun mawut karena mereka juga masih kelelahan oleh pertempuran semalam dan Gurba mengamuk seorang diri akhirnya Ang Bin-ciangkun melarikan diri dan Gurba membuka pintu gerbang. Di sinilah serbuan suku bangsa Tar-tar dimulai. Mereka bergerak bagai air bah yang membanjir masuk, terus bergerak ke dalam karena Gurba mengajak pasukannya untuk membasmi dan membunuh orang-orang kerajaan secara besar-besaran. Merasa dilukai lebih dulu, diserang tanpa diberi alasan.

Dan begitu raksasa ini mengamuk dan kota demi kota direbut akhirnya kota raja menjadi gempar oleh sepak terjang raksasa tinggi besar ini. Kaisar terkejut, terbelalak dan tertegun mendengar kehebatan pemimpin suku bangsa Tar-tar itu. Melihat panglimanya sendiri terluka karena Ang Bin- ciangkun tak dapat menghadapi raksasa yang lihai itu. Dan ketika sebulan kemudian Gurba telah berada di luar kota raja dan tinggal beberapa kilometer lagi dari pusat pemerintahan kaisar Yuan Ti akhirnya kaisar dan seluruh pembantunya panik.

“Panggilkan Kim-taijin. Juga Han-taijin suruh menghadap!”

Dua penasihat kaisar itu datang. Mereka telah mendengar kekacauan yang terjadi, mengerutkan kening dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan junjungannya. Dan ketika kaisar bertanya pada mereka apa yang harus dilakukan untuk menahan serbuan bangsa Tar-tar akhirnya Kim-taijin memberi saran.

“Sri baginda, apa yang terjadi adalah kesalahan kita. Kita terlalu merendahkan suku bangsa yang kita anggap liar itu. Kita tak menyelidiki kekuatan lawan. Sekarang mereka menyerbu, bahkan lima kota telah mereka rebut secara gemilang. Bagaimana kalau Jit-liong Ciangkun menghadapi raksasa yang lihai itu dan mengerahkan seluruh kekuatan? Hamba khawatir kemajuan mereka tak dapat dicegah, sri baginda. Sebaiknya suruh saja Jit-liong Ciangkun menghadapi lawan dengan pasukan besar!”

“Hm, tapi Bu-ciangkun khawatir kegagalannya, taijin. Kabarnya raksasa itu adalah suheng dari Kim-mou-eng!”

“Tapi kita belum mencobanya, sri baginda. Kenapa takut?”

Kaisar bingung, memandang Bu-ciangkun yang berjuluk Tangan Baja itu. “Bagaimana pendapatmu, ciangkun? Benarkah kata-kata Kim-taijin ini?”

Bu-ciangkun menunduk, merah mukanya. “Maaf, hamba bukan takut sebelum kalah, sri baginda. Tapi kenyataan yang lalu mengecilkan hati hamba. Kim-mou-eng saja tak dapat kami hadapi secara bertujuh, bagaimana suhengnya yang kini mengamuk itu dapat kami tundukkan? Raksasa itu kabarnya hebat sekali, hamba sangsi kalau ucapan Kim-taijin dapat dilaksanakan dengan mudah!”

“Jadi bagaimana? Apakah kita harus membiarkan saja raksasa liar dan bangsanya yang biadab itu menyerbu istana? Kalian harus dapat mengatasi persoalan ini, ciangkun. Kalau tidak percuma saja kalian kuangkat sebagai panglima!”

“Baik,” Bu-ciangkun terpukul. “Hamba akan mencobanya, sri baginda. Tapi mohon ampun kalau kami gagal!”

Kaisar menjadi marah. Dia tersinggung oleh sikap panglimanya yang tampak kecil hati itu. Karena enam panglima yang lain juga menundukkan kepala dan bersikap seperti panglima Bu itu, masing-masing cemas karena mereka telah mendengar kehebatan Gurba dari mulut Ang Bin-ciangkun. Terkejut dan tak menyangka bahwa pemimpin bangsa Tar-tar itu ternyata adalah suheng dari Kim-mou-eng. Tapi karena mereka juga malu dan menganggap Gurba sebagai pengacau liar yang telah membunuh tiga utusan kerajaan akhirnya tujuh panglima ini mengepal tinju membesarkan hati.

Gerakan suku bangsa Tar-tar itu harus dibendung, bahkan kalau bisa harus dipukul mundur dan dihancurkan. Dan ketika Kim-taijin sebagai penasihat kaisar menyarankan pada mereka agar menyerang dari tujuh sudut pasukan lawan yang kini berada di luar kota raja itu akhirnya Jit-liong Ciangkun setuju dan mengatur siasat. Han-taijin sementara diam saja, menyetujui dan mengiyakan rekannya yang ditanya sang junjungan. Belum mempunyai akal karena diapun ingin tahu lebih dulu bagaimana hasil usaha Tujuh Panglima Naga ini. Dan ketika serbuan itu dilakukan dan bangsa Tar-tar mendapat serangan besar-besaran dari gabungan Tujuh Panglima Naga ini maka pertempuran besar yang amat hebat tak dapat dicegah lagi.

