Pedang Medali Naga Jilid 28

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Gurun Neraka episode pedang medali naga jilid 28 karya Batara
Sonny Ogawa
PEDANG MEDALI NAGA
JILID 28
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Karya Batara
"MEREKA tewas bukan dipagut ular, taijin. Melainkan karena jarum beracun yang amblas di kulit mereka!"

Dua orang ini meremas tinju. "Kau yakin, Lo-ciu?"

"Tentu, lihat ini. taijin. Hamba baru saja mengambil jarum yang membunuh Swi-wangwe!" kakek itu mengeluarkan jarum hitam, meletakkannya di telapak tangan dengan hati-hati. Dan ketika pangeran hendak menyentuhnya tiba-tiba kakek ini mamperingatkan, "Jangan sentuh. Jarum itu berbahaya sekali, pangeran. Kulit bisa hangus dan keracunan!"

Pangeran ini terkejut. "Demikian berbahaya, locinpwe?"

"Ya, amat berbahaya sekali, pangeran. Apa lagi kalau menembus kulit mengenai daging!"

Sang pangeran membelalakkan mata. Sekarang mereka berdua maklum bahaya kiranya musuh telah mengendus (mencium) rencana mereka. Tahu akan segala gerak-gerik mereka, terbukti dari membunuh hartawan-hartawan yang mereka hubungi. Dan ketika Wu-taijin menggigil mengepal tinjunya maka Wu Hap muncul membawa berita baru.

"Ayah, Lok-taijin diangkat menjadi Menteri Perairan. Kabarnya pembesar ini akan melipatduakan pajak yang memasuki semua pelabuhan!"

Wu-taijin terkejut. "Kapan terjadinya itu, Hap-ji?"

"Kemarin, ayah. Sri baginda mengangkat menteri itu atas permintaan selirnya.'"

"Keparat!" menteri ini semakin beringas. "Lagi-lagi selir jahanam itu. Apa maksudnya menaikkan pangkat pejabat-pejabat pemerintahan? Dan sri baginda tidak meminta saran atau pertimbanganku?"

Pangeran Kim bangkit berdiri. "Rupanya ibunda selir ingin menyenangkan pembantu-pembantunya, paman. Mungkin dia mau membiarkan semua orangnya korupsi!"

"Ya, dan mengadakan kudeta di saat negara sedang kacau, pangeran. Rupanya selir itu mau memberontak dan menjadi ratu!" dan menyambar lengan pemuda ini tiba-tiba Wu-taijin menyiapkan keretanya menuju istana. "Pangeran, kau bantu aku untuk melapor pada sri baginda'" lalu mencongklak menyuruh kusir berangkat Wu-taijin buru-buru menghadap kaisar.

Kebetulan, Kaisar baru santai dipijit pelayan-pelayan cantik, dan Wu taijin yang menjatuhkan diri berlutut langsung memohon untuk bicara. "Ampun, hamba membawa berita penting, sri baginda. Bolehkah hamba bicara?"

Sang kaisar mengerutkan kening. "Apa yang kaubawa, taijin?"

Wu taijin tak menghiraukan sikap dingin ini, membenturkan dahinya. "Hamba membawa berita penting, sri baginda. Bahwa Lui-ciangkun mau melahap semua tanah negara untuk menjadi milik pribadinya. Pangeran Kim menjadi saksi!"

Kaisar terkejut, membelalakkan matanya. "Apa? Lui-ciangkun, taijin? Kau bilang dia mau memiliki tanah negara untuk namanya sendiri?"

"Ya, ampunkan hamba, sri baginda. Yang mendengar itu adalah putera paduka sendiri, Kim ongya (Pangeran Kim)."

Kaisar turun dari kursi goyangnya. Dia terbelalak dan merah mukanya memandang puteranya ini, tampak gusar. Lalu membentak dengan suara keras dia bertanya, "Pangeran Kim, betulkah yang dikata pamanmu ini? Kapan kau mengetahuinya?"

"Ampun, hamba tahu ketika Lui-taijin kasak-kusuk dengan seseorang, ayahanda kaisar. Secara kebetulan telinga hamba mendengar sendiri percakapan itu!"

"Siapa?"

Sang pangeran ragu, tak segera menjawab dan tampak pucat memberi tahu. Dan kaisar yang tentu saja marah membentak lebih gusar, "Pangeran, katakan cepat siapa orang ying bersekutu dengan Lui-taijin itu. Biar kuhukum dia!"

Pangeran ini ketakutan. Tapi melihat ayahnya murka dan mau tidak mau dia harus menjawab juga maka berkatalah pangeran ini dengan suara lirih, "Ibunda selir, ayahanda. Orang yang duka sayang dan dekat dengan paduka..."

"Siapa namanya?"

"Ibunda Shi Shih..."

"Keparat!" kaisar tiba-tiba berang. "Kau mengacau anakku untuk memusuhi ibu tirinya, Wu taijin? Kau menghasut dan lagi-lagi membawa nama selirku itu?"

"Tidak, ampunkan hamba...!" Wu-taijin pucat. "Bukan hamba yang menghasut putera paduka, sri baginda. Melainkan putera paduka sendiri yang datang memberi tahu ke rumah hamba. Hamba tidak membakar atau mengacau putera paduka!"

"Benar," pangeran muda itu juga bicara. "Hamba mendengar sendiri percakapan itu, ayah anda. Paman Wu tidak tahu apa-apa dan hamba yang memberitahunya. Hamba tidak dihasut!"

Sn baginda tertegun. Dan melihat junjungannya mulai percaya tiba-tiba berkatalah menteri setia ini dengan suara gemetar, "Sri baginda, hamba tidak memfitnah atau membuang omongan palsu di sini. Sebaiknya paduka selidiki dulu leporan ini secara diam-diam. Boleh paduka buktikan benar atau tidaknya!"

Kemudian, pangeran muda yang juga menyambung bicara dengan lebih mantap itu membenturkan kepalanya pula, "Dan hamba menjadi saksi utamanya, ayahanda. Boleh paduka bawa selir paduka itu untuk berhadapan dengan hamba!"

Kaisar goyah. Dia tak mungkin harus tidak mempercayai puteranya sendiri, meskipun pangeran itu bukanlah pangeran mahkota. Maka menggigil dan mengetrukkan giginya kaisar lalu menyuruh panggil selirnya itu. Dan ketika Shi Shih berdua datang menghadap berkatalah kaisar dengan muka bengis, "Shi Shih, betulkah kau merencanakan membalik nama semua tanah negara untuk Lui-taijin? Benarkah apa yaug didengar puteraku ini?"

Shi Shih tertegun. Sejenak dia kaget, tapi tersenyum dan menjatuhkan diri berlutut selir ini menjawab. "Sudahkah orang yang membawa laporan ini mempunyai bukti, sri baginda? Adakah buktinya hamba menyuruh Lui taijin menyulap tanah negara?"

Kaisar terbelalak, memandang puteranya. "Kau ada bukti, pangeran?"

"Tidak," pemuda ini gugup. "Hamba mendengar langsung percakapan mereka, ayahanda. Bukti apalagi yang harus hamba kemukakan?"

"Ah," Shi Shih tersenyum. "Kalau begitu kau mengada-ada, pangeran. Dan ada apa pula Wu-taijin di tempat ini? Apakah dia bersamamu?"

"Benar." kaisar menjawab. "Wu taijin datang bersama puteraku ini, Shi Shih. Dia menyatakan Lui-taijin mau menyulap tanah negara menjadi tanah miliknya pribadi. Atas perintahmu!"

"Hm, kalau begitu panggil Lui-taijin, sri baginda. Suruh dia membawa catatan-catatan tanah negara yang ada. Benarkah sudah menjadi miliknya pribadi atau belum. Kalau tidak, maka Wu-taijjn hamba anggap memfitnah dan untuk ketiga kalinya hendak menjatuhkan hamba karena iri dan dengki!"

Wu-taijin pucat. Sang pangeran juga terkejut. Dan ketika Lui-taijin dipanggil untuk menunjukkan apa-apa yang diminta kaisar ternyata berita yang dibawa itu adalah bohong belaka.

"Taijin, semua catatan di sini lengkap adanya. Lui-taijin tak terbukti menyulap tanah negara menjadi miliknya sendiri. Apa sekarang katamu?"

Menteri ini gemetar. "Hamba... hamba tak tahu, sri baginda. Hamba membawa pengeran ke sini hanya untuk mengantarnya memberi laporan!"

"Hm, bagaimana itu, pangeran?"

'Betul, hamba tak melibatkan paman Wu, ayahanda. "Ini adalah tanggung jawab hamba pribadi untuk menyelamatkan negara!" Pangeran Kim menjawab, gagah dan mengerutkan keningnya, berati bahwa bukti-bukti yang diminta kaisar dapat dipenuhi dengan baik. Tapi ingat bahwa beberapa hartawan dibunuh setiap dia hendak menyuruh mereka hingga mempertebal dugaan tiba-tiba pangeran ini tak mau kalah, penasaran. "Tapi, sri baginda. Bagaimana teman-teman hamba semuanya tewas sebelum membuka rahasia ini? Hamba hendak membuka kedok kebusukan ini untuk membuktikannya pada paduka. Tapi semuanya terbunuh sebelum menjalankan tugasnya!"

Kaisar tak mengerti. "Apa maksudmu?"

Sang pangeran lalu bercerita. Dia menceritakan bahwa diam-diam dia ingin membuka rahasia ini. mengatur rencana untuk menjebak Lui-taijin dengan mempergunakan hartawan-hartawan kaya. Menangkap basah menteri itu dalam jual-beli tanah negara. Tapi ketika satu demi satu semua hartawan itu tewas sebelum melaksanakan niatnya maka kecurigaan pangeran ini menjadi-jadi dan semakin kuat.

"Bayangkan, semua hartawan yang hamba hubungi binasa, sri baginda. Kalau tidak dibunuh komplotan Lui-taijin ini apakah itu suatu kebetulan belaka? Mungkinkah kematian para hartawan ini terjadi secara kubetulan saja?"

Kaisar terkejut. "Begitukah?"

"Ya. Begitu kenyataannya, sri baginda. Paduka boleh tanya semua orang untuk membuktikan tewasnya hartawan-hartawan ini Yang anehnya, semuanya tewas dengan luka yang sama ditembus jarum beracun!"

