Pendekar Kepala Batu Jilid 29 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 29
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pendekar Kepala Batu Karya Batara
MEREKA terkejut dan heran oleh keberanian si muka hitam itu. Tapi lebih terkejut dan geli bukan main hati mereka ketika melihat ubun-ubun Bu Wi Hosiang yang gundul serta rambut putih Than Kong Cinjin diinjak-injak begitu saja oleh si muka hitam ini! Tapi sementara mereka tertegun si muka hitam itupun sudah menjura di hadapan ketua Beng-san-pai ini. Dia pura-pura tidak melihat reaksi para tamu, dan tertawa sambil nyengir diapun bertanya kepada ketua Beng-san-pai itu.

"Souw-locianpwe, kau tidak keberatan menerima usulku, bukan? Aku dapat menyembuhkan jago pedang itu, locianpwe. Dan asal kau percaya kepadaku aku dapat merawat jago tua itu sampai sembuh!"

Ketua Ben-san-pai ini mengernyitkan kening. "Kau siapakah, anak muda?"

Si muka hitam itu menyeringai. "Aku, he-he aku Hek Kong, Souw-locianpwe. Pengelana Miskin yang suka melancong ke sana ke mari. Tidak percayakah kau kepadaku?" Si muka hitam itu tiba-tiba membetulkan bajunya. Dan begitu dia melonggarkan tali bajunya mendadak sebuah benda kecil berkilau tampak sekelebatan di kulit dadanya. Hal ini terjadi secara sepintas, tapi mata awas sang ketua Beng-san-pai yang melihat berkilau itu tiba-tiba saja nampak terkejut. Ketua Beng-san-pai Ini tertegun, tapi begitu dia sadar sekonyong-konyong pendekar berkepala gundnl ini berseri-seri mukanya.

"Ha-ha, kiranya kau, saudara Hek Kong? Kau si musafir jalanan itu?" ketua Beng-san pai ini nampak gembira. "Baiklah… baiklah, kalau begitu, boleh kau bawa sahabatku yang terluka ini Hek Kong. Tapi awas tepati janjimu itu. kau harus mampu menyembuhkannya, dan kalau ini tidak kau tepati maka kepalamu itulah yang menjadi gantinya! Setuju?"

Si muka hitam tertawa lebar. ''Aku menerimanya, Souw-locianpwe. Tapi bagaimana dengan imbalan jasanya, bagimana kalau aku benar-benar dapat menyembuhkau sahabatmu ini?"

"Wah, kau meminta upahnya, anak muda?"

"Kalau kau menuntut kepalaku, locianpwe. Hanya sebagai imbangan belaka!" si muka hitam itu tertawa, dan Ciok-thouw Taihiap yang mendengar gurauannya ini mau tak mau tersenyum juga. Dia tidak bersunggub-sungguh, tapi sekedar memenuhi permintaan orang diapun mengangguk.

"Baiklah. Apa yang hehdak kau minta, anak muda?"

Hek Kong menyeringgai. "Aku tidak minta yang muluk-muluk, locianpwe. Tapi hanya sebuah janji saja."

"Sebuah janji??"

"Ya...!

"Janji apa itu, Hek Kong?"

"Janji agar kau suka memasukkan aku dalam udanganmu!"

Eh…..?" Ciok-thouw Taihiap tertegun. "Apa maksudmu ini Hek Kong?"

Si muka hitam itu meringis. "Aku datang sebagai undangan liar, Souw locianpwe. Dan karena takut diusir yang punya rumah maka sukalah kau memasukkan aku ke dalam kartu undanganmu!"

Muka Ciok-thouw Taihiap yang mendengar ini tiba-tiba saja tertawa bergelak. Dia memandang ketua Gelang Berdarah itu, dan melihat orang mengerutkan kening tiba-tiba dia berkata, "Baiklah, aku memasukkan kau ke dalam kartu undanganku, Hek Kong. Dan karena kau menyusul belakangan, bolehlah kuanggap kau sebagai kerabat sendiri. Eh, Hiat-goan-pangcu, tolong kau catat bahwa seorang pembantuku telah bertambah seorang dengan saudara Hek Kong ini…!" dan ketua Beng-san-pai yang kelihatan gembira itu tiba-tiba memandang sahabat barunya ini.

"Hek Kong, kau puas bukan?"

Si muka hitam ini mengangguk. "Ya, dan kini aku jadi tamu terhormat, locianpwe. Sama seperti muridmu ini!" dan Hek Kong yang sudah tertawa meringis itu menepuk-nepuk pundak Lek Hui.

"Auw-twako, kau sudah makan?"

Lek Hui terkejut. Dia tidak mengenal si muka hitam ini, maka melihat sikap yang agak kurang ajar itu dia mendesis. "Muka hitam, jangan ugal-ugalan. Di sini bukan tempatnya bercanda!" dan muka hitam yang mendapat teguran itu menyeringai.

"Wah, kau pemberang amat, twako. Tidakkah kau lihat perutmu sebentar lagi harus diisi kenyang-kenyang?"

Lek Hui kembali melotot. Dia hendak menghardik si muka hitam itu, tapi belum dia bersuara, gurunya telah berbisik lirih, "Hu-ji, buka matamu lebar-lebar. Ia adalah teman sendiri. Pendekar Gurun Neraka!" dan Lek Hui yang mendengar bisikan gurunya itu kontan saja terbelalak.

Dia melihat si muka hitam itu tersenyum, dan baru dia hendak menggerakkan bibir, tiba-tiba si muka hitam itu berbisik kepadanya dengan ilmunya Ciam-im-jip-bit, "Auw-twako, hati-hati. sebentar lagi pertempuran besar bakal meletus. Kau dekat-dekatlah dengan gurumu itu. Hiat Goan Pang akan melakukan kecurangan yang amat licik!" dan Lek Hui yang tak jadi mengeluarkan suara ini sekarang berdiri tertegun.

Ternyata si muka hitam itu sudah membaringkan tubuh Bu-tiong-kiam Kun Seng di tempat yang aman dan begitu tangannya menotok sana dan sini, segeralah ia menyambung kembali dua tulang iga si jago pedang yang patah. Pekerjaan ini dilakukannya cepat dan ketika dia selesai, si muka hitam itu sudah menjejalkan sebutir obat hijau muda ke mulut sang pendekar pedang. Sekarang selesailah sudah perawatan darurat itu dan Ciok-thouw Taihiap yang melihat muka si jago pedang berangsur-angsur memerah kembali, mau tak mau memandang kagum.

"Saudara. Hek Kong, kau tampaknya pandai juga. Siapakah tabib yang menjadi gurumu itu?"

Si muka hitam ini tertawa. "Tidak ada, Souw-taihiap. Aku hanya belajar dari pengalaman."

"Dan kau ke sini juga seorang diri?"

"Tentu saja. Apa taihiap kira tempat ini bisa dimasuki orang tanpa ijin pemiliknya?" dan Ciok-thouw Taihiap yang sudah tertawa itu memutar tubuh, menghadapi ketua Gelang berdarah.

"Hiat-goan-pangcu, urusanku telah selesai. Apakah kami diperkenankan duduk di snii?"

Ketua Gelang Berdatah itu tertegun. Dia sedang memandang tajam wajah si muka hitam ini, maka begitu Ciok-thouw Taihiap bertanya kepadanya diapun jadi terkejut. Tapi ketua Gelang Berdarah sudah tersenyum, dan ketawanya yang serak membuat ketua Gelang Berdarah itu cepat-cepat menganggukkan kepalanya.

"Ah, silakan, Souw-taihiap. Kami memang sudah lama menunggumu!" dan laki -laki yang sudah memberi tanda itu mempersilakan Ciok-thouw Taihiap duduk di kursi kehormatan berdampingan dengan ketua-ketua partai lain yang ada di depan panggung. Tapi si muka hitam tiba-tiba menolak.

"Wah, aku tidak mau duduk di situ, Souw-locianpwe. Lebih baik kita duduk di belakang saja!" dan si muka hitam yang mendadak rewel ini menyeret ujung baju sang ketua Beng-san-pai.

Tentu saja Ciok-thouw Taihiap terkejut. dan ketua Beng-san-pai yang memandang terbelalak menegur, "Hek Kong, tuan rumah menyediakan kursi di depan untuk kita. Kenapa harus duduk di belakang?"

Tapi si muka hitam itu tetap merajuk. "Aku takut. Souw taihiap, aku, he-he... aku tadi menginjak kepala gundul dan berambut putih secara tidak sengaja....! dia memandang Bu Wi Hosiang dan Thian Kong Cinjin. Dan Ciok-thouw Taihiap yang tersenyum lebar ini terpaksa menahan geli hatinya. Dia tidak tahu apa sebenarnya maksud Pendekar Gurun Neraka itu, tapi khawatir menyinggung perasaan tokoh-tokoh lain terpaksa dia menolak.

"Tidak, aku tidak ingin duduk di belakang, Hek Kong. Kalau kau suka di sana terserah kau sajalah!" katanya.

Dan Hek Kong alias Pendekar Gurun Neraka yang sedang menyamar ini tertegun. Dia tampaknya mau bicara lagi, tapi melihat ketua Gelang Berdarah memandangnya tajam penuh kecurigaan tiba-tiba diapun bersikap ketolol-tololan kembali. Pemuda muka hitam ini meringis, dan sambil melompat ke kursi paling belakang diapun berseru.

"Baiklah, aku di belakang kalau begitu, Souw-taihiap. Tapi lindungi aku kalau dibokong orang!" dan Hek Kong yang sudah meninggalkan Ciok-thouw Taihiap itu berkelebat di kelompok para tamu yang berada di bagian belakang sendiri. Dia rupanya takut-takut menghadapi Bu Wi Hosiang dan Thian Bong Cinjin, dan orang yang melihat tingkahnya ini mau tak mau tersenyum geli.

Sementara Ciok-thouw Taihiap, yang kini reda kembali kemarahannya itu sudah menjura di depan tuan rumah dan para tamu. Dia meminta maaf atas keributan yang terjadi, lalu menegakkan kepala dan membusungkan dada berjalanlah ketua Beng-san-pai itu bersama muridnya duduk di kursi kehormatan, bersanding dengan ketua-ketua partai yang semenjak tadi menyaksikan sepak terjang yang mencekam dari pendekar besar ini dengan mata tidak berkedip.

Maka usailah sekarang perselisihan antar keluarga itu, dan ketua Gelang Berdarah yang tampak sedikit bingung memaksakan diri tertawa pahit. Dia sebenarnya mempunyai rencana tersembunyi di balik semua pertikaian ini, tapi bahwa si jago pedang sudah terkapar luka parah dan Ciok-thouw Taihiap sendiri masih tegak di depannya membuat laki-laki itu tersenyum kecewa. Hiat-goan-pangcu ini menyuruh orang-orangnya memperbaiki panggung yang rusak, lalu melanjutkan acara ulang tahun perkumpulan yang terganggu diapun sudah berdiri di atas panggung yang baru.

* * * * * * * *

"Saudara-saudara," demikian ketua Gelang Berdarah itu mulai melanjutkan acaranya, "Menyongsong pokok keramaian kita yang kedua karena ingin kuterangkan pada saudara-saudara semua tentang usulku mengadakan pemilihan Bengcu. Bagaimana pendapat saudara-saudara tentang ini, tidakkah tepat kukatakan bahwa dunia tanpa pemimpin adalah dunia yang serba kacau?"

Semua tamu terdiam sejenak. Mereka belum ada yang memberikan komentar dan ketua Gelang Berdarah yang mulai melangkah maju ini melanjutkan kata-katanya. "Karena itu, kami dari perkumpulan gelang berdarah ingin mensponsori maksud tujuan ini, cuwi-enghiong. Dan bila cuwi semua setuju, sekarang juga kita dapat memilih seorang bengcu!"

Barisan tamu di sebelah kiri tiba-tiba membuat gaduh. "Bagus, kami setuju, pangcu. Dan kami kira yang pantas menduduki jabatan itu adalah kau sendiri!" seorang pendek berteriak. Dia adalah Gin Pa, bajak sungai yang hilir mudik di perairan Huang-ho. Dan begitu kepala bajak ini berteriak lantang tiba-tiba saja se-uruh anak buahnya menyusul.

"Benar, kami setuju memilihnya sebagai Bengeu, paicu. Dan kalau ada yang menolak biarlah dia mampus di tangan kami?" dan suasana yang tiba-tiba ribut ini mendadak saja mendapat tanggapan yang ramai di barisan tamu sebelah kiri.

Mereka sebagian besar orang-orang-golongan hitam, maka begitu Gin Pa berteriak lantang otomatis mereka ini ikut memberi suara. Tak ayal, Bangsal Agung yang tiba-tiba gaduh itu membuat suasana hiruk-pikuk dan ketua Gelang Berdarah yang tersenyum gembira itu memandangi mereka dengan wajah berseri-seri.

Tapi seorang tosu mendadak melompat berdiri. Dia adalah Sun Sim Sian-jin, wakil ketua. Kun-lun yang merah mukanya itu. Dan begitu tosu ini berdiri tiba-tiba saja dia sudah mengangkat tangannya. "Gin Pa, memilih bengcu bukan berdasarkan suara terbanyak, tapi harus melalui ujian pibu. Bagaimana kalian berkaok-kaok tak tahu aturan?"

Bajak sungai itu melotot. "Siapa tak tahu aturan Sun Sim Sianjin? Kau kira aku tak mengetahui peraturan ini?"

"Kalau begitu kenapa kau berteriak seperti ini? sudahkah pibu diadakan di sini?"

'Ha-ha, kukira pibu itu tidak perlu diadakan, im Sian-jin. Karena siapapun yang bertanding dengan ketua Gelang Berdarah dia pasti roboh!"

"Dan kau merasa yakin tentang jalan pi-bu itu, Gin Pa?"

Ya, kenapa tidak?" kepala bajak itu tertawa mengejek. "Kau ingin mencobanya, Sun Sim Sian-jin? Kau ingin roboh di bawah kesaktian pangcu?"

Wakil ketua Kun-lun-pai ini mendelik. Dia marah oleh ejekan lawannya itu, tapi mengingat Gin Pa hanyalah seorang kepala bajak yang kasar dia merasa terlalu "tinggi" untuk berdebat dengan lawan. Maka diapun menoleh ke arah sang ketua Gelang Berdarah, dau mendongkol akan si bajak sungai itu wakil ketua Kun-lun-pai berseru.

"Hiat-goan-pangcu, apakah usul si bajak itu kau turuti kemauannya? Benarkah pemilihan bengcu akan dilakukan tanpa pertandingan pibu?"

Ketua Getang Berdarah itu tersenyum. Dia memang menanam beberapa pengikutnya untuk melancarkan "perang urat syaraf, maka ketika Sun Sim Sianjin bertanya kepadanya diapun tertawa "Sun Sim totiang, apa yang dikatakan si bajak sungai terlalu memujiku. Bagaimana mungkin memilih seorang bengcu tanpa melalui pibu? Hm, itu kurang ramai, totiang. Dan kalaupun ini dilakukan tentu banyak di antara tamu-tamuku yang penasaran."

"Jadi kau tetap menghendaki pibu, Hiat-goan-pangcu!"

"Tentu saja. Kecuali kalau semua orang menghendaki pemilihan dengan jumlah suara saja. Hal yang kukira tidak mungkin kita lakukan sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan!"

Maka Sun Sim Sianjin yang bersinar matanya itu tiba-tiba bertanya lagi. "Dan bagaimana syarat yang kau kehendaki, pangcu?"

"Gampang. Intinya semua orang boleh ikut. Dan kalau mereka dapat mengalahkan seorang jago yang kami pasang berarti dia lulus untuk menghadapi jago-jago yang lebih tinggi!"

"Maksudmu pertandingan ini diatur secara bertahap, pangcu?"

"Begitulah. Apa totiang keberatan?"

Sun Sim Sianjin tidak menggelengkan kepalanya. Dia setuju dengan apa yang dikatakan ketua Gelang Berdarah ini, tapi sebelum dia bertanya lebih lanjut ketua Gelang Berdarah itupun memberikan keterangan.

"Cuwi enghiong, karena pemilihan bengcu ini harus melalui pibu maka sebaiknya kita ambil cara yang paling baik. Dan menurut pendapatku sebaiknya kita masing-masing mengajukan jagonya berturut-turut, lima sampai sepuluh orang agar pertandingan ini tidak memakan waktu lama. Bagaimana menurut pandangan cuwi?"

Kini Pek-mauw Sianjin yang bangkit berdiri. Ketua Kun-lun yang halus gerak-geriknya itu menjura di depan tuan rumah, dan suaranya yang lembut nyaring menyatakan isi hatinya, "Hiat-goan-pangcu, karena urusan ini adalah urusan bengcu, bagaimana kalau aku mengajukan usul? Aku tidak menginginkan pertumpahan darah, pangcu. Dan bila masing-masing pihak berhak mengadu kepandaian sebaiknya kita memberikan syarat-syarat tertentu."

Ketua Gelang Perdarah itu mengangguk "Memang betul, totiang. Tapi bagaimana dengan syarat-syatat yang ingin kau ajukan?"

Ketua Kun lun-pai itu mem andang sekeliling. "Aku menginginkan syarat-syarat yang tidak membahayakan kedua pihak pangcu. Dan bila para hadirin di sini menyetujuinya aku mempunyai tiga macam syarat."

"Hm, bisa kau sebutkan itu, totiang?"

"Bisa. Pertama, sebaiknya pibu ini tidak menggunakan senjata tajam. Ke dua, pertandingan dibatasi paling banyak limapuluh jurus dan ke tiga atau yang terakhir ialah siapa yang menang atau kalah dalam pibu ini dinyatakan oleh pukulan yang paling banyak diperoleh! Nah, bagaimana, pangcu?"

Ketua Gelang Berdarah itu tiba-tiba tertawa. "Wah, mana mungkin pibu macam itu diadakan, totiang? Bukankah menang atau kalah dinyatakan dalam robohnya seseorang? Dan tentang nomor satu, bagaimana dengan yang tidak biasa bertangan kosong? Bukankah ini merugikan mereka itu?"

"Ah, tapi seorang ahli silat tentu mampu bermain tanpa senjata, pangca. Dan bila mereka terbiasa dengan senjata biarlah kali ini mereka-tidak perlu ikut!" ketua Kun-Iun-pai itu mem-bantah.

Tapi baru dia bicara sampai di sini tiba-tiba kelompok tamu di sebelah kiri kembali membuat ribut. Seorang tinggi kurus mebamoat dari atas kursinya, dan berteriak tidak setuju diapun berkata lantang, "Pek-mauw Sianjin, pemilihan bengcu kali ini memang sepenuhnya didasarkan pada kepandaian seseorang. Kalau dia tidak berani melihat darah, lalu apa gunanya orang macam itu memimpin kaum persilatan? Tidak, Pek-mauw Sian-jin, aku tidak setuju dengan tiga macam syaratmu itu. Sebaiknya pibu dilaksanakan dengan cara bebas dan tentang bersenjata Mau tidak bersenjata biarlah urusan ini ditentukan oleh masing-masing pihak yang berhadapan!"

Dan baru si tinggi kurus ini selesai bicaranya tiba-tiba seorang bermuka bopeng sudah menyusulinya dengan seruan nyaring, "Benar, apa yang dikatakan Lauw-twako memang benar. Kalau pibu diadakan tanpa senjata lalu apa menariknya bagi kita? Bukankah seorang ahli silat harus selalu menjaga diri dengan senjata? Kalau Pek-mauw Sian-jin mengusulkan pibu tanpa senjata adalah aku yang ikut tidak setuju, pangcu. Dan bila pemilihan bengcu ini diadakan untuk memilih yang benar-benar gagah seharusnya pertandingan boleh dilakukan dengan cara apapun!" dan si muka bopeng yang sudah menyelesaikan kata-katanya itu tiba-tiba sudah disambut oleh pekik gemuruh teman-temannya di sebelah Kelompok di deretan ini mendadak berteriak gaduh, dan suara-suara yang menyatakan tidak disetujuinya cara-cara Pek-mauw Sian-jin menjadikan ruang Bangsal Agung ini gegap-gempita.

