Pendekar Kepala Batu Jilid 22 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 22
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Kepala Batu Karya Batara
"CIT..." asap mengepul dan dua tenaga sakti yang tidak tampak pandangan mata ini bentrok di udara. Ciok-thouw Taihiap tergetar jarinya dan terbelalak kaget sedangkan lawannya berseru tertahan dengan muka berubah. Pertemuan dua kekuatan mujijat itu sama-sama mengejutkan masing-masing pihak, tapi Ciok -thouw Taihiap yang tidak bermaksud menotok sungguh-sungguh ini tiba-tiba membentak perlahan sambil menggerakkan tangan kirinya. Lawan yang sedang tertegun tahu-tahu dicengkeram mukanya, dan sekali renggut tentu kedoknya bakal terbuka!

Akan tetapi si laki-laki aneh itu ternyata benar-benar lihai. Dia tidak tampak gugup mendapat serangan tiba-tiba ini, melainkan tertawa dengan suara tidak dibuat-buat. Lengan Ciok-thouw Taihiap yang diulur untuk menyambar kedoknya itu di sambut dengan tangkisan lengan kirinya, dan karena masing-masing pihak bergerak sama cepat maka benturan kedua kalinya inipun tak dapat dihindarkan lagi.

"Dukk!" Suara yang menggetarkan tanah di sekitar mereka itu benar-benar mengejutkan semua orang dan Ciok-thouw Taihiap yang kembali gagal dalam serangannya yang ke dua ini tersentak. Ketua Beng-san-pai itu terdorong mundur setengah tindak sedangkan lawannya itu terhuyung ke belakang setengah langkah. Nyata, kekuatan mereka kiranya seri! Dan Ciok thouw-Taihiap yang terkejut bukan main itu tiba-tiba merasa gembira. Ketua Beng-san-pai ini tertawa bergelak, dan matanya yang berkilat girang itu seolah mendapat kebabagiaan besar!

"Ha-ha, orang she Wan, kau kiranya kakap bukan sembarang kakap. Dua kali pertempuran tenaga kita menunjukkan bahwa kau cukup berharga untuk menjadi teman bermainku. Marilah, maju ke mari dan kita tentukan siapa yang lebih unggul di antara kita berdua, ha-ha!"

Pendekar kepala gundul itu menyingsingkan lengan bajunya dengan wajah berseri tapi si laki-laki berkedok karet menggoyangkan tangannya. "Beng-san-paicu, bukan maksudku untuk mengukur kepandaian di tempat ini. Kita sedang bertaruh dalam permainan catur, mengapa hendak mengadu tenaga? Tidak, hal itu bisa kita rundingkan nanti. Yang penting adalah penerimaanmu, apakah mau bertanding catur dengan syarat-syarat seperti yang telah kuusulkan? Mengadu otot adalah persoalan gampang, tapi mengadu kecerdikan otak adalah di atas segala-galanya. Bagaimana, Beng-san-paicu, kau berani menerimanya?"

Ciok-thouw Taihiap mengangguk gembira. "Boleh... boleh, orang she Wan, kau cukup berbobot untuk menjadi lawanku. Tapi apakah syarat-syarat yang hendak kau ajukan itu?"

"Hm, ini sebaiknya dibuka apabila salah satu pihak memperoleh kemenangan Beng-san-paicu, sementara kita masih belum bertanding sebaiknya dirahasiahn dulu. Aku tidak ingin mengetahui syarat-syaratmu kalau kau menang dan kaupun juga tidak usah bertanya apa syarat-syaratku kalau aku yang menang. Masing-masing pihak sebaiknya berdiam diri dengan segala akalnya, dan siapa yang unggul itulah yang menang. Bagaimana, Beng-san-paicu, kau berani menerima taruhan ini?"

"Setan, kau cerdik, orang she Wan...!" Ciok-thouw Taihiap memaki. "Karena kau yang sudah bersiap terlebih dahulu dengan segala macam akal ini bukankah sudah menang di atas angin? Tidak, kau jangan mengibuliku. Pertandingan harus diketahui syarat-syarat permintaannya, dan kalau kau hendak bermain curang jangan harap bisa di depanku. Orang she Wan, katakan saja, kalau kebetulan aku yang kalah apakah yang hendak kau minta dariku? Kepala orang she Souw ini kah?"

Laki-laki yang bemama Wan Lui itu tertawa. "Ciok-thouw Taihiap, kau agaknya terlalu curiga sekali. Mana mungkin kalah bermain catur lalu hendak minta kepala orang? Ah, tidak tidak itu bukan maksudku. Kita bermain tanpa mempertaruhkan nyawa, cukup dengan kehormatan saja. Begini misalnya, umpama kau kalah, bagaimana kalau seandainya kau membantuku untuk suatu urusan penting selama satu bulan saja? Kita berdua bekerja sama, dan kalau urusan itu selesai, tidak sampai satu bulan kau bebas kembali seperti sedia kala. Itu kalau aku yang menang. Tapi kalau kau yang menang aku tidak bertanya apa yang hendak kau lakukan terhadap diriku ini. Semuanya terserah kebijaksanaanmu, dan sebagai ketua sebuah partai persilatan tentunya kau juga tidak akan sembarangan saja menghukumku. Nah, bagaimana pendapatmu?"

Ciok-thouw Taihiap mengerutkan kening. "Hm, belangmu mulai tampak, orang she Wan," pendekar kepala gundul itu berkata mengejek. "Jadi inikah maksud tujuanmu yang terselubung dalam undangan bermain catur? Kau hendak menarik diriku sebagai pembantumu, begitukah....?"

