PEDANG MEDALI NAGA
JILID 11
KARYA BATARA
JILID 11
KARYA BATARA
"AKU merasa tenagaku habis, Kun Houw. Aku merasa tenagaku dilolosi dari dalam dan seakan lumpuh!"
Kun Houw terkejut. Dia merasa was-was, melihat muka ayahnya yang berkerut-kerut itu. Lalu ketika jago pedang ini mencoba bangkit mendadak tubuhnya terjerembab kembali dan roboh di atas lantai.
"Ah, aku lumpuh, Kun Houw...!”
Kun Houw kaget bukan main. Dia melihat ayahnya tak dapat bangkit lagi, susah menggerakkan kaki dan tangan. Tapi Kun Seng yang tersenyum padanya tiba-tiba menghela napas pendek. "Houw ji (anak Houw), perhitunganku sedikit meleset. Racun ternyata tak seluruhnya keluar dari luka yang kubuat. Otot-ototku diserang kelumpuhan...!"
Kun Houw terisak. Dia membuktikan ayahnya itu benar-benar tak dapat bergerak lagi, artinya tak dapat duduk atau berdiri. Hanya sanggup menggulingkan tubuh ke kiri atau ke kanan. Itupun dengan susah payah. Dan Kun Houw yang menangis melihat keadaan guru atau ayah angkatnya itu tiba-tiba menggumuli dan memeluk pendekar ini. "Ayah, apa yang harus kulakukan? Benar-benarkah kelumpuhan menyerang dirimu?"
"Hm, aku benar-benar tak berdaya lagi, Kun Houw. Sungguh tak kuduga sisa racun masih berada di dalam tubuhku."
"Kalau begitu akan kubalas kelak perbuatan nenek iblis itu, ayah. Akan kulumpuhkan dan kubunuh dia!"
"Sudahlah, itu urusan nanti, Houw-ji. Yang jelas masih untung aku tidak binasa. Thian rupanya menghukum sisa-sisa dosaku dengan kejadian ini," lalu tersenyum dan tertawa pahit pendekar ini membalikkan tubuh. "Houw-ji, sejak saat ini aku akan mendidikmu secara teori. Kau ambillah pedang dan kitab itu!''
Kun Houw mengangguk. Dia mengambil kitab di dalam peti, menyerahkannya pada ayahnya itu beserta pedang. Tapi ketika dia melihat pedang di tangannya itu mengeluarkan sinar kebiruan dan berhawa dingin mendadak dia keder dan tertegun dibuatnya. "Ayah, inikah Pedang Naga itu?"
"Ya, itulah pedang yang diminta empat iblis tadi, Kun Houw. Kalau saja sejak semula aku membawa pedang ini tentu mereka dapat kukalahkan semuanya!"
Kun Houw terbelalak. Dia teringat pedang ayahnya yang lentur itu, pedang lemas yang akhirnya patah bertemu cakar baja di tangau So-beng. Dan heran bahwa ayahnya menyembunyikan pedang yang berwarna kebiruan ini tiba-tiba dia tak tahan untuk bertanya, "Ayah, dari manakah kau dapatkan Pedang Naga ini? Benarkah milik kerajaan Yueh?"
Pendekar itu tersenyum. "Memang benar, Houw-ji. Dan pedang itupun kudapatkan secara aneh!"
"Secara aneh apa maksudmu, ayah?"
"Artinya kudapatkan pedang ini dalam tempat yang tidak wajar, Houw-ji. Dia menancap di utas wuwungan istana ketika aku tertarik melihat cahayanya yang kebiruan itu!"
"Ah...!" Kun Houw terbelalak. "Siapa yang menancapkannya, ayah?"
"Hm, mana aku tahu, Houw-ji? Tapi menurut kepercayaan pedang itu melesat sendiri dengan kekuatan-gaibnya. Dia pedang keramat yang entah kenapa sedang menunjukkan kemarahannya pada Pangeran Kou Cien yang kini menjadi raja muda di kerajaan Yueh itu!"
Kun Houw tertegun. Dia tertarik pada keanehan cerita pedang ini, sedikit merasa seram tapi tidak takut lagi. Bahkan tiba-tiba merasa dekat dengan pedang ini. Pedang yang katanya sedang "marah" pada majikannya, seperti dia yang marah pada musuh-musuhnya yang dibenci! Dan Kun Houw yang melihat badan pedang diukir dengan lukisan naga yang indah kemilau tiba-tiba saja bersinar matanya.
"Ayah, pedang ini benar-benar indah sekali. Lukisan liong-nya (naga) tampak demikian hidup!"
"Ya, tapi pedang ini bukan melulu pedang yang indah saja, Houw ji. Tapi dia juga pedang keramat yang tajamnya melebihi segala ketajaman benda di muka bumi ini. Dia melebihi ketajaman pedang lenturku yang patah bertemu cakar baja di tangan iblis Penagih Jiwa itu!"
Kun Houw terkejut. "Begitukah, ayah?"
Pendekar ini mengangguk. "Coba kau buktikan," katanya. "Lempar bajumu itu di udara dan bacoklah dengan pedang ini dalam jarak dua meter, Houw-ji. Pasti akan robek disambar angin pedangnya yang tajam luar biasa!"
Kun Houw berseri. Dia segera membuktikan hal ini, dan begitu baju dibacok sesuai jarak yang dikatakan ayahnya tiba-tiba baju itu terpapas disambar angin bacokan pedang ini. "Bret...!" Kun Houw melenggong. Dia melihat bajunya itu kutung, robek menjadi dua padahal belum disentuh pedang! Dan Kun Houw yang terbelalak oleh kehebatan pedang ini tiba-tiba mendesis dan berseru penuh kagum.
"Ah, pedang ini benar-benar luar biasa, ayah. Kalau seandainya sejak semula kau telah memegang pedang ini tentu keempat orang musuhmu itu sudah roboh binasa!"
"Benar, tapi mereka mahluk hidup, Houw-ji. Mereka dapat mengelak atau menangkis kalau terpaksa!"
"Ya, tapi bagaimanapun pedang ini tentu dapat banyak membantumu, ayah. Kalau tidak kau tak mungkin roboh dan dicurangi mereka!”
"Sudahlah, semuanya sudah lewat, Houw-ji. Tak perlu mengandai-andaikan persolan yang sudah terjadi. Kau bersiaplah, hari ini juga aku akan menggemblengmu secara teori...!" dan Kun Seng yang menyuruh anak itu membuka kitab hari itu juga mulai melatih Siauw-cut atau yang kini kita sebut Kun Houw itu dengan sungguh-sungguh dan keras.
Kun Houw tak diberi kesempatan lagi untuk bertanya-tanya, digembleng dan dilatih silat oleh guru atau ayah angkatnya itu. Dan karena Kun Seng adalah seorang pendekar yang lihai dalam permainan pedang hingga mendapat julukan si jago pedang maka ilmu silat pedang itulah yang diberikan kakek ini pada anak lelaki itu. Kun Houw dididik dengan penuh disiplin, terus-menerus tak kenal lelah.
Dan karena jago pedang ini memiliki ilmu silat pedang yang disebut Bu-tiong-kiam-hoat (Ilmu Pedang Dalam Kabut) maka tentu saja ilmu itulah yang diajarkan pada Kun Houw, disusul kemudian dengan tujuh jurus intinya yang sebagian sudah diserap Kun Houw, ketika mereka bertemu di dusun Lo. Dan Kun Houw yang juga tekun mempelajari ilmu silat pedang kakek ini melalui kitab dan petunjuk-petunjuk gurunya yang lumpuh di atas pembaringan ternyata tak mengecewakan jago pedang itu.
Tapi Kun Seng keadaannya memburuk. Jago pedang ini diserang penyakit batuk, sebuah penyakit yang sama sekali tidak diduga sebenarnya berasal dari logam bergerigi si Mayat Hidup, tokoh sesat yang juga batuk-batuk seperti orang tbc, itu senjata rahasia yang kejangkitan "baksil" penyakit menular ini. Dan karena Kun Seng sejak awal kelumpuhannya tak memiliki daya tahan yang kuat lagi maka jadilah pendekar itu diserang batuk-batuk yang membuat keadaannya kian lemah.
Tapi jago pedang ini memang hebat. Kemauannya yang kuat luar biasa untuk mendidik muridnya dan bertahan hidup cukup membuat orang kagum. Kemauan yang membuat semangat dari jiwanya bangkit, membaja dan berkobar-kobar seolah menentang maut yang siap membayanginya sewaktu-waktu. Dan Kun Seng yang tak kenal lelah dalam menggembleng muridnya untuk menguasai seluruh kepandaiannya lewat kitab memang akhirnya hampir berhasil secara sempurna.
Namun maut hari itu datang juga! Sembilan tahun setelah menggembleng muridnya dengan susah payah hari itu Kun Seng muntah darah. Pendekar pedang ini rusak paru-parunya, tak kuat lagi bertahan setelah diteror sembilan tahun lamanya. Dan pendekar pedang yang sudah sekarat dengan muka kebiruan itu batuk-batuk lagi dengan amat hebatnya.
"Kun Houw... coba kau ulangi semua pelajaran pedang... aku ingin melihatnya sebelum ajal...!”
Kun Houw tertegun. Dia tentu saja menolong gurunya itu, tapi Kun Seng yang melotot padanya membentak, "Kun Houw, murid macam apa kau ini? Kenapa tidak segera menjalankan perintah?"
Kun Houw menarik napas. Dia sekarang bukan bocah seperti dulu lagi, anak laki-lakiyang berusia sepuluh tahun itu. Tapi gurunya yang masih suka membentak-bentak seperti menghadapi seorang bocah membuat "anak" ini tersenyum pahit. Kun Houw sekarang adalah Kun Houw yang gagah dan tampan. Tubuhnya tegap, dadanya bidang. Sementara sinar matanya yang tajam berkilat menunjukkan bahwa "anak" ini benar-benar sudah dewasa dan matang. Pemuda yang usianya hampir dua puluh tahun!
Tapi Kun Houw mengangguki juga. Dia mencabut pedang, lalu berdiri di tengah ruangan diapun mulai mengkonsentrasikan diri. Tapi Kun Seng yang kembali batuk-batuk dengan amat hebatnya membuat pikirannya terganggu.
"Ayah, aku tak dapat memusatkan perhatianku. Aku harus menolongmu dulu...'" Kun Houw terpaksa menyimpan pedang, menghanpiri ayahnya itu dan tak tahan melihat penderitaan orang tua ini.
Tapi Kun Seng yang melotot gusar berteriak, "Tidak, kau harus jalankan dulu perintahku, Kun Houw. Aku dapat menahan batuk ini dan menontonmu!" Dan Kun Seng benar-benar mengendalikan batuknya. Jago pedang itu menggigit bibir, mukanya penuh keringat, tampak sekali memaksa diri menahan batuknya, membuat urat di dahinya menonjol biru!
Dan Kun Houw yang sedih melihat penderitaan ayahnya itu terpaksa mencabut pedang, kembali ke tengah ruangan dan berkata gemetar, "Ayah, kau jangan paksakan diri. Kalau kau batuk kembali aku akan menghentikan permainanku!"
"Tidak, jangan, aku dapat melawan batukku, Houw-ji. Kau tunjukkanlah permainan pedangmu sampai selesai...!"
Kun Houw menggigit bibir. Dia mulai mainkan ilmu silatnya, mula-mula perlahan karena mata melirik ke tubuh tua yang kurus itu, siap berjaga-jaga untuk menolong begitu ayahnya batuk-batuk kembali. Tapi Kun Seng yang melotot padanya karena mengerti maksud pemuda ini sudah membentak marah,
"Houw-ji, jangan perdulikan aku. Pusatkan perhatian pada permainan pedangmu!"
Maka pemuda yang mulai mempercepat permainan pedangnya ini terpaksa mengangguk. Dia memusatkan pikiran, dan begitu pedang berkelebat dengan kesiur anginnya yang dingin tajam tiba-tiba pedang sudah berobah menjadi segulung sinar biru yang berkelebatan membungkus pemuda ini. Kun Houw mainkan Bu-tiong kiam-hoat dengan baik sekali. Tapi ketika tiba pada tujuh jurus inti yang siap dilaksanakannya mendadak Bu-tiong-kiam batuk-batuk!
"Ah, aku harus menolongmu, ayah...!" Kun Houw menghentikan permainannya, melompat mendekati ayahnya itu tapi mendadak batuk ayahnya hilang!
"Tidak, kau teruskan permainanmu, Houw-ji. Aku tidak apa-apa!"
Kun Houw tertegun. "Tapi...”
"Tapi apanya? Kau membantah, anak setan?"
Kun Houw menggigit bibir. Dia jadi tak tenang melihat keadaan ayahnya itu, tapi Kun Seng yang menyemprot pedas mendelik padanya, "Kun Houw, kau tak mau mengiringi kematian ayahmu dengan irama permainan pedang? Kau ingin aku direnggut maut sebelum menyaksikan semua kemahiranmu? Cepat kau jalankan perintah ini, anak bodoh. Aku tak mau ajal mendahuluiku sebelum selesai semua permainan silat pedangmu...!"
Kun Houw mengeraskan hati. Dia terpaksa mengulang lagi ilmu silatnya, melirik ayahnya yang tiba-tiba tersenyum. Lalu membentak dan memutar pedang sekonyong-konyong tubuhnya lenyap dibungkus gulungan sinar pedangnya seperti tadi. Mula-mula masih perlahan. Maklum, dia was-was melihat keadaan ayahnya yang memprihatinkan itu, orang tua yang keras kepala dan mulai terengah. Tapi melihat ayahnya tersenyum dan tiba-tiba terkekeh mendadak Kun Houw bangkit semangatnya dan mainkan Bu tiong-kiam-hoat dengan sungguh-sungguh.
Dia mulai terbawa permainan pedangnya sendiri, hanyut dalam putaran pedang yang bergulung-gulung naik turun, membentuk kabut saking cepatnya gerakan pedang. Lalu tiba pada permainan inti yang tujuh jurus itu mendadak pemuda ini mengeluarkan bentakan keras. Sekarang Kun Houw benar-benar lenyap. Sinar pedangnya berdesing dan mengeluarkan suara bercuitan yang kian lama kian meninggi, melengking bagai suara suling ditiup. Lalu ketika suara ini lenyap dan pedang tak mengeluarkan suara, lagi tiba-tiba Kun Seng batuk-batuk dan berteriak,
"Stop, hentikan dulu, Houw-ji. Aku ingin bertanya... ugh-ugh...!"
Kun Houw terkejut. Dia sedang berada dalam permainan puncak, mana mungkin dihentikan begitu saja? Maka ketika ayahnya berteriak dan pedang masih bergulung-gulung tanpa suara mendadak pemuda ini melontar senjata dan membanting tubuh, "mematahkan" daya putar yang membuat tubuhnya hanyut sekaligus bergulingan di lantai.
"Bres-plak...!"
Kun Houw membentur dinding. Dia mengeluh oleh benturan yang keras itu, merasa kepalanya pecah tapi melompat bangun dengan tubuh terhuyung. Dan Kun Seng yang terbelalak memandang muridnya ini tiba-tiba berseru sambil menatap Pedang Naga yang amblas di langit-langit ruangan.
"Houw-ji, dari mana kau melatih tenaga sinkang yang luar biasa ini?"
Kun Houw tertegun, "Tenaga sinkang apa, ayah? Apa maksudmu?"
Kakek itu gemetar. "Kau... hm, selama ini aku hanya melatihmu ilmu silat pedang, Houw-ji. Bagaimana kau mendapatkan tenaga sakti demikian hebat? Lihat, putaran pedangmu sudah tak mengeluarkan suara lagi... dan, ah, lihat itu, Pedang Naga amblas sepenuhnya di atap ruangan! Siapa yang melatihmu tenaga sakti ini, Houw-ji...?"
Kun Houw akhirnya menunduk. "Itu... aku mempelajarinya dari Bu-beng Sian-su, ayah. Manusia dewa itu memberiku pelajaran Menghimpun Seribu Naga. Itukah yang kau maksud?"
Kakek ini batuk-batuk. "Benar, ah pantas sekali... aku sejak semula sudah curiga, Houw-ji. Tapi sungguh tak kukira bahwa sinkang yang kau latih itu dari Bu-beng Sian-su! Ah, kalau begitu apalagi yang kurang? Ha-ha, aku puas. Houw-ji... kau lebih hebat daripada gurumu sendiri... aku... aku... ugh..."
Kun Seng batuk-batuk lagi. Kakek ini tampaknya terkejut, tapi gembira akhirnya berseri-seri dalam mukanya yang pucat membiru itu. Dan Kun Houw yang melihat gurunya batuk-batuk demikian hebatnya lalu menotok punggung ayahnya ini.
"Ayah. kau tekanlah gejolak hatimu. Kalau aku salah sukalah kau mengampuniku. Aku tak pernah memberi tahumu tentang ini karena kau tak pernah bertanya!"
Kun Seng terengah. "Tak apa... anak baik... aku... aku sengaja tak melatihmu tenaga sinkang karena kulihat sorot matamu yang aneh. Sorot mata seseorang yang mulai melatih tenaga dalam...!"
Kun Houw terkejut. "Jadi kau tahu, ayah?"
"Heh heh, kenapa tidak, anak bodoh? Aku cukup pengalaman tentang ini... aku dapat membedakan sorot mata seseorang yang berisi atau kosong...!" lalu batuk-batuk dengan susah payah kakek ini menuding, "Kun Houw, ambil pedang itu. Berlatihlah kembali khusus permainan inti yang tujuh jurus itu. Aku hendak memberi pelengkapnya!"
Kun Houw heran. "Pelengkap apa, ayah?"
Tapi kakek itu batuk-batuk, tak sanggup bicara. Dan baru setelah Kun Houw menotoknya kembali dapatlah kakek ini bicara, "Houw-ji, ilmu silatmu yang tujuh jurus itu masih kurang sempurna. Bagian terakhir kedudukan kakimu salah...!"
"Ah, begitu ayah? Bukankah kau sendiri yang mengajarkannya?"
"Heh-heh, itu memang betul, Houw-ji. Tapi kalau dipakai menghadapi Pendekar Kepala Batu atau Pendekar Gurun Neraka pasti kau roboh. Mereka orang-orang lihai, tujuh jurus ini sengaja kucipta untuk mengalahkan mereka... ugh-ugh...!"
Kun Houw terkejut. "Pendekar Kepala Batu, ayah?”
"Ya, pendekar yang menjadi gak-hu (mertua laki-laki) Pendekar Gurun Neraka itu, Houw-ji. Aku dulu pernah dirobohkan olehnya. Dia hebat, tapi angkuh dan luar biasa keras kepalanya...!"
Kun Seng batuk-batuk lagi. Dia muntahkan darah segar, dan Kun Houw yang cemas oleh keadaan ayahnya ini sudah berbisik khawatir, "Ayah, jangan mengeluarkan kata-kata lagi. Kau semakin lemah dan harus beristirahat...!"
Kun Seng tiba-tiba berontak, menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Tidak... tidak, Houw-ji. Aku justeru ingin memberimu petunjuk tentang jurus ke tujuh...!" dan membalikkan tubuh dengan susah payah pendekar ini berseru, "Houw-ji, ulang kembali permainan pedangmu. Lakukan jurus Sin-liong-hoan-kin (Naga Sakti Memindah Tenaga) itu... cepat!”
Kun Houw ragu-ragu. Dia memandang khawatir ayahnya ini, tapi Kun Seng yang mendelik padanya membentak, "Houw-ji, kau ingin aku tak mati meram? Kau tak cepat-cepat memenuhi permintaanku?"
Pemuda ini menarik napas. Dia berat memenuhi permintaan itu, tapi belum dia mencabut pedang mendadak ayahnya mengeluh. Pendekar itu berkelojotan, mendelik dan menuding-nuding pedang. Dan Kun Houw yang bingung oleh isyarat tak jelas itu seketika kelabakan. "Apa yang kau minta, ayah? Apa yang kau kehendaki?"
Kun Seng berkata, hampir tak terdengar suaranya, "...am... ambil pedang itu, Houw-ji... mainkan cepat tujuh jurus inti yang kumaksud itu... cepat, aku ingin mati dengan iringan suara pedangmu...!"
Dan Kun Houw yang tak dapatlagi menolak untuk permintaan terakhir ini tiba-tiba melompat. Pedang Naga yang menancap di langit langit ruangan segera dicabut, lalu begitu membentak dan mengeraskan hati sekonyoug konyong pedangnya sudah dimainkan dengan hebat dan luar biasa sekali.
