Pendekar Kepala Batu Jilid 26 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 26
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pendekar Kepala Batu Karya Batara
MAKA Ceng Han yang mendapat "penghormatan" adiknya ini tentu saja menjadi gemas sekali. Dengan mata melotot dia menangkap tangan adiknya itu, lalu dengan tepukan tangan mendongkol dia berseru, "Bi-moi, kemana saja kau keluyuran selama ini? Apakah tidak tahu betapa kakakmu hampir menjadi korban berkali-kali? Uh, kalau tidak karena kenakalanmu tentu kita bisa hidup tenang di gunung. Tapi gara-garamu semuanya ini menjadi tidak karuan!"

Ceng Bi tertawa meringis sedangkan si gadis baju hijau terkejut. Dia merasa kaget karena dua orang itu tampaknya telah saling kenal dengan baik, dan ketika dia mendengar pembicaraan mereka seketika tahulah dia bahwa inilah kiranya gadis yang dicari-cari Ceng Han itu, puteri Beng san-paicu sendiri yang konon katanya kelewat nakal. Aih, dan dia dengan bangga telah memperkenalkan nama Ceng Han kepada adiknya sendiri. Siapa tidak jengah? Maka begitu tahu akan keadaan kontan saja gadis baju hijau ini tertegun. Dia mengawasi kakak beradik itu dengan muka merah.

Tapi Ceng Han yang segera teringat tiba-tiba melepas tangan adiknya. "Bi-moi, kau jangan kurang ajar kepada teman kakakmu ini. Dia adalah nona Cui Ang, puteri si Belut Emas locianpwe yang telah menolong kakakmu ini dari bahaya maut. Apakah kau telah berkenalan sebelumnya?"

Ceng Bi tertawa kecil, "Ih, kami tadinya tidak tahu, Han-ko, karena kami ketemu secara kebetulan saja. Dia menyebutku siluman duyung dan akupun balas menyebutnya siluman pengintai. Eh, Ang-cici, kau tentu tidak marah kepadaku, bukan? Kita ternyata sama-sama sahabat, dan bergaul dengan kekasihmu ini pasti menyenangkan. Dia menyayang, cici, dan wataknya yang lembut ini pasti tidak memungkinkan dia bersikap kasar terhadap wanita seperti dua orang manusia iblis yang kita jumpai itu, hi-hikk!" Ceng Bi tertawa menggoda dan sikapnya yang terang-terangan menyenggol kakaknya berdua itu membuat Ceng Han dan Cui Ang merah mukanya.

"Bi-moi," Ceng Han mengetuk kaki adiknya. "Kenapa dari dulu kau selalu menggoda orang? Apakah kau tidak ingat akan kemarahan ayah? kalau tidak ingat baik kuingatkan sekarang. Dan bukankah kabarnya kau ditangkap hu-pang-cu dari Gelang Bealirah? Bagaimana bisa ada di sini?"

Ceng Bi menarik napas panjang. Teguran kakaknya itu tiba-tiba membuatnya menjadi sedih, dan daging kelinci yang ada di tangannya tiba-tiba diletakkan di atas tanah. "Ang-cici, kau lapar, bukan? Hayo kita makan kalau begitu. Bicara sambil menikmati kelinci gemuk ini tentu nikmat. Dan kalian boleh mendengarkan ceritaku." Ceng Bi langsung mendeprok di atas rumput.

Dan Cui Ang yang melihat kepolosan puteri Beng-san-paicu yang sebelumnya pernah di kenal bahkan diajak berkelahi itu tersenyum. Dia merasa tertarik sekali kepada gadis ini dan wataknya yang terbuka serta jujur diam-diam membuatnya merasa suka dan kagum. Begitulah watak Ceng Han yang dia lihat pula. Namun dibandingkan adiknya yang satu ini Ceng Bi terasa lebih bebas, lebih "liar" dan lebih menarik. Pendeknya, puteri Beng-san-pai-cu itu tampaknya memang lebih aktip, lebih nakal! Tapi sayang wajah yang cantik itu kini seperti mendung di awan hitam.

Dan Ceng Bi yang tidak malu-malu mulai menyikat kelinci panggangnya sambil bercerita itu membuat yang lain terpengaruh. Terutama Cui Ang. Gadis ini memang lapar, maka begitu santapan daging bakar itu diletakkan di alas tanah segera tanpa sungkan-sungkan lagi iapun ikut menikmati hidangan ini. Dan dasar puteri seorang nelayan begitu Ceng Bi memberikan daging bakarnya segera Cui Ang sendiri memanggang ikan asinnya dan mengeluarkan arak ringan.

Maka mengobrolah mereka itu. Mulai dari ceritera Ceng Bi semenjak perpisahan di markas cabang kota Hang-loh dari Perkumpulan Gelang Berdarah sampai kepada pertemuannya dengan orang-orang Gelang Berdarah yang lain. Termasuk diantaranya Jing-ci-thouw Kam Sin dan Ui-i-siauw-kwi itu. Dan bercerita panjang lebar sambil sesekali dipotong pertanyaan-pertanyaan kakaknya itu membuat ketiganya betah sekali duduk di atas rumput. Tidak sadar lagi betapa kelinci panggang yang ada di depan mereka akhirnya habis dikunyah ketiganya tanpa sisa!

Dan Ceng Bi yang menceritakan segalanya itu juga menyinggung-nyinggung sedikit tentang putera tunggal si jago pedang Bu-tiong-kiam Kun Sang. Betapa pemuda she Bok itu tampak "galang-gulung" dengan tiga orang wanita cantik anggauta Hiat-goan-pang, bahkan telah melerainya ketika mereka sedang adu senjata! Semuanya itu diceritakan Ceng Bi tanpa mengurangi ataupun menambahnya, tapi Ceng Han yang melihat adiknya sama sekali tidak menyinggung nama Pendekar Gurun Neraka diam-diam menjadi curiga.

Kakak yang sudah cukup mengenal watak adiknya ini segera tahu, bahwa cerita Ceng Bi masih belum lengkap. Ada hal-hal yang disembunyikan. Tapi karena maklum di situ ada Cui Ang maka diapun pura-pura tidak tahu saja. Padahal, justeru karena Pendekar Gurun Neraka itulah Ceng Bi melarikan diri dari Hang-loh ketika mendengar cerita twa-suhengnya. Betapa Pendekar Gurun Neraka meninggalkan citra yang buruk di kenangan mereka gara-gara perjinaannya dengan wanita iblis Tok-sim Sian-li. Dan adiknya ini, yang memiliki tanda-tanda jatuh hati, tiba-tiba saja marah tanpa sebab dan meninggalkan mereka dengan isak tangisnya!

Tapi Ceng Bi ternyata tidak menyinggung-nyinggung nama pendekar muda itu. Hem! Maka Ceng Han yang maklum akan adanya kenyataan ini diam-diam lalu mencari kesempatan. Dia ingin bertanya mengapa adiknya itu dahulu meninggalkan mereka, padahal dengan susah payah mereka berdua bisa bertemu. Dan apakah putera si jago pedang Bu-tiong-kiam Kun Seng itu tidak meninggalkan sesuatu kesan yang akrab dengan adik-nya. Maka semua pertanyaan ini diam-diam disimpan oleh Ceng Han dan sang kakak yang amat menyayangi adiknya itu tiba-tiba bertanya,

"Bi-moi, kau tadi menceritakan bahwa benar tertangkap oleh hu-pangcu dari Perkumpulan Gelang Berdarah. Kalau begitu bagaimana kau bisa lolos kembali?"

"Aku lolos karena dia sendiri yang melepaskannya, koko. Dan kebetulan saat itu yang ditangkap olehnya ada dua orang. Yakni aku sendiri dan enci Pek Hong!"

"Eh, siapa itu enci Pek Hong?"

"Murid Ta Bhok Hweso, koko, pendeta Buddha dari Tibet itu."

"Oh, kau bertemu dengannya...?"

"Ya, secara kebetulan saja."

"Dan bagaimana kau bisa lobos karena diloloskan?"

"Karena dia... karena dia, eh... mencintaiku, koko. Dan dia pulalah yang melepaskan diriku dari perkosaan Pouw Kwi!" Ceng Bi menjadi merah mukanya, dan begitu menyebut mama Pouw Kwi tiba-tiba saja sinar matanya berapi. Dia mengepal tinju, dan Ceng Han yang mendengar kisah adiknya ini tertegun.

"He...?" pemuda itu terbengong dengan perkataan ini dan Ang Cui yang semenjak tadi bersikap mendengarkan itu tiba-tiba bertanya.

"Kau dibebaskan karena dia mencintaimu adik Bi?"

"Ya, begitu menurut pengakuannya. Ada apa, Ang-cici?"

"Hm, tidak apa-apa... aku hanya kagum melihat kepolosanmu bercerita ini..." Cui Ang tiba-tiba melirik ke kiri dan Ceng Han yang kebetulan juga sedang mengerling dengan sudut matanya itu mendadak jadi sama-sama merah.

Mereka bertiga sejenak diam tanpa suara, tapi Ceng Han yang tajam pendengarannya sekonyong-konyong bangkit berdiri. Dia mendengar suara berkeresek di belakang adiknya, dan begitu melihat sesosok bayangan berindap dan ujung bajunya tersembul sedikit tiba-tiba pemuda ini membentak.

"Siapa di situ?"

Dan secepat kilat Ceng Han tahu-tahu telah mengulurkan jarinya mencengkeram pundak orang. Cepat gerakan pemuda ini, namun orang di balik pohon itu rupanya lebih cepat lagi. Suara ketawa yang bergelak nyaring terdengar mengejutkan suasana di tempat itu, lalu sebuah tangan berjari kuat menangkis serangan Ceng Han ini.

"Dukk!" Seorang laki-laki berkelebat keluar, dan Ceng Han yang terpental mundur itu berteriak kaget. Dan cepat memandang, dan di depan mereka tahu-tahu telah muncul seorang pemuda tinggi besar yang bukan lain adalah kakak seperguruan mereka sendiri. Lek Hui! Dan di samping pemuda ini, berdiri dengan sikap keren dan mata mencorong tampaklah ketua Bang-san-pai sendiri yang memandang mereka dengan sikap bengis!

"Ayah....!" Ceng Han dan Ceng Bi serentak berseru kaget, dan karena keduanya tidak menyangka bakal dicari sampai di tempat ini membuat keduanya sejenak menjublak tertegun. Tapi, begitu sadar dan lenyap kagetnya tiba-tiba Ceng Han dan Ceng Bi sudah menubruk ke depan dan berlutut di bawah kaki ayah mereka.

"Ayah....!" Ceng Han dan Ceng Bi kembali berseru tapi sang ayah yang memandang bengis itu mendengus. Ketua Beng-san-pai ini tetap bersikap keren, dan Ceng Bi yang dipandang terbelalak itu mendapat teguran pertamanya yang keras.

"Bi-ji, bagus sekali perbuatanmu, ya? Membuat orang tua malu dan harus mengejar-ngejar kalian seperti maling hina. Apakah ini yang kau berikan sebagai imbalan jasa orang tuamu?"

Ceng Bi tak berani mengangkat kepalanya. "Maafkan aku, ayah. Aku tidak betah di rumah..."

"Hm, dan kemudian minggat tanpa pemisi?"

"Karena terpaksa, ayah….."

"Apa yang terpaksa?"

"Sikap ayah yang keras itu, "Ceng tiba-tiba mengangkat mukanya. "Karena kalau ayah tidak memaksaku dalam perjodohan tentu aku tidak akan turun gunung!"

"Hm..." pendekar sakti itu tertegun dan adu pandang mata antara dia dan puterinya yang bersinar-sinar itu membuatnya melunakkan sikap.

Tapi, begitu sadar dan lenyap kagetnya tiba tiba Ceng Han dan Ceng Bi sudah menubruk ke depan dan berlutut di bawah kaki ayah mereka. Dia melihat kebenaran kata-kata ini, tapi karena mempunyai pandangan sendiri diapun lalu menjawab, hanya dengan suara yang lebih halus,

"Ya, tapi kau haeus mengerti, Bi-ji, bahwa apa yang dikehendaki ayahmu ini sebenarnya adalah demi kebahagiaanmu belaka. Kau sudah cukup dewasa untuk berumah tangga, dan Bok-kongcu yang kupilihkan itupun bukan pemuda sembarangan!"

"Tapi kalau aku tidak suka, ayah?"

Pendekar Kepala Batu membelalakkan mata. "Kenapa kau tidak suka, Bi-ji? Kalian belum saling bergaul, dan suka atau tidak suka baru dapat dipastikan jika kedua pihak saling berkenalan."

"Ya, dan kami sudah saling berkenalan, ayah," Ceng Bi tiba-tiba bangkit berdiri. "Dan putera Bu tiong-kiam Kun Seng locianpwe itu ternyata galang-gulung dengan orang-orang Hiat-goan-pang!"

"Apa....?" Pendekar Kepala Batu terkejut. Kapan kalian sudah saling berkenalan?"

"Beberapa waktu yang lalu, ayah. Ketika aku bertemu di pinggiran hutan di batas wilayah Hiat goan-pang." Ceng Bi lalu menceritakan pertemuannya yang singkat dengan putera si jago pedang itu tapi ayahnya yang mendengar ceritanya itu tiba-tiba tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

"Ah, bukan perkenalan seperti itu yang kumaksudkan, Bi-ji. Tapi perkenalan yang lebih jauh lagi. Itu hanya pertemuan sekilas, dan pertemuan yang serba singkat itu tak bisa dikatakan sebagai perkenalan dalam arti yang sesungguhnya. Tidak, kau salah menangkap maksud ayah, Bi-ji, dan pertemuanmu dengan putera Bu-tiong-kiam Kun Seng itu masih dangkal sekali. Di sini kalian belum dapat mengenal watak masing-masing pihak karena belum berkenalan dalam arti yang sesungguhnya!"

"Hm, kalau begitu apa yang kau kehendaki, ayah?"

"Tentu saja mengenalkan kalian secara lebih dekat," ketua Beng-san-pai ini tertawa. "Dan satu-satunya jalan adalah meresmikan kalian dalam ikatan perjodohan. Maksudku, ikatan pertunangan!"

"Tapi kalau aku tidak mau, ayah?"

Pendekar Kepala Batu tiba-tiba menjadi berang. "Bi-ji, alasan apakah yang membuatmu demikian keras kepala? Apakah kau hendak membuat malu ayahmu ini habis-habisan di depan orang she Kun? Kami sudah saling berjanji untuk menikahkan kalian, dan kalau kau tidak mau segera menikah, boleh bertunangan dulu. Kenapa hendak membawa adat sendiri?"

Ceng Bi tiba mengedikkan kepala. "Bukan aku yang hendak membawa adat sendiri ayah, melainkan kaulah. Aku tidak suka kepada Bok-kongcu itu, dan persoalan kami yang sekilas di tepi hutan itu menimbulkan antipatiku kepadanya!"

"Mengapa?"

"Karena dia rentang-renteng dengan iblis-iblis betina Perkumpulan Gelang Berdarah!"

"Hm, dan kau tahu sebab-sebabnya, Bi-ji?"

Ceng Bi terkejut. Untuk pertanyaan ini ia memang tidak tahu jawabannya, tapi perlukah hal itu diselidiki? Maka Ceng Bi lalu menjawab terus terang, "Ayah, aku memang tidak tahu mengapa putera Hu-tiong-kiam Kim Sang locianpwe itu bersahabat dengan orang-orang Gelang berdarah. Tetapi, perlukah kita mengetahuinya, ayah? Melihat dia nyata-nyata bergaul dengan orang jahat kukira tidak perlu kita mencari sebab-sebabnya. Karena orang yang bergaul dengan orang jahat tentu jahat pula perangainya!"

"Ah; tapi aku tidak percaya putera Bu-tiong-kiam Kun Seng bakal menjadi orang jahat, Bi-ji. karena buah selamanya jatuh tidak jauh dari pohonnya!"

"Jadi ayah tidak mempercayai keteranganku."

"Bukan begitu..." Ciok-thouw Taihiap menggelengkan kepala. "Tetapi mencari sebab-sebab ini bagi kita penting untuk diketahui. Dan kau yang tidak mengetahui sebab-sebabnya bagaimana bisa jatuhkan kesimpulan demikian mudah terhadap orang lain, Bi-ji?"

"Hm, tapi aku terlanjur tidak suka kepadanya, ayah, karena... karena aku..." Ceng tiba-tiba terisak, "karena aku sudah mencintai... seorang pemuda....!"

"Hah….?" Ciok-thouw Taihiap mengeluarkan seruan kaget. "Kau sudah mencintai pemuda lain, Bi-ji?"

Ceng Bi mengangguk. "Maafkan aku, ayah..."

Dan Ciok-thouw Taihiap tertegun. Ketua Beng-san-pai ini memang terkejut sekali oleh pengakuan puteriya itu, namun mukanya yang merah serta matanya yang melotot itu menunjukkan betapa pendekar sakti ini sedang mengalami pukulan hebat. Tapi tiba-tiba dia menggeram dan Ceug Bi yang menangis dengan mata basah itu mendadak dicengkeram pundaknya.

"Bi-ji!" pendekar itu membentak. "Siapa orang yang menjadi pilihanmu itu?"

Tapi Ceng Bi diam saja tidak menjawab. Gadis ini terguncang-guncang dengan tangisnya yang semakin menghebat, dan ayahnya yang tidak mendapat jawaban puterinya itu menjadi gusar. Pendekar Kepala Batu ini menghentakkan kakinya, dan pundak yang tadi dicengkeram tiba-tiba ganti menyambar kepala. Dengan bengis dia mendongakkan muka puterinya itu, dan Ceng Bi yang pucat mukanya dibentak kedua kali.

"Bi-ji, siapa orang yang kau cintai itu?"

Namun Ceng Bi ternyata tidak mau mengaku. Gadis yang mengguguk dengan air mata berderai itu malah mendekap mukanya, dan Ciok-thouw Taihiap yang melihat sikap puterinya ini benar-benar naik darah. Dia mengangkat rambut Ceng Bi, lalu tangan Ceng Bi yang mendekap muka itu direnggutnya kasar. Kemudian, ketika mata gadis itu sudah beradu dengan pandang matanya tiba-tiba Ciok-thouw Taihiap kembali menggeram untuk yang terakhir kalinya.

"Bi ji, tidak dapatkah kau membuka mulut mu?" dia mendelik dengan mata betapi-api. "Mau apakah kau minta ayahmu turun tangan menghajarmu?"

Ceng Bi tiba-tiba mengeluh gemetar, "Ayah, kau bunuhlah aku saja...! Aku tidak mungkin memberitahumu siapa orang yang kucinta itu. Dan tentang Bok-kongcu, ayah... aku juga tidak mungkin sudi dijodohkan dengannya. Aku tidak suka kepada pemuda itu, ayah.... dan aku tidak mau dinikahkan dengan orang yang tidak kucinta....!"

"Keparat, kau beuar-benar sudah menetapkan keputusanmu ini, Bi-ji?" Ciok-thouw Taihiap membesi mukanya.

"Demi arwah ibu...!" Ceng Bi menjawab.

Dan jawaban ini seakan minyak yang dituangkan dalam api bagi Ciok-thouw Taihiap. Pendekar itu menggereng, dan dia tidak dapat menahan diri lagi. Disebutnya nama mendiang isterinya itu membuat darahnya mendidih, dan Ceng Bi yang mempergunakannya sebagai semacam sumpah itu membuat ketua Beng-san-pai ini gelap mata. Karena itu kepala Ceng Bi yang dicengkeram tiba-tiba sudah ditamparnya, dan Ceng Hi yang menerima kemarahan ayahnya ini mengaduh.

"Plak…!" gadis itu terpelanting dan jari ayahnya yang mengeras seperti baja seketika membuat bibirnya pecah berdarah! Tapi aneh, Ceng Bi tidak menghiraukan kemarahan ayahnya itu. Karena dengan tubuh terhuyung-huyung dia sudah bangkit berdiri dan menghampiri ayahnya lagi. "Ayah, kenapa kau hanya memecahkan bibirku? Kau pecahkanlah kepalaku ini, ayah... kau bunuhlah aku...! Aku rela mati di tanganmu... karena aku tahu bahwa tidak mungkin bagiku untuk memenuhi keinginanmu itu. Kau bunuhlah aku, ayah kau pecahkanlah kepalaku ini...!" Ceng Bi tahu-tahu sudah berlutut di depan ayahnya dan gadis yang menangis dengan kaki menggigil itu tampak memasrahkan jiwanya.

Ciok-thouw Taihiap tertegun. Pendekar sakti itu merasa nanar, dan tinjunya yang dikepal serta matanya yang merah mengerikan itu membuat dia gemetar dengan kegusaran yang tiada taranya. Dia sekarang benar-benar ditantang oleh puteri satu-satunya ini, dan darah yang mengalir di bibir anak permpuannya itu justeru seakan-akan membuat darahnya dibakar. Dia menghadapi kenyataan yang amat hebat, karena tinggal memilih mambebaskan hukuman kepada Ceng Bi ataukah membatalkan ikatan perjodohan seperti yang diinginkan Ceng Bi. Dan membatalan ikatan perjodohan sama artinya dengan menjilat ludah sendiri yang sudah menyatakan persetujuan. Padahal dia adalah seorang ketua partai, seorang tokoh besar dalam dunia persilatan!

