Pendekar Kepala Batu Jilid 30 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 30
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pendekar Kepala Batu Karya Batara
DAN LEK HUI yang sudah melihat lawan terluka mendadak saja semakin bringas. Raksasa muda yang tampaknya haus melihat darah mengucur itu tiba-tiba menggereng bagai singa kelaparan, dan lawan yang terhuyung-huyung dengan lengan sengkleh itu sekonyong-konyong diterjangnya. Kapak Delapan Dewa yang telah mencium darah diangkat tinggi-tinggi di atas kepala, dan begitu dia melompat tahu-tahu kapak itu menyambar kepala Hek-mo-ko dengan kecepatan luar biasa!

Inilah suatu serangan maut yang benar-benar tak dapat dielakkan iblis hitam itu. Dan Hek-mo-ko yang pucat mukanya ini benar-benar tersirap. Dia kaget bukan main, tapi waktu yang tidak memberinya kesempatan lagi untuk bertindak membuat Iblis hitam ini memekik. Dia meraung, ganas tapi juga gentar. Dan ketika Kapak Delapan Dewa terayun di atas kepalanya Hek-mo-ko tiba-tiba melompat ke belakang. Dia bermaksud menyelamatkan diri dengan jalan melompat mundur, tapi iblis yang sudah gugup dan serasa terbang semangatnya itu tiba-tiba mendapat sial. Kaki yang melompat ke belakang terpeleset jatuh, dan kapak yang sudah menderu hebat ini tahu-tahu menghantam dadanya.

"Krak…!" Hek-mo-ko menjerit dengan pekik tinggi, dan iblis hitam yang terbelah dadanya itu terjengkang roboh dengan tulang terkuak lebar. Dia tak dapat mengelak maut, dan ketika darah menyembur deras dari luka-luka yang mengerikan itu ambruklah tangan kanan Cheng-gan Sian-jin ini dengan mata melotot. Dia tewas seketika dan para tamu yang melihat hasil dari pertandingan babak pertama itu sekonyong-konyong menjublak dengan mata terbelalak. Mereka ngeri melihat hasil kesudahan dari adu kepandaian ini, dan Lek Hui yang memperoleh kemenangan dengan mutlak tiba-tiba berdiri dengan mata berseri-seri.

Dia memandang semua orang, lalu menjura ke arah tuan rumah, raksasa muda inipun sudah memberi hormat dan melayang turun. "Hiat-goan-pangcu, aku menang…!" demikian teriaknya.

Dan ketua Gelang Berdarah yang tertegun menyaksikan kehebatan murid Ciok-thouw Taihiap sampai tercengang. Dia terkejut melihat sepak terjang raksasa muda ini, tapi Lek Hui yang melayang turun mendadak mendengar sebuah seruan menggeledek,

"Bocah She Auw, kembalilah…!"

Lek Hui tersentak, Dia menoleh dan begitu melihat siapa yang membentakn tiba-tiba Lek Hui terkejut. Ternyata Cheng-gan Sian-jin! "Ah, kau Cheng-gan Sian-jin?" pemuda ini mengerutkan keningnya. "Ada apakah kau memanggilku?"

Datuk iblis bermata hijau ini berapi-api mukanya. "Aku ingin menantangmu, bocah she Auw. Beranikah kau menerimanya?!"

Lek Hui seketika tertegun. Para tamu yang mendengar juga tampak terkejut, sebelum murid Ciok-thouw Taihiap itu meberikan jawabannya tiba-tiba Pek-mauw sian-jin melompat maju.

"Cheng-gan Sian-jin, tidak malukah kau menantang seorang yang baru saja bertanding? Dimana kejantananmu menantang seorang anak muda?"

Tapi Cheng-gan Sian-jin tertawa mengejek. "Malu tidak malu itu bukan persoalan orang lain, Pek-mauw Sian-jin. Ada apa kau turut campur tantanganku ini? Takutkah kau kalau anak muda ini roboh menyusul pembantuku?"

Pek-mauw Sian-jin menjadi marah. Tapi sebelum dia membantah tiba-tiba Pendekar Kepala Batu bangkit berdiri. "Pek-mauw Sian-jin, biarkan iblis yang sombong itu berbicara. Aku ingin mendengar apa yang akan dikatakannya!" dan begitu ketua ini melompat bangun tiba-tiba para tamu menjadi tegang. Mereka merasakan keadaan yang sangat mencekam, Cheng-gan Sian-jin yang terlawa berteriak memandang pendekar sakti. itu.

"Ha-ha, kau memang benar-benar mengagumkan, Ciok-thouw Taihiap. Kalau begitu, bagaimana kalau kau saja yang menghadapiku? Muridmu barangkali dikatakan seorang pengecut. Nah, kalau begitu biar kau saja yang mewakili muridmu menghadapi aku. Naiklah Ciok-thouw Taihiap. Mari kita bertanding dan biarkan muridmu itu berlindung di balik punggung gurunya!"

Lek Hui menjadi marah. "Cheng-gan Sian-jin, siapa yang berniat menyembunyikan diri di balik punggung guruku kau kira takutkah aku melawanmu? Hem...." Lek Hui yang tiba-tiba melayang naik ke atas panggung itu mendadak berkaca pingang. "Jangan kau sombong, iblis tua. Aku masih sanggup bertempur walaupun sudah bertempur dengan tangan kananmu yang kubinasakan itu....!" dan Lek Hui yang kembali mencabut Kapak Delapan Dewanya sudah memutar-mutar senjata berat ini dengan mata terbelala marah. Dia memang tersinggung sekali oleh kata-kata Cheng-gan Sian-jin yang amat menyinggung harga dirinya itu.

Dan Cheng-gan Sian-jin yang diam-diam girang oleh majunya raksasa muda ini diam-diam mengerahkan pandangannya ke arah lawan. Dia pura-pura bersikap tak acuh, tapi melempar senyuman mengejek dia memandang Pendekar Kepala Batu. "Ciok-thouw Taihiap, beginikah maksud hatimu? Kau tidak cepat memanggil muridmu ini, agar tidak roboh sia-sia di tanganku? Hem, lebih baik kau suruh turun muridmu itu, Ciok-thouw Taihiap. Dan kau majulah ke mari hadapi kesaktianku!"

Ciok-thouw Taihiap hendak bicara, tetapi Lek Hui yang sudah mendahuluinya berseru kepadanya, "Suhu, jangan kau panggil aku ke kursi panggung. Bukankan dahulu kau memerintahkan kepadaku untuk membunuh iblis ini? Nah, sekarang dia menantangku, suhu. Jangan jadikan teecu tertawaan orang banyak walau harus kau suruh mundur!"

Ketua Beng-san-pai ini bersinar. Dia memang bangga mendengar dan melihat sikap muridnya itu, tapi menyadari bahwa Lek Hui baru saja melepas tenaga untuk menghadapi Hek-mo-ko dia jadi ragu-raga. Sebenarnya, di dalam hati dia memang ingin menghadapkan muridnya itu melawan datuk sesat ini. Tapi mengingat Lek Hui baru saja bertempur maka diapun menjadi bimbang. Dan Pek-mauw Sian-jin yang khawatir menyaksikan kelengahan Lek Hui, tiba-tiba sudah berseru.

"Cheng-gan Sian-jin, jangan kau bakar semangat musuhmu yang muda itu. Kalau kau ingin mengajukan diri sebaiknya kau memilih yang tua-tua. Aku umpamanya, atau Hoa-san-paicu maupun yang lain. Saudara Lek Hui masih lelah, tak mungkin menang melawanmu."

Inilah satu pembelaan yang maksudnya baik. Tapi Lek Hui yang mendengar kalimat terakhir dari Pek-mauw Sian-jin itu tiba-tiba mendelik ke arah ketua Kun-lun ini. Kata-kata itu bisa diartikan lain, maka raksasa muda yang merah mukanya itu tiba-tiba menggereng ke arah tosu, "Pek-mauw Sian-jin, apa kau bilang? Aku tak mungkin menang melawan iblis tua ini?"

Pek-mauw Sian-jin terkejut. Dia kaget melihat Lek Hui menggereng ke arahnya, dan sadar akan kekeliruannya bicara tiba-tiba diapun buru-buru mengulapkan lengan. "Tidak, bukan itu maksud pinto, saudara Lek Hui. Tapi pinto hendak maksudkan bahwa karena kau masih lelah tak mungkin dirimu harus menghadapi lawan yang segar bugar!"

Cheng-gan Sian-jin tiba-tiba tertawa. "Ha-ha, kalau begitu boleh sekalian maju. Pek-mauw Sian-jin. Aku boleh menghadapan dua lawan sekaligus kalau murid Ciok-thouw Taihlap itu lelah."

Pek-mauw Sian-jin melotot. Dia gusar melihat kesombongan datuk lblis itu, karena hal ini bisa mengacaukan maksud baiknya untuk menarik Lek Hui yang dasar berwatak keras itu benar saja sudah membanting kakinya.

"Cheng-gan Sian-jin, jangan kau bermulut besar. Siapa takuti dirimu yang sombong ini? Tanpa dibantu Pek-mauw Sian-jin pun aku dapat mengalahkanmu. Hayo majulah. Aku siap bertanding seribu jurus dengan mu!" dan Lek Hui yang sudah menggedruk lantai panggung itu berapi-api matanya membakar lawan. Dia benar-benar merasa direndahkan, dan Cheng-g-Sian-jin yang merasa pancinganriya berhasil tiba-tiba tertawa bergelak.

"Ha-ha, singa muda ini temyata nekat, Pek-mauw Sian-jin. Bagaimana kala kausuruh sekali lagi agar dia mundur?"

Pek-mauw Sian-jin tak mampu bicara lagi. Dia maklum api yang disulut kakek iblis itu telah mengenai sasarannya, dan Ciok-thouw Taihiap yang dianggap satu-satunya orang yang mampu mengendalikan kegalakan Lek Hui tiba-tiba sudah dihadapi dengan alis berkerut. "Beng-san-paicu, bagaimana tanggapanmu tentang muridmu ini? Tidakkah sebaiknya dia dipanggil turun?"

Tapi Ciok-thouw Taihiap menggelengkan kepala. Ketua Beng-san-pai yang juga sedikit tersinggung oleh ucapan terakkhir pek-mauw Sian-jin ini terhadap murid kepalanya sudah mengeraskan dagu, dan menjawab tegas diapun sudah menggerakkan lengannya. "Tidak, sekarang hal itu tidak perlu lagi, Pek-mauw Sian-jin. Muridku yang telah menantang lawan tak mungkin harus kutarik kembali. Ciok-thouw Talhiap lebih mementingkan kegagahan daripada selembar nyawa!"

Maka oleh jawaban ini Lek Hui pun menjadi girang bukan main. Raksasa muda itu terrtawa bergelak, dan membungkuknn tubuh diapun sudah berseru kepada gurunya itu, "Suhu, terima kasih!" dan Lek Hui yang sudah memutar-mutar kapak raksasanya menghadapi. Cheng-gan Sian-jin dengan muka penuh semangat. "Cheng-gan Sian-jin, berapa jurus kita hendak bertanding? Beranikah kau menghadapi Kapak Delapan Dewaku ini?"

Cheng-gan Sian-jin tersenyum . "Kau memang mengagumkan, bocah she Auw. Tapi bagaimana kalau kau roboh di tanganku? Kukira duapuluh Lima jurus saja aku sudah dapat menundukkan mu!"

Lek Hui melotot geram. Dia marah oleh kesombongan lawan, dan membentak keras diapun sudah menyuruh lawan mencabut senjata, "Cheng-gan Sian-jin, cabut senjatamu agar kita tentukan siapa yang bermulut besar. Cepat...!"

Tapi Cheng-gan Sian-jin tertawa. Aku malu harus menghadapimu dengan senjata, bocah. Lebih baik kita bertempur seperti ini saja. Kau telah melawan pembantuku berarti tenagamu telah berkurang. Dan aku yang akan mengimbangimu dengan tangan kosong akan menjadikan kedudukan kita adil. Nah, setuju, bukan?"

Lek Hui menyeringai. Dia merasa agak direndahkan, tapi karena omongan lawan memang ada betulnya tiba-tiba pun membentak, "Baiklah, Cheng-gan Si-jin. Karena kau memutuskan sendiri kepusanmu itu maka jangan salahkan aku kau roboh menghadapi senjata Kapak Delapan Dewaku ini, Kaujagalah...!" dan Lek Hui yang tiba-tiba sudah melompat tinggi mengayunkan kapak raksasanya itu sudah menyerang datuk ini dengan kecepatan kilat.

Cheng-gan Sian-jin terkekeh dan ingin membuat kejutan pertama dalam gebrakan baru ini tiba-tiba dia mengangkat lengan kirinya. Kapak yang menyambar kepala ditangkis berani dengan telapak kosongya, dan Lek Hui yang terbelalak melihat perbuatan lawan melengking ganas menambah tenaga.

"Plak...!" Kapak dengan tepat diterima dengan tangan kiri Cheng-gan Sian-jin, tapi Lek Hui yang mental senjatanya bertemu degan jari sakti lawan berteriak kaget dengan muka berobah. Ternyata kapaknya itu tergetar, dan Cheng-gan Sian-jin yang sama sekali tidak terluka dihantam Kapak Delapan Dewanya itu tertawa lebar dengan mu uka mengejek.

"Ha-ha, bagaimana bocah? Masihkah berani kau mengandalkan kapakmu yang tumpul itu?"

Lek Hui menggereng. Dia marah dan kaget sekali melihat kekebalan yang di tunjukkan lawannya ini. Tapi raksasa muda yang bersemangat baja itu sudah memekik. Dia menerjang lagi, dan kapak serta tangan kiri yang ikut menyambar sekaligus sudah bertubi-tubi menghantam pundak dan dada lawan.

Tapi Cheng-gan Sian-jin berkelebat. Dengan senyum liciknya yang bersembunyi kumis yang panjang datuk sesat ini mengelak, dan ketika kapak lewat, di sisi tubuhnya dia menerima tamparan Lek Hui dengan tangan kanan. Dia sengaja hendak menjajal sampai di mana kekuatan sinkang murid Ciok-touw Taihiap itu, dan begitu kedua lengan mereka bertemu terjadilan benturan keras di antara ke keduanya.

"Dukk!" Tangan Lek Hui melekat di lengan Cheng-gan Sian-jin, dan Cheng-gan Sian-jin yang merasakan betapa kuatnya getaran tenaga sinkang raksasa muda itu diam-diam terkejut di dalam hati. Dia cepat mengerahkan kekuatan sendiri, menambah tenaga dan sekaligus menolak sinkang Lek Hui. Dan begitu dia mendorong tenaga sinkangnya Lek Hui untuk menolak lengan Lek Hui ini tiba-tiba menyalurlah sinar merah yang membentuar sinkang Lek Hui.

Lek Hui tidak tahu apa yang terjadi. Hanya dia tiba-tiba terkejut ketika mendadak rasa gatal dan panas menolak tenaga saktinya. Dia tidak tahu bahwa secara diam-diam Cheng-gan Sian-jin mengerahkan ilmunya yang jahat, Tok-hiat-jiu (Pukulan Darah Beracun)!. Maka begitu Cheng-gan, Sian-jin tertawa dan menolak balik tenaga sinkangnya dengan suara bergelak tiba-tiba saja pemuda ini mencelos melinat lengannya berubah merah kehitam-hitaman!

"Ah, pukulan beracun!" Lek Hui mendesis kaget, dan marah serta geram oleh perbuatan datuk sesat itu tiba-tiba Lek Hui sudah melepas tangannya dan mengayun kapak, langsung menyambar mata kiri Cheng-gan Sian-jin. Inilah satu serangan yang tak berani diterima secara main-main oleh datuk sesat itu, dan Cheng-gan Sian-jin yang sudah melompat mundur menyeringai ketawa dengan muka berseri-seri.

"Wutt!" kapak lewat di sisi kepalanya, dan Cheng-gan Sian Sin yang tertawa bergelak sudah mengejek lawannya. "Ha-ha, kau telah berkenalan dengan Tok-hiat Sin-kang, bocah she Auw. Hati-hati mempergunakan tenagamu itu. Bocor sedikit saja tentu akan menerobos aliran darahmu…!"

