PEDANG MEDALI NAGA
JILID 09
KARYA BATARA
JILID 09
KARYA BATARA
SIAUW-CUT mengangguk. Dia lalu menggurat tanah, menulis tujuh kalimat itu yang sudah dihapalnya di luar kepala. Sementara Kui Seng yang mengerutkan alis melihat tujuh baris syair di atas tanah segera membaca:
Berikan canang
pukullah bende
lekatkan benang
di atas mega
jadilah orang
hidup berguna
rautlah itu sepanjang masa!
"Ah, hanya ini, Siauw-cut?"
“Ya, hanya itu, locianpwe."
"Dan Sian-su tidak memberikan bayangan untuk memperoleh jawabannya?"
"Hm, ada juga, locianpwe. Tapi ancer-ancer yang diberikan kakek itu tidak jelas bagiku!"
"Bagaimana katanya?"
"Kita disuruh lari 'zig-zag', mengambil yang perlu dan membuang yang tidak perlu, lalu menghubungkannya satu sama lain!"
Kakek ini mengerutkan kening. "Begitu katanya?" dia berpikir keras. Tapi gagal menemukan jawaban tiba-tiba diapun menghela napas dan memandang anak ini. "Aku tak tahu apa yang dimaksud kakek itu, Siauw-cut. Barangkali Bu-tiong-kiam yang dapat menolongmu!"
Siauw-cut berseri. "Ya, mungkin jago pedang itu dapat menolongku, locianpwe. Tapi bagaimanapun juga kau jangan cepat menyerah. Masa baru beberapa kejap sudah bilang tak tahu?"
Kakek ini tertawa. "Otakku sudah tua, Siauw-cut. Barangkali menghadapi teka-teki begini aku tak sanggup lagi."
"Tapi jangan demikian cepat menarik kesimpulan, locianpwe. Bagaimanapun kau kuharap untuk mendapatkan jawaban syair ini."
"Sudahlah, kau tidak lapar?" kakek itu tiba-tiba membelokkan percakapan, memandang anak ini sambil tersenyum. Lalu melompat ke tepi sungai diapun tertawa riang. "Kalau lapar mari kita memancing. Siauw-cut. Kau ambil sebatang ranting dan bawa ke sini kepadaku!"
Siauw-cut tertegun. Dia menyeringai kepada kakek itu, mematahkan sebatang ranting lalu memberikannya pada si tua. Tapi melihat tak ada kail dan tali di situ diapun bertanya heran, "Apa yang hendak kaulakukan, locianpwe? Di sini tak ada mata pancing, juga talinya!"
"Hm, itu mudah, Siauw-cut. Aku dapat menangkap ikan tanpa mata pancing segala."
Siauw-cut terbelalak. Dia melihat kakek itu sudah menyambar rantingnya, tersenyum sambil melongok ke sana-sini, mencari di mana kira-kira ada ikan yang paling banyak. Lalu melompat di sebuah batu besar kakek itu tiba-tiba berieru, "Nah, di sini banyak ikan, Siauw-cut. Ada mujair dan gurami kuning...!"
Anak ini mendekat. Dia melongok, ikut mengamati. Tapi karena air sungai keruh dan pekat warnanya diapun heran. "Di mana ikannya, locianpwe? Mana itu gurami dan mujair?"
"Ha, kau tak memiliki mata yang awas, Siauw-cut. Aku melihat banyak sekali ikan di batu ini. Tujuh gurami kuning dan belasan mujair hilir-mudik menangkap kecebong!"
"Masa?"
Kakek itu tertawa. "Kau tak percaya?"
Lalu, mencelupkan ujung rantingnya ke dalam air kakek itu tiba-tiba menyontek dua kali. Ia menusuk cepat, memutar pergelangan tangan dan berseru perlahan. Lalu begitu dia menarik dan mengangkat rantingnya tahu-tahu "pancing" yang aneh ini telah menusuk tembus dua ekor gurami gemuk yang menggelepar-gelepar disate kakek ini!
"Nah, apa kubilang, Siauw-cut? Kau masih tidak percaya?" kakek itu tertawa gembira, melepas guraminya dan melempar ikan sebesar lengan ini ke tepi sungai. Lalu sementara Siauw-cut tertegun dan masih bengong memandangnya kakek itupun mencelupkan lagi pancingnya yang aneh.
"Aku akan menangkap semua ikan gurami itu, Siauw-cut. Kita makan besar dengan tujuh gurami gemuk!"
Siauw-cut tak mampu membuka mulut. Dia melihat kakek itu menusuk-nusukkan rantingnya, tertawa lebar sampai terkekeh. Lalu begitu dia menarik dan mengangkat pancingnya maka setiap kali itu pula dua ekor gurami kuning "disunduk" (disate). Akhirnya, setelah tiga kali berturut-turui dia mencelup dan mengangkat rantingnya maka tujuh ekor gurami gemuk benar-benar sudah dia lempar di atas tanah, calon santapan lezat yang sudah cukup untuk mereka berdua!
"Bagaimana, Siauw-cut? Kau masih kurang?"
Siauw-cut sadar. Dia sekarang tidak tertegun lagi, takjub memandang kakek ini. Tapi menggelengkan kepala dengan penuh kagum dia sudah melompat ke tepi dengan muka berseri-seri. "Tidak, ini sudah cukup, locianpwe. Kenyang rasanya mendapat ikan demikian gemuk dan besar-besar!"
Kakek itu terkekeh. Dia juga melompat ke tepi, mengeluarkan bungkusan kecil yang berisi bumbu dapur, garam merica dan rempah-rempah lainnya. Lalu membelek perut ikan dan mengeluarkan isi perutnya kakek itu sudah mamberi bumbu dan memboreh ikan ini dengan sedikit minyak, melemparkannya pada Siauw-cut. "Kau panggang ini, anak bodoh. Bakar di atas api unggun dan kita nikmati bersama!"
Siauw-cut gembira. Dia segera membuat api, membakar atau memanggang tujuh ekor gurami yang sudah diberi bumbu ini. Dan begitu asap menyala dan ikan sudah di atas api segeralah tercium bau yang sedap luar biasa. "Wah, perutku tiba-tiba berkeruyuk, locianpwe. Agaknya pandai benar kau memberi bumbu!"
"Heh-heh, itu pekerjaan rutin seorang perantau, Siauw-cut. Aku terbiasa memanggang ikan bila memancing begini."
"Tapi pancingmu tak ada mata kailnya, lo-cianpwe. Mengherankan benar bagaimana kau bisa melakukan itu!"
“Ha-ha, itu karena kebiasaan, Siauw-cut. Menggetarkan sinkang untuk membuat ikan-ikan itu tak dapat lari."
"Menggetarkan sinkang?"
"Ya."
"Bagaimana maksudnya?"
"Artinya kita membuat ikan-ikan itu tersedot sinkang kita, Siauw-cut. Lalu begitu mereka tak dapat lari kita tinggal menusuknya dari atas!"
Siauw-cut terbelalak. "Sedemikian mudah?"
"Apanya yang mudah? Kalau tidak mahir mainkan sinkang tentu saja kau tak dapat menangkap ikan-ikan ini, anak bodoh. Karena itu perdalam ilmumu itu dan tekunlah berlatih!"
"Hm." Siauw-cut mengangguk-angguk. Dia sekarang tak bicara, menyelesaikan pekerjaannya dan satu-persatu menurunkan ikan panggang di atas api. Lalu begitu semuanya selesai dan ikan panas mengepul di hadapan mereka segeralah kakek Kun menyambar seekor.
"Siauw-cut, ganyang yang itu. Habiskan semuanya dan biarkan yang tiga ekor ini untukku!"
Siauw-cut tersenyum. Dia mulai menyambar ikan panggang ini, menikmati rasanya yang sedap luar biasa dan gurih. Tak sungkan lagi pada kakek itu. Dan begitu mereka berlomba melalap hidangan ini akhirnya lima menit kemudian tujuh ekor gurami itu habis!
Kakek Kun tertawa, "Siauw-cut, kau rupanya gembul juga. Nafsu makanmu besar!"
Anak ini menyeringai. "Gara-gara bumbu dapurmu yang hebat, locianpwe. Ikan ini sedap sekali dimakan seperti itu."
"Dan kau ingin tambah lagi?"
"Wah, tidak berani, locianpwe. Perutku kenyang!”
Kakek ini terbahak. "Baik, kalau begitu kita berangkat lagi. Siauw-cut. Kita langsung ke barat menuju kota Wu-kian!"
"Ke tempat jago pedang itu, locianpwe?"
"Ha-ha, kenapa kau getol sekali menanyakan pendekar ini? Bukankah kubilang jangan tergesa-gesa?"
Siauw-cut menepis debu, merah mukanya. "Aku ingin menyelesaikan tugasku, lociaopwe. Karena itu aku ingin semuanya cepat selesai dan menemui kakek dewa itu!"
"Hm, berguru pada Bu-beng Sian-su?"
"Ya.”
"Tapi jangan lupakan ilmu silatku yang tiga jurus itu, Siauw-cut. Bagaimanapun itu penting untukmu buat menghajar orang jahat!"
"Aku tak akan melupakannya, locianpwe. Bagaimanapun akan kuingat ini sebagai budi baikmu!"
"Bagus, syukur jika begitu, Siauw-cut. Hayo kita berangkat."
Siauw-cut mengangguk. Dia sudah mengikuti kakek ini yang berjalan di depan, tampak gembira dan berseri mukanya. Sementara Siauw-cut yang ada di belakang membuntuti orang segera tersenyum geli melihat lenggang kakek itu yang sedikit "bergaya".
Malam itu mereka tiba di Wu-kian. Kota ini tidak begitu besar, namun rumah-rumah penduduk yang cukup padat di sepanjang jalan raya membuat kakek ini terpaksa mencari sebuah rumah penginapan, berhenti di depan dua buah losmen yang berseberangan.
"Mana yang akan kau pilih, Siauw-cut? Penginapan Yee-kiok itu atau Ang hwa?" demikian kakek ini bertanya pada temannya yang menjublak bingung, tak dapat segera menjawab karena dua rumah penginapan itu dilihatnya sama baik.
Tapi Siauw-cut yang akhirnya menuding ke kanan bicara, "Sebaiknya kita pilih yang itu saja, locianpwe. Tampaknya losmen Ang-hwa tak begitu banyak orang."
"Baik, mari kita masuk."
Kun Seng tak menolak. Dia segera menyambar lengan anak laki-laki ini, memasuki rumah penginapan itu. Dan mereka berdua yang segera disambut pelayan bermuka ramah akhirnya mendapat tawaran memilih kamar yang mana, kelas satu ataukah kelas dua. Namun belum kakek ini menjawab tiba-tiba seorang lelaki lain muncul, tamu baru agaknya. Karena begitu tamu itu muncul tiba-tiba dia berseru.
"Pelayan bodoh, mengapa mesti tanya-tanya lagi pada Kun-lo-enghiong? Berikan dia kamar kelas satu, biar aku yang membayar!" lalu begitu tertawa dan membungkuk di depan kakek ini laki-laki itu berkata, "Kun-lo-enghiong, kenalkan aku. Aku adalah Gin-ciam-siucai Hok Sun!"
Kun Seng terkejut. Dia terpaksa menbalas hormat orang, terbelalak. Tapi mengerutkan kening dia bertanya, "Saudara Hok Sun, siapakah sebetulnya kau? Bagaimana kau tahu aku?"
Laki-laki ini tersenyum. "Aku murid Phoa-lojin, lo-enghiong. Gin ciam-siucai yang dulu pernah ikut ramai-ramai di perkumpulan Gelang Berdarah!"
Kun Seng berobah mukanya. Dia tampak kaget, karena begitu membungkukkan tubuh mendadak kakek ini berseru, "Ah, kalau begitu kau salah lihat, orang muda. Aku bukan orang yang kau sangka...!" lalu, memutar tubuh dan menyambar lengan Siauw-cut tiba-tiba kakek ini sudah masuk ke dalam menuju kamar belakang, tempat di mana mereka memilih.
Dan Hok Sun yang berjuluk Gin-ciam-siucai (Mahasiswa Berjarum Perak) yang tampak melenggong itu membelalakkan mata. "Lo-enghioog..!"
Namun kakek ini sudah mengibaskan lengan. Dia tak mau bicara sepatahpun, menolak seruan orang. Dan begitu tiba di belakang penginapan mendadak kakek ini menjejakkan kakinya membawa Siauw-cut melayang keluar tembok! "Celaka, rumah penginapan ini tak aman. Siauw-cut. Laki-laki itu orang gila!"
Siauw-cut terkejut. Dia tentu saja heran dan kaget melihat dirinya dibawa terbang keluar tembok. Tapi begitu turun dan menginjakkan kaki di atas tanah tiba-tiba seorang kakek lain muncul.
"Kun-taihiap, kenapa kau melarikan diri?”
Kun Seng tertegun. Dia melihat seorang kakek sebaya dirinya terkekeh, memainkan sebuah alat permainan catur. Tapi melejit dan berseru perlahan tiba-tiba dia sudah menarik Siauw-cut ke arah selatan, melarikan diri. Dan begitu dia menjejakkan kakinya menjauhi kakek yang menegur di depan itu kakek ini mengomel. "Celaka, kenapa losmen ini dihuni orang-orang gila, Siauw-cut? Aku tak kenal dan tak tahu siapa mereka itu!"
Siauw-cut tentu saja tertegun. Dia tak mengerti siapa orang-orang itu, tapi melihat kakek ini seperti orang ketakutan, diapun tak puas, "Lo-cianpwe, kau aneh sekali. Kenapa melarikan diri dari kakek dan laki-laki muda itu? Siapa mereka?"
"Ah, jangan banyak omong dulu, Siauw-cut. Mereka orang-orang gila yaug bisa mengganggu kita!"
Siauw-cut tak mendapat jawaban lagi. Dia diajak berlari cepat, bahkan akhirnya disambar pinggangnya dan diajak berkelebat di antara rumah-rumah penduduk, menyelinap dan melompat-lompat di atas wuwungan. Lalu merasa sudah jauh dari dua orang kakek dan laki-laki muda itu kakek kini menurunkan Siauw-cut dan mengusap peluhnya.
"Nah, sekarang kita aman, Siauw-cut. Tapi rupanya harus tidur di kolong altar!"
Siauw-cut terbelalak. Mereka ternyata tiba di sebuah kelenteng tua, masih di tengah kota, keadaannya tak terurus dan jauh dari rumah penginapan Ang-hwa. Dan Siauw-cut yang sudah melompat turun dari gendongan kakek ini melanjutkan rasa tak puasnya.
"Locianpwe, kau terlalu sekali. Rupanya kau ketakutan dan kenal pada dua orang itu tadi! Kenapa kau merahasiakan ini?"
Kakek Kun tertegun. "Kenapa kau menuduhku begitu. Siauw-cut? Mereka itu orang-orang gila, aku khawatir kita diganggu dan tak dapat beristirahat dengan baik!"
"Kalau begitu kenapa tidak kau lawan?"
"Apanya yang dilawan? Menghadapi orang-orang gila itu? Wah, kau yang terlalu sekali, Siauw-cut. Aku terang tak mau bertanding dengan orang-orang gila!"
Siauw-cut cemberut. Dia melihat kakek itu tertawa, rupanya geli. Namun dua bayangan yang tiba-tiba berkelebat di depan kuil membuat kakek ini kaget dan menyambar Siauw-cut mengkerut di bawah kolong altar, seketika berobah mukanya. Dan begitu dua bayangan ini muncul dan tampak jelas ternyatalah bahwa mereka itu bukan lain adalah si Gin-ciam-siucai Hok Sun dan si kakek tua!
"Aneh, ke mana mereka, suhu?" Hok Sun si lelaki muda berseru, celingukan ke kanan kiri di depan kuil lalu tiba-tiba berteriak nyaring, "Kun-locianpwe, kenapa kau melarikan diri dari kami? Apa yang kau takuti?"
Namun Kun Seng tentu saja tak menjawab pertanyaan ini. Dia malah mengerutkan tubuh di kolong altar, menekan kepala Siauw-cut agar bertiarap sambil mendesis agar anak itu tak membuat suara. Lalu mendengar Hok Sun kembali berteriak nyaring kakek ini menahan napas.
"Keparat, orang-orang gila itu ternyata mengejar kita, Siauw-cut. Kau diamlah di sini jangan bergerak!"
Siauw-cut penasaran. Dia sebenarnya tak setuju pada sikap temannya, ingin berontak. Tapi baru dia membuat sedikit gerakan tiba-tiba Kun Seng telah menotoknya roboh!
"Setan, kenapa kau mau membuat gaduh, anak tolol? Yang tua itu sedang ke mari, jangan membantah perintahku!"
Siauw-cut mendongkol bukan main. Dia mendengar desis kakek itu, yang melotot padanya. Tapi maklum dia tak berdaya dan kakek Kun rupanya serius tiba-tiba dia melihat bayangan kakek yang disebut "suhu" oleh Gin-ciam-siucai Hok San berkelebat di dalam kelenteng. Kakek ini rupanya menyelidik, berputar-putar tapi akhirnya keluar lagi, tak menemukan sesuatu. Dan mereka berdua yang melihat semua kejadian itu di bawah kolong altar segera mendengar dua orang laki-laki itu menggerutu.
"Aneh, ke mana jago pedang itu bersembunyi, Hok Sun? Aku tadi melihatnya di sini, tak mungkin salah!"
Dan si laki-laki muda juga berkata, "Ya, dan aneh sekali dia pura-pura tak mengenalku, suhu. Agaknya jago pedang itu sedikit tak waras atau sengaja mengibuli kita. Atau dia bukan jago pedang itu, suhu?"
"Hm, mana mungkin? Aku mengenalnya cukup baik, Hok Sun. Dialah..."
Baru tiba pada kalimat ini mendadak Siauw-cut yang memasang telinga tiba-tiba berjengit. Dia kemasukan seekor semut, semut api yang menggigit telinganya demikian keras. Dan Siauw-cut yang kesakitan oleh gangguan semut ini akhirnya tak mendengar lanjutan omongan itu yang menyebut-nyebut nama Bu-tiong-kiam!
Tapi Hok Sun dan kakek tua itu akhirnya tak bicara lagi. Mereka meninggalkan kelenteng, bersungut-sungut dan mengomel panjang pendek. Dan kakek Kun yang membebaskan totokan Siauw-cut akhirnya melompat bangun dengan mulut menyeringai.
"Maaf. jangan marahi aku, Siauw-cut. Itu kulakukan karena terpaksa!"
Siauw-cut juga melompat bangun. "Tapi kau kelewatan, locianpwe. Kau membuat lututku terlipat, aku di atas lantai!"
"Heh-heh, maaf anak baik... maafkan aku yang tidak bermaksud menyakitimu. Sekarang tidak apa-apa lagi, bukan?" Kun Seng menepuk-nepuk pundak anak ini, menyabarkan Siauw-cut yang akan "meledak", meminta maaf dan bersikap halus sementara dua jarinya meremas seekor semut api yang tadi dtsentilkan ke telinga Siauw-cut!
Dan Siauw-cut yang akhirnya menyimpan kemendongkolan terpaksa menggigit bibir dan cemberutkan mulut. "Locianpwe, lain kali aku tak man begitu lagi. Kau tak perlu lari-lari menghadapi musuh!"
"Baik, tapi kalau menghadapi orang-orang gila aku tak mau melayani, Siauw-cut. Terus terang aku paling takut menghadapi orang orang macam begitu!"
"Apakah mereka tadi orang-orang gila?"
"Ya. Tidakkah kau dengar apa yang mereka bicarakan? Aku tak kenal siapa mereka, tapi mereka masih memburuku dan mengejar-ngejar sampai di sini!"
"Dan mereka bilang kau jago pedang, locianpwe. Apakah kau tidak menyembunyikan rahasia?"
"Wah, jago pedang apa, Siauw-cut? Kau tahu sendiri aku tak membawa-bawa pedang. Apa yang hendak kau perhatikan dari omongan orang-orang gila itu? Sudahlah, aku tak mengenal mereka, Siauw-cut. Mereka itu orang-orang gila yang harus kita hindari."
