Pedang Medali Naga Jilid 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG MEDALI NAGA
JILID 05
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pedang Medali Naga Karya Batara
SI KAKEK terang tak dapat mengejar. Dia terikat perjanjian, tak boleh mengganggu bocah itu lagi. Dan Kun Seng yang menjublak bengong akhirnya mengepal tinju dan memasukkan pedangnya. Laki-laki tua ini menggelengkan kepalanya, mendesis lalu berbalik punggung, mengambil arah berlawanan dengan Bu-beng Siauw-cut untuk melangkahkan kakinya dengan gontai. Lalu begitu dia menyeringai dan tertawa sendirian tiba-tiba tubuhnyapun berkelebat dan lenyap dari tempat itu. Tak tahu pergi ke mana!

* * * * * * * *

"Ibu, bagaimana kita sekarang?"

Tok-sim Sian-li menangis. Dia bersama anaknya sudah meluncur turun dengan air mata bercucuran, meninggalkan tempat Pendekar Gurun Neraka diiringi pelayannya setia A-cheng. Sementara Ceng Liong yang diseret ibunya sepanjang jalan tibatiba bertanya dengan tinju terkepal, marah dan bingung melihat ibunya menangis tak berkesudahan!

Tapi akhirnya wanita ini berhenti juga. Mereka sudah jauh dari Ta-pie-san, tak mungkin terkejar lagi. Dan Tok-sim Sian-li yang menangis sampai bengkak matanya lalu membanting tubuh di pinggir jalan, menggigit bibir dengan mata penuh kebencian, berapi-api. "A-cheng, bagaimana menurut pendapatmu menghadapi hinaan ini?"

Sang pelayan menundukkan kepalanya. "Hamba kira sia-sia, hujin Pendekar Gurun Neraka memang terlalu tangguh untuk kita!"

"Jadi dengan begitu kita diam saja tak membalas?"

Pelayan ini bingung. "Tentu saja, hujin.... tentu saja kita harus membalas! Tapi bagaimana caranya?"

Ceng Liong tiba-tiba maju. "Sebaiknya kita cari seorang teman, ibu. Kita bekerja sama dengan seseorang untuk membalas hinaan ini'"

Tok-sim Sian-li bersinar matanya, tampak tertegun. Tapi wanita cantik yang semula berseri itu tiba-tiba menggeleng sedih, menarik napas. "Tak mungkin itu kita lakukan, Liong-ji. Orang-orang yang membenci Pendekar Gurun Neraka sudah tiada lagi. Mereka tewas pada sepuluh tahun yang lalu, termasuk guruku sendiri Cheng-gan Sian jin...!"

"Tapi sekarang tentu ada tokoh baru, ibu. Masa tak ada teman untuk kita membalas dendam?"

"Hm, sulit, Liong-ji. Aku juga lama tak turun gunung. Siapa tokoh itu? Kukira tak ada, kecuali kalau kita keluar perbatasan dan minta tolong pada beberapa sahabat mendiang sukong-mu (kakek guru)!''

"Nah, itulah....!" Ceng Liong berjingkrak girang. "Kenapa tidak kita lakukan itu, ibu? Kita keluar perbatasan saja, kita cari mereka!"

Tapi sang ibu muram mukanya. "Aku tak tahu tempat tinggal mereka, Liong ji. Mereka merupakan orang-orang aneh yang tak tentu rimbanya!"

"Ah....” Ceng Liong kecewa. "Kalau begitu kita gagal, ibu. Tapi tidak adakah jalan lain untuk membalas hinaan ini?"

Tiba-tiba, seperti menjawab kekecewaan anak itu mendadak terdengar suara tawa bergelak yang menggetarkan tanah sekitarnya. Ceng Liong dan ibunya melihat dua bayangan berkelebat lalu begitu muncul di depan mereka tahu-tahu dua laki-laki aneh berdiri di depan mereka dengan liur menetes-netes, yang seorang tinggi besar bagai raksasa menyeramkan dengan bulu dada lebat menghitam sedang yang lain kurus kerempeng dan terbatuk-batuk bagai orang kena penyakit tbc...!

"Ha-ha, siapa bocah ini, hujin? Anakmukah?"

Tok-sim Sian-li terkejut.

"Dan siapa kau, niocu? Ibu anak inikah?"

Tok-sim Sian-li terbelalak. Dia memandang dua orang laki-laki itu dengan muka pucat, tergetar dan turut selangkah melihat keadaan mereka yang menyeramkan. Terutama si tinggi besar itu, yang matanya terbelalak sebesar jengkol. Liurnya berketes-ketes bagai raksasa yang mencium daging segar!

Dan kaget serta terpengaruh oleh kehadiran tak disangka-sangka yang mengejutkan dari dua orang laki-laki ini Tok-sim Sian-li akhirnya membentak, "Siluman-siluman buas. kalian siapakah dan ada apa datang ke mari?"

Si kurus kering terbatuk-batuk. "Heh-heh, kau cantik, niocu. Tubuhmu segar dan menggairahkan sekali. Tidak tahukah kau siapa kami?"

Si raksasa tertawa bergelak. "Kami dua sahabat dari luar perbatasan, hujin. Kami datang karena kau menyebut-nyebut nama mendiang sahabat kami Cheng-gan Sian-jin!"

"Oh...!" Tok-sim Sian-li terkejut. "Kalian siapakah, ji-wi locianpwe? Bagaimana bisa mengaku sahabat dari mendiang guruku?"

"Heh-heh, Cheng-gan Sian-jin gurumu, nio-cu? Jadi kau ini muridnya yang berjuluk Tok-sim Sian-li itu?'

Tok-sim Sian-li terbelalak. "Ya. kalian siapakah, ji wi locianpwe?"

“Ha-ha, aku adalah Naga Kepala Sakti, hujin. Di luar perbatasan orang memanggilku Temu Ba, raksasa pemakan bocah macam anakmu ini!"

Ceng Liong terkejut. Dia bersama ibunya mengeluarkan seruan kaget, ngeri dan pucat melihat si tinggi besar itu tiba-tiba melangkah maju, mengulurkan lengan dan tahu-tahu menangkap anak laki-laki ini. Dan Ceng Liong yang sudah dicengkeram si raksasa Temu Ba tiba-tiba menggaplok muka lawan sambil menjerit. "Siluman busuk, lepaskan aku...!"

Tapi Temu Ba terbahak. Dia membiarkan mukanya digampar, lalu melihat Ceng Liong menendang perutnya tiba-tiba jari raksasa tinggi besar ini menotok pundak, membuat Ceng Liong lumpuh. Dan begitu si anak mengeluh dengan mata terbelalak tahu-tahu hidungnya mengendus-endus ubun-ubun Ceng Liong, dijilat-jilat!

"Ha-ha, anak ini segar sekali, Mayat Hidup. Otaknya bersih dan sumsum tulang belakangnya kental! Tentu darahnya juga segar dan bersih...!"

Tok-sim Sian-li terkesiap. Dia kaget melihat anaknya disambar Temu Ba, dan melihat kepala Ceng Liong dijilat-jilat dan gigi si raksasa mulai mencuat lebar mendadak wanita cantik ini melengking dan membentak marah, "Temu Ba, lepaskan anakku...!"

Tapi raksasa Mongol itu terbahak. Dia tak menghiraukan bentakan itu, tapi ketika lawan berkelebat menamparnya mendadak laki-laki ini mengegos, berkelit dan menerima tamparan Tok-sim Sian-li dengan bahunya yang lebar.

"Plak....!" dan Tok-sim Sian-li tergetar mundur, menjerit kecil dengan muka pucat!

"Ha-ha, bagaimana, hujin? Kau masih berani memukulku lagi?"

Tok-sim Sian-li memekik. Dia melihat si raksasa liurnya semakin berketes-ketes, tampak tergiur sekali oleh kepala Ceng Liong yang segar, seperti seekor kucing menjilat-jilat kepala seekor tikus. Dan Tok-sim Sian-li yang gelisah serta marah oleh keselamatan puteranya mendadak melompat maju dan menampar lagi, kali ini ke leher si raksasa Mongol dengan pukulan Tok-hiat-jiunya!

"Temu Ba, lepaskan anakku....!”

Si raksasa menyeringai. Dia melihat lengan Tok-sim Sian-li yang sudah berobah merah itu, melayang menamparnya lehernya dengan kecepatan kilat. Tapi raksasa yang tidak menangkis ini malah tersenyum dan tertawa lebar pada temannya.

"Mayat Hidup, dia benar-benar murid sahabat kita. Lihat pukulan Tok-hiat-jiunya itu!"

Si kurus berpenyakitan mengangguk. “Heh-heh, tampaknya benar, Mu Ba. Dia cocok sekali menjadi murid sahabat kita. Pukulannya ganas dan hebat sekali!"

Temu Ba tertawa. Dia tak menghindar tamparan wanita cantik ini, mengangguk bersamaan datangnya pukulan. Tapi melihat angin tajam mengiringi tamparan itu dia mengguncang tubuh dan mendesis, "Haya, sinkangnya lumayan, Mayat Hidup Bisa pecah leherku kalau tidak menolak pukulannya...!" lalu, bersamaan jari Tok-sim Sian-li menghantam lehernya tiba-tiba raksasa ini membentak dan menggelembungkan lehernya.

Dan begitu suara pukulan mengenai dirinya tahu-tahu Tok-sim Sian-li sendiri terpelanting dan menjerit roboh. "Ah...!" Raksasa Mongol itu tertawa bergelak. Dia tampak gembira melihat wanita ini terguling-guling, tapi ketika lawan melompat bangun dan mencabut pedang di pinggang sekonyong konyong mukanya beringas.

"Mayat Hidup, tolong kaulayaai siluman cantik itu. Aku tak tahan mencium bau anak ini.”

Si kurus kering mendengus. Dia rupanya acuh saja, tapi ketika kakinya berjengit tiba-tiba tubuhnya melayang ke depan di muka temannya, tak tampak bergerak tapi tahu-tahu sudah terbang seperti iblis! Dan si raksasa tinggi besar yang berseri mukanya ini tiba-tiba memutar tubuh pergi membawa Ceng Liong!

"Hujin, anakmu kupinjam. Aku ingin menyedot sumsun tulang belakangnya!"

Tok-sim Sian-li tergetar. Ia kaget melihat Mu Ba tiba tiba terbang ke timur, terbahak sambil menjilat-jilat kepala Ceng Liong. Dan maklum bahwa anaknya dalam bahaya tiba-tiba ibu muda ini menjerit sambil menimpukkan tiga jarum rahasianya, jarum-jarum merah yang mengandung racun jahat! Lalu tak puas dengan timpukan senjata am-gi (gelap) ini ia pun menyusul dengan lompatan panjang memburu si raksasa Mongol!

"Temu Ba, jahanam kau.... cet-cet-cet!"

Tapi Temu Ba tertawa bergelak. Dia tak menghiraukan serangan jarum-jarum beracun, yang runtuh begitu mengenai punggungnya. Tapi ketika lawan mengejar dan menusuk pinggangnya sekonyong-konyong raksasa ini menggerakkan tangan ke belakang, mengibas.

"Mayat Hidup, jangan diam saja. Dia bagianmu... plak!"

Dan Tok-sim Sian-li yang tiba-tiba roboh sudah terpelanting bergulingan disambar angin pukulan si tinggi besar ini. Wanita itu marah, tapi ketika dia melompat bangun tahu-tahu si Mayat Hidup sudah berdiri di depannya.

"Niocu, biarkan anakmu itu melayani Mu Ba. Lebih baik kau layanai aku dan kita bersenang-senang, heh-heh!"

Tok-sim Sian-li memekik. Ia langsung menikam si Mayat Hidup ini, lalu berteriak pada pembantunya ia membentak, "A-Cheng, kejar! Jangan ndomblong saja di situ...!”

A-cheng terkejut. Pelayan ini sadar, dan melihat si raksasa sudah jauh melarikan Ceng Liong tiba-tiba iapun manjejakkan kakinya mengejar, setengah takut tapi juga setengah bingung! Sementara Lie Lan yang bertubi-tubi menyerang si Mayat Hidup karena dihalangi gerakannya untuk mengejar Temu Ba sudah membacok dan menusuk dengan penuh kemarahan lawannya yang kerempeng ini.

Tapi mengejutkan sekali. Mayat Hidup itu ternyata luar biasa. Dia mengegoskan tubuh ke kiri kanan, menggoyangnya bagai daun ditiup angin. Dan begitu dia doyong ke sana ke mari sambil terkekeh tahu-tahu semua serangan pedang itu luput dan mengenai angin kosong!

"Hi-ha, kau tak dapat menyentuh tubuhku, niocu. Gerakanmu terlalu lamban dan ringan sekali... heh-heh!"

Tok-sim Sian-li mendelik. Ia kaget tapi juga marah, maklum bahwa si kurus kering yang suka , batuk-batuk ini memang hebat. Tapi ingat bahwa Ceng Liong dalam cengkeraman bahaya ia pun melengking dan bertubi-tubi menyerang, melanjutkan serangannya dalam tikaman dan bacokan yang lebih sengit. Dan ketika satu saat lawan tampak lambat mendoyongkan tubuh tiba-tiba pedangnya mendesing hebat menyambar leher Si Mayat Hidup.

Tapi si Mayat Hidup terkekeh. Dia tak mengelak, rupanya sengaja menerima babatan pedang yang meluncur deras itu. Dan ketika persis pedang menyambar lehernya tiba-tiba jarinya terulur ke depan mengusap pinggang si wanita muda.

"Heh-heh, pinggangmu ramping, niocu. Kau tentu pandai sekali melayani pria!"

Tok-sim Sian-li terbelalak. Dia merasa pinggangnya tahu-tahu dielus, diraba dan dicubit oleh jari jari nakal si Mayat Hidup. Tapi begitu pedang mengenai leher lawan tiba-tiba pedangnya mental bertemu batang leher yang kurus tapi alot.

"Takk!” Tok-sim Sian-li menjerit. Wanita ini mengeluarkan seruan tertahan, kaget melihat pedangnya hampir lepas diri cekalan.

Sementara si Mayat Hidup yang terkekeh dengan mata berkilat tahu tahu melanjutkan cubitannya ke pinggul! "Niocu, pinggulmu bulat sekali. Ah, sedap...!”

Tok-sim Sian-li terbelalak. Ia benar-benar kaget melihat kehebatan lawannya ini, tapi melengking tinggi tiba-tiba ia menubruk ke depan, menghantam dengan tangan kiri yang penuh Tok-hiat jiu sementara menusukkan pedang dengan tangan kanan ke dada si Mayat Hidup.

Tapi si Mayat Hidup terbeliak. Dia tertegun sejenak, rupanya terkejut. Namun tertawa lebar mendadak dia membusungkan dadanya yang kerempeng. "Wah, kau hendak membunuhku, niocu? He he. jangan mengimpi, nyonya manis Hun Phi si Mayat Hidup tak dapat dibunuh.!" lalu begitu dia tertawa tahu-tahu kedua lengannya bergerak ke depan, yang kanan menerima telapak lawan yang mengandung Tok hiat-jiu sedang yang kiri dipakai untuk mengusap pipi si wanita cantik sementara pedang yang menusuk dadanya dia biarkan begitu saja menikam!

"Takk...!' Dan Tok-sim Sian-li tertegun. Pedangnya kembali tak berhasil melukai lawan. Jangankan melukai, menggores saja tidak! Sementara tangan kirinya yang menghantam dengan pukulan Darah Beracun (Tok-hiat-jiu) sudah diterima tangan kanan lawan yang membuka telapaknya, menerima pukulan itu sambil terkekeh, sementara pipinya sudah diusap secara kurang ajar! Dan sementara dia terkejut oleh kesaktian si Mayat Hidup ini tahu-tahu lawannya itu "menyedot" pedang dan tangan kirinya hingga melekat tak dapat ditarik!

"Heh-heh, kita seharusnya tak boleh bermusuhan, niocu. Kau cantik dan masih murid dari sahabatku sendiri!" si Mayat Hidup bicara, berkilat-kilat matanya penuh nafsu memandang Tok-sim Sian-li yang memang cantik dan menggairahkan ini.

Tapi Lie Lan yang sedang gelisah pikirannya tiba-tiba membentak, mengerahkan ilmunya terakhir yang berbau sihir itu, Sin-gan-i-hun-to yang menggetarkan jiwa, "Mayat Hidup, lepaskan aku. Lihat pedangku menjadi naga untuk menyerangmu....!"

Namun si Mayat Hidup terkekeh. Dia masih tertawa, tapi ketika pedang Lie Lan tiba-tiba berobah jadi naga dan berkoak di depan hidungnya mendadak si Mayat Hidup melepaskan cekalannya dan melompat mundur. "Wah, usir nagamu, niocu. Aku kuatir dia menggigit bajumu."

Tok-sim Sian-li girang. Ucapan lawan jelas menunjukkan bahwa lawan terpengaruh oleh bentakan sihirnya, terkejut dan melepaskan kedua tangannya dengan sikap kaget, tanda si Mayat Hidup terkecoh melihat pedang sebagai "naga". Maka begitu lawan melompat mundur dan berteriak ketakutan iapun mengejar sambil menggerakkan pedangnya. "Mayat Hidup, kau mampuslah dicabik nagaku..."

Si kurus kering menjerit. Dia melompat lagi, mundur ke belakang. Tapi ketika naga menyambar dadanya sekonyong-konyong dia mengangkat tangan dan berseru, "Niocu, awas. Aku kuatir naga ini menggigit bajumu!" dan baru dia berteriak tahu-tahu si naga sudah berkoak di depan, membuka mulutnya dan... "bret bret" baju Tok-sim Sian-lipun benar-benar "digigit" naga ini hingga robek dan terkuak lebar!

"Ah...!" Lie Lan berseru kaget. Dia tak mengerti bagaimana pedangnya tiba-tiba membalik, menyobek baju sendiri sampai terputus kancingnya, memperlihatkan pakaian dalamnya yang hijau tipis. Tapi masih mengira lawan ketakutan oleh sihirnya yang berbau hoat-sut itu dia melengking tinggi dan menambah kekuatan.

"Mayat Hidup, nagaku akan mencaplok kepalamu... !"

Si Mayat Hidup terbelalak. Dia tak diketahui gentar atau tidak, karena mukanya yang putih itu sudah pucat sejak semula. Tapi ketika Lie Lan melengking tinggi dan menambah pengaruh ilmu sihirnya sambil membentak nyaring tiba-tiba mulutnya menyeringai dan mengebutkan lengan dua kali.

"Niocu, tolong aku. Biar naga itu merobek sekalian baju dalammu saja. Aku ingin menonton bukit dadamu yang menggairahkan...!” dan begitu dia menggerakkan lengan ke depan tahu-tahu naga yang sudah berada di depan hidungnya itu membalik, berkoak dan menyambar Lie Lan sendiri. Dan begitu Lie Lan terpekik kaget tahu-tahu baju dalamnya yang hijau tipis sudah "dimakan" pedangnya sendiri!

"Brett....!" Wanita ini mengeluh. Dia menjerit kecil, melempar pedang dan mendekap buah dadanya yang tiba-tiba tersembul montok dan segar bagai buah mangga yang sudah masak! Tapi si Mayat Hidup yang rupanya tak dapat menahan diri sudah terkekeh dan tahu-tahu menotok kedua pergelangan Lie Lan yang mendekap buah dadanya.

"Niocu, jangan ditutupi. Pemandangan ini terlampau indah!"

Lie Lan mengeluh pendek. Dia ditotok tak berdaya, lengannya menggelantung lemah dan buah dadanya benar-benar tak dapat ditutup lagi, telanjang dipandang mata jelalatan si Mayat Hidup yang terkekeh gembira! Lalu begitu si Mayat Hidup melangkah maju dan menundukkan kepalanya tahu-tahu iblis ini telah membelai buah dadanya dan meremas kurang ajar!

"Niocu, kau benar-benar menggairahkan. Tubuhmu mulus dan cantik sekali!"

Lie Lan pucat mukanya. Dia gemetar memandang si Mayat Hidup yang mulai terengah, napasnya mendengus-dengus penuh nafsu. Tapi teringat keselamatan Ceng Liong tiba tiba dia berseru dengan suara menggigil, "Mayat Hidup, tolong selamatkan dulu puteraku. Aku siap melayanimu dengan gembira asal anakku kau selamatkan..!"

Si Mayat Hidup terkekeh. "Wah, mana bisa aku mengganggu kesenangan temanku, niocu? Temu Ba pasti marah-marah, tak boleh dia diganggu…!”

