Pedang Medali Naga Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG MEDALI NAGA
JILID 04
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pedang Medali Naga Karya Batara
DIA memiliki mental kuat. Seorang pangeran yang akhirnya tahan hinaan dan ujian hidup. Dan Fan Li yang selalu mendampingi pangeran ini berhasil membawa junjungannya itu pada tempat yang lebih baik setelah tiga tahun pangeran itu dibebaskan dari hukumannya. Boleh kembali pulang ke Yueh tak menjadi mandor istal kuda lagi namun harus membavar upeti setiap tahun dan tak boleh mendirikan bala tentara di wilayah Yueh.

Dan itu akhirnya dituruti. Sampai tiba-tiba secara mengejutkan sekali dua tahun yang lalu raja muda Wu meminta pada pangeran ini agar Kiok Hwa diserahkan sebagai tambahan upeti karena wanita-wanita cantik yang dikirim tahun lalu oleh pengeran ini dinilai kurang memenuhi "syarat"! Jadilah. Pangeran Kou Cien hampir mengamuk. Dia benar-benar merasa terhina sekali, namun Fan Li yang lagi-lagi memberi nasihat pada junjungannya itu akhirnya berhasil menyadarkan pangeran ini untuk menerima cobaan yang paling hebat itu.

Pangeran Kou Cien sendiri akhirnya mengantar selirnya itu, mempersembahkannya pada raja muda Wu. Dan pangeran yang hancur dan menangis di dalam hati ini terpaksa membiarkan saja selirnya itu dipermainkan Fu Chai yang memang berniat untuk menghina pangeran jajahannya itu, tak mengenal kasihan dan tertawa bergelak di dalam kamar mempermalukan isteri orang!

Tapi dua bulan kemudian pangeran ini terkejut. Dia mendengar berita bahwa selir tersayangnva itu tewas, mati membunuh diri setelah dicampakkan Pangeran Fu Chai, yang lalu membagi-bagikannya kepada para bawahannya seperti orang membagi-bagi pisang goreng! Dan Kiok Hwa yang tidak tahan dipakai secara berganti-ganti itu akhirnya menuang racun ke dalam mulut sebagai reaksi protes dari sakit hatinya yang tak tertahankan!

Pangeran Kou Cien jatuh sakit. Dia terpukul hebat oleh kejadian itu, dan Fan Li yang tidak tahan melihat penderitaan junjungannya ini akhirnya suatu hari mengajukan usul. Mereka harus membalas semua hinaan lawan. Tapi Pangeran Kou Cien yang putus asa dan sedih hatinya mendahului menolak.

"Kita tak mempunyai kekuatan, ciangkun. Percuma mencari akal untuk membalas raja muda itu!" demikian sang pangeran bicara ketika panglimanya belum membuka suara. Dan Fan Li yang maklum akan keadaan junjungannya ini menarik napas.

"Tapi hamba mempunyai gagasan, pangeran. Paduka tak perlu putus asa untuk gagasan hamba kali ini!”

"Hm, gagasan bagaimana, ciangkun? Membalas raja muda itu harus memiliki bala tentara yang kuat. Padahal kita tak diperkenankan menyusun bala tentara. Mana mungkin membalas raja muda itu?"

Fan Li tersenyum. "Tapi hamba punya akal, pangeran. Tak perlu paduka berduka untuk akal hamba kali ini. Pasti berhasil!"

Namun sang pangeran tetap dingin. "Aku tak merasa gagasanmu berhasil, ciangkun. Karena sebelum kita bergerak tentu mereka sudah tahu terlebih dahulu!"

"Ah, tapi ini lain, pangeran. Kita tak mempergunakan bala tentara untuk raenyerang raja muda itu. Kita mempergunakan orang-orang kang-ouw!"

"Hm, jumlah mereka tak banyak, ciangkun. Meskipun orang kang-ouw ribuan jumlahnya tapi masih kalah jauh oleh jumlah tentara yang bisa laksaan banyaknya!"

"Benar, tapi kita mempergunakan taktik 'pedang berselubung sarung’, pangeran. Hamba yakin ini adalah satu-satunya jalan yang paling jitu untuk menghadapi raja muda itu!"

Tapi sang pangeran masih tak tertarik. Dia sudah terlampau putus asa dan berduka oleh kejadian yang bertubi-tubi menggencetnya, maka mendengar kata-kata penuh semangat dari panglimanya ini diapun menggeleng lemah. "Fan-ciangkun, agaknya tak ada seseorang yang dapat membantu kita secara tuntas selain, Pendekar Gurun Neraka. Mana mungkin merencanakan akal bermacam-macam kalau orang yang bersangkutan tak mau? Dia telah menolak kita. Berani tak ada harapan biar pun mengumpulkan banyak orang kang-ouw!"

Fan Li tersenyum "Justeru itulah, pangeran. Hamba akan ke Tapie-san untuk menemui pendekar ini. Dia tentu telah mendengar kekejian raja muda itu yang menghina paduka habis-habisan. Dan mengandalkan kesempatan ini hamba akan mengetuk pintu hatinya!"

Sing pangeran bangkit berdiri, bercahaya mukanya. "Jadi kau akan ke sana, ciangkun? Tapi mana mungkin? Bukankah dia telah menyatakan isi hatinya bahwa dia tak akan mencampuri lagi urusan kerajaan? Dan kau tahu kekerasan hatinya, ciangkun. Pendekar itu tak akan mengangguk kalau sudah menggeleng!"

Fan Li tersenyum lebar. Dia sudah merasa girang bahwa junjungannya ini tiba-tiba bersinar matanya, tanda mulai bangkit semangatnya begitu membicarakan Pendekar Gurun Neraka. Dan dia yang tahu betapa besar harapan pangeran ini untuk memohon bantuan pendekar itu. Tiba-tiba juga bangkit berdiri,

"Pangeran, kalau boleh paduka ijinkan sekarang hamba hendak membeberkan rencana hamba pada paduka. Tapi kalau paduka tak setuju tentu saja hamba tak akan bicara."

"Ah, katakanlah, ciangkun. Asal ada hubungannya dengan Pendekar Gurun Neraka tentu kau boleh bicara. Katakanlah...!"

Fan Li sudah merasa gembira. "Begini, pangeran. Karena jelas kita tak bisa menyusun angkatan perang maka hamba mempunyai usul untuk mendirikan sebuah perkumpulan orang-orang kang-ouw yang dipimpin Pendekar Gurun Neraka. Mereka adalah simpatisan kita, kaum patriot yang tahu keadaan kita yang dihina lawan. Dan kalau Pendekar Gurun Neraka yang memimpin perkumpulan itu tentu secara tidak kentara kita telah mempunyai semacam barisan pelindung dari orang-orang kang-ouw ini. Yang sewaktu-waktu bisa membantu kita dalam keadaan memaksa. Bagaimana menurut pendapat paduka?"

Pangeran Kou Cien tertawa lebar "Kau cerdik, ciangkun. Aku sstuju! Tapi maukah pendekar itu membantu kita? Dan apa nama perkumpulan ini agar tak dicurigai lawan?”

"Hm, itu mudah, pangeran. Pendekar Gurun Neraka pasti mau membantu kita. Ini tidak menyangkut urusan kerajaan. Jadi terpisah dengan istana karena mereka adalah kelompok yang berdiri sendiri dan seolah-olah di luar garis strategi kita, yang datang sewaktuwaktu apabila mereka itu kita perlukan dalam saat-saat genting. Tapi kalau keadaan tidak berbahaya dan tetap tenang tentu saja mereka mengurus keperluannya sendiri dan tidak ada hubungannya dengan kita! Paduka paham, bukan?”

"Ya, dan apa nama perkumpulan itu, ciangkun?"

"Sesuai sifat anggautanya, pangeran, yakni Ho han-hwe (Perkumpulan Orang-orang Gagah).”

"Bagus, itu bagus sekali, ciangkun. Aku setuju dan sependapat! Tapi kapan kau akan memulai gagasan ini? Artinya, kapan kau akan menemui pendekar itu untuk menyatakan kepastiannya?"

"Besok, pangeran. Hamba akan pagi-pagi sekali meninggalkan paduka menuju ke Ta-pie-san. Tapi ini masih siasat pertama, pangeran. Karena kalau Pendekar Gurun Neraka telah menyanggupi untuk memimpin perkumpulan Ho-han-hwe ini hamba masih akan meneruskannya dengan siasat ke dua dan ke tiga."

"Hm, siasat apa itu, ciangkun?"

"Begini, pangeran. Setelah Ho-han-hwe muncul kita harus mencari wanita-wanita cantik. Bahkan kalau perlu selir paduka yang lain boleh dipersembahkan pada raja muda itu!"

Pangeran Kou Cien mendelik. "Ciangkun, apa yang kau bilang ini? Kau berani bicara seperti itu?" pangeran itu membentak, marah sekali dan hampir menendang panglimanya ini. Tapi Fan Li yang cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut menahan.

“Pangeran, maaf. Hamba belum merjelaskan strategi hamba untuk merobohkan musuh! Bukankah paduka siap berkorban asal musuh jatuh ke tangan paduka?" lalu melihat pangeran itu mengepalkan tinju buru-buru panglima ini meredakan kemarahannya dengan bicara hulus, “Pangeran, hamba tidak bermaksud menghina paduka. Juga tidak bermaksud menyakitkan hati paduka. Kita berdua telah menjalani hidup bersama dalam kedukaan bersama. Gilakah hamba menghina dan menyakiti paduka yang hamba junjung dan cinta?"

Kemudian melihat pangeran mulai reda kemarahannya panglima inipun melanjutkan, "Dan itu harus kita mulai dengan wanita, pangeran. Paduka lihat sendiri bahwa raja muda itu telah menjadi hamba nafsu berahi yang tidak kenal puas. Hamba menyarankan agar wanita manapun yang diminta lagi tak perlu kita tolak. Bahkan seandainya selir paduka sendiri!"

"Hm, tapi ini menyakitkan sekali, ciangkun. Masa aku harus berkorban setelah kematian Kiok Hwa?" pangeran itu mulai beringas.

Tapi panglima ini mengulapkan lengannya. "Pangeran, tak ada perjuangan yang tidak membutuhkan pengorbanan. Paduka tahu tentang kenyataan ini, bukan?”

"Ya, tapi itu terlalu berat, ciangkun. Salah-salah aku tak punya harga diri lagi di depan orang lain!"

"Ah, tapi paduka telah memiliki kekuatan batin yang tinggi, pangeran. Masa harus berkorban sekali dua merasa keberatan? Bukankah paduka dapat mencari selir pengganti kalau si hidung belang itu merampas selir paduka, pangeran?"

"Tepi kalau benar-benar selir yang kucinta hal ini kelewat sangat, ciangkun. Aku bisa tak kuat menahan dan bunuh diri oleh hinaan itu!"

Panglima ini mengangguk. "Benar, itu memang tidak salah, pangeran. Tapi percayalah, pengorbanan paduka kali ini adalah kali yang terakhir. Hamba tidak akan membiarkan paduka dihina lagi. Dan kalau tiga rencara hamba meleset maka pada saat itu juga hamba akan memenggal kepala hamba di hadapan paduka!"

Pangeran Kou Cen terkejut. "Kau bersungguh-sungguh, ciangkun?"

Panglima ini bangkit berdiri, mencabut pedang dan tiba-tiba menggores ibu jarinya hingga luka mengucurkan darah. Lalu menempelkan darah itu di atas keningnya panglima ini bicara gagah, "Pangeran, hamba bersumpah bahwa rencana ini akan berhasil baik bila berjalan sesuai dengan keinginan hamba. Bila tidak, demi darah yang hamba kucurkan ini biarlah hamba binasa memenggal kepala di hadapan paduka!"

"Ah...!" Pangeran Kou Cien terbelalak. "Bukan sumpahmu itu yang kumaksud, ciangkun, tapi keberhasilan rencanamu ini. Betulkah kau akan berhasil membalas dendam pada musuh kita itu?"

"Hamba jamin dengan jiwa hamba, pangeran. Hamba bersumpah bahwa penderitaan paduka kali ini adalah yang terakhir!"

Pangeran itu tertegun. Dia melihat kesungguhan semangat dalam kata-kata panglimanya ini, dan melihat panglimanya itu berdiri tegak dengan sikap gagah tiba-tiba pangeran ini mengeluh dan mencengkeram pundak panglimanya itu, berkata penuh keharuan, "Ciangkun, kau benar-benar pembantuku yang setia sekali. Semoga Tuhan membantu kita...." dan Pangeran Kou Cien yang basah matanya ini mendadak mencabut pedang di pinggang kanannya. Lalu, menyerahkan pedang itu kepada pembantunya pangeran ini bicara serak, "Ciangkun, demi rasa terimakasihku yang besar kau terimalah senjata ini untuk simbol calon perkumpulan Ho-hun-hwemu itu. Kau boleh bawa pedang ini ke mana kau suka. Terimalah sebagai hadiah pribadi dariku...!"

Fan Li terkejut. "Pedang Medali Naga, pangeran?"

"Ya, pedang warisan leluhurku, ciangkun. Kau bawalah pedang ini dan simpan itu sebagai mana kau menyimpan dan menjaga keselamatanku.”

Tapi panglima ini tiba-tiba menggigil. "Pangeran, pedang itu... kenapa dia mencorong kemerahan? Apakah..."

Belum habis ucapan itu ditanyakan mendadak Padang Medali Naga yang ada di tangan pengeran ini mendengung. Suara dengungan itu perlahan, tapi kian lama kian keras. Dan ketika dua orang ini terbelalak tiba-tiba pedang itu meledak dan mengeluarkan letupan nyaring bagai guntur menggelegar!

"Ah...! Apa yang terjadi, pangeran?" Fan Li kaget bukan main. Dia melihat pedang itu sudah berobah seperti besi membara, merah bagai dibakar di tungku panas. Dan belum sang pangeran menjawab pertanyaannya tiba-tiba sesosok makluk halus bagai seekor naga muncul di situ, menari di atas pedang dan menggeram.

"Pangeran, apa yang hendak kau lakukan ini? Berani kau menyerahkan warisan leluhur ke pada orang luar biarpun dia itu pembantumu sendiri yang setia? Kau lupa sumpah kerajaan selama beratus-ratus tahun?"

Pangeran Kou Cien tiba-tiba mengeluh panjang. Dia kaget melihat sesosok tubuh bagai naga di atas pedangnya itu muncul, menggeram dan menggetarkan dinding ruangan, menakutkan sekali. Dan sadar bahwa dia melakukan kesalahan tak menghormat warisan leluhur tiba-tiba pangeran ini menjatuhkan diri berlutut dengan pedang menempel dahi, pucat sekali. "Sucouw (eyang buyut) maafkan aku yang khilaf. Aku lupa bahwa pedang ini adalah peninggalan keluarga kita yang paling keramat. Aku hanyut dalam keharuan oleh kesetiaan pembantuku ini. Kau maafkanlah kami berdua....!"

Tapi bayangan bagai naga itu masih menari. "Kau terlanjur mencabut pedangnya, pangeran. Tak mungkin memberi maaf tanpa hukuman lagi. Kau menghina warisan leluhur, harus di hukum sesuai kesalahan...!"

Pangeran ini pucat sekali. "Tapi aku tak sengaja, sucouw. Aku tak bermaksud menghina warisan itu!"

"Ya, tapi semuanya terlanjur, pangeran. Aku akan menyerahkan pedang ini kelak pada seorang bocah laki-laki. Dialah yang menentukan hidup kalian, senang atau susah!"

Pangeran Kou Cien semakin pucat. "Tapi aku tak sengaja, sucouw. Sungguh mati....'"

"Hm, sengaja tidak sengaja yang jelas kau telah melupakan sumpah leluhur, pangeran. Bahwa pedang itu tak boleh pisah dari pewarisnya, kau telah melanggar ini, karena itu tak boleh menolak bila hukuman tiba!"

"Tapi... tapi..."

"Tak ada tetapi, pangeran. Satu-satunya jalan kalau kau ingin pedang ini kelak kembali padamu maka kau harus membunuh anak laki-laki itu!"

"Aah...!" dan baru pangeran ini mengeluh tiba-tiba pedang itu meledak nyaring dan terlepas dari pegangannya. Dua orang itu tak tahu apa yang terjadi. Namun ketika mereka memandang ternyata bayangan bagai naga itu lenyap disusul pulihnya kembali warna pedang yang putih berkilauan, lenyap sudah warna merah yang mencorong menakutkan itu!

"Pangeran, apa yang terjadi? Paduka tidak apa-apa?"

Pangeran ini gemetar. Dia sudah bangkit berdiri, menggigil memandang pembantunya itu. Dan Fan Li yang sudah memungut pedang di atas lantai buru-buru memberikan pedang ini pada junjungannya. "Pangeran, simpan kembali pedang ini. Taruh dalam sarungnya dan biarlah simpan di kamar paduka saja!"

Pangeran itu mengangguk. Dia belum dapat menjawab, dan ketika beberapa saat giginya berketrukan memandang pedang keramat ini akhirnya pangeran itu dapat bicara pula. "Ciangkun, arwah leluhurku telah memberi peringatan. Apa yang harus kulakukan?"

Panglima ini menarik napas. "Kita tak boleh sembrono lagi, pangeran. Kita harus berhati-hati setelah kejadian ini. Bagaimana kalau paduka simpan dulu pedang itu di kamar paduka?"

Pangeran Kou Cien mengangguk. Dia segera menyimpan pedangnya itu, di tempat tersembunyi di dalam kamarnya. Dan setelah selesai melakukan itu semuanya pangeran ini kembali lagi menemui panglimanya.

"Sudah, pangeran?"

"Sudah, ciangkun. Tapi aku masih gemetar oleh kedatangan roh leluhurku tadi!"

"Ah, sekarang yang lewat biarlah lewat, pangeran. Paduka siap mendengar rencana hamba berikutnya, bukan?"

Pangeran itu mengangguk. Dia serasa mengawang memandang pambantunya ini, dan Fan Li yang siap menghibur junjungannya segera membeberkan siasatnya. Ternyata panglima itu benar-benar lihai. Dia merencanakan strategi yang matang sekali, dengan persiapan yang sebaik-baiknya. Dan Pangeran Kou Cien yang jadi tertarik perhatiannya segera melupakan peristiwa dengan Pedang Medali Naga itu. Dan ketika Fan Li selesai membeberkan semua rencananya maka pangeran inipun mulai kembali sinar harapannya.

Ternyata panglima itu mempunyai tiga siasat. Yakni, pertama mendirikan Ho-han-hwe sebagai "benteng" di luar istana lalu yang ke dua dan ke tiga adalah mengumpulkan wanita cantik sebanyak banyaknya dan diam-diam melatih angkatan perang di luar kerajaan. Tentu saja secara sembunyi-sembunyi!

Dan panglima muda yang optimis akan rencananya yang disusun matang itu sudah mengerahkan beberapa orang pembantunya yang dapat dipercaya untuk melaksanakan urusan ke dua dan ke tiga. karena urusan pertama harus dia sendiri yang menangani, datang ke Ta-pie-san dan berunding dengan Pendekar Gurun Neraka. Dan begitu Pangeran Kou Cien menyetujui rencananya segera panglima ini memukul canang memerintahkan semua perwira untuk mulai "beroperasi" di seluruh kerajaan, mencari wanita cantik sebanyak-banyaknya untuk dipersembahkan tahun depan kepada raja muda Wu.

Dan begitu perintah ini turun segera semua orang sibuk luar biasa. Kota raja gempar, panik tapi juga takut-takut gembira Karena siapa yang dianggap cantik harus segera datang ke istana urtuk diseleksi (disaring) karena mempersembahkan wanita cantik ke negara Wu haruslah betul-betul pilihan dan memenuhi segala syarat, antara lain pandai bun (sastra) dan permainan cinta! Dan di sinilah serunya. Fan Li bekerja keras, mengundang tokoh tokoh yang dapat diandalkan untuk diangkat sebagai panitia pemilih. Orang-orang yang tajam pandangan dan "ahli" dalam bidangnya.

