Pendekar Rambut Emas Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 02
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Karya Batara
SEHARI ITU Cao Cun melamun sendiri. Dia teringat percakapan mereka, teringat kepandaian Kim-mou-eng yang ternyata juga seorang jago lukis disamping jago silat. Hal yang membuat dia benar-benar kagum dan jatuh hati. Merasa tertarik dan jatuh cinta pada pemuda berdarah campuran itu. Pemuda yang tampan dan hebat. Dan ketika sehari itu Kim-mou-eng tak keluar lagi menemui dirinya mendadak Cao Cun gelisah dan tak enak lagi duduk di taman.

Hasrat yang kuat membuat dia ingin menemui pemuda itu. Duduk bercakap-cakap dan berdekatan. Memandang dan kembali memandang wajah yang gagah dan tampan itu. Semakin tampan dan menarik dengan rambutnya yang aneh, kuning keemasan bagai suri bulu ratu yang dia pelihara di taman itu. Bunga berserat halus namun harum memabukkan. Tapi ketika ingat bahwa dia seorang gadis dan tak pantas rupanya menemui pemuda itu tiba-tiba Cao Cun tertegun.

Ah, apa kata orang nanti? Apa kata ayah dan ibunya kalau dia mencari pemuda itu di kamarnya? Bukankah saru? Cao Cun tiba-tiba menggigil. Dia sekarang teringat kata-kata Pendekar Rambut Emas tadi, bahwa cinta adalah sesuatu yang aneh. Sesuatu yang luar biasa. Bahwa cinta agaknya bukan sekedar dorongan nafsu atau perasaan. Dan kalau sekarang dia didorong oleh nafsu atau perasaannya itu menemui Kim-mou-eng agaknya bukan lagi “cinta” yang ada di hatinya itu. Melainkan...?

Cao Cun tiba-tiba terisak. Dia menangis dan lari memasuki kamarnya, menyambar dua lukisan yang baru dikerjakan Kim-mou-eng itu. Dan ketika dia membanting tubuh di atas pembaringannya maka yang dilakukan gadis itu adalah membanding-bandingkan dua lukisan itu dengan air mata bercucuran. Aneh! Cao Cun tiba-tiba ingin mengetahui siapa yang lebih “cantik” diantara dua gambar itu. Dia ataukah Salima. Dan ketika dia melihat bahwa Salima juga memiliki wajah yang tak bisa dipandang “enteng” karena gadis Tar-tar itu memiliki kecantikannya yang khas dan daya tarik yang kuat tiba-tiba Cao Cun mengguguk meremas-remas lukisan gadis Tar-tar ini, terngiang kata-kata Pendekar Rambut Emas tentang sumoinya itu.

“Dia tak dapat dibilang cantik, Cun-moi. Tapi manis luar biasa dengan daya tarik yang amat menggairahkan. Meskipun hitam tapi hitam manis!”

Begitu kata-kata itu terngiang. Dan Cao Cun memang harus mengakui. Salima memang manis, juga gagah. Dan kalau manis itu “digabung” gagah maka Salima memang dapat menjatuhkan setiap lelaki dengan daya tariknya. Termasuk Kim-mou-eng! Cao Cun tiba-tiba menjerit. Dia mendadak merasa tertikam membayangkan Kim-mou-eng jatuh cinta pada sumoinya itu. Panas dan cemburu! Dan ketika sehari itu Cao Cun juga tak keluar dari kamarnya karena dihimpit perasaan duka tiba-tiba gadis ini meremas-remas lukisan Salima hingga kumal dan robek-robek.

“Salima, kau gadis Tar-tar yang liar. Kau tak boleh menggoda Kim-mou-eng...!”

Cao Cun mengguguk. Dia tiba-tiba menangis tanpa sebab lagi, tersedu-sedu, membanting-banting lukisan itu hingga pecah menjadi dua. Dan ketika Cao Cun mengeluh dan melempar lukisan ini di tepi pembaringannya akhirnya gadis itu menutupi muka dengan bantal. Sehari itu puteri Wang-taijin ini tampak pucat, lemah karena habis tenaganya untuk menangis. Tangis yang meledak begitu saja karena cemburu. Dibakar perasaan jelus membayangkan Salima menggoda Kim-mou-eng. Dan ketika Cao Cun terengah dan memejamkan mata kelelahan akhirnya beberapa saat kemudian gadis ini tertidur.

* * * * * * * *

Keesokan harinya, ketika Cao Cun termenung sendiri di bangku taman dan membawa lukisan Salima yang kumal dan robek menjadi dua tiba-tiba Kim-mou-eng muncul. “Ada apa, kau baru menangis, Cun-moi?”

Cao Cun terkejut, bangkit berdiri dan cepat-cepat menyembunyikan lukisan Salima yang kumal-kumal itu. Tapi Kim-mou-eng yang rupanya sudah melihat ini tiba-tiba bertanya,

“Apa yang kau bawa itu, Cun-moi? Lukisan siapa?”

Cao Cun gugup. “Lukisan... lukisan diriku!”

“Hm, kenapa kumal? Kenapa kau remas-remas?”

“Aku... aku...” Cao Cun merah mukanya, semakin gugup. Dan ketika dia tak dapat menjawab dan Kim-mou-eng sudah bergerak cepat tiba-tiba lukisan itu telah disambar pemuda ini, langsung dibeber. Dan begitu Kim-mou-eng tertegun dan melihat siapa yang ada di lukisan itu mendadak pemuda ini mundur dan berseru kaget,

“Ah, kau bohong!”

Cao Cun mengguguk. Gadis ini mendadak terpukul, malu dan jengah. Dan ketika Kim-mou-eng memandangnya dengan mata terbelalak tiba-tiba Cao Cun menangis tersedu-sedu dan memutar tubuhnya lari ke dalam, menyambar lukisan Salima yang dipegang Pendekar Rambut Emas itu.

“Twako, maafkan aku...!”

Kim-mou-eng terkejut. Dia melihat sesuatu yang “tidak beres” pada diri puteri Wang-taijin itu. Tapi baru Cao Cun memutar tubuhnya tiba-tiba sebuah bayangan meluncur turun menghadang di depan gadis ini, langsung Cao Cun yang tentu saja kaget karena gadis itu persis seperti lukisan yang dibuat Kim-mou-eng tiba-tiba mengaduh dan terbanting roboh ketika sebuah tamparan meledak di pipinya!

“Gadis tak tahu malu, kau membujuk dan mengguna-gunai suhengku... plak!”

Cao Cun menjerit kesakitan. Dia terjengkang dan seketika itu juga bengkak pipinya, menangis dan bangun berdiri dengan kaki terhuyung. Tapi ketika gadis di depan berkelebat dan kembali hendak menamparnya tiba-tiba Kim-mou-eng sudah membentak dan melompat maju.

“Salima, tahan...!”

Ternyata gadis itu benar Salima adanya, sumoi Kim-mou-eng, gadis Tar-tar yang manis dan gagah! Dan Salima yang memandang suhengnya dengan mata berapi ganti membentak, “Apa yang kau maui, suheng? Inikah hasil perjalananmu di pedalaman Tionggoan?”

Kim-mou-eng terkejut. “Salima...”

“Suheng!” gadis itu kembali membentak, memotong cepat dengan seruan tinggi. “Inikah hasil perjalananmu meninggalkan keluarga besar Tar-tar? Kau berpacaran dengan seorang gadis lemah yang tiada guna? Twa-heng (kakak tertua) memanggilmu, suheng. Harap tak perlu banyak membantah lagi demi bendera Tar-tar!” Salima tiba-tiba mengeluarkan bendera bergambar singa, mengebut dan mengibarkannya di depan Kim-mou-eng, bersikap agung bagai seorang ratu.

Dan Kim-mou-eng yang terkejut melihat bendera ini tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut berseru tertahan. “Sumoi, darimana kau mencuri bendera ini?”

Salima marah. “Twa-heng yang memberikannya kepadaku, suheng. Aku bukan mencuri tapi benar-benar mendapatkannya dengan resmi dan sah!” lalu, kembali mengebutkan bendera itu dua kali gadis yang manis dan gagah ini membentak, “Suheng, demi nama Tar-tar yang jaya kuminta kau ikut pulang keluar pedalaman. Tak perlu membantah!”

Kim-mou-eng bangun berdiri dengan muka berubah. Cao Cun melihat betapa kakak angkatnya itu terkejut, gugup dan marah. Tapi melihat Salima berdiri dan gagah angkuh dengan sikap seperti ratu yang penuh wibawa tiba-tiba puteri Wang-taijin ini tergetar. Melihat betapa keras dan gagahnya gadis Tar-tar ini. Anggun dan memiliki daya tarik besar. Tinggi semampai dengan mata harimaunya itu yang galak bersinar-sinar. Dingin tapi menarik!

Dan ketika dia melihat Kim-mou-eng bentrok dengan pandang mata sumoinya yang tajam tapi keras dan Kim-mou -eng tertegun memandang bendera ditangan Salima tiba-tiba pemuda ini menghela napas tersenyum pahit, membungkuk agar bendera itu disimpan.

“Sumoi, aku akan pulang ke Tar-tar setelah kampung halaman ibuku kutengok. Harap bendera keramat itu kau simpan.”

Salima mendengus. “Twa-heng tak mengijinkan kau berlama-lama meninggalkan bangsa kita, suheng. Ini sudah bulan kedua kau meninggalkan kami!”

“Tapi aku tak terikat pada batas waktu, sumoi. Aku juga belum menemukan kampung halaman ibuku.”

“Persetan itu semuanya. Kau harus pulang atau...tar-tar!” Salima meledakkan bendera, mengebutkannya di depan mata dengan sikap beringas, dingin dan marah pada suhengnya itu.

Dan ketika sang suheng terbelalak kepadanya dan gusar memandang sumoinya ini maka Salima melompat mundur dan berseru marah, “Atau kau akan kurobohkan, suheng. Kuseret dan menerima hukuman di tengah-tengah suku bangsa kita sebagai pemberontak!”

Kim-mou-eng tak dapat menahan diri lagi. Dia merasa diancam dan diganggu oleh sumoinya ini, tapi melihat Cao Cun ada di situ dan rupanya tegang dan ketakutan melihat semuanya ini tiba-tiba pemuda itu mengangguk. “Baik, kau simpanlah bendera itu, sumoi. Aku turut perintahmu asal kau tak mengganggu gadis ini. Kau berjanji?”

Salima menjengek. “Kau mendapat kekasih baru?”

“Tutup mulutmu!” Kim-mou-eng membentak marah. “Dia puteri Wang-taijin, sumoi. Kami berhubungan sebagai kakak dan adik!”

“Hm, begitukah? Baiklah, aku tak akan mengganggu padanya. Hayo sekarang kita berangkat!” dan Salima yang menyimpan benderanya di balik punggung tiba-tiba melihat suhengnya itu melompat jauh melarikan diri.

“Cao Cun, selamat tinggal pada kalian sekeluarga. Aku tak dapat lagi tinggal lama-lama di sini... wutt!” dan Kim-mou-eng yang lenyap di luar taman tiba-tiba dibentak sumoinya yang marah dan merasa tertipu.

“Suheng, kembali kau...!”

Namun Kim-mou-eng mengerahkan ginkangnya. Dia lenyap di luar taman, sebentar saja telah berkelebat seperti iblis keluar kota Chi-cou. Dan ketika Salima mengejar dan membentak di belakang maka tinggallah Cao Cun sendiri dengan mata terbelalak.

“Kim-twako...!”

Namun Kim-mou-eng tak mendengar seruannya. Pemuda aneh ini telah jauh di luar batas kota, melarikan diri dari sang sumoi yang mengganggu dan mengancamnya. Bukan takut tapi semata tak mau ribut-ribut dengan gadis itu. Apalagi di rumah Wang-taijin, ditonton Cao Cun yang kini membuktikan kekerasan hati Salima, gadis Tar-tar yang gagah tapi angkuh itu.

Dan ketika dua bayangan suheng dan sumoi itu lenyap saling berkejaran maka Cao Cun mengguguk dan tiba-tiba meninggalkan tempat itu menuju kamarnya, lupa pada lukisan yang tertinggal di taman. Yakni lukisan dirinya dan Salima, tak menghiraukan semuanya itu.

Dan ketika sesosok bayangan muncul berindap-indap dan terkekeh tanpa suara akhirnya bayangan ini mengambil dua lukisan itu, menyimpannya baik-baik dan pergi menyelinap dengan muka berseri, sebentar saja telah keluar dari taman itu seperti langkah seorang maling. Dan ketika dia memasuki sebuah rumah di sudut kota dan membuka jendela maka tampaklah siapa kiranya bayangan ini. Bukan lain Lui Tai!”

“Ha-ha, kau berhasil, Lui-twako?”

Lui Tai tersenyum, menyeringai lebar, dihampiri seorang laki-laki yang bukan lain adalah Gong-taijin! “Ya, aku berhasil, taijin. Ini semua berkat pertolonganmu...!” dan ketika dua laki-laki itu tertawa dan saling jabat tangan akhirnya camat Gong berkata,

“Kalau begitu cepat saja ke kota raja, Lui-twako. Serahkan gambar Wang-siocia itu pada Mao-taijin karena siapa tahu dialah yang dicari-cari kaisar!”

“Ya, dan kita akan bagi rata semua keberuntungan ini, taijin. Siapa tahu Cao Cun lah yang dicari kaisar. Untung ada gadis Tar-tar itu!”

Gong-taijin tertawa. Dia teringat Salima, tertarik tapi bergidik. Teringat betapa gadis Tar-tar itu mendatangi rumahnya mencari Pandekar Rambut Emas, yang konon katanya terlihat jejaknya di daerah itu. Dan karena Lui Tai ada di situ dan mereka dapat memberi keterangan bahwa Pendekar Rambut Emas yang berambut keemasan itu ada di rumah Wang-taijin karena telah menyelamatkan bupati itu dari serangan Dua Musang Sakti akhirnya Salima berangkat dan Lui Tai sebagai petunjuk jalannya.

Begitulah, mereka tepat di dalam taman ketika Pendekar Rambut Emas muncul, Salima langsung keluar dan ditabrak Cao Cun yang meremas-remas lukisan. Dan ketika suheng dan sumoi itu bertengkar dan Lui Tai bersembunyi di dalam taman dan kebat-kebit melihat pertikaian itu akhirnya pelukis ini gembira bukan main ketika Cao Cun membuang dua lukisannya itu, terpukul oleh sikap Salima.

Dan begitu gadis itu pergi sementara Salima dan suhengnya juga lenyap entah kemana dengan gesit dan spontan si pelukis ini menyambar dua lukisan itu dan kagum melihat gambar yang dibuat Pendekar Rambut Emas. Heran bahwa pemuda aneh itu juga mahir melukis. Bahkan agaknya di atas kepandaiannya sendiri. Mungkin setingkat dengan Mao-taijin!

Dan ketika seminggu kemudian peristiwa di atas telah terjadi dan Lui Tai serta rekan-rekannya yang lain menyerahkan hasil lukisan mereka pada Mao-taijin dan Mao-taijin menyeleksinya dan menyerahkannya pada kaisar mendadak secara mengejutkan Cao Cun inilah yang dicari kaisar!

“Ha- ha, inilah juwitaku di dalam mimpi itu, taijin. Siapa dia dan dimana tinggalnya? Panggil cepat dia kemari. Aku tak sabar menanti. Gadis itulah yang kucari-cari!”

Mao-taijin terkejut. Dia terang mencari-cari Lui Tai, pembantu yang telah melukis wajah si juwita itu. Tak tahu bahwa Kim-mou-eng lah yang melukis wajah Cao Cun. Dan Lui Tai yang terkejut dipanggil menteri Mao akhirnya tertawa dan terbahak seolah mendapat durian runtuh.

“Ha-ha, ini keberuntunganku, taijin. Berapa yang akan kau berikan padaku untuk mendapatkan alamat gadis itu?”

Mao-taijin terbelalak. “Kau mau memeras?”

“Tidak,” Lui Tai tertawa. “Tapi sekedar uang terima kasih, taijin. Bukankah kau juga dapat mencari gantinya pada kaisar? Gadis ini alamatnya rahasia sekali, tak sembarang orang dapat menemui!”

Mao- taijin mendongkol. Dia memberi Lui Tai sekantong uang emas, bukan lagi perak. Dan ketika pelukis itu menunjukkan alamat Cao Cun yang ternyata puteri bupati Wang mendadak menteri ini tercengang. “Ah, dia puteri Wang-taijin?”

“Ya,” Lui Tai tersenyum lebar. “Dan kau dapat membawa gadis itu dengan ganti rugi yang cukup, taijin. Bupati Wang cukup kaya dengan harta bendanya yang banyak!”

Mao-taijin tertawa. Sekarang matanya bersinar, muncul akal busuknya untuk memeras bupati Wang itu. Maklum, Cao Cun terpilih sebagai wanita yang dicari kaisar dan tentu hidup bergelimang kemewahan disamping kaisar dan tentu tak segan mengeluarkan uang berapa saja untuk ditemukan dengan kaisar yang berkuasa itu, lewat dia. Karena dialah yang ditunjuk kaisar untuk mendatangkan wanita yang dicari ini.

Tak tahu betapa diam-diam Lui Tai tertawa di belakang punggung karena bupati Wang adalah orang jujur yang tentu tak mau main sogok, terbukti ketika dulu dia memeras bupati itu dan tak berhasil. Bahkan sang bupati marah-marah. Dan ketika benar bupati itu dipanggil menghadap bersama puterinya di gedung Mao-taijin dan menteri ini meminta 500 ons emas agar Cao Cun dapat dibawa menghadap kaisar mendadak bupati Wang marah-marah dan menegur menteri itu!

“Hamba tak ingin main suap, taijin. Kalau sri baginda menghendaki puteri hamba biarlah itu terjadi secara wajar. Hamba tak mau melakukan apa yang paduka minta!”

Mao-taijin terbelalak, terkejut sekali. “Kau menghinaku, bupati Wang?”

“Tidak,” Wang-taijin berkata tegas, maklum akan kedudukannya yang lebih rendah daripada menteri itu. “Hamba tidak menghina paduka, menteri yang mulia. Tapi hamba tak suka melakukan apa yang paduka minta karena itu perbuatan tidak jujur!”

“Ah, dan kau tahu, siapa aku?”

“Hamba tahu. Paduka adalah perantara terpercaya untuk membawa puteri hamba menghadap kaisar. Bahwa tanpa bantuan paduka tentu puteri hamba tak akan dapat menghadap sri baginda.”

“Bagus, dan kau sudah tahu untung ruginya?”

“Maksud paduka?”

“Puterimu bakal hidup bergelimang harta di dalam istana, Wang-taijin. Keberuntungan itu tak habis kau syukuri selama tujuh turunan. Maka kuminta 500 ons emas untuk balas jasaku yang telah membuatmu beruntung itu!”

“Tidak!” Wang-taijin membantah. “Keberuntungan adalah anugerah dari Tuhan, paduka menteri. Bukan dari manusia karena manusia hanyalah sekedar perantara saja!”

“Tapi tanpa diriku kau tak akan berhasil, bupati bodoh!”

Mao-taijin mulai marah. “Karena biarpun Tuhan memberimu rejeki tapi kalau perantaranya tak kau hargai maka rejekimu itu akan lenyap. Pikirkan itu!”

Wang-taijin juga marah. Dia bupati jujur yang kurang diplomatis, keras dan teguh pada pendirian bahwa manusia hidup harus baik. Tak boleh curang atau kotor karena kebersihan dan kejujuran adalah di atas segala-galanya. Maka begitu menteri Mao mendesaknya dan menekan agar dia mau memberi menteri itu “uang terima kasih” berujud 500 ons emas (bayangkan harganya sekarang) yang berarti penyuapan akhirnya bupati ini memaki-maki menteri itu, mengeluarkan kata-kata keras yang membuat sang menteri merah mukanya.