Maka Ciok-thouw Taihiap benar-benar berada di persimpangan jalan. Dia diamuk antara kasih sayang dan kegagahan, antara perasaan pribadi dan harga diri. Dan Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba tertawa bergelak. Suaranya yang gemuruh memantul-mantul menggetarkan seluruh lembah, dan Ceng Han serta Lek Hui dan Cui Ang yang ada di tempat itu mendadak berteriak kaget. Mereka merasakan guncangan yang maha dahsyat dalam suara ketawa pendekar sakti itu.

Dan tiba-tiba saja tanpa dapat mereka tahan mendadak tubuh mereka bertiga sudah terjengkang roboh! Agaknya pengaruh hawa sakti yang keluar dari mulut ketua Beng-san-pai ini tak dapat dilawan oleh ketiganya dan Lek Hui yang termasuk paling kuat diantara ketiganya itu temyata menggigil hebat. Raksasa muda ini berusaha bangkit berdiri, tapi begitu kedua kaki menopang tubuh sekonyong-konyong dia terjerembab jatuh!

"Aih...." Lek Hui menjad i pucat dan ketika dia duduk bersila kiranya Ceng Han dan puteri si Belut Emas itu juga baru saja mondeprok di tanah. Mereka itu rupanya hendak bangkit berdiri, tapi karena tidak kuat oleh getaran suara mujijat sang Pendekar Kepala Batu mereka berdua itu roboh dengan muka pucat. Ceng Han tampak berpeluh sedangkan puteri si Belut Emas sudah terguling dengan keluhan pendek. Pingsan!

Maka dapat dibayangkan betapa dahsyatnya suara ketawa Beng-san-pai cu. Dan kekuatan suaranya yang mampu merobohkan putera dan muridnya sendiri itu jelas menunjukkan kekuatan khikangnya yang luar biasa. Tapi aneh, Ceng Bi yang berlutut di depan ayahnya itu tampak sama sekali tak terpengaruh, karena kedua pundak yang berguncang-guncang oleh tangis itu masih naik turun. Padahal, Lek Hui dan Ceng Han saja sudah tenggelam dalam semadhi mereka untuk mempertahankan diri.

Apa yang terjadi? Kiranya suatu kebetulan. Karena baju pusaka Thian-bian-ih itulah yang telah menyelamatkan gadis ini dari kekuatan khikang ayahnya yang gemuruh. Dan berkat Thian-bian-ih itulah Ceng Bi lolos dari maut secara tidak sengaja. Sungguh suatu "kebetulan!"

Tapi Ciok-thouw Taihiap yang masih melampiaskan tawanya itu tidak melihat keganjilan ini. Pendekar sakti itu sedang mengeluarkan sesaknya kemarahan, dan jiwanya yang terguncang oleh keberanian puterinya. itu butuh saluran. Sampai akhirnya, ketika daun di sekitar mereka sudah rontok seperti diserang angin puyuh barulah tiba-tiba Pendekar Kepala Batu ini menghentikan ketawanya. Ketua Beng-sanpai itu tampak mengerikan. Mukanya merah kehijauan, tapi matanya yang membelalak dengan mulut tertatik ke dalam itu menyinarkan nafsu membunuh. Dia sudah mangambil ketetapan hati, dan anaknya yang membuat malu orang tua itu harus dihukum! Dan Ceng Bi yang berlutut di depan ayahnya ini tiba-tiba mendengar suara berkerotok tulang-tulang jari yang ditekuk.

Gadis ini mengangkat mukanya, dan begitu dia menyaksikan wajah ayahnya yang menyeramkan itu Ceng Bi menangis sedih. Dia melihat sesuatu yang mengerikan pada sikap ayahnya itu, dan maklum bahwa ayahnya juga sudah mengambil keputusan maka diapun semakin memasrahkan diri. Ceng tidak mengelak lagi, dan ayahnya yang menggereng itu tiba bertanya.

"Ceng Bi, apakah kau sudah siap menerima hukuman?"

Dan gadis ini mengguguk dengan air mata bercucuran. "Aku siap, ayah….."

"Dan kau tidak merobah keputusanmu?"

"Tidak."

"Hm, baiklah. Kau memang telah menetapkan kematianmu sendiri dan sebagai kedurhakaanmu terhadap orang tua terimalah hukumanmu dengan tabah…!"

Ciok-thouw Taihiap tiba tiba menggerakkan jari tangannya dan begitu telunjuknya meluncur ke ubun-ubun Ceng Bi tiba-tiba jalan darah Hu-pi-hiat sudah diancamnya dengan cepat. Tapi mendadak sebuah kejadian muncul tak disangka-sangka. Karena tepat ketika pendekar itu menggerakkan jarinya sekonyong-konyong sebuah bayangan hijau berkelebat sambil memekik.

"Ciok-thouw Taihiap tunggu jangan bunuh adik Ceng Bi!" dan bersamaan dengan teriakan ini tiba-tiba sebatang pedang meluncur lurus menyambar jari ketua Beng-san-pai itu.

"Plak!" Pedang terpental dan totokan maut Ciok-thouw Taihiap tertahan. Ketua Beng-san-pai ini terkejut, dan ketika dia memandang ternyata di situ tahu-tahu telah berdiri seorang gadis baju hijau dengan mata berapi-api dan muka pucat, terbelalak memandang ketua Beng-san-pai ini dengan tangan bertolak pinggang!

"Enci Pek Hong!" Ceng Bi yang terkesiap oleh berkelebatnya bayangan ini segera berseru kaget ketika dia melihat siapa yang muncul, dan Pek Hong yang mendengar seruan tertahan itu menoleh haru.

"Ya, aku. adik Bi. Kau tidak apa-apa, bukan? Tenanglah, aku akan menghadapi ketidak-adilan ayahmu ini...!" dan Pek Hong yang sudah membalikkan tubuhnya menghadapi ketua Beng-san-pai itu langsung menegur dengan mata bersinar marah, "Souw-locianpwe. Apa yang hendak kau lakukan terhadap adik Bi ini? Sadarkah engkau bahwa ia adalah puterimu sendiri, darah dagingmu sendiri? Dan seorang ayah yang tega menurunkan tangan keji terhadap puterinya sendiri sungguh tidak patut mendapat julukan pendekar!"

Ciok-thouw Taihiap membelalakkan mata. Dia gusar sekali, memungut pedang yang tadi disambitkan kepadanya lalu membentak Ceng Bi, "Bi-ji, siapakah siluman betina ini?"

Ceng Bi terisak pucat. "Dia adalah enci Pek Hong, ayah murid Ta Bhok Hwesio dari Tibet...." dan kepada Pek Hong gadis ini berkata, "Enci Hong, kau pergilah jangan mencampuri urusan pribadi kami ini..."

Tapi mana Pek Hong mau digebah? Dia malah melompat maju di muka Ceng Bi, merghadang marah dengan kepala digelengkan. "Adik Bi, jangan kau berkata begitu. Kita sudah seperti saudara sendiri, dan apa yang menjadi urusan pribadi mu berarti juga menjadi urusan pribadiku. Ayahmu tidak boleh sewenang-wenang, dan aku harus membelamu!"

Lalu kepada Ciok-thouw Taihiap gadis ini berkata, "Souw-locianpwe, harap kau suka menjernihkan pikiranmu. Adik Bi tidak bersalah, dan kau tidak boleh menghukumya....!"

Maka tentu saja perkataannya ini membuat Ciok-thouw Taihiap mendelik penuh kemarahan. "Bocah tak tahu diri, apakah kau disuruh gurumu untuk mencampuri urusan orang lain? Apakah keledai gundul itu tidak pernah mengajar adat kepadamu?"

Pek Hong tiba-tiba menegakkan kepala. "Souw locianpwe, jangan bawa-bawa nama guruku. Beliau tidak tahu menahu tentang urusan ini dan apa yang kulakukan sekarang sepenuhnya adalah tanggung jawabku pribadi! Kenapa kau hendak membawa-bawa nama beliau?"

"Jadi kenapa kau mencampuri urusan ini?"

"Karena adik ini adalah seperti saudaraku sendiri, locianpwe. Dan karena seseorang pula yang memintaku agar melindungi adik Bi dengan taruhan nyawa. Kau tidak boleh membunuhnya, karena dia tidak bersalah!"

"Keparat, siapa orang yang menyuruhmu itu, bocah tak tahu diri?"

"Kekasihnya, Pendekar Gu..." baru sampai di sini Pek Hong membuka mulut tiba-tiba Ceng Bi berteriak,

"Enci Hong, jangan bawa-bawa nama orang lain. Ayah tidak mungkin dapat kau pengaruhi. Pergilah, aku tidak mau kau mengorbankan diri secara sia-sia…!"

Dan tanpa disangka Pek Hong tiba-tiba Ceng Bi menerjang dirinya. Dia yang ada di depan gadis itu ditubruk, dan Pek Hong yang terkejut melihat Ceng Bi memukul tengkuknya berteriak kaget. Dia merendahkan tubuh dan menangkis, tapi karena kalah cepat maka diapun terpukul. Pundaknya yang kena sasaran, dan kaki Ceng Bi yang menendang belakang lututnya tidak mampu dia hindarkan.

"Plak... bluk!"

Pek Hong terpelanting bergulingan dan Ceng Bi yang sudah menghadapi ayahnya itu berseru, "Ayah, cepatlah kau laksanakan hukumanmu. Aku sudah siap menerima kematian!"

Dan Ciok-thouw Taihiap yang memegang pedang itu juga menggereng. Dia marah sekali oleh gangguan yang dilakukan Pek Hong itu, dan ditambah perkataan Pek Hong yang menyebut-nyebut tentang "kekasih" Ceng Bi segala menjadikan kemarahan pendekar sakti ini tak dapat dibendung lagi. Maka begitu dia melihat Ceng Bi sudah berdiri tegak di depannya tiba-tiba Ciok-thouw Taihiap menyambitkan pedangnya sambii membentak.

"Anak durhaka, kau benar-benar telah membuat malu orang tua. Terimalah hukuman penebus dosamu ini!" dan begitu bentakan itu selesai diucapkan sekonyong-konyong pedang sudah menyambar dada kiri gadis itu. Ceng Bi tidak mengelak, dan jarak mereka yang cukup dekat juga agaknya tidak memungkinkan bagi gadis ini untuk menghindarinya. Apalagi yang menggerakkan pedang itu adalah ayalnya sendiri, Ciok-thouw Taihiap yang sedang marah!

Maka begitu pedang menyambar keadaan yang mengancam jiwa gadis itupun tak ada lagi yang mampu menghalanginya. Pek Hong yang baru melompat bangun menjerit tertahan melihat kejadian itu, dan dia yang masih terhuyung tubuhnya ini tiba-tiba berteriak keras melemparkan dirinya membentur diri Ceng Bi. Pek Hong bermaksud agar gadis itu dapat diselamatkan jiwanya dari ancaman maut, tapi pedang yang terlanjur datang itu rupanya meluncur lebih cepat. Pek Hong terlambat sekejap, dan Ceng Bi yang dibentur lemparan tubuhnya dengan sikap panik itu sama-sama terguling.

"Ceppp!" pedang sudah menancap di tubuh gadis itu dan darah yang muncrat di ujung pedang membuktikan peristiwa yang terjadi. Pek Hong terpental roboh dengan tubuh bergulingan sementara Ceng Bi hanya mengeluarkan keluhan pendek lalu diam di atas tanah, telungkup dengan darah membasahi bajunya!

"Oooh...!" Pek Hong terbelalak ngeri, melompat bangun dan seakan tidak percaya kepada apa yang dilihat lalu sekonyong-konyong berteriak histeris di depan Ciok-thouw Taihiap. Dengan kaki menggigil dan mulut gemetar gadis ini menudingkan telunjuknya di muka pendekar itu, dan suaranya yang serak parau tampak penuh kemarahan.

"Ciok-thouw Taihiap Souw-locianpwe, apa yang kau lakukan terhadap puterimu sendiri ini? Kau... kau membunuhnya? Ahh kau orang tua biadab, Souw-locianpwe, kau manusia berjantung setan! Kau tidak patut dijuluki pendekar dan patutnya kau dijuluki Iblis Berhati Dingin! Kau ayah berjiwa picik. Souw-locinpwe kau manusia hewan yang melebihi binatang buas...! Ahh, aku akan menuntut tanggung jawabmu, Souw-locianpwe, dan aku akan memberitahukan semua kejadian ini kepada kekasih adik Ceng Bi!" Pek Hong tiba-tiba memutar tubuhnya dan muka yang pucat penuh air mata itu tampak menyinarkan api kemarahan yang amat sangat.

Ciok thouw Taihiap yang berdiri mematung mendadak menoleh, dan Pek Hong yang sudah berjongkok di samping tubuh yang membujur diam itu tiba-tiba ditanya, "Murid Ta Bhok Hwesio, siapa orang yang kau maksudkan itu…?"

Pek Hong membalikkan tubuhnya. "Pendekar Gurun Neraka, Souw-iocianpwe. Dan aku akan menuntut balas atas kematian adik Ceng Bi ini!" gadis itu tiba-tiba sudah menyambar jenasah Ceng Bi dan Ciok-thouw Taihiap yang terkejut mendengar jawaban itu tampak tertegun.

Pendekar sakti ini tampak kaget bukan main, tapi Pek Hong yang sudah melompat sambil membawa jenasah Ceng Bi itu tidak disusulnya. Dia sedang terkesima oleh jawaban yang sama sekali tidak disangkanya itu, namun dia sendiri yang juga terpukul hebat oleh kejadian ini termangu-mangu. Pendekar besar itu terbelalak, dan mayat Ceng Bi yang dilarikan oleh murid Ta Bhok Hwesio itu tiba tiba disambutnya dengan keluhan pilu. Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba bergoyang kakinya, dan mata yang tadi bersinar bengis itu mendadak basah. Ciok-thouw Taihiap menangis! Pendekar ini tampak menggigil dan begitu bayangan Pek Hong lenyap tiba-tiba dia menutup matanya dan mengguguk. Sungguh luar biasa, hampir tidak dapat dipercaya. Tapi itulah kenyataannya!

Ciok-thouw Taihiap benar-benar menangis, dan tragedi yang amat dramatis ini betul-betul telah membuat batinnya terpukul hebat. Dia telah memuntahkan semua kekecewaannya terhadap puteri satu-satunya itu, tapi begitu semua kemarahan telah dikeluarkan mendadak saja dia merasa berdosa. Satu penyesalan tak terhingga membuat dia menyesal bukan main, tapi nasi yang telah menjadi bubur tak mungkin dikembalikan seperti semula. Ceng Bi tak mungkin dihidupkan lagi, dan semua peristiwa yang terjadi tak dapat diundur!

Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba saja dikuasai kesedihan hebat, namun mata yang berderai itu tiba-tiba dihapusnya dengan kepalan tinju. Dia hanya menangis sebentar saja, dan begitu kekerasan hatinya muncul mendadak pendekar ini sudah menguasai dirinya lagi. Dia masih bergoyang kakinya, tapi pelupuk mata yang gemetar itu tiba-tiba mengatup erat.

Ketua Beng-san-pai ini berdiri seperti arca. Dan rasa penasarannya yang penuh kecewa itu tiba-tiba ingin menyelidiki putera sahabatnya Bu-tiong-kiam Kun Seng itu. Dan kenekatan Ceng Bi yang demikian berani mati sehingga sanggup mengorbankan nyawa demi penolakannya terhadap putera si jago pedang itu membangkitkan keinginan-tahunya. Ada apakah gerangan yang menyebabkan putera si jago pedang itu tidak disukai anaknya? Apakah pemuda itu kurang tampan, kurang lihai. Ataukah sesuatu yang tidak diketahui membuat Ceng Bi demikian keras kepala?

"Hem... "dia akan menyelidiki semuanya ini. Dan kalau tidak ada sesuatu yang buruk pada pemuda itu dia akan menindas semua penyesalannya. Dia akan mencoba mengenal dari dekat putera Bu-tiong-kiam Kun Seng itu, dan kalau pilihannya benar dia akan terpaksa "menyalahkan" Ceng Bi! Dia akan berpendapat bahwa puterinya itulah yang tidak tahu diri!

Maka begitu pendekar ini mendapatkan ketenangannnya kembali tiba-tiba dia terus mengheningkan cipia. Pikiran yang ditarik ke pusat kundalini tiba-tiba digetarkan, dan begitu pendekar ini menutup panca indranya tiba-tiba saja ketua Beng-san-pai yang keras hati itu tenggelam dalam samadhinya. Dia bersiulian (samadhi) sambil berdiri tegak, dan tubuhnya yang tidak bergeming laksana patung batu itu tampak tiba-tiba mengeluarkan getaran uap putih. Itulah cara samadhi bagi orang-orang yang sudah mencapai tingkat tinggi, dan siapapun yang mencoba menyerang pendekar itu dari jarak dua meter pasti semua senjata akan terpental, tertolak oleh getaran hawa mujijat yang melindungi ketua Beng-san-pai itu!

Demikian, dengan samadhi mengosongkan pikiran ini Sang Pendekar Kepala Batu telah mendapatkan dua kebaikan. Pertama untuk sementara dia dapat melupakan kematian puterinya dan yang ke dua menenangkan guncangan syaraf yang terpukul hebat oleh peristiwa yang baru saja di alaminya itu.

Dan ini memang tampaknya "obat" satu-satunya bagi pendekar sakti itu. Karena betapapun juga dia amat mencintai anak gadisnya. Ceng Bi sering dimanja, dan kelakuan yang sudah-sudah dari puterinya itu memang sering dimaafkan. Tapi, terbentur oleh rasa kehormatan dan "harga diri" ini dia terpaksa bertindak bengis. Dia tidak dapat menerima tantangan puterinya itu, karena persoalan ini bagi dia adalah persoalan serius, menyangkut nama baik dan kegagahan. Dan untuk ini tentu saja dia menempatkan tinggi di atas segala-galanya, bahkan nyawa sekalipun! Maka hanya Yang Maha Kuasa-lah yang tahu dengan tepat, benar atau salahkah sikap yang diambil olen ketua Beng-san-pai itu!

* * * * * * * *

Dua jam bersamadhi agaknya waktu yang cukup lama. Dan Ceng Han serta Lek Hui yang seakan orang tertidur kena pengaruh aji sirep itu tiba-tiba sama membuka mata. Hampir serentak mereka sama-sama melompat bangun, tapi melihat ayah serta guru mereka itu bersiulian sambil berdiri membuat keduanya tertegun sejenak. Lek Huk menoleh kepada sutenya sedangkan Ceng Han memutar mata mengawasi keadaan sekitar.

"Han-te, apakah kita perlu membangunkan suhu?" begitu Lek Hui bertanya kepada Ceng Han sementara Ceng Han mengerutkan kening dengan mata mencari-cari.

"Aku tidak berani mengganggu ayah, suheng. Tapi di manakah adik Ceng Bi?"

Lek Hui tiba-tiba segera diingatkan. "Hei, betul juga pertanyaanmu, Han-te. Di mana Bi-moi?" pemuda itu berseru keheranan tapi Ceng Han tiba-tiba sudah melompat ke kanan.

Dia melihat sesuatu yang membuat matanya terbelalak di tempat ini, dan begitu Ceng Han sampai di tempat itu sekonyong-konyong pemuda itu tertegun. Cairan merah tampak memhasahi tanah, dan begitu dia melihat seketika dia tahu apa artinya. Darah yang belum begitu kering dari adiknya!

"Bi-moi...!" Ceng Han tiba-tiba mengeluh gemetar dan lututnya yang lemas menggigil mendadak saja tak mampu ditahannya. Dia mendeprok di atas tanah, dan mukanya yang pucat seperti kertas membuat pemuda ini tiba-tiba roboh pingsan!

Agaknya kesadaran yang baru saja timbal setelah lama bersamadhi membuat pemuda itu belum siap menerima kejutan-kejutan. Maka begitu dia melihat darah adiknya kontan saja Ceng Han terjungkal. Dia memang masih ingat akan keputusan ayahnya yang hendak menghukum adiknya itu, tapi bahwa dia tidak melihat jenazah adiknya dan hanya melihat darah di atas tanah itu membuat Ceng Han tidak kuat menahan.

Ceng Bi adalah adik satu-satunya, perempuan lagi, dan kenyataan bahwa ayahnya tega menghukum gadis itu dengan hukuman maut benar-benar membuat pemuda ini terkena shock hebat. Karena itu tidak heran bahwa kematian adik yang amat dicintai itu membuat Ceng Han sekejap saja seperti dipukul palu godam. Pemuda ini kontan terguncang hatinya dan kenyataan yang terlampau hebat itu seketika membuatnya tidak sadarkan diri!

Maka Lek Hui-lah kini yang dibuat tertegun. Pemuda tinggi besar itu juga sudah melompat mendekati Ceng Han, dan begitu melihat lelehan darah di atas tanah ini si raksasa muda itu jadi melenggong. Dia tahu apa yang teijadi, dan bukti darah merah diatas tanah itu menjelaskan segala-galanya. Ceng Bi tewas dan gurunyalah yang menurunkan tangan maut itu.

"Aah…!" Lek Hui mengejap-ngejapkan mata dan kematian sumoinya yang amat disayang itu tak mampu pula ditahannya. Pemuda ini mengucurkan air mata, tapi begitu teringat kepada Ceng Han tiba-tiba dia sudah berjongkok di samping tubuh sutenya ini. Lek Hui menggerakkan jari jarinya menotok, dan setelah mengurut sambil meruntuhkan air mata yang berderai penuh kesedihan Ceng Han tiba tiba berhasil disadarkan.

