PEDANG MEDALI NAGA
JILID 07
KARYA BATARA
JILID 07
KARYA BATARA
CENG BI mendesis. Ia tersinggung, maka melihat kakek itu tertawa kepadanya tiba-tiba nyonya muda itupun membentak dan menggerakkan pedangnya, mulai menyerang. "Enci Hong, kakek ini rupanya sombong. Jangan sungkan-sungkan kalau begitu. Mari kita serang...!"
Dan Ceng Bi yang sudah mainkan Cui-mo Kiam-hoatnya (Ilmu Pedang Pengejar Iblis) tiba-tiba melengking dan menusukkan pedangnya dari atas. Ia menikam ubun-ubun kakek itu, dengan gerakan sebat dan cepat, juga kuat. Sementara Pek Hong yang gembira hatinya melihat kakek itu menyuruh mereka maju mengeroyok juga sudah memberi peringatan dan menggerakkan rantai paraknya, menyambar pinggang.
Dan Ceng Bi yang sudah mainkan Cui-mo Kiam-hoatnya (Ilmu Pedang Pengejar Iblis) tiba-tiba melengking dan menusukkan pedangnya dari atas. Ia menikam ubun-ubun kakek itu, dengan gerakan sebat dan cepat, juga kuat. Sementara Pek Hong yang gembira hatinya melihat kakek itu menyuruh mereka maju mengeroyok juga sudah memberi peringatan dan menggerakkan rantai paraknya, menyambar pinggang.
Dan begitu dua orang wanita cantik ini menyerang berbareng maka susul-menyusullah gerakan mereka dengan cara cerdik. Cen Bi sengaja menyerang bagian atas kakek bongkok itu, sementara Pek Hong menyerang bagian bawahnya mulai dari pinggang ke kaki. Menutup jalan keluar!
Tapi mengherankan. Kakek ini tertawa saja, tak mengelak atau menghindar. Tapi begitu dua senjata "menggunting" dirinya mendadak dia menjatuhkan diri tengkurap dan menendang pedang serta rantai.
"Tring-plak!"
Ceng Bi dan Pek Hong mengeluarkan seruan tertahan. Mereka merasa kedua lengan yang memegang pedang dan rantai tergetar, hampir lumpuh dan melepaskan senjata. Tapi Ceng Han yang rupanya sudah mengenal tenaga sinkang kakek ini yang memang hebat luar biasa sudah memberi aba-aba, "Bi-moi, Hong-moi... jangan adu tenaga. Lawan saja dengan kecepatan!"
Ceng Bi dan Pek Hong mengangguk. Pek Hong sudah lebih dulu tahu tenaga kakek ini, yang memang hebat dan jelas di atas tenaga mereka. Maka Pek Hong yang tidak mau mengadu sinkang sudah membentak nyaring dan mainkan rantainya dengan cepat sesuai anjuran Ceng Han. Sama halnya seperti Ceng Bi yang juga mainkan pedangnya dalam ilmu silat Cui rao Kiam-hoat untuk mencecar lawan.
Tapi Bu-beng Siauw-jin ganda ketawa. Kakek ini tetap tenang-tenang saja, dan mendengar Ceng Han memberi petunjuk pada dua orang wanita cantik itu dia malah terkekeh. "Ya. benar, ji-wi hujin. Sebaiknya kalian tak mengadu sinkang denganku. Mainkan saja pedang dan rantai secepat kalian bisa...!" lalu kakek yang tertawa dengan muka gembira itu sudah menggerakkan kaki pula tangannya menangkis.
Bu-beng Siauw-jin melakukan gerakan naik turun, mengikuti ke mana rantai dan pedang menyambar. Menyampok atau bahkan mendorong senjata lawan agar tidak melukai tubuhnya. Tapi Ceng Bi dan Pek Hong yang tidak mau beradu tenaga lagi sudah merobah serangannya setiap kali si kakek bongkok menangkis. Dua orang wanita ini selalu menghindar tangkisan langsung. Maklum, betapa hebat sinkang kakek itu yang mampu menggetarkan lengan mereka. Maka begitu keduanya melompat dan mengelak pukulan si bongkok dan melencengkan sasaran setiap kali ditangkis pertandinganpun menjadi lama dan seru.
Hal ini membuat Ceng Han mengerutkan alis. Dia berkali-kali melihat betapa pedang atau rantai adiknya terpaksa diubah arahnya begitu Bu-beng Siauw-jin siap membentur senjata, menggerakkan lengan atau kaki untuk menangkis. Dan karena setiap kali itu pula Ceng Bi dan Pek Hong menghentikan serangan di tengah jalan untuk dilanjutkan dengan serangan lain dalam usahanya menghindar benturan tenaga dari kakek itu maka tak ayal kedudukan adiknya lama-lama tak menguntungkan. Apalagi ketika tiba-tiba Bu-beng Siauw jin membalas!
Kakek ini mengetahui kebimbangan lawan, yang merupakan kelemahan sepihak. Karena tak berani menerima benturan dalam tangkisan langsung. Dan karena keduanya selalu gagal dalam serangan pertama akibat takut beradu tenaga maka Bu-beng Siauw-jin tiba-tiba mulai di atas angin begitu dia melakukan gerakan yang aneh seperti naga yang meliuk-liuk dan melecutkan ujung bajunya yang tiba-tiba mengeras, kaku bagai sebatang tongkat!
"Ji-wi hujin, hati-hati. Kalian akan kurobohkan dalam dua puluh jurus...!"
Ceng Bi terkejut, ia melihat ujung baju kakek ini tiba-tiba menyambar dadanya, padahal saat itu dia sedang melancarkan serangan, menusuk dada kakek itu pula dengan tikaman lurus, langsung ke depan karena Bu-beng Siauw-jin tak menangkis. Maka melihat dadanya juga diancam pukulan ujung baju yang menyambar bagai tongkat baja seketika nyonya ini mencelos dan melengking tinggi.
Tapi mengherankan. Kakek ini tertawa saja, tak mengelak atau menghindar. Tapi begitu dua senjata "menggunting" dirinya mendadak dia menjatuhkan diri tengkurap dan menendang pedang serta rantai.
"Tring-plak!"
Ceng Bi dan Pek Hong mengeluarkan seruan tertahan. Mereka merasa kedua lengan yang memegang pedang dan rantai tergetar, hampir lumpuh dan melepaskan senjata. Tapi Ceng Han yang rupanya sudah mengenal tenaga sinkang kakek ini yang memang hebat luar biasa sudah memberi aba-aba, "Bi-moi, Hong-moi... jangan adu tenaga. Lawan saja dengan kecepatan!"
Ceng Bi dan Pek Hong mengangguk. Pek Hong sudah lebih dulu tahu tenaga kakek ini, yang memang hebat dan jelas di atas tenaga mereka. Maka Pek Hong yang tidak mau mengadu sinkang sudah membentak nyaring dan mainkan rantainya dengan cepat sesuai anjuran Ceng Han. Sama halnya seperti Ceng Bi yang juga mainkan pedangnya dalam ilmu silat Cui rao Kiam-hoat untuk mencecar lawan.
Tapi Bu-beng Siauw-jin ganda ketawa. Kakek ini tetap tenang-tenang saja, dan mendengar Ceng Han memberi petunjuk pada dua orang wanita cantik itu dia malah terkekeh. "Ya. benar, ji-wi hujin. Sebaiknya kalian tak mengadu sinkang denganku. Mainkan saja pedang dan rantai secepat kalian bisa...!" lalu kakek yang tertawa dengan muka gembira itu sudah menggerakkan kaki pula tangannya menangkis.
Bu-beng Siauw-jin melakukan gerakan naik turun, mengikuti ke mana rantai dan pedang menyambar. Menyampok atau bahkan mendorong senjata lawan agar tidak melukai tubuhnya. Tapi Ceng Bi dan Pek Hong yang tidak mau beradu tenaga lagi sudah merobah serangannya setiap kali si kakek bongkok menangkis. Dua orang wanita ini selalu menghindar tangkisan langsung. Maklum, betapa hebat sinkang kakek itu yang mampu menggetarkan lengan mereka. Maka begitu keduanya melompat dan mengelak pukulan si bongkok dan melencengkan sasaran setiap kali ditangkis pertandinganpun menjadi lama dan seru.
Hal ini membuat Ceng Han mengerutkan alis. Dia berkali-kali melihat betapa pedang atau rantai adiknya terpaksa diubah arahnya begitu Bu-beng Siauw-jin siap membentur senjata, menggerakkan lengan atau kaki untuk menangkis. Dan karena setiap kali itu pula Ceng Bi dan Pek Hong menghentikan serangan di tengah jalan untuk dilanjutkan dengan serangan lain dalam usahanya menghindar benturan tenaga dari kakek itu maka tak ayal kedudukan adiknya lama-lama tak menguntungkan. Apalagi ketika tiba-tiba Bu-beng Siauw jin membalas!
Kakek ini mengetahui kebimbangan lawan, yang merupakan kelemahan sepihak. Karena tak berani menerima benturan dalam tangkisan langsung. Dan karena keduanya selalu gagal dalam serangan pertama akibat takut beradu tenaga maka Bu-beng Siauw-jin tiba-tiba mulai di atas angin begitu dia melakukan gerakan yang aneh seperti naga yang meliuk-liuk dan melecutkan ujung bajunya yang tiba-tiba mengeras, kaku bagai sebatang tongkat!
"Ji-wi hujin, hati-hati. Kalian akan kurobohkan dalam dua puluh jurus...!"
Ceng Bi terkejut, ia melihat ujung baju kakek ini tiba-tiba menyambar dadanya, padahal saat itu dia sedang melancarkan serangan, menusuk dada kakek itu pula dengan tikaman lurus, langsung ke depan karena Bu-beng Siauw-jin tak menangkis. Maka melihat dadanya juga diancam pukulan ujung baju yang menyambar bagai tongkat baja seketika nyonya ini mencelos dan melengking tinggi.
Tak ada pilihan baginya saat itu kecuali meneruskan serangan atau membatalkannya, menangkis serangan kakek itu. Tapi karena meneruskan serangan berarti babayanya lebih besar karena pukulan kakek itu mengeluarkan deru angin yang kuat maka secepat kilat nyonya muda ini membanting tubuhnya dan langsung merobah gerakan pedang untuk menangkis sekaligus membabat lengan kakek itu!
"Takk...!" Ceng Bi terkesiap. Pedangnya dengan tepat mengenai kakek itu, menghantam atau menggentak lengan dari samping, keras sekali. Dan Ceng Bi yang mengira kakek itu bakal buntung sikunya dibabat pedang tiba-tiba terbelalak ketika melihat kakek itu sama sekali tak apa-apa, tertawa dan bahkan menggerakkan ujung baju satunya untuk meneruskan serangan yang gagal.
"Yap-hujin, kau hati-hatilah. Ujung bajuku tak mengenal mata...!"
Ceng Bi jadi kaget bukan main. Ia saat itu sedang tertegun, heran dan terkejut melihat kakek ini ternyata kebal pula berkat perlindungan sinkang. Maka melihat ujung baju sebelah kiri menotok pundaknya tiba-tiba nyonya ini nenggulingkan tubuh dan menggerakkan pedangnya menangkis.
"Tak!" kembali Ceng Bi tertegun. Untuk kedua kalinya pedangnya menyambar ujung baju yang luar biasa keras, seperti batu granit! Dan sementara dia menggulingkan diri sambil menangkis tahu-tahu ujung baju si kakek bongkok berobah lemas dan menggubat badan pedangnya, menarik!
"Hujin, robohlah. Lepaskan pedangmu...!"
Ceng Bi tak dapat berlahan lagi. Ia tak kuasa menahan betotan lawan, dan begitu pedang terlepas dan mencelat dari tangannya si kakek-pun sudah tertawa dan menyusuli serangan terakhir, menotok pinggangnya. Tapi Pek Hong yang ada di samping tak tinggal diam. Wanita cantik ini berseru keras, dan persis Ceng Bi terlepas pedangnya iapun menyambarkan rantai ke leher kakek itu seraya menendang temannya.
“Bi-mo, minggir...!"
Ceng Bi terlempar. Ia ditendang Pek Hong tepat ketika si kakek menotoknya, luput dari serangan terakhir itu. Dan berjungkir balik di udara dengan gerak Le-hi-ta-teng langsung nyonya muda ini menyambar pedangnya dan turun dengan muka pucat, berteriak dan menyerang bertubi-tubi membantu Pek Hong yang baru saja menolongnya dari totokan si kakek yang ternyata benar-benar lihai! "Enci Hong, hati-hati. Si bongkok ini besar-benar hebat...!"
Pek Hong mengangguk sebagai jawaban. Ia memang tahu bahwa lawan mereka lihai sekali, tak boleh diremehkan. Maka membentak dan mengayun-ayun rantai peraknya nyonya muda ini sudah kembali menyerang bersama Ceng Bi, temannya yang hampir saja roboh itu. Dan Bubeng Siauw-jin yang tertawa oleh serangan dua orang nyonya itu sudah berseru,
"Dan kalian waspadalah, ji-wi hujin. Benar-benar sebelum duapuluh jurus aku akan merobohkan kalian!"
Pek Hong dan Ceng Bi memutar senjata. Mereka tetap menyerang gencar, hanya kini berganti-ganti untuk menjaga dan melindungi yang lain. Kalau terjadi lagi keadaan yang buruk seperti tadi, di mana Ceng Bi hampir pecundang dalam beberapa gebrakan begitu Bu-beng Siauw-jin membalas. Dan dua wanita cantik yang tidak menjawab seruan si kakek bongkok sudah mencecar semakin gencar lawan mereka yang hebat ini.
Tapi Bu-beng Siauw-jin tiba-tiba membuktikan omongannya. Kakek itu tiba-tiba berkelebat ketika dua orang nyonya muda itu menyerangnya berganti-ganti menyerang sekaligus menjaga yang lain dari serangan berbahaya. Dan begitu dia menggerakkan kaki melejit ke kanan kiri, mendadak Pek Hong dan Ceng Bi terkejut. Mereka melihat kakek itu lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan putih yang menyambar mereka. Dan begitu si kakek mengibaskan lengan ke kiri kanan mendadak dia mencengkeram pedang dan rantai Pek Hong berdua!
"Ji-wi hujin, lepaskan senjata kalian...!"
Pek Hong dan Ceng Bi kaget bukan main. Mereka terang tak dapat menyerang lagi, senjatanya dicengkeram lawan. Dan begitu mereka menarik sambil meronta tahu-tahu Bu-beng Siauw-jin menyendal kedua tangannya sambil menarik. Tak ayal, Pek Hong berdua tertarik maju dan sementara mereka terpekik kaget tahu-tahu Bu-beng Siauw-jin menendang lutut mereka hingga terpelanting roboh.
"Dess-dess!" Pek Hong dan Ceng Bi mengeluh tertahan. Mereka terlempar dua tombak, melepas senjata dan menumbuk dinding ruangan, terkejut tapi langsung melompat bangun, berjungkir balik mematahkan daya dorong yang masih menghantam mereka. Tapi Bu-beng Siauw-jin yang rupanya ingin menyelesaikan pertandingan tiba-tiba sudah melompat maju mendahului mereka.
"Ji-wi hujin, sekarang robohlah...!"
Ceng Bi dan Pek Hong membelalakkan mata. Mereka baru saja turun, kaki masih bergoyang. Mana mungkin mengelak atau menangkis? Maka melihat lawan menggerakkan kedua lengannya ke arah mereka Pek Hong maupun Ceng Bi terkesiap. Tak sempat lagi mereka menghindar, tinggal menunggu kekalahan. Tertotok roboh!
Tapi Ceng Han yang tak dapat lagi menunda kesabarannya tiba-tiba berkelebat maju, mendorongkan lengan menerima totokan kakek itu, sekaligus menangkis sambil menjajal kekuatan sendiri! "Locianpwe, jangan tergesa-gesa. Masih ada aku di sini... plak!"
Bu-beng Siauw jin terkejut. Totokan jarinya sudah disambut telapak Ceng Han, menangkis sekaligus mendorong balik serangan terakhir itu. Tapi Bu-beng Siauw-jin yang tertawa ditahan menambah tenaganya dan berseru pendek. Ceng Han merasa kakek itu "memuntir" jarinya, dan begitu jari si kakek bertemu telapak tangannya tiba-tiba dia berteriak keras ketika tangannya tertolak dan terdorong mundur!
"Ah, kau hebat, locianpwe...!"
Kakek itu tertawa. Dia melihat Ceng Han berjungkir balik mematahkan daya dorong dari luncuran tenaga saktinya, berobah mukanya dan mengakui kakek ini benar-benar hebat. Tapi Ceng Han yang sudah mencabut pedang melompat lagi ke depan dengan muka merah. “Hong-moi, Bi-moi, kakek ini benar-benar tidak sombong. Kita boleh mengeroyoknya sekarang...!"
Bu-beng Siauw-jin melempar pedang dan rantai rampasan. "Ya, dan mari kita main-main lagi, ji-wi hujin. Sekarang boleh kita lihat siapa yang kalah di sini. Terimalah!"
Pek Hong dan Ceng Bi cepat menangkap. Mereka tadi melihat betapa Ceng Han tak kuat menahan dorongan sinkang kakek itu. Maka mereka berdua yang gembira serta penasaran oleh kesaktian kakek ini maju ke depan menerjang bersama.
"Baik, kami akan mengujimu untuk yang terakhir kalinya, kakek bongkok. Kalau kau betul dapat mengalahkan kami bertiga aku rela melepas Sin Hong...!"
Bu-beng Siauw-jin tertawa mendengar ucapan Pek Hong ini. Dia sudah melompat ke sana-sini, tidak menggeser kaki lagi seperti semula ketika dia menghadapi nyonya muda itu. Dan Ceng Han bertiga yang sudah mengerubut dengan pedang di tangan serta rantai perak yang menyambar-nyambar dirinya dari segala penjuru sudah disambut kekeh kakek ini yang tampaknya gembira bukan main.
"Baik, kau sudah berjanji, hujin. Aku lebih mantap lagi kalau Sin Hong direstui ibunya...?” kakek itu menunduk, menghindar rantai di tangan Pek Hong yang menyambar kepalanya. Lalu begitu dia memutar tubuh dan menggerakkan kaki kanannya tahu-tahu pedang di tangan Ceng Han dan Ceng Bi ditangkis hingga saling bentur sendiri.
"Trang!"
"Ah, hati-hati, hujin...!"
Ceng Bi mendongkol. Dia marah oleh ejekan kakek itu, yang menyeringai dan sengaja mengejek mereka berdua karena secara "nakal" diselewengkan arahnya hingga saling bentur dengan pedang kakaknya. Namun Ceng Han yang memberi kedipan padanya tiba-tiba melompat ke belakang dan berseru,
"Bi-moi, tak perlu gusar. Serang dia dari depan dan aku di belakang!"
Ceng Bi menurut. Ia melengking memutai pedangnya, lalu begitu bergerak dan menusuk ke depan nyonya muda ini sudah menyerang bertubi-tubi bagian depan tubuh kakek itu, sementara Pek Hong yang juga penasaran dan ingin melihat kesudahan dari pertandingan ini juga menggerakkan rantainya dan mainkan kembali ilmu silat Hong-thian-lo-bai-kunnya itu.
Maka ramailah pertandingan ini. Bu-bengSiauw jin benar-benar dikeroyok tiga, sesuai dengan permintaannya sendiri. Dan Ceng Han serta dua orang temannya yang menggerakkan senjata dari segala arah sudah mengiringi pula serangan mereka dengan pukulan-pukulan tangan kiri. menampar atau mendorong dengan pukulan sinkang. Tapi Bu beng Siauw jin yang bersikap tenang masih tak gugup. Kakek ini melayani mereka dengan baik sekali, menggeliatkan tubuh dan mulai meliuk-liuk bagai naga menari, mengelak dan sekaligus ‘mematuk’ dengan kedua tangannya yang membentuk cengkeraman, atau agaknya mulut naga.
Dan Ceng Han yang melihat ilmu silat kakek ini tiba-tiba berseru, "Sin-liong-hoat (Silat Naga Sakti)...!"
Si kakek tertawa. "Kau agaknya tajam pandangan, anak muda. Kau persis ayahmu yang awas itu!”
