Pendekar Rambut Emas Jilid 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 05
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
MENGEJUTKAN sekali. Belum Salima menjawab tiba-tiba Leng Hwat, gadis atau wanita baju kuning yang menjadi murid Tok-gan Sin-ni ini berseru,

“Bu-kongcu adalah murid Sai-mo-ong locianpwe, kongcu yang tampan. Tak perlu kalian khawatir karena Bu-kongcu adalah orang baik-baik!” dan sementara Kim-mou-eng tertegun oleh jawaban ini karena tak menyangka bisikannya didengar orang tiba-tiba Leng Hwat yang sudah menarik kursinya sambil terkekeh tahu-tahu sudah merapat di sebelah kiri Kim-mou-eng, bertanya genit, “Kongcu, siapakah dirimu ini? Siapa namamu dan bagaimana kami harus memanggilmu?”

Kim-mou-eng terkejut. Dia mendapat lemparan bau rambut yang harum, melihat sumoinya terbelalak dan tentu akan geger lagi. Maka sebelum wanita baju kuning itu mengganggu dirinya dan Salima membuat onar tiba-tiba Kim-mou-eng bangkit berdiri memindahkan kursinya. “Nona, maaf jangan terlalu dekat-dekat. Aku alergi (tak tahan) oleh bau wangi-wangian!”

Dan sebelum wanita itu mengejar tiba-tiba Pendekar Rambut Emas telah duduk di sebelah kanan sumoinya, hingga kini Leng Hwat bersebelahan dengan sumoinya itu. Dan ketika murid Tok-gan Sin-ni itu terkejut membelalakkan mata, Kim-mou-eng sudah memperkenalkan diri, memberi nama palsu, “Aku orang she Kim, namaku Yo. Sedang sumoiku ini adalah Sha Liem Ma!”

Leng Hwat terbelalak. Dia penasaran melihat Kim-mou-eng memindahkan kursinya, jelas tak mau berdampingan dengannya. Tapi Bu-kongcu yang tertawa melihat kekecewaan murid Tok-gan Sin-ni itu berkata,

“Leng Hwat, makanan belum sempat kita santap. Jangan sampai mawut sebelum disentuh!”

Kata-kata ini mengandung arti. Kim-mou-eng dapat menangkap rahasia yang terkandung dalam kata-kata itu, meminta agar Leng Hwat tak mengganggu tamunya sebelum semua merasa puas. Bahwa sebaiknya murid Tok-gan Sin-ni itu membiarkan keadaan tenang dulu sebelum mereka menikmati hidangan. Dan ketika Leng Hwat tersenyum dan saat itu enam orang pelayan membawa hidangan secara tergopoh-gopoh mendadak wanita ini tertawa mengedipkan matanya.

“Benar, tamu kita belum menikmati undangannya, Bu-kongcu. Sebaiknya kita jamu dulu sebelum kita bercakap-cakap lebih lanjut!”

Dan tak sabar menanti pelayan mendekat tiba-tiba murid Tok-gan Sin-ni ini mendemonstrasikan kepandaiannya, menggerakkan lengan dan tahu-tahu mengambil semua piring dan mangkok dari jauh, isi enam nampan itu susul-menyusul beterbangan di udara, aneh dan membuat enam orang pelayan itu berseru kaget. Dan ketika mereka tertegun dan terbelalak melihat mangkok dan piring “meloncat” begitu saja di atas meja tiba-tiba sekejap kemudian isi nampan itu telah teratur rapi berjejer di atas meja!

“Ha-ha, kalian membuat Leng Hwat-kouwnio tak sabar menaruh hidangan, pelayan-pelayan tolol. Ayo pergi kalau tak ingin didupak!” Bu-kongcu terbahak, rupanya tahu bahwa murid Tok-gan Sin-ni ini sengaja mendemonstrasikan kelihaiannya agar tamu mereka kagum, berseru pada pelayan dan menggoyang-goyang kaki seperti orang mengusir ayam. Tapi begitu angin menyambar dan enam pelayan itu terkejut tahu-tahu mereka mencelat beterbangan menjerit ke tangga loteng, bergelindingan jatuh.

“Des-des dess!”

Enam pelayan itu tunggang-langgang. Mereka terang berteriak gaduh oleh perbuatan Bu-kongcu ini, terguling dan jatuh bangun untuk akhirnya melompat bangun dan terbirit-birit menjauhi pemuda muka putih itu. Dan Kim-mou-eng serta sumoinya yang tertegun membelalakkan mata tiba-tiba mendengus karena mengerti bahwa orang sengaja mendemonstrasikan kepandaiannya di depan mereka.

“Bu-kongcu, sebaiknya tak perlu mengganggu orang-orang tak bersalah itu. Tak ada harganya kau mempertunjukkan kepandaianmu di depan kami!” Salima berkata, menjengek karena mendongkol pemuda muka putih itu mendemonstrasikan kepandaiannya di depan mereka.

Dan ketika muka Bu-kongcu merah oleh sindirannya tiba-tiba Salima meniup, membuat sebotol arak hitam yang ada di atas meja mendadak bangun, bergoyang dan meloncat di udara seperti kalajengking melejit. Dan ketika botol itu terbalik dan melayang menuju Salima tahu-tahu gadis Tar-tar ini telah membuka mulutnya menerima arak hitam yang sudah mengucur dari botol arak yang terbalik itu, mendorong lengan ke atas hingga botol itu berhenti di udara, dalam posisi masih terbalik, tanpa disentuh. Dan ketika Salima meneguk dan mengibaskan lengannya tahu-tahu botol itu telah melayang kembali dan jatuh di atas meja seperti semula.

“Plek!” botol itu hampir tak mengeluarkan suara, ringan mendarat membuat Bu-kongcu dan teman-temannya terkejut. Dan ketika Salima mengusap bibir tertawa pada mereka maka gadis Tar-tar ini berkata, “Maaf, aku mendahului kalian, Bu-kongcu. Aku haus dan tak dapat menahan lidahku mengecap arak hitam ini. Sungguh lezat!”

Bu-kongcu dan teman-temannya tertegun. Mereka terang melihat sebuah demonstrasi yang tak kalah dibanding mereka. Bahkan agak jauh lebih berbahaya karena harus menghentikan botol di udara sementara meneguk isinya. Pertunjukan sinkang yang luar biasa dan menakjubkan. Dan Bu-kongcu yang kagum dan kaget oleh balasan Salima yang hebat ini akhirnya mendapat seruan Kim-mou-eng yang buru-buru minta maaf atas perbuatan sumoinya, kaget sumoinya membuat onar!

“Aih, maafkan sumoiku, Bu-kongcu. Kepandaiannya tadi jangan dianggap suatu kelancangan. Sumoiku memang usil dan suka berbuat kekanak-kanakan!”

Salima marah. Ia melotot mendengar suhengnya mengatakan dia bersikap kekanak-kanakan, tapi Bu-kongcu yang sadar dan sudah dapat menguasai dirinya lagi tiba-tiba terbahak gembira. “Ah, sumoimu tak kekanak-kanakan, orang she Kim. Justeru kepandaiannya tadi membuka mata kami lebar-lebar bahwa dia memang hebat. Dia memiliki sinkang luar biasa!”

Dan tertawa bergelak penuh kegembiraan tiba-tiba Bu-kongcu menyumpit sepotong daging, berseru pada Salima agar mereka mulai menikmati hidangan, seolah tak sengaja mendentingkan mangkok hingga daging di ujung sumpit mencelat, menyambar Salima yang tentu saja tak sudi menerima sambaran daging itu dengan cara seperti itu.

Maka mendengus dan melirik Leng Hwat tampak iri memandangnya mendadak Salima meneruskan “loncatan” daging itu dengan tiupan mulutnya, kini menyambar murid Tok-gan Sin-ni itu seolah tanpa sengaja. Dan Leng Hwat yang tentu saja menjengek memandang marah tiba-tiba mengebutkan ujung lengan bajunya mementalkan daging itu yang kini menyambar kembali ke arah Bu-kongcu.

“Hap!” Bu-kongcu membuka mulutnya, menerima daging itu terbahak gembira. Dan ketika mangkok kembali dipukul dan Bu-kongcu menyambar daging-daging yang lain akhirnya murid Sai-mo-ong ini mempersilahkan tamunya yang telah cukup dilihat kepandaiannya, mendahului menyikat hidangan. “Ha-ha, ayo orang she Kim, kita nikmati hidangan dan arak hitam... ting-ting!” dan Bu-kongcu yang sudah mendentingkan mangkok membagi-bagi makanan akhirnya melahap daging dan segala isinya yang ada disitu, mendorong dengan ceglukan arak hitam yang sebentar kemudian lenyap isinya.

Dan ketika arak habis dan Bu-kongcu memanggil pelayan untuk menambah lagi maka semua orang yang ada di situ akhirnya mengikuti jejaknya menyapu hidangan ini. Tapi Kim-mou-eng dan Salima bersikap ayal-ayalan. Kim-mou-eng memberi tanda agar sumoinya itu berhati-hati, menjaga siapa tahu makanan dan minuman itu mengandung racun. Tapi setelah mencicipi dan melihat tak ada yang mencurigakan akhirnya pendekar muda ini mengajak sumoinya menemani kegembiraan tuan rumah, tetap waspada namun lega bahwa Bu-kongcu dan kawan-kawannya itu rupanya tak mengganggu mereka lagi.

Tapi ketika perjamuan hampir berakhir dan Bu-kongcu melihat Kim-mou-eng tak begitu banyak menyentuh arak mendadak pemuda muka putih ini menyodorkan cawan penuh arak hitam, tertawa bergelak.

“Orang she Kim, kenapa kau tak menyentuh arakmu? Hayo minum, ini arak persahabatan khusus dariku!"

Kim-mou-eng terkejut. Dia memang tidak begitu suka arak, sengaja menghindari minuman keras yang menyengat baunya itu. Maka melihat tuan rumah memberinya arak sementara hidangan-hidangan yang lain hampir habis mendadak pendekar ini tersenyum menggoyang lengan. “Bu-kongcu aku khawatir aku mabuk. Biarlah kuminum saja teh harum ini. Terima kasih!”

Tapi Bu-kongcu telah menyodorkan arak itu. Dia menghalangi Kim-mou-eng menyentuh minumannya, teh harum dari Po-yang, tiba-tiba menjulurkan lengan menuangkan arak ke muka lawan hal yang tentu saja membuat Kim-mou-eng tersentak. Maklum, arak tahu-tahu telah mengucur di depan hidungnya sementara Bu-kongcu tertawa bergelak memaksa pendekar itu menerima pemberiannya. Dan ketika Kim-mou-eng terkejut dan membelalakkan matanya tahu-tahu ular yang melilit di lengan kanan Bu-kongcu juga menyambar di balik tumpahan arak!

“Plak!” Kim-mou-eng cepat menangkis, berseru perlahan dan mengerahkan sinkangnya menampar hingga ular itu langsung pecah kepalanya, mengejutkan Bu-kongcu. Dan ketika arak terpental dan hampir membasahi meja mendadak Kim-mou-eng telah meniup arak itu yang tiba-tiba membeku dan balik menyambar Bu-kongcu yang kontan membentak mendorong kursinya mundur.

“Bress!” Bu-kongcu pucat mukanya. Dia melihat keempat kaki kursinya patah, seketika menjadi pendek dan dia langsung melesak seperti orang cebol, kaget bukan main. Dan ketika Bu-kongcu berseru keras melompat bangun maka pada saat itulah Kim-mou-eng buru-buru bangkit berdiri menjura padanya.

“Aih, maaf... maaf, Bu-kongcu. Aku tak sengaja melakukan itu semuanya! Aku ketakutan, ularmu ganas...!” dan Kim-mou-eng yang buru-buru membersihkan baju Bu-kongcu ini akhirnya dipandang terbelalak oleh pemuda muka putih itu.

Kaget karena dia merasa dorongan sinkang pendekar ini membuat tubuhnya menggigil kedinginan, seakan dicelup dalam bongkahan salju! Dan Bu-kongcu yang tentu saja tertegun oleh adu tenaga ini tiba-tiba bengong karena dia melihat betapa “orang she Kim” ini memiliki sinkang yang lebih kuat dibanding Salima. Seusap atau setingkat lebih unggul!

Bu-kongcu mendelong. Dia masih terbelalak memandang pendekar itu, tapi ketika Leng Hwat tertawa dan bangkit dari kursinya mendadak murid Tok-gan Sin-ni ini berseru, “Bu-kongcu, kau jangan main-main terhadap tamu kita yang satu ini. Agaknya Kim Yo tak kalah mengejutkan dibanding sumoinya!”

Bu-kongcu sadar, membuang bangkai ularnya dan melihat Kim-mou-eng sudah mundur kembali mendekati sumoinya. Dan ketika Leng Hwat berseri memandang kagum Pendekar Rambut Emas itu akhirnya Kim-mou-eng sudah menyendal lengan Salima diajak pergi, tersipu dan rupanya “ketakutan” memandang mereka.

“Bu-kongcu, maafkan kami berdua. Hidangan telah habis, kami telah merasakan budi kebaikan kalian. Sekarang perkenankan kami pergi!”

Bu-kongcu tertawa aneh. “Tentu, tapi aku pribadi masih belum puas oleh pertemuan ini, orang she Kim. Bagaimana kalau sekali lagi aku mengundang kalian ke rumahku? Sumoimu tampaknya lelah, sebaiknya biar dia beristirahat di tempat tinggalku!”

Kim-mou-eng menolak. “Tidak, terima kasih, kongcu. Aku khawatir kehadiran kami hanya merusakkan barang-barang kalian saja!” pendekar itu melirik bangkai ular yang dibuang Bu-kongcu, rupanya ingin cepat-cepat pergi dan menekan erat-erat pergelangan tangan sumoinya karena Salima rupanya ingin berontak. Tak suka suhengnya bersikap merendah seperti itu. Seolah orang yang benar-benar takut!

Dan Leng Hwat yang bangkit di susul lima temannya yang lain tiba-tiba menyambung ucapan Bu-kongcu. “Orang she Kim, sebaiknya apa yang diminta Bu-kongcu jangan kau tolak. Dia bersikap baik padamu, kenapa takut? Kalau kau tak suka undangannya biarlah ganti aku yang mengundangmu. Sumoimu boleh ikut dia sementara kau ikut aku! Bagaimana, Bu-kongcu?” Leng Hwat tertawa, menoleh pada Bu-kongcu yang segera tersenyum menyambutnya, menyeringai lebar, ikut tertawa dan tak malu-malu lagi memandang Salima dengan mata bersinar-sinar. Pandangan yang kotor dan buruk!

Dan Kim-mou-eng yang menggeleng mengerutkan kening tiba-tiba mencengkeram sumoinya yang hampir tak dapat mengendalikan kemarahannya, tersenyum pahit. “Tidak, terima kasih, kouwnio. Kami suheng dan sumoi masih mempunyai banyak urusan. Biarlah lain kali saja!” dan Kim-mou-eng yang menjura memutar tubuh tiba-tiba mengajak sumoinya pergi.

“Wutt!” Leng Hwat tiba-tiba berkelebat ke depan, menghadang dan terkekeh di depan Pendekar Rambut Emas ini. Rupanya penasaran, disusul lima bayangan temannya yang mengikuti wanita baju kuning itu yang rupanya memimpin mereka. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan Salima berketruk menautkan gigi maka murid Tok-gan Sin-ni ini menggerak-gerakkan rambutnya ke kiri kanan, melempar-lemparnya bagai kuda melecut bulu.

“Kim Yo, kami baik-baik ingin bersahabat denganmu lebih intim. Kalau kau tak suka pada Bu-kongcu biarlah kau dan sumoimu itu memenuhi undangan kami untuk bercakap-cakap bersama. Turutilah, kami tak biasa ditolak!”

Kim-mou-eng tertegun. Dia melihat lawan rupanya tak akan melepaskan mereka, melihat murid Tok-gan Sin-ni itu tersenyum-senyum padanya sementara dia dan sumoinya sudah dikurung. Dan sementara dia bingung dan marah oleh perbuatan wanita baju kuning ini mendadak Bu-kongcu juga berkelebat menggoyang-goyang kipasnya.

“Kim Yo, aku juga tak biasa ditolak. Sebaiknya kau ikuti dulu permintaanku seperti tadi. Atau, tinggalkan sumoimu ini dan kau pergilah!”

Leng Hwat terkekeh. “Tidak, sebaiknya gadis itu saja yang pergi, Bu-kongcu. Aku ingin membawa orang she Kim ini bersenang-senang!”

“Tapi dia tak mau padamu, Leng Hwat. Sebaiknya...”

“Ah, tidak. Justeru gadis itu yang tak suka padamu, Bu-kongcu. Kau saja yang mengalah dan biarkan orang she Kim ini menjadi kenalanku!” Leng Hwat memotong, terkekeh dan berkedip memandang Kim-mou-eng yang semakin dalam mengerutkan alis.

Dan Salima yang tak tahan lagi mendengar omongan orang-orang itu yang membuatnya naik darah tiba-tiba melengking dan langsung membetot lepas tangannya menyerang Leng Hwat, marah dan cemburu karena murid Tok-gan Sin-ni itu “menaksir” suhengnya! “Siluman she Leng, kau minta kuhajar mampus...wut!”

Leng Hwat terkejut. Dia melihat berkelebatnya Salima menampar kepalanya, terbelalak tapi terkekeh meloncat mundur, mengangkat tangannya menangkis gerakan Salima yang mengejar dengan satu kepretan jari, kaget juga melihat gadis Tar-tar itu bergerak seperti terbang memburunya. Dan begitu dua lengan beradu dan Leng Hwat baru kali itu beradu tenaga mendadak wanita ini menjerit ketika dia terpelanting roboh.

“Bress!”

Salima melengking. Dia telah mengeluarkan Tiat-lui-kangnya itu, pukulan Telapak Petir, menyengat dan membuat lawan terkejut karena lengannya panas bagai mengandung bara api. Dan ketika Leng Hwat bergulingan tapi Salima mengejar dengan ginkangnya yang berkelebat bagai setan kelaparan mendadak dua pukulan kembali mengenai murid Tok-gan Sin-ni ini.

“Plak-dess!”

Leng Hwat kaget bukan kepalang. Dia memekik dan kembali mencelat bergulingan, baju di pundaknya hangus terbakar. Dan ketika ia melompat bangun dan Salima memburu dengan satu pukulan lagi mendadak lima bayangan membentak menghadang Salima, memperlihatkan lima tusukan pedang yang berkeredep menyerang punggung gadis itu.

“Sha Liem Ma, lepaskan suci (kakak seperguruan perempuan) kami... sing-sing!”

Salima terkejut. Dia membalik tak jadi menyerang Leng Hwat, menyambut dan mengepret lima tusukan pedang itu, begitu saja, dengan jari-jari terbuka, telanjang tapi tentu saja mengandung sinkang yang membuat jari-jari itu keras melebihi baja! Dan ketika pedang bertemu kepretan jari dan semuanya terpental dan Salima membentak meliukkan pinggang tahu-tahu lima murid Tok-gan Sin-ni yang lain itu telah menerima tamparan berturut-turut hingga mereka roboh terjungkal!

“Plak-plak-plak...!”

Leng Hwat dan lima adik-adik seperguruannya itu terkejut. Baju mereka juga hangus terbakar seperti yang dialami Leng Hwat, mengeluh dan berteriak bergulingan menjauhkan diri. Dan ketika mereka melompat bangun dan Salima berdiri tegak di tempat itu maka terbelalak dan tertegunlah semua orang.

“Hebat...!” Bu-kongcu memuji tanpa sengaja. “Kau hebat, nona. Sinkangmu luar biasa dan mengagumkan sekali!”

Salima tak peduli. Saat itu dia memandang Leng Hwat dan adik-adiknya yang sudah mengurung kembali, agak jauh, melihat Leng Hwat mencabut pedang seperti adik-adiknya yang lain itu, marah tapi juga kaget memandangnya. Tak mengira dalam gebrakan yang beberapa jurus itu saja mereka dibuat tunggang langgang. Padahal mereka adalah murid-murid Tok-gan Sin-ni! Dan Leng Hwat yang tentu saja marah mendengar pujian Bu-kongcu tiba-tiba menggerak-gerakkan rambutnya yang mendadak kaku seperti kawat!

“Ji-wi sumoi (adik-adik sekalian), kerahkan Sin-mauw-kang (Tenaga Rambut Sakti)...!”

Lima adik seperguruan Leng Hwat itu mengangguk. Mereka tiba-tiba menggerak-gerakkan rambut seperti suci mereka itu, rambut yang tiba-tiba kaku seperti kawat, mencicit dan berketrikan ketika saling beradu. Persis kawat baja! Dan Leng Hwat yang maju dengan rambut bergerak-gerak dan pedang menggigil di tangan kanan tiba-tiba membentak, “Siluman betina, kami akan membunuhmu...!”

Namun Kim-mou-eng sudah melompat maju. Pendekar ini khawatir melihat sepak terjang sumoinya, dia melihat mata Salima bergerak hidup bagai seekor harimau haus darah. Liar dan mulai menyala penuh nafsu membunuh, hal yang sudah dikenal benar oleh pendekar ini. Dan Kim-mou-eng yang tak menghendaki keributan dan takut sumoinya melakukan pembunuhan karena dia tahu benar akan kepandaian sumoinya itu lalu berseru menangkap pergelangan tangan sumoinya.

