Pendekar Kepala Batu Jilid 23 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 23
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Kepala Batu Karya Batara
KINI mulailah mereka adu kepandaian. Si laki-laki berkedok tampak menjalankan taktiknya "Dewa Mabok Memburu Permaisuri" sedangkan Lek Hui mentrapkan gaya permainan yang tidak kalah anehnya. Dikata aneh karena kalau si laki-laki berkedok itu menjalankan biji caturnya seolah-olah perajurit mabok adalah tingkah laku biji-biji catur raksasa tinggi besar ini maju mundur seakan-akan kucing mencium tahi. Aneh memang, dan juga menggelikan!

Tapi sesungguhnya itulah kunci "pamungkas" bagi gaya permainan lawan! Dan si laki-laki berkedok tampak berubah mukanya. Dia mengerutkan alis, dan dahinya yang bergetar hebat itu tampak menggigil. Permainannya dewa mabok memburu permaisuri dihadapi satu permainan yang mengunci semua caturnya, karena permaisuri yang diburu oleh dewa maboknya berganti-ganti arah. Kadang Lek Hui meluncurkannya ke arah timur tapi kadang pula tiba-tiba membalik dengan cara melingkar mengecoh "sang dewa mabok".

Akibatnya, laki-laki berkedok ini mulai pucat dan Lek Hui yang bermain dengan wajah berseri-seri itu menjadikan dia gemas bukan main. Kemendongkolan mulai berubah kemarahan, dan asap tembakaunya yang bergulung-gulung memenuhi udara itu tampak semakin tebal dengan baunya yang tiba-tiba aneh, Lek Hui tidak merasa, karena dia asyik dengan biji-biji caturnya.

Tapi Ciok-thouw Tailtiap yang selalu waspada mulai mengerutkan alis dengan mata berkilat. Dia melihat muridnya mulai beradu depan dan biji-biji catur lawan yang terhenti di tengah jalan itu nampak menemui jalan buntu. Tapi pendekar ini yang masih belum mendapatkan kecurangan lawan secara terang-terangan itu diam tak bergerak.

Dia tekun memperhatikan kedudukan masing-masing pihak. dan si laki-laki berkedok yang tampak mulai mukanya itu dilihatnya menjadi tegang. Posisi buah caturnya tiba-tiba semrawut, dan biji catur Lek Hui yang menahan ke depan sekonyong-konyong bergerak menyerang.

Dan hebat sekali gaya permainan muridnya kali ini. Biji catur yang tadinya maju mundur seperti orang main kucing-kucingan mendadak menjadi garang seperti harimau kelaparan. Kuda berikut perajurit rendahan melompat maju, dan begitu diserang bertubi-tubi sekonyong-konyong kedudukan buah catur lawan porak-poranda!

Si laki-laki berkedok mengeluarkan seruan kaget, dan orang ini terperangah dengan mata melotot. Biji caturnya yang sempoyongan seperti orang mabok itu mendadak saja roboh bergelimpangan. Dan satu-persatu mulailah para perajuritnya dipreteli Lek Hui. "Keparat..!" orang itu mendesis pucat dan buah caturnya yang tidak karuan bentuk lagi membuat dia menjadi gemetar.

Lek Hui yang berseri gembira dipandang marah, dan sekonyong-konyong dia membentak bengis, "Bocah she Auw, kau dibantu sesoorang...!"

Dan Lek Hui yang dibentak ini menjumbut kaget. Raksasa muda itu terkesiap, tapi belum dia menguasai diri tiba-tiba saja papan catur di depannya digobrak orang. Laki-laki berkedok itu meninju gemas, dan dia yang masih terbengong kaget ini tahu-tahu disambar tangan orang yang hendak mencekik lehernya!

"Haii….!?" Lek Hui berteriak kaget dan pemuda yang sedang terkejut itu secepat kilat membanting diri. Laki-laki berkedok luput muncekik, tapi dia yang tampaknya benar-benar marah ini sudah mendengus geram dan memburu raksasa muda itu.

Namun Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba membentak, "orang she Wan, jangan main gila di depanku dan lengan ketua Beng-san-pai ini diulur ke depan menangkis cengkeraman orang.

"Dukk!" Dua tenaga raksasa bertemu di udara dan Ciok-thouw Taihiap serta lawannya tergetar mundur. Si laki-laki berkedok mengeluarkan seruan kemarahnya sedangkan pendekar berkepala gundul itu memandang gusar. Dia tidak terima muridnya dihina orang, karena itu Ciok-thouw Taihiap yang berkilat matanya ini melangkah maju. Tangan kirinya diulur mencengkeram dada si orang she Wan sedangkan lengan kanannya menampar. Angin bersiut tajam menyambar dingin, tapi si laki-laki berkedok tiba-tiba menggerakkan kakinya. Meja catur yang ada di depan dia tendang, sedangkan kursi yang tadi dia pakai dilempar menyambut serangan Ciok thouw Taihiap sementara dia sendiri melesat mundur sambil terkekeh.

"Brakkk...!" meja dan kursi bertemu dengan dua lengan Ciok thouw Taihiap dan begitu membentur, kontan hancur berkeping-keping! Ciok- thouw Taihiap menggeram, dan tiba-tiba pendekar sakti ini berkelebat ke depan. Gerakannya seperti iblis, dan tahu-tahu saja pundak lawan sudah dihantam telapak tangannya.

"Plakk..!" laki laki berkedok itu terkejut tapi tiba-tiba dia tertawa bergelak. Ciok-thouw Taihiap yang memukul tidak membuatnya bergeming, dan sementara ketua Beng-san-pai itu teategun diapun sudah balas menampar dada si pendekar kepala gundul.

"Dess....!" Ciok-thouw Taihiap bergetar hebat namun ketua Beng-san-pai itupun juga sama sekali tidak bergeming. Ternyata, mereka memang sama-sama lihai! Maka si laki-laki berkedok yang melihat kenyataan ini mendadak terkekeh dan kakinya yang diangkat itu secepat kilat menendang bawah pusar Ciok-thouw Taihiap.

Tapi pendekar sakti ini mendengus. Kaki orang yang mengarah anggauta rahasianya disambut totokan jari, dan suara mencicit yang tajam dingin meluncur secepat kilat. Namun orang she Wan itu rupanya melancarkan gerak tipuan. Kaki yang diangkat mendadak ditekuk, dan ketika jari Ciok-thouw Taihiap menyambar lewat tiba-tiba dia mendupak dagu pendekar itu.

"Citt....!" totokan Ciok-thouw Taihiap tak dapat ditarik kembali, dan pendekar sakti yang mendapat gerak tipuan itu terkejut. Jarinya mencoblos tanah sementara kaki lawan yang berhenti di tengah jalan sekonyong-konyong menendang dagunya. Keparat!

Ciok-thouw Taihiap miringkan kepala sedikit dan karena tidak keburu mengelak maka dia pasangkan lehernya untuk menerima tendangan ini. Dan sementara dia membungkuk totokan yang luput dirubah cengkeraman pada kaki lawan yang satunya. Sekejap saja gebrakan ini terjadi, dan serangan yang sama-sama dilancarkan adu cepat itu masing-masing mengenai sasarannya. Leher Ciok-thouw Taihiap bertemu kaki lawan sedangkan kaki lawan sebelah kiri dicengkeram jari-jari baja ketua Bang-itu lalu dibanting.

"Plak-brukk...!"

Dua-duanya sama menerima akibat dan Ciok-thouw Taihiap yang ditendang lehernya itu menyeringai panas sementara lawan berteriak kaget dengan tubuh terbanting hebat. Satu-satu! Orang berkedok ini tertawa bergelak dan pakaiannya yang kotor penuh debu itu dikebut sambil melompat bangun. Dia tampak gembira bukan main, namun Ciok-thouw Taihiap yang bangkit kemarahannya itu mencorong marah.

"Orang she Wan, kau agaknya hendak mencari permusuhan di sini. Baiklah, mari kita bargebrak menentukan kepandaian!" pendekar ini memandang berapi-api tapi tiba-tiba lawannya itu melompat mundur. Dia melihat sebuah bayangan berkelebat di belakang ketua Beng-san-paicu itu, dan Ciok-thouw Taihiap sendiri yang mendengar desiran di belakangnya ini tiba-tiba membalik sambil membentak, "Siapa bermain curang?" dan kedua tangannya secepat kilat mengibas ke belakang.

"Dukk...!" seorang laki-laki berjenggot panjang terpental sambil memekik kaget dan senjatanya yang berbentuk martil sebesar kepala kambing itu membalik. Hampir saja dia menjadi korban, dan Ciok-thouw Taihiap yang melihat orang ini tiba-tiba berseru kaget.

"Palu Baja!"

Dan pembokong baru itu terkekeh. "Heh-heh, benar aku, Ciok-thouw Taihiap! Apakah masih ingat penghinaanmu terhadap suteku?" dan bersamaan dengan hadirnya iblis itu mendadak muncul bayangan-bayangan lain yang mengepung taman penginapan itu!

Ciok-thouw Taihiap terkejut, tapi tiba-tiba pendekar berkepala gundul ini mendengus. Dia melihat bayangan si Pisau Kilat yang berdiri di belakang si Palu Baja itu, berdiri memandangnya penuh kebencian, dan berturut-turut di sebelah orang ini hadir iblis-iblis lainnya yang lupa-lupa ingat untuk dikenal.

Akan tetapi dua orang yang mematung di ujung paling kanan sendiri itu tidak dilupakannya. Yang pertama memakai jubah kelabu dengan kepala mirip kelelawar buas sedangkan yang dua tinggi besar dengan lengan panjang penuh bulu. Itulah si Hwe-pian-hok dan To-pi-wan, Lutung Banyak Lengan serta si Kalong Kelabu, dua orang iblis yang dulu pernah dirobohkannya!

"Aih..." Ciok-thouw Taniap tertegun dan si laki-laki berkedok yang menjadi lawannya pertama tiba-tiba tertawa.

"Wah, kau agaknya kedatangan banyak tamu, Beng-san-paicu. Kalau begitu apakah urusan kita sebaiknya diselesaikan nanti saja? Lihat, mereka nampaknya penuh kebencian memandangmu, dan kalau tidak diselesaikan malam ini juga tentunya mereka bakal penasaran. Hayo hayo kalian bertanding saja, biar aku yang menjadi penontom di luar, ha-ha...!"

Laki-laki itu benar-benar keluar lingkaran dan cangklongnya yang ada di tangan digoyang-goyangkan gembira. Dia tampaknya tertarik sekali dan Ciok-thouw Taihiap yang mendongkol melihat sikapnya itu memandang berkilat. Tapi Palu Baja tiba-tiba membentak,

"Ciok-thouw Taihiap, persoalan suteku apakah hendak kau ingkari? Kalau kau jantan mari kita bergebrak, perhitungan baru lunas kalau salah satu pihak sudah roboh binasa!"

Berkata demikian iblis bersenjata raksasa.itu melompat maju dan si Pisau Kilat yang ada di belakangiya juga tidak mau ketinggalan. Dua orang suheng dan sute ini menantang ke depan, namun si Hwe-pian-hok (Kalong Kelabu) yang ada di belakangnya juga tidak mau kalah. Manusia bermuka lancip ini terkekeh, dan tawanya yang mirip kalong mencicit itu mengusik gendang telinga,

"Heh-heh, Ciok-thouw Taihiap bukan hanya mempunyai persoalan dengan kalian berdua raja, Palu Baja. Tapi dengankupun dia juga punya hutang! Eh, Pendekar Kepala Batu, apakah kau misih ingat hutang piutang kita duabelas tahun yang lalu?"

Hwe-pian-hok mencabut senjatanya dan sebuah sabit bergagang-panjang tampak berkilat-kilat ditimpa sinar bulan. Tapi belum Ciok-ouw Taihiap menanggapi kata-kata lawannya ini sekonyong-konyong si Lutung Banyak Lengan juga melompat maju. Manusia tinggi besar ini menggeber bulunya, dan kedua lengannya yang panjang dengan kuku-kuku seperti pisau kecil itu diketrikkan.

"Trikk" Pendekar Kepala Batu bukan monopoli kalian bertiga, Palu Baja. Tapi dia musuh semua orang. Duabelas tahun yang lalu dia telah pula memotong kuku-kuku jariku, dan kini setelah belasan tahun menyimpan dendam aku ingin menghisap darahnya. Wehh...!"

lblis seperti lutung itu mengeluarkan pekik monyetnya dan Ciok-thouw Taihiap yang dikepung empat pentolan sesat itu tiba-tiba mengeluarkan bentakan marahnya.

"Palu Baja dan kalian iblis-iblis semua, jangan banyak cakap pada saat seperti ini. Aku bukan seorang pengecut yang akan melarikan diri menghadapi kalian, dan kalau kalian ingin mengeroyok majulah...! kita bereskan perhitungan lama sampai kalian semua binasa!"

Pendekar itu tiba-tiba menghentakkan kakinya dan bumi yang ditendang sekonyong-konyong melesak dua inci. Goresan dalam digurat ketua Beng-san-pai itu, dan Ciok-thouw yang sudah memasang kuda-kuda tanpa mencabut senjata itu tampak penuh wibawa. Mata berkilat mencorong, dan kaki serta lengannya menggigil penuh tenaga sakti itu tampak bergetar.

Palu Baja tertegun, tapi tiga orang rekannya yang sudah bersiap-siap itu tampak menunggu komando. Mereka rupanya maklum akan kelihaian si tokoh dari Pegunungan Beng-san itu, karenanya mereka menunggu siapa yang bakal merenyerang pendekar sakti itu terlebih dahulu. Sementara Ciok- thouw Taihiap yang diam-diam melihat muridnya itu tampak melirik ke pinggir. Di situlah tadi Lek Hui berdiri, dan tepat ketika dia memandang ke tempat ini sekonyong-konyong pendekar berkepala gundul itu terkejut.

Lek Hui dilihatnya tidur mendengkur, dan si laki-laki berkedok yang naengetahui lirikan matanya itu tiba-tiba tertawa. "Beng-san-paicu, jangan khawatir. Muridmu yang lihai ini sengaja kutidurkan. Dia tadi lupa melindungi diri dengan saputanganmu, karena itu dia teranjur menghisap asap tembakauku. Tapi jangan khawatir, muridmu tidak bakalan tewas. Dia akan kujaga baik-baik dan kau bertempurlah sungguh-sungguh melawan tamu-tamu tak diundang ini. Aku ingin menonton...!"

Maka Ciok-thouw Taihiap yang mendengar ucapan si laki-laki berkedok itu mendetik dengan kegusaran bukan main namun tiba-tiba si Palu Baja yang melihat dia sedikit meleng itu mendadak mengayunkan senjatanya.

"Ciok-thouw Taihiap, jaga dirimu baik-baik!" dan martil sebesar kepala kambing itu tahu-tahu sudah menderu ke arah kepala Beng-san-paicu ini.

Tapi Ciok-thouw Taihiap memang sudah siap. Urat di seluruh tubuhnya telah bergetar sejak tadi dan begitu Palu Baja mengayunkan senjatanya, pendekar ini merunduk cepat dan menyambut hantaman martil itu dengan telapak tangannya.

"Plaakk!" Martil sebesar kepala kambing itu tertangkap dan begitu Ciok-thouw Taihiap membetot ke bawah, si Palu Baja berteriak kaget. Dia merasakan hentakan yang maha dahsyat, dan senjatanya yang akan dirampas itu tiba-tiba mengeluarkan aliran panas yang membakar tangannya.

Tentu saja suheng si Pisau Kilat ini terkejut, Tapi sutenya yang ada di belakang tiba-tiba sudah membantunya. Belati panjang yang ada di tangan iblis itu bergerak, tidak menusuk kulit melainkan menikam mata dan Hwe-pian-hok serta si Lutung Banyak Lengan juga tiba-tiba bergerak berbareng menyerang pendekar berkepala gundul itu.

Si Kalong Kelabu membabatkan sabitnya ke Ciok-thouw Taihiap sedangkan si Lutung Banyak Lengan mencengkeramkan kuku-kuku jarinya ke pundak sang Bengsan-paicu. Dan hebat kesudahan gebrak pertama ini. Ciok-thouw Taihiap diancam tiga iblis yang membantu si Palu Baja tampak menggereng dan mata yang ditusuk belati itu dimiringkan ke kiri. Lalu, ketika belati Se Pisau Kilat itu lewat di mukanya tiba-tiba pendekar ini menampar. Lengan si Pisau Kilat dipukul kuat, dan sute Palu Baja yang tidak sempat mengelak itu berteriak kaget. Pisaunya mencelat, dan Ciok-thouw Taihiap menendang pinggangnya.

"Plak-dess!"

Pisau Kilat menjerit tertahan dan kaki Ciok-thouw Taihiap yang mendupak pinggangnya membuat dia terlempar. Tapi lihai iblis itu. Tubuh yang terlempar sekalian bersalto, dan pisau mencelat di udara itu disambarnya dengan berjungkir balik! Mengagumkan! Tapi si pendekar berkepala gundul tidak sempat memperhatikan semua sikap lawannya. Sabit yang diluncurkan si Kalong Kelabu tak keburu dia elak, karena pada saat itu dia sedang menghadapi tusukan pisau yang amat berbahaya ke arah mata. Maka begitu sabit mengenai lehernya Ciok-thouw Taihiap membentak murka. Kulit lehernya dibabat, tapi si Kalong Kelabu yang hampir bersorak girang itu terkejut. Leher lawan seperti karet, dan sabit yang luar biasa tajam itu ternyata mental!

"Hai..??" Kalong Kelabu ini tertegun bengong tapi Ciok-thouw Taihiap yang meraung gusar itu telah mengangkat kaki satunya. Ujung sepatu melayang ke rahang si Hwe-pian-hok, dan Kalong Kelabu yang menjublak bengong itu menjerit keras ketika dagunya ditendang.

"Dukk!" Iblis bermuka lancip itu mengaduh hebat dan kalau saja bukan dia yang menerima tendangan pada bawah rahang ini tentu sudah pecah tulang rahangnya! Tapi Kalong Kelabu memang iblis jempolan. Begitu dia terlempar begitu pula dia sudah melompat bangun dan sabit bergagang pancing diputar-putar di tangan kanannya itu digerakkan dengan lengkingnya yang buas.

Ciok-thouw Taihiap diterjang lagi, dan pendekar yang sedang menerima cengkeraman kuku-kuku si Lutung Banyak Lengan pada pundaknya itu mengguncang tubuh seperti anjing kecemplung kolam. Tenaga saktinya bergolak, dan To-pi-wan yang terkekeh girang melihat cengkeramanya di pundak ketua Beng-san-pai ini tiba-tiba berteriak kaget. Kuku jarinya bertemu daging yang alot, dan ketika Ciok-thouw Taihiap membentak perlahan sekonyong-konyong iblis berlengan panjang itu menjerit. Jari tangannya bertemu gumpalan daging yang panas membara, dan belum dia hilang kagetnya mendadak saja pendekar itu telah menangkap lehernya dan dibanting ke arah si Kalong Kelabu yang sedang membabatkan sabitnya!

"Haii….!" iblis ini melengking ngeri dan Hwe pian-hok sendiri yang sedang menerjang juga berteriak kaget. Tubuh si Lutung Banyak Lengan meluncur cepat, dan sabit yang sudah terlanjur membabat tak sempat ditarik kembali. Akan tetapi dasar dua-duanya juga bukan orang sembarangan, maka begitu bahaya mengancam masing-masing pihak. To-pi-wan maupun si Kalong Kelabu sudah bergerak menyelamatkan teman. Si Kalong Kelabu mengurangi tenaga serangannya sedangkan si Lutung Banyak Lengan mengulurkan cakar menangkis sabit.

"Cring- cring... brett!"

Sekejap saja kejadian itu. Dan tahu-tahu si Lutung Banyak Lengan mengumpat kotor. Kuku jarinya yang runcing memang berhasil menyelamatkan jiwanya, tapi bahu yang masih diseremput pentalan mata sabit tak mampu dihindarkan. Akibatnya iblis in memekik marah dan Ciok-thouw Taihiap yang menjadi gara-gara terlukanya pundak itu dicaci-maki dengan gusar. Dia membalikkan tubuh, dan ketua Beng-san-pai yang sedang melayani si Palu Baja itu diterjangnya kembali.

Tapi Ciok -thouw Taihiap rupanya tidak mau main-main lagi. Tiga lawan yang sudah dibuat jatuh bangun tapi masih menerjangnya itu kini disambut lebih bengis. Si Palu Baja yang masih dicekal palunya ditarik, dan ketika iblis itu mencoba bertahan dengan mata melotot tiba-tiba pendekar itu melepaskan cekalannya. Kaki yang baru mendupak dagu si Kalong Kelabu kini "bekerja" menghantam ulu hati si Palu Baja, dan ketika iblis itu sedang terkejut karena senjatanya oleh ketua Beng-san-pai ini sekonyong-konyong lututnya disambar kaki kiri Ciok-thouw Taihiap yang bergerak bergantian.