Pemuda itu membuka mata, dan melihat Le Hui memijit-mijit lehernya sekonyong-konyong Cen Han bangka duduk. "Auw-suheng… Bi-moi… Bi-moi…?" pemuda itu membelalakkan mata tapi Lek Hui yang mengerti pertanyaan sutenya meremas jarinya.

"Aka tahu, sumoi agaknya... agaknya telah menerima hukuman... dan aku menyesal sekali...."

Ceng Han tiba-tiba berdiri dan begitu suhengnya menekan pundak sekonyong-konyong dia melompat mendekati ayahnya yang masih bersamadhi. Dengan kaki gemetar dan bibir pucat dia hendak membangunkan ayahnya itu, tapi belum dia berbuat sesuatu tiba-tiba ayahnya membuka mata. Ayah dan anak kini saling pandang, dan Ciok-thouw Taihiap yang berkerut alisnya mengibaskan tangan.

"Ada apa, Han-ji?"

Ceng Han tersedak. Dengan suara menggigil dia bertanya, "Ayah, dimanakah Bi-moi? Apakah telah.... telah…"

"Ya!" Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba memutus keren. "Aku telah menghukum anak durhaka itu. Apakah kau hendak membelanya?"

Ceng Han tiba-tiba mengeluh. Dengan mata nanar dia memandang ayahnya itu, tapi seakan tidak percaya dia mencoba mengulangi pertanyaanya. "Jadi Bi-moi kau bunuh, ayah,...? Kau renggut nywanya karena penolakan jodoh ini....?"

"Ya. Tapi bukan karena penolakan jodoh ini dia dihukum melainkan terutama karena hendak melawan ayahmu. Adikmu merupakan anak durhaka, dan aku tidak bisa memberinya ampun!"

"Ooh...!" Ceng Han seakan berputar kepalanya dan jawaban ayahnya yang dingin serta kaku itu tiba-tiba membuatnya dia berlutut. Dengan mata terbelalak dia memandang wajah ayahnya yang mengeras itu, dan air matanya yang bercucuran tak mampu dibendung membasahi mukanya. Ceng Han tiba-tiba terguguk dan Lek H ui yang melihat kekerasan hati suhunya ini juga ikut merasa hancur. Raksasa muda ini tak berani mencampuri, tapi Ciok-thouw Taihiap yang baru bangun dari samadhinya itu tiba-tiba menggerakkan langkah.

"Han-ji!" ketua Beng-san-pai itu membentak. "Jangan kau tangisi kematian adikmu. Dia sudah menerima hukumannya dan apa yang sudah kulakukan tidak perlu kau sesali lagi. Ceng Bi berani melawan ayahnya, dan dosa yang tidak berampun ini tidak dapat kubiarkan begitu saja. Daripada kelak dia menumpuk kesalahan adalah lebih baik sekarang menerima hukuman. Nah, bangkitlah. Kita bersiap ke Puri Naga….!"

Tapi Ceng Han tiba-tiba menggeleng kepalanya. "Tidak aku tidak mau ikut ke Puri Naga, ayah... tapi hendak membawa jenasah adik Ceng Bi ke Beng-san. Di manakah ayah menguburkannya….?"

Ceng Han berdiri dan Ciok-thouw Taihiap tertegun. Dia terkejut mendengar jawaban puteranya itu, namun mata Ceng Han yang mengeras sinarnya itu tak dapat dia halang-halangi. Dia cukup mengenal watak puteranya ini, seperti juga puteranya itu mengenal wataknya. Maka begitu Ceng Han menanyakan jenazah adiknya tiba-tiba pendekar ini menjadi muram.

"Aku tidak tahu di mana jenasah adikmu, Ceng Han...."

Pemuda itu terkejut.

"Tapi kalau kau hendak mencarinya maka carilah gadis bernama Pek Hong. Dialah yang membawa mayat adikmu, dan dia menurut keterangannya adalah murid Ta Bhok Hwesio dari Tibet!"

"Ooh...!" Ceng Han membelalakkan mata mendelong oleh jawaban ayahnya yang tidak disangka itu. Tapi begitu ayahnya menganggukkan kepala maka pemuda itupun lenyap bengongnya. Dengan termangu dia mengawasi ayahnya yang tampak muram, dan dengan suara lirih dia bertanya. "Dan ke mama gadis itu membawa jenazah Bi-moi, ayah?"

"Ke sana...." ayahnya menuding arah timur "Dan kalau kau mau mencari murid hwesio Tibet itu carilah. Makamkan adikmu di Beng-san dan tunggu aku di sana sampai kembali dari Puri Naga..." lalu menoleh kepada Lek Hui pendekar sakti ini bertanya, "Hui-ji. kau juga tidak mau ikut denganku seperti Ceng Han?"

Lek Hui tersipu gugup. Dia melihat sinar yang penuh kekecewaan di mata suhunya, maka begitu suhunya bertanya tiba-tiba diapun sudah menjatuhkan diri berlutut. "Suhu, teecu suhu bawa dari Beng-san adalah untuk mengikuti dan membantu suhu ke sarang musuh. Bagaimana sekarang teecu berani berhenti di tengah jalan? Tidak, suhu. Kalau suhu tetap menghendaki maka teecu akan bersama suhu sampai di tempat tujuan!"

"Hm, bagus. Kalau begitu mari kita berangkat…!" pendekar ini tampak bersinar matanya lalu kepada Ceng Han dia mengulapkan lengan "Ceng Han, kalau kau hendak mencari murid Ta Bok Hwesio itu segera carilah. Aku bersama Hui-ji akan melanjutkan perjalanan. Berhati-hatilah!"

Lalu tanpa banyak bicara lagi ketua Beng-san-pai itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya. Sekali berkelebat dia lenyap dari tempat dan Lek Hui yang sudah bangkit berdiri menghampiri sutenya.

"Sute, harap kau berhati-hatilah. Nona Pek Hong tidaklah jahat, tapi musuh yang barangkali mengintai di sekitar kita wajib kita perhatikan. Aku tidak dapat membiarkan suhu di Puri Naga seorang diri, dan karena itu mudah-mudahan kita semua dapat berjumpa lagi dengan baik-baik. Nah, aku pergi dulu, sute. Semoga Tuhan melindungi kita bersama…!" Lek Hui tiba-tiba memeluk ketat tubuh sutenya itu lalu dengan mata basah dia mencium kening Ceng Han.

Ceng Han tertegun, tapi Lek Hui tiba-tiba sudah melompat pergi. Sentuhan ringan di atas keningnya itu sungguh belum pernah dia terima seumur hidup, tapi sikap suhengnya yang aneh ini tak mampu dia raba apa artinya. Dan Lek Hui yang melambaikan tangannya dari jauh itu tampak gemetar jarinya. Dia terkesima, dan sentuhan lembut di atas pundaknya mengejutkan pemuda itu.

"Han-koko, kenapa ayah dan suhengmu meninggalkan kau?"

Ceng Han memutar tubuh. Cui Ang yang tiba-tiba sudah berada di belakangnya ini membuat dia sadar bahwa di tempat itu memang masih ada seorang lagi. Dan orang itu bukan lain adalah puteri si Belut Emas Cui Lok ini. Ceng Han menarik napas, dan dengan muka muram dia memegang lengan orang. "Ang-moi, kau sudah sadar?"

"Ya, baru saja, Han-ko. Dan aku hanya mendengar pembicaraan kalian yang terakhir. Eh, omong-omong di mana adik Ceng Bi?"

Ceng Han tiba-tiba mendekap mukanya. Pertanyaan yang menyentuh keperihan hatinya itu mendadak membuat dia melelehkan air mata, dan Cui Ang yang terkejut melihat pemuda ini menangis sekonyong-konyong berdebar hatinya. Dia memang tidak tahu apa-apa dengan semua kejadian yang telah berlalu, karena dia merupakan orang yang pingsan terlebih dulu.

Tapi pembicaraan yang keras antara ayah dan anak perempuannya itu masih teringat olehnya. Maka melihat Ceng Han tak mampu menjawab, gadis inipun tiba-tiba menjadi gelisah. Dia tidak menyangka bahwa pertanyaannya menimbulkan kedukaan di hati putera sang Pendekar Kepala batu itu, tapi kalau dia terlanjur omong biarlah dia minta maaf saja. Maka Cui Angpun lalu menyentuh tangan Ceng Han.

"Han-ko, maaf kalau pertanyaanku melukai hatimu. Aku tidak sengaja, dan kalau kau tidak suka menjawabnya biarlah aku tidak akan bertanya lagi. Dan sekarang apa yang hendak kau kerjakan, Han-ko?"

Ceng Han tiba-tiba membuka mukanya. "Aku akan mencari jenazah adik Bi, Ang-moi. Dan kalau kau akan menemui ayahmu pergilah. Aku tidak dapat mengantar…"

"Apa...?" Cui Ang kaget bukan main. "Jen... jenazah adikmu, Han-ko? Kau maksudkan adik Bi te.... tewas...?"

"Ya, dan ayah yang menghukumnya, Ang-moi. Karena beliau sanggup untuk bertangan besi."

"Ahh...!" Cui Ang terlompat ke belakang dan matanya yang terbelalak lebar dengan mukanya yang pucat itu menunjukkan betapa gadis ini seperti mendengar petir di siang bolong. Dia sungguh tak mengira bahwa Ceng Bi telah menerima hukuman sedemikian kerasnya, karena sang ayah yang konon dikabarkan suka mengalah terhadap puteri satu-satunya itu acap kali memanjakannya. Maka sungguh hampir tak dapat dipercaya bahwa hari ini Ciok-thouw Taihiap tega menurunkan tangan "keji" itu, menghukum puterinya sendiri dengan hukuman mati!"

Dan Ceng Han yang melihat gadis itu tertegun tampak menyeringai penuh kedukaan. Dia dapat mengerti tentang kekagetan puteri si Betut Emas ini, tapi kalau mengingat watak ayahnya yang keras segala-galanya itu memang dapat dimaklumi. Hanya yang menjadikan dia perih, kenapa terhadap anak sendiri ayahnya itu bisa bersikap demikian kejam? Apakah sudah sepatutnya memang Ceng Bi harus dihukum seperti itu, tidak ada tenggang rasa mengingat hubungan jiwa diantara mereka? Ah, Ceng Han tidak mengerti dan Cui Ang yang jauh lebih tidak mengerti itu akhirnya bertanya gemetar.

"Han-koko, aku sungguh tidak menyangka bahwa nasib adik Ceng Bi demikian mengenaskan. Akan tetapi kenapa kau masih hendak mencari jenazahnya, koko? Apakah mayat adik Ceng Bi hilang? Dan bagaimana sebetulnya peristiwa itu bisa terjadi...?"

Ceng Han menuding ke atas tanah. "Itulah darahnya, Ang-moi. Dan aku juga kurang begitu mengerti mengapa peristiwa ini terjadi. Tapi menurut ayah, Ang-moi, jenazah adikku itu di ambil seseorang...."

"Diambil seseorang?"

"Ya, seseorang yang tentunya hendak menyelamatkan adik Ceng Bi dari hukuman. Tapi karena keputusan ayah tidak ada satupun yang bisa menggagalkannya maka orang itupun tidak berhasil"

"Ooh, dan siapa orang itw, Han-ko?"

"Murid Ta Bhok-Hwesio, nona Pek Hong...!"

"Oh, gadis yang baru saja dibicarakan adik Ceng itu ketika kita duduk bertiga?"

"Ya!"

Cui Ang kembali membelalakkan matanya dan yang membuat kepalanya pening itu tiba tiba disambut Cui Ang dengan keluhan pendek. Dia merasa sedih dan terharu sekali atas nasib Ceng Bi yang buruk, dan tanpa terasa air matanya tiba tiba sudah membanjir keluar. Ceng Han yang melihat terpaksa menggigit bibir, dan Cui Ang yang mengguguk dengan pundak berguncang-guncang itu mendadak sudah menubruk ke depan.

"Han-ko, aku menyesal sekali dengan adikimu. Tapi apakah kau tahu ke mana murid Ta Bhok Hwesio itu membawa jenazah adik Ceng Bi…..? Kalau kau tahu mari kita cari bersama, Han-ko akupun ingin melepaskan kedukaan ini…!"

"Oh…." Ceng Han terkejut. "Kita bersama Ang-moi?"

"Ya, kau dan aku. Apakah kau menolaknya Han-ko?" Cui Ang tiba-tiba mengangkat mukanya dan Ceng Han jadi tertegun.

Sejenak mereka saling bertatap muka, tapi Ceng Han yang gemetar jarinya itu tiba-tiba melepaskan pelukannya. "Tidak... tidak begitu, Ang moi. Tapi bukankah kau harus ke Puri Naga? Menemui ayahmu?"

"Ah, persetan dengan Puri Naga segala, Han ko. Kalau kau tidak keberatan aku lebih senang menyertaimu. Dan bukankah kau pernah berjanji, Han-ko.... janji di tepi sungai itu, bahwa kau tidak akan meninggalkan aku...?"

Ceng Han terpukul. Dia merah mukanya, karena kata-kata itu mengingatkan dia akan kata-katanya sendiri, kata-kata "cinta"nya terhadap puteri si Belut Emas ini dan begitu Cui Ang mempergunakannya sebagai "senjata" maka diapun akhirnya tidak dapat mengelak. Dia memang telah mengungkapkan rasa hatinya kepada gadis ini, dan bahwa Cui Ang ternyata menerimanya telah membuat mereka berdua menjadi sepasang kekasih secara diam-diam. Maka begitulah, Ceng Han dan puteri Cui Lok yang sama-sama jatuh hati itu menetapkan keputusannya.

Mereka tidak lagi ke Puri Naga, tapi membelokkan tujuan mencari murid hwesio Tibet. Atau lebih tepat lagi, mencari jenazah Ceng Bi untuk dimakamkan di Pegunungan Beng-san. Dan begitu dua orang muda-mudi ini melangkahkan kakinya segeralah tempat itu menjadi sepi kembali.

Peristiwa yang bakal tidak dapat dilupakan seumur hidup telah terjadi di tepi hutan itu dan peristiwa tragis bagi keluarga Ciok-thouw Taihiap itu sungguh menyedihkan sekali. Ceng Bi dihukum mati, dan Ciok-thouw Taihiap sendiri kini melangkahkan kakinya ke Puri Naga, tempat berbahaya yang bakal memporak-porandakan semua perasaannya. Karena di tempat inilah pendekar besar itu akan menjumpai hal-hal yang membuat matanya terbelalak lebar. Terutama pertemuannya dengan putera si jago pedang yang dipilihnya sebagai calon "menantu" itu!

* * * * * * * *

Barangkali sudah waktunya bagi kita untuk menengok keadaan di markas Perkumpulan Gelang Berdarah, atau tepatnya menengok kesibukan yang terjadi di pusat perkumpulan ini, yakni Puri Naga. Dan melayangkan pandangan pada keramaian menjelang ulang tahun pertama perkumpulan itu rupanya menarik sekali untuk diikuti.

Pertama-tama ialah tentang munculnya tenda-tenda darurat yang jumlahnya hampir seratus buah di lapangan terbuka di depan Puri Naga itu. Betapa kaum undangan yang datang dari jauh dan tiba beberapa hari sebelumnya telah mendapat kehormatan untuk bertempat tinggal di tenda-tenda darurat itu. Ada yang secara perorangan dan ada pula yang secara berkelompok.

Tapi yang paling banyak rupanya adalah tamu-tamu undangan yang datang secara berkelompok. Di sini mereka itupun ternyata masih terbagi-bagi pula, ada yang menempati tenda di sebelah kanan lapangan dan ada juga di sebelah kiri. Dan untuk yang di sebelah kiri umumnya dihuni oleh kelompok-kelompok yang sikapnya liar. Mereka itu pada umuinnya terdiri dari orang-orang kasar, dan gerak-gerik mereka yang setengah urakan serta wajah-wajah yang kaku bengis menandakan mereka dari golongan hek-to (hitam).

Lain halnya dengan para penghuni tenda di sebelah kanan. Di sini mereka itu umumnya terdiri dari kaum pelajar, tosu ataupun orang biasa yang sikapnya tenang dan tahu aturan. Mereka itu tidak pernah membuat gaduh, tidak seperti kelompok di sebelah kiri misalnya. Di mana kalau bicara dengan teman segolongan selalu berteriak teriak dan tertawa kasar. Bahkan adakalanya pula mereka itu menuding-nuding kekelompok tenda di sebelah kanan sambil melontarkan ejekan.

Apalagi kalau yang dilihat adalah kaum tosu yang rambutnya digelung ke atas seperti buntut kuda itu. Hal ini dijadikan percakapan kurang ajar, dan teman-teman yang lain segera tertava gemuruh bila korbannya mendelik tanpa berbuat apa-apa terhadap mereka. Karena bukannya para tosu itu takut, melainkan tidak mau membuat keributan di rumah oranglah mereka itu terpaksa menahan diri.

Dan pagi itu tepat ulang tahun perkumpulan diadakan tenda-tenda darurat sudah hampir penuh sesak. Yang di sebelah kiri penuh gerombolan-gerombolan liar yang sikapnya kasar dan kurang ajar sedangkan di bagian tenda sebelah kanan tampak kaum pendekar yang keren, tenang dan bersikap penuh wibawa.

Pagi itu panitia penyambut tampak lengkap. Mulai dari tujuh belas ketua cabang di tambah lagi dengan munculnya sang wakil ketua, hu-pangcu dari Gelang Berdarah si pemuda she Ok! Dan begitu barisan panitia yang lengkap ini muncul dari dalam seketika orang-orang di tenda darurat sama bersikap tenang. Mereka itu tidak ada yang berisik, semua memandang kagum. Dan pakaian ketat para ketua cabang yang bertubuh gesit membayangkan kekuatan tenaga yang menonjoi jelas.

Tapi yang paling menarik perhatian rupanya adalah tiga wanita cantik dalam urutan panitia penyambut tamu ini. Mereka itulah Sam-hek-bi-kwi, Tiga Mawar Hitam yang keluar dengau mulut tersenyum-senyum. Pagi itu mereka mengenakan pakaian tiga macam, dari sutera baru yang serba ketat, dan tubuh mereka yang berlenggang lenggok menggiurkan itu membuat laki-laki yang melihat sama menelan ludah.

Bi Kwi seperti biasanya mengenakan gaun hitam. Rambutnya digelung ke atas, dihias tusuk rambut berukir naga. Dan bibirnya yang merekah berseri-seri itu seakan memberikan madu birahi kepada setiap lelaki. Dia tidak malu-malu, dan langkahnya yang bebas lepas seperti kuda betina itu diam-diam membuat pemuda di sampingnya mengerutkan alis. Itulah Kun Bok. Pemuda yang kini menjadi "pembantu" istimewa dari perkumpulan Gelang Berdarah.

Sedangkan Bi Hwa yang merupakan orang ke dua dari Sam-hek-bi-kwi itu tampak tidak kalah cantiknya. Wanita ini mengenakan pakaian merah muda, ikat pinggangnya hitam, sehingga membuat kontras antara warna pakaian dan warna sabuk. Dan pinggangnya yang dilingkari ketat dengan ikat pinggang itu tampak kecil sekali, menonjolkan pinggulnya yang seperti pot bunga. Dan melihat wanita ini berlenggang sungguh mata bisa terbelalak dibuatnya. Bukit yang berirama naik turun itu sungguh terasa "sedap", dan bagi mata keranjang itu adalah pemandangan yang tidak boleh dilewatkan. Karena itu segera saja mata penonton jadi jelilatan, sebentar memandang ke arah Bi Kwi dan sebentar memandang ke arah Bi Hwa.

Tapi orang ke tiga di belakang dua orang wanita ini juga tidak kalah menariknya. Dia itulah Bi Gwat, orang tertua dari Sam-hek-bi-kwi yang mengenakan pakaian ungu. Sedikit berbeda dengan dua orang adiknya yang semringah, adalah Bi Gwat ini agak pendiam, Tapi justeru sikapnya yang lebih pendiam itu membuatnya memang anggun. Bi Gwat memang tidak selincah adik-adiknya, tapi wajahnya yang bulat telur dengan mata sedikit dingin itu menjadikannya wanita cantik dengan ciri khas lainnya.

Dia tidak bisa dikata kalah dengan dua orang adiknya, karena kalau Bi Kwi dan Bi Hwa membuat orang lain merasa gemas adalah terhadap Bi Gwat ini orang bisa merasa tunduk tapi ingin diajak bicara. Sikap yang anggun dan agak dingin itu menjadikan wanita ini mempunyai daya tarik tersendiri, karena itu tidak heran kalau mata lelaki jadi sebentar berkejap-kejap saling berganti melotot memandang tiga orang wanita cantik ini. Sedetik ke arah Bii Kwi, sedetik kemudian ke arah Bi Hwa dan sekejap kemudian ke arah Bi Gwat.

Pendeknya, pagi hari itu menjelang diadakan-nya pada pesta ulang tahun Gelang berdarah tiba-tiba saja suasana di tempat itu tertarik perhatiannya pada rombongan ini. Mereka melihat betapa cantik jelitanya Sam-hek-bi-kwi itu, dan bahwa mereka main kerling ke sana ke mari sambil tersenyum-senyum manis sungguh membuat kaum lelaki jadi "sirr" seakan ditantang.

