Pendekar Rambut Emas Jilid 03

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Rambut Emas Jilid 03 Karya Batara
Sonny Ogawa

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 03
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
PANGLIMA TUJUH NAGA itu tertegun. Mereka melihat Kim-mou-eng lenyap membawa sumoinya gadis Tar-tar yang ganas itu. Gadis yang lihai dan hebat! Tapi mengejar menjaga nama mereka membentak juga memburu muda-mudi itu. Namun Jit-Liong Ciangkun menahan napas.

Mereka melihat Kim-mou-eng lolos dengan mudah, merobohkan para pengawal di luar penjara sementara mencegah samoinya melakukan pukulan maut. Sebentar saja keluar dari kompleks istana dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Dan ketika mereka tertegun dan api masih berkobar di sana sini dipadamkan para pengawal akhirnya dua jago muda itu menghilang dari kota raja bagai bayangan iblis yang tak diketahui kemana perginya.

"Hebat, gadis siluman itu luar biasa sekali. Dia tak kalah oleh Kim-mou-eng!"

Ang Bin Ciangkun mendesak, "Tentu saja. Dia adalah sumoi pemuda itu, Toan ciangkun. Dia adalah Tiat-ciang Sian-li (Dewi Bertangan Besi) Salima!" dan ketika tujuh panglima itu berbisik-bisik dan saling membicarakan Pendekar Rambut Emas bersama sumoinya yang datang seperti singa betina yang haus darah itu dengan muka pucat maka untuk kedua kalinya kota raja dibuat geger.

Salima si Dewi Bertangan Besi mendapat nama. Begitu saja melejit seperti suhengnya. Tapi, kalau Kim-mou-eng dikenal lunak dan sabar menghadapi lawan maka adalah gadis Tar-tar itu lebih dikenal orang dengan takut dan gentar. Ngeri oleh sepak terjangnya yang ganas. Tak memberi ampun pada musuh. Benar-benar bertangan besi! Dan ketika kota raja geger dan kebakaran berhasil dipadamkan maka jauh di luar sana, di luar hutan di sebelah kota raja Salima telah berdiri saling berhadapan dengan suhengnya itu, marah-marah.

"Suheng, apa yang kau lakukan ini? Kau tidak tahu membalas budi?" Salima menyemprot langsung, melepaskan diri dari suhengnya dengan tarikan kasar dan mundur dengan mata berapi-api, tampak marah besar dan gusar pada suhengnya itu.

Tapi Kim-mou-eng yang menghela napas sendu dan bersikap tenang enak saja menjawab, kalem. "Sumoi, mereka adalah orang-orang yang sebenarnya tidak memusuhi kita. Jit-liong Ciangkun bukan lawan, tak perlu kita bersıkap keras atau membunuh mereka!"

"Tapi mereka telah menangkapmu, suheng, Mereka memenjarakanmu di ruang bawah tanah dan siap menghukummu mati. Menunggu perintah kaisar!"

"Hm, semudah itukah mereka menghukum mati padaku? Tidak, mereka tak gampang membunuhku, sumoi. Aku dapat menyelamatkan diri kalau benar-benar mereka hendak membunuhku. Yang manjadi gara-gara di sini adalah Mao-taijin. Menteri itulah yang menjadi biang keladinya"

"Kenapa?"

"Karena dia hendak membunuh bupati Wang. Kupergoki dan akhirnya terjadi semua keributan itu."

"Hm...! Salima tiba-tiba bersinar mukanya. "Bupati yang punya anak gadis cantik itu?"

"Benar"

"Dan kau membela bupati ini?"

"Tentu saja. Dia tak bersalah, Sumoi. Bupati itu orang baik dan...."

"Suheng!" Salima tiba-tiba membentak, memotong kata-kata suhengnya itu. “Siapakah sebetulnya yang hendak kau bela? Bupati tua itu ataukah anak perempuannya yang jelita? Kau tak perlu bohong padaku, suheng. Kau rupanya sudah tergila-gila pada gadis siluman itu. Kau jatuh hati padanya!"

Kim-mou-eng terkejut. "Sumoi..."

"Tak perlu mengelak!" Salima membentak lagi, merah mukanya. "Aku tahu hubunganmu dengan puteri Wang-tajin itu, suheng. Dan tidak kusangka kalau dia berhasil memelet dirimu sedemikian rupa. Terkutuk gadis siluman itu. Semoga dia disambar bledek (geledek)!"

Kim-mou-eng marah. Dia terkejut dan gusar mendengar sumoinya ini memaki-maki Cao Cun, puteri bupati Wang itu. Tapi ketika dia melihat Salima terisak dan tiba-tiba menangis melompat ke barat menuju kabupaten Chi-Cou dan mengancam akan membunuh gadis cantik itu mendadak Kim-mou-eng membentak dan mengejar sumoinya ini, langsung menyambar pundak dan seketika itu juga menghentikan Salima. Dan ketika Salima menangis dan meronta melepaskan diri maka dengan suara gemetar pendekar ini berkata,

"Sumoi, ku tak perlu menuduh tidak-tidak. Aku tidak mencintai gadis itu seperti yang kau katakan. Hubungan kami melulu sebagai kakak dan adik!”

Salima berhenti meronta. Mereka saling beradu pandang dengan mata sama-sama penuh selidik, Salima masih berapi-api dan menyala seolah hendak membakar suhengnya itu. Tapi ketika bentrok dengan pandangan suhengnya yang lembut dan melihat muka suhengnya mash penuh jelaga, tiba-tiba Salima mengeluh dan duduk membanting diri di atas tanah,

"Suheng, kau kejam... kau..." Salima menangis tersedu-sedu, lenyap sudah kegarangan dan keganasannya tadi, kembali seperti wanita biasa yang penuh rasa dan curiga, rupanya cemburu.

Dan Kim-mou-eng yang menarik napas mendekati Sumoinya ini lalu duduk mendampingi dengan senyum pahit. "Sumoi, kau tahu aku melakukan perjalanan, bukan untuk mencari wajah cantik. Kau tahu bahwa aku ke Tionggoan karena hendak mencari kampung halaman ibuku. Kenapa curiga yang tidak-tidak dan selalu mengikutiku. Aku akan kembali keluar pedalaman setelah semuanya selesai. Tak perlu kau mengejar-ngejarku seperti ini seolah aku musuh bebuyutanmu yang berhutang jiwa!"

Salima tersedu-sedu. "Tapi kau... tapi kau menipuku di tempat bupati Wang itu, suheng. Kau meninggalkan aku ketika berjanji untuk kembali ke suku bangsa kita!"

"Hm, itu karena waktu itu kau terlampau. mendesakku, sumoi. Kau memaksakan kehendak sendiri tanpa mau mengerti keinginanku."

"Jadi kau tetap tak mau pulang?"

"Kalau belum terpenuhi keinginanku, sumoi. Aku hendak mencari dulu kampung halaman ibuku itu!"

Salima melompat bangun. Ketegasan dalam jawaban suhengnya ini menunjukkan kekerasan hati suhengnya itu. Bahwa suhengnya tak mau pulang sebelum menemukan kampung halàman ibunya. Sikap yang tak mau dibantah. Dan Salima yang terbelalak memandang suhengnya itu tiba-tiba terisak dan berkata, "Baik, kalau begitu aku ikut!"

Kim-mou-eng terkejut. "Apa. Kau mau ikut?"

"Ya!" Salima tegas menjawab. "Aku ikut denganmu, suheng. Aku tak mau kembali kalau kau juga tak mau pulang!"

Kim-mou-eng membelalakkan mata. Dia tertegun oleh kata-kata sumoinya ini, melihat pula kekerasan sumoinya itu menyatakan keinginan. Tapi tersenyum dan tertawa lebar mendadak pendekar ini menyambar sumoinya, merasa geli, memegang lengan sumoinya yang lembut namun penuh getaran tenaga. "Sumoi, untuk apa kau ikut? Bukankah ini perjalanan keras yang penuh bahaya yang tidak kita ketahui? Apa lagi kau telah membuat ribut di kota raja, sumoi. Jit-liong Ciangkun tentu tak akan tinggal diam membiarkan kita!"

"Perduli amat!" Salima tak ambil pusing. "Aku tak takut dengan mereka itu, suheng. Dan masalah keras agaknya tempat kita jauh lebih keras dibanding tempat ini!"

"Baiklah," Kim-mou-eng maklum akan kekerasan hati sumoinya. "Aku tak keberatan kau ikut, sumoi. Tapi kau kuminta satu hal padamu agar dapat mengendalıkan diri dan tidak bersikap telengas terhadap musuh. Kau berjanjí?"

Sałima tersenyum. "Asal kau tak meninggalkan aku tentu semua kata-katamu kuturut, suheng. Tapi sekali kau menipuku tentu aku tak berani tanggung akan sepak terjang diriku sendiri!"

Kim-mou-eng tertawa pahit. Dia mengangguk, maklum akan kata-kata sumonya ini yang merupakan setengah ancaman. Ancaman agar dia tak meninggalkan sumoinya. Berdebar bahwa dia harus melakukan perjalanan berdua dengan gadis yang luar biasa itu, manis memikat tapi juga berkepandaian tinggi!

Dan ketika dia setuju dan Salima tampak girang diperbolehkan ikut bersama suhengnya itu tiba-tiba gadis ini melompat pergi mencari air, datang sambil tertawa-tawa dan sudah mengeluarkan saputangan. Dan keiika Kim-mou-eng heran dan tak mengerti oleh sikap sumoinya itu maka tahu-tahu Salima telah membersihkan mukanya yang penuh jelaga.

"Suheng, kau tak boleh pergi dengan muka seperti ini. Nanti orang takut mengira dirimu setan!"

Kim-mou-eng tertawa. Dia melihat sumoinya itu sudah membasuh mukanya dengan sikap begitu lembut, jari-jari yang mungil itu tampak bergetar penuh rasa, menyalurkan kehangatan cinta yang membuat Kim-mou-eng tersentak. Dan ketika Salima selesai dan jelaga itu sudah bersih dari mukanya maka meluncurlah pujian jujur dari sumoinya ini,

"Suheng, kau tampan!"

Kim-mou-eng jengah tersipu. Dia tahu sikap blak-blakan sumoinya ini. Bahwa Salima tanpa tedeng aling-aling untuk apa yang dia rasakan. Gadis yang biasa bersikap juiur dan terbuka. Sama terbukanya seperti tempat tinggal mereka diluar tembok besar sana. Dan ketika Salima tertawa dan giginya yang berderet rapi itu tampak berkilat menyilaukan mata tiba-tiba tanpa sadar Kim-mou-eng juga memuji,

"Dan kau cantik, sumoi. Kau manis!"