Lek Hui menjadi gusar. Dia memang merasakan adanya rasa panas dan gatal-gatal di sekitar lengan, tapi dia yang sudah cepat "menutup" aliran darah itu agar tidak sampai merembet ke atas sudah melengking tinggi dengan kemarahan meluap. "Cheng-gan Sian-jin, kau memang iblis busuk yang tidak tahu malu! Siapa takuti segala Tok-hiat Sin-kang mu?"

Cheng-gan Sian-jin agak terkejut. Dia melihat perkataan ini diucapkan sungguh-sungguh, seolah pemuda itu tidak begitu terpengaruh oleh pukulan beracunnya. Maka ketika lawan menyerangnya gencar diapun jadi tertegun juga. Terjangan Lek Hui yang amat dahsyat dia kelit kesana kemari dan ketika betul-betul dia melihat raksasa tinggi besar itu masih lincah dan kuat dalam segala gerak-geriknya tiba-tiba iblis bermata hijau ini tergetar.

Rupanya Lek Hui memang betul-betul hebat. Dan murid Pendekar Kepala Batu yang tangguh itu betul-betul tidak terpengaruh oleh pukulan beracunnya. Maka Cheng-gan Sian-jin yang terbelalak oleh kenyataan ini diam-diam membatin dengan muka berubah. Agaknya pemuda itu pandai menutuup jalan darah memindahkan hawa, sejenis ilmu kepandaian yang jarang dimiliki sembarang orang. Dan Cheng-gan Sian-jin yang gagal oleh kecurangannya inu maklum bahwa pukulan beracunnya yang "nempel" di lengan orang tidak membawa hasil. Lek Hui mampu membendung Tok-hiat Sin-kangnya, dan murid Pendekar Kepala Batu yang kini menyerangnya bertubi-tubi dengan senjata dan juga pukulan tangan kiri itu mendesaknya sedemikian rupa.

Maka Cheng-gan Sian-jin menjadi geram. Dia terlanjur bicara sombong untuk merobohkan pemuda itu dalam duapuluh jurus saja. Dan kalau ini tidak mampu dilakukannya tentu lawannya itu akan mengejeknya habis-habisan, mana dia akan menaruh muka? Datuk iblis ini berkilat marah. Dia masih melompat ke sana-sini mengandakan kinkang mengelak dari sambaran mata kapak yang berbahaya. Karena Lek Hui yang maklum lawannya ini memiliki kekebalan mengagumkan sudah mengarahkan semua serangannya pada tempat-tempat lemah. Seperti mata, mulut dan anggota rahasia.

Dan Cheng-gan San-jin yang diam-diam mengumpat pemuda yang cerdik itu menjadi berang oleh semua serangannya. Mereka sudah bertempur duapuluh jurus, dan Lek Hui yang semakin garang dan ganas mencecarnya membabi-buta membuat datuk iblis itu tiba-tiba melengking nyaring. Kapak yang untuk kesekian kalinya menyambar mata sekonyong-konyong ditangkap bukan hanya sekedar di tangkis. Dan tangan kiri Lek Hui yang menghantam leher diterima datuk ini dengan pengerahan tenaga Tok-hiat-jiu.

"Plak-dess!" Lek Hui berteriak girang. Leher yang dipukulnya dengan telapak tangan miring itu bergetar hebat, seakan tidak kuat menerima pukulannya. Tapi kapak yang dicengkeram lawan membuat Lek Hui terkesiap. Memang sudah berkali-kali datuk iblis itu menangkis dan berusaha menangkap, tapi dia yang selalu berhasil menyelamatkan senjatanya berkali-kali mampu menarik kembali. Maka begitu sekarang kejadian ini terulang di depannya mendadak Lek Hui membetot.

Dengan sekuat tenaga dia menarik Kapak Delapan Dewanya itu, tapi Cheng-gan Sian-jin yang terkekeh mendadak melepaskan cekalannya. Garakan ini dilakukan tiba-tiba, dan Lek Hui yang terlanjur mengerahkan tenaga di lengan kanan untuk menyelamatkan senjatanya itu jadi terpekik kaget dengan mata melotot. Dia sedang seru-serunya menarik senjata, maka begitu Cheng-gan Sian-jin melepaskan senjatanya kontan saja dia kehilangan tenaga!

Dan pada saat itulah Cheng-gan Sian-jin bekerja. Datuk iblis yang banyak pengalaman ini sudah meluncurkan jarinya, menotok pusar Lek Hui, tempat di mana kekuatan hawa sakti berkumpul, Dan begitu jari kakek iblis ini mengenai pusar Lek Hui tiba-tiba buyarlah seluruh konsentrasi sinkang raksasa muda itu. Lek Hui berteriak kaget ketika tiba-tiba tubuhnya menjadi lumpuh, kehilangan tenaga dalam sekejap saja. Dan persis dia terbelalak tahu-tahu tangan kiri Cheng-gan menghantam lehernya, menyerang urat nadi besar dengan pukulan Tok-hiat-jiu.

"Plakk!" Lek Hui terpelanting roboh, dan raksasa muda yang menjerit tertahan itu tiba-tiba terjengkang di atas panggung sambil melepaskan kapaknya. Dia tidak kuat menahan pukulan ini, pukulan yang dilancarkan pada saat dia kehilangan tenaga. Maka begitu ambruk di lantai panggung Lek Huipun berteriak parau dengan mata mendelik. Dia hendak melompat bangun, tapi leher yang nyeri bukan main mendadak membuat pemuda ini menyeringai dengan bibir digigi kuat-kuat, maklum apa yang terjadi. Maka begitu tubuhnya terguling di lantai panggung Lek Hui-pun berseru merintih,

"Suhu, teecu gagal....!" dan begitu dia selesai mengucapkan kata-katanya ini tiba-tiba kepala raksasa muda itupun tertekuk ke kanan, lunglai karena urat nadinya sebelah kanan putus dihantam pukulan Tok-hiat-jiu!

Inilah gebrakan yang berlangsung cepat, dan para tamu tertegun melihat kejadian itu sekonyong-konyong menjadi gaduh dengan suara ribut-ribut. Mereka terpaku oleh peristiwa yang demiklan menggemparkan ini, tapi gerengan perlahan yang menggetarkan ruangan Bangsal Agung mendadak membuat semua suara menjadi sirap. Mereka melihat Ciok-thouw Taihiap bangkit berdiri dari tempat duduknya, dan pendekar sakti yang tiba-tiba sudah melayang naik ke atas panggung itu mengeluarkan bentakan dingin,

"Cheng-gan Sian-jin, berani kau membunuh muridku?"

Datuk iblis la tergetar. Dia memang sudah mengetahui kemungkinan majunya pendekar besar itu. Tapi melihat Ciok-thouw Taihiap sudah berdiri di depannya dengan mata berkilat-kilat itu mau tak mau dia menjadi berdabar juga. Bagaimanapun, jago-jago Beng-san-pai yang amat lihai ini memiliki kesaktian yang luar biasa. Dan mellhat pendekar besar itu memandangnya dengan sinar mata mencorong seperti mata naga sakti begini, mau tak mau Cheng-gan Sian-jin tergetar juga. Tapi datuk iblis ini menekan guncangan hatinya, dan tertawa dibuat-buat dia berkata,

"Ciok-thouuw Taihiap, hutang jiwa sudah dibayar pula dengan jiwa. Kenapa kau marah kepadaku? Bukankah aku juga kehilangan seorang kepercayaanku?"

Ciok-thouw Taihiap menggereng. Dia marah bukan main memandang lawannya ini, dan membentak perlahan dia mengibaskan kedua jarinya yang tiba-tiba berkerotok, "Cheng-gan Sian-jin, jangan banyak memberi alasan. Bersiaplah kau untuk menyelesaikan urusan ini...!"

Cheng-gan Sian-jin melangkah mundur. Dia tahu pertempuran dengan ketua Beng-san-pai tak mungkin ditolak, apalagi dihindari. Tapi Pek-mauw Sian-jin yang tiba-tiba berkelebat ke atas panggung sudah berseru menahan, "Beng-san Paicu, tahan dulu. Pinto hendak bicara!"

Ciok-thouw Taihiap memutar tahuh. "Apa yang hendak kau bicarakan, totiang?"

Pek-mauw Sian-jin buru-buru menjura. "Pinto hendak memperingatkanmu, taihiap. Bahwa tidak sepantasnya kau menantang musuh yang baru saja bertanding!"

Cheng-gan Sian-jin terkejut, dan Ciok-thouw Taihiap juga tertegun. Pendekar besar ini sejenak terbelalak dan ketua Gelang Berdarah yang tiba-tiba melompat ke depan juga berseru,

"Ciok-thouw Taihiap, apa yang dikatakan Pek-mauw Sian-jin memang benar. Tidakkah pertandingan jadi berat sebelah dan tidak adil jika kau menantang musuh yang baru saja bertanding?"

Ciok-thouw Taihiap mengepalkan tinju. Dia tidak berpikir sampai ke situ karena kemarahan telah membakar dadanya, dan ketua Beng-san yang hendak membantah dengan mengatakan Cheng-gan Sian-jin juga berbuat begitu terhadap muridnya tiba-tiba tertegun ketika mendengar bisikan halus yang dilakukan dengan Ilmu Coan-im-jip-bit di pinggir telinganya,

"Souw-locianpwe, jangan menurutkan hawa nafsu. Kau sendiri yang telah mengijinkan muridmu menghadapi Cheng-gan Sian-jin. Kenapa sekarang hendak mencontoh tindakan tidak terpuji yang dilakukan oleh kakek iblis itu? Bukankah nama Beng-san-paicu bisa tercemar? Kendalikan nafsu kemarahanmu, locianpwe. Hadapi Cheng-gan Sian-jin setelah dia memulihkan tenaganya. Ingat semata-mata demi nama baikmu dan nama baik Beng-san-pai...!"

Ciok-thouw Taihiap benar-benar tertegun. Dia sekarang sadar akan kemaranannya yang hampir tidak terkendali, melirik sekilas ke deretan tamu di sebelah belakang, ke tempat di mana Pendekar Gurun Neraka memperingatkannya secara halus. Dan menahan api kebenciannya terhadap Cheng-gan Sian-jin tiba-tiba diapun mengangguk.

"Baiklah, Hiat-gown-pangcu, karena Cheng-gan Sian-Jin telah melawan muridku, biarlah kutunggu dia sampai memulihkan tenaganya kembali. Tapi aku tidak menantang, begitu dia selesai, harap persoalan ini dituntaskan…!" dan Ciok-thouw Taihiap yang sudah memutar tubuh itu tiba-tiba melayang turun sambil menyambar jenasah muridnya. Dia melempar kemarahannya dengan kibasan ke kiri, dan begitu pendekar ini menggerakkan ujung bajunya, tiba-tiba papan panggung di depan Cheng-gan Sian-jin mengeluarkan suara keras ketika papan itu pecah dan kepingannya menyambar muka lawan!

Tapi Cheng-gan Sian-jin mengebut jubah kanannya yang lebar, dan begitu menyampok serpihan kayu yang pecah-pecah ini kakek iblis itu tertawa mengejek. "Ciok-thouw Taihiap, jangan kau sombong. Siapa takuti ancamanmu? Kalau kau tidak menantangku justru aku yang ingin menantangmu. Bersiaplah, aku juga ingin melihat sampai di mana kepandaianmu!" dan Kakek iblis yang tiba-tiba sudah mundur di belakang panggung lantai itu memandang dingin kearah ketua Beng-san-pai.

Sekarang panggung pibu menjadi sunyi, dan para tamu yang diam-diam tegang tapi akhirnya kecewa karena pertempuran dua jago tua itu tidak jadi terlaksana sudah memandang ketua Gelang Berdarah dan Pek-mauw Sian-jin yang masih berdiri di atas panggung. Mereka mengira dua orang ketua perkupulan itu rupanya sudah siap untuk berhadapan. Tapi Hiat-goan-pangcu yang tertawa ringan tiba-tiba menjura di depan ketua ini.

"Pek-mauve Sianjin, siapa sekarang yang ingin maju di atas panggung? Kau kah?"

Ketua Kun-lun ini mencabut pedang "Aku sudah di sini, Hiat-goan-pangcu. Kukira memang sebaiknya begitu. Apakah kau siap melayaniku dalam pertandingan berikutnya ini?"

Tapi ketua Gelang Berdarah tersenyum. "Aku kira belum saatnya, Pek-mauw-Sian-jin. Jika kau yang maju kali ini barangkali saudara Kun Bok saja melayanimu!" dan belum ketua kun lun ini membelalakkan matanya tiba ketua Gelang Perdarah itu sudah bertepuk tangan. "Saudara Kun Bok, majulah. Wakili perkumpulan kita menghadapi Pek-mauw Sian-jin sebagai penantang kehormatan!"

Kun Bok tertegun. Dia terkejut mendegar perintah ketua Gelang Berdarah ini dalam pibu pertandingan itu. Dan Pek-mauw Sian-jin sendiri yang diam-diam marah karena jelas diadu dengan "tetangga" satu daerah, tiba-tiba menghentakkan tumitnya dengan geram.

"Hiat-goan-pangcu, kenapa kau ajukan orang lain untuk menghadapi pinto? takutkah kau melawan ilmu pedangku Kun-lun Kiam-sut?"

Ketua Gelang Berdarah tertawa. "Ah, terus terang aku memang jerih menghadapi ilmu Pedangmu, totiang. Tapi menonton dua ahli pedang yang sama-sama pandai mainkan senjata tentunya jauh lebih menarik bagiku. Atau kau takut menghadapi pembantuku ini?"

Pek-mauw Sian-jin tak mampu bicara. Dia tahu lawannya itu pura-pura bicara begitu, dan tuan rumah yang dipandang penuh kemarahan akhirnya menoleh kembali ke arah Kun Bok.

"Bok-kongcu, kenapa kau belum naik?"

Kun Bok terpaksa bangkit berdiri. Dia beringsut gemetar menghadapi ketua Kun-lun-pai itu, dan menjura dengan perasaan bingung dia berkata, "Pek-mauw totiang, harap maafkan siauwte tantanganmu itu. Siauwte paksa oleh keadaan, dan kalau totiang baik hati, sudilah kiranya memberi sedikit keringanan kepada stauwte..." dan Kun Bok yang sudah mencabut pedangnya lalu berdiri, tegak di depan ketua Kun-lun-pai ini. Dia tidak berani memandang langsung wajah tosu tua yang angker penuh wibawa sementara Pek-mauw Sian-jin yang keadaannya yang tidak menyenangkan membentak perlahan,

"Bok-kongcu, sungguh tidak pinto nyana bahwa kau akan berhadapan dengan pinto. Tapi karena kau mewakili musuh dan pinto mewakili para sahabat biarlah kita coba-coba main sebentar. Apakah kau sudah siap?"

Kun Bok menyentuhkan mata pedangnya di hidung dan kening. "Siauwte sudah siap, Pek-mauw totiang. Harap kau bermurah hati kepada siauwte yang mohon banyak petunjuk."

"Hm…" Pek-mauw Sian-jin menggeram. "Kalau begitu mulailah, Bok-kongcu. Aku akan memberimu kesempatan tiga kali untuk memulai serangan. Mulailah!"

Kun Bok tidak ragu-ragu lagi. Dia maklum ketua Kun-lun ini juga terganggu perasaan tidak nyaman seperti dirinya, karena bagaimanapun juga dia sebenarnya bukan lawan tosu yang masih di atas tingkatnya itu. Tapi karena keadaan sudah memaksa dan mereka juga sudah saling berhadapan maka langsung saja pemuda ini mengeluarkan ilmu pedang tunggalnya, Bu-tiong Kiam-sut yang baru saja dipelajarinya secara tidak lengkap dari ayahnya itu, Dan begitu dia membentak memberi aba-aba Kun Bok pun sudah menyerang maju dengan jurus pembukaannya, Tit-te-pai sang (Tudingan Bumi Menyembah Bintang).

Pek-mauw Sian-jin berkelit ketika gebrakan pertama ini berlangsung, dan ketika Kun Bok mulai melancarkan serangan-serangan berikutnya tubuh ketua Kun-lun inipun tiba-tiba berkelebatan di antara sambaran mata pedang yang berseliweran di sekitar dirinya. Dia sengaja mengalah tiga serangan pada lawannya itu, memberi kesempatan kepada Kun Bok yang jauh lebih muda. Dan ketika tiga serangan itu sudah habis dilancarkan maka mulailah ketua Kun-lun ini membalas!

