Pedang Medali Naga Jilid 10 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG MEDALI NAGA
JILID 10
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Karya Batara
DUA iblis itu berseru kaget. Mereka langsung mengepung, dan Mu Ba yang sudah siap merundukkan kepala untuk menubruk ke depan menggereng, "Jadi kau si Pedang Dalam Kabut itu, tua bangka? Kenapa kau menyembunyikan mukamu?"

Tapi Mayat Hidup menyenggol temannya. "Mu Ba, kita datang bukan untuk memusuhi jago pedang ini. Kita datang untuk menjadi sahabatnya!"

Mu Ba terkejut. Raksasa itu rupanya sadar, maka menyeringai dan tertawa bergelak dia sudah merobah sikap. "Ah, maaf. Aku terbiasa bersikap kasar, Bu-tiong-kiam. Harap kau tidak kecil hati menerima caraku bicara."

Iblis berkedok itu tiba-tiba mendengus. "Mu Ba, Mayat Hidup, tak perlu kalian semua berpura-pura. Jago pedang ini tak mungkin suka dan sudi bersahabat dengan kalian. Dia keras kepala dan sombong!"

Mu Ba menoleh. "Kau siapa, sahabat? Kenapa mencampuri urusan orang lain?"

"Hm, Mo-li sudah menerangkan padamu, Mu Ba. Aku So-beng, datang ke mari karena berurusan dengan jago pedang ini."

"Hendak merampas pedang?"

"Tidak, tapi sekedar memenuhi perintah sri baginda Fu Chai!"

"Ah, kau orang kerajaan?"

"Benar!" dan begitu So-beng mengangguk tiba-tiba semua orang terkejut dan memandang iblis berkedok ini, kaget tapi juga heran. Dan mempergunakan kesempatan semua orang tertegun memandangnya iblis inipun sudah bicara lagi. "Dan sri baginda mengutus aku pula untuk mencari orang-orang pandai, Mu Ba. Dan karena kebetulan kita bertemu di sini maka kuundang kalian untuk datang ke istana dan menduduki jabatan-jabatan penting sesuai kepandaian kalian!"

Tiga orang itu serentak bersinar mata mereka menyala, gembira sekali mendengar tawaran yang menarik ini. Tapi Mayat Hidup yang batuk-batuk dengan suaranya yang serak tiba-tiba mengerotokkan buku-buku jarinya.

"So-beng, kita belum pernah kenal, baru kali ini bertemu. Bagaimana bisa meyakinkan kami bahwa kau betul-betul orang kerajaan? Bagaimana kalau kau menipu kami dan pura-pura saja untuk membawa jago pedang ini?"

"Hm, jago pedang ini tak boleh diperebutkan lagi, Mayat Hidup. Dia harus kita bawa ke istana sekaligus membuktikan kebenaran omonganku, apakah aku orang kerajaan atau bukan!"

"Jadi kami harus mengalah?"

"Tidak ada yang mengalah, Mayat Hidup. Akupun tak berniat mengangkangi pendekar ini untuk diriku pribadi. Dia diperlukan oleh sri baginda yang membutuhkan Pedang Naga yang dia simpan!"

Tapi, sebelum Mayat Hidup menjawab Kun Seng sudah menyambar Siauw-cut dan menghantamkan lengannya ke Sin-yan Mo-li. "Iblis-iblis busuk, aku bukan jago pedang itu. Kalian kasak-kusuklah sendiri...!"

Sin-yan Mo-li menjerit. Ia memang terkejut, tapi tak meninggalkan kewaspadaan. Maka begitu orang menghantamkan lengannya secepat kilat iapun meledakkan cambuk menangkis. Tetapi tenaga Kun Seng ternyata hebat, membuat nenek ini terpental cambuknya. Dan begitu menerobos sambil membentak tahu-tahu kakek ini kabur dan lari ke atas bukit, melanjutkan maksudnya yang ingin ke puncak!

Kontan, empat orang iblis itu melengking. Lalu menggerakkan kaki mengejar dan melakukan serangan dari belakang mereka sudah berkelebat dengan pukulannya masing-masing. Mu Ba dan Mayat Hidup dengan dorongan lengan dan jari yang bercuitan sementara Mo-li dan So-beng meledakan cambuk serta pukulan uap merah. Tapi kakek ini ternyata benar-benar lihai. Dia mampu berjumpalitan menghindar semua pukulan itu, dan begitu melesat mengerahkan ginkangnya tiba-tiba dia sudah berada di puncak.

Di sini ada sebuah batu besar, daerahnya sempit tapi rata. Dan Kun Seng yang sudah melayang ke batu besar itu tiba-tiba menggerakkan lengannya menggeser batu ini. Yang tiba-tiba bergerak dan menggelundung ke bawah, menyambut naiknya empat orang iblis yang mengejar ke atas. Dan begitu batu ini bergemuruh dengan suaranya yang dahsyat tiba-tiba empat orang musuh yang ada di bawah berteriak kaget. Mu Ba yang ada di depan menggereng, siap menghindar dengan melompat ke samping.

Tapi Mayat Hidup yang berada dua meter di belakangnya berseru, "Mu Ba, terima batu itu. Tahan dan biarkan kami lewat...!”

Raksasa ini tak jadi menghindar. Dia mengangguk dan menancapkan kakinya, memasang, kuda-kuda dan secepat kilat mengangkat kedua tangan keatas, dan begitu batu menimpa kepalanya tahu-tahu raksasa tinggi besar ini telah menahan dan menerima batu itu, menyangga dengan kedua tangannya yang kokoh kuat bagai Hercules yang menerima runtuhan pintu gerbang!

"Bress... !" tapi raksasa ini mengeluh juga. Daya dorong dari atas ditambah beratnya batu yang sebesar gajah itu membuat dia menggigit bibir, kedua kakinya amblas sepuluh senti ke dalam tanah, melesak. Tak kuat menahan! Tapi tiga orang temannya yang sudah lewat di bawah ketiaknya dan terus mengejar ke puncak Bukit Pedang dengan mata terbelalak kagum memandangnya sudah membuat raksasa ini mengeluarkan bentakan tinggi dan menekuk kedua lengan, memutar dan melempar batu yang beratnya ribuan kati itu ke bawah. Dan begitu kedua sikunya menolak dan melempar batu ini ke bawah maka terdengarlah ledakan dahsyat ketika batu raksasa ini berdebum dan meluncur ke bawah mengeluarkan suara hiruk-pikuk!

"Blamm...!"

Mu Ba sudah menyusul teman-temannya. Dia mengggereng dan menepuk bajunya yang penuh debu, marah dan gusar pada jago pedang itu. Sementara Kun Seng yang sudah tiba di atas dan melihat usahanya gagal menggelundungkan batu untuk menahan empat orang musuhnya menyambar lengan Siauw-cut dan berseru,

"Siauw-cut, masuk ke lubang itu. Ambil kitab pelajaran pedang dan lari ke bawah...!”

Siauw-cut tertegun. Dia melihat sebuah lubang menganga di dekat mereka, lubang di mana batu besar tadi berdiri. Dan melihat kakek itu tergesa-gesa dan pucat mukanya dengan peluh bercucuran tiba-tiba anak ini menghela napas, tak tega. "Locianpwe, apa sebenarnya yang terjadi? Rahasia apa yang kau sembunyikan ini?"

"Ah, tak perlu banyak omong lagi, Siauw-cut. Masuk dan ambillah kitab pelajaran pedang di bawah situ!"

"Tapi aku tak dapat melakukan perintahmu ini, locianpwe. Aku tak dapat membiarkan dirimu menghadapi empat orang iblis itu!"

Kakek ini tertegun. "Kau membantah?"

Siauw-cut menggeleng, sedih mukanya. "Tidak, locianpwe, tapi justeru ingin menolongmu. Aku tak akan meninggalkan dirimu lagi setelah kuketahui bahwa kau adalah si jago pedang itu, Bu-tong-kiam yang kucari-cari itu!"

"Tapi aku bukan jago pedang itu, Siauw-cut. Empat iblis itu ngawur dan tak usah dipercaya!"

"Kalau begitu bagaimana kau tahu bahwa di bawah ini terdapat kitab pelajaran pedang? Bagaimana kau tahu kulau bukan kau yang menyembunyikannya, locianpwe?"

Kakek ini terkejut. Dia rupanya kaget, sejenak terbelalak. Tapi melihat bayangan So-beng dan teman-temannya tiba di puncak tiba-tiba kakek ini mengeluh. “Siauw-cut, kita tak dapat banyak bicara lagi. Tak perlu berdebat betulkah aku ini si jago pedang atau tidak. Tapi kau dapat menolongku, bukan?” lalu, cemas dan bingung melihat empat orang itu sudah mendekati mereka kakek inipun buru-buru mengangkat tangannya "Siauw-cut, tolonglah aku. Di bawah itu ada kitab pelajaran pedang dan sebuah pusaka, Pedang Naga dari Yueh. Kau masuklah ke sana dan lari lewat terowongan bawah tanah. Kau akan muncul kembali di bawah bukit di mana batu hitam pertama kau gunakan untuk tempat bersembunyi...!"

Tapi Siauw-cut menggeleng. Dia tetap tidak mau, dan sementara Kun Seng mengeluh penuh kecewa dan marah pada anak ini maka So-beng dan tiga orang temannya muncul. "Bu-tiong kiam, kau tak dapat melarikan diri dari kami. Serahkan kitab dan Pedang Naga...!”

Mu Ba juga membentak, "Dan serahkan anak laki-laki itu kepadaku, Bu-tiong-kiam. Aku ingin menghirup dan menikmati sumsum tulang belakangnya!"

Kun Seng tak dapat melarikan diri lagi. Tempatnya sudah dikepung, satu-satunya jalan adalah lubang di bawah kaki mereka itu. Tapi maklum memasuki lubang dengan musuh di atas terlalu berbahaya bagi jiwa mereka berdua mendadak kakek ini menendang Siauw-cut hingga terpelanting ke dalam lubang. "Siauw-cut, lakukan perintahku. Ambil kitab dan pedang di bawah dan larilah...!"

Siauw-cut terbanting. Dia terjeblos ke lubang itu, gelap sekelilingnya kecuali di atas. Tapi anak yang bandel dan tak mau mengikuti petunjuk kakek itu sudah merangkak keluar dan menggigit bibirnya, melihat betapa Kun Seng berhadapan dengan empat orang lawannya dengan kepala tegak dan dada terangkat sementara tangannya tiba-tiba melolos sebatang pedang lentur yang disarungkan di ikat pinggang!

"Singg...“ Semua orang tertegun. Mereka melihat sebatang pedang bergetar melentur di tangan kakek itu, pedang yang lemas tapi tajam bagai pisau cukur! Dan Kun Seng yang tak dapat berpura-pura lagi setelah semuanya dibongkar lawan akhirnya membentak dengan suara penuh wibawa, lenyap sikapnya yang ketolol-tololan dan suka main-main itu,

"So-beng. Mayat Hidup, kalian terlalu mendesakku. Aku akan mempertahankan diri dan membasmi kalian...!"

So-beng dan tiga orang temannya terbelalak. Mereka melihat sikap yang penuh kejantanan dari kakek itu, sikap seorang pendekar sejati yang gagah dan garang. Tapi So-beng yang tersenyum mengejek tiba-tiba mendengus dan mencabut cakar bajanya, senjata maut yang telah membunuh Ta Bhok Hwesio di Pegunungan Ta-pie-san!

"Bu-tiong-kiam, tak perlu kau menggertak kami dengan segala ancaman kosongmu. Kami bukan anak kecil. Kau menyerahlah baik-baik, atau kami akan merampas pedang dan kitabmu secara paksa!"

"Hm, aku tak pernah menyerah sebelum bertanding, iblis keji. Aku tak akan memenuhi permintaan kalian sampai maut mencabut nyawaku!"

"Bagus!" Mu Ba tiba-tiba membentak."Kalau begitu kita bunuh saja kakek ini, teman-teman. Lempar dan buang tubuhnya ke dalam jurang...!" lalu, mendahului dan menggereng dahsyat tiba-tiba raksasa tinggi besar itu menubruk ke depan dengan kedua lengan mencengkeram kepala pendekar pedang ini, bermaksud meremas kepalanya sampai hancur.

Tapi Kun Seng yang mengeluarkan bentakan tinggi sudah menggeser kaki dan tiba-tiba merendahkan tubuh, mengelak sekaligus menggerakkan pedangnya. Lalu begitu pedang berkelebat dan membacok dari bawah ke atas tiba-tiba Mu Ba menjerit ketika lengannya terluka disambar pedang!

"Crett...!" Mu Ba melompat mundur. Raksasa itu mendesis, menggeram tapi terbelalak memandang pedang di tangan lawan yang ketajamannya benar-benar seperti pisau cukur.

Dan Mayat Hidup yang melihat temannya kaget dan sedikit terluka oleh gebrakan pertama ini sudah batuk-batuk dan memberi peringatan, "Mu Ba, jangan gegabah. Jago pedang itu layak mendapat kehormatanmu untuk mencabut senjata...!"

Mu Ba menggereng. Dia membanting kaki, dan mengumpat dengan penuh kemarahan tiba-tiba raksasa ini mencabut senjatanya yang mengerikan, dua tengkorak anak kecil yang diberi kelenengan. Lalu bersiap dan melotot pada pendekar itu raksasa ini membentak, "Bu-tiong-kiam, jangan sombong. Aku akan membalas mata pedangmu yang melukai lenganku!"

"Hm, aku siap melayani kehendakmu, Mu Ba. Maju dan gerakkan senjatamu itu...!"

Mu Ba marah. Raksasa ini memekik, suaranya parau dan serak. Tapi begitu dia menerjang maju tiba-tiba dua tengkorak kecil di tangan kanannya itu berdengung. Suaranya mirip bocah menangis, atau setan yang merintih. Dan begitu raksasa ini menyerang dengan tengkoraknya yang mengerikan itu tiba-tiba angin menderu-deru dengan amat dahsyatnya. Sepak terjang raksasa ini buas bukan main, mirip seekor beruang yang kelaparan. Tapi Kun Seng yang menggerakkan pedang melayani terjangan iblis tinggi besar ini sudah membentak dan mengikuti semua gerakan lawan.

Maka terjadilah pertandingan seru di antara dua orang tokoh itu. Mu Ba memekik-mekik dan mengayunkan tengkorak kecilnya yang mengaung-aung itu, sementara Kun Seng melayani sepak terjang lawan yang buas dengan gerakan silang-menyilang dari pedang lenturnya. Keduanya belum ada yang terdesak, Kun Seng masih mengikuti permainan tengkorak si raksasa dengan mata sesekali mengerling ke kiri kanan, mengerutkan alis melihat tiga orang iblis yang lain belum maju mengeroyok karena tampaknya sedang mempelajari permainan pedangnya! Maka pendekar yang gemas serta marah hatinya ini tiba-tiba membentak,

"So beng, Mayat Hidup, kenapa kalian nonton saja? Majulah, kita selesaikan urusan ini secepatnya."

Tapi Mayat Hidup tersenyum, batuk-batuk. "Kami belum melihat saatnya, orang she Kun. Sabarlah dan biarkan kami menjagamu agar tidak melarikan diri!"

Kun Seng geram. Dia tak banyak bicara lagi, maklum apa yang dipikirkan tiga iblis yang ada di pinggiran itu. Selain menonton juga ingin menguras tenaganya! Tapi Kun Seng yang tetap tenang melayani lawannya ini membiarkan Mu Ba menyerang dirinya semakin hebat. Dia tetap memasang kewaspadaan, maklum sewaktu-waktu bisa terjadi perobahan. Dan ketika Mu Ba semakin ganas dan gencar menyerang dirinya mulailah pendekar ini mengambil siasat.

Dia melihat Mu Ba belum sepenuhnya mengeluarkan kepandaian. Terbukti dari desing tengkorak di tangan raksasa tinggi besar itu. Karena meskipun tengkorak itu sendiri mengeluarkan bunyi mengaung yang tampaknya mengerikan namun suara kelenengan di dalam tengkorak itu belum sekalipun terdengar. Ini aneh! Tapi Kun Seng yang cukup makan asam garam pertandingan maklum apa yang kelihatannya ganjil ini. Mu Ba masih menyimpan kepandaian, belum mengeluarkannya semua. Dan jago pedang yang tersenyum mengejek di balik kelebatan sinar pedangnya itu tiba-tiba mendengus.

Dia juga belum mengeluarkan semua kepandaiannya. Terutama tujuh jurus inti ilmu silat pedang yang disimpannya itu. Tapi melihat Mu Ba masih menahan diri dan tak mau mengeluarkan semua kepandaiannya tiba-tiba pendekar pedang ini membentak dan melengking tinggi. Dia membuat perobahan, sinar pedangnya tidak lagi silang-menyilang melainkan bergulung-gulung naik turun, membungkus bagai mega yang kian lama kian tebal. Dan begitu kakek ini mengerahkan ginkangnya berkelebat semakin cepat mendadak tubuhnya lenyap dibungkus gulungan sinar pedangnya yang melebar bagai asap, mengeluarkan uap berhawa dingin mirip kabut di puncak sebuah pegunungan!

"Ah, Bu-tiong Kiam-sut (Ilmu Pedang Kabut)...!"

Mu Ba berteriak kaget. Dia kehilangan lawannya, tak diketahui di mana arahnya karena bersembunyi di bilik kabut yang kian tebal dan bergulung-gulung itu. Dan sementara Mu Ba tertegun dan bingung melancarkan serangan mendadak dari balik gulungan sinar pedang yang berkabut ini mencuat cahaya putih menusuk perutnya.

"Mu Ba, awas...!"

Raksasa tinggi besar itu mencelos. Mayat Hidup meneriakinya, kaget melihat temannya bengong dan disambar sinar putih yang menyambar dari balik gulungan pedang berkabut ini. Dan Mu Ba yang terkesiap oleh serangan mendadak ini secepat kilat membabatkan tengkorak mautnya.

"Sing-pletak...!" Mu Ba membanting tubuh. Dia berteriak kaget ketika tiba-tiba tengkorak di tangannya pecah sebuah, dibabat sinar putih yang amat ganas itu. Dan sementara raksasa ini menjerit panjang sekonyong-konyong sinar putih itu menukik dan memburunya, kali ini menyambar dada dengan kecepatan kilat.

"Ah...!" raksasa ini membentak. Dia menggerakkan kembali tengkorak maut yang tinggal satu-satunya itu, dan maklum menangkis tanpa membalas adalah terlalu berbahaya baginya maka raksasa tinggi besar itu melancarkan pukulan telapak kirinya ke gulungan sinar yang membungkus tubuh si jago pedang itu.

"Plak-dess...!"' Mu Ba menjerit. Dia kalah cepat, karena tusukan pedang yang menyambar dadanya itu hanya berhasil dipapak tali tengkorak yang dia ikatkan di lubang mata, putus dibabat pedang dan terus menusuk ulu hatinya. Dan Mu Ba yang menjerit kaget oleh sambaran cahaya putih ini tak dapat bertindak lain kecuali mengerahkan sinkangnya. melindungi diri secepat kilat sambil membanting tubuh.

"Crat...!" Dan Mu Ba mengeluh. Raksasa tinggi besar itu terguling-guling, darah mengucur di dada yang terluka dua senti, tak sanggup sepenuhnya mengebalkan diri dengan kekuatan sinkangnya akibat ketajaman pedang di tangan Bu-tiong-kiam.

Dan Mayat Hidup yang melihat Mu Ba masih dikejar cahaya putih yang berkeredep ke punggung kawannya tiba-tiba mendesis dan membentak, "Bu-tiong-kiam, lepaskan pedangmu...!"

Kun Seng jelas tak mau menarik serangannya. Dia membiarkan saja Mayat Hidup itu menolong temannya, dan begitu pedang mengejar Mu Ba tahu-tahu jari Mayat Hidup menangkis dari samping.

"Tak!" Mayat Hidup terkejut. Dia sudah membungkus jarinya dengan kulit badak, melindungi diri dari ketajaman pedang Bu-tiong-kiam yang dia maklum amat tajam itu. Tapi bahwa pedang masih terus membabat dan kulit badaknya robek hingga jarinya terluka digores pedang maka iblis ini jadi kaget bukan main dan secepat kilat membanting tubuh bergulingan, berseru keras sambil berjungkir balik lima kali di udara!

