Pendekar Rambut Emas Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 04
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“TIDAK,” Hong Jin sang sute masih tenang saja. “Kami tidak mengeroyok, suheng. Tapi peraturan dalam pibu itu memaksa kami untuk menghadapimu secara berbareng. Bukankah disebut siapa yang ingin menggantikan ketua lama boleh saja menghadapimu tanpa batas? Peraturan itu tak menyebut pertempuran seorang lawan seorang, suheng. Ingat selama ini kamilah yang bodoh tak menghayati arti peraturan itu.”

“Gila!” Sin-piauw Ang-lojin membentak. “Itu alasan kalian yang dicari-cari, sute. Itu bukan kegagahan yang seharusnya ditunjukkan anggota Seng-piauw-pang!”

“Kalau begitu kau mundur saja secara baik-baik, suheng. Kami semua ternyata sepakat untuk merubah kebijaksanaan yang selama ini dijalankan. Kau mengucilkan kami semua anggota. Kami tak setuju caramu memimpin.”

Sin-piauw Ang-lojin mendelik. Dia tak menyangka sutenya nomor dua itu akan mengajukan diri dengan cara demikian curang. Terang-terangan mengeroyok secara bertiga. Tak tahu malu. Rupanya sudah sedemikian gelap pikirannya untuk merebut kedudukan Seng-piauw-pangcu (ketua Seng-piauw-pang). Menghasut pula sebagian besar anggota hingga mereka memberi dukungan suara. Mungkin dengan cara tak wajar juga. Dan Sin-piauw Ang-lojin yang mendadak marah besar tiba-tiba membanting kakinya di lantai panggung.

“Hong Jin-sute, rupanya kau mau memberontak. Sungguh tak kunyana bahwa untuk memperebutkan kedudukan ketua, kau jadi manusia demikian licik! Begitukah dulu mendiang suhu mengajari kita? Begitukah seharusnya watak orang-orang Seng-piauw-pang yang selama ini selalu kudengung-dengungkan sebagai perkumpulan orang gagah? Tidak, aku siap menghadapi pibu dengan siapapun, sute. Tapi kegagahan dalam adu kepandaian ini harus tetap dijaga. Pibu adalah seorang lawan seorang. Tak ada pibu yang dilakukan dengan cara keroyokan. Itu bukan pibu!”

“Hm, kau takut, suheng? Kalau begitu serahkan saja baik-baik kedudukan ketua itu. Atau Seng-piauw-pang boleh kita pecah menjadi dua. Kau dengan lima puluhan anggotamu sedang aku dengan sisanya dua ratus lima puluh lebih!”

“Keparat!” kakek tinggi besar ini semakin murka. “Aku tak takut menghadapi kalian, sute. Tapi cara yang kalian peroleh di tempat ini bukan cara yang baik. Kalian pengecut dan licik sekali!”

“Kalau begitu kau mundurlah, suheng. Atau Seng-piauw-pang boleh kita pecah menjadi dua.”

“Tidak!” Sin-piauw Ang-lojin membentak. “Perkumpulan kita harus tetap utuh, sute. Kau tak dapat memecahnya seenak udelmu sendiri. Kau justeru harus dihukum, niat dan kata-katamu ini mengandung unsur jahat!”

“Hm,” Hong Jin sang kakek bermuka kuning tertawa mengejek. “Kau tak perlu marah-marah kepadaku, suheng. Kalau kau ingin kita bertanding satu lawan satu boleh juga. Aku tak takut. Aku telah memiliki sesuatu untuk menghadapimu!” dan, sementara suhengnya mendelik dan marah-marah di atas panggung tiba-tiba Hong Jin wakil ketua Seng -piauw-pang ini menjejakkan kakinya, melayang naik ke panggung luitai dan langsung menghadapi semua orang di bawah. Dan ketika suhengnya melotot dan dua orang sutenya memberi isyarat di bawah panggung kakek ini sudah bertanya mengangkat lengannya.

“Saudara-saudara, siapa yang kali ini kalian pilih? Aku ataukah Ang-lo-suheng?”

Wan Tiong Lojin langsung berseru, memberi ledakan pertama, “Kau, Hong Jin-suheng. Ang-lo-suheng sebaiknya mengundurkan diri!”

“Benar,” Ki Siong Cinjin menyulut ledakan kedua. “Kau yang kami pilih, Hong Jin-suheng. Ang-lo-suheng sudah cukup memimpin dan sebaiknya menyerahkan tongkat estafet kepemimpinannya kepada yang lebih muda!”

Dan ketika dua orang ini memberi aba-aba dan memandang penuh ancaman semua anggota Seng-piauw-pang yang duduk berlutut tiba-tiba semua yang dipandang menyerukan pendapatnya dengan suara nyaring tapi dibuat-buat. Dan Sin-piauw Ang-lojin yang tentu saja dapat merasakan ketidakberesan itu tiba-tiba menggebrak menepuk kedua tangannya.

“Kerbau-kerbau bodoh, kalian sudah tidak menghargai aku lagi secara demikian terang-terangan? Kalian berani menghina ketua kalian dengan cara begini?”

Tapi Hong Jin sang kakek bermuka kuning buru-buru berseru, “Tak perlu main gertak. Hari ini kedudukan ketua sedang kosong, suheng. Kau hanya menjadi pemimpin sementara sebelum ketua baru diresmikan!”

Sin-piauw Ang-lojin melotot. Dia hampir tak kuat lagi menahan diri. Tapi begitu bentrok dengan pandangan Kim-mou-eng secara tak sengaja tiba-tiba kakek ini teringat dan memandang tamunya itu, menggeram mengepal tinju. “Kim-mou-eng, bagaimana pendapatmu tentang omongan suteku ini?”

Kim-mou-eng ragu.

“Tak perlu ragu. Kau telah kuminta menjadi wasit kehormatan, Kim-mou-eng. Katakan terus terang saja bagaimana pendapatmu tentang urusan ini!”

Kim-mou- eng bangkit berdiri. “Sutemu licik, pangcu. Terus terang aku tak suka pada sikap dan perkataanya. Dia rupanya sengaja mengadakan teror untuk memecah belah Seng-piauw-pang yang kau pimpin!”

“Nah, dengar?” Sin-piauw Ang-lojin menegur sutenya, memandang marah, “Kim-mou-eng telah menilai sikap dan kata-katamu, sute. Kalau bukan orang sendiri tentu sudah kubunuh kau!”

“Hm!” Hong Jin sang kakek bermuka kuning menjengek. “Kim-mou-eng boleh bicara apa saja tentang diriku, suheng. Tapi dia adalah orang luar yang tidak berhak mencampuri urusan kita. Ini adalah urusan rumah tangga Seng-piauw-pang. Kalau dia mau usil lebih baik cari saja tempat lain!”

Kim-mou-eng merah mukanya. Dan Salima yang marah melihat suhengnya disinggung tiba-tiba membentak, “Hong Jin tua bangka, kami ke sini adalah atas undangan kalian. Kalau kalian tidak suka kami juga tidak akan datang kemari!” dan, sementara orang terkejut oleh kata-kata nyaring yang mengejutkan ini mendadak Salima menyambar suhengnya, diajak keluar.

Tapi Sin-piauw Ang-lojin yang berseru keras mencegah mereka, “Nona, jangan pergi. Justeru aku mengundang kalian karena aku melihat gejala-gejala tak baik dalam tubuh perkumpulanku. Maafkan suteku yang kurang ajar!”

Salima melotot. Maunya dia pergi saja, tapi sang suheng yang dapat melihat ketidakberesan di tempat itu berkata padanya, “Sumoi, rupanya Ang-lojin adalah orang gagah sejati. Aku memang melihat yang tidak baik di sini. Sebaiknya tunggu, kita bantu kakek itu kalau tiga orang sutenya memberontak!”

Salima duduk kembali. Kim-mou-eng telah menyabarkannya dengan cengkeraman lembut, menekan pundaknya agar tenang di tempat. Tapi Hong Jin si kakek bermuka kuning yang rupanya tak senang melihat dua orang muda ini datang ke tempat itu tiba-tiba menjengek,

“Kenapa tak pergi saja, Kim-mou-eng? Apakah kalian kehabisan bekal hingga perlu uluran tangan kami? Kalau begitu Ki Siong Cinjin dapat membantumu, minta saja sedekah padanya!” dia bertepuk tangan memberi isyarat pada sutenya nomor empat agar membawa sekantung uang tiba-tiba kakek bermuka kuning itu tertawa mengejek, sengaja memanaskan Salima agar terbakar dan pergi dari tempat itu.

Tapi Sin-piauw Ang-lojin yang menggeram membentak pada sutenya tiba-tiba menyambar kantung uang itu dilempar ke atas. “Sute, jangan menghina tamu Seng-piauw-pang!”

Hong Jin sang sute terkejut. Dia melihat suhengnya telah berdiri dengan muka berapi-api, marah sekali padanya. Tapi Salima yang keburu melayang ke panggung luitai karena marah oleh ejekan kakek bermuka kuning ini tiba-tiba telah berkelebat menampar kakek itu.

“Hong Jin tua bangka, aku tak butuh uang sedekahmu...!”

Kakek itu terkejut. Dia melihat bayangan Salima terbang seperti burung, menampar bagai kelepak sayap rajawali dengan pukulan panas. Tapi karena dia tak tahu sampai dimana kepandaian gadis ini dan Salima memang baru saja “mengorbit” di daratan Tionggoan maka dengan berani dia menangkis tamparan itu, mengibaskan ujung lengan bajunya.

“Plak!” Dan kakek bermuka kuning ini berseru kaget. Dia terpental dan nyaris terjengkang ke pinggir luitai, tak menyangka demikian dahsyat pukulan gadis Tar-tar itu. Pedas dan membuat ujung lengan bajunya robek. Hangus seketika itu juga karena Salima mempergunakan pukulan Telapak Petir, Tiat-lui-kang yang mengejutkan semua orang karena telapak tangannya tadi mengeluarkan sinar yang berkeredep bagai kilatan petir sendiri. Panas dan membuat panggung tergetar akibat ledakan tadi. Dan Hong Jin si kakek bermuka kuning yang tentu saja kaget dan mundur ke belakang tiba-tiba pucat melihat pergelangan tangannya juga gosong menerima tamparan itu!

“Aah...!” Hong Jin terbelalak. Dia tak menduga kehebatan gadis Tar-tar ini, juga keganasannya, melihat Salima berdiri tegak di atas panggung dengan mata berapi-api, mirip harimau betina haus darah! Dan Hong Jin si kakek bermuka kuning yang tentu saja tertegun oleh gebrakan pertama ini tiba-tiba melihat bayangan Kim-mou-eng berkelebat ke panggung luitai, ringan dan cepat seperti gerakan iblis, menyambar sumoinya itu.

“Sumoi, turunlah. Biarkan Sin-piauw Ang-lojin menghadapi sutenya!”

Seruan ini menyadarkan ketua Seng-piauw-pang itu. Sin-piauw Ang-lojin memang terkejut juga oleh naiknya Salima menyerang sutenya, kaget melihat pukulan Telapak Petir menghancurkan baju sutenya, terbelalak melihat pergelangan tangan sutenya juga gosong. Maka mendengar seruan Kim- mou-eng yang sudah membawa turun sumoinya yang marah-marah segera sadarlah kakek gagah bermuka merah ini.

“Benar, kau duduklah yang tenang di bawah nona. Biarkan aku menghadapi suteku yang memberontak ini. Maafkan kata-katanya yang kurang ajar!” dan Sin-piauw Ang-lojin yang sudah membentak sutenya menegur sikapnya yang tidak sopan akhirnya berdiri berhadap-hadapan dengan adiknya yang sudah hilang kagetnya itu, melihat Salima sudah turun dibawa Kim-mou- eng. Dan begitu kakek tinggi besar ini menghadapi sutenya langsung saja dia menghardik, “Sute, apa maumu dengan membuat kekacauan ini? Kenapa kau menghina tamu?”

“Hm,” Hong Jin berkilat matanya. "Aku tak menganggap dua orang itu tamu Seng-piauw-pang, suheng. Yang menganggap tamu adalah kau, bukan aku. Aku menganggap mereka pengacau.”

“Tutup mulutmu!” Sin-piauw Ang-lojin membentak marah. “Sekarang mari kita selesaikan urusan kita, sute. Kau boleh menghadapiku seorang lawan seorang atau maju bertiga seperti keinginanmu tadi. Tak perlu bicara macam-macam. Kau murtad, aku hendak menghukummu!”

Hong Jin tertawa mengejek. Kakek bermuka kuning ini bersikap tenang, mengedip pada dua adiknya di bawah. Dan ketika kakaknya menunggu dan Sin-piauw Ang-lojin sudah bersiap menghadapi sutenya ini maka Hong Jin berseru, “Sam-te, su-te, biarlah kalian di bawah dulu. Kalau suheng terlalu kuat bolehlah kalian bantu aku untuk menundukan si pongah ini...!”

Wan Tiong Lojin dan Ki Siong Cinjin mengangguk. Mereka mendapat isyarat untuk berjaga-jaga, terhadap Kim-mou-eng dan sumoinya, ikut terkejut melihat gerakan Salima yang demikian cepat menyerang suhengnya itu. Dapat melihat bahwa rupanya gadis Tar-tar berjuluk Dewi Bertangan Besi ini rupanya memang betul-betul hebat.

Terbukti memiliki pukulan Tiat-lui-kang yang begitu ampuh. Juga ginkangnya yang demikian luar biasa, seperti walet menyambar atau burung srikatan. Dan maklum bahwa rupanya Tiat-ciang Sian-li Salima itu rupanya betul-betul berkepandaian tinggi dan ji-suhengnya (kakak nomor dua) itu minta pada mereka secara rahasia untuk menjaga gadis Tar-tar ini akhirnya Wan Tiong Lojin dan Ki Siong Cinjin memecah perhatian mereka.

Saat itu Hong Jin telah menghadapi twa-hengnya. Dua kakak beradik itu telah saling berhadapan. Sin-piauw Ang-lojin menggereng, marah benar pada adiknya nomor dua ini. Dan ketika sang sute sudah bersiap-siap dan mereka berdua sudah saling pandang dengan mata seperti harimau mencari mangsa, akhirnya kakek tinggi besar bermuka merah ini membentak mengibaskan lengan bajunya.

“Sute, kau mulailah. Aku akan mengalah padamu selama tiga jurus!”

Hong Jin tertawa mengejek. Dia menjura, membungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat. Tapi begitu membentak melempar lengan mendadak kakek bermuka kuning ini telah menyerang suhengnya tanpa banyak basa-basi, langsung berkelebat menghantam lambung ketua Seng-piauw-pang itu. Dan karena gerakan ini tanpa diberi aba-aba dan Sin-piauw Ang-lojin juga tak menyangka sutenya menyerang di saat menjura maka tak pelak lagi ketua Seng-piauw-pang itu menerima pukulan.

“Desss...” Sin-piauw Ang-lojin terpental. Kakek gagah itu nyaris terguling, tentu saja memaki dan berteriak marah pada sutenya. Tapi begitu Hong Jin mengejar dan berkelebat ke depan tahu-tahu serentet pukulan menyambar bertubi-tubi ke arah ketua Seng-piauw-pang itu. Tak memberi ampun. Tak memberi kesempatan dan membuat Sin-piauw Ang-lojin memekik karena kembali beberapa pukulan mengenai tubuhnya, membuat kakek gagah ini terhuyung dan sekali malah terjengkang. Tapi begitu tiga jurus lewat dan Sin-piauw Ang-lojin menggereng membentak marah tiba-tiba ketua Seng-piauw-pang ini membanting kakinya balas menyerang.

“Sute, kau curang. Kau sekarang licik! Dess...!”

Hong Jin tergetar. Dia menyerang tanpa banyak cakap lagi, terbelalak melihat suhengnya kebal menerima semua pukulannya dan kini bangkit bagai beruang murka, diam-diam terkejut karena suhengnya tetap lihai. Tetap tangguh! Dan ketika Sin-piauw Ang-lojin melejit dan kini balas menyerang sutenya nomor dua itu dengan kedua lengan menyambar-nyambar serta kaki bergerak naik turun bagai gajah diseruduk singa mendadak kakek bermuka kuning ini terdesak, beberapa detik saja.

“Des-plak!”

Hong Jin menerima pukulan. Untuk pertama kali kakek bermuka kuning itu terhuyung, tergetar oleh balasan suhengnya. Tapi ketika dia berlompatan dan Sin-piauw Ang-lojin menggereng-gereng melancarkan pukulannya tiba-tiba kakek ini membentak mengeluarkan sesuatu. “Suheng, kau keluarkan senjatamu. Aku ingin menghadapi Sin-piauw Kun-hoatmu (Silat Pisau Sakti)!”

Sin-piauw Ang-lojin tak menjawab. Dia melihat sutenya itu telah mengeluarkan sebuah senjata aneh, sebuah golok tombak karena di ujung golok itu terpasang mata tombak yang lancip. Heran, bagaimana sutenya itu dapat mempunyai senjata baru ini. Senjata yang belum pernah dilihat. Tapi karena bertangan kosong saja dia mampu mendesak sutenya itu dan sang sute berlompatan ke sana ke mari menghindarkan diri maka kakek tinggi besar ini berseru,

“Tak perlu, aku ingin menghajarmu dengan tangan kosong, sute. Kalau kau mau mainkan senjatamu itu boleh saja kau pergunakan...wut-plak!”

Hong Jin si kakek muka kuning lagi-lagi mendapat pukulan, terpental dan marah melihat suhengnya merangsek, melihat dia semakin terdesak dan terdesak saja. Tapi karena ingin memperoleh kemenangan dan suhengnya itu tak mau mengeluarkan senjata mendadak kakek muka kuning ini mengejek. “Baiklah, kalau begitu jangan salahkan aku, suheng. Kalau kau roboh itu tandanya kedudukan ketua harus kau serahkan baik-baik padaku, awas...ciit!”

Dan golok-tombak yang tiba-tiba bergerak menangkis pukulan Sin-piauw Ang-lojin yang saat itu menampar sutenya sekonyong-konyong disambut mata tombak yang menusuk telapak tangannya.

“Crep!” Sin-piauw Ang-lojin menakup. Dia langsung menutup jari-jarinya, mencengkeram golok-tombak yang matanya menusuk telapak tangannya itu. Tapi begitu dia menyeringai dan siap mengejek sutenya tiba-tiba Hong Jin si kakek muka kuning memencet tombol di gagang golok, kecil saja, tak terlihat karena tak kentara, dipasang secara rahasia.

Dan begitu kakek muka kuning ini menyeringai keji mendadak dari dalam mata tombak meluncur halus jarum beracun yang langsung menyengat suhengnya itu, tak terlihat dari luar karena tersembunyi di balik cengkeraman jari-jari ketua Seng-piauw-pang ini. Dan begitu jarum menembus telapak suhengnya karena jarum itu halus dan kecil sebesar rambut tiba-tiba Sin-piauw Ang lojin mengaduh dan melepaskan mata tombak yang dicengkeramnya, langsung bengkak telapak tangannya!

“Aduh...!”

Semua orang terkejut. Mereka melihat kakek tinggi besar itu terbelalak kaget, tak tahu bahwa secara curang ketua Seng-piauw-pang ini “disengat” senjata rahasia, dari balik mata tombak. Dan mengira Sin-piauw Ang-lojin tak kuat menahan keampuhan senjata di tangan sutenya dan Hong Jin tertawa bergelak melihat suhengnya tersentak tiba-tiba semua orang melihat ketua Seng-piauw-pang itu tehuyung limbung, memencet pergelangan tangannya sambil memaki, tampak pucat.

“Sute, kau keji...!”

Hong Jin sang kakek bermuka kuning tertawa tak peduli. Dia girang bahwa tak ada orang lain tahu perbuatannya tadi. Bahkan Kim-mou-eng pun juga tidak. Begitu pula Salima. Maklum kecurangan ini dilakukan di luar pengetahuan orang karena semuanya berlangsung secara rahasia. Dan Sin-piauw Ang-lojin yang terhuyung pucat memegangi tangannya yang bengkak tiba-tiba sudah diserang sutenya itu, mengelak dan kini tak berani menangkis atau menangkap senjata yang mengandung alat rahasia itu. Dan karena kakek gagah ini merasa tangannya pedih dan tubuh tiba-tiba menggigil seperti orang kena demam tanda dari racun yang terbawa jarum mulai memasuki tubuhnya maka beberapa jurus kemudian Sin-piauw Ang-lojin terdesak.