"Hati hati, Bok-kongcu, kesempatan yang kuberikan kepadamu telah habis!"

Kun Bok mengerti, Dia telah mempergunakan kesempatan itu, yang gagal dikerjakan. Dan ketika pedang di tangan ketua Kun-lun itu mulai membalas serangan-serangannya tiba-tiba Kun Bok menggigit bibir. Dia merasa Tit-te-pai-seng tadi dipersempit ruang geraknya oleh ketua Kun-lun ini, yang mempergunakan pula kibasan bajunya untuk menahan lingkaran pedang. Dan ketika sekarang ketua Kun-lun itu bergerak membalasnya mendadak tubuh tosu tua ini lenyap dibungkus gulungan sinar pedangnya.

Pek-mauw Sian-jin telah memainkan Kun-lun Kiam-sutnya, sebuah ilmu pedang andalan partai Kun-lun. Dan ketika pedang di tangan Kun-lun-paicu itu menyambar-nyambar bagai burung, tiba-tiba saja sinar lebar bagaikan payung telah mengurung putera Bu-tiong-kiam ini! Kun Bok bingung, juga gugup. Karena sekujur tubuhnya tiba-tiba telah dikurung sinar pedang yang digerakkan demikian deras oleh ketua Kun-lun-pai. itu. Dan ketika dia terbelalak kecut mendadak saja pundak kirinya disambar pedang.

"Brett" Kun Bok melengos. Dia terkejut oleh tikaman Ujung pedang itu, dan Pek-mauw Sian-Sin yang memuta rsenjatanya di balik gulungan pedang berseru,

"Bok-kongcu, hati-hati. Pedang tidak mempunyai mata…!"

Kun Bok menggigit bibir. Dia mencekal erat gagang pedangnya, dan ketika Pek-mauw Sian-jin kembali menyerangnya gencar sekonyong-konyong dia melengking pendek. Pedang yang tadi gugup tiba-tiba kini mantap di tangan, dan begitu Pak-mau w Sian-jin menyerang tiba-tiba Kun Bok pun menubruk dengan terjangannya yang ke dua. Dia mainkan jurus ke dua yang disebut Heng-hun-po-uh (Awan Berarak Hujan Mencurah), dan begitu pedangnya bergerak tiba-tiba muncullah gelembung besar kecil yang menandingi payung pedang di tangan Pek-mauw Sian-jin.

Kun Bok mainkan ini dengan konsentrasi penuh, artinya bersungguh-sungguh karena maklum lawannya itu adalah jago tua yang banyak pengalaman. Dan ketika sudah mainkan jurus ke dua ini terkejutlah ketua Kunlun-pai itu karena merasa sinar pedangnya mendadak tertahan oleh gelembung besar kecil di tangan Kun Bok. Pek-mauw Sian-jin memang belum pernah mendengar ciptaan ilmu pedang yang baru diberikan Bu-tiong-kiam itu kepada puteranya. Maka melihat tiba-tiba gulungan sinar pedangnya ditumbuk awan lebar yang bergelembung naik turun dari pedang di tangan Kun Bok tiba-tiba saja ketua Kun-lun ini tercekat.

Dia melihat pedang di tangan lawannya itu membentuk gumpalan awan, atau mirip mega yang sailing berkejaran. Dan ketika mega itu semakin tebal dan bermacam-macam bentuknya tiba-tiba ledakan nyaring terdengar ditengah-tengah gulugan sinar pedang ini. Pedang Pek-mauw Sian-jin tahu-tahu telah dipukul oleh pedang di tangan Kun Bok, menerbitkan suara nyaring tadi. Dan begitu suara benturan ini lenyap tiba-tiba saja muncul titik-titik kecil yang menyambar ratusan banyaknya ke muka tokoh Kun-lun-pai itu.

"Aih...!" Pek-mauw Sian-jin terkejut dan tosu yang tiba-tiba melompat mundur ini menggerakkan lengan kirinya ke depan. Dia mempergunakan sinkang menyapok, dan begitu jubah luarnya membentur titik-titik kecil yang menyerang dirinya itu, terdengarlah berulang-ulang suara "trak-trik-trak-trik" yang lirih. Jubah tua Kun-lun ini tahu-tahu telah robek ditusuk ujung pedang yang seperti gerimis itu, dan ketika Pek-mauw, Sian-jin menendang ke atas barulah pedang Kun Bok yang menyerangnya itu terpental dan lenyap serangannya!

"Ih...!" Pek-mauw Sian-jin terbelalak dan Kun Bok sendiri yang terkejut melihat pedangnya hampir terlepas oleh tendangan ketua Kun-lun itu juga tertegun oleh kelihaian lawannya ini. Tapi Kun Bok sudah menyerbu lagi, dan hatinya yang diam-diam girang oleh hasil serangan Heng-hun-uh itu sudah berteriak kembali dengan tusukan bertubi-tubi.

Kun Bok langsung melanjutkan tikamannya pada jurus ke tiga, yang disebut Bu-tiong-boan-seng (Bintang Bertabur di Dalam Kabut). Dan Pek-mauw Sian-jin yang terkesiap oleh serangan pemuda ini sudah menggetarkan kedua lengannya dengan pengerahan sinkang penuh. Ketua Kun-lun ini tadi melihat bahwa keganasan ilmu pedang lawannya itu hanya mampu dilumpuhkannya dengan kelebihannya dalam hal sinkang, karena dia menang lebih kuat tenaga saktinya dibanding lawannya yang masih muda ini.

Maka begitu Kun Bok menyerangnya dengan jurus yang tampaknya lebih berbahaya tiba-tiba ketua Kun-lun inipun membentak. Dia menangkis tikaman pedang yang bertubi-tubi yang seolah-olah bintang meluncur dari langit. Dan begitu pedangnya menangkis pedang di tangan awannya itu langsung saja ketua Kun-lun ini mangerahkan tenaga.

"Plak-cring…!" Pedang di tangan Kun Bok tertangkis, Kun Bok terkejut. Dia melihat pedangnya mental ke atas, dan sementara dia terbelalak kaget tiba-tiba pedang di tangan, Pek-mauw Sian-jin telah menyambar tenggorokannya! Inilah serangan yang amat cepat, juga tiba-tiba sekali. Tapi Kun Bok yang masih mainkan jurus Bu-tiong-boan-seng mendadak merendahkan tubuh sambil memutar kaki ke kanan.

"Brett" Leher baju Kun Bok ganti termakan, tapi Kun Bok yang sudah melengking tinggi tahu-tahu balas menyerang ketua Kun-lun ini dengan gerakan menyilang lima kali berturut-turut, membentuk segi lima bintang yang bertubi-tubi menyerang lima titik jalan darah di tubuh lawannya itu. Dan Pek-mauw Sian-jin yang terbelalak melihat serangan ini tiba-tiba berteriak tertahan ketika ujung pedang Kun Bok sudah menyambar mata dan dada kirinya!

"Ahh…!" ketua Kun-lun ini terpekik, tapi kibasan lengan kirinya yang menolak dari samping tahu-tahu telah membentur pedang di tangan Kun Bok. "Plak…!" Kun Bok terpental miring, dan jurus Bu-tiong-boan-seng yang masih mempunyai dua gerakan lagi tiba-tiba sudah dilanjutkan dengan tikaman dari, kanan ke bawah, meyerang pinggang dan pusar kakek tua itu!

"Plak-plak…!" Kali ini Pek-mauw Sian-jin merendahan tubuh, dan ketua Kun-lun yang tampaknya terkejut bukan main itu sudah mengeluarkan bentakan keras dengan tamparan ujung lengan bajunya. Dia tidak banyak kesempatan untuk menghindar dari dua tikaman terakhir itu, dan Pek-mauw Sian-jin yang membelalakkan mata ini, tahu-tahu menangkis pedang Kun Bok dengan pedangnya di tangan kanan sementara menyampok babatan ke pinggang dengan kebutan lengan bajunya.

"Bret-bret!" sekarang keadaan satu-satu. Gebrakan cepat yang berlangsung pada detik-detik terakhir ini benar-benar membuat Pek-mauw Sian-jin hampir-hampir berseru saking herannya, karena meskipun dia telah membuat pedang di tangan Kun Bok terpental tapi pedang di tangan lawannya itu masih sempat melobangi jubah luarnya dan menggores kulit perut. Dan sementara dia tertegun tahu-tahu pedang ditangan lawannya itu menukik setengah lingkaran menyambar ulu hatinya!

Pek-mauw Sian-jin terbelalak. Dia tidak dapat "mentolerir" lagi akan serangan yang amat berbahaya ini. Dan begitu dia membanting kaki sambil membentak keras tiba-tiba ketua Kunlun ini sudah menggetarkan kedua lengannya. Dia menangkis pedang yang menyerang ulu hatinya, lalu tangan kiri yang memukul miring itu tahu-tahu menampar pundak Kun Bok.

"Plak!" tangan kiri Kun-lun-paicu itu dapat mengenai sasarannya, dan pedang Kun Bok yang ditangan ini tahu-tahu melekat di pedang tosu ini. Kun Bok terkejut, merasa betapa tenaga sinkang yang lembut tapi menyedot pedangnya, menempel tak dapat dilepaskan. Dan sementara dia berseru tertahan tiba-tiba jari tangan ketua Kun-lun itu sudah menotok bahunya!

"Tuk!" Kun Bok tak dapat mengelak. Dia tak mampu menarik pedangnya karena "disedot" tenaga singkang kakek lihai itu. Dan begitu totokan Pek-mauw Sian-jin mengenai pundaknya tiba-tiba saja Kun Bok mangeluh dan terguling roboh. Pemuda ini terjungkal, dan para tamu yang melihat pemuda itu melepaskan pedangnya karena roboh menerima totokan Pek-mauw Sian-jin tiba-tiba saja berdiri tertegun dengan mata terbelalak. Mereka melihat ketua Kun-lun-pai ini telah menyelesaikan pertandingan, tapi muka Pek-mauw Sian-jin yang pucat lalu berubah kemerahan itu membuat mereka terbengong.

"Bok-kongcu, kau hebat!" Pek-mauw Sian-jin memungut pedang lawan. Lalu melompat membebaskan totokan pemuda itu ketua Kun-lun ini berkata terus terang, "Kau benar-benar hebat Bok-kongcu. Pinto benar-benar kagum!"

Kun Bok bangkit berdiri. Dia terbelalak memandang lawannya ini, tapi ketua Gelang Berdarah yang tiba-tiba melompat ke depan berseru nyaring, "Pek-mauw Sian-jin, kau belum dapat dikata sebagai pemenang pertandingan!"

Semua orang terkejut. Mereka Memandang laki-laki yang tersenyum aneh itu, dan Pek-mauw Sian-jin yang mengerutkan kening bertanya, "Hiat-goan pangcu, apa yang kau maksudkan dalam kata-katamu ini?"

Ketua Gelang Berdarah itu tertawa. "Aku memberitahukan di sini bahwa kau tidak dapat disebut sebagai pemenang, Pek-mauw Sian-jin. Karena biarpun saudara Kun-bok berhasil kau robohkan namun ilmu silat pedangnya kulihat belum habis!"

Pek-mauw Sian-jin terkejut. Dia memamg merasakan hal itu, karena sebagai seorang ahli pedang yang baik diapun melihat kenyataan ini. Tapi bahwa ketua Gelang Berdarah itu dapat mengetahuinya dengan baik dan kini menyerangnya dengan ucapan seperti itu benar-benar membuat ketua Kun-lun ini terkesiap kaget dan mengakui kelihaian mata lawan yang amat awas. Dia tertegun di tempatnya sejenak, tanpa membantah kalimat terakhir. Tapi muka Kun-lun-paicu yang sudah merah menyala ini tiba-tiba menjadi gelap.

"Hiat-goan-pangcu, kalau begitu apa maksudmu sekarang?" Pek-mauw Sian-jin membentak marah.

"Ha-ha, tentu saja pertandingan dilanjutkan lagi, Pek-mauw Sian-jin. Karena jika sekarang di antara kalian belum ada yang terluka berarti pertandingan bisa dinilai kurang sungguh-sungguh!"

Pek-mauw Sian-jin mendelik. "Kau menghendaki pertumpahan darah, Hiat-goan-pangcu? Kau hendak menanam permusuhan langsung antara aku dengan Bu-tiong-kiam Kun Seng?"

Ketua Gelang Berdarah itu terkejut. Dia ditodong oleh tuduhan ini, yang memang diam-diam menjadi maksud hatinya! Tapi ketua Gelang Berdarah yang cerdik bagai ular berbisa ini tertawa lebar. "Pek-mauw Sian-jin kau terlalu mengada-ada. Siapa bilang aku hendak menanam permusuhan laugsung dengan Bu-tiong-kiam Kun Seng? Bukankah yang ada sekarang ini, adalah pertandingan antara pihakmu dan pihakku?"

"Ya, tapi dengan mengatakan seorang diantara kami harus terluka oleh senjata berarti itu pertandingan yang mengarah jiwa, Hiat-goan-pangcu. Dan permusuhan ini dengan Bok-kongcu yang terbatas di panggung lantai ini tidak semestinya bila diperbesar sampai ke situ. Kau jelas hendak menanamkan permusuhan langsung, dan bila Bok-kongcu belum terbunuh oleh pedangku tentu kau menyatakan pinto belum menang!"

Ketua Gelang Berdarah tertegun. Dia menjadi kaku mukanya, dan Kun Bok yang terbelalak ke arah dua orang tokoh ini tiba-tiba melangkah maju. "Pangcu, kukira apa yang dikatakan Pek-mauw-totiang ini adalah benar adanya. Kenapa masih harus perbesar seperti itu?"

Laki-laki berkedok itu tiba-tiba berseri mukanya. "Aku hendak maksudkan bahwa pertandigan kalian belum selesal, Bok-kongcu. karena mataku yang terpikat melihat kehebatan ilmu pedangmu itu mendapat kenyataan bahwa ilmu pedangmu belum selesai. Bukankah ini benar, kongcu?"

Kun Bok mengangguk. "Ya, itu memang benar, pangcu. Tapi…"

"Nanti dulu, kongcu. Jangan putus omonganku! Kalau benar ilmu pedangmu belum selesai bukankah pibu masih bisa dilanjutkan?" ketua Gelang Berdarah ini memotong. "Dan kalau kau teruskan ilmu pedangmu itu tentu Pek-mauw akan roboh, Bok-kongcu. Karena pedangmu yang hebat dan luarbiasa kulihat jauh di atas ilmu pedang yang dimiliki ketua Kun-lun-pai ini...!"

Kun Bok tertegun. Dia terkejut dan bangga mendengar ketua Gelang Berdarah ini berani bicara seperti itu, memuji ilmu pedangnya setinggi langit tapi merendahkan ilmu pedang Pek-mauw Sian-jin. Omongan yang mendekati kebenaran tapi merendahkan tapi juga sekaligus menghina pihak lawan! Dan Pek Pek-mauw Sian-jin yang terobek harga dirinya itu tiba-tiba membelalakkan mata.

"Hiat-goan-pangcu, kau rupanya ingin mengadu domba kami!" kakek itu membentak. "Kalau begitu mengapa tidak kau saja yang menghadapi pinto? Bukankah pinto sudah menantangmu terang-terangan?"

"Ha-ha, aku belum ingin melayanimu, Pek-mauw Sian-jin. Karena seperti yang aku bilang tadi aku masih ingin melihat kalian berdua sebagai jago-jago pedang mempertunjukkan kelihaian kalian! Siapa yang mengadu domba?"

Pek-rmauw Sian-jin melotot. Dia mau bicara, tapi ketua Gelang Berdarah yang tertawa mengejek sudah melanjutkan kata-katanya, "Dan berani bertaruh kau tidak akan mampu melawan ilmu pedang Bok kongcu, Pek-mauw Sian-jin. Asal dia melanjutkan permainan pedangnya itu sampai lengkap…!"

Pek-mauw sekarang menghentakkan kaki. Dia berdiri menggigil, dan menggeram ke arah laki-laki ini ketua Kun-lun itu berkata, suaranya dalam dan serak, gemetar oleh kemarahan yang meledak-ledak, "Hiat-goan-pangcu, meskipun kau kelihaian mata yang awas tapi jangan kau sombong. Bok-kongcu meskipun bagaimana masih belum dapat mengalahkan pinto, karena ilmu pedangnya masih belum matang. Bagaimana kau hendak bicara seperti itu?"