Kun Seng mengeluarkan kata-kata tak jelas. Orang tua ini rupanya memuji, mengangguk dan tertawa dengan mulut ditarik menyeringai. Rupanya menahan sakit dan nyeri yang amat sangat di dalam dadanya. Maklum, paru parunya sudah rusak dan parah sekali, tak dapat lagi mengambil dan mengeluarkan napas dengan sempurna. Dan Kun Houw yang mainkan pedang dengan ilmu silatnya Bu tiong-kiam-sut itu di dalam gulungan cahaya pedang tak diketahui seorangpun bahwa diam-diam telah menangis mencucurkan air matanya dengan deras sekali!
Kun Houw merasa hancur perasaannya. Hampir mengeluh dengan bibir dikatup kuat-kuat. Maka untuk pelepas semua perasaannya yang tidak karuan ini tiba-tiba pemuda itu melengking. Lengkingnya sebetulnya merupakan jerit yang mirip pekik orang yang penuh kecewa oleh keadaan yang tak dapat diatasinya, keadaan dari ayah angkatnya tak tertolong lagi. Dan maklum ayahnya itu sudah diujung maut dan hanya merasa gembira dengan "iringan" suara pedangnya maka pemuda ini memusatkan seluruh perhatiannya pada permainan pedang, menghanyutkan diri dan berkonsentrasi penuh pada gerakan pedangnya yang mulai melengking bagai suara suling ditiup. Dan begitu pedang mengeluarkan lengking tinggi yang halus namun tajam tiba-tiba pemuda ini lenyap dalam gulungan sinar pedangnya.
Kun Seng mengeluarkan keluhan tak jelas. Orang tua itu berkejap-kejap gembira, tampaknya bangga dan puas melihat permainan pedang muridnya. Tapi ketika jurus ke tujuh hampir selesai dimainkan mendadak kakek ini melontarkan darah segar begitu batuknya menyerang lagi. Untuk yang terakhir kali kakek ini mencoba bertahan, tapi maklum maut sudah membayang di pelupuk matanya tiba-tiba kakek itu mendesis. Darah yang dilontarkan dari mulutnya tiba-tiba digores, membentuk huruf atau pesan kepada muridnya. Lalu begitu menyeringai dan berkelojotan dua kali mendadak kakek ini terkulai dan tewas dengan mulut tertawa!
Kun Houw kini sudah menyelesaikan permainannya. Dia menghentikan gerakan pedang, mengusap peluh dan air mata yang bercucuran membasahi pipinya, membuat pandangannya buram selama bersilat. Tapi begitu menoleh dan melihat ayahnya tak bergerak lagi dengan tubuh membujur kaku tiba-tiba pemuda ini mengeluh. "Ayah...!”
Kun Houw sudah menubruk mayat ayahnya itu. Dia tersedu-sedu memeluk tubuh tua yang penuh derita ini, lalu mengguguk dan tak dapat menahan dukanya. Kun Houw sudah membenamkan mukanya di dada jago pedang itu. Terisak dan menangis bagai anak kecil. Tapi Kun Houw menggigit bibir. Dia menghentikan tangisnya, maklum bahwa semuanya itu memang bakal terjadi. Dan sadar bahwa ayahnya telah meninggal dengan tenang diapun mengusap air mata dan menekan kedukaannya.
Bagaimanapun ayahnya itu telah lepas dari segala penderitaan. Tak diganggu lagi oleh suara batuk yang gencar memilukan rasa. Dan Kun Houw yang bangkit melepas jenasah ayahnya lalu mengubur kakek ini di ruangan itu. Dia bersamadhi semalam suntuk, duduk bersila di samping makam ayahnya itu. Tapi ketika hendak meninggalkan terowongan pada keesokan harinya mendadak Kun Houw tertegun. Dia melihat pesan ayahnya itu, pesan yang ditulis di atas lantai dengan darah yang sudah mengering. Dan Kun Houw yang mengerutkan alis melihat pesan ini segera membaca:
“Houw-ji, maaf aku tak dapat memberimu petunjuk. Rahasia dari gerakan kaki untuk jurus Sin-liong-hoan-kin itu ada di Medali Naga. Kau carilah. Ada di tanganmu, bukan?"
Kun Houw mendelong. Dia sungguh terkejut oleh pesan ayahnya itu. Pesan yang menyebut-nyebut Medali Naga. Dan Kun Houw yang bengong dan nanar membaca pesan ini tiba-tiba tertegun. Betapa tidak, Medali Naga yang di sangka ayahnya ada di tangannya itu telah dirampas si Mayat Hidup. Sembilan tahun yang lalu! Maka Kun Houw yang menjublak oleh pesan ini seketika mengepalkan tinju.
Tapi Kun Houw berlutut di makam ayahnya itu. Dan berjanji serta bersumpah untuk memenuhi permintaan gurunya itu pemuda ini bangkit berdiri dengan satu tekad. Mencari musuh-musuh gurunya dan juga musuh pribadinya: Pendekar Gurun Neraka! Maka Kun Houw yang keluar dari terowongan bawah tanah segera meninggalkan tempat itu setelah bersoja tiga kalidi depao makam ayahnya.
Pagi itu Pendekar Kepala Batu duduk di taman. Dia menyaksikan dua anak laki-laki berlatih silat. memandang mereka dengan muka berseri dan mata bersinar-sinar. Dua orang cucu dari puteranya pertama. Ceng Han. Dan ketua Beng-san yang masih gagah dengan kepalanya yang gundul mengkilap itu kelihatan gembira sekali.
"Han Ki, gerakan tanganmu jangan terlalu kaku. Putarlah pinggang dan buang lenganmu yang kiri itu ke samping!" pendekar ini berseru, memberi petunjuk pada anak laki-laki di sebelah kanannya yang bermuka putih, Han Ki atau Souw Han Ki putera pertama dari Ceng Han dengan Cui Ang, puteri si Belut Emas Cui Lok itu. Dan berseru pula pada anak laki-laki ke dua yang ada di sebelah kirinya pendekar itu mengangkat tangannya. "Dan kau jangan menggeser kakimu, Han Bu. Tapi angkat tumit dan meloncat...!"
Han Ki dan Han Bu mengangguk. Mereka dua orang kakak beradik yang sama-sama tampan, mirip ayah mereka yang tenang dan sedikit pendiam, kecuali Han Bu yang banyak bicara seperti ibunya. Dan Han Bu yang bertelinga lebar dengan mata yang bulat hitam sudah mengangkat tumitnya untuk meloncat seperti yang dikata kakeknya, tidak menggeser kaki lagi dan mainkan ilmu silat yanng diajarkan kakek mereka itu dengan muka bersungguh-sungguh dan serius. Tapi ketika mereka sedang asyik berlatih silat di bawah bimbingan ketua Beng-san-pai itu mendadak dua bayangan muncul, berkelebat melompati pagar tembok dan melayang turun mengejutkan dua orang anak ini.
"Ayah...!”
"Bibi...!"
Ternyata mereka adalah Ceng Han dan Ceng Bi, kakak beradik yang monjadi putera ketua Beng-san-pai itu. Dan Han Ki serta Han Bu yang sudah berteriak girang menyebut ayah dan bibi mereka ini segera menubruk dan memeluk manja.
"Bibi, mana adik Sin Hong dan Bi Lan?"
"Ayah, mana oleh-oleh untuk ibu?"
Ceng Han tersenyum. Han Bu yang menegur oleh-oleh untuk ibunya disambut tepukan di pundak, sementara Han Ki yang menanyakan Sin Hong dan Bi Lan disambut muka muram oleh bibinya ini. "Bi Lan ada di rumah, Ki-ji. Tapi Sin Hong lenyap dibawa orang...!"
Han Ki dan Han Bu terkejut. Mereka mau bertanya, tapi Ceng Han yang mengangkat lengannya memberi kedipan. "Ki-ji, Bu-ji, kalian masuklah. Panggil ibumu ke mari."
Dua orang anak ini mengangguk. Merekamaklum ada sesuatu yang tidak beres, pembicaraan orang-orang tua yang tidak boleh didengar mereka. Maka Han Ki dan Han Bu yang melompat ke dalam segera memanggil ibu mereka.
Dan Ceng Bi sudah menghadapi ayahnya. "Ayah, aku membawa berita penting...!"
Ciok-thouw Taihiap bangkit berdiri. Dia terbelalak memandang puterinya ini, puteri satu-satunya yang amat disayang, bahkan jauh lebih disayang lagi setelah kesalahannya dulu "membunuh" Ceng Bi (baca Pendekar Kepala Batu). Dan ketua Beng-san yang berdebar melihat mulut puterinya yang cemberut tidak senang itu tiba-tiba mengebutkan baju dan melangkah lebar. "Bi-ji, berita apa yang kau bawa?"
Ceng Bi tak segera menjawab. Dia memandang ayahnya itu, tajam dan lekat hingga ketua Beng-san ini sampai gugup dibuatnya. Khawatir salah tingkah menghadapi puterinya yang kalau marah benar-benar bisa membuat dia kelabakan itu! Dan Ceng Bi yang akhirnya membanting kaki tiba-tiba menegur, "Ayah, apa yang telah kaulakukan terhadap Sin Hong? Tahukah kau bahwa anak itu lenyap dibawa orang?"
Pendekar ini terkejut. "Aku sudah mendengar tadi, Bi-ji. Tapi benarkah anak itu lenyap? Siapa yang membawa?"
"Hm, yang membawa adalah si Naga Bongkok, ayah. Tapi yang menjadi gara-gara dari semuanya ini adalah kau!"
Ciok-thouw Taihiap tersentak. "Naga Bongkok? Pertapa dari Himalaya itu?"
"Ya, dan kau yang menjadi biang keladinya, ayah. Kau membuat keributan di antara anak-anak kami!"
"Eh, tuduhan apa ini, Bi-ji? Keributan apa yang kulakukan?"
Tapi Ceng Han tiba-tiba menarik napas, menggamit lengan adiknya menyuruh sedikit bersabar. Lalu memandang ayahnya dengan kening berkerut putera Pendekar Kepala Batu ini bicara, "Ayah, ada dua hal yang hendak kami sampaikan kepadamu. Pertama tentang dibawanya Sin Hong dan ke dua adalah berita kematian Ta Bhok Hwesio lo-suhu!"
Ciok-thouw Taihiap terbelalak kaget. "Kematian Ta Bhok Hwesio, Han-ji? Apa yang terjadi?"
"Dia dibunuh orang, ayah. Tewas di tangan iblis yang berjuluk So-beng (Iblis Penagih Jiwa)!"
"Keparat...!" Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba menggeram. "Siapa iblis itu, Han-ji? Kenapa aku belum pernah mendengar namanya?"
Ceng Han menghela napas. "Kami juga tidak tahu, ayah. Tapi kabar burung menyatakan iblis itu lihai sekali dan ada hubungan dengan kerajaan Wu!"
"Hm...!" Ciok-thouw Taihiap mengepal tinju, berkilat matanya. "Kalau begitu kita cari di kerajaan itu, Han-ji. Ingin kugempur dan kupecahkan kepalanya yang busuk itu!"
Tapi Ceng Han mengangkat tangan. "Tidak, jangan terburu-buru, ayah. Yap-twako telah merencanakan sesuatu untuk menghadapi urusan ini. So-beng bukan seorang diri. Dia dilindungi dan bersembunyi di balik kekuatan besar pasukan kerajaan Wu!"
Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba membentak, "Aku tidak takut, Han-ji. Aku tidak takut biar dia bersembunyi dan dilindungi pasukan siluman sekalipun!"
"Ya, aku tahu keberanianmu, ayah. Tapi Yap-twako telah melarang kita untuk bekerja sendiri-sendiri. Iblis itu tampaknya berbahaya, juga cerdik. Karena itu tak boleh kau melabrak seorang diri di kerajaan Wu!"
Ciok-thouw Taihiap melotot. "Mantuku itu berani melarang orang tua? Pendekar Gurun Neraka hendak menggurui aku yang bebas bertindak apapun?"
Ceng Han tersenyum kecut. "Tidak, bukan begitu, ayah. Kau jangan salah paham untuk urusan ini. Yap-twako sama sekali tidak menggurui kita namun memesan dengan sangat supaya kita tidak melakukan suatu Kecerobohan yang mungkin membawa akibat buruk bagi orang banyak!"
“Hm, apa maksudmu?"
"Begini, ayah," Ceng Han terpaksa menjelaskan. "Seperti yang tadi telah kukatakan padamu bahwa hubungan So-beng dengan kerajaan Wu ini barulah merupakan kabar burung orang lain. Kita tidak tahu benarkah berita itu atau tidak. Kalau tidak, dan kau telah menyerbu istana bukankah Pangeran Kou Cien bakal kena getahnya? Ingat, kerajaan Yueh masih di bawah kekuasaan kerajaan Wu, ayah. Dan kalau kau menyerbu dengan begitu saja padahal So-beng tak ada hubungannya dengan kerajaan Wu tentu Yueh bakal digempur mengingat kau adalah simpatisan kerajaan Yueh. Dan sekali Yueh diserbu dalam keadaan yang masih lemah begini tentu Wu tidak akan memberi ampun dan membasmi habis-habisan dengan tuduhan kau disuruh membuat onar oleh Yueh! Nah, bukankah ini gawat, ayah? Urusan perorangan bisa berobah menjadi urusan negara yang berakibat membawa malapetaka pula bagi rakyat Yueh yang tidak tahu apa-apa!”
Ciok-thouw Taihiap tertegun. Dia dapat menerima penjelasan ini, dan sadar bahwa dia dilanda emosi akhirnya ketua Beng-san ini manggut-manggut dan berdehem. "Baik, kau benar, Han-ji. Lalu apa rencana Pendekar Gurun Neraka itu? Apa yang hendak dikerjakan mantuku itu? Kenapa dia tidak kemari?”
Ceng Han melirik adiknya. "Aku tidak tahu, ayah. Karena Bi-moi buru-buru mengajakku ke mari!"
Ciok-thouw Taihiap memandang puterinya, tersenyum kecut. "Bi ji, apa yang hendak kau omongkan kepadaku? Kenapa tampaknya mau marah?"
Ceng Bi membanting kaki. "Karena kau orang tua yang tidak betul, ayah. Kau membuat malu padaku atas sikapmu kepada Sin Hong!”
"Eh, ada apa dengan sikapku? Ada apa dengan anak itu?" Ciok-thouw Taihiap terkejut.
Dan Ceng Bi yang gemas memandang ayahnya ini tiba-tiba bertanya, "Ayah, benarkah beberapa waktu yang lalu Kau menurunkan sebuah ilmu silat baru pada Bi Lan? Benarkah kau memesan agar supaya anak itu merahasiakan persoalan ini?"
Ciok-thouw Taihiap kaget. Dia tampak terkejut oleh pertanyaan puterinya itu, mukanya berobah. Tapi ketua Beng san yang batuk-batuk ini tiba-tiba menyeringai. "Itu... itu persoalan pribadiku, Bi ji. Untuk apa kau tanya ini?"
"Hm, urusan ini bukan urusan pribadi lagi, ayah. Tapi urusan keluarga yang tidak perlu disembunyikan lagi! Benarkah Bi Lan kau larang untuk memberitahukan pada orang lain? Benarkah kau memberinya sebuah ilmu baru pada cucumu itu?"
Ciok-thouw Taihiap tak segera menjawab, terbelalak memandang puterinya itu. Dan Ceng Bi yang sengit oleh perbuatan ayahnya tiba-tiba membanting kaki. "Ayah, kau selamanya mengajarkan kepada kami untuk bersikap gagah. Kenapa untuk pertanyaan ini kau tak bisa menjawab? Salahkah pertanyaan itu?"
Ketua Beng-san ini akhirnya batuk-batuk, batuk buatan. Tapi menganggukkan kepala dengan sikap kecut dia menjawab, "Ya, aku telah melakukan semuanya itu, Bi-ji. Tapi salahkah aku terhadap anakmu? Bukankah Bi Lan cucuku sendiri?"
Dan di sinilah Ceng Bi melotot, "Benar, Bi Lan memang cucumu, ayah. Tapi sikap berat sebelahmu yang tidak adil terhadap Sin Hong membuat aku malu pada anak itu dan ibunya!"
Lalu memberondong dengan mata berapi-api nyonya muda ini melanjutkan, “Dan perbuatanmu itu diketahui si Naga Bongkok, ayah. Sin Hong dibakar kakek ini untuk memusuhi adiknya sendiri Bi Lan diserang, lalu mengetahui adiknya itu benar-benar mendapatkan warisan ilmu darimu Sin Hong akhirnya tak mau tinggal di rumah dan mengikuti kakek itu sesuai siasat si Naga Bongkok! Kini enci Hong menangis sepanjang malam. Di samping kematian gurunya yang tidak terduga juga karena ditinggal pergi anak kesayangannya. Nah, apa yang hendak kau katakan, ayah? Masihkah perbuatanmu ini tidak boleh dibilang terlalu dan membuat aku tak enak pada enci Hong? Masihkah ada muka bagiku kalau kau tidak minta maaf pada ibu dan anak?"
Ciok-thouw Taihiap tertegun. Dia terpaku mendengar semuanya ini, tapi mengibaskan lengan ketua Beng-san ini tak mau kalah, dasar keras kepala! "Bi-ji, kukira itu bukan salahku mutlak. Aku memberi pada cucuku sendiri kenapa dilabrak dengan cara begini? Bukankah Sin Hong bukan darah keturunanku? Dia sebenarnya bukan apa-apa bagiku, Bi-ji. Di tubuh Sin Hong tak ada aliran darah dari keluarga Ciok-thouw Taihiap!"
Ceng Bi melotot. "Tapi Sin Hong putera Yap-koko, ayah. Dan Sin Hong kuanggap sebagai anak kandungku sendiri!"
"Ah, anggapan boleh tinggal anggapan, Bi-ji. Tapi yang jelas Sin Hong bukan cucuku asli!”
Ceng Bi menjerit, "Ayah, kau tidak betul. Pikiranmu kacau dan tidak sehat! Kau memecah belah keluargaku kalau caramu begitu...!"
"Eh, apanya yang tidak sehat? Bukankah omonganku betul? Sin Hong bukan kau yang melahirkan, Bi-ji. Dan ini kenyataan yang tidak dapat kaubantah!" Ciok-thouw Taihiap akhirnya membentak, bangkit kemarahannya dan meradang oleh sikap puterinya. Dan Ceng Han yang melihat suasana mulai meruncing tiba-tiba melangkah maju.
"Ayah, apa yang kaukatakan memang tidak salah. Tapi apa yang diutarakan Bi-moi juga betul. Bagaimana kalau kita bicarakan persoalan ini dengan pikiran jernih?"
Ciok-thouw Taihiap mulai uring-uringan. "Aku tidak mau dituduh berat sebelah, Han-ji. Karena aku merasa benar dengan apa yang kulakukan!"
"Baik, tapi sikapmu membuat aku tertampar, ayah. Karena bagaimanapun juga aku dan enci Hong sudah bukan seperti orang lain!"
Ceng Bi melengking, memprotes ayahnya yang melotot padanya itu. Dan Ceng Han yang melihat dua-duanya naik darah tiba-tiba merangkul adiknya ini, menghadapi ayah mereka dengan sikap tegas. "Ayah, aku tak mau persoalan ini diperdebatkan dengan cara keras. Aku mohon kalian berdua sama-sama menahan diri!" lalu melihat ayah dan adiknya memandang kepadanya pemuda inipun menarik napas, bertanya pada ayahnya itu, "Ayah, siapakah yang sebetulnya lebih kau sayang, Bi Lan ataukah Bi-moi?"
Ciok-thouw Taihiap tertegun. "Kenapa kau-tanyakan ini, Han-ji?" dia balik bertanya.
Dan Ceng Han yang melihat ayahnya terbelalak tak mengerti segera mengangkat tangannya, memberi jawaban. "Begini, ayah. Sebelum aku menjawab pertanyaanmu itu sebaiknya kaujawab dulu pertanyaanku. Siapakah yang lebih ayah cintai, Bi-moi ataukah Bi Lan!"
Ciok-thouw Taihiap merengut. "Tentu saja kedua-duanya sama kucinta, Ceng Han. Aku tak mau mencintai yang lain lebih dari yang satunya. Mereka sama-sama darah keturunanku!"
"Kalau begitu ayah tidak mencinta Bi Lan lebih dari ibunya?"
"Tentu saja. Bukankah mereka anak dan cucuku sendiri?"