Salima tertawa. Dia ganti tersipu oleh pujian suhengnya ini, tapi melompat memutar tubuh tiba-tiba dia menyambar lengan suhengnya itu. "Hayo, kita mulai perjalanan kita, suheng. Aku tak sabar lagi menemukan kampung halaman ibumu!" dan begitu Salima bergerak mengerahkan ginkangnya maka sebentar kemudian Kim-mou-eng terbawa meninggalkan hutan itu, tersenyum dan berdebar karena kini Salima yang mencekal tangannya, merasakan kehangatan yang aneh dari telapak sumoinya itu. Kehangatan yang membangkitkan berahi.

Tapi Kım-mou-eng yang mampu mengendalikan diri dan menekan bangkitnya nafsu itu sudah berendeng dan berlari cepat bersama sumoinya. Dan begitu dua muda-mudi ini meninggalkan hutan itu maka tempat itupun sunyi kembali seperti sedia kala.

* * * * * * * *

"Taijin,mana gadis itu?"

Mao-taijin menjatuhkan diri berlutut. "Ampun, belum hamba ambil, sri baginda. Masih menunggu hari baik agar tak membawa sial bagi paduka."

"Hmn, kenapa lama amat? Kapan kau ambil?"

Mao-taijin mulai berceloteh. Pagi itu dia dipanggil kaisar, menanyakan tentang puteri jelita itu yang bukan lain Cao Cuo adanya. Gugup karena bupati Wang dan gadis itu telah meningkalkan gedungnya. Mencari seribu akal agar dia dapat menjawab tepat , tak kena marah Dan kaisar juga manusia biasa yang percaya akan tahayul dan segala macam tanda tanda hidup yang bersifat mistis, maka kesinilah jawaban Mao Taijin itu.

Dia menyodorkan ilmu kuno, bahwa membawa gadis itu harus menurut hari yang baik, jam yang baik dan tanggal yang baik. Berceloteh yang sebenarnya ingin membujuk kaisar untuk mengulur-ulur keadaan belaka. Bahkan mengharap kaisar untuk tidak lagi mengingat gadis itu. Gadis pembawa "sial" bagi Mao Taijin karena Wang Taijin tak mau memberi "upeti". Bahkan menghinanya dengan kata-kata keras yang membuat menteri itu naik pitam. Tapi beberapa hari kemudian sri baginda kaisar masih menanyainya dan mendesak menteri itu agar secepatnya membawa Cao Cun, maka bingung dan guguplah menteri ini.

Sebenarnya kalau Wang Taijin mau membayar 500 Ons emas seperti yang dia minta itu, maka saat itu juga Cao Cun pasti sudah dihadapkan pada junjungannya ini. Tapi karena Wang Taijin orang jujur dan dia harus mengumpat caci bupati ini atas kekerasan sikapnya yang begitu "alot" akhirnya menteri ini membiarkan saja urusan Cao Cun terbengkalai, tak menyangka kaisar ternyata menanyainya berulang-ulang.

Dan karena Kim-mou eng telah lolos dan Pendekar Rambut Emas itu terang-terangan membantu bupati ini maka Mao taijin tak berani meneruskan niatnya untuk menyuruh bunuh secara diam-diam bupati yang tak dapat dibujuk itu. Dan hari itu sri baginda menanyainya untuk yang terakhir,

"Bagaimana, sudah kau temukan hari baik, itu, taijin? Kapan dia kau bawa ke mari? Jangan main-main, aku sudah tak sabar!"

Mao taijn kecut. "Ampun, seminggu lagi, sri baginda. Hamba telah bertanya pada orang-orang pandai yang mahir menentukan hari baik untuk membawa juwita itu bagi padaka, Harap paduka, bersabar."

"Hm, seminggu lagi?"

"Ya. seminggu lagi, sri baginda. Mohon paduka bersabar karena bidadari ini harus diboyong menurut hari yang baik. Hamba akan mengatur itu untuk paduka!"

Kaisar mengangguk. "Baik, ini yang terakhir, taijin. Kau jangan mengulur waktunya lagi, karena aku benar-benar sudah tak sabar lagi menemui jawitaku itu. Persiapkan segalanya!"

"Baik, baik...!" Mao Taijin manggut manggut, kecut dan gentar menerima keputusan itu. Bahwa seminggu lagi dia harus membawa Cao Cun. Padahal Cao Cun dan ayahnya telah memusuhi dirinya. Mungkin tak mau datang! Dan Mao tajin yang buru-buru menyambung agar sri baginda memberikan cap-nya pada surat perintah memanggil gadis itu kepada keluarganya akhirnya disambut heran oleh kaisar ini.

"Apakah kedudukanmu tak cukup menundukkan gadis itu, taijin?"

"Ah, ampun...!" Mao-taijin sadah mendapat akal. "Gadis ini memang benar-benar istimewa sekali, sri baginda. Dia memiliki kewibawaan yang sederajat dengan paduka. Hamba terus terang harus mengaku kalah pengaruh oleh calon kekasih paduka itu. Karena itu mohon paduka berikan cap agar gadis itu tak menolak bila hamba memanggilnya ke mari!"

Sri baginda tertawa. Dia merasa geli tapi juga girang oleh cerita menterinya ini, bahwa calon kekasihnya itu wanita yang demikian berwibawa, membuat Mao-taijin takut dan kalah pengaruh. Agaknya keratu-ratuan! Dan tidak merasa curiga bahwa sebetulnya Mao-taijin hendak menggunakan capnya itu sebagai jalan terakhir kalau Cao Cun dan ayahnya tak mau dibujuk datang. Akhirnya kaisar memberi juga apa yang diminta menterinya ini. Menandatangani surat perintah seperti yang dimaui Mao-taijin. Meminta juwitanya itu datang mènghadap melalui menterinya ini.

Dan ketika Mao-taijin berangkat dan pergi meninggalkannya penuh harap maka menteri itu sudah mengatur jalan bagaimana caranya mendatangkan bupati Wang itu, tentu saja bersama puterinya, Cao Cun sang bidadari yang membuat kaisar tergila-gila. Dan ketika benar Wang-taijin tak mau dipanggil karena mereka telah saling bermusuhan maka surat kaisar inilah yang dipergunakan menteri itu.

Tadinya bupati Wang memang menolak ketika Mao-taijin memanggilnya secara pribadi. Bahkan marah-marah karena mengira menteri itu lagi-lagi mau membujuknya, menyuruh dia menyuap padahal perbuatan itu amat dibencinya. Tapi ketika utusan Mao-taijin datang kembali dan kini membawa surat kaisar yang sudah diberi cap kerajaan itu tiba-tiba saja Wang-taijin tertegun.

"Apa ini? Kau tidak main-main?"

Sang utusan tersenyum mengejek. "Kami tidak memalsu cap kaisar, taijin. Kalau kau tak mau tak apa. Kami tak akan mendesak. Kami akan kembali melaporkan penolakanmu."

Wang taijin pucat. Dia memeriksa surat itu, melihat bahwa surat itu benar benar dari kaisar. Tidak main-main Otentik! Dan Wang-taijin yang tentu saja terkejut dan berobah mukanya buru-buru ke dalam menemui puterinya. "Celaka!" demikian bupati ini bicara setengah berteriak. "Menteri she Mao itu mempengaruhi kaisar memanggil dirimu, Cun-ji. Apa yang harus kita lakukan?"

Cao Cun menangis. Saat itu dia berada di kamarnya bersama ibunya, sudah beberapa minggu ini murung. Yakni ketika Kim-mou-eng meninggalkannya begitu saja di taman ketika Salima muncul, gadis Tar-tar yang gagah tapi galak itu. Dan melihat Mao-taijin mengutus orangnya dengan membawa surat kaisar yang tentu saja tak dapat mereka bantah tiba tiba saja gadis cantik ini mengguguk.

la sebenarnya mulai jatuh hati pada Kim-mou-eng. Pendekar muda yang gagah dan tampan itu. Pendekar yang aneh dengan rambut yang aneh pula, keemasan disertai matanya yang hidup seperti bintang. Diam diam merasa nelangsa (berduka), kenapa pendekar itu demikian cepat meninggalkannya. Padahal mereka baru asyik membicarakan cinta! Dan Cao Cun yang tentu saja kecewa oleh kepergian pemuda itü akhirnya tak menjawab ketika ayahnya kembali bertanya.

"Bagaimana, apa yang harus kita lakukan, Cun-ji? Kau tentu tak akan menyusahkan ayahmu dengan menolak perintah ini, bukan?"

Cao Cun tersedu-sedu, "Terserah kau, ayah. Kalau kaisar sendiri telah memanggilku lalu apa yang dapat kuperbuat? Aku menyerahkannya padamu. Aku tak akan menolak karena tentu menyusahkan kita sekeluarga!"

Wang-taijin mengusap dada. Dia memaklumi apa sebenarnya yang terjadi pada saat itu. Apa gerangan yang membuat puterinya terganggu. Murung selama dua minggu lebih. Tapi melihat kaisar mengutus Mao-taijin untuk menjemput puterinya menghadap sang junjungan teräng bupati ini tak berani menolak. Sebenarnya itu malah keberuntungan besar. Puterinya diambil kaisar, hal yang tidak gampang dialami setiap orang. Termasuk langka dan merupakan anugerah! Maka melihat puterinya tak menolak dan menyerahkan hal itü padanya akhirnya Wang-taijin menyuruh anak gadisnya itu bersiap-siap.

Cao Cun memang lagi gundah. Dua minggu ini kecewa karena cinta yang mulai bersemi di hatinya terhadap Kim-mou-eng kandas di tengah jalan. Gàra gara Salima. Maka méndengar kaisar menyuruh orang menjemput dia akhirnya Cao Cun menganggap bahwa nasibnya memang rupanya harus begitu. Bahwa dia ditakdirkan hidup di istana dan harus melupakan pemuda yang mulai dipujanya itu. Agaknya sudah nasib! Dan Cao Cun yang tak ingin membuat kedua orang tuanya celaka karena penolakannya berarti maut bagi ayah dan ibunya lalu pergi memenuhi permintaan ini.