Ketua Gelang Perdarah menyeringai dingin "Matang belum matang itu bukan wawasanmu, Pek-mauw Sian-jin. Karena bagaimanapun juga aku yakin pihakku akan menang jika Bok-kongcu memainkan ilmu pedangnya secara lengkap. Bagaimana kau hendak mencari kemenangan dengan jalan demikian mudah? Bukankah pibu masih berjalan setengah jalan?"

Kun Bok tiba-tiba maju. Dia melihat ketua Kun-lun itu memutar pedang dengan jari berkerotan, tanda kemarahan yang sudah tak terkendali. Dan maklum dia harus cepat-cepat menengahi keadaan langsung saja pemuda ini berseru, "Pek- mauw totiang, tahan dulu, Apa yang kau katakan memang benar...!" dan Kun Bok yang sudah berdiri di depan dua orang itu tiba-tiba menjura di depan ketua Gelang Berdarah "Hiat-goan-pangcu, maafkan. Pertandingan pibu kali ini memang jelas dimenangkan Pek-mauw totiang. Karena apa yang kau harap dari ilmu pedangku sesungguhnya tidak dapat kulanjutkan!"

Ketua Gelang Berdarah terbelalak. "Apa yang kau maksudkan, Bok-kongcu?"

"Begini, pangcu," Kun Bok menarik nafas panjang. "Apa yang dikatakan Pek-mauw Sian-jin tadi memang tidak salah. Ilmu pedangku belum matang, dan biarpun benar pula bahwa ilmu pedangku belum kukeluarkan secara lengkap tapi bagaimanapun juga pertandingan ini telah dimenangkan Pek-mauw totiang karena aku tak dapat melanjutkan permainan berikutnya!"

Kun Bok berhenti sejenak. Dan melihat semua orang memandang kepadanya diapun buru-buru menyambung, "Dan ini tak dapat kulanjutkan karena aku masih belum ahli jurus-jurus berikutnya itu, pangcu. Dengan lain kata bahwa yang kumiliki sekarang ini barulah jurus-jurus yang itu saja. Aku belum sempat mewarisi jurus-jurus berikutnya dari ayah karena sibuk dengan adanya persoalan jodon ini...!"

Ketua Gelang Berdarah terkejut. Dia membelalakkan mata, dan Pek-mauw Sian-jin yang merasa tertolong mukanya oleh pengakuan pemuda itu menjadi girang di dalam hatinya. "Nah, apa yang kukatakan, Hiat-goan-pangcu?"

Ketua Gelang berdarah itu tertegun. Dia memandang Pek-mauw Sian-jin, diapun tertawa. "Ah, kau sungguh beruntung, Pek-mauw Sian-jin. Kalau tadi kutahu begitu tentu tidak perlu aku membuang-buang waktu di sini. Baiklah, pihakku kali ini kalah dan pertandingan pibu berikutnya bolehlah kita teruskan lagi...!" dan ketua Gelang Berdarah yang sudah melompat mundur itu memandang sisa empat temannya dengan muka sedikit gelap. "Saudara, siapa yang kali ini henda maju?"

Pouw Kwi tiba-tiba melompat berdiri "Biarlah aku saja, pangcu. Aku ingin menghadapi seorang diantara mereka!"

Ketua Gelang Berdarah tersenyum, "Kau hendak mewakili kami, Pouw-kongcu?"

"Ya, dan kuharap aku memperoleh kemenangan, pangcu!"

"Ha-ha, kalau begitu siapa yang akan maju diantara kalian, cuwi enghiong?" ketua Gelang Berdarah ini memutar tubuh, memandang rombongan Pek-mauw Sian-jin. "Apakah Ciok-thouw Taihiap atau yang terhormat saudara ketua Hoa-san-pai?"

Hui-to Lojin mengerutkan alis. Dia memndang Ciok-touw Taihiap, tapi Ciok-touw Taihiap justru mendenguskan hidungnya. Dan maklum ketua Beng-san-pai ini jelas tak mau maju Hui-to Lojin tiba-tiba bangkit berdiri. Tapi Kim-sin Sian-jin mendadak melayang mendahului, dan berseru nyaring, ketua Kong-thong-pai itu berkata,

"Biarlah aku yang menghadapi pemuda ini, Hoa-san-paicu. Tiga orang musuh kita yang lain masih menanti!" dan tubuh ketua Kong-thong yang berkelebat di atas pangung luitai itu tahu-tahu telah mancabut pedangnya.

Pouw Kwi tertegun, tapi pemuda yang tiba-tiba tersenyum ini tertawa mengejek. Kau hendak melayani aku, Kong-thong-paicu?"

Kim-sin Sian-jin merah mukanya. "Pinto ingin c9ba-coba melihat kebolehanmu, anak muda. Dan kalau kau sudah diangkat murid oleh Cheng-gan Sian-jin tentu kau tidak akan mengecewakan!"

"Bagus, dan kau ingin kita memakai senjata, Sian-jin?"

"Itulah kepandaianku...!"

Maka, Pouw Kwi yang tertawa menyeringai tiba-tiba mencabut senjatanya, sebuah tongkat kecil berkepala ular. Dan begitu pemuda ini mengeluarkan senjatanya, Kim-sin Sian-jin sudah memasang kuda-kuda.

"Majulah anak muda. Biarlah pintol mengalah tiga jurus kepadamu!"

Pouw Kwi membelalakkan mata'. "Waah… kau bicara sungguh-sungguh, Kim-sin Sian-jin?" dia mengejek. "Tidak terlalu banyak tiga jurus itu untukku?"

"Hm, jangan banyak cakap, anak muda, Pinto sudah mengeluarkan putusan dan tidak mungkin pinto cabut kembali...!"

Pouw Kwi tertawa. Lalu mengetukkan tongkatnya diapun berkata, "Baiklah, kau sendiri yang menghendakinya, Kim-sin Sian-jin. Kalau roboh oleh tiga jurus seranganku harap jangan salahkan aku!" dan Pouw Kwi yang bersiap-siap menyerang ketua Kong-thong itu memutar tongkatnya. Dia menggerakkannya di atas kepala, memegang ekor tongkat dan mengarahkan kepalanya ke arah Kim-simn Sian-jin. Tapi baru mau menyerang mendadak bentakan mengejutkan semua orang.

"Jahanam she Pouw, tunggu...!" dan seorang wanita cantik yang bersuara merdu tahu-tahu melompat ke panggung luitai menghadapi Pouw-kwi dengan kemarahan yang membuat matanya berapi-api. Ia telah memegang sebatang pedang telanjang, tampaknyra beringas sekali kepada pemuda ini. Dan Pouw Kwi yang terkejut atas panggung kelihatan tertegun.

"Kau siapakah, nona?" Pouw Kwi bingung. Dia tidak tahu apakah wanita cantik ini seorang gadis ataukah sudah bersuami. Tapi melihat muka orang yang demikian cantik manis dengan tubuh menggairahkan, tiba-tiba saja Pouw Kwi malah berseri girang dan gembira, tapi wanita cantik yang tampaknya marah besar itu membentak,

"Jahanam she Pouw, kau agaknya lupa. Tidak ingatkah kau akan wajahku dua tahun yang lalu?"

Pouw Kwi mengerutkan kening. Dia memperhatikan wanita itu, menelusuri wajahnya dari atas ke bawan. Dan merasa tiba-tiba dia seakan sudah pernah bertemu wanita ini mendadak muka Pouw Kwi menjadi tidak sedap. Dia mulai terganggu, dan marah oleh sikap yang kasar dari wanita cantik ini, Pouw Kwi berkata dingin, "Nona aku tampaknya kenal wajahmu. Tapi siapakah kau dan kenapa marah-marah disini?"

Wanita cantik itu menggetarkan pedang. "Aku adalah Bwee jahanam Pouw. Orang yang kau perkosa di istana Baginda Yun Chang!"

Pouw Kwi kaget bagai disambar petir. Dia sekarang teringat wanita ini, selir Yu Chang yang dahulu ditipunya untuk menjatuhkan nama baik Jenderal Muda Yap, atau yang lebih terkenal dengan nama Pendekar Gurun Neraka itu. Dan bahwa wanita ini tiba-tiba muncul disaat banyak orang hadir di keramaian pesta Gelang Berdarah tiba-tiba saja Pouw Kwi menjadi pucat. Dan para tamu yang hadir, yang mendengar wanita itu pernah diperkosa pemuda ini dan menyebut-nyebut nama Sri Baginda Yun Chang tiba-tiba saja menjadi gempar.

Mereka terkejut, dan wanita cantik yang dipandang terbelalak di atas panggung itu tiba-tiba saja menjadi pusat perhatian semua orang. Mereka melihat wanita itu memandang penuh kebencian kepada lawannya, dan Pouw Kwi yang tergetar mundur tiba-tiba membentak, "Wanita siluman, kenapa kau datang-datang menuduh orang? Apa buktimu tentang fitnahan ini?"

Wanita cantik itu menggigit bibirnya. Ia memang benar Bwee Li adanya, selir Yun Chang yang dulu tergila-gla kepada Yap-goanswe. Dan mendengar pemuda itu menuntutnya sebuah bukti Bwee Li membelalakkan matanya penuh kemarahan. "Jahanam she Pouw, kau rupanya laki-laki pengecut. Tidak beranikah kau terima kenyataan ini? Bukankah lukamu itu yang menjadikan bukti akan perbuatan, mu yang hina?"

Pouw Kwi surut selangkah. "Luka apa, wanita siluman? Kapan aku melakukan perbuatan itu?"

Bwee Li tiba-tiba terkekeh. Kebencian dan kemarahannya yang amat sangat terhadap pemuda ini membuatnya memendam sakit hati setinggi langit, dan begitu Pouw Kwi menanyakan perbuatannya tiba-tiba Bwee Li maju selangkah. "Orang she Pouw, kau malam itu menyihir dirlku. Mempermainkan diriku dengan mengubah rupamu menjadi Yap-goanswe. Apakah itu bukan merupakan bukti yang cukup?" lalu sebelum lawan menangkisnya dengan pertanyaan lain Bwee Li sudah menudingkan pedangnya, "Dan kau memang jahanam keparat, orang she Pouw. Mempergunakan kekagumanku pada Yap-goanswe kau lalu memasuki kamarku, mengajakku bermain cinta dan menodai nama baik Jenderal Muda itu hingga terusir dari istana. Apa ini juga hendak kau sangkal sebagai perbuatanmu?" kemudian melanjutkan dengan suara tinggi Bwee Li meraung histeris, menjerit kepada pemuda itu, "Dan malam ini aku ingin membunuhmu, orang she Pouw aku ingin mengoyak-ngoyak dan mencabik tubuhmu!" lalu Bwee Li yang melompat ke depan itu tiba-tiba meluncurkan pedangnya menusuk tenggorokan Pouw Kwi.

"Plak!" Pouw Kwi menangkis. Padang yang sudah ditolaknya ke samping itu kontan saja dicengkeram, tapi Bwee Li yang membalik pergelangan tangannya mendadak memekik sambil membabat kaki lawan dari bawah. Pouw Kwi terkejut, dan marah oleh perbuatan wanita ini, dia melompat tinggi. Pedang yang membacok kakinya lewat di bawah, dan ketika wanita itu menjadi kehilangan sasaran tiba-tiba Pouw Kwie menggerakkan tongkatnya.

"Des….!" Bwee Li menjerit. Pundaknya terpukul dan Pouw Kwi yang sudah melayang turun mendadak mengayun kaki menendang leher wanita itu. "Buk!" Bwee Li terpelanting. Ia hampir, saja kehilangan pedang saking kerasnya tendangan itu. Tapi ketika Bwee Li melompat bangun dan hendak menerjang lagi tahu-tahu ketua Gelang Berdarah menghadang maju dan mengeluarkan bentakan keren,

"Kouw-nio, tahan!" dan Bwee yang berapi-api mukanya itu memandang beringas wajah ketua Gelang Berdarah ini

"Kau hendak berbuat apal Hiat-goan pangcu? Kau hendak membela jahanam busuk itu?"

Ketua Gelang Berdarah mengerutkan kening. "Kau pendatang asing, kouwnio. Bagaimana bersikap demikian kasar di perkumpulan Gelang Berdarah? Siapa yang memimpinmu ke mari?"

Bwee Li mengigil penuh kemarahan. "Aku tidak ada yang menyuruh, pangcu. Yang memimpinku ke mari adalah hasrat akan dendamku yang menyala-nyala!"

"Hm, dan kau melempar fitnah keji di sini kouwnio?"

Bwee Li melotot. "Siapa melempar fitnah, pangcu? Tidakkah kau tanyakan pada jahanam itu apa yang dilakukan padaku dua tahun yang lalu?"

Ketua Gelang Berdarah terpaksa menoleh. "Kau melakukan perbuatan itu, saudara Pouw Kwi?"

Pemuda ini tentu saja menggeleng. "Aku tak tahu apa yang dikatakannya itu, pangcu. Barangkali saja pemuda lain yang telah memperkosanya dan datang-datang melemparkan kotoran ke mukaku!"

Bwee Li melengking. "Kau berani menyangkalnya, jahanam she Pouw? Kau berani berbuat tak berani bertanggung jawab?"

Ketua Gelang Berdarah ini mengangkat tangannya. Dia menahan Bwee Li yang hendak menerjang lawan, dan waktu Cheng-gan Sian-jin ada di situ tiba-tiba ketua Gelang Berdarah ini menoleh pada guru pemuda itu, "Cheng-gan Sian-jin, bagaimana pendapat mu tentang masalah ini? apakah muridmu dapat membersihkan tuduhan yang dilancarkan kepadanya?"

Chen-gan Sian-jin tiba-tiba tertawa bergelak. Turun dari kursi kehormatan dan tersenyum dingin dia memandang wanita cantik ini, "Aku tak tahu apa yang dilakukan Pouw Kwi, pangcu. Tapi melihat gelagatnya mungkin wanita ini gila. Siapa yang berani mempercayai omongannya yang ngawur? Bukankah ia sendiri malah haus cinta yang terang-terangan menggumi Yap-goanswe?" dan memandang tajam Bwee Li tiba-tiba Cheng-gan Sian-jin membentak, "Siluman cantik, apa sebab datang-datang kau mengacau di sini? Tidakkah mulutmu itu bisa kau tahan?"

Bwee Li menggetarkan pedangnya "Cheng-gan Sian-jin, kau bukan manusla baik-baik. Siapa tidak tahu watak mu yang busuk? Kalau kau membela jahanam she Pouw itu aku tidak merasa heran. Bukankah kau sendiri sering berjina dengan murid perempuanmu?"

Cheng-gan Sian-Sin terbelalak. Dia mendapat makian yang paling kasar di depan umum, juga yang paling berani. Dan marah oleh hinaan yang amat hebat ini mendadak Cheng-gan Sian-jin menggerakkan gulungan lengan jubahnya. "Wanita siluman, kau rupanya kurang ajar sekali! Mampuslah untuk kata-katamu yang berbisa itu...!" dan Cheng-gan Sian-jin yang sudah melancarkan pukulan sinkangnya tahu-tahu menghantam lambung wanita ini.

Tapi bayangan kuning tiba-tiba melompat. Dan Pek-kut Hosiang yang menangkis pukulan datuk ini berseru, "Omitohud, jangan menurunkan tangan maut, Cheng-gan Sian-jin. Pinceng tak tahan melihat darah mengucur... bress!" dan lengan Pek-kut Hosiang yang bertemu Jubah Cheng-gan Sian-jin mengeluarkan ledakan perlahan dengan pekik tertahan di pihak Cheng-gan Sian-jin. Datuk ibils itu marah, tapi melihat Pek-kut Hosiong yang maju, dia menahan diri.

"Pek-kut Hosiang, kau juga hendak melibatkan diri dalam persoalan pribadi?"

Hwesio itu menarik nafas panjang. Dia menggeleng lemah, dan tersenyum pahit, dia memandang datuk iblis itu. "Omitohud, pinceng tidak bermaksud mencampuri urusan orang lain, Cheng-gan Sian-jin. Tapi melihat tanganmu yang ganas pinceng terpaksa membela wanita ini. Ia tak berurusan langsung denganmu, kenapa hendak menurunkan tangan kejam kepadanya...?"