"Hm, kalau begitu kau harus bersikap adil, ayah. Yakni bila kau memperhatikan Bi Lan maka tak seharusnya pula kau mengenyampingkan Bi-moi. Tapi yang kaulakukan justeru berlawanan dengan apa yang kaukatatan, ayah. Kau tidak konsekwen dengan apa yang kauomongkan tadi!"
"Eh, omongan apa?" Ciok-thouw Taihiap mendelik. "Aku tidak mengganggu atau menyusahkan adikmu itu. Ceng Han. Adikmu itu tak kuperlakukan dengan cara yang tidak adil! Konsekwen apa yang kau maksud?"
Ceng Han mengeraskan dagu. "Begini, ayah. Kalau benar kau mencintai Bi-moi sama seperti kau mencintai Bi Lan maka ayah harus bertindak adil. Kau tak boleh memperhatikan perasaan satunya dengan mengenyampingkan perasaan yang lain. Karena, kalau ayah bilang Bi-moi tak merasa terganggu akibat perbuatanmu itu tapi apa buktinya yang dialami Bi-moi sekarang? Bi-moi merasa kau susahkan, ayah. Dan justeru karena itu ia datang ke mari untuk mengajukan protes!"
"Tapi aku melatih cucuku sendiri, Ceng Han. Aku melatih darah dagingku sendiri karena Sin Hong bukan darah keturunanku!"
"Baik. Tapi tahukah ayah siapa ibu Sin Hong itu? Tahukah ayah bahwa Pek Hong bagi adikku Ceng Bi ini tiada ubahnya dengan encinya sendiri? Tahukah ayah bahwa hubungan mereka jauh lebih akrab daripada kakak beradik? Kau harus berani melihat kenyataan ini, ayah. Kau harus mengakuinya secara jantan! Pek Hong bagi Bi-moi sudah bukan orang lain. Dan justeru pernikahan wanita itu kau yang melamarnya!"
Ciok-thouw Taihiap tertegun. "Tapi yang meminta itu adalah adikmu sendiri, Ceng Han, Ceng Bi memaksaku untuk melamar murid Ta Bhok hwesio itu pada gurunya, bukan aku dari hati keinginan pribadi!"
"Itulah!" Ceng Han menukas. "Justeru itulah yang membuat kita harus mengakui kenyataan ini, ayah. Bahwa Ceng Bi menganggap murid Ta Bhok Hwesio itu lebih dari sekedar jiwanya. Bi-moi sanggup berkorban untuk wanita yang menjadi ibu Sin Hong ini!"
Ciok-thouw Taihiap terhenyak. Dia terbelalak memandang puteranya itu, melotot karena tiba-tiba dia merasa "dimusuhi" dua orang anaknya sekaligus. Tapi melihat Ceng Han mengemukakan hal yang tidak dapat dibantah tiba-tiba dia menjadi bingung dan marah pada dirinya sendiri. Teringat peristiwa sepuluh tahun yang lalu dimana diam-diam dia merasa penasaran karena kalah oleh menantunya itu. Pendekar Gurun Neraka yang memang hebat luar biasa! Dan begitu ingatan ini membayang kembali di pelupuk matanya tiba-tiba ketua Beng-san-pai ini menjadi sengit.
Sebenarnya, masalah yang terjadi itu adalah berpangkal pada penasaran jago tua ini. Betapa Ciok-thouw Taihiap "sakit hati" pada menantunya itu. Kekalahan yang dideritanya pada sepuluh tahun yang lalu ketika mereka mengadu kepandaian di bawah gunung, yakni ketika saat itu pertandingan ini disaksikan beberapa orang tokoh yang merupakan sahabat-sahabat mereka juga, Thian Kong Cinjin dan Bu Wi Hosiang serta Ta Bhok Hwesio. Dan meskipun dalam pertandingan itu dia tak sampai roboh secara menyolok namun tenaga Lui-kong-yang-sin-kang yang dimiliki Pendekar Gurun Neraka ternyata sempat membuat "penilaian".
Karena, seperti diketahui waktu itu pendekar tua ini harus mengakui keunggulan lawan, terdesak dan kalah seusap. Tapi Ciok-thouw Taihiap yang keras kepala dan tak mau sudah ini tetap ngotot dan bersikeras memaksa lawan untuk tidak menghentikan pertandingan, ingin sama-sama roboh atau sampyuh. Karena, kalau ia tewas dalam adu kepandaian itu tentu Pendekar Gurun Nerakapun setidak-tidaknya luka berat. Jadi, tak perlu menanggung malu pada lawannya itu karena lebih baik binasa sekaligus sebagai orang "gagah" daripada hidup tapi selalu penasaran pada lawannya itu, meskipun Pendekar Gurun Neraka kini adalah menantuuya sendiri!
Dan Ciok-thouw Taihiap yang tak dapat menghilangkan kesan kekalahannya itu ternyata diam-diam masih memendam semacam "sakit hati" pada menantunya itu, dengan akibat melatih Bi Lan yang masih cucu dalamnya itu tapi tidak melatih Sin Hong karena dianggap orang "luar".
Demikianlah, berpangkal pada hal inilah sebetulnya peristiwa itu terjadi. Rasa tak mau kalah dari Pendekar Kepala Batu yang memang keras kepala dan keras hati. Dan karena Pendekar Gurun Neraka sudah menjadi menantunya sendiri maka tentu saja ketua Beng-san-pai itu tak dapat "menantang" untuk menebus kekalahannya yang lalu. Akibatnya jago tua ini mencari jalan keluarnya sendiri. Dan karena Bi Lan adalah cucunya sendiri yang "orisinil" maka lewat jalan itulah dia menyalurkan rasa penasarannya yang sekian tahun sudah dipendam tanpa mendapat pelampiasan.
Dengan maksud, kelak kalau Bi Lan sudah mahir benar mainkan Soan-hoan ciang yang diciptakannya itu dia akan "mengadu" Bi Lan dengan Sin Hong, anak laki-laki yang melulu mendapat latihan dari Pendekar Gurun Neraka itu. Dan, ilmu silatnya yang diwariskan pada Bi Lan dapat diadu kelak dengan ilmu silat Sin Hong yang warisan ayahnya itu, Pendekar Gurun Neraka yang diam-diam membuat dia gemas dan penasaran itu!
Tapi tak disangka, baru setahun dia melakukan perbuatan itu ternyata hari ini puterinya datang, marah-marah dan melabrak dirinya. Dan bahwa Sin Hong tiba-tiba dibawa si Naga Bongkok yang berasal jauh dari Pegunungan Himalaya itu mendadak pendekar ini geram. Seketika kemarahannya ditumplak pada kakek bongkok itu. Orang yang usil dan membuat dia "dimarahi" puterinya sendiri. Dan Ciok-thouw Tai-hiap yang bersinar matanya dengan penuh Kemarahan mendadak membanting kaki dan melompat pergi.
"Naga Bongkok, kau yang menjadi gara-gara semuanya ini!" pendekar itu menggereng, meninju telapaknya sendiri dan meninggalkan Ceng Bi serta Ceng Han dengan muka merah. Tapi Ceng Bi yang masih sengit pada ayahnya ini tiba-tiba menyusul dan berseru.
"Ayah, kau harus menyelesaikan dulu urusan ini...!" dan Ceng Bi yang sudah menghadang di depan ayahnya seketika mengangkat tangan menahan ayahnya itu.
Pendekar Kepala Batu terkejut. "Urusan apa lagi yang harus kuselesaikan? Bukankah aku sudah kalah?"
"Tidak, penyelesaian terakhir belum kau lakukan, ayah. Kau harus meminta maaf pada enci Hong dan melatih puteranya dengan ilmu baru yang kauberikan pada Bi Lan itu!"
"Ah, tapi anak itu sudah dibawa si Naga Bongkok, Bi-ji. Mana mungkin aku melatihnya?"
"Kau dapat merebutnya, ayah. Kau cari anak itu dan ambil kembali dari tangan si kakek bongkok!"
Ciok-thouw Taihiap terbelalak. "Aku memang akan mencari si Naga Bongkok itu, Bi ji. Tapi bukan untuk menolong Sin Hong! Bocah itu tidak berada dalam bahaya, kenapa aku harus merebutnya?"
"Karena enci Hong berduka ditinggal anaknya itu, ayah. Dan aku tak dapat melihat enci Hong menangis gara-gara perbuatanmu!"
"Setan, ini bukan gara-garaku, Bi-ji. Ini gara-gara keparat Naga Bongkok itu! Kalau dia tidak datang membongkar rahasiaku ini tentu semuanya tak akan terjadi!"
"Baik, tapi bagaimanapun kau harus bersikap adil pada dua orang anak itu, ayah. Kalau tidak Bi Lan tak kuperbolehkan lagi melatih Soan-hoan-ciang bila Sin Hong tak kauberi pula ilmu silat itu!"
"Ah, kau memaksa?"
"Demi keadilan bagi dua orang anak itu, ayah. Dan kau harus meminta maaf pula pada enci Hong!"
"Kalau aku tidak mau?"
Ceng Bi membanting kaki. "Kau harus mau, ayah. Itu kesalahanmu yang terang-terangan kaulakukan. Kalau tidak, aku tak mau pergi dari tempat ini dan selamanya mengurung diri di ruang samadhi!"
Ciok-thouw Taihiap terkejut. Dia terbelalak memandang puterinya itu, tapi maklum ancaman puterinya ini tidak main-main segera dia menggedruk tanah dan mengibaskan lengan. "Baik, kau selamanya menggencet ayahmu. Bi-ji. Kau membuat aku harus selalu tunduk padamu. Setan..!" dan Ciok-thouw Taihiap yang melompat pergi kali ini tak dikejar Ceng Bi yang tiba-tiba basah matanya.
Nyonya muda ini tahu akan kecintaan ayahnya yang besar. Bahkan jauh lebih besar lagi sejak saat dia "dibunuh" itu. Maka melihat ayahnya uring-uringan dan memenuhi permintaannya semata-mata karena cinta kasihnya yang besar kepada dirinya maka nyonya muda ini tiba-tiba terisak. "Ayah, kau maafkan aku...!"
Ceng Han sudah memeluk adiknya ini. Dia dapat merasakan semua yang terjadi itu, menarik napas tapi lega bahwa ayahnya berbasil "disadarkan" dan tak terjadi bentrok di antara adiknya dan ayahnya itu. Hal yang tentu bakal membuat dia berdebar dan ngeri. Tapi maklum ayahnya itu memenuhi permintaan ini dengaa rasa terpaksa maka diam-diam putera Pendekar Kepala Batu itu tersenyum pahit.
Bagaimanapun, ayahnya memang luluh kalau menghadapi Ceng Bi. Satu-satunya orang yang agaknya "lawan" yang paling ditakuti ketua Beng-san pai itu. Dan Ceng Han yang tersenyum melihat ini semuanya lalu menarik adiknya masuk ke dalam, di mana waktu itu Cui Ang muncul menyambut mereka.
Demikianlah, Ceng Bi semalam menginap di tempat ayahnya itu. Lalu gembira melihat ayahnya muncul untuk memenuhi janji maka keesokan harinya ketua Beng san itu sudah turun gunung menuju Ta-pie-san, tentu saja bersama Ceng Bi yang mengiring di sebelahnya. Dan ayah dan anak yang turun gunung dengan satu tujuan itu akhirnya meninggalkan Beng-san setelah mewakilkan urusan partai kepada puteranya.
Tapi sepanjang jalan Pendekar Kepala Batu tak begitu gembira. Dia agak pendiam, dan ketika mereka tiba di Ta-pi-san tentu saja Pek Hong dan Pendekar Gurun Neraka terkejut menyambut. Mereka buru-buru turun, dan Pendekar Kepala Batu yang tidak suka njlimat-njlimet sudah langsung menyatakan tujuannya, minta maaf pada madu dari puterinya itu. Dan Pek Hong yang kaget serta membelalakkan mata tentu saja jadi kaget dibuatnya.
"Ah, itu tak perlu kau lakukan, Souw-locianpwe. Aku tidak iri ataupun sakit hati untuk urusan sepele ini. Adik Ceng Bi yang kelewatan, masa orang tua jauh-jauh diajak ke mari hanya untuk minta maaf!" dan Pek Hong yang tersipu-sipu menerima kata-kata ketua Beng-san ini langsung menolak dengan halus.
Pendekar Kepala Batu agak terhibur. Dia tidak kelewat merasa "terhina", maka ketua Beng-san yang akhirnya ganti menginap semalam di tempat mantunya itu dapat bernapas lega. Dia beristirahat, tapi pikirannya yang masih kacau gara-gara teguran puterinya itu mendadak membuat pendekar ini tiba-tiba mendatangi kamar Bi Lan ketika malam itu suasana sepi dan tak ada orang. Dengan mudah ketua Beng-San ini masuk, lalu menutup pintu dengan hati-hati dia menghampiri Bi Lan yang tidur.
"Bi Lan, bangun. Hayo latihan sebentar di depan kong-kong-mu."
Bi Lan terkejut. Ia melompat bangun dengan kaget, tapi melihat kong-kongnya ada di situ mendadak anak ini tertegun. "Apa, kong-kong? Ada apa kau ke mari?"
Pendekar Kepala Batu tersenyum. "Tidak ada apa-apa, Bi Lan. Aku ke mari hanya sekedar ingin metihatmu berlatih Soan-hoan-ciang. Coba kau lakukan, sampai di mana kemajuanmu...!”
Tapi Bi Lan tiba-tiba terisak, "Kong-kong, aku... aku tak mau lagi melatih ilmu silat itu. Aku telah membuat kecewa Hong-koko gara-gara ilmu silat ini!"
"Ah, tapi kau tetap melatihnya sepanjang hari, bukan?"
“Tidak, aku... aku menghentikannya, kong-kong. Aku tak mau melatih Soan-hoau-ciang sejak Hong-koko marah padaku!"
Ciok-thouw Taihiap tertegun. "Jadi kau menghentikannya sama sekali, Bi Lan?"
"Ya."
"Ah, tapi itu tak perlu terjadi, Bi Lan. Ilmu silat itu sama sekali tak bersalah kepadamu. Kenapa harus kau hentikan?"
"Karena Hong koko tak kau ajari pula ilmu ini, kong-kong. Dia marah dan kecewa padaku."
"Setan, tapi itu dapat diatur Bi Lan. Aku dapat mengajarnya kelak kalau dia sudah kembali!"
Tapi Bi Lan tetap menggeleng. "Tidak, Hong-koko tak mungkin mau menerimanya lagi, kong-kong. Dia terlanjur kecewa dan sakit hati kepadaku."
"Tidak, bukan kepadamu dia marah, Bi Lan. Tapi kepadaku yang telah membuat gara-gara dari persoalan ini. Sudahlah, kau harus tetap mempelajari ilmu silat itu dan biar urusan Sin Hong aku yang mengaturnya. Tak boleh kau hentikan begitu saja warisan ilmuku itu!" Dan Ciok-thouw Taihiap yang mengeraskan pandangannya pada anak perempuan ini sudah memerintah, "Sekarang kau latih ilmu silat itu, Bi Lan. Coba tunjukkan padaku sampai di mana kemampuanmu. Maju ataukah mundur!"
Bi Lan tiba-tiba menangis. "Kong-kong, aku... aku sudah berjanji tak mau melatih Soan-hoan-ciang lagi bila Hong-koko belum pulang. Kau harus cari dia dulu, ajari dia dan baru aku mau berlatih...!"
Ciok-thouw Taihiap mendelik. "Kau membantah?"
Bi Lan tersedu-sedu. "Tidak... tidak, kong-kong. Tapi itu janjiku sebelum Hong-koko kembali...!"
Ciok-thouw Taihiap merah mukanya. "Keparat, kau seperti ibumu, Bi Lan. Kau membuat aku jadi marah!" dan Ciok-thouw Taihiap yang melangkah maju tiba-tiba menyambar baju cucunya ini, membentak, "Kau masih tidak mau turuti perintah kong-kongmu, Bi Lan? Kau ingin kubanting?”
Bi Lan menutupi mukanya, menangis makin keras. Karena di samping takut melihat kakeknya melotot juga sebagai usaha untuk menarik perhatian ibunya. Dan ketika dua kali kakeknya membentak dan Bi Lan tak memberi jawaban tiba-tiba benar saja pintu dibuka dari luar dan Ceng Bi masuk!
"Ayah, apa yang kau lakukan?"
Ciok-thouw Taihiap melempar cucunya ke pembaringan. "Anakmu kurang ajar, Bi-ji. Dia berani menolak dan membantah perintahku!"
"Apa yang kau perintahkan?"
Tapi Ciok-thouw Taihiap tak menjawab. Dia sudah memutar tubuh melompat pergi, dan Ceng Bi yang melihat muka ayahnya merah dan gusar ditahan segera menghampiri puterinya dengan kening berkerut.
"Bi Lan, apa yang diperintahkan kong-kongmu? Kenapa kau menangis dan ribut-ribut di sini?"
Bi Lan menubruk ibunya. Ia sudah menceritakan apa yang terjadi, dan Ceng Bi yang mendengar cerita anaknya tiba-tiba tertegun. Nyonya muda ini terkejut, tapi ketika ia mencari ayahnya untuk mendinginkan suasana ternyata kamar ayahnya kosong! Kiranya Ciok-thouw Taihiap langsung pergi pada malam itu juga, dan ketua Beng san pai yang geram oleh penolakan cucunya ini tak dapat menahan diri. Dia meninggalkan sepucuk surat, memberi tahu kepergiannya dan tak dapat dikejar. Dan Ceng Bi yang menjublak oleh perbuatan ayahnya ini lalu memberi tahu pada suami dan madunya. Dan Pendekar Gurun Neraka geleng-geleng kepala, menarik napas.
"Gak-hu memang aneh, Bi moi. Tapi kalau itu sudah menjadi wataknya biarlah, percuma kita membujuk atau meredakan kemarahannya. Biarlah kemarahannya itu larut oleh waktu dan kita tetap bersabar menghadapi tindak-tanduknya."
Pek Hong juga mengangguk. "Benar, ayahmu memang orang aneh, adik Bi. Tapi kalau Sin Hong yang membuat Bi Lan berduka biarlah kelak akan kubujuk anakku itu untuk memulihkan suasana. Bi Lan harus gembira, tak boleh berduka!"
Ceng Bi hanya menarik napas. Ia bingung juga oleh kejadian ini, namun Pek Hong yang memeluk pundaknya sudah memberikan hiburan lembut pada madunya itu, membuat Ceng Bi terhibur dan melupakan sikap ayahnya yang aneh. Dan mereka bertiga yang kembali ke kamar untuk beristirahat segera menyudahi persoalan itu dan tidak banyak cakap lagi.
Tapi bagaimana dengan Ciok-thouw Tai-hiap sendiri? Tentu saja dia tidak mau "menyudahi" persoalan ini begitu saja. Karena begitu tiba di Beng-san dan memanggil dua orang cucunya Han Ki dan Han Bu berkatalah jago tua ini dengan sikap galak,
"Han Ki, Han Bu, hari ini pula kalian berdua harus giat berlatih dan menyempurnakan ilmu silat Soan-hoan-ciang itu. Kita mendapat tandingan berat dari seorang kakek bongkok dari Pegunungan Himalaya. Kalian tak boleh kendor!"
Han Ki dan Han Bu mengangguk. Mereka tentu saja terheran melihat wajah engkongnya yang merah itu, melotot seakan mereka berdua telah melakukan sebuah kesalahan besar. Dan Ciok-thouw Taihiap yang geram oleh peristiwa di rumah mantunya berkata lagi, melanjutkan dengan suara ditekan,
"Dan kalian harus benar-benar berlatih keras, anak-anak. Sepuluh tahun lagi kalian harus dapat mengalahkan murid si Naga Bongkok yang disiapkan untuk kalian. Kalian mengerti?"
Dua orang anak itu kembali mengangguk.
"Nah, kalau begitu berlatihlah sekarang. Aku hendak pergi mencari seseorang untuk menyelesaikan sebuah persoalan!" dan ketua Beng-san-pai yang sudah mengusir dua orang anak laki-laki itu ke taman untuk berlatih segera menemui puteranya.
"Han-ji, aku akan mencari si Naga Bongkok. Kau jagalah rumah baik-baik dan awasi dua orang cucuku itu untuk melatih Soan-hoan-ciang!"
"Ah, kau pergi sekarang, ayah? Tidak beristirahat dulu?"
"Tak usah. Aku harus membawa Sin Hong pulang ketempat ibunya, Han-ji. Karena itu jaga baik-baik tempat ini dan awasi dua orang anakmu itu!"
"Dan kapan kau kembali, ayah?"