"Duk-dukk...." Dua kali tendangan itu mengenai sasarannya dan si Palu Baja yang belum hilang kagetnya dari sentakan si pendekar sakti itu berteriak hebat dengan tubuh terlempar. Ulu hatinya serasa ditumbuk palu godam yang maha dahsyat, dan kaki yang disambar lututnya ini serasa pecah bertemu ujung sepatu si Pendekar Kepala Batu. Maka menjeritlah si Palu Baja itu dengan penuh kesakitan dan martil yang ada di tangannya mencelat terlepas!

Namun Ciok-thouw Taihiap tidak dapat memburu lawannya ini. Si Palu Baja yang roboh tak dapat dikejar, karena si Pisau Kilat serta dua orang temannya yang lain sudah menyerang dari tiga jurusan. Si Pisau Kilat tetap mengarahkan tikamannya ke arah mata sedangkan si Kalong Kelabu dan To-pi-wan masing-masing menggerakkan sabit dan kuku pisaunya ke leher dan dada. Hebat tiga buah serangan itu, tapi Ciok thouw Taihiap yang memutar kakinya jauh lebih hebat lagi.

Pendekar ini merunduk di antara tikaman pisau dan sabit, lalu ketika cengkeraman Lutung Banyak Lengan tiba di lehernya sekonyong-konyong dia menahan napas. Cekikan To-pi-wan bertemu gelembung hawa yang melambung seperti balon, dan ketika iblis berlengan panjang itu terkejut karena lagi-lagi dia seakan mencengkeram bola karet yang tak dapat ditusuk bolong sekonyong-konyong ketua Beng-san-pai itu membentak. Kaki kirinya menghantam lambung To-pi-wan, dan kedua tangan yang lain bergerak cepat menampar ke arah si Kalong Kelabu dan Pisau Kilat.

Yang kanan menyambar sute si Palu Baja ini sedangkan yang kiri menghantam pundak si Kalong Kelabu. Dan hebat akibatnya. Si Lutung Banyak Lengan menjerit parau ketika kaki Ciok-thouw Taihiap menendang lambungnya sedangkan dua orang temannya yang lain memekik ngeri dengan tubuh terlempar. Hwe-pian-hok patah tulang pundaknya sedangkan si Pisau Kilat patah tulang lehernya!

"Aughh..!" sute si Palu Baja itu terguling-guling dengan pekik ngerinya dan si Palu Baja ini melihat betapa temannya itu akhirnya roboh terbanting di atas tanah. Sute si Palu Baja ini tampak meraung, bangkit berdiri dan menekan tanah untuk mencoba melompat bangun namun tiba-tiba berteriak tertahan. Kepalanya terkulai, tertekuk menjadi dua seperti pisang dibacok golok dan tiba-tiba terjerembab. Nyata, tulang lehernya yang patah itu tak mampu mengangkatnya berdiri dan si Pisau Kilat yang mendelik dengan mata melotot buas itu akhirnya roboh tak berkutik lagi. Tewas!

Kini gemparlah keadaan di tempat itu. Palu Baja yang melihat sutenya tewas tampak tertegun, tapi kekagetannya yang besar itu kalah oleh kemarahannya yang menggelagak. Ulu hati yang masih sesak tidak diperdulikan lagi, dan iblis ini yang sudah menyambar kembali senjatanya yang terlempar itu menggebrak ke depan. Dia menggereng penuh kebencian, dan Ciok-thouw Taihiap yang berdiri tegak dengan muka gelap itu diterjangnya. Martil sebesar kepala kambing dikelebatkan, dan Palu Baja yang kalap oleh kematian sutenya itu tampak buas melebihi binatang liar.

Tapi Ciok-thouw Taihiap tenang-tenang saja. Pendekar ini mendengus dan tangan besinya yang mulai diturunkan itu membuat dia kelihatan menyeramkan. Ketua Beng-san-pai itu tidak kalah menyeramkannya dibanding kebuasan Palu Baja yang menggerodak ke depan, karena matanya yang mencorong berkilat kilat itu jauh lebih mengerikan dibanding apapun. Dan ketika Palu Baja tiba di mukanya mendadak pendekar sakti itu menghentakkan kakinya.

Tubuh yang bergetar sekonyong-konyong melompat maju, dan kepala yang ditundukkan seakan mau menyeruduk itu menyambut pukulan si Palu Baja. Martil yang sebesar kepala kambing diterima kepalanya yang gundul, dan ketika senjata itu mengenai batok kepalanya terdengarlah suara "dull." yang keras sekali. Martil si Palu Baja terpental, sementara iblis itu. sendiri berteriak kaget ketika tiba-tiba pinggangnya dicengkeram oleh Ciok thouw Taihiap!

"Aughh...!" iblis ini melengking ngeri, tapi Ciok-thouw Taihiap yang sudah mencengkeram pinggangnya itu tiba-tiba meremas dahsyat. Tulang punggung yang tersentuh mendadak mengeluarkan suara "krek" dan ketika ketua Beng-san-pai itu melempar korbannya tampaklah si Palu Baja menjerit dengan suara mengerikan.

Iblis ini terlempar seperti layang-layang putus, dan ketika akhirnya dia terbanting roboh di atas tanah tampaklah si Palu Baja yang tadi buas menyeramkan itu kini sudah ambruk seperti kain basah. Suheng si Pisau Kilat ini lunglai di atas tanah, karena tulang punggungnya di atas pinggang remuk diremas tenaga sakti Ciok-thouw Taihiap. Mengerikan, dan iblis bersenjata palu itu tidak ingat apa-apa lagi! Dia mengalami luka-yang hebat. Dan kalau tidak tewas tentulah cacad seumur hidupnya!

Gempar! Keadaan benar-benar menggemparkan. Dan orang-orang yang ada di situ tampak terpukau oleh kejadian yang berlangsung dalam beberapa kejap ini. Empat orang iblis yang menyerang Ciok-thouw Taihiap ternyata sudah roboh tiga orang, dan sisanya yang tinggal si Lutung Banyak Lengan itu kelihatan sudah menggigil dengan muka pucat.

To-pi-wan ini memang gentar, karena lawan yang dikira mampu diatasinya itu ternyata sedemikian hebat kesaktiannya. Dia yang bersama tiga orang saja tak mampu mengatasi bagaimana kini berani maju seorang diri? Tidak. Paling aman adalah melangkah kabur tapi belum dia melaksanakan niatnya itu sekonyong-konyong sebuah suara menyusup di dekat telinganya,

"To-pi-wan, jaga ketua Beng-san-pai itu bersama orang-orangmu yang lain. Aku hendak membawa muridnya....!"

Dan bersamaan dengan ini tiba-tiba Wan Lui si orang berkedok tertawa bergelak memecahkan kesunyian yang mencekam hati semua orang. Laki-laki misterius itu melompat maju, dan Ciok-thouw Taihiap yang menoleh kaget dipuji dengan ketawanya yang lebar,

"Bong-san-paicu, kau sungguh hebat sekali, Empat lawan satu ternyata tidak membuatmu kewalahan. Aih, bukankah ini tandanya kau benar-benar seorang pendekar jempolan? Aku jadi ingin mempererat persahabatan, Beng-san-pai-cu, dan semoga kau tidak menolak permintaanku ini. Mari, muridmu yang gagah perkasa ini kubawa dulu. Kita dapat bertemu lagi di lain kesempatan...!" dan begitu ucapannya selesai mendadak orang she Wan itu menyambar tubuh Lek Hui dan sekali berkelebat dia sudah kabur dari taman penginapan itu!

Tentu Wit Ciok-thouw Taihiap terkejut, dan ketua Beng-san-pai yang sedang meradang ini membentak marah. Dia melompat maju, bermakasud untuk mencegah orang berkedok itu menculik muridnya tapi tiba-tiba si Lutung Banyak Lengan serta belasan orang lain yang sejak tadi berdiri menonton sekonyong-konyong bergerak menyerang.

"Ciok-thouw Taihiap, jangan lari. Kami hendak menagih hutang jiwa atas teman-teman kami yang kau bunuh....!"

To-pi-wan secara berani menghadang ketua Beng-san-pai itu dan Ciok-thouw Taihiap yang tertegun kaget membelalakkan matanya. Dia tidak mengira bahwa si Lutung Banyak Lengan ini berani maju Iagi, tapi hujan senjata yang menyerang dari belakang tubuhnya itu membuat pendekar ini manggeram. Karena itu Ciok-touw Taihiap lalu memutar tubuh, dan begitu To-pi wan serta enam-belas orang yang lain menghujani serangan tiba-tiba saja pendekar sakti itu berkelebat sambil menggerakkan kaki tangannya.

Dia tidak menghiraukan hujan senjata, dan pedang serta golok yang menimpa tubuhnya mencelat semua seperti bertemu karet. Dan sementara tujulabelas orang lawannya terkejut sambil berteriak tertahan, senyong-konyong pendekar dari Beng-san ini telah mencengkeram dan membanting lawannya seperti orang mengangkat bayi-bayi kecil yang menjerit sana-sini dengan senjata berhamburan!

Kagetlah semua orang yang merasakan amukan langsung dari pendekar sakti itu dan tujuh-belas pengeroyok yang datang membanjir tahu-tahu sekejap saja sudah tinggal sepuluh orang yang kocar-kacir. To-pi-wan sendiri termasuk di antara orang-orang yang dibanting oleh ketua Beng-san-pai itu, namun karena dia termasuk orang yang, paling lihai maka dia masih dapat melompat bangun. Tidak seperti enam orang lain yang suda patah-patah tulangnya ditampar ataupun ditendang Ciok-thouw Taihiap!

Gegerlah sekarang suasana di tempat itu tapi Ciok-thouw Taihiap yang masih menghadapi sisa sisa para pengeroyok ini benar-benar dibuat naik pitam. Dia tidak melihat bayangan si orang she Wan lagi, karena musuh yang mengerubut tampaknya nekat-nekat. Karena itu, Ciok-thouw Taihiap yang memang membenci orang-orang dari dunia hitam ini bersikap telengas. Lawan yang menerjang maju bertemu pukulan tangan atau kakinya, dan setiap pendekar itu bergerak pasti robohlah orang lawan tanpa ampun. Mengerikan!

Sementara itu, laki-laki berkedok yang membawa tubuh Lek Hui tampak tertawa-tawa gembira. Dia tidak memperdulikan kematian si Pisau Kilat ataupun robohnya si Palu Baja. Sementara muridnya yang setia mengikuti sang guru itu kelihatan membayangi punggung gurunya dengan alis berkerut tanda tidak tenang. Tapi si orang berkedok ini tidak tahu. Dan kalaupun tahu barangkali dia juga tidak perduli.

Lek Hui yang dipanggul memang pingsan, akibat kecurangannya, akan tetapi orang berkedok ini biasa-biasa saja. Dia sama sekali tidak terpengaruh oleh perbuatannya yang curang itu, malah tertawa-tawa gembira dengan muka berseri. Dan melihat sikapnya yang tidak perdulian ini mudah menduga bahwa dia adalah orang yang tergolong kejam, dingin dan berwatak aneh.

Menjadi pertanyaan sekarang siapakah orang itu? Bagi anda tentu tidak sulit menebaknya. Melihat kehadiran pemuda bernama Kui Lun ini di samping laki-laki misterius ini mudahlah diduga siapa kiranya orang bemama Wan Lui itu. Dan memang benar. Dia inilah si "lo-pangcu" dari perkumpulan Hiat-goan-pang, datuk iblis berdarah ingin yang menjadi ketua Perkumpulan Gelang Berdarah di puri Naga!

Sekarang terbukalah jejaknya dan tokoh yang menggemparkan dunia kang-ouw dengan perkumpulannya yang mengerikan di tujuhbelas propinsi tampaklah kini. Dia muncul dengan akalnya yang cerdik, mencoba menjebak Ciok-thouw Taihiap untuk 'mengikat‘ ketua Beng-san-pai yang lihai itu menjadi pembantunya namun terpaksa gagal di tengah jalan karena permainan serinya dalam bertanding catur.

Dan sekarang, menculik Lek Hui menuiu ke utara sambil tertawa-tawa gembira itu ketua Hiat-goan pang yang lincah ini tampak berlari pesat. Tubuhnya berkelebat seperti iblis, sementara Kui Lun yang harus mengerahkan seluruh tenaganya itu tampak terengah-engah mengikuti gurunya. Pemuda ini sebenarnya tidak sependapat dengan gurunya, dalam arti kata segan melakukan perbuatan-perbuatan yang dirasa kurang pantas. Akan tetapi karena guru adalah guru dan dia sudah berhutang banyak budi terhadap gurunya ini Kui Lun terpaksa diam saja.

Mereka sudah jauh meninggalkan rumah penginapan yang menjadi gaduh itu dan Kui Lun tahu bahwa semua adalah pekerjaan gurunya. Munculnya si Palu Baja dan Kalong Kelabu serta belasan orang lain di rumah penginapan itu bukanlah secara kebetulan akan tetapi memang sudah diatur oleh gurunya karena empat pentolan itu adalah anak buah mereka! Maka tidak mengherankan jika si Lutung Banyak Lengan yang diperintah gurunya untuk menghalangi ketua Beng-san-pai itu berlaku nekat. Meskipun gentar namun tetap saja menerjang maju bersama belasan orang lain, sementara sang ketua pusat melarikan diri dengan wajah berseri membiarkan para pembantunya dibabat Ciok-thouw Taihiap yang marah!

Kalau begitu, apakah orang berkedok yang aneh wataknya ini takut? Tidak Dia sama sekali tidak takut untuk berhadapan dengan pendekar sakti itu melainkan sedang menjalankan tipu muslihat lainnya yang keji. Dia sengaja membiarkan tewasnya para pembantunya itu karena diam-diam dia mendongkol terhadap mereka. Atau lebih tepat lagi mendongkol melihat ketidak-becusan meraka menghadapi lawan!

Dan keanehan watak yang tampaknya luar biasa ini memang agaknya patut dimiliki orang-orang semacam ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu. Yang tidak segan-segan mengorhankan anak buah sendiri asal mendapat ganti yang lebih seperti ketua Beng-san-pai yang gagah perkasa itu, misalnya. Akan tetapi, benarkah dia akan dapat memaksa pendekar itu dengan caranya yang licik?

Agaknya hal ini masih menjadi tanda tanya besar, mengingat watak keras kepala dan keras hatinya Si Pendekar Kapala Batu! Dan semantara dia berlari cepat memangul Lek Hui itu mendadak laki-laki berkedok ini mengeluarkan teriakan kaget. Sesosok bayangan tiba-tiba berkelebat di depannya, dan seorang kakek pendek kecil berpakaian nelayan terkekeh memanggilnya,

"Wan-sicu, perlahan dahulu. Aku ada titipan pesan untukmu!" dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang yang tidak dikenal yang menggoyang tangan dan kaki dengan sikap gembira.

Orang berkedok ini terkejut, dan otomatis diapun berhenti. Pendatang tak dikenal ini dipandang heran, akan tetapi tiba-tiba dia membentak bengis, "Nelayan busuk, ada apa kau menghentikan aku? Siapa kau?"

Tapi nelayan ini terkekeh tak perduli. "Wan-sicu, perlahan dulu, jangan marah-marah. Aku tidak bermaksud mengganggumu melainkan sekedar hendak menyampaikan pesan seseorang kepadamu. Bukankah kau adalah penghuni Pulau Hek-kwi-to?"

Orang berkedok itu tersentak kaget. Dia membelalakkan muka dan kedok yang menutup mukanya itu tampak bergetar hebat. Akan tetapi hanya sejenak dia terkejut karena tiba-tiba dengan mata berkilat ketua Hiat-goan-pang ini membentak "Orang she Phoa, kaukah kiranya ini?"

Dan kakek berpakaian nelayan itu tertawa. "Heh matamu awas sekali, Wan-sicu, sungguh mengagumkan! Lohu memang benar Phoa-lojin adanya, dan kuharap pertemuan kita ini tidak membawa ketegangan. Aku sekedar menyampaikan pesan untukmu, Wan-sicu, dari Han-taihiap...!"

Kakek itu berhenti sejenak melihat reaksi lawan dan si orang berkedok yang mendengar perkataannya itu tiba-tiba menggeram. Dia mendelik kepada kakek Phoa ini, dan Phoa yang tersenyum-senyum tenang itu mendadak mendapatkan jawaban yang dingin.

"Orang she Phoa, jangan kau ikut campur masalah ini. Ini adalah masalah berdua kakak beradik. Apakah hendak mencari penyakit? Enyahlah, sampaikan kepada Han-suheng bahwa aku tidak mau kembali ke Pulau Hek-kwi-to dan dialah yang seharusnya menggantikan aku di sana!"

Kakek Phoa tertawa pahit. "Wan-sicu, aku memang tidak mau ikut campur masalahmu dengan suhengmu sendiri, Han-taihiap itu. Akan tetapi sepak terjangmu akhir-akhir ini bukankah sudah menjurus pada kepentingan luar? Kau telah memercikkan api keonaran di dunia kang-ouw, mendirikan Perkumpulan Gelang Berdarah untuk mengacau dunia. Dan bersama orang dari Kerajaan Wu kau menciptakan permusuhan yang bakal mengorbankan orang banyak!, Bagaimana untuk ini lohu bisa diam? Tidak, Wan-sicu kau harus membubarkan semuanya itu dan menghadap suhengmu untuk meminta maaf sebelum segalanya menjadi besar!"

"Hm, kau manusia sombong, nelayan she Phoa, manusia bermulut besar!" Orang berkedok membentak marah dengan mata mendelik. "Bagaimana kau hendak menyuruhku munghadap suheng? Dengan kepandaianmu yang seperti itu? Ha-ha... kau jangan mengimpi, orang she Phoa. Wan Lui sekarang bukanlah Wan Lui duapuluhan tahun yang lampau. Han-suheng sendiri belum tentu dapat menundukkan aku. Lihat...!"

Ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu tiba tiba menggerakkan jarinya dan kakek Phoa yang ada di depan sekonyong-konyong dituding. Tampaknya tidak ada keistimewaan apa-apa dalam gerakan ini, tapi begitu kakek Phoa memandang sekonyong konyong sinar merah berkelebat menyambar dahinya disusul suara mencicit. "Crit...!"

Kakek Phoa terkejut bukan main dan sambil berseru kaget nelayan dari Pulau Cemara ini melempar tubuhnya ke kiri. Dan hebat akibatnya. Pohon yang ada di belakang tubuhnya menjadi sasaran dan ketika kakek itu menoleh tampaklah olehnya sebuah lubang sebesar telunjuk jari menembus bolong sampai di bagian lainnya seperti dibakar.

"Ah, Ang-hwi-ci (Jari Api Merah)...!" kakek Phoa membelalakkan matanya dan ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu tertawa bergelak.

"Ya, orang she Phoa. Apakah kau sekarang masih berani berlagak lagi di depanku? Ha-ha, pergilah, nelayan sial... pergilah mumpung aku belum menghendaki nyawamu sungguh-sungguh!" laki-laki ini tampak sombong dengan kesaktiannya itu tapi kakek Phoa tiba-tiba tertawa menimpali.

"Heh-heh, kemajuanmu memang hebat, Wan-sicu. Tapi barangkali ucapanmu yang terakhir belum dapat dibuktikan. Dengan sungguh-sungguh atau tidak sungguh-sungguh kau tentu belum mampu menghendaki nyawaku, karena garis umur orang she Phoa masih panjang. Eh, Wan-sicu, bagaimana kalau kita tukar-tukaran saja? Aku memenuhi permintaanmu untuk melepas murid Ciok thouw Taihiap itu. Nah, bagaimana, Wan-sicu?"

Kakek Phoa tersenyum memandang lawannya, tapi orang berkedok bemama Wan Lui ini menggeram dengan sinar meta berkilat. "Phoa-lojin, sudah kuduga ke situlah tentu akhirnya kau membuka kartu. Dan beralasan membawa-bawa nama Han-suheng kau sengaja menghadang perjalananku. Eh, nelayan tidak tahu diri, apakah kau tahu apa akibat permintaanmu itu?"

Kakek Phoa tertawa. "Tentu saja, Wan-sicu. Kau tentu akan menyerangku dengan Jari Api Merahmu yang hebat itu. Tapi aku tidak takut. Tubuhku sudah gatal-gatal ingin merasakan kelihaianmu itu. Duapuluh tahun tidak jumpa sungguh membuat aku gembira sekali, Wan-sicu, dan aku ingin main-main denganmu….!"

"Hm, kau mencari penyakit, nelayan she Phoa. Tapi keinginan hatimu pasti kupenuhi. Terimalah….!" Wan Lui tiba-tiba membentak dan sekali menuding sekonyong-konyong jari saktinya bergerak ke arah kakek Phoa. Sinar merah yang lebih terang berkelebat menyambar dada si ahli gwa-mia (nujum), dan kakek Phoa yang mendapat serangan itu berteriak keras. Kakek ini mau coba-coba, maka ketika sinar merah itu menyambar dadanya tiba-tiba dia mencabut benda persegi empat dan sekaligus menangkis dengan cepat.