Tapi Siauw-cut terang tak percaya. Dia mulai meragukan keterangan kakek ini, karena ia melihat dua orang itu tindak-tanduknya bukan seperti orang gila. Tapi belum dia membantah tiba-tiba dia melihat patung di belakang altar bergerak-gerak.
"Eh, apa itu, locianpwe?" Siauw-cut kaget.
Kun Seng cepat menoleh. Dan melihat patung di belakang tubuhnya bergerak-gerak seakan hendak berjalan tiba-tiba kakek ini tertegun dan berobah mukanya. Mereka tiba-tiba mendengar suara aneh di dalam patung, seakan suara di balik kubur. Tapi Kun Seng yang melompat ke depan tiba-tiba berseru, "Ada orang terjepit di dalam Siauw-cut. Ada seseorang di dalam sini...!"
Siauw-cut terkejut. Dia juga melompat maju, mendekati patung ini. Dan begitu keduanya mendekati patung mendadak terdengar suara tinggi yang melengking marah memaki kakek itu.
"Tua bangka, berani kau memaki-maki ayah dan sukongku sebagai orang gila? Ah, awas kau... aku akan menghajarmu begitu keluar dari patung keparat ini!"
Kun Seng tertegun. "Lho, suara seorang gadis cilik, Siauw-cut. Bagaimana kita menjumpai hal demikian aneh?"
Siauw-cut juga terheran. "Ya, tampaknya seorang anak perempuan, locianpwe. Rupanya terjepit dan terperangkap di dalam patung itu!"
Kun Seng mengangguk. Dia tertawa, mengangkat patung dan tiba-tiba menggeser benda berat ini menjauhi meja altar, bermaksud membebaskan anak perempuan yang marah-marah di dalam patung itu agar diketahui siapa adanya. Tapi berseru keras dan kaget dia mendapat kenyataan bahwa patung itu tak dapat diangkat!
"Ah, patung ini melekat di dalam tanah, Siauw-cut. Rupanya menghunjam dan memiliki kerangka beton yang tak dapat dipindahkan!”
Siauw-cut terkejut. "Kalau begitu bagaimana anak perempuan di dalam bisa masuk, locianpwe? Bagaimana dia lewat?"
Tiba-tiba mata patung terbuka. Sepasang mata yang indah bening dari seorang gadis cilik muncul, bersinar tapi berapi-api. Tapi melihat Kun Seng berusaha memindahkan benda berat ini dan gagal tiba-tiba dia berseru, "Kakek bodoh, putar dulu meja altar itu ke kiri dua kali. Baru patung akan terbuka!"
Kun Seng melongo. "Kau tahu rahasianya?"
"Ya."
"Bagaimana kau tahu?"
Gadis di dalam mencak-mencak. "Kenapa cerewet amat, tua bangka? Bukankah kau ingin menolongku?”
Tapi Siauw-cut sudah mendahului kakek ini, dia memutar meja altar dua kali, tak mau banyak omong. Dan begitu meja diputar lalu digeser mendadak patung itu "terbelah" dan seorang gadis cantik melompat keluar, langsung menerjang kakek Kun!
"Tua bangka, kenapa kau memaki-maki ayah dan sukongku? Apa salah mereka kepadamu!"
Kun Seng terkejut. Dia tentu saja melompat ke sana ke sana kemari, menghindari serangan anak perempuan itu. Sementara mulutnya yang berkaok-kaok panjang lebar langsung berteriak dengan penuh keheranan, "Bocah liar, kau siapa dan kenapa membabi-buta menyerangku? Bukankah kami yang membebaskan kau dari dalam patung?"
Tapi gadis ini masih menerjang marah. "Aku tak perduli, kakek tua. Kau telah menghina dan memaki-maki ayah serta kakekku!"
"Lho, siapa kau ini?”
"Aku Hok Lian, puteri ayahku Gin-ciam-siucai Hok Sun itu!"
"Ah, kalau begitu kau cucu murid Phoa-lojin?"
"Benar!" dan si bocah yang terus melancarkan serangan bertubi-tubi ke kakek ini sudah melakukan pukulan dan tendangan. Ia tampaknya marah sekali, tak mau sudah.
Sementara kakek Kun yang terbelalak oleh pengakuan ini mendadak melompat ke belakang. “Siauw-cut, anak ini rupanya mabok. Kau jinakkan dulu biar aku pergi... !" dan Kun Seng yang tiba-tiba menangkis kaki kiri Hok Lian tahu-tahu melempar tubuh bergulingan dan, melarikan diri keluar kelenteng. Dia lenyap di depan, dan Hok Lian yang mengejar sudah memburunya.
"Kakek jahat, jangan lari kau. Kau telah menghina dan memaki-maki orang tuaku...!"
Siauw-cut membuntuti pula. Dia melihat kakek Kun tak nampak bayangannya lagi, sementara Hok Lian yang marah-marah di luar kelenteng cepat-cepat dihampirinya. "Nona, redakan dahulu kemarahanmu. Kakek itu bukan orang jahat!"
Hok Lian langsung membalikkan tubuh. “Kau membelanya, ya? Kau menutupi kesalahan temanmu itu?"
Siauw-cut menelan ludah. "Bukan begitu, nona. Tapi sesungguhnya Kun-locianpwe bukan orang jahat. Dia telah membebaskanmu, bukan?”
"Hm, bukan dia yang membebaskan aku, sahabat muda. Tapi kaulah yang membuka patung sialan itu!" lalu membanting kaki dengan muka uring-uringan gadis ini membungkukkan tubuhnya. "Sobat, terima kasih untuk pertolonganmu. Kau siapakah?"
Siauw-cut akhirnya tersenyum. Dia melihat gadis ini manis sekali, matanya bening dan indah. Maka menjawab sambil tertawa kecil dia memperkenalkan diri, "Aku Siauw-cut, nona. Orang tak berharga yang kebetulan saja datang ke tempat ini. Siapakah sebenarnya kau dan orang tuamu itu?"
Hok Lian terbelalak. "Siauw-cut (Kerucuk)..?" tapi tertawa geli tiba-tiba ia menuding. "Sobat, kenapa namamu demikian aneh? Siapa yang memberimu julukan ini?"
"Hm, aku menamakan diriku memang begitu, nona. Tak ada yang memberikan julukan ataupun nama kepadaku."
"Kalau begitu kau marah pada orang tuamu?"
"Tidak. Aku sebatangkara, nona. Aku tak tahu dan tak sempat memiliki orang tua."
"Jadi kau sendiri di dunia ini? Kalau begitu siapa kakek jahat itu?"
Siauw-cut tersenyum kecut. "Dia sahabat baruku, nona. Bukan orang jahat tapi orang baik-baik. Kenapa kau marah-marah kepadanya?"
"Huh!" Hok Lian membanting kaki. "Orang baik-baik apanya? Dia bukan orang baik-baik, Siauw-cut. Kalau orang baik-baik tentu tak akan memaki orang lain seperti yang dia lakukan!"
"Hm, mungkin terjadi salah paham di sini, nona. Betapapun ayah dan kakekmu itulah yang mendahului kami, mengejar-ngejar kami sampai di sini dan membuat kami merasa terganggu!"
"Apanya yang diganggu? Kenapa ayah dan kakek mengganggumu?"
Siauw-cut angkat bahu. "Aku tak tahu, nona. Temanku sendiri tak memberi tahu apa-apa kepadaku tentang ini!"
"Hm, kalau begitu kakek tua itu jelas orang jahat, Siauw-cut. Dan... kau mungkin juga begitu!"
Siauw-cut terkejut. "Kenapa begitu, nona? Bukankah kami tidak mengganggumu dalam hal apapun?" tapi, tersenyum kecut dan bersikap acuh anak laki-laki ini bertanya, "Nona, bagaimana kau bisa bersembunyi di dalam patung itu? Kenapa kau dapat masuk tak dapat keluar?"
Hok Lian membanting kaki. "Siapa bersembunyi di tempat pengap itu? Aku diculik seseorang, Siauw-cut. Aku dibawa ke mari dan dimasukkan ke dalam patung keparat itu!"
"Lho, bukankah kau bersama ayah dan kakekmu itu?"
"Ya, tapi aku memisahkan diri, Siauw-cut. Aku minta ijin pada ayah untuk berjalan-jalan di kota Wu-kian. Tapi seseorang menculikku dan membawaku ke mari!"
"Jadi ayahmu tidak tahu?"
"Ya."
"Ah, kalau begitu kau tadi dapat berteriak-teriak ketika ayahmu ke mari, nona. Kenapa tidak kaulakukan itu!"
"Bodoh, aku ditotok jahanam itu, Siauw-cut. Baru saja bebas setelah ayah dan kakek pergi!"
Siauw-cut melongo. "Siapa laki-laki yang menculikmu itu?"
"So-beng!"
"Hah?” Siauw-cut melompat mundur. "So-beng?”
"Ya, orang itu mengaku bernama So-beng, Siauw-cut. Dan aku berjanji untuk kelak membalas dan menangkap jahanam itu!"
Siauw-cut tertegun. Dia tak menyangka sama sekali bahwa So-beng tiba-tiba muncul di sini, menculik putri Gin-ciam-Siucai ini dan menyembunyikannya di dalam patung. Tapi heran gadis itu dapat mengetahui jalan keluarnya tiba-tiba dia bertanya, "Nona Hok, kalau begitu bagaimana kau bisa tahu bahwa cara membuka patung itu adalah melalui meja altar?"
"Hm, sebelumnya aku telah melihat setan itu membuka dan menutup patung ini, Siauw-cut. Karena itu aku tahu bagaimana cara keluarnya."
"Tapi kenapa kau diculiknya?"
"Mana aku tahu? Setan itu tak banyak bicara kepadaku, Siauw-cut. Dia tahu-tahu menotokku roboh dan membawa ke kelenteng ini ketika aku sedang berjalan-jalan di tengah kota!" Hok Lian mengepal tinju.
“Baik, kalau begitu di mana dia sekarang, nona? Kenapa kau ditinggalkannya seorang diri?"
"Aku tak tahu, Siauw-cut. Dia segera pergi begitu aku dikurunguya di patung ini!"
"Hm, kalau begitu dia tentu kembali, nona. Sebaiknya kau kembali saja pada orang tuamu dan pergilah!"
"Eh, kau mengusirku?"
Siauw-cut terkejut. Dia melihat mata gadis ini tiba-tiba berapi, marah kepadanya. Dan Siauw-cut yang menarik napas buru-buru mengangkat tangannya. “Tidak, tidak begitu, nona Hok. Aku tak mengusirmu melainkan semata-mata memberi nasihat kepadamu agar kau melepaskan diri dari penculikmu itu. So-beng amat lihai, juga berbahaya. Karena itu tak baik kalau kau nekat menghadapinya seorang diri!"
"Hm, kau menggurui aku, Siauw-cut? Kau mau menjadi pahlawan untuk menghadapi setan itu?"
Siauw-cut merah mukanya. Tapi belum dia menjawab tiba-tiba dua bayangan berkelebat memasuki kuil. "Lian ji, kau di situ?”
Hok Lian terpekik. Dia melihat ayah dan kakeknya muncul, maka berteriak gembira iapun menghambur maju dan melengking. "Ayah, aku diculik So-beng..!"
Dua orang laki-laki ini terkejut. Mereka girang melihat Hok Lian ada di situ, tapi melihat Siauw-cut ada di dekat anak perempuan ini segera Hok Sun tertegun. "Eh, bukankah ini anak yang bersama Kun-lo-enghiong itu, suhu?"
Kakek di sebelah kiri mengangguk. "Ya, tidak salah. Hok Sun. Tapi di mana jago pedang itu sendiri?” lalu melompat mendekati anak ini kakek itu bertanya. "Anak baik, di mana temanmu itu? Bagaimana kau ada di sini?"
Tapi Hok Lian mendahului, "Mereka sudah ada di sini sejak tadi, kek. Dua orang itu bersembunyi di kolong altar ketika kau datang!"
"Eh, bigaimana kau tahu?" Phoa-lojin terkejut.
Dan Hok Lian segera nerocos, "Aku ada di belakang mereka, kek. Aku terkurung di patung itu sementara mereka berdua tiarap!"
"Ah!" kakek dan laki-laki muda itu terbelalak. Tapi Gin-ciam-siucai yang rupanya heran mendengar cerita puterinya tiba-tiba memutar tubuh.
"Dan kau bagaimana bisa terkurung di dalam patung, Lian-ji? Apa yang sesungguhnya terjadi?"
"Aku diculik orang, ayah..."
"Ya-ya. aku tahu itu!" sang ayah memotong. "Karena itu segera kami berdua mencarimu, Lian-ji. Kami bertemu Kong Tong Lojin yang melihatmu diculik!"
Anak perempuan ini tertegun. "Jadi kau sudah tahu, ayah?"
"Ya."
"Dan kau tahu pula siapa penculikku itu?"
"Tidak. Kau bilang tadi bernama So-beng, benarkah?"
Hek Lian mengepal tinjunya. "Memang begitu, ayah. Aku tidak tahu siapa iblis itu kalau dia sendiri tidak memberitahukannya kepadaku!"
"Dan di mana dia sekarang?"
"Aku tak tahu, ayah. Tapi menurut anak ini katanya tentu kembali ke sini!"
Sekarang dua orang laki-laki itu tertarik perhatiannya pada Siauw-cut. "Kau siapa, anak baik? Murid si jago pedang itukah?"
Siauw-cut menggeleng. "Bukan, locianpwe. Aku seorang anak lola yang tidak mempunyai guru atau orang tua."
"Dan siapa namamu?"
"Dia Siauw-cut, ayah!" Hok Lian memotong, nyaring suaranya.
Dan Hok Sun yang terbelalak mendengar ini kontan heran dibuatnya, merasa aneh. "Kau bernama Siauw-cut, anak baik? Kenapa namamu demikian aneh?"
Tapi Siauw-cut mulai ogah-ogahan bicara. Dia sebenarnya sedang memikir ke mana kakek Kun pergi. Kenapa lama tak muncul dan membiarkan dia seorang diri di situ. Tapi mendapat pertanyaan laki-laki yang berwajah gagah ini mau tidak mau dia menjawab juga, "Ya, namaku Siauw-cut, paman. Tapi aku tak merasa aneh dengan namaku ini."
"Dan ke mana Kun-lo-enghiong yang bersamamu itu?"
Hok Lian melengking tinggi, "Dia melarikan diri, ayah. Dia tak muncul lagi sejak kuserang!"
"Eh, kau menyerang jago pedang itu?" Hok Sun terkejut.
Tapi sebelum dia mendapat jawaban tiba-tiba Siauw-cut yang merasa "gatal" hatinya sudah melangkah maju. "Paman Hok, siapakah yang kau maksud dengan jago pedang itu? Apakah kakek yang bersamaku tadi?"
Gin-ciam-siucai melongo "Lho, apa yang kautanya ini. Siauw-cut? Bukankah betul dia Kun Seng dari..."
Belum kata-kata ini dilanjutkan tiba-tiba terdengar suara tawa menyeramkan dari belakang kuil. Sebuah bayangan berkelebat, dan Hok Lian yang melihat bayangan itu mengenakan kedok merah tiba-tiba sudah menudingkan jarinya, menjerit,
"Dia So-beng, ayah...!" dan gadis cilik yang sudah melompat maju dengan pekik marahnya itu mendadak menerjang ke depan menyerang bayangan ini! "So-beng, kau penculik hina...!"
Hok Sun dan Phoa-lojin terkejut. Mereka melihat puteri mereka itu sudah menyerang ganas, tapi So-beng yang menggerakkan lengan kirinya menangkis tiba-tiba membuat Hok Lian menjerit dan terpelanting roboh. Lalu, tertawa mengejek dan menjejakkan kakinya sekonyong-konyong iblis itu melompati tembok belakang melarikan diri.
"Phoa-lojin, aku tak suka pada anak perempuanmu. Biar kali ini kukembalikan dulu!"
Kakek Phoa dan Hok Sun membentak. Mereka menolong Hok Lian yang terpelanting, lalu menotolkan kaki dengan ringan keduanya pun sudah mengejar laki-laki ini dengan seruan keras. "So-beng, jangan lari..!"
Namun laki-laki berkedok itu tertawa menyeramkan. Dia menyelinap ke sana ke mari, mempergunakan kegelapan malam untuk melarikan diri. Dan kakek Phoa serta muridnya yang mengejar di belakang dengan penuh rasa penasaran tiba-tiba mengerahkan ginkang mereka menyusul lawan.
"Hok Sun, potong jalan larinya. Kau hadang di sebelah kiri biar aku yang di sebelah kanan...!"
Siauw-cut terbelalak. Dia melihat dua orang laki-laki itu tiba-tiba memisahkan diri, menyimpang ke kiri dan ke kanan. Dan tiga orang yang segera kejar-kejaran di malam yang gelap itu tiba-tiba sudah lenyap dari pandangannya tak diketahui ke mana lagi. Tentu saja Siauw-cut tertegun. Tapi belum dia beranjak dari tempatnya berdiri mendadak kakek Kun muncul.
"Siauw-cut, celaka. Kita tak dapat tinggal lagi di kota ini...!"
Siauw-cut terkejut. "Apa yang terjadi, locianpwe? Dan, eh... kenapa mukamu coreng-moreng begitu?"
Kakek ini tersenyum kecut. "Bukan aku saja yang harus coreng-moreng. Siauw-cut. Kau juga harus mencoreng mukamu agar tidak menemui bahaya!"
Kemudian belum Siauw-cut mengerti apa yang dimaksud kakek ini mendadak Kun Seng sudah mencoreng-coreng mukanya dengan lumpur! Lalu menyeringai dan tergesa-gesa melangkah, kakek itu menarik lengan anak ini. "Siauw-cut, kita menyingkir. Gin-ciam-siucai dan gurunya itu bisa mengganggu kita...!"
Siauw-cut tertegun. "Kenapa, locianpwe? Apa yang terjadi?"
Tapi kakek ini sudah tak banyak bicara lagi. Dia membawa Siauw-cut lari cepat, meninggalkan kelenteng dan keluar lewat gerbang selatan di kota Wu kian. Lalu menyambar pinggang anak ini dengan kecepatan luar biasa tiba-tiba kakek itu sudah terbang menuju ke selatan! "Siauw-cut, kau diamlah. Bu-tiong-kiam dikejar-kejar orang dan kita harus menolongnya!"
Siauw-cut terbelalak. Dia hanya mendengar kalimat pendek itu, tak ada tambahan lagi. Dan Kun Seng yang sudah terbang dengan kecepatan penuh mengerahkan ginkangnya itu sudah tak dapat diajak bicara lagi karena angin mendesau melenyapkan suara mereka. Hingga akhirnya, setelah semalam suntuk mereka tak berhenti sekejappun tibalah mereka di sebuah bukit yang puncaknya menyerupai sebatang pedang. Di sini kakek itu menurunkan Siauw-cut, lalu mengusap peluh bermandi keringat kakek itu menuding ke depan.
"Kita tiba di Bukit Pedang. Siauw-cut. Tak ada waktu lagi untuk menjelaskan persoalan ini dengan panjang lebar!"
Siauw-cut tertegun. "Apa yang hendak kita lakukan, locianpwe? Kenapa kau membawaku ke mari?"
"Kita akan membantu Bu-tiong-kiam, Siauw-cut. Jago pedang itu dalam kesulitan!"
Siauw-cut terkejut. "Kesulitan apa, locianpwe?"
"Kesulitan memasuki Gua Naga!"
"Ah...!" Siauw cat terhenyak. "Kesulitan memasuki Gua Naga, locianpwe? Apa maksudmu?"
