Pedang Medali Naga Jilid 17 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG MEDALI NAGA
JILID 17
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Karya Batara
"IH, tapi kau masih memanggilku nona, Houw twako. Begitukah sebutanmu setelah aku memanggilmu twako?"

Kun Houw tertawa, gembira sekali dan tiba-tiba merasa bahagia! Dan Kun Houw yang tertawa bergelak oleh kegembiraan hati yang meluap ini mendadak menyambar lengan Kui Hoa dan seolah lupa diri, mencengkeram lembut dengan wajah berseri seri!

"Kui Hoa, eh... Hoa moi, bolehkah kutanya lebih jauh tentang keadaan pribadimu? Artinya siapakah guru atau orang tuamu? Di manakah kau tinggal? Dan kenapa jahanam seperti Ceng Liong itu dapat mengganggumu dengan demikian keji?”

Kui Hoa tersenyum, gemetar lengannya dan semburat merah. Tapi tak melepaskan diri dan pegangan Kun Houw ia menjawab, "Guruku adalah ayahku juga, Houw-twako. Dan aku tinggal di kota raja bersama ayah dan seorang adik perempuanku. Tentang Ceng Liong. hm... jahanam itu memang kurang ajar, Houw-twako. Kelak aku akan mencari dan membunuhnya!"

"Dan siapa ayahmu itu?"'

Kui Hoa mengerutkan alis, sejenak terdiam. Tapi memandang Kun Houw dengan tajam ia menjawab jujur, "Ok-ciangkun. twako Aku adalah puteri Panglima Ok dari kota raja dan So-beng adalah pamanku!"

"Hah...?" Kun Houw kaget bukan main, melepaskan pegangannya dan tiba-tiba terbelak, mundur selangkah. "Kau., kau keponakan Iblis Penagih Jiwa itu, Hoa-moi? Kau puteri Ok-ciangkun?"

"Ya, mereka adalah ayah dan pamanku, Houw-twako. Ada apakah?"

"Ooh...!" Kun Houw tiba-tiba menutupi mukanva. "Tidak... tidak, Hoamoi... kita tak dapat bersahabat kalau begitu. Kita adalah musuh...!" dan Kun Houw yang beringas mukanya tiba-tiba melepaskan takupan jarinya dan berteriak, "Hoa-moi. So-beng adalah musuh besarku. Dia telah membunuh guruku!"

Kui Hoa terkejut. Tapi belum dia bertanya tahu-tahu Kun Houw sudah memutar tubuhnya dan terbahak lalu menjerit. "Kui Hoa, kita tak ditakdirkan sebagai sahabat. Kau dan aku adalah musuh...!" dan begitu berteriak penuh kecewa tiba-tiba Kun Houw berkelebat keluar meninggalkan gua.

Kui Hoi tertegun, pucat mukanya. Tapi Kui Lio yang mendengar suara ribut-ribut di dalam tiba-tiba melompat masuk dan bertemu Kun Houw di tengah jalan. Dan melihat Kun Houw meninggalkan encinya dengan muka beringas tiba-tiba gadis ini menyerang Kun Houw tanpa banyak bicara, menduga pemuda itu mencelakai encinya!

"Jahanam, apa yang kau lakukan pada enciku?"

Kun Houw terkejut. Dia tak menyangka bahwa di luar gua ada seorang gadis lain, tapi menangkis cepat dan membentak marah dia sudah menyelinap di antara dua pukulan itu, "Minggir...!" dan Kun Houw yang langsung mendorong punggung Kui Lin hingga gadis itu terjerumus ke depan sudah meneruskan larinya dan membuat Kui Lin menjerit kaget, berjungkir balik mematahkan daya dorong.

"Heii...!"

Tapi Kun Houw lenyap di luar. Dia sudah menghilang di balik kerimbunan pohon-pohon besar, dan ketika Kui Lin mengejarnya dengan marah-marah maka pemuda ini sudah tak tampak bayangannya lagi dan lenyap entah ke mana. Dan sementara Kui Lin membanting kaki sambil mengomel panjang pendek maka Kui Hoa muncul dengan bibir digigit kuat-kuat.

"Lin-moi. sudahlah. Dia tak akan kembali menemui kita."

Kui Lin memutar tubuhnya. "Tapi dia menyerangku, enci. Dan rupanya juga dia kurang ajar kepadamu!"

"Tidak. Dia tak melakukan apa-apa, Lin-moi. Dia hanya kecewa dan marah setelah mendengar bahwa aku adalah keponakan musuh besarnya. Mari kita kembali!"

Kui Lin terbelalak. Ia mau membantah, tapi Kui Hoa yang sudah menarik lengannya tak membiarkan adiknya ini memprotes, menyendal dan kembali ke kota raja di mana ayah dan pamannya tentu mencari - cari. Dan Kui Lin yang melihat betapi encinya ini terisak dan menggigit bibir akhirnya tak cerewet lagi dan mengikuti encinya kembali ke istana Lalu begitu membanting pintu kamar dan mereka berdua berada di tempat sendiri Kui Lin memeluk encinya ini.

"Bagaimana, enci? Kita beri tahu ayah bahwa Ceng Liong dan gurunya yang mengganggu kita?"

"Tidak," Kui Hoa terisak. "Kita tak perlu memberi tahu dulu, Lin-moi. Biarkan ini sampai saatnya kelak kita menangkap basah perbuatan mereka."

"Maksudmu?"

"Kita tak mempunyai bukti-bukti kuat, Lin-moi. Apa yang kita dengar ialah keterangan dari Naga Bongkok dan muridnya, juga Kun Houw. Tapi karena mereka adalah musuh tentu ayah atau paman tak akan mempercayai ini. Salah salah kita bisa dicurigai dan dianggap membela musuh!"

"Jadi bagaimana, enci?"

"Kita biarkan dulu, Lin-moi. Kita bersikap biasa dulu pada Mu Ba dan muridnya itu seperti biasa. Aku sedang terguncang. Kau berilah laporan pada ayah dan paman bahwa kita sudah kembali dengan selamat!"

Kui Lin terbelalak. Ia melihat encinya melempar tubuh di pembaringan, menutup muka dengan bantal dan rupanya terpukul sekali oleh peristiwa dengan Kun Houw tadi. Teringat bahwa encinya ini telah menolong Kun Houw dengan cara yang luar biasa, menyedot racun Tok-hwe ji dari mulut ke mulut. Dan maklum bahwa rupanya ada sesuata yang terjadi di antara encinya dengan Kun Houw tadi maka Kui Lin lalu mengangguk dan melompat keluar. Dan begitu Kui Lin menutup pintu kamar untuk memberi tahu bahwa mereka telah kembali dengan selamat tiba-tiba Kui Hoa mengguguk dan menangis diatas pembaringannya!

* * * * * * * *

Pagi itu Ceng Liong dilarang keluar oleh gurunva. Peristiwa semalam atau tepatnya kegagalan semalam membuat Mu Ba dan muridnya waswas. Karena itu, Ceng Liong yang bersembunyi di kamar disuruh berjaga untuk menghadapi segala kemungkinan. Dan Mu Ba bersiap-siap untuk menerima tuduhan atau kedatangan Kui Hoa kakak beradik yang mungkin tahu bahwa perbuatan semalam adalah mereka yang menjadi biang keladinya.

Tapi hari itu ternyata tenang. Kui Hoa dan Kui Lin memang datang, bahkan bersama So-beng. Tapi dua kakak beradik yang semula membuat raksasa ini menjadi tegang ternyata datang untuk menyatakan terima kasih. Hal yang membuat Mu Ba girang karena menganggap Kui Hoa dan Kui Lin tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Tapi ketika kakak beradik ini minta berjumpa Ceng Liong untuk mengucapkan terima kasih pula Mu Ba mengelak. Dia menyatakan Ceng Liong tak enak badan. Biarlah ucapan itu dia sendiri yang menyampaikannya. Dan karena Kui Hoa dan adiknya tak enak mendesak maka dua kakak beradik itu kembali mengucap terima kasih dan pergi. Dan Mu Ba lega bukan main.

"Liong-jj, kita selamat. Dua, kakak beradik itu tak menaruh curiga pada kita dan mengucap terima kasih!"

Ceng Liong tersenyum kecut. "Tapi bagaimana sikap mereka, suhu? Benarkah tidak menaruh curiga pada sikap atau gerak-gerik mereka?"

"Ha-ha, sama sekali tidak, Liong-ji. Dan Naga Bongkok rupanya tidak menghasut mereka!"

"Hm, tapi keinginanku gagal, suhu.. Dan di tempat itu tiba-tiba saja muncul si bocah hina Bu-beng Siauw-cut. Keparat!" Ceng Liong mengepalkan tinju, berkerot giginya tapi nampak gentar.

Dan Mu Ba yang diingatkan pada peristiwa semalam dan mengerutkan alisnya oleh kelihaian murid Bu tiong-kiam itu juga nampak gentar di samping marah. Tapi Mu Ba menghibur muridnya. Dia menyatakan Kun Houw tak mungkin dapat hidup lama. Pukulan Tok-hwe-ji telah melukai pemuda itu. Dan Ceng Liong yang menganggukkan kepalanya oleh kata-kata ini segera teringat pada pemuda tinggi besar yang menyelamatkan Kun Houw. Dan Ceng Liong lagi-lagi mengerutkan kening.

"Suhu, tahukah kau siapa pemuda tinggi besar yang merampas Pedang Medali Naga itu?'

Mu Ba menggeleng. “Aku tak tahu, Liong ji. Tapi kepandaian pemuda itu cukup mengejutkan hatiku!"

"Dan bagaimana bila dibanding Kun Houw?"

"Wah, aku tak tahu persis, Liong-ji. Tapi kuakui keduanya sama hebat!"

"Dan dibanding dengan kepandaianku?"

Mu Ba mengerutkan alis. "Kenapa kau tanyakan itu. Liong-ji? Apa perlunya?"

"Hm, aku tiba-tiba merasa kecewa akan kepandaian yang kumiliki, suhu. Rupanya apa yang kupelajari selama ini masih kalah dibanding dua orang pemuda itu!”

Mu Ba terkejut. "Tapi, Liong-ji. Kun Houw memang pewaris tunggal Bu-tiong-kiam Kun Seng. Dan kau tahu bahwa jago pedang itu pernah kami keroyok secara berempat!"

"Ya, dan kalian baru berhasil merobohkannya, suhu. Tapi bagaimanapun secara jujur harus kuakui bahwa satu lawan satu tentu kau tak dapat menandingi jago pedang yang sudah mampus itu. Dan kini muncul pemuda lain yang menolong si Bu-beng Siauw-cut itu. Pemuda yang rupanya juga lihai dan bukan tandinganku!"

Mu Ba semburat merah. "Kun Houw memang hebat, Liong-ji. Tapi bocah itu juga akan mampus menyusul gurunya."

"Tapi bagaimana dengan pemuda tinggi besar itu, suhu? Haruskah menjadi ancaman bagiku kelak kalau kepandaianku tak dapat melawan kepandaiannya?"

"Hm..." Mu Ba menggeram jengkel. "Apa maksudmu sebenarnya, Liong-ji? Kenapa kau tiba-tiba membicarakan masalah kepandaian?"

"Karena aku tak puas padamu, suhu. Aku ingin menambah kepandaian lagi yang hebat. Kalau bisa yang jauh lebih hebat dibanding Bu-beng Siauw-cut si bocah hina itu!"

Mu Ba terkejut. "Kau merendahkan gurumu sendiri?"

"Tidak! Kalau kau memang hebat, suhu. Tapi nyatanya untuk menghadapi Kun Houw yang sudah terluka itu saja kita harus maju bersama!"

"Hm...!" Mu Ba marah. "Tapi itu kulakukan demi untukmu, Liong-ji. Kenapa sekarang memaki gurumu sendiri?"

"Karena kau tidak becus, suhu. Kepandaianmu ternyata masih rendah dan tidak memuaskan hatiku!"

"Hah?" Mu Ba terbelalak. "Apa kau bilang?"

"Aku bilang kepandaianmu masih rendah, suhu. Kau tidak becus dan tidak memuaskan hatiku!"

"Keparat!" Mu Ba berkelebat ke depan, mencengkeram pundak muridnya ini. Dan marah oleh kata-kata Ceng Liong mendadak pemuda itu diangkat dan dibanting di depan kakinya. Brukk...!"

Ceag Liong merasa remuk. Dia dicengkeram dan diangkat lagi, siap dibanting. Tapi Ceng Liong yang berani memandang gurunya berseru, "Suhu, biar kau bunuh sekalipun diriku ini tetap saja kau tak dapat membantah kenyataan itu. Kau bukan tandingan Kun Houw atau Naga Bongkok misalnya!"

Mu Ba tertegun. Dia mendelik penuh kemarahan, tapi melihat kebenaran dan keberanian muridnya itu tiba-tiba Ceng Liong dilempar membentur tembok. "Liong-ji, kau murid jahanam. Kau tidak tahu berbakti!"

Ceng Liong melompat bangun. Dia menyeringai, menahan sakit. Tapi tetap bersikap tenang dan memandang gurunya itu dengan berani dia menjawab, "Ya, aku memang tidak berbakti, suhu. Aku murid jahanam. Tapi bukankah semuanya itu kau yang mengajariku juga?"

Mu Ba terbelalak. Dia mengerot gigi penuh kemarahan, siap menubruk dan membanting muridnya lagi. Tapi melihat Ceng Liong demikian berani dan tenang-tenang memandangnya mendadak iblis tinggi besar ini tertawa bergelak dan mencengkeram muridnya itu. "Liong ji, kau memang jahanam besar. Tapi keberanianmu ini sungguh mengagumkan hatiku. Keparat....!" dan jari-jari Mu Ba yang berkerotok mengguncang tubuh muridnya itu disambut senyum Ceng Liong yang tertawa. Tahu bahwa gurunya ini tidak jadi membunuhnya.

"Suhu, kau yang kelewat emosi. Kau tak mau melihat kebenaran dari apa yang kuomongkan!"

"Ya-ya, dan kau selamanya benar, bocah siluman. Kau tidak perduli kata-katamu menyakiti atau tidak!"

"Ah, itu karena kau emosi, suhu. Kalau tidak tentu juga kata-kataku tidak akan menyakitimu. Kenapa marah?"

Mu Ba melepas cengkeramannya. "Liong-ji, apa yang kau maui dari omonganmu itu? Hayo bicara saja. Aku sudah mengenal segala tipu muslihatmu dalam menyembunyikan sesuatu!"

Ceng Liong melangkah maju, bersikap sungguh-sungguh. "Kau tidak marah lagi, suhu?"

"Tidak."

"Baik, kalau begitu dengarkan ini," dan Ceng Liong yang tersenyum memandang gurunya bertanya, "Suhu, siapakah di dunia ini yang kiranya dapat mengalahkan Bu tiong-kiam Kun Seng atan Naga Bongkok?"

Mu Ba mengerutkan alis. "Bu-tiong-kiam Kun Seng sudah mati. Liong ji. Sebaiknya..."

“Ya ya, kalau begitu si Naga Bongkok saja, suhu,” Ceng Liong memotong. 'Siapakah kiranya yang dapat mengalahkan kakek bongkok itu satu lawan satu!"

Mu Ba tertegun.

"Kenapa diam, suhu? Yang jelas bukan kau, bukan?"

Raksasa ini mengangguk, merah mukanya. "Ya. dan ji-suhumu (Mayat Hidup) juga tak dapat mengalahkan kakek bongkok ini jika harus satu lawan satu, Liong-ji. Tapi kukira ada dua orang yang dapat menandingi kakek bongkok itu, bahkan mungkin tiga kalau So-beng mahir mainkan Tok-hwe-ji!"

"Hm, Iblis Penagih Jiwa ini tak mungkin mau memberikan kepandaiannya kepadaku, suhu. Coba kau sebutkan saja siapa dua orang yang mungkin dapat menandingi kepandaian Naga Bjngkok itu!"

Mu Ba menarik napas. "Pertama mungkin Pendekar Gurun Neraka, Liong-ji. Dan ke dua adalah ketua Beng-san-pai itu!"

"Ciok-thouw Taihiap Show Ki Beng?"

"Mungkin."

Ceng Liong berkilat matanya. "Tidak ada lainnya lagi, suhu?"

Mu Ba menggeleng ragu. "Kukira hanya dua orang itu, Liong-ji. Tak ada lainnya lalu ada apakah?"

Ceng Liang tak menjawab. Matanya berubah aneh, tapi Mu Ba yang rupanya tahu tindak-tanduk muridnya ini tiba tiba bertanya, "Kau mau mempelajari kepandaian dari orang yang dapat menandingi Naga Bongkok, Liong-ji?"

"Hm..." Ceng Long terpaksa menganggukkan kepalanya. "Memang betul, suhu. Tapi kalau Pendekar Gurun Neraka jelas tak mungkin!"

"Kalau begitu ketua Beng-san pai itu saja, Liong-ji. Kudengar dia memiliki ilmu baru yang disebut Soan-hoan ciang!"

Ceng Liong berkedip matanya. "Kau bisa membantu, suhu?'

"Kalau kau mau, bocah. Dan kebetulan sekali kudengar bahwa saat ini ketua Beng-san-pai itu dilanda kecewa!"

"Kecewa apa, suhu?"

"Tentang pewaris ilmu silatnya, Liong-ji. Katanya kudengar Soan-hoan-ciang yang dimilikinya tak mendapat sambutan baik di hati ketiga cucunya!"

"Eh, bagaimana itu, suhu?" Ceng Liong tertarik. "Bagaimana ilmu silat Soan-hoan-ciang itu tak mendapat sambutan di hati cucunya? Dan siapa mereka?"

"Puteri Pendekar Gurun Neraka dan anak dari puteranya pertama Souw Ceng Han, Liong-ji. Katanya tiga orang muda itu tak berlatih sungguh sungguh untuk menguasai Soan-hoan-ciang ini. Akibatnya ketua Beng-san-pai itu frustrasi dan mulai mabok-mabokan melepas kecewa!"

"Hm," Ceng Liong girang bukan main. "Kalau begitu aku akan ke sana, suhu. Aku akan membujuk dan mempelajari Soan-hoan ciang itu dari Pendekar kepala Batu!"

"Kau seorang diri?"

"Ya, kenapa suhu? Aku tidak takut!"

"Tapi ilmu silatmu tentu mencurigakan ketua Beng-san-pai itu, Liong-ji. Kau tentu diketahui sebagai murid golongan hitam!"

"Ah, itu mudah kuatur, suhu. Yang jelas aku akan berhati-hati mendekati ketua Beng-san-pai itu dan mencuri ilmunya!"

Mu Ba terbelalak. Dia kembali kagum akan keberanian dan jiwa petualang muridnya ini. Tapi tertawa bergelak dia justeru merasa girang. "Bagus, kalau begitu aku juga punya siasat untuk mengadu keluarga pendekar itu, Liong-ji. Sebaiknya ji-suhumu diberi tahu!" dan baru menyelesaikan kata-katanya mendadak iblis tinggi besar ini berkelebat lenyap. Ceng Liong terkejut. Tapi belum dia mengejar tiba-tiba ibunya muncul memasuki kamar.

"Liong-ji, apa yang kalian ributkan? Kenapa twa-subumu itu tertawa bagai orang gila?"

Ceng Liong tertegun. Dia melihat ibunya muncul membelalakkan mata, memandang dirinya dengan kening berkerut. Cantik dan masih tampak muda. Dan Ceng Liong yang ganti terbelalak memandang ibunya itu tiba-tiba tertawa. "Ibu, kau benar-benar cantik sekali. Sungguh hebat!"

Tok-sim Sian-li melotot. "Apanya yang hebat? Kau tidak dengar pertanyaan ibu?"

"Ah, nanti dulu, ibu. Kenapa marah-marah?" Ceng Liong menyambar lengan ibunya ini, mendudukkannya di atas kursi. Lalu tersenyum memandang ibunya itu, pemuda ini bertanya, 'Ibu di mana ji-suhu? Apakah di tempat Ok-ciangkun?"

"Ya, dan kenapa seharian penuh kau tidak keluar, Liong-ji? Kudengar semalam twa-suhumu mengejar penculik. Katanya bertempur dengan murid Bu-tiong Kiam Kung Sen yang amat lihai benarkah?”

"Benar, ibu. Tapi..."

Toksin, Sian-li tiba-tiba berdiri, membanting kakinya. “Jadi, benar yang diculik adalah Kui Hoa siocia?"

Ceng Liong terkejut. "Dari mana kau tahu, ibu?" tapi belum dia mendapat jawaban tahu-tahu ibunya ini sudah melompat dan mencengkeram batang lehernya, kuat sekali dan tampak marah besar.

"Liong-ji, kalau begitu kau yang menjadi biang keladinya. Kau bermain api dengan mengganggu puteri Ok-ciangkun itu! Tidak tahukah kau bahwa perbuatanmu ini bisa mencelakakan kami semua?"

Ceng Liong kaget. "Dari mana kau tahu, ibu?"

"Keparat, tak perlu kau menipu ibumu Liong-j! Aku tahu dan dapat menduga semuanya itu dari tindak-tandukmu sendiri!"