"Tapi dia anakku satu-satunya. Mayat Hidup. Kalian tak boleh membunuh anakku begitu saja.”

"Hm, itu kesukaan temanku, niocu. Dia paling tertarik dan terangsang kalau melihat bocah macam anakmu itu. Seperti aku juga terlarik dan terangsang melihat keindahan tubuhmu ini, hehheh…!”

Lie Lan putus asa. "Kalau begitu kau akan menikmati diriku seperti menikmati sebuah mayat, tua bangka. Kau tak akan mendapatkan belaian cinta seperti layaknya dua orang laki-laki dan perempuan berhubungan!"

“Eh, apa maksudmu” si Mayat Hidup terbelalak.

Dan Lie Lan mempergunakan kesempatan ini. "Artinya kau akan mendapat tubuhku yang dingin, Mayat Hidup. Aku akan mematikan rasa dan ragaku kalau kau main paksa!"

"Wah, tapi aku dapat mencegahmu, niocu,” si Mayat Hidup terkekeh. "Aku dapat menotok jalan darah di punggungmu agar kau sadar kembali!"

"Betul, tapi kau tak dapat mencegah bila aku menggigit putus lidahku sendiri, Mayat Hidup. Dan kau akan mendapatkan diriku sedingin mayat yang tidak dapat melayani nafsu berahimu lagi!"

Si Mayat Hidup terkejut. Dia harus mengakui kebenaran kata-kata itu. dan Lie Lan yang melihat kata-katanya mulai berhasil mengejutkan lawan sudah tertawa dingin sambil menggoyang tubuh menggetarkan buah dadanya yang kenyal lembut dengan gerakan erotis, merangsang dan semakin membakar nafsu berahi si Mayat Hidup.

"Dan jangan lupa, Mayat Hidup. Jelek-jelek aku adalah murid guruku Cheng-gan Sian-jin yang mahir bermain cinta. Aku dapat memberi kepuasan padamu seumur hidup, akan mengajarimu bermain cinta yang membuat kau mabok tujuh turunan dan lupa daratan. Tapi begitu kau menggangguku dan aku marah jangan harap kau akan mendapatkan kehangatan cintaku!"

Si Mayat Hidup terbelalak. "Kau bersungguh-sungguh, niocu? Kau tidak menipuku?"

"Hm, siapa main-main. Mayat Hidup. Siapa menipumu?"

"Jadi kau..."

"Ya, aku akan melayanimu tanpa kau paksa, Mayat Hidup!" Lie Lan memotong. "Tapi dengan syarat bahwa kau tak boleh menggangguku dan menyelamatkan jiwa anakku Ceng Liong dari temanmu yang rakus itu. Dan sebagai imbalannya aku akan memberimu kehangatan cinta selama kau perlukan dan boleh kau bunuh kalau aku menipumu!"

Si Mayat Hidup tiba-tiba terkekeh. "Niocu, omonganmu benar. Tapi aku sangsi maukah kau melayani orang bermuka buruk macam diriku ini?"

"Hm, bagiku asal kau laki-laki normal dan kita saling memberi dan menerima tak jadi soal, bagiku masalah rupa, Mayat Hidup. Asal kau dapat menyelamatkan anakku dan tidak mengganggunya cukuplah sudah!"

"Wah, sungguh, niocu? Kau tidak ngeri melayaniku?"

Lie Lan menjebikan bibirnya. "Aku tak pernah menarik kata-kataku sendiri. Mayat Hidup. Dan kau tak perlu khawatir mengingat kepandaianmu masih jauh di atas tingkatku!"

Si Mayat Hidup tertawa melengking. Suaranya serak parau, gembira luar biasa. Tapi begitu Lie Lan mengedipkan mata dengan manis padanya sebagai isyarat sebuah "tantangan" tiba-tiba si kurus kering ini sudah menyambar tubuh yang montok menggairahkan itu dengan usapan gembira di buah dadanya.

"Niocu, kau hebat. Benar benar pantas kau menjadi murid kesayangan sahabatku Cheng-gan Sian-jin...!" lalu begitu dia memekik dan melompat tahu-tahu si Mayat Hidup ini telah melesat ke timur memondong Lie Lan yang tersenyum mengejek di atas pundaknya.

Sebentar saja mereka mengejar bayangan si raksasa Mongol, sementara Lie Lan yang berdebar hatinya mengkhawatirkan keselamatan Ceng Liong diam-diam mencabut sebatang jarum untuk dicobloskan ke mata si Mayat Hidup, satu tempat di mana orang tak mungkin dapat melindungi daerah itu dengan kesaktian apapun, bila ternyata Ceng Liong tewas di tangan si raksasa Mongol! Dan Mayat Hidup yang berkelebat sambil memondong wanita cantik ini sudah berteriak-teriak.

"Temu Ba, jangan bunuh anak itu. Tunggu dulu aku datang...!"

Dan sekejap kemudian sampailah mereka di tempat yang dicari. Mayat Hidup masih berteriak-teriak, sementara Lie Lan semakin tegang hatinya dan siap mencobloskan jarum ke mata lawan. Tapi ketika mereka sampai di tempat itu tiba-tiba keduanya tertegun. Ternyata Ceng Liong ada di situ, tertawa-tawa dan menarik rambut Temu Ba yang berjungkir balik di atas pohon, terbahak melayani anak ini bermain. Dan ketika Mayat Hidup serta Lie Lan muncul di situ anak inipun menghambur maju dengan pekik gembira,

"Ibu, suhu Temu Ba mengangkatku sebagai murid...!"

Lie Lan tertegun. Dia melihat Cing Liong selamat, tak kurang suatu apa. Dan ibu yang bernapas lega dengan muka berseri ini langsung menubruk anaknya dengan mata terheran heran.

"Liong ji, kau tidak apa-apa? Apa kau bilang?"

Bocah itu tertawa. "Temu Ba mengangkatku sebagai murid, ibu. Aku kini memanggilnya suhu!"

"Ooh...!" Lie Lan terbengong. Dia hampir tak percaya oleh keterangan anaknya itu, tapi si raksasa Mongol yang sudah terjungkir balik di atas tanah tiba tiba berseru, suaranya menggelegar,

"Mayat Hidup, bocah ini keturunan Pendekar Gurun Neraka...!"

Mayat Hidup dan Lie Lan terkejut. Lie Lan tak tahu siapa yang bilang itu. Tapi si Mayat Hidup yang sudah melengking lirih tiba tiba menyambar Ceng Liong di samping ibunya. "Heh, kau benar anak Pendekar Gurun Neraka, bocah? Kau keturunan laki-laki sombong itu."

Ceng Liong tersentak. Kepalanya tahu-tahu dingin disentuh jari-jari Mayat Hidup yang bergetar, tapi mengangguk bangga dia menjawab, "Ya, aku putera pendekar itu, locianpwe. Tapi aku benci pada ayahku yang sombong itu!"

"Ha-ha, kalau begitu kau harus dibunuh, setan cilik. Pendekar Gurun Neraka itu tak boleh bersahabat biarpun hanya turunannya saja!" lalu begitu lengannya bergerak tahu-tahu ubun-ubun Ceng Liong sudah ditampar si Mayat Hidup.

Tapi Temu Ba tiba-tiba menggereng. "Mayat Hidup, lepaskan muridku. Dia harus kita pupuk untuk melawan ayahnya sendiri.... plak!" dan lengan si Mayat Hidup yang tahu-tahu bertemu lengan si raksasa Mongol tiba-tiba sama terpental dehgan ledakan nyaring.

Si Mayat Hidup terkejut, terhuyung mundur. Tapi sinar matanya yang beringas keji mendadak menyorot penuh hawa pembunuhan. "Temu Ba, kau lupa bahwa pendekar itu musuh kita? Kau tidak ingat dia telah membunuh-bunuhi kaum kita?"

Temu Ba melangkah lebar. "Tidak, aku tidak lupa itu. Mayat Hidup. Tapi harap kau lihat kegagahan anak ini. Dia sendiri memusuhi ayahnya, tak boleh kita bunuh karena dia merupakan sekutu kita!"

Dan Lie Lan juga menghadang di depan, menyambar Ceng Liong yang baru saja lepas dari cengkeraman si Mayat Hidup. Dan ibu muda yang mengepalkan tinju ini membentak, "Mayat Hidup, kau lupa perjanjian kita? Kau berani mengganggu kami anak dan ibu?"

Si Mayat Hidup tertegun. Dia melihat Tok-sim Sian-li melindungi anaknya, berapi-api memandangnya marah. Tapi terseok ke arah buah dada yang masih belum tertutup rapat karena wanita cantik itu hanya merapatkannya ala kadarnya tiba-tiba si Mayat Hidup ini menyeringai. "Tapi aku tak tahu anakmu keturunan Pendekar Gurun Neraka, niocu. Berarti kalian adalah keluarga pendekar sombong itu!"

"Hm, siapa bilang? Aku dan anakku membenci laki-laki itu, Mayat Hidup. Dia telah menghina kami ibu dan anak. Aku ingin membalas dendam!"

Dan Ceng Liong juga mengepalkan tinju. “Ya, aku juga ingin membalas hinaan itu, locian-pwe. Aku ingin membunuh ayahku kelak karena dia telah menghinaku dan tidak mengakuinya sebagai anak!"

Si Mayat Hidup terkejut, "Apa? Pendekar Gurun Neraka tak mengakui keturunannya sendiri, niocu? Dia menyangkal anakmu ini?"

"Hm, itu urusan pribadiku, Mayat Hidup. Yang jelas aku dan Ceng Liong ingin membalas dendam. Kamni tak dapat membiarkan sakit hati ini berlalu begitu saja!"

"Ha-ha, sudah kau dengar. Mayat Hidup! Anak ini cocok sekali untukku. Jiwanya telengas dan keberaniannya besar...!" si raksasa Mongol menimpali, menyambar Ceng Liong dan melempar-lemparnya ke udara.

Dan Mayat Hidup yang mendengar semuanya itu tiba-tiba tertegun namun akhirnya terkekeh. "Heh, bagaimana kejadian bisa begini berobah, jengkol? Apa yang telah terjadi?"

Temu Ba terbahak. Dia lalu menceritakan kejadian itu, sementara Lie Lan yang mendengar ini di samping anaknya jadi terbelalak dengan mata tak berkedip. Ternyata sebuah kejadian yang barawal dari tingkah Ceng Liong sendiri, bocah yang tak mengenal takut namun yang akhirnya justeru membuat si raksasa Mongol itu kagum. Karena ketika dibawa lari si tinggi besar ini Ceng Liong sepanjang jalan berontak dan meronta-ronta, bahkan satu kali dia menggigit pundak si raksasa itu, membuat Mu Ba mengaduh dan menghantam tengkuknya, keras sekali!

"Bedebah, kau berani menggigitku, setan cilik?"

Ceng Liong terguling-guling. Dia dibetot dan ditarik raksasa itu, dilempar dan dibanting di atas tanah. Namun Ceng Liong yang sudah melompat bangun dengan tinju terkepal itu membentak dan berdiri berhadap-hadapan, menantang penuh kemarahan, "Kenapa tidak berani, iblis tua bangka? Jangankan menggigit, membunuhmupun aku berani...!"

Dan Ceng Liong yang sudah menerjang ke depan melancarkan serangan bertubi-tubi ke perut dan paha lawan, karena dia hanya sebatas pusar bagi raksasa Mongol itu. Dan Temu Ba yang tentu saja terbelalak melihat kemarahan anak ini akhirnya tertawa bergelak dengan penuh kegelian.

"Ha-ha, kau mau membunuhku, setan cilik? Kau, bisa membunuhku?"

Ceng Liong terus melancarkan serangan. Dia tak menghiraukan ejekan itu, tapi ketika pukulan membalik karena paha dan perut raksasa itu sekeras baja mau tak mau diapun terkejut dan mengeluh juga. Dan akhirnya, ketika lawan mentertawakan serangannya yang sia-sia mendadak dia menubruk dan mencengkeram kemaluan si tinggi besar ini.

"Ah, kau bisa berbuat keji, bocah?" Temu Ba terkejut, menghentikan ketawanya dan tiba-tiba berkelit ke kiri, menghindari serangan yang bisa membuat hancur anggauta rahasianya itu. Dan kaget bahwa anak ini bisa menyerang tempat berbahaya diapun menyeringai dan tiba-tiba mengulurkan lengan, mencengkeram leher si bocah. Lalu bagitu Ceng Liong terpekik anak ini tahu-tahu sudah diangkat di depan hidungnya bagai seekor kelinci muda yang terbelalak di depan seekor harimau garang!

"Ha-ha, apa yang hendak kau lakukan sekarang, bocah? Kau bisa membunuhku?”

Ceng Liong menendang. Dia tak mau menyerah, tapi ketika tangan kiri si raksasa menotok punggung kakinya tiba-tiba diapun mengeluh dan tak berdaya lagi, terkatung-katung di cengkeraman si tinggi besar ini yang melotot sambil tertawa lebar.

"Setan cilik, kau mau bilang apa sekarang?"

Ceng Liong memaki kalang-kabut. "Aku tak bilang apa-apa, tua bangka. Hanya ingin memakimu semoga kau dirajam setan neraka sampai mampus tujuh turunan!"

"Ha-ha, dan tidak takut kalau kau mati duluan? Weh, aku ingin menghisap sumsum tulang belakangmu, bocah. Kau memiliki darah yang sehat serta bersih....!"

Temu Ba sudah memutar-mutar tubuh korbannya. Dia hendak membuat anak ini semakin ketakutan, karena semakin dia takut maka semakin lancar darah yang mengalir di tubuh anak ini. Tapi Ceng Liong yang membelalakkan mata tidak tampak ketakutan seperti apa yang diharap. Dan ini membuat Temu Ba marah!

"Keparat, kau tidak takut, bocah? Kau malah mendeliki aku?"

Ceng Liong tertawa mengejek. "Kenapa harus takut padamu, iblis tua? Akupun dapat membuatmu ketakutan kalau memiliki kepandaian lebih tinggi darimu. Apa anehnya itu?”

Si raksasa terbelalak lebar. "Kau benar-benar tidak takut?"

"Hm, kenapa diulang-ulang pertanyaan itu, tua bangka? Kau lakukanlah ancamanmu, kau sedotlah sumsum tulang belakangku kalau kau suka!"

Temu Ba terkejut. "Kau menggertak aku?”

"Siapa menggertakmu? Hayo lakukan kata-katamu tadi. Kau boleh sedot dan minum darahku!" Ceng Liong malah berteriak. Dan ini membuat si raksasa benar-benar marah, juga heran!

"Wah, kau benar-benar bocah luar biasa setan cilik. Baru kali ini selama hidup Sin-thouw-liong (Naga Kepala Sakti) dibentak-bentak dan disuruh korbannya untuk disedot dan dihisap sumsum tulang belakangnya. Keparat...!" dan si raksasa yang sudah memutar leher Ceng Liong menghadapkan mulutnya pada tengkuk anak itu, langsung menempel dan siap menggigil!

"Kau benar-benar tidak takut, bocah?"

Ceng Liong merasa taring yang dingin sudah berada di tengkuknya, siap menggigit. Tapi anak yang benar-benar tabah ini tertawa dingin. "Kau tak perlu menguji keberanianku iblis tua. Aku tetap tak takut meskipun sumsumku kau sedot sampai kering!"

"Wah! Kalau begitu rasakan ini, setan cilik. Aku benar-benar akan menghisap darah dan sumsummu... kres!" dan si raksasa yang benar-benar sudah menghunjamkan giginya pada tengkuk Ceng Liong tiba-tiba menghisap darah anak itu yang menggeliat kesakitan.

Ceng Liong merasa nyeri, sedetik pucat oleh hisapan di belakang tengkuknya itu. Tapi ketika dia merasa darahnya deras mengalir disedot mulut si raksasa tinggi besar dan menimbulkan rasa nyeri bercampur geli mendadak anak ini tertawa dan menggeliat keras. "Tua bangka, pelan-pelan sedikit. Aku geli!"

Temu Ba terbelalak. Otomatis dia menghentikan hisapannya, heran dan tertegun mendengar seruan itu. Tapi seolah tak percaya dia mencengkeram anak ini dan bertanya, "Setan cilik, apa kau bilang?"

Ceng Liong tersenyum menyeringai. "Aku bilang menghisapnya pelan-pelan, goblok. Aku geli sekali kalau disedot terlalu kuat!"

Temu Ba benar-benar tertegun. Dia merasa aneh dan bengong memandang anak ini, sementara Ceng Liong yang melotot padanya membentak, "Kenapa berhenti? Hayo sedot dan hisap lagi. Aku tidak takut....!"

Raksasa ini melenggong. Dia masih terheran-heran memandang bocah yang luar biasa itu, tapi ketika Ceng Liong membentaknya lagi untuk yang kedua kali tiba-tiba raksasa ini tertawa bergelak dan menyeringai lebar. "Bocah, kau benar-benar sinting. Otakmu rupanya tidak waras...!" Dan Mu Ba yang sudah mendekatkan mulutnya tahu-tahu menghisap kembali sumsum dan darah anak ini, mengira Ceng Liong main-main dan "mengujinya". Tapi ketika si anak mengeluh dan meramkan mata seolah keenakan disedot darahnya tiba-tiba raksasa ini menghentikan sedotannya dan menjadi ngeri, ketakutan sendiri! Dan pada saat itulah A-cheng tiba-tiba muncul!

"Iblis tua, jangan ganggu majikanku. Dia keturunan Pendekar Gurun Neraka....!"

Temu Ba langsung berjengit. Dia kaget sekali dan Ceng Liong yang masih keenakan di bawah cengkeramannya tiba-tiba dilempar seolah sebuah dinamit yang siap meledakkan tangannya! "Apa? Anak siluman ini keturunan pendekar itu, setan betina? Dia putera si jahanam sombong?"

A-cheng sudah tiba mendekat. Ia sengaja menyebut nama itu agar musuh gentar, karena bagaimanapun juga dia merasa ngeri berhadapan dengan Sin-thouw-liong ini. raksasa Mongol yang matanya sebesar jengkol itu. Dan melihat Ceng Liong dilempar kaget oleh si tinggi besar diapun mengangguk dan buru-buru membangunkan anak ini. "Benar, Liong-siauw-ya adalah putera pendekar itu, iblis tua. Janganlah kauganggu dia kalau ingin selamat!"

Tapi Ceng Liong tiba-tiba melengking. "Tidak, siapa sudi mempunyai ayah seperti itu, bibi A-cheng? Dia laki-laki sombong yang mempunyai hutang kepada kita. Tak sudi aku menjadi anaknya'"

A-cheng terkejut. "Tapi kita perlu menyelamatkan diri dan raksasa ini, siauw-ya. Dia harus ditakuti dengan nama Pendekar Gurun Neraka!" sang pelayan berbisik, mencoba memberi pengertian pada majikan mudanya ini.

Namun Ceng Liong yang mengedikkan kepala tiba-tiba menampar muka pembantunya. "Bibi, kau tak tahu malu Jangan sebut lagi nama itu di depanku....”

“plak-plak!" A-cheng terjungkal. Ia kaget melihat Ceng Liong malah marah kepadanya, tapi si raksasa Mongol yang melompat ke depan tertawa bergelak.

"Ha-ha, jadi kau benar-benar membenci dan ingin membunuh ayahmu sendiri, bocah? Wah. kau memang mengagumkan!"

Ceng Liong memutar tubuh. "Apanya yang mengagumkan, Sinthouw-liong? Dia itu musuhku, bukan kerabat maupun ayah!"

"Ah, tapi bagaimanapun kau keturunan laki-laki itu, bocah. Mana mungkin menyangkal?"

"Keparat...!" Ceng Liong tiba-tiba menggeram. "Kau masih mau mengejekku dengan kata-kata itu, iblis tua? Kubunuh kau...!'' dan Ceng Liong yang tiba-tiba menubruk ke depan kembali melancarkan serangannya ke bawah pusar lawannya ini. Dia mempergunakan Tok-hiat jiu, ilmu yang diwarisinya dari sang ibu.

Tapi Temu Ba yang terbahak mendapat serangan itu sekonyong-konyong mendahului. "Bocah, siapa namamu tadi? Ceng Liong? Ha ha, bagus Ceng Liong. Kita bersahabat kalau begitu. Kau kuangkat sebagai muridku...des!” dan pukulan Ceng Liong yang sudah diterima tangan si tinggi besar ini tahu-tahu lenyap tenaganya bertemu hawa dingin yang menyambut pukulan Tok-hiat-jiu. Ceng Liong merasa tangannya lumpuh, lalu begitu tubuhnya terangkat naik tiba-tiba si raksasa ini sudah menjungkir-balikkan dirinya di udara. Persis orang main bolang baling!

