Pedang Medali Naga Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG MEDALI NAGA
JILID 08
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pedang Medali Naga Karya Batara
SIAUW-CUT mengangguk. Dia tergetar sejenak oleh kegarangan kepala rampok ini, yang demikian bengis duduk di atas kudanya. Tapi Siauw-cut yang tersenyum mengejek tiba-tiba melompat maju dan menghadang rombongan itu, memalangkan rantingnya.

"Berhenti! Kalian ada apa ribut-ribut di sini, orang-orang kasar? Siapa kalian? Rombongan Golok Hitamkah?"

Laki-laki tinggi besar itu terbelalak. Dia menghentikan kudanya di depan anak ini, terheran tapi juga marah. Namun tertawa dengan sikap menyeramkan tiba-tiba kepala rampok ini melompat turun. "Bocah, kau siapa dan apa maksudmu menghadang kami?"

"Aku perantau jalanan, tikus besar. Kaukah yang berjuluk Golok Hitam?"

Laki-laki itu terkejut. "Kau sudah tahu namaku dan tidak mau minggir? Siapa tua bangka itu? Di mana Lo chungcu?"

Kun Seng yang menjawab, "Kepala dusun Lo muak bertemu denganmu, Golok Hitam. Karena itu dia minta padaku untuk menyambutmu di sini!"

"Ah...!” Golok Hitam mundur. "Kau anjing pembantu Lo-chungcu?"

"Hm, anjing Lo-chungcu atau bukan tak perlu kau tahu. Golok Hitam. Yang jelas aku ingin membuatmu anjing buduk yang tahu diri!"

"Keparat..!" Golok Hitam memekik, menyuruh anak buahnya turun dan tiba-tiba menuding dua orang di sebelah kanannya. "Kam Ti, Ci Hung, bunuh kakek ini dan robek mulutnya!"

Tapi kakek Kun menyeringai. "Wah, jangan buru-buru Golok Hitam. Aku dilindungi muridku ini. Dia tentu tak membiarkan aku dibunuh anjing-anjingmu itu!"

Siauw-cut melangkah maju. "Benar kau tak boleh mengganggu yang tua dulu, Golok Hitam. Masih ada aku yang muda di sini."

Golok Hitam mendengus. Dia melihat anak itu melindungi yang tua, tersenyum-senyum dan mengejek kepada mereka semua. Maka kepala rampok yang marah ini langsung membentak, "Kam Ti, bunuh dan singkirkan mereka berdua...!"

Dan dua orang laki-laki kekar yang sudah menghampiri Siauw-cut tiba-tiba mengayun golok ke dada anak laki-laki ini. Tapi Siauw-cut mengelak. Dia tak tahu Kun Seng tiba-tiba menolongnya dari belakang, menyentil dua butir kerikil ke pundak dua orang perampok itu yang kontan mengaduh karena lengan mereka kaku tertotok. Dan Siauw-cut yang mengira dua orang itu kesakitan tanpa sebab mendadak sudah mengayunkan rantingnya dan menendang paha orang.

"Tikus-tikus busuk, kalian menyingkirlah...!"

Dua orang itu menjerit. Mereka tentu saja ditendang roboh, bergulingan tunggang-langgang dengan muka kaget. Tak tahu apa yang terjadi dan kenapa pundak mereka tiba-tiba kaku tak dapat digerakkan. Tapi mereka berdua yang sudah melompat bangun dan merasa pundak sudah pulih seperti sedia kala sekonyong-konyong menubruk beringas dengan jerit penuh kemarahan.

"Setan cilik, kau mampuslah!"

Siauw-cut terkejut. Dia sebisa-bisanya melompat menghindari, kaget melihat kecepatan golok yang membabat pinggangnya. Tapi karena dia tergesa-gesa dan belum biasa dalam sebuah pertempuran tiba-tiba kakinya tersandung batu. Akibatnya Siauw-cut tergelincir, dan begitu anak ini roboh tahu-tahu golok menyerempet bajunya.

"Brett!"

Dua orang itu berteriak gembira. Siauw-cut terjelungup ke depan, tapi Kun Seng yang diam-diam menggerakkan tangan menotok dari jauh dengan kerikil hitam sudah membuat dua orang ini terpekik ketika lengan mereka kembali kaku tanpa sebab! Dan Kun Seng yang tertawa oleh kejadian itu sudah berteriak pada anak laki-laki ini,

"Siauw-cut, rampas goloknya dan tendang selangkangan mereka!"

Siauw-cut mengangguk. Dia melompat bangun dengan cepat, tak menyia-nyiakan kesempatan lawan mematung di situ, tak tahu bahwa mereka tertotok lengannya dan kaku tak dapat bergerak. Maka begitu menubruk dan menendang selangkangan lawan diapun sudah merampas golok dan membentak, "Tikus-tikus hina, robohlah kalian... plak-dess!"

Dua orang itu menjerit. Mereka mengaduh hebat ditendang bagian yang amat rawan ini, selangkangan yang membuat mereka mulas dan sakit bukan main. Maka begitu ditendang kaki si bocah dengan dupakan keras kontan mereka kelenger dan jatuh berdebuk di depan si Golok Hitam, tak dapat bangun kembali!

"Ah...!" si Golok Hitam terbelalak. Tapi sadar bahwa dua orang pembantunya keok demikian mudah mendadak laki-laki ini menendang dua orang pembantunya itu hingga mencelat dan tersiksa lebih hebat, pingsan. Lalu melompat ke depan dengan golok terangkat tinggi-tinggi dia-pun meraung dan membanting kakinya.

"Bocah hina, aku akan membunuhmu! dan memberi aba-aba pada anak buahnya yang lain pemimpin rampok itu berteriak, "Manusia-manusia tolol, lanjutkan tugas kalian memasuki dusun. Biar aku membunuh dan memberesi dua orang ini!"

Semua perampok menganggukkan kepala. Mereka melompat kembali ke atas kuda berderap maju dengan pekik buas. Tapi baru mereka melompat di atas kuda masing-masing tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat cepat. Mereka tak tahu bayangan siapa itu. Tapi begitu menyentuhkan tangannya di pantat kuda mendadak binatang tunggangan itu sama meringkik dan mendeprok roboh. Lumpuh! Lalu begitu semua orang menjerit dan terpelanting jatuh tahu-tahu bayangan ini kembali ke tempatnya semula dan tersenyum-senyum. Kun Seng!

"Ah, kau yang melumpuhkan kuda-kuda kami, tua bangka?"

"Ha-ha, sekedar mencegah anak buahmu tak memasuki dusun, Golok Hitam. Lo-chungcu tak ingin kampungnya dikotori jejak-jejak kaki kalian.'"

Golok Hitam terkejut. Dia marah dan kaget melihat anak buahnya tak dapat menjalankan tugas. Kudanya lumpuh ditepuk kakek tua ini. Tapi bukannya sadar dan mengetahui bahwa kakek itu memiliki kepandaian hebat kepala rampok ini malah memekik dan mengayunkan goloknya, membacok leher laki-laki tua itu.

"Tua bangka, kau tak tahu diri. Mencari mati, mampuslah...!" dan golok yang menyambar keras ke laki-laki tua ini meluncur mengerikan bagai petir membelah angkasa.

Tapi kakek ini tertawa. Dia bersikap dingin, lalu berkelit mudah ke samping lawan tiba-tiba jarinya mengetuk pergelangan tangan lawan. "Golok Hitam, kau yang tak tahu diri. Pergilah...!"

Golok Hitam menjerit. Dia merasa ketukan kakek itu menimpa dahsyat, mengenai tulang dan serasa meremukkan pergelangannya. Lalu sementara dia terpekik tahu-tahu kakek itu mendupak pinggangnya dan... melayang ke arah Siauw-cut.

"Siauw-cut, ambil rantingmu dan layani babi ini. Kau hajarlah dia...!"

Siauw-cut mengangguk gembira. Dia melihat tadi perbuatan orang tua itu yang melumpuhkan semua binatang tunggangan para perampok ini, demikian cepat gerakannya hingga hampir tak terlihat pandangan mata. Maka melihat kakek itu melempar tubuh si kepala rampok dan menyuruhnya menghadapi lawan anak inipun besar hati dan membuang golok, mencabut ranting yang tadi tersisip di pinggang. Lalu begitu membentak dan menggerakkan rantingnya tiba-tiba muka si Golok Hitam sudah disabet dan diterima dengan lutut kanannya yang menghantam dagu lawan!

"Golok Hitam, cium lututku dulu, baru bertempur... dukk!" dan kepala rampok yang menjerit oleh hantaman lutut ini terbanting dan mengaduh hebat di atas tanah, nggelosor dan pecah mulutnya lalu terguling-guling melompat bangun. Marah bukan main. Kemudian menggereng dengan muka beringas laki-laki ini sudah memutar goloknya hingga mengaung dan melompat ke depan.

"Bocah hina, aku akan mencincang tubuhmu...!"

Siauw-cut tertawa. Dia tiba-tiba menekan rantingnya berjungkir balik di depan lawan, membuat si Golok Hitam tertegun melihat anak ini menghadapinya dengan cara seperti itu, kepala di bawah kaki di atas dengan ranting menopang tubuh! Tapi membentak dan mengira anak itu gila mendadak laki-laki ini sudah menerjang ke depan dengan pekik buasnya.

"Anak siluman, aku akan mencincang tubuhmu tiga potong...!"

Siauw-cut melejit. Dia terang tak mau dijadikan sasaran golok, melenting dan berjungkir balik dengan cepat, kembali ke posisi semula. Lalu menggerakkan ranting bertubi-tubi dia sudah menusuk dan mempergunakan jurus pertama, Tit-te-pai-seng, mengelak dan balas menyerang lawannya ini. "Golok Hitam, jangan berkaok-kaok dulu. Telingaku bising...!"

Golok Hitam, menerjang. Dia sudah membacokkan goloknya ke tubuh anak itu. Tapi ketika Siauw-cut merobah gerakan dan berdiri kembali di atas tanah sambil mengelit senjatanya, otomatis goloknya luput mengenai sasaran, menyambar angin kosong. Dan sementara dia terbelalak oleh gerakan lawan yang ringan tapi gesit tahu-tahu ranting di tangan lawan sudah bergetar menjadi lima buah banyaknya dan menyerang dahi dari atas ke bawah!

"Prat-prat!"

Golok Hitam meraung. Dia tak dapat mengelak tusukan ranting itu. bingung karena mana yang sebetulnya menyerang. Semuanya tampak sama. Maka ketika hidung dan mulutnya "dicolok" ranting kontan kepala rampok ini menggereng dan mengumpat-umpat, marah bukan main. "Anak sundal, aku akan membunuhmu... aku akan mencincangmu. Keparat kau!"

Siauw-cut tertawa gembira. Dia girang melihat jurus pertamanya sudah berhasil mengenai lawan, meskipun tak melukai. Maka melihat Golok Hitam menghambur lagi dengan golok diputar cepat diapun berkelit dan mainkan jurus ke dua dan ke tiga, Heng-hun-po-uh dan Bu-tiong-boan-seng, menotolkan ranting dan membuat gerakan bagai bintang menari-nari. Dan begitu mereka bergebrak tiba-tiba keduanya sudah saling serang dengan sengit, terutama si Golok Hitam sendiri yang berkali-kali luput bacokannya dikelit lawan yang lincah. Dan Siauw-cut yang tertawa melihat tiga jurus ilmu silatnya ternyata dapat dipakai menghadapi si Golok Hitam sudah terkekeh gembira mainkan rantingnya.

Tapi Siauw-cut tiba-tiba tersentak. Golok Hitam merobah gerakannya, berpusing dan memutari dirinya sambil bergulingan, tangan kiri mulai melancarkan pukulan-pukulan keras mengiringi serangan golok. Dan bingung serta belum banyak pengalaman tentang sebuah pertandingan tahu-tahu dadanya menerima tinju si Golok Hitam ketika dia lengah, baru saja memandang si kakek tua untuk minta petunjuk! Dan Siauw-cut yang roboh terbanting oleh pukulan ini tiba-tiba melihat lawannya mengangkat golok dibacokkan ke lehernya.

"Bocah hina, mampuslah...!"

Siauw-cut mencelos. Dia terang tak berani menangkis dengan rantingnya, senjata lemah yang tentu putus dibabat golok. Tapi Kun Seng yang tersenyum melihat ini mendadak berseru, "Siauw-cut, pergunakan getaran sinkangmu. Kenapa begitu tolol mengelak saja? Salurkan tenaga di lengan, tarik hawa dari pusar dan tangkis golok itu dengan rantingmu...!"

Siauw-cut tertegun. Dia tak jadi mengelak, sedikit bingung oleh seruan itu. Tapi percaya pada kakek ini dan golok juga sudah dekat dengan tubuhnya tiba-tiba bocah ini menarik napas dan menggerakkan ranting menangkis, sekuat tenaga begitu hawa sakti bergetar di lengannya, menurut "perintah" jalan pikirannya. Dan begitu ranting bertemu golok tahu tahu terdengar suara keras ketika golok mental keras tapi ranting di tangan Siauw-cut patah dua potong dibabat senjata si Golok Hitam!

"Crak!" Siauw-cut tertegun. Dia heran rantingnya dapat menolak golok di tangan lawan, seakan ranting di tangannya itu berobah seperti toya baja. Tapi bahwa rantingnya patah dan tak kuat juga menerima golok di tangan lawan secepat kilat dia menggulingkan tubuh ketika Golok Hitam memekik dan membacokkan goloknya, kembali menubruk pada saat dia tak memegang senjata.

"Brett..!" Siauw-cut mencelos kaget. Dia masih tak dapat menyelamatkan diri sepenuhnya. Baju di pundak berikut sedikit kulit terobek menerima bacokan, kalah cepat! Dan sementara dia melompat bangun dengan muka pucat tahu-tahu Si Golok Hitam kembali mengejar dengan senjata diangkat ke atas membelah kepalanya.

"Bocah siluman, aku akan membunuhmu sekarang...!"

Siauw-cut terbelalak ngeri. Dia tak ada kesempatan mengelak. Baru bangun, mana bisa menghindar? Tapi sementara dia bagai orang bingung menghadapi serangan ganas ini mendadak kakek Kun mendorongkan lengannya.

"Anak bodoh, jangan ndomblong begitu. Kemarilah...!"

Siauw-cut tiba-tiba mengeluarkan seruan kaget. Dia merasa disedot ke belakang, ditarik tenaga tak nampak yang meluncur dari lengan kakek Kun. Lalu begitu dia terkesima tahu-tahu golok di tangan lawan sudah menghajar batu di depannya, luput mengenai dirinya karena dia sudah "terbang" ke belakang, disedot sinkang mujijat si lelaki tua!

"Ah, kau bodoh, Siauw-cut. Orang bertanding tak boleh bengong!"

Siauw-cut tertegun. Dia terbelalak melihat bacokan si Golok Hitam yang dahsyat menimpa batu, belah jadi dua seperti orang membacok agar-agar. Dan sementara kepala rampok itu menjerit penuh kecewa karena sasarannya luput dan marah-marah tiba-tiba kakek Kun menepuk pundak anak ini dan menyisipkan sebuah golok, tertawa sambil mendorong anak itu.

"Sekarang maju kembali, Siauw-cut. Pakai golok ini dan robohkan lawanmu...!"

Siauw-cut menyeringai. Sekarang dia sadar dan besar hati oleh pertolongan kakek itu, yang ternyata mampu menyelamatkannya dan tak membiarkan dia celaka di tangan musuh. Maka tertawa dan tersenyum lebar oleh kenyataan ini tiba-tiba Siauw-cut melompat maju dan membolang-balingkan goloknya.

"Golok Hitam, sekarang aku tak akan memberimu ampun. Kita berdua sama-sama bersenjata tajam!"

Laki-laki itu sudah menggereng. Dia melihat anak itu "disedot" si kakek tua, luput menerima serangan goloknya dan kini maju dengan sebatang golok pula. Maka marah dan gusar oleh semuanya itu mendadak laki-laki ini menenang ke depan dengan golok diputar cepat, mengaung bagai lebah mencari madu.

"Bocah setan, kau yang tak akan kuberi ampun. Mampuslah...!"

Siauw-cut berjungkir balik. Dia langsung mulai mengulang kembali jurus pertama Tit-ie-hai-seng itu, menggerakkan golok menangkis dan balas menyerang, sekaligus mengerahkan pula getaran sinkangnya itu untuk memperkuat cekalan golok. Dan begitu dia menangkis sambil mainkan ilmu silatnya dengan besar hati karena ranting sudah diganti golok tiba-tiba lawan berteriak kaget ketika senjatanya mental ke belakang, membentur tenaga dahsyat yang tiba-tiba muncul di lengan anak itu!

"Trang!"

"Ah...!" Golok Hitam terkesiap. Dia melengking tinggi oleh gebrakan yang mengejutkan ini, tak tahu dari mana anak itu mendapatkan tenaganya yang demikian hebat luar biasa. Tapi meraung dan memekik penuh kemarahan tiba-tiba kepala rampok ini telah menghujani tubuh lawannya dengan serangan gencar. Bertubi-tubi dia menyerang anak itu, kiri-kanan muka dan belakang. Bahkan bergulingan pula seperti caranya tadi, mengharap anak itu bingung menghadapi tingkahnya. Tapi Golok Hitam yang tak mengetahui apa yang terjadi pada anak ini tiba-tiba dibuat kaget dan melongo.

Siauw-cut tiba-tiba saja seperti harimau tumbuh sayap. Mampu mengimbangi dan menangkis semua bacokannya, bahkan mengelak dan menyerang ganas, memutar golok dan bertubi-tubi "mematuk" tubuhnya, lebih gesit dan cekatan dibanding tadi, ketika memegang ranting! Dan Golok Hitam yang mengeluh melihat perobahan itu tiba-tiba pucat mukanya ketika tangkisan-tangkisan anak itu kian lama kian membuat lengannya kesakitan, tergetar pedas. Hampir melumpuhkan! Dan ketika dia terbelalak dan mundur-mundur oleh serangan anak laki-laki ini mendadak kepala rampok itu sudah terdesak hebat dan menjerit-jerit. Marah tapi juga gentar!

Sesungguhnya, apa yang terjadi pada pertempuran ini? Sederhana saja. Kisahnya dimulai dari rasa kurang percaya diri, karena ketika Siauw-cut masih memegang ranting dan belum tahu kehebatan ilmu silat kakek itu dia merasa was-was dan kurang tenang. Bagaimanapun Siauw-cut belum pernah mempelajari ilmu silat. Kecuali ilmu pernapasan (Iweekang) yang didapatnya dari Bu beng Sian su. Maka begitu mendapat "warisan" ilmu silat yang banyaknya hanya tiga jurus dan baru pertama kali itu dia bertanding melawan seorang kepala rampok yang tinggi besar dan menyeramkan mukanya mau tak mau anak ini tergetar juga. Kecut.

Tapi ketika dalam pertempuran pertama dia berhasil menandingi setidak-tidaknya menahan serangan si Golok Hitam dengan ranting yang lemah di tangannya maka anak ini terangkat kepercayaannya. Tapi kepercayaan inipun tiba-tiba hampir padam. Yakni ketika rantingnya patah menangkis golok si kepala rampok itu meskipun senjata lawan dapat pula dia pentalkan. Hasil dari getaran tenaga saktinya yang bergolak di tubuh, tenaga sakti yang sesungguhnya belum mahir benar dipergunakan anak ini.

Karena, kalau Siauw-cut dapat mempergunakan tenaga saktinya dengan betul tentu rantingnya tak akan patah. Bahkan mungkin senjata di tangan kepala rampok itulah yang patah bertemu tenaga sinkang seorang yang ahli! Tapi karena Siauw-cut memang belum tahu akan semuanya ini maka tak heran kalau dia kecil hati menghadapi lawannya yang buas, setelah rantingnya patah.