Pendekar Kepala Batu Jilid 30

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 30
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pendekar Kepala Batu Karya Batara
DAN LEK HUI yang sudah melihat lawan terluka mendadak saja semakin bringas. Raksasa muda yang tampaknya haus melihat darah mengucur itu tiba-tiba menggereng bagai singa kelaparan, dan lawan yang terhuyung-huyung dengan lengan sengkleh itu sekonyong-konyong diterjangnya. Kapak Delapan Dewa yang telah mencium darah diangkat tinggi-tinggi di atas kepala, dan begitu dia melompat tahu-tahu kapak itu menyambar kepala Hek-mo-ko dengan kecepatan luar biasa!

Inilah suatu serangan maut yang benar-benar tak dapat dielakkan iblis hitam itu. Dan Hek-mo-ko yang pucat mukanya ini benar-benar tersirap. Dia kaget bukan main, tapi waktu yang tidak memberinya kesempatan lagi untuk bertindak membuat Iblis hitam ini memekik. Dia meraung, ganas tapi juga gentar. Dan ketika Kapak Delapan Dewa terayun di atas kepalanya Hek-mo-ko tiba-tiba melompat ke belakang. Dia bermaksud menyelamatkan diri dengan jalan melompat mundur, tapi iblis yang sudah gugup dan serasa terbang semangatnya itu tiba-tiba mendapat sial. Kaki yang melompat ke belakang terpeleset jatuh, dan kapak yang sudah menderu hebat ini tahu-tahu menghantam dadanya.

"Krak…!" Hek-mo-ko menjerit dengan pekik tinggi, dan iblis hitam yang terbelah dadanya itu terjengkang roboh dengan tulang terkuak lebar. Dia tak dapat mengelak maut, dan ketika darah menyembur deras dari luka-luka yang mengerikan itu ambruklah tangan kanan Cheng-gan Sian-jin ini dengan mata melotot. Dia tewas seketika dan para tamu yang melihat hasil dari pertandingan babak pertama itu sekonyong-konyong menjublak dengan mata terbelalak. Mereka ngeri melihat hasil kesudahan dari adu kepandaian ini, dan Lek Hui yang memperoleh kemenangan dengan mutlak tiba-tiba berdiri dengan mata berseri-seri.

Dia memandang semua orang, lalu menjura ke arah tuan rumah, raksasa muda inipun sudah memberi hormat dan melayang turun. "Hiat-goan-pangcu, aku menang…!" demikian teriaknya.

Dan ketua Gelang Berdarah yang tertegun menyaksikan kehebatan murid Ciok-thouw Taihiap sampai tercengang. Dia terkejut melihat sepak terjang raksasa muda ini, tapi Lek Hui yang melayang turun mendadak mendengar sebuah seruan menggeledek,

"Bocah She Auw, kembalilah…!"

Lek Hui tersentak, Dia menoleh dan begitu melihat siapa yang membentakn tiba-tiba Lek Hui terkejut. Ternyata Cheng-gan Sian-jin! "Ah, kau Cheng-gan Sian-jin?" pemuda ini mengerutkan keningnya. "Ada apakah kau memanggilku?"

Datuk iblis bermata hijau ini berapi-api mukanya. "Aku ingin menantangmu, bocah she Auw. Beranikah kau menerimanya?!"

Lek Hui seketika tertegun. Para tamu yang mendengar juga tampak terkejut, sebelum murid Ciok-thouw Taihiap itu meberikan jawabannya tiba-tiba Pek-mauw sian-jin melompat maju.

"Cheng-gan Sian-jin, tidak malukah kau menantang seorang yang baru saja bertanding? Dimana kejantananmu menantang seorang anak muda?"

Tapi Cheng-gan Sian-jin tertawa mengejek. "Malu tidak malu itu bukan persoalan orang lain, Pek-mauw Sian-jin. Ada apa kau turut campur tantanganku ini? Takutkah kau kalau anak muda ini roboh menyusul pembantuku?"

Pek-mauw Sian-jin menjadi marah. Tapi sebelum dia membantah tiba-tiba Pendekar Kepala Batu bangkit berdiri. "Pek-mauw Sian-jin, biarkan iblis yang sombong itu berbicara. Aku ingin mendengar apa yang akan dikatakannya!" dan begitu ketua ini melompat bangun tiba-tiba para tamu menjadi tegang. Mereka merasakan keadaan yang sangat mencekam, Cheng-gan Sian-jin yang terlawa berteriak memandang pendekar sakti. itu.

"Ha-ha, kau memang benar-benar mengagumkan, Ciok-thouw Taihiap. Kalau begitu, bagaimana kalau kau saja yang menghadapiku? Muridmu barangkali dikatakan seorang pengecut. Nah, kalau begitu biar kau saja yang mewakili muridmu menghadapi aku. Naiklah Ciok-thouw Taihiap. Mari kita bertanding dan biarkan muridmu itu berlindung di balik punggung gurunya!"

Lek Hui menjadi marah. "Cheng-gan Sian-jin, siapa yang berniat menyembunyikan diri di balik punggung guruku kau kira takutkah aku melawanmu? Hem...." Lek Hui yang tiba-tiba melayang naik ke atas panggung itu mendadak berkaca pingang. "Jangan kau sombong, iblis tua. Aku masih sanggup bertempur walaupun sudah bertempur dengan tangan kananmu yang kubinasakan itu....!" dan Lek Hui yang kembali mencabut Kapak Delapan Dewanya sudah memutar-mutar senjata berat ini dengan mata terbelala marah. Dia memang tersinggung sekali oleh kata-kata Cheng-gan Sian-jin yang amat menyinggung harga dirinya itu.

Dan Cheng-gan Sian-jin yang diam-diam girang oleh majunya raksasa muda ini diam-diam mengerahkan pandangannya ke arah lawan. Dia pura-pura bersikap tak acuh, tapi melempar senyuman mengejek dia memandang Pendekar Kepala Batu. "Ciok-thouw Taihiap, beginikah maksud hatimu? Kau tidak cepat memanggil muridmu ini, agar tidak roboh sia-sia di tanganku? Hem, lebih baik kau suruh turun muridmu itu, Ciok-thouw Taihiap. Dan kau majulah ke mari hadapi kesaktianku!"

Ciok-thouw Taihiap hendak bicara, tetapi Lek Hui yang sudah mendahuluinya berseru kepadanya, "Suhu, jangan kau panggil aku ke kursi panggung. Bukankan dahulu kau memerintahkan kepadaku untuk membunuh iblis ini? Nah, sekarang dia menantangku, suhu. Jangan jadikan teecu tertawaan orang banyak walau harus kau suruh mundur!"

Ketua Beng-san-pai ini bersinar. Dia memang bangga mendengar dan melihat sikap muridnya itu, tapi menyadari bahwa Lek Hui baru saja melepas tenaga untuk menghadapi Hek-mo-ko dia jadi ragu-raga. Sebenarnya, di dalam hati dia memang ingin menghadapkan muridnya itu melawan datuk sesat ini. Tapi mengingat Lek Hui baru saja bertempur maka diapun menjadi bimbang. Dan Pek-mauw Sian-jin yang khawatir menyaksikan kelengahan Lek Hui, tiba-tiba sudah berseru.

"Cheng-gan Sian-jin, jangan kau bakar semangat musuhmu yang muda itu. Kalau kau ingin mengajukan diri sebaiknya kau memilih yang tua-tua. Aku umpamanya, atau Hoa-san-paicu maupun yang lain. Saudara Lek Hui masih lelah, tak mungkin menang melawanmu."

Inilah satu pembelaan yang maksudnya baik. Tapi Lek Hui yang mendengar kalimat terakhir dari Pek-mauw Sian-jin itu tiba-tiba mendelik ke arah ketua Kun-lun ini. Kata-kata itu bisa diartikan lain, maka raksasa muda yang merah mukanya itu tiba-tiba menggereng ke arah tosu, "Pek-mauw Sian-jin, apa kau bilang? Aku tak mungkin menang melawan iblis tua ini?"

Pek-mauw Sian-jin terkejut. Dia kaget melihat Lek Hui menggereng ke arahnya, dan sadar akan kekeliruannya bicara tiba-tiba diapun buru-buru mengulapkan lengan. "Tidak, bukan itu maksud pinto, saudara Lek Hui. Tapi pinto hendak maksudkan bahwa karena kau masih lelah tak mungkin dirimu harus menghadapi lawan yang segar bugar!"

Cheng-gan Sian-jin tiba-tiba tertawa. "Ha-ha, kalau begitu boleh sekalian maju. Pek-mauw Sian-jin. Aku boleh menghadapan dua lawan sekaligus kalau murid Ciok-thouw Taihlap itu lelah."

Pek-mauw Sian-jin melotot. Dia gusar melihat kesombongan datuk lblis itu, karena hal ini bisa mengacaukan maksud baiknya untuk menarik Lek Hui yang dasar berwatak keras itu benar saja sudah membanting kakinya.

"Cheng-gan Sian-jin, jangan kau bermulut besar. Siapa takuti dirimu yang sombong ini? Tanpa dibantu Pek-mauw Sian-jin pun aku dapat mengalahkanmu. Hayo majulah. Aku siap bertanding seribu jurus dengan mu!" dan Lek Hui yang sudah menggedruk lantai panggung itu berapi-api matanya membakar lawan. Dia benar-benar merasa direndahkan, dan Cheng-g-Sian-jin yang merasa pancinganriya berhasil tiba-tiba tertawa bergelak.

"Ha-ha, singa muda ini temyata nekat, Pek-mauw Sian-jin. Bagaimana kala kausuruh sekali lagi agar dia mundur?"

Pek-mauw Sian-jin tak mampu bicara lagi. Dia maklum api yang disulut kakek iblis itu telah mengenai sasarannya, dan Ciok-thouw Taihiap yang dianggap satu-satunya orang yang mampu mengendalikan kegalakan Lek Hui tiba-tiba sudah dihadapi dengan alis berkerut. "Beng-san-paicu, bagaimana tanggapanmu tentang muridmu ini? Tidakkah sebaiknya dia dipanggil turun?"

Tapi Ciok-thouw Taihiap menggelengkan kepala. Ketua Beng-san-pai yang juga sedikit tersinggung oleh ucapan terakkhir pek-mauw Sian-jin ini terhadap murid kepalanya sudah mengeraskan dagu, dan menjawab tegas diapun sudah menggerakkan lengannya. "Tidak, sekarang hal itu tidak perlu lagi, Pek-mauw Sian-jin. Muridku yang telah menantang lawan tak mungkin harus kutarik kembali. Ciok-thouw Talhiap lebih mementingkan kegagahan daripada selembar nyawa!"

Maka oleh jawaban ini Lek Hui pun menjadi girang bukan main. Raksasa muda itu terrtawa bergelak, dan membungkuknn tubuh diapun sudah berseru kepada gurunya itu, "Suhu, terima kasih!" dan Lek Hui yang sudah memutar-mutar kapak raksasanya menghadapi. Cheng-gan Sian-jin dengan muka penuh semangat. "Cheng-gan Sian-jin, berapa jurus kita hendak bertanding? Beranikah kau menghadapi Kapak Delapan Dewaku ini?"

Cheng-gan Sian-jin tersenyum . "Kau memang mengagumkan, bocah she Auw. Tapi bagaimana kalau kau roboh di tanganku? Kukira duapuluh Lima jurus saja aku sudah dapat menundukkan mu!"

Lek Hui melotot geram. Dia marah oleh kesombongan lawan, dan membentak keras diapun sudah menyuruh lawan mencabut senjata, "Cheng-gan Sian-jin, cabut senjatamu agar kita tentukan siapa yang bermulut besar. Cepat...!"

Tapi Cheng-gan Sian-jin tertawa. Aku malu harus menghadapimu dengan senjata, bocah. Lebih baik kita bertempur seperti ini saja. Kau telah melawan pembantuku berarti tenagamu telah berkurang. Dan aku yang akan mengimbangimu dengan tangan kosong akan menjadikan kedudukan kita adil. Nah, setuju, bukan?"

Lek Hui menyeringai. Dia merasa agak direndahkan, tapi karena omongan lawan memang ada betulnya tiba-tiba pun membentak, "Baiklah, Cheng-gan Si-jin. Karena kau memutuskan sendiri kepusanmu itu maka jangan salahkan aku kau roboh menghadapi senjata Kapak Delapan Dewaku ini, Kaujagalah...!" dan Lek Hui yang tiba-tiba sudah melompat tinggi mengayunkan kapak raksasanya itu sudah menyerang datuk ini dengan kecepatan kilat.

Cheng-gan Sian-jin terkekeh dan ingin membuat kejutan pertama dalam gebrakan baru ini tiba-tiba dia mengangkat lengan kirinya. Kapak yang menyambar kepala ditangkis berani dengan telapak kosongya, dan Lek Hui yang terbelalak melihat perbuatan lawan melengking ganas menambah tenaga.

"Plak...!" Kapak dengan tepat diterima dengan tangan kiri Cheng-gan Sian-jin, tapi Lek Hui yang mental senjatanya bertemu degan jari sakti lawan berteriak kaget dengan muka berobah. Ternyata kapaknya itu tergetar, dan Cheng-gan Sian-jin yang sama sekali tidak terluka dihantam Kapak Delapan Dewanya itu tertawa lebar dengan mu uka mengejek.

"Ha-ha, bagaimana bocah? Masihkah berani kau mengandalkan kapakmu yang tumpul itu?"

Lek Hui menggereng. Dia marah dan kaget sekali melihat kekebalan yang di tunjukkan lawannya ini. Tapi raksasa muda yang bersemangat baja itu sudah memekik. Dia menerjang lagi, dan kapak serta tangan kiri yang ikut menyambar sekaligus sudah bertubi-tubi menghantam pundak dan dada lawan.

Tapi Cheng-gan Sian-jin berkelebat. Dengan senyum liciknya yang bersembunyi kumis yang panjang datuk sesat ini mengelak, dan ketika kapak lewat, di sisi tubuhnya dia menerima tamparan Lek Hui dengan tangan kanan. Dia sengaja hendak menjajal sampai di mana kekuatan sinkang murid Ciok-touw Taihiap itu, dan begitu kedua lengan mereka bertemu terjadilan benturan keras di antara ke keduanya.

"Dukk!" Tangan Lek Hui melekat di lengan Cheng-gan Sian-jin, dan Cheng-gan Sian-jin yang merasakan betapa kuatnya getaran tenaga sinkang raksasa muda itu diam-diam terkejut di dalam hati. Dia cepat mengerahkan kekuatan sendiri, menambah tenaga dan sekaligus menolak sinkang Lek Hui. Dan begitu dia mendorong tenaga sinkangnya Lek Hui untuk menolak lengan Lek Hui ini tiba-tiba menyalurlah sinar merah yang membentuar sinkang Lek Hui.

Lek Hui tidak tahu apa yang terjadi. Hanya dia tiba-tiba terkejut ketika mendadak rasa gatal dan panas menolak tenaga saktinya. Dia tidak tahu bahwa secara diam-diam Cheng-gan Sian-jin mengerahkan ilmunya yang jahat, Tok-hiat-jiu (Pukulan Darah Beracun)!. Maka begitu Cheng-gan, Sian-jin tertawa dan menolak balik tenaga sinkangnya dengan suara bergelak tiba-tiba saja pemuda ini mencelos melinat lengannya berubah merah kehitam-hitaman!

"Ah, pukulan beracun!" Lek Hui mendesis kaget, dan marah serta geram oleh perbuatan datuk sesat itu tiba-tiba Lek Hui sudah melepas tangannya dan mengayun kapak, langsung menyambar mata kiri Cheng-gan Sian-jin. Inilah satu serangan yang tak berani diterima secara main-main oleh datuk sesat itu, dan Cheng-gan Sian-jin yang sudah melompat mundur menyeringai ketawa dengan muka berseri-seri.

"Wutt!" kapak lewat di sisi kepalanya, dan Cheng-gan Sian Sin yang tertawa bergelak sudah mengejek lawannya. "Ha-ha, kau telah berkenalan dengan Tok-hiat Sin-kang, bocah she Auw. Hati-hati mempergunakan tenagamu itu. Bocor sedikit saja tentu akan menerobos aliran darahmu…!"

