Pendekar Kepala Batu Jilid 25 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 25
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Kepala Batu Karya Batara
AIH... apakah dia dapat mengimbangi perasaan pemuda itu? Dan kalau seandainya dapat, kebahagiaankah yang bakal menyertai mereka? Karena harus diingat bahwa pemuda ini adalah seorang hu-pangcu dalam perkumpulan Gelang Berdarah. Bahkan, gurunya adalah penghuni Pulau Hek-kwi-to yang merat dari sana untuk akhirnya mendirikan Hiat-goan-pang!

Maka Ceng Bi tiba-tiba tertawa pahit dan wakil Perkumpulan Gelang Berdarah yang mendengar suara ketawanya itu tiba-tiba menjadi pucat.

"Ui-i-siauw-kwi, sungguh aku tidak tahu apakah harus berduka ataukah bergembira mendengar pernyataan cintamu itu. Tapi kau yang telah berkali-kali menyakiti hatiku, dan yang telah pula memberikan obat beracun kepada enci Hong, bisakah mempercayai ucapanmu ini? Kau telah menimbulkan syakwasangka di dalam hatiku, Ui-i-siauw-kwi, dan latar kehidupanmu yang berlawanan dengan kaum pendekar sungguh membuat aku tidak bisa menerima omonganmu ini. Seharusnya, mengingat betapa kau telah berkali-kali menyakitiku seyogianya aku membalas semua perbuatanmu itu. Tapi karena hari ini kau telah menyelamatkan aku dari tangan si orang she Pouw biarlah perhitungan di antara kita impas sampai di sini. Bahkan, aku masih berhutang budi padamu. Hem, sudahlah, kita tidak perlu membicarakan cinta! Aku ingin pergi dan terima kasih atas pertotonganmu...!" Ceng Bi memandang sekejap ke arah lawan bicaranya lalu tiba-tiba melompat ke luar gua.Gadis ini tampak menggigit bibirnya.

Dan Kui Lun yang melihat puteri Beng-san-paicu itu berkelebat dengan mata sedikit basah sekonyong-konyong mengejar dengan teriakannya, "Souw-siocia!" dan Ceng Bi yang sampai di pintu gua tiba-tiba dihadang perjalanannya.

Ceng Bi mengeraskan dagunya, dan mata yang tidak senang itu menjadikan si pemuda baju kuning gugup. "Ui-i-siauw-kwi, mau apakah kau menghadang perjalanan orang? Apakah kau minta imbalannya?"

Pemuda ini menjadi pucat. "Souw-siocia..." dia berseru gemetar. "Apakah kau demikian benci kepadaku?"

Ceng Bi mengerutkan alisnya. "Aku tidak bicara begitu, orang she Ok. Tapi kalau mengingat perbuatanmu di masa lalu bisa saja aku membangkitkan kebencian itu. Tapi kau telah melepas budi kepadaku. Apakah kau hendak meminta balasannya?"

Pemuda ini tertegun. "Souw-siocia, kenapa kau demikian getas kepadaku? Tidakkah kau melihat kesungguhan kasih sayangku kepadamu?"

"Hm, dan untuk ini aku harus membalas semuanya itu, orang she Ok? Begitukah yang kau maksud? Kau hendak menyuruh agar aku balas mencintamu dan galang-gulung dengan Perkumpulan Gelang Berdarah?"

Kui Lun menjadi semakin pucat. "Nona Souw..." suaranya terdengar menggigil hebat, "Kenapa kau demikian keras kepadaku? Sudah demikian hebatkah kesalahan-kesalahan yang telah kuperbuat kepadamu? Aku tidak mengemis cinta darimu, nona. Dan kalau kau tidak mencintaiku akupun juga tidak memaksa. Tabu bagi orang she Ok ini untuk main paksa tentang cinta....!"

Pemuda itu tampak mengedikkan kepala dan Ceng Bi yang mendengar kegagahannya ini tiba-tiba tertegun. Dia tidak menyangka bahwa di dalam hati orang ternyata bersembunyi kejantanan yang seperti itu, maka kekerasan hatinya yang dirasa kelewat tiba-tiba sedikit mereda. Dia memandang mata lawan, dan melihat kesungguhannya yang tidak dibuat-buat Ceng Bi-pun mendadak merasa aneh.

"Hm, kalau begitu apa yang kau kehendaki, orang she Ok? Mengapa kau menghadang di depanku?" gadis ini bertanya perlahan dan suaranya yang mulai melunak membuat wakil Perkumpulan Gelang Berdarah itu bersinar matanya.

"Nona Souw...." pemuda itu menjawab dengan suara serak. "Aku ingin memberikan sesuatu kepadamu. Apakah kau juga meragukan iktikad baikku ini? Kalau kau curiga memang sebaiknya tidak usah saja, nona. Tapi kalau kau percaya sungguh akan bahagia sekali rasa hatiku. Aku akan memberikan peninggalan mendiang adikku yang sudah tiada, dan kalau kau mau menerima aku amat berterima kasih sekali, nona, karena boleh dianggap inilah imbalan jasa yang ingin kutuntut darimu?"

Ceng Bi terheran dan dia memandang terbelalak. "Orang she Ok, apa yang hendak kau berikan kepadaku itu? Dan kau bilang bahwa pemberianmu itu dari mendiang adik perempuanmu?"

"Ya, nona Souw dan aku ingin kau menerimanya dengan senang hati..."

"Hm, jadi hitung-hitung sebagai pembalas budi mu, orang she Ok"

Pemuda ini tampak tidak enak. "Kalau boleh dikatakan begitu, nona, agar kau tidak menolak pemberian ini."

"Baiklah. Baru sekali ini ada orang main paksa kepadaku dalam hal pemberian. Kau memang orang aneh, Ui-i-siauw-kwi....!" Ceng Bi bersungut gemas dan hu-pangcu.

Dari Perkumpulan Gelang Berdarah itu tiba-tiba sudah mengambil bungkusan berwama hitam. Dengan muka berseri dia membuka bungkusan ini, dan Ceng Bi yang mengawasi gelak-geriknya tercengang melihat sebuah baju pendek wanita yang tanpa lengan.

"Apa itu, Ui-i-siauw-kwi?" Ceng Bi bertanya. "Baju dalam adikku, nona, warisan subo yang merupakan peninggalan satu-satunya....!"

"Hmm..." Ceng Bi merah mukanya dan sejenak dia merasa jengah. Baju dalam wanita itu mirip kutang berbadan lebar, dan warnanya yang mengkilap halus jelas terbuat dari sutera pilihan. Dia hendak mengomel tapi pemuda baju kuning itu tiba-tiba berkata.

"Jangan kau remehkan baju ini, nona Souw, karena inilah baju tahan senjata, yang disebut orang Thian-bian-ih (Baju Sutera Langit)! Dan sekali kau mengenakannya tidak ada sebuah pukulan ataupun bacokan senjata yang sanggup melukai kulitmu. Nah, terimalah dan boleh kau pakai nanti...!"

Kui Lun menyerahkan baju sutera itu dan Ceng Bi jadi terkejut mendengar bahwa baju itu ternyata adalah Thian-bian-ih! Baju dalam wanita itu mirip kutang berbadan lebar, dan warnanya yang mengkilap halus jelas terbuat dari sutera pilihan.

"Eh. ini baju pusaka, Ui-i-siauw-kwi! Kenapa kau berikan padaku...?" gadis itu menjadi heran dan pemuda baju kuning tertawa sejenak.

"Jangan kau menolaknya, nona. Ingat akan ucapanmu tadi. Aku hendak memberikannya kenang-kenangan terhadapmu karena siapa tahu kita sudah tidak bakal berjumpa lagi...!" berkata begini tiba-tiba wajah pemuda itu menjadi muram dan Ceng Bi terbengong tidak mengerti.

Tapi akhirnya gadis ini menerima juga dan pangcu dari Perkumpulan Gelang Berdarah yang muram itu dipandangnya terharu. Sekarang dia merasakan ketulusan orang, dan wajah yang berkerut dahinya itu membuat dia berdebar. "Ui-i-siauw-kwi...!"

"Ada apa, nona?"

"Kau betul-betul menghadiahkan barang ini dengan rela?"

"Eh, apakah nona kira aku main-main? Aku menyerahkannya dengan tulus, nona Souw, dan jangan kira aku menyembunyikan pamrih pribadi pemberian ini. Aku sudah tidak mempunyai saudara lagi di dunia ini, dan adikku satu-satunya paling kusayang telah tiada. Warisan satu-satunya yang tidak dapat kupakai kini kuberikan padamu, apakah kau masih curiga?"

Ceng Bi menggeleng. "Tidak Ui-i-siauw-kwi. Dan alasanmu memberikan baju ini tentu ada sangkut-pautnya dengan... dengan cintamu itu, bukan?"

Pemuda ini menarik napas panjang. "Kau membuka kepedihanku, nona Souw. Tapi baiklah. Dengan jujur aku harus mengakui kenyataan ini dan terdorong oleh sebab itulah aku memberikan baju pusaka itu kepadamu. Tapi ada pertimbangan lain lagi, nona, yakni karena ingin menjaga keselamataninu dari ancaman bahaya. Bukankah kau hendak menonton keramaian di Puri Naga? Nah, karena maklum akan watak keras kepalamu inilah aku ingin memberikan perlindungan dengan baju peninggalan adik perempuanku itu. Kau harus berhati-hati, nona, dan kalau sudah bertemu ayahmu sebaiknya bujuk saja beliau pulang dan meninggalkan tempat berbahaya itu!"

"Hm, akan terjadi apa di sana, Ui-i-siauw-kwi?"

"Maaf, aku tidak bisa menceritakannya lebih jauh, nona. Tapi kalau kau mau ikut nasihatku lebih baik pergilah. Jangan dekati tempat itu setalah suhuku muncul!"

Ceng Bi terbelalak dan tiba-tiba mukanya menjadi tegang. "Ui-i-siauw-kwi, apakah ulang tahun perkumpulanmu akan dijadikan ajang pembantaian terhadap kaum pendekar?"

Pemuda ini menegakkan kepalanya. "Nona Souw, jangan memaksaku terlampau jauh. Sejelek-jeleknya orang she Ok dia tetap bukan semacam pengkhianat hina yang akan membuka rahasia perkumpulan. Karena itu pergilah, kalau kau mau ikut nasihatku, dan berhati-hatilah serta pakai baju pusaka itu untuk menghadapi segala macam bahaya...!"

"Hm..." Ceng Bi merasa kagum dan tiba-tiba dia membungkukkan tubuhnya di depan lawan. "Ui-i-siauw-kwi, kau ternyata laki-laki jantan yang tampaknya bemasib buruk. Baiklah, kalau kau tidak mau bercerita akupun juga tidak memaksa. Mendatangi Puri Naga dan melihat keramaian dari dekat tentu akan menjelaskan segalanya bagiku. Selamat tinggal, dan terima kasih atas kejujuran sikapmu...!"

Gadis itu memandang sejenak dan tiba-tiba kakinyapun berkelebat melampaui kepala lawan. Dia tidak mau memancing-mancing lagi, dan Hu-pangcu dari Perkumpulan Gelang Berdarah itu lama mengawasi bayangannya lalu menarik napas panjang. Kemuraman di wajahnya tampak mengendor, dan sinar matanya yang sedikit bercahaya kelihatan berseri memandang bungkusan hitam yang dibawa puteri Beng-san-paicu itu.

Dia masih tegak di mulut gua, akan tetapi setelah bayangan Ceng Bi benar-benar lenyap akhirnya murid penghuni pulau iblis Hek-kwi-to inipun melompat pergi. Dia meninggalkan gua yang hampir saja menjadi awal malapetaka keji bagi puteri Ciok-thouw Taihiap itu, dan pertolongannya yang tepat pada saatnya benar-benar telah melepaskan gadis cantik dari Beng-san itu pada waktunya yang amat di kehendaki.

Kini suasana di tempat itu sunyi kembali, dan Kui Lun yang melangkah gontai tampak berkerut lagi alisnya yang tebal. Dia tidak tahu betapa sesosok bayangan mengikuti gerak-geriknya dan sepasang mata yang tajam penuh wibawa tiba-tiba bersinar redup. Bayangan ini melompat ringan, dan pemuda baju kuning yang mulai berlari cepat itu sekonyong-konyong dikuntit dari belakang. Gerak kakinya yang gesit dan tanpa suara benar-benar menunjukkan kemahiran ginkangnya dan ketua muda Perkumputllan Gelang Berdarah itu yang tampaknya tidak menyadari dibayangi lawan jelas membuktikan bahwa penguntit ini adalah seorang berkepandaian tinggi!

* * * * * * * *

Sore itu Kui Lun dipanggil gurunya. Ruang bangsal di belakang Puri Naga telah penuh orang. Tujuh belas kursi tampak berderet rapi menghadap seorang laki-laki berkedok karet, dan dua buah kursi kosong yang tanpa pemilik tampak melompong. Itulah "Bangsal Agung" yang dijadikan tempat pertemuan atau rapat oleh orang-orang perkumpulan Gelang Berdarah, dan si laki-laki berkedok karet yang bukan lain adalah sang ketua sendiri tampak duduk dengan sikap keren di kursi kebesarannya.

Hari itu sang ketua tampak tidak senang hati. Matanya yang berkilat mencorong menandakan kemarahannya yang ditahan, dan ketika muridnya yang satu ini datang lo-pangcu dari Hiat-goan-pang itu kelihatan memandang bengis. Semua orang yang sejak tadi tidak ada yang mengeluarkan suara tiba-tiba menujukan pandangannya kepada pemuda baju kuning ini, dan begitu kaki-laki ini melangkah memasuki Bangsal Agung tiba-tiba keadaan terasa mencekam.

Tapi hu-pangcu dari Perkumpulan Gelang Berdarah ini tenang-tenang saja. Kui Lun hanya sekejap ke deretan kursi-kursi di tengah ruang itu, lalu terus melangkahkan kakinya menuju kursi kedua di depan sang ketua. "Suhu, teecu terlambat datang. Mohon dii maafkan!" pemuda itu memberi hormat di depan kursi kebesaran dan si laki-laki berkedok mendengus.

"Hu-pangcu, kau dari manakah sehingga terlambat datang?"

Pertanyaan keren dan dingin ini mengejutkan si pemuda dan Kui Lun memandang kaget. Tidak biasanya sang guru itu memanggilnya "hu-pangcu", karena biasanya lebih banyak memanggil "Lun-ji!" dari pada sebutan hu-pangcu. Hanya pada susana luar biasa "resmi" sajalah baru dia dipanggil seperti itu. Maka begitu mendapat teguran yang amat dingin ini kontan saja pemuda itu tercekat. Dia mengangkat kepalanya, kemudian dengan suara perlahan dan hati-hati menjawab,

"Teecu dari meronda wilayah perbatasan, suhu. Apakah ada sesuatu yang tidak beres teecu lakukan?"

"Ya, dan coba ceritakan apa yang telah kau laukan terhadap tamu kita si murid Cheng-gan Sian-jin itu?"

"Ah…." pemuda ini terbelalak dan maklumlah dia bahwa suhunya telah mendapat laporan tentang kejadian di dalam gua itu. Maka dengan hati-hati lagi diapun lalu menarik napas pasajang dan mulai bercerita. "Teecu bertemu secara kebetulan saja di suatu tempat, suhu. Dan karena dia hendak melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap seorang gadis maka teecu lalu mencegahnya. Teecu tidak menurunkan tangan dan perkelahian di antara kami juga tidak terjadi. Apakah yang tidak menyenangkan di sini, suhu?"

"Hm, kau telah menghinanya, Lun-ji, dan kedudukanmu sebagai hu-pangcu di sini tidak selayaknya kau lakukan terhadap seorang tamu! Apakah kau menyangkal tuduhan ini?"

"Ah, teecu tidak menghina, suhu...."

"Tapi kau mengusir pemuda itu! Apakah ini tidak sama dengan menghina?"

"Betul, tapi itu dikarenakan dia hendak mengganggu seorang wanita, suhu. Orang she Pouw hendak memperkosa gadis baik-baik!"

"Hm, dan kau lalu mencegahnya? Mengganggu urusan pribadinya dan bersikap tidak pantas terhadap seorang tamu?"

Kui Lun tiba-tiba bangkit berdiri. "Suhu, kalau kita mau bersikap adil selayaknya kita melihat persoalan dengan kacamata yang jernih. Tidak teecu sangkal bahwa teecu telah mengusir murid Ceng-gan Sian-jin itu dari tempat kejadian, karena itu adalah wilayah perkumpulan kita. Dan kalau dia melakukan perbuatan sewenang-wenang di tempat kita lalu apakah gunanya kita sebagai tuan rumah? Dia justeru telah menghina kita, karena berbuat semaunya tanpa menghargai yang punya wilayah! Dan kalau seseorang telah berbuat seenaknya di tempat kita lalu apakah orang begini masih perlu kita hargai lagi? Tidak, suhu. Teecu menolak tuduhan menghina karena Hiat-goan-pang bukan tempat melakukan perkosaan. Dan kalau ada yang melakukan perbuatan itu haruslah didasari suka sama suka, bukan karena salah satu fihak hendak memperkosa fihak lain seperti apa yang baru saja dilakukan oleh murid Cheng-gan Sian-jin itu!"

Hebat kata-kata hu-pangcu dari Perkumpulan Gelang Berdarah ini dan sang ketua yang mendengar pembelaan ini tertegun di kursi kebesarannya. Dia memang tidak tahu duduk persoalannya dengan jelas, karena Cheng-gan Sian-jin marah-marah kepadanya dengan mengatakan bahwa muridnya yang sedang bercintaan tiba-tiba saja diganggu oleh muridnya yang menjadi wakil ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu. Bahkan, dikatakan pula oleh Cheng-gan Sian-jin bahwa "pacar" muridnya direbut oleh hu-pangcu dan hendak "dinikmat!" sendiri karena mengandalkan kekuasaannya.

Maka begitu sekarang muridnya ini menerangkan duduk peristiwanya segera ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu mereda kebengisannya. Dia mulai mengangguk-angguk dan sinar matanya yang tadi berkilat dingin itu mulai tersenyum sedikit. Dia memandang lega, dan Kui Lun yang merasakan perubahan sikap gurunya itu tiba-tiba duduk kembali.

"Baiklah kalau begitu, aku akan menegur Cheng-gan Sian-jin, Lun-ji, karena di wilayah Hiat-goan-pang memang tidak boleh seorang laki-laki memperkosa wanita. Anggauta Hiat-goan-pang hanya diperbolehkan berbuat atas dasar suka sama suka, dan pihak tamupun harus mematuhi peraturan ini!"

"Dan tahukah suhu siapa wanita yang hendak diperkosa orang she Pouw itu? Dia bukan lain adalah puteri Beng-san-paicu, suhu, dan kalau hal ini sampai terjadi di wilayah Hiat-goan pang niat suhu untuk bersahabat dengan Ciok-thouw taihiap akan gagal tanpa harapan lagi...!"

"Ah...!" Laki-laki berkedok itu tampak terkejut dan matanya yang terbelalak kaget tiba tiba mencorong aneh. Dia memang tidak tahu sampai sedemikian jauh, tapi umpatan seorang laki laki tiba-tiba mergejutkan semua yang hadir.

"Keparat. kalau begitu bunuh saja jahanam she Pouw itu!"

Dan semua yang duduk di Bangsal Agung sekonyong-konyong menoleh ke arah suara ini dengan muka kaget. Mereka memandang pucat, tapi begitu melihat pemuda yang melontarkan suara itu mendadak saja mereka jadi terheran-heran. Mereka tidak mengenal pemuda itu, dan tiga orang wanita yang duduk di sampingnya tiba-tiba saja sudah menjatuhkan diri berlutut dengan sikap terburu-buru.

"Lo-pangcu, harap maafkan teman hamba ini. Dia tidak tahu akan peraturan Hiat-goan-pang karena hamba pertama kali ini datang. Mohon kebesaran hati pangcu dan kelapangannya....!"

Dan ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu tertegun. "Sam-hek-bi-kwi (Tiga Mawar Hitam)..." demikian dia berkata kepada tiga wanita cantik yang masih berlutut itu, "siapakah temanmu ini? Dan kenapa kalian membawanya ke mari?"

Seorang di antara tiga wanita itu yang bukan lain adalah Bi Kwi dan dua orang kakaknya membenturkan dahi di atas Iantai. "Maaf, pangcu. Teman hamba in bukan lain adalah Bok-kongcu adanya, putera tunggal si jago pedang Bu-tiong-kiam Kun Seng locianpwe!" dan ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu tampak terkejut.

"He, jadi kau adalah pewaris Si Pedang Dalam Kabut itu, anak muda?"

"Benar, locianpwe, dan maafkan apabila secara tidak sadar siauwte melontarkan kata kata kasar tadi. Siauwte tidak tahan emosi, dan secara mengejutkan telah mengganggu suasana di tempat ini."