Gerakan tangannya yang amat sigap membuat orang tidak tahu benda apakah yang dicabutnya itu, tapi melihat kilauan putih yang berkelebat di depan dadanya orang dapat menduga bahwa benda itu agaknya sejenis papan baja. Dan itu memang benar. Benda yang dibawa oleh kakek dari Pulau Cemara ini bukan lain adalah papan catur istimewa yang terbuat dari kepingan baja, maka begitu kakek itu menangkis Jari Api Merah yang menyambar dadanya terdengarlah ledakan keras disusul muncratnya bunga api.

"Prangg....!" sinar merah itu bertemu papan baja dan kakek Phoa yang menangkis dengan "tameng"nya yang aneh itu mendadak berseru kaget. Sinar Ang-hwi-ci menembus papan caturnya, dan kepingan baja yang tertusuk itu meluncur terus menghantam ulu hatinya.

"Haii…?!" kakek Phoa berseru kaget dan secepat kilat dia membanting diri. Papan catur yang ada di tangan dilontarkan ke atas, lalu sambil bergulingan seperti trenggiling dikejar setan dia melompat bangun menyambar papan bajanya yang sudah berlubang. Gebrakan ini berlangsung cepat dan tahu-tahu kakek Phoa sudah menyingkir sepuluh tombak lebih dari si orang berkedok yang tertawa bergelak!

"Ha-ha, masih coba-coba lagi, nelayan she Phoa?" ketua Perkumpulan Gdang Berdarah itu tertawa mongejek. "Kalau begitu mari kita main-main sebentar. Lun-ji, terima murid Ciok-thouw Taihiap ini selama gurumu bertanding....!"

Wan Lui melempar tubuh Lek Hu kepada muridnya dan Kui Lun yang semenjak tadi menonton dengan alis berkerut itu cepat menerima. Degan ringan dia menangkap tubuh yang berat sebesar gajah itu dan suhunya yang sudah me langkah maju sambil tertawa-tawa itu tampak memandang si nelayan she Phoa dengan mata berkilat bengis.

Kakek Phoa tampak tergetar, dan wajah si nelayan tua yang berubah pucat itu kelihatan jerih. Dia memang terkesiap kaget oleh gebrakan yang kedua kalinya itu, dan bukti papan bajanya yang berlubang oleh serangan Jari Api Merah benar-benar menunjukkan kelihaian lawan yang amat mengerikan itu. Tapi kakek Phoa bukanlah seorang penakut. Meskipun betul dia terkejut oleh kesaktian lawan namun kakek ini adalah seorang yang was-pada. Karena itu begitu si penghuni Pulau Hek-kwi-to ini melangkah menghampirinya tiba-tiba dia mencabut senjatanya yang lain yang amat istimewa sekali. Sebuah tangkai pancing berikut mata kailnya! Dan begitu kakek ini mencabut pancingnya si ketua Perkumpulan Gelang berdarah tertawa mengejek.

"Ha-ha, kau hendak mengandalkan pancingmu itu, orang she Pho? Bagus dan kujamin kailnya nanti bakal mengorek biji matamu sendiri. Hem, nelayan busuk, sekarang aku tahu pula bahwa agaknya engkaulah yang telah membantu murid Ciok thouw Taihiap itu dalam pertandingan catur. Kau telah berdiri di belakang layar, dan kemenanganku yang sudah di ambang mata kau hancurkan dengan licik. Tidak malukah kau orang she Phoa?"

Kakek ini terkekeh kecil. "Wan-sicu, jangan memutarbalikkan fakta. Kalau kau dalam pertandingan pertama tidak melakukan kecurangan barangkali aku tidak ikut campur. Tapi kau telah melakukan pelanggaran itu. Kau mempengaruhi pikiran murid si Pendekar Kepala Batu dalam gebrakan melawan muridmu. Dan kau mempunyai maksud-maksud keji terhadap Beng-san-paicu! Hm, mana bisa lohu berdiam diri?'"

"Bagus, kau rupanya orang yang suka mencampuri urusan orang lain, Phoa-lojin. Dan jangan salahkan aku kalau hari ini aku akan membunuhmu!" Wan Lui membentak.

"Ah, jangan tergesa-gesa, Wan-sicu. Kulihat garis umurku masih panjang!" Kakek Phoa tertawa.

"Baik, kalau begitu mari kita buktikan sekarang. Crit...!" ketua Perkumpulan Gelang berdarah itu tiba-tiba menggerakkan jari tangannya dan Phoa tojin yang ada di depan tidak diajaknya bicara lagi. Dia terlampau marah terhadap nelayan yang satu ini, dan karena itu tanpa banyak cakap lagi diapun menyerang lawan dengan jari saktinya. Sinar merah berkelebat lebih menyilaukan, dan kakek Phoa yang merasakan berhahayanya serangan itu tidak berani main-main lagi.

Kakek ini melompat, dan jarak mereka yang da lima tombak itu diawalinya dengan gentakan tangkai pancingnya. Sambil mengelak diapun coba-coba balas menyerang. Tapi begitu gebrakan ini terjadi lagi-lagi kakek Phoa terkejut. Jari Api Merah mencicit di atas kepalanya, tanda mengenai angin kosong, tapi mata kailnya yang menyambar pinggang lawan sekonyong-konyong disambut sinar merah lain yang digerakkan tangan kiri lawan.

Dan itulah yang membuatnya terkejut karena begitu senar pancingnya menyambar pada saat itu pulalah cahaya Ang-hwi-ci di tangan kiri sang ketua Perkumpulan Gelang Berdarah menangkis. Kakek Phoa hendak menarik tali pancingnya, tapi sayang... gerakannya kalah cepat. Jari Api Merah di tangan kiri si ketua Perkumpulan Hiat-goan-pang itu telah memotong tali pancingnya, dan begitu terdengar suara "crit" yang perlahan sekali tahu-tahu putuslah senar pancng si kakek Phoa!

"Aihh...!" kakek Phoa berseru kaget dan senjatanya yang tidak bermata kail lagi membuat dia tertegun. Tapi begitu kakek ini terbelalak sekonyong-konyong si orang berkedok tertawa mengejek. Jari tangan kanannya yang luput mengenai sasaran pertama tiba-tiba sudah digerakkan lagi, dan cahaya merah yang seperti lidah naga sekonyong-konyong menyambar dahi kakek Phoa. Dan begitu serangan jari kanan ini dimulai tiba-tiba telunjuk kiri yang tadi memotong tali pancing si kakek dari Pulau Cemara melesat ke arah leper Phoa-lojin dengan kecepatan kilat.

Dua serangan berbareng sekaligus menyambar diri si tukang gwa-mia, dan kakek Phoa yang mendapat serangan susul-menyusul itu mencelos kaget. Dia sedang tertegun oleh putusnya senar pancing, dan sekarang tiba-tiba saja dua sinar merah menyambar dirinya. Karena itu, siapa tidak bakalan terkesiap? Maka kakek Phoa lalu menangkis dengan papan bajanya di tangan kiri dan membabatkan tangkai pancingnya di tangan kanan. Dia melakukan gerakan ini dengan gugup, tapi itupun agaknya sudah cukup menyelamatkan jiwanya.

Papan baja yang disambar sinar merah dari telunjuk kiri sang ketua Perkumpulan Gelang Berdarah tampak meledak, dan kakek Phoa yang cepat membanting tubuh itu hampir saja terpelanting. Lengannya tergetar hebat, dan papan baja yang kembali berlubang diserang Jari Api Merah itu hampir saja terlepas sementara tangkai pancingnya yang menangkis sinar ke dua patah menjadi dua.

"Kraakk....!" kakek Phoa bergulingan membawa tangkai pancingnya yang tinggal separoh dan ketika kakek itu melompat bangun tiba-tiba saja bayangan siorang berkedok berkelebat di depan matanya. Ketua Perkumpulan Golang Berdarah ini tampaknya mengerikan, karena kakek Phoa yang baru melompat berdiri itu tahu-tahu disambutnya dengan kekeh keji. Tali pancing yang tadi diputusnya dengan sinar Ang-hwi-ci itu mendadak sudah berada di tangan kanannya dan sambil tertawa menyeramkan dia mengejek lawannya,

"Nelayan she Phoa, masihkah kau mengandalkan garis umurmu? Lihat, aku hendak mencokel biji matalmu dengan mata kailmu ini dan sekaligus mengiriinkan nyawamu ke dasar neraka. Pergilah..l"

Bekas penghuni Pulau Hek-kwi-to itu membentak keras dan mata pancing yang ada di tangannya sekonyong-konyong menyambar mata kiri si kakek dari Pulau Cemara sementara kaki kananya menendang dada dengan mata berkilat kejam. Dan tak dapat disangsikan kakek Phoa yang sudah diambang pintu maut itu memang benar bakal melayang jiwanya oleh serangan mematikan ini. Dia baru saja melompat bangun dan lawan yang tahu-tahu sudah berada di depan mata dengan serangannya yang amat berbahaya itu tak dapat dielakkannya.

Tapi apa yang terjadi pada detik-detik yang amat menegangkan itu sungguh mengejutkan. Kakek Phoa yang terbelalak tanpa mengedipkan mata ini sekonyong-konyong disambar angin yang dahsyat sekali dari samping kanannya, dan sebuah bentakan lantang mendadak terdengar disusul berkelebatnya sebuah bayangan menangkis tendangan si ketua Hiat-goan-pang.

"Wan-susiok, jangan menurunkan tangan keji...!" dan tahu-tahu seorang pemuda gagah perkasa mengulurkan lengannya membentur kaki si laki-laki berkedok.

"Dukk....!" Lengan dan kaki itu sama terpental dan orang she Wan yang merasakan getaran kuat pada adu tenaga itu berseru kaget. Dia cepat melompat ke belakang, dan setelah kini dia dapat memandang muka pendatang baru itu sang ketua Perkumpulan Gelang Berdarah ini mengeluarkan gerengan marah.

Kiranya di depan mereka berdiri seorang pemuda tinggi besar yang wajahnya tampan dan gagah, tapi alis matanya yang berkerut tidak senang itu memancarkan cahaya aneh yang penuh wibawa. Dan kakek Phoa sendiri yang melihat munculnya pendatang baru itu berseru girang dengan wajah berseri,

"Yap-goanswe, kaukah kiranya ini?"

Dan pemuda itu memutar tubuh dengan sikap tenang. "Phoa-locianpwe, harap jangan panggil lagi aku jenderal. Aku adalah orang biasa, bukan pemimpin pasukan lagi. Apakah kau terluka, locianpwe?"

"Ha-ha-ha, tidak Yap-goanswe eh, Pendekar Gurun Neraka. Tapi aku hanya terkejut saja melihat kehebatan susiokmu ini! Eh, Wan-sicu, bagaimanakah dengan ramalanku tadi? Bukankah benar bahwa garis umurku masih panjang? Dan sekarang lihat, keponakan muridmu datang sendiri, membantu aku! Ha-ha, kalau ini bukannya nasib mau dikata apa lagi?" kakek Phoa tertawa dengan wajah gembira dan si orang berkedok yang mendengar kata-katanya itu tampak berapi-api sinar matanya.

Ketua Perkumpulan Gelang Berdarah ini melangkah maju, tapi belum din berkata sesuatu tiba-tiba muridnya yang semenjak tadi berdiri menonton mendadak melompat mendahului dengan bentakannya yang mengejutkan,

"Suhu, jangan hadapi manusia jahanam ini. Berikan dia kepadaku!" dan dengan mata merah terbakar serta kaki menggigil Kui Lun tiba-tiba menghadang di antara subunya sambil menyerahkan Lek Hui. Pemuda itu tampak beringas, dan sikapnya yang amat menyeramkan serta mata yang berkilat-kilat itu mendadak menjadikannya seakan-akan seekor harimau buas yang haus darah.

Dan Pendekar Gurun Neraka yang menghadapi lawan yang penuh kebencian memandangnya ini tertegun. "Saudara Kui Lun, mau apakah kau?" pendekar itu bertanya lirih dan Kui Lun menatap gusar.

"Orang she Yap, apakah kau tidak merasa berhutang jiwa kepadaku? Kau telah membunuh adikku, dan untuk ini aku harus menuntut balas!" Kul Lun membentak.

"Hm, itu adalah urusan lama, saudara Kui Lan. Urusan yang sama-sama kita ketahui duduk porsoalannya. Mengapa kau hendak melempar tuduhan kosong ini kepadaku? Kau tahu bahwa mendiang Li-moi tidak dibunuh siapapun, dan kita tidak seharusnya menggali-gali persoalan itu lagi! Saudara Kui Lun, apakah kau tega membuat adikmu itu menangis di alam baka? Orang yang sudah menderita seperti itu tidak sepatutnya kau tambahi lagi dengan pelampiasan dendam yang tiada arahnya!"

"Keparat, kau hendak mengelak dari tanggung jawabmu, Pendekar Gurun Neraka? Mengelak dari segala tuduhan bahwa engkaulah biang keladinya yang membuat adikku tewas?" Kui Lun mengepal tinju dengan tubuh menggigil.

"Jangan emosionil, saudara Kui Lun, redakan dahulu api kemarahanmu itu. Aku tidak mengelak dari tanggung jawab atas semua perbuatan yang telah kulakukan. Akan tetapi tanggung jawab yang bagaimana inilah yang harus didudukkan pada proporsi yang sebenarnya. Apakah setiap tuduhan harus pula diikuti hukuman membabi-buta? Kalau itu yang kau lakukan maka berarti kau sedang gelap pikiran, saudara Kui Lun. Kau harus sadar dari kesesatan ini!"

"Jahanam, kau hendak mengkhotbahi aku, Pendekar Gurun Neraka? Keparat, kalau begitu terimalah ini, jangan banyak bicara lagi. Haitt..!" Kui Lun tiba-tiba melolos pedangnya dan sinar kebiruan menyambar pundak lawannya dengan kecepatan kilat. ItuIah senjata warisan Mo-i Thai-houw, guru pertama putera mendiang Panglima Ok ini.

Dan Bu Kong yang diserang dengan ganas itu semakin dalam mengerutkan alisnya. Wajah pendekar muda ini tiba-tiba menjadi muram, dan bibir yang terkatup tanda tidak senang itu tampak berketruk. Dia tidak mengelak dari sambaran senjata ini, melainkan menggerakkan tangan kirinya menampar dengan seruan perlahan. "Saudara Kui Lun, jangan mengumbar api kebencian mu di sini. Sadar dan lihatlah persoalannya dengan terang. Plak..!"

Pedang itu tertangkis dan Kui Lun yang terpental tangannya itu melengking marah. Bekas murid mendiang Mo-i Thai-houw itu berteriak keras, dan senjatanya yang terpental itu tiba-tiba diputar menjadi segunduk sinar pelangi yang mengelilingi tubuh lawan. Itulah ilmu pedangnya warisan si nenek iblis Mo-i Thai-houw yang bernama Jeng-ging Toat-beng Kiam-sut (Ilmu Pedang Seribu Pelangi Pencabut Nyawa).

Dan Pendekar Gurun Neraka yang mendapat serangan gencar dari ilmu pedang yang amat hebat ini semakin gelap mukanya. Dia tahu akan ganasnya ilmu pedang ini, dan dia tahu pula betapa dahulu gurunya sendiri hampir binasa oleh serangan Jeng-ging Toat-beng Kiam-sut yang dimainkan nenek iblis Mo-i Thai-houw (baca Hancumya Sebuah Kerajaan). Maka begitu pemuda ini mengeluarkan ilmunya yang amat berbahaya tiba-tiba Bu Kong membentak marah.

Gulungan sinar pedang sekonyong-konyong dikebut lengan bajunya, dan begitu sinar pelangi ini buyar dalam sekejap pendekar dari Gurun Neraka itu mendadak berkelebat ke depan. Tangan yang kanan diulur menangkap pedang, sedang tangan yang kiri melakukan totokan di bawah leher. Itulah penyelesaian yang mungkin secepatnya dapat dilakukan, tapi bekas jenderal muda yang hampir berhasil melaksanakan penyelesaiannya ini mendadak berseru kaget.

Tangan kanan yang sudah mencengkeram pedang sekonyong-konyong disambut benda hitam dari samping kiri, dan tangan kiri yang menotok atas pundak itu tiba-tiba mendapat sambutan senjata rahasia dari samping kanan. Itulah serangan lingkar membalik dari pelepasan senjata am-gi (senjata gelap) yang hanya mampu dilakukan oleh seorang yang amat lihai saja dan Pendekar Gurun Neraka yang mendapat serangan curang itu terkesiap kaget.

Dia sebenarnya tidak takut segala macam senjata rahasia, tapi bunyi mencicit yang menyertai senjata-senjata gelap itu membuatnya tersentak karena maklum bahwa serangan curang itu dilontarkan seseorang yang memiliki tenaga sinkang mujijat. Dan untuk ini, tentu saja dia tidak berani sembrono. Kekuatan dirinya sendiri pada saat itu sedang terpecah, karena sedang dilancarkan untuk menundukkan murid mendiang Mo-i Thai-houw itu. Dan sekarang, menghadapi serangan curang yang amat berbahaya ini tentu saja bekas jenderal muda itu tidak mau ambil resiko.

Pedang yang sudah dicengkeram terpaksa dilepas, dan tangan kanan yang sedang terulur ke depan itu sekonyong-konyong membalik. Am-gi yang menyambar tangannya secepat kilat ditangkap, dan tangan kiri yang melakukan totokan ke bawah leher diganti kepalan tinju memukul pundak kanan dengan tenaga setengah bagian.

"Plak-dukk..!"

Dua suara itu hampir berbareng terdengar dan Kui Lun yang dipukul pundaknya mengeluh tertahan. Pemuda itu terlempar, dan pundaknya yang dihantam Pendekar Gurun Neraka serasa remuk. Dia terguling-guling dengan mulut memaki kalang-kabut sementara Pendekar Gurun Neraka sendiri sudah berdiri tertegun memandang senjata rahasia yang ada di telapak tangannya.

"Toat-beng-cui!" bekas jenderal muda itu mendesis lirih dan si ketua Perkumpulan Gelang Berdarah yang dipandang tampak tertawa bergelak dengan mulut menyeringai lebar.

"Ha-ha, bocah she Yap, jadi kau sudah tahu bahwa itu adalah senjata rahasiaku? Bagus, dan ketahuilah pula bahwa barang siapa yang telah melihat senjata itu berarti dia harus mati. Kau telah memata-matai jejakku selama berbulan-bulan, dan untuk ini aku terpaksa membunuh dua orang pembantuku di kota Hang-loh, kakek The bersaudara. Dan sekarang kau menolong pula si nelayan she Phoa itu dari kematiannya. Aih, bocah tak tahu diuntung, apakah kau memang sengaja hendak melawan susiokmu ini? Hm, kau benar-benar anak yang sombong sekali, dan Han-suheng agaknya tidak pernah mengajar adat kepadamu!"

Laki-laki berkedok itu menggeram dan tiba-tiba dia melangkah maju. Mata yang bersinar seperti iblis itu tampak berkilat keji, dan Bu Kong yang melihat susioknya ini menghampirinya tiba-tiba mengedikkan kepala dengan mata mencorong.

"Wan-susiok, kau sungguh terlalu sekali membuat onar di dunia kang-ouw. Kau telah mengumpulkan orang-orang sesat untuk membantumu mendirikan Perkumpulan Gelang Berdarah, dan suhu yang mendengar hal ini sungguh merasa kecewa sekali. Apakah susiok tidak menyadari semua kesesatan ini selama di Pulau Hek-kwi-to?"

Laki-laki berkedok itu mendelik. "Bocah kurang ajar, apakah hakmu menggurui susiok sendiri? Hek-kwi-to bukan tempatku yang enak, melainkan untuk kalian berdualah tempat itu diberikan. Kau tahu apa tentang siapa yang kecewa dan tidak kecewa?"

Bu Kong tersenyum dingin. "Wan-susiok, aku tidak diminta suhu untuk melawanmu, melainkan meminta dengan hormat agar susiok mau bersamaku menghadap suhu. Apakah susiok tidak keberatan memenuhi permintaan ini?"

"Hm, kau agaknya telah merasa menjadi jago, bocah she Yap, dan rupanya kau juga telah diberi wewenang untuk memaksa susiokmu ini jika dia menolak. Begitukah, anak ingusan?"

Bu Kong tertawa getir. "Aku tidak berani berkata seperti itu, Wan-susiok. Semuanya kuserahkan kepadamu saja."

"Baiklah....!" tiba-tiba ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu membentak. "Aku ingin memenuhi Han-suheng sambil membawa kepalamu, bocah she Yap. Jagalah!"