Tapi Ceng Han tak menggubris pnjian ini. Dia mulai terkejut ketika si bongkok mengeluarkan ilmu silatnya, Sin-liong hoat yang pernah didengar sebagai milik satu-satunya dari seorang tokoh di Himalaya bernama Wu Tong, tokoh yang katanya tak pernah turun gunung dan dikenal ayahnya pada empatpuluh tahun yang lampau ketika ayahnya mengembara dan menjajal kepandaian orang-orang sakti di pegunungan itu. Maka melihat kakek ini mahir mainkan ilmu Silat Naga Saktinya dan tampak mirip dengan cerita ayahnya tiba-tiba Ceng Han tercekat dan membelalakkan matanya.
"Locianpwe, kau kakek bernama Wu Tong itu?"
Bu-beng Siauw jin terbahak. Dia terkejut mendengar seruan itu, sekejap saja. Karena kakek yang sudah tertawa bergelak sambil menggoyang tubuh menangkis ke sana ke mari semua serangan senjata sudah mengelebatkan tubuhnya dan bersikap tawar terhadap pertanyaan ini, acuh tak acuh. "Aku lupa namaku sendiri, orang muda. Tak tahulah siapa Wu Tong itu!"
Ceng Han melenggong. Dia melihat kakek itu tampaknya tak suka membicarakan tokoh ini. Dan maklum tak ada gunanya menduga-duga siapa lawannya itu maka Ceng Han kembali pada persoalan semula dan menyerang kakek itu. Mereka bertiga kembali terlibat pertempuran sengit, dan ketika satu saat si kakek melayani pedang dan rantai Pek Hong yang menyambar di depan sekonyong-konyong Ceng Han membentak dan menusukkan pedangnya ke punggung kakek itu, membarengi dorongan telapak kirinya yang menghantam tengkuk si Naga Bongkok!
"Locianpwe, awas...!"
Si kakek bongkok mendengus. Dia tahu serangan dibelakang ini, terbukti daun telinganya bergerak mendengar desir angin serangan. Tapi Bu-beng Siauw-jin yang rupanya ingin membuat kejutan tak mengelak atau menangkis serangan itu, hal yang membuat Ceng Han terkejut. Dan sementara Bu beng Siauw jin mendengus oleh seruan itu tahu-tahu kedua lengannya sudah menolak pedang dan rantai di tangan Pek Hong berdua, tentu saja dengan dorongan sinkang, membuat dua nyonya muda itu terpekik ketika senjatanya mencelat, lepas dipukul runtuh Bu-beng Siauw-jin. Dan begitu pedang dan rantai terlempar dari tangan pemiliknya saat itu juga tusukan dan tamparan Ceng Han mendarat di punggung dan tengkuk kakek itu!
"Plak-dess!"
Ceng Han terkejut. Dia juga terpekik oleh gebrakan ini, bukan karena pedangnya mencelat atau terlempar seperti Ceng Bi melainkan karena pedangnya bertemu benda kenyal yang tiba-tiba menarik dan menghisap pedangnya, tak dapat dibetot dari punggung si kakek bongkok. Dan sementara tangan kirinya sendiri sudah mengenai tengkuk lawannya tiba-tiba tangan itu juga tak dapat ditarik ketika bertemu kulit tengkuk yang dingin bagai kulit ular. Melekat!
"Ahh...!" Ceng Han kaget bukan main. Dia merasa telapak dan pedangnya disedot tenaga dingin yang bukan main hebatnya. Tapi baru dia meronta dan mengeluarkan bentakan keras tahu-tahu si kakek bongkok terkekeh dan memutar tubuh. Dengan cepat sekali Bu beng Siauw-jin merampas pedang, lalu begitu kakinya bergerak tahu-tahu tiga orang lawannya sudah ditendang bergantian dan mencelat membentur dinding!
"Des-des-dess..!"
Ceng Han bertiga berteriak. Mereka sama-sama terlempar, tak dapat menguasai diri karena lutut mereka ditotok ujung sepatu lawan. Dan Bu-beng Siauw-jin yang terkekeh dengan suara gembira tiba-tiba menyambitkan pedang rampasannya ke leher Ceng Han.
"Crep." Ceng Han melotot dengan muka pucat. Dia mendengar desing senjata yang mengerikan itu, menyusul tubuhnya yang terbanting di dinding ruangan. Dan begitu dia roboh dengan mata terbelalak tahu-tahu ujung pedangnya sendiri sudah "memantek" leher bajunya di dinding ruangan, Seinci saja di kulit leher!
"Ah...!" Ceng Han terbengong dengan muka berobah.
Dan Ceng Bi serta Pek Hong yang melihat Ceng Han "dipantek" dengan ujung pedang seperti itu hampir berbareng mengeluarkan keluhan tertahan. Dari jauh seolah leher Ceng Han yang disate, maklum pedang demikian dekat dengan kulit leher. Tapi begitu melihat Ceng Han bangkit berdiri dan terhuyung menghampiri si kakek bungkuk dua orang nyonya muda inipun menjadi sadar dan lega. Tahu bahwa si Naga Bangkok tidak bersungguh-sungguh dalam timpukannya itu! Maka Ceng Bi dan Pek Hong yang sudah melompat bangun setelah membebaskan totokan di lutut mereka segera mendekati Ceng Han yang sudah menjura di depan kakek bongkok itu.
"Locianpwe, kau benar-benar hebat. Kami menyerah kalah...!"
Bu beng Siauw jin tertawa. Dia acuh saja mendengar pujian itu, namun lengannya yang melambai ke kiri meminta Sin Hong mendekat padanya. "Kau dengar pengakuan pamanmu, Sin Hong? Bagaimana sekarang dengan ibumu?"
Pek Hong mendahului anaknya, "Aku menepati janji. Bu beng Siauw-jin. Sin Hong rela kulepas menjadi muridmu!"
Sin Hong gembira sekali. Dia sudah melompat maju mendekati kakek itu, yang sungguh tak diduga memiliki kesaktian demikian hebat. Tapi Bu-beng Siauw-jin yang berseri mukanya mendadak menyeringai kecut dan menggerak-gerakkan daun telinganya.
"Hujin, di samping kita berlima siapa lagi yang berada di rumah ini?"
Pek Hong terheran. "Tak ada siapa-siapa lagi, locianpwe. Kenapakah?"
"Hm, kita kedatangan seorang tamu, hujin. Ada seseorang mendatangi tempat kita!"
Semua orang terkejut. Ceng Han sendiri tertegun mendengar kata-kata itu, karena dia tak mendengar sebuah gerakanpun setelah menajamkan telinganya. Tapi baru si kakek bongkok terkekeh dengan muka masam tiba-tiba sesosok bayangan telah muncul di depan pintu, berdiri tanpa diketahui kapan datangnya. Dan begitu semua orang melihat bayangan ini tiba-tiba Ceng Bi dan Pek Hong menghambur maju berteriak gembira,
"Yap-koko...!"
Ternyata yang datang adalah Pendekar Gurun Neraka! Dan Ceng Han yang terkejut melihat ketajaman telinga si Naga Bongkok tiba-tiba bengong dan kagum bukan main, mengakui kehebatan kakek ini yang benar-benar luar biasa. Setingkat dengan ayahnya sendiri!
Tapi Pendekar Gurun Neraka yang sudah ditubruk isterinya mengerutkan kening. Sejenak matanya berkejap gembira memandang Sin Hong, puteranya yang sudah kembali itu. Namun melepaskan diri dari pelukan isterinya pendekar sakti ini sudah melangkah maju dan merangkapkan kedua tangannya, memberi hormat pada orang yang lebih tua. "Locianpwe, kau siapakah dan ada perlu apa datang ke rumah kami?"
Bu-beng Siauw jin terbahak. Dia tadinya kecut mendengar langkah kaki yang ringan dan halus luar biasa menghampiri tempat mereka. Langkah kaki yang hampir saja tak tertangkap oleh telinganya. Tanda seorang tokoh yang benar-benar luar biasa dan memiliki kepandaian tinggi. Dugaannya mungkin Ciok-thouw Taihiap! Tapi begitu melihat bahwa yang datang adalah tuan rumah sendiri yang bukan lain adalah Pendekar Gurun Neraka dan pria itu masih muda tak lebih dari tigapuluh dua tahun tiba-tiba saja kakek ini terkejut dan kagum. Terkejut bahwa pendekar yang namanya dahsyat ini ternyata masih muda dan pantas menjadi anaknya!
Maka Bu-beng Siauw-jin yang kagum serta sudah lama mendengar nama besar laki-laki gagah perkasa ini cepat-cepat membungkukkan tubuh membalas memberi hormat, merangkapkan kedua tangan tapi diam-diam seketika itu juga melakukan serangan, "menguji" kehebatan pendekar ini dalam dorongan sinkang!
"Ah, aku si tua bangka ini Bu-beng Siauw-jin. Pendekar Gurun Neraka. Orang menyebutku si Naga Bongkok dan datang kemari untuk membawa Sin Hong sebagai muridku!"
Bu Kong terkejut. Dia melihat kakek itu tertawa, merangkapkan kedua tangan dan tampak buru-buru membalas hormat. Tapi kesiur angin dingin yang menyambar dadanya dari kepalan tangan si kakek bongkok yang membuat bajunya berkibar membuat pendekar ini mengerutkan alis dan mendorongkan lengannya, seakan menolak tapi sebenarnya menyambut serangan si bongkok itu, maklum bahwa kakek ini ingin "mengujinya"! Maka begitu mendorongkan lengan seolah bersikap sungkan segera Pendekar Gurun Neraka mengebutkan bajunya dengan muka terheran.
“Ah, kau dari Himalaya, locianpwe? Kalau begitu kebetulan sekali, sudah lama aku mendengar namamu... plak!" dan ujung baju Pendekar Gurun Neraka yang bertemu kepalan si kakek bongkok tiba-tiba meledak bagai menepuk pecah sebuah balon! Bu Kong tergetar. Dia melihat kakek itu juga terdorong, membelalakkan mata dan tampaknya tergetar oleh tangkisan ini. Gebrakan sinkang yang membuat masing-masing pihak maklum akan kehebatan lawan.
Tapi Bu-beng Siauw-jin yang rupanya penasaran dan ingin mengulang pukulannya tiba-tiba tertawa dan membengkokkan kaki, memasang kuda-kuda! Lalu, begitu menyeringai dan terbahak gembira mendadak kakek ini mendorongkan lengannya dan menyerang terang-terangan!
"Pendekar Gurun Neraka, kau hebat. Aku mendengar keunggulanmu terhadap mertuamu sendiri, Ciok-thouw Taihiap!" dan si kakek yang sudah merendahkan tubuhnya dengan kedua kaki bengkok ke depan tahu-tahu melempar pukulan sinkang untuk yang kedua kalinya!
Tapi Bu Kong mengernyitkan kening. Dia tetap bersikap tenang oleh pukulan lawan, maklum memang demikian kebiasaan orang-orang sakti yang suka "gatal" menghadapi lawan tangguh. Tapi menekuk siku ke bawah dan melakukan dorongan balasan diapun cepat menyambut pukulan Bu-beng Siauw-jin yang kali ini bertambah hebat dan dingin!
“Locianpwe, maaf. Aku tak berani menerima pujianmu yang berlebihan...!" lalu begitu berseru dan ikut membengkokkan lutut tahu-tahu pendekar ini sudah menerima pukulan lawan lalu menolaknya balik dengan dorongan ke atas.
Tapi Bu-beng Siauw-jin mempertahankan diri. Kakek ini tak tertawa lagi, merasa betapa dorongan yang kuat sekali menghantam dadanya, menekan dan mendesak pukulan sinkangnya yang berhawa dingin. Lalu begitu dua tenaga bertemu di udara tiba-tiba muncul dua macam asap yang berlainan warnanya. Dari arah Bu-beng Siauw-jin muncul asap berwarna putih bagai salju sedang dari pihak Pendekar Gurun Neraka muncul asap Berwarna merah yang mengeluarkan hawa panas.
Tapi kedua-duanya saling dorong, tak mau mengalih, membentuk bulatan lonjong seperti telur angsa. Dan begitu masing-masing menambah kekuatannya untuk mengalahkan lawan mendadak "telur" hawa yang dorong-mendorong ini membengkak. Yang putih semakin besar dan menindih asap merah tapi yang merah membengkak dan menindih asap putih. Kedua-duanya sama kuat, sejenak bertarung di udara. Tapi begitu Pendekar Gurun Neraka membentak dan mengangkat naik tubuhnya tiba-tiba Bu-beng Siauw jin terpekik dan jebol kuda-kudanya, tak dapat bertahan!
"Ah... brakk!" Bu-beng Siauw jin menjejakkan kakinya. Dia langsung berjumpalitan di udara menghindar pukulan dahsyat yang menghantam dirinya itu. Berjungkir balik hingga pukulan lewat di bawah kakinya. Tapi Bu-beng Siauw-jin yang berjumpalitan di atas kepala lawan tiba-tiba menyentikkan jarinya ke telinga Pendekar Gurun Neraka, cepat dan luar biasa sebat membarengi suara hiruk-pikuk akibat runtuhnya dinding ruangan dihantam pukulan sinkang yang membalik. Lalu begitu turun dan saling berhadapan kembali menyeringailah kakek itu ketika dua jarinya menjepit sehelai rambut yang disentil dari telinga Pendekar Gurun Neraka!
"Ha-ha, kau benar-benar mengagumkan. Pendekar Gurun Neraka. Dahsyat sekali tenaga saktimu itu. Pantas kalau Ciok-thouw Taihiap mengakui keunggulanmu...!"
Bu Kong terkejut. Dia melihat jari telunjuk dan tengah kakek ini menyentil-nyentil rambut telinganya yang berhasil disambar, kaget bahwa kakek itu dapat bergerak demikian cepat dan luar biasa sekali. Gerakan yang membuat dia terkesiap dan membelalakkan mata. Karena kalau kakek itu tidak menyentil telinganya melainkan menyentil matanya tentu dia buta seketika dan hancur tak tahu apa yang terjadi. Tanda kedudukan mereka saat itu satu-satu! Maka Bu Kong yang segera menghela napas dan memandang kagum kakek ini sudah menjura dan balas memuji lawan.
"Dan kau juga benar-benar hebat, locianpwe. Aku tak berani mengakui kelebihanku di depanmu si orang tua...!"
Bu-beng Sieuw-jin tertawa bergelak. Dia tahu Pendekar Gurun Neraka merendah kepadanya. Maklum, bahwa kalau mereka sudah sama-sama tahu ilmu silat lawan tentu tidak akan sebegitu mudah baginya mencabut sehelai rambut di telinga pendekar itu, yang belum tahu akan kelebihan dan kekurangan lawan. Tapi gembira bahwa pendekar ini ternyata bukan seorang sombong dan bicara jujur maka Bu-beng Siauw-jin pun merasa bangga dan puas bukan main.
"Dan kau benar-benar juga mengagumkan hatiku, Pendekar Gurun Neraka. Sinkangmu hebat dan terus terang aku si tua bangka ini tak berani mengakui kelebihanku di depanmu!"
Bu Kong tersenyum pahit. Dia melihat si Naga Bongkok itu sudah menyambar Sin Hong, lalu memandang mereka semua kakek ini melanjutkan seruannya, "Dan bagaimana sekarang dengan maksudku, Pendekur Gurun Neraka? Boleh dia kubawa sebagai muridku?'"
Untuk ini Pendekar Gurun Neraka tak segera menjawab. Dia tak tahu duduk persoalannya, mengerutkan alis sedikit tidak senang. Tapi Sin Hong yang sudah melompat ke depan tampil bicara, "Aku akan menepati janjiku, ayah. Aku kalah bertaruh dengan kakek ini!"
"Hm, soal apa, Hong-ji?" sang ayah terheran.
"Soal kong-kong!"
"Soal kong-kong?" Pendekar Gurun Neraka mengangkat keningnya, terbelalak tapi juga terkejut. Dan belum dia bertanya si Naga Bungkuk pun sudah tertawa menjelaskan duduk persoalannya.
"Ya. soal Ciok-thouw Taihiap, Pendekar Gurun Neraka. Betapa ayah mertuamu itu pilih kasih dan berat sebelah terhadap Sin Hong!"
Bu Kong terkejut. "Ada apa dengan ayah mertuaku itu, locianpwe? Kau tidak melempar fitnah di sini?"
"Ha-ha si tua bangka ini jelek-jelek bukan tukang fitnah, Pendekar Gurun Neraka. Gak-humu (ayah mertua) itu memang tak dapat dibenarkan sikapnya. Dia bertindak tidak adil terhadap dua orang cucunya sendiri!"
Bu Kong semakin terkejut. Tapi Ceng Bi yang sudah maju ke depan memberikan penjelasan yang membuat pendekar ini terheran-heran, “Ya, ayah bertindak berat sebelah pada Sin Hong, koko. Ayah tak adil terhadap dua orang cucunya sendiri!"
"Soal apa?"
"Soan-hoan-ciang. Dia memberi pelajaran ilmu silat itu pada Bi Lan tapi tidak pada Sin Hong. Dan akibatnya seperti sekarang ini, Sin Hong sakit hati pada kakeknya sendiri karena perbuatan ayah yang tidak adil!"
"Ah!" Pendekar Gurun Neraka berseru pendek. "Jadi karena itu Sin Hong lalu kalah bertaruh, Bi-moi? Tapi siapa yang mengetahui Bi Lan mendapat pelajaran dari kakeknya?"
Bu-beng Siauw-jin maju sambil tertawa. "Aku yang mengetahui hal ini, Pendekar Gurun Neraka. Gak-hu mu itu kulihat secara diam-diam mewariskan ilmu barunya di kamar Bi Lan!"
"Begitukah, Bi Lan?" Pendekar Gurun Neraka memandang puterinya, terkejut dan tidak enak bahwa diam-diam ayah mertuanya mempunyai sebuah ilmu baru. Ilmu silat yang tentu dipersiapkan untuk seseorang. Mungkin untuk dirinya sendiri semenjak ayah mertuanya itu kalah dan penasaran pada sepuluh tahun yang lalu.
Dan Bi Lan yang tak dapat memungkiri pertanyaan ini sudah menganggukkan kepalanya sambil terisak. "Ya, kong-kong yang mengajarkan padaku ilmu silat itu, ayah. Aku tak berani bilang karena kong-kong melarang dan mengancam!"
Pendekar ini tertegun. Dia melihat Bi Lan sudah menangis dipelukan ibunya, takut dan khawatir dimarahi. Sementara Ceng Han yang merah mukanya tampil ke depan dan menarik napas panjang.
"Yap-twako, aku sendiri menyesal mendengar ini semuanya. Tapi percayalah aku dan Bi-moi akan menegur ayah untuk ketidakadilannya ini karena bagaimanapun juga ayah melanggar garis kebenaran!"
Tapi Pek Hong menolak halus, "Tak usahlah, saudara Ceng Han. Kupikir bahwa apa yang dilakukan ayahmu pasti ada sebab-sebabnya!"
"Hm, tapi apapun sebabnya tak pantas hal itu dilakukan ayah, adik Hong. Karena anakmu juga berarti anak adikku, berarti juga cucu ayah yang tidak boleh dipandang berat sebelah!"
Pek Hong masih membantah, "Tapi mungkin ilmu silat itu lebih tepat untuk Bi Lan. Han-twako. Karena Soan-hoan-ciang mungkin lebih tepat untuk perempuan daripada laki-laki!"
"Hm, bagaimanapun juga aku tetap tidak puas, adik Hong. Akan kutanyakan pada ayah, kalau kemungkinan itu ada!''
Bu-beng Siauw-jin tiba-tiba menyela, "E-eh, sudahlah, orang-orang muda. Yang jelas maksudku tak ada yang menghalangi, bukan? Atau si tua bangka ini masih harus menghadapi sebuah ujian lagi?" kakek itu menyeringai, melirik Pendekar Gurun Neraka dan bersiap-siap menghadapi pertempuran. Kalau pendekar itu menolak!
Tapi Pendekar Gurun Neraka yang seketika muram mukanya dan masih terkejut oleh berita baru ini sudah mengulapkan lengannya. “Kalau Sin Hong sudah berjanji padamu aku tak akan menolaknya, locianpwe. Tapi bagaimana pendapat ibunya harap kau tanyakan dulu!"