“Ha-ha, kau cabut senjatamu, suheng. Ayo mainkan Sin-piauw Kun-hoat agar kukalahkan sekalian...!” kakek bermuka kuning ini pura-pura berseru, terus merangsek dan bertubi-tubi menyerang suhengnya dengan senjata yang berbahaya itu, melihat suhengnya semakin payah dan kedinginan serta terhuyung-huyung.

Dan ketika Sin-piauw Ang-lojin marah dan mencabut senjatanya berupa pisau bintang yang gagangnya terbuat dari gading tiba-tiba kakek ini menggereng menggerakkan senjata itu dengan tangan kiri, karena tangan kanan tak dapat dipakai lagi dan semakin lumpuh. “Sute, kau rupanya berhati busuk. Kau sekarang juga culas dengan main senjata gelap segala!”

“Ha-ha, tak perlu mengomel kalau kekalahan di ambang mata, suheng. Kau sendiri yang salah tidak lekas-lekas mencabut senjatamu!”

Sin-piauw Ang-lojin membentak. Dia masih memiliki kekuatan juga, menerjang dan menyambut serangan sutenya. Memutar pisau panjang itu yang tiba-tiba berkilauan memanjang, naik turun bergulung-gulung dan sebentar kemudian lenyap merupakan cahaya putih yang membendung senjata sutenya. Mematuk dan membabat hingga berkali-kali golok-tombak di tangan lawan terpental, bertemu tenaganya yang masih dahsyat dan hebat. Tapi ketika si kakek muka kuning kembali melepas jarum-jarum rahasia yang halus dan mengenai tubuh ketua Seng-piauw-pang itu menyusup di bawah kulit mendadak Sin-piauw Ang-lojin meraung,

“Sute, kau keparat jahanam...!”

Hong Jin sang kakek bermuka kuning tertawa bergelak. Dia telah melepas tiga jarum rahasianya sekarang, menancap di bagian depan tubuh suhengnya hingga bagian itu membengkak, menimbulkan rasa nyeri dan panas berganti-ganti. Membuat tubuh seakan meriang dan tentu saja mengganggu keadaan kakek gagah ini. Dan ketika Sin-piauw Ang-lojin mulai gemetar karena empat jarum beracun itu melumpuhkan tenaganya tiba-tiba untuk terakhir kalinya kakek ini menjerit ketika jarum kelima dilepaskan mengenai lehernya.

“Crep!” Jarum itu amblas. Sin-piauw Ang-lojin memekik, roboh terjungkal dan melepaskan pisau panjangnya karena dia sekarang benar-benar sudah tak tahan lagi. Kaget bahwa sutenya demikian jahat. Tak segan melakukan kecurangan dengan menembakkan jarum-jarum halus dari balik mata tombak, tentu saja tak dapat dielak karena mereka melakukan pertempuran jarak dekat.

Dan begitu dia roboh terguling dan Hong Jin si kakek muka kuning tertawa penuh kemenangan tiba-tiba dengan keji kakek ini berkelebat melepas jarum terakhir, pura-pura menotok dengan mata tombak tapi sebenarnya melepas jarum berbisa ke dahi suhengnya. Satu serangan maut yang tentu tak mungkin menyelamatkan ketua Seng-piauw-pang itu.

Tapi Kim-mou-eng yang rupanya sudah melihat kecurangan ini dan kaget oleh menyambarnya sinar halus yang hampir tak tertangkap mata karena jarum itu memang kecil dan lembut mendadak sudah melompat ke depan mengebutkan ujung bajunya, menangkis dan ingin mengetahui senjata rahasia macam apa itu. “Hu-pangcu (wakil ketua), kau benar-benar tak tahu malu. Tahan kekejianmu... plak!”

Hong Jin terkejut. Dia melihat Kim-mou-eng menangkis serangannya, membuat dia terdorong dan jarum rahasianya kini menancap di ujung baju pemuda itu, kaget bukan main. Kaget karena dua saudaranya tak sempat mencegah majunya Pendekar Rambut Emas ini dan dia tertolak mundur oleh kibasan lengan baju itu. Dan ketika kakek muka kuning ini berseru marah berdiri tegak, maka di saat itulah Kim-mou-eng telah melihat jarum rahasianya, disusul bayangan Salima yang melayang naik ke atas panggung.

“Suheng, apa itu?”

Kim-mou- eng memperlihatkan jarum di telapak tangannya. Dia sekarang marah pada kecurangan wakil ketua Seng-piauw-pang ini dan Salima yang juga tertegun melihat jarum itu mendadak marah besar seperti suhengnya. “Tua bangka, kau manusia keji terkutuk!”

Hong Jin mencelos. Dia terkejut melihat naiknya dua orang muda ini, tapi Wan Tiong Lojin dan Ki Siong Cinjin yang rupanya tersentak melihat majunya Kim-mou-eng dan Salima yang lolos dari pengawasan mereka tiba-tiba melompat naik ke panggung luitai, membentak nyaring, “Tiat-ciang Sian-li, kalian sebaiknya turun. Pibu ini telah berakhir...!”

Salima gusar. Dia langsung menyambut naiknya dua orang kakek itu dengan pukulan tangan kiri, mengerahkan Tiat-lui-kangnya. Dan begitu balas membentak dan menyuruh kakek itu saja yang turun tahu- tahu gadis Tar-tar ini telah menyerang Wan Tiong Lojin dan Ki Siong Cinjin. “Orang-orang keparat, kalian saja yang turun...dess-plak!”

Wan Tiong Lojin dan sutenya terkejut. Mereka terang menangkis, mengebutkan ujung baju menahan pukulan ini. Tapi begitu mereka terpental dan ujung baju hangus oleh tamparan Tiat-lui-kang sekonyong-konyong mereka berteriak kaget ketika tubuh meluncur kembali ke bawah, terpaksa berjungkir balik dan turun di tempat semula, pucat dan kaget. Dan ketika Salima berdiri berapi-api dengan penuh kemarahan memandang mereka semua maka Kim-mou-eng melompat di depan Sumoinya ini.

“Sumoi, biarkan aku menghadapi orang-orang ini. Kau tolonglah dulu Seng-piauw-pangcu!” Kim-mou-eng memberikan obat, mendorong sumoinya mundur dan sudah menghadapi si kakek muka kuning yang terbelalak memandang mereka. Dan ketika Salima mengangguk tapi tidak puas memandang kakek muka kuning itu untuk menolong Sin-piauw Ang-lojin maka Pendekar Rambut Emas ini telah menegur Hong Jin.

“Orang tua, kau sunguh tidak malu mencurangi ketuamu sendiri. Bukankah Sin-piauw Ang-lojin juga suhengmu sendiri? Kenapa melakukan perbuatan tak terpuji dengan menyerangnya begitu licik?”

Kakek muka kuning ini melotot. “Itu urusan kami sendiri, Kim-mou-eng. Ada apa kau mencampuri urusan orang lain? Kurang kerjaankah kau ini?”

“Hm, aku tak dapat melihat orang berbuat curang, Hong-hu-pangcu (wakıl ketua Hong). Aku tak akan mencampuri urusan orang lain jika semuanya berjalan baik-baik. Aku terpaksa maju karena kau hendak membunuh ketua atau suhengmu sendiri. Itu perbuatan jahat!”

Hong Jin kakek muka kuning ini marah. “Kau lancang mencampuri urusan Seng-piauw-pang? Bukankah ini pibu satu lawan satu?”

“Benar, tapi pibu yang baik tak boleh mempergunakan senjata rahasia, hu-pangcu. Dan kau telah melanggar pantangan ini. Kau rupanya memang bukan orang baik-baik!”

“Keparat!” kakek ini membentak, tiba-tiba menyerang dan menusukkan golok-tombaknya itu ke dada Kim-mou-eng. Tapi Kim-mou-eng rupanya sudah mengetahui sampai dimana kelihaian kakek ini dengan melihat jalannya pertandingan tadi tiba-tiba menerima dan tidak mengelak.

“Tak!” Hong Jin terkejut. Kakek itu melihat mata tombaknya mental bertemu dada Pendekar Rambut Emas, membentur kekebalan sinkang yang luar biasa hingga tubuh pemuda itu seperti karet, kenyal tapi liat. Dan hu-pangcu Seng-piauw-pang yang tentu saja terperanjat oleh kekebalan ini tiba-tiba menyerang kembali dan memencet jarum-jarum rahasianya.

“Cit-cit-cit!” Tujuh jarum halus menyambar tubuh Kim-mou-eng. Orang hanya melihat tujuh sinar kecil berkeredep ke depan, entah apa. Tapi Kim-mou-eng yang mendengus melihat kecurangan ini tiba-tiba membentak dan meniupkan mulutnya. “Wushh...!”

Hong Jin terkejut. Tujuh jarumnya itu tiba-tiba tersapu runtuh, persis ditiup angin kencang. Dan sementara dia terbelalak kaget sekonyong-konyong Kim-mou-eng berkelebat menampar kepalanya. “Hu-pangcu, kau pantas dihajar!”

Kakek ini terkesiap. Dia tadi sudah merasakan kelihaian Salima, belum Pendekar Rambut Emas ini. Tapi melihat lawan berkelebat menampar kepalanya dan dia terang tak mau mandah begitu saja maka kakek ini menggerakkan senjatanya menangkis sambil menendang.

“Plak-dess!”

Hong Jin sang kakek muka kuning mencelat. Dia terlempar karena tamparan itu masih menyerempet juga di pelipisnya, panas dan membuat kulit pelipisnya seakan dibeset. Tentu saja membuat kakek ini memekik. Tapi hu-pangcu Seng-piauw-pang yang berjungkir balik mematahkan daya pukulan itu tiba-tiba membentak dan kembali turun di panggung luitai, penasaran oleh pukulan lawan yang membawa kesiur angin demikian kuat.

Dan tak mau lawan mendahuluinya menyerang tiba-tiba kakek muka kuning ini melengking dan menubruk Kim-mou-eng, gencar bertubi-tubi dengan golok-tombaknya itu, bahkan kini kaki juga ikut bergerak menendang dan menyapu. Hebat bukan main karena dia maklum akan kelihaian lawannya ini. Dan begitu kakek ini berkelebat menyerang lawannya tiba-tiba Kim-mou-eng sudah dikurung hujan pukulan dan tusukan yang gencar bukan kepalang.

“Pendekar Rambut Emas, kau akan kubunuh!”

Kim-mou-eng semakin mengerutkan kening. Dia melihat wakil ketua Seng-piauw-pang ini sebenarnya cukup lihai. Permainan golok-tombaknya cukup berbahaya. Tapi karena dia telah mengerahkan sinkangnya melindungi diri dan mulai berlompatan ke sana-sini menangkis senjata lawan menunjukkan kekebalannya maka semua serangan kakek itu dapat ditolak balik. Hong Jin tentu saja naik pitam, membentak dan melengking-lengking menyerang nekat.

Tapi ketika lawan mulai gemas dan Kim-mou-eng ingin memberi hajaran pada kakek ini tiba-tiba golok-tombak yang menyambar untuk kesekian kalinya ditangkap, persis seperti apa yang tadi dilakukan Sin-piauw Ang-lojin, ketua Seng-piauw-pang itu. Dan ketika lawan memencet senjatanya dan berseru girang melepas jarum-jarum lembut dari mata tombak tiba-tiba Kim-mou-eng mendahului dengan meremas hancur senjata di tangan kakek muka kuning itu.

“Krekk!” Luncuran jarum otomatis tersumbat. Hong Jin berteriak kaget ketika ujung goloknya patah. Hancur di dalam cengkeraman Pendekar Rambut emas. Dan ketika sedetik pertandingan itu berhenti dan kakek muka kuning itu berteriak tertahan, terbelalak memandang lawannya tahu-tahu Kim-mou-eng menyambitkan hancuran mata tombak yang telah menjadi bubuk itu ke muka lawannya.

“Hong-hu-pangcu, terimalah remukan senjatamu...!”

Kakek ini terkejut. Dia membanting tubuh bergulingan, kaget karena jarak sambitan itu terlalu dekat. Dan ketika dia melempar tubuh dan beberapa bubuk besi masih juga mengenai mukanya dan dia menjerit kesakitan tiba-tiba golok yang sudah buntung ujungnya itu ditendang lepas dan patah di udara oleh Kim-mou-eng!

“Krek-plak!”

Hong Jin sang kakek bermuka kuning, pucat bukan main. Dia kebetulan membanting tubuh bergulingan mendekati Salima, suatu ketidaksengajaan belaka sebenarnya. Dan karena Salima benci pada hu-pangcu Seng-piauw-pang ini dan otomatis menggerakkan tangan menyerang kakek itu tiba-tiba tangannya menyambit jarum yang tadi didapat dari suhengnya, jarum kakek itu sendiri.

“Tua bangka, makanlah jarummu ini...!”

Kakek itu jadi semakin kaget. Dia terang tak dapat mengelak, seolah ular mendekati gebuk. Menjadi runyam keadaannya. Dan ketika jarum itu mengenai lehernya dan langsung amblas di bawah kulit tiba-tiba kakek ini berteriak ngeri dan roboh terbanting di bawah panggung!

“Bress!” Hong Jin kakek tua itu mengeluh panjang pendek. Lehernya seketika bengkak kehitaman, terkena racunnya sendiri. Dan ketika Wan Tiong Lojin dan Ki Siong Cinjin menghampirinya untuk membantu maka kakek ini bangkit terhuyung memaki gemetar,

“Goblok kalian, kerbau dungu kalian! Kalian seharusnya mencegah dua orang pengacau itu naik ke atas panggung, sute. Kalian seharusnya membantu aku ketika pertandingan di atas tadi!”

Wan Tiong Lojin dan Ki Siong Cinjin terpaku. Mereka sebenarnya sedang terkesima oleh pertandingan tadi. Melihat betapa lihai dan hebatnya Pendekar Rambut Emas itu. Melayani senjata lawan dengan tangan kosong saja. Kebal dan dapat meremas hancur golok kakaknya hingga tak dapat dipakai lagi. Diam-diam membuat gentar dua orang kakek ini. Dan Hong Jin sang suheng yang tentu saja marah-marah pada mereka dan melihat dua sutenya diam saja akhirnya membentak melayang naik, menelan obat penawar racun.

“Sute, ayo kita bunuh dua pengacau liar itu. Aku tak akan memberi kalian apa yang kujanjikan bila kita semua kalah!”

Wan Tiong Lojin dan Ki Siong Cinjin saling pandang. Mereka rupanya terkejut oleh kata-kata terakhir itu, memberi isyarat dan mengangguk melayang naik. Rupanya mendapat janji cukup memikat hingga mampu menindas rasa gentar mereka. Tapi Sin-piauw Ang-lojin yang rupanya sudah ditolong dan menelan obat yang diberikan Salima dan tampaknya sudah sembuh tiba-tiba bangun berdiri menggereng marah.

“Kim-mou-eng, tiga orang suteku ini rupanya memang mau memberontak. Biarlah kau mundur, kuhadapi mereka sendirian!”

Kim-mou- eng tertegun. Dia melihat kakek tinggi besar bermuka merah itu tak lagi menggigil, garang dan bengis sekali memandang tiga orang sutenya itu, terutama Hong Jin, sang adik nomor dua yang rupanya mau “mbalelo” (mengacau). Berapi-api dan tampak marah sekali memandang sutenya itu. Tapi tersenyum memandang kakek gagah ini Kim-mou-eng menjawab,

“Kau baru sembuh, pangcu. Mana mungkin menghadapi sute-sutemu ini? Bagaimana kalau sutemu melakukan kecurangan lagi?”

“Tidak, senjata laknatnya telah kau hancurkan, Kim-mou-eng. Dia tak mungkin melepas jarum-jarum rahasianya lagi. Aku akan menghukumnya dengan tanganku sendiri. Terima kasih untuk budi pertolonganmu!”

“Ah, sesama orang gagah mana ada budi segala, pangcu? Aku terpaksa maju karena tak tahan melihat kecurangan sutemu. Maaf kalau kau anggap lancang.”

“Tidak, aku justeru berterima kasih, Kim-mou-eng. Aku telah melihat bahwa suteku nomor dua itu rupanya tak segan-segan untuk membunuhku. Dia sudah tak memandangku lagi sebagai saudara seperguruan. Aku akan menghadapinya!” dan meminta Pendekar Rambut Emas turun ke bawah akhirnya kakek ini menghadapi sute-sutenya itu.

“Hong-sute, sungguh tak kusangka bahwa dalam pemilihan ketua kali ini kau mengincar jiwaku. Apa salahku padamu hingga kau mengarah nyawa? Adakah hutang jiwa yang telah kuberikan padamu?”

Hong Jin mulai gentar. Dia melihat suhengnya ini benar-benar pulih kembali, agaknya obat yang diberikan Kim-mou-eng lewat sumoinya tadi benar-benar hebat. Dan karena senjata golok-tombak yang dapat melepaskan jarum rahasia dan amat diandalkannya itu sudah tak ada lagi di tangannya karena hancur ditampar Kim-mou-eng akhirnya kakek muka kuning ini menjadi tak nyaman. Kalau saja tak ada Kim-mou-eng bersama sumoinya itu. Hm, tentu niatnya membunuh suhengnya ini bakal terkabul. Dan karena Kim-mou-eng muncul dan pendekar muda itu jelas berpihak pada suhengnya ini dan agaknya dia mendapat rintangan sulit dalam merebut kedudukan ketua tiba-tiba Hong Jin sang kakek bermuka kuning ini menjadi nekat. Nekat dan juga marah!

“Suheng, tak perlu banyak cakap lagi di tempat ini. Kita sekarang telah berhadapan. Ayo maju atau serahkan kedudukan Seng-piauw-pangcu kepadaku secara baik-baik!”

“Kau masih berani juga bicara tentang itu?” Sin-piauw Ang-lojin membentak.

“Kalau kau tak tahu diri, suheng. Kalau kau masih juga hendak mengangkangi kedudukan ketua tanpa memberi kesempatan pada yang muda untuk menggantikannya!”

“ Keparat, kau yang tak tahu diri, sute. Bukan aku tetapi kau. Kuhajar kau!” dan Sin-piauw Ang-lojin yang sudah tak dapat menahan marah lagi tiba-tiba menggereng dan menubruk sutenya itu, mengembangkan kedua lengan di kiri kanan tubuhnya seakan seekor burung garuda, mencengkeram dan agaknya siap mencekik sutenya ini.

Tapi Hong Jin si kekek muka kuning yang tıba-tiba mengelak dan mencabut pisau panjangnya, pisau bintang yang agaknya menjadi ciri khas anggota perkumpulan Seng-piauw-pang ini tiba-tiba melejit menusukkan senjatanya, ditampar dan seketika terpental oleh jari-jari Sin-piauw Ang-lojin yang kokoh, terkejut dan menyerang lagi ketika suhengnya membentak dan maju menubruk dirinya. Dan ketika mereka saling membentak dan maju dengan serangan masing-masing akhirnya dua orang ini bertempur dengan sengit.

Sin-piauw Ang-lojin masih bertangan kosong. Ketua Seng-piauw-pang itu mengandalkan kibasan atau cengkeramannya. Selalu membuat senjata di tangan sutenya melenceng atau terpental, tanda sinkang ketua Seng-piauw-pang itu masih lebih hebat dibanding lawannya dan berani mencengkeram senjata lawan dengan tangan telanjang, tak terluka. Tanda ketua Seng-piauw-pang itu juga memiliki kekebalan cukup baik bila tak diserang dengan senjata beracun, seperti jarum tadi misalnya.

Dan ketika pertempuran berjalan tigapuluh jurus dan ketua Seng-piauw-pang rupanya sudah mengenal betul ilmu silat lawannya dan agaknya mereka telah cukup sering bertempur dan Hong Jin sering mengeluh kaget tiba-tiba kakek muka kuning ini terdesak. Hong Jin kakek itu tak berhasil melukai suhengnya. Jangankan melukai, membalas pukulan-pukulan suhengnya saja dia sudah kepayahan. Mukanya mulai pucat dan berkali-kali terhuyung kalau kakek muka merah itu menangkis senjatanya.

Dan ketika pertempuran berjalan empat puluh jurus dan Sin-piauw Ang-lojin semakin menekan lawannya dengan kibasan-kibasan tangannya yang mengeluarkan angin pukulan dingin akhirnya sebuah tamparan keras mengenai pundak lawannya itu.

“Plak!” Hong Jin si kakek muka kuning tergetar. Wakil ketua Seng-piauw-pang ini terkejut, terhuyung dan menyeringai pedih karena tamparan suhengnya itu membuat tulang pundaknya seakan remuk. Dan ketika kembali dua pukulan berturut-turut mengenai leher dan pangkal lengannya akhirnya kakek muka kuning ini terbelalak ketika suhengnya itu berkelebat menendang pinggangnya.