Maklum, Wang-taijin bukan bawahan langsung menteri ini karena menteri Mao bukanlah gubernur atau menteri dalam negeri. Jadi Wang-taijin tak khawatir kalau menteri itu memecatnya. Berani karena merasa bersikap benar. Bahkan mengancam perbuatan menteri itu akan dilaporkan pada Han-taijin yang menjadi penasehat kaisar, atasan langsung bupati itu setelah gubernur Liang yang menjadi atasannya di tingkat propinsi. Dan Mao-taijin yang tentu saja mencak-mencak oleh keberanian bupati ini akhirnya mengusir pergi ayah dan anak itu dengan ancaman pula.

“Baik, seumur hidup kau akan merasakan keberanianmu ini, bupati bodoh. Puterimu tak akan kuhadapkan kaisar dan kalian akan menderita untuk keberanian kalian ini!”

Bupati Wang tak takut. “Hamba merasa di jalan yang benar, paduka menteri. Hamba tak takut karena Tuhan pasti melindungi hamba!”

Dan Cao Cun yang juga marah melihat kebusukan menteri itu menyambung pula. “Hamba tak mata duitan untuk tinggal di istana, taijin. Bagi hamba tak apa kalau paduka tak menghadapkan hamba pada kaisar!”

Mao- taijin semakin marah-marah. Dia mengusir ayah dan anak itu, gusar bukan kepalang. Merasa tertampar dan terpukul karena baru kali itu ada orang berani melawannya. Menolak mentah-mentah uang semir yang diminta. Padahal bupati Wang itu dapat hidup enak di istana, jauh lebih enak daripada di Chi-cou. Bahkan pangkatnya mungkin bisa naik dengan cepat kalau puterinya menjadi kecintaan kaisar. Barangkali sebentar saja bisa menjadi kepala menteri atau wakil kaisar! Dan menteri Mao yang dendam pada bupati yang jujur dan berani ini tiba-tiba pada suatu hari merencanakan untuk membunuh saja bupati itu.

“Pengawal, panggil kemari Sin-kee Lo-jin (Si Tua Ayam Sakti)!” menteri ini memanggil pengawalnya, menyuruh agar Sin-kee Lo-jin yang menjadi pelindung pribadinya itu datang, seorang kakek tinggi kurus dengan mata yang bulat kecil, persis mata ayam. Dan ketika kakek itu datang dan Mao-taijin berbisik-bisik maka Sin-kee Lo-jin mengangguk dan menyeringai lebar.

“Tak perlu khawatir. Hamba akan ke Chi-cou sekarang juga, Mao-taijin. Akan hamba racun bupati itu agar mampus disangka kena penyakit siluman.”

Tapi, belum Si Tua Ayam Sakti ini beranjak dari tempatnya tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat masuk, begitu saja bagai iblis. Dan ketika dua orang itu kasak-kusuk tak mengetahui kedatangannya maka bayangan yang sudah berdiri di belakang Sin-kee Lo-jin itu menepuk pundaknya.

“Iblis tua, sebaiknya kau urungkan saja niat kalian itu. Kalau tidak aku akan melaporkannya pada kaisar!”

Sin- kee Lo-jin dan Mao-taijin terkejut. Mereka sekarang melihat siapa pembicara itu, seorang pemuda aneh berambut keemasan. Yang datang begitu saja tanpa mereka ketahui. Seperti iblis! Dan Sin-kee Lo-jin yang marah serta kaget tiba-tiba memutar tubuhnya “menjalu” (menendang seperti ayam) lawan tak dikenal itu.

“Pemuda kurang ajar, pergi kau...!”

Sang pemuda tak mengelak. Dia menerima saja tendangan mirip ayam jago itu, tersenyum mengejek. Dan ketika “jalu” yang dipasang Sin-kee Lo-jin tepat mengenai pinggangnya mendadak Ayam Sakti itu menjerit dan roboh terguling-guling bagai menendang baja tak bergeming yang membuat dia kesakitan.

“Bress-aduh...!”

Mao-taijin terkejut. Dia melihat justeru pembantunya itu yang berteriak kesakitan, terlempar dan memegangi tumit kakinya yang nyeri menusuk tulang. Entah kenapa tertolak balik ketika menjalu tadi. Tapi Sin-kee Lo-jin yang sudah melompat bangun dengan kaki terpincang-pincang mendengar Mao-taijin berseru padanya,

“Lo-jin, bunuh dia. Dia telah mendengar rencana kita...!” dan mundur di balik mejanya yang terpasang alat rahasia mendadak menteri ini menjebloskan diri dalam sebuah lubang di bawah lantai.

“Bless!” Mao -taijin lenyap sekejap. Rupanya menteri ini pengecut sekali dan buru-buru menyelamatkan diri melihat lawan, mempercayakan perlindungannya pada Sin-kee Lo-jin.

Dan Sin-kee Lo-jin yang menggereng berteriak keras tiba-tiba menubruk dan menyambar pemuda itu. “Bocah keparat, aku akan menanduk kepalamu!”

Pemuda aneh itu diam saja. Dia terkejut mengerutkan kening melihat menteri Mao lolos, tak menyangka di bawah meja terpasang alat rahasia. Tapi begitu Sin-kee Lo-jin menubruk dan kepalanya benar-benar menanduk seperti jago sedang berlaga tiba-tiba dia mengelak ke kiri dan mendengus. Dan ketika Sin-kee Lo-jin meluncur ke depan dengan seruan kaget tiba-tiba tangannya bergerak menampar mengepret telinga Ayam Sakti itu.

“Tua bangka, pergilah... plak!”

Sin-kee Lo-jin terpekik. Dia kembali terlempar dan mencelat roboh, telinga rasanya mengiang bagai mendengar seribu nyamuk beterbangan. Tapi Sin-kee Lo-jin kembali membentak dan melompat bangun tiba-tiba menyerang penuh kemarahan lawannya yang tak dikenal itu, mencabut senjatanya yang aneh berupa cakar ayam yang terbuat dari baja, lengkap dengan jalunya sekalian. Dan begitu dia menyerbu dan membentak marah maka bertubi-tubi pemuda berambut emas ini mendapat serangan yang gencar tiada putus.

Tapi lawan yang aneh itu mulai berlompatan. Sin-kee Lo-jin meraung-raung melihat serangannya selalu luput, mengenai angin kosong belaka karena lawan selalu terdorong sebelum disentuh cakar bajanya. Seolah kapas yang selalu tertiup sebelum dipegang. Mendengar lawan tertawa mengejek sementara dia membabi-buta dengan serangannya yang menderu-deru, gagal belum sekali juga mendaratkan pukulannya ke tubuh lawan yang lincah itu. Dan ketika dia membentak dan memaki lawannya itu mendadak si pemuda menampar telinganya untuk kedua kali sambil tertawa.

“Ayam tua, sebaiknya kau roboh saja...plak!”

Sin- kee Lo-jin benar-benar roboh. Dia mendelik tapi juga mulai gentar, maklum bahwa dia menghadapi lawan yang benar-benar lihai. Dan ketika kembali dia terbanting ketika lawan menyapu kakinya mendadak terdengar seruan Mao-taijin yang entah bersembunyi dimana,

“Lo-jin, panggil para pengawal untuk membantumu. Goblok, jangan membuang-buang waktu lagi...!”

Sin-kee Lo-jin marah. Untuk pertama kali dia dimaki tuannya itu, geram dan gusar bukan main pada lawannya ini. Tapi maklum lawan benar-benar lihai dan agaknya dia bukan tandingan pemuda tak dikenal ini tiba-tiba dia memanggil semua pengawal yang ada di gedung Mao-taijin dengan suitan panjang, berteriak-teriak dan membuat gaduh tempat itu. Dan begitu para pengawal datang dan menyerbu dengan golok dan tombak akhirnya pemuda ini dikeroyok oleh tigapuluh orang lebih termasuk Sin-kee Lo-jin itu!

“Bagus, bagus... serang dia. Bunuh dia!” Sin-kee Lo-jin berkaok-kaok, memberi perintah dan ikut menyerang dengan senjata tidak pernah berhenti dari pegangannya, berputar dan membabat atau menusuk dengan cakar bajanya yang runcing, mengerubut dan berteriak-teriak agar para pengawal terus maju, tak perlu takut. Tapi ketika pemuda itu membentak dan berkelebat lenyap membalas marah mendadak saja para pengawal itu saling menjerit dan roboh berpelantingan menerima tendangan atau tamparan pemuda itu.

“Sin- kee Lo-jin, kau tak tahu diri. Awas kalau begitu...!” dan ketika pemuda ini menggerakkan kaki tangannya menangkis dan menyapu hujan senjata mendadak golok dan tombak patah-patah bertemu sepasang kaki dan tangan pemuda ini, tak ada satupun yang kuat menahan gebrakan itu. Padahal si pemuda masih bertangan kosong. Dan ketika pemuda itu berkelebat dan menangkis sambaran cakar baja yang menghantam kepalanya tiba-tiba senjata di tangan Ayam Sakti inipun patah dan mencelat dari tangan pemiliknya.

“Plak!” Sin-kee Lo-jin terbelalak. Dia seakan tak percaya melihat kelihaian pemuda itu, mendelong dengan muka kaget. Tapi begitu pemuda ini meneruskan gerakannya mendorong dada si Ayam Tua tiba- tiba Sin-kee Lo-jin menjerit dan roboh terjerembab dengan tulang rusuk patah.

“Dess...!” si Ayam Sakti tak dapat berdiri lagi. Dia melihat tigapuluh pengawal Mao-taijin sudah tumpang tindih dengan tulang patah-patah. Tak ada yang tewas tapi semuanya terluka tak dapat bangun, sama seperti dia, merintih dan memegangi bagian yang patah, sebagian malah ada yang pingsan.

Tapi ketika pemuda itu menjengek dan Sin-kee Lo-jin gentar melihat pemuda itu siap menghampirinya tiba-tiba seratus busu (pengawal istana kaisar) muncul dipimpin seorang panglima tinggi besar berjenggot lebat, hasil panggilan Mao-taijin yang kecut melihat anak buahnya roboh bergelimpangan. Dan begitu panglima ini muncul dengan pakaian perangnya yang bergemerincing nyaring terdengarlah bentakannya yang menggeledek bagai petir membelah ruangan itu,

“Manusia keparat, kau siapa berani mengganggu gedung Mao-taijin? Tak tahu mati, mengelus macan tidur, ya?”

Pemuda itu terkejut. Dia bukan lain Kim-mou-eng adanya, pemuda yang berhasil melepaskan diri dari kejaran sumoinya, Salima. Belum begitu dikenal di Tionggoan karena dia belum begitu lama muncul, baru dua bulan kurang sedikit. Tapi melihat panglima tinggi besar itu membentaknya dengan suara menggelegar dan seratus busu telah mengepungnya rapat mendadak Kim-mou-eng tersenyum lebar, mengenal panglima ini yang tentu Kang-jiu Bu-ciangkun (Si Tangan Baja) adanya, seorang panglima yang banyak didengar di perjalanan sebagai panglima yang bengis dan garang.

Seorang dari tujuh panglima istana yang terkenal dengan julukan Jit-liong Ciangkun (Panglima Tujuh Naga), yakni panglima-panglima kaisar yang gagah dan kosen. Maka melihat panglima ini datang dan dia kagum mendengar suaranya yang menggetarkan bagai aum singa tiba-tiba Kim-mou-eng maju dengan senyum mengejek, ingin melihat kepandaian orang.

“Bu-ciangkun (panglima she Bu), kaukah yang berjuluk Si Tangan Baja itu? Benarkah tanganmu seperti baja dan hatimu setegar naga?”

Panglima itu, yang memang Si Tangan Baja adanya mendelik. “Benar, kau siapa dan kenapa membuat onar di sini? Tak tahu memasuki sarang harimau, hah?”

Kim-mou-eng tersenyum, melihat kemiripan panglima ini dengan twa-hengnya, Gurba, sama-sama keras dan suka membentak-bentak. Maka tertawa melirik para pengepungnya Kim-mou-eng tiba-tiba menjawab, “Aku pengelana biasa, Bu-ciangkun. Melihat Mao-taijin hendak berbuat jahat membunuh orang baik-baik.”

“Bohong, kau dusta! Kau pengacau. Kaulah yang hendak membunuh Mao-taijin!” dan, menggereng bagai singa lapar tiba-tiba panglima ini memberi aba-aba pada pasukannya. “Tangkap orang ini. Ringkus dia!”

Seratus busu itu menyerbu. Mereka sudah mengangguk dan meluruk bagai tawon, sebentar saja membentak dan menyerang Kim-mou-eng, berteriak dan menggerakkan senjata mereka untuk merobohkan pemuda ini. Tapi Kim-mou-eng yang tertawa dan berkelebat lenyap tiba-tiba menghilang dari tempat itu hinggap di atas sebuah belandar.

Para pengeroyok tertegun. Mereka tak tahu dimana lawan mereka berada. Maklum, gerakan Kim-mou-eng demikian cepat dan begitu bergerak tahu-tahu lenyap bagai iblis. Tapi Bu-ciangkun yang rupanya lihai dan tahu dimana lawan bersembunyi tiba-tiba menarik tombak seorang busu, langsung melemparkannya ke atas belandar dimana pemuda itu berada. Dan begitu panglima ini membentak dan meluncurkan tombaknya tahu-tahu senjata panjang itu telah menderu dan menyambar ke atas.

“Dia di sana. Goblok!”

Para pengawal mendongak. Mereka sekarang melihat dimana lawan mereka itu, melihat pula lemparan tombak yang dilontarkan Bu-ciangkun, mengaung dan tahu-tahu menyambar pemuda di atas belandar itu dengan cepat. Dan ketika semua mata terbelalak ke atas dan tombak tepat mengenai pemuda itu mendadak Kim-mou-eng terjungkal dan roboh mengaduh.

“Crep!” Semua mata girang. Mereka menyangka Kim-mou-eng terluka, bersorak dan menghambur dengan pekik memuji Bu-ciangkun. Tapi begitu mereka mendekat dan Kim-mou-eng melompat bangun mendadak tombak yang mengenai tubuhnya itu, yang ternyata “menembus” ketiaknya, dikempit seolah ditembus sungguh-sungguh mendadak sudah menyambar dan mengemplang mereka semua, disusul ketawa pemuda itu yang mengejutkan mereka.

“Ha-ha, jangan sebodoh itu mengira aku terluka, tikus-tikus busuk. Sekarang lihat dan jaga baik-baik diri kalian. Awas...!” dan begitu Kim-mou-eng berkelebat memutar senjata panjang ini tahu-tahu para busu yang meluruk hendak menangkapnya itu sudah digebuk dan roboh berpelantingan menjerit-jerit.

“Aduh... plak-dess!”

Tombak sudah menyerampang mereka, sebentar saja membuat separuh dari jumlah pengeroyok yang maju tumpang-tindih tak karuan, berteriak-teriak kesakitan mengejutkan Bu-ciangkun, yang juga tak mengira hasil tipuan pemuda itu. Dan ketika Kim-mou-eng tertawa dan melompat keluar karena tempat itu sudah penuh oleh tubuh-tubuh yang bergelimpangan maka Bu-ciangkun menggereng dan berkelebat mengejar, mengira Kim-mou-eng melarikan diri.

“Siluman cilik, jangan lari...!”

Kim-mou-eng berhenti. Dia memang tidak bermaksud melarikan diri, hanya mencari tempat lebih lega. Kini berdiri di tengah halaman luar gedung Mao-taijin itu, tertawa melihat panglima tinggi besar itu mengejarnya. Dan ketika sisa pengawal juga berlari-lari ke depan mengurung tempat itu akhirnya Kim-mou-eng bersiap-siap menghadapi panglima gagah ini.

“Bu-ciangkun, pengawal-pengawalmu tak ada yang dapat menangkap aku. Sebaiknya kau maju sendiri dan mari kita main-main.”

“Hargh!” panglima itu mengaum. “Kau memang lihai, tikus kecil. Tapi jangan harap mempermainkan aku dengan mudah. Sebut dulu siapa namamu!” dan membentak melompat maju panglima ini sudah menggerak-gerakkan kedua lengannya yang berkerotok bagai bambu berpletakan.

Kim-mou-eng tersenyum. “Aku tak punya nama. Aku pengembara biasa.”

“Bohong!” panglima itu marah. “Kau bukan orang sini, rambut emas. Kau orang asing yang agaknya berasal dari luar tembok besar!”

“Benar,” Kim-mou-eng tertawa kecil. “Tapi aku bukan asing secara keseluruhan, Bu-ciangkun. Jelek-jelek ibuku adalah juga wanita Han!”

“Dan apa maksudmu membuat onar?”

“Aku melihat Mao-taijin merencanakan membunuh orang baik-baik. Dia kepergok dan...”

“Wutt!” panglima ini tiba-tiba membentak marah dan memotong ucapan lawan dengan serangannya yang dahsyat, menyambar muka Kim-mou-eng dengan pukulan lurus ke depan, menderu karena mengira Kim-mou-eng memfitnah. Dan begitu panglima ini menyerang dan dia langsung mengerahkan Tangan Bajanya menghantam ke depan tiba-tiba pukulan itu telah tiba di depan hidung Pendekar Rambut Emas ini.

“Dukk...!” Kim-mou-eng terkejut, cepat mengelak dan menangkis mengerahkan sinkangnya (tenaga sakti). Dan begitu dua lengan bertemu dan Kim-mou-eng tergetar maka si Tangan Baja Bu-ciangkun itu terdorong dan berseru kaget,

“Hebat...!” panglima ini terkejut, berseru kagum dan terbelalak melihat lengannya terpental. Melihat lawan tak apa-apa padahal biasanya Tangan Bajanya itu mampu memukul remuk kepala seekor banteng! Maka terkesiap melompat mundur tiba-tiba panglima ini bertanya kembali, “Kau siapa?”

Namun Kim-mou-eng tak menjawab. Dia memang enggan memperkenalkan nama, bosan pada bentuk penonjolan diri. Tapi tersenyum dan kagum memandang panglima ini dia memuji juga, tak menggubris pertanyaan lawan, “Kau hebat, Bu-ciangkun. Tanganmu betul-betul ampuh dan keras seperti baja!”

Bu-ciangkun menggereng. Dia penasaran melihat lawan tak mau menjawab pertanyaannya, dua kali sudah. Maka membentak dan maju kembali tiba-tiba panglima tinggi besar ini bergerak menubruk cepat. “Rambut Emas, kau rupanya minta ditangkap dan dibanting agar mengaku...wut-wutt!”

Dan panglima Bu yang sebentar saja telah menyerang dengan ilmu silatnya Kang-jiu Sin-hoat (Silat Tangan Baja) lalu menyambar-nyambar dan mengepung lawannya dengan pukulan-pukulan cepat. Sebentar kemudian diiringi bentakan-bentakannya yang keras menggetarkan itu, bermaksud melumpuhkan nyali lawan dengan suaranya. Tapi Kim-mou-eng yang menangkis dan tertawa melayani panglima ini tiba-tiba berkelebat mengerahkan ginkangnya.

“Bu-ciangkun, kau boleh robohkan aku kalau bisa. Kalau berhasil tentu kau akan mengetahui siapa namaku!”

Bu-ciangkun marah. Dia merasa dipermainkan lawannya ini, membentak dan mempercepat gerakannya untuk mengejar lawan. Dan begitu keduanya saling sambar dan panglima Bu melancarkan pukulan-pukulan berat akhirnya dua orang itu bertempur dengan seru dan ramai. Terutama di pihak Bu-ciangkun karena dia menambah tenaganya dan penasaran bukan main melihat lawan dapat menangkis dan mementalkan Tangan Bajanya, terbelalak dan hampir tak percaya bahwa pemuda itu dapat melayani ilmu silatnya, berani keras lawan keras.

Merasa betapa lengannya selalu tergetar setiap kali bertemu lengan pemuda itu. Diam-diam menyeringai karena kini lengannya mulai sakit, ngilu dan pedih. Tanda kalah kuat! Dan ketika Bu-ciangkun terbelalak dan kaget dalam hati tiba-tiba pemuda itu ganti mendesaknya dengan tamparan-tamparan sinkang.

“Bu- ciangkun, sekarang kau harus berhati-hati. Aku akan merobohkanmu sepuluh jurus lagi!”