"Ceng Liong, kau harus menjadi muridku. Kau pemberani dan gagah…..!"

Anak ini terkejut. Dia terbelalak berjungkir-balik, tak dapat mencegah tubuhnya yang dilempar-lempar di udara itu. Tapi ketika Mu-Ba menghentikan gerakannya dan dia meluncur turun anak ini langsung berkacak pinggang. "Iblis tua, kau siapakah dan bagaimana berani bilang hendak mengambil murid diriku ini? Mampukah kau mengalahkan Pendekar Gurun Neraka? Mampukah kau melawan ibuku?"

"Ha-ha, kepindaian ibumu tak ada artinya bagiku, bocah. Aku sejajar dengan mendiang sukongmu Cheng gan Sian-jin! Dia itu kawan karibku. Aku datang untuk membalas kematiannya!"

"Hm, tapi mampukah kau melawan Pendekar Gurun Neraka, iblis tua? Dia lihai, ilmu kepandaiannya hebat. Kalau tak dapat mengalahkan pendekar itu sebaiknya tak perlu aku mengangkatmu sebagai guru...'"

"Ha-ha, siapa bilang ilmuku tak hebat, bocah? Aku memiliki dua ilmu mujijat, hasil gemblengan sepuluh tahun terakhir ini. Khusus untuk menghadapi pendekar sombong itu. Kau ingin tahu? Nah, lihat, aku akan menghancurkan batu besar itu dari sini, sepuluh tombak....!" dan si raksasa Mongol yang tiba-tiba membentak perlahan sekonyong-konyong mendorongkan telapak tangannya ke batu hitam yang jaraknya sepuluh tombak dari tempatnya berdiri. Ceng Liong merasa angin berkesiur, lalu begitu sinar kebiruan berkelebat menyambar tahu-tahu batu itu meledak dan hancur berkeping-keping.

"Blarr...!"

"Ha-ha. Bagaimana, bocah?"

Ceng Liong terkejut. Dia mundur selangkah, mukanya berobah dan si raksasa Mongol yang tampak bangga dengan hasil pukulannya tiba-tiba melanjutkan seruannya dengan kata kata nyaring, "Dan lihat ini, setan cilik. Aku akan membuat pembantumu itu terangkat tanpa kusentuh...!"

Dan A-cheng tiba-tiba menjerit. Pelayan ini tahu-tahu terangkat, seolah ada tenaga gaib yang mengangkat tubuhnya begitu lengan kiri Temu-Ba diulurkan ke depan. Dan begitu raksasa ini tertawa bergelak tahu-tahu dia memutar lengannya itu dan A-cheng pun ikut terputar, berteriak dengan muka kaget, tanpa disanggah! "Ah, tolong, siauw-ya Hamba bisa jatuh..."'

Namun si raksasa malah terbahak. Dia membuat Ceng Liong terperangah oleh kesaktiannya, lalu begitu dia mendorong-majukan lengannya maka tubuh A-cheng juga ikut maju mundur seperti disetel dari jarak jauh! Tentu saja pelayan ini ngeri. Dan Acheng yang berteriak-teriak mencoba meronta dan melepaskan dirinya. Tapi gagal. Dan ketika si raksasa berseru keras sambil melempar tangannya tahu-tahu Acheng ikut terlempar dan menjerit di atas pohon. Tersangkut!

"Ha-ha, bagaimana, bocah? Ibumu dapat melakukan itu?"

Ceng Liong terbelalak. Dia melihat A-cheng menangis di pohon itu menggigil dengan tubuh tak bergerak, ketakutan sekali. Dan Ceng Liong yang tiba-tiba tertawa mendadak berlutut di depan raksasa tinggi besar ini "Suhu, kau memang hebat. Aku percaya sekarang....!"

Temu-Ba bergelak girang. Dia menyambar anak ini, dibuat jungkir balik di udara, persis seperti orang memainkan bola. Dan Ceng Liong yang kegirangan oleh perbuatan gtrunya itu terkekehkekeh sambil berteriak gembira, "Suhu ajarkan aku ilmu kesaktian ini. Aku ingin membuat Pendekar Gurun Neraka juga kulempar seperti A-cheng..!"

Raksasa ini terbahak. Dia gembira sekali menemukan bocah ini, anak laki-laki yang dianggapnya aneh, luar biasa. Karena bocah yang sudah dihisap sedikit darah dan sumsumnya itu ternyata tak mengenal takut dan meram-melek ketika disedot tengkuknya, seperti orang keenakan disedot nyawanya sedikit demi sedikit Dan Mu-Ba yang diam-diam "ngeri" pada anak laki-laki ini merasa bahwa anak itu kelak akan jauh lebih hebat daripada dirinya sendiri. Calon iblis yang bisa menggegerkan dunia!

Demikianlah, raksasa ini lalu bermain main dengan Ceng Liong, pura-pura tak mendengar seruan Mayat Hidup yang mengkhawatirkan dia membunuh anak itu. Teriakan yang membuat dia semakin geli dan terbahak-bahak. Dan ketika ibu sang anak dan Mayat Hidup sendiri muncul di situ dan nampak tertegun oleh perbuatannya iblis tinggi besar ini pun tertawa menghadapi temannya.

"Bagaimana, Mayat Hidup, kau tak terkesan oleh keberanian anak ini? Dia bocah luar biasa, tak takut disedot sumsum tulang belakangnya! Bagaimana kalau kau ambil dia sebagai murid dan kau ajarkan ilmumu Jari Penusuk Tulang itu?"

Si Mayat Hidup menyeringai. Dia jadi terkejut dan kagum juga oleh cerita Temu Ba ini, cerita yang dianggap langka. Tapi mengangguk dengan mata bersinar-sinar dia menjawab, "Boleh. Kalau kau telah memuji anak ini tentu dia bukan anak sembarangan, Mu-Ba aku tak keberatan mengambilnya sebagai murid!"

"Dan kita gembleng dia untuk menghadapi Pendekar Gurun Neraka?"

"Tentu saja. Tapi kalau anak itu tak berobah, Mu-Ba. Aku kuatir dia berbalik haluan kalau kepandaiannya sudah tinggi!"

"Ha ha, tak mungkin Ceng Liong akan menarik dendamnya, Mayat Hidup. Bocah ini keras hati sekali dan tak mundur pada segala cobaan!"

"Baik, aku percaya omonganmu, Mu Ba. Boleh kita gembleng dia untuk membantu kita kelak!"

Ceng Liong sudah gembira bukan kepalang. Dia menjatuhkan diri berlutut, menyebut "ji-suhu" (guru ke dua) pada kakek kurus kering ini. Dan si raksasa yang tak dapat menahan hatinya tiba-tiba menendang bocah itu lalu menyambar tubuhnya, dibawa lari sambil melempar-lempar tubuhnya.

"Mayat Hidup, kita beruntung. Kita mendapat murid paling jempolan!"

Si Mayat Hidup terkekeh Dia menyeringai, melirik ibu anak itu. Dan Lie Lan yang lega anaknya tak kurang suatu apa tiba-tiba tersenyum manis, maklum apa yang dikehendaki kakek yang lihai ini. Lalu begitu dia tertawa dan merenggut bajunya tahu-tahu wanita cantik ini telah berdiri telanjang di depan iblis kurus kering itu.

"Mayat Hidup, boleh kita mulai. Aku siap melayanimu...!"

Si Mayat Hidup terkekeh. Dia terkejut oleh perbuatan wanita itu, tapi mendengus gembira dia sudah menubruk wanita ini dan menciuminya penuh nafsu. "Niocu, kita main di sini?"

"Ya, mau di mana lagi, Mayat Hidup? Bukankah kau sudah tak tahan melihat diriku terus?"

Maka Mayat Hidup yang tertawa serak ini sudah membuang bajunya pula. Dia tak perduli keadaan sekitar, dan begitu mendekap sambil terkekeh tahu-tahu keduanyapun sudah terguling di atas tanah dan sama-sama telanjang bulat. Melampiaskan nafsu berahi dengan cara yang liar seperti sikap binatang-binatang buas di tengah hutan. Tak perduli atau tampaknya tak tahu betapa di atas pohon sepasang mata terbelalak memandang semuanya itu. Mata A-cheng!

Tapi benarkah keduanya tak tahu kehadiran pelayan itu? Sebenarnya tidak. Lie Lan sendiri tahu bahwa pelayannya ada di situ, tapi sengaja tak perduli. Sementara si Mayat Hidup yang juga tahu bahwa ada seseorang di atas sana sengaja membiarkan pelayan itu melihat dia bermain cinta karena dengan begini nafsu berahinya jadi semakin berkobar. Bahkan untuk mencegah pelayan itu melarikan diri dia secara diam-diam telah menotok dari jauh tubuh pelayan itu agar dapat menonton lebih jelas!

Demikianlah, dua orang ini memang manusia-manusia yang tidak punya rasa malu lagi. Tok-sim Sian-li didorong kekecewaan dan kebencian hatinya terhadap Pendekar Gurun Neraka sedangkan si Mayat Hidup memang sesungguhnya iblis yang suka menculik wanita-wanita cantik untuk dipermainkan dan diperkosa. Tapi dalam perjalanan hidupnya iblis ini tak mengenal kepuasan. Setiap wanita yang diperkosanya selalu berada dalam keadaan ketakutan, menjerit-jerit dan histeris sekali dalam melayani nafsu binatangnya.

Dan Mayat Hidup yang akhirnya geram oleh ketidakpuasan ini lalu menggila dan membunuhi korban-korbannya yang sudah diperkosanya itu. Akibatnya iblis ini ditakuti. Tapi karena dia melakukan semuanya itu di daerah luar perbatasan maka yang mengenal dan menakuti iblis ini adalah orang-orang di luar tembok besar, kaum nomad atau suku perantau yang suka diganggunya itu!

* * * * * * * *

Kembali pada Bu-beng Siauw-cut. Hari itu dia telah tiba di Lembah Cemara, melihat sebuah air terjun tumpah di dasar sungai berbatu yang deras airnya. Dan Bu-beng Siauw-cut yang mencari-cari Gua Malaikat akhirnya bertemu seorang kakek tua yang punggungnya bongkok.

Kakek ini tersenyum, bernyanyi-nyanyi kecil. Dan ketika tahu dihampiri seorang anak mendadak dia menghentikan nyanyiannya dan menoleh. "Anak baik, kau mencari siapakah?”

Bu-beng Sauw-cut buru-buru memberi hormat. Dia gembira bertemu kakek ini, satu-satunya orang yang dapat diajak bicara di tempat yang sunyi itu. Maka membungkukkan tubuh dengan muka berseri langsung dia menjawab, "Aku mencari Gua Malaikat, kakek tua, tahukah kau di mana tempat itu berada?"

Si kakek tarsenyum lebar. "Wah. ada perlu apa kau mencari tempat itu, anak baik? Dapatkah kau mengunjunginya?"

Si anak mengerutkan alis. Hm, lagi-lagi orang ingin mengetahui urusan pribadinya. Apakah semua orang usil terhadap keperluan orang lain hingga dia perlu bertanya tentang itu? Maka Bu beng Siauw-cut yang tak menjawab itu langsung mencemberutkan mulut. "Kakek, kenapa kau harus tahu keperluan orang lain? Perlukah itu bagimu?"

Si kakek membeliakkan mata "Wah, kau perasa sekali, anak baik. Ah, maaf kalau begitu. Tapi pertanyaanmu dapat kujawab. Gua Malaikat itu ada di situ, di balik air terjun itu!" si kakek menuding ke atas, di tengah-tengah dinding curam dari air terjun itu.

Dan Bu-beng Siauw-cut yang terkejut oleh jawaban ini segera tertegun. "Apa, kek? Di belakang air terjun itu? Di tengah-tengah tebingnya yang curam!"

Tapi Bu-beng Siauw-cut makin terkejut. Dia tak mendapat jawaban, dan ketika menoleh ke kiri tahu-tahu si kakek tua yang tadi ada di dekatnya itu ternyata lenyap! "Hei, ke mana kau, kek?"

Namun tak ada jiwaban. Dan ketika Bu-beng Siauw-cut sedang tertegun mendadak suara si kakek muncul di sebelah kanan jauh di balik pepohonan sambil bernyanyinyanyi! Dan ketika dia melompat menghampiri tampaklah si kakek sedang memetik tanaman obat dengan kaki dihentak-hentak kecil, bersenandung.

"Heh-heh, di mana kau Cing-shiang. Di mana kau Pi-chih? Hayo lekas temui aku, cucuku sakit demam yang tidak ketulungan!"

Siauw-cut tertegun. "Kek, apa itu Cing-shiang? Apa itu Pi-chih? Apa yang sedang kau cari di sini?"

Si kakek terkejut. "Lho, kau mengejarku, anak baik? Bukankah kau hendak ke Gua Malaikat?”

Siauw-cut melompat maju. “Aku ragu-ragu keteranganmu, kek. Aku tak melihat apa pun di balik air terjun itu."

"Heh-heh, mana bisa dilihat, anak baik. Tempat itu harus didatangi. Tak tampak kalau dilihat dari bawah!"

"Jadi kau tak menipuku, kek?"

"Wah, untuk apa menipumu? Kau kira aku tukang tipu?”

Bu-beng Siauw-cut melenggong. Dia serasa percaya serasa tidak pada kakek ini, yang tertawa seakan menggodanya. Tapi melihat orang bicara sungguh-sungguh diapun menarik napas. "Baiklah, kalau begitu bagaimana caranya menuju ke sana, kek? Apakah ada jalan khusus?"

Si kakek tertawa. "Bocah, mana ada jalan khusus ke gua itu? Tak ada yang bisa membuat jalan ke sana, kecuali terbang seperti burung. Atau, kalau toh ingin ke sana maka satu-satunya jalan adalah merayap! Kau bisa memanjat dinding itu?"

Anak ini terkejut. "Merayap, kek? Di dinding yang licin itu!'"

"Ya, bukankah itu satu-satunya jalan, anak baik? Manusia tak mempunyai sayap, jadi harus merayap atau memanjat dinding itu. Mampukah kau ke sana?"

"Hm...." Siauw-cut tertegun, memandang terbelalak ke atas tebing yang tertutup oleh tumpahan air terjun itu. Tapi masih setengah sangsi dia bertanya, "Tapi betulkah ada gua itu di sana, kek? Bagaimana kalau kau bohong?"

"Heh-heh, bohong atau tidak itu harus dibuktikan, bocah. Kau percaya baik tapi tidak percaya juga tidak apa, Eh, siapa namamu?"

"Aku Siauw-cut. Bu-beng Siauw-cut!''

"Heh, Bu-beng Siauw-cut? Ha-ha, aku Bu-beng Siauw-jin, anak baik. Aku juga orang yang tidak berguna seperti namamu itu!" si kakek terbahak, keras suaranya dan terbelalak memandang Siauwcut.

Tapi Bu beng Siauw-cut yang mendengar jawaban ini mengira si kakek berolok-olok. "Kek, kau mengejekku? Aku benar-benar Bu-beng Siauw-cut, bukan bercanda!"

"Lho, siapa yang bercanda? Aku juga Bu-beng Siauw-jin, anak baik. Akupun juga tidak bercanda atau main-main denganmu!"

Anak ini tersentak. Dia kembali melihat si kakek bersungguhsungguh bicara, tidak main-main. Dan merasa aneh bahwa mereka berdua mempunyai persamaan nama tiba-tiba Bu-beng Siauw cut tersenyum, tertawa lebar. "Kek, rupanya kita senasib. Kenapa kau memilih nama Bu-beng Siauw-jin (Orang Hina) yang lebih jelek daripada Bu-beng Siauw cut ini? Apa yang kau alami."

Si kakek menyeringai. "Aku tak mengalami apa-apa, anak baik. Tapi aku memang suka pada nama itu, nama yang selalu mengingatkan aku bahwa aku bukan orang mulia atau orarg besar. Aku si tua tolol yang rendah dan hina!"

"Hm, lalu di mana rumahmu, kek?"

"Aku tak mempunyai rumah. Tapi kalau ingin tidur atau beristirahat aku menyelinap dilubang pohon itu!"

Siauw-cut terbelalak. Dia melihat sebuah pohon besar berdiri tak jauh dari mereka, tegak dengan daunnya yang rimbun. Sementara sebuah lubang besar yang menganga di pokok batangnya membuat anak ini terheran. "Jadi itu tempat tinggalmu, kek?"

"Ya."

"Seorang diri?"

"Heh-heh, sekarang tidak, anak baik. Aku mendapat seorang cucu yang tampan dan gagah!"

"Siapa dia?"

Si kakek mengerutkan alis. "Perlukah kau tahu urusan orang lain. bocah? Bukankah kau sendiri bilang tak perlu tahu urusan orang lain?"

Bu-beng Siauw-cut tertegun. Dia menarik napas, lalu menganggukkan kepala dia menyeringai pada kakek ini. "Ya, aku salah, kek. Maafkan!"

"Dan kau masih berceloteh saja di sini?"

"Maksudmu?"

"Kau tidak segera menyelidiki bohong atau tidaknya aku tentang gua di balik air terjun itu?"

Bu-beng Siauw-cut terkejut. Dia sadar, tapi tersenyum kecut dia memutar tubuh. "Ya, aku akan menyelidiki kebenarannya, kek. Tapi kuharap kau tidak bohong!"

"Heh heh, untuk apa aku bohong padamu? Tapi bisakah kau memanjat ke sana?"

Anak ini menghentikan langkahnya, bingung "Ini yang belum kutahu, kek. Karena mungkinkah seseorang dapat memanjat dinding yang licin itu? Bisakah mereka ke sana?"

Si kakek tertawa aneh. "Tentu saja, bocah. Setidak-tidaknya aku dapat ke sana tanpa mempergunakan sayap!"

"Kau...?" Bu beng Siauw-cut terbelalak.

"Ya Kau tidak percaya, bocah? Lihat, aku akan ke sana dalam lima puluh hitungan cepat. Buktikan.!" dan si kakek yang tiba-tiba melempar keranjang obatnya sudah berlari ke dinding curam itu sambil tertawa. Tubuhnya menerobos tumpahan air terjun, lenyap di balik sana. Tak tampak bayangannya. Tapi ketika Bu-beng Siauw-cut memburu ke tempat ini tahu-tahu di atas sana terdengar tawa bergelak yang menutupi gemuruhnya air terjun.

"Bu-beng Siauw-cut, kau dapat melihat aku?"

Anak ini tertegun. Dia tak melihat bayangan si kakek, maklum tempatnya demikian tinggi. Juga terjal sekali. Dan Bu-beng Siauwcut yang menggelengkan kepalanya berteriak nyaring, "Aku tak dapat melihatmu, kek. Mungkin kau menipuku dengan pantulan suaramu...!"

"Ha-ha, siapa bilang? Lihat ini, bocah... lihat aku akan membuyarkan tumpahan air terjun ini... prat-pratt!" Dan Bu-beng Siauw-cut yang mendongak ke atas tiba-tiba melihat air terjun yang meluncur deras tahu-tahu terbelah, sekejap saja, tak dapat terusmenerus. Tapi bayangan si kakek bongkok yang "nempel" di dinding atas sudah membuat anak ini terkesima dan berseru takjub!

"Ah, benar, kek. Aku sudah melihat mukamu....!"

"Ha-ha, apa aku bilang? Dan sekarang lihat, bocah. Aku akan turun dalam lima puluh hitungan pula Awas....!" dan suara yang sudah meluncur turun itu tahu-tahu disusul berkelebatnya tubuh yang menerobos tumpahan air terjun.

Bu-beng Siauw-cut melihat si kakek sudah berada di depannya, cepat sekali. Dan baju yang basah dari kakek ini membuktikan bahwa dia benar-benar telah melorot turun dari tebing yang curam itu. Tidak sampai limapuluh hitungan!

"Ah, kau hebat, kek...!" Bu-beng Siauw-cut akhirnya mendesah kagum, penuh takjub memandang si kakek yang tertawa-tawa dipandangnya, seolah geli melihat anak ini terbelalak matanya, tak berkedip. Dan Bu-beng Siauw-jin yang tiba-tiba tertawa nyarmg menyambar keranjangnya.

"Siauw-cut, aku masih mau mencari obat. Kau naiklah ke atas seperti caraku!"