"Tapi..."

"Tak ada tetapi. Liong-ji! Kau yang melakukan semuanya itu, bukan?"

"Tidak, aku... eh!"

Ceng Liong menghentikan kata-katanya. Dia sudah diangkat dan ditendang ibunya ini, mencelat keluar. Dan Tok-sim Sian-li yang marah dan mengejar puteranya itu tahu-tahu kemudian sudah mencengkeram leher Ceng Liong.

"Kau tidak mengaku, Liong-ji? Kau masih menyangkal di depan ibumu sendiri?"

Ceng Liong akhirnya menyerah. Dia kesakitan oleh jari-jari ibunya itu, maka begitu nengangguk dan ibunya melepas cengkeraman itu. Ceng Liong mengeluh dan menyeringai penaaran, "Ibu, kau terlalu. Kenapa mengancam dan memperlakukan anakmu seperti ini?”

"Karena kau yang kelewatan. Liong-ji. Kau tak menghiraukan keselamatan orang tuamu yang bisa terancam!"

Ceng Liong tertegun. Dia tahu bahwa perbuatannya itu memang berbahaya sekali. Salah-salah membuat dua orang guru dan ibunya ini diusir dari istana. Tapi penasaran bagaimana ibunya itu bisa tahu Ceng Liong bertanya, “ibu, sesungguhnya dari manakah kau tahu bahwa perbuatan semalam adalah aku yang melakukannya? Kau lihatkah kejadian itu dengan mata kepala sendiri?"

Ibunya mendengus. "Aku tak perlu melihat perbuatan mu dengan mata kepala sendiri, Liong-ji. Tapi kecerobohanmu yang di luar perhitungan cukup membuat aku mengerti, bahwa semuanya itu adalah kau yang menjadi biang keladinya!"

Ceng Liong terbelalak. "Kecerobohan yang mana, ibu?"

"Kecerobohanmu dengan melempar kesalahan di atas pundak orang lain, Liong-ji. Karena bagiku tak mungkin murid Bu-tiong kiam itu akan memperkosa puteri Ok-ciangkun'."

"Eh?" Ceng Liong heran. "Dari mana kau bisa menarik kesimpulan itu, ibu?"

"Bagiku mudah, Liong-ji. Murid Bu-tong-kiam itu tak kenal-mengenal dengan puteri Ok ciangkun. Bagaimana tahu-tahu menculik gadis itu dan hendak memperkosanya? Kau ceroboh, Liong-ji. Kau dan gurumu gegabah sekali melakukan perbuatan itu. Kau harus menahan nafsumu!"

Ceng Liong tertegun. "Tapi, ibu..."

"Tapi apalagi?"

"Aku tertarik pada Kui Lin. Twa-suhu tadi malam salah ambil dan keliru membawa Kui Hoa."

"Ya, dan kau tidak memperhitungkan kecerdikan Iblis Penagih Jiwa, Liong-ji. Setan itu berbahaya dan terlampau gegabah bagimu untuk melakukan sesuatu di dalam istana ini!"

"Jadi aku tak boleh melaksanakan maksudku, ibu?"

"Maksudmu yang mana?"

"Aku ingin gadis itu menjadi kekasihku, ibu. Aku jatuh cinta dan tergila-gila pada adik Kui Lin!"

"Tidak. Sementara ini kau tidak boleh mengganggu puteri Ok-ciangkun itu, Long-ji. Kau harus menahan diri dan jangan sekali-kali mengulang perbuatanmu yang lancang itu!"

"Hm!" Ceng Liong kecewa. "Kalau begitu tolong kau saja yang menghibur diriku, ibu. Kau berilah obat pelipur lara padaku untuk pengganti kekecewaanku itu!"

Tok-sim Sian-li terkejut. "Apa maksudmu?"

"Maksudku kau hibur aku seperti kalau kau menghibur ji-suhu, ibu. Aku ingin merasakan kehangatan kasih sayangmu luar dalam!" dan Ceng Liong yang tersenyum memandang ibunya itu tiba-tiba melangkah maju dan memeluk ibunya ini, langsung mencium mulut ibunya penuh nafsu dan penuh gairah.

Dan Tok-sim Sian-li yang sejenak tertegun oleh perbuatan puteranya itu sedetik terbelalak dan tidak memberikan reaksi. Tapi, begitu ia sadar dan kaget bukan main tiba-tiba wanita ini melengking dan menampar puteranya, melepaskan diri.

"Liong-ji, kau bocah keparat...plak plakk!"

Dan Ceng Liong yang terbanting roboh oleh tamparan ibunya ini sudah melompat bangun dengan mulut berdarah. Dia terkejut dan membelalakkan matanya, tapi sang ibu yang tampaknya marah oleh perbuatan Ceng Liong ini tiba-tiba kembali membentak dan melompat maju, melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi menghajar Ceng Liong

"Liong-ji, kau anak durhaka. Kau bocah siluman...plak...des... dess!"

Dan Ceng Liong yang bertubi tubi mendapat tamparan dan tendangan ibunya akhirnya jatuh bangun di atas lantai. Ceng Liong mengaduh, berteriak dan menabrak meja kursi yang berantakan ditimpa tubuhnya. Tapi ketika ibunya mendesis-desis dan menghajarnya kalang kabut tak mau sudah mendadak pintu kamar terbuka dan Mayat Hidup muncul.

"Sian-li! Apa yang terjadi? Kenapa Ceng Liong kau hajar?"

Tok-sim Sian-li menghentikan amukannya. Dia terbelalak dan berapi-api memandang puteranya itu, terengah dengan dada naik turun, marah bukan main. Tapi melihat Mayat Hidup muncul dan tubuh Ceng Liong babak-belur oleh semua pukulan dan tendangannya tiba-tiba wanita ini terisak dan melompat keluar.

"Ceng Liong hendak kurang ajar kepadaku. Mayat Hidup. Dia berani minta yang tidak-tidak kepada ibunya!"

"Heh?" Mayat Hidup terkejut, tidak menyangka. "Kau maksudkan anak ini ingin bermain cinta denganmu, Sian-li?"

Tapi Tok-sim Sian'li sudah lenyap Ia meninggalkan kamar dengan napas sesak dan penuh kemarahan. Dan persis wanita itu lenyap di luar kamar maka Mu Ba si raksasa tinggi besar muncul.

"Liong-ji, benarkah yarg dikatakan ibumu itu?"

Ceng Liong menarik napas. Dia berdebar dan terkejut melihat gurunya nomor dua muncul, karena gurunya itulah yang biasa galang-gulung dengan ibunya, menjadi kekasih tetap. Tapi melihat gurunya pertama muncul dan berdiri mendampingi gurunya nomor dua tiba-tiba Ceng Liong tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

"Ya, aku ingin ibu menghibur kekecewaanku, twa-suhu. Tapi ibu marah-marah dan menghajarku jatuh bangun!"

Dua orang iblis itu terbelalak. Ceng Liong bersiap menanti kemarahan gurunya, terutama Mayat Hidup. Tapi melihat Mayat Hidup menyeringai dan tiba-tiba terkekeh dengan suara aneh tiba-tiba Ceng Liong menjadi heran dan tidak mengerti. Apalagi ketika gurunya nomor dua itu melompat dan menepuk-nepuk bahunya.

"Heh-heh, murid kita yang satu ini benar-benar luar biasa, Mu Ba. Siapa sangka dia lebih tak tahu aturan dan kurang ajar dibanding kita? Ceng Liong benar-benar hebat. Dia akan melebihi kita dalam soal kejahatan!" dan Mayat Hidup yang batuk-batuk sambil terkekeh itu tampak bersinar dan girang bukan main memandang muridnya. Tidak marah dan bahkan memuji! Dan Ceng Liong yang tentu saja tak menyangka oleh sikap gurunya itu tertegun.

Dan Mu Ba juga tiba-tiba tertawa bergelak. "Benar, murid kita yang satu ini memang luar biasa, Mayat Hidup. Dan hal itu memang sudah kuketahui sejak pertama aku bertemu dengannya!"

Ceng Liong akhirnya menyeringai, tersenyum kecut. Tapi melihat kedua gurunya betul-betul tidak marah dan tampaknya gembira bahwa dia bisa melakukan sesuatu yang di luar kewajaran akhirnya menjadi tenang dan ikut tertawa juga, merasa mendapat, "dukungan". Dan ketika kedua gurunya melompat keluar meninggalkan dia Ceng Liong pun tiba-tiba teringat dan memanggil gurunya nomor satu, “Twa-suhu, nanti dulu! Bagaimana dengan rencanaku semula?'

Mu Ba membalikkan tubuhnya. "Kau boleh pergi, Liong ji. Aku dan ji-suhumu setuju. Tapi sebaiknya besok saja kau berangkat!"

Ceng Liong girang. "Kalau begitu tak perlu besok. suhu. Nanti malam saja aku berangkat. Ibu ingin kutemui sekali lagi!"

"Ha-ha, terserah, bocah. Tapi hati-hati...!"

Ceng Liong kembali masuk ke kamarnya. Dia girang bahwa kedua suhunya memberi ijin, maka beristirahat sehari penuh dia lalu menyiapkan buntalannya dan bertekad bahwa dia akan menyelidiki ketua Beng-san pai itu untuk mendapatkan ilmunya. Dan ketika malam tiba dan Ceng Liong berkemas untuk meninggalkan kamarnya maka yang dituju pertama kali adalah kamar ibunya!

Ceng Liong tersenyum aneh. Dia melangkah hati-hati mendekati kamar ibunya itu. Dan melihat pintu kamar tertutup rapat Ceng Liong lalu mengintai dari kertas jendela. Dan Ceng Liong tertegun. Dia melihat ibunya menangis di atas pembaringan, terisak-isak. Rupanya masih marah oleh peristiwa tadi pagi. Tapi Ceng Liong yang terbelilak melihat ibinya mengenakan gaun tipis hingga menembus ke seluruh lekuk liku tubuhnya yang indah menggairahkan tiba-tiba menahan napas dan bangkit nafsu berahinya!

Ibunya itu memang hebat, Ceng Liong mendesis kagum. Dan melihat ibunya terisak-isak dengan pundak berguncang tampak sedih Ceng Liong bukannya terharu melainkan tertawa. Pemuda ini menyeringai aneh, dan begitu nafsu berahinya bangkit dan dia tak tahan lagi oleh kemolekan tubuh ibunya tiba tiba Ceng Liong sudah membuka jendela dan melompat masuk!

"Ibu, maaf. Aku sedikit mengejutkarmu..!"

Tok-sim Sian-li berseru kaget. Ia benar benar terkejut oleh seruan Ceng Liong, dan ketika ia melompat turun dengan mata terbelalak dari atas pembaringannya maka dilihatnya Ceng Liong sudah berdiri di depannya dengan mata penuh nafsu memandang tubuhnya.

"Ih, kau., ada apa kau kemari, anak setan?"

Ceng Liong tersenyum. "Aku mau pamitan, ibu. Juga sekaligus minta maaf kalau kau masih marah kepadaku!"

Tok-sim Sian-li tertegun. Dia rupanya terkejut mendengar kata kata ini, tapi melihat Ceng Liong menyeringai dan menelusuri tubuhnya dari atas ke bawah menembus pakaian tipis yang dikenakannya itu tiba-tiba Tok-sim Sian-li membentak dan menampar puteranya itu, "Liong-ji, keluar dulu. Aku mau salin pakaian'!"

Ceng Liong melompat mundur. Dia mengelak tamparan ibunya itu, tapi menggelengkan kepala sambil tertawa dia berkata. "Tak perlu, ibu. Aku sudah biasa melihatmu seperti ini berulang kali. Kenapa malu atau marah?"

Tok-sim Sian-li menggigil. "Liong-ji, apa maksudmu?"

Ceng Liong tersenyum, menutup jendela dan kembali menghampiri ibunya itu. Semua sikap dan gerak-geriknya tenang. Lalu berkata dengan pandang mata penuh gairah pemuda ini tertawa memegang lengan ibunya, "Aku mau pamitan, ibu. Aku datang untuk memberitahumu dan sekalian minta maaf!"

Tok-sim Sian-li ngeri. Dia melihat puteranya itu tiba-tiba saja bukan seperti manusia, tersenyum dan menyeringai aneh kepadanya. Masih tenang tapi menyembunyikan sesuatu yang buas di dalam pandang matanya. Dan marah serta ngeri oleh sikap puteranya ini tiba-tiba Tok-sim Sian-li menghentakkan tangannya melepas diri. "Liong-ji, aku tak mau bergurau denganmu. Hayo keluar dan kembali ke kamarmu!"

Tapi Ceng Liong tersenyum, tidak keluar dan malah menangkap pundak ibunya ini. Dan menekan pundak ibunya dengan mata bersinar-sinar tiba-tiba pemuda itu mendudukkan ibunya di atas pembaringan. "Ibu, aku tidak bergurau. Aku malam ini hendak pergi dan sungguh-sungguh mau pamitan kepadamu!"

Tok-sim Sian-li terkejut. "Kau mau ke mana?"

"Ke Beng-san ibu. Menemui Ciok-thouw Taihiap dan mempelajari hebatnya Soan-hoan-C!ang..!"

"Apa? Kau...."

"Ya, aku mau ke sana, ibu. Aku telah membicarakan ini dengan ji-wi suhu dan mereka berdua setuju!"

"Ah...!" Tok-sim Sian-li bangkit berdiri, berobah mukanva dan tiba-tiba lupa akan kemarahannya pada Ceng Liong atas peristiwa siang tadi. Dan terbelalak serta khawatir memandang puteranya itu wanita ini bertanya, "Kau sadar akan maksudmu itu. Liong-ji? Kau tahu akan bahayanya bertemu Ciok-thouw Taihiap Souw Ki Beng?"

"Ya, kalau pendekar itu mengetahui siapa diriku, ibu. Tapi Ciok-thouw Taihiap tak akan mengenal aku karena selamanya belum pernah kita saling bertemu muka!"

"Dan maksudmu itu, kenapa berani mati mendekati Pendekar Kepala Batu?"

"Karena aku ingin mempelajari Soan-hoan-ciang yang dimiliki ketua Beng-san-pai itu, ibu. Aku tak puas pada kepandaian twa-suhu dan ji-suhu yang tidak dapat mengalahkan Naga Bongkok dan Bu-beng Siauw-cut Kun Houw!"

Tok-sim Sian-li, tertegun. Dia kaget tapi juga kagum akan keberanian puteranya ini. Berani mendatangi ketua Beng-san-pai itu yang terkenal keras dan ganas sepak terjangnya, terutama kebengisan sikapnya terhadap penjahat. Kaum golongan hek-to yang menjadi musuh nomor satu pendekar itu. Bahkan gurunya tewas di tangan pendekar ini. Ketua Beng san pai yang kebal dan memiliki kesaktian tinggi! Dan mendengar puteranya ini mau mendatangi ketua Beng-san-pai itu dan mempelajari ilmunya tiba-tiba Tok sim Sian li menjadi heran dan tidak mengerti.

"Liong-ji. bagaimana caramu meminta Soan-hoan-ciang itu?"

Ceng Liong tertawa. "Tentu saja menjadi muridnya, ibu. Kenapa tidak mengerti?"

"Apa?" sang ibu terbelalak. "Kau menjadi muridnya?"

"Ya, dan aku akan membujuk pendekar itu, ibu. Ini saat yeng tepat karena Ciok-thouw Taihiap sedang kecewa. Dia dirundung kekesalan karena cucu-cucunya tidak ada yang becus menguasai ilmu barunya itu. Dan aku akan menunjukkan pada pendekar itu bahwa aku sanggup mewarisi Soan-hoau-ciang!"

Tok-sim Sian-li kembali tertegun. "Dan mana kau tahu?"

"Twa suhu yang memberi tahu, ibu. Dan aku akan berangkat malam ini juga."

"Ah, dan kau seorang diri?'

"Ya."

Dan Tok-sim Sian-li yang terkejut memandang puteranya itu tiba-tiba terisak. "Liong-ji, itu amat berbahaya. Tidakkah kau tahu keganasan Ciok-thouw Taihiap?"

"Aku hanya mendengar sepak terjangnya saja, ibu. Tapi aku tidak takut menghadapinya. Paling-paling mati!"

"Liong-ji...!" ibunya berteriak, terbelalak memandang puteranya.

Tapi Ceng Liong yang tertawa memandang ibunya itu tiba-tiba memeluk dan mencium pipi ibunya. "Ibu, kenapa kau cemas? Tanda cintakah ini?"

Tok-sim Sian-li melepaskan diri. Dia meronta dan menggerakkan tangan untuk menampar Ceng Liong, yang berani mencium dan memeluk dirinya, meskipun hanya ciuman di pipi. Tapi melihat Ceng Liong menyeringai dan menahan tamparannya Tok-sim Sian li tiba-tiba tertegun,

"Liong-ji, apa yang kau maui dari ibumu? Kau mau kurang ajar dan menghinaku?" suara wanita ini menggigil, ngeri tapi juga marah memandang puteranya itu, yang mendengus dan mulai terkekeh dengan suara aneh.

Dan Ceng Liong yang tampaknya bergairah memandang ibunya ini tiba-tiba melempar buntalan dan merayu, "Ibu, aku ingin mengulang permintaanku tadi pagi. Aku ingin kasih sayangmu luar dalam. Mumpung aku masih hidup dan belum menemui bahaya di tangan Ciok thouw Taihiap Souw Ki Beng!"

Tok-sim Sian-li terbelalak pucat. “Kau mau kurang ajar, Ceng Liong?"

"Ah, tidak. Aku minta secara baik-baik padamu, ibu. Aku tidak kurang ajar atau memaksa. Aku hanya ingin kau menghiburku seperti kalau kau menghibur ji-suhu!"

"Keparat!" Tok-sim Sian-li marah. "Kalau begitu terimalah ini, anak durhaka. Mampus dan enyahlah kau... dess!"

Dan Ceng Liong yang terpelanting ditendang ibunya seketika mencelat dan mengaduh membentur tembok. Ceng Liong menyeringai, cepat melompat bangun tapi tidak kelihatan jera. Karena begitu terhuyung dan berdiri memandang ibunya pemuda ini tiba-tiba tertawa dan memprotes, "Ibu, kau pilih kasih. Kau bersikap berat sebelah antara aku dengan ji-suhu!"

Tok-sim Sian-li semakin marah. "Kau ingin kuhajar lagi hingga babak-belur, anak setan? Kau ingin kubunuh?"

Ceng Liong tidak takut. "Aku hanya ingin pelayananmu, ibu. Ji-suhu tidak marah dan mengijinkan aku untuk..."

"Plak-plak!" Ceng Liong tak dapat meneruskan kata-katanya. Dia kembali menjerit dan terpelanting roboh ketika ibunya menampar, dua kali menyerang di pundak dan leher puteranya ini. Dan ketika Ceng Liong bangkit berdiri dan kembali mengeluarkan kata-kata yang tidak tahu aturan mendadak Tok-sim Sian-li melengking dan menghujani tubuh Ceng Liong dengan pukulan bertubi-tubi.

Akibatnya Ceng Liong tunggang-langgang, jatuh bangun dan berteriak-teriak mengaduh, menabrak meja dan membentur kursi hingga jungkir balik, tak keruan tempatnya lagi. Tapi ketika ibunya mendesis dan melakukan pukulan Tok-hiat-jiu tiba-tiba pemuda ini meloncat jauh membanting diri bergulingan.

"Ibu, kau telengas. Lain kali saja kita berjumpa.... brakk!'"

Ceng Liong sudah keluar melewati jendela. Dia sempat menyambar buntalannya, mendengar jendela hancur berkeping-keping dihantam pukulan ibunya itu. Dan berteriak penuh kecewa dan penasaran pemuda ini melarikan diri menyelinap di kegelapan malam. Dan ketika ibunya mengejar dan melompat keluar maka yang dilihatnya adalah bayangan Ceng Liong yang sudah jauh kabur di depan.

"Jahanam!" Tok-sim Sian-li membanting kakinya. "Bagaimana keturunan Pendekar Gurun Neraka bisa seperti itu? Ah, keparat kau, Liong-ji.... terkutuk kau.!" dan baru wanita ini melepaskan makiannya dengan gusar tiba-tiba berkesiur angin dingin di belakang punggungnya.

"Niocu, anak itu anak iblis. Dia kemasukan roh Kalapati...!"

Tok-sim Sian-li terkejut, langsung memutar tubuh. "Siapa kau?" dan Tok-sim Sian-li melihat munculnya seorang kakek tinggi kurus yang serasa dikenal. Kakek itu muncul begitu saja di belakangnya, tidak diketahui. Mungkin karena perhatiannya tercurah pada Ceng Liong. Tapi wanita yang terlanjur marah ini jadi semakin geram ketika kakek itu tidak segera menjawabnya.

"Niocu, anak itu berbahaya sekali. Sebaiknya dia kau bunuh!"

"Keparat!" Tok-sim Sian-li memekik. "Kau siapa, tua bangka? Kenapa tidak menjawab pertanyaan orang dan masih saja memaki anakku? Kau ingin mampus? Nah, terimalah...!" dan Tok-sim Sian-li yang menusukkan jarinya tahu-tahu menotok jalan darah di leher laki-laki iiu dengan kecepatan luar biasa.