Kaisar terbelalak, memandang Lui-taijin yang gemetar dan pucat mukanya. Tapi Shi Shih yang mendahului bicara sudah berseru lantang, "Tapi pangeran, adakah buktinya bahwa kematian hartawan-hartawan itu benar-benar disebabkan Lui-taijin? Bagaimana kalau dibunuh orang lain yang merupakan pihak ke tiga?"

"Tak mungkin, aku mendengar sendiri pembicaraan kalian ibunda selir. Aku yakin bahwa sahabat-sahabatku itu dibunuh oleh orang-orang kalian!"

"Hm, menuduh berdasarkan dugaan semata bukanlah pekerjaan baik, pangeran. Bagaimana kalau kuminta buktinya dulu? Kau telah memfitnah kami ketika pertama kali mengatakan Lui-taijin menyulap tanah negara, padahal kami dapat membuktikannya bahwa semuanya itu tidak benar. Sri baginda telah melihat surat-suratnya dan utuh sesuai aslinya. Dan sekarang kau menuduh pula bahwa kematian hartawan teman-temanmu itu adalah perbuatan kami! Mana buktinya, pangeran? Dapatkah kau memberikan buktinya bahwa itu juga adalah perbuatan Lui-taijin?"

Sang pangeran terhenyak. Dia serasa di-nyos, tertodong. Dan Shi Shih yang merah mukanya menghadap kaisar lalu berlutut. "Sri baginda, rupanya banyak orang-orang yang tak senang pada hamba. Kalau Kim-ongya dapat membuktikan tuduhannya nomor dua pada paduka biarlah hamba terima itu dan rela dihukum. Tapi kalau tidak, hamba mohon paduka menghukum putera paduka agar hamba tak dibuat sembarangan!"

Kaisar terkejut. Dia merasa bahwa puteranya itu juga salah. Menuduh tapi tidak menunjukkan buktinya. Tapi heran kenapa hartawan-hartawan itu juga tewas seperti yang diceritakan puteranya ini diapun menjadi tertegun. Dan Wu-taijin tiba-tiba maju berlutut. Menteri yang mendengar semua percakapan itu tampaknya mendapat pikiran baik, karena begitu melirik lawan ia pun bicara membela temannya,

"Sri baginda, ampun. Omongan yang diminta selir paduka memang betul. Tapi sebaiknya kita bersikap adil. Kalau Kim-ongya diminta untuk membuktikan tuduhannya maka sebaiknya selir paduka juga harus dapat membuktikan diri bahwa orang-orangnya tidak melakukan pembunuhan itu!"

"Hm, apa maksudmu, taijin?"

"Jelas, sri baginda. Karena pangeran juga bersikeras memegang tuduhannya dan belum mendapatkan bukti memang seyogyanya pangeran melengkapi diri dengan bukti-bukti itu. Sedang selir paduka, yang tidak mengaku salah juga seharusnya diminta membuktikan diri bahwa pembunuhan yang dilakukan terhadap kaum hartawan itu dilakukan pihak ke tiga. Bukan oleh orang-orang suruhannya!"

Kaisar terbelalak. "Jadi maksudmu...."

"Benar, sri baginda," menteri itu buru-buru memotong. "Kalau selir paduka berkata bahwa pada pihak ketiga yang melakukan pembunuhan terhadap hartawan-hartawan itu maka sebaiknya selir paduka diminta untuk menangkap pihak ketiga ini. Menyerahkannya pada paduka sebagai bukti bahwa dia benar-benar tidak bersalah."

Semua orang terkejut. Mereka melihat kaisar menganggukkan kepalanya, dan Shi Shih serta Lui-taijin yang tersentak oleh keputusan ini tiba-tiba berobah mukanya, mendelik pada menteri tua itu yang tersenyum mengejek kepada mereka. Dan kaisar yang menganggap usul menterinya ini cocok tiba-tiba berseru,

"Bagus, itu memang adil, taijin. Pangeran dan selirku harus dapat membuktikan diri bahwa yang satu salah sedang yang lain tidak. Siapa tidak benar dia harus menerima hukumannya, tak perduli orangnya!"

Wu-taijtn girang. Dia memberi isyarat agar pangeran menyatakan setuju, dan begitu pangeran ini menganggukkan kepalanya maka mau tidak mau Shi Shih menerima pula dengan muka merah padam. Kaisar telah mengambil keputusan, salah satu harus "berlomba" memberikan bukti. Dan ketika semuanya pergi dan masing-masing siap menjalankan perirtah maka saat itu juga perasaan ragu mulai menyelinap di hati kaisar ini. Dan Wu-taijin mempergunakan kesempatan itu baik-baik, di lain kesempatan.

"Sri baginda, percayalah. Bukannya hamba menghasut, tapi sekali lagi hamba peringatkan di sini agar paduka berhati-hati terhadap selir paduka itu. Shi Shih terlampau cantik dan berbahaya sekali bagi kita. Selir paduka itu adalah mata-mata yang hendak menjatuhkan kita dan merusak negara!"

Kaisar goyah. Dia mulai curiga pada selirnya itu, semenjak puteranya memberi info tentang tewasnya hartawan yang belum sempat menjebak Lui-taijin, kejadian yang memang dinilai aneh dan tak mungkin terjadi secara kebetulan belaka. Maka ketika Wu-taijin mulai memperingatkannya dan berkali-kali "menggosok" tentang selirnya itu mau tak mau sri baginda menjadi was-was juga. Dan akibatnya mudah diduga. Kaisar mulai menjauhi selirnya, agak dingin. Dan Shi Shih yang tentu saja mendongkol oleh semuanya itu lalu memanggil seseorang. Dan ini bermula di kamar Pangeran Kim.

Malam itu, seperti biasa pangeran muda ini membaca buku. Dia belum dapat mencari bukti seperti yang diperintahkan ayahnya. Sama pula seperti Shi Shih yang juga belum dapat menanggap pelaku pembunuhan itu. Dan ketika dia asyik membaca di ruangan dalam tiba-tiba pintunya diketuk halus.

"Pangeran, sudah tidurkah paduka?"

Pangeran ini mengerutkan kening. Dia telah memberi tahu pelayan agar tak mengganggunya saat itu. Kenapa datang? Maka mengira pelayan yang mengetuk pintu spontan pangeran ini mengusir. "Pergilah, aku tak mau diganggu, dayang. Bukankah sudah kukatakan tadi agar tak usah ke mari?"

"Ih, hamba bukan dayang, pangeran. Hamba adalah Bi Kwi. Tolong bukakan pintu!"

Sang pangeran terkejut. Dia mencelos mendengar bahwa yang datang itu adalah Bi Kwi, seorang di antara tiga pengawal ayahnya yang membantu Ok-ciangkun. Tapi berdiri dan membukakan pintu pangeran inipun menutup bukunya dan terbelalak, melihat Bi Kwi dengan senyum aduhainya itu yang menawan hati. Dan ketika pangeran ini mempersilahkan masuk maka dengan lenggang memikat wanita itu duduk di kursi.

"Aduh, kesal hamba mengetuk pintu, pangeran. Kenapa paduka diam saja tak menyambut?"

Pangeran ini tersirap. Dia melihat Bi Kwi menyilangkan paha, langsung "pamer" dengan sikap berani. Tapi pangeran yang tersenyum sambil menenangkan debaran hatinya itu melengos dan buru-buru menarik kursinya. "Bibi, ada apa kau ke mari? Utusan ayahkah...?"

"Aih," Bi Kwi cemberutkan mulut. "Sudah sedemikian tuakah hamba hingga paduba memanggil bibi. pangeran? Tidakkah paduka lihat bahwa hamba masih tak kalah dengan gadis remaja?" dan, melempar rambut dengan sikap menggairahkan wanita ini mengerling lawannya dengan senyum dikulum, mengerahkan ilmu berahi yang disebut Bi-jiu-kui. Membetot semangat laki-laki dengan pandangan mata yang menawan serta memikat.

Dan pangeran muda yang tertegun melihat itu tiba-tiba bengong. Dia melihat Bi Kwi luar biasa cantiknya manis dan menggairahkan sekali dengan gerak melempar rambut itu. Dan ketika Bi Kwi terkekeh dan menyambar lengannya tahu-tahu pangeran ini telah duduk di pangkuan Bi Kwi?

"Ah, jangan...!" sang pangeran terkejut, langsung berdiri dan beringsut ke kursinya sendiri, kaget bukan main.

Tapi Bi Kwi yang menggeser duduknya tahu-tahu telah berada di samping pangeran ini, tertawa geli. "Pangeran, paduka lucu sekali. Kenapa takut berdekatan dengan hamba? Baukah tubuh hamba hingga harus dijauhi?"

"Tidak... kau, ini..." pangeran itu gugup, tak mampu mengeluarkan suara saking heran dan kagetnya melihat keberanian Bi Kwi. Tapi ketika Bi Kwi mengerahkan kekuatan pandang matanya dan memperberat tekanan Bi-jin-kuinya itu mendadak pangeran muda ini mengeluh, gemetar dan menggigil. "Bibi.... apa keperluanmu datang kemari? Diutus ayahanda kaisar-kah?"

"Ih!" Bi Kwi memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih itu. "Hamba ke mari atas kemauan hamba sendiri, pangeran. Ada urusan penting yang hendak hamba beritahukan paduka. Masalah pembunuhan yang dilakukan ibu tiri paduka!"

"Apa?" sang pangeran terkejut. "Masalah hartawan-hartawan yang tewas itu, bibi? Kau..."

"Hm," Bi Kwi memotong. "Aku tak mau kau sebut bibi, pangeran. Kalau kau sebut juga namaku iu aku akan ngambek!"

Sang pangeran tentu saja girang. Dia terlanjur gembira mendengar berita itu, yang memang sedang dicari-cari. Maka melihat pengawal ayahnya ini cemberut dan tak senang padanya tiba-tiba Kim-ongya tertawa rikuh. "Bib..... eh.... Niocu, bagaimana harus merobah panggilanmu ini? Apa yang harus kulakukan?"

"Hm, kau harus menyebutku enci, pangeran. Enci Bi Kwi!"

"Ah, enci?"

"Ya. tampak tuakah hamba akan sebutan itu, pangeran? Tidak pantaskah?"