"Sing-singg...!” pedang di tangan jago pedang itu masih mengeluarkan suara mengerikan. Mu Ba dan Mayat Hidup kini sudah melompat bangun, terbelalak dan pucat memandang sinar putih yang bergulung-gulung itu. Tapi dua iblis yang marah dan saling memberi tanda ini tiba-tiba membentak, maju dan menerjang berbareng dengan pekik mereka yang tinggi melengking.

"Bu-tiong-kiam, kami masih akan mencoba kepandaianmu...!"

Jago pedang itu tak menjawab. Dia menggerakkan pedang masih sama gencar, bergulung-gulung naik turun membentuk tabir asap, membungkus dirinya dari segala penjuru dengan hawa dingin yang berdesing-desing itu. Mirip tembok cahaya yang tak dapat ditembus! Dan Mu Ba serta Mayat Hidup yang penasaran oleh kehebatan jago pedang ini sudah menerjang dengan penuh kemarahan. Mu Ba dengan tengkoraknya yang tinggal sebuah sedang Mayat Hidup dengan Jari Penusuk Tulangnya yang bercuitan.

Tapi dua orang iblis ini menggigit bibir. Mereka tak melihat bayangan lawan yang lenyap dibungkus gulungan sinar pedangnya itu. Hal yang tentu saja membuat mereka kesulitan untuk mengarahkan serangan. Terutama serangan maut yang harus dilakukan pada titik-titik tertentu yang dapat membuat lawan roboh dengan sekali pukulan, seperti misalnya daerah di bawah batang tenggorok atau ulu hati.

Dan Mayat Hidup yang diam-diam mencaci kelihaian jago peding ini yang otomatis membuat semua tusukan jarinya "macet" di tengah jalan karena tak menemui sasaran jadi marah dan gusar bukan main. Dia sudah menyerang sana-sini, melakukan tusukan sana-sini di seluruh tubuh peadekar itu. Tapi karena tubuh si jago pedang terbungkus gulungan sinar pedangnya maka setiap kali itu pula semua tusukannya bertemu sinar pedang yang bergulung-gulung membungkus tubuh Bu-tiong-kiam ini. Terpental balik dan tak ada satupun yang berhasil menyentuh tubuh lawannya!

Maka, Mayat Hidup yang mulai bingung dan semakin naik pitam itu akhirnya mencari akal. Dia bersama Mu Ba menyerang di kiri kanan. Lalu, tak berhasil dengan serangan macam ini diapun merobah kedudukan, muka belakang. Tapi, ketika semua cara itu tetap gagal akhirnya iblis ini menjadi mendongkol kepada dua orang temannya yang masih menonton, So-beng dan Sin-yan Mo-li! Dan begitu dia teringat dua orang yang masih berdiri di pinggir ini akhirnya Mayat Hidup berteriak,

"So-beng, Mo-li, demikiankah cara kalian mengawasi musuh? Melotot saja di pinggir tak segera merobohkan jago pedang ini?"

Sin-yau Mo-li terkekeh. "Jangan seperti anak kecil, Mayat Hidup. Kalian belum roboh, untuk apa kubantu?"

"Keparat, tapi jago pedang ini harus kita tangkap hidup-hidup, nenek iblis. Aku tak berani tanggung kalau aku kelepasan tangan!"

"Hi-hik, kelepasan tangan apanya, cecak kering? Kau tak dapat melepaskan pukulan Jari Penusuk Tulangmu itu. Kau kewalahan menghadapi lawanmu itu!" Sin-yan Mo-li mangejek, maklum apa yang sesungguhnya terjadi pada pertempuran itu dan kagum bukan main pada si jago pedang ini.

Dan Mayat Hidup yang mencak-mencak oleh ejekan nenek itu akhirnya mendelik dan memaki-maki, "Sin-yan Mo-li, kau tua bangki keparat. Mampuslah kalau aku sudah menyelesaikan pertandingan ini!"

"Heh-heh, kalian berdua tak mampu merobohkan jago pedang itu, Mayat Hidup. Dia tak dapat diserang kalau gulungan sinar pedangnya belum dipecahkan!"

Mayat Hidup memekik. Dia jadi marah dan gusar pada nenek ini, tapi Mu Ba yang membanting kakinya tiba-tiba menggeram. "Mayat Hidup, tak perlu kauhiraukan nenek siluman itu. Kau cobalah Ilmu Setan Anginmu itu dan aku membunyikan kelenengan...!"

Mayat Hidup terkejut. Dia rupanya sadar, dan melengking dengan suara tinggi mendadak iblis ini merobah gerakan dan menjejakkan kakinya. Dia berjungkir balik, turun dan tiba-tiba berpusing pusing bagai angin putaran seraya menendangkan kedua kakinya bertubi-tubi ke depan, mengiringi tusukan jarinya yang bercuitan menyambar gulungan pedang di muka Bu-tiong-kiam itu. Dan Mu Ba yang sudah menggereng sambil mengikuti gerakan temannya mendadak meledakkan tengkorak dengan tepukan tangan kirinya.

Dan aneh. Kelenengan di dalam tengkorak kecil itu bersembunyi. Mula-mula perlahan, tapi tak pernah berhenti. Dan ketika Mu Ba memutar seraya menampar tengkorak itu berkali-kali maka tiba-tiba saja suara kelenengan itu menjadi keras dan memekakkan telinga!

Bu tiong-kiam terkejut. Dia merasa pendengarannya terganggu, bising bagai mendengar orang membunyikan kelenengan onta di dekat telinga. Dan ketika suara bising itu kian menghebat dan semakin nyaring tiba-tiba pendekarini terkesiap ketika merasa gerakan pedangnya mengendur! Ada semacam getaran aneh dari suara kelenengan itu yang membuat tenaganya tersedot, terhisap atau tergetar oleh bunyi kelenengan yang keras dan memekikkan telinga itu. Dan ketika sadar gulungan pedangnya menyempit dan tusukan jari si Mayat Hidup tiba-tiba menerobos kabut bayangan pedang mengenai pundaknya tiba-tiba pendekar ini mengeluh dan terdesak!

Mu Ba dan Mayat Hidup girang. Mereka berhasil memecah bayangan pedang itu, melihat betapa musuh mereka tampak kembali di balik gulungan cahaya pedangnya yang mengendur, terdesak dan terbelalak kepada mereka. Dan Mu Ba yang girang lawannya dapat diatasi sudah tertawa bergelak dengan suaranya yang gemuruh, "Bu-tiong-kiam, kami akan membunuhmu. Kau tak dapat meloloskan diri...!"

Raksasa ini mempergencar suara kelenengannya. Dia gembira dan buas memandang pendekar itu, yakin akan keunggulannya. Dan Bu-tiong-kiam yang terus terdesak hingga mundur di tepi puncak tiba-tiba berkilat matanya dengan mulut dikatup rapat. Dia memang terdesak, tetapi belum kalah. Dan maklum bahwa suara kelenengan di tengkorak lawannya itu menjadi sebab utamakendornya tenaga sekonyong-konyong pendekar ini melengking. Dia merobek baju, menggulung dan menyumpal lubang telinganya rapat-rapat. Lalu begitu suara tak mengganggu dan berpengaruh lagi tiba-tiba secepat kilat pendekar ini mengelebatkan pedang menusuk dan membabat.

Mu Ba terkejut. Dia melihat pedang di tangan lawannya itu tiba-tiba ganas kembali, membungkus dan menutup rapat tubuh lawannya, bergulung naik turun dengan angin dingin yang menyambar-nyambar. Dan sementara dia tertegun oleh perobahan pendekar ini sekonyong-konyong dua sinar putih menyambar leher dan perutnya.

"Mu Ba, awas...!"

Raksasa itu mencelos. Dia menggerakkan tengkorak menangkis, hilang bunyi kelenengannya karena kaget oleh tusukan kilat yang dilancarkan si jago pedang. Dan begitu dia menangkis dengan tengkorak menyambar tahu-tahu tali tengkoraknya putus dibabat mata pedang di tangan si jago pedang itu.

"Tas!” raksasa ini terkesiap. Dia berseru keras, membanting tubuh dan melengking tinggi menyambar kepala tengkorak yang mencelat di udara. Tapi Mu Ba yang kurang hati-hati untuk serangan kedua yang menyambar perutnya tak dapat mengelak ketika pedang Bu-tiong-kiam menggores kulitnya. Tak ayal, raksasa ini menjerit dan Mayat Hidup yang menolong temannya dari samping tiba-tiba menusukkan jari ke punggung Bu-tiong-kiam.

"Bret-plak...!"

Mayat Hidup terkejut. Dia melihat lawannya itu membalik, tak meneruskan tikaman ke arah Mu Ba melainkan membacok jarinya yang membokong di belakang, satu hal yang tidak disangka karena dilakukan dengan gerak yang luar biasa cepat. Dan begitu jari menusuk disambar pedang kontan iblis ini menarik dan menendangkan kaki kirinya ke pinggang lawan. Tapi Mayat Hidup terlempar. Dia masih kalah cepat, jarinya terbabat. Dan meskipun jarinya sudah dilindungi lapisan kulit yang dirangkap tebal tetap saja iblis ini menjerit ketika jarinya terpotong dan kutung dibabat pedang!

"Crat-ahh...!" Mayat Hidup meraung tinggi. Dia sudah melempar tubuh bergulingan, kaget dan marah oleh sambaran pedang yang mengutungi jarinya, jari telunjuk. Dan Kun Seng yang masih mengejar iblis ini dengan sinar pedangnya yang bergulung-gulung tiba-tiba mendengar bentakan So-beng yang menggerakkan cakar bajanya menangkis serangan pedangnya.

"Bu-tiong-kiam, jangan bertindak keji...!" dan cakar baji yang menyambar dari kiri menangkis sambaran pedang Bu-tiong-kiam tiba tiba mengeluarkan suara nyaring ketika bentrok dan mengeluarkan bunga api.

"Trangg!"

Kun Seng terkejut. Dia merasa tenaga yang luar biasa hebatnya membentur senjatanya yang tertolak ke belakang, melihat betapa cakar baja di tangan iblis berkedok ini sudah menyambarnya bertubi-tubi, menolong Mayat Hidup yang hampir celaka di tangan si jago pedang.

Dan So-beng yang rupanya maklum akan kelihaian jago pedang ini sudah membentak ke arah Sin-yan Mo-li, "Mo-li, kau bantu kami. Urusan tak dapat ditunda lagi...!"

Tapi nenek iblis itu tersenyum. Dia masih menonton, tampaknya ogah-ogahan. Dan So-beng yang terus melancarkan serangan ke arah lawannya ini tiba-tiba mengancam. "Mo-li. kalau kau tidak membantu kami jangan harap kedudukan di istana akan kau peroleh. Aku akan melapor kepada sri baginda bahwa kau adalah musuh, bukan sahabat!"

Nenek ini terkejut. Ia rupanya terpengaruh juga, terbeliak dan berobah mukanya oleh dengus temannya itu. Maka meledakkan cambuk dan tertawa masam nenek ini melompat maju. "So-beng, kau manusia licik. Aku tak takut pada ancamanmu tapi segan pada sri baginda. Baiklah, kalau istana membutuhkan bantuanku biarlah kuikut membunuh jago pedang ini, heh-heh... tar-tarr!" dan nenek iblis yang sudah menjeletarkan cambuk dengan mata bersinar-sinar itu tiba-tiba menubruk ke depan mengeroyok pendekar ini.

Tapi dua bayangan berkelebat dari bawah. Mereka itu bukan lain Phoa-lojin adanya Han Hok Sun. dua orang guru dan murid yang tadi ditinggal lawan-lawan mereka karena Mayat Hidup dan Mu Ba tak mau kehilangan si jago pedang, mengejar dan kini mengeroyok pendekar yang amat lihai itu. Dan kakek Phoa yang berkelebat ke puncak bukit melihat pertempuran berjalan seru di tempat ini seketika tertegun ketika melihat bahwa yang dikeroyok itu adalah benar Bu-tiong-kiam Kun Seng yang dia temui di kota Wu-kian, laki-laki yang tak mengakui dirinya itu jago pedang yang dia kejar hingga memasuki sebuah kelenteng! Maka, melihat jago pedang itu kini dikeroyok empat iblis yang mengembut dengan bentakan-bentakan mereka yang tinggi menyeramkan sekonyong-konyong kakek ini tertawa dan menghambur ke arah Sin-thouw-liong Mu Ba.

"Bu-tiong-kiam, apa katamu sekarang setelah semuanya ini terjadi? Masihkah kau menyembunyikan diri tak mau mengaku? Ha-ha, aku tak mengerti jalan pikiranmu, Kun-taihiap. Tapi jangan khawatir, aku akan membantumu menghadapi iblis ini... hayah!" dan kakek Phoa yang sudah menggerakkan papan caturnya menghantam kepala Temu Ba segera disambut gerengan raksasa tinggi besar ini yang marah.

"Phoa-lojin, keparat kau..." dan Mu Ba yang terpaksa menangkis serangan lawan dengan telapak tangannya yang lebar tahu-tahu mengerahkan tenaga dan membanting kakinya.

“Brak!" papan catur itu meledak, tapi tidak pecah. Dan kakek Phoa yang terdorong oleh tangkisan hebat raksasa tinggi besar ini sudah terkekeh dan berseru pada muridnya,

"Hok Sun, kau hadapi si Mayat Hidup itu. Biar Kun-taihiap menghadapi yang lain...!"

Hok Sun mengangguk. Dia memang sedang menentukan siapa kira-kira yang akan dia hadapi. Mayat Hidup ataukah So-beng dan Mo li. Tapi melihat Mayat Hidup sudah terluka dan tampak meringis membalut jarinya yang kutung pemuda ini sudah mengincarkan matanya menghadapi iblis itu. Maka begitu gurunya berteriak dan dia sudah menetapkan pikiran tiba-tiba pemuda ini menggerakkan jarum peraknya menerjang lawan.

"Mayat Hidup, lepaskan Kun-taihiap. Jangan curang...!"

Mayat Hidup melengking. Dia marah oleh gangguan guru dan murid itu. Tapi melihat Hok Sun menyerangnya ganas iapun melejit dan menyambut. Dan begitu dua orang ini bergebrak maka pertandingan tiba-tiba menjadi pecah tiga bagian. Hok Sun menghadapi iblis yang kurus kering ini sedangkan Kun Seng dan Phoa-lojin menghadapi So-beng dan dua iblis yang lain. Masing-masing seorang lawan seorang, kecuali jago pedang yang dikeroyok dua itu, Kun Seng yang harus menghadapi So-beng dan Sin-yan Moli sekaligus, dua lawan baru yang masih segar dan belum mengeluarkan tenaga!

Dan begitu pertandingan pecah menjadi tiga bagian maka masing-masing pihak merasakan tekanan yang sama hebatnya. Tak ada yang ringan. Tapi Hok Sun yang merupakan orang termuda dari tiga kelompok itu rupanya yang paling berat menghadapi lawan. Mayat Hidup bukan tokoh sembarangan, kepandaiannya setingkat mendiang Cheng-gan Sian-jin.

Dan biarpun jarinya terluka oleh pedang Bu-tiong-kiam namun iblis ini masih terlalu lihai bagi murid kakek Phoa itu. Maka, setelah berkali-kali jarum peraknya ditangkis Mayat Hidup dan benturan-benturan di antara mereka menunjukkan iblis itu memiliki sinkang yang lebih kuat maka Hok Sun tiba-tiba saja terdesak.

Bagaimanapun dia bukan lawan Mayat Hidup. Dan ketika pertandingan berjalan limapuluh jurus tiba-tiba Hok Sun mulai menerima kepretan-kepretan jari lawan yang mengenai tubuhnya. Mula-mula mampir di pundak, lalu dada dan akhirnya leher. Dan ketika tamparan ke empat mengenai pangkal lengannya mendadak Hok Sun terpelanting roboh!

Hal ini tentu saja mengejutkan kakek Phoa. Dan kakek yang masih serang menyerang dengan Sin-thouw liong Temu Ba yang garang dan buas itu menjadi cemas. Dia tak tahan melihat muridnya empat kali terpukul, maka ketika Hok Sun terpelanting untuk tamparan terakhir kontan kakek ini berteriak.

"Hok Sun, pergunakan kipasmu. Hindari tamparan kuku jari Mayat Hidup yang beracun..."

Tapi Hok Sun tak sempat mencabut kipasnya. Dia terlalu gegabah menghadapi lawannya ini dengan sebatang jarum perak melulu, tak mercabut kipas karena berpikir lawan sudah cukup dihadapinya dengan cara itu mengingat lawannya sudah terluka. Maka, ketika empat kali dia dikepret dan kepala mendadak terasa pusing barulah pemuda ini menjadi kaget dan tetkesiap. Dia tak menyangka kuku Mayat Hidup itu beracun. Tapi mencium bau yang sangit tidak enak dan samar-samar uap hijau mengepul dari jari-jari lawannya itu sadarlah pemuda ini bahwa dia terlalu memandang rendah. Sembrono!

Maka, ketika dia terpelanting roboh dan Mayat Hidup memburunya untuk kepretan terakhir tiba-tiba pemuda ini menyambitkan jarum peraknya ke dada lawan. Tapi Mayat Hidup mendengus, menggerakkan kakinya menendang jarum perak yang ditimpukkan itu hingga mencelat entah ke mana. Lalu membentak dan menusukkan jarinya sekonyong-konyong iblis ini berkelebat ke depan.

"Orang she Hok, mampuslah!"

Hok Sun mencelos. Dia melompat bangun, mencabut kipas dan secepat kilat menangkis sambil melempar tubuh bergulingan. Tapi kepala yang pusing dan sukar diangkat mendadak membuat pemuda ini mengeluh dan kaget bukan main. Dia tak sempat mengelak, baru melompat tahu-tahu sudah roboh kembali, akibat pengaruh racun! Dan Mayat Hidup yang sudah tertawa mengejek menusukkan jarinya tahu-tahu meneruskan serangannya ke dahi pemuda ini.

"Hok Sun, awas...!"

Tapi terlambat. Kakek Phoa melihat pemuda itu mengeluh, dan kaget bahwa muridnya terancam bahaya mendadak kakek ini melontarkan papan caturnya menangkis tusukan jari si Mayat Hidup. “Brakk...!" papan catur itu pecah. Tapi jari si Mayat Hidup yang sudah terlampau dekat dengan pemuda ini tak dapat dielakkan lagi ketika menembus dahi. Hok Sun mengeluarkan keluhan tertahan, lalu begitu terjengkang dan roboh dengan dahi berlubang maka pemuda itupun tewas tanpa mengeluarkan keluhan lagi!

"Ah...!" kakek Phoa tertegun. Dia terhenyak oleh peristiwa yang demikian cepat berlangsung, tak ada kesempatan baginya untuk melompat ke tempat muridnya itu. Tapi sementara ia tertegun oleh kejadian ini sekonyong-konyong Hok Lian muncul dari bawah bukit, menubruk ayahnya.

"Ayah...!"

Kakek Phoa jadi kaget untuk kedua kalinya. Dia sungguh tak menyangka munculnya Hok Lian itu, yang datang berkelebat dari bawah bukit menuju ke puncak. Dan maklum cucunya ini menyongsong bahaya dengan mendekati Mayat Hidup tiba-tiba kakek ini mencelat dan menendang anak perempuan itu.

"Hok Lian, minggir...!"

Tapi Mu Ba sudah menggereng di belakangnya. Raksasa tinggi besar ini mendorongkan lengannya menghantam punggung kakek itu. Dan persis Hok Lian terlempar oleh tendangan kakeknya maka Phoa-lojin pun ikut terlempar oleh pukulan dahsyat si raksasa tinggi besar.

"Bres-bress...!" Phoa-lojin dan cucunya terguling-guling. Dua-duanya terlempar di sisi bukit, menggelinding menuruni puncak bagai bola yang tergelincir di lereng curam. Dan kakek Phoa yang sudah menyambar cucunya dengan mulut dikatup rapat menahan sakit akibat pukulan si raksasa tinggi besar tiba-tiba mendengar seruan si jago pedang, seruan yang dikeluarkan dengan ilmu jarak jauh Coan-im-jip-bit,

"Phoa-lojin, tak perlu kau membantu aku. Pergilah, tempat ini akan kuledakkan...!"

Kakek itu tertegun. Dia sudah jatuh sepuluh tombak dari tempat pertempuran, jauh di atas sana. Tapi teringat jenazah muridnya mendadak kakek ini melayang naik dengan muka pucat, berseru pula dengan ilmunya mengirim suara, "Tunggu dulu, aku akan mengambil jenazah muridku, Bu-tiong-kiam. Jangan korbankan muridku yang sudah menjadi mayat...!"