Tapi Siauw-cut tiba-tiba gembira. Dia melihat kakek Kun tak membiarkannya celaka di tangan lawan. Berarti kakek itu akan selalu menyelamatkannya setiap dia dalam bahaya. Maka mendengar kakek itu menyuruhnya maju kembali dan membekalinya dengan sebuah golok sebagai pengganti ranting yang patah tiba-tiba Siauw-cut bangkit semangatnya dan besar hati! Dia maju dengan kepercayaan penuh. Yakin tak akan terbunuh karena kakek Kun akan membantunya setiap saat! Dan girang serta pulih kembali kepercayaannya yang menggebu-gebu Siauw-cut tiba-tiba menjadi garang dan mantap sepak terjangnya.

Hal ini membuat gejolak tenaga saktinya bangkit, tak terkendali, didorong oleh semangat yang meluap dan rasa besar hati yang berlebih-lebihan. Maka begitu dia menyambut dan balas menyerang semua bacokan si Golek Hitam tiba-tiba Siauw-cut telah mainkan tiga jurus ilmu silatnya dengan begitu baik dan sempurna. Satu hal yang belum tentu dapat dilakukannya dalam keadaan kecil hati. Dan begitu dia mainkan tiga jurus ilmu silat ini dengan penuh kepercayaan diri yang berlebih-lebihan mendadak tenaganya berlipat ganda sampai sepuluh kali banyaknya!

Tentu saja Golok Hitam terkejut. Dia tak tahu kenapa tenaga anak laki-laki ini sekonyong-konyong seperti orang kesetanan. Hebat dan membuat lengannya kian pedih dan kesakitan setiap kali ditangkis. Bahkan telapaknya mulai lecet-lecet! Dan ketika dia semakin terdesak dan mundur-mundur oleh serangan anak laki-laki itu mendadak golok Siauw-cut "memercik" ke segenap tubuhnya dalam jurus terakhir. Bu-tiong-hoan-seng... atau Bintang Bertaburan di Balik Kabut!

"Golok Tengik, robohlah...!"

Laki-laki ini menggigit bibirnya. Dia dimaki Golok Tengik, bukan Golok Hitam. Dan melihat anak itu menggerakkan golok demikian rupa hingga mengaburkan pandangan karena ujung golok tiba-tiba "memercik" ke sana ke mari menghujani tubuhnya tiba-tiba kepala rampok ini bingung. Dia tak tahu harus menangkis ke mana. Maka, nekat dan bingung oleh serangan Bintang Bertaburan itu mendadak dia memutar goloknya dengan ngawur, sebisa dia melindungi diri.

Dan begitu membentur golok di tangan Siauw-cut yang berhamburan dari segala penjuru mendadak kepala rampok ini berteriak ketika goloknya patah, tak kuat bertemu tenaga Siauw-cut yang luar biasa. Lalu sementara dia terpekik dan golok lepas dari tangannya tahu-tahu golok di tangan anak laki-laki itu sudah menyambar dan membabat lengannya.

"Cratt...!" Golok Hitam terpelanting roboh. Pangkal lengannya terkuak lebar, bahkan sebagian dada kirinya juga terluka, mengucurkan darah yang menyemprot segar. Dan Golok Hitam yang kaget oleh gebrakan terakhir ini tiba-tiba sudah ditodong ujung golok yang menempel di kulit lehernya.

"Kau masih tak menyerah. Golok Tengik?"

Laki-laki ini tertegun. Sekarang dia sadar bahwa lawan yang dihadapinya itu bukan anak sembarangan. Tapi pura-pura mengeluh dan melirik ke kanan dia memberi kedipan pada anak buahnya, menyuruh mereka maju membokong. Tapi baru anak buahnya melompat maju tiba-tiba kakek Kun tertawa dan menggerakkan jarinya. Lima puluh kerikil hitam disentilkan bergantian, cepat sekali. Dan begitu sinar hitam menyambar anak buah kepala rampok itu mendadak semuanya mengeluh dan terguling roboh. Tertotok oleh kerikil yang disambitkan kakek ini!

"Ha-ha, kau ingin memerintahkan anak buahmu maju mengeroyok. Golok Hitam? Kau masih tak menerima kekalahanmu dan minta dibunuh?"

Golok Hitam terkejut. Dia melihat anak buahnya sudah roboh bergelimpangan, tak satu-pun berdaya. Semuanya ditotok roboh oleh kakek tua itu. Dan sadar bahwa kakek ini seorang sakti yang luar biasa ilmu kepandaiannya tiba-tiba kepala rampok ini gentar dan ketakutan bukan main!

"Ah, ampun... ampunkan aku, orang tua. Sungguh mataku buta tak mengetahui siapa adanya kau! Siapakah kau dan siauw-hiap (pendekar cilik) ini? Golok Hitam menjatuhkan diri berlutut, gemetaran dan pucat mukanya dengan peluh membasahi dahi.

Tapi kakek Kun yang sudah melayang mendekati kepala rampok ini tiba-tiba bersikap bengis. "Golok Hitam, tak perlu kau tahu siapa aku. Kami terlalu besar untuk memperkenalkan nama kepadamu! Sekarang apa yang kau minta?”

Golok Hitam menggigil, "Aku mohon ampun, lo-taihiap... aku mohon ampun dan tak akan mengulangi lagi perbuatanku!"

"Hm, sedemikian mudah caranya? Kau ingin seenak itu?"

Laki-laki ini ketakutan. "Aku... aku mohon keringanan, lo-taihiap... boleh kau hukum aku tapi jangan dibunuh."

"Kalau begitu apa yang kau kehendaki?"

"Kau bebaskan aku... dan sebagai gantinya biarlah aku mencokel sebelah mata untuk menerima hukuman ini!"

Sebelum kakek Kun menjawab atau menolak tiba-tiba Golok Hitam menggerakkan tangannya. Dia mencokel mata kirinya, menusuki dengan dua jari telunjuk dan tengah. Lalu begitu menarik dan menjerit perlahan tahu-tahu kepala rampok ini telah mengeluarkan biji matanya di telapak tangan, buta sebelah. Dan begitu dia menjerit dengan muka berlepotan darah tiba-tiba kepala rampok ini telah terguling roboh. Pingsan!

Siauw-cut dan Kun Seng tertegun. Siauw-cut terbelalak, merasa ngeri. Tapi kakek Kun yang menyeringai dingin mendadak mengayunkan kaki menendang tubuh si Golok Hitam itu. Dia tampaknya tenang-tenang saja, bersikap acuh melihat kebutaan orang. Lalu membebaskan lima puluh orang anak buah kepala rampok ini dengan sambitan kerikil hitamnya kakek itu membentak,

"Tikus-tikus busuk, bawa pemimpin kalian ini enyah dari sini. Jangan mengulang kembali memasuki dusun Lo!"

Para rerampok bangkit berdiri. Mereka menggigil, ketakutan sekali melihat kehebatan kakek dan anak laki-laki itu. Namun menganggukkan kepala dengan tubuh gemetaran mereka sudah menerima dan membawa lari pemimpin mereka, menaiki kuda yang sudah sehat kembali dan lintang pukang bagai dikejar setan. Sementara Siauw-cut yang masih terkesima oleh semuanya ini tiba-tiba melihat banyak orang muncul dari dalam hutan, di belakang dusun.

"Kun-taihiap, terima kasih... kau orang tua sungguh hebat sekali...!"

Siauw-cut tertegun. Dia melihat puluhan orang berlari-lari menghampiri mereka, laki-laki dan wanita. Penduduk dusun Lo yang tadi menyingkir bersembunyi! Dan begitu mereka bersorak sambil menghambur maju tahu-tahu mereka semua sudah menjatuhkan diri berlutut dipimpin seorang laki-laki kurus yang agaknya kepala dusun!

"Kun-taihiap, terima kasih. Kami sungguh lega gerombolan Golok Hitam telah kau usir...!"

Tapi kakek Kun menyeringai. Dia memberi isyarat agar Siauw-cut mendekat, lalu menyambar anak ini dan menjejakkan kakinya tiba-tiba kakek itu melompati kepala semua orang, lenyap sambil berseru, "Lo-chungcu, tak perlu berterima kasih. Itu sudah merupakan kewajiban kami!"

Kepala dusun terkejut. Dia melihat kakek itu tahu-tahu sudah kabur jauh, terbang melewati belakang dusun. Dan begitu bayangan orang lenyap meninggalkan suaranya yang serak terkekeh otomatis semua orang bangkit berdiri. Mereka juga terkejut, heran dan kaget melihat kakek ini dapat melampaui kepala demikian banyak orang. Bagai terbang saja. Dan sementara mereka bengong dan menjublak bagai orang terpukau tiba-tiba kepala dusun sudah berseru kepada mereka,

"Saudara-saudara, kakek itu bukan manusia. Dia dewa penjaga hutan...!"

Semua orang ribut. Mereka spontan menyambut teriakan kepala dusun ini, karena datang dan perginya kakek itu memang berusai dari dalam hutan, di belakang dusun mereka. Maka begitu mengiyakan dan berteriak menimpali seruan Lo-chungcu ini tiba-tiba semua orang menghambur ke belakang dusun dan berlari ke mulut hutan.

Tapi kakek Kun tak tampak bayangannya lagi. Kakek itu juga sudah tak terdengar suaranya, lenyap tak meninggalkan jejak entah ke mana. Dan penduduk dusun yang ramai-ramai memburu ke tempat ini akhirnya mengucap terma kasih sambil menjatuhkan diri berlutut. Mereka tak tahu bagaimana harus bersikap kepada "dewa" penjaga hutan itu, menyampaikan ucapan syukurnya dan terima kasih yang mendalam. Bebas dari gangguan si GoloK Hitam.

Maka, ketika Lo chungcu mengusulkan agar memberi sesaji di mulut hutan dan malamnya mengadakan upacara keagamaan di tempat itu segera semua orang bangkit berdiri menyatakan setuju. Mereka tak ada yang menolak, malamnya ramai-ramai di tempat itu. Dan begitu semua orang "selamatan" di mulut hutan segeralah dusun ini menjadi ramai seperti pasar malam!

* * * * * * * *

Sesungguhnya, siapa kakek yang mengusir gerombolan Golok Hitam dari dusun Lo itu? Dan kenapa dia mengincar benar Bu-beng Siauw-cut untuk dijadikan muridnya? Bagi para pembaca yang telah mengikuti kisah "Pendekar Kepala Batu" tentu mengenal kakek ini. Tak asing lagi begitu dia menyebut namanya. Kun Seng. Karena, siapa tak mengenal tokoh itu dalam kisah Pendekar Kepala Batu?

Sebab dialah sesungguhnya si jago pedang itu. Pendekar sejati dari Pegunungan Kun-lun, jago pedang tanpa tanding yang berjuluk Bu-tiong kiam (Si Pedang Dalam Kabut), orang yang justeru dicari-cari Bu-beng Siauw-cut! Maka aneh dan menggelikan kalau melihat bahwa Siauw-cut justeru mencari-cari pendekar pedang ini. Tak tahu betapa sesungguhnya orang yang dia cari berada di sampingnya. Kakek Kun yang memang merahasiakan dirinya itu, menyembunyikan julukan hingga Siauw-cut tak tahu!

Kalau begitu, kenapa kakek ini menyembunyikan keadaannya terhadap anak itu? Apa yang dimaksud? Sesungguhnya memang ada hal-hal yang dirahasiakan. Persoalan yang tidak boleh terburu-buru diberi tahu. Karena kalau Siauw-cut mengetahui bahwa Kun Seng adalah si jago pedang itu mungkin ada perubahan yang terjadi pada diri anak ini.

Seperti diketahui, beberapa tahun yang lalu pendekar ini mengalami musibah. Maksud perjodohan puteranya dengan keluarga Ciok-thouw Taihiap berantakan. Artinya, perjodohan itu gagal gara-para puteranya yang bernama Kun Bok "ada main" dengan gadis lain, malah tiga orang sekaligus, kakak beradik Sam-hek-bi-kwi yang menjadi pembantu-pembantu ketua Gelang Berdarah. Dan karena puteranya itu memang masih hijau dan belum berpengalaman maka puteranya itu terperangkap permainan orang-orang Gelang Berdarah, terjebak dan akhirnya tewas dengan menyedihkan pada saat mengetahui dirinya tertipu.

Tapi jago pedang ini menyadari keadaan. Dia tahu pihaknya yang bersalah. Artinya puteranya itulah yang menjadi gara-gara dan korban dari tipu muslihat orang jahat. Yakni ketua Gelang Berdarah itu. Tapi karena ketua Gelang Berdarah sendiri tewas dan tidak ada lagi tentu saja dia tak dapat menuntut pertanggung-jawaban dari biang keladi yang membuat cita-citanya berantakan. Hancur total maksud hatinya untuk berbesan dengan Cok-thouw Taihiap, Pendekar Kepala Batu yang terkenal keras namua lihai itu! Tapi pendekar pedang ini tak menyesali apa yang sudah terjadi. Dia cukup bijaksana untuk melihat kenyataan bahwa bagaimanapun juga dia ikut bersalah, sebagai orang tua kurang kontrol terhadap anak sendiri.

Maka melihat semuanya berakhir dengan demikian pahit pendekar inipun kembali pulang ke Kun-lun. Untuk beberapa lama dia mengasingkan diri, tak muncul selama dua tahun. Bertapa dan menenangkan guncangan batinnya yang terpukul hebat karena bagaimanapun juga kematian Kun Bok yang merupakan satu-satunya keturunan baginya terlalu hebat baginya. Maka, berhasil menenangkan diri di tempat persembunyiannya suatu hari pendekar ini merenung.

Dia berpikir, apa yang harus dilakukannya sekarang? Tetap tinggal di pegunungan itu sampai tua? Atau dia harus turun melaksanakan tugas-tugas seorang pendekar dalam membela yang lemah menentang yang lalim? Untuk sejenak pendekar ini tersenyum pahit. Sebenarnya dia enggan turun gunung, kecewa terhadap nasibnya yang buruk. Karena setelah kematian putera tunggalnya yang merupakan satu satunya keturunan itu pendekar ini menjadi hambar menghadapi hidup. Dia masih tertekan teringat semuanya itu, meskipun dia dapat mengendalikan diri menghadapi kenyataan ini.

Tapi ketika pagi itu dia menimbang-nimbang apa yang akan dilakukannya tiba-tiba wajah pendekar ini berseri ketika mendadak seorang wanita dusun lewat didepannya, itulah Bwee Kiok, gadis manis di kaki gunung, gadis yang selama ini membantu menyiapkan makanannya selama dua tahun! Maka, begitu melihat Bwee Kiok muncul di situ tiba-tiba terbersit di pikiran pendekar ini untuk, ah... kawin lagi!

Mendadak muka pendekar ini merah. Dia berdebar bagai jejaka melihat kekasih barunya, terbelalak dan ragu-ragu memandang gadis itu yang sudah memasuki tempatnya, membawa dua rantang makanan yang mengepul panas. Dan melihat gadis itu sudah memasuki tempatnya sementara dia masih bengong memandang Bwee Kiok tiba-tiba gadis itu menegur,

"Locianpwe. apa yang kau lihat? Kenapa kau bengong memandangku?"

Pendekar ini terkejut. Dia sadar oleh sikapnya, tergetar oleh suara yang nyaring merdu itu, suara seorang gadis yang murni dan polos! Maka gugup dan merah oleh teguran ini tiba-tiba pendekar itu bangkit berdiri. "Bwee Kiok, kau makan saja makanan itu. Aku hari ini ingin berpuasa!"

Bwee Kiok tertegun. "Kenapa tidak bilang kemarin, locianpwe? Aku masak kesenanganku hari ini, kuah swike dan dadar telur!"

"Ah, tapi hari ini aku ingin menenteramkan pikiran, Bwee Kiok. Aku gelisah membaca pikiranku sendiri!"

Bwee Kiok tersenyum. Ia meletakkan makanan itu, lalu menghadapi laki-laki tua ini gadis itu bertanya ulang, "jadi kau benar-benar tidak ingin makan, locianpwe? Kalau begitu besok saja?"

"Ya, besok saja. Bwee Kiok. Kau ambil makanan itu dan pulanglah!"

Bwee Kiok mengangguk. Ia terpaksa membawa kembali masakan itu, memutar tubuh dan melangkah pergi. Tapi belum sampai di pintu keluar mendadak pendekar itu memanggilnya, "Bwee Kiok, bolehkah kutanya sebuah hal kepadamu?"

Gadis ini terhenti, heran tampaknya. "Tentang apa, locianpwe? Apa yang ingin kau tanyakan?"

"Hm, sesuatu yang bersifat pribadi, Bwee Kiok. Bolehkah kutanya ini?"

Bwee Kiok tersenyum. "Aku tak mempunyai urusan pribadi, locianpwe. Kau boleh tanya apa saja kepadaku!"

"Hm, betulkah?"

"Ya."

"Kalau begitu..." pendekar ini tersendat, menelan ludah. "Kau tidak akan marah mendengar pertanyaan ini?"

Gadis itu tersenyum manis, bersinar-sinar matanya memandang pendekar ini. "Kenapa aku harus marah, locianpwe? Bukankah kita sudah seperti keluarga sendiri?"

Jago pedang itu tergetar. Dia tertusuk oleh kata-kata "seperti keluarga sendiri" ini, pernyataan yang diucapkan dari bibir mungil perawan dusun itu tanpa maksud-maksud tertentu. Tapi mengeraskan sikap dan tersenyum pahit diapun mengangguk, mencoba menenteramkan hati.

"Ya, justeru itulah aku berani bertanya, Bwee Kiok. Tapi kalau kau marah boleh kau tak usah kembali ke mari lagi."

Bwee Kiok tertawa kecil. "Locianpwe, kau tampaknya serius sekali. Apa sih yang hendak kau tanyakan?"

"Hm, persoalan pribadimu, Bwee Kiok. Yakni apakah kau sudah mempunyai kekasih atau calon suami pendamping hidupmu!"

Bwee Kiok terkejut. "Apa, locianpwe? Kekasih…?"

"Ya, itu yang ingin kutanyakan, Bwee Kiok. Tapi maaf kalau pertanyaan ini menyinggung hatimu!"

Perawan dusun itu tertegun, ia tampaknya tak menyangka sama sekali pertanyaan itu, seketika merah mukanya dan cepat menunduk. Tapi tersenyum malu tiba-tiba ia memutar tubuh dan berlari keluar, terkekeh ditahan sambil menjawab, "Locianpwe, pertanyaanmu aneh. Aku tak mempunyai kekasih atau memikirkan kekasih, untuk apa bertanya ini?"

Jago pedang itu ganti tertegun. Dia sendiri berobah mukanya, terbelalak melihat perawan dusun itu berlari cepat turun gunung, lenyap meninggalkan kekehnya yang manis memikat. Tapi menarik napas dan tersenyum lebar tiba-tiba pendekar ini merasa lega! Ada suatu perasaan puas di hatinya. Perasaan gembira yang menyelinap aneh di sanubarinya yang paling dalam! Maka menyeringai dan tersenyum girang tiba-tiba pendekar itu melompat dan mengawasi bayangan Bwee Kiok.

Tapi gadis dusun itu sudah lenyap. Jago pedang ini tak mengejar, sekedar mengawasi dan menarik kesimpulan dan apa yang baru saja mereka bicarakan. Lalu kembali masuk dan menenangkan debaran jantungnya yang bergetar pendekar ini sudah duduk bersila di atas sebuah batu hitam. Tapi celaka. Dialog sejenak itu ternyata membuatnya gelisah, tak dapat tenang mengonsentrasikan diri. Dan ketika semalam suntuk dia gundah oleh bayangan gadis dusun itu dan tak dapat menenangkan diri akhirnya Bwee Kiok muncul kembali pada keesokan harinya membawa sarapan pagi!

"Locianpwe, kau sudah lapar, bukan?"

Pendekar ini tertegun. “Aku melanjutkan puasaku, Bwee Kiok. Kau bawalah kembali makanan itu dan biarkan aku sendiri!”

Bwee Kiok terkejut. "Ah, kenapa begitu, locianpwe? Kenapa tidak kemarin juga kau memberi tahu kepadaku?'

Kun Seng menarik napas, "Maafkan aku, Bwee Kiok. Aku tak dapat menenangkan diriku semalam. Aku gelisah!"

Gadis ini cemberut. "Kalau begitu besok aku kembali, locianpwe?'

"Ya."