Anak ini terkejut. Dia melihat kakek bongkok itu sudah lenyap dalam dua kali lompatan saja, tapi Bu-beng Siauw-cut yang girang mendapat bukti bahwa dinding air terjun iiu bisa dipanjat manusia sudah melompat pula menghampiri air terjun ini. Dia mengira dinding itu hanya seram saja dipandang dari kejauhan, seolah tak dapat didaki. Tapi ketika dia mendekat dan melihat dinding ini penuh lumut dan bekas tapak si kakek bongok ada di atas lumut yang hijau licin itu tiba-tiba saja dia tertegun dan bengong!

"Wah, bagaimana bisa ke atas. Apakah lumut ini kasar permukaannya?"

Bu beng Siauw-cut meraba. Dia ingin meyakinkan diri, tapi ketika tangannya tergelincir dan berkali-kali jatuh di atas permukaan lumut diapun jadi kaget dan gelisah. Ternyata lumut itu benar-benar licin! Lalu bagaimana caranya si kakek bongkok dapat "merayap" ke atas? Mempergunakan sihir? Bu beng Siauw-cut penasaran. Dia benar-benar penasaran sekali oleh perbuatan kakek itu tadi, maka menggigit bibir dan mengepal tinju tiba-tiba dia nekat mencengkeram dinding air terjun dan memanjat! Tapi celaka. Baru semeter dia merayap tahu-tahu cengkramannya lepas.

”Bluk!” Bu-beng Siauw-cut mengumpat. Dia menyeringai kesakitan pinggulnya terbanting di atas batu. tapi mengebutkan baju dia sudah mulai mencoba. Untuk kedua kalinya dia merayap. Pelan sambil mencengkeram kuat-kuat. Tapi ketika untuk kedua kalinya pula dia terjatuh dan terbanting di atas tanah maka anak itu pun tertegun dan terduduk bengong, tak tahu bagaimana caranya agar dapat memanjat dinding. Dan pada saat itulah si bongkok tiba-tiba muncul.

"Ha-ha, bagaimara, Siauw-cut? Kau tak dapat melaksanakan niatmu?"

Bu-beng Siauw cut melompat bangun. Dia kaget melihat kakek ini tahu-tahu muncul tapi berseri girang dia memandang kakek itu “Kek. bagaimana caramu menanjat dinding? Apakah kau mempergunakan sihir?"

"Ha ha. aku si tua bangka ini tak mempunyai sihir, Siauw-cut. Aku mengandalkan kepandaianku untuk memanjat dinding itu!"

"Ilmu siluman?"

"Tidak, tapi ilmu merayap yang memang sudah kupunyai puluhan tahun yang lalu!"

"Ah, kalau begitu aku dapat kau ajari, kek?"

"Untuk apa? Dan apa yarg kau cari di atas sana?"

Bu-beng Siauw cut tertegun. Dia ragu-ragu menjawab, tapi melihat kakek ini tampaknya orang baik-baik diapun berkata juga. “Aku mencari seseorang, kek. Katanya dia ada di situ dan dapat kujumpai."

"Siapa?"

"Bu-beng Sian-su!"

"Ha-ha. kau kira mudah menemui manusia dewa ini, bocah? Kau ada keinginan apa hingga jauh jauh mencari kakek ini?"

"Aku ingin belajar silat, kek. Aku merasa dia calon guruku yang paling baik!"

Si kakek tertawa bergelak Dia tampaknya geli sekali, terbahak sampai terguncang-guncang tubuhnya. Dan Bu-beng Siauw-cut yang tidak senang tiba-tiba mendesis, "Kek, apa yang kau-ketawai? Kau mentertawakan aku?"

Si kakek masih tak dapat menahan gelinya. "Aku tertawa melihat kebodohanmu. Siauw-cut, Bu beng Sian-su tak ada di tempat itu!"

Anak ini terkejut. "Dia tak ada di situ?'

"Ya, siapa yang memberi tahu dia ada di situ ” "Seseorang, kek. Dia..." Bu-beng Siauw cut menghentikan kata-katanya. Dia melihat si kakek bongkok memutar tubuh, cepat sekali. Dan sebuah panah kecil yang menyamar tengkuknya tahu-tahu ditangkis dengan kebutan lengan bajunya hingga terpental runtuh. "Plak...!"

"Ah, siapa main-main di sini?"

Dan seorang nenek tiba-tiba muncul, "Heh-heh, kau masih tangkas seperti dulu, Siauw-jin? Mana itu anak buruanku?"

Bu-beng Siauw-jin terkejut. Dia berseru perlahan melihat kehadiran nenek ini, tapi tertawa bergelak tiba-tiba dia berseru, "Mo-li, apa yung kau bicarakan ini? Siapa anak yang kau maksud?'' tapi, berbisik perlahan pada Bu-beng Siauw-cut kakek bongkok ini tergesa-gesa bicara, "Anak baik, kau tolonglah aku. Pergilah ke lubang pohon itu dan jaga cucuku di sana. Nenek ini berbahaya, ia mau merampas cucuku...!"

Siauw-cut tertegun. "Siapa dia, kek?"

"Sin-yan Mo-li, nenek iblis yang tiga hari ini mengejar-ngejarku!"

"Ah, dan keperluannya?"

Tapi si kakek mendesis, "Jangan cerewet, Siauw-cut. Pergilah ke sana dan tolong jaga cucuku. Dia sakit demam!"

Bu-beng Siauw-cut terbelalak. Dia melihat nenek berjuluk Sin-yan Mo-li itu berkelebat di depan mereka, sikapnya bengis sekali. Dan sepasang matanya yang berkilat kebiruan menyala-nyala memandang dirinya.

"Siapa anak ini, Siauw-jin?"

Bu-beng Siauw-cut tergetar. Dia merasa, pengaruh mengerikan dari suara nenek ini, tapi, si kakek bongkok yang tertawa lebar menjawab pendek. "Dia anak liar, Mo-li. Pencari obat dan mungkin penduduk di bawah lembah itu."

"Dan anak yang kau bawa?"

"Heh-heh, anak apa yang kubawa, Mo-li? Aku tak punya anak dan tidak membawa anak. Bukankah kau tahu aku belum kawin dan masih bujangan hingga saat ini?"

Si nenek mendengus. "Jangan main-main, Siauw jin. Kau tak perlu menipuku dan cepat serahkan anak itu kepadaku!”

"Wah, anak yang ada saat ini ialah anak ini, Mo-li. Kenapa kau mengancamku dan tidak percaya? Lihat, dia ketakutan melihat kedatanganmu. Sebaiknya kutendang saja...dess!"

Dan Bu beng Siauw-cut yang tiba-tiba ditendang kakek ini tahu-tahu mencelat terlempar ke batang pohon yang menganga lubangnya itu. Dan Bubeng Siauw-cut yang hampir marah tiba-tiba mendengar bisikan kakek ini, "Anak baik, kau tolonglah aku. Jaga cucuku di dalam itu. Jangan keluar....!"

Bu-beng Siauw-cut tertegun. Dia simpatik pada kakek bongkok ini. yang dilihatnya sebagai orang baik-baik. Tidak seperti si nenek yang matanya mengerikan itu yang memandangnya seperti mata setan! Maka bengong dan bingung oleh kejadian ini tiba-tiba anak itu malah mendelong tak keruan, memandang si nenek dan sang kakek bongkok yang melotot padanya!

"Eh, kenapa kau tak masuk, anak baik? Bukankah kusuruh kau menjaga cucuku di dalam? Jangan melenggong saja, nenek ini berbahaya!" Bu beng Siauw-cut kembali mendengar seruan itu, seruan si kakek bongkok yang dibisikkan perlahan sekali, dengan gerak bibir yang hampir tak kentara. Dan baru dia memandang Bu beng Siauw jin tiba-tiba si nenek menggerakkan lengannya.

"Bocah, kau pergilah ke neraka. Aku tak suka matamu yang melotot itu!"

Bu-beng Siauw-cut terkejut. Dia melihat sinar berkelebat, disusul suara “wir" yang halus namun tajam. Dan begitu dia terbelalak tahu-tahu sebatang panah kecil seperti yang tadi menyerang Bu beng Siauw-jin sudah berada di depan dadanya dengan kecepatan kilat!

Tapi Bu-beng Siauw jin mendorongkan lengannya, menampar dengan pukulan jarak jauh. Dan begitu kakek ini menggerakkan lengannya mulutnyapun memaki, “Sin-yan Mo-li, jangan bersikap keji. Bocah itu tak tahu apa apa...plak!" dan panah yang tahu-tahu runtuh ditampar kakek ini membuat Sin-yan Mo-li berjingkrak marah.

"Kau melindungi bocah itu, Sauw jin? Kau bilang dia anak liar?"

Si kakek tertawa meringis. "Aku memang bilang begitu, Mo-li. Tapi bukan berarti kau boleh membunuhnya meskipun dia anak tak berharga!"

"Dan kau tetap melindunginya kalau aku membunuh?"

"Heh-heh, itu kewajibanku, Mo-li. Tak boleh kau membunuh orang di depan hidungku!"

"Keparat...!" Sin-yan Mo-li tiba-tiba membentak, berkelebat ke depan menyambit lagi dua panah kecilnya, menyerang Bu beng Siauw-cut. Dan nenek ganas yang tahu-tahu mengulurkan lengan dengan cengkeramannya yang cepat bagai walet menyambar itu benar-benar mengejutkan Bu-beng Siauw-cut yang diserang nenek ini.

Tapi si kakek bongkok kembali menghadang di depan. Dia mengebut runtuh dua panah kecil itu, lalu mengulurkan lengan kiri menangkis pukulan si nenek diapun menendang pantat si anak yang mendelong di mukanya itu. "Siauw-cut, kau pergilah.... bluk!"

Bu-beng Siauw-cut tahu-tahu terlempar ke dalam lubang. Dia langsung terjeblos di situ, menimpa seseorang yang mengaduh perlahan. Dan begitu dia memandang tiba-tiba mulutnya celangap dan mendesis. "Kau...?"

Dan orang yang ditimpa itupun bangkit berdiri. Dia adalah seorang anak laki-laki yang sebaya anak ini, melangkah pucat dengan kaki terhuyung. Dan begitu melihat Siauw cut ada di situ tiba-tiba saja anak itupun menudingkan telunjuknya dan berseru gemetar, "Kau....?"

Dan dua orang anak itu sama-sama tertegun. Mereka terkejut, terbelalak saling pandang. Tapi Bu-beng Siauw-cut yang sudah berobah mukanya sekonyong-konyong melompat maju, "Kau putera Pendekar Gurun Neraka.....!" dan anak laki-laki yang pucat itu mengangguk.

"Ya, aku Sin Hong, Siauw-cut. Kau anak yang membuat onar di rumah orang tuaku!"

Siauw-cut mengepal tinju. Dia melihat anak itu marah, hal yang membuat dia terbelalak. Karena kalau dihitung-hitung justeru dialah yang harus marah pada lawannya ini, putera si musuh besar yang membunuh ibunya itu! Maka Siauw-cut yang marah oleh sikap lawannya ini mendadak mengayunkan tinju dan menerjang ke depan.

"Sin Hong, kau musuh besarku. Ayahmu telah membunuh ibuku!"

Sin Hong tak mengelak. Dia menangkis pukulan itu, tapi begitu mengerahkan tenaga tiba-tiba anak ini mengeluh dan tertonjok mukanya.

"Plak!" Sin Hong terpelanting roboh. Dan Siauw-cut yang melihat lawan sudah dipukulnya roboh tahu-tahu melakukan pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Dia rasanya hendak membalas kekecewaan hatinya di Ta-pie-san itu, kegagalan dendamnya terhadap Pendekar Gurun Neraka. Maka Sin Hong yang bertubi-tubi diberi bogem mentah dan tendangan kaki itu

akhirnya mengeluh dan dibuat bulan-bulanan anak yang marah ini. Sin-Hong memang bermaksud membela diri. menangkis dan menghindar semua pukulan Siauw-cut. Tapi karena dia sedang sakit dan panas tubuhnya tinggi karena demam anak ini pun tak berdaya dan kehilangan tenaga. Sampai akhirnya, ketika pukulan Siauw cut menghantam lehernya tahu-tahu anak ini terguling dan tidak sadarkan diri. Pingsan!

Bu-beng Siauw-cut terengah. Dia puas melihat lawan yang menggeletak dengan tubuh matang biru itu. Pipinya bengap dan mukanya bengkak Tapi ketika ingat bahwa lawan sedang sakit dan Sin Hong sama sekali tidak mengeluh akibat perbuatannya yang tidak adil itu tiba-tiba anak ini tertegun. Mau tak mau warna merah semburat di mukanya, sadar bahwa perbuatannya tadi bukanlah kegagahan yang pantas dibanggakan. Dan sementara dia tertegun sambil mengusap peluh tahu-tahu terdengar bentakan si kakek bongkok yang ditujukan kepadanya, bentakan yang diluncurkan lewat ilmu sakti Coai-im jip-bit,

"Bocah, kau menyerang cucuku? Keparat, anak itu sedang sakit. Sauw-cut. Tak tahu malu benar kau ini! Apa yang kau lakukan itu? Hayo beri dia obat, tuangkan minuman di sudut dan balur mukanya dengan daun di dalam keranjang obat itu...”

Bu-beng Siauw-cut tertegun. Dia menyadari kesalahannya, menyerang orang yang sedang sakit. Maka mengambil minuman di dalam sebuah cangkir langsung saja dia menyandarkan Hong dan seteguk demi seteguk menuangkan obat yang seperti jamu pahit itu ke mulut lawannya. Sin-Hong masih pingsan, tak tahu apa yang dilakukan anak ini. Dan ketika obat sudah diminumkan semua Bu beng Siauw-cut lalu mengambil daun-daun obat di dalam keranjang. Dedaunan itu basah, rupanya sudah direndam si kakek bongkok Maka memalurkan daun-daun ini ke tubuh Sin Hong tahulah Siauw cat betapa tinggi panas badan anak ini!

"Ah, dia benar-benar sakit. Pantas tak dapat melawan aku!"

Bu-beng Siauw cut menyesal. Bagaimanapun dia merasa tak enak, malu sendiri. Tapi ketika dia sedang merawat Sin Hong tiba-tiba di luar pohon terdengar suara berdebuk. Si kakek bongkok rupanya terbanting, keras sekali hingga dia menjerit dan memaki-maki Sin-yan Mo-li. Tapi ketika lawan terkekeh dan menyerang kembali mendadak kakek ini berseru keras sambil mendorongkan lengannya.

"Mo-li, pergilah. Aku tak ada waktu melayanimu…plak!"

Sin-yan Mo-li terpekik. Siauw-cut melihat nenek ini terjengkang, tak kuat menerima dorongan si kakek bengkok. Dan sementara si nenek terguling-guling mendadak kakek ini melompat masuk menyambar Sin Hong. "Siauw-cut, larilah. Aku harus menyelamatkan anak ini, tak tak dapat melindungimu..."

Bu-beng Siauw-cut terkejut. Dia melihat si kakek sudah membawa Sin Hong, keluar sambil mengebut runtuh dua panah yang kembali disambitkan Sin-yan Mo-li yang berteriak marah Dan si kakek bengkok yang sudah melarikan diri membawa Sin Hong tahu-tahu menjejakkan kakinya melompat bagai terbang.

"Mo-li, aku tak ada waktu melayanimu. Kau carilah anak lain pengobat kekecewaanmu!"

Sin-yan Mo-li membentak. Ia marah melihat si kakek bongkok melarikan diri, membawa Sin Hong yang memang ia cari. Maka melengking tinggi dengan pekik penuh kemarahan tiba-tiba ia pun melesat memburu, lawan. "Bu-beng Siauw-jin, kau tua bangka keparat. Lepaskan anak itu kalau tidak ingin kubunuh!"

Bu-beng Siauw-jin tertawa bergelak. Dia menambah kecepatan larinya, tancap gas. Hingga Siauw-cut yang melihat kejar-kejaran ini terjadi di depan mata tahu-tahu melongo ketika melihat kakek bongkok itu terpental-pental kedua kakinya, terpental bagai bola, melarikan diri dengan cara yang aneh, sementara Sin-yan Mo-li yang mengejar di belakangnya melucur lurus "terbang" tak menginjak tanah bagai iblis bersayap yang menempel ketat di belakang kakek bongkok ini!

"Ah, mentakjubkan. Mereka ternyata orang-orang sakti...!" Bubeng Siauw-cut terperangah, mendesah dengan muka penuh kagum. Dan bayangan keduanya yang sebentar saja lenyap dari pandang matanya tahu-tahu disusul sebuah suara si kakek bongkok, melengking tinggi dengan nada marah, "Siauw-cut. apa lagi yang kau tunggu? Hayo pergi dari situ, aku akan kembali setelah mempermainkan nenek ini!"

Bu-beng Siauw-cut tertegun. Dia kurang mengerti omongan kakek itu, tapi ketika memandang ke depan mendadak bayangan si kakek bongkok muncul kembali ke tempat semula, melingkar dari arah sebelah kanan, kembali lagi! Sementara si nenek yang mengejar ketat di belakangnya memaki kalang kabut.

"Siauw-jin, lepaskan anak itu. Kalau tidak kalian berdua akan kubunuh...!"

Bu-beng Siauw-cut terbelalak. Dia melihat dua orang itu terbang dengan sama cepatnya. Hanya kalau Bu-beng Siauw-jin terpentalpental seperti katak melompat adalah "si nenek iblis lurus ke depan dengan muka beringas Bahkan kini telah memegang sebatang cambuk berduri yang ujungnya meledak-ledak, mirip petir di siang bolong Dan sementara dia menjublak di tempat itu tahu-tahu si kakek bongkok sudah tiba di depannya.

"Siauw-cut, kau gila? Tidak segera pergi dari tempat ini?”

Bu-beng Siauw-cut menjawab, "Aku hendak mencari Bu-beng Sian su, kek. Aku harus menemui kakek itu kalau pergi dari sini!"

"Sialan, tapi Bu-beng Sian-su tak ada di sini, bocah. Aku sendiri sudah menunggunya tiga hari untuk maksud yang sama!''

"Ah. kalau begitu di mana dia, kek?"

Tapi Bu beng Siauw jin tak dapat menjawab. Dia sudah keburu dikejar si nenek iblis, Sin-yan Mo-li yang meledak-ledakkan cambuk berdurinya itu. Dan ketika melihat si kakek bongkok bicara dengan Bu beng Siauw-cut tiba-tiba nenek ini meledakkan cambuknya ke pinggang si bocah.

"Anak liar, kau pergilah...!"

Bu-beng Siauw-cut terkejut. Dia tak dapat mengelak, maka begitu cambuk menjeletar di pinggangnya tiba-tiba dia terangkat naik dan.... jatuh di bawah air terjun yang banyak batunya itu. Tak ayal. Bu-beng Siauw-cut menjerit. Dan ketika tubuhnya menimpa batu di bawah air terjun ini tahu-tahu punggungnya berkeratak seakan patah!

Tapi Bu-beng Siauw-cut melompat bangun. Dia melihat dua orang kakek dan nenek itu sudah kembali kejar-kejaran, lenyap dari depan matanya. Namun baru dia mentas (keluar dari air) mendadak bayangan si kekek bongkok muncul kembali, kini ini berputar dari arah kiri!

"Siauw-cut. kau tidak apa-apa?" Bu-beng Siauw-cut mendengar kakek itu berteriak, menanyakan keselamatannya. Dan anak yang meringis sambil menekan punggungnya itu menjawab. "Aku tidak apa-apa, kek. Hanya punggungku sakit dihajar nenek iblis itu!"

"Nah, apa kubilang? Dia memang jahat, Siauw-cut, kau menyingkirlah. Di sebelan kanan air terjun ada jurang. Kau larilah ke sana dan sembunyikan diri. Cepat...!"

Bu-beng Siauw cut mengangguk. Tapi baru dia berlari dua langkah tiba-tiba pantatnya ditendang kakek bongkok ini hingga mencelat jauh. Dia terkejut, tapi ketika kakinya jatuh di pinggir sebuah jurang diapun mencelos dan hampir berteriak kaget. Dan si kakekpun tertawa.

"Kau terkejut, Siauw-cut? Nah, bersembunyilah, jurang itu yang kumaksud!"

Anak ini lega. Dia segera menyelinap di bawah jurang ini, bersyukur bahwa si kakek bongkok rupanya tidak bermaksud buruk. Tapi karena kakek itu harus berhenti sebentar untuk mendepaknya tadi maka si nenek iblis Sin-yan Mo-li sudah berada di belakangnya, mengejutkan kakek ini dengan cambuknya yang menjeletar nyaring...