Tapi ketua Gelang Berdarah tiba-tiba bentepuk tangan, dan begitu ketua Gelang Berdarah ini mengeplokkan kedua tangannya terdengarlah ledakan nyaring seperti petir menyambar. Orang-orang itu terkejut, dan ketua Gelang Berdarah yang memandang ke tempat ini sudah berseru penuh wibawa, "Saudara-saudara, jangan membuat ribut. Ini bukan pasar. Kalau ada yang tidak setuju sebaiknya saudara-saudara mewakilkan seseorang untuk tampil ke depan..." dan ketua Gelang Berdarah yang sudah melihat ketenangan pulih kembali berseru melanjutkan, "Aku menghargai prinsip yang diajukan Pek-mauw Sian-jin. Tapi berhubung pibu ini dilakukan untuk mencari seorang pemimpin yang dapat diandalkan maka sebaiknya di sini kuajukan pula syarat-syarat yang kami buat. Harap saudara-saudara perhatikan!"

Lalu ketua Gelang Berdarah yang bersinar-sinar matanya itu memandang sekeliling. "Cuwi enghiong, kami dari perkumpulan Gelang Berdarah mempunyai cara-cara yang ingin kami ajukan. Dan bila ada yang tidak cocok sebaiknya kita carikan jalan keluar. Pertama, pibu memang sebaiknya kita serahkan pada jago-jago yang bendak bertanding. Apakah mereka mau bersenjata ataukah bertangan kosong. Kedua, pibu boleh saja dibatasi limapuluh jurus. Ketiga, dari sekian banyak calon sebaiknya kita memilih calon-calon yang dapat diandalkan, tidak lebih dari sepuluh jago banyaknya. Dan keempat serta ke Lima ialah jago yang kalah harus tunduk ke pada yang menang serta siapa yang paling unggul dalam pertandingan pibu ini ia berhak mendapat tanda penghargaan dari yang mulia Pangeran Fu Chai…!"

Ketua Gelang Berdarah itu menghentikan seruannya dan para tamu yang mendengar kalimat terakhir dari ketua Gelang Berdarah itu tiba-tiba menjadi gaduh. Kaum pendekar yang duduk di deretan kursi sebelah kanan mendadak bersuara ribut. Dan Sun Sim Sianjin yang semula sudah tidak setuju dengan kehadiran pangeran itu tiba-tiba bangkit berdiri...?"

"Hiat-goan-pangcu, kenapa urusan pibu ini kau campur adukkan dengan nama seorang pemberontak? Tidakkah ini menyimpang dari garis besar peraturan pibu itu sendiri...!"

Ketua Gelang Berdarah itu tersanyum. "Sun Sim totiang, agaknya sedari tadi kau masih menaruh penasaran tentang nama pangeran ini. Apakah kau tidak setuju dengan kehadirannya?"

Sun Sim Sianjin membelalakkan mata. "Aku setuju atau tidak setuju kukira tidak perlu diperdebatkan, pangcu. Karena bagaimanapun juga dia adalah tamumu. Tapi bagaimana masalah pemilihan bengcu ini kau sangkut-pautkan dengan nama dia itu? Bukankah semua orang di sini tahu belaka bahwa pangeran itu adalah seorang pelarian, seorang pemberontak?"

Ketua Gelang Berdarah tiba-tiba bersikap tegas. "Sun Sim totiang, ini adalah pendapatmu pribadi, dan juga barangkali pendapat segelintir orang-orang bodoh. Siapa bilang Pangeran Fu Chai adalah pewaris dari Kerajan Wu?"

"Ya, tapi yang berkuasa kali ini adalah Kerajaan Yueh, pangcu. Bagaimana kau hendak berbicara tentang kerajaan musuh? Bukankah itu sama halnya dengan bersekutu dangan lawan?"

"Hm, ini tergantung pendapat pribadi masing-masing orang, Sun Sim totiang. Karena bagiku Pangeran Fu Chai adalah pewaris resmi Kerajaan Wu dan pantas mendapat dukungan untuk menegakkan kembali kerajaan ayahnya! Apakah ada diantara cuwi yang menganggap cita-cita baiknya ini salah?"

Semua orang terbelalak kaget, Mereka melihat ketua Gelang Berdarah itu mulai menyingung-nyinggung masalah kerajaan, dan begitu perdebatan Sun Sim Sianjin dan ketua Gelang Berdarah itu mulai hangat tiba-tiba saja para undangan yang duduk di kursi sebelah kanan ini terkejut. Pek-mauw Sianjin bangkit berdiri, dan menekan pundak wakilnya ketua Kun-lun yang tinggi tegap itu berseru nyaring,

"Hiat-goan-pangcu, kenapa urusan pibu ini jadi bersangkat-paut dengan kerajaan? Apakah kau sengaja mengumpulkan kami untuk ikut-ikutan menjadi ajang pertarungan politik?"

Ketua Gelang Berdatah itu tiba-tiba menoleh. Dia tersenyum kepada ketua Kun-lun yang bersikap serius ini, tapi sinar matanya yang mencorong tajam mendadak menunjukkan perbawa keren. "Pek-mauw Sianjin, kukira sudah waktunya bagiku untuk menjelaskan maksud kami perkumpulan Gelang Berdarah dalam mengadakan rencana pibu ini. Tidak kusangkal, dengan kehadiran Pangeran Fu Chai kami menyembunyikan sebuah maksud yang helum kami terangkan. Tapi karena wakilmu telah membuka persoalan ini maka baiklah kuterangkan apa yang menjadi tujuan lain dari kami perkumpulan Gelang Berdarah," ketua Gelang berdarah itu berhenti sejenak, lalu menoleh kepada semua tamu di depannya berkatalah ketua Gelang Berdarah ini dengan suara nyaring,

"Cuwi sekalian, terdorong sikap ksatria yang dijunjung tinggi kaum ho-han (orang-orang gagah) biarlah di sini kami kemukakan apa yang menjadi maksud tujuan kami sebagai perkumpulan yang menjunjung tinggi kegagahan. Kami dari Gelang Berdarah sebetulnya mempunyai satu maksud terhadap cuwi, yakni mohon bantuan cuwi untuk sukalah kiranya membantu perjuangan Pangeran Fu Chai! Karena, seperti yang telah cuwi ketahui betapa pangeran ini terlunta-lunta di perjalanan akibat serbuan musuh yang biadab. Betapa ayahanda pangeran telah menemui ajalnya di tengah-tengah kekalutan perang dan betapa sri paduka pangeran sendiri dikejar-kejar musuh yang haus darah! Karena itu, cuwi, mendasarkan watak kita yang selalu membela yang lemah menentang si kuat yang menindas kami mohon rasa simpatik cuwi untuk membantu paduka pangeran ini. Beliau tidak mengharapkan yang berlebih-lebihan, tapi cukup rasa solider cuwi sekalian dan membantu beliau dalam perjuangan merebut kota raja! Apakah ada diantara cuwi yang tidak sependapat?"

Para tamu sekarang gager. Mereka benar-benar terkejut mendengar ucapan ketua Gelang Berdarah ini dan para peadekar yang tertegun oleh ucapan yang terang-terangan itu sejenak terpaku. Mereka terperanjat, tapi Sun Sim Sianjin yang rupanya tidak mampu mengendalikan diri tiba-tiba berteriak,

"Hiat-goan-pangcu, inikah kiranya maksudmu mengumpulkan kami dengan alasan pibu? Kau hendak menjerumuskan kami dalam perang antar kerajaan?"

Ketua Gelang Berdarah itu menoleh. "Tidak kusangkal, totiang. Tapi kalau dikatakan pibu hanyalah sebagai alasan belaka tuduhan itu terus terang kutolak. Kami dari Gelang Berdarah memang benar-benar ingin mengadakan pibu, dan siapa yang menjadi jago dalam pertandingan pibu ini dia tetap berhak menyandang gelar juara, bengcu (pemimpin) dari semua orang-orang persilatan yang harus tunduk kepada perintahnya!"

"Dan pangeran pemberontak itu namanya tetap kau bawa-bawa, pangcu?"

"Tergantung dari kecerdasan kalian. Apakah menganggapnya pemberontak ataukah bukan?"

"Hm…!" Sun Sim Sianjin tertegun dan sikap ketua Gelang Berdarah yang tiba-tiba dingin memandangnya membuat tosu itu terbelalak. Dia hendak melompat naik, tapi Hiat-goat-pangcu yang mengangkat tangannya ke atas sudah berseru kepada para tamunya.

"Cuwi enghiong, siapakah di antara cuwi yang sepedapat dengan tuduhan wakil ketua Kun-lun itu? Benarkan cuwi semuanya menganggapnya sebagai pemberontak?"

Gin Pa si bajak sungai melompat bangun. "Aku yang tidak sependapat dengan tosu bau pangcu. Pangeran Fu Chai bukanlah pemberontak!"

"Ya, aku menentang pendapatnya yang picik itu, pangcu. Pangeran Fu Chai bagiku juga bukanlah seorang pemberontak...!"

Ketua Gelang Berdarah itu menoleh. Dia memandang Gin Pa dan orang ke dua yang berteriak lantang itu, Lauw Kiat atau Lauw-twako yang tadi dipanggil si muka bopeng. Dan begitu ketua Gelang Berdarah ini memandang keduanya segeralah ketua Gelang Berdarah itu tersenyum. "Saudara-saudara, siapa lagi di antara kalian yang menganggap Pangeran Fu Chai bukan seorang pembetontak? Hanya saudara Gin Pa dan Lauw Kiat inikah?"

Kelompok tamu di deretan kiri tiba-tiba berteriak keras, "Tidak, kamipun sependapat dengan ucapan Gin-twako, pangcu. Pangeran Fu Chai bukanlah seorang pemberontak....!"

"Benar, Pangeran Fu Chai bukan pemberontak, pangcu. Beliau resmi putera mahkota ahli waris Kerajaan Wu, Orang-orang Yueh itulah yang pemberontak, mereka merampas istana dan hak milik orang lain!"

Dan begitu teriak-teriakan di kelompok deret sebelah kiri ini bergemuruh di bangsal Agung suasana tiba-tiba menjadi gaduh. Semua orang di belakang Gin Pa berteriak menyatakan dukungan kepada pangeran itu, dan Sun Sim Sianjin yang marah ditahan tak mampu mengendalikan perasaan hatinya. Tosu Kun-lun itu melayang naik ke atas panggung, dan begitu dia berada di depan semua orang wakil ketua Kun-lun inipun berseru,

"Hiat-goan-pangcu, kau tampaknya mengumpulkan orang-orang dari golongan penjahat ini untuk menyokong pendapatmu! Siapa tidak tahu orang-orang macam apa Gin Pa dan Lauw Kiat ini? Bukankah mereka golongan bajak dan rampok yang suka membuat onar?"

Semua orang memandang ke depan. Gin Pa hendak memaki tosu yang mencercanya terang-terangan itu, tapi ketua Gelang Berdarah yang tersenyum tenang mengulapkan tangannya. "Saudara Gin Pa, tenanglah. Biar aku yang menghadapi wakil ketua Kun-lun ini," dan ketua Gelang Berdarah yang sudah menghadapi tosu itu menyeringai mengejek. "Sun Sim Sianjin, apa maksudmu mengatakan aku disokong kaum penjahat? Tidakkah kau mengucapkan perkataan yang menyinggung hati orang lain?"

Wakil ketua Kun-lun ini berapi-api mukanya. "Aku tidak bermaksud menyinggung perasaan hati orang lain, pangcu. Karena apa yang kukatakan ini sepenuhnya didukung bukti nyata!"

"Hm, bukti-bukti tentang apa, Sun Sim totiang? Apakah bukti-bukti tentang golongan saudara Gin Pa itu?"

Sun Sim Sianjin menarik muka. "Kau tahu sendiri, pangcu, tidak perlu kujelaskan! Bukankah nyata Gin Pa dan kawan-kawannya itu orang golongan hek-to? Dan kau mendapatkan dukungan orang-orang macam ini, Hiat-goan-pangcu, menyatakan pangeran itu bukan seorang pemberontak! Padahal, siapa tidak tahu bahwa Pangeran Fu Chai adalah seorang pelarian dan pemberontak?"

Ketua Gelang Berdarah tertawa mengejek "Sun Sim Sianjin, rupanya ada perbedaan pendapat di antara kita. Kalau kau menganggap Pangeran Fu Chai adalah seorang pemberontak justeru aku berpendapat dia seorang pejuang! Siapa tidak tahu sejarah pangeran bukankah dia resmi ahli waris Kerajaan Wu? Dan kau telah menghinaku dengan ucapammu tadi, Sun Sin Sian-jin. Karena menyatakan perkumpulan Gelang berdarah adalah perkumpulan orang-orang jahat karena mendapat dukungan Gin Pa dan kawan-kawannya yang kau anggap orang-orang dari golongan hek-to itu! Hm, inikah yang hendak kau maksudkan, Sun Sim Sianjin?"

Tosu itu tertegun. "Aku tidak mengatakan perkumpulanmu sebagai parkumpulan orang-orang jahat, pangcu. Tapi aku hendak mengatakan bahwa kau telah mendapatkan dukungan orang-orang sesat dalam pembelaanmu terhadap pangeran pemberontak itu!"

"Hm, dengan begini lalu kau hendak maksudkan bahwa pendirianku salah, totiang? Kau hendak menyatakan bahwa dukungan yang didapat dari orang-orang sesat berarti sesat pula pendiriannya?"

Sun Sim Sianjin terbelalak marah. "Hiat-goan-pangcu, salahkah kata-kataku itu? Tidak benarkah bahwa kau memang mendapatkan dukungan dari orang-orang sesat itu?"

"Hm, jangan tergesa-gesa, Sun Sim Sianjin. Bagaimana kalau ada diantara pendekar yang juga menyetujui pendapatku?" ketua Gelang Berdarah ini mengejek. "Berani kau mengatakan hal inipun keliru?"

Sun Sim Sian-jin tersentak. Dia terkejut mendengar ucapan ketua Gelang Berdarah itu, tapi merasa marah diapun menghentakkan kakinya. "Hiat-goan-pangcu, jangan mengada-ada. Mana mungkin kaum pendekar mendukung pernyataanmu tentang pangeran pemberontak itu? Bukankah mereka tahu ini suatu hal yang mustahil?"

Tapi ketua Gelang Berdarah tersenyum dingin. "Sun Sim totiang, jangan berbesar hati terhadap kepercayaan diri sendiri yang berlebih-lebihan. Bagaimana kalau kita lihat sekarang? Berani kau bertaruh tentang kesimpulanmu itu?"

Sun Sim Sianjin tiba-tiba menepuk dada. Dia merasa ditantang oleh ketua Gelang Berdarah itu, maka memandang ke tokoh-tokoh kehormatan di kursi paling depan wakil ketua Kun-iun inipun berseru, "Baik, kuterima taruhan ini, Hiat-goan-pangcu. Bila ada di antara tokoh-tokoh di sini yang mendukung pemyataanmu biarlah kutabas putus sebuah jariku untuk seorang di antara mereka...!" dan Sun Sim Sianjin yang sudah memandang ketua-ketua partai di kursi kehormat-an itu tiba-tiba bertanya nyaring, "Cuwi enghiong (tuan-tuan yang gagah), benarkah ada diantara cuwi yang mendukung pendrian sesat ketua Gelang Berdarah ini?"

Semua orang memandang tegang. Mereka tampak penuh perhatian memandang ke arah tokoh-tokoh kehormatan itu, tapi ketua Gelang Berdarah yang tiba-tiba melompat maju tertawa ringan sambil mengebutkan bajunya.

"Sun Sim totiang, jangan terburu-buru. bukankah aku belum menyatakan janjiku?" lalu ketua Gelang Berdarah yang sudah menghadapi semua tamunya itu berkata dengan muka berseri-seri, "Cuwi enghiong, sebaiknya masalah ini kita tentukan saja secara serentak. Sebelum para pendekar menjawab pertanyaan Sun Sim to-tiang sebaiknya kulihat dulu siapa saja yang mendukung pendapatku. Cuwi sekalian. siapakah di antara cuwi yang menganggap Pangeran Fu Chai bukan seorang pemberontak? Mohon untuk jawaban ini cuwi yang setuju mengacungkan jarinya!" dan ketua Gelang Berdarah yang memandang semua tamunya itu menajamkan matanya memandang sekeliling.

Dia melihat Gin Pa dan Lauw Kiat yang mula-mula mengacungkan jari, lain begitu dua orang bajak san rampok ini menyatakan persetujuannya tiba-tiba saja semua orang di belakang dan orang itu mengacungkan jari ke atas. Hampir tigaratus orang jumlahnya! Tapi deretan kaum pendekar yang sama sekali tak memberikan, pernyataan disambut senyuman kecil oleh ketua Gelang Berdarah ini.

"Aha, agaknya betul pendapatmu, Sun Sim totiang. Pengikut yang sepaham dengan pendirianku semuanya dari kelompok tamu di sebelah kiri. Lalu kalau begitu, bagaimana dengan cuwi enghiong yang ada di deretan kanan ini? Tidak adakah yang memberikan angka kepadaku?" ketua Gelang Berdarah itu tertawa lagi. Lalu tersenyum kecut kepada kelompok Gin Pa dan kawan-Lawannya laki-laki ini berkata, "Baiklah, terima kasih, saudara-saudara Kukira cukup untuk diketahui saja yang telah menyatakan dukunganya kepadaku. Silakan saudara-saudara turunkan jari…!"

Dan ketua Gelang Berdarah yang sudah.menoleh kepada Sun Sim Sian-jin itu berseru, "Sun Sin Totiang, tolong kau tanya, sekali kepada teman-temanmu itu. Betulkah mereka tidak ada yang sama sekali memberikan suaranya? Kalau betul demikian berarti aku kalah, Sun Sim totiang. Dan untuk kekalahanku ini biarlah kupertaruhkan jabatanku sebagai seorang ketua perkumpulan!" dan ketua Gelang Berdarah yang sudah melangkah mendekati kursinya itu tampak memandang tenang wajah Sun Sim Sianjin yang kelihatan kaget.

Wakil ketua Kun-lun ini memang terkejut, tapi dia yang justeru menjadi girang itu menganggukkan kepalanya. "Baik, kau telah mengeluarkan janjimu, Hiat-gown-pangcu. Dan jangan ditarik kembali seperti orang menjilat ludah...!" lalu Sun Sim Sianjin yang berseri-seri mukanya ini menghadapi semua tokoh-tokoh kehormatan di bawah panggung. "Cuwi sekalian, benarkah di antara cuwi yang tidak menyatakan dukungannya kepada ketua Gelang Berdarah? Bukankah cuwi sepaham denganku bahwa pangeran itu adalah seorang pemberontak?"

Semua orang diam. Para tamu memandang ke arah ketua-ketua partai dan tokoh besar yang duduk di depan panggung, dan Sun Sim Sian-jin yang bersinar-sinar matanya itu tampak demikian gembira dengan jawaban yang sama sekali tidak dikeluarkan oleh tokoh-tokoh besar itu. Hal ini berarti sepahamnya dia dengan mereka dan Sun Sim Sian-jin yang hampir menoleh ke arah ketua Gelang Berdarah itu siap melancarkan ejekannya. Tapi Thian Kong Cinjin tiba-tiba bangkit berdiri dan ketua Cin-ling-pai yang tinggi kurus itu berseru lantang,

"Sun Sim Totiang, maafkan aku. Aku terpaksa mendukung pandapat Hiat-goan-pangcu...!" dan ketua Cin-ling yang berkata nyaring ini tahu-tahu sudah melompat dan berpindah tempat ke deretan di sebelah kiri.

Hal ini mengejutkan semua orang, dan Sun Sim Sianjin yang tak menyangka perbuatan rekannya itu terbelalak lebar. "Cin-ling-paicu, kau mendukung pendirian ketua Gelang Berdarah?"

Ketua Cin-ling-pai ini menganggukkan kepala. Dia merasa tidak enak, tapi menarik nafas panjang diapun menjawab, "Ya, maafkan aku, totiang. Aku sependapat bahwa Pangeran Fu Chai memang bukan seorang pemberontak!" dan ketua Cin-ling-pai yang tiba-tiba sudah melambaikan tangannya itu menyuruh belasan orang pangikutnya berpindah kursi. Hal ini terjadi sekejap, dan Sun Sim Sianjin yang tidak mengira jawaban ketua Cin-ling-pai itu tertegun dengan muka merah. Dia kalah bertaruh, dan belum dia terguncang dari kekalahannya ini mendadak Bu Wi Hosiang juga ikut-ikutan berdiri.

