Pedang Medali Naga Jilid 06 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG MEDALI NAGA
JILID 06
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pedang Medali Naga Karya Batara
"BU-BENG Siauw-jin, kau masih tidak mau menyerahkan anak itu?”

Si kakek tercekat. Dia melompat tinggi, melambung jauh sambil berjungkir balik. Tapi ketika kakinya turun tahu-tahu cambuk si nenek iblis mengenai telinganya. "Tar... kau masih membandal, tua bangka?"

Bu-beng Siauw-jin mendesis. Dia kesakitan oleh babatan cambuk yang panas menyengat itu. Yang membuat telinganya merah dan robek terluka. Tapi karena lawan sudah dekat dan menyerang bertubi-tubi dengan cambuk berduri mau tidak mau kakek inipun terpaksa melayani. "Sin-yan Mo-li, kau nenek jahanam. Kenapa harus mengejar-ngejarku begini?"

"Tak perlu banyak cakap, Siauw-jin. Kau serahkanlah anak itu dan boleh pergi baik-baik!"

"Keparat, kau mau menangmu sendiri, nenek iblis?"

"Tidak, kaulah yang mau menang sendiri.Kau tak mau mengalah pada wanita!"

Maka dua orang yang sudah saling maki dan pukul ini sama-sama menyerang. Sin-yan Mo-li mempergunakan cambuk berdurinya sedangkan si kakek bongkok mempergunakan kedua kaki dan tangannya, membentak-bentak marah. Tapi karena Sin Hong berada di pondongannya dan lawan menyerang gencar akhirnya kakek ini kewalahan. Dia kurang bebas bergerak, kembali menerima dua serangan cambuk yang meledak di leher dan pelipisnya. Dan ketika Sin-yan Mo-li mainkan cambuk dengan amat lihai sekonyong-konyong Sin Hong yang ada di pundak kakek ini dibetot naik dengan gubatan melingkar!

"Siauw-jin, kau tak dapat mempertahankan anak ini. Lepaskanlah dia...!"

Si kakek terkejut. Dia melihat Sin Hong terenggut dari atas pundaknya, melayang ke arah nenek iblis itu. Dan Siauw-jin yang marah oleh perbuatan nenek ini tiba-tiba menjentikkan jarinya menimpuk sebuah kerikil hitam, membentur cambuk si nenek. Dan begitu terdengar suara "tak" yang keras tahu-tahu Sin Hong terlepas dari gubatan cambuk disusul lengkingan marah si nenek iblis.

"Siauw-jin, keparat kau...!"

Dua-duanya sudah menubruk. Masing-masing menyambar Sin Hong, sama cepat dan saling mendahului. Tapi ketika lengan si kakek sudah hampir menyentuh punggung baju Sin Hong tiba-tiba Sin-yan Mo-li melepaskan totokannya. Dia menotok siku kakek itu, membuat lawan mengeluh tertahan, sekejap lumpuh kehilangan tenaga. Tapi si kakek bongkok yang sudah menggetarkan lengan dan membalikkan kakinya tahu-tahu ganti menendang lawan ketika si nenek iblis juga hampir mencekal Sin Hong.

Akibatnya mereka sama gagal, dan begitu si nenek menjerit dengan pekik marah tiba-tiba cambuknya meledak menyambar Sin Hong, menggantikan lengan kanan yang lumpuh ditendang si kakek bongkok. Dan persis cambuk meledak, sekonyong-konyong lengan kiri Bu-beng Siauw-jin didorong ke depan menghantam cambuk lawan yang sudah menggubat Sin Hong.

"Mo-li, lepaskan anak itu. Kau tak berhak memilikinya... tas!" dan cambuk yang tiba-tiba putus dihantam angin pukulan Bu-beng Siauw jin tahu-tahu melempar tubuh Sin Hong ke jurang, menimpa Bu-beng Siauw-cut.

"Hei... bress!" Bu-beng Siauw-cut terhenti teriakannya. Dia sedang terkesima oleh pertandingan dua orang itu, maka begitu Sin Hong menimpa tubuhnya dan dia tak sempat menghindar tahu-tahu keduanya terguling ke dalam jurang, tak ampun lagi, melayang ke bawah dengan amat cepat sekali. Dan Siauw-cut yang kaget melihat dirinya meluncur ke bawah dengan kecepatan luar biasa tahu-tahu menjerit dan mengaduh ketika kepalanya membentur sesuatu di tebing, sesuatu yang keras yang membuatnya tak ingat apa-apa lagi dan pingsan menyusul Sin Hong!

Sementara di atas, si kakek bongkok dan Sin-yan Mo-li yang sama-sama tertegun melihat peristiwa tersebut berlangsung dengan demikian cepatnya di depan mata sedetik terkejut dengan mata tak berkedip. Mereka tak mengira kejadian itu bakal terjadi, tapi begitu sadar dan menggereng marah sekonyong-konyong si kakek bongkok memutar tubuh, menerjang lawannya.

"Mo-li, kau bertanggung jawab atas kematian anak itu!"

Sin-yan Mo-li memekik, "Kau yang bertanggung jawab, tua bangka. Kau yang melempar anak itu ke dalam jurang!"

"Tidak, kau yang merampasnya, Mo-li. Kau yang menjadi sebab dari semuanya ini!"

"Tidak bisa, kau yang menculik anak itu, Siauw-jin. Kau yang menjadi gara-gara dari kematian anak itu...!"

Dan masing-masing pihak yang sudah saling gebrak dan tempur dalam mempertahankan adu pendapat ini sudah sama-sama menerjang dan melanjutkan pertandingan. Si kakek bongkok marah sekali, melancarkan serangan bertubi-tubi dengan tamparan dan pukulan. Sementara Sin-yan Mo-li yang juga merasa tidak bersalah dalam kematian Sin Hong membalas dengan tidak kalah serunya. Masing-masing ingin menang, tak mau mengalah. Tapi ketika si bongkok mulai melancarkan pukulan-pukulan berat si nenek iblis tiba-tiba terdesak.

Sin-yan Mo-li keteter, memaki kalang kabut sambil mainkan cambuknya yang buntung. Dan ketika si bongkok kembali mendorongkan lengannya sambil mengerahkan sinkang memukul ke depan tiba-tiba si nenek menjerit. Ia tak dapat menghindar ketika telapak si bongkok menghantam pundaknya, mengaduh dan langsung terpelanting. Tapi ketika si bongkok melompat maju menyusulinya dengan sebuah pukulan miring mendadak nenek ini melengking tinggi. Secepat kilat dia membalik, lalu begitu pukulan lawan menderu tiba sekonyong-konyong nenek ini melepas tiga panah kecilnya ke dada, leher dan mata si bongkok!

"Bu-beng Siauw-jin, mari kita mati bersama...!"

Si bongkok terkejut. Dia terang tak mau sampyuh dengan lawannya ini. Maka melihat panah meluncur berturut-turut di depan mukanya terpaksa dia menyampok tiga senjata berbahaya itu dengan mengibaskan lengan ke samping. Akibatnya Sin-yan Mo-li selamat, dan ketika dia memukul runtuh panah si nenek mendadak lawannya melompat mundur dan… melarikan diri.

"Tua bangka, tak sudi aku main-main lagi denganmu. Kau carilah mayat anak itu dan mampuslah di dasar jurang...!"

Si kakek menggeram. Dia membentak marah, dan melihat lawan melarikan diri dengan licik diapun mengejar dengan muka berang. "Sin-yan Mo-li, jangan lari kau. Pertanggung jawabkan dulu kematian anak itu!"

Namun si nenek melengking aneh. Dia sudah jauh dari tempat ini, berlari cepat yang membuat tubuhnya terbang bagai siluman. Dan melihat dirinya dikejar si bongkok tiba-tiba dia mengerahkan ginkangnya berkelebat lenyap. Si bongkok ditinggal, sengaja membelak-belok di pohon-pohon cemara yang banyak jumlahnya di situ. Dan ketika si nenek berzig-zag dalam gaya larinya tiba-tiba Bu-beng Siauw-jin sudah kehilangan jejak tak menemukan lawannya lagi, berputar-putar di dalam hutan dan akhirnya kembali ke tepi jurang untuk membanting pantat dan... menangis di situ!

* * * * * * * *

Apa yang terjadi pada dua orang anak ini? Matikah mereka? Hampir dapat dipastikan memang begitu. Sin Hong dan Siauw-cut sama-sama tak sadarkan diri, melayang jatuh di dalam jurang yang dalam. Tapi ketika mereka sudah berada di tengah-tengah mendadak suatu keajaiban terjadi. Saat itu Sin Hong lebih dulu meluncur, duapuluh kaki di bawah Siauw-cut karena memang dialah yang terlebih dulu jatuh. Tapi ketika melewati sebuah gua di tengah dinding jurang tiba-tiba sebuah seruan terdengar disusul berkelebatnya sebuah benda putih melesat dari dalam gua.

"Ah, Thian Yang Maha Agung! Siapa anak-anak ini?"

Dan sebuah jubah menyambar keluar. Jubah ini mengembang, terbuka mirip "papan" yang aneh, menerima tubuh Sin Hong. Dan begitu Sin Hong menimpa kain lebar ini seketika tubuhnya terlempar ke atas mirip seseorang yang jatuh di atas sebuah tempat tidur berpegas melenting sepuluh kaki untuk akhirnya kembali ke "papan” jubah itu dengan guncangan perlahan, habis daya bantingnya yang tinggi akibat meluncurnya tubuh dari mulut jurang.

Lalu begitu dia menimpa papan jubah ini tahu-tahu jubah itu dikedut ke dalam, menyendal masuk dan membanting anak itu dengan lunak disudut gua. Sementara Siauw-cut yang juga menyusul belakangan ternyata mengalami nasib serupa. Orang di dalam gua melempar jubah ke dua, dan begitu jubah berkembang menerima tubuh anak ini tahu-tahu bocah itupun sudah dikedut ke dalam dan terbanting dengan lunak di sebelah kiri gua, berjajar di dekat Sin Hong yang nyaris binasa di dasar jurang!

Dan sekarang orang di dalam gua terbelalak. Dia mengeluarkan seruan lembut, tampaknya terkejut. Tapi begitu tertawa dan memuji kebesaran Tuhan tiba-tiba lengannya diulurkan ke depan. Tidak tampak dia mengusap, tapi Sin Hong dan Siauw-cut yang sama-sama merasa hawa dingin menyentuh muka mereka mendadak sadar dan membuka mata, melompat bangun!

"Sin Hong, kau sudah menjadi siluman?”

Sin Hong tertegun. Dia mendengar suara Siauw-cut, dekat di sebelah kanannya. Tapi Sin Hong yang baru siuman dari pingsannya dan tak melihat apa-apa karena tempat itu gelap jadi mendesis dan mengepalkan tinju. "Siauw-cut, apa kau bilang? Aku menjadi siluman? Apa maksudmu?”

Siauw-cut terkejut. Dia juga tak melihat Sin Hong, karena tempat itu gelap sekali. Tapi dia yang tahu keadaan mereka yang terjatuh didalam jurang dan mengira mereka sudah mati bersama tiba-tiba tertawa. "Ya, kau menjadi siluman, Sin Hong. Kita mati bersama dan rupanya menghuni dasar neraka yang gelap gulita!"

"Keparat, apa maksudmu, Siauw-cut? Siapa yang mati?"

"Ha-ha, kita mati berdua, Sin Hong. Kita terjatuh dari atas jurang yang tinggi sekali. Eh. kau sudah menjadi mahluk halus? Di mana kau, Sin Hong? Apa yang kau perbuat di situ?"

Sin Hong tertegun. Dia terkejut mendengar Siauw-cut bicara bahwa mereka terjatuh ke dalam sebuah jurang, hal yang baru kali itu diketahuinya. Tapi Sin Hong yang tiba-tiba mengaduh ketika mencubit paha segera disambut seruan heran lawannya.

"Sin Hong, ada apa kau? Terpanggang api neraka?"

Sin Hong membentak, "Kau yang melantur, Siauw-cut. Kita belum mati dan tidak menginjak dasar neraka!"

"Eh, mana mungkin, Sin Hong? Kita terlempar di bawah jurang ini. Tak mungkin selamat karena kita tak mempunyai sayap!"

Tapi Sin Hong yang lebih "rasionil" tak menggubris. Dia mendengar cerita bahwa orang yang sudah mati tak mempunyai lagi hubungan dengan badan. Jadi, kalau badan dicubit dan tidak terasa sakit itulah tandanya orang sudah berpisah ke lain jaman. Tapi kalau masih sakit, dan bisa mengaduh ini tanda seseorang masih hidup. Maka, Sin Hong yang tiba-tiba menggeser kakinya ke kanan tiba-tiba mengulurkan lengan. Dia menggerayangi sana-sini, karena mendengar suara Siauw-cut ada di dekat situ. Dan begitu mencekal sesosok lengan dingin tiba-tiba saja anak ini mencengkeram.

"Siauw-cut, kau merasa sakit, bukan?"

Siauw-cut mengaduh. Dia sakit dicengkeram seperti itu, cengkeraman Sin Hong yang kuat mencengkeram lengannya. Tapi Siauw-cut yang marah oleh cengkeraman ini tiba-tiba memukul muka lawan yang ada di depannya. "Sin Hong, lepaskan aku... plak!"

Dan Sin Hong yang seketika mundur dengan mulut mendesis tiba-tiba naik kemarahannya digampar lawan. "Siauw-cut, kau tak tahu diri. Berani kau memukulku?"

Siauw-cut tertawa mengejek. "Aku bukan hanya ingin memukulmu, Sin Hong. Tapi malah ingin membunuhmu!"

"Kalau begitu kenapa kau tolong aku?"

"Siapa menolongmu?"

"Tubuhku tak panas lagi. Demamku hilang!"

"Persetan...!" Siauw-cut tertegun. "Aku tak memberimu apa-apa, Sin Hong. Aku hanya membalurkan obat sesuai permintaan kakek bongkok itu!”

"Hm, kalau begitu aku tetap berhutang budi padamu, Siauw-cut. Biarlah tamparanmu kepadaku kuanggap pembayar hutang!"

"Cis, siapa menghutangimu? Aku tak melepas budi, Sin Hong. Aku ingin membunuhmu...!" dan Siauw-cut yang tiba-tiba mererjang di dalam gelap sudah menyerang Sin Hong dengan kalap.

Tentu saja Sin Hong marah. Dan merasa tenaganya sudah pulih kembali dan demamnya hilang tiba-tiba Sin Hong berkelit dan melompat ke kiri. Dia mendengar desir angin pukulan lawannya, dan begitu tamparan Siauw-cut lewat di samping tubuhnya mendadak anak ini menyambar pundak lawan. "Siauw-cut, hentikan seranganmu. Kalau tidak terpaksa aku akan membalas!"

Siauw-cut meronta. Dia melepaskan pundaknya dari cengkeraman Sin Hong, lalu begitu membentak tiba-tiba muka Sin Hong sudah ditampar kembali. "Sin Hong, aku ingin kau membalas. Jangan bersikap pengecut...plak-plak!" dan muka Sin Hong yang dua kali menerima tamparan membuat anak ini terhuyung dan marah bukan main.

"Siauw-cut, kau iblis jahanam. Tak tahu diri... wutt!" dan Sin Hong yang tiba-tiba melompat ke depan bertubi-tubi menghujani serangan. Dia tak dapat mengendalikan diri lagi sekarang, benar benar marah dan membalas serangan.

Dan begitu anak ini bergerak seraya mainkan tangan dan kakinya tiba-tiba Siauw-cut mengeluh dan terlempar bergulingan. Anak itu terang bukan lawan Sin Hong, putera sang pendekar sakti Gurun Neraka. Dan Siauw-cut yang dihajar pulang balik oleh Sin Hong yang geram akibatnya jatuh bangun di dalam gua. Tapi Siauw-cut benar-benar nekat. Setiap kali dia bangun berdiri selalu dia menyerang Sin Hong, tak perduli tubuhnya yang babak belur. Dan Siauw-cut yang memaki-maki lawan tanpa mengenal kalah itu berteriak membentak-bentak membuat Sin Hong gemas. Hingga akhirnya, ketika Sin Hong tidak dapat mengendalikan diri lagi dan melayangkan pukulannya ke tengkuk Siauw-cut barulah lawannya itu roboh tak dapat bangun kembali!

"Kau menyerah, Siauw-cut?"

Siauw-cut melengking tinggi, "Biar sudah di dasar nerakapun aku tak menyerah, Sin Hong. Kau dan ayahmu berhutang nyawa ibuku!"

"Keparat, kita masih hidup, Siauw-cut. Apakah kau benar-benar ingin minta kubunuh?"

"Bunuhlah... bunuhlah aku. Aku ingin mati kedua kali...!"

Dan Sin Hong yang mengepal tinju dengan gemas ini akhirnya melangkah maju. "Baiklah, aku akan menghentikan suaramu, Siauw-cut. Kau bocah tak tahu diri yang menyebalkan!"

Tapi belum Sin Hong memukul pingsan lawannya ini tiba-tiba gua menjadi terang oleh sinar yang tak diketahui dari mana masuknya. Dan bersamaan dengan terangnya gua mendadak seseorang muncul dengan ketawanya yang lembut.

“Anak-anak, tak perlu kalian bertengkar lagi. Bukankah jelek-jelek kalian senasib jatuh di jurang ini? Nah, diamlah. Kalian seharusnya bersahabat dan tak perlu ribut-ribut...!"

Sin Hong dan Siauw-cut terbelalak. Mereka melihat seorang kakek muncul di situ, tersenyum lembut pada mereka namun mukanya tertutup halimun. Dan Siauw-cut serta Sin Hong yang kaget oleh kehadiran kakek ini tiba-tiba melongo dan akhirnya terkejut setengah mati setelah melihat bahwa kakek itu ternyata "duduk" di tengah udara, mengambang tak bergerak bagai patung batu atau roh yang hidup di alam halus!

Dan Siauw-cut yang kaget oleh pemandangan luar biasa ini tiba-tiba menjerit tanpa dapat ditahan lagi, “Setann ... !" dan anak yang langsung jatuh terduduk di lantai gua itu seketika bengong dan melotot, ngeri tapi juga heran!

Namun Sin Hong yang juga sama-sama terkejut ternyata bersikap lain. Anak ini adalah putera Pendekar Gurun Neraka, jadi tahu akan hebatnya ilmu kesaktian seseorang seperti yang ditunjukkan kakek ini. Maka begitu melihat di depan mereka muncul seorang sakti yang dapat duduk mengambang di tengah udara dan melihat muka kakek itu tertutup halimun tiba-tiba anak ini teringat cerita ayahnya bahwa di dunia ini ada seorang manusia dewa yang disebut Bu-beng Sian-su, seorang tokoh luar biasa yang hebat ilmu kesaktiannya dan hebat pula ilmu kebijakannya. Maka, begitu sadar bahwa dia berhadapan dengan manusia dewa yang luar biasa ini tiba-tiba Sin Hong menjatuhkan diri berlutut dan berseru,

"Sian-su, teecu menghaturkan hormat!"

Siauw-cut melenggong. Dia melihat temannya itu membenturkan jidat di atas tanah, tampak gembira dan berseri-seri, sama sekali tidak takut seperti dirinya! Dan Siauw-cut yang tiba-tiba merah mukanya seketika sadar. Apalagi ketika Sin Hong menyebut "Sian-su" pada kakek itu, nama yang mudah ditebak siapa adanya. Maka begitu sadar dan tahu bahwa dia masih hidup di atas bumi tiba-tiba Bu-beng Siauw-cut juga menjatuhkan diri berlutut dan mengiringi seruan temannya,

"Suhu, teecu juga menghaturkan hormat!"

Sin Hong dan Bu-beng Sian-su terkejut. Mereka mendengar sebutan "suhu" itu, seolah Siauw-cut adalah murid kakek dewa ini. Dan Bu-beng Sian-su yang akhirnya tertawa lepas tiba-tiba bangkit berdiri, masih "mengambang" di tengah udara!

"Anak baik, kau siapakah dan mengapa menyebut suhu kepadaku?"

Siauw-cut berseri-seri. "Karena teecu sudah lama mencarimu, Sian-su. Teecu ingin menjadi muridmu dan mengabdi padamu seumur hidup!"

"Ah, dan namamu?"

"Siauw-cut, Sian su. Bu-beng Siauw-cut!"

Kakek dewa ini tertegun. Sejenak dia terbelalak, tapi Bu-beng Sian-su yang tersenyum lebar tiba-tiba tertawa lembut. "Anak baik, namamu aneh. Kenapa harus menyebut diri sendiri Kerucuk Tanpa Nama (Bu-beng Siauw-cut)? Siapa orang tuamu?"

"Teecu tidak memiliki orang tua Sian-su. Texcu hidup sebatangkara sejak tujuh tahun yang lalu!"