Tapi ketika Bwee Kiok kembili untuk yang ketiga kalinya kembali pendekar ini menolak untuk makan. "Ah, apa apaan ini, locianpwe? Kenapa tak bilang kemarin?” Bwee Kiok marah, cemberut mulutnya dan memandang penuh selidik muka pendekar itu.

Tapi Kun Seng yang menarik napas tiba-tiba membalikkan tubuh, penuh sesal dan tidak enak. "Maafkan aku, Bwee Kiok. Aku gelisah selama tiga hari ini. Biarlah kau pulang saja dan tak usah mengantarkan makanan lagi untukku!"

Bwee Kiok membelalakkan mata, melangkah maju. "Locianpwe, apa yang sebenarnya terjadi padamu? Kenapa sikapmu akhir-akhir ini aneh sekali?"

Pendekar ini mengangkat bahu berat sekali. "Aku dihantui perasaan takut, Bwee Kiok. Perasaan yang selama tiga hari ini tiba-tiba muncul secara mendadak!"

"Hm. soal apa, locianpwe? Apa yang kautakuti? Bukankah kau pendekar pedang tanpa tanding?”

Laki-laki ini menyeringai. "Justeru itulah, Bwee Kiok. Aku... ah sudahlah, tak usah kuceritakan ini karena membuat malu aku saja. Kau pergilah, Bwee Kiok... kau pergilah yang jauh dariku karena mungkin aku segera akan turun gunung!"

Bwee Kiok mengeluarkan seruan tertahan, kaget. "Locianpwe, kau akan meninggalkan aku?"

"Ya, aku gelisah di sini. Bwee Kiok. Aku ingin menghibur hatiku di luar!"

Bwee Kiok tiba-tiba terisak, meletakkan rantangnya. "Locianpwe, apa sebenarnya yang membuatmu gelisah? Bolehkah aku tahu?"

"Hm, aku malu mengatakannya, Bwee Kiok. Kurasa tak enak sekali aku menceritakan ini kepadamu."

“Tapi kita sudah seperti keluarga sendiri, locianpwe. Aku sudah biasa mendengar dan melihat nasibmu yang buruk."

"Ya, tapi ini persoalan pribadi, Bwee Kiok. Aku... ah sudahlah, aku malu mengatakannya!"

Bwee Kiok tiba-tiba melangkah maju, menggigil gemetar memandang pendekar ini dengan matanya yang bening basah. Lalu bertanya dengan bibir gemetar dan lirih dia mengeluarkan suara sambil menunduk, "Locianpwe, tidak berhakkah aku bertanya urusan pribadimu? Bukankah dua hari yang lalu kau juga pernah bertanya urusan pribadiku?"

Pendekar ini tertegun. Dia melihat gadis itu tiba-tiba mengucurkan air matanya dengan deras, menggigit bibir dan menahan-nahan diri agar tidak tersedu-sedu. Maka terharu dan terpukul oleh pertanyaan ini terpaksa Kun Seng menyentuh pundak gadis itu dan berkata, "Sebenarnya aku berat menjawab, Bwee Kiok. Tapi karena pertanyaanmu betul dan aku tak dapat membantah, baiklah kukatakan apa sesungguhnya yang membuat aku gelisah. Kau duduklah, kita bicara baik-baik..."

Lalu menuntun gadis itu yang mengusap air matanya segera pendekar ini menyatakan isi hatinya, agak tersendat namun sungguh-sungguh. "Sebenarnya aku ingin kawin, Bwee Kiok. Karena semenjak keturunanku satu-satunya tewas aku menjadi hambar menghadapi hidup. Aku kecewa terhadap nasibku sendiri. Aku menyesal bahwa mendiang puteraku melakukan kesalahan tak berampun hingga mengorbankan dirinya sendiri. Kini aku tak mempunyai keturunan. Aku tiba-tiba takut bahwa ilmu kepandaian yang kumiliki satu-satunya tak mendapat ahli waris!"

Bwee Kiok tertegun. "Jadi itu yang membuatmu gelisah, locianpwe?"

"Ya."

"Dan... dan..."

"Kenapa, Bwee Kiok?"

"Kau sudah mempunyai calon isterimu itu, locianpwe?" gadis ini menunduk, bertanya lirih dan tampaknya gemetar ketika menanyakan pertanyaan itu.

Dan Kun Sang yang merah mukanya oleh pertanyaan ini tiba-tiba bangkit berdiri. "Hm, ini yang membuat aku bingung, Bwee Kiok. Karena justeru kaulah yang kuharapkan!"

Bee Kiok terkejut. "Apa, locianpwe..?"

"Ya, aku ingin berterus terang, Bwee Kiok. Bahwa wanita yang kuharap untuk menjadi isteriku adalah kau!"

"Aah...!" Bwee Kiok terpekik, menjerit lirih. Lalu bangkit berdiri dan tersedu-sedu mendadak gadis ini memutar tubuh keluar gua.

Tentu saja pendekar pedang ini terperanjat. Dia menyesal mengatakan itu semuanya, tapi melihat gadis itu berlari turus gunung dan tidak menjawab pernyataannya tiba-tiba pendekar ini tersenyum pahit. Dia merasa dirinya tak tahu diri, bagai bandot tua yang sengaja mencari daun muda! Maka melihat Bwee Kiok tampaknya marah dan tersinggung oleh pernyataannya tadi tiba-tiba jago pedang ini masuk ke dalam gua. Dia mengambil buntalan, terpukul dan ingin segera pergi dari tempat itu. Sekarang juga. Tapi baru dia membalikkan tubuh melangkah ke luar sekonyong-konyong terdengar jeritan Bwee Kiok.

Jago tua ini tersentak kaget. Dia mendengar suara Bwee Kiok bagai suara orang menghadapi bahaya, maka bagitu menjejakkan kaki tiba-tiba pendekar ini sudah berkelebat ke kiri ke asal suara, di mana Bwee Kiok tadi menjerit. Dan begitu tiba di tempat ini mendadak jago pedang itu tertegun. Dia melihat Bwee Kiok dirangkul seseorang, laki-laki muda yang dikenalnya sebagai Hwat Gi, penduduk dusun di bawah gunung, tetangga Bwee Kiok!

Maka melihat Bwee Kiok dirangkul dan diciumi laki laki ini sambil tertawa penuh nafsu tiba-tiba Kun Seng tak dapat mengendalikan diri. Dia sudah menggerakkan kakinya mendekati laki laki ini, dan begitu jarinya mencengkeram pundak tahu-tahu dia sudah melempar laki-laki itu yang dibantingnya di atas tanah. "Hwat Gi, apa yang kau lakukan ini?"

Pemuda itu terkejut. Dia bangun berdiri dengan muka berobah, kaget melihat pendekar pedang itu muncul di depannya. Tapi tertawa gugup dan menyeringai gentar buru-buru dia menjura di depan jago padang ini. "Maaf. aku tak dapat mengendalikan kegiranganku, Kun taihiap. Nenek Bwee Kiok menerima lamaranku untuk meminang gadis ini...!" Tapi Bwee Kiok berteriak, "Bohong, kau tak tahu malu, Hwat-twako. Nenek dan aku tak tahu apa-apa tentang maksud hatimu itu!"

"Ah, tapi aku baru dari rumahmu, Bwee Kiok. Aku mendapat ijin dan disuruh menyusulmu kemari!"

Bwee Kiok membanting kaki. Dia marah sekali, dan menuding pemuda ini dengan mata berapi-api gadis itu bicara, lantang suaranya, "Orang she Hwat, kau sungguh tak tahu malu sekali. Kapan kau menjumpai nenek? Beliau tak ada di rumah, nenek pergi ke kota mencari rempah-rempah!”

Hwat Gi terbelalak. Dia jadi bingung dan terkejut oleh seruan itu, sementara Kun Seng yang tahu apa yang terjadi di sini tiba-tiba sudah menyambar leher baju pemuda itu.

"Hwat Gi, kau berani bohong di depanku? Kau berdusta untuk memaksa Bwee Kiok?"

Laki laki ini gemetar. Dia terang tak mampu menjawab, takut dan kenal baik siapa pendekar pedang itu. Maka menjatuhkan diri berlutut dan buru-buru minta maaf dia membenturkan dahinya sementara mata melirik penuh ancaman kepada Bwee Kiok! "Kun-taihiap, ampun. Aku memang berbohong... aku jatuh cinta pada adik Bwee Kiok ini dan tak dapat mengendalikan diriku...!"

Kun Seng mengerutkan kening. Dia terpukul oleh kata-kata pemuda itu, yang seakan sebuah cermin bagi dirinya sendiri. Betapa dia juga mencintai Bwee Kiok, gadis yang patut menjadi anaknya seperti juga pemuda dusun itu! Maka melepas cengkeraman dan mendorong pemuda itu pendekar ini sudah membentak, "Baik, sekarang pergilah, orang she Hwat. Jangan mengganggu Bwee Kiok kalau dia tidak suka!"

Hwat Gi segera mengangguk-angguk. Dia ngeloyor pergi, mengucap terima kasih namun diam-diam matanya bersinar penuh ancaman kepada Bwee Kiok. Yang tentu saja menjadi ngeri oleh lirikan berbahaya pemuda itu. Maka ketika Hwat Gi pergi meninggalkan mereka dan Kun Seng melihat dara itu masih berada di situ tiba-tiba pendekar ini menarik napas, menegur,

"Bwee Kiok, ada apa lagi? Kau boleh pergi sekarang. Hwat Gi tak akan berani lagi mengganggumu!"

Tapi Bwee Kiok tiba-tiba tersedu. Dia melihat buntalan di punggung jago pedang ini, tanda jago pedang itu siap berangkat. Maka mengguguk dan menangis penuh kesedihan tiba-tiba gadis ini memutar tubuh dan berlari kembali memasuki gua! "Locianpwe, kau kejam... kau menyayat hatiku...!"

Kun Seng tertegun. Lho, apa ini? Maka lompat mengejar gadis itu peudekar ini berseru, “Bwee Kiok, apa maksud kata-katamu itu? Kenapa kau katakan aku kejam padamu?"

Bwee Kiok menutupi mukanya di atas batu. Ia semakin tersedu-sedu oleh pertanyaan itu, tak menjawab. Dan sementara Kun Seng terbelalak melihat semuanya ini tiba-tiba seorang nenek muncul di luar gua.

"Kun-taihiap, aku ingin bicara denganmu!"

Pendekar ini tercekat. Dia melihat nenek Lui tiba-tiba muncul, nenek dari Bwee Kiok! Maka terheran melihat nenek itu datang ke tempatnya buru-buru pendekar ini mempersilahkannya masuk. Tapi nenek itu tak mau, ia minta bicara di luar, dan Kun Seng yang terpaksa mengikuti kehendak nenek ini sudah melayang keluar dengan jantung berdebaran. Dia khawatir ada sesuatu yang tidak baik, sesuatu yang tidak enak menimpa dirinya. Tapi melihat nenek itu tersenyum padanya diapun mengerutkan alis.

"Uwak Lui, apa yang hendak kau bicarakan? Bagaimana kau susah payah datang ke mari?"

Nenek itu tersenyum. "Aku ingin membicarakan nasib Bwee Kiok, taihiap. Harap kita bicara blak-blakan saja."

"Hm, tentang apa?"

"Kelanjutan dari pertanyaanmu, taihiap. Bahwa sesungguhnya maksud hatimu tidak bertepuk sebelah tangan!"

Pendekar ini terkejut. "Tidak bertepuk sebelah tangan bagaimana, nek? Apa yang kau maksud?"

Nenek itu batuk-batuk. "Aku mendengar cerita cucuku tentang pernyataanmu dua hari yang lalu, taihiap. Pertanyaan tentang apakah Bwee Kiok sudah mempunyai kekasih atau belum. Kau benar bertanya tentang ini, bukan?"

Jago pedang itu semburat mukanya. "Memang benar, nek. Tapi..."

"Hm, aku yang tua mengerti maksudmu, taihiap," nenek itu memotong. "Bahwa sesungguhnya kau menaksir Bwee Kiok untuk menjadi isterimu! Begitu, bukan?"

Kun Seng tertegun.

"Dan kau tidak bertepuk sebelah tangan, taihiap. Artinya bahwa diam-diam sebenarnya Bwee Kiok sudah lama mengagumimu dan sering membicarakannya denganku." nenek itu melanjutkan, mengejutkan pendekar ini yang sama sekali tidak menduga. Lalu terkekeh sambil membetulkan letak tongkatnya nenek Lui menyambung, "Dan kau tidak perlu kecil hati, taihiap. Aku tahu bahwa cinta sesungguhnya tidak memandang usia, karena itu Bwee Kiok tak akan menolakmu jika kau memintanya untuk menjadi isteri!"

Kun Seng tertegun untuk kedua kalinya. Dia terbelalak memandang nenek itu, seakan tak percaya pada apa yang didengar. Tapi ketika nenek Lui tersenyum dan menganggukkan kepala padanya memberi persetujuan mendadak pendekar ini bengong. Dia melihat nenek itu sudah memasuki gua, menghampiri cucunya yang masih tersedu-sedu. Lalu begitu ia berbisik dan menghibur hati sang cucu mendadak Bwee Kiok menghentikan tangisnya dan mengeluh.

Kun Seng tak tahu apa yang dibisikkan nenek ini. Tapi begitu mereka keluar gua dan Bwee Kiok berjalan menunduk uwak Lui sudah bertanya kepadanya, "Dan kau tidak akan meninggalkan kami bukan, Kun-taihiap? Aku menantimu di rumah, kami butuh pelindung dari gangguan orang macam Hwat Gi itu!"

Pendekar itu mengangguk. Dia masih terpaku oleh cerita nenek itu, belum dapat menjawab. Tapi mengantar keduanya dengan pandang mata bergairah tiba-tiba jago pedang ini tersenyum dan girang bukan main. "Baik, nek. Aku akan memenuhi permintaanmu....!"

Maka ketika malam itu pendekar ini berkunjung ke rumah Bwee Kiok segalanyapun menjadi beres dan menggembirakan. Bwee Kiok ternyata menerima maksud hati pendekar itu, tak menolak karena sesungguhnya gadis itu juga mencintai lelaki tua ini secara diam-diam, didorong rasa iba dan haru melihat nasib jago pedang itu yang hidup merana tanpa sanak saudara, menduda bertahun-tahun dan kehilangan putera tunggalnya. Maka ketika nenek Lui merestui hubungan ini dan menyambut baik niat pendekar itu segera keduanya menjadi suami isteri tak lama kemudian.

Bwee Kiok didorong rasa iba dan kasihnya terhadap pendekar ini sementara Kun Seng didorong oleh perasaan takutnya kehilangan turunan. Mengharap dari perawan dusun ini dia dapat memperoleh anak, calon penerus yang akan diwarisi ilmu pedangnya. Tapi setelah setahun menikah dan Bwee Kiok belum nampak tanda-tanda hamil pendekar ini mulai cemas. Dia mulai gelisah, takut bahwa dia semakin tua dan kasep.

Dan ketika pada tahun kedua Bwee kiok juga belum menampakkan tanda-tanda kehamilan mulailah pendekar ini mengomel panjang pendek. Dia suka mengeluh, sering memarahi. isterinya, sementara Bwee Kiok yang maklum dengan apa yang diharap sang suami juga mulai kecil hati. Sering timbul pertanyaan di hati mandulkah dia? Kenapa belum juga dapat melaksanakan tugas seorang ibu? Maka ketika tahun ke dua berlalu dan tahun ke tiga mulai mereka tempuh tiba-tiba suatu hari jago pedang ini timbul kemarahannya.

"Bwee Kiok, kenapa kau belum berisi juga? Apa usahamu untuk mewujudkan keinginan ini?"

Bwee Kiok bingung. "Aku tak tahu, suamiku. Aku sendiri sudah berusaha minum jamu atau rempah-rempah dari nenek."

"Tapi kenapa belum juga ada tanda-tandanya?"

Bwee Kiok mulai menangis. Dia sekarang mudah tertusuk, sedih dan gugup menghadapi suaminya yang mudah marah. Kecewa karena maksud hatinya memperoleh keturunan belum terkabul. Maka, ketika hari itu sang suami kembali bersungut dan tampak tidak puas segera wanita ini bingung dan terisik-isak.

"Aku tak tahu apa sebabnya, suamiku. Tapi yang jelas aku sudah berusaha sekuat mungkin...!"

"Hm, kalau begitu kenapa belum juga hamil?”

Bwee Kiok tak menjawab. Isteri muda ini lalu berlari masuk ke dalam kamar, menangis dan merasa bersalah sampai mengguguk di atas bantal. Sementara Kun Seng yang agaknya sudah habis sabarnya tiba-tiba menyusul isterinya.

"Bwee Kiok, tahun ketiga ini kita harus berusaha sampai berhasil. Kalau tidak, aku akan turun gunung melepas kekecewaanku!"

Bwee Kiok semakin sedih. Dia biasanya tak menjawab apabila suaminya sudah marah begitu, pasrah dan takut serta bingung. Maka ketika suaminya keluar sambil membanting pintu isteri muda inipun tersedu-sedu. Ia bingung, juga gugup. Sampai akhirnya ketika nenek Lui muncul dan mengetahui apa yang terjadi segeralah sang cucu dihibur. Sebenarnya bukan Kun Seng saja yang mengharap turunan itu. Bwee Kiok juga, termasuk uwak Lui yang ingin membopong cicit dari seorang jago pedang. Tapi ketika tahun itu juga terlewat dan Bwee Kiok tetap belum mengandung tiba-tiba terjadilah klimaks rumah tangga ini.

Kun Seng meninggalkan isterinya, turun gunung sesuai ancamannya dulu. Meninggalkan Bwee Kiok dan nenek Lui! Dan ketika isieri muda itu tahu bahwa sang suami sudah meninggalkan dirinya maka Bwee Kiok langsung pingsan. Wanita muda ini tak kuat menghadapi kenyataan itu, terlalu berat dan pedih. Tapi berbareng dengan perginya sang suami ke tempat yang tak diketahui di mana adanya tiba-tiba sebulan kemudian Bwee Kiok mengandung!

Hati ibu muda ini ingin menjerit. Dia girang tapi juga terpukul, karena persis berita gembira itu sudah diperolehnya sang suami tak ada lagi di sisinya! Bwee Kiok kenal baik tabiat suaminya ini, seorang penyabar dan cukup bijaksana. Tapi mungkin bertubi-tubi diguncang kejadian yang menyesakkan batin menjadikan suaminya itu habis sabar dan berobah wataknya, mudah tersinggung dan gampang marah-marah pada isteri sendiri. Maka, ketika berita gembira itu tak dapat disalurkan dan Kun Seng sudah meninggalkan rumah Bwee Kiok tiba-tiba jatuh sakit.

Wanita ini hampir saja bunuh diri kalau uwak Lui tidak ada di situ. Tapi untunglah, nenek yang cukup asam garam dunia ini dapat menghibur cucunya. Memberikan nasihat-nasihat dan obat-obatan kepada Bwee Kiok, menyuruh cucunya itu menjaga kesehatan agar bayi yang dikandung hidup selamat.

"Kun-taihiap tak mungkin meninggalkanmu seumur hidup, Bwee Kiok. Betapapun dia pasti kembali dan menengokmu. Ingat, dia berasal dari pegunungan ini," demikian nenek Lui memberikan hiburannya, menguatkan hati sang cucu untuk menahan diri, tak putus asa. Dan Bwee Kiok yang dapat menerima hiburan ini akhirnya tenang juga, didampingi si nenek yang setia dan baik hati.

Tapi kecemasan Bwee Kiok mulai muncul lagi. Enam bulan sudah suaminya tak kembali, padahal perutnya semakin membesar dan kandungannya semakin menua. Dan ketika sembilan bulan sudah suami yang diharap-harap tak kembali juga Bwee Kiok berada pada puncak kekecewaannya. Ia melahirkan bayi kembar, laki-laki, berjuang melawan maut dan tekanan batin yang berat. Tapi karena pikirannya selalu sedih dan penuh kedukaan tiba-tiba ibu muda yang baru melahirkan bayi kembarnya ini meninggal, kehabisan darah!