Tapi Mao-taijin rupanya.. memang bangsat". Menteri ini memanggil sang bupati ke kamarnya, membujuk lagi agar Wang taijin menyerahkan "uang terima kasih" itu. Bersikap agak lunak karena bupati itu sekarang agak di atas angin. Maklum,kaisar sendiri yang menyuruhnya datang. Lewat dia, meskipun kaisar menghendaki secara langsung. Dan Mao-taijin yang tertawa menyambut bupati itu ketika sang bupati datang buru-buru mempersilahkan Wang taijin duduk, manis pula.

"Aha, selamat datang, Wang-taijin. Kau benar-benar beruntung dan hok-gi sekali. Rejekimu benar-benar luar biasa!"

Bupati Wang mengerutkan alis. Dia sudah memiliki perasaan anti-pati terhadap mentèri ini. Menteri pemeras. Tapi karena tuan rumah mempersilahkan duduk dan saat itu dia berada di bawah kekuasaan menteri ini sebelum menjumpai kaisar maka mau tidak mau Wang taijin mèngangguk juga, memberi hormat.

"Maaf. ada apa kau mengundangku ke mari, taijin. Bukankah kaisar memanggilku ke mari?"

Ah, jangan buru-buru, Kaisar sedang beristirahat, taijin. Aku akan mengantar kalian besok. Bersabarlah!"

"Hm...!" Wang-taijin mulai tak enak, “Dan maksud paduka, ada apa menahan kami di sini?"

Menteri itu tertawa, menyeringai lebar. "Aku hendak bercakap-cakap denganmu, Wang taijin. Ingin membicarakan kembali masalah... hm, masalah yang menarik!" dan, tak menghiraukan perobahan muka bupati itu Mao taijin sudah menyuruh pelayan menuang minuman. Kemudian tak memberi kesempatan bupati itu menolak. Menteri Mao sudah mengangkat cawannya. "Ayo, minum dulu, taijin. Jangan buru-buru!"

Mao-taijin sudah meneguk minumannya. Sekali cegluk dia menghabiskan anggur merah yang harum itu, manis dan lezat. Dan Wang-taijin yang tentu saja sungkan menolak akhirnya meneguk juga minuman nikmat itu, mulai diajak bicara ngalor-ngidül oleh menteri Mao yang berbasa-basi sebentar. Dan ketika percakapan mulai hangat menuju pada persoalan Cao Cun yang beruntung diambil sri baginda, menteri ini tak malu-malu bicara,

"Wang taijin, aku sungguh iri atas keberuntungan puterimu. Kau dapat hidup jauh lebih mewah daripada sekarang!"

Wang taijin mengerutkan alis. "Aku tak mabok kemewahan hidup, paduka menteri. Kami sekeluarga sudah biasa hidup sederhana."

"Ha-ha, itu dulu, taijin. Kalau puterimu telah tinggal di istana tentu kalian semuà harus menyesuaikan keadaan. Kau dan puterimu benar-benar mendapat hok-gi (rejeki) luar biasa!”

Wang-taijin mulai waspada. "Dan maksud paduka, ada apa mengajak hamba ke mari?”

Mao-taijin meletakkan cawannya, mengusap bibir tampak nikmat, merah mukanya dan mulai bersinar memandang bupati yang keras hati ini. Dan ketika dia tertawa dan berhati-hati membujuk bupati itu akhirnya keluar juga kata-kata menteri ini. "Bupati Wang, besok nasib anakmu menghadap kaisar ada di tanganku. Terus terang aku ingin meminta sekedar jasa. Bagaimana jika permintaanku dulu kuulangi di sini?"

Wang-taijin marah, bangkit dari kursinya. "Mao-taijin. paduka hendak memeras hamba untuk masalah ini? Paduka masih juga nekat meminta uang sogok?"

"Aku tak meminta uang sogok, Wang-taijin. Aku sekedar minta uang jasa atas semua budi kebaikanku.”

"Ah, budi kebaikan tak dijual-belikan seperti barang dagangan, Mao-taijin, Kalau paduka memberi budi justeru paduka tak hendak mengungkit-ungkit masalah itu. Budi yang diminta kembali adalah budi yang palsu, rendah dan hina!"

Mao taijin terkejut. "Kau berani memaki?"

"Maaf," Wang-taijin sudah merah mukanya melotot menahan marah. "Seribu kali kau memerasku maka seribu kali itu pula kau tak akan behasil, taijin. Cam-kan bahwa bupati Wang bukan orang yang mudah menyogok!"

"Meskipun keputusan anakmu di tanganku?"

"Keputusan anakku bukan di tanganmu, taijin. Melainkan di tangan kaisar!"

"Tapi aku dapat merobahnya, bupati Wang, Aku adalah orang yang langsung dapat mempengaruhi kaisar!"

"Tak mungkin!"

"Kau tak percaya?"

"Tidak!"

"Baik, kau boleh lihat besok" dan Mao-taijin yang gusar membentak bupati ini akhirnya menyuruh Wang taijin pergi.

Tapi Wang taijin minta agar puterinya diambil, tak mau meninggakannya sendirian di tempat menteri pemeras itu. Dan ketika Mao taijin menolak dan terjadi keributan di kamar itu tiba tiba Sin-kee Lo-jin muncul menghantam bupati ini.

“Wang taijin, kau enyahlah seperti yang dikata majikanku. Keluarlah...dess!"

Wang-taijin mencelat, jatuh terguling-guling menerima pukulan kakek itu ketika Sin-kee Lo-jin juga marah pada bupati ini. Tapi ketika Sin-kee Lo-jin hendak membunuh bupati itu dan Wang-taijin pucat membentak marah tiba-tiba bupati ini berteriak. "Mao-taijin, kau boleh siksa dan bunuh aku sampai mampus. Tapi Kim-mou-eng akan mencarimu dan membuat perhitungan!"

Mao-taijin terkejut. Sin-kee Lo-jin juga tersentak. Maklum, mereka berdua telah melihat kepandaian Pendekar Rambut Emas yang luar biasa itu, yang agaknya ada hubungan dengan bupati ini. Bahkan Sin-kee Lo-jin baru saja sembuh dari patah tulangnya ketika menghadapi pendekar itu.

Dia menggeram tak jadi membunuh akhirnya kakek ini memukul pingsan bupati she Wang itu, mendengar seruan Mao tajin pula agar tak menghabisi jiwa bupati itu. Dan begitu sang bupati terlempar dan roboh pingsan akhirnya menteri Mao menyuruh orang menyiapkan sebuah kereta lengkap dengan kusirnya, membawa pulang bupati itu ke Chi-cou, kabupaten di mana dia menjadi kepala daerah.

Tentu saja disambut jerit tangis isterinya. Dan begitu Wang-taijin di pulàngkan ke rumahnya maka tinggallah Cao Cun sendirian di gedung menteri itu, tak tahu ribut ribüt yang baru saja terjadi antara ayahnya dengan menteri Mao. Dan Wang-taijin yang tentu saja cemas dan gelisah bersama sang isteri lalu berdoa tak dapat berbuat apa-apa.

Tapi Wang-taijin merasa ancamannya berhasil. Dia telah menakut-nakuti menteri itu dengan nama sahabat barunya, sang bintang penolong. Kim-mou-eng alias Pendekar Rambut Emas, nama yang membuat Mao taijin dan pembanturya gentar, terbukti dia tak jadi dibunuh kecuali dibuat pingsan saja. Tapi Wang-taijin yang bagaimanapun juga mencemaskan nasib sang anak perempuan akhirnya menyuruh Hok Gwan sang pengawal setia ke kota raja untuk menyelidiki berita secara diam-diam.

Dan Wang taijin tertegun. Dia mendengar puterinya benar-benar tak jadi dihadapkan kaisar, persis seperti ancaman menteri pemeras itu. Dibawa ke Istana Dingin sebagai calon yang siap dipanggil saja. Entah bagaimana benar-benar berhasil mempengaruhi kaisar untuk tak mengambil puterinya itu. Dan karena Istana Dingin adalah sebuah istana yang khusus untuk menampung calon-calon selir yang sifatnya seperti sebuah penampungan belaka dan Cao Cun tak tinggal lagi di gedung menteri Mao maka sedikit atau banyak Wang-taijin lega juga. Heran tapi juga was-was bagaimana menteri itu dapat mempengaruhi kaisar.

Maklum, kaisar sendirilah yang memanggil dia dengan surat perintah resmi. Jadi terasa aneh dan tidak bisa dimengerti kalau kaisar yang memanggil lalu dengan enak begitu saja dinyatakan tidak jadi. Batal. Tapi karena puterinya telah tinggal di tempat lain dan tidak lagi di gedung menteri itu maka Wang taijin tak cemas lagi akan nasib puteriuya. Tak perduli apakah Cao Cün akan diambil kaisar atau tidak karena baginya keselamatan puterinya itulah yang penting. Bukan harta benda istana seperti yang diiming-imingkan Mao-taijin.

Dan begitu Wang-taijin tenang dan tinggal menunggu bagaimanakah kelak keputusan kaisar mengenai diri puterinya itu akhirnya bupati ini bersama sang isteri harap-harap cemas saja di rumah. Mengharap kalau Cao Cun "tak dipakai" biar dikembalikan saja ke Chi cou. Berkumpul lagi bersama mereka. Habis perkara. Tapi sedemikian mudahkah keinginan ini?

Ah, Wang-taijin tak tahu apa yang terjadi di istana. Dia tak tahu apa yang dilakukan Mao taijin. Betapa menteri itu telah menyulap "bim-salabim" barang yang istimewa menjadi barang biasa. Bahwa kaisar berhasil dikibuli mentah mentah oleh mênteri yang cerdik ini. Cerdik tapi jahat. Dan Cao Cun yang tak lagi tinggal di gedungnya melainkan tinggal di Istana Dingin pada hakekatnya adalah penjara seumur hidup yang akan menyengsarakan gadis itu. Sebagai balas dendam atas sakit hatinya pada bupati she Wang itu!

Apa yang terjadı? Sebuah kecurangan besar, Mao-taijin menghadap kaisar, menangis dan menjatuhkan diri berlutut. Pura-pura dilanda duka dan ketakutan yang sangat hingga mengherankan kaisar, yang saat itu menunggu Cao Cun karena menteri itu berjanji bahwa hari itulah sang bidari akan menghadap. Dan kaisar yang bertanya dengan rasa heran dan curiga akhirnya memandang pembantunya itu.

"Mao-taijin, apa yang terjadi? Mana itu bidadari juwitaku?"