"Sun Sim Totiang, maafkan pinceng. Pincengpun merasa bahwa Pangeran Fu Chai bukan seorang pembeiontak....!" dan hwesio ketua Bu-tong yang memegang tongkat itu tiba-tiba juga sudah bangkit berdiri dan duduk di sebelah Thian Kong Cinjin!

Hal yang terjadi hampir serentak ini mengherankan semua tamu, dan Sun Sim Sianjin yang terkejut bagai disambar petir itu terpaku. Semua orang memang kaget dan tercengang oleh mundur dua orang ketua partai dari Cin-ling dan Bu-tong itu, dan bahwa Sun Sim Sianjin terbengong di atas panggung dengan muka merah padam memang dapatlah dimaklumi. Tosu Kun-lun ini baru sadar setelah melihat hwesio-hwesio Bu-tong dipanggil ketuanya, duduk di deratan tamu sebelah kiri dengan muka kebingungan. Dan ketua Gelang Berdarah yang tiba-tiba sudah melayang ke depan itu tertawa gambira.

"Aha, bagaimana, Sun Sim totiang, masihkah kau berani mempercayai pikiranmu...?" dan ketua Gelang Berdarah yang berseri-seri memandang wakil ketua Kun-lun ini tampak mengejek dengan mata bercahaya. Dia jelas menang taruhan, dan Sun Sim Sianjin yang terpojok dengan omongannya mendadak kehilangan muka di hadapan orang banyak. Dia mendelik ke arah Thian Kong Cinjin dan Bu Wi Hosiang, lalu mencabut pedang dengan penuh kemarahan tosu Kun-lun yang gagah ini berteriak,

"Thian Kong Cinjin... Bu Wi Hosiang, sungguh tidala kunyana kalian sebagai seorang ketua partai yang memiliki nama besar ternyata menjadi pengkhianat bangsa dan negara! Butakah kalian bahwa saat ini kalian menginjak tanah kekuasaan Kerajaan Yueh? Tidak malukah kalian berdiri di depan orang-orang sesat itu? Aih, Thian Kong Cinjin... dan juga kau Bu Wi Hosiang, semoga kalian dicampakkan iblis-iblis neraka yang tidak tahu malu!" dan Sun Sim. Sianjin yang marah dan kecewa itu mendadak membacokkan pedangnya ke dua jari tangan.

"Cras-crag!" dua jari manis dah kelingking tosu Kun-lun itu dibabat putus dan Sun Sim Sian-jin yang sudah melompat turun dari atas panggung langsung berlutut di depan ketuanya.

"Suheng, maaf bahwa aku membuat malu nama besar partai kita. Semoga kelak kita dapat bertemu lagi dengan suasana yang lebih baik. Aku hendak menghukum diri membersihkan dosa!" dan Sun Sim Sianjin yang sudah melompat bangun itu berkelebat keluar ruangan dengan jari berlumuran darah. Dia tidak membalut lukanya ini, dan Pek-mauw Sianjin yang melihat kejadian tragis menimpa wakilnya itu bangkit berdiri dengan muka kaget.

"Sute, kembalilah...!"

Tapi Sun Sim Sianjin sudah berkelebat keluar pintu Bangsal Agung„ Tosu yang malu dan marah ini tidak menghiraukan seruan suhengnya, yang juga, menjadi ketuanya itu, dan Pek-mauw Sianjin yang terpaku menyaksikan kejadian sutenya itu terhenyak seolah mendapat mimpi buruk. Tapi ketua Kun-lun ini tiba-tiba mengerotkan giginya, melangkah lebar ke depan panggung, tiba-tiba ia melayang naik.

"Hiat-goan-pangcu, beginikah nasib yang kau berikan kepada wakilku itu dalam menghormati ulang tahun perkumpulan ini?"

Ketua Gelang Berdarah itu memandang tidak enak. Dia menjura di depan ketua Kun-lun-pai ini, dan menarik nafas panjang penuh penyesalan diapun pura-pura berkata, "Pek-mauw Sianjin sutemu itu telah melakukan perjanjian tanpa kuminta. Jadi apa yang harus kukatakan? Bukankah dia sendiri yang mencari gara-gara?"

Pek-mauw Sianjin mengepalkan tinjunya. "Tapi kau yang mengundang keributan, pangcu. Karena kalau kau tidak membawa-bawa nama pangeran itu tentu suteku tidak bakalan naik pitam!"

"Aha, ini juga hendak kau permasalahkan, Pek-mauw Sianjin? Kau membela sutemu itu yang terang-terangan menghina seorang tamuku?"

Pek-mauw Sianjin melotot marah. "Pinto tidak bermaksud membela sute sendiri, Hiat-goan-pingcu. Tapi kejadian yang jelas menimpa wakil pinto itu tidak mungkin pinto diamkan!"

"Hm, jadi kau hendak menuntut balas atas luka sutemu itu, Pek-mauw Sian-jin?" ketua Gelang Berdarah ini tiba-tiba bersikap dingin. "Kau hendak menyalahkan aku karena pertaruhan itu?"

Ketua Kun-lun-pai ini mendadak gelap mukanya. Dia membanting kaki di depan ketua Gelang Berdarah itu, dan mencabut pedangnya dengan muka bengis tosu ini tiba-tiba mambentak, "Hiat-goan-pangcu, jangan kau berputar lidah lagi. Aku tahu apa yang sesungguhnya kau inginkan! Bukankah kau ingin agar semua pendekar di tempat ini mendukung pendapatmu tentang pangeran itu?"

Sang ketua Gelang Berdarah tertawa menyeringai. "Aku memang tidak menyangkalnya, Pek-mauw Sianjin. Dan kami dari Gelang Berdarah mengharap dengan sangat dan baik-baik pula dukungan Kun-lun-pai untuk parsoalan ini. Seperti juga yang telah ditunjukkan oleh sahabat-sahabat ketua Bu-tong dan Cin-ling-pai…!"

Pek-mauw Sianjin sekonyong-konyong menggigil. Disebutnya nama ketua Bu-tong dan Cing-ling itu membuat dia gemetar, dan menoleh ke arah Bu Wi Hosiang dan Thian Kong Cinjin tiba-tiba dia berseru. "Thian Kong toyu… Bu Wi losuhu, sungguh tidak pinto sangka bahwa kalian berjiwa menjadi anjing-anjing penjilat seorang pemberontak! Sudahkah semuanya ini kalian pikir baik-baik?"

Thian Kong Cinjin dan Bu Wi Hosiang merah mukanya. Mereka berdua memandang marah kepada ketua Kun-lun-pai ini, dan balas melemparkan kata-kata tajam menusuk Thian Kong Cinjin yang semula menjadi sahabat itu membentak, "Pek-mauw Sianjin, jangan membuka mulut lebar-lebar di sini. Bukankah itu adalah hak dan keputusan kami sendiri? Ada Apakah kau cuap-cuap seperti kambing kebakaran jenggot?"

Pek-mauw Sianjin terbelalak. Dia gusar kepada dua orang temannya yang "berkhianat" itu, dan teringat betapa Sun Sim Sianjin membacok dua jarinya sendiri gara-gara perbuatan dua orang ketua Bu-tong dan ini tiba-tiba diapun berseru. "Thian Kong Cinjin... Bu Wi Hosiang ... karena jelas kalian berdua telah menjadi antek pemberontak disini kami seluruh anggauta Kun-lun menyatakan bermusuhan dengan kalian berdua. Kun-lun-pai selamanya akan mendendam atas peristiwa hari ini, dan sebelum kami menuntut balas jangan harap Kun-lun-pai akan mau sudah atas perbuatan kalian!" dan Pek-mauw Sianjin yang tiba-tiba kembali memandang ketua Gelang Berdarah itu bertanya, "Hiat-goan-pangcu, masihkah rencana pibumu itu dilanjutkan? Kalau masih sekarang juga aku menantang dua orang ketut Cin-ling dan Bu-tong itu, pangcu. Dan sekarang juga pinto siap melayani mereka...!" dan Pek-mauw Sianjin yang tampak marah ini sudah memutar tubuh sambil membolang-balingkan pedangnya.

Ketua Gelang Berdarah tertegun. Tapi laki-laki yang melangkah mundur setindak itu sudah berkata dengan mulut tersenyum, "Pek-mauw Sianjin, pibu diadakan bukan dengan cara kasar begini. Bagaimana kau hendak menantang mereka yang juga sebagai tamu? Tidak, Pek-mauw Sianjin, kalau kau ingin mengikuti pibu sebaiknya kau dengarlah dahulu kata-kataku. Pibu memang tetap kuadakan, tapi karena masalah ini sudah berkembang menjadi pro dan kontra terhadap Pangeran Fu Chai maka sebaiknya kita buat sebuah perjanjian untuk pertandingan pibu kali ini..."

Pak-mauw Sianjin melotot. "Perjanjian apa, Hiat-goan-pangcu?"

Ketua Gelang Derdarah itu tertawa. "Sebuah perjanjian semacam taruhan, Pek-mauw Sianjin. Yakni siapa yang kalah dia harus tunduk kepada yang menang...!"

"Maksudmu!"

"Maksudku begini. Bila lean dan teman-temanmu kalah menghadapi kelompokku maka urusan pro dan kontra ini dihapuskan. Kau dan teman-temanmu harus tunduk kepada kami yang menang dan mendukung Pangeran Fu Chai. Tanpa banyak syarat lagi!"

Pek-mauw Sian-jin terbelalak. "Dan kalau kami yang menang bagaimana, pangcu?"

Ketua Gelang Berdarah itu tersenyum sinis. "Tentu saja kami harus tunduk kepadamu, Pek-mauw Sianjin. Dan Pangeran Fu Chai akan kami serahkan mutlak kepadamu, tentu saja kalau kau dapat menang....!"

Pek-mauw Sianjin sekarang tertegun. Dia mendengar tuan rumah sudah bicara pada point yang paling pokok, dan ketua Kun-lun yang diam-diam sudah merasakan adanya gejala-gejala tidak beres itu sejenak tak mampu mengeluarkan suara. Dia kebingungan, tapi Hui-to Lojin yang tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya itu berseru nyaring,

"Pek-mauw Sian-jin, kau terimalah perjanjian itu. Kami disini sudah saling sepakat untuk menentukan keputusan kami!"

Pek-mauw Sianjin menoleh ke bawah. Dia masih ragu-ragu oleh seruan ketua Hoa-san yang tampak bersemangat itu, tapi Kim-sin San-jin yang menjadi ketua Kong-thong tiba-tiba juga bangkit berdiri.

"Benar, kau setujui saja, Pek-mauw toyu, aku dari Kong-thong juga sudah sependapat dengan seruan sahabat kita Hui-to Lojin!" dan Kim-sin San-jin yang sudah memberikan isyarat itu menyuruh ketua Kun-lun-pal ini agar menyetujui perjanjian ketua Gelang Berdarah.

Sekarang Pek-mauw Sianjin kehilangan rasa bimbangnya, tapi dua orang tokoh yang belum memberikan suaranya menibuat dia menoleh kepada dua orang ini. Mereka itulah si ketua Beng-san-pai dan Pek-kut Hosiang, suheng dari bekas ketua Go-bi yang pagi tadi membuat heboh. Dan Pek-mau Sianjin yang memandang dua orang ini sudah bertanya nyaring,

"Souw-Taihiap. Pek-kut Lo-suhu bagaimana dengan pendapat kalian? Setujukah kita menghadapi perjanjian ketua Gelang Berdarah ini?"

Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba tertawa. "Pek-mauw Sianjin, kalau orang menantang kita dengan sebuah taruhan begitu kenapa kita harus menolaknya lagi? Aku setuju, Pek-mauw totiang, dan kalau Pangeran Fu Chai dijadikan barang taruhannya aku sungguh merasa gembira sekali. Baik, aku ingin mendahului bagaimana kesudahan persoalan ini dan kalau Hiat goan-pangcu merasa dirinya kuat aku justru ingin coba-coba beradu kepalan dengannya!"

Pek-mauw Sianjin menjadi girang. Dia sudah mendapat sebuah bantuan yang dapat diandalkan dari pendekar besar yang kelihatannya tak perlu diragukan lagi itu, tapi ketika dia memandang Pek-kut Hosiang ternyata hwesio Go-bi yang tinggi besar ini justru menggelengkan kepala.

"Pek-mauw totiang, maafkan aku kali ini. Karena malas bertempur pinceng tidak bergairah untuk mengikuti pertandingan," demikian hwesio itu berkata, dan Pek-mauw Sianjin yang menjadi kecewa ini mengerutkan alis.

Tapi ketua Gelang Berdarah tibit-tiba tertawa. "Ah, rupanya Pek-kut Hosiang jerih menghadapi aku, Pek-mauw Sianjin. Kalau begitu biarkan saja dia menjadi penonton!"

Ketua Kun-lun ini merasa tidak puas. Dia merasa kehilangan sebuah tenaga yang amat penting. Tapi karena tidak ada lagi ketua partai yang dapat diandalkan tenaganya untuk menghadapi taruhan itu diapun akhirnya menganggukkan kepala. "Baiklah, cuwi enghiong, karena di antara kita hanya terdapat empat orang jago maka inilah yang akan kita ajukan!" lalu menoleh ke arah tuan rumah diapun berseru, "Hiat-goan-pangcu, karena di tempat kami ada empat jago yang akan menghadapimu maka silakan kau beritahukan siapa jago-jago yang kau andalkan...!"

Ketua Gelang Berdarah itu berseri-seri mukanya. "Kalau begitu jumlah kalian hanya empat orang saja, Pek-mauw Sianjin, tidak ada tambahan lagi?" Hm, ditempatku ada tujuh orang kelebihan tiga kalau begitu! Tapi baiklah, Pek mauw Sian jin, karena kalian hanya empat orang saja maka akupun akan mengajukan empat orang pula!" dan ketua Gelng Berdarah yang tampak gembira itu tiba tiba menuding ke belakang. "Pertama," dia berkata, "Adalah muridku yang bodoh ini, Kui Lun.... Ok Kui Lun. Dan ke dua," dia melanjutkan, "Adalah murid sahabatku yang lihal ini, saudara Pouw Kwi. Dan ke tiga serta ke empat adalah aku sendiri dan Cheng-gan Sian-jin!"

Dan begitu ketua Gelang Berdarah ini selesai mengucapkan kata-katanya mendadak barisan tamu di sebelah kiri bertepuk tangan gemuruh. Mereka memberi applaus yang gegap gempita, sementara Pek-mauw Sianjin yang tidak mendengar nama ketua Bu-tong dan Cin-ling tiba-tiba saja gelap mukanya. Dia tidak puas bahwa nama Bu Wi Hosiang dan Thian Kong Cinjin tidak dicantumkan oleh ketua Gelang Berdarah itu, dan kecewa oleh perbuatan tuan rumah ini Pek-mauw Sianjin tiba-tiba berseru.

"Hiat-goan-pangcu, kenapa nama Bu Wi Hosiang dan Thian Kong Cinjin tidak kau masukkan dalam daftar pibu ini?" Ketua Gelang Berdarah itu tersenyum. "Mereka merupakan tamu-tamu terhormat, Pek-mauw Sianjin. Bagaimana aku berani mengajukan mereka? Dan bukankah jumlah kalian juga hanya ada empat orang saja?"

Pek-mauw Sianjin mengepal tinju. Dia penasaran dan geram sekali oleh sikap ketua Gelang Berdarah ini, tapi Ciok-thouw Taihiap yang tiba-tiba tertawa mengangkat tangannya.

"Hiat-goan-pangcu, kau salah kalau mengira jumlah kami hanya empat orang saja. Masih seorang lagi yang belum kusebut, dan dia itu adalah muridku sendiri, Auw Lek Hui!" dan Ciok-thouw Taihiap yang tiba-tiba bertepuk tangan ini sudah melambaikan tangannya memanggil sang raksasa tinggi besar. Lek Hui melompat maju dengan muka terang, dan Pek-mauw sianjin yang tiba-tiba menjadi gembira itu mengacungkan jempol.

"Bagus. Jumlah kami kini lima orang, Hiat-goan-pangcu! Masihkah kau tidak memanggil salah seorang di antara, dua orang pengkhianat itu'?"

Ketua Gelang Berdarah tampak tertegun. Dia rupanya terkejut, tapi lelaki yang cerdik otaknya ini tiba-tiba tertawa lebar. "Ah, kau juga mengajukan muridmu yang gagah perkasa Souw-taihiap? Tidak khawatir dia roboh mengurangi angka bagi kalian?"

Ciok-thouw Taihiap tersenyum mengeiek. "Jangan tekebur, Hiat-goan-pangcu. Melawan dirimupun belum tentu kau menang!" ketua Beng-sanpai ini sengaja bicara besar, dan ketua Gelang Berdarah yang tahu lawannya itu melontarkan perang dingin tiba-tiba tertawa bergelak.

"Ha-ha, dia kau andalkan untuk menghadapi aku, Ciok-thouw Taihiap? Tidak kau sendiri yang maju?" lalu ketua Gelang Berdarah yang berseri-seri mukanya ini sudah memberi isyarat dengan tangan yang diangkat ke atas. "Baiklah... baiklah cuwi enghiong. Karena-kalian telah menambah lagi seorang jago maka terpaksa kuajukan pula seorang jagoku. Dia adalah...."

Ketua Gelang Berdarah ini berhenti sejenak, berputar-putar matanya memandang sekeliling, dan Pek mauw Sianjin yang tidak sabaran itu tiba-tiba melengking tinggi.

"Kau ajukan salah seorang dari dua oraug ketua partai itu, Hiat-goan-pangcu?"

Tapi ketua Gelang Berdarah ini menggeleng. Dia tertawa lebar memandang ketua Kun-lun yang tampaknya benci benar terhadap Bu Wi Hosiang dan Thian Kong Cin-jin itu, dan seruannya yang lantang menggema membuat Pek-mauw Sianjin melotot. "Tidak... bukan mereka yang kupilih, Pek mauw Sianjin. Tapi seorang rekanku yang cukup kalian kenal. Hek-mo-ko...!"

Dan iblis hitam yang sudah berdiri dengan mulut menyeringai di samping Chen-gan Sianjin itu terkekeh serak. "Huh-heh-heh, aku mendapat kehormatan untuk mengikuti pibu ini, pangcu? Kau menghendaki aku merobohkan semua musuhku dengan kuku bajaku?"

Pek-mauw Sian-jin membanting kaki. "Hek-mo-ko, jangan kau bicara besar di sini! Siapa takuti kuku bajamu yang beracun itu?" lalu menoleh ke arah tuan rumah lagi-lagi ketua Kun-lun ini berseru, "Hiat-goan-pangcu, kenapa kau tampaknya segan mengajukan dua orang ketua Bu-tong dan Cin-ling itu? Takutkah mereka menghadapi pinto?"

Ketua Gelang Berdarah ini tersenyum tenang. "Aku belum melihat perlunya mereka kumintai bantuan, Pek-mauw Sianjin, Kenapa kau harus meradang begini? Bukankah menghadapi kami berenam saja kau belum tentu menang?"

Pek-mauw Sian-jin mendelik. Dia marah benar oleh ejekan ketua Gelang Berdarah itu, dan membanting tongkat yang ada di tangannya tiba-tiba ketua Kun-lun ini menggeram. "Baiklah... baiklah, Hiat-goan-pangcu, Kalau kau sengaja menyembunyikan dua orang pengkhianat itu biarlah kita bertanding untuk menyelesaikan urusan ini. Dan sekali ini semuanya selesai jangan harap Bu Wi Hosiang dan Thian Kong Cinjin akan terlepas dari tangan pinto!"

Lalu ketua Kun-lun yang sudah tak dapat menahan kemarahannya itu mencabut pedangnya, "Hiat-goan-pangcu, siapa yang kini akan menghadapi pinto?!"

Ketua Gelang Berdarah tertawa kecil. "Kau sudah gatal untuk bertanding, Pek mauw Sianjin? Tidak ada lagi yang akan menjadi jago kalian?"

"Jangan banyak ngomong, Hiat-goon-pangcu. Pinto siap menghadapi pibu dan maju sebagai orang pertama!" ketua Kun-lun itu membentak.

Tapi baru ketua Gelang Berdarah tertawa lebar sambil menganggukkan kepalanya mendadak sesosok bayangan tinggi besar melompat dari kursi belakang. Dia ini meluncur di atas kepala orang banyak, dan begitu dia berteriak nyaring terkejutlah semua orang ketika melihat lagi-lagi si muka hitam membuat gaduh!

