Pendekar Kepala Batu Jilid 27 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 27
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pendekar Kepala Batu Karya Batara
BI KWI berseru kaget, dan luncuran jarum yang luar biasa cepatnya itu disambut lengkingan tinggi dan membanting tubuh. Jarum melesat seperti pelor jatuh, dan karena benda itu halus dan hampir tidak kelihatan, juga Bi Kwi melemparkannya tanpa seorangpun tahu maka begitu gadis ini membanting tubuh giliran orang lain di belakangnyalah yang terkena. Tiga ketua cabang berturut-turut nomor empatbelas menjadi sasaran, dan tiga orang itu roboh berteriak karena jarum tembus di badan mereka untuk akhirnya amblas di perut orang terakhir!

"Ahh...!" kegaduhan segera terjadi dan Kui Lun yang melihat tiga orang pembantunya telah roboh sudah berteriak marah. Dia tidak menyangka bahwa sinkang si hwesio gila itu demikian hebat, mampu menyambit jarum sampai tembus di tubuh orang. Dan bahwa berturut-turut jarum milik Bi Kwi itu amblas untuk akhirnya mengeram di perut orang terakhir sungguh membuatnya kaget bukan kepalang.

Karena itu pemuda ini lalu berteriak keras, dan hwesio gila yang telah merobohkan tiga orang pembantunya itu diserang. Dia melepaskan pukulan Gin-kong-jiu, langsung ke dada lawan, dan begitu pemuda ini menggerakkan tangannya sekonyong-konyong sinar putih sedingin salju menyambar dahsyat.

Tapi hwesio ini malah tertawa bergelak, dan pukulan berbahaya yang menyerang dadanya itu tidak dielak. Dia menggelembungkan dadanya, dan begitu pukulan Gin-kong-jiu menyambar terdengarlah suara tumbukan yang kuat.

"Dukk...!" lengan Kui Lun terpental dan hwesio yang dipukul tanpa bergeming itu mendadak terkekeh. Dia menangkap tangan Kui Lun, tapi Kui Lun yang sudah bergerak cepat itu memutar lengannya, mengelak sambil melakukan totokan di pergelangan tangan orang.

"Bret-plak!" Dua gebrakan ini terjadi secepat kilat dan Kui Lun yang berhasil menotok pergelangan lawan merasa kaget karena membentur daging yang semacam karet, kenyal tapi kuat. Dan belum dia hilang rasa kejutnya tahu-tahu bajunya sudah robek disambar jari lawan!

"Aih....!" Kui Lun membanting diri bergulingan dan bahwa hawa panas yang meluncur dari kedua tangan hwesio gila itu hampir saja menerkam pundaknya membuat pemuda ini benar-benar marah sekali. Karena itu hu-pangcu dari perkumpulan Gelang Berdarah ini lalu memberi aba-aba, dan empatbelas orang ketua cabang yang berdiri di situ sudah membentak maju dengan serangan mereka.

Maka jadilah hwesio itu dikeroyok empat-belas lawan, dan hujan pukulan serta tandangan yang bertubi-tubi melanda tubuhnya memperdengarkan suara "bak-buk" yang keras macam bola karet dipukul martil. Tapi aneh bin ajaib. Hwesio yang buntung kedua kakinya ini malah tertawa bergelak, dan hujan serangan yang bertubi-tubi menghantam tubuhnya itu sama sekali tidak membuatnya roboh, jangankan roboh lecet atau terluka sedikitpun saja tidak. Malah hwesio itulah yang merobohkan lawan karena ketika dua tangannya bergerak seperti cakar garuda tahu-tahu dua orang di samping tubuhnya sudah diangkat dan dibanting kuat seperti orang membanting seekor ayam!

"Dukk...!" lengan Kui Lun terpental dan hwesio yang dipukul tanpa bergeming itu mendadak terkekeh.

"Bluk-bluk!" dua tubuh anggauta Hiat-goan-pang itu terjerembab dan pekik mereka yang penuh kengerian membuktikan dua orang ini benar-benar kesakitan sekali. Karena yang seorang patah tulang lengannya sedangkan yang lain remuk tulang kakinya. Itulah bantingan yang benar-benar maut! Maka sisa pengeroyok yang kini tinggal duabelas orang itu betul-betul menjadi kaget dan di samping mereka marah melihat dua orang teman mereka dalam sekali gebug saja sudah roboh terkapar di atas tanah, juga mereka merasa gentar melihat kesaktian yang demikian hebatnya dari hwesio ini.

Tapi itu tidaklah semua. Ketua cabang yang tingkatannya paling tinggi, yakni nomor satu dan nomor dua, yang tadi selalu menundukkan muka jika tamu-tamu agung datang, kini tiba-tiba saja menengadahkan wajah mereka dan menggereng. Dan begitu mereka mengangkat muka, maka tampaklah siapa dua orang ketua cabang ini. Bukan lain adalah Hwe-pion-hok dan To-pi-wan, dua orang yang tadi selalu berada di bagian belakang dari rombongan panitia ini dan yang menyembunyikan tubuh dalam pakaian longgar!

Dan begitu dua orang ini melompat maju sekonyong-konyong sinar putih berkelebat. Itulah sabit bergagang panjang yang dimiliki iblis ini, sementara si Lutung Banyak Lengan yang tubuhnya tinggi besar sudah menggerakkan kuku pisaunya mencengkeram tubuh lawan. Dan begitu dua orang ini maju berbareng si hwesio aneh itu barteriak kaget. Dia diserang ancaman sabit yang membabat pinggangnya dan melihat tenaga yang demikian cepat itu hwesio ini agaknya terkejut juga.

Tapi dia memang lihai. Kaki buntungnya yang sebelah kiri tiba-tiba diangkat, tegak-gurus semacam besi dan cengkeraman kuku pisau yang banyaknya sepuluh buah dari To-pi-wan itu disambut kedua tangannya dengan gerakan luar biasa, menangki sambil menjentik. Dan begitu gebrakan adu cepa ini terjadi terdengarlah suara gemeletak dan gemerincing mirip golok beradu.

"Plakk… cring-cringg!"

Dua suara itu mengeluarkan letikan bunga api dan Hwe-Sian-liok serta si Lutung Banyak Lengan yang ditangkis serangannya ini sama-sama berteriak kaget. Kalong Kelabu mencelat sabitnya bertemu kaki bambu sedangkan To-pi-wan meleset kuku bisanya karena licin menusuk jari orang. Dan sementara si Lutung Banyak Lengan ini terkesiap tiba-tiba saja jari hwesio aneh itu bergerak menjentik sepuluh kuku pisaunya untuk menerima pentalan sabit si Kalong Kelabu. Dan begitu dua orang ini saling bentur kontan saja Kalong Kelabu dan Lutung Banyak Lengan sama-sama tergetar hampir menerjang teman sendiri yang terbelalak kaget!

"Ah....!" dua orang itu berseru tertahan dan hwesio aneh yang sudah diserang gencar olteh orang-orang lain ini tiba-tiba terkekeh.

"Heh-heh, kiranya kalian, To-pi-wan? Dan kau bersama Hwe-pian-hok ada di sini? Wah, bagus Kalian tentu anak buah Cheng-gan Sian-jin. Hayo mana itu si iblis busuk Cheng-gan Sian-jin....!" dan dengan garaman keras hwesio ini tiba-tiba menyampokkan tangannya ke kiri kanan.

Dua belas orang yang ada di sekitar tubuhnya tiba-tiba merasakan sambaran angin kuat. Dan lengan jubah yang dipatar oleh hwesio itu menjadi semacam toya aneh, kuat dan kaku seperti besi. Lalu bersama dengan bentakannya yang dahsyat tiba-tiba "toya" itu sudah menyambar Hwe-pian-hok dan kawan-kawan dengan sapuan cepat. Itulah pukulan sinkang mempergunakan benda lemas dan Hwe-pian-hok serta si Kalong Kelabu yang meihat kedahsyatan serangan ini tidak berani menerima secara berdepan. Mereka sudah melompat mundtur begitu merasakan angin panas yang menyertai ujung jubah itu, tapi orang lain yang kurang cepat mengelak tidak keburu menghindar. seperti dipaksa mereka harus menerima serangangan ini, dan tiga orang yang terlalu dekat dengan hwesio aneh itu malah mengangkat lengan mereka menangkis.

"Plak-plak.... blukk!"

Hwesio aneh itu tertawa bergelak dan tiga orang lawannya yang menerima pukulan jubah itu menjerit. Mereka seperti disapu tongkat yang maha dahsyat, dan lengan yang dipakai menangkis tiba-tiba patah seakan bertemu baja. Tiga orang itu terpelanting, dan lengan jubah yang merobohkan mereka itu masih terus menyambar tujuh orang lainnya termasuk Bi Kwi dan Kun Bok!

"Haii...!" Bi Kwi dan Kun Bok berteriak kaget, dan angin panas yang mendahului sapuan toya aneh itu sudah menyadarkan mereka adanya bahaya yang tidak boleh dibuat main-main. Maka dua orang ini sudah cepat menghindar, dan karena satu-satunya jalan adalah menbanting tubuh secepat mungkin maka itulah yang mereka kerjakan.

"Buk-buk...!" Bi Kwi dan Kun Bok hampir serentak menyelamatkan diri, tapi Bi Kwi yang rupanya diincar oleh Hwesio ini tiba-tiba merasakan dupakan keras pada pinggulnya. Kaki bambu yang dipakai hwesio itu kiranya telah "mampir" di bokongnya, dan sang hwesio yang agaknya masih merasa gemas karena serangan gelapnya tadi terkekeh sambil mengejeknya.

"Hei, kau jangan tidur di atas tanah, perempuan curang. Berdirilah, lihat pinceng akan melemparmu ke atas pohon itu... dukk!"

Pinggul gadis ini tahu-tahu ditendang dan Bi Kwi yang baru bergulingan ini menjerit ngeri ketika tiba-tiba tubuhnya "terbang" ke atas, melewati kepala teman-temannya dan nyangsang di atas pohon!

"Aihh…!" Bi Kwi mendekap mulutnya dan hwesio yang tertawa-tawa di bawahnya itu tiba-tiba menggapai.

"Nah, sekarang turunlah. Pinceng ingin kau yang sopan...wutt!" hwesio ini menggerakkan jubahnya yang sebelah kiri dan Bi Kwi yang ada di atas pohon itu mendadak merasa tersedot oleh tenaga yang luar biasa kuatnya ke atas tanah.

Gadis itu terkejut, dan begitu ia sadar tiba-tiba ia sudah berontak untuk melepaskan diri. Tapi aneh. Kebutan yang mengandung tenaga sedot itu tidak dapat dilepaskannya, dan Bi Kwi yang ditarik oleh kekuatan sinkang ini terjungkal. Dia roboh tanpa dapat bangun lagi, dan hwesio berkaki buntung itu tahu-tahu menotok pundaknya.

Tukk...!"

Bi Kwi mengeluh dan jari si hwesio aneh yang memiliki kesaktian luar biasa itu tiba-tiba sudah membuatnya tidak berkutik. Gadis ini mendeprok dengan kaki bersila, dan matanya yang terbelalak memandang hwesio itu disambut ketawa bergelak dengan suara menyeramkan!

Tapi hwesio ini tidak dapat mengurusi Bi Kwi lagi. Bi Gwat dan Bi Hwa yang marah menyaksikan adiknya dipermainkan lawan sudah menerjang maju, dan lima orang yang lain yang sudah bangkit berdiri juga sudah menyerang hwesio itu. Sekarang mereka mencabut senjata, dan gelang-gelang berkeredepan yang merah tembaga sudah berada di tengah mereka. Tapi mendadak Kui Lun melompat maju.

"Tahan…..!" hu-pangcu dari perkumpulan Gelang Berdarah itu mengeluarkan bentakannya yang yaring dan kedua lengannya yang diangkat ke atas membuat semua orang jadi tertegun. Pertempuran sekarang telah berhenti, dan wakil Gelang Berdarah yang merah mukanya ini tampak berkilat.

Dia melangkah maju, dan matanya yang beiapi-api tampak memandang penuh kemarahan kepada hwesio ini. Dia tidak segera bicara, melainkan menghampiri Bi Kwi yang tertotok lumpuh untuk cepat membebaskannya. Baru setelah itu dia lain membentak, "Leng Kong Hosiang, apa sebenarnya maumu mengacau di tepat orang? Tidak tahukah kau bahwa Hiat-goan-pang sedang merayakan ulang tahunnya?"

Hwesio ini tampak terkejut. "He, kau sudah mengenal pinceng?"

Pemuda itu mengangguk. "Ya, suhu yang memberitahu."

"Ha, lewat ilmunya mengirim suara?"

"Tidak perlu kujawab!"

"Ha-ha, kalau begitu kau murid Cheng-gan Sian-jin, anak muda?"

Kui Lun memandang marah. "Cheng-gan Sian-jin adalah tamu kami, Leng-kong-Hosiang. kalau kau mau memamerkan kepandaianmu datanglah secara baik-baik. Kau tidak kami undang tapi kalau mau meramaikan pesta ulang-tahun Gelang Berdarah boleh saja coba-coba. Nah, sekarang pergilah atau masuk secara baik-baik di tempat kami!"

Hwesio itu tertegun, tapi tiba-tiba dia tertawa bergelak. Saat itu para hwesio yang lain sudah berdatangan untuk menyaksikan keributan di pintu gerbang Puri Naga ini, dan matanya yang jelalatan seperti mata orang gila itu tampak beringas. Tapi sekonyong-konyong dia menghentikan tawanya. Seorang hwesio lain tahu-tahu sudah berdiri di mukanya, dan orang yang tidak melihat kapan dan dengan cara bagaimana hwesio itu muncul sama-sama berseru kaget. Dia adalah seorang hwesio tinggi besar, jubahnya kuning, dan matanya yang bersinar terang tampak memandang keren kepada hwesio yang berkaki buntung. Dan hwesio aneh yang melihat munculnya hwesio yang seperti iblis itu tiba-tiba mencelat mundur.

"Pek-kut suheng…!" hwesio yang dipanggil Leng Kong Hosiang itu berseru kaget dan matanya yang terbelalak lebar sekejap menunjukkan pikirannya yang waras. Dan hwesio di depannya yang tinggi besar itu merangkapkan kedua tangannya.

"Hm, kau mengenalku, sute? Omitohud, semoga Sang Buddha memberikan ampun kepada kita semua. Leng Kong sute, kenapa kau membuat onar di sini? Dan ke mana saja kau selama ini?"

Hwesio berkaki buntung itu tiba-tiba tampak gemetar. Dia menoleh ke kiri kanan, lalu matanya yang menatap gentar ke arah hwesio tinggi besar itu berkedip-kedip seakan orang ketakutan. Dia tidak menjawab, tetapi tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut. "Pek-kut suheng, ampun.... aku tidak mengacau di tempat orang melainkan mencari Cheng-gan Sian-jin. Apakah pinceng melakukan kesalahan?"

Hwesio berjubah kuning mengebutkan lengan bajunya. Dia memang Pek-kut Hosiang adanya, dan matanya yang lembut terang itu menatap penuh wibawa. "Leng Kong sute, kau tidak bersalah untuk mencari Cheng-gan Sian-jin. Tapi api dendammu yang tidak sehat ini harus kau lenyapkan. Pergilah, pinceng sudah ada di sini dan segala urusan biarlah pinceng yang menyelesaikannya….!"

Beng Kong Hosiang si hwesio buntung menegakkan kepala. Dia menunjukkan penasarannya untuk disuruh pergi, tapi bentrok dengan sinar mata suhengnya dia tiba-tiba menundukkan kepala. Rasa gentar dan takut yng aneh jelas menguasai bekas ketua Go-bi yang gila itu, namun wibawa suhengnya yang gemetar terdengar penuh. kecewa.

''Pek-kut suheng, betulkah pinceng tidak boleh mencari Cheng-gan Sian-jin? Betulkah tidak boleh membalas sakit hati ini?"

"Hm, aku tidak mengatakan kau tidak boleh mencari Cheng-gan Sian-jin, sute. Tapi mengatakan agar pencarianmu itu tidak didorong rasa dendam. Sekarang pinceng sudah ada di sini, semua pasoalanmu serahkan kepada pinceng. Sudahlah, pergi dan balut lukamu itu dengan doa-doa suci. Semoga Sang Buddha memberi pikiran terang kepadamu…!" Pek-kut Hosiang menggerakkan tangannya dan Leng Kong Hwesio yang tampak penuh kecewa ini tiba-tiba melengking tinggi. Dia tertawa bergelak, dan gilanya yang angot mendadak itu sekonyong-konyong disusul gentakan kaki bambunya.

"Ha-ha, baik suheng.... aku memang harus menderita seumur hidup. Cheng-gan Sian-jin. kali ini kembali lolos dari tanganku, tapi sekali bertemu sakit hati ini tak boleh dilewatkan. Baiklah.... baiklah…. aku memang harus membaca doa-doa suci dan Ceng-gan Sian-jin si iblis jahanam itu perlu didoakan agar berumur panjang! Ha-ha.., ho-ho... aku pergi, suheng.... semoga Buddha memberi pikiran terang kepadaku dan dapat memenggal kepala Ceng-gan Sian jin sebagai korban di altar kelenteng.... ha-ha-ha…!"

Hwesio berkaki buntung itu tahu-tahu sudah melesat ke belakang dan suara ketawanya yang bergelak gemuruh menggetarkan dada semua orang. Hwesio itu tampaknya masygul sekali, dan kaki bambunya yang berketrokan di atas tanah meninggalkan getaran kuat mengiringi suara ketawanya. Sedangkan Pek-kut Hosiang yang melihat keadaan sutenya itu menarik napas panjang, mengerutkan kening dan tampak murung sekali.

Tapi Kui Lun tiba-tiba melangkah maju dengan muka berseri. "Locianpwe terlambat datang? Kami menunggu-nunggu sejak pagi, locianpwe, dan kami khawatir bahwa locianpwe tidak datang untuk memenuhi undangan kami!"

"Ah, terima kasih, hu-pangcu. Pinceng memang ada sedikit urusan di tengah jalan. Manakah gurumu?" hwesio itu membalas penghormatan orang dan matanya yang berkeliling sekejap disambut senyum kecil oleh pemuda ini.

"Suhu ada di dalam, locianpwe. Mari silakan masuk. Perayaan sudah akan kami mulai."

"Hm, baiklah. Dan semua tokoh undangan sudah hadir, siauw-pangcu?"

"Kecuali satu orang. Ciok-thouw Taihiap locianpwe!"

"Oh, dia belum datang?"

"Belum, dan kami tidak tahu mengapa Beng-san-paicu itu tidak datang. Apakah ada urusan di tengah jalan seperti locianpwe juga?"

Pek-kut Hosiang tersenyum. Dia mendengar ini seperti menyindir di dalam pertanyaan hu-pangcu perkumpulan Gelang Berdarah ini, namun masang mata yang terang serta pandang matanya yang lembut tidak membuat hwesio itu tersinggung. Pek-kut Hosiang hanya tersenyum kecil, dan kakinya yang mengikuti pemuda disampingnya ini nampak melangkah perlahan diantar menuju ke arah kaum pendekar.

"Ya, barangkali begitu keadaannya, siauw-pangcu," hwesio ini menjawab pendek. "Dan pinceng mohon maaf jika pinceng hampir saja terlambat datang. Juga untuk sute pinceng yang telah membuat keributan itu.tapi"

"Ah, tidak apa-apa, locianpwe," Kui Lun tertawa. "Malah kami berterima kasih bahwa locianpwe telah datang pada waktunya yang tepat. Kalau tidak, mungkin semua anak buahku harus roboh terjungkal di tangan sutemu itu, Aih, Leng Kong lo-suhu sungguh hebat, aku kagum sekali. Tapi sayang, agaknya syarafnya terganggu dan pikirannya tidak sehat."

Pek-kut Hosiang menarik napas panjang. "Gara-gara Cheng-gan Sian-jin, siauw-pangcu. sungguh heran iblis macam itu menjadi tamu terhormat gurumu."

"Ah, suhu tidak membeda-bedakan sahabat, locianpwe. Asal tidak mengganggu kami siapapun bisa saja menjadi tamu terhormat suhu! Apakah locianpwe menganggap Cheng-gan Sian-jin itu sebagai seorang iblis?"

Pek-kut Hosiang tersenyum lebar. Dia tidak menjawab pertanyaan ini. Mereka sudah tiba di pusat kemah para pendekar dan matanya yang melirik sekilas ke arah pemuda di sampingnya ini menyembunyikan senyum yang rahasia.

"Siauw-pangcu, apakah di sini pinceng harus berhenti?" hwesio itu membelokkan percakapan.

Dan Kui Lun menghentikan langkahnya. Sejenak pemuda itu memandang tamunya, lalu ketika tampak Pek-mauw Sian-jin dan rekan-rekannya muncul pemuda ini tiba-tiba menganggukkan kepalanya. "Ya, sampai di sini antaran kami, locian-pwe. Mudah-mudahan sambutan, kami tidak mengecewakan locianpwe. Apakah locianpwe ada pesan sesuatu untuk suhu?"