Tapi belum Kun Seng menjawab tiba-tiba dua bayangan berkelebat. Mereka itu adalah dua orang laki-laki aneh, yang satu tinggi kurus bagai tengkorak hidup sedang yang lain tinggi besar bagai raksasa buas yang matanya sebesar jengkol. Dan baru dua orang ini muncul di sebelah kanan tiba-tiba di sebelah kiri muncul pula seorang nenek berpakaian hitam yang bukan lain Sin-yan Mo-li adanya!
"Ah, itu Sin-yan Mo-li, locianpwe.” Siauw-cut terkejut.
Dan Kun Seng mengangguk, berobah mukanya. "Ya, dan yang dua itu adalah si Mayat Hidup dan temannya, Siauw-cut. Temu Ba si raksasa yang suka makan daging anak-anak..."
Siauw-cut tertegun. Dia terbelalak memandang tiga orang iblis yang muncul itu, mengitari Bukit Pedang. Dan si raksasa tinggi besar yang menggereng melihat Sin-yan Mo-li muncul bersama mendadak membentak dengan suaranya yang menggelegar. "Nenek iblis, kau juga ikut-ikutan ada di sini? Apa yang kau cari?"
Sin-yan Mo-li terkekeh. "Jangan tanya maksud orang lain. Mu Ba. Kau sendiri apa yang kau cari di sini? Aku mencari obat-obatan, kau pergilah jangan menggangguku!"
Si raksasa melompat maju. "Kau bohong, nenek iblis. Kau datang untuk menghadang si jago pedang!"
Nenek itu terkejut. "Kau sudah tahu?"
Tapi si lelaki kurus kering yang bukan lain Mayat Hidup adanya sudah batuk-batuk mendekati mereka. "Sin-yan Mo-li, sebaiknya kau menyingkir dulu. Kau tak berhak mengganggu jago pedang itu karena dia sahabat kami."
Sin-yan Mo-li terkekeh. "Apanya yang sahabat, Mayat Hidup? Kapan kau mengaku jago pedang itu sahabatmu?"
Si Mayat Hidup menyeringai, batuk-batuk. "Kami sudah menjadi sahabat sejak hari ini Mo-li. Kami datang untuk menyambut jago pedang itu yang akan datang ke mari."
"Hm, tak perlu berputar-putar, cecak kering," nenek itu mengejek. "Terus terang sajalah bahwa kau ingin mengikuti jago pedang itu ke Gua Naga!"
Si Mayat Hidup terbelalak, tapi akhirnya tertawa serak, batuk-batuk lagi. "Jadi kau sudah tahu hal ini, Mo-li? Kalau begitu kau juga ingin ke Gua Naga?"
Sin-yan Mo-li mendengus. "Bukan kalian saja yang kepingin ke gua itu. Mayat Hidup. Semua orang boleh menentukan pilihannya dan masing-masing berhak mengikuti jago pedang itu."
Temu Ba yang bicara blak-blakan membentak, “Jadi kau juga mengincar Pedang Naga. Mo-li? Kau ingin menyaingi kami merebut pedang itu?"
"Heh-heh, jangan galak-galak, Mu Ba. Aku tak berniat merebut pedang, tapi sekedar membantu pendekar pedang itu bila dia terancam!"
Si Mayat Hidup tertawa mengejek. "Mo-li, jangan memutar omongan. Kau hendak merebut secara halus, bukan? Kau berdalih saja membantu pendekar itu, nenek iblis. Tapi sesungguhnya kutahu kau akan membunuh jago pedang itu begitu Pedang Naga berhasil kau peroleh!"
Sin-yan Mo-li menyeringai. "Mayat Hidup, otakmu encer. Kalau begitu apa yang hendak kau lakukan?"
Iblis kurus ini mengerotokkan jari-jarinya. "Kau tak boleh coba-coba menyaingi kami, Mo-li. Sebagai sesama golongan ku nasihati baik-baik pergilah kau dari tempat ini sebelum kami marah. Jago pedang itu bagian kami, bukan bagianmu!"
"Hm, kau mengancam, Mayat Hidup?"
Iblis ini batuk-batuk. "Kalau kau mengerti sebaiknya kau pergi. Mo-li. Jangan tunda, semuanya ini demi kebaikanmu sendiri."
"Bagus, kalau begitu coba kulihat kemarahanmu, Mayat Hidup. Aku akan pergi kalau kau dapat mengalahkan cambukku ... tarr-tarr!" dan Sin-yan Mo-li yang tiba-tiba sudah menjeletarkan cambuk berdurinya di atas kepala tiba-tiba melompat mundur bersiap-siap.
Mayat Hidup terbelalak. "Kau menantang?"
Nenek ini menjengek. "Kalau kau mengusirku, Mayat Hidup!”
Maka Mayat Hidup yang tak dapat menahan kemarahannya lagi, tiba-tiba berkelebat maju dengan bentakan lirihnya. "Sin-yan Mo-li, kau mencari penyakit...!" dan iblis kurus yang sudah menyerang lawannya ini mengepret kelima jari ke pelipis nenek itu.
Tapi Sin-yan Mo-li terang tak mau diam. Ia menyambut tamparan Mayat Hidup itu, tertawa dingin. Dan begitu cambuk meledak di udara ia pun sudah menangkis serangan lawannya itu. "Mayat Hidup, jangan sombong kau... prat!" dan cambuk, serta jari yang bertemu di udara dengan ledakan nyaring tiba-tiba sama terpental dan mengejutkan masing-masing pihak. Keduanya terdorong mundur, sama terbelalak.
Tapi Mayat Hidup yang mendengus dingin sudah maju lagi melanjutkan serangannya. Dia tak banyak bicara, dan dua orang iblis yang sudah saling serang dengan sama cepat itu tiba-tiba sudah sama membentak dan melancarkan pukulan. Mayat Hidup dengan kepretan dan tamparannya yang bertubi-tubi sedangkan Sin-yan Mo-li dengan ledakan cambuknya yang menangkis serta mematuk dari segala penjuru, menjeletar-jeletar bagai suara petir yang menyambar. Dan begitu dua orang ini bergebrak saling serang maka keduanyapun lenyap dalam belitan sinar hitam yang mengurung mereka, belitan sinar hitam dari ujung cambuk Sin-yan Mo-li yang meledak-ledak!
Siauw-cut tertegun. Dia sudah melihat ilmu cambuk yang dimainkan nenek iblis itu ketika bertanding melawan si Naga Bongkok. Tapi melihat si Mayat Hidup dapat menangkis dan menggerakkan kesepuluh jarinya yang berkerotok dan bertubi-tubi menusuk serta mengepret tubuh Sin-yao Mo-li diapun terkejut dan kagum juga.
"Wah, iblis kurus itu hebat juga, locianpwe. Agaknya dia setanding dengan nenek iblis Sin-yan Mo-li itu!"
Kun Seng mengerutkan kening. "Memang keduanya sama hebat, Siauw-cut. Tapi yang tak kumengerti adalah bagaimana iblis-iblis itu tahu tentang rencana kedatangan si jago pedang!"
Siauw-cut terbelalak. "Ya, dan ada apa dengan Gua Naga, locianpwe? Apa pula nama pedang yang mereka sebut-sebut tadi?''
"Hm, Bu-tiong-kiam hendak mencari Pedang Naga di gua itu. Siauw-cut. Dia diperintah Bu-beng Sian-su untuk mendapatkan pedang ini!"
"Ah, begitukah?" Siauw-cut heran. "Dari mana kau tahu, locianpwe?"
Tapi kakek ini tiba-tiba memutar bola matanya. "Siauw-cut, kau tunggu di sini. Aku akan menyelidiki ke sekeliling bukit untuk mengetahui keadaannya!"
Siauw-cut terkejut. "Tapi tiga iblis itu ada di sana, locianpwe! Bagaimana kau hendak keluar?"
"Hm, serahkan hal ini kepadaku, Siauw-cut. Aku dapat mengecoh mereka dan kita segera ke Gua Naga!" Lalu bangkit berdiri dan mencengkeram lengan Siauw-cut kakek ini memandang anak itu. "Siauw-cut, kau dapat membantuku sedikit?"
Siauw-cut tergetar, kaget melihat sinar mata kakek itu yang tiba-tiba mencorong menakutkan. Sikapnya keren dan berwibawa sekali, belum pernah dia saksikan. Tapi mengangguk dengan mata penuh tanda tanya anak ini mendesis, "Tentu saja, locianpwe. Apa yang harus kulakukan?"
"Kau segera menghampiri batu hitam di sebelah kiri itu, Siauw-cut. Menyelinap dan bersembunyilah di sana begitu tiga orang iblis itu kutarik perhatiannya ke punggung bukit!"
Siauw-cut tertegun. "Menghampiri batu hitam itu, locianpwe?"
"Ya, dan kau tarik sebuah batu kecil yang ada di samping batu itu, Siauw-cut. Kau akan mendapatkan sebuah gua dangkal untuk tempat persembunyianmu!"
Siauw-cut mengangguk. Dia menelan keheranannya bagaimana kakek itu tahu tentang keadaan batu hitam itu, tapi belum dia bertanya tahu-tahu kakek itu telah berkelebat lenyap. "Siauw-cut, perhatikan baik-baik omonganku. Jangan menunda waktu begitu mereka kutarik perhatiannya ke punggung bukit!"
Siauw-cut tak sempat bertanya lagi. Dia melihat kakek itu sudah menuju Bukit Pedang, meluncur bagai setan terbang. Dan begitu bayangan kakek ini merupakan titik kecil di kejauhan sana tiba-tiba dia sudah mendaki bukit di sebelah kiri pertempuran, di mana waktu itu Mayat Hidup dan Sin-yan Mo-li terlibat pertandingan sengit, tak melihat bayangan kakek ini yang mendaki puncak. Tapi Mu Ba yang melihat bayangan kakek itu tiba-tiba berteriak,
"Hei, ada orang ke puncak bukit...!"
Mayat Hidup dan Sio-yan Mo-li terkejut. Mereka otomatis menghentikan pertempuran, menoleh ke kiri di mana Mu Ba terbelalak. Tapi begitu sadar dan kaget melihat seorang asing muncul mendaki bukit mendadak tiga orang itu berseru keras dan mengejar. Mu Ba paling dulu membentak. Raksasa tinggi besar itu sudah menjejakkan kakinya, berteriak dan menggereng bagai singa lapar. Lalu tubuhnya yang berkelebat mendaki bukit sudah terbang mendahului dua orang rekannya.
"Keparat iblis, berhenti kau...!"
Tapi Kun Seng terang tak mau berhenti. Dia terus mengerahkan ginkangnya, berlari cepat ke atas bukit. Lalu hampir tiba di puncak tiba-tiba dia berjungkir balik dan turun kembali lewat punggung di sebelah sana! Tentu saja tiga orang lawannya heran, tapi Mayat Hidup yang sudah menyusul temannya berseru,
"Mu Ba, hadang dia ke kiri. Aku ke kanan...!"
Raksasa ini mengangguk. Bersama gerengannya dia sudah meluncur ke kiri, mengikuti siasat temannya. Sementara si nenek iblis yang ada di belakang Mayat Hidup tiba-tiba membalik dan memotong di pinggang bukit. Maka seketika Kun Seng dipapak tiga orang lawannya dengan serentak, dan begitu bertemu di balik bukit dari arah berlawanan sekonyong-konyong tiga orang itu menyerang.
"Manusia hina, berhenti kau...!"
Kun Seng tersenyum mengejek. Dia melihat Mu Ba menghantam dadanya, mendorong dengan kedua lengan dahsyat ke depan. Tapi kakek yang tak dikenal karena mencoreng mukanya ini sudah menangkis dan menggeliatkan pinggangnya, tak membuka suara.
"Plak!" dan Mu Ba yang menjerit tertahan oleh tangkisan itu tiba-tiba terdorong selangkah dengan muka kaget. Tapi Mayat Hidup yang ada di sebelah kanan sudah menampar dan mengapretkan jarinya, menghantam leher kakek ini. Sementara Mo-li yang sudah berkelebat di belakang Kun Seng juga meledakkan cambuk menyerang pundak kakek itu.
Namun Kun Seng benar-benar lihai. Dengan kelitan ringan dia sudah menghindar tamparan si Mayat Hidup yang mencicit di sisi lehernya itu, lalu begitu jari lawan lewat di atas kepalanya mendadak dia mendorong siku Mayat Hidup, ganti menerima serangan cambuk Sin-yan Mo li. Tak ayal, kepretan jari iblis ini bertemu cambuk di tangan Sin-yan Mo-li, dan begitu ledakan memecah di tengah udara kontan Mayat Hidup menyumpah serapah, memaki nenek itu yang dikata goblok. Sementara Kun Seng yang tertawa geli oleh bentrokan di antara dua iblis itu sendiri sudah berjungkir balik dan turun kembali ke bawah bukit!
"Mayat Hidup, kalian tak dapat menangkap aku!"
Tiga iblis itu membentak. Mereka merasa terkecoh, juga terkejut. Karena lawan yang dapat lolos dari kepungan mereka padahal mereka susul-menyusul melakukan serangan sungguh membuat mereka terbeliak dan kagum bukan main. Maklum bahwa lawan yang mereka hadapi adalah seorang yang benar-benar lihai. Maka Mu Ba dan teman-temannya yang segera mengejar sambil memaki-maki sudah memburu lawannya ini dengan penuh kemarahan.
Tapi Kun Seng tak berniat menghadapi pertempuran. Dia sekedar menarik perhatian tiga iblis itu agar meninggalkan tempat semula, memberi kesempatan pada Siauw-cut untuk melaksanakan perintahnya berlari ke batu hitam, bersembunyi di situ. Maka melihat Siauw-cut tak ada lagi di tempat persembunyian semula tiba-tiba kakek ini tertawa dan berjungkir balik dengan cepat. Dia melayang ke atas pohon, melompat tiga empat kali dari dahan ke dahan. Lalu melayang turun mendekati sebuah batu karang tiba-tiba kakek ini lenyap memasuki sebuah celah yang mirip sebuah gua kecil!
"Mayat Hidup, dia lenyap di situ...!"
Mu Ba dan teman temannya sudah datang menyusul. Mereka melompat tergesa-gera, memandang ke tampat di mana Mu Ba berteriak. Tapi melihat sekeliling tempat itu penuh batu karang merekapun menjadi bingung.
"Ke mana dia lari, Mu Ba?"
"Ke daerah ini. Tentu bersembunyi di batu baru karang itu!"
"Kalau begitu kita kepung, Mu Ba. Kita berpencar ke tiga jurusan mencari jahanam itu...!"
Namun Sin-yan Mo-li mendengus. Dia tak beranjak ketika dua orang rekannya memisahkan diri, mencari lawan yang lenyap tak meninggalkan jejak. Karena nenek iblis yang sudah melompat di atas sebuah batu karang paling tinggi yang ada di tempat itu sudah memutar matanya ke sekeliling, tak mau bersusah payah seperti dua orang temannya. Dan Mayat Hidup yang melihat sikap nenek ini tentu saja mendongkol dan marah.
Tapi tiga orang itu sama tak berhasil. Mereka tak menemukan jejak lawan yang menghilang, kecewa dan mengumpat tak keruan dengan kata-kata kotor. Dan Mayat Hidup yang marah dengan semuanya ini tiba-tiba melompat dan menumpahkan semua kemarahannya kepada Sia-yan Mo-li.
"Nenek celaka, siapa orang itu tadi?"
"Hm, mana aku tahu. Mayat Hidup? Bukankah kita sama-sama tak tahu siapa laki-laki itu?"
"Tapi kau tak mau mengejar, Mo-li. Kau enak-enak memeriksa di atas batu karang sementara kami berdua mencarinya. Jangan-jangan dia temanmu!"
Sin-yan Mo-li marah. "Mayat Hidup, jangan menuduh sembarangan. Aku datang seorang diri ke tempat ini!"
"Kalau begitu kenapa kau tidak bantu mencari seperti kami?"
"Karena aku tak mau kau perintah!"
Mayat Hidup tertawa mengejek. "Sin-yan Mo-li, apapun alasannya sekarang aku mulai curiga. Aku yakin kini bahwa kau bohong dan laki-laki tadi adalah temanmu!"
Nenek ini meledakkan cambuk. "Kalau dia temanku tentu tak mungkin kuserang. Mayat Hidup. Kau mengeluarkan kentut busuk yang tidak ada harganya!"'
"Crit...!" Mayat Hidup tiba-tiba menyerang, menusukkan jari telunjuknya ke dada nenek itu. Lalu mendengus dan tersenyum mengejek iblis ini sudah membentak. "Kau yang mengeluarkan kentut busuk, nenek setan. Kau yang tak dapat dipercaya!"
Sin-yan Mo-li memekik. Ia marah diserang iblis kurus ini, hampir saja terkena kalau tidak mengelak. Maka meledakkan cambuk dan turun dari atas batu karang nenek ini sudah membentak dan bertubi-tubi melancarkan serangan, ia menangkis dan membalas, bahkan kakinya ikut pula bekerja dengan tendangan dari bawah. Dan begitu dua orang itu bergebrak maka pertempuran kembali terjadi antara dua orang tokoh hitam ini. Mereka sama-sama marah, tak mau sudah. Dan Mu Ba yang bingung oleh pertandingan itu tiba-tiba menggereng dan meluruk maju, membantu Majat Hidup.
"Nenek iblis, temanku rupanya benar. Kau membawa teman ke sini...!"
Sin-yan Mo li kaget. Ia terkesiap melihat tangan Mu Ba menghantam pundaknya, mengeluarkan deru angin hebat. Tapi melengking tinggi dan menjeletarkan cambuk, tiba-tiba nenek ini menyabet dan menundukkan kepalanya menghindar tusukan jari si Mayat Hidup yang hampir berbareng menyerang dirinya.
"Plak-dess...!"
Sin-yan Mo li menjerit. Ia terhuyung oleh pukulan si raksasa, tapi Mayat Hidup yang mengeluh dan membentak karena jarinya bertemu gagang cambuk yang dipukulkan lawan dengan amat tiba-tiba dari bawah ke atas hingga serangannya luput sudah mengepretkan jari dan menampar kepala renek itu, bertubi-tubi. Dan Sin-yan Mo-li yang didesak oleh dua orang lawan yang sama-sama marah kepadanya ini tiba-tiba mengerahkan ginkang memutar cambuknya, berkelebatan melayani serangan musuh yang gencar.
Tapi nenek iblis yang dikeroyok dua oleh lawan yang sebenarnya setingkat kepandaiannya dengan dirinya itu akhirnya mengeluh juga. Ia harus mengakui bahwa terlalu berat baginya menghadapi Mayat Hidup dan si raksasa sekaligus, dua orang lawan yang ilmu kesaktiannya seimbang. Maka begitu lawan mendesak dan terus mendesak serta melancarkan pukulan-pukulan berat, akhirnya nenek ini tak dapat membalas kecuali menangkis. Hingga akhirnya, ketika pukulan si raksasa menyelonong dan mengenai pundaknya Sin-yan Mo-lipun menjerit dan terpelanting roboh.
"Plak...” Sin-yan Mo-li terguling-guling, ia melompat bangun, menjeletarkan cambuk dengan penuh kemarahan. Tapi ketika Mu Ba dan Mayat Hidup mengejarnya dan menyerang dengan pukulan berikut iapun memekik dan berjungkir balik, melarikan diri. "Mayat Hidup, raksasa bodoh, aku tak mau main-main lagi. Kalian curang dan busuk...!"
Mu Ba dan Mayat Hidup membentak. Mereka terlanjur marah pada nenek ini, maka melihat lawan melarikan diri merekapun tak mau membiarkan Sin-yan Mo-li kabur. "Nenek iblis, kau serahkan dulu kepalamu di sini. Baru kami mau sudah...!"
Tapi nenek itu melesat jauh. Ia berjumpalitan di udara, mempercepat larinya dan tancap gas meninggalkan dua orang lawannya. Dan begitu keluar dari daerah batu karang ini segera nenek itu lenyap memasuki hutan. Mu Ba dan Mayat Hidup mengumpat-umpat.
"Setan, kita terkecoh. Mayat Hidup...!"