"Hei, tunggu dulu, Pek-mauw-totiang!" demikian si muka hitam yang bukan lain Hek Kong adanya itu berteriak. "Bukankah Hiat-goan-pangcu bilang pihaknya ada kelebihan orang? Nah, tolong daftarkan aku, totiang… aku ingin ikut ramai-ramai merayakan pertandingan pibu ini…! dan Hek Kong yang sudah berdiri di atas panggung itu tertawa ha-ha-he-he memandang Pek-mauw Sianjin. Dia bahkan mengedip-ngedipkan mata seperti orang mengajak bercanda, dan Pek-mauw Sianjin yang terkejut ini membentak marah,

"Muka hitam, apa maumu membuat onar di sini? Tidaklah kau tahu bahwa kami tidak main-main?"

Si muka hitam ini tersenyum. "Aku tidak main-main, totiang. Siapa bilang aku membuat onar? Bakankah masih ada kelebihan di pihak tuan rumah seperti yang dikatakan Hiat-goan-pangcu tadi? Nah, kalau aku maju barangkali saja Thian Kong Cinjin atau Bu Wi Hosiang bisa diajukan. Dan kalau mereka ini muncul tentu kau akan dapat melampiaskan rasa penasaranmu!"

Pek-mauw Sianjin tertegun. Dia merasa ada benarnya juga omongan si muka hitam ini, tapi merasa orang tak dapat diandalkan akhirnya dia-pun menggelengkan kepalanya tegas. "Tidak, bagaimanapun kau tak dapat kami terima, muka hitam. Karena terus terang kami tak mau ambil resiko menerima seseorang yang sama sekali belum kami kenal kepandaiannya!"

"Wah, kalau begitu kau tak percaya kepadaku, totiang?" muka hitam ini kecewa. "Kau ingin membuktikan dulu ilmu silatku?"

Pek-mauw Sianjin menggerak-gerakkan pedangnya. "Jangan cerewet lagi, muka hitam. Aku tidak mau banyak bicara lagi denganmu. Pergilah….!"

Maka Hek Kong yang tiba-tiba meringis ini menarik papas panjang. Dia sudah diusir ketua Kun-lun-pai itu dengan terang-terangan, tapi wataknya yang bandel ternyata tidak membuat dia segera turun. Dengan sikap ogah-ogahan dia memutar tubuh menghadapi Ciok-thouw Taihiap dan mengadukan kekecewaannya diapun bertanya kepada ketua Beng-san-pai ini, "Souw-locianpwe, benarkah aku tidak cukup berharga untuk mengikuti pibu ini? Bukankah aku ingin membantu kalian? Bagaimana kalau kau yang memberikan jaminan kepada tosu tua ini?"

Ciok-thouw Taihiap tertawa gembira. Dia melompat berdiri dari atas kursinya, dan berseru nyaring diapun sudah berkata kepada Pek-mauw Sianjin, "Pek-mauw totiang, tolong kau terima saja sahabatku yang satu ini. Aku cukup mengenal ke pandaiannya yang dapat diandalkan!"

Pek mauw Sianjin terbelalak. "Kau tidak main-main, Sou-taihiap?"

"Ha-ha, siapa main-main? Bukankah Ciok-thouw Taihiap cukup mengerti bahwa ini adalah masalah yang serius?" maka Pek-mauw Sianjin yang jadi terkejut itu menjublak dengan sikap tertegun. Dia tidak mengerti bagaimana si muka hitam yang rupanya ugal-ugalan ini bisa diterima dalam kelompok mereka. Tapi karena mempercayai kata-kata ketua Beng-san-pai itu akhirnya diapun mengalah.

"Baiklah, Souw-taihiap. Karena kau sendiri yang telah memberikan jaminan pada bocah ini biarlah pinto tidak menarik urat lagi!. Sekarang bagaimana dengan Hiat-goan-pangcu sendiri? Masihkah tidak mau mengeluarkan salah seorang dari dua orang ketua Bu-tong dan Cin-ling itu?"

Ketua Gelang Berdarah tercekat. Dia masih terbelalak memandang penuh kecurigaan kepada si muka hitam yang dinilai misterius itu. Maka begitu Pek-mouw Sianjin bertanya kepadanya tiba-tiba diapun terkejut. Dengan sedikit menyeringai dia balik memandang ketua Kun-lun ini, tapi tetap menggelengkan kepalanya dia menjawab tak acuh,

"Pek-mauw Sianjin, masalah Bu Wi Hosiang ataupun Thian Kong Cinjin bagiku adalah masalah pribadi. Aku menghormati mereka sebagai tamu, dan kalau kau mengajukan lagi seorang jago maka terpaksa kuajukan pula seorang jagoku. Dia akan menghadapi seorang wakilku yang lain... saudara Kun Bok!" dan ketua Gelang Berdarah yang sudah tertawa mengejek itu menyurut langkah dua tindak ke belakang. Dia sengaja memasang nama putera si jago pedang itu untuk melihat reaksi lawan.

Dan Kun Bok yang terkejut mendengar namanya disebut-sebut tiba-tiba saja terbelalak. Pemuda ini mau memprotes, tapi Bi Kwi yang berdiri di sampingnya menowel lengan. "Bok-koko, jangan menolak apa yang telah dikatakan pangcu. Bukankah kau harus menjaga pula nama ayahmu?"

Kun Bok menjadi serba salah. "Ya, tapi..... tapi aku tak suka melibatkan diri dalam urusan ini, Kwi-moi. Bukankah ini masalah taruhan besar.....?"

Bi Kwi tersenyum manis. "Jangan khawatir, koko," gadis itu berbisik. "Kalau pangcu telah mempercayakan hal ini kepadamu tentu ada sesuatu perhitungan matang yang telah direncanakannya. Kauterimalah saja semuanya ini, dari muka hitam yang gerak-geriknya mencurigakan itu harus kaukalahkan dan diketahui siapa dia…!"

Kun Bok terdiam sekarang. Dia menjadi bingung, tapi tatapan matanya yang kosong kedepan membuat dia terpaksa menganggukkan ketika sang ketua Gelang Berdarah meminta jawabannya melalui isyarat. Putera si jago pedang ini tak dapat menolak, dan si muka hitam yang menjadi calon lawannya itu diam-diam dipandang tak enak karena dia harus berdiri sebagai "musuh" bagi para pendekar di kursi kehormatan!

Tapi Pek-mauw Sianjin rupanya tak terlalu terkejut mendengar Kun Bok diajukan sebagai jago untuk menghadapi pihaknya. Ketua Kun-lun yang sudah menggerak-gerakkan pedangnya dengan muka merah sambil tersenyum mengejek itu menganggukkan kepalanya, dan menegakkan punggung dengan mata berkilat tosu tua ini sudah berkata kepada tuan rumah, "Baiklah, Hiat-goan-pangcu. Karena kita sama-sama telah mengajukan enam orang jago maka baiklah kita mulai saja pertandingan ini. Siapa yang akan maju melawan pinto?"

Ketua Gelang Berdarah tersenyum. Dia memandang lima orang temannya sejenak, lalu melambaikan tangan ke arah Hek-mo-ko dia berseru, "Mo-ko, kau majulah hadapi Pek-mauw totiang ini. Aku ingin melihat kalian bertempur sungguh-sungguh....!"

Hek mo-ko sudah melompat girang. "Aha, aku mendapat kesempatan pertama, pangcu? Dan Pek-mauw Sianjin ini yang ingin membuktikan kepandaianku?"

Ketua Kun-lun-pai itu mengerutkan kening. Dia merasa agak direndahkan oleh ketua Gelang Berdarah itu yang mengajukan lawan si iblis hitam ini, tapi karena dia sudah terlanjur menantang maka mundurpun jadi tak mungkin pula baginya. Tadinya dia mengira Cheng-gan Sianjin atau ketua Gelang Berdarah itu sendiri yang akan melawannya, karena setidak-tidaknya tingkatan mereka sederajat. Tapi setelah tangan kanan datuk sesat ini yang menghadapinya dan sudah bicara sombong maka Pek-mauw Sianjin pun menjadi marah.

"Hiat-goan-pangcu, kau sungguh terlalu sekali. Kenapa bukan kau atau Ceng-gan Sia-jin sendiri yang maju? Takutkah kalian?" Pek-mauw Sianjin melampiaskan kemendongkolannya.

Tapi Ketua Gelang Berdarah tertawa mengejek. "Jangan rendahkan iblis hitam ini, Pek-mauw totiang, kalau kau tahu kelihaiannya barangkali kau akan terkejut!"

Ketua Kun-lun ini merotot. Dia mau membalas ejekan lawan, tapi Ciok-thouw Taihiap yang tiba-tiba berseru dari bawah menolong tosu ini. ''Pek-mauw Sianjin, kau turunlah dulu. Biar setan hitam itu dilayani muridku!" dan Lek-hui yang tiba-tiba sudah melayang naik ke atas panggung menggedrekkan kakinya.

"Pek-mauw totiang, benar kata suhuku. Kau mundurlah dahulu beri kesempatan padaku. Iblis hitam ini terlalu rendah untukmu!" Lek Hui yang bicara blak-blakan itu disambut senyum girang oleh Pek-mauw Sian-jin.

Tapi Hek-mo-ko yang mendengar sebaliknya menjadi gusar. "Bocah she Auw, berani bicara besar di mukaku! Kau ingin tahu kelihaianku, hah?"

Lek Hui tertawa melihat lawannya ini mencak-mencak. Raksasa tinggi besar yang menggetarkan lengannya ke samping itu bersikap dingin, dan menjengek ke arah iblis ini dia berkata, "Hek-mo-ko, jangan menganggap ringan orang. Bukankah kau sudah berdiri sebagai penantang? Nah, hadapi aku. Mari kita bertempur...!"

Maka iblis hitam yang mendapat hinaan itu semakin naik pitam dan marah bukan main. Dia kecewa melihat Pek-mauw Sianjin sudah melayang turun digantikan murid Pendekar Kepala Batu ini, tapi karena dia sudah terlanjur berdiri sebagai penantang maka mau tidak mau diapun harus menghadapi pemuda tinggi besar ini. Hek-mo-ko menggoyang kesepuluh jarinya yang dipasangi kuku-kuku baja, dan mendelik ke arah pemuda ini dia membentak, "Bocah she Auw, berani kau menghadapi kuku-kuku beracunku ini?"

Lek Hui tertawa tak acuh. "Berani tidak berani itu urusanku, Mo-ko. Tapi kalau kau ingin cepat-cepat roboh memang sebaiknya kita bersenjata saja. Lihat....! Lek Hui yang tahu-tahu telah menggerakkan tangannya kebelakang itu telah mencabut sebuah kapak raksasa, dan begitu senjata ini berkelebat tiba-tiba angin yang dahsyat menderu hebat.

Baju Mo-ko sampai berkibar tertiup gerakan angin senjata ini, dan iblis hitam yang terbelalak itu tampak terkejut. "Eh, kau membawa senjata Kapak Delapan Dewa, bocah?"

Lek Hui tersenyum mengejek. "Memang benar, Mo-ko. Kau takut?"

Hek-mo-ko melotot. Dia gusar terhadap sikap Lek Hui yang menyakitkan hati ini, tapi menggeram murka diapun tiba-tiba membanting kau kakinya. "Bocah she Auw, jangan sombong kau! Siapa takuti senjatamu itu? Bukankah kau mendapatkannya secara haram di gudang istana?"

Lek Hui sekarang ganti melotot. Dia tersinggung oleh kata-kata itu, tapi menahan kemarahannya dia bisa mengendalikan diri. "Mo-ko, jangan berteriak-teriak seperti nenek bawel...!" Apakah kau tidak berani menghadapiku dengan senjata ini? Kalau tidak cepat majulah, kita tentukan pibu ini dengan adu kepandaian bukan dengan adu mulut!"

Maka iblis hitam yang tiba-tiba menggereng itu sudah membentak keras. Dia tidak tahan oleh ejekan Lek Hui, dan melengking tinggi tiba-tiba diapun sudah menyerang! "Bocah she Auw, awas dengan mulutmu itu, jaga serangan...!" dan Hek-mo-ko yang tiba-tiba sudah menggerakkan tangan kirinya itu mendadak mencengkeram leher Lek Hui dengan kelima kuku bajanya. Dia tidak banyak cing-cong tapi dan Lek Hui yang mendapat serangan ini cepat memutar pinggang mengegos dalam kelitan pertama, tertawa sambil menggerakkan tangan kirinya menangkis.

"Plak...!" Dua lengan yang untuk pertama kalinya beradu itu mengeluarkan bunyi nyaring mirip ledakan petir, tapi Hek-mo-ko yang berseru kaget dengan lengan terpental itu terdorong mundur dengan mata terbelalak. Iblis hitam ini terkejut, karena sinkang Lek Hui yang dahsyat ternyata membuat tulang lengannya linu dan panas seperti terbakar.

Hek-mo-ko tertegun, tapi Iblis hitam yang kaget sejenak itu sudah kembali berteriak keras dan menyerang untuk kedua kalinya. Dia masih kurang percaya akan kenyataan yang dialami dalam gebrak pertama maka begitu dia menyerang tiba-tiba diapun sudah menusuk dan mencengkeram pundak serta dada Lek Hui dengan kesepuluh jari bajanya. Dia hendak merobohkan lawan yang jauh lebih muda dibanding dirinya itu, tapi Lek Hui yang tertawa menghadapi dua serangannya yang bertubi-tubi ini kembali menggerakkan tangan kirinya.

"Plak-plak...!" Hek-mo-ko kembali membentur lengan Lek Hui yang penuh getaran tenaga sinkang itu, dan begitu dia merasakan dua kali tangkisan yang amat kuat ini tiba-tiba Hek-mo-ko mengeluh tertahan. Dia kembali terpental, dari tubuhnya yang terhuyung dua langkah itu bahkan hampir saja membuat kakinya terpeleset dan roboh terjengkang! Iblis hitam ini benar-benar kaget bukan main, maka begitu dia sadar tiba-tiba saja Hek-mo-ko menjadi marah dan beringas.

Dia tidak mengira bahwa lawannya yang muda itu ternyata demikian mengejutkan, maka berteriak tinggi tiba-tiba saja diapun sudah menyerang gencar dengan kesepuluh jari beracunnya ke seluruh tubuh Lek Hui. Dia mencabik dan mencengkeram seperti elang marah terhadap seekor harimau, tapi Lek Hui yang tentu saja tidak mau dijadikan sasaran dari sepuluh jari-jari beracun itu cepat bergerak melindungi diri. Raksasa muda yang sudah mengimbangi gerakan lawannya itu menolak dan menangkis, dan begitu dua orang ini bertempur maka terjadilah pertandingan seru dalam pibu babak pertama ini.

Hek-mo-ko maupun Lek Hui sama-sama mengerahkan kepandaian untuk menyerang dan bertahan. Tapi iblis hitam yang dalam pertandingan pertama ini mengambil inisiatif untuk mendahului lawan selalu melakukan serangan yang susul menyusul. Dia bertubi-tubi menghujani Lek Hui dengan cengkeram-cengkeramannya yang buas, dan Hek-mo-ko yang tampaknya bernafsu sekali untuk merobohkan lawannya itu menyerang ganas tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang.

Lek Hui terdesak mundur, tapi murid Ciok-touw Taihiap yang masih tersenyum-senyum itu bersikap tenang. Dia berhasil menghindarkan diri dari setiap serangan yang berbahaya, atau menangkis bila keadaan memaksanya. Dan Kapak Delapan Dewa yang sama sekali masih belum dipergunakannya itu bergetar terus dalam geggaman tangan kanannya. Sampai akhirnya, ketika Lek Hui dicecar sedemikian rupa oleh iblis hitam itu dan tinggal beberapa dim jaraknya dari tepi panggung tiba-tiba pemuda ini mengeluarkan bentakan pendek.

Kuku beracun Hek-mo-ko yang mencolok matanya tak dapat dia kelit, karena menghindar ke belakang berarti melompat ke tempat kosong, jatuh di luar lantai panggung. Maka begitu serangan ini tak dapat dia hindarkan tiba-tiba saja Lek Hui menggerakkan tangan kirinya. Sambaran kelima jari kanan Hek-mo-ko dia tampar, dan persis iblis itu tergetar lengannya sekonyong-konyong Lek Hui melompat ke depan. Kapak di tangan kanannya bekerja, dan begitu dia berteriak keras mendadak saja senjata berat di tangannya itu menderu hebat membelah kepala Hek-mo-ko. Inilah satu balasan pertama semenjak raksasa muda itu diserang!

Maka Hek-mo-ko yang kaget bukan main serentak melompat ke belakang. Dia mendengar angin bersiut gemuruh di sisi kepalanya, dan begitu kapak ini menyambar di depan mukanya tiba-tiba saja kapak itu menghantam lantai panggung.

"Brakkk...!" papan yang terbuat dari kayu-kayu tebal itu sekonyong-konyong hancur berantakan dan Hek-mo-ko yang pucat mukanya terbelalak lebar dengan muka kaget. Dia tidak berani mebayangkan seandainya tadi dia terlambat mengelak, dan Lek Hui yang sudah melompat ke depan itu tiba-tiba telah melanjutkun serangannya dengan terjangan kilat. Raksasa muda ini telah menggerakkan kapaknya kembali, dan Hek-mo-ko yang tertegun sejenak tahu-tahu telah dibabat kakinya.

Tentu saja ibtis hitam ini terkesiap, tapi berseru keras diapun sudah meloncat ke atas. Kapak yang membabat kakinya kembali tewat di bawah lututnya, dan Lek Hui yang dua kali luput menyerang mendadak mengayunkan tangan menampar pelipis lawan. Hek-mo-ko tak dapat mengelak, satu-satunya jalan hanyalah menangkis. Maka begitu dua lengan saling beradu maka terdengarlah suara nyaring akibat benturan dua tangan yang sama-sama mengandung tenaga sakti itu.

"Plak!" Hek-mo-ko terdorong setindak, dan iblis hitam yang tiba-tiba mengeluh tertahan itu mendesis kesakitan. Dia tidak kuat menerima tamparan Lek Hui, dan Lek Hui yang tertawa bergelak itu mendadak mengayunkan kapaknya. Dengan amat tiba-tiba dia menyerang Hek-mo-ko yang sedang terhuyung, dan iblis hitam yang kaget melihat mata kapak menyambar dengan kecepatan kilat itu menjerit. Dia cepat membanting diri, tapi kaki Lek Hui yang tiba-tiba bergerak dari bawah menghantam pinggulnya.

"Duk!" Hek-mo-ko mencelat, dan Lek Hui yang sudah tertawa dengan sikap beringas inu, tahu-tahu mengejar lawan yang bergulingan di lantai. Kapak yang bergetar di tangannya terus terayun dan menyambar-nyambar bagaikan siluman haus darah, dan ibis hitam yang pucat mukanya ini tiba-tiba bertetiak parau ketika kapak menderu dahsyat ke arah dadanya.

"Crik-crik!" Hek-mo-ko menangkis sebisa-bisanya dengan kesepuluh jari baja, tapi kuku pasangan yang tiba-tiba putus dibabat kapak di tangan Lek Hui itu membuat Hek-mo-ko serasa terbang semangatnya. Dia tidak tahu harus berbuat apa lagi, maka iblis hitam yang terbelalak ngeri ini sudah menggulingkan tubuhnya menyelinap diantara sambaran-sambaran mata kapak.

Tapi Hek-mo-ko tak dapat terus-terusan melakukan cara ini dan begitu Lek Hui melancarkan serangan yang meluncur tiba-tiba, Hek-mo-ko melengking tinggi dan berteriak hebat. Kapak yang menyambar kepalanya dengan berani dia tangkis dan begitu lawan tertegun sejenak tiba-tiba iblis hitam ini melompat bangun.

"Crak-dess!" Hek-mo-ko menerima hantaman kapak dengan lengan kirinya, dan iblis hitam sang menjerit keras itu tahu-tahu terluka lengannya oleh sambaran kapak di tangan Lek Hui. Dia berhasil menyelamatkan kepalanya, tapi Hek-mo-ko yang terhuyung dengan lengan terobek lebar itu meringis dengan darah bercucuran. Terdesak...!