"Tuk...ihh!"

Tok-sim Sian-li terkejut. Dia merasa jari telunjuknya mental, meleset dan bertemu segumpal hawa yang licin, membuat totokannya tergelincir dan luput total! Dan sementara ia berjungkir balik mematahkan daya tolak dan tenaga yang membalik maka laki-laki itupun terdorong mundur dan menancapkan tongkatnya.

"Niocu, aku Vijananda. Kita bertemu pada duapuluh tahun yang lalu...!"

Tok-sim Sian-li melayang turun. Ia terbelalak dan kaget oleh seruan itu. Tapi setelah mengingat-ingat dan tahu siapa lawannya ini tiba-tiba Lie Lan atau wanita yang kini berjuluk Tok-sim Sian-li itu tertegun "Hm, kau kiranya, tua bangka? Ada apa kau datang ke mari?"

Vijananda mencabut tongkatnya. "Aku datang untuk memperingatkanmu, niocu. Anakmu itu berbahaya dan sebaiknya dibunuh sebelum dia membunuhmu!'

"Keparat, jadi kau datang hanya untuk itu, Vijananda? Kau kembali menyuruh untuk membunuh anakku sendiri?"

"Ya, sebelum mencelakakan dirimu, niocu. Mumpung kepandaiannya masih di bawah tingkatmu dan belum berbahaya!"

"Jahanam!" Lie Lan melengking. "Kau tampaknya benci sekali pada anakku, Vijananda. Kalau begitu terimalah ini dan mampuslah... wutt!" Lie Lan atau Tok-sim Sian-li yang sudah berkelebat dengan pekik kemarahannya itu tahu-tahu menyambar dan menghantam muka lawannya ini, ganas dengan pukulan Tok-hiat-jiunya.

Tapi Vijananda yang berasal dari Thian-tok (India) itu menangkis. "Niocu, nanti dulu... aku, ah... plak-brett!” Vijananda menghentikan seruannya. Tongkatnya mental bertemu lengan wanita itu, tertolak dan hampir mengemplang kepalanya sendiri. Dan sementara dia melompat mundur untuk menarik kepalanya itu maka bajunya tiba-tiba disambar robek oleh tangan kiri wanita itu yang bergerak menyusul!

"Ah...!" Vijananda menjatuhkan diri bergulingan. Dia ingat dan mencelos oleh keganasan lawannya ini. Tapi melompat bangun dan buru-buru menggoyangkan lengan pendeta ini berseru, “Niocu. nanti dulu. Dengarkan dulu omonganku. Aku..."

Vijananda kembali menghentikan seruannya. Dia melihat Lie Lan memekik dan mengejarnya tak perduli, sama sekali tak menghiraukan seruannya itu. Dan melihat wanita ini menampar dan bertubi-tubi melakukan pukulan Tok hiat jiu akhirnva vijananda mengeluh dan menangkis menggerakkan tongkatnya, berlompatan ke sana ke mari menghindari pukulan lawan yang berbahaya. Terutama telapak wanita itu yang berobah kemerah-merahan dan berbau amis. Dan begitu dua orang ini berkelebatan saling sambar-menyambar maka ptrtandingnrpun tak dapat dihindari lagi.

Vijananda bertahan dengan tongkatnya. Mati-matian menangkis dan balas menyerang. Tapi karena pukulan Tok-hiat-jiu adalah pukulan beracun yang membawa bau amis akhirnva pendeta ini sesak napas dan batuk-batuk. Dia mundur-mundur, kewalahan oleh serangan lawan yang gencar dan bertubi-tubi. Terutama oleh bau sengak yang mulai meracuni paru-parunya itu. Dan ketika dirinya semakin terdesak dan Tok-sim Sian-li melancarkan pukulan pukulan maut yang siap merenggut nyawanya tiba-tiba Vijananda melirik ke sana ke mari untuk melarikan diri.

Tapi Tok-sim Sian-li rupanya tahu. Wanita ini melihat gerak-gerik lawan yang mencurigakan, selalu mencari tempat gelap. Maka ketika lawan kembali mundur oleh tamparan lengannya dan Vijananda melompat jauh untuk melarikan diri tiba-tiba Lie Lan membentak dan mencabut Bendera Iblisnya. "Vijananda, ke mana kau lari?"

Vijananda terkejut. Dia sudah memutar tubuh untuk melarikan diri, tapi ketika sebuah benda hitam menyambar tubuhnya dan kain bendera menderu dengan dahsyat tiba-tiba pendeta ini berteriak dan menggerakkan tongkat. "Tok-sim Sian-li, kau wanita telengas...!"

Lie Lan tertawa mengejek. Dia terus mengelebatkan kain benderanva itu, bertemu tongkat dan diputar menggubat diri lawannya. Dan ketika Vijananda berteriak kaget karena tubuh terbungkus bendera maka saat itulah untuk pertama kalinya Vijananda memekik ketika pukulan Tok-hiat-jiu yang dilancarkan tangan kiri Lie Lan mengenai lehernya. "Plak!"

Vijananda menjerit. Dia terlempar dan terbanting roboh, bergulingan tapi masih tetap dilibat bendera. Dan kaget serta marah oleh desakan lawan yang tak mengampuninya tiba-tiba pendeta ini menjadi nekat. Dia menubruk ke depan, sekenanya. Dan tongkat yang mencuat dari sela-sela bendera sudah ditusukkan dengan penuh kemarahan.

"Tok-sim Sian-li, kau culas!"

Lie Lan mendengus, la mengelak ke kiri, membuat tongkat mengenai tempat kosong. Dan begitu jarinya menampar maka untuk kedua kalinya Vijananda menerima pukulan Tok-hiat-jiu. Kontan pendeta itu menjerit, dan sementara dia terguling-guling dengan tubuh masih dibungkus bendera maka saat itulah Lie Lan melancarkan serangan ke tiga. "Vijananda, mampuslah menghadap Giam-lo-ong!"

Vijananda tak dapat mengelak. Dia hanya menjerit sekali ketika pukulan terakhir itu datang, persis mengenai kepalanya. Dan begitu terdengar suara "prak" yang cukup keras maka pendeta inipun mengeluh dan roboh tak berkutik. Tewas!

Lie Lan membuka libatan benderanya. Dia melihat pendeta itu terkapar, tengkoraknya pecah dan mendelik dengan mata melotot. Rupanya panasaran akan kematiannya itu. Tapi Lie Lan yang tak perduli akan semuanya ini sudah menendang mayat pendeta itu ke dalam semak-semak. Dan saat itulah tiba-tiba terdengar suara.

"Tok-sim Sian-li, kau tak dapat diberi tahu orang. Anakmu itu kelak akan membunuhmu seperti kau membunuh aku!"

Lie Lan terkejut. Dia merinding oleh kata-kata ini, seruan dari roh Vijanarda yang seolah mengutuknya. Tapi tak perduli den tertawa mengejek oleh ancaman yang dianggaprya kosong itu Lie Lan sudah membalikkan tubuhnya dan terkelebat kembali memasuki kamar.

* * * * * * * *

Seperti biasa, pagi itu dalam kekecewaannya yang berlarut-larut, Pendekar Kepala Batu duduk di belakang rumahnya. Dia menenggak arak dengan guci besar, tidak mempergunakan cawan melainkan menggelogok langsung dari mulut guci ke dalam mulutnya sendiri. Suasana pagi itu sepi. Tidak ada orang, karena Ceng Han dan dua puteranya pergi turun gunung ke Ta-pie-san. Dan Ciok-thouw Taihiap yang sudah bertahun-tahun dilanda kekecewaan pribadi ini akhirnya bicara seperti orang mabok sambil menenggak araknya.

"Han Ki, Han Bu... kalian dua bocah tolol yang tidak tahu hebatnya Soan-hoan-ciang Kenapa tidak berlatih sungguh-sungguh dan mengecewakan aku? Ah, kalian anak-anak bodoh, Han Ki. Kau dan adikmu itu goblok melebihi kerbau! Ha-ha, Soan-hoan ciang harus kuwariskan pada siapa? Kepada angin lalukah? Atau kepada setan yang gentayangan di muka bumi?"

Ciok-thouw Taihiap tertawa-tawa. Dia menenggak dan menggelogok kembali araknya itu, tapi menggebrak meja tiba-tiba dia menyemprotkan araknya itu. Arak yang berobah beku dan menyambar ke kiri di mana seseorang bersembunyi!

"Siapa di situ?"

Seseorang terdengar mengaduh. Ciok-thouw Taihiap melihat seorang pemuda muncul dengan tiba-tiba, melompat keluar dari tempat persembunyiannya tadi. Pemuda tak dikenal yang langsung menjatuhkan diri berlutut. Dan Ciok-thouw Taihiap yang terbelalak memandang pemuda ini tiba-tiba menggereng dan bangkit berdiri.

"Kau siapa bocah? Kenapa mengintai dan memasuki tempat ini?"

Pemuda itu membenturkan dahinya. "Siauwte (aku) Liong Ceng. locianpwe. Maaf bahwa siauwte datang tanpa ijin."

"Ya, aku tahu. Tapi apa maksudmu datang ke mari?" Ciok-thouw Taihiap membentak.

“Siauw-te... siauw-te." pemuda itu tergagap, menyeringai dan tiba tiba menangis. "Siauw-te datang untuk melamar sesuatu, locianpwe. Siauw-te ingin menjadi muridmu untuk membalas sakit hati!"

"Apa? Kau mau berguru kepadaku?"

"Kalau kau perkenankan, locianpwe. Karena siauw-te ingin membalas dendam atas kematian orang tua siauw-te di tangan So-beng!"

"Hah?" Ciok-thouw Taihiap tertegun. "So-beng?"

"Ya, So-beng, locianpwe. Iblis Penagih Jiwa itu telah membunuh dua orang tua siauw-te yang katanya membela Ho-han-hwe (Perkumpulan Kaum Patriot)!"

Ciok-thouw Tahiap terhenyak, melangkah maju dan tiba-tiba tergerak hatinya. "Bocah, angkat wajahmu dan tengadahkan kepala. Aku ingin melihat tampangmu!"

Liong Ceng mengangkat mukanya. Dia tergetar dan terkejut melihat pandang mata ketua Beng san pai itu berkilat mirip mata seekor naga, garang dan keren, menakutkan. Dan Liong Ceng yang sebentar saja sudah menundukkan kepala tak berani lama-lama beradu pandang dengan pendekar sakti itu tiba-tiba dicengkeram kepalanya oleh lima jari Ciok-thouw Taihiap yang mengeluarkan suara berkerotok.

"Bocah, tengadahkan kepala dan lihat mataku! Kenapa menunduk? Kau tidak dengar, hah?"

Liong Ceng terkesiap. Da terpaksa mengangkat kepalanya, terkejut oleh bentakan yang bengis dan menggetarkan isi dadanya itu. Dan mendongkol bahwa Ciok-thouw Taihiap selalu membentak bentak tiba-tiba pemuda ini melotot dan memandang marah pendekar itu! Dan, aneh sekali, Ciok thouw Taihiap tiba-tiba tertawa.

"Ha ha, bagus, anak muda. Kau memiliki keberanian besar yang mengagumkan hatiku. Tapi jangan melotot, aku tidak suka itu... plak!” dan C ok thouw Taihiap yang menggerakkan jari menepuk Liong Ceng sudah membuat pemuda itu mencelat dan terlempar roboh dengan seruan kaget.

'Locianpwe...!"

Tapi Ciok thouw Taihiap memutar tubuhnya. Ketua Beng san-pai itu kembali ke tempat duduknya semula, menyambar arak dan teriekeh-kekeh. Tak perduli pada pemuda yang sudah melompat bangun itu. Dan Liong Ceng yang penasaran melihat ketua Beng-san-pai ini tak menghiraukan dirinya akhirnya melompat maju dan menjatuhkan diri berlutut.

"Locianpwe, bagaimana dengan permohonanku? Bisakah kau terima aku untuk menjadi murid?"

"Hm, kau kurang memenuhi syarat, bocah," Ciok-thouw Taihiap acuh tak acuh. "Sebaiknya kembali saja dan buang jauh-jauh keinginanmu untuk menjadi muridku!"

"Tapi, locianpwe. So-beng hanya takut kepadamu. Kalau tidak mendapatkan warisan ilmu Silatmu lalu bagaimana aku dapat membalas kematian orang tuaku? Di dunia ini hanya kau yang kuharap, locianpwe. Aku telah bersumpah untuk menjadi muridmu atau mati di tempat ini kalau kau menolak!"

Ciok-thouw Taihiap terbelalak. "Kau main paksa, bocah? Bagaimana kau mau mati?'

"Aku akan berlutut di depanmu, locianpwe. Sampai kau meluluskan permintaanku atau tetap menolaknya sampai aku mampus!"

"Kalau aku pergi?"

"Aku akan mengikutimu, locianpwe. Aku akan mengejarmu sampai ke manapun kau pergi”

"Keparat!" Ciok thouw Taihiap menjadi marah. "Kalau begitu biar kutendang kau, bocah. Nah, enyahlah di sana dan berlutut seperti katamu tadi... dess!"

Liong Ceng yang ditendang pendekar ini tiba-tiba mencelat dan jatuh sepuluh tombak lebih, menggigit bibirnya tapi bangkit berdiri. Terhuyung dan kembali mendekati pendekar ini, berlutut. Lalu berkata nyaring dengan suara sungguh-sungguh pemuda ini mengeraskan dagunya, "Locianpwe, aku tak mau berlutut jauh di depan kakimu. Kalau kau menolak biarlah kau lihat mayatku menggeletak di depin kakimu!"

Ciok thouw Taihiap terbelalak. Dia melihat pemuda itu benar-benar berlutut di dekatnya, tak jauh, hanya semeter saja. Dan Ciok thoaw Taihiap yang gusar hatinya tiba-tiba menendang kembali dengan marah. "Bocah, kalau kau mau miti mampuslah di tempat yang jauh sana. Jangan di sini. dess...!"

Liong Ceng kembali terlempar. Pemuda itu terguling-guling, tapi melompat bangun dan terhuyung-huyung memandang ketua Beng san pai itu kembali pemuda ini mejatuhkan diri berlutut di tempat yang sama, duduk tak jauh dari pendekar itu! "Locianpwe, kau boleh bunuh aku kalau tidak percaya akan keteguhan niatku. Aku tak mau jauh darimu sebelum cita-citaku berhasil!"

"Eh?" Ciok-thouw Taihiap tertegun. "Kau nekat?"

"Selama kau masih menolakku, locianpwe. Selama keinginanku belum terpenuhi dan kau ingin melihat aku mati di sini!"

Ciok thouw Taihiap bangkit berdiri. Sekarang pendekar ini tertarik, tapi tertawa mengejek tiba-tiba untuk ketiga kalinya kembali dia menendang pemuda itu. "Bocah, aku tak suka mengambil murid untuk saat ini. Kau pergilah dan jangan ganggu aku!"

Liong Ceng terlempar. Untuk ketiga kalinya pula dia menahan sakit, tapi bangkit berdiri dan terhuyung menghampiri pendekar itu kembali dia menjatuhkan diri berlutut di tempat yang sama. Tak mau mengalah! Dan Ciok-thouw Tahiap yang jengkel tiba-tiba kembali menendang dan menendang. Akibatnya Liong Ceng dihajar pulang-balik. Tapi ketika pemuda itu tetap nekat dan kembali mendekati meja araknya uniuk berlutut di situ akhirnya Ciok-thouw Taihiap mengangkat kakinya dan ganti menendang meja berikut araknya itu ke sudut taman.

"Bocah, baik kau berlutut di situ saja. Aku yang pindah!"

Ciok-thouw Taihiap benar-benar pindah. Dia sudah menyambar dan menenggak arakrya, minum dengan jengkel. Tapi begitu menurunkan guci arak dan melihat ke kiri tahu-tahu pemuda itu sudah mengikutinya pula dan berlutut tak jauh di bawah kakinya!"

"Locianpwe, aku juga ikut pindah. Aku selalu akan membayangimu ke manapun kau pergi...”

Ciok-thouw Taihiap mendelik. Dia marah tapi juga heran. Tapi merasa terganggu dan gusar oleh sikap pemuda ini mendadak ketua Beng-san-pai itu membungkukkan tubuhnya dan mencengkeram leher baju pemuda itu. "Bocah, enyahlah. Aku tak mau mengambilmu sebagai murid, bress..!"

Liong Ceng terguling-guling. Dia dilempar jauh dan tempat itu. dan ketika dia bangkit berdiri dan kembali akan mendekati pendekar itu tahu tahu Ciok-thouw Taihiap sudah berkelebat di depannya dan menangkap leher bajunya lagi. Lalu, membentak dan melemparnya jauh. Liong Ceng sudah melayang dan jatuh di luar tembok taman, berdebuk dan terguling-guling di situ.

Tapi Ciok-thouw Taihiap yang rupanya tak puas dengan sepak terjangnya itu sudah kembali menyusul dan bertubi-tubi melempar dan menendang pemuda ini. Tidak sekali dua tapi berkali-kali, hingga pemuda itu mengeluh dan berdebuk babak-belur. Lalu ketika Ciok-thouw Taihiap menghentikan gerakannya dan Liong Ceng tak dapat bangkit berdiri karena tulang-tulangnya seakan remuk maka ternyatalah pemuda itu sudah keluar dari tempat tinggal pendekar itu dan jauh di kaki gunung!

"Nah, sekarang kau tak dapat menggangguku lagi, bocah. Tidur dan beristirahatlah di situ...!"

Ciok-thouw Taihiap berkelebat lenyap. Dia sekarang puas dan lega pemuda yang mengganggunya ini sudah dibuatnya tak berdaya di kaki gunung. Jauh dari tempat tinggalnya. Tak akan mengganggu lagi. Dan Ciok-thouw Taihiap yang kembali ke meja araknya dan menenggak minuman keras itu melanjutkan pekerjaannya sehari-hari dengan mabok-mabokan, tak perduli lagi akan keadaan sekitar dan melupakan pemuda itu. Tapi ketika keesokan harinya dia bangun tidur dan membuka pintu kamarnya tiba-tiba saja pemuda itu telah ada didepannya, berlutut dan menungging dalam keadaan tidur.

"Ah, kau kembali ke sini, anak setan?" Ciok-thouw Taihiap langsung menggerakkan kakinya, menendang Liong Ceng yang terpental dan bangun dari tidurnya. Kaget. Tapi melihat bahwa yang melakukan itu adalah Pendekar Kepala Batu tiba-tiba pemuda ini menjadi girang dan berseru,

"Locianpwe, aku menepati janjiku. Aku akan selalu bersamamu di manapun kau berada!"

Ciok-thouw Taihiap tertegun. Dia benar-benar heran dan terbelalak memandang pemuda ini. Pemuda yang memiliki kekerasan hati dan keberanian besar. Pemuda yang nekat dan bandel! Tapi Ciok-thouw Taihiap yang kembali merasa terganggu oleh pemuda itu sekonyong-konyong mengebutkan lengannya menampar dari jauh. "Bocah, pergilah. Sudah kubilang aku tak mau mengambilmu sebagai murid... Plak!"

Liong Ceng terbanting di luar kamar. Dia mengaduh dan menahan sakit. Bajunya robek-robek. Tapi bangkit berdiri dan tersenyum getir dia terhuyung menghadap pendekar itu lagi. "Locianpwe, kau tak dapat mengusirku begitu saja. Aku telah bertekad untuk mempertaruhkan nyawaku bila keinginanku gagal. Boleh kau bunuh aku kalau tidak percaya!"

Ciok-thouw Taihiap tertegun. Dia terhenyak dan kagum memandang pemuda ini. Dan tergerak serta mulai tertarik tiba-tiba dia melompat keluar dan lari turun gunung. "Bocah, kau benar-benar anak setan. Tapi coba kau kejar dan dekati aku...!"

Liong Ceng menggigit bibir. Dia melihat pendekar itu terbang turun gunung, ginkangnya hebat sekali dan meluncur bagai gerakan seorang iblis. Tapi mengeraskan hati dan tersaruk-saruk tiba-tiba diapun melompat dan berseru, "Baik, aku akan mengejarmu, locianpwe. Dan tak akan berhenti sebelum aku roboh!”

Ciok-thouw Taihiap tertawa. Dia melihat pemuda itu mengejarnya di belakang, dan karena ingin tahu sampai di manakah kemampuan pemuda itu tiba-tiba Ciok-thouw Taihiap berputar putar di pinggang gunung. Dengan geli tapi juga kagum dia melihat pemuda itu terus membuntutinya, kadang-kadang kehilangan jejak. Namun Ciok-thouw Taihiap yang sengaja menampakkan diri akhirnya muncul kembali, membiarkan pemuda itu terengah dan jatuh bangun di balakang. Dan ketika seharian penuh dia menguji pemuda itu dan mendapat kenyataan bahwa pemuda itu memiliki ketahanan tubuh yang kuat luar biasa tiba-tiba Ciok-thouw Taihiap tertawa dan girang bukan main.

"Bocah, kau memang hebat. Tapi sekarang kau tak dapat mendekatiku lagi...!"

