Pendekar Kepala Batu Jilid 28 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 28
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Kepala Batu Karya Batara
"NAH, apa yang kukatakan, taihiap? Bukankah atas permintaan puteramu sendiri semuanya ini kulakukan? Bok-kongcu memang laki-laki muda yang mengagumkan sekali, dia gagah perkasa dan amat jantan…!" dan ketua Gelang Berdarah yang tampak gembira bukan main itu sudah menepuk-nepuk pundak Kun Bok dengan wajah berseri-seri.

Tapi sang Pendekar Pedang Dalam Kabut mendadak membesi mukanya. Dia nnenggigil dalam mata yang terbelalak, memandang Kun Bok dengan pandangan yang tidak berkedip. Sementara Ciok-thouw-taihiap yang sudah menggereng di sampingnya itu tiba-tiba membanting kakinya dahsyat sekali. Ketua Beng-san-pai yang kemarahannya semakin bergolak itu tidak mampu mengendalikan dirinya lagi, dan Bu-tiong-kiam Kun Seng yang berdiri di dekatnya mendadak geraman murka.

"Bagaimana orang she Kun, apa yang hendak kau perbuat kini dengan puteramu itu?"

Bu-tiong-kiam Kun Seng tertegun. Dia tidak dapat menjawab seketika pertanyaan ketua Beng-san-pai yang sedang diamuk gejolak kemarahannya ini, tapi sikap Kun Bok yang agak meragukannya membuat dia berdiri seperti patung tak bergerak. Betapapun, dia mengenal setiap gerak-gerik puteranya itu. Dan bahwa Kun Bok seakan "memaksa" dalam mengiyakan perjodohan ini membuat mata awas pendekar pedang itu bercuriga. 

Dia melihat suatu yang tidak dilihat orang lain, dalam masalah yang pelik ini, tapi jawaban puteranya yang sudah diucapkan didepan orang banyak membuat dia tak mampu berbuat apa-apa. Tapi jago pedang tanpa tanding ini juga bukan orang bodoh. Dia memutar tubuh menghadapi sang ketua Beng-san-pai yang sedang marah-marah, sikapnya yang tenang, penuh perhitungan membuat dia menjawab pertanyaan ketua Beng-san-pai itu dengan hati-hati,

"Souw-taihiap, dapatkah kau sedikit mendinginkan kepala menghadapi kelakuan puteraku ini? Dia masih terlampau muda dalam menentukan sepak terjangnya, dan aku sebagai ayahnya satu-satunya mengharap semua yang dilakukan puteraku ini adalah suatu mimpi buruk yang tidak benar-benar terjadi. Aku melihat ketidak-wajaran dalam sepak terjang anakku, dan kalau kau berkenan memberikan sedikit waktu lagi kepada kami ayah beranak untuk bercakap-cakap pastilah aku akan dapat memberikan keputusannya!"

"Hm, kau akan memberikan keputusan apalagi, orang she Kun? Dan dapatkah kekurangajaran puteramu ini dibalas hukuman yang setimpal?"

Bu-tiong-kiam Kun Seng menegakkan kepalanya. "Souw-taihiap, betapapn dia merupakan anak tunggal satu-satunya bagiku tapi jangan khawatir apabila orang she Kun ini akan membiarkan saja puteranya mencemarkan nama orang seenak perutnya sendiri. Kun Bok memang bersalah, tapi apapun kesalahannya itu kukira lebih bijaksana bagi kita orang tuanya ini untuk mencari sebab-sebabnya. Dan sekali dia benar bersalah maka aku sebagai ayahnya akan memberinya hukuman setimpal. Tidak mungkin membiarkannya melepas diri dari segala tanggung jamab!"

"Bagus! Tapi betulkah kau akan dapat memberinya hukuman setimpal, orang she Kun, hukuman yang adil dan tidak berat sebelah terhadap puteramu satu-satunya ini?"

Bu-tiong-kiam Kum Seng meraba gagang pedangnya. "Demi kehormatan nama padangku, taihiap. Demi kebenaran dan kegagahan yang selama ini dijunjung keluarga nenek moyangku!"

"Bagus! kalau begitu bicaralah terhadap puteramu itu, orang she Kun. Aku dari ke!uarga Souw juga ingin melihat dan mendengar apa yang menjadi keputusarmu nanti....!" dan Ciok-thouw Taihiap yang sudah murdur setindak dengan mata bersinar-sinar itu tampak berhasil dikendalikan amarahnya barang sejenak.

Sementara Kun Bok, yang melihat ayahnya sudah berputar diri menghadapinya dengan sikap keren penuh kesungguhan saja sudah menggigil kakinya dengan muka pucat. Tadi ayahnya sudah menyentuh gagang pedang, berarti semacam sumpah untuk mencari keadilan bagi dirinya piibadi. Dan dia yang sudah mengenal baik watak ayahnya yang penuh kegagahan ini menjadi gemetar bukan main beradu pandang. Tapi belum dia berbuat sesuatu tiba tiba Bi Kwi lagi-lagi melayani urusan ini. Ia melompat di depan Kun Bok, dan dia yang berdiri melindungi pemuda itu dari ancaman ayahnya sudah berseru nyaring,

"Locianpwe, kau hendak berbuat apakah terhadap Bok-koko?"

Bu-tiong-kiam Kun Seng memandang tajam. "Nona, kau agaknya demikian penuh perhatian sekali tehadap puteraku ini. Tapi apakah perbuatanmu ini tulus sepenuhnya keluar dari hati? Tidaklah kau serigala betina berbulu domba?"

Bi Kwi terbelalak marah. Tapi Kun Bok yang melihat kekasihnya ini hendak menjawab kata-kata ayahnya tiba-tiba sudah menariknya ke belakang dan menjatuhkan diri berlutut. "Ayah, harap jangan bersikap kasar. Adik Bi Kwi bukanlah serigala berbulu domba tapi seorang wanita berhati mulia. Apakah ayah tidak melihat betapa besarnya cinta kasih gadis ini kepada anakmu?"

Bu-tiong-kiam Kun Seng mengeraskan dagunya. "Bok-ji, jangan melantur bicara tentang cinta! Apakah kau tahu dosamu yang semakin bertumpuk-tumpuk ini?"

Kun Bok tergagap. "Maaf, ayah aku… aku…"

"Hm, kau telah menyeleweng dari perintah ayahmu, Bok-ji. Kau telah berjalan terlalu jauh dari rel yang telah kugariskan. Apa jawabmu sekarang tentang semua perbuatan ini?"

"Maksud ayah...?"

"Bagaimana pertanggungan jawabmu tentang perjodohan dengan pihak keluarga Souw?"

Kun Bok kebingungan. Dia memandang ayahnya dengan mata berputar, tapi ketetapan hatinya yang sudah mantap agaknya membuat pemuda ini bangkit keberaniannya. Karena dengan tiba-tiba dia sudah menggeleng dan berkata tegas, "Maaf, dalam hal ini agaknya aku tidak dapat melanjutkan rencana itu, ayah. Karena di samping nona Ceng Bi rupanya tidak ada kecocokan denganku, juga karena aku sudah menetapkan pilihan sendiri!"

"Hm, dengan anak setan itu, Bok-ji?"

"Benar. Tapi Kwi-moi bukan anak setan, ayah. Dia gadis baik-baik yang kucintai sepenuh hati!" Kun Bok membantah.

Dan muka si jago pedang ini segera merah seperti api menyala. Dia merasa malu dan marah mendengar ucapan anaknya yang seperti itu, di-dengar banyak orang di tempat umum. Tapi Bu-tiong-kiam Kun Seng yang pandai mengendalikan perasaannya ini tidak terpancing oleh suara ketawa di sana-sini yang bemada mengejek. Dia hanya memandang bengis ke arah Kun Bok, lalu suaranya yang bergetar serak membentak puteranya ini,

"Bok-ji, tahukah kau kesalahan apa yang telah kau perbuat dengan kelancanganmu ini? Tahukah kau betapa kau telah menghina pihak keluarga lain dan mencoreng malu di muka ayahmu?"

Kun Bok kembali menjatuhkan diri berlutut. "Maaf. Aku tahu, ayah. Tapi apa yang kulakukan ini sesungguhnya tidak bermaksud membuat malu dirimu. Dan aku juga tidak bermaksud menghina keluarga Souw-taihiap!"

"Hm, apa maksudmu, Bok-ji?"

Kun Bok sekarang bangkit berdiri. Dengan maka pucat dan mata barsinar-sinar dia memandang rombongan ketua Gelang Berdarah, lalu ketika dia kembali beradu pandang dengan ayahnya diapun menjawab dengan suara gemetar, "Ayah, aku sesungguhnya sudah ingin memberi-tahukan kepadamu tentang perubahan urusan ini. Aku sudah siap untuk meminta pertimbauganmu karena aku sudah mencintai wanita lain. Tapi karena Hiat-goan-pangcu menjanjikan ayah segera datang maka aku menunggu-nunggumu di sini. Sama sekali tidak kuduga bahwa ayah baru datang setelah persoalan jodoh ini diumumkan...!"

"Hm, maksudmu ketua Gelang Berdarah mengatakan aku akan datang sebelum perayaan ini. Bok-ji?"

"Tidak… tidak... tapi, eh... Hiat-goan-pangcu mengatakan bahwa ayah pasti datang dalam pasta ulang tahun ini dan...."

Kun Bok tiba-tiba kebingungan. Dia memang kebingungan dalam mencari kata-kata yang tepat untuk memberikan penjelasannya ini, tapi alasan yang macet di tengah jalan membuat pemuda itu justeru menjadi gugup. Namun untunglah, Bi Kwi kembali melompat maju dan suaranya yang nyaring merdu tiba-tiba memecah perhatian semua orang.

"Kun-locianpwe, bolehkah aku memberikan penjelasan Bok-koko ini?"

Bu-tiong-kiam Kun Seng mengerutkan keningnya. Dia sebenamya tidak senang melihat gadis itu berkali-kali "lancang" mencampuri urusan, tapi karena gadis itu menyatakan hendak membantu Kun Bok akhimya membuat dia mengangguk juga. Bi Kwi tersenyum.

"Begini, locianpwe. Sesungguhnya Bok-koko memang tidak bersalah. Dia sudah menceritakan segalanya kepadaku, menceritakan semua kesulitan-kesulitannya itu. Tapi karena locianpwe yang ditunggu-tunggu tidak datang maka Bok-koko akhimya memutuskan untuk mencari locianpwe saja."

"Hm, tapi anak itu nyatanya tidak mencariku, nona."

"Benar. Karena dua sebab, locianpwe. Pertama takut sigipan jalan dan kedua karena waktunya yang sudah terlalu mendesak!" Bi Kwi menjawab. "Kalau begitu apa perlunya dia mencari aku?"

Bu-tiong-kiam Kun Song membelalakkan mata. Dan Bi Kwi kini tersenyum lebar. "Kun-locianpwe, pertanyaanmu yang aneh ini kukira mudah saja jawabannya. Bok-koko bermaksud mencarimu karena dia hendak memberitahukan urusan ini. Memohon pendapat dan pertimbangan-mu agar membatalkan ikatan jodoh dengan pihak keluarga Beng-san-paicu. Tapi karena takut sisipan jalan dan waktu yang sudah mendesak membuat Bok-koko akhimya kebingungan sendiri!"

Bu-tiong-kiam Kun Seng tiba-tiba menegakkan kepalanya. "Bok-ji, benarkah apa yang dikatakan temanmu ini?"

Kun Bok mengangkat wajahnya. "Memang ayah. Apa yang telah dikatakan adik Bi Kwi itu memang menjadi rencanaku semula!"

"Hm…!" Bu-tiong-kiam Kun Seng sekonyong-konyong bersinar matanya."Jadi kau bermaksud memberitahukan kepadaku tentang perubahan ini, Bok-ji? Kau bermaksud untuk membatalkan ikatan jodoh dengan pihak keluarga Souw?"

Kun Bok sekarang berseri mukanya. Dia mendengar nada yang lain pada suara ayahnya ini, nada yang lunak dan penuh pengertian. Maka begitu ayahnya bertanya lembut pemuda inipun sudah berdiri dengan wajah gembira. "Ayah, apa yang kaukatakan ini sesungguhnya memang benar belaka. Aku tidak bermaksud meninggalkanmu secara diam-diam. Aku bahkan hendak berterus-terang dalam hal ini kepadamu. Tapi karena waktu yang tidak mengijinkan maka semuanya inipun terjadilah. Aku tidak bermaksud membuat malu kepadamu, ayah. Dan aku juga tidak bermaksud menghina keluarga Souw-taihiap!"

"Tapi kau tetap membuat satu kesalahan, Bok-ji. Kau tidak meminta agar Hiat-goan-pangcn mengundurkan dahulu berita pengumuman ini sampai orang-orang tua yang bersangkutan sudah datang bicara!" Bu-tiong-kiam Kun Seng tiba-tiba menegur dengan cuara keras. "Kenapa kau tidak meminta kepadanya untuk mengundurkan dahulu pengumuman ini?"

Kun Bok tersentak. "Sudah, eh... aku... memang sudah menjalankan maksud ini, ayah. Tapi... tapi Hiat-goan-pangcu tidak berhasil kutemui…!"

"Apa?" pendekar pedang itu terheran. "Kau tidak berhasil menemuinya....?" pendekar ini sekarang memandang ketua Gelang Berdarah itu dengan mata curiga "Apa yang kau maksudkan ini, Bok-ji?"

Bun Bok menoleh dengan takut-takut ke arah tuan rumah itu. Dia teringat cerita Bi Kwi bahwa ketua Gelang Berdarah ini sesungguhnya adalah pelarian dari pulau Hek-kwi-to, adik perguruan Maiaikat Gurun Neraka yang terkenal namanya itu. Tapi bahwa ketua Gelang darah tiba-tiba melangkah maju dengan mulut senyum ramah membuat Kun Bok akhirnya dia tertegun.

"Kun-taihiap," demikian orang berkedok membuka suara. "Setelah kini mendengar apa yang diceritakan puteramu itu memang dapat ditarik kesimpulan bahwa Bok-kongcu tidak salah. Dia masih tetap memegang teguh adat sopan-santun pada kebudayaan kita. Terbukti bahwa dia bermaksud mencarimu untuk membicarakan urusan ini. Dan bahwa puteramu bermaksud membatalkan ikatan jodohnya dengan keluarga Beng-san-paicu hal ini tidak terlalu kuherankan. Cinta kasih memang sesuatu yang aneh, ia suatu yang luar biasa sehingga tidak dapat diramal atau diduga kesudahannya oleh orang lain. Dan Bok-kongcu yang bermaksud menyelesaikan urusan ini dengan berbicara terus terang padamu sungguh suatu hal yang pantas dipuji. Dan karena tidak terlaksana dengan sempurna. Tapi biar bagaimanapun juga terbuktilah disini bahwa puteramu itu tidak bermaksud menyingkut (membelakangi) orang tuanya, Kun-taihiap. Dan bahwa puteramu itu telah merencanakan maksudnya yang baik ini sungguh kita orang-orang tua harus mengakuinya sebagai pikiran yang tepat. Dia tidak bisa dikata membuat malu dirimu, dan Bok kongcu yang telah mempunyai gagasan yang baik ini juga tidak bisa dituduh menghina keluarga Beng-san-paicu! Kecuali sedikit uneg-unegnya yang tidak sampai dituangkan itu karena tidak ada kesempatan. Bagaimana pendapatmu Kun Taihiap?"

Baru ketua Gelang Berdarah itu menghentikan kata-katanya, tiba-tiba terdengar gerengan hebat dari mulut Ciok-thouw Taihiap Souw Kun Beng. "Bagus, kau mendapat pembela yang hebat, orang she Kun! Apakah sekarang kau bermaksud membebaskan puteramu dari kesalahannya?"

Jago pedang ini memutar tubuh. Dia tampak berkernyit alis mendengar seruan ketua Beng-san-pai itu, namun sinar matanya yang mulai bercahaya menunjukkan bahwa jago pedang ini mulai terpengaruh oleh cerita tentang putera tunggalnya.

"Souw-taihiap, setelah kau mendengar sendiri tentang semua perbuatan puteraku ini apakah kira-kira yang harus kujatuhkan kepadanya? Patutkah dia kuhukum sebulan di dalam kurunganmu?"

Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba tertawa bergelak. "Orang she Kun, kau kira sedemikian ringannyakah kesalahan anakmu itu? Kau kira dengan hukaman sebulan di ruang bawah tanahku samua kesalahannya bocah ini terhapus?"

Si jago pedang membelalakan mata. "Souw-taihiap, kukira kesalahan anakku tidaklah seberapa besar. Kau telah mendengar sendiri betapa sebetulnya puteraku ini ingin memutuskan hubungan dengan cara baik-baik. Lalu kalau begitu apakah aku sebagai ayahnya harus menerima akibat yang lebih jauh dari kesalahan anakku ini, taihiap?"

Ketua Beng-san-pai itu tiba-tiba menjadi beringas. "Orang she Kun, kuakui di sini bahwa pokrol bambu ketua Gelang Berdarah memang dapat diterima akal. Tapi apakah Itu semuanya cukup mengembalikan apa yang keluarga Souw telah kehilangan? Puteramu itu telah memporak-porandakan semuanya, Kun Seng. Dan kesalahannya yang dianggap kecil oleh Hiat-goan-pangcu itu sesungguhnya tidak bisa ditebus selain dengan jiwa! Puteramu telah menyinggung harga diri keluarga Souw, dan di samping kekurangajarannya ini diapun telah menginjak-injak martabat Ciok-thouw Taihiap dengan membiarkan diri menarik perjodohan tanpa memberi tahu!"

"Hm, itu memang satu kesalahannya yang besar, Taihiap. Tapi bukankah kaudengar sendiri puteraku itu tidak dapat karena satu dan lain hal?"

"Ha-ha, enak saja kau bicara, orang she Kun. Jadi karena begitu kau lalu melindunginya? Kau hendak menyelamatkan puteramu ini dari hukumannya?"

Bu-tiong-kiam Kun Seng mendadak menaikkan keningnya. Dia melihat ketua Beng-san-pai itu mulai bersikap keras, dan sikapnya yang kasar tapi selalu disambutnya dengan penuh pengertian karena maklum bagaimanapun juga puteranya yang salah membuat dia mulai mengeraskan dagu pula. Kun Bok memang tidak dapat dikatakan benar, karena jelas membatalkan perjodohan tanpa memberi tahu pihak lawan. Tapi bukankah sudah dijelaskan tadi bahwa pemuda itu tidak sempat memberitahukan karena sempitnya waktu?

Dan Ciok-thouw Taihiap yang tidak mau tahu masalah ini rupanya memang terlampau tersmggung sekali. Ketua Beng-san-pai itu kelewat merasa "terhina", dan kesalahan Kun Bok yang satu ini agaknya dimintai suatu hukuman yang sepadan. Dan, mengingat ucapannya tadi rupanya sang ketua Beng-san-pai itu menuntut suatu hukuman jiwa. Dengan kata lain, agaknya Pendekar Kepala Batu ini rupanya menghendaki kematian Kun Bok untuk "pembayaran" ikatan jodoh yang dibatalkan itu. Sungguh terlalu!

Maka jago pedang yang mulai marah ini memandang ketua Beng-san-pai itu dengan tatapan keras. "Beng-san-paicu," demikian jago pedang ini mulai mengubah panggilannya, "Apakah semua kata-katamu itu tidak didorong oleh irinya hati melihat puteraku memilih gadis lain yang kebetulan anak buah Hiat-goan-pangcu? Apakah kau tidak berlebihan menuntut imbalan atas kesalahan puteraku ini? kau rupanya dimabok dendam, Beng-san-paicu, dan tuntutanmu yang menghendaki jiwa anakku hanya untuk pembatalan ikatan jodoh ini agaknya tidak masuk akal sama sekali. Kau meminta terlampau tinggi, dari aku sebagai yahnya merasa berkeberatan untuk memenuhi permintaanmu ini. Karena Kun Bok yang bersalah dalam perbuatannya itu kunilai tidak selayaknya untuk menebus kesalahannya dengan jiwa…!"

"Ha-ha, kau mulai memutar balik omongan. orang she Kun? Kau mulai terang-terangan membela anakmu ini?" Ciok-thouw Taihiap tampak menggigil.

Tapi Bu-tiong-kiam Kun Seng menggelengkan kepala "Tidak. Aku sama sekali tidak bermaksud membela anakku, Beng-san-paicu. Karena betapapun juga dia memang bersalah. Tidak memberitahukan pembatalan ini kepadamu. Tapi apakah untuk kesalahan ini kau lalu meminta kepadaku untuk membunuh anak sendiri hanya gara-gara kesalahannya itu? Tidak, Beng-san-paicu. Aku menilai imbalan yang kauminta ini tidak pantas. Kau didorong oleh nafsu dendam belaka dalam mengejar pemuasan nafsu amarahmu ini!"