Mao-taijin menangis, mengeluarkan air mata yang tentu saja air mata buaya. Dan membenturkan dahi penuh takut pura pura. menteri ini berkata. "Ampun, hamba telah membawa gadis itu ke mari sri baginda. Tapi tak berani membawanya pada paduka karena ada satu hal penting yang lupa hamba tunjukkan pada paduka!"

"Hm, apa itu? Hal penting apa?"

Mao-taijin mengeluarkan gambar Cao Cun, gemetar terbata, "Ini.... ini yang harus hamba tunjukkan, sri baginda. Bahwa tahi lalat ini menurut para ahli nujum besar merupakan tanda tak baik bagi paduka. Tanda sial yang akan mencelakakan paduka beserta seluruh kerajaan!"

Kaisar terkejut. Dia melihat sebuah tahi lalat yang telah dipasang Mao-taijin di wajah Cao Cun. Tak tahu hahwa secara licik dan cerdik menterinya itu mempergunakan kelemahannya dalam tahayul untuk mempengaruhi kaisar. Maklum, kaisar memang amat percaya sekali pada segala jenis hal-hal gaib yang menyimpan tanda kehidupan. Bahwa tahyul melekat erat di hati kaisar Yuan Ti dan tentu saja terbelalak mendengar menterinya berkata bahwa sang bidadari membawa sial bagi dirinya dan seluruh kerajaan. Gara gara tahi lalat itu!

Dan kaisar yang tertegun memandang menterinya, akhirnya mendengar menterinya itu bicara kembali sambil menuding seorang laki-laki tua berpakaian putih-putih, yakni Kun-lojin yang menjadi peramal istana.

"Lihat, paduka boleh bertanya pada peramal paduka ini, sri baginda. Kun-lojin baru memberi tahu hamba akan arti sial yang terdapat pada tahi lalat calon kekasih paduka itu. Dia hanya membawa kesenangan sekejap, tapi setelah itu akun menghangus dan menghaucurkan paduka berikut seluruh kerajaan!"

Kaisar semakin kaget, berobah mukanya, memandang kakek tua berpakaian putih-putih itu. "Benarkah, Kun-lojin?"

Kakek ini, yang tentu saja sudah disuap Mao-taijin mengangguk dan gemetar bicara, "Ampun, itulah yang hamba lihat, sri baginda. Tapi kalau paduka tak percaya tentu saja paduka boleh melanjutkan niat paduka itu. Gadis itu ada di sini!"

"Hm, kalau begitu buat apa dibawa?" kaisar langsung terpengaruh, takut karena tahi lalat itu membawa kesialan. Tak tahu bahwa dia dikibuli mentah-mentah. Dan kaisar yang tentu saja lenyap nafsunya melihat Cao Cun tiba-tiba tak berpikir penjang lebar menyuruh gadis itu diusir saja. Paduhal tadinya demikian bersemangat dia menyuruh cari gadis itu. Gadis yang membuat dia tergila-gila. Padahal belum pernah sama sekali melihat wajahnya. Dan kaisar yang ketakutan mendengar Cao Cun bakal membawa sial bagi kerajaan lalu menyuruh gadis itu dibuang saja!

"Kalau begitu tak perlu kau bawa ke mari gadis itu, taijin, Mungkin langkah kakinya saja sudah membawa sial bagiku. Buang saja dia jauh-jauh!"

"Ah!" Mao-taijin menggeleng, merasa girang dan ingin membalas deadam lebih lanjut. "Gadis itu memang membawa sial, sri baginda. Tapi jangan dia dibuang begitu saja. Kun lojin memberi tahu bahwa pengaruh sial itu dapat dihindari kalau gadis ini ditampung di Istana Dingin. Mungkin sebulan atau setahun bawaan sialnya itu dapat dihilangkan."

"Begitukah?" kaisar tertegun, mengerutkan alis.

"Ya, begitu menurut nujum istana ini, sri baginda Karena itu kalau paduka setuju biarkan saja gedis itu tinggal di Istana Dingin agar kelak paduka dapat menikmati juwita paduka itu setelah bawaan sialnya lenyap!"

"Apa tandanya?"

"Tahi lalat itu akan hilang, sri baginda. Tahi lalat itu akan hilang sendiri kalau bawaan sial itu lenyap!"

Baiklah," kaisar lagi-lagi terpengaruh, percaya pada menterinya ini. "Bawa dia ke Istana Dingin teijin. Kalau bawaan sial itu lenyap boleh kau bawa ke mari dia Itu!"

Mao-taijin girang. Dia hampir tertawa bergelak mendengar kata kata junjungannya itu. Maklum, kaisar rupanya berhasil terpengaruh oleh semua ceritanya itu tentang Cao Cun. Bahwa dia berhasil memberi "harapan" pada kaisar untuk kelak menikmati sang dewi impian itu. Dan karena kaisar memang tergila-gila pada bayangan gidis ini dan harapan yang di berikan menterinya itu membangkitkan keinginannya kembali, maka kaisar menyetujui saja semua kata kata menterinya itu. Tak tahu bahwa ini lagi lagi akal Mao-taijin yang busuk. Tak tahu bahwa menterinya itu sebenarnya sedang main "bim Salabim".

Sebab, selama Ceo Cun masih di Istana Dingin dan belum dia serahkan pada kaisar maka selama itu pula dia dapat menunjukkan pada bupati Wang bahwa nasib anaknya ada ditanganya, bukan di tangan kaisar. Dan kalau bupati itu belum tunduk juga padanya untuk menyerahkan 500 ons emas itu seperti yang d mintanya dulu maka Cao Cun akan tinggal seumur hidup diistana yang dikelilingi tembok tinggi itu.

Tak mungkin dapat keluar. Jadi sama dengan dipenjara seumur hidup sampai gadis itu menjadi nenek-penek. Tak lagi diambil kaisar. Tak lagi keberuntungan itu akan menjadi milik Wang taijin sekeluarga. Dan Mao taijin yang girang oleh hasil tipu dan muslihatnya yang cerdik ini akhirnya terbahak-bahak ketika sampai di rumah.

"Ha-ha, sekarang boleh kau lihat siapa yang menang, bupati bodoh. Meskipun anakmu siap diambil keisar tapi kalau aku mencegahnya tentu itupun jadi!"

Dan ini tak diketahui Wang-taijin. Bupati itu memang orang jujur yang tidak banyak mengenal kecurangan orang orang jahat. Maklum, dia lugu dalam soal-soal begitu dan tidak mengira bahwa Mao taijin telah memperdayainya. Benar-benar menguasai nasib anak perempuannya, dan kini sepenuhnya tergantung pada diri bupati itu. Dan ketika sebulan kemudian utusan Mao-taijio menemui dia membawa sepucuk surat dari menteri Mao maka tahu dan kagetlah bupati ini melihat apa yang terjadi.

"Wang-taijin," begitu surat itu bicara. "Nasib anakmu kini benar-benar ada di tanganku. Kau lihat, meskipun hari itu kaisar ingin menemui anakmu tapi kalau aku tak mengijinkannya maka keinginan itu tak akan terpenuhi. Nasib anakmu tergantung pada dirimu. Semakin cepat kau memberikan apa yang kuminta maka semakin cepat pula puterimu itu bertemu kaisar. Terserah kau, apakah masih tetap keras kepala atau merobah kebodohanmu itu menjadi kebijaksanaan! Menteri Mao!"

Wang-taijin mencak mencak. Dia marah bukan main membaca surat itu. Baru tahu bahwa puterinya dipenjarakan di Istana Dingin, meskipun tampaknya bukan begitu. Dan sang utusan yang akhirnya diusir pergi dengan mendapat dampratan keras akhirnya membuat bupati ini bingung, ditambah tangis isterinya yang tersedu-sedu.

"Bagaimana, apa yang harus kita lakukan, suamiku? Masihkah keputusan kita tetap seperti semula?"

"Tentu!" Wang-taijin menggeram. "Aku tak mau mematuhi permintaan menteri pemeras itu, isteriku. Aku harus melapor pada baginda atas semua kecurangannya ini. Aku harus ke kota raja!"

keesokan harinya Wang Taijin pergi ke kota raja. Tapi Wang taijin tertegun. Di kota raja dia dihalang-halangi banyak pengawal, tak sedikitpun juga memberi kesempatan padanya untuk menghadap kaisar. Dan Sin-kee Lo-jin yang muncul dengan sikap penuh ancaman tiba-tiba malah melemparnya pergi.

"Bupati keparat, enyahlah kau. Kaisar sibuk!"

Wang- taijin mengeluh. Dia mencoba lagi, gagal lagi. Mencoba lagi dan gagal lagi, sampai berulang-ulang. Dan karena orang-orang Mao taijin tak memberinya kesempatan dan dia naik pitam pada menteri ini akhirnya bupati itu menghadap atasannya, gubernur Liang. Langsung menceritakan semua kebusukan menteri Mao yang menawan puterinya. Tapi gubernur Liang yang mengerutkan alis mendengar semua cerita bawahannya ini justeru menegur,

"Itu urusan pribadimu, bupati Wang. Tak ada sangkut-pautnya dengan urusan kita dalam soal-soal pemerintahan. Sebaiknya kau menghadap kaisar saja!"

"Hamba sudah ke sana, taijin. Tapi orang-orang menteri itu menghalangi hamba!" Wang-taijin pucat, menjawab gemetar karena melihat gubernur ini rupanya tak mau membantu. Tak tahu bahwa semalam gubernur ini telah diancam orang-orang tak dikenal yang berkepandaian tinggi untuk tidak mencampuri urusan itu. Tentu saja orang-orangnya Mao-taijin! Dan Wang-taijin yang melihat gubernur itu menggeleng kepala tanda tak sanggup akhirnya menyuruh saja bupati itu menghadap Han-taijin, penasihat kaisar.

"Maaf, aku tak mau mencampuri urusan pribadi, bupati Wang. Kalau kau ingin menyelesaikan urusan itu pergilah ke kaisar atau penasihat kaisar saja, Han-taijin!"

Bupati ini teringat. Dia hampir menangis melihat gubernur Liang tak mau membantu, tapi begitu diberi jalan keluar untuk menghadap Han-taijin akhirnya dengan payah dia kembali ke kota raja, langsung ke gedung Han-taijin. Tapi begitu tiba di sana dan melihat penasihat kaisar itu sedang bercakap-cakap dengan menteri Mao yang tersenyum dari jauh tiba-tiba bupati ini mendekap dada terhuyung pergi.