“Leng-kouwnio, jangan menyerang sumoiku. Tahan, biarlah kami pergi baik-baik...!”

Namun Leng Hwat mendengus. “Pergi bagaimana, orang she Kim? Sumoimu tak boleh pergi kalau dia tak mau berlutut di depanku!”

“Ah, tapi kami tak bermaksud memusuhimu, kauwnio. Kenapa menarik leher? Biarkan kami berlalu, aku khawatir akan terjadi pertumpahan darah di sini!”

“Sombong!” Leng Hwat marah. “Kau kira sumoimu dapat mengalahkan kami? Jangan takabur, orang she Kim. Kau tak perlu khawatir kalau kami yang roboh. Justeru khawatir dan cemaskanlah nasib sumoimu itu yang akan kami bunuh!”

Kim-mou-eng bingung. Dia gagal melerai pertikaian ini, maklum murid Tok-gan Sin-ni itu tak bakal melepas sumoinya sebelum pertandingan menentukan salah satu pihak, siapa yang unggul dan siapa yang asor (kalah). Dan Salima yang gemas dan lagi-lagi mendongkol pada kelunakan sikap suhengnya itu tiba-tiba melepaskan diri membetot tangannya.

“Suheng, kau tak perlu menunjukkan kelemahan hatimu. Tikus-tikus betina ini tak akan sudah sebelum mereka roboh. Biarkan saja, aku juga ingin mendupak mereka ke dasar neraka!”

Kim-mou-eng semakin bingung. Dia melihat apa yang dikata sumoinya itu memang ada benarnya, bahwa orang-orang ini tak akan sudah sebelum mendapat perlakuan keras. Dan melihat Leng Hwat dan adik-adiknya itu semakin mendekat dan siap menyerang akhirnya pendekar ini menghela napas berseru lirih, “Baiklah, tapi jangan menumpahkan darah di sini, sumoi. Aku tak suka tanganmu melakukan pembunuhan. Mereka itu orang-orang yang tak tahu diri!”

Salima tersenyum, sementara Leng Hwat mendelik. “Kau dengar?” Salima berkata pada wanita baju kuning itu. “Suhengku melarang aku membunuh kalian, tikus betina. Karena itu berterima kasih dan bersyukurlah pada suhengku yang baik hati itu. Kalau tidak tentu kalian tak akan kuampuni lagi!”

Leng Hwat melengking. Dia merasa direndahkan oleh kata-kata itu, marah bukan main. Maka begitu membentak dan menerjang maju mendadak dia sudah menyuruh adik-adiknya membantu, maklum akan kehebatan Salima dan menyerang lawannya itu dengan pedang bergerak naik turun, membacok dan menikam dengan gerakan hebat bukan main.

Dan ketika rambutnya juga melecut-lecut dan menyambar-nyambar melakukan totokan disekujur tubuh lawan maka Salima telah mendapat hujan serangan gencar yang ganas bukan alang kepalang, bertubi-tubi tiada henti bagai hujan dicurahkan dari langit. Tak satupun memberi jalan ke luar. Dan ketika lima wanita yang lain juga melakukan gerakan yang sama seperti yang dilakukan Leng Hwat itu karena mereka juga murid-murid Tok-gan Sin-ni yang tangguh mendadak Salima tergulung dan hilang di balik bayangan enam lawannya yang menyerang dari segala penjuru.

“Wut-plak-singg...!”

Orang tak tahu apa yang terjadi. Mereka hanya mendengar keluhan kaget di dalam sana, disusul jeritan tertahan ketika Salima menangkis. Terang bukan suara Salima, karena gadis itu justeru tertawa mengejek di balik bayangan enam orang lawannya. Dan ketika jeritan-jeritan itu semakin terdengar nyata dan satu lengkingan tinggi meluncur dari tengah-tengah pertempuran mendadak enam bayangan Leng Hwat dan adik-adiknya itu pecah, mencelat ke kiri kanan dan berhamburan bagai tepung mawut, berantakan dan menunjukkan bayangan Salima yang kini tampak jelas, memutar tubuh bagai gasingan sementara kedua tangan bergerak keseluruh penjuru mendorong dan menangkis, menampar dengan pukulan Tiat-lui-kangnya itu.

Dan ketika gerakan Salima berhenti dan Leng Hwat serta adik-adiknya terhuyung mundur, maka tampaklah rambut mereka yang rontok berhamburan sementara enam batang pedang melengkung bengkok bagai pedang yang terbuat dari plastik saja!

“Hi-hik, bagaimana, orang she Leng? Kau tak takut mati?”

Leng Hwat dan adik-adiknya pucat. Mereka tadi sudah menyerang dalam arti sekuatnya, menggerakkan pedang dan rambut secepat hujan mencurah. Tapi ketika rambut terpental dan pedang juga tertolak bertemu tubuh Salima yang kebal dan kenyal seperti gelembung karet tentu saja mereka terkejut dan membelalakkan mata. Apalagi ketika Salima tiba-tiba membalas, melepas pukulan petirnya itu yang panas tak tertahankan, membuat mereka mengeluh tapi nekat menyerang.

Tapi ketika rambut mereka justeru rontok dan pedang yang menusuk tiba-tiba melengkung bengkok maka tentu saja Leng Hwat dan adik-adiknya kaget. Sadar bahwa mereka kiranya bukan tandingan gadis Tar-tar itu. Agaknya hanya guru mereka sajalah yang dapat menandinginya! Dan Leng Hwat yang tentu saja tertegun dan mendelong di tempat akhirnya merah mukanya ketika Salima mengejek kembali.

“Bagaimana, kalian ingin mengulangi lagi, orang she Leng?”

Leng Hwat merah padam. Dia gentar dan seketika tahu diri, maklum bahwa dia bukan tandingan lawannya ini. Dan Bu-kongcu yang juga tersentak oleh hasil akhir gebrakan itu mendadak bengong melihat kelihaian Salima yang luar biasa ini. Tak menduga sedemikian hebat gadis bertopi bulu burung rajawali itu. Agaknya dia juga bukan lawannya. Kalah kelas! Dan Bu-kongcu yang pucat serta gemetar di tengah ruangan mendadak melihat seorang laki-laki masuk.

“Kongcu, Sai-mo-ongya (Raja Tua Singa) memanggil kalian semua...!”

Semua orang menoleh. Bu-kongcu melihat bahwa laki-laki itu adalah pelayan gurunya, Hek Sai datang dengan muka takut-takut dan jeri memandang Kim-mou-eng dan Salima itu, melihat bekas-bekas pertempuran dan pedang Leng Hwat yang bengkok semua. Dan Bu-kongcu yang sudah datang menyambut dan menerima sepucuk surat dari laki-laki itu akhirnya tertegun ketika selesai membaca, kaget memandang Kim-mou-eng berdua.

“Ah, kiranya kau adalah Pendekar Rambut Emas (Kim-mou-eng), sobat? Dan ini adalah sumoimu Tiat-ciang Sian-li Salima?”

Kim-mou-eng tertegun. Dia melihat surat yang dibaca Bu-kongcu itu, surat dari Sai-mo-ong. Rupanya Raja Iblis Singa itu memberi tahu pada muridnya siapa keadaan dirinya dan Salima. Jadi tak berguna lagi menyembunyikan diri. Dan Leng Hwat serta adik-adiknya yang tentu saja terperanjat mendengar kata-kata Bu-kongcu akhirnya bengong membelalakkan mata. Dan Kim-mou-eng maju selangkah, tertawa getir.

“Maaf, orang menjulukiku begitu, Bu-kongcu. Rupanya gurumu telah memberi tahu siapa kami!”

Bu-kongcu tampak kaget. “Kalau begitu suhu mengundangmu, Kim-mou-eng. Dia...”

“Tidak,” Kim-mou-eng mengulapkan lengan, buru-buru menolak. “Kami tak ada waktu lagi, Bu-kongcu. Biar lain kali saja. Kami harus segera pergi!” dan Kim-mou-eng yang mengedip pada sumoinya mendadak menyambar dan menarik Salima meninggalkan tempat itu, berkelebat turun melalui tangga loteng. Tak berani lagi dicegah Bu-kongcu maupun Leng Hwat yang gentar dan jeri setelah menyaksikan kelihaian Salima, belum Kim-mou-eng sendiri. Dan begitu Kim-mou-eng berkelebat tahu-tahu pendekar ini telah lenyap bersama sumoinya di luar restoran.

“Ah,” Bu-kongcu tampak bingung. “Bagaimana ini?” tapi Hek Sai yang berbisik-bisik di dekat telinganya akhirnya membuat pemuda muka putih ini mengangguk, mengerutkan kening dan memberi tanda pada Leng Hwat untuk keluar dari restoran. Dan begitu semuanya berangkat dan Leng Hwat serta adik-adiknya masih bengong oleh kejadian tadi maka rumah makan itupun sepi kembali seperti semula.

* * * * * * * *

“Suheng, kenapa menolak? Bukankah kita sengaja mencari Sai-mo-ong itu?” Salima bertanya ketika mereka keluar dari kota Ceng-tu, heran dan tak mengerti kenapa suhengnya justeru menjauhi Sai-mo-ong. Padahal mereka memang mencari datuk iblis itu.

Dan Kim-mou-eng yang berhenti di luar hutan akhirnya menarik sumoinya ini duduk beristirahat. “Sumoi, aku tahu apa yang kau herankan. Tapi sebelum menjawab itu sebaiknya kau duduk dulu. Ini semua gara-garamu.”

“Gara-garaku?” Salima cemberut. “Gara-gara apa, suheng? Bukankah mereka yang mulai dulu dan membuat ribut? Kalau tidak kau cegah tentu mereka sudah kubunuh semua. Mereka itulah yang menjadi gara-gara, bukan aku!”

“Baik,” Kim-mou-eng tersenyum sabar. “Mereka juga bersalah, sumoi. Tapi kalau seandainya kita pergi saja meninggalkan mereka tentu Sai-mo-ong tak akan mengetahui kedatangan kita.”

“Tapi mereka mencegat, suheng. Mereka sengaja menghadang kita agar tidak melarikan diri!”

“Ah, tak perlu menangkis. Kalau kau tak gatal tangan tentu mereka tak perlu dilayani, sumoi. Kau dibakar kemarahanmu dan sengaja menyambut. Aku tahu itu, tak perlu menyangkal?” dan ketika sumoinya tertegun membelalakkan matanya Kim-mou-eng sudah berkata lagi, “Sumoi, kau tahu bahwa mereka sebenarnya bukanlah tandingan kita. Dengan kepandaian kita yang lebih tinggi kita dapat meninggalkan mereka, melompati mereka dan lenyap mempergunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh) kita kalau kita mau. Tapi kau tidak, kau sengaja ingin menghajar mereka karena kau marah pada murid Tok-gan Sin-ni itu. Bukankah begitu?” dan ketika sumoinya tidak menjawab dan Salima kembali tertegun maka Kim-mou-eng mendesah membuang napas panjang. “Sekarang lawan telah mengenal kita, sumoi. Dan ini membuat rencanaku harus diubah.”

Salima bangkit berdiri, penasaran. “Suheng, apa maksud kata-katamu ini? Kau takut?”

Kim-mou-eng tersenyum pahit. “Kau tahu aku tak takut pada siapapun, sumoi. Kenapa harus berpikir seperti itu?”

“Kalau begitu kenapa kau banyak mengalah pada Bu-kongcu itu? Kau terlalu, pemuda muka putih itu bisa merendahkanmu tanpa sebelah mata!”

Kim-mou-eng tertawa. “Biarlah, aku sengaja melakukan itu karena sekedar menghindari ribut-ribut, sumoi. Tapi akhirnya pun pemuda itu terbuka matanya. Aku tak suka menonjolkan diri. Aku enggan memperkenalkan nama!”

“Benar, tapi orang biasanya hormat setelah mengenal nama, suheng. Dan aku tak ingin suhengku dihina orang!”

“Siapa terhina? Aku tak merasa dihina!” Kim-mou-eng tertawa. “Bu-kongcu itu kuanggap seorang bocah yang tinggi hati, sumoi. Aku menganggapnya tak lebih sebagai manusia yang masih belum dewasa. Aku tak merasa terhina!”

“Tapi aku terhina, suheng. Aku tak mau orang memperlakukan dirimu seenak hatinya!”

“Kau?”

“Ya.”

“Kenapa?”

Salima melotot. “Eh, kau ini waras atau tidak, suheng? Bukankah kita adalah suheng dan sumoi? Kalau aku melihat suhengku dihina tentu saja aku marah. Aku tak rela!”

“Ya, kenapa...?”

“Karena aku...” Salima berhenti, terbelalak memandang suhengnya itu. “Karena aku, eh... kenapa pertanyaanmu demikian aneh, suheng? Bukankah semestinya kalau aku marah melihat kau dihina orang? Itu wajar, karena kita... hm, kita suheng dan sumoi!” dan Salima yang gusar melihat suhengnya tertawa tiba-tiba membanting pantat mencubit lengan suhengnya itu kuat-kuat hingga suhengnya mengaduh. Dan ketika Salima melepaskan cubitannya dan Kim-mou-eng mengusap mendesis sakit maka Salima berapi-api memandang suhengnya itu, marah. “Suheng, kenapa kau menertawakan aku? Kau justeru mau menghina aku?”

“Ah-ah, jangan salah paham!” Kim-mou-eng menyeringai pahit, masih kesakitan oleh bekas cubitan sumoinya. “Aku tidak menghinamu, sumoi. Justeru aku ingin tahu kenapa kau merasa terhina kalau orang menghinaku padahal aku tidak merasa terhina oleh perbuatan orang itu. Bukankah pertanyaanku juga wajar? Masa karena hubungan sumoi dan suheng itu saja? Hanya itu?”

“Jadi maumu?”

“Yach, aku ingin mengorek lebih dalam lagi, sumoi. Aku ingin tahu kenapa kau sampai begitu.”

“Begitu apanya?”

“Begitu, yach... begitu itu tadi!”

Dan Kim-mou-eng yang tak jadi tertawa karena melihat sumoinya siap mencubit tiba-tiba menahan mulut hingga mengatup seperti monyet kebanyakan dijejali pisang, lucu dan mau tak mau membuat Salima tertawa, geli melihat suhengnya monyong seperti itu. Dan ketika Salima terkekeh dan kembali akrab akhirnya Kim-mou-eng terbahak dalam tawanya yang lepas.

“Sumoi, kau lucu!”

Tapi Salima menggeleng. “Tidak, kau yang lucu, suheng. Kau monyong seperti monyet, hi-hik!”

Dan keduanya yang tertawa-tawa dan kembali akur akhirnya membawa mereka pada suasana gembira, melupakan sejenak ketegangan di Ceng-tu tadi. Tapi ketika Kim-mou-eng menghentikan tawanya dan Salima juga berseri memandang suhengnya itu maka Kim-mou-eng menangkap pergelangan tangan sumoinya ini, kagum melihat deretan gigi yang rapi berderet di wajah yang manis itu.

“Sumoi, kau cantik sekali!”

“Ih, rayuan gombal?”

“ Tidak, aku bicara jujur, sumoi. Kau manis dan gagah. Tak heran kalau Bu-kongcu itu tergila-gila padamu!”

“Hm, siapa mau dengan si muka pucat itu? Aku muak padanya, suheng. Aku benci pada matanya yang nyalang seperti anjing!”

“Itu salahmu,” Kim-mou-eng tersenyum. “Kau memang menarik, sumoi. Kau akan membuat setiap mata lelaki kagum dan tertarik padamu!”

“Ih, siapa peduli?” Salima semburat. “Dan kenapa tiba-tiba bicara seperti ini? Aku tak suka, suheng. Aku tak senang membicarakan laki-laki!”

“Eh, tapi aku juga lelaki. Gurba-suheng juga lelaki!”

“Itu lain!” Salima tersentak. “Maksudku, aku tak suka membicarakan laki-laki lain selain kalian, suheng. Atau, ah... sudahlah!” Salima gugup, merah mukanya. “Sebaiknya kita bicarakan yang lain dan jangan yang itu!”

Kim-mou-eng meremas jari-jari sumoinya, merasa tangan sumoinya menggigil, maklum apa yang dirasakan sumoinya itu. Maka tersenyum menghela napas akhirnya dia kembali membawa sumoinya pada persoalan semula. “Sumoi, kau bertanya kenapa aku meninggalkan Ceng-tu, bukan?”

“Ya,” Salima mengangguk, teringat pula pada persoalan semula. “Kenapa kau lakukan itu, suheng? Bukankah Sai-mo-ong yang kita cari?”

“Benar, tapi sekarang kedudukan berubah, sumoi. Artinya apa yang kurencanakan semula harus digeser pula karena kita harus berhati-hati.”

“Hm, kita selamanya tidak takut menghadapi musuh. Kita sudah cukup berhati-hati. Lalu berhati-hati apalagi?”

Kim-mou-eng menarik napas. “Begini, sumoi. Kau tahu kedudukan kita sekarang agak tidak menguntungkan. Artinya, Sai-mo-ong telah mengenal kita sedangkan kita belum mengenal dirinya.”

“Peduli amat!” Salima memotong. “Aku tak takut menghadapi datuk sesat itu, suheng. Dan kita tak perlu kecil hati apakah lawan mengetahui kita atau tidak!”

“Bukan masalah kecil hati,” Kim-mou-eng menjawab. “Aku tidak membicarakan takut atau tidak takut, sumoi. Tapi membicarakan langkah kita yang harus berhati-hati menghadapi lawan yang belum dikenal. Sai-mo-ong telah mengetahui kedatangan kita, mungkin orang-orangnya memberi tahu padanya. Dan Bu-kongcu juga telah melihat kepandaian kita, ini berarti lawan telah mempunyai gambaran tentang diri kita. Sedang kita, gambaran apa yang kita peroleh tentang mereka? Karena itu aku memutuskan menemui Sai-mo-ong secara diam-diam, sumoi. Kita mencari dan memasuki dusun Yu-chung itu harus secara sembunyi-sembunyi!”

Salima mengerutkan keningnya. “Kenapa begitu?”

“Sekedar hati-hati, sumoi. Agar musuh tidak menjebak kita!”

“Ah, siapa bisa menjebak kita? Kepandaian kita sudah lebih dari cukup, suheng. Kehati-hatianmu ini terlalu dan agaknya mengecilkan keberanian!”

“Tidak,” Kim-mou-eng tetap sabar. “Jangan terlalu mengagulkan kepandaian, sumoi. Ingat saja kecerobohanku dulu di kota raja.”

“Maksudmu?”

“Bukankah aku tertangkap? Kepandaian seseorang bisa saja kuhadapi, tapi kebusukan tipu muslihatnya, kecurangannya, mana mungkin dihadapi dengan kekuatan otot belaka? Tidak, Sai-mo-ong telah kita kenal sebagai datuk kaum sesat, sumoi. Karena itu yang kujaga adalah tipu muslihatnya itu, setelah dia mengenal kita!”

“Hm, begitukah?” Salima tertegun. “Jadi bagaimana, suheng?”

“Kita tak perlu menemui lawan secara terang-terangan, sumoi. Kita hadapi Sai-mo-ong itu secara diam-diam.”

“Dan bagaimana rencanamu kini?”

“Kita kembali ke Ceng-tu malam nanti. Kita cari dan kita tangkap Bu-kongcu itu!”

“Hm,” Salima girang. “Kau hendak memaksa pemuda itu menunjukkan tempat gurunya, suheng?”

“Benar.”

“Kalau begitu kenapa tidak tadi saja?”

“Ah, banyak orang lain di situ, sumoi. Kalau kita bawa pemuda itu dan yang lain melapor maka Sai-mo-ong tentu sudah bersiap-siap. Lain dengan nanti malam kalau kita sergap secara tiba-tiba!”

Salima tertawa. “Kau cerdik, suheng. Kau rupanya pintar!”

“Ah, bukan pintar, sumoi. Tapi sekedar berhati-hati saja karena kita belum mengenal lawan.”

“Jadi!” Salima mengangguk. “Dan biarkan aku yang menangkap pemuda itu, suheng. Aku ingin menggaplok mukanya karena dia telah menghinamu!”

“Hm, kumat lagi!” Kim-mou- eng tersenyum. “Kau lagi-lagi menyebut tentang hinaan, sumoi. Siapa merasa terhina? Pemuda itu memang suka merendahkan orang, mungkin karena kekuasaan gurunya di wilayah Ceng-tu. Sudahlah, kita sergap dia nanti malam dan lihat saja apa yang terjadi.”

Kim-mou-eng lalu mengajak sumoinya bercakap-cakap yang lain. Mereka telah memutuskan rencana itu malam nanti, kembali ke Ceng-tu dan menangkap Bu-kongcu. Dan ketika malam itu tiba dan mereka kembali ke Ceng-tu mendadak mereka lupa tentang alamat pemuda itu!

“Sialan!” Salima tertegun. “Kemana kita mencarinya, suheng?”

Kim-mou-eng juga tertegun, teringat itu. Tapi setelah mengingat-ingat dan berpikir sejenak tiba-tiba dia tertawa. “Kita masuki rumah makan tadi, sumoi. Kita tangkap pemiliknya dan kita tanyai dimana rumah Bu-kongcu itu.”