Lek Hui menjadi gusar. Dia memang merasakan adanya rasa panas dan gatal-gatal di sekitar lengan, tapi dia yang sudah cepat "menutup" aliran darah itu agar tidak sampai merembet ke atas sudah melengking tinggi dengan kemarahan meluap. "Cheng-gan Sian-jin, kau memang iblis busuk yang tidak tahu malu! Siapa takuti segala Tok-hiat Sin-kang mu?"

Cheng-gan Sian-jin agak terkejut. Dia melihat perkataan ini diucapkan sungguh-sungguh, seolah pemuda itu tidak begitu terpengaruh oleh pukulan beracunnya. Maka ketika lawan menyerangnya gencar diapun jadi tertegun juga. Terjangan Lek Hui yang amat dahsyat dia kelit kesana kemari dan ketika betul-betul dia melihat raksasa tinggi besar itu masih lincah dan kuat dalam segala gerak-geriknya tiba-tiba iblis bermata hijau ini tergetar.

Rupanya Lek Hui memang betul-betul hebat. Dan murid Pendekar Kepala Batu yang tangguh itu betul-betul tidak terpengaruh oleh pukulan beracunnya. Maka Cheng-gan Sian-jin yang terbelalak oleh kenyataan ini diam-diam membatin dengan muka berubah. Agaknya pemuda itu pandai menutuup jalan darah memindahkan hawa, sejenis ilmu kepandaian yang jarang dimiliki sembarang orang. Dan Cheng-gan Sian-jin yang gagal oleh kecurangannya inu maklum bahwa pukulan beracunnya yang "nempel" di lengan orang tidak membawa hasil. Lek Hui mampu membendung Tok-hiat Sin-kangnya, dan murid Pendekar Kepala Batu yang kini menyerangnya bertubi-tubi dengan senjata dan juga pukulan tangan kiri itu mendesaknya sedemikian rupa.

Maka Cheng-gan Sian-jin menjadi geram. Dia terlanjur bicara sombong untuk merobohkan pemuda itu dalam duapuluh jurus saja. Dan kalau ini tidak mampu dilakukannya tentu lawannya itu akan mengejeknya habis-habisan, mana dia akan menaruh muka? Datuk iblis ini berkilat marah. Dia masih melompat ke sana-sini mengandakan kinkang mengelak dari sambaran mata kapak yang berbahaya. Karena Lek Hui yang maklum lawannya ini memiliki kekebalan mengagumkan sudah mengarahkan semua serangannya pada tempat-tempat lemah. Seperti mata, mulut dan anggota rahasia.

Dan Cheng-gan San-jin yang diam-diam mengumpat pemuda yang cerdik itu menjadi berang oleh semua serangannya. Mereka sudah bertempur duapuluh jurus, dan Lek Hui yang semakin garang dan ganas mencecarnya membabi-buta membuat datuk iblis itu tiba-tiba melengking nyaring. Kapak yang untuk kesekian kalinya menyambar mata sekonyong-konyong ditangkap bukan hanya sekedar di tangkis. Dan tangan kiri Lek Hui yang menghantam leher diterima datuk ini dengan pengerahan tenaga Tok-hiat-jiu.

"Plak-dess!" Lek Hui berteriak girang. Leher yang dipukulnya dengan telapak tangan miring itu bergetar hebat, seakan tidak kuat menerima pukulannya. Tapi kapak yang dicengkeram lawan membuat Lek Hui terkesiap. Memang sudah berkali-kali datuk iblis itu menangkis dan berusaha menangkap, tapi dia yang selalu berhasil menyelamatkan senjatanya berkali-kali mampu menarik kembali. Maka begitu sekarang kejadian ini terulang di depannya mendadak Lek Hui membetot.

Dengan sekuat tenaga dia menarik Kapak Delapan Dewanya itu, tapi Cheng-gan Sian-jin yang terkekeh mendadak melepaskan cekalannya. Garakan ini dilakukan tiba-tiba, dan Lek Hui yang terlanjur mengerahkan tenaga di lengan kanan untuk menyelamatkan senjatanya itu jadi terpekik kaget dengan mata melotot. Dia sedang seru-serunya menarik senjata, maka begitu Cheng-gan Sian-jin melepaskan senjatanya kontan saja dia kehilangan tenaga!

Dan pada saat itulah Cheng-gan Sian-jin bekerja. Datuk iblis yang banyak pengalaman ini sudah meluncurkan jarinya, menotok pusar Lek Hui, tempat di mana kekuatan hawa sakti berkumpul, Dan begitu jari kakek iblis ini mengenai pusar Lek Hui tiba-tiba buyarlah seluruh konsentrasi sinkang raksasa muda itu. Lek Hui berteriak kaget ketika tiba-tiba tubuhnya menjadi lumpuh, kehilangan tenaga dalam sekejap saja. Dan persis dia terbelalak tahu-tahu tangan kiri Cheng-gan menghantam lehernya, menyerang urat nadi besar dengan pukulan Tok-hiat-jiu.

"Plakk!" Lek Hui terpelanting roboh, dan raksasa muda yang menjerit tertahan itu tiba-tiba terjengkang di atas panggung sambil melepaskan kapaknya. Dia tidak kuat menahan pukulan ini, pukulan yang dilancarkan pada saat dia kehilangan tenaga. Maka begitu ambruk di lantai panggung Lek Huipun berteriak parau dengan mata mendelik. Dia hendak melompat bangun, tapi leher yang nyeri bukan main mendadak membuat pemuda ini menyeringai dengan bibir digigi kuat-kuat, maklum apa yang terjadi. Maka begitu tubuhnya terguling di lantai panggung Lek Hui-pun berseru merintih,

"Suhu, teecu gagal....!" dan begitu dia selesai mengucapkan kata-katanya ini tiba-tiba kepala raksasa muda itupun tertekuk ke kanan, lunglai karena urat nadinya sebelah kanan putus dihantam pukulan Tok-hiat-jiu!

Inilah gebrakan yang berlangsung cepat, dan para tamu tertegun melihat kejadian itu sekonyong-konyong menjadi gaduh dengan suara ribut-ribut. Mereka terpaku oleh peristiwa yang demiklan menggemparkan ini, tapi gerengan perlahan yang menggetarkan ruangan Bangsal Agung mendadak membuat semua suara menjadi sirap. Mereka melihat Ciok-thouw Taihiap bangkit berdiri dari tempat duduknya, dan pendekar sakti yang tiba-tiba sudah melayang naik ke atas panggung itu mengeluarkan bentakan dingin,

"Cheng-gan Sian-jin, berani kau membunuh muridku?"

Datuk iblis la tergetar. Dia memang sudah mengetahui kemungkinan majunya pendekar besar itu. Tapi melihat Ciok-thouw Taihiap sudah berdiri di depannya dengan mata berkilat-kilat itu mau tak mau dia menjadi berdabar juga. Bagaimanapun, jago-jago Beng-san-pai yang amat lihai ini memiliki kesaktian yang luar biasa. Dan mellhat pendekar besar itu memandangnya dengan sinar mata mencorong seperti mata naga sakti begini, mau tak mau Cheng-gan Sian-jin tergetar juga. Tapi datuk iblis ini menekan guncangan hatinya, dan tertawa dibuat-buat dia berkata,

"Ciok-thouuw Taihiap, hutang jiwa sudah dibayar pula dengan jiwa. Kenapa kau marah kepadaku? Bukankah aku juga kehilangan seorang kepercayaanku?"

Ciok-thouw Taihiap menggereng. Dia marah bukan main memandang lawannya ini, dan membentak perlahan dia mengibaskan kedua jarinya yang tiba-tiba berkerotok, "Cheng-gan Sian-jin, jangan banyak memberi alasan. Bersiaplah kau untuk menyelesaikan urusan ini...!"

Cheng-gan Sian-jin melangkah mundur. Dia tahu pertempuran dengan ketua Beng-san-pai tak mungkin ditolak, apalagi dihindari. Tapi Pek-mauw Sian-jin yang tiba-tiba berkelebat ke atas panggung sudah berseru menahan, "Beng-san Paicu, tahan dulu. Pinto hendak bicara!"

Ciok-thouw Taihiap memutar tahuh. "Apa yang hendak kau bicarakan, totiang?"

Pek-mauw Sian-jin buru-buru menjura. "Pinto hendak memperingatkanmu, taihiap. Bahwa tidak sepantasnya kau menantang musuh yang baru saja bertanding!"

Cheng-gan Sian-jin terkejut, dan Ciok-thouw Taihiap juga tertegun. Pendekar besar ini sejenak terbelalak dan ketua Gelang Berdarah yang tiba-tiba melompat ke depan juga berseru,

"Ciok-thouw Taihiap, apa yang dikatakan Pek-mauw Sian-jin memang benar. Tidakkah pertandingan jadi berat sebelah dan tidak adil jika kau menantang musuh yang baru saja bertanding?"

Ciok-thouw Taihiap mengepalkan tinju. Dia tidak berpikir sampai ke situ karena kemarahan telah membakar dadanya, dan ketua Beng-san yang hendak membantah dengan mengatakan Cheng-gan Sian-jin juga berbuat begitu terhadap muridnya tiba-tiba tertegun ketika mendengar bisikan halus yang dilakukan dengan Ilmu Coan-im-jip-bit di pinggir telinganya,

"Souw-locianpwe, jangan menurutkan hawa nafsu. Kau sendiri yang telah mengijinkan muridmu menghadapi Cheng-gan Sian-jin. Kenapa sekarang hendak mencontoh tindakan tidak terpuji yang dilakukan oleh kakek iblis itu? Bukankah nama Beng-san-paicu bisa tercemar? Kendalikan nafsu kemarahanmu, locianpwe. Hadapi Cheng-gan Sian-jin setelah dia memulihkan tenaganya. Ingat semata-mata demi nama baikmu dan nama baik Beng-san-pai...!"

Ciok-thouw Taihiap benar-benar tertegun. Dia sekarang sadar akan kemaranannya yang hampir tidak terkendali, melirik sekilas ke deretan tamu di sebelah belakang, ke tempat di mana Pendekar Gurun Neraka memperingatkannya secara halus. Dan menahan api kebenciannya terhadap Cheng-gan Sian-jin tiba-tiba diapun mengangguk.

"Baiklah, Hiat-gown-pangcu, karena Cheng-gan Sian-Jin telah melawan muridku, biarlah kutunggu dia sampai memulihkan tenaganya kembali. Tapi aku tidak menantang, begitu dia selesai, harap persoalan ini dituntaskan…!" dan Ciok-thouw Taihiap yang sudah memutar tubuh itu tiba-tiba melayang turun sambil menyambar jenasah muridnya. Dia melempar kemarahannya dengan kibasan ke kiri, dan begitu pendekar ini menggerakkan ujung bajunya, tiba-tiba papan panggung di depan Cheng-gan Sian-jin mengeluarkan suara keras ketika papan itu pecah dan kepingannya menyambar muka lawan!

Tapi Cheng-gan Sian-jin mengebut jubah kanannya yang lebar, dan begitu menyampok serpihan kayu yang pecah-pecah ini kakek iblis itu tertawa mengejek. "Ciok-thouw Taihiap, jangan kau sombong. Siapa takuti ancamanmu? Kalau kau tidak menantangku justru aku yang ingin menantangmu. Bersiaplah, aku juga ingin melihat sampai di mana kepandaianmu!" dan Kakek iblis yang tiba-tiba sudah mundur di belakang panggung lantai itu memandang dingin kearah ketua Beng-san-pai.

Sekarang panggung pibu menjadi sunyi, dan para tamu yang diam-diam tegang tapi akhirnya kecewa karena pertempuran dua jago tua itu tidak jadi terlaksana sudah memandang ketua Gelang Berdarah dan Pek-mauw Sian-jin yang masih berdiri di atas panggung. Mereka mengira dua orang ketua perkupulan itu rupanya sudah siap untuk berhadapan. Tapi Hiat-goan-pangcu yang tertawa ringan tiba-tiba menjura di depan ketua ini.

"Pek-mauve Sianjin, siapa sekarang yang ingin maju di atas panggung? Kau kah?"

Ketua Kun-lun ini mencabut pedang "Aku sudah di sini, Hiat-goan-pangcu. Kukira memang sebaiknya begitu. Apakah kau siap melayaniku dalam pertandingan berikutnya ini?"

Tapi ketua Gelang Berdarah tersenyum. "Aku kira belum saatnya, Pek-mauw-Sian-jin. Jika kau yang maju kali ini barangkali saudara Kun Bok saja melayanimu!" dan belum ketua kun lun ini membelalakkan matanya tiba ketua Gelang Perdarah itu sudah bertepuk tangan. "Saudara Kun Bok, majulah. Wakili perkumpulan kita menghadapi Pek-mauw Sian-jin sebagai penantang kehormatan!"

Kun Bok tertegun. Dia terkejut mendegar perintah ketua Gelang Berdarah ini dalam pibu pertandingan itu. Dan Pek-mauw Sian-jin sendiri yang diam-diam marah karena jelas diadu dengan "tetangga" satu daerah, tiba-tiba menghentakkan tumitnya dengan geram.

"Hiat-goan-pangcu, kenapa kau ajukan orang lain untuk menghadapi pinto? takutkah kau melawan ilmu pedangku Kun-lun Kiam-sut?"

Ketua Gelang Berdarah tertawa. "Ah, terus terang aku memang jerih menghadapi ilmu Pedangmu, totiang. Tapi menonton dua ahli pedang yang sama-sama pandai mainkan senjata tentunya jauh lebih menarik bagiku. Atau kau takut menghadapi pembantuku ini?"

Pek-mauw Sian-jin tak mampu bicara. Dia tahu lawannya itu pura-pura bicara begitu, dan tuan rumah yang dipandang penuh kemarahan akhirnya menoleh kembali ke arah Kun Bok.

"Bok-kongcu, kenapa kau belum naik?"

Kun Bok terpaksa bangkit berdiri. Dia beringsut gemetar menghadapi ketua Kun-lun-pai itu, dan menjura dengan perasaan bingung dia berkata, "Pek-mauw totiang, harap maafkan siauwte tantanganmu itu. Siauwte paksa oleh keadaan, dan kalau totiang baik hati, sudilah kiranya memberi sedikit keringanan kepada stauwte..." dan Kun Bok yang sudah mencabut pedangnya lalu berdiri, tegak di depan ketua Kun-lun-pai ini. Dia tidak berani memandang langsung wajah tosu tua yang angker penuh wibawa sementara Pek-mauw Sian-jin yang keadaannya yang tidak menyenangkan membentak perlahan,

"Bok-kongcu, sungguh tidak pinto nyana bahwa kau akan berhadapan dengan pinto. Tapi karena kau mewakili musuh dan pinto mewakili para sahabat biarlah kita coba-coba main sebentar. Apakah kau sudah siap?"

Kun Bok menyentuhkan mata pedangnya di hidung dan kening. "Siauwte sudah siap, Pek-mauw totiang. Harap kau bermurah hati kepada siauwte yang mohon banyak petunjuk."

"Hm…" Pek-mauw Sian-jin menggeram. "Kalau begitu mulailah, Bok-kongcu. Aku akan memberimu kesempatan tiga kali untuk memulai serangan. Mulailah!"

Kun Bok tidak ragu-ragu lagi. Dia maklum ketua Kun-lun ini juga terganggu perasaan tidak nyaman seperti dirinya, karena bagaimanapun juga dia sebenarnya bukan lawan tosu yang masih di atas tingkatnya itu. Tapi karena keadaan sudah memaksa dan mereka juga sudah saling berhadapan maka langsung saja pemuda ini mengeluarkan ilmu pedang tunggalnya, Bu-tiong Kiam-sut yang baru saja dipelajarinya secara tidak lengkap dari ayahnya itu, Dan begitu dia membentak memberi aba-aba Kun Bok pun sudah menyerang maju dengan jurus pembukaannya, Tit-te-pai sang (Tudingan Bumi Menyembah Bintang).

Pek-mauw Sian-jin berkelit ketika gebrakan pertama ini berlangsung, dan ketika Kun Bok mulai melancarkan serangan-serangan berikutnya tubuh ketua Kun-lun inipun tiba-tiba berkelebatan di antara sambaran mata pedang yang berseliweran di sekitar dirinya. Dia sengaja mengalah tiga serangan pada lawannya itu, memberi kesempatan kepada Kun Bok yang jauh lebih muda. Dan ketika tiga serangan itu sudah habis dilancarkan maka mulailah ketua Kun-lun ini membalas!