'Wah, kau membiarkan aku membawa anakmu sedemikian gampang, Pendekar Gurun Neraka?"
"Karena ikatan janji, locianpwe. Dan aku tak akan membiarkan anakku menarik janji atau menjilat ludah sendiri kepadamu si orang tua!"
Bu-beng Siauw jin tertawa bergelak. "Pendekar Gurun Neraka, kau tak sangsi pada ilmu kepandaianku? Bagaimana kalau Sin Hong kukecewakan?"
"Hm, dari gebrakan tadi cukup kuketahui sampai di mana ilmu kepandaianmu, locianpwe. Kau boleh melatihnya ilmu silat tapi beri pula kesempatan padaku untuk kelak melatihnya pula mewarisi ilmu silat keluarga!"
Bu beng Siauw-jin mendecak kagum. "Pendekar Gurun Neraka, kau benar-benar mengagumkan sekali. Baru kali ini aku si tua bangka mendengar orang bicara jujur tentang ilmu silat orang lain. Baiklah, aku tak akan mengecewakan anakmu. Sin Hong sengaja kubawa untuk mewarisi ilmu silat ciptaanku guna menandingi Soan-hoan-ciang Pendekar Kepala Batu, ha-ha...”
Pendekar Gurun Neraka mengerutkan alis. "Kau hendak mengadu anakku dengan kakeknya, locianpwe?”
"Ha, jangan salah paham, Pendekar Gurun Neraka. Yang akan kuadu adalah ilmu silatnya. Bukan orangnya!"
"Lalu kalau begitu kapan Sin Hong akan kau bawa kembali?"
"Sepuluh tahun. Pendekar Gurun Neraka. Demikian isi perjanjian kami berdua!"
Pendekar Gurun Neraka terkejut sejenak. Dia melihat Sin Hong tersipu memandang mereka, bingung tapi juga gembira. Tapi begitu dia menganggukkan kepalanya sekonyong-konyong Bu-beng Siauw-jin menjejakkan kakinya menerobos keluar.
“Pendekar Gurun Neraka, terima kasih. Aku tak akan mengecewakan kau dan isterimu. Selamat tinggal!" dan Bu beng Siauw-jin yang tiba-tiba lenyap dari ruangan itu sudah tertawa bergelak di bawah gunung.
Mereka semua terbengong. Tapi Pek Hong yang mengejar keluar berteriak lemah, "Hong ji, hati-hati. Jaga dirimu baik-baik, nak...!"
Dan di bawah gunung terdengar seruan Sin Hong, "Aku akan mengingat nasihatmu, ibu. Terima kasih...!" dan semua orang tertegun.
Mereka tak melihat lagi bayangan si kakek bongkok dan Sin Hong. Tapi Bi Lan yang rupanya paling terpukul oleh kejadian ini tiba-tiba meloncat turun gunung, mengejar Sin Hong sambil menangis!
"Hong-koko, maafkan aku... aku tak setia sebagai saudara...!"
Ceng Bi kaget. Ia melihat Bi Lan tiba-tiba seperti anak bingung, meluncur dan jatuh bangun di semak-semak belukar dalam usahanya mengejar Sin Hong. Tepi belum sang ibu mencegah anaknya tahu-tahu Pek Hong sudah mendahului berkelebat ke depan.
"Lan-ji, kembali. Kakakmu tak apa-apa...!"
Bi Lan masih nekat. Dia nubras-nubras tak keruan, jatuh bangun dan memanggil-manggil kakaknya. Tapi Pek Hong yang sudah menyambar anak ini melayang berjungkir balik kembali ke tempat semula. Tapi begitu ia menyerahkan anak ini pada ibunya mendadak Bi Lan lunglai dan... pingsan di pondongan Ceng Bi.
"Ah, Bi Lan terpukul jiwanya, Bi-moi. Kau bawa dia ke dalam dan istirahatkanlah!"
Ceng Bi mengangguk. "Ya, dan kau maafkan aku, enci Hong. Gara-gara ayah semuanya ini terjadi!"
"Ah, sudahlah. Semuanya sudah lewat, Bi-moi. Bagaimanapun Sin Hong mendapat guru yang dapat diandalkan."
Ceng Bi mencium pipi madunya. Ia terisak dan terharu melihat keadaan encinya ini, tapi Bi Lan yang membutuhkan perawatan segera dibawa ke dalam dengan muka muram. Sementara Ceng Han yang tak enak hatinya oleh kejadian itu tiba-tiba membungkukkan tubuh di depan Pek Hong.
"Adik Hong, maafkan kejadian ini. Aku benar-benar menyesalkan sekali perbuatan ayah. Aku akan kembali dan menegurnya setelah Yap-twako datang melindungimu. Tugasku sudah selesai!"
Pek Hong terkejut. "Kenapa buru-buru, Han-twako? Biar kau di sini dulu. Tak perlu masalah itu kau lanjutkan pada Souw-locianpwe!"
"Hm, tapi gara-gara perbuatannya kau sampai berpisah dengan anak, adik Hong. Bagaimanapun aku jadi malu kepadamu!"
"Ah, tapi ini persoalan kecil, Han-twako. Bagaimanapun aku tak merasa tersinggung oleh semuanya ini."
“Tidak, aku tetap akan pulang, adik Hong. Aku tak enak oleh perbuatan ayah!" lalu menghadapi Pendekar Gurun Neraka Ceng Han sudah menjura penuh sesal. "Yap-twako, maafkan aku. Bagaimanapun juga aku harus kembali setelah kau datang. Kuharap tak ada sesuatu yang menyulitkanmu setelah bertemu dengan sri baginda. Tapi kalau ada apa-apa beritahulah aku. Aku siap membantumu!"
Pendekar ini mengangguk. "Baiklah, saudara Ceng Han. Tapi aku setuju dengan pendapat isteriku. Sebaiknya tak perlu kau menegur ayahmu untuk urusan ini. Gak-hu tentu punya alasan sendiri yang mungkin tidak kita ketahui."
"Hm, tapi bagaimanapun juga ayah membuat aku malu, Yap-twako. Keras atau lunak aku tetap akan menegurnya. Sudahlah, biarkan aku pergi dan selamat tinggal...!" dan Ceng Han yang sudah memutar tubuhnya tiba-tiba menjejakkan kaki berkelebat lenyap. Dia tak mau lagi membicarakan persoalan ini, dan Pek Hong yang menarik napas oleh sikap kakak iparnya itu berseru nyaring, "Han-twako, salamku untuk adik Cui Ang di rumah...!”
Ceng Han mengangguk. Dia mengucap terima kasih, lalu tubuh putera Pendekar kepala Batu yang sudah meluncur turun ini tak nampak lagi bayangannya dari atas. Pek Hong dan suaminya termangu, tapi begitu menarik napas dan saling pandang akhirnya Pendekar Gurun Neraka memeluk isterinya yang berlinang air mata ini, teringat Sin Hong! Lalu membawa masuk dengan muka muram mereka berdua sudah menemui Ceng Bi di kamar Bi Lan.
Siauw-cut sudah keluar dari gua di bawah jurang. Mukanya berseri, lenggangnya kian bergaya setelah dia mempelajari ilmu sinkang ‘Menghimpun Seribu Naga’ itu, atau mungkin lebih tepat kalau dikata bahwa dia amat gembira setelah bertemu dengan manusia dewa Bu-beng Sian-su itu. Dan anak yang sudah keluar dari Lembah Cemara untuk memulai perjalanannya ini mencari pendekar pedang berjuluk Bu-tiong-kiam di mana saja dia dapat.
Tapi Siauw-cut mengerutkan kening. Kalau tidak bertanya kepada seseorang mana mungkin dia dapat menemui pendekar itu? Maka langkah kakinya yang mantap ketika memasuki sebuah dusun membuat anak ini gembira sekali untuk memulai pencariannya. Tapi Siauw-cut terheran. Dia melihat dusun yang dimasukinya kosong, tak ada seorangpun. Dan sementara dia celingukan ke sana ke mari mendadak seorang laki-laki dilihatnya sedang tiduran di atas akar sebuah pohon, menutupi mukanya dengan sebuah caping bambu.
"Eh, lopek, kenapa dusun ini sepi? Kemana penduduknya yang lain?" Siauw-cut sudah menghampiri laki-laki yang tiduran ini dengan pertanyaannya yang nyaring, membangunkan orang tak dikenal itu dengan suara lantang.
Tapi si laki-laki bercaping yang tampaknya tidur menikmati hembusan angin yang sejuk menyegarkan tak mendengar pertanyaan itu. Dia tidur tak bergerak, seakan mati. Dan Siauw-cut yang mendongkol oleh seruannya yang tak mendapat jawaban tiba-tiba menepuk pundak laki-laki itu dengan keras.
"Lopek, bangun! Kenapa dusun ini sepi?"
Laki-laki itu terkejut. Dia menggeliat, mengeluarkan keluhan perlahan seperti orang mengigau, tapi tidak bangun. Dan Siauw-cut yang gemas oleh sikap orang tiba-tiba merenggut caping yang menutupi muka itu lalu membentak, "Lopek, kau tuli? Kau... ah...!"
Siauw-cut tertegun. Dia langsung menghentikan seruannya itu, terbelalak dan tiba-tiba mundur selangkah melihat muka orang yang sudah tidak tertutup caping lagi. Lalu begitu sadar dan mengenal orang yang tiduran ini mendadak Siauw-cut membuang caping dan mengomel, "Locianpwe, kau kiranya? Kenapa kau ada di sini?”
Laki-laki itu melompat bangun. Dia terkekeh, mengejap-ngejapkan mata melihat kehadiran bocah ini. Tapi melihat Siauw-cut memandangnya tak senang laki-laki itupun berseru, "Wah, kenapa marah kepadaku, Siauw-cut? Siapa yang mulai datang mengganggu?"
Siauw-cut membanting kakinya. "Kau menguntitku lagi, locianpwe? Kau tak ingat janjimu padaku?"
Laki-laki ini tertawa. Dia bukan lain adalah Kun Seng, kakek yang dulu bertemu di kuil Tee-kong-bio itu. Dan melihat Siauw-cut membanting kakinya dengan marah diapun memungut caping dan menepis-nepis pakaiannya. "Anak baik, sabar dulu. Siapa yang menguntitmu dan siapa pula yang melupakan janji? Aku tidak menguntitmu. Aku sudah ada di dusun ini sebelum kau tiba!"
Siauw-cut tertegun. Dia melihat kakek itu benar-benar, tak dapat dibantah. Maka tersenyum melunakkan sikap diapun mendekati laki-laki tua ini, membantu membersihkan pakaiannya dari debu tapi masih mengomel, "Baik. kau memang lebih dulu di sini daripada aku, locianpwe. Tapi kenapa kau datang ke tempat yang justeru hendak kudatangi? Bukankah kau sengaja hendak bertemu kembali?"
"Wah-wah, omongan apa ini, Siauw-cut? Kenapa menuduhku seperti itu? Siapa yang sengaja hendak menemuimu?"
Siauw-cut menjengek. “Kau berkepandaian tinggi, locianpwe. Tentu mudah mengetahui jejakku dan pura-pura ketemu!"
Si kakek mengerutkan kening, kali ini tidak senang. "Siauw-cut, jangan anggap begitu rupa kepadaku. Meskipun kuakui aku senang padamu tapi jangan kira aku suka menjilat ludahku sendiri. Aku menunggu seseorang, karena itu aku datang ke sini!"
"Hm. siapa locianpwe?"
"Si Golok Hitam, raja rimba yang mengancam keselamatan penduduk dusun!"
"Ah, seorang perampok, locianpwe?"
"Ya."
"Dan kau akan melawannya?"
"Bukan melawannya tapi menghajarnya, Siauw-cut. Si Golok Hitam itu sudah berkali-kali memeras dan merampok rakyat jelata!"
Siauw-cut tertegun. Untuk kedua kalinya dia melihat kegagahan pada kakek ini, pertama di kuil Tee-kong-bio dulu yang mengubur mayat para tosu dan yang kedua kalinya adalah sekarang ini, membela penduduk dusun dari keganasan seorang perampok! Maka Siauw-cut yang tertarik hatinya segera menjadi gembira. "Dan kau akan menghadapinya seorang diri, locianpwe? Dia tidak berkawan?"
"Hm, si Golok Hitam punya lima puluh anak buah, Siauw-cut. Tapi aku akan menghajar semua tikus-tikus busuk itu sampai tobat!"
"Seorang diri?"
Si kakek bersinar. "Kenapa kau tanyakan ini? Kau mau membantu aku?"
Siauw-cut tertawa. "Kau tahu aku tak pandai silat, locianpwe. Tapi berkat jasamu aku telah bertemu dengan Bu-beng Sian-su. Aku akan coba-coba menghajar si Golok Hitam itu dengan ilmu baruku!"
Si kakek terbelalak. "Kau bertemu kakek dewa itu? Apa yang kau pelajari?"
"Ilmu tenaga dalam, locianpwe. Sian-su bilang aku dapat sekuat seribu ekor naga kalau tekun melatih ilmu ini!"
"Ah, dan berapa lama kau telah melatih ilmu itu?”
Siauw-cut agak merah mukanya. "Baru seminggu, locianpwe. Tapi hasilnya telah dapat kurasakan!”
Si kakek tertawa bergelak. "Ha-ha, mana bisa latihan seminggu dipakai melawan si Golok Hitam, Siauw-cut? Kau bodoh kau tak tahu tingginya langit dalamnya bumi. Golok Hitam tak dapat dilawan dengan ilmu barumu kalau mentah seperti itu...!"
"Tapi aku akan mencobanya, locianpwe. Aku percaya kesaktian Bu-beng Sian-su yang dapat berjalan di udara!"
"Hm, tapi itu Bu-beng Sian-su, anak bodoh. Dia sendiri sudah puluhan tahun melatih ilmunya hingga mencapai kesaktian demikian tinggi. Mana mungkin kau menandinginya dengan cara begini? Si Golok Hitam pasti akan merobohkanmu sebelum kau menyerang!"
Siauw-cut tersinggung. "Tapi aku tidak takut, locianpwe. Aku akan mencoba dan mempraktekkan ilmu dari kakek dewa itu!"
"Benar, tapi ilmu yang kau dapat bukan ilmu silat, Siauw-cut. Ilmu itu hanya ilmu tenaga dalam yang khusus melatih kekuatan jiwa atau pernapasan! Kau diajar melatih napas, bukan?"
"Ya."
"Nah, itu belum dapat dipergunakan untuk bertempur, Siauw-cut. Karena untuk bertanding yang dipergunakan adalah ilmu silat, teknik memukul atau menangkis pukulan."
"Jadi kalau begitu ilmu tenaga dalam ini tak berguna?"
"Hm, tentu saja berguna, anak bodoh. Tapi pengetrapannya dalam pertandingan membutuhkan suatu teori, tehnik yang kita atur sedemikian rupa hingga ilmu silat dan ilmu tenaga dalam dapat kita satukan untuk memperoleh kemenangan."
Siauw-cut agak kecewa. Dia merasa "direndahkan" ilmu yang dia peroleh dari Bu-beng Sian-su itu. Namun lelaki tua yang mengelus jenggot pendeknya ini tertenyum. "Siauw-cut, jangan kecil hati. Aku tidak bermaksud merendahkan ilmu tenaga dalammu itu. Tapi betulkah kau bersungguh-sungguh hendak membantuku melawan si Golok Hitam?"
Siauw-cut terlanjur mendongkol, "Aku tak bersemangat lagi sekarang, locianpwe. Biarlah kau saja yang menghadapi si Golok Hitam itu dan aku menonton di pinggir!"
"Wah, kau ngambek?"
Siauw-cut merengut.
"E-eh, jangan begitu, anak baik. Aku tak bermaksud melukai hatimu. Sudahlah, bagaimana kalau kubayar kesalahanku ini dengan sebuah pelajaran darurat?"
"Apa maksudmu?"
"Kau bantu aku menghadapi si Golok Hitam itu, Siauw-cut. Tapi pelajari dulu tiga jurus ilmu silat rantingku ini."
"Ilmu silat ranting?"
"Ya, mempergunakan ranting saja tak perlu pedang! Kau setuju, bukan?"
Tapi anak ini menggeleng. "Aku tak ingin mempelajarinya, locianpwe. Toh tentu kalah karena baru saja belajar! Bukankah kau bilang bahwa pelajaran yang baru beberapa hari tak mungkin dipakai menghadapi lawan? Apalagi kalau baru beberapa jam. Tidak. aku tak tertarik pada tawaranmu dan biarlah aku nonton saja di pinggir!"
Si kakek tertegun. "Kalau begitu aku juga tak akan menghadapi Golok Hitam itu, Siauw-cut. Biarlah mereka menghajar dan membunuh aku!"
"Kenapa begitu?”
"Karena kau tak mau memaafkan aku. Tak mau menerima penyesalan si tua bangka ini danmembuat aku kecewa!" kakek itu memutar tubuh, membanting pantatnya dan tiba-tiba telentang lagi dengan caping menutupi mukanya. Marah!
Dan Siauw-cut yang terkejut melihat sikap kakek ini tiba-tiba menarik napas, merasa bahwa dia "kelewatan" terhadap orang tua itu yang bagaimanapun juga selalu bersikap baik padanya sejak perjumpaan mereka pertama kali di kuil Tee-kong-bio. Bahkan kakek inilah yang menyambung lengannya yang patah dan menjadi penunjuk jalan untuk bertemu dengan Bu-beng Sian-su. Kenapa dia kelewatan? Maka Siauw-cut yang sudah maju menghampiri tiba-tiba menyentuh lutut kakek itu, tersenyum kecut dan merobah sikapnya.
"Locianpwe, maafkan aku. Aku tak bersungguh-sungguh membuatmu kecewa..."
Tapi si kakek masih uring-uringan. "Kau tak perlu minta maaf, Siauw-cut. Yang salah adalah si tua bangka tolol ini!"
"Ah, jangan begitu, locianpwe. Kalau mau dibilang salah aku juga ikut bersalah. Kita berdua salah. Sudahlah. Bagaimana dengan ilmu rantingmu itu? Boleh aku lihat?"
Kakek ini membuka capingnya. "Kau hanya mau melihat saja? Tidak mempelajarinya?"
"Hm, kalau itu dapat membantu mengusir Golok Hitam tentu saja aku mau mempelajarinya, locianpwe. Kenapa kau cemberut melulu?" anak ini tertawa.
Dan Kun Seng akhirnya melompat bangun. “Siauw-cut, sialan kau! Kenapa membuat aku harus uring-uringan dulu? Apa memang begitu watakmu sebelun menggoda orang lain?"
Anak ini tertawa lebar. "Locianpwe, jangan naik pitam dulu. Aku tak bermaksud menggoda orang lain ataupun menggodamu. Siapa harus dikata sial? Sudahlah, aku boleh mempelajari ilmu rantingmu itu tapi dengan satu syarat, kau harus membantuku pula mencari seseorang! Kau setuju?"
Kakek ini mengerutkan kening. "Siapa yang kau cari, Siauw-cut? Kenapa kau bersikap seolah menghutangi aku padahal aku yang memberimu ilmu silat?"
"Hm, aku sekedar memuaskan hatimu, locianpwe. Agar kau tak begitu kecewa dengan menerima pelajaran tiga jurus ini. Tapi ini tak bermaksud mengikat kita sebagai guru dan murid, bukan?"
Kun Seng mengangguk, tersenyum masam. "Ya, boleh kau kata begitu. Tapi siapa yang ingin kau cari?"
“Seorang pendekar pedang!"
"Pendekar pedang?"
"Ya."
"Siapa yang menyuruhmu?"
"Bu-beng Sian-su. Kakek itu yang menyuruhku mencari orang ini sebelum aku diangkat sebagai muridnya!"
"Ah, siapa pendekar yang disuruh cari itu, Siauw-cut?"
"Kau mungkin kenal, locianpwe. Julukannya, hm..." Siauw-cut berhenti sebentar. "Julukannya aneh. Katanya berjuluk Bu-tiong-kiam... si Pedang Dalam Kabut!"
Kakek ini berseru tertahan, tampak kaget. "Apa, Siauw-cut? Si Pedang Dalam Kabut?"
"Ya, demikian julukannya, locianpwe. Kau kenal dia?"