"Hmm...!" Ciok-thouw Taihiap menggereng. "Jadi, kau tidak mau menghukum anakmu, orang she Kun?!"

"Kalau kau menghendaki jiwa sebagai penebus dosanya, Beng-san-paicu!"

"Baik, kalau begitu aku sendiri yang akan memberikan hukumannya!" dan Ciok-thouw-taihiap yang sudah melangkah maju dengan mata berapi-api itu tampak membesi mukanya dengan pandangan mengerikan. Ketua Beng-san-pai yang sudah dikuasai kemarahan besar ini rupanya tidak mau lagi banyak bicara.

Tapi Bu-tiong-kiam Kun Seng yang melompat maju sudah menghadang langkahnya dengan jari di gagang pedang. "Beng-san-paicu, layakkah sikapmu ini sebagai ketua partai?"

Ketua Beng-san-pai itu menahan langkah. Dia menatap pendekar pedang ini dengan pandangan seekor naga sakti yang siap monelan mangsanya bulat-bulat, tapi balasan lawan yang angker berwibawa membuat dia tertegun. Betapapun, jago pedang ini bukanlah orang sembarangan. Ilmu pedangnya yang tanpa tanding membuat dia sendiri menaruh penghargaan yang setingkat. Dan bahwa pendekar pedang itu menahan langkahnya dengan pertanyaan tajam membuat ketua Beng-san-pai ini menunda kemarahannya.

"Orang she Kun, apa yang kau maui?" Ciok-thouw Taihiap melontarkan seruan dingin. "Apakah kau hendak melindungi puteramu itu dari kesalahannya?

Bu-tiong-kiam Kun Seng menegakkan kepala. "Beng-san-paicu, kalau kau mengira aku hendak molindungi puteraku ini dari kesalahA.nnya maka itu adalah kecupatan pikiranmu belaka! Aku tidak bermaksud melindunginya, tapi sebagai seorang ayah aku berhak membela anakku sendiri dari suatu keputusan yang tidak adil. Karena kau yang diamuk dendam ini kulibat malakukan ketimpangan, Beng-sang-paicu, dan aku orang she Kun ini menuntut keadilan atas sikapnau tethadap puteraku yang bersalah!"

"Hm, jadi kau mengakui puteramu itu bersalah, orang she Kun?"

"Aku tidak pernah mengatakannya tidak, Beng-san-paicu. Dan puteraku yang bersalah memang patut menerima hukumannya."

"Bagus, kalau begitu kau mau menyerahkan puteramu itu kepadaku, orang she Kun?" mata ketua Bung-san-pai ni bersinar.

Tapi Bu-tiong-kiam Kun Seng cepat-cepat menggoyang lengannya. "Nanti dulu, jangar tergesa-gesa.. Beng-san-paicu. Aku tidak mengatakannya demikian! Anakku yang bersalah memang patut menerima hukumannya, tapi kalau kau hendak menjatuhkan kematian, aku sebagai ayahnya menolak!"

"Hm, kalau begitu hukuman apa yang kau inginkan, Kun Seng? Menyuruh anakmu meminta maaf dan menggoyang pantat setelah itu dia dimaafkan?" Ciok-thouw Taihiap mengejek dingin.

"Tidak, barangkali itu terlalu murah bagi kami keluarga Kun, Beng-san-paicu. Tapi aku sebagai ayahnya siap menebus semuanya ini dengan cara yang setimpal"

"Hm, maksudmu...?"

Jago pedang ini tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut. "Beng-san-paicu, karena aku yang pertama kali mendatangi rumahmu dan mengusulkan ikatan jodoh ini, maka biarlah sekarang aku pula yang pertama-tama meminta maaf atas kesalahan puteraku itu. Kun Bok telah merendahkan martabatmu, menghina keluarga Souw dengan perbuatannya yang tidak terpuji. Dan aku sebagai ayahnya yang merasa bertanggung jawab hari ini membayar kesalahannya dengan memohon maaf yang sebesar-besarnya terhadapmu. Disaksikan Langit dan Bumi, dan disaksikan pula oleh seluruh undangan yang hadir pada malam ini biarlah kuutarakan rasa penyesalan dan maafku yang amat dalam atas kesalahan puteraku itu dan sekaligus menyatakan menarik kembali usul perjodohan yang pernah kubuat karena ketidak pantasan puteraku terhadap keluarga Shouw…!" dan Bu-tiong-kiam Kun Seng yang tiba-tiba menyentuh kaki ketua Beng-san-pai itu lalu mencium ujung sepatunya. Kontan saja membuat keadaan menjadi gempar! Semua orang terkejut, dan Kun Bok yang melihat perbuatan ayahnya itu sampai berteriak kaget.

"Ayah....!" tapi jago pedang ini tidak mau menghiraukan seruan puteranya.

Pendekar pedang yang selesai "membayar" dosa anaknya itu tampak bangkit berdiri, dan mukanya yang merah berkerut-kerut jelas membayangkan perasaan yang bergolak-golak. Bu-tiong-kiam Kun Seng yang tiba-tiba menyentuh kaki ketua Reng-sari-pai itu late mencium ujung sepatunya kontan saja membuat keadaan menjadi gempar!

Sementara Ciok-thouw Taihiap, yang tidak menyangka sama sekali perbuatan si jago pedang itu tampak terbelalak dengan sikap tertegun. Dia tersentak dan terkejut sekali oleh perbuatan yang dilakukan bekas sahabatnya itu, karena apa yang dilakukan Bu-tiong-kiam Kun Seng ini sungguh suatu "penebusan" yang amat berat. Karena menyentuh kaki lawan dan mencium ujung sepatu nya adalah perbuatan yang bisa dianggap "menghina" diri. Dengan perbuatan itu si jago pedang ini telah "membanting" harga dirinya sendiri di mata orang lain. Apalagi disaksikan demikian banyak tamu!

Maka ketua Beng-san-pai yang terhenyak oleh peristiwa ini sedetik tak mampu mengeluarkan kata-kata. Dia terkesima oleh perbuatan yang dilakuan Bu-tiong-kiam Kun Seng itu, dan bahwa orang telah menyatakan penyesalannya dengan cara demikian hebat sungguh membuat dia tergetar. Tapi Pendekar Kepala Batu ini tiba-tiba berkerot giginya. Sinar mata Kun Bok yang beradu dengannya mendadak membuat dia beringas, pemuda yang menjadi para-gara, dari semua peristiwa ini membuat pendekar besar itu mengepal tinjunya.

Kun Seng memang telah "membayar" kesalahan anaknya sebagai orang tua yang bertanggung jawab. Tapi bagaimana dengan bocah itu sendiri? Bukankah dia boleh enak-enak melepaskan diri dari semua dosa yang dilakukankannya? Tidak Kun Seng memang telah mempertanggung jawabkan semua kesalahan-anaknya tarhadap dia. Tapi Kun Bok yang belum "terhukum" itu harus pula menerima dosa!

Maka begitu pandangannya tertuju kepada pemuda ini tiba-tiba Ciok-thouw Taihiap Souw Ki Bang itu-pun menggeram. "Kun Seng, kuhargai sekali pembelaanmu terhadap putera tunggal satu-satumu itu. Tapi bagaimana dengan bocah itu sendiri? Apakah dia bebas setelah ayahnya memikul semua dosa-dosa yang dilakukannya?"

Pendekar pedang tanpa tanding ini menyeriap mukanya. Dia pucat mendengar nada yang menyembunyikan ancaman dalam suara Pendekar Kepala Batu itu. Dan bahwa orang tampaknya masih tidak puas dengan permintaan maaafnya membuat jago pedang menggigil. "Bang-san-paicu, apalagi yang harus kulakukan?" suara setak yang terkandung dalam kalimat Bu-tiong-kiam Kun Seng itu menyatakan perasaannya, tapi Ciok-thouw Taihiap yang tidak perduli nampak menuntutnya bersikap tegas.

"Orang she Kun, sebagai orang tua dengan orang tua aku dapat menerima permintaan maafmu. Tapi bagaimana dengan bocah yang menjadi biang keladi semua keonaran ini? Apakah kau lalu membebaskannya tanpa menerima sedikitpun hukuman?"

Bu-tiong-kiam Kun Seng terbelalak. "Maksudmu, Beng-san-paicu....?"

Aku menuntut anak itupun menyatakan penyesalannya. Dan sebagai bukti bahwa dia mau bertanggung jawab untuk semua perbuatannya ini dia harus..." baru sampai di sini ucapan itu tiba-tiba Bu-tiong-kiam Kun Seng sadah memotong dengan seruan cepat,

"Ah, tentu saja... tentu saja, Beng-san-paicu. Akupun akan menyuruh puteraku untuk meminta maaf kepadamu dan kepada nona Ceng Bi!"

Namun Ciok-thouw Taihiap menggelengkan kepalanya. "Tidak, orang she Kun. Aku tidak butuh permintaan maaf bocah itu melainkan butuh kepalanya untuk dijadikan ubo-rampe (sesaji) di meja sembahyangan" dan baru habis ucapan ini diserukan mendadak saja Bu-tiong-kiam Kun Seng berteriak lirih.

"Ciok-thouw Taihiap, kau gila!"

Tapi pendekar yang tiba-tiba tertawa bergelak ini menghentakkan kakinya. "Aku tidak gila, orang she Kun. Tapi puteramu itulah yang tidak waras! Ha-ha, bagaimana jawabanmu, Bu-tiong-kiam?"

Pendekar pedang ini sekarang benar-benar gemeretuk. Dia menggigil dan bangkit kemarahan-nya oleh sikap Ciok-thouw Taihiap yang dia nilai kelewat hatas itu, dan begitu matanya terbelalak tiba-tiba jago pedang inipun sudah mencabut pedangnya! "Srat!" sinar putih yang menyilaukan mata tahu-tahu berkeredep di tangan pendekar pedang itu, dan Bu-tiong-kiam Kun Seng yang mulai berapi pandangannya ini membentak dingin, "Souw Ki Bang, begitukah watakmu sekarang ini? Apakah tidak cukup pergorbanan keluarga Kun dengan berlutut di bawah kakimu? Atau kau kira keluarga Kun adalah anjing hina yang tidak memiliki harga diri lagi?"

"Kun-seng Taihiap!" Souw Ki Bang mendengus. "Aku tidak bilang begitu, orang she Kun. Tapi kesalahan anakmu ini tetap kutuntut untuk menebus dosanya!"

"Hm, dengan menyerahkan jiwanya, Beng-san-paicu?"

"Karena itu adalah satu-satunya jalan!"

Maka begitu ketua Beng-san-pai ini selesai mengucapkan kata-katanya yang tegas pendekar pedang itupun sudah berseru nyaring, "Bagus, kalau begitu langkahi dahulu mayatku, Beng-san-paicu. Dan setelah itu keinginaninu bakal terpenuhi...!" dan pendekar yang tidak dapat menahan kemarahannya ini tiba-tiba menggeser kakinya lalu memasang pedang bersilang di atas kening dengan jari bergetar. Dia marah dan terhina sekali oleh sikap ketua Beng-san-pai yang dirasa kelewat batas itu.

Tapi Ciok-thouw Taihiap yang melihat lawan memasang kuda-kuda malah tertawa dingin dengan senyum mengejek. "Kau hendak mempertaruhkan jiwa untuk anakmu yang berdosa, Kun Seng?"

"Karena kau yang kelewatan, Beng-san-paicu. Karena kau yang hendak menginjak-injak harga diri orang lain dengan titiak kenal aturan!"

"Bagus. Kalau begitu mari kita tentukan persoalan ini dengan cara kita, orang she Kun. Dan siapa yang roboh anggap saja dia yang bersalah!" dan Ciok-thouw Taihiap yang tiba-tiba merunduk dengan siku terlipat membentuk cakar naga itu tampak tertawa dengan muka beringas. Dia siap menghadapi pertempuran yang tentu menumpahkan darah ini, tapi kemarahannya yang tidak terbendung membuat ketua Beng-san-pai itu tidak menghiraukan segalanya. Dia terlampau sakit hati melihat purbuatan putera si jago pedang itu.

Dan bahwa Kun Bok membatalkan ikatan jodoh setelah dia "membunuh" puterinya sendiri membuat pendekar sakti ini mata gelap. Dia tidak lagi mengingat hubungan baiknya dengan si jago pedang. Dan peristiwa belasan tahun yang lalu yang menyangkut hutang budi dengan Bu-tiong-kiam Kun Seng itupun tidak diingatnya. Yang penting bagi ketua Beng-san-pai ni adalah nyawa Kun Bok dan kalau Bu-tiong-kiam Kun Seng hendak membela anaknya apa boleh buat. Dia akan merobohkan pendekar pedang itu sebelum semuanya terselesaikan!

Tapi, sementara dua jago ini siap bertanding dan memasang kuda-kuda untuk mencari penyelesaian dengan jalan kekerasan tiba-tiba Kun Bok yang menjadi titik persolannya melompat maju. Pemuda yang pucat dan menggigil tubuhnya itu langsung menghadapi Ciok-thouw Taihiap, dan begitu dia beradu muka segeraiah pemuda ini berseru nyaring,

"Ciok-thouw Taihiap... Souw-locianpwe, berhenti dulu... aku ingin bicara...!" dan Kun Bok yang sudah menjatuhkan diri berlutut di depan ketua Beng-san-pai itu tampak gemetar. Souw-lociaripwe, berhenti dulu... aku ingin bicara sebentar. Bisakah kau menunda pertempuran ini....?"

Ciok-thouw Taihiap mengerutkan keningnya. "Kau hendak bicara apa, bocah? Kau ingin meninggalkan pesan sebelum ajalmu tiba?" ketua Beng-san-pai ini membentak.

Tapi Kun Bok menggelengkan kepala. "Tidak... tidak... bukan itu, Souw-locianpwe. Tapi satu pertanyaan tentang sikapmu ini...." dan sebelum Ciok-thouw Taihiap membuka pertanyaan pemuda itupun sudah melanjutkan kata-katanya, pedas dan melengking nyarirg, "Souw-taihiap, aku ingin mengajukan satu pertanyaan kepadamu yakni; Mengapa kau demikian tidak tahu malu menagih jiwa kepadaku hanya untuk pembatalkan ikatan jodoh ini? Apakah sudah selayaknya keluarga Kun membayar jiwa untuk pembatalan ikatan jodoh?"

Dan, kembali sebelum Ciok-thouw Taihiap menjawab pertanyaan ini Kun Sok-pun sudah menyerbu lagi, menyerang sengit dengan kata-katanya yang serak parau, ditujukan kepada para hadirin. "Cuwi enghiong, para sahabat yang gagah perkasa sudah sepantasnyakah sikap yang diambil oleh ketua Beng-san-pai ini? Sudah selayaknyakah keputusan yang diambil Beng-san-paicu. Karena seingatku, cuwi enghiong, hanya orang yang berhutang jiwa sajalah yang patut dimintai pembayaran jiwanya pula untuk menebus dosanya! Sedangkan keluarga kami, keluarga Kun yang jarang turun gunung, kapan pernah berhutang jiwa kepada keluarga Souw? Nah, Ciok-thouw Taihiap Souw-locianpwe, kini dengan alasan apakah kau demikian tidak tahu malu menagih jiwa kepadaku? Apakah sebabnya kau demikian mati-matian meminta jiwa untuk pembatalan jodoh?"

Dan Kun Bok yang sudah bangkit berdiri dengan muka gemetar serta mata berapi-api itu tampak menggigil seluruh uratnya. Dia marah dan penasaran sekali oleh ketidakadilan ketua Beng-san-pai yang dianggap keterlaluan itu, dan Beng-san-paicu yang tampak tertegun mendengar kata-katanya kelihatan tak mampu menjawab. Dan ini dipergunakan Kun Bok kembali untuk melampiaskan emosinya, meledakkan semua kekecewaan yang menggelegak di rongga dada. Karena Kun Bok yang melihat ketua Beng-san-pai itu tidak mampu menjawab kata-katanya tiba-tiba sudah kembali menyerang dengan suara sengit.

"Nah, Ciok-thouw Taihiap, apa sekarang yang hendak kau katakan kepada kami? Di manakah letak keadilanmu yang sudah menduduki jabatan sebagai seorang ketua partai? Di manakah hutang jiwa yang pernah keluarga Kun lakukan kepada keluargamu? Karena hanya hutang jiwa yang patut dibayar jiwa pula, Ciok-thouw Taihiap. Dan kami yang tidak merasa melakukan kesalahan demikian jauh sesungguhnya, tidak layak kau mintai yang di luar batas. Ayah sudah membayar dosa-dosaku dengan merendahkan dirinya berlutut di bawah kakimu. Dan sikapmu yang masih tidak mau diterima ini sungguh amat mengecewakan hatiku!"

Kun Bok berhenti lagi. memandang ketua Beng-san-pai yang terhenyak itu dengan sikap penuh semangat. Lalu ketika dilihatnya Ciok-thouw Taihiap masih tidak mau memberikan jawaban pemuda inipun menyambung lagi. "Nah, Ciok-thouw Taihiap, kini apa yang hendak kau terangkan kepada kami? Bisakah kau menjawab semua kata-kataku itu? Mengapa kau demikian tidak tahu malu menagih jiwa kepadaku? Mengapa Ciok-thouw Taihiap... mengapa...?"

Pendekar kepala gundul itu tiba-tiba menggeram. Dia mengeluarkan suara erangan yang aneh dari kerongkongannya. Tapi ketika dia berkerot gigi dengan bibir gemeretuk sukar untuk menjawab pertanyaan ini sekonyong-konyong sebuah bayangan tinggi besar melayang naik. Bayangan ini menggedruk papan panggung dengan kemarahan, dan begitu dia meluncur tegak tiba-tiba terdengarlah bentakannya yang menggeledek.

"Karena suhu telah membunuh puterinya sendiri, orang she Kun. Karena suhu telah menghukum anak perempuannya sendiri ketika mendengar penolakannya....!!" dan begitu bayangan ini selesai mengucapkan kata-katanya tampaklah di situ seorang pemuda tinggi besar memandang penuh kebencian kepada Kun Bok. Dia bukan lain adalah Lek Hui, dan semua orang yang melihat munculnya raksasa muda ini kontan saja berseru kaget.

"Hei... murid Ciok-thouw Taihiap!" mereka berteriak ramai.

Tapi Lek Hui tidak menghiraukan mereka. Dia sudah memandang putera si jago pedang yang telah "mencaci" suhunya habis-habisan itu. Dan mata Lek Hui yang mendelik penuh kemarahan ini tampak membakar bulat-bulat wajah Kun Bok. Dia seperti seekor harimau haus darah, dan Kun Bok yang melihat sinar demikian mengerikan pada pandangan raksasa muda itu tergetar. Dia kaget dan tersentak melihat kehadiran murid Beng-san-paicu ini, dan kata-katanya yang menggetedek menderakkan lantai panggung membuat Kun Bok dan ayahnya terkejut bukan main.

"Apa? Ciok-thouw Taihiap membunuh puterinya sendiri, Auw-twako...?" Kun Bok berseru terbelalak.

Tapi Lek Hui mendengus. "Aku tidak membual, orang she Kun! Kalau kau percaya itu baik tapi kalau tidak percaya akupun juga tidak perduli!" dan Lek Hui yang sudah mengepalkan tinju dengan mata berapi-api ini, tampak siap menerjang Kun Bok.

Namun Bu-tiong-kiam Kun Seng mendadak melompat maju. Jago pedang yang hampir tidak percaya kepada keterangan Lek Hui itu tampak terbelalak dengan muka berubah, dan suaranya yang gemetar lirih meletus pendek, "Saudara Lek Hui, tahan dulu. Aku ingin bicara...!" dan Bu-tiong-kiam Kun Seng yang sudah berhadapan dengan raksasa muda ini menyimpan pedangnya. Dia membungkuk sedikit di depan murid Pendekar Kepala Batu itu, namun Lek Hui yang dingin menyambut orang menjengekkan hidungnya.

"Kau ingin bertanya apa, Kun-locianpwe?"

Jago Pedang ini semburat mukanya. "Aku ingin bertanya tentang kata-katamu itu saudara Lek Hui. Betulkah Beng-san-paicu membunuh puterinya sendiri?"

"Hm, kenapa mesti diulang, locianpwe? Perlukah aku menghina keluarga guruku sendiri?"

Bu-tiong-kiam Kun Seng tertegun. "Jadi benar nona Ceng Bi...?"