Penglihatan itu saja sudah membuat dia maklum apa yang akan terjadi. Tentu kegagalan pula! Dan Wang-taijin yang akhirnya benar-benar menangis oleh, perbuatan menteri itu akhirnya pulang dengan air mata bercucuran, menceritakan semua kegagalannya pada sang isteri. Dan begitu sang isteri mendengar dan kaget di tempat tiba-tiba saja wanita ini mengeluh roboh dan tak sadarkan diri. Bahwa harapan mereka sia-sia ke manapun mereka pergi.

Dan teringat kegagalan itu berarti pula kegagalan mereka membebaskan Cao Cun di Istana Dingin akhirnya dua suami isteri ini jatuh sakit dan kurus digerogoti dendam. Tapi Hok Gwan sang pengawal setia tiba-tiba muncul. Pengawal ini memberi harapan baru. Bahwa masih ada satu jalan keluar. Dan ketika pengawal itu berbisik-bisik bahwa jalan keluar yang dimaksud itu adalah mencari bantuan Kim-mou-eng si pendekar sakti. Tiba-tiba seperti disengat listrik bupati ini bangkit dan melonjak dengan mata bersinar sinar.

"Betul, Kau betul, Hok Gwan! Kenapa aku melupakan in? Ah, cari dia. Cari pendekar itu dan ceritakan semua yang kami alami ini padanya. Minta bantuannya agar membebaskan Cao Cun!"

Hot Gwan mengangguk. Dia terharu sekali melihat keadaan dua suami isteri itu, melihet majikannya kurus-kurus digerogoti sakit hati. Telah mendengar apa yang diminta Mao-taijin, dia diam-diam mengutuk menteri pemeras itu. Berjanji tak akan kembali kalau Pendekar Rambut Emas tak berhasil dia temukan. Dan begitu pengawal ini berangkat dan Wang-taijin suami isteri menaruh harapan besar pada pengawalnya itu sedikit demi sedikit penyakit mereka sembuh.

Kiranya harapan ini memang memiliki pengaruh mujizat. Dengan harapan saja Wang-taijin dan isterinya merasa terhibur. Menunggu tegang dan harap-harap cemas di rumah. Berdoa tiada habis-habisnya membakar hio hingga rumah bupati itu selalu harum, dipenuhi asap yang meresapkan kedamaian. Sedikit demi sedikit memulihkan mental bupati itu. Tapi ketika sebulan dua bulan Hok Gwan tak kembali juga dan kabar puteri mereka itu tak kunjung berubah akhirnya Wang-taijin cemas dan mulai pasrah.

Diam-diam mulai mengkhawatirkan akan nasib pengawalnya itu, menangis kenapa dia membiarkan pengawalnya yang setia itu pergi. Tapi Karena harapan itu masih selalu ada di depan mata dan harapan ita sendiri memang memiliki kekuatan luar biasa untuk seseorang bertahan terhadap cobaan hidup akhirnya Wang-taijin dan isterinya lalu menjadi manusia manusia pendiam seolah patung batu. Masih ternina-bobo kan oleh harapan itu. Dan ketika harapan itu juga masih berkelanjutan dan Wang-taijin hidup atas "harapan" ini maka Wang-taijin dan isterinya tak tahu bahwa Hok Gwan telah tewas dibunuh orang-orang Mao Taijin yang mengamat-amati rumah bupati itu. Sial!

* * * * * * * *

"Sumoi, ke mana kita ini?"

Salima tertawa. Dia dan suhengnya saat itu telah jauh meninggalkan kota raja, berhenti di depan sebuah dusun yang tampak sunyi Dan mendengar suhengnya bertanya sambil menoleh kiri kanan tiba-tiba ia tak dapat menahan geli hatinya. "Suheng, kenapa masih bertanya? Bukankah kita mencari kampung halaman ibumu? Kau sendiri yang minta, sekarang malah bertanya kemana kita pergi!"

"Bukan, bukan begitu. Yang kumaksudkan adalah ke mana kita ini sekarang, sumoi. Dusun apa ini dan kenapa berhenti di sini."

"Ah, kita berhenti untuk bertanya, suheng. Siapa tahu penduduk dusan ada yang tahu di mana kampung halaman ibumu itu. Dusun, hm... dusun apa tadi?"

"Dusun Yu-chung."

"Yach, itu. Dusun Yu-chung. Kita cari tahu di mana beradanya dusun itu pada penduduk kampung ini. Tapi kenapa sepi? Ke mana mereka semua itu?"

Salima ikut menoleh sana sini. Dia memang merasa agak heran kenapa dusun itu sunyi benar. Agaknya semua penduduk sedang keluar. Mungkin ke sawah. Tapi belum mereka memasuki dusun itu mendadak Kim-mou-eng menyambar lengannya berbisik, kedepan.

"Ada orang."

Salima mengangguk. Ia juga, mendengar langkah orang, yang dimaksud suhengnya itu, seorang laki-laki kekar yang muncul di balik pintu dusun, sebuah gerbang, sederhana tanpa daun pintu. Dan ketika orang ini muncul dan melihat Salima bersama suhengnya itu ada di situ mendadak orang ini mengerutkan alis, maju menghampiri dengan sikap tidak ramah.

"Siapa kalian?"

Pertanyaan ini kaku sekali. Salima sudah meraşa tidak senang, melihat orang rupanya tidak bersahabat. Ingin mendengus dan tidak menjawab pertanyaan itu. Tapi suhengnya yang menjura membungkuk sopan sudah maju ke depan menjawab kalem, Sobat, kami pêrantau yang mencari dusun Yu-chung. Tahukah kau di mana dusun itu yang dulu di kepalai oleh Yu-lopek?"

Laki-laki ini tertegun. "Yu-lopek? Siapa dia? dan dari mana kalian?"

"Kami dari kota raja, datang mencari dusun Yu-chung karena dusun itu menyimpan seorang kerabat kami yang sedang kami cari cari."

"Hmm. kau bohong. Kau bukan penduduk asli kota raja!"

Kim-mou-eng terhejut. Dan sebelum dia menegur laki-laki itu mendadak laki-laki ini meloncat menerkam lehernya. "Hei...." Kim-mou-eng mengelak, kaget karena laki-laki itu menyerangnya tanpa memberi tahu. Tapi baru dia menyelamatkan leher dari terkaman ini mendadak laki-laki itu bersuit merogoh, kantong bajunya. Dan begitu dia membentak mengayun lengan sekonyong-konyong tujuh, pisau bintang berhamburan nmenyambar tubuhnya.

"Cit-cit-citt!" Kim-mou-eng terbelalak. Dia melihat laki-laki kekar ini ternyata cukup lihai juga, tujuh pisau itu ményambar secara berpencar ke tujuh jalan darah di bagian tubuknya. Tapi karena dia marah dan ingin mendemonstrasikan kepandaiannya agar orang tahu diri tiba-tiba Kim-mou-eng membentak dan mengerahkan sinkangnya, langsung memasang tubuh menerima sambaran tujuh pisau bintang itu dengan kekebalannya.

"Tak-tak-tak...!"

Dan... tujuh pisau itu runtuh dan patah-patah. Laki-laki ini terkejut, mengeluarkan seruan aneh dan terbelalak memandang Kim-mou-eng. Tapi begitu dia sadar dan kaget oleh demonstrasi yang ditunjukkan lawannya tiba-tiba laki-Iaki ini memutar tubuhnya melarikan diri ke dalam dusun, menendang roboh sebatang pohon yang langsung menimpa Kim-mou-eng.

"Hei...!"

Namun laki laki itupun lenyap di dalam. Kim-mou-eng hanya melihat orang itu menyelinap di sebuah tikungan, terpaksa melompat mundur menghindari pohon besar yang roboh dengan suaranya yang hiruk pikuk itu. Tapi Salima yang rupanya marah dan gusar pada laki laki itu tahu-tahu melesat kedepan mengejar penyerang itu.

"Tikus busuk, kau berhentilah sebentar!"

Orang itu terkejut. Salima telah berada di belakangnya menampar pundaknya, angin bercuit disertai hawa panas. Dan ketika dia membalik dan coba menangkis tahu-tahu tamparan Salima telah mendarat di pundaknya dan dia roboh terjungkal.

"Plak...!" Orang itu berteriak kaget. Baju pundaknya langsung hancur, kulitnya memar kehitaman, gosong. Dan ketika Salima menyerang lagi dengan tamparan ke kepala tiba-tiba Kim-mou eng berteriak memperingatkan,

"Sumoi, jangan bunuh dia...!" dan Salima yang mendengus mengurangi tenaganya tiba tiba mengganti sasarannya ke pangkal lengan, membuat orang menjerit dan terguling-guling sambil mengaduh. Tapi ketika Salima mengejar dan laki-laki ini meledakkan granat tangan mendadak tempat itu menjadi gelap oleh ledakan asap yaog menggetarkan bumi.

"Blarr...!"

Salima melompat tinggi. Gadis ini berjungkir balik sambil memaki, terpaksa menghindar karena ledakan itu cukup berbahaya dengan kilatan apinya yang panas. Dan ketika dia turun dan melotot terhalang asep tebal maka suhengnya tahu tahu mencekal lengannya membawanya melompat keluar dari kurungan granat asap itu.

"Sumoi, asap itu mengandung bius!"

Salima terbelalak. Dia merasa kepalanya pening, sedikit limbung dan hampir jatuh. Tapi ketika mereka berada di luar dan asap jauh dari mereka akhirnya sang suheng memberi obat penawar penghilang pening.

"Telanlah, kau terlalu ceroboh mengejar laki-laki itu...!"

Salima tertegun. Dia menelan pil yang diberikan suhengnya itu, lenyap sudah rasa pening yang mengganggu kepalanya. Dan ketika dia terbelalak dan asap sudah menghilang dari hadapan mereka maka Kim-mou-eng menghela napas tak melihat lagi laki-laki kekar itu.

"Sumoi, tempat ini rupanya bukan tempat yang baik bagi kita. Rupanya penghuni kampung ini tak suka kedatangan kita. Sebaiknya kita pergi."

"Hm," Salima naik darah. "Kita pergi setelah orang menyerang kita, suheng? Kita biarkan saja laki-laki keparat itu lolos di dalam? Tidak, aku justeru ingin memasuki kampung ini. Aku akan menyelidiki dan menangkap laki-laki busuk itu!"

Kim-mou-eng mengerutkan alis. "Jangan membuat onar sumoi, kita..."

"Aku tidak membuat onar, suheng. Tapi laki-laki itu yang memulai dulu. Dia harus dihajar. Dia tak dapat ditanya, baik-baik!"