Tapi kakek Phoa terkejut. Dia mendengar, bentakan si jago pedang itu di atas puncak, lalu persis dia melayang naik sekonyong-konyong jenazah muridnya ditendang kebawah, menimpa kepalanya disertai jawaban Kun Seng yang tergesa-gesa,

"Tak usah, jangan naik kembali ke sini, Phoa-lojin. Kukirim jenazah muridmu ini kepadamu, terimalah!" dan mayat Hok Sun yang sudah terlempar menimpa kepalanya tahu-tahu disambut kakek Phoa yang berseru kaget, berjungkir balik turun kembali dan secepat kilat menyambar lengan Hok Lian untuk dibawa lari menuruni Bukit Pedang!

"Hok Lian, menyingkir...!”

Maka pertempuran di atas itupun tak diketahui lagi bagaimana kesudahannya. Phoa-lojin sudah menarik lengan cucunya ini dengan amat buru-buru. Pertama karena dia ingin menyelamatkan Hok Lian sedang ke dua karena dia mendengar seruan si jago pedang itu, juga karena kematian muridnya yang amat tiba-tiba. Tewasnya Hok Sun yang membuat dia tertegun dan pucat itu. Sementara Kun Seng yang bertanding di puncak bukit dengan pedang yang bergulung-gulung membungkus dirinya itu memang sudah menyiapkan sebuah rencana.

Sesungguhnya, apa yang terjadi di puncak ini? Apa sesungguhnya yang dialami jago pedang itu? Sebuah kejutan. Sebuah pengalaman yang membuat pendekar ini kaget dan terbelalak matanya. Karena begitu So-beng maju dan menggerakkan cakar bajanya menyerang dirinya tiba-tiba pendekar pedang ini terkesiap. Ada gerakan-gerakan aneh yang luar biasa pada gerakan cakar baja lawannya itu, sebuah gerakan yang rasanya dia kenal tapi lupa-lupa ingat. Dan ketika So-beng mulai melancarkan pukulan pukulan sin-kang yang beruap merah di tangan kiri untuk membantu cakar bajanya di tangan kanan tiba-tiba saja pendekar pedang ini terbelalak.

Dia merasa gerakan gerakan itu berasal dari gaya Go-bi, tapi yang bercampur dengan pukulan lain dari aliran hitam. Dan ketika So-beng menccarnya dengan serangan-serangan gencar yang semakin aneh tapi dahsyat mendadak pendekar ini teringat akan seorang sahabatnya dari partai Go-bi. Pek-kut Hosiang yang sakti itu. Hwesio kosen yang dulu pernah mengobrak-abrik sarang perkumpulan Gelang Berdarah dengan Pendekar Kepala Batu dan yang lain-lain. Maka begitu teringat hwesio ini dan melihat Iblis Penagih Jiwa itu mainkan ilmu silat gaya Go-bi mendadak jago pedang ini tertegun.

Dia teringat peristiwa sepuluh tahun yang lalu. Di mana waktu itu Pek-kut Hosiang mengejar-ngejar seorang iblis yang mencuri kitab pusaka Go-bi-pai, kitab peninggalan Bu-tek-thi-pah-ong yang hebat luar biasa. Dan Pek-kut Hosiang yang pernah menunjukkan dasar-dasar ilmu silat peninggalan jago tanpa tanding Butek-thi-pah-ong itu kepadanya pernah mendemonstrasikan beberapa jurus ilmu silat itu. Satu dua jurus yang samar-samar mirip dengan apa yang dilihatnya sekarang ini. Ilmu silat gaya Go-bi yang dimainkan So-beng! Kalau begitu, siapa iblis ini? Benarkah ada hubungannya dengan Go-bi-pai?

Melihat gerakan-gerakan kaki yang aneh bergeser-geser itu rasanya ada dugaan memang betul lawannya ini anggauta Go-bi-pai. Murid atau calon murid yang bukan hwesio. Tapi melihat uap merah di tangannya yang ganas itu bagaimana dugaannya bisa betul? Seorang murid Go-bi-pai pasti bukan orang jahat. Kalau jahat pasti murid yang murtad atau Bu tiong-kiam tiba-tiba tergetar. Dia tak melanjutkan jalan pikirannya itu, dugaan yang membuat dia terbelalak dan teringat satu orang yang mungkin merupakan satu-satunya pihak yang cocok untuk dituduh.

Karena So-beng yang sudah menyerangnya dengan pukulan bertubi-tubi itu tak memberi kesempatan lagi padanya untukberpikir panjang. Iblis Penagih Jiwa ini mencecar, cakar bajanya menyambar-nyambar diselingi ledakan cambuk Sin-yan Mo-li yang menjeletar-jeletar. Dan ketika dua orang lawannya itu memekik dan merangsek hebat sekonyong-konyong cakar baja di tangan iblis Penagih Jiwa itu nyelonong menyambar lehernya, "masuk" ketika gulungan sinar pedangnya mengendur. Sedikit lengah akibat berpikir-pikir tadi.

"Bret...“ Untuk pertama kalinya Bu-tiong-kiam tersentak. Dia berhasil menyelamatkan diri, melempar kepala dan baju di pundaknya ganti tersambar, robek ditusuk cakar baja yang ganas menyambar itu. Dan sementara dia memperbaiki posisi dengan memutar kembali gulungan sinar pedangnya untuk melindungi diri pada saat itulah Hok Sun roboh di tangan si Mayat Hidup!

Jago pedang ini terkejut. Dia tentu saja tersentak kaget, sadar bahwa selama ini dia seakan "lupa" bahwa kakek Phoa dan muridnya datang membantu. Maka melihat Hok Sun roboh dan seorang anak perempuan datang menubruk murid Phoa-lojin itu dan menjerit dengan panggilan ayah, tiba-tiba jago pedang ini menggigit bibir. Dia memutar gulungan sinar pedangnya, melengking dan mendesak mundur lawan. Lalu melihat Phoa-lojin terguling guling dihantam Temu Ba diapun menendang mayat Hok Sun sambil melontarkan ilmu Coan-im-jip bitnya itu, menyuruh kakek Phoa pergi karena dia akan meledakkan puncak!

Dan, begitu Phoa-lojin memenuhi permintaannya dan turun ke bawah bukit tiba-tiba saja pendekar pedang ini mengeluarkan bentakan tinggi yang menggetarkan puncak. Saat itu Mu Ba dan Mayat Hidup mengeroyoknya, maju berbareng setelah kakek Phoa terlempar, tak mengganggu lagi karena harus menyelamatkan cucu perempuannya dan lari membawa jenasah Hok Sun.

Dan begitu melihat tak ada lagi yang dijadikan beban pikiran mendadak pendekar ini melengking dan melempar tubuh ke udara, berjungkir balik dan melakukan jurus pertama dari ilmu silat intinya yang tujuh jurus itu, Tit-te-pai-seng! Dan begitu jago pedang ini membentak seraya melenting tahu-tahu pedangnya berkelebatan menyambar bagai kilat yang sambung-menyambung tak ada hentinya, mencuat dan membabat serta menusuk sampai bercuitan di antara gulungan cahaya yang membungkus tubuh pendekar pedang itu. Hebat dan luar biasa sekali!

"Ah...!” keempat orang iblis ini berseru kaget. Mereka tak melihat lagi bayangan lawannya itu, dan sementara terbelalak oleh perobahan luar biasa yang dilakukan pendekar pedang ini sekonyong-konyong empat sinar memecah menyambar dada mereka masing masing.

"Mu Ba, awas...!"

"Mayat Hidup hati-hati...!"

Tapi semuanya tak ada guna. Empat sinar itu menyambar mereka semua, susul-menyusul bagai deret cahaya petir yang meledak di tengah gulungan awan pedang. Dan begitu keempatnya berteriak saling memperingati tahu-tahu Mu Ba dan Mayat Hidup roboh terjungkal!

"Crat-ah...!” dua iblis ini terguling-guling. Mereka menjerit keras, dada mereka terluka.

Dan Sin yan Mo-li yang juga menjerit karena cambuknya putus ketika menangkis tahu-tahu ikut terjengkang ketika pedang menggores dadanya dari atas ke bawah. Hanya So beng yang selamat, merendahkan tubuh dan menggerakkan cakar bajanya menangkis. Tapi senjata yang terlempar dalam benturan keras dengan pedang di tangan Bu-tiong-kiam itu tahu-tahu sudah disambar pemiliknya dengan sigap, berjungkir balik di udara mengejar senjata yang terlempar lalu menangkis begitu jago pedang ini menyusuli serangannya dengan satu sinar putih yang berkelebat memotong, bermaksud menggagalkan iblis Penagih Jiwa itu mendapatkan senjatanya!

"Trangg...!" dan kali ini pedang di tangan Bu-tiong-kiam patah! Pendekar itu terkejut, mencelat mundur namun tiba-tiba dibokong Mu Ba yang ada di belakang, menggerakkan tengkorak mautnya dengan pekik dahsyat. Dan sementara Kun Seng mencelos oleh bokongan ini mendadak Mayat Hidup melempar tujuh logam bergerigi ke arah tubuhnya dari atas ke bawah, disusul pula oleh belasan jarum hitam si nenek iblis Sin-yan Mo-li yang menyerangnya dari depan! Dan Kun Seng yang tak dapat mundur lagi oleh hujan serangan dari segala penjuru ini akhirnya membentak dan membanting tubuh.

Tapi tengkorak Mu Ba masih mengenai punggungnya. Kun Seng mengeluh ketika tengkorak itu meledak, menghamburkan puluhan pelor kecil yang sama sekali tidak diduganya berada di dalam senjata maut itu. Dan sementara dia terguling-guling dengan muka kesakitan tahu-tahu dua jarum si nenek iblis dan sebuah logam bergerigi Mayat Hidup tak dapat dihindarkan. Tiga senjata rahasia ini menancap, satu dipinggang kiri sedang dua yang lain amblas di bawah kulit pundak!

Maka jago pedang yang kesakitan oleh senjata-senjata gelap itu melengking. Dia mengeluarkan bentakan dahsyat, dan sementara tubuhnya bergulingan menjauhkan diri tiba-tiba tangannya menepuk sebuah batu di atas lubang, di mana waktu itu Siauw-cut terbelalak memandang semua kejadian ini. Dan batu yang menekan alat rahasia di bawah tanah dengan ujung bahan peledak itu tiba-tiba mengeluarkan suara menggelegar ketika mengguncang puncak bukit.

"Mayat Hidup, awas dinamit... blarr!"

Empat iblis itu terkejut. Mereka merasa guncangan yang amat dahsyat itu, guncangan bagai gunung meletus yang membuat tanah yang mereka pijak bagai dilanda gempa. Dan sementara mereka berteriak kaget tahu-tahu tubuh keempatnya sudah terlempar di udara bagai bola yang dilempar anak kecil.

"Bres! Bress...”

So-beng dan teman-temannya terbanting. Mereka menggelundung ke bawah bukit, puncak sudah terbelah mirip jurang yang menganga. Dan begitu keempatnya bergelindingan bagai batang pisang yang dilontar tangan raksasa merekapun sudah terbanting dan babak belur dengan muka pucat. Tapi empat orang ini memang manusia manusia luar biasa. Mereka tak pingsan oleh ledakan yang melempar mereka dari atas bukit itu, hal yang seharusnya sudah membuat seseorang tewas atau terluka berat! Dan So beng yang melompat bangun mendahului teman-temannya tiba-tiba tertegun.

Ternyata Bukit Pedang sudah tak berwujud lagi. Puncak bukit ini longsor, ditimbuni batu-batu besar yang runtuh ketika terlempar oleh ledakan itu. Dan So beng yang melihat lubang di mana Siauw cut tadi menyembunyikan diri sudah rata tertutup tanah dan batu akhirnya mengepal tinju dan menggigit bibir. Dari keadaan ini dapat dipastikan bahwa anak dan jago pedang itu terkubur di dalam lubang, tertimbun hidup-hidup oleh batu-batu besar yang menutupi lubang ini.

Dan bahwa Bu-tiong-kiam sudah terluka oleh senjata-senjata gelap milik teman-temannya maka mudah ditarik kesimpulan bahwa keselamatan jago pedang itu beserta anak lelaki yang ikut mendampinginya pasti tak dapat dipertahankan lagi. Tewas! Maka iblis Penagih Jiwa yang menghela napas dengan mata berkilat itu akhirnya pergi meninggalkan Bukit Pedang. Dia menyuruh Mayat Hidup dan teman-temannya datang ke istana, kalau mereka mau. Lalu pergi dengan muka penuh kecewa iblis inipun berkelebat lenyap.

* * * * * * * *

Sebenarnya, apa yang terjadi dengan pendekar pedang itu? Dan bagaimana Siauw-cut? Benarkah tewas seperti yang diduga Iblis Penagih Jiwa itu? Kalau So-beng tahu apa yang sesungguhnya terjadi mungkin pendekar ini benar-benar tewas seperti yang diperkirakan iblis Penagih Jiwa itu. Tapi bukan tewas oleh runtuhan batu-batu besar melainkan tewas dibunuh iblis ini karena Kun Seng masih hidup!

Seperti diceritakan di depan, sebelum pertempuran terjadi kakek ini lelah memberitahukan pada Siauw-cut agar mengambil kitab dan pedang di bawah tanah, melarikan diri lewat terowongan bawah tanah sementara dia melindungi anak itu melawan empat iblis yang datang mengganggu. Tapi karena Siauw-cut tidak mau dan Kun Seng terpaksa melayani empat orang musuhnya dengan pikiran kalut maka semuanya itu-pun terjadi bertentangan dengan kehendak pendekar pedang ini.

Lubang di mana Siauw-cut bersembunyi sesungguhnya merupakan lubang dari sebuah terowongan panjang, lubang di bawah tanah yang berliku-liku di perut Bukit Pedang. Lubang yang akhirnya menembus jalan keluar di bukit di mana Siauw-cut mula-mula bersembunyi, yakni di batu hitam di mana Mayat Hidup dan Mu Ba berkumpul untuk menanti kedatangan jago pedang itu.

Tapi karena tak ada yang tahu perihal semuanya ini maka rahasia itu hanya diketahui Kun Seng seorang. Entah bagaimana kakek itu bisa menemukan, mungkin waktu iseng-iseng menyelidiki bukit. Dan Kun Seng yang jatuh ke tempat ini setelah meledakkan puncak langsung saja menyambar Siauw-cut yang kaget ketika bunyi menggelegar meruntuhkan puncak, daerah itu langsung ambrol, tanahnya pecah, batu-batu berguguran setelah terlempar ke udara oleh ledakan yang dahsyat itu. Menutup lubang hingga mereka terkubur hidup-hidup. Tak dapat keluar!

Tapi Kun Seng yang sudah membanting diri bergulingan menjauhi mulut lubang akhirnya melompat bangun ketika berada di tempat yang luar biasa gelap, tanah datar yang sedikit becek dengan tangan mencengkeram Siauw-cut. Dan pendekar yang mengeluh dengan kaki menggigil ini tiba-tiba bicara, gemetar suaranya,

"Nyalakan api, Siauw-cut... ambil geretan di saku bajuku...!"

Siauw-cut tertegun. Dia harus meraba-raba pakaian pendekar itu. Tetapi mendapatkan apa yang dimaksud kakek ini diapun menyalakan sebatang lilin yang tersedia juga di saku pendekar itu. Lalu terbelalak memandang pendekar ini Siauw-cut bertanya, "Ke mana kita pergi, locianpwee?"

Pendekar itu menuding, "Ke kiri, Siauw-cut. Belok ke sana dua kali untuk mengambil dulu pedang dan kitab...!"

Kemudian, menggigit bibir dan tertatih-tatih menahan sakit pendekar ini mengajak Siauw-cut ke sebuah ruangan yang dingin. Di sini Siauw-cut tertegun. Kalau tidak ada penerangan di tangannya tentu dia tak tahu bahwa jalan itu berkelok-kelok, naik turun dan beberapa di antaranya ada tangga dari batu. Dan Kun Seng yang sudah berhenti di tempat ini tiba-tiba melepaskan cengkeramannya dari pundak anak itu, terhuyung ke tengah ruangan dan tiba-tiba roboh ketika menyentuh sebuah peti besi dan sebatang pedang yang tergeletak di atas tanah!

"Locianpwe...!" Siauw-cut terkejut. Dia langsung berteriak, melompat maju dan mengangkat bangun pendekar ini. Tapi begitu Kun Seng roboh dan dia melihat punggung pendekar ini yang penuh luka oleh puluhan pelor kecil yang berduri mengerikan tiba-tiba anak itu tertegun. Sekarang baru dia tahu bahwa temannya ini terluka. Luka yang amat mengerikan karena hampir sekujur punggung penuh oleh pelor-pelor berduri itu, pelor yang menancap bahkan ada yang amblas ke dalam daging! Dan Siauw-cut yang bengong oleh kejadian ini tiba-tiba saja tak mampu bicara. Tenggorokannya kering! Tapi keluhan Kun Seng mendadak menyadarkan anak ini.

"Siauw-cut, ambilkan obat di kantung bajuku... dekatkan kemari lilin itu...!"

Siauw cut menelan ludah. Tergesa-gesa dia memenuhi apa yang diminta pendekar itu. lalu bertanya dengan suara gemetar dia meraba punggung pendekar ini, “Locianpwe, apa yang harus kulakukan? Punggungmu penuh luka. Puluhan pelor berduri menancap di situ...!"

Jago pedang ini mendesis. "Biarkan dulu, Siauw-cut. Jangan dicabut! Aku minum obat dulu, tolong ambilkan air...!"

"Air?" Siauw-cut terkejut. "Di mana ada air di tempat ini, locianpwe?”

"Di sudut, di sebelah kananmu itu, Siauw-cut... di situ ada tempayan air dari sebuah guci kecil...!"

Siauw-cut girang. Dia melihat apa yang dikatakan kakek ini, maka melompat dan membawa guci itu dia sudah membantu pendekar ini meminumkan air, mendorong obat yang baru saja ditelan kakek itu. Dan Kun Seng yang tampak kehitaman mukanya tiba-tiba menepis tangan Siauw-cut yang hendak mencabut pelor-pelor berduri itu.

"Jangan. Bungkus dulu tanganmu dengan kain, Siauw-cut. Pelor-pelor itu beracun...!''

Siauw-cut terkejut. Dia merobek bajunya, melindungi diri seperti apa yang dikatakan kakek ini. Tapi Kun Seng yang bangkit duduk dengan susah payah tiba-tiba mengeluh dan terjerembab lagi ketika hendak membantu dirinya sendiri!

"Ah, tubuhku lemah, Siauw-cut... aku kehilangan tenaga...!"

Siauw-cut terbelalak. "Kalau begitu tak perlu duduk, locianpwe. Biar aku yang membantumu dari sini."

"Baik, tapi..." kakek ini batuk-batuk. "Penuhkah luka di punggungku itu, Siauw-cut? Berapa jumlah pelor yang menancap di situ?"

Siauw-cut bingung. "Jumlahnya banyak sekali, locianpwe. Aku tak dapat menghitung!"

"Kalau begitu cabut hati-hati, Siauw-cut. Letakkan di mukaku biar aku yang menghitungnya!"

Siauw-cut tertegun. Dia merasa tubuh pendekar ini panas sekali, tapi maklum dia harus melakukan tugasnya dengan baik maka anak ini menganngguk dan menggigit bibir. Dengan hati-hati namun cepat dia mulai mencabuti pelor-pelor berduri yang kecil itu, satu-persatu diletakkan di depan pendekar ini yang tengkurap sambil berkali-kali mendesis, menahan sakit. Dan setelah semuanya tercabut maka terhitung jumlah pelor itu yang banyaknya delapan puluh tujuh buah!

"Ah, Mu Ba benar-benar iblis yang luar biasa jahat, locianpwe. Dia harus dibunuh kalau ketemu lagi!"

Kun Seng tertawa, hambar suaranya. "Tapi yang melukaiku bukan hanya raksasa tinggi besar itu Siauw-cut. Mayat Hidup dan Sin-yau Mo-li juga memberiku tiga hadiah lain!"

Siauw-cut terkejut. "Di mana, locianpwe?"

"Di sini," Kun Seng menunjuk pinggang dan pundaknya. "Aku merasa nyeri di tiga tempat ini, Siauw-cut. Tapi ketiganya tak kalah ganas dengan delapanpuluh tujuh pelor berduri yang dilepas Mu Ba!"