"Hati hati, Bok-kongcu, kesempatan yang kuberikan kepadamu telah habis!"

Kun Bok mengerti, Dia telah mempergunakan kesempatan itu, yang gagal dikerjakan. Dan ketika pedang di tangan ketua Kun-lun itu mulai membalas serangan-serangannya tiba-tiba Kun Bok menggigit bibir. Dia merasa Tit-te-pai-seng tadi dipersempit ruang geraknya oleh ketua Kun-lun ini, yang mempergunakan pula kibasan bajunya untuk menahan lingkaran pedang. Dan ketika sekarang ketua Kun-lun itu bergerak membalasnya mendadak tubuh tosu tua ini lenyap dibungkus gulungan sinar pedangnya.

Pek-mauw Sian-jin telah memainkan Kun-lun Kiam-sutnya, sebuah ilmu pedang andalan partai Kun-lun. Dan ketika pedang di tangan Kun-lun-paicu itu menyambar-nyambar bagai burung, tiba-tiba saja sinar lebar bagaikan payung telah mengurung putera Bu-tiong-kiam ini! Kun Bok bingung, juga gugup. Karena sekujur tubuhnya tiba-tiba telah dikurung sinar pedang yang digerakkan demikian deras oleh ketua Kun-lun-pai. itu. Dan ketika dia terbelalak kecut mendadak saja pundak kirinya disambar pedang.

"Brett" Kun Bok melengos. Dia terkejut oleh tikaman Ujung pedang itu, dan Pek-mauw Sian-Sin yang memuta rsenjatanya di balik gulungan pedang berseru,

"Bok-kongcu, hati-hati. Pedang tidak mempunyai mata…!"

Kun Bok menggigit bibir. Dia mencekal erat gagang pedangnya, dan ketika Pek-mauw Sian-jin kembali menyerangnya gencar sekonyong-konyong dia melengking pendek. Pedang yang tadi gugup tiba-tiba kini mantap di tangan, dan begitu Pak-mau w Sian-jin menyerang tiba-tiba Kun Bok pun menubruk dengan terjangannya yang ke dua. Dia mainkan jurus ke dua yang disebut Heng-hun-po-uh (Awan Berarak Hujan Mencurah), dan begitu pedangnya bergerak tiba-tiba muncullah gelembung besar kecil yang menandingi payung pedang di tangan Pek-mauw Sian-jin.

Kun Bok mainkan ini dengan konsentrasi penuh, artinya bersungguh-sungguh karena maklum lawannya itu adalah jago tua yang banyak pengalaman. Dan ketika sudah mainkan jurus ke dua ini terkejutlah ketua Kunlun-pai itu karena merasa sinar pedangnya mendadak tertahan oleh gelembung besar kecil di tangan Kun Bok. Pek-mauw Sian-jin memang belum pernah mendengar ciptaan ilmu pedang yang baru diberikan Bu-tiong-kiam itu kepada puteranya. Maka melihat tiba-tiba gulungan sinar pedangnya ditumbuk awan lebar yang bergelembung naik turun dari pedang di tangan Kun Bok tiba-tiba saja ketua Kun-lun ini tercekat.

Dia melihat pedang di tangan lawannya itu membentuk gumpalan awan, atau mirip mega yang sailing berkejaran. Dan ketika mega itu semakin tebal dan bermacam-macam bentuknya tiba-tiba ledakan nyaring terdengar ditengah-tengah gulugan sinar pedang ini. Pedang Pek-mauw Sian-jin tahu-tahu telah dipukul oleh pedang di tangan Kun Bok, menerbitkan suara nyaring tadi. Dan begitu suara benturan ini lenyap tiba-tiba saja muncul titik-titik kecil yang menyambar ratusan banyaknya ke muka tokoh Kun-lun-pai itu.

"Aih...!" Pek-mauw Sian-jin terkejut dan tosu yang tiba-tiba melompat mundur ini menggerakkan lengan kirinya ke depan. Dia mempergunakan sinkang menyapok, dan begitu jubah luarnya membentur titik-titik kecil yang menyerang dirinya itu, terdengarlah berulang-ulang suara "trak-trik-trak-trik" yang lirih. Jubah tua Kun-lun ini tahu-tahu telah robek ditusuk ujung pedang yang seperti gerimis itu, dan ketika Pek-mauw, Sian-jin menendang ke atas barulah pedang Kun Bok yang menyerangnya itu terpental dan lenyap serangannya!

"Ih...!" Pek-mauw Sian-jin terbelalak dan Kun Bok sendiri yang terkejut melihat pedangnya hampir terlepas oleh tendangan ketua Kun-lun itu juga tertegun oleh kelihaian lawannya ini. Tapi Kun Bok sudah menyerbu lagi, dan hatinya yang diam-diam girang oleh hasil serangan Heng-hun-uh itu sudah berteriak kembali dengan tusukan bertubi-tubi.

Kun Bok langsung melanjutkan tikamannya pada jurus ke tiga, yang disebut Bu-tiong-boan-seng (Bintang Bertabur di Dalam Kabut). Dan Pek-mauw Sian-jin yang terkesiap oleh serangan pemuda ini sudah menggetarkan kedua lengannya dengan pengerahan sinkang penuh. Ketua Kun-lun ini tadi melihat bahwa keganasan ilmu pedang lawannya itu hanya mampu dilumpuhkannya dengan kelebihannya dalam hal sinkang, karena dia menang lebih kuat tenaga saktinya dibanding lawannya yang masih muda ini.

Maka begitu Kun Bok menyerangnya dengan jurus yang tampaknya lebih berbahaya tiba-tiba ketua Kun-lun inipun membentak. Dia menangkis tikaman pedang yang bertubi-tubi yang seolah-olah bintang meluncur dari langit. Dan begitu pedangnya menangkis pedang di tangan awannya itu langsung saja ketua Kun-lun ini mangerahkan tenaga.

"Plak-cring…!" Pedang di tangan Kun Bok tertangkis, Kun Bok terkejut. Dia melihat pedangnya mental ke atas, dan sementara dia terbelalak kaget tiba-tiba pedang di tangan, Pek-mauw Sian-jin telah menyambar tenggorokannya! Inilah serangan yang amat cepat, juga tiba-tiba sekali. Tapi Kun Bok yang masih mainkan jurus Bu-tiong-boan-seng mendadak merendahkan tubuh sambil memutar kaki ke kanan.

"Brett" Leher baju Kun Bok ganti termakan, tapi Kun Bok yang sudah melengking tinggi tahu-tahu balas menyerang ketua Kun-lun ini dengan gerakan menyilang lima kali berturut-turut, membentuk segi lima bintang yang bertubi-tubi menyerang lima titik jalan darah di tubuh lawannya itu. Dan Pek-mauw Sian-jin yang terbelalak melihat serangan ini tiba-tiba berteriak tertahan ketika ujung pedang Kun Bok sudah menyambar mata dan dada kirinya!

"Ahh…!" ketua Kun-lun ini terpekik, tapi kibasan lengan kirinya yang menolak dari samping tahu-tahu telah membentur pedang di tangan Kun Bok. "Plak…!" Kun Bok terpental miring, dan jurus Bu-tiong-boan-seng yang masih mempunyai dua gerakan lagi tiba-tiba sudah dilanjutkan dengan tikaman dari, kanan ke bawah, meyerang pinggang dan pusar kakek tua itu!

"Plak-plak…!" Kali ini Pek-mauw Sian-jin merendahan tubuh, dan ketua Kun-lun yang tampaknya terkejut bukan main itu sudah mengeluarkan bentakan keras dengan tamparan ujung lengan bajunya. Dia tidak banyak kesempatan untuk menghindar dari dua tikaman terakhir itu, dan Pek-mauw Sian-jin yang membelalakkan mata ini, tahu-tahu menangkis pedang Kun Bok dengan pedangnya di tangan kanan sementara menyampok babatan ke pinggang dengan kebutan lengan bajunya.

"Bret-bret!" sekarang keadaan satu-satu. Gebrakan cepat yang berlangsung pada detik-detik terakhir ini benar-benar membuat Pek-mauw Sian-jin hampir-hampir berseru saking herannya, karena meskipun dia telah membuat pedang di tangan Kun Bok terpental tapi pedang di tangan lawannya itu masih sempat melobangi jubah luarnya dan menggores kulit perut. Dan sementara dia tertegun tahu-tahu pedang ditangan lawannya itu menukik setengah lingkaran menyambar ulu hatinya!

Pek-mauw Sian-jin terbelalak. Dia tidak dapat "mentolerir" lagi akan serangan yang amat berbahaya ini. Dan begitu dia membanting kaki sambil membentak keras tiba-tiba ketua Kunlun ini sudah menggetarkan kedua lengannya. Dia menangkis pedang yang menyerang ulu hatinya, lalu tangan kiri yang memukul miring itu tahu-tahu menampar pundak Kun Bok.

"Plak!" tangan kiri Kun-lun-paicu itu dapat mengenai sasarannya, dan pedang Kun Bok yang ditangan ini tahu-tahu melekat di pedang tosu ini. Kun Bok terkejut, merasa betapa tenaga sinkang yang lembut tapi menyedot pedangnya, menempel tak dapat dilepaskan. Dan sementara dia berseru tertahan tiba-tiba jari tangan ketua Kun-lun itu sudah menotok bahunya!

"Tuk!" Kun Bok tak dapat mengelak. Dia tak mampu menarik pedangnya karena "disedot" tenaga singkang kakek lihai itu. Dan begitu totokan Pek-mauw Sian-jin mengenai pundaknya tiba-tiba saja Kun Bok mangeluh dan terguling roboh. Pemuda ini terjungkal, dan para tamu yang melihat pemuda itu melepaskan pedangnya karena roboh menerima totokan Pek-mauw Sian-jin tiba-tiba saja berdiri tertegun dengan mata terbelalak. Mereka melihat ketua Kun-lun-pai ini telah menyelesaikan pertandingan, tapi muka Pek-mauw Sian-jin yang pucat lalu berubah kemerahan itu membuat mereka terbengong.

"Bok-kongcu, kau hebat!" Pek-mauw Sian-jin memungut pedang lawan. Lalu melompat membebaskan totokan pemuda itu ketua Kun-lun ini berkata terus terang, "Kau benar-benar hebat Bok-kongcu. Pinto benar-benar kagum!"

Kun Bok bangkit berdiri. Dia terbelalak memandang lawannya ini, tapi ketua Gelang Berdarah yang tiba-tiba melompat ke depan berseru nyaring, "Pek-mauw Sian-jin, kau belum dapat dikata sebagai pemenang pertandingan!"

Semua orang terkejut. Mereka Memandang laki-laki yang tersenyum aneh itu, dan Pek-mauw Sian-jin yang mengerutkan kening bertanya, "Hiat-goan pangcu, apa yang kau maksudkan dalam kata-katamu ini?"

Ketua Gelang Berdarah itu tertawa. "Aku memberitahukan di sini bahwa kau tidak dapat disebut sebagai pemenang, Pek-mauw Sian-jin. Karena biarpun saudara Kun-bok berhasil kau robohkan namun ilmu silat pedangnya kulihat belum habis!"

Pek-mauw Sian-jin terkejut. Dia memamg merasakan hal itu, karena sebagai seorang ahli pedang yang baik diapun melihat kenyataan ini. Tapi bahwa ketua Gelang Berdarah itu dapat mengetahuinya dengan baik dan kini menyerangnya dengan ucapan seperti itu benar-benar membuat ketua Kun-lun ini terkesiap kaget dan mengakui kelihaian mata lawan yang amat awas. Dia tertegun di tempatnya sejenak, tanpa membantah kalimat terakhir. Tapi muka Kun-lun-paicu yang sudah merah menyala ini tiba-tiba menjadi gelap.

"Hiat-goan-pangcu, kalau begitu apa maksudmu sekarang?" Pek-mauw Sian-jin membentak marah.

"Ha-ha, tentu saja pertandingan dilanjutkan lagi, Pek-mauw Sian-jin. Karena jika sekarang di antara kalian belum ada yang terluka berarti pertandingan bisa dinilai kurang sungguh-sungguh!"

Pek-mauw Sian-jin mendelik. "Kau menghendaki pertumpahan darah, Hiat-goan-pangcu? Kau hendak menanam permusuhan langsung antara aku dengan Bu-tiong-kiam Kun Seng?"

Ketua Gelang Berdarah itu terkejut. Dia ditodong oleh tuduhan ini, yang memang diam-diam menjadi maksud hatinya! Tapi ketua Gelang Berdarah yang cerdik bagai ular berbisa ini tertawa lebar. "Pek-mauw Sian-jin kau terlalu mengada-ada. Siapa bilang aku hendak menanam permusuhan laugsung dengan Bu-tiong-kiam Kun Seng? Bukankah yang ada sekarang ini, adalah pertandingan antara pihakmu dan pihakku?"

"Ya, tapi dengan mengatakan seorang diantara kami harus terluka oleh senjata berarti itu pertandingan yang mengarah jiwa, Hiat-goan-pangcu. Dan permusuhan ini dengan Bok-kongcu yang terbatas di panggung lantai ini tidak semestinya bila diperbesar sampai ke situ. Kau jelas hendak menanamkan permusuhan langsung, dan bila Bok-kongcu belum terbunuh oleh pedangku tentu kau menyatakan pinto belum menang!"

Ketua Gelang Berdarah tertegun. Dia menjadi kaku mukanya, dan Kun Bok yang terbelalak ke arah dua orang tokoh ini tiba-tiba melangkah maju. "Pangcu, kukira apa yang dikatakan Pek-mauw-totiang ini adalah benar adanya. Kenapa masih harus perbesar seperti itu?"

Laki-laki berkedok itu tiba-tiba berseri mukanya. "Aku hendak maksudkan bahwa pertandigan kalian belum selesal, Bok-kongcu. karena mataku yang terpikat melihat kehebatan ilmu pedangmu itu mendapat kenyataan bahwa ilmu pedangmu belum selesai. Bukankah ini benar, kongcu?"

Kun Bok mengangguk. "Ya, itu memang benar, pangcu. Tapi…"

"Nanti dulu, kongcu. Jangan putus omonganku! Kalau benar ilmu pedangmu belum selesai bukankah pibu masih bisa dilanjutkan?" ketua Gelang Berdarah ini memotong. "Dan kalau kau teruskan ilmu pedangmu itu tentu Pek-mauw akan roboh, Bok-kongcu. Karena pedangmu yang hebat dan luarbiasa kulihat jauh di atas ilmu pedang yang dimiliki ketua Kun-lun-pai ini...!"

Kun Bok tertegun. Dia terkejut dan bangga mendengar ketua Gelang Berdarah ini berani bicara seperti itu, memuji ilmu pedangnya setinggi langit tapi merendahkan ilmu pedang Pek-mauw Sian-jin. Omongan yang mendekati kebenaran tapi merendahkan tapi juga sekaligus menghina pihak lawan! Dan Pek Pek-mauw Sian-jin yang terobek harga dirinya itu tiba-tiba membelalakkan mata.

"Hiat-goan-pangcu, kau rupanya ingin mengadu domba kami!" kakek itu membentak. "Kalau begitu mengapa tidak kau saja yang menghadapi pinto? Bukankah pinto sudah menantangmu terang-terangan?"

"Ha-ha, aku belum ingin melayanimu, Pek-mauw Sian-jin. Karena seperti yang aku bilang tadi aku masih ingin melihat kalian berdua sebagai jago-jago pedang mempertunjukkan kelihaian kalian! Siapa yang mengadu domba?"

Pek-rmauw Sian-jin melotot. Dia mau bicara, tapi ketua Gelang Berdarah yang tertawa mengejek sudah melanjutkan kata-katanya, "Dan berani bertaruh kau tidak akan mampu melawan ilmu pedang Bok kongcu, Pek-mauw Sian-jin. Asal dia melanjutkan permainan pedangnya itu sampai lengkap…!"

Pek-mauw sekarang menghentakkan kaki. Dia berdiri menggigil, dan menggeram ke arah laki-laki ini ketua Kun-lun itu berkata, suaranya dalam dan serak, gemetar oleh kemarahan yang meledak-ledak, "Hiat-goan-pangcu, meskipun kau kelihaian mata yang awas tapi jangan kau sombong. Bok-kongcu meskipun bagaimana masih belum dapat mengalahkan pinto, karena ilmu pedangnya masih belum matang. Bagaimana kau hendak bicara seperti itu?"