Kun Bok buru-buru bangkit berdiri dan menjura hormat dengan muka merah sementara ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu tiba-tiba tampak girang.

"Ha-ha, tidak apa-apa, anak muda. Dan kau telah menjadi sahabat baik Sam-hek bi-kwi?"

"Ya, dan kami telah menjadi sahabat kekal, pangcu. Sehidup semati bersama Bok-kongcu menjaga Perkumpulan Gelang Berdarah...!"

Kun Bok terkejut mendengar ucapan Bi Kwi itu dan si ketua Perkumpulan Gelang Berdarah membelalakkan mata.

"Hai. kalian telah melaksanakan tekad itu, Bi Kwi? Tidak sekedar main-main belaka?"

"Tidak, pangcu..." kini Bi Gwat yang menjawab. "Kami benar-benar telah saling menyatakan tekad itu dan Bok-koko sendiri tidak menolak."

"Ha-ha, bagus, bagus kalau begitu, Dan Bok-kongcu yang menjadi pilihan kalian ini, apakah betul tidak keberatan?"

Ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu memandang Kun Bok yang dijadikan sasaran pertanyaan menjublak dengan muka merah padam. Dia merasa jengah sekali atas pengakuan Bi Kwi yang demikian terang-terangan itu, karena arti "sahabat kekal" sudah menelanjangi semua perbuatan mereka. Tapi karena tiga orang kekasihnya itu sudah bicara maka dia-pun juga tidak dapat mengelak. Hanya rasa jengahnya yang luar biasa membuat Kun Bok seperti dicekik, dan pertanyaan orang yang ditujukan kepadanya tak mampu dia jawab.

Karena itu Bi Kwi tiba-tiba menyenggol lengannya dan berbisik perlahan, "Bok-koko, pang-cu ingin memastikan jawabanmu. Kenapa diam saja? Di dalam perkumpulan kami memang tidak ada persoalan yang disembunyikan, karena kita adalah keluarga sendiri.... keluarga besar Hiat-goan-pang!"

Maka Kun Bok akhimya mengangguk dengan leher sukar digerakkan. "Ini... ini... eh, maaf, locianpwe…. siauwte memang telah saling berjanji dengan mereka untuk sehidup semati... tapi... tapi yang lain-lain siauwte tidak bicara apa-apa..."

"Ha-ha, bagus. itu sudah cukup bagus. Dan kalian sudah menjadi suami isteri, bukan?" ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu tertawa.

"Sudah, pangcu. Dan kami menikmati hidup babagia di Pulau Surga...!" Bi Hwa kali ini yang menjawab dan Kun Bok semakin hebat rasa jengahnya. Tapi aneh, orang-orang di situ biasa saja memandang mereka dan pengakuan yang sedemikian polosnya itu disambut dengan kekeh gembira oleh sang ketua yang tertutup kedok itu.

Kun Bok tak habis mengerti, dan keheranannya yang amat sangat akhirnya menggeser rasa malunya. Dia mulai berani melirik sekitar, dan wajah-wajah yang tenang tapi dingin itu dilihatnya sepi-sepi saja. Hanya si pemuda baju kuning yang tampak menarik bibirnya, dan jengekan yang tidak kentara ini terasa sinis sekali ditujukan kepadanya. Karena itu Kun Bok seperti terpukul dan warna merah yang mulai lenyap tiba-tiba kembali merona di wajahnya. Tapi ketua Gelang Berdarah tiba-tiba menghentikan ketawanya. Laki-laki berkedok ini mengerutkan alis, dan sekonyong konyong, dia memandang dua kursi yang kosong.

"Lun-ji, bukankah itu kursi dua ketua cabang di kota Hang-loh?"

Pemuda baju kuning itu mengangguk. "Betul, suhu, tapi seperti kita ketahui dua orang ketua cabang itu telah tewas. Mereka terbunuh oleh pendekar Gurun Neraka."

"Hm, dan siapa yang hendak menggantikan kedudukan mereka? Adakah di antara kalian yang punya usul?"

Tiba-tiba Bi Kwi bangkit berdiri. "Hamba mengusulkan, pangcu. Kalau sekiranya berkenan bolehlah Bok-kongcu menduduki jabatan ketua cabang itu di kota Hang-loh. Dia memiliki kepandaian tinggi, dan hamba yakin dia mampu mengimbangi kepandaian The-lo-hengte yang sudah tewas itu!"

Kun Bok terkejut. "Kwi-moi...!"

Tapi seeruan ini sekonyong-konyong dicegah oleh sang ketua Perkumpulan Gelang berdarah yang tiba-tiba sudah tertawa gembira.

"Ha-ha, Bi Kwi ternyata amat penuh perhatian terhadapmu, Bok-kongcu. Dan ini bukti betapa besar perasaan cintanya kepadamu. Eh, saudara-saudara sekalian setuju dengan usul Bi Kwi itu?"

Secara aneh tiba-tiba semua yang hadir serentak bangkit berdiri. "Kami setuju, pangcu. Dan kami percaya penuh akan kemampuan Bok-kongcu...!"

Maka Kun Bok yang mendengar ini jadi melenggong di tempat duduknya. Dia masih merasa kaget dan bengong, karena itu ketika semua ketua cabang menyatakan pendapatnya dia terkesima gugup. Tapi sebelum dia menolak lagi-lagi Bi Kwi membisikinya dengan suara bergetar.

"Bok-koko, jangan menampik anugerah luar biasa ini. Sekali pangcu menyatakan keputusannya berarti kita harus patuh. Kalau tidak, kami yang mengusulkan bakal dibunuh karena dianggap mengacau pertemuan. Karena itu terimalah, jangan biarkan kami mendapat celaka..!"

Maka Kun Bok kali ini benar-benar tidak mampu berkutik lagi. Suara kekasihnya yang harap-harap cemas tak sampai hati ditolaknya. Dan wajah yang diliputi kekhawatiran memandangnya itu membuat dia menarik napas berat. Karena itu Kun Bok akhirnya menenteramkan hati, dan keputusan yang amat gegabah akibat kelancangan Bi Kwi itu diterimanya dengan berat. Kun Bok telah bangkit berdiri, dan ketua Gelang Berdarah yang mengangkat tangannya itu dibalas penghormatan merendah,

"Locianpwe, memandang muka Bi Kwi biarlah siauwte terima jabatan yang tidak siauwte sangka-sangka ini. Tapi kalau sekiranya siauwte kurang cakap sudilah locianpwe memperkenankan siauwte mengundurkan diri dari jabatan ketua cabang di kota Hang-loh ini...."

"Ha-ha, jangan terlalu merendahkan diri, Bok-kongcu. Aku yakin kau akan mampu memimpin anak buah di cabang itu. Kami memang biasa bersikap terbuka, dan apabila kau merasa tidak suka bolehlah mengundurkan diri sewaktu-waktu. Kau adalah ketua cabang yang diangkat secara istimewa, dan jika hendak melepaskan diri dari kami tentu saja juga dengan cara yang istimewa. Ha-ha-ha, Bi Kwi, mana itu cap gelang berdarah? Aku hendak meresmikan pengangkatan ini sekarang juga...!" ketua itu memandang ke kiri.

Dan Bi Kwi yang dipanggil namanya serentak melompat berdiri. Dengan tergesa-gesa gadis itu menyatakan "baik", lalu sambil berlari kecil ia menghampiri sebuah meja di sebelah kanan sang ketua. Itulah meja berpapan besi dan Bi Kwi yang mengambil sebuah kotak hijau di atas meja ini sudah cepat berlutut di depan sang ketua menyerahkan benda itu, "Lo-pangcu, memohon berkat kesaktian gelang berdarah untuk keselamatan kekasih hamba...!" demikian gadis itu berseru nyaring dan sang ketua mendengar kata-katanya itu tertawa.

"Kembalilah, Bi Kwi. Aku tidak akan mencelakakan orang sendiri!" Ketua ini sudah membuka tutup peti bersutera hijau dan Kun Bok yang sejak tadi mengaawasi ke depan melihat adanya sebuah gelang yang berbadan tebal dengan warna kemerahan seperti darah hidup. Dia merasa mengkirik, tapi ketua Perkumpulan Gelang Berdarah yang tersenyum lebar itu tiba-tiba menjemputnya.

"Bok-kangcu, dengan disaksikan oleh lima-belas ketua cabang hari ini aku mengangkatmu secara resmi sebagai ketua nomor tiga di cabang Hang-loh dan kami sebagai keluarga besar Hiat-goan-pang merasa gembira sekali. Terimalah, cap ini akan merupakan tanda diantara sesama rekan."

Dan habis ucapan itu diserukan sekonyong-konyong benda di tangan laki-laki berkedok misterius itu berkelebat ke depan. Yang disambar adalah dada kanan Kun Bok, dan Kun Bok yang merasa terkejut otomatis hendak mengelak. Tapi sungguh mengejutkan. Tubuhnya tiba-tiba saja suduh tertotok oleh jari yang tak kelihatan dan begitu dia terbelalak sekonyong-konyong gelang kecil itu telah mengenai dadanya.

"Plak...." Kun Bok hampir berseru tertahan dan gelang yang menyambar tubuhnya itu tiba-tiba secara aneh telah kembali ke arah si ketua Gelang Berdarah. Dia tidak merasa sakit, tapi dadanya yang terasa panas membuat dia tertegun. Dan yang luar biasa, totokan yang tadi membuat dia kaku tak mampu bergerak itu sekonyong-konyong lenyap bersamaan dengan kembalinya gelang terbang! Kun Bok terkejut dan ketua Gelang Berdarah yang duduk berseri di kursi kebesaran-nya itu tertawa memandangnya.

"Ha-ha, jangan mendelong saja, Bok-kongcu. Coba buka bajumu itu dan perlihatkan kepada kami apakah pengecapan tanda gelang berdarah sudah sempurna?"

Kun Bok tercekat ngeri. Dia tidak melihat bajunya sobek, tapi ketika secara tidak sadar mencoba membuka baju dan melihat dada kanannya ternyata di situ telah ada sebuah "hiasan" berupa cap gelang berdarah yang merah warnanya! Dan begitu dia terbengong kaget tiba-tiba saja lima belas anak buah sang ketua Gelang Berdarah sudah berdiri menjura di depannya.

"Bok-kongcu, selamat atas peresmian ini. Semoga kau dapat bekerja sama dengan kami di bawah naungan Gelang Berdarah...!"

Kun Bok tertegun. Dia melihat orang-orang itu sudah memberrikan penghormatan kepadanya, dan dia yang sudah terlanjur "basah" ini tak mampu mengelak. Dengan terpaksa diapun lalu balas menjura, dan Bi Kwi yang diam-diam diliriknya dengan mata, gemas itu tampak tersenyum lebar. Tapi sang ketua Gelang Berdarah tiba-tiba mengulapkan tangannya.

"Bok-kongcu, sekarang resmilah upacara singkat ini. Dan engkau yang sudah menjadi keluarga besar Hiat-goan-pang ini tidak perlu khawatir lagi. Kami akan melindungimu dari setiap bahaya, dan engkau pun sudah selayaknya jika melindungi kami dari setiap serangan orang-orang luar. Hiat-goan-pang hendak merayakan ulang tahunnya pada minggu depan dan masuknya engkau ke dalam perkumpulan kami akan kami umumkan pada para undangan. Begitu pula dengan ikatan janji sehidup semati antara Sam-hek-bi-kwi dengan dirimu....!"

Ketua Gelang Berdarah itu berhenti sebentar dan Kun Bok yang mendengar kata-katanya ini berdetak hebat. Dia merasa semakin terjerumus dalam kesulitan yang tidak enak dirasakannya, tapi karena tidak mampu membicarakan kesukaran dirinya maka Kun Bok hanya terbelalak saja. Dan ketua Gelang Berdarah itu memandangnya dengan mata bersinar.

"Ada apakah, Bok-kongcu? Kau merasa keberatan....?"

Kun Bok menjadi gugup. "Locianpwe. eh… lo-pangcu, apakah setiap pengangkatan ketua cabang perlu diumumkan kepada orang luar? Bukankah ini adalah masalah pribadi kita? Dan siuuwte rasa urusan dalam tidak perlu diberitakan keluar…."

"Ha, ha, memang tidak perlu urusan dalam diberitakan pada orang luar, Bok-kongcu. Tapi demi penghargaan dan kegembiraan kami kepadamu maka Hiat-gown-pang hendak mengumumkannya pada orang luar agar mereka tahu bahwa engkau sudah menjadi anggauta kami. Dan kalau mereka tahu, itu berarti keuntungan bagimu, Bok-kongcu, karena musuh yang hendak mengganggumu berarti mengganggu pula Perkumpulan Gelang Berdarah. Apakah kau takut menghadapi kenyataan ini?"

Kun Bok bingung. Dia menghadapi alasan yang masuk akal, dan untuk alasan yang dikemukakan oleh ketua Gelang Berdarah itu tentu saja dia tidak ada alasan untuk menolak. Karena, bukankah sang ketua berarti hendak melindunginya dari ancaman bahaya? Dan kalau dipikir-pikir, memang betul juga kata-kata sang ketua itu. Tapi... ada sesuatu yang dia takutkan. Ada sesuatu yang membuatnya gelisah tidak nyaman. Yakni tentang reaksi ayahnya itu. Bagaimanakah kalau seandainya orang tua itu tahu? Apakah dia tidak melakukan kesalahan di sini? Karena dia sebenarnya disuruh turun gunung bukan untuk menjadi anggota Gelang Berdarah melainkan disuruh mencari puteri Ciok-thouw Taihiap Souw Ki Beng. Dan dia ternyata telah keluar "rel" dari tugas semula!

"Ah…!" Kun Bok menjadi gelisah dan ketua Hiat-goan-pang yang belum mendapatkan jawaban pemuda ini bertanya lagi.

"Bagaimana, Bok-kongcu? Apakah kau takut menghadapi kenyataan ini?"

Kun Bok akhirnya menggeleng. "Tidak, pang-cu. Siauwte tidak takut menghadapi kenyataan itu hanya sedikit gelisah memikirkan ayah siauwte."

"Hm, maksudmu kau khawatir dia tidak setuju melihat kau menjadi ketua cabang Gelang Berdarah, kongcu?"

Kun Bok terpaksa mengangguk. "Kira-kira begitulah, pangcu..." dia menjawab seadanya dulu tapi ketua Gelang Berdarah ini tiba-tiba tertawa.

"Bok- kongcu, kau agaknya lupa dengan kata-kataku tadi. Bukankah sudah kukatakan bahwa kau adalah ketua cabang yang diangkat secara istimewa? Nah, sudah menjadi peraturan di sini bahwa seorang ketua cabang yang diangkat secara istimewa berhak pula melepaskan diri secara istimewa. Itu sudah peraturan kami. Dan kalau ayahmu tidak setuju tentu saja kau boleh mengundurkan diri. Tapi, ikatanmu dengan Sam-hek-bi-kwi tentu tidak akan kau lepas, bukan?"

Kun Bok mengangguk. "Tentu saja, pangcu," jawabnya.

"Bagus, dan kau tentu tidak menolak pula jika diumumkan pada ulang tahun Gelang Berdarah, bukan?"

Kali ini Kun Bok agak ragu-rugu. Dia memandang sejenak ke arah ketua Gelang Berdarah itu, tapi karena sukar untuk mengeluarkan isi hati mengingat banyak orang di tempat ini menjadikan pemuda itu mengangguk. "Siauwte tidak keberat pangcu, tapi.... tapi sebaiknya ayah diberi tahu terlebih dahulu."

"Ha-ha, jangan khawatir, kongcu. Ayahmu telah kami beritahu sebelum kau sendiri memintanya. Dia akan hadir di pesta Gelang Berdarah pada minggu depan!"

Kun Bok terbelalak. "Pangcu sudah memberitahunya?"

"Ya. Dan banyak tokoh lain yang akan datang, Bok-kongcu. Karena kami mempunyai banyak kenalan.'"

"Ah..." pemuda ini tertegun dan tiba-tiba matanya berkilat gembira, "Ka!au begitu, tolong agar ayah siauwte datang ke mari sebelum saat ulang tahun, pangcu. Karena siauwte hendak bicara penting dengan beliau. Atau, bolehkah siauwte pergi mencarinya?"

Yetua Gelang Perdarah ini tersenyum. "Kukira tidak perlu, kongcu. Lebih baik kau tinggal saja di sini dulu dan seorang anggauta kami yang akan memanggil ayahmu agar cepat datang."

"Hm, baik kalau begitu terima kasih, pangcu!" Kun Bok sudah cepat memberi hormat dan ketua Gelang berdarah itu tertawa aneh.

Laki-laki berkedok ini tidak menyinggung-nyinggung lagi soal Kun Bok, karena rapat yang sudah lengkap dihadiri para ketua cabang itu lalu membicarakan tentang persiapan-persiapan mereka dalam menghadapi perayaan dang tahun pertama Perkurapulan Geelang Berdarah. Semua mulai diatur oleh ketua berkedok karet itu, dan Kun Bok yang lebih banyak mendengar daripada berkomentar itu diam-diam memperhatikan suasana. Dia hanya mendengar persiapan-persiapan yang biasa saja dari ketua Gelang Berdarah itu, dan semua anggauta yang tampak tunduk dan amat menghormat laki-laki berkedok ini membuat Kun Bok ingin tahu siapakah sebenarnya sang ketua yang aneh itu.

Tapi kesempatan tidak memungkinkan baginya. Dan Hiat-goan pangcu (sang ketua Hiat-goan-pang) itu juga mulai bersikap keren. Dia tidak tertawa-tawa lagi, dan para ketua cabang yang mulai ditanya tentang penyampaian undangan terhadap para tamu mulai satu-persatu menceritakan keadaannya. Dan di sinilah Kun Bok mulai tertarik. Ternyata tokoh-tokoh undangan tidak melulu dari kaum persilatan saja melainkan juga ada di antaranya Panglima Fan Li, Tan-ciangkun dan Kok-ciangkun yang pernah didengarnya sebagai tiga orang panglima bekas pembantu Yap-goanswe. Dan mendengar disebutnya nama tiga orang panglima ini sungguh membuat Kun Bok tertarik sekali.

Tapi, ketika dia mulai mendengar tokoh-tokoh kang-ouw yang diundang Hiat-goan-pang Kun Bok mulai berdebar tegang. Ternyata yang diundang juga tokoh-tokoh kelas atas, dan seorang di antaranya malah Ciok-thouw Taihiap Souw Ki Beng! Tentu saja Kun Bok terkejut, dan rasa hatinya yang sudah tidak nyaman semenjak semula itu kini menjadi semakin tidak enak saja.

Dia menjadi gelisah, dan Kun Bok tiba-tiba merasakan adanya sebuah firasat yang mencemaskan hatinya. Apalagi kalau dia membayangkan betapa hubungan cinta kasihnya bersama Bi Kwi akan diumumkan pada pesta ulang tahun Perkumpulan Gelang Berdarah! Dan dia telah menyetujui kehendak pangcu dari Hiat-goan-pang ini.

Ah...! Kun Bok tiba-tiba merasa nanar dan perasaannya yang mulai berguncang diam-diam membuat pemuda ini gelisah tidak karuan. Dia mula melirik Bi Kwi, dan senyum aneh yang mencibir di mulut gadis itu membuatnya was-was. Apakah sebenarnya yang hendak dialaminya itu? Dan apakah frasat yang tiba-tiba membuat hatinya berdebar begitu gelisah?

Pemuda ini tidak dapat menjawab dan tiba tiba saja dia ingin bertemu dengan ayahnya. Keinginan untuk bertemu itu mendadak demikian kuat, dan Kun Bok yang mulai dilanda kekhawatiran yang tidak enak itu tiba-tiba mempunyai sebuah gagasan. Dia hendak bicara dengan Bi Kwi, malam ini juga, dan semua persoalan yang tersembunyi di dalam hatinya hendak dibeberkan secara terbuka. Termasuk di antaranya maksud perjodohan dengan puteri Beng-san-paicu Souw Ki Beng itu!

Ya, dia akan membuka "kartu" dan Bi Kwi yang akan diajak bicara itu harus mengerti persoalannya. Dan kalau gadis ini sudah mau mengerti, dia akan bicara dengan Hiat-goan-pangcu dan memohon agar urusan pribadi itu tidak usah diumumkan saja. Karena, pihak ayahnya dan pihak Ciok-thouw Taihiap yang sama-sama belum tahu duduk persoalan di antara anak-anaknya tentu akan saling bentrok karena bisa dianggap pengumuman itu merupakan penghinaan bagi Pendekar Kepala Batu Souw Ki Beng!

Dan begitu Kun Bok mempunyai pikiran ini tiba-tiba saja dia menjadi tidak sabar untuk menunggu selesainya pertemuan itu. Dia ingin cepat-cepat berbicara dengan kekasihnya, dan rapat perkumpulan yang dirasa tidak banyak hubungannya dengan dia itu dirasa menjemukan. Tapi Kun Bok cukup menahan diri. Hiat-goan-pangcu yang hanya membicarakan masalah persiapan ulang tahun partai ternyata mengambil yang pokok saja.