"Oh, dan kau mencariku untuk menjadi murid?"

"Ya, teecu ingin membalas dendam, Sian-su. Teccu ingin mempelajari ilmu kesaktianmu untuk membalaskan kematian ibu teecu!"

Bu beng Sian-su menarik napas. "Siauw-cut, ilmu dipakai bukan untuk membuat keonaran. Mana bisa kau menjadi muridku kalau begitu? Seseorang yang ingin menikmati kebahagiaan tak seharusnya mengotori diri sendiri, Siauw-cut. Dan satu di antara kekotoran itu adalah nafsu dendam!"

Bu-beng Siauw-cut terbelalak. Dia belum mengerti penuh isi dari wejangan itu, namun Bu-beng Sian-su yang melihat sinar kekecewaan di mata anak ini tiba-tiba mengulapkan lengannya ke depan.

"Anak baik, ke marilah. Kau benar-benar ingin belajar silat, bukan?"

Siauw-cut maju dengan girang. "Ya, teecu ingin sekali, Sian-su. Harap kau tak menolak keinginanku!"

"Baiklah, tapi mampukah kau memenuhi permintaanku, Siauw-cut? Aku mempunyai dua permintaan. Kalau dapat kau lakukan saat ini juga aku akan memberimu petunjuk-petunjuk dasar tentang ilmu silat!"

Siauw-cut tertegun. "Permintaan apa, Sian-su?"

Bu-beng Sian-su tersenyum. "Sederhana saja, anak baik. Pertama kau carilah seorang ahli pedang berjuluk Bu-tiong-kiam dan yang ke dua kau pecahkanlah rahasia dari syair ini. Bu tiong kiam boleh membantumu. Kalau jawaban sudah kau peroleh bolehlah kau datang ke mari lagi menemuiku sewaktu-waktu!"

"Ah, hanya itu, Sian-su?"

"Ya, hanya itu Siauw-cut. Tapi kalau kedua-duanya belum berhasil kau kerjakan tak boleh kau menemuiku."

"Baik, tapi apa perlunya mencari Bu-tiong kiam ini, Sian-su? Dan di mana dia?"

Bu-beng Sian-su tertawa. "Siauw-cut, kalau aku memberitahumu di mana dia berada lalu apa gunanya aku menyuruhmu? Kau harus mencarinya sendiri, Siauw-cut, tak boleh bertanya kepadaku. Tapi tentang maksud keperluannya bolehlah kau ketahui sekarang, yakni untuk mengambil sesuatu di Gua Naga. Kau bantulah orang itu dan ikutlah baik-baik dengannya selama rahasia syair belum terjawab!"

Siauw-cut bangkit berdiri, tertarik hatinya. "Sian su, syair bagaimanakah yang harus kujawab itu? Bisakah sekarang kulihat?"

"Boleh, tapi tunggu dulu, Siauw-cut. Siapa temanmu ini?"

Siauw-cut terkejut. Dia sadar bahwa Sin Hong ada di situ, diam tak membuka suara ketika dia bercakap-cakap dengan si kakek dewa. Dan Sin Hong yang menjatuhkan dirinya berlutut segera menjawab, "Teecu Sin Hong, Sian-su. Yap Sin Hong putera Pendekar Gurun Neraka!"

"Ah, kau putera pendekar sakti itu, anak baik?"

"Ya, dan teecu telah mendengar banyak tentang dirimu, Sian-su. Ayah dan ibu bercerita tentang kesaktian Sian-su yang tiada tara!"

Bu-beng Sian-su tertawa. "Anak baik, ayah dan ibumu memang suka menyanjung-nyanjung orang. Bagaimana kau bisa terjatuh di jurang ini?"

Sin Hong menggeleng. "Teecu tak tahu, Sian-su. Tapi sebelumnya teccu dibawa si kakek bongkok Bu-beng Siauw-jin!"

Dan Siauw-cut menyambung. "Ya, dia terjatuh di jurang ketika kakek bongkok mempertahankannya dari serangan Sin-yan Mo-li, Sian-su. Teecu tertimpa dan kami berdua sama sama masuk ke jurang!"

Bu-beng Sian-su menghela napas. "Sin Hong, sekarang apa yang kau ingini setelah kalian sama-sama berada di sini?"

"Teecu ingin pulang, Sian-su. Teecu ingin menjumpai ibu yang tentu cemas mengharap-harap kedatangan teecu!"

"Hm, kau tak ada niatan lain selain itu, anak baik?"

Sin Hong berdegup. Dia mendengar ajakan tersembunyi di balik kata-kata kakek dewa ini, dan Sin Hong yang mendengar banyak tentang Bu-beng Sian-su dari ayah ibunya bahwa kakek itu dapat dimintai petunjuk tentang apa saja yang diperlukan orang tiba-tiba bangkit berdiri membungkukkan tubuhnya. "Sian-su, kalau dikabulkan teecu ingin mendapat petunjuk barang sedikit tentang ilmu silat. Apakah bisa teecu peroleh?"

Bu-beng Sian-su tertawa. "Kau sama seperti temanmu, Sin Hong. Ilmu silat juga yang diminta. Tapi bukankah ayahmu sudah merupakan pendekar sakti yang pilih tanding? Untuk apa minta petunjuk lagi?"

"Tidak, ayah sendiri mengakui kesaktianmu, Sian su. Bagaimanapun juga aku yang bodoh mohon petunjuk!"

"Dan kau ingin pula mengetahui syair yang hendak kuberikan pada Bu beng Siauw-cut ini, Sin Hong?"

"Kalau kau perkenankan, Sian-su. Karena tecu tahu bahwa apa yang kau berikan pada seseorang pasti berharga dan berguna bagi hidupnya!"

Bu-beng Sian-su tersenyum lebar. "Baiklah, aku tak menjanjikan sesuatu yang muluk-muluk pada kalian, anak-anak. Tapi bila kalian dapat mengerti inti sari dari syair ini satu hal yang jelas kalian peroleh: yakni kalian menjadi orang pandai yang tahu tentang hidup dan kehidupan!" lalu menggurat sesuatu didinding gua kakek ini tiba-tiba membalikkan tubuh dan melakukan corat-coret dengan cepat.

Sin Hong dan Siauw-cut memandang terbelalak oleh coretan cepat yang halus di dinding gua itu, takjub melihat kakek ini dapat mengguratkan jari-jarinya di dinding yang keras itu sebagai menggurat sepotong agar-agar! Dan begitu kakek ini selesai dan membalikkan tubuhnya berkatalah kakek itu sambil tertawa menghadapi mereka,

"Kalian dapat membacanya, anak-anak?"

Sin Hong dan Siauw-cut tertegun. Mereka melihat tujuh kalimat tersusun rapi di situ huruf-huruf indah yang mengukir dinding gua bagai dilukis. Dan Siauw-cut serta Sin Hong yang sudah sama-sama mengedikkan kepalanya segera membaca:

Berikan canang
pukullah bende
lekatkan benang
di atas mega
jadilah orang
hidup berguna
rautlah itu sepanjang masa!


"Ah, apa artinya ini, Sian-su?” Siauw-cut tiba-tiba berseru, heran tak mengerti.

Tapi Bu-beng Sian-su yang tertawa kecil tiba-tiba mengangkat lengannya. "Kau yang harus menjawab, Siauw-cut, bukan aku. Tak boleh bertanya!"

Siauw-cut tertegun. Dia melihat Sin Hong juga terpaku, memandang dan akhirnya melirik kepadanya. Tapi putera Pendekar Gurun Neraka yang menarik napas itu tiba-tiba menggeser kakinya. "Sian-su, bolehkah kutanya satu hal?"

"Hm, apa yang hendak kau tanya, anak baik?” Bu-beng Sian-su tersenyum.

"Jawaban dari syair ini, Sian-su. Tidakkah kau memberi ancer-ancer kepada kami untuk menemukan kuncinya?"

Bu-beng Sian-su tertawa. "Kau cerdik, Sin Hong. Baiklah, boleh juga kujawab pertanyaan ini!" lalu mengebutkan jubahnya dua kali kakek dewa itu tiba-tiba menuding, menggurat tujuh kali di udara dan berseru, "Lihatlah baik-baik, anak-anak. Jawaban ini sudah terletak di syair itu sendiri. Kalian tinggal berlari secara zig-zag dan memungut yang penting lalu menghubungkannya satu demi satu maka terjawablah syair ini! Kalian jelas?"

Sin Hong dan Siauw-cut bengong. "Kami tidak jelas Sian-su. Berlari dan memungut satu persatu? Apanya yang dipungut?"

Bu-beng Sian su tertawa kembali. "Artinya kalian harus menemukan jawaban itu dengan cara sudut-menyudut, anak-anak. Kalian berlari secara silang dan memungut apa yang penting dan lalu dihubungkan satu demi satu untuk mendapatkan jawabannya. Kalian belum paham?"

"Belum."

"Kalau begitu kalian cari, anak-anak. Jawaban yang berharga tak boleh tergesa-gesa diberitahukan!” Bu-beng Sian-su tertawa, mengebutkan lengan dan tiba-tiba berkelebat lenyap, menjadikan gua seketika gelap seperti gelapnya otak mereka yang "buntu" oleh teka-teki aneh itu!

Dan Siauw-cut yang berteriak tertahan tiba-tiba berseru, "Sian-su, bagaimana dengan janjimu? Mana itu petunjuk-petunjuk dasar tentang ilmu silat?"

Bu-beng Sian-su tiba-tiba muncul, membuat gua terang kembali dan mengejutkan dua orang anak ini yang heran oleh kehadirannya yang seperti iblis. Tapi kakek dewa yang tersenyum lebar itu sudah berseri memandang mereka. "Kalian benar-benar ingin menagih janjiku, anak-anak?"

Sin Hong melompat girang. "Tentu saja, Sian-su. Aku yang bodoh ingin minta petunjukmu tentang pelajaran silat ini!"

Namun Siauw-cut melompat ke depan, menghadang marah. "Tapi aku yang lebih dulu dijanjikan, Sin Hong. Kau tak boleh nebeng saja keberuntungan yang kudapat!"

Sia Hong terkejut. "Tapi aku juga mendapat janji Sian su, Siauw-cut. Aku tak nebeng keberuntunganmu seperti yang kau katakan!"

"Tapi buktinya kau ikut-ikutan, Sin Hong. Kau merebut hakku secara tak tahu malu!”

"Keparat...!" Sin Hong marah, dan mereka yang mulai bertengkar untuk urusan ini tiba-tiba disambut seruan Bu beng Sian-su.

"Anak-anak, jangan berkelahi. Masing-masing dari kalian mendapat bagian yang sama!" lalu mengambangkan lengannya ke kiri tiba-tiba kakek ini turun ke tanah, mengusap keduanya dengan jari-jari lembut, membuat Sin Hong dan Siauw-cut terkejut karena merasa betapa kepala mereka yang tadi "panas" sekonyong-konyong dingin! Dan begitu mereka sadar bahwa permusuhan tak ada gunanya tiba-tiba kakek dewa inisudah melanjutkan kata-katanya sambil tertawa.

"Anak-anak, kalian ke mari berbareng. Karena itu secara berbareng pula kuberikan pada kalian petunjuk-petunjuk tentang mempelajari hawa sakti. Kalian ingin mempunyai sinkang yang kuat, bukan?"

Sin Hong sudah girang luar biasa. "Justeru itu yang teecu harapkan, Sian-su. Teecu mohon secepatnya pelajaran ini diturunkan!"

Siauw-cut tak mengerti. Dia masih nol tentang ilmu silat, tapi melihat Sin Hong sudah girang luar biasa mendengar kata-kata Bu-beng Sian-su tahulah dia bahwa apa yang akan diajarkan kakek itu tentu sesuatu yang penting sekali. Setidak-tidaknya dasar ilmu silat yang tinggi tingkatnya! Maka Siauw-cut yang tersenyum lebar dengan muka berseri ini juga mengangguk. "Ya, boleh kauturunkan sekarang, Sian su. Teecu juga siap mempelajari!"

Bu beng Sian-su tertawa. Dia melepaskan keduanya, lalu menuding ke depan dia berkata, "Kalian lihat dua batu hitam itu, anak-anak?"

Sin Hong dan Siauw-cut mengangguk.

"Nah, sekarang masing-masing ke sana. Sin Hong ke sebelah kiri dan Siauw-cut ke kanan. Kalian raba bagaimana keadaan batu hitam itu, anak-anak?"

"Dingin, Sian su," Sin Hong menjawab.

"Ya, dan keras!" Siauw-cut menyambung.

Dan dua orang anak yang masih tak mengerti oleh maksud kata-kata kakek ini tiba-tiba disuruh duduk bersila. Tapi ketika keduanya duduk bersila di atas batu itu mendadak Bu-beng Sian-su menggoyang lengannya,

"Tidak, bukan bersila di atasnya, anak-anak. Tapi di sebelah batu itu. Kalian di depannya!"

Sin Hong dan Siauw-cut menurut. Lalu begitu sudah duduk dengan baik berkatalah kakek ini dengan suara sungguh-sungguh, "Sekarang atur napas kalian, anak-anak. Pukul batu itu dengan telapak tangan kalian.”

Sin Hong dan Siauw-cut mulai memukul. Mereka menepuk-nepuk batu hitam itu, setengah heran setengah tak mengerti kenapa pelajaran sin-kang harus dimulai dengan memukul-mukul batu! Tapi ketika mereka memukul dengan cara tak berirama tiba-tiba Bu-beng Sian-su melangkah maju dan tersenyum lebar.

"Anak-anak, kalian salah. Pukulan harus berirama...!"

Sin Hong dan Siauw-cut menghentikan gerakannya. Mereka melihat Bu-beng Sian-su sudah duduk di depan mereka, tapi sebelum memberikan contoh kakek ini memandang Sin Hong.

"Anak baik, kau tahu tentang apa yang dinamakan sinkang (hawa sakti), bukan?”

“Ya."

"Apa itu?"

"Tenaga dalam, Sian-su. Pemupukan tenaga dalam ditubuh kita agar menjadi kuat dan dahsyat!"

Bu-beng Sian-su tertawa. "Ya, tapi tahukah kau bahwa melatih sinkang tak boleh dilakukan secara sembarangan, Sin Hong? Tahukah kau ada intinya melatih sinkang ini?" dan belum Sin Hong menjawab Bu-beng Sian-susudah melanjutkan sendiri, "Melatih sinkang pada dasarnya melatih napas, anak baik. Karena napas adalah penghantar getaran tenaga yang dapat menjadi luar biasa bila digunakan secara tepat. Kau tahu tentang ini, bukan?"

Sin Hong mengangguk.

"Nah, kalau begitu ada berapa macam jenis melatih tenaga ini?"

"Dua, Sian-su, gwakang (tenaga luar) dan Iweekang (tenaga dalam)."

"Bagus, kalau begitu kau tahu apa beda dari keduanya ini?"

"Gwakang untuk melatih otot, Sian-su. Sedang Iweekang atau sinkang untuk melatih kekuatan batin kita!”

Bu-beng Sian-su tertawa. "Boleh dikata begitu, anak baik. Tapi yang jelas ialah gwa-kang harus menyentuh langsung sasaran yang dituju sedang tenaga dalam atau lweekang boleh langsung atau tak langsung menyentuh obyek yang kita tuju! Kau mengerti, bukan?"

Sin Hong mengangguk. Tapi Siauw-cut yang tidak mengerti tiba-tiba bertanya, "Kalau begitu dapat kau beri sebuah contoh kepada kami, Sian-su?"

Bu-beng San-su membalik. "Baik, lihat ini, Siauw-cut. Tenaga luar atau gwakang adalah tenaga penghancur yang langsung menuju sasarannya. Seperti ini... plak!"

Dan Bu beng Sian-su yang tiba-tiba memukul hancur batu di sebelah kanannya dipandang terbelalak oleh Bu beng Siauw-cut. Tapi si anak yang mendelong tiba-tiba dikejutkan oleh seruan ke dua kakek dewa itu.

"Dan yang ini adalah tenaga dalam, Siauw-Cut. Kita tak perlu menyentuh sasarannya tapi obyek yang kita tuju juga dapat remuk dan hancur melebihi tenaga yang pertama! Lihat, wutt...!" dan lengan si kakek dewa yang tiba-tiba didorongkan ke dinding gua mendadak memperdengarkan suara gemuruh seperti bendungan jebol diterjang air bah.

Tapi Siauw-cut tak melihat apa-apa. Dinding gua yang dipukul Bu-beng Sian-su hanya bergetar sedikit, lalu diam. Tak ada yang remuk, apalagi hancur. Tapi Sin Hong yang lebih mengerti tentang teori tenaga dalam tiba-tiba berteriak kaget. Anak ini melompat bangun, menjulurkan lengan menyentuh dinding gua itu. Namun baru angin gerakannya tiba dan lengan masih sejengkal lagi tahu-tahu dinding gua itu mengeluarkan suara keras dan roboh menjadi tepung!

"Ah. hebat, Sian-su. Gua ini hancur...!"

Siauw-cut tertegun. Dia mendengar pekik Sin Hong itu, pekik penuh kekaguman yang keluar secara spontan. Dan Siauw-cut yang bangkit berdiri oleh pemandangan luar biasa ini tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan kakek dewa itu. "Sian-su, tolong ajarkan aku ilmu kesaktian ini...!"

Bu-beng Sian-su tertawa. "Memang hendak kuajarkan, anak baik. Sekarang kalian tahu perbedaan tenaga luar dan tenaga dalam, bukan?"

Sin Hong juga menjatuhkan diri berlutut. "Ya, kami tahu, Sian-su. Bahwa tenaga dalam bisa langsung atau tidak langsung menghancurkan sasaran sedang tenaga luar harus langsung dilakukan untuk menghancurkan sasaran!"

"Bagus, memang begitu perbedaannya, anak baik. Tapi tahukah kalian bagaimana cara melatih tenaga dalam yang benar ini?"

"Teecu mohon petunjuk, Sian-su."

Dan Bu-beng Sian-su yang sudah duduk di depan batu hitam segera memberi petunjuk. "Perhatikan, anak-anak. Pertama kita harus mengkonsentrasikan diri pada batu hitam ini dan ke dua mulai mengatur napas untuk mengiringi pukulan secara berirama. Artinya, kalian harus menarik dan mengeluarkan napas secara teratur sesuai hentakan-hentakan ringan di atas batu hitam ini. Kalian paham sampai di sini?"

Sin Hong mengangguk. Tapi Siauw-cut menggeleng. "Teecu belum jelas, Sian-su. Tolong kau berikan contoh!"

"Baik, lihat ke sini, Siauw-cut," Bu-beng Sian-su tersenyum. "Lihat baik-baik apa yang akan kulakukan ini. Pertama, sebelum mulai memukul kita angkat tangan kita hingga di sisi telinga, menarik napas bersamaan dengan gerakan itu. Lalu begitu tangan kita turunkan dan menepuk permukaan batu hitam maka berbareng itu pula kita keluarkan napas seirama dengan pukulan ini. Kalian jelas? Lihat contohnya. Satu, plak... dua. plak... tiga, plak... empat, plak... begitu seterusnya. Kalian paham, bukan?"

Siauw-cut mengangguk girang. Dia mulai paham akan pelajaran ini, dan begitu mengerti akan apa yang dimaksud Bu-beng Sian-su dia-pun tiba-tiba menepuk permukaan batu hitam itu dengan hentakan-hentakan berirama. Tapi pukulannya terlalu keras, kelewat bersemangat. Dan Bu-beng Sian-su yang tertawa lebar oleh sikap anak ini menegur,

"Siauw-cut, tak perlu buru-buru. Melatih sinkang harus perlahan dan sabar. Kau tekanlah kegembiraan hatimu yang meluap. Satu-persatu, kiri kanan... kiri kanan... begitu seterusnya hingga lima ribu hitungan."

Siauw-cut mengangguk. Dia langsung mempraktekkan pelajaran menghimpun tenaga sakti ini, diawasi dan ditegur Bu-beng Sian-su bila masih mendapatkan kesalahan-kesalahan. Dan Sin Hong yang juga segera berlatih mengikuti Bu-beng Siauw-cut sudah memukul-mukulkan telapak tangannya di batu hitam itu. Mereka berdua mulai menghitung, di dalam hati, sementara Bu-beng Sian-su yang berseri memandang dua orang anak itu tampak gembira dan tersenyum lembut.

Tapi Sin Hong tiba-tiba menghentikan latihannya. "Sian-su, apa nama ilmu menghimpun sin-kang ini?”

Bu beng Sian su tertawa. "Kunamakan Teng-liong-kang (Menghimpun Seribu Naga), Sin Hong. Sesuai dengan maksud kita menghimpun tenaga sedahsyat dan sekuat naga!”