Tentu saja uwak Lui menggerung-gerung. Nenek tua ini hampir kalap, mata gelap oleh kematian cucunya. Tapi mendengar tangis orok yang melengking tinggi tiba-tiba nenek ini sadar. Itulah dua orang cicitnya, darah keturunan si jago pedang! Maka nenek Lui yang dapat menekan himpitan batinnya segera sadar, membopong dan merawat dua orok yang masih merah itu. Dengan air mata bercucuran. Dia Mengharap sekali kembalinya jago pedang itu, menyerahkan bukti dari perjuangan cucunya sebelum dia meninggal digerogoti usia. Tapi setelah bertahun-tahun menunggu tanpa hasil akhirnya putus asalah nenek ini.

Demikianlah, apa yang dialami Bwee Kiok tak diketahui sama sekali oleh pendekar ini. Dia turun gunung melepas kekecewaan, tak mau kembali karena jengkel kepada isterinya sendiri, yakin bahwa isterinya mandul dan cita-citanya hancur berantakan. Tak dapat mempunyai keturunan. Sementara usianya yang semakin tua dan tua tentu saja membuat pendekar ini malu beristeri lagi. Apalagi kalau dengan wanita muda! Ah, mau ditaruh ke mana mukanya itu?

Maka Kun Seng habis harapan. Dia digerogoti kekecewaan demi kekecewaan, tekanan batin yang kian menyesukkan nafasnya. Dan ketika dia sadar bahwa dia tak dapat lagi membuat keturunan tiba-tiba pendekar ini mulai berobah. Dia mulai suka memperhatikan anak-anak, lelaki terutama. Untuk mencari yang cocok dan akan diambil sebagai murid atau anak angkatnya. Tapi karena selama ini apa yang dicari ternyata belum ketemu maka terus saja dia merantau dan menghabiskan masa tuanya dengan sikap yang mulai acuh.

Pendekar ini kadang-kadang suka tertawa sendiri, menyeringai atau tersenyum kecut setiap melihat anak lelaki. Tapi melihat sebagian besar tak mempunyai "tulang pendekar" diapun getir dan berjalan terus melangkahkan kakinya. Hingga suatu hari, ketika secara tidak sengaja dia tiba di kuil Tee-kong-bio dan menjumpai Siauw-cut tiba-tiba pendekar ini tertegun dan tertarik.

Dia melihat anak itu memiliki roman muka yang aneh. Bersinar tapi tersembunyi dalam kabut kedukaan, persis dirinya sendiri yang juga sedang dihimpit derita. Maka melihat Siauw-cut dan menyaksikan kegagahan anak itu dalam menghadapi Tok-sim Sian li dan puteranya dalam persembunyian tiba-tiba pendekar ini tergetar. Itulah bocah yang dicari-cari. Anak yang dia idam-idamkan selama ini! Maka begitu Tok-sim Sian-li merobohkan anak ini dan meninggalkannya pergi tiba-tiba diapun muncul.

Pertama untuk membantu anak itu mengobati lengannya yang patah, sedang yang ke dua untuk mengenal dari dekat anak siapa bocah ini. Tapi alangkah herannya hati Kun Seng. Dia mendengar anak itu sebatangkara, dan namanya-pun aneh. Siauw-cut, si Kerucuk! Maka gembira dan terbahak geli oleh semuanya itu pendekar inipun menjadi girang luar biasa. Dia sudah menetapkan pilihannya kini, bahwa anak inilah yang cokok mewarisi ilmu kepandaiannya, pewaris tunggal yang paling tepat yang akan dianggap sebagai anak sendiri! Tapi, ketika Siauw-cut menolaknya dan tak mau menjadi murid tiba-tiba Kun Seng tertegun dan terhenyak.

Masihkah nasib sial membayanginya selalu? Masihkah dia mengalami kekecewaan terakhir sebelum ajal? Kun Seng tertawa getir. Agaknya alam terlalu buruk baginya. Tak membiarkan sama sekali setetes kebahagiaanpun muncul. Tapi Kun Seng yang penasaran tak mau kalah begitu saja. Dia melihat anak ini menarik sekali. Wataknya gagah dan pemberani. Apalagi ketika menyatakan niatnya untuk membalas dendam kepada Pendekar Gurun Neraka. Wah! Model apa bocah yang satu ini ? Menentang Pendekar Gurun Neraka tanpa bermodal sebuah kepandaian pun?

Hampir dia tertawa geli. Siauw-cut dipandangnya semakin aneh, semakin menarik dan semakin membuat dia penasaran untuk mendapatkan anak itu sebagai pewaris tunggal ilmunya. Tapi maklum dia harus berhati-hati menghadapi anak ini, maka Kun Seng mencoba mengerahkan kesabarannya. Betapapun dia yang butuh, bukan anak itu. Maka kalau dia dapat mengambil sikap sedemikian rupa hingga Siauw-cut terpukul perasaannya tentu bocah itu akan sadar.

Dan satu-satunya cara menaklukkan anak ini adalah dengan taktik halus, selalu bersikap baik pada anak itu dan menekan sebisa mungkin keinginan pribadinya memaksa anak itu menjadi muridnya. Sebab, kalau dia bersikap kasar dan memaksa anak itu menjadi muridnya tentu Siauw-cut melawan dan menolaknya habis-habisan. Hal yang tentu membuat dia sakit dan kecewa.

Maka, Kun Seng yang bertekad untuk mendapatkan anak ini dengan cara yang halus sudah memasang "strategi" yang unik. Dia akan mengikuti kemauan anak itu, apapun yang diminta. Termasuk meninggalkan anak itu bila Siauw-cut menghendakinya, seperti yang baru saja mereka alami. Di mana Siauw-cut ke Lembah Cemara sementara dia tak boleh menguntit lagi, menimbulkan kesan dapat dipercaya oleh si anak. Dan Kun Seng yang diam-diam kecut membayangkan dia kehilangan anak itu dengan segala pengorbanan tiba-tiba menjadi gembira bukan main ketika mereka bertemu kembali di dusun Lo!

Ini memang sudah dipercaya Kun Seng. Laki-laki itu yakin bahwa bagaimanapun juga Siauw-cut akan menjadi "miliknya", berdasar kepercayaan pada firasat yang dia terima. Getaran-getaran halus dari batin mereka berdua yang dapat ditangkap. Dan jago pedang yang percaya pada getaran-getaran firasatnya ini ternyata tak sia-sia menunggu.

Secara kebetulan Siauw-cut datang, menghampiri dirinya yang sedang menunggu kedatangan si Golok Hitam bersama anak buahnya. Para perampok yang akan mengganggu dusun Lo itu. Dan Kun Seng yang girang bahwa dia dapat bertemu kembali dengan anak ini sudah menjadi semakin girang dan gembira mendengar Siauw-cut mendapat "perintah" dari Bu-beng Sian-su untuk mencari dirinya!

Tentu saja pendekar pedang ini hampir melonjak gembira. Dia tahu apa yang dikehendaki manusia dewa itu, karena sesungguhnya Bu-beng Sian-su telah bertemu dengannya jauh hari sebelum Siauw-cut datang. Kakek dewa yang memberi petunjuk padanya berdasarkan getaran ilmu gaib bahwa seorang anak akan menjadi murid lelaki ini, pewaris tunggal dan pengobat kecewa yang hampir saja memadamkan gairah hidup jago pedang ini!

Maka, berdasarkan itu semuanya dan melihat tanda-tandanya mulai muncul Kun Seng sudah bangkit semangatnya untuk "menempel" Siauw-cut. Tak akan melepaskan anak itu sampai dia dapat menaklukkannya dengan cara halus. Apapun yang terjadi pada dirinya! Dan Kun Seng yang bergolak rasa gembiranya oleh bantuan Bu-beng Sian-su tiba-tiba maklum apa yang harus dia lakukan. Yakni memperlakukan anak ini dengan lembut dan penuh kasih sayang.

Hal yang mudah dia lakukan karena dia sendiri sudah lama mendambakan seorang anak laki-laki sebagai pengganti puteranya yang tewas itu. Calon penerus ilmu silat pedangnya! Dan Kun Seng yang sudah mengatur "strategi" untuk menghadapi bocah ini bersiap-siap mengorbankan segala sesuatunya, membuat semacam kejutan untuk mendobrak kekerasan hati anak itu.

Lalu, apa yang sekarang dilakukan jago pedang ini? Mari kita lihat. Pertama tentu saja dia menjadi gembira bahwa Siauw-cut mengajaknya "mencari" Bu-tiong-kiam, jago pedang yang bukan lain adalah dirinya sendiri itu. Hal yang membuat dia hampir tertawa. Dan ke dua mulai melaksanakan taktiknya untuk membuat semacam "kejutan" bagi anak ini. Karena betapapun juga dia maklum bahwa cepat atau lambat tentu rahasia dirinya bakal ketahuan anak ini, oleh satu dan lain sebab. Maka supaya dia tidak memberikan kesan buruk pada Siauw-cut jago pedang ini bersiap-siap untuk menghadapi semua keadaan. Di mana sebisa mungkin dia akan menunjukkan pada anak ini bahwa dia cukup "pantas" menjadi gurunya!

Dan, sore itu ketika mereka sudah jauh meninggalkan dusun Lo dan tiba di tepi sebuah sungai akhirnya kakek ini menurunkan Siauw-cut sambil tertawa, "Siauw-cut, kita berhenti di sini dulu. Capai aku memondongmu bagai seorang bayi!"

Siauw-cut tersenyum. "Kau sendiri yang melakukannya, locianpwe. Bukan aku yang minta."

"Ya, betul. Tapi bagaimana kesanmu dengan ilmu silat tiga jurus itu?"

"Ah, hebat, locianpwe. Aku kagum dan tak mengira dapat merobohkan kepala rampok itu dengan mudah!"

Kakek ini tertawa. "Kau memang minta bukti melulu, Siauw-cut. Kenapa tak percaya pada omonganku? Hm, itu masih belum, Siauw-cut. Karena kalau kau bersenjatakan pedang tentu ilmu silat itu masih jauh lebih bebat lagi!"

Anak ini terbelalak. "Begitukah, locianpwe?"

"Ya. Bukankah kau buktikan bahwa setelah ranting diganti golok kau dapat bermain lebih mantap, Siauw-cut? Kau tidak percaya lagi?"

"Tidak... tidak... " Siauw-cut tertawa lebar. "Tapi bagaimana ilmu silat rantingmu bisa lebih hebat dimainkan dengan senjata, locianpwe? Apakah memang mulanya harus mempergunakan senjata?"

"Hm, ilmu silat itu memang bermula dari sebatang ranting, Siauw-cut. Tapi kalau kita pergunakan golok tentu saja lebih hebat. Apalagi kalau mempergunakan pedang!"

"Kalau begitu ini ilmu pedang?"

Kun Seng tersenyum, hati-hati menjawab, "Terserah bagi yang menggunakannya, Siauw-cut. Yang jelas ilmu silat itu memang paling sempurna kalau mempergunakan pedang!"

"Hm, kalau begitu kau jago pedang, locianpwe?"

"Ah, siapa bilang? Aku tak membawa pedang, kau tahu itu!"

"Tapi kau bilang ilmu ini paling cocok jika mempergunakan pedang, locianpwe. Bukankah kalau begitu kau pernah melatihnya dengan pedang?"

Kun Seng terkejut. Dia tertegun sejenak, kagum oleh kecerdikan anak ini yang dapat merangkai sebuah kesimpulan. Tapi tertawa sambil menggelengkan kepala dia menjawab, "Itu bukan berarti aku seorang jago pedang, Siauw-cut. Karena orang yang melatih pedang belum tentu tak dapat mainkan senjata lain!"

Anak ini diam.

"Dan bagi orang persilatan tak ada yang aneh untuk melakukan itu, Siauw-cut. Karena setiap orang kaug-ouw biasanya sudah menjadi kebiasaan untuk melatih delapan belas macam senjata!" Kun Seng melanjutkan, membuat anak ini mengangguk dan akhirnya melempar tubuh di atas tanah.

"Locianpwe, omong-omong ke mana arah yang kita tuju ini. Apakah menuju tempat pendekar pedang itu?"

"Hm, tidak salah, Siauw-cut. Tapi jangan tergesa-gesa menemui pendekar pedang itu. Sebenarnya apa tujuanmu mencari pendekar ini?"

"Sekedar memenuhi perintah Bu-beng Sian-su, locianpwe. Katanya disuruh membantu pendekar itu ke Gua Naga."

"Eh, mencari apa di sana?"

"Tidak tahu, locianpwe. Katanya ada sesuatu yang harus dicari di gua itu."

Kun Seng tertawa. "Siauw-cut, kau aneh. Membantu seseorang tanpa kau ketahui apa yang harus dicari. Kenapa kau menuruti permintaan Bu-beng Sian-su ini?”

"Hm. Sebagai syarat, locianpwe." Siauw-cut bersinar matanya. "Aku disuruh melaksanakan perintah itu sebelum aku menjadi murid Bu beng Sian-su!"

“Hanya itu saja?"

"Apanya yang itu saja?"

"Permintaan itu. Apakah Bu-beng Sian-su hanya memberimu sebuah permintaan ini?"

Siauw-cut tiba-tiba bangkit berdiri. "Tidak, masih ada satu lagi, locianpwe. Dan sekarang aku ingat..?" lalu mengharap penuh gembira pada kakek ini Siauw-cut tiba-tiba bertanya, "Locianpwe, bisakah kau membantuku untuk hal terakhir ini?”

Kun Seng tertawa. "Siauw-cut, kau terlalu sekali. Permintaan pertama mencari jago pedang itu saja belum kulaksanakan dengan baik bagaimana sekarang dihujani permintaan ke dua? Apa yang kau perlukan?"

Anak ini tersenyum. "Sebuah teka-teki, locianpwe. Bu-beng Sian-su memberiku sebuah teka-teki aneh yang tidak kupahami!"

"Hm, teka-teki apa itu?"

"Sebuah syair, locianpwe. Aku dan Sin Hong mendapat syair aneh ini dari kakek dewa itu!"

"Sin Hong?" Kun Seng terkejut. "Kau maksudkan putera Pendekar Gurun Neraka itu?"

Siauw-cut tertegun. Dia kelepasan bicara tadi, tak sadar menyebutkan nama anak ini. Tapi mengangguk dengan kening berkerut dia terpaksa menjawab, "Ya. putera Pendekar Gurun Neraka itu, locianpwe. Anak sombong yang besar kepala itu!"

Kun bangkit berdiri. "Siauw-cut, boleh kalau kutahu bagaimana kau bertemu dengan anak itu? Apa yang terjadi pada kalian?"

"Aku bertemu secara kebetulan, locianpwe. Dimulai dari munculnya Bu-beng Siauw-jin!"

"Heh? Si Naga Bongkok dari Himalaya itu?"

Siauw-cut terkejut. Dia melihat kakek ini terbelalak, tampaknya kenal. Maka bertanya heran diapun memandang kakek itu, "Kau kenal kakek ini, locianpwe? Dia memang bongkok, tapi julukan sebenarnya aku tak tahu!"

"Aha," Kun Seng tertegun. Dia balas memandang anak ini, bengong tapi akhirnya menyeringai kecut. Lalu duduk kembali dengan pantat dibanting kakek ini menghela napas. “Siauw-cut, dia memang si Naga Bongkok itu. Orangnya lihai, aku kenal dia pada tigapuluh tahun yang lalu. Tapi kenapa dia tiba-tiba muncul di sini? Apa yang dia lakukan?"

"Aku tak tahu, locianpwe. Tapi yang jelas di bongkok itu yang membawa Sin Hong!"

"Hm, tentu diculik!" kakek ini menggerutu. "Dia belum pernah mempunyai murid, Siauw-cut. Jangan-jangan putera Pendekar Gurun Neraka itu sengaja diculik untuk dijadikan muridnya!" tapi tertawa dengan mata kosong kakek ini melanjutkan, "Dan si bongkok itu tentu menemui batunya, Siauw-cut. Pendekar sakti itu tentu tak akan membiarkan anaknya diambil orang!"

Siauw-cut terbelalak. "Mungkin saja, locianpwe. Tapi yang aneh ialah Bu-beng Siauw-jin ternyata dikejar-kejar orang!"

"Siapa?"

"Seorang nenek tua. Kalau tidak salah julukannya Sin-yan Mo-li!"

Kun Seng mengeluarkan teruan heran. "Nenek itu juga datang?"

Siauw-cut mengangkat keningnya. "Kau juga kenal nenek ini, locianpwe?"

Kun Seng mengangguk, tersenyum hambar. Dan Siauw-cut yang tertegun melihat kakek ini mengenal banyak orang kang-ouw tiba-tiba juga duduk kembali, mendesah, "Locianpwe, kau rupanya bukan orang sembarangan. Bagaimana kau tahu begitu banyak orang? Bagaimana kau bisa mengenal Bu-beng Siauw-jin dan Sin-yan Mo-li?"

Kakek itu tertawa. "Aku memang orang kang-ouw, Siauw-cut. Bagaimana tidak kenal nama tokoh-tokoh besar?"

"Tapi Bu-beng Siauw-jin kau bilang bukan orang sini, locianpwe. Berarti dia jauh jaraknya dari kita kalau tinggal di Himalaya!"

"Hm, tapi kami bertetangga, Siauw-cut. Bagaimana aku tidak kenal?"

"Bertetangga? Jadi kalau begitu..." Siauw-cut terkejut. "Kau juga dari Himalaya, locianpwe?"

Kun Seng menggeleng. "Tidak, di pegunungan lain..."

"Kalau begitu..." Siauw-cut menyambung, mengingat-ingat. "Kau dari Pegunungan Kun-lun, locianpwe? Kau dari tempat ini dan, ah... tahu aku. Kau tentu seorang anggauta partai Kun-lun, locianpwe Kau mungkin anak muridnya atau ketua partai itu sendiri!"

Kakek ini tersenyum kecut. "Aku bukan anggauta partai itu, Siauw-cut. Ketua Kun-lun-pai adalah Pek-mauw Sian-jin!"

"Jadi...?"

"Kenapa kau mendesakku?" kakek ini tertawa, "Apa perlumu mengetahui rahasia diriku? Kau sendiri tak suka rahasiamu diketahui orang lain, Siauw-cut. Ingat tentang sikapmu semula kepadaku!"

Siauw-cut merah mukanya. "Maaf aku kelupaan, locianpwe. Tapi entah mengapa tiba-tiba aku tertarik untuk mengetahui siapa sebenarnya kau ini!"

Kun Seng tersenyum. Dia tenang saja memandang anak ini, dan Siauw-cut yang jengah dipandang orang tiba-tiba kembali pada persoalan semula. "Locianpwe, kau bisa membantuku memecahkan syair Bu-beng Siau-su ini?"

"Bagaimana bunyinya?" tapi mengangkat lengan tiba tiba kakek ini memotong, "Eh. coba kau ceritakan dulu bagaimana pertemuanmu dengan Bu beng Siauw jin itu, Siauw-cut. Aku ingin tahu apa yang akhirnya terjadi!"

Siauw-cut menunda keinginannya. Dia menceritakan pertemuannya dengan kakek bongkok itu, di mana Bu beng Siauw-jin menjadi gara-gara pertemuannya dengan Sin Hong, disusul munculnya nenek iblis Sin-yan Mo-li yang menyerang si bongkok untuk merebut Sin Hong. Lalu tiba pada bagian Sin Hong terlempar ke dalam jurang bersama dirinya kakek ini tiba-tiba menarik napas.

"Jadi sejak itu kau bertemu Bu-beng Sian-su, Siauw-cut?"

"Ya."

"Dan kau tahu bagaimana cara kakek itu menolongmu?”

"Wah, mana bisa, locianpwe? Kami berdua sama-sama pingsan, tak tahu apa yang terjadi!"

"Lalu bagaimana kau bisa keluar? Dan di mana Sin Hong sekarang?"

"Aku tak tahu di mana anak itu, locianpwe. Tapi mungkin saja ketemu si bongkok atau setan lain yang mengganggunya!"

"Dan kau sendiri?"

"Bu-beng Sian-su menunjukkan jalan kepada kami, locianpwe. Aku keluar melalui petunjuknya ini!"

"Baik, sekarang katakan syair itu..."