Laki- laki misterius itu tidak bertele-tele, dan pertemuan yang berlangsung satu jam lebih sedikit itu akhirnya usai jugalah. Di sinilah ketua-ketua cabang mulai bubaran, dan mereka yang kebetulan sudah menyelesaikan tugasnya itu mulai kembali pada tempatnya masing-masing dan kebetulan sekaIi di antaranya itu adalah Bi Kwi!

Bi Gwat dan Bi Hwa tidak dapat beristirahat, karena mereka berdua ternyata harus melaksanakan tugas mempersiapkan kemah-kemah darurat bagi tamu-tamu dan jauh-jauh yang datang beberapa hari sebelum perayaan dimulai. Dan bersama beberapa ketua cabang yang lain yang mendapat pekerjaan sama, dua orang kakak Bi Kwi itu tidak dapat menemani mereka. Inilah kesempatan bagus! Maka Kun Bok yang sudah mengikuti kekasih utamanya itu meninggalkan Bangsal Agung segera berdanpingan bersama Bi Kwi dengan mata bersinar.

* * * * * * * *

Malam itu Kim Bok benar-benar berusaha mengeluarkan keresahan hatinya. Dia berada di kamar Bi Kwi, dan seperti biasanya, Bi Kwi yang manja itu menyandarkan tubuhnya pada dada pemuda ini. Mereka berdua kembali asyik bercumbu, namun Kun Bok yang terganggu oleh persoalan diri pribadi tampak kurang bergairah. Pemuda ini sedikit gugup, dan Bi Kwi yang hanya mengenakan pakaian tidur tipis itu disambutnya setengah bersemangat. Dan gadis ini rupanya merasakan kelainan kekasihnya itu.

"Bok-koko, kau tampaknya kurang gembira benar malam ini. Apakah yang kau pikirkan?" Bi Kwi bangkit duduk dan pinggang Kun Bok yang dipeluk manja dilepas perlahan.

Kun Bok memandang muram, dan pemuda yang sejak tadi menunggu waktu baik itu tiba-tiba menarik napas panjang, "Kwi-moi, sebenarnya ada sesuatu yang hendak kubicarakan denganmu. Akan tetapi apakah kau dapat menerimanya dengan penuh kebijaksanaan?"

"Hm, melihat persoalannya dahulu, koko. Kalau menyangkut diri pribadi kita tentu saja harus kuterima dengan hati-hati. Tapi kalau urusan ringan tentu saja tidak perlu membutuhkan kebijaksanaan segala macam. Apakah yang hendak kau bicarakan di sini, Bok-ko...?"

Kun Bok mengangkat kepalanya. "Persoalan peribadiku, Kwi-moi. Tidak menyangkut dirimu tapi malah menyangkut orang lain!"

"Hm, orang lain siapa, koko? Dan mengapa merupakan persoalan peribadimu? Bukankah persoalan peribadimu sebenamya juga merupakan persoalan peribadiku?"

"Benar. Tapi ini memiliki suasana lain, Kwi-moi. Dan sesungguhnya memang merupakan persoalan peribadiku sebelum kita saling bertemul"

"Hm, kau menyimpan rahasia, ko-ko?"

Kun Bok mengangguk. "Boleh dikata begitu, tapi boleh juga dikata tidak...!!"

"Hm, aneh sekali kalau begitu...!" Bi Kwi tiba-tiba turun dari pembaringan. "Apakah kini kau bermaksud untuk memberitahunya padaku, ko-ko?"

"Ya, dan kuharap kau dapat membantuku, Kwi-moi. Karena terus terang aku mulai gelisah!"

"Hik-hik, dan aku kau jadikan tumpahan himpitan batin, Bok-ko? Kau hendak membuatku sebagai tempat penghibur kedukaanmu?"

"Ah, jangan berkata seperti itu, Kwi-moi. Aku tidak merendahkanmu sedemikian rupa!"

"Habis, apa kalau begitu maksudmu?"

"Aku hendak bicara secara terbuka. Dan kalau kau dapat menerimanya dengan baik tentu saja aku akan amat berterima kasih. Kwi-moi, dapatkah kau mendengarkan ceritaku ini dengan tenang?"

Bi Kwi tiba-tiba menarik sebuah kursi. Dengan paha terlipat ia duduk di situ, dan Kun Bok yang melihat sikap kekasihnya ini kembali berdesir jiwanya. Dia setiap kali harus roboh oleh sikap Bi Kwi yang pandai merangsang birahi ini, tapi kali ini dia harus bertahan. Dan kaki Bi Kwi yang menyingkapkan pahanya yang gempal montok itu dilengosnya perlahan.

"Bok-koko, kau tampaknya serius benar malam ini. Ada apakah?"

"Urusan perjodohan, Kwi-moi... urusan perjodohanku..."

"He, urusan perjodohan? Bukankah kita....?"

"Sstt, dengarkan dulu, Kwi-moi!" Kun Pok tiba-tiba memotong. "Jangan kau terkejut dahulu. Ini memang urusan perjodohanku, dan karena itu dengarkanlah ceritaku ini...!"

Kun Bok lalu turun dari pembaringan dan Bi Kwi yang mendengar kata-katanya itu tampak terbelalak. Tapi gadis ini tidak mengganggu, dan Kun Bok yang sudah duduk di depannya itu mulai bercerita. "Begini Kwi-mo...!" pemuda itu menarik napas berat. "Sesungguhnya sebelum kita saling bertemu ini antara aku dan seorang gadis telah diikatkan sebuah perjodohan oleh ayah dan pihak keluarganya yang tidak berkeberatan maka menyambut gembira. Dan kami berdua rencananya hendak dinikahkan, tapi rupanya si gadis pada pihak keluarga sana mengalumi kerepotan. Dia minggat pada kunjungan kami yang ke dua…"

"Hm, siapa gadis itu, Bok-ko? Dan kenapa dia minggat?"

Kun Bok menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu apa alasannya minggat itu, Kwi-moi. Tapi yang jelas ayah lalu menyuruhku mencarinya. Dan dia bukan lain adalah puteri Beng-san-pai Ciok-thouw Taihiap Souw Ki Beng itu!"

"Ahh....!" Bi Kwi tiba-tiba bangkit dari kursinya dan gadis ini mengepal tinju. "Jadi si betina yang dahulu bertemu kita itu, Bok-ko. Yang telah melukai Jing-ci-touw Kam Sin bersama temannya?"

Kun Bok meraih tangannya. "Duduklah, Kwi-moi. Jangan diburu emosi..."

"Hm, siapa diburu emosi, koko? Adalah yang dahulu dengan sengaja telah melindungi gadis itu dari tanganku. Sekarang tahulah aku, mengapa dahulu kau tidak mau membantu kami dan mencegah kami membunuhnya. Agaknya kau tergila-gila kepada setan betina itu, Bok-koko... dan kau membiarkan kami mengalami penghinaan!" Bi Kwi tiba-tiba menangis sambil menutupi mukanya.

Dan Kun Bok cepat-cepat memeluk gadis ini. "Kwi-moi, jangan menuduhku seperti itu. Aku tidak tergila-gila kepadanya dan tidak bermaksud membiarkan kalian celaka. Bukankah dahulu aku yang menolongmu dari serangannya? Dan kalau aku diam saja melihat kalian bertempur adalah karena aku dalam kebingungan, moi-moi... bukan sengaja membiarkan kalian mengalami penghinaan."

"Tapi kau telah membelanya, koko. Kau mencegah kami membalas hingga enci Bi Gwat terluka...!"

"Hm, tapi akupun juga telah membela kalian, Kwi-moi, jadi tidak seharusnya kau menuduhku seperti itu. Dan hu-pangcu yang datang telah menyelesaikan segalanya dengan baik-baik...."

"Apa? Dengan baik-baik....?" Bi Kwi tiba-tiba melepas mukanya yang meradang. "Aku tidak melihat penyelesaian dengan baik-baik, Bok-koko, karena hu-pangcu membiarkan siluman betina itu pergi disebabkan memandang mukamu. Kalau tidak, tentu dia sudah kami tangkap dan bunuh demi membalas sakit hati enci Bi Gwat!"

"Ah, tapi dia puteri Ciok-thouw. Apakah persoalan kecil begitu saja harus dibalas dengan pembunuhan?"

Bi Kwi sekonyong-konyong mendelik marah. "Bok-koko, kau tampaknya sayang benar terhada siluman betina itu. Ada apakah kalau dia kebetulan menjadi puteri Ciok-thouw Taihiap? Biar puteri Giam-lo-ong (Raja Maut) sekalipun aku tidak takut! Kenapa kau demikian membelanya Bok-koko? Apakah kau mencintainya? Huh tahu aku sekarang, Tentu karena ikatan perjodohan itulah maka kau berat kepadanya dari pada ke pada kami!"

Gadis itu tiba-tiba menangis sesenggukan dan Kun Bok yang. "disemprot" Bi Kwi jadi termangu-mangu. Pemuda ini mengerutkan alis tapi Bi Kwi yang menutupi mukanya itu akhirnya dibelai lembut.

"Kwi-moi, jangan melontarkan cemburu seperti itu. Kau tahu bahwa aku mencintaimu, tidak mencintai gadis lain. Kenapa harus melampiaskan kemarahan seperti ini?"

"Tapi kau nyata berat kepadanya, kok tidak berat kepada kami dun enak -enak saja melihat kami bertempur!"

"Ah, tunggu dulu, kau salah paham. Kau tidak tahu apa yang berkecamuk di dalam hatiku...!"

"Huh, siapa bilang tidak tahu? Tentu saja, aku tahu dan mengerti sekarang karena siluman betina itu ternyata calon isterimu!" Bi Kwi semakin meradang dan Kun Bok menjadi muram.

"Kwi-moi, dengarlah dahulu...." pemuda ini mengelus pundaknya. "Siapa bilang aku lebih berat kepadanya. Kau terlalu menuruti panas hatimu, moi-moi, tidak melihat kenyataan yang ada. Sebab, kalau benar aku lebih berat kepadanya tentu aku tidak akan ada di sini, moi-moi. Karena aku pasti sudah mencari gadis itu dan meninggalkan dirimu!"

Bi Kwi tiba-tiba mengangkat mukanya dan sinar matanya dan yang redup layu mengeluarkan cahaya aneh. Dia tidak membuka suara, namun pandangnn matanya yang penuh selidik cukup membuat Kun Bok tiba-tiba mencekal tangannya.

"Kwi-moi " Kun Bok berbisik. "Lihatlah apa yang telah kulakukan ini. Bukankah semuanya itu cukup menjadikan bukti bagimu bahwa aku lebih memberatkan dirimu daripada puteri Ciok-thouw Taihiap itu? Kau tahu aku telah memenuhi segala permintaanmu, moi-moi, dan bahkan mengikuti semua kehendakmu dengan cara membuta. Lihatlah buktinya ini. Betapa kau telah menyuruhku menjadikan dua orang kakakmu sebagai kekasihku, dan betapa kau telah menyuruhku pula untuk menjadi anggauta Hiat-goan-pang, malah sebagai ketua cabang yang belum kuketahui bagaimana sebenarnya perkumpulan yang kumasuki ini! Kwi-moi, melihat semuanya itu, tidakkah kau membuktikan bahwa sesungguhnya aku mencintaimu lebih dari segala sesuatu? Dan gara-gara cinta kasihku Kwi-moi, kini aku mengalami kesulitan! Aku belum memberi tahu ayah tentang perubahan yang terjadi ini, dan aku harus menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk yang barangkali terjadi. Terutama tentang maksud perjodohan itu yang hendak kubatalkan...!"

Suara Kun Bok tampak bergetar dan Bi Kwi yaug mendengar ucapan terakhirnya ini tiba-tiba tersenyum. Manis sekali senyum itu, mengembang bak sekuntum bunga yang sedang babagia dan mulut yang tadi terkatup itu sekonyong-konyon merekah. "Bok-koko, hendak membatalkan maksud perjodohan ayahmu itu?" Bi Kwi bertanya lirih.

"Tentu saja, Kwi-moi...." Kun Bok mengangguk. "Tapi aku harus berhati-hati sekali dalam memberitahukannya. Karena sekali salah bicara dan membangkitkan kemarahan ayah tentu segala-galanya bakal jadi berantakan."

"Hm, kalau begitu kau hendak membicarakan persoalan kita, koko? Memberitahukan kepada ayahmu bahwa kau telah jatuh cinta kepada gadis lain?"

"Ya, dan di sini mungkin aku mendapat dampratan ayah!"

"Eh, kenapa koko? Apakah beliau tidak setuju?"

"Bukan begitu soalnya, moi-moi. Tapi kejadian yang luar biasa ini. Tentang masuknya dua orang encimu itu sekaligus sebagai kekasihku. Nah, ni mungkin bagi ayah terlalu `kurang ajar', dan salah-salah aku bisa dicapnya sebagai pemuda mata keranjang...!"

Bi Kwi tiba-tiba terkekeh geli. "Hi-hik, kukira soal apa. Bok-koko. Nggak tahunya hanya soal itu. Eh, kalau begitu saja kenapa ayahmu harus marah? Bukankah seorang laki-laki mendapat tiga isteri juga tidak terlalu luar biasa? Dibandingan dengan seorang kaisar yang isterinya puluhan bahkan ratusan orang, kejadian kita ini sesungguhnya bukan apa-apa! Bukankah begitu, koko?"

"Ya, tapi ayah tentu kurang puas denganku, wi-moi. Dan beliau salah-salah bisa menolak percintaan kita ini!"

"Hm, gawat kalau begitu...!" Bi Kwi tiba-tiba mengerutkan alisnya. "Lalu apa kalau begitu yang akan kau perbuat, koko?"

Kun Bok mengeraskan matanya. "Kita harus berhasil, moi-moi. Aku harus berhasil memberi tahu ayah. Aku hendak bicara secara terbuka, dari hati ke hati dan menceritakannya secara panjang lebar!"

"Tapi kalau beliau tetap menolak?"

"Aku akan membujuknya...!" Kun Bok bersitegang. "Dan kita harus berhasil, moi-moi, membuang segala kemungkinan negatif itu!" pemuda irii tampak menutupi kecemasannya. "Tapi yang lebih diutamakan pada saat ini adalah pemberitahuan dibatalkannya perjodohan dengan pihak Bang-san-paicu itu, Kwi-moi, dan aku ingin bertemu ayah secepat mungkin!"

"Hm, tapi beliau telah menerima undangan kami, Bok-koko. Dan kau tentu dapat bicara dengannya."

"Ya, tetapi jangan tepat pada saat keramaian dimulai, Kwi-moi. Karena pangcu yang hendak mengumumkan berita kita ini kepada para undangan bisa menimbulkan heboh kepada pihak Ciok-thouw Taihiap Souw-locianpwe. Kau tahu bahwa Pendekar Kepala Batu telah menerima usul perjodohan ayahku, dan pengumuman yang bakal didengamya itu tentu akan membuat pendekar sakti itu marah. Padahal, ayah dan Ciok-thouw Taihiap Souw Ki Beng adalah sahabat-sahabat baik yang sudah akrab belasan tahun."

"Hm, kalau begitu apa yang kau maui, Bok-koko?"

"Pertama-tama aku ingin bertemu ayah sebelum pesta perayaan itu tiba. Dan ke dua aku hendak menemui pangcu dan menjelaskan duduk persoalan pribadiku ini."

"Eh, menemui pangcu untuk apa, koko?"

"Memintanya agar tidak usah mengumumkan hubungan cinta kasih ini. Meminta beliau agar tidak membicarakannya di depan umum. Dan aku hendak menjelaskan alasannya, betapa aku sebelumnya pernah diikatkan dengan sebuah perjodohan oleh ayah dengan pihak keluarga ketua Beng-san-pai itu. Dan mengingat bahwa terjadi perubahan di sini di mana baik ayah maupun Ciok-thouw Taihiap tidak mengetahui jalinan cinta kasih kita maka sebaiknya persoalan ini tidak perlu diumumkan saja."

"Hm, kalau begitu mengapa tidak tadi saja dikatakan, koko?"

"Di dalam rapat, maksudmu?"

"Ya."

"Ah, ini persoalan pribadi. Bagaimana hendak didengarkan banyak orang?"

"Hm, kau agaknya lupa, Bok-koko. Bahwa bagi anggauta Gelang Berdarah tidak ada persoalan pribadi bagi masing-masing individu. Setiap persoalan anggauta adalah persoalan semuanya, dan kau yang telah resmi menjadi ketua cabang ini seharusnya tidak perlu malu-malu demikian! Kau justeru mempersulit diri sendiri, Bok-koko, karena menemui pangcu dan ingin bicara empat mata sungguh bukanlah hal yang gampang!"

Kun Bok terkejut. "Eh, masa begitu, moi-moil"

Bi Kwi tersenyum aneh. "Buktikanlah sendiri, koko."

"Ah, kalau begitu aku akan minta bantuan hu-pangcu!"

"Ya, dan dialah sesungguhnya yang bisa mengantarkan seorang ketua cabang untuk menemui lo-pangcu. Tapi kalau pangcu sedang keluar atau tidak senang hati tentu saja beliau sulit ditemui, Bo-koko, dan satu-satunya jalan paling-paling tinggal bersabar."

Kun Bok tertegun. Dia tiba-tiba teringat akan wajah yang selalu tertutup kedok itu, dan mengingat dia sudah menjadi "anggauta" mereka tiba-tiba dia bertanya kepada Hi Kwi, sesungguhnya siapakah pangcu kita itu? Dan mengapa dia menyembunyikan mukanya?

Bi Kwi tertawa kecil. "Beliau orang sakti, koko. Kau tentu pernah mendengar namanya."

"Siapakah dia?"

"Wan-locianpwe."

"Wan-locianpwe...?"

"Ya, tokoh sakti yang dulu disiksa suhengnya sendiri di Pulau Hek-kwi-to!"

"Ha..? Kau maksudkan ib..."

"Sstt, jangan memaki dia, Bok-koko. Baliau bisa mendengar pembicaraan orang di balik tembok tebal!" Bi Kwi cepat memotong dan Kun Bok yang hampir mengatakan "iblis" itu terkesiap. Dia kaget bukan main, tapi Bi Kwi yang tiba-tiba memandangnya tajam membuat dia sadar.

"Ada apa, koko? Kau terkejut?"

Pemuda ini menelan ludah "Ya, aku kaget sekali, moi-moi. Tidak menyangka bahwa penghuni Hek-kwi-to lah yang menjadi ketua Hiat-goan-pang. Bukankah dia adalah Sin-hwi-ciang locianpwe yang konon katanya membunuh guru sandiri lalu disebut iblis oleh Malaikat Gurun Neraka?"

Bi Kwi mengangguk. "Ya, begitulah menurut Takla Sin-jin, Bok-koko. Tapi sesungguhnya yang menjadi iblis itu adalah Malaikat Gurun Neraka sendiri. Dialah yang membunuh sang guru dan sute yang tidak bersalah kemudian di fitnah..!"

"Ah...!" Kun Bok tertegun dan karena dia sudah jatuh segala-galanya di bawah telapak Bi Kwi maka diapun percaya saja ketika gadis ini mulai bercerita tentang keadaan pangcu mereka itu.

"Betapa 'beliau‘ ini dirobohkan secara curang oleh Malaikat Gurun Neraka dan betapa untuk menutupi kebusukannya sendiri adik seperguruannya itu lalu disekap duapuluh tahun lebih di pulau iblis, yakni Pulau Hek-kwi-to itu."

Dan Kun Bok yang tidak tahu jelas duduk persoalan sebenarnya tentu saja mengikuti belaka. Apalagi Bi Kwi yang pandai bercerita ini selalu menyelingi dangan usapan jari-jarinya yang lembut, mengecup dan mancium mulutnya setiap kali bergerak dan Kun Bok yang dibuat terlena ini menjadi tidak sadar dan mabok kepayang. Sesungguhnya Kun Kok sendiri tidak menghiraukan tentang orang lain. Entah itu ketua Gelang Berdarah ataupun bukan ketua Gelang Berdarah.

Dan dia yang terlibat dalam urusan pribadinya ini sudah menjadi lega bahwa Bi Kwi mau "mengerti" persoalan pribadinya, tidak marah dan dapat memahami apa yang dia ceritakan secara panjang lebar tentang urusan perjodohannya dengan puteri Beng-san-paicu itu. Dan ini sudah mennggembirakan hatinya. Karena keresahan jiwa yang semula menghimpit batin itu kini telah mendapatkan penyalurannya, walaupun hanya sebagian saja karena dia sadar bahwa kesukaran lain yang lebih besar masih menghadang di depan mata.