Sin Hong tertegun. Dia tampaknya terkejut, heran dan kagum. Karena memiliki sinkang sekuat dan sedahsyat seribu ekor naga benar-benar bukan suatu barang biasa. Tapi Bu-beng Sian-su yang mengebutkan lengannya tiba-tiba berkelebat lenyap.

“Sin Hong, Siauw-cut, kalian berlatihlah terus. Jangan remehkan ilmu Teng-liong-kang itu. Aku pergi dulu...!"

Sin Hong tercekat. Dia teringat mereka tak mengetahui jalan keluar. Maka melihat Bu beng Sian-su meninggalkan mereka buru-buru anak ini berteriak, “Sian su, bagaimana kami keluar?"

Terdengar jawaban lembut. "Kalian dapat mengikuti lorong gua ini, Sin Hong. Belok tiga kali ke kanan maka kalian sampai di dekat air terjun!"

Sin Hong tertegun. Dia melihat Siauw-cut asyik memukul-mukul batu hitam, mengkonsentrasikan diri penuh semangat. Tampaknya menggebu-gebu sekali. Dan Sin Hong yang bingung setelah ditinggal kakek dewa itu tiba-tiba mengambil keputusan tak mau berlatih di tempat itu, tak mau campur dengan Siauw-cut.

Khawatir perkelahian timbul kembali. Padahal bagaimanapun juga dia telah berhutang budi pada anak ini. Anak yang memusuhi dia dan keluarganya! Maka Sin Hong yang tiba-tiba menyelinap keluar sudah beringsut meninggalkan Siauw-cut, menyusuri lorong gua itu dan masih sempat mendergar tepukan-tepukan Siauw-cut berlatih Teng-liong kang untuk akhirnya membelok tiga kali ke kanan dan tiba di luar gua di belakang air terjun!

Tapi di sini Sin Hong lagi-lagi tertegun. Dia mendengar suara orang menangis, menggerung-gerung. Dan Sin Hong yang melompat keluar segera terbelalak ketika melihat si kakek bongkok Bu-beng Siauw-jin ada di situ! Sejenak Sin Hong termangu, mengerutkan kepala di bilik batu karang. Berpikir apa dia harus pergi atau menghampiri kakek itu. Tapi ketika mendengar si kakek bongkok berkali-kali menyebut namanya dan menyesali "kematiannya" di dalam jurang mendadak Sin Hong terharu dan tergetar.

Bagaimanapun kakek itu bukanlah orang jahat. Maka Sin Hong yang iba terhadap kakek ini tiba-tiba menarik napas, melompat dari batu karang dan siap menghampiri kakek itu. Tapi baru dia menarik napas dan melakukan gerakan perlahan, tiba-tiba Bu-beng Siauw-jin mencelat terbang ke batu di mana dia sembunyi dan membentak,

"Siapa di situ?"

Sin Hong terkejut. Dia melihat Bu-beng Siauw-jin tahu-tahu sudah berada di depannya, melotot dan siap menyerang. Tapi begitu melihat dia ada di situ dan masih hidup mendadak kakek ini mengeluh dan tersentak mundur.

"Sin Hong, kau masih hidup?”

Sin Hong mengangguk. "Ya, aku masih hidup, locianpwe. Dan kau harus mengembalikan aku ke Ta-pie-san lagi!”

Kakek ini tertegun, tapi sekejap saja. Karena Bu beng Siauw jin yang tiba-tiba sudah tertawa bergelak tahu-tahu menyambar pinggang anak ini diputar-putar di udara. "Ha-ha, kalau begitu kau ditolong manusia dewa Bu-beng Sian-su, Sin Hong? Kau bertemu dia di dalam jurang sana?"

Sin Hong mengangguk. "Ya, secara kebetulan saja, locianpwe."

"Dan di mana temanmu yang satu itu?"

"Siauw-cut?"

"Ya.”

"Dia juga selamat, locianpwe. Bu-beng Sian-su telah menolong kami berdua!”

"Ha-ha, tapi kenapa ia tak muncul, Sin Hong? Di mana dia?”

Sin Hong ragu-ragu. Dia enggan menjawab, karena membicarakan Siauw-cut berarti mengingatkan dia betapa besarnya permusuhan anak itu. Maka menjawab sambil lalu diapun membalikkan muka, "Siauw-cut tak mau bersamaku locianpwe. Dia mengerjakan urusannya sendiri dan tidak mau diganggu!"

Bu-beng Siauw-jin terbahak. "Tapi kalian tentu mendapat sesuatu dari kakek dewa itu, Sin Hong. Apa yang kau peroleh?"

Sin Hong mengerutkan alisnya. "Tak perlu kau tahu, locianpwe. Yang penting sekarang kembalikan aku ke Ta-pie-san!"

Bu-beng Siauw-jin menghentikan tawanya. Dia juga mengerutkan kening melihat sikap si bocah, membentur pandang mata Sin Hong yang dingin dan keras. Tapi menggelengkan kepala kakek ini tiba-tiba berkata, "Tidak, kau tak perlu kembali ke Ta-pie-san, Sin Hong. Kau harus menjadi muridku dulu selama sepuluh tahun!"

Sin Hong menjengek. "Aku dapat belajar dari ayahku sendiri, locianpwe. Dan aku juga dapat belajar dari kakekku Ciok-thouw Taihiap!”

"Hm, tapi ayahmu sibuk dalam urusan negara, Sin Hong. Kakekmu juga tak mungkin mendidikmu karena dia jauh dari kalian. Juga sudah punya cucu langsung!"

Sin Hong memandang tak senang. "Apa maksudmu, locianpwe?”

"Ciok-thouw Taihiap menganak-emaskan cucunya sendiri, Sin Hong. Kakek itu tak mungkin mau mendidikmu sungguh-sungguh. Dia lebih berat pada cucunya sendiri yang masih ada hubungan darah ketimbang kau yang sama sekali bukan apa-apa baginya!”

Sin Hong marah. "Kau jangan bicara yang tidak-tidak, locianpwe. Engkong Ciok-thouw Taihiap tak membeda-bedakan di antara kami. Dia sama baik terhadap Bi Lan maupun aku!”

"Hm, itu lahirnya, Sin Hong. Kau tak tahu betapa diam-diam Ciok-thouw Taihiap mulai pilih kasih. Dia memberi ilmu pada adikmu Bi Lan itu yang dinamakan Soan-hoan-ciang (Kibasan Angin Taufan)!"

Sin Hong terkejut. "Dari mana kau tahu?"

"Ha-ha, aku si tua bangka ini tahu sejak melihat bayangan kakekmu, Sin Hong. Betapa diam-diam dia memasuki kamar adikmu dan mengajar ilmu silat itu pada Bi Lan, cucunya sendiri!"

Sin Hong mundur, pucat mukanya, jelas tertampar. Tapi anak yang tidak mudah percaya ini tiba-tiba bertanya, suaranya menggigil, "Locianpwe, dapatkah kau buktikan kata-katamu ini? Bagaimana kalau dusta?"

Bu-beng Siauw-jin menyeringai. "Aku si tua bangka ini tak perlu mendustaimu, Sin Hong. Kalau kau tidak percaya boleh kita buktikan. Mari kembali ke Ta-pie-san. Tapi bagaimana kalau omonganku betul? Mau kau menjadi muridku selama sepuluh tahun?"

Sin Hong terlanjur marah. "Boleh. Tapi kalau omonganmu betul, locianpwe. Kalau tidak, kau harus minta maaf pada ibu dan ayah untuk perbuatanmu menculik ini!"

Bu-beng Siauw-jin terbahak. Dia menyambar Sin Hong, lalu melempar dan menangkap anak itu di udara diapun tiba-tiba menjejakkan kakinya, meluncur turun ke bawah lembah sambil tertawa bergelak. “Boleh, tapi kau juga harus menepati janjimu, Sin Hong. Tak boleh menjilat ludah kembali sebagai turunan seorang pendekar...!”

Sin Hong tak menjawab. Dia merasa terpukul dan "sakit hati" oleh cerita Bu-beng Siauw jin itu, cerita yang diam-diam membuat hatinya merintih dan pedih. Tapi Sin Hong yang masih mengharap cerita kakek itu bohong mencoba menguatkan hati dan menekan debaran jantungnya. Dia kurang percaya, tapi ketika Bu-beng Siauw-jin benar-benar mengarahkan tujuannya kembali ke Ta-pie-san tiba-tiba Sin Hong terguncang dan mulai gelisah. Hingga akhirnya, setelah melalui perjalanan dua malam dua hari mereka berdua benar-benar telah tiba di pegunungan itu.

"Sin Hong, bagaimana caramu mengorek Bi Lan?”

Sin Hong terpaku. Dia sekarang benar-benar sudah berada di rumah sendiri, di belakang kamar Bi Lan dengan jantung berdegupan. Tapi Sin Hong yang bingung dan gelisah tiba-tiba malah mendelong dengan kaki menggigil, tak menjawab pertanyaan itu.

Dan Bu-beng Siauw-jin yang tertawa pendek sekonyong-konyong melayang ke kosen jendela, melongok ke dalam. Lalu mengintai sekejap kakek itupun turun kembali dengan muka berseri-seri. "Adikmu didalam, Sin Hong... bersamadhi!"

Sin Hong masih pucat.

"Kenapa kau pucat?" Bu-beng Siauw-jin tertawa. "Bukankah kau datang ke sini untuk membuktikan tuduhanku?"

Sin Hong gemetar bingung. Dia terbelalak memandang kakek itu, tapi melihat Bu-beng Siauw jin tersenyum menyeringai tiba-tiba dia melayang pula ke jendela kamar adiknya. Dengan hati-hati dia melongok, mengintai ke dalam. Dan melihat Bi Lan bebar-benar ada di dalam sedang bersamadhi berjungkir balik tiba-tiba anak ini melayang turun dan berketrukan giginya. “Locianpwe, apa yang harus kulakukan?"

"Wah, kenapa tanya kepadaku? Kau masuk saja ke dalam, Sin Hong. Tanyai saja adikmu itu secara terus terang!"

Sin Hong ragu-ragu. Dan Bu-beng Siauw-jin yang mengerti kebimbangan anak ini tiba-tiba tertawa kecil. "Atau kaupergunakan akalku, Sin Hong. Tarik perhatian adikmu itu keluar dan serang dia secara tiba-tiba!"

Sin Hong mengusap keringat, Entah mengapa setelah Bu-beng Siauw-jin betul-betul menepati janjinya kembali ke Ta pie-san dia jadi gundah dan tidak enak. Merasa betapa diam-diam bibit ketidaksenangan muncul di hatinya, bibit kebencian terhadap kakeknya itu. Ciok-thouw Taihiap! Dan Sin Hong yang merah mukanya tiba-tiba mengangguk.

"Boleh, tapi bagaimana caranya, locianpwe?"

"Ha, mudah saja, Sin Hong. Kao tutup mukamu dengan saputangan dan totok jalan darah di pinggang adikmu itu, tentu dia keluar...!"

Sin Hong mengambil kerikil. Dia minta Bu-beng Siauw-jin pergi bersembunyi, lalu begitu si kakek berkelebat dan dia sudah melayang di jendela kamar adiknya tiba-tiba Sin Hong melepaskan kerikil kecil itu, menotok pinggang adiknya yang sedang bersamadhi. Lalu begitu melihat adiknya membuka mata dan mengeluh tertahan tahu-tahu Sin Hong mendobrak jendela dan melompat masuk!

"Jahanam, siapa kau?"

Bi Lan mengeluarkan bentakan kaget, langsung berjungkir balik dan melayang di depan kakaknya. Tapi Sin Hong yang sudah menutup muka dengan saputangan dan sengaja membisu tiba-tiba tanpa banyak cakap menyerang dan mencengkeram leher adiknya itu! Tentu saja Bi Lan terkejut, dan marah oleh serangan kilat ini gadis itu memekik dan langsung berkelit. Lalu begitu melompat dan menggerakkan kakinya Bi Lanpun sudah menendang dagu Sin Hong dan balas menyerang!

"Tikus busuk, siapa kau?"

Tapi Sin Hong tak menjawab. Dia tak boleh mengeluarkan suara karena Bi Lan tentu mengenalnya, mengenal suaranya karena bagaimanapun juga mereka tak pernah berpisah, sehari-harinya berkumpul di tempat yang sama. Maka Sin Hong yang tidak banyak cakap dan terus menyerang adiknya sudah berkelebat ke sana ke mari dengan cengkeraman dan tamparan, bertubi-tubi menghujani serangan.

Dan Bi Lan yang marah oleh serangan lawan yang tidak menjawab pertanyaannya sudah mengiringi pula gerakan Sin Hong yang mencoba merobohkan adiknya, tentu saja dengan hati-hati agar tidak sampai cidera berat. Tapi Bi Lan yang mempertahankan diri serta balas menyerang tiba-tiba terbelalak.

Dia melihat gerakan-gerakan yang dikenal dari lawannya ini, gerakan dari ilmu silat keluarga mereka. Seperti Cap-jiu-kun dan Khong ji-ciang itu, silat Sepuluh Kepalan dan silat Hawa Kosong itu. Dua ilmu silat yang dimainkan lawannya ini dengan baik, meskipun di sana-sini terdapat variasi-variasi berbeda yang oleh Sin Hong sengaja diubah agar tidak begitu kentara, tidak menyolok karena bagaimanapun juga dia maklum adiknya tentu mengenal gerakan-gerakan ilmu silatnya bila tidak dijanggalkan di sana-sini, sengaja membuat "kacau"! Dan Bi Lan yang terbelalak oleh semua gerakan ilmu silat itu tiba-tiba terkejut dan mendesah. Dua pikiran berkelebat di depannya, bahwa si "tikus busuk" ini adalah Sin Hong atau orang lain yang mencuri ilmu mereka secara dan-diam! Maka Bi Lan yang terkejut serta terbelalak ini tiba-tiba menggigit bibir.

Baginya tak mungkin bahwa lawan bertempur itu adalah Sin Hong. Karena Sin Hong diculik seseorang dan belum kembali! Juga, seandainya Sin Hong kembali untuk apa dia menyerang adiknya sendiri? Gilakah kakaknya itu? Maka kemungkinan ke dua adalah dugaan terakhir, bahwa lawannya ini adalah pencuri tak tahu malu yang menjiplak secara diam-diam ilmu silat keluarga mereka. Tenta sewaktu dia dan kakaknya berlatih. Karena mereka berdua memang berlatih di tempat terbuka!

Maka Bi Lan yang marah oleh kesimpulan ini tiba-tiba memekik. Ia memutar kakinya, mengelak ketika Sin Hong menyambar pundaknya. Dan begiiu merendahkan tubuh sambil mengibas lengan ke depan sekonyong-konyong gadis ini melancarkan serangan yang mengeluarkan deru angin hebat, memukul lambung Sin Hong! "Pencuri busuk, kau robohlah...!!"

Sin Hong tertegun. Dia melihat adiknya memutar lengan dua kali, mendorong dan tahu-tahu menghantam lambungnya. Gerakan yang tidak dikenal. Agaknya Soan-hoan-ciang, Kibasan Angin Taufan. Dan Sin Hong yang terbelalak oleh pukulan ini tiba-tiba tak dapat menghindar ketika serangan adiknya datang.

"Dess!" Sin Hong terpelanting roboh. Dia mengeluh kaget oleh pukulan itu, terguling-guling dan melompat bangun, terbelalak memandang adiknya.

Tapi Bi Lan yang sudah menjadi girang bahwa lawan dapat dirobohkan dengan ilmu silatnya yang terakhir itu sudah menubruk sambil melengking tinggi. "Pencuri hina, kau robohlah...!”

Tapi kali ini Sin Hong tak mendelong. Dia mengegos ke kanan, dan begitu Bi Lan lewat di sampingnya mendadak jarinya mencengkeram punggung. Tapi Sin Hong terkejut. Bi Lan ternyata menggeliatkan pinggang, dan begitu dua muka saling berhadapan sekonyong-konyong Bi Lan membentak dan mendorongkan lengan kirinya, menghantam dada.

"Pencuri hina, robohlah... plak!"

Dan Sin Hong yang terjengkang ke belakang tiba-tiba roboh terpelanting oleh pukulan Bi Lan yang tidak dikenal! "Aah...!" Sin Hong benar-benar terkejut. Dia terbelalak oleh gaya pukulan yang aneh dari adiknya itu. Tapi baru dia melompat bangun untuk yang kedua kalinya mendadak sebuah bayangan berkelebat. Sin Hong melihat ibunya nomor dua muncul, Ceng Bi, ibu kandung dari adiknya itu.

Dan begitu melayang masuk ke dalam kamar tiba-tiba Ceng Bi menyambar Sin Hong dan merenggut lepas kedok sapu tangannya. "Bocah, siapa kau?"

Sin Hong berusaha mengelak. Dia terperanjat melihat munculnya ibu Bi Lan ini, tapi karena kalah cepat dan kaget oleh sambaran tak disangka itu tahu-tahu kedoknya terbuka direnggut Ceng Bi!

"Brett...!" Sin Hong mengeluarkan keluhan pendek. Dia tak dapat menyembunyikan dirinya kini, dan Ceng Bi serta Bi Lan yang melihat Sin Hong tertegun memandang mereka tiba-tiba berteriak tertahan dengan mata terbelalak.

"Sin Hong, kau kiranya?"

"Hong-koko, kau yang datang...?"

Tapi ketawa serak seorang kakek tiba-tiba memecah kekagetan ibu dan anak ini. Bu-beng Siauw-jin muncul, dan kakek bongkok yang langsung melompat di dekat Sin Hong itu sudah menepuk-nepuk pundak si anak. “Sin Hong, bagaimana kata-kataku tadi? Bohongkah si tua bangka ini?"

Sin Hong menggigil. Dia pucat memandang Bi Lan, tapi menganggukkan kepala dia bicara gemetar, “Kau benar, locianpwe. Adikku... adikku itu mendapat warisan Soan-hoan-ciang.”

Ceng Bi dan Bi Lan terkejut. Mereka tertegun melihat bahwa Sin Hong muncul di situ, datang bersama seorang kakek bongkok yang tidak dikenal. Tapi Bi Lan yang sudah menjadi girang melihat kakaknya selamat tiba-tiba menubruk ke depan.

"Hong-ko, siapa kakek ini? Kenapa kau menyerangku?"

Tapi Sin Hong tiba-tiba bersikap dingin. Dia melepas pelukan adiknya itu, lalu memutar tubuh dia menghadapi Ceng Bi. "Ibu, tolong kau sampaikan pada ayah bahwa aku mengikuti kakek ini sepuluh tahun lamanya. Aku terikat perjanjian. Tak akan pulang sebelum waktunya habis...!"

Ceng Bi terkejut. "Sin Hong, apa yang terjadi pada dirimu? Siapa kakek ini?"

Bu-beng Siauw jin terbahak. "Aku Bu-heng Siauw jin, nyonya. Orang menjulukiku si Naga Bongkok!"

Ceng Bi terbelalak. "Si Naga Bongkok?"

"Ya, kau tak mengenalku, hujin (nyonya). Tapi ayahmu si Pendekar Kepala Batu itu pasti mengenalku dengan baik. Katakan saja si Naga Bongkok tahu perbuatannya yang tidak adil. Karena itu aku ingin membawa Sin Hong untuk menjadi muridku!"

Ceng Bi tiba-tiba melompat maju, mulai marah. "Tua bangka, tahukah kau siapa anak ini? Tahukah kau siapa Sin Hong?"

"Ha-ha, aku tahu, hujin. Dia adalah putera Pendekar Gurun Neraka bersama isterinya pertama, Kwan-hujin murid si keledai gundul dari Tibet itu. Kau tanya ini, bukan?"

"Ya, dan tahukah kau bahwa Sin Hong juga anakku sendiri?”

"Ha-ha, tapi yang melahirkan bukan kau, hujin. Ibu kandung anak ini bukan kau orangnya!"

"Betul, tapi dia kuanggap anak kandungku sendiri, Naga Bongkok. Anak enci Hong bukan anak lain bagiku!"

"Ah, tapi anak ini mengalami kekecewaan, hujin. Apa yang kau bilang tidak berlaku bagi kakeknya!"

"Apa maksudmu?”

"Anak ini boleh kau anggap anakmu, hujin. Tapi Ciok-thouw Taihiap tak menganggap Sin Hong sebagai cucunya!"

"Keparat,...!" Ceng Bi membentak,siap menerjang. "Apa arti omonganmu ini, tua bangka? Kau hendak mengacau rumah tangga orang?"

Bu-beng Siauw-jin tertawa. "Jangan marah dulu, hujin. Aku tak hendak mengacau rumah tangga orang. Aku punya bukti...!" lalu menghadapi Bi Lan tiba-tiba kakek itu bertanya, "Nona, dari mana ilmu pukulan Soan-hoan-ciang itu kau dapat?"