Tapi agaknya rombongan istimewa ini bukanlah menyambut mereka. Karena tujuhbelas ketua cabang serta wakil ketuanya itu tampak menuruni tangga dan terus melangkah ke depan, menuju pintu masuk di luar lapangan. Dan melihat rombongan panitia ini menuju pintu masuk di luar lapangan sungguh membuat para undangan yang sudah ada menjadi terheran-heran. Mereka melihat sikap yang istimewa di situ, penghormatan luar biasa bagi seseorang yang agaknya hendak disambut. Dan melihat betapa besarnya perhatian pada rombongan panitia penyambut tamu ini seketika ingin tahulah mereka, siapa orang "besar" yang hendak disambut itu. Tentu sebagian ketua partai terkenal atau pendekar sakti yang namanya menjulang tinggi!

Dan begitu mereka saling bertanya-tanya tibalah rombongan panitia itu di luar lapangan. Sang hu-pangcu tampak mengatur anak buahnya, dan rombongan yang terdiri dari belasan orang itu tiba-tiba memecah diri menjadi dua. Satu di sebelah kiri dan yang lain di sebelah kanan. Si pemuda baju kuning tampak berdiri paling depan, didampingi oleh Sam-hek-bi-kwi dan pemuda baju putih. Pemuda yang oleh banyak orang tidak diketahui siapa tapi yang dapat dipastikan tentulah anggota Hiat-goan-pang Pula. Dan itu memang benar, karena pemuda yang dimaksudkan ini bukan lain adalah Kun Bok!

Separti orang-orang lain, Kun Bok diminta oleh perkumpulan Gelang Berdarah untuk masuk sebagai panitia penyambut tamu. Dan meskipun dia merasa tidak enak dan berdebar gelisah namun dia tidak dapat menolak. Dia sudah menyanggupkan untuk menjadi pembantu perkumpulan itu, dan apapun yang terjadi tentu saja dia tidak mungkin menghindar. Maka putera si jago pedang Kun Seng inipun semakin terjerumuslah lebih dalam.

Dia seakan-akan terjerat oleh jala yang tidak kelihatan, dan hanya berkat cintanya terhadap Bi Kwi-lah yang membuat pemuda itu nekat segala-galanya. Baik tentang perilakunya sehari-hari maupun tentang tindak-tanduk Gelang Berdarah yang dirasa menyembunyikan sesuatu yang serba misterius. Tapi Kun Bok "membutakan" matanya, tidak melihat segala sesuatunya itu dan melawan tuntutan hati nuraninya sendiri yang menyatakan adanya sesuatu yang tidak bares.

Dan ketika pagi itu dia bersama orang-orang lain menyambut tamu yang belum nampak pemuda ini sudah mengerling kesana kemari dengan perasaan gelisah. Dia diberi tahu bahwa akan masuk tamu-tamu agung yang muncul pagi ini, yakni beberapa ketua partai dan seorang pendekar sakti. Tapi siapakah pendekar yang dimaksud itu semua orang tidak tahu, kecuali tentu saja sang hu-pangcu yang diberi tahu gurunya itu, pemuda she Ok yang tersenyum-senyum dengan mata bersinar aneh. Dan melihat sikap sang wakil perkumpulan Gelang Berdarah ini tampak gembira diam-diam membuat Kun Bok mendongkol sekali.

Tapi dia dapat menindas perasaannya ini. Bi Kwi dan dua orang kakaknya selalu memberi nasihat, agar dia dapat menahan diri dan mencoba bersabar. Dan untuk menyenangkan hati tiga orang kekasihnya itu terpaksa Kun Bok menurut saja. Dia sebetulnya ingin supaya keramaian di perkumpulan Gelang Berdarah itu cepat selesai, karena menunggu dengan ketegangan yang mencekam itu terasa tidak enak sekali. Terutama seperti saat-saat ini. Dimana menunggu hadirnya ketua-ketua pertai yang sudah dikenal beberapa diantaranya itu sungguh rasanya menggelisahkan sekali, terutama dua orang di antara mereka, Pek-mauw Sian-jin dan Beng-san-paicu, ketua Kun-lun dan Ciok-thouw Taihiap Souw Ki Beng itu!

Dan membayangkan dia harus berhadapan dengan dua orang tokoh besar ini rasanya Kun Bok benar-benar bingung sekali. Terhadap Pek-mauw Sian-jin dia masih merupakan orang satu "daerah", sama-sama berdiam di Pegungangan Kun lun yang luas sedangkan terhadap Beng-san-paicu dia terikat oleh adanya sebuah perjanjian, yakni tentang ikatan jodoh itu. Dan membayangkan dia harus menyambut dua orang ketua partai ini kok rasanya ada semacam ganjalan di hati, suatu perasaan tidak enak yang selama beberapa hari ini telah mengganggunya siang malam.

Karena itu Kun Bok yang kebingungan serta gelisah seorang diri ini akhirnya tidak mau berpikir parjang lebar. Dia sudah berdiri di samping hu-pangau dari perkumpulan Gelang Berdarah itu, dan bahwa semua orang tampak berseri-seri membuatnya menarik napas seorang diri. Bi Kwi dan Bi Hwa sering menyentuh lengannya, menyuruh agar dia membuang segala kepepatan batin yang mengganggu itu. Tapi, mana mungkin dia bisa menghilangkannya?

Karena itu Kun Bok jadi tampak muram dan Hu-pangcu perkumpulan Gelang Berdarah yang ada di sampingnya itu tiba-tiba menepuk tangannya. Dua sosok tubuh muncul di kejauhan sana, dan panitia penyambut yang sudah bersiap-siap di tepi lapangan itu mendadak memandang ke depan sambil menegakkan kepala. Itulah dua orang tosu tua. Yang di sebelah kanan bertubuh tinggi tegap dengan rambutnya yang putih berkibar sedangkan yang di sebelah kiri menggelung rambutnya ke atas dengan ikat kepala kuning.

Itulah orang yang ditunggu-tunggu, kakek bermuka terang yang berjalan perlahan ke tempat mereka. Tapi anehnya, langkah kaki yang kelihatan bergerak lambat itu tahu-tahu telah meluncur seakan terbang menuju lapangan di depan Puri Naga. Dan begitu semua orang terbelalak memandang keheranan tiba-tiba saja dua orang pendatang baru itu telah berhenti di hadapan mereka tidak sampai beberapa detik dari bayangan mereka yang baru saja muncul.

"Ha-ha, kalian semua kiranya telah siap menyambut pinto, Ok-kongcu? Sian-cai, semoga kami berdua belum terlambat untuk menerima undangan kalian! Tapi di mana gurumu, Ok-kongcu, apakah Hiat-goan-pangcu terlalu besar untuk menyambut kami?" kakek berambut putih itu sudah merangkapkan kedua tangannya sambil tertawa dan Kui Lun yang cepat-cepat membungkukkan tubuhnya di depan tosu ini tersenyum lebar.

"Maaf, Pek-mau Sian-jin locianpwe, Suhu terlalu sibuk di dalam untuk mempersiapkan jamuan bagi tamu-tamu angung. Siauwte diminta mewakilinya, dan jiwi locianpwe yang sudah melelahkan kaki jauh-jauh datang sungguh merupakan kehormatan besar bagi kami. Selamat datang, locian-pwe... selamat datang, locianpwe... selamat datang dan semoga ji-wi berdua berbahagia!"

"Ha-ha, kau pandai menyambut tamu, Ok-kongcu. Dan terima kasih atas penghargaanmu ini. Tapi apakah sahabat-sahabat pinto yang lain sudah ada yang datang?"

Hu-pangcu perkumpulan Gelang Berdarah itu menggelengkan kepalanya. "Belum, locianpwe. Maka locianpwe adalah orang pertama yang mendapat penghormatan kami. Dan karena perayaan baru dimulai nanti sore maka kami persilahkan jiwi berdua beristirahat di tempat yang telah kami persiapkan."

"Ah, terima kasih...!" kakek itu tertawa. "Dan perkenalkan ini adalah wakil pinto Sun Sim Sianjin...!" Kakek itu menoleh ke tosu di sebelahnya.

Dan Kui Lun cepat-cepat memberikan hormat. "Selamat datang, totiang. Dan semoga kehadiran totiang berdua bakal menambah pengalaman kami."

"Ah, terima kasih, siauw-pangcu. Tapi mudah-mudahan kamilah yang mendapat pengalaman dari perayaan ini!" Sun Sim Sianjin tertawa sambil membungkukkan tubuhnya.

Dan Kui Lun tersenyum. Dia merasa adanya sindiran halus pada kata-kata ini, tapi karena hal ini sudah biasa bagi orang-orang kang-ouw maka tidak menanggapi. Sementara Pek-mauw Sian-jin yang siap diantar itu tiba-tiba membelalakkan matanya.

"Eh, ini bukankah Bok-kongcu adanya?" kakek itu menuding Kun Bok.

Kun Bok terkejut, tapi pemuda ini memang sudah bersiap-siap. Dia memang sudah menduga bahwa dirinya pasti akan dikenal oleh ketua Kun-lun-pai itu, dan melihat dia berada di tengah-tengah rombongan anggauta Hiat-goan-pang tentu membuat kakek itu heran. Maka begitu Pek-mauw Sian-jin mengenal dirinya segera Kun Bok melangkah maju memberi hormat.

"Maaf, siauwte memang orang she Kun, locianpwe, sudah beberapa waktu di sini. Apakah locianpwe sehat-sehat saja?"

Pok-mauw Sian-jin tertegun. Dia terheran-henar melihat putera si jago pedang Bu-tiong-kiam Kun Seng ini berada di sini, dan melihat pemuda itu tampaknya bergaul dengan orang-orang Gelang Berdarah yang sudah dia dengar sepak terjangnya itu membuat dia tercengang. Tapi karena semua mata tiba-tiba menujukan perhatiannya pada dirinya tiba-tiba kakek itu tertawa. Dia mengulapkan lengan, dan Kun Bok yang memberi hormat dibalas dengan anggukan kepala.

"Ah...!" Pek-mauw Sian-jin tampak terterkejut dan kakek itu memandang Kun Bok yang tampaknya tersipu-sipu menganggukkan kepalanya.

"Benar, locianpwe. Apa yang dikatakan hu-pangcu memang tidak salah. Siauwte terikat oleh persoalan pribadi ini dan menjadi pembantu Hiat-goan-pang."

"Hmm…." Pek-mauw Sian-jin akhirnya mengerutkan kening dan kakek yang sudah banyak makan asam garam dunia itu tiba-tiba merasakan sesuatu yang tidak wajar pada diri putera si jago pedang itu. Namun, karena ini adalah urusan pribadi bagi yang bersangkutan maka diapun tersenyum aneh dan mengangguk-angguk. Dia mendengar ikatan jodoh pemuda itu, tapi bukan dengan anggauta Hiat-goan-pang melainkan dengan puteri Beng-san-paicu. Dan kenyataan bahwa yang bersangkutan bakal berjodoh dengan wanita Gelang Berdarah sungguh terasa aneh!

Tapi Pek-mauw Sian-jin memang seorang kakek cerdik. Dia tidak mau mencampuri urusan orang lain dan Kun Bok yang diawasinya sekilas itu sudah tidak dilihatnya lagi. Dia ke situ bukan untuk mendengar berita perjodohan, tapi melihat pertandingan pibu bagi jago-jago dunia dalam perayaan Gelang Berdarah. Dan bahwa pibu itu sekaligus juga untuk menentukan seorang bengcu maka jauh lebih penting daripada mencampuri urusan orang lain.

Maka begitu hu-pangcu dari Gelang Berdarah itu siap mengantarnya ke tempat yang sudah disediakan dilapangan rumput, kakek inipun tidak banyak bertanya lagi. Kun Bok diliriknya sekejap, dan setelah itu ketua Kun-lun-pai ini tersenyum tenang menuju tenda darurat. Dan munculnya tokoh besar dari Kun-tun-pai itu rupanya membuat berisik juga, karena tamu yang sudah datang dari kedua pihak sama-sama memandang. Ada yang bersinar benci dan ada pula yang bersinar gembira. Karena munculnya tokoh seperti Pek-mauw Sian-jin ini pasti bakal meramaikan suasana pada ulang tahun perkumpulan Gelang Berdarah itu.

Dan baru saja ketua Kun-lun-pai ini masuk berturut-turut datanglah ketua-ketua partai yang lain. Pertama-tama adalah Hui To Lojin, ketua Hoa-san yang terkenal permainan goloknya, suheng dari mendiang Hoa-san Lojin yang dibunuh orang. Lalu Kim-sin Sian-jin, ketua Kong-thong yang dulu diobrak-abrik markasnya oleh Cheng-gan Sian-jin itu. Kemudian Bu Wi Hosiang ketua Bu-tong yang memegang tongkat dan Thian Kong Cin-jin dari Cin-ling-pai!

Jadi kini hadirlah tokok-tokoh besar dari dunia kang-ouw itu dan kemah darurat yang dijadikan tempat peristirahatan darurat menyambut tamu-tamu agung itu seketika menjadi penuh. Mereka tampak berkumpul, dan Pek-mauw Sian-jin yang melihat munculnya para sahabat dari ketua-ketua partai terkenal itu tiba-tiba saja sudah asyik dalam pertemuannya sendiri.

Kelompok tenda kaum pendekar ini sebentar saja menjadi ramai. Dan panitia penyambut yang sibuk melayani tamu-tamu agung ini kian ke mari. Semua tokoh- tokoh besar yang diundang sudah hadir, dan Kui Lun berseri-seri mukanya dalam menjalankan tugas. Dia gembira bahwa tokoh-tokoh dunia itu mau datang, tapi seseorang yang dinanti-nanti ternyata belum muncul ialah Ciok-thouw ketua Beng-san-pai yang dulu beradu catur itu!

Dan kalau pemuda baju kuning ini menunggu orang yang paling penting dengan muka bersinar dan mata penuh harap adalah Kun Bok pribadi sebenarnnya "gembrobyos" dalam menemani panitia penyambut tamu itu. Dia selalu berdebar tegang kalau ada ketua partai yang muncul, dan berkali-kali orang yang dijadikan ketegangan ternyata diganti oleh orang-orang lain selalu membawa debaran tidak karuan di hatinya. Kun Buk takut-takut gentar. Dan mukanya yang kian memutih pucat itu menjadikan pemuda ini gelisah tidak karuan. Dia ingin segalanya itu berakhir, tapi Ciok-thouw Taihiap ternyata belum juga muncul. Apakah sebentar lagi?

Dan kapan sebentar lagi itu akan berakhir? Dan kecemasan yang dirasakan pemuda ini rupanya mengalami ujian hebat. Pagi yang sudah lenyap mulai berganti siang, dan matahari yang terik di atas kepala membuat beberapa orang di antaranya mulai berkeringat. Karena sejak dari penyambutan Pek-mauw Sian-jin yang pertama sampai kepada Thian Kong Cin-jin yang terakhir matahari sudah semakin condong ke barat. Dan penantian kepada tamu-tamu agung yang terakhir itu mulai menjengkelkan. Karena menurut perhitungan, tinggal ketua Beng-san-pai itulah yang penghabisan, ditambah seorang pendekar sakti yang tidak diketahui! Tapi kenapa orang yang dinanti-nanti ini belum tampak juga? Apakah tidak datang?

Dan sore itupun jelanglah sudahl Matahari sudah meredupkan sinarnya. Kuning jingga di atas bukit. Dan senja yang mulai mendatang hampir menghabiskan kesabaran semua orang. Kui Lun sendiri sudah bersiap-siap untuk mundur, karena waktu yang dibataskan mulai habis. Perayaan sudah akan dimulai, dan suhunya tentu sudah menunggu-nunggu laporannya. Tapi baru dia akan membubarkan anggautanya tiba-tiba seseorang muncul di sana. Ya, orang terakhir agaknya!

Dan begitu orang ini muncul yang paling tegang agaknya adalah Kun Bok. Dia mengira Ciok-thouw Taihiap yang datang, karena orang itu tampak tegap dan kepalanya gundul. Akan tatapi setelah orang melihat pakaiannya yang berkibar semacam jubah tahulah mereka bahwa pendatang ini adalah seorang Hwesio. Dan begitu orang ini muncul tiba-tiba terdengarlah suara ketawanya yang bergelak gemurruh.

Dia berlari seakan terbang, dan langkah kakinya yang terdengar "duk-duk" menggetarkan tanah itu membuat semua orang terkejut. Kui Lun terkesiap kaget, dan baru dia memperhatikan siapa sebenarnya hwesio yang tidak dikenal ini tiba-tiba saja orang sudah berkelebat di depan mereka dan berdiri dengan mata liar.

"Ha-ha-ha, mana itu Cheng-gan Sian-jin? Mana itu jago dunia yang menjadi bengcu? Eh, anak muda, mana itu musuh-musuh pinceng…?" hwesio ini mengeluarkan suaranya yang serak parau dan kata-katanya yang mencari Ceng-gan Sian-jin tampak berputar ganas dengan pandangan mengancam.

Kui Lun tertegun. Dia tidak tahu siapa hwesio yang tampaknya liar ini, tapi tubuhnya yang mengeluarkan sinar kemerahan itu membuatnya terbeklak. Orang yang seperti tidak waras ini mengejutkan hatinya, tapi ketika orang menggedruk-gedrukkan kakinya seketika dia melihat bahwa hwesio yang tertawa-tawa itu buntung! Kiranya hwesio yang aneh ini orang cacad, karena kedua kakinya yang dipasangi bambu itu tampak menopang tubuh dengan kuat. Dan kiranya bambu itulah yang mengeluarkan suara "duk duk" ketika hwesio ini berjalan!

Maka Kui Lun yang kaget karena melihat orang datang-datang mencari Cheng-gan Sian-jin jadi menjublak terbengong. Dia tidak tahu harus menjawab bagaimana, tapi hwesio yang melotot-lotot itu tiba-tiba merasa gusar. Dia melompat seperti katak, artinya melompat dengan kedua kaki bersamaan, dan Kui Lun yang tertegun di tempatnya ini sekonyong-konyong digaplok.

"Hei, kau dengar pertanyaan pinceng ataukah tidak? Atau telingamu yang tuli hingga perlu diperbaiki? Nah, terima ini kalau begitu. Pinceng tidak senang melihat orang menjadi patung batu...." dan baru katanya itu diucapkan setengah jalan tiba-tiba tangan hwesio ini sudah menampar sisi kepala Kui Lun. Dia bergerak cepat, tapi Kui Lun yang bukan pemuda sembarangan itu sudah cepat merendahkan kepalanya sambil melompat mundur.

Akan tetapi betapa kagetnya pemuda ini ketika tiba-tiba saja tangan kiri hwesio itu nyelonong maju dan mencengkeram leher bajunya tiba-tiba saja tubuhnya tertahan. Dan begitu dia berteriak kaget sekonyong-konyong lengan kanan sang hwesio liar menyambar pelipisnya.

"Plak....!" Kui Lun ditampar dan tangan hwesio yang sekeras baja itu membuat pemuda ini terlempar sambil mengaduh. Hu-pangcu dari Gelang Berdarah itu terpelanting, namun dia yang dapat berjungkir-balik sambil mengerahkan ginkangnya itu tahu-tahu sudah kembali di depan seperti bola karet!

"Hai….?!" hwesio itu terbelalak, dan Kui Lun yang memandangnya dengan sinar mata berapi ini mendamprat.

"Orang gila, kau keledai gundul dari manakah? Dan mengapa datang-datang mencari Cheng-gan Sian-jin?"

Hwesio berkaki buntung ini tiba-tiba tertawa bergelak. "Ha, kau rupanya lihai, anak muda. Tapi kenapa memaki pinceng? Cheng-gan Sian-jin manusia busuk, dia membuntungi kaki pinceng. Dan kini pinceng ingin membalasnya sebagai hutang!"

"Hm, dan kau siapa, orang gila?"

"Pinceng anak Tuhan, wakil dunia yang hendak membasmi orang-orang jahat. Ha-ha, apakah kau tidak mengenal pinceng, anak muda? Oh, kau bodoh benar. Hayo tunjukkan di mana Cheng-gan Sian-jin itu....!"

Kui Lun ini semakin marah dan keyakinannya bahwa hwesio itu ternyata seorang gila membuatnya gemas. Tapi Bi Kwi yang berdiri di dekatnya sekonyong-konyong berseru,

"Hu-pangcu, biarkan aku saja yang mengusirnya. Keledai gundul ini tampaknya tidak waras, dan orang tidak waras tidak diperkenankan mengacau. Lo-suhu, pergilah, jangan mengganggu di tempat kami....!" dan seakan mengusir orang, Bi Kwi menggerakkan tangannya, tertawa manis sambil diam-diam menjentikkan sebatang jarum beracun ke leher orang. Inilah serangan curang, dan Bi Kwi yang menduga hwesio itu pasti terkena serangan gelapnya diam-diam sudah tertawa puas. Tapi gadis ini jadi kaget, juga tertegun ketika melihat hwesio yang diserang itu mendadak menggelembungkan lehernya dan membentak.

"Bocah perempuan, berani kau menyerang pinceng dengan jarum beracun? Ah, kau benar-benar kuraug ajar. Terima kembali jarum yang busuk ini, phuhhl" Hwesio itu meniup dan senjata gelap yang menyambar lehernya itu tiba-tiba membalik dan menyerang Bi Kwi sendiri...!