Tapi itu bagi Kun Bok tidak begitu penting. Yang penting baginya adalah pengertian Bi Kwi ini, lalu memberi tahu Hiat-goan-pangcu untuk diminta kebijaksanaannya agar tidak usah mengumumkan persoalannya dengan Bi Kwi itu di keramaian ulang tahun perkumpulan. Itu yang paling pokok. Baru kemudian pemberitahuan terhadap ayahnya dan terakhir kepada Beng-san-paicu Souw Ki Beng itu mengenai dibatalkannya ikatan perjodohan.

Karena kalau dia tidak segera melaksanakan niatnya ini, dikhawatirkan ketua Beng-san-pai yang bengis itu bakal tersinggung dan marah hebat kepadanya. Dan dia tidak berani membayangkan apa jadinya bila Ciok-thouw Taihiap Souw Ki Beng itu murka. Tentu ayahnya bakal dimintai pertanggungan jawab. Dan dia yang sudah terlanjur menjeiumuskan diri ini tentu celaka. Tidak. Dia harus mencegah kejadian yang seperti itu. Dan kunci semuanya sekarang ini terletak pada tangan Hiat-goan-pangcu. Oleh karena itulah dia harus menemui sang ketua Gelang Berdarah ini dan memberi tahu segalanya! Itulah keputusan Kun Bok.

Dan keputusan yang sudah dipikir masak-masak ini tampaknya memang merupakan jalan yang paling baik. Tetapi, dapatkah semua yang telah dipikirkan putera Bu-tiong-kiam Kun Seng itu berjalan sempurna? Karena apa yang direncanakan biasanya belum tentu pula akan berjalan seperti yang dikehendaki. Dan Kun Bok sendiri juga belum mengenal baik siapa itu sebenarnya sang ketua Gelang Berdarah!

Dia masih mengetahui serba sedikit tentang tokoh yang satu ini dan kedangkalan pengalamannya itulah yang sesungguhnya merupakan awal bencana baginya. Kun Bob mulai masuk perangkap, dan bahaya besar telah mulai mengurungnya semenjak dia masuk dalam markas perkumpulan itu!

Tetapi pemuda ini memang tidak sadar. Dia tampaknya memang tidak boleh terlalu disalahkan karena sesungguhnya pemuda ini sedang menjadi sebuah alat permainan dari akal iblis yang amat keji milik sang ketua Gelang Berdarah. Dan pemuda yang dibuat mabuk kepayang oleh Bi Kwi itu memang patut dikasihani sekali. Dia tidak tahu apa-apa, dan justeru karena ketidaktahuannya Kun Bok menjadi korban.

Malam itu Kun Bok benar-benar dibuat "asyik" oleh Bi Kwi, dan pemuda yang selalu diloloh nafsu berahi itu tenggelam dalam permainan cinta. Sampai keesokan harinya, ketika matahari sudah naik tinggi, barulah Kun Bok tergesa-gesa turun dari pembaringan untuk mencari ketua Hiat-goan-pang. Dengan terburu-buru dia melaksanakan niatnya yang ke dua ini, tapi ternyata dengan kecewa, Kun Bok diberi tahu bahwa sang pangcu sedang "keluar kota".

Kun Bok kembali lagi. Menemui Bi Kwi dan masih belum sadar akan adanya keganjilan, tidak merasa aneh bagaimana tepat semalam setelah pembicaraannya dengan Bi Kwi tiba tiba saja saja ketua tidak ada di markas. Pergi keluar kota padahal seminggu lagi Perkumpulan Gelang Berdarah merayakan kesibukannya!

Aneh, bukan? Tapi pemuda ini memang tidak mengetahuinya. Dia tidak menduga buruk. Maka pada keesokan harinya kembali dia mencoba untuk menemui sang pangcu. Tapi sial, sang ketua itu ternyata belum kembali juga. Kun Bok mendapat keterangan bahwa Hiat-goan-pangcu sukar ditentukan kembalinya, karena beliau itu kadang-kadang muncul di tengah-tengah mereka dan kadang-kadang lenyap tanpa diketahui perannya. Tapi yang jelas, demikian kata hu-pangcu, sang ketua pasti kembali sebelum perayaan dimulai. Namun kapankah tepatnya inilah tidak ada seorangpun yang dapat menjawabnya! Maka Kun Bok yang sudah dua kali mencari tapi masih saja gagal itu mulai merasa heran. Pemuda ini tidak habis mengerti, dan diam-diam dia merasa cemas juga.

Kalau dia tidak berhasil menemui pangcu Gelang Berdarah itu, bukankah keadaan bisa gawat sekali baginya? Tapi Kun Bok yang masih menaruh harapan pada hari-hari berikutnya itu belum juga merasakan firasat buruk. Dia tidak kenal menyerah, dan hari berikutnya menjelang perayaan pesta itu diulanginya kembali pencarian sang ketua Gelang Berdarah yang tidak kunjung didapatkan. Hari ke tiga, hari ke empat, sampai akhirnya... hari ke lima di mana tinggal dua hari lagi keramaian akan dimulai ternyata Hiat-goan-pangcu belum kembali juga dari bepergiannya.

Kenyataan ini membuat Kun Bok menjadi kecut, dan perginya sang ketua Gelang Berdarah yang amat misterius mulai mencurigainya. Dia sekarang mulai mendapatkan perasaan yang tidak nyaman, dan rasa was-wasnya yang mulai berkembang itu menjadikannya gelisah dan kebingungan. Tapi Bi Kwi selalu menghiburnya. Gadis ini selalu memberikan harapan kepadanya, dan Kun Bok yang selalu mendapatkan pelarian di dalam diri kekasihnya ini dapat melupakan kekesalannya dengan sejenak.

Padahal, dia melihat betapa lapangan rumput di depan Puri Naga telah mulai ramai dikunjungi para tamu undangan. Dia melihat berbondong-bondongnya orang-orang yang aneh, mulai dari pengemis berpakaian dekil sampai kepada serombongan orang yang menunjukkan diri sebagai tokoh-tokoh kelas atas, sepertinya ketua Kun-lun-pai yang dikenal dan ketua-ketua lain yang sealiran. Maksudnya, golongan kaum pendekar yang mendapat undangan resmi dan yang tertarik untuk menyaksikan pibu!

Inilah yang dijumpai Kun Bok sehari-hari. Padahal, sang ketua Gelang Berdarah sendiri yang hendak dijumpainya belum juga kembali. Apakah artinya ini? Dan mengapa tiba-tiba sekarang dia merasakan hatinya berdebar-debar? Kun Bok tidak tahu dan tenda-tenda darurat yang disediakan bagi tamu-tamu dari jauh dan yang ingin melepaskan lelah di situ menjadikan dia gelisah tidak karuan. Dia melihat berbondong-bondongnya para undangan itu seolah-olah musuh yang hendak mengurungnya dari delapan penjuru mata angin, dan keramaian ulang tahun Gelang berdarah yang tinggal dua hari lagi itu seakan-akan mendentangkan genderang perang baginya.

Kun Bok tiba-tiba merasa takut, dan perasaan tidak enak yang bercampur aduk itu tiba-tiba kembali dia tumpahkan dalam pelukan Bi Kwi. Bahkan, pada hari ke lima itu Kun Bok dilayani lengkap oleh kakak-kakak Bi Kwi yang sudah selesai melaksanakan tugasnya. Dan kembalilah pemuda ini menenggelamkan kegelisahannya dalam lautan cinta birahi bersama tiga oang kekasihnya di dalam kamar Bi Kwi. Tidak sadar, betapa sepasang mata yang mencorong berpengaruh berapi-api memandangnya. Mata Bu-tiong-kiam Kun Seng si jago pedang.

* * * * * * *

Dua hari menjelang keramaian. Ceng Bi tepekur di bawah pohon mengamati panggang kelincinya. Dia tidak gembira, dan wajah muram serta rambut yang kusut itu menyayltakan kenyataan ini. Apa yang dipikir? Banyak sekali. Pertama-tama tentang pengalamannya yang serba pahit waktu turun gunung. Belum apa-apa sudah ketemu banyak musuh. Dan belum apa apa pula dia sudah hampir celaka di tangan orang-orang itu. Lalu tentang pertemuannya dengan Pendekar gurun Neraka. Kemudian dengan Pek Hong dan terakhir Ui-i-siauw-kwi.

Dan merenungkan semua pengalamannya yang tidak menyenangkan ini membuat Ceng Bi ingin sekali menyepi. Ia tidak bergairah lagi untuk menghadapi hidup. Apalagi kalau teringat kepada perjodohan yang hendak dipaksakan oleh ayahnya itu. Aih, beginikah nasibnya yang sudah menjadi suratan takdir? Haruskah dia mengalami kekecewaan demi kekecewaan sepanjang masa?

Ceng Bi menarik napas panjang. Perantauannya yang baru beberapa bulan itu tiba-tiba saja telah membuatnya dewasa. Mulai dari perasaan cintanya yang tumbuh terhadap Pendekar Gurun Neraka maupun perasaan cinta si Ui-i-siauw-kwi yang dikemukakan kepadanya. Dan membayangkan semuanya ini tiba-tiba saja Ceng Bi tertawa getir.

Kenapa dia yang mencintai Pendekar Gurun Neraka justeru orang lain yang mengeluarkan isi hatinya? Apakah ini sudah menjadi kodrat alam? Ceng Bi tersenyum kecut dan tiba-tiba dia menengadahkan mukanya. Suara orang di antara semilirnya angin membuat ia terkejut, dan baru dia mengangkat muka sekonyong-konyong dua orang tampak berkelebat di luar hutan.

"Han-ko, aku mencium daging bakar. Apakah ada orang di dalam hutan itu kiranya?"

Ceng Bi mendengar suara wanita.

"Ya, kukira ada orangnya, Ang-moi. Apakah kau ingin kita melihatnya?"

"Kalau kau tidak keberatan, Han-ko. Perutku lapar!"

"Ah, kau ingin mendatangi karena terangsang bau daging panggang itu, Ang-moi?"

Ceng Bi tidak mendengar jawabannya karena tiba-tiba wanita yang tidak dikenal itu terkekeh. Dia melihat berkelebatnya dua bayangan yang mendekat ke arahnya dengan cepat, dan Ceng Bi yang diam-diam mendongkol karena terganggu ini sudah melayang ke atas pohon dengan alis dikerutkan. Dia ingin tahu siapa pendatang baru itu, dan membayangkan daging kelincinya bakal disikat orang membuat ia menjadi gemas. Dia tidak sempat menyelamatkan daging bakarnya itu dikarenakan orang sudah terlalu dekat jaraknya, dan pengalaman berkali-kali yang menimpa dirinya untuk berhati-hati itu membuat Ceng Bi terpaksa membiarkan santapannya di bawah pohon.

Dan kini tampaklah siapa mereka itu. Ternyata seorang pemuda dan seorang gadis, berjalan beriringan dengan langkah cepat dan mulut tersenyum-senyum. Dan begitu melihat dua orang muda-mudi ini seketika Ceng Bi mengeluarkan seruan tertahan. Kiranya si gadis baju hijau yang pernah diceburkannya dalam kolam. Sedangkan pemuda di sampingnya itu bukan lain adalah kakaknya sendiri. Ceng Han!

"Hai....!" Ceng Bi hampir berseru memanggil tapi mulut yang sempat didekap itu mengembalikan suaranya. Dengan gembira dan terheran-heran ia memandang kakaknya berdua itu, dan si gadis baju hijau yang sudah tiba di bawah pohon membuat ia tertegun.

Ternyata gadis ini langsung mendekati api unggun, dan suaranya yang penuh kegembiraan itu menyatakan kegirangannya, "Wah. betul ada daging panggang di sini, Han-ko! Apakah perlu kita sikat saja?"

Tapi Ceng Bi melihat kakaknya melompat maju. "Jangan... jangan sembrono, Ang-moi. Kita tidak tahu siap pemiliknya!"

"Ah. tapi perutku lapar Han-ko. Dan bau sedap yang membuat perutku semakin berkeruyuk ini tak dapat ditahan lagi. Aku ingin menikmatinya, Han-ko, sedikit saja....!" gadis itu tiba-tiba sudah memegang kelinci guling tapi rasa panas yang menyengat tangannya tiba-tiba membuat dia mendesah kecewa.

Ceng Pi hampir tertawa, tapi Ceng Han yang bersikap serius itu tidak menampakkan kegeliannya. Pemuda ini malah menangkap lengan temannya, dan si gadis baju hijau yang cemberut kecewa ditegur halus, "Ang-moi, jangan bersikap terburu-buru. Apakah kau tidak khawatir bila yang empunya daging panggang ini datang tepat pada saat kau menyerobotnya?"

"Tapi aku tidak tahan rasanya, Han-ko. Dan perutku lapar sekali mencium baunya. Berani bertaruh, ini tentu buah tangan wanita!"

"Hm, tidak perduli pemiliknya wanita atau pria kita harus mendapat ijinnya dahulu, Ang-moi. Jangan main ambil begitu saja. Bagaimana kalau nanti kita mendapat malu hanya karena urusan kecil ini saja?" Ceng Han mengerutkan alis.

"Lalu bagaimana akal kita sekarang, Han ko? Apakah membiarkan begini saja daging itu hangus terbakar? Lihat tuh, kulitnya sudah mulai gosong seperti arang!"

"Tapi kita tidak tahu siapa pemiliknya, Ang moi. Dan kita harus mencarinya terlebih dahulu!"

"Baiklah.... baiklah... kau selalu alim dari dulu. Kalau tidak karena cegahanmu, aku tentu sudah menyambar daging kelinci ini untuk dimakan tanpa banyak rewel lagi! Eh, Han-ko, kalau aku membalik sebentar daging panggang itu tentu boleh kan?" si gadis baju hijau melepaskan tangannya dan Ceng Han mengangguk.

"Baik, tapi jangan dicuwil dulu, Ang-moi. Kalau tidak kita minta ijin, barangkali bisa mendapat malu!" Ceng Han tersenyum.

"Ih, siapa mau melanggar laranganmu? Tidak boleh dicuwil ya tidak akan kucuwil. Tapi bagaimana kita tinggal tiba-tiba daging panggang ini hilang, Han-ko?"

Ceng Han tertawa. "Ang-moi, di tempat ini tidak ada orang. Siapa mau mencuri daging itu? Kecuali kalau yang punya datang barangkali daging itu bisa diambilnya. Tapi kita tidak akan jauh-jauh mencarinya, kan? Kita hanya berputar di sekitar sini saja dan kalau tidak ada bayangan lain tentu saja kita boleh menikmatinya."

"Hm, baiklah..." si gadis baju hijau menyatakan setuju.

Dan Ceng Bi yang mendengarkan percakapan mereka hampir tak tahan terkekeh. Sebuah akal bagus mendadak muncul di benaknya. Dan Ceng Han yang dilihat tampak menggandeng mesra lengan si gadis baju hijau itu diawasinya dengan mata bersinar. Mereka sudah melompat menjauhi api unggun, dan daging panggang yang hampir hangus karena tidak diurus itu ditinggalkan sekejap untuk mencari sang "pemilik".

Inilah kesempatan bagus. Maka begitu kakaknya dan si gadis baju hijau meninggalkan kelinci bakar, sekonyong-konyong Ceng Bi melompat turun. Sekali sambar ia telah membawa naik ke atas pohon daging yang menjadi miliknya itu, dan Ceng Han serta si gadis "Ang" yang berputar-putar di sekeliling api unggun dipandangnya dengan geli.

Dua orang itu berputar dalam radius seratus meter lebih, dan ketika kembali lagi ke tempat semula wajah mereka tampak berseri. Terutama si gadis baju hijau itu. Gadis ini terkekeh girang, dan kakinya yang melompat mendekati api unggun disusul seruannya yang nyaring,

"Han-ko, daging panggang ini sudah tidak bertuan lagi kalau begitu. Kita boleh menikmatinya...hi-hik!" dan dengan cepat dia sudah menghampiri tumpukan kayu bakar itu. Tetapi begitu sampai di tempat ini mendadak gadis baju hijau itu tertegun. Dia tidak melihat lagi kelinci panggang itu, dan Ceng Han yang melihat temannya ini tertegun sudah melompat maju dengan muka heran.

"Ada apa, Ang-moi...?"

Tapi gadis itu menudingkan telunjuknya ke depan. Dan Ceng Han yang melihat lenyapnya daging panggang itu terkejut. "Hei, hilang..?" pemuda ini berseru kaget.

"Ya, hilang, Han-ko. Dan rupanya seseorang telah mencurinya"!

"Ah...!" Ceng Han membelalakkan mata. "Tapi kita tidak melihat berkelebatnya sebuah bayanganpun, Ang-moi. Bagaimana bisa dicuri orang?"

"Hm, jadi kau mau bilang dicuri iblis, Han-ko? Atau dicuri binatang...?"

Ceng Han kebingungan. "Tidak... tidak... bukan begitu maksudku, Ang-moi. Tapi mau kukatakan bahwa daging panggang itu bukan dicuri orang melainkan sengaja diambil pemiliknya!"

"Dan kau melihat bayangannya, Han-ko?"

Ceng Han menggeleng. "Tidak..."

"Hm, kalau begitu mau kau katakan bahwa si pemilik daging panggang ini orang sakti, bukan?"

Ceng Han mengangguk. "Kira-kira begitulah, Ang-moi. Dan kita tidak perlu penasaran…"

"Hm..!" gadis baju hijau mendengus. "Aku justeru berpikir sebaliknya, Han-ko. Karena bukan orang sakti yang mengambil melainkan orang yang sengaja hendak mempermainkan kita!"

"Eh, dari mana kau tahu?"

Gadis baju hijau tiba-tiba mengenduskan hidungnya. "Lihat, perbuatan orang sakti tidak mungkin meniiggalkan jejak. Tapi perbuatan orang yang mencuri daging ini meninggalkan jejaknya. Han-ko, apakah kau tidak merasakan adanya keganjilan ini?"

"Keganjilan apa, Ang-moi?" Ceng Han malah bertambah bingung.

"Keganjilan bau daging panggang itu. Aku mencium baunya yang amat dekat, dan berani bertaruh bahwa seseorang telah mempermainkan kita! Eh, Han-ko, apakah hidungmu sedang tersumbat? Lihat, nih... aku merasakan baunya yang dekat sekali. Agaknya daging itu ada di sekitar kita...!"

Gadis baju hijau tiba-tiba semakin keras mengenduskan hidungnya dan Ceng Han yang terheran-heran juga tiba-tiba mengikuti perbuatan temannya itu. Dua orang ini mengendus-endus, dan Ceng Bi yang hampir terpingkal-pingkal di atas pohon nyaris meledak tawanya. Dia merasa geli dan kagum atas kecerdikan teman kakaknya itu, sampai akhirnya ketika gadis baju hijau sekonyong-konyong mendongakkan kepala karena menemukan bau daging bakar itu berasal di atas pohon Ceng Bi tidak dapat menyembunyikan diri lagi.

Ceng Bi terbongkar kenakalannya, dan gadis baju hijau yang melihat nongkrongnya seseorang di atas pohon itu sudah berseru kaget, "Hei, baunya di atas. Dan ada orang di sana...!"

Maka begitu Ceng Bi tertangkap basah gadis ini tahu-tahu sudah melompat turun sambil terkekeh. Dia melayang persis di hadapan si gadis baju hijau itu, dan gadis ini yang segera mengenal puteri Beng-san-paicu itu kontan berteriak,

"Hei, kau siluman duyung!"

Dan Ceng Bi yang mendengar seruannya itu tertawa geli! "Ya, dan kau siluman yang suka mengintai orang mandi itu, hi-hik!" maka Ceng Bi yang sudah turun di depan dua orang ini terpingkal-pingkal. Dia tidak menghiraukan kakaknya yang jadi terbengong-bengong, karena sambil bertolak pinggang ia berkata lagi, "Eh, siluman pengintai, apa kabarmu dengan si setan hitam itu? Bagaimana kau bisa lolos?"

Dan si gadis baju hijau membelalakkan mata, "Aku ditolong temanku ini. Hek-moko nyaris kami bunuh. Dan bagaimana kau sendiri bisa lolos, siluman duyung?"

Ceng Bi mengerutkan alisnya. "Akupun ditolong seseorang. Dan jahanam she Pouw itu sungguh kurang ajar benar. Sekali waktu kalau ada kesempatan tentu aku ingin memenggal kepalanya itu!"

"Hi-hik, sama kalau begitu. Akupun juga benci kepada siluman bermata jengkol itu, dan kalau bertemu tentu ingin kucokel matanya itu. Eh, siluman duyung, apakah kau kenal temanku ini? Dia adalah Souw Ceng Han, putera pendekar besar Ciok-thouw Taihiap locianpwe!"

Ceng Bi tertawa. Dengan berpura-pura ia menghadap Ceng Han, lalu dengan sikap dibuat-buat ia bertanya, "Aih, jadi temanmu ini adalah Souw-kongcu, siluman pengintai? Wah, maaf... aku tidak tahu!" Ceng Bi buru-buru memberi hormat, "Souw-siauwhiap, maafkan hamba yang tidak mengenal orang. Apakah keadaanmu baik-baik saja...?"