Pendekar Kepala Batu Jilid 29

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 29
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pendekar Kepala Batu Karya Batara
MEREKA terkejut dan heran oleh keberanian si muka hitam itu. Tapi lebih terkejut dan geli bukan main hati mereka ketika melihat ubun-ubun Bu Wi Hosiang yang gundul serta rambut putih Than Kong Cinjin diinjak-injak begitu saja oleh si muka hitam ini! Tapi sementara mereka tertegun si muka hitam itupun sudah menjura di hadapan ketua Beng-san-pai ini. Dia pura-pura tidak melihat reaksi para tamu, dan tertawa sambil nyengir diapun bertanya kepada ketua Beng-san-pai itu.

"Souw-locianpwe, kau tidak keberatan menerima usulku, bukan? Aku dapat menyembuhkan jago pedang itu, locianpwe. Dan asal kau percaya kepadaku aku dapat merawat jago tua itu sampai sembuh!"

Ketua Ben-san-pai ini mengernyitkan kening. "Kau siapakah, anak muda?"

Si muka hitam itu menyeringai. "Aku, he-he aku Hek Kong, Souw-locianpwe. Pengelana Miskin yang suka melancong ke sana ke mari. Tidak percayakah kau kepadaku?" Si muka hitam itu tiba-tiba membetulkan bajunya. Dan begitu dia melonggarkan tali bajunya mendadak sebuah benda kecil berkilau tampak sekelebatan di kulit dadanya. Hal ini terjadi secara sepintas, tapi mata awas sang ketua Beng-san-pai yang melihat berkilau itu tiba-tiba saja nampak terkejut. Ketua Beng-san-pai Ini tertegun, tapi begitu dia sadar sekonyong-konyong pendekar berkepala gundnl ini berseri-seri mukanya.

"Ha-ha, kiranya kau, saudara Hek Kong? Kau si musafir jalanan itu?" ketua Beng-san pai ini nampak gembira. "Baiklah… baiklah, kalau begitu, boleh kau bawa sahabatku yang terluka ini Hek Kong. Tapi awas tepati janjimu itu. kau harus mampu menyembuhkannya, dan kalau ini tidak kau tepati maka kepalamu itulah yang menjadi gantinya! Setuju?"

Si muka hitam tertawa lebar. ''Aku menerimanya, Souw-locianpwe. Tapi bagaimana dengan imbalan jasanya, bagimana kalau aku benar-benar dapat menyembuhkau sahabatmu ini?"

"Wah, kau meminta upahnya, anak muda?"

"Kalau kau menuntut kepalaku, locianpwe. Hanya sebagai imbangan belaka!" si muka hitam itu tertawa, dan Ciok-thouw Taihiap yang mendengar gurauannya ini mau tak mau tersenyum juga. Dia tidak bersunggub-sungguh, tapi sekedar memenuhi permintaan orang diapun mengangguk.

"Baiklah. Apa yang hehdak kau minta, anak muda?"

Hek Kong menyeringgai. "Aku tidak minta yang muluk-muluk, locianpwe. Tapi hanya sebuah janji saja."

"Sebuah janji??"

"Ya...!

"Janji apa itu, Hek Kong?"

"Janji agar kau suka memasukkan aku dalam udanganmu!"

Eh…..?" Ciok-thouw Taihiap tertegun. "Apa maksudmu ini Hek Kong?"

Si muka hitam itu meringis. "Aku datang sebagai undangan liar, Souw locianpwe. Dan karena takut diusir yang punya rumah maka sukalah kau memasukkan aku ke dalam kartu undanganmu!"

Muka Ciok-thouw Taihiap yang mendengar ini tiba-tiba saja tertawa bergelak. Dia memandang ketua Gelang Berdarah itu, dan melihat orang mengerutkan kening tiba-tiba dia berkata, "Baiklah, aku memasukkan kau ke dalam kartu undanganku, Hek Kong. Dan karena kau menyusul belakangan, bolehlah kuanggap kau sebagai kerabat sendiri. Eh, Hiat-goan-pangcu, tolong kau catat bahwa seorang pembantuku telah bertambah seorang dengan saudara Hek Kong ini…!" dan ketua Beng-san-pai yang kelihatan gembira itu tiba-tiba memandang sahabat barunya ini.

"Hek Kong, kau puas bukan?"

Si muka hitam ini mengangguk. "Ya, dan kini aku jadi tamu terhormat, locianpwe. Sama seperti muridmu ini!" dan Hek Kong yang sudah tertawa meringis itu menepuk-nepuk pundak Lek Hui.

"Auw-twako, kau sudah makan?"

Lek Hui terkejut. Dia tidak mengenal si muka hitam ini, maka melihat sikap yang agak kurang ajar itu dia mendesis. "Muka hitam, jangan ugal-ugalan. Di sini bukan tempatnya bercanda!" dan muka hitam yang mendapat teguran itu menyeringai.

"Wah, kau pemberang amat, twako. Tidakkah kau lihat perutmu sebentar lagi harus diisi kenyang-kenyang?"

Lek Hui kembali melotot. Dia hendak menghardik si muka hitam itu, tapi belum dia bersuara, gurunya telah berbisik lirih, "Hu-ji, buka matamu lebar-lebar. Ia adalah teman sendiri. Pendekar Gurun Neraka!" dan Lek Hui yang mendengar bisikan gurunya itu kontan saja terbelalak.

Dia melihat si muka hitam itu tersenyum, dan baru dia hendak menggerakkan bibir, tiba-tiba si muka hitam itu berbisik kepadanya dengan ilmunya Ciam-im-jip-bit, "Auw-twako, hati-hati. sebentar lagi pertempuran besar bakal meletus. Kau dekat-dekatlah dengan gurumu itu. Hiat Goan Pang akan melakukan kecurangan yang amat licik!" dan Lek Hui yang tak jadi mengeluarkan suara ini sekarang berdiri tertegun.

Ternyata si muka hitam itu sudah membaringkan tubuh Bu-tiong-kiam Kun Seng di tempat yang aman dan begitu tangannya menotok sana dan sini, segeralah ia menyambung kembali dua tulang iga si jago pedang yang patah. Pekerjaan ini dilakukannya cepat dan ketika dia selesai, si muka hitam itu sudah menjejalkan sebutir obat hijau muda ke mulut sang pendekar pedang. Sekarang selesailah sudah perawatan darurat itu dan Ciok-thouw Taihiap yang melihat muka si jago pedang berangsur-angsur memerah kembali, mau tak mau memandang kagum.

"Saudara. Hek Kong, kau tampaknya pandai juga. Siapakah tabib yang menjadi gurumu itu?"

Si muka hitam ini tertawa. "Tidak ada, Souw-taihiap. Aku hanya belajar dari pengalaman."

"Dan kau ke sini juga seorang diri?"

"Tentu saja. Apa taihiap kira tempat ini bisa dimasuki orang tanpa ijin pemiliknya?" dan Ciok-thouw Taihiap yang sudah tertawa itu memutar tubuh, menghadapi ketua Gelang berdarah.

"Hiat-goan-pangcu, urusanku telah selesai. Apakah kami diperkenankan duduk di snii?"

Ketua Gelang Berdatah itu tertegun. Dia sedang memandang tajam wajah si muka hitam ini, maka begitu Ciok-thouw Taihiap bertanya kepadanya diapun jadi terkejut. Tapi ketua Gelang Berdarah sudah tersenyum, dan ketawanya yang serak membuat ketua Gelang Berdarah itu cepat-cepat menganggukkan kepalanya.

"Ah, silakan, Souw-taihiap. Kami memang sudah lama menunggumu!" dan laki -laki yang sudah memberi tanda itu mempersilakan Ciok-thouw Taihiap duduk di kursi kehormatan berdampingan dengan ketua-ketua partai lain yang ada di depan panggung. Tapi si muka hitam tiba-tiba menolak.

"Wah, aku tidak mau duduk di situ, Souw-locianpwe. Lebih baik kita duduk di belakang saja!" dan si muka hitam yang mendadak rewel ini menyeret ujung baju sang ketua Beng-san-pai.

Tentu saja Ciok-thouw Taihiap terkejut. dan ketua Beng-san-pai yang memandang terbelalak menegur, "Hek Kong, tuan rumah menyediakan kursi di depan untuk kita. Kenapa harus duduk di belakang?"

Tapi si muka hitam itu tetap merajuk. "Aku takut. Souw taihiap, aku, he-he... aku tadi menginjak kepala gundul dan berambut putih secara tidak sengaja....! dia memandang Bu Wi Hosiang dan Thian Kong Cinjin. Dan Ciok-thouw Taihiap yang tersenyum lebar ini terpaksa menahan geli hatinya. Dia tidak tahu apa sebenarnya maksud Pendekar Gurun Neraka itu, tapi khawatir menyinggung perasaan tokoh-tokoh lain terpaksa dia menolak.

"Tidak, aku tidak ingin duduk di belakang, Hek Kong. Kalau kau suka di sana terserah kau sajalah!" katanya.

Dan Hek Kong alias Pendekar Gurun Neraka yang sedang menyamar ini tertegun. Dia tampaknya mau bicara lagi, tapi melihat ketua Gelang Berdarah memandangnya tajam penuh kecurigaan tiba-tiba diapun bersikap ketolol-tololan kembali. Pemuda muka hitam ini meringis, dan sambil melompat ke kursi paling belakang diapun berseru.

"Baiklah, aku di belakang kalau begitu, Souw-taihiap. Tapi lindungi aku kalau dibokong orang!" dan Hek Kong yang sudah meninggalkan Ciok-thouw Taihiap itu berkelebat di kelompok para tamu yang berada di bagian belakang sendiri. Dia rupanya takut-takut menghadapi Bu Wi Hosiang dan Thian Bong Cinjin, dan orang yang melihat tingkahnya ini mau tak mau tersenyum geli.

Sementara Ciok-thouw Taihiap, yang kini reda kembali kemarahannya itu sudah menjura di depan tuan rumah dan para tamu. Dia meminta maaf atas keributan yang terjadi, lalu menegakkan kepala dan membusungkan dada berjalanlah ketua Beng-san-pai itu bersama muridnya duduk di kursi kehormatan, bersanding dengan ketua-ketua partai yang semenjak tadi menyaksikan sepak terjang yang mencekam dari pendekar besar ini dengan mata tidak berkedip.

Maka usailah sekarang perselisihan antar keluarga itu, dan ketua Gelang Berdarah yang tampak sedikit bingung memaksakan diri tertawa pahit. Dia sebenarnya mempunyai rencana tersembunyi di balik semua pertikaian ini, tapi bahwa si jago pedang sudah terkapar luka parah dan Ciok-thouw Taihiap sendiri masih tegak di depannya membuat laki-laki itu tersenyum kecewa. Hiat-goan-pangcu ini menyuruh orang-orangnya memperbaiki panggung yang rusak, lalu melanjutkan acara ulang tahun perkumpulan yang terganggu diapun sudah berdiri di atas panggung yang baru.

* * * * * * * *

"Saudara-saudara," demikian ketua Gelang Berdarah itu mulai melanjutkan acaranya, "Menyongsong pokok keramaian kita yang kedua karena ingin kuterangkan pada saudara-saudara semua tentang usulku mengadakan pemilihan Bengcu. Bagaimana pendapat saudara-saudara tentang ini, tidakkah tepat kukatakan bahwa dunia tanpa pemimpin adalah dunia yang serba kacau?"

Semua tamu terdiam sejenak. Mereka belum ada yang memberikan komentar dan ketua Gelang Berdarah yang mulai melangkah maju ini melanjutkan kata-katanya. "Karena itu, kami dari perkumpulan gelang berdarah ingin mensponsori maksud tujuan ini, cuwi-enghiong. Dan bila cuwi semua setuju, sekarang juga kita dapat memilih seorang bengcu!"

Barisan tamu di sebelah kiri tiba-tiba membuat gaduh. "Bagus, kami setuju, pangcu. Dan kami kira yang pantas menduduki jabatan itu adalah kau sendiri!" seorang pendek berteriak. Dia adalah Gin Pa, bajak sungai yang hilir mudik di perairan Huang-ho. Dan begitu kepala bajak ini berteriak lantang tiba-tiba saja se-uruh anak buahnya menyusul.

"Benar, kami setuju memilihnya sebagai Bengeu, paicu. Dan kalau ada yang menolak biarlah dia mampus di tangan kami?" dan suasana yang tiba-tiba ribut ini mendadak saja mendapat tanggapan yang ramai di barisan tamu sebelah kiri.

Mereka sebagian besar orang-orang-golongan hitam, maka begitu Gin Pa berteriak lantang otomatis mereka ini ikut memberi suara. Tak ayal, Bangsal Agung yang tiba-tiba gaduh itu membuat suasana hiruk-pikuk dan ketua Gelang Berdarah yang tersenyum gembira itu memandangi mereka dengan wajah berseri-seri.

Tapi seorang tosu mendadak melompat berdiri. Dia adalah Sun Sim Sian-jin, wakil ketua. Kun-lun yang merah mukanya itu. Dan begitu tosu ini berdiri tiba-tiba saja dia sudah mengangkat tangannya. "Gin Pa, memilih bengcu bukan berdasarkan suara terbanyak, tapi harus melalui ujian pibu. Bagaimana kalian berkaok-kaok tak tahu aturan?"

Bajak sungai itu melotot. "Siapa tak tahu aturan Sun Sim Sianjin? Kau kira aku tak mengetahui peraturan ini?"

"Kalau begitu kenapa kau berteriak seperti ini? sudahkah pibu diadakan di sini?"

'Ha-ha, kukira pibu itu tidak perlu diadakan, im Sian-jin. Karena siapapun yang bertanding dengan ketua Gelang Berdarah dia pasti roboh!"

"Dan kau merasa yakin tentang jalan pi-bu itu, Gin Pa?"

Ya, kenapa tidak?" kepala bajak itu tertawa mengejek. "Kau ingin mencobanya, Sun Sim Sian-jin? Kau ingin roboh di bawah kesaktian pangcu?"

Wakil ketua Kun-lun-pai ini mendelik. Dia marah oleh ejekan lawannya itu, tapi mengingat Gin Pa hanyalah seorang kepala bajak yang kasar dia merasa terlalu "tinggi" untuk berdebat dengan lawan. Maka diapun menoleh ke arah sang ketua Gelang Berdarah, dau mendongkol akan si bajak sungai itu wakil ketua Kun-lun-pai berseru.

"Hiat-goan-pangcu, apakah usul si bajak itu kau turuti kemauannya? Benarkah pemilihan bengcu akan dilakukan tanpa pertandingan pibu?"

Ketua Getang Berdarah itu tersenyum. Dia memang menanam beberapa pengikutnya untuk melancarkan "perang urat syaraf, maka ketika Sun Sim Sianjin bertanya kepadanya diapun tertawa "Sun Sim totiang, apa yang dikatakan si bajak sungai terlalu memujiku. Bagaimana mungkin memilih seorang bengcu tanpa melalui pibu? Hm, itu kurang ramai, totiang. Dan kalaupun ini dilakukan tentu banyak di antara tamu-tamuku yang penasaran."

"Jadi kau tetap menghendaki pibu, Hiat-goan-pangcu!"

"Tentu saja. Kecuali kalau semua orang menghendaki pemilihan dengan jumlah suara saja. Hal yang kukira tidak mungkin kita lakukan sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan!"

Maka Sun Sim Sianjin yang bersinar matanya itu tiba-tiba bertanya lagi. "Dan bagaimana syarat yang kau kehendaki, pangcu?"

"Gampang. Intinya semua orang boleh ikut. Dan kalau mereka dapat mengalahkan seorang jago yang kami pasang berarti dia lulus untuk menghadapi jago-jago yang lebih tinggi!"

"Maksudmu pertandingan ini diatur secara bertahap, pangcu?"

"Begitulah. Apa totiang keberatan?"

Sun Sim Sianjin tidak menggelengkan kepalanya. Dia setuju dengan apa yang dikatakan ketua Gelang Berdarah ini, tapi sebelum dia bertanya lebih lanjut ketua Gelang Berdarah itupun memberikan keterangan.

"Cuwi enghiong, karena pemilihan bengcu ini harus melalui pibu maka sebaiknya kita ambil cara yang paling baik. Dan menurut pendapatku sebaiknya kita masing-masing mengajukan jagonya berturut-turut, lima sampai sepuluh orang agar pertandingan ini tidak memakan waktu lama. Bagaimana menurut pandangan cuwi?"

Kini Pek-mauw Sianjin yang bangkit berdiri. Ketua Kun-lun yang halus gerak-geriknya itu menjura di depan tuan rumah, dan suaranya yang lembut nyaring menyatakan isi hatinya, "Hiat-goan-pangcu, karena urusan ini adalah urusan bengcu, bagaimana kalau aku mengajukan usul? Aku tidak menginginkan pertumpahan darah, pangcu. Dan bila masing-masing pihak berhak mengadu kepandaian sebaiknya kita memberikan syarat-syarat tertentu."

Ketua Gelang Perdarah itu mengangguk "Memang betul, totiang. Tapi bagaimana dengan syarat-syatat yang ingin kau ajukan?"

Ketua Kun lun-pai itu mem andang sekeliling. "Aku menginginkan syarat-syarat yang tidak membahayakan kedua pihak pangcu. Dan bila para hadirin di sini menyetujuinya aku mempunyai tiga macam syarat."

"Hm, bisa kau sebutkan itu, totiang?"

"Bisa. Pertama, sebaiknya pibu ini tidak menggunakan senjata tajam. Ke dua, pertandingan dibatasi paling banyak limapuluh jurus dan ke tiga atau yang terakhir ialah siapa yang menang atau kalah dalam pibu ini dinyatakan oleh pukulan yang paling banyak diperoleh! Nah, bagaimana, pangcu?"

Ketua Gelang Berdarah itu tiba-tiba tertawa. "Wah, mana mungkin pibu macam itu diadakan, totiang? Bukankah menang atau kalah dinyatakan dalam robohnya seseorang? Dan tentang nomor satu, bagaimana dengan yang tidak biasa bertangan kosong? Bukankah ini merugikan mereka itu?"

"Ah, tapi seorang ahli silat tentu mampu bermain tanpa senjata, pangca. Dan bila mereka terbiasa dengan senjata biarlah kali ini mereka-tidak perlu ikut!" ketua Kun-Iun-pai itu mem-bantah.

Tapi baru dia bicara sampai di sini tiba-tiba kelompok tamu di sebelah kiri kembali membuat ribut. Seorang tinggi kurus mebamoat dari atas kursinya, dan berteriak tidak setuju diapun berkata lantang, "Pek-mauw Sianjin, pemilihan bengcu kali ini memang sepenuhnya didasarkan pada kepandaian seseorang. Kalau dia tidak berani melihat darah, lalu apa gunanya orang macam itu memimpin kaum persilatan? Tidak, Pek-mauw Sian-jin, aku tidak setuju dengan tiga macam syaratmu itu. Sebaiknya pibu dilaksanakan dengan cara bebas dan tentang bersenjata Mau tidak bersenjata biarlah urusan ini ditentukan oleh masing-masing pihak yang berhadapan!"

Dan baru si tinggi kurus ini selesai bicaranya tiba-tiba seorang bermuka bopeng sudah menyusulinya dengan seruan nyaring, "Benar, apa yang dikatakan Lauw-twako memang benar. Kalau pibu diadakan tanpa senjata lalu apa menariknya bagi kita? Bukankah seorang ahli silat harus selalu menjaga diri dengan senjata? Kalau Pek-mauw Sian-jin mengusulkan pibu tanpa senjata adalah aku yang ikut tidak setuju, pangcu. Dan bila pemilihan bengcu ini diadakan untuk memilih yang benar-benar gagah seharusnya pertandingan boleh dilakukan dengan cara apapun!" dan si muka bopeng yang sudah menyelesaikan kata-katanya itu tiba-tiba sudah disambut oleh pekik gemuruh teman-temannya di sebelah Kelompok di deretan ini mendadak berteriak gaduh, dan suara-suara yang menyatakan tidak disetujuinya cara-cara Pek-mauw Sian-jin menjadikan ruang Bangsal Agung ini gegap-gempita.