"Ya, dan rapanya nenek iblis itu menyembunyikan teman. Mu Ba. Kita harus cari dan mengusir mereka!"
Tapi baru mereka memutar tubuh tiba-tiba keduanya tertegun. "Hei, siapa itu?" Mayat Hidup terbelalak kedepan, melihat seorang anak tiba-tiba muncul dari sebuah batu hitam, anak yang bukan lain adalah Siauw-cut! Dan Mu Ba yang sudah melompat duluan sambil menggereng sekonyong-konyong membentak.
"Bocah, siapa kau?"
Siauw-cut tertawa mengejek. Dia tak memperdulikan bentakan si raksasa tinggi besar itu, lari mendaki puncak dengan cara melompat-lompat dari batu ke batu, mengejutkan dua orang iblis ini yang terheran serta kaget bagaimana anak itu tiba-tiba muncul. Tak diketahui datangnya! Tapi Mu Ba yang sudah mengejar dengan lompatannya yang panjang tahu-tahu sudah berada di belakang anak ini.
"Bocah, siapa kau?"
Tapi Siauw-cut tetap tak menjawab. Dia terus melompat-lompat dari batu ke batu lainnya, berusaha mendaki puncak sambil tertawa mengejek. Tapi ketika jari Mu Ba terulur ke depan dan mencengkeram pundaknya tahu-tahu anak ini terangkat naik bagai seekor kelinci disambar elang!
"Keparat, kau tak dapat menjawab, tikus cilik?"
Siauw-cut terkejut. Dia langsung menendang, mempergunakan tumit kakinya yang diputar ke belakang. Tapi Mu Ba yang marah dan melempar korbannya tahu-tahu membanting anak itu hingga membentur batu hitam di dekat mereka. "Brukk...!" Siauw-cut mengeluh. Untuk pertama kalinya dia melotot, merasa kesakitan tapi tidak mengaduh. Dan bocah yang cepat melompat bangun dengan tinju terkepal ini melihat Mayat Hidup sudah berdiri pula di samping si raksasa tinggi besar!
"Kau siapa, anak setan? Bagaimana tiba-tiba muncul di balik batu hitam itu?”
Siauw-cut mendengar bentakan Mu Ba, raksasa yang mendelik dan tak mengejapkan mata itu. Tapi Siauw-cut yang mengepalkan tinju dengan sikap marah ini justeru membalas bentakan lawan. "Kau tak perlu tahu siapa aku, Mu Ba. Tapi kuberitahukan di sini bahwa sebaiknya kalian pergi dan jangan menggangguku!"
Mu Ba tentu saja gusar. Dia sudah mengulurkan lengannya, mencengkeram baja anak ini. Dan Siauw-cut yang sia-sia mengelak tak dapat menghindar ketika leher bajunya diangkat dan berhadapan muka dengan wajah si raksasa yang kasar hitam! "Apa kau bilang, anak setan? Kau mengusirku? Dan kau tahu pula namaku?"
Siauw-cut meronta. Dia merasa tercekik, leher bajunya menjerat jalan pernapasan karena raksasa tinggi besar itu mencengkeram kuat. Dan Siauw-cut yang tak dapat menjawab selain ah-ah-uh uh bagai orang gagu tiba-tiba ditolong Mayat Hidup yang berseru pada temannya,
"Mu Ba, jangan biarkan dia tercekik. Anak itu tak dapat bicara...!"
Mu Ba mendengus. Dia melepas cengkeramannya, tapi begitu Siauw-cut melorot turun tahu-tahu jarinya ganti menyambar rambut Siauw-cut dan menggantung anak itu dengan jambakan yang kokoh, membuat Siauw-cut mendesis karena kulit kepalanya seakan terkelupas! "Nah, kau bicaralah sekarang, anak setan. Kenapa kau mengusirku dan bagaimana bisa berada di tempat ini!"
Tapi Siauw-cut memaki-maki, "Aku tak mau menjawab, raksasa tolol. Aku tak mau menjawab kalau kau tidak melepaskan tanganmu!"
Mu Ba menggeram. Dia langsung menggaplok pipi anak itu dengan tangan kirinya, tapi Siauw-cut yang makin meronta dan memaki-maki sudah menggerakkan kaki tangannya menendang dan memukul di udara. "Aku tak mau menjawab pertanyaanmu, iblis tolol. Aku tak mau menjawab pertanyaanmu kalau kau tidak melepaskan rambutku...!”
Mu Ba akhirnya menampar bertubi-tubi. Dia marah dan gusar sekali oleh kekerasan kepala anak ini, tapi Mayat Hidup yang melihat anak itu tetap berteriak biarpun mulutnya sudah pecah ditampar tiba-tiba berseru mencegah dengan mulut menyeringai, "Mu Ba, lepaskan anak itu. Biar aku yang mengurusnya...!"
Raksasa ini melempar tubuh Siauw-cut. Dia mengumpat panjang pendek dan hampir membunuh anak itu. Tapi temannya yang menerima dan menurunkan Siauw-cut di atas tanah secara baik-baik sudah menepuk pundak anak ini dengan suara batuknya yang serak.
"Anak baik, kau sebenarnya siapa dan bagaimana bisa betada di tempat ini? Siapa yang membawamu?"
Namun Siauw-cut terlanjur marah. Dia mendelik dan mengusap bibirnya yang pecah berdarah, memandang berapi-api kepda raksasa tinggi besar itu. tak menoleh sedikitpun pada si Mayat Hidup. Dan Mayat Hidup yang tertegun oleh sikap bocah ini tiba-tiba bersinar matanya dan mencengkeram pundak anak itu, membalikkan tubuhnya menghadap dia.
"Anak baik, kau siapa dan bagaimana pula bisa berada di sini? Kau mau menjawab pertanyaanku, bukan?"
Siauw-cut akhirnya mendesis, "Aku datang untuk mencari raja pedang. Mayat Hidup. Aku diutus seseorang untuk menemui pendekar pedang itu!"
Mayat Hidup terkejut. "Kau mencari raja pedang itu? Siapa yang mengutusmu?"
"Tak perlu kau tahu!"
Mayat Hidup terbelalak. Tapi Mu Ba yang naik darah oleh keberanian anak ini tiba-tiba mengulurkan lengannya menepuk ubun-ubun anak itu. "Dia tak perlu kita tanyai lagi. Mayat Hidup. Anak ini sebaiknya kita bunuh...!"
Tapi Mayat Hidup membentak. Dia menggerakkan lengan kanannya menangkis, dan begitu dua tenaga bertemu di udara tiba-tiba Siauw-cut terpelanting ketika tanah yang dia injak tergetar. Dan begitu anak ini terguling mendadak Medali Naga yang ada di balik bajunya mencelat keluar!
"Eh, apa itu?"
Mu Ba dan Mayat Hidup terkejut. Mereka sudah mengulurkan jari, tapi Mayat Hidup yang lebih dulu mengungkit dengan ujung kakinya tahu-tahu sudah menangkap benda ini yang ditendang ke atas. Dan Mayat Hidup tiba-tiba berseru, "Medali Naga!"
Dua orang itu tertegun. Mereka terbelalak memandang benda ini, tapi menoleh pada Bu-beng Siauw-cut, Mayat Hidup bertanya kaget, "Kau utusan Ho-han-hwe, bocah?"
Siauw-cut tentu saja tak dapat menjawab. Dia menggeleng, tapi Mu Ba yang menggereng sambil membanting kakinya tahu-tahu mencengkeram anak ini. "Kau bohong, bocah keparat. Kau utusan Ho-han-hwe...!"
Siauw-cut terbelalak. Dia terang tak mengerti oleh semua urusan itu, tapi melihat Mu Ba bersikap kasar padanya dan mencengkeram pundaknya hingga terasa sakit tiba-tiba diapun berteriak dan menyerang raksasa tinggi besar itu, "Ya, aku utusan perkumpulan orang-orang gagah itu, iblis kejam. Aku adalah anggauta mereka yang diutus mencari si jago pedang...!"
Mayat Hidup dan Mu Ba terkejut. Mereka tentu saja membelalakkan mata, heran dan kaget oleh pengakuan ini. Tapi Mu Ba yang tertawa bergelak dan membiarkan serangan Siauw-cut bertubi-tubi mengenai dirinya mendadak sudah menoleh pada kawannya.
"Apa yang akan kita lakukan, Mayat Hidup? Kau setuju kita bunuh, bukan?"
Mayat Hidup mengangguk. "Memang anak ini berbahaya bagi kita, Mu Ba. Jangan-jangan temannya yang lain ada pula di sini. Kau bunuhlah dia. Lempar saja ke dalam jurang."
Tapi Mu Ba tertawa menyeramkan. "Aku tak akan membunuhnya ke dalam jurang, Mayat Hidup. Aku akan menikmati sunsum tulang belakang anak ini... wutt!" dan Siauw-cut yang tiba-tiba disambar telapak jari yang lebar dari raksasa tinggi besar ini tahu-tahu mengeluh ketika sudah dibawa terbang ke sebuah batu karang yang besar.
Mayat Hidup tak mengikuti, tapi iblis kurus yang batuk-batuk ini berseru memperingatkan, "Mu Ba, jangan lama-lama memberesi anak itu. Kita masih berurusan dengan si jago pedang!"
Raksasa itu tertawa bergelak. Dia sudah melompat di belakang batu karang besar, mengempit dan melayang turun dengan air liur menetes, mengelus dan mengendus-endus kepala Siauw-cut bagai seekor anjing mencium daging segar. Tapi baru dia meletakkan anak ini di atas tanah dan siap menikmati sumsum tulang belakangnya sekonyong-konyong terdengar bentakan,
"Mu Ba, lepaskan anak itu...!"
Raksasa ini terkejut. Dia melihat sebuah sinar putih menyambar lehernya, disusul sinar hitam dari sebuah kipas di tangan seorang laki-laki muda. Tapi Mu Ba yang mendengus sambil menangkis seraya menggerakkan lehernya mengegos sedikit ini sudah mengerahkan tenaga dengan marah. Dan sinar putih serta sambaran kipas hitam itupun langsung terpental.
"Plak...!" Laki-laki muda itu terdorong mundur. Dia berseru kaget, terbelalak melihat kipas hitamnya yang sedikit robek sementara sinar putih yang bukan lain adalah jarum perak di tangan kanannya itu bengkok! Tapi laki-laki ini yang bukan lain Gin-ciam-siucai adanya dan datang untuk menolong Siauw-cut sudah membentak dan menerjang lagi, berteriak ke belakang, "Suhu, bawa anak itu...!"
Mu Ba terkejut. Dia melihat sesosok bayangan lain muncul, bayangan seorang kakek yang terkekeh dari balik batu karang, menyambar Siauw-cut dan melepas tiga kerikil hitam ke arah leher dan sepasang matanya, membantu laki-laki muda itu untuk mengacau sejenak. Dan Mu Ba yang kaget oleh munculnya kakek ini tiba-tiba membentak dan menangkis.
"Phoa-lojin, kau jahanam keparat...!"
Kakek yang menyambar Siauw-cut itu terkekeh. Dia memang Phoa-lojin adanya, kakek yang bertemu Siauw-cut di kota Wu-kian itu. Tapi mendengar lawan mengenal dirinya kakek inipun tertawa dan mengangguk. "Ya, aku orangnya. Mu Ba. Kau tak boleh membunuh anak ini dan biarkan dia kubawa!"
Mu Ba mendengus. Dia melayani serangan gencar Gin-ciam-siucai Hok Sun, tertawa mengejek dan melihat bayangan temannya muncul, karena Mayat Hidup yang mendengar ribut-ribut di balik batu karang itu sudah berkelebat menghampiri dan kaget melihat dua orang musuh mengganggu si raksasa. Bahkan Siauw-cut dibawa lari seorang kakek tua yang ternyata Phoa-lojin adanya. Maka Mayat Hidup yang membentak dan meluncur turun di depan lawannya ini langsung menusukkan jarinya.
"Phoa-lojin, lepaskan anak itu!"
Kakek Phoa terkejut. Dia menggerakkan papan caturnya menangkis, tapi ketika papan caturnya pecah bertemu jari si Mayat Hidup kakek ini berteriak keras dan berjungkir balik ke belakang. Lalu membebaskan totokan Siauw-cut kakek ini membuang anak itu sambil berteriak, “Siauw-cut, larilah. Aku akan menahan iblis ini..."
Siauw-cut tertegun. Dia melihat kakek itu sudah menangkis serangan lawan yang bercuitan larinya, melompat-lompat dan balas menyerang dengan papan caturnya yang pecah. Tapi melihat kakek itu terdesak dan tampaknya kerepotan anak ini mengerutkan kening dan tidak segera angkat kaki. Dan ini membuat Phoa-lojin terpaksa membentak,
"Anak bodoh, larilah. Tempat ini tidak menguntungkan bagimu...!"
Siauw-cut menarik napas. Dia memutar tubuh, melompat pergi mengucap terima kasih. Namun baru dia menggerakkan kakinya tahu-tahu Sin-yan Mo li muncul di situ.
"Heh-heh, kau lagi-lagi ada di sini, bocah? Kau datang untuk urusan apa?”
Siauw-cut terbelalak. Dia terkejut melihat kehadiran nenek ini, tapi berseru keras dia sudah menerjang dan menggerakkan kaki tangannya menyerang nenek itu. Namun Sin-yan Mo li terkekeh, lalu berkelit dengan mudah ke kiri kanan mendadak nenek ini sudah menotok Siauw-cut dan menangkap serta membawanya kabur!
"Anak sinting, aku akan membawamu ke Gua Naga. Kau ikutilah aku...!"
Phoa-lojin dan muridnya kaget. Mereka membentak dan menyerang bertubi-tubi dua orang lawan yang tangguh ini, tapi Mayat Hidup yang mengerutkan alis melihat Mo-li membawa lari anak itu sudah berseru tidak senang.
"Mo-li, anak itu utusan Ho-han-hwe. Kau bunuhlah dia dan jangan mencari penyakit!"
Mo-li rupanya terkejut. Nenek ini terdengar mengeluarkan seruan lirih, namun Siauw-cut yang masih dibawa lari ke pinggang bukit terus dipondongnya seakan tak perduli. Tapi ketika dia tiba di sebuah batu Karang besar mendadak sebuah tali menjirat kakinya dari bawah.
"Jrrt...!" Nenek ini berteriak keras. Ia terpelanting roboh, tak melihat jebakan di bawah yang membuat dia mengumpat dan memaki-maki itu. Tapi Sin-yan Mo-li yang lihai dan sudah berjungkir balik sambil melempar Siauw-cut ke atas untuk menyelamatkan diri ini sudah cepat turun kembali dan meledakkan cambuknya menerima tubuh anak itu.
Tapi sesosok bayangan berkelebat, tertawa dan mendahului nenek ini menyambar Siauw-cut di udara. Dan begitu dia menangkap anak ini dan menangkis cambuk si nenek iblis bayangan itupun berjungkir balik dan lari ke puncak Bukit Pedang. "Sin-yan Mo-li, kau tak berhak membawa anak ini. Pergilah baik-baik dan jangan ganggu kami berdua...!"
Sin-yan Mo-li tertegun. Ia melihat bayangan itu bukan lain adalah laki-laki yang tak dikenal itu, yang coreng-moreng mukanya itu. Tapi Siauw-cut yang mengenal bayangan ini sudah mengeluh girang dengan muka berseri, "Kun-locianpwe...!"
Kakek itu tersenyum, kecut mukanya. "Ya, aku, Siauw-cut. Kenapa kau keluar tanpa menunggu perintahku dulu?"
Siauw-cut tak menjawab. Dia tertawa aneh memandang kakek ini, sementara Sin-yan Mo-li yang hilang kagetnya dan sadar kembali sekonyong-konyong memekik dan sudah mengejar sambil meledakkan cambuknya.
"Manusia hina, lepaskan bocah itu... tar-tarr."
Kun Seng mengerutkan alis. Dia mengerahkan ginkang, berlari cepat ke puncak bukit. Tapi baru berada di tengah tiba-tiba sesosok bayangan menghadang seperti iblis yang muncul dari permukaan tanah, begitu saja muncul tanpa diketahui dari mana asalnya! Dan Siauw-cut yang melihat orang ini mengenakan kedok merah tiba-tiba berseru kaget dengan muka berobah.
"So-beng...!"
Kun Seng seketika menghentikan larinya. Dia terkejut melihat iblis Penagih Jiwa ini datang, muncul begitu tiba-tiba di Bukit Pedang bagai hantu yang tegak menyeramkan. Sementara Sin-yan Mo-li sendiri yang sudah sampai di situ dan tertegun mendengar seruan Siauw-cut tampak mendelong dan kaget hatinya.
Tapi laki-laki tua ini menyeringai. Dia menenangkan debaran jantungnya, menurunkan Siauw-cut dan membungkuk di depan lawan yang masih tak bicara itu. Dan bersikap halus namun tidak melepas kewaspadaan kakek ini menegur, "Sobat, kau siapakah dan ada perlu apa menghadang jalanku? Bukankah kita tidak saling kenal?"
Iblis berkedok itu mendengus. "Tak perlu berpura-pura, orang she Kun. Aku sengaja menunggumu dan ingin minta kitab serta Pedang Naga yang kau simpan!"
Kakek Kun bersaru kaget. Dia mundur selangkah, terbelalak memandang lawan. Tapi tertawa sumbang dia pura-pura bertanya dengan kening berkerut, "Sobat, apa yang kau omongkan ini? Siapa yang kau maksud?"
"Hm, tak perlu berpura-pura, Bu-tiong-kiam. Aku tahu siapa kau dan apa pula maksudmu ke mari!"
Siauw-cut dan Sin-yan Mo-li berseru tertahan. Mereka melihat kakek itu tertegun, namun Kun Seng yang berusaha menyembunyikan diri tiba-tiba tertawa bergelak dan memasang muka keras. "Sobat, kau salah melihat orang. Aku bukan jago pedang itu dan tak perlu melayanimu lagi...!"
Kemudian, dengan cepat namun sebat mendadak kakek ini sudah menyambar tubuh Siauw-cut dan turun ke bawah, menghindari iblis berkedok itu dan mengibaskan lengan ke samping menyibak si nenek iblis supaya minggir. Tapi Sin-yan Mo-li yang menjeletarkan cambuk dan tentu saja tak membiarkan lawan kabur sudah menggerakkan senjatanya menyerang bertubi-tubi menghadang kakek itu pergi. Dan So-beng yang juga sudah melejitkan kaki menghadang kakek ini ikut membentak dengan suaranya yang dingin,
"Bu-tiong kiam kau tak dapat lari dariku. Kecuali menyerahkan pedang dan kitab!"
Kakek ini akhirnya bingung. Dia terpaksa melompat mundur, menghindari semua serangan si nenek iblis. Dan Siauw-cut yang melompat turun dari gendongan kakek ini akhirnya menatap temannya itu dengan mata terbelalak.
"Kun-locianpwe, benarkah kau si jago pedang itu? Kau Bu tong-kiam Kun Seng yang selama ini menyembunyikan diri?"
Kakek itu menelan ludah, gemetar mukanya. "Aku bukan jago pedang itu, Siauw-cut. Orang-orang ini salah paham dan keliru menduga!"
So-beng tertawa mengejek. "Tapi kami dapat membuktikannya, orang she Kun. Aku bukan anak kecil seperti bocah itu. Kau tak dapat menyembunyikan kepandaianmu lagi bila diserang dan terdesak!"
Kakek Kun menyeka keringatnya. Dia tiba-tiba nampak bingung, juga gugup. Tapi sementara dia melirik sana-sini untuk mencari jalan keluar sekonyong-konyong Mu Ba dan si Mayat Hidup muncul.
"Mo-li, siapa orang ini?" Mu Ba mengeluarkan bentakannya yang menggeledek, memandang kaget laki-laki berkedok merah itu sementara melirik beringas ke arah Kun Seng yang berhasil lolos dari sergapannya ketika dikeroyok tiga.