Ciok thouw Taihiap melompati sebuah jurang. Jurang ini lebar dan dalam sekali, ada dua puluh tombak. Dan ketika benar Liong Ceng menyusul dan tiba dengan napas memburu di tepi jurang sebelah sana maka Ciok thouw Taihiap tertawa bergelak dan berkata mengejek, "Bagaimana, kau tak dapat mendekatiku lagi bukan, anak muda? Jurang ini lebar sekali. Salah-salah kau mampus kalau berani melompat ke sini!"

Liong Ceng terbelalak. Dia melihat ketua Beng-san-pai ini tertawa di sebelah sana, mengebutkan baju dan duduk dengan sombong. Sikapnya mengejek dan merendahkan sekali. Tapi Liong Ceng yang benar-benar berani ini tiba-tiba mengepalkan tinju dan berkata marah,

"Locianpwe, agaknya kau memang ingin melihat aku mampus. Baiklah, siapa takut menghadapi kematian? Aku tak gentar, Ciok thouw tai-hiap. Aku akan menyeberangi jurang ini dan biar mampus kalau gagal... haitt!' dan Liong Ceng yang melompat dengan nekat melewati jurang itu menghentakkan seluruh kekuatan kakinya untuk tiba di seberang. Tapi Liong Ceng gagal. Dia benar-benar tak sanggup. Pertama karena dirinya sudah lelah dan kedua karena jurang itu memang terlalu lebar baginya. Maka begiiu melayang baru setengah jarak tiba-tiba tubuhnya amblas dan meluncur ke bawah.

"Heii...!" Ciok-thouw Taihiap terkejut. Ketua Beng-san pai itu mengeluarkan bentakan keras, kaget melihat pemuda itu terjerumus di dalam jurang. Tapi bergerak cepat bagai seekor burung besar tahu-tahu ketua Beng-san-pai ini sudah melenting dan berjungkir balik di dalam jurang. Dengan kepandaiannya yang luar biasa pendekar ini menyambar tubuh Liong Ceng, sejenak terjerumus pula di dalam jurang. Tapi kedua kakinya yang bergerak menotol dinding sudah membuat Ciok thouw Taihiap terjungkir balik di udara dan keluar dengan selamat di bibir jurang sebelah sana!

"Siluman, kenapa kau nekat, bodoh?" Liong Ceng dibanting kasar. Dia melihat Ciok-thouw Taihiap mendelik padanya, marah, tapi juga kagum. Dan Liong Ceng yang tahu bahwa pendekar ini sudah berhasil "ditaklukkan" tiba-tiba tertawa dan menjatuhkan diri berlutut.

"Suhu, siauw-te menghaturkan hormat. Terima kasih atas pertolonganmu!"

Ciok-thouw Taihiap membanting kakinya. "Siapa mengangkatmu murid? Apa kau bilang?"

"Teecu (murid) bilang terima kasih, suhu. Kau ternyata mengabulkan permintaanku dan tidak membiarkan aku mati di dalam jurang!"

"Keparat, tapi itu bukan berarti aku mengangkatmu sebagai murid, bocah. Aku tak sudi menjadi guru dan mengangkat murid!"

"Kalau begitu kenapa kau menyelamatkan nyawaku? Aku berhutang budi, suhu. Betapapun aku akan menyertaimu dan menjadi murid!'" Liong Ceng tiba-tiba pai-kui (memberi hormat), membenturkan dahinya sebanyak delapan kali di depan kaki Ciok thouw Taihiap.

Dan Ciok thouw Taihiap yang akhirnya bohwat (tobat) oleh kenekatan pemuda ini tiba-tiba menendang pantat pemuda itu hingga terlempar berjungkir balik di udara, dijadikan permainan macam bola yang berputar-putar di ujung kakinya, belasan kali sambil mengomel panjang pendek. Tapi ketika puas dan tertawa setengah gemas ketua Beng-san-pai ini akhirnya menurunkan pemuda itu.

'Baiklah... baiklah, anak setan. Aku akan memberimu pelajaran seperti yang kau inginkan. Tapi jangan menyebutku suhu. Aku tidak tahu pantaskah kau menjadi murid Ciok-thouw Taihiap atau tidak!"

Liong Ceng girang. "Suhu..."

"Keparat, kau tidak dengar kata-kataku? Aku belum mau kau sebut suhu, anak setan. Sebaiknya kau sebut aku seperti biasanya!" Ciok-thouw Taihiap membentak.

Liong Ceng terbelalak, tapi melihat ketua Beng-san-pai itu marah dan bersungguh-sungguh padanya akhirnya diapun tersenyum pahit dan menjatuhkan diri berlutut. "Baiklah, locianpwe. Aku tak akan menyebutmu suhu sesuai keinginanmu. Tapi bolehkah teecu (murid,) bertanya kenapa begitu?"

"Hm, aku telah mempunyai anak dan cucu yang menjadi muridku, bocah. Dan aku juga belum tahu bagaimana watakmu. Siapa tanggung kalau kau berwatak culas?"

Liong Ceng merah mukanya. "Baik, kalau gitu teecu tunduk pada kehendakmu, locianpwe. dan teecu harap..."

"Tak usah... tak usah kau menyebut dirimu sebagai teecu (murid). Aku sudah bilang sebaiknya hubungan guru dan murid di sini tak perlu diikat!" Ciok-thouw Taihiap memotong. "Dan kau jangan macam-macam, bocah. Aku tak perlu calon murid yang cerewet!" lalu memutar tubuh dan kembali ke atas gunung Ciok-thouw Taihiap berseru. "Anak setan, hayo ikuti aku. Kita kembali ke puncak!"

Liong Ceng mengangguk. Dia menggigit bibir menegar Ciok-thouw Taihiap menyebutnya “anak setan", padahal dia punya nama. Tapi girang bahwa rencananya berhasil dan Ciok-thouw Taihiap mengajaknya ke atas gunung segera pemuda ini bangkit berdiri dan mengikuti, berlari cepat di belakang pendekar itu. Dan ketika mereka tiba di puncak dan Ciok-thouw Taihiap sudah menunggunya di meja arak maka resmilah mulai hari itu juga Liong Ceng diberi pelajaran atau dasar dasar ilmu silat.

Tapi Ciok-thouw Taihiap tertegun. Baru sekali dua saja dia memberi contoh ternyata pemuda itu sudah pandai mainkan bhesi (kuda-kuda). Kakinya kokoh dan tak bergeming, tanda otot-o-totnyaecukup terlatih dan rupanya sudah biasa pula mainkan bhesi Maka bertanya heran dia memandang Liong Ceng dengan alis dikerutkan, "Bocah, kau sudah pernah mempelajari dasar-dasar ilmu silat tinggi? Dari mana kau memperolehnya?"

Liong Ceng membungkuk hormat. "Dari ayah siauw-te, su... eh, locianpwe. Siauw-te mempelajarinya sedikit-sedikit tapi tak cukup berharga untuk ditunjukkan!" Liong Ceng hampir menyebut "suhu", cepat merobahnya dengan sebutan locianpwe yang berarti tokoh sakti tingkat atas. Dan Ciok-thouw Taihiap yang mengangguk-angguk lalu berdehem.

"Baik, kalau begitu siapa ayahmu? Dan..."

"Maaf." pemuda itu buru-buru memotong. "Ayah siauw-te bukan orang terkenal, locianpwe. Dia bernama Liong Tek dan berasal dari kota Liong-hun. Pekerjaannya sehari-hari sebagai piauwsu (pengawal bararg) dari perusahaan Cap-sha seng Piauw-kiok (Ekpedisi Tigabelas Bintang)!”

"Hm, aku tak kenal," Ciok-thouw Taihiap menggelengkan kepalanya. "Tapi pelajaran apa yang sudah kau pelajan dari ayahmu itu?"

"Ah, pelajaran yang masih rendah sekali, locianpwe. Aku hanya diberi pelajaran tentang bhesi dan cara pernapasan untuk memperkuat tubuh. Itu saja!"

Ciok-thouw Taihiap mengangguk. Dia memang melihat omongan pemuda itu benar. Terbukti dari daya tahan tubuh pemuda ini yang sanggup berlarian seharian penuh di atas gunung, ketika dia mencobanya tadi. Dan girang bahwa pemuda ini ternyata memiliki bakat yang besar diapun lalu melanjutkan pelajarannya dan sedikit demi sedikit. Dan Ciok-thouw Taihiap semakin terheran-heran. Dia melihat dasar-dasar ilmu silatnya dilahap mudah oleh pemuda ini. Seakan pemuda itu demikian gampang mempelajari ilmu silat. Tak ada yang sukar! Dan ketika hari demi hari pemuda itu menunjukkan sikap yang demikian "genius" dan menyenangkan hatinya tiba-tiba Ciok-thouw Taihiap berseri dan mulai menurunkan ilmu ilmunya yang tinggi!

Dan Liong Ceng benar-benar ketiban "rejeki". Pemuda itu memang berambisi sekali untuk mewarisi kepandaian pendekar ini. Berlatih sungguh-sunnguh dan tak kenal lelah, hal yang tentu saja menggembirakan Ciok-thouw Taihiap. Dan ketika satu demi satu pelajaran-pelajaran dasar tentang ilmu silat sudah dikuasai betul oleh pemuda ini maka Ciok-thouw Taihiap akhirnya memberikan Soan-hoan-ciangnya (Kibasan Angin Taufan)!

Tapi Ceng Han mengerutkan alisnya. "Ayah, Liong Ceng bukan muridmu resmi. Kenapa hendak memberikan semua kepandaianmu? Bagaimana kalau ada apa-apa?"

"Hm, pemuda itu telah kita kenal tindak-tanduknya, Han-ji. Bukankah kau tahu sendiri dia tak pernah melakukan sesuatu yang jelek? Dia cukup baik selama ini, penurut dan setia kepadaku!" Ciok-thouw Taihiap mendengus, memandang Ceng Han yang sudah kembali dari perjalanannya.

Dan Ceng Han yang tahu ayahnya mendongkol tentang masalah Han Ki dan Han Bu lalu menganggukkan kepalanya da menjawab, "Betul, tapi kebaikan seseorang bisa diatur, ayah. Artinya apa yang tampak sekarang ini belum tentu sesuai dengan apa yang menjadi dasar wataknya. Liong Ceng memang boleh kau beri ilmu apa saja, tapi jangan seluruhnya. Terutama Soan-hoan-ciang itu!"

"Hm, kenapa, Han-ji? Bukankah dua orang anakmu juga sudah kuberi warisan ilmu itu? Kalau ada apa-apa tentu mereka tak akan tinggal diam dan menghadapi Liong Ceng!"

"Benar, tapi kalau kau menitikberatkan konsentrasimu pada Liong Ceng tentu Han Ki dan Han Bu menjadi tak senang, ayah. Mereka bisa menganggapmu pilih kasih atau berat sebelah!"

"Perduli apa?" Ciok-thouw Taihiap membentak. "Bukankah mereka sendiri tak menghiraukan keinginanku? Dua orang anakmu itu tak berlatih sungguh-sungguh tentang Soan-hoan-ciang, Han-ji. Dan aku melihat Liong Ceng dapat memenuhi keinginanku ini dengan kesungguhannya mempelajari ilmu silatl"

Ceng Han melangkah maju, merah mukanya. "Ayah, ketahuilah bahwa Han Ki dan Han Bu tak mempelajari Soan-hoan-ciang dengan sungguh-sungguh karena mereka tak mau mewarisi ilmu yang dahsyat itu untuk kau adu dengan Sin Hong! Bukankah kau menghendaki dua cucumu ini melatih Soan-hoan ciang untuk bertanding melawan Sin Hong? Nah, itulah yang tidak mereka kehendaki, ayah. Han Ki dan Han Bu mempelajari Soan-hoan-ciang dengan setengah hati karena mereka tak mau menghadapi Sin Hong!”

Ciok Thouw Taihiap membanting kakinya. "Justeru itulah. Karena tak mau melawan Sin Hong maka aku akan mempersiapkan LiongCeng untuk menghadapi murid Naga Bongkok ini, Han-ji. Dan karena dua cucuku tak mau mengangkat namaku biarlah orang lain yang tampil ke depan!" Tapi Soan hoan ciang adalah ilmumu yang paling hebat, ayah. Sebaiknya Liong Ceng kauberi saja Pek-hong-ciang (Pukulan Angin Putih). Jangan Soan hoan ciang!"

"Keparat, itu urusanku sendiri. Han-ji. Aku mau memberikan Pek hong-ciang atau Soan-hoan-ciang itu terserah padaku sendiri! Kenapa memprotes ayahmu?"

Ceng Han marah. Tapi belum mereka ribut-ribut kembali maka isterinya muncul, Cui Ang yang menjadi puteri si Belut Emas Cui Lok ini Dan melihat suami serta ayah mertuanya bertengkar tentang Soan hoan-ciang maka Cui Angpun menengahi, "Gik hu, sebaiknya diambil dari tengah saja. Liong Ceng memang selama ini tidak menunjukkan keburukannya Tapi sebelum memberikan ilmu itu sebaiknya Han Ki dan Han Bu kita panggil."

"Hm, untuk apa?"

"Untuk mendengarkan pendapat mereka, gak-bu. Setuju atau tidak bila Liong Ceng kau beri ilmu silat itu. Karena memberikan Soan-hoan-ciang pada orang lain sama halnya dengan membagi warisan tertinggi yang ada di dalam keluarga ini!"

"Baik!" Ciok thouw Taihiap menganggukkan kepalanya. "Kalau begitu panggil mereka, Han-ji. Dan kalau mereka tidak setuju maka Soan-hoan ciang harus mereka pelajari sungguh-sungguh, tak boleh setengah-setengah. Itu syaratku!"

Ceng Han memanggil dua puteranya. Han Ki dan Han Bu sebentar saja sudah menghadap, masing-masing terheran oleh keseriusan suasana di ruangan itu. Tapi melihat kong-Kong (kakek) mereka terbelalak dan tampaknya geram dua orang pemuda inipun berdebar dan langsung bertanya "Ayah, ada apa kong-kong memanggil kami?"

"Hm, kau tanya sendiri kakekmu itu, Ki-ji. Tanya apa sebabnya kalian dipanggil!"

Han Ki langsung memandang kong-kong-nya. "Ada apa, engkong? Kami hendak disuruh turun gunungkah?"

"Hm, aku hendak bertanya pada kalian, Ki-ji. Tentang ilmu silat kita Soan-hoan-ciang itu. Yakni, bagaimana bila Liong Ceng mendapat warisan ilmu silat ini!"

Han Ki terkejut. "Boleh saja, kong-kong. Tapi bukankah dia bukan muridmu resmi?"

Ciok-thouw Taihiap mendongkol. "Jadi kau tidak iri hati?"

"Ah. untuk apa harus iri, kong-kong? Itu milikmu pribadi. Tentu bebas kau berikan pada Liong Ceng bila itu kau anggap tepat!"

Tapi Han Bu menyela, "Tapi Liong Ceng orang luar, kong-kong. Masa berhak pula mendapat warisan keluarga ini? Apalagi Soan-hoan-ciang adalah ilmu silat keluarga kita yang paling hebat!"

Ciok-thouw Taihiap membalikkan tubuh, bersinar mukanya. "Jadi kau keberatan jika ilmu silat itu kuberikan pada Liong Ceng?"

"Sepanjang dia bukan keluarga kita, kong-kong. Artinya kalau pemuda itu merupakan orang luar yang tidak berhak mendapatkan warisan keluarga Souw!"

'Bagus, kalau begitu kalian harus mempelajari Soan-hoan ciang dengan sungguh-sungguh Bu-ji. Liong Ceng tak akan kuwarisi ilmu silat ini bila kalian bersungguh-sungguh, mempelajari Soan hoan ciang!"

Han Ki terkejut. "Tapi kalau kami harus memenuhi keinginanmu untuk menghadapi Sin Hong kami tak sanggup, kong-kong. Soan-hoan-ciang terlalu berbahaya dan merupakan ilmu pembunuh yang ganas sekali!"

"Nah, apa kataku, Han-ji?" Ciok-thouw Taihiap mulai menggwreng. "Bukankah dua anakmu ini cerewet sekali dan selalu ragu-ragu? Mereka memang tak dapat diandalkan. Dan aku akan kalah oleh si Naga Bongkok iiu!"

Ceng Han nengerutkan kening. "Tapi keragu-raguan mereka karena kau menghendaki mereka berhadapan dengan Sin Hong, ayah. Dan mereka menolak karena Sin Hong adalah saudara sepupu sendiri!"

"Tapi dia murid Naga Bongkok, Han-ji. Dan aku melihat Sin Hong sebagai murid Naga Bongkok, bukan keluarga atau saudara!"

"Benar, tapi kalau salah satu celaka maka kita jugalah yang repot, ayah. Betapapun Sin Hong adalah putera Pendekar Gurun Neraka, bukan orang lain!"

"Jadi bagaimana putusan kalian?"

"Aku menyerahkannya pada kebijaksanaanmu, kong-kong. Tidak menolak tapi juga tidak menerima. Terserah!" Han Ki menjawab, mengerutkan keningnya seperti sang ayah yang berdiri di sampingnya.

Dan Han Bu yang ikut menganggukkan kepalanya juga berkata, "Ya, terserah padamu, kong-kong. Tapi kalau benar kau hendak menurunkan ilmu silat tertinggi itu pada Liong Ceng maka dia harus diangkat sebagai murid resmi!"

Klop-lah sudah. Ciok-thouw Taihiap mendapat jawaban tegas. Dan marah bahwa persoalannya "diretour" kembali padanya maka Ciok-thouw Taihiap menggebrak meja dan melompat ke belakang. Dengan gusar dan sengit dia memanggil Liong Ceng dibawa ke ruang di mana Ceng Han dan keluarganya berkumpul. Dan berkata dengan suara geram namun penuh harapan ketua Beng-san pai ini menyuruh Liong Ceng berlutut di meja altar, menyulut delapan lilin besar untuk saksi bersumpah,

"Liong Ceng, disaksikan langit dan bumi serta anak dan dua orang cucuku bersumpahlah kau. Bahwa hari ini resmi kau menjadi murid Ciok-thouw Taihiap dan diangkat sebagai keluarga untuk membawa nama harum keluarga Souw!"

Liong Ceng terkejut. Dia tak tahu mengapa buru-buru Ciok-thouw Taihiap menyeretnya ke situ. Tapi mendengar bahwa dia resmi akan diangkat sebagai murid dan bahkan menjadi anggauta keluarga Sonw mendadak dia girang bukan main dan hampir tertawa bergelak! Tapi Liong Ceng pura-pura ketakutan, melirik kiri kanan dan bangkit berdiri. Dia melihat keluarga besar Souw Ki Beng ada di situ memandang dirinya mendadak pemuda ini menjatuhkan diri berlutut dan menolak!

"Locianpwe, mohon ampun beribu ampun. Siauw-te tak berani mengharap berlebihan. Siauw-te sudah cukup puas dengan kedudukan siauw-te seperti yang sekarang ini. Jangan terlalu mengangkat siauw-te dalam kedudukan yang membuat siauw-te mabok kegembiraan dan besar kepala!"

"Hm," Ciok-thouw Taihiap mendengus marah. "Sekarang aku yang akan memaksamu untuk menjadi murid, Liong Ceng. Kami sekeluarga siap dan sepakat menurunkan Soan-hoan-ciang kepadamu asal kau resmi menjadi anggota keluarga Souw. Hayo berlutut dan mulai bersumpah!"

"Apa?" Liong Ceng pura-pura kaget. "Kau. kau akan menurunkan Soan-hoan-ciang. locianpwe? Ah, tak berani aku menerimanya. Itu warisan keluarga Souw yang paling berharga!" lalu membentur-benturkan dahinya dengan pura-pura ketakutan pemuda ini menolak, "Locianpwe, jangan buat diriku menjadi tak enak dengan warisan ini. Ada saudara Han Ki dan Han Bu, masa aku hendak diwarisi ilmu itu? Ah, jangan main-main, locian-pwe... aku tak berani menerimanya dan biar warisan tertinggi itu dimiliki dua orang cucumu..."

Dan Liong Ceng yang bersungguh-sungguh dengan sikapnya yang tampak tidak dibuat-buat itu tiba-tiba mendapat sambutan simpatik di hati Cui Ang, menantu Ciok-thouw Taihiap yang mengangguk-anggukkan kepalanva dengan rasa puas itu. Menaruh kepercayaan bahwa Liong Ceng kiranya pemuda yang baik, tahu diri dan tampaknya jujur. Dan Han Ki serta adiknya yang juga merasa simpatik dengan sikap pemuda ini ikut menaruh rasa percaya seperti ibunya.

Kecuali Ceng Han yang tiba-tiba mengerutkan alis karena melihat ada sesuatu yang tidak beres. Melihat kerling mata pemuda itu yang bersinar penuh nafsu, sesuatu yang lain dengan yang ditunjukkannya di depan semua orang! Tapi Ciok-thouw Taihiap yang sudah mencengkeram pundak pemuda ini membentak,

"Bocah, tak perlu banyak sungkan. Hayo kau mau atau tidak menuruti perintahku...!"