Hwesio jubah kuning itu menggeleng. "Tidak, siauw-pangcu. Tapi barang kali malam ini suhumu harus memeras keringat lebih banyak dari biasanya. Di luar pinceng lihat ada barisan ular merayap ke mari. Apakah itu juga undangan gurumu?"

Kui Lun terkesiap kaget, "Apa maksud iocianpwe"?"

Hwesio itu tersenyum. "Tidak apa-apa, siauw-pangcu. Tapi katakan saja pada gurumu bahwa pinceng sudah melihat ular-ular yang panjang di atas bukit itu."

"Ah...!" pemuda ini tertegun dan rombongan Pek-mauw Sian-jin yang sudah dekat dengan mereka itu tidak memberi kesempatan kepada pemuda ini. Kui Lun hanya terbelalak, lalu ketika dia sadar cepat-cepat pemuda ini menjura kaku.

"Baiklah, Pek-kut lo-suhu. Apa yang locianpwe katakan akan kuberitahukan kepada suhu. Sampai jumpa petang nanti di panggung Puri Naga!"

Lalu dengan cepat pemuda itu membalikkan tubuh dan meninggalkan hwesio tinggi besar itu dengan muka berubah. Dia tampak tergesa-gesa, dan Pek-kut Hosiang yang mengkuti orang dengan pandang matanya tampak bersinar. Hwesio ini akhirnya membalikkan tubuh dan menyambut rombongan Pek-mauw Sian-jin ini. Sekarang bubarlah rombongan panitia penyambut tamu itu.

Kui Lun telah memerintah-kan para pembantunya untuk bersiap-siap di ruangan dalam, dan pemuda yang tampaknya terperanjat oleh kata-kata Pek-kut Hosiang itu telah langsung menuju ruangan paling dalam untuk menemui suhunya. Dan di sinilah orang luar tidal tahu lagi, apa sehenamya yang dibicarakan oleh guru dan murid itu. Tapi melihat ketegangan yang tiba-tiba nampak secara diam-diam di muka seluruh anggota mudah diduga bahwa sesuatu yang "luar biasa" sedang terjadi.

* * * * * * * *

Petang itu Bangsal Agung di Puri Naga tampak semarak. Lampu wama-wami yang berkelap-kelip di seluruh ruangan tampak bergan-tungan di sana sini. Puri Naga sekonyong-konyong terang-benderang, dan para tamu yang duduk di kursi undangan itu tampak ramai. Sedikit kegaduhan dari keramaian pesta ini mebuat keadaan menjadi berisik. Tapi ketika suara genta mendadak dipukul maka tiba-tiba saja suara berisik ini sirap.

Lorong di belakang panggung kehormatan ba-tiba saja menjadi perhatian semua orang. Dan tamu tingkat atas yang berhadapan langsung dengan panggung kehormatan ini tampak menegakkan kepala mereka. Itulah tanda akan dimulainya puncak keramaian, dan mereka yang datang khusus untuk menyaksikan semua keramaian yang dibuat oleh orang-orang Gelang Berdarah itu tiba-tiba saja menjadi tegang.

Sekelompok wanita mula-mula muncul di panggung kehormatan itu. Dan bahwa mereka cantik-cantik dan bertubuh menggairahkan sejenak rmeredakan ketegangan ini tapi tentu saja itu bagi tamu-tamu yang muda usia. Dan para wanita cantik yang lenggangnya memikat serta berjumlah sembilan orang itu tahu-tahu telah berada di atas panggung dengan senyum mereka yang penuh tantangan. Itulah para penari yang kentara dari dandanan mereka. Begitu para penari ini muncul tiba-tiba terdengarlah alunan musik disusul berkelebatnya sebuah bayangan dari anggota perkumpulan Gelang Berdarah. Dialah Bi Kwi, wanita cantik yang saat itu sudah menjura di depan tamu undangan dengan muka berseri-seri.

"Cuwi sekalian," demikian Bi Kwi millai berkata dengan suaranya yang nyaring merdu. "Mengawali pembukaan ulang tahun perkumpulan kami yang pertama maka kami persembahkan untuk cuwi sekalian sebuah tari silat hasil sumbangan dari locianpwe Cheng-gan Sian-jin. Iniiah tarian yang khusus disajikan untuk cuwi sekalian dan kami yang merasa gembira atas kehadiran cuwi enghiong yang telah memenuhi undangan kami pada hari ini, dan kami para anggauta serta ketua Gelang Berdarah pada malam ini mengucapkan selamat menonton, selamat datang dan banyak terima kasih atas perhatian cuwi yang dedemikian besar. Nah, cuwi sekalian, mengawali hadimya pangcu kami yang sebentar lagi akan muncul silakan cuwi sekalian menikmati hidangan pertama ini dengan gembira. Inilah tarian yang oleh pencipianya disebut tari silat Dewi Naga Dimabuk Cinta, dan cuwi yang boleh menjadi juri dalam menikmati tarian silat ini silakan menilai. Kami seluruh anggota Hiat-goan-pang hanya dapat mengucapkan selamat menonton, selamat bergembira dan selamat menikmati hidangan yang pertama ini. Terima kasih!"

"Jrengg...!" baru Bi Kwi membungkukkan tubuh mengakhiri pembicaraannya tiba-tiba saja suara musik bergencreng nyaring membarengi ucapan selamatnya. Dan begitu suara musik ini dipukul maka tiba-tiba saja alat tetabuhan yang lain ikut mengiringi dengan suaranya yang memekakkan telinga. Semua keramaian pesta mendadak dibuat gaduh oleh serombongan musikus di atas panggung itu, tapi ketika suara bergenjreng nyaring itu kembali memimpin suasana tiba-tiba hiruk pikuknya suara musik lenyap dengan sekonyong-konyong.

Suasana di atas panggung tiba-tiba sunyi. Dan sembilan orang penari yang tadi masih merupakan patung-patung hidup itu sekonyong-konyong bergerak. Mereka menggeliatkan tubuh, menekuk perut dan menjura di depan para tamu. Lalu ketika mendadak suara bergencreng kembali terdengar tiba-tiba saja awal tarianpun dimulailah. Sembilan orang penari itu melempar tangan mereka, dan begitu suara tetabuhan yang lain ikut berbunyi maka berlenggang lenggoklah sembilan wanita cantik ini.

Mereka mula-mula melakukan tarian ular. Meliak-liuk naik turun dengan lemah-gemulai. Akan tetapi ketika suara musik tiba-tiba meninggi maka sekonyong-konyong gerakan mereka itupun ikut berubah. Tarian lemah gemulai yang semula disajikan mendadak berubah sedikit erotis. Dan pinggul yang tadi naik turun dengan lembut, tiba-tiba digoyang sedikit kuat.

Gerakan sembilan penari cantik ini tiba-tiba nampak bersemangat, dan ketika suara musik kian menukik mendadak saja para penari itupu mengikuti irama ini dengan cepat. Seluruh tubuh mereka mulai digoyang-goyang, dan bersamaan dengan suara musik yang menghentak-hentak mulailah sembilan orang penari cantik di atas panggung itu beraksi dalam lenggang yang panas. Mereka mulai tersenyum-senyum. Dan bibir yang merekah basah diantara mulut yang setengah terbuka itu menunjukkan gairah menyala yang mulai berkobar.

Sekarang para tamu benar-benar mulai terbelalak. Mereka disuguhi sebuah adegan yang menjurus pada tarian erotic. Tarian pembangkit nafsu berahi. Dan sembilan penari cantik atas panggung yang meliak-liuk dengan pinggul digoyang-goyang hebat itu tampak mulai membara setengah bemafsu. Mereka bergerak denga lenggang yang aduhai, dan ketika suara musik meacapai klimakanya dalam lengking yang tinggi ciba-tiba sembilan penari cantik itu melempar tubuh ke belakang dan bergulingan di lantai.

Dan, bersamaan dengan robohnya sembilan penari ini tiba-tiba lampu di atas para tamu undangan padam. Serentak dengan padamnya lampu di atas panggung yang tiba-tiba juga gelap gulita! Tapi sementara para tamu terkejut sekonyon-konyong lampu di atas panggung yang ikut padam itu mendadak hidup kembali. Namun, tidak seperti tadi yang gemebyar terang benderang adalah sekarang suasana di atas panggung itu sudah berubah seratus delapanpuluh derajat. Cahaya remang-remang menguasai panggung ini, dingin gelap setengah redup. Dan di atas papan. Dalam sorot lampu yang terselubung kertas kaca yang memantulkan wama-wama merah hijau dan kuning jingga tampaklah sembilan sosok tubuh menggairahkan yang tergolek bergelimpangan bermandikan cahaya merangsang.

Itulah sosok sembilan penari yang tadi melempar tubuh bergulingan di lantai panggung. Mereka ini diam tak bergerak, seakan lena seperti patung tak bernyawa. Tapi ketika mereka itu menggeliat dalam pinggang yang mematah untuk bangkit berdiri tiba-tiba saja para tamu dibuat tertegun. Apa yang dilihat?

Sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang hampir tak masuk akal. Karena dalam waktu yang demikian singkat sejak padamnya lampu yang hanya berapa detik itu tiba-tiba saja sembilan orang penari di atas panggung ini telah berdiri dalam keadaan setengah telanjang, hampir bugil dalam pakaian tipis yang tembus pandang! Dan sementara para tamu melotot dengan muka kaget tiba-tiba suara musik bergencreng gemuruh dalam alunan tinggi.

Para musikus yang kini tersembunyi dalam remangnya cahaya lampu di atas panggung itu tahu-tahu telah memukul alat permainan mereka sedemikian hebat, dan ketika sembilan orang penari cantik di atas panggung itu disuruh bergoyang-goyang dalam irama panas yang menghentak-hentak, maka tertegunlah para tamu undangan yang tertutup suaranya oleh hebatnya suara musik di atas panggung itu.

Kini para tamu hanya sempat memandang saja. Mereka tidak diberi kesempatan untuk membuka suara. Baik itu lontaran kagum maupun lontaran marah. Dan sembilan penari cantik yang menggoyang tubuh dengan gerakan cepat seakan berlomba dengan irama musik yang menghentak-hentak membuat mereka sebentar saja seperti orang kesurupan. Para penari ini mulai terengah-engah. Mereka mendengus-dengus seakan orang mabok berahi. Dan ketika suara musik memacu mereka dalam lengking yang tertinggi tiba-tiba saja sembilan orang penari itu mengeluh tertahan.

Mereka tersentak. Seakan mengejang dalam puncak kenikmatan. Dan ketika suara musik menurun tajam dalam getaran terendah untuk akhirnya berhenti dengan tiba-tiba maka sembilan orang penari itupun mendadak mengerang. Mereka tampak gemetar, dan tubuh yang menggigil hebat itu sekonyong-konyong dicengkeram. Pakaian minim yang tembus pandang tiba-tiba dicabik, dan begitu terdengar suara "bret-bret" dua kali maka lepaslah seluruh sisa-sisa pakaian yang ada. Sembilan orang penari itu berdiri dengan tubuh telanjang bulat, tapi bersamaan dangan polosnya tubuh yang tidak tertutup sehelai benangpun ini tiba-tiba lampu di atas panggung padam!

Sekarang para tamu berteriak gaduh. Adegan terakhir yang mereka lihat di atas panggung kehormatan itu sungguh luar biasa. Belum pernah mereka lihat seumur hidup! Dan sementara tokoh-tokoh undangan yang berasal dari aliran kaum pendekar ini memaki pertunjukan yang diadakan perkumpulan Gelang Berdarah mendadak lampu di atas panggung gemebyar kembali. Sinar yang terang benderang tampak menerangi lantai panggung, dan bersamaan dengan hidupnya lampu di atas panggung ini tiba-tiba lampu di atas para undangan juga menyala terang.

Kini semua mata berkumpul ke depan. Mereka mengira bahwa pemandangan yang seperti tadi masih akan mereka lihat. Dan beberapa tosu yang "ngeri" dengan pemandangan seperti itu malah ada yang tidak berani memandang. Mereka menutup mata. Tapi ketika beberapa pendekar siap melontarkan makian terhadap orang Hiat-goan-pang itu mendadak mereka tertegun. Kiranya sembilan penari cantik yang dikira masih berdiri di atas panggung telah berganti dengan dua orang laki-laki yang gagah perkasa. Mereka ini berdiri saling berdampingan. Yang tinggi besar berdiri di sebelah kiri sedangkan yang bertubuh tegap di sebelah kanan. Keduanya tersenyum, lalu ketika semua mata hilang kagetnya tiba-tiba yang tinggi besar tertawa bergelak.

"Ha-ha, para tamu tampak tertegun pang-cu. Apakah ini boleh dibilang mereka terpukau oleh hasil tarian anak buahku? Atau mereka tertarik oleh tubuh yang denok-denok itu? Uwah, apapun jawabnya, aku puas bahwa tokoh-tokoh undanganmu ini telah menyaksikan kreasi baruku. Dan untuk kemurahanmu memberikan kesempatan, ini aku mengucapkan banyak-banyak terima kasih, pangcu. Semoga perkumpulan Gelang Berdarah selalu abadi dan jaya sepanjang masa!"

Laki-laki tinggi besar itu tertawa berderak dan suaranya yang gemuruh seperti halilintar menyambar itu membuat seluruh ruangan bergetar. Para tamu terkejut, tapi belum mereka ada yang bicara tiba-tiba laki-laki yang berdiri di sebelah kanan itu tertawa.

"Cuwi enghiong (tuan-tuan yang gagah perkasa), maafkan bahwa kami terlambat menyambut cuwi sebagaimana layaknya. Tapi bukankah cuwi telah kami suguhi sebuah tarian pembukaan? Nah, memenuhi permintaan sahabat kami Cheng-gan Sian-jin yang ingin memberikan kegembiraan dalam pesta uang tahun ini kami harap cuwi sekalian tidak penasaran. Kami lihat tarian hasil ciptaan Cheng-gan Sian-jin itu meang indah sekali. Dan naluri alamiah yang diwujudkannya dalam tarian itu memang hebat sekali. Apakah ada di antara cuwi yang ingin memuji tarian itu di depan penciptanya? Nah, kalau demikian kami bersyukur sekali, dan sebagai pimpinan Gelang Berdarah di sini secara pribadi kuucapkan banyak terima kasih atas perhatian cuwi enghiong yang demikian besar untuk memenuhi undangan kami...!" laki-laki itu merangkapkan tangan, lalu sekali membungkuk sambil menggerakkan tubuh setengah lingkaran diapun memberikan penghormatan secara serantak ke semua pengunjung.

Kemudian, selesai menganggukkan kepala, laki-laki ini yang bukan lain adalah sang ketua perkumpulan Gelang Berdarah sendiri telah bertepuk tangan dua kali memanggil semua pembantu-pembantu utamanya. Itulah para ketua cabang yang segera berkelebatan maju, dan ketika pimpinan tertinggi serta para ketua cabang dari perkumpulan Gelang Berdarah itu muncul duduklah sang ketua ini di kursi gading yang telah disiapkan anak buahnya.

Sedangkan Chen-gan Sian-jin. si raksasa tinggi besar yang tadi tertawa bergelak juga sudah duduk di samping kiri ketua Gelang Berdarah itu dengan mata bersinar-sinar. Raksasa dari keturunan Bangsa Arya ini tampak paling menyeramkan, karena selain tinggi besar dengan rambutnya yang kemerah-merahan itu dia juga memiliki mata yang kehijau-hijauan seperti mata iblis. Dan justeru karena sepasang mata inilah dia mendapat julukan Cheng-gan Sian-jin, Manusia Suci Bermata hijau, kontras sekali dengan sepak terjangnya yang tidak patut dilakukan manusia suci.

Tapi sementara dua orang tokoh ini muncul para tamu yang terdiri dari dua golongan itu tampak memandang keduanya dengan pandangan lekat. Mereka baru kali ini berhadapan secara langsung dengan dua orang tokoh itu. Dan bahwa disamping Chen-gan Sian-jin muncul ketua Gelang Berdarah yang mereka dengar memiliki kesaktian luar biasa itu membuat pandangan para tamu sebagian besar tertuju kepada tokoh yang satu ini.

Dan memang ketua Gelang Berdarah itulah yang sebenarnya menjadi orang nomor satu yang paling diperhatikan. Cheng-gan Sian-jin merupakan tokoh ke dua, walaupun datuk iblis ini bisa saja sewaktu-waktu menjadi orang pertama pula. Tapi karena Hiat-goan-pangcu (ketua Hiat-goan-pang) yang mengundang mereka maka keteganganpun tiba-tiba timbul. Sekarang mereka ingin tahu, apakah selanjutnya yang bakal terjadi dari keramaian ulang tahun perkumpulan ini? Apakah tokoh-tokoh undangan akan maju menghadapi ketua perkumpulan Gelang Berdarah yang belum mereka kenal jelas itu? Dan bagaimanakah sikap tuan rumah yang tampaknya bersikap tenang itu?

Semua mata menanti. Mereka menunggu letikan api yang sewaktu-waktu meletus. Dan ketua Gelang Berdarah yang tampak tersenyum-senyum di tempat duduknya itu membuat beberapa orang di antaranya heran. Mereka heran dan tercengang melihat wajah ketua perkumpulan, Gelang Berdarah ini. Demikian halus dan tampan rapi dengan pakaian sutera yang diikat tali hitam.

Melihat gerak-geriknya, ketua ini tampaknya lebih cocok untuk menjadi orang dari golongan pek-to (putih), tidak pantas membaurkan diri dengan orang-orang golongan hek-to (hitam) yang sepak terjangnya buas-buas itu. Tapi kalau ingat betapa perkumpulan Gelang Berdarah diam-diam mempunyai ketua cabang yang konon katanya ada iblis-iblis tua macam Kalong Kelabu dan Lutung Banyak Langan yang mereka lihat memang ada dibelakang sang ketua ini maka orangpun jadi merasa serba aneh.

Mereka tidak tahu, siapakah sebenamya ketua Gelang Berdarah yang akhir-akhir ini tersohor namanya. Apakah dia orang sesat ataukah justeru seorang pendekar. Dan melihat mukanya yang halus tampan dan rapi itu orang menaksir tokoh ini berusia sakitar empat puluhan tahun. Masih cukup muda dan kuat! Maka begitu tokoh itu muncul segeralah perhatian semua tamu tertarik kepadanya. Apalagi setelah dia menggelarkan tari Dewi Naga Dimabuk Cinta itu, tarian perangsang pembangkit nafsu berahi!

Tapi sementara semua mata lekat memandang ketua Gelang Berdarah ini mendadak sesosok bayangan kuning berkelebat ke depan. Dia adalah Kui Lun, hu-pangcu yang sudah dikenal orang ketika menyambut tokoh-tokoh undangan ketika terjadi keributan di pintu masuk tadi. Dan begitu pemuda ini muncul di atas panggung langsung saja dia membungkukkan tubuh memberi hormat kepada semua orang.

"Cuwi enghiong yang kami muliakan," demikianiah pemuda itu berseru nyaring. "Menyambut ulang tahun perkumpulan kami yang pertama maka kami persilahkan cuwi sekalian untuk menyaksikan upacara singkat yang hendak kami mulai ini. Kami dari Perkumpulan Gelang Berdarah baik seluruh anggauta maupun ketua pribadi menyampaikan ribuan terima kasih atas kehadiran cuwi yang telah ikut memeriahkan perayaan kami. Tapi sebagai tuan rumah yang tak luput dari kesalahan di sini kami mohon maaf apabila dalam sikap, kata-kata maupun perbuatan kami ada yang kurang berkenan di hati cuwi. Nah, cuwi sekalian yang kami hormati. Menyaksikan awal upacara yang hendak segera kami mulai silahkan cuwi menonton apa yang akan dilakukan oleh ketua kami. Pangcu kami akan memimpin upacara, dan kami seluruh anggauta minta kesadaran cuwi sekalian untuk bersikap tenang. Terima kasih!"

Lalu begitu membungkukkan tubuhnya sekali lagi maka tiba-tiba pemuda inipun sudah melompat mundur. Dia menganggukkan kepalanya kepada sang ketua, yang juga sekaligus merupakan sang guru itu. Dan ketua Gelang Berdarah yang mendapat isyarat ini tiba-tiba bangkit berdiri. Dengan sinar matanya yang mencorong berkilat sang ketua Gelang Berdarah itu tampak menyapu pandangan semua hadirin, lalu ketika dia melangkah maju tiba-tiba tujuh-betas ketua cabang yang ada di belakangnya itu bangkit mengikuti.