"Tidak," Kim-mou eng tidak setuju. "Kita tinggalkan saja tempat ini, sumoi. Aku tak ingin membuat ribut dan..."

Salima mendongak. Dia melhat suhengnya berhenti bicara, melihat bayangan banyak orang muncul di sekeliling mereka. Sakejap Kemudian telah mengepung dan tidak kurang dari limapuluh orang jumlahnya. Semua berkedok. Rata rata tinggi besar dan kekar. Dan Kim-mou-eng yang tentu saja tak dapat keluar dari kepungan yang ketat ini sudah disambut ketawa ejekan sumoinya,

"Suheng, apalagi yang hendak kau katakan sekarang? Masihkah kita tak harus ribut-ribut dengan orang-orang ini? Bukan kita yang mencari ribut, suheng. Melainkan mereka itu yang rupanya memang harus kita hajar!"

Kim-mou-eng tertegun. Dia melihat sumoinya sudah memutar tubuh, memandang dingin para pengepung yang berdiri seperti patung itu. Juga dingin dan tampak bengis. Dan ketika seorang di antaranya yang berdiri paling ujang maju dan memandang mereka dengan mata berkilat segera terdengar bunyi pertanyaan yang kasar menyakitkan telinga,

"Kecoak-kecoak kecil, kalian siapa dan kenapa berbuat kurang ajar di tampat ini? Tidak tahukah kalian bahwa Seng piauw-pang (Perkumpulan Pisau Biatang) sedang mengadakan rapat ketua?"

Salima mendengus, tidak perduli isyarat suhengnya. "Aku tak perduli kalian rapat atau tidak. Yang jelas aku ingin mencari laki-laki busuk yang tadi ada di sini"

"Kau siapa?"

"Aku ratu kalian, Salima!"

"Hm, gadis Tar-tar?“

"Betul, kalian tidak lekas berlatut?"

Orang itu tertawa mengejek. Dia mundur selangkah, kagum juga memandang Salima yang berdiri gagah dengan kepala tegak, angkuh tapi cantik menggairahkan dengan dadanya yang membusung itu. Seolah benar-benar sikap seorang ratu! Tapi Karena Salima tidak dikenal dan Kim-mou-eng juga tidak memperkenalkan dirinya maka orang itu memandang rendah.

"Bocah perempuan, kau tak perlu bermulut besar ditempat ini. Kalian telah mengganggu ketenangan, sebaiknya kalian ikut kami menghadap ketua!"

"Hm, siapa mau kalian tangkap? Aku tak mau di perintah orang, kalau kalian menghendaki ketua kalian ingin menemui aku sebaiknya suruh saja dia keluar!"

Laki-laki itu marah. Para pengepung yang lain juga mengeluarkan suara mengumpat, rupanya kata-kata Salima telah membuat mereka tersinggung. Tapi ketika Salima tertawa mengejek dan maju memutar lengannya dan tak takut menghadapi sekian banyak orang tiba-tiba laki-laki yang ada di depan itu membentak, "Nona, sebaiknya kau tak perlu membuat onar di tempat ini. Kalian memasuki daerah kam tanpa ijin, Kalian kami tangkap!"

"Hei, begitu mudah?"

"Maksudmu?"

"Kami bukan cacing-cacing tak berdaya, orang-orang Seng-piauw-pang. Kalau kalian ingin menangkap kami coba saja kalau kalian bisa. Tapi awas, kami juga dapat membalas perbuatan kalian dengan sikap yang sama!"

"Keparat!" laki-laki itu marah, mencabut pisau bintangnya dan tiba-tiba menyambit dengan tiga pisau sekaligus, semuanya menuju ke bagian depan tubuh Salima, mencuit dan mendengung, lebih kuat dibanding laki-laki pertama yang tadi melempar granat.

Tapi Salima segera menampar perlahan tiba-tiba menangkis dan langsung mementalkan tiga pisau bintang itu.

"Plak-plak-plak-plak!"

Laki-laki itu terkejut. Dia melihat pisaunya mencelat ke kiri kanan, langsung menyambar tiga anak buahnya yang tadi di dekat mereka . Dan sebelum mereka itu tahu apa yang terjadi mendadak tiga buah pisau itu telah mengenai tubuh mereka menancap di lengan dan kaki.

"Crep-crep...!"

Tiga laki-laki itu menjerit. Mereka kontan terpelanting roboh, mengaduh dan berteriak kesakitan karena pisau bintang yang ditampar itu menyambar mereka, cepat sekali, lebih cepat dari sambitan yang ditujukan ke arah Salima. Dan karena mereka tak menduga dan gerakan Salima memang luar biasa sekali maka kontan tiga orang laki-laki ini terjengkang dan tak dapat bangun karena pisau menancap ke tubuh mereka sampai tinggal gagangnya saja.

"Ahh...!" semua orang terkejut. Mereka serentak melompat mundur, sang pemimpin bahkan terbelalak dan hampir tak percaya pada apa yang dilakukan Salima. Tapi begitu sadar dan marah melihat anak buahnya tak dapat bangun berdiri karena merintih rintih memandangi pisau yang menembus demikian dalam di tubuh mereka tiba-tiba laki-laki ini membentak memberi aba-aba.

"Ngo-heng-piauw (Pisau Lima Segi), maju dan tangkap gadis siluman itu...!"

Lima orang bergerak dari belakang. Mereka adalah orang orang yang mengenakan tutup kepala merah, terkejut dan marah melihat Salima merobohkan tiga orang teman mereka. Tapi begitu mengangguk mendapat aba-aba sekonyong-konyong mereka berlima menyerang Salima dengan lima pisau pinjang yang berbentuk bintang, yakni pisau yang aneh karena dari kelima sudut bintang hanyalah satu yang bermata panjang, yakni mata pisau itu karena yang empat merupakan gagangnya, berada di belakang.

Dan begitu lima orang ini bergerak menyerang di lima sudut tiba-tiba Salima mendapat tusukan bertubi-tubi di kiri kanan dan muka belakang, silang menyilang membentuk lima sinar putih yang berkeredep menyilaukan mata, masing-masing bergerak cepat karena mereka ingin merobohkan gadis itu.

Tapi ketika Salima tertawa mengejek dan berkelebat mengerahkan ginkangnya tiba-tiba gadis itu lenyap dari tengah-tengah kepungan, mengejutkan lima orang lawannya yang tentu saja tertegun di tempat. Tak tahu ke mana gadis itu pergi. Tapi ketika bayangan Salima muncul kembali dan berturut-turut menyambar mereka berlima dari kiri ke kanan tiba-tiba lima orang itu menjerit kaget ketika Salima menampar mereka hingga roboh berpelantingan. Sedetik saja!

"Hei.... plak-plak plak!"

Semuanya berlangsung cepat. Kejadian itu mungkin sekejap saja, tak ada sekedipan mata. Dan ketika Salima berdiri kembali dan tegak di samping suhengnya maka tampaklah lima orang Ngo-heng-piauw itu bergelimpangan pingsan dengan pisau terlepas entah ke mana!

"Ah...!" untuk kedua kalinya orang dibuat kaget. Laki laki yang berdiri di depan tampak tertegun, bengong dengan muka terkesima. Tapi begitu sadar dan maklum bahwa gadis Tar-tar ini memang hebat dan luar biasa sekali, mendadak dia berteriak menyuruh semua orang maju, dia sendiri sudah mencabut sepasang pisau bintangnya, menyerang marah karena dalam waktu singkat saja Salima telah melumpuhkan delapan orang temannya.

Dan begitu semua orang mencabut senjata dan mengikuti jejak laki-laki di depan ini yang menyerang marah tiba-tiba empat puluh dua orang itu telah meluruk ke depan menerjang Salima. Tapi karena Kim-mou-eng ada didekat sumoinya dan senjata-senjata itu berhamburan ke arah mereka maka otomatis dua orang ini mendapat hujan serangan tak pilih-pilih lagi.

"Crit-plak-bret!"

Salima sudah menangkis sambil tertawa-tawa. Dia enak saja menerima hujan senjata itu, sama sekali tak gentar, mengerahkan sinkang dan membuat lawan terkejut, karena dengan jari-jari terbuka dan tangan telanjang dia berani menghadapi pisau-pisau lawan yang tajam berkilat itu, mementalkan dan bahkan ada yang patah. Begitu saja seolah tangan gadis itu adalah Pedang pusaka yang menghadap pisau-pisau yang terbuat dari agar-agar. Mudah dan gampang.

Dan ketika Salima membentak dan mengayun tubuh mengerahkan ginkangnya tiba-tiba gadis ini telah berkelebatan membagi-bagi pukulan dan tamparan ke arah lawan-lawannya yang berani mendekati. Dan begitu Salima menangkis dan balas menyerang tiba-tiba saja belasan orang kembali roboh terjungkal. Lima di antaranya patah tulang karena Salima mulai bertangan besi. Dan ketika Salima melengking dan siap melancarkan serangan ganas Karena nafsu membunuh mulai membakar gadis itu tiba-tiba Kim-mou-eng yang berlompatan mengelak dan tak seganas sumoinya berseru,

"Sumoi, jangan melakukan pembunuhan. Aku tak suka ada darah tumpah di sini...!"

Salima teringat. Dia sebenarnya marah dan siap membasmi orang-orang ini, marah karena mereka bersikap kasar. Tak dapat dijak bicara baik-baik. Tapi Karena suhengnya orang yang lembut hati dan dia sudah berjanji untuk menurut semua kata-kata suhengnya maka Salima tertawa mengejek mengurangi tenaganya, Dia menurunkan tamparan atau pukulan ke begian pundak atau punggung, tak jadi ke kepala. Tapi karena tamparannya mengandung sinkang yang cukup menghancurkan seekor banteng maka sekejap kemudian sepuluh orang kembali roboh oleh sepak terjang gadis ini.

Tentu saja menbuat lawan menjadi gentar dan tiba-tiba mengalihkan perhatiannya ke arah Kim-mou-eng. Maklum, Pendekar Rambut Emas itu memang bisanya mementalkan pisau pisau lawannya tanpa membuat cidera. Dan ketika Kim-mou-eng mulai mengerutkan kening karena lawan rupanya tak tahu diri mendadak empat bayangan berkelebat membentak orang-orang Seng-piauw-pang itu.

"Berhenti...!”

Semua orang tiba-tiba mundur. Empat laki-laki tua muncul di situ, angker dan garang sikap mereka. Dan begitu empat orang ini muncul mendadak semua anggauta Seng-piauw pang menjatuhkan diri berlutut menghadapi laki-laki di tengah yang bermuka merah.