Sang pangeran tersenyum. Dia telah mengenal wanita ini, pembantu Ok-ciangkun, pengawal rahasia istana yang dipimpin panglima lihai itu. Yang konon katanya masih ada hubungan su-moi (adik seperguruan perempuan) dengan panglima she Ok. Dan tergetar memandang Bi Kwi tiba-tiba pangeran ini tersipu. Malam itu dia melihat wanita ini cantik sekali. Pipinya mangar-mangar. Cuping hidungnya kembang-kempis dengan setitik keringat di ujung hidung. Manis sekali. Dan ketika dia bentrok dengan pandang mata yang setengah terkekeh itu tiba-tiba pangeran ini bangkit gairahnya. Entah kenapa secara aneh berahinya timbul, tak malu-malu lagi untuk bertatap terang-terangan. Dan ketika Bi Kwi melebar senyumnya mendadak pemuda ini terengah.

"Niocu, eh.... enci Bi Kwi, apa sekarang yang hendak kau bicarakan? Aku sudah memenuhi permintaanmu, bukan?"

"Hi-hik, permintaan kecil itu memang tak seberapa, pangeran. Tapi apalagi yang dapat paduka berikan kepada hamba untuk menukar berita ini? Hamba mempunyai berita yang penting sekali, pangeran. Hamba tahu siapa pembunah hartawan-hartawan itu!"

"Hm, katakanlah," sang pangeran berseri, mabok akan wajah Bi Kwi yang mengeluarkan sinar, cahaya dari ilmu perampas berahi Bi jin-kui. Dan ketika Bi Kwi terkekeh dan sengaja jual mahal tiba-tiba pangeran ini menyentuh pundak wanita itu. "Katakanlah, enci Bi Kwi. Aku akan membayarmu berapa saja yang kau minta. Asal benar!"

"Hi-hik, tentu benar, pangeran. Mana mungkin hamba main-main? Kau kira hamba membawa berita yang kosong melompong?"

Sang pangeran tertawa, mulai merah mukanya. "Aku percaya, enci. Kau katakan bagaimana berita yang kau bawa ini?"

"Tentu. Tapi berapa banyak yang akan kau berikan pada hamba, pangeran? Sepadankah?"

"Ah, tentu sepadan, enci. Berapa yang kau minta? Selaksa tail? Dua laksa tail?"

"Hm, hamba tak minta uang, pangeran. Hamba tak butuh uang!"

"Kalau begitu apa yang kau minta?"

Bi Kwi menahan senyumnya, pura-pura menunduk. Tapi belahan dadanya yang membuat sang pangeran tersirap tahu-tahu sudah mendengus di belakang tengkuknya dengan suara menggigil, "Apa yang kau minta, enci? Istanakah?"

Bi Kwi bangkit berdiri, maklum bahwa ilmu perampas berahinya mulai bekerja. Maka begitu sang pangeran menunduk di belakangnya mendadak wanita ini memutar tubuh, langsung memeluk dan berbisik lirih, menyatakan bahwa yang diminta bukanlah uang atau apa melainkan cinta kasih pangeran itu. Kasih sayangnya. Dan ketika sang pangeran tergetar dan terbelalak sejenak tahu-tahu Bi Kwi mengangkat mukanya dan sudah mencium mulut pangeran itu!

"Pangeran, hamba.... hamba butuh kasih sayang paduka!"

Sang pangeran terkejut. Mulutnya tahu-tahu sudah dicium Bi Kwi, dipagut dan dihisap bertubi-tubi Dan ketika Bi Kwi menggelinjang dan membuka bajunya mendadak wanita ini telah telanjang bulat di depan sang pangeran. Bugil. Polos tanpa sehelai benangpun. Dan ketika Bi Kwi mengeluh dan menarik pangeran ini ke atas pembaringannya maka tak ampun lagi pangeran itu roboh dan hanyut.

Sebelumnya Bi Kwi telah mempergunakan ilmu hitamnya itu, Bi jin-kui. Tak mau gagal dalam menundukkan pangeran ini. Dan karena pada dasarnya pangeran itu juga laki-laki yang "kosong" dan mudah roboh maka tak heran kalau dengan cepat Bi Kwi berhasil mempengaruhi pangeran ini. Tak seperti Kun Houw misalnya. Dan ketika Bi Kwi menggeliat dan melepas pakaian pangeran itu, maka untuk pertama kalinya Kim-ongya berhubungan dengan pengawal rahasia istana ini. Tak tahu betapa diam-diam Bi Kwi menuang bubuk putih ke tempat minumannya, melakukan sesuatu yang berbahaya untuk pangeran itu. Dan ketika semalam suntuk mereka bersenang-senang akhirnya pagi harinya pangeran ini terengah, kehabisan napas.

"Enci, kau hebat sekali! Beginikah kiranya kau merobohkan aku?"

Bi Kwi tertawa, memeluk pinggang pangeran iai. "Hamba masih belum seberapa hebat, pangeran. Tapi dua kakak hamba yang lain jauh lebih hebat dan pandai dibanding hamba!"

Pangeran ini terkejut. "Kau main-main enci?"

"Ah, siapa main-main, pangeran? Kalau hamba main-main tentu tidak perlu kemari. Tidur bersama paduka semalam suntuk!"

Pangeran ini merah mukanya. "Hm, apa yang kau minta telah kupenuhi, enci. Sekarang bagaimana dengan janjimu itu?"

"Hi hik, kau khawatir aku berdusta, pangeran? Jangan cemas, hamba tak akan menjilat ludah sendiri!" dan terkekeh mencium pangeran ini Bi Kwi berbisik, "Pangeran, berita yang berharga tak boleh dikatakan begitu saja. Paduka cukup hebat. Hamba ingin kembali lagi menagih janji!"

"Maksudmu?"

"Hamba ingin bermain cinta lagi, pangeran, Paduka merangsang dan menggairahkan sekali. Hamba kagum."

"Tapi kau belum menepati janjimu, enci. Masa....?"

"Hi-hik, hamba tidak bohong, pangeran. Tapi kalau paduka ingin tahu secara lengkap maka paduka harus melayani hamba empat hari berturut-turut. Ini malam pertama. Karena itu biar hamba beri tahu dulu huruf-huruf pertamanya!" lalu, menggores ujung jarinya di lantai kamar. Bi Kwi membentuk huruf "Sin".

Dan sang pangeran yang tentu saja penasaran segera terbelalak bertanya, "Enci, apa artinya itu? Kenapa kau tak melanjutkan kalimat ini dengan jawaban yang lengkap?"

"Hi hik, jawaban lengkap akan hamba beri tahu empat hari berturut-turut, pangeran. Sekarang cukup paduka hapal dulu nama pembunuh itu. Huruf pertamanya adalah Sin!"

Sang pangeran terbelalak. Dia tentu saja gemas. Tapi ketika dia hendak menangkap tahu-tahu Bi Kwi berkelebat keluar. "Pangeran, pelayanmu datang....!"

Sang pangeran kecewa. Dia melihat pintu kamarnya diketuk, dan ketika benar seorang pelayannya datang pangeran inipun menggerutu dengan muka tidak puas, melompat dan melihat Bi Kwi lenyap melalui jendela. Dan ketika sehari itu dia mencari Bi Kwi ternyata wanita yang telah menjadi kekasihnya ini tak nampak. Bi Kwi entah bersembunyi di mana. Tapi ketika malam tiba dan kembali dia duduk membaca buku seperti kemarin mendadak bayangan Bi Kwi muuncul.

"Pangeran, paduka mencari-cari hamba?" Bi Kwi tertawa, mengejutkan pangeran ini yang tentu saja gemas. Dan ketika Bi Kwi menubruk dan memeluknya tahu-tahu mulut sang pangeran sudah ditutup dengan ciuman panas. Kim-ongya terengah, bangkit berdiri. Lalu tersenyum memandang Bi Kwi dia menegur,

"Enci, kau terlalu sekali. Kenapa datang dan pergi seperti siluman saja?"

Bi Kwi terkekeh. "Hamba tak boleh lama-lama di sini, pangeran. Hamba tugas bergantian dengan dua enci hamba yang lain."

"Dan malam ini kau akan memberi tahu aku nama pembunuh itu?"

"Tentu, tapi bayar dulu janji paduka, pangeran. Kita bersenang-senang dulu sebelum bicarakan itu!"

Kemudian, seperti kemarin ketika Bi Kwi melepas bajunya maka saat itu pula Pangeran Kim terbawa. Dia hanyut dan mabok oleh sikap Bi Kwi yang merangsang, yang membuat dirinya tampak luar biasa cantik di mata pangeran ini, yang tak tahan dan sudah berdebar menunggu-nunggu kedatangannya. Terpengaruh dan masuk dalam ilmu perampas berahi Bi-jin-kui yang dilancarkan Bi Kwi. Dan ketika semalam suntuk kembali mereka memadu cinta maka keesokan harinya Bi Kwi turun dari atas pembaringannya terkekeh menggeliatkan pinggang dengan manja,

"Pangeran, ini hari ke dua. Karena itu lihat baik-baik huruf ke dua dari nama pembunuh itu!"

Kim-ongya terbelalak. Dia memperhatikan Bi Kwi menggurat lantai, dan ketika wanita itu menulis huruf "Yan" pangeran muda ini tertegun,. "Hm, Sin Yan namanya, enci? Kau maksudkan pembunuh itu memiliki dua nama Sin dan Yan?"

"Tidak, pembunuh ini memiliki empat nama, pangeran. Bukan dua seperti yang kau bilang. Ini baru separuh dari nama lengkapnya!"

"Hm, kalau begitu siapa nama lengkapnya, enci? Kau keberatan memberitahunya sekarang?"

"Hi-hik," Bi Kwi tertawa. "Perjanjian kita empat hari, pangeran. Karena itu harap paduka bersabar sampai hari ke empat!"

"Dan selama itu kau tetap menggodaku, enci? Terlalu. Benar-benar terlalu sekali kau ini....!" sang pangeran yang gemas langsung menangkap, gemas dan mendongkol pada Bi Kwi yang main-main.

Tapi Bi Kwi yang mengelit lincah sudah berkelebat melalui jendela, terkekeh meninggalkan pangeran itu. "Pangeran, sabar dulu. Malam nanti hamba kembali. Kau tunggu, ya?"

Kim-ongya tak berkutik. Dia tak berdaya menghadapi kemauan Bi Kwi, gemas dan mendongkol pada kekasihnya itu. Tapi ketika malam tiba dan Bi Kwi menepati janjinya maka pangeran ini tak sabar dan langsung mendahului memeluk.