Dan si nenek iblis yang belum tahu banyak tentang So-beng menjelaskan pada rekannya sambil menuding ke depan, "Dia bernama So-beng, Mu Ba. Tapi si tua bangka ini ternyata Bu-tiong-kiam yang kita cari-cari...!"
Berikan canang
pukullah bende
lekatkan benang
di atas mega
jadilah orang
hidup berguna
rautlah itu sepanjang masa!
"Ah, hanya ini, Siauw-cut?"
“Ya, hanya itu, locianpwe."
"Dan Sian-su tidak memberikan bayangan untuk memperoleh jawabannya?"
"Hm, ada juga, locianpwe. Tapi ancer-ancer yang diberikan kakek itu tidak jelas bagiku!"
"Bagaimana katanya?"
"Kita disuruh lari 'zig-zag', mengambil yang perlu dan membuang yang tidak perlu, lalu menghubungkannya satu sama lain!"
Kakek ini mengerutkan kening. "Begitu katanya?" dia berpikir keras. Tapi gagal menemukan jawaban tiba-tiba diapun menghela napas dan memandang anak ini. "Aku tak tahu apa yang dimaksud kakek itu, Siauw-cut. Barangkali Bu-tiong-kiam yang dapat menolongmu!"
Siauw-cut berseri. "Ya, mungkin jago pedang itu dapat menolongku, locianpwe. Tapi bagaimanapun juga kau jangan cepat menyerah. Masa baru beberapa kejap sudah bilang tak tahu?"
Kakek ini tertawa. "Otakku sudah tua, Siauw-cut. Barangkali menghadapi teka-teki begini aku tak sanggup lagi."
"Tapi jangan demikian cepat menarik kesimpulan, locianpwe. Bagaimanapun kau kuharap untuk mendapatkan jawaban syair ini."
"Sudahlah, kau tidak lapar?" kakek itu tiba-tiba membelokkan percakapan, memandang anak ini sambil tersenyum. Lalu melompat ke tepi sungai diapun tertawa riang. "Kalau lapar mari kita memancing. Siauw-cut. Kau ambil sebatang ranting dan bawa ke sini kepadaku!"
Siauw-cut tertegun. Dia menyeringai kepada kakek itu, mematahkan sebatang ranting lalu memberikannya pada si tua. Tapi melihat tak ada kail dan tali di situ diapun bertanya heran, "Apa yang hendak kaulakukan, locianpwe? Di sini tak ada mata pancing, juga talinya!"
"Hm, itu mudah, Siauw-cut. Aku dapat menangkap ikan tanpa mata pancing segala."
Siauw-cut terbelalak. Dia melihat kakek itu sudah menyambar rantingnya, tersenyum sambil melongok ke sana-sini, mencari di mana kira-kira ada ikan yang paling banyak. Lalu melompat di sebuah batu besar kakek itu tiba-tiba berieru, "Nah, di sini banyak ikan, Siauw-cut. Ada mujair dan gurami kuning...!"
Anak ini mendekat. Dia melongok, ikut mengamati. Tapi karena air sungai keruh dan pekat warnanya diapun heran. "Di mana ikannya, locianpwe? Mana itu gurami dan mujair?"
"Ha, kau tak memiliki mata yang awas, Siauw-cut. Aku melihat banyak sekali ikan di batu ini. Tujuh gurami kuning dan belasan mujair hilir-mudik menangkap kecebong!"
"Masa?"
Kakek itu tertawa. "Kau tak percaya?"
Lalu, mencelupkan ujung rantingnya ke dalam air kakek itu tiba-tiba menyontek dua kali. Ia menusuk cepat, memutar pergelangan tangan dan berseru perlahan. Lalu begitu dia menarik dan mengangkat rantingnya tahu-tahu "pancing" yang aneh ini telah menusuk tembus dua ekor gurami gemuk yang menggelepar-gelepar disate kakek ini!
"Nah, apa kubilang, Siauw-cut? Kau masih tidak percaya?" kakek itu tertawa gembira, melepas guraminya dan melempar ikan sebesar lengan ini ke tepi sungai. Lalu sementara Siauw-cut tertegun dan masih bengong memandangnya kakek itupun mencelupkan lagi pancingnya yang aneh.
"Aku akan menangkap semua ikan gurami itu, Siauw-cut. Kita makan besar dengan tujuh gurami gemuk!"
Siauw-cut tak mampu membuka mulut. Dia melihat kakek itu menusuk-nusukkan rantingnya, tertawa lebar sampai terkekeh. Lalu begitu dia menarik dan mengangkat pancingnya maka setiap kali itu pula dua ekor gurami kuning "disunduk" (disate). Akhirnya, setelah tiga kali berturut-turui dia mencelup dan mengangkat rantingnya maka tujuh ekor gurami gemuk benar-benar sudah dia lempar di atas tanah, calon santapan lezat yang sudah cukup untuk mereka berdua!
"Bagaimana, Siauw-cut? Kau masih kurang?"
Siauw-cut sadar. Dia sekarang tidak tertegun lagi, takjub memandang kakek ini. Tapi menggelengkan kepala dengan penuh kagum dia sudah melompat ke tepi dengan muka berseri-seri. "Tidak, ini sudah cukup, locianpwe. Kenyang rasanya mendapat ikan demikian gemuk dan besar-besar!"
Kakek itu terkekeh. Dia juga melompat ke tepi, mengeluarkan bungkusan kecil yang berisi bumbu dapur, garam merica dan rempah-rempah lainnya. Lalu membelek perut ikan dan mengeluarkan isi perutnya kakek itu sudah mamberi bumbu dan memboreh ikan ini dengan sedikit minyak, melemparkannya pada Siauw-cut. "Kau panggang ini, anak bodoh. Bakar di atas api unggun dan kita nikmati bersama!"
Siauw-cut gembira. Dia segera membuat api, membakar atau memanggang tujuh ekor gurami yang sudah diberi bumbu ini. Dan begitu asap menyala dan ikan sudah di atas api segeralah tercium bau yang sedap luar biasa. "Wah, perutku tiba-tiba berkeruyuk, locianpwe. Agaknya pandai benar kau memberi bumbu!"
"Heh-heh, itu pekerjaan rutin seorang perantau, Siauw-cut. Aku terbiasa memanggang ikan bila memancing begini."
"Tapi pancingmu tak ada mata kailnya, lo-cianpwe. Mengherankan benar bagaimana kau bisa melakukan itu!"
“Ha-ha, itu karena kebiasaan, Siauw-cut. Menggetarkan sinkang untuk membuat ikan-ikan itu tak dapat lari."
"Menggetarkan sinkang?"
"Ya."
"Bagaimana maksudnya?"
"Artinya kita membuat ikan-ikan itu tersedot sinkang kita, Siauw-cut. Lalu begitu mereka tak dapat lari kita tinggal menusuknya dari atas!"
Siauw-cut terbelalak. "Sedemikian mudah?"
"Apanya yang mudah? Kalau tidak mahir mainkan sinkang tentu saja kau tak dapat menangkap ikan-ikan ini, anak bodoh. Karena itu perdalam ilmumu itu dan tekunlah berlatih!"
"Hm." Siauw-cut mengangguk-angguk. Dia sekarang tak bicara, menyelesaikan pekerjaannya dan satu-persatu menurunkan ikan panggang di atas api. Lalu begitu semuanya selesai dan ikan panas mengepul di hadapan mereka segeralah kakek Kun menyambar seekor.
"Siauw-cut, ganyang yang itu. Habiskan semuanya dan biarkan yang tiga ekor ini untukku!"
Siauw-cut tersenyum. Dia mulai menyambar ikan panggang ini, menikmati rasanya yang sedap luar biasa dan gurih. Tak sungkan lagi pada kakek itu. Dan begitu mereka berlomba melalap hidangan ini akhirnya lima menit kemudian tujuh ekor gurami itu habis!
Kakek Kun tertawa, "Siauw-cut, kau rupanya gembul juga. Nafsu makanmu besar!"
Anak ini menyeringai. "Gara-gara bumbu dapurmu yang hebat, locianpwe. Ikan ini sedap sekali dimakan seperti itu."
"Dan kau ingin tambah lagi?"
"Wah, tidak berani, locianpwe. Perutku kenyang!”
Kakek ini terbahak. "Baik, kalau begitu kita berangkat lagi. Siauw-cut. Kita langsung ke barat menuju kota Wu-kian!"
"Ke tempat jago pedang itu, locianpwe?"
"Ha-ha, kenapa kau getol sekali menanyakan pendekar ini? Bukankah kubilang jangan tergesa-gesa?"
Siauw-cut menepis debu, merah mukanya. "Aku ingin menyelesaikan tugasku, lociaopwe. Karena itu aku ingin semuanya cepat selesai dan menemui kakek dewa itu!"
"Hm, berguru pada Bu-beng Sian-su?"
"Ya.”
"Tapi jangan lupakan ilmu silatku yang tiga jurus itu, Siauw-cut. Bagaimanapun itu penting untukmu buat menghajar orang jahat!"
"Aku tak akan melupakannya, locianpwe. Bagaimanapun akan kuingat ini sebagai budi baikmu!"
"Bagus, syukur jika begitu, Siauw-cut. Hayo kita berangkat."
Siauw-cut mengangguk. Dia sudah mengikuti kakek ini yang berjalan di depan, tampak gembira dan berseri mukanya. Sementara Siauw-cut yang ada di belakang membuntuti orang segera tersenyum geli melihat lenggang kakek itu yang sedikit "bergaya".
* * * * * * * *
Malam itu mereka tiba di Wu-kian. Kota ini tidak begitu besar, namun rumah-rumah penduduk yang cukup padat di sepanjang jalan raya membuat kakek ini terpaksa mencari sebuah rumah penginapan, berhenti di depan dua buah losmen yang berseberangan.
"Mana yang akan kau pilih, Siauw-cut? Penginapan Yee-kiok itu atau Ang hwa?" demikian kakek ini bertanya pada temannya yang menjublak bingung, tak dapat segera menjawab karena dua rumah penginapan itu dilihatnya sama baik.
Tapi Siauw-cut yang akhirnya menuding ke kanan bicara, "Sebaiknya kita pilih yang itu saja, locianpwe. Tampaknya losmen Ang-hwa tak begitu banyak orang."
"Baik, mari kita masuk."
Kun Seng tak menolak. Dia segera menyambar lengan anak laki-laki ini, memasuki rumah penginapan itu. Dan mereka berdua yang segera disambut pelayan bermuka ramah akhirnya mendapat tawaran memilih kamar yang mana, kelas satu ataukah kelas dua. Namun belum kakek ini menjawab tiba-tiba seorang lelaki lain muncul, tamu baru agaknya. Karena begitu tamu itu muncul tiba-tiba dia berseru.
"Pelayan bodoh, mengapa mesti tanya-tanya lagi pada Kun-lo-enghiong? Berikan dia kamar kelas satu, biar aku yang membayar!" lalu begitu tertawa dan membungkuk di depan kakek ini laki-laki itu berkata, "Kun-lo-enghiong, kenalkan aku. Aku adalah Gin-ciam-siucai Hok Sun!"
Kun Seng terkejut. Dia terpaksa menbalas hormat orang, terbelalak. Tapi mengerutkan kening dia bertanya, "Saudara Hok Sun, siapakah sebetulnya kau? Bagaimana kau tahu aku?"
Laki-laki ini tersenyum. "Aku murid Phoa-lojin, lo-enghiong. Gin ciam-siucai yang dulu pernah ikut ramai-ramai di perkumpulan Gelang Berdarah!"
Kun Seng berobah mukanya. Dia tampak kaget, karena begitu membungkukkan tubuh mendadak kakek ini berseru, "Ah, kalau begitu kau salah lihat, orang muda. Aku bukan orang yang kau sangka...!" lalu, memutar tubuh dan menyambar lengan Siauw-cut tiba-tiba kakek ini sudah masuk ke dalam menuju kamar belakang, tempat di mana mereka memilih.
Dan Hok Sun yang berjuluk Gin-ciam-siucai (Mahasiswa Berjarum Perak) yang tampak melenggong itu membelalakkan mata. "Lo-enghioog..!"
Namun kakek ini sudah mengibaskan lengan. Dia tak mau bicara sepatahpun, menolak seruan orang. Dan begitu tiba di belakang penginapan mendadak kakek ini menjejakkan kakinya membawa Siauw-cut melayang keluar tembok! "Celaka, rumah penginapan ini tak aman. Siauw-cut. Laki-laki itu orang gila!"
Siauw-cut terkejut. Dia tentu saja heran dan kaget melihat dirinya dibawa terbang keluar tembok. Tapi begitu turun dan menginjakkan kaki di atas tanah tiba-tiba seorang kakek lain muncul.
"Kun-taihiap, kenapa kau melarikan diri?”
Kun Seng tertegun. Dia melihat seorang kakek sebaya dirinya terkekeh, memainkan sebuah alat permainan catur. Tapi melejit dan berseru perlahan tiba-tiba dia sudah menarik Siauw-cut ke arah selatan, melarikan diri. Dan begitu dia menjejakkan kakinya menjauhi kakek yang menegur di depan itu kakek ini mengomel. "Celaka, kenapa losmen ini dihuni orang-orang gila, Siauw-cut? Aku tak kenal dan tak tahu siapa mereka itu!"
Siauw-cut tentu saja tertegun. Dia tak mengerti siapa orang-orang itu, tapi melihat kakek ini seperti orang ketakutan, diapun tak puas, "Lo-cianpwe, kau aneh sekali. Kenapa melarikan diri dari kakek dan laki-laki muda itu? Siapa mereka?"
"Ah, jangan banyak omong dulu, Siauw-cut. Mereka orang-orang gila yaug bisa mengganggu kita!"
Siauw-cut tak mendapat jawaban lagi. Dia diajak berlari cepat, bahkan akhirnya disambar pinggangnya dan diajak berkelebat di antara rumah-rumah penduduk, menyelinap dan melompat-lompat di atas wuwungan. Lalu merasa sudah jauh dari dua orang kakek dan laki-laki muda itu kakek kini menurunkan Siauw-cut dan mengusap peluhnya.
"Nah, sekarang kita aman, Siauw-cut. Tapi rupanya harus tidur di kolong altar!"
Siauw-cut terbelalak. Mereka ternyata tiba di sebuah kelenteng tua, masih di tengah kota, keadaannya tak terurus dan jauh dari rumah penginapan Ang-hwa. Dan Siauw-cut yang sudah melompat turun dari gendongan kakek ini melanjutkan rasa tak puasnya.
"Locianpwe, kau terlalu sekali. Rupanya kau ketakutan dan kenal pada dua orang itu tadi! Kenapa kau merahasiakan ini?"
Kakek Kun tertegun. "Kenapa kau menuduhku begitu. Siauw-cut? Mereka itu orang-orang gila, aku khawatir kita diganggu dan tak dapat beristirahat dengan baik!"
"Kalau begitu kenapa tidak kau lawan?"
"Apanya yang dilawan? Menghadapi orang-orang gila itu? Wah, kau yang terlalu sekali, Siauw-cut. Aku terang tak mau bertanding dengan orang-orang gila!"
Siauw-cut cemberut. Dia melihat kakek itu tertawa, rupanya geli. Namun dua bayangan yang tiba-tiba berkelebat di depan kuil membuat kakek ini kaget dan menyambar Siauw-cut mengkerut di bawah kolong altar, seketika berobah mukanya. Dan begitu dua bayangan ini muncul dan tampak jelas ternyatalah bahwa mereka itu bukan lain adalah si Gin-ciam-siucai Hok Sun dan si kakek tua!
"Aneh, ke mana mereka, suhu?" Hok Sun si lelaki muda berseru, celingukan ke kanan kiri di depan kuil lalu tiba-tiba berteriak nyaring, "Kun-locianpwe, kenapa kau melarikan diri dari kami? Apa yang kau takuti?"
Namun Kun Seng tentu saja tak menjawab pertanyaan ini. Dia malah mengerutkan tubuh di kolong altar, menekan kepala Siauw-cut agar bertiarap sambil mendesis agar anak itu tak membuat suara. Lalu mendengar Hok Sun kembali berteriak nyaring kakek ini menahan napas.
"Keparat, orang-orang gila itu ternyata mengejar kita, Siauw-cut. Kau diamlah di sini jangan bergerak!"
Siauw-cut penasaran. Dia sebenarnya tak setuju pada sikap temannya, ingin berontak. Tapi baru dia membuat sedikit gerakan tiba-tiba Kun Seng telah menotoknya roboh!
"Setan, kenapa kau mau membuat gaduh, anak tolol? Yang tua itu sedang ke mari, jangan membantah perintahku!"
Siauw-cut mendongkol bukan main. Dia mendengar desis kakek itu, yang melotot padanya. Tapi maklum dia tak berdaya dan kakek Kun rupanya serius tiba-tiba dia melihat bayangan kakek yang disebut "suhu" oleh Gin-ciam-siucai Hok San berkelebat di dalam kelenteng. Kakek ini rupanya menyelidik, berputar-putar tapi akhirnya keluar lagi, tak menemukan sesuatu. Dan mereka berdua yang melihat semua kejadian itu di bawah kolong altar segera mendengar dua orang laki-laki itu menggerutu.
"Aneh, ke mana jago pedang itu bersembunyi, Hok Sun? Aku tadi melihatnya di sini, tak mungkin salah!"
Dan si laki-laki muda juga berkata, "Ya, dan aneh sekali dia pura-pura tak mengenalku, suhu. Agaknya jago pedang itu sedikit tak waras atau sengaja mengibuli kita. Atau dia bukan jago pedang itu, suhu?"
"Hm, mana mungkin? Aku mengenalnya cukup baik, Hok Sun. Dialah..."
Baru tiba pada kalimat ini mendadak Siauw-cut yang memasang telinga tiba-tiba berjengit. Dia kemasukan seekor semut, semut api yang menggigit telinganya demikian keras. Dan Siauw-cut yang kesakitan oleh gangguan semut ini akhirnya tak mendengar lanjutan omongan itu yang menyebut-nyebut nama Bu-tiong-kiam!
Tapi Hok Sun dan kakek tua itu akhirnya tak bicara lagi. Mereka meninggalkan kelenteng, bersungut-sungut dan mengomel panjang pendek. Dan kakek Kun yang membebaskan totokan Siauw-cut akhirnya melompat bangun dengan mulut menyeringai.
"Maaf. jangan marahi aku, Siauw-cut. Itu kulakukan karena terpaksa!"
Siauw-cut juga melompat bangun. "Tapi kau kelewatan, locianpwe. Kau membuat lututku terlipat, aku di atas lantai!"
"Heh-heh, maaf anak baik... maafkan aku yang tidak bermaksud menyakitimu. Sekarang tidak apa-apa lagi, bukan?" Kun Seng menepuk-nepuk pundak anak ini, menyabarkan Siauw-cut yang akan "meledak", meminta maaf dan bersikap halus sementara dua jarinya meremas seekor semut api yang tadi dtsentilkan ke telinga Siauw-cut!
Dan Siauw-cut yang akhirnya menyimpan kemendongkolan terpaksa menggigit bibir dan cemberutkan mulut. "Locianpwe, lain kali aku tak man begitu lagi. Kau tak perlu lari-lari menghadapi musuh!"
"Baik, tapi kalau menghadapi orang-orang gila aku tak mau melayani, Siauw-cut. Terus terang aku paling takut menghadapi orang orang macam begitu!"
"Apakah mereka tadi orang-orang gila?"
"Ya. Tidakkah kau dengar apa yang mereka bicarakan? Aku tak kenal siapa mereka, tapi mereka masih memburuku dan mengejar-ngejar sampai di sini!"
"Dan mereka bilang kau jago pedang, locianpwe. Apakah kau tidak menyembunyikan rahasia?"
"Wah, jago pedang apa, Siauw-cut? Kau tahu sendiri aku tak membawa-bawa pedang. Apa yang hendak kau perhatikan dari omongan orang-orang gila itu? Sudahlah, aku tak mengenal mereka, Siauw-cut. Mereka itu orang-orang gila yang harus kita hindari."