“Sute, sekarang kau robohlah!”

Kakek muka kuning ini mengelak. Dia coba berkelit menghindarkan tendangan itu, tapi Sin-piauw Ang-lojin yang menggerakkan tangan menotok kepalanya dalam serangan kedua yang merupakan susulan tendangan itu tiba-tiba membuat kakek muka kuning ini mencelos kaget.

“Plak-dess...!”

Hong Jin beteriak. Dia kalah cepat oleh gerakan suhengnya itu. Maka begitu tendangan tiba dan totokan meluncur dari atas ke bawah tiba-tiba tanpa dapat dicegah lagi kakek muka kuning ini mencelat dan membanting tubuh bergulingan, nyaris mendapat totokan kalau tidak melempar dirinya. Tapi ketika dia melompat bangun dan Sin-piauw Ang-lojin mengejarnya dengan dengusan pendek tahu-tahu pisaunya mencelat ketika suhengnya itu menendang pergelangan tangannya, membuat kakek muka kuning ini berteriak keras dengan muka berubah.

Tapi sebelum kakek tinggi besar itu menggerakkan jari menangkap sekonyong-konyong Wan Tiong Lojin dan Ki Siong Cinjin yang ada di belakang menyerang ketua Seng-piauw-pang itu, menolong Hong Jin.

“Twa-heng, lepaskan ji-suheng (kakak nomor dua)...!”

Sin-piauw Ang- lojin terkejut. Dia saat itu tinggal memberesi sutenya ini, siap melumpuhkannya dalam satu pukulan terakhir. Maka melihat dua adiknya nomor tiga dan empat menyerang dari belakang dan mereka membokong dengan pisau di tangan menusuk punggungnya terpaksa ketua ini membalik menangkis gusar.

“Sam-sute, kalian tak tahu malu... plak-dess!”

Wan Tiong dan adiknya terpental. Mereka berdua hampir terjengkang. Maklum tenaga suhengnya demikian hebat. Tapi ji-suheng mereka yang sudah dapat melompat bangun dan berseru pada mereka agar mengeroyok suheng tertua ini tiba-tiba sudah menyambar pisaunya yang terlepas tadi dan menyerang kakek gagah ini.

“Twa-heng, kami tak akan menyerah padamu!”

Sin-piauw Ang-lojin mendelik. Dia kini diserang sutenya nomor dua itu, disusul pula oleh gerakan Wan Tiong Lojin dan Ki Siong Cinjin yang menyerang dari kiri kanan, semuanya bersenjata. Dan karena menghadapi mereka bertiga terlalu berat bertangan kosong saja akhirnya ketua Seng-piauw-pang ini mencabut senjatanya, sepasang pisau panjang bermata dua dan langsung menangkis memutar senjata. “Sute, kalian akan kubunuh!”

Hong Jin dan dua adiknya mengelak. Mereka melompat menghindar, menyerang lagi dan maju bersama mengepung dari tiga penjuru. Sebentar kemudian tak malu-malu lagi mengerubut, tiga senjata melawan sepasang pisau. Tapi karena Sin-piauw Ang-lojin bertempur bagai seekor singa kelaparan dan kemarahan besar membuat kakek ini mendapat tambahan tenaga baru, maka biarpun dikeroyok tiga tetap saja kakek itu dapat melayani lawan-lawannya dengan baik.

Bahkan Wan Tiong Lojin dan Ki Siong Cinjin sutenya nomor tiga dan empat itu sering berseru kaget, tergetar lengan mereka setiap kali senjata ditangkis, merasa betapa suheng mereka itu memiliki sinkang kuat sekali. Kalau tak hati-hati mencekal tentu senjata di tangan mereka terlepas mencelat. Terkejut oleh tangkisan kuat suhengnya itu.

Dan Hong Jin sang kakek muka kuning yang tentu saja melihat kelemahan dua sutenya terakhir lalu membantu dan kini mulai melepas pisau-pisau kecil untuk menolong dua sutenya itu, menyuruh agar mereka melepas pula senjata piauw (pisau) menyerang twa-suhengnya itu. Dan ketika mereka mengangguk dan tiga orang kakek itu mulai melepas senjata-senjata gelap berupa pisau terbang sementara pisau panjang masih terus bergerak menyerang ketua Seng-piauw-pang itu akhirnya Sin-piauw Ang-lojin terdesak, membentak dan memaki-maki sutenya yang curang itu.

Tapi ketika ketua Seng-piauw-pang ini juga menangkis dan mulai mengeluarkan pisau-pisau kecilnya untuk membentur runtuh senjata gelap lawan akhirnya pertandingan menjadi ramai lagi dan berimbang, membuat Hong Jin dan dua adiknya tertegun, kagum tapi juga marah melihat tangguhnya sang kakak tertua ini. Dan ketika pertandingan berjalan limapuluh jurus dan Hong Jin serta dua adiknya mulai terengah-engah sementara Sin-piauw Ang-lojin masih tegar dengan napasnya yang kuat akhirnya kakek muka kuning ini menjadi cemas.

Dia heran bagaimana twa-suhengnya itu demikian hebat. Napasnya demikian panjang sementara dia dan dua adiknya mulai ngos-ngosan. Tak tahu bahwa tadi Salima secara diam-diam memberi obat penguat tenaga pada kakek tinggi besar ini ketika Sin-piauw Ang-lojin terluka. Jadi itulah rahasianya. Semacam obat kuat untuk memberi tenaga baru bagi ketua Seng-piauw-pang itu.

Dan ketika mereka bertiga mulai berkeringat sementara Sin-piauw Ang-lojin sendiri hanya mengusap peluh di dahi dan sebagian telapak tangannya akhirnya Ki Siong Cinjin yang merupakan orang termuda diantara mereka terluka. Pisau di tangan kanan ketua Seng-piauw-pang itu menggurat sutenya terbungsu ini, membuat Ki Siong Cinjin memekik dan terhuyung mundur.

Dan ketika Wan Tiong Lojin membantu dan menyerang dari belakang tapi Sin-piauw Ang-lojin membentak memutar tubuhnya maka kakek yang agak kurus ini juga tak dapat menghindar ketika suhengnya membalas, melukai kulit pundaknya dan terus menusuk tenggorokan, disambut pekik kaget Wan Tiong Lojin yang terus membanting tubuh bergulingan, menjauhkan diri dari gerakan ketua Seng-piauw-pang itu yang rupanya ingin merobohkan sutenya.

Dan ketika Hong Jin juga maju tapi kakek tinggi besar ini mengayun kakinya menyapu pinggang akhirnya tiga orang itu roboh bergulingan dengan muka pucat.

“Plak-des-dess!”

Hong Jin dan dua adik-adiknya terkejut. Mereka melompat bangun melihat bayangan suhengnya itu berkelebat ke depan, menggeram mengejar mereka dengan mata berkilat, pisau menyambar seolah dewa maut mengancam mereka. Dan ketika Hong Jin mengelak dan Ki Siong Cinjin serta suhengnya nomor tiga Wan Tiong Lojin juga menangkis maka untuk pertama kalinya senjata di tangan mereka mencelat terlepas.

“Trang-trang!”

Ki Siong Cinjin dan kakaknya kaget. Mereka kalah tenaga oleh suheng tertua itu, terbelalak melihat pisau masih meluncur menyambar dada mereka. Dan Ki Siong Cinjin serta Wan Tiong Lojin yang terkesiap melihat sambaran pisau ini tiba-tiba berteriak pada ji-suhengya untuk maju membantu, menggulingkan tubuh sebisanya ke kiri. Tapi karena bagian itu kosong karena mereka telah berada di pinggir panggung luitai maka tak ampun lagi dua orang ini terjeblos ke bawah dan jatuh bergulingan di atas tanah, jauh dari atas panggung.

“Bres-bress!”

Hong Jin sang kakek muka kuning tampak pucat. Dia sekarang sendirian di panggung itu, melihat suhengnya menggereng sementara sutenya di bawah sudah melompat bangun, gentar tak segera naik. Dan ketika Sin-piauw Ang-lojin membentak dan menubruk kakek muka kuning ini maka Hong Jin menggerakkan pisaunya menangkis setengah hati.

“Trang...!” Pisau di tangan kakek muka kuning itu langsung mencelat. Dia sudah gentar dan pucat memandang suhengnya ini, melihat suhengnya mendelik dan rupanya ingin membunuhnya. Dan takut serta ngeri oleh hukuman yang bakal dijatuhkan suhengnya ini kepadanya tiba-tiba Hong Jin membalik dan melompat turun!

“Sute, mari kita pergi...!”

Wan Tiong Lojin dan Ki Siong Cinjin terkejut. Mereka melihat kekalahan di depan mata mereka, melihat ji-suheng mereka itu sudah meloncat turun meninggalkan panggung luitai, gentar dan takut karena twa-suheng mereka, sang ketua Seng-piauw-pang tampak bengis dan garang di atas panggung, demikian gagah perkasa. Maka melihat kakaknya nomor dua itu melayang turun dan langsung melarikan diri darı panggung luitai mendadak dua orang inipun mengangguk dan meloncat mengikuti.

Tapi Sın-piauw Ang-lojin membentak. Kakek muka merah itu menyambitkan pisaunya, menimpuk punggung sutenya nomor tiga, demikian cepat dan penuh tenaga. Dan ketika Wan Tiong Lojin menjerit dan roboh terjengkang maka pisau satunya di tangan kiri bergerak pula menyambar punggung sutenya nomor dua, Hong Jin.

“Crep!” Hong Jin kakek muka kuning itu memekik. Dia mengaduh ketika pisau menancap di punggungnya, setengah lebih. Tapi ketika kakek ini terbanting roboh dan semua orang terbelalak ke depan sekonyong-konyong seorang laki-laki tinggi tegap menyambar kakek ini dari tengah-tengah gerombolan anggota Seng-piauw-pang, berseru pada Ki Siong Cinjin agar menyambar suhengnya nomor tiga, Wan Tiong Lojin.

Dan ketika semua orang terkejut oleh kejadian ini dan Salima berteriak karena mengenal laki -laki itu adalah orang yang pertama kali menyerangnya di pintu gerbang dusun Seng-piauw-pang ini mendadak laki laki itu melempar granat tangannya ke panggung luitai.

“Pangcu, turun...!” Salima berseru keras, memperingatkan ketua Seng-piauw-pang itu akan bahayanya ledakan, disambut bentakan tinggi kakek gagah ini yang berjungkir balik turun dari panggung luitai. Dan ketika ledakan itu terjadi dan Salima siap mengejar laki-laki ini mendadak dua ledakan berturut-turut memecah kerumunan anggota-anggota Seng piauw-pang.

“Hei... blar-blar!”

Semua orang terkejut. Tujuh orang terlempar oleh ledakan granat itu, langsung memekik dan tewas dengan tubuh hancur. Dan ketika yang lain juga terlempar dan beberapa pecahan granat melukai belasan orang akhirnya tempat itu menjadi ribut dan gaduh.

“Kejar laki-laki itu. Dia keparat jahanam...!”

Tapi laki-laki itu telah menghilang. Dia telah membawa Hong Jin yang terluka di punggungnya, lenyap di balik asap tebal karena granat tangan itu melindungi larinya. Dan ketika orang ribut-ribut dan beberapa diantaranya mendadak roboh pingsan karena asap granat itu juga mengandung bius maka Wan Tiong Lojin yang juga terluka oleh sambitan ketua Seng-piauw-pang ini telah menghilang pula dibawa Ki Siong Cinjin.

“Keparat, laki-laki itu agaknya pengawal istana...!”

Semua orang ribut. Seng-piauw-pangcu membentak mencari-cari lelaki ini, dibantu yang lain termasuk Salima yang menyesal kenapa tak melihat laki-laki itu sejak tadi yang agaknya secara cerdik menyembunyikan diri diantara kelompok anggota-anggota Seng-piauw-pang. Dan ketika asap mulai buyar dan keadaan tenang kembali maka terdapatlah tiga puluh orang korban akibat ledakan itu.

“Jahanam, dia mata-mata!” Seng-piauw-pangcu marah besar, sadar bahwa kiranya orang itulah yang membuat sutenya mbalelo, memberontak dan mengkhianati perkumpulan. Dan ketika semua anggota tertegun dan menjublak memandang mayat tujuh orang yang tewas, sementara yang luka-luka merintih dan ditolong yang lain maka menghadaplah kakek tinggi besar ini pada anggota-anggotanya itu.

“Siapa yang ingin mendukung suteku? Siapa yang masih ingin memberikan suaranya pada susiok kalian yang berkhianat itu?”

Semua anggota Seng-piauw-pang diam.

“Hayo, buka mulut kalian. Siapa yang tak setuju pada kepemimpinanku boleh meninggalkan tempat ini sekarang. Aku memberi kebebasan penuh!”

Sepuluh orang di depan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut. Tiga diantaranya, yang termasuk diantara duaratus limapuluh anggota yang tadi memberikan dukungan suara untuk si kakek muka kuning yang kini telah melarikan diri dari tempat itu tiba-tiba menangis.

“Ampun, supek (uwa guru). Kami sebenarnya telah dipaksa oleh suhu dan susiok untuk memberi dukungan suara padanya. Suhu dan susiok telah menjalin hubungan dengan beberapa menteri untuk merubah peraturan pang kita. Kami tak berdaya. Suhu mengancam untuk membunuh kami kalau kami berani melawannya.”

“Hm, kau Kai Pak, bukan? Kau murid Hong Jin-sute?”

“Benar, ampunkan teecu, supek. Sebenarnya teecu telah memperingatkan suhu tapi suhu keras kepala.”

“Dan sekarang apa pendapatmu? Kau tak mencari gurumu yang bersekongkol dengan orang jahat itu?”

“Tidak, teecu tak berani, supek. Teecu mewakili teman-teman di sini untuk mohon perlindungan supek!”

Sin-piauw Ang-lojin mengangguk. Dia tahu bahwa dukungan suara yang diberikan anggota-anggotanya tadi memang diucapkan secara sumbang. Ada tersirat rasa keterpaksaan di situ. Dan sekarang setelah Kai Pak murid Hong Jin sutenya nomor dua ini mengakui dan yang lain-lain juga menjatuhkan diri berlutut mohon ampun akhirnya kakek ini menyuruh mereka bangun berdiri. Berbicara panjang lebar bahwa perkumpulan mereka harus tetap utuh, tak boleh pecah.

Dan ketika semuanya mengangguk dan Sin-piauw Ang-lojin mendapat keyakinan penuh bahwa anggotanya tak ada yang berkhianat kecuali tiga orang sutenya tadi yang entah kenapa ingin menjalin hubungan dengan menteri-menteri dorna yang ada di istana akhirnya kakek ini membubarkan pertemuan itu. Mendapat dukungan penuh dan untuk ketiga kalinya diminta untuk memimpin Seng-piauw-pang. Dan ketika semuanya selesai dan kakek tinggi besar itu menyatakan terima kasih sebesar-besarnya pada Kim-mou-eng dan Salima karena dua orang itulah yang berjasa besar menyelamatkan kakek ini dan perkumpulannya maka Kim-mou-eng mohon diri.

“Pangcu, kiranya cukup keberadaan kami berdua secara tak sengaja di tempat ini. Kami tak merasa melepas budi, harap kau simpan ucapan terima kasihmu yang berlebih-lebihan itu. Kami malu hati mendengarnya. Bukankah sesama orang gagah kita harus saling tolong-menolong? Nah, sekarang perkenankan kami pergi, pangcu. Kami masih ingin meneruskan perjalanan kami yang masih tak menentu.”

“Ah, kenapa buru-buru?” Sin-piauw Ang-lojin terbelalak. “Kami ingin menjamu kalian, Kim-mou-eng. Sebaiknya besok saja setelah matahari terbit!”

“Tidak, kami tak ingin menunda perjalanan, pangcu. Kami masih harus mencari apa yang belum kami dapatkan.”

“Apakah itu?”

“Dusun Yu-chung, tempat tinggal mendiang ibuku tigapuluh tahun yang lalu.”

“Hm, Yu-chung? Dimanakah itu?”

“Itulah, kami sendiri tak tahu, pangcu. Karena itu kami mencarinya karena ada sesuatu yang harus kami ambil. Kami harus berangkat.”

“Nanti dulu!” Sin-piauw Ang-lojin tiba-tiba mengangkat lengannya. “Apakah dusun itu di mukanya ada terdapat patung singa, Kim-mou-eng?”

“Entahlah, aku tak tahu, pangcu. Tapi yang jelas, dusun itu dulu dikepalai oleh Yu-lopek. Dia termasuk kerabat ibuku dan meninggalkan sesuatu yang harus kuambil.”

“Hm, kalau begitu coba saja ke dusun yang kutunjukkan ini, Kim-taihiap (pendekar Kim).” Sin-piauw Ang-lojin merubah panggilannya. “Mungkin dusun itu yang kau cari karena dusun itu juga dusun Yu. Tapi awas, di sana bercokol seorang datuk berjuluk Sai-mo-ong (Raja Iblis Singa) yang amat berbahaya. Aku hampir tewas ketika bertempur dengannya secara kebetulan!” dan ketika kakek ini menggigil membayangkan pertemuannya beberapa bulan yang lalu dengan datuk iblis itu tiba-tiba Kim-mou-eng dan Salima tertarik.

“Dimana dia tinggal, pangcu? Dimana dusun itu?”

“Jauh dari sini, Kim-taihiap. Di propinsi Se-cuan di dekat kota Ceng-tu!”

“Hm, arah barat laut?”

“Benar. Dan harap kau berhati-hatilah, taihiap. Sai-mo-ong mempunyai beberapa sahabat karena dia termasuk seorang dari Jit-mo Kang-ouw (Tujuh lblis Dunia Persilatan) yang memiliki kepandaian mengerikan. Ilmu silatnya luar biasa. Terus terang aku kalah jauh dengannya!”

Kim-mou-eng tertarik. Sekarang dia mulai terbuka pengetahuannya tentang orang-orang persilatan di daerah Tionggoan ini. Tokoh-tokoh di pedalaman yang mana baru dia dengar. Maka melihat ketua Seng-piauw-pang itu tampak gentar membayangkan Sai-mo-ong ini dan menceritakan bahwa dulu bersama tiga sutenya yang berkhianat itu pernah mengeroyok tapi hampir saja mereka tewas tiba-tiba Pendekar Rambut Emas ini menjadi gembira dan berdebar tegang, melirik sumoinya dan melihat Salima tersenyum aneh.

Mata yang jernih itu tampak bersinar, berkilat-kilat bagai mata seekor harimau betina yang rupanya menemukan buruan menarik. Seolah Sai-mo-ong adalah korban santapan yang nikmat. Dan ketika Sin-piauw Ang-lojin memberikan keterangan pada mereka secara jelas dimana letak dusun yang ditinggali kakek iblis itu akhirnya Kim-mou-eng minta diri.

“Baiklah, terima kasih atas petunjuk-petunjukmu, pangcu. Aku akan mencari kakek iblis ini dan menyelidiki benarkah dusun yang ditinggalinya itu adalah dusun yang dulu menjadi kampung halaman ibuku.”

“Baik, tapi hati-hati, taihiap. Kupesankan sekali lagi bahwa kakek itu betul-betul amat berbahaya. Dia memiliki kepandaian tinggi dan hebat sekali.”

“Terima kasih. Semua pesanmu akan kuingat baik, pangcu. Sekarang perkenankan kami pergi...!” dan begitu Kim-mou-eng menjura di depan ketua Seng-piauw-pang ini dan membalik menyambar sumoinya tiba-tiba pemuda itu telah berkelebat lenyap membuat Seng-piauw-pangcu tertegun melihat bayangan Kim-mou-eng tahu-tahu telah jauh di luar dusun, sekejap kemudian lenyap bayangannya di balik pohon. Dan ketika dia menjublak menarik napas akhirnya kakek ini menggumam kagum memuji kepandaian dua orang suheng dan sumoi itu.

“Hebat, mereka betul-betul orang muda yang hebat. Semoga dapat mengatasi Sai-mo-ong yang berbahaya itu.” dan ketika ketua Seng-piauw-pang ini memasuki tempat tinggalnya mengatur perkumpulan maka jauh di luar sana Kim-mou-eng telah menggandeng sumoinya berlari cepat.

* * * * * * * *

“Sumoi, bagaimana pendapatmu tentang datuk iblis itu? Takutkah kau?”

“Hi-hik, aku tak takut pada siapapun, suheng. Justeru aku ingin cepat-cepat menemui kakek iblis itu untuk mengadu kepandaian!” Salima mengejek, tertawa dingin ketika suhengnya bertanya apakah dia takut atau tidak menghadapi kakek yang membuat Sin-piauw Ang-lojin mengkeret, gentar nyalinya.