“Ah,” Salima girang. “Benar juga, suheng. Kenapa aku demikian bodoh? Pelupa amat, kita tangkap saja pemilik rumah makan itu! Hayo!”

Dan Salima yang sudah menyelinap memasuki rumah makan siang tadi dan mencari pemiliknya segera “mengompres” pemilik restoran untuk memberi tahu dimana tempat tinggal Bu-kongcu itu. Dan ternyata pemilik rumah makan ini memang kenal. Nama Bu-kongcu sebenarnya dikenal semua orang, seluruh penduduk Ceng-tu tahu adanya akan rumah Bu-kongcu ini. Maklum, dia ternyata memiliki pengaruh besar di kota itu. Sedemikian besar pengaruhnya hingga pejabat pun takut padanya, banyak diantaranya yang menjadi antek murid Sai-mo-ong ini.

Dan ketika Salima mendapat tahu bahwa rumah Bu-kongcu itu ada di sebelah barat kota merupakan rumah paling bagus dan menyendiri dari rumah-rumah lain akhirnya ke sinilah Salima dan suhengnya itu mencari. Dan mereka girang. Rumah Bu-kongcu itu memang besar dan indah, luas dengan halaman dan taman-taman bunganya, terang-benderang disinari lampu berwarna-warni hingga seluruh ruangannya seolah siang hari saja. Tak ada yang gelap. Tapi ketika Salima menyelidiki dan mendapat kenyataan bahwa Bu-kongcu itu tak ada di rumah itu mendadak gadis ini kecewa.

“Sialan, dia tak ada di sini, suheng. Katanya ke Yu-chung ke tempat tinggal gurunya!”

“Hm,” Kim-mou-eng mengerutkan alis. “Kalau begitu kita tanya saja dimana Yu-chung itu, sumoi. Tangkap dan cari saja seorang pelayannya.”

Salima mengangguk. Dia kembali bekerja, menangkap seorang pelayan dan menakut-nakuti pembantu Bu-kongcu itu untuk memberi tahu dimana dusun Yu-chung itu. Dan ketika mereka mendapat keterangan bahwa dusun itu ada di sebelah timur kira-kira tigapuluh lie dari tempat itu akhirnya Salima mengumpat karena harus balik lagi berputar-putar.

“Bangsat, kita harus kembali lagi ke timur, suheng. Yu-chung terletak tigapuluh lie dari sini.”

Kim-mou-eng tertawa. “Tak perlu memaki perjalanan kita sekarang sudah terarah, sumoi. Kalau begitu ayo kita ke sana!”

Dan Kim-mou-eng yang sudah menyendal lengan sumoinya dibawa lari akhirnya berkelebat menuju timur, balik lagi dan kini memasuki Ceng-tu untuk akhirnya keluar melewati pintu gerbang sebelah timur, sekejap kemudian sudah memasuki dusun yang mereka cari itu. Sebuah perkampungan yang berkelap-kelip oleh beberapa lampu cublik (teplok), gelap remang- remang jauh bedanya dengan rumah Bu-kongcu tadi. Dan ketika mereka berindap-indap memasuki dusun ini mendadak di sebuah tempat mereka dikejutkan oleh gemebyarnya lampu yang dihidupkan secara serentak.

“Byar!”

Kim-mou-eng dan Salima terkejut. Mereka seketika silau, kaget oleh perubahan gelap ke terang yang amat mendadak itu. Hal yang tidak mereka sangka. Dan ketika mereka tersentak dan mundur dengan seruan kaget sekonyong-konyong puluhan jarum dan pelor berhamburan ke arah mereka, disusul tawa bergelak dan kekeh merdu seorang wanita.

“Hi-hik, selamat datang, Kim-mou-eng. Kedatangan kalian memang telah kami tunggu... wut-wutt!”

Kim-mou-eng dan Salima terkesiap. Mereka belum dapat melihat hamburan senjata-senjata rahasia itu, kecuali mendengar suaranya. Maklum, mereka masih semrepet oleh perubahan gelap yang amat tiba-tiba itu. Tapi mereka berdua yang sudah mengibas lengan keseluruh penjuru akhirnya mementalkan semua senjata-senjata gelap itu dengan pukulan sinkang, mengebut runtuh mengejutkan lawan-lawan mereka yang ada di situ.

Dan ketika Salima dan suhengnya dapat melihat apa yang di depan mata mendadak mereka tertegun melihat Bu-kongcu dan teman-temannya itu ada di situ, mengepung mereka dipimpin seorang kakek bermuka singa yang brewokan tanpa alas kaki, yang tadi tertawa bergelak, tampak menyeramkan karena kakek ini memiliki sorot mata yang buas dan kejam sekali. Mirip singa yang haus darah! Dan ketika kekeh yang merdu mengejutkan mereka dibelakang punggung tahu-tahu seorang wanita setengah baya yang rambutnya riap-riapan muncul di sebelah kiri kakek bermuka singa itu seorang wanita bermata tunggal.

“Tok-gan Sin-ni (Wanita Sakti Bermata Satu)...!” Kim-mou-eng dan Salima kembali tertegun.

Mereka langsung mengenal dengan tebakan yang jitu, terkejut karena Tok-gan Sin-ni ternyata juga ada di situ, berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang di sebelah kakek bermuka singa itu, yang tentu bukan lain Sai-mo-ong adanya. Si Raja Iblis! Dan Kim-mou-eng serta sumoinya yang seketika terbelalak dan tak berkedip memandang ke depan akhirnya mendengar Sai-mo-ong, kakek bermuka singa itu, terbahak bagai singa mengaum.

“Ha-ha, kau sudah mengenal Tok-gan Sin-ni, Kim-mou-eng?”

Kim-mou-eng menenangkan getaran hatinya. Tapi belum dia menjawab mendadak Tok-gan Sin-ni terkekeh nyaring. “Belum, sebenarnya baru kali ini kita berjumpa, Mo-ong. Tapi agaknya kepadamu pun dia kenal! Hi-hik, itu sumoimu si Tangan Besi, Kim-mou-eng? Kalian kelayapan malam-malam mencari siapa?”

Kim-mou-eng batuk-batuk, menjura di depan dua tokoh itu. “Maaf, aku mencari Sai-mo-ong, Sin-ni. Tak menduga kalau kaupun ada di sini.”

“Ha-ha, kau mencari aku ada perlu apa? Aku ada di sini, boleh terang-terangan bicara saja!”

Kim-mou-eng tertegun. Dia sekarang sudah berhadapan dengan si Raja Iblis itu, bahkan bersama temannya si Tok-gan Sin-ni, dua tokoh yang membuatnya terkejut tapi sama sekali bukan gentar atau takut. Tapi Salima yang maju mendahului dengan seruan melengking tiba-tiba mengejutkannya karena Salima langsung menuju pada pokok persoalan,

“Suhengku datang untuk menanyakan kerabatnya, Sai-mo-ong. Yu-lopek yang katanya ada di dusun ini!”

“Yu-lopek?” Sai-mo-ong terkejut, “Siapa itu?”

Dan Salima lagi-lagi melengking berseru, “Yu-lopek adalah paman dari suhengku ini, Sai-mo-ong. Katanya tinggal di dusun ini dan menghilang entah kemana. Sekarang kami menuntut jawabanmu, kemana orang tua itu!”

Sai- mo-ong tertegun. Dia tampak tercekat, sedetik matanya yang berkilat-kilat itu redup, menyipit dan hampir merupakan dua garis yang terpejam. Tapi tertawa bergelak dan membuka kembali matanya tiba-tiba kakek ini berseru, “Aku tidak tahu. Aku tidak kenal segala orang she Yu!”

“Bohong!” Salima membentak, mengejutkan suhengnya juga. “Kau pendusta, Mo-ong. Kau tahu dimana Yu-lopek itu. Ayo bicara, kalau tidak aku akan memaksamu!”

Sai-mo-ong tiba-tiba terbahak. Kakek bermuka singa ini tertawa bergelak hingga tubuhnya berguncang-guncang, demikian keras dan parau hingga tanah bergetar dan pohon berderak-derak banyak daunnya yang rontok oleh tawanya yang dahsyat itu. Dan ketika Sai-mo-ong mengaum dan suasana malam yang sepi itu robek oleh bentakannya yang menggeledek tiba-tiba Bu-kongcu dan teman-temannya roboh terjerembab!

“Tiat-ciang Sian-li, kau tak perlu menggertak aku si tua bangka! Aku tak tahu orang she Yu itu, kalaupun tahu tentu aku tak peduli. Nah, kau mau apa? Kau mau memaksa aku? Ha-ha, jangan sombong, gadis liar. Kau belum tahu kelihaian Sai-mo-ong!”

Salima tertegun. Sebenarnya dia menguji kakek bermuka singa ini, tak mau bertanya baik-baik karena dia maklum orang-orang golongan sesat biasanya harus dikasari, percuma bersikap halus. Tapi mendengar suara orang yang dahsyat menggegap-gempita dan tawa yang membahana itu mengandung khikang (suara sakti) yang membuat jantungnya tergetar hingga Bu-kongcu dan teman-temannya roboh, cepat Salima mengerahkan kekuatannya, menahan serangan suara yang rupanya sengaja dikeluarkan Sai-mo-ong untuk mengujinya.

Diam-diam kaget dan kagum bahwa raja iblis itu rupanya memang benar hebat. Khikang dan sinkangnya kuat sekali. Dan ketika Salima tersenyum-senyum dan dapat menahan serangan kakek itu lewat suaranya yang hebat, mau tak mau Sai-mo-ong tertegun juga. Begitu pula Tok-gan Sin-ni. Melihat dua kakak beradik seperguruan itu tak terpengaruh sama sekali oleh suara lawan yang memiliki getaran mengejutkan itu. Dan Sai-mo-ong yang tertegun melihat Salima dan Kim-mou-eng tersenyum tak acuh akhirnya mendengar gadis Tar-tar itu menjengek.

“Sai-mo-ong, kalau kau tak tahu Yu-lopek baiklah, tak apa. Aku percaya padamu dan biar kesombonganmu tak kugubris. Aku akan pergi bersama suhengku!” Salima sudah memutar tubuh, menggandeng suhengnya dan siap pergi merendahkan tuan rumah.

Tapi Sai-mo-ong yang rupanya berkilat memandang punggung gadis itu mendadak mendorongkan lengan mencakar dari jauh, kakinya yang telanjang tiba-tiba dikosek, menyaruk tanah seperti singa mencukil kotoran. Dan begitu lengan bergerak ke depan tahu-tahu serangkum angin pukulan dingin berkesiur menghantam punggung Salima.

“Sumoi, awas...!”

Salima mendengus. Dia terang tahu akan pukulan dibelakang, mendengar suara angin yang berkesiur itu. Tapi membalik melonjorkan lengannya mendadak Salima menangkis dengan Tiat-lui-kangnya, sama-sama dari jauh.

“Dess!”

Lampu mendadak padam. Benturan dahsyat dari dua tenaga sakti di udara itu mendadak membuat bumi berguncang, demikian keras hingga getarannya membuat lampu pecah dan rontok kaca-kacanya! Dan Sai-mo-ong yang berseru kaget terhuyung mundur tiba-tiba berseru keras.

“Nyalakan lampu...!”

Dan, sedetik dengan cara mengejutkan tiba-tiba lampu baru telah dinyalakan lagi, rupanya merupakan lampu cadangan yang disiapkan di situ. Dan ketika Sai-mo-ong juga melihat Salima terhuyung mundur tapi tertawa mengejek padanya kontan raja iblis ini tersentak dan membelalakkan matanya lebar-lebar.

“Tiat-ciang Sian-li, kau hebat sekali!”

“Hi-hik!” Salima memanaskan lawan. “Kau kira aku wanita lemah, Mo-ong? Jangan ngimpi, aku sanggup menerima pukulanmu dengan mata meram!” berkata begini, Salima menggerak-gerakkan kedua tangannya yang tiba-tiba merah membara, hasil dari pengerahan Tiat-lui-kang. Tapi Kim-mou-eng yang sadar akan keberanian sumoinya sudah buru-buru melangkah maju.

“Mo-ong, maafkan sumoiku. Kami datang bukan untuk mencari ribut!”

Sai-mo-ong terbelalak. Dia telah merasakan tangkisan Salima tadi, diam-diam kaget bahwa gadis Tar-tar itu tak kalah olehnya. Benar-benar hebat dan sinkangnya luar biasa sekali. Tapi Tok-gan Sin-ni yang terkekeh melompat maju tiba-tiba tersenyum memandang Pendekar Rambut Emas itu, sudah melihat gebrakan Salima dan rekannya, diam-diam terkejut dan dapat mengukur bahwa orang-orang Tar-tar ini rupanya hebat-hebat. Maka mendorong merangkapkan lengannya mendadak wanita sakti ini jadi gatal untuk menguji Kim-mou-eng, pura-pura memberi hormat.

“Kim-mou-eng, kami berdua telah menerima kedatangan kalian. Tak mungkin begitu saja kalian pergi. Terimalah, inilah penghormatan Tok-gan Sin-ni!”

Kim-mou-eng terkejut. Dia merasa pukulan panas menyambar dari lengan lawan, seolah dirangkap tapi diam-diam menyerang, tidak menderu tapi hebatnya tak kalah oleh serangan Sai-mo-ong kepada sumoinya tadi. Dan maklum Tok-gan Sin-ni sengaja menjajal kepandaian dan mau tak mau dia harus menyambut maka terpaksa dengan senyum pahit pendekar ini merangkapkan pula kedua tangannya.

“Sin-ni, maaf kalau penghormatanmu terlalu berlebih-lebihan. Aku tak sanggup menerimanya...dukk!”

Tok-gan Sin-ni tergetar. Dia terbentur tenaga tak kelihatan yang telah dikeluarkan Kim-mou-eng merasakan benturan sinkang yang menahan pukulannya, hebat luar biasa hingga ia tertolak, kaki hampir terangkat tapi punggung sudah melengkung. Padahal Kim-mou-eng tak bergeming dan tegak di depan sana. Dan Tok-gan Sin-ni yang tentu saja kaget bukan main sekonyong-konyong berseru keras menambah tenaganya!

“Wutt!”

Kim- mou-eng jadi terkejut. Dia sengaja membuat wanita itu terdorong sedikit, bermaksud membuat Tok-gan Sin-ni menghentikan serangan dan mundur baik-baik. Tapi melihat wanita itu mempertahankan diri dan kini malah menambah tenaganya sepenuh bagian hingga dia terancam pukulan berbahaya terpaksa Kim-mou-eng mengeluh dan menambah tenaganya pula.

“Dukk...!” dan kini Tok-gan Sin-ni tak mampu mempertahankan kedudukannya. Kakinya tergeser, terangkat dua tindak. Tanda dia kalah kuat! Dan Tok-gan Sin-ni yang kaget serta marah bukan main tiba-tiba melecutkan ujung rambutnya yang mendadak kaku menotok ulu hati lawan.

“Plak!” Kim-mou-eng tak dapat mengelak. Dia tak menyangka serangan itu, dan ulu hatinya yang tertotok ganas tiba-tiba membuat pendekar ini muntah dan terhuyung mundur.

“Huak...!”

Salima terkejut. Dia langsung melompat menyambar suhengnya itu, berseru tertahan, melihat suhengnya pucat dan terbelalak memandang Tok-gan Sin-ni yang keji, menyerang dengan curang. Tapi Kim-mou-eng yang tegak kembali tak sampai terluka karena seluruh tubuh sudah dialiri sinkang karena benturan pertama tadi akhirnya membuat Salima membentak marah. “Tok-gan Sin-ni, kau iblis tak tahu malu...!”

Tapi Kim-mou-eng menahan sumoinya. Dia sudah batuk-batuk menarik napas, sedikit terguncang karena betapa pun totokan tadi cukup berbahaya. Tentu akan membuatnya tewas kalau tenaga saktinya tidak lebih kuat. Dan Tok-gan Sin-ni yang terbelalak melihat kehebatan lawan yang tidak roboh oleh totokannya tadi sudah mendengar Kim-mou-eng bicara, halus namun penuh wibawa, “Tok-gan Sin-ni, kami datang bukan untuk mencari pertikaian. Kami datang mencari Yu-lopek. Kalau pamanku itu tak ada biarlah kami pergi baik-baik!”

Tok-gan Sin-ni tergetar. Dia masih terkejut dan terpengaruh oleh kesaktian Kim-mou-eng yang dapat menerima totokannya tanpa luka, hanya sekali muntah dan setelah itu sehat kembali. Tanda Pendekar Rambut Emas ini benar-benar luar biasa dan mengagetkan. Tapi Tok-gan Sin-ni yang tentu saja penasaran dan belum melihat kepandaian lawan secara penuh tiba-tiba terkekeh memandang pada Sai-mo-ong. “Mo-ong, bagaimana pendapatmu dengan kata-kata ini? Bolehkah dia pergi?”

Sai-mo-ong terbahak. Dia juga sudah melihat gebrakan antara Kim-mou-eng dan rekannya itu, mencelos melihat Tok-gan Sin-ni mundur dua langkah padahal lawan tetap tak bergeming. Tapi karena itu baru demonstrasi pertunjukan sinkang dan bukan kepandaian silat yang dipunyai masing-masing tentu saja iblis ini tak puas dan penasaran, sama seperti yang dipikirkan temannya itu. Dan tertawa menggurat kuku-kuku jarinya di atas tanah tiba-tiba kakek ini mengaum, “Boleh, kalau mereka mau menjadi pembantuku, Sin-ni. Tapi kalau mereka menolak tentu saja mereka harus main-main dulu dengan kita! Ha-ha, bagaimana, Kim-mou-eng? Kau takut? Kenapa mukamu pucat?”

Salima marah. Ejekan terhadap suhengnya itu membuat dia naik darah, melihat muka suhengnya memang berubah tapi bukan pucat, melainkan terkejut karena dia tahu suhengnya itu tak suka ribut-ribut dan enggan menghadapi pertandingan. Bukan takut tapi melulu menghindari permusuhan belaka, itu yang menjadi watak suhengnya. Maka melihat Sai-mo-ong mengejek dan menghina menyangka mereka takut tiba-tiba Salima melengking maju bertolak pinggang.

“Sai-mo-ong, tak perlu suhengku yang maju main-main denganmu. Aku mewakilinya, aku sanggup merobohkanmu agar tangannya tak kotor!”

“Wah, kau berani menghadapiku?” Sai-mo-ong bersinar matanya. “Kau tak takut? Ha-ha, kau seperti macan lapar, Tiat-ciang Sian-li. Tapi boleh kita coba, aku juga sudah mendengar namamu di luar tembok besar!”

Sai-mo- ong sudah maju menggoyang kaki dan tangan. Dia terkekeh dan terbahak ganti berganti, sikapnya buas sementara kaki menyaruk-nyaruk seperti singa mendapat mangsa, mengerikan sekali. Tapi Salima yang tidak takut sedikitpun juga sudah maju menghadapi dengan penuh keberanian. Mata berapi-api dan tubuh tegak menantang lawan, hal yang membuat datuk iblis itu marah tapi juga kagum.

Dan Kim-mou-eng yang maklum pertempuran diantara dua orang itu tak dapat dicegah lagi karena sumoinya juga gatal tangan untuk menyaksikan kepandaian Sai-mo-ong akhirnya mendesis perlahan memperingatkan sumoinya itu. “Sumoi, hati-hati...!”

Salima tersenyum. Dia merasa bangga atas perhatian suhengnya ini, semakin besar hati. Tahu bahwa suhengnya tak akan membiarkan dia begitu saja menghadapi lawan. Tapi Salima yang percaya pada diri sendiri sudah mengangguk sambil melempar kerling manis pada suhengnya itu. “Jangan khawatir, Sai-mo-ong tak dapat berbuat apa-apa kepadaku, suheng. Singa tua ini sudah kehilangan taringnya. Tak berbahaya!”

Sai- mo-ong mendelik. Dia menyuruh yang lain-lain mundur, gusar mendengar ejekan Salima yang membuat telinganya merah. Tapi menggereng dan menggedruk bumi sekonyong-konyong kakek iblis ini meloncat seperti singa menerkam, gerakannya cepat bukan main dan tahu-tahu telah mencengkeram dada Salima dengan sepuluh jarinya yang mendadak mencuatkan kuku-kuku panjang, tajam dan keras disertai kesiur angin dahsyat. Dan begitu bentakan kakek itu memecah keheningan malam tiba-tiba udara tergetar oleh pekik aumnya yang mengguncang jantung. “Salima, aku akan merobek tubuhmu...!”

Salima terkejut. Dia melihat lawan berkelebat demikian cepat, ringan tapi membawa kekuatan amat luar biasa, begitu luar biasa hingga dia tak sempat berkelit lagi. Tak ada waktu. Dan Salima yang mendengus ganti membentak tiba-tiba menggerakkan lengan kirinya menangkis.

“Plak!”

Sai- mo-ong terputar. Kakek iblis ini terhenti setengah jalan, meliuk dan menggereng bagai singa lapar, melejit dan ganti menusuk dengan sepuluh kuku tangannya yang runcing menakutkan. Dan ketika Salima mengelak dan sambaran itu luput mengenai angin mendadak kakek ini memutar kaki menendang Salima.