Ketua Gelang Perdarah menyeringai dingin "Matang belum matang itu bukan wawasanmu, Pek-mauw Sian-jin. Karena bagaimanapun juga aku yakin pihakku akan menang jika Bok-kongcu memainkan ilmu pedangnya secara lengkap. Bagaimana kau hendak mencari kemenangan dengan jalan demikian mudah? Bukankah pibu masih berjalan setengah jalan?"

Kun Bok tiba-tiba maju. Dia melihat ketua Kun-lun itu memutar pedang dengan jari berkerotan, tanda kemarahan yang sudah tak terkendali. Dan maklum dia harus cepat-cepat menengahi keadaan langsung saja pemuda ini berseru, "Pek- mauw totiang, tahan dulu, Apa yang kau katakan memang benar...!" dan Kun Bok yang sudah berdiri di depan dua orang itu tiba-tiba menjura di depan ketua Gelang Berdarah "Hiat-goan-pangcu, maafkan. Pertandingan pibu kali ini memang jelas dimenangkan Pek-mauw totiang. Karena apa yang kau harap dari ilmu pedangku sesungguhnya tidak dapat kulanjutkan!"

Ketua Gelang Berdarah terbelalak. "Apa yang kau maksudkan, Bok-kongcu?"

"Begini, pangcu," Kun Bok menarik nafas panjang. "Apa yang dikatakan Pek-mauw Sian-jin tadi memang tidak salah. Ilmu pedangku belum matang, dan biarpun benar pula bahwa ilmu pedangku belum kukeluarkan secara lengkap tapi bagaimanapun juga pertandingan ini telah dimenangkan Pek-mauw totiang karena aku tak dapat melanjutkan permainan berikutnya!"

Kun Bok berhenti sejenak. Dan melihat semua orang memandang kepadanya diapun buru-buru menyambung, "Dan ini tak dapat kulanjutkan karena aku masih belum ahli jurus-jurus berikutnya itu, pangcu. Dengan lain kata bahwa yang kumiliki sekarang ini barulah jurus-jurus yang itu saja. Aku belum sempat mewarisi jurus-jurus berikutnya dari ayah karena sibuk dengan adanya persoalan jodon ini...!"

Ketua Gelang Berdarah terkejut. Dia membelalakkan mata, dan Pek-mauw Sian-jin yang merasa tertolong mukanya oleh pengakuan pemuda itu menjadi girang di dalam hatinya. "Nah, apa yang kukatakan, Hiat-goan-pangcu?"

Ketua Gelang berdarah itu tertegun. Dia memandang Pek-mauw Sian-jin, diapun tertawa. "Ah, kau sungguh beruntung, Pek-mauw Sian-jin. Kalau tadi kutahu begitu tentu tidak perlu aku membuang-buang waktu di sini. Baiklah, pihakku kali ini kalah dan pertandingan pibu berikutnya bolehlah kita teruskan lagi...!" dan ketua Gelang Berdarah yang sudah melompat mundur itu memandang sisa empat temannya dengan muka sedikit gelap. "Saudara, siapa yang kali ini henda maju?"

Pouw Kwi tiba-tiba melompat berdiri "Biarlah aku saja, pangcu. Aku ingin menghadapi seorang diantara mereka!"

Ketua Gelang Berdarah tersenyum, "Kau hendak mewakili kami, Pouw-kongcu?"

"Ya, dan kuharap aku memperoleh kemenangan, pangcu!"

"Ha-ha, kalau begitu siapa yang akan maju diantara kalian, cuwi enghiong?" ketua Gelang Berdarah ini memutar tubuh, memandang rombongan Pek-mauw Sian-jin. "Apakah Ciok-thouw Taihiap atau yang terhormat saudara ketua Hoa-san-pai?"

Hui-to Lojin mengerutkan alis. Dia memndang Ciok-touw Taihiap, tapi Ciok-touw Taihiap justru mendenguskan hidungnya. Dan maklum ketua Beng-san-pai ini jelas tak mau maju Hui-to Lojin tiba-tiba bangkit berdiri. Tapi Kim-sin Sian-jin mendadak melayang mendahului, dan berseru nyaring, ketua Kong-thong-pai itu berkata,

"Biarlah aku yang menghadapi pemuda ini, Hoa-san-paicu. Tiga orang musuh kita yang lain masih menanti!" dan tubuh ketua Kong-thong yang berkelebat di atas pangung luitai itu tahu-tahu telah mancabut pedangnya.

Pouw Kwi tertegun, tapi pemuda yang tiba-tiba tersenyum ini tertawa mengejek. Kau hendak melayani aku, Kong-thong-paicu?"

Kim-sin Sian-jin merah mukanya. "Pinto ingin c9ba-coba melihat kebolehanmu, anak muda. Dan kalau kau sudah diangkat murid oleh Cheng-gan Sian-jin tentu kau tidak akan mengecewakan!"

"Bagus, dan kau ingin kita memakai senjata, Sian-jin?"

"Itulah kepandaianku...!"

Maka, Pouw Kwi yang tertawa menyeringai tiba-tiba mencabut senjatanya, sebuah tongkat kecil berkepala ular. Dan begitu pemuda ini mengeluarkan senjatanya, Kim-sin Sian-jin sudah memasang kuda-kuda.

"Majulah anak muda. Biarlah pintol mengalah tiga jurus kepadamu!"

Pouw Kwi membelalakkan mata'. "Waah… kau bicara sungguh-sungguh, Kim-sin Sian-jin?" dia mengejek. "Tidak terlalu banyak tiga jurus itu untukku?"

"Hm, jangan banyak cakap, anak muda, Pinto sudah mengeluarkan putusan dan tidak mungkin pinto cabut kembali...!"

Pouw Kwi tertawa. Lalu mengetukkan tongkatnya diapun berkata, "Baiklah, kau sendiri yang menghendakinya, Kim-sin Sian-jin. Kalau roboh oleh tiga jurus seranganku harap jangan salahkan aku!" dan Pouw Kwi yang bersiap-siap menyerang ketua Kong-thong itu memutar tongkatnya. Dia menggerakkannya di atas kepala, memegang ekor tongkat dan mengarahkan kepalanya ke arah Kim-simn Sian-jin. Tapi baru mau menyerang mendadak bentakan mengejutkan semua orang.

"Jahanam she Pouw, tunggu...!" dan seorang wanita cantik yang bersuara merdu tahu-tahu melompat ke panggung luitai menghadapi Pouw-kwi dengan kemarahan yang membuat matanya berapi-api. Ia telah memegang sebatang pedang telanjang, tampaknyra beringas sekali kepada pemuda ini. Dan Pouw Kwi yang terkejut atas panggung kelihatan tertegun.

"Kau siapakah, nona?" Pouw Kwi bingung. Dia tidak tahu apakah wanita cantik ini seorang gadis ataukah sudah bersuami. Tapi melihat muka orang yang demikian cantik manis dengan tubuh menggairahkan, tiba-tiba saja Pouw Kwi malah berseri girang dan gembira, tapi wanita cantik yang tampaknya marah besar itu membentak,

"Jahanam she Pouw, kau agaknya lupa. Tidak ingatkah kau akan wajahku dua tahun yang lalu?"

Pouw Kwi mengerutkan kening. Dia memperhatikan wanita itu, menelusuri wajahnya dari atas ke bawan. Dan merasa tiba-tiba dia seakan sudah pernah bertemu wanita ini mendadak muka Pouw Kwi menjadi tidak sedap. Dia mulai terganggu, dan marah oleh sikap yang kasar dari wanita cantik ini, Pouw Kwi berkata dingin, "Nona aku tampaknya kenal wajahmu. Tapi siapakah kau dan kenapa marah-marah disini?"

Wanita cantik itu menggetarkan pedang. "Aku adalah Bwee jahanam Pouw. Orang yang kau perkosa di istana Baginda Yun Chang!"

Pouw Kwi kaget bagai disambar petir. Dia sekarang teringat wanita ini, selir Yu Chang yang dahulu ditipunya untuk menjatuhkan nama baik Jenderal Muda Yap, atau yang lebih terkenal dengan nama Pendekar Gurun Neraka itu. Dan bahwa wanita ini tiba-tiba muncul disaat banyak orang hadir di keramaian pesta Gelang Berdarah tiba-tiba saja Pouw Kwi menjadi pucat. Dan para tamu yang hadir, yang mendengar wanita itu pernah diperkosa pemuda ini dan menyebut-nyebut nama Sri Baginda Yun Chang tiba-tiba saja menjadi gempar.

Mereka terkejut, dan wanita cantik yang dipandang terbelalak di atas panggung itu tiba-tiba saja menjadi pusat perhatian semua orang. Mereka melihat wanita itu memandang penuh kebencian kepada lawannya, dan Pouw Kwi yang tergetar mundur tiba-tiba membentak, "Wanita siluman, kenapa kau datang-datang menuduh orang? Apa buktimu tentang fitnahan ini?"

Wanita cantik itu menggigit bibirnya. Ia memang benar Bwee Li adanya, selir Yun Chang yang dulu tergila-gla kepada Yap-goanswe. Dan mendengar pemuda itu menuntutnya sebuah bukti Bwee Li membelalakkan matanya penuh kemarahan. "Jahanam she Pouw, kau rupanya laki-laki pengecut. Tidak beranikah kau terima kenyataan ini? Bukankah lukamu itu yang menjadikan bukti akan perbuatan, mu yang hina?"

Pouw Kwi surut selangkah. "Luka apa, wanita siluman? Kapan aku melakukan perbuatan itu?"

Bwee Li tiba-tiba terkekeh. Kebencian dan kemarahannya yang amat sangat terhadap pemuda ini membuatnya memendam sakit hati setinggi langit, dan begitu Pouw Kwi menanyakan perbuatannya tiba-tiba Bwee Li maju selangkah. "Orang she Pouw, kau malam itu menyihir dirlku. Mempermainkan diriku dengan mengubah rupamu menjadi Yap-goanswe. Apakah itu bukan merupakan bukti yang cukup?" lalu sebelum lawan menangkisnya dengan pertanyaan lain Bwee Li sudah menudingkan pedangnya, "Dan kau memang jahanam keparat, orang she Pouw. Mempergunakan kekagumanku pada Yap-goanswe kau lalu memasuki kamarku, mengajakku bermain cinta dan menodai nama baik Jenderal Muda itu hingga terusir dari istana. Apa ini juga hendak kau sangkal sebagai perbuatanmu?" kemudian melanjutkan dengan suara tinggi Bwee Li meraung histeris, menjerit kepada pemuda itu, "Dan malam ini aku ingin membunuhmu, orang she Pouw aku ingin mengoyak-ngoyak dan mencabik tubuhmu!" lalu Bwee Li yang melompat ke depan itu tiba-tiba meluncurkan pedangnya menusuk tenggorokan Pouw Kwi.

"Plak!" Pouw Kwi menangkis. Padang yang sudah ditolaknya ke samping itu kontan saja dicengkeram, tapi Bwee Li yang membalik pergelangan tangannya mendadak memekik sambil membabat kaki lawan dari bawah. Pouw Kwi terkejut, dan marah oleh perbuatan wanita ini, dia melompat tinggi. Pedang yang membacok kakinya lewat di bawah, dan ketika wanita itu menjadi kehilangan sasaran tiba-tiba Pouw Kwie menggerakkan tongkatnya.

"Des….!" Bwee Li menjerit. Pundaknya terpukul dan Pouw Kwi yang sudah melayang turun mendadak mengayun kaki menendang leher wanita itu. "Buk!" Bwee Li terpelanting. Ia hampir, saja kehilangan pedang saking kerasnya tendangan itu. Tapi ketika Bwee Li melompat bangun dan hendak menerjang lagi tahu-tahu ketua Gelang Berdarah menghadang maju dan mengeluarkan bentakan keren,

"Kouw-nio, tahan!" dan Bwee yang berapi-api mukanya itu memandang beringas wajah ketua Gelang Berdarah ini

"Kau hendak berbuat apal Hiat-goan pangcu? Kau hendak membela jahanam busuk itu?"

Ketua Gelang Berdarah mengerutkan kening. "Kau pendatang asing, kouwnio. Bagaimana bersikap demikian kasar di perkumpulan Gelang Berdarah? Siapa yang memimpinmu ke mari?"

Bwee Li mengigil penuh kemarahan. "Aku tidak ada yang menyuruh, pangcu. Yang memimpinku ke mari adalah hasrat akan dendamku yang menyala-nyala!"

"Hm, dan kau melempar fitnah keji di sini kouwnio?"

Bwee Li melotot. "Siapa melempar fitnah, pangcu? Tidakkah kau tanyakan pada jahanam itu apa yang dilakukan padaku dua tahun yang lalu?"

Ketua Gelang Berdarah terpaksa menoleh. "Kau melakukan perbuatan itu, saudara Pouw Kwi?"

Pemuda ini tentu saja menggeleng. "Aku tak tahu apa yang dikatakannya itu, pangcu. Barangkali saja pemuda lain yang telah memperkosanya dan datang-datang melemparkan kotoran ke mukaku!"

Bwee Li melengking. "Kau berani menyangkalnya, jahanam she Pouw? Kau berani berbuat tak berani bertanggung jawab?"

Ketua Gelang Berdarah ini mengangkat tangannya. Dia menahan Bwee Li yang hendak menerjang lawan, dan waktu Cheng-gan Sian-jin ada di situ tiba-tiba ketua Gelang Berdarah ini menoleh pada guru pemuda itu, "Cheng-gan Sian-jin, bagaimana pendapat mu tentang masalah ini? apakah muridmu dapat membersihkan tuduhan yang dilancarkan kepadanya?"

Chen-gan Sian-jin tiba-tiba tertawa bergelak. Turun dari kursi kehormatan dan tersenyum dingin dia memandang wanita cantik ini, "Aku tak tahu apa yang dilakukan Pouw Kwi, pangcu. Tapi melihat gelagatnya mungkin wanita ini gila. Siapa yang berani mempercayai omongannya yang ngawur? Bukankah ia sendiri malah haus cinta yang terang-terangan menggumi Yap-goanswe?" dan memandang tajam Bwee Li tiba-tiba Cheng-gan Sian-jin membentak, "Siluman cantik, apa sebab datang-datang kau mengacau di sini? Tidakkah mulutmu itu bisa kau tahan?"

Bwee Li menggetarkan pedangnya "Cheng-gan Sian-jin, kau bukan manusla baik-baik. Siapa tidak tahu watak mu yang busuk? Kalau kau membela jahanam she Pouw itu aku tidak merasa heran. Bukankah kau sendiri sering berjina dengan murid perempuanmu?"

Cheng-gan Sian-Sin terbelalak. Dia mendapat makian yang paling kasar di depan umum, juga yang paling berani. Dan marah oleh hinaan yang amat hebat ini mendadak Cheng-gan Sian-jin menggerakkan gulungan lengan jubahnya. "Wanita siluman, kau rupanya kurang ajar sekali! Mampuslah untuk kata-katamu yang berbisa itu...!" dan Cheng-gan Sian-jin yang sudah melancarkan pukulan sinkangnya tahu-tahu menghantam lambung wanita ini.

Tapi bayangan kuning tiba-tiba melompat. Dan Pek-kut Hosiang yang menangkis pukulan datuk ini berseru, "Omitohud, jangan menurunkan tangan maut, Cheng-gan Sian-jin. Pinceng tak tahan melihat darah mengucur... bress!" dan lengan Pek-kut Hosiang yang bertemu Jubah Cheng-gan Sian-jin mengeluarkan ledakan perlahan dengan pekik tertahan di pihak Cheng-gan Sian-jin. Datuk ibils itu marah, tapi melihat Pek-kut Hosiong yang maju, dia menahan diri.

"Pek-kut Hosiang, kau juga hendak melibatkan diri dalam persoalan pribadi?"

Hwesio itu menarik nafas panjang. Dia menggeleng lemah, dan tersenyum pahit, dia memandang datuk iblis itu. "Omitohud, pinceng tidak bermaksud mencampuri urusan orang lain, Cheng-gan Sian-jin. Tapi melihat tanganmu yang ganas pinceng terpaksa membela wanita ini. Ia tak berurusan langsung denganmu, kenapa hendak menurunkan tangan kejam kepadanya...?"