Bi Lan terkejut. Gadis ini tak segera menjawab, mukanya merah. Dan Ceng Bi yang melihat anaknya menggigil oleh pertanyaan itu tiba-tiba maju selangkah menghampiri puterinya. Ia tak tahu tentang apa itu Soan hoan-ciang. Maka mendengar pertanyaan si bongkok tentang ilmu silat ini kontan iapun tertegun dan membelalakkan matanya, mencengkeram pundak Bi Lan.

"Lan-ji, apa maksud kata-kata kakek itu? Betulkah kau memperoleh atau mempelajari Soan-hoan-ciang?"

Bi Lan masih tak menjawab. Ia tiba-tiba terisak, dan Ceng Bi yang marah melihat puterinya tak segera menjawab tiba-tiba mengguncang pundak anak itu. "Bi Lan, kau tak punya mulut? Kau tak dapat menjawab pertanyaan ini?"

Bi Lan tiba-tiba menangis. Ia memeluk ibunya, dan anak perempuan yang tampak bingung dan ketakutan itu menganggukkan kepalanya dengan terpaksa. "Ya, aku... aku benar mendapat ilmu Soan-hoan-ciang ini, ibu... aku... aku telah melatihnya secara diam-diam...!"

Ceng Bi terkeiut. Tapi Bu-beng Siauw jin yang menyeringai gembira tiba-tiba menepuk pahanya. “Nah, apa kataku, hujin? Bukankah anakmu mendapat warisan ilmu pukulan itu? Ayahmu tak adil, berat sebelah terhadap cucu dari menantunya sendiri!"

Ceng Bi tiba-tiba memutar tubuh anaknya "Bi Lan benarkah engkongmu yang mengajarkan Ilmu pukulan itu? Kapan kau dapat?"

Bi Lan tersedu-sedu. "Aku... aku mendapatnya setahun yang lalu, ibu. Ketika kong-kong datang berkunjung ke mari!”

Ceng Bi seketika tertegun. Ia kaget dan tak menyangka perbuatan ayahnya itu, yang merusak dan menikam perasaan Sin Hong, bocah yang tentu saja merasa di anak tirikan oleh ayahnya. Ciok thouw Thaihiap! Dan sementara nyonya muda ini merjublak bengong tiba-tiba dua buah bayangan berkelebat.

Itulah Pek Hong dan Ceng Han, madu serta kakak dari nyonya muda ini. Dua orang yang datang karena mendengar suara ribut-ribut. Dan Pek Hong yang sudah melayang masuk ke kamar Bi Lan tiba-tiba memekik dan berteriak girang begitu melihat Sin Hong ada di situ.

"Hong ji, kau datang, nak?"

Sin Hong tak dapat menahan runtuhnya air mata. Dia sudah ditubruk dan dipeluk ibunya ini, yang begitu gembira dan hampir terguling ketika menubruk dirinya. Tapi Sin Hong yang terisak dan menggigit bibir tak menjawab seruan ibunya tiba-tiba dilepas dan dipandang terheran-heran oleh ibunya ini, yang terbelalak, memandang puteranya dan tiba-tiba kaget ketika mendengar Bi Lan tersedu-sedu, menangis di pelukan ibunya sementara Ceng Bi sendiri pucat memandang Sin Hong!

"Ah, apa yang terjadi Hong ji? Apa yang terjadi, Bi-moi? Siapa kakek ini?"

Pek Hong gemetar. Ia melihat Sin Hong dan Bi Lan sama-sama menangis. Hanya kalau Bi Lan menangis dengan cara wajar, adalah puteranya ini menangis sambil menggigit bibir, mengepal tinju! Dan belum dia mendapat jawaban tiba-tiba Sin Hong melompat keluar!

“Ibu, aku tak dapat menemuimu selama sepuluh tahun. Aku akan mengikuti kakek ini...“

Pek Hong kaget bukan main. Ia langsung berteriak, mengejar puteranya. Dan begitu menginjakkan kaki sambil menyambar punggung Sin Hong tiba-tiba nyonya muda ini membentak. "Hong-ji, apa yang terjadi? Kenapa kau hendak meninggalkan ibu?"

Sin Hong menggigit bibirnya kuat-kuat. "Karena aku kalah perjanjian, ibu... aku kalah bertaruh gara-gara perbuatan kong-kong...!"

Pek Hong seketika tertegun, ia kaget mendengar disebut-sebutnya nama ini, nama kong-kong atau kakek dari dua orang anak itu. Dan Ceng Han yang sudah melompat masuk ke ruangan itu tiba-tiba menyentuh bahu Sin Hong dan bertanya keren, "Sin Hong, apa yang sesungguhnya terjadi? Siapa locianpwe ini?"

Bu-beng Siauw-jin tertawa serak. "Aku Bu-beng Siauw jin, orang muda. Di luar tembok besar orang menyebutku Si Naga Bongkok!"

Ceng Han mengerutkan kening. Dia baru kali itu mendengar nama ini, tapi melihat sinar mata yang tajam berkilat dari kakek ini tiba-tiba dia melangkah maju, memberi hormat. "Maaf, aku belum pernah mendengar namamu, locianpwe. Tapi perkenalkan, aku Souw Ceng Han kakak dari adikku Souw Ceng Bi ini!"

"Ha-ha, aku sudah tahu, anak muda. Mukamu mirip benar dengan wajah ayahmu di kala muda. Hanya kau lebih halus dan tidak berangasan!"

Ceng Han terkejut. "Kalau begitu kau telah mengenal ayah, locianpwe?"

"Ya, tigapuluh tahun yang lalu. Kami pernah bertempur dua hari dua malam!"

Ceng Han membelalakkan mata. Dia semakin terkejut oleh kata-kata kakek ini, orang yang belum pernah dia dengar namanya dari cerita ayahnya. Tapi maklum kakek ini benar-benar lihai terbukti dari matanya yang tajam berkilat. Ceng Han pun bersikap hati-hati, tak berani sembrono. Dan teringat Sin Hong datang bersama kakek ini diapun langsung menuju sasaran. "Dan kau yang membawa Sin Hong, locianpwe?”

“Ya, aku yang membawa ke mari anak itu, orang muda. Dia berjanji untuk menjadi muridku sejak saat ini!"

Tapi Pek Hong tiba-tiba membentak, “Tidak bisa! Peraturan manakah yang mengharuskan ini, orang tua? Tahukah kau betapa cemas aku memikirkan anakku yang hilang?"

Dan Ceng Han menimpali, "Ya, apa yang dikata ibu anak ini benar, locianpwe. Kami bertiga gelisah tak menentu sejak Sin Hong diculik. Karena itu kami mengucap banyak terima kasih bahwa kau telah menolong Sin Hong dari tangan penculiknya!"

Bu-beng Siauw-jin tiba-tiba tertawa bergelak. "Aku tak perlu ucapan terima kasih dari kalian, ji-wi hujin (nyonya berdua). Karena sesungguhnya yang menculik Sin Hong adalah aku sendiri!"

"Ah, kalau begitu apa maksudmu, Naga Bongkok?" Pek Hong terkejut.

Tapi Bu-beng Siauw-jin yang tertawa sambil mengebutkan ujung bajunya ini menuding Sin Hong. "Karena aku kasihan pada anakmu itu, hujin. Karena Ciok-thouw Taihiap telah bertindak tidak adil pada dua orang cucunya!"

Ceng Han terkejut. "Locianpwe,apa maksud omonganmu ini? Kau hendak memfitnah ayah?"

Bu-beng Siauw-jin tertawa mendengar bentakan itu. Dia tenang-tenang saja, tapi kakek yang tiba-tiba menuding Bi Lan itu sudah menjawab sambil menyeringai, "Kau boleh tanya pada keponakanmu perempuan itu, orang muda. Kau tanyalah apa yang telah dilakukan ayahmu terhadap kedua cucunya!"

Ceng Han pucat. Dia melihat Pek Hong juga berobah mukanya, heran tapi juga penasaran. Dan Ceng Han yang memandang keponakannya langsung bertanya, "Bi Lan, apa yang dilakukan engkongmu pada kalian? Apa yang terjadi pada peristiwa ini?"

Bi Lan menangis. "Persoalan Soan-hoan-ciang, supek..."

"Soan hoan-ciang?"

"Ya."

Tapi belum Bi Lan melanjutkan jawabannya tiba-tiba Ceng Bi melangkah maju, menarik napas, tampak berat bicara. Tapi nyonya muda yang sudah menggigit bibir ini langsung menghadapi Ceng Han dan Pek Hong, berseru lirih, "Enci Hong. Han-koko... tak perlu kalian perdebatkan lagi masalah ini. Ayah memang bersalah. Dia telah bertindak pilih kasih terhadap Sin Hong...!"

Ceng Han terbelalak. "Dalam hal apa, Bi-moi? Soan-hoan-ciang itukah?"

"Ya, ayah mengajarkan ilmu ini pada Bi Lan, koko. Melatihnya secara diam-diam sementara Sin Hong dibiarkan saja seperti bukan cucunya!"

"Ahh...!" Ceng Han melangkah mundur, terkejut dan tiba-tiba mengepalkan tinju. "Kalau begitu aku akan menegur ayah, Bi-moi. Kita harus menegur sikapnya yang tidak adil ini!"

Tapi Bu-beng Siauw-jin tertawa. "Percuma, orang muda. Sin Hong terlanjur menjadi muridku dan tak akan mempelajari ilmu silat engkongnya!"

Ceng Han membalikkan tubuh. "Locianpwe, kau agaknya sengaja hendak membuat onar di rumah ini. Apa sebenarnya maksudmu?"

"Ha-ha, aku tak bermaksud apa-apa, orang muda. Kecuali menarik Sin Hong menjadi muridku. Dia harus dapat mengalahkan Soan-hoan-ciang, mewarisi ilmu silatku sebagai tandingan ilmu silat ayahmu yang baru itu!“

Ceng Han mulai marah. Dia memberi isyarat adiknya untuk menjaga pintu keluar, tapi Sin Hong yang melangkah maju tiba-tiba berkata nyaring. "Supek, apa yang dikata Bu-beng Siauw-jin memang benar. Aku akan menjadi muridnya untuk memenuhi janji...!"

Ceng Han tertegun. Dia dan Ceng Bi memandang anak ini, sementara Pek Hong yang mengeluh perlahan tiba-tiba mencengkeram pundak anaknya. "Hong-ji, kau benar-benar ingin meninggalkan ibumu? Kau tak dapat berlatih silat dari ayahmu sendiri?"

Sin Hong terkejut. Dia melihat mata ibunya yang basah ini, siap meledak dalam tangis yang penuh kekecewaan. Tapi Sin Hong yang terlanjur sakit hati terhadap kakeknya dan teringat janjinya sendiri pada Bu-beng Siauw-jin tiba-tiba mengedikkan kepala, mengeraskan hati. "Aku tak dapat menjilat kata-kataku sendiri, ibu. Aku terpaksa mengikuti kakek ini untuk menjadi muridnya!"

"Dan kau tak menunggu dulu ayahmu datang?"

Sin Hong terkejut. Dia sadar akan tiadanya sang ayah di situ, terganti oleh kehadiran pamannya, Ceng Han. Dan Sin Hong yang tertegun oleh kenyataan ini tiba-tiba bertanya lirih, “Ibu, ayah ke manakah?"

"Ke kota raja, Hong-ji. Sri baginda memanggilnya untuk suatu urusan negara!" "Dan kapan kembali?"

"Secepatnya!"

"Ah, kalau begitu aku tak dapat menunggu, ibu. Kau sampaikan saja kepada ayah bahwa aku mengikuti Bu-beng Siauw-jin untuk memenuhi janjiku!"

"Jadi kau benar-benar tak mau tinggal disini?"

"Terpaksa, ibu..."

Dan baru ucapan itu selesai dikeluarkan tiba-tiba Pek Hong melompat mundur dengan mulut terisak, mencabut senjata dan membentak pada Bu-beng Siauw-jin, “Baik. Kalau begitu kau harus dapat mengalahkan aku, Naga Bongkok. Kalau tidak percuma kau membawa anakku..." dan Pek Hong yang sudah memutar rantai peraknya tiba-tiba melompat ke depan dengan airmata bercucuran.

"Naga Bangkok, kau robohkanlah aku...!”

Sin Hong terkejut. Dia melihat ibunya tiba-tiba sudah menyerang kakek bongkok itu, mendesing rantainya dalam gerak Hong-thian-lo-hai-kun dengan terjangan ganas. Tapi si kakek bongkok yang maklum dia harus menunjukkan kepandaiannya tiba-tiba tertawa, mengulur lengan dan menampar rantai perak si nyonya muda.

"Yap-hujin, tak perlu kau maju seorang diri. Kalian semua boleh mengeroyokku... plak!"

Pek Hong tersentak. Dia melihat ujung rantainya melenceng ke kiri, dipukul tamparan si kakek bongkok. Tapi Pek Hong yang membentak nyaring sudah bertubi-tubi melancarkan serangan. Ia melanjutkan kegagalannya tadi dengan babatan miring, menghantam dan bertubi-tubi menyerampang kakek itu dengan rantainya yang bersuitan, bergelombang naik turun. Bahkan meliuk dan melingkar bagai ular yang mematuk kiri kanan, naik turun dengan indah tapi dahsyat bukan main.Dan tubuhnya yang berkelebatan kian ke mari dengan pengerahan gin-kang Coan goat hui (Terbang di Atas Bulan) sudah membuat tubuh nyonya muda ini berseliweran lenyap membentuk gulungan cahaya putih yang naik turun mengelilingi si kakek bongkok.

Tapi mengejutkan sekali Bu-beng Siauw jin ternyata ganda ketawa mendapat serangan ganas ini. menggeser kaki maju mundur tapi sama sekali tak pernah melompat, apalagi menjauhi serangan Pek Hong yang gencar bagai ombak samodera di laut luas, selalu berhasil mengelak dan bahkan menolak sambaran rantai yang bertubi-tubi menghujani tubuhnya dengan cepat tapi tepat. Dan Pek Hong yang merasa betapa dari lengan kakek itu tiba-tiba muncul tenaga kuat yang selalu mendorong senjatanya hingga menyeleweng tak pernah mengenai tubuh si kakek bongkok jadi terkejut setengah mati ketika suatu saat kakek itu membentaknya dan mengebutkan ujung lengan baju.

"Yap-hujin, hati-hati. Aku akan mulai membalas...!"

Dan Pek Hong terbalalak. Dia melihat kakek itu memutar tubuh, setengah lingkaran, menghindar sambaran rantainya yang meluncur ke dahi si kakek bongkok. Lalu begitu senjata lewat di atas kepalanya mendadak kakek ini menggerakkan lengan dengan cepat memukul rantai yang mendesing di sisi kepalanya itu.

"Plak...!" Pek Hong menjerit, ia merasa gempuran tenaga yang luar biasa dahsyat pada pukulan ini, membuat lengannya lumpuh danrantainya mencelat, jatuh di atas lantai. Dan sementara dia bengong dengan muka kaget tahu-tahu kakek itu telah mendorongkan lengan kirinya ke punggung sambil tertawa.

"Hujin, beristirahatlah!"

Pek Hong tak dapat mengelak. Ia mengeluh ketika punggungnya didorong tenaga yang dingin namun kuat, mengangkat dan melemparnya ke dinding ruangan. Lalu begitu mengeluh dan berteriak tertahan tahu-tahu nyonya muda ini terbanting membentur dinding. "Bress...!" Pek Hong dan semua orang tertegun.

Ceng Bi terkejut melihat madunya roboh dalam dua balasan si bongkok, mendorong dan memukul lepas rantai di tangan Pek Hong. Tapi Ceng Bi yang sudah memekik sambil mencelat menghampiri Pek Hong segera mengangkat bangun madunya itu dengan suari cemas, "Enci Hong, kau tidak apa-apa?"

Pek Hong bangkit berdiri. Ia tertegun dan terbelalak ke arah lawannya itu, kaget tapi juga tergetar. Terkesiap oleh kehebatan lawan. Namun nyonya muda yang menggelengkan kepalanya sambil menarik napas ini menjawab lirih, "Tidak... aku tidak apa-apa, Bi-moi. Bu-beng Siauw-jin tak melukaiku tapi dia benar-benar hebat...!"

Ceng Bi lega. Ia menepuk-nepuk baju Pek Hong yang kotor oleh debu, lalu membalikkan tubuh ia menghadapi kakaknya. "Han-ko, bagaimana pendapatmu?"

Ceng Han juga terkejut. Ia tak menyangka bahwa begitu cepat si bongkok mengalahkan Pek Hong, padahal isteri Pendekar Gurun Neraka itu bukanlah wanita sembarangan. Tapi maklum si bongkok betul-betul lihai diapun memberi kedipan pada adiknya. "Bu-beng Siauw-jin memang mengagumkan, Bi-moi. Tapi bagaimana pendapat adik Hong sendiri? Relakah dia melepas Sin Hong setelah sedikit mengenal ilmu silatnya ini?"

Pek Hong masih tergetar. Ia tak menjawab pertanyaan itu, bengong tapi mulai girang bahwa kakek yang hendak membawa anaknya ini ternyata hebat. Memiliki ketenangan ilmu silat yang mengagumkan dan juga tenaga sinkang yang dahsyat, terbukti dari pukulannya yang melumpuhkan itu, bahkan membuat rantainya mencelat. Tapi Pek Hong yang masih kurang puas tiba-tiba melangkah maju, berpikir bahwa "demonstrasi" kakek itu perlu diuji lagi. Karena orang yang dapat mengalahkan dirinya memang bukan satu dua melainkan ada beberapa di antaranya orang-orang sakti yang tingkat kepandaiannya sejajar dengan suaminya sendiri, Pendekar Gurun Neraka!

Tapi belum nyonya muda ini mengeluarkan uneg-unegnya tiba-tiba Bu-beng Siauw jin sudah tertawa dan menggoyang tangan. "Hujin, jangan khawatir. Aku tahu kecemasanmu. Kau ingin membuktikan kepandaianku sampai puas, bukan? Nah, majulah... majulah kalian bertiga dan keroyoklah si tua bangka ini. Kalau aku kalah biarlah Sin Hong tak jadi kubawa. Kita bertaruh!”

Pek Hong terkejut. Ia tertegun bahwa si kakek bongkok ini rupanya dapat membaca apa yang dia pikir. Dapat bicara sebelum ditanya. Tapi Ceng Bi yang galak serta marah tiba-tiba melengking tinggi. "Bu-beng Siauw-jin, jangan sombong. Ayah sendiri belum tentu berani menantang kami seperti kau...!”

"Ha, itu karena kalian telah mengenal ilmu silatnya, hujin. Kalau tidak belum tentu kalian dapat melawannya pula. Seperti aku!”

Ceng Bi terkejut. Ia merasa kata-kata kakek ini cengli juga (masuk akal), dan nyonya muda yang tertegun oleh jawaban itu tiba-tiba disambut seruan Ceng Han yang melangkah ke depan, "Baiklah, boleh kita layani maksudnya, Bi-moi. Tapi tak perlu secara berbareng kita maju bersama. Sebaiknya kau dulu atau kau bersama Hong-moi yang mencoba kakek ini. Kalau tidak dapat merobohkannya barulah aku menyusul belakangan!"

Bu-beng Siauw-jin tertawa. "Jangan sungkan-sungkan, orang muda. Aku si tua bangka ini boleh kalian keroyok sesuka hati. Tak perlu menunggu lama. Kalau tidak tentu kalian tak mengenal kepandaian yang kumiliki!"

Ceng Bi menjadi panas, "Kalau begitu serang saja, Han-ko. Kakek ini tampaknya sombong sekali!"

"Ha-ha. boleh, hujin. Silahkan...!"

Ceng Bi langsung mencabut pedang. Ia sudah memungut rantai perak Pek Hong, melempar itu pada kawannya. Tapi melihat Ceng Han masih berdiri tak bergerak nyonya muda ini berseru, "Han-ko, kenapa tak kauturuti kemauan si tua bangka ini? Bukankah dia sendiri yang minta?"

Ceng Han tersenyum, hati-hati sikapnya. "Aku ingin melihat kalian maju duluan, Bi-moi. Kalau dapat merobohkan tentu tak perlu aku capai-capai mengeluarkan tenaga."

"Jadi kau menyusul belakangan?"

"Kalau diperlukan, Bi-moi. Kalian majulah!"

Bu-beng Siauw-jin tertawa kembali. "Yap-hujin, kakakmu ini cerdik. Dia ingin mengetahui dulu aliran ilmu silatku!"

Ceng Bi terkejut. Ia melihat muka kakaknya merah, tanda ditebak secara tepat. Tapi Bu-beng Siauw-jin yang menyeringai kepada mereka sudah mengulapkan lengannya.

"Hayo, tak perlu sungkan-sungkan, ji-wi hujin (nyonya berdua). Kalian maju saja dan lihat berapa jurus aku merobohkan kalian...!"