Pedang Medali Naga Jilid 17

PEDANG MEDALI NAGA
JILID 17
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Karya Batara
"IH, tapi kau masih memanggilku nona, Houw twako. Begitukah sebutanmu setelah aku memanggilmu twako?"

Kun Houw tertawa, gembira sekali dan tiba-tiba merasa bahagia! Dan Kun Houw yang tertawa bergelak oleh kegembiraan hati yang meluap ini mendadak menyambar lengan Kui Hoa dan seolah lupa diri, mencengkeram lembut dengan wajah berseri seri!

"Kui Hoa, eh... Hoa moi, bolehkah kutanya lebih jauh tentang keadaan pribadimu? Artinya siapakah guru atau orang tuamu? Di manakah kau tinggal? Dan kenapa jahanam seperti Ceng Liong itu dapat mengganggumu dengan demikian keji?”

Kui Hoa tersenyum, gemetar lengannya dan semburat merah. Tapi tak melepaskan diri dan pegangan Kun Houw ia menjawab, "Guruku adalah ayahku juga, Houw-twako. Dan aku tinggal di kota raja bersama ayah dan seorang adik perempuanku. Tentang Ceng Liong. hm... jahanam itu memang kurang ajar, Houw-twako. Kelak aku akan mencari dan membunuhnya!"

"Dan siapa ayahmu itu?"'

Kui Hoa mengerutkan alis, sejenak terdiam. Tapi memandang Kun Houw dengan tajam ia menjawab jujur, "Ok-ciangkun. twako Aku adalah puteri Panglima Ok dari kota raja dan So-beng adalah pamanku!"

"Hah...?" Kun Houw kaget bukan main, melepaskan pegangannya dan tiba-tiba terbelak, mundur selangkah. "Kau., kau keponakan Iblis Penagih Jiwa itu, Hoa-moi? Kau puteri Ok-ciangkun?"

"Ya, mereka adalah ayah dan pamanku, Houw-twako. Ada apakah?"

"Ooh...!" Kun Houw tiba-tiba menutupi mukanva. "Tidak... tidak, Hoamoi... kita tak dapat bersahabat kalau begitu. Kita adalah musuh...!" dan Kun Houw yang beringas mukanya tiba-tiba melepaskan takupan jarinya dan berteriak, "Hoa-moi. So-beng adalah musuh besarku. Dia telah membunuh guruku!"

Kui Hoa terkejut. Tapi belum dia bertanya tahu-tahu Kun Houw sudah memutar tubuhnya dan terbahak lalu menjerit. "Kui Hoa, kita tak ditakdirkan sebagai sahabat. Kau dan aku adalah musuh...!" dan begitu berteriak penuh kecewa tiba-tiba Kun Houw berkelebat keluar meninggalkan gua.

Kui Hoi tertegun, pucat mukanya. Tapi Kui Lio yang mendengar suara ribut-ribut di dalam tiba-tiba melompat masuk dan bertemu Kun Houw di tengah jalan. Dan melihat Kun Houw meninggalkan encinya dengan muka beringas tiba-tiba gadis ini menyerang Kun Houw tanpa banyak bicara, menduga pemuda itu mencelakai encinya!

"Jahanam, apa yang kau lakukan pada enciku?"

Kun Houw terkejut. Dia tak menyangka bahwa di luar gua ada seorang gadis lain, tapi menangkis cepat dan membentak marah dia sudah menyelinap di antara dua pukulan itu, "Minggir...!" dan Kun Houw yang langsung mendorong punggung Kui Lin hingga gadis itu terjerumus ke depan sudah meneruskan larinya dan membuat Kui Lin menjerit kaget, berjungkir balik mematahkan daya dorong.

"Heii...!"

Tapi Kun Houw lenyap di luar. Dia sudah menghilang di balik kerimbunan pohon-pohon besar, dan ketika Kui Lin mengejarnya dengan marah-marah maka pemuda ini sudah tak tampak bayangannya lagi dan lenyap entah ke mana. Dan sementara Kui Lin membanting kaki sambil mengomel panjang pendek maka Kui Hoa muncul dengan bibir digigit kuat-kuat.

"Lin-moi. sudahlah. Dia tak akan kembali menemui kita."

Kui Lin memutar tubuhnya. "Tapi dia menyerangku, enci. Dan rupanya juga dia kurang ajar kepadamu!"

"Tidak. Dia tak melakukan apa-apa, Lin-moi. Dia hanya kecewa dan marah setelah mendengar bahwa aku adalah keponakan musuh besarnya. Mari kita kembali!"

Kui Lin terbelalak. Ia mau membantah, tapi Kui Hoa yang sudah menarik lengannya tak membiarkan adiknya ini memprotes, menyendal dan kembali ke kota raja di mana ayah dan pamannya tentu mencari - cari. Dan Kui Lin yang melihat betapi encinya ini terisak dan menggigit bibir akhirnya tak cerewet lagi dan mengikuti encinya kembali ke istana Lalu begitu membanting pintu kamar dan mereka berdua berada di tempat sendiri Kui Lin memeluk encinya ini.

"Bagaimana, enci? Kita beri tahu ayah bahwa Ceng Liong dan gurunya yang mengganggu kita?"

"Tidak," Kui Hoa terisak. "Kita tak perlu memberi tahu dulu, Lin-moi. Biarkan ini sampai saatnya kelak kita menangkap basah perbuatan mereka."

"Maksudmu?"

"Kita tak mempunyai bukti-bukti kuat, Lin-moi. Apa yang kita dengar ialah keterangan dari Naga Bongkok dan muridnya, juga Kun Houw. Tapi karena mereka adalah musuh tentu ayah atau paman tak akan mempercayai ini. Salah salah kita bisa dicurigai dan dianggap membela musuh!"

"Jadi bagaimana, enci?"

"Kita biarkan dulu, Lin-moi. Kita bersikap biasa dulu pada Mu Ba dan muridnya itu seperti biasa. Aku sedang terguncang. Kau berilah laporan pada ayah dan paman bahwa kita sudah kembali dengan selamat!"

Kui Lin terbelalak. Ia melihat encinya melempar tubuh di pembaringan, menutup muka dengan bantal dan rupanya terpukul sekali oleh peristiwa dengan Kun Houw tadi. Teringat bahwa encinya ini telah menolong Kun Houw dengan cara yang luar biasa, menyedot racun Tok-hwe ji dari mulut ke mulut. Dan maklum bahwa rupanya ada sesuata yang terjadi di antara encinya dengan Kun Houw tadi maka Kui Lin lalu mengangguk dan melompat keluar. Dan begitu Kui Lin menutup pintu kamar untuk memberi tahu bahwa mereka telah kembali dengan selamat tiba-tiba Kui Hoa mengguguk dan menangis diatas pembaringannya!

* * * * * * * *

Pagi itu Ceng Liong dilarang keluar oleh gurunva. Peristiwa semalam atau tepatnya kegagalan semalam membuat Mu Ba dan muridnya waswas. Karena itu, Ceng Liong yang bersembunyi di kamar disuruh berjaga untuk menghadapi segala kemungkinan. Dan Mu Ba bersiap-siap untuk menerima tuduhan atau kedatangan Kui Hoa kakak beradik yang mungkin tahu bahwa perbuatan semalam adalah mereka yang menjadi biang keladinya.

Tapi hari itu ternyata tenang. Kui Hoa dan Kui Lin memang datang, bahkan bersama So-beng. Tapi dua kakak beradik yang semula membuat raksasa ini menjadi tegang ternyata datang untuk menyatakan terima kasih. Hal yang membuat Mu Ba girang karena menganggap Kui Hoa dan Kui Lin tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Tapi ketika kakak beradik ini minta berjumpa Ceng Liong untuk mengucapkan terima kasih pula Mu Ba mengelak. Dia menyatakan Ceng Liong tak enak badan. Biarlah ucapan itu dia sendiri yang menyampaikannya. Dan karena Kui Hoa dan adiknya tak enak mendesak maka dua kakak beradik itu kembali mengucap terima kasih dan pergi. Dan Mu Ba lega bukan main.

"Liong-jj, kita selamat. Dua, kakak beradik itu tak menaruh curiga pada kita dan mengucap terima kasih!"

Ceng Liong tersenyum kecut. "Tapi bagaimana sikap mereka, suhu? Benarkah tidak menaruh curiga pada sikap atau gerak-gerik mereka?"

"Ha-ha, sama sekali tidak, Liong-ji. Dan Naga Bongkok rupanya tidak menghasut mereka!"

"Hm, tapi keinginanku gagal, suhu.. Dan di tempat itu tiba-tiba saja muncul si bocah hina Bu-beng Siauw-cut. Keparat!" Ceng Liong mengepalkan tinju, berkerot giginya tapi nampak gentar.

Dan Mu Ba yang diingatkan pada peristiwa semalam dan mengerutkan alisnya oleh kelihaian murid Bu tiong-kiam itu juga nampak gentar di samping marah. Tapi Mu Ba menghibur muridnya. Dia menyatakan Kun Houw tak mungkin dapat hidup lama. Pukulan Tok-hwe-ji telah melukai pemuda itu. Dan Ceng Liong yang menganggukkan kepalanya oleh kata-kata ini segera teringat pada pemuda tinggi besar yang menyelamatkan Kun Houw. Dan Ceng Liong lagi-lagi mengerutkan kening.

"Suhu, tahukah kau siapa pemuda tinggi besar yang merampas Pedang Medali Naga itu?'

Mu Ba menggeleng. “Aku tak tahu, Liong ji. Tapi kepandaian pemuda itu cukup mengejutkan hatiku!"

"Dan bagaimana bila dibanding Kun Houw?"

"Wah, aku tak tahu persis, Liong-ji. Tapi kuakui keduanya sama hebat!"

"Dan dibanding dengan kepandaianku?"

Mu Ba mengerutkan alis. "Kenapa kau tanyakan itu. Liong-ji? Apa perlunya?"

"Hm, aku tiba-tiba merasa kecewa akan kepandaian yang kumiliki, suhu. Rupanya apa yang kupelajari selama ini masih kalah dibanding dua orang pemuda itu!”

Mu Ba terkejut. "Tapi, Liong-ji. Kun Houw memang pewaris tunggal Bu-tiong-kiam Kun Seng. Dan kau tahu bahwa jago pedang itu pernah kami keroyok secara berempat!"

"Ya, dan kalian baru berhasil merobohkannya, suhu. Tapi bagaimanapun secara jujur harus kuakui bahwa satu lawan satu tentu kau tak dapat menandingi jago pedang yang sudah mampus itu. Dan kini muncul pemuda lain yang menolong si Bu-beng Siauw-cut itu. Pemuda yang rupanya juga lihai dan bukan tandinganku!"

Mu Ba semburat merah. "Kun Houw memang hebat, Liong-ji. Tapi bocah itu juga akan mampus menyusul gurunya."

"Tapi bagaimana dengan pemuda tinggi besar itu, suhu? Haruskah menjadi ancaman bagiku kelak kalau kepandaianku tak dapat melawan kepandaiannya?"

"Hm..." Mu Ba menggeram jengkel. "Apa maksudmu sebenarnya, Liong-ji? Kenapa kau tiba-tiba membicarakan masalah kepandaian?"

"Karena aku tak puas padamu, suhu. Aku ingin menambah kepandaian lagi yang hebat. Kalau bisa yang jauh lebih hebat dibanding Bu-beng Siauw-cut si bocah hina itu!"

Mu Ba terkejut. "Kau merendahkan gurumu sendiri?"

"Tidak! Kalau kau memang hebat, suhu. Tapi nyatanya untuk menghadapi Kun Houw yang sudah terluka itu saja kita harus maju bersama!"

"Hm...!" Mu Ba marah. "Tapi itu kulakukan demi untukmu, Liong-ji. Kenapa sekarang memaki gurumu sendiri?"

"Karena kau tidak becus, suhu. Kepandaianmu ternyata masih rendah dan tidak memuaskan hatiku!"

"Hah?" Mu Ba terbelalak. "Apa kau bilang?"

"Aku bilang kepandaianmu masih rendah, suhu. Kau tidak becus dan tidak memuaskan hatiku!"

"Keparat!" Mu Ba berkelebat ke depan, mencengkeram pundak muridnya ini. Dan marah oleh kata-kata Ceng Liong mendadak pemuda itu diangkat dan dibanting di depan kakinya. Brukk...!"

Ceag Liong merasa remuk. Dia dicengkeram dan diangkat lagi, siap dibanting. Tapi Ceng Liong yang berani memandang gurunya berseru, "Suhu, biar kau bunuh sekalipun diriku ini tetap saja kau tak dapat membantah kenyataan itu. Kau bukan tandingan Kun Houw atau Naga Bongkok misalnya!"

Mu Ba tertegun. Dia mendelik penuh kemarahan, tapi melihat kebenaran dan keberanian muridnya itu tiba-tiba Ceng Liong dilempar membentur tembok. "Liong-ji, kau murid jahanam. Kau tidak tahu berbakti!"

Ceng Liong melompat bangun. Dia menyeringai, menahan sakit. Tapi tetap bersikap tenang dan memandang gurunya itu dengan berani dia menjawab, "Ya, aku memang tidak berbakti, suhu. Aku murid jahanam. Tapi bukankah semuanya itu kau yang mengajariku juga?"

Mu Ba terbelalak. Dia mengerot gigi penuh kemarahan, siap menubruk dan membanting muridnya lagi. Tapi melihat Ceng Liong demikian berani dan tenang-tenang memandangnya mendadak iblis tinggi besar ini tertawa bergelak dan mencengkeram muridnya itu. "Liong ji, kau memang jahanam besar. Tapi keberanianmu ini sungguh mengagumkan hatiku. Keparat....!" dan jari-jari Mu Ba yang berkerotok mengguncang tubuh muridnya itu disambut senyum Ceng Liong yang tertawa. Tahu bahwa gurunya ini tidak jadi membunuhnya.

"Suhu, kau yang kelewat emosi. Kau tak mau melihat kebenaran dari apa yang kuomongkan!"

"Ya-ya, dan kau selamanya benar, bocah siluman. Kau tidak perduli kata-katamu menyakiti atau tidak!"

"Ah, itu karena kau emosi, suhu. Kalau tidak tentu juga kata-kataku tidak akan menyakitimu. Kenapa marah?"

Mu Ba melepas cengkeramannya. "Liong-ji, apa yang kau maui dari omonganmu itu? Hayo bicara saja. Aku sudah mengenal segala tipu muslihatmu dalam menyembunyikan sesuatu!"

Ceng Liong melangkah maju, bersikap sungguh-sungguh. "Kau tidak marah lagi, suhu?"

"Tidak."

"Baik, kalau begitu dengarkan ini," dan Ceng Liong yang tersenyum memandang gurunya bertanya, "Suhu, siapakah di dunia ini yang kiranya dapat mengalahkan Bu tiong-kiam Kun Seng atan Naga Bongkok?"

Mu Ba mengerutkan alis. "Bu-tiong-kiam Kun Seng sudah mati. Liong ji. Sebaiknya..."

“Ya ya, kalau begitu si Naga Bongkok saja, suhu,” Ceng Liong memotong. 'Siapakah kiranya yang dapat mengalahkan kakek bongkok itu satu lawan satu!"

Mu Ba tertegun.

"Kenapa diam, suhu? Yang jelas bukan kau, bukan?"

Raksasa ini mengangguk, merah mukanya. "Ya. dan ji-suhumu (Mayat Hidup) juga tak dapat mengalahkan kakek bongkok ini jika harus satu lawan satu, Liong-ji. Tapi kukira ada dua orang yang dapat menandingi kakek bongkok itu, bahkan mungkin tiga kalau So-beng mahir mainkan Tok-hwe-ji!"

"Hm, Iblis Penagih Jiwa ini tak mungkin mau memberikan kepandaiannya kepadaku, suhu. Coba kau sebutkan saja siapa dua orang yang mungkin dapat menandingi kepandaian Naga Bjngkok itu!"

Mu Ba menarik napas. "Pertama mungkin Pendekar Gurun Neraka, Liong-ji. Dan ke dua adalah ketua Beng-san-pai itu!"

"Ciok-thouw Taihiap Show Ki Beng?"

"Mungkin."

Ceng Liong berkilat matanya. "Tidak ada lainnya lagi, suhu?"

Mu Ba menggeleng ragu. "Kukira hanya dua orang itu, Liong-ji. Tak ada lainnya lalu ada apakah?"

Ceng Liang tak menjawab. Matanya berubah aneh, tapi Mu Ba yang rupanya tahu tindak-tanduk muridnya ini tiba tiba bertanya, "Kau mau mempelajari kepandaian dari orang yang dapat menandingi Naga Bongkok, Liong-ji?"

"Hm..." Ceng Long terpaksa menganggukkan kepalanya. "Memang betul, suhu. Tapi kalau Pendekar Gurun Neraka jelas tak mungkin!"

"Kalau begitu ketua Beng-san pai itu saja, Liong-ji. Kudengar dia memiliki ilmu baru yang disebut Soan-hoan ciang!"

Ceng Liong berkedip matanya. "Kau bisa membantu, suhu?'

"Kalau kau mau, bocah. Dan kebetulan sekali kudengar bahwa saat ini ketua Beng-san-pai itu dilanda kecewa!"

"Kecewa apa, suhu?"

"Tentang pewaris ilmu silatnya, Liong-ji. Katanya kudengar Soan-hoan-ciang yang dimilikinya tak mendapat sambutan baik di hati ketiga cucunya!"

"Eh, bagaimana itu, suhu?" Ceng Liong tertarik. "Bagaimana ilmu silat Soan-hoan-ciang itu tak mendapat sambutan di hati cucunya? Dan siapa mereka?"

"Puteri Pendekar Gurun Neraka dan anak dari puteranya pertama Souw Ceng Han, Liong-ji. Katanya tiga orang muda itu tak berlatih sungguh sungguh untuk menguasai Soan-hoan-ciang ini. Akibatnya ketua Beng-san-pai itu frustrasi dan mulai mabok-mabokan melepas kecewa!"

"Hm," Ceng Liong girang bukan main. "Kalau begitu aku akan ke sana, suhu. Aku akan membujuk dan mempelajari Soan-hoan ciang itu dari Pendekar kepala Batu!"

"Kau seorang diri?"

"Ya, kenapa suhu? Aku tidak takut!"

"Tapi ilmu silatmu tentu mencurigakan ketua Beng-san-pai itu, Liong-ji. Kau tentu diketahui sebagai murid golongan hitam!"

"Ah, itu mudah kuatur, suhu. Yang jelas aku akan berhati-hati mendekati ketua Beng-san-pai itu dan mencuri ilmunya!"

Mu Ba terbelalak. Dia kembali kagum akan keberanian dan jiwa petualang muridnya ini. Tapi tertawa bergelak dia justeru merasa girang. "Bagus, kalau begitu aku juga punya siasat untuk mengadu keluarga pendekar itu, Liong-ji. Sebaiknya ji-suhumu diberi tahu!" dan baru menyelesaikan kata-katanya mendadak iblis tinggi besar ini berkelebat lenyap. Ceng Liong terkejut. Tapi belum dia mengejar tiba-tiba ibunya muncul memasuki kamar.

"Liong-ji, apa yang kalian ributkan? Kenapa twa-subumu itu tertawa bagai orang gila?"

Ceng Liong tertegun. Dia melihat ibunya muncul membelalakkan mata, memandang dirinya dengan kening berkerut. Cantik dan masih tampak muda. Dan Ceng Liong yang ganti terbelalak memandang ibunya itu tiba-tiba tertawa. "Ibu, kau benar-benar cantik sekali. Sungguh hebat!"

Tok-sim Sian-li melotot. "Apanya yang hebat? Kau tidak dengar pertanyaan ibu?"

"Ah, nanti dulu, ibu. Kenapa marah-marah?" Ceng Liong menyambar lengan ibunya ini, mendudukkannya di atas kursi. Lalu tersenyum memandang ibunya itu, pemuda ini bertanya, 'Ibu di mana ji-suhu? Apakah di tempat Ok-ciangkun?"

"Ya, dan kenapa seharian penuh kau tidak keluar, Liong-ji? Kudengar semalam twa-suhumu mengejar penculik. Katanya bertempur dengan murid Bu-tiong Kiam Kung Sen yang amat lihai benarkah?”

"Benar, ibu. Tapi..."

Toksin, Sian-li tiba-tiba berdiri, membanting kakinya. “Jadi, benar yang diculik adalah Kui Hoa siocia?"

Ceng Liong terkejut. "Dari mana kau tahu, ibu?" tapi belum dia mendapat jawaban tahu-tahu ibunya ini sudah melompat dan mencengkeram batang lehernya, kuat sekali dan tampak marah besar.

"Liong-ji, kalau begitu kau yang menjadi biang keladinya. Kau bermain api dengan mengganggu puteri Ok-ciangkun itu! Tidak tahukah kau bahwa perbuatanmu ini bisa mencelakakan kami semua?"

Ceng Liong kaget. "Dari mana kau tahu, ibu?"

"Keparat, tak perlu kau menipu ibumu Liong-j! Aku tahu dan dapat menduga semuanya itu dari tindak-tandukmu sendiri!"