"Tidak tahu. Tapi mungkin tiga sampai enam bulan!"
Dan Ciok-thouw Taihiap yang sudah berkelebat pergi meninggalkan puteranya kembali membuat Ceng Han menjublak dan geleng-geleng kepala. Putera Pendekar Kepala Batu ini-pun juga tak dapat berbuat banyak kalau ayahnya sudah seperti itu. Maka Ceng Han yang membiarkan ayahnya pergi dan tinggal di Beng-san menanti kedatangannya kembali lalu menunggu dengan sabar.
Tapi enam bulan kemudian ayahnya itu datang dengan uring-uringan. Naga Bongkok yang dicari ternyata tak berhasil ditemukan. Seakan tahu bakal "diganggu" ketua Beng-san-pai ini dan menyembunyikan diri dengan amat cerdiknya. Dan Ceng Han yang menarik napas melihat keadaan ayahnya itu tak banyak cakap. Dia tahu ayahnya marah-marah. Maka diam dan tersenyum kecut diapun membiarkan saja ayahnya masuk kamar dan mengurung diri.
Tapi dua hari kemudian ketua Beng-san-pai itu muncul. Kemarahannya agak reda, terlihat dari mukanya yang tidak merah lagi. Dan Ciok-thouw Taihiap yang langsung menemui dua orang cucunya laki-laki segera menyuruh mereka mainkan Soan-hoan-ciang untuk dilihat sampai di mana kemajuannya. Tapi ketua Beng-san-pai ini tertegun. Han Ki dan Han Bu yang diharap berlatih giat ternyata tak mengalami kemajuan berarti, padahal enam bulan sudah dia menyuruh mereka berlatih seorang diri. Maka Pendekar Kepala Batu yang kembali bermuka merah ini langsung saja menyemprot.
"Han Ki, Han Bu, mana kemajuan yang kalian peroleh? Kalian masih tetap seperti enam bulan yang lalu. Bodoh. Pemalas...!”
Han Ki dan adiknya menunduk. Mereka memang tahu itu, karena sesungguhnya mereka tak berlatih sungguh-sungguh sejak diketahuinya bahwa "murid" si Naga Bongkok yang akan disiapkan untuk menghadapi mereka itu adalah Sin Hong. Saudara mereka sendiri! Maka dua orang kakak beradik yang ragu-ragu ini tentu saja berlatih dengan hati setengah-setengah. Dan Ciok-thouw Taihiap kembali marah-marah. Dia langsung menangani sendiri dua murid yang "bandel" ini, tapi karena Han Ki dan Han Bu berlatih setengah hati untuk ilmu silat baru Soan-toan-ciang itu maka kemajuan yang diharap Ciok-thouw Taihiap tak sesuai dengan apa yang diinginkannya.
Memang, untuk ilmu-ilmu silat lain dua orang kakak beradik itu berlatih sungguh-sungguh. Bahkan kemajuannya pesat. Tapi khusus untuk Soan-hoan ciang ini mereka seakan enggan karena maklum akan kedahsyatan ilmu itu yang mampu merobohkan musuh dalam jarak sepuluh tombak dengan angin putarannya yang hebat luar biasa. Dan ini membuat Ciok-thouw Taihiap "frustrasi". Akibatnya, dalam kekecewaan demi kekecewaan yang bertubi-tubi menggerogoti batinnya maka ketua Beng-san-pai ini mulai sering menenggak arak hingga mabok-mabokan!
Pagi itu, setelah sepuluh tahun dari kejadian di atas seorang pemuda duduk bertengger di atas sebuah batu karang yang tinggi. Dia berusia duapuluh tahunan, wajahnya tampan tapi sinar matanya menyipit dengan sudut bibir ditarik mengejek. Jelas menandakan pemuda yang suka merendahkan orang lain dan sombong. Tapi sinar matanya yang tajam berkilat dengan cahaya yang aneh mencorong dari pelupuk yang sedikit ditutup itu membuktikan bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan.
Siapakah dia? Bukan lain Ceng Liong, murid dari dua orang tokoh iblis yang dulu mengeroyok si jago pedang Bu-tiong-kiam Kun Seng di Bukit Pedang, si raksasa Mongol Temu Ba itu serta si Mayat Hidup, iblis kurus kering yang suka batuk-batuk seperti orang berpenyakitan. Tapi kalau Mayat Hidup bagai cecak kering yang kurus serta jangkung adalah muridnya ini gagah dan tegap.
Ceng Liong sudah bukan merupakan bocah lagi. Dia benar-benar seorang pemuda yang telah dewasa, tampan dan cukup masak. Tapi pergaulannya dengan dua orang guru yang seperti iblis itu membuat pemuda ini banyak meniru perbuatan gurunya terutama si Mayat Hidup. Seperti diketahui, iblis bagai cecak kering ini ternyata "gemar” sekali dalam masalah nafsu berahi. Berkali-kali Ceng Liong menyaksikan gurunya itu mengajak ibunya masuk ke gua, hal yang mula-mula belum diketahui untuk apa. Tapi ketika suatu hari dirinya tertarik dan ingin mengetahui apa yang sesungguhnya sedang terjadi di dalam gua tiba-tiba anak ini terbelalak.
Dia melihat sesuatu yang baginya saat itu "mengerikan". Keadaan dua mahluk yang berlainan jenis dalam keadaan telanjang bulat! Dan tertegun melihat guru dan ibunya sama-sama bugil dan melampiaskan cinta liar maka anak ini bengong, tak tahu apa yang sesungguhnya sedang "dikerjakan" dua orang ini. Tapi ketika dia semakin dewasa dan di dalam dirinya mulai terdapat getaran-getaran nikmat dari munculnya nafsu berahi bagi setiap manusia normal maka Ceng Liong mengerti dan mulai panas dingin!
Anak ini sekarang suka melamun, kian berangkat dewasa dan kian "paham" akan apa yang dilihatnya itu. Tapi karena masih takut dan dirinya saat itu belum dewasa benar, maka Ceng Liong menekan saja semua gejolak jiwanya itu dan diam. Hanya melotot dan diam-diam sering "mencuri"' lihat adegan-adegan yang dilakukan ibu dan gurunya itu di dalam gua. Tapi, setelah usianya kian dewasa dan dia sekarang berusia duapuluh tahun tiba-tiba Ceng Liong ingin mencoba! Dan pagi itu dia bertengger di atas batu karang!
Seperti biasa, pagi itu A-cheng akan lewat untuk mandi. Pembantu ibunya ini menang rajin, di samping melayani kebutuhan mereka makan minum juga sering turun ke desa-desa untuk membeli rempah-rempah. Sebuah tugas rutin yang dilakukan pelayan wanita ini setiap kali sebulan. Dan Ceng Liong yang mulai "melirik" pelayan wanitanya ini karena dorongan nafsu berahinya tiba-tiba saja bergetar ketika secara tak sengaja dia melihat wanita itu mandi!
Ini kejadian seminggu yang lalu. Di mana waktu itu Ceng Liong juga sedang duduk di batu karang itu. Dan karena batu ini cukup tinggi untuk melihat sekitar maka Ceng Liong dapat melihat ketika A-cheng sedang mandi di kakibukit tak jauh dari batu karang itu, di sebuah mata air yang jernih dan sepi. Dan Ceng Liong yang berdebar melihat semuanya ini tiba-tiba timbul nafsu berahinya dan melihat kesempatan!
Dia seakan digugah dari ketidaksadarannya selama ini. Betapa A-cheng adalah wanita terdekat setelah ibunya. Dan Ceng Liong yang bangkit kegembiraannya oleh kesadarannya ini tiba-tiba menyala pandangannya dan segera mengamati pelayan wanita itu lebih dari seperti biasanya. Ceng Liong mulai tersenyum, diam-diam "menaksir" wanita yang mulai diincar ini. Dan ketika pagi itu dia sudah bertekad untuk mendapatkan apa yang diangan-angankannya maka Ceng Liong sudah bertengger di batu karang itu menanti kedatangan pelayannya!
Dan benar saja A-cheng mulai muncul. Pelayan wanita ini berlenggang dalam langkahnya yang santai, lalu menuruni bukit menuju ke mata air tak jauh dari batu karang ini. Ceng Liong melihat pelayannya itu tersenyum-senyum. Sebenarnya A-cheng bukan seorang wanita muda lagi. Usianya hampir empat puluhan. Namun pinggulnya yang masih bulat dan menari-nari di depan mata Ceng Liong membuat pemuda ini mendengus dan tiba-tiba menggigil, memanggil lirih,
"Bibi A-cheng, mau ke mana kau?"
A-cheng terkejut. Dia melihat sebuah bayangan melompat turun dari atas sebuah batu karang, tapi melihat bahwa itu adalah Ceng Liong segera muka pelayan ini berseri kembali dan bertanya, "Eh, pagi-pagi kau duduk di situ ada apa, Liong kongcu? Siapa yang kau tunggu?"
Ceng Liong sudah mendekati wanita ini. "Aku menunggumu, bibi. Aku tak sabar setelah satu jam bertengger di situ!"
"Ah..." pelayan ini terbelalak. "Kau satu jam di situ, kongcu? Dan menungguku pula?"
"Ya, aku tak sabar menantinya, bibi. Hampir aku marah kepadamu!"
A-cheng tampak terkejut. "Liong-kongcu, apa yang sesungguhnya kau inginkan dariku? Bukankah di rumah kau bisa memberi tahu?"
"Hm, aku justeru ingin omong-omong denganmu di sini, bibi. Aku iagin mendapatkan pelajaran cinta!"
A-cheng terheran, tidak mengerti. "Apa yang kau maksud, kongcu? Pelajaran cinta yang bagaimana?"
Dan Ceng Liong sudah menyentuh pundak wanita ini. "Artinya aku ingin kau menghiburku, bibi. Seperti halnya ibu kalau menghibur ji-suhu!”
"Ah...!" A-chcng melepaskan diri, melangkah mundur. "Kau sudah tahu itu, kongcu? Kau..."
"Ya, dan tak perlu berpura-pura lagi, bibi. Kaupun tentu sudah tahu pula apa yang kumaksudkan! Ayolah, kau ingin mandi, bukan? Mari kuantar…!" dan Ceng Liong yang sudah menyeringai sambil menyambar pelayan ini tiba-tiba mencium muka pelayan itu dengan canggung asal "ngok!" hingga A-cheng menjeritdan ketakutan!
"Kongcu, nanti dulu... ini, ah...!"
Ceng Liong sudah tak sabar. Dia jadi semakin penasaran melihat pelayannya ragu-ragu, tapi ketika A-cheng mengelak dan melompat mundur untuk yang kedua kalinya mendadak pemuda ini berhenti dan berkilat matanya. "Bibi, kau tak mau memenuhi permintaanku?"
A-cheng gemetar, ia melirik kiri kanan, lalu bentrok dengan sinar mata Ceng Liong yang mencorong bagai harimau haus darah pelayan inipun gugup. "Liong-kongcu, aku... aku takut ketahuan gurumu. Dia mengancam dan akan membunuhku kalau melihat aku melayanimu...!"
"Hm, siapa yang kau maksud, bibi? Twa-suhukah (guru pertama)?"
A-cheng menggeleng. "Tidak, bukan... justeru ji-suhumu (guru ke dua) itulah, kongcu. Mayat Hidup locianpwe...!”
Ceng Liong tertegun. "Kenapa ji-suhu melarangmu? Apakah dia tahu aku bakal mengganggumu?"
Pelayan ini menoleh ke kiri kanan, berkedip-kedip matanya, tampak ketakutan. Tapi Ceng Liong yang sudah menyentuh lengannya berkata, "Tak perlu kau takut, bibi. Ji-suhu ke kota raja malam tadi."
A-cheng membelalakkan mata. "Benarkah, kongcu?"
"Hm, kau kira aku bohong?" Ceng Liong tidak senang. "Ji-suhu ke kota raja bersama ibu, bibi. Karena itu aku sendiri bersama twa-suhu!"
"Ooh...!" A-cheng tampak lega. "Kalau begitu di mana twa-suhumu itu sekarang, kongcu? Apakah..."
"Twa-suhu sedang bersamadhi, bibi. Aku dipesan tak boleh mengganggunya sehari ini!"
A-cheng tiba-tiba berseri. Sepasang mata pelayan ini berkejap, hilang rasa takutnya. Tapi Ceng Liong yang merasa belum mendapat jawaban untuk pertanyaan tadi mendadak mencekal lengannya. "Bibi, kau belum menjawab pertanyaanku! Kenapa ji-suhu melarang dan bahkan mengancammu? Apakah dia tahu aku bakal mengganggumu?"
A-cheng menarik napas. Mukanya tiba-tiba sedih, tapi melepaskan diri dengan halus dia memandang pemuda itu. Sejenak ditatapnya Ceng Liong yang gagah, matanya bersinar dan tampak kagum, bahkan bergairah. Tapi menjawab dengan suara lemah pelayan ini menganggukkan kepalanya, "Ya, suhumu dapat menduga apa yang akan kau lakukan, kongcu. Karena itu jauh-jauh hari dia sudah memesan dan mengancamku agar tidak melayanimu!"
Ceng Liong mengerutkan alis. "Kenapa begitu, bibi? Apakah..." Ceng Liong berhenti, memandang tajam pelayan itu dan tiba-tiba bertanya mengejutkan, "Apakah suhu meminta kau melayaninya pula, bibi? Apakah karena ini maka kau tak boleh kusentuh?"
A-cheng tiba-tiba terisak. Pelayan itu menganggukkan kepalanya, lalu menjawab terbata-bata dia menatap pemuda ini, "Be… benar, kongcu. Aku selalu melayaninya setelah ibumu selesai dan tak mau diganggu lagi...!"
Ceng Liong tertegun. Dia tampak terkejut oleh keterangan ini, tapi tertawa aneh mendadak pemuda ini menyambar pelayannya itu. "Bibi, kau tak perlu takut. Bagaimanapun ji-suhu tak ada di rumah sekarang! Hayo, hibur hatiku dan kita berdua bersenang-senang...!"
A-cheng terkejut. "Tapi twa-suhumu ada dirumah, kongcu! Bagaimana kalau kita ketahuan?"
"Ah, twa-suhu tak pernah ambil pusing masalah cinta. Hi-hi. Dia tak mungkin melarang atau melihat kita!"
A-cheng masih ragu-ragu. "Tapi bagaimana kalau ji-suhumu kembali, kongcu? Bukankah..."
Ceng Liong sudah memotong, "Ji-suhu tak mungkin pulang dalam sehari, bibi. Dia pergi seminggu untuk urusannya itu!"
Dan A-cheng pun tertegun. Dia kurang percaya, maka Ceng Liong yang menjadi gemas pada pelayannya ini tiba-tiba mencengkeram pundaknya. "Bibi… kau tak perlu takut. Aku bertanggung jawab penuh untuk urusan ini. Kalau ketahuan aku siap mempertaruhkan jiwaku untuk melindungimu...!"
A-cheng baru lega. Ia dapat tersenyum kecil sekarang, tapi Ceng Liong yang tak tahan oleh nafsunya yang kian bergejolak tiba-tiba merobek baju pelayannya ini. "Bibi, kau lepas semua pakaianmu itu. Berjalanlah telanjang mulai dari sini!"
A-Cheng terkejut. "Tapi kalau dilihat orang...?"
"Ah, tak ada orang di sini, bibi. Kau turutlah perintahku dan lepas semua pakaianmu itu!"
A-cheng menggigil. Ia terbelalak memandang Ceng Liong, tapi terkekeh dan tersenyum genit tiba-tiba wanita ini melepas semua bajunya. Dan begitu telanjang tanpa sehelai benang-pun melekat di tubuhnya mendadak wanita ini berseru dan melompat turun bukit, "Kongcu, kejarlah aku. Kita mandi bersama di mata-air situ...!"
Ceng Liong mendengus. Dia benar-benar "dibakar" oleh pemandangan ini, maka begitu pelayannya terkekeh dan berseru menantang dia-pun sudah melompat dan mengejar pelayannya itu. Tapi Ceng Liong tak terburu-buru. Dia ingin menikmati dulu tubuh A-cheng dari belakang, melahapnya sepuas mungkin. Lalu baru mendekati mata air diapun menerkam dan menubruk pelayannya itu.
"Bibi, kau benar-benar menggairahkan... byur!" dan keduanya yang sudah sama-sama kecebur dan terguling di air segera tertawa tanpa menghiraukan kiri kanan lagi!
Ceng Liong dan pelayannya itu sudah saling peluk, masing-masing mendengus dan pagut-memagut, saling tempel bagai lintah yang melekat. Dan A-cheng yang gembira mendapat serangan pemuda yang ganas dan penuh nafsu ini segera "membimbing" dan mengarahkan pemuda itu dalam permainan cinta yang benar. Maka Ceng Liong pun menjadi mabok. Dia benar-benar mendapatkan "pengalaman" pertama dari pelayannya itu, permainan cinta yang menghanyutkan seluruh sendi-sendi tulangnya hingga mabok sampai di langit ke tujuh!
Dan A-cheng yang terkekeh oleh dengus nafsu pemuda itu sudah melayani dan mengajari pemuda ini sampai puas hingga kehabisan napas. Dan seharian itu mereka di mata air, saling bercumbu dan melampiaskan nafsu yang membakar tubuh mereka. Tak ingat lagi bahwa mereka adalah pasangan yang tak seimbang karena betul-betul bagai seorang anak dengan bibinya! Tapi Ceng Liong yang tak perduli dengan semuanya itu memang tak akan menghiraukan semuanya ini dengan pikiran sehat.
Dan sore itu mereka baru kembali. A-cheng masih terkekeh-kekeh, tersenyum genit dan bersikap manja bagai seorang gadis berusia tujuh-belas tahunan! Sementara Ceng Liong yang tersenyum dengan mata bersinar segera menggandeng kekasihnya itu dengan sikap mesra, tiada ubahnya dengan pasangan pengantin baru yang sedang berbulan madu! Dan keduanya yang segera mengulang perbuatan-perbuatan itu semakin sering akhirnya benar-benar mabok dan lupa diri.
Mereka semakin berani berbuat di mana saja. Tak perduli waktu. Tak perduli tempat. Dan Ceng Liong yang selalu menjanjikan bantuannya pada kekasihnya itu bila sampai dilihat guru mereka menjadikan A-cheng tenang dan semakin hanyut. Wanita ini sendiri mengalami semacam kepuasan lengkap dari Ceng Liong. Karena setelah pemuda itu dilayani dan hasrat nafsunya terpuaskan dia mendapatkan perbandingan yang menyolok antara melayani pemuda itu dengan Mayat Hidup!
Dan tentu saja A cheng tergelincir. Ia sudah tidak takut lagi bila ketahuan, karena Ceng Liong yang berjanji dan bahkan bersumpah untuknya itu membuat wanita ini berani dan merasa terlindungi. Tapi, bagaimana kenyataannya? Sebuah pengalaman pahit. Karena ketika tujuh hari mereka bergelimang cinta dan mabok dalam mengumbar nafsu berahi. Tiba-tiba saja Mayat Hidup dan Tok-sim Siau-li muncul!
Waktu itu mereka seperti biasa bergurau di mata air. A-cheng telanjang bulat, Ceng Liong juga demikian. Dan keduanya yang sama terkekeh dengan tubuh berendam di dalam air sebatas dada dengan tubuh saling berdekapan tak mengetahui bahwa dua pasang mata mengintai dan terbelalak memandang mereka. Itulah mata dari Tok-sim Sian-li dan Mayat Hidup! Tapi keduanya yang sedang mabok dalam cinta yang panas ini tak menyadari.
"Bibi, bagaimana perasaanmu setelah satu minggu ini?”
A-cheng terkekeh. "Aku puas, kongcu. Kau benar-benar hebat dan jantan!"
"Ah, bukan pujian itu yang kumaksud, bibi. Tapi bagaimana perasaanmu setelah kau bersenang-senang denganku dibanding bersenang-senang dengan ji-suhu!"
Pelayan itu tersenyum. Ia tidak segera menjawab, tapi lengannya yang meliuk bagai ular telah merangkul leher pemuda ini yang kuat dan tegak. "Kongcu, kau tentu saja tak dapat dibandingkan dengan ji-suhu mu itu. Bukankah kau lebih muda dan kuat? Kau lebih tahan lama, kongcu. Tidak seperti gurumu yang cepat kehabisan napas itu, hi-hik...!"
Ceng Liong tersenyum. "Kau sungguh-sungguh bibi...?"