Tapi ketua Gelang Berdarah tiba-tiba bentepuk tangan, dan begitu ketua Gelang Berdarah ini mengeplokkan kedua tangannya terdengarlah ledakan nyaring seperti petir menyambar. Orang-orang itu terkejut, dan ketua Gelang Berdarah yang memandang ke tempat ini sudah berseru penuh wibawa, "Saudara-saudara, jangan membuat ribut. Ini bukan pasar. Kalau ada yang tidak setuju sebaiknya saudara-saudara mewakilkan seseorang untuk tampil ke depan..." dan ketua Gelang Berdarah yang sudah melihat ketenangan pulih kembali berseru melanjutkan, "Aku menghargai prinsip yang diajukan Pek-mauw Sian-jin. Tapi berhubung pibu ini dilakukan untuk mencari seorang pemimpin yang dapat diandalkan maka sebaiknya di sini kuajukan pula syarat-syarat yang kami buat. Harap saudara-saudara perhatikan!"

Lalu ketua Gelang Berdarah yang bersinar-sinar matanya itu memandang sekeliling. "Cuwi enghiong, kami dari perkumpulan Gelang Berdarah mempunyai cara-cara yang ingin kami ajukan. Dan bila ada yang tidak cocok sebaiknya kita carikan jalan keluar. Pertama, pibu memang sebaiknya kita serahkan pada jago-jago yang bendak bertanding. Apakah mereka mau bersenjata ataukah bertangan kosong. Kedua, pibu boleh saja dibatasi limapuluh jurus. Ketiga, dari sekian banyak calon sebaiknya kita memilih calon-calon yang dapat diandalkan, tidak lebih dari sepuluh jago banyaknya. Dan keempat serta ke Lima ialah jago yang kalah harus tunduk ke pada yang menang serta siapa yang paling unggul dalam pertandingan pibu ini ia berhak mendapat tanda penghargaan dari yang mulia Pangeran Fu Chai…!"

Ketua Gelang Berdarah itu menghentikan seruannya dan para tamu yang mendengar kalimat terakhir dari ketua Gelang Berdarah itu tiba-tiba menjadi gaduh. Kaum pendekar yang duduk di deretan kursi sebelah kanan mendadak bersuara ribut. Dan Sun Sim Sianjin yang semula sudah tidak setuju dengan kehadiran pangeran itu tiba-tiba bangkit berdiri...?"

"Hiat-goan-pangcu, kenapa urusan pibu ini kau campur adukkan dengan nama seorang pemberontak? Tidakkah ini menyimpang dari garis besar peraturan pibu itu sendiri...!"

Ketua Gelang Berdarah itu tersanyum. "Sun Sim totiang, agaknya sedari tadi kau masih menaruh penasaran tentang nama pangeran ini. Apakah kau tidak setuju dengan kehadirannya?"

Sun Sim Sianjin membelalakkan mata. "Aku setuju atau tidak setuju kukira tidak perlu diperdebatkan, pangcu. Karena bagaimanapun juga dia adalah tamumu. Tapi bagaimana masalah pemilihan bengcu ini kau sangkut-pautkan dengan nama dia itu? Bukankah semua orang di sini tahu belaka bahwa pangeran itu adalah seorang pelarian, seorang pemberontak?"

Ketua Gelang Berdarah tiba-tiba bersikap tegas. "Sun Sim totiang, ini adalah pendapatmu pribadi, dan juga barangkali pendapat segelintir orang-orang bodoh. Siapa bilang Pangeran Fu Chai adalah pewaris dari Kerajan Wu?"

"Ya, tapi yang berkuasa kali ini adalah Kerajaan Yueh, pangcu. Bagaimana kau hendak berbicara tentang kerajaan musuh? Bukankah itu sama halnya dengan bersekutu dangan lawan?"

"Hm, ini tergantung pendapat pribadi masing-masing orang, Sun Sim totiang. Karena bagiku Pangeran Fu Chai adalah pewaris resmi Kerajaan Wu dan pantas mendapat dukungan untuk menegakkan kembali kerajaan ayahnya! Apakah ada diantara cuwi yang menganggap cita-cita baiknya ini salah?"

Semua orang terbelalak kaget, Mereka melihat ketua Gelang Berdarah itu mulai menyingung-nyinggung masalah kerajaan, dan begitu perdebatan Sun Sim Sianjin dan ketua Gelang Berdarah itu mulai hangat tiba-tiba saja para undangan yang duduk di kursi sebelah kanan ini terkejut. Pek-mauw Sianjin bangkit berdiri, dan menekan pundak wakilnya ketua Kun-lun yang tinggi tegap itu berseru nyaring,

"Hiat-goan-pangcu, kenapa urusan pibu ini jadi bersangkat-paut dengan kerajaan? Apakah kau sengaja mengumpulkan kami untuk ikut-ikutan menjadi ajang pertarungan politik?"

Ketua Gelang Berdatah itu tiba-tiba menoleh. Dia tersenyum kepada ketua Kun-lun yang bersikap serius ini, tapi sinar matanya yang mencorong tajam mendadak menunjukkan perbawa keren. "Pek-mauw Sianjin, kukira sudah waktunya bagiku untuk menjelaskan maksud kami perkumpulan Gelang Berdarah dalam mengadakan rencana pibu ini. Tidak kusangkal, dengan kehadiran Pangeran Fu Chai kami menyembunyikan sebuah maksud yang helum kami terangkan. Tapi karena wakilmu telah membuka persoalan ini maka baiklah kuterangkan apa yang menjadi tujuan lain dari kami perkumpulan Gelang Berdarah," ketua Gelang berdarah itu berhenti sejenak, lalu menoleh kepada semua tamu di depannya berkatalah ketua Gelang Berdarah ini dengan suara nyaring,

"Cuwi sekalian, terdorong sikap ksatria yang dijunjung tinggi kaum ho-han (orang-orang gagah) biarlah di sini kami kemukakan apa yang menjadi maksud tujuan kami sebagai perkumpulan yang menjunjung tinggi kegagahan. Kami dari Gelang Berdarah sebetulnya mempunyai satu maksud terhadap cuwi, yakni mohon bantuan cuwi untuk sukalah kiranya membantu perjuangan Pangeran Fu Chai! Karena, seperti yang telah cuwi ketahui betapa pangeran ini terlunta-lunta di perjalanan akibat serbuan musuh yang biadab. Betapa ayahanda pangeran telah menemui ajalnya di tengah-tengah kekalutan perang dan betapa sri paduka pangeran sendiri dikejar-kejar musuh yang haus darah! Karena itu, cuwi, mendasarkan watak kita yang selalu membela yang lemah menentang si kuat yang menindas kami mohon rasa simpatik cuwi untuk membantu paduka pangeran ini. Beliau tidak mengharapkan yang berlebih-lebihan, tapi cukup rasa solider cuwi sekalian dan membantu beliau dalam perjuangan merebut kota raja! Apakah ada diantara cuwi yang tidak sependapat?"

Para tamu sekarang gager. Mereka benar-benar terkejut mendengar ucapan ketua Gelang Berdarah ini dan para peadekar yang tertegun oleh ucapan yang terang-terangan itu sejenak terpaku. Mereka terperanjat, tapi Sun Sim Sianjin yang rupanya tidak mampu mengendalikan diri tiba-tiba berteriak,

"Hiat-goan-pangcu, inikah kiranya maksudmu mengumpulkan kami dengan alasan pibu? Kau hendak menjerumuskan kami dalam perang antar kerajaan?"

Ketua Gelang Berdarah itu menoleh. "Tidak kusangkal, totiang. Tapi kalau dikatakan pibu hanyalah sebagai alasan belaka tuduhan itu terus terang kutolak. Kami dari Gelang Berdarah memang benar-benar ingin mengadakan pibu, dan siapa yang menjadi jago dalam pertandingan pibu ini dia tetap berhak menyandang gelar juara, bengcu (pemimpin) dari semua orang-orang persilatan yang harus tunduk kepada perintahnya!"

"Dan pangeran pemberontak itu namanya tetap kau bawa-bawa, pangcu?"

"Tergantung dari kecerdasan kalian. Apakah menganggapnya pemberontak ataukah bukan?"

"Hm…!" Sun Sim Sianjin tertegun dan sikap ketua Gelang Berdarah yang tiba-tiba dingin memandangnya membuat tosu itu terbelalak. Dia hendak melompat naik, tapi Hiat-goat-pangcu yang mengangkat tangannya ke atas sudah berseru kepada para tamunya.

"Cuwi enghiong, siapakah di antara cuwi yang sepedapat dengan tuduhan wakil ketua Kun-lun itu? Benarkan cuwi semuanya menganggapnya sebagai pemberontak?"

Gin Pa si bajak sungai melompat bangun. "Aku yang tidak sependapat dengan tosu bau pangcu. Pangeran Fu Chai bukanlah pemberontak!"

"Ya, aku menentang pendapatnya yang picik itu, pangcu. Pangeran Fu Chai bagiku juga bukanlah seorang pemberontak...!"

Ketua Gelang Berdarah itu menoleh. Dia memandang Gin Pa dan orang ke dua yang berteriak lantang itu, Lauw Kiat atau Lauw-twako yang tadi dipanggil si muka bopeng. Dan begitu ketua Gelang Berdarah ini memandang keduanya segeralah ketua Gelang Berdarah itu tersenyum. "Saudara-saudara, siapa lagi di antara kalian yang menganggap Pangeran Fu Chai bukan seorang pembetontak? Hanya saudara Gin Pa dan Lauw Kiat inikah?"

Kelompok tamu di deretan kiri tiba-tiba berteriak keras, "Tidak, kamipun sependapat dengan ucapan Gin-twako, pangcu. Pangeran Fu Chai bukanlah seorang pemberontak....!"

"Benar, Pangeran Fu Chai bukan pemberontak, pangcu. Beliau resmi putera mahkota ahli waris Kerajaan Wu, Orang-orang Yueh itulah yang pemberontak, mereka merampas istana dan hak milik orang lain!"

Dan begitu teriak-teriakan di kelompok deret sebelah kiri ini bergemuruh di bangsal Agung suasana tiba-tiba menjadi gaduh. Semua orang di belakang Gin Pa berteriak menyatakan dukungan kepada pangeran itu, dan Sun Sim Sianjin yang marah ditahan tak mampu mengendalikan perasaan hatinya. Tosu Kun-lun itu melayang naik ke atas panggung, dan begitu dia berada di depan semua orang wakil ketua Kun-lun inipun berseru,

"Hiat-goan-pangcu, kau tampaknya mengumpulkan orang-orang dari golongan penjahat ini untuk menyokong pendapatmu! Siapa tidak tahu orang-orang macam apa Gin Pa dan Lauw Kiat ini? Bukankah mereka golongan bajak dan rampok yang suka membuat onar?"

Semua orang memandang ke depan. Gin Pa hendak memaki tosu yang mencercanya terang-terangan itu, tapi ketua Gelang Berdarah yang tersenyum tenang mengulapkan tangannya. "Saudara Gin Pa, tenanglah. Biar aku yang menghadapi wakil ketua Kun-lun ini," dan ketua Gelang Berdarah yang sudah menghadapi tosu itu menyeringai mengejek. "Sun Sim Sianjin, apa maksudmu mengatakan aku disokong kaum penjahat? Tidakkah kau mengucapkan perkataan yang menyinggung hati orang lain?"

Wakil ketua Kun-lun ini berapi-api mukanya. "Aku tidak bermaksud menyinggung perasaan hati orang lain, pangcu. Karena apa yang kukatakan ini sepenuhnya didukung bukti nyata!"

"Hm, bukti-bukti tentang apa, Sun Sim totiang? Apakah bukti-bukti tentang golongan saudara Gin Pa itu?"

Sun Sim Sianjin menarik muka. "Kau tahu sendiri, pangcu, tidak perlu kujelaskan! Bukankah nyata Gin Pa dan kawan-kawannya itu orang golongan hek-to? Dan kau mendapatkan dukungan orang-orang macam ini, Hiat-goan-pangcu, menyatakan pangeran itu bukan seorang pemberontak! Padahal, siapa tidak tahu bahwa Pangeran Fu Chai adalah seorang pelarian dan pemberontak?"

Ketua Gelang Berdarah tertawa mengejek "Sun Sim Sianjin, rupanya ada perbedaan pendapat di antara kita. Kalau kau menganggap Pangeran Fu Chai adalah seorang pemberontak justeru aku berpendapat dia seorang pejuang! Siapa tidak tahu sejarah pangeran bukankah dia resmi ahli waris Kerajaan Wu? Dan kau telah menghinaku dengan ucapammu tadi, Sun Sin Sian-jin. Karena menyatakan perkumpulan Gelang berdarah adalah perkumpulan orang-orang jahat karena mendapat dukungan Gin Pa dan kawan-kawannya yang kau anggap orang-orang dari golongan hek-to itu! Hm, inikah yang hendak kau maksudkan, Sun Sim Sianjin?"

Tosu itu tertegun. "Aku tidak mengatakan perkumpulanmu sebagai parkumpulan orang-orang jahat, pangcu. Tapi aku hendak mengatakan bahwa kau telah mendapatkan dukungan orang-orang sesat dalam pembelaanmu terhadap pangeran pemberontak itu!"

"Hm, dengan begini lalu kau hendak maksudkan bahwa pendirianku salah, totiang? Kau hendak menyatakan bahwa dukungan yang didapat dari orang-orang sesat berarti sesat pula pendiriannya?"

Sun Sim Sianjin terbelalak marah. "Hiat-goan-pangcu, salahkah kata-kataku itu? Tidak benarkah bahwa kau memang mendapatkan dukungan dari orang-orang sesat itu?"

"Hm, jangan tergesa-gesa, Sun Sim Sianjin. Bagaimana kalau ada diantara pendekar yang juga menyetujui pendapatku?" ketua Gelang Berdarah ini mengejek. "Berani kau mengatakan hal inipun keliru?"

Sun Sim Sian-jin tersentak. Dia terkejut mendengar ucapan ketua Gelang Berdarah itu, tapi merasa marah diapun menghentakkan kakinya. "Hiat-goan-pangcu, jangan mengada-ada. Mana mungkin kaum pendekar mendukung pernyataanmu tentang pangeran pemberontak itu? Bukankah mereka tahu ini suatu hal yang mustahil?"

Tapi ketua Gelang Berdarah tersenyum dingin. "Sun Sim totiang, jangan berbesar hati terhadap kepercayaan diri sendiri yang berlebih-lebihan. Bagaimana kalau kita lihat sekarang? Berani kau bertaruh tentang kesimpulanmu itu?"

Sun Sim Sianjin tiba-tiba menepuk dada. Dia merasa ditantang oleh ketua Gelang Berdarah itu, maka memandang ke tokoh-tokoh kehormatan di kursi paling depan wakil ketua Kun-iun inipun berseru, "Baik, kuterima taruhan ini, Hiat-goan-pangcu. Bila ada di antara tokoh-tokoh di sini yang mendukung pemyataanmu biarlah kutabas putus sebuah jariku untuk seorang di antara mereka...!" dan Sun Sim Sianjin yang sudah memandang ketua-ketua partai di kursi kehormat-an itu tiba-tiba bertanya nyaring, "Cuwi enghiong (tuan-tuan yang gagah), benarkah ada diantara cuwi yang mendukung pendrian sesat ketua Gelang Berdarah ini?"

Semua orang memandang tegang. Mereka tampak penuh perhatian memandang ke arah tokoh-tokoh kehormatan itu, tapi ketua Gelang Berdarah yang tiba-tiba melompat maju tertawa ringan sambil mengebutkan bajunya.

"Sun Sim totiang, jangan terburu-buru. bukankah aku belum menyatakan janjiku?" lalu ketua Gelang Berdarah yang sudah menghadapi semua tamunya itu berkata dengan muka berseri-seri, "Cuwi enghiong, sebaiknya masalah ini kita tentukan saja secara serentak. Sebelum para pendekar menjawab pertanyaan Sun Sim to-tiang sebaiknya kulihat dulu siapa saja yang mendukung pendapatku. Cuwi sekalian. siapakah di antara cuwi yang menganggap Pangeran Fu Chai bukan seorang pemberontak? Mohon untuk jawaban ini cuwi yang setuju mengacungkan jarinya!" dan ketua Gelang Berdarah yang memandang semua tamunya itu menajamkan matanya memandang sekeliling.

Dia melihat Gin Pa dan Lauw Kiat yang mula-mula mengacungkan jari, lain begitu dua orang bajak san rampok ini menyatakan persetujuannya tiba-tiba saja semua orang di belakang dan orang itu mengacungkan jari ke atas. Hampir tigaratus orang jumlahnya! Tapi deretan kaum pendekar yang sama sekali tak memberikan, pernyataan disambut senyuman kecil oleh ketua Gelang Berdarah ini.

"Aha, agaknya betul pendapatmu, Sun Sim totiang. Pengikut yang sepaham dengan pendirianku semuanya dari kelompok tamu di sebelah kiri. Lalu kalau begitu, bagaimana dengan cuwi enghiong yang ada di deretan kanan ini? Tidak adakah yang memberikan angka kepadaku?" ketua Gelang Berdarah itu tertawa lagi. Lalu tersenyum kecut kepada kelompok Gin Pa dan kawan-Lawannya laki-laki ini berkata, "Baiklah, terima kasih, saudara-saudara Kukira cukup untuk diketahui saja yang telah menyatakan dukunganya kepadaku. Silakan saudara-saudara turunkan jari…!"

Dan ketua Gelang Berdarah yang sudah.menoleh kepada Sun Sim Sian-jin itu berseru, "Sun Sin Totiang, tolong kau tanya, sekali kepada teman-temanmu itu. Betulkah mereka tidak ada yang sama sekali memberikan suaranya? Kalau betul demikian berarti aku kalah, Sun Sim totiang. Dan untuk kekalahanku ini biarlah kupertaruhkan jabatanku sebagai seorang ketua perkumpulan!" dan ketua Gelang Berdarah yang sudah melangkah mendekati kursinya itu tampak memandang tenang wajah Sun Sim Sianjin yang kelihatan kaget.

Wakil ketua Kun-lun ini memang terkejut, tapi dia yang justeru menjadi girang itu menganggukkan kepalanya. "Baik, kau telah mengeluarkan janjimu, Hiat-gown-pangcu. Dan jangan ditarik kembali seperti orang menjilat ludah...!" lalu Sun Sim Sianjin yang berseri-seri mukanya ini menghadapi semua tokoh-tokoh kehormatan di bawah panggung. "Cuwi sekalian, benarkah di antara cuwi yang tidak menyatakan dukungannya kepada ketua Gelang Berdarah? Bukankah cuwi sepaham denganku bahwa pangeran itu adalah seorang pemberontak?"

Semua orang diam. Para tamu memandang ke arah ketua-ketua partai dan tokoh besar yang duduk di depan panggung, dan Sun Sim Sian-jin yang bersinar-sinar matanya itu tampak demikian gembira dengan jawaban yang sama sekali tidak dikeluarkan oleh tokoh-tokoh besar itu. Hal ini berarti sepahamnya dia dengan mereka dan Sun Sim Sian-jin yang hampir menoleh ke arah ketua Gelang Berdarah itu siap melancarkan ejekannya. Tapi Thian Kong Cinjin tiba-tiba bangkit berdiri dan ketua Cin-ling-pai yang tinggi kurus itu berseru lantang,

"Sun Sim Totiang, maafkan aku. Aku terpaksa mendukung pandapat Hiat-goan-pangcu...!" dan ketua Cin-ling yang berkata nyaring ini tahu-tahu sudah melompat dan berpindah tempat ke deretan di sebelah kiri.

Hal ini mengejutkan semua orang, dan Sun Sim Sianjin yang tak menyangka perbuatan rekannya itu terbelalak lebar. "Cin-ling-paicu, kau mendukung pendirian ketua Gelang Berdarah?"

Ketua Cin-ling-pai ini menganggukkan kepala. Dia merasa tidak enak, tapi menarik nafas panjang diapun menjawab, "Ya, maafkan aku, totiang. Aku sependapat bahwa Pangeran Fu Chai memang bukan seorang pemberontak!" dan ketua Cin-ling-pai yang tiba-tiba sudah melambaikan tangannya itu menyuruh belasan orang pangikutnya berpindah kursi. Hal ini terjadi sekejap, dan Sun Sim Sianjin yang tidak mengira jawaban ketua Cin-ling-pai itu tertegun dengan muka merah. Dia kalah bertaruh, dan belum dia terguncang dari kekalahannya ini mendadak Bu Wi Hosiang juga ikut-ikutan berdiri.