"Pangcu (sang ketua)!"

Kim-mou-eng dan Salima tertegun. Mereka melihat laki-laki tua ini gagah sekali, tubuhnya tegap dengan sepasang lengan yang kokoh. Tampak berwibawa didampingi tiga temannya yang lain. Dan ketika mereka terbelalak memandang ke depan maka muncullah dua ratus laki laki tinggi besar anggauta Seng Piauw Pang lainnya, langsung berlutut di belakang empat laki-laki tua itu. Dan begitu semua orang diam mengikuti gerakan empat laki-laki itu, maka bertemulah pandang mata Kim Mou Eng dengan sang ketua Seng Piauw Pang itu, yang agaknya sudah mengenal dan langsung menjura kepadanya.

"Pendekar Rambut Emas, kenapa tak langsung masuk kedalam saja? Aku Sin Piauw Ang Lojin ( Kakek merah pisau sakti) telah mendengar kedatanganmu yang mengejutkan ini, harap maafkan sambutan anak buahku yang tidak mengenal dirimu!"

Kim Mou Eng tersentak, "Ah... aku yang mohon maaf padamu pangcu, kami telah membuat keributan tanpa sengaja. Tapi bagaimana kau bisa mengenal aku? Bukankah baru kali ini kita berjumpa muka?"

Ha ha... sepak terjangmu di kota raja sudah kudengar Kim Mou Eng, dan aku kagum dan gembira sekali bahwa kau telah menghajar orang orang istana yang sombong itu!"

Kim-mou-eng semakin tersentak. Tapi belum menjawab tiba-tiba ketua Seng Piauw Pang ini telah merjura di depan sumoinya, "Li-Hiap (Pendekar wanita). Kau Tiat Ciang Sian Li bukan? Sepak terjangmu pun telah kudengar. Sungguh mengagumkan dan gagah perkasa dirimu!"

Salima acuh saja, mengangguk dingin. "Aku tak merasa ini melakukan sesuatu yang luar biasa pangcu, simpan saja pujiannu untuk diriku itu. Maaf aku terpaksa merobohkan beberapa anak buahmu sebagai pembelaan diri."

"Tak Apa!" Sin Piauw Ang Lojin tertawa sabar, "Tak apa lihiap, kau tak perlu minta maaf karena anak buahku yang memang bersalah, sudahlah...!" dan menghadap laki-laki pertama yang memberi aba-aba menyerang salima. Tiba-tiba ketua Seng-piauw-pang itu membentak. "Jit Kong, kenapa kau tak melaporkan kedatangan dua orang ini kepadaku? Kenapa kau taк menyambutnya baik-baik. Jit Kong?"

Laki-laki itu menjatuhkan diri berlutut. "Ampun, teecu (saya) telah melaporkannya pada Ji Susiok (paman guru kedua) suhu. Tapi Ji-susiok menyuruh teecu mengusir atau menangkap dua orang tamu ini."

"Hmm..." Sin piauw Ang-lojin tampak terkejut, memandang teman di sebelah kirinya yang bermuka kuning. "Benarkah, ji-te (adik kedua). Kau menyuruh Jit Kong menyerang Kim-mou eng dan sumoinya itu?"

Laki-laki bermuka kuning itu tertawa hambar. "Maaf, aku tak tahu kalau Kim-mou-eng yang datang, suheng. Tapi karena kedatangan mereka tepat pada saat kita mengadakan pertemuan penting maka kusuruh Jit Kong seperti yang dikatakannya tadi. Kukira pengacau."

"Hm," Sin-piauw Ang-lojin menegur sutenya. "Seharusnya kau menyampaikannya dulu padaku, sute. Tindakanmu ini bisa membahayakan orang lain kalau yang datang bukanlah musuh."

"Tapi aku melihatmu sibuk, suheng. Kita semua sedang repot tak mau diganggu!"

Sin-piauw Ang lojin mengerutkan alis. Tapi sebelum dua orang itu saling tegur dan marah itu satu sama lain, tiba-tiba Kim-mou-eng melangkah maju menyatakan ketidakenakannya.

"Pangcu, maafkan kami berdua. Kami tidak bermaksud mengganggu. Kami datang bukan untuk mengacau. Dan karena kebetulan kalian sibuk dalam pertemuan penting biarlah kami pergi tak merepotkan kalian. Maaf!" Kim-mou-eng sudah bersiap-siap menyambar sumoinya, menjura pada ketua Seng-piauw-pang itu untuk berangkat pergi.

Tapi Sin-piauw Ang-lojin yang tampak terkejut oleh kata-kata ini mendadak menggoyang lengan tertawa kaget. "Eh, jangan buru-buru. Kami justeru merasa kebetulan kau berada di sini, Kim-mou-eng. Kami justeru akan mengundang kalian untuk menjadi tamu agung! Kalian jangan pergi, pemilihan ketua akan segera kami lakukan dalam pertandingan pibu (silat). Ayo lihat!" dan ketua Seng-piauw-pang yang menarik lengan Kim-moueng sambil tertawa itu tiba-tiba berbisik, menyambung lirih, "Kau dapat menjadi wasit, Kim-mou-eng. Kedatanganmu justeru merupakan bintang penengah yang baik!"

Kim-mou-eng tertegun. Sebenarnya dia memasuki perkampungan itu bukan untuk membuat repot orang lain. Tujuannya adalah untuk mencari dusun Yu chung karena itulah kampung halaman ibunya dulu. Tapi menderngar di situ akan diadakan pibu dan dia melihat sesutu yang aneh dalam pandang mata tiga kakek lain yeng berdiri disebelah Sin-pauw Ang-lojin ini mendadak Kim-mou-eng tertarik dan menganguk. Apalagi Salima juga berseru ggembira.

"Ah, di sini akan terjadi pertandingan pibu, pangcu? Memilih yang terkuat untuk menjadi ketua?"

"Ya," kakek itu tertawa lebar, kagum bahwa Salima dapat meraba tepat. "Kami empat bersaudara akan menjalankan peraturan perkumpulan kami, lihiap. Bahwa lima tahun sekali diadakan pemilihan ketua dengan jalan pibu. Mencari siapa yang terkuat karena sebuah perkumpulan harus dipimpin oleh seorang yang kuat dan pandai."

Salima mengangguk-angguk. Kim-mou-eng juga berseri, mereka adalah orang orang persilatan yang getol nonton pibu. Melihat adu kepandaian yang tentu saja mengasyikkan bila dilakukan oleh orang-orang yang memiiki kepandaian tinggi. Seperti ketua Seng piauw pang ini misalnya. Karena meskipun mereka belum melihat sendiri seberapa hebat kepandaian ketua Seng piauw-pang itu tapi kalau orang sudah dapat menjadi ketua sebuah perkumpulan tentu kakek bermuka merah ini hebat.

Apalagi kilatan matanya menunjukkan tenaga sinkang yang cukup menggetarkan. Mampu mempengaruhi orang yang tidak begitu tinggi kepandaiannya. Maka begiu Sin-piuw Ang-lojin mengundang mereka untuk menyaksikan adu kepandaian itu sebagai tradisi memilih ketua baru akhirnya Kim-mou eng dan sumoinya menerima. Dan di situ mereka diperkenalkan pula pada tiga kakek lain yang berdiri di sebelah Sin-piauw Ang-lojin. Bahwa kakek bermuka kuning bernama Hong Jin, sementara dua yang lain yang merupakan sute, adik seperguruan nomor tiga dan empat adalah Wan Tiong Lojin dan Ki Siong Cinjin, dua orang kakek penganut agama To yang tèntu juga memiliki kepandaian tinggi.

Dan begitu Sin-piauw Ang-lojin mengajak mereka kedalam perkampungan itu segera saja Kim-mou-eng dan Salima mengikuti. Ternyata di tengah kampung berdiri sebuah rumah besar dengan halamannya yang luas. Itulah rumah sang ketua perkumpulan ini. Sin-piauw Ang-lojin yang langsung mempersilahkan dua tamunya duduk di kursi paling depan menghadap sebuah luitai (panggung adu kepandaian) yang sudah dipersiapkan dengan cukup tinggi.

Tak kurang dari sekepala orang tingginya. Jadi hampir dua meter. Tak ada tangganya, jadi orang harus melompat bila ingin berada di atas panggung luitai itu, tentu saja harus memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang baik. Dan ketika para anggota Seng piauw-pang duduk berlutut di sekitar panggung, dan Sin Piauw Ang Lojin meloncat di atas panggung yang sudah dipersiapkan itu maka bicaralalh kakek bermuka merah yang gagah ini.

"Saudara-saudara sekalian," Sin-piauw Ang-lojin bicara dengan suaranya yang lantang dan nyaring. "Karena kebetulan dua pendekar yang gagah perkasa telah datang ke tempat kita secara kebetulan, biarlah tradisi pemilihan ketua ini dimeriahkan oleh kehadiran mereka. Kim-mou-eng dan Tiat-ciang Sian-li telah berkenan memenuhi undangan kita. Biarlah pertama-tama kuucapkan selamat atas kedatangan mereka. Semoga Kim-mou-eng dan sumoinya tak keberatan untuk menjadi wasit-wasit kehormatan!"

Salima dan suhengnya saling pandang. Mereka sebenarnya agak kikuk, maklum mereka baru saja merobohkan orang-orang Seng-piaauw-pang sebelum ketua ini datang dengan sikapnya yang begitu bersahabat. Agaknya tak senang dengan orang-orang istana dan girang bahwa mereka telah mengobrak-abrik tempat kaisar itu. Dan ketika Sin-piauw Ang-lojin kembali mengeluarkan kata-kata sambutan dengan cara sederhana dan menyambung kembali pěrtemuan yang berhenti di tengah jalan gara-gara keributan di luar tadi akhirnya ketua ini menuju pada pokok pembicaraan pemilihan ketua.

Bahwa sudah merupakan tradisi Seng piauw-pang untuk mengadakan pamilihan ketua baru setiap lima tahun sekali. Berpibu bila ada anggauta Seng-piauw-pang yang ingin mengganti kedudukan ketua lama. Dan karena hanya orang-orang yang duduk di tingkat atas saja yang dapat berpibu melawan ketua lama untuk merebut kedudukan baru maka tentu saja para anggauta Seng-piauw-pang tingkat rendahan tak ada yang berani mengajukan diri.