Tapi Siauw-cut terang tak percaya. Dia mulai meragukan keterangan kakek ini, karena ia melihat dua orang itu tindak-tanduknya bukan seperti orang gila. Tapi belum dia membantah tiba-tiba dia melihat patung di belakang altar bergerak-gerak.
"Eh, apa itu, locianpwe?" Siauw-cut kaget.
Kun Seng cepat menoleh. Dan melihat patung di belakang tubuhnya bergerak-gerak seakan hendak berjalan tiba-tiba kakek ini tertegun dan berobah mukanya. Mereka tiba-tiba mendengar suara aneh di dalam patung, seakan suara di balik kubur. Tapi Kun Seng yang melompat ke depan tiba-tiba berseru, "Ada orang terjepit di dalam Siauw-cut. Ada seseorang di dalam sini...!"
Siauw-cut terkejut. Dia juga melompat maju, mendekati patung ini. Dan begitu keduanya mendekati patung mendadak terdengar suara tinggi yang melengking marah memaki kakek itu.
"Tua bangka, berani kau memaki-maki ayah dan sukongku sebagai orang gila? Ah, awas kau... aku akan menghajarmu begitu keluar dari patung keparat ini!"
Kun Seng tertegun. "Lho, suara seorang gadis cilik, Siauw-cut. Bagaimana kita menjumpai hal demikian aneh?"
Siauw-cut juga terheran. "Ya, tampaknya seorang anak perempuan, locianpwe. Rupanya terjepit dan terperangkap di dalam patung itu!"
Kun Seng mengangguk. Dia tertawa, mengangkat patung dan tiba-tiba menggeser benda berat ini menjauhi meja altar, bermaksud membebaskan anak perempuan yang marah-marah di dalam patung itu agar diketahui siapa adanya. Tapi berseru keras dan kaget dia mendapat kenyataan bahwa patung itu tak dapat diangkat!
"Ah, patung ini melekat di dalam tanah, Siauw-cut. Rupanya menghunjam dan memiliki kerangka beton yang tak dapat dipindahkan!”
Siauw-cut terkejut. "Kalau begitu bagaimana anak perempuan di dalam bisa masuk, locianpwe? Bagaimana dia lewat?"
Tiba-tiba mata patung terbuka. Sepasang mata yang indah bening dari seorang gadis cilik muncul, bersinar tapi berapi-api. Tapi melihat Kun Seng berusaha memindahkan benda berat ini dan gagal tiba-tiba dia berseru, "Kakek bodoh, putar dulu meja altar itu ke kiri dua kali. Baru patung akan terbuka!"
Kun Seng melongo. "Kau tahu rahasianya?"
"Ya."
"Bagaimana kau tahu?"
Gadis di dalam mencak-mencak. "Kenapa cerewet amat, tua bangka? Bukankah kau ingin menolongku?”
Tapi Siauw-cut sudah mendahului kakek ini, dia memutar meja altar dua kali, tak mau banyak omong. Dan begitu meja diputar lalu digeser mendadak patung itu "terbelah" dan seorang gadis cantik melompat keluar, langsung menerjang kakek Kun!
"Tua bangka, kenapa kau memaki-maki ayah dan sukongku? Apa salah mereka kepadamu!"
Kun Seng terkejut. Dia tentu saja melompat ke sana ke sana kemari, menghindari serangan anak perempuan itu. Sementara mulutnya yang berkaok-kaok panjang lebar langsung berteriak dengan penuh keheranan, "Bocah liar, kau siapa dan kenapa membabi-buta menyerangku? Bukankah kami yang membebaskan kau dari dalam patung?"
Tapi gadis ini masih menerjang marah. "Aku tak perduli, kakek tua. Kau telah menghina dan memaki-maki ayah serta kakekku!"
"Lho, siapa kau ini?”
"Aku Hok Lian, puteri ayahku Gin-ciam-siucai Hok Sun itu!"
"Ah, kalau begitu kau cucu murid Phoa-lojin?"
"Benar!" dan si bocah yang terus melancarkan serangan bertubi-tubi ke kakek ini sudah melakukan pukulan dan tendangan. Ia tampaknya marah sekali, tak mau sudah.
Sementara kakek Kun yang terbelalak oleh pengakuan ini mendadak melompat ke belakang. “Siauw-cut, anak ini rupanya mabok. Kau jinakkan dulu biar aku pergi... !" dan Kun Seng yang tiba-tiba menangkis kaki kiri Hok Lian tahu-tahu melempar tubuh bergulingan dan, melarikan diri keluar kelenteng. Dia lenyap di depan, dan Hok Lian yang mengejar sudah memburunya.
"Kakek jahat, jangan lari kau. Kau telah menghina dan memaki-maki orang tuaku...!"
Siauw-cut membuntuti pula. Dia melihat kakek Kun tak nampak bayangannya lagi, sementara Hok Lian yang marah-marah di luar kelenteng cepat-cepat dihampirinya. "Nona, redakan dahulu kemarahanmu. Kakek itu bukan orang jahat!"
Hok Lian langsung membalikkan tubuh. “Kau membelanya, ya? Kau menutupi kesalahan temanmu itu?"
Siauw-cut menelan ludah. "Bukan begitu, nona. Tapi sesungguhnya Kun-locianpwe bukan orang jahat. Dia telah membebaskanmu, bukan?”
"Hm, bukan dia yang membebaskan aku, sahabat muda. Tapi kaulah yang membuka patung sialan itu!" lalu membanting kaki dengan muka uring-uringan gadis ini membungkukkan tubuhnya. "Sobat, terima kasih untuk pertolonganmu. Kau siapakah?"
Siauw-cut akhirnya tersenyum. Dia melihat gadis ini manis sekali, matanya bening dan indah. Maka menjawab sambil tertawa kecil dia memperkenalkan diri, "Aku Siauw-cut, nona. Orang tak berharga yang kebetulan saja datang ke tempat ini. Siapakah sebenarnya kau dan orang tuamu itu?"
Hok Lian terbelalak. "Siauw-cut (Kerucuk)..?" tapi tertawa geli tiba-tiba ia menuding. "Sobat, kenapa namamu demikian aneh? Siapa yang memberimu julukan ini?"
"Hm, aku menamakan diriku memang begitu, nona. Tak ada yang memberikan julukan ataupun nama kepadaku."
"Kalau begitu kau marah pada orang tuamu?"
"Tidak. Aku sebatangkara, nona. Aku tak tahu dan tak sempat memiliki orang tua."
"Jadi kau sendiri di dunia ini? Kalau begitu siapa kakek jahat itu?"
Siauw-cut tersenyum kecut. "Dia sahabat baruku, nona. Bukan orang jahat tapi orang baik-baik. Kenapa kau marah-marah kepadanya?"
"Huh!" Hok Lian membanting kaki. "Orang baik-baik apanya? Dia bukan orang baik-baik, Siauw-cut. Kalau orang baik-baik tentu tak akan memaki orang lain seperti yang dia lakukan!"
"Hm, mungkin terjadi salah paham di sini, nona. Betapapun ayah dan kakekmu itulah yang mendahului kami, mengejar-ngejar kami sampai di sini dan membuat kami merasa terganggu!"
"Apanya yang diganggu? Kenapa ayah dan kakek mengganggumu?"
Siauw-cut angkat bahu. "Aku tak tahu, nona. Temanku sendiri tak memberi tahu apa-apa kepadaku tentang ini!"
"Hm, kalau begitu kakek tua itu jelas orang jahat, Siauw-cut. Dan... kau mungkin juga begitu!"
Siauw-cut terkejut. "Kenapa begitu, nona? Bukankah kami tidak mengganggumu dalam hal apapun?" tapi, tersenyum kecut dan bersikap acuh anak laki-laki ini bertanya, "Nona, bagaimana kau bisa bersembunyi di dalam patung itu? Kenapa kau dapat masuk tak dapat keluar?"
Hok Lian membanting kaki. "Siapa bersembunyi di tempat pengap itu? Aku diculik seseorang, Siauw-cut. Aku dibawa ke mari dan dimasukkan ke dalam patung keparat itu!"
"Lho, bukankah kau bersama ayah dan kakekmu itu?"
"Ya, tapi aku memisahkan diri, Siauw-cut. Aku minta ijin pada ayah untuk berjalan-jalan di kota Wu-kian. Tapi seseorang menculikku dan membawaku ke mari!"
"Jadi ayahmu tidak tahu?"
"Ya."
"Ah, kalau begitu kau tadi dapat berteriak-teriak ketika ayahmu ke mari, nona. Kenapa tidak kaulakukan itu!"
"Bodoh, aku ditotok jahanam itu, Siauw-cut. Baru saja bebas setelah ayah dan kakek pergi!"
Siauw-cut melongo. "Siapa laki-laki yang menculikmu itu?"
"So-beng!"
"Hah?” Siauw-cut melompat mundur. "So-beng?”
"Ya, orang itu mengaku bernama So-beng, Siauw-cut. Dan aku berjanji untuk kelak membalas dan menangkap jahanam itu!"
Siauw-cut tertegun. Dia tak menyangka sama sekali bahwa So-beng tiba-tiba muncul di sini, menculik putri Gin-ciam-Siucai ini dan menyembunyikannya di dalam patung. Tapi heran gadis itu dapat mengetahui jalan keluarnya tiba-tiba dia bertanya, "Nona Hok, kalau begitu bagaimana kau bisa tahu bahwa cara membuka patung itu adalah melalui meja altar?"
"Hm, sebelumnya aku telah melihat setan itu membuka dan menutup patung ini, Siauw-cut. Karena itu aku tahu bagaimana cara keluarnya."
"Tapi kenapa kau diculiknya?"
"Mana aku tahu? Setan itu tak banyak bicara kepadaku, Siauw-cut. Dia tahu-tahu menotokku roboh dan membawa ke kelenteng ini ketika aku sedang berjalan-jalan di tengah kota!" Hok Lian mengepal tinju.
“Baik, kalau begitu di mana dia sekarang, nona? Kenapa kau ditinggalkannya seorang diri?"
"Aku tak tahu, Siauw-cut. Dia segera pergi begitu aku dikurunguya di patung ini!"
"Hm, kalau begitu dia tentu kembali, nona. Sebaiknya kau kembali saja pada orang tuamu dan pergilah!"
"Eh, kau mengusirku?"
Siauw-cut terkejut. Dia melihat mata gadis ini tiba-tiba berapi, marah kepadanya. Dan Siauw-cut yang menarik napas buru-buru mengangkat tangannya. “Tidak, tidak begitu, nona Hok. Aku tak mengusirmu melainkan semata-mata memberi nasihat kepadamu agar kau melepaskan diri dari penculikmu itu. So-beng amat lihai, juga berbahaya. Karena itu tak baik kalau kau nekat menghadapinya seorang diri!"
"Hm, kau menggurui aku, Siauw-cut? Kau mau menjadi pahlawan untuk menghadapi setan itu?"
Siauw-cut merah mukanya. Tapi belum dia menjawab tiba-tiba dua bayangan berkelebat memasuki kuil. "Lian ji, kau di situ?”
Hok Lian terpekik. Dia melihat ayah dan kakeknya muncul, maka berteriak gembira iapun menghambur maju dan melengking. "Ayah, aku diculik So-beng..!"
Dua orang laki-laki ini terkejut. Mereka girang melihat Hok Lian ada di situ, tapi melihat Siauw-cut ada di dekat anak perempuan ini segera Hok Sun tertegun. "Eh, bukankah ini anak yang bersama Kun-lo-enghiong itu, suhu?"
Kakek di sebelah kiri mengangguk. "Ya, tidak salah. Hok Sun. Tapi di mana jago pedang itu sendiri?” lalu melompat mendekati anak ini kakek itu bertanya. "Anak baik, di mana temanmu itu? Bagaimana kau ada di sini?"
Tapi Hok Lian mendahului, "Mereka sudah ada di sini sejak tadi, kek. Dua orang itu bersembunyi di kolong altar ketika kau datang!"
"Eh, bigaimana kau tahu?" Phoa-lojin terkejut.
Dan Hok Lian segera nerocos, "Aku ada di belakang mereka, kek. Aku terkurung di patung itu sementara mereka berdua tiarap!"
"Ah!" kakek dan laki-laki muda itu terbelalak. Tapi Gin-ciam-siucai yang rupanya heran mendengar cerita puterinya tiba-tiba memutar tubuh.
"Dan kau bagaimana bisa terkurung di dalam patung, Lian-ji? Apa yang sesungguhnya terjadi?"
"Aku diculik orang, ayah..."
"Ya-ya. aku tahu itu!" sang ayah memotong. "Karena itu segera kami berdua mencarimu, Lian-ji. Kami bertemu Kong Tong Lojin yang melihatmu diculik!"
Anak perempuan ini tertegun. "Jadi kau sudah tahu, ayah?"
"Ya."
"Dan kau tahu pula siapa penculikku itu?"
"Tidak. Kau bilang tadi bernama So-beng, benarkah?"
Hek Lian mengepal tinjunya. "Memang begitu, ayah. Aku tidak tahu siapa iblis itu kalau dia sendiri tidak memberitahukannya kepadaku!"
"Dan di mana dia sekarang?"
"Aku tak tahu, ayah. Tapi menurut anak ini katanya tentu kembali ke sini!"
Sekarang dua orang laki-laki itu tertarik perhatiannya pada Siauw-cut. "Kau siapa, anak baik? Murid si jago pedang itukah?"
Siauw-cut menggeleng. "Bukan, locianpwe. Aku seorang anak lola yang tidak mempunyai guru atau orang tua."
"Dan siapa namamu?"
"Dia Siauw-cut, ayah!" Hok Lian memotong, nyaring suaranya.
Dan Hok Sun yang terbelalak mendengar ini kontan heran dibuatnya, merasa aneh. "Kau bernama Siauw-cut, anak baik? Kenapa namamu demikian aneh?"
Tapi Siauw-cut mulai ogah-ogahan bicara. Dia sebenarnya sedang memikir ke mana kakek Kun pergi. Kenapa lama tak muncul dan membiarkan dia seorang diri di situ. Tapi mendapat pertanyaan laki-laki yang berwajah gagah ini mau tidak mau dia menjawab juga, "Ya, namaku Siauw-cut, paman. Tapi aku tak merasa aneh dengan namaku ini."
"Dan ke mana Kun-lo-enghiong yang bersamamu itu?"
Hok Lian melengking tinggi, "Dia melarikan diri, ayah. Dia tak muncul lagi sejak kuserang!"
"Eh, kau menyerang jago pedang itu?" Hok Sun terkejut.
Tapi sebelum dia mendapat jawaban tiba-tiba Siauw-cut yang merasa "gatal" hatinya sudah melangkah maju. "Paman Hok, siapakah yang kau maksud dengan jago pedang itu? Apakah kakek yang bersamaku tadi?"
Gin-ciam-siucai melongo "Lho, apa yang kautanya ini. Siauw-cut? Bukankah betul dia Kun Seng dari..."
Belum kata-kata ini dilanjutkan tiba-tiba terdengar suara tawa menyeramkan dari belakang kuil. Sebuah bayangan berkelebat, dan Hok Lian yang melihat bayangan itu mengenakan kedok merah tiba-tiba sudah menudingkan jarinya, menjerit,
"Dia So-beng, ayah...!" dan gadis cilik yang sudah melompat maju dengan pekik marahnya itu mendadak menerjang ke depan menyerang bayangan ini! "So-beng, kau penculik hina...!"
Hok Sun dan Phoa-lojin terkejut. Mereka melihat puteri mereka itu sudah menyerang ganas, tapi So-beng yang menggerakkan lengan kirinya menangkis tiba-tiba membuat Hok Lian menjerit dan terpelanting roboh. Lalu, tertawa mengejek dan menjejakkan kakinya sekonyong-konyong iblis itu melompati tembok belakang melarikan diri.
"Phoa-lojin, aku tak suka pada anak perempuanmu. Biar kali ini kukembalikan dulu!"
Kakek Phoa dan Hok Sun membentak. Mereka menolong Hok Lian yang terpelanting, lalu menotolkan kaki dengan ringan keduanya pun sudah mengejar laki-laki ini dengan seruan keras. "So-beng, jangan lari..!"
Namun laki-laki berkedok itu tertawa menyeramkan. Dia menyelinap ke sana ke mari, mempergunakan kegelapan malam untuk melarikan diri. Dan kakek Phoa serta muridnya yang mengejar di belakang dengan penuh rasa penasaran tiba-tiba mengerahkan ginkang mereka menyusul lawan.
"Hok Sun, potong jalan larinya. Kau hadang di sebelah kiri biar aku yang di sebelah kanan...!"
Siauw-cut terbelalak. Dia melihat dua orang laki-laki itu tiba-tiba memisahkan diri, menyimpang ke kiri dan ke kanan. Dan tiga orang yang segera kejar-kejaran di malam yang gelap itu tiba-tiba sudah lenyap dari pandangannya tak diketahui ke mana lagi. Tentu saja Siauw-cut tertegun. Tapi belum dia beranjak dari tempatnya berdiri mendadak kakek Kun muncul.
"Siauw-cut, celaka. Kita tak dapat tinggal lagi di kota ini...!"
Siauw-cut terkejut. "Apa yang terjadi, locianpwe? Dan, eh... kenapa mukamu coreng-moreng begitu?"
Kakek ini tersenyum kecut. "Bukan aku saja yang harus coreng-moreng. Siauw-cut. Kau juga harus mencoreng mukamu agar tidak menemui bahaya!"
Kemudian belum Siauw-cut mengerti apa yang dimaksud kakek ini mendadak Kun Seng sudah mencoreng-coreng mukanya dengan lumpur! Lalu menyeringai dan tergesa-gesa melangkah, kakek itu menarik lengan anak ini. "Siauw-cut, kita menyingkir. Gin-ciam-siucai dan gurunya itu bisa mengganggu kita...!"
Siauw-cut tertegun. "Kenapa, locianpwe? Apa yang terjadi?"
Tapi kakek ini sudah tak banyak bicara lagi. Dia membawa Siauw-cut lari cepat, meninggalkan kelenteng dan keluar lewat gerbang selatan di kota Wu kian. Lalu menyambar pinggang anak ini dengan kecepatan luar biasa tiba-tiba kakek itu sudah terbang menuju ke selatan! "Siauw-cut, kau diamlah. Bu-tiong-kiam dikejar-kejar orang dan kita harus menolongnya!"
Siauw-cut terbelalak. Dia hanya mendengar kalimat pendek itu, tak ada tambahan lagi. Dan Kun Seng yang sudah terbang dengan kecepatan penuh mengerahkan ginkangnya itu sudah tak dapat diajak bicara lagi karena angin mendesau melenyapkan suara mereka. Hingga akhirnya, setelah semalam suntuk mereka tak berhenti sekejappun tibalah mereka di sebuah bukit yang puncaknya menyerupai sebatang pedang. Di sini kakek itu menurunkan Siauw-cut, lalu mengusap peluh bermandi keringat kakek itu menuding ke depan.
"Kita tiba di Bukit Pedang. Siauw-cut. Tak ada waktu lagi untuk menjelaskan persoalan ini dengan panjang lebar!"
Siauw-cut tertegun. "Apa yang hendak kita lakukan, locianpwe? Kenapa kau membawaku ke mari?"
"Kita akan membantu Bu-tiong-kiam, Siauw-cut. Jago pedang itu dalam kesulitan!"
Siauw-cut terkejut. "Kesulitan apa, locianpwe?"
"Kesulitan memasuki Gua Naga!"
"Ah...!" Siauw cat terhenyak. "Kesulitan memasuki Gua Naga, locianpwe? Apa maksudmu?"
Tapi belum Kun Seng menjawab tiba-tiba dua bayangan berkelebat. Mereka itu adalah dua orang laki-laki aneh, yang satu tinggi kurus bagai tengkorak hidup sedang yang lain tinggi besar bagai raksasa buas yang matanya sebesar jengkol. Dan baru dua orang ini muncul di sebelah kanan tiba-tiba di sebelah kiri muncul pula seorang nenek berpakaian hitam yang bukan lain Sin-yan Mo-li adanya!