Pedang Medali Naga Jilid 06

PEDANG MEDALI NAGA
JILID 06
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pedang Medali Naga Karya Batara
"BU-BENG Siauw-jin, kau masih tidak mau menyerahkan anak itu?”

Si kakek tercekat. Dia melompat tinggi, melambung jauh sambil berjungkir balik. Tapi ketika kakinya turun tahu-tahu cambuk si nenek iblis mengenai telinganya. "Tar... kau masih membandal, tua bangka?"

Bu-beng Siauw-jin mendesis. Dia kesakitan oleh babatan cambuk yang panas menyengat itu. Yang membuat telinganya merah dan robek terluka. Tapi karena lawan sudah dekat dan menyerang bertubi-tubi dengan cambuk berduri mau tidak mau kakek inipun terpaksa melayani. "Sin-yan Mo-li, kau nenek jahanam. Kenapa harus mengejar-ngejarku begini?"

"Tak perlu banyak cakap, Siauw-jin. Kau serahkanlah anak itu dan boleh pergi baik-baik!"

"Keparat, kau mau menangmu sendiri, nenek iblis?"

"Tidak, kaulah yang mau menang sendiri.Kau tak mau mengalah pada wanita!"

Maka dua orang yang sudah saling maki dan pukul ini sama-sama menyerang. Sin-yan Mo-li mempergunakan cambuk berdurinya sedangkan si kakek bongkok mempergunakan kedua kaki dan tangannya, membentak-bentak marah. Tapi karena Sin Hong berada di pondongannya dan lawan menyerang gencar akhirnya kakek ini kewalahan. Dia kurang bebas bergerak, kembali menerima dua serangan cambuk yang meledak di leher dan pelipisnya. Dan ketika Sin-yan Mo-li mainkan cambuk dengan amat lihai sekonyong-konyong Sin Hong yang ada di pundak kakek ini dibetot naik dengan gubatan melingkar!

"Siauw-jin, kau tak dapat mempertahankan anak ini. Lepaskanlah dia...!"

Si kakek terkejut. Dia melihat Sin Hong terenggut dari atas pundaknya, melayang ke arah nenek iblis itu. Dan Siauw-jin yang marah oleh perbuatan nenek ini tiba-tiba menjentikkan jarinya menimpuk sebuah kerikil hitam, membentur cambuk si nenek. Dan begitu terdengar suara "tak" yang keras tahu-tahu Sin Hong terlepas dari gubatan cambuk disusul lengkingan marah si nenek iblis.

"Siauw-jin, keparat kau...!"

Dua-duanya sudah menubruk. Masing-masing menyambar Sin Hong, sama cepat dan saling mendahului. Tapi ketika lengan si kakek sudah hampir menyentuh punggung baju Sin Hong tiba-tiba Sin-yan Mo-li melepaskan totokannya. Dia menotok siku kakek itu, membuat lawan mengeluh tertahan, sekejap lumpuh kehilangan tenaga. Tapi si kakek bongkok yang sudah menggetarkan lengan dan membalikkan kakinya tahu-tahu ganti menendang lawan ketika si nenek iblis juga hampir mencekal Sin Hong.

Akibatnya mereka sama gagal, dan begitu si nenek menjerit dengan pekik marah tiba-tiba cambuknya meledak menyambar Sin Hong, menggantikan lengan kanan yang lumpuh ditendang si kakek bongkok. Dan persis cambuk meledak, sekonyong-konyong lengan kiri Bu-beng Siauw-jin didorong ke depan menghantam cambuk lawan yang sudah menggubat Sin Hong.

"Mo-li, lepaskan anak itu. Kau tak berhak memilikinya... tas!" dan cambuk yang tiba-tiba putus dihantam angin pukulan Bu-beng Siauw jin tahu-tahu melempar tubuh Sin Hong ke jurang, menimpa Bu-beng Siauw-cut.

"Hei... bress!" Bu-beng Siauw-cut terhenti teriakannya. Dia sedang terkesima oleh pertandingan dua orang itu, maka begitu Sin Hong menimpa tubuhnya dan dia tak sempat menghindar tahu-tahu keduanya terguling ke dalam jurang, tak ampun lagi, melayang ke bawah dengan amat cepat sekali. Dan Siauw-cut yang kaget melihat dirinya meluncur ke bawah dengan kecepatan luar biasa tahu-tahu menjerit dan mengaduh ketika kepalanya membentur sesuatu di tebing, sesuatu yang keras yang membuatnya tak ingat apa-apa lagi dan pingsan menyusul Sin Hong!

Sementara di atas, si kakek bongkok dan Sin-yan Mo-li yang sama-sama tertegun melihat peristiwa tersebut berlangsung dengan demikian cepatnya di depan mata sedetik terkejut dengan mata tak berkedip. Mereka tak mengira kejadian itu bakal terjadi, tapi begitu sadar dan menggereng marah sekonyong-konyong si kakek bongkok memutar tubuh, menerjang lawannya.

"Mo-li, kau bertanggung jawab atas kematian anak itu!"

Sin-yan Mo-li memekik, "Kau yang bertanggung jawab, tua bangka. Kau yang melempar anak itu ke dalam jurang!"

"Tidak, kau yang merampasnya, Mo-li. Kau yang menjadi sebab dari semuanya ini!"

"Tidak bisa, kau yang menculik anak itu, Siauw-jin. Kau yang menjadi gara-gara dari kematian anak itu...!"

Dan masing-masing pihak yang sudah saling gebrak dan tempur dalam mempertahankan adu pendapat ini sudah sama-sama menerjang dan melanjutkan pertandingan. Si kakek bongkok marah sekali, melancarkan serangan bertubi-tubi dengan tamparan dan pukulan. Sementara Sin-yan Mo-li yang juga merasa tidak bersalah dalam kematian Sin Hong membalas dengan tidak kalah serunya. Masing-masing ingin menang, tak mau mengalah. Tapi ketika si bongkok mulai melancarkan pukulan-pukulan berat si nenek iblis tiba-tiba terdesak.

Sin-yan Mo-li keteter, memaki kalang kabut sambil mainkan cambuknya yang buntung. Dan ketika si bongkok kembali mendorongkan lengannya sambil mengerahkan sinkang memukul ke depan tiba-tiba si nenek menjerit. Ia tak dapat menghindar ketika telapak si bongkok menghantam pundaknya, mengaduh dan langsung terpelanting. Tapi ketika si bongkok melompat maju menyusulinya dengan sebuah pukulan miring mendadak nenek ini melengking tinggi. Secepat kilat dia membalik, lalu begitu pukulan lawan menderu tiba sekonyong-konyong nenek ini melepas tiga panah kecilnya ke dada, leher dan mata si bongkok!

"Bu-beng Siauw-jin, mari kita mati bersama...!"

Si bongkok terkejut. Dia terang tak mau sampyuh dengan lawannya ini. Maka melihat panah meluncur berturut-turut di depan mukanya terpaksa dia menyampok tiga senjata berbahaya itu dengan mengibaskan lengan ke samping. Akibatnya Sin-yan Mo-li selamat, dan ketika dia memukul runtuh panah si nenek mendadak lawannya melompat mundur dan… melarikan diri.

"Tua bangka, tak sudi aku main-main lagi denganmu. Kau carilah mayat anak itu dan mampuslah di dasar jurang...!"

Si kakek menggeram. Dia membentak marah, dan melihat lawan melarikan diri dengan licik diapun mengejar dengan muka berang. "Sin-yan Mo-li, jangan lari kau. Pertanggung jawabkan dulu kematian anak itu!"

Namun si nenek melengking aneh. Dia sudah jauh dari tempat ini, berlari cepat yang membuat tubuhnya terbang bagai siluman. Dan melihat dirinya dikejar si bongkok tiba-tiba dia mengerahkan ginkangnya berkelebat lenyap. Si bongkok ditinggal, sengaja membelak-belok di pohon-pohon cemara yang banyak jumlahnya di situ. Dan ketika si nenek berzig-zag dalam gaya larinya tiba-tiba Bu-beng Siauw-jin sudah kehilangan jejak tak menemukan lawannya lagi, berputar-putar di dalam hutan dan akhirnya kembali ke tepi jurang untuk membanting pantat dan... menangis di situ!

* * * * * * * *

Apa yang terjadi pada dua orang anak ini? Matikah mereka? Hampir dapat dipastikan memang begitu. Sin Hong dan Siauw-cut sama-sama tak sadarkan diri, melayang jatuh di dalam jurang yang dalam. Tapi ketika mereka sudah berada di tengah-tengah mendadak suatu keajaiban terjadi. Saat itu Sin Hong lebih dulu meluncur, duapuluh kaki di bawah Siauw-cut karena memang dialah yang terlebih dulu jatuh. Tapi ketika melewati sebuah gua di tengah dinding jurang tiba-tiba sebuah seruan terdengar disusul berkelebatnya sebuah benda putih melesat dari dalam gua.

"Ah, Thian Yang Maha Agung! Siapa anak-anak ini?"

Dan sebuah jubah menyambar keluar. Jubah ini mengembang, terbuka mirip "papan" yang aneh, menerima tubuh Sin Hong. Dan begitu Sin Hong menimpa kain lebar ini seketika tubuhnya terlempar ke atas mirip seseorang yang jatuh di atas sebuah tempat tidur berpegas melenting sepuluh kaki untuk akhirnya kembali ke "papan” jubah itu dengan guncangan perlahan, habis daya bantingnya yang tinggi akibat meluncurnya tubuh dari mulut jurang.

Lalu begitu dia menimpa papan jubah ini tahu-tahu jubah itu dikedut ke dalam, menyendal masuk dan membanting anak itu dengan lunak disudut gua. Sementara Siauw-cut yang juga menyusul belakangan ternyata mengalami nasib serupa. Orang di dalam gua melempar jubah ke dua, dan begitu jubah berkembang menerima tubuh anak ini tahu-tahu bocah itupun sudah dikedut ke dalam dan terbanting dengan lunak di sebelah kiri gua, berjajar di dekat Sin Hong yang nyaris binasa di dasar jurang!

Dan sekarang orang di dalam gua terbelalak. Dia mengeluarkan seruan lembut, tampaknya terkejut. Tapi begitu tertawa dan memuji kebesaran Tuhan tiba-tiba lengannya diulurkan ke depan. Tidak tampak dia mengusap, tapi Sin Hong dan Siauw-cut yang sama-sama merasa hawa dingin menyentuh muka mereka mendadak sadar dan membuka mata, melompat bangun!

"Sin Hong, kau sudah menjadi siluman?”

Sin Hong tertegun. Dia mendengar suara Siauw-cut, dekat di sebelah kanannya. Tapi Sin Hong yang baru siuman dari pingsannya dan tak melihat apa-apa karena tempat itu gelap jadi mendesis dan mengepalkan tinju. "Siauw-cut, apa kau bilang? Aku menjadi siluman? Apa maksudmu?”

Siauw-cut terkejut. Dia juga tak melihat Sin Hong, karena tempat itu gelap sekali. Tapi dia yang tahu keadaan mereka yang terjatuh didalam jurang dan mengira mereka sudah mati bersama tiba-tiba tertawa. "Ya, kau menjadi siluman, Sin Hong. Kita mati bersama dan rupanya menghuni dasar neraka yang gelap gulita!"

"Keparat, apa maksudmu, Siauw-cut? Siapa yang mati?"

"Ha-ha, kita mati berdua, Sin Hong. Kita terjatuh dari atas jurang yang tinggi sekali. Eh. kau sudah menjadi mahluk halus? Di mana kau, Sin Hong? Apa yang kau perbuat di situ?"

Sin Hong tertegun. Dia terkejut mendengar Siauw-cut bicara bahwa mereka terjatuh ke dalam sebuah jurang, hal yang baru kali itu diketahuinya. Tapi Sin Hong yang tiba-tiba mengaduh ketika mencubit paha segera disambut seruan heran lawannya.

"Sin Hong, ada apa kau? Terpanggang api neraka?"

Sin Hong membentak, "Kau yang melantur, Siauw-cut. Kita belum mati dan tidak menginjak dasar neraka!"

"Eh, mana mungkin, Sin Hong? Kita terlempar di bawah jurang ini. Tak mungkin selamat karena kita tak mempunyai sayap!"

Tapi Sin Hong yang lebih "rasionil" tak menggubris. Dia mendengar cerita bahwa orang yang sudah mati tak mempunyai lagi hubungan dengan badan. Jadi, kalau badan dicubit dan tidak terasa sakit itulah tandanya orang sudah berpisah ke lain jaman. Tapi kalau masih sakit, dan bisa mengaduh ini tanda seseorang masih hidup. Maka, Sin Hong yang tiba-tiba menggeser kakinya ke kanan tiba-tiba mengulurkan lengan. Dia menggerayangi sana-sini, karena mendengar suara Siauw-cut ada di dekat situ. Dan begitu mencekal sesosok lengan dingin tiba-tiba saja anak ini mencengkeram.

"Siauw-cut, kau merasa sakit, bukan?"

Siauw-cut mengaduh. Dia sakit dicengkeram seperti itu, cengkeraman Sin Hong yang kuat mencengkeram lengannya. Tapi Siauw-cut yang marah oleh cengkeraman ini tiba-tiba memukul muka lawan yang ada di depannya. "Sin Hong, lepaskan aku... plak!"

Dan Sin Hong yang seketika mundur dengan mulut mendesis tiba-tiba naik kemarahannya digampar lawan. "Siauw-cut, kau tak tahu diri. Berani kau memukulku?"

Siauw-cut tertawa mengejek. "Aku bukan hanya ingin memukulmu, Sin Hong. Tapi malah ingin membunuhmu!"

"Kalau begitu kenapa kau tolong aku?"

"Siapa menolongmu?"

"Tubuhku tak panas lagi. Demamku hilang!"

"Persetan...!" Siauw-cut tertegun. "Aku tak memberimu apa-apa, Sin Hong. Aku hanya membalurkan obat sesuai permintaan kakek bongkok itu!”

"Hm, kalau begitu aku tetap berhutang budi padamu, Siauw-cut. Biarlah tamparanmu kepadaku kuanggap pembayar hutang!"

"Cis, siapa menghutangimu? Aku tak melepas budi, Sin Hong. Aku ingin membunuhmu...!" dan Siauw-cut yang tiba-tiba mererjang di dalam gelap sudah menyerang Sin Hong dengan kalap.

Tentu saja Sin Hong marah. Dan merasa tenaganya sudah pulih kembali dan demamnya hilang tiba-tiba Sin Hong berkelit dan melompat ke kiri. Dia mendengar desir angin pukulan lawannya, dan begitu tamparan Siauw-cut lewat di samping tubuhnya mendadak anak ini menyambar pundak lawan. "Siauw-cut, hentikan seranganmu. Kalau tidak terpaksa aku akan membalas!"

Siauw-cut meronta. Dia melepaskan pundaknya dari cengkeraman Sin Hong, lalu begitu membentak tiba-tiba muka Sin Hong sudah ditampar kembali. "Sin Hong, aku ingin kau membalas. Jangan bersikap pengecut...plak-plak!" dan muka Sin Hong yang dua kali menerima tamparan membuat anak ini terhuyung dan marah bukan main.

"Siauw-cut, kau iblis jahanam. Tak tahu diri... wutt!" dan Sin Hong yang tiba-tiba melompat ke depan bertubi-tubi menghujani serangan. Dia tak dapat mengendalikan diri lagi sekarang, benar benar marah dan membalas serangan.

Dan begitu anak ini bergerak seraya mainkan tangan dan kakinya tiba-tiba Siauw-cut mengeluh dan terlempar bergulingan. Anak itu terang bukan lawan Sin Hong, putera sang pendekar sakti Gurun Neraka. Dan Siauw-cut yang dihajar pulang balik oleh Sin Hong yang geram akibatnya jatuh bangun di dalam gua. Tapi Siauw-cut benar-benar nekat. Setiap kali dia bangun berdiri selalu dia menyerang Sin Hong, tak perduli tubuhnya yang babak belur. Dan Siauw-cut yang memaki-maki lawan tanpa mengenal kalah itu berteriak membentak-bentak membuat Sin Hong gemas. Hingga akhirnya, ketika Sin Hong tidak dapat mengendalikan diri lagi dan melayangkan pukulannya ke tengkuk Siauw-cut barulah lawannya itu roboh tak dapat bangun kembali!

"Kau menyerah, Siauw-cut?"

Siauw-cut melengking tinggi, "Biar sudah di dasar nerakapun aku tak menyerah, Sin Hong. Kau dan ayahmu berhutang nyawa ibuku!"

"Keparat, kita masih hidup, Siauw-cut. Apakah kau benar-benar ingin minta kubunuh?"

"Bunuhlah... bunuhlah aku. Aku ingin mati kedua kali...!"

Dan Sin Hong yang mengepal tinju dengan gemas ini akhirnya melangkah maju. "Baiklah, aku akan menghentikan suaramu, Siauw-cut. Kau bocah tak tahu diri yang menyebalkan!"

Tapi belum Sin Hong memukul pingsan lawannya ini tiba-tiba gua menjadi terang oleh sinar yang tak diketahui dari mana masuknya. Dan bersamaan dengan terangnya gua mendadak seseorang muncul dengan ketawanya yang lembut.

“Anak-anak, tak perlu kalian bertengkar lagi. Bukankah jelek-jelek kalian senasib jatuh di jurang ini? Nah, diamlah. Kalian seharusnya bersahabat dan tak perlu ribut-ribut...!"

Sin Hong dan Siauw-cut terbelalak. Mereka melihat seorang kakek muncul di situ, tersenyum lembut pada mereka namun mukanya tertutup halimun. Dan Siauw-cut serta Sin Hong yang kaget oleh kehadiran kakek ini tiba-tiba melongo dan akhirnya terkejut setengah mati setelah melihat bahwa kakek itu ternyata "duduk" di tengah udara, mengambang tak bergerak bagai patung batu atau roh yang hidup di alam halus!

Dan Siauw-cut yang kaget oleh pemandangan luar biasa ini tiba-tiba menjerit tanpa dapat ditahan lagi, “Setann ... !" dan anak yang langsung jatuh terduduk di lantai gua itu seketika bengong dan melotot, ngeri tapi juga heran!

Namun Sin Hong yang juga sama-sama terkejut ternyata bersikap lain. Anak ini adalah putera Pendekar Gurun Neraka, jadi tahu akan hebatnya ilmu kesaktian seseorang seperti yang ditunjukkan kakek ini. Maka begitu melihat di depan mereka muncul seorang sakti yang dapat duduk mengambang di tengah udara dan melihat muka kakek itu tertutup halimun tiba-tiba anak ini teringat cerita ayahnya bahwa di dunia ini ada seorang manusia dewa yang disebut Bu-beng Sian-su, seorang tokoh luar biasa yang hebat ilmu kesaktiannya dan hebat pula ilmu kebijakannya. Maka, begitu sadar bahwa dia berhadapan dengan manusia dewa yang luar biasa ini tiba-tiba Sin Hong menjatuhkan diri berlutut dan berseru,

"Sian-su, teecu menghaturkan hormat!"

Siauw-cut melenggong. Dia melihat temannya itu membenturkan jidat di atas tanah, tampak gembira dan berseri-seri, sama sekali tidak takut seperti dirinya! Dan Siauw-cut yang tiba-tiba merah mukanya seketika sadar. Apalagi ketika Sin Hong menyebut "Sian-su" pada kakek itu, nama yang mudah ditebak siapa adanya. Maka begitu sadar dan tahu bahwa dia masih hidup di atas bumi tiba-tiba Bu-beng Siauw-cut juga menjatuhkan diri berlutut dan mengiringi seruan temannya,

"Suhu, teecu juga menghaturkan hormat!"

Sin Hong dan Bu-beng Sian-su terkejut. Mereka mendengar sebutan "suhu" itu, seolah Siauw-cut adalah murid kakek dewa ini. Dan Bu-beng Sian-su yang akhirnya tertawa lepas tiba-tiba bangkit berdiri, masih "mengambang" di tengah udara!

"Anak baik, kau siapakah dan mengapa menyebut suhu kepadaku?"

Siauw-cut berseri-seri. "Karena teecu sudah lama mencarimu, Sian-su. Teecu ingin menjadi muridmu dan mengabdi padamu seumur hidup!"

"Ah, dan namamu?"

"Siauw-cut, Sian su. Bu-beng Siauw-cut!"

Kakek dewa ini tertegun. Sejenak dia terbelalak, tapi Bu-beng Sian-su yang tersenyum lebar tiba-tiba tertawa lembut. "Anak baik, namamu aneh. Kenapa harus menyebut diri sendiri Kerucuk Tanpa Nama (Bu-beng Siauw-cut)? Siapa orang tuamu?"

"Teecu tidak memiliki orang tua Sian-su. Texcu hidup sebatangkara sejak tujuh tahun yang lalu!"