Pendekar Kepala Batu Jilid 25

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 25
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Kepala Batu Karya Batara
AIH... apakah dia dapat mengimbangi perasaan pemuda itu? Dan kalau seandainya dapat, kebahagiaankah yang bakal menyertai mereka? Karena harus diingat bahwa pemuda ini adalah seorang hu-pangcu dalam perkumpulan Gelang Berdarah. Bahkan, gurunya adalah penghuni Pulau Hek-kwi-to yang merat dari sana untuk akhirnya mendirikan Hiat-goan-pang!

Maka Ceng Bi tiba-tiba tertawa pahit dan wakil Perkumpulan Gelang Berdarah yang mendengar suara ketawanya itu tiba-tiba menjadi pucat.

"Ui-i-siauw-kwi, sungguh aku tidak tahu apakah harus berduka ataukah bergembira mendengar pernyataan cintamu itu. Tapi kau yang telah berkali-kali menyakiti hatiku, dan yang telah pula memberikan obat beracun kepada enci Hong, bisakah mempercayai ucapanmu ini? Kau telah menimbulkan syakwasangka di dalam hatiku, Ui-i-siauw-kwi, dan latar kehidupanmu yang berlawanan dengan kaum pendekar sungguh membuat aku tidak bisa menerima omonganmu ini. Seharusnya, mengingat betapa kau telah berkali-kali menyakitiku seyogianya aku membalas semua perbuatanmu itu. Tapi karena hari ini kau telah menyelamatkan aku dari tangan si orang she Pouw biarlah perhitungan di antara kita impas sampai di sini. Bahkan, aku masih berhutang budi padamu. Hem, sudahlah, kita tidak perlu membicarakan cinta! Aku ingin pergi dan terima kasih atas pertotonganmu...!" Ceng Bi memandang sekejap ke arah lawan bicaranya lalu tiba-tiba melompat ke luar gua.Gadis ini tampak menggigit bibirnya.

Dan Kui Lun yang melihat puteri Beng-san-paicu itu berkelebat dengan mata sedikit basah sekonyong-konyong mengejar dengan teriakannya, "Souw-siocia!" dan Ceng Bi yang sampai di pintu gua tiba-tiba dihadang perjalanannya.

Ceng Bi mengeraskan dagunya, dan mata yang tidak senang itu menjadikan si pemuda baju kuning gugup. "Ui-i-siauw-kwi, mau apakah kau menghadang perjalanan orang? Apakah kau minta imbalannya?"

Pemuda ini menjadi pucat. "Souw-siocia..." dia berseru gemetar. "Apakah kau demikian benci kepadaku?"

Ceng Bi mengerutkan alisnya. "Aku tidak bicara begitu, orang she Ok. Tapi kalau mengingat perbuatanmu di masa lalu bisa saja aku membangkitkan kebencian itu. Tapi kau telah melepas budi kepadaku. Apakah kau hendak meminta balasannya?"

Pemuda ini tertegun. "Souw-siocia, kenapa kau demikian getas kepadaku? Tidakkah kau melihat kesungguhan kasih sayangku kepadamu?"

"Hm, dan untuk ini aku harus membalas semuanya itu, orang she Ok? Begitukah yang kau maksud? Kau hendak menyuruh agar aku balas mencintamu dan galang-gulung dengan Perkumpulan Gelang Berdarah?"

Kui Lun menjadi semakin pucat. "Nona Souw..." suaranya terdengar menggigil hebat, "Kenapa kau demikian keras kepadaku? Sudah demikian hebatkah kesalahan-kesalahan yang telah kuperbuat kepadamu? Aku tidak mengemis cinta darimu, nona. Dan kalau kau tidak mencintaiku akupun juga tidak memaksa. Tabu bagi orang she Ok ini untuk main paksa tentang cinta....!"

Pemuda itu tampak mengedikkan kepala dan Ceng Bi yang mendengar kegagahannya ini tiba-tiba tertegun. Dia tidak menyangka bahwa di dalam hati orang ternyata bersembunyi kejantanan yang seperti itu, maka kekerasan hatinya yang dirasa kelewat tiba-tiba sedikit mereda. Dia memandang mata lawan, dan melihat kesungguhannya yang tidak dibuat-buat Ceng Bi-pun mendadak merasa aneh.

"Hm, kalau begitu apa yang kau kehendaki, orang she Ok? Mengapa kau menghadang di depanku?" gadis ini bertanya perlahan dan suaranya yang mulai melunak membuat wakil Perkumpulan Gelang Berdarah itu bersinar matanya.

"Nona Souw...." pemuda itu menjawab dengan suara serak. "Aku ingin memberikan sesuatu kepadamu. Apakah kau juga meragukan iktikad baikku ini? Kalau kau curiga memang sebaiknya tidak usah saja, nona. Tapi kalau kau percaya sungguh akan bahagia sekali rasa hatiku. Aku akan memberikan peninggalan mendiang adikku yang sudah tiada, dan kalau kau mau menerima aku amat berterima kasih sekali, nona, karena boleh dianggap inilah imbalan jasa yang ingin kutuntut darimu?"

Ceng Bi terheran dan dia memandang terbelalak. "Orang she Ok, apa yang hendak kau berikan kepadaku itu? Dan kau bilang bahwa pemberianmu itu dari mendiang adik perempuanmu?"

"Ya, nona Souw dan aku ingin kau menerimanya dengan senang hati..."

"Hm, jadi hitung-hitung sebagai pembalas budi mu, orang she Ok"

Pemuda ini tampak tidak enak. "Kalau boleh dikatakan begitu, nona, agar kau tidak menolak pemberian ini."

"Baiklah. Baru sekali ini ada orang main paksa kepadaku dalam hal pemberian. Kau memang orang aneh, Ui-i-siauw-kwi....!" Ceng Bi bersungut gemas dan hu-pangcu.

Dari Perkumpulan Gelang Berdarah itu tiba-tiba sudah mengambil bungkusan berwama hitam. Dengan muka berseri dia membuka bungkusan ini, dan Ceng Bi yang mengawasi gelak-geriknya tercengang melihat sebuah baju pendek wanita yang tanpa lengan.

"Apa itu, Ui-i-siauw-kwi?" Ceng Bi bertanya. "Baju dalam adikku, nona, warisan subo yang merupakan peninggalan satu-satunya....!"

"Hmm..." Ceng Bi merah mukanya dan sejenak dia merasa jengah. Baju dalam wanita itu mirip kutang berbadan lebar, dan warnanya yang mengkilap halus jelas terbuat dari sutera pilihan. Dia hendak mengomel tapi pemuda baju kuning itu tiba-tiba berkata.

"Jangan kau remehkan baju ini, nona Souw, karena inilah baju tahan senjata, yang disebut orang Thian-bian-ih (Baju Sutera Langit)! Dan sekali kau mengenakannya tidak ada sebuah pukulan ataupun bacokan senjata yang sanggup melukai kulitmu. Nah, terimalah dan boleh kau pakai nanti...!"

Kui Lun menyerahkan baju sutera itu dan Ceng Bi jadi terkejut mendengar bahwa baju itu ternyata adalah Thian-bian-ih! Baju dalam wanita itu mirip kutang berbadan lebar, dan warnanya yang mengkilap halus jelas terbuat dari sutera pilihan.

"Eh. ini baju pusaka, Ui-i-siauw-kwi! Kenapa kau berikan padaku...?" gadis itu menjadi heran dan pemuda baju kuning tertawa sejenak.

"Jangan kau menolaknya, nona. Ingat akan ucapanmu tadi. Aku hendak memberikannya kenang-kenangan terhadapmu karena siapa tahu kita sudah tidak bakal berjumpa lagi...!" berkata begini tiba-tiba wajah pemuda itu menjadi muram dan Ceng Bi terbengong tidak mengerti.

Tapi akhirnya gadis ini menerima juga dan pangcu dari Perkumpulan Gelang Berdarah yang muram itu dipandangnya terharu. Sekarang dia merasakan ketulusan orang, dan wajah yang berkerut dahinya itu membuat dia berdebar. "Ui-i-siauw-kwi...!"

"Ada apa, nona?"

"Kau betul-betul menghadiahkan barang ini dengan rela?"

"Eh, apakah nona kira aku main-main? Aku menyerahkannya dengan tulus, nona Souw, dan jangan kira aku menyembunyikan pamrih pribadi pemberian ini. Aku sudah tidak mempunyai saudara lagi di dunia ini, dan adikku satu-satunya paling kusayang telah tiada. Warisan satu-satunya yang tidak dapat kupakai kini kuberikan padamu, apakah kau masih curiga?"

Ceng Bi menggeleng. "Tidak Ui-i-siauw-kwi. Dan alasanmu memberikan baju ini tentu ada sangkut-pautnya dengan... dengan cintamu itu, bukan?"

Pemuda ini menarik napas panjang. "Kau membuka kepedihanku, nona Souw. Tapi baiklah. Dengan jujur aku harus mengakui kenyataan ini dan terdorong oleh sebab itulah aku memberikan baju pusaka itu kepadamu. Tapi ada pertimbangan lain lagi, nona, yakni karena ingin menjaga keselamataninu dari ancaman bahaya. Bukankah kau hendak menonton keramaian di Puri Naga? Nah, karena maklum akan watak keras kepalamu inilah aku ingin memberikan perlindungan dengan baju peninggalan adik perempuanku itu. Kau harus berhati-hati, nona, dan kalau sudah bertemu ayahmu sebaiknya bujuk saja beliau pulang dan meninggalkan tempat berbahaya itu!"

"Hm, akan terjadi apa di sana, Ui-i-siauw-kwi?"

"Maaf, aku tidak bisa menceritakannya lebih jauh, nona. Tapi kalau kau mau ikut nasihatku lebih baik pergilah. Jangan dekati tempat itu setalah suhuku muncul!"

Ceng Bi terbelalak dan tiba-tiba mukanya menjadi tegang. "Ui-i-siauw-kwi, apakah ulang tahun perkumpulanmu akan dijadikan ajang pembantaian terhadap kaum pendekar?"

Pemuda ini menegakkan kepalanya. "Nona Souw, jangan memaksaku terlampau jauh. Sejelek-jeleknya orang she Ok dia tetap bukan semacam pengkhianat hina yang akan membuka rahasia perkumpulan. Karena itu pergilah, kalau kau mau ikut nasihatku, dan berhati-hatilah serta pakai baju pusaka itu untuk menghadapi segala macam bahaya...!"

"Hm..." Ceng Bi merasa kagum dan tiba-tiba dia membungkukkan tubuhnya di depan lawan. "Ui-i-siauw-kwi, kau ternyata laki-laki jantan yang tampaknya bemasib buruk. Baiklah, kalau kau tidak mau bercerita akupun juga tidak memaksa. Mendatangi Puri Naga dan melihat keramaian dari dekat tentu akan menjelaskan segalanya bagiku. Selamat tinggal, dan terima kasih atas kejujuran sikapmu...!"

Gadis itu memandang sejenak dan tiba-tiba kakinyapun berkelebat melampaui kepala lawan. Dia tidak mau memancing-mancing lagi, dan Hu-pangcu dari Perkumpulan Gelang Berdarah itu lama mengawasi bayangannya lalu menarik napas panjang. Kemuraman di wajahnya tampak mengendor, dan sinar matanya yang sedikit bercahaya kelihatan berseri memandang bungkusan hitam yang dibawa puteri Beng-san-paicu itu.

Dia masih tegak di mulut gua, akan tetapi setelah bayangan Ceng Bi benar-benar lenyap akhirnya murid penghuni pulau iblis Hek-kwi-to inipun melompat pergi. Dia meninggalkan gua yang hampir saja menjadi awal malapetaka keji bagi puteri Ciok-thouw Taihiap itu, dan pertolongannya yang tepat pada saatnya benar-benar telah melepaskan gadis cantik dari Beng-san itu pada waktunya yang amat di kehendaki.

Kini suasana di tempat itu sunyi kembali, dan Kui Lun yang melangkah gontai tampak berkerut lagi alisnya yang tebal. Dia tidak tahu betapa sesosok bayangan mengikuti gerak-geriknya dan sepasang mata yang tajam penuh wibawa tiba-tiba bersinar redup. Bayangan ini melompat ringan, dan pemuda baju kuning yang mulai berlari cepat itu sekonyong-konyong dikuntit dari belakang. Gerak kakinya yang gesit dan tanpa suara benar-benar menunjukkan kemahiran ginkangnya dan ketua muda Perkumputllan Gelang Berdarah itu yang tampaknya tidak menyadari dibayangi lawan jelas membuktikan bahwa penguntit ini adalah seorang berkepandaian tinggi!

* * * * * * * *

Sore itu Kui Lun dipanggil gurunya. Ruang bangsal di belakang Puri Naga telah penuh orang. Tujuh belas kursi tampak berderet rapi menghadap seorang laki-laki berkedok karet, dan dua buah kursi kosong yang tanpa pemilik tampak melompong. Itulah "Bangsal Agung" yang dijadikan tempat pertemuan atau rapat oleh orang-orang perkumpulan Gelang Berdarah, dan si laki-laki berkedok karet yang bukan lain adalah sang ketua sendiri tampak duduk dengan sikap keren di kursi kebesarannya.

Hari itu sang ketua tampak tidak senang hati. Matanya yang berkilat mencorong menandakan kemarahannya yang ditahan, dan ketika muridnya yang satu ini datang lo-pangcu dari Hiat-goan-pang itu kelihatan memandang bengis. Semua orang yang sejak tadi tidak ada yang mengeluarkan suara tiba-tiba menujukan pandangannya kepada pemuda baju kuning ini, dan begitu kaki-laki ini melangkah memasuki Bangsal Agung tiba-tiba keadaan terasa mencekam.

Tapi hu-pangcu dari Perkumpulan Gelang Berdarah ini tenang-tenang saja. Kui Lun hanya sekejap ke deretan kursi-kursi di tengah ruang itu, lalu terus melangkahkan kakinya menuju kursi kedua di depan sang ketua. "Suhu, teecu terlambat datang. Mohon dii maafkan!" pemuda itu memberi hormat di depan kursi kebesaran dan si laki-laki berkedok mendengus.

"Hu-pangcu, kau dari manakah sehingga terlambat datang?"

Pertanyaan keren dan dingin ini mengejutkan si pemuda dan Kui Lun memandang kaget. Tidak biasanya sang guru itu memanggilnya "hu-pangcu", karena biasanya lebih banyak memanggil "Lun-ji!" dari pada sebutan hu-pangcu. Hanya pada susana luar biasa "resmi" sajalah baru dia dipanggil seperti itu. Maka begitu mendapat teguran yang amat dingin ini kontan saja pemuda itu tercekat. Dia mengangkat kepalanya, kemudian dengan suara perlahan dan hati-hati menjawab,

"Teecu dari meronda wilayah perbatasan, suhu. Apakah ada sesuatu yang tidak beres teecu lakukan?"

"Ya, dan coba ceritakan apa yang telah kau laukan terhadap tamu kita si murid Cheng-gan Sian-jin itu?"

"Ah…." pemuda ini terbelalak dan maklumlah dia bahwa suhunya telah mendapat laporan tentang kejadian di dalam gua itu. Maka dengan hati-hati lagi diapun lalu menarik napas pasajang dan mulai bercerita. "Teecu bertemu secara kebetulan saja di suatu tempat, suhu. Dan karena dia hendak melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap seorang gadis maka teecu lalu mencegahnya. Teecu tidak menurunkan tangan dan perkelahian di antara kami juga tidak terjadi. Apakah yang tidak menyenangkan di sini, suhu?"

"Hm, kau telah menghinanya, Lun-ji, dan kedudukanmu sebagai hu-pangcu di sini tidak selayaknya kau lakukan terhadap seorang tamu! Apakah kau menyangkal tuduhan ini?"

"Ah, teecu tidak menghina, suhu...."

"Tapi kau mengusir pemuda itu! Apakah ini tidak sama dengan menghina?"

"Betul, tapi itu dikarenakan dia hendak mengganggu seorang wanita, suhu. Orang she Pouw hendak memperkosa gadis baik-baik!"

"Hm, dan kau lalu mencegahnya? Mengganggu urusan pribadinya dan bersikap tidak pantas terhadap seorang tamu?"

Kui Lun tiba-tiba bangkit berdiri. "Suhu, kalau kita mau bersikap adil selayaknya kita melihat persoalan dengan kacamata yang jernih. Tidak teecu sangkal bahwa teecu telah mengusir murid Ceng-gan Sian-jin itu dari tempat kejadian, karena itu adalah wilayah perkumpulan kita. Dan kalau dia melakukan perbuatan sewenang-wenang di tempat kita lalu apakah gunanya kita sebagai tuan rumah? Dia justeru telah menghina kita, karena berbuat semaunya tanpa menghargai yang punya wilayah! Dan kalau seseorang telah berbuat seenaknya di tempat kita lalu apakah orang begini masih perlu kita hargai lagi? Tidak, suhu. Teecu menolak tuduhan menghina karena Hiat-goan-pang bukan tempat melakukan perkosaan. Dan kalau ada yang melakukan perbuatan itu haruslah didasari suka sama suka, bukan karena salah satu fihak hendak memperkosa fihak lain seperti apa yang baru saja dilakukan oleh murid Cheng-gan Sian-jin itu!"

Hebat kata-kata hu-pangcu dari Perkumpulan Gelang Berdarah ini dan sang ketua yang mendengar pembelaan ini tertegun di kursi kebesarannya. Dia memang tidak tahu duduk persoalannya dengan jelas, karena Cheng-gan Sian-jin marah-marah kepadanya dengan mengatakan bahwa muridnya yang sedang bercintaan tiba-tiba saja diganggu oleh muridnya yang menjadi wakil ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu. Bahkan, dikatakan pula oleh Cheng-gan Sian-jin bahwa "pacar" muridnya direbut oleh hu-pangcu dan hendak "dinikmat!" sendiri karena mengandalkan kekuasaannya.

Maka begitu sekarang muridnya ini menerangkan duduk peristiwanya segera ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu mereda kebengisannya. Dia mulai mengangguk-angguk dan sinar matanya yang tadi berkilat dingin itu mulai tersenyum sedikit. Dia memandang lega, dan Kui Lun yang merasakan perubahan sikap gurunya itu tiba-tiba duduk kembali.

"Baiklah kalau begitu, aku akan menegur Cheng-gan Sian-jin, Lun-ji, karena di wilayah Hiat-goan-pang memang tidak boleh seorang laki-laki memperkosa wanita. Anggauta Hiat-goan-pang hanya diperbolehkan berbuat atas dasar suka sama suka, dan pihak tamupun harus mematuhi peraturan ini!"

"Dan tahukah suhu siapa wanita yang hendak diperkosa orang she Pouw itu? Dia bukan lain adalah puteri Beng-san-paicu, suhu, dan kalau hal ini sampai terjadi di wilayah Hiat-goan pang niat suhu untuk bersahabat dengan Ciok-thouw taihiap akan gagal tanpa harapan lagi...!"

"Ah...!" Laki-laki berkedok itu tampak terkejut dan matanya yang terbelalak kaget tiba tiba mencorong aneh. Dia memang tidak tahu sampai sedemikian jauh, tapi umpatan seorang laki laki tiba-tiba mergejutkan semua yang hadir.

"Keparat. kalau begitu bunuh saja jahanam she Pouw itu!"

Dan semua yang duduk di Bangsal Agung sekonyong-konyong menoleh ke arah suara ini dengan muka kaget. Mereka memandang pucat, tapi begitu melihat pemuda yang melontarkan suara itu mendadak saja mereka jadi terheran-heran. Mereka tidak mengenal pemuda itu, dan tiga orang wanita yang duduk di sampingnya tiba-tiba saja sudah menjatuhkan diri berlutut dengan sikap terburu-buru.

"Lo-pangcu, harap maafkan teman hamba ini. Dia tidak tahu akan peraturan Hiat-goan-pang karena hamba pertama kali ini datang. Mohon kebesaran hati pangcu dan kelapangannya....!"

Dan ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu tertegun. "Sam-hek-bi-kwi (Tiga Mawar Hitam)..." demikian dia berkata kepada tiga wanita cantik yang masih berlutut itu, "siapakah temanmu ini? Dan kenapa kalian membawanya ke mari?"

Seorang di antara tiga wanita itu yang bukan lain adalah Bi Kwi dan dua orang kakaknya membenturkan dahi di atas Iantai. "Maaf, pangcu. Teman hamba in bukan lain adalah Bok-kongcu adanya, putera tunggal si jago pedang Bu-tiong-kiam Kun Seng locianpwe!" dan ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu tampak terkejut.

"He, jadi kau adalah pewaris Si Pedang Dalam Kabut itu, anak muda?"

"Benar, locianpwe, dan maafkan apabila secara tidak sadar siauwte melontarkan kata kata kasar tadi. Siauwte tidak tahan emosi, dan secara mengejutkan telah mengganggu suasana di tempat ini."