Pedang Medali Naga Jilid 08

PEDANG MEDALI NAGA
JILID 08
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pedang Medali Naga Karya Batara
SIAUW-CUT mengangguk. Dia tergetar sejenak oleh kegarangan kepala rampok ini, yang demikian bengis duduk di atas kudanya. Tapi Siauw-cut yang tersenyum mengejek tiba-tiba melompat maju dan menghadang rombongan itu, memalangkan rantingnya.

"Berhenti! Kalian ada apa ribut-ribut di sini, orang-orang kasar? Siapa kalian? Rombongan Golok Hitamkah?"

Laki-laki tinggi besar itu terbelalak. Dia menghentikan kudanya di depan anak ini, terheran tapi juga marah. Namun tertawa dengan sikap menyeramkan tiba-tiba kepala rampok ini melompat turun. "Bocah, kau siapa dan apa maksudmu menghadang kami?"

"Aku perantau jalanan, tikus besar. Kaukah yang berjuluk Golok Hitam?"

Laki-laki itu terkejut. "Kau sudah tahu namaku dan tidak mau minggir? Siapa tua bangka itu? Di mana Lo chungcu?"

Kun Seng yang menjawab, "Kepala dusun Lo muak bertemu denganmu, Golok Hitam. Karena itu dia minta padaku untuk menyambutmu di sini!"

"Ah...!” Golok Hitam mundur. "Kau anjing pembantu Lo-chungcu?"

"Hm, anjing Lo-chungcu atau bukan tak perlu kau tahu. Golok Hitam. Yang jelas aku ingin membuatmu anjing buduk yang tahu diri!"

"Keparat..!" Golok Hitam memekik, menyuruh anak buahnya turun dan tiba-tiba menuding dua orang di sebelah kanannya. "Kam Ti, Ci Hung, bunuh kakek ini dan robek mulutnya!"

Tapi kakek Kun menyeringai. "Wah, jangan buru-buru Golok Hitam. Aku dilindungi muridku ini. Dia tentu tak membiarkan aku dibunuh anjing-anjingmu itu!"

Siauw-cut melangkah maju. "Benar kau tak boleh mengganggu yang tua dulu, Golok Hitam. Masih ada aku yang muda di sini."

Golok Hitam mendengus. Dia melihat anak itu melindungi yang tua, tersenyum-senyum dan mengejek kepada mereka semua. Maka kepala rampok yang marah ini langsung membentak, "Kam Ti, bunuh dan singkirkan mereka berdua...!"

Dan dua orang laki-laki kekar yang sudah menghampiri Siauw-cut tiba-tiba mengayun golok ke dada anak laki-laki ini. Tapi Siauw-cut mengelak. Dia tak tahu Kun Seng tiba-tiba menolongnya dari belakang, menyentil dua butir kerikil ke pundak dua orang perampok itu yang kontan mengaduh karena lengan mereka kaku tertotok. Dan Siauw-cut yang mengira dua orang itu kesakitan tanpa sebab mendadak sudah mengayunkan rantingnya dan menendang paha orang.

"Tikus-tikus busuk, kalian menyingkirlah...!"

Dua orang itu menjerit. Mereka tentu saja ditendang roboh, bergulingan tunggang-langgang dengan muka kaget. Tak tahu apa yang terjadi dan kenapa pundak mereka tiba-tiba kaku tak dapat digerakkan. Tapi mereka berdua yang sudah melompat bangun dan merasa pundak sudah pulih seperti sedia kala sekonyong-konyong menubruk beringas dengan jerit penuh kemarahan.

"Setan cilik, kau mampuslah!"

Siauw-cut terkejut. Dia sebisa-bisanya melompat menghindari, kaget melihat kecepatan golok yang membabat pinggangnya. Tapi karena dia tergesa-gesa dan belum biasa dalam sebuah pertempuran tiba-tiba kakinya tersandung batu. Akibatnya Siauw-cut tergelincir, dan begitu anak ini roboh tahu-tahu golok menyerempet bajunya.

"Brett!"

Dua orang itu berteriak gembira. Siauw-cut terjelungup ke depan, tapi Kun Seng yang diam-diam menggerakkan tangan menotok dari jauh dengan kerikil hitam sudah membuat dua orang ini terpekik ketika lengan mereka kembali kaku tanpa sebab! Dan Kun Seng yang tertawa oleh kejadian itu sudah berteriak pada anak laki-laki ini,

"Siauw-cut, rampas goloknya dan tendang selangkangan mereka!"

Siauw-cut mengangguk. Dia melompat bangun dengan cepat, tak menyia-nyiakan kesempatan lawan mematung di situ, tak tahu bahwa mereka tertotok lengannya dan kaku tak dapat bergerak. Maka begitu menubruk dan menendang selangkangan lawan diapun sudah merampas golok dan membentak, "Tikus-tikus hina, robohlah kalian... plak-dess!"

Dua orang itu menjerit. Mereka mengaduh hebat ditendang bagian yang amat rawan ini, selangkangan yang membuat mereka mulas dan sakit bukan main. Maka begitu ditendang kaki si bocah dengan dupakan keras kontan mereka kelenger dan jatuh berdebuk di depan si Golok Hitam, tak dapat bangun kembali!

"Ah...!" si Golok Hitam terbelalak. Tapi sadar bahwa dua orang pembantunya keok demikian mudah mendadak laki-laki ini menendang dua orang pembantunya itu hingga mencelat dan tersiksa lebih hebat, pingsan. Lalu melompat ke depan dengan golok terangkat tinggi-tinggi dia-pun meraung dan membanting kakinya.

"Bocah hina, aku akan membunuhmu! dan memberi aba-aba pada anak buahnya yang lain pemimpin rampok itu berteriak, "Manusia-manusia tolol, lanjutkan tugas kalian memasuki dusun. Biar aku membunuh dan memberesi dua orang ini!"

Semua perampok menganggukkan kepala. Mereka melompat kembali ke atas kuda berderap maju dengan pekik buas. Tapi baru mereka melompat di atas kuda masing-masing tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat cepat. Mereka tak tahu bayangan siapa itu. Tapi begitu menyentuhkan tangannya di pantat kuda mendadak binatang tunggangan itu sama meringkik dan mendeprok roboh. Lumpuh! Lalu begitu semua orang menjerit dan terpelanting jatuh tahu-tahu bayangan ini kembali ke tempatnya semula dan tersenyum-senyum. Kun Seng!

"Ah, kau yang melumpuhkan kuda-kuda kami, tua bangka?"

"Ha-ha, sekedar mencegah anak buahmu tak memasuki dusun, Golok Hitam. Lo-chungcu tak ingin kampungnya dikotori jejak-jejak kaki kalian.'"

Golok Hitam terkejut. Dia marah dan kaget melihat anak buahnya tak dapat menjalankan tugas. Kudanya lumpuh ditepuk kakek tua ini. Tapi bukannya sadar dan mengetahui bahwa kakek itu memiliki kepandaian hebat kepala rampok ini malah memekik dan mengayunkan goloknya, membacok leher laki-laki tua itu.

"Tua bangka, kau tak tahu diri. Mencari mati, mampuslah...!" dan golok yang menyambar keras ke laki-laki tua ini meluncur mengerikan bagai petir membelah angkasa.

Tapi kakek ini tertawa. Dia bersikap dingin, lalu berkelit mudah ke samping lawan tiba-tiba jarinya mengetuk pergelangan tangan lawan. "Golok Hitam, kau yang tak tahu diri. Pergilah...!"

Golok Hitam menjerit. Dia merasa ketukan kakek itu menimpa dahsyat, mengenai tulang dan serasa meremukkan pergelangannya. Lalu sementara dia terpekik tahu-tahu kakek itu mendupak pinggangnya dan... melayang ke arah Siauw-cut.

"Siauw-cut, ambil rantingmu dan layani babi ini. Kau hajarlah dia...!"

Siauw-cut mengangguk gembira. Dia melihat tadi perbuatan orang tua itu yang melumpuhkan semua binatang tunggangan para perampok ini, demikian cepat gerakannya hingga hampir tak terlihat pandangan mata. Maka melihat kakek itu melempar tubuh si kepala rampok dan menyuruhnya menghadapi lawan anak inipun besar hati dan membuang golok, mencabut ranting yang tadi tersisip di pinggang. Lalu begitu membentak dan menggerakkan rantingnya tiba-tiba muka si Golok Hitam sudah disabet dan diterima dengan lutut kanannya yang menghantam dagu lawan!

"Golok Hitam, cium lututku dulu, baru bertempur... dukk!" dan kepala rampok yang menjerit oleh hantaman lutut ini terbanting dan mengaduh hebat di atas tanah, nggelosor dan pecah mulutnya lalu terguling-guling melompat bangun. Marah bukan main. Kemudian menggereng dengan muka beringas laki-laki ini sudah memutar goloknya hingga mengaung dan melompat ke depan.

"Bocah hina, aku akan mencincang tubuhmu...!"

Siauw-cut tertawa. Dia tiba-tiba menekan rantingnya berjungkir balik di depan lawan, membuat si Golok Hitam tertegun melihat anak ini menghadapinya dengan cara seperti itu, kepala di bawah kaki di atas dengan ranting menopang tubuh! Tapi membentak dan mengira anak itu gila mendadak laki-laki ini sudah menerjang ke depan dengan pekik buasnya.

"Anak siluman, aku akan mencincang tubuhmu tiga potong...!"

Siauw-cut melejit. Dia terang tak mau dijadikan sasaran golok, melenting dan berjungkir balik dengan cepat, kembali ke posisi semula. Lalu menggerakkan ranting bertubi-tubi dia sudah menusuk dan mempergunakan jurus pertama, Tit-te-pai-seng, mengelak dan balas menyerang lawannya ini. "Golok Hitam, jangan berkaok-kaok dulu. Telingaku bising...!"

Golok Hitam, menerjang. Dia sudah membacokkan goloknya ke tubuh anak itu. Tapi ketika Siauw-cut merobah gerakan dan berdiri kembali di atas tanah sambil mengelit senjatanya, otomatis goloknya luput mengenai sasaran, menyambar angin kosong. Dan sementara dia terbelalak oleh gerakan lawan yang ringan tapi gesit tahu-tahu ranting di tangan lawan sudah bergetar menjadi lima buah banyaknya dan menyerang dahi dari atas ke bawah!

"Prat-prat!"

Golok Hitam meraung. Dia tak dapat mengelak tusukan ranting itu. bingung karena mana yang sebetulnya menyerang. Semuanya tampak sama. Maka ketika hidung dan mulutnya "dicolok" ranting kontan kepala rampok ini menggereng dan mengumpat-umpat, marah bukan main. "Anak sundal, aku akan membunuhmu... aku akan mencincangmu. Keparat kau!"

Siauw-cut tertawa gembira. Dia girang melihat jurus pertamanya sudah berhasil mengenai lawan, meskipun tak melukai. Maka melihat Golok Hitam menghambur lagi dengan golok diputar cepat diapun berkelit dan mainkan jurus ke dua dan ke tiga, Heng-hun-po-uh dan Bu-tiong-boan-seng, menotolkan ranting dan membuat gerakan bagai bintang menari-nari. Dan begitu mereka bergebrak tiba-tiba keduanya sudah saling serang dengan sengit, terutama si Golok Hitam sendiri yang berkali-kali luput bacokannya dikelit lawan yang lincah. Dan Siauw-cut yang tertawa melihat tiga jurus ilmu silatnya ternyata dapat dipakai menghadapi si Golok Hitam sudah terkekeh gembira mainkan rantingnya.

Tapi Siauw-cut tiba-tiba tersentak. Golok Hitam merobah gerakannya, berpusing dan memutari dirinya sambil bergulingan, tangan kiri mulai melancarkan pukulan-pukulan keras mengiringi serangan golok. Dan bingung serta belum banyak pengalaman tentang sebuah pertandingan tahu-tahu dadanya menerima tinju si Golok Hitam ketika dia lengah, baru saja memandang si kakek tua untuk minta petunjuk! Dan Siauw-cut yang roboh terbanting oleh pukulan ini tiba-tiba melihat lawannya mengangkat golok dibacokkan ke lehernya.

"Bocah hina, mampuslah...!"

Siauw-cut mencelos. Dia terang tak berani menangkis dengan rantingnya, senjata lemah yang tentu putus dibabat golok. Tapi Kun Seng yang tersenyum melihat ini mendadak berseru, "Siauw-cut, pergunakan getaran sinkangmu. Kenapa begitu tolol mengelak saja? Salurkan tenaga di lengan, tarik hawa dari pusar dan tangkis golok itu dengan rantingmu...!"

Siauw-cut tertegun. Dia tak jadi mengelak, sedikit bingung oleh seruan itu. Tapi percaya pada kakek ini dan golok juga sudah dekat dengan tubuhnya tiba-tiba bocah ini menarik napas dan menggerakkan ranting menangkis, sekuat tenaga begitu hawa sakti bergetar di lengannya, menurut "perintah" jalan pikirannya. Dan begitu ranting bertemu golok tahu tahu terdengar suara keras ketika golok mental keras tapi ranting di tangan Siauw-cut patah dua potong dibabat senjata si Golok Hitam!

"Crak!" Siauw-cut tertegun. Dia heran rantingnya dapat menolak golok di tangan lawan, seakan ranting di tangannya itu berobah seperti toya baja. Tapi bahwa rantingnya patah dan tak kuat juga menerima golok di tangan lawan secepat kilat dia menggulingkan tubuh ketika Golok Hitam memekik dan membacokkan goloknya, kembali menubruk pada saat dia tak memegang senjata.

"Brett..!" Siauw-cut mencelos kaget. Dia masih tak dapat menyelamatkan diri sepenuhnya. Baju di pundak berikut sedikit kulit terobek menerima bacokan, kalah cepat! Dan sementara dia melompat bangun dengan muka pucat tahu-tahu Si Golok Hitam kembali mengejar dengan senjata diangkat ke atas membelah kepalanya.

"Bocah siluman, aku akan membunuhmu sekarang...!"

Siauw-cut terbelalak ngeri. Dia tak ada kesempatan mengelak. Baru bangun, mana bisa menghindar? Tapi sementara dia bagai orang bingung menghadapi serangan ganas ini mendadak kakek Kun mendorongkan lengannya.

"Anak bodoh, jangan ndomblong begitu. Kemarilah...!"

Siauw-cut tiba-tiba mengeluarkan seruan kaget. Dia merasa disedot ke belakang, ditarik tenaga tak nampak yang meluncur dari lengan kakek Kun. Lalu begitu dia terkesima tahu-tahu golok di tangan lawan sudah menghajar batu di depannya, luput mengenai dirinya karena dia sudah "terbang" ke belakang, disedot sinkang mujijat si lelaki tua!

"Ah, kau bodoh, Siauw-cut. Orang bertanding tak boleh bengong!"

Siauw-cut tertegun. Dia terbelalak melihat bacokan si Golok Hitam yang dahsyat menimpa batu, belah jadi dua seperti orang membacok agar-agar. Dan sementara kepala rampok itu menjerit penuh kecewa karena sasarannya luput dan marah-marah tiba-tiba kakek Kun menepuk pundak anak ini dan menyisipkan sebuah golok, tertawa sambil mendorong anak itu.

"Sekarang maju kembali, Siauw-cut. Pakai golok ini dan robohkan lawanmu...!"

Siauw-cut menyeringai. Sekarang dia sadar dan besar hati oleh pertolongan kakek itu, yang ternyata mampu menyelamatkannya dan tak membiarkan dia celaka di tangan musuh. Maka tertawa dan tersenyum lebar oleh kenyataan ini tiba-tiba Siauw-cut melompat maju dan membolang-balingkan goloknya.

"Golok Hitam, sekarang aku tak akan memberimu ampun. Kita berdua sama-sama bersenjata tajam!"

Laki-laki itu sudah menggereng. Dia melihat anak itu "disedot" si kakek tua, luput menerima serangan goloknya dan kini maju dengan sebatang golok pula. Maka marah dan gusar oleh semuanya itu mendadak laki-laki ini menenang ke depan dengan golok diputar cepat, mengaung bagai lebah mencari madu.

"Bocah setan, kau yang tak akan kuberi ampun. Mampuslah...!"

Siauw-cut berjungkir balik. Dia langsung mulai mengulang kembali jurus pertama Tit-ie-hai-seng itu, menggerakkan golok menangkis dan balas menyerang, sekaligus mengerahkan pula getaran sinkangnya itu untuk memperkuat cekalan golok. Dan begitu dia menangkis sambil mainkan ilmu silatnya dengan besar hati karena ranting sudah diganti golok tiba-tiba lawan berteriak kaget ketika senjatanya mental ke belakang, membentur tenaga dahsyat yang tiba-tiba muncul di lengan anak itu!

"Trang!"

"Ah...!" Golok Hitam terkesiap. Dia melengking tinggi oleh gebrakan yang mengejutkan ini, tak tahu dari mana anak itu mendapatkan tenaganya yang demikian hebat luar biasa. Tapi meraung dan memekik penuh kemarahan tiba-tiba kepala rampok ini telah menghujani tubuh lawannya dengan serangan gencar. Bertubi-tubi dia menyerang anak itu, kiri-kanan muka dan belakang. Bahkan bergulingan pula seperti caranya tadi, mengharap anak itu bingung menghadapi tingkahnya. Tapi Golok Hitam yang tak mengetahui apa yang terjadi pada anak ini tiba-tiba dibuat kaget dan melongo.

Siauw-cut tiba-tiba saja seperti harimau tumbuh sayap. Mampu mengimbangi dan menangkis semua bacokannya, bahkan mengelak dan menyerang ganas, memutar golok dan bertubi-tubi "mematuk" tubuhnya, lebih gesit dan cekatan dibanding tadi, ketika memegang ranting! Dan Golok Hitam yang mengeluh melihat perobahan itu tiba-tiba pucat mukanya ketika tangkisan-tangkisan anak itu kian lama kian membuat lengannya kesakitan, tergetar pedas. Hampir melumpuhkan! Dan ketika dia terbelalak dan mundur-mundur oleh serangan anak laki-laki ini mendadak kepala rampok itu sudah terdesak hebat dan menjerit-jerit. Marah tapi juga gentar!

Sesungguhnya, apa yang terjadi pada pertempuran ini? Sederhana saja. Kisahnya dimulai dari rasa kurang percaya diri, karena ketika Siauw-cut masih memegang ranting dan belum tahu kehebatan ilmu silat kakek itu dia merasa was-was dan kurang tenang. Bagaimanapun Siauw-cut belum pernah mempelajari ilmu silat. Kecuali ilmu pernapasan (Iweekang) yang didapatnya dari Bu beng Sian su. Maka begitu mendapat "warisan" ilmu silat yang banyaknya hanya tiga jurus dan baru pertama kali itu dia bertanding melawan seorang kepala rampok yang tinggi besar dan menyeramkan mukanya mau tak mau anak ini tergetar juga. Kecut.

Tapi ketika dalam pertempuran pertama dia berhasil menandingi setidak-tidaknya menahan serangan si Golok Hitam dengan ranting yang lemah di tangannya maka anak ini terangkat kepercayaannya. Tapi kepercayaan inipun tiba-tiba hampir padam. Yakni ketika rantingnya patah menangkis golok si kepala rampok itu meskipun senjata lawan dapat pula dia pentalkan. Hasil dari getaran tenaga saktinya yang bergolak di tubuh, tenaga sakti yang sesungguhnya belum mahir benar dipergunakan anak ini.

Karena, kalau Siauw-cut dapat mempergunakan tenaga saktinya dengan betul tentu rantingnya tak akan patah. Bahkan mungkin senjata di tangan kepala rampok itulah yang patah bertemu tenaga sinkang seorang yang ahli! Tapi karena Siauw-cut memang belum tahu akan semuanya ini maka tak heran kalau dia kecil hati menghadapi lawannya yang buas, setelah rantingnya patah.