Dan ketika enam hari kemudian mereka melakukan perjalanan jauh menuju ke propinsi Se-cuan akhirnya tibalah mereka di daerah yang dinyatakan “lampu merah” oleh ketua Seng-piauw-pang itu.

“Suheng, kita berhenti dulu. Aku ingin menangsel perut!”

Kim-mou-eng mengangguk. Enam hari mereka memang tidak memasuki sebuah kotapun, berjalan keluar masuk hutan dan makan buah-buahan saja dan minum air di sumber yang jernih. Merasa lapar dan haus juga setelah mencium bau masakan sedap di depan sebuah restoran dimana mereka mulai memasuki kota Ceng-tu, berhenti di sebuah rumah makan bertingkat yang tampak penuh tamu. Tanda rumah makan itu memiliki masakan-masakan istimewa yang merangsang pelanggannya.

Dan ketika Salima mengajak dia memasuki rumah makan itu dan gadis Tar-tar ini sudah berjalan melenggang mendahului maka tiba-tiba saja perhatian semua orang yang ada di dalam tertarik menuju pada suheng dan sumoi ini. Salima dan Kim-mou-eng memang cukup menarik perhatian. Betapa tidak, Salima tampak demikian anggun dan memikat gagah dengan kulitnya yang hitam manis itu. Tinggi semampai dengan lenggang seakan macan lapar.

Tak peduli dan sama sekali tak menghiraukan semua mata yang terbelalak kepadanya, kagum dan mulai mendengar bisik-bisik di sana-sini disertai desisan menggoda. Bahkan ada yang berani bersiul ketika gadis itu memasuki rumah makan ini. Sedang Kim-mou-eng yang juga menarik perhatian dengan rambutnya yang kuning keemasan itu dan berjalan tegap di samping sumoinya seolah pasangan serasi bagi gadis Tar-tar ini, membuat beberapa wanita cantik memandang kagum dan iri.

Melihat betapa pemuda itu memiliki ketampanan yang aneh dan mata seperti bintang, berkedip jernih dan tersenyum ketika beradu pandang dengan wanita-wanita muda yang ada di restoran itu. Seketika berbisik-bisik dan ada diantaranya yang terkekeh genit dan melempar senyum pada pemuda ini. Malah yang duduk di sudut memberi kedipan mata segala, sebuah isyarat khusus yang ditujukan pada Kim-mou-eng. Dan Salima yang tentu saja tahu dan panas hatinya melihat semuanya itu lalu mengajak suhengnya naik ke atas.

Tapi sial. Di atas juga penuh tamu. Mereka juga terdiri dari laki-laki dan perempuan. Duapuluh lebih, enam diantaranya wanita cantik yang membawa pedang di punggung. Tanda wanita kang-ouw (persilatan) yang entah dari golongan apa. Dan ketika Salima bingung mencari tempat duduk dan suhengnya juga mengerutkan alis mencari kursi tiba-tiba pelayan datang menghampiri mereka.

“Kongcu (tuan muda), kalian mau makan?”

Kim-mou-eng mengangguk.

“Kalau begitu di bawah saja, kongcu. Ada kursi kosong di sana!”

Kim-mou-eng memandang sumoinya. Tapi Salima yang rupanya sudah mendongkol pada wanita-wanita di bawah yang menggoda suhengnya menolak, tak mau dan meminta pada pelayan agar mengambil meja dan kursi baru saja dibawa ke atas. Dan sang pelayan yang tertegun mengerutkan alis tiba-tiba tertawa, menyeringai kecut.

“Siocia (nona), tempat ini sudah penuh. Mana mungkin menaruh meja kursi baru? Atau kalian tunggu saja sebentar, beberapa diantaranya tentu selesai dan akan segera meninggalkan tempat mereka.”

“Tidak, kalau begitu kita cari rumah makan lain saja, suheng. Rupanya kita kesasar ke tempat yang sudah penuh orangnya.”

Kim-mou-eng setuju. Dia juga tak enak menjadi pusat perhatian semua orang di atas sini, memandangi mereka berdua dan mulai mendengar bisik dan tawa seperti di ruang bawah. Yang laki-laki memandang sumoinya sedang yang perempuan memandangi dirinya. Mereka tampaknya seperti bukan orang baik-baik, terlihat dari gelagat dan sikap mereka yang cengar-cengir. Rupanya mengira dia dan sumoinya adalah kongcu dan siocia yang lagi pelesir.

Maklum, mereka memang tidak membawa senjata dan pakaian mereka juga pakaian orang-orang biasa, bukan orang persilatan karena hal ini disengaja oleh Kim-mou-eng agar tidak mendapat gangguan di tengah jalan. Ogah melayani orang-orang kasar yang bagi mereka hanya menghambat perjalanan saja. Dan ketika pelayan membujuk agar mereka duduk di bawah saja karena di sana ada meja kosong tapi sumoinya tetap menolak tiba-tiba dari bawah muncul tiga wanita cantik yang tadi seorang diantaranya memberi kedipan pada Kim-mou-eng.

“Pelayan, minta saja pada kongcu ini agar duduk bersama kami. Kami mempunyai dua kursi kosong!”

Kim-mou-eng terkejut. Dia melihat tiga wanita ini telah muncul di ujung tangga, langsung tertawa dan mendekatinya. Dan ketika dia terbelalak dan sang pelayan tertegun girang maka wanita di depan yang usianya sekitar duapuluh tiga tahun dan memakai tusuk konde telah menjura di depannya, menawarkan diri.

“Kongcu yang tampan, meja kami cukup besar untuk delapan orang. Kalau kau mau boleh duduk bersama kami!”

Kim-mou-eng terbelalak. Wanita ini menawarkan mejanya cukup sopan, meskipun kerlingnya menyambar-nyambar tapi penawarannya cukup simpatik. Tak menunjukkan kekasaran. Tapi Salima yang sudah mendelik melihat kedatangan tiga wanita cantik ini tiba-tiba mendahului maju berkata ketus, “Kami tak butuh meja orang lain. Kalau kalian mau makan silahkan saja makan sendiri!”

“Hi-hik!” wanita itu tertawa memandang Salima. “Kau siapa, adik manis? Kau bukan orang sini, ya? Perkenalkan, kami Sam-li Huang-ho (Tiga Dewi Sungai Huang-ho) yang ingin baik-baik berkenalan dengan kalian!”

“Tak peduli!” Salima marah. “Kami tak ingin berkenalan dengan siapapun dan tak ingin diganggu. Kalian pergilah!” Salima membentak, terlanjur panas teringat wanita itu memberi kedipan penuh arti pada suhengnya dan bersikap ketus pada lawan.

Dan Sam-li Huang-ho yang tiba-tiba berkilat matanya dan marah memandang Salima mendadak mengerutkan kening berkata dingin, “Kau tak tahu berterima kasih pada maksud baik orang? Kau berani bersikap kasar kepada kami?”

“Kenapa tidak?” Salima menjadi berang. “Aku tak takuti kalian bertiga, Mo-li Huang-ho. Aku tak ingin berterıma kasih pada kalian. Kalian pergilah, cepat sebelum aku marah!” Salima mengganti julukan orang, bukan Sam-li Huang-ho melainkan Mo-li Huang-ho (Iblis Betina Sungai Huang-ho), sebutan yang tentu saja membuat tiga wanita itu gusar bukan kepalang. Apalagi mereka melihat Salima adalah gadis biasa saja, tak menunjukkan gadis kangouw karena tak tampak membawa senjata. Hanya kecantikannya itu saja yang menonjol.

Tapi Kim-mou-eng yang buru-buru melangkah maju dan menghadang di depan sumoinya karena melihat wanita itu siap menyerang sumoinya tiba-tiba tertawa pahit menjura buru-buru. “Nona, maafkan adik perempuanku ini. Kami lagi kecapaian, baru melakukan perjalanan jauh. Maafkan kalau mudah marah dan tersinggung untuk hal-hal yang bisa menimbulkan salah paham. Aku berterima kasih tapi maaf tak dapat memenuhi keinginan kalian. Biarlah kami turun mencari rumah makan lain. Maaf... maaf...!” dan Kim-mou-eng yang sudah membungkuk menarik sumoinya untuk diajak pergi tiba-tiba terkejut melihat seorang laki-laki berkelebat menghadang mereka.

“Ha-ha, dua muda-mudi ini rupanya tak senang padamu, Sam-li Huang-ho. Mereka rupanya terlanjur mendapat kesan jelek. Biar aku saja yang mengundang mereka!” dan sementara Kim-mou-eng mengerutkan kening melihat gejala buruk muncul di tempat itu maka laki-laki ini yang bermuka hitam menjura menghadap sumoinya.

“Nona, meja kami sebenarnya dapat dimuati sepuluh orang. Kami berlima masih mempunyai kursi kosong, Bagaimana kalau kau duduk saja bersama kami?”

Salima melotot. Dia melihat laki-laki bermuka hitam itu mengundangnya manis, tapi matanya melahap tubuhnya dengan kurang ajar itu membuat dia marah. Maka ketika laki-laki itu bertanya dan membungkuk padanya tiba-tiba Salima berkelebat maju menampar laki-laki ini, begitu saja dengan cepat. “Muka hitam, siapa mau tawaranmu yang tengik? Kau kembali saja ke bangkumu. Kami tak butuh budi kebaikan orang... plak!”

Si muka hitam mencelat, terbanting roboh dan tentu saja berteriak kaget melihat Salima menampar mukanya. Tamparan yang membuat mukanya bengkak dan seketika dua giginya tanggal! Dan ketika empat laki-laki lain yang menjadi temannya berseru keras dan melompat maju dengan penuh kaget karena tak mengira Salima memiliki gerakan demikian cepat tiba-tiba semua tamu menjadi gempar dan ribut.

Kim-mou-eng terkejut. “Sumoi, jangan membuat onar...!”

Namun Salima berdiri tegak. Gadis ini berapi-api memandang lawannya, melihat si muka hitam melompat bangun dan kini maju dengan empat orang temannya itu laki-laki tinggi besar yang marah kepadanya, melotot dan beringas membuat para tamu menghentikan makannya. Maklum bahwa perkelahian sengit tentu tak dapat dihindarkan lagi.

Tapi sebelum mereka menyerang dan mengepung gadis Tar-tar ini tiba-tiba satu dari enam wanita kangouw yang duduk di meja makannya bangkit berdiri, berseru nyaring, “Hek-houw (Harimau Hitam), tinggalkan gadis itu jangan membuat ribut di sini. Kami tak ingin terganggu!”

Dan ketika Hek-houw tertegun dan berhenti dengan muka terkejut tiba-tiba seorang pemuda muncul dan tertawa menyambung seruan wanita yang berseru lantang tadi, “Benar, tak perlu membuat ribut di tempat ini, Hek-houw. Kalian pergi saja turun baik-baik. Ayo...!”

Hek-houw tampak semakin terkejut. Dia pucat melihat kedatangan pemuda terakhir ini, pemuda tampan membawa kipas. Mukanya putih namun sinar matanya bergerak-gerak liar, membawa seekor ular yang masih hidup, membelit lengannya dan tampak mendesis-desis menjulurkan lidahnya yang bercabang. Dan ketika Hek-houw mengangguk dan meloncat turun diikuti temannya tanpa banyak cakap lagi mendadak Sam-li Huang-ho juga hilang kegarangannya melihat munculnya pemuda ini.

“Kongcu, selamat datang!”

Pemuda itu tertawa tak acuh. “Kalian juga di sini, Sam-li Huang-ho?”

“Maaf, kami...”

“Tak usah, kalian sebaiknya juga pergi dari sini, Sam-li Huang-ho. Aku jadi sebal setelah melihat tampang Hek-houw tadi. Cepat!”

“Baik... baik, kongcu. Maaf kalau kami mengganggu!” dan begitu tiga wanita ini menjura memutar tubuhnya tiba-tiba mereka pun turun seperti si muka hitam tadi, tampak ketakutan dan tak berani main-main pada pemuda yang membawa kipas dan ular ini.

Dan ketika semua tamu yang ada juga buru-buru menuruni tangga loteng kecuali enam wanita berpedang tadi maka pemuda bermuka putih ini telah menghampiri Kim- mou-eng dan sumoinya, diikuti enam wanita cantik yang kagum bersinar-sinar memandang Pendekar Rambut Emas itu, berdiri di belakang pemuda ini. Dan begitu mereka saling berhadapan maka pemuda yang baru muncul ini menjura, menghadapi Salima.

“Nona, namaku Bu Ham. Orang memanggilku Bu Ham-kongcu atau Bu-kongcu. Kau siapa dan bagaimana gadis secantik ini ada di wilayah Ceng-tu?”

Salima tak menjawab. Dia beradu pandang dengan mata pemuda bermuka putih itu, langsung mengetahui bahwa dia berhadapan dengan seorang tokoh muda berkepandaian tinggi. Terbukti pemuda itu memiliki mata yang tajam penuh getaran sinkang, berkilat dan aneh tapi liar. Dan Salima yang tegak membusungkan dada tiba-tiba mengejek dan tidak menggubris sama sekali!

Bu-kongcu tersenyum. Dia tidak marah seperti yang diharap Salima, karena Salima memang bersikap dingin agar lawan marah kepadanya. Langsung melepas pukulan agar kemarahannya juga terlampiaskan. Maklum, pukulan yang siap dilontarkan pada Hek-houw dan kawan-kawannya tadi batal gara-gara kedatangan pemuda ini. Padahal dia ingin menghajar siapa saja yang membuat dia gusar. Maka melihat pemuda itu tersenyum dan tidak marah seperti yang diharap tiba-tiba Salima malah tertegun ketika pemuda itu mengulang kata-katanya.

“Nona, aku Bu Ham-kongcu. Bagaimana jika kuundang makan bersama? Perkenalkan, mereka ini murid-murid Tok-gan Sin-ni (Wanita Sakti Bermata Satu) yang baru saja datang ke Ceng-tu. Mereka sahabatku, boleh makan bersama kalau kau mau.”

Salima jadi semburat. Dia tak mengenal siapa itu Tok-gan Sin-ni, tak tahu bahwa wanita yang disebutkan itu adalah satu dari Jit-mo Kang-ouw, jadi seorang tokoh yang setingkat dengan Sai-mo-ong! Dan ketika Salima tertegun tapi tampaknya tidak mengenal siapa itu Tok-gan Sin-ni tiba-tiba pemuda bermuka putih yang tertawa ini sudah menyambar lengannya.

“Nona, mari duduk bersamaku!”

Salima terkejut. Sekarang dia sadar, melihat Bu Ham-kongcu menyambar lengannya untuk ditarik ke meja makan. Dan Salima yang tentu saja marah melihat perbuatan ini tiba-tiba mendengus dan menangkis mengerahkan sinkangnya.

“Duk!” Pemuda muka putih itu kaget. Dia tergetar dan terdorong mundur dua langkah, merasa betapa tenaga yang kuat menolak tenaganya sendiri. Kuat dan tangguh! Dan sementara dia terbelalak berseru tertahan maka Kim-mou-eng yang melihat sumoinya menjengek dan siap mengejek lawan tiba-tiba maju ke depan meredakan ketegangan.

“Bu-kongcu, maafkan sikap sumoiku ini. Kami tak ingin mencari keributan, terima kasih atas maksud baikmu mengundang kami!”

“Hm, siapa kau?” Bu-kongcu melebarkan matanya, masih tertegun oleh tangkisan Salima yang memiliki sinkang demikian kuat. Menggetarkan dan membuat dia terdorong mundur, terbelalak memandang Kim-mou-eng yang kini melerai di depan dan tampaknya penakut sekali. Tak tahu bahwa Kim-mou-eng tak ingin ribut-ribut di tempat itu dan tak menginginkan sumoinya membuat onar.

Dan ketika Kim-mou-eng tertawa dan menyeringai kecut menjura di depan pemuda ini maka berkatalah si Rambut Emas itu dengan penuh kesabaran, “Kami dua kakak beradik yang merantau tanpa tujuan, Bu-kongcu. Tak ingin mengganggu tapi tak senang pula diganggu. Sebaiknya kami pergi saja sebelum terjadi kesalahpahaman yang tiada guna. Maaf!” dan Kim-mou-eng yang lagi-lagi memberi hormat di depan Bu-kongcu tiba-tiba mendapat jengekan pendek ketika pemuda muka putih itu mengulurkan lengannya, mencengkeram leher Kim-mou-eng.

“Aku tak tanya siapa kalian, sobat. Tapi bertanya siapa dirimu. Kau pribadi!” dan ketika lengan itu bergerak menjulur ke depan dan siap menyentuh leher Kim-mou-eng mendadak ular yang membelit di lengan Bu-kongcu itu bergerak mematuk leher pemuda ini. Jadi dua serangan sekaligus!

“Bu-kongcu, jangan...!”

Kim-mou-eng terkejut. Dia pura-pura bodoh oleh serangan jari dan ular yang bergerak menyertai tuannya ini, siap meniup dan mengerahkan sinkang melindungi leher. Tapi wanita baju kuning yang berteriak di depan dan merupakan wanita pertama yang tadi mencegah Hek-houw tiba-tiba sudah berkelebat menampar, menangkis serangan Bu-kongcu ini.

“Plak!”

Dua orang itu tergetar mundur. Bu-kongcu terhuyung, terbelalak marah melihat tangkisan ini. Tapi ketika wanita itu berdiri tegak di depan Kim-mou-eng dan jelas melindungi pemuda berambut emas itu tiba-tiba Bu-kongcu tertawa bergelak.

“Leng Hwat, kau membela pemuda ini?”

Leng Hwat, wanita cantik itu tersenyum dingin. “Ya, kalau kau hendak membunuhnya, orang she Bu. Tapi kalau tidak tentu juga tidak. Kita sama-sama sekarang, kau dapat mengundang sumoinya itu kalau kau membiarkan pemuda ini menjadi tamu undangan kami!”

“Ha-ha, kau betul, Leng Hwat. Kenapa aku hampir lupa? Kita memang sama-sama mendapat seorang dari mereka. Kita tak boleh berkelahi!” dan ketika Bu-kongcu terbahak gembira memandang murid Tok-gan Sin-ni itu tiba-tiba dia kembali menghadapi Kim-mou-eng.

“Kalian mau makan bersama kami? Kami undang satu meja, kalian berdua!”

“Tidak,” Kim-mou-eng sudah merasa tak enak. “Kami buru-buru, kongcu. Terima kasih dan biar lain kali saja.”

“Hm, kau takut?”

Salima marah. Dia melihat suhengnya itu terlalu mengalah, kelewat sabar dan agaknya tak tersinggung oleh kata-kata yang menghina itu. Menyangka mereka takut! Maka sebelum suhengnya menjawab dan pemuda muka putih itu mengejek mereka dengan pandangan menyipit tiba-tiba gadis ini maju ke depan tampil bicara, nyaring melengking,

“Bu-kongcu, kami tak mengenal takut biar kepada iblis sekalipun! Siapa takut menerima undangan kalian? Suhengku ini memang mengalah. Biar aku mewakili dirinya menjawab pertanyaan kalian. Kami tak takut, kami mau!”

Bu-kongcu tertawa bergelak. Dia berseri memandang gadis tinggi semampai ini, gadis yang menarik perhatiannya karena mampu membuat dia terdorong mundur dalam adu pukulan tadi. Gadis yang memiliki sinkang kuat! Maka mendengar Salima menyambut ejekannya dengan kata-kata lantang tiba-tiba pemuda ini gembira bukan main, bertepuk tangan. “Bagus, kau memang gagah, nona. Kalau begitu mari, duduk bersama kami...!” dan Bu-kongcu yang sudah mempersilahkan tamunya duduk di meja besar yang ditunjuk lalu memanggil pelayan menyiapkan hidangan-hidangan baru setengah berteriak, “Hei, bawa semua yang paling baik dari masakan kalian. Juga arak hitam!”

Kim-mou-eng tertegun. Dia sebenarnya menyesal kenapa sumoinya itu terpancing umpan yang dilepas lawan. Sadar bahwa Bu-kongcu itu sengaja mengeluarkan kata-kata mengejek untuk memerahkan telinga. Tapi karena semuanya terlanjur dan sumoinya itu menarik lengannya untuk diajak duduk di meja yang dipersilahkan tanpa takut sedikitpun juga akhirnya pendekar ini menegur sumoinya dengan pandangan mata, berbisik perlahan,

“Sumoi, kau terlalu ceroboh. Kita belum mengenal siapa sebenarnya Bu-kongcu ini...!”