“Plak-dess!”

Salima ganti terputar. Gadis ini hampir roboh, terkejut oleh gerak lawan yang mirip binatang buas itu, rupanya meniru gerakan singa yang ganas dan kelaparan, sebentar kemudian mengaum dan bertubi-tubi mencakar dan memukul, hebat bukan kepalang karena angin pukulannya menderu-deru, membuat Salima terhuyung dan kaget serta marah. Dan ketika lawan membentak dan Sai-mo-ong lenyap mengelilingi dirinya mendadak Salima melengking tinggi mengerahkan ginkangnya, “Singa tua, kau tak dapat mengalahkan aku!”

Sai-mo-ong tak menjawab. Raja iblis ini telah melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi, ditangkis dan mengeluarkan suara “dak-duk” yang membuat bumi berguncang. Kian lama pertandingan kian cepat hingga keduanya tak tampak bayangannya lagi, sama-sama lenyap dan serang-menyerang di dalam gulungan yang membentuk kabut.

Sebentar kemudian timbul pusaran angin yang panas dingin berganti-ganti, membuat penonton di pinggir harus mundur menjauh karena hawa panas dan dingin itu membuat mereka terkejut, tubuh tiba-tiba berkeringat dan sebentar kemudian beku kembali seperti dicelup dalam bongkahan es. Hal yang tentu saja membuat semua orang terbelalak karena dapat membayangkan betapa hebatnya pertandingan itu. Pertandingan dua orang yang sama- sama memiliki kepandaian tinggi!

Dan Tok-gan Sin-ni yang memandang dengan mata tak berkedip tiba-tiba menjadi kagum bukan main pada sumoi dari Pendekar Rambut Emas itu, heran dan kagum bahwa Tiat-ciang Sian-li Salima yang masih begitu muda dapat menandingi Sai-mo-ong, raja iblis yang sudah kawakan. Seolah seorang kakek melawan cucunya sendiri. Dan ketika pertandingan semakin sengit dan Sai-mo-ong mulai membentak-bentak di dalam gulungan bayangan itu akhirnya terdengar ledakan ketika dua pukulan beradu di udara.

“Blang!”

Tok-gan Sin-ni dan lain-lain mundur selangkah. Mereka merasakan getaran amat kuat mengguncang bumi, terbelalak ke depan. Melihat Sai-mo-ong dan Salima sama terhuyung, melotot dan masing-masing menggigit bibir menahan sakit. Agaknya terluka. Dan Sai-mo-ong yang mengaum mencelat maju tiba-tiba mendorong kedua tangannya melakukan pukulan sinkang, berkerotok buku-buku jarinya.

“Sumoi, awas...!”

Salima mengangguk. Dia sudah menyambut serangan itu, mendorongkan kedua lengannya pula menerima pukulan. Tak mau kalah, sama-sama mengerahkan sinkang dan mengeluarkan Tiat-lui-kangnya (Tenaga Telapak Petir). Hal yang membuat Kim-mou-eng kaget karena itu berarti mengadu jiwa. Dan ketika dia berseru tertahan namun sudah tak sempat mencegah lagi tahu-tahu dua lengan Sai-mo-ong telah bertemu dengan dua lengan sumoinya.

“Dess!” debu mengebul tinggi. Benturan itu mengejutkan semua orang, keras dan membuat tanah bergetar hingga Bu-kongcu dan teman-temannya terpelanting roboh, terpeleset kakinya karena tempat itu seakan dilanda gempa. Hebat bukan main!

Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan terbelalak memandang pertandingan ternyata dua pasang lengan itu telah saling melekat dan mendorong. Salima dan lawannya tampak beringas, masing-masing bertahan dan menyerang, uap mengepul dan lengan mereka sama-sama menggigil. Tak dapat dilepaskan lagi karena sinkang mereka telah bertemu, saling gubat dan dorong-mendorong mencoba merobohkan yang lain. Tentu saja menegangkan dan mengkhawatirkan.

Dan Tok-gan Sin-ni yang juga terbelalak ke depan tiba-tiba terkekeh berseru memuji. “Bagus, robohkan lawanmu itu, Mo-ong. Serang dan hancurkan dia!”

Namun Sai-mo-ong mendelik. Dia tak berani menjawab, karena mengeluarkan suara berarti memberosotkan tenaga sendiri, bakal hilang sebagian dan itu berarti merugikan diri sendiri. Dan ketika adu kepandaian itu berlangsung lama dan masing-masing sama berkutat untuk memperoleh kemenangan mendadak Sai-mo-ong mengeluh dan hampir berbareng bersama Salima melontarkan darah segar.

“Huak!”

Tok-gan Sin-ni dan lain-lain terkejut. Mereka melihat dua orang itu mulai pucat mukanya gemetar dan kaki menggigil seperti orang distrom bergoyang dan tiba-tiba limbung maju mundur dengan tangan masih sama-sama menempel. Salima menggigit bibir dan melihat kedudukannya imbang. Kaget dan penasaran oleh kekuatan lawan yang tak dapat diungguli. Dan ketika mereka kembali melontarkan darah segar dan itu berarti mereka sama-sama terluka dalam mendadak Tok-gan Sin-ni terkekeh berkelebat maju.

“Mo-ong, kubantu sebentar...!”

Kim-mou-eng kaget. Dia melihat wanita itu telah menepuk pundak Sai-mo-ong, perlahan saja, seakan sentuhan lunak tapi sebenarnya menyalurkan sinkang membantu kakek iblis itu, terang mengejutkan dia dan Salima karena itu berarti bantuan tenaga baru. Suatu kecurangan. Dan ketika Kim-mou-eng berseru tertahan karena tak menduga kelicikan Tok-gan Sin-ni ini mendadak Salima menjerit dan terlempar roboh, mental lima tombak lebih!

“Bress!”

Kim-mou-eng membentak. Dia langsung berkelebat menolong sumoinya itu, melihat sumoinya menggeliat dan pingsan karena harus menerima pukulan Tok-gan Sin-ni yang disalurkan lewat pundak Sai-mo-ong, kaget dan marah sekali. Dan begitu menyambar sumoinya dan melihat sumoinya tak bergerak-gerak lagi mendadak pendekar ini melengking tinggi membentak Tok-gan Sin-ni. “Sin-ni, kau iblis wanita curang...!”

Tapi Tok-gan Sin-ni terkekeh. Dia sudah membisikkan sesuatu di telinga Sai-mo-ong, melihat kakek iblis itu sudah menelan obat penawar luka, terhuyung dan menyeringai memandang Kim-mou-eng. Dan ketika Kim-mou-eng marah-marah menegur wanita itu mendadak Tok-gan Sin-ni melecutkan rambutnya menyuruh yang lain-lain maju.

“Sai-mo-ong, tangkap dia. Kim-mou-eng telah mengacau di kota raja... wut-plak!”

Kim-mou-eng tahu-tahu diserang. Tok-gan Sin-ni telah meledakkan rambut dan melepas pukulannya, bertubi-tubi, mengerahkan ginkang berkelebat lenyap mengelilingi lawan, disusul yang lain karena Sai-mo-ong dan Bu-kongcu serta Leng Hwat juga menyerang, mengeroyok pendekar muda itu hingga Kim-mou-eng harus menangkis dan mengerahkan kepandaiannya pula, membentak dan marah melihat kecurangan lawan. Dan begitu pendekar ini melengking dan menggerakkan lengannya mendadak kilatan cahaya meledak menyambut semua serangan itu.

“Dar-darr!”

Bu-kongcu dan Leng Hwat roboh terjungkal. Mereka merupakan orang paling lemah diantara semua pengeroyok, kalah tingkat oleh dua orang guru mereka sendiri. Maka begitu Tiat-lui-kang menyambar dan hawa panas menyambut kecurangan mereka mendadak Bu-kongcu dan murid Tok-gan Sin-ni ini menjerit karena kulit pundak mereka terbakar hangus!

“Aihh...!” Bu-kongcu dan temannya memekik bergulingan. Mereka tidak sampai fatal, melompat bangun kembali dan terbelalak memandang Kim-mou-eng yang sudah dikeroyok dua orang guru mereka itu, melihat bentakan dan pukulan silih berganti tangkis-menangkis, sebentar kemudian bergulung naik turun hingga bayangan mereka lenyap. Dan ketika Sai-mo-ong maupun Tok-gan Sin-ni menyuruh murid-murid mereka itu mencabut senjata dan kembali menyerang akhirnya Leng Hwat mengeluarkan pedangnya sementara Bu-kongcu sendiri mencabut kipasnya.

“Anak-anak, serang dia dari belakang...!”

Bu-kongcu mengangguk. Dia sudah menyelinap di belakang punggung Kim-mou-eng, begitu pula Leng Hwat, menggerakkan pedang dan kipas menyerang lawan dari belakang. Tapi ketika pedang dan kipas mental bertemu kekebalan Kim-mou-eng yang telah melindungi dirinya dengan sinkang mendadak dua orang ini tertegun. Mereka melihat Kim-mou-eng itu hebat benar, jauh lebih hebat dibanding Salima. Dapat melayani dua orang guru mereka sementara mereka sendiri terus mengganggu di belakang. Dan ketika pertempuran berjalan sengit dan Tok-gan Sin-ni maupun teman-temannya penasaran oleh kelihaian lawannya ini mendadak suatu saat Bu-kongcu dan Leng Hwat terpelanting roboh, kena tendangan membalik Kim-mou-eng.

“Des-dess!”

Dua orang murid datuk sesat itu mengeluh. Mereka lagi-lagi terlempar, terbanting roboh. Dan ketika Kim-mou-eng memekik dan menangkis serangan Tok-gan Sin-ni yang dilancarkan dari arah sebelah kiri tahu-tahu wanita iblis ini juga terpental karena lecutan rambutnya brodol dipukul Tiat-lui-kang. Tentu saja Tok-gan Sin-ni marah, melengking dan maju kembali dengan pukulan lebih ganas. Tapi karena dia memang kalah kuat dan sinkang Kim-mou-eng lebih unggul dua tingkat akhirnya kembali lagi-lagi dia terdorong mundur.

“Keparat, cabut senjatamu, Mo-ong. Bunuh Pendekar Rambut Emas ini!”

Sai-mo-ong mengangguk. Dia mengeluarkan kipasnya yang aneh, kipas dari bulu-bulu suri singa jantan, melihat bahwa lawan yang muda ini memang hebat bukan main. Mampu menghadapi mereka berdua meskipun dia masih belum sembuh benar dari lukanya tadi. Kaget dan kagum tapi juga marah bahwa dikeroyok empat masih juga mereka belum dapat merobohkan pendekar ini, pemuda yang pantas menjadi cucu atau muridnya. Dan ketika Mo-ong membentak dan Tok-gan Sin-ni kembali melecutkan rambutnya maka pertempuran kembali berjalan dan Kim-mou-eng menghadapi kerubutan lawan-lawannya.

Tapi Pendekar Rambut Emas ini memang hebat. Dia masih memanggul Salima, menangkis dan bergerak sana sini menolak pukulan-pukulan berbahaya, melindungi diri dengan sinkang hingga kebal menerima totokan-totokan rambut Tok-gan Sin-ni, hanya menangkis atau balas menyerang bila lawan terlalu dekat. Mengerahkan Tiat-lui-kangnya itu dan berhasil mendorong lawan dengan hembusan hawa panasnya itu.

Tapi ketika lawan mulai mengincar Salima dan Sai-mo-ong tertawa menyuruh yang lain-lain menyerang sumoi Kim-mou-eng yang pingsan di atas pundak itu akhirnya perhatian pendekar ini menjadi pecah, terkejut dan marah karena perbuatan lawan itu terang mengganggu konsentrasinya, membuatnya bingung dan kaget. Dan ketika satu lecutan keras mengenai sumoinya dan Kim-mou-eng repot membela diri maka saat itulah kipas Sai-mo-ong mengebut mukanya.

“Kim-mou-eng, kau robohlah...!”

Kim-mou-eng terkejut. Pandangannya terhalang oleh sayap kipas yang terbuka lebar, saat itu mendengar tusukan jari Tok-gan Sin-ni yang menyambar tengkuknya. Dan ketika Bu-kongcu dan Leng Hwat juga mengganggu dengan sambaran pedang yang mendesing menyambar sumoinya yang dipanggul di belakang pundak mendadak pendekar ini membentak merendahkan tubuhnya, membalik memutar tubuh hingga kipas di tangan Sai-mo-ong bertemu jari Tok-gan Sin-ni, tentu saja mengejutkan keduanya, masing-masing berseru kaget.

Dan ketika pedang di tangan Leng Hwat ganti mengenai dadanya tapi mental membentur kekebalannya yang melindungi tubuh mendadak pada saat itu Kim-mou-eng mengeluarkan satu pukulannya yang dahsyat bukan main, Pek-sian-ciang (Pukulan Tangan Dewa). Pukulan yang tidak akan dikeluarkan bila tidak terpaksa. Dan begitu pukulan ini dikeluarkan dan angin yang dahsyat menderu disertai ledakan asap putih sekonyong-konyong Tok-gan Sin-ni dan Sai-mo-ong berseru kaget,

“Hei... plak-des-dess!”

Dua tokoh sesat itu mencelat. Mereka tak sempat mengelak atau menangkis, tubuh terlempar bergulingan di atas tanah, kaget bukan main, terpekik. Dan Bu-kongcu dan Leng Hwat yang juga tak tahu akan pukulan dahsyat ini tiba-tiba mengeluh dan terlempar untuk akhirnya roboh pingsan. Tak tahu apa yang terjadi, kipas dan pedang hancur dan remuk tak dapat dipergunakan lagi. Sekejap seolah petir menyambar. Dan ketika Sai-mo-ong maupun Tok-gan Sin-ni terhuyung melompat bangun dan terbelalak memandang pukulan itu maka hampir berbareng keduanya berseru tertahan,

“Pek-sian-ciang (Pukulan Tangan Dewa)...!”

Kim-mou- eng tertegun. Dia kaget dan heran juga bagaimana dua orang lawannya itu dapat mengenal pukulannya, pukulan yang memang merupakan ilmu simpanan. Jarang dikeluarkan kalau tidak perlu betul. Tapi Salima yang sadar dan mengeluh di atas pundaknya tiba-tiba membuat pendekar ini ingat, tak menggubris seruan lawan. Dan begitu dia sadar bahwa sumoinya ini harus ditolong terlebih dulu tiba-tiba Kim-mou-eng memadamkan lampu dengan pukulan jarak jauh.

“Sai-mo-ong, aku tak ada waktu lagi melayani kalian. Kalian manusia-manusia busuk... bush!” lampu tiba-tiba padam, membuat keadaan menjadi gelap gulita karena kebutan jarak jauh itu memadamkan semua penerangan.

Dan ketika Sai-mo-ong dan Tok-gan Sin-ni terkejut dan melompat mundur maka Kim-mou-eng lenyap meninggalkan tempat itu, tak berani dikejar karena mereka ngeri melihat pukulan Pek-sian-ciang tadi. Tapi Tok-gan Sin-ni yang ingat sesuatu tiba-tiba bertanya dengan lengkingan gentar,

“Kim-mou-eng, apa hubunganmu dengan Bu-beng Sian-su (Manusia Dewa Tak Bernama)...?”

Kim-mou-eng tak menjawab. Dia telah terbang jauh dari tempat itu, melarikan sumoinya karena dia khawatir akan luka Salima yang parah, mendengar pertanyaan itu tapi sengaja tak menjawab karena dia memang tidak kenal siapa itu Bu-beng Sian-su. Tokoh yang dikenal di daratan Tiongkok tapi bukan di luar tembok besar. Tak tahu bahwa itulah gurunya, manusia dewa yang amat sakti dan bijak! Dan Kim-mou-eng yang tidak menjawab dan sengaja tak menggubris pertanyaan itu karena seluruh perhatiannya tertuju pada sumoinya akhirnya lenyap dan membiarkan gema suara Tok-gan Sin-ni memantul sendiri!

* * * * * * * *

“Sumoi, bagaimana keadaanmu?”

Salima terengah, Kim-mou-eng telah meletakkannya di atas lantai, menemukan sebuah kuil tua dan aman dari jangkauan musuh, memberinya obat dan kini menempelkan lengan menyalurkan sinkang membantu mempercepat penyembuhan. Tapi Salima yang merasa dadanya sakit dan batuk-batuk akhirnya menggigil memandang pucat suhengnya itu.

“Dadaku... dadaku sakit, suheng... aku, aduh... aku merasa nyeri seolah ada sesuatu yang menusuk...!”

“Dimana?”

“Di sini... di... ah!” Salima terguling, tubuhnya tiba-tiba panas dan membuat Kim-mou-eng heran karena dia telah memberi obat penawar luka dalam. Tentunya sembuh dan tak ada apa-apa lagi setelah dia menyalurkan sinkangnya. Tapi melihat sumoinya pucat dan wajah yang pucat itu mendadak menjadi hijau tiba-tiba Kim-mou-eng kaget karena sadar bahwa sumoinya rupanya keracunan. Entah apa!

“Ah, kau keracunan, sumoi...!” Kim-mou-eng sudah mengangkat sumoinya ini, gelisah dan pucat serta marah karena itu gara-gara Tok-gan Sin-ni dan teman-temannya tadi. Dan ketika dia meraba bahwa bagian yang paling panas adalah di dada sebelah kiri sumoinya ini mendadak Kim-mou-eng tertegun, melihat sebuah jarum menancap halus di dada sumoinya itu, menembus baju dan hampir tak kelihatan kalau Salima tak menunjukkan rasa sakitnya.

Dan Salima yang mengangguk dan mendesis menggeliatkan tubuh tiba-tiba terisak. “Ya, aku... aku terkena jarum beracun Tok-gan Sin-ni, suheng. Mungkin ketika kau memanggulku ketika aku pingsan. Aku tak dapat mencabutnya, tanganku lemah...!”

Kim-mou-eng terkesiap. Pengakuan sumoinya ini membuat dia teringat akan pertempuran tadi, teringat kelicikan lawan yang memang beberapa kali melepas senjata gelap tapi selalu dapat dia pukul runtuh. Tak menyangka bahwa satu diantaranya meleset, kini menancap di buah dada sumoinya sebelah kiri. Harus dicabut. Dan karena Salima sendiri telah menyatakan tenaganya lemah dan dialah satu-satunya orang yang harus menolong sumoinya itu mendadak Kim-mou-eng tertegun.

Kenapa harus di bagian itu? Kenapa di situ? Hal ini berarti dia harus membuka pakaian sumoinya itu. Jarum menancap dalam, menyalurkan bisa (racun) yang tentu ganas. Mungkin sudah merenggut nyawa kalau bukan sumoinya yang menerima. Dan Kim-mou-eng yang tertegun membelalakkan mata tiba-tiba mendengar sumoinya menangis.

“Suheng, sakit... dadaku sakit. Nyeri sekali!”

Kim-mou-eng terkejut. Dia sadar dan bingung sekejap, tapi menggigit bibir menahan rasa tiba-tiba dia berbisik, gemetar suaranya, “Sumoi, bagaimana harus mencabut jarum itu? Menancapnya terlalu dalam. Hal itu harus membuka pakaianmu!”

Salima mengeluh. Muka yang pucat kehijauan itu mendadak menjadi merah, tapi memejamkan mata menjawab gemetar Salima mengangguk, “Aku tahu, tapi aku tak dapat melakukannya sendiri, suheng. Tenagaku lemah dan panas sekali. Kau boleh buka bajuku, tapi... tapi pejamkan matamu!”

Kim-mou-eng mengerutkan kening. Dia seketika merah mendengar kata-kata ini, maklum bahwa sumoinya diguncang perasaan seperti yang dia alami. Tapi karena keadaan darurat dan sumoinya terancam bahaya tiba-tiba Kim-mou-eng menahan napas, merobek baju sumoinya itu dan melihat dimana tepatnya jarum itu berada. Tak mungkin menutupi mata karena jarum tak akan diketahui letaknya. Dan begitu Salima mengeluh dan memejamkan mata maka saat itu juga Kim-mou-eng berdetak melihat buah dada sumoinya.

Sebenarnya, mereka sudah cukup akrab. Hubungan mereka sebagai suheng dan sumoi sebenarnya cukup membuang perasaan malu. Tapi karena sumoinya ini sudah bukan anak kecil lagi dan perkembangan tubuhnya adalah perkembangan tubuh seorang gadis dewasa maka tentu saja perasaan tersirap membuat Kim-mou-eng meloncat jantungnya. Betapapun, dia juga seorang pemuda. Pemuda yang sehat dan normal.

Maka begitu melihat keadaan sumoinya yang seperti ini tiba-tiba saja Kim-mou-eng tergetar, nafsu berahinya timbul. Tapi Kim-mou-eng yang merupakan pendekar sejati itu bukanlah pemuda hidung belang, menekan semua nafsunya sendiri dan dengan jari-jari menggigil mencoba mencabut jarum beracun itu. Tapi ketika melihat jarum amat dalam dan tak mungkin dicabut karena amblas di bawah kulit tiba-tiba Kim-mou-eng tersentak karena jarum itu hanya dapat dikeluarkan bila disedot!

“Sumoi, jarumnya terlalu dalam...!”