Tapi Siauw-cut tiba-tiba gembira. Dia melihat kakek Kun tak membiarkannya celaka di tangan lawan. Berarti kakek itu akan selalu menyelamatkannya setiap dia dalam bahaya. Maka mendengar kakek itu menyuruhnya maju kembali dan membekalinya dengan sebuah golok sebagai pengganti ranting yang patah tiba-tiba Siauw-cut bangkit semangatnya dan besar hati! Dia maju dengan kepercayaan penuh. Yakin tak akan terbunuh karena kakek Kun akan membantunya setiap saat! Dan girang serta pulih kembali kepercayaannya yang menggebu-gebu Siauw-cut tiba-tiba menjadi garang dan mantap sepak terjangnya.

Hal ini membuat gejolak tenaga saktinya bangkit, tak terkendali, didorong oleh semangat yang meluap dan rasa besar hati yang berlebih-lebihan. Maka begitu dia menyambut dan balas menyerang semua bacokan si Golek Hitam tiba-tiba Siauw-cut telah mainkan tiga jurus ilmu silatnya dengan begitu baik dan sempurna. Satu hal yang belum tentu dapat dilakukannya dalam keadaan kecil hati. Dan begitu dia mainkan tiga jurus ilmu silat ini dengan penuh kepercayaan diri yang berlebih-lebihan mendadak tenaganya berlipat ganda sampai sepuluh kali banyaknya!

Tentu saja Golok Hitam terkejut. Dia tak tahu kenapa tenaga anak laki-laki ini sekonyong-konyong seperti orang kesetanan. Hebat dan membuat lengannya kian pedih dan kesakitan setiap kali ditangkis. Bahkan telapaknya mulai lecet-lecet! Dan ketika dia semakin terdesak dan mundur-mundur oleh serangan anak laki-laki itu mendadak golok Siauw-cut "memercik" ke segenap tubuhnya dalam jurus terakhir. Bu-tiong-hoan-seng... atau Bintang Bertaburan di Balik Kabut!

"Golok Tengik, robohlah...!"

Laki-laki ini menggigit bibirnya. Dia dimaki Golok Tengik, bukan Golok Hitam. Dan melihat anak itu menggerakkan golok demikian rupa hingga mengaburkan pandangan karena ujung golok tiba-tiba "memercik" ke sana ke mari menghujani tubuhnya tiba-tiba kepala rampok ini bingung. Dia tak tahu harus menangkis ke mana. Maka, nekat dan bingung oleh serangan Bintang Bertaburan itu mendadak dia memutar goloknya dengan ngawur, sebisa dia melindungi diri.

Dan begitu membentur golok di tangan Siauw-cut yang berhamburan dari segala penjuru mendadak kepala rampok ini berteriak ketika goloknya patah, tak kuat bertemu tenaga Siauw-cut yang luar biasa. Lalu sementara dia terpekik dan golok lepas dari tangannya tahu-tahu golok di tangan anak laki-laki itu sudah menyambar dan membabat lengannya.

"Cratt...!" Golok Hitam terpelanting roboh. Pangkal lengannya terkuak lebar, bahkan sebagian dada kirinya juga terluka, mengucurkan darah yang menyemprot segar. Dan Golok Hitam yang kaget oleh gebrakan terakhir ini tiba-tiba sudah ditodong ujung golok yang menempel di kulit lehernya.

"Kau masih tak menyerah. Golok Tengik?"

Laki-laki ini tertegun. Sekarang dia sadar bahwa lawan yang dihadapinya itu bukan anak sembarangan. Tapi pura-pura mengeluh dan melirik ke kanan dia memberi kedipan pada anak buahnya, menyuruh mereka maju membokong. Tapi baru anak buahnya melompat maju tiba-tiba kakek Kun tertawa dan menggerakkan jarinya. Lima puluh kerikil hitam disentilkan bergantian, cepat sekali. Dan begitu sinar hitam menyambar anak buah kepala rampok itu mendadak semuanya mengeluh dan terguling roboh. Tertotok oleh kerikil yang disambitkan kakek ini!

"Ha-ha, kau ingin memerintahkan anak buahmu maju mengeroyok. Golok Hitam? Kau masih tak menerima kekalahanmu dan minta dibunuh?"

Golok Hitam terkejut. Dia melihat anak buahnya sudah roboh bergelimpangan, tak satu-pun berdaya. Semuanya ditotok roboh oleh kakek tua itu. Dan sadar bahwa kakek ini seorang sakti yang luar biasa ilmu kepandaiannya tiba-tiba kepala rampok ini gentar dan ketakutan bukan main!

"Ah, ampun... ampunkan aku, orang tua. Sungguh mataku buta tak mengetahui siapa adanya kau! Siapakah kau dan siauw-hiap (pendekar cilik) ini? Golok Hitam menjatuhkan diri berlutut, gemetaran dan pucat mukanya dengan peluh membasahi dahi.

Tapi kakek Kun yang sudah melayang mendekati kepala rampok ini tiba-tiba bersikap bengis. "Golok Hitam, tak perlu kau tahu siapa aku. Kami terlalu besar untuk memperkenalkan nama kepadamu! Sekarang apa yang kau minta?”

Golok Hitam menggigil, "Aku mohon ampun, lo-taihiap... aku mohon ampun dan tak akan mengulangi lagi perbuatanku!"

"Hm, sedemikian mudah caranya? Kau ingin seenak itu?"

Laki-laki ini ketakutan. "Aku... aku mohon keringanan, lo-taihiap... boleh kau hukum aku tapi jangan dibunuh."

"Kalau begitu apa yang kau kehendaki?"

"Kau bebaskan aku... dan sebagai gantinya biarlah aku mencokel sebelah mata untuk menerima hukuman ini!"

Sebelum kakek Kun menjawab atau menolak tiba-tiba Golok Hitam menggerakkan tangannya. Dia mencokel mata kirinya, menusuki dengan dua jari telunjuk dan tengah. Lalu begitu menarik dan menjerit perlahan tahu-tahu kepala rampok ini telah mengeluarkan biji matanya di telapak tangan, buta sebelah. Dan begitu dia menjerit dengan muka berlepotan darah tiba-tiba kepala rampok ini telah terguling roboh. Pingsan!

Siauw-cut dan Kun Seng tertegun. Siauw-cut terbelalak, merasa ngeri. Tapi kakek Kun yang menyeringai dingin mendadak mengayunkan kaki menendang tubuh si Golok Hitam itu. Dia tampaknya tenang-tenang saja, bersikap acuh melihat kebutaan orang. Lalu membebaskan lima puluh orang anak buah kepala rampok ini dengan sambitan kerikil hitamnya kakek itu membentak,

"Tikus-tikus busuk, bawa pemimpin kalian ini enyah dari sini. Jangan mengulang kembali memasuki dusun Lo!"

Para rerampok bangkit berdiri. Mereka menggigil, ketakutan sekali melihat kehebatan kakek dan anak laki-laki itu. Namun menganggukkan kepala dengan tubuh gemetaran mereka sudah menerima dan membawa lari pemimpin mereka, menaiki kuda yang sudah sehat kembali dan lintang pukang bagai dikejar setan. Sementara Siauw-cut yang masih terkesima oleh semuanya ini tiba-tiba melihat banyak orang muncul dari dalam hutan, di belakang dusun.

"Kun-taihiap, terima kasih... kau orang tua sungguh hebat sekali...!"

Siauw-cut tertegun. Dia melihat puluhan orang berlari-lari menghampiri mereka, laki-laki dan wanita. Penduduk dusun Lo yang tadi menyingkir bersembunyi! Dan begitu mereka bersorak sambil menghambur maju tahu-tahu mereka semua sudah menjatuhkan diri berlutut dipimpin seorang laki-laki kurus yang agaknya kepala dusun!

"Kun-taihiap, terima kasih. Kami sungguh lega gerombolan Golok Hitam telah kau usir...!"

Tapi kakek Kun menyeringai. Dia memberi isyarat agar Siauw-cut mendekat, lalu menyambar anak ini dan menjejakkan kakinya tiba-tiba kakek itu melompati kepala semua orang, lenyap sambil berseru, "Lo-chungcu, tak perlu berterima kasih. Itu sudah merupakan kewajiban kami!"

Kepala dusun terkejut. Dia melihat kakek itu tahu-tahu sudah kabur jauh, terbang melewati belakang dusun. Dan begitu bayangan orang lenyap meninggalkan suaranya yang serak terkekeh otomatis semua orang bangkit berdiri. Mereka juga terkejut, heran dan kaget melihat kakek ini dapat melampaui kepala demikian banyak orang. Bagai terbang saja. Dan sementara mereka bengong dan menjublak bagai orang terpukau tiba-tiba kepala dusun sudah berseru kepada mereka,

"Saudara-saudara, kakek itu bukan manusia. Dia dewa penjaga hutan...!"

Semua orang ribut. Mereka spontan menyambut teriakan kepala dusun ini, karena datang dan perginya kakek itu memang berusai dari dalam hutan, di belakang dusun mereka. Maka begitu mengiyakan dan berteriak menimpali seruan Lo-chungcu ini tiba-tiba semua orang menghambur ke belakang dusun dan berlari ke mulut hutan.

Tapi kakek Kun tak tampak bayangannya lagi. Kakek itu juga sudah tak terdengar suaranya, lenyap tak meninggalkan jejak entah ke mana. Dan penduduk dusun yang ramai-ramai memburu ke tempat ini akhirnya mengucap terma kasih sambil menjatuhkan diri berlutut. Mereka tak tahu bagaimana harus bersikap kepada "dewa" penjaga hutan itu, menyampaikan ucapan syukurnya dan terima kasih yang mendalam. Bebas dari gangguan si GoloK Hitam.

Maka, ketika Lo chungcu mengusulkan agar memberi sesaji di mulut hutan dan malamnya mengadakan upacara keagamaan di tempat itu segera semua orang bangkit berdiri menyatakan setuju. Mereka tak ada yang menolak, malamnya ramai-ramai di tempat itu. Dan begitu semua orang "selamatan" di mulut hutan segeralah dusun ini menjadi ramai seperti pasar malam!

* * * * * * * *

Sesungguhnya, siapa kakek yang mengusir gerombolan Golok Hitam dari dusun Lo itu? Dan kenapa dia mengincar benar Bu-beng Siauw-cut untuk dijadikan muridnya? Bagi para pembaca yang telah mengikuti kisah "Pendekar Kepala Batu" tentu mengenal kakek ini. Tak asing lagi begitu dia menyebut namanya. Kun Seng. Karena, siapa tak mengenal tokoh itu dalam kisah Pendekar Kepala Batu?

Sebab dialah sesungguhnya si jago pedang itu. Pendekar sejati dari Pegunungan Kun-lun, jago pedang tanpa tanding yang berjuluk Bu-tiong kiam (Si Pedang Dalam Kabut), orang yang justeru dicari-cari Bu-beng Siauw-cut! Maka aneh dan menggelikan kalau melihat bahwa Siauw-cut justeru mencari-cari pendekar pedang ini. Tak tahu betapa sesungguhnya orang yang dia cari berada di sampingnya. Kakek Kun yang memang merahasiakan dirinya itu, menyembunyikan julukan hingga Siauw-cut tak tahu!

Kalau begitu, kenapa kakek ini menyembunyikan keadaannya terhadap anak itu? Apa yang dimaksud? Sesungguhnya memang ada hal-hal yang dirahasiakan. Persoalan yang tidak boleh terburu-buru diberi tahu. Karena kalau Siauw-cut mengetahui bahwa Kun Seng adalah si jago pedang itu mungkin ada perubahan yang terjadi pada diri anak ini.

Seperti diketahui, beberapa tahun yang lalu pendekar ini mengalami musibah. Maksud perjodohan puteranya dengan keluarga Ciok-thouw Taihiap berantakan. Artinya, perjodohan itu gagal gara-para puteranya yang bernama Kun Bok "ada main" dengan gadis lain, malah tiga orang sekaligus, kakak beradik Sam-hek-bi-kwi yang menjadi pembantu-pembantu ketua Gelang Berdarah. Dan karena puteranya itu memang masih hijau dan belum berpengalaman maka puteranya itu terperangkap permainan orang-orang Gelang Berdarah, terjebak dan akhirnya tewas dengan menyedihkan pada saat mengetahui dirinya tertipu.

Tapi jago pedang ini menyadari keadaan. Dia tahu pihaknya yang bersalah. Artinya puteranya itulah yang menjadi gara-gara dan korban dari tipu muslihat orang jahat. Yakni ketua Gelang Berdarah itu. Tapi karena ketua Gelang Berdarah sendiri tewas dan tidak ada lagi tentu saja dia tak dapat menuntut pertanggung-jawaban dari biang keladi yang membuat cita-citanya berantakan. Hancur total maksud hatinya untuk berbesan dengan Cok-thouw Taihiap, Pendekar Kepala Batu yang terkenal keras namua lihai itu! Tapi pendekar pedang ini tak menyesali apa yang sudah terjadi. Dia cukup bijaksana untuk melihat kenyataan bahwa bagaimanapun juga dia ikut bersalah, sebagai orang tua kurang kontrol terhadap anak sendiri.

Maka melihat semuanya berakhir dengan demikian pahit pendekar inipun kembali pulang ke Kun-lun. Untuk beberapa lama dia mengasingkan diri, tak muncul selama dua tahun. Bertapa dan menenangkan guncangan batinnya yang terpukul hebat karena bagaimanapun juga kematian Kun Bok yang merupakan satu-satunya keturunan baginya terlalu hebat baginya. Maka, berhasil menenangkan diri di tempat persembunyiannya suatu hari pendekar ini merenung.

Dia berpikir, apa yang harus dilakukannya sekarang? Tetap tinggal di pegunungan itu sampai tua? Atau dia harus turun melaksanakan tugas-tugas seorang pendekar dalam membela yang lemah menentang yang lalim? Untuk sejenak pendekar ini tersenyum pahit. Sebenarnya dia enggan turun gunung, kecewa terhadap nasibnya yang buruk. Karena setelah kematian putera tunggalnya yang merupakan satu satunya keturunan itu pendekar ini menjadi hambar menghadapi hidup. Dia masih tertekan teringat semuanya itu, meskipun dia dapat mengendalikan diri menghadapi kenyataan ini.

Tapi ketika pagi itu dia menimbang-nimbang apa yang akan dilakukannya tiba-tiba wajah pendekar ini berseri ketika mendadak seorang wanita dusun lewat didepannya, itulah Bwee Kiok, gadis manis di kaki gunung, gadis yang selama ini membantu menyiapkan makanannya selama dua tahun! Maka, begitu melihat Bwee Kiok muncul di situ tiba-tiba terbersit di pikiran pendekar ini untuk, ah... kawin lagi!

Mendadak muka pendekar ini merah. Dia berdebar bagai jejaka melihat kekasih barunya, terbelalak dan ragu-ragu memandang gadis itu yang sudah memasuki tempatnya, membawa dua rantang makanan yang mengepul panas. Dan melihat gadis itu sudah memasuki tempatnya sementara dia masih bengong memandang Bwee Kiok tiba-tiba gadis itu menegur,

"Locianpwe. apa yang kau lihat? Kenapa kau bengong memandangku?"

Pendekar ini terkejut. Dia sadar oleh sikapnya, tergetar oleh suara yang nyaring merdu itu, suara seorang gadis yang murni dan polos! Maka gugup dan merah oleh teguran ini tiba-tiba pendekar itu bangkit berdiri. "Bwee Kiok, kau makan saja makanan itu. Aku hari ini ingin berpuasa!"

Bwee Kiok tertegun. "Kenapa tidak bilang kemarin, locianpwe? Aku masak kesenanganku hari ini, kuah swike dan dadar telur!"

"Ah, tapi hari ini aku ingin menenteramkan pikiran, Bwee Kiok. Aku gelisah membaca pikiranku sendiri!"

Bwee Kiok tersenyum. Ia meletakkan makanan itu, lalu menghadapi laki-laki tua ini gadis itu bertanya ulang, "jadi kau benar-benar tidak ingin makan, locianpwe? Kalau begitu besok saja?"

"Ya, besok saja. Bwee Kiok. Kau ambil makanan itu dan pulanglah!"

Bwee Kiok mengangguk. Ia terpaksa membawa kembali masakan itu, memutar tubuh dan melangkah pergi. Tapi belum sampai di pintu keluar mendadak pendekar itu memanggilnya, "Bwee Kiok, bolehkah kutanya sebuah hal kepadamu?"

Gadis ini terhenti, heran tampaknya. "Tentang apa, locianpwe? Apa yang ingin kau tanyakan?"

"Hm, sesuatu yang bersifat pribadi, Bwee Kiok. Bolehkah kutanya ini?"

Bwee Kiok tersenyum. "Aku tak mempunyai urusan pribadi, locianpwe. Kau boleh tanya apa saja kepadaku!"

"Hm, betulkah?"

"Ya."

"Kalau begitu..." pendekar ini tersendat, menelan ludah. "Kau tidak akan marah mendengar pertanyaan ini?"

Gadis itu tersenyum manis, bersinar-sinar matanya memandang pendekar ini. "Kenapa aku harus marah, locianpwe? Bukankah kita sudah seperti keluarga sendiri?"

Jago pedang itu tergetar. Dia tertusuk oleh kata-kata "seperti keluarga sendiri" ini, pernyataan yang diucapkan dari bibir mungil perawan dusun itu tanpa maksud-maksud tertentu. Tapi mengeraskan sikap dan tersenyum pahit diapun mengangguk, mencoba menenteramkan hati.

"Ya, justeru itulah aku berani bertanya, Bwee Kiok. Tapi kalau kau marah boleh kau tak usah kembali ke mari lagi."

Bwee Kiok tertawa kecil. "Locianpwe, kau tampaknya serius sekali. Apa sih yang hendak kau tanyakan?"

"Hm, persoalan pribadimu, Bwee Kiok. Yakni apakah kau sudah mempunyai kekasih atau calon suami pendamping hidupmu!"

Bwee Kiok terkejut. "Apa, locianpwe? Kekasih…?"

"Ya, itu yang ingin kutanyakan, Bwee Kiok. Tapi maaf kalau pertanyaan ini menyinggung hatimu!"

Perawan dusun itu tertegun, ia tampaknya tak menyangka sama sekali pertanyaan itu, seketika merah mukanya dan cepat menunduk. Tapi tersenyum malu tiba-tiba ia memutar tubuh dan berlari keluar, terkekeh ditahan sambil menjawab, "Locianpwe, pertanyaanmu aneh. Aku tak mempunyai kekasih atau memikirkan kekasih, untuk apa bertanya ini?"

Jago pedang itu ganti tertegun. Dia sendiri berobah mukanya, terbelalak melihat perawan dusun itu berlari cepat turun gunung, lenyap meninggalkan kekehnya yang manis memikat. Tapi menarik napas dan tersenyum lebar tiba-tiba pendekar ini merasa lega! Ada suatu perasaan puas di hatinya. Perasaan gembira yang menyelinap aneh di sanubarinya yang paling dalam! Maka menyeringai dan tersenyum girang tiba-tiba pendekar itu melompat dan mengawasi bayangan Bwee Kiok.

Tapi gadis dusun itu sudah lenyap. Jago pedang ini tak mengejar, sekedar mengawasi dan menarik kesimpulan dan apa yang baru saja mereka bicarakan. Lalu kembali masuk dan menenangkan debaran jantungnya yang bergetar pendekar ini sudah duduk bersila di atas sebuah batu hitam. Tapi celaka. Dialog sejenak itu ternyata membuatnya gelisah, tak dapat tenang mengonsentrasikan diri. Dan ketika semalam suntuk dia gundah oleh bayangan gadis dusun itu dan tak dapat menenangkan diri akhirnya Bwee Kiok muncul kembali pada keesokan harinya membawa sarapan pagi!

"Locianpwe, kau sudah lapar, bukan?"

Pendekar ini tertegun. “Aku melanjutkan puasaku, Bwee Kiok. Kau bawalah kembali makanan itu dan biarkan aku sendiri!”

Bwee Kiok terkejut. "Ah, kenapa begitu, locianpwe? Kenapa tidak kemarin juga kau memberi tahu kepadaku?'

Kun Seng menarik napas, "Maafkan aku, Bwee Kiok. Aku tak dapat menenangkan diriku semalam. Aku gelisah!"

Gadis ini cemberut. "Kalau begitu besok aku kembali, locianpwe?'

"Ya."