Dan karena diangkat selir pada jaman itu merupakan sebuah anugerah tersendiri yang dapat mengangkat "derajat" maka banyak wanita Yueh yang mengikuti permintaan Pangeran Kou Cien ini, meskipun yang mengambil mereka sebagai selir bukanlah junjungannya sendiri, melainkan musuh yang ada di kota raja Wu itu.

Raja muda Fu Chai yang mulai terkenal akan kegemarannya terhadap wanita wanita cantik. Dan karena mereka tahu bahwa permintaan pangeran itu sebenarnya menyembunyikan maksud terselubung untuk kemerdekaan negaranya maka banyak wanita-wanita ini yang merasa gembira karena mereka merasa dapat menjadi "pahlawan" bagi rakyatnya yang tertindas, terutama terhadap junjungan mereka Pangeran Kou Cien yang terhina ini!

Dan sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa "proyek" mengumpulkan wanita-wanita cantik ini mengalami sukses besar, bahkan melahirkan dua orang tokoh wanita yang memberi jasa besar pada Yueh di kelak kemudian hari, dua pahlawan wanita yang bernama Shi Shih dan Cheng Tan.

Sementara Fan Li yang diam-diam melatih angkatan perang di balik gemerlapnya benda-benda "hidup" ini telah bekerja mati-matian dibantu orang orang kang-ouw yang memang sejak semula tidak menaruh simpati pada raja muda Wu itu, terutama ketika raja muda itu mendapat bantuan dari Gelang Berdarah almarhum yang banyak dibantu orang-orang sesat.

Dan Fan Li, yang telah membeberkan rencananya pada pangeran itu keesokan harinya telah pergi ke Ta pie-san untuk memulai pekerjaannya yang berat, memohon bantuan dan kalau perlu "membujuk" Pendekar Gurun Neraka agar mau mengerti keadaan rakyatnya yang dihina lawan. Satu pekerjaan yang tidak enteng mengingat kekerasan hati dan keteguhan jiwa Pendekar Gurun Neraka itu yang sudah menetapkan diri tidak mau "cawecawe" (campur tangan) dalam urusan perang.

Dan di sinilah panglima itu hampir gagal total. Dia benar-benar ditolak, dan Pendekar Gurun Neraka yang tetap bilang "tidak" pada apa yang sudah dibilangnya tidak ternyata benar-benar hampir tak dapat ditekuk. Hingga akhirnya, melalui perdebatan sengit yang memakan waktu lama dan kata-kata pedas panglima ini baru dapat membujuk pendekar itu, setelah dengan susah payah dia berjuang dan mengeluarkan keringat dingin!

"Apa maksud kedatanganmu, ciangkun?"

Demikian mula-mula pendekar itu bertanya. Satu pertanyaan yang sudah dilontarkan dengan alis berkerut mengingat saat itu Fan Li datang dengan pakaian panglima, jadi "resmi" sebagai utusan kerajaan! Dan Fan Li yang berdebar hatinya melihat sikap pendekar ini sudah kecil hati dan gelisah. Tapi panglima ini mencoba tersenyum. Dia coba menenangkan diri, bagaimanapun juga tergetar oleh sikap bekas jenderal muda ini. 

Laki-laki yang pernah menjadi atasannya sepuluh tahun yang lalu, bekas jenderal muda yang masih memiliki kewibawaan besar dan pengaruh melumpuhkan itu! Dan Fan Li yang tahu bahwa dia harus bicara "to-the-point" (langsung) karena dia tahu pendekar ini tak suka bicara berbelit-belit akhirnya langsung pada pokok sasaran kunjungannya.

"Aku diutus Kou-siauw-ong untuk meminta bantuanmu, Yap-twako. Bahwa kami seluruh rakyat Yueh mengharap uluran tanganmu untuk membebaskan kami dari himpitan duka nestapa ini!"

"Hm, mencampuri urusan kerajaan. ciangkun? Melibatkan aku kembali pada kancah perang seperti dulu?"

Panglima ini tergetar pucat. Dia menelan ludah, melihat sikap yang sinis dari bekas atasannya ini. Tapi Fan Li yang mulai ulet akibat pengalaman-pengalaman hidup yang pahit akhir-akhir ini mencoba tersenyum masam dengan ketawa gugup, sedikit "groggy", kalah mental.

"Tidak sepenuhnya, begitu twako. Tapi untuk menghilangkan suasana formil ini dapatkah kau membuang sebutan ciangkun itu? Aku datang sebagai sahabat, bukan musuh yang harus kau layani dengan muka merah!"

"Tapi kau datang dengan pakaian lengkap, ciangkun, mana mungkin harus mengubah sebutan itu? Kau sendiri yang menghendaki formil, bukan aku!"

Fan Li menjadi kecut. Memang harus dia akui kenyataan itu, hal yang membuat dia mengumpat kenapa dia "kelupaan" membuang kebodohan itu. Tapi panglima yang tak putus asa dan pantang menyerah ini mengangguk. "Baiklah, kau benar, twako. Itu tak dapat kusangkal. Tapi kau percaya bahwa aku tak membawa maksud buruk, bukan?"

"Hm, aku percaya, ciangkun. Tapi bagai manapun juga kutegaskan di sini bahwa aku tak mau terlibat lagi dengan masalah perang!"

Fan Li menyeringai kecut, 'Tapi keadaan sekarang berbeda, twako. Kami mendapat tekanan dan hinaan berat dari musuh!"

"Hm, itu adalah akibat dari perbuatan sendiri, cangkun. Kukira tak perlu disesali!"

"Benar, tapi bagaimanapun juga kami tak mau dihina terus-menerus, twako. Bagaimanapun juga kami dan rakyat Yueh akan berusaha untuk membebaskan diri dan semuanya ini!"

"Dan kalian sudah berhasil, ciangkun?”

"Belum."

"Jadi karena itu kau kemari untuk melibatkan aku dalam urusan ini?"

Fan Li bangkit berdiri. "Twako, apa yang kau bilang memang betul, tapi tidak semuanya tepat, karena kalau kau mau membantu kami maka yang kami minta adalah bantuan yang tidak langsung untuk membebaskan kami. Jadi bukan masuk dalam kancah peperangan seperti dulu lagi sebagaimana kau memimpin kami. Kami tidak bermaksud begitu, twako, melainkan mohon bantuanmu secara melingkar!"

"Hm, melingkar bagaimana, ciangkun?"

"Begini, twako. Paduka pangeran menghendaki kau memimpin sebuah perkumpulan kaum pitriot, yakni orang-orang kang-ouw yang simpati pada nasib kami. Dan kalau kau mau memimpin perkumpulan macam ini maka paduka pangeran menghendaki agar perkumpulan ini menjadi pelindung istana secara diam-diam."

"Lalu?"

"Jelas, twako. Bila istana mendapat bahaya dari luar maka kau diminta melindungi pangeran untuk menyelamatkan dirinya. Kami mempunyai rencana jangka panjang untuk merobohkan musuh. Kalau kami menemui kesukaran dimana kami tak dapat mengatasinya sendiri maka kau dan para anggauta perkumpulan ini diminta untuk membantu istana."

"Tapi kalian menjadi taklukan, ciangkun. Mana mungkin mendapat serangan musuh? Kalau kalian diserang tentu Wu yang akan mendapat tantangan terlebih dahulu!"

"Hm, serangan dari musuh lain memang tidak ada twako. Tapi justeru dari kerajaan Wu itulah! Kami mengkhawatirkan diri kami ketahuan sebelum berkembang. Jadi kalau mereka tahu sebelum kami bergerak maka diminta agar perkumpulan yang kau pimpin ini mendahului mereka dan melumpuhkannya sebelum membunuh kami!"

Pendekar Gurun. Neraka membelalakkan mata. "Ciangkun, apa yang kau maksudkan dengan ketahuan sebelum berkembang itu? Apakah kalian hendak..."

"Benar, twako. Kami hendak menyusun angkatan perang untuk memberontak terhadap penjajah!" Fan Li memotong, membuat sang pendekar terkejut.

Dan Bu Kong yang bangkit berdiri oleh jawaban panglima ini tiba-tiba berobah mukanya. "Fan-ciangkun, bukankah kalian dilarang untuk menyusun bala tentara? Bukankah kalian telah menandatangani surat perjanjian takluk?"

"Hm, itu kami lakukan dalam keadaan terpaksa, twako. Bagaimanapun juga tak ada orang yang ingin dijajah dirinya oleh orang lain!"

"Dan kalian tahu betapa sukarnya menyusun bala tentara secara diam-diam?"

"Kami tahu, twako. Tapi kalau kau mau membantu kami maka kami yakin tak ada kesukaran dalam hal ini!"

Pendekar Gurun Neraka tertegun. Diam-diam dia kagum pada bekas pembantunya ini, seorang panglima yang benar-benar gigih dan tak kenal menyerah pada musuh. Siap membalas dan menyusun kekuatan untuk memberontak. Panglima yang tak patah semangat dan benar-benar gagah, siap membela negara dan bangsanya! Tapi Pendekar Gurun Neraka yang tersenyum pahit tiba-tiba menggeleng, menghela napas dengan lemah.

"Ciangkun, aku kagum akan jiwa patriotisme yang menggebu-gebu di dalam hatimu. Cocok sekali dalam kedudukanmu sebagai pembela negara, panglima yang siap membela raja dan rakyatnya. Tapi maaf, jangan libatkan aku dalam urusan begini, ciangkun. Karena bagaimanapun juga aku tak mau campur tangan lagi dalam urusan perang!"

"Tapi kau tak ikut campur dalam mempersiapkan angkatan perang, twako. Paduka pangeran hanya menghendaki kau mendirikan sebuah perkumpulan dan menjadi pemimpinnya!"

"Hm, aku tak bersemangat mendirikan perkumpulan, ciangkun. Apalagi kalau dikait-kaitkan dengan istana."

"Tapi sifat perkumpulan ini hanya menjaga dan melindungi pangeran, twako, masa kau tidak mau."

Pendekar Gurun Neraka tetap menggeleng. "Aku semakin keberatan kalau berbau hubungan dengan istana, ciangkun. Karena bagaimanapun juga aku tak mau melibatkan diri dengan peperangan dan kerajaan!"

Panglima ini putus asa. "Yap-twako, apakah kau tidak memiliki rasa pitrotisme lagi di dalam hatimu? Tidakkah kau ingat bahwa kau juga berasal dari tempat kita?"

"Hm, itu sudah lewat, ciangkun. Aku kini hidup tenang jauh di atas gunung. Aku tak ingin tahu lagi dan tak mau tahu urusan kerajaan yang melibatkan perang dan perang. Aku muak terhadap semuanya itu. Aku tak dapat memenuhi permintaan pangeran yang akhirnya melibatkan rakyat kecil dalam bunuh-membunuh!"

Fan Li menjadi jengkel, "Yap-twako, kau benar-benar tak punya rasa cinta terhadap tanah air! Tidakkah kau tahu bahwa paduka pangeran menderita sekali dalam cengkeraman lawan? Tidakkah kau lihat kekejian-kekejian lawan terhadap kami? Rakyat Yueh menderita sekali, twako. Mereka diinjak-injak dan dihina harga dirinya!"

"Cukup, itu urusan orang-orang besar dalam kerajaan, ciangkun. Aku memang tahu bahwa selamanya rakyat kecil jadi korban!"

"Dan karena itu kau sengaja menutup mata dan telinga?"

"Apa maksudmu?'"

"Kau tahu rakyat Yueh dijajah negara Wu, twako. Tapi kenapa kau tidak tergugah sedikit pun niatmu untuk membantu kami? Kau boleh benci pada orang-orang besar dalam istana. Kau boleh benci pada Kou siauw-ong dan raja muda Fu Chai. Tapi kalau kejahatan mulai merajalela tak seharusnya kau diam saja, twako. Kau harus bergerak dan membantu rakyat kecil!"

"Hm, aku tak melihat seperti apa yang kau katakan, ciangkun. Aku melihat rakyat Yueh tenang-tenang saja!"

Fan Li membanting kaki, mulai marah. Tapi belum dia bicara lagi tiba-tiba Pek Hong dan Ceng Bi muncul, tersenyum membawa minuman ringan dan makanan kecil. Dan Fan Li yang melihat dua orang isteri Pendekar Gurun Neraka itu muncul tiba-tiba melompat bangun, berseru gelisah, "Soso (kakak ipar), tolonglah aku. Suamimu ini benar-benar susah sekali diurus...!"

Pek Hong tertawa kecil. "Ada apa ciangkun? Bukankah kalian sudah sama-sama tahu watak masing-masing.'"

Ceng Bi juga tersenyum lebar. 'Ya. dan tak perlu mengeluh kalau suami kami keras hati ciangkun. Tapi ada persoalan apakah hingga kalian berdua nampak demikian serius?"

Fan Li menjura dalam-dalam, merangkapkan tangan dan bicara sungguh-sungguh, "Yap-hujin, aku minta suamimu untuk memimpin sebuah perkumpulan. Tapi dia menolak. Tolong kau bujuk dia dan berilah penjelasan!"

Ceng Bi mengerutkan alis. "Eh, perkumpulan apa, ciangkun? Siapa yang minta?"

"Paduka pangeran yang minta, hujin. Kami ingin suamimu itu melindungi kami dengan perkumpulannya ini!"

"Hm, tapi kenapa Yap-koko menolak?"

"Karena ada hubungannya dengan kerajaan, Bi-moi Kalian tahu bahwa aku tak suka lagi melibatkan diri dengan istana," Pendekar Gurun Neraka menjawab.

Dan Ceng Bi serta Pek Hong yang terbeliak mendengar ini tiba-tiba sama mengangguk. "Hm, kalau begitu benar, ciangkun. Kami sependapat dengan suami kami bahwa kami tak ingin melibatkan diri dengan istana. Mereka hanya menjadi pangkal dari perang dan perang di muka bumi ini!"

"Ah. kalian malah menghancurkan harapanku, hujin?"

"Bukan begitu, ciangkun. Tapi kami sependapat bahwa kami tak mau melibatkan diri dalam keributan lagi. Dan istana adalah pangkal dari keributan manusia yang haus akan kesenangan dan kepuasan!"

Fan Li pucat. "Oh, kalau begini gagal usahaku..!" dia mengeluh. "Kalian tak tahu bahwa keributan bukan milik istana saja, hujin. Tapi bahwa keributan itu milik semua orang! Kalau kalian mengatakan keributan berpangkal dalam istana maka sama halnya kalian berkata bahwa hanya orang-orang dari istana sajalah yang bisa membuat ribut, menciptakan permusuhan! Inikah yang kalian maksud, hujin?"

Ceng Bi tertegun. "Fan-ciangkun, kami mempunyai bukti bahwa hal itu memang demikian. Bukankah yang mencelakakan rakyat kecil adalah orang-orang besar yang berdiam di dalam istana itu? Bukankah gara-gara mereka ini lalu mereka saling serang dan melibatkan orang lain? Tidak, ciangkun. Kami setuju dengan suami kami bahwa kami tak mau melibatkan diri dengan kerajaan. Jangan ganggu kami yang telah hidup tenang di gunung ini!"

Fan Li menggigil. "Soso..." dia memandang Pek Hong. "Kalau benar istana adalah pangkal dan segala keributan maka bagaimanakah sikap yang harus kita ambil? Kalau kita tahu bahwa istana adalah biang keladi permusuhan apakah yang harus kita lakukan? Kita biarkan sajakah mereka itu? Kita biarkan sajakah rakyat kecil yang akhirnya terlibat dan menderita?"

Pek Hong menarik napas. "Ciangkun, ke mana maksud kata-katamu ini? Apakah kau hendak menjebak kami dalam sebuah perdebatan tiada akhir?"

"Bukan... bukan begitu, Yap-hujin. Aku pribadi tak dapat mengelak bahwa permusuhan yang besar-besar memang berasal dari istana. Karena di situlah tempat nikmat dan kekuasaan. Tapi kalau ada seseorang yang merajalela dengan kejahatannya dan mencelakakan orang lain, termasuk rakyat banyak. Haruskah kita biarkan dia itu dan berpeluk tangan saja? Tidakkah kita harus membasmi orang macam begini?"

"Tentu saja, ciangkun. Tapi tak perlu kiranya melibatkan kami!" Pek Hong menangkis duluan, tak mau dijebak panglima ini.

Dan Fan Li yang kecewa tapi bersinar matanya itu mendadak memandang Perdekar Gurun Neraka. "Yap twako. Kalau kau tahu bahwa di istana sedang ada seorang iblis yang dapat mencelakakan orang banyak apakah kau juga tetap tak mau melibatkan diri? Artinya, kau berpeluk tangan saja dan diam membiarkan iblis ini melanjutkan perbuatannya yang keji?”

"Ciangkun, untuk urusan kerajaan biarlah hal itu diselesaikan secara kerajaan pula. Aku tetap tak mau terlibat, karena itu adalah urusan istana yang harus diselesaikan pada oleh orang-orang istana!”

"Jadi kalau kau melihat seorang pemimpin bertangan besi merajalela dengan segala kejahatannya kau tetap tak mau bergerak, twako? Mengandalkan orang istana seperti kata-katamu ini?"

"Ya."

"Dan kalau tidak ada orang yang kau maksud itu, twako, lalu apakah kita biarkan iblis macam begini mengembangkan kejahatannya?"

"Ciangkun, apa sebenarnya yang hendak kau katakan? Kalau kau membujukku untuk membantu kerajaan bagaimanapun juga aku menolak. Kerajaan selalu berkaitan dengan permusuhan, peperangan dan entah apalagi yang menyusahkan orang banyak! Jadi kalau kau bicara berputar terus terang aku tak setuju!"

"Baik," Fan Li tiba-tiba beringas. "Kalau saat sekarang ini aku hendak meminta seorang isterimu kepadaku apa yang hendak kau lakukan. Pendekar Gurun Neraka? Kalau aku dapat mengalahkanmu dan merampas isterimu dan memperkosanya apa yang hendak kau lakukan, Pendekar Gurun Neraka? Masihkah kau tetap diam tak bergerak?"

Bu Kong terbelalak. Dia kaget sekali melihat panglima itu tiba-tiba "kurang ajar", bicara seperti itu di depan isterinya-isterinya! Dan menggeram dengan muka merah tiba-tiba pendekar ini bangkit berdiri, membentak marah, “Fan-ciangkun, omongan apa yang kau lontarkan ini? Tidakkah kau sadar bahwa pertanyaan ini di luar batas kesopanan?"

Fan Li tertawa mengejek, masih beringas. "Aku tahu, Yap-twako. Tapi coba jawab dulu pertanyaanku itu. Kalau aku merampas isterimu dan memperkosanya serta menghinanya apakah kau tetap diam saja? Apakah kau dapat menerima semua perbuatan ini?"

Namun belum Bu Kong menjawab mendadak Ceng Bi sudah berteriak nyaring, berkelebat maju menampar panglima ini. "Fan ciangkun, pertanyaanmu di luar batas kesopanan. Tak perlu dijawab.... plak!" dan Fan Li yang terputar kepalanya segera roboh terpelanting begitu menerima kemarahan nyonya rumah. Panglima ini pecah mulutnya, tapi Ceng Bi yang kembali siap melakukan serangan sudah dicegah suaminya.

"Bi-moi, tahan. Jangan serang dia...!"

Ceng Bi berapi-api. "Tapi panglima ini tak tahu aturan, koko. Aku tidak terima mendengar kata-katanya yang kurang ajar!"

Fan Li bangun berdiri. Dia tidak mengeluh, mengusap darah di sudut bibirnya lalu memandang Pendekar Gurun Neraka dan dua isterinya yang tampak marah. Kemudian dengan senyum mengejek dan mata bersinar panglima ini menjawab, serak suaranya, "Yap twako, belum melakukan perbuatan itu saja kalian ternyata sudah marah-marah kepadaku. Bagaimana kalau seandainya kejadian itu benar-benar terjadi?”

Ceng Bi melengking, "Tak mungkin terjadi, Fan-dangkun. Dan kejadian itu tak mungkin akan dapat kau lakukan!"