Laki-laki berkedok itu mendadak menggerakkan jarinya dan sinar Ang-hwi-ci muncul menyambar mata kiri Bu Kong dengan kecepatan kilat. Tapi murid Malaikat Gurun Neraka ini sudah sejak tadi memasang kewaspadaan dirinya, maka begitu susioknya itu menyerang diapun cepat menyambut. Tangan kirinya diangkat, dan begitu sinar merah jari Api Sakti itu menyambar ke arahnya tiba-tiba dari telapak tangan kirinya muncul sebuah sinar putih mencuit perlahan. "Critt...!" Dua sinar itu saling bentrok dan ledakan seperti dua batu yang saling bentur di tengah udara terdengar nyaring. Si laki-laki borkedok tampak terkejut, dan mulutnya yang mengeluarkan seruan kaget menunjukkan keheranannya.

"Pek-kung-ci (Jari Sinar Putih)...!"

Dan Bu Kong yang mondengar seruan susioknya itu tersenyum kecil. "Ya, sekedar mengimbangi Ang-hwi-ci, Wan-susiok!"

"Hm, bagus, rupanya kau telah cukup dibekali Han-suheng untuk menandingiku, bocah she Yap. Marilah rasakan kelihaian susiokmu yang berikutnya ini. Awas!"

Ketua Perkumpulan Gelang Berdarah tampaknya semakin marah dan begitu ucapann selesai tiba tiba dia menggerakkan kesepuluh jari tangannya. Dan hebat serangan kedua ini. Sepuluh sinar merah tiba-tiba meluncur dari sepuluh ujung jarinya. dan Bu Kong yang mendapat serangan paman gurunya itu tiba tiba merendahkan tubuh. Dia tidak mengelak, melainkan menyambut dan tenaga saktinya Pek-kong Sin-kang (Tenaga Sakti Sinar Putih) dan begitu pemuda itu menggerakkan kedua tangannya ke depan sekonyong-konyong sepuluh sinar putih berkeredep pula menyambar sepuluh sinar merah yang menyambar dirinya.

"Blar blarr...!" Dua cahaya putih dan merah itu mengeluarkan ledakan di tengah udara dan ketua Perkumpulan Gelang Berdarah yang mendapat tolakan tenaga Pek-kong Sin-kang dari Pendekar Gurun Neraka ini berteriak kaget. Serangan jari saktinya pecah berantakan, dan tenaga tolak yang dahsyat membuat dirinya terangkat naik terpental setombak lebih!

"Aihh....!" orang berkedok itu berseru tertahan dan Bu Kong yang sedikit bergoyang tubuhnya di depan sana itu dipandang tertegun. Dia seakan tak percaya oleh kenyataan ini, tapi begitu sadar tiba-tiba dia berteriak melengking dengan suara seperti singa meraung. Ketua Perkumpulan Gelang Berdarah ini berkelebat dan Pendekar Gurun Neraka yang masih bergoyang dengan mata terbelalak itu tiba-tiba dihantam tengkuknya.

Hebat serangan ini, dan lebih hebat lagi kecepatan gerak yang dilakukan oleh bekas penghuni Pulau Hek kwi-to itu. Bu Kong yang masih belum berdiri mantap akibat menahan serangan Jari Api Merah tahu-tahu harus menerima pukulan pada tengkuknya, dan karena dia tidak sempat mengelak maka pemuda itu mengerahkan Sinkangnya sepenuh tenaga.

"Dukk...!" Pukulan sisi telapak tangan miring itu mendarat di tengkuk sang Pendekar Gurun Neraka dan Bu Kong yang menerima hantaman tangan susioknya ini tergetar hebat. Pemuda itu terbanting, tapi susioknya yang marah ini tidak memberi ampun. Kaki yang melayang tiba-tiba menendang dada pemuda itu din Bu Kong yang masih belum sempat bernapas panjang tahu-tahu kembali menerima dupakan paman gurunya.

"Dess..!" Kali ini sang Pendekar Gurun Neraka mengeluh dan Bu Kong yang tertendang dadanya itu terguling-guling. Dia merasa napasnya sesak, tapi kekuatan tenaga sinkangnya yang bekerja otomatis telah melindungi rongga dadanya. Karena itu bekas jenderal muda ini tidak terluka.

Dan ketua Perkumpulan Golang Berdarah yang melihat kekuatan murid keponakannya itu menggeram marah. Dia melompat lagi untuk menyusuli serangan ketiga kalinya, dan tangan kirinya yang tiba-tiba berubah merah seperti bara api itu tahu-tahu mencengkeram jalan darah Pi-iceh-hiat di ubun-ubun Bu Kong. Itulah jalan darah kematian, dan Bu Kong yang memiliki macam kekebalan model apapun pasti bakal celaka sekali tersentuh oleh jari-jari tangan susioknya. Apalagi ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu sedang mengerahkan kekuatan ilmunya yang disebut Hwi-sin-kang (Tenaga Inti Api)!

Maka Bu Kong yang melihat keganasan paman gurunya ini tiba-tiba membentak keras dan berseru marah, "Wan-susiok, kau keji...!" lalu secepat kilat dia menangkis cengkeraman paman gurunya itu sambil melakukan gerak Le-hi-ta-tang atau ikan Lele melejit yang membuat dia mampu melompat bangun.

"Plakk...!" Cengkeraman maut pada ubun-uhun kepalanya itu berhasil ditangkis dan paman guru serta murid keponakan yang sudah adu cengkeraman ini tampak saling terbelalak. Wan Lui terkejut melihat pemuda itu berhasil menyelamatkan kepalanya sedangkan Bu Kong tak menyangka akan kekejian paman gurunya. Karena itu mereka lalu saling tangkap dan cengkeraman yang bertemu dengan cengkeraman itu lalu menjadi adu tenaga. Si orang berkedok mempergunakan Tenaga inti Api yang membuat tangannya seperti bara di tungku besi sedangkan murid keponakannya mengerahkan tenaga Jit-yang Sin-kang (Tenaga Inti Matahari).

Dan hebat sekali kesudahan adu tenaga ini. Wan Lui yang semula tersenyum mengejek dengan muka dingin itu sekonyong-konyong menjerit tertahan. Tangan kirinya yang merah seperti api itu mendadak bertemu dengan jari-jari keponakan muridnya yang maha dahsyat, maha panas dan jauh lebih merah di banding jari-jari tangannya sendiri. Dan yang lebih mengejutkan lagi, tenaga Hwi-sin-kangnya mendadak tersedot ke dalam tangan murid keponakannya!

"Haii...?!" ketua Perkumpulan (Gelang Berdarah itu berteriak kaget dan ketika dia memandang kiranya jari-jari tangan murid keponakannya ini sudah berubah jingga lalu putih berkilau seperti sinar perak matahari yang muncul di langit timur.

"Ah, Jit-yang Sin-kang...!" bekas penghuni Pulau Hek-kwi-to ini berseru pucat dan dengan muka kaget bukan main sekonyorg-ko-nyong dia meronta hebat. Tangan kiri mereka yang saling cengkeram tiba-tiba dia betot. Dan tangan kanan yang sudah membentuk dua jari menegang itu sekonyong-konyong dia tusukkan ko mata Pendekar Guruir Neraka. Dan belum cukup dengan semuanya ini mendadak kakinya ikut pula bakerja menendang anggauta rahasia Bu Kong.

Hebat dan mengerikan sekali serangan ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu. Dan Bu Kong yang melihat keganasan susioknya yang keji ini membentak perlahan. Dia cepat melepas cengkeramannya pada jari-jari tangan sang paman guru dan ketika kedua jari telunjuk dan tengah itu menusuk matanya dia sudah merendahkan kepala sambil menangkis tendangan di bawah pusamya.

"Dukk...!" Tenaga Jit-yang Sin-kang bertemu kaki sang ketua Perkumpulan Gelang Berdarah dan bekas penghuni Hek-kwi-to yang masih mempergunakan tenaga Hwi-sin-kangnya itu terlempar bergulingan dengan pekik marahnya. Dia terlempar seperti trenggiling bergulingan dan kulit kakinya yang hangus bertemu telapak murid keponakannya ini tampak merah terbakar.

"Keparat…!" laki-laki berkedok yang menjadi ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu menggereng dan tubuh yang menggelinding berputar-putar itu akhirnya melompat bangun dan menggigil. Dia tampak gusar bukan kepalang dan Bu Kong yang dipandang rendah itu seolah-olah hendak ditelannya.

Tapi pemuda tinggi besar ini tenang-tenang saja, dan pakaiannya yang kotor penuh debu akibat terbanting tadi dikebut-kebutkannya perlahan. "Wan-susiok, kau benar-benar telengas sekali. Apakah permintaan begitu saja harus kau balas dengan merenggut nyawa orang lain? Hm. kau benar-benar keji, susiok, dan aku jadi bertekad untuk membawamu menghadap suhu Kau terlalu mudah menurunkan tangan maut, dan aku tidak bisa diam lag!"

"Ha-ha-ha, kau hendak membawa susiokmu ini kepada gurumu, Yap Bu Kong?" ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu taba-tiba tertawa bergelak mendengar kata-kata murid keponakan-nya ini. "Wah, kau benar bocah bermulut sombong. Apakah kau kira dengan memiliki Jin-yang Sin-kang lalu boleh bersikap seperti itu terhadap paman gurumu? Anak tak tahu diri. susiokmu ini masih tangguh untuk menghadapi Jit yang Sin-kang mu. Lihatlah....!"

Ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu tiba-tiba mengguncang tubuhnya dan sambil membentak seperti baruang haus darah sekonyong-konyong dia menepuk kedua tangannya tiga kali. Berturut-turut ledakan seperti petir terdengar menggelegar di tempat itu dan ketika tepukan itu selesai tiba-tiba tampaklah cahaya kehijauan muncrat di sekeliling laki-jaki ini. Asap yang aneh membubung sejenak, dan ketika asap itu hilang tiba-tiba tampaklah tubuh si ketua Perkumpulan Gelang Berdarah ini sudah menjadi hijau seperti pakaiannya!

"Wahh!" kakek Phoa yang semenjak tadi menonton pertandingan di pinggir tiba-tiba, berteriak kaget. Dia memang terkejut oleh kejadian yang ular biasa didepannya ini, karena dia dapat mengetahui adannya unsur-unsur ilmu hitam yang dipergunakan oleh ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu.

Dan Bu Kong yang melihat perbuatan susioknya itu juga tampak terkejut. Pemuda tinggi besar ini tertegun, tapi dia yang tidak tahu paman gurunya itu sedang meggunakan ilmu apa jadi terkesiap di tempatnya saja. Dia hanya terbelalak memandang, dan susioknya yang sudah mirip iblis berkulit hijau itu tiba-tiba melangkah lebar menghampirinya sambil tertawa menyeramkan. Laki-laki ini sudah tidak tampak sebagai manusia lagi, dan matanya yang marah menyala dengan sikap mengerikan itu benar-benar tampak buas sekali. Bu Kong tercekat, dan paman gurunya yang melangkah lebar itu mengguncang tubuhnya.

"Ha-ha, anak ingusan, hayo serang susiokmu ini dengan Jit-yang Sin-kang. Hayo lihat, apakah paman gurumu bakal terlempar lagi. Kalau benar, kau memang jugoan besar. Tapi kalau tidak aku teutu akan membunuhmu....!" Ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu tiba-tiba melompat dengan tangan terulur ke depan.

Dan Bu Kong yang diserang paman gurunya itu cepat membentak sambil menolakkan kedua lengannya. Dia mengerahkan tenaga Jit-yang Sin kang karena hanya dengan kekuatan itulah dia mampu menundukkan susioknya. Tapi apa yang terjadi sekarang ini sungguh mengejutkan sekali. Jit-yang Sin-kang membentur tubuh susioknya, tapi pekik seperti tadi kali ini tak terdengar. Susioknya itu di sambar cahaya putih yang panasnya luar biasa, tapi dia sama sekali tidak hangus terbakar, malah tertawa bergelak dengan suaranya yang gemuruh. Sinar Inti Matahati tepat mengenai dadanya, namun bekas penghuni Hek-kwi-to itu hanya terpental saja, sama sekali tidak terluka!

"Blarr...!" dada yang dihantam pukulan Jit-yang Sin-king itu mengumpulkan asap dan ketua Perkumpulan Gelang Berdarah ini tertawa menggelegar. Dia terpental saking kuatnya tenaga tolak yang dilontarkan muiid keponakannya inu, tapi luka hangus yang seperti tadi dialaminya pada kaki kiri sama sekali tidak ada. Tubuhnya tiba-tiba saja menjadi kebal, dan kekebalan yang mengandung kekuatan gaib dari sinar hijau ini temyata hebat sekali.

"Hoat-lek-kim-ciong-ko...!" akhirnya pendekar ini berseru kaget dan paman gurunya yang mendengar seruan itu terkekeh.

"Ya, Hoat-lek-kim-ciong-ko, bocah she Yap. Dan aku memperolehnya di Pulau Hek-kwi-to, Ha ha, apakah kau masih tidak mau menyerahkan kepalamu untuk kubawa menghadap Han-suheng?"

Laki itu menyeringai dengan sikap menyeramkan dan Bu Kong yang mendengar pengakuan susioknya itu berdiri bulu tengkuknya. Dia tidak mengira bahwa susioknya itu telah mempelajari Hoat-lek-kim-ciong-ko (sejenis kekebalan berdasarkan ilmu gaib), dan bahwa dia harus menghadapi ilmu hitam seperti itu sungguh membuat dia jadi tertegun. Dan susioknya yang tertawa dengan mata seperti iblis itu sungguh tampak mengerikan.

Maka Bu Kong jadi terbelalak di tempatnya berdiri, dan perasaannya yang mulai berdebar melihat kesaktian susioknya ini berdetak dengan sikap tegang. Sekaranglah dia membuktikan kebenaran cerita suhunya, bahwa betapa berbahaya dan ganasnya paman guru yang satu ini. Dan bahwa betapa tenaga saktinya Jit-yang Sin kang tidak mampu melukai laki laki yang menjadi susioknya itu sungguh membuat dia jadi bingung. Maka Bu Kong terkesima di tempatnya berdiri dan otaknya yang tiba-tiba menjadi beku sejenak itu membuat dia tidak dapat berpikir jernih.

Tapi saat itu tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat. Sesosok tubuh tinggi besar berjubah kuning tahu-tahu muncul di tengah mereka, dan seorang hwesio dengan sikapnya yang penuh wibawa berseru lembut, "Wan-sicu, apakah betul keberhasilan ilmu melatih Hoat-lek-kim ciong-ko itu berasal di Putau Hek-kwi-to? Pinceng melihat murid luar pinceng tergeletak di lembah Hwe-seng-kok...!"

Dan di tempat itu tahu-tahu seorang hwesio tinggi besar tersenyum memandang sang ketua Perkumpulan. Gelang Berdarah. Kedatangannya yang seperti iblis mengejutkan semua orang, tapi si ketua Perkumpulan Gelang Berdarah yang melihat munculnya pendatang baru ini tampak mencelat mundur.

"Pak-kut Hosiang...!" laki-laki berkedok itu berseru kaget dan hwesio tinggi besar ini menganggukkan kepalanya sambil memberi hormat.

"Ya, pinceng adanya, Wan-sicu. Bagaimana dengan pertanggangan jawabmu tentang murid luar pinceng Si Unta Terbang tampak terkapar di mulut Hwe-seng-kok, dan pinceng jadi sedih melihat kematiannya yang mengenaskan itu. Omitohud…."

Pendeta Buddha ini menundukkan kepalanya sekejap akan tetapi tiba-tiba diapun sudah memandang orang dengan mata bersinar keren. Agung dan penuh wibawa sikap hwesio tinggi besar itu, dan si ketua Perkumpulan Gelang berdarah yang tadi kelihatan beringas sekonyong-konyong tampak gelisah. Dia tertawa dibuat-buat, dan Bu Kong yang melihat sikap susioknya yang aneh ini tertegun heran.

"Pek-kut Hosiang..." demikian susioknya itu berkata hambar, "Apa yang kau maksud dengan lembah Hwe-seng-kok segala? Aku tidak tahu tentang itu dan aku juga heran mendengar tuntutanmu tentang pertanggungan jawab! Apa yang kau kehendaki?"

Hwesio int tersenyum getir. "Wan-sicu, tidak biasanya kau berbohong bila ditanyai orang. Kenapa kali ini hendak mengelak? Kau telah membunuh murid luarku, si Unta Terbang yang mencuri kitab pusaka. Dan kau telah membawa pula kitab-kitab itu. Untuk tanganmu yang ganas membunuh murid luarku biarlah kita selesaikan saja, karena murid luarku itu telah melakukan pengkhianatan yang patut menerima hukuman berat. Tetapi, kitab-kitab dari Bu-tek-thi-pah-ong itu mana boleh kau kangkangi, Wan-sicu? Itu adalah pusaka perguruan Go-bi dan siapapun tidak boleh merampasnya. Di lembah Hwe-seng-kok kau telah mempelajari ilmu-ilmu di dalam kitab itu. Tapi agaknya ada beberapa yang membuat kau tersesat. Dan kekebalan-Hoat-lek-kim-ciong-ko inipun adalah salah satu bukti bahwa kau telah tersesat mempelajari warisan ilmu kebal dari kitab pusaka Bu-tek-thi-pah-ong itul"

"Hem...!" si ketua Perkumpulan Gelang Berdarah tampak tertegun tapi mukanya yang tertutup kedok itu tidak kelihatan bagaimana reaksinya. Dan Pek-kut Hosiang yang melihat lawannya tidak membuka suara lalu melangkah maju. Hwesio ini mengebutkan lengan jubahnya dengan sabar, kemudian dengan sungguh-sungguh pula ia melanjutkan.

"Dan semua itu dapat mencelakakan dirimu sendiri, Wan-sicu. Karena di samping membuat pikiranmu semakin gelap juga pengaruh lembah Hwe-seng-kok telah menjadikan tubuhmu kejangkitan hawa hitam. Kau telah memasuki lembah itu dengan langkah yang salah, dan kalau tidak menggenggam Pi tok-cu kau tentu telah binasa di perut lembah!"

"Ah…!" si penghuni Hek-kwi-to surut ke belakang dan matanya yang semakin terbelalak memandang hwesio tinggi besar itu tampak berkilat geram. Dia hendak melompat marah, tapi tiba tiba lengkingan tinggi disusul bentakan seseorang terdengar di hutan itu.

"Manusia she Wan, di mana kau menyembunyikan muridku? Hayo cepat kembalikan muridku itu kalau kau tidak ingin merasakan kelihaian Ciok-thouw Taihiap. "Krakk!" sebatang pohon roboh dipukul seseorang dan Pendekar Kepala Batu tahu-tahu muncul dengan muka merah padam. Itulah ketua Bang-san-pai yang sedang beringas dan si laki-laki berkedok yang melihat munculnya pendekar berkepala gundul itu tampak terkejut.

Dia belum menyelesaikan pertandingannya dengan Pendekar Gurun Neraka, karena datang si hwesio berjubah kuning dari Go-bi. Dan belum dia menyelesaikan urusannya dengan dua orang itu mendadak saja si Pendekar Kepala Batu muncul! Sialan, kenapa tiga orang itu bisa datang bersamaan? Maka si ketua Perkumpulan Gelang Berdarah yang cerdik ini sudah mengambil keputusan cepat. Menghadapi seorang lawan seorang dia tidak takut, kecuali mungkin terhadap Pek-kut Hosiang yang mengetahui rahasia dirinya itu. Tapi kalau harus menghadapi tiga lawan sekaligus inilah satu pekerjaan yang bukan main beratnya. Karena itu, begitu melihat hwesio Go-bi ini muncul disusul hadirnya si ketua Beng-san-pai tiba-tiba saja sang ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu membanting tiga benda hitam di atas tanah.

"Pek-kut Ho-siang jangan melempar fitnah kepada orang she Wan. Aku tidak tahu apa-apa tentang murid luarmu itu ataupun macam kitab pusaka. Kalau kau tidak terima boleh datang di puri Naga. Aku menunggu kedatanganmu. Blarr...!"

Tiga granat tangan disambitkan oleh ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu dan Pek-kut Hosiang yang melihat sambaran senjata peledak ini berteriak, "Awas, Bik-lik-cu (Granat Tangan)....!"

Dan semua orangpun sudah melompat jauh menghindarkan diri. Kakek Phoa melayang naik ke atas pohon sedangkan Pek-kut Hosiang serta Ciok-thouw Taihiap yang baru datang berjungkir balik sambil mendorongkan lengan mereka memukul pecahan granat yang tajam serta berasap tebal. Sementara Bu Kong yang berdekatan jaraknya dengan Lek Hui yang masih pingsan sudah menyambar murid Ciok-thow Taihiap itu dengan kecepatan ginkangnya.

Dan kini selamatlah mereka semua oleh serangan tak diduga-duga itu dan Bu Kong yang melihat susioknya dengan keji melempar sebuah granat ke arah Lek Hui yang masih pingsan diam-diam mengertakkan giginya. Hampir saja dia terlambat, dan kalau Lek Hui sampai tertimpa senjata peledak itu pastilah hancur tubuhnya berkeping-keping. Keji...!