Kun Seng tiba-tiba tertawa bergelak. Dia sampai menekan perutnya yang berguncang-guncang, terbahak memandang bocah itu penuh kegelian. Tapi melihat Siauw-cut memandangnya marah tiba-tiba kakek ini menghentikan tawanya, terengah dan menghapus dua butir air mata yang tiba-tiba runtuh di atas pipinya, menyeringai kecut. Lalu menjura dalam-dalam di depan anak ini kakek itu bicara, serak suaranya,
"Siauw-cut, maafkan si tua bangka ini. Aku tak menyangka Bu beng Sian-su menyuruhmu mencari pendekar pedang itu. Tapi tahukah kau apa sebabnya Bu-beng Sian-su menyuruhmu mencari pendekar ini? Apa maksudnya?"
Siauw-cut memandang aneh. "Aku tak tahu, locianpwe. Tapi kenapa kau tertawa bergelak mendengar permintaanku? Kenalkah kau pada jago pedang itu?"
Kakek ini tersenyum pahit, mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya-ya aku kenal jago pedang itu. Siauw-cut... aku kenal baik padanya dan tahu pula di mana dia berada!"
"Ah, kalau begitu kau dapat membantuku, locianpwe?" Siauw-cut menjadi girang.
"Tentu saja, anak baik. Tapi jangan sekarang. Kau tahu aku harus menghadapi si Golok Hitam, bukan?”
"Ya, dan aku juga harus mempelajari ilmu silat rantingmu, locianpwe!" Siauw-cut gembira. “Karena itu boleh kau turunkan sekarang juga kalau kau suka...!"
Kakek ini menyeringai. "Baik, tapi bagaimana kalau urusan ini selesai, Siauw-cut? Artinya bagaimana kau akan mencari pendekar pedang itu? Apakah seorang diri saja setelah kuberi tahu alamatnya?"
Anak ini tertegun. Dia melihat sepasang mata kakek itu menyembunyikan sinar yang aneh, harapan terselubung yang tak diketahui maksudnya. Tapi maklum bahwa di dunia kang-ouw ternyata banyak orang-orang jahat seperti nenek iblis Sin-yan Moli dan lain-lain tiba-tiba hati anak ini tergerak. Dia merasa kakek itu ingin bersamanya, tapi tak mengeluarkan maksudnya karena takut "melanggar" janji. Dan melihat kakek ini tak ada jeleknya menemani dia tiba-tiba Siauw-cut tersenyum.
"Locianpwe, kali ini aku ingin kau temani. Maukah kau bersamaku mencari Bu-tiong-kiam?"
Kakek itu terbelalak. "Kau mengajakku? Kau tak menuduh si tua ini melanggar janjinya?”
"Hm. kau tak melanggar janji, locianpwe," Siauw-cut tertawa. "Kau tidak mengikutiku melainkan aku yang minta agar kau menemaniku!"
"Baik," si kakek berseri mukanya. Tapi belum dia melanjutkan seruannya Siauw-cut buru-buru memotong,
"Tapi itu terbatas beberapa waktu, locianpwe. Artinya jika pendekar pedang itu sudah kutemui maka kita harus berpisah lagi!"
Kakek itu tertawa. "Boleh, Siauw-cut. Aku si tua bangka ini menurut. Tapi kenapakah agaknya kau tak senang lama-lama berada denganku? Tak sukakah kau bersahabat denganku, Siauw-cut?"
"Hm, bukan begitu, locianpwe. Tapi... tapi terus terang saja ada sesuatu yang kutakuti darimu!"
"Eh, apa yang kau takuti? Apakah si tua ini bertampang jahat?" Ku Seng terbelalak, heran memandang anak itu.
Tapi Siauw-cut yang menyeringai gugup berkata bingung. "Tidak... tidak... bukan begitu, locianpwe. Tapi ada sesuatu yang membuat aku serasa terikat denganmu. Nah, inilah yang aku tidak suka dan terus terang aku takut pada bisikan hatiku sendiri!"
Kakek itu terbahak. "Kalau begitu kau menyangkal bisikan hatimu sendiri, Siauw-cut. Sama seperti apa yang kurasakan pula!"
Siauw-cut tertegun. "Apa yang kau rasakan, locianpwe?"
"Seperti dirimu itu. Aku selalu ingin berdekatan denganmu dan terikat seperti hubungan anak dengan ayahnya!"
"Ah...!" Siauw-cut terkejut. Tapi anak ini sudah melengos ke samping. "Locianpwe, tak usahlah kita bicara ini. Bagaimana sekarang dengan pelajaran ilmu silat itu?"
"Hm..." kakek ini sadar. "Kita teruskan, Siauw-cut. Aku akan memberimu contoh untuk mempelajari ilmu silat ini!" lalu melompat ke atas tiba-tiba kakek itu dengan ringan mematahkan sebatang ranting di atas pohon. Kemudian turun dengan muka gembira diapun memberi aba-aba. "Siauw-cut, lihat ke sini. Aku akan memberimu pelajaran tiga jurus silat ranting. Setelah itu boleh kau pergunakan untuk merobohkan si Golok Hitam."
Siauw-cut terbelalak. "Merobohkan si Golok Hitam, locianpwe? Bukankah kau bilang..."
"Ya-ya, tak perlu kau putus omonganku, anak bodoh. Ilmu siiat yang akan kau pelajari ini adalah ilmu silat yang dipergunakan untuk menyerang lawan, menyerang dan menangkis. Lain dengan pelajaran lweekang yang sifatnya pasip itu. Nah, lihat baik-baik. Jurus pertama ini kunamakan Tit-te-pai-seng (Tudingan Bumi Menyembah Bintang), ada empat gerakan yang menjadi pokok dasar dari jurus pertama ini. Yakni mula-mula mengumpulkan seluruh kekuatan di pergelangan tangan kanan lalu memecahnya di tiga bagian masing-masing pada ujung jarikaki kanan dan kiri serta pemusatan tenaga di daerah tan-tian (pusar). Kau telah mempelajari tenaga dalam, bukan? Nah, lihat, aku memberikan contohnya...!"
Dan Kun Seng yang tiba-tiba membentak perlahan tahu-tahu sudah berjungkir balik dengan ranting menekan tanah. Tubuhnya ditunjang batang ranting itu, yang sama sekali tak melengkung oleh berat tubuhnya. Dan Siauw-cut yang terbelalak melihat demonstrasi ini tak tahan untuk mengeluarkan seruan kagum.
"Ah, hebat, locianpwe. Tubuhmu ringan sekali!"
"Hm, jangan memuji. Siauw-cut. Kau pasang mata dan telinga untuk melihat gerakanku." kakek itu malah membentak, menegur anak laki-laki ini dan mulai menggoyang kaki. Lalu begitu dia berseru keras dan menekan rantingnya mendadak kakek ini sudah berjumpalitan di udara menggerakkan rantingnya.
Siauw-cut melihat kakek itu mengelebatkan rantingnya lima kali berturut-turut, menusuk sebatang pohon yang ada di dekat situ. Lalu begitu terdengar suara "cas-cis cas" lima kali tiba-tiba pohon itu mengeluarkan suara berkeratak dan... tumbang dengan lima lubang bekas tusukan ranting!
"Ah...!" Siauw-cut terkejut. "Luar biasa sekali, locianpwe. Hampir tak dapat kupercaya!"
Dan kakek itu sudah berdiri kembali dengan kepala tegak. Dia memutar-mutar rantingnya dengan mulut tersenyum, tertawa kecil melihat mata anak laki-laki ini yang melotot ke depan. Tapi melangkah maju dengan muka berseri kakek itu sudah mengalihkan perhatian Siauw-cut dari pohon yang tumbang kepada gerakan tangannya.
"Itu baru jurus yang pertama, Siauw-cut. Masih merupakan demonstrasi ringan dari ilmu silatku ini. Sekarang lihatlah, aku akan melanjutkannya dengan jurus ke dua dan ke tiga. Jurus ke dua kunamakan Heng-hun-po-uh (Awan Berarak Hujan Mencurah) sedang jurus ketiga kunamakan Bu-tiong-boan-seng (Bintang Bertaburan di Dalam Kabut)!"
Siauw-cut tertegun. "Bu-tiong-boan-seng, Locianpwe? Kenapa mirip dengan nama jago pedang Bu-tiong-kiam itu?"
"Hm, hanya kebetulan sama nama, Siauw-cut. Ilmu silat boleh diberi nama sesuka hati, bukan?" kakek ini mengelak, tertawa kecil dan sejenak terkejut oleh pertanyaan si bocah. Tapi Siauw-cut yang tidak curiga sudah membuatnya terang kembali.
"Nah, sekararg lihat, Siauw-cut. Aku akan melakukan jurus ke dua dan ke tiga ini. Kau perhatikan baik-baik. Pohon di sebelah kiri itu akan kubuat gundul dari atas ke bawah. Daunnya akan kurontokkan sampai habis. Kau lihat, bukan?"
Siauw-cut mengangguk.
"Sekarang pasang mata dan telinga baik-baik. Siauw-cut. Aku akan memulai gerakanku, Awas...!" dan begitu kakek ini membentak pendek sekonyong-konyong tubuhnya berkelebat ke depan. Ranting di tangannya bergerak kembali. Hanya kalau yang pertama menusuk lima gerakan ke atas dan ke bawah adalah kali ini kakek itu menggerakkannya sedemikian cepat membentuk tingkatan besar kecil mirip awan di langit bergelembung naik turun macam bola yang bergumpal-gumpal. Lalu, begitu dia melengking panjang mendadak kakek ini sudah "terbang" di udara menari-nari dengan ranting hitamnya.
"Siauw-cut, ini jurus ke dua Heng-hun-po-uh...!"
Siauw-cut bengong. Dia tak melihat lagi bayangan orang tua itu, berubah bentuknya dalam sinar hitam bagai awan yang memayungi bumi. Naik turun dan berarak melingkari titik pusatnya di tengah. Tapi begitu gumpalan awam ini diiringi bentakan menggeledek yang mengejutkan dari tengah bayangan mendadak gumpalan awan itu meledak. Siauw-cut melihai awan yang bergumpal-gumpal ini sekonyong-konyong pecah, ambyar dan menipis ke pinggir. Lalu begitu ledakan lenyap suaranya tiba-tiba hujan mencurah dari balik gulungan awan hitam ini. Siauw-cut melihat titik-titik kecil yang ribuan jumlahnya, mirip "gerimis" di siang bolong. Dan sementara dia bengong oleh semuanya ini tiba-tiba kakek di dalam bayangan itu berteriak perlahan,
"Dan ini jurus ketiga, Siauw-cut. Bu tiong-boan-seng...!"
Siauw-cut melongo. Dia melihat kakek itu tiba-tiba merobah gerakan, menarik garis silang-menyilang dan sudut-menyudut saling potong dalam gerakan yang luar biasa cepat, mirip bintang di langit menggantikan kedudukan "hujan gerimis" yang kini lenyap entah ke mana. Lalu begitu si kakek melengking tinggi dan berkelebatan cepat di balik gulungan awan hitam mendadak bintang-bintang sudah bertaburan "membungkus" tubuh kakek ini, mencuat dan berpeletikan bagai kembang-kembang api di udara yang berkabut tebal.
"Ah, luar biasa, iocianpwe. Mataku berkunang-kunang...!"
Kakek itu tertawa pendek. Dia melihat Siauw-cut tiba-tiba terhuyung, mengeluh dan kabur pandangannya oleh gerakan "bintang"yang demikian cepat di depan hidungnya. Dan maklum anak itu tak dapat mengikuti lagi semua gerakannya tiba-tiba kakek ini melakukan gerakan terakhir dan berseru keras.
"Siauw-cut, aku menghentikan gerakanku. Lihat...!"
Anak ini terbelalak. Dia terpengaruh benar oleh gerakan kakek itu, tak dapat melepaskan diri dari "bintang" yang bertaburan. Maka ketika si kakek berseru keras dan menghentikan gerakannya tiba-tiba Siauw-cut mengeluh dan jatuh terduduk. Dia terlalu "kaget" oleh gerakan yang tiba-tiba berhenti itu, seakan disentak dari suatu keadaan yang membuatnya terbius. Tak sadar. Maka begitu kakek ini menghentikan gerakannya tiba-tiba Siauw-cut mengeluh dan terbelalak bengong.
Dia melihat bintang-bintang di langit sudah lenyap. Begitu juga kabut tebalnya. Tapi ribuan daun yang tiha-tiba mengelilingi tubuh kakek ini dari segala penjuru membuat Siauw-cut menjublak dan hampirtak dapat bicara. Lalu begitu dia memandang ke kiri di mana sebatang pohon tumbuh tak jauh dari si kakek tua sekonyong-konyong anak ini tertegun ketika melihat bahwa pohon yang dimaksud itu sudah gundul bagai orang yang "dicukur" rambutnya!
"Ah. ini... ini..." Siauw-cut tergagap. "sungguh luar biasa, locianpwe. Sungguh menakjubkan...!" akhirnya Siauw-cut bangkit berdiri dan dapat bicara, memandang kakek itu seperti orang memandang setan, tapi si lelaki tua yang sudah membuang rantingnya mengelus jenggot sambil tertawa lebar.
"Ini terlalu luar biasa karena kau belum dapat melakukannya, Siauw-cut. Kalau kau dapat melakukannya tentu perbuatan ini tak akan kau anggap luar biasa!"
Siauw-cut melenggong. "Tapi ini menakjubkan hatiku, locianpwe. Sungguh tak kunyana ilmumu demikian hebat...!"
"Dan kau suka mempelajarinya?''
Siauw-cut masih terkesima. Dia hanya mengangguk mendengar pertanyaan itu, tapi ketika dengan iseng dia memungut sehelai daun untuk mengetahui lebih lanjut sekonyong konyong tenggorokannya seret. Dia menelan ludah, memandang daun yang ternyata tidak utuh itu karena sudah berlubang-lubang "digigit" ujung ranting, agaknya terluka ketika kakek itu mendemonstrasikan jurusnya yang ke dua, Heng-hun-po-uh. Dan Kun Seng yang tertawa melihat keheranan anak ini menganggukkan kepalanya dengan senyum lebar.
"Ya, berlubang ketika aku mainkan jurus ke dua itu, Siauw-cut. Terluka oleh serangan Hujan Mencurah!"
Siauw-cut mendelong. Dia kagum bukan main oleh keterangan itu, dan Kun Seng yang melihat anak ini terpaku tak habis herannya sudah menepuk pundak si bocah sambil tertawa. "Anak bodoh, apalagi yang kau lihat?"
Siauw-cut sadar. "Ah, aku terkesima oleh tiga jurus ilmu silatmu, locianpwe. Bagaimana bisa menjadi begitu hebat?"
"Ha-ha, tentu saja dengan latihan bertahun-tahun, Siauw-cut. Kiramu demikian mudah mempelajari ilmu ini? Dan aku masih punya empat jurus simpanan lagi, anak bengal. Kelak boleh kau pelajari kalau kau suka!"
Siauw-cut terkejut. "Masih ada empat jurus lagi, locianpwe? Jadi semuanya..."
"Ya, semuanya tujuh jurus, Siauw-cut," kakek itu memotong. "Tapi untuk mendapatkan ini semua dibutuhkan waktu tidak kurang dari sepuluh tahun!"
Siauw-cut tertegun. "Demikian lama, locianpwe?"
"Apanya yang lama? Kau kira orang berlatih silat cukup satu dua hari?" kakek itu bersungut. Tapi akhirnya tertawa dan mencengkeram pundak anak ini, menyuruhnya memungut ranting. "Sekarang kau yang ganti berlatih, Siauw-cut. Ambil ranting itu dan mulailah tiru segala gerakan-gerakanku tadi...!"
Siauw-cut menarik napas. Dia mulai gembira mendapatkan pelajaran ini, ilmu silat ranting yang dirasanya hebat dan mentakjubkan. Maka memungut dan memegang ranting di tangan kanan diapun mulai berseri memandang laki-laki tua itu. "Locianpwe, aku tak hapal seluruh gerakanmu. Kau berilah petunjuk dan ingatan kepadaku. Bagaimana caranya?"
Kakek ini melangkah maju. "Kau harus melakukau sikap pertama, Siauw-cut. Berjungkir balik dulu dengan ranting menunjang tubuh. Kau bisa melakukannya?"
Siauw-cut mengangguk. "Akan kucoba, lo-cianpwe..." lalu begitu dia menekan ranting tiba-tiba anak ini melompat ke atas dan... berjungkir balik seperti laki-laki tua itu. Berhasil! "Ah, aku mampu melakukannya, locianpwe!" Siauw-cut bersorak. "Tapi tenagaku bergetar di dalam perut..."
Kakek ini tertegun. Dia tak menduga anak itu mampu melakukannya dengan sekali coba, menekan ranting dengan tubuh jungkir balik di udara, masih bergoyang tapi sudah cukup baik. Bahkan terlampau baik untuk anak yang sama sekali belum pernah belajar silat! Dan mendengar Siauw-cut bicara tentang tenaga yang bergetar di dalam perutnya tiba-tiba kakek ini terbelalak dan teringat cerita anak itu sendiri tentang latihan tenaga dalam yang dipelajarinya dari Bu-beng Sian-su. Itulah getaran sinkang yang mulai bekerja, yang membuat anak ini berhasil dalam pembukaan jurus pertama Tit-te-pai-seng! Maka laki-laki tua yang terkejut serta gembira itu sudah cepat memberi petunjuk.
"Baik, sekarang pecah kekuatan di pergelangan tanganmu itu pada tiga tempat. Siauw-cut. Salurkan tenaga pada kedua ujung jari kaki dan biarkan yang di pusar bergolak!"
Siauw-cut menurut. Dia merasa dengan jungkir balik seperti itu tiba-tiba ada dorongan hawa yang bergerak di perutnya, hawa sakti yang masih belum dikenalnya. Tapi ketika si kakek mulai memberi petunjuk-petunjuk dan dia melakukan apa yang diperintahkan kakek ini tiba-tiba gelombang hawa yang bergolak di perutnya itu mendadak "berjalan"! Siauw-cut hampir tertawa oleh keadaan yang dirasanya aneh ini, geli seperti ada kucing merayap di perutnya.
Tapi ketika Kun Seng membentak dan menyuruh anak itu bersikap serius, Siauw-cutpun menahan diri. Ada rasa sakit kalau dia tertawa, mungkintenaga sinkang itu menyeleweng tak terkendali karena konsentrasinya hilang. Tapi begitu dia mulai mengikuti petunjuk-petunjuk kakek ini tiba-tiba ranting yang ada di tangannya bergetar hebat.
"Nah, sekarang kau bisa mulai, Siauw-cut. Lakukan gerak ke depan dan tusuk udara lima kali berturut-turut. Balikkan tubuh dan dorong tangan kiri ke depan!"
Siauw-cut mengikuti. Dia mengeluarkan bentakan pendek, sesuai perintah kakek itu. Lalu begitu menekan ranting dan berjungkir balik di atas tanah sekonyong-konyong ujung rantingnya sudah menusuk udara lima kali berturut-turut dengan cepat. Gerakannya masih kaku, tapi suara bercuitan yang tiba-tiba muncul begitu dia menggerakkan ranting sudah membuat kakek ini terkesiap dan melompat mundur. Kaget!
"Ah, putar tubuhmu. Siauw-cut. Tusuk sekarang yang di sebelah belakang...!"
Siauw-cut menurut. Dia mengikuti aba-aba kakek itu, dan begitu, menggerakkan ranting menyerang udara maka suara bercuitanpun semakin tajam terdengar! Dan ini membuat Kun Seng memberi aba-aba berikut.
"Dan sekarang serang sebelah kanan. Siauw-cut...!"
Lalu ketika anak itu menyerang sebelah kanan tiba-tiba dengan bentakan mengejutkan kakek ini membanting kakinya. "Sekarang putar ke kiri, Siauw-cut. Kerahkan semua tenagamu!"
Siauw-cut tersentak. Dia kaget oleh bentakan tiba-tiba itu, juga bantingan kaki yang membuat tanah tergetar. Maka lepas kontrol oleh semuanya ini tiba-tiba dia tak dapat mengendalikan dirinya lagi. Tubuh yang diputar ke kiri secepat kilat sudah disusul tusukan bertubi ke sasaran kosong, udara di sebelah kirinya. Dan begitu terpengaruh bentakan si kakek untuk mengerahkan semua tenaganya tiba-tiba ranting yang ada di tangannya tak kuat menahan remasan jari yang tiba-tiba keras bagai jepitan baja!