Pendekar Rambut Emas Jilid 05

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 05
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
MENGEJUTKAN sekali. Belum Salima menjawab tiba-tiba Leng Hwat, gadis atau wanita baju kuning yang menjadi murid Tok-gan Sin-ni ini berseru,

“Bu-kongcu adalah murid Sai-mo-ong locianpwe, kongcu yang tampan. Tak perlu kalian khawatir karena Bu-kongcu adalah orang baik-baik!” dan sementara Kim-mou-eng tertegun oleh jawaban ini karena tak menyangka bisikannya didengar orang tiba-tiba Leng Hwat yang sudah menarik kursinya sambil terkekeh tahu-tahu sudah merapat di sebelah kiri Kim-mou-eng, bertanya genit, “Kongcu, siapakah dirimu ini? Siapa namamu dan bagaimana kami harus memanggilmu?”

Kim-mou-eng terkejut. Dia mendapat lemparan bau rambut yang harum, melihat sumoinya terbelalak dan tentu akan geger lagi. Maka sebelum wanita baju kuning itu mengganggu dirinya dan Salima membuat onar tiba-tiba Kim-mou-eng bangkit berdiri memindahkan kursinya. “Nona, maaf jangan terlalu dekat-dekat. Aku alergi (tak tahan) oleh bau wangi-wangian!”

Dan sebelum wanita itu mengejar tiba-tiba Pendekar Rambut Emas telah duduk di sebelah kanan sumoinya, hingga kini Leng Hwat bersebelahan dengan sumoinya itu. Dan ketika murid Tok-gan Sin-ni itu terkejut membelalakkan mata, Kim-mou-eng sudah memperkenalkan diri, memberi nama palsu, “Aku orang she Kim, namaku Yo. Sedang sumoiku ini adalah Sha Liem Ma!”

Leng Hwat terbelalak. Dia penasaran melihat Kim-mou-eng memindahkan kursinya, jelas tak mau berdampingan dengannya. Tapi Bu-kongcu yang tertawa melihat kekecewaan murid Tok-gan Sin-ni itu berkata,

“Leng Hwat, makanan belum sempat kita santap. Jangan sampai mawut sebelum disentuh!”

Kata-kata ini mengandung arti. Kim-mou-eng dapat menangkap rahasia yang terkandung dalam kata-kata itu, meminta agar Leng Hwat tak mengganggu tamunya sebelum semua merasa puas. Bahwa sebaiknya murid Tok-gan Sin-ni itu membiarkan keadaan tenang dulu sebelum mereka menikmati hidangan. Dan ketika Leng Hwat tersenyum dan saat itu enam orang pelayan membawa hidangan secara tergopoh-gopoh mendadak wanita ini tertawa mengedipkan matanya.

“Benar, tamu kita belum menikmati undangannya, Bu-kongcu. Sebaiknya kita jamu dulu sebelum kita bercakap-cakap lebih lanjut!”

Dan tak sabar menanti pelayan mendekat tiba-tiba murid Tok-gan Sin-ni ini mendemonstrasikan kepandaiannya, menggerakkan lengan dan tahu-tahu mengambil semua piring dan mangkok dari jauh, isi enam nampan itu susul-menyusul beterbangan di udara, aneh dan membuat enam orang pelayan itu berseru kaget. Dan ketika mereka tertegun dan terbelalak melihat mangkok dan piring “meloncat” begitu saja di atas meja tiba-tiba sekejap kemudian isi nampan itu telah teratur rapi berjejer di atas meja!

“Ha-ha, kalian membuat Leng Hwat-kouwnio tak sabar menaruh hidangan, pelayan-pelayan tolol. Ayo pergi kalau tak ingin didupak!” Bu-kongcu terbahak, rupanya tahu bahwa murid Tok-gan Sin-ni ini sengaja mendemonstrasikan kelihaiannya agar tamu mereka kagum, berseru pada pelayan dan menggoyang-goyang kaki seperti orang mengusir ayam. Tapi begitu angin menyambar dan enam pelayan itu terkejut tahu-tahu mereka mencelat beterbangan menjerit ke tangga loteng, bergelindingan jatuh.

“Des-des dess!”

Enam pelayan itu tunggang-langgang. Mereka terang berteriak gaduh oleh perbuatan Bu-kongcu ini, terguling dan jatuh bangun untuk akhirnya melompat bangun dan terbirit-birit menjauhi pemuda muka putih itu. Dan Kim-mou-eng serta sumoinya yang tertegun membelalakkan mata tiba-tiba mendengus karena mengerti bahwa orang sengaja mendemonstrasikan kepandaiannya di depan mereka.

“Bu-kongcu, sebaiknya tak perlu mengganggu orang-orang tak bersalah itu. Tak ada harganya kau mempertunjukkan kepandaianmu di depan kami!” Salima berkata, menjengek karena mendongkol pemuda muka putih itu mendemonstrasikan kepandaiannya di depan mereka.

Dan ketika muka Bu-kongcu merah oleh sindirannya tiba-tiba Salima meniup, membuat sebotol arak hitam yang ada di atas meja mendadak bangun, bergoyang dan meloncat di udara seperti kalajengking melejit. Dan ketika botol itu terbalik dan melayang menuju Salima tahu-tahu gadis Tar-tar ini telah membuka mulutnya menerima arak hitam yang sudah mengucur dari botol arak yang terbalik itu, mendorong lengan ke atas hingga botol itu berhenti di udara, dalam posisi masih terbalik, tanpa disentuh. Dan ketika Salima meneguk dan mengibaskan lengannya tahu-tahu botol itu telah melayang kembali dan jatuh di atas meja seperti semula.

“Plek!” botol itu hampir tak mengeluarkan suara, ringan mendarat membuat Bu-kongcu dan teman-temannya terkejut. Dan ketika Salima mengusap bibir tertawa pada mereka maka gadis Tar-tar ini berkata, “Maaf, aku mendahului kalian, Bu-kongcu. Aku haus dan tak dapat menahan lidahku mengecap arak hitam ini. Sungguh lezat!”

Bu-kongcu dan teman-temannya tertegun. Mereka terang melihat sebuah demonstrasi yang tak kalah dibanding mereka. Bahkan agak jauh lebih berbahaya karena harus menghentikan botol di udara sementara meneguk isinya. Pertunjukan sinkang yang luar biasa dan menakjubkan. Dan Bu-kongcu yang kagum dan kaget oleh balasan Salima yang hebat ini akhirnya mendapat seruan Kim-mou-eng yang buru-buru minta maaf atas perbuatan sumoinya, kaget sumoinya membuat onar!

“Aih, maafkan sumoiku, Bu-kongcu. Kepandaiannya tadi jangan dianggap suatu kelancangan. Sumoiku memang usil dan suka berbuat kekanak-kanakan!”

Salima marah. Ia melotot mendengar suhengnya mengatakan dia bersikap kekanak-kanakan, tapi Bu-kongcu yang sadar dan sudah dapat menguasai dirinya lagi tiba-tiba terbahak gembira. “Ah, sumoimu tak kekanak-kanakan, orang she Kim. Justeru kepandaiannya tadi membuka mata kami lebar-lebar bahwa dia memang hebat. Dia memiliki sinkang luar biasa!”

Dan tertawa bergelak penuh kegembiraan tiba-tiba Bu-kongcu menyumpit sepotong daging, berseru pada Salima agar mereka mulai menikmati hidangan, seolah tak sengaja mendentingkan mangkok hingga daging di ujung sumpit mencelat, menyambar Salima yang tentu saja tak sudi menerima sambaran daging itu dengan cara seperti itu.

Maka mendengus dan melirik Leng Hwat tampak iri memandangnya mendadak Salima meneruskan “loncatan” daging itu dengan tiupan mulutnya, kini menyambar murid Tok-gan Sin-ni itu seolah tanpa sengaja. Dan Leng Hwat yang tentu saja menjengek memandang marah tiba-tiba mengebutkan ujung lengan bajunya mementalkan daging itu yang kini menyambar kembali ke arah Bu-kongcu.

“Hap!” Bu-kongcu membuka mulutnya, menerima daging itu terbahak gembira. Dan ketika mangkok kembali dipukul dan Bu-kongcu menyambar daging-daging yang lain akhirnya murid Sai-mo-ong ini mempersilahkan tamunya yang telah cukup dilihat kepandaiannya, mendahului menyikat hidangan. “Ha-ha, ayo orang she Kim, kita nikmati hidangan dan arak hitam... ting-ting!” dan Bu-kongcu yang sudah mendentingkan mangkok membagi-bagi makanan akhirnya melahap daging dan segala isinya yang ada disitu, mendorong dengan ceglukan arak hitam yang sebentar kemudian lenyap isinya.

Dan ketika arak habis dan Bu-kongcu memanggil pelayan untuk menambah lagi maka semua orang yang ada di situ akhirnya mengikuti jejaknya menyapu hidangan ini. Tapi Kim-mou-eng dan Salima bersikap ayal-ayalan. Kim-mou-eng memberi tanda agar sumoinya itu berhati-hati, menjaga siapa tahu makanan dan minuman itu mengandung racun. Tapi setelah mencicipi dan melihat tak ada yang mencurigakan akhirnya pendekar muda ini mengajak sumoinya menemani kegembiraan tuan rumah, tetap waspada namun lega bahwa Bu-kongcu dan kawan-kawannya itu rupanya tak mengganggu mereka lagi.

Tapi ketika perjamuan hampir berakhir dan Bu-kongcu melihat Kim-mou-eng tak begitu banyak menyentuh arak mendadak pemuda muka putih ini menyodorkan cawan penuh arak hitam, tertawa bergelak.

“Orang she Kim, kenapa kau tak menyentuh arakmu? Hayo minum, ini arak persahabatan khusus dariku!"

Kim-mou-eng terkejut. Dia memang tidak begitu suka arak, sengaja menghindari minuman keras yang menyengat baunya itu. Maka melihat tuan rumah memberinya arak sementara hidangan-hidangan yang lain hampir habis mendadak pendekar ini tersenyum menggoyang lengan. “Bu-kongcu aku khawatir aku mabuk. Biarlah kuminum saja teh harum ini. Terima kasih!”

Tapi Bu-kongcu telah menyodorkan arak itu. Dia menghalangi Kim-mou-eng menyentuh minumannya, teh harum dari Po-yang, tiba-tiba menjulurkan lengan menuangkan arak ke muka lawan hal yang tentu saja membuat Kim-mou-eng tersentak. Maklum, arak tahu-tahu telah mengucur di depan hidungnya sementara Bu-kongcu tertawa bergelak memaksa pendekar itu menerima pemberiannya. Dan ketika Kim-mou-eng terkejut dan membelalakkan matanya tahu-tahu ular yang melilit di lengan kanan Bu-kongcu juga menyambar di balik tumpahan arak!

“Plak!” Kim-mou-eng cepat menangkis, berseru perlahan dan mengerahkan sinkangnya menampar hingga ular itu langsung pecah kepalanya, mengejutkan Bu-kongcu. Dan ketika arak terpental dan hampir membasahi meja mendadak Kim-mou-eng telah meniup arak itu yang tiba-tiba membeku dan balik menyambar Bu-kongcu yang kontan membentak mendorong kursinya mundur.

“Bress!” Bu-kongcu pucat mukanya. Dia melihat keempat kaki kursinya patah, seketika menjadi pendek dan dia langsung melesak seperti orang cebol, kaget bukan main. Dan ketika Bu-kongcu berseru keras melompat bangun maka pada saat itulah Kim-mou-eng buru-buru bangkit berdiri menjura padanya.

“Aih, maaf... maaf, Bu-kongcu. Aku tak sengaja melakukan itu semuanya! Aku ketakutan, ularmu ganas...!” dan Kim-mou-eng yang buru-buru membersihkan baju Bu-kongcu ini akhirnya dipandang terbelalak oleh pemuda muka putih itu.

Kaget karena dia merasa dorongan sinkang pendekar ini membuat tubuhnya menggigil kedinginan, seakan dicelup dalam bongkahan salju! Dan Bu-kongcu yang tentu saja tertegun oleh adu tenaga ini tiba-tiba bengong karena dia melihat betapa “orang she Kim” ini memiliki sinkang yang lebih kuat dibanding Salima. Seusap atau setingkat lebih unggul!

Bu-kongcu mendelong. Dia masih terbelalak memandang pendekar itu, tapi ketika Leng Hwat tertawa dan bangkit dari kursinya mendadak murid Tok-gan Sin-ni ini berseru, “Bu-kongcu, kau jangan main-main terhadap tamu kita yang satu ini. Agaknya Kim Yo tak kalah mengejutkan dibanding sumoinya!”

Bu-kongcu sadar, membuang bangkai ularnya dan melihat Kim-mou-eng sudah mundur kembali mendekati sumoinya. Dan ketika Leng Hwat berseri memandang kagum Pendekar Rambut Emas itu akhirnya Kim-mou-eng sudah menyendal lengan Salima diajak pergi, tersipu dan rupanya “ketakutan” memandang mereka.

“Bu-kongcu, maafkan kami berdua. Hidangan telah habis, kami telah merasakan budi kebaikan kalian. Sekarang perkenankan kami pergi!”

Bu-kongcu tertawa aneh. “Tentu, tapi aku pribadi masih belum puas oleh pertemuan ini, orang she Kim. Bagaimana kalau sekali lagi aku mengundang kalian ke rumahku? Sumoimu tampaknya lelah, sebaiknya biar dia beristirahat di tempat tinggalku!”

Kim-mou-eng menolak. “Tidak, terima kasih, kongcu. Aku khawatir kehadiran kami hanya merusakkan barang-barang kalian saja!” pendekar itu melirik bangkai ular yang dibuang Bu-kongcu, rupanya ingin cepat-cepat pergi dan menekan erat-erat pergelangan tangan sumoinya karena Salima rupanya ingin berontak. Tak suka suhengnya bersikap merendah seperti itu. Seolah orang yang benar-benar takut!

Dan Leng Hwat yang bangkit di susul lima temannya yang lain tiba-tiba menyambung ucapan Bu-kongcu. “Orang she Kim, sebaiknya apa yang diminta Bu-kongcu jangan kau tolak. Dia bersikap baik padamu, kenapa takut? Kalau kau tak suka undangannya biarlah ganti aku yang mengundangmu. Sumoimu boleh ikut dia sementara kau ikut aku! Bagaimana, Bu-kongcu?” Leng Hwat tertawa, menoleh pada Bu-kongcu yang segera tersenyum menyambutnya, menyeringai lebar, ikut tertawa dan tak malu-malu lagi memandang Salima dengan mata bersinar-sinar. Pandangan yang kotor dan buruk!

Dan Kim-mou-eng yang menggeleng mengerutkan kening tiba-tiba mencengkeram sumoinya yang hampir tak dapat mengendalikan kemarahannya, tersenyum pahit. “Tidak, terima kasih, kouwnio. Kami suheng dan sumoi masih mempunyai banyak urusan. Biarlah lain kali saja!” dan Kim-mou-eng yang menjura memutar tubuh tiba-tiba mengajak sumoinya pergi.

“Wutt!” Leng Hwat tiba-tiba berkelebat ke depan, menghadang dan terkekeh di depan Pendekar Rambut Emas ini. Rupanya penasaran, disusul lima bayangan temannya yang mengikuti wanita baju kuning itu yang rupanya memimpin mereka. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan Salima berketruk menautkan gigi maka murid Tok-gan Sin-ni ini menggerak-gerakkan rambutnya ke kiri kanan, melempar-lemparnya bagai kuda melecut bulu.

“Kim Yo, kami baik-baik ingin bersahabat denganmu lebih intim. Kalau kau tak suka pada Bu-kongcu biarlah kau dan sumoimu itu memenuhi undangan kami untuk bercakap-cakap bersama. Turutilah, kami tak biasa ditolak!”

Kim-mou-eng tertegun. Dia melihat lawan rupanya tak akan melepaskan mereka, melihat murid Tok-gan Sin-ni itu tersenyum-senyum padanya sementara dia dan sumoinya sudah dikurung. Dan sementara dia bingung dan marah oleh perbuatan wanita baju kuning ini mendadak Bu-kongcu juga berkelebat menggoyang-goyang kipasnya.

“Kim Yo, aku juga tak biasa ditolak. Sebaiknya kau ikuti dulu permintaanku seperti tadi. Atau, tinggalkan sumoimu ini dan kau pergilah!”

Leng Hwat terkekeh. “Tidak, sebaiknya gadis itu saja yang pergi, Bu-kongcu. Aku ingin membawa orang she Kim ini bersenang-senang!”

“Tapi dia tak mau padamu, Leng Hwat. Sebaiknya...”

“Ah, tidak. Justeru gadis itu yang tak suka padamu, Bu-kongcu. Kau saja yang mengalah dan biarkan orang she Kim ini menjadi kenalanku!” Leng Hwat memotong, terkekeh dan berkedip memandang Kim-mou-eng yang semakin dalam mengerutkan alis.

Dan Salima yang tak tahan lagi mendengar omongan orang-orang itu yang membuatnya naik darah tiba-tiba melengking dan langsung membetot lepas tangannya menyerang Leng Hwat, marah dan cemburu karena murid Tok-gan Sin-ni itu “menaksir” suhengnya! “Siluman she Leng, kau minta kuhajar mampus...wut!”

Leng Hwat terkejut. Dia melihat berkelebatnya Salima menampar kepalanya, terbelalak tapi terkekeh meloncat mundur, mengangkat tangannya menangkis gerakan Salima yang mengejar dengan satu kepretan jari, kaget juga melihat gadis Tar-tar itu bergerak seperti terbang memburunya. Dan begitu dua lengan beradu dan Leng Hwat baru kali itu beradu tenaga mendadak wanita ini menjerit ketika dia terpelanting roboh.

“Bress!”

Salima melengking. Dia telah mengeluarkan Tiat-lui-kangnya itu, pukulan Telapak Petir, menyengat dan membuat lawan terkejut karena lengannya panas bagai mengandung bara api. Dan ketika Leng Hwat bergulingan tapi Salima mengejar dengan ginkangnya yang berkelebat bagai setan kelaparan mendadak dua pukulan kembali mengenai murid Tok-gan Sin-ni ini.

“Plak-dess!”

Leng Hwat kaget bukan kepalang. Dia memekik dan kembali mencelat bergulingan, baju di pundaknya hangus terbakar. Dan ketika ia melompat bangun dan Salima memburu dengan satu pukulan lagi mendadak lima bayangan membentak menghadang Salima, memperlihatkan lima tusukan pedang yang berkeredep menyerang punggung gadis itu.

“Sha Liem Ma, lepaskan suci (kakak seperguruan perempuan) kami... sing-sing!”

Salima terkejut. Dia membalik tak jadi menyerang Leng Hwat, menyambut dan mengepret lima tusukan pedang itu, begitu saja, dengan jari-jari terbuka, telanjang tapi tentu saja mengandung sinkang yang membuat jari-jari itu keras melebihi baja! Dan ketika pedang bertemu kepretan jari dan semuanya terpental dan Salima membentak meliukkan pinggang tahu-tahu lima murid Tok-gan Sin-ni yang lain itu telah menerima tamparan berturut-turut hingga mereka roboh terjungkal!

“Plak-plak-plak...!”

Leng Hwat dan lima adik-adik seperguruannya itu terkejut. Baju mereka juga hangus terbakar seperti yang dialami Leng Hwat, mengeluh dan berteriak bergulingan menjauhkan diri. Dan ketika mereka melompat bangun dan Salima berdiri tegak di tempat itu maka terbelalak dan tertegunlah semua orang.

“Hebat...!” Bu-kongcu memuji tanpa sengaja. “Kau hebat, nona. Sinkangmu luar biasa dan mengagumkan sekali!”

Salima tak peduli. Saat itu dia memandang Leng Hwat dan adik-adiknya yang sudah mengurung kembali, agak jauh, melihat Leng Hwat mencabut pedang seperti adik-adiknya yang lain itu, marah tapi juga kaget memandangnya. Tak mengira dalam gebrakan yang beberapa jurus itu saja mereka dibuat tunggang langgang. Padahal mereka adalah murid-murid Tok-gan Sin-ni! Dan Leng Hwat yang tentu saja marah mendengar pujian Bu-kongcu tiba-tiba menggerak-gerakkan rambutnya yang mendadak kaku seperti kawat!

“Ji-wi sumoi (adik-adik sekalian), kerahkan Sin-mauw-kang (Tenaga Rambut Sakti)...!”

Lima adik seperguruan Leng Hwat itu mengangguk. Mereka tiba-tiba menggerak-gerakkan rambut seperti suci mereka itu, rambut yang tiba-tiba kaku seperti kawat, mencicit dan berketrikan ketika saling beradu. Persis kawat baja! Dan Leng Hwat yang maju dengan rambut bergerak-gerak dan pedang menggigil di tangan kanan tiba-tiba membentak, “Siluman betina, kami akan membunuhmu...!”

Namun Kim-mou-eng sudah melompat maju. Pendekar ini khawatir melihat sepak terjang sumoinya, dia melihat mata Salima bergerak hidup bagai seekor harimau haus darah. Liar dan mulai menyala penuh nafsu membunuh, hal yang sudah dikenal benar oleh pendekar ini. Dan Kim-mou-eng yang tak menghendaki keributan dan takut sumoinya melakukan pembunuhan karena dia tahu benar akan kepandaian sumoinya itu lalu berseru menangkap pergelangan tangan sumoinya.