"Ah, itu Sin-yan Mo-li, locianpwe.” Siauw-cut terkejut.
Dan Kun Seng mengangguk, berobah mukanya. "Ya, dan yang dua itu adalah si Mayat Hidup dan temannya, Siauw-cut. Temu Ba si raksasa yang suka makan daging anak-anak..."
Siauw-cut tertegun. Dia terbelalak memandang tiga orang iblis yang muncul itu, mengitari Bukit Pedang. Dan si raksasa tinggi besar yang menggereng melihat Sin-yan Mo-li muncul bersama mendadak membentak dengan suaranya yang menggelegar. "Nenek iblis, kau juga ikut-ikutan ada di sini? Apa yang kau cari?"
Sin-yan Mo-li terkekeh. "Jangan tanya maksud orang lain. Mu Ba. Kau sendiri apa yang kau cari di sini? Aku mencari obat-obatan, kau pergilah jangan menggangguku!"
Si raksasa melompat maju. "Kau bohong, nenek iblis. Kau datang untuk menghadang si jago pedang!"
Nenek itu terkejut. "Kau sudah tahu?"
Tapi si lelaki kurus kering yang bukan lain Mayat Hidup adanya sudah batuk-batuk mendekati mereka. "Sin-yan Mo-li, sebaiknya kau menyingkir dulu. Kau tak berhak mengganggu jago pedang itu karena dia sahabat kami."
Sin-yan Mo-li terkekeh. "Apanya yang sahabat, Mayat Hidup? Kapan kau mengaku jago pedang itu sahabatmu?"
Si Mayat Hidup menyeringai, batuk-batuk. "Kami sudah menjadi sahabat sejak hari ini Mo-li. Kami datang untuk menyambut jago pedang itu yang akan datang ke mari."
"Hm, tak perlu berputar-putar, cecak kering," nenek itu mengejek. "Terus terang sajalah bahwa kau ingin mengikuti jago pedang itu ke Gua Naga!"
Si Mayat Hidup terbelalak, tapi akhirnya tertawa serak, batuk-batuk lagi. "Jadi kau sudah tahu hal ini, Mo-li? Kalau begitu kau juga ingin ke Gua Naga?"
Sin-yan Mo-li mendengus. "Bukan kalian saja yang kepingin ke gua itu. Mayat Hidup. Semua orang boleh menentukan pilihannya dan masing-masing berhak mengikuti jago pedang itu."
Temu Ba yang bicara blak-blakan membentak, “Jadi kau juga mengincar Pedang Naga. Mo-li? Kau ingin menyaingi kami merebut pedang itu?"
"Heh-heh, jangan galak-galak, Mu Ba. Aku tak berniat merebut pedang, tapi sekedar membantu pendekar pedang itu bila dia terancam!"
Si Mayat Hidup tertawa mengejek. "Mo-li, jangan memutar omongan. Kau hendak merebut secara halus, bukan? Kau berdalih saja membantu pendekar itu, nenek iblis. Tapi sesungguhnya kutahu kau akan membunuh jago pedang itu begitu Pedang Naga berhasil kau peroleh!"
Sin-yan Mo-li menyeringai. "Mayat Hidup, otakmu encer. Kalau begitu apa yang hendak kau lakukan?"
Iblis kurus ini mengerotokkan jari-jarinya. "Kau tak boleh coba-coba menyaingi kami, Mo-li. Sebagai sesama golongan ku nasihati baik-baik pergilah kau dari tempat ini sebelum kami marah. Jago pedang itu bagian kami, bukan bagianmu!"
"Hm, kau mengancam, Mayat Hidup?"
Iblis ini batuk-batuk. "Kalau kau mengerti sebaiknya kau pergi. Mo-li. Jangan tunda, semuanya ini demi kebaikanmu sendiri."
"Bagus, kalau begitu coba kulihat kemarahanmu, Mayat Hidup. Aku akan pergi kalau kau dapat mengalahkan cambukku ... tarr-tarr!" dan Sin-yan Mo-li yang tiba-tiba sudah menjeletarkan cambuk berdurinya di atas kepala tiba-tiba melompat mundur bersiap-siap.
Mayat Hidup terbelalak. "Kau menantang?"
Nenek ini menjengek. "Kalau kau mengusirku, Mayat Hidup!”
Maka Mayat Hidup yang tak dapat menahan kemarahannya lagi, tiba-tiba berkelebat maju dengan bentakan lirihnya. "Sin-yan Mo-li, kau mencari penyakit...!" dan iblis kurus yang sudah menyerang lawannya ini mengepret kelima jari ke pelipis nenek itu.
Tapi Sin-yan Mo-li terang tak mau diam. Ia menyambut tamparan Mayat Hidup itu, tertawa dingin. Dan begitu cambuk meledak di udara ia pun sudah menangkis serangan lawannya itu. "Mayat Hidup, jangan sombong kau... prat!" dan cambuk, serta jari yang bertemu di udara dengan ledakan nyaring tiba-tiba sama terpental dan mengejutkan masing-masing pihak. Keduanya terdorong mundur, sama terbelalak.
Tapi Mayat Hidup yang mendengus dingin sudah maju lagi melanjutkan serangannya. Dia tak banyak bicara, dan dua orang iblis yang sudah saling serang dengan sama cepat itu tiba-tiba sudah sama membentak dan melancarkan pukulan. Mayat Hidup dengan kepretan dan tamparannya yang bertubi-tubi sedangkan Sin-yan Mo-li dengan ledakan cambuknya yang menangkis serta mematuk dari segala penjuru, menjeletar-jeletar bagai suara petir yang menyambar. Dan begitu dua orang ini bergebrak saling serang maka keduanyapun lenyap dalam belitan sinar hitam yang mengurung mereka, belitan sinar hitam dari ujung cambuk Sin-yan Mo-li yang meledak-ledak!
Siauw-cut tertegun. Dia sudah melihat ilmu cambuk yang dimainkan nenek iblis itu ketika bertanding melawan si Naga Bongkok. Tapi melihat si Mayat Hidup dapat menangkis dan menggerakkan kesepuluh jarinya yang berkerotok dan bertubi-tubi menusuk serta mengepret tubuh Sin-yao Mo-li diapun terkejut dan kagum juga.
"Wah, iblis kurus itu hebat juga, locianpwe. Agaknya dia setanding dengan nenek iblis Sin-yan Mo-li itu!"
Kun Seng mengerutkan kening. "Memang keduanya sama hebat, Siauw-cut. Tapi yang tak kumengerti adalah bagaimana iblis-iblis itu tahu tentang rencana kedatangan si jago pedang!"
Siauw-cut terbelalak. "Ya, dan ada apa dengan Gua Naga, locianpwe? Apa pula nama pedang yang mereka sebut-sebut tadi?''
"Hm, Bu-tiong-kiam hendak mencari Pedang Naga di gua itu. Siauw-cut. Dia diperintah Bu-beng Sian-su untuk mendapatkan pedang ini!"
"Ah, begitukah?" Siauw-cut heran. "Dari mana kau tahu, locianpwe?"
Tapi kakek ini tiba-tiba memutar bola matanya. "Siauw-cut, kau tunggu di sini. Aku akan menyelidiki ke sekeliling bukit untuk mengetahui keadaannya!"
Siauw-cut terkejut. "Tapi tiga iblis itu ada di sana, locianpwe! Bagaimana kau hendak keluar?"
"Hm, serahkan hal ini kepadaku, Siauw-cut. Aku dapat mengecoh mereka dan kita segera ke Gua Naga!" Lalu bangkit berdiri dan mencengkeram lengan Siauw-cut kakek ini memandang anak itu. "Siauw-cut, kau dapat membantuku sedikit?"
Siauw-cut tergetar, kaget melihat sinar mata kakek itu yang tiba-tiba mencorong menakutkan. Sikapnya keren dan berwibawa sekali, belum pernah dia saksikan. Tapi mengangguk dengan mata penuh tanda tanya anak ini mendesis, "Tentu saja, locianpwe. Apa yang harus kulakukan?"
"Kau segera menghampiri batu hitam di sebelah kiri itu, Siauw-cut. Menyelinap dan bersembunyilah di sana begitu tiga orang iblis itu kutarik perhatiannya ke punggung bukit!"
Siauw-cut tertegun. "Menghampiri batu hitam itu, locianpwe?"
"Ya, dan kau tarik sebuah batu kecil yang ada di samping batu itu, Siauw-cut. Kau akan mendapatkan sebuah gua dangkal untuk tempat persembunyianmu!"
Siauw-cut mengangguk. Dia menelan keheranannya bagaimana kakek itu tahu tentang keadaan batu hitam itu, tapi belum dia bertanya tahu-tahu kakek itu telah berkelebat lenyap. "Siauw-cut, perhatikan baik-baik omonganku. Jangan menunda waktu begitu mereka kutarik perhatiannya ke punggung bukit!"
Siauw-cut tak sempat bertanya lagi. Dia melihat kakek itu sudah menuju Bukit Pedang, meluncur bagai setan terbang. Dan begitu bayangan kakek ini merupakan titik kecil di kejauhan sana tiba-tiba dia sudah mendaki bukit di sebelah kiri pertempuran, di mana waktu itu Mayat Hidup dan Sin-yan Mo-li terlibat pertandingan sengit, tak melihat bayangan kakek ini yang mendaki puncak. Tapi Mu Ba yang melihat bayangan kakek itu tiba-tiba berteriak,
"Hei, ada orang ke puncak bukit...!"
Mayat Hidup dan Sio-yan Mo-li terkejut. Mereka otomatis menghentikan pertempuran, menoleh ke kiri di mana Mu Ba terbelalak. Tapi begitu sadar dan kaget melihat seorang asing muncul mendaki bukit mendadak tiga orang itu berseru keras dan mengejar. Mu Ba paling dulu membentak. Raksasa tinggi besar itu sudah menjejakkan kakinya, berteriak dan menggereng bagai singa lapar. Lalu tubuhnya yang berkelebat mendaki bukit sudah terbang mendahului dua orang rekannya.
"Keparat iblis, berhenti kau...!"
Tapi Kun Seng terang tak mau berhenti. Dia terus mengerahkan ginkangnya, berlari cepat ke atas bukit. Lalu hampir tiba di puncak tiba-tiba dia berjungkir balik dan turun kembali lewat punggung di sebelah sana! Tentu saja tiga orang lawannya heran, tapi Mayat Hidup yang sudah menyusul temannya berseru,
"Mu Ba, hadang dia ke kiri. Aku ke kanan...!"
Raksasa ini mengangguk. Bersama gerengannya dia sudah meluncur ke kiri, mengikuti siasat temannya. Sementara si nenek iblis yang ada di belakang Mayat Hidup tiba-tiba membalik dan memotong di pinggang bukit. Maka seketika Kun Seng dipapak tiga orang lawannya dengan serentak, dan begitu bertemu di balik bukit dari arah berlawanan sekonyong-konyong tiga orang itu menyerang.
"Manusia hina, berhenti kau...!"
Kun Seng tersenyum mengejek. Dia melihat Mu Ba menghantam dadanya, mendorong dengan kedua lengan dahsyat ke depan. Tapi kakek yang tak dikenal karena mencoreng mukanya ini sudah menangkis dan menggeliatkan pinggangnya, tak membuka suara.
"Plak!" dan Mu Ba yang menjerit tertahan oleh tangkisan itu tiba-tiba terdorong selangkah dengan muka kaget. Tapi Mayat Hidup yang ada di sebelah kanan sudah menampar dan mengapretkan jarinya, menghantam leher kakek ini. Sementara Mo-li yang sudah berkelebat di belakang Kun Seng juga meledakkan cambuk menyerang pundak kakek itu.
Namun Kun Seng benar-benar lihai. Dengan kelitan ringan dia sudah menghindar tamparan si Mayat Hidup yang mencicit di sisi lehernya itu, lalu begitu jari lawan lewat di atas kepalanya mendadak dia mendorong siku Mayat Hidup, ganti menerima serangan cambuk Sin-yan Mo li. Tak ayal, kepretan jari iblis ini bertemu cambuk di tangan Sin-yan Mo-li, dan begitu ledakan memecah di tengah udara kontan Mayat Hidup menyumpah serapah, memaki nenek itu yang dikata goblok. Sementara Kun Seng yang tertawa geli oleh bentrokan di antara dua iblis itu sendiri sudah berjungkir balik dan turun kembali ke bawah bukit!
"Mayat Hidup, kalian tak dapat menangkap aku!"
Tiga iblis itu membentak. Mereka merasa terkecoh, juga terkejut. Karena lawan yang dapat lolos dari kepungan mereka padahal mereka susul-menyusul melakukan serangan sungguh membuat mereka terbeliak dan kagum bukan main. Maklum bahwa lawan yang mereka hadapi adalah seorang yang benar-benar lihai. Maka Mu Ba dan teman-temannya yang segera mengejar sambil memaki-maki sudah memburu lawannya ini dengan penuh kemarahan.
Tapi Kun Seng tak berniat menghadapi pertempuran. Dia sekedar menarik perhatian tiga iblis itu agar meninggalkan tempat semula, memberi kesempatan pada Siauw-cut untuk melaksanakan perintahnya berlari ke batu hitam, bersembunyi di situ. Maka melihat Siauw-cut tak ada lagi di tempat persembunyian semula tiba-tiba kakek ini tertawa dan berjungkir balik dengan cepat. Dia melayang ke atas pohon, melompat tiga empat kali dari dahan ke dahan. Lalu melayang turun mendekati sebuah batu karang tiba-tiba kakek ini lenyap memasuki sebuah celah yang mirip sebuah gua kecil!
"Mayat Hidup, dia lenyap di situ...!"
Mu Ba dan teman temannya sudah datang menyusul. Mereka melompat tergesa-gera, memandang ke tampat di mana Mu Ba berteriak. Tapi melihat sekeliling tempat itu penuh batu karang merekapun menjadi bingung.
"Ke mana dia lari, Mu Ba?"
"Ke daerah ini. Tentu bersembunyi di batu baru karang itu!"
"Kalau begitu kita kepung, Mu Ba. Kita berpencar ke tiga jurusan mencari jahanam itu...!"
Namun Sin-yan Mo-li mendengus. Dia tak beranjak ketika dua orang rekannya memisahkan diri, mencari lawan yang lenyap tak meninggalkan jejak. Karena nenek iblis yang sudah melompat di atas sebuah batu karang paling tinggi yang ada di tempat itu sudah memutar matanya ke sekeliling, tak mau bersusah payah seperti dua orang temannya. Dan Mayat Hidup yang melihat sikap nenek ini tentu saja mendongkol dan marah.
Tapi tiga orang itu sama tak berhasil. Mereka tak menemukan jejak lawan yang menghilang, kecewa dan mengumpat tak keruan dengan kata-kata kotor. Dan Mayat Hidup yang marah dengan semuanya ini tiba-tiba melompat dan menumpahkan semua kemarahannya kepada Sia-yan Mo-li.
"Nenek celaka, siapa orang itu tadi?"
"Hm, mana aku tahu. Mayat Hidup? Bukankah kita sama-sama tak tahu siapa laki-laki itu?"
"Tapi kau tak mau mengejar, Mo-li. Kau enak-enak memeriksa di atas batu karang sementara kami berdua mencarinya. Jangan-jangan dia temanmu!"
Sin-yan Mo-li marah. "Mayat Hidup, jangan menuduh sembarangan. Aku datang seorang diri ke tempat ini!"
"Kalau begitu kenapa kau tidak bantu mencari seperti kami?"
"Karena aku tak mau kau perintah!"
Mayat Hidup tertawa mengejek. "Sin-yan Mo-li, apapun alasannya sekarang aku mulai curiga. Aku yakin kini bahwa kau bohong dan laki-laki tadi adalah temanmu!"
Nenek ini meledakkan cambuk. "Kalau dia temanku tentu tak mungkin kuserang. Mayat Hidup. Kau mengeluarkan kentut busuk yang tidak ada harganya!"'
"Crit...!" Mayat Hidup tiba-tiba menyerang, menusukkan jari telunjuknya ke dada nenek itu. Lalu mendengus dan tersenyum mengejek iblis ini sudah membentak. "Kau yang mengeluarkan kentut busuk, nenek setan. Kau yang tak dapat dipercaya!"
Sin-yan Mo-li memekik. Ia marah diserang iblis kurus ini, hampir saja terkena kalau tidak mengelak. Maka meledakkan cambuk dan turun dari atas batu karang nenek ini sudah membentak dan bertubi-tubi melancarkan serangan, ia menangkis dan membalas, bahkan kakinya ikut pula bekerja dengan tendangan dari bawah. Dan begitu dua orang itu bergebrak maka pertempuran kembali terjadi antara dua orang tokoh hitam ini. Mereka sama-sama marah, tak mau sudah. Dan Mu Ba yang bingung oleh pertandingan itu tiba-tiba menggereng dan meluruk maju, membantu Majat Hidup.
"Nenek iblis, temanku rupanya benar. Kau membawa teman ke sini...!"
Sin-yan Mo li kaget. Ia terkesiap melihat tangan Mu Ba menghantam pundaknya, mengeluarkan deru angin hebat. Tapi melengking tinggi dan menjeletarkan cambuk, tiba-tiba nenek ini menyabet dan menundukkan kepalanya menghindar tusukan jari si Mayat Hidup yang hampir berbareng menyerang dirinya.
"Plak-dess...!"
Sin-yan Mo li menjerit. Ia terhuyung oleh pukulan si raksasa, tapi Mayat Hidup yang mengeluh dan membentak karena jarinya bertemu gagang cambuk yang dipukulkan lawan dengan amat tiba-tiba dari bawah ke atas hingga serangannya luput sudah mengepretkan jari dan menampar kepala renek itu, bertubi-tubi. Dan Sin-yan Mo-li yang didesak oleh dua orang lawan yang sama-sama marah kepadanya ini tiba-tiba mengerahkan ginkang memutar cambuknya, berkelebatan melayani serangan musuh yang gencar.
Tapi nenek iblis yang dikeroyok dua oleh lawan yang sebenarnya setingkat kepandaiannya dengan dirinya itu akhirnya mengeluh juga. Ia harus mengakui bahwa terlalu berat baginya menghadapi Mayat Hidup dan si raksasa sekaligus, dua orang lawan yang ilmu kesaktiannya seimbang. Maka begitu lawan mendesak dan terus mendesak serta melancarkan pukulan-pukulan berat, akhirnya nenek ini tak dapat membalas kecuali menangkis. Hingga akhirnya, ketika pukulan si raksasa menyelonong dan mengenai pundaknya Sin-yan Mo-lipun menjerit dan terpelanting roboh.
"Plak...” Sin-yan Mo-li terguling-guling, ia melompat bangun, menjeletarkan cambuk dengan penuh kemarahan. Tapi ketika Mu Ba dan Mayat Hidup mengejarnya dan menyerang dengan pukulan berikut iapun memekik dan berjungkir balik, melarikan diri. "Mayat Hidup, raksasa bodoh, aku tak mau main-main lagi. Kalian curang dan busuk...!"
Mu Ba dan Mayat Hidup membentak. Mereka terlanjur marah pada nenek ini, maka melihat lawan melarikan diri merekapun tak mau membiarkan Sin-yan Mo-li kabur. "Nenek iblis, kau serahkan dulu kepalamu di sini. Baru kami mau sudah...!"
Tapi nenek itu melesat jauh. Ia berjumpalitan di udara, mempercepat larinya dan tancap gas meninggalkan dua orang lawannya. Dan begitu keluar dari daerah batu karang ini segera nenek itu lenyap memasuki hutan. Mu Ba dan Mayat Hidup mengumpat-umpat.
"Setan, kita terkecoh. Mayat Hidup...!"
"Ya, dan rapanya nenek iblis itu menyembunyikan teman. Mu Ba. Kita harus cari dan mengusir mereka!"