"Ya, karena kalian jauh lebih kuat daripada aku, hujin. Tapi bagaimana kalau seandainya aku yang lebih kuat? Bagaimana kalau seandainya peristiwa itu menimpa kalian seperti apa yang terjadi pada Kou-siauw-ong?"

Bu Kong terkejut. "Apa yang terjadi, ciangkun?"

Fan Li tersenyum mengejek, agak nanar pandangannya karena tamparan Ceng Bi tadi membuat dia pusing, terhuyung maju. Dan berkata dengan suara gemetar panglima ini mulai bicara berapi-api, dengan tinju terkepal! "Pendekar Gurun Neraka, kusayangkan sekali bahwa kau ketinggalan dalam mengikuti perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini terhadap kami dua kerajaan. Raja muda Wu telah keluar dari garis kebenarannya. Dia menjajah dan berbuat sewenang-wenang terhadap kami, merampas dan mengambili wanita-wanita cantik biarpun ia itu isteri orang. Apakah kalau suatu ketika isterimu sendiri diambil raja muda itu kau biarkan saja dia merajalela? Laki-laki jahanam itu telah meminta upeti wanita-wamta cantik dari wilayah kami, Pendekar Gurun Neraka. Dan sebagai puncak dari semuanya ini raja muda itu telah meminta seorang selir tercantik dan tersayang dari pangeran kami untuk dipermainkan dan dihina!"

Bu Kong semakin terkejut. "Siapa yang diminta, ciangkun?"

"Kiok Hwa, selir yang akhirnya membunuh diri karena tidak kuat dipakai secara berganti-ganti oleh jahanam itu!"

Bu Kong dan isterinya mengeluarkan seruan kaget. Mereka terkejut sekali, dan Fan Li yang terlanjur "panas" oleh ketidak acuhan Pendekar Gurun Neraka semula sudah melanjutkan kembali dengan mata melotot,

"Dan kini ada kemungkinan selir-selir yang lain juga akan diminta oleh raja muda itu, Pendekar Gurun Neraka. Unsur perampasan yang di dorong oleh niat menghina dan menginjak-injak harga diri kami! Paduka pangeran hampir membunuh diri, dan kalau aku tidak selalu menghiburnya tentu beliau benar-benar menyusul selirnya terkasih itu! Apakah ini dapat dibenarkan, Pendekar Gurun Neraka?"

Pendekar Gurun Neraka tertegun. Dia tidak menyangka bahwa kejadian sudah berkembang pada pelanggaran moral, merampas dan menghina isteri orang lain. Dan Fan Li yang masih geram pada pendekar ini bicara lagi, berapi-api dengan kata-kata tajam,

"Dan harap kau ingat bahwa semua ini terjadi karena kami tak berdaya, Pendekar Gurun Neraka. Karena kalau kami berdaya tentu tak akan terjadi semuanya itu, seperti halnya isterimu bilang bahwa aku tak mungkin dapat merampasnya darimu karena kalian lebih kuat! Itu memang betul. Tapi kalau tak ada yang dapat melawan raja muda ini lalu harus berbuat bagaimanakah kami. Pendekar Gurun Neraka?' Mandah dan diam saja dihina lawan sampai ajal tiba? Hm, terus terang aku tak dapat melakukannya. Pendekar Gurun Neraka. Aku tak dapat membiarkan iblis itu merajalela dengan kejahatannya yang semakin menjadi-jadi! Aku akan membalas dan menyelamatkan rakyat dan junjunganku dari cengkeramannya. Aku siap mempertaruhkan jiwa dan raga demi bangsaku, biarpun harus gagal dalam perjuangan ini....!"

Fan Li terengah. Dia bersemangat sekali melampiaskan segala isi hatinya, dan melihat Pendekar Gurun Neraka tertegun memandangnya panglima itupun bicara lagi, mengepalkan tinju dengan gigi berkerot, "Dan aku kecewa sekali pada sikapmu yang acuh tak acuh ini. Pendekar Gurun Neraka. Kau seolah hendak cuci tangan dari berkembangnya sebuah kejahatan padahal kau bisa mengatasinya! Kenapa kau hendak melanggar hukum alam dan hukum kebenaran? Lupakah kau bahwa kita manusia ditakdirkan sebagai makluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri dan harus berhubungan satu dengan yang lainnya? Lupakah kau bahwa masalah ini kelak dapat merembet pada dirimu dan keluargamu? Kau boleh bilang dirimu tak akan diganggu. Pendekar Gurun Neraka. Tapi tak mungkin kalau anak dan cucumu kelak tak menerima getah dari kejahatan yang mulai berkembang yang dilakukan raja muda itu! Kau tak dapat melepaskan diri secara total dari tata hukum masyarakat, karena kita sudah ditakdirkan sebagai manusia yang berhubungan satu sama lain, entah itu dengan penduduk gunung atau penduduk kota raja!"

"Dan," Fan Li melanjutkan. "Pandanganmu sekarang harus dirobah. Pendekar Gurun Neraka. Bahwa bukan karena peperangan saja kau mengalami kekecewaan tapi karena perang pula kau kini mengalami kebahagiaan!"

"Eh, apa maksudmu, ciangkun?" Pendekar Gurun Neraka terkejut.

Fan Li memandang berapi-api. "Tak perlu disangkal, Pendekar Gurun Neraka. Bahwa ketegasan sikapmu tak mencampuri urusan kerajaan adalah berawalnya kematian kekasihmu itu, Ok Siu Li yang tewas pada sepuluh tahun yang lampau. Tapi lupakah kau bahwa kebahagiaanmu sekarang ini juga karena ulah perang itu? Lupakah kau bahwa dua orang isterimu ini kau peroleh karena juga gara-gara perang? Karena, kalau tak ada masalah perkumpulan Gelang Berdarah yang diperalat raja muda Wu itu belum tentu kalian bisa menemui kebahagiaan seperti sekarang ini, Pendekar Gurun Neraka. Bahwa sedikit ataupun banyak peperangan merobah nasibmu dan mengembalikan kebahagiaan yang dulu pernah hancur gara-gara perang!"

Pendekar Gurun Neraka terbelalak.

"Dan cam-kan ini. Pendekar Gurun Neraka," panglima itu kembali melanjutkan. "Bahwa seseorang yang dapat membantu orang lain namun tak mau melaksanakannya maka dia pantas disebut sebagai manusia kerdil, manusia picik yang cupat pandangannya. Dan khusus untuk dirimu, yang mendapat gelar sebagai pendekar penolong kaum lemah maka hari ini juga kucabut julukan itu dari dalam hatiku! Kau tak pantas disebut pendekar, tapi pengecut yang ingin hidup sendiri tanpa memperdulikan kesusahan orang lain!” lalu membanting kaki dengan marah-marah panglima ini memutar tubuh melompat pergi.

Dia terlampau kecewa dan sakit hati atas ketegaran pendekar ini, yang benar-benar tak dapat ditekuk dan dianggapnya mau hidup sendiri secara enak di atas gunung. Tak mau tahu kesusahan orang lain, meskipun mereka adalah sahabat sejak belasan tahun yang lampau! Dan Fan Li yang terlampau kecewa oleh sikap Pendekar Gurun Neraka yang dianggap kelewatan seperti pergi dengan penuh kemarahan, turun ke bawah gunung tanpa harapan lagi.

Tapi, baru dia keluar pintu tiba-tiba Pendekar Gurun Neraka berkelebat mengejarnya. “Fun-ciangkun. tunggu...!"

Namun Fan Li terlanjur kecewa. Panglima itu marah, tak mau berhenti. Dan begitu Pendekar Gurun Neraka mengulang panggilannya diapun tiba-tiba mempercepat larinya meluncur turun. "Pendekar Gurun Neraka, tak perlu kita bicara lagi. Kau manusia pengecut yang mementingkan diri sendiri...!"

Bu Kong terbelalak. Dia melihat panglima ini benar-benar marah, marah sekali tampaknya. Maka menjejakkan kakinya diapun tiba-tiba melayang di atas kepala orang dan menyambar pundak tamunya ini. “Ciangkun, berhenti. Aku siap membantu kalian!"

Fan Li terkejut. Dia tersentak ke belakang, merasa pundaknya pedas dicengkam jari-jari Pendekar Gurun Neraka yang kuat. Tapi mendengar seruan pendekar itu tiba-tiba panglima ini tertegun. "Kau merobah jalan pikiranmu?"

"Ya, aku dapat menerima caci-makimu, ciangkun. Aku melihat kebenaran dalam kata-katamu yang tajam!"

'"Ooh...!" dan Fan Li yang sudah menjadi girang luar biasa mendadak balas mencengkeram dan memeluk pendekar ini. Dia gemetar penuh kegembiraan, tak mampu mengeluarkan kata-kata barang sejenak. Tapi begitu sadar dan memekik kegirangan tiba-tiba panglima ini sudah menjatuhkan dan berlutut mencium kaki pendekar itu!

"Yap-twako, terima kasih. Aku benar-benar seperti kejatuhan bulan...!" dan panglima yang sudah membenturkan kepalanya diatas sepatu pendekar besar itu bertubi-tubi mengeluhkan rasa kebahagiaannya. Dia terlampau gembira sekali, tak dapat dikata lagi. Dan ketika puncak kebahagiaannya meledak dalam alunan tertinggi mendadak panglima ini mengeluh dan terguling pingsan!

Bu Kong geleng-geleng kepala. Dia melihat panglima itu tersenyum dalam ketidaksadarannya, maka terharu dan terpukul oleh semangat panglima ini yang demikian patriotis tiba-tiba diapun membungkukkan tubuh dan membawa panglima itu ke dalam. Dia tahu panglima ini pingsan karena pukulan kebahagiaannya, maka menotok dua tempat di jalan darah pundak dan leher diapun menyadarkan panglima itu dalam waktu yang tidak lama.

Fan Li bangun, melompat dan menubruk pendekar itu. Lalu bicara dengan mata basah dia buru-buru meminta maaf pada pendekar ini dan dua orang isterinya, sadar bagaimanapun juga dia telah melontarkan kata-kata "kurang ajar" untuk membangkitkan atau lebih tepat menembus bobol kekerasan jiwa Pendekar Gurun Neraka yang hampir-hampir tak dapat dipatahkan lagi. Dan Pendekar Gurun Neraka yang dapat menerima kata-kata panglima ini akhirnya menyadari kekeliruannya dalam memandang sebuah persoalan selama ini.

Memang betul. Manusia hidup tak mungkin menyendiri, biarpun itu hanya dengan keluarganya sendiri. Dan bahwa manusia dikodratkan sebagai mahluk "sosial" yang harus berhubungan satu dengan yang lainnya memang tak dapat dibantah lagi oleh pendekar ini. Betapapun manusia tak dapat acuh dengan keadaan sekitar, meskipun itu jauh dengannya.

Karena suatu perbuatan buruk yang dilakukan seseorang dan tidak mendapat perhatian serius untuk menanganinya tentu kelak cepat ataupun lambat pasti mengenai dirinya juga. Itu kalau dia masih hidup. Kalau dia sudah tiada, di mana generasinya sudah diganti oleh yang muda tentu kelak anak atau cucunya ini yang menerima "getah". Alhasil keluarganya juga yang memperoleh pil pahit dari sebuah kejahatan yang tidak segera diatasi. Padahal dia bisa mengatasi hal itu!

Hm, kenapa dia terkungkung dalam pandangannya yang picik selama ini? Kenapa dia acuh tak acuh menghadapi persoalan dua kerajaan itu? Bukankah dia dapat menyingsingkan lengan untuk membantu Yueh? Setidak-tidaknya, kalau dia segan berurusan dengan kerajaan maka dia dapat dan harus berurusan dengan kejahatan! Itu tak dapat dielak. Dia adalah seorang pendekar.

Dan bagi seorang pendekar seharusnya tak ada pikiran siapa yang dibela. Kerajaan ataukah bukan kerajaan, kelompok ataukah bukan kelompok. Dan perorangan ataupun bukan perorangan karena tugas seorang pendekar sesungguhnya adalah membela kebenaran! Itu saja. Titik. Dan siapa yang melakukan ketidakbenaran berarti dia itu musuhnya. Musuh seorang pendekar!

Maka Pendekar Gurun Neraka yang akhirnya menarik napas ini menunduk dalam-dalam. Dia tersenyum pahit, teringat betapa dia "disemprot" habis habisan oleh bekas pembantunya ini, Fan ciangkun yang gagah perkasa. Tapi kalau punglima itu lebih cenderung untuk membela kerajaan dan junjungannya adalah dia lebih menitikberatkan persoalan itu pada kebenaran.

Tak perduli apakah "kebenaran" itu sedang berkaitan dengan kerajaan atau bukan kerajaan, dengan kelompok atau bukan kelompok. Dan bahwa dia harus membela Yueh karena sikap Wu sudah di luar garis kebenaran maka dia harus menyingsingkan lengan dan melawan kejahatan itu. Hal yang sudah menjadi tugas seorang pendekar!

Sementara Fan Li, yang gembira mendapat kesanggupan pendekar ini untuk membela kerajaannya saat itu juga langsung berundirg dengan orang yang diharap dan diandalkannya ini. Panglima itu bersemangat sekali, tak kenal lelah dan waktu. Dan ketika semuanya selesai dan tugasnya berhasil dengan sukses diapun kembali ke kota raja setelah menginap satu malam di rumah pendekar itu. Turun gunung dengan muka berseri-seri setelah tugas pertamanya ini berhasil baik dan memuaskan!

Dan beberapa bulan kemudian atas restu Pangeran Kou Cien serta "berkah" dari Pedang Medali Naga didirikanlah perkumpulan Ho-han-hwe itu. Pedang ini diikutsertakan untuk memberi "pengayoman" secara psikis, pedang keramat yang diminta bantuannya secara gaib untuk memberi keberhasilan pada misi mereka. Perjuangan yang siap mereka lancarkan dari bawah dan amat berat itu.

Dan karena saat itu banyak orang-orang sakti yang percaya pada benda-benda pusaka yang dikeramatkan orang-orang tertentu apalagi seperti benda-benda istana macam Pedang Medali Naga ini maka secara moral mereka merasa mendapat tambahan kekuatan batin yang tidak kecil artinya bagi perkumpulan itu. Pedang yang secara simbolik dijadikan lambang pintu "gaib" untuk memperoleh keberhasilan mereka dalam perjuangan melawan kezaliman raja muda Wu! Perjuangan "bawah tanah" yang harus dilakukan dengan hati-hati sekali!

* * * * * * * *

Dan kini, kembali pada peristiwa di atas gunung Ta-pie-san di mana saat itu Pendekar Gurun Neraka mendengar berita tentang hilangnya Pedang Medali Naga sang ketua Go-bi Bu Wi Hosiang yang tidak sabar melihat pendekar ini termenung terlalu lama sudah bertanya sambil mengetukkan tongkatnya.

"Bagaimana pendapatmu, Yap-sicu? Apakah kita harus memencar untuk mencari kembali pedang yang hilang ini?"'

Pendekar ini menarik napas berat. "Aku belum dapat menentukannya, lo-suhu. Tapi bagaimana pula dengan anak kami Sin Hong? Kami juga mendapat musibah ini, tentu tak mungkin membiarkannya begitu saja dilarikan penjahat!"

"Hm, kalau begitu pinto dapat membantunya. Pendekar Gurun Neraka. Pinto dan Bu Wi lo-suhu akan meminta semua anggauta Ho-han-hwe yang ada untuk dikerahkan mencari anakmu itu. Tapi siapa yang harus lebih dulu dicari?" Thian Kong Cinjin tiba-tiba bicara, menimpali pembicaraan rekannya.

Dan Pek Hong yang tentu saja lebih memberatkan anak daripada sebuah perkumpulan sudah menjawab dengan alis berkerut, "Tentu saja kimi akan mencari Sin Hong dulu, locianpwe. Pedang Medali Naga setidak-tidaknya dapat dicari oleh kalian para anggauta Ho-han hwe!"

"Tapi kami akan membantumu, hujin. Pinto tidak bermaksud mendahului urusan pribadi kalau itu lebih penting!"

"Ya, tapi sebaiknya begini saja, Yap-sicu. Karena paduka pangeran menghendaki kedatanganmu di istana sebaiknya kita cari kedua-duanya secara berbareng. Ada suatu urusan yang hendak dibicarakan empat mata oleh sri paduka pangeran. Kalau kau setuju pinceng dapat mengerahkan murid-murid pinceng untuk mencari jejak anakmu. Bagaimana menurut hujin?"

Pek Hong memandang Hwesio Go-bi ini. Dia tentu saja masih keberatan, tak mau urusan mencari Sin Hong "dipisah" seperti itu. Karena ia menghendaki anaknya itu dicari dulu, bukan dicari sambil lalu. Tapi belum ia menjawab mendadak Ceng Han sudah mendahului maju.

"Adik Hong sebaiknya begini saja, aku punya usul. Kalau kalian setuju dan tidak keberatan sebaiknya biarkan Yap-twako ke kota raja memenuhi permintaan sri paduka pangeran. Ho-han-hwe mengalami cobaan berat, hanya Yap-twako seorang yang bisa mengatasinya. Kalau kalian tak dapat menunggu kembalinya Yap-twako untuk mencari Sin Hong biarlah aku mewakili Yap-twako bersama kalian mencari anak itu. Bagaimana menurut pendapat kalian?"

Pek Hong tak segera menjawab, ia memandang suaminya, minta pertimbangan. Dan Pendekar Gurun Neraka yang menghela napas tiba-tiba bertanya. "Han-te, urusan apakah sebenarnya yang hendak dibicarakan pangeran kepadaku? Tidakkah urusan itu bisa dilimpahkan pada orang lain saja?"

"Aku tak tahu masalahnya, twako. Tapi pangeran bilang ingin bicara empat mata denganmu!"

"Dan Bu Wi lo-suhu atau Thian Kong to-tiang juga tak tahu?"

"Pinceng kurang jelas, Yap sicu. Tapi tentunya itu penting sekali."

“'Ya. dan pinto rasa keadaan sudah mendesak. Pendekar Gurun Neraka. Karena pangeran sendiri berpesan agar secepatnya bertemu denganmu!" Thian Kong Cinjin menjawab, menyusul katakata Bu Wi Hosiang.

Dan Pendekar Gurun Neraka yang bagaimanapun juga terjepit oleh dua urusan yang sama-sama penting ini akhirnya mengangguk. "Baiklah, aku akan ke kota raja kalau begitu, ji-wi locianpwe. Dan kukira tidak ada jeleknya kalau adik iparku ini membantu isteriku mencari Sin Hong." lalu menoleh pada isterinya pertama pendekar ini bertanya, "Hong-moi. kau tentu dapat menyetujui pendapatku, bukan? Istana minta kedatanganku, urusan pribadi terpaksa kusimpingkan dulu. Bagaimana menurut pendapatmu?"

Pek Hong terisak. Ia tiba-tiba sedih, tapi merasa tak dapat menolak karena di situ sedang ada tiga orang tamu mereka maka nyonya muda inipun menganggukkan kepala dengan hati disayat. Merasa betapa mereka lagi lagi harus berpisah! "Terserah padamu, koko... kalau kau merasa itu paling baik bagi kita aku akan mengikutimu...!”

Ceng Bi terharu. Ia tahu apa yang sedang bergolak di hati madunya ini, maka memeluk pundak madunya ia berbisik, “Enci Hong, jangan berduka. Aku akan menemanimu mencari Hong ji. Bagaimanapun juga dia adalah puteraku, anak-anak kita berdua!"

Pek Hong menangis di pelukan madunya. Ia tersedu-sedu, tapi isteri pendekar sakti yang tahu keadaan ini akhirnya mampu menahan diri. Ia menggigit bibir, dan ketika mereka sudah menentukan rencana untuk apa yang diperbuat maka Pendekar Gurun Neraka serta tiga orang tamunya segera mengurus mayat Ta Bhok Hwesio yang ada di ruangan itu. Pek Hong hampir pingsan melihat keadaan gurunya ini, dan Ceng Bi yang bijaksana lalu menyeret madunya itu ke dalam kamar untuk dihibur.