“Leng-kouwnio, jangan menyerang sumoiku. Tahan, biarlah kami pergi baik-baik...!”

Namun Leng Hwat mendengus. “Pergi bagaimana, orang she Kim? Sumoimu tak boleh pergi kalau dia tak mau berlutut di depanku!”

“Ah, tapi kami tak bermaksud memusuhimu, kauwnio. Kenapa menarik leher? Biarkan kami berlalu, aku khawatir akan terjadi pertumpahan darah di sini!”

“Sombong!” Leng Hwat marah. “Kau kira sumoimu dapat mengalahkan kami? Jangan takabur, orang she Kim. Kau tak perlu khawatir kalau kami yang roboh. Justeru khawatir dan cemaskanlah nasib sumoimu itu yang akan kami bunuh!”

Kim-mou-eng bingung. Dia gagal melerai pertikaian ini, maklum murid Tok-gan Sin-ni itu tak bakal melepas sumoinya sebelum pertandingan menentukan salah satu pihak, siapa yang unggul dan siapa yang asor (kalah). Dan Salima yang gemas dan lagi-lagi mendongkol pada kelunakan sikap suhengnya itu tiba-tiba melepaskan diri membetot tangannya.

“Suheng, kau tak perlu menunjukkan kelemahan hatimu. Tikus-tikus betina ini tak akan sudah sebelum mereka roboh. Biarkan saja, aku juga ingin mendupak mereka ke dasar neraka!”

Kim-mou-eng semakin bingung. Dia melihat apa yang dikata sumoinya itu memang ada benarnya, bahwa orang-orang ini tak akan sudah sebelum mendapat perlakuan keras. Dan melihat Leng Hwat dan adik-adiknya itu semakin mendekat dan siap menyerang akhirnya pendekar ini menghela napas berseru lirih, “Baiklah, tapi jangan menumpahkan darah di sini, sumoi. Aku tak suka tanganmu melakukan pembunuhan. Mereka itu orang-orang yang tak tahu diri!”

Salima tersenyum, sementara Leng Hwat mendelik. “Kau dengar?” Salima berkata pada wanita baju kuning itu. “Suhengku melarang aku membunuh kalian, tikus betina. Karena itu berterima kasih dan bersyukurlah pada suhengku yang baik hati itu. Kalau tidak tentu kalian tak akan kuampuni lagi!”

Leng Hwat melengking. Dia merasa direndahkan oleh kata-kata itu, marah bukan main. Maka begitu membentak dan menerjang maju mendadak dia sudah menyuruh adik-adiknya membantu, maklum akan kehebatan Salima dan menyerang lawannya itu dengan pedang bergerak naik turun, membacok dan menikam dengan gerakan hebat bukan main.

Dan ketika rambutnya juga melecut-lecut dan menyambar-nyambar melakukan totokan disekujur tubuh lawan maka Salima telah mendapat hujan serangan gencar yang ganas bukan alang kepalang, bertubi-tubi tiada henti bagai hujan dicurahkan dari langit. Tak satupun memberi jalan ke luar. Dan ketika lima wanita yang lain juga melakukan gerakan yang sama seperti yang dilakukan Leng Hwat itu karena mereka juga murid-murid Tok-gan Sin-ni yang tangguh mendadak Salima tergulung dan hilang di balik bayangan enam lawannya yang menyerang dari segala penjuru.

“Wut-plak-singg...!”

Orang tak tahu apa yang terjadi. Mereka hanya mendengar keluhan kaget di dalam sana, disusul jeritan tertahan ketika Salima menangkis. Terang bukan suara Salima, karena gadis itu justeru tertawa mengejek di balik bayangan enam orang lawannya. Dan ketika jeritan-jeritan itu semakin terdengar nyata dan satu lengkingan tinggi meluncur dari tengah-tengah pertempuran mendadak enam bayangan Leng Hwat dan adik-adiknya itu pecah, mencelat ke kiri kanan dan berhamburan bagai tepung mawut, berantakan dan menunjukkan bayangan Salima yang kini tampak jelas, memutar tubuh bagai gasingan sementara kedua tangan bergerak keseluruh penjuru mendorong dan menangkis, menampar dengan pukulan Tiat-lui-kangnya itu.

Dan ketika gerakan Salima berhenti dan Leng Hwat serta adik-adiknya terhuyung mundur, maka tampaklah rambut mereka yang rontok berhamburan sementara enam batang pedang melengkung bengkok bagai pedang yang terbuat dari plastik saja!

“Hi-hik, bagaimana, orang she Leng? Kau tak takut mati?”

Leng Hwat dan adik-adiknya pucat. Mereka tadi sudah menyerang dalam arti sekuatnya, menggerakkan pedang dan rambut secepat hujan mencurah. Tapi ketika rambut terpental dan pedang juga tertolak bertemu tubuh Salima yang kebal dan kenyal seperti gelembung karet tentu saja mereka terkejut dan membelalakkan mata. Apalagi ketika Salima tiba-tiba membalas, melepas pukulan petirnya itu yang panas tak tertahankan, membuat mereka mengeluh tapi nekat menyerang.

Tapi ketika rambut mereka justeru rontok dan pedang yang menusuk tiba-tiba melengkung bengkok maka tentu saja Leng Hwat dan adik-adiknya kaget. Sadar bahwa mereka kiranya bukan tandingan gadis Tar-tar itu. Agaknya hanya guru mereka sajalah yang dapat menandinginya! Dan Leng Hwat yang tentu saja tertegun dan mendelong di tempat akhirnya merah mukanya ketika Salima mengejek kembali.

“Bagaimana, kalian ingin mengulangi lagi, orang she Leng?”

Leng Hwat merah padam. Dia gentar dan seketika tahu diri, maklum bahwa dia bukan tandingan lawannya ini. Dan Bu-kongcu yang juga tersentak oleh hasil akhir gebrakan itu mendadak bengong melihat kelihaian Salima yang luar biasa ini. Tak menduga sedemikian hebat gadis bertopi bulu burung rajawali itu. Agaknya dia juga bukan lawannya. Kalah kelas! Dan Bu-kongcu yang pucat serta gemetar di tengah ruangan mendadak melihat seorang laki-laki masuk.

“Kongcu, Sai-mo-ongya (Raja Tua Singa) memanggil kalian semua...!”

Semua orang menoleh. Bu-kongcu melihat bahwa laki-laki itu adalah pelayan gurunya, Hek Sai datang dengan muka takut-takut dan jeri memandang Kim-mou-eng dan Salima itu, melihat bekas-bekas pertempuran dan pedang Leng Hwat yang bengkok semua. Dan Bu-kongcu yang sudah datang menyambut dan menerima sepucuk surat dari laki-laki itu akhirnya tertegun ketika selesai membaca, kaget memandang Kim-mou-eng berdua.

“Ah, kiranya kau adalah Pendekar Rambut Emas (Kim-mou-eng), sobat? Dan ini adalah sumoimu Tiat-ciang Sian-li Salima?”

Kim-mou-eng tertegun. Dia melihat surat yang dibaca Bu-kongcu itu, surat dari Sai-mo-ong. Rupanya Raja Iblis Singa itu memberi tahu pada muridnya siapa keadaan dirinya dan Salima. Jadi tak berguna lagi menyembunyikan diri. Dan Leng Hwat serta adik-adiknya yang tentu saja terperanjat mendengar kata-kata Bu-kongcu akhirnya bengong membelalakkan mata. Dan Kim-mou-eng maju selangkah, tertawa getir.

“Maaf, orang menjulukiku begitu, Bu-kongcu. Rupanya gurumu telah memberi tahu siapa kami!”

Bu-kongcu tampak kaget. “Kalau begitu suhu mengundangmu, Kim-mou-eng. Dia...”

“Tidak,” Kim-mou-eng mengulapkan lengan, buru-buru menolak. “Kami tak ada waktu lagi, Bu-kongcu. Biar lain kali saja. Kami harus segera pergi!” dan Kim-mou-eng yang mengedip pada sumoinya mendadak menyambar dan menarik Salima meninggalkan tempat itu, berkelebat turun melalui tangga loteng. Tak berani lagi dicegah Bu-kongcu maupun Leng Hwat yang gentar dan jeri setelah menyaksikan kelihaian Salima, belum Kim-mou-eng sendiri. Dan begitu Kim-mou-eng berkelebat tahu-tahu pendekar ini telah lenyap bersama sumoinya di luar restoran.

“Ah,” Bu-kongcu tampak bingung. “Bagaimana ini?” tapi Hek Sai yang berbisik-bisik di dekat telinganya akhirnya membuat pemuda muka putih ini mengangguk, mengerutkan kening dan memberi tanda pada Leng Hwat untuk keluar dari restoran. Dan begitu semuanya berangkat dan Leng Hwat serta adik-adiknya masih bengong oleh kejadian tadi maka rumah makan itupun sepi kembali seperti semula.

* * * * * * * *

“Suheng, kenapa menolak? Bukankah kita sengaja mencari Sai-mo-ong itu?” Salima bertanya ketika mereka keluar dari kota Ceng-tu, heran dan tak mengerti kenapa suhengnya justeru menjauhi Sai-mo-ong. Padahal mereka memang mencari datuk iblis itu.

Dan Kim-mou-eng yang berhenti di luar hutan akhirnya menarik sumoinya ini duduk beristirahat. “Sumoi, aku tahu apa yang kau herankan. Tapi sebelum menjawab itu sebaiknya kau duduk dulu. Ini semua gara-garamu.”

“Gara-garaku?” Salima cemberut. “Gara-gara apa, suheng? Bukankah mereka yang mulai dulu dan membuat ribut? Kalau tidak kau cegah tentu mereka sudah kubunuh semua. Mereka itulah yang menjadi gara-gara, bukan aku!”

“Baik,” Kim-mou-eng tersenyum sabar. “Mereka juga bersalah, sumoi. Tapi kalau seandainya kita pergi saja meninggalkan mereka tentu Sai-mo-ong tak akan mengetahui kedatangan kita.”

“Tapi mereka mencegat, suheng. Mereka sengaja menghadang kita agar tidak melarikan diri!”

“Ah, tak perlu menangkis. Kalau kau tak gatal tangan tentu mereka tak perlu dilayani, sumoi. Kau dibakar kemarahanmu dan sengaja menyambut. Aku tahu itu, tak perlu menyangkal?” dan ketika sumoinya tertegun membelalakkan matanya Kim-mou-eng sudah berkata lagi, “Sumoi, kau tahu bahwa mereka sebenarnya bukanlah tandingan kita. Dengan kepandaian kita yang lebih tinggi kita dapat meninggalkan mereka, melompati mereka dan lenyap mempergunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh) kita kalau kita mau. Tapi kau tidak, kau sengaja ingin menghajar mereka karena kau marah pada murid Tok-gan Sin-ni itu. Bukankah begitu?” dan ketika sumoinya tidak menjawab dan Salima kembali tertegun maka Kim-mou-eng mendesah membuang napas panjang. “Sekarang lawan telah mengenal kita, sumoi. Dan ini membuat rencanaku harus diubah.”

Salima bangkit berdiri, penasaran. “Suheng, apa maksud kata-katamu ini? Kau takut?”

Kim-mou-eng tersenyum pahit. “Kau tahu aku tak takut pada siapapun, sumoi. Kenapa harus berpikir seperti itu?”

“Kalau begitu kenapa kau banyak mengalah pada Bu-kongcu itu? Kau terlalu, pemuda muka putih itu bisa merendahkanmu tanpa sebelah mata!”

Kim-mou-eng tertawa. “Biarlah, aku sengaja melakukan itu karena sekedar menghindari ribut-ribut, sumoi. Tapi akhirnya pun pemuda itu terbuka matanya. Aku tak suka menonjolkan diri. Aku enggan memperkenalkan nama!”

“Benar, tapi orang biasanya hormat setelah mengenal nama, suheng. Dan aku tak ingin suhengku dihina orang!”

“Siapa terhina? Aku tak merasa dihina!” Kim-mou-eng tertawa. “Bu-kongcu itu kuanggap seorang bocah yang tinggi hati, sumoi. Aku menganggapnya tak lebih sebagai manusia yang masih belum dewasa. Aku tak merasa terhina!”

“Tapi aku terhina, suheng. Aku tak mau orang memperlakukan dirimu seenak hatinya!”

“Kau?”

“Ya.”

“Kenapa?”

Salima melotot. “Eh, kau ini waras atau tidak, suheng? Bukankah kita adalah suheng dan sumoi? Kalau aku melihat suhengku dihina tentu saja aku marah. Aku tak rela!”

“Ya, kenapa...?”

“Karena aku...” Salima berhenti, terbelalak memandang suhengnya itu. “Karena aku, eh... kenapa pertanyaanmu demikian aneh, suheng? Bukankah semestinya kalau aku marah melihat kau dihina orang? Itu wajar, karena kita... hm, kita suheng dan sumoi!” dan Salima yang gusar melihat suhengnya tertawa tiba-tiba membanting pantat mencubit lengan suhengnya itu kuat-kuat hingga suhengnya mengaduh. Dan ketika Salima melepaskan cubitannya dan Kim-mou-eng mengusap mendesis sakit maka Salima berapi-api memandang suhengnya itu, marah. “Suheng, kenapa kau menertawakan aku? Kau justeru mau menghina aku?”

“Ah-ah, jangan salah paham!” Kim-mou-eng menyeringai pahit, masih kesakitan oleh bekas cubitan sumoinya. “Aku tidak menghinamu, sumoi. Justeru aku ingin tahu kenapa kau merasa terhina kalau orang menghinaku padahal aku tidak merasa terhina oleh perbuatan orang itu. Bukankah pertanyaanku juga wajar? Masa karena hubungan sumoi dan suheng itu saja? Hanya itu?”

“Jadi maumu?”

“Yach, aku ingin mengorek lebih dalam lagi, sumoi. Aku ingin tahu kenapa kau sampai begitu.”

“Begitu apanya?”

“Begitu, yach... begitu itu tadi!”

Dan Kim-mou-eng yang tak jadi tertawa karena melihat sumoinya siap mencubit tiba-tiba menahan mulut hingga mengatup seperti monyet kebanyakan dijejali pisang, lucu dan mau tak mau membuat Salima tertawa, geli melihat suhengnya monyong seperti itu. Dan ketika Salima terkekeh dan kembali akrab akhirnya Kim-mou-eng terbahak dalam tawanya yang lepas.

“Sumoi, kau lucu!”

Tapi Salima menggeleng. “Tidak, kau yang lucu, suheng. Kau monyong seperti monyet, hi-hik!”

Dan keduanya yang tertawa-tawa dan kembali akur akhirnya membawa mereka pada suasana gembira, melupakan sejenak ketegangan di Ceng-tu tadi. Tapi ketika Kim-mou-eng menghentikan tawanya dan Salima juga berseri memandang suhengnya itu maka Kim-mou-eng menangkap pergelangan tangan sumoinya ini, kagum melihat deretan gigi yang rapi berderet di wajah yang manis itu.

“Sumoi, kau cantik sekali!”

“Ih, rayuan gombal?”

“ Tidak, aku bicara jujur, sumoi. Kau manis dan gagah. Tak heran kalau Bu-kongcu itu tergila-gila padamu!”

“Hm, siapa mau dengan si muka pucat itu? Aku muak padanya, suheng. Aku benci pada matanya yang nyalang seperti anjing!”

“Itu salahmu,” Kim-mou-eng tersenyum. “Kau memang menarik, sumoi. Kau akan membuat setiap mata lelaki kagum dan tertarik padamu!”

“Ih, siapa peduli?” Salima semburat. “Dan kenapa tiba-tiba bicara seperti ini? Aku tak suka, suheng. Aku tak senang membicarakan laki-laki!”

“Eh, tapi aku juga lelaki. Gurba-suheng juga lelaki!”

“Itu lain!” Salima tersentak. “Maksudku, aku tak suka membicarakan laki-laki lain selain kalian, suheng. Atau, ah... sudahlah!” Salima gugup, merah mukanya. “Sebaiknya kita bicarakan yang lain dan jangan yang itu!”

Kim-mou-eng meremas jari-jari sumoinya, merasa tangan sumoinya menggigil, maklum apa yang dirasakan sumoinya itu. Maka tersenyum menghela napas akhirnya dia kembali membawa sumoinya pada persoalan semula. “Sumoi, kau bertanya kenapa aku meninggalkan Ceng-tu, bukan?”

“Ya,” Salima mengangguk, teringat pula pada persoalan semula. “Kenapa kau lakukan itu, suheng? Bukankah Sai-mo-ong yang kita cari?”

“Benar, tapi sekarang kedudukan berubah, sumoi. Artinya apa yang kurencanakan semula harus digeser pula karena kita harus berhati-hati.”

“Hm, kita selamanya tidak takut menghadapi musuh. Kita sudah cukup berhati-hati. Lalu berhati-hati apalagi?”

Kim-mou-eng menarik napas. “Begini, sumoi. Kau tahu kedudukan kita sekarang agak tidak menguntungkan. Artinya, Sai-mo-ong telah mengenal kita sedangkan kita belum mengenal dirinya.”

“Peduli amat!” Salima memotong. “Aku tak takut menghadapi datuk sesat itu, suheng. Dan kita tak perlu kecil hati apakah lawan mengetahui kita atau tidak!”

“Bukan masalah kecil hati,” Kim-mou-eng menjawab. “Aku tidak membicarakan takut atau tidak takut, sumoi. Tapi membicarakan langkah kita yang harus berhati-hati menghadapi lawan yang belum dikenal. Sai-mo-ong telah mengetahui kedatangan kita, mungkin orang-orangnya memberi tahu padanya. Dan Bu-kongcu juga telah melihat kepandaian kita, ini berarti lawan telah mempunyai gambaran tentang diri kita. Sedang kita, gambaran apa yang kita peroleh tentang mereka? Karena itu aku memutuskan menemui Sai-mo-ong secara diam-diam, sumoi. Kita mencari dan memasuki dusun Yu-chung itu harus secara sembunyi-sembunyi!”

Salima mengerutkan keningnya. “Kenapa begitu?”

“Sekedar hati-hati, sumoi. Agar musuh tidak menjebak kita!”

“Ah, siapa bisa menjebak kita? Kepandaian kita sudah lebih dari cukup, suheng. Kehati-hatianmu ini terlalu dan agaknya mengecilkan keberanian!”

“Tidak,” Kim-mou-eng tetap sabar. “Jangan terlalu mengagulkan kepandaian, sumoi. Ingat saja kecerobohanku dulu di kota raja.”

“Maksudmu?”

“Bukankah aku tertangkap? Kepandaian seseorang bisa saja kuhadapi, tapi kebusukan tipu muslihatnya, kecurangannya, mana mungkin dihadapi dengan kekuatan otot belaka? Tidak, Sai-mo-ong telah kita kenal sebagai datuk kaum sesat, sumoi. Karena itu yang kujaga adalah tipu muslihatnya itu, setelah dia mengenal kita!”

“Hm, begitukah?” Salima tertegun. “Jadi bagaimana, suheng?”

“Kita tak perlu menemui lawan secara terang-terangan, sumoi. Kita hadapi Sai-mo-ong itu secara diam-diam.”

“Dan bagaimana rencanamu kini?”

“Kita kembali ke Ceng-tu malam nanti. Kita cari dan kita tangkap Bu-kongcu itu!”

“Hm,” Salima girang. “Kau hendak memaksa pemuda itu menunjukkan tempat gurunya, suheng?”

“Benar.”

“Kalau begitu kenapa tidak tadi saja?”

“Ah, banyak orang lain di situ, sumoi. Kalau kita bawa pemuda itu dan yang lain melapor maka Sai-mo-ong tentu sudah bersiap-siap. Lain dengan nanti malam kalau kita sergap secara tiba-tiba!”

Salima tertawa. “Kau cerdik, suheng. Kau rupanya pintar!”

“Ah, bukan pintar, sumoi. Tapi sekedar berhati-hati saja karena kita belum mengenal lawan.”

“Jadi!” Salima mengangguk. “Dan biarkan aku yang menangkap pemuda itu, suheng. Aku ingin menggaplok mukanya karena dia telah menghinamu!”

“Hm, kumat lagi!” Kim-mou- eng tersenyum. “Kau lagi-lagi menyebut tentang hinaan, sumoi. Siapa merasa terhina? Pemuda itu memang suka merendahkan orang, mungkin karena kekuasaan gurunya di wilayah Ceng-tu. Sudahlah, kita sergap dia nanti malam dan lihat saja apa yang terjadi.”

Kim-mou-eng lalu mengajak sumoinya bercakap-cakap yang lain. Mereka telah memutuskan rencana itu malam nanti, kembali ke Ceng-tu dan menangkap Bu-kongcu. Dan ketika malam itu tiba dan mereka kembali ke Ceng-tu mendadak mereka lupa tentang alamat pemuda itu!

“Sialan!” Salima tertegun. “Kemana kita mencarinya, suheng?”

Kim-mou-eng juga tertegun, teringat itu. Tapi setelah mengingat-ingat dan berpikir sejenak tiba-tiba dia tertawa. “Kita masuki rumah makan tadi, sumoi. Kita tangkap pemiliknya dan kita tanyai dimana rumah Bu-kongcu itu.”