Jit-liong Ciangkun langsung mengeroyok Gurba. Merencanakan mereka harus membunuh raksasa itu karena lawan inilah yang paling berbahaya. Pemimpin sekaligus dewa yang amat diandalkan suku bangsa Tar-tar. Jadi harus melumpuhkan raksasa itu karena yang lain-lain tentu gampang diatur kalau raksasa ini dapat dirobohkan. Tapi ketika Gurba mengamuk dan untuk pertama kalinya Jit-liong Ciangkun merasakan kelihaian raksasa ini mendadak semua keinginan buyar berantakan karena Jit-liong Ciangkun mengorbankan tiga orang rekan mereka yang tewas terbunuh!

Gurba terlampau hebat, terlalu sakti bagi mereka dan kebal akan semua pukulan maupun bacokan senjata tajam. Benar-benar membuat orang kewalahan. Dan ketika berturut-turut Ang Bin-ciangkun dan Liok-ciangkun roboh disusul Beng-ciangkun yang bersenjata golok itu tewas di tangan raksasa tinggi besar ini akhirnya Bu-ciangkun dan tiga rekannya yang masih hidup terpaksa mundur dan melarikan diri!

Gurba dan pasukannya mengejar. Tapi ketika Bu-ciangkun dan kawan-kawannya memasuki kota raja dan semua pintu gerbang ditutup sementara pasukan kerajaan yang besar jumlahnya bertahan mati-matian maka empat panglima yang masih selamat ini dapat menyelamatkan dirinya. Mereka melapor, menggigil dan pucat menghadap kaisar yang terbelalak oleh berita ini. Kaget bahwa tiga dari Tujuh Panglima Naga tewas di tangan pemimpin suku bangsa Tar-tar itu. Dan kaisar yang tertegun oleh kekalahan ini akhirnya gemetar dan cemas memandang semua pembantunya. Merasa putus asa. Tapi Han-taijin yang kini maju melangkah menjatuhkan diri berlutut berkata dengan suara nyaring, jelas dan memberi harapan baru,

“Sri baginda, hamba mempunyai akal untuk menyelesaikan persoalan ini. Kalau sri baginda mau akal ini boleh dicoba!”

Sri baginda terbelalak, masih ragu dan bingung. “Akal apa, taijin? Meminta bantuan orang luar?”

“Tidak, orang kita sendiri dapat melakukannya, sri baginda. Tapi terus terang saja mengandung resiko yang berat.”

“Apa itu? Siapa yang dapat melakukannya?”

Han-taijin lalu bercerita. Dia menerangkan pada sri baginda bahwa Gurba adalah seorang gagah perkasa yang keras hati, kaku dan tak mudah diajak kompromi kalau keadaan sudah seperti itu. Tapi Han-taijin yang telah menyelidiki keadaan raksasa Tar-tar yang lihai ini mendapat kenyataan akan satu kelemahan raksasa itu. Bahwa Gurba tak akan menyerang wanita, amat menghargai wanita dan selama ini masih bujangan.

Konon katanya secara diam-diam mencintai sumoinya dan merana karena sumoinya tak mengacuhkannya karena Salima mungkin mencintai suhengnya nomor dua, Kim-mou-eng. Dan Han-taijin yang hendak memasuki kelemahan ini dengan mengajukan seorang wanita untuk menggoda pemimpin bangsa Tar-tar itu akhirnya berkata pada sri baginda,

“Sebaiknya kirim seorang selir paduka yang terpandai, sri baginda. Bujuk dan jebak raksasa itu agar melakukan hubungan badan!”

Kaisar terkejut. “Kenapa begitu? Apakah tak berbahaya?”

“Tidak, karena ini memang resikonya, sri baginda. Tapi begitu raksasa itu terjebak dan melakukan hubungan badan dengan selir paduka maka seluruh bangsa Tar-tar akan membenci dan mengutuk perbuatannya karena suku bangsa ini pantang berzina dengan wanita yang sudah bersuami!”

Kaisar terkejut, tapi girang bukan main. “Ah, kalau begitu boleh kuterima akalmu, taijin. Kirimkan saja Bi Nio ke sana. Dia pandai dan merupakan selirku yang mahir bermain cinta!”

Han-taijin gembira. Dia merasa optimis akan usulnya ini, sementara yang lain masih ragu-ragu dan kurang percaya. Tapi kaisar yang sudah memanggil Bi Nio dan menyuruh selirnya yang cantik itu menghadap dan mendengarkan apa yang direncanakan akhirnya ditanya kaisar tentang kesanggupannya. Apakah selir itu bersedia dan berani memikul tugas yang berat ini, siap dikirim ke tempat suku bangsa yang dianggap liar itu.

Liar tapi pantang berzina dengan wanita yang sudah bersuami karena perbuatan itu dianggap pengecut. Tidak jantan. Jadi bertolak belakang dengan kegagahan dan keberanian yang diagul-agulkan bangsa itu. Dan Bi Nio yang tentu saja terkejut dan berdebar mendengar tugas yang berat ini akhirnya mengangguk, terang tak berani menolak dan menjatuhkan dirinya berlutut.

“Hamba akan coba melaksanakannya sekuat mungkin, sri baginda. Tapi kalau gagal mohon paduka sudi memberi ampun!”