Tapi ketika Bwee Kiok kembili untuk yang ketiga kalinya kembali pendekar ini menolak untuk makan. "Ah, apa apaan ini, locianpwe? Kenapa tak bilang kemarin?” Bwee Kiok marah, cemberut mulutnya dan memandang penuh selidik muka pendekar itu.

Tapi Kun Seng yang menarik napas tiba-tiba membalikkan tubuh, penuh sesal dan tidak enak. "Maafkan aku, Bwee Kiok. Aku gelisah selama tiga hari ini. Biarlah kau pulang saja dan tak usah mengantarkan makanan lagi untukku!"

Bwee Kiok membelalakkan mata, melangkah maju. "Locianpwe, apa yang sebenarnya terjadi padamu? Kenapa sikapmu akhir-akhir ini aneh sekali?"

Pendekar ini mengangkat bahu berat sekali. "Aku dihantui perasaan takut, Bwee Kiok. Perasaan yang selama tiga hari ini tiba-tiba muncul secara mendadak!"

"Hm. soal apa, locianpwe? Apa yang kautakuti? Bukankah kau pendekar pedang tanpa tanding?”

Laki-laki ini menyeringai. "Justeru itulah, Bwee Kiok. Aku... ah sudahlah, tak usah kuceritakan ini karena membuat malu aku saja. Kau pergilah, Bwee Kiok... kau pergilah yang jauh dariku karena mungkin aku segera akan turun gunung!"

Bwee Kiok mengeluarkan seruan tertahan, kaget. "Locianpwe, kau akan meninggalkan aku?"

"Ya, aku gelisah di sini. Bwee Kiok. Aku ingin menghibur hatiku di luar!"

Bwee Kiok tiba-tiba terisak, meletakkan rantangnya. "Locianpwe, apa sebenarnya yang membuatmu gelisah? Bolehkah aku tahu?"

"Hm, aku malu mengatakannya, Bwee Kiok. Kurasa tak enak sekali aku menceritakan ini kepadamu."

“Tapi kita sudah seperti keluarga sendiri, locianpwe. Aku sudah biasa mendengar dan melihat nasibmu yang buruk."

"Ya, tapi ini persoalan pribadi, Bwee Kiok. Aku... ah sudahlah, aku malu mengatakannya!"

Bwee Kiok tiba-tiba melangkah maju, menggigil gemetar memandang pendekar ini dengan matanya yang bening basah. Lalu bertanya dengan bibir gemetar dan lirih dia mengeluarkan suara sambil menunduk, "Locianpwe, tidak berhakkah aku bertanya urusan pribadimu? Bukankah dua hari yang lalu kau juga pernah bertanya urusan pribadiku?"

Pendekar ini tertegun. Dia melihat gadis itu tiba-tiba mengucurkan air matanya dengan deras, menggigit bibir dan menahan-nahan diri agar tidak tersedu-sedu. Maka terharu dan terpukul oleh pertanyaan ini terpaksa Kun Seng menyentuh pundak gadis itu dan berkata, "Sebenarnya aku berat menjawab, Bwee Kiok. Tapi karena pertanyaanmu betul dan aku tak dapat membantah, baiklah kukatakan apa sesungguhnya yang membuat aku gelisah. Kau duduklah, kita bicara baik-baik..."

Lalu menuntun gadis itu yang mengusap air matanya segera pendekar ini menyatakan isi hatinya, agak tersendat namun sungguh-sungguh. "Sebenarnya aku ingin kawin, Bwee Kiok. Karena semenjak keturunanku satu-satunya tewas aku menjadi hambar menghadapi hidup. Aku kecewa terhadap nasibku sendiri. Aku menyesal bahwa mendiang puteraku melakukan kesalahan tak berampun hingga mengorbankan dirinya sendiri. Kini aku tak mempunyai keturunan. Aku tiba-tiba takut bahwa ilmu kepandaian yang kumiliki satu-satunya tak mendapat ahli waris!"

Bwee Kiok tertegun. "Jadi itu yang membuatmu gelisah, locianpwe?"

"Ya."

"Dan... dan..."

"Kenapa, Bwee Kiok?"

"Kau sudah mempunyai calon isterimu itu, locianpwe?" gadis ini menunduk, bertanya lirih dan tampaknya gemetar ketika menanyakan pertanyaan itu.

Dan Kun Sang yang merah mukanya oleh pertanyaan ini tiba-tiba bangkit berdiri. "Hm, ini yang membuat aku bingung, Bwee Kiok. Karena justeru kaulah yang kuharapkan!"

Bee Kiok terkejut. "Apa, locianpwe..?"

"Ya, aku ingin berterus terang, Bwee Kiok. Bahwa wanita yang kuharap untuk menjadi isteriku adalah kau!"

"Aah...!" Bwee Kiok terpekik, menjerit lirih. Lalu bangkit berdiri dan tersedu-sedu mendadak gadis ini memutar tubuh keluar gua.

Tentu saja pendekar pedang ini terperanjat. Dia menyesal mengatakan itu semuanya, tapi melihat gadis itu berlari turus gunung dan tidak menjawab pernyataannya tiba-tiba pendekar ini tersenyum pahit. Dia merasa dirinya tak tahu diri, bagai bandot tua yang sengaja mencari daun muda! Maka melihat Bwee Kiok tampaknya marah dan tersinggung oleh pernyataannya tadi tiba-tiba jago pedang ini masuk ke dalam gua. Dia mengambil buntalan, terpukul dan ingin segera pergi dari tempat itu. Sekarang juga. Tapi baru dia membalikkan tubuh melangkah ke luar sekonyong-konyong terdengar jeritan Bwee Kiok.

Jago tua ini tersentak kaget. Dia mendengar suara Bwee Kiok bagai suara orang menghadapi bahaya, maka bagitu menjejakkan kaki tiba-tiba pendekar ini sudah berkelebat ke kiri ke asal suara, di mana Bwee Kiok tadi menjerit. Dan begitu tiba di tempat ini mendadak jago pedang itu tertegun. Dia melihat Bwee Kiok dirangkul seseorang, laki-laki muda yang dikenalnya sebagai Hwat Gi, penduduk dusun di bawah gunung, tetangga Bwee Kiok!

Maka melihat Bwee Kiok dirangkul dan diciumi laki laki ini sambil tertawa penuh nafsu tiba-tiba Kun Seng tak dapat mengendalikan diri. Dia sudah menggerakkan kakinya mendekati laki laki ini, dan begitu jarinya mencengkeram pundak tahu-tahu dia sudah melempar laki-laki itu yang dibantingnya di atas tanah. "Hwat Gi, apa yang kau lakukan ini?"

Pemuda itu terkejut. Dia bangun berdiri dengan muka berobah, kaget melihat pendekar pedang itu muncul di depannya. Tapi tertawa gugup dan menyeringai gentar buru-buru dia menjura di depan jago padang ini. "Maaf. aku tak dapat mengendalikan kegiranganku, Kun taihiap. Nenek Bwee Kiok menerima lamaranku untuk meminang gadis ini...!" Tapi Bwee Kiok berteriak, "Bohong, kau tak tahu malu, Hwat-twako. Nenek dan aku tak tahu apa-apa tentang maksud hatimu itu!"

"Ah, tapi aku baru dari rumahmu, Bwee Kiok. Aku mendapat ijin dan disuruh menyusulmu kemari!"

Bwee Kiok membanting kaki. Dia marah sekali, dan menuding pemuda ini dengan mata berapi-api gadis itu bicara, lantang suaranya, "Orang she Hwat, kau sungguh tak tahu malu sekali. Kapan kau menjumpai nenek? Beliau tak ada di rumah, nenek pergi ke kota mencari rempah-rempah!”

Hwat Gi terbelalak. Dia jadi bingung dan terkejut oleh seruan itu, sementara Kun Seng yang tahu apa yang terjadi di sini tiba-tiba sudah menyambar leher baju pemuda itu.

"Hwat Gi, kau berani bohong di depanku? Kau berdusta untuk memaksa Bwee Kiok?"

Laki laki ini gemetar. Dia terang tak mampu menjawab, takut dan kenal baik siapa pendekar pedang itu. Maka menjatuhkan diri berlutut dan buru-buru minta maaf dia membenturkan dahinya sementara mata melirik penuh ancaman kepada Bwee Kiok! "Kun-taihiap, ampun. Aku memang berbohong... aku jatuh cinta pada adik Bwee Kiok ini dan tak dapat mengendalikan diriku...!"

Kun Seng mengerutkan kening. Dia terpukul oleh kata-kata pemuda itu, yang seakan sebuah cermin bagi dirinya sendiri. Betapa dia juga mencintai Bwee Kiok, gadis yang patut menjadi anaknya seperti juga pemuda dusun itu! Maka melepas cengkeraman dan mendorong pemuda itu pendekar ini sudah membentak, "Baik, sekarang pergilah, orang she Hwat. Jangan mengganggu Bwee Kiok kalau dia tidak suka!"

Hwat Gi segera mengangguk-angguk. Dia ngeloyor pergi, mengucap terima kasih namun diam-diam matanya bersinar penuh ancaman kepada Bwee Kiok. Yang tentu saja menjadi ngeri oleh lirikan berbahaya pemuda itu. Maka ketika Hwat Gi pergi meninggalkan mereka dan Kun Seng melihat dara itu masih berada di situ tiba-tiba pendekar ini menarik napas, menegur,

"Bwee Kiok, ada apa lagi? Kau boleh pergi sekarang. Hwat Gi tak akan berani lagi mengganggumu!"

Tapi Bwee Kiok tiba-tiba tersedu. Dia melihat buntalan di punggung jago pedang ini, tanda jago pedang itu siap berangkat. Maka mengguguk dan menangis penuh kesedihan tiba-tiba gadis ini memutar tubuh dan berlari kembali memasuki gua! "Locianpwe, kau kejam... kau menyayat hatiku...!"

Kun Seng tertegun. Lho, apa ini? Maka lompat mengejar gadis itu peudekar ini berseru, “Bwee Kiok, apa maksud kata-katamu itu? Kenapa kau katakan aku kejam padamu?"

Bwee Kiok menutupi mukanya di atas batu. Ia semakin tersedu-sedu oleh pertanyaan itu, tak menjawab. Dan sementara Kun Seng terbelalak melihat semuanya ini tiba-tiba seorang nenek muncul di luar gua.

"Kun-taihiap, aku ingin bicara denganmu!"

Pendekar ini tercekat. Dia melihat nenek Lui tiba-tiba muncul, nenek dari Bwee Kiok! Maka terheran melihat nenek itu datang ke tempatnya buru-buru pendekar ini mempersilahkannya masuk. Tapi nenek itu tak mau, ia minta bicara di luar, dan Kun Seng yang terpaksa mengikuti kehendak nenek ini sudah melayang keluar dengan jantung berdebaran. Dia khawatir ada sesuatu yang tidak baik, sesuatu yang tidak enak menimpa dirinya. Tapi melihat nenek itu tersenyum padanya diapun mengerutkan alis.

"Uwak Lui, apa yang hendak kau bicarakan? Bagaimana kau susah payah datang ke mari?"

Nenek itu tersenyum. "Aku ingin membicarakan nasib Bwee Kiok, taihiap. Harap kita bicara blak-blakan saja."

"Hm, tentang apa?"

"Kelanjutan dari pertanyaanmu, taihiap. Bahwa sesungguhnya maksud hatimu tidak bertepuk sebelah tangan!"

Pendekar ini terkejut. "Tidak bertepuk sebelah tangan bagaimana, nek? Apa yang kau maksud?"

Nenek itu batuk-batuk. "Aku mendengar cerita cucuku tentang pernyataanmu dua hari yang lalu, taihiap. Pertanyaan tentang apakah Bwee Kiok sudah mempunyai kekasih atau belum. Kau benar bertanya tentang ini, bukan?"

Jago pedang itu semburat mukanya. "Memang benar, nek. Tapi..."

"Hm, aku yang tua mengerti maksudmu, taihiap," nenek itu memotong. "Bahwa sesungguhnya kau menaksir Bwee Kiok untuk menjadi isterimu! Begitu, bukan?"

Kun Seng tertegun.

"Dan kau tidak bertepuk sebelah tangan, taihiap. Artinya bahwa diam-diam sebenarnya Bwee Kiok sudah lama mengagumimu dan sering membicarakannya denganku." nenek itu melanjutkan, mengejutkan pendekar ini yang sama sekali tidak menduga. Lalu terkekeh sambil membetulkan letak tongkatnya nenek Lui menyambung, "Dan kau tidak perlu kecil hati, taihiap. Aku tahu bahwa cinta sesungguhnya tidak memandang usia, karena itu Bwee Kiok tak akan menolakmu jika kau memintanya untuk menjadi isteri!"

Kun Seng tertegun untuk kedua kalinya. Dia terbelalak memandang nenek itu, seakan tak percaya pada apa yang didengar. Tapi ketika nenek Lui tersenyum dan menganggukkan kepala padanya memberi persetujuan mendadak pendekar ini bengong. Dia melihat nenek itu sudah memasuki gua, menghampiri cucunya yang masih tersedu-sedu. Lalu begitu ia berbisik dan menghibur hati sang cucu mendadak Bwee Kiok menghentikan tangisnya dan mengeluh.

Kun Seng tak tahu apa yang dibisikkan nenek ini. Tapi begitu mereka keluar gua dan Bwee Kiok berjalan menunduk uwak Lui sudah bertanya kepadanya, "Dan kau tidak akan meninggalkan kami bukan, Kun-taihiap? Aku menantimu di rumah, kami butuh pelindung dari gangguan orang macam Hwat Gi itu!"

Pendekar itu mengangguk. Dia masih terpaku oleh cerita nenek itu, belum dapat menjawab. Tapi mengantar keduanya dengan pandang mata bergairah tiba-tiba jago pedang ini tersenyum dan girang bukan main. "Baik, nek. Aku akan memenuhi permintaanmu....!"

Maka ketika malam itu pendekar ini berkunjung ke rumah Bwee Kiok segalanyapun menjadi beres dan menggembirakan. Bwee Kiok ternyata menerima maksud hati pendekar itu, tak menolak karena sesungguhnya gadis itu juga mencintai lelaki tua ini secara diam-diam, didorong rasa iba dan haru melihat nasib jago pedang itu yang hidup merana tanpa sanak saudara, menduda bertahun-tahun dan kehilangan putera tunggalnya. Maka ketika nenek Lui merestui hubungan ini dan menyambut baik niat pendekar itu segera keduanya menjadi suami isteri tak lama kemudian.

Bwee Kiok didorong rasa iba dan kasihnya terhadap pendekar ini sementara Kun Seng didorong oleh perasaan takutnya kehilangan turunan. Mengharap dari perawan dusun ini dia dapat memperoleh anak, calon penerus yang akan diwarisi ilmu pedangnya. Tapi setelah setahun menikah dan Bwee Kiok belum nampak tanda-tanda hamil pendekar ini mulai cemas. Dia mulai gelisah, takut bahwa dia semakin tua dan kasep.

Dan ketika pada tahun kedua Bwee kiok juga belum menampakkan tanda-tanda kehamilan mulailah pendekar ini mengomel panjang pendek. Dia suka mengeluh, sering memarahi. isterinya, sementara Bwee Kiok yang maklum dengan apa yang diharap sang suami juga mulai kecil hati. Sering timbul pertanyaan di hati mandulkah dia? Kenapa belum juga dapat melaksanakan tugas seorang ibu? Maka ketika tahun ke dua berlalu dan tahun ke tiga mulai mereka tempuh tiba-tiba suatu hari jago pedang ini timbul kemarahannya.

"Bwee Kiok, kenapa kau belum berisi juga? Apa usahamu untuk mewujudkan keinginan ini?"

Bwee Kiok bingung. "Aku tak tahu, suamiku. Aku sendiri sudah berusaha minum jamu atau rempah-rempah dari nenek."

"Tapi kenapa belum juga ada tanda-tandanya?"

Bwee Kiok mulai menangis. Dia sekarang mudah tertusuk, sedih dan gugup menghadapi suaminya yang mudah marah. Kecewa karena maksud hatinya memperoleh keturunan belum terkabul. Maka, ketika hari itu sang suami kembali bersungut dan tampak tidak puas segera wanita ini bingung dan terisik-isak.

"Aku tak tahu apa sebabnya, suamiku. Tapi yang jelas aku sudah berusaha sekuat mungkin...!"

"Hm, kalau begitu kenapa belum juga hamil?”

Bwee Kiok tak menjawab. Isteri muda ini lalu berlari masuk ke dalam kamar, menangis dan merasa bersalah sampai mengguguk di atas bantal. Sementara Kun Seng yang agaknya sudah habis sabarnya tiba-tiba menyusul isterinya.

"Bwee Kiok, tahun ketiga ini kita harus berusaha sampai berhasil. Kalau tidak, aku akan turun gunung melepas kekecewaanku!"

Bwee Kiok semakin sedih. Dia biasanya tak menjawab apabila suaminya sudah marah begitu, pasrah dan takut serta bingung. Maka ketika suaminya keluar sambil membanting pintu isteri muda inipun tersedu-sedu. Ia bingung, juga gugup. Sampai akhirnya ketika nenek Lui muncul dan mengetahui apa yang terjadi segeralah sang cucu dihibur. Sebenarnya bukan Kun Seng saja yang mengharap turunan itu. Bwee Kiok juga, termasuk uwak Lui yang ingin membopong cicit dari seorang jago pedang. Tapi ketika tahun itu juga terlewat dan Bwee Kiok tetap belum mengandung tiba-tiba terjadilah klimaks rumah tangga ini.

Kun Seng meninggalkan isterinya, turun gunung sesuai ancamannya dulu. Meninggalkan Bwee Kiok dan nenek Lui! Dan ketika isieri muda itu tahu bahwa sang suami sudah meninggalkan dirinya maka Bwee Kiok langsung pingsan. Wanita muda ini tak kuat menghadapi kenyataan itu, terlalu berat dan pedih. Tapi berbareng dengan perginya sang suami ke tempat yang tak diketahui di mana adanya tiba-tiba sebulan kemudian Bwee Kiok mengandung!

Hati ibu muda ini ingin menjerit. Dia girang tapi juga terpukul, karena persis berita gembira itu sudah diperolehnya sang suami tak ada lagi di sisinya! Bwee Kiok kenal baik tabiat suaminya ini, seorang penyabar dan cukup bijaksana. Tapi mungkin bertubi-tubi diguncang kejadian yang menyesakkan batin menjadikan suaminya itu habis sabar dan berobah wataknya, mudah tersinggung dan gampang marah-marah pada isteri sendiri. Maka, ketika berita gembira itu tak dapat disalurkan dan Kun Seng sudah meninggalkan rumah Bwee Kiok tiba-tiba jatuh sakit.

Wanita ini hampir saja bunuh diri kalau uwak Lui tidak ada di situ. Tapi untunglah, nenek yang cukup asam garam dunia ini dapat menghibur cucunya. Memberikan nasihat-nasihat dan obat-obatan kepada Bwee Kiok, menyuruh cucunya itu menjaga kesehatan agar bayi yang dikandung hidup selamat.

"Kun-taihiap tak mungkin meninggalkanmu seumur hidup, Bwee Kiok. Betapapun dia pasti kembali dan menengokmu. Ingat, dia berasal dari pegunungan ini," demikian nenek Lui memberikan hiburannya, menguatkan hati sang cucu untuk menahan diri, tak putus asa. Dan Bwee Kiok yang dapat menerima hiburan ini akhirnya tenang juga, didampingi si nenek yang setia dan baik hati.

Tapi kecemasan Bwee Kiok mulai muncul lagi. Enam bulan sudah suaminya tak kembali, padahal perutnya semakin membesar dan kandungannya semakin menua. Dan ketika sembilan bulan sudah suami yang diharap-harap tak kembali juga Bwee Kiok berada pada puncak kekecewaannya. Ia melahirkan bayi kembar, laki-laki, berjuang melawan maut dan tekanan batin yang berat. Tapi karena pikirannya selalu sedih dan penuh kedukaan tiba-tiba ibu muda yang baru melahirkan bayi kembarnya ini meninggal, kehabisan darah!