Siauw-cut melihat warna kehijauan di pundak dan pinggang pendekar itu. Dan kaget bahwa pendekar itu masih mempunyai tiga luka yang tak diketahui olehnya maka tiba-tiba anak inipun berlutut dan mencabut logam yang menancap di pinggang kiri. Kun Seng mengeluh, melihat logam yang bergerigi itu. Tapi ketika Siauw-cut hendak mencabut jarum yang amblas di kulit pundaknya anak laki-laki ini tertegun.

"Hm, bagaimana mencabut jarum di daging pundakmu itu, locianpwe?"

"Tak dapat, Siauw-cut. Kecuali disedot!”

"Disedot?"

"Ya."

"Kalau begitu akan kulakukan, locianpwe. Kau bersandarlah dulu di sini!" Siauw-cut sudah mengangkat bangun pendekar ini, menyandarkannya di dinding ruangan tapi tiba-tiba ditolak pendekar itu.

"Tak usah... tak perlu kau lakukan ini, Siauw-cut. Itu terlalu berbahaya!"

''Bahaya apanya, locianpwe?"

Tapi pendekar ini tak menjawab. Dia sudah menggigit bibir dengan muka berkeringat, tampak menahan sakit yang luar biasa. Lalu memejamkan mata dengan tubuh gemetar tiba-tiba pendekar ini mengangkat lengannya. "Siauw cut, jangan ganggu aku. Aku akan bersamadhi mengobati lukaku dari dalam...!" dan bersandar dengan muka pucat pendekar itupun benar-benar mengheningkan ciptanya memusatkan konsentrasi untuk duduk bersamadhi.

Siauw cut tak dapat berbuat apa-apa. Dia kecewa oleh kebodohannya ini, tapi melihat pendekar itu mengobati dirinya dengan pengerahan sinkang iapun menarik napas dan duduk tak jauh dari pendekar itu. Sama sekali tak tertarik oleh kitab dan pedang yang menggeletak di dekat mereka. Dan Kun Seng yang memusatkan perhatiannya untuk mengobati luka-lukanya dari dalam akhirnya berobah menjadi patung hidup yang tak bergerak-gerak lagi.

Tapi jago pedang ini harus mengalami siksaan hebat. Dia dibakar oleh jarum beracun yang mengeram di pundaknya, jarum Sin yan Mo-li yang amblas di kulit daging. Dan pendekar yang sudah mencoba untuk mengempos semangat supaya jarum keluar atau naik di kulit pundaknya gagal setelah tiga jam dia bersamadhi tanpa berhasil!

Kun Seng mengeluh. Ada beberapa hal yang membuat kegagalannya ini. Pertama karena tenaganya lemah dan dia tak sanggup menjalankan pernapasannya secara wajar sedang yang lain adalah karena jarum itu tak segera dikeluarkan. Sebab kalau jarum dikeluarkan tentu dengan mudah dia dapat "membakar" sisa-sisa racun yang ada di tubuhnya, mengarahkan sinkang untukmengobati luka lukanya dari dalam. Tapi karena jarum tak segera dikeluarkan padahal racun dari jarum itu terus beredar di dalam tubuhnya maka tiga jam kemudian pendekar ini mengaduh ketika pundaknya kejang!

Kun Seng membuka mata. Wajah pendekar ini merah, lalu putih dan akhirnya berobah hijau. Tanda kegagalan dari sinkangnya yang tak dapat berjalan sempurna. Dan pendekar pedang yang batuk-batuk dan mendesis menahan sakit itu tiba-tiba memandang Siauw cut, gemetar dan menggigil seluruh tubuhnya. Diancam maut!

"Siauw-cut, dapatkah kau menolongku...?”

Siauw cut melompat bangun. "Apa yang harus kulakukan, locianpwe? Apa yang kau minta?"

Pendekar ini mengigit bibir. "Aku gagal, Siauw-cut... aku... aku tak dapat menolong diriku sendiri. Racun telah beredar memasuki darahku, aku akan tewas dalam beberapa jam lagi...!"

Siauw-cut terkejut bukan main. Dia terbelalak memandang pendekar ini, tak dapat mengeluarkan suara. Tapi Kun Seng yang batuk-batuk dengan suara serak tiba-tiba menggapaikan lengannya, lemah sekali. "Kau dapat melolongku, Siauw-cut...?"

Anak laki-laki ini terisak, ia tak dapat menahan haru melihat keadaan pendekar itu. maka menubruk dan berlutut di kaki orang Siauw-cut tiba-tiba menangis. "Locianpwe, apa yang kau minta? Apa yang harus kulakukan?"

Pendekar ini tersenyum, senyum pahit. "Kau tolonglah aku dalam satu hal, Siauw-cut. Yakni kau berikanlah pedang dan kitab di peti itu pada orang yang kau anggap tepat. Jadikanlah dia pewaris tunggal ilmuku. Kau berikan dua benda itu kepadanya dan suruh menyebut suhu di atas makamku kelak, di tempat ini...!"

Siauw cut tertampar. Dia terpukul hebat oleh permintaan pendekar pedang ini. Maklum bahwa diam-diam pendekar itu kecewa kepadanya. Tak mau diambil murid! Dan Siauw-cut yang tegak dengan muka pucat memandang pendekar ini tiba-tiba melihat pendekar itu roboh dan muntah darah!

"Siauw-cut, kau dapat memenuhi permintaanku, bukan?"

Siauw-cut mencucurkan air mata dengan deras. Permintaan orang yang kembali diulang pada saat dia roboh dan batuk-batuk membuat anak ini hancur perasaannya, remuk bagai dirajam pedang. Dan Siauw-cut yang mengangguk di depan laki-laki tua ini akhirnya tak tahan lagi untuk mengeluh dan menyebut suhu!

"Suhu, kau maafkan aku... aku yang akan mempelajari ilmu pedangmu... aku yang akan membalas sakit hatimu terhadap empat orang iblis itu...!"

Kun Seng tertegun. "Apa katamu, Siauw-cut?"

"Teecu yang akan membalas sakit hatimu, suhu. Teecu (murid) yang akan mempelajari ilmu silatmu dan menjadi pewaris tunggal!"

"Ah...!" Kun Seng terbelalak. "Kau tidak salah bicara, Siauw-cut? Telingaku tidak salah dengar...?"

"Tidak, teecu... teecu..." Siauw-cut mengguguk. "Teecu yang akan mewarisi semua kepandaianmu, suhu. Teecu yang akan membalas semua penderitaanmu ini kalau kau sudi mengangkatku sebagai murid...!"

Kun Seng mengeluh, bangkit duduk dengan susah payah. “Tapi kau telah menetapkan bu-beng Sian-su sebagai calon gurumu, Siauw-cut. Mana bisa kau merobah sikap?”

Siauw-cut tersedu-sadu. "Itu dulu, suhu. Bagaimanapun hari ini teecu telah merobah keputusan untuk mewarisi kepandaianmu yang agaknya tak kalah dengan kepandaian manusia dewa itu!"

Jago pedang ini tertegun. Dia agaknya tak menyangka jawaban anak itu, tapi tertawa bergelak tiba-tiba jago pedang ini melompat bangun dan berdiri dengan kaki terhuyung, menyambar kitab di dalam peti dan pedang yang tiba-tiba dilolos dari sarungnya! "Srit...!" pedang berkeredep menyilaukan mata. "Kau sungguh-sungguh bicara dengan hati yang tulus. Siauw cut? Kau tidak menipuku si tua bangka yang siap mampus ini?"

Siauw cut menjatuhkan diri berlutut. "Saat ini juga teecu bersumpah, suhu. Bahwa teecu bersedia menjadi muridmu kalau kau suka!" dan Siauw-cut yang sudah melakukan penghormatan di depan kaki suhunya tiba tiba membenturkan jidat delapan kali di kaki kakek itu, tanda dari kesungguhan hatinya yang tidak main-main.

Dan Kun Seng yang tertawa bergelak dengan muka berseri-seri mendadak mengayun pedang membacok pundaknya. "Baik, kalau begitu aku akan melawan maut, Siauw-cut. Aku akan mendidikmu biarpun harus kutebus lenganku sendiri... crak!" dan pedang yang sudah membuntungi lengan kanan pendekar pedang ini seketika disambut muncratnya darah segar yang keluar dari babatan pedang dipundak jago pedang itu, tepat di mana dua jarum beracun Sin-yan Mo-li mengeram! Dan Kun Seng yang roboh dengan luka mengucur deras akibat bacokan pedang ini seketika terjerembab dan berseru peudek, "Siauw cut, balut lukaku...!"

Dan pendekar itupun pingsan! Siauw-cut terbengong oleh kejadian ini, tapi sadar dan kaget oleh semuanya itu tiba-tiba anak inipun menjerit dan menubruk gurunya. Seketika dia menggerung-gerung, menangis dan meratapi nasib gurunya yang tidak dinyana itu. Tapi melihat darah mengalir dengan amat derasnya diapun merobek baju dan membalut pundak yang buntung itu, ngeri melihat betapa darah hitam mengalir membasahi lantai. Darah beracun yang keluar dari buntungan lengan itu! Dan Siauw cut yang akhirnya kehabisan air mata oleh semua kesedihan ini tiba-tiba melihat pendekar itu siuman kembali.

"Siauw-cut, kau telah membalut lukaku...?"

Anak laki laki ini menggigil. “Sudah, tetapi... tetapi kenapa kau lakukan itu suhu? Kenapa kau membuntungi lenganmu sendiri...?"

Jago pedang ini menyeringai. "Karena aku ingin hidup, Siauw-cut. Aku ingin mendidikmu setelah kau menyatakan diri mau menjadi muridku!"

"Tetapi kau bilang hidupmu tinggal beberapa jam lagi, suhu... kenapa harus membacok lengan sendiri sebelum ajal? Apakah... apakah ini berarti..." Siauw-cut berhenti, terbelalak matanya. "Kau lolos dari maut, suhu? Kau dapat menyelamatkan diri?"

Kun Seng mengangguk, dan begitu Siauw-cut melihat pendekar ini tersenyum padanya mendadak anak ini mengeluh dan menjerit girang. "Suhu, syukur pada Thian Yang Maha Kuasa. Semoga kau tidak menipuku...!" dan Siauw-cut yang sudah menangis di pangkuan gurunya ini mengguguk dengan penuh kegembiraan, terguncang-guncang bahunya tapi tak ada air mata lagi yang keluar. Habis!

Dan Kun Seng yang mengelus rambut anak ini dengan tangan kirinya yang utuh mendesis penuh haru, "Sudahlah, sesungguhnya asal jarum itu tak mengeram lagi keadaanku dapat diselamatkan, Siauw-cut. Tapi karena aku putus asa pada hidup, aku berpikir untuk lebih baik mati saja!"

Siauw-cut tertegun. "Kalau begitu aku tadi dapat menyedotnya, suhu. Kenapa tak kau perintahkan hal itu?"

"Hm, menyedot jarum berarti menyedot racun, Siauw-cut. Kau dapat tewas bila melakukan itu!"

"Jadi karena itu kau melarangku, suhu?"

"Ya."

"Ah...!" dan Siauw-cut yang bengong oleh cerita suhunya ini tiba-tiba terisak, menubruk suhunya itu penuh haru. "Suhu, kenapa tak kau katakan sejak semula? Bukankah aku siap berkorban untuk menolongmu? Kau berkali-kali memikirkan jiwaku, suhu. Bagaimanapun aku ingin membalas budi baikmu yang menggunung ini!"

"Hm, jadi kau rela mati dengan menyedot racun di pundakku itu?"

"Kalau kutahu itu satu-satunya cara, suhu!"

"Bodoh! Kalau begitu bukankah aku kehilangan murid yang selama ini kuidam-idamkan? Tidak, Siauw-cut. Aku tak mau kau melakukan itu. Lebih baik aku yang kehilangan nyawa daripada kau yang masih muda ini!"

Siauw-cut mengusap air matanya pada baju di pundak pendekar ini. "Suhu, aku tak mengira demikian besar perhatianmu kepadaku. Apakah sebabnya semuanya ini kaulakukan?"

"Hm, karena aku melihat kaulah satu-satunya harapan terakhir bagiku, Siauw-cut. Kaulah yang kuharap mengobati kekecewaanku selama tahun-tahun belakangan ini."

"Kenapa begitu, suhu?"

"Karena aku tak mempunyai siapa-siapa lagi, Siauw-cut. Aku tak mempunyai keluarga dan hidup sebatangkara seperti dirimu itu!"

"Suhu...“

"Ya, jangan potong dulu kalimatku ini, Siauw cut. Aku betul-betul bicara dari kepedihan hati yang nyata. Aku tak mempunyai keluarga. Aku tak memiliki sanak-saudara!"

"Ah, kalau begitu kau tak pernah kawin, suhu? Kau tidak mempunyai anak barang seorangpun?"

Pendekar ini tersenyum pahit, menghela napas dan tiba-tiba menitikkan dua butir air mata yang jatuh di lantai. "Siauw-cut, aku tentu saja mempunyai anak. Aku pernah berumah tangga. Tapi nasib buruk yang menimpaku pada tahun-tahun terakhir telah membuat kegoncangan jiwa yang hebat bagiku. Anakku tewas, dan rumah tangga kemudian yang kubangun kembali juga mengalami kegagalan total yang mengecewakan hatiku!"

"Ah, bagaimana mulanya, suhu? Berapa orang anakmu?"

"Aku hanya mempunyai seorang anak, Siauw-cut, anak tunggal laki-laki yang tak kusangka demikian pendek umurnya. Dia mati akibat ulah orang jahat, dan aku yang membangun sebuah rumah tangga baru dengan seorang wanita ternyata tak menghasilkan seorang keturunanpun untuk pengganti anak tunggalku itu!"

Siauw-cut tertegun. "Kalau begitu kau menikah untuk yang kedua kalinya, suhu?"

"Ya."

"Dan di mana isterimu itu sekarang?"

"Kutinggal di kampung halamannya, Siauw-cut. Aku kecewa dan meninggalkannya pergi begitu saja!"

"Ah...!" Siaow cut terbelalak. "Kenapa kau lakukan itu, suhu? Bukankah ia bakal merana?"

"Hm, kekecewaan demi kekecewaan telah menghimpitku sedemikian rupa, Siauw-cut. Aku tak perduli lagi ia merana atau tidak!"

"Tapi ia pasti akan mencarimu, suhu. Ia tentu seorang wanita gagah perkasa seperti dirimu ini!"

Kun Seng tiba-tiba tertawa, tertawa pahit. "Kau salah. Siauw-cut isteriku itu tak mungkin mencariku kalau bukan aku sendiri yang pulang. Ia tak berani pergi jauh. Ia bukan seorang wanita gagah seperti yang kau bayangkan tapi wanita dusun yang lemah dan tidak pandai silat!"

Anak ini bengong. "Kau tidak main-main, suhu?"

"Siapa main-main?" pendekar ini mengerutkan alis. "Aku sudah tak tahu harus berpikir bagaimana lagi, Siauw-cut. Aku terlampau kecewa dan tak dapat berpikir jernih lagi pada saat itu. Aku bingung. Karena itu kupilih saja gadis dusun itu untuk kunikahi.”

"Ah..." Siauw-cut tertegun. "Jadi kau mendapatkan seorang gadis, suhu? Kau kawin dengan wanita yang tak sebaya umurnya denganmu?"

Pendekar ini merah mukanya. "Terpaksa, Siauw-cut. Karena kebetulan dialah satu satunya wanita yang mencintai aku."

Anak ini melenggong. Dia mau bertanya lagi, sudah menggerakkan bibir namun urung ketika suhunya itu semburat mukanya dan tampak jengah, malu oleh pengakuan itu tadi. Tapi Kun Seng yang mengangkat muka dan tersenyum getir tiba-tiba sudah memeluk pundak anak ini.

"Siauw-cut, maukah bila kau kuangkat sebagai anak?”

Siauw-cut terkejut. "Apa, suhu?"

"Kita menjadi keluarga kecil, Siauw-cut. Aku sebagai ayah angkatmu dan kaupun sebagai anak angkatku!"

"Ah...!" Siauw-cut membelalakkan mata, terlampau kaget oleh pertanyaan yang tiba-tiba ini. Tapi terisak dan menundukkan muka dengan suara gemetar dia berbisik, "Suhu, apalagi yang hendak kau berikan padaku? Bukankah hubungan guru dan murid ini sudah mengangkat derajatku sedemikian rupa? Kau telah memberikan kepercayaan kepadaku, suhu, kebanggaan tersendiri sebagai murid dari seorang jago pedang...!"

"Tapi kita sama-sama sebatangkara, Siauw-cut. Kita sama-sama tak bersanak-kadang lagi di dunia ini."

"Tapi... tapi..."

"Hm, kau tak setuju, Siauw-cut? Kau keberatan? Kalau begitu sudahlah, aku juga tak memaksamu!" pendekar ini mengalihkan pandang, rupanya terpukul oleh keinginannya yang mungkin tak disetujui anak itu.

Tapi Siauw-cut yang sudah bangkit berdiri dengan muka pucat tiba-tiba menangis dan tersedu-sedu. "Suhu, teecu... teecu anak hubungan gelap dari seorang wanita dan pria yang tak bertanggung jawab. Mana mungkin menerima anugerah sebesar ini? Ah, tidak... jangan memukul teecu dengan permintaan yang seberat itu, suhu... teecu tidak sanggup...!"

Kun Seng terbelalak. Dia melihat anak laki-laki ini tiba-tiba menangis dengan suara demikian menyedihkan, mengguguk dan gemetar di bawah kakinya. Dan kaget bahwa untuk pertama kalinya muridnya itu bicara tentang rahasia dirinya mendadak pendekar ini bangkit duduk dan berdiri tegak. "Siauw-cut, kiranya sedemikian hebat kau menyimpan derita? Ah, tak perlu gelisah, anak baik. Tak perlu kau berduka lagi dengan segala kejadian yang menimpamu itu. Aku tak perduli kau anak hasil hubungan gelap atau terang. Aku tak perduli semuanya itu dan tidak merobah keinginanku bila kau suka menjadi anak angkatku!"

Siauw-cut terbelalak. "Kau tidak merasa hina dengan keputusanmu itu, suhu?"

"Apanya yang hina?"

"Tentang nasib teecu ini... kedudukan teecu sebagai anak haram jadah!"

"Ah, aku tak perduli haram jadah atau bukan, Siauw-cut. Yang penting aku tertarik dan suka kepadamu! Kau tak keberatan, bukan?"

Siauw-cut mengeluh. "Suhu..."

"Hm, tak perlu ragu-ragu, Siauw-cut. Aku sudah terbiasa menghadapi pukulan-pukulan hidup. Kau anggukkanlah kepalamu kalau kau setuju dan gelengkanlah kepalamu kalau kau tak suka!"

Siauw-cut akhirnya mengangguk. Dengan rintihan panjang seperti ayam dicabut bulunya, anak ini mengeluh, menubruk gurunya itu. Dan Kun Seng yang girang oleh anggukan anak ini tiba-tiba jatuh terduduk, dan tertawa bergelak.

"Ha-ha, kalau begitu namamu harus dirobah, Siauw cut. Kau pakailah nama keluarga Kun sejak saat ini!"

Siauw-cut tertegun.

"Kau tidak suka?"

Dia terkejut. "Tidak... tidak begitu, suhu. Itu semuanya terserah padamu!"

"Eh, kenapa masih menyebut suhu?" Kun Seng tertawa. "Kau harus menyebutku ayah, Siauw-cut. Dan karena hari ini resmi kita menjadi ayah dan anak angkat maka hari ini pula namamu adalah Kun Houw! Ya, namamu adalah Kun Houw, Siauw cut... Houw (harimau) dari keluarga Kun. ha-ha...!"

Kun Seng tertawa bergelak. Dia dilanda kegembiraan yang meluap-luap, memeluk dan mendekap anak itu ketat sekali di dadanya. Tapi ketika dia tersedak dan batuk-batuk mendadak pendekar ini jatuh tersungkur dan pingsan.

"Ayah...!" Siauw-cut atau yang kini berganti nama Kun Houw itu menjerit. Dengan seruan tartahan dia menolong ayahnya itu, ayah angkatyang baru saja "meresmikan" diri. Tapi Kun Seng yang sebentar saja siuman tidak membuka matanya, batuk-batuk dan tersenyum memandang anak laki-laki itu, anak angkatnya yang baru saja "diresmikan"!

"Kun Houw, apa yang terjadi pada diriku ini?"

Siauw-cut atau Kun Houw tertegun. "Apa yang kau rasakan, ayah? Kenapa kau tiba-tiba roboh...?"