"Oh, dan kau mencariku untuk menjadi murid?"

"Ya, teecu ingin membalas dendam, Sian-su. Teccu ingin mempelajari ilmu kesaktianmu untuk membalaskan kematian ibu teecu!"

Bu beng Sian-su menarik napas. "Siauw-cut, ilmu dipakai bukan untuk membuat keonaran. Mana bisa kau menjadi muridku kalau begitu? Seseorang yang ingin menikmati kebahagiaan tak seharusnya mengotori diri sendiri, Siauw-cut. Dan satu di antara kekotoran itu adalah nafsu dendam!"

Bu-beng Siauw-cut terbelalak. Dia belum mengerti penuh isi dari wejangan itu, namun Bu-beng Sian-su yang melihat sinar kekecewaan di mata anak ini tiba-tiba mengulapkan lengannya ke depan.

"Anak baik, ke marilah. Kau benar-benar ingin belajar silat, bukan?"

Siauw-cut maju dengan girang. "Ya, teecu ingin sekali, Sian-su. Harap kau tak menolak keinginanku!"

"Baiklah, tapi mampukah kau memenuhi permintaanku, Siauw-cut? Aku mempunyai dua permintaan. Kalau dapat kau lakukan saat ini juga aku akan memberimu petunjuk-petunjuk dasar tentang ilmu silat!"

Siauw-cut tertegun. "Permintaan apa, Sian-su?"

Bu-beng Sian-su tersenyum. "Sederhana saja, anak baik. Pertama kau carilah seorang ahli pedang berjuluk Bu-tiong-kiam dan yang ke dua kau pecahkanlah rahasia dari syair ini. Bu tiong kiam boleh membantumu. Kalau jawaban sudah kau peroleh bolehlah kau datang ke mari lagi menemuiku sewaktu-waktu!"

"Ah, hanya itu, Sian-su?"

"Ya, hanya itu Siauw-cut. Tapi kalau kedua-duanya belum berhasil kau kerjakan tak boleh kau menemuiku."

"Baik, tapi apa perlunya mencari Bu-tiong kiam ini, Sian-su? Dan di mana dia?"

Bu-beng Sian-su tertawa. "Siauw-cut, kalau aku memberitahumu di mana dia berada lalu apa gunanya aku menyuruhmu? Kau harus mencarinya sendiri, Siauw-cut, tak boleh bertanya kepadaku. Tapi tentang maksud keperluannya bolehlah kau ketahui sekarang, yakni untuk mengambil sesuatu di Gua Naga. Kau bantulah orang itu dan ikutlah baik-baik dengannya selama rahasia syair belum terjawab!"

Siauw-cut bangkit berdiri, tertarik hatinya. "Sian su, syair bagaimanakah yang harus kujawab itu? Bisakah sekarang kulihat?"

"Boleh, tapi tunggu dulu, Siauw-cut. Siapa temanmu ini?"

Siauw-cut terkejut. Dia sadar bahwa Sin Hong ada di situ, diam tak membuka suara ketika dia bercakap-cakap dengan si kakek dewa. Dan Sin Hong yang menjatuhkan dirinya berlutut segera menjawab, "Teecu Sin Hong, Sian-su. Yap Sin Hong putera Pendekar Gurun Neraka!"

"Ah, kau putera pendekar sakti itu, anak baik?"

"Ya, dan teecu telah mendengar banyak tentang dirimu, Sian-su. Ayah dan ibu bercerita tentang kesaktian Sian-su yang tiada tara!"

Bu-beng Sian-su tertawa. "Anak baik, ayah dan ibumu memang suka menyanjung-nyanjung orang. Bagaimana kau bisa terjatuh di jurang ini?"

Sin Hong menggeleng. "Teecu tak tahu, Sian-su. Tapi sebelumnya teccu dibawa si kakek bongkok Bu-beng Siauw-jin!"

Dan Siauw-cut menyambung. "Ya, dia terjatuh di jurang ketika kakek bongkok mempertahankannya dari serangan Sin-yan Mo-li, Sian-su. Teecu tertimpa dan kami berdua sama sama masuk ke jurang!"

Bu-beng Sian-su menghela napas. "Sin Hong, sekarang apa yang kau ingini setelah kalian sama-sama berada di sini?"

"Teecu ingin pulang, Sian-su. Teecu ingin menjumpai ibu yang tentu cemas mengharap-harap kedatangan teecu!"

"Hm, kau tak ada niatan lain selain itu, anak baik?"

Sin Hong berdegup. Dia mendengar ajakan tersembunyi di balik kata-kata kakek dewa ini, dan Sin Hong yang mendengar banyak tentang Bu-beng Sian-su dari ayah ibunya bahwa kakek itu dapat dimintai petunjuk tentang apa saja yang diperlukan orang tiba-tiba bangkit berdiri membungkukkan tubuhnya. "Sian-su, kalau dikabulkan teecu ingin mendapat petunjuk barang sedikit tentang ilmu silat. Apakah bisa teecu peroleh?"

Bu-beng Sian-su tertawa. "Kau sama seperti temanmu, Sin Hong. Ilmu silat juga yang diminta. Tapi bukankah ayahmu sudah merupakan pendekar sakti yang pilih tanding? Untuk apa minta petunjuk lagi?"

"Tidak, ayah sendiri mengakui kesaktianmu, Sian su. Bagaimanapun juga aku yang bodoh mohon petunjuk!"

"Dan kau ingin pula mengetahui syair yang hendak kuberikan pada Bu beng Siauw-cut ini, Sin Hong?"

"Kalau kau perkenankan, Sian-su. Karena tecu tahu bahwa apa yang kau berikan pada seseorang pasti berharga dan berguna bagi hidupnya!"

Bu-beng Sian-su tersenyum lebar. "Baiklah, aku tak menjanjikan sesuatu yang muluk-muluk pada kalian, anak-anak. Tapi bila kalian dapat mengerti inti sari dari syair ini satu hal yang jelas kalian peroleh: yakni kalian menjadi orang pandai yang tahu tentang hidup dan kehidupan!" lalu menggurat sesuatu didinding gua kakek ini tiba-tiba membalikkan tubuh dan melakukan corat-coret dengan cepat.

Sin Hong dan Siauw-cut memandang terbelalak oleh coretan cepat yang halus di dinding gua itu, takjub melihat kakek ini dapat mengguratkan jari-jarinya di dinding yang keras itu sebagai menggurat sepotong agar-agar! Dan begitu kakek ini selesai dan membalikkan tubuhnya berkatalah kakek itu sambil tertawa menghadapi mereka,

"Kalian dapat membacanya, anak-anak?"

Sin Hong dan Siauw-cut tertegun. Mereka melihat tujuh kalimat tersusun rapi di situ huruf-huruf indah yang mengukir dinding gua bagai dilukis. Dan Siauw-cut serta Sin Hong yang sudah sama-sama mengedikkan kepalanya segera membaca:

Berikan canang
pukullah bende
lekatkan benang
di atas mega
jadilah orang
hidup berguna
rautlah itu sepanjang masa!


"Ah, apa artinya ini, Sian-su?” Siauw-cut tiba-tiba berseru, heran tak mengerti.

Tapi Bu-beng Sian-su yang tertawa kecil tiba-tiba mengangkat lengannya. "Kau yang harus menjawab, Siauw-cut, bukan aku. Tak boleh bertanya!"

Siauw-cut tertegun. Dia melihat Sin Hong juga terpaku, memandang dan akhirnya melirik kepadanya. Tapi putera Pendekar Gurun Neraka yang menarik napas itu tiba-tiba menggeser kakinya. "Sian-su, bolehkah kutanya satu hal?"

"Hm, apa yang hendak kau tanya, anak baik?” Bu-beng Sian-su tersenyum.

"Jawaban dari syair ini, Sian-su. Tidakkah kau memberi ancer-ancer kepada kami untuk menemukan kuncinya?"

Bu-beng Sian-su tertawa. "Kau cerdik, Sin Hong. Baiklah, boleh juga kujawab pertanyaan ini!" lalu mengebutkan jubahnya dua kali kakek dewa itu tiba-tiba menuding, menggurat tujuh kali di udara dan berseru, "Lihatlah baik-baik, anak-anak. Jawaban ini sudah terletak di syair itu sendiri. Kalian tinggal berlari secara zig-zag dan memungut yang penting lalu menghubungkannya satu demi satu maka terjawablah syair ini! Kalian jelas?"

Sin Hong dan Siauw-cut bengong. "Kami tidak jelas Sian-su. Berlari dan memungut satu persatu? Apanya yang dipungut?"

Bu-beng Sian su tertawa kembali. "Artinya kalian harus menemukan jawaban itu dengan cara sudut-menyudut, anak-anak. Kalian berlari secara silang dan memungut apa yang penting dan lalu dihubungkan satu demi satu untuk mendapatkan jawabannya. Kalian belum paham?"

"Belum."

"Kalau begitu kalian cari, anak-anak. Jawaban yang berharga tak boleh tergesa-gesa diberitahukan!” Bu-beng Sian-su tertawa, mengebutkan lengan dan tiba-tiba berkelebat lenyap, menjadikan gua seketika gelap seperti gelapnya otak mereka yang "buntu" oleh teka-teki aneh itu!

Dan Siauw-cut yang berteriak tertahan tiba-tiba berseru, "Sian-su, bagaimana dengan janjimu? Mana itu petunjuk-petunjuk dasar tentang ilmu silat?"

Bu-beng Sian-su tiba-tiba muncul, membuat gua terang kembali dan mengejutkan dua orang anak ini yang heran oleh kehadirannya yang seperti iblis. Tapi kakek dewa yang tersenyum lebar itu sudah berseri memandang mereka. "Kalian benar-benar ingin menagih janjiku, anak-anak?"

Sin Hong melompat girang. "Tentu saja, Sian-su. Aku yang bodoh ingin minta petunjukmu tentang pelajaran silat ini!"

Namun Siauw-cut melompat ke depan, menghadang marah. "Tapi aku yang lebih dulu dijanjikan, Sin Hong. Kau tak boleh nebeng saja keberuntungan yang kudapat!"

Sia Hong terkejut. "Tapi aku juga mendapat janji Sian su, Siauw-cut. Aku tak nebeng keberuntunganmu seperti yang kau katakan!"

"Tapi buktinya kau ikut-ikutan, Sin Hong. Kau merebut hakku secara tak tahu malu!”

"Keparat...!" Sin Hong marah, dan mereka yang mulai bertengkar untuk urusan ini tiba-tiba disambut seruan Bu beng Sian-su.

"Anak-anak, jangan berkelahi. Masing-masing dari kalian mendapat bagian yang sama!" lalu mengambangkan lengannya ke kiri tiba-tiba kakek ini turun ke tanah, mengusap keduanya dengan jari-jari lembut, membuat Sin Hong dan Siauw-cut terkejut karena merasa betapa kepala mereka yang tadi "panas" sekonyong-konyong dingin! Dan begitu mereka sadar bahwa permusuhan tak ada gunanya tiba-tiba kakek dewa inisudah melanjutkan kata-katanya sambil tertawa.

"Anak-anak, kalian ke mari berbareng. Karena itu secara berbareng pula kuberikan pada kalian petunjuk-petunjuk tentang mempelajari hawa sakti. Kalian ingin mempunyai sinkang yang kuat, bukan?"

Sin Hong sudah girang luar biasa. "Justeru itu yang teecu harapkan, Sian-su. Teecu mohon secepatnya pelajaran ini diturunkan!"

Siauw-cut tak mengerti. Dia masih nol tentang ilmu silat, tapi melihat Sin Hong sudah girang luar biasa mendengar kata-kata Bu-beng Sian-su tahulah dia bahwa apa yang akan diajarkan kakek itu tentu sesuatu yang penting sekali. Setidak-tidaknya dasar ilmu silat yang tinggi tingkatnya! Maka Siauw-cut yang tersenyum lebar dengan muka berseri ini juga mengangguk. "Ya, boleh kauturunkan sekarang, Sian su. Teecu juga siap mempelajari!"

Bu beng Sian-su tertawa. Dia melepaskan keduanya, lalu menuding ke depan dia berkata, "Kalian lihat dua batu hitam itu, anak-anak?"

Sin Hong dan Siauw-cut mengangguk.

"Nah, sekarang masing-masing ke sana. Sin Hong ke sebelah kiri dan Siauw-cut ke kanan. Kalian raba bagaimana keadaan batu hitam itu, anak-anak?"

"Dingin, Sian su," Sin Hong menjawab.

"Ya, dan keras!" Siauw-cut menyambung.

Dan dua orang anak yang masih tak mengerti oleh maksud kata-kata kakek ini tiba-tiba disuruh duduk bersila. Tapi ketika keduanya duduk bersila di atas batu itu mendadak Bu-beng Sian-su menggoyang lengannya,

"Tidak, bukan bersila di atasnya, anak-anak. Tapi di sebelah batu itu. Kalian di depannya!"

Sin Hong dan Siauw-cut menurut. Lalu begitu sudah duduk dengan baik berkatalah kakek ini dengan suara sungguh-sungguh, "Sekarang atur napas kalian, anak-anak. Pukul batu itu dengan telapak tangan kalian.”

Sin Hong dan Siauw-cut mulai memukul. Mereka menepuk-nepuk batu hitam itu, setengah heran setengah tak mengerti kenapa pelajaran sin-kang harus dimulai dengan memukul-mukul batu! Tapi ketika mereka memukul dengan cara tak berirama tiba-tiba Bu-beng Sian-su melangkah maju dan tersenyum lebar.

"Anak-anak, kalian salah. Pukulan harus berirama...!"

Sin Hong dan Siauw-cut menghentikan gerakannya. Mereka melihat Bu-beng Sian-su sudah duduk di depan mereka, tapi sebelum memberikan contoh kakek ini memandang Sin Hong.

"Anak baik, kau tahu tentang apa yang dinamakan sinkang (hawa sakti), bukan?”

“Ya."

"Apa itu?"

"Tenaga dalam, Sian-su. Pemupukan tenaga dalam ditubuh kita agar menjadi kuat dan dahsyat!"

Bu-beng Sian-su tertawa. "Ya, tapi tahukah kau bahwa melatih sinkang tak boleh dilakukan secara sembarangan, Sin Hong? Tahukah kau ada intinya melatih sinkang ini?" dan belum Sin Hong menjawab Bu-beng Sian-susudah melanjutkan sendiri, "Melatih sinkang pada dasarnya melatih napas, anak baik. Karena napas adalah penghantar getaran tenaga yang dapat menjadi luar biasa bila digunakan secara tepat. Kau tahu tentang ini, bukan?"

Sin Hong mengangguk.

"Nah, kalau begitu ada berapa macam jenis melatih tenaga ini?"

"Dua, Sian-su, gwakang (tenaga luar) dan Iweekang (tenaga dalam)."

"Bagus, kalau begitu kau tahu apa beda dari keduanya ini?"

"Gwakang untuk melatih otot, Sian-su. Sedang Iweekang atau sinkang untuk melatih kekuatan batin kita!”

Bu-beng Sian-su tertawa. "Boleh dikata begitu, anak baik. Tapi yang jelas ialah gwa-kang harus menyentuh langsung sasaran yang dituju sedang tenaga dalam atau lweekang boleh langsung atau tak langsung menyentuh obyek yang kita tuju! Kau mengerti, bukan?"

Sin Hong mengangguk. Tapi Siauw-cut yang tidak mengerti tiba-tiba bertanya, "Kalau begitu dapat kau beri sebuah contoh kepada kami, Sian-su?"

Bu-beng San-su membalik. "Baik, lihat ini, Siauw-cut. Tenaga luar atau gwakang adalah tenaga penghancur yang langsung menuju sasarannya. Seperti ini... plak!"

Dan Bu beng Sian-su yang tiba-tiba memukul hancur batu di sebelah kanannya dipandang terbelalak oleh Bu beng Siauw-cut. Tapi si anak yang mendelong tiba-tiba dikejutkan oleh seruan ke dua kakek dewa itu.

"Dan yang ini adalah tenaga dalam, Siauw-Cut. Kita tak perlu menyentuh sasarannya tapi obyek yang kita tuju juga dapat remuk dan hancur melebihi tenaga yang pertama! Lihat, wutt...!" dan lengan si kakek dewa yang tiba-tiba didorongkan ke dinding gua mendadak memperdengarkan suara gemuruh seperti bendungan jebol diterjang air bah.

Tapi Siauw-cut tak melihat apa-apa. Dinding gua yang dipukul Bu-beng Sian-su hanya bergetar sedikit, lalu diam. Tak ada yang remuk, apalagi hancur. Tapi Sin Hong yang lebih mengerti tentang teori tenaga dalam tiba-tiba berteriak kaget. Anak ini melompat bangun, menjulurkan lengan menyentuh dinding gua itu. Namun baru angin gerakannya tiba dan lengan masih sejengkal lagi tahu-tahu dinding gua itu mengeluarkan suara keras dan roboh menjadi tepung!

"Ah. hebat, Sian-su. Gua ini hancur...!"

Siauw-cut tertegun. Dia mendengar pekik Sin Hong itu, pekik penuh kekaguman yang keluar secara spontan. Dan Siauw-cut yang bangkit berdiri oleh pemandangan luar biasa ini tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan kakek dewa itu. "Sian-su, tolong ajarkan aku ilmu kesaktian ini...!"

Bu-beng Sian-su tertawa. "Memang hendak kuajarkan, anak baik. Sekarang kalian tahu perbedaan tenaga luar dan tenaga dalam, bukan?"

Sin Hong juga menjatuhkan diri berlutut. "Ya, kami tahu, Sian-su. Bahwa tenaga dalam bisa langsung atau tidak langsung menghancurkan sasaran sedang tenaga luar harus langsung dilakukan untuk menghancurkan sasaran!"

"Bagus, memang begitu perbedaannya, anak baik. Tapi tahukah kalian bagaimana cara melatih tenaga dalam yang benar ini?"

"Teecu mohon petunjuk, Sian-su."

Dan Bu-beng Sian-su yang sudah duduk di depan batu hitam segera memberi petunjuk. "Perhatikan, anak-anak. Pertama kita harus mengkonsentrasikan diri pada batu hitam ini dan ke dua mulai mengatur napas untuk mengiringi pukulan secara berirama. Artinya, kalian harus menarik dan mengeluarkan napas secara teratur sesuai hentakan-hentakan ringan di atas batu hitam ini. Kalian paham sampai di sini?"

Sin Hong mengangguk. Tapi Siauw-cut menggeleng. "Teecu belum jelas, Sian-su. Tolong kau berikan contoh!"

"Baik, lihat ke sini, Siauw-cut," Bu-beng Sian-su tersenyum. "Lihat baik-baik apa yang akan kulakukan ini. Pertama, sebelum mulai memukul kita angkat tangan kita hingga di sisi telinga, menarik napas bersamaan dengan gerakan itu. Lalu begitu tangan kita turunkan dan menepuk permukaan batu hitam maka berbareng itu pula kita keluarkan napas seirama dengan pukulan ini. Kalian jelas? Lihat contohnya. Satu, plak... dua. plak... tiga, plak... empat, plak... begitu seterusnya. Kalian paham, bukan?"

Siauw-cut mengangguk girang. Dia mulai paham akan pelajaran ini, dan begitu mengerti akan apa yang dimaksud Bu-beng Sian-su dia-pun tiba-tiba menepuk permukaan batu hitam itu dengan hentakan-hentakan berirama. Tapi pukulannya terlalu keras, kelewat bersemangat. Dan Bu-beng Sian-su yang tertawa lebar oleh sikap anak ini menegur,

"Siauw-cut, tak perlu buru-buru. Melatih sinkang harus perlahan dan sabar. Kau tekanlah kegembiraan hatimu yang meluap. Satu-persatu, kiri kanan... kiri kanan... begitu seterusnya hingga lima ribu hitungan."

Siauw-cut mengangguk. Dia langsung mempraktekkan pelajaran menghimpun tenaga sakti ini, diawasi dan ditegur Bu-beng Sian-su bila masih mendapatkan kesalahan-kesalahan. Dan Sin Hong yang juga segera berlatih mengikuti Bu-beng Siauw-cut sudah memukul-mukulkan telapak tangannya di batu hitam itu. Mereka berdua mulai menghitung, di dalam hati, sementara Bu-beng Sian-su yang berseri memandang dua orang anak itu tampak gembira dan tersenyum lembut.

Tapi Sin Hong tiba-tiba menghentikan latihannya. "Sian-su, apa nama ilmu menghimpun sin-kang ini?”

Bu beng Sian su tertawa. "Kunamakan Teng-liong-kang (Menghimpun Seribu Naga), Sin Hong. Sesuai dengan maksud kita menghimpun tenaga sedahsyat dan sekuat naga!”