"Krek.. pletak...!"
Siauw-cut tertegun. Dia melihat rantingnya patah menjadi tiga potong, tak dapat dipakai lagi untuk melakukan serangan. Dan sementara dia terbelalak oleh kejadian ini tahu-tahu tubuhnya kehilangan keseimbangan dan terguling roboh dengan tangan masih mendorong ke depan.
“Bluk” Siauw-cut mengeluh. Dia kesakitan menimpa batu di sebelan kirinya, mengenai pantat hingga dia meringis. Tapi Kun Seng yang tertawa bergelak oleh latihan pertama ini sudah melayang ke depan menyambar anak itu.
"Siauw-cut, luar biasa sekali. Kau telah memiliki tenaga sinkang yang mentakjubkan di dalam dirimu. Hayo bangun..."
Siauw-cut mendelong. "Apanya yang mentakjubkan, locianpwe? Masa jatuh begini kau bilang luar biasa?"
Kakek itu tertawa. "Jangan kecewa, anak bodoh. Justeru dari latihan pertama ini kutahu apa yang harus segera kau lakukan. Hayo, bangkit lagi dan lanjutkan dengan jurus-jurus berikutnya!" dan laki-laki tua yang tampak gembira itu sudah mematahkan sebuah ranting baru untuk diberikan kepada anak laki-laki itu.
Siauw-cut mau mengomel. Tapi melihat kakek ini bersungguh-sungguh dan memandang penuh kegembiraan kepadanya maka diapun terpaksa menahan diri dan tidak banyak bicara lagi. Apalagi ketika kakek itu mengingatkan datangnya si Golok Hitam, yang dikata tak lama lagi muncul. Maka Siauw-cut yang sudah disuruh mengulang jurus pertama dari ilmu ranting ini segera memulainya dan bersungguh-sungguh, tak banyak cakap lagi.
Sementara Kun Seng yang bersinar-sinar matanya memberikan petunjuk akhirnya merasa puas setelah melihat Siauw-cut hapal benar dengan jurus pertama itu. Dalam beberapa kali ulangan saja. Tak lebih dari tiga kali. Lalu melanjutkan pada jurus ke dua dan ke tiga tanpa mengenal lelah akhirnya Siauw-cut berhasil menguasai tiga jurus ilmu silat itu dalam waktu tiga jam!
"Nah, sekarang kau berhasil menguasai semuanya, Siauw-cut. Tapi ilmu silat ini masih harus kau latih tanpa mengenal lelah."
"Dan Golok Hitam bisa kurobohkan, locianpwe?”
Kakek ini tertawa. "Tergantung kecerdikanmu. Kalau kau pandai mainkan ilmu silat ini dan tidak terburu-buru tentu perampok itu dapat kau kalahkan!"
Siauw-cut sangsi. Dia tak begitu percaya pada omongan ini, karena dia baru saja mempelajari ilmu itu tak lebih dari tiga jam. Tapi si kakek yang dapat membaca isi hatinya tiba tiba berkata,
"Siauw-cut, jangan kau remehkan ilmu silat ini. Meskipun baru tiga jurus saja, tapi orang-orang macam si Golok Hitam itu dan sebangsanya tak mungkin dapat mengalahkanmu. Kau ingin bukti? Nah, lihatlah. Orang yang kita tunggu-tunggu sudah datang...!"
Lalu begitu kakek ini menudingkan telunjuknya tiba-tiba Siauw-cut mendengar pekik di sebelah utara disusul berderapnya banyak ekor kuda yang mendatangi tempat mereka. Debu mengepul tinggi di udara. Lalu begitu cambuk mulai terdengar menjeletar di udara mendadak limapuluh orang muncul memasuki pintu gerbang dusun!
"Locianpwe, itu si Golok Hitam dan anak buahnya?"
"Ya."
'"Dan mereka mau merampok isi dusun ini?"
"Hm, penduduk dusun sudah kusuruh menyingkir, Siauw-cut. Mereka bersembunyi di dalam hutan di belakang dusun!"
"Lalu apa yang kita lakukan?"
"Menyambut mereka, Siauw-cut. Menghadang agar mereka tak memasuki dusun dan merampok harta milik penduduk!"
Siauw-cut tertegun. Dia melihat rombongan itu sudah datang mendekat, sikapnya liar dan buas sekali, berteriak-teriak. Sementara pemimpinnya yang tinggi besar di atas seekor kuda putih yang lari paling depan tiba-tiba mencabut golok dan di udara dengan sikap menyeramkan, sebuah golok dari besi hitam yang berkilat mengerikan.
"Hei, tua bangka hina. Sudahkah kalian siapkan semua barang yang kami minta? Mana pendudukmu yang lain?"
Kakek ini tak menjawab. Dia menoleh ke kanan, lalu berbisik pada anak laki-laki di sampingnya itu kakek ini berkata, "Dia pemimpin rampok itu, Siauw-cut. Golok Hitam yang ahli mainkan golok. Kau hadapilah dia dan pura-pura tidak tahu apa yang terjadi...!"
"Takk...!" Ceng Bi terkesiap. Pedangnya dengan tepat mengenai kakek itu, menghantam atau menggentak lengan dari samping, keras sekali. Dan Ceng Bi yang mengira kakek itu bakal buntung sikunya dibabat pedang tiba-tiba terbelalak ketika melihat kakek itu sama sekali tak apa-apa, tertawa dan bahkan menggerakkan ujung baju satunya untuk meneruskan serangan yang gagal.
"Yap-hujin, kau hati-hatilah. Ujung bajuku tak mengenal mata...!"
Ceng Bi jadi kaget bukan main. Ia saat itu sedang tertegun, heran dan terkejut melihat kakek ini ternyata kebal pula berkat perlindungan sinkang. Maka melihat ujung baju sebelah kiri menotok pundaknya tiba-tiba nyonya ini nenggulingkan tubuh dan menggerakkan pedangnya menangkis.
"Tak!" kembali Ceng Bi tertegun. Untuk kedua kalinya pedangnya menyambar ujung baju yang luar biasa keras, seperti batu granit! Dan sementara dia menggulingkan diri sambil menangkis tahu-tahu ujung baju si kakek bongkok berobah lemas dan menggubat badan pedangnya, menarik!
"Hujin, robohlah. Lepaskan pedangmu...!"
Ceng Bi tak dapat berlahan lagi. Ia tak kuasa menahan betotan lawan, dan begitu pedang terlepas dan mencelat dari tangannya si kakek-pun sudah tertawa dan menyusuli serangan terakhir, menotok pinggangnya. Tapi Pek Hong yang ada di samping tak tinggal diam. Wanita cantik ini berseru keras, dan persis Ceng Bi terlepas pedangnya iapun menyambarkan rantai ke leher kakek itu seraya menendang temannya.
“Bi-mo, minggir...!"
Ceng Bi terlempar. Ia ditendang Pek Hong tepat ketika si kakek menotoknya, luput dari serangan terakhir itu. Dan berjungkir balik di udara dengan gerak Le-hi-ta-teng langsung nyonya muda ini menyambar pedangnya dan turun dengan muka pucat, berteriak dan menyerang bertubi-tubi membantu Pek Hong yang baru saja menolongnya dari totokan si kakek yang ternyata benar-benar lihai! "Enci Hong, hati-hati. Si bongkok ini besar-benar hebat...!"
Pek Hong mengangguk sebagai jawaban. Ia memang tahu bahwa lawan mereka lihai sekali, tak boleh diremehkan. Maka membentak dan mengayun-ayun rantai peraknya nyonya muda ini sudah kembali menyerang bersama Ceng Bi, temannya yang hampir saja roboh itu. Dan Bubeng Siauw-jin yang tertawa oleh serangan dua orang nyonya itu sudah berseru,
"Dan kalian waspadalah, ji-wi hujin. Benar-benar sebelum duapuluh jurus aku akan merobohkan kalian!"
Pek Hong dan Ceng Bi memutar senjata. Mereka tetap menyerang gencar, hanya kini berganti-ganti untuk menjaga dan melindungi yang lain. Kalau terjadi lagi keadaan yang buruk seperti tadi, di mana Ceng Bi hampir pecundang dalam beberapa gebrakan begitu Bu-beng Siauw-jin membalas. Dan dua wanita cantik yang tidak menjawab seruan si kakek bongkok sudah mencecar semakin gencar lawan mereka yang hebat ini.
Tapi Bu-beng Siauw-jin tiba-tiba membuktikan omongannya. Kakek itu tiba-tiba berkelebat ketika dua orang nyonya muda itu menyerangnya berganti-ganti menyerang sekaligus menjaga yang lain dari serangan berbahaya. Dan begitu dia menggerakkan kaki melejit ke kanan kiri, mendadak Pek Hong dan Ceng Bi terkejut. Mereka melihat kakek itu lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan putih yang menyambar mereka. Dan begitu si kakek mengibaskan lengan ke kiri kanan mendadak dia mencengkeram pedang dan rantai Pek Hong berdua!
"Ji-wi hujin, lepaskan senjata kalian...!"
Pek Hong dan Ceng Bi kaget bukan main. Mereka terang tak dapat menyerang lagi, senjatanya dicengkeram lawan. Dan begitu mereka menarik sambil meronta tahu-tahu Bu-beng Siauw-jin menyendal kedua tangannya sambil menarik. Tak ayal, Pek Hong berdua tertarik maju dan sementara mereka terpekik kaget tahu-tahu Bu-beng Siauw-jin menendang lutut mereka hingga terpelanting roboh.
"Dess-dess!" Pek Hong dan Ceng Bi mengeluh tertahan. Mereka terlempar dua tombak, melepas senjata dan menumbuk dinding ruangan, terkejut tapi langsung melompat bangun, berjungkir balik mematahkan daya dorong yang masih menghantam mereka. Tapi Bu-beng Siauw-jin yang rupanya ingin menyelesaikan pertandingan tiba-tiba sudah melompat maju mendahului mereka.
"Ji-wi hujin, sekarang robohlah...!"
Ceng Bi dan Pek Hong membelalakkan mata. Mereka baru saja turun, kaki masih bergoyang. Mana mungkin mengelak atau menangkis? Maka melihat lawan menggerakkan kedua lengannya ke arah mereka Pek Hong maupun Ceng Bi terkesiap. Tak sempat lagi mereka menghindar, tinggal menunggu kekalahan. Tertotok roboh!
Tapi Ceng Han yang tak dapat lagi menunda kesabarannya tiba-tiba berkelebat maju, mendorongkan lengan menerima totokan kakek itu, sekaligus menangkis sambil menjajal kekuatan sendiri! "Locianpwe, jangan tergesa-gesa. Masih ada aku di sini... plak!"
Bu-beng Siauw jin terkejut. Totokan jarinya sudah disambut telapak Ceng Han, menangkis sekaligus mendorong balik serangan terakhir itu. Tapi Bu-beng Siauw-jin yang tertawa ditahan menambah tenaganya dan berseru pendek. Ceng Han merasa kakek itu "memuntir" jarinya, dan begitu jari si kakek bertemu telapak tangannya tiba-tiba dia berteriak keras ketika tangannya tertolak dan terdorong mundur!
"Ah, kau hebat, locianpwe...!"
Kakek itu tertawa. Dia melihat Ceng Han berjungkir balik mematahkan daya dorong dari luncuran tenaga saktinya, berobah mukanya dan mengakui kakek ini benar-benar hebat. Tapi Ceng Han yang sudah mencabut pedang melompat lagi ke depan dengan muka merah. “Hong-moi, Bi-moi, kakek ini benar-benar tidak sombong. Kita boleh mengeroyoknya sekarang...!"
Bu-beng Siauw-jin melempar pedang dan rantai rampasan. "Ya, dan mari kita main-main lagi, ji-wi hujin. Sekarang boleh kita lihat siapa yang kalah di sini. Terimalah!"
Pek Hong dan Ceng Bi cepat menangkap. Mereka tadi melihat betapa Ceng Han tak kuat menahan dorongan sinkang kakek itu. Maka mereka berdua yang gembira serta penasaran oleh kesaktian kakek ini maju ke depan menerjang bersama.
"Baik, kami akan mengujimu untuk yang terakhir kalinya, kakek bongkok. Kalau kau betul dapat mengalahkan kami bertiga aku rela melepas Sin Hong...!"
Bu-beng Siauw-jin tertawa mendengar ucapan Pek Hong ini. Dia sudah melompat ke sana-sini, tidak menggeser kaki lagi seperti semula ketika dia menghadapi nyonya muda itu. Dan Ceng Han bertiga yang sudah mengerubut dengan pedang di tangan serta rantai perak yang menyambar-nyambar dirinya dari segala penjuru sudah disambut kekeh kakek ini yang tampaknya gembira bukan main.
"Baik, kau sudah berjanji, hujin. Aku lebih mantap lagi kalau Sin Hong direstui ibunya...?” kakek itu menunduk, menghindar rantai di tangan Pek Hong yang menyambar kepalanya. Lalu begitu dia memutar tubuh dan menggerakkan kaki kanannya tahu-tahu pedang di tangan Ceng Han dan Ceng Bi ditangkis hingga saling bentur sendiri.
"Trang!"
"Ah, hati-hati, hujin...!"
Ceng Bi mendongkol. Dia marah oleh ejekan kakek itu, yang menyeringai dan sengaja mengejek mereka berdua karena secara "nakal" diselewengkan arahnya hingga saling bentur dengan pedang kakaknya. Namun Ceng Han yang memberi kedipan padanya tiba-tiba melompat ke belakang dan berseru,
"Bi-moi, tak perlu gusar. Serang dia dari depan dan aku di belakang!"
Ceng Bi menurut. Ia melengking memutai pedangnya, lalu begitu bergerak dan menusuk ke depan nyonya muda ini sudah menyerang bertubi-tubi bagian depan tubuh kakek itu, sementara Pek Hong yang juga penasaran dan ingin melihat kesudahan dari pertandingan ini juga menggerakkan rantainya dan mainkan kembali ilmu silat Hong-thian-lo-bai-kunnya itu.
Maka ramailah pertandingan ini. Bu-bengSiauw jin benar-benar dikeroyok tiga, sesuai dengan permintaannya sendiri. Dan Ceng Han serta dua orang temannya yang menggerakkan senjata dari segala arah sudah mengiringi pula serangan mereka dengan pukulan-pukulan tangan kiri. menampar atau mendorong dengan pukulan sinkang. Tapi Bu beng Siauw jin yang bersikap tenang masih tak gugup. Kakek ini melayani mereka dengan baik sekali, menggeliatkan tubuh dan mulai meliuk-liuk bagai naga menari, mengelak dan sekaligus ‘mematuk’ dengan kedua tangannya yang membentuk cengkeraman, atau agaknya mulut naga.
Dan Ceng Han yang melihat ilmu silat kakek ini tiba-tiba berseru, "Sin-liong-hoat (Silat Naga Sakti)...!"
Si kakek tertawa. "Kau agaknya tajam pandangan, anak muda. Kau persis ayahmu yang awas itu!”
Tapi Ceng Han tak menggubris pnjian ini. Dia mulai terkejut ketika si bongkok mengeluarkan ilmu silatnya, Sin-liong hoat yang pernah didengar sebagai milik satu-satunya dari seorang tokoh di Himalaya bernama Wu Tong, tokoh yang katanya tak pernah turun gunung dan dikenal ayahnya pada empatpuluh tahun yang lampau ketika ayahnya mengembara dan menjajal kepandaian orang-orang sakti di pegunungan itu. Maka melihat kakek ini mahir mainkan ilmu Silat Naga Saktinya dan tampak mirip dengan cerita ayahnya tiba-tiba Ceng Han tercekat dan membelalakkan matanya.
"Locianpwe, kau kakek bernama Wu Tong itu?"
Bu-beng Siauw jin terbahak. Dia terkejut mendengar seruan itu, sekejap saja. Karena kakek yang sudah tertawa bergelak sambil menggoyang tubuh menangkis ke sana ke mari semua serangan senjata sudah mengelebatkan tubuhnya dan bersikap tawar terhadap pertanyaan ini, acuh tak acuh. "Aku lupa namaku sendiri, orang muda. Tak tahulah siapa Wu Tong itu!"
Ceng Han melenggong. Dia melihat kakek itu tampaknya tak suka membicarakan tokoh ini. Dan maklum tak ada gunanya menduga-duga siapa lawannya itu maka Ceng Han kembali pada persoalan semula dan menyerang kakek itu. Mereka bertiga kembali terlibat pertempuran sengit, dan ketika satu saat si kakek melayani pedang dan rantai Pek Hong yang menyambar di depan sekonyong-konyong Ceng Han membentak dan menusukkan pedangnya ke punggung kakek itu, membarengi dorongan telapak kirinya yang menghantam tengkuk si Naga Bongkok!
"Locianpwe, awas...!"
Si kakek bongkok mendengus. Dia tahu serangan dibelakang ini, terbukti daun telinganya bergerak mendengar desir angin serangan. Tapi Bu-beng Siauw-jin yang rupanya ingin membuat kejutan tak mengelak atau menangkis serangan itu, hal yang membuat Ceng Han terkejut. Dan sementara Bu beng Siauw jin mendengus oleh seruan itu tahu-tahu kedua lengannya sudah menolak pedang dan rantai di tangan Pek Hong berdua, tentu saja dengan dorongan sinkang, membuat dua nyonya muda itu terpekik ketika senjatanya mencelat, lepas dipukul runtuh Bu-beng Siauw-jin. Dan begitu pedang dan rantai terlempar dari tangan pemiliknya saat itu juga tusukan dan tamparan Ceng Han mendarat di punggung dan tengkuk kakek itu!
"Plak-dess!"
Ceng Han terkejut. Dia juga terpekik oleh gebrakan ini, bukan karena pedangnya mencelat atau terlempar seperti Ceng Bi melainkan karena pedangnya bertemu benda kenyal yang tiba-tiba menarik dan menghisap pedangnya, tak dapat dibetot dari punggung si kakek bongkok. Dan sementara tangan kirinya sendiri sudah mengenai tengkuk lawannya tiba-tiba tangan itu juga tak dapat ditarik ketika bertemu kulit tengkuk yang dingin bagai kulit ular. Melekat!
"Ahh...!" Ceng Han kaget bukan main. Dia merasa telapak dan pedangnya disedot tenaga dingin yang bukan main hebatnya. Tapi baru dia meronta dan mengeluarkan bentakan keras tahu-tahu si kakek bongkok terkekeh dan memutar tubuh. Dengan cepat sekali Bu beng Siauw-jin merampas pedang, lalu begitu kakinya bergerak tahu-tahu tiga orang lawannya sudah ditendang bergantian dan mencelat membentur dinding!
"Des-des-dess..!"
Ceng Han bertiga berteriak. Mereka sama-sama terlempar, tak dapat menguasai diri karena lutut mereka ditotok ujung sepatu lawan. Dan Bu-beng Siauw-jin yang terkekeh dengan suara gembira tiba-tiba menyambitkan pedang rampasannya ke leher Ceng Han.
"Crep." Ceng Han melotot dengan muka pucat. Dia mendengar desing senjata yang mengerikan itu, menyusul tubuhnya yang terbanting di dinding ruangan. Dan begitu dia roboh dengan mata terbelalak tahu-tahu ujung pedangnya sendiri sudah "memantek" leher bajunya di dinding ruangan, Seinci saja di kulit leher!
"Ah...!" Ceng Han terbengong dengan muka berobah.
Dan Ceng Bi serta Pek Hong yang melihat Ceng Han "dipantek" dengan ujung pedang seperti itu hampir berbareng mengeluarkan keluhan tertahan. Dari jauh seolah leher Ceng Han yang disate, maklum pedang demikian dekat dengan kulit leher. Tapi begitu melihat Ceng Han bangkit berdiri dan terhuyung menghampiri si kakek bungkuk dua orang nyonya muda inipun menjadi sadar dan lega. Tahu bahwa si Naga Bangkok tidak bersungguh-sungguh dalam timpukannya itu! Maka Ceng Bi dan Pek Hong yang sudah melompat bangun setelah membebaskan totokan di lutut mereka segera mendekati Ceng Han yang sudah menjura di depan kakek bongkok itu.