"Enci, malam ini kau harus bercerita selengkapnya. Aku menggigil panas dingin menanti jawabanmu!"

Bi Kwi terkekeh. Seperti biasa dia kembali mencumbu pangeran ini, yang semakin mabok dan tergila-gila padanya. Dan ketika hari ke tiga selesai dan mereka siap berpisah maka Bi Kwi berkata dengan senyum dikulum, "Tidak, ini masih hari ke tiga, pangeran. Justeru hamba yang ingin paduka memenuhi sebuah permintaan lagi. Sebelum hari terakhir itu tiba! Paduka sanggup?"

"Hm, nama ke tiga belum kau sebut sekarang mengajukan syarat baru, enci? Kau memaksaku tunduk luar dalam?"

"Hi-hik, bukan paduka yang tunduk kepada hamba, pangeran. Melainkan hamba yang tunduk pada paduka. Bukankah semalam hamba telah memenuhi segala keinginan paduka? Lihat, wajah paduka berseri. Terang dan gembira sekali. Bukankah ini tanda pelayanan hamba memuaskan sekali? Hamba meminta satu permintaan lagi, pangeran. Mohon dikabulkan untuk sekali ini."

"Baik," sang pangeran mengangguk. "Apa yang kau minta, enci?"

Tapi Bi Kwi terkekeh kecil. "Sungguhkah, pangeran? Paduka tidak keberatan?"

"Tidak, kalau yang kau minta, enci. Apa yang kau inginkan?"

"Hm..." Bi Kwi bersinar mukanya. "Hamba minta agar malam terakhir nanti paduka memperkenankan dua enci hamba yang lain ikut, pangeran. Mereka iri dan menginginlcan cinta kasih paduka pula. Cemburu kepada hamba!"

"Apa? Dua encimu yang lain, enci? Kau maksudkan....?"

"Ya, mereka itu, pangeran. Enci Bi Gwat dan Bi Hwa Mereka ingin malam nanti diterima paduka seperti hamba. Bersenang-senang memadu cinta!"

"Ah, tapi..."

"Tak ada tetapi, pangeran. Tinggal paduka setuju atau tidak. Hamba ingin keputusan paduka. Sekarang!"

Kim-ongya tertegun. Dia terbelalak memandang Bi Kwi, tapi gemetar dan memeluk kekasihnya ini pangeran muda itu berbisik, "Kau tidak cemburu, enci? Kau mau aku melayani dua kakakmu yang lain itu, bersama-sama?"

Bi Kwi tertawa. "Tak ada cemburu di hati kami kakak beradik, pangeran. Kami biasa bertiga melakukan segala hal, termasuk bermain cinta. Dan yang lain akan marah kalau seorang di antaranya melakukan pekerjaan itu sendirian. Seperti hamba sekarang ini!"

Kim-ongya semakin terbelalak. Tapi menggigil membayangkan sepak terjang Bi Kwi yang ganas di atas ranjang diapun bangkit nafsunya membayangkan dua kakak Bi Kwi yang lain. Maka mendengar Bi Kwi mengajukan saran agar dia menerima tiga kakak beradik itu untuk malam yang terakhir tiba-tiba pangeran ini berkobar nafsunya dan justeru tak tahan. "Enci, kalau kau tidak cemburu boleh saja bawa ke mari dua kakakmu yang lain itu. Tak perlu menunggu, sekarang pun bisa!"

"Hi-hik, paduka mau tempur lagi, pangeran? Paduka tidak capai?"

"Ah, kalau kalian datang bersama tak ada capai di tubuhku, enci. Bahkan aku merasa mendapat semangat dan tenaga baru!" pangeran itu tertawa, memeluk dan mencium Bi Kwi dengan nafsu menggebu, bangkit gairahnya dibakar permintaan wanita ini.

Tapi ketika Bi Kwi mengelak dan terkekeh melepaskan diri maka wanita ini telah melompat menjauh. "Pangeran, jangan dulu. Stop. Aku yang kewalahan!" kemudian menarik perhatian pangeran itu pada nama si pembunuh tiba-tiba Bi Kwi menggurat lantai, menyambung yang kemarin. "Lihat, ini nama ketiga dari pembunuh itu, pangeran. Malam nanti akan hamba teruskan dengan nama terakhirnya!"

Sang pangeran terbelalak. Berahinya menurun, dan ketika Bi Kwi menggurat huruf "Mo" maka pangeran ini tertegun. "Hm, Sin Yan Mo... enci? Jadi ini tiga nama depan dari pembunuh sahabat-sahabatku itu? Dan yang terakhir.....?"

"Nanti malam, pangeran. Hamba akan kembali untuk terakhir kalinya!" kemudian, berkelebat meninggalkan pangeran itu Bi Kwi berseru, "Persiapkan dirimu, pangeran. Hamba akan kembali membawa dua kakak hamba yang lain...!" dan ketika Bi Kwi terkekeh di kejauhan sana segera pangeran muda ini tertegun dan bengong di tempat.

Sekarang dia mendapat tiga nama dari nama pembunuh itu. Tapi heran dan tak mengerti siapa kira-kira yang dimaksud Bi Kwi maka pangeran inipun tak dapat mengotak-atik. Apalagi ia selalu tinggal di istana, jarang keluar. Dan sang pangeran yang terpaksa menunggu akhirnya menjadi tidak sabar dan menanti malam terakhir itu dengan jantung berdebaran. Dan siang itu bayangan seorang nenek tiba-tiba muncul di kamarnya.

"Heh-heh, paduka mencari hamba, pangeran?"

Kim-ongya terkejut. Dia melihat nenek ini muncul seperti setan, tak kedengaran langkahnya dan tahu-tahu muncul begitu saja seperti iblis. Dan sang pangeran yang tentu saja berteriak kaget langsung bangkit dari kursinya. "Siluman...!"

Tapi melihat nenek itu terkekeh dan kedua kakinya menempel tanah segera pangeran ini menekan detak jantungnya. "Kau siapa?"

Sang nenek tersenyum. "Hamba orang yang paduka cari-cari, pangeran."

"Ya, tapi siapa?"

Nenek ini mengeluarkan sesuatu. Pangeran muda itu melihat nenek ini mengeluarkan sapu tangan. Lalu, mengebut cepat tanpa disangka-sangka mendadak nenek ini menyambitkan sebuah jarum yang tersempunyi di balik saputangan itu, ke baju sang pangeran.

"Bret!" sang pangeran terkejut. Dia berseru tertahan, mundur dan kaget bukan main. Tapi melihat jarum menancap di bajunya dan tidak melukai tubuhnya tiba-tiba pangeran itu terbelalak dan menggigil di tempat. "Kau... kau pembunuh itu....!"

Nenek ini terkekeh. Dia melihat sang pangeran telah mengenal jarum beracunnya, jarum yang sama dengan yang membunuh para hartawan itu. Dan sementara pangeran ini tertegun dengan muka pucat mendadak sang nenek berkelebat lenyap. "Pangeran, awas jarum beracunku itu. Jangan dipegang kalau tak ingin mampus!"

Pangeran Kim sadar. Dia berteriak mengejar nenek itu, tapi ketika bayangan si nenek lenyap entah ke mana diapun marah dan menjadi bingung. Dan saat itulah Lo-ciu muncul.

"Ada apa, pangeran? Kenapa paduka berteriak-teriak?"

"Ah, pembunuh itu datang, locianpwe. Dia muncul dikamarku dan menyambitkan jarumnya ini. Tolong dicabut!"

Si Arak Tua tertegun. Dia melihat jarum di baju pangeran muda ini, jarum hitam, jarum yang sama dengan jarum yang menewaskan para hartawan itu. Dan ketika dengan hati-hati namun amat perlahan dia mencabut jarum ini maka sang pangeran berseru marah,

"Locianpwe, kejar dia. Tangkap pembunuh itu....!"

"Hm, ke mana dia lari, pangeran? Dan bagaimana orangnya?"

"Dia nenek iblis, locianpwe. Aku tak tahu namanya tapi mengenal baik rupanya. Kejar ia. Cepat tangkap!"

Lo-ciu mengangguk. Dia sudah berkelebat ke arah yang ditunjuk pangeran muda ini, mencari-cari. Tapi tak melihat bayangan seorangpun akhirnya kakek ini kembali lagi. Dan Kim-ongya tampak terengah-engah, duduk di sudut dengan muka pucat.

"Bagaimana, locianpwe? Kau tak menemukannya?"

"Tidak, dia telah menghilang, pangeran. Hamba tak menemukan jejaknya!"

"Keparat, dan kau terlambat datang, locianpwe. Bagaimaua bisa kebetulan berada di sini?"

"Maaf," kakek ini menarik napas. "Hamba datang diutus Wu-taijin, pangeran. Kabarnya paduka berhubungan dengan seorang diantara Sam hek-bi-kwi."

"Hm!" pangeran muda ini terkejut. "Ada apa, locianpwe? Bagaimana Wu-taijin tahu?"

Kakek ini tampak khawatir. "Kami tahu setelah Wu-taijin mendengar dari pelayan, pangeran. Dan kami khawatir jangan-jangan kau celaka di tangan wanita iblis itu!"

"Apa?" pangeran ini marah. "Kau menyebutnya wanita iblis, locianpwe?! Kau menghina kekasihku itu?"

Lo-ciu terkejut. "Kau telah berhubungan demikian jauh, pangeran? Kau menjadikan wanita itu sebagai kekasihmu?"

"Ya, kenapa, locianpwe? Wu-taijin tidak setuju?"

"Ah, jelas, pangeran. Sam-hek-bi-kwi adalah orang-orang berbahaya. Terutama yang paling muda itu. Yang telah membunuh dua orang muridku!"

Sang pangeran tertegun. Tapi teringat hubungan mesranya dengan Bi Kwi tiba-tiba dia menjadi gusar. "Locianpwe, sebaiknya tak perlu membicarakan urusan pribadiku. Bi Kwi tidak berlaku jahat kepadaku. Dia baik dan justeru membantuku membuka rahasia pembunuh ini!"

"Kau tahu, pangeran?"

"Ya."

"Kalau begitu siapa?"

"Nenek iblis itu tadi. Namanya...." sang pangeran merandek, tak meneruskan kata-katanya karena ingat bahwa nama lengkap pembunuh itu baru malam nanti dia ketahui, dari Bi Kwi. Dan karena Lo-ciu sendiri tak suka pada Bi Kwi maka Kim-ongya lalu mengerutkan keningnya dan tak senang memandang pembantu Wu-taijin itu, mengibaskan bajunya. "Locianpwe, sebaiknya besok saja kau kembali. Atau aku ke tempat majikanmu!"'