Bu-ciangkun terkejut. Dia melihat lawan berkelebat mengelilingi dirinya, berputaran cepat merupakan bayangan yang tak kelihatan lagi mana kepala mana kaki. Demikian cepat hingga dia merasa pening. Dan ketika Bu-ciangkun mulai terhuyung dan gugup menangkis sana-sini tiba-tiba sebuah tamparan mendarat di pundak kanannya.

“Plak!” Bu-ciangkun terdorong. Dia tidak sampai roboh menerima pukulan itu, kuat daya tahannya karena memiliki tenaga cukup besar. Tapi ketika lawan kembali menampar dan berturut-turut dada dan lehernya dicium telapak pemuda itu yang mengandung sinkang yang selalu membuat ia kesakitan akhirnya pada jurus kesepuluh panglima tinggi besar ini benar-benar terjungkal ketika lawan menampar pelipisnya dan menendang belakang lututnya.

“Jurus kesepuluh... plak-dess!” Bu-ciangkun benar-benar terbanting. Dia mengeluh dan roboh persis seperti yang dikata lawannya itu, mata berkunang-kunang bagai melihat ribuan bintang. Dan ketika dia terhuyung melompat bangun dan para busu terkejut melihat panglima mereka kalah tiba-tiba dua bayangan berkelebat menuju tempat itu.

“Bu-ciangkun, siapa pemuda ini?”

Bu-ciangkun masih nanar. Dia terengah dengan napas megap-megap, kaget dan terbelalak oleh kekalahannya itu. Tapi melihat dua bayangan mendekati dirinya dan melihat siapa yang datang mendadak panglima ini menggereng dengan seruan girang, “Aku tak tahu siapa dia, Cu-ciangkun. Tapi dia membuat onar di gedung Mao-taijin. Dia lihai, agaknya hendak membunuh menteri itu...!”

Dua pendatang ini mengerutkan alis. Mereka adalah dua panglima tua yang gagah tinggi kurus, kumis menjuntai ke bawah sampai di dagu. Yang bertanya tadi adalah Cu Hak, rekan Bu-ciangkun ini yang biasa bertugas di selatan sementara teman satunya adalah Cu Kim, adik kandungnya yang juga merupakan panglima di tempat itu. Dua bersaudara yang terkenal pandai mainkan tombak beronce yang dapat terbang bagai naga yang lepas dari sarangnya. Dan Cu Hak yang melihat Bu-ciangkun kalah oleh pemuda aneh berambut keemasan ini tiba-tiba membentak dengan muka tidak senang,

“Sobat, kau siapa? Kenapa mengacau disini?”

Kim-mou-eng tersenyum, tak mengenal siapa dua orang panglima baru ini tapi dapat menduga bahwa mereka rupanya anggota Jit-liong Ciangkun. Jadi tiga naga dari Tujuh Naga itu telah datang. Dan melihat kepandaian Bu-ciangkun yang masih dapat diatasinya dan ingin menjajal kepandaian dua panglima tua itu tiba-tiba Kim-mou-eng tersenyum.

“Aku tak punya nama. Pengelana biasa yang tidak mengacau di tempat ini. Aku datang karena diserang lawan dan terpaksa membela diri.”

“Hm, dan benar kau mau membunuh Mao-taijin?”

“Tidak, bahkan menteri itulah yang hendak membunuh orang. Aku mendengar percakapannya dan bermaksud mencegah tapi diserang oleh para pembantunya!”

“Bohong...!” Mao-taijin tiba-tiba muncul, jauh berlindung di balik para busu yang masih tegak di halaman itu. “Dia datang hendak mencelakai aku, Cu-ciangkun. Aku tak mengenal siapa setan itu tapi sebaiknya tangkap dia. Ringkus dan bunuh saja!”

Bu-ciangkun mengangguk, penasaran dan marah oleh kekalahannya tadi. “Benar, pemuda ini telah mengancam tempat kita, Cu-ciangkun sebaiknya ditangkap atau dibunuh saja. Dia dapat mengganggu ketenteraman istana!”

Cu -ciangkun tiba-tiba mencabut tombaknya, tombak beronce biru. Percaya pada rekan sendiri daripada lawan. Dan sementara Kim-mou-eng melotot pada menteri she Mao itu dan siap menggerakkan kaki menangkap menteri ini mendadak panglima itu melompat maju menusukkan tombaknya, “Sobat, kau tak boleh main-main di tempat ini... wutt!”

Kim-mou-eng terkejut. Dia melihat tombak lawan meluncur cepat, mematuk tubuhnya dengan gerakan seorang ahli. Tapi mengelak dan menangkis dari samping dia telah menampar tombak itu, menyelewengkan arahnya dan membuat lawan terbelalak. Tapi Cu-ciangkun yang membentak dan rupanya benar-benar mahir mainkan tombak tiba-tiba telah membalik dan memutar senjata panjangnya ini, dan begitu tombak melenceng dipukul sekonyong-konyong panglima itu meliuk memutar pinggang, membanting tubuh bergulingan dan kini menyerang dari bawah.

Sekejap saja telah menusuk bertubi-tubi kaki lawannya, mulai dari paha sampai ke mata kaki. Tak kurang dari tujuhbelas tusukan! Dan Kim-mou-eng yang terkejut oleh kelihaian panglima ini mainkan tombaknya tiba-tiba berseru keras melompat tinggi sambil menendang.

“Plak-plak-plak!”

Cu-ciangkun ganti terkejut. Dia, seperti Bu-ciangkun, merasa tergetar oleh tenaga Iawannya ini. Merasa betapa lawan memiliki sinkang yang membuat telapaknya pedas, lengan sedetik lumpuh oleh tangkisan tadi. Tapi Cu-ciangkun yang penasaran dan membentak tinggi sudah melompat bangun, mengejar dan kini menyerang bagian tengah tubuh lawannya ketika Kim-mou-eng baru melayang turun. Dan begitu panglima ini berseru nyaring menusukkan tombaknya maka bertubi-tubi Kim-mou-eng mendapat serangan gencar.

Begitulah Kim-mou-eng lalu berlompatan. Pemuda ini terbelalak dan kagum oleh kepandaian lawan yang demikian cekatan mainkan tombaknya. Demikian gapah dan enteng sekali sementara tombak menyambar-nyambar bagai setan kesurupan, mematuk dan menusuk tiada henti, berkelebatan dan sebentar saja mengelilingi dirinya membentuk gulungan tombak yang panjang serta melebar. Sekejap kemudian menutup jalan keluarnya hingga Kim-mou-eng tak dapat melarikan diri. Dan Kim-mou-eng yang tentu saja kagum oleh kelihaian panglima ini akhirnya berseru keras menampar sambil memuji.

“Bagus, ilmu silatmu hebat, ciangkun. Agaknya ini yang dinamakan Sin-liong Chio-hoat (Tombak Naga Sakti)...!”

Cu-ciangkun mengerutkan keningnya. Dia heran melihat lawan mengenal ilmu silat tombaknya. Lebih heran lagi bahwa lawan yang sudah terkurung itu masih juga tak dapat dirobohkan. Menampar dan selalu menangkis dengan tangan kosong padahal dia bersenjata. Dan ketika lawan memuji-muji sementara tombaknya selalu terpental dan tangannya kian pedas bertemu tangkisan pemuda itu yang kian kuat menambah tenaganya tiba-tiba sadar dan terkejutlah panglima ini bahwa dia bukan tandingan pemuda itu. Yang agaknya kalau mau dapat merobohkannya sejak tadi.

Terbukti setiap tombaknya terpental dan dia dalam keadaan “terbuka” pemuda itu tak mau memasuki kesempatan ini, tak mau membalasnya. Masih selalu menangkis atau menampar yang notabene adalah bertahan saja. Hal yang baru membuat panglima ini mendusin! Dan ketika tombak kembali terpental dan Cu-ciangkun tertarik serta kagum pada lawannya tiba-tiba panglima ini berseru pada adiknya, “Kim-te (adik Kim), bantu aku. Rupanya pemuda ini benar-benar kuat!”

Cu Kim, sang panglima kedua terkejut. Dia juga melihat kelihaian pemuda berambut emas itu. Melihat kakaknya meskipun menyerang tapi selalu tertolak balik, tak dapat merobohkan pemuda itu yang sama sekali belum membalas serangan-serangan kakaknya. Padahal pemuda itu bertangan kosong, banyak mengelak dan menangkis sana-sini dengan telapak terbuka. Maka melihat kakaknya berteriak dan menyuruh dia maju membantu tiba-tiba panglima ini membentak dan menggerakkan tombaknya yang beronce merah.

“Hak-ko (kakak Hak), rupanya lawan kita memang benar-benar tangguh. Biar kubantu kau...wut-wutt!” dan tombak di tangan Cu Kim yang tiba-tiba membantu kakaknya menyerang dari samping tiba-tiba bergulung naik turun merupakan gundukan besar, sebentar kemudian menyatu dengan tombak kakaknya yang masih terus melancarkan serangan.

Dan begitu dua kakak beradik panglima tinggi kurus ini melancarkan serangan mereka tiba-tiba pertandingan menjadi seru dan mendebarkan sekali. Dua tombak itu kini mengaung-ngaung, berseliweran cepat dan mematuk serta memagut bagai naga keluar dari sarangnya, siap-siap mencari mangsa. Dan ketika Kim-mou-eng harus menambah kecepatannya untuk mengelak dari serangan-serangan yang berbahaya dan dua panglima itu penasaran melihat lawan masih juga tak dapat dirobohkan tiba-tiba Cu Hak, panglima tertua berteriak pada adiknya,

“Kim-te, keluarkan Ho-liong Chio-sut (Silat Tombak Naga Terbang)...!”

Kim-mou-eng terbelalak. Dia melihat Cu Kim mengangguk, melompat mundur dan tiba-tiba melepas tombaknya menyambar iga, terbang begitu saja seolah tombak di tangan panglima itu memiliki sayap. Dan ketika dia menangkis dan tombak itu membalik dan mental ke atas tapi kini mencakar kepalanya tiba-tiba Cu Hak, panglima tertua, juga melepas tombaknya dan mundur menjauhi lawan mereka ini, menggerak-gerakkan tangan “mengemudikan” tombak menyambar pundak Kim-mou-eng. Dan Kim-mou-eng yang tentu saja terkejut oleh serangan dari udara ini tiba-tiba berseru keras menangkis dua tombak terbang itu.

“Plak-plak!”

Aneh sekali. Tombak di tangan Cu-ciangkun bersaudara itu tidak kembali ke masing-masing tuannya, mental dan kini menusuk lagi seolah tombak bernyawa, menyambar dari kiri kanan menuju leher Kim-mou-eng. Seolah siap menyate pemuda itu lewat leher yang lunak. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan heran oleh kepandaian dua panglima itu memainkan tombak mereka tiba-tiba sepasang tombak itu telah mengenai batang lehernya, dari kiri kanan.

Cu-ciangkun bersaudara terkejut. Mereka melihat lawan mereka itu tertawa, rupanya telah memasang kekebalan dengan sinkangnya yang luar biasa itu. Sebuah demonstrasi yang mengagumkan! Tapi Cu Hak dan adiknya yang marah oleh kegagalan ini tiba-tiba membentak dan menggerak-gerakkan telapak tangan mereka, membuat tombak terbang itu berseliweran cepat dan kini mematuk-matuk tubuh lawan yang terang tak mungkin menangkis hujan tusukan itu dengan selamat. Sekali dua terkena juga. Tapi Kim-mou-eng yang telah memasang kekebalannya dan kini ingin mengakhiri pertandingan itu tiba-tiba berseru,

“Cu-ciangkun, cukup sudah kulihat kepandaian kalian. Sekarang berhentilah!”

Cu-ciangkun terbelalak. Mereka sendiri masih menggerak-gerakkan tombak terbang mereka, kaget dan marah bahwa tombak mereka tak dapat melukai lawan. Dan ketika mereka mendengus akan kata-kata pemuda aneh itu tiba-tiba tanpa mereka sangka mendadak Kim-mou-eng menangkap tombak mereka itu, tidak lagi menangkis.

“Cep-cepp!”

Dua panglima itu terkejut. Mereka melihat Kim-mou-eng telah menjepit sepasang tombak itu dengan dua jari telunjuk dan tengah, masing-masing dijepit sedemikian rupa hingga tak dapat melepaskan diri, bergetar dan mencicit di jari pemuda itu karena Cu-ciangkun menarik-narik dari jauh. Mirip sihir atau ilmu siluman! Tapi begitu Kim-mou-eng tertawa dan melepas sepasang tombak ini dan membalik gagangnya dilontarkan ke dada panglima bersaudara itu tiba-tiba Cu-ciangkun dan adiknya kaget ketika tombak menyambar dada mereka, cepat sekali.

“Duk-dukk!”

Dua panglima itu terjengkang. Mereka menerima gagang tombak yang menyambar tak dapat dikelit, seketika itu juga menjerit dan mengaduh, terbanting roboh. Dan ketika mereka mengeluh dan tertegun karena bukan mata tombak yang menimpuk dada mereka melainkan gagangnya saja yang dibalik, tanda lawan tak bermaksud mencelakai mereka maka pemuda yang luar biasa itu melompat pergi, tertawa.

“Cu-ciangkun, lain kali kita bertemu lagi. Selamat tinggal...!”

Cu-ciangkun mendelong. Mereka sekarang sadar bahwa pemuda itu bukannya orang jahat, terbukti tak membunuh mereka meskipun mampu. Tapi Mao-taijin yang rupanya memberi aba-aba mendadak memanggil bala bantuan lain, pasukan lebih besar dari istana. Tak kurang dari limaratus orang, menyebarkan berita bahwa seorang pemberontak muncul di gedungnya. Dan begitu Kim-mou-eng melompat pergi tahu-tahu pasukan besar muncul di luar gedung dipimpin empat panglima yang bukan lain anggota lengkap dari Jit-liong Ciangkun, Panglima Tujuh Naga!

“Pemberontak hina, kembalilah kau...!”

Kim-mou-eng terkejut. Dia mendengar suara mencicit dari sebuah golok terbang, kaget melihat seseorang menyerangnya dari belakang. Tapi karena dia telah mengerahkan sinkang dan golok juga sudah tak keburu dikelit maka serangan cepat itu telah mengenai sasarannya.

“Plak!” golok runtuh ke tanah. Kim-mou-eng telah mendemonstrasikan kekebalannya, tapi pemilik golok yang rupanya menyusul golok terbangnya dengan berkelebat ke depan dan membentak mengayun pukulan tiba-tiba membuat Kim-mou-eng terbelalak karena pukulan itu mengeluarkan kesiur angin dingin. Maka, terpaksa berhenti dan memutar tubuhnya menangkis serangan ini secepat kilat Pendekar Rambut Emas membungkuk dan mendorong menahan serangan itu.

“Dess...!” dan penyerang di belakang ini berteriak kaget. Dia terpental dan tertolak oleh tangkisan ini, jatuh terbanting dan terguling-guling tapi sudah melompat bangun. Dan ketika Pendekar Rambut Emas memandang siapa penyerangnya itu maka tampaklah seorang panglima muda yang pendek kekar memandangnya dengan melotot. Dan sementara dia tertegun mengerutkan alis maka tiga bayangan lain berkelebat mengurung disusul Cu-ciangkun bersaudara dan panglima Bu.

“Ha-ha, kau sekarang tak dapat lolos, pemberontak cilik!” Bu-ciangkun berseru, “Kami Jit-liong Ciangkun telah berkumpul semua!”

Kim-mou-eng menjublak. Dia melihat pasukan besar di luar kepungan mengurungnya rapat, sementara tujuh panglima yang kini mengepungnya dengan mata terbelalak juga memandang tak berkedip. Panglima Tujuh Naga, panglima istana yang tangguh dan lihai-lihai. Dan sementara dia menjublak dengan kerut semakin dalam tiba-tiba panglima bermuka merah yang ada di sebelah kanannya berseru, rupanya mengenal dia,

“Kim-mou-eng (Pendekar Rambut Emas)...!”

Kim-mou-eng terkejut. Dia tak mengenal siapa panglima bermuka merah itu, Ang Bin Ciangkun. Panglima yang sering bertugas di utara dan karena itu sudah mendengar namanya. Dan enam panglima lain yang juga tersentak oleh seruan Ang Bin Ciangkun ini tiba-tiba mundur selangkah dengan seruan kaget.

“Apa, dia Kim-mou-eng...?”

Ang Bin Ciangkun mengangguk, tak ragu lagi, membuat teman-temannya semakin terkejut dan mundur lagi setindak. Baru kali ini melihat dan mengenal nama pendekar muda itu, yang sering kali diceritakan Ang Bin Ciangkun karena panglima itulah yang lebih mengenal keadaan di luar tembok besar, di utara. Dan Kim-mou-eng sendiri yang terbelalak mendengar Ang Bin Ciangkun mengenal dirinya tiba-tiba mempergunakan kesempatan mundurnya tujuh orang panglima itu menerobos kepungan.

“Jit-liong Ciangkun, kalian memang lihai. Minggir...!”

Tujuh panglima itu terkejut. Mereka melihat Kim-mou-eng menggerakkan lengan ke kiri kanan, menyibak mereka, mendorong dengan serangkum angin yang kuat menyambar. Dan belum mereka membalas atau menghadang ke depan mendadak pendekar muda itu telah lolos melarikan diri. Berkelebat dan kini membentak limaratus pasukan yang mengepung diluar itu, yang kontan buyar berantakan dipukul pukulan sinkang pemuda ini. Dan begitu Kim-mou-eng tertawa dan melihat para pengawal menyibak oleh angin pukulannya tiba-tiba pemuda ini telah berjungkir balik melalui banyak kepala lolos keluar!

“Hei...!”

“Ahh...!”

Semua orang berseru kaget. Mereka terperanjat danbengong oleh gerak pemuda sakti ini, melenggong sejenak tapi tiba-tiba mendengar teriakan Mao-taijin yang menyadarkan mereka, berteriak-teriak agar pemuda itu ditangkap. Dan begitu semuanya sadar dan Jit-liong Ciangkun juga hilang kagetnya tiba-tiba Bu-ciangkun yang paling penasaran itu sudah mengejar dengan seruan marahnya,

“Kim-mou-eng, jangan lari kau. Berhenti...!” dan begitu enam temannya juga ikut mengejar dan membentak pendekar itu akhirnya bayangan Jit-liong Ciangkun berkelebatan memburu pemuda ini, disusul limaratus pasukan yang berteriak-teriak di belakang, membuat ribut. Sebentar saja suasana jadi gaduh dan ramai seolah kota raja benar-benar diserbu kaum pemberontak!

Dan Kim- mou-eng yang mendongkol oleh sikap lawan-lawannya itu tiba-tiba melejit ke timur menuju jajaran bangunan tinggi yang tampak menjulang untuk menyembunyikan diri, bukan takut melainkan ogah menghadapi musuh-musuhnya itu, yang sebenarnya bukanlah musuh karena mereka terhasut omongan Mao-taijin, menteri yang licik itu. Tak tahu bahwa yang dituju adalah kompleks istana alias tempat tinggal kaisar.

Maklum, dia belum begitu lama berkeliaran di kota raja dan tidak mengenal jalan-jalan di tempat kaisar Yuan Ti ini, yang tentu saja membuat Jit-liong Ciangkun kaget dan cemas karena mengira Kim-mou-eng hendak membuat ribut di tempat tinggal kaisar. Menambah onarnya. Jadi malah salah paham!

Dan begitu Kim-mou-eng tiba di tempat ini dan baru sadar bahwa dia memasuki tempat tinggal kaisar karena terompet kerang ditiup dan banyak bayangan berlompatan di atas genteng mengejarnya barulah Kim -mou-eng terkejut ketika menyadari bahwa dia malah masuk ke tempat yang lebih berbahaya. Dan ketika dimana-mana banyak bayangan muncul dan bangunan itu satu-satunya tempat tinggal dengan puncak gedung yang paling tinggi dan dia tak dapat mundur lagi karena musuh sudah mengepungnya maka saat itulah Panglima Tujuh Naga berhasil mengejarnya dan langsung menyerang, melihat dia tersudut.