Pendekar Kepala Batu Jilid 26

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 26
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pendekar Kepala Batu Karya Batara
MAKA Ceng Han yang mendapat "penghormatan" adiknya ini tentu saja menjadi gemas sekali. Dengan mata melotot dia menangkap tangan adiknya itu, lalu dengan tepukan tangan mendongkol dia berseru, "Bi-moi, kemana saja kau keluyuran selama ini? Apakah tidak tahu betapa kakakmu hampir menjadi korban berkali-kali? Uh, kalau tidak karena kenakalanmu tentu kita bisa hidup tenang di gunung. Tapi gara-garamu semuanya ini menjadi tidak karuan!"

Ceng Bi tertawa meringis sedangkan si gadis baju hijau terkejut. Dia merasa kaget karena dua orang itu tampaknya telah saling kenal dengan baik, dan ketika dia mendengar pembicaraan mereka seketika tahulah dia bahwa inilah kiranya gadis yang dicari-cari Ceng Han itu, puteri Beng san-paicu sendiri yang konon katanya kelewat nakal. Aih, dan dia dengan bangga telah memperkenalkan nama Ceng Han kepada adiknya sendiri. Siapa tidak jengah? Maka begitu tahu akan keadaan kontan saja gadis baju hijau ini tertegun. Dia mengawasi kakak beradik itu dengan muka merah.

Tapi Ceng Han yang segera teringat tiba-tiba melepas tangan adiknya. "Bi-moi, kau jangan kurang ajar kepada teman kakakmu ini. Dia adalah nona Cui Ang, puteri si Belut Emas locianpwe yang telah menolong kakakmu ini dari bahaya maut. Apakah kau telah berkenalan sebelumnya?"

Ceng Bi tertawa kecil, "Ih, kami tadinya tidak tahu, Han-ko, karena kami ketemu secara kebetulan saja. Dia menyebutku siluman duyung dan akupun balas menyebutnya siluman pengintai. Eh, Ang-cici, kau tentu tidak marah kepadaku, bukan? Kita ternyata sama-sama sahabat, dan bergaul dengan kekasihmu ini pasti menyenangkan. Dia menyayang, cici, dan wataknya yang lembut ini pasti tidak memungkinkan dia bersikap kasar terhadap wanita seperti dua orang manusia iblis yang kita jumpai itu, hi-hikk!" Ceng Bi tertawa menggoda dan sikapnya yang terang-terangan menyenggol kakaknya berdua itu membuat Ceng Han dan Cui Ang merah mukanya.

"Bi-moi," Ceng Han mengetuk kaki adiknya. "Kenapa dari dulu kau selalu menggoda orang? Apakah kau tidak ingat akan kemarahan ayah? kalau tidak ingat baik kuingatkan sekarang. Dan bukankah kabarnya kau ditangkap hu-pang-cu dari Gelang Bealirah? Bagaimana bisa ada di sini?"

Ceng Bi menarik napas panjang. Teguran kakaknya itu tiba-tiba membuatnya menjadi sedih, dan daging kelinci yang ada di tangannya tiba-tiba diletakkan di atas tanah. "Ang-cici, kau lapar, bukan? Hayo kita makan kalau begitu. Bicara sambil menikmati kelinci gemuk ini tentu nikmat. Dan kalian boleh mendengarkan ceritaku." Ceng Bi langsung mendeprok di atas rumput.

Dan Cui Ang yang melihat kepolosan puteri Beng-san-paicu yang sebelumnya pernah di kenal bahkan diajak berkelahi itu tersenyum. Dia merasa tertarik sekali kepada gadis ini dan wataknya yang terbuka serta jujur diam-diam membuatnya merasa suka dan kagum. Begitulah watak Ceng Han yang dia lihat pula. Namun dibandingkan adiknya yang satu ini Ceng Bi terasa lebih bebas, lebih "liar" dan lebih menarik. Pendeknya, puteri Beng-san-pai-cu itu tampaknya memang lebih aktip, lebih nakal! Tapi sayang wajah yang cantik itu kini seperti mendung di awan hitam.

Dan Ceng Bi yang tidak malu-malu mulai menyikat kelinci panggangnya sambil bercerita itu membuat yang lain terpengaruh. Terutama Cui Ang. Gadis ini memang lapar, maka begitu santapan daging bakar itu diletakkan di alas tanah segera tanpa sungkan-sungkan lagi iapun ikut menikmati hidangan ini. Dan dasar puteri seorang nelayan begitu Ceng Bi memberikan daging bakarnya segera Cui Ang sendiri memanggang ikan asinnya dan mengeluarkan arak ringan.

Maka mengobrolah mereka itu. Mulai dari ceritera Ceng Bi semenjak perpisahan di markas cabang kota Hang-loh dari Perkumpulan Gelang Berdarah sampai kepada pertemuannya dengan orang-orang Gelang Berdarah yang lain. Termasuk diantaranya Jing-ci-thouw Kam Sin dan Ui-i-siauw-kwi itu. Dan bercerita panjang lebar sambil sesekali dipotong pertanyaan-pertanyaan kakaknya itu membuat ketiganya betah sekali duduk di atas rumput. Tidak sadar lagi betapa kelinci panggang yang ada di depan mereka akhirnya habis dikunyah ketiganya tanpa sisa!

Dan Ceng Bi yang menceritakan segalanya itu juga menyinggung-nyinggung sedikit tentang putera tunggal si jago pedang Bu-tiong-kiam Kun Sang. Betapa pemuda she Bok itu tampak "galang-gulung" dengan tiga orang wanita cantik anggauta Hiat-goan-pang, bahkan telah melerainya ketika mereka sedang adu senjata! Semuanya itu diceritakan Ceng Bi tanpa mengurangi ataupun menambahnya, tapi Ceng Han yang melihat adiknya sama sekali tidak menyinggung nama Pendekar Gurun Neraka diam-diam menjadi curiga.

Kakak yang sudah cukup mengenal watak adiknya ini segera tahu, bahwa cerita Ceng Bi masih belum lengkap. Ada hal-hal yang disembunyikan. Tapi karena maklum di situ ada Cui Ang maka diapun pura-pura tidak tahu saja. Padahal, justeru karena Pendekar Gurun Neraka itulah Ceng Bi melarikan diri dari Hang-loh ketika mendengar cerita twa-suhengnya. Betapa Pendekar Gurun Neraka meninggalkan citra yang buruk di kenangan mereka gara-gara perjinaannya dengan wanita iblis Tok-sim Sian-li. Dan adiknya ini, yang memiliki tanda-tanda jatuh hati, tiba-tiba saja marah tanpa sebab dan meninggalkan mereka dengan isak tangisnya!

Tapi Ceng Bi ternyata tidak menyinggung-nyinggung nama pendekar muda itu. Hem! Maka Ceng Han yang maklum akan adanya kenyataan ini diam-diam lalu mencari kesempatan. Dia ingin bertanya mengapa adiknya itu dahulu meninggalkan mereka, padahal dengan susah payah mereka berdua bisa bertemu. Dan apakah putera si jago pedang Bu-tiong-kiam Kun Seng itu tidak meninggalkan sesuatu kesan yang akrab dengan adik-nya. Maka semua pertanyaan ini diam-diam disimpan oleh Ceng Han dan sang kakak yang amat menyayangi adiknya itu tiba-tiba bertanya,

"Bi-moi, kau tadi menceritakan bahwa benar tertangkap oleh hu-pangcu dari Perkumpulan Gelang Berdarah. Kalau begitu bagaimana kau bisa lolos kembali?"

"Aku lolos karena dia sendiri yang melepaskannya, koko. Dan kebetulan saat itu yang ditangkap olehnya ada dua orang. Yakni aku sendiri dan enci Pek Hong!"

"Eh, siapa itu enci Pek Hong?"

"Murid Ta Bhok Hweso, koko, pendeta Buddha dari Tibet itu."

"Oh, kau bertemu dengannya...?"

"Ya, secara kebetulan saja."

"Dan bagaimana kau bisa lobos karena diloloskan?"

"Karena dia... karena dia, eh... mencintaiku, koko. Dan dia pulalah yang melepaskan diriku dari perkosaan Pouw Kwi!" Ceng Bi menjadi merah mukanya, dan begitu menyebut mama Pouw Kwi tiba-tiba saja sinar matanya berapi. Dia mengepal tinju, dan Ceng Han yang mendengar kisah adiknya ini tertegun.

"He...?" pemuda itu terbengong dengan perkataan ini dan Ang Cui yang semenjak tadi bersikap mendengarkan itu tiba-tiba bertanya.

"Kau dibebaskan karena dia mencintaimu adik Bi?"

"Ya, begitu menurut pengakuannya. Ada apa, Ang-cici?"

"Hm, tidak apa-apa... aku hanya kagum melihat kepolosanmu bercerita ini..." Cui Ang tiba-tiba melirik ke kiri dan Ceng Han yang kebetulan juga sedang mengerling dengan sudut matanya itu mendadak jadi sama-sama merah.

Mereka bertiga sejenak diam tanpa suara, tapi Ceng Han yang tajam pendengarannya sekonyong-konyong bangkit berdiri. Dia mendengar suara berkeresek di belakang adiknya, dan begitu melihat sesosok bayangan berindap dan ujung bajunya tersembul sedikit tiba-tiba pemuda ini membentak.

"Siapa di situ?"

Dan secepat kilat Ceng Han tahu-tahu telah mengulurkan jarinya mencengkeram pundak orang. Cepat gerakan pemuda ini, namun orang di balik pohon itu rupanya lebih cepat lagi. Suara ketawa yang bergelak nyaring terdengar mengejutkan suasana di tempat itu, lalu sebuah tangan berjari kuat menangkis serangan Ceng Han ini.

"Dukk!" Seorang laki-laki berkelebat keluar, dan Ceng Han yang terpental mundur itu berteriak kaget. Dan cepat memandang, dan di depan mereka tahu-tahu telah muncul seorang pemuda tinggi besar yang bukan lain adalah kakak seperguruan mereka sendiri. Lek Hui! Dan di samping pemuda ini, berdiri dengan sikap keren dan mata mencorong tampaklah ketua Bang-san-pai sendiri yang memandang mereka dengan sikap bengis!

"Ayah....!" Ceng Han dan Ceng Bi serentak berseru kaget, dan karena keduanya tidak menyangka bakal dicari sampai di tempat ini membuat keduanya sejenak menjublak tertegun. Tapi, begitu sadar dan lenyap kagetnya tiba-tiba Ceng Han dan Ceng Bi sudah menubruk ke depan dan berlutut di bawah kaki ayah mereka.

"Ayah....!" Ceng Han dan Ceng Bi kembali berseru tapi sang ayah yang memandang bengis itu mendengus. Ketua Beng-san-pai ini tetap bersikap keren, dan Ceng Bi yang dipandang terbelalak itu mendapat teguran pertamanya yang keras.

"Bi-ji, bagus sekali perbuatanmu, ya? Membuat orang tua malu dan harus mengejar-ngejar kalian seperti maling hina. Apakah ini yang kau berikan sebagai imbalan jasa orang tuamu?"

Ceng Bi tak berani mengangkat kepalanya. "Maafkan aku, ayah. Aku tidak betah di rumah..."

"Hm, dan kemudian minggat tanpa pemisi?"

"Karena terpaksa, ayah….."

"Apa yang terpaksa?"

"Sikap ayah yang keras itu, "Ceng tiba-tiba mengangkat mukanya. "Karena kalau ayah tidak memaksaku dalam perjodohan tentu aku tidak akan turun gunung!"

"Hm..." pendekar sakti itu tertegun dan adu pandang mata antara dia dan puterinya yang bersinar-sinar itu membuatnya melunakkan sikap.

Tapi, begitu sadar dan lenyap kagetnya tiba tiba Ceng Han dan Ceng Bi sudah menubruk ke depan dan berlutut di bawah kaki ayah mereka. Dia melihat kebenaran kata-kata ini, tapi karena mempunyai pandangan sendiri diapun lalu menjawab, hanya dengan suara yang lebih halus,

"Ya, tapi kau haeus mengerti, Bi-ji, bahwa apa yang dikehendaki ayahmu ini sebenarnya adalah demi kebahagiaanmu belaka. Kau sudah cukup dewasa untuk berumah tangga, dan Bok-kongcu yang kupilihkan itupun bukan pemuda sembarangan!"

"Tapi kalau aku tidak suka, ayah?"

Pendekar Kepala Batu membelalakkan mata. "Kenapa kau tidak suka, Bi-ji? Kalian belum saling bergaul, dan suka atau tidak suka baru dapat dipastikan jika kedua pihak saling berkenalan."

"Ya, dan kami sudah saling berkenalan, ayah," Ceng Bi tiba-tiba bangkit berdiri. "Dan putera Bu tiong-kiam Kun Seng locianpwe itu ternyata galang-gulung dengan orang-orang Hiat-goan-pang!"

"Apa....?" Pendekar Kepala Batu terkejut. Kapan kalian sudah saling berkenalan?"

"Beberapa waktu yang lalu, ayah. Ketika aku bertemu di pinggiran hutan di batas wilayah Hiat goan-pang." Ceng Bi lalu menceritakan pertemuannya yang singkat dengan putera si jago pedang itu tapi ayahnya yang mendengar ceritanya itu tiba-tiba tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

"Ah, bukan perkenalan seperti itu yang kumaksudkan, Bi-ji. Tapi perkenalan yang lebih jauh lagi. Itu hanya pertemuan sekilas, dan pertemuan yang serba singkat itu tak bisa dikatakan sebagai perkenalan dalam arti yang sesungguhnya. Tidak, kau salah menangkap maksud ayah, Bi-ji, dan pertemuanmu dengan putera Bu-tiong-kiam Kun Seng itu masih dangkal sekali. Di sini kalian belum dapat mengenal watak masing-masing pihak karena belum berkenalan dalam arti yang sesungguhnya!"

"Hm, kalau begitu apa yang kau kehendaki, ayah?"

"Tentu saja mengenalkan kalian secara lebih dekat," ketua Beng-san-pai ini tertawa. "Dan satu-satunya jalan adalah meresmikan kalian dalam ikatan perjodohan. Maksudku, ikatan pertunangan!"

"Tapi kalau aku tidak mau, ayah?"

Pendekar Kepala Batu tiba-tiba menjadi berang. "Bi-ji, alasan apakah yang membuatmu demikian keras kepala? Apakah kau hendak membuat malu ayahmu ini habis-habisan di depan orang she Kun? Kami sudah saling berjanji untuk menikahkan kalian, dan kalau kau tidak mau segera menikah, boleh bertunangan dulu. Kenapa hendak membawa adat sendiri?"

Ceng Bi tiba mengedikkan kepala. "Bukan aku yang hendak membawa adat sendiri ayah, melainkan kaulah. Aku tidak suka kepada Bok-kongcu itu, dan persoalan kami yang sekilas di tepi hutan itu menimbulkan antipatiku kepadanya!"

"Mengapa?"

"Karena dia rentang-renteng dengan iblis-iblis betina Perkumpulan Gelang Berdarah!"

"Hm, dan kau tahu sebab-sebabnya, Bi-ji?"

Ceng Bi terkejut. Untuk pertanyaan ini ia memang tidak tahu jawabannya, tapi perlukah hal itu diselidiki? Maka Ceng Bi lalu menjawab terus terang, "Ayah, aku memang tidak tahu mengapa putera Hu-tiong-kiam Kim Sang locianpwe itu bersahabat dengan orang-orang Gelang berdarah. Tetapi, perlukah kita mengetahuinya, ayah? Melihat dia nyata-nyata bergaul dengan orang jahat kukira tidak perlu kita mencari sebab-sebabnya. Karena orang yang bergaul dengan orang jahat tentu jahat pula perangainya!"

"Ah; tapi aku tidak percaya putera Bu-tiong-kiam Kun Seng bakal menjadi orang jahat, Bi-ji. karena buah selamanya jatuh tidak jauh dari pohonnya!"

"Jadi ayah tidak mempercayai keteranganku."

"Bukan begitu..." Ciok-thouw Taihiap menggelengkan kepala. "Tetapi mencari sebab-sebab ini bagi kita penting untuk diketahui. Dan kau yang tidak mengetahui sebab-sebabnya bagaimana bisa jatuhkan kesimpulan demikian mudah terhadap orang lain, Bi-ji?"

"Hm, tapi aku terlanjur tidak suka kepadanya, ayah, karena... karena aku..." Ceng tiba-tiba terisak, "karena aku sudah mencintai... seorang pemuda....!"

"Hah….?" Ciok-thouw Taihiap mengeluarkan seruan kaget. "Kau sudah mencintai pemuda lain, Bi-ji?"

Ceng Bi mengangguk. "Maafkan aku, ayah..."

Dan Ciok-thouw Taihiap tertegun. Ketua Beng-san-pai ini memang terkejut sekali oleh pengakuan puteriya itu, namun mukanya yang merah serta matanya yang melotot itu menunjukkan betapa pendekar sakti ini sedang mengalami pukulan hebat. Tapi tiba-tiba dia menggeram dan Ceug Bi yang menangis dengan mata basah itu mendadak dicengkeram pundaknya.

"Bi-ji!" pendekar itu membentak. "Siapa orang yang menjadi pilihanmu itu?"

Tapi Ceng Bi diam saja tidak menjawab. Gadis ini terguncang-guncang dengan tangisnya yang semakin menghebat, dan ayahnya yang tidak mendapat jawaban puterinya itu menjadi gusar. Pendekar Kepala Batu ini menghentakkan kakinya, dan pundak yang tadi dicengkeram tiba-tiba ganti menyambar kepala. Dengan bengis dia mendongakkan muka puterinya itu, dan Ceng Bi yang pucat mukanya dibentak kedua kali.

"Bi-ji, siapa orang yang kau cintai itu?"

Namun Ceng Bi ternyata tidak mau mengaku. Gadis yang mengguguk dengan air mata berderai itu malah mendekap mukanya, dan Ciok-thouw Taihiap yang melihat sikap puterinya ini benar-benar naik darah. Dia mengangkat rambut Ceng Bi, lalu tangan Ceng Bi yang mendekap muka itu direnggutnya kasar. Kemudian, ketika mata gadis itu sudah beradu dengan pandang matanya tiba-tiba Ciok-thouw Taihiap kembali menggeram untuk yang terakhir kalinya.

"Bi ji, tidak dapatkah kau membuka mulut mu?" dia mendelik dengan mata betapi-api. "Mau apakah kau minta ayahmu turun tangan menghajarmu?"

Ceng Bi tiba-tiba mengeluh gemetar, "Ayah, kau bunuhlah aku saja...! Aku tidak mungkin memberitahumu siapa orang yang kucinta itu. Dan tentang Bok-kongcu, ayah... aku juga tidak mungkin sudi dijodohkan dengannya. Aku tidak suka kepada pemuda itu, ayah.... dan aku tidak mau dinikahkan dengan orang yang tidak kucinta....!"

"Keparat, kau beuar-benar sudah menetapkan keputusanmu ini, Bi-ji?" Ciok-thouw Taihiap membesi mukanya.

"Demi arwah ibu...!" Ceng Bi menjawab.

Dan jawaban ini seakan minyak yang dituangkan dalam api bagi Ciok-thouw Taihiap. Pendekar itu menggereng, dan dia tidak dapat menahan diri lagi. Disebutnya nama mendiang isterinya itu membuat darahnya mendidih, dan Ceng Bi yang mempergunakannya sebagai semacam sumpah itu membuat ketua Beng-san-pai ini gelap mata. Karena itu kepala Ceng Bi yang dicengkeram tiba-tiba sudah ditamparnya, dan Ceng Hi yang menerima kemarahan ayahnya ini mengaduh.

"Plak…!" gadis itu terpelanting dan jari ayahnya yang mengeras seperti baja seketika membuat bibirnya pecah berdarah! Tapi aneh, Ceng Bi tidak menghiraukan kemarahan ayahnya itu. Karena dengan tubuh terhuyung-huyung dia sudah bangkit berdiri dan menghampiri ayahnya lagi. "Ayah, kenapa kau hanya memecahkan bibirku? Kau pecahkanlah kepalaku ini, ayah... kau bunuhlah aku...! Aku rela mati di tanganmu... karena aku tahu bahwa tidak mungkin bagiku untuk memenuhi keinginanmu itu. Kau bunuhlah aku, ayah kau pecahkanlah kepalaku ini...!" Ceng Bi tahu-tahu sudah berlutut di depan ayahnya dan gadis yang menangis dengan kaki menggigil itu tampak memasrahkan jiwanya.

Ciok-thouw Taihiap tertegun. Pendekar sakti itu merasa nanar, dan tinjunya yang dikepal serta matanya yang merah mengerikan itu membuat dia gemetar dengan kegusaran yang tiada taranya. Dia sekarang benar-benar ditantang oleh puteri satu-satunya ini, dan darah yang mengalir di bibir anak permpuannya itu justeru seakan-akan membuat darahnya dibakar. Dia menghadapi kenyataan yang amat hebat, karena tinggal memilih mambebaskan hukuman kepada Ceng Bi ataukah membatalkan ikatan perjodohan seperti yang diinginkan Ceng Bi. Dan membatalan ikatan perjodohan sama artinya dengan menjilat ludah sendiri yang sudah menyatakan persetujuan. Padahal dia adalah seorang ketua partai, seorang tokoh besar dalam dunia persilatan!