Kakek ini tak dapat membantah. Dia kecut memandang sang pangeran, tapi ketika sang pangeran mengangkat lengannya menyuruh dia pergi akhirnya kakek ini mengangguk juga. "Baiklah, hamba akan melapor pada Wu-taijin, paduka pangeran. Tapi sekali lagi hamba wantikan pada paduka untuk berhati-hati menghadapi kekasih paduka itu!"

Sang pangeran tersenyum mengejek. Dia melihat kakek ini telah merobah sebutannya, tidak lagi memaki Bi Kwi melainkan menghormat kekasihnya itu. Dan ketika kakek ini lenyap meninggalkannya sendirian maka pangeran ini lalu masuk ke dalam menanti malam tiba. Tentu saja berdebar hatinya, tegang dan was-was bahwa dia telah mengenal wajah si pembunuh itu, yang ternyata seorang nenek, tinggal mengetahui namanya saja. Dan ketika malam itu dengan perasaan tidak karuan dia menanti Bi Kwi maka orang yang diharap tiba-tiba muncul, bersama dua wanita lain yang tidak kalah cantiknya dengan Bi Kwi, yakni Bi Gwat dan Bi Hwa Dan begitu tiga bayangan berkelebat memasuki kamarnya segera Bi Kwi terkekeh memperkenalkan encinya.

"Pangeran, selamat malam. Inilah enci hamba ia Bi Gwat dan Bi Hwa."

Sang pangeran tersenyum. Dia bangkit menyambut dengan muka gembira, melihat dua kakak beradik itu mengenakan pakaian ketat yang menggairahkan hatinya, mesing-masing memberi hormat dengan kerling memikat, genit dan panas, mengenakan baju rendah hingga menampakkan buah dadanya yang membola penuh. Dan ketika sang pangeran tertawa menyentuh pundak mereka maka Bi Hwa berbisik lirih dengan suaranya yang serak basah,

"Pangeran, hamba datang atas permintaan Bi Kwi. Benarkah paduka siap membagi cinta?"

"Ah, enci Bi Kwi memang nakal, niocu. Tapi sanggupkah aku melayani kalian bertiga? Enci Bi Kwi sudah hebat, dan kalian katanya lebih hebat lagi!" sang pangeran tertawa, merah mukanya dan hampir tak tahan mengekang nafsu.

Tapi Bi Hwa yang tersenyum lebar mendengar ini mendadak mundur dengan bibir cemberut. "Pangeran, kenapa memanggil hamba dengan sebutan niocu? Bukankah paduka memanggil Bi Kwi dengan sebutan enci?"

"Jadi....?"

"Panggil hamba berdua dengan sebutan itu pula, pangeran. Jangan membeda-bedakan kami bertiga!"

Sang pangeran tertawa bergelak. Dia menyambar Bi Kwi yang ada di sampingnya, lalu menyambar pula Bi Hwa yang cemberut ini mendadak sang pangeran sudah mencium tengkuk mereka yang putih halus. "Enci Bi Hwa, enci Bi Kwi, kalian benar-benar serupa. Kalian cantik dan sama-sama menggairahkan!"

"Hm, dan bagaimana dengan aku, pangeran? Tersisihkah aku begini saja?" Bi Gwat memprotes, iri melihat dua adiknya dipeluki lebih dulu. Dan ketika sang pangeran tertawa melepas Bi Kwi dan ganti menyambar dirinya mendadak Bi Gwat mengerang dan melepas bajunya.

"Pangeran, hamba gerah!"

Sang pangeran terbelalak. Dia melihat orang tertua dari Sam-hek-bi-kwi ini tinggal mengenakan pakaian dalam saja yang tipis menerawang, sengaja memperlihatkan lekuk-lengkung tubuhnya sebagai perbandingan. Dan ketika sang pangeran melihat bahwa wanita ini tak kalah indah bentuk tubuhnya dengan Bi Kwi tiba-tiba sang pangeran mendengus dan langsung mencium. "Gwat-cici. kau benar-benar membangkitkan nafsuku!"

Bi Hwa dan adiknya tertawa. Mereka melihat sang pangeran telah mencium cici mereka, ganas dan tidak malu-malu lagi di hadapan mereka berdua. Tanda pageran ini telah "kebal" untuk ditonton! Tapi ketika Bi Gwat mengeluh dan melepaskan dirinya maka Bi Kwi terkekeh membuka bajunya pula.

"Pangeran, hamba juga minta bagian!"

Sang pangeran terbelalak. Dia melihat Bi Kwi sudah menanggalkan pakaian luarnya, tinggal mengenakan pakaian dalam saja, tembus pandang. Dan sementara dia melotot oleh perbuatan kakak beradik itu tiba-tiba Bi Hwa menyusul pula dengan lebih berani. Langsung telanjang!

"Pangeran, hamba juga....!"

Kim-ongya tak tahan. Dia dibakar oleh pemandangan kakak beradik itu, mendengus dan menyeringai aneh. Dan ketika Bi Hwa menggeliatkan pinggang melempar rambut tahu-tahu rambut wanita ini telah membelit leher sang pangeran.

"Hi-hik, bagaimana, pangeran? Harumkah rambut hamba?"

Sang pangeran bergolak nafsunya. Dia menarik dan menyambar tubuh Bi Hwa, langsung dipeluk ketat. Dan ketika Bi Hwa tertawa tahu-tahu dia telah menyerang wanita ini dengan ciuman bertubi. "Enci Bi Hwa kaupun hebat. Rambutmu luar biasa harum....!"

Bi Hwa terkekeh. Iapun menyambut ciuman hangat pangeran itu, menggerayangi baju pangeran dan satu persatu melepasnya jatuh di lantai. Dan ketika keduanya terguling di lantai pembaringan tahu-tahu keduanya sudah bergumul dengan penuh nafsu.

"Pangeran, Bi Kwi telah menceritakan kehebatan paduka. Hamba ingin mencoba!"

Sang pangeran tak menghiraukan apa-apa lagi. Saat itu dia memandang Bi Kwi kakak beradik bagai tiga orang dewi yang turun dari kahyangan, memberinya berkah dan kebahagiaan. Dan ketika Bi Hwa menyambut dan terkekeh di atas pembaringan tahu-tahu Bi Gwat dan Bi Kwi juga nimbrung.

"Pangeran, jangan memperhatikan Bi Hwa seorang. Hamba berdua juga ikut di sini!"

Kim-ongya mendengus-dengus. Dia diserbu tiga wanita cantik itu, sibuk melayani mereka. Saling gubat dan belit bagai tiga ekor ular merebut pejantan, seru dan ramai. Masing-masing terkekeh dan tak malu-malu lagi melakukan apa saja. Dan begitu Sam-hek-bi kwi "mengeroyok" pangeran muda ini maka Kim-ongya benar-benar kewalahan.

Bi Kwi kakak beradik mengocek pangeran itu. Tak kenal puas. Tak kenal sudah. Dan ketika malam semakin larut dan empat orang, laki-laki dan perempuan ini melampiaskan nafsu mereka hingga pagi hari, maka keesokan harinya pangeran muda ini kepayahan, pucat mukanya.

"Aduh, kalian bebat enci Bi Gwat. Napasku habis dan tenagapun ikut lunglai!"

Bi Kwi dan dua kakaknya tertawa. Meretka puas dan kagum malam itu. merasakan keganasan pangeran ini, yang rupanya belum pernah bergaul dengan wanita. Masih jejaka tulen! Dan ketika Bi Kwi turun dari pembaringan maka berkatalah wanita ini sambil menyodorkan arak yang untuk kesekian kalinya telah diteguk pangeran ini. "Ah, paduka yang lebih hebat, pangeran. Minumlah untuk kesegaran tubuh paduka!"

Kim-ongya tersenyum. Dia menerima arak itu, tertawa dan tak curiga sedikitpnn. Dan ketika dia tersedak maka Bi Hwa melempar selimutnya. "Ih, sudah cukup siang, Kwi-moi. Kita harus melaksanakan pekerjaan kita!"

Bt Gwat juga mengangguk, mengerling aneh, melirik cawan yang baru saja diteguk isinya. Dan turun melempar selimutnya pula wanita ini berbisik. "Ya, sudah cukup siang, pangeran. Kami bertiga harus mengawal istana lagi sesuai tugas!"

Sang pangeran mengerutkan kaning. "Kalian buru-buru pergi, enci?"

Bi Kwi tertawa. "Kau kecewa, pangeran? Bukankah ini hari terakhir?"

"Ah, aku tak mau kehilangan hari yang seperti ini, enci. Aku ingin kalian tetap tinggal bersamaku seumur hidup. Memadu cinta!"

"Hi-hik, tak mungkin itu, paduka pangeran. Bukankah Wu-taijin tak menyukai hubungan kita? Jangan-jangan dia akan mengusir hamba bertiga dan melaporkannya pada sri baginda."

"Hm, siapa berani melakukan itu?" pangeran ini marah, bangkit dari tempat tidurnya dan turun menyambar Bi Kwi, yang setengah telanjang. "Aku tak akan membiarkan orang menyusahkan kita, cici. Aku tak perduli Wu-taijin senang atau tidak!"

"Tapi dia cukup kuasa, pangeran. Wu-taijin adalah orang ke dua setelah sri baginda sendiri."

"Benar, tapi ini urusan pribadiku sendiri, enci. Masa dia akan ikut campur?" dan teringat janji Bi Kwi tiba-tiba pangeran ini memeluk wanita itu. "Enci, kau akan memberi tahu nama pembunuh itu, bukan? Aku telah melihatnya kemarin. Secara kebetulan!"

Bi Kwi terkejut. "Kau tidak main-main, pangeran?"

"Tidak, aku benar-benar telah mengenal mukanya, enci. Tapi aku tidak tahu siapa namanya."

"Hm," Bi Kwi mengangguk-angguk. "Kalau begitu jangan terkejut, pangeran. Terus terang kuberi tahu padamu bahwa pembunuh ini adalah..."

"Siapa?"

Bi Kwi tampak ragu, mengerutkan kening. "Kau percaya padaku, pangeran?"