Pendekar Kepala Batu Jilid 23

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 23
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Kepala Batu Karya Batara
KINI mulailah mereka adu kepandaian. Si laki-laki berkedok tampak menjalankan taktiknya "Dewa Mabok Memburu Permaisuri" sedangkan Lek Hui mentrapkan gaya permainan yang tidak kalah anehnya. Dikata aneh karena kalau si laki-laki berkedok itu menjalankan biji caturnya seolah-olah perajurit mabok adalah tingkah laku biji-biji catur raksasa tinggi besar ini maju mundur seakan-akan kucing mencium tahi. Aneh memang, dan juga menggelikan!

Tapi sesungguhnya itulah kunci "pamungkas" bagi gaya permainan lawan! Dan si laki-laki berkedok tampak berubah mukanya. Dia mengerutkan alis, dan dahinya yang bergetar hebat itu tampak menggigil. Permainannya dewa mabok memburu permaisuri dihadapi satu permainan yang mengunci semua caturnya, karena permaisuri yang diburu oleh dewa maboknya berganti-ganti arah. Kadang Lek Hui meluncurkannya ke arah timur tapi kadang pula tiba-tiba membalik dengan cara melingkar mengecoh "sang dewa mabok".

Akibatnya, laki-laki berkedok ini mulai pucat dan Lek Hui yang bermain dengan wajah berseri-seri itu menjadikan dia gemas bukan main. Kemendongkolan mulai berubah kemarahan, dan asap tembakaunya yang bergulung-gulung memenuhi udara itu tampak semakin tebal dengan baunya yang tiba-tiba aneh, Lek Hui tidak merasa, karena dia asyik dengan biji-biji caturnya.

Tapi Ciok-thouw Tailtiap yang selalu waspada mulai mengerutkan alis dengan mata berkilat. Dia melihat muridnya mulai beradu depan dan biji-biji catur lawan yang terhenti di tengah jalan itu nampak menemui jalan buntu. Tapi pendekar ini yang masih belum mendapatkan kecurangan lawan secara terang-terangan itu diam tak bergerak.

Dia tekun memperhatikan kedudukan masing-masing pihak. dan si laki-laki berkedok yang tampak mulai mukanya itu dilihatnya menjadi tegang. Posisi buah caturnya tiba-tiba semrawut, dan biji catur Lek Hui yang menahan ke depan sekonyong-konyong bergerak menyerang.

Dan hebat sekali gaya permainan muridnya kali ini. Biji catur yang tadinya maju mundur seperti orang main kucing-kucingan mendadak menjadi garang seperti harimau kelaparan. Kuda berikut perajurit rendahan melompat maju, dan begitu diserang bertubi-tubi sekonyong-konyong kedudukan buah catur lawan porak-poranda!

Si laki-laki berkedok mengeluarkan seruan kaget, dan orang ini terperangah dengan mata melotot. Biji caturnya yang sempoyongan seperti orang mabok itu mendadak saja roboh bergelimpangan. Dan satu-persatu mulailah para perajuritnya dipreteli Lek Hui. "Keparat..!" orang itu mendesis pucat dan buah caturnya yang tidak karuan bentuk lagi membuat dia menjadi gemetar.

Lek Hui yang berseri gembira dipandang marah, dan sekonyong-konyong dia membentak bengis, "Bocah she Auw, kau dibantu sesoorang...!"

Dan Lek Hui yang dibentak ini menjumbut kaget. Raksasa muda itu terkesiap, tapi belum dia menguasai diri tiba-tiba saja papan catur di depannya digobrak orang. Laki-laki berkedok itu meninju gemas, dan dia yang masih terbengong kaget ini tahu-tahu disambar tangan orang yang hendak mencekik lehernya!

"Haii….!?" Lek Hui berteriak kaget dan pemuda yang sedang terkejut itu secepat kilat membanting diri. Laki-laki berkedok luput muncekik, tapi dia yang tampaknya benar-benar marah ini sudah mendengus geram dan memburu raksasa muda itu.

Namun Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba membentak, "orang she Wan, jangan main gila di depanku dan lengan ketua Beng-san-pai ini diulur ke depan menangkis cengkeraman orang.

"Dukk!" Dua tenaga raksasa bertemu di udara dan Ciok-thouw Taihiap serta lawannya tergetar mundur. Si laki-laki berkedok mengeluarkan seruan kemarahnya sedangkan pendekar berkepala gundul itu memandang gusar. Dia tidak terima muridnya dihina orang, karena itu Ciok-thouw Taihiap yang berkilat matanya ini melangkah maju. Tangan kirinya diulur mencengkeram dada si orang she Wan sedangkan lengan kanannya menampar. Angin bersiut tajam menyambar dingin, tapi si laki-laki berkedok tiba-tiba menggerakkan kakinya. Meja catur yang ada di depan dia tendang, sedangkan kursi yang tadi dia pakai dilempar menyambut serangan Ciok thouw Taihiap sementara dia sendiri melesat mundur sambil terkekeh.

"Brakkk...!" meja dan kursi bertemu dengan dua lengan Ciok thouw Taihiap dan begitu membentur, kontan hancur berkeping-keping! Ciok- thouw Taihiap menggeram, dan tiba-tiba pendekar sakti ini berkelebat ke depan. Gerakannya seperti iblis, dan tahu-tahu saja pundak lawan sudah dihantam telapak tangannya.

"Plakk..!" laki laki berkedok itu terkejut tapi tiba-tiba dia tertawa bergelak. Ciok-thouw Taihiap yang memukul tidak membuatnya bergeming, dan sementara ketua Beng-san-pai itu teategun diapun sudah balas menampar dada si pendekar kepala gundul.

"Dess....!" Ciok-thouw Taihiap bergetar hebat namun ketua Beng-san-pai itupun juga sama sekali tidak bergeming. Ternyata, mereka memang sama-sama lihai! Maka si laki-laki berkedok yang melihat kenyataan ini mendadak terkekeh dan kakinya yang diangkat itu secepat kilat menendang bawah pusar Ciok-thouw Taihiap.

Tapi pendekar sakti ini mendengus. Kaki orang yang mengarah anggauta rahasianya disambut totokan jari, dan suara mencicit yang tajam dingin meluncur secepat kilat. Namun orang she Wan itu rupanya melancarkan gerak tipuan. Kaki yang diangkat mendadak ditekuk, dan ketika jari Ciok-thouw Taihiap menyambar lewat tiba-tiba dia mendupak dagu pendekar itu.

"Citt....!" totokan Ciok-thouw Taihiap tak dapat ditarik kembali, dan pendekar sakti yang mendapat gerak tipuan itu terkejut. Jarinya mencoblos tanah sementara kaki lawan yang berhenti di tengah jalan sekonyong-konyong menendang dagunya. Keparat!

Ciok-thouw Taihiap miringkan kepala sedikit dan karena tidak keburu mengelak maka dia pasangkan lehernya untuk menerima tendangan ini. Dan sementara dia membungkuk totokan yang luput dirubah cengkeraman pada kaki lawan yang satunya. Sekejap saja gebrakan ini terjadi, dan serangan yang sama-sama dilancarkan adu cepat itu masing-masing mengenai sasarannya. Leher Ciok-thouw Taihiap bertemu kaki lawan sedangkan kaki lawan sebelah kiri dicengkeram jari-jari baja ketua Bang-itu lalu dibanting.

"Plak-brukk...!"

Dua-duanya sama menerima akibat dan Ciok-thouw Taihiap yang ditendang lehernya itu menyeringai panas sementara lawan berteriak kaget dengan tubuh terbanting hebat. Satu-satu! Orang berkedok ini tertawa bergelak dan pakaiannya yang kotor penuh debu itu dikebut sambil melompat bangun. Dia tampak gembira bukan main, namun Ciok-thouw Taihiap yang bangkit kemarahannya itu mencorong marah.

"Orang she Wan, kau agaknya hendak mencari permusuhan di sini. Baiklah, mari kita bargebrak menentukan kepandaian!" pendekar ini memandang berapi-api tapi tiba-tiba lawannya itu melompat mundur. Dia melihat sebuah bayangan berkelebat di belakang ketua Beng-san-paicu itu, dan Ciok-thouw Taihiap sendiri yang mendengar desiran di belakangnya ini tiba-tiba membalik sambil membentak, "Siapa bermain curang?" dan kedua tangannya secepat kilat mengibas ke belakang.

"Dukk...!" seorang laki-laki berjenggot panjang terpental sambil memekik kaget dan senjatanya yang berbentuk martil sebesar kepala kambing itu membalik. Hampir saja dia menjadi korban, dan Ciok-thouw Taihiap yang melihat orang ini tiba-tiba berseru kaget.

"Palu Baja!"

Dan pembokong baru itu terkekeh. "Heh-heh, benar aku, Ciok-thouw Taihiap! Apakah masih ingat penghinaanmu terhadap suteku?" dan bersamaan dengan hadirnya iblis itu mendadak muncul bayangan-bayangan lain yang mengepung taman penginapan itu!

Ciok-thouw Taihiap terkejut, tapi tiba-tiba pendekar berkepala gundul ini mendengus. Dia melihat bayangan si Pisau Kilat yang berdiri di belakang si Palu Baja itu, berdiri memandangnya penuh kebencian, dan berturut-turut di sebelah orang ini hadir iblis-iblis lainnya yang lupa-lupa ingat untuk dikenal.

Akan tetapi dua orang yang mematung di ujung paling kanan sendiri itu tidak dilupakannya. Yang pertama memakai jubah kelabu dengan kepala mirip kelelawar buas sedangkan yang dua tinggi besar dengan lengan panjang penuh bulu. Itulah si Hwe-pian-hok dan To-pi-wan, Lutung Banyak Lengan serta si Kalong Kelabu, dua orang iblis yang dulu pernah dirobohkannya!

"Aih..." Ciok-thouw Taniap tertegun dan si laki-laki berkedok yang menjadi lawannya pertama tiba-tiba tertawa.

"Wah, kau agaknya kedatangan banyak tamu, Beng-san-paicu. Kalau begitu apakah urusan kita sebaiknya diselesaikan nanti saja? Lihat, mereka nampaknya penuh kebencian memandangmu, dan kalau tidak diselesaikan malam ini juga tentunya mereka bakal penasaran. Hayo hayo kalian bertanding saja, biar aku yang menjadi penontom di luar, ha-ha...!"

Laki-laki itu benar-benar keluar lingkaran dan cangklongnya yang ada di tangan digoyang-goyangkan gembira. Dia tampaknya tertarik sekali dan Ciok-thouw Taihiap yang mendongkol melihat sikapnya itu memandang berkilat. Tapi Palu Baja tiba-tiba membentak,

"Ciok-thouw Taihiap, persoalan suteku apakah hendak kau ingkari? Kalau kau jantan mari kita bergebrak, perhitungan baru lunas kalau salah satu pihak sudah roboh binasa!"

Berkata demikian iblis bersenjata raksasa.itu melompat maju dan si Pisau Kilat yang ada di belakangiya juga tidak mau ketinggalan. Dua orang suheng dan sute ini menantang ke depan, namun si Hwe-pian-hok (Kalong Kelabu) yang ada di belakangnya juga tidak mau kalah. Manusia bermuka lancip ini terkekeh, dan tawanya yang mirip kalong mencicit itu mengusik gendang telinga,

"Heh-heh, Ciok-thouw Taihiap bukan hanya mempunyai persoalan dengan kalian berdua raja, Palu Baja. Tapi dengankupun dia juga punya hutang! Eh, Pendekar Kepala Batu, apakah kau misih ingat hutang piutang kita duabelas tahun yang lalu?"

Hwe-pian-hok mencabut senjatanya dan sebuah sabit bergagang-panjang tampak berkilat-kilat ditimpa sinar bulan. Tapi belum Ciok-ouw Taihiap menanggapi kata-kata lawannya ini sekonyong-konyong si Lutung Banyak Lengan juga melompat maju. Manusia tinggi besar ini menggeber bulunya, dan kedua lengannya yang panjang dengan kuku-kuku seperti pisau kecil itu diketrikkan.

"Trikk" Pendekar Kepala Batu bukan monopoli kalian bertiga, Palu Baja. Tapi dia musuh semua orang. Duabelas tahun yang lalu dia telah pula memotong kuku-kuku jariku, dan kini setelah belasan tahun menyimpan dendam aku ingin menghisap darahnya. Wehh...!"

lblis seperti lutung itu mengeluarkan pekik monyetnya dan Ciok-thouw Taihiap yang dikepung empat pentolan sesat itu tiba-tiba mengeluarkan bentakan marahnya.

"Palu Baja dan kalian iblis-iblis semua, jangan banyak cakap pada saat seperti ini. Aku bukan seorang pengecut yang akan melarikan diri menghadapi kalian, dan kalau kalian ingin mengeroyok majulah...! kita bereskan perhitungan lama sampai kalian semua binasa!"

Pendekar itu tiba-tiba menghentakkan kakinya dan bumi yang ditendang sekonyong-konyong melesak dua inci. Goresan dalam digurat ketua Beng-san-pai itu, dan Ciok-thouw yang sudah memasang kuda-kuda tanpa mencabut senjata itu tampak penuh wibawa. Mata berkilat mencorong, dan kaki serta lengannya menggigil penuh tenaga sakti itu tampak bergetar.

Palu Baja tertegun, tapi tiga orang rekannya yang sudah bersiap-siap itu tampak menunggu komando. Mereka rupanya maklum akan kelihaian si tokoh dari Pegunungan Beng-san itu, karenanya mereka menunggu siapa yang bakal merenyerang pendekar sakti itu terlebih dahulu. Sementara Ciok- thouw Taihiap yang diam-diam melihat muridnya itu tampak melirik ke pinggir. Di situlah tadi Lek Hui berdiri, dan tepat ketika dia memandang ke tempat ini sekonyong-konyong pendekar berkepala gundul itu terkejut.

Lek Hui dilihatnya tidur mendengkur, dan si laki-laki berkedok yang naengetahui lirikan matanya itu tiba-tiba tertawa. "Beng-san-paicu, jangan khawatir. Muridmu yang lihai ini sengaja kutidurkan. Dia tadi lupa melindungi diri dengan saputanganmu, karena itu dia teranjur menghisap asap tembakauku. Tapi jangan khawatir, muridmu tidak bakalan tewas. Dia akan kujaga baik-baik dan kau bertempurlah sungguh-sungguh melawan tamu-tamu tak diundang ini. Aku ingin menonton...!"

Maka Ciok-thouw Taihiap yang mendengar ucapan si laki-laki berkedok itu mendetik dengan kegusaran bukan main namun tiba-tiba si Palu Baja yang melihat dia sedikit meleng itu mendadak mengayunkan senjatanya.

"Ciok-thouw Taihiap, jaga dirimu baik-baik!" dan martil sebesar kepala kambing itu tahu-tahu sudah menderu ke arah kepala Beng-san-paicu ini.

Tapi Ciok-thouw Taihiap memang sudah siap. Urat di seluruh tubuhnya telah bergetar sejak tadi dan begitu Palu Baja mengayunkan senjatanya, pendekar ini merunduk cepat dan menyambut hantaman martil itu dengan telapak tangannya.

"Plaakk!" Martil sebesar kepala kambing itu tertangkap dan begitu Ciok-thouw Taihiap membetot ke bawah, si Palu Baja berteriak kaget. Dia merasakan hentakan yang maha dahsyat, dan senjatanya yang akan dirampas itu tiba-tiba mengeluarkan aliran panas yang membakar tangannya.

Tentu saja suheng si Pisau Kilat ini terkejut, Tapi sutenya yang ada di belakang tiba-tiba sudah membantunya. Belati panjang yang ada di tangan iblis itu bergerak, tidak menusuk kulit melainkan menikam mata dan Hwe-pian-hok serta si Lutung Banyak Lengan juga tiba-tiba bergerak berbareng menyerang pendekar berkepala gundul itu.

Si Kalong Kelabu membabatkan sabitnya ke Ciok-thouw Taihiap sedangkan si Lutung Banyak Lengan mencengkeramkan kuku-kuku jarinya ke pundak sang Bengsan-paicu. Dan hebat kesudahan gebrak pertama ini. Ciok-thouw Taihiap diancam tiga iblis yang membantu si Palu Baja tampak menggereng dan mata yang ditusuk belati itu dimiringkan ke kiri. Lalu, ketika belati Se Pisau Kilat itu lewat di mukanya tiba-tiba pendekar ini menampar. Lengan si Pisau Kilat dipukul kuat, dan sute Palu Baja yang tidak sempat mengelak itu berteriak kaget. Pisaunya mencelat, dan Ciok-thouw Taihiap menendang pinggangnya.

"Plak-dess!"

Pisau Kilat menjerit tertahan dan kaki Ciok-thouw Taihiap yang mendupak pinggangnya membuat dia terlempar. Tapi lihai iblis itu. Tubuh yang terlempar sekalian bersalto, dan pisau mencelat di udara itu disambarnya dengan berjungkir balik! Mengagumkan! Tapi si pendekar berkepala gundul tidak sempat memperhatikan semua sikap lawannya. Sabit yang diluncurkan si Kalong Kelabu tak keburu dia elak, karena pada saat itu dia sedang menghadapi tusukan pisau yang amat berbahaya ke arah mata. Maka begitu sabit mengenai lehernya Ciok-thouw Taihiap membentak murka. Kulit lehernya dibabat, tapi si Kalong Kelabu yang hampir bersorak girang itu terkejut. Leher lawan seperti karet, dan sabit yang luar biasa tajam itu ternyata mental!

"Hai..??" Kalong Kelabu ini tertegun bengong tapi Ciok-thouw Taihiap yang meraung gusar itu telah mengangkat kaki satunya. Ujung sepatu melayang ke rahang si Hwe-pian-hok, dan Kalong Kelabu yang menjublak bengong itu menjerit keras ketika dagunya ditendang.

"Dukk!" Iblis bermuka lancip itu mengaduh hebat dan kalau saja bukan dia yang menerima tendangan pada bawah rahang ini tentu sudah pecah tulang rahangnya! Tapi Kalong Kelabu memang iblis jempolan. Begitu dia terlempar begitu pula dia sudah melompat bangun dan sabit bergagang pancing diputar-putar di tangan kanannya itu digerakkan dengan lengkingnya yang buas.

Ciok-thouw Taihiap diterjang lagi, dan pendekar yang sedang menerima cengkeraman kuku-kuku si Lutung Banyak Lengan pada pundaknya itu mengguncang tubuh seperti anjing kecemplung kolam. Tenaga saktinya bergolak, dan To-pi-wan yang terkekeh girang melihat cengkeramanya di pundak ketua Beng-san-pai ini tiba-tiba berteriak kaget. Kuku jarinya bertemu daging yang alot, dan ketika Ciok-thouw Taihiap membentak perlahan sekonyong-konyong iblis berlengan panjang itu menjerit. Jari tangannya bertemu gumpalan daging yang panas membara, dan belum dia hilang kagetnya mendadak saja pendekar itu telah menangkap lehernya dan dibanting ke arah si Kalong Kelabu yang sedang membabatkan sabitnya!

"Haii….!" iblis ini melengking ngeri dan Hwe pian-hok sendiri yang sedang menerjang juga berteriak kaget. Tubuh si Lutung Banyak Lengan meluncur cepat, dan sabit yang sudah terlanjur membabat tak sempat ditarik kembali. Akan tetapi dasar dua-duanya juga bukan orang sembarangan, maka begitu bahaya mengancam masing-masing pihak. To-pi-wan maupun si Kalong Kelabu sudah bergerak menyelamatkan teman. Si Kalong Kelabu mengurangi tenaga serangannya sedangkan si Lutung Banyak Lengan mengulurkan cakar menangkis sabit.

"Cring- cring... brett!"

Sekejap saja kejadian itu. Dan tahu-tahu si Lutung Banyak Lengan mengumpat kotor. Kuku jarinya yang runcing memang berhasil menyelamatkan jiwanya, tapi bahu yang masih diseremput pentalan mata sabit tak mampu dihindarkan. Akibatnya iblis in memekik marah dan Ciok-thouw Taihiap yang menjadi gara-gara terlukanya pundak itu dicaci-maki dengan gusar. Dia membalikkan tubuh, dan ketua Beng-san-pai yang sedang melayani si Palu Baja itu diterjangnya kembali.

Tapi Ciok -thouw Taihiap rupanya tidak mau main-main lagi. Tiga lawan yang sudah dibuat jatuh bangun tapi masih menerjangnya itu kini disambut lebih bengis. Si Palu Baja yang masih dicekal palunya ditarik, dan ketika iblis itu mencoba bertahan dengan mata melotot tiba-tiba pendekar itu melepaskan cekalannya. Kaki yang baru mendupak dagu si Kalong Kelabu kini "bekerja" menghantam ulu hati si Palu Baja, dan ketika iblis itu sedang terkejut karena senjatanya oleh ketua Beng-san-pai ini sekonyong-konyong lututnya disambar kaki kiri Ciok-thouw Taihiap yang bergerak bergantian.