Sin Hong tertegun. Dia tampaknya terkejut, heran dan kagum. Karena memiliki sinkang sekuat dan sedahsyat seribu ekor naga benar-benar bukan suatu barang biasa. Tapi Bu-beng Sian-su yang mengebutkan lengannya tiba-tiba berkelebat lenyap.

“Sin Hong, Siauw-cut, kalian berlatihlah terus. Jangan remehkan ilmu Teng-liong-kang itu. Aku pergi dulu...!"

Sin Hong tercekat. Dia teringat mereka tak mengetahui jalan keluar. Maka melihat Bu beng Sian-su meninggalkan mereka buru-buru anak ini berteriak, “Sian su, bagaimana kami keluar?"

Terdengar jawaban lembut. "Kalian dapat mengikuti lorong gua ini, Sin Hong. Belok tiga kali ke kanan maka kalian sampai di dekat air terjun!"

Sin Hong tertegun. Dia melihat Siauw-cut asyik memukul-mukul batu hitam, mengkonsentrasikan diri penuh semangat. Tampaknya menggebu-gebu sekali. Dan Sin Hong yang bingung setelah ditinggal kakek dewa itu tiba-tiba mengambil keputusan tak mau berlatih di tempat itu, tak mau campur dengan Siauw-cut.

Khawatir perkelahian timbul kembali. Padahal bagaimanapun juga dia telah berhutang budi pada anak ini. Anak yang memusuhi dia dan keluarganya! Maka Sin Hong yang tiba-tiba menyelinap keluar sudah beringsut meninggalkan Siauw-cut, menyusuri lorong gua itu dan masih sempat mendergar tepukan-tepukan Siauw-cut berlatih Teng-liong kang untuk akhirnya membelok tiga kali ke kanan dan tiba di luar gua di belakang air terjun!

Tapi di sini Sin Hong lagi-lagi tertegun. Dia mendengar suara orang menangis, menggerung-gerung. Dan Sin Hong yang melompat keluar segera terbelalak ketika melihat si kakek bongkok Bu-beng Siauw-jin ada di situ! Sejenak Sin Hong termangu, mengerutkan kepala di bilik batu karang. Berpikir apa dia harus pergi atau menghampiri kakek itu. Tapi ketika mendengar si kakek bongkok berkali-kali menyebut namanya dan menyesali "kematiannya" di dalam jurang mendadak Sin Hong terharu dan tergetar.

Bagaimanapun kakek itu bukanlah orang jahat. Maka Sin Hong yang iba terhadap kakek ini tiba-tiba menarik napas, melompat dari batu karang dan siap menghampiri kakek itu. Tapi baru dia menarik napas dan melakukan gerakan perlahan, tiba-tiba Bu-beng Siauw-jin mencelat terbang ke batu di mana dia sembunyi dan membentak,

"Siapa di situ?"

Sin Hong terkejut. Dia melihat Bu-beng Siauw-jin tahu-tahu sudah berada di depannya, melotot dan siap menyerang. Tapi begitu melihat dia ada di situ dan masih hidup mendadak kakek ini mengeluh dan tersentak mundur.

"Sin Hong, kau masih hidup?”

Sin Hong mengangguk. "Ya, aku masih hidup, locianpwe. Dan kau harus mengembalikan aku ke Ta-pie-san lagi!”

Kakek ini tertegun, tapi sekejap saja. Karena Bu beng Siauw jin yang tiba-tiba sudah tertawa bergelak tahu-tahu menyambar pinggang anak ini diputar-putar di udara. "Ha-ha, kalau begitu kau ditolong manusia dewa Bu-beng Sian-su, Sin Hong? Kau bertemu dia di dalam jurang sana?"

Sin Hong mengangguk. "Ya, secara kebetulan saja, locianpwe."

"Dan di mana temanmu yang satu itu?"

"Siauw-cut?"

"Ya.”

"Dia juga selamat, locianpwe. Bu-beng Sian-su telah menolong kami berdua!”

"Ha-ha, tapi kenapa ia tak muncul, Sin Hong? Di mana dia?”

Sin Hong ragu-ragu. Dia enggan menjawab, karena membicarakan Siauw-cut berarti mengingatkan dia betapa besarnya permusuhan anak itu. Maka menjawab sambil lalu diapun membalikkan muka, "Siauw-cut tak mau bersamaku locianpwe. Dia mengerjakan urusannya sendiri dan tidak mau diganggu!"

Bu-beng Siauw-jin terbahak. "Tapi kalian tentu mendapat sesuatu dari kakek dewa itu, Sin Hong. Apa yang kau peroleh?"

Sin Hong mengerutkan alisnya. "Tak perlu kau tahu, locianpwe. Yang penting sekarang kembalikan aku ke Ta-pie-san!"

Bu-beng Siauw-jin menghentikan tawanya. Dia juga mengerutkan kening melihat sikap si bocah, membentur pandang mata Sin Hong yang dingin dan keras. Tapi menggelengkan kepala kakek ini tiba-tiba berkata, "Tidak, kau tak perlu kembali ke Ta-pie-san, Sin Hong. Kau harus menjadi muridku dulu selama sepuluh tahun!"

Sin Hong menjengek. "Aku dapat belajar dari ayahku sendiri, locianpwe. Dan aku juga dapat belajar dari kakekku Ciok-thouw Taihiap!”

"Hm, tapi ayahmu sibuk dalam urusan negara, Sin Hong. Kakekmu juga tak mungkin mendidikmu karena dia jauh dari kalian. Juga sudah punya cucu langsung!"

Sin Hong memandang tak senang. "Apa maksudmu, locianpwe?”

"Ciok-thouw Taihiap menganak-emaskan cucunya sendiri, Sin Hong. Kakek itu tak mungkin mau mendidikmu sungguh-sungguh. Dia lebih berat pada cucunya sendiri yang masih ada hubungan darah ketimbang kau yang sama sekali bukan apa-apa baginya!”

Sin Hong marah. "Kau jangan bicara yang tidak-tidak, locianpwe. Engkong Ciok-thouw Taihiap tak membeda-bedakan di antara kami. Dia sama baik terhadap Bi Lan maupun aku!”

"Hm, itu lahirnya, Sin Hong. Kau tak tahu betapa diam-diam Ciok-thouw Taihiap mulai pilih kasih. Dia memberi ilmu pada adikmu Bi Lan itu yang dinamakan Soan-hoan-ciang (Kibasan Angin Taufan)!"

Sin Hong terkejut. "Dari mana kau tahu?"

"Ha-ha, aku si tua bangka ini tahu sejak melihat bayangan kakekmu, Sin Hong. Betapa diam-diam dia memasuki kamar adikmu dan mengajar ilmu silat itu pada Bi Lan, cucunya sendiri!"

Sin Hong mundur, pucat mukanya, jelas tertampar. Tapi anak yang tidak mudah percaya ini tiba-tiba bertanya, suaranya menggigil, "Locianpwe, dapatkah kau buktikan kata-katamu ini? Bagaimana kalau dusta?"

Bu-beng Siauw-jin menyeringai. "Aku si tua bangka ini tak perlu mendustaimu, Sin Hong. Kalau kau tidak percaya boleh kita buktikan. Mari kembali ke Ta-pie-san. Tapi bagaimana kalau omonganku betul? Mau kau menjadi muridku selama sepuluh tahun?"

Sin Hong terlanjur marah. "Boleh. Tapi kalau omonganmu betul, locianpwe. Kalau tidak, kau harus minta maaf pada ibu dan ayah untuk perbuatanmu menculik ini!"

Bu-beng Siauw-jin terbahak. Dia menyambar Sin Hong, lalu melempar dan menangkap anak itu di udara diapun tiba-tiba menjejakkan kakinya, meluncur turun ke bawah lembah sambil tertawa bergelak. “Boleh, tapi kau juga harus menepati janjimu, Sin Hong. Tak boleh menjilat ludah kembali sebagai turunan seorang pendekar...!”

Sin Hong tak menjawab. Dia merasa terpukul dan "sakit hati" oleh cerita Bu-beng Siauw jin itu, cerita yang diam-diam membuat hatinya merintih dan pedih. Tapi Sin Hong yang masih mengharap cerita kakek itu bohong mencoba menguatkan hati dan menekan debaran jantungnya. Dia kurang percaya, tapi ketika Bu-beng Siauw-jin benar-benar mengarahkan tujuannya kembali ke Ta-pie-san tiba-tiba Sin Hong terguncang dan mulai gelisah. Hingga akhirnya, setelah melalui perjalanan dua malam dua hari mereka berdua benar-benar telah tiba di pegunungan itu.

"Sin Hong, bagaimana caramu mengorek Bi Lan?”

Sin Hong terpaku. Dia sekarang benar-benar sudah berada di rumah sendiri, di belakang kamar Bi Lan dengan jantung berdegupan. Tapi Sin Hong yang bingung dan gelisah tiba-tiba malah mendelong dengan kaki menggigil, tak menjawab pertanyaan itu.

Dan Bu-beng Siauw-jin yang tertawa pendek sekonyong-konyong melayang ke kosen jendela, melongok ke dalam. Lalu mengintai sekejap kakek itupun turun kembali dengan muka berseri-seri. "Adikmu didalam, Sin Hong... bersamadhi!"

Sin Hong masih pucat.

"Kenapa kau pucat?" Bu-beng Siauw-jin tertawa. "Bukankah kau datang ke sini untuk membuktikan tuduhanku?"

Sin Hong gemetar bingung. Dia terbelalak memandang kakek itu, tapi melihat Bu-beng Siauw jin tersenyum menyeringai tiba-tiba dia melayang pula ke jendela kamar adiknya. Dengan hati-hati dia melongok, mengintai ke dalam. Dan melihat Bi Lan bebar-benar ada di dalam sedang bersamadhi berjungkir balik tiba-tiba anak ini melayang turun dan berketrukan giginya. “Locianpwe, apa yang harus kulakukan?"

"Wah, kenapa tanya kepadaku? Kau masuk saja ke dalam, Sin Hong. Tanyai saja adikmu itu secara terus terang!"

Sin Hong ragu-ragu. Dan Bu-beng Siauw-jin yang mengerti kebimbangan anak ini tiba-tiba tertawa kecil. "Atau kaupergunakan akalku, Sin Hong. Tarik perhatian adikmu itu keluar dan serang dia secara tiba-tiba!"

Sin Hong mengusap keringat, Entah mengapa setelah Bu-beng Siauw-jin betul-betul menepati janjinya kembali ke Ta pie-san dia jadi gundah dan tidak enak. Merasa betapa diam-diam bibit ketidaksenangan muncul di hatinya, bibit kebencian terhadap kakeknya itu. Ciok-thouw Taihiap! Dan Sin Hong yang merah mukanya tiba-tiba mengangguk.

"Boleh, tapi bagaimana caranya, locianpwe?"

"Ha, mudah saja, Sin Hong. Kao tutup mukamu dengan saputangan dan totok jalan darah di pinggang adikmu itu, tentu dia keluar...!"

Sin Hong mengambil kerikil. Dia minta Bu-beng Siauw-jin pergi bersembunyi, lalu begitu si kakek berkelebat dan dia sudah melayang di jendela kamar adiknya tiba-tiba Sin Hong melepaskan kerikil kecil itu, menotok pinggang adiknya yang sedang bersamadhi. Lalu begitu melihat adiknya membuka mata dan mengeluh tertahan tahu-tahu Sin Hong mendobrak jendela dan melompat masuk!

"Jahanam, siapa kau?"

Bi Lan mengeluarkan bentakan kaget, langsung berjungkir balik dan melayang di depan kakaknya. Tapi Sin Hong yang sudah menutup muka dengan saputangan dan sengaja membisu tiba-tiba tanpa banyak cakap menyerang dan mencengkeram leher adiknya itu! Tentu saja Bi Lan terkejut, dan marah oleh serangan kilat ini gadis itu memekik dan langsung berkelit. Lalu begitu melompat dan menggerakkan kakinya Bi Lanpun sudah menendang dagu Sin Hong dan balas menyerang!

"Tikus busuk, siapa kau?"

Tapi Sin Hong tak menjawab. Dia tak boleh mengeluarkan suara karena Bi Lan tentu mengenalnya, mengenal suaranya karena bagaimanapun juga mereka tak pernah berpisah, sehari-harinya berkumpul di tempat yang sama. Maka Sin Hong yang tidak banyak cakap dan terus menyerang adiknya sudah berkelebat ke sana ke mari dengan cengkeraman dan tamparan, bertubi-tubi menghujani serangan.

Dan Bi Lan yang marah oleh serangan lawan yang tidak menjawab pertanyaannya sudah mengiringi pula gerakan Sin Hong yang mencoba merobohkan adiknya, tentu saja dengan hati-hati agar tidak sampai cidera berat. Tapi Bi Lan yang mempertahankan diri serta balas menyerang tiba-tiba terbelalak.

Dia melihat gerakan-gerakan yang dikenal dari lawannya ini, gerakan dari ilmu silat keluarga mereka. Seperti Cap-jiu-kun dan Khong ji-ciang itu, silat Sepuluh Kepalan dan silat Hawa Kosong itu. Dua ilmu silat yang dimainkan lawannya ini dengan baik, meskipun di sana-sini terdapat variasi-variasi berbeda yang oleh Sin Hong sengaja diubah agar tidak begitu kentara, tidak menyolok karena bagaimanapun juga dia maklum adiknya tentu mengenal gerakan-gerakan ilmu silatnya bila tidak dijanggalkan di sana-sini, sengaja membuat "kacau"! Dan Bi Lan yang terbelalak oleh semua gerakan ilmu silat itu tiba-tiba terkejut dan mendesah. Dua pikiran berkelebat di depannya, bahwa si "tikus busuk" ini adalah Sin Hong atau orang lain yang mencuri ilmu mereka secara dan-diam! Maka Bi Lan yang terkejut serta terbelalak ini tiba-tiba menggigit bibir.

Baginya tak mungkin bahwa lawan bertempur itu adalah Sin Hong. Karena Sin Hong diculik seseorang dan belum kembali! Juga, seandainya Sin Hong kembali untuk apa dia menyerang adiknya sendiri? Gilakah kakaknya itu? Maka kemungkinan ke dua adalah dugaan terakhir, bahwa lawannya ini adalah pencuri tak tahu malu yang menjiplak secara diam-diam ilmu silat keluarga mereka. Tenta sewaktu dia dan kakaknya berlatih. Karena mereka berdua memang berlatih di tempat terbuka!

Maka Bi Lan yang marah oleh kesimpulan ini tiba-tiba memekik. Ia memutar kakinya, mengelak ketika Sin Hong menyambar pundaknya. Dan begiiu merendahkan tubuh sambil mengibas lengan ke depan sekonyong-konyong gadis ini melancarkan serangan yang mengeluarkan deru angin hebat, memukul lambung Sin Hong! "Pencuri busuk, kau robohlah...!!"

Sin Hong tertegun. Dia melihat adiknya memutar lengan dua kali, mendorong dan tahu-tahu menghantam lambungnya. Gerakan yang tidak dikenal. Agaknya Soan-hoan-ciang, Kibasan Angin Taufan. Dan Sin Hong yang terbelalak oleh pukulan ini tiba-tiba tak dapat menghindar ketika serangan adiknya datang.

"Dess!" Sin Hong terpelanting roboh. Dia mengeluh kaget oleh pukulan itu, terguling-guling dan melompat bangun, terbelalak memandang adiknya.

Tapi Bi Lan yang sudah menjadi girang bahwa lawan dapat dirobohkan dengan ilmu silatnya yang terakhir itu sudah menubruk sambil melengking tinggi. "Pencuri hina, kau robohlah...!”

Tapi kali ini Sin Hong tak mendelong. Dia mengegos ke kanan, dan begitu Bi Lan lewat di sampingnya mendadak jarinya mencengkeram punggung. Tapi Sin Hong terkejut. Bi Lan ternyata menggeliatkan pinggang, dan begitu dua muka saling berhadapan sekonyong-konyong Bi Lan membentak dan mendorongkan lengan kirinya, menghantam dada.

"Pencuri hina, robohlah... plak!"

Dan Sin Hong yang terjengkang ke belakang tiba-tiba roboh terpelanting oleh pukulan Bi Lan yang tidak dikenal! "Aah...!" Sin Hong benar-benar terkejut. Dia terbelalak oleh gaya pukulan yang aneh dari adiknya itu. Tapi baru dia melompat bangun untuk yang kedua kalinya mendadak sebuah bayangan berkelebat. Sin Hong melihat ibunya nomor dua muncul, Ceng Bi, ibu kandung dari adiknya itu.

Dan begitu melayang masuk ke dalam kamar tiba-tiba Ceng Bi menyambar Sin Hong dan merenggut lepas kedok sapu tangannya. "Bocah, siapa kau?"

Sin Hong berusaha mengelak. Dia terperanjat melihat munculnya ibu Bi Lan ini, tapi karena kalah cepat dan kaget oleh sambaran tak disangka itu tahu-tahu kedoknya terbuka direnggut Ceng Bi!

"Brett...!" Sin Hong mengeluarkan keluhan pendek. Dia tak dapat menyembunyikan dirinya kini, dan Ceng Bi serta Bi Lan yang melihat Sin Hong tertegun memandang mereka tiba-tiba berteriak tertahan dengan mata terbelalak.

"Sin Hong, kau kiranya?"

"Hong-koko, kau yang datang...?"

Tapi ketawa serak seorang kakek tiba-tiba memecah kekagetan ibu dan anak ini. Bu-beng Siauw-jin muncul, dan kakek bongkok yang langsung melompat di dekat Sin Hong itu sudah menepuk-nepuk pundak si anak. “Sin Hong, bagaimana kata-kataku tadi? Bohongkah si tua bangka ini?"

Sin Hong menggigil. Dia pucat memandang Bi Lan, tapi menganggukkan kepala dia bicara gemetar, “Kau benar, locianpwe. Adikku... adikku itu mendapat warisan Soan-hoan-ciang.”

Ceng Bi dan Bi Lan terkejut. Mereka tertegun melihat bahwa Sin Hong muncul di situ, datang bersama seorang kakek bongkok yang tidak dikenal. Tapi Bi Lan yang sudah menjadi girang melihat kakaknya selamat tiba-tiba menubruk ke depan.

"Hong-ko, siapa kakek ini? Kenapa kau menyerangku?"

Tapi Sin Hong tiba-tiba bersikap dingin. Dia melepas pelukan adiknya itu, lalu memutar tubuh dia menghadapi Ceng Bi. "Ibu, tolong kau sampaikan pada ayah bahwa aku mengikuti kakek ini sepuluh tahun lamanya. Aku terikat perjanjian. Tak akan pulang sebelum waktunya habis...!"

Ceng Bi terkejut. "Sin Hong, apa yang terjadi pada dirimu? Siapa kakek ini?"

Bu-beng Siauw jin terbahak. "Aku Bu-heng Siauw jin, nyonya. Orang menjulukiku si Naga Bongkok!"

Ceng Bi terbelalak. "Si Naga Bongkok?"

"Ya, kau tak mengenalku, hujin (nyonya). Tapi ayahmu si Pendekar Kepala Batu itu pasti mengenalku dengan baik. Katakan saja si Naga Bongkok tahu perbuatannya yang tidak adil. Karena itu aku ingin membawa Sin Hong untuk menjadi muridku!"

Ceng Bi tiba-tiba melompat maju, mulai marah. "Tua bangka, tahukah kau siapa anak ini? Tahukah kau siapa Sin Hong?"

"Ha-ha, aku tahu, hujin. Dia adalah putera Pendekar Gurun Neraka bersama isterinya pertama, Kwan-hujin murid si keledai gundul dari Tibet itu. Kau tanya ini, bukan?"

"Ya, dan tahukah kau bahwa Sin Hong juga anakku sendiri?”

"Ha-ha, tapi yang melahirkan bukan kau, hujin. Ibu kandung anak ini bukan kau orangnya!"

"Betul, tapi dia kuanggap anak kandungku sendiri, Naga Bongkok. Anak enci Hong bukan anak lain bagiku!"

"Ah, tapi anak ini mengalami kekecewaan, hujin. Apa yang kau bilang tidak berlaku bagi kakeknya!"

"Apa maksudmu?”

"Anak ini boleh kau anggap anakmu, hujin. Tapi Ciok-thouw Taihiap tak menganggap Sin Hong sebagai cucunya!"

"Keparat,...!" Ceng Bi membentak,siap menerjang. "Apa arti omonganmu ini, tua bangka? Kau hendak mengacau rumah tangga orang?"

Bu-beng Siauw-jin tertawa. "Jangan marah dulu, hujin. Aku tak hendak mengacau rumah tangga orang. Aku punya bukti...!" lalu menghadapi Bi Lan tiba-tiba kakek itu bertanya, "Nona, dari mana ilmu pukulan Soan-hoan-ciang itu kau dapat?"