"Tentu saja. Kau adalah kekasihku, enci. Kau segala-galanya bagiku!"

Bi Kwi tersenyum. "Baiklah, pembunuh itu sesungguhnya adalah sahabat pembantu Wu-taijin, pangeran. Saudara perempuan Lo-ciu si Arak Tua!"

"Apa? Lo-ciu pembantu Wu-taijin itu?"

"Ya, maaf, pangeran. Paduka tak percaya pada hamba, bukan?"

Sang pangeran tertegun. Dia terhenyak oleh kata-kata Bi Kwi ini, setengah percaya setengah tidak. Tapi Bi Kwi yang menarik napas dengan muka sedih sudah memeluk pinggangnya. "Pangeran," wanita ini berbisik lirih, "hamba berat untuk menyatakan ini. Tapi kalau paduka kurang percaya hamba akan membuktikannya. Paduka mau dengar, bukan?"

Sang pangeran mengangguk.

"Nah, sekarang dengar, paduka pangeran. Kalau paduka berkata telah melihat muka pembunuh itu tentu tak salah jika hamba tebak di adalah seorang nenek tua. Begitu, bukan?"

"Ya."

"Dan kemarin si Arak Tua itu datang ke tempat paduka, bukan?"

"Ya."

"Dan paduka menceritakan tentang kedatangan nenek pembunuh ini dan paduka menyuruh cari nenek itu tapi si Arak Tua kembali dengan tangan kosong?"

"Ya."

"Nah, ketahuilah, paduka pangeran. Si Arak Tua itu berbohong pada paduka. Nenek pembunuh itu sengaja dilepasnya begitu saja karena dia masih saudara dari si Arak Tua itu sendiri. Tak mungkin dia mau menangkap atau menyerahkan pembunuh itu pada paduka!"

Sang pangeran kaget. "Begitukah, enci?"

"Ya, hal ini telah hamba selidiki, pangeran. Dan sebagai bukti terakhir coba paduka renungkan. Kalau nenek iblis itu datang, seperti yang paduka katakan bukankah dengan mudah dia akan membunuh paduka? Tapi kenapa hal itu tak dilakukannya? Ini bukan lain atas cegahan Arak Tua itu, pangeran. Dia tak memperkenankan nenek itu membunuh paduka. Mungkin juga atas cegahan Wu-taijin!"

Sang pangeran tertegun. Pikirannya segera teringat peristiwa kemarin, berdetak dan heran serta kaget akan keterangan Bi Kwi, campur-aduk tak keruan, membuatnya bingung dan marah. Dan karena memang kemarin si Arak Tua itu tak berhasil menangkap pembunuh ini padahal baru saja nenek itu pergi tiba-tiba sang pangeran menjadi curiga, termakan kata-kata Bi Kwi. Dan marah bahwa apa yang dikata Bi Kwi dirasa benar, tiba-tiba pangeran itu merah padam mukanya.

"Keparat, jadi beginikah kiranya perbuatan Arak Tua itu, enci? Pembunuh itu adalah saudaranya sendiri?"

"Ya, begitu setelah hamba selidiki, pangeran. Dan memberi tahu paduka akan nama nenek ini baiklah paduka perhatikan keterangan hamba yang terakhir. "Lihat!" Bi Kiwi menggurat lantai, menulis huruf "Li" menyambung tiga nama pertama. Dan begitu selesai menyebut nama si pembunuh lengkaplah sudah pangeran itu mendapat informasi.

"Keparat, jadi pembunuh itu adalah Sin-yan Mo-li, enci? Dia saudara perempuan pembantu Wu-taijin itu?"

"Sst, jangan keras-keras, paduka pangeran. Hamba mengatakan apa yang hamba ketahui. Dan kalau paduka minta hamba menangkap nenek ini tentu saja hamba sanggup. Asal diberi waktu."

Sang pangeran berkerot giginya. "Boleh, dan tangkap sekalian Arak Tua itu, enci. Bawa dia ke mari atau sekarang kita sama-sama ke gedung Wu-taijin!"

"Ah, jangan!" Bi Kwi pura-pura kaget. "Kejadian ini harus kita atasi secara diam-diam, pangeran. Jangan membuat ribut dulu di depan dengan mengejutkan ular yang akan kita tangkap. Salah-salah musuh melepaskan diri sebelum kita datang ke sana!"

"Benar," Bi Hwa menyambung, mengencangkan ikat pinggangnya. "Sebaiknya tak perlu buru-buru, pangeran. Kalau paduka menyuruh hamba menangkap kakek dan nenek jahat itu sebaiknya diatur suatu jebakan hingga mereka tak dapat melarikan diri!"

"Bagaimana itu?"

Bi Hwa tersenyum. "Gampang, pangeran. Tanya saja adik hamba yang cerdik ini!"

Sang pangeran memandang Bi Kwi. Dia melihat kekasihnya itu tertawa kecil, manis sekali. Dan ketika Bi Kwi berbisik-bisik membicarakan sesuatu di telinganya tiba-tiba pangeran ini mengangguk. "Bagus, itu bagus sekali, enci. Biar kutunggu mereka dan kubuktikan Kebenarannya!"

Bi Kwi tersenyum. Ia memberi isyarat pada dua kakaknya yang lain, dan melihat pangeran telah mengerti maksudnya mendadak ia menjejakkan kaki melompat keluar. "Pangeran, hati-hati malam nanti. Paduka tak perlu keluar kamar!"

Sang pangeran mengangguk. Dia melihat Bi Kwi lenyap di luar, dan ketika ia memandang Bi Gwat dan Bi Hwa ternyata dua kakak Bi Kwi yang cantik ini juga melompat meninggalkannya, mengikuti Bi Kwi. Dan Bi Hwa yang sempat mencium pipinya berbisik, "Pangeran, malam nanti hamba ke mari, ya? Harap paduka berhati-hati....!"

Kim-ongya terbelalak. Dia melihat tiga kekasihnya itu lenyap di luar, tak nampak bayangannya lagi. Tapi pangeran yang berseri dan berdebar menjalankan siasat Bi Kwi ini lalu kembali ke pembaringannya dan melamun. Teringat dan berkejap-kejap nikmat membayangkan tiga kekasihnya yang hebat itu, yang semalam demikian ganas dan memberinya kepuasan lahir batin. Tapi ketika rasa kantuk yang hebat menyerangnya tiba-tiba mendadak pangeran ini mengeluh dan heran. Namun tak curiga apa-apa dan menganggap itu wajar tiba-tiba pangeran ini memejamkan mata dan tidur.

Malam itu, seperti malam-malam kemarin di kamar Kim-ongya tak terjadi sesuatu yang luar biasa. Kamar pangeran ini masih tertutup. Pintunya terkunci. Dan pelayan yang sudah lima kali mengetuk pintu tanpa hasil akhirnya segan membangunkan pangeran itu, mengira Kim-ongya beristirahat tak mau diganggu. Tapi ketika sesosok bayangan terkekeh berkelebat memasuki jendela dan bayangan lain mengejar dengan bentakan tinggi maka terjadilah keributan di tempat ini.

"Nenek iblis, keluarlah kau dan jangan ganggu pangeran!"

"Heh heh. kenapa keluar dan harus mengusir aku. Arak Tua? Aku ingin main-main dengan pangeran. Sebaiknya kau yang keluar dan jangan mengganggu aku!"

Dua bayangan berkelebat masuk. Mereka adalah si Arak Tua Lo-ciu, pembantu Wu-taijin itu. Sedang yang lain adalah seorang nenek berpakaian hitam, membawa cambuk, yang terkekeh dan tertawa-tawa mendobrak jendela kamar Kim ongya, yang anehnya masih tidur di atas pembaringannya, telentang, sama sekali tak mendengar suara atau keributan di kamarnya itu. Dan ketika Lo-ciu membentak dan mengejar nenek ini memasuki kamar sang pangeran maka saat itulah cambuk si nenek menjeletar menyambut dirinya.

"Hei, keluar kataku, Arak Tua. Jangan mengganggu urusanku... tar!"

Si Arak Tua menangkap. Dia membuat gerak kedutan, merendahkan tubuh dan langsung mencengkeram ujung cambuk yang ditangkap kelima jarinya. Tapi ketika si nenek terkekeh den menyentak pergelangannya, mendadak lawan terkejut dan berseru keras. Tubuh si Arak Tua terangkat, mengikuti gerak pcrgelangan nenek ini. Dan ketika si nenek mengedut dan balik menipunya tahu-tahu kakek ini terlempar dan jatuh di atas pembaringan Kim-ongya.

"Brukk...!" si Arak Tua terkejut. Dia menimpa dan langsung terbanting di tubuh pangeran itu yang tetap tidak bergerak. Dan ketika dia terbelalak dan melompat turun ternyata pangeran ini telah tidak bernyawa dengan bibir kebiruan!

"Ah. pangeran tewas....!"

Teriakan kakek ini disambut ketawa mengejek. Tiga bayangan lain memasuki jendela, turun dan berdiri di samping nenek bercambuk itu. Dan ketika si Arak Tua memandang ternyata tiga bayangan ini bukan lain adalah Sam-hek-bi bwi adanya!

"Ah, kalian telah membunuh Kim-ongya, manusia-manusia busuk. Aku akan melapor pada baginda akan perbuatan kalian ini!"

"Hi hik, bukan kau yang melaporkan kematian pangeran ini. Arak Tua. Melainkan kamilah yang akan melapor pada sri baginda bahwa kaulah pembunuhnya!"

"Apa... apa maksudmu?" kakek ini terkejut.

"Hm...!" nenek bercambuk ini ganti bicara, menjeletarkan cambuknya. "Kau telah kami jebak. Arak Tua. Kami semua akan menangkapmu untuk diajukan pada kaisar. Kau yang kami tuduh membunuh Kim-ongya, heh-heh!"

Dan belum kakek itu menjawab marah tiba tiba Bi Hwa, yang tertawa dingin melihat Kim-ongya tewas sudah mengeluarkan gelang beracunnya. "Dan kami berempat akan menangkapmu hidup-hidup untuk mengakui pcmbunuhan ini, Lo-ciu, Sin-yan Mo-li sebagai Saksi. Kau bersiaplah!"