Pedang Medali Naga Jilid 05

PEDANG MEDALI NAGA
JILID 05
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pedang Medali Naga Karya Batara
SI KAKEK terang tak dapat mengejar. Dia terikat perjanjian, tak boleh mengganggu bocah itu lagi. Dan Kun Seng yang menjublak bengong akhirnya mengepal tinju dan memasukkan pedangnya. Laki-laki tua ini menggelengkan kepalanya, mendesis lalu berbalik punggung, mengambil arah berlawanan dengan Bu-beng Siauw-cut untuk melangkahkan kakinya dengan gontai. Lalu begitu dia menyeringai dan tertawa sendirian tiba-tiba tubuhnyapun berkelebat dan lenyap dari tempat itu. Tak tahu pergi ke mana!

* * * * * * * *

"Ibu, bagaimana kita sekarang?"

Tok-sim Sian-li menangis. Dia bersama anaknya sudah meluncur turun dengan air mata bercucuran, meninggalkan tempat Pendekar Gurun Neraka diiringi pelayannya setia A-cheng. Sementara Ceng Liong yang diseret ibunya sepanjang jalan tibatiba bertanya dengan tinju terkepal, marah dan bingung melihat ibunya menangis tak berkesudahan!

Tapi akhirnya wanita ini berhenti juga. Mereka sudah jauh dari Ta-pie-san, tak mungkin terkejar lagi. Dan Tok-sim Sian-li yang menangis sampai bengkak matanya lalu membanting tubuh di pinggir jalan, menggigit bibir dengan mata penuh kebencian, berapi-api. "A-cheng, bagaimana menurut pendapatmu menghadapi hinaan ini?"

Sang pelayan menundukkan kepalanya. "Hamba kira sia-sia, hujin Pendekar Gurun Neraka memang terlalu tangguh untuk kita!"

"Jadi dengan begitu kita diam saja tak membalas?"

Pelayan ini bingung. "Tentu saja, hujin.... tentu saja kita harus membalas! Tapi bagaimana caranya?"

Ceng Liong tiba-tiba maju. "Sebaiknya kita cari seorang teman, ibu. Kita bekerja sama dengan seseorang untuk membalas hinaan ini'"

Tok-sim Sian-li bersinar matanya, tampak tertegun. Tapi wanita cantik yang semula berseri itu tiba-tiba menggeleng sedih, menarik napas. "Tak mungkin itu kita lakukan, Liong-ji. Orang-orang yang membenci Pendekar Gurun Neraka sudah tiada lagi. Mereka tewas pada sepuluh tahun yang lalu, termasuk guruku sendiri Cheng-gan Sian jin...!"

"Tapi sekarang tentu ada tokoh baru, ibu. Masa tak ada teman untuk kita membalas dendam?"

"Hm, sulit, Liong-ji. Aku juga lama tak turun gunung. Siapa tokoh itu? Kukira tak ada, kecuali kalau kita keluar perbatasan dan minta tolong pada beberapa sahabat mendiang sukong-mu (kakek guru)!''

"Nah, itulah....!" Ceng Liong berjingkrak girang. "Kenapa tidak kita lakukan itu, ibu? Kita keluar perbatasan saja, kita cari mereka!"

Tapi sang ibu muram mukanya. "Aku tak tahu tempat tinggal mereka, Liong ji. Mereka merupakan orang-orang aneh yang tak tentu rimbanya!"

"Ah....” Ceng Liong kecewa. "Kalau begitu kita gagal, ibu. Tapi tidak adakah jalan lain untuk membalas hinaan ini?"

Tiba-tiba, seperti menjawab kekecewaan anak itu mendadak terdengar suara tawa bergelak yang menggetarkan tanah sekitarnya. Ceng Liong dan ibunya melihat dua bayangan berkelebat lalu begitu muncul di depan mereka tahu-tahu dua laki-laki aneh berdiri di depan mereka dengan liur menetes-netes, yang seorang tinggi besar bagai raksasa menyeramkan dengan bulu dada lebat menghitam sedang yang lain kurus kerempeng dan terbatuk-batuk bagai orang kena penyakit tbc...!

"Ha-ha, siapa bocah ini, hujin? Anakmukah?"

Tok-sim Sian-li terkejut.

"Dan siapa kau, niocu? Ibu anak inikah?"

Tok-sim Sian-li terbelalak. Dia memandang dua orang laki-laki itu dengan muka pucat, tergetar dan turut selangkah melihat keadaan mereka yang menyeramkan. Terutama si tinggi besar itu, yang matanya terbelalak sebesar jengkol. Liurnya berketes-ketes bagai raksasa yang mencium daging segar!

Dan kaget serta terpengaruh oleh kehadiran tak disangka-sangka yang mengejutkan dari dua orang laki-laki ini Tok-sim Sian-li akhirnya membentak, "Siluman-siluman buas. kalian siapakah dan ada apa datang ke mari?"

Si kurus kering terbatuk-batuk. "Heh-heh, kau cantik, niocu. Tubuhmu segar dan menggairahkan sekali. Tidak tahukah kau siapa kami?"

Si raksasa tertawa bergelak. "Kami dua sahabat dari luar perbatasan, hujin. Kami datang karena kau menyebut-nyebut nama mendiang sahabat kami Cheng-gan Sian-jin!"

"Oh...!" Tok-sim Sian-li terkejut. "Kalian siapakah, ji-wi locianpwe? Bagaimana bisa mengaku sahabat dari mendiang guruku?"

"Heh-heh, Cheng-gan Sian-jin gurumu, nio-cu? Jadi kau ini muridnya yang berjuluk Tok-sim Sian-li itu?'

Tok-sim Sian-li terbelalak. "Ya. kalian siapakah, ji wi locianpwe?"

“Ha-ha, aku adalah Naga Kepala Sakti, hujin. Di luar perbatasan orang memanggilku Temu Ba, raksasa pemakan bocah macam anakmu ini!"

Ceng Liong terkejut. Dia bersama ibunya mengeluarkan seruan kaget, ngeri dan pucat melihat si tinggi besar itu tiba-tiba melangkah maju, mengulurkan lengan dan tahu-tahu menangkap anak laki-laki ini. Dan Ceng Liong yang sudah dicengkeram si raksasa Temu Ba tiba-tiba menggaplok muka lawan sambil menjerit. "Siluman busuk, lepaskan aku...!"

Tapi Temu Ba terbahak. Dia membiarkan mukanya digampar, lalu melihat Ceng Liong menendang perutnya tiba-tiba jari raksasa tinggi besar ini menotok pundak, membuat Ceng Liong lumpuh. Dan begitu si anak mengeluh dengan mata terbelalak tahu-tahu hidungnya mengendus-endus ubun-ubun Ceng Liong, dijilat-jilat!

"Ha-ha, anak ini segar sekali, Mayat Hidup. Otaknya bersih dan sumsum tulang belakangnya kental! Tentu darahnya juga segar dan bersih...!"

Tok-sim Sian-li terkesiap. Dia kaget melihat anaknya disambar Temu Ba, dan melihat kepala Ceng Liong dijilat-jilat dan gigi si raksasa mulai mencuat lebar mendadak wanita cantik ini melengking dan membentak marah, "Temu Ba, lepaskan anakku...!"

Tapi raksasa Mongol itu terbahak. Dia tak menghiraukan bentakan itu, tapi ketika lawan berkelebat menamparnya mendadak laki-laki ini mengegos, berkelit dan menerima tamparan Tok-sim Sian-li dengan bahunya yang lebar.

"Plak....!" dan Tok-sim Sian-li tergetar mundur, menjerit kecil dengan muka pucat!

"Ha-ha, bagaimana, hujin? Kau masih berani memukulku lagi?"

Tok-sim Sian-li memekik. Dia melihat si raksasa liurnya semakin berketes-ketes, tampak tergiur sekali oleh kepala Ceng Liong yang segar, seperti seekor kucing menjilat-jilat kepala seekor tikus. Dan Tok-sim Sian-li yang gelisah serta marah oleh keselamatan puteranya mendadak melompat maju dan menampar lagi, kali ini ke leher si raksasa Mongol dengan pukulan Tok-hiat-jiunya!

"Temu Ba, lepaskan anakku....!”

Si raksasa menyeringai. Dia melihat lengan Tok-sim Sian-li yang sudah berobah merah itu, melayang menamparnya lehernya dengan kecepatan kilat. Tapi raksasa yang tidak menangkis ini malah tersenyum dan tertawa lebar pada temannya.

"Mayat Hidup, dia benar-benar murid sahabat kita. Lihat pukulan Tok-hiat-jiunya itu!"

Si kurus berpenyakitan mengangguk. “Heh-heh, tampaknya benar, Mu Ba. Dia cocok sekali menjadi murid sahabat kita. Pukulannya ganas dan hebat sekali!"

Temu Ba tertawa. Dia tak menghindar tamparan wanita cantik ini, mengangguk bersamaan datangnya pukulan. Tapi melihat angin tajam mengiringi tamparan itu dia mengguncang tubuh dan mendesis, "Haya, sinkangnya lumayan, Mayat Hidup Bisa pecah leherku kalau tidak menolak pukulannya...!" lalu, bersamaan jari Tok-sim Sian-li menghantam lehernya tiba-tiba raksasa ini membentak dan menggelembungkan lehernya.

Dan begitu suara pukulan mengenai dirinya tahu-tahu Tok-sim Sian-li sendiri terpelanting dan menjerit roboh. "Ah...!" Raksasa Mongol itu tertawa bergelak. Dia tampak gembira melihat wanita ini terguling-guling, tapi ketika lawan melompat bangun dan mencabut pedang di pinggang sekonyong konyong mukanya beringas.

"Mayat Hidup, tolong kaulayaai siluman cantik itu. Aku tak tahan mencium bau anak ini.”

Si kurus kering mendengus. Dia rupanya acuh saja, tapi ketika kakinya berjengit tiba-tiba tubuhnya melayang ke depan di muka temannya, tak tampak bergerak tapi tahu-tahu sudah terbang seperti iblis! Dan si raksasa tinggi besar yang berseri mukanya ini tiba-tiba memutar tubuh pergi membawa Ceng Liong!

"Hujin, anakmu kupinjam. Aku ingin menyedot sumsun tulang belakangnya!"

Tok-sim Sian-li tergetar. Ia kaget melihat Mu Ba tiba tiba terbang ke timur, terbahak sambil menjilat-jilat kepala Ceng Liong. Dan maklum bahwa anaknya dalam bahaya tiba-tiba ibu muda ini menjerit sambil menimpukkan tiga jarum rahasianya, jarum-jarum merah yang mengandung racun jahat! Lalu tak puas dengan timpukan senjata am-gi (gelap) ini ia pun menyusul dengan lompatan panjang memburu si raksasa Mongol!

"Temu Ba, jahanam kau.... cet-cet-cet!"

Tapi Temu Ba tertawa bergelak. Dia tak menghiraukan serangan jarum-jarum beracun, yang runtuh begitu mengenai punggungnya. Tapi ketika lawan mengejar dan menusuk pinggangnya sekonyong-konyong raksasa ini menggerakkan tangan ke belakang, mengibas.

"Mayat Hidup, jangan diam saja. Dia bagianmu... plak!"

Dan Tok-sim Sian-li yang tiba-tiba roboh sudah terpelanting bergulingan disambar angin pukulan si tinggi besar ini. Wanita itu marah, tapi ketika dia melompat bangun tahu-tahu si Mayat Hidup sudah berdiri di depannya.

"Niocu, biarkan anakmu itu melayani Mu Ba. Lebih baik kau layanai aku dan kita bersenang-senang, heh-heh!"

Tok-sim Sian-li memekik. Ia langsung menikam si Mayat Hidup ini, lalu berteriak pada pembantunya ia membentak, "A-Cheng, kejar! Jangan ndomblong saja di situ...!”

A-cheng terkejut. Pelayan ini sadar, dan melihat si raksasa sudah jauh melarikan Ceng Liong tiba-tiba iapun manjejakkan kakinya mengejar, setengah takut tapi juga setengah bingung! Sementara Lie Lan yang bertubi-tubi menyerang si Mayat Hidup karena dihalangi gerakannya untuk mengejar Temu Ba sudah membacok dan menusuk dengan penuh kemarahan lawannya yang kerempeng ini.

Tapi mengejutkan sekali. Mayat Hidup itu ternyata luar biasa. Dia mengegoskan tubuh ke kiri kanan, menggoyangnya bagai daun ditiup angin. Dan begitu dia doyong ke sana ke mari sambil terkekeh tahu-tahu semua serangan pedang itu luput dan mengenai angin kosong!

"Hi-ha, kau tak dapat menyentuh tubuhku, niocu. Gerakanmu terlalu lamban dan ringan sekali... heh-heh!"

Tok-sim Sian-li mendelik. Ia kaget tapi juga marah, maklum bahwa si kurus kering yang suka , batuk-batuk ini memang hebat. Tapi ingat bahwa Ceng Liong dalam cengkeraman bahaya ia pun melengking dan bertubi-tubi menyerang, melanjutkan serangannya dalam tikaman dan bacokan yang lebih sengit. Dan ketika satu saat lawan tampak lambat mendoyongkan tubuh tiba-tiba pedangnya mendesing hebat menyambar leher Si Mayat Hidup.

Tapi si Mayat Hidup terkekeh. Dia tak mengelak, rupanya sengaja menerima babatan pedang yang meluncur deras itu. Dan ketika persis pedang menyambar lehernya tiba-tiba jarinya terulur ke depan mengusap pinggang si wanita muda.

"Heh-heh, pinggangmu ramping, niocu. Kau tentu pandai sekali melayani pria!"

Tok-sim Sian-li terbelalak. Dia merasa pinggangnya tahu-tahu dielus, diraba dan dicubit oleh jari jari nakal si Mayat Hidup. Tapi begitu pedang mengenai leher lawan tiba-tiba pedangnya mental bertemu batang leher yang kurus tapi alot.

"Takk!” Tok-sim Sian-li menjerit. Wanita ini mengeluarkan seruan tertahan, kaget melihat pedangnya hampir lepas diri cekalan.

Sementara si Mayat Hidup yang terkekeh dengan mata berkilat tahu tahu melanjutkan cubitannya ke pinggul! "Niocu, pinggulmu bulat sekali. Ah, sedap...!”

Tok-sim Sian-li terbelalak. Ia benar-benar kaget melihat kehebatan lawannya ini, tapi melengking tinggi tiba-tiba ia menubruk ke depan, menghantam dengan tangan kiri yang penuh Tok-hiat jiu sementara menusukkan pedang dengan tangan kanan ke dada si Mayat Hidup.

Tapi si Mayat Hidup terbeliak. Dia tertegun sejenak, rupanya terkejut. Namun tertawa lebar mendadak dia membusungkan dadanya yang kerempeng. "Wah, kau hendak membunuhku, niocu? He he. jangan mengimpi, nyonya manis Hun Phi si Mayat Hidup tak dapat dibunuh.!" lalu begitu dia tertawa tahu-tahu kedua lengannya bergerak ke depan, yang kanan menerima telapak lawan yang mengandung Tok hiat-jiu sedang yang kiri dipakai untuk mengusap pipi si wanita cantik sementara pedang yang menusuk dadanya dia biarkan begitu saja menikam!

"Takk...!' Dan Tok-sim Sian-li tertegun. Pedangnya kembali tak berhasil melukai lawan. Jangankan melukai, menggores saja tidak! Sementara tangan kirinya yang menghantam dengan pukulan Darah Beracun (Tok-hiat-jiu) sudah diterima tangan kanan lawan yang membuka telapaknya, menerima pukulan itu sambil terkekeh, sementara pipinya sudah diusap secara kurang ajar! Dan sementara dia terkejut oleh kesaktian si Mayat Hidup ini tahu-tahu lawannya itu "menyedot" pedang dan tangan kirinya hingga melekat tak dapat ditarik!

"Heh-heh, kita seharusnya tak boleh bermusuhan, niocu. Kau cantik dan masih murid dari sahabatku sendiri!" si Mayat Hidup bicara, berkilat-kilat matanya penuh nafsu memandang Tok-sim Sian-li yang memang cantik dan menggairahkan ini.

Tapi Lie Lan yang sedang gelisah pikirannya tiba-tiba membentak, mengerahkan ilmunya terakhir yang berbau sihir itu, Sin-gan-i-hun-to yang menggetarkan jiwa, "Mayat Hidup, lepaskan aku. Lihat pedangku menjadi naga untuk menyerangmu....!"

Namun si Mayat Hidup terkekeh. Dia masih tertawa, tapi ketika pedang Lie Lan tiba-tiba berobah jadi naga dan berkoak di depan hidungnya mendadak si Mayat Hidup melepaskan cekalannya dan melompat mundur. "Wah, usir nagamu, niocu. Aku kuatir dia menggigit bajumu."

Tok-sim Sian-li girang. Ucapan lawan jelas menunjukkan bahwa lawan terpengaruh oleh bentakan sihirnya, terkejut dan melepaskan kedua tangannya dengan sikap kaget, tanda si Mayat Hidup terkecoh melihat pedang sebagai "naga". Maka begitu lawan melompat mundur dan berteriak ketakutan iapun mengejar sambil menggerakkan pedangnya. "Mayat Hidup, kau mampuslah dicabik nagaku..."

Si kurus kering menjerit. Dia melompat lagi, mundur ke belakang. Tapi ketika naga menyambar dadanya sekonyong-konyong dia mengangkat tangan dan berseru, "Niocu, awas. Aku kuatir naga ini menggigit bajumu!" dan baru dia berteriak tahu-tahu si naga sudah berkoak di depan, membuka mulutnya dan... "bret bret" baju Tok-sim Sian-lipun benar-benar "digigit" naga ini hingga robek dan terkuak lebar!

"Ah...!" Lie Lan berseru kaget. Dia tak mengerti bagaimana pedangnya tiba-tiba membalik, menyobek baju sendiri sampai terputus kancingnya, memperlihatkan pakaian dalamnya yang hijau tipis. Tapi masih mengira lawan ketakutan oleh sihirnya yang berbau hoat-sut itu dia melengking tinggi dan menambah kekuatan.

"Mayat Hidup, nagaku akan mencaplok kepalamu... !"

Si Mayat Hidup terbelalak. Dia tak diketahui gentar atau tidak, karena mukanya yang putih itu sudah pucat sejak semula. Tapi ketika Lie Lan melengking tinggi dan menambah pengaruh ilmu sihirnya sambil membentak nyaring tiba-tiba mulutnya menyeringai dan mengebutkan lengan dua kali.

"Niocu, tolong aku. Biar naga itu merobek sekalian baju dalammu saja. Aku ingin menonton bukit dadamu yang menggairahkan...!” dan begitu dia menggerakkan lengan ke depan tahu-tahu naga yang sudah berada di depan hidungnya itu membalik, berkoak dan menyambar Lie Lan sendiri. Dan begitu Lie Lan terpekik kaget tahu-tahu baju dalamnya yang hijau tipis sudah "dimakan" pedangnya sendiri!

"Brett....!" Wanita ini mengeluh. Dia menjerit kecil, melempar pedang dan mendekap buah dadanya yang tiba-tiba tersembul montok dan segar bagai buah mangga yang sudah masak! Tapi si Mayat Hidup yang rupanya tak dapat menahan diri sudah terkekeh dan tahu-tahu menotok kedua pergelangan Lie Lan yang mendekap buah dadanya.

"Niocu, jangan ditutupi. Pemandangan ini terlampau indah!"

Lie Lan mengeluh pendek. Dia ditotok tak berdaya, lengannya menggelantung lemah dan buah dadanya benar-benar tak dapat ditutup lagi, telanjang dipandang mata jelalatan si Mayat Hidup yang terkekeh gembira! Lalu begitu si Mayat Hidup melangkah maju dan menundukkan kepalanya tahu-tahu iblis ini telah membelai buah dadanya dan meremas kurang ajar!

"Niocu, kau benar-benar menggairahkan. Tubuhmu mulus dan cantik sekali!"

Lie Lan pucat mukanya. Dia gemetar memandang si Mayat Hidup yang mulai terengah, napasnya mendengus-dengus penuh nafsu. Tapi teringat keselamatan Ceng Liong tiba tiba dia berseru dengan suara menggigil, "Mayat Hidup, tolong selamatkan dulu puteraku. Aku siap melayanimu dengan gembira asal anakku kau selamatkan..!"

Si Mayat Hidup terkekeh. "Wah, mana bisa aku mengganggu kesenangan temanku, niocu? Temu Ba pasti marah-marah, tak boleh dia diganggu…!”