Pendekar Rambut Emas Jilid 04

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 04
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“TIDAK,” Hong Jin sang sute masih tenang saja. “Kami tidak mengeroyok, suheng. Tapi peraturan dalam pibu itu memaksa kami untuk menghadapimu secara berbareng. Bukankah disebut siapa yang ingin menggantikan ketua lama boleh saja menghadapimu tanpa batas? Peraturan itu tak menyebut pertempuran seorang lawan seorang, suheng. Ingat selama ini kamilah yang bodoh tak menghayati arti peraturan itu.”

“Gila!” Sin-piauw Ang-lojin membentak. “Itu alasan kalian yang dicari-cari, sute. Itu bukan kegagahan yang seharusnya ditunjukkan anggota Seng-piauw-pang!”

“Kalau begitu kau mundur saja secara baik-baik, suheng. Kami semua ternyata sepakat untuk merubah kebijaksanaan yang selama ini dijalankan. Kau mengucilkan kami semua anggota. Kami tak setuju caramu memimpin.”

Sin-piauw Ang-lojin mendelik. Dia tak menyangka sutenya nomor dua itu akan mengajukan diri dengan cara demikian curang. Terang-terangan mengeroyok secara bertiga. Tak tahu malu. Rupanya sudah sedemikian gelap pikirannya untuk merebut kedudukan Seng-piauw-pangcu (ketua Seng-piauw-pang). Menghasut pula sebagian besar anggota hingga mereka memberi dukungan suara. Mungkin dengan cara tak wajar juga. Dan Sin-piauw Ang-lojin yang mendadak marah besar tiba-tiba membanting kakinya di lantai panggung.

“Hong Jin-sute, rupanya kau mau memberontak. Sungguh tak kunyana bahwa untuk memperebutkan kedudukan ketua, kau jadi manusia demikian licik! Begitukah dulu mendiang suhu mengajari kita? Begitukah seharusnya watak orang-orang Seng-piauw-pang yang selama ini selalu kudengung-dengungkan sebagai perkumpulan orang gagah? Tidak, aku siap menghadapi pibu dengan siapapun, sute. Tapi kegagahan dalam adu kepandaian ini harus tetap dijaga. Pibu adalah seorang lawan seorang. Tak ada pibu yang dilakukan dengan cara keroyokan. Itu bukan pibu!”

“Hm, kau takut, suheng? Kalau begitu serahkan saja baik-baik kedudukan ketua itu. Atau Seng-piauw-pang boleh kita pecah menjadi dua. Kau dengan lima puluhan anggotamu sedang aku dengan sisanya dua ratus lima puluh lebih!”

“Keparat!” kakek tinggi besar ini semakin murka. “Aku tak takut menghadapi kalian, sute. Tapi cara yang kalian peroleh di tempat ini bukan cara yang baik. Kalian pengecut dan licik sekali!”

“Kalau begitu kau mundurlah, suheng. Atau Seng-piauw-pang boleh kita pecah menjadi dua.”

“Tidak!” Sin-piauw Ang-lojin membentak. “Perkumpulan kita harus tetap utuh, sute. Kau tak dapat memecahnya seenak udelmu sendiri. Kau justeru harus dihukum, niat dan kata-katamu ini mengandung unsur jahat!”

“Hm,” Hong Jin sang kakek bermuka kuning tertawa mengejek. “Kau tak perlu marah-marah kepadaku, suheng. Kalau kau ingin kita bertanding satu lawan satu boleh juga. Aku tak takut. Aku telah memiliki sesuatu untuk menghadapimu!” dan, sementara suhengnya mendelik dan marah-marah di atas panggung tiba-tiba Hong Jin wakil ketua Seng -piauw-pang ini menjejakkan kakinya, melayang naik ke panggung luitai dan langsung menghadapi semua orang di bawah. Dan ketika suhengnya melotot dan dua orang sutenya memberi isyarat di bawah panggung kakek ini sudah bertanya mengangkat lengannya.

“Saudara-saudara, siapa yang kali ini kalian pilih? Aku ataukah Ang-lo-suheng?”

Wan Tiong Lojin langsung berseru, memberi ledakan pertama, “Kau, Hong Jin-suheng. Ang-lo-suheng sebaiknya mengundurkan diri!”

“Benar,” Ki Siong Cinjin menyulut ledakan kedua. “Kau yang kami pilih, Hong Jin-suheng. Ang-lo-suheng sudah cukup memimpin dan sebaiknya menyerahkan tongkat estafet kepemimpinannya kepada yang lebih muda!”

Dan ketika dua orang ini memberi aba-aba dan memandang penuh ancaman semua anggota Seng-piauw-pang yang duduk berlutut tiba-tiba semua yang dipandang menyerukan pendapatnya dengan suara nyaring tapi dibuat-buat. Dan Sin-piauw Ang-lojin yang tentu saja dapat merasakan ketidakberesan itu tiba-tiba menggebrak menepuk kedua tangannya.

“Kerbau-kerbau bodoh, kalian sudah tidak menghargai aku lagi secara demikian terang-terangan? Kalian berani menghina ketua kalian dengan cara begini?”

Tapi Hong Jin sang kakek bermuka kuning buru-buru berseru, “Tak perlu main gertak. Hari ini kedudukan ketua sedang kosong, suheng. Kau hanya menjadi pemimpin sementara sebelum ketua baru diresmikan!”

Sin-piauw Ang-lojin melotot. Dia hampir tak kuat lagi menahan diri. Tapi begitu bentrok dengan pandangan Kim-mou-eng secara tak sengaja tiba-tiba kakek ini teringat dan memandang tamunya itu, menggeram mengepal tinju. “Kim-mou-eng, bagaimana pendapatmu tentang omongan suteku ini?”

Kim-mou-eng ragu.

“Tak perlu ragu. Kau telah kuminta menjadi wasit kehormatan, Kim-mou-eng. Katakan terus terang saja bagaimana pendapatmu tentang urusan ini!”

Kim-mou- eng bangkit berdiri. “Sutemu licik, pangcu. Terus terang aku tak suka pada sikap dan perkataanya. Dia rupanya sengaja mengadakan teror untuk memecah belah Seng-piauw-pang yang kau pimpin!”

“Nah, dengar?” Sin-piauw Ang-lojin menegur sutenya, memandang marah, “Kim-mou-eng telah menilai sikap dan kata-katamu, sute. Kalau bukan orang sendiri tentu sudah kubunuh kau!”

“Hm!” Hong Jin sang kakek bermuka kuning menjengek. “Kim-mou-eng boleh bicara apa saja tentang diriku, suheng. Tapi dia adalah orang luar yang tidak berhak mencampuri urusan kita. Ini adalah urusan rumah tangga Seng-piauw-pang. Kalau dia mau usil lebih baik cari saja tempat lain!”

Kim-mou-eng merah mukanya. Dan Salima yang marah melihat suhengnya disinggung tiba-tiba membentak, “Hong Jin tua bangka, kami ke sini adalah atas undangan kalian. Kalau kalian tidak suka kami juga tidak akan datang kemari!” dan, sementara orang terkejut oleh kata-kata nyaring yang mengejutkan ini mendadak Salima menyambar suhengnya, diajak keluar.

Tapi Sin-piauw Ang-lojin yang berseru keras mencegah mereka, “Nona, jangan pergi. Justeru aku mengundang kalian karena aku melihat gejala-gejala tak baik dalam tubuh perkumpulanku. Maafkan suteku yang kurang ajar!”

Salima melotot. Maunya dia pergi saja, tapi sang suheng yang dapat melihat ketidakberesan di tempat itu berkata padanya, “Sumoi, rupanya Ang-lojin adalah orang gagah sejati. Aku memang melihat yang tidak baik di sini. Sebaiknya tunggu, kita bantu kakek itu kalau tiga orang sutenya memberontak!”

Salima duduk kembali. Kim-mou-eng telah menyabarkannya dengan cengkeraman lembut, menekan pundaknya agar tenang di tempat. Tapi Hong Jin si kakek bermuka kuning yang rupanya tak senang melihat dua orang muda ini datang ke tempat itu tiba-tiba menjengek,

“Kenapa tak pergi saja, Kim-mou-eng? Apakah kalian kehabisan bekal hingga perlu uluran tangan kami? Kalau begitu Ki Siong Cinjin dapat membantumu, minta saja sedekah padanya!” dia bertepuk tangan memberi isyarat pada sutenya nomor empat agar membawa sekantung uang tiba-tiba kakek bermuka kuning itu tertawa mengejek, sengaja memanaskan Salima agar terbakar dan pergi dari tempat itu.

Tapi Sin-piauw Ang-lojin yang menggeram membentak pada sutenya tiba-tiba menyambar kantung uang itu dilempar ke atas. “Sute, jangan menghina tamu Seng-piauw-pang!”

Hong Jin sang sute terkejut. Dia melihat suhengnya telah berdiri dengan muka berapi-api, marah sekali padanya. Tapi Salima yang keburu melayang ke panggung luitai karena marah oleh ejekan kakek bermuka kuning ini tiba-tiba telah berkelebat menampar kakek itu.

“Hong Jin tua bangka, aku tak butuh uang sedekahmu...!”

Kakek itu terkejut. Dia melihat bayangan Salima terbang seperti burung, menampar bagai kelepak sayap rajawali dengan pukulan panas. Tapi karena dia tak tahu sampai dimana kepandaian gadis ini dan Salima memang baru saja “mengorbit” di daratan Tionggoan maka dengan berani dia menangkis tamparan itu, mengibaskan ujung lengan bajunya.

“Plak!” Dan kakek bermuka kuning ini berseru kaget. Dia terpental dan nyaris terjengkang ke pinggir luitai, tak menyangka demikian dahsyat pukulan gadis Tar-tar itu. Pedas dan membuat ujung lengan bajunya robek. Hangus seketika itu juga karena Salima mempergunakan pukulan Telapak Petir, Tiat-lui-kang yang mengejutkan semua orang karena telapak tangannya tadi mengeluarkan sinar yang berkeredep bagai kilatan petir sendiri. Panas dan membuat panggung tergetar akibat ledakan tadi. Dan Hong Jin si kakek bermuka kuning yang tentu saja kaget dan mundur ke belakang tiba-tiba pucat melihat pergelangan tangannya juga gosong menerima tamparan itu!

“Aah...!” Hong Jin terbelalak. Dia tak menduga kehebatan gadis Tar-tar ini, juga keganasannya, melihat Salima berdiri tegak di atas panggung dengan mata berapi-api, mirip harimau betina haus darah! Dan Hong Jin si kakek bermuka kuning yang tentu saja tertegun oleh gebrakan pertama ini tiba-tiba melihat bayangan Kim-mou-eng berkelebat ke panggung luitai, ringan dan cepat seperti gerakan iblis, menyambar sumoinya itu.

“Sumoi, turunlah. Biarkan Sin-piauw Ang-lojin menghadapi sutenya!”

Seruan ini menyadarkan ketua Seng-piauw-pang itu. Sin-piauw Ang-lojin memang terkejut juga oleh naiknya Salima menyerang sutenya, kaget melihat pukulan Telapak Petir menghancurkan baju sutenya, terbelalak melihat pergelangan tangan sutenya juga gosong. Maka mendengar seruan Kim- mou-eng yang sudah membawa turun sumoinya yang marah-marah segera sadarlah kakek gagah bermuka merah ini.

“Benar, kau duduklah yang tenang di bawah nona. Biarkan aku menghadapi suteku yang memberontak ini. Maafkan kata-katanya yang kurang ajar!” dan Sin-piauw Ang-lojin yang sudah membentak sutenya menegur sikapnya yang tidak sopan akhirnya berdiri berhadap-hadapan dengan adiknya yang sudah hilang kagetnya itu, melihat Salima sudah turun dibawa Kim-mou- eng. Dan begitu kakek tinggi besar ini menghadapi sutenya langsung saja dia menghardik, “Sute, apa maumu dengan membuat kekacauan ini? Kenapa kau menghina tamu?”

“Hm,” Hong Jin berkilat matanya. "Aku tak menganggap dua orang itu tamu Seng-piauw-pang, suheng. Yang menganggap tamu adalah kau, bukan aku. Aku menganggap mereka pengacau.”

“Tutup mulutmu!” Sin-piauw Ang-lojin membentak marah. “Sekarang mari kita selesaikan urusan kita, sute. Kau boleh menghadapiku seorang lawan seorang atau maju bertiga seperti keinginanmu tadi. Tak perlu bicara macam-macam. Kau murtad, aku hendak menghukummu!”

Hong Jin tertawa mengejek. Kakek bermuka kuning ini bersikap tenang, mengedip pada dua adiknya di bawah. Dan ketika kakaknya menunggu dan Sin-piauw Ang-lojin sudah bersiap menghadapi sutenya ini maka Hong Jin berseru, “Sam-te, su-te, biarlah kalian di bawah dulu. Kalau suheng terlalu kuat bolehlah kalian bantu aku untuk menundukan si pongah ini...!”

Wan Tiong Lojin dan Ki Siong Cinjin mengangguk. Mereka mendapat isyarat untuk berjaga-jaga, terhadap Kim-mou-eng dan sumoinya, ikut terkejut melihat gerakan Salima yang demikian cepat menyerang suhengnya itu. Dapat melihat bahwa rupanya gadis Tar-tar berjuluk Dewi Bertangan Besi ini rupanya memang betul-betul hebat.

Terbukti memiliki pukulan Tiat-lui-kang yang begitu ampuh. Juga ginkangnya yang demikian luar biasa, seperti walet menyambar atau burung srikatan. Dan maklum bahwa rupanya Tiat-ciang Sian-li Salima itu rupanya betul-betul berkepandaian tinggi dan ji-suhengnya (kakak nomor dua) itu minta pada mereka secara rahasia untuk menjaga gadis Tar-tar ini akhirnya Wan Tiong Lojin dan Ki Siong Cinjin memecah perhatian mereka.

Saat itu Hong Jin telah menghadapi twa-hengnya. Dua kakak beradik itu telah saling berhadapan. Sin-piauw Ang-lojin menggereng, marah benar pada adiknya nomor dua ini. Dan ketika sang sute sudah bersiap-siap dan mereka berdua sudah saling pandang dengan mata seperti harimau mencari mangsa, akhirnya kakek tinggi besar bermuka merah ini membentak mengibaskan lengan bajunya.

“Sute, kau mulailah. Aku akan mengalah padamu selama tiga jurus!”

Hong Jin tertawa mengejek. Dia menjura, membungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat. Tapi begitu membentak melempar lengan mendadak kakek bermuka kuning ini telah menyerang suhengnya tanpa banyak basa-basi, langsung berkelebat menghantam lambung ketua Seng-piauw-pang itu. Dan karena gerakan ini tanpa diberi aba-aba dan Sin-piauw Ang-lojin juga tak menyangka sutenya menyerang di saat menjura maka tak pelak lagi ketua Seng-piauw-pang itu menerima pukulan.

“Desss...” Sin-piauw Ang-lojin terpental. Kakek gagah itu nyaris terguling, tentu saja memaki dan berteriak marah pada sutenya. Tapi begitu Hong Jin mengejar dan berkelebat ke depan tahu-tahu serentet pukulan menyambar bertubi-tubi ke arah ketua Seng-piauw-pang itu. Tak memberi ampun. Tak memberi kesempatan dan membuat Sin-piauw Ang-lojin memekik karena kembali beberapa pukulan mengenai tubuhnya, membuat kakek gagah ini terhuyung dan sekali malah terjengkang. Tapi begitu tiga jurus lewat dan Sin-piauw Ang-lojin menggereng membentak marah tiba-tiba ketua Seng-piauw-pang ini membanting kakinya balas menyerang.

“Sute, kau curang. Kau sekarang licik! Dess...!”

Hong Jin tergetar. Dia menyerang tanpa banyak cakap lagi, terbelalak melihat suhengnya kebal menerima semua pukulannya dan kini bangkit bagai beruang murka, diam-diam terkejut karena suhengnya tetap lihai. Tetap tangguh! Dan ketika Sin-piauw Ang-lojin melejit dan kini balas menyerang sutenya nomor dua itu dengan kedua lengan menyambar-nyambar serta kaki bergerak naik turun bagai gajah diseruduk singa mendadak kakek bermuka kuning ini terdesak, beberapa detik saja.

“Des-plak!”

Hong Jin menerima pukulan. Untuk pertama kali kakek bermuka kuning itu terhuyung, tergetar oleh balasan suhengnya. Tapi ketika dia berlompatan dan Sin-piauw Ang-lojin menggereng-gereng melancarkan pukulannya tiba-tiba kakek ini membentak mengeluarkan sesuatu. “Suheng, kau keluarkan senjatamu. Aku ingin menghadapi Sin-piauw Kun-hoatmu (Silat Pisau Sakti)!”

Sin-piauw Ang-lojin tak menjawab. Dia melihat sutenya itu telah mengeluarkan sebuah senjata aneh, sebuah golok tombak karena di ujung golok itu terpasang mata tombak yang lancip. Heran, bagaimana sutenya itu dapat mempunyai senjata baru ini. Senjata yang belum pernah dilihat. Tapi karena bertangan kosong saja dia mampu mendesak sutenya itu dan sang sute berlompatan ke sana ke mari menghindarkan diri maka kakek tinggi besar ini berseru,

“Tak perlu, aku ingin menghajarmu dengan tangan kosong, sute. Kalau kau mau mainkan senjatamu itu boleh saja kau pergunakan...wut-plak!”

Hong Jin si kakek muka kuning lagi-lagi mendapat pukulan, terpental dan marah melihat suhengnya merangsek, melihat dia semakin terdesak dan terdesak saja. Tapi karena ingin memperoleh kemenangan dan suhengnya itu tak mau mengeluarkan senjata mendadak kakek muka kuning ini mengejek. “Baiklah, kalau begitu jangan salahkan aku, suheng. Kalau kau roboh itu tandanya kedudukan ketua harus kau serahkan baik-baik padaku, awas...ciit!”

Dan golok-tombak yang tiba-tiba bergerak menangkis pukulan Sin-piauw Ang-lojin yang saat itu menampar sutenya sekonyong-konyong disambut mata tombak yang menusuk telapak tangannya.

“Crep!” Sin-piauw Ang-lojin menakup. Dia langsung menutup jari-jarinya, mencengkeram golok-tombak yang matanya menusuk telapak tangannya itu. Tapi begitu dia menyeringai dan siap mengejek sutenya tiba-tiba Hong Jin si kakek muka kuning memencet tombol di gagang golok, kecil saja, tak terlihat karena tak kentara, dipasang secara rahasia.

Dan begitu kakek muka kuning ini menyeringai keji mendadak dari dalam mata tombak meluncur halus jarum beracun yang langsung menyengat suhengnya itu, tak terlihat dari luar karena tersembunyi di balik cengkeraman jari-jari ketua Seng-piauw-pang ini. Dan begitu jarum menembus telapak suhengnya karena jarum itu halus dan kecil sebesar rambut tiba-tiba Sin-piauw Ang lojin mengaduh dan melepaskan mata tombak yang dicengkeramnya, langsung bengkak telapak tangannya!

“Aduh...!”

Semua orang terkejut. Mereka melihat kakek tinggi besar itu terbelalak kaget, tak tahu bahwa secara curang ketua Seng-piauw-pang ini “disengat” senjata rahasia, dari balik mata tombak. Dan mengira Sin-piauw Ang-lojin tak kuat menahan keampuhan senjata di tangan sutenya dan Hong Jin tertawa bergelak melihat suhengnya tersentak tiba-tiba semua orang melihat ketua Seng-piauw-pang itu tehuyung limbung, memencet pergelangan tangannya sambil memaki, tampak pucat.

“Sute, kau keji...!”

Hong Jin sang kakek bermuka kuning tertawa tak peduli. Dia girang bahwa tak ada orang lain tahu perbuatannya tadi. Bahkan Kim-mou-eng pun juga tidak. Begitu pula Salima. Maklum kecurangan ini dilakukan di luar pengetahuan orang karena semuanya berlangsung secara rahasia. Dan Sin-piauw Ang-lojin yang terhuyung pucat memegangi tangannya yang bengkak tiba-tiba sudah diserang sutenya itu, mengelak dan kini tak berani menangkis atau menangkap senjata yang mengandung alat rahasia itu. Dan karena kakek gagah ini merasa tangannya pedih dan tubuh tiba-tiba menggigil seperti orang kena demam tanda dari racun yang terbawa jarum mulai memasuki tubuhnya maka beberapa jurus kemudian Sin-piauw Ang-lojin terdesak.