Sementara keesokan harinya, setelah semua urusan di atas gunung beres berangkatlah Pendekar Gurun Neraka ke kota raja bersama Bu Wi Hosiang dan Thian Kong Cinjin. Mereka bersama turun gunung, tapi ketika tiba di kaki bukit tiga orang ini berpisah. Thian Kong Cinjin dan Bu Wi Hosiang belok ke kiri menuju markas Ho-han-hwe sedangkan Bu Kong terus ke barat menuju kota raja, meninggalkan Ceng Bi dan Pek Hong serta Ceng Han di atas gunung. Tiga orang yang siap mencari Sin Hong kalau dia terlalu lama kembali!

* * * * * * * *

"Siauw cut, bagaimana kesanmu di atas gunung?"

"Hm, mereka benar-benar lihai, locianpwe. Pendekar Gurun Neraka dan dua orang isterinya itu benar-benar tak dapat dipandang enteng!"

"Dan kau sekarang percaya omonganku?"

"Ya."

"Ha-ha, kau memang anak keras kepala, Siauw-cut. Kalau belum membuktikan sendiri agaknya kau tak kenal puas!"

Dua bayangan itu bicara sambil berlari cepat. Mereka adalah Bu-beng Siauw-cut dan Kun Seng, laki-laki tua yang belum begitu dikenal si bocah. Dan Kun Seng yang tertawa bergelak oleh pengakuan anak laki-laki ini akhirnya menuding ke kanan.

"Bu-beng, kita istirahat dulu. Pohon itu rindang sekali untuk kita!"

Anak itu mengangguk. Dia tak mengeluh diajak berlari di panas terik begitu. Tapi ketika lawan mengajaknya berteduh diapun tak menolak. Mereka membelok kekanan, dan begitu tiba di bawah pohon rindang ini si laki-laki tua membanting pantatnya sampai berdebuk.

"Bu-beng, kau sungguh anak luar biasa. Gembira sekali aku berkenalan denganmu, ha-ha...!" dan Kun Seng yang memandang si bocah penuh kagum tak menyembunyikan rasa gembiranya yang amat besar.

Tapi anak laki-laki ini acuh saja. Dia menyeka peluh, lalu duduk di bawah pohon itu dia memandang lawan bicaranya. "Locianpwe, kapan kau akan meninggalkan aku?'

"Wah, kenapa buru-buru, anak baik? Bukankah aku baru saja menolongmu dari kejaran dua orang isteri Pendekar Gurun Neraka itu? Kalau tidak tentu kau sudah ditangkap mereka dan mungkin mendapat perlakuan tidak menyenangkan yang menyakitkan hatimu!"

Anak ini tersenyum mengejek. "Ya, kata-katamu benar, locianpwe. Tapi bagaimanapun juga kau harus menepati janji!"

Orang tua ini menyeringai. Dia mengebut-ngebutkan bajunya yang penuh debu. lalu mengambil roti kering dan arak putih dia menggapaikan lengannya. "Bubeng, aku tak akan melanggar janji. Tapi tak adakah rasa terima kasihmu pada tua bangka ini? Hayo ke mari, kita minum arak dulu sebelum berpisah!"

Anak itu menggeser duduknya. Dia sudah disodori arak putih itu, juga roti kering. Tapi mengerutkan alis mendadak dia bertanya, "Apakah untuk makanan dan minuman ini aku juga dianggap hutang, locianpwe?"

""Eh, apa maksudmu?" si tua terbelalak.

"Artinya, bila aku menerima tawaranmu ini apakah juga wajib kau menagih hutang terima kasih padaku?"

Laki-laki tua itu tertawa terbahak. "Bu-beng, kau kurang ajar sekali. Kenapa bicaramu ceplas-ceplos begini? Siapa mengharuskan kau berterima kasih padaku? Hayo, sambar saja roti kering ini dan celupkan pada arak. Tentu sedap sekali dinikmati pada saat terik begini, ha-ha...!" dan si tua yang sudah melempar sepotong roti pada anak laki-laki itu menggelogok araknya dengan lahap.

Bu-beng Siauw-cut mengamati, tertegun sejenak. Tapi melihat temannya itu menggelogok arak dengan muka gembira diapun jadi tersenyum kecil.

Kun Seng sudah melempar guci araknya pula, dan laki-laki tua yang berseri mukanya itu menepuk pundaknya. "Bubeng, hayo minum. Celup roti kering itu dan nikmatilah...!"

Anak ini tak menolak lagi. Dia sudah menerima guci arak itu, lalu minum sedikit membasahi kerongkongannya yang haus diapun mulai menggigit roti kering itu. Masih sungkan-sungkan. Tapi si tua Kun Seng yang tak sabar melihat sikap anak ini menyambar gucinya.

"Wah, kenapa malu-malu? Hayo buka mulutmu itu, Bu-beng. Aku akan menuangnya...” gluk-gluk-gluk! dan Bu-beng Siauw-cut yang tiba-tiba meneguk arak yang sudah dituang dalam mulutnya yang terbuka mendadak terbatuk-batuk dan tersedak!

"Wah... sudah, locianpwe.... sudah., sudah cukup...!"

Orang tua itu tertawa. Dia melempar kembali gucinya pada anak laki-laki itu, dan bangkit berdiri dengan muka gembira dia berkata, "Sekarang kau telah menikmati arak putihku Bu-beng. Dan jangan kaget kalau beberapa saat lagi kau akan merasa bertambah semangat dan enteng sekali tubuhmu! Tapi tidak khawatirkah kau bahwa arakku beracun?"

Si anak mengusap bibirnya. "Aku tak khawatir racun atau tidak beracun, locianpwe. Yang jelas aku percaya kau tak mempunyai maksud buruk!"

"Ha-ha, dari mana kau tahu?"

"Dari sikapmu ini. Bukankah kau telah menolongku dari kejaran dua orang isteri Pendekar Gurun Neraka?"

Laki-laki tua itu terbahak. Dia gembira sekali berdekatan dengan anak ini, tapi teringat dia harus meninggalkan anak ini sesuai perjanjiannya di kuil Tee-kong-bio tiba-tiba ketawanya lenyap terganti rasa muram yang membuat mukanya gelap. "Bu-beng," dia menarik napas. "Kau benar-benar anak mengagumkan sekali. Tapi bolehkah kutanya satu hal sebelum kita berpisah?"

Anak itu terheran. "Apa yang hendak kau tanyakan, locianpwe?"

"Dirimu ini. Kemanakah kau akan pergi setelah kegagalanmu di puncak gunung?"

"Hm, itu urusanku sendiri, locianpwe. Apakah kau hendak secara diam-diam menguntit, perjalananku?"'

"Ah, tidak, anak baik. Tapi aku hendak memberi nasihat padamu."

"Tentang apa?"

"Tentang kelemahanmu ini. Kau harus belajar silat, tak boleh begini terus kalau ingin berhasil menghadapi Pendekar Gurun Neraka. Laki-laki itu terlalu hebat untukmu, Bu-beng. Di dunia ini kukira hanya dua orang saja yang dapat menandinginya!"

Si anak tertegun. "Siapa, locianpwe?"

"Aku sendiri dan seorang lain!"

Bu-beng Siauw-cut tiba-tiba tertawa. Dia terbelalak mendengar kata-kata itu, sekejap tapi kemudian tertawa geli sampai terpingkal. Lalu bangkit berdiri dengan masih tertawa geli anak ini berkata, "Locianpwe, pintar sekali akalmu ini. Bukankah dengan begitu kau ingin bersamaku terus dan membatalkan janjimu sendiri? Ah, kau tak perlu menipu aku. locianpwe. Kau tak dapat membodohiku dengan caramu begini...!"

Laki-laki itu merah mukanya. "Aku tak bohong. Bu beng. Aku mempunyai ilmu silat pedang yang selama ini kurahasiakan untuk menghadapi pendekar muda itu!"

Tapi Bu-beng Siauw-cut tak tertarik. Anak ini menghela napas, dan duduk kembali dengan mata melamun anak ini menggeleng. "Tidak, aku tak tertarik pada ilmu pedangmu, locianpwe, atau pada ilmu silat orang lain yang bagaimanapun hebatnya. Aku telah menemukan calon guruku sendiri. Dan itu baru kuketahui ketika aku berada di rumah musuh besarku itu!"

Kun Seng terbelalak. "Siapa, Bu-beng?"

"Hampir sama dengan namaku. Tapi tak kuketahui di mana dia berada!"

"Hm. siapa dia? Mampukah dia menandingi ilmu pedangku?"

Si bocah tertawa aneh. "Aku tak tahu bagaimana kehebatan ilmu pedangmu, locianpwe. Tapi aku merasa kau tak dapat menandingi orang yang menjadi pilihanku ini, biarpun aku juga belum pernah melihat muka ataupun ilmu kepandaiannya!"

Orang tua itu penasaran. Dia jadi marah mendengar kata-kata ini, tapi menekan kemarahannya tiba-tiba dia mencabut pedang yang tersembunyi di balik punggungnya. "Bu-beng, beranikah kau bertaruh bahwa orang itu benar-benar mampu menandingi ilmu pedangku? Siapa dia dan yakinkah kau akan kehebatannya?"

"Hm, aku yakin, locianpwe. Karena Pendekar Gurun Neraka sendiri tampaknya berobah mukanya begitu menyebut nama orang ini! Dia pasti orang hebat, kalau tidak tak mungkin pendekar itu gemetar menyebut namanya...!"

Kun Seng jadi mendongkol. "Dan kau berani menerima taruhanku?"

Si anak tiba-tiba bangkit berdiri. "Kenapa tidak, locianpwe? Aku berani bertaruh untuk nama yang satu ini. Tapi dengan syarat, bila kau mengakui kebesaran namanya kau harus menunjukkan padaku di mana orang itu berada!"

Si tua terbelalak. "Hanya dengan mengakui kebesaran namanya? Jadi belum bertanding?"

"Ya, tak perlu bertanding, locianpwe. Karena kalau bertempur kau pasti kalah! Kau berani mengakuinya dengan jujur?”

Laki-laki ini membanting kakinya. "Bu-beng Siauw-cut, kau benar-benar bocah kurang ajar! Mana mungkin bertaruh macam ini? Kau gila!"

Tapi anak itu tersenyum. "Tidak, aku tidak gila, locianpwe. Justeru aku merasa yakin setelah Pendekar Gurun Neraka sendiri menyebut namanya. Sesungguhnya aku telah mendengar nama itu banyak disebut-sebut orang!"

"Hm, siapakah dia?"

Namun anak ini menyeringai kecil. "Locianpwe, sebaiknya kita bicara dengan jujur. Beranikah kau mengakui kekalahanmu bila benar orang ini di atas dirimu? Artinya, bila benar orang ini memiliki nama besar di atas dirimu sendiri kau harus jujur mengakuinya dan tak boleh banyak cakap lagi. Tapi kalau aku yang kalah apapun boleh kau minta dari aku, termasuk menjadi muridmu ataupun pelayanmu!"

Kun Seng naik darah. Dia jadi tertawa bergelak untuk melampiaskan kemarahannya ini, tapi menggeram lirih dia berkata, "Bu-beng, baru kali ini aku si tua bangka diadu macam jengkerik tak berdaya oleh bocah macammu ini. Tapi baiklah, bila dia memang betul-betul hebat dan sanggup melayani ilmu pedangku saat itu juga aku tunduk dan menyerah kalah. Tapi kalau tidak, kau harus melayaniku sebagai budak selama sepuluh tahun!"

Anak ini mengangguk. "Boleh, kuterima tantanganmu. Tapi bagaimana kalau aku yang menang?"

"Kau boleh minta apa saja dariku, bocah kurang ajar. Tapi yang tidak melanggar kebenaran!"

"Baik, aku hendak minta satu saja, locianpwe. Yakni kau harus menunjukkan padaku di mana orang besar ini tinggal!"

Kun Seng tertawa beringas. Dia penasaran sekali, merasa "diaduk-aduk" bocah ini. Tapi laki-laki tua yang mendongkol bercampur tegang itu membentak, "Baiklah, sekarang katakan siapa dia, Bu-beng Siauw-cut. Aku siap mendengar dan memaki namanya kalau dia cecunguk macam dirimu ini!"

Anak itu tersenyum. "Kau benar-benar siap, locianpwe?"

"Ya, cepat katakan.'"

"Baiklah, dia adalah Bu beng Sian-su!"

"Hah...?" si tua mencelat ke belakang, "Bu-beng Sian su? Kau gila, anak setan? Kau hendak menandingkan manusia dewa itu dengan si tua bangka ini?"

"Ya, kau mampu mengalahkannya, locianpwe? Kau anggap nama ini tidak berharga dibanding namamu? kau siapakah dan siapa julukanmu?"

Tapi Kun Seng sudah tertegun bingung. Dia terkejut mendengar nama yang diajukan Bu-beng Siauw cut ini, mengira anak yang tidak bisa silat itu tak mengenal nama yang tersohor di kalangan orang-orang kang-ouw ini. Nama yang tidak ada bandingannya di seluruh jagat persilatan, nama yang tidak bisa disejajarkan dengan orang-orang "biasa" karena Bu-beng Sian-su dianggap dewa yang tingkatannya jauh di atas manusia "biasa". Karena itu mendengar Bu beng Siauw-cut tiba-tiba mengajukan nama ini kontan saja kakek itu terkejut dan bengong. Tapi akhirnya malah marah-marah!

"Bu-beng, kau curang. Nama ini terang tak dapat disejajarkan dengan manusia!”

""Hm. kenapa begitu, locianpwe? Bukankah dia juga manusia seperti kita?"

"Benar, tapi Bu-beng Sian-su manusia istimewa, bocah. Dia manusia dewa yang disegani orang jahat maupun baik!"

"Dan kau mengakui kebesarannya?"

"Tentu saja. Tapi...."

"Tapi kau tentu tak menolak kekalahanmu bukan, locianpwe?"' anak ini memotong, tersenyum memandang lawannya.

Dan si kakek yang blingsatan oleh potongan kata-kata itu akhirnya membanting kaki dengan marah. "Bu-beng Siauw-cut, kau curang. Kau benar-benar mengakali aku!”

“Tapi aku merasa tak menipumu, locianpwe. Kita masing-masing bicara apa adanya!"

"Ya, tapi Bu-beng Sian-su bukan tandingan manusia biasa, anak setan. Kakek itu manusia dewa yang tidak ada tandingannya di muka bumi ini!"

"Jadi karena itu dia betul-betul hebat luar biasa?"

"Tentu saja!'"

"Nah, dialah calon guruku. Aku telah menjatuhkan pilihan untuk menjadi murid manusia dewa ini.”

Tapi si lelaki tua yang mendengus tiba-tiba tertawa mengejek. "Siauw-cut, kau bagai pungguk merindukan bulan! Tidak tahukah kau watak yang aneh dari kakek dewa ini?"

"Hm, watak aneh yang bagaimana, locianpwe? Apa yang kau maksud?"

"Kau tidak akan berhasil mewujudkan angan-anganmu, bocah. Bu-beng Sian-su tak mungkin mau mengambilmu sebagai murid!"

"Kenapa?"

"Kakek itu tak lagi terikat oleh segala hubungan duniawi. Dia tak mau terikat dan diikat oleh urusan murid dan guru. Biarpun kau jungkir balik seribu kali di depannya!"

"Ah, kau bohong, locianpwe... kau menakut-nakuti aku?"

"Hm, kenapa aku harus bohong padamu, Siauw-cut? Kenapa aku harus membohongi seorang bocah? Kau kira untuk membujukmu menjadi muridku aku harus berbuat yang tidak-tidak? Huh. orang she Kun ini masih punya harga diri, bocah. Aku tak sudi melakukan perbuatan memalukan kalau kau memang tak mau menjadi muridku!"

Bu-beng Siauw-cut percaya. Dia memang melihat watak yang gagah membersit di wajah laki-laki tua ini, sikap yang penuh kejantanan di balik keriput muka tua itu. Tapi sangsi bahwa Bu-beng Sian-su benar-benar tak mau "diikat" urusan duniawi diapun mencoba tersenyum, senyum tak percaya.

"Locianpwe, aku belum membuktikannya sendiri. Mungkin kau benar tapi mungkin juga tidak. Siapa tahu nasib keberuntungan sedang ada di pihakku? Kau katakanlah sekarang, di mana aku bisa menemui kakek itu dan kita sama lihat, siapa yang menang untuk urusan ini. Kau masih menepati janjimu, bukan?"

Kun Seng tertawa mengejek, gemas juga! "Siauw-cut, kau benar-benar anak bandel. Kenapa tidak percaya omongan orang? Kau kira mudah membujuk kakek itu? Tapi baiklah, kalau benar-benar kau ingin menemui manusia dewa ini kau boleh mencarinya di Gua Malaikat! Kakek itu ada di situ. biasanya bersamadi berharihari sebelum turun gunung mencari seseorang."

“Hm. di mana Gua Malaikat itu, locianpwe?”

“Di sana. Tiga hari perjalanan dari sini di sebelah timur Lembah Cemara. Kau temuilah kakek itu kalau kau berhasil!" si tua menuding ke timur, ke arah sebuah gunung yang hijau kebiruan, jauh dari tempat mereka berada.

Dan Bu-beng Siauw-cut yang sudah gembira hatinya buru-buru melompat bangun dan menjura. "Locianpwe, kau benar-benar baik. Terima kasih...!"

"Hm, kau mau berangkat sekarang juga?"

"Ya Mau tunggu apalagi, locianpwe? Bukankah kita..."

"Ya-ya, kita tak ada urusan lagi, Bu-beng Siauw-cut. Aku tahu... aku tahu itu! Bukankah kau hendak bilang bahwa aku tak perlu menguntitmu di belakang?” si kakek memotong, gemas tapi juga mendongkol.

Dan Bu-beng Siauw-cut yang tertawa ditahan segera membungkukkan tubuhnya dalam-dalam. "Locianpwe, jangan marah. Sesungguhnya kalau belum berhasil kutemui manusia dewa itu tak puas rasanya hati ini. Kita rupanya tak berjodoh, hingga maaf tak dapat kupenuhi permintaan baikmu untuk mengambilku sebagai murid. Tapi masih banyak anak-anak lain yang berbakat, bukan? Nah, sampai ketemu, locianpwe. Selamat tinggal dan... jangan melanggar janjimu sendiri untuk mengejar-ngejarku lagi!"

Anak itu sudah memutar tubuh, siap meninggalkan kakek she Kun ini. Tapi si tua yang menggapaikan lengannya mendadak melompat maju, berseru memanggil, "Bu-beng, tunggu dulu! Bolehkah kutanya sebuah hal?"

"Hm, apa yang hendak kautanyakan, locianpwe?"

Kakek itu batuk-batuk. "Aku ingin bertanya tentang kecerdikanmu ini, anak baik. Bahwa agaknya semenjak di kuil Tee-kong-bio itu kau sudah tahu tentang nama Bu-beng Sian-su ini! Benarkah?''

Anak itu tersenyum. "Memang benar, locianpwe..."

“Dan kau sengaja menguji kebesaran nama ini di depan Pendekar Gurun Neraka dan aku sendiri?"

"Hm, sebetulnya tidak demikian, locianpwe. Untuk Pendekar Gurun Neraka aku mendapatkannya secara kebetulan saja."

"Dan untuk diriku?"

Si anak tertawa.

"Setan, kenapa kau tertawa, Bu-beng?"

Bu-beng Siauw-cut geli hatinya."Maaf, aku sengaja mengulang nama itu untuk meyakinkan diriku, locianpwe. Dan ternyata benar kau terkejut sekali begitu mendengar nama Bu-beng Sian-su!"

“Jadi dengan begini kau yakin dia merupakan orang yang dapat kau andalkan, bocah?'

"Ya."

"Setan...! Kau benar-benar bocah siluman, Bu-beng. Sungguh tak kusangka kau memiliki kecerdikan besar!"

Bu-beng Siauw-cut tertawa. Dia tak menghiraukan lagi kakek Kun ini, memutar tubuh dan berlari cepat meninggalkan kakek itu. Tapi melambaikan tangan dia berteriak, "Locianpwe, jangan penasaran. Kita berpisah dulu, sampai jumpa...!"