"Tapi..."

"Tak ada tetapi. Liong-ji! Kau yang melakukan semuanya itu, bukan?"

"Tidak, aku... eh!"

Ceng Liong menghentikan kata-katanya. Dia sudah diangkat dan ditendang ibunya ini, mencelat keluar. Dan Tok-sim Sian-li yang marah dan mengejar puteranya itu tahu-tahu kemudian sudah mencengkeram leher Ceng Liong.

"Kau tidak mengaku, Liong-ji? Kau masih menyangkal di depan ibumu sendiri?"

Ceng Liong akhirnya menyerah. Dia kesakitan oleh jari-jari ibunya itu, maka begitu nengangguk dan ibunya melepas cengkeraman itu. Ceng Liong mengeluh dan menyeringai penaaran, "Ibu, kau terlalu. Kenapa mengancam dan memperlakukan anakmu seperti ini?”

"Karena kau yang kelewatan. Liong-ji. Kau tak menghiraukan keselamatan orang tuamu yang bisa terancam!"

Ceng Liong tertegun. Dia tahu bahwa perbuatannya itu memang berbahaya sekali. Salah-salah membuat dua orang guru dan ibunya ini diusir dari istana. Tapi penasaran bagaimana ibunya itu bisa tahu Ceng Liong bertanya, “ibu, sesungguhnya dari manakah kau tahu bahwa perbuatan semalam adalah aku yang melakukannya? Kau lihatkah kejadian itu dengan mata kepala sendiri?"

Ibunya mendengus. "Aku tak perlu melihat perbuatan mu dengan mata kepala sendiri, Liong-ji. Tapi kecerobohanmu yang di luar perhitungan cukup membuat aku mengerti, bahwa semuanya itu adalah kau yang menjadi biang keladinya!"

Ceng Liong terbelalak. "Kecerobohan yang mana, ibu?"

"Kecerobohanmu dengan melempar kesalahan di atas pundak orang lain, Liong-ji. Karena bagiku tak mungkin murid Bu-tiong kiam itu akan memperkosa puteri Ok-ciangkun'."

"Eh?" Ceng Liong heran. "Dari mana kau bisa menarik kesimpulan itu, ibu?"

"Bagiku mudah, Liong-ji. Murid Bu-tong-kiam itu tak kenal-mengenal dengan puteri Ok ciangkun. Bagaimana tahu-tahu menculik gadis itu dan hendak memperkosanya? Kau ceroboh, Liong-ji. Kau dan gurumu gegabah sekali melakukan perbuatan itu. Kau harus menahan nafsumu!"

Ceng Liong tertegun. "Tapi, ibu..."

"Tapi apalagi?"

"Aku tertarik pada Kui Lin. Twa-suhu tadi malam salah ambil dan keliru membawa Kui Hoa."

"Ya, dan kau tidak memperhitungkan kecerdikan Iblis Penagih Jiwa, Liong-ji. Setan itu berbahaya dan terlampau gegabah bagimu untuk melakukan sesuatu di dalam istana ini!"

"Jadi aku tak boleh melaksanakan maksudku, ibu?"

"Maksudmu yang mana?"

"Aku ingin gadis itu menjadi kekasihku, ibu. Aku jatuh cinta dan tergila-gila pada adik Kui Lin!"

"Tidak. Sementara ini kau tidak boleh mengganggu puteri Ok-ciangkun itu, Long-ji. Kau harus menahan diri dan jangan sekali-kali mengulang perbuatanmu yang lancang itu!"

"Hm!" Ceng Liong kecewa. "Kalau begitu tolong kau saja yang menghibur diriku, ibu. Kau berilah obat pelipur lara padaku untuk pengganti kekecewaanku itu!"

Tok-sim Sian-li terkejut. "Apa maksudmu?"

"Maksudku kau hibur aku seperti kalau kau menghibur ji-suhu, ibu. Aku ingin merasakan kehangatan kasih sayangmu luar dalam!" dan Ceng Liong yang tersenyum memandang ibunya itu tiba-tiba melangkah maju dan memeluk ibunya ini, langsung mencium mulut ibunya penuh nafsu dan penuh gairah.

Dan Tok-sim Sian-li yang sejenak tertegun oleh perbuatan puteranya itu sedetik terbelalak dan tidak memberikan reaksi. Tapi, begitu ia sadar dan kaget bukan main tiba-tiba wanita ini melengking dan menampar puteranya, melepaskan diri.

"Liong-ji, kau bocah keparat...plak plakk!"

Dan Ceng Liong yang terbanting roboh oleh tamparan ibunya ini sudah melompat bangun dengan mulut berdarah. Dia terkejut dan membelalakkan matanya, tapi sang ibu yang tampaknya marah oleh perbuatan Ceng Liong ini tiba-tiba kembali membentak dan melompat maju, melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi menghajar Ceng Liong

"Liong-ji, kau anak durhaka. Kau bocah siluman...plak...des... dess!"

Dan Ceng Liong yang bertubi tubi mendapat tamparan dan tendangan ibunya akhirnya jatuh bangun di atas lantai. Ceng Liong mengaduh, berteriak dan menabrak meja kursi yang berantakan ditimpa tubuhnya. Tapi ketika ibunya mendesis-desis dan menghajarnya kalang kabut tak mau sudah mendadak pintu kamar terbuka dan Mayat Hidup muncul.

"Sian-li! Apa yang terjadi? Kenapa Ceng Liong kau hajar?"

Tok-sim Sian-li menghentikan amukannya. Dia terbelalak dan berapi-api memandang puteranya itu, terengah dengan dada naik turun, marah bukan main. Tapi melihat Mayat Hidup muncul dan tubuh Ceng Liong babak-belur oleh semua pukulan dan tendangannya tiba-tiba wanita ini terisak dan melompat keluar.

"Ceng Liong hendak kurang ajar kepadaku. Mayat Hidup. Dia berani minta yang tidak-tidak kepada ibunya!"

"Heh?" Mayat Hidup terkejut, tidak menyangka. "Kau maksudkan anak ini ingin bermain cinta denganmu, Sian-li?"

Tapi Tok-sim Sian'li sudah lenyap Ia meninggalkan kamar dengan napas sesak dan penuh kemarahan. Dan persis wanita itu lenyap di luar kamar maka Mu Ba si raksasa tinggi besar muncul.

"Liong-ji, benarkah yarg dikatakan ibumu itu?"

Ceng Liong menarik napas. Dia berdebar dan terkejut melihat gurunya nomor dua muncul, karena gurunya itulah yang biasa galang-gulung dengan ibunya, menjadi kekasih tetap. Tapi melihat gurunya pertama muncul dan berdiri mendampingi gurunya nomor dua tiba-tiba Ceng Liong tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

"Ya, aku ingin ibu menghibur kekecewaanku, twa-suhu. Tapi ibu marah-marah dan menghajarku jatuh bangun!"

Dua orang iblis itu terbelalak. Ceng Liong bersiap menanti kemarahan gurunya, terutama Mayat Hidup. Tapi melihat Mayat Hidup menyeringai dan tiba-tiba terkekeh dengan suara aneh tiba-tiba Ceng Liong menjadi heran dan tidak mengerti. Apalagi ketika gurunya nomor dua itu melompat dan menepuk-nepuk bahunya.

"Heh-heh, murid kita yang satu ini benar-benar luar biasa, Mu Ba. Siapa sangka dia lebih tak tahu aturan dan kurang ajar dibanding kita? Ceng Liong benar-benar hebat. Dia akan melebihi kita dalam soal kejahatan!" dan Mayat Hidup yang batuk-batuk sambil terkekeh itu tampak bersinar dan girang bukan main memandang muridnya. Tidak marah dan bahkan memuji! Dan Ceng Liong yang tentu saja tak menyangka oleh sikap gurunya itu tertegun.

Dan Mu Ba juga tiba-tiba tertawa bergelak. "Benar, murid kita yang satu ini memang luar biasa, Mayat Hidup. Dan hal itu memang sudah kuketahui sejak pertama aku bertemu dengannya!"

Ceng Liong akhirnya menyeringai, tersenyum kecut. Tapi melihat kedua gurunya betul-betul tidak marah dan tampaknya gembira bahwa dia bisa melakukan sesuatu yang di luar kewajaran akhirnya menjadi tenang dan ikut tertawa juga, merasa mendapat, "dukungan". Dan ketika kedua gurunya melompat keluar meninggalkan dia Ceng Liong pun tiba-tiba teringat dan memanggil gurunya nomor satu, “Twa-suhu, nanti dulu! Bagaimana dengan rencanaku semula?'

Mu Ba membalikkan tubuhnya. "Kau boleh pergi, Liong ji. Aku dan ji-suhumu setuju. Tapi sebaiknya besok saja kau berangkat!"

Ceng Liong girang. "Kalau begitu tak perlu besok. suhu. Nanti malam saja aku berangkat. Ibu ingin kutemui sekali lagi!"

"Ha-ha, terserah, bocah. Tapi hati-hati...!"

Ceng Liong kembali masuk ke kamarnya. Dia girang bahwa kedua suhunya memberi ijin, maka beristirahat sehari penuh dia lalu menyiapkan buntalannya dan bertekad bahwa dia akan menyelidiki ketua Beng-san pai itu untuk mendapatkan ilmunya. Dan ketika malam tiba dan Ceng Liong berkemas untuk meninggalkan kamarnya maka yang dituju pertama kali adalah kamar ibunya!

Ceng Liong tersenyum aneh. Dia melangkah hati-hati mendekati kamar ibunya itu. Dan melihat pintu kamar tertutup rapat Ceng Liong lalu mengintai dari kertas jendela. Dan Ceng Liong tertegun. Dia melihat ibunya menangis di atas pembaringan, terisak-isak. Rupanya masih marah oleh peristiwa tadi pagi. Tapi Ceng Liong yang terbelilak melihat ibinya mengenakan gaun tipis hingga menembus ke seluruh lekuk liku tubuhnya yang indah menggairahkan tiba-tiba menahan napas dan bangkit nafsu berahinya!

Ibunya itu memang hebat, Ceng Liong mendesis kagum. Dan melihat ibunya terisak-isak dengan pundak berguncang tampak sedih Ceng Liong bukannya terharu melainkan tertawa. Pemuda ini menyeringai aneh, dan begitu nafsu berahinya bangkit dan dia tak tahan lagi oleh kemolekan tubuh ibunya tiba tiba Ceng Liong sudah membuka jendela dan melompat masuk!

"Ibu, maaf. Aku sedikit mengejutkarmu..!"

Tok-sim Sian-li berseru kaget. Ia benar benar terkejut oleh seruan Ceng Liong, dan ketika ia melompat turun dengan mata terbelalak dari atas pembaringannya maka dilihatnya Ceng Liong sudah berdiri di depannya dengan mata penuh nafsu memandang tubuhnya.

"Ih, kau., ada apa kau kemari, anak setan?"

Ceng Liong tersenyum. "Aku mau pamitan, ibu. Juga sekaligus minta maaf kalau kau masih marah kepadaku!"

Tok-sim Sian-li tertegun. Dia rupanya terkejut mendengar kata kata ini, tapi melihat Ceng Liong menyeringai dan menelusuri tubuhnya dari atas ke bawah menembus pakaian tipis yang dikenakannya itu tiba-tiba Tok-sim Sian-li membentak dan menampar puteranya itu, "Liong-ji, keluar dulu. Aku mau salin pakaian'!"

Ceng Liong melompat mundur. Dia mengelak tamparan ibunya itu, tapi menggelengkan kepala sambil tertawa dia berkata. "Tak perlu, ibu. Aku sudah biasa melihatmu seperti ini berulang kali. Kenapa malu atau marah?"

Tok-sim Sian-li menggigil. "Liong-ji, apa maksudmu?"

Ceng Liong tersenyum, menutup jendela dan kembali menghampiri ibunya itu. Semua sikap dan gerak-geriknya tenang. Lalu berkata dengan pandang mata penuh gairah pemuda ini tertawa memegang lengan ibunya, "Aku mau pamitan, ibu. Aku datang untuk memberitahumu dan sekalian minta maaf!"

Tok-sim Sian-li ngeri. Dia melihat puteranya itu tiba-tiba saja bukan seperti manusia, tersenyum dan menyeringai aneh kepadanya. Masih tenang tapi menyembunyikan sesuatu yang buas di dalam pandang matanya. Dan marah serta ngeri oleh sikap puteranya ini tiba-tiba Tok-sim Sian-li menghentakkan tangannya melepas diri. "Liong-ji, aku tak mau bergurau denganmu. Hayo keluar dan kembali ke kamarmu!"

Tapi Ceng Liong tersenyum, tidak keluar dan malah menangkap pundak ibunya ini. Dan menekan pundak ibunya dengan mata bersinar-sinar tiba-tiba pemuda itu mendudukkan ibunya di atas pembaringan. "Ibu, aku tidak bergurau. Aku malam ini hendak pergi dan sungguh-sungguh mau pamitan kepadamu!"

Tok-sim Sian-li terkejut. "Kau mau ke mana?"

"Ke Beng-san ibu. Menemui Ciok-thouw Taihiap dan mempelajari hebatnya Soan-hoan-C!ang..!"

"Apa? Kau...."

"Ya, aku mau ke sana, ibu. Aku telah membicarakan ini dengan ji-wi suhu dan mereka berdua setuju!"

"Ah...!" Tok-sim Sian-li bangkit berdiri, berobah mukanva dan tiba-tiba lupa akan kemarahannya pada Ceng Liong atas peristiwa siang tadi. Dan terbelalak serta khawatir memandang puteranya itu wanita ini bertanya, "Kau sadar akan maksudmu itu. Liong-ji? Kau tahu akan bahayanya bertemu Ciok-thouw Taihiap Souw Ki Beng?"

"Ya, kalau pendekar itu mengetahui siapa diriku, ibu. Tapi Ciok-thouw Taihiap tak akan mengenal aku karena selamanya belum pernah kita saling bertemu muka!"

"Dan maksudmu itu, kenapa berani mati mendekati Pendekar Kepala Batu?"

"Karena aku ingin mempelajari Soan-hoan-ciang yang dimiliki ketua Beng-san-pai itu, ibu. Aku tak puas pada kepandaian twa-suhu dan ji-suhu yang tidak dapat mengalahkan Naga Bongkok dan Bu-beng Siauw-cut Kun Houw!"

Tok-sim Sian-li, tertegun. Dia kaget tapi juga kagum akan keberanian puteranya ini. Berani mendatangi ketua Beng-san-pai itu yang terkenal keras dan ganas sepak terjangnya, terutama kebengisan sikapnya terhadap penjahat. Kaum golongan hek-to yang menjadi musuh nomor satu pendekar itu. Bahkan gurunya tewas di tangan pendekar ini. Ketua Beng san pai yang kebal dan memiliki kesaktian tinggi! Dan mendengar puteranya ini mau mendatangi ketua Beng-san-pai itu dan mempelajari ilmunya tiba-tiba Tok sim Sian li menjadi heran dan tidak mengerti.

"Liong-ji. bagaimana caramu meminta Soan-hoan-ciang itu?"

Ceng Liong tertawa. "Tentu saja menjadi muridnya, ibu. Kenapa tidak mengerti?"

"Apa?" sang ibu terbelalak. "Kau menjadi muridnya?"

"Ya, dan aku akan membujuk pendekar itu, ibu. Ini saat yeng tepat karena Ciok-thouw Taihiap sedang kecewa. Dia dirundung kekesalan karena cucu-cucunya tidak ada yang becus menguasai ilmu barunya itu. Dan aku akan menunjukkan pada pendekar itu bahwa aku sanggup mewarisi Soan-hoau-ciang!"

Tok-sim Sian-li kembali tertegun. "Dan mana kau tahu?"

"Twa suhu yang memberi tahu, ibu. Dan aku akan berangkat malam ini juga."

"Ah, dan kau seorang diri?'

"Ya."

Dan Tok-sim Sian-li yang terkejut memandang puteranya itu tiba-tiba terisak. "Liong-ji, itu amat berbahaya. Tidakkah kau tahu keganasan Ciok-thouw Taihiap?"

"Aku hanya mendengar sepak terjangnya saja, ibu. Tapi aku tidak takut menghadapinya. Paling-paling mati!"

"Liong-ji...!" ibunya berteriak, terbelalak memandang puteranya.

Tapi Ceng Liong yang tertawa memandang ibunya itu tiba-tiba memeluk dan mencium pipi ibunya. "Ibu, kenapa kau cemas? Tanda cintakah ini?"

Tok-sim Sian-li melepaskan diri. Dia meronta dan menggerakkan tangan untuk menampar Ceng Liong, yang berani mencium dan memeluk dirinya, meskipun hanya ciuman di pipi. Tapi melihat Ceng Liong menyeringai dan menahan tamparannya Tok-sim Sian li tiba-tiba tertegun,

"Liong-ji, apa yang kau maui dari ibumu? Kau mau kurang ajar dan menghinaku?" suara wanita ini menggigil, ngeri tapi juga marah memandang puteranya itu, yang mendengus dan mulai terkekeh dengan suara aneh.

Dan Ceng Liong yang tampaknya bergairah memandang ibunya ini tiba-tiba melempar buntalan dan merayu, "Ibu, aku ingin mengulang permintaanku tadi pagi. Aku ingin kasih sayangmu luar dalam. Mumpung aku masih hidup dan belum menemui bahaya di tangan Ciok thouw Taihiap Souw Ki Beng!"

Tok-sim Sian-li terbelalak pucat. “Kau mau kurang ajar, Ceng Liong?"

"Ah, tidak. Aku minta secara baik-baik padamu, ibu. Aku tidak kurang ajar atau memaksa. Aku hanya ingin kau menghiburku seperti kalau kau menghibur ji-suhu!"

"Keparat!" Tok-sim Sian-li marah. "Kalau begitu terimalah ini, anak durhaka. Mampus dan enyahlah kau... dess!"

Dan Ceng Liong yang terpelanting ditendang ibunya seketika mencelat dan mengaduh membentur tembok. Ceng Liong menyeringai, cepat melompat bangun tapi tidak kelihatan jera. Karena begitu terhuyung dan berdiri memandang ibunya pemuda ini tiba-tiba tertawa dan memprotes, "Ibu, kau pilih kasih. Kau bersikap berat sebelah antara aku dengan ji-suhu!"

Tok-sim Sian-li semakin marah. "Kau ingin kuhajar lagi hingga babak-belur, anak setan? Kau ingin kubunuh?"

Ceng Liong tidak takut. "Aku hanya ingin pelayananmu, ibu. Ji-suhu tidak marah dan mengijinkan aku untuk..."

"Plak-plak!" Ceng Liong tak dapat meneruskan kata-katanya. Dia kembali menjerit dan terpelanting roboh ketika ibunya menampar, dua kali menyerang di pundak dan leher puteranya ini. Dan ketika Ceng Liong bangkit berdiri dan kembali mengeluarkan kata-kata yang tidak tahu aturan mendadak Tok-sim Sian-li melengking dan menghujani tubuh Ceng Liong dengan pukulan bertubi-tubi.

Akibatnya Ceng Liong tunggang-langgang, jatuh bangun dan berteriak-teriak mengaduh, menabrak meja dan membentur kursi hingga jungkir balik, tak keruan tempatnya lagi. Tapi ketika ibunya mendesis dan melakukan pukulan Tok-hiat-jiu tiba-tiba pemuda ini meloncat jauh membanting diri bergulingan.

"Ibu, kau telengas. Lain kali saja kita berjumpa.... brakk!'"

Ceng Liong sudah keluar melewati jendela. Dia sempat menyambar buntalannya, mendengar jendela hancur berkeping-keping dihantam pukulan ibunya itu. Dan berteriak penuh kecewa dan penasaran pemuda ini melarikan diri menyelinap di kegelapan malam. Dan ketika ibunya mengejar dan melompat keluar maka yang dilihatnya adalah bayangan Ceng Liong yang sudah jauh kabur di depan.

"Jahanam!" Tok-sim Sian-li membanting kakinya. "Bagaimana keturunan Pendekar Gurun Neraka bisa seperti itu? Ah, keparat kau, Liong-ji.... terkutuk kau.!" dan baru wanita ini melepaskan makiannya dengan gusar tiba-tiba berkesiur angin dingin di belakang punggungnya.

"Niocu, anak itu anak iblis. Dia kemasukan roh Kalapati...!"

Tok-sim Sian-li terkejut, langsung memutar tubuh. "Siapa kau?" dan Tok-sim Sian-li melihat munculnya seorang kakek tinggi kurus yang serasa dikenal. Kakek itu muncul begitu saja di belakangnya, tidak diketahui. Mungkin karena perhatiannya tercurah pada Ceng Liong. Tapi wanita yang terlanjur marah ini jadi semakin geram ketika kakek itu tidak segera menjawabnya.

"Niocu, anak itu berbahaya sekali. Sebaiknya dia kau bunuh!"

"Keparat!" Tok-sim Sian-li memekik. "Kau siapa, tua bangka? Kenapa tidak menjawab pertanyaan orang dan masih saja memaki anakku? Kau ingin mampus? Nah, terimalah...!" dan Tok-sim Sian-li yang menusukkan jarinya tahu-tahu menotok jalan darah di leher laki-laki iiu dengan kecepatan luar biasa.