"Locianpwe, kau benar-benar hebat. Kami menyerah kalah...!"
Bu beng Siauw jin tertawa. Dia acuh saja mendengar pujian itu, namun lengannya yang melambai ke kiri meminta Sin Hong mendekat padanya. "Kau dengar pengakuan pamanmu, Sin Hong? Bagaimana sekarang dengan ibumu?"
Pek Hong mendahului anaknya, "Aku menepati janji. Bu beng Siauw-jin. Sin Hong rela kulepas menjadi muridmu!"
Sin Hong gembira sekali. Dia sudah melompat maju mendekati kakek itu, yang sungguh tak diduga memiliki kesaktian demikian hebat. Tapi Bu-beng Siauw-jin yang berseri mukanya mendadak menyeringai kecut dan menggerak-gerakkan daun telinganya.
"Hujin, di samping kita berlima siapa lagi yang berada di rumah ini?"
Pek Hong terheran. "Tak ada siapa-siapa lagi, locianpwe. Kenapakah?"
"Hm, kita kedatangan seorang tamu, hujin. Ada seseorang mendatangi tempat kita!"
Semua orang terkejut. Ceng Han sendiri tertegun mendengar kata-kata itu, karena dia tak mendengar sebuah gerakanpun setelah menajamkan telinganya. Tapi baru si kakek bongkok terkekeh dengan muka masam tiba-tiba sesosok bayangan telah muncul di depan pintu, berdiri tanpa diketahui kapan datangnya. Dan begitu semua orang melihat bayangan ini tiba-tiba Ceng Bi dan Pek Hong menghambur maju berteriak gembira,
"Yap-koko...!"
Ternyata yang datang adalah Pendekar Gurun Neraka! Dan Ceng Han yang terkejut melihat ketajaman telinga si Naga Bongkok tiba-tiba bengong dan kagum bukan main, mengakui kehebatan kakek ini yang benar-benar luar biasa. Setingkat dengan ayahnya sendiri!
Tapi Pendekar Gurun Neraka yang sudah ditubruk isterinya mengerutkan kening. Sejenak matanya berkejap gembira memandang Sin Hong, puteranya yang sudah kembali itu. Namun melepaskan diri dari pelukan isterinya pendekar sakti ini sudah melangkah maju dan merangkapkan kedua tangannya, memberi hormat pada orang yang lebih tua. "Locianpwe, kau siapakah dan ada perlu apa datang ke rumah kami?"
Bu-beng Siauw jin terbahak. Dia tadinya kecut mendengar langkah kaki yang ringan dan halus luar biasa menghampiri tempat mereka. Langkah kaki yang hampir saja tak tertangkap oleh telinganya. Tanda seorang tokoh yang benar-benar luar biasa dan memiliki kepandaian tinggi. Dugaannya mungkin Ciok-thouw Taihiap! Tapi begitu melihat bahwa yang datang adalah tuan rumah sendiri yang bukan lain adalah Pendekar Gurun Neraka dan pria itu masih muda tak lebih dari tigapuluh dua tahun tiba-tiba saja kakek ini terkejut dan kagum. Terkejut bahwa pendekar yang namanya dahsyat ini ternyata masih muda dan pantas menjadi anaknya!
Maka Bu-beng Siauw-jin yang kagum serta sudah lama mendengar nama besar laki-laki gagah perkasa ini cepat-cepat membungkukkan tubuh membalas memberi hormat, merangkapkan kedua tangan tapi diam-diam seketika itu juga melakukan serangan, "menguji" kehebatan pendekar ini dalam dorongan sinkang!
"Ah, aku si tua bangka ini Bu-beng Siauw-jin. Pendekar Gurun Neraka. Orang menyebutku si Naga Bongkok dan datang kemari untuk membawa Sin Hong sebagai muridku!"
Bu Kong terkejut. Dia melihat kakek itu tertawa, merangkapkan kedua tangan dan tampak buru-buru membalas hormat. Tapi kesiur angin dingin yang menyambar dadanya dari kepalan tangan si kakek bongkok yang membuat bajunya berkibar membuat pendekar ini mengerutkan alis dan mendorongkan lengannya, seakan menolak tapi sebenarnya menyambut serangan si bongkok itu, maklum bahwa kakek ini ingin "mengujinya"! Maka begitu mendorongkan lengan seolah bersikap sungkan segera Pendekar Gurun Neraka mengebutkan bajunya dengan muka terheran.
“Ah, kau dari Himalaya, locianpwe? Kalau begitu kebetulan sekali, sudah lama aku mendengar namamu... plak!" dan ujung baju Pendekar Gurun Neraka yang bertemu kepalan si kakek bongkok tiba-tiba meledak bagai menepuk pecah sebuah balon! Bu Kong tergetar. Dia melihat kakek itu juga terdorong, membelalakkan mata dan tampaknya tergetar oleh tangkisan ini. Gebrakan sinkang yang membuat masing-masing pihak maklum akan kehebatan lawan.
Tapi Bu-beng Siauw-jin yang rupanya penasaran dan ingin mengulang pukulannya tiba-tiba tertawa dan membengkokkan kaki, memasang kuda-kuda! Lalu, begitu menyeringai dan terbahak gembira mendadak kakek ini mendorongkan lengannya dan menyerang terang-terangan!
"Pendekar Gurun Neraka, kau hebat. Aku mendengar keunggulanmu terhadap mertuamu sendiri, Ciok-thouw Taihiap!" dan si kakek yang sudah merendahkan tubuhnya dengan kedua kaki bengkok ke depan tahu-tahu melempar pukulan sinkang untuk yang kedua kalinya!
Tapi Bu Kong mengernyitkan kening. Dia tetap bersikap tenang oleh pukulan lawan, maklum memang demikian kebiasaan orang-orang sakti yang suka "gatal" menghadapi lawan tangguh. Tapi menekuk siku ke bawah dan melakukan dorongan balasan diapun cepat menyambut pukulan Bu-beng Siauw-jin yang kali ini bertambah hebat dan dingin!
“Locianpwe, maaf. Aku tak berani menerima pujianmu yang berlebihan...!" lalu begitu berseru dan ikut membengkokkan lutut tahu-tahu pendekar ini sudah menerima pukulan lawan lalu menolaknya balik dengan dorongan ke atas.
Tapi Bu-beng Siauw-jin mempertahankan diri. Kakek ini tak tertawa lagi, merasa betapa dorongan yang kuat sekali menghantam dadanya, menekan dan mendesak pukulan sinkangnya yang berhawa dingin. Lalu begitu dua tenaga bertemu di udara tiba-tiba muncul dua macam asap yang berlainan warnanya. Dari arah Bu-beng Siauw-jin muncul asap berwarna putih bagai salju sedang dari pihak Pendekar Gurun Neraka muncul asap Berwarna merah yang mengeluarkan hawa panas.
Tapi kedua-duanya saling dorong, tak mau mengalih, membentuk bulatan lonjong seperti telur angsa. Dan begitu masing-masing menambah kekuatannya untuk mengalahkan lawan mendadak "telur" hawa yang dorong-mendorong ini membengkak. Yang putih semakin besar dan menindih asap merah tapi yang merah membengkak dan menindih asap putih. Kedua-duanya sama kuat, sejenak bertarung di udara. Tapi begitu Pendekar Gurun Neraka membentak dan mengangkat naik tubuhnya tiba-tiba Bu-beng Siauw jin terpekik dan jebol kuda-kudanya, tak dapat bertahan!
"Ah... brakk!" Bu-beng Siauw jin menjejakkan kakinya. Dia langsung berjumpalitan di udara menghindar pukulan dahsyat yang menghantam dirinya itu. Berjungkir balik hingga pukulan lewat di bawah kakinya. Tapi Bu-beng Siauw-jin yang berjumpalitan di atas kepala lawan tiba-tiba menyentikkan jarinya ke telinga Pendekar Gurun Neraka, cepat dan luar biasa sebat membarengi suara hiruk-pikuk akibat runtuhnya dinding ruangan dihantam pukulan sinkang yang membalik. Lalu begitu turun dan saling berhadapan kembali menyeringailah kakek itu ketika dua jarinya menjepit sehelai rambut yang disentil dari telinga Pendekar Gurun Neraka!
"Ha-ha, kau benar-benar mengagumkan. Pendekar Gurun Neraka. Dahsyat sekali tenaga saktimu itu. Pantas kalau Ciok-thouw Taihiap mengakui keunggulanmu...!"
Bu Kong terkejut. Dia melihat jari telunjuk dan tengah kakek ini menyentil-nyentil rambut telinganya yang berhasil disambar, kaget bahwa kakek itu dapat bergerak demikian cepat dan luar biasa sekali. Gerakan yang membuat dia terkesiap dan membelalakkan mata. Karena kalau kakek itu tidak menyentil telinganya melainkan menyentil matanya tentu dia buta seketika dan hancur tak tahu apa yang terjadi. Tanda kedudukan mereka saat itu satu-satu! Maka Bu Kong yang segera menghela napas dan memandang kagum kakek ini sudah menjura dan balas memuji lawan.
"Dan kau juga benar-benar hebat, locianpwe. Aku tak berani mengakui kelebihanku di depanmu si orang tua...!"
Bu-beng Sieuw-jin tertawa bergelak. Dia tahu Pendekar Gurun Neraka merendah kepadanya. Maklum, bahwa kalau mereka sudah sama-sama tahu ilmu silat lawan tentu tidak akan sebegitu mudah baginya mencabut sehelai rambut di telinga pendekar itu, yang belum tahu akan kelebihan dan kekurangan lawan. Tapi gembira bahwa pendekar ini ternyata bukan seorang sombong dan bicara jujur maka Bu-beng Siauw-jin pun merasa bangga dan puas bukan main.
"Dan kau benar-benar juga mengagumkan hatiku, Pendekar Gurun Neraka. Sinkangmu hebat dan terus terang aku si tua bangka ini tak berani mengakui kelebihanku di depanmu!"
Bu Kong tersenyum pahit. Dia melihat si Naga Bongkok itu sudah menyambar Sin Hong, lalu memandang mereka semua kakek ini melanjutkan seruannya, "Dan bagaimana sekarang dengan maksudku, Pendekur Gurun Neraka? Boleh dia kubawa sebagai muridku?'"
Untuk ini Pendekar Gurun Neraka tak segera menjawab. Dia tak tahu duduk persoalannya, mengerutkan alis sedikit tidak senang. Tapi Sin Hong yang sudah melompat ke depan tampil bicara, "Aku akan menepati janjiku, ayah. Aku kalah bertaruh dengan kakek ini!"
"Hm, soal apa, Hong-ji?" sang ayah terheran.
"Soal kong-kong!"
"Soal kong-kong?" Pendekar Gurun Neraka mengangkat keningnya, terbelalak tapi juga terkejut. Dan belum dia bertanya si Naga Bungkuk pun sudah tertawa menjelaskan duduk persoalannya.
"Ya. soal Ciok-thouw Taihiap, Pendekar Gurun Neraka. Betapa ayah mertuamu itu pilih kasih dan berat sebelah terhadap Sin Hong!"
Bu Kong terkejut. "Ada apa dengan ayah mertuaku itu, locianpwe? Kau tidak melempar fitnah di sini?"
"Ha-ha si tua bangka ini jelek-jelek bukan tukang fitnah, Pendekar Gurun Neraka. Gak-humu (ayah mertua) itu memang tak dapat dibenarkan sikapnya. Dia bertindak tidak adil terhadap dua orang cucunya sendiri!"
Bu Kong semakin terkejut. Tapi Ceng Bi yang sudah maju ke depan memberikan penjelasan yang membuat pendekar ini terheran-heran, “Ya, ayah bertindak berat sebelah pada Sin Hong, koko. Ayah tak adil terhadap dua orang cucunya sendiri!"
"Soal apa?"
"Soan-hoan-ciang. Dia memberi pelajaran ilmu silat itu pada Bi Lan tapi tidak pada Sin Hong. Dan akibatnya seperti sekarang ini, Sin Hong sakit hati pada kakeknya sendiri karena perbuatan ayah yang tidak adil!"
"Ah!" Pendekar Gurun Neraka berseru pendek. "Jadi karena itu Sin Hong lalu kalah bertaruh, Bi-moi? Tapi siapa yang mengetahui Bi Lan mendapat pelajaran dari kakeknya?"
Bu-beng Siauw-jin maju sambil tertawa. "Aku yang mengetahui hal ini, Pendekar Gurun Neraka. Gak-hu mu itu kulihat secara diam-diam mewariskan ilmu barunya di kamar Bi Lan!"
"Begitukah, Bi Lan?" Pendekar Gurun Neraka memandang puterinya, terkejut dan tidak enak bahwa diam-diam ayah mertuanya mempunyai sebuah ilmu baru. Ilmu silat yang tentu dipersiapkan untuk seseorang. Mungkin untuk dirinya sendiri semenjak ayah mertuanya itu kalah dan penasaran pada sepuluh tahun yang lalu.
Dan Bi Lan yang tak dapat memungkiri pertanyaan ini sudah menganggukkan kepalanya sambil terisak. "Ya, kong-kong yang mengajarkan padaku ilmu silat itu, ayah. Aku tak berani bilang karena kong-kong melarang dan mengancam!"
Pendekar ini tertegun. Dia melihat Bi Lan sudah menangis dipelukan ibunya, takut dan khawatir dimarahi. Sementara Ceng Han yang merah mukanya tampil ke depan dan menarik napas panjang.
"Yap-twako, aku sendiri menyesal mendengar ini semuanya. Tapi percayalah aku dan Bi-moi akan menegur ayah untuk ketidakadilannya ini karena bagaimanapun juga ayah melanggar garis kebenaran!"
Tapi Pek Hong menolak halus, "Tak usahlah, saudara Ceng Han. Kupikir bahwa apa yang dilakukan ayahmu pasti ada sebab-sebabnya!"
"Hm, tapi apapun sebabnya tak pantas hal itu dilakukan ayah, adik Hong. Karena anakmu juga berarti anak adikku, berarti juga cucu ayah yang tidak boleh dipandang berat sebelah!"
Pek Hong masih membantah, "Tapi mungkin ilmu silat itu lebih tepat untuk Bi Lan. Han-twako. Karena Soan-hoan-ciang mungkin lebih tepat untuk perempuan daripada laki-laki!"
"Hm, bagaimanapun juga aku tetap tidak puas, adik Hong. Akan kutanyakan pada ayah, kalau kemungkinan itu ada!''
Bu-beng Siauw-jin tiba-tiba menyela, "E-eh, sudahlah, orang-orang muda. Yang jelas maksudku tak ada yang menghalangi, bukan? Atau si tua bangka ini masih harus menghadapi sebuah ujian lagi?" kakek itu menyeringai, melirik Pendekar Gurun Neraka dan bersiap-siap menghadapi pertempuran. Kalau pendekar itu menolak!
Tapi Pendekar Gurun Neraka yang seketika muram mukanya dan masih terkejut oleh berita baru ini sudah mengulapkan lengannya. “Kalau Sin Hong sudah berjanji padamu aku tak akan menolaknya, locianpwe. Tapi bagaimana pendapat ibunya harap kau tanyakan dulu!"
'Wah, kau membiarkan aku membawa anakmu sedemikian gampang, Pendekar Gurun Neraka?"
"Karena ikatan janji, locianpwe. Dan aku tak akan membiarkan anakku menarik janji atau menjilat ludah sendiri kepadamu si orang tua!"
Bu-beng Siauw jin tertawa bergelak. "Pendekar Gurun Neraka, kau tak sangsi pada ilmu kepandaianku? Bagaimana kalau Sin Hong kukecewakan?"
"Hm, dari gebrakan tadi cukup kuketahui sampai di mana ilmu kepandaianmu, locianpwe. Kau boleh melatihnya ilmu silat tapi beri pula kesempatan padaku untuk kelak melatihnya pula mewarisi ilmu silat keluarga!"
Bu beng Siauw-jin mendecak kagum. "Pendekar Gurun Neraka, kau benar-benar mengagumkan sekali. Baru kali ini aku si tua bangka mendengar orang bicara jujur tentang ilmu silat orang lain. Baiklah, aku tak akan mengecewakan anakmu. Sin Hong sengaja kubawa untuk mewarisi ilmu silat ciptaanku guna menandingi Soan-hoan-ciang Pendekar Kepala Batu, ha-ha...”
Pendekar Gurun Neraka mengerutkan alis. "Kau hendak mengadu anakku dengan kakeknya, locianpwe?”
"Ha, jangan salah paham, Pendekar Gurun Neraka. Yang akan kuadu adalah ilmu silatnya. Bukan orangnya!"
"Lalu kalau begitu kapan Sin Hong akan kau bawa kembali?"
"Sepuluh tahun. Pendekar Gurun Neraka. Demikian isi perjanjian kami berdua!"
Pendekar Gurun Neraka terkejut sejenak. Dia melihat Sin Hong tersipu memandang mereka, bingung tapi juga gembira. Tapi begitu dia menganggukkan kepalanya sekonyong-konyong Bu-beng Siauw-jin menjejakkan kakinya menerobos keluar.
“Pendekar Gurun Neraka, terima kasih. Aku tak akan mengecewakan kau dan isterimu. Selamat tinggal!" dan Bu beng Siauw-jin yang tiba-tiba lenyap dari ruangan itu sudah tertawa bergelak di bawah gunung.
Mereka semua terbengong. Tapi Pek Hong yang mengejar keluar berteriak lemah, "Hong ji, hati-hati. Jaga dirimu baik-baik, nak...!"
Dan di bawah gunung terdengar seruan Sin Hong, "Aku akan mengingat nasihatmu, ibu. Terima kasih...!" dan semua orang tertegun.
Mereka tak melihat lagi bayangan si kakek bongkok dan Sin Hong. Tapi Bi Lan yang rupanya paling terpukul oleh kejadian ini tiba-tiba meloncat turun gunung, mengejar Sin Hong sambil menangis!
"Hong-koko, maafkan aku... aku tak setia sebagai saudara...!"
Ceng Bi kaget. Ia melihat Bi Lan tiba-tiba seperti anak bingung, meluncur dan jatuh bangun di semak-semak belukar dalam usahanya mengejar Sin Hong. Tepi belum sang ibu mencegah anaknya tahu-tahu Pek Hong sudah mendahului berkelebat ke depan.
"Lan-ji, kembali. Kakakmu tak apa-apa...!"
Bi Lan masih nekat. Dia nubras-nubras tak keruan, jatuh bangun dan memanggil-manggil kakaknya. Tapi Pek Hong yang sudah menyambar anak ini melayang berjungkir balik kembali ke tempat semula. Tapi begitu ia menyerahkan anak ini pada ibunya mendadak Bi Lan lunglai dan... pingsan di pondongan Ceng Bi.
"Ah, Bi Lan terpukul jiwanya, Bi-moi. Kau bawa dia ke dalam dan istirahatkanlah!"
Ceng Bi mengangguk. "Ya, dan kau maafkan aku, enci Hong. Gara-gara ayah semuanya ini terjadi!"
"Ah, sudahlah. Semuanya sudah lewat, Bi-moi. Bagaimanapun Sin Hong mendapat guru yang dapat diandalkan."
Ceng Bi mencium pipi madunya. Ia terisak dan terharu melihat keadaan encinya ini, tapi Bi Lan yang membutuhkan perawatan segera dibawa ke dalam dengan muka muram. Sementara Ceng Han yang tak enak hatinya oleh kejadian itu tiba-tiba membungkukkan tubuh di depan Pek Hong.
"Adik Hong, maafkan kejadian ini. Aku benar-benar menyesalkan sekali perbuatan ayah. Aku akan kembali dan menegurnya setelah Yap-twako datang melindungimu. Tugasku sudah selesai!"
Pek Hong terkejut. "Kenapa buru-buru, Han-twako? Biar kau di sini dulu. Tak perlu masalah itu kau lanjutkan pada Souw-locianpwe!"
"Hm, tapi gara-gara perbuatannya kau sampai berpisah dengan anak, adik Hong. Bagaimanapun aku jadi malu kepadamu!"
"Ah, tapi ini persoalan kecil, Han-twako. Bagaimanapun aku tak merasa tersinggung oleh semuanya ini."