“Ha-ha, kau cabut senjatamu, suheng. Ayo mainkan Sin-piauw Kun-hoat agar kukalahkan sekalian...!” kakek bermuka kuning ini pura-pura berseru, terus merangsek dan bertubi-tubi menyerang suhengnya dengan senjata yang berbahaya itu, melihat suhengnya semakin payah dan kedinginan serta terhuyung-huyung.

Dan ketika Sin-piauw Ang-lojin marah dan mencabut senjatanya berupa pisau bintang yang gagangnya terbuat dari gading tiba-tiba kakek ini menggereng menggerakkan senjata itu dengan tangan kiri, karena tangan kanan tak dapat dipakai lagi dan semakin lumpuh. “Sute, kau rupanya berhati busuk. Kau sekarang juga culas dengan main senjata gelap segala!”

“Ha-ha, tak perlu mengomel kalau kekalahan di ambang mata, suheng. Kau sendiri yang salah tidak lekas-lekas mencabut senjatamu!”

Sin-piauw Ang-lojin membentak. Dia masih memiliki kekuatan juga, menerjang dan menyambut serangan sutenya. Memutar pisau panjang itu yang tiba-tiba berkilauan memanjang, naik turun bergulung-gulung dan sebentar kemudian lenyap merupakan cahaya putih yang membendung senjata sutenya. Mematuk dan membabat hingga berkali-kali golok-tombak di tangan lawan terpental, bertemu tenaganya yang masih dahsyat dan hebat. Tapi ketika si kakek muka kuning kembali melepas jarum-jarum rahasia yang halus dan mengenai tubuh ketua Seng-piauw-pang itu menyusup di bawah kulit mendadak Sin-piauw Ang-lojin meraung,

“Sute, kau keparat jahanam...!”

Hong Jin sang kakek bermuka kuning tertawa bergelak. Dia telah melepas tiga jarum rahasianya sekarang, menancap di bagian depan tubuh suhengnya hingga bagian itu membengkak, menimbulkan rasa nyeri dan panas berganti-ganti. Membuat tubuh seakan meriang dan tentu saja mengganggu keadaan kakek gagah ini. Dan ketika Sin-piauw Ang-lojin mulai gemetar karena empat jarum beracun itu melumpuhkan tenaganya tiba-tiba untuk terakhir kalinya kakek ini menjerit ketika jarum kelima dilepaskan mengenai lehernya.

“Crep!” Jarum itu amblas. Sin-piauw Ang-lojin memekik, roboh terjungkal dan melepaskan pisau panjangnya karena dia sekarang benar-benar sudah tak tahan lagi. Kaget bahwa sutenya demikian jahat. Tak segan melakukan kecurangan dengan menembakkan jarum-jarum halus dari balik mata tombak, tentu saja tak dapat dielak karena mereka melakukan pertempuran jarak dekat.

Dan begitu dia roboh terguling dan Hong Jin si kakek muka kuning tertawa penuh kemenangan tiba-tiba dengan keji kakek ini berkelebat melepas jarum terakhir, pura-pura menotok dengan mata tombak tapi sebenarnya melepas jarum berbisa ke dahi suhengnya. Satu serangan maut yang tentu tak mungkin menyelamatkan ketua Seng-piauw-pang itu.

Tapi Kim-mou-eng yang rupanya sudah melihat kecurangan ini dan kaget oleh menyambarnya sinar halus yang hampir tak tertangkap mata karena jarum itu memang kecil dan lembut mendadak sudah melompat ke depan mengebutkan ujung bajunya, menangkis dan ingin mengetahui senjata rahasia macam apa itu. “Hu-pangcu (wakil ketua), kau benar-benar tak tahu malu. Tahan kekejianmu... plak!”

Hong Jin terkejut. Dia melihat Kim-mou-eng menangkis serangannya, membuat dia terdorong dan jarum rahasianya kini menancap di ujung baju pemuda itu, kaget bukan main. Kaget karena dua saudaranya tak sempat mencegah majunya Pendekar Rambut Emas ini dan dia tertolak mundur oleh kibasan lengan baju itu. Dan ketika kakek muka kuning ini berseru marah berdiri tegak, maka di saat itulah Kim-mou-eng telah melihat jarum rahasianya, disusul bayangan Salima yang melayang naik ke atas panggung.

“Suheng, apa itu?”

Kim-mou- eng memperlihatkan jarum di telapak tangannya. Dia sekarang marah pada kecurangan wakil ketua Seng-piauw-pang ini dan Salima yang juga tertegun melihat jarum itu mendadak marah besar seperti suhengnya. “Tua bangka, kau manusia keji terkutuk!”

Hong Jin mencelos. Dia terkejut melihat naiknya dua orang muda ini, tapi Wan Tiong Lojin dan Ki Siong Cinjin yang rupanya tersentak melihat majunya Kim-mou-eng dan Salima yang lolos dari pengawasan mereka tiba-tiba melompat naik ke panggung luitai, membentak nyaring, “Tiat-ciang Sian-li, kalian sebaiknya turun. Pibu ini telah berakhir...!”

Salima gusar. Dia langsung menyambut naiknya dua orang kakek itu dengan pukulan tangan kiri, mengerahkan Tiat-lui-kangnya. Dan begitu balas membentak dan menyuruh kakek itu saja yang turun tahu- tahu gadis Tar-tar ini telah menyerang Wan Tiong Lojin dan Ki Siong Cinjin. “Orang-orang keparat, kalian saja yang turun...dess-plak!”

Wan Tiong Lojin dan sutenya terkejut. Mereka terang menangkis, mengebutkan ujung baju menahan pukulan ini. Tapi begitu mereka terpental dan ujung baju hangus oleh tamparan Tiat-lui-kang sekonyong-konyong mereka berteriak kaget ketika tubuh meluncur kembali ke bawah, terpaksa berjungkir balik dan turun di tempat semula, pucat dan kaget. Dan ketika Salima berdiri berapi-api dengan penuh kemarahan memandang mereka semua maka Kim-mou-eng melompat di depan Sumoinya ini.

“Sumoi, biarkan aku menghadapi orang-orang ini. Kau tolonglah dulu Seng-piauw-pangcu!” Kim-mou-eng memberikan obat, mendorong sumoinya mundur dan sudah menghadapi si kakek muka kuning yang terbelalak memandang mereka. Dan ketika Salima mengangguk tapi tidak puas memandang kakek muka kuning itu untuk menolong Sin-piauw Ang-lojin maka Pendekar Rambut Emas ini telah menegur Hong Jin.

“Orang tua, kau sunguh tidak malu mencurangi ketuamu sendiri. Bukankah Sin-piauw Ang-lojin juga suhengmu sendiri? Kenapa melakukan perbuatan tak terpuji dengan menyerangnya begitu licik?”

Kakek muka kuning ini melotot. “Itu urusan kami sendiri, Kim-mou-eng. Ada apa kau mencampuri urusan orang lain? Kurang kerjaankah kau ini?”

“Hm, aku tak dapat melihat orang berbuat curang, Hong-hu-pangcu (wakıl ketua Hong). Aku tak akan mencampuri urusan orang lain jika semuanya berjalan baik-baik. Aku terpaksa maju karena kau hendak membunuh ketua atau suhengmu sendiri. Itu perbuatan jahat!”

Hong Jin kakek muka kuning ini marah. “Kau lancang mencampuri urusan Seng-piauw-pang? Bukankah ini pibu satu lawan satu?”

“Benar, tapi pibu yang baik tak boleh mempergunakan senjata rahasia, hu-pangcu. Dan kau telah melanggar pantangan ini. Kau rupanya memang bukan orang baik-baik!”

“Keparat!” kakek ini membentak, tiba-tiba menyerang dan menusukkan golok-tombaknya itu ke dada Kim-mou-eng. Tapi Kim-mou-eng rupanya sudah mengetahui sampai dimana kelihaian kakek ini dengan melihat jalannya pertandingan tadi tiba-tiba menerima dan tidak mengelak.

“Tak!” Hong Jin terkejut. Kakek itu melihat mata tombaknya mental bertemu dada Pendekar Rambut Emas, membentur kekebalan sinkang yang luar biasa hingga tubuh pemuda itu seperti karet, kenyal tapi liat. Dan hu-pangcu Seng-piauw-pang yang tentu saja terperanjat oleh kekebalan ini tiba-tiba menyerang kembali dan memencet jarum-jarum rahasianya.

“Cit-cit-cit!” Tujuh jarum halus menyambar tubuh Kim-mou-eng. Orang hanya melihat tujuh sinar kecil berkeredep ke depan, entah apa. Tapi Kim-mou-eng yang mendengus melihat kecurangan ini tiba-tiba membentak dan meniupkan mulutnya. “Wushh...!”

Hong Jin terkejut. Tujuh jarumnya itu tiba-tiba tersapu runtuh, persis ditiup angin kencang. Dan sementara dia terbelalak kaget sekonyong-konyong Kim-mou-eng berkelebat menampar kepalanya. “Hu-pangcu, kau pantas dihajar!”

Kakek ini terkesiap. Dia tadi sudah merasakan kelihaian Salima, belum Pendekar Rambut Emas ini. Tapi melihat lawan berkelebat menampar kepalanya dan dia terang tak mau mandah begitu saja maka kakek ini menggerakkan senjatanya menangkis sambil menendang.

“Plak-dess!”

Hong Jin sang kakek muka kuning mencelat. Dia terlempar karena tamparan itu masih menyerempet juga di pelipisnya, panas dan membuat kulit pelipisnya seakan dibeset. Tentu saja membuat kakek ini memekik. Tapi hu-pangcu Seng-piauw-pang yang berjungkir balik mematahkan daya pukulan itu tiba-tiba membentak dan kembali turun di panggung luitai, penasaran oleh pukulan lawan yang membawa kesiur angin demikian kuat.

Dan tak mau lawan mendahuluinya menyerang tiba-tiba kakek muka kuning ini melengking dan menubruk Kim-mou-eng, gencar bertubi-tubi dengan golok-tombaknya itu, bahkan kini kaki juga ikut bergerak menendang dan menyapu. Hebat bukan main karena dia maklum akan kelihaian lawannya ini. Dan begitu kakek ini berkelebat menyerang lawannya tiba-tiba Kim-mou-eng sudah dikurung hujan pukulan dan tusukan yang gencar bukan kepalang.

“Pendekar Rambut Emas, kau akan kubunuh!”

Kim-mou-eng semakin mengerutkan kening. Dia melihat wakil ketua Seng-piauw-pang ini sebenarnya cukup lihai. Permainan golok-tombaknya cukup berbahaya. Tapi karena dia telah mengerahkan sinkangnya melindungi diri dan mulai berlompatan ke sana-sini menangkis senjata lawan menunjukkan kekebalannya maka semua serangan kakek itu dapat ditolak balik. Hong Jin tentu saja naik pitam, membentak dan melengking-lengking menyerang nekat.

Tapi ketika lawan mulai gemas dan Kim-mou-eng ingin memberi hajaran pada kakek ini tiba-tiba golok-tombak yang menyambar untuk kesekian kalinya ditangkap, persis seperti apa yang tadi dilakukan Sin-piauw Ang-lojin, ketua Seng-piauw-pang itu. Dan ketika lawan memencet senjatanya dan berseru girang melepas jarum-jarum lembut dari mata tombak tiba-tiba Kim-mou-eng mendahului dengan meremas hancur senjata di tangan kakek muka kuning itu.

“Krekk!” Luncuran jarum otomatis tersumbat. Hong Jin berteriak kaget ketika ujung goloknya patah. Hancur di dalam cengkeraman Pendekar Rambut emas. Dan ketika sedetik pertandingan itu berhenti dan kakek muka kuning itu berteriak tertahan, terbelalak memandang lawannya tahu-tahu Kim-mou-eng menyambitkan hancuran mata tombak yang telah menjadi bubuk itu ke muka lawannya.

“Hong-hu-pangcu, terimalah remukan senjatamu...!”

Kakek ini terkejut. Dia membanting tubuh bergulingan, kaget karena jarak sambitan itu terlalu dekat. Dan ketika dia melempar tubuh dan beberapa bubuk besi masih juga mengenai mukanya dan dia menjerit kesakitan tiba-tiba golok yang sudah buntung ujungnya itu ditendang lepas dan patah di udara oleh Kim-mou-eng!

“Krek-plak!”

Hong Jin sang kakek bermuka kuning, pucat bukan main. Dia kebetulan membanting tubuh bergulingan mendekati Salima, suatu ketidaksengajaan belaka sebenarnya. Dan karena Salima benci pada hu-pangcu Seng-piauw-pang ini dan otomatis menggerakkan tangan menyerang kakek itu tiba-tiba tangannya menyambit jarum yang tadi didapat dari suhengnya, jarum kakek itu sendiri.

“Tua bangka, makanlah jarummu ini...!”

Kakek itu jadi semakin kaget. Dia terang tak dapat mengelak, seolah ular mendekati gebuk. Menjadi runyam keadaannya. Dan ketika jarum itu mengenai lehernya dan langsung amblas di bawah kulit tiba-tiba kakek ini berteriak ngeri dan roboh terbanting di bawah panggung!

“Bress!” Hong Jin kakek tua itu mengeluh panjang pendek. Lehernya seketika bengkak kehitaman, terkena racunnya sendiri. Dan ketika Wan Tiong Lojin dan Ki Siong Cinjin menghampirinya untuk membantu maka kakek ini bangkit terhuyung memaki gemetar,

“Goblok kalian, kerbau dungu kalian! Kalian seharusnya mencegah dua orang pengacau itu naik ke atas panggung, sute. Kalian seharusnya membantu aku ketika pertandingan di atas tadi!”

Wan Tiong Lojin dan Ki Siong Cinjin terpaku. Mereka sebenarnya sedang terkesima oleh pertandingan tadi. Melihat betapa lihai dan hebatnya Pendekar Rambut Emas itu. Melayani senjata lawan dengan tangan kosong saja. Kebal dan dapat meremas hancur golok kakaknya hingga tak dapat dipakai lagi. Diam-diam membuat gentar dua orang kakek ini. Dan Hong Jin sang suheng yang tentu saja marah-marah pada mereka dan melihat dua sutenya diam saja akhirnya membentak melayang naik, menelan obat penawar racun.

“Sute, ayo kita bunuh dua pengacau liar itu. Aku tak akan memberi kalian apa yang kujanjikan bila kita semua kalah!”

Wan Tiong Lojin dan Ki Siong Cinjin saling pandang. Mereka rupanya terkejut oleh kata-kata terakhir itu, memberi isyarat dan mengangguk melayang naik. Rupanya mendapat janji cukup memikat hingga mampu menindas rasa gentar mereka. Tapi Sin-piauw Ang-lojin yang rupanya sudah ditolong dan menelan obat yang diberikan Salima dan tampaknya sudah sembuh tiba-tiba bangun berdiri menggereng marah.

“Kim-mou-eng, tiga orang suteku ini rupanya memang mau memberontak. Biarlah kau mundur, kuhadapi mereka sendirian!”

Kim-mou- eng tertegun. Dia melihat kakek tinggi besar bermuka merah itu tak lagi menggigil, garang dan bengis sekali memandang tiga orang sutenya itu, terutama Hong Jin, sang adik nomor dua yang rupanya mau “mbalelo” (mengacau). Berapi-api dan tampak marah sekali memandang sutenya itu. Tapi tersenyum memandang kakek gagah ini Kim-mou-eng menjawab,

“Kau baru sembuh, pangcu. Mana mungkin menghadapi sute-sutemu ini? Bagaimana kalau sutemu melakukan kecurangan lagi?”

“Tidak, senjata laknatnya telah kau hancurkan, Kim-mou-eng. Dia tak mungkin melepas jarum-jarum rahasianya lagi. Aku akan menghukumnya dengan tanganku sendiri. Terima kasih untuk budi pertolonganmu!”

“Ah, sesama orang gagah mana ada budi segala, pangcu? Aku terpaksa maju karena tak tahan melihat kecurangan sutemu. Maaf kalau kau anggap lancang.”

“Tidak, aku justeru berterima kasih, Kim-mou-eng. Aku telah melihat bahwa suteku nomor dua itu rupanya tak segan-segan untuk membunuhku. Dia sudah tak memandangku lagi sebagai saudara seperguruan. Aku akan menghadapinya!” dan meminta Pendekar Rambut Emas turun ke bawah akhirnya kakek ini menghadapi sute-sutenya itu.

“Hong-sute, sungguh tak kusangka bahwa dalam pemilihan ketua kali ini kau mengincar jiwaku. Apa salahku padamu hingga kau mengarah nyawa? Adakah hutang jiwa yang telah kuberikan padamu?”

Hong Jin mulai gentar. Dia melihat suhengnya ini benar-benar pulih kembali, agaknya obat yang diberikan Kim-mou-eng lewat sumoinya tadi benar-benar hebat. Dan karena senjata golok-tombak yang dapat melepaskan jarum rahasia dan amat diandalkannya itu sudah tak ada lagi di tangannya karena hancur ditampar Kim-mou-eng akhirnya kakek muka kuning ini menjadi tak nyaman. Kalau saja tak ada Kim-mou-eng bersama sumoinya itu. Hm, tentu niatnya membunuh suhengnya ini bakal terkabul. Dan karena Kim-mou-eng muncul dan pendekar muda itu jelas berpihak pada suhengnya ini dan agaknya dia mendapat rintangan sulit dalam merebut kedudukan ketua tiba-tiba Hong Jin sang kakek bermuka kuning ini menjadi nekat. Nekat dan juga marah!

“Suheng, tak perlu banyak cakap lagi di tempat ini. Kita sekarang telah berhadapan. Ayo maju atau serahkan kedudukan Seng-piauw-pangcu kepadaku secara baik-baik!”

“Kau masih berani juga bicara tentang itu?” Sin-piauw Ang-lojin membentak.

“Kalau kau tak tahu diri, suheng. Kalau kau masih juga hendak mengangkangi kedudukan ketua tanpa memberi kesempatan pada yang muda untuk menggantikannya!”

“ Keparat, kau yang tak tahu diri, sute. Bukan aku tetapi kau. Kuhajar kau!” dan Sin-piauw Ang-lojin yang sudah tak dapat menahan marah lagi tiba-tiba menggereng dan menubruk sutenya itu, mengembangkan kedua lengan di kiri kanan tubuhnya seakan seekor burung garuda, mencengkeram dan agaknya siap mencekik sutenya ini.

Tapi Hong Jin si kekek muka kuning yang tıba-tiba mengelak dan mencabut pisau panjangnya, pisau bintang yang agaknya menjadi ciri khas anggota perkumpulan Seng-piauw-pang ini tiba-tiba melejit menusukkan senjatanya, ditampar dan seketika terpental oleh jari-jari Sin-piauw Ang-lojin yang kokoh, terkejut dan menyerang lagi ketika suhengnya membentak dan maju menubruk dirinya. Dan ketika mereka saling membentak dan maju dengan serangan masing-masing akhirnya dua orang ini bertempur dengan sengit.

Sin-piauw Ang-lojin masih bertangan kosong. Ketua Seng-piauw-pang itu mengandalkan kibasan atau cengkeramannya. Selalu membuat senjata di tangan sutenya melenceng atau terpental, tanda sinkang ketua Seng-piauw-pang itu masih lebih hebat dibanding lawannya dan berani mencengkeram senjata lawan dengan tangan telanjang, tak terluka. Tanda ketua Seng-piauw-pang itu juga memiliki kekebalan cukup baik bila tak diserang dengan senjata beracun, seperti jarum tadi misalnya.

Dan ketika pertempuran berjalan tigapuluh jurus dan ketua Seng-piauw-pang rupanya sudah mengenal betul ilmu silat lawannya dan agaknya mereka telah cukup sering bertempur dan Hong Jin sering mengeluh kaget tiba-tiba kakek muka kuning ini terdesak. Hong Jin kakek itu tak berhasil melukai suhengnya. Jangankan melukai, membalas pukulan-pukulan suhengnya saja dia sudah kepayahan. Mukanya mulai pucat dan berkali-kali terhuyung kalau kakek muka merah itu menangkis senjatanya.

Dan ketika pertempuran berjalan empat puluh jurus dan Sin-piauw Ang-lojin semakin menekan lawannya dengan kibasan-kibasan tangannya yang mengeluarkan angin pukulan dingin akhirnya sebuah tamparan keras mengenai pundak lawannya itu.

“Plak!” Hong Jin si kakek muka kuning tergetar. Wakil ketua Seng-piauw-pang ini terkejut, terhuyung dan menyeringai pedih karena tamparan suhengnya itu membuat tulang pundaknya seakan remuk. Dan ketika kembali dua pukulan berturut-turut mengenai leher dan pangkal lengannya akhirnya kakek muka kuning ini terbelalak ketika suhengnya itu berkelebat menendang pinggangnya.