Lo-ciu terbelalak. Sekarang dia sadar bahwa kiranya musuh telah menjejaki dirinya, membunuh pangeran itu tapi menimpakan kesalahan padanya. Maka membentak dan berteriak parau tiba-tiba kakek lui mencabut buli-bulinya, langsung menerjang Bi Hwa yang merupakan seorang di antara Sam-hek bi-kwi si iblis betina. Dan melengking penuh Kemarahan dan muka berobah si Arak Tua ini langsung menghantamkan buli-bulinya ke kepala lawan. "Sam-hek-bi-kwi, kalian benar-benar wanita iblis!"

Bi Hwa mendengus. Dia mengelit dengan mudah, dan ketika buli-buli lewat di atas kepalanya dan luput menyambar mendadak gelang di tangan kirinya membalas dengan satu pukulan miring. "Arak Tua, kau tak dapat mengalahkan kami. Kami tahu kau adalah guru mendiang Hui-pian Siang-houw yang kami bunuh. Plak!"

Si Arak Tua tergetar. Dia terhuyung dan pucat menerima sambaran gelang itu, yang mengenai pundaknya. Tapi meraung dan berteriak marah kakek ini membalik dan bertubi-tubi menyerang. Dia marah dan kaget bahwa lawan mengenal dirinya, padahal dia merahasiakan dirinya cukup ketat. Tapi melihat lawan tertawa mengejek dan tiga yang lain masih berdiri dengan sikap mengancm tiba-tiba kakek ini menjadi marah dan nekat.

Tadi dia mengejar nenek bercambuk itu, yang kini baru diketahui sebagai Sin-yan Mo-li adanya. Nenek iblis yang tentu saja membuat dia terkejut. Karena nenek ini baru pertama kali ini berkeliaran di istana. Sengaja lari dan dia kejar sampai di kamar pangeran itu setelah melakukan gerak gerik mencurigakan di tempat Wu-taijin, yang rupanya memang disengaja agar dia tahu dan mengejar. Masuk dan terjebak di kamar Kim-ongya yang telah terbunuh.

Dan melihat Sam-hek bi-kwi muncul dan langsung berdiri di dekat nenek itu tahulah dia bahwa sebenarnya memang terdapat kerja sama di antara nenek iblis ini dengan tiga wanita cantik itu, yang sebelumnya sudah didengar sebagai kekasih Kim-ongya. Maka melihat keadaan dirinya dalam bahaya dan Sam-hek-bi-kwi telah mengenalnya sebagai guru dari dua orang muridnya yang tewas tiba-tiba Arak Tua ini memutar buli-bulinya dan menerjang dengan dahsyat.

Tapi Bi Hwa bukan wanita sembarangan. Lawan Arak Tua itu adalah bekas ketua cabang Hiat-goan-pang, masih terhitung sumoi dari Ok-ciangkun yang lihai, meski pun barangkali kepandaian wanita ini dua-tiga tingkat di bawah Panglima Ok yang memiliki Hoat lek-kim ciong-ko segala itu. Dan ketika si Arak Tua menerjang dengan buli bulinya dan Bi Hwa mendemontrasikan kekebalannya menerima senjata segera kakek ini terkejut ketua berkali-kali buli-buli araknya itu mental, bahkan membalik dan hampir menyambar mukanya sendiri. Dan ketika Bi Hwa membalas dan mulai mainkan gelang menangkis buli-buli araknya tiba-tiba kakek ini terdesak.

Arak Tua mengeluh. Dia melihat gelang di tangan lawannya itu berbahaya sekali. Di samping menyambar seperti gelang kematian juga menguarkan bau amis, bau yang membuat dia ingin muntah dan pusing. Dan ketika buli-bulinya sering terpental dan dia mulai terhunyung, maka saat itulah gelang di tangan lawan menghajar dirinya bertubi-tubi. Arak Tua menggigit bibir, mencoba bertahan. Namun setelah pertandingan berjalan limapaluh jurus dan napasnya sesak oleh bau amis yang membuatnya pusing-pusing itu mendadak kakek itu tak dapat bertahan lagi.

Sekarang dia maklum bahwa sepasang gelang di tangan lawannya itu diolesi racun. Terbukti dari bau amis yang membuatnya pening ini serta rasa gatal yang menganggu tubuhnya, rasa gatal dan pedih setiap kali gelang manyengat. Dan ketika untuk terakhir kalinya gelang menyambar sedang buli-bulinya mencelat terlepas ketika menangkis tahu-tahu untuk terakhir kalinya sepasang gelang itu mengenai tengkuk dan dada kirinya,

"Plak-plak!"

Si Arak Tua menjerit. Dia langsung terlempar dan roboh terbanting, menimpa meja di sudut kamar yang pecah berantakan. Dan ketika Bi Hwa terkekeh dan menyimpan senjatanya ternyata kakek ini telah roboh pingsan.

"Hi-hik, bagaimana sekarang, Mo-li?"

Nenek bercambuk itu tertawa. "Kita hadapkan dia pada kaisar, Sam hek-bi-kwi. Dengan kalian sebagai saksi tentu sri baginda percaya bahwa kakek ini yang membunuh Kim-ongya. Hayo kita seret dia....!"

Si Arak Tua tak tahu apa yang terjadi. Dia memang lagi sial. bernasib buruk. Dan ketika kaisar mendengar tewasnya Pangeran Kim yang dibunuh kakek ini segera kaisar mendelik dan marah-marah. Bi Kwi bertiga memberikan kesaksian, dan karena tiga orang wanita itu adalah pengawal istana dan Lo-ciu sendiri pernah membunuh si Golok Emas Kim to di depan kaisar maka semua bantahan kakek ini tak dipercaya.

Bagaimanapun kekek itu tak disenangi kaisar, semenjak dia membunuh si Golok Emas itu. Maka ketika kaisar mengangkat lengannya untuk menyuruh kakek ini dihukum mati, maka saat itulah Arak Tua ini mencelos. Dia memaki-maki, marah bukan main pada Sam hek-bi-kwi bertiga yang telah memfitnahnya. Tapi Ok ciangkun yang lagi-lagi mengerutkan kening melihat peristiwa yang di luar pengetahuannya ini lalu menyarankan pada kaisar agar menunggu dulu Wu-taijin. Karena bagaimana pun kakek itu adalah pembantu menteri she Wu ini. Dan Ok-ciangkun yang minta sri baginda berpikir panjang segera menyarankan agar menteri itu dipanggil.

"Maaf ini memang kejadian di luar dugaan, sri baginda. Namun sebaiknya paduka memanggil dulu Wu-taijin agar mengetahui perbuatan pembantunya ini. Kita memberi kesempatan padanya untuk bicara."

Wu-taijin dipanggil. Dia tentu terkejut oleh berita yang tidak disangka-sangka ini, terbelalak melihat Lo-ciu diborgol. Tapi kalah suara dan sebelumnya kakek itu memang tidak membangkitkan simpati di hati kaisar maka pembesar ini menarik napas dan berlutut dengan air mata bercucuran.

"Ampun, hamba tak dapat bicara apa-apa lagi, sri baginda. Namun hamba percaya keterangan pembantu hamba sendiri. Ini adalah fitnah. Pangeran sengaja dibunuh agar selir paduka tak perlu memberikan buktinya pada paduka!"

"Hm, kau membawa-bawa lagi nama selirku itu, taijin? Kau punya bukti?" kaisar terkejut, terbelalak dan geram memandang menterinya ini.

Tapi karena Wu-taijin tak mempunyai bukti dan lagi-lagi semua yang dikatakannya itu hanyalah dugaan saja akhirnya si Arak Tua tak tertolong. Kakek ini melotot, membentak dan kembali memaki-maki lawan di hadapan kaisar. Dan kaisar yang menyuruh kakek itu dibungkam akhirnya memutuskan bahwa besok kakek itu harus menjalani hukumannya.

"Ok-ciangkun, tutup mulut kakek ini dan bawa dia ke penjara bawah tanah. Bunuh dia besok!"

Ok-ciangkun tak berdaya. Dia mengernyitkan kening dan mengangguk, terpaksa membawa kakek itu untuk menjalani hukumannya besok, sesuai perintah junjungannya. Dan Bi Kwi bertiga yang diam-diam tersenyum di belakang punggung panglima ini lalu mencibirkan mulut pada si Arak Tua itu, tak kasihan sedikitpun juga dan tak ingat lagi akan mayat Kim-ongya, yang semalam telah menjadi kekasih mereka dan galang-gulung melampiaskan nafsu berahi. Karena begitu pangeran ini tewas sesungguhnya mereka telah mendapat ganti pangeran-pangeran lain yang masih muda atas jasa baik selir kaisar yang memperalat mereka. Shi Shih!

Begitulah. Keadaan di istana memang mulai kacau. Shi Shih terpaksa menyingkirkan pangeran ini agar sama-sama tak memberikan bukti. Karena dengan tewasnya pangeran itu berarti bebaslah dia dari tuntutan kaisar, karena pangeran tak dapat juga memberikan bukti setelah terbunuh, mengkambinghitamkan Lo-ciu si Arak Tua yang dijebak. Dan Wu-taijin yang tentu saja tahu akan semua akal licik selir ini berdasarkan mata tuanya yang banyak makan asam garam kehidupan menjadi marah dan semakin benci pada selir junjungannya itu.

Maklum bahwa kalau musuh telah berani mengincar jiwa pangeran tentu satu saat jiwanya sendiri juga terancam. Tapi, tidak takut akan ancaman terhadap jwa sendiri pembesar ini tak perduli pada apa yang akan terjadi. Dia hanya takut terhadap satu hal, yakni musuh akan mencelakakan keluarganya pula. Maka, teringat puteranya Wu Hap dan tak ingin puteranya itu mendapat celaka akhirnya dengan berani menteri ini melakukan tindakan nekat. Dia menyogok kepala penjara bawah tanah agar memberi jalan keluar bagi terbebasnya Arak Tua, guru putranya itu yang besok siap menerima hukuman mati. Dan begitu Arak Tua lolos segera menteri ini menyuruh puteranya ikut.

"Hap-ji, keadaan sekarang benar-benar serius. Selir itu dapat melakukan apa saja untuk membasmi kita. Kau pergilah, temui paman Wu Yuan dan bersembunyilah di rumah sahabatku Hing Lam. Ceritakan semua yang terjadi dan hati-hati di tempat baru itu!"