Kun Bok buru-buru bangkit berdiri dan menjura hormat dengan muka merah sementara ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu tiba-tiba tampak girang.

"Ha-ha, tidak apa-apa, anak muda. Dan kau telah menjadi sahabat baik Sam-hek bi-kwi?"

"Ya, dan kami telah menjadi sahabat kekal, pangcu. Sehidup semati bersama Bok-kongcu menjaga Perkumpulan Gelang Berdarah...!"

Kun Bok terkejut mendengar ucapan Bi Kwi itu dan si ketua Perkumpulan Gelang Berdarah membelalakkan mata.

"Hai. kalian telah melaksanakan tekad itu, Bi Kwi? Tidak sekedar main-main belaka?"

"Tidak, pangcu..." kini Bi Gwat yang menjawab. "Kami benar-benar telah saling menyatakan tekad itu dan Bok-koko sendiri tidak menolak."

"Ha-ha, bagus, bagus kalau begitu, Dan Bok-kongcu yang menjadi pilihan kalian ini, apakah betul tidak keberatan?"

Ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu memandang Kun Bok yang dijadikan sasaran pertanyaan menjublak dengan muka merah padam. Dia merasa jengah sekali atas pengakuan Bi Kwi yang demikian terang-terangan itu, karena arti "sahabat kekal" sudah menelanjangi semua perbuatan mereka. Tapi karena tiga orang kekasihnya itu sudah bicara maka dia-pun juga tidak dapat mengelak. Hanya rasa jengahnya yang luar biasa membuat Kun Bok seperti dicekik, dan pertanyaan orang yang ditujukan kepadanya tak mampu dia jawab.

Karena itu Bi Kwi tiba-tiba menyenggol lengannya dan berbisik perlahan, "Bok-koko, pang-cu ingin memastikan jawabanmu. Kenapa diam saja? Di dalam perkumpulan kami memang tidak ada persoalan yang disembunyikan, karena kita adalah keluarga sendiri.... keluarga besar Hiat-goan-pang!"

Maka Kun Bok akhimya mengangguk dengan leher sukar digerakkan. "Ini... ini... eh, maaf, locianpwe…. siauwte memang telah saling berjanji dengan mereka untuk sehidup semati... tapi... tapi yang lain-lain siauwte tidak bicara apa-apa..."

"Ha-ha, bagus. itu sudah cukup bagus. Dan kalian sudah menjadi suami isteri, bukan?" ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu tertawa.

"Sudah, pangcu. Dan kami menikmati hidup babagia di Pulau Surga...!" Bi Hwa kali ini yang menjawab dan Kun Bok semakin hebat rasa jengahnya. Tapi aneh, orang-orang di situ biasa saja memandang mereka dan pengakuan yang sedemikian polosnya itu disambut dengan kekeh gembira oleh sang ketua yang tertutup kedok itu.

Kun Bok tak habis mengerti, dan keheranannya yang amat sangat akhirnya menggeser rasa malunya. Dia mulai berani melirik sekitar, dan wajah-wajah yang tenang tapi dingin itu dilihatnya sepi-sepi saja. Hanya si pemuda baju kuning yang tampak menarik bibirnya, dan jengekan yang tidak kentara ini terasa sinis sekali ditujukan kepadanya. Karena itu Kun Bok seperti terpukul dan warna merah yang mulai lenyap tiba-tiba kembali merona di wajahnya. Tapi ketua Gelang Berdarah tiba-tiba menghentikan ketawanya. Laki-laki berkedok ini mengerutkan alis, dan sekonyong konyong, dia memandang dua kursi yang kosong.

"Lun-ji, bukankah itu kursi dua ketua cabang di kota Hang-loh?"

Pemuda baju kuning itu mengangguk. "Betul, suhu, tapi seperti kita ketahui dua orang ketua cabang itu telah tewas. Mereka terbunuh oleh pendekar Gurun Neraka."

"Hm, dan siapa yang hendak menggantikan kedudukan mereka? Adakah di antara kalian yang punya usul?"

Tiba-tiba Bi Kwi bangkit berdiri. "Hamba mengusulkan, pangcu. Kalau sekiranya berkenan bolehlah Bok-kongcu menduduki jabatan ketua cabang itu di kota Hang-loh. Dia memiliki kepandaian tinggi, dan hamba yakin dia mampu mengimbangi kepandaian The-lo-hengte yang sudah tewas itu!"

Kun Bok terkejut. "Kwi-moi...!"

Tapi seeruan ini sekonyong-konyong dicegah oleh sang ketua Perkumpulan Gelang berdarah yang tiba-tiba sudah tertawa gembira.

"Ha-ha, Bi Kwi ternyata amat penuh perhatian terhadapmu, Bok-kongcu. Dan ini bukti betapa besar perasaan cintanya kepadamu. Eh, saudara-saudara sekalian setuju dengan usul Bi Kwi itu?"

Secara aneh tiba-tiba semua yang hadir serentak bangkit berdiri. "Kami setuju, pangcu. Dan kami percaya penuh akan kemampuan Bok-kongcu...!"

Maka Kun Bok yang mendengar ini jadi melenggong di tempat duduknya. Dia masih merasa kaget dan bengong, karena itu ketika semua ketua cabang menyatakan pendapatnya dia terkesima gugup. Tapi sebelum dia menolak lagi-lagi Bi Kwi membisikinya dengan suara bergetar.

"Bok-koko, jangan menampik anugerah luar biasa ini. Sekali pangcu menyatakan keputusannya berarti kita harus patuh. Kalau tidak, kami yang mengusulkan bakal dibunuh karena dianggap mengacau pertemuan. Karena itu terimalah, jangan biarkan kami mendapat celaka..!"

Maka Kun Bok kali ini benar-benar tidak mampu berkutik lagi. Suara kekasihnya yang harap-harap cemas tak sampai hati ditolaknya. Dan wajah yang diliputi kekhawatiran memandangnya itu membuat dia menarik napas berat. Karena itu Kun Bok akhirnya menenteramkan hati, dan keputusan yang amat gegabah akibat kelancangan Bi Kwi itu diterimanya dengan berat. Kun Bok telah bangkit berdiri, dan ketua Gelang Berdarah yang mengangkat tangannya itu dibalas penghormatan merendah,

"Locianpwe, memandang muka Bi Kwi biarlah siauwte terima jabatan yang tidak siauwte sangka-sangka ini. Tapi kalau sekiranya siauwte kurang cakap sudilah locianpwe memperkenankan siauwte mengundurkan diri dari jabatan ketua cabang di kota Hang-loh ini...."

"Ha-ha, jangan terlalu merendahkan diri, Bok-kongcu. Aku yakin kau akan mampu memimpin anak buah di cabang itu. Kami memang biasa bersikap terbuka, dan apabila kau merasa tidak suka bolehlah mengundurkan diri sewaktu-waktu. Kau adalah ketua cabang yang diangkat secara istimewa, dan jika hendak melepaskan diri dari kami tentu saja juga dengan cara yang istimewa. Ha-ha-ha, Bi Kwi, mana itu cap gelang berdarah? Aku hendak meresmikan pengangkatan ini sekarang juga...!" ketua itu memandang ke kiri.

Dan Bi Kwi yang dipanggil namanya serentak melompat berdiri. Dengan tergesa-gesa gadis itu menyatakan "baik", lalu sambil berlari kecil ia menghampiri sebuah meja di sebelah kanan sang ketua. Itulah meja berpapan besi dan Bi Kwi yang mengambil sebuah kotak hijau di atas meja ini sudah cepat berlutut di depan sang ketua menyerahkan benda itu, "Lo-pangcu, memohon berkat kesaktian gelang berdarah untuk keselamatan kekasih hamba...!" demikian gadis itu berseru nyaring dan sang ketua mendengar kata-katanya itu tertawa.

"Kembalilah, Bi Kwi. Aku tidak akan mencelakakan orang sendiri!" Ketua ini sudah membuka tutup peti bersutera hijau dan Kun Bok yang sejak tadi mengaawasi ke depan melihat adanya sebuah gelang yang berbadan tebal dengan warna kemerahan seperti darah hidup. Dia merasa mengkirik, tapi ketua Perkumpulan Gelang Berdarah yang tersenyum lebar itu tiba-tiba menjemputnya.

"Bok-kangcu, dengan disaksikan oleh lima-belas ketua cabang hari ini aku mengangkatmu secara resmi sebagai ketua nomor tiga di cabang Hang-loh dan kami sebagai keluarga besar Hiat-goan-pang merasa gembira sekali. Terimalah, cap ini akan merupakan tanda diantara sesama rekan."

Dan habis ucapan itu diserukan sekonyong-konyong benda di tangan laki-laki berkedok misterius itu berkelebat ke depan. Yang disambar adalah dada kanan Kun Bok, dan Kun Bok yang merasa terkejut otomatis hendak mengelak. Tapi sungguh mengejutkan. Tubuhnya tiba-tiba saja suduh tertotok oleh jari yang tak kelihatan dan begitu dia terbelalak sekonyong-konyong gelang kecil itu telah mengenai dadanya.

"Plak...." Kun Bok hampir berseru tertahan dan gelang yang menyambar tubuhnya itu tiba-tiba secara aneh telah kembali ke arah si ketua Gelang Berdarah. Dia tidak merasa sakit, tapi dadanya yang terasa panas membuat dia tertegun. Dan yang luar biasa, totokan yang tadi membuat dia kaku tak mampu bergerak itu sekonyong-konyong lenyap bersamaan dengan kembalinya gelang terbang! Kun Bok terkejut dan ketua Gelang Berdarah yang duduk berseri di kursi kebesaran-nya itu tertawa memandangnya.

"Ha-ha, jangan mendelong saja, Bok-kongcu. Coba buka bajumu itu dan perlihatkan kepada kami apakah pengecapan tanda gelang berdarah sudah sempurna?"

Kun Bok tercekat ngeri. Dia tidak melihat bajunya sobek, tapi ketika secara tidak sadar mencoba membuka baju dan melihat dada kanannya ternyata di situ telah ada sebuah "hiasan" berupa cap gelang berdarah yang merah warnanya! Dan begitu dia terbengong kaget tiba-tiba saja lima belas anak buah sang ketua Gelang Berdarah sudah berdiri menjura di depannya.

"Bok-kongcu, selamat atas peresmian ini. Semoga kau dapat bekerja sama dengan kami di bawah naungan Gelang Berdarah...!"

Kun Bok tertegun. Dia melihat orang-orang itu sudah memberrikan penghormatan kepadanya, dan dia yang sudah terlanjur "basah" ini tak mampu mengelak. Dengan terpaksa diapun lalu balas menjura, dan Bi Kwi yang diam-diam diliriknya dengan mata, gemas itu tampak tersenyum lebar. Tapi sang ketua Gelang Berdarah tiba-tiba mengulapkan tangannya.

"Bok-kongcu, sekarang resmilah upacara singkat ini. Dan engkau yang sudah menjadi keluarga besar Hiat-goan-pang ini tidak perlu khawatir lagi. Kami akan melindungimu dari setiap bahaya, dan engkau pun sudah selayaknya jika melindungi kami dari setiap serangan orang-orang luar. Hiat-goan-pang hendak merayakan ulang tahunnya pada minggu depan dan masuknya engkau ke dalam perkumpulan kami akan kami umumkan pada para undangan. Begitu pula dengan ikatan janji sehidup semati antara Sam-hek-bi-kwi dengan dirimu....!"

Ketua Gelang Berdarah itu berhenti sebentar dan Kun Bok yang mendengar kata-katanya ini berdetak hebat. Dia merasa semakin terjerumus dalam kesulitan yang tidak enak dirasakannya, tapi karena tidak mampu membicarakan kesukaran dirinya maka Kun Bok hanya terbelalak saja. Dan ketua Gelang Berdarah itu memandangnya dengan mata bersinar.

"Ada apakah, Bok-kongcu? Kau merasa keberatan....?"

Kun Bok menjadi gugup. "Locianpwe. eh… lo-pangcu, apakah setiap pengangkatan ketua cabang perlu diumumkan kepada orang luar? Bukankah ini adalah masalah pribadi kita? Dan siuuwte rasa urusan dalam tidak perlu diberitakan keluar…."

"Ha, ha, memang tidak perlu urusan dalam diberitakan pada orang luar, Bok-kongcu. Tapi demi penghargaan dan kegembiraan kami kepadamu maka Hiat-gown-pang hendak mengumumkannya pada orang luar agar mereka tahu bahwa engkau sudah menjadi anggauta kami. Dan kalau mereka tahu, itu berarti keuntungan bagimu, Bok-kongcu, karena musuh yang hendak mengganggumu berarti mengganggu pula Perkumpulan Gelang Berdarah. Apakah kau takut menghadapi kenyataan ini?"

Kun Bok bingung. Dia menghadapi alasan yang masuk akal, dan untuk alasan yang dikemukakan oleh ketua Gelang Berdarah itu tentu saja dia tidak ada alasan untuk menolak. Karena, bukankah sang ketua berarti hendak melindunginya dari ancaman bahaya? Dan kalau dipikir-pikir, memang betul juga kata-kata sang ketua itu. Tapi... ada sesuatu yang dia takutkan. Ada sesuatu yang membuatnya gelisah tidak nyaman. Yakni tentang reaksi ayahnya itu. Bagaimanakah kalau seandainya orang tua itu tahu? Apakah dia tidak melakukan kesalahan di sini? Karena dia sebenarnya disuruh turun gunung bukan untuk menjadi anggota Gelang Berdarah melainkan disuruh mencari puteri Ciok-thouw Taihiap Souw Ki Beng. Dan dia ternyata telah keluar "rel" dari tugas semula!

"Ah…!" Kun Bok menjadi gelisah dan ketua Hiat-goan-pang yang belum mendapatkan jawaban pemuda ini bertanya lagi.

"Bagaimana, Bok-kongcu? Apakah kau takut menghadapi kenyataan ini?"

Kun Bok akhirnya menggeleng. "Tidak, pang-cu. Siauwte tidak takut menghadapi kenyataan itu hanya sedikit gelisah memikirkan ayah siauwte."

"Hm, maksudmu kau khawatir dia tidak setuju melihat kau menjadi ketua cabang Gelang Berdarah, kongcu?"

Kun Bok terpaksa mengangguk. "Kira-kira begitulah, pangcu..." dia menjawab seadanya dulu tapi ketua Gelang Berdarah ini tiba-tiba tertawa.

"Bok- kongcu, kau agaknya lupa dengan kata-kataku tadi. Bukankah sudah kukatakan bahwa kau adalah ketua cabang yang diangkat secara istimewa? Nah, sudah menjadi peraturan di sini bahwa seorang ketua cabang yang diangkat secara istimewa berhak pula melepaskan diri secara istimewa. Itu sudah peraturan kami. Dan kalau ayahmu tidak setuju tentu saja kau boleh mengundurkan diri. Tapi, ikatanmu dengan Sam-hek-bi-kwi tentu tidak akan kau lepas, bukan?"

Kun Bok mengangguk. "Tentu saja, pangcu," jawabnya.

"Bagus, dan kau tentu tidak menolak pula jika diumumkan pada ulang tahun Gelang Berdarah, bukan?"

Kali ini Kun Bok agak ragu-rugu. Dia memandang sejenak ke arah ketua Gelang Berdarah itu, tapi karena sukar untuk mengeluarkan isi hati mengingat banyak orang di tempat ini menjadikan pemuda itu mengangguk. "Siauwte tidak keberat pangcu, tapi.... tapi sebaiknya ayah diberi tahu terlebih dahulu."

"Ha-ha, jangan khawatir, kongcu. Ayahmu telah kami beritahu sebelum kau sendiri memintanya. Dia akan hadir di pesta Gelang Berdarah pada minggu depan!"

Kun Bok terbelalak. "Pangcu sudah memberitahunya?"

"Ya. Dan banyak tokoh lain yang akan datang, Bok-kongcu. Karena kami mempunyai banyak kenalan.'"

"Ah..." pemuda ini tertegun dan tiba-tiba matanya berkilat gembira, "Ka!au begitu, tolong agar ayah siauwte datang ke mari sebelum saat ulang tahun, pangcu. Karena siauwte hendak bicara penting dengan beliau. Atau, bolehkah siauwte pergi mencarinya?"

Yetua Gelang Perdarah ini tersenyum. "Kukira tidak perlu, kongcu. Lebih baik kau tinggal saja di sini dulu dan seorang anggauta kami yang akan memanggil ayahmu agar cepat datang."

"Hm, baik kalau begitu terima kasih, pangcu!" Kun Bok sudah cepat memberi hormat dan ketua Gelang berdarah itu tertawa aneh.

Laki-laki berkedok ini tidak menyinggung-nyinggung lagi soal Kun Bok, karena rapat yang sudah lengkap dihadiri para ketua cabang itu lalu membicarakan tentang persiapan-persiapan mereka dalam menghadapi perayaan dang tahun pertama Perkurapulan Geelang Berdarah. Semua mulai diatur oleh ketua berkedok karet itu, dan Kun Bok yang lebih banyak mendengar daripada berkomentar itu diam-diam memperhatikan suasana. Dia hanya mendengar persiapan-persiapan yang biasa saja dari ketua Gelang Berdarah itu, dan semua anggauta yang tampak tunduk dan amat menghormat laki-laki berkedok ini membuat Kun Bok ingin tahu siapakah sebenarnya sang ketua yang aneh itu.

Tapi kesempatan tidak memungkinkan baginya. Dan Hiat-goan pangcu (sang ketua Hiat-goan-pang) itu juga mulai bersikap keren. Dia tidak tertawa-tawa lagi, dan para ketua cabang yang mulai ditanya tentang penyampaian undangan terhadap para tamu mulai satu-persatu menceritakan keadaannya. Dan di sinilah Kun Bok mulai tertarik. Ternyata tokoh-tokoh undangan tidak melulu dari kaum persilatan saja melainkan juga ada di antaranya Panglima Fan Li, Tan-ciangkun dan Kok-ciangkun yang pernah didengarnya sebagai tiga orang panglima bekas pembantu Yap-goanswe. Dan mendengar disebutnya nama tiga orang panglima ini sungguh membuat Kun Bok tertarik sekali.

Tapi, ketika dia mulai mendengar tokoh-tokoh kang-ouw yang diundang Hiat-goan-pang Kun Bok mulai berdebar tegang. Ternyata yang diundang juga tokoh-tokoh kelas atas, dan seorang di antaranya malah Ciok-thouw Taihiap Souw Ki Beng! Tentu saja Kun Bok terkejut, dan rasa hatinya yang sudah tidak nyaman semenjak semula itu kini menjadi semakin tidak enak saja.

Dia menjadi gelisah, dan Kun Bok tiba-tiba merasakan adanya sebuah firasat yang mencemaskan hatinya. Apalagi kalau dia membayangkan betapa hubungan cinta kasihnya bersama Bi Kwi akan diumumkan pada pesta ulang tahun Perkumpulan Gelang Berdarah! Dan dia telah menyetujui kehendak pangcu dari Hiat-goan-pang ini.

Ah...! Kun Bok tiba-tiba merasa nanar dan perasaannya yang mulai berguncang diam-diam membuat pemuda ini gelisah tidak karuan. Dia mula melirik Bi Kwi, dan senyum aneh yang mencibir di mulut gadis itu membuatnya was-was. Apakah sebenarnya yang hendak dialaminya itu? Dan apakah frasat yang tiba-tiba membuat hatinya berdebar begitu gelisah?

Pemuda ini tidak dapat menjawab dan tiba tiba saja dia ingin bertemu dengan ayahnya. Keinginan untuk bertemu itu mendadak demikian kuat, dan Kun Bok yang mulai dilanda kekhawatiran yang tidak enak itu tiba-tiba mempunyai sebuah gagasan. Dia hendak bicara dengan Bi Kwi, malam ini juga, dan semua persoalan yang tersembunyi di dalam hatinya hendak dibeberkan secara terbuka. Termasuk di antaranya maksud perjodohan dengan puteri Beng-san-paicu Souw Ki Beng itu!

Ya, dia akan membuka "kartu" dan Bi Kwi yang akan diajak bicara itu harus mengerti persoalannya. Dan kalau gadis ini sudah mau mengerti, dia akan bicara dengan Hiat-goan-pangcu dan memohon agar urusan pribadi itu tidak usah diumumkan saja. Karena, pihak ayahnya dan pihak Ciok-thouw Taihiap yang sama-sama belum tahu duduk persoalan di antara anak-anaknya tentu akan saling bentrok karena bisa dianggap pengumuman itu merupakan penghinaan bagi Pendekar Kepala Batu Souw Ki Beng!

Dan begitu Kun Bok mempunyai pikiran ini tiba-tiba saja dia menjadi tidak sabar untuk menunggu selesainya pertemuan itu. Dia ingin cepat-cepat berbicara dengan kekasihnya, dan rapat perkumpulan yang dirasa tidak banyak hubungannya dengan dia itu dirasa menjemukan. Tapi Kun Bok cukup menahan diri. Hiat-goan-pangcu yang hanya membicarakan masalah persiapan ulang tahun partai ternyata mengambil yang pokok saja.