“Sute, sekarang kau robohlah!”

Kakek muka kuning ini mengelak. Dia coba berkelit menghindarkan tendangan itu, tapi Sin-piauw Ang-lojin yang menggerakkan tangan menotok kepalanya dalam serangan kedua yang merupakan susulan tendangan itu tiba-tiba membuat kakek muka kuning ini mencelos kaget.

“Plak-dess...!”

Hong Jin beteriak. Dia kalah cepat oleh gerakan suhengnya itu. Maka begitu tendangan tiba dan totokan meluncur dari atas ke bawah tiba-tiba tanpa dapat dicegah lagi kakek muka kuning ini mencelat dan membanting tubuh bergulingan, nyaris mendapat totokan kalau tidak melempar dirinya. Tapi ketika dia melompat bangun dan Sin-piauw Ang-lojin mengejarnya dengan dengusan pendek tahu-tahu pisaunya mencelat ketika suhengnya itu menendang pergelangan tangannya, membuat kakek muka kuning ini berteriak keras dengan muka berubah.

Tapi sebelum kakek tinggi besar itu menggerakkan jari menangkap sekonyong-konyong Wan Tiong Lojin dan Ki Siong Cinjin yang ada di belakang menyerang ketua Seng-piauw-pang itu, menolong Hong Jin.

“Twa-heng, lepaskan ji-suheng (kakak nomor dua)...!”

Sin-piauw Ang- lojin terkejut. Dia saat itu tinggal memberesi sutenya ini, siap melumpuhkannya dalam satu pukulan terakhir. Maka melihat dua adiknya nomor tiga dan empat menyerang dari belakang dan mereka membokong dengan pisau di tangan menusuk punggungnya terpaksa ketua ini membalik menangkis gusar.

“Sam-sute, kalian tak tahu malu... plak-dess!”

Wan Tiong dan adiknya terpental. Mereka berdua hampir terjengkang. Maklum tenaga suhengnya demikian hebat. Tapi ji-suheng mereka yang sudah dapat melompat bangun dan berseru pada mereka agar mengeroyok suheng tertua ini tiba-tiba sudah menyambar pisaunya yang terlepas tadi dan menyerang kakek gagah ini.

“Twa-heng, kami tak akan menyerah padamu!”

Sin-piauw Ang-lojin mendelik. Dia kini diserang sutenya nomor dua itu, disusul pula oleh gerakan Wan Tiong Lojin dan Ki Siong Cinjin yang menyerang dari kiri kanan, semuanya bersenjata. Dan karena menghadapi mereka bertiga terlalu berat bertangan kosong saja akhirnya ketua Seng-piauw-pang ini mencabut senjatanya, sepasang pisau panjang bermata dua dan langsung menangkis memutar senjata. “Sute, kalian akan kubunuh!”

Hong Jin dan dua adiknya mengelak. Mereka melompat menghindar, menyerang lagi dan maju bersama mengepung dari tiga penjuru. Sebentar kemudian tak malu-malu lagi mengerubut, tiga senjata melawan sepasang pisau. Tapi karena Sin-piauw Ang-lojin bertempur bagai seekor singa kelaparan dan kemarahan besar membuat kakek ini mendapat tambahan tenaga baru, maka biarpun dikeroyok tiga tetap saja kakek itu dapat melayani lawan-lawannya dengan baik.

Bahkan Wan Tiong Lojin dan Ki Siong Cinjin sutenya nomor tiga dan empat itu sering berseru kaget, tergetar lengan mereka setiap kali senjata ditangkis, merasa betapa suheng mereka itu memiliki sinkang kuat sekali. Kalau tak hati-hati mencekal tentu senjata di tangan mereka terlepas mencelat. Terkejut oleh tangkisan kuat suhengnya itu.

Dan Hong Jin sang kakek muka kuning yang tentu saja melihat kelemahan dua sutenya terakhir lalu membantu dan kini mulai melepas pisau-pisau kecil untuk menolong dua sutenya itu, menyuruh agar mereka melepas pula senjata piauw (pisau) menyerang twa-suhengnya itu. Dan ketika mereka mengangguk dan tiga orang kakek itu mulai melepas senjata-senjata gelap berupa pisau terbang sementara pisau panjang masih terus bergerak menyerang ketua Seng-piauw-pang itu akhirnya Sin-piauw Ang-lojin terdesak, membentak dan memaki-maki sutenya yang curang itu.

Tapi ketika ketua Seng-piauw-pang ini juga menangkis dan mulai mengeluarkan pisau-pisau kecilnya untuk membentur runtuh senjata gelap lawan akhirnya pertandingan menjadi ramai lagi dan berimbang, membuat Hong Jin dan dua adiknya tertegun, kagum tapi juga marah melihat tangguhnya sang kakak tertua ini. Dan ketika pertandingan berjalan limapuluh jurus dan Hong Jin serta dua adiknya mulai terengah-engah sementara Sin-piauw Ang-lojin masih tegar dengan napasnya yang kuat akhirnya kakek muka kuning ini menjadi cemas.

Dia heran bagaimana twa-suhengnya itu demikian hebat. Napasnya demikian panjang sementara dia dan dua adiknya mulai ngos-ngosan. Tak tahu bahwa tadi Salima secara diam-diam memberi obat penguat tenaga pada kakek tinggi besar ini ketika Sin-piauw Ang-lojin terluka. Jadi itulah rahasianya. Semacam obat kuat untuk memberi tenaga baru bagi ketua Seng-piauw-pang itu.

Dan ketika mereka bertiga mulai berkeringat sementara Sin-piauw Ang-lojin sendiri hanya mengusap peluh di dahi dan sebagian telapak tangannya akhirnya Ki Siong Cinjin yang merupakan orang termuda diantara mereka terluka. Pisau di tangan kanan ketua Seng-piauw-pang itu menggurat sutenya terbungsu ini, membuat Ki Siong Cinjin memekik dan terhuyung mundur.

Dan ketika Wan Tiong Lojin membantu dan menyerang dari belakang tapi Sin-piauw Ang-lojin membentak memutar tubuhnya maka kakek yang agak kurus ini juga tak dapat menghindar ketika suhengnya membalas, melukai kulit pundaknya dan terus menusuk tenggorokan, disambut pekik kaget Wan Tiong Lojin yang terus membanting tubuh bergulingan, menjauhkan diri dari gerakan ketua Seng-piauw-pang itu yang rupanya ingin merobohkan sutenya.

Dan ketika Hong Jin juga maju tapi kakek tinggi besar ini mengayun kakinya menyapu pinggang akhirnya tiga orang itu roboh bergulingan dengan muka pucat.

“Plak-des-dess!”

Hong Jin dan dua adik-adiknya terkejut. Mereka melompat bangun melihat bayangan suhengnya itu berkelebat ke depan, menggeram mengejar mereka dengan mata berkilat, pisau menyambar seolah dewa maut mengancam mereka. Dan ketika Hong Jin mengelak dan Ki Siong Cinjin serta suhengnya nomor tiga Wan Tiong Lojin juga menangkis maka untuk pertama kalinya senjata di tangan mereka mencelat terlepas.

“Trang-trang!”

Ki Siong Cinjin dan kakaknya kaget. Mereka kalah tenaga oleh suheng tertua itu, terbelalak melihat pisau masih meluncur menyambar dada mereka. Dan Ki Siong Cinjin serta Wan Tiong Lojin yang terkesiap melihat sambaran pisau ini tiba-tiba berteriak pada ji-suhengya untuk maju membantu, menggulingkan tubuh sebisanya ke kiri. Tapi karena bagian itu kosong karena mereka telah berada di pinggir panggung luitai maka tak ampun lagi dua orang ini terjeblos ke bawah dan jatuh bergulingan di atas tanah, jauh dari atas panggung.

“Bres-bress!”

Hong Jin sang kakek muka kuning tampak pucat. Dia sekarang sendirian di panggung itu, melihat suhengnya menggereng sementara sutenya di bawah sudah melompat bangun, gentar tak segera naik. Dan ketika Sin-piauw Ang-lojin membentak dan menubruk kakek muka kuning ini maka Hong Jin menggerakkan pisaunya menangkis setengah hati.

“Trang...!” Pisau di tangan kakek muka kuning itu langsung mencelat. Dia sudah gentar dan pucat memandang suhengnya ini, melihat suhengnya mendelik dan rupanya ingin membunuhnya. Dan takut serta ngeri oleh hukuman yang bakal dijatuhkan suhengnya ini kepadanya tiba-tiba Hong Jin membalik dan melompat turun!

“Sute, mari kita pergi...!”

Wan Tiong Lojin dan Ki Siong Cinjin terkejut. Mereka melihat kekalahan di depan mata mereka, melihat ji-suheng mereka itu sudah meloncat turun meninggalkan panggung luitai, gentar dan takut karena twa-suheng mereka, sang ketua Seng-piauw-pang tampak bengis dan garang di atas panggung, demikian gagah perkasa. Maka melihat kakaknya nomor dua itu melayang turun dan langsung melarikan diri darı panggung luitai mendadak dua orang inipun mengangguk dan meloncat mengikuti.

Tapi Sın-piauw Ang-lojin membentak. Kakek muka merah itu menyambitkan pisaunya, menimpuk punggung sutenya nomor tiga, demikian cepat dan penuh tenaga. Dan ketika Wan Tiong Lojin menjerit dan roboh terjengkang maka pisau satunya di tangan kiri bergerak pula menyambar punggung sutenya nomor dua, Hong Jin.

“Crep!” Hong Jin kakek muka kuning itu memekik. Dia mengaduh ketika pisau menancap di punggungnya, setengah lebih. Tapi ketika kakek ini terbanting roboh dan semua orang terbelalak ke depan sekonyong-konyong seorang laki-laki tinggi tegap menyambar kakek ini dari tengah-tengah gerombolan anggota Seng-piauw-pang, berseru pada Ki Siong Cinjin agar menyambar suhengnya nomor tiga, Wan Tiong Lojin.

Dan ketika semua orang terkejut oleh kejadian ini dan Salima berteriak karena mengenal laki -laki itu adalah orang yang pertama kali menyerangnya di pintu gerbang dusun Seng-piauw-pang ini mendadak laki laki itu melempar granat tangannya ke panggung luitai.

“Pangcu, turun...!” Salima berseru keras, memperingatkan ketua Seng-piauw-pang itu akan bahayanya ledakan, disambut bentakan tinggi kakek gagah ini yang berjungkir balik turun dari panggung luitai. Dan ketika ledakan itu terjadi dan Salima siap mengejar laki-laki ini mendadak dua ledakan berturut-turut memecah kerumunan anggota-anggota Seng piauw-pang.

“Hei... blar-blar!”

Semua orang terkejut. Tujuh orang terlempar oleh ledakan granat itu, langsung memekik dan tewas dengan tubuh hancur. Dan ketika yang lain juga terlempar dan beberapa pecahan granat melukai belasan orang akhirnya tempat itu menjadi ribut dan gaduh.

“Kejar laki-laki itu. Dia keparat jahanam...!”

Tapi laki-laki itu telah menghilang. Dia telah membawa Hong Jin yang terluka di punggungnya, lenyap di balik asap tebal karena granat tangan itu melindungi larinya. Dan ketika orang ribut-ribut dan beberapa diantaranya mendadak roboh pingsan karena asap granat itu juga mengandung bius maka Wan Tiong Lojin yang juga terluka oleh sambitan ketua Seng-piauw-pang ini telah menghilang pula dibawa Ki Siong Cinjin.

“Keparat, laki-laki itu agaknya pengawal istana...!”

Semua orang ribut. Seng-piauw-pangcu membentak mencari-cari lelaki ini, dibantu yang lain termasuk Salima yang menyesal kenapa tak melihat laki-laki itu sejak tadi yang agaknya secara cerdik menyembunyikan diri diantara kelompok anggota-anggota Seng-piauw-pang. Dan ketika asap mulai buyar dan keadaan tenang kembali maka terdapatlah tiga puluh orang korban akibat ledakan itu.

“Jahanam, dia mata-mata!” Seng-piauw-pangcu marah besar, sadar bahwa kiranya orang itulah yang membuat sutenya mbalelo, memberontak dan mengkhianati perkumpulan. Dan ketika semua anggota tertegun dan menjublak memandang mayat tujuh orang yang tewas, sementara yang luka-luka merintih dan ditolong yang lain maka menghadaplah kakek tinggi besar ini pada anggota-anggotanya itu.

“Siapa yang ingin mendukung suteku? Siapa yang masih ingin memberikan suaranya pada susiok kalian yang berkhianat itu?”

Semua anggota Seng-piauw-pang diam.

“Hayo, buka mulut kalian. Siapa yang tak setuju pada kepemimpinanku boleh meninggalkan tempat ini sekarang. Aku memberi kebebasan penuh!”

Sepuluh orang di depan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut. Tiga diantaranya, yang termasuk diantara duaratus limapuluh anggota yang tadi memberikan dukungan suara untuk si kakek muka kuning yang kini telah melarikan diri dari tempat itu tiba-tiba menangis.

“Ampun, supek (uwa guru). Kami sebenarnya telah dipaksa oleh suhu dan susiok untuk memberi dukungan suara padanya. Suhu dan susiok telah menjalin hubungan dengan beberapa menteri untuk merubah peraturan pang kita. Kami tak berdaya. Suhu mengancam untuk membunuh kami kalau kami berani melawannya.”

“Hm, kau Kai Pak, bukan? Kau murid Hong Jin-sute?”

“Benar, ampunkan teecu, supek. Sebenarnya teecu telah memperingatkan suhu tapi suhu keras kepala.”

“Dan sekarang apa pendapatmu? Kau tak mencari gurumu yang bersekongkol dengan orang jahat itu?”

“Tidak, teecu tak berani, supek. Teecu mewakili teman-teman di sini untuk mohon perlindungan supek!”

Sin-piauw Ang-lojin mengangguk. Dia tahu bahwa dukungan suara yang diberikan anggota-anggotanya tadi memang diucapkan secara sumbang. Ada tersirat rasa keterpaksaan di situ. Dan sekarang setelah Kai Pak murid Hong Jin sutenya nomor dua ini mengakui dan yang lain-lain juga menjatuhkan diri berlutut mohon ampun akhirnya kakek ini menyuruh mereka bangun berdiri. Berbicara panjang lebar bahwa perkumpulan mereka harus tetap utuh, tak boleh pecah.

Dan ketika semuanya mengangguk dan Sin-piauw Ang-lojin mendapat keyakinan penuh bahwa anggotanya tak ada yang berkhianat kecuali tiga orang sutenya tadi yang entah kenapa ingin menjalin hubungan dengan menteri-menteri dorna yang ada di istana akhirnya kakek ini membubarkan pertemuan itu. Mendapat dukungan penuh dan untuk ketiga kalinya diminta untuk memimpin Seng-piauw-pang. Dan ketika semuanya selesai dan kakek tinggi besar itu menyatakan terima kasih sebesar-besarnya pada Kim-mou-eng dan Salima karena dua orang itulah yang berjasa besar menyelamatkan kakek ini dan perkumpulannya maka Kim-mou-eng mohon diri.

“Pangcu, kiranya cukup keberadaan kami berdua secara tak sengaja di tempat ini. Kami tak merasa melepas budi, harap kau simpan ucapan terima kasihmu yang berlebih-lebihan itu. Kami malu hati mendengarnya. Bukankah sesama orang gagah kita harus saling tolong-menolong? Nah, sekarang perkenankan kami pergi, pangcu. Kami masih ingin meneruskan perjalanan kami yang masih tak menentu.”

“Ah, kenapa buru-buru?” Sin-piauw Ang-lojin terbelalak. “Kami ingin menjamu kalian, Kim-mou-eng. Sebaiknya besok saja setelah matahari terbit!”

“Tidak, kami tak ingin menunda perjalanan, pangcu. Kami masih harus mencari apa yang belum kami dapatkan.”

“Apakah itu?”

“Dusun Yu-chung, tempat tinggal mendiang ibuku tigapuluh tahun yang lalu.”

“Hm, Yu-chung? Dimanakah itu?”

“Itulah, kami sendiri tak tahu, pangcu. Karena itu kami mencarinya karena ada sesuatu yang harus kami ambil. Kami harus berangkat.”

“Nanti dulu!” Sin-piauw Ang-lojin tiba-tiba mengangkat lengannya. “Apakah dusun itu di mukanya ada terdapat patung singa, Kim-mou-eng?”

“Entahlah, aku tak tahu, pangcu. Tapi yang jelas, dusun itu dulu dikepalai oleh Yu-lopek. Dia termasuk kerabat ibuku dan meninggalkan sesuatu yang harus kuambil.”

“Hm, kalau begitu coba saja ke dusun yang kutunjukkan ini, Kim-taihiap (pendekar Kim).” Sin-piauw Ang-lojin merubah panggilannya. “Mungkin dusun itu yang kau cari karena dusun itu juga dusun Yu. Tapi awas, di sana bercokol seorang datuk berjuluk Sai-mo-ong (Raja Iblis Singa) yang amat berbahaya. Aku hampir tewas ketika bertempur dengannya secara kebetulan!” dan ketika kakek ini menggigil membayangkan pertemuannya beberapa bulan yang lalu dengan datuk iblis itu tiba-tiba Kim-mou-eng dan Salima tertarik.

“Dimana dia tinggal, pangcu? Dimana dusun itu?”

“Jauh dari sini, Kim-taihiap. Di propinsi Se-cuan di dekat kota Ceng-tu!”

“Hm, arah barat laut?”

“Benar. Dan harap kau berhati-hatilah, taihiap. Sai-mo-ong mempunyai beberapa sahabat karena dia termasuk seorang dari Jit-mo Kang-ouw (Tujuh lblis Dunia Persilatan) yang memiliki kepandaian mengerikan. Ilmu silatnya luar biasa. Terus terang aku kalah jauh dengannya!”

Kim-mou-eng tertarik. Sekarang dia mulai terbuka pengetahuannya tentang orang-orang persilatan di daerah Tionggoan ini. Tokoh-tokoh di pedalaman yang mana baru dia dengar. Maka melihat ketua Seng-piauw-pang itu tampak gentar membayangkan Sai-mo-ong ini dan menceritakan bahwa dulu bersama tiga sutenya yang berkhianat itu pernah mengeroyok tapi hampir saja mereka tewas tiba-tiba Pendekar Rambut Emas ini menjadi gembira dan berdebar tegang, melirik sumoinya dan melihat Salima tersenyum aneh.

Mata yang jernih itu tampak bersinar, berkilat-kilat bagai mata seekor harimau betina yang rupanya menemukan buruan menarik. Seolah Sai-mo-ong adalah korban santapan yang nikmat. Dan ketika Sin-piauw Ang-lojin memberikan keterangan pada mereka secara jelas dimana letak dusun yang ditinggali kakek iblis itu akhirnya Kim-mou-eng minta diri.

“Baiklah, terima kasih atas petunjuk-petunjukmu, pangcu. Aku akan mencari kakek iblis ini dan menyelidiki benarkah dusun yang ditinggalinya itu adalah dusun yang dulu menjadi kampung halaman ibuku.”

“Baik, tapi hati-hati, taihiap. Kupesankan sekali lagi bahwa kakek itu betul-betul amat berbahaya. Dia memiliki kepandaian tinggi dan hebat sekali.”

“Terima kasih. Semua pesanmu akan kuingat baik, pangcu. Sekarang perkenankan kami pergi...!” dan begitu Kim-mou-eng menjura di depan ketua Seng-piauw-pang ini dan membalik menyambar sumoinya tiba-tiba pemuda itu telah berkelebat lenyap membuat Seng-piauw-pangcu tertegun melihat bayangan Kim-mou-eng tahu-tahu telah jauh di luar dusun, sekejap kemudian lenyap bayangannya di balik pohon. Dan ketika dia menjublak menarik napas akhirnya kakek ini menggumam kagum memuji kepandaian dua orang suheng dan sumoi itu.

“Hebat, mereka betul-betul orang muda yang hebat. Semoga dapat mengatasi Sai-mo-ong yang berbahaya itu.” dan ketika ketua Seng-piauw-pang ini memasuki tempat tinggalnya mengatur perkumpulan maka jauh di luar sana Kim-mou-eng telah menggandeng sumoinya berlari cepat.

* * * * * * * *

“Sumoi, bagaimana pendapatmu tentang datuk iblis itu? Takutkah kau?”

“Hi-hik, aku tak takut pada siapapun, suheng. Justeru aku ingin cepat-cepat menemui kakek iblis itu untuk mengadu kepandaian!” Salima mengejek, tertawa dingin ketika suhengnya bertanya apakah dia takut atau tidak menghadapi kakek yang membuat Sin-piauw Ang-lojin mengkeret, gentar nyalinya.