"Ya, Suhu telah menghukumnya, orang she Kun. Dan ini dilakukan beliau karena merasa malu kepadamu! Suhu Ciok-thouw Taihiap amat memegang teguh kegagahan, dan karena adik Ceng Bi menolak perjodohan yang diikatkan suhu dengan puteramu maka beliau menuntut dosa terhadap puterinya sendiri. Adik Ceng Bi dihukum, dan penebusan jiwa untuk membersihkan nama baik ini dilakukan suhu demi menebus kegagalannya kepadamu!"

"Ahh...!" Bu-tiong-kiam Kun Seng mengeluarkan seruan kaget dan begitu dia memandang ketua Beng-san-san pai ini tampak pendekar berkepala gundul itu membesi kaku dengan wajah menyeramkan. Ciok-thouw Taihiap tampak mengerikan, dan wajah yang mengkilap merah kehitaman itu mendadak tertawa. Suara yang bergulung naik turun sekonyong-konyong menggetarkan dinding ruangan, dan ketika Ciok-thouw Taihiap mengibaskan lengan kanannya ke samping tiba-tiba saja tiang penyangga lantai panggung roboh.

"Brakk...!" pukulan jarak jauh yang dilancarkan ketua Beng-san-pai itu mengejutkan semua orang, dan begitu papan panggung jebol memekiklah orang-orang yang ada di atas untuk melompat turun. Mereka tidak dapat lagi berdiri tegak, dan Ciok-thouw Taihiap yang mulai menunjukkan kemarahannya ini membuat gempar. Suara ketawanya yang bergulung-gulung semakin bergemuruh, dan ketika pendekar ini menambah hawa khikangnya mendadak saja barisan depan pada deretan para tamu terjungkal!

"Hei...!" pekik kekagetan yang menghambur pada barisan depan ini menimbulkan kegaduhan sementara dan ketika Ciok-thouw Taihiap mulai berteriak parau terdengarlah suara dahsyat mengguncangkan gendang telinga semua orang.

"Bu-tiong-kiam Kun Seng, hayo majulah kita bertanding! Mari selesaikan persoalan ini dengan cara kegagahan...!" dan Ciok-thouw Tai-hiap yang tiba-tiba sudah memutar-mutar kedua lengannya dengan jari berkerotokan itu tampak menancapkan kaki di atas tanah. Dia tidak bergerak seperti arca tak bergeming, tapi suaranya yang menantang-nantang jago pedang ini menimbulkan getaran kuat pada dinding ruangan. Akibatnya, gegerlah suasana di pasta keramaian ini dan orang yang melihat ketua Beng-san-pai itu bakal mengamuk kontan saja menjadi ribut dan menjauhkan diri!

Tapi Bu-tiong-kiam Kun Seng justeru berdiri pucat. Jago pedang yang terbelalak ke arah ketua Beng-san-pai ini tampak ragu-ragu, dan dia yang masih terhenyak oleh keterangan Lek Hui itu memandang ketua Beng-san-pai ini dengan ails bergetar. Dia tidak menyangka sama sekali bahwa Ciok thouw Taihiap akan sampai hati "membunuh" puterinya sendiri, dengan tangan demikian membesi. Dan bahwa hal itu dilakukan ketua Beng-san-pai ini untuk menebus kegagalannya mengikat perjodohan sungguh membuat dia tertegun. Dilihatnya sekarang, betapa keras dan kaku pendekar besar itu memegang "harga diri. Suatu sikap yang baik memang tapi juga dirasa agak keji!

Maka begitu pendekar ini mengetahui sebab-sebab kemarahan Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba saja pendekar pedang ini merasa bingung. Dia menaruh hormat dan penghargaan yang demikian tinggi untuk "harga diri" yang dipegang oleh ketua Beng-san-pai itu. Dan bahwa ketua Beng-san-pai ini telah menghukum puteri sendiri untuk "menebus" malunya terhadap calon besan membuat jago pedang itu merasa prihatin. Tapi, mutlakkah sekarang kalau dia harus mengimbangi perbuatan Beng-san-paicu ini, mengorbankan nyawa Kun Bok untuk "kekeliruan" yang telah dibuat ketua Beng-san-pai itu?

Bu-tiong-kiam Kun Seng manarik napas panjang. Betapapun, Kun Bok adalah satu-satunya generasi penerus baginya. Bagaimana dia harus menuruti permintaan Beng-san-paicu ini? B-kankah kesalahan membunuh puteri sendiri di-lakukan ketua Beng-san-pai itu? Ah, dia harus bertindak. Dia harus melakukan sesuatu untuk menyelesaikan persoalan ini. Maka begitu jago pedang ini mendengar Ciok-thouw Taihiap kembali memanggilnya tiba-tiba diapun melangkah maju!

Sekarang semua orang menjadi tegang oleh pertemuan dua tokoh besar ini. Tapi si jago pedang yang tidak mencabut pedangnya itu membuat beberapa orang kecewa. Apalagi ketika pendekar pedang itu menjura di depan Ciok-thouw Taihiap dan berkata tirih, "Souw-taihiap, aku menyatakan menyesal sekali bahwa ikatan jodoh yang hendak kita jalin ini temyata berakibat demikian buruk. Aku tidak menyangkanya sama sekali, taihiap. Dan kalau Ceng Bi sampai kau hukum demikian keras sungguh aku merasa prihatin sekali. Sekarang, bagaimama kalau kita balik saja, taihiap? Bagaimana kalau aku yang menggantikan nyawa anakmu?"

Kun Bok jadi kaget bukan main mendengar kata-kata ayahnya ini. Dan sebelum Ciok-thouw Taihiap yang terkejut itu mengeluarkan seruannya tiba-tiba pemuda ini sudah berteriak, "Ayah, kau gila....?" dan Kun Bok yang melompat di depan ayahnya itu tiba-tiba menggigil.

Tapi jago pedang ini menepiskan tangannya. "Bok-ji, mundurlah kau. Ayah tidak menyerahkan diri cuma-cuma...!" dan Bu-tiong-kiam Kun Seng yang mengibaskan jarinya itu membuat Kun Bok terpelanting, Pemuda ini masih hendak memprotes, namun Bu-tiong-kiam Kun Seng yang sudah membelakanginya itu mengulang pertanyaannya kepada sang ketua Beng-san-pai.

"Souw-taihiap, bagaimana jawabmu? Boleh kita balik urusan ganti jiwa ini?"

Ciok-thouw Taihiap tertegun. Dia terbelalak memandang jago pedang itu tapi melihat orang bersikap serius diapun jadi terkejut. "Orang she Kun, apa maksud kata-katamu ini? Kau hendak mengganti jiwa puteriku dengan jiwamu?"

Jago pedang itu mengangguk. "Kalau kau tidak berkeberatan, Souw-taihiap. Kalau hal ini dapat memuaskan hatimu dan menyelesaikan segala persoalan!"

"Ah..!" Ciok-thouw Taihiap mengeluarkan seruan dari hidung dan baru pendekar itu menganggukkan kepalanya tiba-tiba ia membanting kaki. "Bu-tiong-kiam Kun Seng, kau hendak mempermainkan aku? Kau hendak menghinaku di depan orang banyak?"

Jago pedang itu terkejut. "Eh, kenapa begitu, taihiap? Siapa hendak mempermainkanmu?"

"Kaulahl" ketua Beng-san-pai itu menuding dengan bentakannya yang meriggeledek. "Karena kau yang hendak menghinaku dengan ucapannu yang seperti itu, orang she Kun. Karena kalau kau mati di tanganku tentu orang akan bilang bahwa Ciok-thouw Taihiap telah membunuh seorang yang tidak melawan!"

Jago pedang ini tiba-tiba mengerti. "Kau salah paham, Beng-san-paicu. Kau belum mendengar lengkap keteranganku yang belum selesai. Karena meskipun aku siap mengganti nyawa puterimu itu namun hal ini kita lakukan secara kesatria...!"

"Maksudmu?!" Ciok-thouw Taihiap terbelalak.

"Aku merelakan nyawa tua ini bila tidak sanggup menerima pukulanmu tiga kali berturut-turut, dan bila aku roboh oleh pukulanmu maka itulah yang kumaksudkan sebagai ganti jiwa!"

Ketua Beng-san-pai ini bergetar. Dia tertegun oleh keterangan jago pedang itu. Namun merasa ditantang dan panas oleh ucapan itu tiba-tiba diapun mengangguk. "Baik. Kukira ini cukup adil, Bu-tiong-kiam. Dan apabila kau selamat oleh tiga kali pukulanku maka persoalan ini bolehlah kita habiskan sampai di sini!" dan Beng-san-paicu yang sudah menggedruk bumi itu tampak bersiap dengan tubuh menggigil.

Sementara Bu-tiong-kiam Kun Seng sendiri, yang tersenyum memandang para tamu itu tampak bersinar-sinar matanya. "Cuwi enghiong, aku telah mengadakan perjanjian dengan ketua Beng-san-pai untuk memutuskan persoalan ini. Dan karena pihak kami ingin menebus dosa secara tuntas biarlah cuwi sekalian yang menjadi saksi untuk tiga kali pukulan berturut-turut ini. Apabila aku roboh dan binasa itulah kuanggap takdir yang tidak mampu dielakkan lagi. Tapi apabila aku berhasil selamat, cuwi telah mendengar sendiri kata-kata Beng-san-paicu tadi bahwa persoalan kami dua keluarga akan diselesaikan sampai di sini. Nah, Ciok-thouw Taihiap, sekarang mulailah!" dan jago pedang yang sudah bersiap-siap itu tiba-tiba melepaskan pedangnya. Dia menyerahkan senjata ini pada putera tunggalnya, dan Kun Bok yang terbelalak oleh perbuatan ayahnya itu menggigil.

"Ayah, bagaimana... bagaimana kau mempertaruhkan nyawa seperti ini? Bukankah itu terlampau berbahaya sekali...?"

Namun jago pedang ini mengibaskan lengannya. "Jangan banyak bicara lagi, Bok-ji. Aku kecewa oleh perbuatamnu yang tidak tahu malu ini...!" dan Kum Bok yang sudah didorong mundur itu hampir saja terjengkang oleh kibasan ayahnya.

Kun Bok terkejut. Namun pemuda itu tidak mampu berbuat apa-apa. Dia memang merasa bersalah oleh peristiwa yang berkepanjangan tidak enak ini. Dan bahwa ayahnya siap mempertaruhkan diri menghadapi serangan Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba saja dia gemetar. Bagaimanapun, menerima pukulan ketua Beng-san-pai yang gagah perkasa itu bukanlah pekerjaan mudah. Terbukti betapa dengan gampangnya saja pendekar besar itu merobohkan papan panggung, Dan sekarang ayahnya siap-siap menghadapi adu jiwa sepihak ini. Menerima tiga pukulan itu tanpa balas menyerang!

Tapi sebelum dua jago ini menjalankan ia perjanjian mendadak sesosok bayangan putih melompat. Dialah Pek-mauw Sian-jin, ketua Kun-lun-pai yang bertetangga dengan Bu-tiong-kiam Kun Seng itu. Dan begitu tokoh Kun-lun itu muncul terdengarlah suaranya yang lembut nyaring, "Ji-wi taihiap, tidak dapatkah isi perjanjian ini dirubah?"

Ciok-thouw Taihiap dan si jago pedang menoleh. Mereka tampak mengerutkan alis, tapi Bu-tiong-kiam Kun Seng yang sudah mendahului itu menjawab pendek,

"To-tiang, jangan campuri urusan pribadi ini. Kami sudah sepakat untuk menyelesaikaa semua ganjalan, kenapa kau datang mencegah?"

Pek-mauw Sian-jin menarik napas gugup. "Aku tidak bermaksud mencampuri urusan ini, Kun-taihiap. Tapi sekedar bertanya apakah isi perjanjian kalian tidak dapat dirubah lagi? Misalnya, hanya dengan dua pukulan saja!" dan Pck-mauw Sian-jin yang tampak cemas itu memandang Bu-tiong-kiam Kun Seng dengan sinar mata setulusnya hati. Dia tidak bermaksud apa-apa dengan kata-katanya ini, tapi jago pedang yang merah mukanya itu menjadi tersinggung.

"Pek-mauw totiang. sadarkah kau dengan kata-katamu ini? Tidakah kau bermaksud merendahkan diriku?" jago pedang itu menegur.

Ketua Kun Lun ini tersipu-sipu. "Maaf, aku tidak bermaksud begitu, Kun-taihiap. Lohu sekedar menyampaikan solider karena kita bertetangga!"

Dan Bu-tiong-kiam Kun Seng yang memaklumi maksud baik ketua Kun-lun itu akhirnya mengurangi kekakuan sikapnya. "Baiklah, terima kasih, untuk perhatianmu ini, Pek-mauw totiang. Tapi yang paling baik kukira kalau totiang mundur saja, Aku sudah berjanji kepada Souw-taihiap, dan janji yang tidak dapat kutarik kembali ini tak mungkin harus dibatalkan..." dan jago pedang yang sudah mempersilakan ketua Kun-lun itu kembali ke tempat duduknya disambut helaan napas panjang oleh Pek-mauw Sian-jin.

Dia memang tidak dapat mencegah urusan dua jago itu. Maka begitu Kun Seng menolak sarannya diapun harus tahu diri. Bagaimanapun, itu adalah urusan pribadi mereka. Dan kalau jago pedang itu tidak marah kepadanya sudahlah dapat dikata untung. Maka Pek-mauw Sian- jin yang diam-dian merasa gelisah ini memandang dua jago itu dengan perasaan was-was. Dia melihat Ciok-thouw Taihiap sudah mengerahkan tenaga sinkang dan jari yang berkerotokan serta mengepulkan uap tipis itu membuat dia tegang. Bahkan bukan hanya kakek ini saja. Semua orangpun merasa tegang dan was-was menyaksikan peristiwa itu.

Dan saat yang ditunggu-tunggu inipun tibalah. Jago pedang yang sudah berdiri tegak dengan dada membusung itu memberi tanda kepada Ciok-thouw Taihiap, dan begitu jago pedang ini bersiap-siap dengan bhesi sekokoh beringin raksasa, terdengarlah seruannya yang lantang parau, "Souw-taihiap, mulailah. Aku siap menerima pukulanmu...."

Dan jago pedang yang sudah menggelembungkan rongga dadanya itu tampak menahan napas dengan tubuh bergetar. Dia mengerahkan sinkang sepenuhnya menjaga isi dadanya, maklum betapa dahsyat nanti serangan ketua Beng-san-pai itu. Dan Ciok-thouw Taihiap yang mendengar aba-aba lawannya ini tiba-tiba menerjang. Tangan kirinya dengan telapak terbuka menghantam dada Bu-tiong-kiam Kun Seng, dan begitu tokoh Beng-san ini melompat terdengarlah bentakannya,

"Orang she Kun. jagalah...!" dan pukulan dahsyat yang menggetarkan jiwa itu menghantam dengan kekuatan mengerikan. Ciok-thouw Taihiap baru mengerahkan setengah bagian dari seluruh tenaganya, tapi angin yang menderu dahsyat dari telapak tangan ketua Beng-san-pai ini menunjukkan kehebatannya. Terbukti dari baju si jago pedang yang berkibaran seperti bendera. Dan ketika semua orang menahan napas untuk pukulan pertama ini terdengarlah benturan dahsyat itu.

"Dess!" dada Bu-tiong-kiam Kun Seng mengeluarkan suara seperti bukit ditimpa gunung ambruk dan orang yang melihat jago pedang itu tidak terpelanting roboh mau tak mau berseru kagum. Mereka melihat pendekar pedang itu hanya terdorong setengah tindak. dan mulut si jago pedang yang tersenyum dikulum membuat mereka terbelalak takjub. Tidak tahu, betapa sesungguhnya pendekar itu mengeluh pendek dengan napas seakan menyesakkan dadanya!

Tapi Pendekar Kepala Batu yang sudah marah tidak memberi banyak kesempatan. Senyum Butiong-kiam Kun Seng yang seolah "meng-entengkan" pukulannya sudah disusul dengan pukulan ke dua. Karena begitu pendekar ini membalikkan tubuh dan menancapkan kakinya tiba-tiba menderulah pukulan berikutnya itu. Ciok-thouw Taihiap kini melayangkan tangan kanan-nya, dan tenaga yang tigaperempat bagian yang jauh lebih dahsyat daripada pukulan pertama tadi kini menghantam lambung si jago pedang.

"Orang she Kun, jaga serangan kedua....!" dan bentakan yang sudah diiringi pukulan tangan kanan ini menerjang heibat dengan kekuatan mengerikan.

Para tamu melihat adanya sinar putih yang berkeredep panas mengbantam lambung si jago pedang. Dan Bu-tiong-kiam Kun Seng sendiri yang melihat kedahsyatan serangan ini terbelalak ngeri. Dia buru-buru mengempos semangat, dan depan tubuh yang menerima pukulan itu cepat-cepat dilindungi kekuatan sinkangnya. Tapi terlambat. Telapak Beng-san-paicu telah mendarat di lambung kirinya dan begitu terdengar suara "des" yang mengguncangkan seluruh ruangan tiba-tiba mencelatlah tubuh si jago pedang ini dengan pekik kecilnya!

"Augh!" Bu-tiong-kiam Kun Seng terpental dua tombak ke belakang dan para tamu yang terkejut oleh pukulan ke dua ini sama berteriak tertahan.

Mereka mengkhawatirkan nasib si jago pedang itu, mengira dia Bakal terlempar dan roboh binasa. Tapi ketika Bu-tiong-kiam Kun Seng berjungkir balik dan akhirnya kembali berdiri di tempat semula meledaklah tepukan tangan yang gegap gempita. Seruan kagum muncul di segala penjuru, dan orang yang melihat jago pedang itu mampu bertahan dua kali berturut-turut dari serangan Ciok-thouw Taihiap banyak yang merasa heran.

Tapi tiba-tiba mereka tertegun. Si jago pedang itu mendadak terbatuk, dan begitu dia terbatuk-batuk mundadak menyeringailah mulut si jago pedang ini. Bu-tiong-kiam Kun Seng mendekap lambung, dan ketika semua orang memandang ,ke depan tiba-tiba tampaklah sedikit darah meleleh di ujung mulut pendekar pedang ini!

"Ahh!" semua orang menjadi terkejut dan Bu-tiong-kiam Kum Seng yang ternyata diam-diam sudah terluka dalam ini menyeringai kecut sambil membersihkan mulutnya. Dia tertawa ke arah sang ketua Beng-san-pai, lalu berkata dengan tubuh bergoyang dia memuji lawannya.

"Beng-san-paicu, kau hebat sekali. Isi dadaku serasa rontok!" dan jago pedang yang sudah berdiri tegak itu mencoba untuk menguasai diri. Dia tampak sedikit limbung, tapi kemauannya yang kuat membuat jago pedang ini akhirnya mampu berdiri tegak. Sementara Kun Bok yang melihat keadaan ayahnya yang seperti itu menjadi gelisah bukan main. Dia mau melompat maju, tapi Bi Kwi yang mencekal lengannya berbisik,

"Bok-koko, jangan seperti anak kecil. Ayahmu sedang mempertahankan diri, kenapa hendak kau ganggu? Lihatlah, ayahmu pasti mampu bertahan dan tidak akan binasa....!"

Maka Kun Sok yang mendengar kata-kata ini jadi mengurungkan niatnya. Dia hanya memandang keadaan orang tua itu dengan muka pucat. Dan maklum bahwa ayahnya memang tidak mau diganggu maka diapun menjadi tegang bukan main.

Sementara Ciok-thouw Taihiap, yang me-lihat dua kali pukulannya berturut-turut mulai membawa "hasil" diam-diam merasa tertegun juga. Dia terkejut dan kagum oleh daya tahan lawan yang sedemikian kuat. Karena, biasanya dengan tenaga setengah bagian saja sudah jarang ada orang yang mampu menahan pukulannya. Apalagi kalau sampai dua kali! Dan pendekar pedang yang mampu dua kali berturut-turut menerima pukulannya ini tanpa membalas sungguh membuat dia kagum juga. Perasaan kagum yang sekaligus juga diiringi rasa penasaran!

Maka begitu dia memandang lawan kembali bergetarlah tubuh ketua Beng-san-pai ini. Dia masih mempunyai sisa sebuah pukulan lagi. Tapi sanggupkah pendekar pedang ita menerima pukulannya? Tidakkah dia akan roboh dalam pukulan ke tiga? Maka penasaran oleh kekuatan lawan tiba-tiba Ciok-thouw Taihiap mengumpulkan seluruh tenaganya. Tubuh yang bergetar bagaikan dialiri stroom dahsyat itu tampak menggigil, tapi ketika Ciok-thouw Taihiap kembali beradu pandang dengan sinar mata lembut yang penuh keikhlasan dari si jago pedang ini mendadak dia jadi tertegun. Itulah Sinar mata seorang jantan sejati.