"Duk-dukk...." Dua kali tendangan itu mengenai sasarannya dan si Palu Baja yang belum hilang kagetnya dari sentakan si pendekar sakti itu berteriak hebat dengan tubuh terlempar. Ulu hatinya serasa ditumbuk palu godam yang maha dahsyat, dan kaki yang disambar lututnya ini serasa pecah bertemu ujung sepatu si Pendekar Kepala Batu. Maka menjeritlah si Palu Baja itu dengan penuh kesakitan dan martil yang ada di tangannya mencelat terlepas!

Namun Ciok-thouw Taihiap tidak dapat memburu lawannya ini. Si Palu Baja yang roboh tak dapat dikejar, karena si Pisau Kilat serta dua orang temannya yang lain sudah menyerang dari tiga jurusan. Si Pisau Kilat tetap mengarahkan tikamannya ke arah mata sedangkan si Kalong Kelabu dan To-pi-wan masing-masing menggerakkan sabit dan kuku pisaunya ke leher dan dada. Hebat tiga buah serangan itu, tapi Ciok thouw Taihiap yang memutar kakinya jauh lebih hebat lagi.

Pendekar ini merunduk di antara tikaman pisau dan sabit, lalu ketika cengkeraman Lutung Banyak Lengan tiba di lehernya sekonyong-konyong dia menahan napas. Cekikan To-pi-wan bertemu gelembung hawa yang melambung seperti balon, dan ketika iblis berlengan panjang itu terkejut karena lagi-lagi dia seakan mencengkeram bola karet yang tak dapat ditusuk bolong sekonyong-konyong ketua Beng-san-pai itu membentak. Kaki kirinya menghantam lambung To-pi-wan, dan kedua tangan yang lain bergerak cepat menampar ke arah si Kalong Kelabu dan Pisau Kilat.

Yang kanan menyambar sute si Palu Baja ini sedangkan yang kiri menghantam pundak si Kalong Kelabu. Dan hebat akibatnya. Si Lutung Banyak Lengan menjerit parau ketika kaki Ciok-thouw Taihiap menendang lambungnya sedangkan dua orang temannya yang lain memekik ngeri dengan tubuh terlempar. Hwe-pian-hok patah tulang pundaknya sedangkan si Pisau Kilat patah tulang lehernya!

"Aughh..!" sute si Palu Baja itu terguling-guling dengan pekik ngerinya dan si Palu Baja ini melihat betapa temannya itu akhirnya roboh terbanting di atas tanah. Sute si Palu Baja ini tampak meraung, bangkit berdiri dan menekan tanah untuk mencoba melompat bangun namun tiba-tiba berteriak tertahan. Kepalanya terkulai, tertekuk menjadi dua seperti pisang dibacok golok dan tiba-tiba terjerembab. Nyata, tulang lehernya yang patah itu tak mampu mengangkatnya berdiri dan si Pisau Kilat yang mendelik dengan mata melotot buas itu akhirnya roboh tak berkutik lagi. Tewas!

Kini gemparlah keadaan di tempat itu. Palu Baja yang melihat sutenya tewas tampak tertegun, tapi kekagetannya yang besar itu kalah oleh kemarahannya yang menggelagak. Ulu hati yang masih sesak tidak diperdulikan lagi, dan iblis ini yang sudah menyambar kembali senjatanya yang terlempar itu menggebrak ke depan. Dia menggereng penuh kebencian, dan Ciok-thouw Taihiap yang berdiri tegak dengan muka gelap itu diterjangnya. Martil sebesar kepala kambing dikelebatkan, dan Palu Baja yang kalap oleh kematian sutenya itu tampak buas melebihi binatang liar.

Tapi Ciok-thouw Taihiap tenang-tenang saja. Pendekar ini mendengus dan tangan besinya yang mulai diturunkan itu membuat dia kelihatan menyeramkan. Ketua Beng-san-pai itu tidak kalah menyeramkannya dibanding kebuasan Palu Baja yang menggerodak ke depan, karena matanya yang mencorong berkilat kilat itu jauh lebih mengerikan dibanding apapun. Dan ketika Palu Baja tiba di mukanya mendadak pendekar sakti itu menghentakkan kakinya.

Tubuh yang bergetar sekonyong-konyong melompat maju, dan kepala yang ditundukkan seakan mau menyeruduk itu menyambut pukulan si Palu Baja. Martil yang sebesar kepala kambing diterima kepalanya yang gundul, dan ketika senjata itu mengenai batok kepalanya terdengarlah suara "dull." yang keras sekali. Martil si Palu Baja terpental, sementara iblis itu. sendiri berteriak kaget ketika tiba-tiba pinggangnya dicengkeram oleh Ciok thouw Taihiap!

"Aughh...!" iblis ini melengking ngeri, tapi Ciok-thouw Taihiap yang sudah mencengkeram pinggangnya itu tiba-tiba meremas dahsyat. Tulang punggung yang tersentuh mendadak mengeluarkan suara "krek" dan ketika ketua Beng-san-pai itu melempar korbannya tampaklah si Palu Baja menjerit dengan suara mengerikan.

Iblis ini terlempar seperti layang-layang putus, dan ketika akhirnya dia terbanting roboh di atas tanah tampaklah si Palu Baja yang tadi buas menyeramkan itu kini sudah ambruk seperti kain basah. Suheng si Pisau Kilat ini lunglai di atas tanah, karena tulang punggungnya di atas pinggang remuk diremas tenaga sakti Ciok-thouw Taihiap. Mengerikan, dan iblis bersenjata palu itu tidak ingat apa-apa lagi! Dia mengalami luka-yang hebat. Dan kalau tidak tewas tentulah cacad seumur hidupnya!

Gempar! Keadaan benar-benar menggemparkan. Dan orang-orang yang ada di situ tampak terpukau oleh kejadian yang berlangsung dalam beberapa kejap ini. Empat orang iblis yang menyerang Ciok-thouw Taihiap ternyata sudah roboh tiga orang, dan sisanya yang tinggal si Lutung Banyak Lengan itu kelihatan sudah menggigil dengan muka pucat.

To-pi-wan ini memang gentar, karena lawan yang dikira mampu diatasinya itu ternyata sedemikian hebat kesaktiannya. Dia yang bersama tiga orang saja tak mampu mengatasi bagaimana kini berani maju seorang diri? Tidak. Paling aman adalah melangkah kabur tapi belum dia melaksanakan niatnya itu sekonyong-konyong sebuah suara menyusup di dekat telinganya,

"To-pi-wan, jaga ketua Beng-san-pai itu bersama orang-orangmu yang lain. Aku hendak membawa muridnya....!"

Dan bersamaan dengan ini tiba-tiba Wan Lui si orang berkedok tertawa bergelak memecahkan kesunyian yang mencekam hati semua orang. Laki-laki misterius itu melompat maju, dan Ciok-thouw Taihiap yang menoleh kaget dipuji dengan ketawanya yang lebar,

"Bong-san-paicu, kau sungguh hebat sekali, Empat lawan satu ternyata tidak membuatmu kewalahan. Aih, bukankah ini tandanya kau benar-benar seorang pendekar jempolan? Aku jadi ingin mempererat persahabatan, Beng-san-pai-cu, dan semoga kau tidak menolak permintaanku ini. Mari, muridmu yang gagah perkasa ini kubawa dulu. Kita dapat bertemu lagi di lain kesempatan...!" dan begitu ucapannya selesai mendadak orang she Wan itu menyambar tubuh Lek Hui dan sekali berkelebat dia sudah kabur dari taman penginapan itu!

Tentu Wit Ciok-thouw Taihiap terkejut, dan ketua Beng-san-pai yang sedang meradang ini membentak marah. Dia melompat maju, bermakasud untuk mencegah orang berkedok itu menculik muridnya tapi tiba-tiba si Lutung Banyak Lengan serta belasan orang lain yang sejak tadi berdiri menonton sekonyong-konyong bergerak menyerang.

"Ciok-thouw Taihiap, jangan lari. Kami hendak menagih hutang jiwa atas teman-teman kami yang kau bunuh....!"

To-pi-wan secara berani menghadang ketua Beng-san-pai itu dan Ciok-thouw Taihiap yang tertegun kaget membelalakkan matanya. Dia tidak mengira bahwa si Lutung Banyak Lengan ini berani maju Iagi, tapi hujan senjata yang menyerang dari belakang tubuhnya itu membuat pendekar ini manggeram. Karena itu Ciok-touw Taihiap lalu memutar tubuh, dan begitu To-pi wan serta enam-belas orang yang lain menghujani serangan tiba-tiba saja pendekar sakti itu berkelebat sambil menggerakkan kaki tangannya.

Dia tidak menghiraukan hujan senjata, dan pedang serta golok yang menimpa tubuhnya mencelat semua seperti bertemu karet. Dan sementara tujulabelas orang lawannya terkejut sambil berteriak tertahan, senyong-konyong pendekar dari Beng-san ini telah mencengkeram dan membanting lawannya seperti orang mengangkat bayi-bayi kecil yang menjerit sana-sini dengan senjata berhamburan!

Kagetlah semua orang yang merasakan amukan langsung dari pendekar sakti itu dan tujuh-belas pengeroyok yang datang membanjir tahu-tahu sekejap saja sudah tinggal sepuluh orang yang kocar-kacir. To-pi-wan sendiri termasuk di antara orang-orang yang dibanting oleh ketua Beng-san-pai itu, namun karena dia termasuk orang yang, paling lihai maka dia masih dapat melompat bangun. Tidak seperti enam orang lain yang suda patah-patah tulangnya ditampar ataupun ditendang Ciok-thouw Taihiap!

Gegerlah sekarang suasana di tempat itu tapi Ciok-thouw Taihiap yang masih menghadapi sisa sisa para pengeroyok ini benar-benar dibuat naik pitam. Dia tidak melihat bayangan si orang she Wan lagi, karena musuh yang mengerubut tampaknya nekat-nekat. Karena itu, Ciok-thouw Taihiap yang memang membenci orang-orang dari dunia hitam ini bersikap telengas. Lawan yang menerjang maju bertemu pukulan tangan atau kakinya, dan setiap pendekar itu bergerak pasti robohlah orang lawan tanpa ampun. Mengerikan!

Sementara itu, laki-laki berkedok yang membawa tubuh Lek Hui tampak tertawa-tawa gembira. Dia tidak memperdulikan kematian si Pisau Kilat ataupun robohnya si Palu Baja. Sementara muridnya yang setia mengikuti sang guru itu kelihatan membayangi punggung gurunya dengan alis berkerut tanda tidak tenang. Tapi si orang berkedok ini tidak tahu. Dan kalaupun tahu barangkali dia juga tidak perduli.

Lek Hui yang dipanggul memang pingsan, akibat kecurangannya, akan tetapi orang berkedok ini biasa-biasa saja. Dia sama sekali tidak terpengaruh oleh perbuatannya yang curang itu, malah tertawa-tawa gembira dengan muka berseri. Dan melihat sikapnya yang tidak perdulian ini mudah menduga bahwa dia adalah orang yang tergolong kejam, dingin dan berwatak aneh.

Menjadi pertanyaan sekarang siapakah orang itu? Bagi anda tentu tidak sulit menebaknya. Melihat kehadiran pemuda bernama Kui Lun ini di samping laki-laki misterius ini mudahlah diduga siapa kiranya orang bemama Wan Lui itu. Dan memang benar. Dia inilah si "lo-pangcu" dari perkumpulan Hiat-goan-pang, datuk iblis berdarah ingin yang menjadi ketua Perkumpulan Gelang Berdarah di puri Naga!

Sekarang terbukalah jejaknya dan tokoh yang menggemparkan dunia kang-ouw dengan perkumpulannya yang mengerikan di tujuhbelas propinsi tampaklah kini. Dia muncul dengan akalnya yang cerdik, mencoba menjebak Ciok-thouw Taihiap untuk 'mengikat‘ ketua Beng-san-pai yang lihai itu menjadi pembantunya namun terpaksa gagal di tengah jalan karena permainan serinya dalam bertanding catur.

Dan sekarang, menculik Lek Hui menuiu ke utara sambil tertawa-tawa gembira itu ketua Hiat-goan pang yang lincah ini tampak berlari pesat. Tubuhnya berkelebat seperti iblis, sementara Kui Lun yang harus mengerahkan seluruh tenaganya itu tampak terengah-engah mengikuti gurunya. Pemuda ini sebenarnya tidak sependapat dengan gurunya, dalam arti kata segan melakukan perbuatan-perbuatan yang dirasa kurang pantas. Akan tetapi karena guru adalah guru dan dia sudah berhutang banyak budi terhadap gurunya ini Kui Lun terpaksa diam saja.

Mereka sudah jauh meninggalkan rumah penginapan yang menjadi gaduh itu dan Kui Lun tahu bahwa semua adalah pekerjaan gurunya. Munculnya si Palu Baja dan Kalong Kelabu serta belasan orang lain di rumah penginapan itu bukanlah secara kebetulan akan tetapi memang sudah diatur oleh gurunya karena empat pentolan itu adalah anak buah mereka! Maka tidak mengherankan jika si Lutung Banyak Lengan yang diperintah gurunya untuk menghalangi ketua Beng-san-pai itu berlaku nekat. Meskipun gentar namun tetap saja menerjang maju bersama belasan orang lain, sementara sang ketua pusat melarikan diri dengan wajah berseri membiarkan para pembantunya dibabat Ciok-thouw Taihiap yang marah!

Kalau begitu, apakah orang berkedok yang aneh wataknya ini takut? Tidak Dia sama sekali tidak takut untuk berhadapan dengan pendekar sakti itu melainkan sedang menjalankan tipu muslihat lainnya yang keji. Dia sengaja membiarkan tewasnya para pembantunya itu karena diam-diam dia mendongkol terhadap mereka. Atau lebih tepat lagi mendongkol melihat ketidak-becusan meraka menghadapi lawan!

Dan keanehan watak yang tampaknya luar biasa ini memang agaknya patut dimiliki orang-orang semacam ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu. Yang tidak segan-segan mengorhankan anak buah sendiri asal mendapat ganti yang lebih seperti ketua Beng-san-pai yang gagah perkasa itu, misalnya. Akan tetapi, benarkah dia akan dapat memaksa pendekar itu dengan caranya yang licik?

Agaknya hal ini masih menjadi tanda tanya besar, mengingat watak keras kepala dan keras hatinya Si Pendekar Kapala Batu! Dan semantara dia berlari cepat memangul Lek Hui itu mendadak laki-laki berkedok ini mengeluarkan teriakan kaget. Sesosok bayangan tiba-tiba berkelebat di depannya, dan seorang kakek pendek kecil berpakaian nelayan terkekeh memanggilnya,

"Wan-sicu, perlahan dahulu. Aku ada titipan pesan untukmu!" dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang yang tidak dikenal yang menggoyang tangan dan kaki dengan sikap gembira.

Orang berkedok ini terkejut, dan otomatis diapun berhenti. Pendatang tak dikenal ini dipandang heran, akan tetapi tiba-tiba dia membentak bengis, "Nelayan busuk, ada apa kau menghentikan aku? Siapa kau?"

Tapi nelayan ini terkekeh tak perduli. "Wan-sicu, perlahan dulu, jangan marah-marah. Aku tidak bermaksud mengganggumu melainkan sekedar hendak menyampaikan pesan seseorang kepadamu. Bukankah kau adalah penghuni Pulau Hek-kwi-to?"

Orang berkedok itu tersentak kaget. Dia membelalakkan muka dan kedok yang menutup mukanya itu tampak bergetar hebat. Akan tetapi hanya sejenak dia terkejut karena tiba-tiba dengan mata berkilat ketua Hiat-goan-pang ini membentak "Orang she Phoa, kaukah kiranya ini?"

Dan kakek berpakaian nelayan itu tertawa. "Heh matamu awas sekali, Wan-sicu, sungguh mengagumkan! Lohu memang benar Phoa-lojin adanya, dan kuharap pertemuan kita ini tidak membawa ketegangan. Aku sekedar menyampaikan pesan untukmu, Wan-sicu, dari Han-taihiap...!"

Kakek itu berhenti sejenak melihat reaksi lawan dan si orang berkedok yang mendengar perkataannya itu tiba-tiba menggeram. Dia mendelik kepada kakek Phoa ini, dan Phoa yang tersenyum-senyum tenang itu mendadak mendapatkan jawaban yang dingin.

"Orang she Phoa, jangan kau ikut campur masalah ini. Ini adalah masalah berdua kakak beradik. Apakah hendak mencari penyakit? Enyahlah, sampaikan kepada Han-suheng bahwa aku tidak mau kembali ke Pulau Hek-kwi-to dan dialah yang seharusnya menggantikan aku di sana!"

Kakek Phoa tertawa pahit. "Wan-sicu, aku memang tidak mau ikut campur masalahmu dengan suhengmu sendiri, Han-taihiap itu. Akan tetapi sepak terjangmu akhir-akhir ini bukankah sudah menjurus pada kepentingan luar? Kau telah memercikkan api keonaran di dunia kang-ouw, mendirikan Perkumpulan Gelang Berdarah untuk mengacau dunia. Dan bersama orang dari Kerajaan Wu kau menciptakan permusuhan yang bakal mengorbankan orang banyak!, Bagaimana untuk ini lohu bisa diam? Tidak, Wan-sicu kau harus membubarkan semuanya itu dan menghadap suhengmu untuk meminta maaf sebelum segalanya menjadi besar!"

"Hm, kau manusia sombong, nelayan she Phoa, manusia bermulut besar!" Orang berkedok membentak marah dengan mata mendelik. "Bagaimana kau hendak menyuruhku munghadap suheng? Dengan kepandaianmu yang seperti itu? Ha-ha... kau jangan mengimpi, orang she Phoa. Wan Lui sekarang bukanlah Wan Lui duapuluhan tahun yang lampau. Han-suheng sendiri belum tentu dapat menundukkan aku. Lihat...!"

Ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu tiba tiba menggerakkan jarinya dan kakek Phoa yang ada di depan sekonyong-konyong dituding. Tampaknya tidak ada keistimewaan apa-apa dalam gerakan ini, tapi begitu kakek Phoa memandang sekonyong konyong sinar merah berkelebat menyambar dahinya disusul suara mencicit. "Crit...!"

Kakek Phoa terkejut bukan main dan sambil berseru kaget nelayan dari Pulau Cemara ini melempar tubuhnya ke kiri. Dan hebat akibatnya. Pohon yang ada di belakang tubuhnya menjadi sasaran dan ketika kakek itu menoleh tampaklah olehnya sebuah lubang sebesar telunjuk jari menembus bolong sampai di bagian lainnya seperti dibakar.

"Ah, Ang-hwi-ci (Jari Api Merah)...!" kakek Phoa membelalakkan matanya dan ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu tertawa bergelak.

"Ya, orang she Phoa. Apakah kau sekarang masih berani berlagak lagi di depanku? Ha-ha, pergilah, nelayan sial... pergilah mumpung aku belum menghendaki nyawamu sungguh-sungguh!" laki-laki ini tampak sombong dengan kesaktiannya itu tapi kakek Phoa tiba-tiba tertawa menimpali.

"Heh-heh, kemajuanmu memang hebat, Wan-sicu. Tapi barangkali ucapanmu yang terakhir belum dapat dibuktikan. Dengan sungguh-sungguh atau tidak sungguh-sungguh kau tentu belum mampu menghendaki nyawaku, karena garis umur orang she Phoa masih panjang. Eh, Wan-sicu, bagaimana kalau kita tukar-tukaran saja? Aku memenuhi permintaanmu untuk melepas murid Ciok thouw Taihiap itu. Nah, bagaimana, Wan-sicu?"

Kakek Phoa tersenyum memandang lawannya, tapi orang berkedok bemama Wan Lui ini menggeram dengan sinar meta berkilat. "Phoa-lojin, sudah kuduga ke situlah tentu akhirnya kau membuka kartu. Dan beralasan membawa-bawa nama Han-suheng kau sengaja menghadang perjalananku. Eh, nelayan tidak tahu diri, apakah kau tahu apa akibat permintaanmu itu?"

Kakek Phoa tertawa. "Tentu saja, Wan-sicu. Kau tentu akan menyerangku dengan Jari Api Merahmu yang hebat itu. Tapi aku tidak takut. Tubuhku sudah gatal-gatal ingin merasakan kelihaianmu itu. Duapuluh tahun tidak jumpa sungguh membuat aku gembira sekali, Wan-sicu, dan aku ingin main-main denganmu….!"

"Hm, kau mencari penyakit, nelayan she Phoa. Tapi keinginan hatimu pasti kupenuhi. Terimalah….!" Wan Lui tiba-tiba membentak dan sekali menuding sekonyong-konyong jari saktinya bergerak ke arah kakek Phoa. Sinar merah yang lebih terang berkelebat menyambar dada si ahli gwa-mia (nujum), dan kakek Phoa yang mendapat serangan itu berteriak keras. Kakek ini mau coba-coba, maka ketika sinar merah itu menyambar dadanya tiba-tiba dia mencabut benda persegi empat dan sekaligus menangkis dengan cepat.