Dan ketika enam hari kemudian mereka melakukan perjalanan jauh menuju ke propinsi Se-cuan akhirnya tibalah mereka di daerah yang dinyatakan “lampu merah” oleh ketua Seng-piauw-pang itu.

“Suheng, kita berhenti dulu. Aku ingin menangsel perut!”

Kim-mou-eng mengangguk. Enam hari mereka memang tidak memasuki sebuah kotapun, berjalan keluar masuk hutan dan makan buah-buahan saja dan minum air di sumber yang jernih. Merasa lapar dan haus juga setelah mencium bau masakan sedap di depan sebuah restoran dimana mereka mulai memasuki kota Ceng-tu, berhenti di sebuah rumah makan bertingkat yang tampak penuh tamu. Tanda rumah makan itu memiliki masakan-masakan istimewa yang merangsang pelanggannya.

Dan ketika Salima mengajak dia memasuki rumah makan itu dan gadis Tar-tar ini sudah berjalan melenggang mendahului maka tiba-tiba saja perhatian semua orang yang ada di dalam tertarik menuju pada suheng dan sumoi ini. Salima dan Kim-mou-eng memang cukup menarik perhatian. Betapa tidak, Salima tampak demikian anggun dan memikat gagah dengan kulitnya yang hitam manis itu. Tinggi semampai dengan lenggang seakan macan lapar.

Tak peduli dan sama sekali tak menghiraukan semua mata yang terbelalak kepadanya, kagum dan mulai mendengar bisik-bisik di sana-sini disertai desisan menggoda. Bahkan ada yang berani bersiul ketika gadis itu memasuki rumah makan ini. Sedang Kim-mou-eng yang juga menarik perhatian dengan rambutnya yang kuning keemasan itu dan berjalan tegap di samping sumoinya seolah pasangan serasi bagi gadis Tar-tar ini, membuat beberapa wanita cantik memandang kagum dan iri.

Melihat betapa pemuda itu memiliki ketampanan yang aneh dan mata seperti bintang, berkedip jernih dan tersenyum ketika beradu pandang dengan wanita-wanita muda yang ada di restoran itu. Seketika berbisik-bisik dan ada diantaranya yang terkekeh genit dan melempar senyum pada pemuda ini. Malah yang duduk di sudut memberi kedipan mata segala, sebuah isyarat khusus yang ditujukan pada Kim-mou-eng. Dan Salima yang tentu saja tahu dan panas hatinya melihat semuanya itu lalu mengajak suhengnya naik ke atas.

Tapi sial. Di atas juga penuh tamu. Mereka juga terdiri dari laki-laki dan perempuan. Duapuluh lebih, enam diantaranya wanita cantik yang membawa pedang di punggung. Tanda wanita kang-ouw (persilatan) yang entah dari golongan apa. Dan ketika Salima bingung mencari tempat duduk dan suhengnya juga mengerutkan alis mencari kursi tiba-tiba pelayan datang menghampiri mereka.

“Kongcu (tuan muda), kalian mau makan?”

Kim-mou-eng mengangguk.

“Kalau begitu di bawah saja, kongcu. Ada kursi kosong di sana!”

Kim-mou-eng memandang sumoinya. Tapi Salima yang rupanya sudah mendongkol pada wanita-wanita di bawah yang menggoda suhengnya menolak, tak mau dan meminta pada pelayan agar mengambil meja dan kursi baru saja dibawa ke atas. Dan sang pelayan yang tertegun mengerutkan alis tiba-tiba tertawa, menyeringai kecut.

“Siocia (nona), tempat ini sudah penuh. Mana mungkin menaruh meja kursi baru? Atau kalian tunggu saja sebentar, beberapa diantaranya tentu selesai dan akan segera meninggalkan tempat mereka.”

“Tidak, kalau begitu kita cari rumah makan lain saja, suheng. Rupanya kita kesasar ke tempat yang sudah penuh orangnya.”

Kim-mou-eng setuju. Dia juga tak enak menjadi pusat perhatian semua orang di atas sini, memandangi mereka berdua dan mulai mendengar bisik dan tawa seperti di ruang bawah. Yang laki-laki memandang sumoinya sedang yang perempuan memandangi dirinya. Mereka tampaknya seperti bukan orang baik-baik, terlihat dari gelagat dan sikap mereka yang cengar-cengir. Rupanya mengira dia dan sumoinya adalah kongcu dan siocia yang lagi pelesir.

Maklum, mereka memang tidak membawa senjata dan pakaian mereka juga pakaian orang-orang biasa, bukan orang persilatan karena hal ini disengaja oleh Kim-mou-eng agar tidak mendapat gangguan di tengah jalan. Ogah melayani orang-orang kasar yang bagi mereka hanya menghambat perjalanan saja. Dan ketika pelayan membujuk agar mereka duduk di bawah saja karena di sana ada meja kosong tapi sumoinya tetap menolak tiba-tiba dari bawah muncul tiga wanita cantik yang tadi seorang diantaranya memberi kedipan pada Kim-mou-eng.

“Pelayan, minta saja pada kongcu ini agar duduk bersama kami. Kami mempunyai dua kursi kosong!”

Kim-mou-eng terkejut. Dia melihat tiga wanita ini telah muncul di ujung tangga, langsung tertawa dan mendekatinya. Dan ketika dia terbelalak dan sang pelayan tertegun girang maka wanita di depan yang usianya sekitar duapuluh tiga tahun dan memakai tusuk konde telah menjura di depannya, menawarkan diri.

“Kongcu yang tampan, meja kami cukup besar untuk delapan orang. Kalau kau mau boleh duduk bersama kami!”

Kim-mou-eng terbelalak. Wanita ini menawarkan mejanya cukup sopan, meskipun kerlingnya menyambar-nyambar tapi penawarannya cukup simpatik. Tak menunjukkan kekasaran. Tapi Salima yang sudah mendelik melihat kedatangan tiga wanita cantik ini tiba-tiba mendahului maju berkata ketus, “Kami tak butuh meja orang lain. Kalau kalian mau makan silahkan saja makan sendiri!”

“Hi-hik!” wanita itu tertawa memandang Salima. “Kau siapa, adik manis? Kau bukan orang sini, ya? Perkenalkan, kami Sam-li Huang-ho (Tiga Dewi Sungai Huang-ho) yang ingin baik-baik berkenalan dengan kalian!”

“Tak peduli!” Salima marah. “Kami tak ingin berkenalan dengan siapapun dan tak ingin diganggu. Kalian pergilah!” Salima membentak, terlanjur panas teringat wanita itu memberi kedipan penuh arti pada suhengnya dan bersikap ketus pada lawan.

Dan Sam-li Huang-ho yang tiba-tiba berkilat matanya dan marah memandang Salima mendadak mengerutkan kening berkata dingin, “Kau tak tahu berterima kasih pada maksud baik orang? Kau berani bersikap kasar kepada kami?”

“Kenapa tidak?” Salima menjadi berang. “Aku tak takuti kalian bertiga, Mo-li Huang-ho. Aku tak ingin berterıma kasih pada kalian. Kalian pergilah, cepat sebelum aku marah!” Salima mengganti julukan orang, bukan Sam-li Huang-ho melainkan Mo-li Huang-ho (Iblis Betina Sungai Huang-ho), sebutan yang tentu saja membuat tiga wanita itu gusar bukan kepalang. Apalagi mereka melihat Salima adalah gadis biasa saja, tak menunjukkan gadis kangouw karena tak tampak membawa senjata. Hanya kecantikannya itu saja yang menonjol.

Tapi Kim-mou-eng yang buru-buru melangkah maju dan menghadang di depan sumoinya karena melihat wanita itu siap menyerang sumoinya tiba-tiba tertawa pahit menjura buru-buru. “Nona, maafkan adik perempuanku ini. Kami lagi kecapaian, baru melakukan perjalanan jauh. Maafkan kalau mudah marah dan tersinggung untuk hal-hal yang bisa menimbulkan salah paham. Aku berterima kasih tapi maaf tak dapat memenuhi keinginan kalian. Biarlah kami turun mencari rumah makan lain. Maaf... maaf...!” dan Kim-mou-eng yang sudah membungkuk menarik sumoinya untuk diajak pergi tiba-tiba terkejut melihat seorang laki-laki berkelebat menghadang mereka.

“Ha-ha, dua muda-mudi ini rupanya tak senang padamu, Sam-li Huang-ho. Mereka rupanya terlanjur mendapat kesan jelek. Biar aku saja yang mengundang mereka!” dan sementara Kim-mou-eng mengerutkan kening melihat gejala buruk muncul di tempat itu maka laki-laki ini yang bermuka hitam menjura menghadap sumoinya.

“Nona, meja kami sebenarnya dapat dimuati sepuluh orang. Kami berlima masih mempunyai kursi kosong, Bagaimana kalau kau duduk saja bersama kami?”

Salima melotot. Dia melihat laki-laki bermuka hitam itu mengundangnya manis, tapi matanya melahap tubuhnya dengan kurang ajar itu membuat dia marah. Maka ketika laki-laki itu bertanya dan membungkuk padanya tiba-tiba Salima berkelebat maju menampar laki-laki ini, begitu saja dengan cepat. “Muka hitam, siapa mau tawaranmu yang tengik? Kau kembali saja ke bangkumu. Kami tak butuh budi kebaikan orang... plak!”

Si muka hitam mencelat, terbanting roboh dan tentu saja berteriak kaget melihat Salima menampar mukanya. Tamparan yang membuat mukanya bengkak dan seketika dua giginya tanggal! Dan ketika empat laki-laki lain yang menjadi temannya berseru keras dan melompat maju dengan penuh kaget karena tak mengira Salima memiliki gerakan demikian cepat tiba-tiba semua tamu menjadi gempar dan ribut.

Kim-mou-eng terkejut. “Sumoi, jangan membuat onar...!”

Namun Salima berdiri tegak. Gadis ini berapi-api memandang lawannya, melihat si muka hitam melompat bangun dan kini maju dengan empat orang temannya itu laki-laki tinggi besar yang marah kepadanya, melotot dan beringas membuat para tamu menghentikan makannya. Maklum bahwa perkelahian sengit tentu tak dapat dihindarkan lagi.

Tapi sebelum mereka menyerang dan mengepung gadis Tar-tar ini tiba-tiba satu dari enam wanita kangouw yang duduk di meja makannya bangkit berdiri, berseru nyaring, “Hek-houw (Harimau Hitam), tinggalkan gadis itu jangan membuat ribut di sini. Kami tak ingin terganggu!”

Dan ketika Hek-houw tertegun dan berhenti dengan muka terkejut tiba-tiba seorang pemuda muncul dan tertawa menyambung seruan wanita yang berseru lantang tadi, “Benar, tak perlu membuat ribut di tempat ini, Hek-houw. Kalian pergi saja turun baik-baik. Ayo...!”

Hek-houw tampak semakin terkejut. Dia pucat melihat kedatangan pemuda terakhir ini, pemuda tampan membawa kipas. Mukanya putih namun sinar matanya bergerak-gerak liar, membawa seekor ular yang masih hidup, membelit lengannya dan tampak mendesis-desis menjulurkan lidahnya yang bercabang. Dan ketika Hek-houw mengangguk dan meloncat turun diikuti temannya tanpa banyak cakap lagi mendadak Sam-li Huang-ho juga hilang kegarangannya melihat munculnya pemuda ini.

“Kongcu, selamat datang!”

Pemuda itu tertawa tak acuh. “Kalian juga di sini, Sam-li Huang-ho?”

“Maaf, kami...”

“Tak usah, kalian sebaiknya juga pergi dari sini, Sam-li Huang-ho. Aku jadi sebal setelah melihat tampang Hek-houw tadi. Cepat!”

“Baik... baik, kongcu. Maaf kalau kami mengganggu!” dan begitu tiga wanita ini menjura memutar tubuhnya tiba-tiba mereka pun turun seperti si muka hitam tadi, tampak ketakutan dan tak berani main-main pada pemuda yang membawa kipas dan ular ini.

Dan ketika semua tamu yang ada juga buru-buru menuruni tangga loteng kecuali enam wanita berpedang tadi maka pemuda bermuka putih ini telah menghampiri Kim- mou-eng dan sumoinya, diikuti enam wanita cantik yang kagum bersinar-sinar memandang Pendekar Rambut Emas itu, berdiri di belakang pemuda ini. Dan begitu mereka saling berhadapan maka pemuda yang baru muncul ini menjura, menghadapi Salima.

“Nona, namaku Bu Ham. Orang memanggilku Bu Ham-kongcu atau Bu-kongcu. Kau siapa dan bagaimana gadis secantik ini ada di wilayah Ceng-tu?”

Salima tak menjawab. Dia beradu pandang dengan mata pemuda bermuka putih itu, langsung mengetahui bahwa dia berhadapan dengan seorang tokoh muda berkepandaian tinggi. Terbukti pemuda itu memiliki mata yang tajam penuh getaran sinkang, berkilat dan aneh tapi liar. Dan Salima yang tegak membusungkan dada tiba-tiba mengejek dan tidak menggubris sama sekali!

Bu-kongcu tersenyum. Dia tidak marah seperti yang diharap Salima, karena Salima memang bersikap dingin agar lawan marah kepadanya. Langsung melepas pukulan agar kemarahannya juga terlampiaskan. Maklum, pukulan yang siap dilontarkan pada Hek-houw dan kawan-kawannya tadi batal gara-gara kedatangan pemuda ini. Padahal dia ingin menghajar siapa saja yang membuat dia gusar. Maka melihat pemuda itu tersenyum dan tidak marah seperti yang diharap tiba-tiba Salima malah tertegun ketika pemuda itu mengulang kata-katanya.

“Nona, aku Bu Ham-kongcu. Bagaimana jika kuundang makan bersama? Perkenalkan, mereka ini murid-murid Tok-gan Sin-ni (Wanita Sakti Bermata Satu) yang baru saja datang ke Ceng-tu. Mereka sahabatku, boleh makan bersama kalau kau mau.”

Salima jadi semburat. Dia tak mengenal siapa itu Tok-gan Sin-ni, tak tahu bahwa wanita yang disebutkan itu adalah satu dari Jit-mo Kang-ouw, jadi seorang tokoh yang setingkat dengan Sai-mo-ong! Dan ketika Salima tertegun tapi tampaknya tidak mengenal siapa itu Tok-gan Sin-ni tiba-tiba pemuda bermuka putih yang tertawa ini sudah menyambar lengannya.

“Nona, mari duduk bersamaku!”

Salima terkejut. Sekarang dia sadar, melihat Bu Ham-kongcu menyambar lengannya untuk ditarik ke meja makan. Dan Salima yang tentu saja marah melihat perbuatan ini tiba-tiba mendengus dan menangkis mengerahkan sinkangnya.

“Duk!” Pemuda muka putih itu kaget. Dia tergetar dan terdorong mundur dua langkah, merasa betapa tenaga yang kuat menolak tenaganya sendiri. Kuat dan tangguh! Dan sementara dia terbelalak berseru tertahan maka Kim-mou-eng yang melihat sumoinya menjengek dan siap mengejek lawan tiba-tiba maju ke depan meredakan ketegangan.

“Bu-kongcu, maafkan sikap sumoiku ini. Kami tak ingin mencari keributan, terima kasih atas maksud baikmu mengundang kami!”

“Hm, siapa kau?” Bu-kongcu melebarkan matanya, masih tertegun oleh tangkisan Salima yang memiliki sinkang demikian kuat. Menggetarkan dan membuat dia terdorong mundur, terbelalak memandang Kim-mou-eng yang kini melerai di depan dan tampaknya penakut sekali. Tak tahu bahwa Kim-mou-eng tak ingin ribut-ribut di tempat itu dan tak menginginkan sumoinya membuat onar.

Dan ketika Kim-mou-eng tertawa dan menyeringai kecut menjura di depan pemuda ini maka berkatalah si Rambut Emas itu dengan penuh kesabaran, “Kami dua kakak beradik yang merantau tanpa tujuan, Bu-kongcu. Tak ingin mengganggu tapi tak senang pula diganggu. Sebaiknya kami pergi saja sebelum terjadi kesalahpahaman yang tiada guna. Maaf!” dan Kim-mou-eng yang lagi-lagi memberi hormat di depan Bu-kongcu tiba-tiba mendapat jengekan pendek ketika pemuda muka putih itu mengulurkan lengannya, mencengkeram leher Kim-mou-eng.

“Aku tak tanya siapa kalian, sobat. Tapi bertanya siapa dirimu. Kau pribadi!” dan ketika lengan itu bergerak menjulur ke depan dan siap menyentuh leher Kim-mou-eng mendadak ular yang membelit di lengan Bu-kongcu itu bergerak mematuk leher pemuda ini. Jadi dua serangan sekaligus!

“Bu-kongcu, jangan...!”

Kim-mou-eng terkejut. Dia pura-pura bodoh oleh serangan jari dan ular yang bergerak menyertai tuannya ini, siap meniup dan mengerahkan sinkang melindungi leher. Tapi wanita baju kuning yang berteriak di depan dan merupakan wanita pertama yang tadi mencegah Hek-houw tiba-tiba sudah berkelebat menampar, menangkis serangan Bu-kongcu ini.

“Plak!”

Dua orang itu tergetar mundur. Bu-kongcu terhuyung, terbelalak marah melihat tangkisan ini. Tapi ketika wanita itu berdiri tegak di depan Kim-mou-eng dan jelas melindungi pemuda berambut emas itu tiba-tiba Bu-kongcu tertawa bergelak.

“Leng Hwat, kau membela pemuda ini?”

Leng Hwat, wanita cantik itu tersenyum dingin. “Ya, kalau kau hendak membunuhnya, orang she Bu. Tapi kalau tidak tentu juga tidak. Kita sama-sama sekarang, kau dapat mengundang sumoinya itu kalau kau membiarkan pemuda ini menjadi tamu undangan kami!”

“Ha-ha, kau betul, Leng Hwat. Kenapa aku hampir lupa? Kita memang sama-sama mendapat seorang dari mereka. Kita tak boleh berkelahi!” dan ketika Bu-kongcu terbahak gembira memandang murid Tok-gan Sin-ni itu tiba-tiba dia kembali menghadapi Kim-mou-eng.

“Kalian mau makan bersama kami? Kami undang satu meja, kalian berdua!”

“Tidak,” Kim-mou-eng sudah merasa tak enak. “Kami buru-buru, kongcu. Terima kasih dan biar lain kali saja.”

“Hm, kau takut?”

Salima marah. Dia melihat suhengnya itu terlalu mengalah, kelewat sabar dan agaknya tak tersinggung oleh kata-kata yang menghina itu. Menyangka mereka takut! Maka sebelum suhengnya menjawab dan pemuda muka putih itu mengejek mereka dengan pandangan menyipit tiba-tiba gadis ini maju ke depan tampil bicara, nyaring melengking,

“Bu-kongcu, kami tak mengenal takut biar kepada iblis sekalipun! Siapa takut menerima undangan kalian? Suhengku ini memang mengalah. Biar aku mewakili dirinya menjawab pertanyaan kalian. Kami tak takut, kami mau!”

Bu-kongcu tertawa bergelak. Dia berseri memandang gadis tinggi semampai ini, gadis yang menarik perhatiannya karena mampu membuat dia terdorong mundur dalam adu pukulan tadi. Gadis yang memiliki sinkang kuat! Maka mendengar Salima menyambut ejekannya dengan kata-kata lantang tiba-tiba pemuda ini gembira bukan main, bertepuk tangan. “Bagus, kau memang gagah, nona. Kalau begitu mari, duduk bersama kami...!” dan Bu-kongcu yang sudah mempersilahkan tamunya duduk di meja besar yang ditunjuk lalu memanggil pelayan menyiapkan hidangan-hidangan baru setengah berteriak, “Hei, bawa semua yang paling baik dari masakan kalian. Juga arak hitam!”

Kim-mou-eng tertegun. Dia sebenarnya menyesal kenapa sumoinya itu terpancing umpan yang dilepas lawan. Sadar bahwa Bu-kongcu itu sengaja mengeluarkan kata-kata mengejek untuk memerahkan telinga. Tapi karena semuanya terlanjur dan sumoinya itu menarik lengannya untuk diajak duduk di meja yang dipersilahkan tanpa takut sedikitpun juga akhirnya pendekar ini menegur sumoinya dengan pandangan mata, berbisik perlahan,

“Sumoi, kau terlalu ceroboh. Kita belum mengenal siapa sebenarnya Bu-kongcu ini...!”