Sekarang suasana "ceremony" menguasai atas panggung. Dan semua tamu yang melihat dimulainya upacara itu tampak memandang penuh perhatian. Mereka melihat sebuah meja kecil yang terbuat dari marmer putih dijadikan pusat upacara oleh ketua perkumpulan Gelang Berdarah itu, dan bahwa di tengah-tengah meja itu duduk dengan tegak sebatang lilin yang "dikurung" sebuah gelang tembaga yang konon katanya memiliki racun yang berbahaya!

Tapi sementara mereka terbelalak sang ketua Gelang Berdarah ini sudah mengangkat tangannya. Dengan sedikit kebutan ringan dia membersihkan permukaan meja, dan para tamu yang ada di depan terkejut melihat betapa meja itu tiba-tiba terangkat naik. Dan, bersamaan naiknya meja marmer ini mendadak ketua Gelang Berdarah itu berseru,

"Cowi enghiong, mengingat ini adalah perayaan kami yang pertama maka perkenankan kami meletakkan meja ini pada tempat yang teragung. Api lilin harus mampu dilihat semua orang, dan kami yang hendak menyulutnya mohon berkah restu cuwi. Craat..!" ketua Gelang Berdarah itu tiba-tiba menjentrekkan jari tengah dan ibu jarinya dan begitu ketua Gelang Berdarah menyentrekkan jarinya, sekonyong-konyong api menyambar ke sumbu lilin. Lalu bersaman dengan menyalanya lilin ini, mendadak meja marmer beserta isinya itu terbang diatas kursi gading. Aneh! Dengan cepat sekali, meja dengan lilin yang menyala ini "duduk" diatasnya, dan begitu meja ini "nongkrong" di atas kursi gading yang dijadikan tempat duduk sang ketua Gelang Berdarah ini sekonyong-konyong meja itu sudah tak bergerak lagi. Mapan seperti berdiri di atas lantainya dengan sangga kepada kursi!

"Ah…!" semua tamu membelalakkan mata dan demontrasi hebat yang telah dipertunjukkan oleh ketua Gelang Berdarah itu benar-benar membuat mereka kaget. Kekagumam yang tak mampu disembunyikan tampak di wajah semua tamu-tamu undangan ini tapi kekagetan besar juga terbayang di muka orang. Karena, bagaimana tanpa sebuah geretanpun ketua Gelang Berdarah itu mampu menyalakan api llin, hanya dengan jentrekan kedua jarinya belaka?

Dan bahwa lilin itu "terbang" bersama mejanya tanpa memadamkan apinya sungguh suatu hal yang amat luar biasa sekali. Belum terhitung mapannya meja itu sendiri yang tegak tanpa bergoyang di atas kepala kursi yang hanya merupakan kayu melintang setengah badan. Ah, sungguh mentakjubkan! Tapi sementara mereka tercengang oleh kesaktian ketua Gelang Berdarah ini tiba-tiba lelaki itu sudah membungkukkan tubuhnya sambil tertawa.

"Cuwi sekalian, maaf bahwa lilin itu terpaksa kami pasang di atas kursi kehormatan. Bukan maksudnya untuk menunjukkan diri lebih tinggi dari cuwi sekalian tapi hanya sekedar untuk dapat diketahui bahwa upacara penyalaan lilin ini telah selesai. Kami seluruh anggota Gelang Berdarah mohon doa restunya, agar kami dapat memimpin perkumpulan dengan baik. Dan sekarang, cuwi sekalian. Merupakan acara ke dua dari pesta keramaian ini majulah kita kepada maksud kami yang merupakan puncak kegembiraan untuk mengadakan pemilihan bengcu. Karena, seperti yang telah cuwi ketahui dalam surat undangan kami, kami bermaksud untuk mengadakan acara ini agar di dalam dunia kang-ouw terdapat seorang pemimpin yang dapat diandalkan untuk mengendalikan semua orang-orang persilatan. Karena seperti yang cuwi ketahui, dunia tanpa seorang pemimpin adalah dunia yang tidak dapat tenteram damai. Dan hanya dengan mengadakan pemilihan seorang bengcu inilah kami merayakan bahwa dunia persilatan pada khususnya dan negara pada umumnya akan dapat diatur sebik-baiknya menuju kesejahteraan yang merata dan tenteram abadi sepanjang masa! Nah, cuwi sekalian yang kami muliakan. Menginjak pada acara yang amat pokok ini sebelumnya kami secara ribadi ingin menyampaikan terimakasih kepada sahabat-sahabat para pai-cu (ketua-ketua partai) yang malam ini telah hadir di tempat kami, saudara-saudara Pek-mauw Sian-jin yang terhormat, Bu Wi Hosiang, Thian-kong Cin-jin, Hui To Lo-jin dan Kim-sin San-jin serta Pek-kut Hosiang yang kami muliakan serta seluruh undangan yang hadir untuk memenuhi permintaan kami menyaksikan pemilihan adu jago ini. Tapi cuwi sekalian, meskipun kami merasa gembira atas sambutan cuwi yang meluap namun ada sedikit kekecewaan di hati kami. Karena ketua Beng-san pai, Ciok-touw Taihiap Souw Ki Beng yang kami nanti-nantikan ternyata belum juga hadir. Begitu juga beberapa tokoh dunia lainnya, seperti Malaikat Gurun Neraka serta muridnya yang amat lihai itu. Lalu Bu-tiong-kiam Kun Seng si jago pedang dari Kun-lun yang telah kani beri undangan pula. Apakah mereka tidak hadir karena mendapat halangan di tengah jalan? Kami tidak tahu. Tapi cuwi sekalian, meskipun beberapa diantara undangan kami adalah yang tidak dapat hadir namun kami tetap merasa optimis untuk melanjutkan pemilihan bengcu ini. Dan sebelum kami membuka secara resmi pertandingan untuk menjadi seorang bengcu itu kami ingin memberi sedikit pengumuman…"

Ketua Gelang Berdarah itu berhenti sejenak, memandang dengan muka berseri ke arah belakang lalu bertepuk tangan. Dan baru tepukan ini selesai dilakukan mendadak dari lorong di belakang panggung itu muncul seorang laki-laki muda diiringi belasan orang. Para tamu tidak ada yang tahu siapa laki-laki muda yang berjalan tenang dengan kepala terangkat tegak itu, tapi wajahnya yang putih tampan serta pakaiannya yang indah gemerlap membuat orang segera tertarik perhatiannya. Mereka menduga, pemuda yang baru muncul ini setidak-tidaknya anak seorang hartawan besar, bahkan mungkin anak seorang bangsawan! Dan baru mereka menduga-duga tiba-tiba sang ketua dang Berdarah sudah memberitahukan kepada mereka sambil tertawa gembira.

"Cuwi enghiong, mungkin cuwi tidak megenal siapa pemuda yang gagah tampan ini. Tapi kalau kuberitahukan tentu cuwi sekalian terkejut. Apakah ada di antara cuwi yang sudah mengenalnya?" lalu ketika tidak ada orang yang tampaknya mengenal pemuda ini sang ketua Gelang Berdarah itu melanjutkan sendiri, "Dialah keturunan tunggal mendiang raja Muda Kung, cuwi sekalian, putera mahkota atau Pangeran Fu Chai yang hari ini berkenan hadir menemui cuwi....!"

Dan putera mahkota atau Pangeran Fu Chai yang sudah berada di atas panggung itu tiba-tiba memberi hormat kepada semua tamu yang benar saja sudah saling berteriak kaget ketika mendengar pemberitahuan sang ketua Gelang Berdarah itu. Namun belum ada seorangpun yang bergerak dari tempat duduknya tiba-tiba ketua Gelang Berdarah itu sudah mengangkat tangannya.

"Cuwi sekalian, mohon ketenangan suasana agar perayaan ini tidak seperti pasar. Pangeran Fu Chai hendak memberikan sepatah dua patah kata kepada kita!" dan ketika suasana berisik lenyap oleh pengaruh ucapan ketua Gelang Berdarah ini maka melangkahlah pangeran berwajah tampan itu dengan bibir tersenyum-senyum.

"Cuwi enghiong," pangeran itu berkata ramah, lembut dan halus sekali sikapnya. "Mengejutkan perasaan cuwi yang tidak menyangka atas kemunculan ini sebelumnya aku ingin menyampaikan permintaan maaf bahwa kehadiranku ini rupanya telah membuat goncang perasaan cuwi. Tapi yakinlah, cuwi. Kehadiranku di sini tidak untuk merusak suasana melainkan justeru untuk pengakrabkan suasana. Aku diminta hadir oleh Hait-goan-pangcu yang telah lama kukenal, dan memenuhi permintaan baiknya ini aku tidak bisa menolak. Perkumpulan Gelang Berdarah hari ini merayakan ulang tahunnya, dan sebagai sahabat yang telah lama menjalin hubungan akrab aku hanya dapat menyampaikan ucapan selamat dan doa semoga panjang umur bagi perkumpulan yang masih muda usia ini. Dan kepada cuwi enghiong yang hari ini hadir, aku mengucapkan selamat berkenalan dan semoga cuwi dapat bergembira sepuasnya dalam pesta perayaan ulang tahun perkumpulan Gelang Berdarah ini. Selamat...!"

Dan pangeran yang sekali lagi memberi hormat lalu dipersilakan duduk di sebelah kanan kursi kebesaran ketua Gelang Berdarah itu tampak membuat para tamu tertegun. Mereka melihat betapa simpatik sikap pangeran yang tampan ini. Tapi bahwa dia adalah keturunan raja Muda Kung Cu Kwang yang dianggap "pemberontak" itu membuat para tamu undangan menjadi gelisah.

Seperti diketahui, dalam cerita Pendekar Gurun Neraka, dua buah kerajaan yang selalu bermusuhan tampak melibatkan diri dalam peperangan yang tidak kenal mengalah. Yang satu adalah Kerajaan Yueh sedangkan yang lain adalah Kerajaan Wu. Dan dalam pertempuran terakhir yang mati-matian ini di bawah pimpinan Yap-goanswe, Kerajaan Wu berhasil dikalahkan. Banyak yang terbunuh dalam peperangan mati hidup itu, termasuk raja Muda Kung sendiri bersama tiga orang panglima utamanya, Wu-sam-taiciangkun yang amat terkenal itu. Dan bahwa ibu kota lalu direbut dan menjadi milik yang menang, hal itu adalah biasa dalam sebuah peperangan.

Tapi sebab utama dari kekalahan Wu yang berupa pengkhianatan Cheng-gan Sian-jin sampai di dalam istana tidaklah ada yang mengetahuinya. Dalam arti kata, bukan oleh musuhlah Wu-sam-tai-ciangkun itu tewas melainkan oleh datuk iblis inilah. Karena, seperti telah diceritakan dalam cerita terdahulu betapa datuk iblis ini telah membunuh tiga orang panglima itu secara licik dan diam-diam di lorong bawah tanah. Meninggalkan kesan seolah-olah oleh Yap-goanswelah Wu-sam-tai-ciangkun itu terbunuh, bukan olehnya!

Dan umum, yang menganggap peristiwa itu wajar terjadi mengingat Yap-goanswe memang bermusuhan dengan tiga orang panglima ini telah memuji-muji nama jenderal itu sebagai pahlawan yang gagah perkasa. Tidak tahu betapa keturunan tunggal tiga orang panglima ini yang masih hidup, Ok Kui Lun yang menjadi kakak satu-satunya mendiang Siu Li, menaruh dendam yang setinggi langit terhadap jenderal muda itu. Bersiap-siap untuk kelak membalas dendam bagi kematian adik dan ayahnya!

Sedangkan Cheng-gan Sian-jin sendiri, yang tertawa bergelak oleh hasil kerjanya yang amat curang itu merasa puas telah melempar batu sembunyi tangan. Dia sama sekali tidak mengira bahwa kejahatannya itu, yang mengira Wu-sam-tai-ciangkun benar-benar telah binasa di lorong bawah tanah, sesungguhnya masih hidup yang seorang. Dialah panglima tertua Wu-sam-tai-ciang-kun, panglima Ok yang masih dapat memaki-maki kebusukannya.

Dan dari maki-makiannya inilah seseorang berhasil mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di lorong bawah tanah itu. Karena, meskipun akhirnya panglima itu menghembuskan nafasnya yang terakhir orang satu-satunya itu berhasil mendengar apa yang sesungguhnya terjadi. Dan orang yang dimaksud itu bukan lain adalah Pendekar Gurun Neraka, bekas Jenderal Yap yang dulu memimpin penyerbuan ke tempat tiga orang panglima itu.

Inilah satu hal yang luput dari kecerdikan Cheng-gan Sian-jin. Dan di sinilah sekarang terbukti adanya kebenaran sebuah pepatah, bahwa sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya terjatuh juga dia sekali dua. Dan hal yang di luar dugaan Cheng-gan Sian-jin ini tidak lama lagi akan segera merepotkannya di markas perkumpulan Gelang Berdarah itu.

Sekarang kita kembali pada suasana di alas panggung. Pangeran Fu Chai yang telah memberikan sepatah katanya kini duduk tenang dengan wajah berseri-seri di tempat duduknya. Sedangkan para tamu yang terbelalak memandang pangeran ini tiba-tiba berisik kembali. Seseorang melompat di atas panggung, dan kakinya yang melayang ringan tampak hinggap dengan enteng di depan ketua Gelang Berdarah yang masih berdiri tegak.

"Hiat-goan-pangcu, bagaimana kau bisa mengundang seorang pemberontak di sini? Bukankah kau tahu bahwa tamumu itu musuh negara? Karena mengumpulkan kami bersama seorang pemberontak di sini sama halnya dengan menganggap kami sebagai pemberontak, pangcu. Dan kami kaum pendekar pantang sekali diajak bercakap-cakap dengan kaum pemberontak!" Itulah Sun Sim Sian-jin yang bicara, wakil Pek-mauw Sian-jin yang menjadi ketua Kun-lun-pai.

Tapi ketua Gelang Berdarah yang mendapat teguran tajam ini tampak tertawa lebar. "Sun Sim totiang, kami sebagai tuan rumah masih belum memberikan pengumuman-pengumuman berikutnya. Kau tenanglah dahulu, silakan duduk di tempat. Dan masalah pemberontak atau bukan pemberontak nanti dapat kita perdebatkan setelah segalanya selesai. Nah, silakan kembali, totiang. Kami minta kesadaranmu ini...!" dan ketua Gelang Berdarah yang memandang dengan sinar mata berpengaruh itu membuat Sun Sim Sian-jin mengalah.

Dia tidak tahu kalau tuan rumah masih akan memberikan pengumumannya lagi, dan bahwa dia telah "memutus" omongan orang yang belum rampung memang dapat dianggap kurang sopan. Karena itu Sun Sim Sian-jin menahan diri, dan dengan muka sedikit merah dia berkata. "Hm, maaf kalau begitu, pangcu. Kuharap saja setelah ini semua ganjalan hatiku dapat kukeluarkan…!" dan setelah bicara begitu wakil ketua Kun-lun inipun sudah melayang turun lalu duduk kembali di kursinya.

Sekarang semua mata memandang ketua Gelang Berdarah itu. Teguran Sun Sim Sian-jin yang tadi dikeluarkan sedikit banyak membuat para tamu berbisik-bisik. Tapi ketika tuan rumah mengulurkan lengannya tiba-tiba semua suara itu-pun lenyap.

"Cuwi enghiong, menanggapi pertanyaan sahabat Sun Sim Sian-jin tadi biarlah kita kupas masalahnya sebentar lagi. Kami masih mempunyai satu pengumuman penting, dan mengingat kepentingannya inilah maka semua pertanyaan terpaksa kami tunda dulu. Hiat-goan-pang bukanlah perkumpulan yang tertutup, maka siapa-pun yang kiranya ingin mengeluarkan isi hatinya dapat kami terima dengan senang hati. Tapi sekarang, cuwi sekalian, menyusul pengumuman yang hendak kami beritahukan ini maka diharap cuwi semua tenang. Kami hendak mengumumkan adanya berita perjodohan!"

Dan ketua Gelang Berdarah yang tampak semakin berseri mukanya itu tiba-tiba memutar tubuh. Dia memberi isyarat di barisan anak buahnya, lalu ketika tiga buah bayangan melompat ke depan tercenganglah para tamu ketika melihat siapa yang maju. Kiranya Bi Kwi dan dua orang encinya! Dan begitu para tamu berisik dengan suara heran tiba-tiba ketua Gelang Berdarah itu sudah tertawa kepada mereka.

"Cuwi enghiong, inilah bentuk pengumuman kami yang kedua itu. Mereka adalah pembantuku yang setia, tiga orang kakak beradik yang hari ini mendapat kebabagiaan besar dipersunting pujaan hatinya. Dan tahukah cuwi siapa gerangan yang menjadi calon suami mereka ini? Bukan pemuda sembarangan. Tapi sebelum kuperkenalkan calon mempelai itu baiklah kuperkenalkan dahulu siapa-siapa mereka ini..." lalu sambil tertawa gembira sang ketua Gelang Berdarah itu menunjuk Bi Gwat, si baju ungu.

"Ini adalah pembantuku yang nomor sebelas, cuwi enghiong. Namanya Bi Gwat. Dia merupakan kakak tertua dari ketiga bersaudara, sedangkan yang itu..." ketua Gelang Berdarah ini menunjuk si baju merah muda yang tersenyum genit. "Dia adalah Bi Hwa. Dia merupakan saudara penengah, pembantuku yang dapat kupercaya...."

Lalu sementara dua orang gadis itu menunduk malu-malu di hadapan para tamu yang sebenarnya adalah pura-pura belaka tiba-tiba sang ketua Gelang Berdarah ini sudah memperkenalkan Bi Kwi. Gadis itu tampak berseri mukanya, dan ia yang sudah dikenal sebagai "protokol" ketika membuka acara pertama tadi di hadapan para tamu memandang semua hadirin dengan tidak segan-segan. Bi Kwi benar-benar hebat, dan dia yang tidak malu-malu seperti dua orang kakaknya itu melirik ke sana ke mari dengan senyum lebar. Sementara sang ketua yang tampak bangga dengan gadis berpakaian hitam ini menerangkan,

"Gadis ini adalah saudara termuda dari ketiga bersaudara, cuwi. Namanya Bi Kwi. Orang menjulukinya sebagai Hek-bi-kwi, namun bersatu dengan dua orang kakaknya mereka lebih dikenal dengan julukan Sam-hek-bi-kwi! Nah, cuwi tentu sudah mendengar nama ini bukan? Mereka merupakan pembantu-pembantuku nomor sebelas sampai tiga belas. Dan sebagai pembantu-pembantu utama tentu saja mereka harus mendapatkan jodoh yang setimpal. Sekarang siapa yang menjadi laki-laki paling berbahagia dalam mendapatkan cinta kasih tiga orang gadis ini? Mari kita lihat...!" dan ketua Gelang Berdarah yang tiba-tiba melambaikan tangannya itu membuat perhatian semua orang tertarik ke atas panggung.

Mereka mengira bahwa tiga orang pemuda akan tampil ke depan memperkenalkan diri. Tapi ketika hanya seorang saja yang bangkit berdiri dari arah yang dimaksud lalu tersipu-sipu dengan muka merah menghampiri lambaian ketua Gelang Berdarah ini tiba-tiba saja semua orang jadi tercengang keheranan. Mereka melihat bahwa pemuda itu memang cakep, tapi karena banyak di antara mereka yang tidak mengenal maka semua orangpun jadi bertanya-tanya. Dan sementara itu ketua Gelang Berdarah inipun sudah menerangkan kepada mereka dengan wajah berseri-seri.

"Cuwi enghiong, mungkin banyak di antara cuwi yang belum mengenal pemuda ini. Itu tidak aneh. Calon mempelai pria ini memang baru beberapa bulan saja turun gunung. Tapi nama besar ayahnya pasti banyak yang sudah cuwi dengar. Tahukah cuwi siapa calon mempelai yang berbahagia ini? Dia adalah saudara Kun Bok putera si jago pedang Bu-tiong-kiam Kun Seng!"

Dan begitu keterangan ini selesai diucapkan tiba-tiba saja semua undangan sama berteriak kaget. Mereka tidak mengira bahwa pemuda yang ada di samping ketua Gelang Berdarah itu adalah putera si jago pedang yang terkenal namanya. Dan bahwa hari ini putera si jago pedang itu mempersunting tiga orang gadis kakak beradik yang merupakan para pembantu ketua Gelang Berdarah sungguh membuat mereka terkejut dengan mata terbelalak.

Hal ini memang merupakan peristiwa yang amat aneh, juga luar biasa sekali. Karena, bukankah putera si jago pedang itu mereka dengar sudah mengikat perjodohan dengan puteri si Pendekar Kepala Batu? Lalu bagaimana sekarang mendadak sontak mengikat perjodohan dengan anak buah ketua Gelang Berdarah? Apakah pemuda ini sudah putus hubungannya dengan keluarga Ciok-thouw Taihiap? Dan melihat si jago pedang itu sekarang "menikah" dengan tiga orang gadis sekaligus sungguh membuat mereka hampir tertawa. Ada kesan "serakah" dalam diri pemuda ini, kesan seorang pemuda yang mata keranjang. Tapi, betulkah itu menjadi watak putera si jago pedang ini? Dan sementara mereka sama tercengang keheranan tiba-tiba ketua Gelang Berdarah itupun sudah mengangkat lengannya.