"Tuk...ihh!"

Tok-sim Sian-li terkejut. Dia merasa jari telunjuknya mental, meleset dan bertemu segumpal hawa yang licin, membuat totokannya tergelincir dan luput total! Dan sementara ia berjungkir balik mematahkan daya tolak dan tenaga yang membalik maka laki-laki itupun terdorong mundur dan menancapkan tongkatnya.

"Niocu, aku Vijananda. Kita bertemu pada duapuluh tahun yang lalu...!"

Tok-sim Sian-li melayang turun. Ia terbelalak dan kaget oleh seruan itu. Tapi setelah mengingat-ingat dan tahu siapa lawannya ini tiba-tiba Lie Lan atau wanita yang kini berjuluk Tok-sim Sian-li itu tertegun "Hm, kau kiranya, tua bangka? Ada apa kau datang ke mari?"

Vijananda mencabut tongkatnya. "Aku datang untuk memperingatkanmu, niocu. Anakmu itu berbahaya dan sebaiknya dibunuh sebelum dia membunuhmu!'

"Keparat, jadi kau datang hanya untuk itu, Vijananda? Kau kembali menyuruh untuk membunuh anakku sendiri?"

"Ya, sebelum mencelakakan dirimu, niocu. Mumpung kepandaiannya masih di bawah tingkatmu dan belum berbahaya!"

"Jahanam!" Lie Lan melengking. "Kau tampaknya benci sekali pada anakku, Vijananda. Kalau begitu terimalah ini dan mampuslah... wutt!" Lie Lan atau Tok-sim Sian-li yang sudah berkelebat dengan pekik kemarahannya itu tahu-tahu menyambar dan menghantam muka lawannya ini, ganas dengan pukulan Tok-hiat-jiunya.

Tapi Vijananda yang berasal dari Thian-tok (India) itu menangkis. "Niocu, nanti dulu... aku, ah... plak-brett!” Vijananda menghentikan seruannya. Tongkatnya mental bertemu lengan wanita itu, tertolak dan hampir mengemplang kepalanya sendiri. Dan sementara dia melompat mundur untuk menarik kepalanya itu maka bajunya tiba-tiba disambar robek oleh tangan kiri wanita itu yang bergerak menyusul!

"Ah...!" Vijananda menjatuhkan diri bergulingan. Dia ingat dan mencelos oleh keganasan lawannya ini. Tapi melompat bangun dan buru-buru menggoyangkan lengan pendeta ini berseru, “Niocu. nanti dulu. Dengarkan dulu omonganku. Aku..."

Vijananda kembali menghentikan seruannya. Dia melihat Lie Lan memekik dan mengejarnya tak perduli, sama sekali tak menghiraukan seruannya itu. Dan melihat wanita ini menampar dan bertubi-tubi melakukan pukulan Tok hiat jiu akhirnva vijananda mengeluh dan menangkis menggerakkan tongkatnya, berlompatan ke sana ke mari menghindari pukulan lawan yang berbahaya. Terutama telapak wanita itu yang berobah kemerah-merahan dan berbau amis. Dan begitu dua orang ini berkelebatan saling sambar-menyambar maka ptrtandingnrpun tak dapat dihindari lagi.

Vijananda bertahan dengan tongkatnya. Mati-matian menangkis dan balas menyerang. Tapi karena pukulan Tok-hiat-jiu adalah pukulan beracun yang membawa bau amis akhirnva pendeta ini sesak napas dan batuk-batuk. Dia mundur-mundur, kewalahan oleh serangan lawan yang gencar dan bertubi-tubi. Terutama oleh bau sengak yang mulai meracuni paru-parunya itu. Dan ketika dirinya semakin terdesak dan Tok-sim Sian-li melancarkan pukulan pukulan maut yang siap merenggut nyawanya tiba-tiba Vijananda melirik ke sana ke mari untuk melarikan diri.

Tapi Tok-sim Sian-li rupanya tahu. Wanita ini melihat gerak-gerik lawan yang mencurigakan, selalu mencari tempat gelap. Maka ketika lawan kembali mundur oleh tamparan lengannya dan Vijananda melompat jauh untuk melarikan diri tiba-tiba Lie Lan membentak dan mencabut Bendera Iblisnya. "Vijananda, ke mana kau lari?"

Vijananda terkejut. Dia sudah memutar tubuh untuk melarikan diri, tapi ketika sebuah benda hitam menyambar tubuhnya dan kain bendera menderu dengan dahsyat tiba-tiba pendeta ini berteriak dan menggerakkan tongkat. "Tok-sim Sian-li, kau wanita telengas...!"

Lie Lan tertawa mengejek. Dia terus mengelebatkan kain benderanva itu, bertemu tongkat dan diputar menggubat diri lawannya. Dan ketika Vijananda berteriak kaget karena tubuh terbungkus bendera maka saat itulah untuk pertama kalinya Vijananda memekik ketika pukulan Tok-hiat-jiu yang dilancarkan tangan kiri Lie Lan mengenai lehernya. "Plak!"

Vijananda menjerit. Dia terlempar dan terbanting roboh, bergulingan tapi masih tetap dilibat bendera. Dan kaget serta marah oleh desakan lawan yang tak mengampuninya tiba-tiba pendeta ini menjadi nekat. Dia menubruk ke depan, sekenanya. Dan tongkat yang mencuat dari sela-sela bendera sudah ditusukkan dengan penuh kemarahan.

"Tok-sim Sian-li, kau culas!"

Lie Lan mendengus, la mengelak ke kiri, membuat tongkat mengenai tempat kosong. Dan begitu jarinya menampar maka untuk kedua kalinya Vijananda menerima pukulan Tok-hiat-jiu. Kontan pendeta itu menjerit, dan sementara dia terguling-guling dengan tubuh masih dibungkus bendera maka saat itulah Lie Lan melancarkan serangan ke tiga. "Vijananda, mampuslah menghadap Giam-lo-ong!"

Vijananda tak dapat mengelak. Dia hanya menjerit sekali ketika pukulan terakhir itu datang, persis mengenai kepalanya. Dan begitu terdengar suara "prak" yang cukup keras maka pendeta inipun mengeluh dan roboh tak berkutik. Tewas!

Lie Lan membuka libatan benderanya. Dia melihat pendeta itu terkapar, tengkoraknya pecah dan mendelik dengan mata melotot. Rupanya panasaran akan kematiannya itu. Tapi Lie Lan yang tak perduli akan semuanya ini sudah menendang mayat pendeta itu ke dalam semak-semak. Dan saat itulah tiba-tiba terdengar suara.

"Tok-sim Sian-li, kau tak dapat diberi tahu orang. Anakmu itu kelak akan membunuhmu seperti kau membunuh aku!"

Lie Lan terkejut. Dia merinding oleh kata-kata ini, seruan dari roh Vijanarda yang seolah mengutuknya. Tapi tak perduli den tertawa mengejek oleh ancaman yang dianggaprya kosong itu Lie Lan sudah membalikkan tubuhnya dan terkelebat kembali memasuki kamar.

* * * * * * * *

Seperti biasa, pagi itu dalam kekecewaannya yang berlarut-larut, Pendekar Kepala Batu duduk di belakang rumahnya. Dia menenggak arak dengan guci besar, tidak mempergunakan cawan melainkan menggelogok langsung dari mulut guci ke dalam mulutnya sendiri. Suasana pagi itu sepi. Tidak ada orang, karena Ceng Han dan dua puteranya pergi turun gunung ke Ta-pie-san. Dan Ciok-thouw Taihiap yang sudah bertahun-tahun dilanda kekecewaan pribadi ini akhirnya bicara seperti orang mabok sambil menenggak araknya.

"Han Ki, Han Bu... kalian dua bocah tolol yang tidak tahu hebatnya Soan-hoan-ciang Kenapa tidak berlatih sungguh-sungguh dan mengecewakan aku? Ah, kalian anak-anak bodoh, Han Ki. Kau dan adikmu itu goblok melebihi kerbau! Ha-ha, Soan-hoan ciang harus kuwariskan pada siapa? Kepada angin lalukah? Atau kepada setan yang gentayangan di muka bumi?"

Ciok-thouw Taihiap tertawa-tawa. Dia menenggak dan menggelogok kembali araknya itu, tapi menggebrak meja tiba-tiba dia menyemprotkan araknya itu. Arak yang berobah beku dan menyambar ke kiri di mana seseorang bersembunyi!

"Siapa di situ?"

Seseorang terdengar mengaduh. Ciok-thouw Taihiap melihat seorang pemuda muncul dengan tiba-tiba, melompat keluar dari tempat persembunyiannya tadi. Pemuda tak dikenal yang langsung menjatuhkan diri berlutut. Dan Ciok-thouw Taihiap yang terbelalak memandang pemuda ini tiba-tiba menggereng dan bangkit berdiri.

"Kau siapa bocah? Kenapa mengintai dan memasuki tempat ini?"

Pemuda itu membenturkan dahinya. "Siauwte (aku) Liong Ceng. locianpwe. Maaf bahwa siauwte datang tanpa ijin."

"Ya, aku tahu. Tapi apa maksudmu datang ke mari?" Ciok-thouw Taihiap membentak.

“Siauw-te... siauw-te." pemuda itu tergagap, menyeringai dan tiba tiba menangis. "Siauw-te datang untuk melamar sesuatu, locianpwe. Siauw-te ingin menjadi muridmu untuk membalas sakit hati!"

"Apa? Kau mau berguru kepadaku?"

"Kalau kau perkenankan, locianpwe. Karena siauw-te ingin membalas dendam atas kematian orang tua siauw-te di tangan So-beng!"

"Hah?" Ciok-thouw Taihiap tertegun. "So-beng?"

"Ya, So-beng, locianpwe. Iblis Penagih Jiwa itu telah membunuh dua orang tua siauw-te yang katanya membela Ho-han-hwe (Perkumpulan Kaum Patriot)!"

Ciok-thouw Tahiap terhenyak, melangkah maju dan tiba-tiba tergerak hatinya. "Bocah, angkat wajahmu dan tengadahkan kepala. Aku ingin melihat tampangmu!"

Liong Ceng mengangkat mukanya. Dia tergetar dan terkejut melihat pandang mata ketua Beng san pai itu berkilat mirip mata seekor naga, garang dan keren, menakutkan. Dan Liong Ceng yang sebentar saja sudah menundukkan kepala tak berani lama-lama beradu pandang dengan pendekar sakti itu tiba-tiba dicengkeram kepalanya oleh lima jari Ciok-thouw Taihiap yang mengeluarkan suara berkerotok.

"Bocah, tengadahkan kepala dan lihat mataku! Kenapa menunduk? Kau tidak dengar, hah?"

Liong Ceng terkesiap. Da terpaksa mengangkat kepalanya, terkejut oleh bentakan yang bengis dan menggetarkan isi dadanya itu. Dan mendongkol bahwa Ciok-thouw Taihiap selalu membentak bentak tiba-tiba pemuda ini melotot dan memandang marah pendekar itu! Dan, aneh sekali, Ciok thouw Taihiap tiba-tiba tertawa.

"Ha ha, bagus, anak muda. Kau memiliki keberanian besar yang mengagumkan hatiku. Tapi jangan melotot, aku tidak suka itu... plak!” dan C ok thouw Taihiap yang menggerakkan jari menepuk Liong Ceng sudah membuat pemuda itu mencelat dan terlempar roboh dengan seruan kaget.

'Locianpwe...!"

Tapi Ciok thouw Taihiap memutar tubuhnya. Ketua Beng san-pai itu kembali ke tempat duduknya semula, menyambar arak dan teriekeh-kekeh. Tak perduli pada pemuda yang sudah melompat bangun itu. Dan Liong Ceng yang penasaran melihat ketua Beng-san-pai ini tak menghiraukan dirinya akhirnya melompat maju dan menjatuhkan diri berlutut.

"Locianpwe, bagaimana dengan permohonanku? Bisakah kau terima aku untuk menjadi murid?"

"Hm, kau kurang memenuhi syarat, bocah," Ciok-thouw Taihiap acuh tak acuh. "Sebaiknya kembali saja dan buang jauh-jauh keinginanmu untuk menjadi muridku!"

"Tapi, locianpwe. So-beng hanya takut kepadamu. Kalau tidak mendapatkan warisan ilmu Silatmu lalu bagaimana aku dapat membalas kematian orang tuaku? Di dunia ini hanya kau yang kuharap, locianpwe. Aku telah bersumpah untuk menjadi muridmu atau mati di tempat ini kalau kau menolak!"

Ciok-thouw Taihiap terbelalak. "Kau main paksa, bocah? Bagaimana kau mau mati?'

"Aku akan berlutut di depanmu, locianpwe. Sampai kau meluluskan permintaanku atau tetap menolaknya sampai aku mampus!"

"Kalau aku pergi?"

"Aku akan mengikutimu, locianpwe. Aku akan mengejarmu sampai ke manapun kau pergi”

"Keparat!" Ciok thouw Taihiap menjadi marah. "Kalau begitu biar kutendang kau, bocah. Nah, enyahlah di sana dan berlutut seperti katamu tadi... dess!"

Liong Ceng yang ditendang pendekar ini tiba-tiba mencelat dan jatuh sepuluh tombak lebih, menggigit bibirnya tapi bangkit berdiri. Terhuyung dan kembali mendekati pendekar ini, berlutut. Lalu berkata nyaring dengan suara sungguh-sungguh pemuda ini mengeraskan dagunya, "Locianpwe, aku tak mau berlutut jauh di depan kakimu. Kalau kau menolak biarlah kau lihat mayatku menggeletak di depin kakimu!"

Ciok thouw Taihiap terbelalak. Dia melihat pemuda itu benar-benar berlutut di dekatnya, tak jauh, hanya semeter saja. Dan Ciok thoaw Taihiap yang gusar hatinya tiba-tiba menendang kembali dengan marah. "Bocah, kalau kau mau miti mampuslah di tempat yang jauh sana. Jangan di sini. dess...!"

Liong Ceng kembali terlempar. Pemuda itu terguling-guling, tapi melompat bangun dan terhuyung-huyung memandang ketua Beng san pai itu kembali pemuda ini mejatuhkan diri berlutut di tempat yang sama, duduk tak jauh dari pendekar itu! "Locianpwe, kau boleh bunuh aku kalau tidak percaya akan keteguhan niatku. Aku tak mau jauh darimu sebelum cita-citaku berhasil!"

"Eh?" Ciok-thouw Taihiap tertegun. "Kau nekat?"

"Selama kau masih menolakku, locianpwe. Selama keinginanku belum terpenuhi dan kau ingin melihat aku mati di sini!"

Ciok thouw Taihiap bangkit berdiri. Sekarang pendekar ini tertarik, tapi tertawa mengejek tiba-tiba untuk ketiga kalinya kembali dia menendang pemuda itu. "Bocah, aku tak suka mengambil murid untuk saat ini. Kau pergilah dan jangan ganggu aku!"

Liong Ceng terlempar. Untuk ketiga kalinya pula dia menahan sakit, tapi bangkit berdiri dan terhuyung menghampiri pendekar itu kembali dia menjatuhkan diri berlutut di tempat yang sama. Tak mau mengalah! Dan Ciok-thouw Tahiap yang jengkel tiba-tiba kembali menendang dan menendang. Akibatnya Liong Ceng dihajar pulang-balik. Tapi ketika pemuda itu tetap nekat dan kembali mendekati meja araknya uniuk berlutut di situ akhirnya Ciok-thouw Taihiap mengangkat kakinya dan ganti menendang meja berikut araknya itu ke sudut taman.

"Bocah, baik kau berlutut di situ saja. Aku yang pindah!"

Ciok-thouw Taihiap benar-benar pindah. Dia sudah menyambar dan menenggak arakrya, minum dengan jengkel. Tapi begitu menurunkan guci arak dan melihat ke kiri tahu-tahu pemuda itu sudah mengikutinya pula dan berlutut tak jauh di bawah kakinya!"

"Locianpwe, aku juga ikut pindah. Aku selalu akan membayangimu ke manapun kau pergi...”

Ciok-thouw Taihiap mendelik. Dia marah tapi juga heran. Tapi merasa terganggu dan gusar oleh sikap pemuda ini mendadak ketua Beng-san-pai itu membungkukkan tubuhnya dan mencengkeram leher baju pemuda itu. "Bocah, enyahlah. Aku tak mau mengambilmu sebagai murid, bress..!"

Liong Ceng terguling-guling. Dia dilempar jauh dan tempat itu. dan ketika dia bangkit berdiri dan kembali akan mendekati pendekar itu tahu tahu Ciok-thouw Taihiap sudah berkelebat di depannya dan menangkap leher bajunya lagi. Lalu, membentak dan melemparnya jauh. Liong Ceng sudah melayang dan jatuh di luar tembok taman, berdebuk dan terguling-guling di situ.

Tapi Ciok-thouw Taihiap yang rupanya tak puas dengan sepak terjangnya itu sudah kembali menyusul dan bertubi-tubi melempar dan menendang pemuda ini. Tidak sekali dua tapi berkali-kali, hingga pemuda itu mengeluh dan berdebuk babak-belur. Lalu ketika Ciok-thouw Taihiap menghentikan gerakannya dan Liong Ceng tak dapat bangkit berdiri karena tulang-tulangnya seakan remuk maka ternyatalah pemuda itu sudah keluar dari tempat tinggal pendekar itu dan jauh di kaki gunung!

"Nah, sekarang kau tak dapat menggangguku lagi, bocah. Tidur dan beristirahatlah di situ...!"

Ciok-thouw Taihiap berkelebat lenyap. Dia sekarang puas dan lega pemuda yang mengganggunya ini sudah dibuatnya tak berdaya di kaki gunung. Jauh dari tempat tinggalnya. Tak akan mengganggu lagi. Dan Ciok-thouw Taihiap yang kembali ke meja araknya dan menenggak minuman keras itu melanjutkan pekerjaannya sehari-hari dengan mabok-mabokan, tak perduli lagi akan keadaan sekitar dan melupakan pemuda itu. Tapi ketika keesokan harinya dia bangun tidur dan membuka pintu kamarnya tiba-tiba saja pemuda itu telah ada didepannya, berlutut dan menungging dalam keadaan tidur.

"Ah, kau kembali ke sini, anak setan?" Ciok-thouw Taihiap langsung menggerakkan kakinya, menendang Liong Ceng yang terpental dan bangun dari tidurnya. Kaget. Tapi melihat bahwa yang melakukan itu adalah Pendekar Kepala Batu tiba-tiba pemuda ini menjadi girang dan berseru,

"Locianpwe, aku menepati janjiku. Aku akan selalu bersamamu di manapun kau berada!"

Ciok-thouw Taihiap tertegun. Dia benar-benar heran dan terbelalak memandang pemuda ini. Pemuda yang memiliki kekerasan hati dan keberanian besar. Pemuda yang nekat dan bandel! Tapi Ciok-thouw Taihiap yang kembali merasa terganggu oleh pemuda itu sekonyong-konyong mengebutkan lengannya menampar dari jauh. "Bocah, pergilah. Sudah kubilang aku tak mau mengambilmu sebagai murid... Plak!"

Liong Ceng terbanting di luar kamar. Dia mengaduh dan menahan sakit. Bajunya robek-robek. Tapi bangkit berdiri dan tersenyum getir dia terhuyung menghadap pendekar itu lagi. "Locianpwe, kau tak dapat mengusirku begitu saja. Aku telah bertekad untuk mempertaruhkan nyawaku bila keinginanku gagal. Boleh kau bunuh aku kalau tidak percaya!"

Ciok-thouw Taihiap tertegun. Dia terhenyak dan kagum memandang pemuda ini. Dan tergerak serta mulai tertarik tiba-tiba dia melompat keluar dan lari turun gunung. "Bocah, kau benar-benar anak setan. Tapi coba kau kejar dan dekati aku...!"

Liong Ceng menggigit bibir. Dia melihat pendekar itu terbang turun gunung, ginkangnya hebat sekali dan meluncur bagai gerakan seorang iblis. Tapi mengeraskan hati dan tersaruk-saruk tiba-tiba diapun melompat dan berseru, "Baik, aku akan mengejarmu, locianpwe. Dan tak akan berhenti sebelum aku roboh!”

Ciok-thouw Taihiap tertawa. Dia melihat pemuda itu mengejarnya di belakang, dan karena ingin tahu sampai di manakah kemampuan pemuda itu tiba-tiba Ciok-thouw Taihiap berputar putar di pinggang gunung. Dengan geli tapi juga kagum dia melihat pemuda itu terus membuntutinya, kadang-kadang kehilangan jejak. Namun Ciok-thouw Taihiap yang sengaja menampakkan diri akhirnya muncul kembali, membiarkan pemuda itu terengah dan jatuh bangun di balakang. Dan ketika seharian penuh dia menguji pemuda itu dan mendapat kenyataan bahwa pemuda itu memiliki ketahanan tubuh yang kuat luar biasa tiba-tiba Ciok-thouw Taihiap tertawa dan girang bukan main.

"Bocah, kau memang hebat. Tapi sekarang kau tak dapat mendekatiku lagi...!"