Pedang Medali Naga Jilid 10

PEDANG MEDALI NAGA
JILID 10
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Karya Batara
DUA iblis itu berseru kaget. Mereka langsung mengepung, dan Mu Ba yang sudah siap merundukkan kepala untuk menubruk ke depan menggereng, "Jadi kau si Pedang Dalam Kabut itu, tua bangka? Kenapa kau menyembunyikan mukamu?"

Tapi Mayat Hidup menyenggol temannya. "Mu Ba, kita datang bukan untuk memusuhi jago pedang ini. Kita datang untuk menjadi sahabatnya!"

Mu Ba terkejut. Raksasa itu rupanya sadar, maka menyeringai dan tertawa bergelak dia sudah merobah sikap. "Ah, maaf. Aku terbiasa bersikap kasar, Bu-tiong-kiam. Harap kau tidak kecil hati menerima caraku bicara."

Iblis berkedok itu tiba-tiba mendengus. "Mu Ba, Mayat Hidup, tak perlu kalian semua berpura-pura. Jago pedang ini tak mungkin suka dan sudi bersahabat dengan kalian. Dia keras kepala dan sombong!"

Mu Ba menoleh. "Kau siapa, sahabat? Kenapa mencampuri urusan orang lain?"

"Hm, Mo-li sudah menerangkan padamu, Mu Ba. Aku So-beng, datang ke mari karena berurusan dengan jago pedang ini."

"Hendak merampas pedang?"

"Tidak, tapi sekedar memenuhi perintah sri baginda Fu Chai!"

"Ah, kau orang kerajaan?"

"Benar!" dan begitu So-beng mengangguk tiba-tiba semua orang terkejut dan memandang iblis berkedok ini, kaget tapi juga heran. Dan mempergunakan kesempatan semua orang tertegun memandangnya iblis inipun sudah bicara lagi. "Dan sri baginda mengutus aku pula untuk mencari orang-orang pandai, Mu Ba. Dan karena kebetulan kita bertemu di sini maka kuundang kalian untuk datang ke istana dan menduduki jabatan-jabatan penting sesuai kepandaian kalian!"

Tiga orang itu serentak bersinar mata mereka menyala, gembira sekali mendengar tawaran yang menarik ini. Tapi Mayat Hidup yang batuk-batuk dengan suaranya yang serak tiba-tiba mengerotokkan buku-buku jarinya.

"So-beng, kita belum pernah kenal, baru kali ini bertemu. Bagaimana bisa meyakinkan kami bahwa kau betul-betul orang kerajaan? Bagaimana kalau kau menipu kami dan pura-pura saja untuk membawa jago pedang ini?"

"Hm, jago pedang ini tak boleh diperebutkan lagi, Mayat Hidup. Dia harus kita bawa ke istana sekaligus membuktikan kebenaran omonganku, apakah aku orang kerajaan atau bukan!"

"Jadi kami harus mengalah?"

"Tidak ada yang mengalah, Mayat Hidup. Akupun tak berniat mengangkangi pendekar ini untuk diriku pribadi. Dia diperlukan oleh sri baginda yang membutuhkan Pedang Naga yang dia simpan!"

Tapi, sebelum Mayat Hidup menjawab Kun Seng sudah menyambar Siauw-cut dan menghantamkan lengannya ke Sin-yan Mo-li. "Iblis-iblis busuk, aku bukan jago pedang itu. Kalian kasak-kusuklah sendiri...!"

Sin-yan Mo-li menjerit. Ia memang terkejut, tapi tak meninggalkan kewaspadaan. Maka begitu orang menghantamkan lengannya secepat kilat iapun meledakkan cambuk menangkis. Tetapi tenaga Kun Seng ternyata hebat, membuat nenek ini terpental cambuknya. Dan begitu menerobos sambil membentak tahu-tahu kakek ini kabur dan lari ke atas bukit, melanjutkan maksudnya yang ingin ke puncak!

Kontan, empat orang iblis itu melengking. Lalu menggerakkan kaki mengejar dan melakukan serangan dari belakang mereka sudah berkelebat dengan pukulannya masing-masing. Mu Ba dan Mayat Hidup dengan dorongan lengan dan jari yang bercuitan sementara Mo-li dan So-beng meledakan cambuk serta pukulan uap merah. Tapi kakek ini ternyata benar-benar lihai. Dia mampu berjumpalitan menghindar semua pukulan itu, dan begitu melesat mengerahkan ginkangnya tiba-tiba dia sudah berada di puncak.

Di sini ada sebuah batu besar, daerahnya sempit tapi rata. Dan Kun Seng yang sudah melayang ke batu besar itu tiba-tiba menggerakkan lengannya menggeser batu ini. Yang tiba-tiba bergerak dan menggelundung ke bawah, menyambut naiknya empat orang iblis yang mengejar ke atas. Dan begitu batu ini bergemuruh dengan suaranya yang dahsyat tiba-tiba empat orang musuh yang ada di bawah berteriak kaget. Mu Ba yang ada di depan menggereng, siap menghindar dengan melompat ke samping.

Tapi Mayat Hidup yang berada dua meter di belakangnya berseru, "Mu Ba, terima batu itu. Tahan dan biarkan kami lewat...!”

Raksasa ini tak jadi menghindar. Dia mengangguk dan menancapkan kakinya, memasang, kuda-kuda dan secepat kilat mengangkat kedua tangan keatas, dan begitu batu menimpa kepalanya tahu-tahu raksasa tinggi besar ini telah menahan dan menerima batu itu, menyangga dengan kedua tangannya yang kokoh kuat bagai Hercules yang menerima runtuhan pintu gerbang!

"Bress... !" tapi raksasa ini mengeluh juga. Daya dorong dari atas ditambah beratnya batu yang sebesar gajah itu membuat dia menggigit bibir, kedua kakinya amblas sepuluh senti ke dalam tanah, melesak. Tak kuat menahan! Tapi tiga orang temannya yang sudah lewat di bawah ketiaknya dan terus mengejar ke puncak Bukit Pedang dengan mata terbelalak kagum memandangnya sudah membuat raksasa ini mengeluarkan bentakan tinggi dan menekuk kedua lengan, memutar dan melempar batu yang beratnya ribuan kati itu ke bawah. Dan begitu kedua sikunya menolak dan melempar batu ini ke bawah maka terdengarlah ledakan dahsyat ketika batu raksasa ini berdebum dan meluncur ke bawah mengeluarkan suara hiruk-pikuk!

"Blamm...!"

Mu Ba sudah menyusul teman-temannya. Dia mengggereng dan menepuk bajunya yang penuh debu, marah dan gusar pada jago pedang itu. Sementara Kun Seng yang sudah tiba di atas dan melihat usahanya gagal menggelundungkan batu untuk menahan empat orang musuhnya menyambar lengan Siauw-cut dan berseru,

"Siauw-cut, masuk ke lubang itu. Ambil kitab pelajaran pedang dan lari ke bawah...!”

Siauw-cut tertegun. Dia melihat sebuah lubang menganga di dekat mereka, lubang di mana batu besar tadi berdiri. Dan melihat kakek itu tergesa-gesa dan pucat mukanya dengan peluh bercucuran tiba-tiba anak ini menghela napas, tak tega. "Locianpwe, apa sebenarnya yang terjadi? Rahasia apa yang kau sembunyikan ini?"

"Ah, tak perlu banyak omong lagi, Siauw-cut. Masuk dan ambillah kitab pelajaran pedang di bawah situ!"

"Tapi aku tak dapat melakukan perintahmu ini, locianpwe. Aku tak dapat membiarkan dirimu menghadapi empat orang iblis itu!"

Kakek ini tertegun. "Kau membantah?"

Siauw-cut menggeleng, sedih mukanya. "Tidak, locianpwe, tapi justeru ingin menolongmu. Aku tak akan meninggalkan dirimu lagi setelah kuketahui bahwa kau adalah si jago pedang itu, Bu-tong-kiam yang kucari-cari itu!"

"Tapi aku bukan jago pedang itu, Siauw-cut. Empat iblis itu ngawur dan tak usah dipercaya!"

"Kalau begitu bagaimana kau tahu bahwa di bawah ini terdapat kitab pelajaran pedang? Bagaimana kau tahu kulau bukan kau yang menyembunyikannya, locianpwe?"

Kakek ini terkejut. Dia rupanya kaget, sejenak terbelalak. Tapi melihat bayangan So-beng dan teman-temannya tiba di puncak tiba-tiba kakek ini mengeluh. “Siauw-cut, kita tak dapat banyak bicara lagi. Tak perlu berdebat betulkah aku ini si jago pedang atau tidak. Tapi kau dapat menolongku, bukan?” lalu, cemas dan bingung melihat empat orang itu sudah mendekati mereka kakek inipun buru-buru mengangkat tangannya "Siauw-cut, tolonglah aku. Di bawah itu ada kitab pelajaran pedang dan sebuah pusaka, Pedang Naga dari Yueh. Kau masuklah ke sana dan lari lewat terowongan bawah tanah. Kau akan muncul kembali di bawah bukit di mana batu hitam pertama kau gunakan untuk tempat bersembunyi...!"

Tapi Siauw-cut menggeleng. Dia tetap tidak mau, dan sementara Kun Seng mengeluh penuh kecewa dan marah pada anak ini maka So-beng dan tiga orang temannya muncul. "Bu-tiong kiam, kau tak dapat melarikan diri dari kami. Serahkan kitab dan Pedang Naga...!”

Mu Ba juga membentak, "Dan serahkan anak laki-laki itu kepadaku, Bu-tiong-kiam. Aku ingin menghirup dan menikmati sumsum tulang belakangnya!"

Kun Seng tak dapat melarikan diri lagi. Tempatnya sudah dikepung, satu-satunya jalan adalah lubang di bawah kaki mereka itu. Tapi maklum memasuki lubang dengan musuh di atas terlalu berbahaya bagi jiwa mereka berdua mendadak kakek ini menendang Siauw-cut hingga terpelanting ke dalam lubang. "Siauw-cut, lakukan perintahku. Ambil kitab dan pedang di bawah dan larilah...!"

Siauw-cut terbanting. Dia terjeblos ke lubang itu, gelap sekelilingnya kecuali di atas. Tapi anak yang bandel dan tak mau mengikuti petunjuk kakek itu sudah merangkak keluar dan menggigit bibirnya, melihat betapa Kun Seng berhadapan dengan empat orang lawannya dengan kepala tegak dan dada terangkat sementara tangannya tiba-tiba melolos sebatang pedang lentur yang disarungkan di ikat pinggang!

"Singg...“ Semua orang tertegun. Mereka melihat sebatang pedang bergetar melentur di tangan kakek itu, pedang yang lemas tapi tajam bagai pisau cukur! Dan Kun Seng yang tak dapat berpura-pura lagi setelah semuanya dibongkar lawan akhirnya membentak dengan suara penuh wibawa, lenyap sikapnya yang ketolol-tololan dan suka main-main itu,

"So-beng. Mayat Hidup, kalian terlalu mendesakku. Aku akan mempertahankan diri dan membasmi kalian...!"

So-beng dan tiga orang temannya terbelalak. Mereka melihat sikap yang penuh kejantanan dari kakek itu, sikap seorang pendekar sejati yang gagah dan garang. Tapi So-beng yang tersenyum mengejek tiba-tiba mendengus dan mencabut cakar bajanya, senjata maut yang telah membunuh Ta Bhok Hwesio di Pegunungan Ta-pie-san!

"Bu-tiong-kiam, tak perlu kau menggertak kami dengan segala ancaman kosongmu. Kami bukan anak kecil. Kau menyerahlah baik-baik, atau kami akan merampas pedang dan kitabmu secara paksa!"

"Hm, aku tak pernah menyerah sebelum bertanding, iblis keji. Aku tak akan memenuhi permintaan kalian sampai maut mencabut nyawaku!"

"Bagus!" Mu Ba tiba-tiba membentak."Kalau begitu kita bunuh saja kakek ini, teman-teman. Lempar dan buang tubuhnya ke dalam jurang...!" lalu, mendahului dan menggereng dahsyat tiba-tiba raksasa tinggi besar itu menubruk ke depan dengan kedua lengan mencengkeram kepala pendekar pedang ini, bermaksud meremas kepalanya sampai hancur.

Tapi Kun Seng yang mengeluarkan bentakan tinggi sudah menggeser kaki dan tiba-tiba merendahkan tubuh, mengelak sekaligus menggerakkan pedangnya. Lalu begitu pedang berkelebat dan membacok dari bawah ke atas tiba-tiba Mu Ba menjerit ketika lengannya terluka disambar pedang!

"Crett...!" Mu Ba melompat mundur. Raksasa itu mendesis, menggeram tapi terbelalak memandang pedang di tangan lawan yang ketajamannya benar-benar seperti pisau cukur.

Dan Mayat Hidup yang melihat temannya kaget dan sedikit terluka oleh gebrakan pertama ini sudah batuk-batuk dan memberi peringatan, "Mu Ba, jangan gegabah. Jago pedang itu layak mendapat kehormatanmu untuk mencabut senjata...!"

Mu Ba menggereng. Dia membanting kaki, dan mengumpat dengan penuh kemarahan tiba-tiba raksasa ini mencabut senjatanya yang mengerikan, dua tengkorak anak kecil yang diberi kelenengan. Lalu bersiap dan melotot pada pendekar itu raksasa ini membentak, "Bu-tiong-kiam, jangan sombong. Aku akan membalas mata pedangmu yang melukai lenganku!"

"Hm, aku siap melayani kehendakmu, Mu Ba. Maju dan gerakkan senjatamu itu...!"

Mu Ba marah. Raksasa ini memekik, suaranya parau dan serak. Tapi begitu dia menerjang maju tiba-tiba dua tengkorak kecil di tangan kanannya itu berdengung. Suaranya mirip bocah menangis, atau setan yang merintih. Dan begitu raksasa ini menyerang dengan tengkoraknya yang mengerikan itu tiba-tiba angin menderu-deru dengan amat dahsyatnya. Sepak terjang raksasa ini buas bukan main, mirip seekor beruang yang kelaparan. Tapi Kun Seng yang menggerakkan pedang melayani terjangan iblis tinggi besar ini sudah membentak dan mengikuti semua gerakan lawan.

Maka terjadilah pertandingan seru di antara dua orang tokoh itu. Mu Ba memekik-mekik dan mengayunkan tengkorak kecilnya yang mengaung-aung itu, sementara Kun Seng melayani sepak terjang lawan yang buas dengan gerakan silang-menyilang dari pedang lenturnya. Keduanya belum ada yang terdesak, Kun Seng masih mengikuti permainan tengkorak si raksasa dengan mata sesekali mengerling ke kiri kanan, mengerutkan alis melihat tiga orang iblis yang lain belum maju mengeroyok karena tampaknya sedang mempelajari permainan pedangnya! Maka pendekar yang gemas serta marah hatinya ini tiba-tiba membentak,

"So beng, Mayat Hidup, kenapa kalian nonton saja? Majulah, kita selesaikan urusan ini secepatnya."

Tapi Mayat Hidup tersenyum, batuk-batuk. "Kami belum melihat saatnya, orang she Kun. Sabarlah dan biarkan kami menjagamu agar tidak melarikan diri!"

Kun Seng geram. Dia tak banyak bicara lagi, maklum apa yang dipikirkan tiga iblis yang ada di pinggiran itu. Selain menonton juga ingin menguras tenaganya! Tapi Kun Seng yang tetap tenang melayani lawannya ini membiarkan Mu Ba menyerang dirinya semakin hebat. Dia tetap memasang kewaspadaan, maklum sewaktu-waktu bisa terjadi perobahan. Dan ketika Mu Ba semakin ganas dan gencar menyerang dirinya mulailah pendekar ini mengambil siasat.

Dia melihat Mu Ba belum sepenuhnya mengeluarkan kepandaian. Terbukti dari desing tengkorak di tangan raksasa tinggi besar itu. Karena meskipun tengkorak itu sendiri mengeluarkan bunyi mengaung yang tampaknya mengerikan namun suara kelenengan di dalam tengkorak itu belum sekalipun terdengar. Ini aneh! Tapi Kun Seng yang cukup makan asam garam pertandingan maklum apa yang kelihatannya ganjil ini. Mu Ba masih menyimpan kepandaian, belum mengeluarkannya semua. Dan jago pedang yang tersenyum mengejek di balik kelebatan sinar pedangnya itu tiba-tiba mendengus.

Dia juga belum mengeluarkan semua kepandaiannya. Terutama tujuh jurus inti ilmu silat pedang yang disimpannya itu. Tapi melihat Mu Ba masih menahan diri dan tak mau mengeluarkan semua kepandaiannya tiba-tiba pendekar pedang ini membentak dan melengking tinggi. Dia membuat perobahan, sinar pedangnya tidak lagi silang-menyilang melainkan bergulung-gulung naik turun, membungkus bagai mega yang kian lama kian tebal. Dan begitu kakek ini mengerahkan ginkangnya berkelebat semakin cepat mendadak tubuhnya lenyap dibungkus gulungan sinar pedangnya yang melebar bagai asap, mengeluarkan uap berhawa dingin mirip kabut di puncak sebuah pegunungan!

"Ah, Bu-tiong Kiam-sut (Ilmu Pedang Kabut)...!"

Mu Ba berteriak kaget. Dia kehilangan lawannya, tak diketahui di mana arahnya karena bersembunyi di bilik kabut yang kian tebal dan bergulung-gulung itu. Dan sementara Mu Ba tertegun dan bingung melancarkan serangan mendadak dari balik gulungan sinar pedang yang berkabut ini mencuat cahaya putih menusuk perutnya.

"Mu Ba, awas...!"

Raksasa tinggi besar itu mencelos. Mayat Hidup meneriakinya, kaget melihat temannya bengong dan disambar sinar putih yang menyambar dari balik gulungan pedang berkabut ini. Dan Mu Ba yang terkesiap oleh serangan mendadak ini secepat kilat membabatkan tengkorak mautnya.

"Sing-pletak...!" Mu Ba membanting tubuh. Dia berteriak kaget ketika tiba-tiba tengkorak di tangannya pecah sebuah, dibabat sinar putih yang amat ganas itu. Dan sementara raksasa ini menjerit panjang sekonyong-konyong sinar putih itu menukik dan memburunya, kali ini menyambar dada dengan kecepatan kilat.

"Ah...!" raksasa ini membentak. Dia menggerakkan kembali tengkorak maut yang tinggal satu-satunya itu, dan maklum menangkis tanpa membalas adalah terlalu berbahaya baginya maka raksasa tinggi besar itu melancarkan pukulan telapak kirinya ke gulungan sinar yang membungkus tubuh si jago pedang itu.

"Plak-dess...!"' Mu Ba menjerit. Dia kalah cepat, karena tusukan pedang yang menyambar dadanya itu hanya berhasil dipapak tali tengkorak yang dia ikatkan di lubang mata, putus dibabat pedang dan terus menusuk ulu hatinya. Dan Mu Ba yang menjerit kaget oleh sambaran cahaya putih ini tak dapat bertindak lain kecuali mengerahkan sinkangnya. melindungi diri secepat kilat sambil membanting tubuh.

"Crat...!" Dan Mu Ba mengeluh. Raksasa tinggi besar itu terguling-guling, darah mengucur di dada yang terluka dua senti, tak sanggup sepenuhnya mengebalkan diri dengan kekuatan sinkangnya akibat ketajaman pedang di tangan Bu-tiong-kiam.

Dan Mayat Hidup yang melihat Mu Ba masih dikejar cahaya putih yang berkeredep ke punggung kawannya tiba-tiba mendesis dan membentak, "Bu-tiong-kiam, lepaskan pedangmu...!"

Kun Seng jelas tak mau menarik serangannya. Dia membiarkan saja Mayat Hidup itu menolong temannya, dan begitu pedang mengejar Mu Ba tahu-tahu jari Mayat Hidup menangkis dari samping.

"Tak!" Mayat Hidup terkejut. Dia sudah membungkus jarinya dengan kulit badak, melindungi diri dari ketajaman pedang Bu-tiong-kiam yang dia maklum amat tajam itu. Tapi bahwa pedang masih terus membabat dan kulit badaknya robek hingga jarinya terluka digores pedang maka iblis ini jadi kaget bukan main dan secepat kilat membanting tubuh bergulingan, berseru keras sambil berjungkir balik lima kali di udara!