Sinar mata yang penuh persahabatan dan jauh dari segala rasa permusuhan. Maka begitu dia beradu pandang dengan sinar mata ini tiba-tiba saja Ciok-thouw Taihiap jadi teringat pada peristiwa belasan tahun yang lalu. Di mana dari sinar mata inilah dia mendapat pertolongan si jago pedang. Lepas- dan cengkeraman el-maut setelah hampir saja dia binasa dalam luka-lukanya yang parah, dikeroyok limapuluh orang pentolan kaum hitam. Dan kini, sinar mata yang demikian penuh kelembutan itu hendak dia bunuh. Bu-tiong-kiam Kun Seng hendak dia tuntut jiwanya untuk pelampiasan api dendam! Ah….. ketua Beng-san-pai ini jadi merandek dan lawan yang melihat keraguan pada sinar wajahnya tiba-tiba mangerutkan alis.

"Souo-taihiap, kau masih memiliki sebuah pukulan lagi. Kenapa tidak segera dilancarkan?" jago pedang itu menegur.

Ciok-thouw Taihiap terpaku. Darah yang sudah diusap Bu-tiong-kiam Kun Seng tadi tampaknya memberi dia kejernihan sedikit.

Tapi si jago pedang yang sudah melangkah maju memandangnya tidak senang. "Beng-san-paicu, aku masih memiliki sebuah hutang pukulan kepadamu. Kenapa tidak segera dilunasi? Apa yang kau renungkan?"

Tapi ketua Beng-san-pai ini kembali tak bergerak. Dia masih tertegun dengan tatapan kosong ke depan, dan Bu-tiong-kiam Kun Seng yang tiba-tiba mampu menangkap apa yang dipikirkan ketua Beng-san-pai ini mendadak tertawa.

"Ciok-thouw Taihiap, jangan mengharap tentang she Kun meminta keringanan padamu. Kita telah berjanji untuk menyelesaikan persoalan ini dengan tiga kali pukulan. Kenapa kau diam saja? Apakah kau kira aku tidak kuat bertahan?" jago pedang itu membusungkan dadanya. "Hai, jangan menganggap rendah, Beng-san-paicu. Lima kali pukulanpun aku sanggup menerimanya. Cobalah....!" dan Bu-tiong-kiam Kun Seng yang sudah memasang kuda-kuda untuk menerima pukulan itu benar-benar tidak berkata kosong.

Orang yang melihat dia sedikit limbung itu tiba-tiba melihat jago pedang ini sudah berdiri tegak, dan kedua kakinya yang tidak bergoyang itu memang meyakinkan beberapa orang bahwa jago pedang hie tampaknya kuat bertahan untuk lima kali pukulan. Tapi. benarkah itu? Hanya orang yang memiliki kepandaian setingkat Ciok-thouw Taihiap-lah yang mampu menjawab pertanyaan ini. Karena untuk pukulan ke tiga itu saja sesungguhnya Ciok-thouw Taihiap sendiri merasa ragu akan ketahanan pendekar pedang ini. Apalagi kalau sampai harus menerima lima kali pukulan.

Maka Ciok-thouw Taihiap yang teringat masa lalu itu jadi berada di persimpangan jalan. Dia kebingungan sejenak, tapi Bu-tiong-kiam Kun Seng yang tidak tau persoalan ini berhenti setengah jalan tiba-tiba membentak,

"Ciok-thouw Taihiap, tidak malukah kau menarik janji? Di mana itu janjimu untuk memberi tiga kali pukulan? Kau masih berhutang sebuah pukulan, Ciok-thouw Taihiap. Dan kalau ini tidak segera kau lunasi sungguh arwah puterimu di alam baka tidak bakalan mati meram...!"

Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba tersentak. Dia terkejut dan marah mendengar orang menyinggung-nyinggung nama puterinya yang sudah tewas. Dan terbelalak marah kepada jago pedang ini tiba-tiba ketua Bong-san-pai itu menggeram. Dia kena "sentil", dan karena nama Ceng Bi memang paling ampuh dipergunakan untuk membangkitkan kemarahannya maka tiba-tiba pendekar besar itu mendelik.

"Bu-tiong-kiam, sadarkah kau mengapa aku ragu-ragu membunuhmu? Tidak tahukah kau bahwa sebetulnya pantang bagi Ciok-thouw Taihiap membunuh orang yang telah melepas budi?"

Jago pedang itu tertawa mengejek. "Seorang kuncu tidak pernah mengingat budi yang dilepas kepada orang lain, Beng-san-paicu. Dan kalau kau masih terikat oleh budi dan membalas budi sebaiknya kau menjadi pertapa saja. Saat ini yang ada ialah tuntutanku tentang sebuah pukulan. Dan kalau tidak mau melaksanakannya maka kelak arwah puterimu akan kukutuk habis-habisan!"

Ciok-thouw Taihiap membanting kaki. "Bu-tiong-kiam Kun Seng, jangan menyebut-nyebut nama puteriku yang sudah tiada! Persoalan ini adalah persoalan yang masih hidup. Kenapa kau hendak membangkitkan kemarahanku?"

Jago pedang itu kembali tertawa mengejek. "Karena kau tidak segera melaksanakan isi perjanjian, Ciok-thouw Taihiap. Karena kau hendak menghinaku dengan keragu-raguanmu ini. Kenapa kau tidak segera melancarkan serangan? Apakah kau kira pukulanmu itu sedemikian hebat hingga membinasakan diriku? Ho-ho, jangan sombong, Beng-san-paicu. Orang she Kun ini masih sanggup untuk menerima pukulan terakhirmu. Hayo cobalah...." dan Bu-tiong-kiam Kun Seng yang sudah menancapkan kakinya berdiri tak bergeming itu tampak tertawa dengan sikap jumawa.

Dia rupanya sengaja membakar ketua Beng-san-pai ini agar segera melancarkan pukulan. Dan masih khawatir pendekar itu teringat kembali pada persoalan budi belasan tahun yang lalu. Tiba-tiba pendekar pedang ini berseru, "Ciok-thouw Taihiap, hayo tunjukkan keteguhan hatimu dalam mempertahankan kegagahan itu. Bukankah kau mengajarkan pada putera-puterimu bagaimana memegang kata-kata sendiri? Nah, lakukan pukulan ke tiga itu, Beng-san-paicu. Dan cepat lunasi persoalan ini dengan penentuan terakhir. Kalau tidak, aku yakin arwah puterimu akan mengutukmu habis-habisan melihat ayahnya menjilat isi perjanjian!"

Maka Ciok-thouw Taihiap yang mendengar tiga kali pendekar pedang itu menyinggung-nyinggung nama Ceng Bi mendadak menggereng gusar. Dia membanting kedua kakinya dengan kemarahan meluap, dan begitu mukanya menjadi merah kehitaman, mendadak mengepullah uap putih yang membubung di atas ubun-ubunnya. itulah tingkat pengerahan tenaga sakti yang paling puncak, dan Ciok-thouw Taihiap yang benar-benar berhasil "dipancing" oleh pendekar pedang itu untuk mengkonsentrasikan diri dalam masalah ini tiba-tiba disambut senyum tersembunyi oleh Bu-tiong-kiatn Kun Sung.

"Bagus, laksanakan pukulan terakhirmu itu, Ciok-thouw Taihiap. Aku akan bertahan dan tidak akan munyesal biarpun sampai roboh binasa!" dan Bu-tiong-kiam Kun Seng yang diam-diam ngeri serta waspada dalam penentuan babak terakhir ini tiba-tiba memejamkan mata. Dia mengempos semangat sehebat-hebatnya, dan maklum bahwa ini adalah penentuan yang paling berbahaya maka diapun menarik seluruh kekuatan sinkangnya.

Hawa sakti yang puluhan tahun dia latih kini bergolak di atas pusarnya, dan begitu jago pedang ini mengatur jalannya tenaga sinkang mendadak kekuatan sakti itu mengalir di seluruh tubuhnya. Tidak ada sebuah syarafpun yang terlewati getaran tenaga sinkang ini, dan Bu-tiong-kiam Kun Seng yang merasa siap dengan pertahanan dirinya itu menggigil gemetar. Itulah tanda bekerjanya kekuatan hawa sakti yang menjalar di seluruh permukaan tubuh, dan jago pedang yang berdiri tegak dengan mata terpejam itu tampak memusatkan seluruh konsentrasinya pada pertahanan diri.

Sementara. Ciok-thouw Taihiap, yang terbelalak dengan sinar mata berapi-api itu tampak beringas. Dia menarik kedua lengannya ke atas, dan bunyi berkerotokan seperti tubing patah menjadikan ketua Beng-san-pai ini lebih menyeramkan dari keadaan yang sesungguhnya. Dia sudah mengerahkan seluruh kekuatannya untuk melancarkan pukulan terakhir ini, dan uap putih yang semakin membubung tebal di atas ubun-ubunnya membuat semua orang ngeri. Sampai akhirnya, ketika dua jago besar itu sudah sama-sama memusatkan seluruh perhatiannya pada babak penentuan ini terdengarlah lengking dahsyat dari mulut ketua Beng-san-pai itu.

Ciok-thouw Taihiap sudah menyerang, dan pendekar kepala gundul yang mendorongkan kedua tangannya itu berkelebat ke depan dengan kecepatan kilat. Tangan kiri menghantam iga kanan Bu-tiong-kitan Kun Seng sedang tangan kanan menghantam dada si jago pedang. Kedua-duanya sama-sama hebat. Karena baik tangan kiri maupun tangan kanan masing-masing mengeluarkan sinar putih berkeredep menyilaukan mata, Dan Ciok-thouw Taihiap yang mengerahkan seluruh bagian tenaganya itu benar-benar tampak hebat bukan main.

Bu-tiong-kiam Kun Seng hanya merasa dua angin panas menyambar dirinya, dan kaget bahwa kali ini Ciok-thouw Taihiap menyerang dengan kedua tangannya tidak seperti tadi yang hanya mempergunakan sebelah lengan saja maka jago pedang ini terkejut bukan main. Dia sudah terlanjur memusatkan pertahanan diri untuk satu pukulan saja. Artinya, satu serangan dengan satu pukulan. Dan bahwa tiba-tiba perhitungannya "meleset" mendadak saja membuat jago pedang ini terkesiap kaget.

Bagaimanapun dia terpaksa membagi pertahanan diri sekarang. Maka begitu membuka mata dan melihat dua telapak Ciok-thouw Taihiap menghantam dada dan iga kanannya tiba-tiba jago pedang ini mengambil keputusan kilat. Dari dua serangan berbahaya itu dia 'harus mengambil resiko yang lebih kecil. Dan maklum bahwa isi dadanya jauh lebih penting dilindungi daripada iga kanannya maka tiba-tiba saja pendekar pedang ini menarik kekuatan sinkangnya pada daerah dada. Secepat kilat dia melindungi isi dadanya dengan sinkang tigaperempat bagian, dan begitu dua buah pukulan itu mendarat di tubuhnya terdengarlah suara dahsyat seperti ledakan gunung disambar petir.

"Blang! Krek...!" Bu-tiong-kiam Kun Seng terlempar bergulingan dan jago pedang yang patah tulang iganya itu mengeluh tertahan dengan mata terbelalak. Dia tidak mampu menahan pukulan Beng-san-paicu itu, dan begitu tubuhnya terlempar bergulingan jago pedang ini tak mampu bangkit berdiri dan roboh pingsan di atas tanah!

"Ah, ayahh….!" Kun Kun Bok menjerit kaget dan begitu ayahnya roboh terkapar dengan luka-luka parah tiba-tiba saja pemuda ini menghambur ke depan dengan muka pucat. Dia berjongkok di samping tubuh ayahnya, dan melihat darah segar memenuhi mulut ayahnya tiba-tiba Kun Bok seperti gila. Pemuda ini meraung-raung, dan para undangan yang melihat kesudahan dari peristiwa itu berdiri terkesima dengan muka tertegun.

Inilah kejadian yang amat mencekam mereka. Dan Ciok-thouw Taihiap yang melihat robohnya pendekar pedang itu juga tampak terpukau. Keadaan sejenak menjadi hening. Tapi Kun Bok yang meraung-raung itu mendadak melompat bangun. Pedang yang dia cabut mendesing di udara, dan begitu pemuda ini menghambur ke arah Ciok-thouw Taihiap berteriaklah pemuda itu,

"Beng-san-p aicu, hayo kau bunuhlah aku sekalian. Lampiaskan api dendammu yang keji itu...!" dan Kun Bok yang tiba-tiba sudah menerjang pendekar kepala gundul ini membuat semua orang semakin terkejut. Mereka melihat pedang itu menyambar leher ketua Beng-san-pai.

Tapi Lek Hui yang melihat gurunya diserang tiba-tiba sudah membentak marah, "Bocah she Kun, jangan bermain gila!" dan Lek Hui yang tahu-tahu sudah menampar lengan Kun Bok dari samping membuat pemuda itu berteriak kalap.

Kun Bok terpental, dan putera si jago pedang yang, sudah mata gelap ini ganti menyerang Lek Hui. "Jahanam she Auw, kau dan gurumu sama-sama iblis tak berperasaan. Mampuslah...!" dan Kun Bok yang sudah melancarkan tiga kali tikaman berturut-turut itu menusuk cepat dada dan perut Lek Hui. Dia tampaknya beringasan benar, dan Lek Hui yang melihat lawan kalap menggram.

Dengan sebat raksasa muda ini mengelak, lalu begitu mata pedang meluncur di samping tubuhnya mendadak dia menendang. "Plakkk...!" untuk kedua kalinya Kun Bok memekik marah dan pedang yang hampir terlepas dari tangannya itu sekonyang-konyang diputar. Mata pedang yang nyeleweng tiba-tiba membalik mengancam tenggorokan Lek Hui, dan begitu Kun Bok melompat maju tahu-tahu kaki kirinyapun mendupak.

"Bret-pletak!" Lek Hui tak sempat berkelit dan leher baju yang terkuak ujung pedang membuat raksasa muda ini marah. Dia merendahkan tubuh sedikit ke bawah, dan persis kaki Kun Bok melayang ke dagunya diapun tiba-tiba sudah menyambut tendangan ini dengan cengkeraman tangan kanannya. Tak ayal, Kun Bok terhuyung dan Lek Hui yang siap membalas serangan itu tiba-tiba sudah merunduk dengan pekik nyaringnya.

Tapi Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba berkelebat. Jago tua yang melibat muridnya hendak membalas dengan pukulan berbahaya itu sekonyong-konyong membentak. Dan begitu dia maju dikibaslah dua orang anak muda itu.

"Hui-ji, mundur...!" dan bentaknya yang sudah disertai tolakan tenaga sakti ini membuat dua orang pemuda itu mencelat kaget. Mereka seakan disapu angin puyuh, tapi Kun Bok yang melompat bangun itu sudah menerjang kembali pendekar sakti ini dengan kemarahan meluap.

"Ciok-thouw Taihiap, kau bunuhlah aku!" dan Kun Bok yang melengking marah dengan pedang diputar-putar itu tiba-tiba menusuk bertubi-tubi ke arah ketua Beng-san-pai ini. Namun Ciok-thouw Taihiap mendengus, dan sekali dia menggerakkan kakinya tiba-tiba pedang di tangan Kun Bok terlepas.

"Trang!" Kun Bok kehilangan senjata dan Ciok-thouw Taihiap yang gelap mukanya itu tiba-diba sudah menotok pemuda ini. Tak pelak, Kun Bok roboh tak berdaya dan Ciok-thouw Taihiap yang sudah menggerakkan kakinya itu melempar putera si jago pedang ini ke arah muridnya.

"Hui-ji, terimalah dia....!" dan Lek Hui yang cepat menangkap tubuh itu menyentak baju Kun Bok dengan kasar. Kini guru dan, murid itu sama-sama berdiri di atas lantai, dan Ciok-thouw Taihiap yang bersinar-sinar matanya itu memandang ke arah para tamu undangan. Dia tampaknya hendak berkata sesuatu, tapi bayangan tinggi tegap tiba-tiba barkelebat di depan ketua beng-san-pai itu.

"Ha-ha, hendak kau bawa ke mana putera si jago pedang itu, taihiap?" ketua Gelang Berdarah tiba-tiba sudah berhadapan dengan pendekar berkepala gundul ini dan Ciok-thouw Taihiap yang melihat laki-laki itu menghadangnya mendadak mengerutkan alis.

"Hiat-goan-pangcu, apa yang hendak kau lakukan?"

Ketua Hiat-goan-pang itu tertawa. "Ah, bukan kau yang sebenarnya melancarkan pertanyaan itu, taihiap, melainkan akulah. Apa yang kendaki kau lakukan terhadap saudara Kun Bok ini?"

Ciok-thouw Taihiap mendelik. Dia sebenarnya geram melihat tiugkah ketua Gelang Berdarah itu. Tapi menyadari orang sebagai tuan rumah diapun menjawab juga, dengan suara sedikit kasar, "Hiat-goan-pangcu, apa keperluanmu menanyakan persoalan ini? Bukankah kau tahu apa yang terjadi?"

Ketua Gelang Berdarah itu tersenyum. "Aku tahu, taihiap, tapi barangkali juga aku tidak tahu! Eh, bukankah persoalan ini sudah selesai, taihiap, jadi untuk apa kau membawa putera Bu-tiong-kiam Kun Seng itu?"

Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba membanting kakinya. "Hiat-goan-pangcu, kau rupanya manusia usil yang suka mencampuri urusan orang lain. Ada aturannyakah aku harus menjawab pertanyaanmu ini?"

Ketua Gelang Berdarah itu tiba-tiba terkekeh. "Wah, kau rupanya lupa, taihiap. Bahwa untuk urusan ini sesungguhnya aku tidak mencampuri urusan orang lain. Siapa bilang saudara Kun Bok orang lain bagiku? Lupakah kau bahwa jelek-jelek dia adalah pembantu Hiat-goan-pang?"

Dan sementara Ciok-thouw Taihiap tertegun dengan mata terbelalak ketua Gelang Berdarah itupun sudah menyambung sambil tertawa, "Dan kau boleh tanyakan hal ini pada semua yang hadir, taihiap. Dan bila omonganku tidak betul, bolehlah kau bawa anak itu ke mama kau suka!"

Maka Ciok-thouw Taihiap yang jadi terpaku ini terdiam dengan tubuh tidak bergerak. Dia memang kalah bukti dengan pernyataan itu, maka mendongkol oleh ketua Gelang Berdarah ini tiba-tiba dia membentak kepada muridnya, lemparkan anak sial itu kepadanya."

Dan Lek Hui yang sudah melempar tubuh itu kepada ketua Gelang Berdarah melotot pula dengan muka merah. Dia merasa gurunya dipermalukan, tapi Ciok-thouw Taihiap yang tiba-tiba melompat mendekati tubuh Bu-tiong-kiam Kun Seng itu sudah mengejek,

"Hiat-goan-pancu, apakah untuk orang she Kun inipun kau juga menghalangi niatku?"

Ketua Gelang Berdarah itu tertegun. Dia tidak tahu apa yang menjadi maksud ketua Beng-san-pai itu. Tapi melihat ketua Beng-san-pai ini sudah mengangkat tubuh si jago pedang dan memberikan pertolongan darurat diapun tak dapat tertawa. Ketua Gelang Berdarah itu hanya menyeringai, dan setelah tertawa kecut diapun berkata,

"Beng-san-paicu, kau rapanya tidak mau kalah. Siapa ada niat menolakmu membawa jago pedang itu? Kalau kau mau bawa dia silakan, Beng-sanicu. Tapi aku tidak menanggung keselamatan jiwanya!" dan ketua Gelang Berdarah yang menyeringai aneh itu tiba-tiba menunjukkan kelicikan yang disembunyikan.

Namun Ciok-thouw Taihiap sudah menotok dada dan punggung si jago pedang ini. Bekas lawan yang luka berat itu diserahkannya kepada Lek Hui, tapi sesosok bayangan bermuka hitam mendadak melayang mengejutkan semua orang.

"Souw-Locianpwe, serahkan Kun-taihiap itu kepadaku. Aku dapat menyembuhkannya!"

Dan bayangan muka hitam yang tahu-tahu melompat dari belakang ini membuat semua mata terbelalak. Mereka terkejut melihat si muka hitam itu meluncur bagaikan terbang, dan ketika dia melampaui kepala banyak orang bahkan menotol beberapa ubun-ubun ketua-ketua partai besar seperti Thian Kong Cinjin dan Bu Wi Hosiang serentak orang-orang itu tertegun dan hampir tertawa...!