Gerakan tangannya yang amat sigap membuat orang tidak tahu benda apakah yang dicabutnya itu, tapi melihat kilauan putih yang berkelebat di depan dadanya orang dapat menduga bahwa benda itu agaknya sejenis papan baja. Dan itu memang benar. Benda yang dibawa oleh kakek dari Pulau Cemara ini bukan lain adalah papan catur istimewa yang terbuat dari kepingan baja, maka begitu kakek itu menangkis Jari Api Merah yang menyambar dadanya terdengarlah ledakan keras disusul muncratnya bunga api.

"Prangg....!" sinar merah itu bertemu papan baja dan kakek Phoa yang menangkis dengan "tameng"nya yang aneh itu mendadak berseru kaget. Sinar Ang-hwi-ci menembus papan caturnya, dan kepingan baja yang tertusuk itu meluncur terus menghantam ulu hatinya.

"Haii…?!" kakek Phoa berseru kaget dan secepat kilat dia membanting diri. Papan catur yang ada di tangan dilontarkan ke atas, lalu sambil bergulingan seperti trenggiling dikejar setan dia melompat bangun menyambar papan bajanya yang sudah berlubang. Gebrakan ini berlangsung cepat dan tahu-tahu kakek Phoa sudah menyingkir sepuluh tombak lebih dari si orang berkedok yang tertawa bergelak!

"Ha-ha, masih coba-coba lagi, nelayan she Phoa?" ketua Perkumpulan Gdang Berdarah itu tertawa mongejek. "Kalau begitu mari kita main-main sebentar. Lun-ji, terima murid Ciok-thouw Taihiap ini selama gurumu bertanding....!"

Wan Lui melempar tubuh Lek Hu kepada muridnya dan Kui Lun yang semenjak tadi menonton dengan alis berkerut itu cepat menerima. Degan ringan dia menangkap tubuh yang berat sebesar gajah itu dan suhunya yang sudah me langkah maju sambil tertawa-tawa itu tampak memandang si nelayan she Phoa dengan mata berkilat bengis.

Kakek Phoa tampak tergetar, dan wajah si nelayan tua yang berubah pucat itu kelihatan jerih. Dia memang terkesiap kaget oleh gebrakan yang kedua kalinya itu, dan bukti papan bajanya yang berlubang oleh serangan Jari Api Merah benar-benar menunjukkan kelihaian lawan yang amat mengerikan itu. Tapi kakek Phoa bukanlah seorang penakut. Meskipun betul dia terkejut oleh kesaktian lawan namun kakek ini adalah seorang yang was-pada. Karena itu begitu si penghuni Pulau Hek-kwi-to ini melangkah menghampirinya tiba-tiba dia mencabut senjatanya yang lain yang amat istimewa sekali. Sebuah tangkai pancing berikut mata kailnya! Dan begitu kakek ini mencabut pancingnya si ketua Perkumpulan Gelang berdarah tertawa mengejek.

"Ha-ha, kau hendak mengandalkan pancingmu itu, orang she Pho? Bagus dan kujamin kailnya nanti bakal mengorek biji matamu sendiri. Hem, nelayan busuk, sekarang aku tahu pula bahwa agaknya engkaulah yang telah membantu murid Ciok thouw Taihiap itu dalam pertandingan catur. Kau telah berdiri di belakang layar, dan kemenanganku yang sudah di ambang mata kau hancurkan dengan licik. Tidak malukah kau orang she Phoa?"

Kakek ini terkekeh kecil. "Wan-sicu, jangan memutarbalikkan fakta. Kalau kau dalam pertandingan pertama tidak melakukan kecurangan barangkali aku tidak ikut campur. Tapi kau telah melakukan pelanggaran itu. Kau mempengaruhi pikiran murid si Pendekar Kepala Batu dalam gebrakan melawan muridmu. Dan kau mempunyai maksud-maksud keji terhadap Beng-san-paicu! Hm, mana bisa lohu berdiam diri?'"

"Bagus, kau rupanya orang yang suka mencampuri urusan orang lain, Phoa-lojin. Dan jangan salahkan aku kalau hari ini aku akan membunuhmu!" Wan Lui membentak.

"Ah, jangan tergesa-gesa, Wan-sicu. Kulihat garis umurku masih panjang!" Kakek Phoa tertawa.

"Baik, kalau begitu mari kita buktikan sekarang. Crit...!" ketua Perkumpulan Gelang berdarah itu tiba-tiba menggerakkan jari tangannya dan Phoa tojin yang ada di depan tidak diajaknya bicara lagi. Dia terlampau marah terhadap nelayan yang satu ini, dan karena itu tanpa banyak cakap lagi diapun menyerang lawan dengan jari saktinya. Sinar merah berkelebat lebih menyilaukan, dan kakek Phoa yang merasakan berhahayanya serangan itu tidak berani main-main lagi.

Kakek ini melompat, dan jarak mereka yang da lima tombak itu diawalinya dengan gentakan tangkai pancingnya. Sambil mengelak diapun coba-coba balas menyerang. Tapi begitu gebrakan ini terjadi lagi-lagi kakek Phoa terkejut. Jari Api Merah mencicit di atas kepalanya, tanda mengenai angin kosong, tapi mata kailnya yang menyambar pinggang lawan sekonyong-konyong disambut sinar merah lain yang digerakkan tangan kiri lawan.

Dan itulah yang membuatnya terkejut karena begitu senar pancingnya menyambar pada saat itu pulalah cahaya Ang-hwi-ci di tangan kiri sang ketua Perkumpulan Gelang Berdarah menangkis. Kakek Phoa hendak menarik tali pancingnya, tapi sayang... gerakannya kalah cepat. Jari Api Merah di tangan kiri si ketua Perkumpulan Hiat-goan-pang itu telah memotong tali pancingnya, dan begitu terdengar suara "crit" yang perlahan sekali tahu-tahu putuslah senar pancng si kakek Phoa!

"Aihh...!" kakek Phoa berseru kaget dan senjatanya yang tidak bermata kail lagi membuat dia tertegun. Tapi begitu kakek ini terbelalak sekonyong-konyong si orang berkedok tertawa mengejek. Jari tangan kanannya yang luput mengenai sasaran pertama tiba-tiba sudah digerakkan lagi, dan cahaya merah yang seperti lidah naga sekonyong-konyong menyambar dahi kakek Phoa. Dan begitu serangan jari kanan ini dimulai tiba-tiba telunjuk kiri yang tadi memotong tali pancing si kakek dari Pulau Cemara melesat ke arah leper Phoa-lojin dengan kecepatan kilat.

Dua serangan berbareng sekaligus menyambar diri si tukang gwa-mia, dan kakek Phoa yang mendapat serangan susul-menyusul itu mencelos kaget. Dia sedang tertegun oleh putusnya senar pancing, dan sekarang tiba-tiba saja dua sinar merah menyambar dirinya. Karena itu, siapa tidak bakalan terkesiap? Maka kakek Phoa lalu menangkis dengan papan bajanya di tangan kiri dan membabatkan tangkai pancingnya di tangan kanan. Dia melakukan gerakan ini dengan gugup, tapi itupun agaknya sudah cukup menyelamatkan jiwanya.

Papan baja yang disambar sinar merah dari telunjuk kiri sang ketua Perkumpulan Gelang Berdarah tampak meledak, dan kakek Phoa yang cepat membanting tubuh itu hampir saja terpelanting. Lengannya tergetar hebat, dan papan baja yang kembali berlubang diserang Jari Api Merah itu hampir saja terlepas sementara tangkai pancingnya yang menangkis sinar ke dua patah menjadi dua.

"Kraakk....!" kakek Phoa bergulingan membawa tangkai pancingnya yang tinggal separoh dan ketika kakek itu melompat bangun tiba-tiba saja bayangan siorang berkedok berkelebat di depan matanya. Ketua Perkumpulan Golang Berdarah ini tampaknya mengerikan, karena kakek Phoa yang baru melompat berdiri itu tahu-tahu disambutnya dengan kekeh keji. Tali pancing yang tadi diputusnya dengan sinar Ang-hwi-ci itu mendadak sudah berada di tangan kanannya dan sambil tertawa menyeramkan dia mengejek lawannya,

"Nelayan she Phoa, masihkah kau mengandalkan garis umurmu? Lihat, aku hendak mencokel biji matalmu dengan mata kailmu ini dan sekaligus mengiriinkan nyawamu ke dasar neraka. Pergilah..l"

Bekas penghuni Pulau Hek-kwi-to itu membentak keras dan mata pancing yang ada di tangannya sekonyong-konyong menyambar mata kiri si kakek dari Pulau Cemara sementara kaki kananya menendang dada dengan mata berkilat kejam. Dan tak dapat disangsikan kakek Phoa yang sudah diambang pintu maut itu memang benar bakal melayang jiwanya oleh serangan mematikan ini. Dia baru saja melompat bangun dan lawan yang tahu-tahu sudah berada di depan mata dengan serangannya yang amat berbahaya itu tak dapat dielakkannya.

Tapi apa yang terjadi pada detik-detik yang amat menegangkan itu sungguh mengejutkan. Kakek Phoa yang terbelalak tanpa mengedipkan mata ini sekonyong-konyong disambar angin yang dahsyat sekali dari samping kanannya, dan sebuah bentakan lantang mendadak terdengar disusul berkelebatnya sebuah bayangan menangkis tendangan si ketua Hiat-goan-pang.

"Wan-susiok, jangan menurunkan tangan keji...!" dan tahu-tahu seorang pemuda gagah perkasa mengulurkan lengannya membentur kaki si laki-laki berkedok.

"Dukk....!" Lengan dan kaki itu sama terpental dan orang she Wan yang merasakan getaran kuat pada adu tenaga itu berseru kaget. Dia cepat melompat ke belakang, dan setelah kini dia dapat memandang muka pendatang baru itu sang ketua Perkumpulan Gelang Berdarah ini mengeluarkan gerengan marah.

Kiranya di depan mereka berdiri seorang pemuda tinggi besar yang wajahnya tampan dan gagah, tapi alis matanya yang berkerut tidak senang itu memancarkan cahaya aneh yang penuh wibawa. Dan kakek Phoa sendiri yang melihat munculnya pendatang baru itu berseru girang dengan wajah berseri,

"Yap-goanswe, kaukah kiranya ini?"

Dan pemuda itu memutar tubuh dengan sikap tenang. "Phoa-locianpwe, harap jangan panggil lagi aku jenderal. Aku adalah orang biasa, bukan pemimpin pasukan lagi. Apakah kau terluka, locianpwe?"

"Ha-ha-ha, tidak Yap-goanswe eh, Pendekar Gurun Neraka. Tapi aku hanya terkejut saja melihat kehebatan susiokmu ini! Eh, Wan-sicu, bagaimanakah dengan ramalanku tadi? Bukankah benar bahwa garis umurku masih panjang? Dan sekarang lihat, keponakan muridmu datang sendiri, membantu aku! Ha-ha, kalau ini bukannya nasib mau dikata apa lagi?" kakek Phoa tertawa dengan wajah gembira dan si orang berkedok yang mendengar kata-katanya itu tampak berapi-api sinar matanya.

Ketua Perkumpulan Gelang Berdarah ini melangkah maju, tapi belum din berkata sesuatu tiba-tiba muridnya yang semenjak tadi berdiri menonton mendadak melompat mendahului dengan bentakannya yang mengejutkan,

"Suhu, jangan hadapi manusia jahanam ini. Berikan dia kepadaku!" dan dengan mata merah terbakar serta kaki menggigil Kui Lun tiba-tiba menghadang di antara subunya sambil menyerahkan Lek Hui. Pemuda itu tampak beringas, dan sikapnya yang amat menyeramkan serta mata yang berkilat-kilat itu mendadak menjadikannya seakan-akan seekor harimau buas yang haus darah.

Dan Pendekar Gurun Neraka yang menghadapi lawan yang penuh kebencian memandangnya ini tertegun. "Saudara Kui Lun, mau apakah kau?" pendekar itu bertanya lirih dan Kui Lun menatap gusar.

"Orang she Yap, apakah kau tidak merasa berhutang jiwa kepadaku? Kau telah membunuh adikku, dan untuk ini aku harus menuntut balas!" Kul Lun membentak.

"Hm, itu adalah urusan lama, saudara Kui Lan. Urusan yang sama-sama kita ketahui duduk porsoalannya. Mengapa kau hendak melempar tuduhan kosong ini kepadaku? Kau tahu bahwa mendiang Li-moi tidak dibunuh siapapun, dan kita tidak seharusnya menggali-gali persoalan itu lagi! Saudara Kui Lun, apakah kau tega membuat adikmu itu menangis di alam baka? Orang yang sudah menderita seperti itu tidak sepatutnya kau tambahi lagi dengan pelampiasan dendam yang tiada arahnya!"

"Keparat, kau hendak mengelak dari tanggung jawabmu, Pendekar Gurun Neraka? Mengelak dari segala tuduhan bahwa engkaulah biang keladinya yang membuat adikku tewas?" Kui Lun mengepal tinju dengan tubuh menggigil.

"Jangan emosionil, saudara Kui Lun, redakan dahulu api kemarahanmu itu. Aku tidak mengelak dari tanggung jawab atas semua perbuatan yang telah kulakukan. Akan tetapi tanggung jawab yang bagaimana inilah yang harus didudukkan pada proporsi yang sebenarnya. Apakah setiap tuduhan harus pula diikuti hukuman membabi-buta? Kalau itu yang kau lakukan maka berarti kau sedang gelap pikiran, saudara Kui Lun. Kau harus sadar dari kesesatan ini!"

"Jahanam, kau hendak mengkhotbahi aku, Pendekar Gurun Neraka? Keparat, kalau begitu terimalah ini, jangan banyak bicara lagi. Haitt..!" Kui Lun tiba-tiba melolos pedangnya dan sinar kebiruan menyambar pundak lawannya dengan kecepatan kilat. ItuIah senjata warisan Mo-i Thai-houw, guru pertama putera mendiang Panglima Ok ini.

Dan Bu Kong yang diserang dengan ganas itu semakin dalam mengerutkan alisnya. Wajah pendekar muda ini tiba-tiba menjadi muram, dan bibir yang terkatup tanda tidak senang itu tampak berketruk. Dia tidak mengelak dari sambaran senjata ini, melainkan menggerakkan tangan kirinya menampar dengan seruan perlahan. "Saudara Kui Lun, jangan mengumbar api kebencian mu di sini. Sadar dan lihatlah persoalannya dengan terang. Plak..!"

Pedang itu tertangkis dan Kui Lun yang terpental tangannya itu melengking marah. Bekas murid mendiang Mo-i Thai-houw itu berteriak keras, dan senjatanya yang terpental itu tiba-tiba diputar menjadi segunduk sinar pelangi yang mengelilingi tubuh lawan. Itulah ilmu pedangnya warisan si nenek iblis Mo-i Thai-houw yang bernama Jeng-ging Toat-beng Kiam-sut (Ilmu Pedang Seribu Pelangi Pencabut Nyawa).

Dan Pendekar Gurun Neraka yang mendapat serangan gencar dari ilmu pedang yang amat hebat ini semakin gelap mukanya. Dia tahu akan ganasnya ilmu pedang ini, dan dia tahu pula betapa dahulu gurunya sendiri hampir binasa oleh serangan Jeng-ging Toat-beng Kiam-sut yang dimainkan nenek iblis Mo-i Thai-houw (baca Hancumya Sebuah Kerajaan). Maka begitu pemuda ini mengeluarkan ilmunya yang amat berbahaya tiba-tiba Bu Kong membentak marah.

Gulungan sinar pedang sekonyong-konyong dikebut lengan bajunya, dan begitu sinar pelangi ini buyar dalam sekejap pendekar dari Gurun Neraka itu mendadak berkelebat ke depan. Tangan yang kanan diulur menangkap pedang, sedang tangan yang kiri melakukan totokan di bawah leher. Itulah penyelesaian yang mungkin secepatnya dapat dilakukan, tapi bekas jenderal muda yang hampir berhasil melaksanakan penyelesaiannya ini mendadak berseru kaget.

Tangan kanan yang sudah mencengkeram pedang sekonyong-konyong disambut benda hitam dari samping kiri, dan tangan kiri yang menotok atas pundak itu tiba-tiba mendapat sambutan senjata rahasia dari samping kanan. Itulah serangan lingkar membalik dari pelepasan senjata am-gi (senjata gelap) yang hanya mampu dilakukan oleh seorang yang amat lihai saja dan Pendekar Gurun Neraka yang mendapat serangan curang itu terkesiap kaget.

Dia sebenarnya tidak takut segala macam senjata rahasia, tapi bunyi mencicit yang menyertai senjata-senjata gelap itu membuatnya tersentak karena maklum bahwa serangan curang itu dilontarkan seseorang yang memiliki tenaga sinkang mujijat. Dan untuk ini, tentu saja dia tidak berani sembrono. Kekuatan dirinya sendiri pada saat itu sedang terpecah, karena sedang dilancarkan untuk menundukkan murid mendiang Mo-i Thai-houw itu. Dan sekarang, menghadapi serangan curang yang amat berbahaya ini tentu saja bekas jenderal muda itu tidak mau ambil resiko.

Pedang yang sudah dicengkeram terpaksa dilepas, dan tangan kanan yang sedang terulur ke depan itu sekonyong-konyong membalik. Am-gi yang menyambar tangannya secepat kilat ditangkap, dan tangan kiri yang melakukan totokan ke bawah leher diganti kepalan tinju memukul pundak kanan dengan tenaga setengah bagian.

"Plak-dukk..!"

Dua suara itu hampir berbareng terdengar dan Kui Lun yang dipukul pundaknya mengeluh tertahan. Pemuda itu terlempar, dan pundaknya yang dihantam Pendekar Gurun Neraka serasa remuk. Dia terguling-guling dengan mulut memaki kalang-kabut sementara Pendekar Gurun Neraka sendiri sudah berdiri tertegun memandang senjata rahasia yang ada di telapak tangannya.

"Toat-beng-cui!" bekas jenderal muda itu mendesis lirih dan si ketua Perkumpulan Gelang Berdarah yang dipandang tampak tertawa bergelak dengan mulut menyeringai lebar.

"Ha-ha, bocah she Yap, jadi kau sudah tahu bahwa itu adalah senjata rahasiaku? Bagus, dan ketahuilah pula bahwa barang siapa yang telah melihat senjata itu berarti dia harus mati. Kau telah memata-matai jejakku selama berbulan-bulan, dan untuk ini aku terpaksa membunuh dua orang pembantuku di kota Hang-loh, kakek The bersaudara. Dan sekarang kau menolong pula si nelayan she Phoa itu dari kematiannya. Aih, bocah tak tahu diuntung, apakah kau memang sengaja hendak melawan susiokmu ini? Hm, kau benar-benar anak yang sombong sekali, dan Han-suheng agaknya tidak pernah mengajar adat kepadamu!"

Laki-laki berkedok itu menggeram dan tiba-tiba dia melangkah maju. Mata yang bersinar seperti iblis itu tampak berkilat keji, dan Bu Kong yang melihat susioknya ini menghampirinya tiba-tiba mengedikkan kepala dengan mata mencorong.

"Wan-susiok, kau sungguh terlalu sekali membuat onar di dunia kang-ouw. Kau telah mengumpulkan orang-orang sesat untuk membantumu mendirikan Perkumpulan Gelang Berdarah, dan suhu yang mendengar hal ini sungguh merasa kecewa sekali. Apakah susiok tidak menyadari semua kesesatan ini selama di Pulau Hek-kwi-to?"

Laki-laki berkedok itu mendelik. "Bocah kurang ajar, apakah hakmu menggurui susiok sendiri? Hek-kwi-to bukan tempatku yang enak, melainkan untuk kalian berdualah tempat itu diberikan. Kau tahu apa tentang siapa yang kecewa dan tidak kecewa?"

Bu Kong tersenyum dingin. "Wan-susiok, aku tidak diminta suhu untuk melawanmu, melainkan meminta dengan hormat agar susiok mau bersamaku menghadap suhu. Apakah susiok tidak keberatan memenuhi permintaan ini?"

"Hm, kau agaknya telah merasa menjadi jago, bocah she Yap, dan rupanya kau juga telah diberi wewenang untuk memaksa susiokmu ini jika dia menolak. Begitukah, anak ingusan?"

Bu Kong tertawa getir. "Aku tidak berani berkata seperti itu, Wan-susiok. Semuanya kuserahkan kepadamu saja."

"Baiklah....!" tiba-tiba ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu membentak. "Aku ingin memenuhi Han-suheng sambil membawa kepalamu, bocah she Yap. Jagalah!"