"Cuwi enghiong, menghormati tradisi yang telah turun temurun di adat kebudayaan kita, maka biarlah disaksikan cuwi sekalian malam ini aku ingin meresmikan ikatan jodoh ini. Pihak laki laki terpaksa telah kami mintakan persetujuannya untuk diwakili paduka pangeran, karena ayah calon mempelai pria ternyata belum juga datang memenuhi undangan kami. Sedangkan di pihak wanita biarlah kuwakili secara pribadi. Nah, cuwi sekalian. Meresmikan ikatan jodoh ini dan disaksikan langit dan bumi, kami hendak memasangkan cincin perjodohan ini ke jari manismasing-masing mempelai. Semoga Dewi Keberuntungan menyertai mereka…!" dan ketua Gelang Berdarah yang sudah membuka kotak cincin pertunangan itu tampak memberi isyarat pada Pangeran Fu Chai.

Pangeran ini bangkit berdiri, lalu ketika dia sudah mendampingi ketua Gelang Berdarah itu untuk memasangkan cincin perjodohan tersenyumlah dua orang yang saling pandang ini. Mereka siap menjadi wali. Tapi baru memegang jari manis Kun Bok untuk dipasang cincin tiba-tiba terdengarlah bentakan menggeledek yang menggetarkan seluruh ruangan itu.

"Tahan...!" dan sesosok bayangan seperti iblis tahu-tahu telah berkelebat di atas panggung merampas kotak cincin pertunangan di tangan Pangeran Fu Chai lalu membantingnya di atas lantai. "Prang!" kotak cincin itu hancur berkeping-keping dan sementara semua orang kaget oleh kejadian yang amat cepat ini tahu-tahu di tempat itu telah berdiri seorang laki-laki gagah perkasa yang mukanya merah padam.

"Ciok-thouw Taihiap!" pekik kaget yang hampir diserukan semua orang ini tampak menggoncangkan seluruh tamu undangan.

Dan Kun Bok yang terkejut oleh munculnya pendekar besar ini tiba-tiba saja sudah melangkah mundur dengan tubuh menggigil hebat. Dia pucat pasi melihat kedatangan ketua Beng-san-pai itu, sementara ketua Beng-san-pai sendiri yang tampak membesi mukanya itu mendelik ke arah pemuda ini. Dengan mata berapi-api Ciok-thouw Taihiap memandang Kun Bok, lalu suaranya yang mengguntur hebat kembali terdengar menggetarkan isi dada semua orang.

"Bocah she Kun, apa yang kau lakukan ini?"

Kun Bok tak mampu menjawab. Dia masik terkejut sekali oleh munculnya ketua Beng-san-pai yang amat tiba-tiba itu. Dan bahwa pendekar sakti ini membentaknya dengan bengis membuat dia malah menjadi gugup. Tapi sementara Kun Bok terbelalak dengan muka gemetar tiba-tiba ketua Gelang Berdarah yang sudah melihat munculnya ketua Beng-san-pai ini tampak melangkah maju dengan muka berseri-seri. Ketua Gelang Berdarah ini tampaknya bahkan merasa gembira, dan dia yang sudah menjura di hadapan ketua Beng-san-pai itu bertanya tenang dengan sikap ramah.

"Souw-taihiap, bagaimana kau datang dengan cara yang amat mengejutkan ini? Adakah kesalahan kami yang membuatmu marah demikian besar? Ah, kalau begitu kendorkan dahulu kemarahanmu ini, taihiap. Mari kita bicarakan dengan kepala dingin dan baik-baik. Aku siap mendengarkan segala luapan hatimu ini dengan penuh kebijaksanaan....!" dan ketua Gelang Berdarah yang tersenyum lebar itu kembali membungkukkan tubuhnya dengan penuh hormat.

Tapi ketua Beng-san-pai ini bahkan mengepal tinju. "Hiat-goan-pangcu, jangan berlagak pilon. Aku ingin menuntut pertanggungan jawab bocah she Kun itu tentang arti pertunangan ini. Apakah kau sengaja tidak tahu ataukah pura-pura tidak tahu?"

Ketua Gelang Berdarah tampak memasang muka keheranan. "Eh, apa maksud kata-katamu ini, Souw-taihiap? Apa maksudmu menuntut pertanggungan jawab saudara Kun Bok untuk arti pertunangan ini?"

Ciok-thouw Taihiap menoleh ke arah pemuda itu. "Tanya saja kepada yang bersangkutan, pangcu. Tanya saja apakah pertunangan yang dilakukannya hari ini dengan pihakmu sudah benar ataukah tidak!"

Sekarang ketua Gelang Berdarah tampak terkejut. "Saudara Kun Bok, apa arti kata-kata Beng-san-paicu itu? Adakah sesuatu yang tidak beres di sini?"

Kun Bok memandang pucat. "Pangcu, ini… ini..." Kun Bok kembali tak mampu bicara dan kata-katanya yang tersendat di tengah jalan tiba tiba disambut senyum aneh oleh ketua Gelang Berdarah itu. Hiat-goan-pangcu ini tampak menggeser kakinya, dan ketika dia menepuk pundak pemuda itu dengan sentuhan perlahan mulutnyapun sudah bertanya lembut dengan suara halus,

"Bok-kongcu, kau ada apakah tiba-tiba tampak ketakutan begini? Bicaralah, orang muda. Aku sebagai wakil ayahmu tidak mungkin membiarkanmu berpeluk tangan. Souw taihiap adalah seorang pendekar sejati, dan apapun kesalahan yang telah dilakukan orang lain tidak mungkin ketua Beng-san-pai itu akan meminta pertanggungan jawab yang di luar batas. Nah, bicaralah baik-baik. Kami semua akan mendengarkannya dengan penuh kebijaksanaan."

Maka Kun Bok yang mendapat usapan tenang ini tiba-tiba saja mulai dapat menguasai diri. Dia melihat sikap yang meyakinkan dari ketua Gelang berdarah itu. Dan bahwa ketua Gelang Berdarah ini telah menyatakan diri sebagai "wakil" ayahnya sedikit banyak membuat dia mampu menekan kegelisahan. Tapi ketika dia memandang Ciok-thouw Taihiap dan melihat wajah yang demikian membesi dari pendekar sakti itu Kun Bok kembali menjadi gugup. Pemuda ini gentar sekali, dan ketua Gelang Berdarah yang tampaknya tidak sabar tiba-tiba menggamit kakinya.

"Bok-kongcu, bicaralah...!"

Tapi belum Kun Bok berhasil mencairkan kekeluan lidahnya sekonyong-konyong bayangan hitam melompat maju. Dialah Bi Kwi, gadis cantik yang sudah mengeluarkan seruan nyaringnya mengejutkan semua orang, "Pangcu, harap jangan didesak Bok-kongcu. Kalau Ciok-thouw Taihiap ingin mendengarkan jawabannya biarlah aku yang bicara!" dan Bi Kwi yang tahu tahu telah berhadapan dengan ketua Beng-san-pai itu tampak menegakkan kepala membusungkan dada!

Semua orang terkejut, dan Ciok thouw Taihiap sendiri yang melihat majunya Bi Kwi tiba-tiba juga tertegun dengan mata terbelalak. Tapi belum dia sempat berkata sesuatu Bi Kwi tiba-tiba sudah memberinya hormat dengan kepala dianggukkan sedikit, tanda keangkuhan yang agak sombong. Dan gadis yang semenjak tadi diam tak bersuara itu tiba-tiba saja sudah nyerocos bicara dengan sikap lantang.

"Ciok-thouw Taihiap," demikian Bi Kwi mula-mula berseru nyaring, "apabila kau ingin mendapatkan jawaban Bok-kongcu tentang arti pertunangan ini maka semuanya itu akan sia-sia. Aku sudah tahu apa yang akan dikatakan Bok-kongcu. Dan karena aku merupakan satu-satunya sahabat yang paling dekat dengannya maka biarlah aku mewakili pertanggungan jawab Bok-kongcu seperti apa yang kau minta. Kami tiga kakak beradik Sam-hek-bi-kwi sudah mengetahui jelas apa yang menjadi kesukarannya, yakni tentang jawabaan dari pertanyaanmu tadi. Dan bahwa Bok-kongcu melanggar ikatan perjanjian yang selama ini diam-diam belum diketahui pangcu kami adalah merupakan tanggung jawab kami tiga bersaudara. Bok-kongcu dalam hal ini tidak bersalah, dan apapun yang hendak kau timpakan kepadanya tidak boleh tidak harus mengenai kami. Nah, Ciok-thouw Taihiap. Menjawab petanyaanmu tadi terus terang kami akui di sini bahwa Bok-kongcu sebelumnya sudah ada ikatan jodoh dengan puterimu, tapi karena Bok-kongcu tidak ada rasa suka, maka Bok-kongcu lalu memilih kami. Dengan catatan, bahwa apa yang menjadi berita Bok-kongcu ini pangcu kami sama sekali tidak atau belum tahu!"

Dan Bi Kwi yang tiba-tiba memutar tubuh menghadapi ketua Gelang Berdarah itu mendadak menjatuhkan diri berlutut, "Pangcu, mohon dimaafkan bahwa baru hari ini hamba memberitahukan perihal keadaan Bok-kongcu yang sebenarnya. Tapi karena persiapan ulang tahun perkumpulan yang membuat pangcu sibuk dalam pekerjaan sehari-hari menjadikan hamba belum sempat melapor. Ini adalah persoalan pribadi, maka hamba yang berpendapat bahwa persoalan pribadi sebaiknya dinomor-duakan dengan persoalan partai membuat hamba mengentengkan urusan ini. Harap pangcu maafkan!"

Dan Bi Kwi yang seolah-olah tidak melihat betapa ketuanya terkejut dengan mata terbelalak tahu-tahu sudah berdiri lagi menghadapi ketua Beng-san-pai itu. Gadis ini seolah-olah tidak tahu pula betapa perubahan hebat melanda diri pendekar itu, karena dengan suara nyaring dia melanjutkan lagi.

"Nah, Ciok-thouw Taihiap. Sekarang engkau tahu mengapa Bok-kongcu sukar sekali menjawab pertanyaanmu. Dan kami tiga bersaudara Sam-hek-bi-kwi siap menerima kesalahannya ini dengan dada terbuka lebar. Kami tahu kesukaran-kesukaran kekasih kami, dan justeru karena itulah kami siap membelanya dengan seluruh hati kami. Bukankah begitu, Bok-koko?" pertanyaan terakhir ini disuarakan dengan merdu sekali dan Kun Bok yang seakan tersihir itu tiba-tiba saja menganggukkan kepala dengan muka berseri-seri!

Tapi Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba membanting kakinya. "Kuntilanak perempuan, apakah kau kira semua pembelaanmu ini akan menyelesaikan semua persoalan dengan mudah? Kalau kau sudah tahu bocah she Kun itu ada ikatan jodoh dengan puteriku tidak seharusnya kau merebut pemuda itu dari ikatan jodoh ini!"

"Ah, kami tidak merebutnya Ciok-thouw Taihiap. Kami tiga bersaudara menerima cinta kasih Bok-kongcu atas dasar suka sama suka. Bok-kongcu telah menyatakan kepada kami bahwa dia tidak suka kepada puterimu itu. Kenapa kau harus marah-marah kepada kami?"

Ciok-thouw Taihiap menggereng. "Benarkah itu, bocah she Kun?"

Kun Bok pucat mukanya. Dia sudah tak mampu menghindar lagi setelah Bi Kwi membuka segala-galanya itu, dan bahwa dia sekarang harus mengaku atau menyangkal akhirnya membuat pemuda ini mengeraskan hati. Betapapun juga, dia memberatkan Bi Kwi yang sudah membuatnya tergila-gila itu. Dan pertanyaan ketua Beng-san-pai yang penuh kemarahan itu akhirnya dijawab dengan anggukan kepala yang berat.

"Maaf, apa yang telah dikatakan adik Bi Kwi ini memang benar, locianpwe. Puterimu itu rupanya tidak ada kecocokan denganku. Dia... dia...!"

"Dia terlalu sombong, Ciok-thouw Taihiap. Dia terlalu angkuh dan tinggi hati!" Bi Kwi yang tiba-tiba menyambung dengan suara lantang ini membuat Kun Bok jadi kaget setengah mati.

"Kwi-moi!" tapi seruan Kun Bok itu seolah-olah tidak didengar Bi Kwi.

Dan Ciok-thouw Taihiap yang kelewat, memuncak kemarahannya itu tiba-tiba tertawa bergelak. Suaranya bergemuruh, bergulung dan menyambar-nyambar seakan guntur yang meledak-ledak di tengah badai angkasa. Dan para tamu, yang sejak tali memandang dengan mata terbelalak kearah pendekar besar itu tiba-tiba jadi kaget bukan main ketika melihat betapa lantai panggung berderak seakan diserang gempa bumi!

Tapi sementara mereka sama terkejut mendadak saja di tengah gemuruhnya suara Beng-san-paicu yang sedang murka itu tiba-tiba terdengar suara mengaung. Suara ini tiba-tiba terdengar seperti angin berdesau di antara daun-daun bambu, tapi ketika suara ini semakin jelas terdengar dan gaungnya menjadi tajam, tiba-tiba saja suara itu berubah seakan suara suling ditiup. Aneh. Gemuruhnya ketawa sang Beng-san-paicu tiba-tiba "dibelah" oleh suara seperti suling itu dan ketika suara ini melengking tinggi mendadak segunduk sinar bergulung-gulung memasuki pintu Bangsal Agung seperti bayangan setan tanpa rupa!

Mengejutkan sekali, sinar bargulung-gulung yang memenuhi pintu Bangsal Agung itu sekonyong-konyong berputaran, berjalan seperti gangsingan di tengah-tengah para tamu. Dan ketika gundukan sinar ini tiba di bawah panggung mendadak dia melompat. Suara seperti suling ditiup itupun tidak terdengar lagi. Sinar bergulung-gulung jugs sudah tidak tampak, dan sebagai gantinya tampaklah seorang laki-laki berjenggot pendek dengan pedang di punggung yang tampak gagah perkasa.

"Si Pedang Dalam Kabut...!"

Seruan kaget yang spontan terdengar dari banyak tamu ini tiba-tiba menggegerkan kaum undangan dan Bi Kwi yang melihat munculnya laki-laki setengah tua itu tiba-tiba melangkah mundur. Dia terkejut dan terbelalak melihat munculnya pendekar pedang itu, tapi Kun Bok yang sudah merasa girang melihat datangnya laki-laki itu tiba-tiba saja sudah berseru girang.

"Ayah...!" dan Kun Bok yang sudah menubruk ayahnya ini tampak gembira ular biasa.

Tapi Bu-tiong-kiam Kun Seng, Si Padang Dalam Kabut yang memang benar adanya itu, tampak tidak begitu gembira mendengar seruan puteranya. Jago pedang yang baru datang ini justeru berkerut kening, namun dia yang sudah menjura di depan tuan rumah tampak bersikap hormat. "Hiat-goan-pangcu, maaf bahwa kedatanganku terlambat. Apakah kehadiranku ini tidak mengganggu upacara Gelang Berdarah?"

Sang Hiat-goan-pangcu cepat-cepat melangkah maju. Dia tertawa gembira melihat kehadiran jago pedang yang tanpa tanding ini, dan begitu orang memberi hormat kepadanya cepat-cepat diapun membalas. "Ah, seorang Kiam-khek (pendekar pedang) datang mengunjungi tempat tinggalku bagaimana bisa dikata mengganggu, taihiap? Kami dari Gelang Berdarah justeru merasa gembira sekali mendapat kehormatan ini. Dan kalau taihiap tidak keberatan silakan duduk bersama kami di kursi agung...!"

Namun jago pedang itu sudah memutar tubuhnya menghadapi Ciok-thow Taihiap. Dia tidak bicara lagi dengan ketua Gelang Berdarah itu, dan mukanya yang muram tampak semakin berkerut ketika dia memberi hormat kepada ketua Beng-san-pai ini, "Souw-taihiap, apa kabar keadaan dirimu? Dan bagaimana dengan Ceng Bi?"

Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba mengetrukkan giginya. Dia tak dapat menahan marah mendengar orang tiba-tiba menanyakan tentang Ceng Bi, dan begitu orang bersikap halus kepadanya adalah pendekar besar itu justeru membentak dingin, "Orang she Kun, jangan melepas penghormatan palsu di sini. Aku tidak butuh perhatianmu kepada keluarga Souw! Sekarang bagaimana jawabmu tentang perbuatan anakmu yang kurang ajar ini?"

Si jago pedang gelap mukanya. "Aku tidak tahu akan sepak terjang anakku, taihiap. Harap kau suka maafkan terlebih dahulu. Tapi kalau kau ingin menuntut pertanggungan jawab tentang kelakuan anak ini pasti akan kupenuhi. Hiat-gon pangcu telah melancangi urusan pertunangan puteraku ini, dan sebagai orang tua yang merasa penasaran dan kecewa aku akan meminta keterangannya!" dan pendekar pedang yang sudah memutar tubuhnya itu tiba-tiba bertanya kepada ketua Gelang Berdarah.

"Hiat-goan-pangcu, atas dasar apakah kau mencampuri urusan keluarga Kun ini? Tidak tahukah kau bahwa putera tunggalku telah ada ikatan perjodohan dengan keluarga Beng-san-paicu?"

Sang ketua Gelang Berdarah tiba-tiba menegakkan kepalanya. "Kun-taihiap, kalau kau ingin mendapatkan jawab dari semuanya ini semestinya kau tanya saja puteramu itu. Bok-kongcu telah lama menjalin hubungan dengan tiga orang pembantuku, dan atas permintaannyalah megumumkan perjodohan ini!"

Bu-tiong-kiam Kun Seng terkejut. "Betulkah begitu, Bok-ji?" dia menoleh kepada puteranya.

Kun Bok terbelalak. Dia sendiri merasa terkejut bahwa ketua Gelang Berdarah tiba-tiba menyatakan di sini bahwa atas permintaannyalah berita perjodohan itu diumumkan. Karena, apa yang dikatakan ketua Gelang Berdarah ini sesungguhnya bohong! Tapi, belum dia menjawab tiba-tiba Bi Kwi melompat maju. Dengan amat berani gadis cantik berpakaian hitam ini mendahului Kun Bok bicara, dan suaranya yang nyaring melengking menjawab pertanyaan Bu-tiong-kiam Kun Seng.

"Bu-tiong-kiam locianpwe, adakah pertanyaanmu ini tidak janggal dilontarkan? Adakah di dalam sebuah percintaan pihak si wanita yang harus terlebih dahulu menyatakan keinginannya? Ah, Kun-locianpwe, kau seharusnya mampu menarik kesimpulan sendiri dalam masalah ini. Tidak perlu bertanya lagi kepada Bok-koko yang pasti akan mengiyakannya! Bukankah begitu, Bok-koko...?"

Kun Bok gelagapan. Kerling Bi Kwi yang menyambar tajam penuh arti kepadanya menuntut suatu persetujuan yang tidak dapat ditolak, dan bahwa Bi Kwi telah terang-terangan meminta dia untuk mengangguk membuat Kun Bok seakan di "K0". Dia kelabakan benar, kebingungan dan hampir kehilangan pikiran sendiri. Karena apa yang dikatakan kekasihnya itu mau tidak mau membuat dia terjepit di persimpangan jalan yang serba susah. Menolak berarti memberi main kepada Bi Kwi sedangkan menyetujui berarti ikut berbohong dan mengelabuhi ayahnya!

Ah... Kun Bok benar-benar seakan mendapat buah simalakama. Dimakan ayahnya marah tidak dimakan kekasihnya yang repot! Tapi Kun Bok yang sekali lagi benar-benar telah jatuh di tangan gadis cantik ini tiba-tiba mengetrukkan giginya. Betapapun, apa yang di katakan kekasihnya itu ada benarnya juga. Tidak mungkin bagi seorang gadis untuk mendahului menyatakan "cinta" terhadap seorang laki-laki. Dan dia yang harus berkorban untuk kekasihnya ini siap memberi "muka". Bi Kwi tidak boleh dibuat malu di depan umum, dan masalah gadis itu ikut memutar balik kenyataan biarlah kelak dia tegur secara empat mata! Maka Kun Bok yang melihat betapa semua orang menunggu jawabannya tiba-tiba menarik napas berat dan menganggukkan kepala.

"Benar... apa yang dikatakan adik Bi Kwi memang benar, ayah. Bahwa akulah yang meminta berita perjodohan ini diumumkan dan baru habis ucapan pemuda itu dikeluarkan tiba-tiba sang ketua Gelang berdarah ketawa bergelak...