Tapi baru mereka memutar tubuh tiba-tiba keduanya tertegun. "Hei, siapa itu?" Mayat Hidup terbelalak kedepan, melihat seorang anak tiba-tiba muncul dari sebuah batu hitam, anak yang bukan lain adalah Siauw-cut! Dan Mu Ba yang sudah melompat duluan sambil menggereng sekonyong-konyong membentak.
"Bocah, siapa kau?"
Siauw-cut tertawa mengejek. Dia tak memperdulikan bentakan si raksasa tinggi besar itu, lari mendaki puncak dengan cara melompat-lompat dari batu ke batu, mengejutkan dua orang iblis ini yang terheran serta kaget bagaimana anak itu tiba-tiba muncul. Tak diketahui datangnya! Tapi Mu Ba yang sudah mengejar dengan lompatannya yang panjang tahu-tahu sudah berada di belakang anak ini.
"Bocah, siapa kau?"
Tapi Siauw-cut tetap tak menjawab. Dia terus melompat-lompat dari batu ke batu lainnya, berusaha mendaki puncak sambil tertawa mengejek. Tapi ketika jari Mu Ba terulur ke depan dan mencengkeram pundaknya tahu-tahu anak ini terangkat naik bagai seekor kelinci disambar elang!
"Keparat, kau tak dapat menjawab, tikus cilik?"
Siauw-cut terkejut. Dia langsung menendang, mempergunakan tumit kakinya yang diputar ke belakang. Tapi Mu Ba yang marah dan melempar korbannya tahu-tahu membanting anak itu hingga membentur batu hitam di dekat mereka. "Brukk...!" Siauw-cut mengeluh. Untuk pertama kalinya dia melotot, merasa kesakitan tapi tidak mengaduh. Dan bocah yang cepat melompat bangun dengan tinju terkepal ini melihat Mayat Hidup sudah berdiri pula di samping si raksasa tinggi besar!
"Kau siapa, anak setan? Bagaimana tiba-tiba muncul di balik batu hitam itu?”
Siauw-cut mendengar bentakan Mu Ba, raksasa yang mendelik dan tak mengejapkan mata itu. Tapi Siauw-cut yang mengepalkan tinju dengan sikap marah ini justeru membalas bentakan lawan. "Kau tak perlu tahu siapa aku, Mu Ba. Tapi kuberitahukan di sini bahwa sebaiknya kalian pergi dan jangan menggangguku!"
Mu Ba tentu saja gusar. Dia sudah mengulurkan lengannya, mencengkeram baja anak ini. Dan Siauw-cut yang sia-sia mengelak tak dapat menghindar ketika leher bajunya diangkat dan berhadapan muka dengan wajah si raksasa yang kasar hitam! "Apa kau bilang, anak setan? Kau mengusirku? Dan kau tahu pula namaku?"
Siauw-cut meronta. Dia merasa tercekik, leher bajunya menjerat jalan pernapasan karena raksasa tinggi besar itu mencengkeram kuat. Dan Siauw-cut yang tak dapat menjawab selain ah-ah-uh uh bagai orang gagu tiba-tiba ditolong Mayat Hidup yang berseru pada temannya,
"Mu Ba, jangan biarkan dia tercekik. Anak itu tak dapat bicara...!"
Mu Ba mendengus. Dia melepas cengkeramannya, tapi begitu Siauw-cut melorot turun tahu-tahu jarinya ganti menyambar rambut Siauw-cut dan menggantung anak itu dengan jambakan yang kokoh, membuat Siauw-cut mendesis karena kulit kepalanya seakan terkelupas! "Nah, kau bicaralah sekarang, anak setan. Kenapa kau mengusirku dan bagaimana bisa berada di tempat ini!"
Tapi Siauw-cut memaki-maki, "Aku tak mau menjawab, raksasa tolol. Aku tak mau menjawab kalau kau tidak melepaskan tanganmu!"
Mu Ba menggeram. Dia langsung menggaplok pipi anak itu dengan tangan kirinya, tapi Siauw-cut yang makin meronta dan memaki-maki sudah menggerakkan kaki tangannya menendang dan memukul di udara. "Aku tak mau menjawab pertanyaanmu, iblis tolol. Aku tak mau menjawab pertanyaanmu kalau kau tidak melepaskan rambutku...!”
Mu Ba akhirnya menampar bertubi-tubi. Dia marah dan gusar sekali oleh kekerasan kepala anak ini, tapi Mayat Hidup yang melihat anak itu tetap berteriak biarpun mulutnya sudah pecah ditampar tiba-tiba berseru mencegah dengan mulut menyeringai, "Mu Ba, lepaskan anak itu. Biar aku yang mengurusnya...!"
Raksasa ini melempar tubuh Siauw-cut. Dia mengumpat panjang pendek dan hampir membunuh anak itu. Tapi temannya yang menerima dan menurunkan Siauw-cut di atas tanah secara baik-baik sudah menepuk pundak anak ini dengan suara batuknya yang serak.
"Anak baik, kau sebenarnya siapa dan bagaimana bisa betada di tempat ini? Siapa yang membawamu?"
Namun Siauw-cut terlanjur marah. Dia mendelik dan mengusap bibirnya yang pecah berdarah, memandang berapi-api kepda raksasa tinggi besar itu. tak menoleh sedikitpun pada si Mayat Hidup. Dan Mayat Hidup yang tertegun oleh sikap bocah ini tiba-tiba bersinar matanya dan mencengkeram pundak anak itu, membalikkan tubuhnya menghadap dia.
"Anak baik, kau siapa dan bagaimana pula bisa berada di sini? Kau mau menjawab pertanyaanku, bukan?"
Siauw-cut akhirnya mendesis, "Aku datang untuk mencari raja pedang. Mayat Hidup. Aku diutus seseorang untuk menemui pendekar pedang itu!"
Mayat Hidup terkejut. "Kau mencari raja pedang itu? Siapa yang mengutusmu?"
"Tak perlu kau tahu!"
Mayat Hidup terbelalak. Tapi Mu Ba yang naik darah oleh keberanian anak ini tiba-tiba mengulurkan lengannya menepuk ubun-ubun anak itu. "Dia tak perlu kita tanyai lagi. Mayat Hidup. Anak ini sebaiknya kita bunuh...!"
Tapi Mayat Hidup membentak. Dia menggerakkan lengan kanannya menangkis, dan begitu dua tenaga bertemu di udara tiba-tiba Siauw-cut terpelanting ketika tanah yang dia injak tergetar. Dan begitu anak ini terguling mendadak Medali Naga yang ada di balik bajunya mencelat keluar!
"Eh, apa itu?"
Mu Ba dan Mayat Hidup terkejut. Mereka sudah mengulurkan jari, tapi Mayat Hidup yang lebih dulu mengungkit dengan ujung kakinya tahu-tahu sudah menangkap benda ini yang ditendang ke atas. Dan Mayat Hidup tiba-tiba berseru, "Medali Naga!"
Dua orang itu tertegun. Mereka terbelalak memandang benda ini, tapi menoleh pada Bu-beng Siauw-cut, Mayat Hidup bertanya kaget, "Kau utusan Ho-han-hwe, bocah?"
Siauw-cut tentu saja tak dapat menjawab. Dia menggeleng, tapi Mu Ba yang menggereng sambil membanting kakinya tahu-tahu mencengkeram anak ini. "Kau bohong, bocah keparat. Kau utusan Ho-han-hwe...!"
Siauw-cut terbelalak. Dia terang tak mengerti oleh semua urusan itu, tapi melihat Mu Ba bersikap kasar padanya dan mencengkeram pundaknya hingga terasa sakit tiba-tiba diapun berteriak dan menyerang raksasa tinggi besar itu, "Ya, aku utusan perkumpulan orang-orang gagah itu, iblis kejam. Aku adalah anggauta mereka yang diutus mencari si jago pedang...!"
Mayat Hidup dan Mu Ba terkejut. Mereka tentu saja membelalakkan mata, heran dan kaget oleh pengakuan ini. Tapi Mu Ba yang tertawa bergelak dan membiarkan serangan Siauw-cut bertubi-tubi mengenai dirinya mendadak sudah menoleh pada kawannya.
"Apa yang akan kita lakukan, Mayat Hidup? Kau setuju kita bunuh, bukan?"
Mayat Hidup mengangguk. "Memang anak ini berbahaya bagi kita, Mu Ba. Jangan-jangan temannya yang lain ada pula di sini. Kau bunuhlah dia. Lempar saja ke dalam jurang."
Tapi Mu Ba tertawa menyeramkan. "Aku tak akan membunuhnya ke dalam jurang, Mayat Hidup. Aku akan menikmati sunsum tulang belakang anak ini... wutt!" dan Siauw-cut yang tiba-tiba disambar telapak jari yang lebar dari raksasa tinggi besar ini tahu-tahu mengeluh ketika sudah dibawa terbang ke sebuah batu karang yang besar.
Mayat Hidup tak mengikuti, tapi iblis kurus yang batuk-batuk ini berseru memperingatkan, "Mu Ba, jangan lama-lama memberesi anak itu. Kita masih berurusan dengan si jago pedang!"
Raksasa itu tertawa bergelak. Dia sudah melompat di belakang batu karang besar, mengempit dan melayang turun dengan air liur menetes, mengelus dan mengendus-endus kepala Siauw-cut bagai seekor anjing mencium daging segar. Tapi baru dia meletakkan anak ini di atas tanah dan siap menikmati sumsum tulang belakangnya sekonyong-konyong terdengar bentakan,
"Mu Ba, lepaskan anak itu...!"
Raksasa ini terkejut. Dia melihat sebuah sinar putih menyambar lehernya, disusul sinar hitam dari sebuah kipas di tangan seorang laki-laki muda. Tapi Mu Ba yang mendengus sambil menangkis seraya menggerakkan lehernya mengegos sedikit ini sudah mengerahkan tenaga dengan marah. Dan sinar putih serta sambaran kipas hitam itupun langsung terpental.
"Plak...!" Laki-laki muda itu terdorong mundur. Dia berseru kaget, terbelalak melihat kipas hitamnya yang sedikit robek sementara sinar putih yang bukan lain adalah jarum perak di tangan kanannya itu bengkok! Tapi laki-laki ini yang bukan lain Gin-ciam-siucai adanya dan datang untuk menolong Siauw-cut sudah membentak dan menerjang lagi, berteriak ke belakang, "Suhu, bawa anak itu...!"
Mu Ba terkejut. Dia melihat sesosok bayangan lain muncul, bayangan seorang kakek yang terkekeh dari balik batu karang, menyambar Siauw-cut dan melepas tiga kerikil hitam ke arah leher dan sepasang matanya, membantu laki-laki muda itu untuk mengacau sejenak. Dan Mu Ba yang kaget oleh munculnya kakek ini tiba-tiba membentak dan menangkis.
"Phoa-lojin, kau jahanam keparat...!"
Kakek yang menyambar Siauw-cut itu terkekeh. Dia memang Phoa-lojin adanya, kakek yang bertemu Siauw-cut di kota Wu-kian itu. Tapi mendengar lawan mengenal dirinya kakek inipun tertawa dan mengangguk. "Ya, aku orangnya. Mu Ba. Kau tak boleh membunuh anak ini dan biarkan dia kubawa!"
Mu Ba mendengus. Dia melayani serangan gencar Gin-ciam-siucai Hok Sun, tertawa mengejek dan melihat bayangan temannya muncul, karena Mayat Hidup yang mendengar ribut-ribut di balik batu karang itu sudah berkelebat menghampiri dan kaget melihat dua orang musuh mengganggu si raksasa. Bahkan Siauw-cut dibawa lari seorang kakek tua yang ternyata Phoa-lojin adanya. Maka Mayat Hidup yang membentak dan meluncur turun di depan lawannya ini langsung menusukkan jarinya.
"Phoa-lojin, lepaskan anak itu!"
Kakek Phoa terkejut. Dia menggerakkan papan caturnya menangkis, tapi ketika papan caturnya pecah bertemu jari si Mayat Hidup kakek ini berteriak keras dan berjungkir balik ke belakang. Lalu membebaskan totokan Siauw-cut kakek ini membuang anak itu sambil berteriak, “Siauw-cut, larilah. Aku akan menahan iblis ini..."
Siauw-cut tertegun. Dia melihat kakek itu sudah menangkis serangan lawan yang bercuitan larinya, melompat-lompat dan balas menyerang dengan papan caturnya yang pecah. Tapi melihat kakek itu terdesak dan tampaknya kerepotan anak ini mengerutkan kening dan tidak segera angkat kaki. Dan ini membuat Phoa-lojin terpaksa membentak,
"Anak bodoh, larilah. Tempat ini tidak menguntungkan bagimu...!"
Siauw-cut menarik napas. Dia memutar tubuh, melompat pergi mengucap terima kasih. Namun baru dia menggerakkan kakinya tahu-tahu Sin-yan Mo li muncul di situ.
"Heh-heh, kau lagi-lagi ada di sini, bocah? Kau datang untuk urusan apa?”
Siauw-cut terbelalak. Dia terkejut melihat kehadiran nenek ini, tapi berseru keras dia sudah menerjang dan menggerakkan kaki tangannya menyerang nenek itu. Namun Sin-yan Mo li terkekeh, lalu berkelit dengan mudah ke kiri kanan mendadak nenek ini sudah menotok Siauw-cut dan menangkap serta membawanya kabur!
"Anak sinting, aku akan membawamu ke Gua Naga. Kau ikutilah aku...!"
Phoa-lojin dan muridnya kaget. Mereka membentak dan menyerang bertubi-tubi dua orang lawan yang tangguh ini, tapi Mayat Hidup yang mengerutkan alis melihat Mo-li membawa lari anak itu sudah berseru tidak senang.
"Mo-li, anak itu utusan Ho-han-hwe. Kau bunuhlah dia dan jangan mencari penyakit!"
Mo-li rupanya terkejut. Nenek ini terdengar mengeluarkan seruan lirih, namun Siauw-cut yang masih dibawa lari ke pinggang bukit terus dipondongnya seakan tak perduli. Tapi ketika dia tiba di sebuah batu Karang besar mendadak sebuah tali menjirat kakinya dari bawah.
"Jrrt...!" Nenek ini berteriak keras. Ia terpelanting roboh, tak melihat jebakan di bawah yang membuat dia mengumpat dan memaki-maki itu. Tapi Sin-yan Mo-li yang lihai dan sudah berjungkir balik sambil melempar Siauw-cut ke atas untuk menyelamatkan diri ini sudah cepat turun kembali dan meledakkan cambuknya menerima tubuh anak itu.
Tapi sesosok bayangan berkelebat, tertawa dan mendahului nenek ini menyambar Siauw-cut di udara. Dan begitu dia menangkap anak ini dan menangkis cambuk si nenek iblis bayangan itupun berjungkir balik dan lari ke puncak Bukit Pedang. "Sin-yan Mo-li, kau tak berhak membawa anak ini. Pergilah baik-baik dan jangan ganggu kami berdua...!"
Sin-yan Mo-li tertegun. Ia melihat bayangan itu bukan lain adalah laki-laki yang tak dikenal itu, yang coreng-moreng mukanya itu. Tapi Siauw-cut yang mengenal bayangan ini sudah mengeluh girang dengan muka berseri, "Kun-locianpwe...!"
Kakek itu tersenyum, kecut mukanya. "Ya, aku, Siauw-cut. Kenapa kau keluar tanpa menunggu perintahku dulu?"
Siauw-cut tak menjawab. Dia tertawa aneh memandang kakek ini, sementara Sin-yan Mo-li yang hilang kagetnya dan sadar kembali sekonyong-konyong memekik dan sudah mengejar sambil meledakkan cambuknya.
"Manusia hina, lepaskan bocah itu... tar-tarr."
Kun Seng mengerutkan alis. Dia mengerahkan ginkang, berlari cepat ke puncak bukit. Tapi baru berada di tengah tiba-tiba sesosok bayangan menghadang seperti iblis yang muncul dari permukaan tanah, begitu saja muncul tanpa diketahui dari mana asalnya! Dan Siauw-cut yang melihat orang ini mengenakan kedok merah tiba-tiba berseru kaget dengan muka berobah.
"So-beng...!"
Kun Seng seketika menghentikan larinya. Dia terkejut melihat iblis Penagih Jiwa ini datang, muncul begitu tiba-tiba di Bukit Pedang bagai hantu yang tegak menyeramkan. Sementara Sin-yan Mo-li sendiri yang sudah sampai di situ dan tertegun mendengar seruan Siauw-cut tampak mendelong dan kaget hatinya.
Tapi laki-laki tua ini menyeringai. Dia menenangkan debaran jantungnya, menurunkan Siauw-cut dan membungkuk di depan lawan yang masih tak bicara itu. Dan bersikap halus namun tidak melepas kewaspadaan kakek ini menegur, "Sobat, kau siapakah dan ada perlu apa menghadang jalanku? Bukankah kita tidak saling kenal?"
Iblis berkedok itu mendengus. "Tak perlu berpura-pura, orang she Kun. Aku sengaja menunggumu dan ingin minta kitab serta Pedang Naga yang kau simpan!"
Kakek Kun bersaru kaget. Dia mundur selangkah, terbelalak memandang lawan. Tapi tertawa sumbang dia pura-pura bertanya dengan kening berkerut, "Sobat, apa yang kau omongkan ini? Siapa yang kau maksud?"
"Hm, tak perlu berpura-pura, Bu-tiong-kiam. Aku tahu siapa kau dan apa pula maksudmu ke mari!"
Siauw-cut dan Sin-yan Mo-li berseru tertahan. Mereka melihat kakek itu tertegun, namun Kun Seng yang berusaha menyembunyikan diri tiba-tiba tertawa bergelak dan memasang muka keras. "Sobat, kau salah melihat orang. Aku bukan jago pedang itu dan tak perlu melayanimu lagi...!"
Kemudian, dengan cepat namun sebat mendadak kakek ini sudah menyambar tubuh Siauw-cut dan turun ke bawah, menghindari iblis berkedok itu dan mengibaskan lengan ke samping menyibak si nenek iblis supaya minggir. Tapi Sin-yan Mo-li yang menjeletarkan cambuk dan tentu saja tak membiarkan lawan kabur sudah menggerakkan senjatanya menyerang bertubi-tubi menghadang kakek itu pergi. Dan So-beng yang juga sudah melejitkan kaki menghadang kakek ini ikut membentak dengan suaranya yang dingin,
"Bu-tiong kiam kau tak dapat lari dariku. Kecuali menyerahkan pedang dan kitab!"
Kakek ini akhirnya bingung. Dia terpaksa melompat mundur, menghindari semua serangan si nenek iblis. Dan Siauw-cut yang melompat turun dari gendongan kakek ini akhirnya menatap temannya itu dengan mata terbelalak.
"Kun-locianpwe, benarkah kau si jago pedang itu? Kau Bu tong-kiam Kun Seng yang selama ini menyembunyikan diri?"
Kakek itu menelan ludah, gemetar mukanya. "Aku bukan jago pedang itu, Siauw-cut. Orang-orang ini salah paham dan keliru menduga!"
So-beng tertawa mengejek. "Tapi kami dapat membuktikannya, orang she Kun. Aku bukan anak kecil seperti bocah itu. Kau tak dapat menyembunyikan kepandaianmu lagi bila diserang dan terdesak!"
Kakek Kun menyeka keringatnya. Dia tiba-tiba nampak bingung, juga gugup. Tapi sementara dia melirik sana-sini untuk mencari jalan keluar sekonyong-konyong Mu Ba dan si Mayat Hidup muncul.
"Mo-li, siapa orang ini?" Mu Ba mengeluarkan bentakannya yang menggeledek, memandang kaget laki-laki berkedok merah itu sementara melirik beringas ke arah Kun Seng yang berhasil lolos dari sergapannya ketika dikeroyok tiga.
Dan si nenek iblis yang belum tahu banyak tentang So-beng menjelaskan pada rekannya sambil menuding ke depan, "Dia bernama So-beng, Mu Ba. Tapi si tua bangka ini ternyata Bu-tiong-kiam yang kita cari-cari...!"