Maka Ciok-thouw Taihiap benar-benar berada di persimpangan jalan. Dia diamuk antara kasih sayang dan kegagahan, antara perasaan pribadi dan harga diri. Dan Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba tertawa bergelak. Suaranya yang gemuruh memantul-mantul menggetarkan seluruh lembah, dan Ceng Han serta Lek Hui dan Cui Ang yang ada di tempat itu mendadak berteriak kaget. Mereka merasakan guncangan yang maha dahsyat dalam suara ketawa pendekar sakti itu.

Dan tiba-tiba saja tanpa dapat mereka tahan mendadak tubuh mereka bertiga sudah terjengkang roboh! Agaknya pengaruh hawa sakti yang keluar dari mulut ketua Beng-san-pai ini tak dapat dilawan oleh ketiganya dan Lek Hui yang termasuk paling kuat diantara ketiganya itu temyata menggigil hebat. Raksasa muda ini berusaha bangkit berdiri, tapi begitu kedua kaki menopang tubuh sekonyong-konyong dia terjerembab jatuh!

"Aih...." Lek Hui menjad i pucat dan ketika dia duduk bersila kiranya Ceng Han dan puteri si Belut Emas itu juga baru saja mondeprok di tanah. Mereka itu rupanya hendak bangkit berdiri, tapi karena tidak kuat oleh getaran suara mujijat sang Pendekar Kepala Batu mereka berdua itu roboh dengan muka pucat. Ceng Han tampak berpeluh sedangkan puteri si Belut Emas sudah terguling dengan keluhan pendek. Pingsan!

Maka dapat dibayangkan betapa dahsyatnya suara ketawa Beng-san-pai cu. Dan kekuatan suaranya yang mampu merobohkan putera dan muridnya sendiri itu jelas menunjukkan kekuatan khikangnya yang luar biasa. Tapi aneh, Ceng Bi yang berlutut di depan ayahnya itu tampak sama sekali tak terpengaruh, karena kedua pundak yang berguncang-guncang oleh tangis itu masih naik turun. Padahal, Lek Hui dan Ceng Han saja sudah tenggelam dalam semadhi mereka untuk mempertahankan diri.

Apa yang terjadi? Kiranya suatu kebetulan. Karena baju pusaka Thian-bian-ih itulah yang telah menyelamatkan gadis ini dari kekuatan khikang ayahnya yang gemuruh. Dan berkat Thian-bian-ih itulah Ceng Bi lolos dari maut secara tidak sengaja. Sungguh suatu "kebetulan!"

Tapi Ciok-thouw Taihiap yang masih melampiaskan tawanya itu tidak melihat keganjilan ini. Pendekar sakti itu sedang mengeluarkan sesaknya kemarahan, dan jiwanya yang terguncang oleh keberanian puterinya. itu butuh saluran. Sampai akhirnya, ketika daun di sekitar mereka sudah rontok seperti diserang angin puyuh barulah tiba-tiba Pendekar Kepala Batu ini menghentikan ketawanya. Ketua Beng-sanpai itu tampak mengerikan. Mukanya merah kehijauan, tapi matanya yang membelalak dengan mulut tertatik ke dalam itu menyinarkan nafsu membunuh. Dia sudah mangambil ketetapan hati, dan anaknya yang membuat malu orang tua itu harus dihukum! Dan Ceng Bi yang berlutut di depan ayahnya ini tiba-tiba mendengar suara berkerotok tulang-tulang jari yang ditekuk.

Gadis ini mengangkat mukanya, dan begitu dia menyaksikan wajah ayahnya yang menyeramkan itu Ceng Bi menangis sedih. Dia melihat sesuatu yang mengerikan pada sikap ayahnya itu, dan maklum bahwa ayahnya juga sudah mengambil keputusan maka diapun semakin memasrahkan diri. Ceng tidak mengelak lagi, dan ayahnya yang menggereng itu tiba bertanya.

"Ceng Bi, apakah kau sudah siap menerima hukuman?"

Dan gadis ini mengguguk dengan air mata bercucuran. "Aku siap, ayah….."

"Dan kau tidak merobah keputusanmu?"

"Tidak."

"Hm, baiklah. Kau memang telah menetapkan kematianmu sendiri dan sebagai kedurhakaanmu terhadap orang tua terimalah hukumanmu dengan tabah…!"

Ciok-thouw Taihiap tiba tiba menggerakkan jari tangannya dan begitu telunjuknya meluncur ke ubun-ubun Ceng Bi tiba-tiba jalan darah Hu-pi-hiat sudah diancamnya dengan cepat. Tapi mendadak sebuah kejadian muncul tak disangka-sangka. Karena tepat ketika pendekar itu menggerakkan jarinya sekonyong-konyong sebuah bayangan hijau berkelebat sambil memekik.

"Ciok-thouw Taihiap tunggu jangan bunuh adik Ceng Bi!" dan bersamaan dengan teriakan ini tiba-tiba sebatang pedang meluncur lurus menyambar jari ketua Beng-san-pai itu.

"Plak!" Pedang terpental dan totokan maut Ciok-thouw Taihiap tertahan. Ketua Beng-san-pai ini terkejut, dan ketika dia memandang ternyata di situ tahu-tahu telah berdiri seorang gadis baju hijau dengan mata berapi-api dan muka pucat, terbelalak memandang ketua Beng-san-pai ini dengan tangan bertolak pinggang!

"Enci Pek Hong!" Ceng Bi yang terkesiap oleh berkelebatnya bayangan ini segera berseru kaget ketika dia melihat siapa yang muncul, dan Pek Hong yang mendengar seruan tertahan itu menoleh haru.

"Ya, aku. adik Bi. Kau tidak apa-apa, bukan? Tenanglah, aku akan menghadapi ketidak-adilan ayahmu ini...!" dan Pek Hong yang sudah membalikkan tubuhnya menghadapi ketua Beng-san-pai itu langsung menegur dengan mata bersinar marah, "Souw-locianpwe. Apa yang hendak kau lakukan terhadap adik Bi ini? Sadarkah engkau bahwa ia adalah puterimu sendiri, darah dagingmu sendiri? Dan seorang ayah yang tega menurunkan tangan keji terhadap puterinya sendiri sungguh tidak patut mendapat julukan pendekar!"

Ciok-thouw Taihiap membelalakkan mata. Dia gusar sekali, memungut pedang yang tadi disambitkan kepadanya lalu membentak Ceng Bi, "Bi-ji, siapakah siluman betina ini?"

Ceng Bi terisak pucat. "Dia adalah enci Pek Hong, ayah murid Ta Bhok Hwesio dari Tibet...." dan kepada Pek Hong gadis ini berkata, "Enci Hong, kau pergilah jangan mencampuri urusan pribadi kami ini..."

Tapi mana Pek Hong mau digebah? Dia malah melompat maju di muka Ceng Bi, merghadang marah dengan kepala digelengkan. "Adik Bi, jangan kau berkata begitu. Kita sudah seperti saudara sendiri, dan apa yang menjadi urusan pribadi mu berarti juga menjadi urusan pribadiku. Ayahmu tidak boleh sewenang-wenang, dan aku harus membelamu!"

Lalu kepada Ciok-thouw Taihiap gadis ini berkata, "Souw-locianpwe, harap kau suka menjernihkan pikiranmu. Adik Bi tidak bersalah, dan kau tidak boleh menghukumya....!"

Maka tentu saja perkataannya ini membuat Ciok-thouw Taihiap mendelik penuh kemarahan. "Bocah tak tahu diri, apakah kau disuruh gurumu untuk mencampuri urusan orang lain? Apakah keledai gundul itu tidak pernah mengajar adat kepadamu?"

Pek Hong tiba-tiba menegakkan kepala. "Souw locianpwe, jangan bawa-bawa nama guruku. Beliau tidak tahu menahu tentang urusan ini dan apa yang kulakukan sekarang sepenuhnya adalah tanggung jawabku pribadi! Kenapa kau hendak membawa-bawa nama beliau?"

"Jadi kenapa kau mencampuri urusan ini?"

"Karena adik ini adalah seperti saudaraku sendiri, locianpwe. Dan karena seseorang pula yang memintaku agar melindungi adik Bi dengan taruhan nyawa. Kau tidak boleh membunuhnya, karena dia tidak bersalah!"

"Keparat, siapa orang yang menyuruhmu itu, bocah tak tahu diri?"

"Kekasihnya, Pendekar Gu..." baru sampai di sini Pek Hong membuka mulut tiba-tiba Ceng Bi berteriak,

"Enci Hong, jangan bawa-bawa nama orang lain. Ayah tidak mungkin dapat kau pengaruhi. Pergilah, aku tidak mau kau mengorbankan diri secara sia-sia…!"

Dan tanpa disangka Pek Hong tiba-tiba Ceng Bi menerjang dirinya. Dia yang ada di depan gadis itu ditubruk, dan Pek Hong yang terkejut melihat Ceng Bi memukul tengkuknya berteriak kaget. Dia merendahkan tubuh dan menangkis, tapi karena kalah cepat maka diapun terpukul. Pundaknya yang kena sasaran, dan kaki Ceng Bi yang menendang belakang lututnya tidak mampu dia hindarkan.

"Plak... bluk!"

Pek Hong terpelanting bergulingan dan Ceng Bi yang sudah menghadapi ayahnya itu berseru, "Ayah, cepatlah kau laksanakan hukumanmu. Aku sudah siap menerima kematian!"

Dan Ciok-thouw Taihiap yang memegang pedang itu juga menggereng. Dia marah sekali oleh gangguan yang dilakukan Pek Hong itu, dan ditambah perkataan Pek Hong yang menyebut-nyebut tentang "kekasih" Ceng Bi segala menjadikan kemarahan pendekar sakti ini tak dapat dibendung lagi. Maka begitu dia melihat Ceng Bi sudah berdiri tegak di depannya tiba-tiba Ciok-thouw Taihiap menyambitkan pedangnya sambii membentak.

"Anak durhaka, kau benar-benar telah membuat malu orang tua. Terimalah hukuman penebus dosamu ini!" dan begitu bentakan itu selesai diucapkan sekonyong-konyong pedang sudah menyambar dada kiri gadis itu. Ceng Bi tidak mengelak, dan jarak mereka yang cukup dekat juga agaknya tidak memungkinkan bagi gadis ini untuk menghindarinya. Apalagi yang menggerakkan pedang itu adalah ayalnya sendiri, Ciok-thouw Taihiap yang sedang marah!

Maka begitu pedang menyambar keadaan yang mengancam jiwa gadis itupun tak ada lagi yang mampu menghalanginya. Pek Hong yang baru melompat bangun menjerit tertahan melihat kejadian itu, dan dia yang masih terhuyung tubuhnya ini tiba-tiba berteriak keras melemparkan dirinya membentur diri Ceng Bi. Pek Hong bermaksud agar gadis itu dapat diselamatkan jiwanya dari ancaman maut, tapi pedang yang terlanjur datang itu rupanya meluncur lebih cepat. Pek Hong terlambat sekejap, dan Ceng Bi yang dibentur lemparan tubuhnya dengan sikap panik itu sama-sama terguling.

"Ceppp!" pedang sudah menancap di tubuh gadis itu dan darah yang muncrat di ujung pedang membuktikan peristiwa yang terjadi. Pek Hong terpental roboh dengan tubuh bergulingan sementara Ceng Bi hanya mengeluarkan keluhan pendek lalu diam di atas tanah, telungkup dengan darah membasahi bajunya!

"Oooh...!" Pek Hong terbelalak ngeri, melompat bangun dan seakan tidak percaya kepada apa yang dilihat lalu sekonyong-konyong berteriak histeris di depan Ciok-thouw Taihiap. Dengan kaki menggigil dan mulut gemetar gadis ini menudingkan telunjuknya di muka pendekar itu, dan suaranya yang serak parau tampak penuh kemarahan.

"Ciok-thouw Taihiap Souw-locianpwe, apa yang kau lakukan terhadap puterimu sendiri ini? Kau... kau membunuhnya? Ahh kau orang tua biadab, Souw-locianpwe, kau manusia berjantung setan! Kau tidak patut dijuluki pendekar dan patutnya kau dijuluki Iblis Berhati Dingin! Kau ayah berjiwa picik. Souw-locinpwe kau manusia hewan yang melebihi binatang buas...! Ahh, aku akan menuntut tanggung jawabmu, Souw-locianpwe, dan aku akan memberitahukan semua kejadian ini kepada kekasih adik Ceng Bi!" Pek Hong tiba-tiba memutar tubuhnya dan muka yang pucat penuh air mata itu tampak menyinarkan api kemarahan yang amat sangat.

Ciok thouw Taihiap yang berdiri mematung mendadak menoleh, dan Pek Hong yang sudah berjongkok di samping tubuh yang membujur diam itu tiba-tiba ditanya, "Murid Ta Bhok Hwesio, siapa orang yang kau maksudkan itu…?"

Pek Hong membalikkan tubuhnya. "Pendekar Gurun Neraka, Souw-iocianpwe. Dan aku akan menuntut balas atas kematian adik Ceng Bi ini!" gadis itu tiba-tiba sudah menyambar jenasah Ceng Bi dan Ciok-thouw Taihiap yang terkejut mendengar jawaban itu tampak tertegun.

Pendekar sakti ini tampak kaget bukan main, tapi Pek Hong yang sudah melompat sambil membawa jenasah Ceng Bi itu tidak disusulnya. Dia sedang terkesima oleh jawaban yang sama sekali tidak disangkanya itu, namun dia sendiri yang juga terpukul hebat oleh kejadian ini termangu-mangu. Pendekar besar itu terbelalak, dan mayat Ceng Bi yang dilarikan oleh murid Ta Bhok Hwesio itu tiba tiba disambutnya dengan keluhan pilu. Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba bergoyang kakinya, dan mata yang tadi bersinar bengis itu mendadak basah. Ciok-thouw Taihiap menangis! Pendekar ini tampak menggigil dan begitu bayangan Pek Hong lenyap tiba-tiba dia menutup matanya dan mengguguk. Sungguh luar biasa, hampir tidak dapat dipercaya. Tapi itulah kenyataannya!

Ciok-thouw Taihiap benar-benar menangis, dan tragedi yang amat dramatis ini betul-betul telah membuat batinnya terpukul hebat. Dia telah memuntahkan semua kekecewaannya terhadap puteri satu-satunya itu, tapi begitu semua kemarahan telah dikeluarkan mendadak saja dia merasa berdosa. Satu penyesalan tak terhingga membuat dia menyesal bukan main, tapi nasi yang telah menjadi bubur tak mungkin dikembalikan seperti semula. Ceng Bi tak mungkin dihidupkan lagi, dan semua peristiwa yang terjadi tak dapat diundur!

Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba saja dikuasai kesedihan hebat, namun mata yang berderai itu tiba-tiba dihapusnya dengan kepalan tinju. Dia hanya menangis sebentar saja, dan begitu kekerasan hatinya muncul mendadak pendekar ini sudah menguasai dirinya lagi. Dia masih bergoyang kakinya, tapi pelupuk mata yang gemetar itu tiba-tiba mengatup erat.

Ketua Beng-san-pai ini berdiri seperti arca. Dan rasa penasarannya yang penuh kecewa itu tiba-tiba ingin menyelidiki putera sahabatnya Bu-tiong-kiam Kun Seng itu. Dan kenekatan Ceng Bi yang demikian berani mati sehingga sanggup mengorbankan nyawa demi penolakannya terhadap putera si jago pedang itu membangkitkan keinginan-tahunya. Ada apakah gerangan yang menyebabkan putera si jago pedang itu tidak disukai anaknya? Apakah pemuda itu kurang tampan, kurang lihai. Ataukah sesuatu yang tidak diketahui membuat Ceng Bi demikian keras kepala?

"Hem... "dia akan menyelidiki semuanya ini. Dan kalau tidak ada sesuatu yang buruk pada pemuda itu dia akan menindas semua penyesalannya. Dia akan mencoba mengenal dari dekat putera Bu-tiong-kiam Kun Seng itu, dan kalau pilihannya benar dia akan terpaksa "menyalahkan" Ceng Bi! Dia akan berpendapat bahwa puterinya itulah yang tidak tahu diri!

Maka begitu pendekar ini mendapatkan ketenangannnya kembali tiba-tiba dia terus mengheningkan cipia. Pikiran yang ditarik ke pusat kundalini tiba-tiba digetarkan, dan begitu pendekar ini menutup panca indranya tiba-tiba saja ketua Beng-san-pai yang keras hati itu tenggelam dalam samadhinya. Dia bersiulian (samadhi) sambil berdiri tegak, dan tubuhnya yang tidak bergeming laksana patung batu itu tampak tiba-tiba mengeluarkan getaran uap putih. Itulah cara samadhi bagi orang-orang yang sudah mencapai tingkat tinggi, dan siapapun yang mencoba menyerang pendekar itu dari jarak dua meter pasti semua senjata akan terpental, tertolak oleh getaran hawa mujijat yang melindungi ketua Beng-san-pai itu!

Demikian, dengan samadhi mengosongkan pikiran ini Sang Pendekar Kepala Batu telah mendapatkan dua kebaikan. Pertama untuk sementara dia dapat melupakan kematian puterinya dan yang ke dua menenangkan guncangan syaraf yang terpukul hebat oleh peristiwa yang baru saja di alaminya itu.

Dan ini memang tampaknya "obat" satu-satunya bagi pendekar sakti itu. Karena betapapun juga dia amat mencintai anak gadisnya. Ceng Bi sering dimanja, dan kelakuan yang sudah-sudah dari puterinya itu memang sering dimaafkan. Tapi, terbentur oleh rasa kehormatan dan "harga diri" ini dia terpaksa bertindak bengis. Dia tidak dapat menerima tantangan puterinya itu, karena persoalan ini bagi dia adalah persoalan serius, menyangkut nama baik dan kegagahan. Dan untuk ini tentu saja dia menempatkan tinggi di atas segala-galanya, bahkan nyawa sekalipun! Maka hanya Yang Maha Kuasa-lah yang tahu dengan tepat, benar atau salahkah sikap yang diambil olen ketua Beng-san-pai itu!

* * * * * * * *

Dua jam bersamadhi agaknya waktu yang cukup lama. Dan Ceng Han serta Lek Hui yang seakan orang tertidur kena pengaruh aji sirep itu tiba-tiba sama membuka mata. Hampir serentak mereka sama-sama melompat bangun, tapi melihat ayah serta guru mereka itu bersiulian sambil berdiri membuat keduanya tertegun sejenak. Lek Huk menoleh kepada sutenya sedangkan Ceng Han memutar mata mengawasi keadaan sekitar.

"Han-te, apakah kita perlu membangunkan suhu?" begitu Lek Hui bertanya kepada Ceng Han sementara Ceng Han mengerutkan kening dengan mata mencari-cari.

"Aku tidak berani mengganggu ayah, suheng. Tapi di manakah adik Ceng Bi?"

Lek Hui tiba-tiba segera diingatkan. "Hei, betul juga pertanyaanmu, Han-te. Di mana Bi-moi?" pemuda itu berseru keheranan tapi Ceng Han tiba-tiba sudah melompat ke kanan.

Dia melihat sesuatu yang membuat matanya terbelalak di tempat ini, dan begitu Ceng Han sampai di tempat itu sekonyong-konyong pemuda itu tertegun. Cairan merah tampak memhasahi tanah, dan begitu dia melihat seketika dia tahu apa artinya. Darah yang belum begitu kering dari adiknya!

"Bi-moi...!" Ceng Han tiba-tiba mengeluh gemetar dan lututnya yang lemas menggigil mendadak saja tak mampu ditahannya. Dia mendeprok di atas tanah, dan mukanya yang pucat seperti kertas membuat pemuda ini tiba-tiba roboh pingsan!

Agaknya kesadaran yang baru saja timbal setelah lama bersamadhi membuat pemuda itu belum siap menerima kejutan-kejutan. Maka begitu dia melihat darah adiknya kontan saja Ceng Han terjungkal. Dia memang masih ingat akan keputusan ayahnya yang hendak menghukum adiknya itu, tapi bahwa dia tidak melihat jenazah adiknya dan hanya melihat darah di atas tanah itu membuat Ceng Han tidak kuat menahan.

Ceng Bi adalah adik satu-satunya, perempuan lagi, dan kenyataan bahwa ayahnya tega menghukum gadis itu dengan hukuman maut benar-benar membuat pemuda ini terkena shock hebat. Karena itu tidak heran bahwa kematian adik yang amat dicintai itu membuat Ceng Han sekejap saja seperti dipukul palu godam. Pemuda ini kontan terguncang hatinya dan kenyataan yang terlampau hebat itu seketika membuatnya tidak sadarkan diri!

Maka Lek Hui-lah kini yang dibuat tertegun. Pemuda tinggi besar itu juga sudah melompat mendekati Ceng Han, dan begitu melihat lelehan darah di atas tanah ini si raksasa muda itu jadi melenggong. Dia tahu apa yang teijadi, dan bukti darah merah diatas tanah itu menjelaskan segala-galanya. Ceng Bi tewas dan gurunyalah yang menurunkan tangan maut itu.

"Aah…!" Lek Hui mengejap-ngejapkan mata dan kematian sumoinya yang amat disayang itu tak mampu pula ditahannya. Pemuda ini mengucurkan air mata, tapi begitu teringat kepada Ceng Han tiba-tiba dia sudah berjongkok di samping tubuh sutenya ini. Lek Hui menggerakkan jari jarinya menotok, dan setelah mengurut sambil meruntuhkan air mata yang berderai penuh kesedihan Ceng Han tiba tiba berhasil disadarkan.