Tentu saja uwak Lui menggerung-gerung. Nenek tua ini hampir kalap, mata gelap oleh kematian cucunya. Tapi mendengar tangis orok yang melengking tinggi tiba-tiba nenek ini sadar. Itulah dua orang cicitnya, darah keturunan si jago pedang! Maka nenek Lui yang dapat menekan himpitan batinnya segera sadar, membopong dan merawat dua orok yang masih merah itu. Dengan air mata bercucuran. Dia Mengharap sekali kembalinya jago pedang itu, menyerahkan bukti dari perjuangan cucunya sebelum dia meninggal digerogoti usia. Tapi setelah bertahun-tahun menunggu tanpa hasil akhirnya putus asalah nenek ini.

Demikianlah, apa yang dialami Bwee Kiok tak diketahui sama sekali oleh pendekar ini. Dia turun gunung melepas kekecewaan, tak mau kembali karena jengkel kepada isterinya sendiri, yakin bahwa isterinya mandul dan cita-citanya hancur berantakan. Tak dapat mempunyai keturunan. Sementara usianya yang semakin tua dan tua tentu saja membuat pendekar ini malu beristeri lagi. Apalagi kalau dengan wanita muda! Ah, mau ditaruh ke mana mukanya itu?

Maka Kun Seng habis harapan. Dia digerogoti kekecewaan demi kekecewaan, tekanan batin yang kian menyesukkan nafasnya. Dan ketika dia sadar bahwa dia tak dapat lagi membuat keturunan tiba-tiba pendekar ini mulai berobah. Dia mulai suka memperhatikan anak-anak, lelaki terutama. Untuk mencari yang cocok dan akan diambil sebagai murid atau anak angkatnya. Tapi karena selama ini apa yang dicari ternyata belum ketemu maka terus saja dia merantau dan menghabiskan masa tuanya dengan sikap yang mulai acuh.

Pendekar ini kadang-kadang suka tertawa sendiri, menyeringai atau tersenyum kecut setiap melihat anak lelaki. Tapi melihat sebagian besar tak mempunyai "tulang pendekar" diapun getir dan berjalan terus melangkahkan kakinya. Hingga suatu hari, ketika secara tidak sengaja dia tiba di kuil Tee-kong-bio dan menjumpai Siauw-cut tiba-tiba pendekar ini tertegun dan tertarik.

Dia melihat anak itu memiliki roman muka yang aneh. Bersinar tapi tersembunyi dalam kabut kedukaan, persis dirinya sendiri yang juga sedang dihimpit derita. Maka melihat Siauw-cut dan menyaksikan kegagahan anak itu dalam menghadapi Tok-sim Sian li dan puteranya dalam persembunyian tiba-tiba pendekar ini tergetar. Itulah bocah yang dicari-cari. Anak yang dia idam-idamkan selama ini! Maka begitu Tok-sim Sian-li merobohkan anak ini dan meninggalkannya pergi tiba-tiba diapun muncul.

Pertama untuk membantu anak itu mengobati lengannya yang patah, sedang yang ke dua untuk mengenal dari dekat anak siapa bocah ini. Tapi alangkah herannya hati Kun Seng. Dia mendengar anak itu sebatangkara, dan namanya-pun aneh. Siauw-cut, si Kerucuk! Maka gembira dan terbahak geli oleh semuanya itu pendekar inipun menjadi girang luar biasa. Dia sudah menetapkan pilihannya kini, bahwa anak inilah yang cokok mewarisi ilmu kepandaiannya, pewaris tunggal yang paling tepat yang akan dianggap sebagai anak sendiri! Tapi, ketika Siauw-cut menolaknya dan tak mau menjadi murid tiba-tiba Kun Seng tertegun dan terhenyak.

Masihkah nasib sial membayanginya selalu? Masihkah dia mengalami kekecewaan terakhir sebelum ajal? Kun Seng tertawa getir. Agaknya alam terlalu buruk baginya. Tak membiarkan sama sekali setetes kebahagiaanpun muncul. Tapi Kun Seng yang penasaran tak mau kalah begitu saja. Dia melihat anak ini menarik sekali. Wataknya gagah dan pemberani. Apalagi ketika menyatakan niatnya untuk membalas dendam kepada Pendekar Gurun Neraka. Wah! Model apa bocah yang satu ini ? Menentang Pendekar Gurun Neraka tanpa bermodal sebuah kepandaian pun?

Hampir dia tertawa geli. Siauw-cut dipandangnya semakin aneh, semakin menarik dan semakin membuat dia penasaran untuk mendapatkan anak itu sebagai pewaris tunggal ilmunya. Tapi maklum dia harus berhati-hati menghadapi anak ini, maka Kun Seng mencoba mengerahkan kesabarannya. Betapapun dia yang butuh, bukan anak itu. Maka kalau dia dapat mengambil sikap sedemikian rupa hingga Siauw-cut terpukul perasaannya tentu bocah itu akan sadar.

Dan satu-satunya cara menaklukkan anak ini adalah dengan taktik halus, selalu bersikap baik pada anak itu dan menekan sebisa mungkin keinginan pribadinya memaksa anak itu menjadi muridnya. Sebab, kalau dia bersikap kasar dan memaksa anak itu menjadi muridnya tentu Siauw-cut melawan dan menolaknya habis-habisan. Hal yang tentu membuat dia sakit dan kecewa.

Maka, Kun Seng yang bertekad untuk mendapatkan anak ini dengan cara yang halus sudah memasang "strategi" yang unik. Dia akan mengikuti kemauan anak itu, apapun yang diminta. Termasuk meninggalkan anak itu bila Siauw-cut menghendakinya, seperti yang baru saja mereka alami. Di mana Siauw-cut ke Lembah Cemara sementara dia tak boleh menguntit lagi, menimbulkan kesan dapat dipercaya oleh si anak. Dan Kun Seng yang diam-diam kecut membayangkan dia kehilangan anak itu dengan segala pengorbanan tiba-tiba menjadi gembira bukan main ketika mereka bertemu kembali di dusun Lo!

Ini memang sudah dipercaya Kun Seng. Laki-laki itu yakin bahwa bagaimanapun juga Siauw-cut akan menjadi "miliknya", berdasar kepercayaan pada firasat yang dia terima. Getaran-getaran halus dari batin mereka berdua yang dapat ditangkap. Dan jago pedang yang percaya pada getaran-getaran firasatnya ini ternyata tak sia-sia menunggu.

Secara kebetulan Siauw-cut datang, menghampiri dirinya yang sedang menunggu kedatangan si Golok Hitam bersama anak buahnya. Para perampok yang akan mengganggu dusun Lo itu. Dan Kun Seng yang girang bahwa dia dapat bertemu kembali dengan anak ini sudah menjadi semakin girang dan gembira mendengar Siauw-cut mendapat "perintah" dari Bu-beng Sian-su untuk mencari dirinya!

Tentu saja pendekar pedang ini hampir melonjak gembira. Dia tahu apa yang dikehendaki manusia dewa itu, karena sesungguhnya Bu-beng Sian-su telah bertemu dengannya jauh hari sebelum Siauw-cut datang. Kakek dewa yang memberi petunjuk padanya berdasarkan getaran ilmu gaib bahwa seorang anak akan menjadi murid lelaki ini, pewaris tunggal dan pengobat kecewa yang hampir saja memadamkan gairah hidup jago pedang ini!

Maka, berdasarkan itu semuanya dan melihat tanda-tandanya mulai muncul Kun Seng sudah bangkit semangatnya untuk "menempel" Siauw-cut. Tak akan melepaskan anak itu sampai dia dapat menaklukkannya dengan cara halus. Apapun yang terjadi pada dirinya! Dan Kun Seng yang bergolak rasa gembiranya oleh bantuan Bu-beng Sian-su tiba-tiba maklum apa yang harus dia lakukan. Yakni memperlakukan anak ini dengan lembut dan penuh kasih sayang.

Hal yang mudah dia lakukan karena dia sendiri sudah lama mendambakan seorang anak laki-laki sebagai pengganti puteranya yang tewas itu. Calon penerus ilmu silat pedangnya! Dan Kun Seng yang sudah mengatur "strategi" untuk menghadapi bocah ini bersiap-siap mengorbankan segala sesuatunya, membuat semacam kejutan untuk mendobrak kekerasan hati anak itu.

Lalu, apa yang sekarang dilakukan jago pedang ini? Mari kita lihat. Pertama tentu saja dia menjadi gembira bahwa Siauw-cut mengajaknya "mencari" Bu-tiong-kiam, jago pedang yang bukan lain adalah dirinya sendiri itu. Hal yang membuat dia hampir tertawa. Dan ke dua mulai melaksanakan taktiknya untuk membuat semacam "kejutan" bagi anak ini. Karena betapapun juga dia maklum bahwa cepat atau lambat tentu rahasia dirinya bakal ketahuan anak ini, oleh satu dan lain sebab. Maka supaya dia tidak memberikan kesan buruk pada Siauw-cut jago pedang ini bersiap-siap untuk menghadapi semua keadaan. Di mana sebisa mungkin dia akan menunjukkan pada anak ini bahwa dia cukup "pantas" menjadi gurunya!

Dan, sore itu ketika mereka sudah jauh meninggalkan dusun Lo dan tiba di tepi sebuah sungai akhirnya kakek ini menurunkan Siauw-cut sambil tertawa, "Siauw-cut, kita berhenti di sini dulu. Capai aku memondongmu bagai seorang bayi!"

Siauw-cut tersenyum. "Kau sendiri yang melakukannya, locianpwe. Bukan aku yang minta."

"Ya, betul. Tapi bagaimana kesanmu dengan ilmu silat tiga jurus itu?"

"Ah, hebat, locianpwe. Aku kagum dan tak mengira dapat merobohkan kepala rampok itu dengan mudah!"

Kakek ini tertawa. "Kau memang minta bukti melulu, Siauw-cut. Kenapa tak percaya pada omonganku? Hm, itu masih belum, Siauw-cut. Karena kalau kau bersenjatakan pedang tentu ilmu silat itu masih jauh lebih bebat lagi!"

Anak ini terbelalak. "Begitukah, locianpwe?"

"Ya. Bukankah kau buktikan bahwa setelah ranting diganti golok kau dapat bermain lebih mantap, Siauw-cut? Kau tidak percaya lagi?"

"Tidak... tidak... " Siauw-cut tertawa lebar. "Tapi bagaimana ilmu silat rantingmu bisa lebih hebat dimainkan dengan senjata, locianpwe? Apakah memang mulanya harus mempergunakan senjata?"

"Hm, ilmu silat itu memang bermula dari sebatang ranting, Siauw-cut. Tapi kalau kita pergunakan golok tentu saja lebih hebat. Apalagi kalau mempergunakan pedang!"

"Kalau begitu ini ilmu pedang?"

Kun Seng tersenyum, hati-hati menjawab, "Terserah bagi yang menggunakannya, Siauw-cut. Yang jelas ilmu silat itu memang paling sempurna kalau mempergunakan pedang!"

"Hm, kalau begitu kau jago pedang, locianpwe?"

"Ah, siapa bilang? Aku tak membawa pedang, kau tahu itu!"

"Tapi kau bilang ilmu ini paling cocok jika mempergunakan pedang, locianpwe. Bukankah kalau begitu kau pernah melatihnya dengan pedang?"

Kun Seng terkejut. Dia tertegun sejenak, kagum oleh kecerdikan anak ini yang dapat merangkai sebuah kesimpulan. Tapi tertawa sambil menggelengkan kepala dia menjawab, "Itu bukan berarti aku seorang jago pedang, Siauw-cut. Karena orang yang melatih pedang belum tentu tak dapat mainkan senjata lain!"

Anak ini diam.

"Dan bagi orang persilatan tak ada yang aneh untuk melakukan itu, Siauw-cut. Karena setiap orang kaug-ouw biasanya sudah menjadi kebiasaan untuk melatih delapan belas macam senjata!" Kun Seng melanjutkan, membuat anak ini mengangguk dan akhirnya melempar tubuh di atas tanah.

"Locianpwe, omong-omong ke mana arah yang kita tuju ini. Apakah menuju tempat pendekar pedang itu?"

"Hm, tidak salah, Siauw-cut. Tapi jangan tergesa-gesa menemui pendekar pedang itu. Sebenarnya apa tujuanmu mencari pendekar ini?"

"Sekedar memenuhi perintah Bu-beng Sian-su, locianpwe. Katanya disuruh membantu pendekar itu ke Gua Naga."

"Eh, mencari apa di sana?"

"Tidak tahu, locianpwe. Katanya ada sesuatu yang harus dicari di gua itu."

Kun Seng tertawa. "Siauw-cut, kau aneh. Membantu seseorang tanpa kau ketahui apa yang harus dicari. Kenapa kau menuruti permintaan Bu-beng Sian-su ini?”

"Hm. Sebagai syarat, locianpwe." Siauw-cut bersinar matanya. "Aku disuruh melaksanakan perintah itu sebelum aku menjadi murid Bu beng Sian-su!"

“Hanya itu saja?"

"Apanya yang itu saja?"

"Permintaan itu. Apakah Bu-beng Sian-su hanya memberimu sebuah permintaan ini?"

Siauw-cut tiba-tiba bangkit berdiri. "Tidak, masih ada satu lagi, locianpwe. Dan sekarang aku ingat..?" lalu mengharap penuh gembira pada kakek ini Siauw-cut tiba-tiba bertanya, "Locianpwe, bisakah kau membantuku untuk hal terakhir ini?”

Kun Seng tertawa. "Siauw-cut, kau terlalu sekali. Permintaan pertama mencari jago pedang itu saja belum kulaksanakan dengan baik bagaimana sekarang dihujani permintaan ke dua? Apa yang kau perlukan?"

Anak ini tersenyum. "Sebuah teka-teki, locianpwe. Bu-beng Sian-su memberiku sebuah teka-teki aneh yang tidak kupahami!"

"Hm, teka-teki apa itu?"

"Sebuah syair, locianpwe. Aku dan Sin Hong mendapat syair aneh ini dari kakek dewa itu!"

"Sin Hong?" Kun Seng terkejut. "Kau maksudkan putera Pendekar Gurun Neraka itu?"

Siauw-cut tertegun. Dia kelepasan bicara tadi, tak sadar menyebutkan nama anak ini. Tapi mengangguk dengan kening berkerut dia terpaksa menjawab, "Ya. putera Pendekar Gurun Neraka itu, locianpwe. Anak sombong yang besar kepala itu!"

Kun bangkit berdiri. "Siauw-cut, boleh kalau kutahu bagaimana kau bertemu dengan anak itu? Apa yang terjadi pada kalian?"

"Aku bertemu secara kebetulan, locianpwe. Dimulai dari munculnya Bu-beng Siauw-jin!"

"Heh? Si Naga Bongkok dari Himalaya itu?"

Siauw-cut terkejut. Dia melihat kakek ini terbelalak, tampaknya kenal. Maka bertanya heran diapun memandang kakek itu, "Kau kenal kakek ini, locianpwe? Dia memang bongkok, tapi julukan sebenarnya aku tak tahu!"

"Aha," Kun Seng tertegun. Dia balas memandang anak ini, bengong tapi akhirnya menyeringai kecut. Lalu duduk kembali dengan pantat dibanting kakek ini menghela napas. “Siauw-cut, dia memang si Naga Bongkok itu. Orangnya lihai, aku kenal dia pada tigapuluh tahun yang lalu. Tapi kenapa dia tiba-tiba muncul di sini? Apa yang dia lakukan?"

"Aku tak tahu, locianpwe. Tapi yang jelas di bongkok itu yang membawa Sin Hong!"

"Hm, tentu diculik!" kakek ini menggerutu. "Dia belum pernah mempunyai murid, Siauw-cut. Jangan-jangan putera Pendekar Gurun Neraka itu sengaja diculik untuk dijadikan muridnya!" tapi tertawa dengan mata kosong kakek ini melanjutkan, "Dan si bongkok itu tentu menemui batunya, Siauw-cut. Pendekar sakti itu tentu tak akan membiarkan anaknya diambil orang!"

Siauw-cut terbelalak. "Mungkin saja, locianpwe. Tapi yang aneh ialah Bu-beng Siauw-jin ternyata dikejar-kejar orang!"

"Siapa?"

"Seorang nenek tua. Kalau tidak salah julukannya Sin-yan Mo-li!"

Kun Seng mengeluarkan teruan heran. "Nenek itu juga datang?"

Siauw-cut mengangkat keningnya. "Kau juga kenal nenek ini, locianpwe?"

Kun Seng mengangguk, tersenyum hambar. Dan Siauw-cut yang tertegun melihat kakek ini mengenal banyak orang kang-ouw tiba-tiba juga duduk kembali, mendesah, "Locianpwe, kau rupanya bukan orang sembarangan. Bagaimana kau tahu begitu banyak orang? Bagaimana kau bisa mengenal Bu-beng Siauw-jin dan Sin-yan Mo-li?"

Kakek itu tertawa. "Aku memang orang kang-ouw, Siauw-cut. Bagaimana tidak kenal nama tokoh-tokoh besar?"

"Tapi Bu-beng Siauw-jin kau bilang bukan orang sini, locianpwe. Berarti dia jauh jaraknya dari kita kalau tinggal di Himalaya!"

"Hm, tapi kami bertetangga, Siauw-cut. Bagaimana aku tidak kenal?"

"Bertetangga? Jadi kalau begitu..." Siauw-cut terkejut. "Kau juga dari Himalaya, locianpwe?"

Kun Seng menggeleng. "Tidak, di pegunungan lain..."

"Kalau begitu..." Siauw-cut menyambung, mengingat-ingat. "Kau dari Pegunungan Kun-lun, locianpwe? Kau dari tempat ini dan, ah... tahu aku. Kau tentu seorang anggauta partai Kun-lun, locianpwe Kau mungkin anak muridnya atau ketua partai itu sendiri!"

Kakek ini tersenyum kecut. "Aku bukan anggauta partai itu, Siauw-cut. Ketua Kun-lun-pai adalah Pek-mauw Sian-jin!"

"Jadi...?"

"Kenapa kau mendesakku?" kakek ini tertawa, "Apa perlumu mengetahui rahasia diriku? Kau sendiri tak suka rahasiamu diketahui orang lain, Siauw-cut. Ingat tentang sikapmu semula kepadaku!"

Siauw-cut merah mukanya. "Maaf aku kelupaan, locianpwe. Tapi entah mengapa tiba-tiba aku tertarik untuk mengetahui siapa sebenarnya kau ini!"

Kun Seng tersenyum. Dia tenang saja memandang anak ini, dan Siauw-cut yang jengah dipandang orang tiba-tiba kembali pada persoalan semula. "Locianpwe, kau bisa membantuku memecahkan syair Bu-beng Siau-su ini?"

"Bagaimana bunyinya?" tapi mengangkat lengan tiba tiba kakek ini memotong, "Eh. coba kau ceritakan dulu bagaimana pertemuanmu dengan Bu beng Siauw jin itu, Siauw-cut. Aku ingin tahu apa yang akhirnya terjadi!"

Siauw-cut menunda keinginannya. Dia menceritakan pertemuannya dengan kakek bongkok itu, di mana Bu beng Siauw-jin menjadi gara-gara pertemuannya dengan Sin Hong, disusul munculnya nenek iblis Sin-yan Mo-li yang menyerang si bongkok untuk merebut Sin Hong. Lalu tiba pada bagian Sin Hong terlempar ke dalam jurang bersama dirinya kakek ini tiba-tiba menarik napas.

"Jadi sejak itu kau bertemu Bu-beng Sian-su, Siauw-cut?"

"Ya."

"Dan kau tahu bagaimana cara kakek itu menolongmu?”

"Wah, mana bisa, locianpwe? Kami berdua sama-sama pingsan, tak tahu apa yang terjadi!"

"Lalu bagaimana kau bisa keluar? Dan di mana Sin Hong sekarang?"

"Aku tak tahu di mana anak itu, locianpwe. Tapi mungkin saja ketemu si bongkok atau setan lain yang mengganggunya!"

"Dan kau sendiri?"

"Bu-beng Sian-su menunjukkan jalan kepada kami, locianpwe. Aku keluar melalui petunjuknya ini!"

"Baik, sekarang katakan syair itu..."