Pendekar Kepala Batu Jilid 28

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 28
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Kepala Batu Karya Batara
"NAH, apa yang kukatakan, taihiap? Bukankah atas permintaan puteramu sendiri semuanya ini kulakukan? Bok-kongcu memang laki-laki muda yang mengagumkan sekali, dia gagah perkasa dan amat jantan…!" dan ketua Gelang Berdarah yang tampak gembira bukan main itu sudah menepuk-nepuk pundak Kun Bok dengan wajah berseri-seri.

Tapi sang Pendekar Pedang Dalam Kabut mendadak membesi mukanya. Dia nnenggigil dalam mata yang terbelalak, memandang Kun Bok dengan pandangan yang tidak berkedip. Sementara Ciok-thouw-taihiap yang sudah menggereng di sampingnya itu tiba-tiba membanting kakinya dahsyat sekali. Ketua Beng-san-pai yang kemarahannya semakin bergolak itu tidak mampu mengendalikan dirinya lagi, dan Bu-tiong-kiam Kun Seng yang berdiri di dekatnya mendadak geraman murka.

"Bagaimana orang she Kun, apa yang hendak kau perbuat kini dengan puteramu itu?"

Bu-tiong-kiam Kun Seng tertegun. Dia tidak dapat menjawab seketika pertanyaan ketua Beng-san-pai yang sedang diamuk gejolak kemarahannya ini, tapi sikap Kun Bok yang agak meragukannya membuat dia berdiri seperti patung tak bergerak. Betapapun, dia mengenal setiap gerak-gerik puteranya itu. Dan bahwa Kun Bok seakan "memaksa" dalam mengiyakan perjodohan ini membuat mata awas pendekar pedang itu bercuriga. 

Dia melihat suatu yang tidak dilihat orang lain, dalam masalah yang pelik ini, tapi jawaban puteranya yang sudah diucapkan didepan orang banyak membuat dia tak mampu berbuat apa-apa. Tapi jago pedang tanpa tanding ini juga bukan orang bodoh. Dia memutar tubuh menghadapi sang ketua Beng-san-pai yang sedang marah-marah, sikapnya yang tenang, penuh perhitungan membuat dia menjawab pertanyaan ketua Beng-san-pai itu dengan hati-hati,

"Souw-taihiap, dapatkah kau sedikit mendinginkan kepala menghadapi kelakuan puteraku ini? Dia masih terlampau muda dalam menentukan sepak terjangnya, dan aku sebagai ayahnya satu-satunya mengharap semua yang dilakukan puteraku ini adalah suatu mimpi buruk yang tidak benar-benar terjadi. Aku melihat ketidak-wajaran dalam sepak terjang anakku, dan kalau kau berkenan memberikan sedikit waktu lagi kepada kami ayah beranak untuk bercakap-cakap pastilah aku akan dapat memberikan keputusannya!"

"Hm, kau akan memberikan keputusan apalagi, orang she Kun? Dan dapatkah kekurangajaran puteramu ini dibalas hukuman yang setimpal?"

Bu-tiong-kiam Kun Seng menegakkan kepalanya. "Souw-taihiap, betapapn dia merupakan anak tunggal satu-satunya bagiku tapi jangan khawatir apabila orang she Kun ini akan membiarkan saja puteranya mencemarkan nama orang seenak perutnya sendiri. Kun Bok memang bersalah, tapi apapun kesalahannya itu kukira lebih bijaksana bagi kita orang tuanya ini untuk mencari sebab-sebabnya. Dan sekali dia benar bersalah maka aku sebagai ayahnya akan memberinya hukuman setimpal. Tidak mungkin membiarkannya melepas diri dari segala tanggung jamab!"

"Bagus! Tapi betulkah kau akan dapat memberinya hukuman setimpal, orang she Kun, hukuman yang adil dan tidak berat sebelah terhadap puteramu satu-satunya ini?"

Bu-tiong-kiam Kum Seng meraba gagang pedangnya. "Demi kehormatan nama padangku, taihiap. Demi kebenaran dan kegagahan yang selama ini dijunjung keluarga nenek moyangku!"

"Bagus! kalau begitu bicaralah terhadap puteramu itu, orang she Kun. Aku dari ke!uarga Souw juga ingin melihat dan mendengar apa yang menjadi keputusarmu nanti....!" dan Ciok-thouw Taihiap yang sudah murdur setindak dengan mata bersinar-sinar itu tampak berhasil dikendalikan amarahnya barang sejenak.

Sementara Kun Bok, yang melihat ayahnya sudah berputar diri menghadapinya dengan sikap keren penuh kesungguhan saja sudah menggigil kakinya dengan muka pucat. Tadi ayahnya sudah menyentuh gagang pedang, berarti semacam sumpah untuk mencari keadilan bagi dirinya piibadi. Dan dia yang sudah mengenal baik watak ayahnya yang penuh kegagahan ini menjadi gemetar bukan main beradu pandang. Tapi belum dia berbuat sesuatu tiba tiba Bi Kwi lagi-lagi melayani urusan ini. Ia melompat di depan Kun Bok, dan dia yang berdiri melindungi pemuda itu dari ancaman ayahnya sudah berseru nyaring,

"Locianpwe, kau hendak berbuat apakah terhadap Bok-koko?"

Bu-tiong-kiam Kun Seng memandang tajam. "Nona, kau agaknya demikian penuh perhatian sekali tehadap puteraku ini. Tapi apakah perbuatanmu ini tulus sepenuhnya keluar dari hati? Tidaklah kau serigala betina berbulu domba?"

Bi Kwi terbelalak marah. Tapi Kun Bok yang melihat kekasihnya ini hendak menjawab kata-kata ayahnya tiba-tiba sudah menariknya ke belakang dan menjatuhkan diri berlutut. "Ayah, harap jangan bersikap kasar. Adik Bi Kwi bukanlah serigala berbulu domba tapi seorang wanita berhati mulia. Apakah ayah tidak melihat betapa besarnya cinta kasih gadis ini kepada anakmu?"

Bu-tiong-kiam Kun Seng mengeraskan dagunya. "Bok-ji, jangan melantur bicara tentang cinta! Apakah kau tahu dosamu yang semakin bertumpuk-tumpuk ini?"

Kun Bok tergagap. "Maaf, ayah aku… aku…"

"Hm, kau telah menyeleweng dari perintah ayahmu, Bok-ji. Kau telah berjalan terlalu jauh dari rel yang telah kugariskan. Apa jawabmu sekarang tentang semua perbuatan ini?"

"Maksud ayah...?"

"Bagaimana pertanggungan jawabmu tentang perjodohan dengan pihak keluarga Souw?"

Kun Bok kebingungan. Dia memandang ayahnya dengan mata berputar, tapi ketetapan hatinya yang sudah mantap agaknya membuat pemuda ini bangkit keberaniannya. Karena dengan tiba-tiba dia sudah menggeleng dan berkata tegas, "Maaf, dalam hal ini agaknya aku tidak dapat melanjutkan rencana itu, ayah. Karena di samping nona Ceng Bi rupanya tidak ada kecocokan denganku, juga karena aku sudah menetapkan pilihan sendiri!"

"Hm, dengan anak setan itu, Bok-ji?"

"Benar. Tapi Kwi-moi bukan anak setan, ayah. Dia gadis baik-baik yang kucintai sepenuh hati!" Kun Bok membantah.

Dan muka si jago pedang ini segera merah seperti api menyala. Dia merasa malu dan marah mendengar ucapan anaknya yang seperti itu, di-dengar banyak orang di tempat umum. Tapi Bu-tiong-kiam Kun Seng yang pandai mengendalikan perasaannya ini tidak terpancing oleh suara ketawa di sana-sini yang bemada mengejek. Dia hanya memandang bengis ke arah Kun Bok, lalu suaranya yang bergetar serak membentak puteranya ini,

"Bok-ji, tahukah kau kesalahan apa yang telah kau perbuat dengan kelancanganmu ini? Tahukah kau betapa kau telah menghina pihak keluarga lain dan mencoreng malu di muka ayahmu?"

Kun Bok kembali menjatuhkan diri berlutut. "Maaf. Aku tahu, ayah. Tapi apa yang kulakukan ini sesungguhnya tidak bermaksud membuat malu dirimu. Dan aku juga tidak bermaksud menghina keluarga Souw-taihiap!"

"Hm, apa maksudmu, Bok-ji?"

Kun Bok sekarang bangkit berdiri. Dengan maka pucat dan mata barsinar-sinar dia memandang rombongan ketua Gelang Berdarah, lalu ketika dia kembali beradu pandang dengan ayahnya diapun menjawab dengan suara gemetar, "Ayah, aku sesungguhnya sudah ingin memberi-tahukan kepadamu tentang perubahan urusan ini. Aku sudah siap untuk meminta pertimbauganmu karena aku sudah mencintai wanita lain. Tapi karena Hiat-goan-pangcu menjanjikan ayah segera datang maka aku menunggu-nunggumu di sini. Sama sekali tidak kuduga bahwa ayah baru datang setelah persoalan jodoh ini diumumkan...!"

"Hm, maksudmu ketua Gelang Berdarah mengatakan aku akan datang sebelum perayaan ini. Bok-ji?"

"Tidak… tidak... tapi, eh... Hiat-goan-pangcu mengatakan bahwa ayah pasti datang dalam pasta ulang tahun ini dan...."

Kun Bok tiba-tiba kebingungan. Dia memang kebingungan dalam mencari kata-kata yang tepat untuk memberikan penjelasannya ini, tapi alasan yang macet di tengah jalan membuat pemuda itu justeru menjadi gugup. Namun untunglah, Bi Kwi kembali melompat maju dan suaranya yang nyaring merdu tiba-tiba memecah perhatian semua orang.

"Kun-locianpwe, bolehkah aku memberikan penjelasan Bok-koko ini?"

Bu-tiong-kiam Kun Seng mengerutkan keningnya. Dia sebenamya tidak senang melihat gadis itu berkali-kali "lancang" mencampuri urusan, tapi karena gadis itu menyatakan hendak membantu Kun Bok akhimya membuat dia mengangguk juga. Bi Kwi tersenyum.

"Begini, locianpwe. Sesungguhnya Bok-koko memang tidak bersalah. Dia sudah menceritakan segalanya kepadaku, menceritakan semua kesulitan-kesulitannya itu. Tapi karena locianpwe yang ditunggu-tunggu tidak datang maka Bok-koko akhimya memutuskan untuk mencari locianpwe saja."

"Hm, tapi anak itu nyatanya tidak mencariku, nona."

"Benar. Karena dua sebab, locianpwe. Pertama takut sigipan jalan dan kedua karena waktunya yang sudah terlalu mendesak!" Bi Kwi menjawab. "Kalau begitu apa perlunya dia mencari aku?"

Bu-tiong-kiam Kun Song membelalakkan mata. Dan Bi Kwi kini tersenyum lebar. "Kun-locianpwe, pertanyaanmu yang aneh ini kukira mudah saja jawabannya. Bok-koko bermaksud mencarimu karena dia hendak memberitahukan urusan ini. Memohon pendapat dan pertimbangan-mu agar membatalkan ikatan jodoh dengan pihak keluarga Beng-san-paicu. Tapi karena takut sisipan jalan dan waktu yang sudah mendesak membuat Bok-koko akhimya kebingungan sendiri!"

Bu-tiong-kiam Kun Seng tiba-tiba menegakkan kepalanya. "Bok-ji, benarkah apa yang dikatakan temanmu ini?"

Kun Bok mengangkat wajahnya. "Memang ayah. Apa yang telah dikatakan adik Bi Kwi itu memang menjadi rencanaku semula!"

"Hm…!" Bu-tiong-kiam Kun Seng sekonyong-konyong bersinar matanya."Jadi kau bermaksud memberitahukan kepadaku tentang perubahan ini, Bok-ji? Kau bermaksud untuk membatalkan ikatan jodoh dengan pihak keluarga Souw?"

Kun Bok sekarang berseri mukanya. Dia mendengar nada yang lain pada suara ayahnya ini, nada yang lunak dan penuh pengertian. Maka begitu ayahnya bertanya lembut pemuda inipun sudah berdiri dengan wajah gembira. "Ayah, apa yang kaukatakan ini sesungguhnya memang benar belaka. Aku tidak bermaksud meninggalkanmu secara diam-diam. Aku bahkan hendak berterus-terang dalam hal ini kepadamu. Tapi karena waktu yang tidak mengijinkan maka semuanya inipun terjadilah. Aku tidak bermaksud membuat malu kepadamu, ayah. Dan aku juga tidak bermaksud menghina keluarga Souw-taihiap!"

"Tapi kau tetap membuat satu kesalahan, Bok-ji. Kau tidak meminta agar Hiat-goan-pangcn mengundurkan dahulu berita pengumuman ini sampai orang-orang tua yang bersangkutan sudah datang bicara!" Bu-tiong-kiam Kun Seng tiba-tiba menegur dengan cuara keras. "Kenapa kau tidak meminta kepadanya untuk mengundurkan dahulu pengumuman ini?"

Kun Bok tersentak. "Sudah, eh... aku... memang sudah menjalankan maksud ini, ayah. Tapi... tapi Hiat-goan-pangcu tidak berhasil kutemui…!"

"Apa?" pendekar pedang itu terheran. "Kau tidak berhasil menemuinya....?" pendekar ini sekarang memandang ketua Gelang Berdarah itu dengan mata curiga "Apa yang kau maksudkan ini, Bok-ji?"

Bun Bok menoleh dengan takut-takut ke arah tuan rumah itu. Dia teringat cerita Bi Kwi bahwa ketua Gelang Berdarah ini sesungguhnya adalah pelarian dari pulau Hek-kwi-to, adik perguruan Maiaikat Gurun Neraka yang terkenal namanya itu. Tapi bahwa ketua Gelang darah tiba-tiba melangkah maju dengan mulut senyum ramah membuat Kun Bok akhirnya dia tertegun.

"Kun-taihiap," demikian orang berkedok membuka suara. "Setelah kini mendengar apa yang diceritakan puteramu itu memang dapat ditarik kesimpulan bahwa Bok-kongcu tidak salah. Dia masih tetap memegang teguh adat sopan-santun pada kebudayaan kita. Terbukti bahwa dia bermaksud mencarimu untuk membicarakan urusan ini. Dan bahwa puteramu bermaksud membatalkan ikatan jodohnya dengan keluarga Beng-san-paicu hal ini tidak terlalu kuherankan. Cinta kasih memang sesuatu yang aneh, ia suatu yang luar biasa sehingga tidak dapat diramal atau diduga kesudahannya oleh orang lain. Dan Bok-kongcu yang bermaksud menyelesaikan urusan ini dengan berbicara terus terang padamu sungguh suatu hal yang pantas dipuji. Dan karena tidak terlaksana dengan sempurna. Tapi biar bagaimanapun juga terbuktilah disini bahwa puteramu itu tidak bermaksud menyingkut (membelakangi) orang tuanya, Kun-taihiap. Dan bahwa puteramu itu telah merencanakan maksudnya yang baik ini sungguh kita orang-orang tua harus mengakuinya sebagai pikiran yang tepat. Dia tidak bisa dikata membuat malu dirimu, dan Bok kongcu yang telah mempunyai gagasan yang baik ini juga tidak bisa dituduh menghina keluarga Beng-san-paicu! Kecuali sedikit uneg-unegnya yang tidak sampai dituangkan itu karena tidak ada kesempatan. Bagaimana pendapatmu Kun Taihiap?"

Baru ketua Gelang Berdarah itu menghentikan kata-katanya, tiba-tiba terdengar gerengan hebat dari mulut Ciok-thouw Taihiap Souw Kun Beng. "Bagus, kau mendapat pembela yang hebat, orang she Kun! Apakah sekarang kau bermaksud membebaskan puteramu dari kesalahannya?"

Jago pedang ini memutar tubuh. Dia tampak berkernyit alis mendengar seruan ketua Beng-san-pai itu, namun sinar matanya yang mulai bercahaya menunjukkan bahwa jago pedang ini mulai terpengaruh oleh cerita tentang putera tunggalnya.

"Souw-taihiap, setelah kau mendengar sendiri tentang semua perbuatan puteraku ini apakah kira-kira yang harus kujatuhkan kepadanya? Patutkah dia kuhukum sebulan di dalam kurunganmu?"

Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba tertawa bergelak. "Orang she Kun, kau kira sedemikian ringannyakah kesalahan anakmu itu? Kau kira dengan hukaman sebulan di ruang bawah tanahku samua kesalahannya bocah ini terhapus?"

Si jago pedang membelalakan mata. "Souw-taihiap, kukira kesalahan anakku tidaklah seberapa besar. Kau telah mendengar sendiri betapa sebetulnya puteraku ini ingin memutuskan hubungan dengan cara baik-baik. Lalu kalau begitu apakah aku sebagai ayahnya harus menerima akibat yang lebih jauh dari kesalahan anakku ini, taihiap?"

Ketua Beng-san-pai itu tiba-tiba menjadi beringas. "Orang she Kun, kuakui di sini bahwa pokrol bambu ketua Gelang Berdarah memang dapat diterima akal. Tapi apakah Itu semuanya cukup mengembalikan apa yang keluarga Souw telah kehilangan? Puteramu itu telah memporak-porandakan semuanya, Kun Seng. Dan kesalahannya yang dianggap kecil oleh Hiat-goan-pangcu itu sesungguhnya tidak bisa ditebus selain dengan jiwa! Puteramu telah menyinggung harga diri keluarga Souw, dan di samping kekurangajarannya ini diapun telah menginjak-injak martabat Ciok-thouw Taihiap dengan membiarkan diri menarik perjodohan tanpa memberi tahu!"

"Hm, itu memang satu kesalahannya yang besar, Taihiap. Tapi bukankah kaudengar sendiri puteraku itu tidak dapat karena satu dan lain hal?"

"Ha-ha, enak saja kau bicara, orang she Kun. Jadi karena begitu kau lalu melindunginya? Kau hendak menyelamatkan puteramu ini dari hukumannya?"

Bu-tiong-kiam Kun Seng mendadak menaikkan keningnya. Dia melihat ketua Beng-san-pai itu mulai bersikap keras, dan sikapnya yang kasar tapi selalu disambutnya dengan penuh pengertian karena maklum bagaimanapun juga puteranya yang salah membuat dia mulai mengeraskan dagu pula. Kun Bok memang tidak dapat dikatakan benar, karena jelas membatalkan perjodohan tanpa memberi tahu pihak lawan. Tapi bukankah sudah dijelaskan tadi bahwa pemuda itu tidak sempat memberitahukan karena sempitnya waktu?

Dan Ciok-thouw Taihiap yang tidak mau tahu masalah ini rupanya memang terlampau tersmggung sekali. Ketua Beng-san-pai itu kelewat merasa "terhina", dan kesalahan Kun Bok yang satu ini agaknya dimintai suatu hukuman yang sepadan. Dan, mengingat ucapannya tadi rupanya sang ketua Beng-san-pai itu menuntut suatu hukuman jiwa. Dengan kata lain, agaknya Pendekar Kepala Batu ini rupanya menghendaki kematian Kun Bok untuk "pembayaran" ikatan jodoh yang dibatalkan itu. Sungguh terlalu!

Maka jago pedang yang mulai marah ini memandang ketua Beng-san-pai itu dengan tatapan keras. "Beng-san-paicu," demikian jago pedang ini mulai mengubah panggilannya, "Apakah semua kata-katamu itu tidak didorong oleh irinya hati melihat puteraku memilih gadis lain yang kebetulan anak buah Hiat-goan-pangcu? Apakah kau tidak berlebihan menuntut imbalan atas kesalahan puteraku ini? kau rupanya dimabok dendam, Beng-san-paicu, dan tuntutanmu yang menghendaki jiwa anakku hanya untuk pembatalan ikatan jodoh ini agaknya tidak masuk akal sama sekali. Kau meminta terlampau tinggi, dari aku sebagai yahnya merasa berkeberatan untuk memenuhi permintaanmu ini. Karena Kun Bok yang bersalah dalam perbuatannya itu kunilai tidak selayaknya untuk menebus kesalahannya dengan jiwa…!"

"Ha-ha, kau mulai memutar balik omongan. orang she Kun? Kau mulai terang-terangan membela anakmu ini?" Ciok-thouw Taihiap tampak menggigil.

Tapi Bu-tiong-kiam Kun Seng menggelengkan kepala "Tidak. Aku sama sekali tidak bermaksud membela anakku, Beng-san-paicu. Karena betapapun juga dia memang bersalah. Tidak memberitahukan pembatalan ini kepadamu. Tapi apakah untuk kesalahan ini kau lalu meminta kepadaku untuk membunuh anak sendiri hanya gara-gara kesalahannya itu? Tidak, Beng-san-paicu. Aku menilai imbalan yang kauminta ini tidak pantas. Kau didorong oleh nafsu dendam belaka dalam mengejar pemuasan nafsu amarahmu ini!"