"Ah, masa aku bohong, kongcu? Bukankah kenyataannya... hi-hik... kau memang kuat sekali, kongcu. Kalau tidak lebih banyak pengalaman tentu tak tahan aku melayanimu terus-menerus...!" dan A-cheng yang sudah terkekeh sambil mencium mulut kekasihnya itu tiba-tiba menggelinjang ketika jari Ceng Liong menyelinap nakal di atas dadanya...
Kun Houw terkejut. Dia merasa was-was, melihat muka ayahnya yang berkerut-kerut itu. Lalu ketika jago pedang ini mencoba bangkit mendadak tubuhnya terjerembab kembali dan roboh di atas lantai.
"Ah, aku lumpuh, Kun Houw...!”
Kun Houw kaget bukan main. Dia melihat ayahnya tak dapat bangkit lagi, susah menggerakkan kaki dan tangan. Tapi Kun Seng yang tersenyum padanya tiba-tiba menghela napas pendek. "Houw ji (anak Houw), perhitunganku sedikit meleset. Racun ternyata tak seluruhnya keluar dari luka yang kubuat. Otot-ototku diserang kelumpuhan...!"
Kun Houw terisak. Dia membuktikan ayahnya itu benar-benar tak dapat bergerak lagi, artinya tak dapat duduk atau berdiri. Hanya sanggup menggulingkan tubuh ke kiri atau ke kanan. Itupun dengan susah payah. Dan Kun Houw yang menangis melihat keadaan guru atau ayah angkatnya itu tiba-tiba menggumuli dan memeluk pendekar ini. "Ayah, apa yang harus kulakukan? Benar-benarkah kelumpuhan menyerang dirimu?"
"Hm, aku benar-benar tak berdaya lagi, Kun Houw. Sungguh tak kuduga sisa racun masih berada di dalam tubuhku."
"Kalau begitu akan kubalas kelak perbuatan nenek iblis itu, ayah. Akan kulumpuhkan dan kubunuh dia!"
"Sudahlah, itu urusan nanti, Houw-ji. Yang jelas masih untung aku tidak binasa. Thian rupanya menghukum sisa-sisa dosaku dengan kejadian ini," lalu tersenyum dan tertawa pahit pendekar ini membalikkan tubuh. "Houw-ji, sejak saat ini aku akan mendidikmu secara teori. Kau ambillah pedang dan kitab itu!''
Kun Houw mengangguk. Dia mengambil kitab di dalam peti, menyerahkannya pada ayahnya itu beserta pedang. Tapi ketika dia melihat pedang di tangannya itu mengeluarkan sinar kebiruan dan berhawa dingin mendadak dia keder dan tertegun dibuatnya. "Ayah, inikah Pedang Naga itu?"
"Ya, itulah pedang yang diminta empat iblis tadi, Kun Houw. Kalau saja sejak semula aku membawa pedang ini tentu mereka dapat kukalahkan semuanya!"
Kun Houw terbelalak. Dia teringat pedang ayahnya yang lentur itu, pedang lemas yang akhirnya patah bertemu cakar baja di tangau So-beng. Dan heran bahwa ayahnya menyembunyikan pedang yang berwarna kebiruan ini tiba-tiba dia tak tahan untuk bertanya, "Ayah, dari manakah kau dapatkan Pedang Naga ini? Benarkah milik kerajaan Yueh?"
Pendekar itu tersenyum. "Memang benar, Houw-ji. Dan pedang itupun kudapatkan secara aneh!"
"Secara aneh apa maksudmu, ayah?"
"Artinya kudapatkan pedang ini dalam tempat yang tidak wajar, Houw-ji. Dia menancap di utas wuwungan istana ketika aku tertarik melihat cahayanya yang kebiruan itu!"
"Ah...!" Kun Houw terbelalak. "Siapa yang menancapkannya, ayah?"
"Hm, mana aku tahu, Houw-ji? Tapi menurut kepercayaan pedang itu melesat sendiri dengan kekuatan-gaibnya. Dia pedang keramat yang entah kenapa sedang menunjukkan kemarahannya pada Pangeran Kou Cien yang kini menjadi raja muda di kerajaan Yueh itu!"
Kun Houw tertegun. Dia tertarik pada keanehan cerita pedang ini, sedikit merasa seram tapi tidak takut lagi. Bahkan tiba-tiba merasa dekat dengan pedang ini. Pedang yang katanya sedang "marah" pada majikannya, seperti dia yang marah pada musuh-musuhnya yang dibenci! Dan Kun Houw yang melihat badan pedang diukir dengan lukisan naga yang indah kemilau tiba-tiba saja bersinar matanya.
"Ayah, pedang ini benar-benar indah sekali. Lukisan liong-nya (naga) tampak demikian hidup!"
"Ya, tapi pedang ini bukan melulu pedang yang indah saja, Houw ji. Tapi dia juga pedang keramat yang tajamnya melebihi segala ketajaman benda di muka bumi ini. Dia melebihi ketajaman pedang lenturku yang patah bertemu cakar baja di tangan iblis Penagih Jiwa itu!"
Kun Houw terkejut. "Begitukah, ayah?"
Pendekar ini mengangguk. "Coba kau buktikan," katanya. "Lempar bajumu itu di udara dan bacoklah dengan pedang ini dalam jarak dua meter, Houw-ji. Pasti akan robek disambar angin pedangnya yang tajam luar biasa!"
Kun Houw berseri. Dia segera membuktikan hal ini, dan begitu baju dibacok sesuai jarak yang dikatakan ayahnya tiba-tiba baju itu terpapas disambar angin bacokan pedang ini. "Bret...!" Kun Houw melenggong. Dia melihat bajunya itu kutung, robek menjadi dua padahal belum disentuh pedang! Dan Kun Houw yang terbelalak oleh kehebatan pedang ini tiba-tiba mendesis dan berseru penuh kagum.
"Ah, pedang ini benar-benar luar biasa, ayah. Kalau seandainya sejak semula kau telah memegang pedang ini tentu keempat orang musuhmu itu sudah roboh binasa!"
"Benar, tapi mereka mahluk hidup, Houw-ji. Mereka dapat mengelak atau menangkis kalau terpaksa!"
"Ya, tapi bagaimanapun pedang ini tentu dapat banyak membantumu, ayah. Kalau tidak kau tak mungkin roboh dan dicurangi mereka!”
"Sudahlah, semuanya sudah lewat, Houw-ji. Tak perlu mengandai-andaikan persolan yang sudah terjadi. Kau bersiaplah, hari ini juga aku akan menggemblengmu secara teori...!" dan Kun Seng yang menyuruh anak itu membuka kitab hari itu juga mulai melatih Siauw-cut atau yang kini kita sebut Kun Houw itu dengan sungguh-sungguh dan keras.
Kun Houw tak diberi kesempatan lagi untuk bertanya-tanya, digembleng dan dilatih silat oleh guru atau ayah angkatnya itu. Dan karena Kun Seng adalah seorang pendekar yang lihai dalam permainan pedang hingga mendapat julukan si jago pedang maka ilmu silat pedang itulah yang diberikan kakek ini pada anak lelaki itu. Kun Houw dididik dengan penuh disiplin, terus-menerus tak kenal lelah.
Dan karena jago pedang ini memiliki ilmu silat pedang yang disebut Bu-tiong-kiam-hoat (Ilmu Pedang Dalam Kabut) maka tentu saja ilmu itulah yang diajarkan pada Kun Houw, disusul kemudian dengan tujuh jurus intinya yang sebagian sudah diserap Kun Houw, ketika mereka bertemu di dusun Lo. Dan Kun Houw yang juga tekun mempelajari ilmu silat pedang kakek ini melalui kitab dan petunjuk-petunjuk gurunya yang lumpuh di atas pembaringan ternyata tak mengecewakan jago pedang itu.
Tapi Kun Seng keadaannya memburuk. Jago pedang ini diserang penyakit batuk, sebuah penyakit yang sama sekali tidak diduga sebenarnya berasal dari logam bergerigi si Mayat Hidup, tokoh sesat yang juga batuk-batuk seperti orang tbc, itu senjata rahasia yang kejangkitan "baksil" penyakit menular ini. Dan karena Kun Seng sejak awal kelumpuhannya tak memiliki daya tahan yang kuat lagi maka jadilah pendekar itu diserang batuk-batuk yang membuat keadaannya kian lemah.
Tapi jago pedang ini memang hebat. Kemauannya yang kuat luar biasa untuk mendidik muridnya dan bertahan hidup cukup membuat orang kagum. Kemauan yang membuat semangat dari jiwanya bangkit, membaja dan berkobar-kobar seolah menentang maut yang siap membayanginya sewaktu-waktu. Dan Kun Seng yang tak kenal lelah dalam menggembleng muridnya untuk menguasai seluruh kepandaiannya lewat kitab memang akhirnya hampir berhasil secara sempurna.
Namun maut hari itu datang juga! Sembilan tahun setelah menggembleng muridnya dengan susah payah hari itu Kun Seng muntah darah. Pendekar pedang ini rusak paru-parunya, tak kuat lagi bertahan setelah diteror sembilan tahun lamanya. Dan pendekar pedang yang sudah sekarat dengan muka kebiruan itu batuk-batuk lagi dengan amat hebatnya.
"Kun Houw... coba kau ulangi semua pelajaran pedang... aku ingin melihatnya sebelum ajal...!”
Kun Houw tertegun. Dia tentu saja menolong gurunya itu, tapi Kun Seng yang melotot padanya membentak, "Kun Houw, murid macam apa kau ini? Kenapa tidak segera menjalankan perintah?"
Kun Houw menarik napas. Dia sekarang bukan bocah seperti dulu lagi, anak laki-lakiyang berusia sepuluh tahun itu. Tapi gurunya yang masih suka membentak-bentak seperti menghadapi seorang bocah membuat "anak" ini tersenyum pahit. Kun Houw sekarang adalah Kun Houw yang gagah dan tampan. Tubuhnya tegap, dadanya bidang. Sementara sinar matanya yang tajam berkilat menunjukkan bahwa "anak" ini benar-benar sudah dewasa dan matang. Pemuda yang usianya hampir dua puluh tahun!
Tapi Kun Houw mengangguki juga. Dia mencabut pedang, lalu berdiri di tengah ruangan diapun mulai mengkonsentrasikan diri. Tapi Kun Seng yang kembali batuk-batuk dengan amat hebatnya membuat pikirannya terganggu.
"Ayah, aku tak dapat memusatkan perhatianku. Aku harus menolongmu dulu...'" Kun Houw terpaksa menyimpan pedang, menghanpiri ayahnya itu dan tak tahan melihat penderitaan orang tua ini.
Tapi Kun Seng yang melotot gusar berteriak, "Tidak, kau harus jalankan dulu perintahku, Kun Houw. Aku dapat menahan batuk ini dan menontonmu!" Dan Kun Seng benar-benar mengendalikan batuknya. Jago pedang itu menggigit bibir, mukanya penuh keringat, tampak sekali memaksa diri menahan batuknya, membuat urat di dahinya menonjol biru!
Dan Kun Houw yang sedih melihat penderitaan ayahnya itu terpaksa mencabut pedang, kembali ke tengah ruangan dan berkata gemetar, "Ayah, kau jangan paksakan diri. Kalau kau batuk kembali aku akan menghentikan permainanku!"
"Tidak, jangan, aku dapat melawan batukku, Houw-ji. Kau tunjukkanlah permainan pedangmu sampai selesai...!"
Kun Houw menggigit bibir. Dia mulai mainkan ilmu silatnya, mula-mula perlahan karena mata melirik ke tubuh tua yang kurus itu, siap berjaga-jaga untuk menolong begitu ayahnya batuk-batuk kembali. Tapi Kun Seng yang melotot padanya karena mengerti maksud pemuda ini sudah membentak marah,
"Houw-ji, jangan perdulikan aku. Pusatkan perhatian pada permainan pedangmu!"
Maka pemuda yang mulai mempercepat permainan pedangnya ini terpaksa mengangguk. Dia memusatkan pikiran, dan begitu pedang berkelebat dengan kesiur anginnya yang dingin tajam tiba-tiba pedang sudah berobah menjadi segulung sinar biru yang berkelebatan membungkus pemuda ini. Kun Houw mainkan Bu-tiong kiam-hoat dengan baik sekali. Tapi ketika tiba pada tujuh jurus inti yang siap dilaksanakannya mendadak Bu-tiong-kiam batuk-batuk!
"Ah, aku harus menolongmu, ayah...!" Kun Houw menghentikan permainannya, melompat mendekati ayahnya itu tapi mendadak batuk ayahnya hilang!
"Tidak, kau teruskan permainanmu, Houw-ji. Aku tidak apa-apa!"
Kun Houw tertegun. "Tapi...”
"Tapi apanya? Kau membantah, anak setan?"
Kun Houw menggigit bibir. Dia jadi tak tenang melihat keadaan ayahnya itu, tapi Kun Seng yang menyemprot pedas mendelik padanya, "Kun Houw, kau tak mau mengiringi kematian ayahmu dengan irama permainan pedang? Kau ingin aku direnggut maut sebelum menyaksikan semua kemahiranmu? Cepat kau jalankan perintah ini, anak bodoh. Aku tak mau ajal mendahuluiku sebelum selesai semua permainan silat pedangmu...!"
Kun Houw mengeraskan hati. Dia terpaksa mengulang lagi ilmu silatnya, melirik ayahnya yang tiba-tiba tersenyum. Lalu membentak dan memutar pedang sekonyong-konyong tubuhnya lenyap dibungkus gulungan sinar pedangnya seperti tadi. Mula-mula masih perlahan. Maklum, dia was-was melihat keadaan ayahnya yang memprihatinkan itu, orang tua yang keras kepala dan mulai terengah. Tapi melihat ayahnya tersenyum dan tiba-tiba terkekeh mendadak Kun Houw bangkit semangatnya dan mainkan Bu tiong-kiam-hoat dengan sungguh-sungguh.
Dia mulai terbawa permainan pedangnya sendiri, hanyut dalam putaran pedang yang bergulung-gulung naik turun, membentuk kabut saking cepatnya gerakan pedang. Lalu tiba pada permainan inti yang tujuh jurus itu mendadak pemuda ini mengeluarkan bentakan keras. Sekarang Kun Houw benar-benar lenyap. Sinar pedangnya berdesing dan mengeluarkan suara bercuitan yang kian lama kian meninggi, melengking bagai suara suling ditiup. Lalu ketika suara ini lenyap dan pedang tak mengeluarkan suara, lagi tiba-tiba Kun Seng batuk-batuk dan berteriak,
"Stop, hentikan dulu, Houw-ji. Aku ingin bertanya... ugh-ugh...!"
Kun Houw terkejut. Dia sedang berada dalam permainan puncak, mana mungkin dihentikan begitu saja? Maka ketika ayahnya berteriak dan pedang masih bergulung-gulung tanpa suara mendadak pemuda ini melontar senjata dan membanting tubuh, "mematahkan" daya putar yang membuat tubuhnya hanyut sekaligus bergulingan di lantai.
"Bres-plak...!"
Kun Houw membentur dinding. Dia mengeluh oleh benturan yang keras itu, merasa kepalanya pecah tapi melompat bangun dengan tubuh terhuyung. Dan Kun Seng yang terbelalak memandang muridnya ini tiba-tiba berseru sambil menatap Pedang Naga yang amblas di langit-langit ruangan.
"Houw-ji, dari mana kau melatih tenaga sinkang yang luar biasa ini?"
Kun Houw tertegun, "Tenaga sinkang apa, ayah? Apa maksudmu?"
Kakek itu gemetar. "Kau... hm, selama ini aku hanya melatihmu ilmu silat pedang, Houw-ji. Bagaimana kau mendapatkan tenaga sakti demikian hebat? Lihat, putaran pedangmu sudah tak mengeluarkan suara lagi... dan, ah, lihat itu, Pedang Naga amblas sepenuhnya di atap ruangan! Siapa yang melatihmu tenaga sakti ini, Houw-ji...?"
Kun Houw akhirnya menunduk. "Itu... aku mempelajarinya dari Bu-beng Sian-su, ayah. Manusia dewa itu memberiku pelajaran Menghimpun Seribu Naga. Itukah yang kau maksud?"
Kakek ini batuk-batuk. "Benar, ah pantas sekali... aku sejak semula sudah curiga, Houw-ji. Tapi sungguh tak kukira bahwa sinkang yang kau latih itu dari Bu-beng Sian-su! Ah, kalau begitu apalagi yang kurang? Ha-ha, aku puas. Houw-ji... kau lebih hebat daripada gurumu sendiri... aku... aku... ugh..."
Kun Seng batuk-batuk lagi. Kakek ini tampaknya terkejut, tapi gembira akhirnya berseri-seri dalam mukanya yang pucat membiru itu. Dan Kun Houw yang melihat gurunya batuk-batuk demikian hebatnya lalu menotok punggung ayahnya ini.
"Ayah. kau tekanlah gejolak hatimu. Kalau aku salah sukalah kau mengampuniku. Aku tak pernah memberi tahumu tentang ini karena kau tak pernah bertanya!"
Kun Seng terengah. "Tak apa... anak baik... aku... aku sengaja tak melatihmu tenaga sinkang karena kulihat sorot matamu yang aneh. Sorot mata seseorang yang mulai melatih tenaga dalam...!"
Kun Houw terkejut. "Jadi kau tahu, ayah?"
"Heh heh, kenapa tidak, anak bodoh? Aku cukup pengalaman tentang ini... aku dapat membedakan sorot mata seseorang yang berisi atau kosong...!" lalu batuk-batuk dengan susah payah kakek ini menuding, "Kun Houw, ambil pedang itu. Berlatihlah kembali khusus permainan inti yang tujuh jurus itu. Aku hendak memberi pelengkapnya!"
Kun Houw heran. "Pelengkap apa, ayah?"
Tapi kakek itu batuk-batuk, tak sanggup bicara. Dan baru setelah Kun Houw menotoknya kembali dapatlah kakek ini bicara, "Houw-ji, ilmu silatmu yang tujuh jurus itu masih kurang sempurna. Bagian terakhir kedudukan kakimu salah...!"
"Ah, begitu ayah? Bukankah kau sendiri yang mengajarkannya?"
"Heh-heh, itu memang betul, Houw-ji. Tapi kalau dipakai menghadapi Pendekar Kepala Batu atau Pendekar Gurun Neraka pasti kau roboh. Mereka orang-orang lihai, tujuh jurus ini sengaja kucipta untuk mengalahkan mereka... ugh-ugh...!"
Kun Houw terkejut. "Pendekar Kepala Batu, ayah?”
"Ya, pendekar yang menjadi gak-hu (mertua laki-laki) Pendekar Gurun Neraka itu, Houw-ji. Aku dulu pernah dirobohkan olehnya. Dia hebat, tapi angkuh dan luar biasa keras kepalanya...!"
Kun Seng batuk-batuk lagi. Dia muntahkan darah segar, dan Kun Houw yang cemas oleh keadaan ayahnya ini sudah berbisik khawatir, "Ayah, jangan mengeluarkan kata-kata lagi. Kau semakin lemah dan harus beristirahat...!"
Kun Seng tiba-tiba berontak, menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Tidak... tidak, Houw-ji. Aku justeru ingin memberimu petunjuk tentang jurus ke tujuh...!" dan membalikkan tubuh dengan susah payah pendekar ini berseru, "Houw-ji, ulang kembali permainan pedangmu. Lakukan jurus Sin-liong-hoan-kin (Naga Sakti Memindah Tenaga) itu... cepat!”
Kun Houw ragu-ragu. Dia memandang khawatir ayahnya ini, tapi Kun Seng yang mendelik padanya membentak, "Houw-ji, kau ingin aku tak mati meram? Kau tak cepat-cepat memenuhi permintaanku?"
Pemuda ini menarik napas. Dia berat memenuhi permintaan itu, tapi belum dia mencabut pedang mendadak ayahnya mengeluh. Pendekar itu berkelojotan, mendelik dan menuding-nuding pedang. Dan Kun Houw yang bingung oleh isyarat tak jelas itu seketika kelabakan. "Apa yang kau minta, ayah? Apa yang kau kehendaki?"
Kun Seng berkata, hampir tak terdengar suaranya, "...am... ambil pedang itu, Houw-ji... mainkan cepat tujuh jurus inti yang kumaksud itu... cepat, aku ingin mati dengan iringan suara pedangmu...!"
Dan Kun Houw yang tak dapatlagi menolak untuk permintaan terakhir ini tiba-tiba melompat. Pedang Naga yang menancap di langit langit ruangan segera dicabut, lalu begitu membentak dan mengeraskan hati sekonyoug konyong pedangnya sudah dimainkan dengan hebat dan luar biasa sekali.