Pendekar Kepala Batu Jilid 27

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 27
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pendekar Kepala Batu Karya Batara
BI KWI berseru kaget, dan luncuran jarum yang luar biasa cepatnya itu disambut lengkingan tinggi dan membanting tubuh. Jarum melesat seperti pelor jatuh, dan karena benda itu halus dan hampir tidak kelihatan, juga Bi Kwi melemparkannya tanpa seorangpun tahu maka begitu gadis ini membanting tubuh giliran orang lain di belakangnyalah yang terkena. Tiga ketua cabang berturut-turut nomor empatbelas menjadi sasaran, dan tiga orang itu roboh berteriak karena jarum tembus di badan mereka untuk akhirnya amblas di perut orang terakhir!

"Ahh...!" kegaduhan segera terjadi dan Kui Lun yang melihat tiga orang pembantunya telah roboh sudah berteriak marah. Dia tidak menyangka bahwa sinkang si hwesio gila itu demikian hebat, mampu menyambit jarum sampai tembus di tubuh orang. Dan bahwa berturut-turut jarum milik Bi Kwi itu amblas untuk akhirnya mengeram di perut orang terakhir sungguh membuatnya kaget bukan kepalang.

Karena itu pemuda ini lalu berteriak keras, dan hwesio gila yang telah merobohkan tiga orang pembantunya itu diserang. Dia melepaskan pukulan Gin-kong-jiu, langsung ke dada lawan, dan begitu pemuda ini menggerakkan tangannya sekonyong-konyong sinar putih sedingin salju menyambar dahsyat.

Tapi hwesio ini malah tertawa bergelak, dan pukulan berbahaya yang menyerang dadanya itu tidak dielak. Dia menggelembungkan dadanya, dan begitu pukulan Gin-kong-jiu menyambar terdengarlah suara tumbukan yang kuat.

"Dukk...!" lengan Kui Lun terpental dan hwesio yang dipukul tanpa bergeming itu mendadak terkekeh. Dia menangkap tangan Kui Lun, tapi Kui Lun yang sudah bergerak cepat itu memutar lengannya, mengelak sambil melakukan totokan di pergelangan tangan orang.

"Bret-plak!" Dua gebrakan ini terjadi secepat kilat dan Kui Lun yang berhasil menotok pergelangan lawan merasa kaget karena membentur daging yang semacam karet, kenyal tapi kuat. Dan belum dia hilang rasa kejutnya tahu-tahu bajunya sudah robek disambar jari lawan!

"Aih....!" Kui Lun membanting diri bergulingan dan bahwa hawa panas yang meluncur dari kedua tangan hwesio gila itu hampir saja menerkam pundaknya membuat pemuda ini benar-benar marah sekali. Karena itu hu-pangcu dari perkumpulan Gelang Berdarah ini lalu memberi aba-aba, dan empatbelas orang ketua cabang yang berdiri di situ sudah membentak maju dengan serangan mereka.

Maka jadilah hwesio itu dikeroyok empat-belas lawan, dan hujan pukulan serta tandangan yang bertubi-tubi melanda tubuhnya memperdengarkan suara "bak-buk" yang keras macam bola karet dipukul martil. Tapi aneh bin ajaib. Hwesio yang buntung kedua kakinya ini malah tertawa bergelak, dan hujan serangan yang bertubi-tubi menghantam tubuhnya itu sama sekali tidak membuatnya roboh, jangankan roboh lecet atau terluka sedikitpun saja tidak. Malah hwesio itulah yang merobohkan lawan karena ketika dua tangannya bergerak seperti cakar garuda tahu-tahu dua orang di samping tubuhnya sudah diangkat dan dibanting kuat seperti orang membanting seekor ayam!

"Dukk...!" lengan Kui Lun terpental dan hwesio yang dipukul tanpa bergeming itu mendadak terkekeh.

"Bluk-bluk!" dua tubuh anggauta Hiat-goan-pang itu terjerembab dan pekik mereka yang penuh kengerian membuktikan dua orang ini benar-benar kesakitan sekali. Karena yang seorang patah tulang lengannya sedangkan yang lain remuk tulang kakinya. Itulah bantingan yang benar-benar maut! Maka sisa pengeroyok yang kini tinggal duabelas orang itu betul-betul menjadi kaget dan di samping mereka marah melihat dua orang teman mereka dalam sekali gebug saja sudah roboh terkapar di atas tanah, juga mereka merasa gentar melihat kesaktian yang demikian hebatnya dari hwesio ini.

Tapi itu tidaklah semua. Ketua cabang yang tingkatannya paling tinggi, yakni nomor satu dan nomor dua, yang tadi selalu menundukkan muka jika tamu-tamu agung datang, kini tiba-tiba saja menengadahkan wajah mereka dan menggereng. Dan begitu mereka mengangkat muka, maka tampaklah siapa dua orang ketua cabang ini. Bukan lain adalah Hwe-pion-hok dan To-pi-wan, dua orang yang tadi selalu berada di bagian belakang dari rombongan panitia ini dan yang menyembunyikan tubuh dalam pakaian longgar!

Dan begitu dua orang ini melompat maju sekonyong-konyong sinar putih berkelebat. Itulah sabit bergagang panjang yang dimiliki iblis ini, sementara si Lutung Banyak Lengan yang tubuhnya tinggi besar sudah menggerakkan kuku pisaunya mencengkeram tubuh lawan. Dan begitu dua orang ini maju berbareng si hwesio aneh itu barteriak kaget. Dia diserang ancaman sabit yang membabat pinggangnya dan melihat tenaga yang demikian cepat itu hwesio ini agaknya terkejut juga.

Tapi dia memang lihai. Kaki buntungnya yang sebelah kiri tiba-tiba diangkat, tegak-gurus semacam besi dan cengkeraman kuku pisau yang banyaknya sepuluh buah dari To-pi-wan itu disambut kedua tangannya dengan gerakan luar biasa, menangki sambil menjentik. Dan begitu gebrakan adu cepa ini terjadi terdengarlah suara gemeletak dan gemerincing mirip golok beradu.

"Plakk… cring-cringg!"

Dua suara itu mengeluarkan letikan bunga api dan Hwe-Sian-liok serta si Lutung Banyak Lengan yang ditangkis serangannya ini sama-sama berteriak kaget. Kalong Kelabu mencelat sabitnya bertemu kaki bambu sedangkan To-pi-wan meleset kuku bisanya karena licin menusuk jari orang. Dan sementara si Lutung Banyak Lengan ini terkesiap tiba-tiba saja jari hwesio aneh itu bergerak menjentik sepuluh kuku pisaunya untuk menerima pentalan sabit si Kalong Kelabu. Dan begitu dua orang ini saling bentur kontan saja Kalong Kelabu dan Lutung Banyak Lengan sama-sama tergetar hampir menerjang teman sendiri yang terbelalak kaget!

"Ah....!" dua orang itu berseru tertahan dan hwesio aneh yang sudah diserang gencar olteh orang-orang lain ini tiba-tiba terkekeh.

"Heh-heh, kiranya kalian, To-pi-wan? Dan kau bersama Hwe-pian-hok ada di sini? Wah, bagus Kalian tentu anak buah Cheng-gan Sian-jin. Hayo mana itu si iblis busuk Cheng-gan Sian-jin....!" dan dengan garaman keras hwesio ini tiba-tiba menyampokkan tangannya ke kiri kanan.

Dua belas orang yang ada di sekitar tubuhnya tiba-tiba merasakan sambaran angin kuat. Dan lengan jubah yang dipatar oleh hwesio itu menjadi semacam toya aneh, kuat dan kaku seperti besi. Lalu bersama dengan bentakannya yang dahsyat tiba-tiba "toya" itu sudah menyambar Hwe-pian-hok dan kawan-kawan dengan sapuan cepat. Itulah pukulan sinkang mempergunakan benda lemas dan Hwe-pian-hok serta si Kalong Kelabu yang meihat kedahsyatan serangan ini tidak berani menerima secara berdepan. Mereka sudah melompat mundtur begitu merasakan angin panas yang menyertai ujung jubah itu, tapi orang lain yang kurang cepat mengelak tidak keburu menghindar. seperti dipaksa mereka harus menerima serangangan ini, dan tiga orang yang terlalu dekat dengan hwesio aneh itu malah mengangkat lengan mereka menangkis.

"Plak-plak.... blukk!"

Hwesio aneh itu tertawa bergelak dan tiga orang lawannya yang menerima pukulan jubah itu menjerit. Mereka seperti disapu tongkat yang maha dahsyat, dan lengan yang dipakai menangkis tiba-tiba patah seakan bertemu baja. Tiga orang itu terpelanting, dan lengan jubah yang merobohkan mereka itu masih terus menyambar tujuh orang lainnya termasuk Bi Kwi dan Kun Bok!

"Haii...!" Bi Kwi dan Kun Bok berteriak kaget, dan angin panas yang mendahului sapuan toya aneh itu sudah menyadarkan mereka adanya bahaya yang tidak boleh dibuat main-main. Maka dua orang ini sudah cepat menghindar, dan karena satu-satunya jalan adalah menbanting tubuh secepat mungkin maka itulah yang mereka kerjakan.

"Buk-buk...!" Bi Kwi dan Kun Bok hampir serentak menyelamatkan diri, tapi Bi Kwi yang rupanya diincar oleh Hwesio ini tiba-tiba merasakan dupakan keras pada pinggulnya. Kaki bambu yang dipakai hwesio itu kiranya telah "mampir" di bokongnya, dan sang hwesio yang agaknya masih merasa gemas karena serangan gelapnya tadi terkekeh sambil mengejeknya.

"Hei, kau jangan tidur di atas tanah, perempuan curang. Berdirilah, lihat pinceng akan melemparmu ke atas pohon itu... dukk!"

Pinggul gadis ini tahu-tahu ditendang dan Bi Kwi yang baru bergulingan ini menjerit ngeri ketika tiba-tiba tubuhnya "terbang" ke atas, melewati kepala teman-temannya dan nyangsang di atas pohon!

"Aihh…!" Bi Kwi mendekap mulutnya dan hwesio yang tertawa-tawa di bawahnya itu tiba-tiba menggapai.

"Nah, sekarang turunlah. Pinceng ingin kau yang sopan...wutt!" hwesio ini menggerakkan jubahnya yang sebelah kiri dan Bi Kwi yang ada di atas pohon itu mendadak merasa tersedot oleh tenaga yang luar biasa kuatnya ke atas tanah.

Gadis itu terkejut, dan begitu ia sadar tiba-tiba ia sudah berontak untuk melepaskan diri. Tapi aneh. Kebutan yang mengandung tenaga sedot itu tidak dapat dilepaskannya, dan Bi Kwi yang ditarik oleh kekuatan sinkang ini terjungkal. Dia roboh tanpa dapat bangun lagi, dan hwesio berkaki buntung itu tahu-tahu menotok pundaknya.

Tukk...!"

Bi Kwi mengeluh dan jari si hwesio aneh yang memiliki kesaktian luar biasa itu tiba-tiba sudah membuatnya tidak berkutik. Gadis ini mendeprok dengan kaki bersila, dan matanya yang terbelalak memandang hwesio itu disambut ketawa bergelak dengan suara menyeramkan!

Tapi hwesio ini tidak dapat mengurusi Bi Kwi lagi. Bi Gwat dan Bi Hwa yang marah menyaksikan adiknya dipermainkan lawan sudah menerjang maju, dan lima orang yang lain yang sudah bangkit berdiri juga sudah menyerang hwesio itu. Sekarang mereka mencabut senjata, dan gelang-gelang berkeredepan yang merah tembaga sudah berada di tengah mereka. Tapi mendadak Kui Lun melompat maju.

"Tahan…..!" hu-pangcu dari perkumpulan Gelang Berdarah itu mengeluarkan bentakannya yang yaring dan kedua lengannya yang diangkat ke atas membuat semua orang jadi tertegun. Pertempuran sekarang telah berhenti, dan wakil Gelang Berdarah yang merah mukanya ini tampak berkilat.

Dia melangkah maju, dan matanya yang beiapi-api tampak memandang penuh kemarahan kepada hwesio ini. Dia tidak segera bicara, melainkan menghampiri Bi Kwi yang tertotok lumpuh untuk cepat membebaskannya. Baru setelah itu dia lain membentak, "Leng Kong Hosiang, apa sebenarnya maumu mengacau di tepat orang? Tidak tahukah kau bahwa Hiat-goan-pang sedang merayakan ulang tahunnya?"

Hwesio ini tampak terkejut. "He, kau sudah mengenal pinceng?"

Pemuda itu mengangguk. "Ya, suhu yang memberitahu."

"Ha, lewat ilmunya mengirim suara?"

"Tidak perlu kujawab!"

"Ha-ha, kalau begitu kau murid Cheng-gan Sian-jin, anak muda?"

Kui Lun memandang marah. "Cheng-gan Sian-jin adalah tamu kami, Leng-kong-Hosiang. kalau kau mau memamerkan kepandaianmu datanglah secara baik-baik. Kau tidak kami undang tapi kalau mau meramaikan pesta ulang-tahun Gelang Berdarah boleh saja coba-coba. Nah, sekarang pergilah atau masuk secara baik-baik di tempat kami!"

Hwesio itu tertegun, tapi tiba-tiba dia tertawa bergelak. Saat itu para hwesio yang lain sudah berdatangan untuk menyaksikan keributan di pintu gerbang Puri Naga ini, dan matanya yang jelalatan seperti mata orang gila itu tampak beringas. Tapi sekonyong-konyong dia menghentikan tawanya. Seorang hwesio lain tahu-tahu sudah berdiri di mukanya, dan orang yang tidak melihat kapan dan dengan cara bagaimana hwesio itu muncul sama-sama berseru kaget. Dia adalah seorang hwesio tinggi besar, jubahnya kuning, dan matanya yang bersinar terang tampak memandang keren kepada hwesio yang berkaki buntung. Dan hwesio aneh yang melihat munculnya hwesio yang seperti iblis itu tiba-tiba mencelat mundur.

"Pek-kut suheng…!" hwesio yang dipanggil Leng Kong Hosiang itu berseru kaget dan matanya yang terbelalak lebar sekejap menunjukkan pikirannya yang waras. Dan hwesio di depannya yang tinggi besar itu merangkapkan kedua tangannya.

"Hm, kau mengenalku, sute? Omitohud, semoga Sang Buddha memberikan ampun kepada kita semua. Leng Kong sute, kenapa kau membuat onar di sini? Dan ke mana saja kau selama ini?"

Hwesio berkaki buntung itu tiba-tiba tampak gemetar. Dia menoleh ke kiri kanan, lalu matanya yang menatap gentar ke arah hwesio tinggi besar itu berkedip-kedip seakan orang ketakutan. Dia tidak menjawab, tetapi tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut. "Pek-kut suheng, ampun.... aku tidak mengacau di tempat orang melainkan mencari Cheng-gan Sian-jin. Apakah pinceng melakukan kesalahan?"

Hwesio berjubah kuning mengebutkan lengan bajunya. Dia memang Pek-kut Hosiang adanya, dan matanya yang lembut terang itu menatap penuh wibawa. "Leng Kong sute, kau tidak bersalah untuk mencari Cheng-gan Sian-jin. Tapi api dendammu yang tidak sehat ini harus kau lenyapkan. Pergilah, pinceng sudah ada di sini dan segala urusan biarlah pinceng yang menyelesaikannya….!"

Beng Kong Hosiang si hwesio buntung menegakkan kepala. Dia menunjukkan penasarannya untuk disuruh pergi, tapi bentrok dengan sinar mata suhengnya dia tiba-tiba menundukkan kepala. Rasa gentar dan takut yng aneh jelas menguasai bekas ketua Go-bi yang gila itu, namun wibawa suhengnya yang gemetar terdengar penuh. kecewa.

''Pek-kut suheng, betulkah pinceng tidak boleh mencari Cheng-gan Sian-jin? Betulkah tidak boleh membalas sakit hati ini?"

"Hm, aku tidak mengatakan kau tidak boleh mencari Cheng-gan Sian-jin, sute. Tapi mengatakan agar pencarianmu itu tidak didorong rasa dendam. Sekarang pinceng sudah ada di sini, semua pasoalanmu serahkan kepada pinceng. Sudahlah, pergi dan balut lukamu itu dengan doa-doa suci. Semoga Sang Buddha memberi pikiran terang kepadamu…!" Pek-kut Hosiang menggerakkan tangannya dan Leng Kong Hwesio yang tampak penuh kecewa ini tiba-tiba melengking tinggi. Dia tertawa bergelak, dan gilanya yang angot mendadak itu sekonyong-konyong disusul gentakan kaki bambunya.

"Ha-ha, baik suheng.... aku memang harus menderita seumur hidup. Cheng-gan Sian-jin. kali ini kembali lolos dari tanganku, tapi sekali bertemu sakit hati ini tak boleh dilewatkan. Baiklah.... baiklah…. aku memang harus membaca doa-doa suci dan Ceng-gan Sian-jin si iblis jahanam itu perlu didoakan agar berumur panjang! Ha-ha.., ho-ho... aku pergi, suheng.... semoga Buddha memberi pikiran terang kepadaku dan dapat memenggal kepala Ceng-gan Sian jin sebagai korban di altar kelenteng.... ha-ha-ha…!"

Hwesio berkaki buntung itu tahu-tahu sudah melesat ke belakang dan suara ketawanya yang bergelak gemuruh menggetarkan dada semua orang. Hwesio itu tampaknya masygul sekali, dan kaki bambunya yang berketrokan di atas tanah meninggalkan getaran kuat mengiringi suara ketawanya. Sedangkan Pek-kut Hosiang yang melihat keadaan sutenya itu menarik napas panjang, mengerutkan kening dan tampak murung sekali.

Tapi Kui Lun tiba-tiba melangkah maju dengan muka berseri. "Locianpwe terlambat datang? Kami menunggu-nunggu sejak pagi, locianpwe, dan kami khawatir bahwa locianpwe tidak datang untuk memenuhi undangan kami!"

"Ah, terima kasih, hu-pangcu. Pinceng memang ada sedikit urusan di tengah jalan. Manakah gurumu?" hwesio itu membalas penghormatan orang dan matanya yang berkeliling sekejap disambut senyum kecil oleh pemuda ini.

"Suhu ada di dalam, locianpwe. Mari silakan masuk. Perayaan sudah akan kami mulai."

"Hm, baiklah. Dan semua tokoh undangan sudah hadir, siauw-pangcu?"

"Kecuali satu orang. Ciok-thouw Taihiap locianpwe!"

"Oh, dia belum datang?"

"Belum, dan kami tidak tahu mengapa Beng-san-paicu itu tidak datang. Apakah ada urusan di tengah jalan seperti locianpwe juga?"

Pek-kut Hosiang tersenyum. Dia mendengar ini seperti menyindir di dalam pertanyaan hu-pangcu perkumpulan Gelang Berdarah ini, namun masang mata yang terang serta pandang matanya yang lembut tidak membuat hwesio itu tersinggung. Pek-kut Hosiang hanya tersenyum kecil, dan kakinya yang mengikuti pemuda disampingnya ini nampak melangkah perlahan diantar menuju ke arah kaum pendekar.

"Ya, barangkali begitu keadaannya, siauw-pangcu," hwesio ini menjawab pendek. "Dan pinceng mohon maaf jika pinceng hampir saja terlambat datang. Juga untuk sute pinceng yang telah membuat keributan itu.tapi"

"Ah, tidak apa-apa, locianpwe," Kui Lun tertawa. "Malah kami berterima kasih bahwa locianpwe telah datang pada waktunya yang tepat. Kalau tidak, mungkin semua anak buahku harus roboh terjungkal di tangan sutemu itu, Aih, Leng Kong lo-suhu sungguh hebat, aku kagum sekali. Tapi sayang, agaknya syarafnya terganggu dan pikirannya tidak sehat."

Pek-kut Hosiang menarik napas panjang. "Gara-gara Cheng-gan Sian-jin, siauw-pangcu. sungguh heran iblis macam itu menjadi tamu terhormat gurumu."

"Ah, suhu tidak membeda-bedakan sahabat, locianpwe. Asal tidak mengganggu kami siapapun bisa saja menjadi tamu terhormat suhu! Apakah locianpwe menganggap Cheng-gan Sian-jin itu sebagai seorang iblis?"

Pek-kut Hosiang tersenyum lebar. Dia tidak menjawab pertanyaan ini. Mereka sudah tiba di pusat kemah para pendekar dan matanya yang melirik sekilas ke arah pemuda di sampingnya ini menyembunyikan senyum yang rahasia.

"Siauw-pangcu, apakah di sini pinceng harus berhenti?" hwesio itu membelokkan percakapan.

Dan Kui Lun menghentikan langkahnya. Sejenak pemuda itu memandang tamunya, lalu ketika tampak Pek-mauw Sian-jin dan rekan-rekannya muncul pemuda ini tiba-tiba menganggukkan kepalanya. "Ya, sampai di sini antaran kami, locian-pwe. Mudah-mudahan sambutan, kami tidak mengecewakan locianpwe. Apakah locianpwe ada pesan sesuatu untuk suhu?"