“Tidak, aku tetap akan pulang, adik Hong. Aku tak enak oleh perbuatan ayah!" lalu menghadapi Pendekar Gurun Neraka Ceng Han sudah menjura penuh sesal. "Yap-twako, maafkan aku. Bagaimanapun juga aku harus kembali setelah kau datang. Kuharap tak ada sesuatu yang menyulitkanmu setelah bertemu dengan sri baginda. Tapi kalau ada apa-apa beritahulah aku. Aku siap membantumu!"
Pendekar ini mengangguk. "Baiklah, saudara Ceng Han. Tapi aku setuju dengan pendapat isteriku. Sebaiknya tak perlu kau menegur ayahmu untuk urusan ini. Gak-hu tentu punya alasan sendiri yang mungkin tidak kita ketahui."
"Hm, tapi bagaimanapun juga ayah membuat aku malu, Yap-twako. Keras atau lunak aku tetap akan menegurnya. Sudahlah, biarkan aku pergi dan selamat tinggal...!" dan Ceng Han yang sudah memutar tubuhnya tiba-tiba menjejakkan kaki berkelebat lenyap. Dia tak mau lagi membicarakan persoalan ini, dan Pek Hong yang menarik napas oleh sikap kakak iparnya itu berseru nyaring, "Han-twako, salamku untuk adik Cui Ang di rumah...!”
Ceng Han mengangguk. Dia mengucap terima kasih, lalu tubuh putera Pendekar kepala Batu yang sudah meluncur turun ini tak nampak lagi bayangannya dari atas. Pek Hong dan suaminya termangu, tapi begitu menarik napas dan saling pandang akhirnya Pendekar Gurun Neraka memeluk isterinya yang berlinang air mata ini, teringat Sin Hong! Lalu membawa masuk dengan muka muram mereka berdua sudah menemui Ceng Bi di kamar Bi Lan.
* * * * * * * *
Siauw-cut sudah keluar dari gua di bawah jurang. Mukanya berseri, lenggangnya kian bergaya setelah dia mempelajari ilmu sinkang ‘Menghimpun Seribu Naga’ itu, atau mungkin lebih tepat kalau dikata bahwa dia amat gembira setelah bertemu dengan manusia dewa Bu-beng Sian-su itu. Dan anak yang sudah keluar dari Lembah Cemara untuk memulai perjalanannya ini mencari pendekar pedang berjuluk Bu-tiong-kiam di mana saja dia dapat.
Tapi Siauw-cut mengerutkan kening. Kalau tidak bertanya kepada seseorang mana mungkin dia dapat menemui pendekar itu? Maka langkah kakinya yang mantap ketika memasuki sebuah dusun membuat anak ini gembira sekali untuk memulai pencariannya. Tapi Siauw-cut terheran. Dia melihat dusun yang dimasukinya kosong, tak ada seorangpun. Dan sementara dia celingukan ke sana ke mari mendadak seorang laki-laki dilihatnya sedang tiduran di atas akar sebuah pohon, menutupi mukanya dengan sebuah caping bambu.
"Eh, lopek, kenapa dusun ini sepi? Kemana penduduknya yang lain?" Siauw-cut sudah menghampiri laki-laki yang tiduran ini dengan pertanyaannya yang nyaring, membangunkan orang tak dikenal itu dengan suara lantang.
Tapi si laki-laki bercaping yang tampaknya tidur menikmati hembusan angin yang sejuk menyegarkan tak mendengar pertanyaan itu. Dia tidur tak bergerak, seakan mati. Dan Siauw-cut yang mendongkol oleh seruannya yang tak mendapat jawaban tiba-tiba menepuk pundak laki-laki itu dengan keras.
"Lopek, bangun! Kenapa dusun ini sepi?"
Laki-laki itu terkejut. Dia menggeliat, mengeluarkan keluhan perlahan seperti orang mengigau, tapi tidak bangun. Dan Siauw-cut yang gemas oleh sikap orang tiba-tiba merenggut caping yang menutupi muka itu lalu membentak, "Lopek, kau tuli? Kau... ah...!"
Siauw-cut tertegun. Dia langsung menghentikan seruannya itu, terbelalak dan tiba-tiba mundur selangkah melihat muka orang yang sudah tidak tertutup caping lagi. Lalu begitu sadar dan mengenal orang yang tiduran ini mendadak Siauw-cut membuang caping dan mengomel, "Locianpwe, kau kiranya? Kenapa kau ada di sini?”
Laki-laki itu melompat bangun. Dia terkekeh, mengejap-ngejapkan mata melihat kehadiran bocah ini. Tapi melihat Siauw-cut memandangnya tak senang laki-laki itupun berseru, "Wah, kenapa marah kepadaku, Siauw-cut? Siapa yang mulai datang mengganggu?"
Siauw-cut membanting kakinya. "Kau menguntitku lagi, locianpwe? Kau tak ingat janjimu padaku?"
Laki-laki ini tertawa. Dia bukan lain adalah Kun Seng, kakek yang dulu bertemu di kuil Tee-kong-bio itu. Dan melihat Siauw-cut membanting kakinya dengan marah diapun memungut caping dan menepis-nepis pakaiannya. "Anak baik, sabar dulu. Siapa yang menguntitmu dan siapa pula yang melupakan janji? Aku tidak menguntitmu. Aku sudah ada di dusun ini sebelum kau tiba!"
Siauw-cut tertegun. Dia melihat kakek itu benar-benar, tak dapat dibantah. Maka tersenyum melunakkan sikap diapun mendekati laki-laki tua ini, membantu membersihkan pakaiannya dari debu tapi masih mengomel, "Baik. kau memang lebih dulu di sini daripada aku, locianpwe. Tapi kenapa kau datang ke tempat yang justeru hendak kudatangi? Bukankah kau sengaja hendak bertemu kembali?"
"Wah-wah, omongan apa ini, Siauw-cut? Kenapa menuduhku seperti itu? Siapa yang sengaja hendak menemuimu?"
Siauw-cut menjengek. “Kau berkepandaian tinggi, locianpwe. Tentu mudah mengetahui jejakku dan pura-pura ketemu!"
Si kakek mengerutkan kening, kali ini tidak senang. "Siauw-cut, jangan anggap begitu rupa kepadaku. Meskipun kuakui aku senang padamu tapi jangan kira aku suka menjilat ludahku sendiri. Aku menunggu seseorang, karena itu aku datang ke sini!"
"Hm. siapa locianpwe?"
"Si Golok Hitam, raja rimba yang mengancam keselamatan penduduk dusun!"
"Ah, seorang perampok, locianpwe?"
"Ya."
"Dan kau akan melawannya?"
"Bukan melawannya tapi menghajarnya, Siauw-cut. Si Golok Hitam itu sudah berkali-kali memeras dan merampok rakyat jelata!"
Siauw-cut tertegun. Untuk kedua kalinya dia melihat kegagahan pada kakek ini, pertama di kuil Tee-kong-bio dulu yang mengubur mayat para tosu dan yang kedua kalinya adalah sekarang ini, membela penduduk dusun dari keganasan seorang perampok! Maka Siauw-cut yang tertarik hatinya segera menjadi gembira. "Dan kau akan menghadapinya seorang diri, locianpwe? Dia tidak berkawan?"
"Hm, si Golok Hitam punya lima puluh anak buah, Siauw-cut. Tapi aku akan menghajar semua tikus-tikus busuk itu sampai tobat!"
"Seorang diri?"
Si kakek bersinar. "Kenapa kau tanyakan ini? Kau mau membantu aku?"
Siauw-cut tertawa. "Kau tahu aku tak pandai silat, locianpwe. Tapi berkat jasamu aku telah bertemu dengan Bu-beng Sian-su. Aku akan coba-coba menghajar si Golok Hitam itu dengan ilmu baruku!"
Si kakek terbelalak. "Kau bertemu kakek dewa itu? Apa yang kau pelajari?"
"Ilmu tenaga dalam, locianpwe. Sian-su bilang aku dapat sekuat seribu ekor naga kalau tekun melatih ilmu ini!"
"Ah, dan berapa lama kau telah melatih ilmu itu?”
Siauw-cut agak merah mukanya. "Baru seminggu, locianpwe. Tapi hasilnya telah dapat kurasakan!”
Si kakek tertawa bergelak. "Ha-ha, mana bisa latihan seminggu dipakai melawan si Golok Hitam, Siauw-cut? Kau bodoh kau tak tahu tingginya langit dalamnya bumi. Golok Hitam tak dapat dilawan dengan ilmu barumu kalau mentah seperti itu...!"
"Tapi aku akan mencobanya, locianpwe. Aku percaya kesaktian Bu-beng Sian-su yang dapat berjalan di udara!"
"Hm, tapi itu Bu-beng Sian-su, anak bodoh. Dia sendiri sudah puluhan tahun melatih ilmunya hingga mencapai kesaktian demikian tinggi. Mana mungkin kau menandinginya dengan cara begini? Si Golok Hitam pasti akan merobohkanmu sebelum kau menyerang!"
Siauw-cut tersinggung. "Tapi aku tidak takut, locianpwe. Aku akan mencoba dan mempraktekkan ilmu dari kakek dewa itu!"
"Benar, tapi ilmu yang kau dapat bukan ilmu silat, Siauw-cut. Ilmu itu hanya ilmu tenaga dalam yang khusus melatih kekuatan jiwa atau pernapasan! Kau diajar melatih napas, bukan?"
"Ya."
"Nah, itu belum dapat dipergunakan untuk bertempur, Siauw-cut. Karena untuk bertanding yang dipergunakan adalah ilmu silat, teknik memukul atau menangkis pukulan."
"Jadi kalau begitu ilmu tenaga dalam ini tak berguna?"
"Hm, tentu saja berguna, anak bodoh. Tapi pengetrapannya dalam pertandingan membutuhkan suatu teori, tehnik yang kita atur sedemikian rupa hingga ilmu silat dan ilmu tenaga dalam dapat kita satukan untuk memperoleh kemenangan."
Siauw-cut agak kecewa. Dia merasa "direndahkan" ilmu yang dia peroleh dari Bu-beng Sian-su itu. Namun lelaki tua yang mengelus jenggot pendeknya ini tertenyum. "Siauw-cut, jangan kecil hati. Aku tidak bermaksud merendahkan ilmu tenaga dalammu itu. Tapi betulkah kau bersungguh-sungguh hendak membantuku melawan si Golok Hitam?"
Siauw-cut terlanjur mendongkol, "Aku tak bersemangat lagi sekarang, locianpwe. Biarlah kau saja yang menghadapi si Golok Hitam itu dan aku menonton di pinggir!"
"Wah, kau ngambek?"
Siauw-cut merengut.
"E-eh, jangan begitu, anak baik. Aku tak bermaksud melukai hatimu. Sudahlah, bagaimana kalau kubayar kesalahanku ini dengan sebuah pelajaran darurat?"
"Apa maksudmu?"
"Kau bantu aku menghadapi si Golok Hitam itu, Siauw-cut. Tapi pelajari dulu tiga jurus ilmu silat rantingku ini."
"Ilmu silat ranting?"
"Ya, mempergunakan ranting saja tak perlu pedang! Kau setuju, bukan?"
Tapi anak ini menggeleng. "Aku tak ingin mempelajarinya, locianpwe. Toh tentu kalah karena baru saja belajar! Bukankah kau bilang bahwa pelajaran yang baru beberapa hari tak mungkin dipakai menghadapi lawan? Apalagi kalau baru beberapa jam. Tidak. aku tak tertarik pada tawaranmu dan biarlah aku nonton saja di pinggir!"
Si kakek tertegun. "Kalau begitu aku juga tak akan menghadapi Golok Hitam itu, Siauw-cut. Biarlah mereka menghajar dan membunuh aku!"
"Kenapa begitu?”
"Karena kau tak mau memaafkan aku. Tak mau menerima penyesalan si tua bangka ini danmembuat aku kecewa!" kakek itu memutar tubuh, membanting pantatnya dan tiba-tiba telentang lagi dengan caping menutupi mukanya. Marah!
Dan Siauw-cut yang terkejut melihat sikap kakek ini tiba-tiba menarik napas, merasa bahwa dia "kelewatan" terhadap orang tua itu yang bagaimanapun juga selalu bersikap baik padanya sejak perjumpaan mereka pertama kali di kuil Tee-kong-bio. Bahkan kakek inilah yang menyambung lengannya yang patah dan menjadi penunjuk jalan untuk bertemu dengan Bu-beng Sian-su. Kenapa dia kelewatan? Maka Siauw-cut yang sudah maju menghampiri tiba-tiba menyentuh lutut kakek itu, tersenyum kecut dan merobah sikapnya.
"Locianpwe, maafkan aku. Aku tak bersungguh-sungguh membuatmu kecewa..."
Tapi si kakek masih uring-uringan. "Kau tak perlu minta maaf, Siauw-cut. Yang salah adalah si tua bangka tolol ini!"
"Ah, jangan begitu, locianpwe. Kalau mau dibilang salah aku juga ikut bersalah. Kita berdua salah. Sudahlah. Bagaimana dengan ilmu rantingmu itu? Boleh aku lihat?"
Kakek ini membuka capingnya. "Kau hanya mau melihat saja? Tidak mempelajarinya?"
"Hm, kalau itu dapat membantu mengusir Golok Hitam tentu saja aku mau mempelajarinya, locianpwe. Kenapa kau cemberut melulu?" anak ini tertawa.
Dan Kun Seng akhirnya melompat bangun. “Siauw-cut, sialan kau! Kenapa membuat aku harus uring-uringan dulu? Apa memang begitu watakmu sebelun menggoda orang lain?"
Anak ini tertawa lebar. "Locianpwe, jangan naik pitam dulu. Aku tak bermaksud menggoda orang lain ataupun menggodamu. Siapa harus dikata sial? Sudahlah, aku boleh mempelajari ilmu rantingmu itu tapi dengan satu syarat, kau harus membantuku pula mencari seseorang! Kau setuju?"
Kakek ini mengerutkan kening. "Siapa yang kau cari, Siauw-cut? Kenapa kau bersikap seolah menghutangi aku padahal aku yang memberimu ilmu silat?"
"Hm, aku sekedar memuaskan hatimu, locianpwe. Agar kau tak begitu kecewa dengan menerima pelajaran tiga jurus ini. Tapi ini tak bermaksud mengikat kita sebagai guru dan murid, bukan?"
Kun Seng mengangguk, tersenyum masam. "Ya, boleh kau kata begitu. Tapi siapa yang ingin kau cari?"
“Seorang pendekar pedang!"
"Pendekar pedang?"
"Ya."
"Siapa yang menyuruhmu?"
"Bu-beng Sian-su. Kakek itu yang menyuruhku mencari orang ini sebelum aku diangkat sebagai muridnya!"
"Ah, siapa pendekar yang disuruh cari itu, Siauw-cut?"
"Kau mungkin kenal, locianpwe. Julukannya, hm..." Siauw-cut berhenti sebentar. "Julukannya aneh. Katanya berjuluk Bu-tiong-kiam... si Pedang Dalam Kabut!"
Kakek ini berseru tertahan, tampak kaget. "Apa, Siauw-cut? Si Pedang Dalam Kabut?"
"Ya, demikian julukannya, locianpwe. Kau kenal dia?"
Kun Seng tiba-tiba tertawa bergelak. Dia sampai menekan perutnya yang berguncang-guncang, terbahak memandang bocah itu penuh kegelian. Tapi melihat Siauw-cut memandangnya marah tiba-tiba kakek ini menghentikan tawanya, terengah dan menghapus dua butir air mata yang tiba-tiba runtuh di atas pipinya, menyeringai kecut. Lalu menjura dalam-dalam di depan anak ini kakek itu bicara, serak suaranya,
"Siauw-cut, maafkan si tua bangka ini. Aku tak menyangka Bu beng Sian-su menyuruhmu mencari pendekar pedang itu. Tapi tahukah kau apa sebabnya Bu-beng Sian-su menyuruhmu mencari pendekar ini? Apa maksudnya?"
Siauw-cut memandang aneh. "Aku tak tahu, locianpwe. Tapi kenapa kau tertawa bergelak mendengar permintaanku? Kenalkah kau pada jago pedang itu?"
Kakek ini tersenyum pahit, mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya-ya aku kenal jago pedang itu. Siauw-cut... aku kenal baik padanya dan tahu pula di mana dia berada!"
"Ah, kalau begitu kau dapat membantuku, locianpwe?" Siauw-cut menjadi girang.
"Tentu saja, anak baik. Tapi jangan sekarang. Kau tahu aku harus menghadapi si Golok Hitam, bukan?”
"Ya, dan aku juga harus mempelajari ilmu silat rantingmu, locianpwe!" Siauw-cut gembira. “Karena itu boleh kau turunkan sekarang juga kalau kau suka...!"
Kakek ini menyeringai. "Baik, tapi bagaimana kalau urusan ini selesai, Siauw-cut? Artinya bagaimana kau akan mencari pendekar pedang itu? Apakah seorang diri saja setelah kuberi tahu alamatnya?"
Anak ini tertegun. Dia melihat sepasang mata kakek itu menyembunyikan sinar yang aneh, harapan terselubung yang tak diketahui maksudnya. Tapi maklum bahwa di dunia kang-ouw ternyata banyak orang-orang jahat seperti nenek iblis Sin-yan Moli dan lain-lain tiba-tiba hati anak ini tergerak. Dia merasa kakek itu ingin bersamanya, tapi tak mengeluarkan maksudnya karena takut "melanggar" janji. Dan melihat kakek ini tak ada jeleknya menemani dia tiba-tiba Siauw-cut tersenyum.
"Locianpwe, kali ini aku ingin kau temani. Maukah kau bersamaku mencari Bu-tiong-kiam?"
Kakek itu terbelalak. "Kau mengajakku? Kau tak menuduh si tua ini melanggar janjinya?”
"Hm. kau tak melanggar janji, locianpwe," Siauw-cut tertawa. "Kau tidak mengikutiku melainkan aku yang minta agar kau menemaniku!"
"Baik," si kakek berseri mukanya. Tapi belum dia melanjutkan seruannya Siauw-cut buru-buru memotong,
"Tapi itu terbatas beberapa waktu, locianpwe. Artinya jika pendekar pedang itu sudah kutemui maka kita harus berpisah lagi!"
Kakek itu tertawa. "Boleh, Siauw-cut. Aku si tua bangka ini menurut. Tapi kenapakah agaknya kau tak senang lama-lama berada denganku? Tak sukakah kau bersahabat denganku, Siauw-cut?"
"Hm, bukan begitu, locianpwe. Tapi... tapi terus terang saja ada sesuatu yang kutakuti darimu!"
"Eh, apa yang kau takuti? Apakah si tua ini bertampang jahat?" Ku Seng terbelalak, heran memandang anak itu.
Tapi Siauw-cut yang menyeringai gugup berkata bingung. "Tidak... tidak... bukan begitu, locianpwe. Tapi ada sesuatu yang membuat aku serasa terikat denganmu. Nah, inilah yang aku tidak suka dan terus terang aku takut pada bisikan hatiku sendiri!"
Kakek itu terbahak. "Kalau begitu kau menyangkal bisikan hatimu sendiri, Siauw-cut. Sama seperti apa yang kurasakan pula!"
Siauw-cut tertegun. "Apa yang kau rasakan, locianpwe?"
"Seperti dirimu itu. Aku selalu ingin berdekatan denganmu dan terikat seperti hubungan anak dengan ayahnya!"
"Ah...!" Siauw-cut terkejut. Tapi anak ini sudah melengos ke samping. "Locianpwe, tak usahlah kita bicara ini. Bagaimana sekarang dengan pelajaran ilmu silat itu?"
"Hm..." kakek ini sadar. "Kita teruskan, Siauw-cut. Aku akan memberimu contoh untuk mempelajari ilmu silat ini!" lalu melompat ke atas tiba-tiba kakek itu dengan ringan mematahkan sebatang ranting di atas pohon. Kemudian turun dengan muka gembira diapun memberi aba-aba. "Siauw-cut, lihat ke sini. Aku akan memberimu pelajaran tiga jurus silat ranting. Setelah itu boleh kau pergunakan untuk merobohkan si Golok Hitam."
Siauw-cut terbelalak. "Merobohkan si Golok Hitam, locianpwe? Bukankah kau bilang..."