Kun Seng mengeluarkan kata-kata tak jelas. Orang tua ini rupanya memuji, mengangguk dan tertawa dengan mulut ditarik menyeringai. Rupanya menahan sakit dan nyeri yang amat sangat di dalam dadanya. Maklum, paru parunya sudah rusak dan parah sekali, tak dapat lagi mengambil dan mengeluarkan napas dengan sempurna. Dan Kun Houw yang mainkan pedang dengan ilmu silatnya Bu tiong-kiam-sut itu di dalam gulungan cahaya pedang tak diketahui seorangpun bahwa diam-diam telah menangis mencucurkan air matanya dengan deras sekali!
Kun Houw merasa hancur perasaannya. Hampir mengeluh dengan bibir dikatup kuat-kuat. Maka untuk pelepas semua perasaannya yang tidak karuan ini tiba-tiba pemuda itu melengking. Lengkingnya sebetulnya merupakan jerit yang mirip pekik orang yang penuh kecewa oleh keadaan yang tak dapat diatasinya, keadaan dari ayah angkatnya tak tertolong lagi. Dan maklum ayahnya itu sudah diujung maut dan hanya merasa gembira dengan "iringan" suara pedangnya maka pemuda ini memusatkan seluruh perhatiannya pada permainan pedang, menghanyutkan diri dan berkonsentrasi penuh pada gerakan pedangnya yang mulai melengking bagai suara suling ditiup. Dan begitu pedang mengeluarkan lengking tinggi yang halus namun tajam tiba-tiba pemuda ini lenyap dalam gulungan sinar pedangnya.
Kun Seng mengeluarkan keluhan tak jelas. Orang tua itu berkejap-kejap gembira, tampaknya bangga dan puas melihat permainan pedang muridnya. Tapi ketika jurus ke tujuh hampir selesai dimainkan mendadak kakek ini melontarkan darah segar begitu batuknya menyerang lagi. Untuk yang terakhir kali kakek ini mencoba bertahan, tapi maklum maut sudah membayang di pelupuk matanya tiba-tiba kakek itu mendesis. Darah yang dilontarkan dari mulutnya tiba-tiba digores, membentuk huruf atau pesan kepada muridnya. Lalu begitu menyeringai dan berkelojotan dua kali mendadak kakek ini terkulai dan tewas dengan mulut tertawa!
Kun Houw kini sudah menyelesaikan permainannya. Dia menghentikan gerakan pedang, mengusap peluh dan air mata yang bercucuran membasahi pipinya, membuat pandangannya buram selama bersilat. Tapi begitu menoleh dan melihat ayahnya tak bergerak lagi dengan tubuh membujur kaku tiba-tiba pemuda ini mengeluh. "Ayah...!”
Kun Houw sudah menubruk mayat ayahnya itu. Dia tersedu-sedu memeluk tubuh tua yang penuh derita ini, lalu mengguguk dan tak dapat menahan dukanya. Kun Houw sudah membenamkan mukanya di dada jago pedang itu. Terisak dan menangis bagai anak kecil. Tapi Kun Houw menggigit bibir. Dia menghentikan tangisnya, maklum bahwa semuanya itu memang bakal terjadi. Dan sadar bahwa ayahnya telah meninggal dengan tenang diapun mengusap air mata dan menekan kedukaannya.
Bagaimanapun ayahnya itu telah lepas dari segala penderitaan. Tak diganggu lagi oleh suara batuk yang gencar memilukan rasa. Dan Kun Houw yang bangkit melepas jenasah ayahnya lalu mengubur kakek ini di ruangan itu. Dia bersamadhi semalam suntuk, duduk bersila di samping makam ayahnya itu. Tapi ketika hendak meninggalkan terowongan pada keesokan harinya mendadak Kun Houw tertegun. Dia melihat pesan ayahnya itu, pesan yang ditulis di atas lantai dengan darah yang sudah mengering. Dan Kun Houw yang mengerutkan alis melihat pesan ini segera membaca:
“Houw-ji, maaf aku tak dapat memberimu petunjuk. Rahasia dari gerakan kaki untuk jurus Sin-liong-hoan-kin itu ada di Medali Naga. Kau carilah. Ada di tanganmu, bukan?"
Kun Houw mendelong. Dia sungguh terkejut oleh pesan ayahnya itu. Pesan yang menyebut-nyebut Medali Naga. Dan Kun Houw yang bengong dan nanar membaca pesan ini tiba-tiba tertegun. Betapa tidak, Medali Naga yang di sangka ayahnya ada di tangannya itu telah dirampas si Mayat Hidup. Sembilan tahun yang lalu! Maka Kun Houw yang menjublak oleh pesan ini seketika mengepalkan tinju.
Tapi Kun Houw berlutut di makam ayahnya itu. Dan berjanji serta bersumpah untuk memenuhi permintaan gurunya itu pemuda ini bangkit berdiri dengan satu tekad. Mencari musuh-musuh gurunya dan juga musuh pribadinya: Pendekar Gurun Neraka! Maka Kun Houw yang keluar dari terowongan bawah tanah segera meninggalkan tempat itu setelah bersoja tiga kalidi depao makam ayahnya.
* * * * * * * *
"Han Ki, gerakan tanganmu jangan terlalu kaku. Putarlah pinggang dan buang lenganmu yang kiri itu ke samping!" pendekar ini berseru, memberi petunjuk pada anak laki-laki di sebelah kanannya yang bermuka putih, Han Ki atau Souw Han Ki putera pertama dari Ceng Han dengan Cui Ang, puteri si Belut Emas Cui Lok itu. Dan berseru pula pada anak laki-laki ke dua yang ada di sebelah kirinya pendekar itu mengangkat tangannya. "Dan kau jangan menggeser kakimu, Han Bu. Tapi angkat tumit dan meloncat...!"
Han Ki dan Han Bu mengangguk. Mereka dua orang kakak beradik yang sama-sama tampan, mirip ayah mereka yang tenang dan sedikit pendiam, kecuali Han Bu yang banyak bicara seperti ibunya. Dan Han Bu yang bertelinga lebar dengan mata yang bulat hitam sudah mengangkat tumitnya untuk meloncat seperti yang dikata kakeknya, tidak menggeser kaki lagi dan mainkan ilmu silat yanng diajarkan kakek mereka itu dengan muka bersungguh-sungguh dan serius. Tapi ketika mereka sedang asyik berlatih silat di bawah bimbingan ketua Beng-san-pai itu mendadak dua bayangan muncul, berkelebat melompati pagar tembok dan melayang turun mengejutkan dua orang anak ini.
"Ayah...!”
"Bibi...!"
Ternyata mereka adalah Ceng Han dan Ceng Bi, kakak beradik yang monjadi putera ketua Beng-san-pai itu. Dan Han Ki serta Han Bu yang sudah berteriak girang menyebut ayah dan bibi mereka ini segera menubruk dan memeluk manja.
"Bibi, mana adik Sin Hong dan Bi Lan?"
"Ayah, mana oleh-oleh untuk ibu?"
Ceng Han tersenyum. Han Bu yang menegur oleh-oleh untuk ibunya disambut tepukan di pundak, sementara Han Ki yang menanyakan Sin Hong dan Bi Lan disambut muka muram oleh bibinya ini. "Bi Lan ada di rumah, Ki-ji. Tapi Sin Hong lenyap dibawa orang...!"
Han Ki dan Han Bu terkejut. Mereka mau bertanya, tapi Ceng Han yang mengangkat lengannya memberi kedipan. "Ki-ji, Bu-ji, kalian masuklah. Panggil ibumu ke mari."
Dua orang anak ini mengangguk. Merekamaklum ada sesuatu yang tidak beres, pembicaraan orang-orang tua yang tidak boleh didengar mereka. Maka Han Ki dan Han Bu yang melompat ke dalam segera memanggil ibu mereka.
Dan Ceng Bi sudah menghadapi ayahnya. "Ayah, aku membawa berita penting...!"
Ciok-thouw Taihiap bangkit berdiri. Dia terbelalak memandang puterinya ini, puteri satu-satunya yang amat disayang, bahkan jauh lebih disayang lagi setelah kesalahannya dulu "membunuh" Ceng Bi (baca Pendekar Kepala Batu). Dan ketua Beng-san yang berdebar melihat mulut puterinya yang cemberut tidak senang itu tiba-tiba mengebutkan baju dan melangkah lebar. "Bi-ji, berita apa yang kau bawa?"
Ceng Bi tak segera menjawab. Dia memandang ayahnya itu, tajam dan lekat hingga ketua Beng-san ini sampai gugup dibuatnya. Khawatir salah tingkah menghadapi puterinya yang kalau marah benar-benar bisa membuat dia kelabakan itu! Dan Ceng Bi yang akhirnya membanting kaki tiba-tiba menegur, "Ayah, apa yang telah kaulakukan terhadap Sin Hong? Tahukah kau bahwa anak itu lenyap dibawa orang?"
Pendekar ini terkejut. "Aku sudah mendengar tadi, Bi-ji. Tapi benarkah anak itu lenyap? Siapa yang membawa?"
"Hm, yang membawa adalah si Naga Bongkok, ayah. Tapi yang menjadi gara-gara dari semuanya ini adalah kau!"
Ciok-thouw Taihiap tersentak. "Naga Bongkok? Pertapa dari Himalaya itu?"
"Ya, dan kau yang menjadi biang keladinya, ayah. Kau membuat keributan di antara anak-anak kami!"
"Eh, tuduhan apa ini, Bi-ji? Keributan apa yang kulakukan?"
Tapi Ceng Han tiba-tiba menarik napas, menggamit lengan adiknya menyuruh sedikit bersabar. Lalu memandang ayahnya dengan kening berkerut putera Pendekar Kepala Batu ini bicara, "Ayah, ada dua hal yang hendak kami sampaikan kepadamu. Pertama tentang dibawanya Sin Hong dan ke dua adalah berita kematian Ta Bhok Hwesio lo-suhu!"
Ciok-thouw Taihiap terbelalak kaget. "Kematian Ta Bhok Hwesio, Han-ji? Apa yang terjadi?"
"Dia dibunuh orang, ayah. Tewas di tangan iblis yang berjuluk So-beng (Iblis Penagih Jiwa)!"
"Keparat...!" Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba menggeram. "Siapa iblis itu, Han-ji? Kenapa aku belum pernah mendengar namanya?"
Ceng Han menghela napas. "Kami juga tidak tahu, ayah. Tapi kabar burung menyatakan iblis itu lihai sekali dan ada hubungan dengan kerajaan Wu!"
"Hm...!" Ciok-thouw Taihiap mengepal tinju, berkilat matanya. "Kalau begitu kita cari di kerajaan itu, Han-ji. Ingin kugempur dan kupecahkan kepalanya yang busuk itu!"
Tapi Ceng Han mengangkat tangan. "Tidak, jangan terburu-buru, ayah. Yap-twako telah merencanakan sesuatu untuk menghadapi urusan ini. So-beng bukan seorang diri. Dia dilindungi dan bersembunyi di balik kekuatan besar pasukan kerajaan Wu!"
Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba membentak, "Aku tidak takut, Han-ji. Aku tidak takut biar dia bersembunyi dan dilindungi pasukan siluman sekalipun!"
"Ya, aku tahu keberanianmu, ayah. Tapi Yap-twako telah melarang kita untuk bekerja sendiri-sendiri. Iblis itu tampaknya berbahaya, juga cerdik. Karena itu tak boleh kau melabrak seorang diri di kerajaan Wu!"
Ciok-thouw Taihiap melotot. "Mantuku itu berani melarang orang tua? Pendekar Gurun Neraka hendak menggurui aku yang bebas bertindak apapun?"
Ceng Han tersenyum kecut. "Tidak, bukan begitu, ayah. Kau jangan salah paham untuk urusan ini. Yap-twako sama sekali tidak menggurui kita namun memesan dengan sangat supaya kita tidak melakukan suatu Kecerobohan yang mungkin membawa akibat buruk bagi orang banyak!"
“Hm, apa maksudmu?"
"Begini, ayah," Ceng Han terpaksa menjelaskan. "Seperti yang tadi telah kukatakan padamu bahwa hubungan So-beng dengan kerajaan Wu ini barulah merupakan kabar burung orang lain. Kita tidak tahu benarkah berita itu atau tidak. Kalau tidak, dan kau telah menyerbu istana bukankah Pangeran Kou Cien bakal kena getahnya? Ingat, kerajaan Yueh masih di bawah kekuasaan kerajaan Wu, ayah. Dan kalau kau menyerbu dengan begitu saja padahal So-beng tak ada hubungannya dengan kerajaan Wu tentu Yueh bakal digempur mengingat kau adalah simpatisan kerajaan Yueh. Dan sekali Yueh diserbu dalam keadaan yang masih lemah begini tentu Wu tidak akan memberi ampun dan membasmi habis-habisan dengan tuduhan kau disuruh membuat onar oleh Yueh! Nah, bukankah ini gawat, ayah? Urusan perorangan bisa berobah menjadi urusan negara yang berakibat membawa malapetaka pula bagi rakyat Yueh yang tidak tahu apa-apa!”
Ciok-thouw Taihiap tertegun. Dia dapat menerima penjelasan ini, dan sadar bahwa dia dilanda emosi akhirnya ketua Beng-san ini manggut-manggut dan berdehem. "Baik, kau benar, Han-ji. Lalu apa rencana Pendekar Gurun Neraka itu? Apa yang hendak dikerjakan mantuku itu? Kenapa dia tidak kemari?”
Ceng Han melirik adiknya. "Aku tidak tahu, ayah. Karena Bi-moi buru-buru mengajakku ke mari!"
Ciok-thouw Taihiap memandang puterinya, tersenyum kecut. "Bi ji, apa yang hendak kau omongkan kepadaku? Kenapa tampaknya mau marah?"
Ceng Bi membanting kaki. "Karena kau orang tua yang tidak betul, ayah. Kau membuat malu padaku atas sikapmu kepada Sin Hong!”
"Eh, ada apa dengan sikapku? Ada apa dengan anak itu?" Ciok-thouw Taihiap terkejut.
Dan Ceng Bi yang gemas memandang ayahnya ini tiba-tiba bertanya, "Ayah, benarkah beberapa waktu yang lalu Kau menurunkan sebuah ilmu silat baru pada Bi Lan? Benarkah kau memesan agar supaya anak itu merahasiakan persoalan ini?"
Ciok-thouw Taihiap kaget. Dia tampak terkejut oleh pertanyaan puterinya itu, mukanya berobah. Tapi ketua Beng san yang batuk-batuk ini tiba-tiba menyeringai. "Itu... itu persoalan pribadiku, Bi ji. Untuk apa kau tanya ini?"
"Hm, urusan ini bukan urusan pribadi lagi, ayah. Tapi urusan keluarga yang tidak perlu disembunyikan lagi! Benarkah Bi Lan kau larang untuk memberitahukan pada orang lain? Benarkah kau memberinya sebuah ilmu baru pada cucumu itu?"
Ciok-thouw Taihiap tak segera menjawab, terbelalak memandang puterinya itu. Dan Ceng Bi yang sengit oleh perbuatan ayahnya tiba-tiba membanting kaki. "Ayah, kau selamanya mengajarkan kepada kami untuk bersikap gagah. Kenapa untuk pertanyaan ini kau tak bisa menjawab? Salahkah pertanyaan itu?"
Ketua Beng-san ini akhirnya batuk-batuk, batuk buatan. Tapi menganggukkan kepala dengan sikap kecut dia menjawab, "Ya, aku telah melakukan semuanya itu, Bi-ji. Tapi salahkah aku terhadap anakmu? Bukankah Bi Lan cucuku sendiri?"
Dan di sinilah Ceng Bi melotot, "Benar, Bi Lan memang cucumu, ayah. Tapi sikap berat sebelahmu yang tidak adil terhadap Sin Hong membuat aku malu pada anak itu dan ibunya!"
Lalu memberondong dengan mata berapi-api nyonya muda ini melanjutkan, “Dan perbuatanmu itu diketahui si Naga Bongkok, ayah. Sin Hong dibakar kakek ini untuk memusuhi adiknya sendiri Bi Lan diserang, lalu mengetahui adiknya itu benar-benar mendapatkan warisan ilmu darimu Sin Hong akhirnya tak mau tinggal di rumah dan mengikuti kakek itu sesuai siasat si Naga Bongkok! Kini enci Hong menangis sepanjang malam. Di samping kematian gurunya yang tidak terduga juga karena ditinggal pergi anak kesayangannya. Nah, apa yang hendak kau katakan, ayah? Masihkah perbuatanmu ini tidak boleh dibilang terlalu dan membuat aku tak enak pada enci Hong? Masihkah ada muka bagiku kalau kau tidak minta maaf pada ibu dan anak?"
Ciok-thouw Taihiap tertegun. Dia terpaku mendengar semuanya ini, tapi mengibaskan lengan ketua Beng-san ini tak mau kalah, dasar keras kepala! "Bi-ji, kukira itu bukan salahku mutlak. Aku memberi pada cucuku sendiri kenapa dilabrak dengan cara begini? Bukankah Sin Hong bukan darah keturunanku? Dia sebenarnya bukan apa-apa bagiku, Bi-ji. Di tubuh Sin Hong tak ada aliran darah dari keluarga Ciok-thouw Taihiap!"
Ceng Bi melotot. "Tapi Sin Hong putera Yap-koko, ayah. Dan Sin Hong kuanggap sebagai anak kandungku sendiri!"
"Ah, anggapan boleh tinggal anggapan, Bi-ji. Tapi yang jelas Sin Hong bukan cucuku asli!”
Ceng Bi menjerit, "Ayah, kau tidak betul. Pikiranmu kacau dan tidak sehat! Kau memecah belah keluargaku kalau caramu begitu...!"
"Eh, apanya yang tidak sehat? Bukankah omonganku betul? Sin Hong bukan kau yang melahirkan, Bi-ji. Dan ini kenyataan yang tidak dapat kaubantah!" Ciok-thouw Taihiap akhirnya membentak, bangkit kemarahannya dan meradang oleh sikap puterinya. Dan Ceng Han yang melihat suasana mulai meruncing tiba-tiba melangkah maju.
"Ayah, apa yang kaukatakan memang tidak salah. Tapi apa yang diutarakan Bi-moi juga betul. Bagaimana kalau kita bicarakan persoalan ini dengan pikiran jernih?"
Ciok-thouw Taihiap mulai uring-uringan. "Aku tidak mau dituduh berat sebelah, Han-ji. Karena aku merasa benar dengan apa yang kulakukan!"
"Baik, tapi sikapmu membuat aku tertampar, ayah. Karena bagaimanapun juga aku dan enci Hong sudah bukan seperti orang lain!"
Ceng Bi melengking, memprotes ayahnya yang melotot padanya itu. Dan Ceng Han yang melihat dua-duanya naik darah tiba-tiba merangkul adiknya ini, menghadapi ayah mereka dengan sikap tegas. "Ayah, aku tak mau persoalan ini diperdebatkan dengan cara keras. Aku mohon kalian berdua sama-sama menahan diri!" lalu melihat ayah dan adiknya memandang kepadanya pemuda inipun menarik napas, bertanya pada ayahnya itu, "Ayah, siapakah yang sebetulnya lebih kau sayang, Bi Lan ataukah Bi-moi?"
Ciok-thouw Taihiap tertegun. "Kenapa kau-tanyakan ini, Han-ji?" dia balik bertanya.
Dan Ceng Han yang melihat ayahnya terbelalak tak mengerti segera mengangkat tangannya, memberi jawaban. "Begini, ayah. Sebelum aku menjawab pertanyaanmu itu sebaiknya kaujawab dulu pertanyaanku. Siapakah yang lebih ayah cintai, Bi-moi ataukah Bi Lan!"
Ciok-thouw Taihiap merengut. "Tentu saja kedua-duanya sama kucinta, Ceng Han. Aku tak mau mencintai yang lain lebih dari yang satunya. Mereka sama-sama darah keturunanku!"
"Kalau begitu ayah tidak mencinta Bi Lan lebih dari ibunya?"
"Tentu saja. Bukankah mereka anak dan cucuku sendiri?"
"Hm, kalau begitu kau harus bersikap adil, ayah. Yakni bila kau memperhatikan Bi Lan maka tak seharusnya pula kau mengenyampingkan Bi-moi. Tapi yang kaulakukan justeru berlawanan dengan apa yang kaukatatan, ayah. Kau tidak konsekwen dengan apa yang kauomongkan tadi!"