Pedang Medali Naga Jilid 04

PEDANG MEDALI NAGA
JILID 04
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pedang Medali Naga Karya Batara
DIA memiliki mental kuat. Seorang pangeran yang akhirnya tahan hinaan dan ujian hidup. Dan Fan Li yang selalu mendampingi pangeran ini berhasil membawa junjungannya itu pada tempat yang lebih baik setelah tiga tahun pangeran itu dibebaskan dari hukumannya. Boleh kembali pulang ke Yueh tak menjadi mandor istal kuda lagi namun harus membavar upeti setiap tahun dan tak boleh mendirikan bala tentara di wilayah Yueh.

Dan itu akhirnya dituruti. Sampai tiba-tiba secara mengejutkan sekali dua tahun yang lalu raja muda Wu meminta pada pangeran ini agar Kiok Hwa diserahkan sebagai tambahan upeti karena wanita-wanita cantik yang dikirim tahun lalu oleh pengeran ini dinilai kurang memenuhi "syarat"! Jadilah. Pangeran Kou Cien hampir mengamuk. Dia benar-benar merasa terhina sekali, namun Fan Li yang lagi-lagi memberi nasihat pada junjungannya itu akhirnya berhasil menyadarkan pangeran ini untuk menerima cobaan yang paling hebat itu.

Pangeran Kou Cien sendiri akhirnya mengantar selirnya itu, mempersembahkannya pada raja muda Wu. Dan pangeran yang hancur dan menangis di dalam hati ini terpaksa membiarkan saja selirnya itu dipermainkan Fu Chai yang memang berniat untuk menghina pangeran jajahannya itu, tak mengenal kasihan dan tertawa bergelak di dalam kamar mempermalukan isteri orang!

Tapi dua bulan kemudian pangeran ini terkejut. Dia mendengar berita bahwa selir tersayangnva itu tewas, mati membunuh diri setelah dicampakkan Pangeran Fu Chai, yang lalu membagi-bagikannya kepada para bawahannya seperti orang membagi-bagi pisang goreng! Dan Kiok Hwa yang tidak tahan dipakai secara berganti-ganti itu akhirnya menuang racun ke dalam mulut sebagai reaksi protes dari sakit hatinya yang tak tertahankan!

Pangeran Kou Cien jatuh sakit. Dia terpukul hebat oleh kejadian itu, dan Fan Li yang tidak tahan melihat penderitaan junjungannya ini akhirnya suatu hari mengajukan usul. Mereka harus membalas semua hinaan lawan. Tapi Pangeran Kou Cien yang putus asa dan sedih hatinya mendahului menolak.

"Kita tak mempunyai kekuatan, ciangkun. Percuma mencari akal untuk membalas raja muda itu!" demikian sang pangeran bicara ketika panglimanya belum membuka suara. Dan Fan Li yang maklum akan keadaan junjungannya ini menarik napas.

"Tapi hamba mempunyai gagasan, pangeran. Paduka tak perlu putus asa untuk gagasan hamba kali ini!”

"Hm, gagasan bagaimana, ciangkun? Membalas raja muda itu harus memiliki bala tentara yang kuat. Padahal kita tak diperkenankan menyusun bala tentara. Mana mungkin membalas raja muda itu?"

Fan Li tersenyum. "Tapi hamba punya akal, pangeran. Tak perlu paduka berduka untuk akal hamba kali ini. Pasti berhasil!"

Namun sang pangeran tetap dingin. "Aku tak merasa gagasanmu berhasil, ciangkun. Karena sebelum kita bergerak tentu mereka sudah tahu terlebih dahulu!"

"Ah, tapi ini lain, pangeran. Kita tak mempergunakan bala tentara untuk raenyerang raja muda itu. Kita mempergunakan orang-orang kang-ouw!"

"Hm, jumlah mereka tak banyak, ciangkun. Meskipun orang kang-ouw ribuan jumlahnya tapi masih kalah jauh oleh jumlah tentara yang bisa laksaan banyaknya!"

"Benar, tapi kita mempergunakan taktik 'pedang berselubung sarung’, pangeran. Hamba yakin ini adalah satu-satunya jalan yang paling jitu untuk menghadapi raja muda itu!"

Tapi sang pangeran masih tak tertarik. Dia sudah terlampau putus asa dan berduka oleh kejadian yang bertubi-tubi menggencetnya, maka mendengar kata-kata penuh semangat dari panglimanya ini diapun menggeleng lemah. "Fan-ciangkun, agaknya tak ada seseorang yang dapat membantu kita secara tuntas selain, Pendekar Gurun Neraka. Mana mungkin merencanakan akal bermacam-macam kalau orang yang bersangkutan tak mau? Dia telah menolak kita. Berani tak ada harapan biar pun mengumpulkan banyak orang kang-ouw!"

Fan Li tersenyum "Justeru itulah, pangeran. Hamba akan ke Tapie-san untuk menemui pendekar ini. Dia tentu telah mendengar kekejian raja muda itu yang menghina paduka habis-habisan. Dan mengandalkan kesempatan ini hamba akan mengetuk pintu hatinya!"

Sing pangeran bangkit berdiri, bercahaya mukanya. "Jadi kau akan ke sana, ciangkun? Tapi mana mungkin? Bukankah dia telah menyatakan isi hatinya bahwa dia tak akan mencampuri lagi urusan kerajaan? Dan kau tahu kekerasan hatinya, ciangkun. Pendekar itu tak akan mengangguk kalau sudah menggeleng!"

Fan Li tersenyum lebar. Dia sudah merasa girang bahwa junjungannya ini tiba-tiba bersinar matanya, tanda mulai bangkit semangatnya begitu membicarakan Pendekar Gurun Neraka. Dan dia yang tahu betapa besar harapan pangeran ini untuk memohon bantuan pendekar itu. Tiba-tiba juga bangkit berdiri,

"Pangeran, kalau boleh paduka ijinkan sekarang hamba hendak membeberkan rencana hamba pada paduka. Tapi kalau paduka tak setuju tentu saja hamba tak akan bicara."

"Ah, katakanlah, ciangkun. Asal ada hubungannya dengan Pendekar Gurun Neraka tentu kau boleh bicara. Katakanlah...!"

Fan Li sudah merasa gembira. "Begini, pangeran. Karena jelas kita tak bisa menyusun angkatan perang maka hamba mempunyai usul untuk mendirikan sebuah perkumpulan orang-orang kang-ouw yang dipimpin Pendekar Gurun Neraka. Mereka adalah simpatisan kita, kaum patriot yang tahu keadaan kita yang dihina lawan. Dan kalau Pendekar Gurun Neraka yang memimpin perkumpulan itu tentu secara tidak kentara kita telah mempunyai semacam barisan pelindung dari orang-orang kang-ouw ini. Yang sewaktu-waktu bisa membantu kita dalam keadaan memaksa. Bagaimana menurut pendapat paduka?"

Pangeran Kou Cien tertawa lebar "Kau cerdik, ciangkun. Aku sstuju! Tapi maukah pendekar itu membantu kita? Dan apa nama perkumpulan ini agar tak dicurigai lawan?”

"Hm, itu mudah, pangeran. Pendekar Gurun Neraka pasti mau membantu kita. Ini tidak menyangkut urusan kerajaan. Jadi terpisah dengan istana karena mereka adalah kelompok yang berdiri sendiri dan seolah-olah di luar garis strategi kita, yang datang sewaktuwaktu apabila mereka itu kita perlukan dalam saat-saat genting. Tapi kalau keadaan tidak berbahaya dan tetap tenang tentu saja mereka mengurus keperluannya sendiri dan tidak ada hubungannya dengan kita! Paduka paham, bukan?”

"Ya, dan apa nama perkumpulan itu, ciangkun?"

"Sesuai sifat anggautanya, pangeran, yakni Ho han-hwe (Perkumpulan Orang-orang Gagah).”

"Bagus, itu bagus sekali, ciangkun. Aku setuju dan sependapat! Tapi kapan kau akan memulai gagasan ini? Artinya, kapan kau akan menemui pendekar itu untuk menyatakan kepastiannya?"

"Besok, pangeran. Hamba akan pagi-pagi sekali meninggalkan paduka menuju ke Ta-pie-san. Tapi ini masih siasat pertama, pangeran. Karena kalau Pendekar Gurun Neraka telah menyanggupi untuk memimpin perkumpulan Ho-han-hwe ini hamba masih akan meneruskannya dengan siasat ke dua dan ke tiga."

"Hm, siasat apa itu, ciangkun?"

"Begini, pangeran. Setelah Ho-han-hwe muncul kita harus mencari wanita-wanita cantik. Bahkan kalau perlu selir paduka yang lain boleh dipersembahkan pada raja muda itu!"

Pangeran Kou Cien mendelik. "Ciangkun, apa yang kau bilang ini? Kau berani bicara seperti itu?" pangeran itu membentak, marah sekali dan hampir menendang panglimanya ini. Tapi Fan Li yang cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut menahan.

“Pangeran, maaf. Hamba belum merjelaskan strategi hamba untuk merobohkan musuh! Bukankah paduka siap berkorban asal musuh jatuh ke tangan paduka?" lalu melihat pangeran itu mengepalkan tinju buru-buru panglima ini meredakan kemarahannya dengan bicara hulus, “Pangeran, hamba tidak bermaksud menghina paduka. Juga tidak bermaksud menyakitkan hati paduka. Kita berdua telah menjalani hidup bersama dalam kedukaan bersama. Gilakah hamba menghina dan menyakiti paduka yang hamba junjung dan cinta?"

Kemudian melihat pangeran mulai reda kemarahannya panglima inipun melanjutkan, "Dan itu harus kita mulai dengan wanita, pangeran. Paduka lihat sendiri bahwa raja muda itu telah menjadi hamba nafsu berahi yang tidak kenal puas. Hamba menyarankan agar wanita manapun yang diminta lagi tak perlu kita tolak. Bahkan seandainya selir paduka sendiri!"

"Hm, tapi ini menyakitkan sekali, ciangkun. Masa aku harus berkorban setelah kematian Kiok Hwa?" pangeran itu mulai beringas.

Tapi panglima ini mengulapkan lengannya. "Pangeran, tak ada perjuangan yang tidak membutuhkan pengorbanan. Paduka tahu tentang kenyataan ini, bukan?”

"Ya, tapi itu terlalu berat, ciangkun. Salah-salah aku tak punya harga diri lagi di depan orang lain!"

"Ah, tapi paduka telah memiliki kekuatan batin yang tinggi, pangeran. Masa harus berkorban sekali dua merasa keberatan? Bukankah paduka dapat mencari selir pengganti kalau si hidung belang itu merampas selir paduka, pangeran?"

"Tepi kalau benar-benar selir yang kucinta hal ini kelewat sangat, ciangkun. Aku bisa tak kuat menahan dan bunuh diri oleh hinaan itu!"

Panglima ini mengangguk. "Benar, itu memang tidak salah, pangeran. Tapi percayalah, pengorbanan paduka kali ini adalah kali yang terakhir. Hamba tidak akan membiarkan paduka dihina lagi. Dan kalau tiga rencara hamba meleset maka pada saat itu juga hamba akan memenggal kepala hamba di hadapan paduka!"

Pangeran Kou Cen terkejut. "Kau bersungguh-sungguh, ciangkun?"

Panglima ini bangkit berdiri, mencabut pedang dan tiba-tiba menggores ibu jarinya hingga luka mengucurkan darah. Lalu menempelkan darah itu di atas keningnya panglima ini bicara gagah, "Pangeran, hamba bersumpah bahwa rencana ini akan berhasil baik bila berjalan sesuai dengan keinginan hamba. Bila tidak, demi darah yang hamba kucurkan ini biarlah hamba binasa memenggal kepala di hadapan paduka!"

"Ah...!" Pangeran Kou Cien terbelalak. "Bukan sumpahmu itu yang kumaksud, ciangkun, tapi keberhasilan rencanamu ini. Betulkah kau akan berhasil membalas dendam pada musuh kita itu?"

"Hamba jamin dengan jiwa hamba, pangeran. Hamba bersumpah bahwa penderitaan paduka kali ini adalah yang terakhir!"

Pangeran itu tertegun. Dia melihat kesungguhan semangat dalam kata-kata panglimanya ini, dan melihat panglimanya itu berdiri tegak dengan sikap gagah tiba-tiba pangeran ini mengeluh dan mencengkeram pundak panglimanya itu, berkata penuh keharuan, "Ciangkun, kau benar-benar pembantuku yang setia sekali. Semoga Tuhan membantu kita...." dan Pangeran Kou Cien yang basah matanya ini mendadak mencabut pedang di pinggang kanannya. Lalu, menyerahkan pedang itu kepada pembantunya pangeran ini bicara serak, "Ciangkun, demi rasa terimakasihku yang besar kau terimalah senjata ini untuk simbol calon perkumpulan Ho-hun-hwemu itu. Kau boleh bawa pedang ini ke mana kau suka. Terimalah sebagai hadiah pribadi dariku...!"

Fan Li terkejut. "Pedang Medali Naga, pangeran?"

"Ya, pedang warisan leluhurku, ciangkun. Kau bawalah pedang ini dan simpan itu sebagai mana kau menyimpan dan menjaga keselamatanku.”

Tapi panglima ini tiba-tiba menggigil. "Pangeran, pedang itu... kenapa dia mencorong kemerahan? Apakah..."

Belum habis ucapan itu ditanyakan mendadak Padang Medali Naga yang ada di tangan pengeran ini mendengung. Suara dengungan itu perlahan, tapi kian lama kian keras. Dan ketika dua orang ini terbelalak tiba-tiba pedang itu meledak dan mengeluarkan letupan nyaring bagai guntur menggelegar!

"Ah...! Apa yang terjadi, pangeran?" Fan Li kaget bukan main. Dia melihat pedang itu sudah berobah seperti besi membara, merah bagai dibakar di tungku panas. Dan belum sang pangeran menjawab pertanyaannya tiba-tiba sesosok makluk halus bagai seekor naga muncul di situ, menari di atas pedang dan menggeram.

"Pangeran, apa yang hendak kau lakukan ini? Berani kau menyerahkan warisan leluhur ke pada orang luar biarpun dia itu pembantumu sendiri yang setia? Kau lupa sumpah kerajaan selama beratus-ratus tahun?"

Pangeran Kou Cien tiba-tiba mengeluh panjang. Dia kaget melihat sesosok tubuh bagai naga di atas pedangnya itu muncul, menggeram dan menggetarkan dinding ruangan, menakutkan sekali. Dan sadar bahwa dia melakukan kesalahan tak menghormat warisan leluhur tiba-tiba pangeran ini menjatuhkan diri berlutut dengan pedang menempel dahi, pucat sekali. "Sucouw (eyang buyut) maafkan aku yang khilaf. Aku lupa bahwa pedang ini adalah peninggalan keluarga kita yang paling keramat. Aku hanyut dalam keharuan oleh kesetiaan pembantuku ini. Kau maafkanlah kami berdua....!"

Tapi bayangan bagai naga itu masih menari. "Kau terlanjur mencabut pedangnya, pangeran. Tak mungkin memberi maaf tanpa hukuman lagi. Kau menghina warisan leluhur, harus di hukum sesuai kesalahan...!"

Pangeran ini pucat sekali. "Tapi aku tak sengaja, sucouw. Aku tak bermaksud menghina warisan itu!"

"Ya, tapi semuanya terlanjur, pangeran. Aku akan menyerahkan pedang ini kelak pada seorang bocah laki-laki. Dialah yang menentukan hidup kalian, senang atau susah!"

Pangeran Kou Cien semakin pucat. "Tapi aku tak sengaja, sucouw. Sungguh mati....'"

"Hm, sengaja tidak sengaja yang jelas kau telah melupakan sumpah leluhur, pangeran. Bahwa pedang itu tak boleh pisah dari pewarisnya, kau telah melanggar ini, karena itu tak boleh menolak bila hukuman tiba!"

"Tapi... tapi..."

"Tak ada tetapi, pangeran. Satu-satunya jalan kalau kau ingin pedang ini kelak kembali padamu maka kau harus membunuh anak laki-laki itu!"

"Aah...!" dan baru pangeran ini mengeluh tiba-tiba pedang itu meledak nyaring dan terlepas dari pegangannya. Dua orang itu tak tahu apa yang terjadi. Namun ketika mereka memandang ternyata bayangan bagai naga itu lenyap disusul pulihnya kembali warna pedang yang putih berkilauan, lenyap sudah warna merah yang mencorong menakutkan itu!

"Pangeran, apa yang terjadi? Paduka tidak apa-apa?"

Pangeran ini gemetar. Dia sudah bangkit berdiri, menggigil memandang pembantunya itu. Dan Fan Li yang sudah memungut pedang di atas lantai buru-buru memberikan pedang ini pada junjungannya. "Pangeran, simpan kembali pedang ini. Taruh dalam sarungnya dan biarlah simpan di kamar paduka saja!"

Pangeran itu mengangguk. Dia belum dapat menjawab, dan ketika beberapa saat giginya berketrukan memandang pedang keramat ini akhirnya pangeran itu dapat bicara pula. "Ciangkun, arwah leluhurku telah memberi peringatan. Apa yang harus kulakukan?"

Panglima ini menarik napas. "Kita tak boleh sembrono lagi, pangeran. Kita harus berhati-hati setelah kejadian ini. Bagaimana kalau paduka simpan dulu pedang itu di kamar paduka?"

Pangeran Kou Cien mengangguk. Dia segera menyimpan pedangnya itu, di tempat tersembunyi di dalam kamarnya. Dan setelah selesai melakukan itu semuanya pangeran ini kembali lagi menemui panglimanya.

"Sudah, pangeran?"

"Sudah, ciangkun. Tapi aku masih gemetar oleh kedatangan roh leluhurku tadi!"

"Ah, sekarang yang lewat biarlah lewat, pangeran. Paduka siap mendengar rencana hamba berikutnya, bukan?"

Pangeran itu mengangguk. Dia serasa mengawang memandang pambantunya ini, dan Fan Li yang siap menghibur junjungannya segera membeberkan siasatnya. Ternyata panglima itu benar-benar lihai. Dia merencanakan strategi yang matang sekali, dengan persiapan yang sebaik-baiknya. Dan Pangeran Kou Cien yang jadi tertarik perhatiannya segera melupakan peristiwa dengan Pedang Medali Naga itu. Dan ketika Fan Li selesai membeberkan semua rencananya maka pangeran inipun mulai kembali sinar harapannya.

Ternyata panglima itu mempunyai tiga siasat. Yakni, pertama mendirikan Ho-han-hwe sebagai "benteng" di luar istana lalu yang ke dua dan ke tiga adalah mengumpulkan wanita cantik sebanyak banyaknya dan diam-diam melatih angkatan perang di luar kerajaan. Tentu saja secara sembunyi-sembunyi!

Dan panglima muda yang optimis akan rencananya yang disusun matang itu sudah mengerahkan beberapa orang pembantunya yang dapat dipercaya untuk melaksanakan urusan ke dua dan ke tiga. karena urusan pertama harus dia sendiri yang menangani, datang ke Ta-pie-san dan berunding dengan Pendekar Gurun Neraka. Dan begitu Pangeran Kou Cien menyetujui rencananya segera panglima ini memukul canang memerintahkan semua perwira untuk mulai "beroperasi" di seluruh kerajaan, mencari wanita cantik sebanyak-banyaknya untuk dipersembahkan tahun depan kepada raja muda Wu.

Dan begitu perintah ini turun segera semua orang sibuk luar biasa. Kota raja gempar, panik tapi juga takut-takut gembira Karena siapa yang dianggap cantik harus segera datang ke istana urtuk diseleksi (disaring) karena mempersembahkan wanita cantik ke negara Wu haruslah betul-betul pilihan dan memenuhi segala syarat, antara lain pandai bun (sastra) dan permainan cinta! Dan di sinilah serunya. Fan Li bekerja keras, mengundang tokoh tokoh yang dapat diandalkan untuk diangkat sebagai panitia pemilih. Orang-orang yang tajam pandangan dan "ahli" dalam bidangnya.