Ciok thouw Taihiap melompati sebuah jurang. Jurang ini lebar dan dalam sekali, ada dua puluh tombak. Dan ketika benar Liong Ceng menyusul dan tiba dengan napas memburu di tepi jurang sebelah sana maka Ciok thouw Taihiap tertawa bergelak dan berkata mengejek, "Bagaimana, kau tak dapat mendekatiku lagi bukan, anak muda? Jurang ini lebar sekali. Salah-salah kau mampus kalau berani melompat ke sini!"

Liong Ceng terbelalak. Dia melihat ketua Beng-san-pai ini tertawa di sebelah sana, mengebutkan baju dan duduk dengan sombong. Sikapnya mengejek dan merendahkan sekali. Tapi Liong Ceng yang benar-benar berani ini tiba-tiba mengepalkan tinju dan berkata marah,

"Locianpwe, agaknya kau memang ingin melihat aku mampus. Baiklah, siapa takut menghadapi kematian? Aku tak gentar, Ciok thouw tai-hiap. Aku akan menyeberangi jurang ini dan biar mampus kalau gagal... haitt!' dan Liong Ceng yang melompat dengan nekat melewati jurang itu menghentakkan seluruh kekuatan kakinya untuk tiba di seberang. Tapi Liong Ceng gagal. Dia benar-benar tak sanggup. Pertama karena dirinya sudah lelah dan kedua karena jurang itu memang terlalu lebar baginya. Maka begiiu melayang baru setengah jarak tiba-tiba tubuhnya amblas dan meluncur ke bawah.

"Heii...!" Ciok-thouw Taihiap terkejut. Ketua Beng-san pai itu mengeluarkan bentakan keras, kaget melihat pemuda itu terjerumus di dalam jurang. Tapi bergerak cepat bagai seekor burung besar tahu-tahu ketua Beng-san-pai ini sudah melenting dan berjungkir balik di dalam jurang. Dengan kepandaiannya yang luar biasa pendekar ini menyambar tubuh Liong Ceng, sejenak terjerumus pula di dalam jurang. Tapi kedua kakinya yang bergerak menotol dinding sudah membuat Ciok thouw Taihiap terjungkir balik di udara dan keluar dengan selamat di bibir jurang sebelah sana!

"Siluman, kenapa kau nekat, bodoh?" Liong Ceng dibanting kasar. Dia melihat Ciok-thouw Taihiap mendelik padanya, marah, tapi juga kagum. Dan Liong Ceng yang tahu bahwa pendekar ini sudah berhasil "ditaklukkan" tiba-tiba tertawa dan menjatuhkan diri berlutut.

"Suhu, siauw-te menghaturkan hormat. Terima kasih atas pertolonganmu!"

Ciok-thouw Taihiap membanting kakinya. "Siapa mengangkatmu murid? Apa kau bilang?"

"Teecu (murid) bilang terima kasih, suhu. Kau ternyata mengabulkan permintaanku dan tidak membiarkan aku mati di dalam jurang!"

"Keparat, tapi itu bukan berarti aku mengangkatmu sebagai murid, bocah. Aku tak sudi menjadi guru dan mengangkat murid!"

"Kalau begitu kenapa kau menyelamatkan nyawaku? Aku berhutang budi, suhu. Betapapun aku akan menyertaimu dan menjadi murid!'" Liong Ceng tiba-tiba pai-kui (memberi hormat), membenturkan dahinya sebanyak delapan kali di depan kaki Ciok thouw Taihiap.

Dan Ciok thouw Taihiap yang akhirnya bohwat (tobat) oleh kenekatan pemuda ini tiba-tiba menendang pantat pemuda itu hingga terlempar berjungkir balik di udara, dijadikan permainan macam bola yang berputar-putar di ujung kakinya, belasan kali sambil mengomel panjang pendek. Tapi ketika puas dan tertawa setengah gemas ketua Beng-san-pai ini akhirnya menurunkan pemuda itu.

'Baiklah... baiklah, anak setan. Aku akan memberimu pelajaran seperti yang kau inginkan. Tapi jangan menyebutku suhu. Aku tidak tahu pantaskah kau menjadi murid Ciok-thouw Taihiap atau tidak!"

Liong Ceng girang. "Suhu..."

"Keparat, kau tidak dengar kata-kataku? Aku belum mau kau sebut suhu, anak setan. Sebaiknya kau sebut aku seperti biasanya!" Ciok-thouw Taihiap membentak.

Liong Ceng terbelalak, tapi melihat ketua Beng-san-pai itu marah dan bersungguh-sungguh padanya akhirnya diapun tersenyum pahit dan menjatuhkan diri berlutut. "Baiklah, locianpwe. Aku tak akan menyebutmu suhu sesuai keinginanmu. Tapi bolehkah teecu (murid,) bertanya kenapa begitu?"

"Hm, aku telah mempunyai anak dan cucu yang menjadi muridku, bocah. Dan aku juga belum tahu bagaimana watakmu. Siapa tanggung kalau kau berwatak culas?"

Liong Ceng merah mukanya. "Baik, kalau gitu teecu tunduk pada kehendakmu, locianpwe. dan teecu harap..."

"Tak usah... tak usah kau menyebut dirimu sebagai teecu (murid). Aku sudah bilang sebaiknya hubungan guru dan murid di sini tak perlu diikat!" Ciok-thouw Taihiap memotong. "Dan kau jangan macam-macam, bocah. Aku tak perlu calon murid yang cerewet!" lalu memutar tubuh dan kembali ke atas gunung Ciok-thouw Taihiap berseru. "Anak setan, hayo ikuti aku. Kita kembali ke puncak!"

Liong Ceng mengangguk. Dia menggigit bibir menegar Ciok-thouw Taihiap menyebutnya “anak setan", padahal dia punya nama. Tapi girang bahwa rencananya berhasil dan Ciok-thouw Taihiap mengajaknya ke atas gunung segera pemuda ini bangkit berdiri dan mengikuti, berlari cepat di belakang pendekar itu. Dan ketika mereka tiba di puncak dan Ciok-thouw Taihiap sudah menunggunya di meja arak maka resmilah mulai hari itu juga Liong Ceng diberi pelajaran atau dasar dasar ilmu silat.

Tapi Ciok-thouw Taihiap tertegun. Baru sekali dua saja dia memberi contoh ternyata pemuda itu sudah pandai mainkan bhesi (kuda-kuda). Kakinya kokoh dan tak bergeming, tanda otot-o-totnyaecukup terlatih dan rupanya sudah biasa pula mainkan bhesi Maka bertanya heran dia memandang Liong Ceng dengan alis dikerutkan, "Bocah, kau sudah pernah mempelajari dasar-dasar ilmu silat tinggi? Dari mana kau memperolehnya?"

Liong Ceng membungkuk hormat. "Dari ayah siauw-te, su... eh, locianpwe. Siauw-te mempelajarinya sedikit-sedikit tapi tak cukup berharga untuk ditunjukkan!" Liong Ceng hampir menyebut "suhu", cepat merobahnya dengan sebutan locianpwe yang berarti tokoh sakti tingkat atas. Dan Ciok-thouw Taihiap yang mengangguk-angguk lalu berdehem.

"Baik, kalau begitu siapa ayahmu? Dan..."

"Maaf." pemuda itu buru-buru memotong. "Ayah siauw-te bukan orang terkenal, locianpwe. Dia bernama Liong Tek dan berasal dari kota Liong-hun. Pekerjaannya sehari-hari sebagai piauwsu (pengawal bararg) dari perusahaan Cap-sha seng Piauw-kiok (Ekpedisi Tigabelas Bintang)!”

"Hm, aku tak kenal," Ciok-thouw Taihiap menggelengkan kepalanya. "Tapi pelajaran apa yang sudah kau pelajan dari ayahmu itu?"

"Ah, pelajaran yang masih rendah sekali, locianpwe. Aku hanya diberi pelajaran tentang bhesi dan cara pernapasan untuk memperkuat tubuh. Itu saja!"

Ciok-thouw Taihiap mengangguk. Dia memang melihat omongan pemuda itu benar. Terbukti dari daya tahan tubuh pemuda ini yang sanggup berlarian seharian penuh di atas gunung, ketika dia mencobanya tadi. Dan girang bahwa pemuda ini ternyata memiliki bakat yang besar diapun lalu melanjutkan pelajarannya dan sedikit demi sedikit. Dan Ciok-thouw Taihiap semakin terheran-heran. Dia melihat dasar-dasar ilmu silatnya dilahap mudah oleh pemuda ini. Seakan pemuda itu demikian gampang mempelajari ilmu silat. Tak ada yang sukar! Dan ketika hari demi hari pemuda itu menunjukkan sikap yang demikian "genius" dan menyenangkan hatinya tiba-tiba Ciok-thouw Taihiap berseri dan mulai menurunkan ilmu ilmunya yang tinggi!

Dan Liong Ceng benar-benar ketiban "rejeki". Pemuda itu memang berambisi sekali untuk mewarisi kepandaian pendekar ini. Berlatih sungguh-sunnguh dan tak kenal lelah, hal yang tentu saja menggembirakan Ciok-thouw Taihiap. Dan ketika satu demi satu pelajaran-pelajaran dasar tentang ilmu silat sudah dikuasai betul oleh pemuda ini maka Ciok-thouw Taihiap akhirnya memberikan Soan-hoan-ciangnya (Kibasan Angin Taufan)!

Tapi Ceng Han mengerutkan alisnya. "Ayah, Liong Ceng bukan muridmu resmi. Kenapa hendak memberikan semua kepandaianmu? Bagaimana kalau ada apa-apa?"

"Hm, pemuda itu telah kita kenal tindak-tanduknya, Han-ji. Bukankah kau tahu sendiri dia tak pernah melakukan sesuatu yang jelek? Dia cukup baik selama ini, penurut dan setia kepadaku!" Ciok-thouw Taihiap mendengus, memandang Ceng Han yang sudah kembali dari perjalanannya.

Dan Ceng Han yang tahu ayahnya mendongkol tentang masalah Han Ki dan Han Bu lalu menganggukkan kepalanya da menjawab, "Betul, tapi kebaikan seseorang bisa diatur, ayah. Artinya apa yang tampak sekarang ini belum tentu sesuai dengan apa yang menjadi dasar wataknya. Liong Ceng memang boleh kau beri ilmu apa saja, tapi jangan seluruhnya. Terutama Soan-hoan-ciang itu!"

"Hm, kenapa, Han-ji? Bukankah dua orang anakmu juga sudah kuberi warisan ilmu itu? Kalau ada apa-apa tentu mereka tak akan tinggal diam dan menghadapi Liong Ceng!"

"Benar, tapi kalau kau menitikberatkan konsentrasimu pada Liong Ceng tentu Han Ki dan Han Bu menjadi tak senang, ayah. Mereka bisa menganggapmu pilih kasih atau berat sebelah!"

"Perduli apa?" Ciok-thouw Taihiap membentak. "Bukankah mereka sendiri tak menghiraukan keinginanku? Dua orang anakmu itu tak berlatih sungguh-sungguh tentang Soan-hoan-ciang, Han-ji. Dan aku melihat Liong Ceng dapat memenuhi keinginanku ini dengan kesungguhannya mempelajari ilmu silatl"

Ceng Han melangkah maju, merah mukanya. "Ayah, ketahuilah bahwa Han Ki dan Han Bu tak mempelajari Soan-hoan-ciang dengan sungguh-sungguh karena mereka tak mau mewarisi ilmu yang dahsyat itu untuk kau adu dengan Sin Hong! Bukankah kau menghendaki dua cucumu ini melatih Soan-hoan ciang untuk bertanding melawan Sin Hong? Nah, itulah yang tidak mereka kehendaki, ayah. Han Ki dan Han Bu mempelajari Soan-hoan-ciang dengan setengah hati karena mereka tak mau menghadapi Sin Hong!”

Ciok Thouw Taihiap membanting kakinya. "Justeru itulah. Karena tak mau melawan Sin Hong maka aku akan mempersiapkan LiongCeng untuk menghadapi murid Naga Bongkok ini, Han-ji. Dan karena dua cucuku tak mau mengangkat namaku biarlah orang lain yang tampil ke depan!" Tapi Soan hoan ciang adalah ilmumu yang paling hebat, ayah. Sebaiknya Liong Ceng kauberi saja Pek-hong-ciang (Pukulan Angin Putih). Jangan Soan hoan ciang!"

"Keparat, itu urusanku sendiri. Han-ji. Aku mau memberikan Pek hong-ciang atau Soan-hoan-ciang itu terserah padaku sendiri! Kenapa memprotes ayahmu?"

Ceng Han marah. Tapi belum mereka ribut-ribut kembali maka isterinya muncul, Cui Ang yang menjadi puteri si Belut Emas Cui Lok ini Dan melihat suami serta ayah mertuanya bertengkar tentang Soan hoan-ciang maka Cui Angpun menengahi, "Gik hu, sebaiknya diambil dari tengah saja. Liong Ceng memang selama ini tidak menunjukkan keburukannya Tapi sebelum memberikan ilmu itu sebaiknya Han Ki dan Han Bu kita panggil."

"Hm, untuk apa?"

"Untuk mendengarkan pendapat mereka, gak-bu. Setuju atau tidak bila Liong Ceng kau beri ilmu silat itu. Karena memberikan Soan-hoan-ciang pada orang lain sama halnya dengan membagi warisan tertinggi yang ada di dalam keluarga ini!"

"Baik!" Ciok thouw Taihiap menganggukkan kepalanya. "Kalau begitu panggil mereka, Han-ji. Dan kalau mereka tidak setuju maka Soan-hoan ciang harus mereka pelajari sungguh-sungguh, tak boleh setengah-setengah. Itu syaratku!"

Ceng Han memanggil dua puteranya. Han Ki dan Han Bu sebentar saja sudah menghadap, masing-masing terheran oleh keseriusan suasana di ruangan itu. Tapi melihat kong-Kong (kakek) mereka terbelalak dan tampaknya geram dua orang pemuda inipun berdebar dan langsung bertanya "Ayah, ada apa kong-kong memanggil kami?"

"Hm, kau tanya sendiri kakekmu itu, Ki-ji. Tanya apa sebabnya kalian dipanggil!"

Han Ki langsung memandang kong-kong-nya. "Ada apa, engkong? Kami hendak disuruh turun gunungkah?"

"Hm, aku hendak bertanya pada kalian, Ki-ji. Tentang ilmu silat kita Soan-hoan-ciang itu. Yakni, bagaimana bila Liong Ceng mendapat warisan ilmu silat ini!"

Han Ki terkejut. "Boleh saja, kong-kong. Tapi bukankah dia bukan muridmu resmi?"

Ciok-thouw Taihiap mendongkol. "Jadi kau tidak iri hati?"

"Ah. untuk apa harus iri, kong-kong? Itu milikmu pribadi. Tentu bebas kau berikan pada Liong Ceng bila itu kau anggap tepat!"

Tapi Han Bu menyela, "Tapi Liong Ceng orang luar, kong-kong. Masa berhak pula mendapat warisan keluarga ini? Apalagi Soan-hoan-ciang adalah ilmu silat keluarga kita yang paling hebat!"

Ciok-thouw Taihiap membalikkan tubuh, bersinar mukanya. "Jadi kau keberatan jika ilmu silat itu kuberikan pada Liong Ceng?"

"Sepanjang dia bukan keluarga kita, kong-kong. Artinya kalau pemuda itu merupakan orang luar yang tidak berhak mendapatkan warisan keluarga Souw!"

'Bagus, kalau begitu kalian harus mempelajari Soan-hoan ciang dengan sungguh-sungguh Bu-ji. Liong Ceng tak akan kuwarisi ilmu silat ini bila kalian bersungguh-sungguh, mempelajari Soan hoan ciang!"

Han Ki terkejut. "Tapi kalau kami harus memenuhi keinginanmu untuk menghadapi Sin Hong kami tak sanggup, kong-kong. Soan-hoan-ciang terlalu berbahaya dan merupakan ilmu pembunuh yang ganas sekali!"

"Nah, apa kataku, Han-ji?" Ciok-thouw Taihiap mulai menggwreng. "Bukankah dua anakmu ini cerewet sekali dan selalu ragu-ragu? Mereka memang tak dapat diandalkan. Dan aku akan kalah oleh si Naga Bongkok iiu!"

Ceng Han nengerutkan kening. "Tapi keragu-raguan mereka karena kau menghendaki mereka berhadapan dengan Sin Hong, ayah. Dan mereka menolak karena Sin Hong adalah saudara sepupu sendiri!"

"Tapi dia murid Naga Bongkok, Han-ji. Dan aku melihat Sin Hong sebagai murid Naga Bongkok, bukan keluarga atau saudara!"

"Benar, tapi kalau salah satu celaka maka kita jugalah yang repot, ayah. Betapapun Sin Hong adalah putera Pendekar Gurun Neraka, bukan orang lain!"

"Jadi bagaimana putusan kalian?"

"Aku menyerahkannya pada kebijaksanaanmu, kong-kong. Tidak menolak tapi juga tidak menerima. Terserah!" Han Ki menjawab, mengerutkan keningnya seperti sang ayah yang berdiri di sampingnya.

Dan Han Bu yang ikut menganggukkan kepalanya juga berkata, "Ya, terserah padamu, kong-kong. Tapi kalau benar kau hendak menurunkan ilmu silat tertinggi itu pada Liong Ceng maka dia harus diangkat sebagai murid resmi!"

Klop-lah sudah. Ciok-thouw Taihiap mendapat jawaban tegas. Dan marah bahwa persoalannya "diretour" kembali padanya maka Ciok-thouw Taihiap menggebrak meja dan melompat ke belakang. Dengan gusar dan sengit dia memanggil Liong Ceng dibawa ke ruang di mana Ceng Han dan keluarganya berkumpul. Dan berkata dengan suara geram namun penuh harapan ketua Beng-san pai ini menyuruh Liong Ceng berlutut di meja altar, menyulut delapan lilin besar untuk saksi bersumpah,

"Liong Ceng, disaksikan langit dan bumi serta anak dan dua orang cucuku bersumpahlah kau. Bahwa hari ini resmi kau menjadi murid Ciok-thouw Taihiap dan diangkat sebagai keluarga untuk membawa nama harum keluarga Souw!"

Liong Ceng terkejut. Dia tak tahu mengapa buru-buru Ciok-thouw Taihiap menyeretnya ke situ. Tapi mendengar bahwa dia resmi akan diangkat sebagai murid dan bahkan menjadi anggauta keluarga Sonw mendadak dia girang bukan main dan hampir tertawa bergelak! Tapi Liong Ceng pura-pura ketakutan, melirik kiri kanan dan bangkit berdiri. Dia melihat keluarga besar Souw Ki Beng ada di situ memandang dirinya mendadak pemuda ini menjatuhkan diri berlutut dan menolak!

"Locianpwe, mohon ampun beribu ampun. Siauw-te tak berani mengharap berlebihan. Siauw-te sudah cukup puas dengan kedudukan siauw-te seperti yang sekarang ini. Jangan terlalu mengangkat siauw-te dalam kedudukan yang membuat siauw-te mabok kegembiraan dan besar kepala!"

"Hm," Ciok-thouw Taihiap mendengus marah. "Sekarang aku yang akan memaksamu untuk menjadi murid, Liong Ceng. Kami sekeluarga siap dan sepakat menurunkan Soan-hoan-ciang kepadamu asal kau resmi menjadi anggota keluarga Souw. Hayo berlutut dan mulai bersumpah!"

"Apa?" Liong Ceng pura-pura kaget. "Kau. kau akan menurunkan Soan-hoan-ciang. locianpwe? Ah, tak berani aku menerimanya. Itu warisan keluarga Souw yang paling berharga!" lalu membentur-benturkan dahinya dengan pura-pura ketakutan pemuda ini menolak, "Locianpwe, jangan buat diriku menjadi tak enak dengan warisan ini. Ada saudara Han Ki dan Han Bu, masa aku hendak diwarisi ilmu itu? Ah, jangan main-main, locian-pwe... aku tak berani menerimanya dan biar warisan tertinggi itu dimiliki dua orang cucumu..."

Dan Liong Ceng yang bersungguh-sungguh dengan sikapnya yang tampak tidak dibuat-buat itu tiba-tiba mendapat sambutan simpatik di hati Cui Ang, menantu Ciok-thouw Taihiap yang mengangguk-anggukkan kepalanva dengan rasa puas itu. Menaruh kepercayaan bahwa Liong Ceng kiranya pemuda yang baik, tahu diri dan tampaknya jujur. Dan Han Ki serta adiknya yang juga merasa simpatik dengan sikap pemuda ini ikut menaruh rasa percaya seperti ibunya.

Kecuali Ceng Han yang tiba-tiba mengerutkan alis karena melihat ada sesuatu yang tidak beres. Melihat kerling mata pemuda itu yang bersinar penuh nafsu, sesuatu yang lain dengan yang ditunjukkannya di depan semua orang! Tapi Ciok-thouw Taihiap yang sudah mencengkeram pundak pemuda ini membentak,

"Bocah, tak perlu banyak sungkan. Hayo kau mau atau tidak menuruti perintahku...!"