“Ah,” Salima girang. “Benar juga, suheng. Kenapa aku demikian bodoh? Pelupa amat, kita tangkap saja pemilik rumah makan itu! Hayo!”

Dan Salima yang sudah menyelinap memasuki rumah makan siang tadi dan mencari pemiliknya segera “mengompres” pemilik restoran untuk memberi tahu dimana tempat tinggal Bu-kongcu itu. Dan ternyata pemilik rumah makan ini memang kenal. Nama Bu-kongcu sebenarnya dikenal semua orang, seluruh penduduk Ceng-tu tahu adanya akan rumah Bu-kongcu ini. Maklum, dia ternyata memiliki pengaruh besar di kota itu. Sedemikian besar pengaruhnya hingga pejabat pun takut padanya, banyak diantaranya yang menjadi antek murid Sai-mo-ong ini.

Dan ketika Salima mendapat tahu bahwa rumah Bu-kongcu itu ada di sebelah barat kota merupakan rumah paling bagus dan menyendiri dari rumah-rumah lain akhirnya ke sinilah Salima dan suhengnya itu mencari. Dan mereka girang. Rumah Bu-kongcu itu memang besar dan indah, luas dengan halaman dan taman-taman bunganya, terang-benderang disinari lampu berwarna-warni hingga seluruh ruangannya seolah siang hari saja. Tak ada yang gelap. Tapi ketika Salima menyelidiki dan mendapat kenyataan bahwa Bu-kongcu itu tak ada di rumah itu mendadak gadis ini kecewa.

“Sialan, dia tak ada di sini, suheng. Katanya ke Yu-chung ke tempat tinggal gurunya!”

“Hm,” Kim-mou-eng mengerutkan alis. “Kalau begitu kita tanya saja dimana Yu-chung itu, sumoi. Tangkap dan cari saja seorang pelayannya.”

Salima mengangguk. Dia kembali bekerja, menangkap seorang pelayan dan menakut-nakuti pembantu Bu-kongcu itu untuk memberi tahu dimana dusun Yu-chung itu. Dan ketika mereka mendapat keterangan bahwa dusun itu ada di sebelah timur kira-kira tigapuluh lie dari tempat itu akhirnya Salima mengumpat karena harus balik lagi berputar-putar.

“Bangsat, kita harus kembali lagi ke timur, suheng. Yu-chung terletak tigapuluh lie dari sini.”

Kim-mou-eng tertawa. “Tak perlu memaki perjalanan kita sekarang sudah terarah, sumoi. Kalau begitu ayo kita ke sana!”

Dan Kim-mou-eng yang sudah menyendal lengan sumoinya dibawa lari akhirnya berkelebat menuju timur, balik lagi dan kini memasuki Ceng-tu untuk akhirnya keluar melewati pintu gerbang sebelah timur, sekejap kemudian sudah memasuki dusun yang mereka cari itu. Sebuah perkampungan yang berkelap-kelip oleh beberapa lampu cublik (teplok), gelap remang- remang jauh bedanya dengan rumah Bu-kongcu tadi. Dan ketika mereka berindap-indap memasuki dusun ini mendadak di sebuah tempat mereka dikejutkan oleh gemebyarnya lampu yang dihidupkan secara serentak.

“Byar!”

Kim-mou-eng dan Salima terkejut. Mereka seketika silau, kaget oleh perubahan gelap ke terang yang amat mendadak itu. Hal yang tidak mereka sangka. Dan ketika mereka tersentak dan mundur dengan seruan kaget sekonyong-konyong puluhan jarum dan pelor berhamburan ke arah mereka, disusul tawa bergelak dan kekeh merdu seorang wanita.

“Hi-hik, selamat datang, Kim-mou-eng. Kedatangan kalian memang telah kami tunggu... wut-wutt!”

Kim-mou-eng dan Salima terkesiap. Mereka belum dapat melihat hamburan senjata-senjata rahasia itu, kecuali mendengar suaranya. Maklum, mereka masih semrepet oleh perubahan gelap yang amat tiba-tiba itu. Tapi mereka berdua yang sudah mengibas lengan keseluruh penjuru akhirnya mementalkan semua senjata-senjata gelap itu dengan pukulan sinkang, mengebut runtuh mengejutkan lawan-lawan mereka yang ada di situ.

Dan ketika Salima dan suhengnya dapat melihat apa yang di depan mata mendadak mereka tertegun melihat Bu-kongcu dan teman-temannya itu ada di situ, mengepung mereka dipimpin seorang kakek bermuka singa yang brewokan tanpa alas kaki, yang tadi tertawa bergelak, tampak menyeramkan karena kakek ini memiliki sorot mata yang buas dan kejam sekali. Mirip singa yang haus darah! Dan ketika kekeh yang merdu mengejutkan mereka dibelakang punggung tahu-tahu seorang wanita setengah baya yang rambutnya riap-riapan muncul di sebelah kiri kakek bermuka singa itu seorang wanita bermata tunggal.

“Tok-gan Sin-ni (Wanita Sakti Bermata Satu)...!” Kim-mou-eng dan Salima kembali tertegun.

Mereka langsung mengenal dengan tebakan yang jitu, terkejut karena Tok-gan Sin-ni ternyata juga ada di situ, berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang di sebelah kakek bermuka singa itu, yang tentu bukan lain Sai-mo-ong adanya. Si Raja Iblis! Dan Kim-mou-eng serta sumoinya yang seketika terbelalak dan tak berkedip memandang ke depan akhirnya mendengar Sai-mo-ong, kakek bermuka singa itu, terbahak bagai singa mengaum.

“Ha-ha, kau sudah mengenal Tok-gan Sin-ni, Kim-mou-eng?”

Kim-mou-eng menenangkan getaran hatinya. Tapi belum dia menjawab mendadak Tok-gan Sin-ni terkekeh nyaring. “Belum, sebenarnya baru kali ini kita berjumpa, Mo-ong. Tapi agaknya kepadamu pun dia kenal! Hi-hik, itu sumoimu si Tangan Besi, Kim-mou-eng? Kalian kelayapan malam-malam mencari siapa?”

Kim-mou-eng batuk-batuk, menjura di depan dua tokoh itu. “Maaf, aku mencari Sai-mo-ong, Sin-ni. Tak menduga kalau kaupun ada di sini.”

“Ha-ha, kau mencari aku ada perlu apa? Aku ada di sini, boleh terang-terangan bicara saja!”

Kim-mou-eng tertegun. Dia sekarang sudah berhadapan dengan si Raja Iblis itu, bahkan bersama temannya si Tok-gan Sin-ni, dua tokoh yang membuatnya terkejut tapi sama sekali bukan gentar atau takut. Tapi Salima yang maju mendahului dengan seruan melengking tiba-tiba mengejutkannya karena Salima langsung menuju pada pokok persoalan,

“Suhengku datang untuk menanyakan kerabatnya, Sai-mo-ong. Yu-lopek yang katanya ada di dusun ini!”

“Yu-lopek?” Sai-mo-ong terkejut, “Siapa itu?”

Dan Salima lagi-lagi melengking berseru, “Yu-lopek adalah paman dari suhengku ini, Sai-mo-ong. Katanya tinggal di dusun ini dan menghilang entah kemana. Sekarang kami menuntut jawabanmu, kemana orang tua itu!”

Sai- mo-ong tertegun. Dia tampak tercekat, sedetik matanya yang berkilat-kilat itu redup, menyipit dan hampir merupakan dua garis yang terpejam. Tapi tertawa bergelak dan membuka kembali matanya tiba-tiba kakek ini berseru, “Aku tidak tahu. Aku tidak kenal segala orang she Yu!”

“Bohong!” Salima membentak, mengejutkan suhengnya juga. “Kau pendusta, Mo-ong. Kau tahu dimana Yu-lopek itu. Ayo bicara, kalau tidak aku akan memaksamu!”

Sai-mo-ong tiba-tiba terbahak. Kakek bermuka singa ini tertawa bergelak hingga tubuhnya berguncang-guncang, demikian keras dan parau hingga tanah bergetar dan pohon berderak-derak banyak daunnya yang rontok oleh tawanya yang dahsyat itu. Dan ketika Sai-mo-ong mengaum dan suasana malam yang sepi itu robek oleh bentakannya yang menggeledek tiba-tiba Bu-kongcu dan teman-temannya roboh terjerembab!

“Tiat-ciang Sian-li, kau tak perlu menggertak aku si tua bangka! Aku tak tahu orang she Yu itu, kalaupun tahu tentu aku tak peduli. Nah, kau mau apa? Kau mau memaksa aku? Ha-ha, jangan sombong, gadis liar. Kau belum tahu kelihaian Sai-mo-ong!”

Salima tertegun. Sebenarnya dia menguji kakek bermuka singa ini, tak mau bertanya baik-baik karena dia maklum orang-orang golongan sesat biasanya harus dikasari, percuma bersikap halus. Tapi mendengar suara orang yang dahsyat menggegap-gempita dan tawa yang membahana itu mengandung khikang (suara sakti) yang membuat jantungnya tergetar hingga Bu-kongcu dan teman-temannya roboh, cepat Salima mengerahkan kekuatannya, menahan serangan suara yang rupanya sengaja dikeluarkan Sai-mo-ong untuk mengujinya.

Diam-diam kaget dan kagum bahwa raja iblis itu rupanya memang benar hebat. Khikang dan sinkangnya kuat sekali. Dan ketika Salima tersenyum-senyum dan dapat menahan serangan kakek itu lewat suaranya yang hebat, mau tak mau Sai-mo-ong tertegun juga. Begitu pula Tok-gan Sin-ni. Melihat dua kakak beradik seperguruan itu tak terpengaruh sama sekali oleh suara lawan yang memiliki getaran mengejutkan itu. Dan Sai-mo-ong yang tertegun melihat Salima dan Kim-mou-eng tersenyum tak acuh akhirnya mendengar gadis Tar-tar itu menjengek.

“Sai-mo-ong, kalau kau tak tahu Yu-lopek baiklah, tak apa. Aku percaya padamu dan biar kesombonganmu tak kugubris. Aku akan pergi bersama suhengku!” Salima sudah memutar tubuh, menggandeng suhengnya dan siap pergi merendahkan tuan rumah.

Tapi Sai-mo-ong yang rupanya berkilat memandang punggung gadis itu mendadak mendorongkan lengan mencakar dari jauh, kakinya yang telanjang tiba-tiba dikosek, menyaruk tanah seperti singa mencukil kotoran. Dan begitu lengan bergerak ke depan tahu-tahu serangkum angin pukulan dingin berkesiur menghantam punggung Salima.

“Sumoi, awas...!”

Salima mendengus. Dia terang tahu akan pukulan dibelakang, mendengar suara angin yang berkesiur itu. Tapi membalik melonjorkan lengannya mendadak Salima menangkis dengan Tiat-lui-kangnya, sama-sama dari jauh.

“Dess!”

Lampu mendadak padam. Benturan dahsyat dari dua tenaga sakti di udara itu mendadak membuat bumi berguncang, demikian keras hingga getarannya membuat lampu pecah dan rontok kaca-kacanya! Dan Sai-mo-ong yang berseru kaget terhuyung mundur tiba-tiba berseru keras.

“Nyalakan lampu...!”

Dan, sedetik dengan cara mengejutkan tiba-tiba lampu baru telah dinyalakan lagi, rupanya merupakan lampu cadangan yang disiapkan di situ. Dan ketika Sai-mo-ong juga melihat Salima terhuyung mundur tapi tertawa mengejek padanya kontan raja iblis ini tersentak dan membelalakkan matanya lebar-lebar.

“Tiat-ciang Sian-li, kau hebat sekali!”

“Hi-hik!” Salima memanaskan lawan. “Kau kira aku wanita lemah, Mo-ong? Jangan ngimpi, aku sanggup menerima pukulanmu dengan mata meram!” berkata begini, Salima menggerak-gerakkan kedua tangannya yang tiba-tiba merah membara, hasil dari pengerahan Tiat-lui-kang. Tapi Kim-mou-eng yang sadar akan keberanian sumoinya sudah buru-buru melangkah maju.

“Mo-ong, maafkan sumoiku. Kami datang bukan untuk mencari ribut!”

Sai-mo-ong terbelalak. Dia telah merasakan tangkisan Salima tadi, diam-diam kaget bahwa gadis Tar-tar itu tak kalah olehnya. Benar-benar hebat dan sinkangnya luar biasa sekali. Tapi Tok-gan Sin-ni yang terkekeh melompat maju tiba-tiba tersenyum memandang Pendekar Rambut Emas itu, sudah melihat gebrakan Salima dan rekannya, diam-diam terkejut dan dapat mengukur bahwa orang-orang Tar-tar ini rupanya hebat-hebat. Maka mendorong merangkapkan lengannya mendadak wanita sakti ini jadi gatal untuk menguji Kim-mou-eng, pura-pura memberi hormat.

“Kim-mou-eng, kami berdua telah menerima kedatangan kalian. Tak mungkin begitu saja kalian pergi. Terimalah, inilah penghormatan Tok-gan Sin-ni!”

Kim-mou-eng terkejut. Dia merasa pukulan panas menyambar dari lengan lawan, seolah dirangkap tapi diam-diam menyerang, tidak menderu tapi hebatnya tak kalah oleh serangan Sai-mo-ong kepada sumoinya tadi. Dan maklum Tok-gan Sin-ni sengaja menjajal kepandaian dan mau tak mau dia harus menyambut maka terpaksa dengan senyum pahit pendekar ini merangkapkan pula kedua tangannya.

“Sin-ni, maaf kalau penghormatanmu terlalu berlebih-lebihan. Aku tak sanggup menerimanya...dukk!”

Tok-gan Sin-ni tergetar. Dia terbentur tenaga tak kelihatan yang telah dikeluarkan Kim-mou-eng merasakan benturan sinkang yang menahan pukulannya, hebat luar biasa hingga ia tertolak, kaki hampir terangkat tapi punggung sudah melengkung. Padahal Kim-mou-eng tak bergeming dan tegak di depan sana. Dan Tok-gan Sin-ni yang tentu saja kaget bukan main sekonyong-konyong berseru keras menambah tenaganya!

“Wutt!”

Kim- mou-eng jadi terkejut. Dia sengaja membuat wanita itu terdorong sedikit, bermaksud membuat Tok-gan Sin-ni menghentikan serangan dan mundur baik-baik. Tapi melihat wanita itu mempertahankan diri dan kini malah menambah tenaganya sepenuh bagian hingga dia terancam pukulan berbahaya terpaksa Kim-mou-eng mengeluh dan menambah tenaganya pula.

“Dukk...!” dan kini Tok-gan Sin-ni tak mampu mempertahankan kedudukannya. Kakinya tergeser, terangkat dua tindak. Tanda dia kalah kuat! Dan Tok-gan Sin-ni yang kaget serta marah bukan main tiba-tiba melecutkan ujung rambutnya yang mendadak kaku menotok ulu hati lawan.

“Plak!” Kim-mou-eng tak dapat mengelak. Dia tak menyangka serangan itu, dan ulu hatinya yang tertotok ganas tiba-tiba membuat pendekar ini muntah dan terhuyung mundur.

“Huak...!”

Salima terkejut. Dia langsung melompat menyambar suhengnya itu, berseru tertahan, melihat suhengnya pucat dan terbelalak memandang Tok-gan Sin-ni yang keji, menyerang dengan curang. Tapi Kim-mou-eng yang tegak kembali tak sampai terluka karena seluruh tubuh sudah dialiri sinkang karena benturan pertama tadi akhirnya membuat Salima membentak marah. “Tok-gan Sin-ni, kau iblis tak tahu malu...!”

Tapi Kim-mou-eng menahan sumoinya. Dia sudah batuk-batuk menarik napas, sedikit terguncang karena betapa pun totokan tadi cukup berbahaya. Tentu akan membuatnya tewas kalau tenaga saktinya tidak lebih kuat. Dan Tok-gan Sin-ni yang terbelalak melihat kehebatan lawan yang tidak roboh oleh totokannya tadi sudah mendengar Kim-mou-eng bicara, halus namun penuh wibawa, “Tok-gan Sin-ni, kami datang bukan untuk mencari pertikaian. Kami datang mencari Yu-lopek. Kalau pamanku itu tak ada biarlah kami pergi baik-baik!”

Tok-gan Sin-ni tergetar. Dia masih terkejut dan terpengaruh oleh kesaktian Kim-mou-eng yang dapat menerima totokannya tanpa luka, hanya sekali muntah dan setelah itu sehat kembali. Tanda Pendekar Rambut Emas ini benar-benar luar biasa dan mengagetkan. Tapi Tok-gan Sin-ni yang tentu saja penasaran dan belum melihat kepandaian lawan secara penuh tiba-tiba terkekeh memandang pada Sai-mo-ong. “Mo-ong, bagaimana pendapatmu dengan kata-kata ini? Bolehkah dia pergi?”

Sai-mo-ong terbahak. Dia juga sudah melihat gebrakan antara Kim-mou-eng dan rekannya itu, mencelos melihat Tok-gan Sin-ni mundur dua langkah padahal lawan tetap tak bergeming. Tapi karena itu baru demonstrasi pertunjukan sinkang dan bukan kepandaian silat yang dipunyai masing-masing tentu saja iblis ini tak puas dan penasaran, sama seperti yang dipikirkan temannya itu. Dan tertawa menggurat kuku-kuku jarinya di atas tanah tiba-tiba kakek ini mengaum, “Boleh, kalau mereka mau menjadi pembantuku, Sin-ni. Tapi kalau mereka menolak tentu saja mereka harus main-main dulu dengan kita! Ha-ha, bagaimana, Kim-mou-eng? Kau takut? Kenapa mukamu pucat?”

Salima marah. Ejekan terhadap suhengnya itu membuat dia naik darah, melihat muka suhengnya memang berubah tapi bukan pucat, melainkan terkejut karena dia tahu suhengnya itu tak suka ribut-ribut dan enggan menghadapi pertandingan. Bukan takut tapi melulu menghindari permusuhan belaka, itu yang menjadi watak suhengnya. Maka melihat Sai-mo-ong mengejek dan menghina menyangka mereka takut tiba-tiba Salima melengking maju bertolak pinggang.

“Sai-mo-ong, tak perlu suhengku yang maju main-main denganmu. Aku mewakilinya, aku sanggup merobohkanmu agar tangannya tak kotor!”

“Wah, kau berani menghadapiku?” Sai-mo-ong bersinar matanya. “Kau tak takut? Ha-ha, kau seperti macan lapar, Tiat-ciang Sian-li. Tapi boleh kita coba, aku juga sudah mendengar namamu di luar tembok besar!”

Sai-mo- ong sudah maju menggoyang kaki dan tangan. Dia terkekeh dan terbahak ganti berganti, sikapnya buas sementara kaki menyaruk-nyaruk seperti singa mendapat mangsa, mengerikan sekali. Tapi Salima yang tidak takut sedikitpun juga sudah maju menghadapi dengan penuh keberanian. Mata berapi-api dan tubuh tegak menantang lawan, hal yang membuat datuk iblis itu marah tapi juga kagum.

Dan Kim-mou-eng yang maklum pertempuran diantara dua orang itu tak dapat dicegah lagi karena sumoinya juga gatal tangan untuk menyaksikan kepandaian Sai-mo-ong akhirnya mendesis perlahan memperingatkan sumoinya itu. “Sumoi, hati-hati...!”

Salima tersenyum. Dia merasa bangga atas perhatian suhengnya ini, semakin besar hati. Tahu bahwa suhengnya tak akan membiarkan dia begitu saja menghadapi lawan. Tapi Salima yang percaya pada diri sendiri sudah mengangguk sambil melempar kerling manis pada suhengnya itu. “Jangan khawatir, Sai-mo-ong tak dapat berbuat apa-apa kepadaku, suheng. Singa tua ini sudah kehilangan taringnya. Tak berbahaya!”

Sai- mo-ong mendelik. Dia menyuruh yang lain-lain mundur, gusar mendengar ejekan Salima yang membuat telinganya merah. Tapi menggereng dan menggedruk bumi sekonyong-konyong kakek iblis ini meloncat seperti singa menerkam, gerakannya cepat bukan main dan tahu-tahu telah mencengkeram dada Salima dengan sepuluh jarinya yang mendadak mencuatkan kuku-kuku panjang, tajam dan keras disertai kesiur angin dahsyat. Dan begitu bentakan kakek itu memecah keheningan malam tiba-tiba udara tergetar oleh pekik aumnya yang mengguncang jantung. “Salima, aku akan merobek tubuhmu...!”

Salima terkejut. Dia melihat lawan berkelebat demikian cepat, ringan tapi membawa kekuatan amat luar biasa, begitu luar biasa hingga dia tak sempat berkelit lagi. Tak ada waktu. Dan Salima yang mendengus ganti membentak tiba-tiba menggerakkan lengan kirinya menangkis.

“Plak!”

Sai- mo-ong terputar. Kakek iblis ini terhenti setengah jalan, meliuk dan menggereng bagai singa lapar, melejit dan ganti menusuk dengan sepuluh kuku tangannya yang runcing menakutkan. Dan ketika Salima mengelak dan sambaran itu luput mengenai angin mendadak kakek ini memutar kaki menendang Salima.