Laki-laki berkedok itu mendadak menggerakkan jarinya dan sinar Ang-hwi-ci muncul menyambar mata kiri Bu Kong dengan kecepatan kilat. Tapi murid Malaikat Gurun Neraka ini sudah sejak tadi memasang kewaspadaan dirinya, maka begitu susioknya itu menyerang diapun cepat menyambut. Tangan kirinya diangkat, dan begitu sinar merah jari Api Sakti itu menyambar ke arahnya tiba-tiba dari telapak tangan kirinya muncul sebuah sinar putih mencuit perlahan. "Critt...!" Dua sinar itu saling bentrok dan ledakan seperti dua batu yang saling bentur di tengah udara terdengar nyaring. Si laki-laki borkedok tampak terkejut, dan mulutnya yang mengeluarkan seruan kaget menunjukkan keheranannya.

"Pek-kung-ci (Jari Sinar Putih)...!"

Dan Bu Kong yang mondengar seruan susioknya itu tersenyum kecil. "Ya, sekedar mengimbangi Ang-hwi-ci, Wan-susiok!"

"Hm, bagus, rupanya kau telah cukup dibekali Han-suheng untuk menandingiku, bocah she Yap. Marilah rasakan kelihaian susiokmu yang berikutnya ini. Awas!"

Ketua Perkumpulan Gelang Berdarah tampaknya semakin marah dan begitu ucapann selesai tiba tiba dia menggerakkan kesepuluh jari tangannya. Dan hebat serangan kedua ini. Sepuluh sinar merah tiba-tiba meluncur dari sepuluh ujung jarinya. dan Bu Kong yang mendapat serangan paman gurunya itu tiba tiba merendahkan tubuh. Dia tidak mengelak, melainkan menyambut dan tenaga saktinya Pek-kong Sin-kang (Tenaga Sakti Sinar Putih) dan begitu pemuda itu menggerakkan kedua tangannya ke depan sekonyong-konyong sepuluh sinar putih berkeredep pula menyambar sepuluh sinar merah yang menyambar dirinya.

"Blar blarr...!" Dua cahaya putih dan merah itu mengeluarkan ledakan di tengah udara dan ketua Perkumpulan Gelang Berdarah yang mendapat tolakan tenaga Pek-kong Sin-kang dari Pendekar Gurun Neraka ini berteriak kaget. Serangan jari saktinya pecah berantakan, dan tenaga tolak yang dahsyat membuat dirinya terangkat naik terpental setombak lebih!

"Aihh....!" orang berkedok itu berseru tertahan dan Bu Kong yang sedikit bergoyang tubuhnya di depan sana itu dipandang tertegun. Dia seakan tak percaya oleh kenyataan ini, tapi begitu sadar tiba-tiba dia berteriak melengking dengan suara seperti singa meraung. Ketua Perkumpulan Gelang Berdarah ini berkelebat dan Pendekar Gurun Neraka yang masih bergoyang dengan mata terbelalak itu tiba-tiba dihantam tengkuknya.

Hebat serangan ini, dan lebih hebat lagi kecepatan gerak yang dilakukan oleh bekas penghuni Pulau Hek kwi-to itu. Bu Kong yang masih belum berdiri mantap akibat menahan serangan Jari Api Merah tahu-tahu harus menerima pukulan pada tengkuknya, dan karena dia tidak sempat mengelak maka pemuda itu mengerahkan Sinkangnya sepenuh tenaga.

"Dukk...!" Pukulan sisi telapak tangan miring itu mendarat di tengkuk sang Pendekar Gurun Neraka dan Bu Kong yang menerima hantaman tangan susioknya ini tergetar hebat. Pemuda itu terbanting, tapi susioknya yang marah ini tidak memberi ampun. Kaki yang melayang tiba-tiba menendang dada pemuda itu din Bu Kong yang masih belum sempat bernapas panjang tahu-tahu kembali menerima dupakan paman gurunya.

"Dess..!" Kali ini sang Pendekar Gurun Neraka mengeluh dan Bu Kong yang tertendang dadanya itu terguling-guling. Dia merasa napasnya sesak, tapi kekuatan tenaga sinkangnya yang bekerja otomatis telah melindungi rongga dadanya. Karena itu bekas jenderal muda ini tidak terluka.

Dan ketua Perkumpulan Golang Berdarah yang melihat kekuatan murid keponakannya itu menggeram marah. Dia melompat lagi untuk menyusuli serangan ketiga kalinya, dan tangan kirinya yang tiba-tiba berubah merah seperti bara api itu tahu-tahu mencengkeram jalan darah Pi-iceh-hiat di ubun-ubun Bu Kong. Itulah jalan darah kematian, dan Bu Kong yang memiliki macam kekebalan model apapun pasti bakal celaka sekali tersentuh oleh jari-jari tangan susioknya. Apalagi ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu sedang mengerahkan kekuatan ilmunya yang disebut Hwi-sin-kang (Tenaga Inti Api)!

Maka Bu Kong yang melihat keganasan paman gurunya ini tiba-tiba membentak keras dan berseru marah, "Wan-susiok, kau keji...!" lalu secepat kilat dia menangkis cengkeraman paman gurunya itu sambil melakukan gerak Le-hi-ta-tang atau ikan Lele melejit yang membuat dia mampu melompat bangun.

"Plakk...!" Cengkeraman maut pada ubun-uhun kepalanya itu berhasil ditangkis dan paman guru serta murid keponakan yang sudah adu cengkeraman ini tampak saling terbelalak. Wan Lui terkejut melihat pemuda itu berhasil menyelamatkan kepalanya sedangkan Bu Kong tak menyangka akan kekejian paman gurunya. Karena itu mereka lalu saling tangkap dan cengkeraman yang bertemu dengan cengkeraman itu lalu menjadi adu tenaga. Si orang berkedok mempergunakan Tenaga inti Api yang membuat tangannya seperti bara di tungku besi sedangkan murid keponakannya mengerahkan tenaga Jit-yang Sin-kang (Tenaga Inti Matahari).

Dan hebat sekali kesudahan adu tenaga ini. Wan Lui yang semula tersenyum mengejek dengan muka dingin itu sekonyong-konyong menjerit tertahan. Tangan kirinya yang merah seperti api itu mendadak bertemu dengan jari-jari keponakan muridnya yang maha dahsyat, maha panas dan jauh lebih merah di banding jari-jari tangannya sendiri. Dan yang lebih mengejutkan lagi, tenaga Hwi-sin-kangnya mendadak tersedot ke dalam tangan murid keponakannya!

"Haii...?!" ketua Perkumpulan (Gelang Berdarah itu berteriak kaget dan ketika dia memandang kiranya jari-jari tangan murid keponakannya ini sudah berubah jingga lalu putih berkilau seperti sinar perak matahari yang muncul di langit timur.

"Ah, Jit-yang Sin-kang...!" bekas penghuni Pulau Hek-kwi-to ini berseru pucat dan dengan muka kaget bukan main sekonyorg-ko-nyong dia meronta hebat. Tangan kiri mereka yang saling cengkeram tiba-tiba dia betot. Dan tangan kanan yang sudah membentuk dua jari menegang itu sekonyong-konyong dia tusukkan ko mata Pendekar Guruir Neraka. Dan belum cukup dengan semuanya ini mendadak kakinya ikut pula bakerja menendang anggauta rahasia Bu Kong.

Hebat dan mengerikan sekali serangan ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu. Dan Bu Kong yang melihat keganasan susioknya yang keji ini membentak perlahan. Dia cepat melepas cengkeramannya pada jari-jari tangan sang paman guru dan ketika kedua jari telunjuk dan tengah itu menusuk matanya dia sudah merendahkan kepala sambil menangkis tendangan di bawah pusamya.

"Dukk...!" Tenaga Jit-yang Sin-kang bertemu kaki sang ketua Perkumpulan Gelang Berdarah dan bekas penghuni Hek-kwi-to yang masih mempergunakan tenaga Hwi-sin-kangnya itu terlempar bergulingan dengan pekik marahnya. Dia terlempar seperti trenggiling bergulingan dan kulit kakinya yang hangus bertemu telapak murid keponakannya ini tampak merah terbakar.

"Keparat…!" laki-laki berkedok yang menjadi ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu menggereng dan tubuh yang menggelinding berputar-putar itu akhirnya melompat bangun dan menggigil. Dia tampak gusar bukan kepalang dan Bu Kong yang dipandang rendah itu seolah-olah hendak ditelannya.

Tapi pemuda tinggi besar ini tenang-tenang saja, dan pakaiannya yang kotor penuh debu akibat terbanting tadi dikebut-kebutkannya perlahan. "Wan-susiok, kau benar-benar telengas sekali. Apakah permintaan begitu saja harus kau balas dengan merenggut nyawa orang lain? Hm. kau benar-benar keji, susiok, dan aku jadi bertekad untuk membawamu menghadap suhu Kau terlalu mudah menurunkan tangan maut, dan aku tidak bisa diam lag!"

"Ha-ha-ha, kau hendak membawa susiokmu ini kepada gurumu, Yap Bu Kong?" ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu taba-tiba tertawa bergelak mendengar kata-kata murid keponakan-nya ini. "Wah, kau benar bocah bermulut sombong. Apakah kau kira dengan memiliki Jin-yang Sin-kang lalu boleh bersikap seperti itu terhadap paman gurumu? Anak tak tahu diri. susiokmu ini masih tangguh untuk menghadapi Jit yang Sin-kang mu. Lihatlah....!"

Ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu tiba-tiba mengguncang tubuhnya dan sambil membentak seperti baruang haus darah sekonyong-konyong dia menepuk kedua tangannya tiga kali. Berturut-turut ledakan seperti petir terdengar menggelegar di tempat itu dan ketika tepukan itu selesai tiba-tiba tampaklah cahaya kehijauan muncrat di sekeliling laki-jaki ini. Asap yang aneh membubung sejenak, dan ketika asap itu hilang tiba-tiba tampaklah tubuh si ketua Perkumpulan Gelang Berdarah ini sudah menjadi hijau seperti pakaiannya!

"Wahh!" kakek Phoa yang semenjak tadi menonton pertandingan di pinggir tiba-tiba, berteriak kaget. Dia memang terkejut oleh kejadian yang ular biasa didepannya ini, karena dia dapat mengetahui adannya unsur-unsur ilmu hitam yang dipergunakan oleh ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu.

Dan Bu Kong yang melihat perbuatan susioknya itu juga tampak terkejut. Pemuda tinggi besar ini tertegun, tapi dia yang tidak tahu paman gurunya itu sedang meggunakan ilmu apa jadi terkesiap di tempatnya saja. Dia hanya terbelalak memandang, dan susioknya yang sudah mirip iblis berkulit hijau itu tiba-tiba melangkah lebar menghampirinya sambil tertawa menyeramkan. Laki-laki ini sudah tidak tampak sebagai manusia lagi, dan matanya yang marah menyala dengan sikap mengerikan itu benar-benar tampak buas sekali. Bu Kong tercekat, dan paman gurunya yang melangkah lebar itu mengguncang tubuhnya.

"Ha-ha, anak ingusan, hayo serang susiokmu ini dengan Jit-yang Sin-kang. Hayo lihat, apakah paman gurumu bakal terlempar lagi. Kalau benar, kau memang jugoan besar. Tapi kalau tidak aku teutu akan membunuhmu....!" Ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu tiba-tiba melompat dengan tangan terulur ke depan.

Dan Bu Kong yang diserang paman gurunya itu cepat membentak sambil menolakkan kedua lengannya. Dia mengerahkan tenaga Jit-yang Sin kang karena hanya dengan kekuatan itulah dia mampu menundukkan susioknya. Tapi apa yang terjadi sekarang ini sungguh mengejutkan sekali. Jit-yang Sin-kang membentur tubuh susioknya, tapi pekik seperti tadi kali ini tak terdengar. Susioknya itu di sambar cahaya putih yang panasnya luar biasa, tapi dia sama sekali tidak hangus terbakar, malah tertawa bergelak dengan suaranya yang gemuruh. Sinar Inti Matahati tepat mengenai dadanya, namun bekas penghuni Hek-kwi-to itu hanya terpental saja, sama sekali tidak terluka!

"Blarr...!" dada yang dihantam pukulan Jit-yang Sin-king itu mengumpulkan asap dan ketua Perkumpulan Gelang Berdarah ini tertawa menggelegar. Dia terpental saking kuatnya tenaga tolak yang dilontarkan muiid keponakannya inu, tapi luka hangus yang seperti tadi dialaminya pada kaki kiri sama sekali tidak ada. Tubuhnya tiba-tiba saja menjadi kebal, dan kekebalan yang mengandung kekuatan gaib dari sinar hijau ini temyata hebat sekali.

"Hoat-lek-kim-ciong-ko...!" akhirnya pendekar ini berseru kaget dan paman gurunya yang mendengar seruan itu terkekeh.

"Ya, Hoat-lek-kim-ciong-ko, bocah she Yap. Dan aku memperolehnya di Pulau Hek-kwi-to, Ha ha, apakah kau masih tidak mau menyerahkan kepalamu untuk kubawa menghadap Han-suheng?"

Laki itu menyeringai dengan sikap menyeramkan dan Bu Kong yang mendengar pengakuan susioknya itu berdiri bulu tengkuknya. Dia tidak mengira bahwa susioknya itu telah mempelajari Hoat-lek-kim-ciong-ko (sejenis kekebalan berdasarkan ilmu gaib), dan bahwa dia harus menghadapi ilmu hitam seperti itu sungguh membuat dia jadi tertegun. Dan susioknya yang tertawa dengan mata seperti iblis itu sungguh tampak mengerikan.

Maka Bu Kong jadi terbelalak di tempatnya berdiri, dan perasaannya yang mulai berdebar melihat kesaktian susioknya ini berdetak dengan sikap tegang. Sekaranglah dia membuktikan kebenaran cerita suhunya, bahwa betapa berbahaya dan ganasnya paman guru yang satu ini. Dan bahwa betapa tenaga saktinya Jit-yang Sin kang tidak mampu melukai laki laki yang menjadi susioknya itu sungguh membuat dia jadi bingung. Maka Bu Kong terkesima di tempatnya berdiri dan otaknya yang tiba-tiba menjadi beku sejenak itu membuat dia tidak dapat berpikir jernih.

Tapi saat itu tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat. Sesosok tubuh tinggi besar berjubah kuning tahu-tahu muncul di tengah mereka, dan seorang hwesio dengan sikapnya yang penuh wibawa berseru lembut, "Wan-sicu, apakah betul keberhasilan ilmu melatih Hoat-lek-kim ciong-ko itu berasal di Putau Hek-kwi-to? Pinceng melihat murid luar pinceng tergeletak di lembah Hwe-seng-kok...!"

Dan di tempat itu tahu-tahu seorang hwesio tinggi besar tersenyum memandang sang ketua Perkumpulan. Gelang Berdarah. Kedatangannya yang seperti iblis mengejutkan semua orang, tapi si ketua Perkumpulan Gelang Berdarah yang melihat munculnya pendatang baru ini tampak mencelat mundur.

"Pak-kut Hosiang...!" laki-laki berkedok itu berseru kaget dan hwesio tinggi besar ini menganggukkan kepalanya sambil memberi hormat.

"Ya, pinceng adanya, Wan-sicu. Bagaimana dengan pertanggangan jawabmu tentang murid luar pinceng Si Unta Terbang tampak terkapar di mulut Hwe-seng-kok, dan pinceng jadi sedih melihat kematiannya yang mengenaskan itu. Omitohud…."

Pendeta Buddha ini menundukkan kepalanya sekejap akan tetapi tiba-tiba diapun sudah memandang orang dengan mata bersinar keren. Agung dan penuh wibawa sikap hwesio tinggi besar itu, dan si ketua Perkumpulan Gelang berdarah yang tadi kelihatan beringas sekonyong-konyong tampak gelisah. Dia tertawa dibuat-buat, dan Bu Kong yang melihat sikap susioknya yang aneh ini tertegun heran.

"Pek-kut Hosiang..." demikian susioknya itu berkata hambar, "Apa yang kau maksud dengan lembah Hwe-seng-kok segala? Aku tidak tahu tentang itu dan aku juga heran mendengar tuntutanmu tentang pertanggungan jawab! Apa yang kau kehendaki?"

Hwesio int tersenyum getir. "Wan-sicu, tidak biasanya kau berbohong bila ditanyai orang. Kenapa kali ini hendak mengelak? Kau telah membunuh murid luarku, si Unta Terbang yang mencuri kitab pusaka. Dan kau telah membawa pula kitab-kitab itu. Untuk tanganmu yang ganas membunuh murid luarku biarlah kita selesaikan saja, karena murid luarku itu telah melakukan pengkhianatan yang patut menerima hukuman berat. Tetapi, kitab-kitab dari Bu-tek-thi-pah-ong itu mana boleh kau kangkangi, Wan-sicu? Itu adalah pusaka perguruan Go-bi dan siapapun tidak boleh merampasnya. Di lembah Hwe-seng-kok kau telah mempelajari ilmu-ilmu di dalam kitab itu. Tapi agaknya ada beberapa yang membuat kau tersesat. Dan kekebalan-Hoat-lek-kim-ciong-ko inipun adalah salah satu bukti bahwa kau telah tersesat mempelajari warisan ilmu kebal dari kitab pusaka Bu-tek-thi-pah-ong itul"

"Hem...!" si ketua Perkumpulan Gelang Berdarah tampak tertegun tapi mukanya yang tertutup kedok itu tidak kelihatan bagaimana reaksinya. Dan Pek-kut Hosiang yang melihat lawannya tidak membuka suara lalu melangkah maju. Hwesio ini mengebutkan lengan jubahnya dengan sabar, kemudian dengan sungguh-sungguh pula ia melanjutkan.

"Dan semua itu dapat mencelakakan dirimu sendiri, Wan-sicu. Karena di samping membuat pikiranmu semakin gelap juga pengaruh lembah Hwe-seng-kok telah menjadikan tubuhmu kejangkitan hawa hitam. Kau telah memasuki lembah itu dengan langkah yang salah, dan kalau tidak menggenggam Pi tok-cu kau tentu telah binasa di perut lembah!"

"Ah…!" si penghuni Hek-kwi-to surut ke belakang dan matanya yang semakin terbelalak memandang hwesio tinggi besar itu tampak berkilat geram. Dia hendak melompat marah, tapi tiba tiba lengkingan tinggi disusul bentakan seseorang terdengar di hutan itu.

"Manusia she Wan, di mana kau menyembunyikan muridku? Hayo cepat kembalikan muridku itu kalau kau tidak ingin merasakan kelihaian Ciok-thouw Taihiap. "Krakk!" sebatang pohon roboh dipukul seseorang dan Pendekar Kepala Batu tahu-tahu muncul dengan muka merah padam. Itulah ketua Bang-san-pai yang sedang beringas dan si laki-laki berkedok yang melihat munculnya pendekar berkepala gundul itu tampak terkejut.

Dia belum menyelesaikan pertandingannya dengan Pendekar Gurun Neraka, karena datang si hwesio berjubah kuning dari Go-bi. Dan belum dia menyelesaikan urusannya dengan dua orang itu mendadak saja si Pendekar Kepala Batu muncul! Sialan, kenapa tiga orang itu bisa datang bersamaan? Maka si ketua Perkumpulan Gelang Berdarah yang cerdik ini sudah mengambil keputusan cepat. Menghadapi seorang lawan seorang dia tidak takut, kecuali mungkin terhadap Pek-kut Hosiang yang mengetahui rahasia dirinya itu. Tapi kalau harus menghadapi tiga lawan sekaligus inilah satu pekerjaan yang bukan main beratnya. Karena itu, begitu melihat hwesio Go-bi ini muncul disusul hadirnya si ketua Beng-san-pai tiba-tiba saja sang ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu membanting tiga benda hitam di atas tanah.

"Pek-kut Ho-siang jangan melempar fitnah kepada orang she Wan. Aku tidak tahu apa-apa tentang murid luarmu itu ataupun macam kitab pusaka. Kalau kau tidak terima boleh datang di puri Naga. Aku menunggu kedatanganmu. Blarr...!"

Tiga granat tangan disambitkan oleh ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu dan Pek-kut Hosiang yang melihat sambaran senjata peledak ini berteriak, "Awas, Bik-lik-cu (Granat Tangan)....!"

Dan semua orangpun sudah melompat jauh menghindarkan diri. Kakek Phoa melayang naik ke atas pohon sedangkan Pek-kut Hosiang serta Ciok-thouw Taihiap yang baru datang berjungkir balik sambil mendorongkan lengan mereka memukul pecahan granat yang tajam serta berasap tebal. Sementara Bu Kong yang berdekatan jaraknya dengan Lek Hui yang masih pingsan sudah menyambar murid Ciok-thow Taihiap itu dengan kecepatan ginkangnya.

Dan kini selamatlah mereka semua oleh serangan tak diduga-duga itu dan Bu Kong yang melihat susioknya dengan keji melempar sebuah granat ke arah Lek Hui yang masih pingsan diam-diam mengertakkan giginya. Hampir saja dia terlambat, dan kalau Lek Hui sampai tertimpa senjata peledak itu pastilah hancur tubuhnya berkeping-keping. Keji...!