"Ya-ya, tak perlu kau putus omonganku, anak bodoh. Ilmu siiat yang akan kau pelajari ini adalah ilmu silat yang dipergunakan untuk menyerang lawan, menyerang dan menangkis. Lain dengan pelajaran lweekang yang sifatnya pasip itu. Nah, lihat baik-baik. Jurus pertama ini kunamakan Tit-te-pai-seng (Tudingan Bumi Menyembah Bintang), ada empat gerakan yang menjadi pokok dasar dari jurus pertama ini. Yakni mula-mula mengumpulkan seluruh kekuatan di pergelangan tangan kanan lalu memecahnya di tiga bagian masing-masing pada ujung jarikaki kanan dan kiri serta pemusatan tenaga di daerah tan-tian (pusar). Kau telah mempelajari tenaga dalam, bukan? Nah, lihat, aku memberikan contohnya...!"
Dan Kun Seng yang tiba-tiba membentak perlahan tahu-tahu sudah berjungkir balik dengan ranting menekan tanah. Tubuhnya ditunjang batang ranting itu, yang sama sekali tak melengkung oleh berat tubuhnya. Dan Siauw-cut yang terbelalak melihat demonstrasi ini tak tahan untuk mengeluarkan seruan kagum.
"Ah, hebat, locianpwe. Tubuhmu ringan sekali!"
"Hm, jangan memuji. Siauw-cut. Kau pasang mata dan telinga untuk melihat gerakanku." kakek itu malah membentak, menegur anak laki-laki ini dan mulai menggoyang kaki. Lalu begitu dia berseru keras dan menekan rantingnya mendadak kakek ini sudah berjumpalitan di udara menggerakkan rantingnya.
Siauw-cut melihat kakek itu mengelebatkan rantingnya lima kali berturut-turut, menusuk sebatang pohon yang ada di dekat situ. Lalu begitu terdengar suara "cas-cis cas" lima kali tiba-tiba pohon itu mengeluarkan suara berkeratak dan... tumbang dengan lima lubang bekas tusukan ranting!
"Ah...!" Siauw-cut terkejut. "Luar biasa sekali, locianpwe. Hampir tak dapat kupercaya!"
Dan kakek itu sudah berdiri kembali dengan kepala tegak. Dia memutar-mutar rantingnya dengan mulut tersenyum, tertawa kecil melihat mata anak laki-laki ini yang melotot ke depan. Tapi melangkah maju dengan muka berseri kakek itu sudah mengalihkan perhatian Siauw-cut dari pohon yang tumbang kepada gerakan tangannya.
"Itu baru jurus yang pertama, Siauw-cut. Masih merupakan demonstrasi ringan dari ilmu silatku ini. Sekarang lihatlah, aku akan melanjutkannya dengan jurus ke dua dan ke tiga. Jurus ke dua kunamakan Heng-hun-po-uh (Awan Berarak Hujan Mencurah) sedang jurus ketiga kunamakan Bu-tiong-boan-seng (Bintang Bertaburan di Dalam Kabut)!"
Siauw-cut tertegun. "Bu-tiong-boan-seng, Locianpwe? Kenapa mirip dengan nama jago pedang Bu-tiong-kiam itu?"
"Hm, hanya kebetulan sama nama, Siauw-cut. Ilmu silat boleh diberi nama sesuka hati, bukan?" kakek ini mengelak, tertawa kecil dan sejenak terkejut oleh pertanyaan si bocah. Tapi Siauw-cut yang tidak curiga sudah membuatnya terang kembali.
"Nah, sekararg lihat, Siauw-cut. Aku akan melakukan jurus ke dua dan ke tiga ini. Kau perhatikan baik-baik. Pohon di sebelah kiri itu akan kubuat gundul dari atas ke bawah. Daunnya akan kurontokkan sampai habis. Kau lihat, bukan?"
Siauw-cut mengangguk.
"Sekarang pasang mata dan telinga baik-baik. Siauw-cut. Aku akan memulai gerakanku, Awas...!" dan begitu kakek ini membentak pendek sekonyong-konyong tubuhnya berkelebat ke depan. Ranting di tangannya bergerak kembali. Hanya kalau yang pertama menusuk lima gerakan ke atas dan ke bawah adalah kali ini kakek itu menggerakkannya sedemikian cepat membentuk tingkatan besar kecil mirip awan di langit bergelembung naik turun macam bola yang bergumpal-gumpal. Lalu, begitu dia melengking panjang mendadak kakek ini sudah "terbang" di udara menari-nari dengan ranting hitamnya.
"Siauw-cut, ini jurus ke dua Heng-hun-po-uh...!"
Siauw-cut bengong. Dia tak melihat lagi bayangan orang tua itu, berubah bentuknya dalam sinar hitam bagai awan yang memayungi bumi. Naik turun dan berarak melingkari titik pusatnya di tengah. Tapi begitu gumpalan awam ini diiringi bentakan menggeledek yang mengejutkan dari tengah bayangan mendadak gumpalan awan itu meledak. Siauw-cut melihai awan yang bergumpal-gumpal ini sekonyong-konyong pecah, ambyar dan menipis ke pinggir. Lalu begitu ledakan lenyap suaranya tiba-tiba hujan mencurah dari balik gulungan awan hitam ini. Siauw-cut melihat titik-titik kecil yang ribuan jumlahnya, mirip "gerimis" di siang bolong. Dan sementara dia bengong oleh semuanya ini tiba-tiba kakek di dalam bayangan itu berteriak perlahan,
"Dan ini jurus ketiga, Siauw-cut. Bu tiong-boan-seng...!"
Siauw-cut melongo. Dia melihat kakek itu tiba-tiba merobah gerakan, menarik garis silang-menyilang dan sudut-menyudut saling potong dalam gerakan yang luar biasa cepat, mirip bintang di langit menggantikan kedudukan "hujan gerimis" yang kini lenyap entah ke mana. Lalu begitu si kakek melengking tinggi dan berkelebatan cepat di balik gulungan awan hitam mendadak bintang-bintang sudah bertaburan "membungkus" tubuh kakek ini, mencuat dan berpeletikan bagai kembang-kembang api di udara yang berkabut tebal.
"Ah, luar biasa, iocianpwe. Mataku berkunang-kunang...!"
Kakek itu tertawa pendek. Dia melihat Siauw-cut tiba-tiba terhuyung, mengeluh dan kabur pandangannya oleh gerakan "bintang"yang demikian cepat di depan hidungnya. Dan maklum anak itu tak dapat mengikuti lagi semua gerakannya tiba-tiba kakek ini melakukan gerakan terakhir dan berseru keras.
"Siauw-cut, aku menghentikan gerakanku. Lihat...!"
Anak ini terbelalak. Dia terpengaruh benar oleh gerakan kakek itu, tak dapat melepaskan diri dari "bintang" yang bertaburan. Maka ketika si kakek berseru keras dan menghentikan gerakannya tiba-tiba Siauw-cut mengeluh dan jatuh terduduk. Dia terlalu "kaget" oleh gerakan yang tiba-tiba berhenti itu, seakan disentak dari suatu keadaan yang membuatnya terbius. Tak sadar. Maka begitu kakek ini menghentikan gerakannya tiba-tiba Siauw-cut mengeluh dan terbelalak bengong.
Dia melihat bintang-bintang di langit sudah lenyap. Begitu juga kabut tebalnya. Tapi ribuan daun yang tiha-tiba mengelilingi tubuh kakek ini dari segala penjuru membuat Siauw-cut menjublak dan hampirtak dapat bicara. Lalu begitu dia memandang ke kiri di mana sebatang pohon tumbuh tak jauh dari si kakek tua sekonyong-konyong anak ini tertegun ketika melihat bahwa pohon yang dimaksud itu sudah gundul bagai orang yang "dicukur" rambutnya!
"Ah. ini... ini..." Siauw-cut tergagap. "sungguh luar biasa, locianpwe. Sungguh menakjubkan...!" akhirnya Siauw-cut bangkit berdiri dan dapat bicara, memandang kakek itu seperti orang memandang setan, tapi si lelaki tua yang sudah membuang rantingnya mengelus jenggot sambil tertawa lebar.
"Ini terlalu luar biasa karena kau belum dapat melakukannya, Siauw-cut. Kalau kau dapat melakukannya tentu perbuatan ini tak akan kau anggap luar biasa!"
Siauw-cut melenggong. "Tapi ini menakjubkan hatiku, locianpwe. Sungguh tak kunyana ilmumu demikian hebat...!"
"Dan kau suka mempelajarinya?''
Siauw-cut masih terkesima. Dia hanya mengangguk mendengar pertanyaan itu, tapi ketika dengan iseng dia memungut sehelai daun untuk mengetahui lebih lanjut sekonyong konyong tenggorokannya seret. Dia menelan ludah, memandang daun yang ternyata tidak utuh itu karena sudah berlubang-lubang "digigit" ujung ranting, agaknya terluka ketika kakek itu mendemonstrasikan jurusnya yang ke dua, Heng-hun-po-uh. Dan Kun Seng yang tertawa melihat keheranan anak ini menganggukkan kepalanya dengan senyum lebar.
"Ya, berlubang ketika aku mainkan jurus ke dua itu, Siauw-cut. Terluka oleh serangan Hujan Mencurah!"
Siauw-cut mendelong. Dia kagum bukan main oleh keterangan itu, dan Kun Seng yang melihat anak ini terpaku tak habis herannya sudah menepuk pundak si bocah sambil tertawa. "Anak bodoh, apalagi yang kau lihat?"
Siauw-cut sadar. "Ah, aku terkesima oleh tiga jurus ilmu silatmu, locianpwe. Bagaimana bisa menjadi begitu hebat?"
"Ha-ha, tentu saja dengan latihan bertahun-tahun, Siauw-cut. Kiramu demikian mudah mempelajari ilmu ini? Dan aku masih punya empat jurus simpanan lagi, anak bengal. Kelak boleh kau pelajari kalau kau suka!"
Siauw-cut terkejut. "Masih ada empat jurus lagi, locianpwe? Jadi semuanya..."
"Ya, semuanya tujuh jurus, Siauw-cut," kakek itu memotong. "Tapi untuk mendapatkan ini semua dibutuhkan waktu tidak kurang dari sepuluh tahun!"
Siauw-cut tertegun. "Demikian lama, locianpwe?"
"Apanya yang lama? Kau kira orang berlatih silat cukup satu dua hari?" kakek itu bersungut. Tapi akhirnya tertawa dan mencengkeram pundak anak ini, menyuruhnya memungut ranting. "Sekarang kau yang ganti berlatih, Siauw-cut. Ambil ranting itu dan mulailah tiru segala gerakan-gerakanku tadi...!"
Siauw-cut menarik napas. Dia mulai gembira mendapatkan pelajaran ini, ilmu silat ranting yang dirasanya hebat dan mentakjubkan. Maka memungut dan memegang ranting di tangan kanan diapun mulai berseri memandang laki-laki tua itu. "Locianpwe, aku tak hapal seluruh gerakanmu. Kau berilah petunjuk dan ingatan kepadaku. Bagaimana caranya?"
Kakek ini melangkah maju. "Kau harus melakukau sikap pertama, Siauw-cut. Berjungkir balik dulu dengan ranting menunjang tubuh. Kau bisa melakukannya?"
Siauw-cut mengangguk. "Akan kucoba, lo-cianpwe..." lalu begitu dia menekan ranting tiba-tiba anak ini melompat ke atas dan... berjungkir balik seperti laki-laki tua itu. Berhasil! "Ah, aku mampu melakukannya, locianpwe!" Siauw-cut bersorak. "Tapi tenagaku bergetar di dalam perut..."
Kakek ini tertegun. Dia tak menduga anak itu mampu melakukannya dengan sekali coba, menekan ranting dengan tubuh jungkir balik di udara, masih bergoyang tapi sudah cukup baik. Bahkan terlampau baik untuk anak yang sama sekali belum pernah belajar silat! Dan mendengar Siauw-cut bicara tentang tenaga yang bergetar di dalam perutnya tiba-tiba kakek ini terbelalak dan teringat cerita anak itu sendiri tentang latihan tenaga dalam yang dipelajarinya dari Bu-beng Sian-su. Itulah getaran sinkang yang mulai bekerja, yang membuat anak ini berhasil dalam pembukaan jurus pertama Tit-te-pai-seng! Maka laki-laki tua yang terkejut serta gembira itu sudah cepat memberi petunjuk.
"Baik, sekarang pecah kekuatan di pergelangan tanganmu itu pada tiga tempat. Siauw-cut. Salurkan tenaga pada kedua ujung jari kaki dan biarkan yang di pusar bergolak!"
Siauw-cut menurut. Dia merasa dengan jungkir balik seperti itu tiba-tiba ada dorongan hawa yang bergerak di perutnya, hawa sakti yang masih belum dikenalnya. Tapi ketika si kakek mulai memberi petunjuk-petunjuk dan dia melakukan apa yang diperintahkan kakek ini tiba-tiba gelombang hawa yang bergolak di perutnya itu mendadak "berjalan"! Siauw-cut hampir tertawa oleh keadaan yang dirasanya aneh ini, geli seperti ada kucing merayap di perutnya.
Tapi ketika Kun Seng membentak dan menyuruh anak itu bersikap serius, Siauw-cutpun menahan diri. Ada rasa sakit kalau dia tertawa, mungkintenaga sinkang itu menyeleweng tak terkendali karena konsentrasinya hilang. Tapi begitu dia mulai mengikuti petunjuk-petunjuk kakek ini tiba-tiba ranting yang ada di tangannya bergetar hebat.
"Nah, sekarang kau bisa mulai, Siauw-cut. Lakukan gerak ke depan dan tusuk udara lima kali berturut-turut. Balikkan tubuh dan dorong tangan kiri ke depan!"
Siauw-cut mengikuti. Dia mengeluarkan bentakan pendek, sesuai perintah kakek itu. Lalu begitu menekan ranting dan berjungkir balik di atas tanah sekonyong-konyong ujung rantingnya sudah menusuk udara lima kali berturut-turut dengan cepat. Gerakannya masih kaku, tapi suara bercuitan yang tiba-tiba muncul begitu dia menggerakkan ranting sudah membuat kakek ini terkesiap dan melompat mundur. Kaget!
"Ah, putar tubuhmu. Siauw-cut. Tusuk sekarang yang di sebelah belakang...!"
Siauw-cut menurut. Dia mengikuti aba-aba kakek itu, dan begitu, menggerakkan ranting menyerang udara maka suara bercuitanpun semakin tajam terdengar! Dan ini membuat Kun Seng memberi aba-aba berikut.
"Dan sekarang serang sebelah kanan. Siauw-cut...!"
Lalu ketika anak itu menyerang sebelah kanan tiba-tiba dengan bentakan mengejutkan kakek ini membanting kakinya. "Sekarang putar ke kiri, Siauw-cut. Kerahkan semua tenagamu!"
Siauw-cut tersentak. Dia kaget oleh bentakan tiba-tiba itu, juga bantingan kaki yang membuat tanah tergetar. Maka lepas kontrol oleh semuanya ini tiba-tiba dia tak dapat mengendalikan dirinya lagi. Tubuh yang diputar ke kiri secepat kilat sudah disusul tusukan bertubi ke sasaran kosong, udara di sebelah kirinya. Dan begitu terpengaruh bentakan si kakek untuk mengerahkan semua tenaganya tiba-tiba ranting yang ada di tangannya tak kuat menahan remasan jari yang tiba-tiba keras bagai jepitan baja!
"Krek.. pletak...!"
Siauw-cut tertegun. Dia melihat rantingnya patah menjadi tiga potong, tak dapat dipakai lagi untuk melakukan serangan. Dan sementara dia terbelalak oleh kejadian ini tahu-tahu tubuhnya kehilangan keseimbangan dan terguling roboh dengan tangan masih mendorong ke depan.
“Bluk” Siauw-cut mengeluh. Dia kesakitan menimpa batu di sebelan kirinya, mengenai pantat hingga dia meringis. Tapi Kun Seng yang tertawa bergelak oleh latihan pertama ini sudah melayang ke depan menyambar anak itu.
"Siauw-cut, luar biasa sekali. Kau telah memiliki tenaga sinkang yang mentakjubkan di dalam dirimu. Hayo bangun..."
Siauw-cut mendelong. "Apanya yang mentakjubkan, locianpwe? Masa jatuh begini kau bilang luar biasa?"
Kakek itu tertawa. "Jangan kecewa, anak bodoh. Justeru dari latihan pertama ini kutahu apa yang harus segera kau lakukan. Hayo, bangkit lagi dan lanjutkan dengan jurus-jurus berikutnya!" dan laki-laki tua yang tampak gembira itu sudah mematahkan sebuah ranting baru untuk diberikan kepada anak laki-laki itu.
Siauw-cut mau mengomel. Tapi melihat kakek ini bersungguh-sungguh dan memandang penuh kegembiraan kepadanya maka diapun terpaksa menahan diri dan tidak banyak bicara lagi. Apalagi ketika kakek itu mengingatkan datangnya si Golok Hitam, yang dikata tak lama lagi muncul. Maka Siauw-cut yang sudah disuruh mengulang jurus pertama dari ilmu ranting ini segera memulainya dan bersungguh-sungguh, tak banyak cakap lagi.
Sementara Kun Seng yang bersinar-sinar matanya memberikan petunjuk akhirnya merasa puas setelah melihat Siauw-cut hapal benar dengan jurus pertama itu. Dalam beberapa kali ulangan saja. Tak lebih dari tiga kali. Lalu melanjutkan pada jurus ke dua dan ke tiga tanpa mengenal lelah akhirnya Siauw-cut berhasil menguasai tiga jurus ilmu silat itu dalam waktu tiga jam!
"Nah, sekarang kau berhasil menguasai semuanya, Siauw-cut. Tapi ilmu silat ini masih harus kau latih tanpa mengenal lelah."
"Dan Golok Hitam bisa kurobohkan, locianpwe?”
Kakek ini tertawa. "Tergantung kecerdikanmu. Kalau kau pandai mainkan ilmu silat ini dan tidak terburu-buru tentu perampok itu dapat kau kalahkan!"
Siauw-cut sangsi. Dia tak begitu percaya pada omongan ini, karena dia baru saja mempelajari ilmu itu tak lebih dari tiga jam. Tapi si kakek yang dapat membaca isi hatinya tiba tiba berkata,
"Siauw-cut, jangan kau remehkan ilmu silat ini. Meskipun baru tiga jurus saja, tapi orang-orang macam si Golok Hitam itu dan sebangsanya tak mungkin dapat mengalahkanmu. Kau ingin bukti? Nah, lihatlah. Orang yang kita tunggu-tunggu sudah datang...!"
Lalu begitu kakek ini menudingkan telunjuknya tiba-tiba Siauw-cut mendengar pekik di sebelah utara disusul berderapnya banyak ekor kuda yang mendatangi tempat mereka. Debu mengepul tinggi di udara. Lalu begitu cambuk mulai terdengar menjeletar di udara mendadak limapuluh orang muncul memasuki pintu gerbang dusun!
"Locianpwe, itu si Golok Hitam dan anak buahnya?"
"Ya."
'"Dan mereka mau merampok isi dusun ini?"
"Hm, penduduk dusun sudah kusuruh menyingkir, Siauw-cut. Mereka bersembunyi di dalam hutan di belakang dusun!"
"Lalu apa yang kita lakukan?"
"Menyambut mereka, Siauw-cut. Menghadang agar mereka tak memasuki dusun dan merampok harta milik penduduk!"
Siauw-cut tertegun. Dia melihat rombongan itu sudah datang mendekat, sikapnya liar dan buas sekali, berteriak-teriak. Sementara pemimpinnya yang tinggi besar di atas seekor kuda putih yang lari paling depan tiba-tiba mencabut golok dan di udara dengan sikap menyeramkan, sebuah golok dari besi hitam yang berkilat mengerikan.
"Hei, tua bangka hina. Sudahkah kalian siapkan semua barang yang kami minta? Mana pendudukmu yang lain?"
Kakek ini tak menjawab. Dia menoleh ke kanan, lalu berbisik pada anak laki-laki di sampingnya itu kakek ini berkata, "Dia pemimpin rampok itu, Siauw-cut. Golok Hitam yang ahli mainkan golok. Kau hadapilah dia dan pura-pura tidak tahu apa yang terjadi...!"