Hwesio jubah kuning itu menggeleng. "Tidak, siauw-pangcu. Tapi barang kali malam ini suhumu harus memeras keringat lebih banyak dari biasanya. Di luar pinceng lihat ada barisan ular merayap ke mari. Apakah itu juga undangan gurumu?"

Kui Lun terkesiap kaget, "Apa maksud iocianpwe"?"

Hwesio itu tersenyum. "Tidak apa-apa, siauw-pangcu. Tapi katakan saja pada gurumu bahwa pinceng sudah melihat ular-ular yang panjang di atas bukit itu."

"Ah...!" pemuda ini tertegun dan rombongan Pek-mauw Sian-jin yang sudah dekat dengan mereka itu tidak memberi kesempatan kepada pemuda ini. Kui Lun hanya terbelalak, lalu ketika dia sadar cepat-cepat pemuda ini menjura kaku.

"Baiklah, Pek-kut lo-suhu. Apa yang locianpwe katakan akan kuberitahukan kepada suhu. Sampai jumpa petang nanti di panggung Puri Naga!"

Lalu dengan cepat pemuda itu membalikkan tubuh dan meninggalkan hwesio tinggi besar itu dengan muka berubah. Dia tampak tergesa-gesa, dan Pek-kut Hosiang yang mengkuti orang dengan pandang matanya tampak bersinar. Hwesio ini akhirnya membalikkan tubuh dan menyambut rombongan Pek-mauw Sian-jin ini. Sekarang bubarlah rombongan panitia penyambut tamu itu.

Kui Lun telah memerintah-kan para pembantunya untuk bersiap-siap di ruangan dalam, dan pemuda yang tampaknya terperanjat oleh kata-kata Pek-kut Hosiang itu telah langsung menuju ruangan paling dalam untuk menemui suhunya. Dan di sinilah orang luar tidal tahu lagi, apa sehenamya yang dibicarakan oleh guru dan murid itu. Tapi melihat ketegangan yang tiba-tiba nampak secara diam-diam di muka seluruh anggota mudah diduga bahwa sesuatu yang "luar biasa" sedang terjadi.

* * * * * * * *

Petang itu Bangsal Agung di Puri Naga tampak semarak. Lampu wama-wami yang berkelap-kelip di seluruh ruangan tampak bergan-tungan di sana sini. Puri Naga sekonyong-konyong terang-benderang, dan para tamu yang duduk di kursi undangan itu tampak ramai. Sedikit kegaduhan dari keramaian pesta ini mebuat keadaan menjadi berisik. Tapi ketika suara genta mendadak dipukul maka tiba-tiba saja suara berisik ini sirap.

Lorong di belakang panggung kehormatan ba-tiba saja menjadi perhatian semua orang. Dan tamu tingkat atas yang berhadapan langsung dengan panggung kehormatan ini tampak menegakkan kepala mereka. Itulah tanda akan dimulainya puncak keramaian, dan mereka yang datang khusus untuk menyaksikan semua keramaian yang dibuat oleh orang-orang Gelang Berdarah itu tiba-tiba saja menjadi tegang.

Sekelompok wanita mula-mula muncul di panggung kehormatan itu. Dan bahwa mereka cantik-cantik dan bertubuh menggairahkan sejenak rmeredakan ketegangan ini tapi tentu saja itu bagi tamu-tamu yang muda usia. Dan para wanita cantik yang lenggangnya memikat serta berjumlah sembilan orang itu tahu-tahu telah berada di atas panggung dengan senyum mereka yang penuh tantangan. Itulah para penari yang kentara dari dandanan mereka. Begitu para penari ini muncul tiba-tiba terdengarlah alunan musik disusul berkelebatnya sebuah bayangan dari anggota perkumpulan Gelang Berdarah. Dialah Bi Kwi, wanita cantik yang saat itu sudah menjura di depan tamu undangan dengan muka berseri-seri.

"Cuwi sekalian," demikian Bi Kwi millai berkata dengan suaranya yang nyaring merdu. "Mengawali pembukaan ulang tahun perkumpulan kami yang pertama maka kami persembahkan untuk cuwi sekalian sebuah tari silat hasil sumbangan dari locianpwe Cheng-gan Sian-jin. Iniiah tarian yang khusus disajikan untuk cuwi sekalian dan kami yang merasa gembira atas kehadiran cuwi enghiong yang telah memenuhi undangan kami pada hari ini, dan kami para anggauta serta ketua Gelang Berdarah pada malam ini mengucapkan selamat menonton, selamat datang dan banyak terima kasih atas perhatian cuwi yang dedemikian besar. Nah, cuwi sekalian, mengawali hadimya pangcu kami yang sebentar lagi akan muncul silakan cuwi sekalian menikmati hidangan pertama ini dengan gembira. Inilah tarian yang oleh pencipianya disebut tari silat Dewi Naga Dimabuk Cinta, dan cuwi yang boleh menjadi juri dalam menikmati tarian silat ini silakan menilai. Kami seluruh anggota Hiat-goan-pang hanya dapat mengucapkan selamat menonton, selamat bergembira dan selamat menikmati hidangan yang pertama ini. Terima kasih!"

"Jrengg...!" baru Bi Kwi membungkukkan tubuh mengakhiri pembicaraannya tiba-tiba saja suara musik bergencreng nyaring membarengi ucapan selamatnya. Dan begitu suara musik ini dipukul maka tiba-tiba saja alat tetabuhan yang lain ikut mengiringi dengan suaranya yang memekakkan telinga. Semua keramaian pesta mendadak dibuat gaduh oleh serombongan musikus di atas panggung itu, tapi ketika suara bergenjreng nyaring itu kembali memimpin suasana tiba-tiba hiruk pikuknya suara musik lenyap dengan sekonyong-konyong.

Suasana di atas panggung tiba-tiba sunyi. Dan sembilan orang penari yang tadi masih merupakan patung-patung hidup itu sekonyong-konyong bergerak. Mereka menggeliatkan tubuh, menekuk perut dan menjura di depan para tamu. Lalu ketika mendadak suara bergencreng kembali terdengar tiba-tiba saja awal tarianpun dimulailah. Sembilan orang penari itu melempar tangan mereka, dan begitu suara tetabuhan yang lain ikut berbunyi maka berlenggang lenggoklah sembilan wanita cantik ini.

Mereka mula-mula melakukan tarian ular. Meliak-liuk naik turun dengan lemah-gemulai. Akan tetapi ketika suara musik tiba-tiba meninggi maka sekonyong-konyong gerakan mereka itupun ikut berubah. Tarian lemah gemulai yang semula disajikan mendadak berubah sedikit erotis. Dan pinggul yang tadi naik turun dengan lembut, tiba-tiba digoyang sedikit kuat.

Gerakan sembilan penari cantik ini tiba-tiba nampak bersemangat, dan ketika suara musik kian menukik mendadak saja para penari itupu mengikuti irama ini dengan cepat. Seluruh tubuh mereka mulai digoyang-goyang, dan bersamaan dengan suara musik yang menghentak-hentak mulailah sembilan orang penari cantik di atas panggung itu beraksi dalam lenggang yang panas. Mereka mulai tersenyum-senyum. Dan bibir yang merekah basah diantara mulut yang setengah terbuka itu menunjukkan gairah menyala yang mulai berkobar.

Sekarang para tamu benar-benar mulai terbelalak. Mereka disuguhi sebuah adegan yang menjurus pada tarian erotic. Tarian pembangkit nafsu berahi. Dan sembilan penari cantik atas panggung yang meliak-liuk dengan pinggul digoyang-goyang hebat itu tampak mulai membara setengah bemafsu. Mereka bergerak denga lenggang yang aduhai, dan ketika suara musik meacapai klimakanya dalam lengking yang tinggi ciba-tiba sembilan penari cantik itu melempar tubuh ke belakang dan bergulingan di lantai.

Dan, bersamaan dengan robohnya sembilan penari ini tiba-tiba lampu di atas para tamu undangan padam. Serentak dengan padamnya lampu di atas panggung yang tiba-tiba juga gelap gulita! Tapi sementara para tamu terkejut sekonyon-konyong lampu di atas panggung yang ikut padam itu mendadak hidup kembali. Namun, tidak seperti tadi yang gemebyar terang benderang adalah sekarang suasana di atas panggung itu sudah berubah seratus delapanpuluh derajat. Cahaya remang-remang menguasai panggung ini, dingin gelap setengah redup. Dan di atas papan. Dalam sorot lampu yang terselubung kertas kaca yang memantulkan wama-wama merah hijau dan kuning jingga tampaklah sembilan sosok tubuh menggairahkan yang tergolek bergelimpangan bermandikan cahaya merangsang.

Itulah sosok sembilan penari yang tadi melempar tubuh bergulingan di lantai panggung. Mereka ini diam tak bergerak, seakan lena seperti patung tak bernyawa. Tapi ketika mereka itu menggeliat dalam pinggang yang mematah untuk bangkit berdiri tiba-tiba saja para tamu dibuat tertegun. Apa yang dilihat?

Sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang hampir tak masuk akal. Karena dalam waktu yang demikian singkat sejak padamnya lampu yang hanya berapa detik itu tiba-tiba saja sembilan orang penari di atas panggung ini telah berdiri dalam keadaan setengah telanjang, hampir bugil dalam pakaian tipis yang tembus pandang! Dan sementara para tamu melotot dengan muka kaget tiba-tiba suara musik bergencreng gemuruh dalam alunan tinggi.

Para musikus yang kini tersembunyi dalam remangnya cahaya lampu di atas panggung itu tahu-tahu telah memukul alat permainan mereka sedemikian hebat, dan ketika sembilan orang penari cantik di atas panggung itu disuruh bergoyang-goyang dalam irama panas yang menghentak-hentak, maka tertegunlah para tamu undangan yang tertutup suaranya oleh hebatnya suara musik di atas panggung itu.

Kini para tamu hanya sempat memandang saja. Mereka tidak diberi kesempatan untuk membuka suara. Baik itu lontaran kagum maupun lontaran marah. Dan sembilan penari cantik yang menggoyang tubuh dengan gerakan cepat seakan berlomba dengan irama musik yang menghentak-hentak membuat mereka sebentar saja seperti orang kesurupan. Para penari ini mulai terengah-engah. Mereka mendengus-dengus seakan orang mabok berahi. Dan ketika suara musik memacu mereka dalam lengking yang tertinggi tiba-tiba saja sembilan orang penari itu mengeluh tertahan.

Mereka tersentak. Seakan mengejang dalam puncak kenikmatan. Dan ketika suara musik menurun tajam dalam getaran terendah untuk akhirnya berhenti dengan tiba-tiba maka sembilan orang penari itupun mendadak mengerang. Mereka tampak gemetar, dan tubuh yang menggigil hebat itu sekonyong-konyong dicengkeram. Pakaian minim yang tembus pandang tiba-tiba dicabik, dan begitu terdengar suara "bret-bret" dua kali maka lepaslah seluruh sisa-sisa pakaian yang ada. Sembilan orang penari itu berdiri dengan tubuh telanjang bulat, tapi bersamaan dangan polosnya tubuh yang tidak tertutup sehelai benangpun ini tiba-tiba lampu di atas panggung padam!

Sekarang para tamu berteriak gaduh. Adegan terakhir yang mereka lihat di atas panggung kehormatan itu sungguh luar biasa. Belum pernah mereka lihat seumur hidup! Dan sementara tokoh-tokoh undangan yang berasal dari aliran kaum pendekar ini memaki pertunjukan yang diadakan perkumpulan Gelang Berdarah mendadak lampu di atas panggung gemebyar kembali. Sinar yang terang benderang tampak menerangi lantai panggung, dan bersamaan dengan hidupnya lampu di atas panggung ini tiba-tiba lampu di atas para undangan juga menyala terang.

Kini semua mata berkumpul ke depan. Mereka mengira bahwa pemandangan yang seperti tadi masih akan mereka lihat. Dan beberapa tosu yang "ngeri" dengan pemandangan seperti itu malah ada yang tidak berani memandang. Mereka menutup mata. Tapi ketika beberapa pendekar siap melontarkan makian terhadap orang Hiat-goan-pang itu mendadak mereka tertegun. Kiranya sembilan penari cantik yang dikira masih berdiri di atas panggung telah berganti dengan dua orang laki-laki yang gagah perkasa. Mereka ini berdiri saling berdampingan. Yang tinggi besar berdiri di sebelah kiri sedangkan yang bertubuh tegap di sebelah kanan. Keduanya tersenyum, lalu ketika semua mata hilang kagetnya tiba-tiba yang tinggi besar tertawa bergelak.

"Ha-ha, para tamu tampak tertegun pang-cu. Apakah ini boleh dibilang mereka terpukau oleh hasil tarian anak buahku? Atau mereka tertarik oleh tubuh yang denok-denok itu? Uwah, apapun jawabnya, aku puas bahwa tokoh-tokoh undanganmu ini telah menyaksikan kreasi baruku. Dan untuk kemurahanmu memberikan kesempatan, ini aku mengucapkan banyak-banyak terima kasih, pangcu. Semoga perkumpulan Gelang Berdarah selalu abadi dan jaya sepanjang masa!"

Laki-laki tinggi besar itu tertawa berderak dan suaranya yang gemuruh seperti halilintar menyambar itu membuat seluruh ruangan bergetar. Para tamu terkejut, tapi belum mereka ada yang bicara tiba-tiba laki-laki yang berdiri di sebelah kanan itu tertawa.

"Cuwi enghiong (tuan-tuan yang gagah perkasa), maafkan bahwa kami terlambat menyambut cuwi sebagaimana layaknya. Tapi bukankah cuwi telah kami suguhi sebuah tarian pembukaan? Nah, memenuhi permintaan sahabat kami Cheng-gan Sian-jin yang ingin memberikan kegembiraan dalam pesta uang tahun ini kami harap cuwi sekalian tidak penasaran. Kami lihat tarian hasil ciptaan Cheng-gan Sian-jin itu meang indah sekali. Dan naluri alamiah yang diwujudkannya dalam tarian itu memang hebat sekali. Apakah ada di antara cuwi yang ingin memuji tarian itu di depan penciptanya? Nah, kalau demikian kami bersyukur sekali, dan sebagai pimpinan Gelang Berdarah di sini secara pribadi kuucapkan banyak terima kasih atas perhatian cuwi enghiong yang demikian besar untuk memenuhi undangan kami...!" laki-laki itu merangkapkan tangan, lalu sekali membungkuk sambil menggerakkan tubuh setengah lingkaran diapun memberikan penghormatan secara serantak ke semua pengunjung.

Kemudian, selesai menganggukkan kepala, laki-laki ini yang bukan lain adalah sang ketua perkumpulan Gelang Berdarah sendiri telah bertepuk tangan dua kali memanggil semua pembantu-pembantu utamanya. Itulah para ketua cabang yang segera berkelebatan maju, dan ketika pimpinan tertinggi serta para ketua cabang dari perkumpulan Gelang Berdarah itu muncul duduklah sang ketua ini di kursi gading yang telah disiapkan anak buahnya.

Sedangkan Chen-gan Sian-jin. si raksasa tinggi besar yang tadi tertawa bergelak juga sudah duduk di samping kiri ketua Gelang Berdarah itu dengan mata bersinar-sinar. Raksasa dari keturunan Bangsa Arya ini tampak paling menyeramkan, karena selain tinggi besar dengan rambutnya yang kemerah-merahan itu dia juga memiliki mata yang kehijau-hijauan seperti mata iblis. Dan justeru karena sepasang mata inilah dia mendapat julukan Cheng-gan Sian-jin, Manusia Suci Bermata hijau, kontras sekali dengan sepak terjangnya yang tidak patut dilakukan manusia suci.

Tapi sementara dua orang tokoh ini muncul para tamu yang terdiri dari dua golongan itu tampak memandang keduanya dengan pandangan lekat. Mereka baru kali ini berhadapan secara langsung dengan dua orang tokoh itu. Dan bahwa disamping Chen-gan Sian-jin muncul ketua Gelang Berdarah yang mereka dengar memiliki kesaktian luar biasa itu membuat pandangan para tamu sebagian besar tertuju kepada tokoh yang satu ini.

Dan memang ketua Gelang Berdarah itulah yang sebenarnya menjadi orang nomor satu yang paling diperhatikan. Cheng-gan Sian-jin merupakan tokoh ke dua, walaupun datuk iblis ini bisa saja sewaktu-waktu menjadi orang pertama pula. Tapi karena Hiat-goan-pangcu (ketua Hiat-goan-pang) yang mengundang mereka maka keteganganpun tiba-tiba timbul. Sekarang mereka ingin tahu, apakah selanjutnya yang bakal terjadi dari keramaian ulang tahun perkumpulan ini? Apakah tokoh-tokoh undangan akan maju menghadapi ketua perkumpulan Gelang Berdarah yang belum mereka kenal jelas itu? Dan bagaimanakah sikap tuan rumah yang tampaknya bersikap tenang itu?

Semua mata menanti. Mereka menunggu letikan api yang sewaktu-waktu meletus. Dan ketua Gelang Berdarah yang tampak tersenyum-senyum di tempat duduknya itu membuat beberapa orang di antaranya heran. Mereka heran dan tercengang melihat wajah ketua perkumpulan, Gelang Berdarah ini. Demikian halus dan tampan rapi dengan pakaian sutera yang diikat tali hitam.

Melihat gerak-geriknya, ketua ini tampaknya lebih cocok untuk menjadi orang dari golongan pek-to (putih), tidak pantas membaurkan diri dengan orang-orang golongan hek-to (hitam) yang sepak terjangnya buas-buas itu. Tapi kalau ingat betapa perkumpulan Gelang Berdarah diam-diam mempunyai ketua cabang yang konon katanya ada iblis-iblis tua macam Kalong Kelabu dan Lutung Banyak Langan yang mereka lihat memang ada dibelakang sang ketua ini maka orangpun jadi merasa serba aneh.

Mereka tidak tahu, siapakah sebenamya ketua Gelang Berdarah yang akhir-akhir ini tersohor namanya. Apakah dia orang sesat ataukah justeru seorang pendekar. Dan melihat mukanya yang halus tampan dan rapi itu orang menaksir tokoh ini berusia sakitar empat puluhan tahun. Masih cukup muda dan kuat! Maka begitu tokoh itu muncul segeralah perhatian semua tamu tertarik kepadanya. Apalagi setelah dia menggelarkan tari Dewi Naga Dimabuk Cinta itu, tarian perangsang pembangkit nafsu berahi!

Tapi sementara semua mata lekat memandang ketua Gelang Berdarah ini mendadak sesosok bayangan kuning berkelebat ke depan. Dia adalah Kui Lun, hu-pangcu yang sudah dikenal orang ketika menyambut tokoh-tokoh undangan ketika terjadi keributan di pintu masuk tadi. Dan begitu pemuda ini muncul di atas panggung langsung saja dia membungkukkan tubuh memberi hormat kepada semua orang.

"Cuwi enghiong yang kami muliakan," demikianiah pemuda itu berseru nyaring. "Menyambut ulang tahun perkumpulan kami yang pertama maka kami persilahkan cuwi sekalian untuk menyaksikan upacara singkat yang hendak kami mulai ini. Kami dari Perkumpulan Gelang Berdarah baik seluruh anggauta maupun ketua pribadi menyampaikan ribuan terima kasih atas kehadiran cuwi yang telah ikut memeriahkan perayaan kami. Tapi sebagai tuan rumah yang tak luput dari kesalahan di sini kami mohon maaf apabila dalam sikap, kata-kata maupun perbuatan kami ada yang kurang berkenan di hati cuwi. Nah, cuwi sekalian yang kami hormati. Menyaksikan awal upacara yang hendak segera kami mulai silahkan cuwi menonton apa yang akan dilakukan oleh ketua kami. Pangcu kami akan memimpin upacara, dan kami seluruh anggauta minta kesadaran cuwi sekalian untuk bersikap tenang. Terima kasih!"

Lalu begitu membungkukkan tubuhnya sekali lagi maka tiba-tiba pemuda inipun sudah melompat mundur. Dia menganggukkan kepalanya kepada sang ketua, yang juga sekaligus merupakan sang guru itu. Dan ketua Gelang Berdarah yang mendapat isyarat ini tiba-tiba bangkit berdiri. Dengan sinar matanya yang mencorong berkilat sang ketua Gelang Berdarah itu tampak menyapu pandangan semua hadirin, lalu ketika dia melangkah maju tiba-tiba tujuh-betas ketua cabang yang ada di belakangnya itu bangkit mengikuti.