"Sing-singg...!” pedang di tangan jago pedang itu masih mengeluarkan suara mengerikan. Mu Ba dan Mayat Hidup kini sudah melompat bangun, terbelalak dan pucat memandang sinar putih yang bergulung-gulung itu. Tapi dua iblis yang marah dan saling memberi tanda ini tiba-tiba membentak, maju dan menerjang berbareng dengan pekik mereka yang tinggi melengking.

"Bu-tiong-kiam, kami masih akan mencoba kepandaianmu...!"

Jago pedang itu tak menjawab. Dia menggerakkan pedang masih sama gencar, bergulung-gulung naik turun membentuk tabir asap, membungkus dirinya dari segala penjuru dengan hawa dingin yang berdesing-desing itu. Mirip tembok cahaya yang tak dapat ditembus! Dan Mu Ba serta Mayat Hidup yang penasaran oleh kehebatan jago pedang ini sudah menerjang dengan penuh kemarahan. Mu Ba dengan tengkoraknya yang tinggal sebuah sedang Mayat Hidup dengan Jari Penusuk Tulangnya yang bercuitan.

Tapi dua orang iblis ini menggigit bibir. Mereka tak melihat bayangan lawan yang lenyap dibungkus gulungan sinar pedangnya itu. Hal yang tentu saja membuat mereka kesulitan untuk mengarahkan serangan. Terutama serangan maut yang harus dilakukan pada titik-titik tertentu yang dapat membuat lawan roboh dengan sekali pukulan, seperti misalnya daerah di bawah batang tenggorok atau ulu hati.

Dan Mayat Hidup yang diam-diam mencaci kelihaian jago peding ini yang otomatis membuat semua tusukan jarinya "macet" di tengah jalan karena tak menemui sasaran jadi marah dan gusar bukan main. Dia sudah menyerang sana-sini, melakukan tusukan sana-sini di seluruh tubuh peadekar itu. Tapi karena tubuh si jago pedang terbungkus gulungan sinar pedangnya maka setiap kali itu pula semua tusukannya bertemu sinar pedang yang bergulung-gulung membungkus tubuh Bu-tiong-kiam ini. Terpental balik dan tak ada satupun yang berhasil menyentuh tubuh lawannya!

Maka, Mayat Hidup yang mulai bingung dan semakin naik pitam itu akhirnya mencari akal. Dia bersama Mu Ba menyerang di kiri kanan. Lalu, tak berhasil dengan serangan macam ini diapun merobah kedudukan, muka belakang. Tapi, ketika semua cara itu tetap gagal akhirnya iblis ini menjadi mendongkol kepada dua orang temannya yang masih menonton, So-beng dan Sin-yan Mo-li! Dan begitu dia teringat dua orang yang masih berdiri di pinggir ini akhirnya Mayat Hidup berteriak,

"So-beng, Mo-li, demikiankah cara kalian mengawasi musuh? Melotot saja di pinggir tak segera merobohkan jago pedang ini?"

Sin-yau Mo-li terkekeh. "Jangan seperti anak kecil, Mayat Hidup. Kalian belum roboh, untuk apa kubantu?"

"Keparat, tapi jago pedang ini harus kita tangkap hidup-hidup, nenek iblis. Aku tak berani tanggung kalau aku kelepasan tangan!"

"Hi-hik, kelepasan tangan apanya, cecak kering? Kau tak dapat melepaskan pukulan Jari Penusuk Tulangmu itu. Kau kewalahan menghadapi lawanmu itu!" Sin-yan Mo-li mangejek, maklum apa yang sesungguhnya terjadi pada pertempuran itu dan kagum bukan main pada si jago pedang ini.

Dan Mayat Hidup yang mencak-mencak oleh ejekan nenek itu akhirnya mendelik dan memaki-maki, "Sin-yan Mo-li, kau tua bangki keparat. Mampuslah kalau aku sudah menyelesaikan pertandingan ini!"

"Heh-heh, kalian berdua tak mampu merobohkan jago pedang itu, Mayat Hidup. Dia tak dapat diserang kalau gulungan sinar pedangnya belum dipecahkan!"

Mayat Hidup memekik. Dia jadi marah dan gusar pada nenek ini, tapi Mu Ba yang membanting kakinya tiba-tiba menggeram. "Mayat Hidup, tak perlu kauhiraukan nenek siluman itu. Kau cobalah Ilmu Setan Anginmu itu dan aku membunyikan kelenengan...!"

Mayat Hidup terkejut. Dia rupanya sadar, dan melengking dengan suara tinggi mendadak iblis ini merobah gerakan dan menjejakkan kakinya. Dia berjungkir balik, turun dan tiba-tiba berpusing pusing bagai angin putaran seraya menendangkan kedua kakinya bertubi-tubi ke depan, mengiringi tusukan jarinya yang bercuitan menyambar gulungan pedang di muka Bu-tiong-kiam itu. Dan Mu Ba yang sudah menggereng sambil mengikuti gerakan temannya mendadak meledakkan tengkorak dengan tepukan tangan kirinya.

Dan aneh. Kelenengan di dalam tengkorak kecil itu bersembunyi. Mula-mula perlahan, tapi tak pernah berhenti. Dan ketika Mu Ba memutar seraya menampar tengkorak itu berkali-kali maka tiba-tiba saja suara kelenengan itu menjadi keras dan memekakkan telinga!

Bu tiong-kiam terkejut. Dia merasa pendengarannya terganggu, bising bagai mendengar orang membunyikan kelenengan onta di dekat telinga. Dan ketika suara bising itu kian menghebat dan semakin nyaring tiba-tiba pendekarini terkesiap ketika merasa gerakan pedangnya mengendur! Ada semacam getaran aneh dari suara kelenengan itu yang membuat tenaganya tersedot, terhisap atau tergetar oleh bunyi kelenengan yang keras dan memekikkan telinga itu. Dan ketika sadar gulungan pedangnya menyempit dan tusukan jari si Mayat Hidup tiba-tiba menerobos kabut bayangan pedang mengenai pundaknya tiba-tiba pendekar ini mengeluh dan terdesak!

Mu Ba dan Mayat Hidup girang. Mereka berhasil memecah bayangan pedang itu, melihat betapa musuh mereka tampak kembali di balik gulungan cahaya pedangnya yang mengendur, terdesak dan terbelalak kepada mereka. Dan Mu Ba yang girang lawannya dapat diatasi sudah tertawa bergelak dengan suaranya yang gemuruh, "Bu-tiong-kiam, kami akan membunuhmu. Kau tak dapat meloloskan diri...!"

Raksasa ini mempergencar suara kelenengannya. Dia gembira dan buas memandang pendekar itu, yakin akan keunggulannya. Dan Bu-tiong-kiam yang terus terdesak hingga mundur di tepi puncak tiba-tiba berkilat matanya dengan mulut dikatup rapat. Dia memang terdesak, tetapi belum kalah. Dan maklum bahwa suara kelenengan di tengkorak lawannya itu menjadi sebab utamakendornya tenaga sekonyong-konyong pendekar ini melengking. Dia merobek baju, menggulung dan menyumpal lubang telinganya rapat-rapat. Lalu begitu suara tak mengganggu dan berpengaruh lagi tiba-tiba secepat kilat pendekar ini mengelebatkan pedang menusuk dan membabat.

Mu Ba terkejut. Dia melihat pedang di tangan lawannya itu tiba-tiba ganas kembali, membungkus dan menutup rapat tubuh lawannya, bergulung naik turun dengan angin dingin yang menyambar-nyambar. Dan sementara dia tertegun oleh perobahan pendekar ini sekonyong-konyong dua sinar putih menyambar leher dan perutnya.

"Mu Ba, awas...!"

Raksasa itu mencelos. Dia menggerakkan tengkorak menangkis, hilang bunyi kelenengannya karena kaget oleh tusukan kilat yang dilancarkan si jago pedang. Dan begitu dia menangkis dengan tengkorak menyambar tahu-tahu tali tengkoraknya putus dibabat mata pedang di tangan si jago pedang itu.

"Tas!” raksasa ini terkesiap. Dia berseru keras, membanting tubuh dan melengking tinggi menyambar kepala tengkorak yang mencelat di udara. Tapi Mu Ba yang kurang hati-hati untuk serangan kedua yang menyambar perutnya tak dapat mengelak ketika pedang Bu-tiong-kiam menggores kulitnya. Tak ayal, raksasa ini menjerit dan Mayat Hidup yang menolong temannya dari samping tiba-tiba menusukkan jari ke punggung Bu-tiong-kiam.

"Bret-plak...!"

Mayat Hidup terkejut. Dia melihat lawannya itu membalik, tak meneruskan tikaman ke arah Mu Ba melainkan membacok jarinya yang membokong di belakang, satu hal yang tidak disangka karena dilakukan dengan gerak yang luar biasa cepat. Dan begitu jari menusuk disambar pedang kontan iblis ini menarik dan menendangkan kaki kirinya ke pinggang lawan. Tapi Mayat Hidup terlempar. Dia masih kalah cepat, jarinya terbabat. Dan meskipun jarinya sudah dilindungi lapisan kulit yang dirangkap tebal tetap saja iblis ini menjerit ketika jarinya terpotong dan kutung dibabat pedang!

"Crat-ahh...!" Mayat Hidup meraung tinggi. Dia sudah melempar tubuh bergulingan, kaget dan marah oleh sambaran pedang yang mengutungi jarinya, jari telunjuk. Dan Kun Seng yang masih mengejar iblis ini dengan sinar pedangnya yang bergulung-gulung tiba-tiba mendengar bentakan So-beng yang menggerakkan cakar bajanya menangkis serangan pedangnya.

"Bu-tiong-kiam, jangan bertindak keji...!" dan cakar baji yang menyambar dari kiri menangkis sambaran pedang Bu-tiong-kiam tiba tiba mengeluarkan suara nyaring ketika bentrok dan mengeluarkan bunga api.

"Trangg!"

Kun Seng terkejut. Dia merasa tenaga yang luar biasa hebatnya membentur senjatanya yang tertolak ke belakang, melihat betapa cakar baja di tangan iblis berkedok ini sudah menyambarnya bertubi-tubi, menolong Mayat Hidup yang hampir celaka di tangan si jago pedang.

Dan So-beng yang rupanya maklum akan kelihaian jago pedang ini sudah membentak ke arah Sin-yan Mo-li, "Mo-li, kau bantu kami. Urusan tak dapat ditunda lagi...!"

Tapi nenek iblis itu tersenyum. Dia masih menonton, tampaknya ogah-ogahan. Dan So-beng yang terus melancarkan serangan ke arah lawannya ini tiba-tiba mengancam. "Mo-li. kalau kau tidak membantu kami jangan harap kedudukan di istana akan kau peroleh. Aku akan melapor kepada sri baginda bahwa kau adalah musuh, bukan sahabat!"

Nenek ini terkejut. Ia rupanya terpengaruh juga, terbeliak dan berobah mukanya oleh dengus temannya itu. Maka meledakkan cambuk dan tertawa masam nenek ini melompat maju. "So-beng, kau manusia licik. Aku tak takut pada ancamanmu tapi segan pada sri baginda. Baiklah, kalau istana membutuhkan bantuanku biarlah kuikut membunuh jago pedang ini, heh-heh... tar-tarr!" dan nenek iblis yang sudah menjeletarkan cambuk dengan mata bersinar-sinar itu tiba-tiba menubruk ke depan mengeroyok pendekar ini.

Tapi dua bayangan berkelebat dari bawah. Mereka itu bukan lain Phoa-lojin adanya Han Hok Sun. dua orang guru dan murid yang tadi ditinggal lawan-lawan mereka karena Mayat Hidup dan Mu Ba tak mau kehilangan si jago pedang, mengejar dan kini mengeroyok pendekar yang amat lihai itu. Dan kakek Phoa yang berkelebat ke puncak bukit melihat pertempuran berjalan seru di tempat ini seketika tertegun ketika melihat bahwa yang dikeroyok itu adalah benar Bu-tiong-kiam Kun Seng yang dia temui di kota Wu-kian, laki-laki yang tak mengakui dirinya itu jago pedang yang dia kejar hingga memasuki sebuah kelenteng! Maka, melihat jago pedang itu kini dikeroyok empat iblis yang mengembut dengan bentakan-bentakan mereka yang tinggi menyeramkan sekonyong-konyong kakek ini tertawa dan menghambur ke arah Sin-thouw-liong Mu Ba.

"Bu-tiong-kiam, apa katamu sekarang setelah semuanya ini terjadi? Masihkah kau menyembunyikan diri tak mau mengaku? Ha-ha, aku tak mengerti jalan pikiranmu, Kun-taihiap. Tapi jangan khawatir, aku akan membantumu menghadapi iblis ini... hayah!" dan kakek Phoa yang sudah menggerakkan papan caturnya menghantam kepala Temu Ba segera disambut gerengan raksasa tinggi besar ini yang marah.

"Phoa-lojin, keparat kau..." dan Mu Ba yang terpaksa menangkis serangan lawan dengan telapak tangannya yang lebar tahu-tahu mengerahkan tenaga dan membanting kakinya.

“Brak!" papan catur itu meledak, tapi tidak pecah. Dan kakek Phoa yang terdorong oleh tangkisan hebat raksasa tinggi besar ini sudah terkekeh dan berseru pada muridnya,

"Hok Sun, kau hadapi si Mayat Hidup itu. Biar Kun-taihiap menghadapi yang lain...!"

Hok Sun mengangguk. Dia memang sedang menentukan siapa kira-kira yang akan dia hadapi. Mayat Hidup ataukah So-beng dan Mo li. Tapi melihat Mayat Hidup sudah terluka dan tampak meringis membalut jarinya yang kutung pemuda ini sudah mengincarkan matanya menghadapi iblis itu. Maka begitu gurunya berteriak dan dia sudah menetapkan pikiran tiba-tiba pemuda ini menggerakkan jarum peraknya menerjang lawan.

"Mayat Hidup, lepaskan Kun-taihiap. Jangan curang...!"

Mayat Hidup melengking. Dia marah oleh gangguan guru dan murid itu. Tapi melihat Hok Sun menyerangnya ganas iapun melejit dan menyambut. Dan begitu dua orang ini bergebrak maka pertandingan tiba-tiba menjadi pecah tiga bagian. Hok Sun menghadapi iblis yang kurus kering ini sedangkan Kun Seng dan Phoa-lojin menghadapi So-beng dan dua iblis yang lain. Masing-masing seorang lawan seorang, kecuali jago pedang yang dikeroyok dua itu, Kun Seng yang harus menghadapi So-beng dan Sin-yan Moli sekaligus, dua lawan baru yang masih segar dan belum mengeluarkan tenaga!

Dan begitu pertandingan pecah menjadi tiga bagian maka masing-masing pihak merasakan tekanan yang sama hebatnya. Tak ada yang ringan. Tapi Hok Sun yang merupakan orang termuda dari tiga kelompok itu rupanya yang paling berat menghadapi lawan. Mayat Hidup bukan tokoh sembarangan, kepandaiannya setingkat mendiang Cheng-gan Sian-jin.

Dan biarpun jarinya terluka oleh pedang Bu-tiong-kiam namun iblis ini masih terlalu lihai bagi murid kakek Phoa itu. Maka, setelah berkali-kali jarum peraknya ditangkis Mayat Hidup dan benturan-benturan di antara mereka menunjukkan iblis itu memiliki sinkang yang lebih kuat maka Hok Sun tiba-tiba saja terdesak.

Bagaimanapun dia bukan lawan Mayat Hidup. Dan ketika pertandingan berjalan limapuluh jurus tiba-tiba Hok Sun mulai menerima kepretan-kepretan jari lawan yang mengenai tubuhnya. Mula-mula mampir di pundak, lalu dada dan akhirnya leher. Dan ketika tamparan ke empat mengenai pangkal lengannya mendadak Hok Sun terpelanting roboh!

Hal ini tentu saja mengejutkan kakek Phoa. Dan kakek yang masih serang menyerang dengan Sin-thouw liong Temu Ba yang garang dan buas itu menjadi cemas. Dia tak tahan melihat muridnya empat kali terpukul, maka ketika Hok Sun terpelanting untuk tamparan terakhir kontan kakek ini berteriak.

"Hok Sun, pergunakan kipasmu. Hindari tamparan kuku jari Mayat Hidup yang beracun..."

Tapi Hok Sun tak sempat mencabut kipasnya. Dia terlalu gegabah menghadapi lawannya ini dengan sebatang jarum perak melulu, tak mercabut kipas karena berpikir lawan sudah cukup dihadapinya dengan cara itu mengingat lawannya sudah terluka. Maka, ketika empat kali dia dikepret dan kepala mendadak terasa pusing barulah pemuda ini menjadi kaget dan tetkesiap. Dia tak menyangka kuku Mayat Hidup itu beracun. Tapi mencium bau yang sangit tidak enak dan samar-samar uap hijau mengepul dari jari-jari lawannya itu sadarlah pemuda ini bahwa dia terlalu memandang rendah. Sembrono!

Maka, ketika dia terpelanting roboh dan Mayat Hidup memburunya untuk kepretan terakhir tiba-tiba pemuda ini menyambitkan jarum peraknya ke dada lawan. Tapi Mayat Hidup mendengus, menggerakkan kakinya menendang jarum perak yang ditimpukkan itu hingga mencelat entah ke mana. Lalu membentak dan menusukkan jarinya sekonyong-konyong iblis ini berkelebat ke depan.

"Orang she Hok, mampuslah!"

Hok Sun mencelos. Dia melompat bangun, mencabut kipas dan secepat kilat menangkis sambil melempar tubuh bergulingan. Tapi kepala yang pusing dan sukar diangkat mendadak membuat pemuda ini mengeluh dan kaget bukan main. Dia tak sempat mengelak, baru melompat tahu-tahu sudah roboh kembali, akibat pengaruh racun! Dan Mayat Hidup yang sudah tertawa mengejek menusukkan jarinya tahu-tahu meneruskan serangannya ke dahi pemuda ini.

"Hok Sun, awas...!"

Tapi terlambat. Kakek Phoa melihat pemuda itu mengeluh, dan kaget bahwa muridnya terancam bahaya mendadak kakek ini melontarkan papan caturnya menangkis tusukan jari si Mayat Hidup. “Brakk...!" papan catur itu pecah. Tapi jari si Mayat Hidup yang sudah terlampau dekat dengan pemuda ini tak dapat dielakkan lagi ketika menembus dahi. Hok Sun mengeluarkan keluhan tertahan, lalu begitu terjengkang dan roboh dengan dahi berlubang maka pemuda itupun tewas tanpa mengeluarkan keluhan lagi!

"Ah...!" kakek Phoa tertegun. Dia terhenyak oleh peristiwa yang demikian cepat berlangsung, tak ada kesempatan baginya untuk melompat ke tempat muridnya itu. Tapi sementara ia tertegun oleh kejadian ini sekonyong-konyong Hok Lian muncul dari bawah bukit, menubruk ayahnya.

"Ayah...!"

Kakek Phoa jadi kaget untuk kedua kalinya. Dia sungguh tak menyangka munculnya Hok Lian itu, yang datang berkelebat dari bawah bukit menuju ke puncak. Dan maklum cucunya ini menyongsong bahaya dengan mendekati Mayat Hidup tiba-tiba kakek ini mencelat dan menendang anak perempuan itu.

"Hok Lian, minggir...!"

Tapi Mu Ba sudah menggereng di belakangnya. Raksasa tinggi besar ini mendorongkan lengannya menghantam punggung kakek itu. Dan persis Hok Lian terlempar oleh tendangan kakeknya maka Phoa-lojin pun ikut terlempar oleh pukulan dahsyat si raksasa tinggi besar.

"Bres-bress...!" Phoa-lojin dan cucunya terguling-guling. Dua-duanya terlempar di sisi bukit, menggelinding menuruni puncak bagai bola yang tergelincir di lereng curam. Dan kakek Phoa yang sudah menyambar cucunya dengan mulut dikatup rapat menahan sakit akibat pukulan si raksasa tinggi besar tiba-tiba mendengar seruan si jago pedang, seruan yang dikeluarkan dengan ilmu jarak jauh Coan-im-jip-bit,

"Phoa-lojin, tak perlu kau membantu aku. Pergilah, tempat ini akan kuledakkan...!"

Kakek itu tertegun. Dia sudah jatuh sepuluh tombak dari tempat pertempuran, jauh di atas sana. Tapi teringat jenazah muridnya mendadak kakek ini melayang naik dengan muka pucat, berseru pula dengan ilmunya mengirim suara, "Tunggu dulu, aku akan mengambil jenazah muridku, Bu-tiong-kiam. Jangan korbankan muridku yang sudah menjadi mayat...!"