"Hmm...!" Ciok-thouw Taihiap menggereng. "Jadi, kau tidak mau menghukum anakmu, orang she Kun?!"

"Kalau kau menghendaki jiwa sebagai penebus dosanya, Beng-san-paicu!"

"Baik, kalau begitu aku sendiri yang akan memberikan hukumannya!" dan Ciok-thouw-taihiap yang sudah melangkah maju dengan mata berapi-api itu tampak membesi mukanya dengan pandangan mengerikan. Ketua Beng-san-pai yang sudah dikuasai kemarahan besar ini rupanya tidak mau lagi banyak bicara.

Tapi Bu-tiong-kiam Kun Seng yang melompat maju sudah menghadang langkahnya dengan jari di gagang pedang. "Beng-san-paicu, layakkah sikapmu ini sebagai ketua partai?"

Ketua Beng-san-pai itu menahan langkah. Dia menatap pendekar pedang ini dengan pandangan seekor naga sakti yang siap monelan mangsanya bulat-bulat, tapi balasan lawan yang angker berwibawa membuat dia tertegun. Betapapun, jago pedang ini bukanlah orang sembarangan. Ilmu pedangnya yang tanpa tanding membuat dia sendiri menaruh penghargaan yang setingkat. Dan bahwa pendekar pedang itu menahan langkahnya dengan pertanyaan tajam membuat ketua Beng-san-pai ini menunda kemarahannya.

"Orang she Kun, apa yang kau maui?" Ciok-thouw Taihiap melontarkan seruan dingin. "Apakah kau hendak melindungi puteramu itu dari kesalahannya?

Bu-tiong-kiam Kun Seng menegakkan kepala. "Beng-san-paicu, kalau kau mengira aku hendak molindungi puteraku ini dari kesalahA.nnya maka itu adalah kecupatan pikiranmu belaka! Aku tidak bermaksud melindunginya, tapi sebagai seorang ayah aku berhak membela anakku sendiri dari suatu keputusan yang tidak adil. Karena kau yang diamuk dendam ini kulibat malakukan ketimpangan, Beng-sang-paicu, dan aku orang she Kun ini menuntut keadilan atas sikapnau tethadap puteraku yang bersalah!"

"Hm, jadi kau mengakui puteramu itu bersalah, orang she Kun?"

"Aku tidak pernah mengatakannya tidak, Beng-san-paicu. Dan puteraku yang bersalah memang patut menerima hukumannya."

"Bagus, kalau begitu kau mau menyerahkan puteramu itu kepadaku, orang she Kun?" mata ketua Bung-san-pai ni bersinar.

Tapi Bu-tiong-kiam Kun Seng cepat-cepat menggoyang lengannya. "Nanti dulu, jangar tergesa-gesa.. Beng-san-paicu. Aku tidak mengatakannya demikian! Anakku yang bersalah memang patut menerima hukumannya, tapi kalau kau hendak menjatuhkan kematian, aku sebagai ayahnya menolak!"

"Hm, kalau begitu hukuman apa yang kau inginkan, Kun Seng? Menyuruh anakmu meminta maaf dan menggoyang pantat setelah itu dia dimaafkan?" Ciok-thouw Taihiap mengejek dingin.

"Tidak, barangkali itu terlalu murah bagi kami keluarga Kun, Beng-san-paicu. Tapi aku sebagai ayahnya siap menebus semuanya ini dengan cara yang setimpal"

"Hm, maksudmu...?"

Jago pedang ini tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut. "Beng-san-paicu, karena aku yang pertama kali mendatangi rumahmu dan mengusulkan ikatan jodoh ini, maka biarlah sekarang aku pula yang pertama-tama meminta maaf atas kesalahan puteraku itu. Kun Bok telah merendahkan martabatmu, menghina keluarga Souw dengan perbuatannya yang tidak terpuji. Dan aku sebagai ayahnya yang merasa bertanggung jawab hari ini membayar kesalahannya dengan memohon maaf yang sebesar-besarnya terhadapmu. Disaksikan Langit dan Bumi, dan disaksikan pula oleh seluruh undangan yang hadir pada malam ini biarlah kuutarakan rasa penyesalan dan maafku yang amat dalam atas kesalahan puteraku itu dan sekaligus menyatakan menarik kembali usul perjodohan yang pernah kubuat karena ketidak pantasan puteraku terhadap keluarga Shouw…!" dan Bu-tiong-kiam Kun Seng yang tiba-tiba menyentuh kaki ketua Beng-san-pai itu lalu mencium ujung sepatunya. Kontan saja membuat keadaan menjadi gempar! Semua orang terkejut, dan Kun Bok yang melihat perbuatan ayahnya itu sampai berteriak kaget.

"Ayah....!" tapi jago pedang ini tidak mau menghiraukan seruan puteranya.

Pendekar pedang yang selesai "membayar" dosa anaknya itu tampak bangkit berdiri, dan mukanya yang merah berkerut-kerut jelas membayangkan perasaan yang bergolak-golak. Bu-tiong-kiam Kun Seng yang tiba-tiba menyentuh kaki ketua Reng-sari-pai itu late mencium ujung sepatunya kontan saja membuat keadaan menjadi gempar!

Sementara Ciok-thouw Taihiap, yang tidak menyangka sama sekali perbuatan si jago pedang itu tampak terbelalak dengan sikap tertegun. Dia tersentak dan terkejut sekali oleh perbuatan yang dilakukan bekas sahabatnya itu, karena apa yang dilakukan Bu-tiong-kiam Kun Seng ini sungguh suatu "penebusan" yang amat berat. Karena menyentuh kaki lawan dan mencium ujung sepatu nya adalah perbuatan yang bisa dianggap "menghina" diri. Dengan perbuatan itu si jago pedang ini telah "membanting" harga dirinya sendiri di mata orang lain. Apalagi disaksikan demikian banyak tamu!

Maka ketua Beng-san-pai yang terhenyak oleh peristiwa ini sedetik tak mampu mengeluarkan kata-kata. Dia terkesima oleh perbuatan yang dilakuan Bu-tiong-kiam Kun Seng itu, dan bahwa orang telah menyatakan penyesalannya dengan cara demikian hebat sungguh membuat dia tergetar. Tapi Pendekar Kepala Batu ini tiba-tiba berkerot giginya. Sinar mata Kun Bok yang beradu dengannya mendadak membuat dia beringas, pemuda yang menjadi para-gara, dari semua peristiwa ini membuat pendekar besar itu mengepal tinjunya.

Kun Seng memang telah "membayar" kesalahan anaknya sebagai orang tua yang bertanggung jawab. Tapi bagaimana dengan bocah itu sendiri? Bukankah dia boleh enak-enak melepaskan diri dari semua dosa yang dilakukankannya? Tidak Kun Seng memang telah mempertanggung jawabkan semua kesalahan-anaknya tarhadap dia. Tapi Kun Bok yang belum "terhukum" itu harus pula menerima dosa!

Maka begitu pandangannya tertuju kepada pemuda ini tiba-tiba Ciok-thouw Taihiap Souw Ki Bang itu-pun menggeram. "Kun Seng, kuhargai sekali pembelaanmu terhadap putera tunggal satu-satumu itu. Tapi bagaimana dengan bocah itu sendiri? Apakah dia bebas setelah ayahnya memikul semua dosa-dosa yang dilakukannya?"

Pendekar pedang tanpa tanding ini menyeriap mukanya. Dia pucat mendengar nada yang menyembunyikan ancaman dalam suara Pendekar Kepala Batu itu. Dan bahwa orang tampaknya masih tidak puas dengan permintaan maaafnya membuat jago pedang menggigil. "Bang-san-paicu, apalagi yang harus kulakukan?" suara setak yang terkandung dalam kalimat Bu-tiong-kiam Kun Seng itu menyatakan perasaannya, tapi Ciok-thouw Taihiap yang tidak perduli nampak menuntutnya bersikap tegas.

"Orang she Kun, sebagai orang tua dengan orang tua aku dapat menerima permintaan maafmu. Tapi bagaimana dengan bocah yang menjadi biang keladi semua keonaran ini? Apakah kau lalu membebaskannya tanpa menerima sedikitpun hukuman?"

Bu-tiong-kiam Kun Seng terbelalak. "Maksudmu, Beng-san-paicu....?"

Aku menuntut anak itupun menyatakan penyesalannya. Dan sebagai bukti bahwa dia mau bertanggung jawab untuk semua perbuatannya ini dia harus..." baru sampai di sini ucapan itu tiba-tiba Bu-tiong-kiam Kun Seng sadah memotong dengan seruan cepat,

"Ah, tentu saja... tentu saja, Beng-san-paicu. Akupun akan menyuruh puteraku untuk meminta maaf kepadamu dan kepada nona Ceng Bi!"

Namun Ciok-thouw Taihiap menggelengkan kepalanya. "Tidak, orang she Kun. Aku tidak butuh permintaan maaf bocah itu melainkan butuh kepalanya untuk dijadikan ubo-rampe (sesaji) di meja sembahyangan" dan baru habis ucapan ini diserukan mendadak saja Bu-tiong-kiam Kun Seng berteriak lirih.

"Ciok-thouw Taihiap, kau gila!"

Tapi pendekar yang tiba-tiba tertawa bergelak ini menghentakkan kakinya. "Aku tidak gila, orang she Kun. Tapi puteramu itulah yang tidak waras! Ha-ha, bagaimana jawabanmu, Bu-tiong-kiam?"

Pendekar pedang ini sekarang benar-benar gemeretuk. Dia menggigil dan bangkit kemarahan-nya oleh sikap Ciok-thouw Taihiap yang dia nilai kelewat hatas itu, dan begitu matanya terbelalak tiba-tiba jago pedang inipun sudah mencabut pedangnya! "Srat!" sinar putih yang menyilaukan mata tahu-tahu berkeredep di tangan pendekar pedang itu, dan Bu-tiong-kiam Kun Seng yang mulai berapi pandangannya ini membentak dingin, "Souw Ki Bang, begitukah watakmu sekarang ini? Apakah tidak cukup pergorbanan keluarga Kun dengan berlutut di bawah kakimu? Atau kau kira keluarga Kun adalah anjing hina yang tidak memiliki harga diri lagi?"

"Kun-seng Taihiap!" Souw Ki Bang mendengus. "Aku tidak bilang begitu, orang she Kun. Tapi kesalahan anakmu ini tetap kutuntut untuk menebus dosanya!"

"Hm, dengan menyerahkan jiwanya, Beng-san-paicu?"

"Karena itu adalah satu-satunya jalan!"

Maka begitu ketua Beng-san-pai ini selesai mengucapkan kata-katanya yang tegas pendekar pedang itupun sudah berseru nyaring, "Bagus, kalau begitu langkahi dahulu mayatku, Beng-san-paicu. Dan setelah itu keinginaninu bakal terpenuhi...!" dan pendekar yang tidak dapat menahan kemarahannya ini tiba-tiba menggeser kakinya lalu memasang pedang bersilang di atas kening dengan jari bergetar. Dia marah dan terhina sekali oleh sikap ketua Beng-san-pai yang dirasa kelewat batas itu.

Tapi Ciok-thouw Taihiap yang melihat lawan memasang kuda-kuda malah tertawa dingin dengan senyum mengejek. "Kau hendak mempertaruhkan jiwa untuk anakmu yang berdosa, Kun Seng?"

"Karena kau yang kelewatan, Beng-san-paicu. Karena kau yang hendak menginjak-injak harga diri orang lain dengan titiak kenal aturan!"

"Bagus. Kalau begitu mari kita tentukan persoalan ini dengan cara kita, orang she Kun. Dan siapa yang roboh anggap saja dia yang bersalah!" dan Ciok-thouw Taihiap yang tiba-tiba merunduk dengan siku terlipat membentuk cakar naga itu tampak tertawa dengan muka beringas. Dia siap menghadapi pertempuran yang tentu menumpahkan darah ini, tapi kemarahannya yang tidak terbendung membuat ketua Beng-san-pai itu tidak menghiraukan segalanya. Dia terlampau sakit hati melihat purbuatan putera si jago pedang itu.

Dan bahwa Kun Bok membatalkan ikatan jodoh setelah dia "membunuh" puterinya sendiri membuat pendekar sakti ini mata gelap. Dia tidak lagi mengingat hubungan baiknya dengan si jago pedang. Dan peristiwa belasan tahun yang lalu yang menyangkut hutang budi dengan Bu-tiong-kiam Kun Seng itupun tidak diingatnya. Yang penting bagi ketua Beng-san-pai ni adalah nyawa Kun Bok dan kalau Bu-tiong-kiam Kun Seng hendak membela anaknya apa boleh buat. Dia akan merobohkan pendekar pedang itu sebelum semuanya terselesaikan!

Tapi, sementara dua jago ini siap bertanding dan memasang kuda-kuda untuk mencari penyelesaian dengan jalan kekerasan tiba-tiba Kun Bok yang menjadi titik persolannya melompat maju. Pemuda yang pucat dan menggigil tubuhnya itu langsung menghadapi Ciok-thouw Taihiap, dan begitu dia beradu muka segeraiah pemuda ini berseru nyaring,

"Ciok-thouw Taihiap... Souw-locianpwe, berhenti dulu... aku ingin bicara...!" dan Kun Bok yang sudah menjatuhkan diri berlutut di depan ketua Beng-san-pai itu tampak gemetar. Souw-lociaripwe, berhenti dulu... aku ingin bicara sebentar. Bisakah kau menunda pertempuran ini....?"

Ciok-thouw Taihiap mengerutkan keningnya. "Kau hendak bicara apa, bocah? Kau ingin meninggalkan pesan sebelum ajalmu tiba?" ketua Beng-san-pai ini membentak.

Tapi Kun Bok menggelengkan kepala. "Tidak... tidak... bukan itu, Souw-locianpwe. Tapi satu pertanyaan tentang sikapmu ini...." dan sebelum Ciok-thouw Taihiap membuka pertanyaan pemuda itupun sudah melanjutkan kata-katanya, pedas dan melengking nyarirg, "Souw-taihiap, aku ingin mengajukan satu pertanyaan kepadamu yakni; Mengapa kau demikian tidak tahu malu menagih jiwa kepadaku hanya untuk pembatalkan ikatan jodoh ini? Apakah sudah selayaknya keluarga Kun membayar jiwa untuk pembatalan ikatan jodoh?"

Dan, kembali sebelum Ciok-thouw Taihiap menjawab pertanyaan ini Kun Sok-pun sudah menyerbu lagi, menyerang sengit dengan kata-katanya yang serak parau, ditujukan kepada para hadirin. "Cuwi enghiong, para sahabat yang gagah perkasa sudah sepantasnyakah sikap yang diambil oleh ketua Beng-san-pai ini? Sudah selayaknyakah keputusan yang diambil Beng-san-paicu. Karena seingatku, cuwi enghiong, hanya orang yang berhutang jiwa sajalah yang patut dimintai pembayaran jiwanya pula untuk menebus dosanya! Sedangkan keluarga kami, keluarga Kun yang jarang turun gunung, kapan pernah berhutang jiwa kepada keluarga Souw? Nah, Ciok-thouw Taihiap Souw-locianpwe, kini dengan alasan apakah kau demikian tidak tahu malu menagih jiwa kepadaku? Apakah sebabnya kau demikian mati-matian meminta jiwa untuk pembatalan jodoh?"

Dan Kun Bok yang sudah bangkit berdiri dengan muka gemetar serta mata berapi-api itu tampak menggigil seluruh uratnya. Dia marah dan penasaran sekali oleh ketidakadilan ketua Beng-san-pai yang dianggap keterlaluan itu, dan Beng-san-paicu yang tampak tertegun mendengar kata-katanya kelihatan tak mampu menjawab. Dan ini dipergunakan Kun Bok kembali untuk melampiaskan emosinya, meledakkan semua kekecewaan yang menggelegak di rongga dada. Karena Kun Bok yang melihat ketua Beng-san-pai itu tidak mampu menjawab kata-katanya tiba-tiba sudah kembali menyerang dengan suara sengit.

"Nah, Ciok-thouw Taihiap, apa sekarang yang hendak kau katakan kepada kami? Di manakah letak keadilanmu yang sudah menduduki jabatan sebagai seorang ketua partai? Di manakah hutang jiwa yang pernah keluarga Kun lakukan kepada keluargamu? Karena hanya hutang jiwa yang patut dibayar jiwa pula, Ciok-thouw Taihiap. Dan kami yang tidak merasa melakukan kesalahan demikian jauh sesungguhnya, tidak layak kau mintai yang di luar batas. Ayah sudah membayar dosa-dosaku dengan merendahkan dirinya berlutut di bawah kakimu. Dan sikapmu yang masih tidak mau diterima ini sungguh amat mengecewakan hatiku!"

Kun Bok berhenti lagi. memandang ketua Beng-san-pai yang terhenyak itu dengan sikap penuh semangat. Lalu ketika dilihatnya Ciok-thouw Taihiap masih tidak mau memberikan jawaban pemuda inipun menyambung lagi. "Nah, Ciok-thouw Taihiap, kini apa yang hendak kau terangkan kepada kami? Bisakah kau menjawab semua kata-kataku itu? Mengapa kau demikian tidak tahu malu menagih jiwa kepadaku? Mengapa Ciok-thouw Taihiap... mengapa...?"

Pendekar kepala gundul itu tiba-tiba menggeram. Dia mengeluarkan suara erangan yang aneh dari kerongkongannya. Tapi ketika dia berkerot gigi dengan bibir gemeretuk sukar untuk menjawab pertanyaan ini sekonyong-konyong sebuah bayangan tinggi besar melayang naik. Bayangan ini menggedruk papan panggung dengan kemarahan, dan begitu dia meluncur tegak tiba-tiba terdengarlah bentakannya yang menggeledek.

"Karena suhu telah membunuh puterinya sendiri, orang she Kun. Karena suhu telah menghukum anak perempuannya sendiri ketika mendengar penolakannya....!!" dan begitu bayangan ini selesai mengucapkan kata-katanya tampaklah di situ seorang pemuda tinggi besar memandang penuh kebencian kepada Kun Bok. Dia bukan lain adalah Lek Hui, dan semua orang yang melihat munculnya raksasa muda ini kontan saja berseru kaget.

"Hei... murid Ciok-thouw Taihiap!" mereka berteriak ramai.

Tapi Lek Hui tidak menghiraukan mereka. Dia sudah memandang putera si jago pedang yang telah "mencaci" suhunya habis-habisan itu. Dan mata Lek Hui yang mendelik penuh kemarahan ini tampak membakar bulat-bulat wajah Kun Bok. Dia seperti seekor harimau haus darah, dan Kun Bok yang melihat sinar demikian mengerikan pada pandangan raksasa muda itu tergetar. Dia kaget dan tersentak melihat kehadiran murid Beng-san-paicu ini, dan kata-katanya yang menggetedek menderakkan lantai panggung membuat Kun Bok dan ayahnya terkejut bukan main.

"Apa? Ciok-thouw Taihiap membunuh puterinya sendiri, Auw-twako...?" Kun Bok berseru terbelalak.

Tapi Lek Hui mendengus. "Aku tidak membual, orang she Kun! Kalau kau percaya itu baik tapi kalau tidak percaya akupun juga tidak perduli!" dan Lek Hui yang sudah mengepalkan tinju dengan mata berapi-api ini, tampak siap menerjang Kun Bok.

Namun Bu-tiong-kiam Kun Seng mendadak melompat maju. Jago pedang yang hampir tidak percaya kepada keterangan Lek Hui itu tampak terbelalak dengan muka berubah, dan suaranya yang gemetar lirih meletus pendek, "Saudara Lek Hui, tahan dulu. Aku ingin bicara...!" dan Bu-tiong-kiam Kun Seng yang sudah berhadapan dengan raksasa muda ini menyimpan pedangnya. Dia membungkuk sedikit di depan murid Pendekar Kepala Batu itu, namun Lek Hui yang dingin menyambut orang menjengekkan hidungnya.

"Kau ingin bertanya apa, Kun-locianpwe?"

Jago Pedang ini semburat mukanya. "Aku ingin bertanya tentang kata-katamu itu saudara Lek Hui. Betulkah Beng-san-paicu membunuh puterinya sendiri?"

"Hm, kenapa mesti diulang, locianpwe? Perlukah aku menghina keluarga guruku sendiri?"

Bu-tiong-kiam Kun Seng tertegun. "Jadi benar nona Ceng Bi...?"