Pemuda itu membuka mata, dan melihat Le Hui memijit-mijit lehernya sekonyong-konyong Cen Han bangka duduk. "Auw-suheng… Bi-moi… Bi-moi…?" pemuda itu membelalakkan mata tapi Lek Hui yang mengerti pertanyaan sutenya meremas jarinya.

"Aka tahu, sumoi agaknya... agaknya telah menerima hukuman... dan aku menyesal sekali...."

Ceng Han tiba-tiba berdiri dan begitu suhengnya menekan pundak sekonyong-konyong dia melompat mendekati ayahnya yang masih bersamadhi. Dengan kaki gemetar dan bibir pucat dia hendak membangunkan ayahnya itu, tapi belum dia berbuat sesuatu tiba-tiba ayahnya membuka mata. Ayah dan anak kini saling pandang, dan Ciok-thouw Taihiap yang berkerut alisnya mengibaskan tangan.

"Ada apa, Han-ji?"

Ceng Han tersedak. Dengan suara menggigil dia bertanya, "Ayah, dimanakah Bi-moi? Apakah telah.... telah…"

"Ya!" Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba memutus keren. "Aku telah menghukum anak durhaka itu. Apakah kau hendak membelanya?"

Ceng Han tiba-tiba mengeluh. Dengan mata nanar dia memandang ayahnya itu, tapi seakan tidak percaya dia mencoba mengulangi pertanyaanya. "Jadi Bi-moi kau bunuh, ayah,...? Kau renggut nywanya karena penolakan jodoh ini....?"

"Ya. Tapi bukan karena penolakan jodoh ini dia dihukum melainkan terutama karena hendak melawan ayahmu. Adikmu merupakan anak durhaka, dan aku tidak bisa memberinya ampun!"

"Ooh...!" Ceng Han seakan berputar kepalanya dan jawaban ayahnya yang dingin serta kaku itu tiba-tiba membuatnya dia berlutut. Dengan mata terbelalak dia memandang wajah ayahnya yang mengeras itu, dan air matanya yang bercucuran tak mampu dibendung membasahi mukanya. Ceng Han tiba-tiba terguguk dan Lek H ui yang melihat kekerasan hati suhunya ini juga ikut merasa hancur. Raksasa muda ini tak berani mencampuri, tapi Ciok-thouw Taihiap yang baru bangun dari samadhinya itu tiba-tiba menggerakkan langkah.

"Han-ji!" ketua Beng-san-pai itu membentak. "Jangan kau tangisi kematian adikmu. Dia sudah menerima hukumannya dan apa yang sudah kulakukan tidak perlu kau sesali lagi. Ceng Bi berani melawan ayahnya, dan dosa yang tidak berampun ini tidak dapat kubiarkan begitu saja. Daripada kelak dia menumpuk kesalahan adalah lebih baik sekarang menerima hukuman. Nah, bangkitlah. Kita bersiap ke Puri Naga….!"

Tapi Ceng Han tiba-tiba menggeleng kepalanya. "Tidak aku tidak mau ikut ke Puri Naga, ayah... tapi hendak membawa jenasah adik Ceng Bi ke Beng-san. Di manakah ayah menguburkannya….?"

Ceng Han berdiri dan Ciok-thouw Taihiap tertegun. Dia terkejut mendengar jawaban puteranya itu, namun mata Ceng Han yang mengeras sinarnya itu tak dapat dia halang-halangi. Dia cukup mengenal watak puteranya ini, seperti juga puteranya itu mengenal wataknya. Maka begitu Ceng Han menanyakan jenazah adiknya tiba-tiba pendekar ini menjadi muram.

"Aku tidak tahu di mana jenasah adikmu, Ceng Han...."

Pemuda itu terkejut.

"Tapi kalau kau hendak mencarinya maka carilah gadis bernama Pek Hong. Dialah yang membawa mayat adikmu, dan dia menurut keterangannya adalah murid Ta Bhok Hwesio dari Tibet!"

"Ooh...!" Ceng Han membelalakkan mata mendelong oleh jawaban ayahnya yang tidak disangka itu. Tapi begitu ayahnya menganggukkan kepala maka pemuda itupun lenyap bengongnya. Dengan termangu dia mengawasi ayahnya yang tampak muram, dan dengan suara lirih dia bertanya. "Dan ke mama gadis itu membawa jenazah Bi-moi, ayah?"

"Ke sana...." ayahnya menuding arah timur "Dan kalau kau mau mencari murid hwesio Tibet itu carilah. Makamkan adikmu di Beng-san dan tunggu aku di sana sampai kembali dari Puri Naga..." lalu menoleh kepada Lek Hui pendekar sakti ini bertanya, "Hui-ji. kau juga tidak mau ikut denganku seperti Ceng Han?"

Lek Hui tersipu gugup. Dia melihat sinar yang penuh kekecewaan di mata suhunya, maka begitu suhunya bertanya tiba-tiba diapun sudah menjatuhkan diri berlutut. "Suhu, teecu suhu bawa dari Beng-san adalah untuk mengikuti dan membantu suhu ke sarang musuh. Bagaimana sekarang teecu berani berhenti di tengah jalan? Tidak, suhu. Kalau suhu tetap menghendaki maka teecu akan bersama suhu sampai di tempat tujuan!"

"Hm, bagus. Kalau begitu mari kita berangkat…!" pendekar ini tampak bersinar matanya lalu kepada Ceng Han dia mengulapkan lengan "Ceng Han, kalau kau hendak mencari murid Ta Bok Hwesio itu segera carilah. Aku bersama Hui-ji akan melanjutkan perjalanan. Berhati-hatilah!"

Lalu tanpa banyak bicara lagi ketua Beng-san-pai itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya. Sekali berkelebat dia lenyap dari tempat dan Lek Hui yang sudah bangkit berdiri menghampiri sutenya.

"Sute, harap kau berhati-hatilah. Nona Pek Hong tidaklah jahat, tapi musuh yang barangkali mengintai di sekitar kita wajib kita perhatikan. Aku tidak dapat membiarkan suhu di Puri Naga seorang diri, dan karena itu mudah-mudahan kita semua dapat berjumpa lagi dengan baik-baik. Nah, aku pergi dulu, sute. Semoga Tuhan melindungi kita bersama…!" Lek Hui tiba-tiba memeluk ketat tubuh sutenya itu lalu dengan mata basah dia mencium kening Ceng Han.

Ceng Han tertegun, tapi Lek Hui tiba-tiba sudah melompat pergi. Sentuhan ringan di atas keningnya itu sungguh belum pernah dia terima seumur hidup, tapi sikap suhengnya yang aneh ini tak mampu dia raba apa artinya. Dan Lek Hui yang melambaikan tangannya dari jauh itu tampak gemetar jarinya. Dia terkesima, dan sentuhan lembut di atas pundaknya mengejutkan pemuda itu.

"Han-koko, kenapa ayah dan suhengmu meninggalkan kau?"

Ceng Han memutar tubuh. Cui Ang yang tiba-tiba sudah berada di belakangnya ini membuat dia sadar bahwa di tempat itu memang masih ada seorang lagi. Dan orang itu bukan lain adalah puteri si Belut Emas Cui Lok ini. Ceng Han menarik napas, dan dengan muka muram dia memegang lengan orang. "Ang-moi, kau sudah sadar?"

"Ya, baru saja, Han-ko. Dan aku hanya mendengar pembicaraan kalian yang terakhir. Eh, omong-omong di mana adik Ceng Bi?"

Ceng Han tiba-tiba mendekap mukanya. Pertanyaan yang menyentuh keperihan hatinya itu mendadak membuat dia melelehkan air mata, dan Cui Ang yang terkejut melihat pemuda ini menangis sekonyong-konyong berdebar hatinya. Dia memang tidak tahu apa-apa dengan semua kejadian yang telah berlalu, karena dia merupakan orang yang pingsan terlebih dulu.

Tapi pembicaraan yang keras antara ayah dan anak perempuannya itu masih teringat olehnya. Maka melihat Ceng Han tak mampu menjawab, gadis inipun tiba-tiba menjadi gelisah. Dia tidak menyangka bahwa pertanyaannya menimbulkan kedukaan di hati putera sang Pendekar Kepala batu itu, tapi kalau dia terlanjur omong biarlah dia minta maaf saja. Maka Cui Angpun lalu menyentuh tangan Ceng Han.

"Han-ko, maaf kalau pertanyaanku melukai hatimu. Aku tidak sengaja, dan kalau kau tidak suka menjawabnya biarlah aku tidak akan bertanya lagi. Dan sekarang apa yang hendak kau kerjakan, Han-ko?"

Ceng Han tiba-tiba membuka mukanya. "Aku akan mencari jenazah adik Bi, Ang-moi. Dan kalau kau akan menemui ayahmu pergilah. Aku tidak dapat mengantar…"

"Apa...?" Cui Ang kaget bukan main. "Jen... jenazah adikmu, Han-ko? Kau maksudkan adik Bi te.... tewas...?"

"Ya, dan ayah yang menghukumnya, Ang-moi. Karena beliau sanggup untuk bertangan besi."

"Ahh...!" Cui Ang terlompat ke belakang dan matanya yang terbelalak lebar dengan mukanya yang pucat itu menunjukkan betapa gadis ini seperti mendengar petir di siang bolong. Dia sungguh tak mengira bahwa Ceng Bi telah menerima hukuman sedemikian kerasnya, karena sang ayah yang konon dikabarkan suka mengalah terhadap puteri satu-satunya itu acap kali memanjakannya. Maka sungguh hampir tak dapat dipercaya bahwa hari ini Ciok-thouw Taihiap tega menurunkan tangan "keji" itu, menghukum puterinya sendiri dengan hukuman mati!"

Dan Ceng Han yang melihat gadis itu tertegun tampak menyeringai penuh kedukaan. Dia dapat mengerti tentang kekagetan puteri si Betut Emas ini, tapi kalau mengingat watak ayahnya yang keras segala-galanya itu memang dapat dimaklumi. Hanya yang menjadikan dia perih, kenapa terhadap anak sendiri ayahnya itu bisa bersikap demikian kejam? Apakah sudah sepatutnya memang Ceng Bi harus dihukum seperti itu, tidak ada tenggang rasa mengingat hubungan jiwa diantara mereka? Ah, Ceng Han tidak mengerti dan Cui Ang yang jauh lebih tidak mengerti itu akhirnya bertanya gemetar.

"Han-koko, aku sungguh tidak menyangka bahwa nasib adik Ceng Bi demikian mengenaskan. Akan tetapi kenapa kau masih hendak mencari jenazahnya, koko? Apakah mayat adik Ceng Bi hilang? Dan bagaimana sebetulnya peristiwa itu bisa terjadi...?"

Ceng Han menuding ke atas tanah. "Itulah darahnya, Ang-moi. Dan aku juga kurang begitu mengerti mengapa peristiwa ini terjadi. Tapi menurut ayah, Ang-moi, jenazah adikku itu di ambil seseorang...."

"Diambil seseorang?"

"Ya, seseorang yang tentunya hendak menyelamatkan adik Ceng Bi dari hukuman. Tapi karena keputusan ayah tidak ada satupun yang bisa menggagalkannya maka orang itupun tidak berhasil"

"Ooh, dan siapa orang itw, Han-ko?"

"Murid Ta Bhok-Hwesio, nona Pek Hong...!"

"Oh, gadis yang baru saja dibicarakan adik Ceng itu ketika kita duduk bertiga?"

"Ya!"

Cui Ang kembali membelalakkan matanya dan yang membuat kepalanya pening itu tiba tiba disambut Cui Ang dengan keluhan pendek. Dia merasa sedih dan terharu sekali atas nasib Ceng Bi yang buruk, dan tanpa terasa air matanya tiba tiba sudah membanjir keluar. Ceng Han yang melihat terpaksa menggigit bibir, dan Cui Ang yang mengguguk dengan pundak berguncang-guncang itu mendadak sudah menubruk ke depan.

"Han-ko, aku menyesal sekali dengan adikimu. Tapi apakah kau tahu ke mana murid Ta Bhok Hwesio itu membawa jenazah adik Ceng Bi…..? Kalau kau tahu mari kita cari bersama, Han-ko akupun ingin melepaskan kedukaan ini…!"

"Oh…." Ceng Han terkejut. "Kita bersama Ang-moi?"

"Ya, kau dan aku. Apakah kau menolaknya Han-ko?" Cui Ang tiba-tiba mengangkat mukanya dan Ceng Han jadi tertegun.

Sejenak mereka saling bertatap muka, tapi Ceng Han yang gemetar jarinya itu tiba-tiba melepaskan pelukannya. "Tidak... tidak begitu, Ang moi. Tapi bukankah kau harus ke Puri Naga? Menemui ayahmu?"

"Ah, persetan dengan Puri Naga segala, Han ko. Kalau kau tidak keberatan aku lebih senang menyertaimu. Dan bukankah kau pernah berjanji, Han-ko.... janji di tepi sungai itu, bahwa kau tidak akan meninggalkan aku...?"

Ceng Han terpukul. Dia merah mukanya, karena kata-kata itu mengingatkan dia akan kata-katanya sendiri, kata-kata "cinta"nya terhadap puteri si Belut Emas ini dan begitu Cui Ang mempergunakannya sebagai "senjata" maka diapun akhirnya tidak dapat mengelak. Dia memang telah mengungkapkan rasa hatinya kepada gadis ini, dan bahwa Cui Ang ternyata menerimanya telah membuat mereka berdua menjadi sepasang kekasih secara diam-diam. Maka begitulah, Ceng Han dan puteri Cui Lok yang sama-sama jatuh hati itu menetapkan keputusannya.

Mereka tidak lagi ke Puri Naga, tapi membelokkan tujuan mencari murid hwesio Tibet. Atau lebih tepat lagi, mencari jenazah Ceng Bi untuk dimakamkan di Pegunungan Beng-san. Dan begitu dua orang muda-mudi ini melangkahkan kakinya segeralah tempat itu menjadi sepi kembali.

Peristiwa yang bakal tidak dapat dilupakan seumur hidup telah terjadi di tepi hutan itu dan peristiwa tragis bagi keluarga Ciok-thouw Taihiap itu sungguh menyedihkan sekali. Ceng Bi dihukum mati, dan Ciok-thouw Taihiap sendiri kini melangkahkan kakinya ke Puri Naga, tempat berbahaya yang bakal memporak-porandakan semua perasaannya. Karena di tempat inilah pendekar besar itu akan menjumpai hal-hal yang membuat matanya terbelalak lebar. Terutama pertemuannya dengan putera si jago pedang yang dipilihnya sebagai calon "menantu" itu!

* * * * * * * *

Barangkali sudah waktunya bagi kita untuk menengok keadaan di markas Perkumpulan Gelang Berdarah, atau tepatnya menengok kesibukan yang terjadi di pusat perkumpulan ini, yakni Puri Naga. Dan melayangkan pandangan pada keramaian menjelang ulang tahun pertama perkumpulan itu rupanya menarik sekali untuk diikuti.

Pertama-tama ialah tentang munculnya tenda-tenda darurat yang jumlahnya hampir seratus buah di lapangan terbuka di depan Puri Naga itu. Betapa kaum undangan yang datang dari jauh dan tiba beberapa hari sebelumnya telah mendapat kehormatan untuk bertempat tinggal di tenda-tenda darurat itu. Ada yang secara perorangan dan ada pula yang secara berkelompok.

Tapi yang paling banyak rupanya adalah tamu-tamu undangan yang datang secara berkelompok. Di sini mereka itupun ternyata masih terbagi-bagi pula, ada yang menempati tenda di sebelah kanan lapangan dan ada juga di sebelah kiri. Dan untuk yang di sebelah kiri umumnya dihuni oleh kelompok-kelompok yang sikapnya liar. Mereka itu pada umuinnya terdiri dari orang-orang kasar, dan gerak-gerik mereka yang setengah urakan serta wajah-wajah yang kaku bengis menandakan mereka dari golongan hek-to (hitam).

Lain halnya dengan para penghuni tenda di sebelah kanan. Di sini mereka itu umumnya terdiri dari kaum pelajar, tosu ataupun orang biasa yang sikapnya tenang dan tahu aturan. Mereka itu tidak pernah membuat gaduh, tidak seperti kelompok di sebelah kiri misalnya. Di mana kalau bicara dengan teman segolongan selalu berteriak teriak dan tertawa kasar. Bahkan adakalanya pula mereka itu menuding-nuding kekelompok tenda di sebelah kanan sambil melontarkan ejekan.

Apalagi kalau yang dilihat adalah kaum tosu yang rambutnya digelung ke atas seperti buntut kuda itu. Hal ini dijadikan percakapan kurang ajar, dan teman-teman yang lain segera tertava gemuruh bila korbannya mendelik tanpa berbuat apa-apa terhadap mereka. Karena bukannya para tosu itu takut, melainkan tidak mau membuat keributan di rumah oranglah mereka itu terpaksa menahan diri.

Dan pagi itu tepat ulang tahun perkumpulan diadakan tenda-tenda darurat sudah hampir penuh sesak. Yang di sebelah kiri penuh gerombolan-gerombolan liar yang sikapnya kasar dan kurang ajar sedangkan di bagian tenda sebelah kanan tampak kaum pendekar yang keren, tenang dan bersikap penuh wibawa.

Pagi itu panitia penyambut tampak lengkap. Mulai dari tujuh belas ketua cabang di tambah lagi dengan munculnya sang wakil ketua, hu-pangcu dari Gelang Berdarah si pemuda she Ok! Dan begitu barisan panitia yang lengkap ini muncul dari dalam seketika orang-orang di tenda darurat sama bersikap tenang. Mereka itu tidak ada yang berisik, semua memandang kagum. Dan pakaian ketat para ketua cabang yang bertubuh gesit membayangkan kekuatan tenaga yang menonjoi jelas.

Tapi yang paling menarik perhatian rupanya adalah tiga wanita cantik dalam urutan panitia penyambut tamu ini. Mereka itulah Sam-hek-bi-kwi, Tiga Mawar Hitam yang keluar dengau mulut tersenyum-senyum. Pagi itu mereka mengenakan pakaian tiga macam, dari sutera baru yang serba ketat, dan tubuh mereka yang berlenggang lenggok menggiurkan itu membuat laki-laki yang melihat sama menelan ludah.

Bi Kwi seperti biasanya mengenakan gaun hitam. Rambutnya digelung ke atas, dihias tusuk rambut berukir naga. Dan bibirnya yang merekah berseri-seri itu seakan memberikan madu birahi kepada setiap lelaki. Dia tidak malu-malu, dan langkahnya yang bebas lepas seperti kuda betina itu diam-diam membuat pemuda di sampingnya mengerutkan alis. Itulah Kun Bok. Pemuda yang kini menjadi "pembantu" istimewa dari perkumpulan Gelang Berdarah.

Sedangkan Bi Hwa yang merupakan orang ke dua dari Sam-hek-bi-kwi itu tampak tidak kalah cantiknya. Wanita ini mengenakan pakaian merah muda, ikat pinggangnya hitam, sehingga membuat kontras antara warna pakaian dan warna sabuk. Dan pinggangnya yang dilingkari ketat dengan ikat pinggang itu tampak kecil sekali, menonjolkan pinggulnya yang seperti pot bunga. Dan melihat wanita ini berlenggang sungguh mata bisa terbelalak dibuatnya. Bukit yang berirama naik turun itu sungguh terasa "sedap", dan bagi mata keranjang itu adalah pemandangan yang tidak boleh dilewatkan. Karena itu segera saja mata penonton jadi jelilatan, sebentar memandang ke arah Bi Kwi dan sebentar memandang ke arah Bi Hwa.

Tapi orang ke tiga di belakang dua orang wanita ini juga tidak kalah menariknya. Dia itulah Bi Gwat, orang tertua dari Sam-hek-bi-kwi yang mengenakan pakaian ungu. Sedikit berbeda dengan dua orang adiknya yang semringah, adalah Bi Gwat ini agak pendiam, Tapi justeru sikapnya yang lebih pendiam itu membuatnya memang anggun. Bi Gwat memang tidak selincah adik-adiknya, tapi wajahnya yang bulat telur dengan mata sedikit dingin itu menjadikannya wanita cantik dengan ciri khas lainnya.

Dia tidak bisa dikata kalah dengan dua orang adiknya, karena kalau Bi Kwi dan Bi Hwa membuat orang lain merasa gemas adalah terhadap Bi Gwat ini orang bisa merasa tunduk tapi ingin diajak bicara. Sikap yang anggun dan agak dingin itu menjadikan wanita ini mempunyai daya tarik tersendiri, karena itu tidak heran kalau mata lelaki jadi sebentar berkejap-kejap saling berganti melotot memandang tiga orang wanita cantik ini. Sedetik ke arah Bii Kwi, sedetik kemudian ke arah Bi Hwa dan sekejap kemudian ke arah Bi Gwat.

Pendeknya, pagi hari itu menjelang diadakan-nya pada pesta ulang tahun Gelang berdarah tiba-tiba saja suasana di tempat itu tertarik perhatiannya pada rombongan ini. Mereka melihat betapa cantik jelitanya Sam-hek-bi-kwi itu, dan bahwa mereka main kerling ke sana ke mari sambil tersenyum-senyum manis sungguh membuat kaum lelaki jadi "sirr" seakan ditantang.