Sekarang suasana "ceremony" menguasai atas panggung. Dan semua tamu yang melihat dimulainya upacara itu tampak memandang penuh perhatian. Mereka melihat sebuah meja kecil yang terbuat dari marmer putih dijadikan pusat upacara oleh ketua perkumpulan Gelang Berdarah itu, dan bahwa di tengah-tengah meja itu duduk dengan tegak sebatang lilin yang "dikurung" sebuah gelang tembaga yang konon katanya memiliki racun yang berbahaya!

Tapi sementara mereka terbelalak sang ketua Gelang Berdarah ini sudah mengangkat tangannya. Dengan sedikit kebutan ringan dia membersihkan permukaan meja, dan para tamu yang ada di depan terkejut melihat betapa meja itu tiba-tiba terangkat naik. Dan, bersamaan naiknya meja marmer ini mendadak ketua Gelang Berdarah itu berseru,

"Cowi enghiong, mengingat ini adalah perayaan kami yang pertama maka perkenankan kami meletakkan meja ini pada tempat yang teragung. Api lilin harus mampu dilihat semua orang, dan kami yang hendak menyulutnya mohon berkah restu cuwi. Craat..!" ketua Gelang Berdarah itu tiba-tiba menjentrekkan jari tengah dan ibu jarinya dan begitu ketua Gelang Berdarah menyentrekkan jarinya, sekonyong-konyong api menyambar ke sumbu lilin. Lalu bersaman dengan menyalanya lilin ini, mendadak meja marmer beserta isinya itu terbang diatas kursi gading. Aneh! Dengan cepat sekali, meja dengan lilin yang menyala ini "duduk" diatasnya, dan begitu meja ini "nongkrong" di atas kursi gading yang dijadikan tempat duduk sang ketua Gelang Berdarah ini sekonyong-konyong meja itu sudah tak bergerak lagi. Mapan seperti berdiri di atas lantainya dengan sangga kepada kursi!

"Ah…!" semua tamu membelalakkan mata dan demontrasi hebat yang telah dipertunjukkan oleh ketua Gelang Berdarah itu benar-benar membuat mereka kaget. Kekagumam yang tak mampu disembunyikan tampak di wajah semua tamu-tamu undangan ini tapi kekagetan besar juga terbayang di muka orang. Karena, bagaimana tanpa sebuah geretanpun ketua Gelang Berdarah itu mampu menyalakan api llin, hanya dengan jentrekan kedua jarinya belaka?

Dan bahwa lilin itu "terbang" bersama mejanya tanpa memadamkan apinya sungguh suatu hal yang amat luar biasa sekali. Belum terhitung mapannya meja itu sendiri yang tegak tanpa bergoyang di atas kepala kursi yang hanya merupakan kayu melintang setengah badan. Ah, sungguh mentakjubkan! Tapi sementara mereka tercengang oleh kesaktian ketua Gelang Berdarah ini tiba-tiba lelaki itu sudah membungkukkan tubuhnya sambil tertawa.

"Cuwi sekalian, maaf bahwa lilin itu terpaksa kami pasang di atas kursi kehormatan. Bukan maksudnya untuk menunjukkan diri lebih tinggi dari cuwi sekalian tapi hanya sekedar untuk dapat diketahui bahwa upacara penyalaan lilin ini telah selesai. Kami seluruh anggota Gelang Berdarah mohon doa restunya, agar kami dapat memimpin perkumpulan dengan baik. Dan sekarang, cuwi sekalian. Merupakan acara ke dua dari pesta keramaian ini majulah kita kepada maksud kami yang merupakan puncak kegembiraan untuk mengadakan pemilihan bengcu. Karena, seperti yang telah cuwi ketahui dalam surat undangan kami, kami bermaksud untuk mengadakan acara ini agar di dalam dunia kang-ouw terdapat seorang pemimpin yang dapat diandalkan untuk mengendalikan semua orang-orang persilatan. Karena seperti yang cuwi ketahui, dunia tanpa seorang pemimpin adalah dunia yang tidak dapat tenteram damai. Dan hanya dengan mengadakan pemilihan seorang bengcu inilah kami merayakan bahwa dunia persilatan pada khususnya dan negara pada umumnya akan dapat diatur sebik-baiknya menuju kesejahteraan yang merata dan tenteram abadi sepanjang masa! Nah, cuwi sekalian yang kami muliakan. Menginjak pada acara yang amat pokok ini sebelumnya kami secara ribadi ingin menyampaikan terimakasih kepada sahabat-sahabat para pai-cu (ketua-ketua partai) yang malam ini telah hadir di tempat kami, saudara-saudara Pek-mauw Sian-jin yang terhormat, Bu Wi Hosiang, Thian-kong Cin-jin, Hui To Lo-jin dan Kim-sin San-jin serta Pek-kut Hosiang yang kami muliakan serta seluruh undangan yang hadir untuk memenuhi permintaan kami menyaksikan pemilihan adu jago ini. Tapi cuwi sekalian, meskipun kami merasa gembira atas sambutan cuwi yang meluap namun ada sedikit kekecewaan di hati kami. Karena ketua Beng-san pai, Ciok-touw Taihiap Souw Ki Beng yang kami nanti-nantikan ternyata belum juga hadir. Begitu juga beberapa tokoh dunia lainnya, seperti Malaikat Gurun Neraka serta muridnya yang amat lihai itu. Lalu Bu-tiong-kiam Kun Seng si jago pedang dari Kun-lun yang telah kani beri undangan pula. Apakah mereka tidak hadir karena mendapat halangan di tengah jalan? Kami tidak tahu. Tapi cuwi sekalian, meskipun beberapa diantara undangan kami adalah yang tidak dapat hadir namun kami tetap merasa optimis untuk melanjutkan pemilihan bengcu ini. Dan sebelum kami membuka secara resmi pertandingan untuk menjadi seorang bengcu itu kami ingin memberi sedikit pengumuman…"

Ketua Gelang Berdarah itu berhenti sejenak, memandang dengan muka berseri ke arah belakang lalu bertepuk tangan. Dan baru tepukan ini selesai dilakukan mendadak dari lorong di belakang panggung itu muncul seorang laki-laki muda diiringi belasan orang. Para tamu tidak ada yang tahu siapa laki-laki muda yang berjalan tenang dengan kepala terangkat tegak itu, tapi wajahnya yang putih tampan serta pakaiannya yang indah gemerlap membuat orang segera tertarik perhatiannya. Mereka menduga, pemuda yang baru muncul ini setidak-tidaknya anak seorang hartawan besar, bahkan mungkin anak seorang bangsawan! Dan baru mereka menduga-duga tiba-tiba sang ketua dang Berdarah sudah memberitahukan kepada mereka sambil tertawa gembira.

"Cuwi enghiong, mungkin cuwi tidak megenal siapa pemuda yang gagah tampan ini. Tapi kalau kuberitahukan tentu cuwi sekalian terkejut. Apakah ada di antara cuwi yang sudah mengenalnya?" lalu ketika tidak ada orang yang tampaknya mengenal pemuda ini sang ketua Gelang Berdarah itu melanjutkan sendiri, "Dialah keturunan tunggal mendiang raja Muda Kung, cuwi sekalian, putera mahkota atau Pangeran Fu Chai yang hari ini berkenan hadir menemui cuwi....!"

Dan putera mahkota atau Pangeran Fu Chai yang sudah berada di atas panggung itu tiba-tiba memberi hormat kepada semua tamu yang benar saja sudah saling berteriak kaget ketika mendengar pemberitahuan sang ketua Gelang Berdarah itu. Namun belum ada seorangpun yang bergerak dari tempat duduknya tiba-tiba ketua Gelang Berdarah itu sudah mengangkat tangannya.

"Cuwi sekalian, mohon ketenangan suasana agar perayaan ini tidak seperti pasar. Pangeran Fu Chai hendak memberikan sepatah dua patah kata kepada kita!" dan ketika suasana berisik lenyap oleh pengaruh ucapan ketua Gelang Berdarah ini maka melangkahlah pangeran berwajah tampan itu dengan bibir tersenyum-senyum.

"Cuwi enghiong," pangeran itu berkata ramah, lembut dan halus sekali sikapnya. "Mengejutkan perasaan cuwi yang tidak menyangka atas kemunculan ini sebelumnya aku ingin menyampaikan permintaan maaf bahwa kehadiranku ini rupanya telah membuat goncang perasaan cuwi. Tapi yakinlah, cuwi. Kehadiranku di sini tidak untuk merusak suasana melainkan justeru untuk pengakrabkan suasana. Aku diminta hadir oleh Hait-goan-pangcu yang telah lama kukenal, dan memenuhi permintaan baiknya ini aku tidak bisa menolak. Perkumpulan Gelang Berdarah hari ini merayakan ulang tahunnya, dan sebagai sahabat yang telah lama menjalin hubungan akrab aku hanya dapat menyampaikan ucapan selamat dan doa semoga panjang umur bagi perkumpulan yang masih muda usia ini. Dan kepada cuwi enghiong yang hari ini hadir, aku mengucapkan selamat berkenalan dan semoga cuwi dapat bergembira sepuasnya dalam pesta perayaan ulang tahun perkumpulan Gelang Berdarah ini. Selamat...!"

Dan pangeran yang sekali lagi memberi hormat lalu dipersilakan duduk di sebelah kanan kursi kebesaran ketua Gelang Berdarah itu tampak membuat para tamu tertegun. Mereka melihat betapa simpatik sikap pangeran yang tampan ini. Tapi bahwa dia adalah keturunan raja Muda Kung Cu Kwang yang dianggap "pemberontak" itu membuat para tamu undangan menjadi gelisah.

Seperti diketahui, dalam cerita Pendekar Gurun Neraka, dua buah kerajaan yang selalu bermusuhan tampak melibatkan diri dalam peperangan yang tidak kenal mengalah. Yang satu adalah Kerajaan Yueh sedangkan yang lain adalah Kerajaan Wu. Dan dalam pertempuran terakhir yang mati-matian ini di bawah pimpinan Yap-goanswe, Kerajaan Wu berhasil dikalahkan. Banyak yang terbunuh dalam peperangan mati hidup itu, termasuk raja Muda Kung sendiri bersama tiga orang panglima utamanya, Wu-sam-taiciangkun yang amat terkenal itu. Dan bahwa ibu kota lalu direbut dan menjadi milik yang menang, hal itu adalah biasa dalam sebuah peperangan.

Tapi sebab utama dari kekalahan Wu yang berupa pengkhianatan Cheng-gan Sian-jin sampai di dalam istana tidaklah ada yang mengetahuinya. Dalam arti kata, bukan oleh musuhlah Wu-sam-tai-ciangkun itu tewas melainkan oleh datuk iblis inilah. Karena, seperti telah diceritakan dalam cerita terdahulu betapa datuk iblis ini telah membunuh tiga orang panglima itu secara licik dan diam-diam di lorong bawah tanah. Meninggalkan kesan seolah-olah oleh Yap-goanswelah Wu-sam-tai-ciangkun itu terbunuh, bukan olehnya!

Dan umum, yang menganggap peristiwa itu wajar terjadi mengingat Yap-goanswe memang bermusuhan dengan tiga orang panglima ini telah memuji-muji nama jenderal itu sebagai pahlawan yang gagah perkasa. Tidak tahu betapa keturunan tunggal tiga orang panglima ini yang masih hidup, Ok Kui Lun yang menjadi kakak satu-satunya mendiang Siu Li, menaruh dendam yang setinggi langit terhadap jenderal muda itu. Bersiap-siap untuk kelak membalas dendam bagi kematian adik dan ayahnya!

Sedangkan Cheng-gan Sian-jin sendiri, yang tertawa bergelak oleh hasil kerjanya yang amat curang itu merasa puas telah melempar batu sembunyi tangan. Dia sama sekali tidak mengira bahwa kejahatannya itu, yang mengira Wu-sam-tai-ciangkun benar-benar telah binasa di lorong bawah tanah, sesungguhnya masih hidup yang seorang. Dialah panglima tertua Wu-sam-tai-ciang-kun, panglima Ok yang masih dapat memaki-maki kebusukannya.

Dan dari maki-makiannya inilah seseorang berhasil mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di lorong bawah tanah itu. Karena, meskipun akhirnya panglima itu menghembuskan nafasnya yang terakhir orang satu-satunya itu berhasil mendengar apa yang sesungguhnya terjadi. Dan orang yang dimaksud itu bukan lain adalah Pendekar Gurun Neraka, bekas Jenderal Yap yang dulu memimpin penyerbuan ke tempat tiga orang panglima itu.

Inilah satu hal yang luput dari kecerdikan Cheng-gan Sian-jin. Dan di sinilah sekarang terbukti adanya kebenaran sebuah pepatah, bahwa sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya terjatuh juga dia sekali dua. Dan hal yang di luar dugaan Cheng-gan Sian-jin ini tidak lama lagi akan segera merepotkannya di markas perkumpulan Gelang Berdarah itu.

Sekarang kita kembali pada suasana di alas panggung. Pangeran Fu Chai yang telah memberikan sepatah katanya kini duduk tenang dengan wajah berseri-seri di tempat duduknya. Sedangkan para tamu yang terbelalak memandang pangeran ini tiba-tiba berisik kembali. Seseorang melompat di atas panggung, dan kakinya yang melayang ringan tampak hinggap dengan enteng di depan ketua Gelang Berdarah yang masih berdiri tegak.

"Hiat-goan-pangcu, bagaimana kau bisa mengundang seorang pemberontak di sini? Bukankah kau tahu bahwa tamumu itu musuh negara? Karena mengumpulkan kami bersama seorang pemberontak di sini sama halnya dengan menganggap kami sebagai pemberontak, pangcu. Dan kami kaum pendekar pantang sekali diajak bercakap-cakap dengan kaum pemberontak!" Itulah Sun Sim Sian-jin yang bicara, wakil Pek-mauw Sian-jin yang menjadi ketua Kun-lun-pai.

Tapi ketua Gelang Berdarah yang mendapat teguran tajam ini tampak tertawa lebar. "Sun Sim totiang, kami sebagai tuan rumah masih belum memberikan pengumuman-pengumuman berikutnya. Kau tenanglah dahulu, silakan duduk di tempat. Dan masalah pemberontak atau bukan pemberontak nanti dapat kita perdebatkan setelah segalanya selesai. Nah, silakan kembali, totiang. Kami minta kesadaranmu ini...!" dan ketua Gelang Berdarah yang memandang dengan sinar mata berpengaruh itu membuat Sun Sim Sian-jin mengalah.

Dia tidak tahu kalau tuan rumah masih akan memberikan pengumumannya lagi, dan bahwa dia telah "memutus" omongan orang yang belum rampung memang dapat dianggap kurang sopan. Karena itu Sun Sim Sian-jin menahan diri, dan dengan muka sedikit merah dia berkata. "Hm, maaf kalau begitu, pangcu. Kuharap saja setelah ini semua ganjalan hatiku dapat kukeluarkan…!" dan setelah bicara begitu wakil ketua Kun-lun inipun sudah melayang turun lalu duduk kembali di kursinya.

Sekarang semua mata memandang ketua Gelang Berdarah itu. Teguran Sun Sim Sian-jin yang tadi dikeluarkan sedikit banyak membuat para tamu berbisik-bisik. Tapi ketika tuan rumah mengulurkan lengannya tiba-tiba semua suara itu-pun lenyap.

"Cuwi enghiong, menanggapi pertanyaan sahabat Sun Sim Sian-jin tadi biarlah kita kupas masalahnya sebentar lagi. Kami masih mempunyai satu pengumuman penting, dan mengingat kepentingannya inilah maka semua pertanyaan terpaksa kami tunda dulu. Hiat-goan-pang bukanlah perkumpulan yang tertutup, maka siapa-pun yang kiranya ingin mengeluarkan isi hatinya dapat kami terima dengan senang hati. Tapi sekarang, cuwi sekalian, menyusul pengumuman yang hendak kami beritahukan ini maka diharap cuwi semua tenang. Kami hendak mengumumkan adanya berita perjodohan!"

Dan ketua Gelang Berdarah yang tampak semakin berseri mukanya itu tiba-tiba memutar tubuh. Dia memberi isyarat di barisan anak buahnya, lalu ketika tiga buah bayangan melompat ke depan tercenganglah para tamu ketika melihat siapa yang maju. Kiranya Bi Kwi dan dua orang encinya! Dan begitu para tamu berisik dengan suara heran tiba-tiba ketua Gelang Berdarah itu sudah tertawa kepada mereka.

"Cuwi enghiong, inilah bentuk pengumuman kami yang kedua itu. Mereka adalah pembantuku yang setia, tiga orang kakak beradik yang hari ini mendapat kebabagiaan besar dipersunting pujaan hatinya. Dan tahukah cuwi siapa gerangan yang menjadi calon suami mereka ini? Bukan pemuda sembarangan. Tapi sebelum kuperkenalkan calon mempelai itu baiklah kuperkenalkan dahulu siapa-siapa mereka ini..." lalu sambil tertawa gembira sang ketua Gelang Berdarah itu menunjuk Bi Gwat, si baju ungu.

"Ini adalah pembantuku yang nomor sebelas, cuwi enghiong. Namanya Bi Gwat. Dia merupakan kakak tertua dari ketiga bersaudara, sedangkan yang itu..." ketua Gelang Berdarah ini menunjuk si baju merah muda yang tersenyum genit. "Dia adalah Bi Hwa. Dia merupakan saudara penengah, pembantuku yang dapat kupercaya...."

Lalu sementara dua orang gadis itu menunduk malu-malu di hadapan para tamu yang sebenarnya adalah pura-pura belaka tiba-tiba sang ketua Gelang Berdarah ini sudah memperkenalkan Bi Kwi. Gadis itu tampak berseri mukanya, dan ia yang sudah dikenal sebagai "protokol" ketika membuka acara pertama tadi di hadapan para tamu memandang semua hadirin dengan tidak segan-segan. Bi Kwi benar-benar hebat, dan dia yang tidak malu-malu seperti dua orang kakaknya itu melirik ke sana ke mari dengan senyum lebar. Sementara sang ketua yang tampak bangga dengan gadis berpakaian hitam ini menerangkan,

"Gadis ini adalah saudara termuda dari ketiga bersaudara, cuwi. Namanya Bi Kwi. Orang menjulukinya sebagai Hek-bi-kwi, namun bersatu dengan dua orang kakaknya mereka lebih dikenal dengan julukan Sam-hek-bi-kwi! Nah, cuwi tentu sudah mendengar nama ini bukan? Mereka merupakan pembantu-pembantuku nomor sebelas sampai tiga belas. Dan sebagai pembantu-pembantu utama tentu saja mereka harus mendapatkan jodoh yang setimpal. Sekarang siapa yang menjadi laki-laki paling berbahagia dalam mendapatkan cinta kasih tiga orang gadis ini? Mari kita lihat...!" dan ketua Gelang Berdarah yang tiba-tiba melambaikan tangannya itu membuat perhatian semua orang tertarik ke atas panggung.

Mereka mengira bahwa tiga orang pemuda akan tampil ke depan memperkenalkan diri. Tapi ketika hanya seorang saja yang bangkit berdiri dari arah yang dimaksud lalu tersipu-sipu dengan muka merah menghampiri lambaian ketua Gelang Berdarah ini tiba-tiba saja semua orang jadi tercengang keheranan. Mereka melihat bahwa pemuda itu memang cakep, tapi karena banyak di antara mereka yang tidak mengenal maka semua orangpun jadi bertanya-tanya. Dan sementara itu ketua Gelang Berdarah inipun sudah menerangkan kepada mereka dengan wajah berseri-seri.

"Cuwi enghiong, mungkin banyak di antara cuwi yang belum mengenal pemuda ini. Itu tidak aneh. Calon mempelai pria ini memang baru beberapa bulan saja turun gunung. Tapi nama besar ayahnya pasti banyak yang sudah cuwi dengar. Tahukah cuwi siapa calon mempelai yang berbahagia ini? Dia adalah saudara Kun Bok putera si jago pedang Bu-tiong-kiam Kun Seng!"

Dan begitu keterangan ini selesai diucapkan tiba-tiba saja semua undangan sama berteriak kaget. Mereka tidak mengira bahwa pemuda yang ada di samping ketua Gelang Berdarah itu adalah putera si jago pedang yang terkenal namanya. Dan bahwa hari ini putera si jago pedang itu mempersunting tiga orang gadis kakak beradik yang merupakan para pembantu ketua Gelang Berdarah sungguh membuat mereka terkejut dengan mata terbelalak.

Hal ini memang merupakan peristiwa yang amat aneh, juga luar biasa sekali. Karena, bukankah putera si jago pedang itu mereka dengar sudah mengikat perjodohan dengan puteri si Pendekar Kepala Batu? Lalu bagaimana sekarang mendadak sontak mengikat perjodohan dengan anak buah ketua Gelang Berdarah? Apakah pemuda ini sudah putus hubungannya dengan keluarga Ciok-thouw Taihiap? Dan melihat si jago pedang itu sekarang "menikah" dengan tiga orang gadis sekaligus sungguh membuat mereka hampir tertawa. Ada kesan "serakah" dalam diri pemuda ini, kesan seorang pemuda yang mata keranjang. Tapi, betulkah itu menjadi watak putera si jago pedang ini? Dan sementara mereka sama tercengang keheranan tiba-tiba ketua Gelang Berdarah itupun sudah mengangkat lengannya.