Dan karena diangkat selir pada jaman itu merupakan sebuah anugerah tersendiri yang dapat mengangkat "derajat" maka banyak wanita Yueh yang mengikuti permintaan Pangeran Kou Cien ini, meskipun yang mengambil mereka sebagai selir bukanlah junjungannya sendiri, melainkan musuh yang ada di kota raja Wu itu.

Raja muda Fu Chai yang mulai terkenal akan kegemarannya terhadap wanita wanita cantik. Dan karena mereka tahu bahwa permintaan pangeran itu sebenarnya menyembunyikan maksud terselubung untuk kemerdekaan negaranya maka banyak wanita-wanita ini yang merasa gembira karena mereka merasa dapat menjadi "pahlawan" bagi rakyatnya yang tertindas, terutama terhadap junjungan mereka Pangeran Kou Cien yang terhina ini!

Dan sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa "proyek" mengumpulkan wanita-wanita cantik ini mengalami sukses besar, bahkan melahirkan dua orang tokoh wanita yang memberi jasa besar pada Yueh di kelak kemudian hari, dua pahlawan wanita yang bernama Shi Shih dan Cheng Tan.

Sementara Fan Li yang diam-diam melatih angkatan perang di balik gemerlapnya benda-benda "hidup" ini telah bekerja mati-matian dibantu orang orang kang-ouw yang memang sejak semula tidak menaruh simpati pada raja muda Wu itu, terutama ketika raja muda itu mendapat bantuan dari Gelang Berdarah almarhum yang banyak dibantu orang-orang sesat.

Dan Fan Li, yang telah membeberkan rencananya pada pangeran itu keesokan harinya telah pergi ke Ta pie-san untuk memulai pekerjaannya yang berat, memohon bantuan dan kalau perlu "membujuk" Pendekar Gurun Neraka agar mau mengerti keadaan rakyatnya yang dihina lawan. Satu pekerjaan yang tidak enteng mengingat kekerasan hati dan keteguhan jiwa Pendekar Gurun Neraka itu yang sudah menetapkan diri tidak mau "cawecawe" (campur tangan) dalam urusan perang.

Dan di sinilah panglima itu hampir gagal total. Dia benar-benar ditolak, dan Pendekar Gurun Neraka yang tetap bilang "tidak" pada apa yang sudah dibilangnya tidak ternyata benar-benar hampir tak dapat ditekuk. Hingga akhirnya, melalui perdebatan sengit yang memakan waktu lama dan kata-kata pedas panglima ini baru dapat membujuk pendekar itu, setelah dengan susah payah dia berjuang dan mengeluarkan keringat dingin!

"Apa maksud kedatanganmu, ciangkun?"

Demikian mula-mula pendekar itu bertanya. Satu pertanyaan yang sudah dilontarkan dengan alis berkerut mengingat saat itu Fan Li datang dengan pakaian panglima, jadi "resmi" sebagai utusan kerajaan! Dan Fan Li yang berdebar hatinya melihat sikap pendekar ini sudah kecil hati dan gelisah. Tapi panglima ini mencoba tersenyum. Dia coba menenangkan diri, bagaimanapun juga tergetar oleh sikap bekas jenderal muda ini. 

Laki-laki yang pernah menjadi atasannya sepuluh tahun yang lalu, bekas jenderal muda yang masih memiliki kewibawaan besar dan pengaruh melumpuhkan itu! Dan Fan Li yang tahu bahwa dia harus bicara "to-the-point" (langsung) karena dia tahu pendekar ini tak suka bicara berbelit-belit akhirnya langsung pada pokok sasaran kunjungannya.

"Aku diutus Kou-siauw-ong untuk meminta bantuanmu, Yap-twako. Bahwa kami seluruh rakyat Yueh mengharap uluran tanganmu untuk membebaskan kami dari himpitan duka nestapa ini!"

"Hm, mencampuri urusan kerajaan. ciangkun? Melibatkan aku kembali pada kancah perang seperti dulu?"

Panglima ini tergetar pucat. Dia menelan ludah, melihat sikap yang sinis dari bekas atasannya ini. Tapi Fan Li yang mulai ulet akibat pengalaman-pengalaman hidup yang pahit akhir-akhir ini mencoba tersenyum masam dengan ketawa gugup, sedikit "groggy", kalah mental.

"Tidak sepenuhnya, begitu twako. Tapi untuk menghilangkan suasana formil ini dapatkah kau membuang sebutan ciangkun itu? Aku datang sebagai sahabat, bukan musuh yang harus kau layani dengan muka merah!"

"Tapi kau datang dengan pakaian lengkap, ciangkun, mana mungkin harus mengubah sebutan itu? Kau sendiri yang menghendaki formil, bukan aku!"

Fan Li menjadi kecut. Memang harus dia akui kenyataan itu, hal yang membuat dia mengumpat kenapa dia "kelupaan" membuang kebodohan itu. Tapi panglima yang tak putus asa dan pantang menyerah ini mengangguk. "Baiklah, kau benar, twako. Itu tak dapat kusangkal. Tapi kau percaya bahwa aku tak membawa maksud buruk, bukan?"

"Hm, aku percaya, ciangkun. Tapi bagai manapun juga kutegaskan di sini bahwa aku tak mau terlibat lagi dengan masalah perang!"

Fan Li menyeringai kecut, 'Tapi keadaan sekarang berbeda, twako. Kami mendapat tekanan dan hinaan berat dari musuh!"

"Hm, itu adalah akibat dari perbuatan sendiri, cangkun. Kukira tak perlu disesali!"

"Benar, tapi bagaimanapun juga kami tak mau dihina terus-menerus, twako. Bagaimanapun juga kami dan rakyat Yueh akan berusaha untuk membebaskan diri dan semuanya ini!"

"Dan kalian sudah berhasil, ciangkun?”

"Belum."

"Jadi karena itu kau kemari untuk melibatkan aku dalam urusan ini?"

Fan Li bangkit berdiri. "Twako, apa yang kau bilang memang betul, tapi tidak semuanya tepat, karena kalau kau mau membantu kami maka yang kami minta adalah bantuan yang tidak langsung untuk membebaskan kami. Jadi bukan masuk dalam kancah peperangan seperti dulu lagi sebagaimana kau memimpin kami. Kami tidak bermaksud begitu, twako, melainkan mohon bantuanmu secara melingkar!"

"Hm, melingkar bagaimana, ciangkun?"

"Begini, twako. Paduka pangeran menghendaki kau memimpin sebuah perkumpulan kaum pitriot, yakni orang-orang kang-ouw yang simpati pada nasib kami. Dan kalau kau mau memimpin perkumpulan macam ini maka paduka pangeran menghendaki agar perkumpulan ini menjadi pelindung istana secara diam-diam."

"Lalu?"

"Jelas, twako. Bila istana mendapat bahaya dari luar maka kau diminta melindungi pangeran untuk menyelamatkan dirinya. Kami mempunyai rencana jangka panjang untuk merobohkan musuh. Kalau kami menemui kesukaran dimana kami tak dapat mengatasinya sendiri maka kau dan para anggauta perkumpulan ini diminta untuk membantu istana."

"Tapi kalian menjadi taklukan, ciangkun. Mana mungkin mendapat serangan musuh? Kalau kalian diserang tentu Wu yang akan mendapat tantangan terlebih dahulu!"

"Hm, serangan dari musuh lain memang tidak ada twako. Tapi justeru dari kerajaan Wu itulah! Kami mengkhawatirkan diri kami ketahuan sebelum berkembang. Jadi kalau mereka tahu sebelum kami bergerak maka diminta agar perkumpulan yang kau pimpin ini mendahului mereka dan melumpuhkannya sebelum membunuh kami!"

Pendekar Gurun. Neraka membelalakkan mata. "Ciangkun, apa yang kau maksudkan dengan ketahuan sebelum berkembang itu? Apakah kalian hendak..."

"Benar, twako. Kami hendak menyusun angkatan perang untuk memberontak terhadap penjajah!" Fan Li memotong, membuat sang pendekar terkejut.

Dan Bu Kong yang bangkit berdiri oleh jawaban panglima ini tiba-tiba berobah mukanya. "Fan-ciangkun, bukankah kalian dilarang untuk menyusun bala tentara? Bukankah kalian telah menandatangani surat perjanjian takluk?"

"Hm, itu kami lakukan dalam keadaan terpaksa, twako. Bagaimanapun juga tak ada orang yang ingin dijajah dirinya oleh orang lain!"

"Dan kalian tahu betapa sukarnya menyusun bala tentara secara diam-diam?"

"Kami tahu, twako. Tapi kalau kau mau membantu kami maka kami yakin tak ada kesukaran dalam hal ini!"

Pendekar Gurun Neraka tertegun. Diam-diam dia kagum pada bekas pembantunya ini, seorang panglima yang benar-benar gigih dan tak kenal menyerah pada musuh. Siap membalas dan menyusun kekuatan untuk memberontak. Panglima yang tak patah semangat dan benar-benar gagah, siap membela negara dan bangsanya! Tapi Pendekar Gurun Neraka yang tersenyum pahit tiba-tiba menggeleng, menghela napas dengan lemah.

"Ciangkun, aku kagum akan jiwa patriotisme yang menggebu-gebu di dalam hatimu. Cocok sekali dalam kedudukanmu sebagai pembela negara, panglima yang siap membela raja dan rakyatnya. Tapi maaf, jangan libatkan aku dalam urusan begini, ciangkun. Karena bagaimanapun juga aku tak mau campur tangan lagi dalam urusan perang!"

"Tapi kau tak ikut campur dalam mempersiapkan angkatan perang, twako. Paduka pangeran hanya menghendaki kau mendirikan sebuah perkumpulan dan menjadi pemimpinnya!"

"Hm, aku tak bersemangat mendirikan perkumpulan, ciangkun. Apalagi kalau dikait-kaitkan dengan istana."

"Tapi sifat perkumpulan ini hanya menjaga dan melindungi pangeran, twako, masa kau tidak mau."

Pendekar Gurun Neraka tetap menggeleng. "Aku semakin keberatan kalau berbau hubungan dengan istana, ciangkun. Karena bagaimanapun juga aku tak mau melibatkan diri dengan peperangan dan kerajaan!"

Panglima ini putus asa. "Yap-twako, apakah kau tidak memiliki rasa pitrotisme lagi di dalam hatimu? Tidakkah kau ingat bahwa kau juga berasal dari tempat kita?"

"Hm, itu sudah lewat, ciangkun. Aku kini hidup tenang jauh di atas gunung. Aku tak ingin tahu lagi dan tak mau tahu urusan kerajaan yang melibatkan perang dan perang. Aku muak terhadap semuanya itu. Aku tak dapat memenuhi permintaan pangeran yang akhirnya melibatkan rakyat kecil dalam bunuh-membunuh!"

Fan Li menjadi jengkel, "Yap-twako, kau benar-benar tak punya rasa cinta terhadap tanah air! Tidakkah kau tahu bahwa paduka pangeran menderita sekali dalam cengkeraman lawan? Tidakkah kau lihat kekejian-kekejian lawan terhadap kami? Rakyat Yueh menderita sekali, twako. Mereka diinjak-injak dan dihina harga dirinya!"

"Cukup, itu urusan orang-orang besar dalam kerajaan, ciangkun. Aku memang tahu bahwa selamanya rakyat kecil jadi korban!"

"Dan karena itu kau sengaja menutup mata dan telinga?"

"Apa maksudmu?'"

"Kau tahu rakyat Yueh dijajah negara Wu, twako. Tapi kenapa kau tidak tergugah sedikit pun niatmu untuk membantu kami? Kau boleh benci pada orang-orang besar dalam istana. Kau boleh benci pada Kou siauw-ong dan raja muda Fu Chai. Tapi kalau kejahatan mulai merajalela tak seharusnya kau diam saja, twako. Kau harus bergerak dan membantu rakyat kecil!"

"Hm, aku tak melihat seperti apa yang kau katakan, ciangkun. Aku melihat rakyat Yueh tenang-tenang saja!"

Fan Li membanting kaki, mulai marah. Tapi belum dia bicara lagi tiba-tiba Pek Hong dan Ceng Bi muncul, tersenyum membawa minuman ringan dan makanan kecil. Dan Fan Li yang melihat dua orang isteri Pendekar Gurun Neraka itu muncul tiba-tiba melompat bangun, berseru gelisah, "Soso (kakak ipar), tolonglah aku. Suamimu ini benar-benar susah sekali diurus...!"

Pek Hong tertawa kecil. "Ada apa ciangkun? Bukankah kalian sudah sama-sama tahu watak masing-masing.'"

Ceng Bi juga tersenyum lebar. 'Ya. dan tak perlu mengeluh kalau suami kami keras hati ciangkun. Tapi ada persoalan apakah hingga kalian berdua nampak demikian serius?"

Fan Li menjura dalam-dalam, merangkapkan tangan dan bicara sungguh-sungguh, "Yap-hujin, aku minta suamimu untuk memimpin sebuah perkumpulan. Tapi dia menolak. Tolong kau bujuk dia dan berilah penjelasan!"

Ceng Bi mengerutkan alis. "Eh, perkumpulan apa, ciangkun? Siapa yang minta?"

"Paduka pangeran yang minta, hujin. Kami ingin suamimu itu melindungi kami dengan perkumpulannya ini!"

"Hm, tapi kenapa Yap-koko menolak?"

"Karena ada hubungannya dengan kerajaan, Bi-moi Kalian tahu bahwa aku tak suka lagi melibatkan diri dengan istana," Pendekar Gurun Neraka menjawab.

Dan Ceng Bi serta Pek Hong yang terbeliak mendengar ini tiba-tiba sama mengangguk. "Hm, kalau begitu benar, ciangkun. Kami sependapat dengan suami kami bahwa kami tak ingin melibatkan diri dengan istana. Mereka hanya menjadi pangkal dari perang dan perang di muka bumi ini!"

"Ah. kalian malah menghancurkan harapanku, hujin?"

"Bukan begitu, ciangkun. Tapi kami sependapat bahwa kami tak mau melibatkan diri dalam keributan lagi. Dan istana adalah pangkal dari keributan manusia yang haus akan kesenangan dan kepuasan!"

Fan Li pucat. "Oh, kalau begini gagal usahaku..!" dia mengeluh. "Kalian tak tahu bahwa keributan bukan milik istana saja, hujin. Tapi bahwa keributan itu milik semua orang! Kalau kalian mengatakan keributan berpangkal dalam istana maka sama halnya kalian berkata bahwa hanya orang-orang dari istana sajalah yang bisa membuat ribut, menciptakan permusuhan! Inikah yang kalian maksud, hujin?"

Ceng Bi tertegun. "Fan-ciangkun, kami mempunyai bukti bahwa hal itu memang demikian. Bukankah yang mencelakakan rakyat kecil adalah orang-orang besar yang berdiam di dalam istana itu? Bukankah gara-gara mereka ini lalu mereka saling serang dan melibatkan orang lain? Tidak, ciangkun. Kami setuju dengan suami kami bahwa kami tak mau melibatkan diri dengan kerajaan. Jangan ganggu kami yang telah hidup tenang di gunung ini!"

Fan Li menggigil. "Soso..." dia memandang Pek Hong. "Kalau benar istana adalah pangkal dan segala keributan maka bagaimanakah sikap yang harus kita ambil? Kalau kita tahu bahwa istana adalah biang keladi permusuhan apakah yang harus kita lakukan? Kita biarkan sajakah mereka itu? Kita biarkan sajakah rakyat kecil yang akhirnya terlibat dan menderita?"

Pek Hong menarik napas. "Ciangkun, ke mana maksud kata-katamu ini? Apakah kau hendak menjebak kami dalam sebuah perdebatan tiada akhir?"

"Bukan... bukan begitu, Yap-hujin. Aku pribadi tak dapat mengelak bahwa permusuhan yang besar-besar memang berasal dari istana. Karena di situlah tempat nikmat dan kekuasaan. Tapi kalau ada seseorang yang merajalela dengan kejahatannya dan mencelakakan orang lain, termasuk rakyat banyak. Haruskah kita biarkan dia itu dan berpeluk tangan saja? Tidakkah kita harus membasmi orang macam begini?"

"Tentu saja, ciangkun. Tapi tak perlu kiranya melibatkan kami!" Pek Hong menangkis duluan, tak mau dijebak panglima ini.

Dan Fan Li yang kecewa tapi bersinar matanya itu mendadak memandang Perdekar Gurun Neraka. "Yap twako. Kalau kau tahu bahwa di istana sedang ada seorang iblis yang dapat mencelakakan orang banyak apakah kau juga tetap tak mau melibatkan diri? Artinya, kau berpeluk tangan saja dan diam membiarkan iblis ini melanjutkan perbuatannya yang keji?”

"Ciangkun, untuk urusan kerajaan biarlah hal itu diselesaikan secara kerajaan pula. Aku tetap tak mau terlibat, karena itu adalah urusan istana yang harus diselesaikan pada oleh orang-orang istana!”

"Jadi kalau kau melihat seorang pemimpin bertangan besi merajalela dengan segala kejahatannya kau tetap tak mau bergerak, twako? Mengandalkan orang istana seperti kata-katamu ini?"

"Ya."

"Dan kalau tidak ada orang yang kau maksud itu, twako, lalu apakah kita biarkan iblis macam begini mengembangkan kejahatannya?"

"Ciangkun, apa sebenarnya yang hendak kau katakan? Kalau kau membujukku untuk membantu kerajaan bagaimanapun juga aku menolak. Kerajaan selalu berkaitan dengan permusuhan, peperangan dan entah apalagi yang menyusahkan orang banyak! Jadi kalau kau bicara berputar terus terang aku tak setuju!"

"Baik," Fan Li tiba-tiba beringas. "Kalau saat sekarang ini aku hendak meminta seorang isterimu kepadaku apa yang hendak kau lakukan. Pendekar Gurun Neraka? Kalau aku dapat mengalahkanmu dan merampas isterimu dan memperkosanya apa yang hendak kau lakukan, Pendekar Gurun Neraka? Masihkah kau tetap diam tak bergerak?"

Bu Kong terbelalak. Dia kaget sekali melihat panglima itu tiba-tiba "kurang ajar", bicara seperti itu di depan isterinya-isterinya! Dan menggeram dengan muka merah tiba-tiba pendekar ini bangkit berdiri, membentak marah, “Fan-ciangkun, omongan apa yang kau lontarkan ini? Tidakkah kau sadar bahwa pertanyaan ini di luar batas kesopanan?"

Fan Li tertawa mengejek, masih beringas. "Aku tahu, Yap-twako. Tapi coba jawab dulu pertanyaanku itu. Kalau aku merampas isterimu dan memperkosanya serta menghinanya apakah kau tetap diam saja? Apakah kau dapat menerima semua perbuatan ini?"

Namun belum Bu Kong menjawab mendadak Ceng Bi sudah berteriak nyaring, berkelebat maju menampar panglima ini. "Fan ciangkun, pertanyaanmu di luar batas kesopanan. Tak perlu dijawab.... plak!" dan Fan Li yang terputar kepalanya segera roboh terpelanting begitu menerima kemarahan nyonya rumah. Panglima ini pecah mulutnya, tapi Ceng Bi yang kembali siap melakukan serangan sudah dicegah suaminya.

"Bi-moi, tahan. Jangan serang dia...!"

Ceng Bi berapi-api. "Tapi panglima ini tak tahu aturan, koko. Aku tidak terima mendengar kata-katanya yang kurang ajar!"

Fan Li bangun berdiri. Dia tidak mengeluh, mengusap darah di sudut bibirnya lalu memandang Pendekar Gurun Neraka dan dua isterinya yang tampak marah. Kemudian dengan senyum mengejek dan mata bersinar panglima ini menjawab, serak suaranya, "Yap twako, belum melakukan perbuatan itu saja kalian ternyata sudah marah-marah kepadaku. Bagaimana kalau seandainya kejadian itu benar-benar terjadi?”

Ceng Bi melengking, "Tak mungkin terjadi, Fan-dangkun. Dan kejadian itu tak mungkin akan dapat kau lakukan!"