Tapi agaknya rombongan istimewa ini bukanlah menyambut mereka. Karena tujuhbelas ketua cabang serta wakil ketuanya itu tampak menuruni tangga dan terus melangkah ke depan, menuju pintu masuk di luar lapangan. Dan melihat rombongan panitia ini menuju pintu masuk di luar lapangan sungguh membuat para undangan yang sudah ada menjadi terheran-heran. Mereka melihat sikap yang istimewa di situ, penghormatan luar biasa bagi seseorang yang agaknya hendak disambut. Dan melihat betapa besarnya perhatian pada rombongan panitia penyambut tamu ini seketika ingin tahulah mereka, siapa orang "besar" yang hendak disambut itu. Tentu sebagian ketua partai terkenal atau pendekar sakti yang namanya menjulang tinggi!

Dan begitu mereka saling bertanya-tanya tibalah rombongan panitia itu di luar lapangan. Sang hu-pangcu tampak mengatur anak buahnya, dan rombongan yang terdiri dari belasan orang itu tiba-tiba memecah diri menjadi dua. Satu di sebelah kiri dan yang lain di sebelah kanan. Si pemuda baju kuning tampak berdiri paling depan, didampingi oleh Sam-hek-bi-kwi dan pemuda baju putih. Pemuda yang oleh banyak orang tidak diketahui siapa tapi yang dapat dipastikan tentulah anggota Hiat-goan-pang Pula. Dan itu memang benar, karena pemuda yang dimaksudkan ini bukan lain adalah Kun Bok!

Separti orang-orang lain, Kun Bok diminta oleh perkumpulan Gelang Berdarah untuk masuk sebagai panitia penyambut tamu. Dan meskipun dia merasa tidak enak dan berdebar gelisah namun dia tidak dapat menolak. Dia sudah menyanggupkan untuk menjadi pembantu perkumpulan itu, dan apapun yang terjadi tentu saja dia tidak mungkin menghindar. Maka putera si jago pedang Kun Seng inipun semakin terjerumuslah lebih dalam.

Dia seakan-akan terjerat oleh jala yang tidak kelihatan, dan hanya berkat cintanya terhadap Bi Kwi-lah yang membuat pemuda itu nekat segala-galanya. Baik tentang perilakunya sehari-hari maupun tentang tindak-tanduk Gelang Berdarah yang dirasa menyembunyikan sesuatu yang serba misterius. Tapi Kun Bok "membutakan" matanya, tidak melihat segala sesuatunya itu dan melawan tuntutan hati nuraninya sendiri yang menyatakan adanya sesuatu yang tidak bares.

Dan ketika pagi itu dia bersama orang-orang lain menyambut tamu yang belum nampak pemuda ini sudah mengerling kesana kemari dengan perasaan gelisah. Dia diberi tahu bahwa akan masuk tamu-tamu agung yang muncul pagi ini, yakni beberapa ketua partai dan seorang pendekar sakti. Tapi siapakah pendekar yang dimaksud itu semua orang tidak tahu, kecuali tentu saja sang hu-pangcu yang diberi tahu gurunya itu, pemuda she Ok yang tersenyum-senyum dengan mata bersinar aneh. Dan melihat sikap sang wakil perkumpulan Gelang Berdarah ini tampak gembira diam-diam membuat Kun Bok mendongkol sekali.

Tapi dia dapat menindas perasaannya ini. Bi Kwi dan dua orang kakaknya selalu memberi nasihat, agar dia dapat menahan diri dan mencoba bersabar. Dan untuk menyenangkan hati tiga orang kekasihnya itu terpaksa Kun Bok menurut saja. Dia sebetulnya ingin supaya keramaian di perkumpulan Gelang Berdarah itu cepat selesai, karena menunggu dengan ketegangan yang mencekam itu terasa tidak enak sekali. Terutama seperti saat-saat ini. Dimana menunggu hadirnya ketua-ketua pertai yang sudah dikenal beberapa diantaranya itu sungguh rasanya menggelisahkan sekali, terutama dua orang di antara mereka, Pek-mauw Sian-jin dan Beng-san-paicu, ketua Kun-lun dan Ciok-thouw Taihiap Souw Ki Beng itu!

Dan membayangkan dia harus berhadapan dengan dua orang tokoh besar ini rasanya Kun Bok benar-benar bingung sekali. Terhadap Pek-mauw Sian-jin dia masih merupakan orang satu "daerah", sama-sama berdiam di Pegungangan Kun lun yang luas sedangkan terhadap Beng-san-paicu dia terikat oleh adanya sebuah perjanjian, yakni tentang ikatan jodoh itu. Dan membayangkan dia harus menyambut dua orang ketua partai ini kok rasanya ada semacam ganjalan di hati, suatu perasaan tidak enak yang selama beberapa hari ini telah mengganggunya siang malam.

Karena itu Kun Bok yang kebingungan serta gelisah seorang diri ini akhirnya tidak mau berpikir parjang lebar. Dia sudah berdiri di samping hu-pangau dari perkumpulan Gelang Berdarah itu, dan bahwa semua orang tampak berseri-seri membuatnya menarik napas seorang diri. Bi Kwi dan Bi Hwa sering menyentuh lengannya, menyuruh agar dia membuang segala kepepatan batin yang mengganggu itu. Tapi, mana mungkin dia bisa menghilangkannya?

Karena itu Kun Bok jadi tampak muram dan Hu-pangcu perkumpulan Gelang Berdarah yang ada di sampingnya itu tiba-tiba menepuk tangannya. Dua sosok tubuh muncul di kejauhan sana, dan panitia penyambut yang sudah bersiap-siap di tepi lapangan itu mendadak memandang ke depan sambil menegakkan kepala. Itulah dua orang tosu tua. Yang di sebelah kanan bertubuh tinggi tegap dengan rambutnya yang putih berkibar sedangkan yang di sebelah kiri menggelung rambutnya ke atas dengan ikat kepala kuning.

Itulah orang yang ditunggu-tunggu, kakek bermuka terang yang berjalan perlahan ke tempat mereka. Tapi anehnya, langkah kaki yang kelihatan bergerak lambat itu tahu-tahu telah meluncur seakan terbang menuju lapangan di depan Puri Naga. Dan begitu semua orang terbelalak memandang keheranan tiba-tiba saja dua orang pendatang baru itu telah berhenti di hadapan mereka tidak sampai beberapa detik dari bayangan mereka yang baru saja muncul.

"Ha-ha, kalian semua kiranya telah siap menyambut pinto, Ok-kongcu? Sian-cai, semoga kami berdua belum terlambat untuk menerima undangan kalian! Tapi di mana gurumu, Ok-kongcu, apakah Hiat-goan-pangcu terlalu besar untuk menyambut kami?" kakek berambut putih itu sudah merangkapkan kedua tangannya sambil tertawa dan Kui Lun yang cepat-cepat membungkukkan tubuhnya di depan tosu ini tersenyum lebar.

"Maaf, Pek-mau Sian-jin locianpwe, Suhu terlalu sibuk di dalam untuk mempersiapkan jamuan bagi tamu-tamu angung. Siauwte diminta mewakilinya, dan jiwi locianpwe yang sudah melelahkan kaki jauh-jauh datang sungguh merupakan kehormatan besar bagi kami. Selamat datang, locian-pwe... selamat datang, locianpwe... selamat datang dan semoga ji-wi berdua berbahagia!"

"Ha-ha, kau pandai menyambut tamu, Ok-kongcu. Dan terima kasih atas penghargaanmu ini. Tapi apakah sahabat-sahabat pinto yang lain sudah ada yang datang?"

Hu-pangcu perkumpulan Gelang Berdarah itu menggelengkan kepalanya. "Belum, locianpwe. Maka locianpwe adalah orang pertama yang mendapat penghormatan kami. Dan karena perayaan baru dimulai nanti sore maka kami persilahkan jiwi berdua beristirahat di tempat yang telah kami persiapkan."

"Ah, terima kasih...!" kakek itu tertawa. "Dan perkenalkan ini adalah wakil pinto Sun Sim Sianjin...!" Kakek itu menoleh ke tosu di sebelahnya.

Dan Kui Lun cepat-cepat memberikan hormat. "Selamat datang, totiang. Dan semoga kehadiran totiang berdua bakal menambah pengalaman kami."

"Ah, terima kasih, siauw-pangcu. Tapi mudah-mudahan kamilah yang mendapat pengalaman dari perayaan ini!" Sun Sim Sianjin tertawa sambil membungkukkan tubuhnya.

Dan Kui Lun tersenyum. Dia merasa adanya sindiran halus pada kata-kata ini, tapi karena hal ini sudah biasa bagi orang-orang kang-ouw maka tidak menanggapi. Sementara Pek-mauw Sian-jin yang siap diantar itu tiba-tiba membelalakkan matanya.

"Eh, ini bukankah Bok-kongcu adanya?" kakek itu menuding Kun Bok.

Kun Bok terkejut, tapi pemuda ini memang sudah bersiap-siap. Dia memang sudah menduga bahwa dirinya pasti akan dikenal oleh ketua Kun-lun-pai itu, dan melihat dia berada di tengah-tengah rombongan anggauta Hiat-goan-pang tentu membuat kakek itu heran. Maka begitu Pek-mauw Sian-jin mengenal dirinya segera Kun Bok melangkah maju memberi hormat.

"Maaf, siauwte memang orang she Kun, locianpwe, sudah beberapa waktu di sini. Apakah locianpwe sehat-sehat saja?"

Pok-mauw Sian-jin tertegun. Dia terheran-henar melihat putera si jago pedang Bu-tiong-kiam Kun Seng ini berada di sini, dan melihat pemuda itu tampaknya bergaul dengan orang-orang Gelang Berdarah yang sudah dia dengar sepak terjangnya itu membuat dia tercengang. Tapi karena semua mata tiba-tiba menujukan perhatiannya pada dirinya tiba-tiba kakek itu tertawa. Dia mengulapkan lengan, dan Kun Bok yang memberi hormat dibalas dengan anggukan kepala.

"Ah...!" Pek-mauw Sian-jin tampak terterkejut dan kakek itu memandang Kun Bok yang tampaknya tersipu-sipu menganggukkan kepalanya.

"Benar, locianpwe. Apa yang dikatakan hu-pangcu memang tidak salah. Siauwte terikat oleh persoalan pribadi ini dan menjadi pembantu Hiat-goan-pang."

"Hmm…." Pek-mauw Sian-jin akhirnya mengerutkan kening dan kakek yang sudah banyak makan asam garam dunia itu tiba-tiba merasakan sesuatu yang tidak wajar pada diri putera si jago pedang itu. Namun, karena ini adalah urusan pribadi bagi yang bersangkutan maka diapun tersenyum aneh dan mengangguk-angguk. Dia mendengar ikatan jodoh pemuda itu, tapi bukan dengan anggauta Hiat-goan-pang melainkan dengan puteri Beng-san-paicu. Dan kenyataan bahwa yang bersangkutan bakal berjodoh dengan wanita Gelang Berdarah sungguh terasa aneh!

Tapi Pek-mauw Sian-jin memang seorang kakek cerdik. Dia tidak mau mencampuri urusan orang lain dan Kun Bok yang diawasinya sekilas itu sudah tidak dilihatnya lagi. Dia ke situ bukan untuk mendengar berita perjodohan, tapi melihat pertandingan pibu bagi jago-jago dunia dalam perayaan Gelang Berdarah. Dan bahwa pibu itu sekaligus juga untuk menentukan seorang bengcu maka jauh lebih penting daripada mencampuri urusan orang lain.

Maka begitu hu-pangcu dari Gelang Berdarah itu siap mengantarnya ke tempat yang sudah disediakan dilapangan rumput, kakek inipun tidak banyak bertanya lagi. Kun Bok diliriknya sekejap, dan setelah itu ketua Kun-lun-pai ini tersenyum tenang menuju tenda darurat. Dan munculnya tokoh besar dari Kun-tun-pai itu rupanya membuat berisik juga, karena tamu yang sudah datang dari kedua pihak sama-sama memandang. Ada yang bersinar benci dan ada pula yang bersinar gembira. Karena munculnya tokoh seperti Pek-mauw Sian-jin ini pasti bakal meramaikan suasana pada ulang tahun perkumpulan Gelang Berdarah itu.

Dan baru saja ketua Kun-lun-pai ini masuk berturut-turut datanglah ketua-ketua partai yang lain. Pertama-tama adalah Hui To Lojin, ketua Hoa-san yang terkenal permainan goloknya, suheng dari mendiang Hoa-san Lojin yang dibunuh orang. Lalu Kim-sin Sian-jin, ketua Kong-thong yang dulu diobrak-abrik markasnya oleh Cheng-gan Sian-jin itu. Kemudian Bu Wi Hosiang ketua Bu-tong yang memegang tongkat dan Thian Kong Cin-jin dari Cin-ling-pai!

Jadi kini hadirlah tokok-tokoh besar dari dunia kang-ouw itu dan kemah darurat yang dijadikan tempat peristirahatan darurat menyambut tamu-tamu agung itu seketika menjadi penuh. Mereka tampak berkumpul, dan Pek-mauw Sian-jin yang melihat munculnya para sahabat dari ketua-ketua partai terkenal itu tiba-tiba saja sudah asyik dalam pertemuannya sendiri.

Kelompok tenda kaum pendekar ini sebentar saja menjadi ramai. Dan panitia penyambut yang sibuk melayani tamu-tamu agung ini kian ke mari. Semua tokoh- tokoh besar yang diundang sudah hadir, dan Kui Lun berseri-seri mukanya dalam menjalankan tugas. Dia gembira bahwa tokoh-tokoh dunia itu mau datang, tapi seseorang yang dinanti-nanti ternyata belum muncul ialah Ciok-thouw ketua Beng-san-pai yang dulu beradu catur itu!

Dan kalau pemuda baju kuning ini menunggu orang yang paling penting dengan muka bersinar dan mata penuh harap adalah Kun Bok pribadi sebenarnnya "gembrobyos" dalam menemani panitia penyambut tamu itu. Dia selalu berdebar tegang kalau ada ketua partai yang muncul, dan berkali-kali orang yang dijadikan ketegangan ternyata diganti oleh orang-orang lain selalu membawa debaran tidak karuan di hatinya. Kun Buk takut-takut gentar. Dan mukanya yang kian memutih pucat itu menjadikan pemuda ini gelisah tidak karuan. Dia ingin segalanya itu berakhir, tapi Ciok-thouw Taihiap ternyata belum juga muncul. Apakah sebentar lagi?

Dan kapan sebentar lagi itu akan berakhir? Dan kecemasan yang dirasakan pemuda ini rupanya mengalami ujian hebat. Pagi yang sudah lenyap mulai berganti siang, dan matahari yang terik di atas kepala membuat beberapa orang di antaranya mulai berkeringat. Karena sejak dari penyambutan Pek-mauw Sian-jin yang pertama sampai kepada Thian Kong Cin-jin yang terakhir matahari sudah semakin condong ke barat. Dan penantian kepada tamu-tamu agung yang terakhir itu mulai menjengkelkan. Karena menurut perhitungan, tinggal ketua Beng-san-pai itulah yang penghabisan, ditambah seorang pendekar sakti yang tidak diketahui! Tapi kenapa orang yang dinanti-nanti ini belum tampak juga? Apakah tidak datang?

Dan sore itupun jelanglah sudahl Matahari sudah meredupkan sinarnya. Kuning jingga di atas bukit. Dan senja yang mulai mendatang hampir menghabiskan kesabaran semua orang. Kui Lun sendiri sudah bersiap-siap untuk mundur, karena waktu yang dibataskan mulai habis. Perayaan sudah akan dimulai, dan suhunya tentu sudah menunggu-nunggu laporannya. Tapi baru dia akan membubarkan anggautanya tiba-tiba seseorang muncul di sana. Ya, orang terakhir agaknya!

Dan begitu orang ini muncul yang paling tegang agaknya adalah Kun Bok. Dia mengira Ciok-thouw Taihiap yang datang, karena orang itu tampak tegap dan kepalanya gundul. Akan tatapi setelah orang melihat pakaiannya yang berkibar semacam jubah tahulah mereka bahwa pendatang ini adalah seorang Hwesio. Dan begitu orang ini muncul tiba-tiba terdengarlah suara ketawanya yang bergelak gemurruh.

Dia berlari seakan terbang, dan langkah kakinya yang terdengar "duk-duk" menggetarkan tanah itu membuat semua orang terkejut. Kui Lun terkesiap kaget, dan baru dia memperhatikan siapa sebenarnya hwesio yang tidak dikenal ini tiba-tiba saja orang sudah berkelebat di depan mereka dan berdiri dengan mata liar.

"Ha-ha-ha, mana itu Cheng-gan Sian-jin? Mana itu jago dunia yang menjadi bengcu? Eh, anak muda, mana itu musuh-musuh pinceng…?" hwesio ini mengeluarkan suaranya yang serak parau dan kata-katanya yang mencari Ceng-gan Sian-jin tampak berputar ganas dengan pandangan mengancam.

Kui Lun tertegun. Dia tidak tahu siapa hwesio yang tampaknya liar ini, tapi tubuhnya yang mengeluarkan sinar kemerahan itu membuatnya terbeklak. Orang yang seperti tidak waras ini mengejutkan hatinya, tapi ketika orang menggedruk-gedrukkan kakinya seketika dia melihat bahwa hwesio yang tertawa-tawa itu buntung! Kiranya hwesio yang aneh ini orang cacad, karena kedua kakinya yang dipasangi bambu itu tampak menopang tubuh dengan kuat. Dan kiranya bambu itulah yang mengeluarkan suara "duk duk" ketika hwesio ini berjalan!

Maka Kui Lun yang kaget karena melihat orang datang-datang mencari Cheng-gan Sian-jin jadi menjublak terbengong. Dia tidak tahu harus menjawab bagaimana, tapi hwesio yang melotot-lotot itu tiba-tiba merasa gusar. Dia melompat seperti katak, artinya melompat dengan kedua kaki bersamaan, dan Kui Lun yang tertegun di tempatnya ini sekonyong-konyong digaplok.

"Hei, kau dengar pertanyaan pinceng ataukah tidak? Atau telingamu yang tuli hingga perlu diperbaiki? Nah, terima ini kalau begitu. Pinceng tidak senang melihat orang menjadi patung batu...." dan baru katanya itu diucapkan setengah jalan tiba-tiba tangan hwesio ini sudah menampar sisi kepala Kui Lun. Dia bergerak cepat, tapi Kui Lun yang bukan pemuda sembarangan itu sudah cepat merendahkan kepalanya sambil melompat mundur.

Akan tetapi betapa kagetnya pemuda ini ketika tiba-tiba saja tangan kiri hwesio itu nyelonong maju dan mencengkeram leher bajunya tiba-tiba saja tubuhnya tertahan. Dan begitu dia berteriak kaget sekonyong-konyong lengan kanan sang hwesio liar menyambar pelipisnya.

"Plak....!" Kui Lun ditampar dan tangan hwesio yang sekeras baja itu membuat pemuda ini terlempar sambil mengaduh. Hu-pangcu dari Gelang Berdarah itu terpelanting, namun dia yang dapat berjungkir-balik sambil mengerahkan ginkangnya itu tahu-tahu sudah kembali di depan seperti bola karet!

"Hai….?!" hwesio itu terbelalak, dan Kui Lun yang memandangnya dengan sinar mata berapi ini mendamprat.

"Orang gila, kau keledai gundul dari manakah? Dan mengapa datang-datang mencari Cheng-gan Sian-jin?"

Hwesio berkaki buntung ini tiba-tiba tertawa bergelak. "Ha, kau rupanya lihai, anak muda. Tapi kenapa memaki pinceng? Cheng-gan Sian-jin manusia busuk, dia membuntungi kaki pinceng. Dan kini pinceng ingin membalasnya sebagai hutang!"

"Hm, dan kau siapa, orang gila?"

"Pinceng anak Tuhan, wakil dunia yang hendak membasmi orang-orang jahat. Ha-ha, apakah kau tidak mengenal pinceng, anak muda? Oh, kau bodoh benar. Hayo tunjukkan di mana Cheng-gan Sian-jin itu....!"

Kui Lun ini semakin marah dan keyakinannya bahwa hwesio itu ternyata seorang gila membuatnya gemas. Tapi Bi Kwi yang berdiri di dekatnya sekonyong-konyong berseru,

"Hu-pangcu, biarkan aku saja yang mengusirnya. Keledai gundul ini tampaknya tidak waras, dan orang tidak waras tidak diperkenankan mengacau. Lo-suhu, pergilah, jangan mengganggu di tempat kami....!" dan seakan mengusir orang, Bi Kwi menggerakkan tangannya, tertawa manis sambil diam-diam menjentikkan sebatang jarum beracun ke leher orang. Inilah serangan curang, dan Bi Kwi yang menduga hwesio itu pasti terkena serangan gelapnya diam-diam sudah tertawa puas. Tapi gadis ini jadi kaget, juga tertegun ketika melihat hwesio yang diserang itu mendadak menggelembungkan lehernya dan membentak.

"Bocah perempuan, berani kau menyerang pinceng dengan jarum beracun? Ah, kau benar-benar kuraug ajar. Terima kembali jarum yang busuk ini, phuhhl" Hwesio itu meniup dan senjata gelap yang menyambar lehernya itu tiba-tiba membalik dan menyerang Bi Kwi sendiri...!