Laki- laki misterius itu tidak bertele-tele, dan pertemuan yang berlangsung satu jam lebih sedikit itu akhirnya usai jugalah. Di sinilah ketua-ketua cabang mulai bubaran, dan mereka yang kebetulan sudah menyelesaikan tugasnya itu mulai kembali pada tempatnya masing-masing dan kebetulan sekaIi di antaranya itu adalah Bi Kwi!

Bi Gwat dan Bi Hwa tidak dapat beristirahat, karena mereka berdua ternyata harus melaksanakan tugas mempersiapkan kemah-kemah darurat bagi tamu-tamu dan jauh-jauh yang datang beberapa hari sebelum perayaan dimulai. Dan bersama beberapa ketua cabang yang lain yang mendapat pekerjaan sama, dua orang kakak Bi Kwi itu tidak dapat menemani mereka. Inilah kesempatan bagus! Maka Kun Bok yang sudah mengikuti kekasih utamanya itu meninggalkan Bangsal Agung segera berdanpingan bersama Bi Kwi dengan mata bersinar.

* * * * * * * *

Malam itu Kim Bok benar-benar berusaha mengeluarkan keresahan hatinya. Dia berada di kamar Bi Kwi, dan seperti biasanya, Bi Kwi yang manja itu menyandarkan tubuhnya pada dada pemuda ini. Mereka berdua kembali asyik bercumbu, namun Kun Bok yang terganggu oleh persoalan diri pribadi tampak kurang bergairah. Pemuda ini sedikit gugup, dan Bi Kwi yang hanya mengenakan pakaian tidur tipis itu disambutnya setengah bersemangat. Dan gadis ini rupanya merasakan kelainan kekasihnya itu.

"Bok-koko, kau tampaknya kurang gembira benar malam ini. Apakah yang kau pikirkan?" Bi Kwi bangkit duduk dan pinggang Kun Bok yang dipeluk manja dilepas perlahan.

Kun Bok memandang muram, dan pemuda yang sejak tadi menunggu waktu baik itu tiba-tiba menarik napas panjang, "Kwi-moi, sebenarnya ada sesuatu yang hendak kubicarakan denganmu. Akan tetapi apakah kau dapat menerimanya dengan penuh kebijaksanaan?"

"Hm, melihat persoalannya dahulu, koko. Kalau menyangkut diri pribadi kita tentu saja harus kuterima dengan hati-hati. Tapi kalau urusan ringan tentu saja tidak perlu membutuhkan kebijaksanaan segala macam. Apakah yang hendak kau bicarakan di sini, Bok-ko...?"

Kun Bok mengangkat kepalanya. "Persoalan peribadiku, Kwi-moi. Tidak menyangkut dirimu tapi malah menyangkut orang lain!"

"Hm, orang lain siapa, koko? Dan mengapa merupakan persoalan peribadimu? Bukankah persoalan peribadimu sebenamya juga merupakan persoalan peribadiku?"

"Benar. Tapi ini memiliki suasana lain, Kwi-moi. Dan sesungguhnya memang merupakan persoalan peribadiku sebelum kita saling bertemul"

"Hm, kau menyimpan rahasia, ko-ko?"

Kun Bok mengangguk. "Boleh dikata begitu, tapi boleh juga dikata tidak...!!"

"Hm, aneh sekali kalau begitu...!" Bi Kwi tiba-tiba turun dari pembaringan. "Apakah kini kau bermaksud untuk memberitahunya padaku, ko-ko?"

"Ya, dan kuharap kau dapat membantuku, Kwi-moi. Karena terus terang aku mulai gelisah!"

"Hik-hik, dan aku kau jadikan tumpahan himpitan batin, Bok-ko? Kau hendak membuatku sebagai tempat penghibur kedukaanmu?"

"Ah, jangan berkata seperti itu, Kwi-moi. Aku tidak merendahkanmu sedemikian rupa!"

"Habis, apa kalau begitu maksudmu?"

"Aku hendak bicara secara terbuka. Dan kalau kau dapat menerimanya dengan baik tentu saja aku akan amat berterima kasih. Kwi-moi, dapatkah kau mendengarkan ceritaku ini dengan tenang?"

Bi Kwi tiba-tiba menarik sebuah kursi. Dengan paha terlipat ia duduk di situ, dan Kun Bok yang melihat sikap kekasihnya ini kembali berdesir jiwanya. Dia setiap kali harus roboh oleh sikap Bi Kwi yang pandai merangsang birahi ini, tapi kali ini dia harus bertahan. Dan kaki Bi Kwi yang menyingkapkan pahanya yang gempal montok itu dilengosnya perlahan.

"Bok-koko, kau tampaknya serius benar malam ini. Ada apakah?"

"Urusan perjodohan, Kwi-moi... urusan perjodohanku..."

"He, urusan perjodohan? Bukankah kita....?"

"Sstt, dengarkan dulu, Kwi-moi!" Kun Pok tiba-tiba memotong. "Jangan kau terkejut dahulu. Ini memang urusan perjodohanku, dan karena itu dengarkanlah ceritaku ini...!"

Kun Bok lalu turun dari pembaringan dan Bi Kwi yang mendengar kata-katanya itu tampak terbelalak. Tapi gadis ini tidak mengganggu, dan Kun Bok yang sudah duduk di depannya itu mulai bercerita. "Begini Kwi-mo...!" pemuda itu menarik napas berat. "Sesungguhnya sebelum kita saling bertemu ini antara aku dan seorang gadis telah diikatkan sebuah perjodohan oleh ayah dan pihak keluarganya yang tidak berkeberatan maka menyambut gembira. Dan kami berdua rencananya hendak dinikahkan, tapi rupanya si gadis pada pihak keluarga sana mengalumi kerepotan. Dia minggat pada kunjungan kami yang ke dua…"

"Hm, siapa gadis itu, Bok-ko? Dan kenapa dia minggat?"

Kun Bok menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu apa alasannya minggat itu, Kwi-moi. Tapi yang jelas ayah lalu menyuruhku mencarinya. Dan dia bukan lain adalah puteri Beng-san-pai Ciok-thouw Taihiap Souw Ki Beng itu!"

"Ahh....!" Bi Kwi tiba-tiba bangkit dari kursinya dan gadis ini mengepal tinju. "Jadi si betina yang dahulu bertemu kita itu, Bok-ko. Yang telah melukai Jing-ci-touw Kam Sin bersama temannya?"

Kun Bok meraih tangannya. "Duduklah, Kwi-moi. Jangan diburu emosi..."

"Hm, siapa diburu emosi, koko? Adalah yang dahulu dengan sengaja telah melindungi gadis itu dari tanganku. Sekarang tahulah aku, mengapa dahulu kau tidak mau membantu kami dan mencegah kami membunuhnya. Agaknya kau tergila-gila kepada setan betina itu, Bok-koko... dan kau membiarkan kami mengalami penghinaan!" Bi Kwi tiba-tiba menangis sambil menutupi mukanya.

Dan Kun Bok cepat-cepat memeluk gadis ini. "Kwi-moi, jangan menuduhku seperti itu. Aku tidak tergila-gila kepadanya dan tidak bermaksud membiarkan kalian celaka. Bukankah dahulu aku yang menolongmu dari serangannya? Dan kalau aku diam saja melihat kalian bertempur adalah karena aku dalam kebingungan, moi-moi... bukan sengaja membiarkan kalian mengalami penghinaan."

"Tapi kau telah membelanya, koko. Kau mencegah kami membalas hingga enci Bi Gwat terluka...!"

"Hm, tapi akupun juga telah membela kalian, Kwi-moi, jadi tidak seharusnya kau menuduhku seperti itu. Dan hu-pangcu yang datang telah menyelesaikan segalanya dengan baik-baik...."

"Apa? Dengan baik-baik....?" Bi Kwi tiba-tiba melepas mukanya yang meradang. "Aku tidak melihat penyelesaian dengan baik-baik, Bok-koko, karena hu-pangcu membiarkan siluman betina itu pergi disebabkan memandang mukamu. Kalau tidak, tentu dia sudah kami tangkap dan bunuh demi membalas sakit hati enci Bi Gwat!"

"Ah, tapi dia puteri Ciok-thouw. Apakah persoalan kecil begitu saja harus dibalas dengan pembunuhan?"

Bi Kwi sekonyong-konyong mendelik marah. "Bok-koko, kau tampaknya sayang benar terhada siluman betina itu. Ada apakah kalau dia kebetulan menjadi puteri Ciok-thouw Taihiap? Biar puteri Giam-lo-ong (Raja Maut) sekalipun aku tidak takut! Kenapa kau demikian membelanya Bok-koko? Apakah kau mencintainya? Huh tahu aku sekarang, Tentu karena ikatan perjodohan itulah maka kau berat kepadanya dari pada ke pada kami!"

Gadis itu tiba-tiba menangis sesenggukan dan Kun Bok yang. "disemprot" Bi Kwi jadi termangu-mangu. Pemuda ini mengerutkan alis tapi Bi Kwi yang menutupi mukanya itu akhirnya dibelai lembut.

"Kwi-moi, jangan melontarkan cemburu seperti itu. Kau tahu bahwa aku mencintaimu, tidak mencintai gadis lain. Kenapa harus melampiaskan kemarahan seperti ini?"

"Tapi kau nyata berat kepadanya, kok tidak berat kepada kami dun enak -enak saja melihat kami bertempur!"

"Ah, tunggu dulu, kau salah paham. Kau tidak tahu apa yang berkecamuk di dalam hatiku...!"

"Huh, siapa bilang tidak tahu? Tentu saja, aku tahu dan mengerti sekarang karena siluman betina itu ternyata calon isterimu!" Bi Kwi semakin meradang dan Kun Bok menjadi muram.

"Kwi-moi, dengarlah dahulu...." pemuda ini mengelus pundaknya. "Siapa bilang aku lebih berat kepadanya. Kau terlalu menuruti panas hatimu, moi-moi, tidak melihat kenyataan yang ada. Sebab, kalau benar aku lebih berat kepadanya tentu aku tidak akan ada di sini, moi-moi. Karena aku pasti sudah mencari gadis itu dan meninggalkan dirimu!"

Bi Kwi tiba-tiba mengangkat mukanya dan sinar matanya dan yang redup layu mengeluarkan cahaya aneh. Dia tidak membuka suara, namun pandangnn matanya yang penuh selidik cukup membuat Kun Bok tiba-tiba mencekal tangannya.

"Kwi-moi " Kun Bok berbisik. "Lihatlah apa yang telah kulakukan ini. Bukankah semuanya itu cukup menjadikan bukti bagimu bahwa aku lebih memberatkan dirimu daripada puteri Ciok-thouw Taihiap itu? Kau tahu aku telah memenuhi segala permintaanmu, moi-moi, dan bahkan mengikuti semua kehendakmu dengan cara membuta. Lihatlah buktinya ini. Betapa kau telah menyuruhku menjadikan dua orang kakakmu sebagai kekasihku, dan betapa kau telah menyuruhku pula untuk menjadi anggauta Hiat-goan-pang, malah sebagai ketua cabang yang belum kuketahui bagaimana sebenarnya perkumpulan yang kumasuki ini! Kwi-moi, melihat semuanya itu, tidakkah kau membuktikan bahwa sesungguhnya aku mencintaimu lebih dari segala sesuatu? Dan gara-gara cinta kasihku Kwi-moi, kini aku mengalami kesulitan! Aku belum memberi tahu ayah tentang perubahan yang terjadi ini, dan aku harus menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk yang barangkali terjadi. Terutama tentang maksud perjodohan itu yang hendak kubatalkan...!"

Suara Kun Bok tampak bergetar dan Bi Kwi yaug mendengar ucapan terakhirnya ini tiba-tiba tersenyum. Manis sekali senyum itu, mengembang bak sekuntum bunga yang sedang babagia dan mulut yang tadi terkatup itu sekonyong-konyon merekah. "Bok-koko, hendak membatalkan maksud perjodohan ayahmu itu?" Bi Kwi bertanya lirih.

"Tentu saja, Kwi-moi...." Kun Bok mengangguk. "Tapi aku harus berhati-hati sekali dalam memberitahukannya. Karena sekali salah bicara dan membangkitkan kemarahan ayah tentu segala-galanya bakal jadi berantakan."

"Hm, kalau begitu kau hendak membicarakan persoalan kita, koko? Memberitahukan kepada ayahmu bahwa kau telah jatuh cinta kepada gadis lain?"

"Ya, dan di sini mungkin aku mendapat dampratan ayah!"

"Eh, kenapa koko? Apakah beliau tidak setuju?"

"Bukan begitu soalnya, moi-moi. Tapi kejadian yang luar biasa ini. Tentang masuknya dua orang encimu itu sekaligus sebagai kekasihku. Nah, ni mungkin bagi ayah terlalu `kurang ajar', dan salah-salah aku bisa dicapnya sebagai pemuda mata keranjang...!"

Bi Kwi tiba-tiba terkekeh geli. "Hi-hik, kukira soal apa. Bok-koko. Nggak tahunya hanya soal itu. Eh, kalau begitu saja kenapa ayahmu harus marah? Bukankah seorang laki-laki mendapat tiga isteri juga tidak terlalu luar biasa? Dibandingan dengan seorang kaisar yang isterinya puluhan bahkan ratusan orang, kejadian kita ini sesungguhnya bukan apa-apa! Bukankah begitu, koko?"

"Ya, tapi ayah tentu kurang puas denganku, wi-moi. Dan beliau salah-salah bisa menolak percintaan kita ini!"

"Hm, gawat kalau begitu...!" Bi Kwi tiba-tiba mengerutkan alisnya. "Lalu apa kalau begitu yang akan kau perbuat, koko?"

Kun Bok mengeraskan matanya. "Kita harus berhasil, moi-moi. Aku harus berhasil memberi tahu ayah. Aku hendak bicara secara terbuka, dari hati ke hati dan menceritakannya secara panjang lebar!"

"Tapi kalau beliau tetap menolak?"

"Aku akan membujuknya...!" Kun Bok bersitegang. "Dan kita harus berhasil, moi-moi, membuang segala kemungkinan negatif itu!" pemuda irii tampak menutupi kecemasannya. "Tapi yang lebih diutamakan pada saat ini adalah pemberitahuan dibatalkannya perjodohan dengan pihak Bang-san-paicu itu, Kwi-moi, dan aku ingin bertemu ayah secepat mungkin!"

"Hm, tapi beliau telah menerima undangan kami, Bok-koko. Dan kau tentu dapat bicara dengannya."

"Ya, tetapi jangan tepat pada saat keramaian dimulai, Kwi-moi. Karena pangcu yang hendak mengumumkan berita kita ini kepada para undangan bisa menimbulkan heboh kepada pihak Ciok-thouw Taihiap Souw-locianpwe. Kau tahu bahwa Pendekar Kepala Batu telah menerima usul perjodohan ayahku, dan pengumuman yang bakal didengamya itu tentu akan membuat pendekar sakti itu marah. Padahal, ayah dan Ciok-thouw Taihiap Souw Ki Beng adalah sahabat-sahabat baik yang sudah akrab belasan tahun."

"Hm, kalau begitu apa yang kau maui, Bok-koko?"

"Pertama-tama aku ingin bertemu ayah sebelum pesta perayaan itu tiba. Dan ke dua aku hendak menemui pangcu dan menjelaskan duduk persoalan pribadiku ini."

"Eh, menemui pangcu untuk apa, koko?"

"Memintanya agar tidak usah mengumumkan hubungan cinta kasih ini. Meminta beliau agar tidak membicarakannya di depan umum. Dan aku hendak menjelaskan alasannya, betapa aku sebelumnya pernah diikatkan dengan sebuah perjodohan oleh ayah dengan pihak keluarga ketua Beng-san-pai itu. Dan mengingat bahwa terjadi perubahan di sini di mana baik ayah maupun Ciok-thouw Taihiap tidak mengetahui jalinan cinta kasih kita maka sebaiknya persoalan ini tidak perlu diumumkan saja."

"Hm, kalau begitu mengapa tidak tadi saja dikatakan, koko?"

"Di dalam rapat, maksudmu?"

"Ya."

"Ah, ini persoalan pribadi. Bagaimana hendak didengarkan banyak orang?"

"Hm, kau agaknya lupa, Bok-koko. Bahwa bagi anggauta Gelang Berdarah tidak ada persoalan pribadi bagi masing-masing individu. Setiap persoalan anggauta adalah persoalan semuanya, dan kau yang telah resmi menjadi ketua cabang ini seharusnya tidak perlu malu-malu demikian! Kau justeru mempersulit diri sendiri, Bok-koko, karena menemui pangcu dan ingin bicara empat mata sungguh bukanlah hal yang gampang!"

Kun Bok terkejut. "Eh, masa begitu, moi-moil"

Bi Kwi tersenyum aneh. "Buktikanlah sendiri, koko."

"Ah, kalau begitu aku akan minta bantuan hu-pangcu!"

"Ya, dan dialah sesungguhnya yang bisa mengantarkan seorang ketua cabang untuk menemui lo-pangcu. Tapi kalau pangcu sedang keluar atau tidak senang hati tentu saja beliau sulit ditemui, Bo-koko, dan satu-satunya jalan paling-paling tinggal bersabar."

Kun Bok tertegun. Dia tiba-tiba teringat akan wajah yang selalu tertutup kedok itu, dan mengingat dia sudah menjadi "anggauta" mereka tiba-tiba dia bertanya kepada Hi Kwi, sesungguhnya siapakah pangcu kita itu? Dan mengapa dia menyembunyikan mukanya?

Bi Kwi tertawa kecil. "Beliau orang sakti, koko. Kau tentu pernah mendengar namanya."

"Siapakah dia?"

"Wan-locianpwe."

"Wan-locianpwe...?"

"Ya, tokoh sakti yang dulu disiksa suhengnya sendiri di Pulau Hek-kwi-to!"

"Ha..? Kau maksudkan ib..."

"Sstt, jangan memaki dia, Bok-koko. Baliau bisa mendengar pembicaraan orang di balik tembok tebal!" Bi Kwi cepat memotong dan Kun Bok yang hampir mengatakan "iblis" itu terkesiap. Dia kaget bukan main, tapi Bi Kwi yang tiba-tiba memandangnya tajam membuat dia sadar.

"Ada apa, koko? Kau terkejut?"

Pemuda ini menelan ludah "Ya, aku kaget sekali, moi-moi. Tidak menyangka bahwa penghuni Hek-kwi-to lah yang menjadi ketua Hiat-goan-pang. Bukankah dia adalah Sin-hwi-ciang locianpwe yang konon katanya membunuh guru sandiri lalu disebut iblis oleh Malaikat Gurun Neraka?"

Bi Kwi mengangguk. "Ya, begitulah menurut Takla Sin-jin, Bok-koko. Tapi sesungguhnya yang menjadi iblis itu adalah Malaikat Gurun Neraka sendiri. Dialah yang membunuh sang guru dan sute yang tidak bersalah kemudian di fitnah..!"

"Ah...!" Kun Bok tertegun dan karena dia sudah jatuh segala-galanya di bawah telapak Bi Kwi maka diapun percaya saja ketika gadis ini mulai bercerita tentang keadaan pangcu mereka itu.

"Betapa 'beliau‘ ini dirobohkan secara curang oleh Malaikat Gurun Neraka dan betapa untuk menutupi kebusukannya sendiri adik seperguruannya itu lalu disekap duapuluh tahun lebih di pulau iblis, yakni Pulau Hek-kwi-to itu."

Dan Kun Bok yang tidak tahu jelas duduk persoalan sebenarnya tentu saja mengikuti belaka. Apalagi Bi Kwi yang pandai bercerita ini selalu menyelingi dangan usapan jari-jarinya yang lembut, mengecup dan mancium mulutnya setiap kali bergerak dan Kun Bok yang dibuat terlena ini menjadi tidak sadar dan mabok kepayang. Sesungguhnya Kun Kok sendiri tidak menghiraukan tentang orang lain. Entah itu ketua Gelang Berdarah ataupun bukan ketua Gelang Berdarah.

Dan dia yang terlibat dalam urusan pribadinya ini sudah menjadi lega bahwa Bi Kwi mau "mengerti" persoalan pribadinya, tidak marah dan dapat memahami apa yang dia ceritakan secara panjang lebar tentang urusan perjodohannya dengan puteri Beng-san-paicu itu. Dan ini sudah mennggembirakan hatinya. Karena keresahan jiwa yang semula menghimpit batin itu kini telah mendapatkan penyalurannya, walaupun hanya sebagian saja karena dia sadar bahwa kesukaran lain yang lebih besar masih menghadang di depan mata.