"Sun Sim Totiang, maafkan pinceng. Pincengpun merasa bahwa Pangeran Fu Chai bukan seorang pembeiontak....!" dan hwesio ketua Bu-tong yang memegang tongkat itu tiba-tiba juga sudah bangkit berdiri dan duduk di sebelah Thian Kong Cinjin!

Hal yang terjadi hampir serentak ini mengherankan semua tamu, dan Sun Sim Sianjin yang terkejut bagai disambar petir itu terpaku. Semua orang memang kaget dan tercengang oleh mundur dua orang ketua partai dari Cin-ling dan Bu-tong itu, dan bahwa Sun Sim Sianjin terbengong di atas panggung dengan muka merah padam memang dapatlah dimaklumi. Tosu Kun-lun ini baru sadar setelah melihat hwesio-hwesio Bu-tong dipanggil ketuanya, duduk di deratan tamu sebelah kiri dengan muka kebingungan. Dan ketua Gelang Berdarah yang tiba-tiba sudah melayang ke depan itu tertawa gambira.

"Aha, bagaimana, Sun Sim totiang, masihkah kau berani mempercayai pikiranmu...?" dan ketua Gelang Berdarah yang berseri-seri memandang wakil ketua Kun-lun ini tampak mengejek dengan mata bercahaya. Dia jelas menang taruhan, dan Sun Sim Sianjin yang terpojok dengan omongannya mendadak kehilangan muka di hadapan orang banyak. Dia mendelik ke arah Thian Kong Cinjin dan Bu Wi Hosiang, lalu mencabut pedang dengan penuh kemarahan tosu Kun-lun yang gagah ini berteriak,

"Thian Kong Cinjin... Bu Wi Hosiang, sungguh tidala kunyana kalian sebagai seorang ketua partai yang memiliki nama besar ternyata menjadi pengkhianat bangsa dan negara! Butakah kalian bahwa saat ini kalian menginjak tanah kekuasaan Kerajaan Yueh? Tidak malukah kalian berdiri di depan orang-orang sesat itu? Aih, Thian Kong Cinjin... dan juga kau Bu Wi Hosiang, semoga kalian dicampakkan iblis-iblis neraka yang tidak tahu malu!" dan Sun Sim. Sianjin yang marah dan kecewa itu mendadak membacokkan pedangnya ke dua jari tangan.

"Cras-crag!" dua jari manis dah kelingking tosu Kun-lun itu dibabat putus dan Sun Sim Sian-jin yang sudah melompat turun dari atas panggung langsung berlutut di depan ketuanya.

"Suheng, maaf bahwa aku membuat malu nama besar partai kita. Semoga kelak kita dapat bertemu lagi dengan suasana yang lebih baik. Aku hendak menghukum diri membersihkan dosa!" dan Sun Sim Sianjin yang sudah melompat bangun itu berkelebat keluar ruangan dengan jari berlumuran darah. Dia tidak membalut lukanya ini, dan Pek-mauw Sianjin yang melihat kejadian tragis menimpa wakilnya itu bangkit berdiri dengan muka kaget.

"Sute, kembalilah...!"

Tapi Sun Sim Sianjin sudah berkelebat keluar pintu Bangsal Agung„ Tosu yang malu dan marah ini tidak menghiraukan seruan suhengnya, yang juga, menjadi ketuanya itu, dan Pek-mauw Sianjin yang terpaku menyaksikan kejadian sutenya itu terhenyak seolah mendapat mimpi buruk. Tapi ketua Kun-lun ini tiba-tiba mengerotkan giginya, melangkah lebar ke depan panggung, tiba-tiba ia melayang naik.

"Hiat-goan-pangcu, beginikah nasib yang kau berikan kepada wakilku itu dalam menghormati ulang tahun perkumpulan ini?"

Ketua Gelang Berdarah itu memandang tidak enak. Dia menjura di depan ketua Kun-lun-pai ini, dan menarik nafas panjang penuh penyesalan diapun pura-pura berkata, "Pek-mauw Sianjin sutemu itu telah melakukan perjanjian tanpa kuminta. Jadi apa yang harus kukatakan? Bukankah dia sendiri yang mencari gara-gara?"

Pek-mauw Sianjin mengepalkan tinjunya. "Tapi kau yang mengundang keributan, pangcu. Karena kalau kau tidak membawa-bawa nama pangeran itu tentu suteku tidak bakalan naik pitam!"

"Aha, ini juga hendak kau permasalahkan, Pek-mauw Sianjin? Kau membela sutemu itu yang terang-terangan menghina seorang tamuku?"

Pek-mauw Sianjin melotot marah. "Pinto tidak bermaksud membela sute sendiri, Hiat-goan-pingcu. Tapi kejadian yang jelas menimpa wakil pinto itu tidak mungkin pinto diamkan!"

"Hm, jadi kau hendak menuntut balas atas luka sutemu itu, Pek-mauw Sian-jin?" ketua Gelang Berdarah ini tiba-tiba bersikap dingin. "Kau hendak menyalahkan aku karena pertaruhan itu?"

Ketua Kun-lun-pai ini mendadak gelap mukanya. Dia membanting kaki di depan ketua Gelang Berdarah itu, dan mencabut pedangnya dengan muka bengis tosu ini tiba-tiba mambentak, "Hiat-goan-pangcu, jangan kau berputar lidah lagi. Aku tahu apa yang sesungguhnya kau inginkan! Bukankah kau ingin agar semua pendekar di tempat ini mendukung pendapatmu tentang pangeran itu?"

Sang ketua Gelang Berdarah tertawa menyeringai. "Aku memang tidak menyangkalnya, Pek-mauw Sianjin. Dan kami dari Gelang Berdarah mengharap dengan sangat dan baik-baik pula dukungan Kun-lun-pai untuk parsoalan ini. Seperti juga yang telah ditunjukkan oleh sahabat-sahabat ketua Bu-tong dan Cin-ling-pai…!"

Pek-mauw Sianjin sekonyong-konyong menggigil. Disebutnya nama ketua Bu-tong dan Cing-ling itu membuat dia gemetar, dan menoleh ke arah Bu Wi Hosiang dan Thian Kong Cinjin tiba-tiba dia berseru. "Thian Kong toyu… Bu Wi losuhu, sungguh tidak pinto sangka bahwa kalian berjiwa menjadi anjing-anjing penjilat seorang pemberontak! Sudahkah semuanya ini kalian pikir baik-baik?"

Thian Kong Cinjin dan Bu Wi Hosiang merah mukanya. Mereka berdua memandang marah kepada ketua Kun-lun-pai ini, dan balas melemparkan kata-kata tajam menusuk Thian Kong Cinjin yang semula menjadi sahabat itu membentak, "Pek-mauw Sianjin, jangan membuka mulut lebar-lebar di sini. Bukankah itu adalah hak dan keputusan kami sendiri? Ada Apakah kau cuap-cuap seperti kambing kebakaran jenggot?"

Pek-mauw Sianjin terbelalak. Dia gusar kepada dua orang temannya yang "berkhianat" itu, dan teringat betapa Sun Sim Sianjin membacok dua jarinya sendiri gara-gara perbuatan dua orang ketua Bu-tong dan ini tiba-tiba diapun berseru. "Thian Kong Cinjin... Bu Wi Hosiang ... karena jelas kalian berdua telah menjadi antek pemberontak disini kami seluruh anggauta Kun-lun menyatakan bermusuhan dengan kalian berdua. Kun-lun-pai selamanya akan mendendam atas peristiwa hari ini, dan sebelum kami menuntut balas jangan harap Kun-lun-pai akan mau sudah atas perbuatan kalian!" dan Pek-mauw Sianjin yang tiba-tiba kembali memandang ketua Gelang Berdarah itu bertanya, "Hiat-goan-pangcu, masihkah rencana pibumu itu dilanjutkan? Kalau masih sekarang juga aku menantang dua orang ketut Cin-ling dan Bu-tong itu, pangcu. Dan sekarang juga pinto siap melayani mereka...!" dan Pek-mauw Sianjin yang tampak marah ini sudah memutar tubuh sambil membolang-balingkan pedangnya.

Ketua Gelang Berdarah tertegun. Tapi laki-laki yang melangkah mundur setindak itu sudah berkata dengan mulut tersenyum, "Pek-mauw Sianjin, pibu diadakan bukan dengan cara kasar begini. Bagaimana kau hendak menantang mereka yang juga sebagai tamu? Tidak, Pek-mauw Sianjin, kalau kau ingin mengikuti pibu sebaiknya kau dengarlah dahulu kata-kataku. Pibu memang tetap kuadakan, tapi karena masalah ini sudah berkembang menjadi pro dan kontra terhadap Pangeran Fu Chai maka sebaiknya kita buat sebuah perjanjian untuk pertandingan pibu kali ini..."

Pak-mauw Sianjin melotot. "Perjanjian apa, Hiat-goan-pangcu?"

Ketua Gelang Derdarah itu tertawa. "Sebuah perjanjian semacam taruhan, Pek-mauw Sianjin. Yakni siapa yang kalah dia harus tunduk kepada yang menang...!"

"Maksudmu!"

"Maksudku begini. Bila lean dan teman-temanmu kalah menghadapi kelompokku maka urusan pro dan kontra ini dihapuskan. Kau dan teman-temanmu harus tunduk kepada kami yang menang dan mendukung Pangeran Fu Chai. Tanpa banyak syarat lagi!"

Pek-mauw Sian-jin terbelalak. "Dan kalau kami yang menang bagaimana, pangcu?"

Ketua Gelang Berdarah itu tersenyum sinis. "Tentu saja kami harus tunduk kepadamu, Pek-mauw Sianjin. Dan Pangeran Fu Chai akan kami serahkan mutlak kepadamu, tentu saja kalau kau dapat menang....!"

Pek-mauw Sianjin sekarang tertegun. Dia mendengar tuan rumah sudah bicara pada point yang paling pokok, dan ketua Kun-lun yang diam-diam sudah merasakan adanya gejala-gejala tidak beres itu sejenak tak mampu mengeluarkan suara. Dia kebingungan, tapi Hui-to Lojin yang tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya itu berseru nyaring,

"Pek-mauw Sian-jin, kau terimalah perjanjian itu. Kami disini sudah saling sepakat untuk menentukan keputusan kami!"

Pek-mauw Sianjin menoleh ke bawah. Dia masih ragu-ragu oleh seruan ketua Hoa-san yang tampak bersemangat itu, tapi Kim-sin San-jin yang menjadi ketua Kong-thong tiba-tiba juga bangkit berdiri.

"Benar, kau setujui saja, Pek-mauw toyu, aku dari Kong-thong juga sudah sependapat dengan seruan sahabat kita Hui-to Lojin!" dan Kim-sin San-jin yang sudah memberikan isyarat itu menyuruh ketua Kun-lun-pal ini agar menyetujui perjanjian ketua Gelang Berdarah.

Sekarang Pek-mauw Sianjin kehilangan rasa bimbangnya, tapi dua orang tokoh yang belum memberikan suaranya menibuat dia menoleh kepada dua orang ini. Mereka itulah si ketua Beng-san-pai dan Pek-kut Hosiang, suheng dari bekas ketua Go-bi yang pagi tadi membuat heboh. Dan Pek-mau Sianjin yang memandang dua orang ini sudah bertanya nyaring,

"Souw-Taihiap. Pek-kut Lo-suhu bagaimana dengan pendapat kalian? Setujukah kita menghadapi perjanjian ketua Gelang Berdarah ini?"

Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba tertawa. "Pek-mauw Sianjin, kalau orang menantang kita dengan sebuah taruhan begitu kenapa kita harus menolaknya lagi? Aku setuju, Pek-mauw totiang, dan kalau Pangeran Fu Chai dijadikan barang taruhannya aku sungguh merasa gembira sekali. Baik, aku ingin mendahului bagaimana kesudahan persoalan ini dan kalau Hiat goan-pangcu merasa dirinya kuat aku justru ingin coba-coba beradu kepalan dengannya!"

Pek-mauw Sianjin menjadi girang. Dia sudah mendapat sebuah bantuan yang dapat diandalkan dari pendekar besar yang kelihatannya tak perlu diragukan lagi itu, tapi ketika dia memandang Pek-kut Hosiang ternyata hwesio Go-bi yang tinggi besar ini justru menggelengkan kepala.

"Pek-mauw totiang, maafkan aku kali ini. Karena malas bertempur pinceng tidak bergairah untuk mengikuti pertandingan," demikian hwesio itu berkata, dan Pek-mauw Sianjin yang menjadi kecewa ini mengerutkan alis.

Tapi ketua Gelang Berdarah tibit-tiba tertawa. "Ah, rupanya Pek-kut Hosiang jerih menghadapi aku, Pek-mauw Sianjin. Kalau begitu biarkan saja dia menjadi penonton!"

Ketua Kun-lun ini merasa tidak puas. Dia merasa kehilangan sebuah tenaga yang amat penting. Tapi karena tidak ada lagi ketua partai yang dapat diandalkan tenaganya untuk menghadapi taruhan itu diapun akhirnya menganggukkan kepala. "Baiklah, cuwi enghiong, karena di antara kita hanya terdapat empat orang jago maka inilah yang akan kita ajukan!" lalu menoleh ke arah tuan rumah diapun berseru, "Hiat-goan-pangcu, karena di tempat kami ada empat jago yang akan menghadapimu maka silakan kau beritahukan siapa jago-jago yang kau andalkan...!"

Ketua Gelang Berdarah itu berseri-seri mukanya. "Kalau begitu jumlah kalian hanya empat orang saja, Pek-mauw Sianjin, tidak ada tambahan lagi?" Hm, ditempatku ada tujuh orang kelebihan tiga kalau begitu! Tapi baiklah, Pek mauw Sian jin, karena kalian hanya empat orang saja maka akupun akan mengajukan empat orang pula!" dan ketua Gelng Berdarah yang tampak gembira itu tiba tiba menuding ke belakang. "Pertama," dia berkata, "Adalah muridku yang bodoh ini, Kui Lun.... Ok Kui Lun. Dan ke dua," dia melanjutkan, "Adalah murid sahabatku yang lihal ini, saudara Pouw Kwi. Dan ke tiga serta ke empat adalah aku sendiri dan Cheng-gan Sian-jin!"

Dan begitu ketua Gelang Berdarah ini selesai mengucapkan kata-katanya mendadak barisan tamu di sebelah kiri bertepuk tangan gemuruh. Mereka memberi applaus yang gegap gempita, sementara Pek-mauw Sianjin yang tidak mendengar nama ketua Bu-tong dan Cin-ling tiba-tiba saja gelap mukanya. Dia tidak puas bahwa nama Bu Wi Hosiang dan Thian Kong Cinjin tidak dicantumkan oleh ketua Gelang Berdarah itu, dan kecewa oleh perbuatan tuan rumah ini Pek-mauw Sianjin tiba-tiba berseru.

"Hiat-goan-pangcu, kenapa nama Bu Wi Hosiang dan Thian Kong Cinjin tidak kau masukkan dalam daftar pibu ini?" Ketua Gelang Berdarah itu tersenyum. "Mereka merupakan tamu-tamu terhormat, Pek-mauw Sianjin. Bagaimana aku berani mengajukan mereka? Dan bukankah jumlah kalian juga hanya ada empat orang saja?"

Pek-mauw Sianjin mengepal tinju. Dia penasaran dan geram sekali oleh sikap ketua Gelang Berdarah ini, tapi Ciok-thouw Taihiap yang tiba-tiba tertawa mengangkat tangannya.

"Hiat-goan-pangcu, kau salah kalau mengira jumlah kami hanya empat orang saja. Masih seorang lagi yang belum kusebut, dan dia itu adalah muridku sendiri, Auw Lek Hui!" dan Ciok-thouw Taihiap yang tiba-tiba bertepuk tangan ini sudah melambaikan tangannya memanggil sang raksasa tinggi besar. Lek Hui melompat maju dengan muka terang, dan Pek-mauw sianjin yang tiba-tiba menjadi gembira itu mengacungkan jempol.

"Bagus. Jumlah kami kini lima orang, Hiat-goan-pangcu! Masihkah kau tidak memanggil salah seorang di antara, dua orang pengkhianat itu'?"

Ketua Gelang Berdarah tampak tertegun. Dia rupanya terkejut, tapi lelaki yang cerdik otaknya ini tiba-tiba tertawa lebar. "Ah, kau juga mengajukan muridmu yang gagah perkasa Souw-taihiap? Tidak khawatir dia roboh mengurangi angka bagi kalian?"

Ciok-thouw Taihiap tersenyum mengeiek. "Jangan tekebur, Hiat-goan-pangcu. Melawan dirimupun belum tentu kau menang!" ketua Beng-sanpai ini sengaja bicara besar, dan ketua Gelang Berdarah yang tahu lawannya itu melontarkan perang dingin tiba-tiba tertawa bergelak.

"Ha-ha, dia kau andalkan untuk menghadapi aku, Ciok-thouw Taihiap? Tidak kau sendiri yang maju?" lalu ketua Gelang Berdarah yang berseri-seri mukanya ini sudah memberi isyarat dengan tangan yang diangkat ke atas. "Baiklah... baiklah cuwi enghiong. Karena-kalian telah menambah lagi seorang jago maka terpaksa kuajukan pula seorang jagoku. Dia adalah...."

Ketua Gelang Berdarah ini berhenti sejenak, berputar-putar matanya memandang sekeliling, dan Pek mauw Sianjin yang tidak sabaran itu tiba-tiba melengking tinggi.

"Kau ajukan salah seorang dari dua oraug ketua partai itu, Hiat-goan-pangcu?"

Tapi ketua Gelang Berdarah ini menggeleng. Dia tertawa lebar memandang ketua Kun-lun yang tampaknya benci benar terhadap Bu Wi Hosiang dan Thian Kong Cin-jin itu, dan seruannya yang lantang menggema membuat Pek-mauw Sianjin melotot. "Tidak... bukan mereka yang kupilih, Pek mauw Sianjin. Tapi seorang rekanku yang cukup kalian kenal. Hek-mo-ko...!"

Dan iblis hitam yang sudah berdiri dengan mulut menyeringai di samping Chen-gan Sianjin itu terkekeh serak. "Huh-heh-heh, aku mendapat kehormatan untuk mengikuti pibu ini, pangcu? Kau menghendaki aku merobohkan semua musuhku dengan kuku bajaku?"

Pek-mauw Sian-jin membanting kaki. "Hek-mo-ko, jangan kau bicara besar di sini! Siapa takuti kuku bajamu yang beracun itu?" lalu menoleh ke arah tuan rumah lagi-lagi ketua Kun-lun ini berseru, "Hiat-goan-pangcu, kenapa kau tampaknya segan mengajukan dua orang ketua Bu-tong dan Cin-ling itu? Takutkah mereka menghadapi pinto?"

Ketua Gelang Berdarah ini tersenyum tenang. "Aku belum melihat perlunya mereka kumintai bantuan, Pek-mauw Sianjin, Kenapa kau harus meradang begini? Bukankah menghadapi kami berenam saja kau belum tentu menang?"

Pek-mauw Sian-jin mendelik. Dia marah benar oleh ejekan ketua Gelang Berdarah itu, dan membanting tongkat yang ada di tangannya tiba-tiba ketua Kun-lun ini menggeram. "Baiklah... baiklah, Hiat-goan-pangcu, Kalau kau sengaja menyembunyikan dua orang pengkhianat itu biarlah kita bertanding untuk menyelesaikan urusan ini. Dan sekali ini semuanya selesai jangan harap Bu Wi Hosiang dan Thian Kong Cinjin akan terlepas dari tangan pinto!"

Lalu ketua Kun-lun yang sudah tak dapat menahan kemarahannya itu mencabut pedangnya, "Hiat-goan-pangcu, siapa yang kini akan menghadapi pinto?!"

Ketua Gelang Berdarah tertawa kecil. "Kau sudah gatal untuk bertanding, Pek mauw Sianjin? Tidak ada lagi yang akan menjadi jago kalian?"

"Jangan banyak ngomong, Hiat-goon-pangcu. Pinto siap menghadapi pibu dan maju sebagai orang pertama!" ketua Kun-lun itu membentak.

Tapi baru ketua Gelang Berdarah tertawa lebar sambil menganggukkan kepalanya mendadak sesosok bayangan tinggi besar melompat dari kursi belakang. Dia ini meluncur di atas kepala orang banyak, dan begitu dia berteriak nyaring terkejutlah semua orang ketika melihat lagi-lagi si muka hitam membuat gaduh!