"Ya, Suhu telah menghukumnya, orang she Kun. Dan ini dilakukan beliau karena merasa malu kepadamu! Suhu Ciok-thouw Taihiap amat memegang teguh kegagahan, dan karena adik Ceng Bi menolak perjodohan yang diikatkan suhu dengan puteramu maka beliau menuntut dosa terhadap puterinya sendiri. Adik Ceng Bi dihukum, dan penebusan jiwa untuk membersihkan nama baik ini dilakukan suhu demi menebus kegagalannya kepadamu!"

"Ahh...!" Bu-tiong-kiam Kun Seng mengeluarkan seruan kaget dan begitu dia memandang ketua Beng-san-san pai ini tampak pendekar berkepala gundul itu membesi kaku dengan wajah menyeramkan. Ciok-thouw Taihiap tampak mengerikan, dan wajah yang mengkilap merah kehitaman itu mendadak tertawa. Suara yang bergulung naik turun sekonyong-konyong menggetarkan dinding ruangan, dan ketika Ciok-thouw Taihiap mengibaskan lengan kanannya ke samping tiba-tiba saja tiang penyangga lantai panggung roboh.

"Brakk...!" pukulan jarak jauh yang dilancarkan ketua Beng-san-pai itu mengejutkan semua orang, dan begitu papan panggung jebol memekiklah orang-orang yang ada di atas untuk melompat turun. Mereka tidak dapat lagi berdiri tegak, dan Ciok-thouw Taihiap yang mulai menunjukkan kemarahannya ini membuat gempar. Suara ketawanya yang bergulung-gulung semakin bergemuruh, dan ketika pendekar ini menambah hawa khikangnya mendadak saja barisan depan pada deretan para tamu terjungkal!

"Hei...!" pekik kekagetan yang menghambur pada barisan depan ini menimbulkan kegaduhan sementara dan ketika Ciok-thouw Taihiap mulai berteriak parau terdengarlah suara dahsyat mengguncangkan gendang telinga semua orang.

"Bu-tiong-kiam Kun Seng, hayo majulah kita bertanding! Mari selesaikan persoalan ini dengan cara kegagahan...!" dan Ciok-thouw Tai-hiap yang tiba-tiba sudah memutar-mutar kedua lengannya dengan jari berkerotokan itu tampak menancapkan kaki di atas tanah. Dia tidak bergerak seperti arca tak bergeming, tapi suaranya yang menantang-nantang jago pedang ini menimbulkan getaran kuat pada dinding ruangan. Akibatnya, gegerlah suasana di pasta keramaian ini dan orang yang melihat ketua Beng-san-pai itu bakal mengamuk kontan saja menjadi ribut dan menjauhkan diri!

Tapi Bu-tiong-kiam Kun Seng justeru berdiri pucat. Jago pedang yang terbelalak ke arah ketua Beng-san-pai ini tampak ragu-ragu, dan dia yang masih terhenyak oleh keterangan Lek Hui itu memandang ketua Beng-san-pai ini dengan ails bergetar. Dia tidak menyangka sama sekali bahwa Ciok thouw Taihiap akan sampai hati "membunuh" puterinya sendiri, dengan tangan demikian membesi. Dan bahwa hal itu dilakukan ketua Beng-san-pai ini untuk menebus kegagalannya mengikat perjodohan sungguh membuat dia tertegun. Dilihatnya sekarang, betapa keras dan kaku pendekar besar itu memegang "harga diri. Suatu sikap yang baik memang tapi juga dirasa agak keji!

Maka begitu pendekar ini mengetahui sebab-sebab kemarahan Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba saja pendekar pedang ini merasa bingung. Dia menaruh hormat dan penghargaan yang demikian tinggi untuk "harga diri" yang dipegang oleh ketua Beng-san-pai itu. Dan bahwa ketua Beng-san-pai ini telah menghukum puteri sendiri untuk "menebus" malunya terhadap calon besan membuat jago pedang itu merasa prihatin. Tapi, mutlakkah sekarang kalau dia harus mengimbangi perbuatan Beng-san-paicu ini, mengorbankan nyawa Kun Bok untuk "kekeliruan" yang telah dibuat ketua Beng-san-pai itu?

Bu-tiong-kiam Kun Seng manarik napas panjang. Betapapun, Kun Bok adalah satu-satunya generasi penerus baginya. Bagaimana dia harus menuruti permintaan Beng-san-paicu ini? B-kankah kesalahan membunuh puteri sendiri di-lakukan ketua Beng-san-pai itu? Ah, dia harus bertindak. Dia harus melakukan sesuatu untuk menyelesaikan persoalan ini. Maka begitu jago pedang ini mendengar Ciok-thouw Taihiap kembali memanggilnya tiba-tiba diapun melangkah maju!

Sekarang semua orang menjadi tegang oleh pertemuan dua tokoh besar ini. Tapi si jago pedang yang tidak mencabut pedangnya itu membuat beberapa orang kecewa. Apalagi ketika pendekar pedang itu menjura di depan Ciok-thouw Taihiap dan berkata tirih, "Souw-taihiap, aku menyatakan menyesal sekali bahwa ikatan jodoh yang hendak kita jalin ini temyata berakibat demikian buruk. Aku tidak menyangkanya sama sekali, taihiap. Dan kalau Ceng Bi sampai kau hukum demikian keras sungguh aku merasa prihatin sekali. Sekarang, bagaimama kalau kita balik saja, taihiap? Bagaimana kalau aku yang menggantikan nyawa anakmu?"

Kun Bok jadi kaget bukan main mendengar kata-kata ayahnya ini. Dan sebelum Ciok-thouw Taihiap yang terkejut itu mengeluarkan seruannya tiba-tiba pemuda ini sudah berteriak, "Ayah, kau gila....?" dan Kun Bok yang melompat di depan ayahnya itu tiba-tiba menggigil.

Tapi jago pedang ini menepiskan tangannya. "Bok-ji, mundurlah kau. Ayah tidak menyerahkan diri cuma-cuma...!" dan Bu-tiong-kiam Kun Seng yang mengibaskan jarinya itu membuat Kun Bok terpelanting, Pemuda ini masih hendak memprotes, namun Bu-tiong-kiam Kun Seng yang sudah membelakanginya itu mengulang pertanyaannya kepada sang ketua Beng-san-pai.

"Souw-taihiap, bagaimana jawabmu? Boleh kita balik urusan ganti jiwa ini?"

Ciok-thouw Taihiap tertegun. Dia terbelalak memandang jago pedang itu tapi melihat orang bersikap serius diapun jadi terkejut. "Orang she Kun, apa maksud kata-katamu ini? Kau hendak mengganti jiwa puteriku dengan jiwamu?"

Jago pedang itu mengangguk. "Kalau kau tidak berkeberatan, Souw-taihiap. Kalau hal ini dapat memuaskan hatimu dan menyelesaikan segala persoalan!"

"Ah..!" Ciok-thouw Taihiap mengeluarkan seruan dari hidung dan baru pendekar itu menganggukkan kepalanya tiba-tiba ia membanting kaki. "Bu-tiong-kiam Kun Seng, kau hendak mempermainkan aku? Kau hendak menghinaku di depan orang banyak?"

Jago pedang itu terkejut. "Eh, kenapa begitu, taihiap? Siapa hendak mempermainkanmu?"

"Kaulahl" ketua Beng-san-pai itu menuding dengan bentakannya yang meriggeledek. "Karena kau yang hendak menghinaku dengan ucapannu yang seperti itu, orang she Kun. Karena kalau kau mati di tanganku tentu orang akan bilang bahwa Ciok-thouw Taihiap telah membunuh seorang yang tidak melawan!"

Jago pedang ini tiba-tiba mengerti. "Kau salah paham, Beng-san-paicu. Kau belum mendengar lengkap keteranganku yang belum selesai. Karena meskipun aku siap mengganti nyawa puterimu itu namun hal ini kita lakukan secara kesatria...!"

"Maksudmu?!" Ciok-thouw Taihiap terbelalak.

"Aku merelakan nyawa tua ini bila tidak sanggup menerima pukulanmu tiga kali berturut-turut, dan bila aku roboh oleh pukulanmu maka itulah yang kumaksudkan sebagai ganti jiwa!"

Ketua Beng-san-pai ini bergetar. Dia tertegun oleh keterangan jago pedang itu. Namun merasa ditantang dan panas oleh ucapan itu tiba-tiba diapun mengangguk. "Baik. Kukira ini cukup adil, Bu-tiong-kiam. Dan apabila kau selamat oleh tiga kali pukulanku maka persoalan ini bolehlah kita habiskan sampai di sini!" dan Beng-san-paicu yang sudah menggedruk bumi itu tampak bersiap dengan tubuh menggigil.

Sementara Bu-tiong-kiam Kun Seng sendiri, yang tersenyum memandang para tamu itu tampak bersinar-sinar matanya. "Cuwi enghiong, aku telah mengadakan perjanjian dengan ketua Beng-san-pai untuk memutuskan persoalan ini. Dan karena pihak kami ingin menebus dosa secara tuntas biarlah cuwi sekalian yang menjadi saksi untuk tiga kali pukulan berturut-turut ini. Apabila aku roboh dan binasa itulah kuanggap takdir yang tidak mampu dielakkan lagi. Tapi apabila aku berhasil selamat, cuwi telah mendengar sendiri kata-kata Beng-san-paicu tadi bahwa persoalan kami dua keluarga akan diselesaikan sampai di sini. Nah, Ciok-thouw Taihiap, sekarang mulailah!" dan jago pedang yang sudah bersiap-siap itu tiba-tiba melepaskan pedangnya. Dia menyerahkan senjata ini pada putera tunggalnya, dan Kun Bok yang terbelalak oleh perbuatan ayahnya itu menggigil.

"Ayah, bagaimana... bagaimana kau mempertaruhkan nyawa seperti ini? Bukankah itu terlampau berbahaya sekali...?"

Namun jago pedang ini mengibaskan lengannya. "Jangan banyak bicara lagi, Bok-ji. Aku kecewa oleh perbuatamnu yang tidak tahu malu ini...!" dan Kum Bok yang sudah didorong mundur itu hampir saja terjengkang oleh kibasan ayahnya.

Kun Bok terkejut. Namun pemuda itu tidak mampu berbuat apa-apa. Dia memang merasa bersalah oleh peristiwa yang berkepanjangan tidak enak ini. Dan bahwa ayahnya siap mempertaruhkan diri menghadapi serangan Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba saja dia gemetar. Bagaimanapun, menerima pukulan ketua Beng-san-pai yang gagah perkasa itu bukanlah pekerjaan mudah. Terbukti betapa dengan gampangnya saja pendekar besar itu merobohkan papan panggung, Dan sekarang ayahnya siap-siap menghadapi adu jiwa sepihak ini. Menerima tiga pukulan itu tanpa balas menyerang!

Tapi sebelum dua jago ini menjalankan ia perjanjian mendadak sesosok bayangan putih melompat. Dialah Pek-mauw Sian-jin, ketua Kun-lun-pai yang bertetangga dengan Bu-tiong-kiam Kun Seng itu. Dan begitu tokoh Kun-lun itu muncul terdengarlah suaranya yang lembut nyaring, "Ji-wi taihiap, tidak dapatkah isi perjanjian ini dirubah?"

Ciok-thouw Taihiap dan si jago pedang menoleh. Mereka tampak mengerutkan alis, tapi Bu-tiong-kiam Kun Seng yang sudah mendahului itu menjawab pendek,

"To-tiang, jangan campuri urusan pribadi ini. Kami sudah sepakat untuk menyelesaikaa semua ganjalan, kenapa kau datang mencegah?"

Pek-mauw Sian-jin menarik napas gugup. "Aku tidak bermaksud mencampuri urusan ini, Kun-taihiap. Tapi sekedar bertanya apakah isi perjanjian kalian tidak dapat dirubah lagi? Misalnya, hanya dengan dua pukulan saja!" dan Pck-mauw Sian-jin yang tampak cemas itu memandang Bu-tiong-kiam Kun Seng dengan sinar mata setulusnya hati. Dia tidak bermaksud apa-apa dengan kata-katanya ini, tapi jago pedang yang merah mukanya itu menjadi tersinggung.

"Pek-mauw totiang. sadarkah kau dengan kata-katamu ini? Tidakah kau bermaksud merendahkan diriku?" jago pedang itu menegur.

Ketua Kun Lun ini tersipu-sipu. "Maaf, aku tidak bermaksud begitu, Kun-taihiap. Lohu sekedar menyampaikan solider karena kita bertetangga!"

Dan Bu-tiong-kiam Kun Seng yang memaklumi maksud baik ketua Kun-lun itu akhirnya mengurangi kekakuan sikapnya. "Baiklah, terima kasih, untuk perhatianmu ini, Pek-mauw totiang. Tapi yang paling baik kukira kalau totiang mundur saja, Aku sudah berjanji kepada Souw-taihiap, dan janji yang tidak dapat kutarik kembali ini tak mungkin harus dibatalkan..." dan jago pedang yang sudah mempersilakan ketua Kun-lun itu kembali ke tempat duduknya disambut helaan napas panjang oleh Pek-mauw Sian-jin.

Dia memang tidak dapat mencegah urusan dua jago itu. Maka begitu Kun Seng menolak sarannya diapun harus tahu diri. Bagaimanapun, itu adalah urusan pribadi mereka. Dan kalau jago pedang itu tidak marah kepadanya sudahlah dapat dikata untung. Maka Pek-mauw Sian- jin yang diam-dian merasa gelisah ini memandang dua jago itu dengan perasaan was-was. Dia melihat Ciok-thouw Taihiap sudah mengerahkan tenaga sinkang dan jari yang berkerotokan serta mengepulkan uap tipis itu membuat dia tegang. Bahkan bukan hanya kakek ini saja. Semua orangpun merasa tegang dan was-was menyaksikan peristiwa itu.

Dan saat yang ditunggu-tunggu inipun tibalah. Jago pedang yang sudah berdiri tegak dengan dada membusung itu memberi tanda kepada Ciok-thouw Taihiap, dan begitu jago pedang ini bersiap-siap dengan bhesi sekokoh beringin raksasa, terdengarlah seruannya yang lantang parau, "Souw-taihiap, mulailah. Aku siap menerima pukulanmu...."

Dan jago pedang yang sudah menggelembungkan rongga dadanya itu tampak menahan napas dengan tubuh bergetar. Dia mengerahkan sinkang sepenuhnya menjaga isi dadanya, maklum betapa dahsyat nanti serangan ketua Beng-san-pai itu. Dan Ciok-thouw Taihiap yang mendengar aba-aba lawannya ini tiba-tiba menerjang. Tangan kirinya dengan telapak terbuka menghantam dada Bu-tiong-kiam Kun Seng, dan begitu tokoh Beng-san ini melompat terdengarlah bentakannya,

"Orang she Kun. jagalah...!" dan pukulan dahsyat yang menggetarkan jiwa itu menghantam dengan kekuatan mengerikan. Ciok-thouw Taihiap baru mengerahkan setengah bagian dari seluruh tenaganya, tapi angin yang menderu dahsyat dari telapak tangan ketua Beng-san-pai ini menunjukkan kehebatannya. Terbukti dari baju si jago pedang yang berkibaran seperti bendera. Dan ketika semua orang menahan napas untuk pukulan pertama ini terdengarlah benturan dahsyat itu.

"Dess!" dada Bu-tiong-kiam Kun Seng mengeluarkan suara seperti bukit ditimpa gunung ambruk dan orang yang melihat jago pedang itu tidak terpelanting roboh mau tak mau berseru kagum. Mereka melihat pendekar pedang itu hanya terdorong setengah tindak. dan mulut si jago pedang yang tersenyum dikulum membuat mereka terbelalak takjub. Tidak tahu, betapa sesungguhnya pendekar itu mengeluh pendek dengan napas seakan menyesakkan dadanya!

Tapi Pendekar Kepala Batu yang sudah marah tidak memberi banyak kesempatan. Senyum Butiong-kiam Kun Seng yang seolah "meng-entengkan" pukulannya sudah disusul dengan pukulan ke dua. Karena begitu pendekar ini membalikkan tubuh dan menancapkan kakinya tiba-tiba menderulah pukulan berikutnya itu. Ciok-thouw Taihiap kini melayangkan tangan kanan-nya, dan tenaga yang tigaperempat bagian yang jauh lebih dahsyat daripada pukulan pertama tadi kini menghantam lambung si jago pedang.

"Orang she Kun, jaga serangan kedua....!" dan bentakan yang sudah diiringi pukulan tangan kanan ini menerjang heibat dengan kekuatan mengerikan.

Para tamu melihat adanya sinar putih yang berkeredep panas mengbantam lambung si jago pedang. Dan Bu-tiong-kiam Kun Seng sendiri yang melihat kedahsyatan serangan ini terbelalak ngeri. Dia buru-buru mengempos semangat, dan depan tubuh yang menerima pukulan itu cepat-cepat dilindungi kekuatan sinkangnya. Tapi terlambat. Telapak Beng-san-paicu telah mendarat di lambung kirinya dan begitu terdengar suara "des" yang mengguncangkan seluruh ruangan tiba-tiba mencelatlah tubuh si jago pedang ini dengan pekik kecilnya!

"Augh!" Bu-tiong-kiam Kun Seng terpental dua tombak ke belakang dan para tamu yang terkejut oleh pukulan ke dua ini sama berteriak tertahan.

Mereka mengkhawatirkan nasib si jago pedang itu, mengira dia Bakal terlempar dan roboh binasa. Tapi ketika Bu-tiong-kiam Kun Seng berjungkir balik dan akhirnya kembali berdiri di tempat semula meledaklah tepukan tangan yang gegap gempita. Seruan kagum muncul di segala penjuru, dan orang yang melihat jago pedang itu mampu bertahan dua kali berturut-turut dari serangan Ciok-thouw Taihiap banyak yang merasa heran.

Tapi tiba-tiba mereka tertegun. Si jago pedang itu mendadak terbatuk, dan begitu dia terbatuk-batuk mundadak menyeringailah mulut si jago pedang ini. Bu-tiong-kiam Kun Seng mendekap lambung, dan ketika semua orang memandang ,ke depan tiba-tiba tampaklah sedikit darah meleleh di ujung mulut pendekar pedang ini!

"Ahh!" semua orang menjadi terkejut dan Bu-tiong-kiam Kum Seng yang ternyata diam-diam sudah terluka dalam ini menyeringai kecut sambil membersihkan mulutnya. Dia tertawa ke arah sang ketua Beng-san-pai, lalu berkata dengan tubuh bergoyang dia memuji lawannya.

"Beng-san-paicu, kau hebat sekali. Isi dadaku serasa rontok!" dan jago pedang yang sudah berdiri tegak itu mencoba untuk menguasai diri. Dia tampak sedikit limbung, tapi kemauannya yang kuat membuat jago pedang ini akhirnya mampu berdiri tegak. Sementara Kun Bok yang melihat keadaan ayahnya yang seperti itu menjadi gelisah bukan main. Dia mau melompat maju, tapi Bi Kwi yang mencekal lengannya berbisik,

"Bok-koko, jangan seperti anak kecil. Ayahmu sedang mempertahankan diri, kenapa hendak kau ganggu? Lihatlah, ayahmu pasti mampu bertahan dan tidak akan binasa....!"

Maka Kun Sok yang mendengar kata-kata ini jadi mengurungkan niatnya. Dia hanya memandang keadaan orang tua itu dengan muka pucat. Dan maklum bahwa ayahnya memang tidak mau diganggu maka diapun menjadi tegang bukan main.

Sementara Ciok-thouw Taihiap, yang me-lihat dua kali pukulannya berturut-turut mulai membawa "hasil" diam-diam merasa tertegun juga. Dia terkejut dan kagum oleh daya tahan lawan yang sedemikian kuat. Karena, biasanya dengan tenaga setengah bagian saja sudah jarang ada orang yang mampu menahan pukulannya. Apalagi kalau sampai dua kali! Dan pendekar pedang yang mampu dua kali berturut-turut menerima pukulannya ini tanpa membalas sungguh membuat dia kagum juga. Perasaan kagum yang sekaligus juga diiringi rasa penasaran!

Maka begitu dia memandang lawan kembali bergetarlah tubuh ketua Beng-san-pai ini. Dia masih mempunyai sisa sebuah pukulan lagi. Tapi sanggupkah pendekar pedang ita menerima pukulannya? Tidakkah dia akan roboh dalam pukulan ke tiga? Maka penasaran oleh kekuatan lawan tiba-tiba Ciok-thouw Taihiap mengumpulkan seluruh tenaganya. Tubuh yang bergetar bagaikan dialiri stroom dahsyat itu tampak menggigil, tapi ketika Ciok-thouw Taihiap kembali beradu pandang dengan sinar mata lembut yang penuh keikhlasan dari si jago pedang ini mendadak dia jadi tertegun. Itulah Sinar mata seorang jantan sejati.