Tapi itu bagi Kun Bok tidak begitu penting. Yang penting baginya adalah pengertian Bi Kwi ini, lalu memberi tahu Hiat-goan-pangcu untuk diminta kebijaksanaannya agar tidak usah mengumumkan persoalannya dengan Bi Kwi itu di keramaian ulang tahun perkumpulan. Itu yang paling pokok. Baru kemudian pemberitahuan terhadap ayahnya dan terakhir kepada Beng-san-paicu Souw Ki Beng itu mengenai dibatalkannya ikatan perjodohan.

Karena kalau dia tidak segera melaksanakan niatnya ini, dikhawatirkan ketua Beng-san-pai yang bengis itu bakal tersinggung dan marah hebat kepadanya. Dan dia tidak berani membayangkan apa jadinya bila Ciok-thouw Taihiap Souw Ki Beng itu murka. Tentu ayahnya bakal dimintai pertanggungan jawab. Dan dia yang sudah terlanjur menjeiumuskan diri ini tentu celaka. Tidak. Dia harus mencegah kejadian yang seperti itu. Dan kunci semuanya sekarang ini terletak pada tangan Hiat-goan-pangcu. Oleh karena itulah dia harus menemui sang ketua Gelang Berdarah ini dan memberi tahu segalanya! Itulah keputusan Kun Bok.

Dan keputusan yang sudah dipikir masak-masak ini tampaknya memang merupakan jalan yang paling baik. Tetapi, dapatkah semua yang telah dipikirkan putera Bu-tiong-kiam Kun Seng itu berjalan sempurna? Karena apa yang direncanakan biasanya belum tentu pula akan berjalan seperti yang dikehendaki. Dan Kun Bok sendiri juga belum mengenal baik siapa itu sebenarnya sang ketua Gelang Berdarah!

Dia masih mengetahui serba sedikit tentang tokoh yang satu ini dan kedangkalan pengalamannya itulah yang sesungguhnya merupakan awal bencana baginya. Kun Bob mulai masuk perangkap, dan bahaya besar telah mulai mengurungnya semenjak dia masuk dalam markas perkumpulan itu!

Tetapi pemuda ini memang tidak sadar. Dia tampaknya memang tidak boleh terlalu disalahkan karena sesungguhnya pemuda ini sedang menjadi sebuah alat permainan dari akal iblis yang amat keji milik sang ketua Gelang Berdarah. Dan pemuda yang dibuat mabuk kepayang oleh Bi Kwi itu memang patut dikasihani sekali. Dia tidak tahu apa-apa, dan justeru karena ketidaktahuannya Kun Bok menjadi korban.

Malam itu Kun Bok benar-benar dibuat "asyik" oleh Bi Kwi, dan pemuda yang selalu diloloh nafsu berahi itu tenggelam dalam permainan cinta. Sampai keesokan harinya, ketika matahari sudah naik tinggi, barulah Kun Bok tergesa-gesa turun dari pembaringan untuk mencari ketua Hiat-goan-pang. Dengan terburu-buru dia melaksanakan niatnya yang ke dua ini, tapi ternyata dengan kecewa, Kun Bok diberi tahu bahwa sang pangcu sedang "keluar kota".

Kun Bok kembali lagi. Menemui Bi Kwi dan masih belum sadar akan adanya keganjilan, tidak merasa aneh bagaimana tepat semalam setelah pembicaraannya dengan Bi Kwi tiba tiba saja saja ketua tidak ada di markas. Pergi keluar kota padahal seminggu lagi Perkumpulan Gelang Berdarah merayakan kesibukannya!

Aneh, bukan? Tapi pemuda ini memang tidak mengetahuinya. Dia tidak menduga buruk. Maka pada keesokan harinya kembali dia mencoba untuk menemui sang pangcu. Tapi sial, sang ketua itu ternyata belum kembali juga. Kun Bok mendapat keterangan bahwa Hiat-goan-pangcu sukar ditentukan kembalinya, karena beliau itu kadang-kadang muncul di tengah-tengah mereka dan kadang-kadang lenyap tanpa diketahui perannya. Tapi yang jelas, demikian kata hu-pangcu, sang ketua pasti kembali sebelum perayaan dimulai. Namun kapankah tepatnya inilah tidak ada seorangpun yang dapat menjawabnya! Maka Kun Bok yang sudah dua kali mencari tapi masih saja gagal itu mulai merasa heran. Pemuda ini tidak habis mengerti, dan diam-diam dia merasa cemas juga.

Kalau dia tidak berhasil menemui pangcu Gelang Berdarah itu, bukankah keadaan bisa gawat sekali baginya? Tapi Kun Bok yang masih menaruh harapan pada hari-hari berikutnya itu belum juga merasakan firasat buruk. Dia tidak kenal menyerah, dan hari berikutnya menjelang perayaan pesta itu diulanginya kembali pencarian sang ketua Gelang Berdarah yang tidak kunjung didapatkan. Hari ke tiga, hari ke empat, sampai akhirnya... hari ke lima di mana tinggal dua hari lagi keramaian akan dimulai ternyata Hiat-goan-pangcu belum kembali juga dari bepergiannya.

Kenyataan ini membuat Kun Bok menjadi kecut, dan perginya sang ketua Gelang Berdarah yang amat misterius mulai mencurigainya. Dia sekarang mulai mendapatkan perasaan yang tidak nyaman, dan rasa was-wasnya yang mulai berkembang itu menjadikannya gelisah dan kebingungan. Tapi Bi Kwi selalu menghiburnya. Gadis ini selalu memberikan harapan kepadanya, dan Kun Bok yang selalu mendapatkan pelarian di dalam diri kekasihnya ini dapat melupakan kekesalannya dengan sejenak.

Padahal, dia melihat betapa lapangan rumput di depan Puri Naga telah mulai ramai dikunjungi para tamu undangan. Dia melihat berbondong-bondongnya orang-orang yang aneh, mulai dari pengemis berpakaian dekil sampai kepada serombongan orang yang menunjukkan diri sebagai tokoh-tokoh kelas atas, sepertinya ketua Kun-lun-pai yang dikenal dan ketua-ketua lain yang sealiran. Maksudnya, golongan kaum pendekar yang mendapat undangan resmi dan yang tertarik untuk menyaksikan pibu!

Inilah yang dijumpai Kun Bok sehari-hari. Padahal, sang ketua Gelang Berdarah sendiri yang hendak dijumpainya belum juga kembali. Apakah artinya ini? Dan mengapa tiba-tiba sekarang dia merasakan hatinya berdebar-debar? Kun Bok tidak tahu dan tenda-tenda darurat yang disediakan bagi tamu-tamu dari jauh dan yang ingin melepaskan lelah di situ menjadikan dia gelisah tidak karuan. Dia melihat berbondong-bondongnya para undangan itu seolah-olah musuh yang hendak mengurungnya dari delapan penjuru mata angin, dan keramaian ulang tahun Gelang berdarah yang tinggal dua hari lagi itu seakan-akan mendentangkan genderang perang baginya.

Kun Bok tiba-tiba merasa takut, dan perasaan tidak enak yang bercampur aduk itu tiba-tiba kembali dia tumpahkan dalam pelukan Bi Kwi. Bahkan, pada hari ke lima itu Kun Bok dilayani lengkap oleh kakak-kakak Bi Kwi yang sudah selesai melaksanakan tugasnya. Dan kembalilah pemuda ini menenggelamkan kegelisahannya dalam lautan cinta birahi bersama tiga oang kekasihnya di dalam kamar Bi Kwi. Tidak sadar, betapa sepasang mata yang mencorong berpengaruh berapi-api memandangnya. Mata Bu-tiong-kiam Kun Seng si jago pedang.

* * * * * * *

Dua hari menjelang keramaian. Ceng Bi tepekur di bawah pohon mengamati panggang kelincinya. Dia tidak gembira, dan wajah muram serta rambut yang kusut itu menyayltakan kenyataan ini. Apa yang dipikir? Banyak sekali. Pertama-tama tentang pengalamannya yang serba pahit waktu turun gunung. Belum apa-apa sudah ketemu banyak musuh. Dan belum apa apa pula dia sudah hampir celaka di tangan orang-orang itu. Lalu tentang pertemuannya dengan Pendekar gurun Neraka. Kemudian dengan Pek Hong dan terakhir Ui-i-siauw-kwi.

Dan merenungkan semua pengalamannya yang tidak menyenangkan ini membuat Ceng Bi ingin sekali menyepi. Ia tidak bergairah lagi untuk menghadapi hidup. Apalagi kalau teringat kepada perjodohan yang hendak dipaksakan oleh ayahnya itu. Aih, beginikah nasibnya yang sudah menjadi suratan takdir? Haruskah dia mengalami kekecewaan demi kekecewaan sepanjang masa?

Ceng Bi menarik napas panjang. Perantauannya yang baru beberapa bulan itu tiba-tiba saja telah membuatnya dewasa. Mulai dari perasaan cintanya yang tumbuh terhadap Pendekar Gurun Neraka maupun perasaan cinta si Ui-i-siauw-kwi yang dikemukakan kepadanya. Dan membayangkan semuanya ini tiba-tiba saja Ceng Bi tertawa getir.

Kenapa dia yang mencintai Pendekar Gurun Neraka justeru orang lain yang mengeluarkan isi hatinya? Apakah ini sudah menjadi kodrat alam? Ceng Bi tersenyum kecut dan tiba-tiba dia menengadahkan mukanya. Suara orang di antara semilirnya angin membuat ia terkejut, dan baru dia mengangkat muka sekonyong-konyong dua orang tampak berkelebat di luar hutan.

"Han-ko, aku mencium daging bakar. Apakah ada orang di dalam hutan itu kiranya?"

Ceng Bi mendengar suara wanita.

"Ya, kukira ada orangnya, Ang-moi. Apakah kau ingin kita melihatnya?"

"Kalau kau tidak keberatan, Han-ko. Perutku lapar!"

"Ah, kau ingin mendatangi karena terangsang bau daging panggang itu, Ang-moi?"

Ceng Bi tidak mendengar jawabannya karena tiba-tiba wanita yang tidak dikenal itu terkekeh. Dia melihat berkelebatnya dua bayangan yang mendekat ke arahnya dengan cepat, dan Ceng Bi yang diam-diam mendongkol karena terganggu ini sudah melayang ke atas pohon dengan alis dikerutkan. Dia ingin tahu siapa pendatang baru itu, dan membayangkan daging kelincinya bakal disikat orang membuat ia menjadi gemas. Dia tidak sempat menyelamatkan daging bakarnya itu dikarenakan orang sudah terlalu dekat jaraknya, dan pengalaman berkali-kali yang menimpa dirinya untuk berhati-hati itu membuat Ceng Bi terpaksa membiarkan santapannya di bawah pohon.

Dan kini tampaklah siapa mereka itu. Ternyata seorang pemuda dan seorang gadis, berjalan beriringan dengan langkah cepat dan mulut tersenyum-senyum. Dan begitu melihat dua orang muda-mudi ini seketika Ceng Bi mengeluarkan seruan tertahan. Kiranya si gadis baju hijau yang pernah diceburkannya dalam kolam. Sedangkan pemuda di sampingnya itu bukan lain adalah kakaknya sendiri. Ceng Han!

"Hai....!" Ceng Bi hampir berseru memanggil tapi mulut yang sempat didekap itu mengembalikan suaranya. Dengan gembira dan terheran-heran ia memandang kakaknya berdua itu, dan si gadis baju hijau yang sudah tiba di bawah pohon membuat ia tertegun.

Ternyata gadis ini langsung mendekati api unggun, dan suaranya yang penuh kegembiraan itu menyatakan kegirangannya, "Wah. betul ada daging panggang di sini, Han-ko! Apakah perlu kita sikat saja?"

Tapi Ceng Bi melihat kakaknya melompat maju. "Jangan... jangan sembrono, Ang-moi. Kita tidak tahu siap pemiliknya!"

"Ah. tapi perutku lapar Han-ko. Dan bau sedap yang membuat perutku semakin berkeruyuk ini tak dapat ditahan lagi. Aku ingin menikmatinya, Han-ko, sedikit saja....!" gadis itu tiba-tiba sudah memegang kelinci guling tapi rasa panas yang menyengat tangannya tiba-tiba membuat dia mendesah kecewa.

Ceng Pi hampir tertawa, tapi Ceng Han yang bersikap serius itu tidak menampakkan kegeliannya. Pemuda ini malah menangkap lengan temannya, dan si gadis baju hijau yang cemberut kecewa ditegur halus, "Ang-moi, jangan bersikap terburu-buru. Apakah kau tidak khawatir bila yang empunya daging panggang ini datang tepat pada saat kau menyerobotnya?"

"Tapi aku tidak tahan rasanya, Han-ko. Dan perutku lapar sekali mencium baunya. Berani bertaruh, ini tentu buah tangan wanita!"

"Hm, tidak perduli pemiliknya wanita atau pria kita harus mendapat ijinnya dahulu, Ang-moi. Jangan main ambil begitu saja. Bagaimana kalau nanti kita mendapat malu hanya karena urusan kecil ini saja?" Ceng Han mengerutkan alis.

"Lalu bagaimana akal kita sekarang, Han ko? Apakah membiarkan begini saja daging itu hangus terbakar? Lihat tuh, kulitnya sudah mulai gosong seperti arang!"

"Tapi kita tidak tahu siapa pemiliknya, Ang moi. Dan kita harus mencarinya terlebih dahulu!"

"Baiklah.... baiklah... kau selalu alim dari dulu. Kalau tidak karena cegahanmu, aku tentu sudah menyambar daging kelinci ini untuk dimakan tanpa banyak rewel lagi! Eh, Han-ko, kalau aku membalik sebentar daging panggang itu tentu boleh kan?" si gadis baju hijau melepaskan tangannya dan Ceng Han mengangguk.

"Baik, tapi jangan dicuwil dulu, Ang-moi. Kalau tidak kita minta ijin, barangkali bisa mendapat malu!" Ceng Han tersenyum.

"Ih, siapa mau melanggar laranganmu? Tidak boleh dicuwil ya tidak akan kucuwil. Tapi bagaimana kita tinggal tiba-tiba daging panggang ini hilang, Han-ko?"

Ceng Han tertawa. "Ang-moi, di tempat ini tidak ada orang. Siapa mau mencuri daging itu? Kecuali kalau yang punya datang barangkali daging itu bisa diambilnya. Tapi kita tidak akan jauh-jauh mencarinya, kan? Kita hanya berputar di sekitar sini saja dan kalau tidak ada bayangan lain tentu saja kita boleh menikmatinya."

"Hm, baiklah..." si gadis baju hijau menyatakan setuju.

Dan Ceng Bi yang mendengarkan percakapan mereka hampir tak tahan terkekeh. Sebuah akal bagus mendadak muncul di benaknya. Dan Ceng Han yang dilihat tampak menggandeng mesra lengan si gadis baju hijau itu diawasinya dengan mata bersinar. Mereka sudah melompat menjauhi api unggun, dan daging panggang yang hampir hangus karena tidak diurus itu ditinggalkan sekejap untuk mencari sang "pemilik".

Inilah kesempatan bagus. Maka begitu kakaknya dan si gadis baju hijau meninggalkan kelinci bakar, sekonyong-konyong Ceng Bi melompat turun. Sekali sambar ia telah membawa naik ke atas pohon daging yang menjadi miliknya itu, dan Ceng Han serta si gadis "Ang" yang berputar-putar di sekeliling api unggun dipandangnya dengan geli.

Dua orang itu berputar dalam radius seratus meter lebih, dan ketika kembali lagi ke tempat semula wajah mereka tampak berseri. Terutama si gadis baju hijau itu. Gadis ini terkekeh girang, dan kakinya yang melompat mendekati api unggun disusul seruannya yang nyaring,

"Han-ko, daging panggang ini sudah tidak bertuan lagi kalau begitu. Kita boleh menikmatinya...hi-hik!" dan dengan cepat dia sudah menghampiri tumpukan kayu bakar itu. Tetapi begitu sampai di tempat ini mendadak gadis baju hijau itu tertegun. Dia tidak melihat lagi kelinci panggang itu, dan Ceng Han yang melihat temannya ini tertegun sudah melompat maju dengan muka heran.

"Ada apa, Ang-moi...?"

Tapi gadis itu menudingkan telunjuknya ke depan. Dan Ceng Han yang melihat lenyapnya daging panggang itu terkejut. "Hei, hilang..?" pemuda ini berseru kaget.

"Ya, hilang, Han-ko. Dan rupanya seseorang telah mencurinya"!

"Ah...!" Ceng Han membelalakkan mata. "Tapi kita tidak melihat berkelebatnya sebuah bayanganpun, Ang-moi. Bagaimana bisa dicuri orang?"

"Hm, jadi kau mau bilang dicuri iblis, Han-ko? Atau dicuri binatang...?"

Ceng Han kebingungan. "Tidak... tidak... bukan begitu maksudku, Ang-moi. Tapi mau kukatakan bahwa daging panggang itu bukan dicuri orang melainkan sengaja diambil pemiliknya!"

"Dan kau melihat bayangannya, Han-ko?"

Ceng Han menggeleng. "Tidak..."

"Hm, kalau begitu mau kau katakan bahwa si pemilik daging panggang ini orang sakti, bukan?"

Ceng Han mengangguk. "Kira-kira begitulah, Ang-moi. Dan kita tidak perlu penasaran…"

"Hm..!" gadis baju hijau mendengus. "Aku justeru berpikir sebaliknya, Han-ko. Karena bukan orang sakti yang mengambil melainkan orang yang sengaja hendak mempermainkan kita!"

"Eh, dari mana kau tahu?"

Gadis baju hijau tiba-tiba mengenduskan hidungnya. "Lihat, perbuatan orang sakti tidak mungkin meniiggalkan jejak. Tapi perbuatan orang yang mencuri daging ini meninggalkan jejaknya. Han-ko, apakah kau tidak merasakan adanya keganjilan ini?"

"Keganjilan apa, Ang-moi?" Ceng Han malah bertambah bingung.

"Keganjilan bau daging panggang itu. Aku mencium baunya yang amat dekat, dan berani bertaruh bahwa seseorang telah mempermainkan kita! Eh, Han-ko, apakah hidungmu sedang tersumbat? Lihat, nih... aku merasakan baunya yang dekat sekali. Agaknya daging itu ada di sekitar kita...!"

Gadis baju hijau tiba-tiba semakin keras mengenduskan hidungnya dan Ceng Han yang terheran-heran juga tiba-tiba mengikuti perbuatan temannya itu. Dua orang ini mengendus-endus, dan Ceng Bi yang hampir terpingkal-pingkal di atas pohon nyaris meledak tawanya. Dia merasa geli dan kagum atas kecerdikan teman kakaknya itu, sampai akhirnya ketika gadis baju hijau sekonyong-konyong mendongakkan kepala karena menemukan bau daging bakar itu berasal di atas pohon Ceng Bi tidak dapat menyembunyikan diri lagi.

Ceng Bi terbongkar kenakalannya, dan gadis baju hijau yang melihat nongkrongnya seseorang di atas pohon itu sudah berseru kaget, "Hei, baunya di atas. Dan ada orang di sana...!"

Maka begitu Ceng Bi tertangkap basah gadis ini tahu-tahu sudah melompat turun sambil terkekeh. Dia melayang persis di hadapan si gadis baju hijau itu, dan gadis ini yang segera mengenal puteri Beng-san-paicu itu kontan berteriak,

"Hei, kau siluman duyung!"

Dan Ceng Bi yang mendengar seruannya itu tertawa geli! "Ya, dan kau siluman yang suka mengintai orang mandi itu, hi-hik!" maka Ceng Bi yang sudah turun di depan dua orang ini terpingkal-pingkal. Dia tidak menghiraukan kakaknya yang jadi terbengong-bengong, karena sambil bertolak pinggang ia berkata lagi, "Eh, siluman pengintai, apa kabarmu dengan si setan hitam itu? Bagaimana kau bisa lolos?"

Dan si gadis baju hijau membelalakkan mata, "Aku ditolong temanku ini. Hek-moko nyaris kami bunuh. Dan bagaimana kau sendiri bisa lolos, siluman duyung?"

Ceng Bi mengerutkan alisnya. "Akupun ditolong seseorang. Dan jahanam she Pouw itu sungguh kurang ajar benar. Sekali waktu kalau ada kesempatan tentu aku ingin memenggal kepalanya itu!"

"Hi-hik, sama kalau begitu. Akupun juga benci kepada siluman bermata jengkol itu, dan kalau bertemu tentu ingin kucokel matanya itu. Eh, siluman duyung, apakah kau kenal temanku ini? Dia adalah Souw Ceng Han, putera pendekar besar Ciok-thouw Taihiap locianpwe!"

Ceng Bi tertawa. Dengan berpura-pura ia menghadap Ceng Han, lalu dengan sikap dibuat-buat ia bertanya, "Aih, jadi temanmu ini adalah Souw-kongcu, siluman pengintai? Wah, maaf... aku tidak tahu!" Ceng Bi buru-buru memberi hormat, "Souw-siauwhiap, maafkan hamba yang tidak mengenal orang. Apakah keadaanmu baik-baik saja...?"