“Kim-mou-eng, rupanya kau benar-benar tak bermaksud baik. Kau berani memasuki tempat tinggal kaisar. Mampuslah...!” Bu-ciangkun membentak paling depan, langsung mengerahkan Kang-jiu-kangnya (Tenaga Tangan Baja) untuk menyerang pemuda itu, dahsyat dan menderu dengan penuh kemarahan.

Dan ketika dua panglima Cu juga maju membentak dan menusukkan tombak mereka yang berputar menyambar dada maka berturut-turut empat panglima lain yang tergabung dalam Panglima Tujuh Naga itu mengeroyok dan bertubi-tubi menyerang Pendekar Rambut Emas ini, masing-masing mengeluarkan senjata mereka dan marah karena mengira pendekar itu hendak mengacau istana.

Tak tahu bahwa sebenarnya pemuda ini hanyalah tersesat, tak sengaja datang ke tempat itu karena mengira itu adalah tempat persembunyian yang aman. Maka begitu lawan jadi salah paham dan Kim-mou-eng mendapat serangan tujuh panglima gagah ini tiba-tiba pemuda sakti itu sibuk dan gugup menangkis sana-sini.

“Hei, hentikan dulu. Jangan serang aku...!”

Namun Jit-liong Ciangkun terlanjur curiga. Mereka tak menghentikan serangan, bahkan mempergencar karena tak percaya pada maksud baik pemuda ini. Dan begitu mereka membentak dan kembali maju menyerang maka Pendekar Rambut Emas ini kewalahan melompat sana-sini, mengerahkan sinkangnya dan harus berkali-kali mengelak mundur kalau ada tombak atau senjata lain menyambar bagian tubuhnya yang lemah, seperti mata dan bawah pusar yang tentu saja tak dapat dilindungi kekebalannya, masih juga bertangan kosong.

Dan ketika lawan memperberat tekanan dan Jit-liong Ciangkun gusar serta penasaran oleh kelihaian lawannya ini tiba-tiba untuk pertama kali Bu-ciangkun berhasil merobek baju di pundak lawannya itu.

“Brett!” Kim-mou-eng terkejut. Dia kembali disambar senjata lain, robek di bagian lain hingga sebentar saja bajunya koyak-koyak, tentu saja tak dapat dilindungi kekebalan pula. Dan ketika tombak dan golok kembali menyambar dan Ang Bin Ciangkun yang memegang busur tiba-tiba melepas panahnya menyerang punggung mendadak pemuda ini melengking mengeluarkan satu gerakan aneh.

Dia tidak mengelak, menerima semua serangan itu dan menangkis dengan jari-jari terbuka, menampar sekaligus mementalkan semua senjata lawan. Dan ketika panah runtuh mengenai punggungnya yang terlindung sinkang mendadak Kim-mou-eng meliuk dan menangkap kaki Bu-ciangkun yang saat itu terhuyung di sebelah kirinya.

“Hei...!” Namun terlambat. Panglima tinggi besar ini telah tertangkap, langsung diangkat dan diputar-putar menghadapi lawan yang menyerang pemuda itu.

Dan begitu Kim-mou-eng membentak mengayun panglima ini menangkis semua senjata yang menyambar dirinya kontan enam panglima yang menjadi teman Bu-ciangkun itu mundur dan menghentikan serangan. “Minggir...!”

Enam panglima itu terbelalak. Mereka terpaksa minggir ketika Kim-mou-eng memutar tubuh Bu-ciangkun, menyibak dan otomatis memberi jalan keluar. Dan ketika Kim-mou-eng tertawa dan meloncat keluar dari kepungan enam panglima itu sementara Bu-ciangkun masih dicengkeramnya sebagai sandera maka turunlah dia dari puncak gedung yang tinggi itu.

“Bu-ciangkun, kau harus menunjukkan padaku jalan keluar. Cepat, aku tak ingin memaksamu kalau kau keras kepala!”

Bu-ciangkun memaki-maki. Dia marah dan membelalakkan matanya sampai melotot, tak berdaya karena saat itu juga Kim-mou-eng telah menotoknya, menenteng dan membalik tubuhnya seperti anak kecil, diputar-putar. Tapi karena dia kesakitan karena cengkeraman di kakinya diperkeras dan Kim-mou-eng menggencet membuat tulangnya seakan retak akhirnya panglima ini menurut juga. Dia berteriak menyuruh belok sana-sini, membentak agar para pengawal mundur semua, membiarkan lawan berlari bebas sementara enam rekan lainnya tiba-tiba juga melayang turun, mengejar dan mengikuti di belakang khawatir Kim-mou-eng membunuh panglima she Bu itu.

Dan ketika kepungan benar-benar menyibak dan Kim-mou-eng mengikuti petunjuk-petunjuk panglima itu untuk keluar dari kompleks istana akhirnya mereka tiba di bangunan paling ujung, berhenti dan siap melepas panglima ini sambil tertawa lebar. Tadi begitu kaki menginjak tanah kosong mendadak Kim-mou-eng terjeblos memasuki sebuah sumur, bersama panglima itu, tidak tahu bahwa Bu-ciangkun memang sengaja membawanya ke situ karena lubang sumur tertutup oleh sebuah perangkap. Dan begitu Kim-mou-eng berteriak kaget dan meluncur turun maka tawanannya itupun ikut terjeblos memasuki lubang yang dalam, juga gelap!

“Aih...!” Tapi Kim-mou-eng memang lagi sial. Dia tak tahu bahwa panglima tinggi besar itu menipunya, meskipun harus ikut terjeblos ke bawah. Dan begitu keduanya sama-sama terbanting di dasar sumur yang gelap dan Bu-ciangkun berteriak kesakitan maka di saat itulah sebuah kerangkeng bergemuruh menakup mereka berdua, dari atas ke bawah.

“Brukk...!”

Kim- mou-eng terkejut. Dia melihat Bu-ciangkun mengeluh, roboh dan seketika itu juga pingsan di dalam kerangkeng, bersama dia. Dan sementara dia terbelalak dan masih tidak menduga bahwa Bu-ciangkun telah menipunya maka di saat itulah terlihat cahaya kekuningan disusul desis seperti ular. Lalu ketika Kim-mou-eng terbelalak dalam suasana yang mulai remang-remang ini muncullah enam orang dari Jit-liong Ciangkun itu menyemburkan asap belerang.

“Kim-mou-eng, kau harus kami tangkap!”

Kim-mou-eng tersentak. Dia sekarang melihat desis yang seperti ular itu ternyata adalah tiupan asap belerang yang muncul dari pipa-pipa di sekeliling kerangkeng, sekejap kemudian memenuhi tempat itu hingga dia batuk-batuk. Dan ketika dia terkejut dan mendobrak jeruji kerangkeng tiba-tiba pemuda ini mengeluh ketika tenaganya lenyap, hilang begitu saja!

“Ah, belerang bius...!” Kim-mou -eng sadar setelah terlambat. Dia sekarang tahu bahwa asap belerang itu bukan sekedar belerang saja, tapi bercampur juga dengan asap bius. Dan begitu dia mengeluh dan lamat-lamat mendengar enam orang dari Panglima Tujuh Naga itu tertawa mendadak Kim-mou-eng tak sadarkan diri lagi dan pingsan disebelah Bu-ciangkun!

Begitulah. Pendekar ini akhirnya tertangkap, Bu-ciangkun secara cerdik telah menuntunnya ke tempat jebakan, sumur bawah tanah yang sesungguhnya merupakan perangkap bagi orang-orang sakti yang mengacau di istana, berhubungan dengan penjara bawah tanah yang merupakan lorong rahasia di kompleks istana. Hal yang tentu saja tak diketahui orang luar karena tempat itu memang tidak mencurigakan.

Dan begitu Kim-mou-eng pingsan sementara Bu-ciangkun sendiri telah ditolong teman-temannya keluar dari kerangkeng sumur gelap akhirnya Pendekar Rambut Emas ditangkap dan dijebloskan dalam penjara bawah tanah. Menggegerkan kota raja dan seketika itu juga dikenal orang secara luas. Melejit namanya karena perbuatannya yang menggemparkan itu. Sanggup menandingi Jit-liong Ciangkun. Dan begitu orang mengenal namanya maka saat itu juga Kim-mou-eng menjadi buah bibir!

* * * * * * * *

Malam itu, tiga hari setelah tertangkapnya Kim-mou-eng sebuah bayangan berkelebat sembunyi-sembunyi memasuki istana. Bayangan ini berindap-indap, gerakannya Iincah dan bukan main cepat seperti gerakan walet menyambar saja. Dan ketika dinding istana telah ia masuki dan beberapa penjaga telah dilewati dengan mudah akhirnya bayangan ini tiba di sebuah taman yang luas dan langsung melayang ke atas pohon yang tinggi, melihat dua pengawal baru muncul secara tiba-tiba.

“Sun-twako, bagaimana pendapatmu dengan Kim-mou-eng itu?” seorang pengawal memecah bicara, lewat di bawah pohon besar itu ketika bertanya pada temannya, masing-masing membawa tombak dan tampak tak curiga bahwa di atas mereka sebuah bayangan sedang bersembunyi. Dan ketika temannya tertawa dan berjalan dengan langkah tegap terdengarlah jawabannya yang sinis mengejek,

“Kim-mou-eng boleh lihai, A-jiong. Tapi kalau dia ditawan dalam penjara bawah tanah berlapis-lapis mana bisa dia melarikan diri? Bu-ciangkun memperkuat penjagaan di sana. Katanya menanti perintah kaisar untuk menjatuhkan hukuman mati!”

“Hm, dan kabarnya dia keturunan Tar-tar, twako. Tak bahayakah menghukum mati pendekar itu?”

“Bahaya apa? Kim-mou-eng telah mengacau ditempat kita. Mao-taijin katanya hendak dibunuh pendekar itu tanpa sebab!”

“Ya." orang pertama mengangguk heran. “Sintingkah Pendekar Rambut Emas itu? Kenapa tanpa sebab dia memusuhi Mao-taijin?”

“Entahlah, aku tak tahu, A-jiong. Tapi Pendekar Rambut Emas itu memang benar-benar berbahaya. Konon katanya dengan tangan dan kaki saja dia dapat menghadapi Jit-liong Ciangkun yang rata-rata bersenjata!”

Dua pengawal itu bercakap-cakap menjauh. Mereka telah berada sepuluh tombak dari pohon dimana bayangan itu bersembunyi. Tapi begitu dua kerikil menyambar mereka dari belakang mendadak dua pengawal ini mengaduh dan roboh terpelanting. Dan sementara mereka kaget tak tahu apa yang menjadi sebabnya tiba-tiba bayangan di atas pohon itu telah meluncur turun bagai seekor burung menotok mereka.

“Tuk-tuk!” dua pengawal ini roboh tak berkutik. Mereka tertegun melihat seorang gadis tinggi semampai muncul begitu saja di depan mereka, seperti iblis. Dan ketika mereka tak mampu bicara saking kaget dan herannya tahu-tahu tubuh mereka ditendang dan mencelat ke atas pohon, nyangkut di puncak yang tinggi!

“Bress!” keduanya hampir menjerit. Mereka ngeri melihat ke bawah karena tubuh mereka hanya ditopang sebuah ranting yang kecil. Sekali patah tentu mereka terbanting remuk di bawah sana. Tinggi sekali! Dan ketika mereka terbelalak tak mampu bersuara karena urat gagu mereka telah ditotok gadis tak dikenal itu mendadak orang yang merobohkan mereka ini melayang ringan dan hinggap di ranting yang menahan tubuh mereka, mentul-mentul. Satu ranting untuk tiga orang!

Dan sementara mereka mengeluh dengan muka pucat dan ngeri sekali membayangkan ranting itu patah dan jatuh ke bawah maka gadis ini, gadis hitam manis yang memakai topi burung rajawali membentak mereka, dingin bagai es di pegunungan salju,

“Tikus-tikus busuk, dimana penjara bawah tanah yang menyimpan Kim-mou-eng?”

Dua orang itu ah-ah uh-uh. Mereka tak mampu bicara, tertotok urat gagu mereka. Dan ketika gadis itu sadar dan membebaskan totokan mereka hingga dua pengawal itu dapat bicara maka pengawal pertama yang disebut A-jiong menggigil menjawab pucat, “Aku... aku tak tahu... aku pengawal yang baru diangkat!”

“Hm, dan kau?” gadis itu memandang orang satunya, yang dipanggil Sun-twako.

Dan pengawal yang terbelalak dengan muka ketakutan ini tiba-tiba berbohong. “Aku... aku juga tak tahu. Aku juga pengawal baru di sini!”

Gadis itu, yang bukan lain Salima adanya tiba-tiba mendelik. Dia dapat melihat bahwa pengawal kedua ini bohong. Maka mendengus menggencet jalan darah phi-tu-hiat yang membuat orang nyeri seperti disengat ular berbisa tiba-tiba gadis ini membentak, “Kau jangan bohong. Kau akan kusiksa kalau bohong!”

“Aduh...!” pengawal itu menjerit, kaget karena benar-benar dia disengat rasa nyeri yang sangat. Dan ketika Salima memperkeras gencetannya dan pengawal itu menjerit-jerit tak juga mau mengaku mendadak dia malah berteriak, memanggil teman-temannya, “Tolong, ada penjahat...!”

Salima terkejut. Dia gusar melihat pengawal ini berani mati, melihat para pengawal di luar taman berdatangan kaget. Tak kurang dari sebelas orang. Dan ketika pengawal itu masih juga berteriak-teriak dan rupanya berani karena merasa ada di kandang sendiri mendadak Salima menampar kepalanya langsung membunuh.

“Diam kau... prak!”

Pengawal itu terkulai roboh. Dia langsung tewas karena tamparan Salima adalah tamparan maut, bangkit tangan besinya melihat pengawal itu merunyamkan keadaan. Dan ketika sebelas pengawal berdatangan ribut dan pengawal satunya yang masih hidup, pucat dan gemetar melihat kematian pengawal she Sun ini mendadak Salima menendang mayat di atas pohon itu menyambut para pengawal yang berdatangan ke tempat itu. Dan ketika para pengawal di bawah kaget dan berseru tertahan ditimpa mayat pengawal she Sun ini maka Salima menendang juga pengawal satunya dan melayang turun.

“Pergi kau... dess!”

Pengawal itu menjerit. Dia langsung jatuh dari puncak pohon yang tinggi, didupak mencelat sementara Salima sendiri sudah berkelebat turun, dipapak golok dan tombak yang ditangkis berpelantingan, semuanya menjerit dan terlempar roboh karena gerakan Salima seperti iblis marah, begitu cepat dan tahu-tahu menghilang dari tempat itu menuju tempat lain. Dan ketika para pengawal ribut dan berteriak-teriak ada maling maka di ujung timur tiba-tiba terjadi kebakaran!

Rupanya Salima mengamuk. Gadis Tar-tar ini marah oleh perbuatan pengawal she Sun, membunuh mampus pengawal itu tapi rasa gusar terlanjur berkobar. Tak lagi sembunyi-sembunyi melainkan terang-terangan mengacau tempat itu, membakar gedung atau apa saja yang dilihat. Menendang dan melempar roboh setiap penjaga yang berani mendekatinya. Dan ketika Salima berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dalam usahanya mencari penjara bawah tanah maka sekeliling istana tiba-tiba sudah penuh api oleh perbuatan gadis ini.

Tak ayal, seluruh pasukan bangun dari tidurnya. Mereka telah mendengar kedatangan gadis ini, ribut dan berteriak-teriak ke sana ke mari. Sebentar saja istana menjadi gaduh dan kebakaran melanda dimana-mana, membuat Jit-liong Ciangkun tergugah dan marah mendengar laporan seorang gadis Tar-tar mengamuk.

Dan karena mereka dapat menduga bahwa gadis itu tentu mencari Kim-mou-eng karena pendekar itu juga keturunan Tar-tar akhirnya Panglima Tujuh Naga ini langsung ke tempat dimana Kim-mou-eng dipenjarakan. Maklum bahwa kesanalah titik tujuan gadis Tar-tar yang mengamuk itu. Dan ketika mereka tiba di sana dan ternyata benar Salima telah berhasil menemukan tempat ini maka terlihatlah para pengawal roboh bergelimpangan dan berteriak-teriak menuding ke dalam.

“Dia di sana, gadis itu memasuki penjara bawah tanah...!”

Jit-liong Ciangkun berkelebat. Mereka tergetar melihat bekas amukan Salima, melihat penjaga di dalam penjara tumpang-tindih, langsung masuk dan harus melalui pintu berlapis tujuh karena penjara itu memang dibuat sedemikian rupa agar musuh yang tertangkap tak gampang melarikan diri. Dan ketika mereka tiba pada pintu terakhir dan melihat pintu itu hancur ditendang menganga lebar maka berkelebatlah pada saat itu juga Salima yang baru membebaskan suhengnya!

“Suheng, bunuh saja musuh di depan. Jangan mereka diberi ampun!”

Jit-liong Ciangkun terkejut. Pendekar Rambut Emas menyongsong mereka dengan muka penuh jelaga, hampir tak dikenal karena kebakaran juga melanda tempat itu, menghanguskan dinding dan membuat tempat itu menjadi hitam. Dan ketika Salima muncul dan gadis itu berteriak-teriak agar musuh di depan dibunuh saja dan sepak terjang gadis Tar-tar itu tampak demikian ganas dan mengerikan akhirnya Panglima Tujuh Naga ini menjadi marah.

“Gadis siluman, kau mengacau tempat orang...!”

Salima tertawa mengejek. Dia girang bahwa suhengnya berhasil dibebaskan, menjengek melihat tujuh panglima itu menyerangnya. Sebagian mengeluarkan senjata. Dan Salima yang berkelebat menyambut dengan tamparan dan tendangan menangkis serangan tujuh orang panglima itu tiba-tiba mengerahkan sinkang membentak seraya mendorong.

“Plak-dess!”

Tujuh panglima itu terkejut. Mereka terdorong setindak dengan lengan tergetar, kaget melihat gadis itu tak kalah hebat dengan Kim-mou-eng sendiri. Dan sementara mereka terbelalak dan kaget di tempat sekonyong-konyong Salima melengking menyerang mereka, melakukan tamparan dan tendangan yang bersiut tajam, dingin menyeramkan disertai bentakannya yang menggetarkan ruangan. Dan ketika mereka menangkis dan gadis itu berani menyambut senjata mereka dengan jari-jari terbuka mendadak tujuh panglima itu terkejut ketika tombak dan senjata lain di tangan mereka patah-patah.

“Des-des-krakk...!”

Tujuh Panglima Naga itu terpekik. Mereka terpental dan kontan terpelanting, kaget melihat senjata patah-patah disambar lawan mereka itu. Tapi Salima yang masih menyambar dan rupanya geram pada tujuh panglima ini tiba-tiba berkelebat mengayun tangannya ke kepala musuh-musuhnya itu. Dan Kim-mou-eng yang tentu saja kaget oleh keganasan sumoinya tiba-tiba membentak dan menangkis dari samping.

“Sumoi, jangan... dukk!”

Ruangan itu seakan dilanda gempa. Jit-liong Ciangkun terlempar oleh bunyi benturan ini, demikian dahsyat hingga dinding ikut ambrol oleh getaran suara itu, melihat Salima mencelat sementara Kim-mou-eng sendiri terhuyung. Kaget dan ngeri oleh kehebatan kakak beradik itu. Dan ketika Salima memekik dan membentak memaki suhengnya maka Kim-mou-eng sudah meloncat menyambar sumoinya itu.

“Sumoi, jangan main bunuh di sini. Jit-liong Ciangkun bukanlah orang-orang jahat!”

Salima membanting-banting kaki. Dia meronta dan mau melepaskan diri dari suhengnya itu, tapi Kim-mou-eng yang khawatir akan sepak terjang sumoinya dan melihat Jit-liong Ciangkun juga mau menyerang kembali dan sudah melompat bangun mendadak menyendal lengan sumoinya ini. Dan begitu dia berseru keras melompat tinggi tahu-tahu Kim-mou-eng telah membawa sumoinya keluar dari penjara bawah tanah itu, melalui pintu berlapis-lapis.

“Jit-liong Ciangkun tak perlu mengejar kami. Kami tidak bermaksud buruk pada kalian...!”