"Tapi dia anakku satu-satunya. Mayat Hidup. Kalian tak boleh membunuh anakku begitu saja.”

"Hm, itu kesukaan temanku, niocu. Dia paling tertarik dan terangsang kalau melihat bocah macam anakmu itu. Seperti aku juga terlarik dan terangsang melihat keindahan tubuhmu ini, hehheh…!”

Lie Lan putus asa. "Kalau begitu kau akan menikmati diriku seperti menikmati sebuah mayat, tua bangka. Kau tak akan mendapatkan belaian cinta seperti layaknya dua orang laki-laki dan perempuan berhubungan!"

“Eh, apa maksudmu” si Mayat Hidup terbelalak.

Dan Lie Lan mempergunakan kesempatan ini. "Artinya kau akan mendapat tubuhku yang dingin, Mayat Hidup. Aku akan mematikan rasa dan ragaku kalau kau main paksa!"

"Wah, tapi aku dapat mencegahmu, niocu,” si Mayat Hidup terkekeh. "Aku dapat menotok jalan darah di punggungmu agar kau sadar kembali!"

"Betul, tapi kau tak dapat mencegah bila aku menggigit putus lidahku sendiri, Mayat Hidup. Dan kau akan mendapatkan diriku sedingin mayat yang tidak dapat melayani nafsu berahimu lagi!"

Si Mayat Hidup terkejut. Dia harus mengakui kebenaran kata-kata itu. dan Lie Lan yang melihat kata-katanya mulai berhasil mengejutkan lawan sudah tertawa dingin sambil menggoyang tubuh menggetarkan buah dadanya yang kenyal lembut dengan gerakan erotis, merangsang dan semakin membakar nafsu berahi si Mayat Hidup.

"Dan jangan lupa, Mayat Hidup. Jelek-jelek aku adalah murid guruku Cheng-gan Sian-jin yang mahir bermain cinta. Aku dapat memberi kepuasan padamu seumur hidup, akan mengajarimu bermain cinta yang membuat kau mabok tujuh turunan dan lupa daratan. Tapi begitu kau menggangguku dan aku marah jangan harap kau akan mendapatkan kehangatan cintaku!"

Si Mayat Hidup terbelalak. "Kau bersungguh-sungguh, niocu? Kau tidak menipuku?"

"Hm, siapa main-main. Mayat Hidup. Siapa menipumu?"

"Jadi kau..."

"Ya, aku akan melayanimu tanpa kau paksa, Mayat Hidup!" Lie Lan memotong. "Tapi dengan syarat bahwa kau tak boleh menggangguku dan menyelamatkan jiwa anakku Ceng Liong dari temanmu yang rakus itu. Dan sebagai imbalannya aku akan memberimu kehangatan cinta selama kau perlukan dan boleh kau bunuh kalau aku menipumu!"

Si Mayat Hidup tiba-tiba terkekeh. "Niocu, omonganmu benar. Tapi aku sangsi maukah kau melayani orang bermuka buruk macam diriku ini?"

"Hm, bagiku asal kau laki-laki normal dan kita saling memberi dan menerima tak jadi soal, bagiku masalah rupa, Mayat Hidup. Asal kau dapat menyelamatkan anakku dan tidak mengganggunya cukuplah sudah!"

"Wah, sungguh, niocu? Kau tidak ngeri melayaniku?"

Lie Lan menjebikan bibirnya. "Aku tak pernah menarik kata-kataku sendiri. Mayat Hidup. Dan kau tak perlu khawatir mengingat kepandaianmu masih jauh di atas tingkatku!"

Si Mayat Hidup tertawa melengking. Suaranya serak parau, gembira luar biasa. Tapi begitu Lie Lan mengedipkan mata dengan manis padanya sebagai isyarat sebuah "tantangan" tiba-tiba si kurus kering ini sudah menyambar tubuh yang montok menggairahkan itu dengan usapan gembira di buah dadanya.

"Niocu, kau hebat. Benar benar pantas kau menjadi murid kesayangan sahabatku Cheng-gan Sian-jin...!" lalu begitu dia memekik dan melompat tahu-tahu si Mayat Hidup ini telah melesat ke timur memondong Lie Lan yang tersenyum mengejek di atas pundaknya.

Sebentar saja mereka mengejar bayangan si raksasa Mongol, sementara Lie Lan yang berdebar hatinya mengkhawatirkan keselamatan Ceng Liong diam-diam mencabut sebatang jarum untuk dicobloskan ke mata si Mayat Hidup, satu tempat di mana orang tak mungkin dapat melindungi daerah itu dengan kesaktian apapun, bila ternyata Ceng Liong tewas di tangan si raksasa Mongol! Dan Mayat Hidup yang berkelebat sambil memondong wanita cantik ini sudah berteriak-teriak.

"Temu Ba, jangan bunuh anak itu. Tunggu dulu aku datang...!"

Dan sekejap kemudian sampailah mereka di tempat yang dicari. Mayat Hidup masih berteriak-teriak, sementara Lie Lan semakin tegang hatinya dan siap mencobloskan jarum ke mata lawan. Tapi ketika mereka sampai di tempat itu tiba-tiba keduanya tertegun. Ternyata Ceng Liong ada di situ, tertawa-tawa dan menarik rambut Temu Ba yang berjungkir balik di atas pohon, terbahak melayani anak ini bermain. Dan ketika Mayat Hidup serta Lie Lan muncul di situ anak inipun menghambur maju dengan pekik gembira,

"Ibu, suhu Temu Ba mengangkatku sebagai murid...!"

Lie Lan tertegun. Dia melihat Cing Liong selamat, tak kurang suatu apa. Dan ibu yang bernapas lega dengan muka berseri ini langsung menubruk anaknya dengan mata terheran heran.

"Liong ji, kau tidak apa-apa? Apa kau bilang?"

Bocah itu tertawa. "Temu Ba mengangkatku sebagai murid, ibu. Aku kini memanggilnya suhu!"

"Ooh...!" Lie Lan terbengong. Dia hampir tak percaya oleh keterangan anaknya itu, tapi si raksasa Mongol yang sudah terjungkir balik di atas tanah tiba tiba berseru, suaranya menggelegar,

"Mayat Hidup, bocah ini keturunan Pendekar Gurun Neraka...!"

Mayat Hidup dan Lie Lan terkejut. Lie Lan tak tahu siapa yang bilang itu. Tapi si Mayat Hidup yang sudah melengking lirih tiba tiba menyambar Ceng Liong di samping ibunya. "Heh, kau benar anak Pendekar Gurun Neraka, bocah? Kau keturunan laki-laki sombong itu."

Ceng Liong tersentak. Kepalanya tahu-tahu dingin disentuh jari-jari Mayat Hidup yang bergetar, tapi mengangguk bangga dia menjawab, "Ya, aku putera pendekar itu, locianpwe. Tapi aku benci pada ayahku yang sombong itu!"

"Ha-ha, kalau begitu kau harus dibunuh, setan cilik. Pendekar Gurun Neraka itu tak boleh bersahabat biarpun hanya turunannya saja!" lalu begitu lengannya bergerak tahu-tahu ubun-ubun Ceng Liong sudah ditampar si Mayat Hidup.

Tapi Temu Ba tiba-tiba menggereng. "Mayat Hidup, lepaskan muridku. Dia harus kita pupuk untuk melawan ayahnya sendiri.... plak!" dan lengan si Mayat Hidup yang tahu-tahu bertemu lengan si raksasa Mongol tiba-tiba sama terpental dehgan ledakan nyaring.

Si Mayat Hidup terkejut, terhuyung mundur. Tapi sinar matanya yang beringas keji mendadak menyorot penuh hawa pembunuhan. "Temu Ba, kau lupa bahwa pendekar itu musuh kita? Kau tidak ingat dia telah membunuh-bunuhi kaum kita?"

Temu Ba melangkah lebar. "Tidak, aku tidak lupa itu. Mayat Hidup. Tapi harap kau lihat kegagahan anak ini. Dia sendiri memusuhi ayahnya, tak boleh kita bunuh karena dia merupakan sekutu kita!"

Dan Lie Lan juga menghadang di depan, menyambar Ceng Liong yang baru saja lepas dari cengkeraman si Mayat Hidup. Dan ibu muda yang mengepalkan tinju ini membentak, "Mayat Hidup, kau lupa perjanjian kita? Kau berani mengganggu kami anak dan ibu?"

Si Mayat Hidup tertegun. Dia melihat Tok-sim Sian-li melindungi anaknya, berapi-api memandangnya marah. Tapi terseok ke arah buah dada yang masih belum tertutup rapat karena wanita cantik itu hanya merapatkannya ala kadarnya tiba-tiba si Mayat Hidup ini menyeringai. "Tapi aku tak tahu anakmu keturunan Pendekar Gurun Neraka, niocu. Berarti kalian adalah keluarga pendekar sombong itu!"

"Hm, siapa bilang? Aku dan anakku membenci laki-laki itu, Mayat Hidup. Dia telah menghina kami ibu dan anak. Aku ingin membalas dendam!"

Dan Ceng Liong juga mengepalkan tinju. “Ya, aku juga ingin membalas hinaan itu, locian-pwe. Aku ingin membunuh ayahku kelak karena dia telah menghinaku dan tidak mengakuinya sebagai anak!"

Si Mayat Hidup terkejut, "Apa? Pendekar Gurun Neraka tak mengakui keturunannya sendiri, niocu? Dia menyangkal anakmu ini?"

"Hm, itu urusan pribadiku, Mayat Hidup. Yang jelas aku dan Ceng Liong ingin membalas dendam. Kamni tak dapat membiarkan sakit hati ini berlalu begitu saja!"

"Ha-ha, sudah kau dengar. Mayat Hidup! Anak ini cocok sekali untukku. Jiwanya telengas dan keberaniannya besar...!" si raksasa Mongol menimpali, menyambar Ceng Liong dan melempar-lemparnya ke udara.

Dan Mayat Hidup yang mendengar semuanya itu tiba-tiba tertegun namun akhirnya terkekeh. "Heh, bagaimana kejadian bisa begini berobah, jengkol? Apa yang telah terjadi?"

Temu Ba terbahak. Dia lalu menceritakan kejadian itu, sementara Lie Lan yang mendengar ini di samping anaknya jadi terbelalak dengan mata tak berkedip. Ternyata sebuah kejadian yang barawal dari tingkah Ceng Liong sendiri, bocah yang tak mengenal takut namun yang akhirnya justeru membuat si raksasa Mongol itu kagum. Karena ketika dibawa lari si tinggi besar ini Ceng Liong sepanjang jalan berontak dan meronta-ronta, bahkan satu kali dia menggigit pundak si raksasa itu, membuat Mu Ba mengaduh dan menghantam tengkuknya, keras sekali!

"Bedebah, kau berani menggigitku, setan cilik?"

Ceng Liong terguling-guling. Dia dibetot dan ditarik raksasa itu, dilempar dan dibanting di atas tanah. Namun Ceng Liong yang sudah melompat bangun dengan tinju terkepal itu membentak dan berdiri berhadap-hadapan, menantang penuh kemarahan, "Kenapa tidak berani, iblis tua bangka? Jangankan menggigit, membunuhmupun aku berani...!"

Dan Ceng Liong yang sudah menerjang ke depan melancarkan serangan bertubi-tubi ke perut dan paha lawan, karena dia hanya sebatas pusar bagi raksasa Mongol itu. Dan Temu Ba yang tentu saja terbelalak melihat kemarahan anak ini akhirnya tertawa bergelak dengan penuh kegelian.

"Ha-ha, kau mau membunuhku, setan cilik? Kau, bisa membunuhku?"

Ceng Liong terus melancarkan serangan. Dia tak menghiraukan ejekan itu, tapi ketika pukulan membalik karena paha dan perut raksasa itu sekeras baja mau tak mau diapun terkejut dan mengeluh juga. Dan akhirnya, ketika lawan mentertawakan serangannya yang sia-sia mendadak dia menubruk dan mencengkeram kemaluan si tinggi besar ini.

"Ah, kau bisa berbuat keji, bocah?" Temu Ba terkejut, menghentikan ketawanya dan tiba-tiba berkelit ke kiri, menghindari serangan yang bisa membuat hancur anggauta rahasianya itu. Dan kaget bahwa anak ini bisa menyerang tempat berbahaya diapun menyeringai dan tiba-tiba mengulurkan lengan, mencengkeram leher si bocah. Lalu bagitu Ceng Liong terpekik anak ini tahu-tahu sudah diangkat di depan hidungnya bagai seekor kelinci muda yang terbelalak di depan seekor harimau garang!

"Ha-ha, apa yang hendak kau lakukan sekarang, bocah? Kau bisa membunuhku?”

Ceng Liong menendang. Dia tak mau menyerah, tapi ketika tangan kiri si raksasa menotok punggung kakinya tiba-tiba diapun mengeluh dan tak berdaya lagi, terkatung-katung di cengkeraman si tinggi besar ini yang melotot sambil tertawa lebar.

"Setan cilik, kau mau bilang apa sekarang?"

Ceng Liong memaki kalang-kabut. "Aku tak bilang apa-apa, tua bangka. Hanya ingin memakimu semoga kau dirajam setan neraka sampai mampus tujuh turunan!"

"Ha-ha, dan tidak takut kalau kau mati duluan? Weh, aku ingin menghisap sumsum tulang belakangmu, bocah. Kau memiliki darah yang sehat serta bersih....!"

Temu Ba sudah memutar-mutar tubuh korbannya. Dia hendak membuat anak ini semakin ketakutan, karena semakin dia takut maka semakin lancar darah yang mengalir di tubuh anak ini. Tapi Ceng Liong yang membelalakkan mata tidak tampak ketakutan seperti apa yang diharap. Dan ini membuat Temu Ba marah!

"Keparat, kau tidak takut, bocah? Kau malah mendeliki aku?"

Ceng Liong tertawa mengejek. "Kenapa harus takut padamu, iblis tua? Akupun dapat membuatmu ketakutan kalau memiliki kepandaian lebih tinggi darimu. Apa anehnya itu?”

Si raksasa terbelalak lebar. "Kau benar-benar tidak takut?"

"Hm, kenapa diulang-ulang pertanyaan itu, tua bangka? Kau lakukanlah ancamanmu, kau sedotlah sumsum tulang belakangku kalau kau suka!"

Temu Ba terkejut. "Kau menggertak aku?”

"Siapa menggertakmu? Hayo lakukan kata-katamu tadi. Kau boleh sedot dan minum darahku!" Ceng Liong malah berteriak. Dan ini membuat si raksasa benar-benar marah, juga heran!

"Wah, kau benar-benar bocah luar biasa setan cilik. Baru kali ini selama hidup Sin-thouw-liong (Naga Kepala Sakti) dibentak-bentak dan disuruh korbannya untuk disedot dan dihisap sumsum tulang belakangnya. Keparat...!" dan si raksasa yang sudah memutar leher Ceng Liong menghadapkan mulutnya pada tengkuk anak itu, langsung menempel dan siap menggigil!

"Kau benar-benar tidak takut, bocah?"

Ceng Liong merasa taring yang dingin sudah berada di tengkuknya, siap menggigit. Tapi anak yang benar-benar tabah ini tertawa dingin. "Kau tak perlu menguji keberanianku iblis tua. Aku tetap tak takut meskipun sumsumku kau sedot sampai kering!"

"Wah! Kalau begitu rasakan ini, setan cilik. Aku benar-benar akan menghisap darah dan sumsummu... kres!" dan si raksasa yang benar-benar sudah menghunjamkan giginya pada tengkuk Ceng Liong tiba-tiba menghisap darah anak itu yang menggeliat kesakitan.

Ceng Liong merasa nyeri, sedetik pucat oleh hisapan di belakang tengkuknya itu. Tapi ketika dia merasa darahnya deras mengalir disedot mulut si raksasa tinggi besar dan menimbulkan rasa nyeri bercampur geli mendadak anak ini tertawa dan menggeliat keras. "Tua bangka, pelan-pelan sedikit. Aku geli!"

Temu Ba terbelalak. Otomatis dia menghentikan hisapannya, heran dan tertegun mendengar seruan itu. Tapi seolah tak percaya dia mencengkeram anak ini dan bertanya, "Setan cilik, apa kau bilang?"

Ceng Liong tersenyum menyeringai. "Aku bilang menghisapnya pelan-pelan, goblok. Aku geli sekali kalau disedot terlalu kuat!"

Temu Ba benar-benar tertegun. Dia merasa aneh dan bengong memandang anak ini, sementara Ceng Liong yang melotot padanya membentak, "Kenapa berhenti? Hayo sedot dan hisap lagi. Aku tidak takut....!"

Raksasa ini melenggong. Dia masih terheran-heran memandang bocah yang luar biasa itu, tapi ketika Ceng Liong membentaknya lagi untuk yang kedua kali tiba-tiba raksasa ini tertawa bergelak dan menyeringai lebar. "Bocah, kau benar-benar sinting. Otakmu rupanya tidak waras...!" Dan Mu Ba yang sudah mendekatkan mulutnya tahu-tahu menghisap kembali sumsum dan darah anak ini, mengira Ceng Liong main-main dan "mengujinya". Tapi ketika si anak mengeluh dan meramkan mata seolah keenakan disedot darahnya tiba-tiba raksasa ini menghentikan sedotannya dan menjadi ngeri, ketakutan sendiri! Dan pada saat itulah A-cheng tiba-tiba muncul!

"Iblis tua, jangan ganggu majikanku. Dia keturunan Pendekar Gurun Neraka....!"

Temu Ba langsung berjengit. Dia kaget sekali dan Ceng Liong yang masih keenakan di bawah cengkeramannya tiba-tiba dilempar seolah sebuah dinamit yang siap meledakkan tangannya! "Apa? Anak siluman ini keturunan pendekar itu, setan betina? Dia putera si jahanam sombong?"

A-cheng sudah tiba mendekat. Ia sengaja menyebut nama itu agar musuh gentar, karena bagaimanapun juga dia merasa ngeri berhadapan dengan Sin-thouw-liong ini. raksasa Mongol yang matanya sebesar jengkol itu. Dan melihat Ceng Liong dilempar kaget oleh si tinggi besar diapun mengangguk dan buru-buru membangunkan anak ini. "Benar, Liong-siauw-ya adalah putera pendekar itu, iblis tua. Janganlah kauganggu dia kalau ingin selamat!"

Tapi Ceng Liong tiba-tiba melengking. "Tidak, siapa sudi mempunyai ayah seperti itu, bibi A-cheng? Dia laki-laki sombong yang mempunyai hutang kepada kita. Tak sudi aku menjadi anaknya'"

A-cheng terkejut. "Tapi kita perlu menyelamatkan diri dan raksasa ini, siauw-ya. Dia harus ditakuti dengan nama Pendekar Gurun Neraka!" sang pelayan berbisik, mencoba memberi pengertian pada majikan mudanya ini.

Namun Ceng Liong yang mengedikkan kepala tiba-tiba menampar muka pembantunya. "Bibi, kau tak tahu malu Jangan sebut lagi nama itu di depanku....”

“plak-plak!" A-cheng terjungkal. Ia kaget melihat Ceng Liong malah marah kepadanya, tapi si raksasa Mongol yang melompat ke depan tertawa bergelak.

"Ha-ha, jadi kau benar-benar membenci dan ingin membunuh ayahmu sendiri, bocah? Wah. kau memang mengagumkan!"

Ceng Liong memutar tubuh. "Apanya yang mengagumkan, Sinthouw-liong? Dia itu musuhku, bukan kerabat maupun ayah!"

"Ah, tapi bagaimanapun kau keturunan laki-laki itu, bocah. Mana mungkin menyangkal?"

"Keparat...!" Ceng Liong tiba-tiba menggeram. "Kau masih mau mengejekku dengan kata-kata itu, iblis tua? Kubunuh kau...!'' dan Ceng Liong yang tiba-tiba menubruk ke depan kembali melancarkan serangannya ke bawah pusar lawannya ini. Dia mempergunakan Tok-hiat jiu, ilmu yang diwarisinya dari sang ibu.

Tapi Temu Ba yang terbahak mendapat serangan itu sekonyong-konyong mendahului. "Bocah, siapa namamu tadi? Ceng Liong? Ha ha, bagus Ceng Liong. Kita bersahabat kalau begitu. Kau kuangkat sebagai muridku...des!” dan pukulan Ceng Liong yang sudah diterima tangan si tinggi besar ini tahu-tahu lenyap tenaganya bertemu hawa dingin yang menyambut pukulan Tok-hiat-jiu. Ceng Liong merasa tangannya lumpuh, lalu begitu tubuhnya terangkat naik tiba-tiba si raksasa ini sudah menjungkir-balikkan dirinya di udara. Persis orang main bolang baling!