Bi Lan terkejut. Gadis ini tak segera menjawab, mukanya merah. Dan Ceng Bi yang melihat anaknya menggigil oleh pertanyaan itu tiba-tiba maju selangkah menghampiri puterinya. Ia tak tahu tentang apa itu Soan hoan-ciang. Maka mendengar pertanyaan si bongkok tentang ilmu silat ini kontan iapun tertegun dan membelalakkan matanya, mencengkeram pundak Bi Lan.

"Lan-ji, apa maksud kata-kata kakek itu? Betulkah kau memperoleh atau mempelajari Soan-hoan-ciang?"

Bi Lan masih tak menjawab. Ia tiba-tiba terisak, dan Ceng Bi yang marah melihat puterinya tak segera menjawab tiba-tiba mengguncang pundak anak itu. "Bi Lan, kau tak punya mulut? Kau tak dapat menjawab pertanyaan ini?"

Bi Lan tiba-tiba menangis. Ia memeluk ibunya, dan anak perempuan yang tampak bingung dan ketakutan itu menganggukkan kepalanya dengan terpaksa. "Ya, aku... aku benar mendapat ilmu Soan-hoan-ciang ini, ibu... aku... aku telah melatihnya secara diam-diam...!"

Ceng Bi terkeiut. Tapi Bu-beng Siauw jin yang menyeringai gembira tiba-tiba menepuk pahanya. “Nah, apa kataku, hujin? Bukankah anakmu mendapat warisan ilmu pukulan itu? Ayahmu tak adil, berat sebelah terhadap cucu dari menantunya sendiri!"

Ceng Bi tiba-tiba memutar tubuh anaknya "Bi Lan benarkah engkongmu yang mengajarkan Ilmu pukulan itu? Kapan kau dapat?"

Bi Lan tersedu-sedu. "Aku... aku mendapatnya setahun yang lalu, ibu. Ketika kong-kong datang berkunjung ke mari!”

Ceng Bi seketika tertegun. Ia kaget dan tak menyangka perbuatan ayahnya itu, yang merusak dan menikam perasaan Sin Hong, bocah yang tentu saja merasa di anak tirikan oleh ayahnya. Ciok thouw Thaihiap! Dan sementara nyonya muda ini merjublak bengong tiba-tiba dua buah bayangan berkelebat.

Itulah Pek Hong dan Ceng Han, madu serta kakak dari nyonya muda ini. Dua orang yang datang karena mendengar suara ribut-ribut. Dan Pek Hong yang sudah melayang masuk ke kamar Bi Lan tiba-tiba memekik dan berteriak girang begitu melihat Sin Hong ada di situ.

"Hong ji, kau datang, nak?"

Sin Hong tak dapat menahan runtuhnya air mata. Dia sudah ditubruk dan dipeluk ibunya ini, yang begitu gembira dan hampir terguling ketika menubruk dirinya. Tapi Sin Hong yang terisak dan menggigit bibir tak menjawab seruan ibunya tiba-tiba dilepas dan dipandang terheran-heran oleh ibunya ini, yang terbelalak, memandang puteranya dan tiba-tiba kaget ketika mendengar Bi Lan tersedu-sedu, menangis di pelukan ibunya sementara Ceng Bi sendiri pucat memandang Sin Hong!

"Ah, apa yang terjadi Hong ji? Apa yang terjadi, Bi-moi? Siapa kakek ini?"

Pek Hong gemetar. Ia melihat Sin Hong dan Bi Lan sama-sama menangis. Hanya kalau Bi Lan menangis dengan cara wajar, adalah puteranya ini menangis sambil menggigit bibir, mengepal tinju! Dan belum dia mendapat jawaban tiba-tiba Sin Hong melompat keluar!

“Ibu, aku tak dapat menemuimu selama sepuluh tahun. Aku akan mengikuti kakek ini...“

Pek Hong kaget bukan main. Ia langsung berteriak, mengejar puteranya. Dan begitu menginjakkan kaki sambil menyambar punggung Sin Hong tiba-tiba nyonya muda ini membentak. "Hong-ji, apa yang terjadi? Kenapa kau hendak meninggalkan ibu?"

Sin Hong menggigit bibirnya kuat-kuat. "Karena aku kalah perjanjian, ibu... aku kalah bertaruh gara-gara perbuatan kong-kong...!"

Pek Hong seketika tertegun, ia kaget mendengar disebut-sebutnya nama ini, nama kong-kong atau kakek dari dua orang anak itu. Dan Ceng Han yang sudah melompat masuk ke ruangan itu tiba-tiba menyentuh bahu Sin Hong dan bertanya keren, "Sin Hong, apa yang sesungguhnya terjadi? Siapa locianpwe ini?"

Bu-beng Siauw-jin tertawa serak. "Aku Bu-beng Siauw jin, orang muda. Di luar tembok besar orang menyebutku Si Naga Bongkok!"

Ceng Han mengerutkan kening. Dia baru kali itu mendengar nama ini, tapi melihat sinar mata yang tajam berkilat dari kakek ini tiba-tiba dia melangkah maju, memberi hormat. "Maaf, aku belum pernah mendengar namamu, locianpwe. Tapi perkenalkan, aku Souw Ceng Han kakak dari adikku Souw Ceng Bi ini!"

"Ha-ha, aku sudah tahu, anak muda. Mukamu mirip benar dengan wajah ayahmu di kala muda. Hanya kau lebih halus dan tidak berangasan!"

Ceng Han terkejut. "Kalau begitu kau telah mengenal ayah, locianpwe?"

"Ya, tigapuluh tahun yang lalu. Kami pernah bertempur dua hari dua malam!"

Ceng Han membelalakkan mata. Dia semakin terkejut oleh kata-kata kakek ini, orang yang belum pernah dia dengar namanya dari cerita ayahnya. Tapi maklum kakek ini benar-benar lihai terbukti dari matanya yang tajam berkilat. Ceng Han pun bersikap hati-hati, tak berani sembrono. Dan teringat Sin Hong datang bersama kakek ini diapun langsung menuju sasaran. "Dan kau yang membawa Sin Hong, locianpwe?”

“Ya, aku yang membawa ke mari anak itu, orang muda. Dia berjanji untuk menjadi muridku sejak saat ini!"

Tapi Pek Hong tiba-tiba membentak, “Tidak bisa! Peraturan manakah yang mengharuskan ini, orang tua? Tahukah kau betapa cemas aku memikirkan anakku yang hilang?"

Dan Ceng Han menimpali, "Ya, apa yang dikata ibu anak ini benar, locianpwe. Kami bertiga gelisah tak menentu sejak Sin Hong diculik. Karena itu kami mengucap banyak terima kasih bahwa kau telah menolong Sin Hong dari tangan penculiknya!"

Bu-beng Siauw-jin tiba-tiba tertawa bergelak. "Aku tak perlu ucapan terima kasih dari kalian, ji-wi hujin (nyonya berdua). Karena sesungguhnya yang menculik Sin Hong adalah aku sendiri!"

"Ah, kalau begitu apa maksudmu, Naga Bongkok?" Pek Hong terkejut.

Tapi Bu-beng Siauw-jin yang tertawa sambil mengebutkan ujung bajunya ini menuding Sin Hong. "Karena aku kasihan pada anakmu itu, hujin. Karena Ciok-thouw Taihiap telah bertindak tidak adil pada dua orang cucunya!"

Ceng Han terkejut. "Locianpwe,apa maksud omonganmu ini? Kau hendak memfitnah ayah?"

Bu-beng Siauw-jin tertawa mendengar bentakan itu. Dia tenang-tenang saja, tapi kakek yang tiba-tiba menuding Bi Lan itu sudah menjawab sambil menyeringai, "Kau boleh tanya pada keponakanmu perempuan itu, orang muda. Kau tanyalah apa yang telah dilakukan ayahmu terhadap kedua cucunya!"

Ceng Han pucat. Dia melihat Pek Hong juga berobah mukanya, heran tapi juga penasaran. Dan Ceng Han yang memandang keponakannya langsung bertanya, "Bi Lan, apa yang dilakukan engkongmu pada kalian? Apa yang terjadi pada peristiwa ini?"

Bi Lan menangis. "Persoalan Soan-hoan-ciang, supek..."

"Soan hoan-ciang?"

"Ya."

Tapi belum Bi Lan melanjutkan jawabannya tiba-tiba Ceng Bi melangkah maju, menarik napas, tampak berat bicara. Tapi nyonya muda yang sudah menggigit bibir ini langsung menghadapi Ceng Han dan Pek Hong, berseru lirih, "Enci Hong. Han-koko... tak perlu kalian perdebatkan lagi masalah ini. Ayah memang bersalah. Dia telah bertindak pilih kasih terhadap Sin Hong...!"

Ceng Han terbelalak. "Dalam hal apa, Bi-moi? Soan-hoan-ciang itukah?"

"Ya, ayah mengajarkan ilmu ini pada Bi Lan, koko. Melatihnya secara diam-diam sementara Sin Hong dibiarkan saja seperti bukan cucunya!"

"Ahh...!" Ceng Han melangkah mundur, terkejut dan tiba-tiba mengepalkan tinju. "Kalau begitu aku akan menegur ayah, Bi-moi. Kita harus menegur sikapnya yang tidak adil ini!"

Tapi Bu-beng Siauw-jin tertawa. "Percuma, orang muda. Sin Hong terlanjur menjadi muridku dan tak akan mempelajari ilmu silat engkongnya!"

Ceng Han membalikkan tubuh. "Locianpwe, kau agaknya sengaja hendak membuat onar di rumah ini. Apa sebenarnya maksudmu?"

"Ha-ha, aku tak bermaksud apa-apa, orang muda. Kecuali menarik Sin Hong menjadi muridku. Dia harus dapat mengalahkan Soan-hoan-ciang, mewarisi ilmu silatku sebagai tandingan ilmu silat ayahmu yang baru itu!“

Ceng Han mulai marah. Dia memberi isyarat adiknya untuk menjaga pintu keluar, tapi Sin Hong yang melangkah maju tiba-tiba berkata nyaring. "Supek, apa yang dikata Bu-beng Siauw-jin memang benar. Aku akan menjadi muridnya untuk memenuhi janji...!"

Ceng Han tertegun. Dia dan Ceng Bi memandang anak ini, sementara Pek Hong yang mengeluh perlahan tiba-tiba mencengkeram pundak anaknya. "Hong-ji, kau benar-benar ingin meninggalkan ibumu? Kau tak dapat berlatih silat dari ayahmu sendiri?"

Sin Hong terkejut. Dia melihat mata ibunya yang basah ini, siap meledak dalam tangis yang penuh kekecewaan. Tapi Sin Hong yang terlanjur sakit hati terhadap kakeknya dan teringat janjinya sendiri pada Bu-beng Siauw-jin tiba-tiba mengedikkan kepala, mengeraskan hati. "Aku tak dapat menjilat kata-kataku sendiri, ibu. Aku terpaksa mengikuti kakek ini untuk menjadi muridnya!"

"Dan kau tak menunggu dulu ayahmu datang?"

Sin Hong terkejut. Dia sadar akan tiadanya sang ayah di situ, terganti oleh kehadiran pamannya, Ceng Han. Dan Sin Hong yang tertegun oleh kenyataan ini tiba-tiba bertanya lirih, “Ibu, ayah ke manakah?"

"Ke kota raja, Hong-ji. Sri baginda memanggilnya untuk suatu urusan negara!" "Dan kapan kembali?"

"Secepatnya!"

"Ah, kalau begitu aku tak dapat menunggu, ibu. Kau sampaikan saja kepada ayah bahwa aku mengikuti Bu-beng Siauw-jin untuk memenuhi janjiku!"

"Jadi kau benar-benar tak mau tinggal disini?"

"Terpaksa, ibu..."

Dan baru ucapan itu selesai dikeluarkan tiba-tiba Pek Hong melompat mundur dengan mulut terisak, mencabut senjata dan membentak pada Bu-beng Siauw-jin, “Baik. Kalau begitu kau harus dapat mengalahkan aku, Naga Bongkok. Kalau tidak percuma kau membawa anakku..." dan Pek Hong yang sudah memutar rantai peraknya tiba-tiba melompat ke depan dengan airmata bercucuran.

"Naga Bangkok, kau robohkanlah aku...!”

Sin Hong terkejut. Dia melihat ibunya tiba-tiba sudah menyerang kakek bongkok itu, mendesing rantainya dalam gerak Hong-thian-lo-hai-kun dengan terjangan ganas. Tapi si kakek bongkok yang maklum dia harus menunjukkan kepandaiannya tiba-tiba tertawa, mengulur lengan dan menampar rantai perak si nyonya muda.

"Yap-hujin, tak perlu kau maju seorang diri. Kalian semua boleh mengeroyokku... plak!"

Pek Hong tersentak. Dia melihat ujung rantainya melenceng ke kiri, dipukul tamparan si kakek bongkok. Tapi Pek Hong yang membentak nyaring sudah bertubi-tubi melancarkan serangan. Ia melanjutkan kegagalannya tadi dengan babatan miring, menghantam dan bertubi-tubi menyerampang kakek itu dengan rantainya yang bersuitan, bergelombang naik turun. Bahkan meliuk dan melingkar bagai ular yang mematuk kiri kanan, naik turun dengan indah tapi dahsyat bukan main.Dan tubuhnya yang berkelebatan kian ke mari dengan pengerahan gin-kang Coan goat hui (Terbang di Atas Bulan) sudah membuat tubuh nyonya muda ini berseliweran lenyap membentuk gulungan cahaya putih yang naik turun mengelilingi si kakek bongkok.

Tapi mengejutkan sekali Bu-beng Siauw jin ternyata ganda ketawa mendapat serangan ganas ini. menggeser kaki maju mundur tapi sama sekali tak pernah melompat, apalagi menjauhi serangan Pek Hong yang gencar bagai ombak samodera di laut luas, selalu berhasil mengelak dan bahkan menolak sambaran rantai yang bertubi-tubi menghujani tubuhnya dengan cepat tapi tepat. Dan Pek Hong yang merasa betapa dari lengan kakek itu tiba-tiba muncul tenaga kuat yang selalu mendorong senjatanya hingga menyeleweng tak pernah mengenai tubuh si kakek bongkok jadi terkejut setengah mati ketika suatu saat kakek itu membentaknya dan mengebutkan ujung lengan baju.

"Yap-hujin, hati-hati. Aku akan mulai membalas...!"

Dan Pek Hong terbalalak. Dia melihat kakek itu memutar tubuh, setengah lingkaran, menghindar sambaran rantainya yang meluncur ke dahi si kakek bongkok. Lalu begitu senjata lewat di atas kepalanya mendadak kakek ini menggerakkan lengan dengan cepat memukul rantai yang mendesing di sisi kepalanya itu.

"Plak...!" Pek Hong menjerit, ia merasa gempuran tenaga yang luar biasa dahsyat pada pukulan ini, membuat lengannya lumpuh danrantainya mencelat, jatuh di atas lantai. Dan sementara dia bengong dengan muka kaget tahu-tahu kakek itu telah mendorongkan lengan kirinya ke punggung sambil tertawa.

"Hujin, beristirahatlah!"

Pek Hong tak dapat mengelak. Ia mengeluh ketika punggungnya didorong tenaga yang dingin namun kuat, mengangkat dan melemparnya ke dinding ruangan. Lalu begitu mengeluh dan berteriak tertahan tahu-tahu nyonya muda ini terbanting membentur dinding. "Bress...!" Pek Hong dan semua orang tertegun.

Ceng Bi terkejut melihat madunya roboh dalam dua balasan si bongkok, mendorong dan memukul lepas rantai di tangan Pek Hong. Tapi Ceng Bi yang sudah memekik sambil mencelat menghampiri Pek Hong segera mengangkat bangun madunya itu dengan suari cemas, "Enci Hong, kau tidak apa-apa?"

Pek Hong bangkit berdiri. Ia tertegun dan terbelalak ke arah lawannya itu, kaget tapi juga tergetar. Terkesiap oleh kehebatan lawan. Namun nyonya muda yang menggelengkan kepalanya sambil menarik napas ini menjawab lirih, "Tidak... aku tidak apa-apa, Bi-moi. Bu-beng Siauw-jin tak melukaiku tapi dia benar-benar hebat...!"

Ceng Bi lega. Ia menepuk-nepuk baju Pek Hong yang kotor oleh debu, lalu membalikkan tubuh ia menghadapi kakaknya. "Han-ko, bagaimana pendapatmu?"

Ceng Han juga terkejut. Ia tak menyangka bahwa begitu cepat si bongkok mengalahkan Pek Hong, padahal isteri Pendekar Gurun Neraka itu bukanlah wanita sembarangan. Tapi maklum si bongkok betul-betul lihai diapun memberi kedipan pada adiknya. "Bu-beng Siauw-jin memang mengagumkan, Bi-moi. Tapi bagaimana pendapat adik Hong sendiri? Relakah dia melepas Sin Hong setelah sedikit mengenal ilmu silatnya ini?"

Pek Hong masih tergetar. Ia tak menjawab pertanyaan itu, bengong tapi mulai girang bahwa kakek yang hendak membawa anaknya ini ternyata hebat. Memiliki ketenangan ilmu silat yang mengagumkan dan juga tenaga sinkang yang dahsyat, terbukti dari pukulannya yang melumpuhkan itu, bahkan membuat rantainya mencelat. Tapi Pek Hong yang masih kurang puas tiba-tiba melangkah maju, berpikir bahwa "demonstrasi" kakek itu perlu diuji lagi. Karena orang yang dapat mengalahkan dirinya memang bukan satu dua melainkan ada beberapa di antaranya orang-orang sakti yang tingkat kepandaiannya sejajar dengan suaminya sendiri, Pendekar Gurun Neraka!

Tapi belum nyonya muda ini mengeluarkan uneg-unegnya tiba-tiba Bu-beng Siauw jin sudah tertawa dan menggoyang tangan. "Hujin, jangan khawatir. Aku tahu kecemasanmu. Kau ingin membuktikan kepandaianku sampai puas, bukan? Nah, majulah... majulah kalian bertiga dan keroyoklah si tua bangka ini. Kalau aku kalah biarlah Sin Hong tak jadi kubawa. Kita bertaruh!”

Pek Hong terkejut. Ia tertegun bahwa si kakek bongkok ini rupanya dapat membaca apa yang dia pikir. Dapat bicara sebelum ditanya. Tapi Ceng Bi yang galak serta marah tiba-tiba melengking tinggi. "Bu-beng Siauw-jin, jangan sombong. Ayah sendiri belum tentu berani menantang kami seperti kau...!”

"Ha, itu karena kalian telah mengenal ilmu silatnya, hujin. Kalau tidak belum tentu kalian dapat melawannya pula. Seperti aku!”

Ceng Bi terkejut. Ia merasa kata-kata kakek ini cengli juga (masuk akal), dan nyonya muda yang tertegun oleh jawaban itu tiba-tiba disambut seruan Ceng Han yang melangkah ke depan, "Baiklah, boleh kita layani maksudnya, Bi-moi. Tapi tak perlu secara berbareng kita maju bersama. Sebaiknya kau dulu atau kau bersama Hong-moi yang mencoba kakek ini. Kalau tidak dapat merobohkannya barulah aku menyusul belakangan!"

Bu-beng Siauw-jin tertawa. "Jangan sungkan-sungkan, orang muda. Aku si tua bangka ini boleh kalian keroyok sesuka hati. Tak perlu menunggu lama. Kalau tidak tentu kalian tak mengenal kepandaian yang kumiliki!"

Ceng Bi menjadi panas, "Kalau begitu serang saja, Han-ko. Kakek ini tampaknya sombong sekali!"

"Ha-ha. boleh, hujin. Silahkan...!"

Ceng Bi langsung mencabut pedang. Ia sudah memungut rantai perak Pek Hong, melempar itu pada kawannya. Tapi melihat Ceng Han masih berdiri tak bergerak nyonya muda ini berseru, "Han-ko, kenapa tak kauturuti kemauan si tua bangka ini? Bukankah dia sendiri yang minta?"

Ceng Han tersenyum, hati-hati sikapnya. "Aku ingin melihat kalian maju duluan, Bi-moi. Kalau dapat merobohkan tentu tak perlu aku capai-capai mengeluarkan tenaga."

"Jadi kau menyusul belakangan?"

"Kalau diperlukan, Bi-moi. Kalian majulah!"

Bu-beng Siauw-jin tertawa kembali. "Yap-hujin, kakakmu ini cerdik. Dia ingin mengetahui dulu aliran ilmu silatku!"

Ceng Bi terkejut. Ia melihat muka kakaknya merah, tanda ditebak secara tepat. Tapi Bu-beng Siauw-jin yang menyeringai kepada mereka sudah mengulapkan lengannya.

"Hayo, tak perlu sungkan-sungkan, ji-wi hujin (nyonya berdua). Kalian maju saja dan lihat berapa jurus aku merobohkan kalian...!"