Pendekar Rambut Emas Jilid 02

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 02
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Karya Batara
SEHARI ITU Cao Cun melamun sendiri. Dia teringat percakapan mereka, teringat kepandaian Kim-mou-eng yang ternyata juga seorang jago lukis disamping jago silat. Hal yang membuat dia benar-benar kagum dan jatuh hati. Merasa tertarik dan jatuh cinta pada pemuda berdarah campuran itu. Pemuda yang tampan dan hebat. Dan ketika sehari itu Kim-mou-eng tak keluar lagi menemui dirinya mendadak Cao Cun gelisah dan tak enak lagi duduk di taman.

Hasrat yang kuat membuat dia ingin menemui pemuda itu. Duduk bercakap-cakap dan berdekatan. Memandang dan kembali memandang wajah yang gagah dan tampan itu. Semakin tampan dan menarik dengan rambutnya yang aneh, kuning keemasan bagai suri bulu ratu yang dia pelihara di taman itu. Bunga berserat halus namun harum memabukkan. Tapi ketika ingat bahwa dia seorang gadis dan tak pantas rupanya menemui pemuda itu tiba-tiba Cao Cun tertegun.

Ah, apa kata orang nanti? Apa kata ayah dan ibunya kalau dia mencari pemuda itu di kamarnya? Bukankah saru? Cao Cun tiba-tiba menggigil. Dia sekarang teringat kata-kata Pendekar Rambut Emas tadi, bahwa cinta adalah sesuatu yang aneh. Sesuatu yang luar biasa. Bahwa cinta agaknya bukan sekedar dorongan nafsu atau perasaan. Dan kalau sekarang dia didorong oleh nafsu atau perasaannya itu menemui Kim-mou-eng agaknya bukan lagi “cinta” yang ada di hatinya itu. Melainkan...?

Cao Cun tiba-tiba terisak. Dia menangis dan lari memasuki kamarnya, menyambar dua lukisan yang baru dikerjakan Kim-mou-eng itu. Dan ketika dia membanting tubuh di atas pembaringannya maka yang dilakukan gadis itu adalah membanding-bandingkan dua lukisan itu dengan air mata bercucuran. Aneh! Cao Cun tiba-tiba ingin mengetahui siapa yang lebih “cantik” diantara dua gambar itu. Dia ataukah Salima. Dan ketika dia melihat bahwa Salima juga memiliki wajah yang tak bisa dipandang “enteng” karena gadis Tar-tar itu memiliki kecantikannya yang khas dan daya tarik yang kuat tiba-tiba Cao Cun mengguguk meremas-remas lukisan gadis Tar-tar ini, terngiang kata-kata Pendekar Rambut Emas tentang sumoinya itu.

“Dia tak dapat dibilang cantik, Cun-moi. Tapi manis luar biasa dengan daya tarik yang amat menggairahkan. Meskipun hitam tapi hitam manis!”

Begitu kata-kata itu terngiang. Dan Cao Cun memang harus mengakui. Salima memang manis, juga gagah. Dan kalau manis itu “digabung” gagah maka Salima memang dapat menjatuhkan setiap lelaki dengan daya tariknya. Termasuk Kim-mou-eng! Cao Cun tiba-tiba menjerit. Dia mendadak merasa tertikam membayangkan Kim-mou-eng jatuh cinta pada sumoinya itu. Panas dan cemburu! Dan ketika sehari itu Cao Cun juga tak keluar dari kamarnya karena dihimpit perasaan duka tiba-tiba gadis ini meremas-remas lukisan Salima hingga kumal dan robek-robek.

“Salima, kau gadis Tar-tar yang liar. Kau tak boleh menggoda Kim-mou-eng...!”

Cao Cun mengguguk. Dia tiba-tiba menangis tanpa sebab lagi, tersedu-sedu, membanting-banting lukisan itu hingga pecah menjadi dua. Dan ketika Cao Cun mengeluh dan melempar lukisan ini di tepi pembaringannya akhirnya gadis itu menutupi muka dengan bantal. Sehari itu puteri Wang-taijin ini tampak pucat, lemah karena habis tenaganya untuk menangis. Tangis yang meledak begitu saja karena cemburu. Dibakar perasaan jelus membayangkan Salima menggoda Kim-mou-eng. Dan ketika Cao Cun terengah dan memejamkan mata kelelahan akhirnya beberapa saat kemudian gadis ini tertidur.

* * * * * * * *

Keesokan harinya, ketika Cao Cun termenung sendiri di bangku taman dan membawa lukisan Salima yang kumal dan robek menjadi dua tiba-tiba Kim-mou-eng muncul. “Ada apa, kau baru menangis, Cun-moi?”

Cao Cun terkejut, bangkit berdiri dan cepat-cepat menyembunyikan lukisan Salima yang kumal-kumal itu. Tapi Kim-mou-eng yang rupanya sudah melihat ini tiba-tiba bertanya,

“Apa yang kau bawa itu, Cun-moi? Lukisan siapa?”

Cao Cun gugup. “Lukisan... lukisan diriku!”

“Hm, kenapa kumal? Kenapa kau remas-remas?”

“Aku... aku...” Cao Cun merah mukanya, semakin gugup. Dan ketika dia tak dapat menjawab dan Kim-mou-eng sudah bergerak cepat tiba-tiba lukisan itu telah disambar pemuda ini, langsung dibeber. Dan begitu Kim-mou-eng tertegun dan melihat siapa yang ada di lukisan itu mendadak pemuda ini mundur dan berseru kaget,

“Ah, kau bohong!”

Cao Cun mengguguk. Gadis ini mendadak terpukul, malu dan jengah. Dan ketika Kim-mou-eng memandangnya dengan mata terbelalak tiba-tiba Cao Cun menangis tersedu-sedu dan memutar tubuhnya lari ke dalam, menyambar lukisan Salima yang dipegang Pendekar Rambut Emas itu.

“Twako, maafkan aku...!”

Kim-mou-eng terkejut. Dia melihat sesuatu yang “tidak beres” pada diri puteri Wang-taijin itu. Tapi baru Cao Cun memutar tubuhnya tiba-tiba sebuah bayangan meluncur turun menghadang di depan gadis ini, langsung Cao Cun yang tentu saja kaget karena gadis itu persis seperti lukisan yang dibuat Kim-mou-eng tiba-tiba mengaduh dan terbanting roboh ketika sebuah tamparan meledak di pipinya!

“Gadis tak tahu malu, kau membujuk dan mengguna-gunai suhengku... plak!”

Cao Cun menjerit kesakitan. Dia terjengkang dan seketika itu juga bengkak pipinya, menangis dan bangun berdiri dengan kaki terhuyung. Tapi ketika gadis di depan berkelebat dan kembali hendak menamparnya tiba-tiba Kim-mou-eng sudah membentak dan melompat maju.

“Salima, tahan...!”

Ternyata gadis itu benar Salima adanya, sumoi Kim-mou-eng, gadis Tar-tar yang manis dan gagah! Dan Salima yang memandang suhengnya dengan mata berapi ganti membentak, “Apa yang kau maui, suheng? Inikah hasil perjalananmu di pedalaman Tionggoan?”

Kim-mou-eng terkejut. “Salima...”

“Suheng!” gadis itu kembali membentak, memotong cepat dengan seruan tinggi. “Inikah hasil perjalananmu meninggalkan keluarga besar Tar-tar? Kau berpacaran dengan seorang gadis lemah yang tiada guna? Twa-heng (kakak tertua) memanggilmu, suheng. Harap tak perlu banyak membantah lagi demi bendera Tar-tar!” Salima tiba-tiba mengeluarkan bendera bergambar singa, mengebut dan mengibarkannya di depan Kim-mou-eng, bersikap agung bagai seorang ratu.

Dan Kim-mou-eng yang terkejut melihat bendera ini tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut berseru tertahan. “Sumoi, darimana kau mencuri bendera ini?”

Salima marah. “Twa-heng yang memberikannya kepadaku, suheng. Aku bukan mencuri tapi benar-benar mendapatkannya dengan resmi dan sah!” lalu, kembali mengebutkan bendera itu dua kali gadis yang manis dan gagah ini membentak, “Suheng, demi nama Tar-tar yang jaya kuminta kau ikut pulang keluar pedalaman. Tak perlu membantah!”

Kim-mou-eng bangun berdiri dengan muka berubah. Cao Cun melihat betapa kakak angkatnya itu terkejut, gugup dan marah. Tapi melihat Salima berdiri dan gagah angkuh dengan sikap seperti ratu yang penuh wibawa tiba-tiba puteri Wang-taijin ini tergetar. Melihat betapa keras dan gagahnya gadis Tar-tar ini. Anggun dan memiliki daya tarik besar. Tinggi semampai dengan mata harimaunya itu yang galak bersinar-sinar. Dingin tapi menarik!

Dan ketika dia melihat Kim-mou-eng bentrok dengan pandang mata sumoinya yang tajam tapi keras dan Kim-mou -eng tertegun memandang bendera ditangan Salima tiba-tiba pemuda ini menghela napas tersenyum pahit, membungkuk agar bendera itu disimpan.

“Sumoi, aku akan pulang ke Tar-tar setelah kampung halaman ibuku kutengok. Harap bendera keramat itu kau simpan.”

Salima mendengus. “Twa-heng tak mengijinkan kau berlama-lama meninggalkan bangsa kita, suheng. Ini sudah bulan kedua kau meninggalkan kami!”

“Tapi aku tak terikat pada batas waktu, sumoi. Aku juga belum menemukan kampung halaman ibuku.”

“Persetan itu semuanya. Kau harus pulang atau...tar-tar!” Salima meledakkan bendera, mengebutkannya di depan mata dengan sikap beringas, dingin dan marah pada suhengnya itu.

Dan ketika sang suheng terbelalak kepadanya dan gusar memandang sumoinya ini maka Salima melompat mundur dan berseru marah, “Atau kau akan kurobohkan, suheng. Kuseret dan menerima hukuman di tengah-tengah suku bangsa kita sebagai pemberontak!”

Kim-mou-eng tak dapat menahan diri lagi. Dia merasa diancam dan diganggu oleh sumoinya ini, tapi melihat Cao Cun ada di situ dan rupanya tegang dan ketakutan melihat semuanya ini tiba-tiba pemuda itu mengangguk. “Baik, kau simpanlah bendera itu, sumoi. Aku turut perintahmu asal kau tak mengganggu gadis ini. Kau berjanji?”

Salima menjengek. “Kau mendapat kekasih baru?”

“Tutup mulutmu!” Kim-mou-eng membentak marah. “Dia puteri Wang-taijin, sumoi. Kami berhubungan sebagai kakak dan adik!”

“Hm, begitukah? Baiklah, aku tak akan mengganggu padanya. Hayo sekarang kita berangkat!” dan Salima yang menyimpan benderanya di balik punggung tiba-tiba melihat suhengnya itu melompat jauh melarikan diri.

“Cao Cun, selamat tinggal pada kalian sekeluarga. Aku tak dapat lagi tinggal lama-lama di sini... wutt!” dan Kim-mou-eng yang lenyap di luar taman tiba-tiba dibentak sumoinya yang marah dan merasa tertipu.

“Suheng, kembali kau...!”

Namun Kim-mou-eng mengerahkan ginkangnya. Dia lenyap di luar taman, sebentar saja telah berkelebat seperti iblis keluar kota Chi-cou. Dan ketika Salima mengejar dan membentak di belakang maka tinggallah Cao Cun sendiri dengan mata terbelalak.

“Kim-twako...!”

Namun Kim-mou-eng tak mendengar seruannya. Pemuda aneh ini telah jauh di luar batas kota, melarikan diri dari sang sumoi yang mengganggu dan mengancamnya. Bukan takut tapi semata tak mau ribut-ribut dengan gadis itu. Apalagi di rumah Wang-taijin, ditonton Cao Cun yang kini membuktikan kekerasan hati Salima, gadis Tar-tar yang gagah tapi angkuh itu.

Dan ketika dua bayangan suheng dan sumoi itu lenyap saling berkejaran maka Cao Cun mengguguk dan tiba-tiba meninggalkan tempat itu menuju kamarnya, lupa pada lukisan yang tertinggal di taman. Yakni lukisan dirinya dan Salima, tak menghiraukan semuanya itu.

Dan ketika sesosok bayangan muncul berindap-indap dan terkekeh tanpa suara akhirnya bayangan ini mengambil dua lukisan itu, menyimpannya baik-baik dan pergi menyelinap dengan muka berseri, sebentar saja telah keluar dari taman itu seperti langkah seorang maling. Dan ketika dia memasuki sebuah rumah di sudut kota dan membuka jendela maka tampaklah siapa kiranya bayangan ini. Bukan lain Lui Tai!”

“Ha-ha, kau berhasil, Lui-twako?”

Lui Tai tersenyum, menyeringai lebar, dihampiri seorang laki-laki yang bukan lain adalah Gong-taijin! “Ya, aku berhasil, taijin. Ini semua berkat pertolonganmu...!” dan ketika dua laki-laki itu tertawa dan saling jabat tangan akhirnya camat Gong berkata,

“Kalau begitu cepat saja ke kota raja, Lui-twako. Serahkan gambar Wang-siocia itu pada Mao-taijin karena siapa tahu dialah yang dicari-cari kaisar!”

“Ya, dan kita akan bagi rata semua keberuntungan ini, taijin. Siapa tahu Cao Cun lah yang dicari kaisar. Untung ada gadis Tar-tar itu!”

Gong-taijin tertawa. Dia teringat Salima, tertarik tapi bergidik. Teringat betapa gadis Tar-tar itu mendatangi rumahnya mencari Pandekar Rambut Emas, yang konon katanya terlihat jejaknya di daerah itu. Dan karena Lui Tai ada di situ dan mereka dapat memberi keterangan bahwa Pendekar Rambut Emas yang berambut keemasan itu ada di rumah Wang-taijin karena telah menyelamatkan bupati itu dari serangan Dua Musang Sakti akhirnya Salima berangkat dan Lui Tai sebagai petunjuk jalannya.

Begitulah, mereka tepat di dalam taman ketika Pendekar Rambut Emas muncul, Salima langsung keluar dan ditabrak Cao Cun yang meremas-remas lukisan. Dan ketika suheng dan sumoi itu bertengkar dan Lui Tai bersembunyi di dalam taman dan kebat-kebit melihat pertikaian itu akhirnya pelukis ini gembira bukan main ketika Cao Cun membuang dua lukisannya itu, terpukul oleh sikap Salima.

Dan begitu gadis itu pergi sementara Salima dan suhengnya juga lenyap entah kemana dengan gesit dan spontan si pelukis ini menyambar dua lukisan itu dan kagum melihat gambar yang dibuat Pendekar Rambut Emas. Heran bahwa pemuda aneh itu juga mahir melukis. Bahkan agaknya di atas kepandaiannya sendiri. Mungkin setingkat dengan Mao-taijin!

Dan ketika seminggu kemudian peristiwa di atas telah terjadi dan Lui Tai serta rekan-rekannya yang lain menyerahkan hasil lukisan mereka pada Mao-taijin dan Mao-taijin menyeleksinya dan menyerahkannya pada kaisar mendadak secara mengejutkan Cao Cun inilah yang dicari kaisar!

“Ha- ha, inilah juwitaku di dalam mimpi itu, taijin. Siapa dia dan dimana tinggalnya? Panggil cepat dia kemari. Aku tak sabar menanti. Gadis itulah yang kucari-cari!”

Mao-taijin terkejut. Dia terang mencari-cari Lui Tai, pembantu yang telah melukis wajah si juwita itu. Tak tahu bahwa Kim-mou-eng lah yang melukis wajah Cao Cun. Dan Lui Tai yang terkejut dipanggil menteri Mao akhirnya tertawa dan terbahak seolah mendapat durian runtuh.

“Ha-ha, ini keberuntunganku, taijin. Berapa yang akan kau berikan padaku untuk mendapatkan alamat gadis itu?”

Mao-taijin terbelalak. “Kau mau memeras?”

“Tidak,” Lui Tai tertawa. “Tapi sekedar uang terima kasih, taijin. Bukankah kau juga dapat mencari gantinya pada kaisar? Gadis ini alamatnya rahasia sekali, tak sembarang orang dapat menemui!”

Mao- taijin mendongkol. Dia memberi Lui Tai sekantong uang emas, bukan lagi perak. Dan ketika pelukis itu menunjukkan alamat Cao Cun yang ternyata puteri bupati Wang mendadak menteri ini tercengang. “Ah, dia puteri Wang-taijin?”

“Ya,” Lui Tai tersenyum lebar. “Dan kau dapat membawa gadis itu dengan ganti rugi yang cukup, taijin. Bupati Wang cukup kaya dengan harta bendanya yang banyak!”

Mao-taijin tertawa. Sekarang matanya bersinar, muncul akal busuknya untuk memeras bupati Wang itu. Maklum, Cao Cun terpilih sebagai wanita yang dicari kaisar dan tentu hidup bergelimang kemewahan disamping kaisar dan tentu tak segan mengeluarkan uang berapa saja untuk ditemukan dengan kaisar yang berkuasa itu, lewat dia. Karena dialah yang ditunjuk kaisar untuk mendatangkan wanita yang dicari ini.

Tak tahu betapa diam-diam Lui Tai tertawa di belakang punggung karena bupati Wang adalah orang jujur yang tentu tak mau main sogok, terbukti ketika dulu dia memeras bupati itu dan tak berhasil. Bahkan sang bupati marah-marah. Dan ketika benar bupati itu dipanggil menghadap bersama puterinya di gedung Mao-taijin dan menteri ini meminta 500 ons emas agar Cao Cun dapat dibawa menghadap kaisar mendadak bupati Wang marah-marah dan menegur menteri itu!

“Hamba tak ingin main suap, taijin. Kalau sri baginda menghendaki puteri hamba biarlah itu terjadi secara wajar. Hamba tak mau melakukan apa yang paduka minta!”

Mao-taijin terbelalak, terkejut sekali. “Kau menghinaku, bupati Wang?”

“Tidak,” Wang-taijin berkata tegas, maklum akan kedudukannya yang lebih rendah daripada menteri itu. “Hamba tidak menghina paduka, menteri yang mulia. Tapi hamba tak suka melakukan apa yang paduka minta karena itu perbuatan tidak jujur!”

“Ah, dan kau tahu, siapa aku?”

“Hamba tahu. Paduka adalah perantara terpercaya untuk membawa puteri hamba menghadap kaisar. Bahwa tanpa bantuan paduka tentu puteri hamba tak akan dapat menghadap sri baginda.”

“Bagus, dan kau sudah tahu untung ruginya?”

“Maksud paduka?”

“Puterimu bakal hidup bergelimang harta di dalam istana, Wang-taijin. Keberuntungan itu tak habis kau syukuri selama tujuh turunan. Maka kuminta 500 ons emas untuk balas jasaku yang telah membuatmu beruntung itu!”

“Tidak!” Wang-taijin membantah. “Keberuntungan adalah anugerah dari Tuhan, paduka menteri. Bukan dari manusia karena manusia hanyalah sekedar perantara saja!”

“Tapi tanpa diriku kau tak akan berhasil, bupati bodoh!”

Mao-taijin mulai marah. “Karena biarpun Tuhan memberimu rejeki tapi kalau perantaranya tak kau hargai maka rejekimu itu akan lenyap. Pikirkan itu!”

Wang-taijin juga marah. Dia bupati jujur yang kurang diplomatis, keras dan teguh pada pendirian bahwa manusia hidup harus baik. Tak boleh curang atau kotor karena kebersihan dan kejujuran adalah di atas segala-galanya. Maka begitu menteri Mao mendesaknya dan menekan agar dia mau memberi menteri itu “uang terima kasih” berujud 500 ons emas (bayangkan harganya sekarang) yang berarti penyuapan akhirnya bupati ini memaki-maki menteri itu, mengeluarkan kata-kata keras yang membuat sang menteri merah mukanya.