"Ceng Liong, kau harus menjadi muridku. Kau pemberani dan gagah…..!"

Anak ini terkejut. Dia terbelalak berjungkir-balik, tak dapat mencegah tubuhnya yang dilempar-lempar di udara itu. Tapi ketika Mu-Ba menghentikan gerakannya dan dia meluncur turun anak ini langsung berkacak pinggang. "Iblis tua, kau siapakah dan bagaimana berani bilang hendak mengambil murid diriku ini? Mampukah kau mengalahkan Pendekar Gurun Neraka? Mampukah kau melawan ibuku?"

"Ha-ha, kepindaian ibumu tak ada artinya bagiku, bocah. Aku sejajar dengan mendiang sukongmu Cheng gan Sian-jin! Dia itu kawan karibku. Aku datang untuk membalas kematiannya!"

"Hm, tapi mampukah kau melawan Pendekar Gurun Neraka, iblis tua? Dia lihai, ilmu kepandaiannya hebat. Kalau tak dapat mengalahkan pendekar itu sebaiknya tak perlu aku mengangkatmu sebagai guru...'"

"Ha-ha, siapa bilang ilmuku tak hebat, bocah? Aku memiliki dua ilmu mujijat, hasil gemblengan sepuluh tahun terakhir ini. Khusus untuk menghadapi pendekar sombong itu. Kau ingin tahu? Nah, lihat, aku akan menghancurkan batu besar itu dari sini, sepuluh tombak....!" dan si raksasa Mongol yang tiba-tiba membentak perlahan sekonyong-konyong mendorongkan telapak tangannya ke batu hitam yang jaraknya sepuluh tombak dari tempatnya berdiri. Ceng Liong merasa angin berkesiur, lalu begitu sinar kebiruan berkelebat menyambar tahu-tahu batu itu meledak dan hancur berkeping-keping.

"Blarr...!"

"Ha-ha. Bagaimana, bocah?"

Ceng Liong terkejut. Dia mundur selangkah, mukanya berobah dan si raksasa Mongol yang tampak bangga dengan hasil pukulannya tiba-tiba melanjutkan seruannya dengan kata kata nyaring, "Dan lihat ini, setan cilik. Aku akan membuat pembantumu itu terangkat tanpa kusentuh...!"

Dan A-cheng tiba-tiba menjerit. Pelayan ini tahu-tahu terangkat, seolah ada tenaga gaib yang mengangkat tubuhnya begitu lengan kiri Temu-Ba diulurkan ke depan. Dan begitu raksasa ini tertawa bergelak tahu-tahu dia memutar lengannya itu dan A-cheng pun ikut terputar, berteriak dengan muka kaget, tanpa disanggah! "Ah, tolong, siauw-ya Hamba bisa jatuh..."'

Namun si raksasa malah terbahak. Dia membuat Ceng Liong terperangah oleh kesaktiannya, lalu begitu dia mendorong-majukan lengannya maka tubuh A-cheng juga ikut maju mundur seperti disetel dari jarak jauh! Tentu saja pelayan ini ngeri. Dan Acheng yang berteriak-teriak mencoba meronta dan melepaskan dirinya. Tapi gagal. Dan ketika si raksasa berseru keras sambil melempar tangannya tahu-tahu Acheng ikut terlempar dan menjerit di atas pohon. Tersangkut!

"Ha-ha, bagaimana, bocah? Ibumu dapat melakukan itu?"

Ceng Liong terbelalak. Dia melihat A-cheng menangis di pohon itu menggigil dengan tubuh tak bergerak, ketakutan sekali. Dan Ceng Liong yang tiba-tiba tertawa mendadak berlutut di depan raksasa tinggi besar ini "Suhu, kau memang hebat. Aku percaya sekarang....!"

Temu-Ba bergelak girang. Dia menyambar anak ini, dibuat jungkir balik di udara, persis seperti orang memainkan bola. Dan Ceng Liong yang kegirangan oleh perbuatan gtrunya itu terkekehkekeh sambil berteriak gembira, "Suhu ajarkan aku ilmu kesaktian ini. Aku ingin membuat Pendekar Gurun Neraka juga kulempar seperti A-cheng..!"

Raksasa ini terbahak. Dia gembira sekali menemukan bocah ini, anak laki-laki yang dianggapnya aneh, luar biasa. Karena bocah yang sudah dihisap sedikit darah dan sumsumnya itu ternyata tak mengenal takut dan meram-melek ketika disedot tengkuknya, seperti orang keenakan disedot nyawanya sedikit demi sedikit Dan Mu-Ba yang diam-diam "ngeri" pada anak laki-laki ini merasa bahwa anak itu kelak akan jauh lebih hebat daripada dirinya sendiri. Calon iblis yang bisa menggegerkan dunia!

Demikianlah, raksasa ini lalu bermain main dengan Ceng Liong, pura-pura tak mendengar seruan Mayat Hidup yang mengkhawatirkan dia membunuh anak itu. Teriakan yang membuat dia semakin geli dan terbahak-bahak. Dan ketika ibu sang anak dan Mayat Hidup sendiri muncul di situ dan nampak tertegun oleh perbuatannya iblis tinggi besar ini pun tertawa menghadapi temannya.

"Bagaimana, Mayat Hidup, kau tak terkesan oleh keberanian anak ini? Dia bocah luar biasa, tak takut disedot sumsum tulang belakangnya! Bagaimana kalau kau ambil dia sebagai murid dan kau ajarkan ilmumu Jari Penusuk Tulang itu?"

Si Mayat Hidup menyeringai. Dia jadi terkejut dan kagum juga oleh cerita Temu Ba ini, cerita yang dianggap langka. Tapi mengangguk dengan mata bersinar-sinar dia menjawab, "Boleh. Kalau kau telah memuji anak ini tentu dia bukan anak sembarangan, Mu-Ba aku tak keberatan mengambilnya sebagai murid!"

"Dan kita gembleng dia untuk menghadapi Pendekar Gurun Neraka?"

"Tentu saja. Tapi kalau anak itu tak berobah, Mu-Ba. Aku kuatir dia berbalik haluan kalau kepandaiannya sudah tinggi!"

"Ha ha, tak mungkin Ceng Liong akan menarik dendamnya, Mayat Hidup. Bocah ini keras hati sekali dan tak mundur pada segala cobaan!"

"Baik, aku percaya omonganmu, Mu Ba. Boleh kita gembleng dia untuk membantu kita kelak!"

Ceng Liong sudah gembira bukan kepalang. Dia menjatuhkan diri berlutut, menyebut "ji-suhu" (guru ke dua) pada kakek kurus kering ini. Dan si raksasa yang tak dapat menahan hatinya tiba-tiba menendang bocah itu lalu menyambar tubuhnya, dibawa lari sambil melempar-lempar tubuhnya.

"Mayat Hidup, kita beruntung. Kita mendapat murid paling jempolan!"

Si Mayat Hidup terkekeh Dia menyeringai, melirik ibu anak itu. Dan Lie Lan yang lega anaknya tak kurang suatu apa tiba-tiba tersenyum manis, maklum apa yang dikehendaki kakek yang lihai ini. Lalu begitu dia tertawa dan merenggut bajunya tahu-tahu wanita cantik ini telah berdiri telanjang di depan iblis kurus kering itu.

"Mayat Hidup, boleh kita mulai. Aku siap melayanimu...!"

Si Mayat Hidup terkekeh. Dia terkejut oleh perbuatan wanita itu, tapi mendengus gembira dia sudah menubruk wanita ini dan menciuminya penuh nafsu. "Niocu, kita main di sini?"

"Ya, mau di mana lagi, Mayat Hidup? Bukankah kau sudah tak tahan melihat diriku terus?"

Maka Mayat Hidup yang tertawa serak ini sudah membuang bajunya pula. Dia tak perduli keadaan sekitar, dan begitu mendekap sambil terkekeh tahu-tahu keduanyapun sudah terguling di atas tanah dan sama-sama telanjang bulat. Melampiaskan nafsu berahi dengan cara yang liar seperti sikap binatang-binatang buas di tengah hutan. Tak perduli atau tampaknya tak tahu betapa di atas pohon sepasang mata terbelalak memandang semuanya itu. Mata A-cheng!

Tapi benarkah keduanya tak tahu kehadiran pelayan itu? Sebenarnya tidak. Lie Lan sendiri tahu bahwa pelayannya ada di situ, tapi sengaja tak perduli. Sementara si Mayat Hidup yang juga tahu bahwa ada seseorang di atas sana sengaja membiarkan pelayan itu melihat dia bermain cinta karena dengan begini nafsu berahinya jadi semakin berkobar. Bahkan untuk mencegah pelayan itu melarikan diri dia secara diam-diam telah menotok dari jauh tubuh pelayan itu agar dapat menonton lebih jelas!

Demikianlah, dua orang ini memang manusia-manusia yang tidak punya rasa malu lagi. Tok-sim Sian-li didorong kekecewaan dan kebencian hatinya terhadap Pendekar Gurun Neraka sedangkan si Mayat Hidup memang sesungguhnya iblis yang suka menculik wanita-wanita cantik untuk dipermainkan dan diperkosa. Tapi dalam perjalanan hidupnya iblis ini tak mengenal kepuasan. Setiap wanita yang diperkosanya selalu berada dalam keadaan ketakutan, menjerit-jerit dan histeris sekali dalam melayani nafsu binatangnya.

Dan Mayat Hidup yang akhirnya geram oleh ketidakpuasan ini lalu menggila dan membunuhi korban-korbannya yang sudah diperkosanya itu. Akibatnya iblis ini ditakuti. Tapi karena dia melakukan semuanya itu di daerah luar perbatasan maka yang mengenal dan menakuti iblis ini adalah orang-orang di luar tembok besar, kaum nomad atau suku perantau yang suka diganggunya itu!

* * * * * * * *

Kembali pada Bu-beng Siauw-cut. Hari itu dia telah tiba di Lembah Cemara, melihat sebuah air terjun tumpah di dasar sungai berbatu yang deras airnya. Dan Bu-beng Siauw-cut yang mencari-cari Gua Malaikat akhirnya bertemu seorang kakek tua yang punggungnya bongkok.

Kakek ini tersenyum, bernyanyi-nyanyi kecil. Dan ketika tahu dihampiri seorang anak mendadak dia menghentikan nyanyiannya dan menoleh. "Anak baik, kau mencari siapakah?”

Bu-beng Sauw-cut buru-buru memberi hormat. Dia gembira bertemu kakek ini, satu-satunya orang yang dapat diajak bicara di tempat yang sunyi itu. Maka membungkukkan tubuh dengan muka berseri langsung dia menjawab, "Aku mencari Gua Malaikat, kakek tua, tahukah kau di mana tempat itu berada?"

Si kakek tarsenyum lebar. "Wah. ada perlu apa kau mencari tempat itu, anak baik? Dapatkah kau mengunjunginya?"

Si anak mengerutkan alis. Hm, lagi-lagi orang ingin mengetahui urusan pribadinya. Apakah semua orang usil terhadap keperluan orang lain hingga dia perlu bertanya tentang itu? Maka Bu beng Siauw-cut yang tak menjawab itu langsung mencemberutkan mulut. "Kakek, kenapa kau harus tahu keperluan orang lain? Perlukah itu bagimu?"

Si kakek membeliakkan mata "Wah, kau perasa sekali, anak baik. Ah, maaf kalau begitu. Tapi pertanyaanmu dapat kujawab. Gua Malaikat itu ada di situ, di balik air terjun itu!" si kakek menuding ke atas, di tengah-tengah dinding curam dari air terjun itu.

Dan Bu-beng Siauw-cut yang terkejut oleh jawaban ini segera tertegun. "Apa, kek? Di belakang air terjun itu? Di tengah-tengah tebingnya yang curam!"

Tapi Bu-beng Siauw-cut makin terkejut. Dia tak mendapat jawaban, dan ketika menoleh ke kiri tahu-tahu si kakek tua yang tadi ada di dekatnya itu ternyata lenyap! "Hei, ke mana kau, kek?"

Namun tak ada jiwaban. Dan ketika Bu-beng Siauw-cut sedang tertegun mendadak suara si kakek muncul di sebelah kanan jauh di balik pepohonan sambil bernyanyinyanyi! Dan ketika dia melompat menghampiri tampaklah si kakek sedang memetik tanaman obat dengan kaki dihentak-hentak kecil, bersenandung.

"Heh-heh, di mana kau Cing-shiang. Di mana kau Pi-chih? Hayo lekas temui aku, cucuku sakit demam yang tidak ketulungan!"

Siauw-cut tertegun. "Kek, apa itu Cing-shiang? Apa itu Pi-chih? Apa yang sedang kau cari di sini?"

Si kakek terkejut. "Lho, kau mengejarku, anak baik? Bukankah kau hendak ke Gua Malaikat?”

Siauw-cut melompat maju. “Aku ragu-ragu keteranganmu, kek. Aku tak melihat apa pun di balik air terjun itu."

"Heh-heh, mana bisa dilihat, anak baik. Tempat itu harus didatangi. Tak tampak kalau dilihat dari bawah!"

"Jadi kau tak menipuku, kek?"

"Wah, untuk apa menipumu? Kau kira aku tukang tipu?”

Bu-beng Siauw-cut melenggong. Dia serasa percaya serasa tidak pada kakek ini, yang tertawa seakan menggodanya. Tapi melihat orang bicara sungguh-sungguh diapun menarik napas. "Baiklah, kalau begitu bagaimana caranya menuju ke sana, kek? Apakah ada jalan khusus?"

Si kakek tertawa. "Bocah, mana ada jalan khusus ke gua itu? Tak ada yang bisa membuat jalan ke sana, kecuali terbang seperti burung. Atau, kalau toh ingin ke sana maka satu-satunya jalan adalah merayap! Kau bisa memanjat dinding itu?"

Anak ini terkejut. "Merayap, kek? Di dinding yang licin itu!'"

"Ya, bukankah itu satu-satunya jalan, anak baik? Manusia tak mempunyai sayap, jadi harus merayap atau memanjat dinding itu. Mampukah kau ke sana?"

"Hm...." Siauw-cut tertegun, memandang terbelalak ke atas tebing yang tertutup oleh tumpahan air terjun itu. Tapi masih setengah sangsi dia bertanya, "Tapi betulkah ada gua itu di sana, kek? Bagaimana kalau kau bohong?"

"Heh-heh, bohong atau tidak itu harus dibuktikan, bocah. Kau percaya baik tapi tidak percaya juga tidak apa, Eh, siapa namamu?"

"Aku Siauw-cut. Bu-beng Siauw-cut!''

"Heh, Bu-beng Siauw-cut? Ha-ha, aku Bu-beng Siauw-jin, anak baik. Aku juga orang yang tidak berguna seperti namamu itu!" si kakek terbahak, keras suaranya dan terbelalak memandang Siauwcut.

Tapi Bu beng Siauw-cut yang mendengar jawaban ini mengira si kakek berolok-olok. "Kek, kau mengejekku? Aku benar-benar Bu-beng Siauw-cut, bukan bercanda!"

"Lho, siapa yang bercanda? Aku juga Bu-beng Siauw-jin, anak baik. Akupun juga tidak bercanda atau main-main denganmu!"

Anak ini tersentak. Dia kembali melihat si kakek bersungguhsungguh bicara, tidak main-main. Dan merasa aneh bahwa mereka berdua mempunyai persamaan nama tiba-tiba Bu-beng Siauw cut tersenyum, tertawa lebar. "Kek, rupanya kita senasib. Kenapa kau memilih nama Bu-beng Siauw-jin (Orang Hina) yang lebih jelek daripada Bu-beng Siauw cut ini? Apa yang kau alami."

Si kakek menyeringai. "Aku tak mengalami apa-apa, anak baik. Tapi aku memang suka pada nama itu, nama yang selalu mengingatkan aku bahwa aku bukan orang mulia atau orarg besar. Aku si tua tolol yang rendah dan hina!"

"Hm, lalu di mana rumahmu, kek?"

"Aku tak mempunyai rumah. Tapi kalau ingin tidur atau beristirahat aku menyelinap dilubang pohon itu!"

Siauw-cut terbelalak. Dia melihat sebuah pohon besar berdiri tak jauh dari mereka, tegak dengan daunnya yang rimbun. Sementara sebuah lubang besar yang menganga di pokok batangnya membuat anak ini terheran. "Jadi itu tempat tinggalmu, kek?"

"Ya."

"Seorang diri?"

"Heh-heh, sekarang tidak, anak baik. Aku mendapat seorang cucu yang tampan dan gagah!"

"Siapa dia?"

Si kakek mengerutkan alis. "Perlukah kau tahu urusan orang lain. bocah? Bukankah kau sendiri bilang tak perlu tahu urusan orang lain?"

Bu-beng Siauw-cut tertegun. Dia menarik napas, lalu menganggukkan kepala dia menyeringai pada kakek ini. "Ya, aku salah, kek. Maafkan!"

"Dan kau masih berceloteh saja di sini?"

"Maksudmu?"

"Kau tidak segera menyelidiki bohong atau tidaknya aku tentang gua di balik air terjun itu?"

Bu-beng Siauw-cut terkejut. Dia sadar, tapi tersenyum kecut dia memutar tubuh. "Ya, aku akan menyelidiki kebenarannya, kek. Tapi kuharap kau tidak bohong!"

"Heh heh, untuk apa aku bohong padamu? Tapi bisakah kau memanjat ke sana?"

Anak ini menghentikan langkahnya, bingung "Ini yang belum kutahu, kek. Karena mungkinkah seseorang dapat memanjat dinding yang licin itu? Bisakah mereka ke sana?"

Si kakek tertawa aneh. "Tentu saja, bocah. Setidak-tidaknya aku dapat ke sana tanpa mempergunakan sayap!"

"Kau...?" Bu beng Siauw-cut terbelalak.

"Ya Kau tidak percaya, bocah? Lihat, aku akan ke sana dalam lima puluh hitungan cepat. Buktikan.!" dan si kakek yang tiba-tiba melempar keranjang obatnya sudah berlari ke dinding curam itu sambil tertawa. Tubuhnya menerobos tumpahan air terjun, lenyap di balik sana. Tak tampak bayangannya. Tapi ketika Bu-beng Siauw-cut memburu ke tempat ini tahu-tahu di atas sana terdengar tawa bergelak yang menutupi gemuruhnya air terjun.

"Bu-beng Siauw-cut, kau dapat melihat aku?"

Anak ini tertegun. Dia tak melihat bayangan si kakek, maklum tempatnya demikian tinggi. Juga terjal sekali. Dan Bu-beng Siauwcut yang menggelengkan kepalanya berteriak nyaring, "Aku tak dapat melihatmu, kek. Mungkin kau menipuku dengan pantulan suaramu...!"

"Ha-ha, siapa bilang? Lihat ini, bocah... lihat aku akan membuyarkan tumpahan air terjun ini... prat-pratt!" Dan Bu-beng Siauw-cut yang mendongak ke atas tiba-tiba melihat air terjun yang meluncur deras tahu-tahu terbelah, sekejap saja, tak dapat terusmenerus. Tapi bayangan si kakek bongkok yang "nempel" di dinding atas sudah membuat anak ini terkesima dan berseru takjub!

"Ah, benar, kek. Aku sudah melihat mukamu....!"

"Ha-ha, apa aku bilang? Dan sekarang lihat, bocah. Aku akan turun dalam lima puluh hitungan pula Awas....!" dan suara yang sudah meluncur turun itu tahu-tahu disusul berkelebatnya tubuh yang menerobos tumpahan air terjun.

Bu-beng Siauw-cut melihat si kakek sudah berada di depannya, cepat sekali. Dan baju yang basah dari kakek ini membuktikan bahwa dia benar-benar telah melorot turun dari tebing yang curam itu. Tidak sampai limapuluh hitungan!

"Ah, kau hebat, kek...!" Bu-beng Siauw-cut akhirnya mendesah kagum, penuh takjub memandang si kakek yang tertawa-tawa dipandangnya, seolah geli melihat anak ini terbelalak matanya, tak berkedip. Dan Bu-beng Siauw-jin yang tiba-tiba tertawa nyarmg menyambar keranjangnya.

"Siauw-cut, aku masih mau mencari obat. Kau naiklah ke atas seperti caraku!"