Tapi kakek Phoa terkejut. Dia mendengar, bentakan si jago pedang itu di atas puncak, lalu persis dia melayang naik sekonyong-konyong jenazah muridnya ditendang kebawah, menimpa kepalanya disertai jawaban Kun Seng yang tergesa-gesa,

"Tak usah, jangan naik kembali ke sini, Phoa-lojin. Kukirim jenazah muridmu ini kepadamu, terimalah!" dan mayat Hok Sun yang sudah terlempar menimpa kepalanya tahu-tahu disambut kakek Phoa yang berseru kaget, berjungkir balik turun kembali dan secepat kilat menyambar lengan Hok Lian untuk dibawa lari menuruni Bukit Pedang!

"Hok Lian, menyingkir...!”

Maka pertempuran di atas itupun tak diketahui lagi bagaimana kesudahannya. Phoa-lojin sudah menarik lengan cucunya ini dengan amat buru-buru. Pertama karena dia ingin menyelamatkan Hok Lian sedang ke dua karena dia mendengar seruan si jago pedang itu, juga karena kematian muridnya yang amat tiba-tiba. Tewasnya Hok Sun yang membuat dia tertegun dan pucat itu. Sementara Kun Seng yang bertanding di puncak bukit dengan pedang yang bergulung-gulung membungkus dirinya itu memang sudah menyiapkan sebuah rencana.

Sesungguhnya, apa yang terjadi di puncak ini? Apa sesungguhnya yang dialami jago pedang itu? Sebuah kejutan. Sebuah pengalaman yang membuat pendekar ini kaget dan terbelalak matanya. Karena begitu So-beng maju dan menggerakkan cakar bajanya menyerang dirinya tiba-tiba pendekar pedang ini terkesiap. Ada gerakan-gerakan aneh yang luar biasa pada gerakan cakar baja lawannya itu, sebuah gerakan yang rasanya dia kenal tapi lupa-lupa ingat. Dan ketika So-beng mulai melancarkan pukulan pukulan sin-kang yang beruap merah di tangan kiri untuk membantu cakar bajanya di tangan kanan tiba-tiba saja pendekar pedang ini terbelalak.

Dia merasa gerakan gerakan itu berasal dari gaya Go-bi, tapi yang bercampur dengan pukulan lain dari aliran hitam. Dan ketika So-beng menccarnya dengan serangan-serangan gencar yang semakin aneh tapi dahsyat mendadak pendekar ini teringat akan seorang sahabatnya dari partai Go-bi. Pek-kut Hosiang yang sakti itu. Hwesio kosen yang dulu pernah mengobrak-abrik sarang perkumpulan Gelang Berdarah dengan Pendekar Kepala Batu dan yang lain-lain. Maka begitu teringat hwesio ini dan melihat Iblis Penagih Jiwa itu mainkan ilmu silat gaya Go-bi mendadak jago pedang ini tertegun.

Dia teringat peristiwa sepuluh tahun yang lalu. Di mana waktu itu Pek-kut Hosiang mengejar-ngejar seorang iblis yang mencuri kitab pusaka Go-bi-pai, kitab peninggalan Bu-tek-thi-pah-ong yang hebat luar biasa. Dan Pek-kut Hosiang yang pernah menunjukkan dasar-dasar ilmu silat peninggalan jago tanpa tanding Butek-thi-pah-ong itu kepadanya pernah mendemonstrasikan beberapa jurus ilmu silat itu. Satu dua jurus yang samar-samar mirip dengan apa yang dilihatnya sekarang ini. Ilmu silat gaya Go-bi yang dimainkan So-beng! Kalau begitu, siapa iblis ini? Benarkah ada hubungannya dengan Go-bi-pai?

Melihat gerakan-gerakan kaki yang aneh bergeser-geser itu rasanya ada dugaan memang betul lawannya ini anggauta Go-bi-pai. Murid atau calon murid yang bukan hwesio. Tapi melihat uap merah di tangannya yang ganas itu bagaimana dugaannya bisa betul? Seorang murid Go-bi-pai pasti bukan orang jahat. Kalau jahat pasti murid yang murtad atau Bu tiong-kiam tiba-tiba tergetar. Dia tak melanjutkan jalan pikirannya itu, dugaan yang membuat dia terbelalak dan teringat satu orang yang mungkin merupakan satu-satunya pihak yang cocok untuk dituduh.

Karena So-beng yang sudah menyerangnya dengan pukulan bertubi-tubi itu tak memberi kesempatan lagi padanya untukberpikir panjang. Iblis Penagih Jiwa ini mencecar, cakar bajanya menyambar-nyambar diselingi ledakan cambuk Sin-yan Mo-li yang menjeletar-jeletar. Dan ketika dua orang lawannya itu memekik dan merangsek hebat sekonyong-konyong cakar baja di tangan iblis Penagih Jiwa itu nyelonong menyambar lehernya, "masuk" ketika gulungan sinar pedangnya mengendur. Sedikit lengah akibat berpikir-pikir tadi.

"Bret...“ Untuk pertama kalinya Bu-tiong-kiam tersentak. Dia berhasil menyelamatkan diri, melempar kepala dan baju di pundaknya ganti tersambar, robek ditusuk cakar baja yang ganas menyambar itu. Dan sementara dia memperbaiki posisi dengan memutar kembali gulungan sinar pedangnya untuk melindungi diri pada saat itulah Hok Sun roboh di tangan si Mayat Hidup!

Jago pedang ini terkejut. Dia tentu saja tersentak kaget, sadar bahwa selama ini dia seakan "lupa" bahwa kakek Phoa dan muridnya datang membantu. Maka melihat Hok Sun roboh dan seorang anak perempuan datang menubruk murid Phoa-lojin itu dan menjerit dengan panggilan ayah, tiba-tiba jago pedang ini menggigit bibir. Dia memutar gulungan sinar pedangnya, melengking dan mendesak mundur lawan. Lalu melihat Phoa-lojin terguling guling dihantam Temu Ba diapun menendang mayat Hok Sun sambil melontarkan ilmu Coan-im-jip bitnya itu, menyuruh kakek Phoa pergi karena dia akan meledakkan puncak!

Dan, begitu Phoa-lojin memenuhi permintaannya dan turun ke bawah bukit tiba-tiba saja pendekar pedang ini mengeluarkan bentakan tinggi yang menggetarkan puncak. Saat itu Mu Ba dan Mayat Hidup mengeroyoknya, maju berbareng setelah kakek Phoa terlempar, tak mengganggu lagi karena harus menyelamatkan cucu perempuannya dan lari membawa jenasah Hok Sun.

Dan begitu melihat tak ada lagi yang dijadikan beban pikiran mendadak pendekar ini melengking dan melempar tubuh ke udara, berjungkir balik dan melakukan jurus pertama dari ilmu silat intinya yang tujuh jurus itu, Tit-te-pai-seng! Dan begitu jago pedang ini membentak seraya melenting tahu-tahu pedangnya berkelebatan menyambar bagai kilat yang sambung-menyambung tak ada hentinya, mencuat dan membabat serta menusuk sampai bercuitan di antara gulungan cahaya yang membungkus tubuh pendekar pedang itu. Hebat dan luar biasa sekali!

"Ah...!” keempat orang iblis ini berseru kaget. Mereka tak melihat lagi bayangan lawannya itu, dan sementara terbelalak oleh perobahan luar biasa yang dilakukan pendekar pedang ini sekonyong-konyong empat sinar memecah menyambar dada mereka masing masing.

"Mu Ba, awas...!"

"Mayat Hidup hati-hati...!"

Tapi semuanya tak ada guna. Empat sinar itu menyambar mereka semua, susul-menyusul bagai deret cahaya petir yang meledak di tengah gulungan awan pedang. Dan begitu keempatnya berteriak saling memperingati tahu-tahu Mu Ba dan Mayat Hidup roboh terjungkal!

"Crat-ah...!” dua iblis ini terguling-guling. Mereka menjerit keras, dada mereka terluka.

Dan Sin yan Mo-li yang juga menjerit karena cambuknya putus ketika menangkis tahu-tahu ikut terjengkang ketika pedang menggores dadanya dari atas ke bawah. Hanya So beng yang selamat, merendahkan tubuh dan menggerakkan cakar bajanya menangkis. Tapi senjata yang terlempar dalam benturan keras dengan pedang di tangan Bu-tiong-kiam itu tahu-tahu sudah disambar pemiliknya dengan sigap, berjungkir balik di udara mengejar senjata yang terlempar lalu menangkis begitu jago pedang ini menyusuli serangannya dengan satu sinar putih yang berkelebat memotong, bermaksud menggagalkan iblis Penagih Jiwa itu mendapatkan senjatanya!

"Trangg...!" dan kali ini pedang di tangan Bu-tiong-kiam patah! Pendekar itu terkejut, mencelat mundur namun tiba-tiba dibokong Mu Ba yang ada di belakang, menggerakkan tengkorak mautnya dengan pekik dahsyat. Dan sementara Kun Seng mencelos oleh bokongan ini mendadak Mayat Hidup melempar tujuh logam bergerigi ke arah tubuhnya dari atas ke bawah, disusul pula oleh belasan jarum hitam si nenek iblis Sin-yan Mo-li yang menyerangnya dari depan! Dan Kun Seng yang tak dapat mundur lagi oleh hujan serangan dari segala penjuru ini akhirnya membentak dan membanting tubuh.

Tapi tengkorak Mu Ba masih mengenai punggungnya. Kun Seng mengeluh ketika tengkorak itu meledak, menghamburkan puluhan pelor kecil yang sama sekali tidak diduganya berada di dalam senjata maut itu. Dan sementara dia terguling-guling dengan muka kesakitan tahu-tahu dua jarum si nenek iblis dan sebuah logam bergerigi Mayat Hidup tak dapat dihindarkan. Tiga senjata rahasia ini menancap, satu dipinggang kiri sedang dua yang lain amblas di bawah kulit pundak!

Maka jago pedang yang kesakitan oleh senjata-senjata gelap itu melengking. Dia mengeluarkan bentakan dahsyat, dan sementara tubuhnya bergulingan menjauhkan diri tiba-tiba tangannya menepuk sebuah batu di atas lubang, di mana waktu itu Siauw-cut terbelalak memandang semua kejadian ini. Dan batu yang menekan alat rahasia di bawah tanah dengan ujung bahan peledak itu tiba-tiba mengeluarkan suara menggelegar ketika mengguncang puncak bukit.

"Mayat Hidup, awas dinamit... blarr!"

Empat iblis itu terkejut. Mereka merasa guncangan yang amat dahsyat itu, guncangan bagai gunung meletus yang membuat tanah yang mereka pijak bagai dilanda gempa. Dan sementara mereka berteriak kaget tahu-tahu tubuh keempatnya sudah terlempar di udara bagai bola yang dilempar anak kecil.

"Bres! Bress...”

So-beng dan teman-temannya terbanting. Mereka menggelundung ke bawah bukit, puncak sudah terbelah mirip jurang yang menganga. Dan begitu keempatnya bergelindingan bagai batang pisang yang dilontar tangan raksasa merekapun sudah terbanting dan babak belur dengan muka pucat. Tapi empat orang ini memang manusia manusia luar biasa. Mereka tak pingsan oleh ledakan yang melempar mereka dari atas bukit itu, hal yang seharusnya sudah membuat seseorang tewas atau terluka berat! Dan So beng yang melompat bangun mendahului teman-temannya tiba-tiba tertegun.

Ternyata Bukit Pedang sudah tak berwujud lagi. Puncak bukit ini longsor, ditimbuni batu-batu besar yang runtuh ketika terlempar oleh ledakan itu. Dan So beng yang melihat lubang di mana Siauw cut tadi menyembunyikan diri sudah rata tertutup tanah dan batu akhirnya mengepal tinju dan menggigit bibir. Dari keadaan ini dapat dipastikan bahwa anak dan jago pedang itu terkubur di dalam lubang, tertimbun hidup-hidup oleh batu-batu besar yang menutupi lubang ini.

Dan bahwa Bu-tiong-kiam sudah terluka oleh senjata-senjata gelap milik teman-temannya maka mudah ditarik kesimpulan bahwa keselamatan jago pedang itu beserta anak lelaki yang ikut mendampinginya pasti tak dapat dipertahankan lagi. Tewas! Maka iblis Penagih Jiwa yang menghela napas dengan mata berkilat itu akhirnya pergi meninggalkan Bukit Pedang. Dia menyuruh Mayat Hidup dan teman-temannya datang ke istana, kalau mereka mau. Lalu pergi dengan muka penuh kecewa iblis inipun berkelebat lenyap.

* * * * * * * *

Sebenarnya, apa yang terjadi dengan pendekar pedang itu? Dan bagaimana Siauw-cut? Benarkah tewas seperti yang diduga Iblis Penagih Jiwa itu? Kalau So-beng tahu apa yang sesungguhnya terjadi mungkin pendekar ini benar-benar tewas seperti yang diperkirakan iblis Penagih Jiwa itu. Tapi bukan tewas oleh runtuhan batu-batu besar melainkan tewas dibunuh iblis ini karena Kun Seng masih hidup!

Seperti diceritakan di depan, sebelum pertempuran terjadi kakek ini lelah memberitahukan pada Siauw-cut agar mengambil kitab dan pedang di bawah tanah, melarikan diri lewat terowongan bawah tanah sementara dia melindungi anak itu melawan empat iblis yang datang mengganggu. Tapi karena Siauw-cut tidak mau dan Kun Seng terpaksa melayani empat orang musuhnya dengan pikiran kalut maka semuanya itu-pun terjadi bertentangan dengan kehendak pendekar pedang ini.

Lubang di mana Siauw-cut bersembunyi sesungguhnya merupakan lubang dari sebuah terowongan panjang, lubang di bawah tanah yang berliku-liku di perut Bukit Pedang. Lubang yang akhirnya menembus jalan keluar di bukit di mana Siauw-cut mula-mula bersembunyi, yakni di batu hitam di mana Mayat Hidup dan Mu Ba berkumpul untuk menanti kedatangan jago pedang itu.

Tapi karena tak ada yang tahu perihal semuanya ini maka rahasia itu hanya diketahui Kun Seng seorang. Entah bagaimana kakek itu bisa menemukan, mungkin waktu iseng-iseng menyelidiki bukit. Dan Kun Seng yang jatuh ke tempat ini setelah meledakkan puncak langsung saja menyambar Siauw-cut yang kaget ketika bunyi menggelegar meruntuhkan puncak, daerah itu langsung ambrol, tanahnya pecah, batu-batu berguguran setelah terlempar ke udara oleh ledakan yang dahsyat itu. Menutup lubang hingga mereka terkubur hidup-hidup. Tak dapat keluar!

Tapi Kun Seng yang sudah membanting diri bergulingan menjauhi mulut lubang akhirnya melompat bangun ketika berada di tempat yang luar biasa gelap, tanah datar yang sedikit becek dengan tangan mencengkeram Siauw-cut. Dan pendekar yang mengeluh dengan kaki menggigil ini tiba-tiba bicara, gemetar suaranya,

"Nyalakan api, Siauw-cut... ambil geretan di saku bajuku...!"

Siauw-cut tertegun. Dia harus meraba-raba pakaian pendekar itu. Tetapi mendapatkan apa yang dimaksud kakek ini diapun menyalakan sebatang lilin yang tersedia juga di saku pendekar itu. Lalu terbelalak memandang pendekar ini Siauw-cut bertanya, "Ke mana kita pergi, locianpwee?"

Pendekar itu menuding, "Ke kiri, Siauw-cut. Belok ke sana dua kali untuk mengambil dulu pedang dan kitab...!"

Kemudian, menggigit bibir dan tertatih-tatih menahan sakit pendekar ini mengajak Siauw-cut ke sebuah ruangan yang dingin. Di sini Siauw-cut tertegun. Kalau tidak ada penerangan di tangannya tentu dia tak tahu bahwa jalan itu berkelok-kelok, naik turun dan beberapa di antaranya ada tangga dari batu. Dan Kun Seng yang sudah berhenti di tempat ini tiba-tiba melepaskan cengkeramannya dari pundak anak itu, terhuyung ke tengah ruangan dan tiba-tiba roboh ketika menyentuh sebuah peti besi dan sebatang pedang yang tergeletak di atas tanah!

"Locianpwe...!" Siauw-cut terkejut. Dia langsung berteriak, melompat maju dan mengangkat bangun pendekar ini. Tapi begitu Kun Seng roboh dan dia melihat punggung pendekar ini yang penuh luka oleh puluhan pelor kecil yang berduri mengerikan tiba-tiba anak itu tertegun. Sekarang baru dia tahu bahwa temannya ini terluka. Luka yang amat mengerikan karena hampir sekujur punggung penuh oleh pelor-pelor berduri itu, pelor yang menancap bahkan ada yang amblas ke dalam daging! Dan Siauw-cut yang bengong oleh kejadian ini tiba-tiba saja tak mampu bicara. Tenggorokannya kering! Tapi keluhan Kun Seng mendadak menyadarkan anak ini.

"Siauw-cut, ambilkan obat di kantung bajuku... dekatkan kemari lilin itu...!"

Siauw cut menelan ludah. Tergesa-gesa dia memenuhi apa yang diminta pendekar itu. lalu bertanya dengan suara gemetar dia meraba punggung pendekar ini, “Locianpwe, apa yang harus kulakukan? Punggungmu penuh luka. Puluhan pelor berduri menancap di situ...!"

Jago pedang ini mendesis. "Biarkan dulu, Siauw-cut. Jangan dicabut! Aku minum obat dulu, tolong ambilkan air...!"

"Air?" Siauw-cut terkejut. "Di mana ada air di tempat ini, locianpwe?”

"Di sudut, di sebelah kananmu itu, Siauw-cut... di situ ada tempayan air dari sebuah guci kecil...!"

Siauw-cut girang. Dia melihat apa yang dikatakan kakek ini, maka melompat dan membawa guci itu dia sudah membantu pendekar ini meminumkan air, mendorong obat yang baru saja ditelan kakek itu. Dan Kun Seng yang tampak kehitaman mukanya tiba-tiba menepis tangan Siauw-cut yang hendak mencabut pelor-pelor berduri itu.

"Jangan. Bungkus dulu tanganmu dengan kain, Siauw-cut. Pelor-pelor itu beracun...!''

Siauw-cut terkejut. Dia merobek bajunya, melindungi diri seperti apa yang dikatakan kakek ini. Tapi Kun Seng yang bangkit duduk dengan susah payah tiba-tiba mengeluh dan terjerembab lagi ketika hendak membantu dirinya sendiri!

"Ah, tubuhku lemah, Siauw-cut... aku kehilangan tenaga...!"

Siauw-cut terbelalak. "Kalau begitu tak perlu duduk, locianpwe. Biar aku yang membantumu dari sini."

"Baik, tapi..." kakek ini batuk-batuk. "Penuhkah luka di punggungku itu, Siauw-cut? Berapa jumlah pelor yang menancap di situ?"

Siauw-cut bingung. "Jumlahnya banyak sekali, locianpwe. Aku tak dapat menghitung!"

"Kalau begitu cabut hati-hati, Siauw-cut. Letakkan di mukaku biar aku yang menghitungnya!"

Siauw-cut tertegun. Dia merasa tubuh pendekar ini panas sekali, tapi maklum dia harus melakukan tugasnya dengan baik maka anak ini menganngguk dan menggigit bibir. Dengan hati-hati namun cepat dia mulai mencabuti pelor-pelor berduri yang kecil itu, satu-persatu diletakkan di depan pendekar ini yang tengkurap sambil berkali-kali mendesis, menahan sakit. Dan setelah semuanya tercabut maka terhitung jumlah pelor itu yang banyaknya delapan puluh tujuh buah!

"Ah, Mu Ba benar-benar iblis yang luar biasa jahat, locianpwe. Dia harus dibunuh kalau ketemu lagi!"

Kun Seng tertawa, hambar suaranya. "Tapi yang melukaiku bukan hanya raksasa tinggi besar itu Siauw-cut. Mayat Hidup dan Sin-yau Mo-li juga memberiku tiga hadiah lain!"

Siauw-cut terkejut. "Di mana, locianpwe?"

"Di sini," Kun Seng menunjuk pinggang dan pundaknya. "Aku merasa nyeri di tiga tempat ini, Siauw-cut. Tapi ketiganya tak kalah ganas dengan delapanpuluh tujuh pelor berduri yang dilepas Mu Ba!"