Maklum, Wang-taijin bukan bawahan langsung menteri ini karena menteri Mao bukanlah gubernur atau menteri dalam negeri. Jadi Wang-taijin tak khawatir kalau menteri itu memecatnya. Berani karena merasa bersikap benar. Bahkan mengancam perbuatan menteri itu akan dilaporkan pada Han-taijin yang menjadi penasehat kaisar, atasan langsung bupati itu setelah gubernur Liang yang menjadi atasannya di tingkat propinsi. Dan Mao-taijin yang tentu saja mencak-mencak oleh keberanian bupati ini akhirnya mengusir pergi ayah dan anak itu dengan ancaman pula.

“Baik, seumur hidup kau akan merasakan keberanianmu ini, bupati bodoh. Puterimu tak akan kuhadapkan kaisar dan kalian akan menderita untuk keberanian kalian ini!”

Bupati Wang tak takut. “Hamba merasa di jalan yang benar, paduka menteri. Hamba tak takut karena Tuhan pasti melindungi hamba!”

Dan Cao Cun yang juga marah melihat kebusukan menteri itu menyambung pula. “Hamba tak mata duitan untuk tinggal di istana, taijin. Bagi hamba tak apa kalau paduka tak menghadapkan hamba pada kaisar!”

Mao- taijin semakin marah-marah. Dia mengusir ayah dan anak itu, gusar bukan kepalang. Merasa tertampar dan terpukul karena baru kali itu ada orang berani melawannya. Menolak mentah-mentah uang semir yang diminta. Padahal bupati Wang itu dapat hidup enak di istana, jauh lebih enak daripada di Chi-cou. Bahkan pangkatnya mungkin bisa naik dengan cepat kalau puterinya menjadi kecintaan kaisar. Barangkali sebentar saja bisa menjadi kepala menteri atau wakil kaisar! Dan menteri Mao yang dendam pada bupati yang jujur dan berani ini tiba-tiba pada suatu hari merencanakan untuk membunuh saja bupati itu.

“Pengawal, panggil kemari Sin-kee Lo-jin (Si Tua Ayam Sakti)!” menteri ini memanggil pengawalnya, menyuruh agar Sin-kee Lo-jin yang menjadi pelindung pribadinya itu datang, seorang kakek tinggi kurus dengan mata yang bulat kecil, persis mata ayam. Dan ketika kakek itu datang dan Mao-taijin berbisik-bisik maka Sin-kee Lo-jin mengangguk dan menyeringai lebar.

“Tak perlu khawatir. Hamba akan ke Chi-cou sekarang juga, Mao-taijin. Akan hamba racun bupati itu agar mampus disangka kena penyakit siluman.”

Tapi, belum Si Tua Ayam Sakti ini beranjak dari tempatnya tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat masuk, begitu saja bagai iblis. Dan ketika dua orang itu kasak-kusuk tak mengetahui kedatangannya maka bayangan yang sudah berdiri di belakang Sin-kee Lo-jin itu menepuk pundaknya.

“Iblis tua, sebaiknya kau urungkan saja niat kalian itu. Kalau tidak aku akan melaporkannya pada kaisar!”

Sin- kee Lo-jin dan Mao-taijin terkejut. Mereka sekarang melihat siapa pembicara itu, seorang pemuda aneh berambut keemasan. Yang datang begitu saja tanpa mereka ketahui. Seperti iblis! Dan Sin-kee Lo-jin yang marah serta kaget tiba-tiba memutar tubuhnya “menjalu” (menendang seperti ayam) lawan tak dikenal itu.

“Pemuda kurang ajar, pergi kau...!”

Sang pemuda tak mengelak. Dia menerima saja tendangan mirip ayam jago itu, tersenyum mengejek. Dan ketika “jalu” yang dipasang Sin-kee Lo-jin tepat mengenai pinggangnya mendadak Ayam Sakti itu menjerit dan roboh terguling-guling bagai menendang baja tak bergeming yang membuat dia kesakitan.

“Bress-aduh...!”

Mao-taijin terkejut. Dia melihat justeru pembantunya itu yang berteriak kesakitan, terlempar dan memegangi tumit kakinya yang nyeri menusuk tulang. Entah kenapa tertolak balik ketika menjalu tadi. Tapi Sin-kee Lo-jin yang sudah melompat bangun dengan kaki terpincang-pincang mendengar Mao-taijin berseru padanya,

“Lo-jin, bunuh dia. Dia telah mendengar rencana kita...!” dan mundur di balik mejanya yang terpasang alat rahasia mendadak menteri ini menjebloskan diri dalam sebuah lubang di bawah lantai.

“Bless!” Mao -taijin lenyap sekejap. Rupanya menteri ini pengecut sekali dan buru-buru menyelamatkan diri melihat lawan, mempercayakan perlindungannya pada Sin-kee Lo-jin.

Dan Sin-kee Lo-jin yang menggereng berteriak keras tiba-tiba menubruk dan menyambar pemuda itu. “Bocah keparat, aku akan menanduk kepalamu!”

Pemuda aneh itu diam saja. Dia terkejut mengerutkan kening melihat menteri Mao lolos, tak menyangka di bawah meja terpasang alat rahasia. Tapi begitu Sin-kee Lo-jin menubruk dan kepalanya benar-benar menanduk seperti jago sedang berlaga tiba-tiba dia mengelak ke kiri dan mendengus. Dan ketika Sin-kee Lo-jin meluncur ke depan dengan seruan kaget tiba-tiba tangannya bergerak menampar mengepret telinga Ayam Sakti itu.

“Tua bangka, pergilah... plak!”

Sin-kee Lo-jin terpekik. Dia kembali terlempar dan mencelat roboh, telinga rasanya mengiang bagai mendengar seribu nyamuk beterbangan. Tapi Sin-kee Lo-jin kembali membentak dan melompat bangun tiba-tiba menyerang penuh kemarahan lawannya yang tak dikenal itu, mencabut senjatanya yang aneh berupa cakar ayam yang terbuat dari baja, lengkap dengan jalunya sekalian. Dan begitu dia menyerbu dan membentak marah maka bertubi-tubi pemuda berambut emas ini mendapat serangan yang gencar tiada putus.

Tapi lawan yang aneh itu mulai berlompatan. Sin-kee Lo-jin meraung-raung melihat serangannya selalu luput, mengenai angin kosong belaka karena lawan selalu terdorong sebelum disentuh cakar bajanya. Seolah kapas yang selalu tertiup sebelum dipegang. Mendengar lawan tertawa mengejek sementara dia membabi-buta dengan serangannya yang menderu-deru, gagal belum sekali juga mendaratkan pukulannya ke tubuh lawan yang lincah itu. Dan ketika dia membentak dan memaki lawannya itu mendadak si pemuda menampar telinganya untuk kedua kali sambil tertawa.

“Ayam tua, sebaiknya kau roboh saja...plak!”

Sin- kee Lo-jin benar-benar roboh. Dia mendelik tapi juga mulai gentar, maklum bahwa dia menghadapi lawan yang benar-benar lihai. Dan ketika kembali dia terbanting ketika lawan menyapu kakinya mendadak terdengar seruan Mao-taijin yang entah bersembunyi dimana,

“Lo-jin, panggil para pengawal untuk membantumu. Goblok, jangan membuang-buang waktu lagi...!”

Sin-kee Lo-jin marah. Untuk pertama kali dia dimaki tuannya itu, geram dan gusar bukan main pada lawannya ini. Tapi maklum lawan benar-benar lihai dan agaknya dia bukan tandingan pemuda tak dikenal ini tiba-tiba dia memanggil semua pengawal yang ada di gedung Mao-taijin dengan suitan panjang, berteriak-teriak dan membuat gaduh tempat itu. Dan begitu para pengawal datang dan menyerbu dengan golok dan tombak akhirnya pemuda ini dikeroyok oleh tigapuluh orang lebih termasuk Sin-kee Lo-jin itu!

“Bagus, bagus... serang dia. Bunuh dia!” Sin-kee Lo-jin berkaok-kaok, memberi perintah dan ikut menyerang dengan senjata tidak pernah berhenti dari pegangannya, berputar dan membabat atau menusuk dengan cakar bajanya yang runcing, mengerubut dan berteriak-teriak agar para pengawal terus maju, tak perlu takut. Tapi ketika pemuda itu membentak dan berkelebat lenyap membalas marah mendadak saja para pengawal itu saling menjerit dan roboh berpelantingan menerima tendangan atau tamparan pemuda itu.

“Sin- kee Lo-jin, kau tak tahu diri. Awas kalau begitu...!” dan ketika pemuda ini menggerakkan kaki tangannya menangkis dan menyapu hujan senjata mendadak golok dan tombak patah-patah bertemu sepasang kaki dan tangan pemuda ini, tak ada satupun yang kuat menahan gebrakan itu. Padahal si pemuda masih bertangan kosong. Dan ketika pemuda itu berkelebat dan menangkis sambaran cakar baja yang menghantam kepalanya tiba-tiba senjata di tangan Ayam Sakti inipun patah dan mencelat dari tangan pemiliknya.

“Plak!” Sin-kee Lo-jin terbelalak. Dia seakan tak percaya melihat kelihaian pemuda itu, mendelong dengan muka kaget. Tapi begitu pemuda ini meneruskan gerakannya mendorong dada si Ayam Tua tiba- tiba Sin-kee Lo-jin menjerit dan roboh terjerembab dengan tulang rusuk patah.

“Dess...!” si Ayam Sakti tak dapat berdiri lagi. Dia melihat tigapuluh pengawal Mao-taijin sudah tumpang tindih dengan tulang patah-patah. Tak ada yang tewas tapi semuanya terluka tak dapat bangun, sama seperti dia, merintih dan memegangi bagian yang patah, sebagian malah ada yang pingsan.

Tapi ketika pemuda itu menjengek dan Sin-kee Lo-jin gentar melihat pemuda itu siap menghampirinya tiba-tiba seratus busu (pengawal istana kaisar) muncul dipimpin seorang panglima tinggi besar berjenggot lebat, hasil panggilan Mao-taijin yang kecut melihat anak buahnya roboh bergelimpangan. Dan begitu panglima ini muncul dengan pakaian perangnya yang bergemerincing nyaring terdengarlah bentakannya yang menggeledek bagai petir membelah ruangan itu,

“Manusia keparat, kau siapa berani mengganggu gedung Mao-taijin? Tak tahu mati, mengelus macan tidur, ya?”

Pemuda itu terkejut. Dia bukan lain Kim-mou-eng adanya, pemuda yang berhasil melepaskan diri dari kejaran sumoinya, Salima. Belum begitu dikenal di Tionggoan karena dia belum begitu lama muncul, baru dua bulan kurang sedikit. Tapi melihat panglima tinggi besar itu membentaknya dengan suara menggelegar dan seratus busu telah mengepungnya rapat mendadak Kim-mou-eng tersenyum lebar, mengenal panglima ini yang tentu Kang-jiu Bu-ciangkun (Si Tangan Baja) adanya, seorang panglima yang banyak didengar di perjalanan sebagai panglima yang bengis dan garang.

Seorang dari tujuh panglima istana yang terkenal dengan julukan Jit-liong Ciangkun (Panglima Tujuh Naga), yakni panglima-panglima kaisar yang gagah dan kosen. Maka melihat panglima ini datang dan dia kagum mendengar suaranya yang menggetarkan bagai aum singa tiba-tiba Kim-mou-eng maju dengan senyum mengejek, ingin melihat kepandaian orang.

“Bu-ciangkun (panglima she Bu), kaukah yang berjuluk Si Tangan Baja itu? Benarkah tanganmu seperti baja dan hatimu setegar naga?”

Panglima itu, yang memang Si Tangan Baja adanya mendelik. “Benar, kau siapa dan kenapa membuat onar di sini? Tak tahu memasuki sarang harimau, hah?”

Kim-mou-eng tersenyum, melihat kemiripan panglima ini dengan twa-hengnya, Gurba, sama-sama keras dan suka membentak-bentak. Maka tertawa melirik para pengepungnya Kim-mou-eng tiba-tiba menjawab, “Aku pengelana biasa, Bu-ciangkun. Melihat Mao-taijin hendak berbuat jahat membunuh orang baik-baik.”

“Bohong, kau dusta! Kau pengacau. Kaulah yang hendak membunuh Mao-taijin!” dan, menggereng bagai singa lapar tiba-tiba panglima ini memberi aba-aba pada pasukannya. “Tangkap orang ini. Ringkus dia!”

Seratus busu itu menyerbu. Mereka sudah mengangguk dan meluruk bagai tawon, sebentar saja membentak dan menyerang Kim-mou-eng, berteriak dan menggerakkan senjata mereka untuk merobohkan pemuda ini. Tapi Kim-mou-eng yang tertawa dan berkelebat lenyap tiba-tiba menghilang dari tempat itu hinggap di atas sebuah belandar.

Para pengeroyok tertegun. Mereka tak tahu dimana lawan mereka berada. Maklum, gerakan Kim-mou-eng demikian cepat dan begitu bergerak tahu-tahu lenyap bagai iblis. Tapi Bu-ciangkun yang rupanya lihai dan tahu dimana lawan bersembunyi tiba-tiba menarik tombak seorang busu, langsung melemparkannya ke atas belandar dimana pemuda itu berada. Dan begitu panglima ini membentak dan meluncurkan tombaknya tahu-tahu senjata panjang itu telah menderu dan menyambar ke atas.

“Dia di sana. Goblok!”

Para pengawal mendongak. Mereka sekarang melihat dimana lawan mereka itu, melihat pula lemparan tombak yang dilontarkan Bu-ciangkun, mengaung dan tahu-tahu menyambar pemuda di atas belandar itu dengan cepat. Dan ketika semua mata terbelalak ke atas dan tombak tepat mengenai pemuda itu mendadak Kim-mou-eng terjungkal dan roboh mengaduh.

“Crep!” Semua mata girang. Mereka menyangka Kim-mou-eng terluka, bersorak dan menghambur dengan pekik memuji Bu-ciangkun. Tapi begitu mereka mendekat dan Kim-mou-eng melompat bangun mendadak tombak yang mengenai tubuhnya itu, yang ternyata “menembus” ketiaknya, dikempit seolah ditembus sungguh-sungguh mendadak sudah menyambar dan mengemplang mereka semua, disusul ketawa pemuda itu yang mengejutkan mereka.

“Ha-ha, jangan sebodoh itu mengira aku terluka, tikus-tikus busuk. Sekarang lihat dan jaga baik-baik diri kalian. Awas...!” dan begitu Kim-mou-eng berkelebat memutar senjata panjang ini tahu-tahu para busu yang meluruk hendak menangkapnya itu sudah digebuk dan roboh berpelantingan menjerit-jerit.

“Aduh... plak-dess!”

Tombak sudah menyerampang mereka, sebentar saja membuat separuh dari jumlah pengeroyok yang maju tumpang-tindih tak karuan, berteriak-teriak kesakitan mengejutkan Bu-ciangkun, yang juga tak mengira hasil tipuan pemuda itu. Dan ketika Kim-mou-eng tertawa dan melompat keluar karena tempat itu sudah penuh oleh tubuh-tubuh yang bergelimpangan maka Bu-ciangkun menggereng dan berkelebat mengejar, mengira Kim-mou-eng melarikan diri.

“Siluman cilik, jangan lari...!”

Kim-mou-eng berhenti. Dia memang tidak bermaksud melarikan diri, hanya mencari tempat lebih lega. Kini berdiri di tengah halaman luar gedung Mao-taijin itu, tertawa melihat panglima tinggi besar itu mengejarnya. Dan ketika sisa pengawal juga berlari-lari ke depan mengurung tempat itu akhirnya Kim-mou-eng bersiap-siap menghadapi panglima gagah ini.

“Bu-ciangkun, pengawal-pengawalmu tak ada yang dapat menangkap aku. Sebaiknya kau maju sendiri dan mari kita main-main.”

“Hargh!” panglima itu mengaum. “Kau memang lihai, tikus kecil. Tapi jangan harap mempermainkan aku dengan mudah. Sebut dulu siapa namamu!” dan membentak melompat maju panglima ini sudah menggerak-gerakkan kedua lengannya yang berkerotok bagai bambu berpletakan.

Kim-mou-eng tersenyum. “Aku tak punya nama. Aku pengembara biasa.”

“Bohong!” panglima itu marah. “Kau bukan orang sini, rambut emas. Kau orang asing yang agaknya berasal dari luar tembok besar!”

“Benar,” Kim-mou-eng tertawa kecil. “Tapi aku bukan asing secara keseluruhan, Bu-ciangkun. Jelek-jelek ibuku adalah juga wanita Han!”

“Dan apa maksudmu membuat onar?”

“Aku melihat Mao-taijin merencanakan membunuh orang baik-baik. Dia kepergok dan...”

“Wutt!” panglima ini tiba-tiba membentak marah dan memotong ucapan lawan dengan serangannya yang dahsyat, menyambar muka Kim-mou-eng dengan pukulan lurus ke depan, menderu karena mengira Kim-mou-eng memfitnah. Dan begitu panglima ini menyerang dan dia langsung mengerahkan Tangan Bajanya menghantam ke depan tiba-tiba pukulan itu telah tiba di depan hidung Pendekar Rambut Emas ini.

“Dukk...!” Kim-mou-eng terkejut, cepat mengelak dan menangkis mengerahkan sinkangnya (tenaga sakti). Dan begitu dua lengan bertemu dan Kim-mou-eng tergetar maka si Tangan Baja Bu-ciangkun itu terdorong dan berseru kaget,

“Hebat...!” panglima ini terkejut, berseru kagum dan terbelalak melihat lengannya terpental. Melihat lawan tak apa-apa padahal biasanya Tangan Bajanya itu mampu memukul remuk kepala seekor banteng! Maka terkesiap melompat mundur tiba-tiba panglima ini bertanya kembali, “Kau siapa?”

Namun Kim-mou-eng tak menjawab. Dia memang enggan memperkenalkan nama, bosan pada bentuk penonjolan diri. Tapi tersenyum dan kagum memandang panglima ini dia memuji juga, tak menggubris pertanyaan lawan, “Kau hebat, Bu-ciangkun. Tanganmu betul-betul ampuh dan keras seperti baja!”

Bu-ciangkun menggereng. Dia penasaran melihat lawan tak mau menjawab pertanyaannya, dua kali sudah. Maka membentak dan maju kembali tiba-tiba panglima tinggi besar ini bergerak menubruk cepat. “Rambut Emas, kau rupanya minta ditangkap dan dibanting agar mengaku...wut-wutt!”

Dan panglima Bu yang sebentar saja telah menyerang dengan ilmu silatnya Kang-jiu Sin-hoat (Silat Tangan Baja) lalu menyambar-nyambar dan mengepung lawannya dengan pukulan-pukulan cepat. Sebentar kemudian diiringi bentakan-bentakannya yang keras menggetarkan itu, bermaksud melumpuhkan nyali lawan dengan suaranya. Tapi Kim-mou-eng yang menangkis dan tertawa melayani panglima ini tiba-tiba berkelebat mengerahkan ginkangnya.

“Bu-ciangkun, kau boleh robohkan aku kalau bisa. Kalau berhasil tentu kau akan mengetahui siapa namaku!”

Bu-ciangkun marah. Dia merasa dipermainkan lawannya ini, membentak dan mempercepat gerakannya untuk mengejar lawan. Dan begitu keduanya saling sambar dan panglima Bu melancarkan pukulan-pukulan berat akhirnya dua orang itu bertempur dengan seru dan ramai. Terutama di pihak Bu-ciangkun karena dia menambah tenaganya dan penasaran bukan main melihat lawan dapat menangkis dan mementalkan Tangan Bajanya, terbelalak dan hampir tak percaya bahwa pemuda itu dapat melayani ilmu silatnya, berani keras lawan keras.

Merasa betapa lengannya selalu tergetar setiap kali bertemu lengan pemuda itu. Diam-diam menyeringai karena kini lengannya mulai sakit, ngilu dan pedih. Tanda kalah kuat! Dan ketika Bu-ciangkun terbelalak dan kaget dalam hati tiba-tiba pemuda itu ganti mendesaknya dengan tamparan-tamparan sinkang.

“Bu- ciangkun, sekarang kau harus berhati-hati. Aku akan merobohkanmu sepuluh jurus lagi!”