Dan biasanya memang tiga orang sute dari sang ketua itulah yang mengimpikan diri untuk menjadi pemimpin. Seng-piauw-pang dulunya dipimpin oleh guru dari empat orang bersaudara itu. Tapi karena guru mereka telah meninggal dunia dan empat orang itu tak mendapat kata sepakat untuk memilih siapa yang menjadi ketua karena masing-masing ingin merasakan kedudukan itu, maka di ambilah keputusan bahwa siapa yang kuat dialah yang menjadi pengganti guru mereka itu.

Dan kebetulan dua kali berturut-turut ini, jadi sudah sepuluh tahun lamanya Sin-piauw Ang-lojin tak terkalahkan oleh tiga orang sutenya. Tentu saja Hong Jin dan dua adiknya mendongkol. Mereka memang harus mengakui bahwa suheng mereka itu amat lihai. Setingkat masih di atas Hong Jin sang adik nomor dua. Tapi karena setiap lima tahun mereka selalu menambah kepandaian dan diam-diam timbul perang dingin di antara kakak beradik seperguruan itü maka semua anggauta tahu bahwa tiga orang sute sang ketua tak begitu suka pada suhengnya itu.

Namun itu adalah urusan pribadi. Hong Jin dan dua adiknya yang lain menjabat sebagai wakil dan bendahara. Masing masing harus puas dengan kedudukannya karena itu adalah kedudukan yang cukup tinggi. Tapi karena setinggi tingginya kedudukan iu masih juga mereka di bawah sang ketua maka diam-diam timbul rencana busuk tiga orang kakek ini. Yang, tentu saja, tak diketahui oleh Sin-piauw Ang-lojin, Kebusukan apa itu ? Mari kita lihat.

* * * * * * * *

Saat itu Sin-piauw Ang-lojin telah selesai bicara tentang segala peraturan "pang" (perkumpulan) mereka. Bahwa setiap aggauta pada dasarnya boleh saja mengajukan diri sebagai calon ketua asalkan mereka memiliki kepandaian di atas ketua lama. Maklum Seng-piauw-pang adalah sebuah perkumpulan orang-orang persilatan, tak mungkin diketuai oleh orang yang tidak becus silat.

Dan karena perkumpulan itu juga cukup demokratis dan lebih mementingkan kepentingan orang banyak dalam hal ini adalah anggauta perkumpulan, dari pada kepentingan pribadi maka setiap orang boleh mengajukan usul atas perobahan-perobahan yang dinilai meningkatkan pamor Seng- piauw-pang. Tentu saja mereka akhirnya harus berhadapan dengan orang yang terkuat, setelah pemilihan ketus selesai. Dan ketika acara pokok itu mulai bicarakan dan Sin-piauw Ang-lojin bertanya apakah ada anggauta yang tidak puas dengan kepemimpinannya selama itu dan ingin menggantikanya maka muncul dan bicaralah sutenya yang nomor dua itu, Hong Jin.

"Suheng, masalah puas atau tidak puas itu adalah masalah yang relatif sekali. Masalah pribadi. Aku melihat kepemimpinanmu selama ini cukup baik. Tapi satu yang kusayangkan, kau tak dapat melihat keadaan di luar perkumpulan kita!" kakek bermuka kuning ini memberi hormat, langsung berseru lantang dan berdiri menghadapi panggung luitai, membuat orang berdebar karena biasanya kakek ini akan menciptakan ketegangan, seperti yang sudah sudah.

Tapi Sin-piauw Ang-lojin yang rupanya sudah maklum akan watak sutenya ini tersenyum lebar bertanya tak mengerti, "Apa yang kau maksudkan, sute?"

Hong Jin sang kakek bermuka kuning menegakkan kepala. "Hal itu adalah sikapmu yang kurang baik terhadap pemerintah, suheng. Bahwa selama ini perkumpulan kita ada kesan memusuhi pemerintah!"

"Hmm, itu agak berlebih-lebihan, sute. Aku tak memusuhi pemerintah tapi terus terang memang kurang suka padanya, Kaisar memilih menteri-menteri dorna yang tidak simpatik terhadap rakyat!"

"Tapi kita perlu berhubungan dengan mereka, suheng. Seng-piauw-pang tak mungkin mengucilkan diri seperti ini. Kita perlu dengan mereka-mereka itu!"

"Tidak, aku tak suka itu, sute. Aku telah menetapkan bahwa Seng piauw-pang tak perlu menjalin hubungan dengan menteri-menteri jahat itu. Tanpa mereka kita juga dapat hidup!"

"Tapi aku tak setuju sikapmu ini, suheng. Dan kami bertiga telah bersepakat untuk meminta dengan hormat kau merobah kebijaksanaanmu itu atau kau turun saja dari kursi ketua!"

Sin-pisuw Ang-lojin terbelalak. Dia melihat sutenya ini mulai menuju pada inti persoalan pertemuan itu. Secara halus atau kasar meminta dia meletakan jabatan. Dan karena selama ini memang ada perbedaan pendapat di antara mereka tentang hubungan Seng-piauw-pang dengan orang-orangnya kaisar akhirnya kakek tinggi besar ini tertawa bergelak menepuk tangannya.

"Sute!" Sin-piauw Ang-lojin mengeluarkan suara mengguntur. "Karena pertemuan ini memang pertemuan untuk memilih ketua baru bila kalian tak puas dengan kepemimpinanku selama ini biarlah terus terang saja kau nyatakan alasanmu itu sebagai pendorong majunya dirimu. Aku tak membantah bahwa sebenarnya Seng-piauw-pang memang perlu berhubungen dengan pemerintah. Tapi selama menteri menteri dorna mengelilingi kaisar dan banyak menteri korup di sana biarlah Seng-piauw-pang tetap dalam keadaannya seperti ini. Kalau kau ingin merobahnya dan mengharap menjadi ketua lebih baik kau penuhi dulu syarat pendukung dari para anggauta seperti yang tercantum dalam peraturan pang kita!"

"Baik," Hong Jin sang kakek bermoka kuning mengangguk, langsung memutar tubuhnya menghadapi angauta Seng-piauw-pang, termasuk dua sutenya yang lain Wan Tiong Lojin dan Ki Siong Cinjin, berjumlah tidak kurang deri tiga ratus orang. Dan ketika kakek ini mengangkat tangannya dan berseru nyaring maka terdengarlah pertanyaannya yeng lantang berpengaruh,

"Saudara-saudara sekalian. siapakah di antara kalian yang memberi dukungan padaku untuk menduduki kursi ketua? Acuangkan jari kalian, biar Ang lo-suheng mengetahui jumlahnya!"

Mengejutkan sekali, dari jumlah tigaratus orang itu ternyata yang mengacungkan jarinya ada duaratus limapuluh lebih. Jadi lebih dari tiga perempat bagian. Hal yang tidak disangka sang ketua Sin-piauw Ang-lojin, karena dulu lima tahun yang lalu sutenya hanya mendapat dua puluh lima persen suara. Maklum para anggauta memang terpecah merjadi empat kelompok, yang lebih besar tentu saja kelompok kakek gagah bermuka merah ini.

Maka melihat jumlah pendukung sutenya nomor dua itu lebih dari duaratus limapuluh orang dan itu tentu hasil gabungan dari sutenya nomor tiga dan empat Wan Tiong Lojin dan Ki Siong Cinjin mendadak ketua Seng-piauw pang ini terhenyak. Apalagi melihat dua sutenya terakhir itu juga mengacungkan jari untuk Hong Jin jadi mereka tak maju untuk mencalonkan diri sebagai ketua baru. Menyerahkan sepenuhnya jabatan ketua itu pada sutenya nomor dua itu, jadi dia satu lawan tiga! Dan Sin-piauw Ang-lojin yang tentu saja kaget oleh kejadian luar biasa ini mendadak melongo tapi marah ketika sadar.

"Ji-te, kau curang. Kau mencari gabungan dari Wan Tiong sute dan Ki Siong-sute!"

"Hmm" Hong Jin sang kakek bermuka kuning tertawa mengejek. "Didalam peraturan pang kita tak ada larangan untuk mencari gabungan dengan siapapun, suheng. Kenapa kau mengatakan aku curang? Aku mendapat dukungan secara wajar. Memang sudah saatnya kau meletakkan jabatan berdasarksn hasıl suara ini saja!"

Sin-piauw Ang-lojin tertegun. Dia tertampar, terpukul oleh kata-kata sutenya nomor dua itu. Tapi teringat Wan Tiong Lojin dan Ki Siong Cinjin yang rupanya tak mencalonkan diri, mendadak kakek itu bertanya, "Sam sute (adik ke tiga), su-sute (adik keempat), kalian tak mengajukan diri seperti biasanya? Kalian menyerahkan semuanya itu pada Hong Jie-sute?"

"Maaf," Wan Tioog Lojin kakek yang agak kurus menjura tawar. "Aku sependapat dengan Hong Jia-suheng, twa-heng (kakak tertua). Karena kau tetap keras pada pendirianmu untuk tak mau berhubungan dengan pemerintah, maka aku mendukung Hong Jin-suheng untuk membenahi perkumpulan kita."

"Hm, dan kau?" Sin-piauw Ang-lojin memandang sutenya terakhir, Ki Siong Cinjin. Dan ketika Ki Siong Cinjin mengangguk dan maju ke depan terdêngarlah pula alasan kakek yang hidungnya bertahi lalat ini,

"Maaf, aku sependapat dengan Wan Tiong- suheng, twa-heng. Bahwa sikapmu yang tidak bersahabat dengan pemerintah memang seharusnya dirobah!"

Lengkaplah kini. Sin-piauw Ang-lojin tampak terkejut, mukanya yang merah semakin merah. Tapi ketika dia teringat bahwa dukungan itu masih belum sempurna jika belnm diselesaikan lewat pibu maka menggeramlah kakek tinggi besar yang gagah ini. "Baik, Hong Jin-sute rupanya telah mempengaruhi kalian, sam-te. Aku akan melulüskan permintaan kalian jika syarat terakhir dipenuhi pula. Kalian telah memenangkan dukungan, tapi belum memenangkan pertandingan pibu!"

Hong Jin tertawa mengejek. "Kali ini ada perobahan, suheng. Karena kami bertiga telah bersatu pikiran untuk menghadapimu maka terpaksa pula kami bertiga akan maju berbareng dalam pibu!"

"Apa?" Sin-piauw Ang-lojin kaget. "Kalian mau mengeroyokku? Kalian mau berbuat curang...?"

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.