“Plak-dess!”

Salima ganti terputar. Gadis ini hampir roboh, terkejut oleh gerak lawan yang mirip binatang buas itu, rupanya meniru gerakan singa yang ganas dan kelaparan, sebentar kemudian mengaum dan bertubi-tubi mencakar dan memukul, hebat bukan kepalang karena angin pukulannya menderu-deru, membuat Salima terhuyung dan kaget serta marah. Dan ketika lawan membentak dan Sai-mo-ong lenyap mengelilingi dirinya mendadak Salima melengking tinggi mengerahkan ginkangnya, “Singa tua, kau tak dapat mengalahkan aku!”

Sai-mo-ong tak menjawab. Raja iblis ini telah melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi, ditangkis dan mengeluarkan suara “dak-duk” yang membuat bumi berguncang. Kian lama pertandingan kian cepat hingga keduanya tak tampak bayangannya lagi, sama-sama lenyap dan serang-menyerang di dalam gulungan yang membentuk kabut.

Sebentar kemudian timbul pusaran angin yang panas dingin berganti-ganti, membuat penonton di pinggir harus mundur menjauh karena hawa panas dan dingin itu membuat mereka terkejut, tubuh tiba-tiba berkeringat dan sebentar kemudian beku kembali seperti dicelup dalam bongkahan es. Hal yang tentu saja membuat semua orang terbelalak karena dapat membayangkan betapa hebatnya pertandingan itu. Pertandingan dua orang yang sama- sama memiliki kepandaian tinggi!

Dan Tok-gan Sin-ni yang memandang dengan mata tak berkedip tiba-tiba menjadi kagum bukan main pada sumoi dari Pendekar Rambut Emas itu, heran dan kagum bahwa Tiat-ciang Sian-li Salima yang masih begitu muda dapat menandingi Sai-mo-ong, raja iblis yang sudah kawakan. Seolah seorang kakek melawan cucunya sendiri. Dan ketika pertandingan semakin sengit dan Sai-mo-ong mulai membentak-bentak di dalam gulungan bayangan itu akhirnya terdengar ledakan ketika dua pukulan beradu di udara.

“Blang!”

Tok-gan Sin-ni dan lain-lain mundur selangkah. Mereka merasakan getaran amat kuat mengguncang bumi, terbelalak ke depan. Melihat Sai-mo-ong dan Salima sama terhuyung, melotot dan masing-masing menggigit bibir menahan sakit. Agaknya terluka. Dan Sai-mo-ong yang mengaum mencelat maju tiba-tiba mendorong kedua tangannya melakukan pukulan sinkang, berkerotok buku-buku jarinya.

“Sumoi, awas...!”

Salima mengangguk. Dia sudah menyambut serangan itu, mendorongkan kedua lengannya pula menerima pukulan. Tak mau kalah, sama-sama mengerahkan sinkang dan mengeluarkan Tiat-lui-kangnya (Tenaga Telapak Petir). Hal yang membuat Kim-mou-eng kaget karena itu berarti mengadu jiwa. Dan ketika dia berseru tertahan namun sudah tak sempat mencegah lagi tahu-tahu dua lengan Sai-mo-ong telah bertemu dengan dua lengan sumoinya.

“Dess!” debu mengebul tinggi. Benturan itu mengejutkan semua orang, keras dan membuat tanah bergetar hingga Bu-kongcu dan teman-temannya terpelanting roboh, terpeleset kakinya karena tempat itu seakan dilanda gempa. Hebat bukan main!

Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan terbelalak memandang pertandingan ternyata dua pasang lengan itu telah saling melekat dan mendorong. Salima dan lawannya tampak beringas, masing-masing bertahan dan menyerang, uap mengepul dan lengan mereka sama-sama menggigil. Tak dapat dilepaskan lagi karena sinkang mereka telah bertemu, saling gubat dan dorong-mendorong mencoba merobohkan yang lain. Tentu saja menegangkan dan mengkhawatirkan.

Dan Tok-gan Sin-ni yang juga terbelalak ke depan tiba-tiba terkekeh berseru memuji. “Bagus, robohkan lawanmu itu, Mo-ong. Serang dan hancurkan dia!”

Namun Sai-mo-ong mendelik. Dia tak berani menjawab, karena mengeluarkan suara berarti memberosotkan tenaga sendiri, bakal hilang sebagian dan itu berarti merugikan diri sendiri. Dan ketika adu kepandaian itu berlangsung lama dan masing-masing sama berkutat untuk memperoleh kemenangan mendadak Sai-mo-ong mengeluh dan hampir berbareng bersama Salima melontarkan darah segar.

“Huak!”

Tok-gan Sin-ni dan lain-lain terkejut. Mereka melihat dua orang itu mulai pucat mukanya gemetar dan kaki menggigil seperti orang distrom bergoyang dan tiba-tiba limbung maju mundur dengan tangan masih sama-sama menempel. Salima menggigit bibir dan melihat kedudukannya imbang. Kaget dan penasaran oleh kekuatan lawan yang tak dapat diungguli. Dan ketika mereka kembali melontarkan darah segar dan itu berarti mereka sama-sama terluka dalam mendadak Tok-gan Sin-ni terkekeh berkelebat maju.

“Mo-ong, kubantu sebentar...!”

Kim-mou-eng kaget. Dia melihat wanita itu telah menepuk pundak Sai-mo-ong, perlahan saja, seakan sentuhan lunak tapi sebenarnya menyalurkan sinkang membantu kakek iblis itu, terang mengejutkan dia dan Salima karena itu berarti bantuan tenaga baru. Suatu kecurangan. Dan ketika Kim-mou-eng berseru tertahan karena tak menduga kelicikan Tok-gan Sin-ni ini mendadak Salima menjerit dan terlempar roboh, mental lima tombak lebih!

“Bress!”

Kim-mou-eng membentak. Dia langsung berkelebat menolong sumoinya itu, melihat sumoinya menggeliat dan pingsan karena harus menerima pukulan Tok-gan Sin-ni yang disalurkan lewat pundak Sai-mo-ong, kaget dan marah sekali. Dan begitu menyambar sumoinya dan melihat sumoinya tak bergerak-gerak lagi mendadak pendekar ini melengking tinggi membentak Tok-gan Sin-ni. “Sin-ni, kau iblis wanita curang...!”

Tapi Tok-gan Sin-ni terkekeh. Dia sudah membisikkan sesuatu di telinga Sai-mo-ong, melihat kakek iblis itu sudah menelan obat penawar luka, terhuyung dan menyeringai memandang Kim-mou-eng. Dan ketika Kim-mou-eng marah-marah menegur wanita itu mendadak Tok-gan Sin-ni melecutkan rambutnya menyuruh yang lain-lain maju.

“Sai-mo-ong, tangkap dia. Kim-mou-eng telah mengacau di kota raja... wut-plak!”

Kim-mou-eng tahu-tahu diserang. Tok-gan Sin-ni telah meledakkan rambut dan melepas pukulannya, bertubi-tubi, mengerahkan ginkang berkelebat lenyap mengelilingi lawan, disusul yang lain karena Sai-mo-ong dan Bu-kongcu serta Leng Hwat juga menyerang, mengeroyok pendekar muda itu hingga Kim-mou-eng harus menangkis dan mengerahkan kepandaiannya pula, membentak dan marah melihat kecurangan lawan. Dan begitu pendekar ini melengking dan menggerakkan lengannya mendadak kilatan cahaya meledak menyambut semua serangan itu.

“Dar-darr!”

Bu-kongcu dan Leng Hwat roboh terjungkal. Mereka merupakan orang paling lemah diantara semua pengeroyok, kalah tingkat oleh dua orang guru mereka sendiri. Maka begitu Tiat-lui-kang menyambar dan hawa panas menyambut kecurangan mereka mendadak Bu-kongcu dan murid Tok-gan Sin-ni ini menjerit karena kulit pundak mereka terbakar hangus!

“Aihh...!” Bu-kongcu dan temannya memekik bergulingan. Mereka tidak sampai fatal, melompat bangun kembali dan terbelalak memandang Kim-mou-eng yang sudah dikeroyok dua orang guru mereka itu, melihat bentakan dan pukulan silih berganti tangkis-menangkis, sebentar kemudian bergulung naik turun hingga bayangan mereka lenyap. Dan ketika Sai-mo-ong maupun Tok-gan Sin-ni menyuruh murid-murid mereka itu mencabut senjata dan kembali menyerang akhirnya Leng Hwat mengeluarkan pedangnya sementara Bu-kongcu sendiri mencabut kipasnya.

“Anak-anak, serang dia dari belakang...!”

Bu-kongcu mengangguk. Dia sudah menyelinap di belakang punggung Kim-mou-eng, begitu pula Leng Hwat, menggerakkan pedang dan kipas menyerang lawan dari belakang. Tapi ketika pedang dan kipas mental bertemu kekebalan Kim-mou-eng yang telah melindungi dirinya dengan sinkang mendadak dua orang ini tertegun. Mereka melihat Kim-mou-eng itu hebat benar, jauh lebih hebat dibanding Salima. Dapat melayani dua orang guru mereka sementara mereka sendiri terus mengganggu di belakang. Dan ketika pertempuran berjalan sengit dan Tok-gan Sin-ni maupun teman-temannya penasaran oleh kelihaian lawannya ini mendadak suatu saat Bu-kongcu dan Leng Hwat terpelanting roboh, kena tendangan membalik Kim-mou-eng.

“Des-dess!”

Dua orang murid datuk sesat itu mengeluh. Mereka lagi-lagi terlempar, terbanting roboh. Dan ketika Kim-mou-eng memekik dan menangkis serangan Tok-gan Sin-ni yang dilancarkan dari arah sebelah kiri tahu-tahu wanita iblis ini juga terpental karena lecutan rambutnya brodol dipukul Tiat-lui-kang. Tentu saja Tok-gan Sin-ni marah, melengking dan maju kembali dengan pukulan lebih ganas. Tapi karena dia memang kalah kuat dan sinkang Kim-mou-eng lebih unggul dua tingkat akhirnya kembali lagi-lagi dia terdorong mundur.

“Keparat, cabut senjatamu, Mo-ong. Bunuh Pendekar Rambut Emas ini!”

Sai-mo-ong mengangguk. Dia mengeluarkan kipasnya yang aneh, kipas dari bulu-bulu suri singa jantan, melihat bahwa lawan yang muda ini memang hebat bukan main. Mampu menghadapi mereka berdua meskipun dia masih belum sembuh benar dari lukanya tadi. Kaget dan kagum tapi juga marah bahwa dikeroyok empat masih juga mereka belum dapat merobohkan pendekar ini, pemuda yang pantas menjadi cucu atau muridnya. Dan ketika Mo-ong membentak dan Tok-gan Sin-ni kembali melecutkan rambutnya maka pertempuran kembali berjalan dan Kim-mou-eng menghadapi kerubutan lawan-lawannya.

Tapi Pendekar Rambut Emas ini memang hebat. Dia masih memanggul Salima, menangkis dan bergerak sana sini menolak pukulan-pukulan berbahaya, melindungi diri dengan sinkang hingga kebal menerima totokan-totokan rambut Tok-gan Sin-ni, hanya menangkis atau balas menyerang bila lawan terlalu dekat. Mengerahkan Tiat-lui-kangnya itu dan berhasil mendorong lawan dengan hembusan hawa panasnya itu.

Tapi ketika lawan mulai mengincar Salima dan Sai-mo-ong tertawa menyuruh yang lain-lain menyerang sumoi Kim-mou-eng yang pingsan di atas pundak itu akhirnya perhatian pendekar ini menjadi pecah, terkejut dan marah karena perbuatan lawan itu terang mengganggu konsentrasinya, membuatnya bingung dan kaget. Dan ketika satu lecutan keras mengenai sumoinya dan Kim-mou-eng repot membela diri maka saat itulah kipas Sai-mo-ong mengebut mukanya.

“Kim-mou-eng, kau robohlah...!”

Kim-mou-eng terkejut. Pandangannya terhalang oleh sayap kipas yang terbuka lebar, saat itu mendengar tusukan jari Tok-gan Sin-ni yang menyambar tengkuknya. Dan ketika Bu-kongcu dan Leng Hwat juga mengganggu dengan sambaran pedang yang mendesing menyambar sumoinya yang dipanggul di belakang pundak mendadak pendekar ini membentak merendahkan tubuhnya, membalik memutar tubuh hingga kipas di tangan Sai-mo-ong bertemu jari Tok-gan Sin-ni, tentu saja mengejutkan keduanya, masing-masing berseru kaget.

Dan ketika pedang di tangan Leng Hwat ganti mengenai dadanya tapi mental membentur kekebalannya yang melindungi tubuh mendadak pada saat itu Kim-mou-eng mengeluarkan satu pukulannya yang dahsyat bukan main, Pek-sian-ciang (Pukulan Tangan Dewa). Pukulan yang tidak akan dikeluarkan bila tidak terpaksa. Dan begitu pukulan ini dikeluarkan dan angin yang dahsyat menderu disertai ledakan asap putih sekonyong-konyong Tok-gan Sin-ni dan Sai-mo-ong berseru kaget,

“Hei... plak-des-dess!”

Dua tokoh sesat itu mencelat. Mereka tak sempat mengelak atau menangkis, tubuh terlempar bergulingan di atas tanah, kaget bukan main, terpekik. Dan Bu-kongcu dan Leng Hwat yang juga tak tahu akan pukulan dahsyat ini tiba-tiba mengeluh dan terlempar untuk akhirnya roboh pingsan. Tak tahu apa yang terjadi, kipas dan pedang hancur dan remuk tak dapat dipergunakan lagi. Sekejap seolah petir menyambar. Dan ketika Sai-mo-ong maupun Tok-gan Sin-ni terhuyung melompat bangun dan terbelalak memandang pukulan itu maka hampir berbareng keduanya berseru tertahan,

“Pek-sian-ciang (Pukulan Tangan Dewa)...!”

Kim-mou- eng tertegun. Dia kaget dan heran juga bagaimana dua orang lawannya itu dapat mengenal pukulannya, pukulan yang memang merupakan ilmu simpanan. Jarang dikeluarkan kalau tidak perlu betul. Tapi Salima yang sadar dan mengeluh di atas pundaknya tiba-tiba membuat pendekar ini ingat, tak menggubris seruan lawan. Dan begitu dia sadar bahwa sumoinya ini harus ditolong terlebih dulu tiba-tiba Kim-mou-eng memadamkan lampu dengan pukulan jarak jauh.

“Sai-mo-ong, aku tak ada waktu lagi melayani kalian. Kalian manusia-manusia busuk... bush!” lampu tiba-tiba padam, membuat keadaan menjadi gelap gulita karena kebutan jarak jauh itu memadamkan semua penerangan.

Dan ketika Sai-mo-ong dan Tok-gan Sin-ni terkejut dan melompat mundur maka Kim-mou-eng lenyap meninggalkan tempat itu, tak berani dikejar karena mereka ngeri melihat pukulan Pek-sian-ciang tadi. Tapi Tok-gan Sin-ni yang ingat sesuatu tiba-tiba bertanya dengan lengkingan gentar,

“Kim-mou-eng, apa hubunganmu dengan Bu-beng Sian-su (Manusia Dewa Tak Bernama)...?”

Kim-mou-eng tak menjawab. Dia telah terbang jauh dari tempat itu, melarikan sumoinya karena dia khawatir akan luka Salima yang parah, mendengar pertanyaan itu tapi sengaja tak menjawab karena dia memang tidak kenal siapa itu Bu-beng Sian-su. Tokoh yang dikenal di daratan Tiongkok tapi bukan di luar tembok besar. Tak tahu bahwa itulah gurunya, manusia dewa yang amat sakti dan bijak! Dan Kim-mou-eng yang tidak menjawab dan sengaja tak menggubris pertanyaan itu karena seluruh perhatiannya tertuju pada sumoinya akhirnya lenyap dan membiarkan gema suara Tok-gan Sin-ni memantul sendiri!

* * * * * * * *

“Sumoi, bagaimana keadaanmu?”

Salima terengah, Kim-mou-eng telah meletakkannya di atas lantai, menemukan sebuah kuil tua dan aman dari jangkauan musuh, memberinya obat dan kini menempelkan lengan menyalurkan sinkang membantu mempercepat penyembuhan. Tapi Salima yang merasa dadanya sakit dan batuk-batuk akhirnya menggigil memandang pucat suhengnya itu.

“Dadaku... dadaku sakit, suheng... aku, aduh... aku merasa nyeri seolah ada sesuatu yang menusuk...!”

“Dimana?”

“Di sini... di... ah!” Salima terguling, tubuhnya tiba-tiba panas dan membuat Kim-mou-eng heran karena dia telah memberi obat penawar luka dalam. Tentunya sembuh dan tak ada apa-apa lagi setelah dia menyalurkan sinkangnya. Tapi melihat sumoinya pucat dan wajah yang pucat itu mendadak menjadi hijau tiba-tiba Kim-mou-eng kaget karena sadar bahwa sumoinya rupanya keracunan. Entah apa!

“Ah, kau keracunan, sumoi...!” Kim-mou-eng sudah mengangkat sumoinya ini, gelisah dan pucat serta marah karena itu gara-gara Tok-gan Sin-ni dan teman-temannya tadi. Dan ketika dia meraba bahwa bagian yang paling panas adalah di dada sebelah kiri sumoinya ini mendadak Kim-mou-eng tertegun, melihat sebuah jarum menancap halus di dada sumoinya itu, menembus baju dan hampir tak kelihatan kalau Salima tak menunjukkan rasa sakitnya.

Dan Salima yang mengangguk dan mendesis menggeliatkan tubuh tiba-tiba terisak. “Ya, aku... aku terkena jarum beracun Tok-gan Sin-ni, suheng. Mungkin ketika kau memanggulku ketika aku pingsan. Aku tak dapat mencabutnya, tanganku lemah...!”

Kim-mou-eng terkesiap. Pengakuan sumoinya ini membuat dia teringat akan pertempuran tadi, teringat kelicikan lawan yang memang beberapa kali melepas senjata gelap tapi selalu dapat dia pukul runtuh. Tak menyangka bahwa satu diantaranya meleset, kini menancap di buah dada sumoinya sebelah kiri. Harus dicabut. Dan karena Salima sendiri telah menyatakan tenaganya lemah dan dialah satu-satunya orang yang harus menolong sumoinya itu mendadak Kim-mou-eng tertegun.

Kenapa harus di bagian itu? Kenapa di situ? Hal ini berarti dia harus membuka pakaian sumoinya itu. Jarum menancap dalam, menyalurkan bisa (racun) yang tentu ganas. Mungkin sudah merenggut nyawa kalau bukan sumoinya yang menerima. Dan Kim-mou-eng yang tertegun membelalakkan mata tiba-tiba mendengar sumoinya menangis.

“Suheng, sakit... dadaku sakit. Nyeri sekali!”

Kim-mou-eng terkejut. Dia sadar dan bingung sekejap, tapi menggigit bibir menahan rasa tiba-tiba dia berbisik, gemetar suaranya, “Sumoi, bagaimana harus mencabut jarum itu? Menancapnya terlalu dalam. Hal itu harus membuka pakaianmu!”

Salima mengeluh. Muka yang pucat kehijauan itu mendadak menjadi merah, tapi memejamkan mata menjawab gemetar Salima mengangguk, “Aku tahu, tapi aku tak dapat melakukannya sendiri, suheng. Tenagaku lemah dan panas sekali. Kau boleh buka bajuku, tapi... tapi pejamkan matamu!”

Kim-mou-eng mengerutkan kening. Dia seketika merah mendengar kata-kata ini, maklum bahwa sumoinya diguncang perasaan seperti yang dia alami. Tapi karena keadaan darurat dan sumoinya terancam bahaya tiba-tiba Kim-mou-eng menahan napas, merobek baju sumoinya itu dan melihat dimana tepatnya jarum itu berada. Tak mungkin menutupi mata karena jarum tak akan diketahui letaknya. Dan begitu Salima mengeluh dan memejamkan mata maka saat itu juga Kim-mou-eng berdetak melihat buah dada sumoinya.

Sebenarnya, mereka sudah cukup akrab. Hubungan mereka sebagai suheng dan sumoi sebenarnya cukup membuang perasaan malu. Tapi karena sumoinya ini sudah bukan anak kecil lagi dan perkembangan tubuhnya adalah perkembangan tubuh seorang gadis dewasa maka tentu saja perasaan tersirap membuat Kim-mou-eng meloncat jantungnya. Betapapun, dia juga seorang pemuda. Pemuda yang sehat dan normal.

Maka begitu melihat keadaan sumoinya yang seperti ini tiba-tiba saja Kim-mou-eng tergetar, nafsu berahinya timbul. Tapi Kim-mou-eng yang merupakan pendekar sejati itu bukanlah pemuda hidung belang, menekan semua nafsunya sendiri dan dengan jari-jari menggigil mencoba mencabut jarum beracun itu. Tapi ketika melihat jarum amat dalam dan tak mungkin dicabut karena amblas di bawah kulit tiba-tiba Kim-mou-eng tersentak karena jarum itu hanya dapat dikeluarkan bila disedot!

“Sumoi, jarumnya terlalu dalam...!”