Bu-ciangkun terkejut. Dia melihat lawan berkelebat mengelilingi dirinya, berputaran cepat merupakan bayangan yang tak kelihatan lagi mana kepala mana kaki. Demikian cepat hingga dia merasa pening. Dan ketika Bu-ciangkun mulai terhuyung dan gugup menangkis sana-sini tiba-tiba sebuah tamparan mendarat di pundak kanannya.

“Plak!” Bu-ciangkun terdorong. Dia tidak sampai roboh menerima pukulan itu, kuat daya tahannya karena memiliki tenaga cukup besar. Tapi ketika lawan kembali menampar dan berturut-turut dada dan lehernya dicium telapak pemuda itu yang mengandung sinkang yang selalu membuat ia kesakitan akhirnya pada jurus kesepuluh panglima tinggi besar ini benar-benar terjungkal ketika lawan menampar pelipisnya dan menendang belakang lututnya.

“Jurus kesepuluh... plak-dess!” Bu-ciangkun benar-benar terbanting. Dia mengeluh dan roboh persis seperti yang dikata lawannya itu, mata berkunang-kunang bagai melihat ribuan bintang. Dan ketika dia terhuyung melompat bangun dan para busu terkejut melihat panglima mereka kalah tiba-tiba dua bayangan berkelebat menuju tempat itu.

“Bu-ciangkun, siapa pemuda ini?”

Bu-ciangkun masih nanar. Dia terengah dengan napas megap-megap, kaget dan terbelalak oleh kekalahannya itu. Tapi melihat dua bayangan mendekati dirinya dan melihat siapa yang datang mendadak panglima ini menggereng dengan seruan girang, “Aku tak tahu siapa dia, Cu-ciangkun. Tapi dia membuat onar di gedung Mao-taijin. Dia lihai, agaknya hendak membunuh menteri itu...!”

Dua pendatang ini mengerutkan alis. Mereka adalah dua panglima tua yang gagah tinggi kurus, kumis menjuntai ke bawah sampai di dagu. Yang bertanya tadi adalah Cu Hak, rekan Bu-ciangkun ini yang biasa bertugas di selatan sementara teman satunya adalah Cu Kim, adik kandungnya yang juga merupakan panglima di tempat itu. Dua bersaudara yang terkenal pandai mainkan tombak beronce yang dapat terbang bagai naga yang lepas dari sarangnya. Dan Cu Hak yang melihat Bu-ciangkun kalah oleh pemuda aneh berambut keemasan ini tiba-tiba membentak dengan muka tidak senang,

“Sobat, kau siapa? Kenapa mengacau disini?”

Kim-mou-eng tersenyum, tak mengenal siapa dua orang panglima baru ini tapi dapat menduga bahwa mereka rupanya anggota Jit-liong Ciangkun. Jadi tiga naga dari Tujuh Naga itu telah datang. Dan melihat kepandaian Bu-ciangkun yang masih dapat diatasinya dan ingin menjajal kepandaian dua panglima tua itu tiba-tiba Kim-mou-eng tersenyum.

“Aku tak punya nama. Pengelana biasa yang tidak mengacau di tempat ini. Aku datang karena diserang lawan dan terpaksa membela diri.”

“Hm, dan benar kau mau membunuh Mao-taijin?”

“Tidak, bahkan menteri itulah yang hendak membunuh orang. Aku mendengar percakapannya dan bermaksud mencegah tapi diserang oleh para pembantunya!”

“Bohong...!” Mao-taijin tiba-tiba muncul, jauh berlindung di balik para busu yang masih tegak di halaman itu. “Dia datang hendak mencelakai aku, Cu-ciangkun. Aku tak mengenal siapa setan itu tapi sebaiknya tangkap dia. Ringkus dan bunuh saja!”

Bu-ciangkun mengangguk, penasaran dan marah oleh kekalahannya tadi. “Benar, pemuda ini telah mengancam tempat kita, Cu-ciangkun sebaiknya ditangkap atau dibunuh saja. Dia dapat mengganggu ketenteraman istana!”

Cu -ciangkun tiba-tiba mencabut tombaknya, tombak beronce biru. Percaya pada rekan sendiri daripada lawan. Dan sementara Kim-mou-eng melotot pada menteri she Mao itu dan siap menggerakkan kaki menangkap menteri ini mendadak panglima itu melompat maju menusukkan tombaknya, “Sobat, kau tak boleh main-main di tempat ini... wutt!”

Kim-mou-eng terkejut. Dia melihat tombak lawan meluncur cepat, mematuk tubuhnya dengan gerakan seorang ahli. Tapi mengelak dan menangkis dari samping dia telah menampar tombak itu, menyelewengkan arahnya dan membuat lawan terbelalak. Tapi Cu-ciangkun yang membentak dan rupanya benar-benar mahir mainkan tombak tiba-tiba telah membalik dan memutar senjata panjangnya ini, dan begitu tombak melenceng dipukul sekonyong-konyong panglima itu meliuk memutar pinggang, membanting tubuh bergulingan dan kini menyerang dari bawah.

Sekejap saja telah menusuk bertubi-tubi kaki lawannya, mulai dari paha sampai ke mata kaki. Tak kurang dari tujuhbelas tusukan! Dan Kim-mou-eng yang terkejut oleh kelihaian panglima ini mainkan tombaknya tiba-tiba berseru keras melompat tinggi sambil menendang.

“Plak-plak-plak!”

Cu-ciangkun ganti terkejut. Dia, seperti Bu-ciangkun, merasa tergetar oleh tenaga Iawannya ini. Merasa betapa lawan memiliki sinkang yang membuat telapaknya pedas, lengan sedetik lumpuh oleh tangkisan tadi. Tapi Cu-ciangkun yang penasaran dan membentak tinggi sudah melompat bangun, mengejar dan kini menyerang bagian tengah tubuh lawannya ketika Kim-mou-eng baru melayang turun. Dan begitu panglima ini berseru nyaring menusukkan tombaknya maka bertubi-tubi Kim-mou-eng mendapat serangan gencar.

Begitulah Kim-mou-eng lalu berlompatan. Pemuda ini terbelalak dan kagum oleh kepandaian lawan yang demikian cekatan mainkan tombaknya. Demikian gapah dan enteng sekali sementara tombak menyambar-nyambar bagai setan kesurupan, mematuk dan menusuk tiada henti, berkelebatan dan sebentar saja mengelilingi dirinya membentuk gulungan tombak yang panjang serta melebar. Sekejap kemudian menutup jalan keluarnya hingga Kim-mou-eng tak dapat melarikan diri. Dan Kim-mou-eng yang tentu saja kagum oleh kelihaian panglima ini akhirnya berseru keras menampar sambil memuji.

“Bagus, ilmu silatmu hebat, ciangkun. Agaknya ini yang dinamakan Sin-liong Chio-hoat (Tombak Naga Sakti)...!”

Cu-ciangkun mengerutkan keningnya. Dia heran melihat lawan mengenal ilmu silat tombaknya. Lebih heran lagi bahwa lawan yang sudah terkurung itu masih juga tak dapat dirobohkan. Menampar dan selalu menangkis dengan tangan kosong padahal dia bersenjata. Dan ketika lawan memuji-muji sementara tombaknya selalu terpental dan tangannya kian pedas bertemu tangkisan pemuda itu yang kian kuat menambah tenaganya tiba-tiba sadar dan terkejutlah panglima ini bahwa dia bukan tandingan pemuda itu. Yang agaknya kalau mau dapat merobohkannya sejak tadi.

Terbukti setiap tombaknya terpental dan dia dalam keadaan “terbuka” pemuda itu tak mau memasuki kesempatan ini, tak mau membalasnya. Masih selalu menangkis atau menampar yang notabene adalah bertahan saja. Hal yang baru membuat panglima ini mendusin! Dan ketika tombak kembali terpental dan Cu-ciangkun tertarik serta kagum pada lawannya tiba-tiba panglima ini berseru pada adiknya, “Kim-te (adik Kim), bantu aku. Rupanya pemuda ini benar-benar kuat!”

Cu Kim, sang panglima kedua terkejut. Dia juga melihat kelihaian pemuda berambut emas itu. Melihat kakaknya meskipun menyerang tapi selalu tertolak balik, tak dapat merobohkan pemuda itu yang sama sekali belum membalas serangan-serangan kakaknya. Padahal pemuda itu bertangan kosong, banyak mengelak dan menangkis sana-sini dengan telapak terbuka. Maka melihat kakaknya berteriak dan menyuruh dia maju membantu tiba-tiba panglima ini membentak dan menggerakkan tombaknya yang beronce merah.

“Hak-ko (kakak Hak), rupanya lawan kita memang benar-benar tangguh. Biar kubantu kau...wut-wutt!” dan tombak di tangan Cu Kim yang tiba-tiba membantu kakaknya menyerang dari samping tiba-tiba bergulung naik turun merupakan gundukan besar, sebentar kemudian menyatu dengan tombak kakaknya yang masih terus melancarkan serangan.

Dan begitu dua kakak beradik panglima tinggi kurus ini melancarkan serangan mereka tiba-tiba pertandingan menjadi seru dan mendebarkan sekali. Dua tombak itu kini mengaung-ngaung, berseliweran cepat dan mematuk serta memagut bagai naga keluar dari sarangnya, siap-siap mencari mangsa. Dan ketika Kim-mou-eng harus menambah kecepatannya untuk mengelak dari serangan-serangan yang berbahaya dan dua panglima itu penasaran melihat lawan masih juga tak dapat dirobohkan tiba-tiba Cu Hak, panglima tertua berteriak pada adiknya,

“Kim-te, keluarkan Ho-liong Chio-sut (Silat Tombak Naga Terbang)...!”

Kim-mou-eng terbelalak. Dia melihat Cu Kim mengangguk, melompat mundur dan tiba-tiba melepas tombaknya menyambar iga, terbang begitu saja seolah tombak di tangan panglima itu memiliki sayap. Dan ketika dia menangkis dan tombak itu membalik dan mental ke atas tapi kini mencakar kepalanya tiba-tiba Cu Hak, panglima tertua, juga melepas tombaknya dan mundur menjauhi lawan mereka ini, menggerak-gerakkan tangan “mengemudikan” tombak menyambar pundak Kim-mou-eng. Dan Kim-mou-eng yang tentu saja terkejut oleh serangan dari udara ini tiba-tiba berseru keras menangkis dua tombak terbang itu.

“Plak-plak!”

Aneh sekali. Tombak di tangan Cu-ciangkun bersaudara itu tidak kembali ke masing-masing tuannya, mental dan kini menusuk lagi seolah tombak bernyawa, menyambar dari kiri kanan menuju leher Kim-mou-eng. Seolah siap menyate pemuda itu lewat leher yang lunak. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan heran oleh kepandaian dua panglima itu memainkan tombak mereka tiba-tiba sepasang tombak itu telah mengenai batang lehernya, dari kiri kanan.

Cu-ciangkun bersaudara terkejut. Mereka melihat lawan mereka itu tertawa, rupanya telah memasang kekebalan dengan sinkangnya yang luar biasa itu. Sebuah demonstrasi yang mengagumkan! Tapi Cu Hak dan adiknya yang marah oleh kegagalan ini tiba-tiba membentak dan menggerak-gerakkan telapak tangan mereka, membuat tombak terbang itu berseliweran cepat dan kini mematuk-matuk tubuh lawan yang terang tak mungkin menangkis hujan tusukan itu dengan selamat. Sekali dua terkena juga. Tapi Kim-mou-eng yang telah memasang kekebalannya dan kini ingin mengakhiri pertandingan itu tiba-tiba berseru,

“Cu-ciangkun, cukup sudah kulihat kepandaian kalian. Sekarang berhentilah!”

Cu-ciangkun terbelalak. Mereka sendiri masih menggerak-gerakkan tombak terbang mereka, kaget dan marah bahwa tombak mereka tak dapat melukai lawan. Dan ketika mereka mendengus akan kata-kata pemuda aneh itu tiba-tiba tanpa mereka sangka mendadak Kim-mou-eng menangkap tombak mereka itu, tidak lagi menangkis.

“Cep-cepp!”

Dua panglima itu terkejut. Mereka melihat Kim-mou-eng telah menjepit sepasang tombak itu dengan dua jari telunjuk dan tengah, masing-masing dijepit sedemikian rupa hingga tak dapat melepaskan diri, bergetar dan mencicit di jari pemuda itu karena Cu-ciangkun menarik-narik dari jauh. Mirip sihir atau ilmu siluman! Tapi begitu Kim-mou-eng tertawa dan melepas sepasang tombak ini dan membalik gagangnya dilontarkan ke dada panglima bersaudara itu tiba-tiba Cu-ciangkun dan adiknya kaget ketika tombak menyambar dada mereka, cepat sekali.

“Duk-dukk!”

Dua panglima itu terjengkang. Mereka menerima gagang tombak yang menyambar tak dapat dikelit, seketika itu juga menjerit dan mengaduh, terbanting roboh. Dan ketika mereka mengeluh dan tertegun karena bukan mata tombak yang menimpuk dada mereka melainkan gagangnya saja yang dibalik, tanda lawan tak bermaksud mencelakai mereka maka pemuda yang luar biasa itu melompat pergi, tertawa.

“Cu-ciangkun, lain kali kita bertemu lagi. Selamat tinggal...!”

Cu-ciangkun mendelong. Mereka sekarang sadar bahwa pemuda itu bukannya orang jahat, terbukti tak membunuh mereka meskipun mampu. Tapi Mao-taijin yang rupanya memberi aba-aba mendadak memanggil bala bantuan lain, pasukan lebih besar dari istana. Tak kurang dari limaratus orang, menyebarkan berita bahwa seorang pemberontak muncul di gedungnya. Dan begitu Kim-mou-eng melompat pergi tahu-tahu pasukan besar muncul di luar gedung dipimpin empat panglima yang bukan lain anggota lengkap dari Jit-liong Ciangkun, Panglima Tujuh Naga!

“Pemberontak hina, kembalilah kau...!”

Kim-mou-eng terkejut. Dia mendengar suara mencicit dari sebuah golok terbang, kaget melihat seseorang menyerangnya dari belakang. Tapi karena dia telah mengerahkan sinkang dan golok juga sudah tak keburu dikelit maka serangan cepat itu telah mengenai sasarannya.

“Plak!” golok runtuh ke tanah. Kim-mou-eng telah mendemonstrasikan kekebalannya, tapi pemilik golok yang rupanya menyusul golok terbangnya dengan berkelebat ke depan dan membentak mengayun pukulan tiba-tiba membuat Kim-mou-eng terbelalak karena pukulan itu mengeluarkan kesiur angin dingin. Maka, terpaksa berhenti dan memutar tubuhnya menangkis serangan ini secepat kilat Pendekar Rambut Emas membungkuk dan mendorong menahan serangan itu.

“Dess...!” dan penyerang di belakang ini berteriak kaget. Dia terpental dan tertolak oleh tangkisan ini, jatuh terbanting dan terguling-guling tapi sudah melompat bangun. Dan ketika Pendekar Rambut Emas memandang siapa penyerangnya itu maka tampaklah seorang panglima muda yang pendek kekar memandangnya dengan melotot. Dan sementara dia tertegun mengerutkan alis maka tiga bayangan lain berkelebat mengurung disusul Cu-ciangkun bersaudara dan panglima Bu.

“Ha-ha, kau sekarang tak dapat lolos, pemberontak cilik!” Bu-ciangkun berseru, “Kami Jit-liong Ciangkun telah berkumpul semua!”

Kim-mou-eng menjublak. Dia melihat pasukan besar di luar kepungan mengurungnya rapat, sementara tujuh panglima yang kini mengepungnya dengan mata terbelalak juga memandang tak berkedip. Panglima Tujuh Naga, panglima istana yang tangguh dan lihai-lihai. Dan sementara dia menjublak dengan kerut semakin dalam tiba-tiba panglima bermuka merah yang ada di sebelah kanannya berseru, rupanya mengenal dia,

“Kim-mou-eng (Pendekar Rambut Emas)...!”

Kim-mou-eng terkejut. Dia tak mengenal siapa panglima bermuka merah itu, Ang Bin Ciangkun. Panglima yang sering bertugas di utara dan karena itu sudah mendengar namanya. Dan enam panglima lain yang juga tersentak oleh seruan Ang Bin Ciangkun ini tiba-tiba mundur selangkah dengan seruan kaget.

“Apa, dia Kim-mou-eng...?”

Ang Bin Ciangkun mengangguk, tak ragu lagi, membuat teman-temannya semakin terkejut dan mundur lagi setindak. Baru kali ini melihat dan mengenal nama pendekar muda itu, yang sering kali diceritakan Ang Bin Ciangkun karena panglima itulah yang lebih mengenal keadaan di luar tembok besar, di utara. Dan Kim-mou-eng sendiri yang terbelalak mendengar Ang Bin Ciangkun mengenal dirinya tiba-tiba mempergunakan kesempatan mundurnya tujuh orang panglima itu menerobos kepungan.

“Jit-liong Ciangkun, kalian memang lihai. Minggir...!”

Tujuh panglima itu terkejut. Mereka melihat Kim-mou-eng menggerakkan lengan ke kiri kanan, menyibak mereka, mendorong dengan serangkum angin yang kuat menyambar. Dan belum mereka membalas atau menghadang ke depan mendadak pendekar muda itu telah lolos melarikan diri. Berkelebat dan kini membentak limaratus pasukan yang mengepung diluar itu, yang kontan buyar berantakan dipukul pukulan sinkang pemuda ini. Dan begitu Kim-mou-eng tertawa dan melihat para pengawal menyibak oleh angin pukulannya tiba-tiba pemuda ini telah berjungkir balik melalui banyak kepala lolos keluar!

“Hei...!”

“Ahh...!”

Semua orang berseru kaget. Mereka terperanjat danbengong oleh gerak pemuda sakti ini, melenggong sejenak tapi tiba-tiba mendengar teriakan Mao-taijin yang menyadarkan mereka, berteriak-teriak agar pemuda itu ditangkap. Dan begitu semuanya sadar dan Jit-liong Ciangkun juga hilang kagetnya tiba-tiba Bu-ciangkun yang paling penasaran itu sudah mengejar dengan seruan marahnya,

“Kim-mou-eng, jangan lari kau. Berhenti...!” dan begitu enam temannya juga ikut mengejar dan membentak pendekar itu akhirnya bayangan Jit-liong Ciangkun berkelebatan memburu pemuda ini, disusul limaratus pasukan yang berteriak-teriak di belakang, membuat ribut. Sebentar saja suasana jadi gaduh dan ramai seolah kota raja benar-benar diserbu kaum pemberontak!

Dan Kim- mou-eng yang mendongkol oleh sikap lawan-lawannya itu tiba-tiba melejit ke timur menuju jajaran bangunan tinggi yang tampak menjulang untuk menyembunyikan diri, bukan takut melainkan ogah menghadapi musuh-musuhnya itu, yang sebenarnya bukanlah musuh karena mereka terhasut omongan Mao-taijin, menteri yang licik itu. Tak tahu bahwa yang dituju adalah kompleks istana alias tempat tinggal kaisar.

Maklum, dia belum begitu lama berkeliaran di kota raja dan tidak mengenal jalan-jalan di tempat kaisar Yuan Ti ini, yang tentu saja membuat Jit-liong Ciangkun kaget dan cemas karena mengira Kim-mou-eng hendak membuat ribut di tempat tinggal kaisar. Menambah onarnya. Jadi malah salah paham!

Dan begitu Kim-mou-eng tiba di tempat ini dan baru sadar bahwa dia memasuki tempat tinggal kaisar karena terompet kerang ditiup dan banyak bayangan berlompatan di atas genteng mengejarnya barulah Kim -mou-eng terkejut ketika menyadari bahwa dia malah masuk ke tempat yang lebih berbahaya. Dan ketika dimana-mana banyak bayangan muncul dan bangunan itu satu-satunya tempat tinggal dengan puncak gedung yang paling tinggi dan dia tak dapat mundur lagi karena musuh sudah mengepungnya maka saat itulah Panglima Tujuh Naga berhasil mengejarnya dan langsung menyerang, melihat dia tersudut.