"Ya, karena kalian jauh lebih kuat daripada aku, hujin. Tapi bagaimana kalau seandainya aku yang lebih kuat? Bagaimana kalau seandainya peristiwa itu menimpa kalian seperti apa yang terjadi pada Kou-siauw-ong?"

Bu Kong terkejut. "Apa yang terjadi, ciangkun?"

Fan Li tersenyum mengejek, agak nanar pandangannya karena tamparan Ceng Bi tadi membuat dia pusing, terhuyung maju. Dan berkata dengan suara gemetar panglima ini mulai bicara berapi-api, dengan tinju terkepal! "Pendekar Gurun Neraka, kusayangkan sekali bahwa kau ketinggalan dalam mengikuti perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini terhadap kami dua kerajaan. Raja muda Wu telah keluar dari garis kebenarannya. Dia menjajah dan berbuat sewenang-wenang terhadap kami, merampas dan mengambili wanita-wanita cantik biarpun ia itu isteri orang. Apakah kalau suatu ketika isterimu sendiri diambil raja muda itu kau biarkan saja dia merajalela? Laki-laki jahanam itu telah meminta upeti wanita-wamta cantik dari wilayah kami, Pendekar Gurun Neraka. Dan sebagai puncak dari semuanya ini raja muda itu telah meminta seorang selir tercantik dan tersayang dari pangeran kami untuk dipermainkan dan dihina!"

Bu Kong semakin terkejut. "Siapa yang diminta, ciangkun?"

"Kiok Hwa, selir yang akhirnya membunuh diri karena tidak kuat dipakai secara berganti-ganti oleh jahanam itu!"

Bu Kong dan isterinya mengeluarkan seruan kaget. Mereka terkejut sekali, dan Fan Li yang terlanjur "panas" oleh ketidak acuhan Pendekar Gurun Neraka semula sudah melanjutkan kembali dengan mata melotot,

"Dan kini ada kemungkinan selir-selir yang lain juga akan diminta oleh raja muda itu, Pendekar Gurun Neraka. Unsur perampasan yang di dorong oleh niat menghina dan menginjak-injak harga diri kami! Paduka pangeran hampir membunuh diri, dan kalau aku tidak selalu menghiburnya tentu beliau benar-benar menyusul selirnya terkasih itu! Apakah ini dapat dibenarkan, Pendekar Gurun Neraka?"

Pendekar Gurun Neraka tertegun. Dia tidak menyangka bahwa kejadian sudah berkembang pada pelanggaran moral, merampas dan menghina isteri orang lain. Dan Fan Li yang masih geram pada pendekar ini bicara lagi, berapi-api dengan kata-kata tajam,

"Dan harap kau ingat bahwa semua ini terjadi karena kami tak berdaya, Pendekar Gurun Neraka. Karena kalau kami berdaya tentu tak akan terjadi semuanya itu, seperti halnya isterimu bilang bahwa aku tak mungkin dapat merampasnya darimu karena kalian lebih kuat! Itu memang betul. Tapi kalau tak ada yang dapat melawan raja muda ini lalu harus berbuat bagaimanakah kami. Pendekar Gurun Neraka?' Mandah dan diam saja dihina lawan sampai ajal tiba? Hm, terus terang aku tak dapat melakukannya. Pendekar Gurun Neraka. Aku tak dapat membiarkan iblis itu merajalela dengan kejahatannya yang semakin menjadi-jadi! Aku akan membalas dan menyelamatkan rakyat dan junjunganku dari cengkeramannya. Aku siap mempertaruhkan jiwa dan raga demi bangsaku, biarpun harus gagal dalam perjuangan ini....!"

Fan Li terengah. Dia bersemangat sekali melampiaskan segala isi hatinya, dan melihat Pendekar Gurun Neraka tertegun memandangnya panglima itupun bicara lagi, mengepalkan tinju dengan gigi berkerot, "Dan aku kecewa sekali pada sikapmu yang acuh tak acuh ini. Pendekar Gurun Neraka. Kau seolah hendak cuci tangan dari berkembangnya sebuah kejahatan padahal kau bisa mengatasinya! Kenapa kau hendak melanggar hukum alam dan hukum kebenaran? Lupakah kau bahwa kita manusia ditakdirkan sebagai makluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri dan harus berhubungan satu dengan yang lainnya? Lupakah kau bahwa masalah ini kelak dapat merembet pada dirimu dan keluargamu? Kau boleh bilang dirimu tak akan diganggu. Pendekar Gurun Neraka. Tapi tak mungkin kalau anak dan cucumu kelak tak menerima getah dari kejahatan yang mulai berkembang yang dilakukan raja muda itu! Kau tak dapat melepaskan diri secara total dari tata hukum masyarakat, karena kita sudah ditakdirkan sebagai manusia yang berhubungan satu sama lain, entah itu dengan penduduk gunung atau penduduk kota raja!"

"Dan," Fan Li melanjutkan. "Pandanganmu sekarang harus dirobah. Pendekar Gurun Neraka. Bahwa bukan karena peperangan saja kau mengalami kekecewaan tapi karena perang pula kau kini mengalami kebahagiaan!"

"Eh, apa maksudmu, ciangkun?" Pendekar Gurun Neraka terkejut.

Fan Li memandang berapi-api. "Tak perlu disangkal, Pendekar Gurun Neraka. Bahwa ketegasan sikapmu tak mencampuri urusan kerajaan adalah berawalnya kematian kekasihmu itu, Ok Siu Li yang tewas pada sepuluh tahun yang lampau. Tapi lupakah kau bahwa kebahagiaanmu sekarang ini juga karena ulah perang itu? Lupakah kau bahwa dua orang isterimu ini kau peroleh karena juga gara-gara perang? Karena, kalau tak ada masalah perkumpulan Gelang Berdarah yang diperalat raja muda Wu itu belum tentu kalian bisa menemui kebahagiaan seperti sekarang ini, Pendekar Gurun Neraka. Bahwa sedikit ataupun banyak peperangan merobah nasibmu dan mengembalikan kebahagiaan yang dulu pernah hancur gara-gara perang!"

Pendekar Gurun Neraka terbelalak.

"Dan cam-kan ini. Pendekar Gurun Neraka," panglima itu kembali melanjutkan. "Bahwa seseorang yang dapat membantu orang lain namun tak mau melaksanakannya maka dia pantas disebut sebagai manusia kerdil, manusia picik yang cupat pandangannya. Dan khusus untuk dirimu, yang mendapat gelar sebagai pendekar penolong kaum lemah maka hari ini juga kucabut julukan itu dari dalam hatiku! Kau tak pantas disebut pendekar, tapi pengecut yang ingin hidup sendiri tanpa memperdulikan kesusahan orang lain!” lalu membanting kaki dengan marah-marah panglima ini memutar tubuh melompat pergi.

Dia terlampau kecewa dan sakit hati atas ketegaran pendekar ini, yang benar-benar tak dapat ditekuk dan dianggapnya mau hidup sendiri secara enak di atas gunung. Tak mau tahu kesusahan orang lain, meskipun mereka adalah sahabat sejak belasan tahun yang lampau! Dan Fan Li yang terlampau kecewa oleh sikap Pendekar Gurun Neraka yang dianggap kelewatan seperti pergi dengan penuh kemarahan, turun ke bawah gunung tanpa harapan lagi.

Tapi, baru dia keluar pintu tiba-tiba Pendekar Gurun Neraka berkelebat mengejarnya. “Fun-ciangkun. tunggu...!"

Namun Fan Li terlanjur kecewa. Panglima itu marah, tak mau berhenti. Dan begitu Pendekar Gurun Neraka mengulang panggilannya diapun tiba-tiba mempercepat larinya meluncur turun. "Pendekar Gurun Neraka, tak perlu kita bicara lagi. Kau manusia pengecut yang mementingkan diri sendiri...!"

Bu Kong terbelalak. Dia melihat panglima ini benar-benar marah, marah sekali tampaknya. Maka menjejakkan kakinya diapun tiba-tiba melayang di atas kepala orang dan menyambar pundak tamunya ini. “Ciangkun, berhenti. Aku siap membantu kalian!"

Fan Li terkejut. Dia tersentak ke belakang, merasa pundaknya pedas dicengkam jari-jari Pendekar Gurun Neraka yang kuat. Tapi mendengar seruan pendekar itu tiba-tiba panglima ini tertegun. "Kau merobah jalan pikiranmu?"

"Ya, aku dapat menerima caci-makimu, ciangkun. Aku melihat kebenaran dalam kata-katamu yang tajam!"

'"Ooh...!" dan Fan Li yang sudah menjadi girang luar biasa mendadak balas mencengkeram dan memeluk pendekar ini. Dia gemetar penuh kegembiraan, tak mampu mengeluarkan kata-kata barang sejenak. Tapi begitu sadar dan memekik kegirangan tiba-tiba panglima ini sudah menjatuhkan dan berlutut mencium kaki pendekar itu!

"Yap-twako, terima kasih. Aku benar-benar seperti kejatuhan bulan...!" dan panglima yang sudah membenturkan kepalanya diatas sepatu pendekar besar itu bertubi-tubi mengeluhkan rasa kebahagiaannya. Dia terlampau gembira sekali, tak dapat dikata lagi. Dan ketika puncak kebahagiaannya meledak dalam alunan tertinggi mendadak panglima ini mengeluh dan terguling pingsan!

Bu Kong geleng-geleng kepala. Dia melihat panglima itu tersenyum dalam ketidaksadarannya, maka terharu dan terpukul oleh semangat panglima ini yang demikian patriotis tiba-tiba diapun membungkukkan tubuh dan membawa panglima itu ke dalam. Dia tahu panglima ini pingsan karena pukulan kebahagiaannya, maka menotok dua tempat di jalan darah pundak dan leher diapun menyadarkan panglima itu dalam waktu yang tidak lama.

Fan Li bangun, melompat dan menubruk pendekar itu. Lalu bicara dengan mata basah dia buru-buru meminta maaf pada pendekar ini dan dua orang isterinya, sadar bagaimanapun juga dia telah melontarkan kata-kata "kurang ajar" untuk membangkitkan atau lebih tepat menembus bobol kekerasan jiwa Pendekar Gurun Neraka yang hampir-hampir tak dapat dipatahkan lagi. Dan Pendekar Gurun Neraka yang dapat menerima kata-kata panglima ini akhirnya menyadari kekeliruannya dalam memandang sebuah persoalan selama ini.

Memang betul. Manusia hidup tak mungkin menyendiri, biarpun itu hanya dengan keluarganya sendiri. Dan bahwa manusia dikodratkan sebagai mahluk "sosial" yang harus berhubungan satu dengan yang lainnya memang tak dapat dibantah lagi oleh pendekar ini. Betapapun manusia tak dapat acuh dengan keadaan sekitar, meskipun itu jauh dengannya.

Karena suatu perbuatan buruk yang dilakukan seseorang dan tidak mendapat perhatian serius untuk menanganinya tentu kelak cepat ataupun lambat pasti mengenai dirinya juga. Itu kalau dia masih hidup. Kalau dia sudah tiada, di mana generasinya sudah diganti oleh yang muda tentu kelak anak atau cucunya ini yang menerima "getah". Alhasil keluarganya juga yang memperoleh pil pahit dari sebuah kejahatan yang tidak segera diatasi. Padahal dia bisa mengatasi hal itu!

Hm, kenapa dia terkungkung dalam pandangannya yang picik selama ini? Kenapa dia acuh tak acuh menghadapi persoalan dua kerajaan itu? Bukankah dia dapat menyingsingkan lengan untuk membantu Yueh? Setidak-tidaknya, kalau dia segan berurusan dengan kerajaan maka dia dapat dan harus berurusan dengan kejahatan! Itu tak dapat dielak. Dia adalah seorang pendekar.

Dan bagi seorang pendekar seharusnya tak ada pikiran siapa yang dibela. Kerajaan ataukah bukan kerajaan, kelompok ataukah bukan kelompok. Dan perorangan ataupun bukan perorangan karena tugas seorang pendekar sesungguhnya adalah membela kebenaran! Itu saja. Titik. Dan siapa yang melakukan ketidakbenaran berarti dia itu musuhnya. Musuh seorang pendekar!

Maka Pendekar Gurun Neraka yang akhirnya menarik napas ini menunduk dalam-dalam. Dia tersenyum pahit, teringat betapa dia "disemprot" habis habisan oleh bekas pembantunya ini, Fan ciangkun yang gagah perkasa. Tapi kalau punglima itu lebih cenderung untuk membela kerajaan dan junjungannya adalah dia lebih menitikberatkan persoalan itu pada kebenaran.

Tak perduli apakah "kebenaran" itu sedang berkaitan dengan kerajaan atau bukan kerajaan, dengan kelompok atau bukan kelompok. Dan bahwa dia harus membela Yueh karena sikap Wu sudah di luar garis kebenaran maka dia harus menyingsingkan lengan dan melawan kejahatan itu. Hal yang sudah menjadi tugas seorang pendekar!

Sementara Fan Li, yang gembira mendapat kesanggupan pendekar ini untuk membela kerajaannya saat itu juga langsung berundirg dengan orang yang diharap dan diandalkannya ini. Panglima itu bersemangat sekali, tak kenal lelah dan waktu. Dan ketika semuanya selesai dan tugasnya berhasil dengan sukses diapun kembali ke kota raja setelah menginap satu malam di rumah pendekar itu. Turun gunung dengan muka berseri-seri setelah tugas pertamanya ini berhasil baik dan memuaskan!

Dan beberapa bulan kemudian atas restu Pangeran Kou Cien serta "berkah" dari Pedang Medali Naga didirikanlah perkumpulan Ho-han-hwe itu. Pedang ini diikutsertakan untuk memberi "pengayoman" secara psikis, pedang keramat yang diminta bantuannya secara gaib untuk memberi keberhasilan pada misi mereka. Perjuangan yang siap mereka lancarkan dari bawah dan amat berat itu.

Dan karena saat itu banyak orang-orang sakti yang percaya pada benda-benda pusaka yang dikeramatkan orang-orang tertentu apalagi seperti benda-benda istana macam Pedang Medali Naga ini maka secara moral mereka merasa mendapat tambahan kekuatan batin yang tidak kecil artinya bagi perkumpulan itu. Pedang yang secara simbolik dijadikan lambang pintu "gaib" untuk memperoleh keberhasilan mereka dalam perjuangan melawan kezaliman raja muda Wu! Perjuangan "bawah tanah" yang harus dilakukan dengan hati-hati sekali!

* * * * * * * *

Dan kini, kembali pada peristiwa di atas gunung Ta-pie-san di mana saat itu Pendekar Gurun Neraka mendengar berita tentang hilangnya Pedang Medali Naga sang ketua Go-bi Bu Wi Hosiang yang tidak sabar melihat pendekar ini termenung terlalu lama sudah bertanya sambil mengetukkan tongkatnya.

"Bagaimana pendapatmu, Yap-sicu? Apakah kita harus memencar untuk mencari kembali pedang yang hilang ini?"'

Pendekar ini menarik napas berat. "Aku belum dapat menentukannya, lo-suhu. Tapi bagaimana pula dengan anak kami Sin Hong? Kami juga mendapat musibah ini, tentu tak mungkin membiarkannya begitu saja dilarikan penjahat!"

"Hm, kalau begitu pinto dapat membantunya. Pendekar Gurun Neraka. Pinto dan Bu Wi lo-suhu akan meminta semua anggauta Ho-han-hwe yang ada untuk dikerahkan mencari anakmu itu. Tapi siapa yang harus lebih dulu dicari?" Thian Kong Cinjin tiba-tiba bicara, menimpali pembicaraan rekannya.

Dan Pek Hong yang tentu saja lebih memberatkan anak daripada sebuah perkumpulan sudah menjawab dengan alis berkerut, "Tentu saja kimi akan mencari Sin Hong dulu, locianpwe. Pedang Medali Naga setidak-tidaknya dapat dicari oleh kalian para anggauta Ho-han hwe!"

"Tapi kami akan membantumu, hujin. Pinto tidak bermaksud mendahului urusan pribadi kalau itu lebih penting!"

"Ya, tapi sebaiknya begini saja, Yap-sicu. Karena paduka pangeran menghendaki kedatanganmu di istana sebaiknya kita cari kedua-duanya secara berbareng. Ada suatu urusan yang hendak dibicarakan empat mata oleh sri paduka pangeran. Kalau kau setuju pinceng dapat mengerahkan murid-murid pinceng untuk mencari jejak anakmu. Bagaimana menurut hujin?"

Pek Hong memandang Hwesio Go-bi ini. Dia tentu saja masih keberatan, tak mau urusan mencari Sin Hong "dipisah" seperti itu. Karena ia menghendaki anaknya itu dicari dulu, bukan dicari sambil lalu. Tapi belum ia menjawab mendadak Ceng Han sudah mendahului maju.

"Adik Hong sebaiknya begini saja, aku punya usul. Kalau kalian setuju dan tidak keberatan sebaiknya biarkan Yap-twako ke kota raja memenuhi permintaan sri paduka pangeran. Ho-han-hwe mengalami cobaan berat, hanya Yap-twako seorang yang bisa mengatasinya. Kalau kalian tak dapat menunggu kembalinya Yap-twako untuk mencari Sin Hong biarlah aku mewakili Yap-twako bersama kalian mencari anak itu. Bagaimana menurut pendapat kalian?"

Pek Hong tak segera menjawab, ia memandang suaminya, minta pertimbangan. Dan Pendekar Gurun Neraka yang menghela napas tiba-tiba bertanya. "Han-te, urusan apakah sebenarnya yang hendak dibicarakan pangeran kepadaku? Tidakkah urusan itu bisa dilimpahkan pada orang lain saja?"

"Aku tak tahu masalahnya, twako. Tapi pangeran bilang ingin bicara empat mata denganmu!"

"Dan Bu Wi lo-suhu atau Thian Kong to-tiang juga tak tahu?"

"Pinceng kurang jelas, Yap sicu. Tapi tentunya itu penting sekali."

“'Ya. dan pinto rasa keadaan sudah mendesak. Pendekar Gurun Neraka. Karena pangeran sendiri berpesan agar secepatnya bertemu denganmu!" Thian Kong Cinjin menjawab, menyusul katakata Bu Wi Hosiang.

Dan Pendekar Gurun Neraka yang bagaimanapun juga terjepit oleh dua urusan yang sama-sama penting ini akhirnya mengangguk. "Baiklah, aku akan ke kota raja kalau begitu, ji-wi locianpwe. Dan kukira tidak ada jeleknya kalau adik iparku ini membantu isteriku mencari Sin Hong." lalu menoleh pada isterinya pertama pendekar ini bertanya, "Hong-moi. kau tentu dapat menyetujui pendapatku, bukan? Istana minta kedatanganku, urusan pribadi terpaksa kusimpingkan dulu. Bagaimana menurut pendapatmu?"

Pek Hong terisak. Ia tiba-tiba sedih, tapi merasa tak dapat menolak karena di situ sedang ada tiga orang tamu mereka maka nyonya muda inipun menganggukkan kepala dengan hati disayat. Merasa betapa mereka lagi lagi harus berpisah! "Terserah padamu, koko... kalau kau merasa itu paling baik bagi kita aku akan mengikutimu...!”

Ceng Bi terharu. Ia tahu apa yang sedang bergolak di hati madunya ini, maka memeluk pundak madunya ia berbisik, “Enci Hong, jangan berduka. Aku akan menemanimu mencari Hong ji. Bagaimanapun juga dia adalah puteraku, anak-anak kita berdua!"

Pek Hong menangis di pelukan madunya. Ia tersedu-sedu, tapi isteri pendekar sakti yang tahu keadaan ini akhirnya mampu menahan diri. Ia menggigit bibir, dan ketika mereka sudah menentukan rencana untuk apa yang diperbuat maka Pendekar Gurun Neraka serta tiga orang tamunya segera mengurus mayat Ta Bhok Hwesio yang ada di ruangan itu. Pek Hong hampir pingsan melihat keadaan gurunya ini, dan Ceng Bi yang bijaksana lalu menyeret madunya itu ke dalam kamar untuk dihibur.