Anak ini terkejut. Dia melihat kakek bongkok itu sudah lenyap dalam dua kali lompatan saja, tapi Bu-beng Siauw-cut yang girang mendapat bukti bahwa dinding air terjun iiu bisa dipanjat manusia sudah melompat pula menghampiri air terjun ini. Dia mengira dinding itu hanya seram saja dipandang dari kejauhan, seolah tak dapat didaki. Tapi ketika dia mendekat dan melihat dinding ini penuh lumut dan bekas tapak si kakek bongok ada di atas lumut yang hijau licin itu tiba-tiba saja dia tertegun dan bengong!

"Wah, bagaimana bisa ke atas. Apakah lumut ini kasar permukaannya?"

Bu beng Siauw-cut meraba. Dia ingin meyakinkan diri, tapi ketika tangannya tergelincir dan berkali-kali jatuh di atas permukaan lumut diapun jadi kaget dan gelisah. Ternyata lumut itu benar-benar licin! Lalu bagaimana caranya si kakek bongkok dapat "merayap" ke atas? Mempergunakan sihir? Bu beng Siauw-cut penasaran. Dia benar-benar penasaran sekali oleh perbuatan kakek itu tadi, maka menggigit bibir dan mengepal tinju tiba-tiba dia nekat mencengkeram dinding air terjun dan memanjat! Tapi celaka. Baru semeter dia merayap tahu-tahu cengkramannya lepas.

”Bluk!” Bu-beng Siauw-cut mengumpat. Dia menyeringai kesakitan pinggulnya terbanting di atas batu. tapi mengebutkan baju dia sudah mulai mencoba. Untuk kedua kalinya dia merayap. Pelan sambil mencengkeram kuat-kuat. Tapi ketika untuk kedua kalinya pula dia terjatuh dan terbanting di atas tanah maka anak itu pun tertegun dan terduduk bengong, tak tahu bagaimana caranya agar dapat memanjat dinding. Dan pada saat itulah si bongkok tiba-tiba muncul.

"Ha-ha, bagaimara, Siauw-cut? Kau tak dapat melaksanakan niatmu?"

Bu-beng Siauw cut melompat bangun. Dia kaget melihat kakek ini tahu-tahu muncul tapi berseri girang dia memandang kakek itu “Kek. bagaimana caramu menanjat dinding? Apakah kau mempergunakan sihir?"

"Ha ha. aku si tua bangka ini tak mempunyai sihir, Siauw-cut. Aku mengandalkan kepandaianku untuk memanjat dinding itu!"

"Ilmu siluman?"

"Tidak, tapi ilmu merayap yang memang sudah kupunyai puluhan tahun yang lalu!"

"Ah, kalau begitu aku dapat kau ajari, kek?"

"Untuk apa? Dan apa yarg kau cari di atas sana?"

Bu-beng Siauw cut tertegun. Dia ragu-ragu menjawab, tapi melihat kakek ini tampaknya orang baik-baik diapun berkata juga. “Aku mencari seseorang, kek. Katanya dia ada di situ dan dapat kujumpai."

"Siapa?"

"Bu-beng Sian-su!"

"Ha-ha. kau kira mudah menemui manusia dewa ini, bocah? Kau ada keinginan apa hingga jauh jauh mencari kakek ini?"

"Aku ingin belajar silat, kek. Aku merasa dia calon guruku yang paling baik!"

Si kakek tertawa bergelak Dia tampaknya geli sekali, terbahak sampai terguncang-guncang tubuhnya. Dan Bu-beng Siauw-cut yang tidak senang tiba-tiba mendesis, "Kek, apa yang kau-ketawai? Kau mentertawakan aku?"

Si kakek masih tak dapat menahan gelinya. "Aku tertawa melihat kebodohanmu. Siauw-cut, Bu beng Sian-su tak ada di tempat itu!"

Anak ini terkejut. "Dia tak ada di situ?'

"Ya, siapa yang memberi tahu dia ada di situ ” "Seseorang, kek. Dia..." Bu-beng Siauw cut menghentikan kata-katanya. Dia melihat si kakek bongkok memutar tubuh, cepat sekali. Dan sebuah panah kecil yang menyamar tengkuknya tahu-tahu ditangkis dengan kebutan lengan bajunya hingga terpental runtuh. "Plak...!"

"Ah, siapa main-main di sini?"

Dan seorang nenek tiba-tiba muncul, "Heh-heh, kau masih tangkas seperti dulu, Siauw-jin? Mana itu anak buruanku?"

Bu-beng Siauw-jin terkejut. Dia berseru perlahan melihat kehadiran nenek ini, tapi tertawa bergelak tiba-tiba dia berseru, "Mo-li, apa yung kau bicarakan ini? Siapa anak yang kau maksud?'' tapi, berbisik perlahan pada Bu-beng Siauw-cut kakek bongkok ini tergesa-gesa bicara, "Anak baik, kau tolonglah aku. Pergilah ke lubang pohon itu dan jaga cucuku di sana. Nenek ini berbahaya, ia mau merampas cucuku...!"

Siauw-cut tertegun. "Siapa dia, kek?"

"Sin-yan Mo-li, nenek iblis yang tiga hari ini mengejar-ngejarku!"

"Ah, dan keperluannya?"

Tapi si kakek mendesis, "Jangan cerewet, Siauw-cut. Pergilah ke sana dan tolong jaga cucuku. Dia sakit demam!"

Bu-beng Siauw-cut terbelalak. Dia melihat nenek berjuluk Sin-yan Mo-li itu berkelebat di depan mereka, sikapnya bengis sekali. Dan sepasang matanya yang berkilat kebiruan menyala-nyala memandang dirinya.

"Siapa anak ini, Siauw-jin?"

Bu-beng Siauw-cut tergetar. Dia merasa, pengaruh mengerikan dari suara nenek ini, tapi, si kakek bongkok yang tertawa lebar menjawab pendek. "Dia anak liar, Mo-li. Pencari obat dan mungkin penduduk di bawah lembah itu."

"Dan anak yang kau bawa?"

"Heh-heh, anak apa yang kubawa, Mo-li? Aku tak punya anak dan tidak membawa anak. Bukankah kau tahu aku belum kawin dan masih bujangan hingga saat ini?"

Si nenek mendengus. "Jangan main-main, Siauw jin. Kau tak perlu menipuku dan cepat serahkan anak itu kepadaku!”

"Wah, anak yang ada saat ini ialah anak ini, Mo-li. Kenapa kau mengancamku dan tidak percaya? Lihat, dia ketakutan melihat kedatanganmu. Sebaiknya kutendang saja...dess!"

Dan Bu beng Siauw-cut yang tiba-tiba ditendang kakek ini tahu-tahu mencelat terlempar ke batang pohon yang menganga lubangnya itu. Dan Bubeng Siauw-cut yang hampir marah tiba-tiba mendengar bisikan kakek ini, "Anak baik, kau tolonglah aku. Jaga cucuku di dalam itu. Jangan keluar....!"

Bu-beng Siauw-cut tertegun. Dia simpatik pada kakek bongkok ini. yang dilihatnya sebagai orang baik-baik. Tidak seperti si nenek yang matanya mengerikan itu yang memandangnya seperti mata setan! Maka bengong dan bingung oleh kejadian ini tiba-tiba anak itu malah mendelong tak keruan, memandang si nenek dan sang kakek bongkok yang melotot padanya!

"Eh, kenapa kau tak masuk, anak baik? Bukankah kusuruh kau menjaga cucuku di dalam? Jangan melenggong saja, nenek ini berbahaya!" Bu beng Siauw-cut kembali mendengar seruan itu, seruan si kakek bongkok yang dibisikkan perlahan sekali, dengan gerak bibir yang hampir tak kentara. Dan baru dia memandang Bu beng Siauw jin tiba-tiba si nenek menggerakkan lengannya.

"Bocah, kau pergilah ke neraka. Aku tak suka matamu yang melotot itu!"

Bu-beng Siauw-cut terkejut. Dia melihat sinar berkelebat, disusul suara “wir" yang halus namun tajam. Dan begitu dia terbelalak tahu-tahu sebatang panah kecil seperti yang tadi menyerang Bu beng Siauw-jin sudah berada di depan dadanya dengan kecepatan kilat!

Tapi Bu-beng Siauw jin mendorongkan lengannya, menampar dengan pukulan jarak jauh. Dan begitu kakek ini menggerakkan lengannya mulutnyapun memaki, “Sin-yan Mo-li, jangan bersikap keji. Bocah itu tak tahu apa apa...plak!" dan panah yang tahu-tahu runtuh ditampar kakek ini membuat Sin-yan Mo-li berjingkrak marah.

"Kau melindungi bocah itu, Sauw jin? Kau bilang dia anak liar?"

Si kakek tertawa meringis. "Aku memang bilang begitu, Mo-li. Tapi bukan berarti kau boleh membunuhnya meskipun dia anak tak berharga!"

"Dan kau tetap melindunginya kalau aku membunuh?"

"Heh-heh, itu kewajibanku, Mo-li. Tak boleh kau membunuh orang di depan hidungku!"

"Keparat...!" Sin-yan Mo-li tiba-tiba membentak, berkelebat ke depan menyambit lagi dua panah kecilnya, menyerang Bu beng Siauw-cut. Dan nenek ganas yang tahu-tahu mengulurkan lengan dengan cengkeramannya yang cepat bagai walet menyambar itu benar-benar mengejutkan Bu-beng Siauw-cut yang diserang nenek ini.

Tapi si kakek bongkok kembali menghadang di depan. Dia mengebut runtuh dua panah kecil itu, lalu mengulurkan lengan kiri menangkis pukulan si nenek diapun menendang pantat si anak yang mendelong di mukanya itu. "Siauw-cut, kau pergilah.... bluk!"

Bu-beng Siauw-cut tahu-tahu terlempar ke dalam lubang. Dia langsung terjeblos di situ, menimpa seseorang yang mengaduh perlahan. Dan begitu dia memandang tiba-tiba mulutnya celangap dan mendesis. "Kau...?"

Dan orang yang ditimpa itupun bangkit berdiri. Dia adalah seorang anak laki-laki yang sebaya anak ini, melangkah pucat dengan kaki terhuyung. Dan begitu melihat Siauw cut ada di situ tiba-tiba saja anak itupun menudingkan telunjuknya dan berseru gemetar, "Kau....?"

Dan dua orang anak itu sama-sama tertegun. Mereka terkejut, terbelalak saling pandang. Tapi Bu-beng Siauw-cut yang sudah berobah mukanya sekonyong-konyong melompat maju, "Kau putera Pendekar Gurun Neraka.....!" dan anak laki-laki yang pucat itu mengangguk.

"Ya, aku Sin Hong, Siauw-cut. Kau anak yang membuat onar di rumah orang tuaku!"

Siauw-cut mengepal tinju. Dia melihat anak itu marah, hal yang membuat dia terbelalak. Karena kalau dihitung-hitung justeru dialah yang harus marah pada lawannya ini, putera si musuh besar yang membunuh ibunya itu! Maka Siauw-cut yang marah oleh sikap lawannya ini mendadak mengayunkan tinju dan menerjang ke depan.

"Sin Hong, kau musuh besarku. Ayahmu telah membunuh ibuku!"

Sin Hong tak mengelak. Dia menangkis pukulan itu, tapi begitu mengerahkan tenaga tiba-tiba anak ini mengeluh dan tertonjok mukanya.

"Plak!" Sin Hong terpelanting roboh. Dan Siauw-cut yang melihat lawan sudah dipukulnya roboh tahu-tahu melakukan pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Dia rasanya hendak membalas kekecewaan hatinya di Ta-pie-san itu, kegagalan dendamnya terhadap Pendekar Gurun Neraka. Maka Sin Hong yang bertubi-tubi diberi bogem mentah dan tendangan kaki itu

akhirnya mengeluh dan dibuat bulan-bulanan anak yang marah ini. Sin-Hong memang bermaksud membela diri. menangkis dan menghindar semua pukulan Siauw-cut. Tapi karena dia sedang sakit dan panas tubuhnya tinggi karena demam anak ini pun tak berdaya dan kehilangan tenaga. Sampai akhirnya, ketika pukulan Siauw cut menghantam lehernya tahu-tahu anak ini terguling dan tidak sadarkan diri. Pingsan!

Bu-beng Siauw-cut terengah. Dia puas melihat lawan yang menggeletak dengan tubuh matang biru itu. Pipinya bengap dan mukanya bengkak Tapi ketika ingat bahwa lawan sedang sakit dan Sin Hong sama sekali tidak mengeluh akibat perbuatannya yang tidak adil itu tiba-tiba anak ini tertegun. Mau tak mau warna merah semburat di mukanya, sadar bahwa perbuatannya tadi bukanlah kegagahan yang pantas dibanggakan. Dan sementara dia tertegun sambil mengusap peluh tahu-tahu terdengar bentakan si kakek bongkok yang ditujukan kepadanya, bentakan yang diluncurkan lewat ilmu sakti Coai-im jip-bit,

"Bocah, kau menyerang cucuku? Keparat, anak itu sedang sakit. Sauw-cut. Tak tahu malu benar kau ini! Apa yang kau lakukan itu? Hayo beri dia obat, tuangkan minuman di sudut dan balur mukanya dengan daun di dalam keranjang obat itu...”

Bu-beng Siauw-cut tertegun. Dia menyadari kesalahannya, menyerang orang yang sedang sakit. Maka mengambil minuman di dalam sebuah cangkir langsung saja dia menyandarkan Hong dan seteguk demi seteguk menuangkan obat yang seperti jamu pahit itu ke mulut lawannya. Sin-Hong masih pingsan, tak tahu apa yang dilakukan anak ini. Dan ketika obat sudah diminumkan semua Bu beng Siauw-cut lalu mengambil daun-daun obat di dalam keranjang. Dedaunan itu basah, rupanya sudah direndam si kakek bongkok Maka memalurkan daun-daun ini ke tubuh Sin Hong tahulah Siauw cat betapa tinggi panas badan anak ini!

"Ah, dia benar-benar sakit. Pantas tak dapat melawan aku!"

Bu-beng Siauw cut menyesal. Bagaimanapun dia merasa tak enak, malu sendiri. Tapi ketika dia sedang merawat Sin Hong tiba-tiba di luar pohon terdengar suara berdebuk. Si kakek bongkok rupanya terbanting, keras sekali hingga dia menjerit dan memaki-maki Sin-yan Mo-li. Tapi ketika lawan terkekeh dan menyerang kembali mendadak kakek ini berseru keras sambil mendorongkan lengannya.

"Mo-li, pergilah. Aku tak ada waktu melayanimu…plak!"

Sin-yan Mo-li terpekik. Siauw-cut melihat nenek ini terjengkang, tak kuat menerima dorongan si kakek bengkok. Dan sementara si nenek terguling-guling mendadak kakek ini melompat masuk menyambar Sin Hong. "Siauw-cut, larilah. Aku harus menyelamatkan anak ini, tak tak dapat melindungimu..."

Bu-beng Siauw-cut terkejut. Dia melihat si kakek sudah membawa Sin Hong, keluar sambil mengebut runtuh dua panah yang kembali disambitkan Sin-yan Mo-li yang berteriak marah Dan si kakek bengkok yang sudah melarikan diri membawa Sin Hong tahu-tahu menjejakkan kakinya melompat bagai terbang.

"Mo-li, aku tak ada waktu melayanimu. Kau carilah anak lain pengobat kekecewaanmu!"

Sin-yan Mo-li membentak. Ia marah melihat si kakek bongkok melarikan diri, membawa Sin Hong yang memang ia cari. Maka melengking tinggi dengan pekik penuh kemarahan tiba-tiba ia pun melesat memburu, lawan. "Bu-beng Siauw-jin, kau tua bangka keparat. Lepaskan anak itu kalau tidak ingin kubunuh!"

Bu-beng Siauw-jin tertawa bergelak. Dia menambah kecepatan larinya, tancap gas. Hingga Siauw-cut yang melihat kejar-kejaran ini terjadi di depan mata tahu-tahu melongo ketika melihat kakek bongkok itu terpental-pental kedua kakinya, terpental bagai bola, melarikan diri dengan cara yang aneh, sementara Sin-yan Mo-li yang mengejar di belakangnya melucur lurus "terbang" tak menginjak tanah bagai iblis bersayap yang menempel ketat di belakang kakek bongkok ini!

"Ah, mentakjubkan. Mereka ternyata orang-orang sakti...!" Bubeng Siauw-cut terperangah, mendesah dengan muka penuh kagum. Dan bayangan keduanya yang sebentar saja lenyap dari pandang matanya tahu-tahu disusul sebuah suara si kakek bongkok, melengking tinggi dengan nada marah, "Siauw-cut. apa lagi yang kau tunggu? Hayo pergi dari situ, aku akan kembali setelah mempermainkan nenek ini!"

Bu-beng Siauw-cut tertegun. Dia kurang mengerti omongan kakek itu, tapi ketika memandang ke depan mendadak bayangan si kakek bongkok muncul kembali ke tempat semula, melingkar dari arah sebelah kanan, kembali lagi! Sementara si nenek yang mengejar ketat di belakangnya memaki kalang kabut.

"Siauw-jin, lepaskan anak itu. Kalau tidak kalian berdua akan kubunuh...!"

Bu-beng Siauw-cut terbelalak. Dia melihat dua orang itu terbang dengan sama cepatnya. Hanya kalau Bu-beng Siauw-jin terpentalpental seperti katak melompat adalah "si nenek iblis lurus ke depan dengan muka beringas Bahkan kini telah memegang sebatang cambuk berduri yang ujungnya meledak-ledak, mirip petir di siang bolong Dan sementara dia menjublak di tempat itu tahu-tahu si kakek bongkok sudah tiba di depannya.

"Siauw-cut, kau gila? Tidak segera pergi dari tempat ini?”

Bu-beng Siauw-cut menjawab, "Aku hendak mencari Bu-beng Sian su, kek. Aku harus menemui kakek itu kalau pergi dari sini!"

"Sialan, tapi Bu-beng Sian-su tak ada di sini, bocah. Aku sendiri sudah menunggunya tiga hari untuk maksud yang sama!''

"Ah. kalau begitu di mana dia, kek?"

Tapi Bu beng Siauw jin tak dapat menjawab. Dia sudah keburu dikejar si nenek iblis, Sin-yan Mo-li yang meledak-ledakkan cambuk berdurinya itu. Dan ketika melihat si kakek bongkok bicara dengan Bu beng Siauw-cut tiba-tiba nenek ini meledakkan cambuknya ke pinggang si bocah.

"Anak liar, kau pergilah...!"

Bu-beng Siauw-cut terkejut. Dia tak dapat mengelak, maka begitu cambuk menjeletar di pinggangnya tiba-tiba dia terangkat naik dan.... jatuh di bawah air terjun yang banyak batunya itu. Tak ayal. Bu-beng Siauw-cut menjerit. Dan ketika tubuhnya menimpa batu di bawah air terjun ini tahu-tahu punggungnya berkeratak seakan patah!

Tapi Bu-beng Siauw-cut melompat bangun. Dia melihat dua orang kakek dan nenek itu sudah kembali kejar-kejaran, lenyap dari depan matanya. Namun baru dia mentas (keluar dari air) mendadak bayangan si kekek bongkok muncul kembali, kini ini berputar dari arah kiri!

"Siauw-cut. kau tidak apa-apa?" Bu-beng Siauw-cut mendengar kakek itu berteriak, menanyakan keselamatannya. Dan anak yang meringis sambil menekan punggungnya itu menjawab. "Aku tidak apa-apa, kek. Hanya punggungku sakit dihajar nenek iblis itu!"

"Nah, apa kubilang? Dia memang jahat, Siauw-cut, kau menyingkirlah. Di sebelan kanan air terjun ada jurang. Kau larilah ke sana dan sembunyikan diri. Cepat...!"

Bu-beng Siauw cut mengangguk. Tapi baru dia berlari dua langkah tiba-tiba pantatnya ditendang kakek bongkok ini hingga mencelat jauh. Dia terkejut, tapi ketika kakinya jatuh di pinggir sebuah jurang diapun mencelos dan hampir berteriak kaget. Dan si kakekpun tertawa.

"Kau terkejut, Siauw-cut? Nah, bersembunyilah, jurang itu yang kumaksud!"

Anak ini lega. Dia segera menyelinap di bawah jurang ini, bersyukur bahwa si kakek bongkok rupanya tidak bermaksud buruk. Tapi karena kakek itu harus berhenti sebentar untuk mendepaknya tadi maka si nenek iblis Sin-yan Mo-li sudah berada di belakangnya, mengejutkan kakek ini dengan cambuknya yang menjeletar nyaring...