“Kim-mou-eng, rupanya kau benar-benar tak bermaksud baik. Kau berani memasuki tempat tinggal kaisar. Mampuslah...!” Bu-ciangkun membentak paling depan, langsung mengerahkan Kang-jiu-kangnya (Tenaga Tangan Baja) untuk menyerang pemuda itu, dahsyat dan menderu dengan penuh kemarahan.

Dan ketika dua panglima Cu juga maju membentak dan menusukkan tombak mereka yang berputar menyambar dada maka berturut-turut empat panglima lain yang tergabung dalam Panglima Tujuh Naga itu mengeroyok dan bertubi-tubi menyerang Pendekar Rambut Emas ini, masing-masing mengeluarkan senjata mereka dan marah karena mengira pendekar itu hendak mengacau istana.

Tak tahu bahwa sebenarnya pemuda ini hanyalah tersesat, tak sengaja datang ke tempat itu karena mengira itu adalah tempat persembunyian yang aman. Maka begitu lawan jadi salah paham dan Kim-mou-eng mendapat serangan tujuh panglima gagah ini tiba-tiba pemuda sakti itu sibuk dan gugup menangkis sana-sini.

“Hei, hentikan dulu. Jangan serang aku...!”

Namun Jit-liong Ciangkun terlanjur curiga. Mereka tak menghentikan serangan, bahkan mempergencar karena tak percaya pada maksud baik pemuda ini. Dan begitu mereka membentak dan kembali maju menyerang maka Pendekar Rambut Emas ini kewalahan melompat sana-sini, mengerahkan sinkangnya dan harus berkali-kali mengelak mundur kalau ada tombak atau senjata lain menyambar bagian tubuhnya yang lemah, seperti mata dan bawah pusar yang tentu saja tak dapat dilindungi kekebalannya, masih juga bertangan kosong.

Dan ketika lawan memperberat tekanan dan Jit-liong Ciangkun gusar serta penasaran oleh kelihaian lawannya ini tiba-tiba untuk pertama kali Bu-ciangkun berhasil merobek baju di pundak lawannya itu.

“Brett!” Kim-mou-eng terkejut. Dia kembali disambar senjata lain, robek di bagian lain hingga sebentar saja bajunya koyak-koyak, tentu saja tak dapat dilindungi kekebalan pula. Dan ketika tombak dan golok kembali menyambar dan Ang Bin Ciangkun yang memegang busur tiba-tiba melepas panahnya menyerang punggung mendadak pemuda ini melengking mengeluarkan satu gerakan aneh.

Dia tidak mengelak, menerima semua serangan itu dan menangkis dengan jari-jari terbuka, menampar sekaligus mementalkan semua senjata lawan. Dan ketika panah runtuh mengenai punggungnya yang terlindung sinkang mendadak Kim-mou-eng meliuk dan menangkap kaki Bu-ciangkun yang saat itu terhuyung di sebelah kirinya.

“Hei...!” Namun terlambat. Panglima tinggi besar ini telah tertangkap, langsung diangkat dan diputar-putar menghadapi lawan yang menyerang pemuda itu.

Dan begitu Kim-mou-eng membentak mengayun panglima ini menangkis semua senjata yang menyambar dirinya kontan enam panglima yang menjadi teman Bu-ciangkun itu mundur dan menghentikan serangan. “Minggir...!”

Enam panglima itu terbelalak. Mereka terpaksa minggir ketika Kim-mou-eng memutar tubuh Bu-ciangkun, menyibak dan otomatis memberi jalan keluar. Dan ketika Kim-mou-eng tertawa dan meloncat keluar dari kepungan enam panglima itu sementara Bu-ciangkun masih dicengkeramnya sebagai sandera maka turunlah dia dari puncak gedung yang tinggi itu.

“Bu-ciangkun, kau harus menunjukkan padaku jalan keluar. Cepat, aku tak ingin memaksamu kalau kau keras kepala!”

Bu-ciangkun memaki-maki. Dia marah dan membelalakkan matanya sampai melotot, tak berdaya karena saat itu juga Kim-mou-eng telah menotoknya, menenteng dan membalik tubuhnya seperti anak kecil, diputar-putar. Tapi karena dia kesakitan karena cengkeraman di kakinya diperkeras dan Kim-mou-eng menggencet membuat tulangnya seakan retak akhirnya panglima ini menurut juga. Dia berteriak menyuruh belok sana-sini, membentak agar para pengawal mundur semua, membiarkan lawan berlari bebas sementara enam rekan lainnya tiba-tiba juga melayang turun, mengejar dan mengikuti di belakang khawatir Kim-mou-eng membunuh panglima she Bu itu.

Dan ketika kepungan benar-benar menyibak dan Kim-mou-eng mengikuti petunjuk-petunjuk panglima itu untuk keluar dari kompleks istana akhirnya mereka tiba di bangunan paling ujung, berhenti dan siap melepas panglima ini sambil tertawa lebar. Tadi begitu kaki menginjak tanah kosong mendadak Kim-mou-eng terjeblos memasuki sebuah sumur, bersama panglima itu, tidak tahu bahwa Bu-ciangkun memang sengaja membawanya ke situ karena lubang sumur tertutup oleh sebuah perangkap. Dan begitu Kim-mou-eng berteriak kaget dan meluncur turun maka tawanannya itupun ikut terjeblos memasuki lubang yang dalam, juga gelap!

“Aih...!” Tapi Kim-mou-eng memang lagi sial. Dia tak tahu bahwa panglima tinggi besar itu menipunya, meskipun harus ikut terjeblos ke bawah. Dan begitu keduanya sama-sama terbanting di dasar sumur yang gelap dan Bu-ciangkun berteriak kesakitan maka di saat itulah sebuah kerangkeng bergemuruh menakup mereka berdua, dari atas ke bawah.

“Brukk...!”

Kim- mou-eng terkejut. Dia melihat Bu-ciangkun mengeluh, roboh dan seketika itu juga pingsan di dalam kerangkeng, bersama dia. Dan sementara dia terbelalak dan masih tidak menduga bahwa Bu-ciangkun telah menipunya maka di saat itulah terlihat cahaya kekuningan disusul desis seperti ular. Lalu ketika Kim-mou-eng terbelalak dalam suasana yang mulai remang-remang ini muncullah enam orang dari Jit-liong Ciangkun itu menyemburkan asap belerang.

“Kim-mou-eng, kau harus kami tangkap!”

Kim-mou-eng tersentak. Dia sekarang melihat desis yang seperti ular itu ternyata adalah tiupan asap belerang yang muncul dari pipa-pipa di sekeliling kerangkeng, sekejap kemudian memenuhi tempat itu hingga dia batuk-batuk. Dan ketika dia terkejut dan mendobrak jeruji kerangkeng tiba-tiba pemuda ini mengeluh ketika tenaganya lenyap, hilang begitu saja!

“Ah, belerang bius...!” Kim-mou -eng sadar setelah terlambat. Dia sekarang tahu bahwa asap belerang itu bukan sekedar belerang saja, tapi bercampur juga dengan asap bius. Dan begitu dia mengeluh dan lamat-lamat mendengar enam orang dari Panglima Tujuh Naga itu tertawa mendadak Kim-mou-eng tak sadarkan diri lagi dan pingsan disebelah Bu-ciangkun!

Begitulah. Pendekar ini akhirnya tertangkap, Bu-ciangkun secara cerdik telah menuntunnya ke tempat jebakan, sumur bawah tanah yang sesungguhnya merupakan perangkap bagi orang-orang sakti yang mengacau di istana, berhubungan dengan penjara bawah tanah yang merupakan lorong rahasia di kompleks istana. Hal yang tentu saja tak diketahui orang luar karena tempat itu memang tidak mencurigakan.

Dan begitu Kim-mou-eng pingsan sementara Bu-ciangkun sendiri telah ditolong teman-temannya keluar dari kerangkeng sumur gelap akhirnya Pendekar Rambut Emas ditangkap dan dijebloskan dalam penjara bawah tanah. Menggegerkan kota raja dan seketika itu juga dikenal orang secara luas. Melejit namanya karena perbuatannya yang menggemparkan itu. Sanggup menandingi Jit-liong Ciangkun. Dan begitu orang mengenal namanya maka saat itu juga Kim-mou-eng menjadi buah bibir!

* * * * * * * *

Malam itu, tiga hari setelah tertangkapnya Kim-mou-eng sebuah bayangan berkelebat sembunyi-sembunyi memasuki istana. Bayangan ini berindap-indap, gerakannya Iincah dan bukan main cepat seperti gerakan walet menyambar saja. Dan ketika dinding istana telah ia masuki dan beberapa penjaga telah dilewati dengan mudah akhirnya bayangan ini tiba di sebuah taman yang luas dan langsung melayang ke atas pohon yang tinggi, melihat dua pengawal baru muncul secara tiba-tiba.

“Sun-twako, bagaimana pendapatmu dengan Kim-mou-eng itu?” seorang pengawal memecah bicara, lewat di bawah pohon besar itu ketika bertanya pada temannya, masing-masing membawa tombak dan tampak tak curiga bahwa di atas mereka sebuah bayangan sedang bersembunyi. Dan ketika temannya tertawa dan berjalan dengan langkah tegap terdengarlah jawabannya yang sinis mengejek,

“Kim-mou-eng boleh lihai, A-jiong. Tapi kalau dia ditawan dalam penjara bawah tanah berlapis-lapis mana bisa dia melarikan diri? Bu-ciangkun memperkuat penjagaan di sana. Katanya menanti perintah kaisar untuk menjatuhkan hukuman mati!”

“Hm, dan kabarnya dia keturunan Tar-tar, twako. Tak bahayakah menghukum mati pendekar itu?”

“Bahaya apa? Kim-mou-eng telah mengacau ditempat kita. Mao-taijin katanya hendak dibunuh pendekar itu tanpa sebab!”

“Ya." orang pertama mengangguk heran. “Sintingkah Pendekar Rambut Emas itu? Kenapa tanpa sebab dia memusuhi Mao-taijin?”

“Entahlah, aku tak tahu, A-jiong. Tapi Pendekar Rambut Emas itu memang benar-benar berbahaya. Konon katanya dengan tangan dan kaki saja dia dapat menghadapi Jit-liong Ciangkun yang rata-rata bersenjata!”

Dua pengawal itu bercakap-cakap menjauh. Mereka telah berada sepuluh tombak dari pohon dimana bayangan itu bersembunyi. Tapi begitu dua kerikil menyambar mereka dari belakang mendadak dua pengawal ini mengaduh dan roboh terpelanting. Dan sementara mereka kaget tak tahu apa yang menjadi sebabnya tiba-tiba bayangan di atas pohon itu telah meluncur turun bagai seekor burung menotok mereka.

“Tuk-tuk!” dua pengawal ini roboh tak berkutik. Mereka tertegun melihat seorang gadis tinggi semampai muncul begitu saja di depan mereka, seperti iblis. Dan ketika mereka tak mampu bicara saking kaget dan herannya tahu-tahu tubuh mereka ditendang dan mencelat ke atas pohon, nyangkut di puncak yang tinggi!

“Bress!” keduanya hampir menjerit. Mereka ngeri melihat ke bawah karena tubuh mereka hanya ditopang sebuah ranting yang kecil. Sekali patah tentu mereka terbanting remuk di bawah sana. Tinggi sekali! Dan ketika mereka terbelalak tak mampu bersuara karena urat gagu mereka telah ditotok gadis tak dikenal itu mendadak orang yang merobohkan mereka ini melayang ringan dan hinggap di ranting yang menahan tubuh mereka, mentul-mentul. Satu ranting untuk tiga orang!

Dan sementara mereka mengeluh dengan muka pucat dan ngeri sekali membayangkan ranting itu patah dan jatuh ke bawah maka gadis ini, gadis hitam manis yang memakai topi burung rajawali membentak mereka, dingin bagai es di pegunungan salju,

“Tikus-tikus busuk, dimana penjara bawah tanah yang menyimpan Kim-mou-eng?”

Dua orang itu ah-ah uh-uh. Mereka tak mampu bicara, tertotok urat gagu mereka. Dan ketika gadis itu sadar dan membebaskan totokan mereka hingga dua pengawal itu dapat bicara maka pengawal pertama yang disebut A-jiong menggigil menjawab pucat, “Aku... aku tak tahu... aku pengawal yang baru diangkat!”

“Hm, dan kau?” gadis itu memandang orang satunya, yang dipanggil Sun-twako.

Dan pengawal yang terbelalak dengan muka ketakutan ini tiba-tiba berbohong. “Aku... aku juga tak tahu. Aku juga pengawal baru di sini!”

Gadis itu, yang bukan lain Salima adanya tiba-tiba mendelik. Dia dapat melihat bahwa pengawal kedua ini bohong. Maka mendengus menggencet jalan darah phi-tu-hiat yang membuat orang nyeri seperti disengat ular berbisa tiba-tiba gadis ini membentak, “Kau jangan bohong. Kau akan kusiksa kalau bohong!”

“Aduh...!” pengawal itu menjerit, kaget karena benar-benar dia disengat rasa nyeri yang sangat. Dan ketika Salima memperkeras gencetannya dan pengawal itu menjerit-jerit tak juga mau mengaku mendadak dia malah berteriak, memanggil teman-temannya, “Tolong, ada penjahat...!”

Salima terkejut. Dia gusar melihat pengawal ini berani mati, melihat para pengawal di luar taman berdatangan kaget. Tak kurang dari sebelas orang. Dan ketika pengawal itu masih juga berteriak-teriak dan rupanya berani karena merasa ada di kandang sendiri mendadak Salima menampar kepalanya langsung membunuh.

“Diam kau... prak!”

Pengawal itu terkulai roboh. Dia langsung tewas karena tamparan Salima adalah tamparan maut, bangkit tangan besinya melihat pengawal itu merunyamkan keadaan. Dan ketika sebelas pengawal berdatangan ribut dan pengawal satunya yang masih hidup, pucat dan gemetar melihat kematian pengawal she Sun ini mendadak Salima menendang mayat di atas pohon itu menyambut para pengawal yang berdatangan ke tempat itu. Dan ketika para pengawal di bawah kaget dan berseru tertahan ditimpa mayat pengawal she Sun ini maka Salima menendang juga pengawal satunya dan melayang turun.

“Pergi kau... dess!”

Pengawal itu menjerit. Dia langsung jatuh dari puncak pohon yang tinggi, didupak mencelat sementara Salima sendiri sudah berkelebat turun, dipapak golok dan tombak yang ditangkis berpelantingan, semuanya menjerit dan terlempar roboh karena gerakan Salima seperti iblis marah, begitu cepat dan tahu-tahu menghilang dari tempat itu menuju tempat lain. Dan ketika para pengawal ribut dan berteriak-teriak ada maling maka di ujung timur tiba-tiba terjadi kebakaran!

Rupanya Salima mengamuk. Gadis Tar-tar ini marah oleh perbuatan pengawal she Sun, membunuh mampus pengawal itu tapi rasa gusar terlanjur berkobar. Tak lagi sembunyi-sembunyi melainkan terang-terangan mengacau tempat itu, membakar gedung atau apa saja yang dilihat. Menendang dan melempar roboh setiap penjaga yang berani mendekatinya. Dan ketika Salima berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dalam usahanya mencari penjara bawah tanah maka sekeliling istana tiba-tiba sudah penuh api oleh perbuatan gadis ini.

Tak ayal, seluruh pasukan bangun dari tidurnya. Mereka telah mendengar kedatangan gadis ini, ribut dan berteriak-teriak ke sana ke mari. Sebentar saja istana menjadi gaduh dan kebakaran melanda dimana-mana, membuat Jit-liong Ciangkun tergugah dan marah mendengar laporan seorang gadis Tar-tar mengamuk.

Dan karena mereka dapat menduga bahwa gadis itu tentu mencari Kim-mou-eng karena pendekar itu juga keturunan Tar-tar akhirnya Panglima Tujuh Naga ini langsung ke tempat dimana Kim-mou-eng dipenjarakan. Maklum bahwa kesanalah titik tujuan gadis Tar-tar yang mengamuk itu. Dan ketika mereka tiba di sana dan ternyata benar Salima telah berhasil menemukan tempat ini maka terlihatlah para pengawal roboh bergelimpangan dan berteriak-teriak menuding ke dalam.

“Dia di sana, gadis itu memasuki penjara bawah tanah...!”

Jit-liong Ciangkun berkelebat. Mereka tergetar melihat bekas amukan Salima, melihat penjaga di dalam penjara tumpang-tindih, langsung masuk dan harus melalui pintu berlapis tujuh karena penjara itu memang dibuat sedemikian rupa agar musuh yang tertangkap tak gampang melarikan diri. Dan ketika mereka tiba pada pintu terakhir dan melihat pintu itu hancur ditendang menganga lebar maka berkelebatlah pada saat itu juga Salima yang baru membebaskan suhengnya!

“Suheng, bunuh saja musuh di depan. Jangan mereka diberi ampun!”

Jit-liong Ciangkun terkejut. Pendekar Rambut Emas menyongsong mereka dengan muka penuh jelaga, hampir tak dikenal karena kebakaran juga melanda tempat itu, menghanguskan dinding dan membuat tempat itu menjadi hitam. Dan ketika Salima muncul dan gadis itu berteriak-teriak agar musuh di depan dibunuh saja dan sepak terjang gadis Tar-tar itu tampak demikian ganas dan mengerikan akhirnya Panglima Tujuh Naga ini menjadi marah.

“Gadis siluman, kau mengacau tempat orang...!”

Salima tertawa mengejek. Dia girang bahwa suhengnya berhasil dibebaskan, menjengek melihat tujuh panglima itu menyerangnya. Sebagian mengeluarkan senjata. Dan Salima yang berkelebat menyambut dengan tamparan dan tendangan menangkis serangan tujuh orang panglima itu tiba-tiba mengerahkan sinkang membentak seraya mendorong.

“Plak-dess!”

Tujuh panglima itu terkejut. Mereka terdorong setindak dengan lengan tergetar, kaget melihat gadis itu tak kalah hebat dengan Kim-mou-eng sendiri. Dan sementara mereka terbelalak dan kaget di tempat sekonyong-konyong Salima melengking menyerang mereka, melakukan tamparan dan tendangan yang bersiut tajam, dingin menyeramkan disertai bentakannya yang menggetarkan ruangan. Dan ketika mereka menangkis dan gadis itu berani menyambut senjata mereka dengan jari-jari terbuka mendadak tujuh panglima itu terkejut ketika tombak dan senjata lain di tangan mereka patah-patah.

“Des-des-krakk...!”

Tujuh Panglima Naga itu terpekik. Mereka terpental dan kontan terpelanting, kaget melihat senjata patah-patah disambar lawan mereka itu. Tapi Salima yang masih menyambar dan rupanya geram pada tujuh panglima ini tiba-tiba berkelebat mengayun tangannya ke kepala musuh-musuhnya itu. Dan Kim-mou-eng yang tentu saja kaget oleh keganasan sumoinya tiba-tiba membentak dan menangkis dari samping.

“Sumoi, jangan... dukk!”

Ruangan itu seakan dilanda gempa. Jit-liong Ciangkun terlempar oleh bunyi benturan ini, demikian dahsyat hingga dinding ikut ambrol oleh getaran suara itu, melihat Salima mencelat sementara Kim-mou-eng sendiri terhuyung. Kaget dan ngeri oleh kehebatan kakak beradik itu. Dan ketika Salima memekik dan membentak memaki suhengnya maka Kim-mou-eng sudah meloncat menyambar sumoinya itu.

“Sumoi, jangan main bunuh di sini. Jit-liong Ciangkun bukanlah orang-orang jahat!”

Salima membanting-banting kaki. Dia meronta dan mau melepaskan diri dari suhengnya itu, tapi Kim-mou-eng yang khawatir akan sepak terjang sumoinya dan melihat Jit-liong Ciangkun juga mau menyerang kembali dan sudah melompat bangun mendadak menyendal lengan sumoinya ini. Dan begitu dia berseru keras melompat tinggi tahu-tahu Kim-mou-eng telah membawa sumoinya keluar dari penjara bawah tanah itu, melalui pintu berlapis-lapis.

“Jit-liong Ciangkun tak perlu mengejar kami. Kami tidak bermaksud buruk pada kalian...!”