Sementara keesokan harinya, setelah semua urusan di atas gunung beres berangkatlah Pendekar Gurun Neraka ke kota raja bersama Bu Wi Hosiang dan Thian Kong Cinjin. Mereka bersama turun gunung, tapi ketika tiba di kaki bukit tiga orang ini berpisah. Thian Kong Cinjin dan Bu Wi Hosiang belok ke kiri menuju markas Ho-han-hwe sedangkan Bu Kong terus ke barat menuju kota raja, meninggalkan Ceng Bi dan Pek Hong serta Ceng Han di atas gunung. Tiga orang yang siap mencari Sin Hong kalau dia terlalu lama kembali!

* * * * * * * *

"Siauw cut, bagaimana kesanmu di atas gunung?"

"Hm, mereka benar-benar lihai, locianpwe. Pendekar Gurun Neraka dan dua orang isterinya itu benar-benar tak dapat dipandang enteng!"

"Dan kau sekarang percaya omonganku?"

"Ya."

"Ha-ha, kau memang anak keras kepala, Siauw-cut. Kalau belum membuktikan sendiri agaknya kau tak kenal puas!"

Dua bayangan itu bicara sambil berlari cepat. Mereka adalah Bu-beng Siauw-cut dan Kun Seng, laki-laki tua yang belum begitu dikenal si bocah. Dan Kun Seng yang tertawa bergelak oleh pengakuan anak laki-laki ini akhirnya menuding ke kanan.

"Bu-beng, kita istirahat dulu. Pohon itu rindang sekali untuk kita!"

Anak itu mengangguk. Dia tak mengeluh diajak berlari di panas terik begitu. Tapi ketika lawan mengajaknya berteduh diapun tak menolak. Mereka membelok kekanan, dan begitu tiba di bawah pohon rindang ini si laki-laki tua membanting pantatnya sampai berdebuk.

"Bu-beng, kau sungguh anak luar biasa. Gembira sekali aku berkenalan denganmu, ha-ha...!" dan Kun Seng yang memandang si bocah penuh kagum tak menyembunyikan rasa gembiranya yang amat besar.

Tapi anak laki-laki ini acuh saja. Dia menyeka peluh, lalu duduk di bawah pohon itu dia memandang lawan bicaranya. "Locianpwe, kapan kau akan meninggalkan aku?'

"Wah, kenapa buru-buru, anak baik? Bukankah aku baru saja menolongmu dari kejaran dua orang isteri Pendekar Gurun Neraka itu? Kalau tidak tentu kau sudah ditangkap mereka dan mungkin mendapat perlakuan tidak menyenangkan yang menyakitkan hatimu!"

Anak ini tersenyum mengejek. "Ya, kata-katamu benar, locianpwe. Tapi bagaimanapun juga kau harus menepati janji!"

Orang tua ini menyeringai. Dia mengebut-ngebutkan bajunya yang penuh debu. lalu mengambil roti kering dan arak putih dia menggapaikan lengannya. "Bubeng, aku tak akan melanggar janji. Tapi tak adakah rasa terima kasihmu pada tua bangka ini? Hayo ke mari, kita minum arak dulu sebelum berpisah!"

Anak itu menggeser duduknya. Dia sudah disodori arak putih itu, juga roti kering. Tapi mengerutkan alis mendadak dia bertanya, "Apakah untuk makanan dan minuman ini aku juga dianggap hutang, locianpwe?"

""Eh, apa maksudmu?" si tua terbelalak.

"Artinya, bila aku menerima tawaranmu ini apakah juga wajib kau menagih hutang terima kasih padaku?"

Laki-laki tua itu tertawa terbahak. "Bu-beng, kau kurang ajar sekali. Kenapa bicaramu ceplas-ceplos begini? Siapa mengharuskan kau berterima kasih padaku? Hayo, sambar saja roti kering ini dan celupkan pada arak. Tentu sedap sekali dinikmati pada saat terik begini, ha-ha...!" dan si tua yang sudah melempar sepotong roti pada anak laki-laki itu menggelogok araknya dengan lahap.

Bu-beng Siauw-cut mengamati, tertegun sejenak. Tapi melihat temannya itu menggelogok arak dengan muka gembira diapun jadi tersenyum kecil.

Kun Seng sudah melempar guci araknya pula, dan laki-laki tua yang berseri mukanya itu menepuk pundaknya. "Bubeng, hayo minum. Celup roti kering itu dan nikmatilah...!"

Anak ini tak menolak lagi. Dia sudah menerima guci arak itu, lalu minum sedikit membasahi kerongkongannya yang haus diapun mulai menggigit roti kering itu. Masih sungkan-sungkan. Tapi si tua Kun Seng yang tak sabar melihat sikap anak ini menyambar gucinya.

"Wah, kenapa malu-malu? Hayo buka mulutmu itu, Bu-beng. Aku akan menuangnya...” gluk-gluk-gluk! dan Bu-beng Siauw-cut yang tiba-tiba meneguk arak yang sudah dituang dalam mulutnya yang terbuka mendadak terbatuk-batuk dan tersedak!

"Wah... sudah, locianpwe.... sudah., sudah cukup...!"

Orang tua itu tertawa. Dia melempar kembali gucinya pada anak laki-laki itu, dan bangkit berdiri dengan muka gembira dia berkata, "Sekarang kau telah menikmati arak putihku Bu-beng. Dan jangan kaget kalau beberapa saat lagi kau akan merasa bertambah semangat dan enteng sekali tubuhmu! Tapi tidak khawatirkah kau bahwa arakku beracun?"

Si anak mengusap bibirnya. "Aku tak khawatir racun atau tidak beracun, locianpwe. Yang jelas aku percaya kau tak mempunyai maksud buruk!"

"Ha-ha, dari mana kau tahu?"

"Dari sikapmu ini. Bukankah kau telah menolongku dari kejaran dua orang isteri Pendekar Gurun Neraka?"

Laki-laki tua itu terbahak. Dia gembira sekali berdekatan dengan anak ini, tapi teringat dia harus meninggalkan anak ini sesuai perjanjiannya di kuil Tee-kong-bio tiba-tiba ketawanya lenyap terganti rasa muram yang membuat mukanya gelap. "Bu-beng," dia menarik napas. "Kau benar-benar anak mengagumkan sekali. Tapi bolehkah kutanya satu hal sebelum kita berpisah?"

Anak itu terheran. "Apa yang hendak kau tanyakan, locianpwe?"

"Dirimu ini. Kemanakah kau akan pergi setelah kegagalanmu di puncak gunung?"

"Hm, itu urusanku sendiri, locianpwe. Apakah kau hendak secara diam-diam menguntit, perjalananku?"'

"Ah, tidak, anak baik. Tapi aku hendak memberi nasihat padamu."

"Tentang apa?"

"Tentang kelemahanmu ini. Kau harus belajar silat, tak boleh begini terus kalau ingin berhasil menghadapi Pendekar Gurun Neraka. Laki-laki itu terlalu hebat untukmu, Bu-beng. Di dunia ini kukira hanya dua orang saja yang dapat menandinginya!"

Si anak tertegun. "Siapa, locianpwe?"

"Aku sendiri dan seorang lain!"

Bu-beng Siauw-cut tiba-tiba tertawa. Dia terbelalak mendengar kata-kata itu, sekejap tapi kemudian tertawa geli sampai terpingkal. Lalu bangkit berdiri dengan masih tertawa geli anak ini berkata, "Locianpwe, pintar sekali akalmu ini. Bukankah dengan begitu kau ingin bersamaku terus dan membatalkan janjimu sendiri? Ah, kau tak perlu menipu aku. locianpwe. Kau tak dapat membodohiku dengan caramu begini...!"

Laki-laki itu merah mukanya. "Aku tak bohong. Bu beng. Aku mempunyai ilmu silat pedang yang selama ini kurahasiakan untuk menghadapi pendekar muda itu!"

Tapi Bu-beng Siauw-cut tak tertarik. Anak ini menghela napas, dan duduk kembali dengan mata melamun anak ini menggeleng. "Tidak, aku tak tertarik pada ilmu pedangmu, locianpwe, atau pada ilmu silat orang lain yang bagaimanapun hebatnya. Aku telah menemukan calon guruku sendiri. Dan itu baru kuketahui ketika aku berada di rumah musuh besarku itu!"

Kun Seng terbelalak. "Siapa, Bu-beng?"

"Hampir sama dengan namaku. Tapi tak kuketahui di mana dia berada!"

"Hm. siapa dia? Mampukah dia menandingi ilmu pedangku?"

Si bocah tertawa aneh. "Aku tak tahu bagaimana kehebatan ilmu pedangmu, locianpwe. Tapi aku merasa kau tak dapat menandingi orang yang menjadi pilihanku ini, biarpun aku juga belum pernah melihat muka ataupun ilmu kepandaiannya!"

Orang tua itu penasaran. Dia jadi marah mendengar kata-kata ini, tapi menekan kemarahannya tiba-tiba dia mencabut pedang yang tersembunyi di balik punggungnya. "Bu-beng, beranikah kau bertaruh bahwa orang itu benar-benar mampu menandingi ilmu pedangku? Siapa dia dan yakinkah kau akan kehebatannya?"

"Hm, aku yakin, locianpwe. Karena Pendekar Gurun Neraka sendiri tampaknya berobah mukanya begitu menyebut nama orang ini! Dia pasti orang hebat, kalau tidak tak mungkin pendekar itu gemetar menyebut namanya...!"

Kun Seng jadi mendongkol. "Dan kau berani menerima taruhanku?"

Si anak tiba-tiba bangkit berdiri. "Kenapa tidak, locianpwe? Aku berani bertaruh untuk nama yang satu ini. Tapi dengan syarat, bila kau mengakui kebesaran namanya kau harus menunjukkan padaku di mana orang itu berada!"

Si tua terbelalak. "Hanya dengan mengakui kebesaran namanya? Jadi belum bertanding?"

"Ya, tak perlu bertanding, locianpwe. Karena kalau bertempur kau pasti kalah! Kau berani mengakuinya dengan jujur?”

Laki-laki ini membanting kakinya. "Bu-beng Siauw-cut, kau benar-benar bocah kurang ajar! Mana mungkin bertaruh macam ini? Kau gila!"

Tapi anak itu tersenyum. "Tidak, aku tidak gila, locianpwe. Justeru aku merasa yakin setelah Pendekar Gurun Neraka sendiri menyebut namanya. Sesungguhnya aku telah mendengar nama itu banyak disebut-sebut orang!"

"Hm, siapakah dia?"

Namun anak ini menyeringai kecil. "Locianpwe, sebaiknya kita bicara dengan jujur. Beranikah kau mengakui kekalahanmu bila benar orang ini di atas dirimu? Artinya, bila benar orang ini memiliki nama besar di atas dirimu sendiri kau harus jujur mengakuinya dan tak boleh banyak cakap lagi. Tapi kalau aku yang kalah apapun boleh kau minta dari aku, termasuk menjadi muridmu ataupun pelayanmu!"

Kun Seng naik darah. Dia jadi tertawa bergelak untuk melampiaskan kemarahannya ini, tapi menggeram lirih dia berkata, "Bu-beng, baru kali ini aku si tua bangka diadu macam jengkerik tak berdaya oleh bocah macammu ini. Tapi baiklah, bila dia memang betul-betul hebat dan sanggup melayani ilmu pedangku saat itu juga aku tunduk dan menyerah kalah. Tapi kalau tidak, kau harus melayaniku sebagai budak selama sepuluh tahun!"

Anak ini mengangguk. "Boleh, kuterima tantanganmu. Tapi bagaimana kalau aku yang menang?"

"Kau boleh minta apa saja dariku, bocah kurang ajar. Tapi yang tidak melanggar kebenaran!"

"Baik, aku hendak minta satu saja, locianpwe. Yakni kau harus menunjukkan padaku di mana orang besar ini tinggal!"

Kun Seng tertawa beringas. Dia penasaran sekali, merasa "diaduk-aduk" bocah ini. Tapi laki-laki tua yang mendongkol bercampur tegang itu membentak, "Baiklah, sekarang katakan siapa dia, Bu-beng Siauw-cut. Aku siap mendengar dan memaki namanya kalau dia cecunguk macam dirimu ini!"

Anak itu tersenyum. "Kau benar-benar siap, locianpwe?"

"Ya, cepat katakan.'"

"Baiklah, dia adalah Bu beng Sian-su!"

"Hah...?" si tua mencelat ke belakang, "Bu-beng Sian su? Kau gila, anak setan? Kau hendak menandingkan manusia dewa itu dengan si tua bangka ini?"

"Ya, kau mampu mengalahkannya, locianpwe? Kau anggap nama ini tidak berharga dibanding namamu? kau siapakah dan siapa julukanmu?"

Tapi Kun Seng sudah tertegun bingung. Dia terkejut mendengar nama yang diajukan Bu-beng Siauw cut ini, mengira anak yang tidak bisa silat itu tak mengenal nama yang tersohor di kalangan orang-orang kang-ouw ini. Nama yang tidak ada bandingannya di seluruh jagat persilatan, nama yang tidak bisa disejajarkan dengan orang-orang "biasa" karena Bu-beng Sian-su dianggap dewa yang tingkatannya jauh di atas manusia "biasa". Karena itu mendengar Bu beng Siauw-cut tiba-tiba mengajukan nama ini kontan saja kakek itu terkejut dan bengong. Tapi akhirnya malah marah-marah!

"Bu-beng, kau curang. Nama ini terang tak dapat disejajarkan dengan manusia!”

""Hm. kenapa begitu, locianpwe? Bukankah dia juga manusia seperti kita?"

"Benar, tapi Bu-beng Sian-su manusia istimewa, bocah. Dia manusia dewa yang disegani orang jahat maupun baik!"

"Dan kau mengakui kebesarannya?"

"Tentu saja. Tapi...."

"Tapi kau tentu tak menolak kekalahanmu bukan, locianpwe?"' anak ini memotong, tersenyum memandang lawannya.

Dan si kakek yang blingsatan oleh potongan kata-kata itu akhirnya membanting kaki dengan marah. "Bu-beng Siauw-cut, kau curang. Kau benar-benar mengakali aku!”

“Tapi aku merasa tak menipumu, locianpwe. Kita masing-masing bicara apa adanya!"

"Ya, tapi Bu-beng Sian-su bukan tandingan manusia biasa, anak setan. Kakek itu manusia dewa yang tidak ada tandingannya di muka bumi ini!"

"Jadi karena itu dia betul-betul hebat luar biasa?"

"Tentu saja!'"

"Nah, dialah calon guruku. Aku telah menjatuhkan pilihan untuk menjadi murid manusia dewa ini.”

Tapi si lelaki tua yang mendengus tiba-tiba tertawa mengejek. "Siauw-cut, kau bagai pungguk merindukan bulan! Tidak tahukah kau watak yang aneh dari kakek dewa ini?"

"Hm, watak aneh yang bagaimana, locianpwe? Apa yang kau maksud?"

"Kau tidak akan berhasil mewujudkan angan-anganmu, bocah. Bu-beng Sian-su tak mungkin mau mengambilmu sebagai murid!"

"Kenapa?"

"Kakek itu tak lagi terikat oleh segala hubungan duniawi. Dia tak mau terikat dan diikat oleh urusan murid dan guru. Biarpun kau jungkir balik seribu kali di depannya!"

"Ah, kau bohong, locianpwe... kau menakut-nakuti aku?"

"Hm, kenapa aku harus bohong padamu, Siauw-cut? Kenapa aku harus membohongi seorang bocah? Kau kira untuk membujukmu menjadi muridku aku harus berbuat yang tidak-tidak? Huh. orang she Kun ini masih punya harga diri, bocah. Aku tak sudi melakukan perbuatan memalukan kalau kau memang tak mau menjadi muridku!"

Bu-beng Siauw-cut percaya. Dia memang melihat watak yang gagah membersit di wajah laki-laki tua ini, sikap yang penuh kejantanan di balik keriput muka tua itu. Tapi sangsi bahwa Bu-beng Sian-su benar-benar tak mau "diikat" urusan duniawi diapun mencoba tersenyum, senyum tak percaya.

"Locianpwe, aku belum membuktikannya sendiri. Mungkin kau benar tapi mungkin juga tidak. Siapa tahu nasib keberuntungan sedang ada di pihakku? Kau katakanlah sekarang, di mana aku bisa menemui kakek itu dan kita sama lihat, siapa yang menang untuk urusan ini. Kau masih menepati janjimu, bukan?"

Kun Seng tertawa mengejek, gemas juga! "Siauw-cut, kau benar-benar anak bandel. Kenapa tidak percaya omongan orang? Kau kira mudah membujuk kakek itu? Tapi baiklah, kalau benar-benar kau ingin menemui manusia dewa ini kau boleh mencarinya di Gua Malaikat! Kakek itu ada di situ. biasanya bersamadi berharihari sebelum turun gunung mencari seseorang."

“Hm. di mana Gua Malaikat itu, locianpwe?”

“Di sana. Tiga hari perjalanan dari sini di sebelah timur Lembah Cemara. Kau temuilah kakek itu kalau kau berhasil!" si tua menuding ke timur, ke arah sebuah gunung yang hijau kebiruan, jauh dari tempat mereka berada.

Dan Bu-beng Siauw-cut yang sudah gembira hatinya buru-buru melompat bangun dan menjura. "Locianpwe, kau benar-benar baik. Terima kasih...!"

"Hm, kau mau berangkat sekarang juga?"

"Ya Mau tunggu apalagi, locianpwe? Bukankah kita..."

"Ya-ya, kita tak ada urusan lagi, Bu-beng Siauw-cut. Aku tahu... aku tahu itu! Bukankah kau hendak bilang bahwa aku tak perlu menguntitmu di belakang?” si kakek memotong, gemas tapi juga mendongkol.

Dan Bu-beng Siauw-cut yang tertawa ditahan segera membungkukkan tubuhnya dalam-dalam. "Locianpwe, jangan marah. Sesungguhnya kalau belum berhasil kutemui manusia dewa itu tak puas rasanya hati ini. Kita rupanya tak berjodoh, hingga maaf tak dapat kupenuhi permintaan baikmu untuk mengambilku sebagai murid. Tapi masih banyak anak-anak lain yang berbakat, bukan? Nah, sampai ketemu, locianpwe. Selamat tinggal dan... jangan melanggar janjimu sendiri untuk mengejar-ngejarku lagi!"

Anak itu sudah memutar tubuh, siap meninggalkan kakek she Kun ini. Tapi si tua yang menggapaikan lengannya mendadak melompat maju, berseru memanggil, "Bu-beng, tunggu dulu! Bolehkah kutanya sebuah hal?"

"Hm, apa yang hendak kautanyakan, locianpwe?"

Kakek itu batuk-batuk. "Aku ingin bertanya tentang kecerdikanmu ini, anak baik. Bahwa agaknya semenjak di kuil Tee-kong-bio itu kau sudah tahu tentang nama Bu-beng Sian-su ini! Benarkah?''

Anak itu tersenyum. "Memang benar, locianpwe..."

“Dan kau sengaja menguji kebesaran nama ini di depan Pendekar Gurun Neraka dan aku sendiri?"

"Hm, sebetulnya tidak demikian, locianpwe. Untuk Pendekar Gurun Neraka aku mendapatkannya secara kebetulan saja."

"Dan untuk diriku?"

Si anak tertawa.

"Setan, kenapa kau tertawa, Bu-beng?"

Bu-beng Siauw-cut geli hatinya."Maaf, aku sengaja mengulang nama itu untuk meyakinkan diriku, locianpwe. Dan ternyata benar kau terkejut sekali begitu mendengar nama Bu-beng Sian-su!"

“Jadi dengan begini kau yakin dia merupakan orang yang dapat kau andalkan, bocah?'

"Ya."

"Setan...! Kau benar-benar bocah siluman, Bu-beng. Sungguh tak kusangka kau memiliki kecerdikan besar!"

Bu-beng Siauw-cut tertawa. Dia tak menghiraukan lagi kakek Kun ini, memutar tubuh dan berlari cepat meninggalkan kakek itu. Tapi melambaikan tangan dia berteriak, "Locianpwe, jangan penasaran. Kita berpisah dulu, sampai jumpa...!"