Sinar mata yang penuh persahabatan dan jauh dari segala rasa permusuhan. Maka begitu dia beradu pandang dengan sinar mata ini tiba-tiba saja Ciok-thouw Taihiap jadi teringat pada peristiwa belasan tahun yang lalu. Di mana dari sinar mata inilah dia mendapat pertolongan si jago pedang. Lepas- dan cengkeraman el-maut setelah hampir saja dia binasa dalam luka-lukanya yang parah, dikeroyok limapuluh orang pentolan kaum hitam. Dan kini, sinar mata yang demikian penuh kelembutan itu hendak dia bunuh. Bu-tiong-kiam Kun Seng hendak dia tuntut jiwanya untuk pelampiasan api dendam! Ah….. ketua Beng-san-pai ini jadi merandek dan lawan yang melihat keraguan pada sinar wajahnya tiba-tiba mangerutkan alis.

"Souo-taihiap, kau masih memiliki sebuah pukulan lagi. Kenapa tidak segera dilancarkan?" jago pedang itu menegur.

Ciok-thouw Taihiap terpaku. Darah yang sudah diusap Bu-tiong-kiam Kun Seng tadi tampaknya memberi dia kejernihan sedikit.

Tapi si jago pedang yang sudah melangkah maju memandangnya tidak senang. "Beng-san-paicu, aku masih memiliki sebuah hutang pukulan kepadamu. Kenapa tidak segera dilunasi? Apa yang kau renungkan?"

Tapi ketua Beng-san-pai ini kembali tak bergerak. Dia masih tertegun dengan tatapan kosong ke depan, dan Bu-tiong-kiam Kun Seng yang tiba-tiba mampu menangkap apa yang dipikirkan ketua Beng-san-pai ini mendadak tertawa.

"Ciok-thouw Taihiap, jangan mengharap tentang she Kun meminta keringanan padamu. Kita telah berjanji untuk menyelesaikan persoalan ini dengan tiga kali pukulan. Kenapa kau diam saja? Apakah kau kira aku tidak kuat bertahan?" jago pedang itu membusungkan dadanya. "Hai, jangan menganggap rendah, Beng-san-paicu. Lima kali pukulanpun aku sanggup menerimanya. Cobalah....!" dan Bu-tiong-kiam Kun Seng yang sudah memasang kuda-kuda untuk menerima pukulan itu benar-benar tidak berkata kosong.

Orang yang melihat dia sedikit limbung itu tiba-tiba melihat jago pedang ini sudah berdiri tegak, dan kedua kakinya yang tidak bergoyang itu memang meyakinkan beberapa orang bahwa jago pedang hie tampaknya kuat bertahan untuk lima kali pukulan. Tapi. benarkah itu? Hanya orang yang memiliki kepandaian setingkat Ciok-thouw Taihiap-lah yang mampu menjawab pertanyaan ini. Karena untuk pukulan ke tiga itu saja sesungguhnya Ciok-thouw Taihiap sendiri merasa ragu akan ketahanan pendekar pedang ini. Apalagi kalau sampai harus menerima lima kali pukulan.

Maka Ciok-thouw Taihiap yang teringat masa lalu itu jadi berada di persimpangan jalan. Dia kebingungan sejenak, tapi Bu-tiong-kiam Kun Seng yang tidak tau persoalan ini berhenti setengah jalan tiba-tiba membentak,

"Ciok-thouw Taihiap, tidak malukah kau menarik janji? Di mana itu janjimu untuk memberi tiga kali pukulan? Kau masih berhutang sebuah pukulan, Ciok-thouw Taihiap. Dan kalau ini tidak segera kau lunasi sungguh arwah puterimu di alam baka tidak bakalan mati meram...!"

Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba tersentak. Dia terkejut dan marah mendengar orang menyinggung-nyinggung nama puterinya yang sudah tewas. Dan terbelalak marah kepada jago pedang ini tiba-tiba ketua Bong-san-pai itu menggeram. Dia kena "sentil", dan karena nama Ceng Bi memang paling ampuh dipergunakan untuk membangkitkan kemarahannya maka tiba-tiba pendekar besar itu mendelik.

"Bu-tiong-kiam, sadarkah kau mengapa aku ragu-ragu membunuhmu? Tidak tahukah kau bahwa sebetulnya pantang bagi Ciok-thouw Taihiap membunuh orang yang telah melepas budi?"

Jago pedang itu tertawa mengejek. "Seorang kuncu tidak pernah mengingat budi yang dilepas kepada orang lain, Beng-san-paicu. Dan kalau kau masih terikat oleh budi dan membalas budi sebaiknya kau menjadi pertapa saja. Saat ini yang ada ialah tuntutanku tentang sebuah pukulan. Dan kalau tidak mau melaksanakannya maka kelak arwah puterimu akan kukutuk habis-habisan!"

Ciok-thouw Taihiap membanting kaki. "Bu-tiong-kiam Kun Seng, jangan menyebut-nyebut nama puteriku yang sudah tiada! Persoalan ini adalah persoalan yang masih hidup. Kenapa kau hendak membangkitkan kemarahanku?"

Jago pedang itu kembali tertawa mengejek. "Karena kau tidak segera melaksanakan isi perjanjian, Ciok-thouw Taihiap. Karena kau hendak menghinaku dengan keragu-raguanmu ini. Kenapa kau tidak segera melancarkan serangan? Apakah kau kira pukulanmu itu sedemikian hebat hingga membinasakan diriku? Ho-ho, jangan sombong, Beng-san-paicu. Orang she Kun ini masih sanggup untuk menerima pukulan terakhirmu. Hayo cobalah...." dan Bu-tiong-kiam Kun Seng yang sudah menancapkan kakinya berdiri tak bergeming itu tampak tertawa dengan sikap jumawa.

Dia rupanya sengaja membakar ketua Beng-san-pai ini agar segera melancarkan pukulan. Dan masih khawatir pendekar itu teringat kembali pada persoalan budi belasan tahun yang lalu. Tiba-tiba pendekar pedang ini berseru, "Ciok-thouw Taihiap, hayo tunjukkan keteguhan hatimu dalam mempertahankan kegagahan itu. Bukankah kau mengajarkan pada putera-puterimu bagaimana memegang kata-kata sendiri? Nah, lakukan pukulan ke tiga itu, Beng-san-paicu. Dan cepat lunasi persoalan ini dengan penentuan terakhir. Kalau tidak, aku yakin arwah puterimu akan mengutukmu habis-habisan melihat ayahnya menjilat isi perjanjian!"

Maka Ciok-thouw Taihiap yang mendengar tiga kali pendekar pedang itu menyinggung-nyinggung nama Ceng Bi mendadak menggereng gusar. Dia membanting kedua kakinya dengan kemarahan meluap, dan begitu mukanya menjadi merah kehitaman, mendadak mengepullah uap putih yang membubung di atas ubun-ubunnya. itulah tingkat pengerahan tenaga sakti yang paling puncak, dan Ciok-thouw Taihiap yang benar-benar berhasil "dipancing" oleh pendekar pedang itu untuk mengkonsentrasikan diri dalam masalah ini tiba-tiba disambut senyum tersembunyi oleh Bu-tiong-kiatn Kun Sung.

"Bagus, laksanakan pukulan terakhirmu itu, Ciok-thouw Taihiap. Aku akan bertahan dan tidak akan munyesal biarpun sampai roboh binasa!" dan Bu-tiong-kiam Kun Seng yang diam-diam ngeri serta waspada dalam penentuan babak terakhir ini tiba-tiba memejamkan mata. Dia mengempos semangat sehebat-hebatnya, dan maklum bahwa ini adalah penentuan yang paling berbahaya maka diapun menarik seluruh kekuatan sinkangnya.

Hawa sakti yang puluhan tahun dia latih kini bergolak di atas pusarnya, dan begitu jago pedang ini mengatur jalannya tenaga sinkang mendadak kekuatan sakti itu mengalir di seluruh tubuhnya. Tidak ada sebuah syarafpun yang terlewati getaran tenaga sinkang ini, dan Bu-tiong-kiam Kun Seng yang merasa siap dengan pertahanan dirinya itu menggigil gemetar. Itulah tanda bekerjanya kekuatan hawa sakti yang menjalar di seluruh permukaan tubuh, dan jago pedang yang berdiri tegak dengan mata terpejam itu tampak memusatkan seluruh konsentrasinya pada pertahanan diri.

Sementara. Ciok-thouw Taihiap, yang terbelalak dengan sinar mata berapi-api itu tampak beringas. Dia menarik kedua lengannya ke atas, dan bunyi berkerotokan seperti tubing patah menjadikan ketua Beng-san-pai ini lebih menyeramkan dari keadaan yang sesungguhnya. Dia sudah mengerahkan seluruh kekuatannya untuk melancarkan pukulan terakhir ini, dan uap putih yang semakin membubung tebal di atas ubun-ubunnya membuat semua orang ngeri. Sampai akhirnya, ketika dua jago besar itu sudah sama-sama memusatkan seluruh perhatiannya pada babak penentuan ini terdengarlah lengking dahsyat dari mulut ketua Beng-san-pai itu.

Ciok-thouw Taihiap sudah menyerang, dan pendekar kepala gundul yang mendorongkan kedua tangannya itu berkelebat ke depan dengan kecepatan kilat. Tangan kiri menghantam iga kanan Bu-tiong-kitan Kun Seng sedang tangan kanan menghantam dada si jago pedang. Kedua-duanya sama-sama hebat. Karena baik tangan kiri maupun tangan kanan masing-masing mengeluarkan sinar putih berkeredep menyilaukan mata, Dan Ciok-thouw Taihiap yang mengerahkan seluruh bagian tenaganya itu benar-benar tampak hebat bukan main.

Bu-tiong-kiam Kun Seng hanya merasa dua angin panas menyambar dirinya, dan kaget bahwa kali ini Ciok-thouw Taihiap menyerang dengan kedua tangannya tidak seperti tadi yang hanya mempergunakan sebelah lengan saja maka jago pedang ini terkejut bukan main. Dia sudah terlanjur memusatkan pertahanan diri untuk satu pukulan saja. Artinya, satu serangan dengan satu pukulan. Dan bahwa tiba-tiba perhitungannya "meleset" mendadak saja membuat jago pedang ini terkesiap kaget.

Bagaimanapun dia terpaksa membagi pertahanan diri sekarang. Maka begitu membuka mata dan melihat dua telapak Ciok-thouw Taihiap menghantam dada dan iga kanannya tiba-tiba jago pedang ini mengambil keputusan kilat. Dari dua serangan berbahaya itu dia 'harus mengambil resiko yang lebih kecil. Dan maklum bahwa isi dadanya jauh lebih penting dilindungi daripada iga kanannya maka tiba-tiba saja pendekar pedang ini menarik kekuatan sinkangnya pada daerah dada. Secepat kilat dia melindungi isi dadanya dengan sinkang tigaperempat bagian, dan begitu dua buah pukulan itu mendarat di tubuhnya terdengarlah suara dahsyat seperti ledakan gunung disambar petir.

"Blang! Krek...!" Bu-tiong-kiam Kun Seng terlempar bergulingan dan jago pedang yang patah tulang iganya itu mengeluh tertahan dengan mata terbelalak. Dia tidak mampu menahan pukulan Beng-san-paicu itu, dan begitu tubuhnya terlempar bergulingan jago pedang ini tak mampu bangkit berdiri dan roboh pingsan di atas tanah!

"Ah, ayahh….!" Kun Kun Bok menjerit kaget dan begitu ayahnya roboh terkapar dengan luka-luka parah tiba-tiba saja pemuda ini menghambur ke depan dengan muka pucat. Dia berjongkok di samping tubuh ayahnya, dan melihat darah segar memenuhi mulut ayahnya tiba-tiba Kun Bok seperti gila. Pemuda ini meraung-raung, dan para undangan yang melihat kesudahan dari peristiwa itu berdiri terkesima dengan muka tertegun.

Inilah kejadian yang amat mencekam mereka. Dan Ciok-thouw Taihiap yang melihat robohnya pendekar pedang itu juga tampak terpukau. Keadaan sejenak menjadi hening. Tapi Kun Bok yang meraung-raung itu mendadak melompat bangun. Pedang yang dia cabut mendesing di udara, dan begitu pemuda ini menghambur ke arah Ciok-thouw Taihiap berteriaklah pemuda itu,

"Beng-san-p aicu, hayo kau bunuhlah aku sekalian. Lampiaskan api dendammu yang keji itu...!" dan Kun Bok yang tiba-tiba sudah menerjang pendekar kepala gundul ini membuat semua orang semakin terkejut. Mereka melihat pedang itu menyambar leher ketua Beng-san-pai.

Tapi Lek Hui yang melihat gurunya diserang tiba-tiba sudah membentak marah, "Bocah she Kun, jangan bermain gila!" dan Lek Hui yang tahu-tahu sudah menampar lengan Kun Bok dari samping membuat pemuda itu berteriak kalap.

Kun Bok terpental, dan putera si jago pedang yang, sudah mata gelap ini ganti menyerang Lek Hui. "Jahanam she Auw, kau dan gurumu sama-sama iblis tak berperasaan. Mampuslah...!" dan Kun Bok yang sudah melancarkan tiga kali tikaman berturut-turut itu menusuk cepat dada dan perut Lek Hui. Dia tampaknya beringasan benar, dan Lek Hui yang melihat lawan kalap menggram.

Dengan sebat raksasa muda ini mengelak, lalu begitu mata pedang meluncur di samping tubuhnya mendadak dia menendang. "Plakkk...!" untuk kedua kalinya Kun Bok memekik marah dan pedang yang hampir terlepas dari tangannya itu sekonyang-konyang diputar. Mata pedang yang nyeleweng tiba-tiba membalik mengancam tenggorokan Lek Hui, dan begitu Kun Bok melompat maju tahu-tahu kaki kirinyapun mendupak.

"Bret-pletak!" Lek Hui tak sempat berkelit dan leher baju yang terkuak ujung pedang membuat raksasa muda ini marah. Dia merendahkan tubuh sedikit ke bawah, dan persis kaki Kun Bok melayang ke dagunya diapun tiba-tiba sudah menyambut tendangan ini dengan cengkeraman tangan kanannya. Tak ayal, Kun Bok terhuyung dan Lek Hui yang siap membalas serangan itu tiba-tiba sudah merunduk dengan pekik nyaringnya.

Tapi Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba berkelebat. Jago tua yang melibat muridnya hendak membalas dengan pukulan berbahaya itu sekonyong-konyong membentak. Dan begitu dia maju dikibaslah dua orang anak muda itu.

"Hui-ji, mundur...!" dan bentaknya yang sudah disertai tolakan tenaga sakti ini membuat dua orang pemuda itu mencelat kaget. Mereka seakan disapu angin puyuh, tapi Kun Bok yang melompat bangun itu sudah menerjang kembali pendekar sakti ini dengan kemarahan meluap.

"Ciok-thouw Taihiap, kau bunuhlah aku!" dan Kun Bok yang melengking marah dengan pedang diputar-putar itu tiba-tiba menusuk bertubi-tubi ke arah ketua Beng-san-pai ini. Namun Ciok-thouw Taihiap mendengus, dan sekali dia menggerakkan kakinya tiba-tiba pedang di tangan Kun Bok terlepas.

"Trang!" Kun Bok kehilangan senjata dan Ciok-thouw Taihiap yang gelap mukanya itu tiba-diba sudah menotok pemuda ini. Tak pelak, Kun Bok roboh tak berdaya dan Ciok-thouw Taihiap yang sudah menggerakkan kakinya itu melempar putera si jago pedang ini ke arah muridnya.

"Hui-ji, terimalah dia....!" dan Lek Hui yang cepat menangkap tubuh itu menyentak baju Kun Bok dengan kasar. Kini guru dan, murid itu sama-sama berdiri di atas lantai, dan Ciok-thouw Taihiap yang bersinar-sinar matanya itu memandang ke arah para tamu undangan. Dia tampaknya hendak berkata sesuatu, tapi bayangan tinggi tegap tiba-tiba barkelebat di depan ketua beng-san-pai itu.

"Ha-ha, hendak kau bawa ke mana putera si jago pedang itu, taihiap?" ketua Gelang Berdarah tiba-tiba sudah berhadapan dengan pendekar berkepala gundul ini dan Ciok-thouw Taihiap yang melihat laki-laki itu menghadangnya mendadak mengerutkan alis.

"Hiat-goan-pangcu, apa yang hendak kau lakukan?"

Ketua Hiat-goan-pang itu tertawa. "Ah, bukan kau yang sebenarnya melancarkan pertanyaan itu, taihiap, melainkan akulah. Apa yang kendaki kau lakukan terhadap saudara Kun Bok ini?"

Ciok-thouw Taihiap mendelik. Dia sebenarnya geram melihat tiugkah ketua Gelang Berdarah itu. Tapi menyadari orang sebagai tuan rumah diapun menjawab juga, dengan suara sedikit kasar, "Hiat-goan-pangcu, apa keperluanmu menanyakan persoalan ini? Bukankah kau tahu apa yang terjadi?"

Ketua Gelang Berdarah itu tersenyum. "Aku tahu, taihiap, tapi barangkali juga aku tidak tahu! Eh, bukankah persoalan ini sudah selesai, taihiap, jadi untuk apa kau membawa putera Bu-tiong-kiam Kun Seng itu?"

Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba membanting kakinya. "Hiat-goan-pangcu, kau rupanya manusia usil yang suka mencampuri urusan orang lain. Ada aturannyakah aku harus menjawab pertanyaanmu ini?"

Ketua Gelang Berdarah itu tiba-tiba terkekeh. "Wah, kau rupanya lupa, taihiap. Bahwa untuk urusan ini sesungguhnya aku tidak mencampuri urusan orang lain. Siapa bilang saudara Kun Bok orang lain bagiku? Lupakah kau bahwa jelek-jelek dia adalah pembantu Hiat-goan-pang?"

Dan sementara Ciok-thouw Taihiap tertegun dengan mata terbelalak ketua Gelang Berdarah itupun sudah menyambung sambil tertawa, "Dan kau boleh tanyakan hal ini pada semua yang hadir, taihiap. Dan bila omonganku tidak betul, bolehlah kau bawa anak itu ke mama kau suka!"

Maka Ciok-thouw Taihiap yang jadi terpaku ini terdiam dengan tubuh tidak bergerak. Dia memang kalah bukti dengan pernyataan itu, maka mendongkol oleh ketua Gelang Berdarah ini tiba-tiba dia membentak kepada muridnya, lemparkan anak sial itu kepadanya."

Dan Lek Hui yang sudah melempar tubuh itu kepada ketua Gelang Berdarah melotot pula dengan muka merah. Dia merasa gurunya dipermalukan, tapi Ciok-thouw Taihiap yang tiba-tiba melompat mendekati tubuh Bu-tiong-kiam Kun Seng itu sudah mengejek,

"Hiat-goan-pancu, apakah untuk orang she Kun inipun kau juga menghalangi niatku?"

Ketua Gelang Berdarah itu tertegun. Dia tidak tahu apa yang menjadi maksud ketua Beng-san-pai itu. Tapi melihat ketua Beng-san-pai ini sudah mengangkat tubuh si jago pedang dan memberikan pertolongan darurat diapun tak dapat tertawa. Ketua Gelang Berdarah itu hanya menyeringai, dan setelah tertawa kecut diapun berkata,

"Beng-san-paicu, kau rapanya tidak mau kalah. Siapa ada niat menolakmu membawa jago pedang itu? Kalau kau mau bawa dia silakan, Beng-sanicu. Tapi aku tidak menanggung keselamatan jiwanya!" dan ketua Gelang Berdarah yang menyeringai aneh itu tiba-tiba menunjukkan kelicikan yang disembunyikan.

Namun Ciok-thouw Taihiap sudah menotok dada dan punggung si jago pedang ini. Bekas lawan yang luka berat itu diserahkannya kepada Lek Hui, tapi sesosok bayangan bermuka hitam mendadak melayang mengejutkan semua orang.

"Souw-Locianpwe, serahkan Kun-taihiap itu kepadaku. Aku dapat menyembuhkannya!"

Dan bayangan muka hitam yang tahu-tahu melompat dari belakang ini membuat semua mata terbelalak. Mereka terkejut melihat si muka hitam itu meluncur bagaikan terbang, dan ketika dia melampaui kepala banyak orang bahkan menotol beberapa ubun-ubun ketua-ketua partai besar seperti Thian Kong Cinjin dan Bu Wi Hosiang serentak orang-orang itu tertegun dan hampir tertawa...!