Siauw-cut melihat warna kehijauan di pundak dan pinggang pendekar itu. Dan kaget bahwa pendekar itu masih mempunyai tiga luka yang tak diketahui olehnya maka tiba-tiba anak inipun berlutut dan mencabut logam yang menancap di pinggang kiri. Kun Seng mengeluh, melihat logam yang bergerigi itu. Tapi ketika Siauw-cut hendak mencabut jarum yang amblas di kulit pundaknya anak laki-laki ini tertegun.

"Hm, bagaimana mencabut jarum di daging pundakmu itu, locianpwe?"

"Tak dapat, Siauw-cut. Kecuali disedot!”

"Disedot?"

"Ya."

"Kalau begitu akan kulakukan, locianpwe. Kau bersandarlah dulu di sini!" Siauw-cut sudah mengangkat bangun pendekar ini, menyandarkannya di dinding ruangan tapi tiba-tiba ditolak pendekar itu.

"Tak usah... tak perlu kau lakukan ini, Siauw-cut. Itu terlalu berbahaya!"

''Bahaya apanya, locianpwe?"

Tapi pendekar ini tak menjawab. Dia sudah menggigit bibir dengan muka berkeringat, tampak menahan sakit yang luar biasa. Lalu memejamkan mata dengan tubuh gemetar tiba-tiba pendekar ini mengangkat lengannya. "Siauw cut, jangan ganggu aku. Aku akan bersamadhi mengobati lukaku dari dalam...!" dan bersandar dengan muka pucat pendekar itupun benar-benar mengheningkan ciptanya memusatkan konsentrasi untuk duduk bersamadhi.

Siauw cut tak dapat berbuat apa-apa. Dia kecewa oleh kebodohannya ini, tapi melihat pendekar itu mengobati dirinya dengan pengerahan sinkang iapun menarik napas dan duduk tak jauh dari pendekar itu. Sama sekali tak tertarik oleh kitab dan pedang yang menggeletak di dekat mereka. Dan Kun Seng yang memusatkan perhatiannya untuk mengobati luka-lukanya dari dalam akhirnya berobah menjadi patung hidup yang tak bergerak-gerak lagi.

Tapi jago pedang ini harus mengalami siksaan hebat. Dia dibakar oleh jarum beracun yang mengeram di pundaknya, jarum Sin yan Mo-li yang amblas di kulit daging. Dan pendekar yang sudah mencoba untuk mengempos semangat supaya jarum keluar atau naik di kulit pundaknya gagal setelah tiga jam dia bersamadhi tanpa berhasil!

Kun Seng mengeluh. Ada beberapa hal yang membuat kegagalannya ini. Pertama karena tenaganya lemah dan dia tak sanggup menjalankan pernapasannya secara wajar sedang yang lain adalah karena jarum itu tak segera dikeluarkan. Sebab kalau jarum dikeluarkan tentu dengan mudah dia dapat "membakar" sisa-sisa racun yang ada di tubuhnya, mengarahkan sinkang untukmengobati luka lukanya dari dalam. Tapi karena jarum tak segera dikeluarkan padahal racun dari jarum itu terus beredar di dalam tubuhnya maka tiga jam kemudian pendekar ini mengaduh ketika pundaknya kejang!

Kun Seng membuka mata. Wajah pendekar ini merah, lalu putih dan akhirnya berobah hijau. Tanda kegagalan dari sinkangnya yang tak dapat berjalan sempurna. Dan pendekar pedang yang batuk-batuk dan mendesis menahan sakit itu tiba-tiba memandang Siauw cut, gemetar dan menggigil seluruh tubuhnya. Diancam maut!

"Siauw-cut, dapatkah kau menolongku...?”

Siauw cut melompat bangun. "Apa yang harus kulakukan, locianpwe? Apa yang kau minta?"

Pendekar ini mengigit bibir. "Aku gagal, Siauw-cut... aku... aku tak dapat menolong diriku sendiri. Racun telah beredar memasuki darahku, aku akan tewas dalam beberapa jam lagi...!"

Siauw-cut terkejut bukan main. Dia terbelalak memandang pendekar ini, tak dapat mengeluarkan suara. Tapi Kun Seng yang batuk-batuk dengan suara serak tiba-tiba menggapaikan lengannya, lemah sekali. "Kau dapat melolongku, Siauw-cut...?"

Anak laki-laki ini terisak, ia tak dapat menahan haru melihat keadaan pendekar itu. maka menubruk dan berlutut di kaki orang Siauw-cut tiba-tiba menangis. "Locianpwe, apa yang kau minta? Apa yang harus kulakukan?"

Pendekar ini tersenyum, senyum pahit. "Kau tolonglah aku dalam satu hal, Siauw-cut. Yakni kau berikanlah pedang dan kitab di peti itu pada orang yang kau anggap tepat. Jadikanlah dia pewaris tunggal ilmuku. Kau berikan dua benda itu kepadanya dan suruh menyebut suhu di atas makamku kelak, di tempat ini...!"

Siauw cut tertampar. Dia terpukul hebat oleh permintaan pendekar pedang ini. Maklum bahwa diam-diam pendekar itu kecewa kepadanya. Tak mau diambil murid! Dan Siauw-cut yang tegak dengan muka pucat memandang pendekar ini tiba-tiba melihat pendekar itu roboh dan muntah darah!

"Siauw-cut, kau dapat memenuhi permintaanku, bukan?"

Siauw-cut mencucurkan air mata dengan deras. Permintaan orang yang kembali diulang pada saat dia roboh dan batuk-batuk membuat anak ini hancur perasaannya, remuk bagai dirajam pedang. Dan Siauw-cut yang mengangguk di depan laki-laki tua ini akhirnya tak tahan lagi untuk mengeluh dan menyebut suhu!

"Suhu, kau maafkan aku... aku yang akan mempelajari ilmu pedangmu... aku yang akan membalas sakit hatimu terhadap empat orang iblis itu...!"

Kun Seng tertegun. "Apa katamu, Siauw-cut?"

"Teecu yang akan membalas sakit hatimu, suhu. Teecu (murid) yang akan mempelajari ilmu silatmu dan menjadi pewaris tunggal!"

"Ah...!" Kun Seng terbelalak. "Kau tidak salah bicara, Siauw-cut? Telingaku tidak salah dengar...?"

"Tidak, teecu... teecu..." Siauw-cut mengguguk. "Teecu yang akan mewarisi semua kepandaianmu, suhu. Teecu yang akan membalas semua penderitaanmu ini kalau kau sudi mengangkatku sebagai murid...!"

Kun Seng mengeluh, bangkit duduk dengan susah payah. “Tapi kau telah menetapkan bu-beng Sian-su sebagai calon gurumu, Siauw-cut. Mana bisa kau merobah sikap?”

Siauw-cut tersedu-sadu. "Itu dulu, suhu. Bagaimanapun hari ini teecu telah merobah keputusan untuk mewarisi kepandaianmu yang agaknya tak kalah dengan kepandaian manusia dewa itu!"

Jago pedang ini tertegun. Dia agaknya tak menyangka jawaban anak itu, tapi tertawa bergelak tiba-tiba jago pedang ini melompat bangun dan berdiri dengan kaki terhuyung, menyambar kitab di dalam peti dan pedang yang tiba-tiba dilolos dari sarungnya! "Srit...!" pedang berkeredep menyilaukan mata. "Kau sungguh-sungguh bicara dengan hati yang tulus. Siauw cut? Kau tidak menipuku si tua bangka yang siap mampus ini?"

Siauw cut menjatuhkan diri berlutut. "Saat ini juga teecu bersumpah, suhu. Bahwa teecu bersedia menjadi muridmu kalau kau suka!" dan Siauw-cut yang sudah melakukan penghormatan di depan kaki suhunya tiba tiba membenturkan jidat delapan kali di kaki kakek itu, tanda dari kesungguhan hatinya yang tidak main-main.

Dan Kun Seng yang tertawa bergelak dengan muka berseri-seri mendadak mengayun pedang membacok pundaknya. "Baik, kalau begitu aku akan melawan maut, Siauw-cut. Aku akan mendidikmu biarpun harus kutebus lenganku sendiri... crak!" dan pedang yang sudah membuntungi lengan kanan pendekar pedang ini seketika disambut muncratnya darah segar yang keluar dari babatan pedang dipundak jago pedang itu, tepat di mana dua jarum beracun Sin-yan Mo-li mengeram! Dan Kun Seng yang roboh dengan luka mengucur deras akibat bacokan pedang ini seketika terjerembab dan berseru peudek, "Siauw cut, balut lukaku...!"

Dan pendekar itupun pingsan! Siauw-cut terbengong oleh kejadian ini, tapi sadar dan kaget oleh semuanya itu tiba-tiba anak inipun menjerit dan menubruk gurunya. Seketika dia menggerung-gerung, menangis dan meratapi nasib gurunya yang tidak dinyana itu. Tapi melihat darah mengalir dengan amat derasnya diapun merobek baju dan membalut pundak yang buntung itu, ngeri melihat betapa darah hitam mengalir membasahi lantai. Darah beracun yang keluar dari buntungan lengan itu! Dan Siauw cut yang akhirnya kehabisan air mata oleh semua kesedihan ini tiba-tiba melihat pendekar itu siuman kembali.

"Siauw-cut, kau telah membalut lukaku...?"

Anak laki laki ini menggigil. “Sudah, tetapi... tetapi kenapa kau lakukan itu suhu? Kenapa kau membuntungi lenganmu sendiri...?"

Jago pedang ini menyeringai. "Karena aku ingin hidup, Siauw-cut. Aku ingin mendidikmu setelah kau menyatakan diri mau menjadi muridku!"

"Tetapi kau bilang hidupmu tinggal beberapa jam lagi, suhu... kenapa harus membacok lengan sendiri sebelum ajal? Apakah... apakah ini berarti..." Siauw-cut berhenti, terbelalak matanya. "Kau lolos dari maut, suhu? Kau dapat menyelamatkan diri?"

Kun Seng mengangguk, dan begitu Siauw-cut melihat pendekar ini tersenyum padanya mendadak anak ini mengeluh dan menjerit girang. "Suhu, syukur pada Thian Yang Maha Kuasa. Semoga kau tidak menipuku...!" dan Siauw-cut yang sudah menangis di pangkuan gurunya ini mengguguk dengan penuh kegembiraan, terguncang-guncang bahunya tapi tak ada air mata lagi yang keluar. Habis!

Dan Kun Seng yang mengelus rambut anak ini dengan tangan kirinya yang utuh mendesis penuh haru, "Sudahlah, sesungguhnya asal jarum itu tak mengeram lagi keadaanku dapat diselamatkan, Siauw-cut. Tapi karena aku putus asa pada hidup, aku berpikir untuk lebih baik mati saja!"

Siauw-cut tertegun. "Kalau begitu aku tadi dapat menyedotnya, suhu. Kenapa tak kau perintahkan hal itu?"

"Hm, menyedot jarum berarti menyedot racun, Siauw-cut. Kau dapat tewas bila melakukan itu!"

"Jadi karena itu kau melarangku, suhu?"

"Ya."

"Ah...!" dan Siauw-cut yang bengong oleh cerita suhunya ini tiba-tiba terisak, menubruk suhunya itu penuh haru. "Suhu, kenapa tak kau katakan sejak semula? Bukankah aku siap berkorban untuk menolongmu? Kau berkali-kali memikirkan jiwaku, suhu. Bagaimanapun aku ingin membalas budi baikmu yang menggunung ini!"

"Hm, jadi kau rela mati dengan menyedot racun di pundakku itu?"

"Kalau kutahu itu satu-satunya cara, suhu!"

"Bodoh! Kalau begitu bukankah aku kehilangan murid yang selama ini kuidam-idamkan? Tidak, Siauw-cut. Aku tak mau kau melakukan itu. Lebih baik aku yang kehilangan nyawa daripada kau yang masih muda ini!"

Siauw-cut mengusap air matanya pada baju di pundak pendekar ini. "Suhu, aku tak mengira demikian besar perhatianmu kepadaku. Apakah sebabnya semuanya ini kaulakukan?"

"Hm, karena aku melihat kaulah satu-satunya harapan terakhir bagiku, Siauw-cut. Kaulah yang kuharap mengobati kekecewaanku selama tahun-tahun belakangan ini."

"Kenapa begitu, suhu?"

"Karena aku tak mempunyai siapa-siapa lagi, Siauw-cut. Aku tak mempunyai keluarga dan hidup sebatangkara seperti dirimu itu!"

"Suhu...“

"Ya, jangan potong dulu kalimatku ini, Siauw cut. Aku betul-betul bicara dari kepedihan hati yang nyata. Aku tak mempunyai keluarga. Aku tak memiliki sanak-saudara!"

"Ah, kalau begitu kau tak pernah kawin, suhu? Kau tidak mempunyai anak barang seorangpun?"

Pendekar ini tersenyum pahit, menghela napas dan tiba-tiba menitikkan dua butir air mata yang jatuh di lantai. "Siauw-cut, aku tentu saja mempunyai anak. Aku pernah berumah tangga. Tapi nasib buruk yang menimpaku pada tahun-tahun terakhir telah membuat kegoncangan jiwa yang hebat bagiku. Anakku tewas, dan rumah tangga kemudian yang kubangun kembali juga mengalami kegagalan total yang mengecewakan hatiku!"

"Ah, bagaimana mulanya, suhu? Berapa orang anakmu?"

"Aku hanya mempunyai seorang anak, Siauw-cut, anak tunggal laki-laki yang tak kusangka demikian pendek umurnya. Dia mati akibat ulah orang jahat, dan aku yang membangun sebuah rumah tangga baru dengan seorang wanita ternyata tak menghasilkan seorang keturunanpun untuk pengganti anak tunggalku itu!"

Siauw-cut tertegun. "Kalau begitu kau menikah untuk yang kedua kalinya, suhu?"

"Ya."

"Dan di mana isterimu itu sekarang?"

"Kutinggal di kampung halamannya, Siauw-cut. Aku kecewa dan meninggalkannya pergi begitu saja!"

"Ah...!" Siaow cut terbelalak. "Kenapa kau lakukan itu, suhu? Bukankah ia bakal merana?"

"Hm, kekecewaan demi kekecewaan telah menghimpitku sedemikian rupa, Siauw-cut. Aku tak perduli lagi ia merana atau tidak!"

"Tapi ia pasti akan mencarimu, suhu. Ia tentu seorang wanita gagah perkasa seperti dirimu ini!"

Kun Seng tiba-tiba tertawa, tertawa pahit. "Kau salah. Siauw-cut isteriku itu tak mungkin mencariku kalau bukan aku sendiri yang pulang. Ia tak berani pergi jauh. Ia bukan seorang wanita gagah seperti yang kau bayangkan tapi wanita dusun yang lemah dan tidak pandai silat!"

Anak ini bengong. "Kau tidak main-main, suhu?"

"Siapa main-main?" pendekar ini mengerutkan alis. "Aku sudah tak tahu harus berpikir bagaimana lagi, Siauw-cut. Aku terlampau kecewa dan tak dapat berpikir jernih lagi pada saat itu. Aku bingung. Karena itu kupilih saja gadis dusun itu untuk kunikahi.”

"Ah..." Siauw-cut tertegun. "Jadi kau mendapatkan seorang gadis, suhu? Kau kawin dengan wanita yang tak sebaya umurnya denganmu?"

Pendekar ini merah mukanya. "Terpaksa, Siauw-cut. Karena kebetulan dialah satu satunya wanita yang mencintai aku."

Anak ini melenggong. Dia mau bertanya lagi, sudah menggerakkan bibir namun urung ketika suhunya itu semburat mukanya dan tampak jengah, malu oleh pengakuan itu tadi. Tapi Kun Seng yang mengangkat muka dan tersenyum getir tiba-tiba sudah memeluk pundak anak ini.

"Siauw-cut, maukah bila kau kuangkat sebagai anak?”

Siauw-cut terkejut. "Apa, suhu?"

"Kita menjadi keluarga kecil, Siauw-cut. Aku sebagai ayah angkatmu dan kaupun sebagai anak angkatku!"

"Ah...!" Siauw-cut membelalakkan mata, terlampau kaget oleh pertanyaan yang tiba-tiba ini. Tapi terisak dan menundukkan muka dengan suara gemetar dia berbisik, "Suhu, apalagi yang hendak kau berikan padaku? Bukankah hubungan guru dan murid ini sudah mengangkat derajatku sedemikian rupa? Kau telah memberikan kepercayaan kepadaku, suhu, kebanggaan tersendiri sebagai murid dari seorang jago pedang...!"

"Tapi kita sama-sama sebatangkara, Siauw-cut. Kita sama-sama tak bersanak-kadang lagi di dunia ini."

"Tapi... tapi..."

"Hm, kau tak setuju, Siauw-cut? Kau keberatan? Kalau begitu sudahlah, aku juga tak memaksamu!" pendekar ini mengalihkan pandang, rupanya terpukul oleh keinginannya yang mungkin tak disetujui anak itu.

Tapi Siauw-cut yang sudah bangkit berdiri dengan muka pucat tiba-tiba menangis dan tersedu-sedu. "Suhu, teecu... teecu anak hubungan gelap dari seorang wanita dan pria yang tak bertanggung jawab. Mana mungkin menerima anugerah sebesar ini? Ah, tidak... jangan memukul teecu dengan permintaan yang seberat itu, suhu... teecu tidak sanggup...!"

Kun Seng terbelalak. Dia melihat anak laki-laki ini tiba-tiba menangis dengan suara demikian menyedihkan, mengguguk dan gemetar di bawah kakinya. Dan kaget bahwa untuk pertama kalinya muridnya itu bicara tentang rahasia dirinya mendadak pendekar ini bangkit duduk dan berdiri tegak. "Siauw-cut, kiranya sedemikian hebat kau menyimpan derita? Ah, tak perlu gelisah, anak baik. Tak perlu kau berduka lagi dengan segala kejadian yang menimpamu itu. Aku tak perduli kau anak hasil hubungan gelap atau terang. Aku tak perduli semuanya itu dan tidak merobah keinginanku bila kau suka menjadi anak angkatku!"

Siauw-cut terbelalak. "Kau tidak merasa hina dengan keputusanmu itu, suhu?"

"Apanya yang hina?"

"Tentang nasib teecu ini... kedudukan teecu sebagai anak haram jadah!"

"Ah, aku tak perduli haram jadah atau bukan, Siauw-cut. Yang penting aku tertarik dan suka kepadamu! Kau tak keberatan, bukan?"

Siauw-cut mengeluh. "Suhu..."

"Hm, tak perlu ragu-ragu, Siauw-cut. Aku sudah terbiasa menghadapi pukulan-pukulan hidup. Kau anggukkanlah kepalamu kalau kau setuju dan gelengkanlah kepalamu kalau kau tak suka!"

Siauw-cut akhirnya mengangguk. Dengan rintihan panjang seperti ayam dicabut bulunya, anak ini mengeluh, menubruk gurunya itu. Dan Kun Seng yang girang oleh anggukan anak ini tiba-tiba jatuh terduduk, dan tertawa bergelak.

"Ha-ha, kalau begitu namamu harus dirobah, Siauw cut. Kau pakailah nama keluarga Kun sejak saat ini!"

Siauw-cut tertegun.

"Kau tidak suka?"

Dia terkejut. "Tidak... tidak begitu, suhu. Itu semuanya terserah padamu!"

"Eh, kenapa masih menyebut suhu?" Kun Seng tertawa. "Kau harus menyebutku ayah, Siauw-cut. Dan karena hari ini resmi kita menjadi ayah dan anak angkat maka hari ini pula namamu adalah Kun Houw! Ya, namamu adalah Kun Houw, Siauw cut... Houw (harimau) dari keluarga Kun. ha-ha...!"

Kun Seng tertawa bergelak. Dia dilanda kegembiraan yang meluap-luap, memeluk dan mendekap anak itu ketat sekali di dadanya. Tapi ketika dia tersedak dan batuk-batuk mendadak pendekar ini jatuh tersungkur dan pingsan.

"Ayah...!" Siauw-cut atau yang kini berganti nama Kun Houw itu menjerit. Dengan seruan tartahan dia menolong ayahnya itu, ayah angkatyang baru saja "meresmikan" diri. Tapi Kun Seng yang sebentar saja siuman tidak membuka matanya, batuk-batuk dan tersenyum memandang anak laki-laki itu, anak angkatnya yang baru saja "diresmikan"!

"Kun Houw, apa yang terjadi pada diriku ini?"

Siauw-cut atau Kun Houw tertegun. "Apa yang kau rasakan, ayah? Kenapa kau tiba-tiba roboh...?"