"Hei, tunggu dulu, Pek-mauw-totiang!" demikian si muka hitam yang bukan lain Hek Kong adanya itu berteriak. "Bukankah Hiat-goan-pangcu bilang pihaknya ada kelebihan orang? Nah, tolong daftarkan aku, totiang… aku ingin ikut ramai-ramai merayakan pertandingan pibu ini…! dan Hek Kong yang sudah berdiri di atas panggung itu tertawa ha-ha-he-he memandang Pek-mauw Sianjin. Dia bahkan mengedip-ngedipkan mata seperti orang mengajak bercanda, dan Pek-mauw Sianjin yang terkejut ini membentak marah,

"Muka hitam, apa maumu membuat onar di sini? Tidaklah kau tahu bahwa kami tidak main-main?"

Si muka hitam ini tersenyum. "Aku tidak main-main, totiang. Siapa bilang aku membuat onar? Bakankah masih ada kelebihan di pihak tuan rumah seperti yang dikatakan Hiat-goan-pangcu tadi? Nah, kalau aku maju barangkali saja Thian Kong Cinjin atau Bu Wi Hosiang bisa diajukan. Dan kalau mereka ini muncul tentu kau akan dapat melampiaskan rasa penasaranmu!"

Pek-mauw Sianjin tertegun. Dia merasa ada benarnya juga omongan si muka hitam ini, tapi merasa orang tak dapat diandalkan akhirnya dia-pun menggelengkan kepalanya tegas. "Tidak, bagaimanapun kau tak dapat kami terima, muka hitam. Karena terus terang kami tak mau ambil resiko menerima seseorang yang sama sekali belum kami kenal kepandaiannya!"

"Wah, kalau begitu kau tak percaya kepadaku, totiang?" muka hitam ini kecewa. "Kau ingin membuktikan dulu ilmu silatku?"

Pek-mauw Sianjin menggerak-gerakkan pedangnya. "Jangan cerewet lagi, muka hitam. Aku tidak mau banyak bicara lagi denganmu. Pergilah….!"

Maka Hek Kong yang tiba-tiba meringis ini menarik papas panjang. Dia sudah diusir ketua Kun-lun-pai itu dengan terang-terangan, tapi wataknya yang bandel ternyata tidak membuat dia segera turun. Dengan sikap ogah-ogahan dia memutar tubuh menghadapi Ciok-thouw Taihiap dan mengadukan kekecewaannya diapun bertanya kepada ketua Beng-san-pai ini, "Souw-locianpwe, benarkah aku tidak cukup berharga untuk mengikuti pibu ini? Bukankah aku ingin membantu kalian? Bagaimana kalau kau yang memberikan jaminan kepada tosu tua ini?"

Ciok-thouw Taihiap tertawa gembira. Dia melompat berdiri dari atas kursinya, dan berseru nyaring diapun sudah berkata kepada Pek-mauw Sianjin, "Pek-mauw totiang, tolong kau terima saja sahabatku yang satu ini. Aku cukup mengenal ke pandaiannya yang dapat diandalkan!"

Pek mauw Sianjin terbelalak. "Kau tidak main-main, Sou-taihiap?"

"Ha-ha, siapa main-main? Bukankah Ciok-thouw Taihiap cukup mengerti bahwa ini adalah masalah yang serius?" maka Pek-mauw Sianjin yang jadi terkejut itu menjublak dengan sikap tertegun. Dia tidak mengerti bagaimana si muka hitam yang rupanya ugal-ugalan ini bisa diterima dalam kelompok mereka. Tapi karena mempercayai kata-kata ketua Beng-san-pai itu akhirnya diapun mengalah.

"Baiklah, Souw-taihiap. Karena kau sendiri yang telah memberikan jaminan pada bocah ini biarlah pinto tidak menarik urat lagi!. Sekarang bagaimana dengan Hiat-goan-pangcu sendiri? Masihkah tidak mau mengeluarkan salah seorang dari dua orang ketua Bu-tong dan Cin-ling itu?"

Ketua Gelang Berdarah tercekat. Dia masih terbelalak memandang penuh kecurigaan kepada si muka hitam yang dinilai misterius itu. Maka begitu Pek-mouw Sianjin bertanya kepadanya tiba-tiba diapun terkejut. Dengan sedikit menyeringai dia balik memandang ketua Kun-lun ini, tapi tetap menggelengkan kepalanya dia menjawab tak acuh,

"Pek-mauw Sianjin, masalah Bu Wi Hosiang ataupun Thian Kong Cinjin bagiku adalah masalah pribadi. Aku menghormati mereka sebagai tamu, dan kalau kau mengajukan lagi seorang jago maka terpaksa kuajukan pula seorang jagoku. Dia akan menghadapi seorang wakilku yang lain... saudara Kun Bok!" dan ketua Gelang Berdarah yang sudah tertawa mengejek itu menyurut langkah dua tindak ke belakang. Dia sengaja memasang nama putera si jago pedang itu untuk melihat reaksi lawan.

Dan Kun Bok yang terkejut mendengar namanya disebut-sebut tiba-tiba saja terbelalak. Pemuda ini mau memprotes, tapi Bi Kwi yang berdiri di sampingnya menowel lengan. "Bok-koko, jangan menolak apa yang telah dikatakan pangcu. Bukankah kau harus menjaga pula nama ayahmu?"

Kun Bok menjadi serba salah. "Ya, tapi..... tapi aku tak suka melibatkan diri dalam urusan ini, Kwi-moi. Bukankah ini masalah taruhan besar.....?"

Bi Kwi tersenyum manis. "Jangan khawatir, koko," gadis itu berbisik. "Kalau pangcu telah mempercayakan hal ini kepadamu tentu ada sesuatu perhitungan matang yang telah direncanakannya. Kauterimalah saja semuanya ini, dari muka hitam yang gerak-geriknya mencurigakan itu harus kaukalahkan dan diketahui siapa dia…!"

Kun Bok terdiam sekarang. Dia menjadi bingung, tapi tatapan matanya yang kosong kedepan membuat dia terpaksa menganggukkan ketika sang ketua Gelang Berdarah meminta jawabannya melalui isyarat. Putera si jago pedang ini tak dapat menolak, dan si muka hitam yang menjadi calon lawannya itu diam-diam dipandang tak enak karena dia harus berdiri sebagai "musuh" bagi para pendekar di kursi kehormatan!

Tapi Pek-mauw Sianjin rupanya tak terlalu terkejut mendengar Kun Bok diajukan sebagai jago untuk menghadapi pihaknya. Ketua Kun-lun yang sudah menggerak-gerakkan pedangnya dengan muka merah sambil tersenyum mengejek itu menganggukkan kepalanya, dan menegakkan punggung dengan mata berkilat tosu tua ini sudah berkata kepada tuan rumah, "Baiklah, Hiat-goan-pangcu. Karena kita sama-sama telah mengajukan enam orang jago maka baiklah kita mulai saja pertandingan ini. Siapa yang akan maju melawan pinto?"

Ketua Gelang Berdarah tersenyum. Dia memandang lima orang temannya sejenak, lalu melambaikan tangan ke arah Hek-mo-ko dia berseru, "Mo-ko, kau majulah hadapi Pek-mauw totiang ini. Aku ingin melihat kalian bertempur sungguh-sungguh....!"

Hek mo-ko sudah melompat girang. "Aha, aku mendapat kesempatan pertama, pangcu? Dan Pek-mauw Sianjin ini yang ingin membuktikan kepandaianku?"

Ketua Kun-lun-pai itu mengerutkan kening. Dia merasa agak direndahkan oleh ketua Gelang Berdarah itu yang mengajukan lawan si iblis hitam ini, tapi karena dia sudah terlanjur menantang maka mundurpun jadi tak mungkin pula baginya. Tadinya dia mengira Cheng-gan Sianjin atau ketua Gelang Berdarah itu sendiri yang akan melawannya, karena setidak-tidaknya tingkatan mereka sederajat. Tapi setelah tangan kanan datuk sesat ini yang menghadapinya dan sudah bicara sombong maka Pek-mauw Sianjin pun menjadi marah.

"Hiat-goan-pangcu, kau sungguh terlalu sekali. Kenapa bukan kau atau Ceng-gan Sia-jin sendiri yang maju? Takutkah kalian?" Pek-mauw Sianjin melampiaskan kemendongkolannya.

Tapi Ketua Gelang Berdarah tertawa mengejek. "Jangan rendahkan iblis hitam ini, Pek-mauw totiang, kalau kau tahu kelihaiannya barangkali kau akan terkejut!"

Ketua Kun-lun ini merotot. Dia mau membalas ejekan lawan, tapi Ciok-thouw Taihiap yang tiba-tiba berseru dari bawah menolong tosu ini. ''Pek-mauw Sianjin, kau turunlah dulu. Biar setan hitam itu dilayani muridku!" dan Lek-hui yang tiba-tiba sudah melayang naik ke atas panggung menggedrekkan kakinya.

"Pek-mauw totiang, benar kata suhuku. Kau mundurlah dahulu beri kesempatan padaku. Iblis hitam ini terlalu rendah untukmu!" Lek Hui yang bicara blak-blakan itu disambut senyum girang oleh Pek-mauw Sian-jin.

Tapi Hek-mo-ko yang mendengar sebaliknya menjadi gusar. "Bocah she Auw, berani bicara besar di mukaku! Kau ingin tahu kelihaianku, hah?"

Lek Hui tertawa melihat lawannya ini mencak-mencak. Raksasa tinggi besar yang menggetarkan lengannya ke samping itu bersikap dingin, dan menjengek ke arah iblis ini dia berkata, "Hek-mo-ko, jangan menganggap ringan orang. Bukankah kau sudah berdiri sebagai penantang? Nah, hadapi aku. Mari kita bertempur...!"

Maka iblis hitam yang mendapat hinaan itu semakin naik pitam dan marah bukan main. Dia kecewa melihat Pek-mauw Sianjin sudah melayang turun digantikan murid Pendekar Kepala Batu ini, tapi karena dia sudah terlanjur berdiri sebagai penantang maka mau tidak mau diapun harus menghadapi pemuda tinggi besar ini. Hek-mo-ko menggoyang kesepuluh jarinya yang dipasangi kuku-kuku baja, dan mendelik ke arah pemuda ini dia membentak, "Bocah she Auw, berani kau menghadapi kuku-kuku beracunku ini?"

Lek Hui tertawa tak acuh. "Berani tidak berani itu urusanku, Mo-ko. Tapi kalau kau ingin cepat-cepat roboh memang sebaiknya kita bersenjata saja. Lihat....! Lek Hui yang tahu-tahu telah menggerakkan tangannya kebelakang itu telah mencabut sebuah kapak raksasa, dan begitu senjata ini berkelebat tiba-tiba angin yang dahsyat menderu hebat.

Baju Mo-ko sampai berkibar tertiup gerakan angin senjata ini, dan iblis hitam yang terbelalak itu tampak terkejut. "Eh, kau membawa senjata Kapak Delapan Dewa, bocah?"

Lek Hui tersenyum mengejek. "Memang benar, Mo-ko. Kau takut?"

Hek-mo-ko melotot. Dia gusar terhadap sikap Lek Hui yang menyakitkan hati ini, tapi menggeram murka diapun tiba-tiba membanting kau kakinya. "Bocah she Auw, jangan sombong kau! Siapa takuti senjatamu itu? Bukankah kau mendapatkannya secara haram di gudang istana?"

Lek Hui sekarang ganti melotot. Dia tersinggung oleh kata-kata itu, tapi menahan kemarahannya dia bisa mengendalikan diri. "Mo-ko, jangan berteriak-teriak seperti nenek bawel...!" Apakah kau tidak berani menghadapiku dengan senjata ini? Kalau tidak cepat majulah, kita tentukan pibu ini dengan adu kepandaian bukan dengan adu mulut!"

Maka iblis hitam yang tiba-tiba menggereng itu sudah membentak keras. Dia tidak tahan oleh ejekan Lek Hui, dan melengking tinggi tiba-tiba diapun sudah menyerang! "Bocah she Auw, awas dengan mulutmu itu, jaga serangan...!" dan Hek-mo-ko yang tiba-tiba sudah menggerakkan tangan kirinya itu mendadak mencengkeram leher Lek Hui dengan kelima kuku bajanya. Dia tidak banyak cing-cong tapi dan Lek Hui yang mendapat serangan ini cepat memutar pinggang mengegos dalam kelitan pertama, tertawa sambil menggerakkan tangan kirinya menangkis.

"Plak...!" Dua lengan yang untuk pertama kalinya beradu itu mengeluarkan bunyi nyaring mirip ledakan petir, tapi Hek-mo-ko yang berseru kaget dengan lengan terpental itu terdorong mundur dengan mata terbelalak. Iblis hitam ini terkejut, karena sinkang Lek Hui yang dahsyat ternyata membuat tulang lengannya linu dan panas seperti terbakar.

Hek-mo-ko tertegun, tapi Iblis hitam yang kaget sejenak itu sudah kembali berteriak keras dan menyerang untuk kedua kalinya. Dia masih kurang percaya akan kenyataan yang dialami dalam gebrak pertama maka begitu dia menyerang tiba-tiba diapun sudah menusuk dan mencengkeram pundak serta dada Lek Hui dengan kesepuluh jari bajanya. Dia hendak merobohkan lawan yang jauh lebih muda dibanding dirinya itu, tapi Lek Hui yang tertawa menghadapi dua serangannya yang bertubi-tubi ini kembali menggerakkan tangan kirinya.

"Plak-plak...!" Hek-mo-ko kembali membentur lengan Lek Hui yang penuh getaran tenaga sinkang itu, dan begitu dia merasakan dua kali tangkisan yang amat kuat ini tiba-tiba Hek-mo-ko mengeluh tertahan. Dia kembali terpental, dari tubuhnya yang terhuyung dua langkah itu bahkan hampir saja membuat kakinya terpeleset dan roboh terjengkang! Iblis hitam ini benar-benar kaget bukan main, maka begitu dia sadar tiba-tiba saja Hek-mo-ko menjadi marah dan beringas.

Dia tidak mengira bahwa lawannya yang muda itu ternyata demikian mengejutkan, maka berteriak tinggi tiba-tiba saja diapun sudah menyerang gencar dengan kesepuluh jari beracunnya ke seluruh tubuh Lek Hui. Dia mencabik dan mencengkeram seperti elang marah terhadap seekor harimau, tapi Lek Hui yang tentu saja tidak mau dijadikan sasaran dari sepuluh jari-jari beracun itu cepat bergerak melindungi diri. Raksasa muda yang sudah mengimbangi gerakan lawannya itu menolak dan menangkis, dan begitu dua orang ini bertempur maka terjadilah pertandingan seru dalam pibu babak pertama ini.

Hek-mo-ko maupun Lek Hui sama-sama mengerahkan kepandaian untuk menyerang dan bertahan. Tapi iblis hitam yang dalam pertandingan pertama ini mengambil inisiatif untuk mendahului lawan selalu melakukan serangan yang susul menyusul. Dia bertubi-tubi menghujani Lek Hui dengan cengkeram-cengkeramannya yang buas, dan Hek-mo-ko yang tampaknya bernafsu sekali untuk merobohkan lawannya itu menyerang ganas tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang.

Lek Hui terdesak mundur, tapi murid Ciok-touw Taihiap yang masih tersenyum-senyum itu bersikap tenang. Dia berhasil menghindarkan diri dari setiap serangan yang berbahaya, atau menangkis bila keadaan memaksanya. Dan Kapak Delapan Dewa yang sama sekali masih belum dipergunakannya itu bergetar terus dalam geggaman tangan kanannya. Sampai akhirnya, ketika Lek Hui dicecar sedemikian rupa oleh iblis hitam itu dan tinggal beberapa dim jaraknya dari tepi panggung tiba-tiba pemuda ini mengeluarkan bentakan pendek.

Kuku beracun Hek-mo-ko yang mencolok matanya tak dapat dia kelit, karena menghindar ke belakang berarti melompat ke tempat kosong, jatuh di luar lantai panggung. Maka begitu serangan ini tak dapat dia hindarkan tiba-tiba saja Lek Hui menggerakkan tangan kirinya. Sambaran kelima jari kanan Hek-mo-ko dia tampar, dan persis iblis itu tergetar lengannya sekonyong-konyong Lek Hui melompat ke depan. Kapak di tangan kanannya bekerja, dan begitu dia berteriak keras mendadak saja senjata berat di tangannya itu menderu hebat membelah kepala Hek-mo-ko. Inilah satu balasan pertama semenjak raksasa muda itu diserang!

Maka Hek-mo-ko yang kaget bukan main serentak melompat ke belakang. Dia mendengar angin bersiut gemuruh di sisi kepalanya, dan begitu kapak ini menyambar di depan mukanya tiba-tiba saja kapak itu menghantam lantai panggung.

"Brakkk...!" papan yang terbuat dari kayu-kayu tebal itu sekonyong-konyong hancur berantakan dan Hek-mo-ko yang pucat mukanya terbelalak lebar dengan muka kaget. Dia tidak berani mebayangkan seandainya tadi dia terlambat mengelak, dan Lek Hui yang sudah melompat ke depan itu tiba-tiba telah melanjutkun serangannya dengan terjangan kilat. Raksasa muda ini telah menggerakkan kapaknya kembali, dan Hek-mo-ko yang tertegun sejenak tahu-tahu telah dibabat kakinya.

Tentu saja ibtis hitam ini terkesiap, tapi berseru keras diapun sudah meloncat ke atas. Kapak yang membabat kakinya kembali tewat di bawah lututnya, dan Lek Hui yang dua kali luput menyerang mendadak mengayunkan tangan menampar pelipis lawan. Hek-mo-ko tak dapat mengelak, satu-satunya jalan hanyalah menangkis. Maka begitu dua lengan saling beradu maka terdengarlah suara nyaring akibat benturan dua tangan yang sama-sama mengandung tenaga sakti itu.

"Plak!" Hek-mo-ko terdorong setindak, dan iblis hitam yang tiba-tiba mengeluh tertahan itu mendesis kesakitan. Dia tidak kuat menerima tamparan Lek Hui, dan Lek Hui yang tertawa bergelak itu mendadak mengayunkan kapaknya. Dengan amat tiba-tiba dia menyerang Hek-mo-ko yang sedang terhuyung, dan iblis hitam yang kaget melihat mata kapak menyambar dengan kecepatan kilat itu menjerit. Dia cepat membanting diri, tapi kaki Lek Hui yang tiba-tiba bergerak dari bawah menghantam pinggulnya.

"Duk!" Hek-mo-ko mencelat, dan Lek Hui yang sudah tertawa dengan sikap beringas inu, tahu-tahu mengejar lawan yang bergulingan di lantai. Kapak yang bergetar di tangannya terus terayun dan menyambar-nyambar bagaikan siluman haus darah, dan ibis hitam yang pucat mukanya ini tiba-tiba bertetiak parau ketika kapak menderu dahsyat ke arah dadanya.

"Crik-crik!" Hek-mo-ko menangkis sebisa-bisanya dengan kesepuluh jari baja, tapi kuku pasangan yang tiba-tiba putus dibabat kapak di tangan Lek Hui itu membuat Hek-mo-ko serasa terbang semangatnya. Dia tidak tahu harus berbuat apa lagi, maka iblis hitam yang terbelalak ngeri ini sudah menggulingkan tubuhnya menyelinap diantara sambaran-sambaran mata kapak.

Tapi Hek-mo-ko tak dapat terus-terusan melakukan cara ini dan begitu Lek Hui melancarkan serangan yang meluncur tiba-tiba, Hek-mo-ko melengking tinggi dan berteriak hebat. Kapak yang menyambar kepalanya dengan berani dia tangkis dan begitu lawan tertegun sejenak tiba-tiba iblis hitam ini melompat bangun.

"Crak-dess!" Hek-mo-ko menerima hantaman kapak dengan lengan kirinya, dan iblis hitam sang menjerit keras itu tahu-tahu terluka lengannya oleh sambaran kapak di tangan Lek Hui. Dia berhasil menyelamatkan kepalanya, tapi Hek-mo-ko yang terhuyung dengan lengan terobek lebar itu meringis dengan darah bercucuran. Terdesak...!