"Eh, omongan apa?" Ciok-thouw Taihiap mendelik. "Aku tidak mengganggu atau menyusahkan adikmu itu. Ceng Han. Adikmu itu tak kuperlakukan dengan cara yang tidak adil! Konsekwen apa yang kau maksud?"
Ceng Han mengeraskan dagu. "Begini, ayah. Kalau benar kau mencintai Bi-moi sama seperti kau mencintai Bi Lan maka ayah harus bertindak adil. Kau tak boleh memperhatikan perasaan satunya dengan mengenyampingkan perasaan yang lain. Karena, kalau ayah bilang Bi-moi tak merasa terganggu akibat perbuatanmu itu tapi apa buktinya yang dialami Bi-moi sekarang? Bi-moi merasa kau susahkan, ayah. Dan justeru karena itu ia datang ke mari untuk mengajukan protes!"
"Tapi aku melatih cucuku sendiri, Ceng Han. Aku melatih darah dagingku sendiri karena Sin Hong bukan darah keturunanku!"
"Baik. Tapi tahukah ayah siapa ibu Sin Hong itu? Tahukah ayah bahwa Pek Hong bagi adikku Ceng Bi ini tiada ubahnya dengan encinya sendiri? Tahukah ayah bahwa hubungan mereka jauh lebih akrab daripada kakak beradik? Kau harus berani melihat kenyataan ini, ayah. Kau harus mengakuinya secara jantan! Pek Hong bagi Bi-moi sudah bukan orang lain. Dan justeru pernikahan wanita itu kau yang melamarnya!"
Ciok-thouw Taihiap tertegun. "Tapi yang meminta itu adalah adikmu sendiri, Ceng Han, Ceng Bi memaksaku untuk melamar murid Ta Bhok hwesio itu pada gurunya, bukan aku dari hati keinginan pribadi!"
"Itulah!" Ceng Han menukas. "Justeru itulah yang membuat kita harus mengakui kenyataan ini, ayah. Bahwa Ceng Bi menganggap murid Ta Bhok Hwesio itu lebih dari sekedar jiwanya. Bi-moi sanggup berkorban untuk wanita yang menjadi ibu Sin Hong ini!"
Ciok-thouw Taihiap terhenyak. Dia terbelalak memandang puteranya itu, melotot karena tiba-tiba dia merasa "dimusuhi" dua orang anaknya sekaligus. Tapi melihat Ceng Han mengemukakan hal yang tidak dapat dibantah tiba-tiba dia menjadi bingung dan marah pada dirinya sendiri. Teringat peristiwa sepuluh tahun yang lalu dimana diam-diam dia merasa penasaran karena kalah oleh menantunya itu. Pendekar Gurun Neraka yang memang hebat luar biasa! Dan begitu ingatan ini membayang kembali di pelupuk matanya tiba-tiba ketua Beng-san-pai ini menjadi sengit.
Sebenarnya, masalah yang terjadi itu adalah berpangkal pada penasaran jago tua ini. Betapa Ciok-thouw Taihiap "sakit hati" pada menantunya itu. Kekalahan yang dideritanya pada sepuluh tahun yang lalu ketika mereka mengadu kepandaian di bawah gunung, yakni ketika saat itu pertandingan ini disaksikan beberapa orang tokoh yang merupakan sahabat-sahabat mereka juga, Thian Kong Cinjin dan Bu Wi Hosiang serta Ta Bhok Hwesio. Dan meskipun dalam pertandingan itu dia tak sampai roboh secara menyolok namun tenaga Lui-kong-yang-sin-kang yang dimiliki Pendekar Gurun Neraka ternyata sempat membuat "penilaian".
Karena, seperti diketahui waktu itu pendekar tua ini harus mengakui keunggulan lawan, terdesak dan kalah seusap. Tapi Ciok-thouw Taihiap yang keras kepala dan tak mau sudah ini tetap ngotot dan bersikeras memaksa lawan untuk tidak menghentikan pertandingan, ingin sama-sama roboh atau sampyuh. Karena, kalau ia tewas dalam adu kepandaian itu tentu Pendekar Gurun Nerakapun setidak-tidaknya luka berat. Jadi, tak perlu menanggung malu pada lawannya itu karena lebih baik binasa sekaligus sebagai orang "gagah" daripada hidup tapi selalu penasaran pada lawannya itu, meskipun Pendekar Gurun Neraka kini adalah menantuuya sendiri!
Dan Ciok-thouw Taihiap yang tak dapat menghilangkan kesan kekalahannya itu ternyata diam-diam masih memendam semacam "sakit hati" pada menantunya itu, dengan akibat melatih Bi Lan yang masih cucu dalamnya itu tapi tidak melatih Sin Hong karena dianggap orang "luar".
Demikianlah, berpangkal pada hal inilah sebetulnya peristiwa itu terjadi. Rasa tak mau kalah dari Pendekar Kepala Batu yang memang keras kepala dan keras hati. Dan karena Pendekar Gurun Neraka sudah menjadi menantunya sendiri maka tentu saja ketua Beng-san-pai itu tak dapat "menantang" untuk menebus kekalahannya yang lalu. Akibatnya jago tua ini mencari jalan keluarnya sendiri. Dan karena Bi Lan adalah cucunya sendiri yang "orisinil" maka lewat jalan itulah dia menyalurkan rasa penasarannya yang sekian tahun sudah dipendam tanpa mendapat pelampiasan.
Dengan maksud, kelak kalau Bi Lan sudah mahir benar mainkan Soan-hoan ciang yang diciptakannya itu dia akan "mengadu" Bi Lan dengan Sin Hong, anak laki-laki yang melulu mendapat latihan dari Pendekar Gurun Neraka itu. Dan, ilmu silatnya yang diwariskan pada Bi Lan dapat diadu kelak dengan ilmu silat Sin Hong yang warisan ayahnya itu, Pendekar Gurun Neraka yang diam-diam membuat dia gemas dan penasaran itu!
Tapi tak disangka, baru setahun dia melakukan perbuatan itu ternyata hari ini puterinya datang, marah-marah dan melabrak dirinya. Dan bahwa Sin Hong tiba-tiba dibawa si Naga Bongkok yang berasal jauh dari Pegunungan Himalaya itu mendadak pendekar ini geram. Seketika kemarahannya ditumplak pada kakek bongkok itu. Orang yang usil dan membuat dia "dimarahi" puterinya sendiri. Dan Ciok-thouw Tai-hiap yang bersinar matanya dengan penuh Kemarahan mendadak membanting kaki dan melompat pergi.
"Naga Bongkok, kau yang menjadi gara-gara semuanya ini!" pendekar itu menggereng, meninju telapaknya sendiri dan meninggalkan Ceng Bi serta Ceng Han dengan muka merah. Tapi Ceng Bi yang masih sengit pada ayahnya ini tiba-tiba menyusul dan berseru.
"Ayah, kau harus menyelesaikan dulu urusan ini...!" dan Ceng Bi yang sudah menghadang di depan ayahnya seketika mengangkat tangan menahan ayahnya itu.
Pendekar Kepala Batu terkejut. "Urusan apa lagi yang harus kuselesaikan? Bukankah aku sudah kalah?"
"Tidak, penyelesaian terakhir belum kau lakukan, ayah. Kau harus meminta maaf pada enci Hong dan melatih puteranya dengan ilmu baru yang kauberikan pada Bi Lan itu!"
"Ah, tapi anak itu sudah dibawa si Naga Bongkok, Bi-ji. Mana mungkin aku melatihnya?"
"Kau dapat merebutnya, ayah. Kau cari anak itu dan ambil kembali dari tangan si kakek bongkok!"
Ciok-thouw Taihiap terbelalak. "Aku memang akan mencari si Naga Bongkok itu, Bi ji. Tapi bukan untuk menolong Sin Hong! Bocah itu tidak berada dalam bahaya, kenapa aku harus merebutnya?"
"Karena enci Hong berduka ditinggal anaknya itu, ayah. Dan aku tak dapat melihat enci Hong menangis gara-gara perbuatanmu!"
"Setan, ini bukan gara-garaku, Bi-ji. Ini gara-gara keparat Naga Bongkok itu! Kalau dia tidak datang membongkar rahasiaku ini tentu semuanya tak akan terjadi!"
"Baik, tapi bagaimanapun kau harus bersikap adil pada dua orang anak itu, ayah. Kalau tidak Bi Lan tak kuperbolehkan lagi melatih Soan-hoan-ciang bila Sin Hong tak kauberi pula ilmu silat itu!"
"Ah, kau memaksa?"
"Demi keadilan bagi dua orang anak itu, ayah. Dan kau harus meminta maaf pula pada enci Hong!"
"Kalau aku tidak mau?"
Ceng Bi membanting kaki. "Kau harus mau, ayah. Itu kesalahanmu yang terang-terangan kaulakukan. Kalau tidak, aku tak mau pergi dari tempat ini dan selamanya mengurung diri di ruang samadhi!"
Ciok-thouw Taihiap terkejut. Dia terbelalak memandang puterinya itu, tapi maklum ancaman puterinya ini tidak main-main segera dia menggedruk tanah dan mengibaskan lengan. "Baik, kau selamanya menggencet ayahmu. Bi-ji. Kau membuat aku harus selalu tunduk padamu. Setan..!" dan Ciok-thouw Taihiap yang melompat pergi kali ini tak dikejar Ceng Bi yang tiba-tiba basah matanya.
Nyonya muda ini tahu akan kecintaan ayahnya yang besar. Bahkan jauh lebih besar lagi sejak saat dia "dibunuh" itu. Maka melihat ayahnya uring-uringan dan memenuhi permintaannya semata-mata karena cinta kasihnya yang besar kepada dirinya maka nyonya muda ini tiba-tiba terisak. "Ayah, kau maafkan aku...!"
Ceng Han sudah memeluk adiknya ini. Dia dapat merasakan semua yang terjadi itu, menarik napas tapi lega bahwa ayahnya berbasil "disadarkan" dan tak terjadi bentrok di antara adiknya dan ayahnya itu. Hal yang tentu bakal membuat dia berdebar dan ngeri. Tapi maklum ayahnya itu memenuhi permintaan ini dengaa rasa terpaksa maka diam-diam putera Pendekar Kepala Batu itu tersenyum pahit.
Bagaimanapun, ayahnya memang luluh kalau menghadapi Ceng Bi. Satu-satunya orang yang agaknya "lawan" yang paling ditakuti ketua Beng-san pai itu. Dan Ceng Han yang tersenyum melihat ini semuanya lalu menarik adiknya masuk ke dalam, di mana waktu itu Cui Ang muncul menyambut mereka.
Demikianlah, Ceng Bi semalam menginap di tempat ayahnya itu. Lalu gembira melihat ayahnya muncul untuk memenuhi janji maka keesokan harinya ketua Beng san itu sudah turun gunung menuju Ta-pie-san, tentu saja bersama Ceng Bi yang mengiring di sebelahnya. Dan ayah dan anak yang turun gunung dengan satu tujuan itu akhirnya meninggalkan Beng-san setelah mewakilkan urusan partai kepada puteranya.
Tapi sepanjang jalan Pendekar Kepala Batu tak begitu gembira. Dia agak pendiam, dan ketika mereka tiba di Ta-pi-san tentu saja Pek Hong dan Pendekar Gurun Neraka terkejut menyambut. Mereka buru-buru turun, dan Pendekar Kepala Batu yang tidak suka njlimat-njlimet sudah langsung menyatakan tujuannya, minta maaf pada madu dari puterinya itu. Dan Pek Hong yang kaget serta membelalakkan mata tentu saja jadi kaget dibuatnya.
"Ah, itu tak perlu kau lakukan, Souw-locianpwe. Aku tidak iri ataupun sakit hati untuk urusan sepele ini. Adik Ceng Bi yang kelewatan, masa orang tua jauh-jauh diajak ke mari hanya untuk minta maaf!" dan Pek Hong yang tersipu-sipu menerima kata-kata ketua Beng-san ini langsung menolak dengan halus.
Pendekar Kepala Batu agak terhibur. Dia tidak kelewat merasa "terhina", maka ketua Beng-san yang akhirnya ganti menginap semalam di tempat mantunya itu dapat bernapas lega. Dia beristirahat, tapi pikirannya yang masih kacau gara-gara teguran puterinya itu mendadak membuat pendekar ini tiba-tiba mendatangi kamar Bi Lan ketika malam itu suasana sepi dan tak ada orang. Dengan mudah ketua Beng-San ini masuk, lalu menutup pintu dengan hati-hati dia menghampiri Bi Lan yang tidur.
"Bi Lan, bangun. Hayo latihan sebentar di depan kong-kong-mu."
Bi Lan terkejut. Ia melompat bangun dengan kaget, tapi melihat kong-kongnya ada di situ mendadak anak ini tertegun. "Apa, kong-kong? Ada apa kau ke mari?"
Pendekar Kepala Batu tersenyum. "Tidak ada apa-apa, Bi Lan. Aku ke mari hanya sekedar ingin metihatmu berlatih Soan-hoan-ciang. Coba kau lakukan, sampai di mana kemajuanmu...!”
Tapi Bi Lan tiba-tiba terisak, "Kong-kong, aku... aku tak mau lagi melatih ilmu silat itu. Aku telah membuat kecewa Hong-koko gara-gara ilmu silat ini!"
"Ah, tapi kau tetap melatihnya sepanjang hari, bukan?"
“Tidak, aku... aku menghentikannya, kong-kong. Aku tak mau melatih Soan-hoau-ciang sejak Hong-koko marah padaku!"
Ciok-thouw Taihiap tertegun. "Jadi kau menghentikannya sama sekali, Bi Lan?"
"Ya."
"Ah, tapi itu tak perlu terjadi, Bi Lan. Ilmu silat itu sama sekali tak bersalah kepadamu. Kenapa harus kau hentikan?"
"Karena Hong koko tak kau ajari pula ilmu ini, kong-kong. Dia marah dan kecewa padaku."
"Setan, tapi itu dapat diatur Bi Lan. Aku dapat mengajarnya kelak kalau dia sudah kembali!"
Tapi Bi Lan tetap menggeleng. "Tidak, Hong-koko tak mungkin mau menerimanya lagi, kong-kong. Dia terlanjur kecewa dan sakit hati kepadaku."
"Tidak, bukan kepadamu dia marah, Bi Lan. Tapi kepadaku yang telah membuat gara-gara dari persoalan ini. Sudahlah, kau harus tetap mempelajari ilmu silat itu dan biar urusan Sin Hong aku yang mengaturnya. Tak boleh kau hentikan begitu saja warisan ilmuku itu!" Dan Ciok-thouw Taihiap yang mengeraskan pandangannya pada anak perempuan ini sudah memerintah, "Sekarang kau latih ilmu silat itu, Bi Lan. Coba tunjukkan padaku sampai di mana kemampuanmu. Maju ataukah mundur!"
Bi Lan tiba-tiba menangis. "Kong-kong, aku... aku sudah berjanji tak mau melatih Soan-hoan-ciang lagi bila Hong-koko belum pulang. Kau harus cari dia dulu, ajari dia dan baru aku mau berlatih...!"
Ciok-thouw Taihiap mendelik. "Kau membantah?"
Bi Lan tersedu-sedu. "Tidak... tidak, kong-kong. Tapi itu janjiku sebelum Hong-koko kembali...!"
Ciok-thouw Taihiap merah mukanya. "Keparat, kau seperti ibumu, Bi Lan. Kau membuat aku jadi marah!" dan Ciok-thouw Taihiap yang melangkah maju tiba-tiba menyambar baju cucunya ini, membentak, "Kau masih tidak mau turuti perintah kong-kongmu, Bi Lan? Kau ingin kubanting?”
Bi Lan menutupi mukanya, menangis makin keras. Karena di samping takut melihat kakeknya melotot juga sebagai usaha untuk menarik perhatian ibunya. Dan ketika dua kali kakeknya membentak dan Bi Lan tak memberi jawaban tiba-tiba benar saja pintu dibuka dari luar dan Ceng Bi masuk!
"Ayah, apa yang kau lakukan?"
Ciok-thouw Taihiap melempar cucunya ke pembaringan. "Anakmu kurang ajar, Bi-ji. Dia berani menolak dan membantah perintahku!"
"Apa yang kau perintahkan?"
Tapi Ciok-thouw Taihiap tak menjawab. Dia sudah memutar tubuh melompat pergi, dan Ceng Bi yang melihat muka ayahnya merah dan gusar ditahan segera menghampiri puterinya dengan kening berkerut.
"Bi Lan, apa yang diperintahkan kong-kongmu? Kenapa kau menangis dan ribut-ribut di sini?"
Bi Lan menubruk ibunya. Ia sudah menceritakan apa yang terjadi, dan Ceng Bi yang mendengar cerita anaknya tiba-tiba tertegun. Nyonya muda ini terkejut, tapi ketika ia mencari ayahnya untuk mendinginkan suasana ternyata kamar ayahnya kosong! Kiranya Ciok-thouw Taihiap langsung pergi pada malam itu juga, dan ketua Beng san pai yang geram oleh penolakan cucunya ini tak dapat menahan diri. Dia meninggalkan sepucuk surat, memberi tahu kepergiannya dan tak dapat dikejar. Dan Ceng Bi yang menjublak oleh perbuatan ayahnya ini lalu memberi tahu pada suami dan madunya. Dan Pendekar Gurun Neraka geleng-geleng kepala, menarik napas.
"Gak-hu memang aneh, Bi moi. Tapi kalau itu sudah menjadi wataknya biarlah, percuma kita membujuk atau meredakan kemarahannya. Biarlah kemarahannya itu larut oleh waktu dan kita tetap bersabar menghadapi tindak-tanduknya."
Pek Hong juga mengangguk. "Benar, ayahmu memang orang aneh, adik Bi. Tapi kalau Sin Hong yang membuat Bi Lan berduka biarlah kelak akan kubujuk anakku itu untuk memulihkan suasana. Bi Lan harus gembira, tak boleh berduka!"
Ceng Bi hanya menarik napas. Ia bingung juga oleh kejadian ini, namun Pek Hong yang memeluk pundaknya sudah memberikan hiburan lembut pada madunya itu, membuat Ceng Bi terhibur dan melupakan sikap ayahnya yang aneh. Dan mereka bertiga yang kembali ke kamar untuk beristirahat segera menyudahi persoalan itu dan tidak banyak cakap lagi.
Tapi bagaimana dengan Ciok-thouw Tai-hiap sendiri? Tentu saja dia tidak mau "menyudahi" persoalan ini begitu saja. Karena begitu tiba di Beng-san dan memanggil dua orang cucunya Han Ki dan Han Bu berkatalah jago tua ini dengan sikap galak,
"Han Ki, Han Bu, hari ini pula kalian berdua harus giat berlatih dan menyempurnakan ilmu silat Soan-hoan-ciang itu. Kita mendapat tandingan berat dari seorang kakek bongkok dari Pegunungan Himalaya. Kalian tak boleh kendor!"
Han Ki dan Han Bu mengangguk. Mereka tentu saja terheran melihat wajah engkongnya yang merah itu, melotot seakan mereka berdua telah melakukan sebuah kesalahan besar. Dan Ciok-thouw Taihiap yang geram oleh peristiwa di rumah mantunya berkata lagi, melanjutkan dengan suara ditekan,
"Dan kalian harus benar-benar berlatih keras, anak-anak. Sepuluh tahun lagi kalian harus dapat mengalahkan murid si Naga Bongkok yang disiapkan untuk kalian. Kalian mengerti?"
Dua orang anak itu kembali mengangguk.
"Nah, kalau begitu berlatihlah sekarang. Aku hendak pergi mencari seseorang untuk menyelesaikan sebuah persoalan!" dan ketua Beng-san-pai yang sudah mengusir dua orang anak laki-laki itu ke taman untuk berlatih segera menemui puteranya.
"Han-ji, aku akan mencari si Naga Bongkok. Kau jagalah rumah baik-baik dan awasi dua orang cucuku itu untuk melatih Soan-hoan-ciang!"
"Ah, kau pergi sekarang, ayah? Tidak beristirahat dulu?"
"Tak usah. Aku harus membawa Sin Hong pulang ketempat ibunya, Han-ji. Karena itu jaga baik-baik tempat ini dan awasi dua orang anakmu itu!"
"Dan kapan kau kembali, ayah?"
"Tidak tahu. Tapi mungkin tiga sampai enam bulan!"
Dan Ciok-thouw Taihiap yang sudah berkelebat pergi meninggalkan puteranya kembali membuat Ceng Han menjublak dan geleng-geleng kepala. Putera Pendekar Kepala Batu ini-pun juga tak dapat berbuat banyak kalau ayahnya sudah seperti itu. Maka Ceng Han yang membiarkan ayahnya pergi dan tinggal di Beng-san menanti kedatangannya kembali lalu menunggu dengan sabar.