"Cuwi enghiong, menghormati tradisi yang telah turun temurun di adat kebudayaan kita, maka biarlah disaksikan cuwi sekalian malam ini aku ingin meresmikan ikatan jodoh ini. Pihak laki laki terpaksa telah kami mintakan persetujuannya untuk diwakili paduka pangeran, karena ayah calon mempelai pria ternyata belum juga datang memenuhi undangan kami. Sedangkan di pihak wanita biarlah kuwakili secara pribadi. Nah, cuwi sekalian. Meresmikan ikatan jodoh ini dan disaksikan langit dan bumi, kami hendak memasangkan cincin perjodohan ini ke jari manismasing-masing mempelai. Semoga Dewi Keberuntungan menyertai mereka…!" dan ketua Gelang Berdarah yang sudah membuka kotak cincin pertunangan itu tampak memberi isyarat pada Pangeran Fu Chai.

Pangeran ini bangkit berdiri, lalu ketika dia sudah mendampingi ketua Gelang Berdarah itu untuk memasangkan cincin perjodohan tersenyumlah dua orang yang saling pandang ini. Mereka siap menjadi wali. Tapi baru memegang jari manis Kun Bok untuk dipasang cincin tiba-tiba terdengarlah bentakan menggeledek yang menggetarkan seluruh ruangan itu.

"Tahan...!" dan sesosok bayangan seperti iblis tahu-tahu telah berkelebat di atas panggung merampas kotak cincin pertunangan di tangan Pangeran Fu Chai lalu membantingnya di atas lantai. "Prang!" kotak cincin itu hancur berkeping-keping dan sementara semua orang kaget oleh kejadian yang amat cepat ini tahu-tahu di tempat itu telah berdiri seorang laki-laki gagah perkasa yang mukanya merah padam.

"Ciok-thouw Taihiap!" pekik kaget yang hampir diserukan semua orang ini tampak menggoncangkan seluruh tamu undangan.

Dan Kun Bok yang terkejut oleh munculnya pendekar besar ini tiba-tiba saja sudah melangkah mundur dengan tubuh menggigil hebat. Dia pucat pasi melihat kedatangan ketua Beng-san-pai itu, sementara ketua Beng-san-pai sendiri yang tampak membesi mukanya itu mendelik ke arah pemuda ini. Dengan mata berapi-api Ciok-thouw Taihiap memandang Kun Bok, lalu suaranya yang mengguntur hebat kembali terdengar menggetarkan isi dada semua orang.

"Bocah she Kun, apa yang kau lakukan ini?"

Kun Bok tak mampu menjawab. Dia masik terkejut sekali oleh munculnya ketua Beng-san-pai yang amat tiba-tiba itu. Dan bahwa pendekar sakti ini membentaknya dengan bengis membuat dia malah menjadi gugup. Tapi sementara Kun Bok terbelalak dengan muka gemetar tiba-tiba ketua Gelang Berdarah yang sudah melihat munculnya ketua Beng-san-pai ini tampak melangkah maju dengan muka berseri-seri. Ketua Gelang Berdarah ini tampaknya bahkan merasa gembira, dan dia yang sudah menjura di hadapan ketua Beng-san-pai itu bertanya tenang dengan sikap ramah.

"Souw-taihiap, bagaimana kau datang dengan cara yang amat mengejutkan ini? Adakah kesalahan kami yang membuatmu marah demikian besar? Ah, kalau begitu kendorkan dahulu kemarahanmu ini, taihiap. Mari kita bicarakan dengan kepala dingin dan baik-baik. Aku siap mendengarkan segala luapan hatimu ini dengan penuh kebijaksanaan....!" dan ketua Gelang Berdarah yang tersenyum lebar itu kembali membungkukkan tubuhnya dengan penuh hormat.

Tapi ketua Beng-san-pai ini bahkan mengepal tinju. "Hiat-goan-pangcu, jangan berlagak pilon. Aku ingin menuntut pertanggungan jawab bocah she Kun itu tentang arti pertunangan ini. Apakah kau sengaja tidak tahu ataukah pura-pura tidak tahu?"

Ketua Gelang Berdarah tampak memasang muka keheranan. "Eh, apa maksud kata-katamu ini, Souw-taihiap? Apa maksudmu menuntut pertanggungan jawab saudara Kun Bok untuk arti pertunangan ini?"

Ciok-thouw Taihiap menoleh ke arah pemuda itu. "Tanya saja kepada yang bersangkutan, pangcu. Tanya saja apakah pertunangan yang dilakukannya hari ini dengan pihakmu sudah benar ataukah tidak!"

Sekarang ketua Gelang Berdarah tampak terkejut. "Saudara Kun Bok, apa arti kata-kata Beng-san-paicu itu? Adakah sesuatu yang tidak beres di sini?"

Kun Bok memandang pucat. "Pangcu, ini… ini..." Kun Bok kembali tak mampu bicara dan kata-katanya yang tersendat di tengah jalan tiba tiba disambut senyum aneh oleh ketua Gelang Berdarah itu. Hiat-goan-pangcu ini tampak menggeser kakinya, dan ketika dia menepuk pundak pemuda itu dengan sentuhan perlahan mulutnyapun sudah bertanya lembut dengan suara halus,

"Bok-kongcu, kau ada apakah tiba-tiba tampak ketakutan begini? Bicaralah, orang muda. Aku sebagai wakil ayahmu tidak mungkin membiarkanmu berpeluk tangan. Souw taihiap adalah seorang pendekar sejati, dan apapun kesalahan yang telah dilakukan orang lain tidak mungkin ketua Beng-san-pai itu akan meminta pertanggungan jawab yang di luar batas. Nah, bicaralah baik-baik. Kami semua akan mendengarkannya dengan penuh kebijaksanaan."

Maka Kun Bok yang mendapat usapan tenang ini tiba-tiba saja mulai dapat menguasai diri. Dia melihat sikap yang meyakinkan dari ketua Gelang berdarah itu. Dan bahwa ketua Gelang Berdarah ini telah menyatakan diri sebagai "wakil" ayahnya sedikit banyak membuat dia mampu menekan kegelisahan. Tapi ketika dia memandang Ciok-thouw Taihiap dan melihat wajah yang demikian membesi dari pendekar sakti itu Kun Bok kembali menjadi gugup. Pemuda ini gentar sekali, dan ketua Gelang Berdarah yang tampaknya tidak sabar tiba-tiba menggamit kakinya.

"Bok-kongcu, bicaralah...!"

Tapi belum Kun Bok berhasil mencairkan kekeluan lidahnya sekonyong-konyong bayangan hitam melompat maju. Dialah Bi Kwi, gadis cantik yang sudah mengeluarkan seruan nyaringnya mengejutkan semua orang, "Pangcu, harap jangan didesak Bok-kongcu. Kalau Ciok-thouw Taihiap ingin mendengarkan jawabannya biarlah aku yang bicara!" dan Bi Kwi yang tahu tahu telah berhadapan dengan ketua Beng-san-pai itu tampak menegakkan kepala membusungkan dada!

Semua orang terkejut, dan Ciok thouw Taihiap sendiri yang melihat majunya Bi Kwi tiba-tiba juga tertegun dengan mata terbelalak. Tapi belum dia sempat berkata sesuatu Bi Kwi tiba-tiba sudah memberinya hormat dengan kepala dianggukkan sedikit, tanda keangkuhan yang agak sombong. Dan gadis yang semenjak tadi diam tak bersuara itu tiba-tiba saja sudah nyerocos bicara dengan sikap lantang.

"Ciok-thouw Taihiap," demikian Bi Kwi mula-mula berseru nyaring, "apabila kau ingin mendapatkan jawaban Bok-kongcu tentang arti pertunangan ini maka semuanya itu akan sia-sia. Aku sudah tahu apa yang akan dikatakan Bok-kongcu. Dan karena aku merupakan satu-satunya sahabat yang paling dekat dengannya maka biarlah aku mewakili pertanggungan jawab Bok-kongcu seperti apa yang kau minta. Kami tiga kakak beradik Sam-hek-bi-kwi sudah mengetahui jelas apa yang menjadi kesukarannya, yakni tentang jawabaan dari pertanyaanmu tadi. Dan bahwa Bok-kongcu melanggar ikatan perjanjian yang selama ini diam-diam belum diketahui pangcu kami adalah merupakan tanggung jawab kami tiga bersaudara. Bok-kongcu dalam hal ini tidak bersalah, dan apapun yang hendak kau timpakan kepadanya tidak boleh tidak harus mengenai kami. Nah, Ciok-thouw Taihiap. Menjawab petanyaanmu tadi terus terang kami akui di sini bahwa Bok-kongcu sebelumnya sudah ada ikatan jodoh dengan puterimu, tapi karena Bok-kongcu tidak ada rasa suka, maka Bok-kongcu lalu memilih kami. Dengan catatan, bahwa apa yang menjadi berita Bok-kongcu ini pangcu kami sama sekali tidak atau belum tahu!"

Dan Bi Kwi yang tiba-tiba memutar tubuh menghadapi ketua Gelang Berdarah itu mendadak menjatuhkan diri berlutut, "Pangcu, mohon dimaafkan bahwa baru hari ini hamba memberitahukan perihal keadaan Bok-kongcu yang sebenarnya. Tapi karena persiapan ulang tahun perkumpulan yang membuat pangcu sibuk dalam pekerjaan sehari-hari menjadikan hamba belum sempat melapor. Ini adalah persoalan pribadi, maka hamba yang berpendapat bahwa persoalan pribadi sebaiknya dinomor-duakan dengan persoalan partai membuat hamba mengentengkan urusan ini. Harap pangcu maafkan!"

Dan Bi Kwi yang seolah-olah tidak melihat betapa ketuanya terkejut dengan mata terbelalak tahu-tahu sudah berdiri lagi menghadapi ketua Beng-san-pai itu. Gadis ini seolah-olah tidak tahu pula betapa perubahan hebat melanda diri pendekar itu, karena dengan suara nyaring dia melanjutkan lagi.

"Nah, Ciok-thouw Taihiap. Sekarang engkau tahu mengapa Bok-kongcu sukar sekali menjawab pertanyaanmu. Dan kami tiga bersaudara Sam-hek-bi-kwi siap menerima kesalahannya ini dengan dada terbuka lebar. Kami tahu kesukaran-kesukaran kekasih kami, dan justeru karena itulah kami siap membelanya dengan seluruh hati kami. Bukankah begitu, Bok-koko?" pertanyaan terakhir ini disuarakan dengan merdu sekali dan Kun Bok yang seakan tersihir itu tiba-tiba saja menganggukkan kepala dengan muka berseri-seri!

Tapi Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba membanting kakinya. "Kuntilanak perempuan, apakah kau kira semua pembelaanmu ini akan menyelesaikan semua persoalan dengan mudah? Kalau kau sudah tahu bocah she Kun itu ada ikatan jodoh dengan puteriku tidak seharusnya kau merebut pemuda itu dari ikatan jodoh ini!"

"Ah, kami tidak merebutnya Ciok-thouw Taihiap. Kami tiga bersaudara menerima cinta kasih Bok-kongcu atas dasar suka sama suka. Bok-kongcu telah menyatakan kepada kami bahwa dia tidak suka kepada puterimu itu. Kenapa kau harus marah-marah kepada kami?"

Ciok-thouw Taihiap menggereng. "Benarkah itu, bocah she Kun?"

Kun Bok pucat mukanya. Dia sudah tak mampu menghindar lagi setelah Bi Kwi membuka segala-galanya itu, dan bahwa dia sekarang harus mengaku atau menyangkal akhirnya membuat pemuda ini mengeraskan hati. Betapapun juga, dia memberatkan Bi Kwi yang sudah membuatnya tergila-gila itu. Dan pertanyaan ketua Beng-san-pai yang penuh kemarahan itu akhirnya dijawab dengan anggukan kepala yang berat.

"Maaf, apa yang telah dikatakan adik Bi Kwi ini memang benar, locianpwe. Puterimu itu rupanya tidak ada kecocokan denganku. Dia... dia...!"

"Dia terlalu sombong, Ciok-thouw Taihiap. Dia terlalu angkuh dan tinggi hati!" Bi Kwi yang tiba-tiba menyambung dengan suara lantang ini membuat Kun Bok jadi kaget setengah mati.

"Kwi-moi!" tapi seruan Kun Bok itu seolah-olah tidak didengar Bi Kwi.

Dan Ciok-thouw Taihiap yang kelewat, memuncak kemarahannya itu tiba-tiba tertawa bergelak. Suaranya bergemuruh, bergulung dan menyambar-nyambar seakan guntur yang meledak-ledak di tengah badai angkasa. Dan para tamu, yang sejak tali memandang dengan mata terbelalak kearah pendekar besar itu tiba-tiba jadi kaget bukan main ketika melihat betapa lantai panggung berderak seakan diserang gempa bumi!

Tapi sementara mereka sama terkejut mendadak saja di tengah gemuruhnya suara Beng-san-paicu yang sedang murka itu tiba-tiba terdengar suara mengaung. Suara ini tiba-tiba terdengar seperti angin berdesau di antara daun-daun bambu, tapi ketika suara ini semakin jelas terdengar dan gaungnya menjadi tajam, tiba-tiba saja suara itu berubah seakan suara suling ditiup. Aneh. Gemuruhnya ketawa sang Beng-san-paicu tiba-tiba "dibelah" oleh suara seperti suling itu dan ketika suara ini melengking tinggi mendadak segunduk sinar bergulung-gulung memasuki pintu Bangsal Agung seperti bayangan setan tanpa rupa!

Mengejutkan sekali, sinar bargulung-gulung yang memenuhi pintu Bangsal Agung itu sekonyong-konyong berputaran, berjalan seperti gangsingan di tengah-tengah para tamu. Dan ketika gundukan sinar ini tiba di bawah panggung mendadak dia melompat. Suara seperti suling ditiup itupun tidak terdengar lagi. Sinar bergulung-gulung jugs sudah tidak tampak, dan sebagai gantinya tampaklah seorang laki-laki berjenggot pendek dengan pedang di punggung yang tampak gagah perkasa.

"Si Pedang Dalam Kabut...!"

Seruan kaget yang spontan terdengar dari banyak tamu ini tiba-tiba menggegerkan kaum undangan dan Bi Kwi yang melihat munculnya laki-laki setengah tua itu tiba-tiba melangkah mundur. Dia terkejut dan terbelalak melihat munculnya pendekar pedang itu, tapi Kun Bok yang sudah merasa girang melihat datangnya laki-laki itu tiba-tiba saja sudah berseru girang.

"Ayah...!" dan Kun Bok yang sudah menubruk ayahnya ini tampak gembira ular biasa.

Tapi Bu-tiong-kiam Kun Seng, Si Padang Dalam Kabut yang memang benar adanya itu, tampak tidak begitu gembira mendengar seruan puteranya. Jago pedang yang baru datang ini justeru berkerut kening, namun dia yang sudah menjura di depan tuan rumah tampak bersikap hormat. "Hiat-goan-pangcu, maaf bahwa kedatanganku terlambat. Apakah kehadiranku ini tidak mengganggu upacara Gelang Berdarah?"

Sang Hiat-goan-pangcu cepat-cepat melangkah maju. Dia tertawa gembira melihat kehadiran jago pedang yang tanpa tanding ini, dan begitu orang memberi hormat kepadanya cepat-cepat diapun membalas. "Ah, seorang Kiam-khek (pendekar pedang) datang mengunjungi tempat tinggalku bagaimana bisa dikata mengganggu, taihiap? Kami dari Gelang Berdarah justeru merasa gembira sekali mendapat kehormatan ini. Dan kalau taihiap tidak keberatan silakan duduk bersama kami di kursi agung...!"

Namun jago pedang itu sudah memutar tubuhnya menghadapi Ciok-thow Taihiap. Dia tidak bicara lagi dengan ketua Gelang Berdarah itu, dan mukanya yang muram tampak semakin berkerut ketika dia memberi hormat kepada ketua Beng-san-pai ini, "Souw-taihiap, apa kabar keadaan dirimu? Dan bagaimana dengan Ceng Bi?"

Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba mengetrukkan giginya. Dia tak dapat menahan marah mendengar orang tiba-tiba menanyakan tentang Ceng Bi, dan begitu orang bersikap halus kepadanya adalah pendekar besar itu justeru membentak dingin, "Orang she Kun, jangan melepas penghormatan palsu di sini. Aku tidak butuh perhatianmu kepada keluarga Souw! Sekarang bagaimana jawabmu tentang perbuatan anakmu yang kurang ajar ini?"

Si jago pedang gelap mukanya. "Aku tidak tahu akan sepak terjang anakku, taihiap. Harap kau suka maafkan terlebih dahulu. Tapi kalau kau ingin menuntut pertanggungan jawab tentang kelakuan anak ini pasti akan kupenuhi. Hiat-gon pangcu telah melancangi urusan pertunangan puteraku ini, dan sebagai orang tua yang merasa penasaran dan kecewa aku akan meminta keterangannya!" dan pendekar pedang yang sudah memutar tubuhnya itu tiba-tiba bertanya kepada ketua Gelang Berdarah.

"Hiat-goan-pangcu, atas dasar apakah kau mencampuri urusan keluarga Kun ini? Tidak tahukah kau bahwa putera tunggalku telah ada ikatan perjodohan dengan keluarga Beng-san-paicu?"

Sang ketua Gelang Berdarah tiba-tiba menegakkan kepalanya. "Kun-taihiap, kalau kau ingin mendapatkan jawab dari semuanya ini semestinya kau tanya saja puteramu itu. Bok-kongcu telah lama menjalin hubungan dengan tiga orang pembantuku, dan atas permintaannyalah megumumkan perjodohan ini!"

Bu-tiong-kiam Kun Seng terkejut. "Betulkah begitu, Bok-ji?" dia menoleh kepada puteranya.

Kun Bok terbelalak. Dia sendiri merasa terkejut bahwa ketua Gelang Berdarah tiba-tiba menyatakan di sini bahwa atas permintaannyalah berita perjodohan itu diumumkan. Karena, apa yang dikatakan ketua Gelang Berdarah ini sesungguhnya bohong! Tapi, belum dia menjawab tiba-tiba Bi Kwi melompat maju. Dengan amat berani gadis cantik berpakaian hitam ini mendahului Kun Bok bicara, dan suaranya yang nyaring melengking menjawab pertanyaan Bu-tiong-kiam Kun Seng.

"Bu-tiong-kiam locianpwe, adakah pertanyaanmu ini tidak janggal dilontarkan? Adakah di dalam sebuah percintaan pihak si wanita yang harus terlebih dahulu menyatakan keinginannya? Ah, Kun-locianpwe, kau seharusnya mampu menarik kesimpulan sendiri dalam masalah ini. Tidak perlu bertanya lagi kepada Bok-koko yang pasti akan mengiyakannya! Bukankah begitu, Bok-koko...?"

Kun Bok gelagapan. Kerling Bi Kwi yang menyambar tajam penuh arti kepadanya menuntut suatu persetujuan yang tidak dapat ditolak, dan bahwa Bi Kwi telah terang-terangan meminta dia untuk mengangguk membuat Kun Bok seakan di "K0". Dia kelabakan benar, kebingungan dan hampir kehilangan pikiran sendiri. Karena apa yang dikatakan kekasihnya itu mau tidak mau membuat dia terjepit di persimpangan jalan yang serba susah. Menolak berarti memberi main kepada Bi Kwi sedangkan menyetujui berarti ikut berbohong dan mengelabuhi ayahnya!

Ah... Kun Bok benar-benar seakan mendapat buah simalakama. Dimakan ayahnya marah tidak dimakan kekasihnya yang repot! Tapi Kun Bok yang sekali lagi benar-benar telah jatuh di tangan gadis cantik ini tiba-tiba mengetrukkan giginya. Betapapun, apa yang di katakan kekasihnya itu ada benarnya juga. Tidak mungkin bagi seorang gadis untuk mendahului menyatakan "cinta" terhadap seorang laki-laki. Dan dia yang harus berkorban untuk kekasihnya ini siap memberi "muka". Bi Kwi tidak boleh dibuat malu di depan umum, dan masalah gadis itu ikut memutar balik kenyataan biarlah kelak dia tegur secara empat mata! Maka Kun Bok yang melihat betapa semua orang menunggu jawabannya tiba-tiba menarik napas berat dan menganggukkan kepala.

"Benar... apa yang dikatakan adik Bi Kwi memang benar, ayah. Bahwa akulah yang meminta berita perjodohan ini diumumkan dan baru habis ucapan pemuda itu dikeluarkan tiba-tiba sang ketua Gelang berdarah ketawa bergelak...