Wu Hap menangis. Dia mencucurkan air mata melihat kegelisahan ayahnya ini, dan Lo-ciu yang menggigil di samping muridnya langsung berkata dengan tinju terkepal, "Jangan khawatir, nyawa hamba yang kembali berkat pertolongan paduka akan hamba pertaruhkan untuk keselamatan Wu Hap, taijin. Di samping dia murid hamba juga hamba akan mencari teman-teman sealiran untuk menyergah komplotan selir siluman itu!"

"Baik, sekarang pergilah, locianpwe. Awas hati-hati menerobos dinding kota!" Wu-taijin melambaikan lengan, menyuruh pergi dua orang itu dengan tergesa-gesa. Dan Lo-ciu yang mengangguk menyambar muridnya segera menggigit bibir dan berkelebat lenyap. Dan begitu dua orang ini meninggalkan dirinya maka Wu-taijin merasa lega.

Tapi keesokan harinya dia dipanggil kaisar. Sri baginda marah-marah mendengar Lo-ciu lolos. Kabur tanpa diketahui seorangpun. Dan menduga pembantunya ini yang menyelamatkan Arak Tua itu maka Wu-taijin mendapat tuduhan berat.

"Kau yang menyelamatkan pembantumu, taijin. Tak mungkin orang lain melepasnya begitu saja!"

Pembesar ini tenang. "Adakah buktinya hamba melakukan itu, sri baginda? Bukankah setiap tuduhan harus disertai bukti?"

Kaisar tertegun. Dia memang tak mempunyai bukti, sama seperti menterinya ini kalau menuduh hanya berdasarkan dugaan belaka. Tapi Shi Shih yang ingin memulihkan kepercayaan dan cinta kasih kaisar tiba-tiba berlutut, tersenyum mengejek.

"Sri baginda, kali ini hamba jemu membalas perbuatan menteri paduka ini. Bolehkah hamba bicara?"

"Apa yang hendak kau katakan, Shi Shih?"

"Menyelamatkan paduka dari sanggahan menteri paduka ini, sri baginda. Bahwa hamba dapat membantu paduka memberikan bukti seperti yang diminta Wu-taijin!"

Menteri ini terkejut. Dia melihat Shi Shih menunggu jawaban kaisar, dan ketika kaisar mengangguk memberi ijin maka tiba-tiba kaisar dan Wu-taijin tertegun, melihat selir itu bertepuk tangan memanggil seseorang. Dan ketika komandan penjara bawah tanah muncul dengan tangan diborgol mendadak menteri ini tersirap darahnya, melihat kepala panjara iiu gemetar dan menggigil, ketakutan memandang Shi Shih. Dan Wu-taijin yang maklum bahwa semua pekerjaannya hancur dibalas kecerdikan selir junjungannya tiba-tiba berketruk giginya dan pucat bukan main. Dan Shi Shih mendorong kepala penjara ini.

"Sri baginda, inilah bukti yang hamba maksud!"

Kaisar terbelalak. "Siapa dia?"

"Kepala penjara bawah tanah, sri baginda. Orang yang telah dipaksa menteri paduka untuk melepaskan tawanan itu."

Sri baginda terkejut. Dia menjadi marah, dan membentak memandang kepala penjara ini kaisar memukul lengan kursinya, "Benarkah itu, tikus busuk? Kau yang melepaskan pembantu Wu-taijin?"

"Ampun!" laki-laki ini menjatuhkan diri berlutut. "Hamba... hamba memang bersalah sri baginda. Apa yang dikata selir paduka memang benar...!"

"Dan kau diam saja tak melaporkannya kepadaku?"

Shi Shih menyela dengan suara rendah, "Dia dipaksa Wu taijin sri baginda. Harap paduka maklumi kedudukan kepala penjara ini. Dia kalah kuasa!"

"Hm...!" kaisar bangkit dari tempat duduknya, merah padam memandang Wu-taijin, "benarkah itu, taijin? Kau memaksa kepala penjara ini melepaskan anak buahmu?"

Wu-taijin tak dapat menjawab. Dia terkesima dan terkejut oleh kecerdasan selir cantik ini. Diam-diam kagum tapi memaki kecerdasannya yang luar biasa. Tak menyangka bahwa sekali tebak dapat membongkar semua perbuatannya. Dan sementara dia terbelalak maka terdengarlah bisikan Shi Shih yang merupakan pedang di ujung jantungnya,

"Wu-taijin, sebaiknya kau mengaku baik-baik semua perbuatanmu itu. Kalau tidak, aku akan melapor pada sri baginda bahwa kau sebagai seorang pejabat telah menyuap kepala penjara ini untuk membebaskan pembantumu itu!"

Wu-taijn terpukul. Dia mengeluh dan mendekap dadanya, melotot pada selir yang berbahaya itu, yang kini mengancamnya dengan masalah suap, yang kalau ketahuan tentu bakal menghancurkan namanya saat itu juga. Dan Wu-tajin yang terisak dengan air mata bercucuran tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan mengaku juga. Dan tak tahan bahwa lagi-lagi dia kalah oleh selir yang cerdik ini mendadak Wu-taijin roboh tak sadarkan diri!

"Sri baginda, ampunkan hamba....!"

Kaisar tertegun. Dia melihat menterinya itu pingsan, kecewa dan marah bahwa Wu-taijin yang disayanginya ini melakukan perbuatan yang tidak pantas. Tapi masih ingat akan jasa laki-laki tua ini pada negara akhirnya Wu taijin dipulangkan ke rumah. Tentu saja membawa shock berat bagi pembesar itu sendiri.

Dan Shi Shih yang berhasil mengembalikan reputasinya di mata kaisar lalu memohonkan ampun untuk kepala penjara itu. Yang memang sebelumnya telah dijamin keselamatannya oleh selir yang cerdik ini. Dan betigu semuanya beres dan kaisar mulai benci pada menteri she Wu ini maka untuk selanjutnya segala cinta kasih kaisar kembali lagi pada wanita cantik ini. Kembali seperti dulu-dulu. Hangat dan lenyap sudah semua kecurigaannya terhadap Shi Shih yang dimusuhi Wu-taijin itu. Dan karena Wu-taijin "konangan" memaksa kepala penjara untuk membebaskan pembantunya maka hari-hari berikutnya adalah neraka siksaan bagi menteri yang setia ini.

Kaisar bersikap dingin dan jauh kepadanya, membuat Wu-taijin ingin menjerit dan tertekan. Berkali-kali memperingatkan junjungannya agar berhati-hati. Bahkan masih berani mempertahankan pendapatnya bahwa Pangeran Kim dibunuh atas suruhan Shi Shih. Dan ketika satu hari Wu taijin bersumpah atas nama leluhurnya bahwa Shi Shih adalah mata-mata musuh yang amat berbahaya kaisar tiba-tiba terkejut dan tergerak. Dan Wu-taijin menangis tersedu-sedu di bawah kakinya.

"Ampun, maafkan hamba, sri baginda. Tapi demi nenek moyang hamba dan arwah orang tua hamba yang setia mengabdi paduka biarlah kita buktikan terakhir kalinya bahwa selir paduka itu adalah mata mata! Hamba berani sumpah, sri baginda. Demi nama baik leluhur hamba!"

"Hm!" kaisar terkejut. "Kau berkali-kali menggosokku memfitnah selirku, taijin. Apalagi yang kau katakan ini?"

"Ampun, hamba semata prihatin akan nasib paduka, sri baginda. Juga nasib kerajaan yang akan hancur dipermainkan selir paduka itu!"

Kaisar marah. "Kau ada bukti, taijin? Kau berani menghina selirku itu?"

"Tidak, hamba memang tidak mempunyai bukti, sri baginda. Tapi terakhir kalinya ini hamba mohon kepercayaan paduka. Sukalah paduka dengarkan pandapat hamba!"

"Apa maksudmu?"

Wu-taijin menangis, mencium kaki junjungannya. Dan berkata dengan air mata bercucuran laki-laki tua ini membenturkan jidatnya, "Sri baginda, mohon ampun untuk yang terakhir kalinya. Tapi sumpah demi arwah leluhur hamba kali ini hamba ingin membuka kebusukan selir paduka itu. Hamba memang tak mempunyai bukti, selir paduka amat licin dan cerdik. Tapi percayalah, untuk yang terakhir kalinya ini hamba ingin paduka membuka mata, sri baginda. Hamba ingin mengajukan usul agar permusuhan hamba dengan selir paduka itu kali ini diakhiri dengan kebenaran sejati!"

"Hm, apa maksudmu, taijin? Apa yang kau kehendaki? Aku bosan mendengar kata-katamu. Kau diburu iri dan dengki semata!"

"Tidak, tidak iri baginda. Hamba tidak cemburu atau dengki pada selir paduka itu. Justeru hamba marah karena selir paduka membuat paduka mabok dan ternina-bobok dalam cinta palsu. Selir paduka itu siluman yang amat berbahaya!"

"Taijin!" kaisar membentak. "Kau berani memaki selirku? Kau menghinanya terang-terangan di depanku?"

"Ampun...!" pembesar ini menggigil. "Hamba tidak bicara main-main, sri baginda. Hamba siap menyerahkan nyawa hamba bila paduka menghendaki. Tapi satu yang hamba minta, sukalah paduka mengabulkan permintaan hamba sebelum hamba menebus dengan jiwa!"

"Hml" kaisar membelalakkan mata. "Apa yang kau maui, taijin? Kau mau menyuruhku agar menjauhi selirku itu?"

"Tidak, itu tak mungkin paduka hiraukan, sri baginda. Hamba tahu paduka tak akan percaya kepada apa yang hendak hamba katakan tentang kebusukan selir paduka itu!"

"Lalu apa permintaanmu?"

"Sebuah pesta, sri baginda. Hamba ingin paduka melolohi selir paduka itu dengan arak hingga mabok!" Wu-taijin menggigil, berketrukan giginya.

Dan kaisar yang terkejut mendengar permintaan aneh ini tiba-tiba tertegun. "Apa? Sebuah pesta, taijin? Melolohi selirku itu dengan arak?"

"Ya, itu jalan terakhir bagi hamba antuk membuktikan kwalitet selir paduka, sri baginda. Bahwa hamba ingin selir paduka dilolohi arak agar dia mengaku apa saja yang telak dilakukannya. Hamba ingin paduka mendengar sendiri semua keburukan selir paduka itu dalam sebuah pesta pada saat dia mabok!"

"Kalau tak terbukti?"

"Hamba siap memenggal kepala hamba di hadapan paduka, sri baginda. Inilah taruhannya kalau selir paduka bukan mata-mata...!"

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.