Tapi enam bulan kemudian ayahnya itu datang dengan uring-uringan. Naga Bongkok yang dicari ternyata tak berhasil ditemukan. Seakan tahu bakal "diganggu" ketua Beng-san-pai ini dan menyembunyikan diri dengan amat cerdiknya. Dan Ceng Han yang menarik napas melihat keadaan ayahnya itu tak banyak cakap. Dia tahu ayahnya marah-marah. Maka diam dan tersenyum kecut diapun membiarkan saja ayahnya masuk kamar dan mengurung diri.
Tapi dua hari kemudian ketua Beng-san-pai itu muncul. Kemarahannya agak reda, terlihat dari mukanya yang tidak merah lagi. Dan Ciok-thouw Taihiap yang langsung menemui dua orang cucunya laki-laki segera menyuruh mereka mainkan Soan-hoan-ciang untuk dilihat sampai di mana kemajuannya. Tapi ketua Beng-san-pai ini tertegun. Han Ki dan Han Bu yang diharap berlatih giat ternyata tak mengalami kemajuan berarti, padahal enam bulan sudah dia menyuruh mereka berlatih seorang diri. Maka Pendekar Kepala Batu yang kembali bermuka merah ini langsung saja menyemprot.
"Han Ki, Han Bu, mana kemajuan yang kalian peroleh? Kalian masih tetap seperti enam bulan yang lalu. Bodoh. Pemalas...!”
Han Ki dan adiknya menunduk. Mereka memang tahu itu, karena sesungguhnya mereka tak berlatih sungguh-sungguh sejak diketahuinya bahwa "murid" si Naga Bongkok yang akan disiapkan untuk menghadapi mereka itu adalah Sin Hong. Saudara mereka sendiri! Maka dua orang kakak beradik yang ragu-ragu ini tentu saja berlatih dengan hati setengah-setengah. Dan Ciok-thouw Taihiap kembali marah-marah. Dia langsung menangani sendiri dua murid yang "bandel" ini, tapi karena Han Ki dan Han Bu berlatih setengah hati untuk ilmu silat baru Soan-toan-ciang itu maka kemajuan yang diharap Ciok-thouw Taihiap tak sesuai dengan apa yang diinginkannya.
Memang, untuk ilmu-ilmu silat lain dua orang kakak beradik itu berlatih sungguh-sungguh. Bahkan kemajuannya pesat. Tapi khusus untuk Soan-hoan ciang ini mereka seakan enggan karena maklum akan kedahsyatan ilmu itu yang mampu merobohkan musuh dalam jarak sepuluh tombak dengan angin putarannya yang hebat luar biasa. Dan ini membuat Ciok-thouw Taihiap "frustrasi". Akibatnya, dalam kekecewaan demi kekecewaan yang bertubi-tubi menggerogoti batinnya maka ketua Beng-san-pai ini mulai sering menenggak arak hingga mabok-mabokan!
* * * * * * * *
Pagi itu, setelah sepuluh tahun dari kejadian di atas seorang pemuda duduk bertengger di atas sebuah batu karang yang tinggi. Dia berusia duapuluh tahunan, wajahnya tampan tapi sinar matanya menyipit dengan sudut bibir ditarik mengejek. Jelas menandakan pemuda yang suka merendahkan orang lain dan sombong. Tapi sinar matanya yang tajam berkilat dengan cahaya yang aneh mencorong dari pelupuk yang sedikit ditutup itu membuktikan bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan.
Siapakah dia? Bukan lain Ceng Liong, murid dari dua orang tokoh iblis yang dulu mengeroyok si jago pedang Bu-tiong-kiam Kun Seng di Bukit Pedang, si raksasa Mongol Temu Ba itu serta si Mayat Hidup, iblis kurus kering yang suka batuk-batuk seperti orang berpenyakitan. Tapi kalau Mayat Hidup bagai cecak kering yang kurus serta jangkung adalah muridnya ini gagah dan tegap.
Ceng Liong sudah bukan merupakan bocah lagi. Dia benar-benar seorang pemuda yang telah dewasa, tampan dan cukup masak. Tapi pergaulannya dengan dua orang guru yang seperti iblis itu membuat pemuda ini banyak meniru perbuatan gurunya terutama si Mayat Hidup. Seperti diketahui, iblis bagai cecak kering ini ternyata "gemar” sekali dalam masalah nafsu berahi. Berkali-kali Ceng Liong menyaksikan gurunya itu mengajak ibunya masuk ke gua, hal yang mula-mula belum diketahui untuk apa. Tapi ketika suatu hari dirinya tertarik dan ingin mengetahui apa yang sesungguhnya sedang terjadi di dalam gua tiba-tiba anak ini terbelalak.
Dia melihat sesuatu yang baginya saat itu "mengerikan". Keadaan dua mahluk yang berlainan jenis dalam keadaan telanjang bulat! Dan tertegun melihat guru dan ibunya sama-sama bugil dan melampiaskan cinta liar maka anak ini bengong, tak tahu apa yang sesungguhnya sedang "dikerjakan" dua orang ini. Tapi ketika dia semakin dewasa dan di dalam dirinya mulai terdapat getaran-getaran nikmat dari munculnya nafsu berahi bagi setiap manusia normal maka Ceng Liong mengerti dan mulai panas dingin!
Anak ini sekarang suka melamun, kian berangkat dewasa dan kian "paham" akan apa yang dilihatnya itu. Tapi karena masih takut dan dirinya saat itu belum dewasa benar, maka Ceng Liong menekan saja semua gejolak jiwanya itu dan diam. Hanya melotot dan diam-diam sering "mencuri"' lihat adegan-adegan yang dilakukan ibu dan gurunya itu di dalam gua. Tapi, setelah usianya kian dewasa dan dia sekarang berusia duapuluh tahun tiba-tiba Ceng Liong ingin mencoba! Dan pagi itu dia bertengger di atas batu karang!
Seperti biasa, pagi itu A-cheng akan lewat untuk mandi. Pembantu ibunya ini menang rajin, di samping melayani kebutuhan mereka makan minum juga sering turun ke desa-desa untuk membeli rempah-rempah. Sebuah tugas rutin yang dilakukan pelayan wanita ini setiap kali sebulan. Dan Ceng Liong yang mulai "melirik" pelayan wanitanya ini karena dorongan nafsu berahinya tiba-tiba saja bergetar ketika secara tak sengaja dia melihat wanita itu mandi!
Ini kejadian seminggu yang lalu. Di mana waktu itu Ceng Liong juga sedang duduk di batu karang itu. Dan karena batu ini cukup tinggi untuk melihat sekitar maka Ceng Liong dapat melihat ketika A-cheng sedang mandi di kakibukit tak jauh dari batu karang itu, di sebuah mata air yang jernih dan sepi. Dan Ceng Liong yang berdebar melihat semuanya ini tiba-tiba timbul nafsu berahinya dan melihat kesempatan!
Dia seakan digugah dari ketidaksadarannya selama ini. Betapa A-cheng adalah wanita terdekat setelah ibunya. Dan Ceng Liong yang bangkit kegembiraannya oleh kesadarannya ini tiba-tiba menyala pandangannya dan segera mengamati pelayan wanita itu lebih dari seperti biasanya. Ceng Liong mulai tersenyum, diam-diam "menaksir" wanita yang mulai diincar ini. Dan ketika pagi itu dia sudah bertekad untuk mendapatkan apa yang diangan-angankannya maka Ceng Liong sudah bertengger di batu karang itu menanti kedatangan pelayannya!
Dan benar saja A-cheng mulai muncul. Pelayan wanita ini berlenggang dalam langkahnya yang santai, lalu menuruni bukit menuju ke mata air tak jauh dari batu karang ini. Ceng Liong melihat pelayannya itu tersenyum-senyum. Sebenarnya A-cheng bukan seorang wanita muda lagi. Usianya hampir empat puluhan. Namun pinggulnya yang masih bulat dan menari-nari di depan mata Ceng Liong membuat pemuda ini mendengus dan tiba-tiba menggigil, memanggil lirih,
"Bibi A-cheng, mau ke mana kau?"
A-cheng terkejut. Dia melihat sebuah bayangan melompat turun dari atas sebuah batu karang, tapi melihat bahwa itu adalah Ceng Liong segera muka pelayan ini berseri kembali dan bertanya, "Eh, pagi-pagi kau duduk di situ ada apa, Liong kongcu? Siapa yang kau tunggu?"
Ceng Liong sudah mendekati wanita ini. "Aku menunggumu, bibi. Aku tak sabar setelah satu jam bertengger di situ!"
"Ah..." pelayan ini terbelalak. "Kau satu jam di situ, kongcu? Dan menungguku pula?"
"Ya, aku tak sabar menantinya, bibi. Hampir aku marah kepadamu!"
A-cheng tampak terkejut. "Liong-kongcu, apa yang sesungguhnya kau inginkan dariku? Bukankah di rumah kau bisa memberi tahu?"
"Hm, aku justeru ingin omong-omong denganmu di sini, bibi. Aku iagin mendapatkan pelajaran cinta!"
A-cheng terheran, tidak mengerti. "Apa yang kau maksud, kongcu? Pelajaran cinta yang bagaimana?"
Dan Ceng Liong sudah menyentuh pundak wanita ini. "Artinya aku ingin kau menghiburku, bibi. Seperti halnya ibu kalau menghibur ji-suhu!”
"Ah...!" A-chcng melepaskan diri, melangkah mundur. "Kau sudah tahu itu, kongcu? Kau..."
"Ya, dan tak perlu berpura-pura lagi, bibi. Kaupun tentu sudah tahu pula apa yang kumaksudkan! Ayolah, kau ingin mandi, bukan? Mari kuantar…!" dan Ceng Liong yang sudah menyeringai sambil menyambar pelayan ini tiba-tiba mencium muka pelayan itu dengan canggung asal "ngok!" hingga A-cheng menjeritdan ketakutan!
"Kongcu, nanti dulu... ini, ah...!"
Ceng Liong sudah tak sabar. Dia jadi semakin penasaran melihat pelayannya ragu-ragu, tapi ketika A-cheng mengelak dan melompat mundur untuk yang kedua kalinya mendadak pemuda ini berhenti dan berkilat matanya. "Bibi, kau tak mau memenuhi permintaanku?"
A-cheng gemetar, ia melirik kiri kanan, lalu bentrok dengan sinar mata Ceng Liong yang mencorong bagai harimau haus darah pelayan inipun gugup. "Liong-kongcu, aku... aku takut ketahuan gurumu. Dia mengancam dan akan membunuhku kalau melihat aku melayanimu...!"
"Hm, siapa yang kau maksud, bibi? Twa-suhukah (guru pertama)?"
A-cheng menggeleng. "Tidak, bukan... justeru ji-suhumu (guru ke dua) itulah, kongcu. Mayat Hidup locianpwe...!”
Ceng Liong tertegun. "Kenapa ji-suhu melarangmu? Apakah dia tahu aku bakal mengganggumu?"
Pelayan ini menoleh ke kiri kanan, berkedip-kedip matanya, tampak ketakutan. Tapi Ceng Liong yang sudah menyentuh lengannya berkata, "Tak perlu kau takut, bibi. Ji-suhu ke kota raja malam tadi."
A-cheng membelalakkan mata. "Benarkah, kongcu?"
"Hm, kau kira aku bohong?" Ceng Liong tidak senang. "Ji-suhu ke kota raja bersama ibu, bibi. Karena itu aku sendiri bersama twa-suhu!"
"Ooh...!" A-cheng tampak lega. "Kalau begitu di mana twa-suhumu itu sekarang, kongcu? Apakah..."
"Twa-suhu sedang bersamadhi, bibi. Aku dipesan tak boleh mengganggunya sehari ini!"
A-cheng tiba-tiba berseri. Sepasang mata pelayan ini berkejap, hilang rasa takutnya. Tapi Ceng Liong yang merasa belum mendapat jawaban untuk pertanyaan tadi mendadak mencekal lengannya. "Bibi, kau belum menjawab pertanyaanku! Kenapa ji-suhu melarang dan bahkan mengancammu? Apakah dia tahu aku bakal mengganggumu?"
A-cheng menarik napas. Mukanya tiba-tiba sedih, tapi melepaskan diri dengan halus dia memandang pemuda itu. Sejenak ditatapnya Ceng Liong yang gagah, matanya bersinar dan tampak kagum, bahkan bergairah. Tapi menjawab dengan suara lemah pelayan ini menganggukkan kepalanya, "Ya, suhumu dapat menduga apa yang akan kau lakukan, kongcu. Karena itu jauh-jauh hari dia sudah memesan dan mengancamku agar tidak melayanimu!"
Ceng Liong mengerutkan alis. "Kenapa begitu, bibi? Apakah..." Ceng Liong berhenti, memandang tajam pelayan itu dan tiba-tiba bertanya mengejutkan, "Apakah suhu meminta kau melayaninya pula, bibi? Apakah karena ini maka kau tak boleh kusentuh?"
A-cheng tiba-tiba terisak. Pelayan itu menganggukkan kepalanya, lalu menjawab terbata-bata dia menatap pemuda ini, "Be… benar, kongcu. Aku selalu melayaninya setelah ibumu selesai dan tak mau diganggu lagi...!"
Ceng Liong tertegun. Dia tampak terkejut oleh keterangan ini, tapi tertawa aneh mendadak pemuda ini menyambar pelayannya itu. "Bibi, kau tak perlu takut. Bagaimanapun ji-suhu tak ada di rumah sekarang! Hayo, hibur hatiku dan kita berdua bersenang-senang...!"
A-cheng terkejut. "Tapi twa-suhumu ada dirumah, kongcu! Bagaimana kalau kita ketahuan?"
"Ah, twa-suhu tak pernah ambil pusing masalah cinta. Hi-hi. Dia tak mungkin melarang atau melihat kita!"
A-cheng masih ragu-ragu. "Tapi bagaimana kalau ji-suhumu kembali, kongcu? Bukankah..."
Ceng Liong sudah memotong, "Ji-suhu tak mungkin pulang dalam sehari, bibi. Dia pergi seminggu untuk urusannya itu!"
Dan A-cheng pun tertegun. Dia kurang percaya, maka Ceng Liong yang menjadi gemas pada pelayannya ini tiba-tiba mencengkeram pundaknya. "Bibi… kau tak perlu takut. Aku bertanggung jawab penuh untuk urusan ini. Kalau ketahuan aku siap mempertaruhkan jiwaku untuk melindungimu...!"
A-cheng baru lega. Ia dapat tersenyum kecil sekarang, tapi Ceng Liong yang tak tahan oleh nafsunya yang kian bergejolak tiba-tiba merobek baju pelayannya ini. "Bibi, kau lepas semua pakaianmu itu. Berjalanlah telanjang mulai dari sini!"
A-Cheng terkejut. "Tapi kalau dilihat orang...?"
"Ah, tak ada orang di sini, bibi. Kau turutlah perintahku dan lepas semua pakaianmu itu!"
A-cheng menggigil. Ia terbelalak memandang Ceng Liong, tapi terkekeh dan tersenyum genit tiba-tiba wanita ini melepas semua bajunya. Dan begitu telanjang tanpa sehelai benang-pun melekat di tubuhnya mendadak wanita ini berseru dan melompat turun bukit, "Kongcu, kejarlah aku. Kita mandi bersama di mata-air situ...!"
Ceng Liong mendengus. Dia benar-benar "dibakar" oleh pemandangan ini, maka begitu pelayannya terkekeh dan berseru menantang dia-pun sudah melompat dan mengejar pelayannya itu. Tapi Ceng Liong tak terburu-buru. Dia ingin menikmati dulu tubuh A-cheng dari belakang, melahapnya sepuas mungkin. Lalu baru mendekati mata air diapun menerkam dan menubruk pelayannya itu.
"Bibi, kau benar-benar menggairahkan... byur!" dan keduanya yang sudah sama-sama kecebur dan terguling di air segera tertawa tanpa menghiraukan kiri kanan lagi!
Ceng Liong dan pelayannya itu sudah saling peluk, masing-masing mendengus dan pagut-memagut, saling tempel bagai lintah yang melekat. Dan A-cheng yang gembira mendapat serangan pemuda yang ganas dan penuh nafsu ini segera "membimbing" dan mengarahkan pemuda itu dalam permainan cinta yang benar. Maka Ceng Liong pun menjadi mabok. Dia benar-benar mendapatkan "pengalaman" pertama dari pelayannya itu, permainan cinta yang menghanyutkan seluruh sendi-sendi tulangnya hingga mabok sampai di langit ke tujuh!
Dan A-cheng yang terkekeh oleh dengus nafsu pemuda itu sudah melayani dan mengajari pemuda ini sampai puas hingga kehabisan napas. Dan seharian itu mereka di mata air, saling bercumbu dan melampiaskan nafsu yang membakar tubuh mereka. Tak ingat lagi bahwa mereka adalah pasangan yang tak seimbang karena betul-betul bagai seorang anak dengan bibinya! Tapi Ceng Liong yang tak perduli dengan semuanya itu memang tak akan menghiraukan semuanya ini dengan pikiran sehat.
Dan sore itu mereka baru kembali. A-cheng masih terkekeh-kekeh, tersenyum genit dan bersikap manja bagai seorang gadis berusia tujuh-belas tahunan! Sementara Ceng Liong yang tersenyum dengan mata bersinar segera menggandeng kekasihnya itu dengan sikap mesra, tiada ubahnya dengan pasangan pengantin baru yang sedang berbulan madu! Dan keduanya yang segera mengulang perbuatan-perbuatan itu semakin sering akhirnya benar-benar mabok dan lupa diri.
Mereka semakin berani berbuat di mana saja. Tak perduli waktu. Tak perduli tempat. Dan Ceng Liong yang selalu menjanjikan bantuannya pada kekasihnya itu bila sampai dilihat guru mereka menjadikan A-cheng tenang dan semakin hanyut. Wanita ini sendiri mengalami semacam kepuasan lengkap dari Ceng Liong. Karena setelah pemuda itu dilayani dan hasrat nafsunya terpuaskan dia mendapatkan perbandingan yang menyolok antara melayani pemuda itu dengan Mayat Hidup!
Dan tentu saja A cheng tergelincir. Ia sudah tidak takut lagi bila ketahuan, karena Ceng Liong yang berjanji dan bahkan bersumpah untuknya itu membuat wanita ini berani dan merasa terlindungi. Tapi, bagaimana kenyataannya? Sebuah pengalaman pahit. Karena ketika tujuh hari mereka bergelimang cinta dan mabok dalam mengumbar nafsu berahi. Tiba-tiba saja Mayat Hidup dan Tok-sim Siau-li muncul!
Waktu itu mereka seperti biasa bergurau di mata air. A-cheng telanjang bulat, Ceng Liong juga demikian. Dan keduanya yang sama terkekeh dengan tubuh berendam di dalam air sebatas dada dengan tubuh saling berdekapan tak mengetahui bahwa dua pasang mata mengintai dan terbelalak memandang mereka. Itulah mata dari Tok-sim Sian-li dan Mayat Hidup! Tapi keduanya yang sedang mabok dalam cinta yang panas ini tak menyadari.
"Bibi, bagaimana perasaanmu setelah satu minggu ini?”
A-cheng terkekeh. "Aku puas, kongcu. Kau benar-benar hebat dan jantan!"
"Ah, bukan pujian itu yang kumaksud, bibi. Tapi bagaimana perasaanmu setelah kau bersenang-senang denganku dibanding bersenang-senang dengan ji-suhu!"
Pelayan itu tersenyum. Ia tidak segera menjawab, tapi lengannya yang meliuk bagai ular telah merangkul leher pemuda ini yang kuat dan tegak. "Kongcu, kau tentu saja tak dapat dibandingkan dengan ji-suhu mu itu. Bukankah kau lebih muda dan kuat? Kau lebih tahan lama, kongcu. Tidak seperti gurumu yang cepat kehabisan napas itu, hi-hik...!"
Ceng Liong tersenyum. "Kau sungguh-sungguh bibi...?"
"Ah, masa aku bohong, kongcu? Bukankah kenyataannya... hi-hik... kau memang kuat sekali, kongcu. Kalau tidak lebih banyak pengalaman tentu tak tahan aku melayanimu terus-menerus...!" dan A-cheng yang sudah terkekeh sambil mencium mulut kekasihnya itu tiba-tiba menggelinjang ketika jari Ceng Liong menyelinap nakal di atas dadanya...