"Ah, aku tidak berani berkata seperti itu, Ciek-thouw Taihiap, karena terus terang kau barangkali tidak disebelah bawah kedudukanku. Kita agaknya seimbang, dan untuk ini sebenarnya kita tidak perlu bermusuhan. Menambah sahabat bukankah jauh lebih baik daripada menambah musuh?" laki-laki she Wan ini tertawa dan ucapan nya yang merendah tampaknya memuji Ciok-thouw Taihiap tapi kalimat "kau barangkali tidak berada di sebelah bawah kedudukanku" itu membuat merah muka Pendekar Kepala Batu ini.

Ciok-thouw Taihiap memang maklum bahwa laki-laki bernama Wan Lui itu kelihatannya bukan orang sembarang, namun bicaranya yang demikian tinggi hati itu membuatnya panas perut juga. Orang ini aneh, menyimpan rahasia misterius yang tampaknya besar. Dan dia yang ingin tahu siapa wajah di balik kedok itu jadi penasaran sekali. Baik, orang tidak mengarah nyawa dalam adu catur ini, dan dia yang mulai penasaran untuk mengetahui siapa orang bermulut besar itu sudah gatal-gatal tangannya untuk bertanding.

Tapi, apakah dijamin bahwa Wan Liu ini tidak bakalan main curang? Dia belum -mengenal lawannya itu, sebaliknya lawan telah mengenal baik siapa dia. Bagaimana kalau masih ada sesuatu yang disembunyikan lawan dalam gerak-geriknya yang penuh rahasia itu? Dan seumpama dia yang menang, cukupkah imbalannya, dengan melihat muka orang belaka? Tidakkah dia bakal ditipu mentah-mentah oleh orang ini?

Melihat kecerdikannya, Wan Liu itu jelas orang yang amat berbahaya sekali. Dan dua gebrakan "eksperimen" tadi menunjukkan bahwa orang ini memang benar-benar lihai. Tapi, apakah dia harus takut akan semuanya itu? Hem... itu benar-benar kelewat di luar garis. Kapankah Ciok-thouw Tai-hiap mengenal gentar dan takut terhadap lawan, betapapun lihainya Lawan itu? Tidak. Pertandingan adu otak itu tidak hanya sekali, melainkan lima kali.

Dan agaknya orang she Wan itu sengaja mengatur semuanya ini. Taruh kata mereka beradu seri selama empat permainan, bukankah permainan ke lima dapat dijadikan penentuan terakhir? Dan justetu agaknya hal inilah yang akan merupakan "puncak" acara di antara mereka. Baik, dia akan melayani tantangan itu dan karena hatinya sudah gatal-gatal unttik segera bertanding maka Ciok-thouw Taihiappun lalu melangkah maju.

"Sahabat she Wan, kau memang siluman ular yang cerdik sekali. Tantanganmu kuterima. Tapi kalau permintaanmu nanti keluar garis jelas bakal kutolak! Apakah kau mengerti apa yang kumaksudkan?"

Si laki-laki berkedok karet melegak kaget. "Eh, apa yang kau maksudkan, Ciok thouw Taihiap?"

Pendekar Kepala Batu menegakkan kepalanya. "Orang she Wan, kali ini aku mengajakmu bertanding dengan cara jantan. Kita berdua yang berurusan dengan permainan kita masing-masing. Jelasnya, permintaan bagi yang menang harus melibatkan diri yang kalah, tidak perlu menghukum orang-orang lain yang tidak tahu apa-apa tentang masalah. Mengertikah kau?"

Si laki-laki bemama Wan Liu itu tampak mengerutkan alis. Dia agaknya kurang setuju dengan usul Ciok-thouw Taihiap ini, tapi muridnya tiba-tiba menginjak kakinya dengan halus. "Suhu, apa yang diusulkan Ciok-thouw Tai-hiap locianpwe memang beralasan, tidak menyeret-nyaret umum? tidak beriktikad jelek, dan sudah semestinya kita menerima baik tawaran ini. Bukankah begitu, suhu?"

Orang she Wan itu tampak terkejut tapi dia tertawa gembira. "Ha- ha, kau benar, Lun-ji. Tawaran Ciok-thouw Taihiap memang masuk di akal. Kenapa aku harus keberatan? Eh, Beng-san-paicu, kami guru dan murid memang tidak beriktikad buruk, karena itu dengan senang hati kuterima usul mu ini! Nah, bisakah sekarang kita mulai?" orang itu melirik muridnya dan Lek Hui yang berdiri di samping menangkap isyarat mata yang mencurigakan dari laki-laki ini.

Karena itat Lek Hui tiba-tiba melangkah maju, dan dengan suaranya yang lantang raksasa muda ini berkata, "Suhu, kalau begitu biarkan teecu yang menjadi jagomu. Hendak kita lihat sampai dimanakah kepandaian Wan-taihiap ini? Kalau dua kali teecu kalah melawannya biarlah suhu yang maju menggantikan. Tapi kalau teecu yang menang barangkali suhu perlu mengawasi teecu dari belakang! Siapa tahu kita bakal dicurangi orang? Orang she Wan ini agaknya licik, suhu, karena itu kita perlu berhati-hati!"

Hebat dan tajam sekali kata-kata murid Ciok-thouw Taihiap itu, tapi lawan yang mendapat sikap kasar ini hanya ganda ketawa saja. Laki-laki berkedok itu sama sekali tidak menampakkan perubahan muka, hanya muridnya yang tampak tersinggung memandang Lek Hui dengan air muka berkilat. Tapi ketika si laki-laki berkedok mengamit lengannya pemuda yang dipanggil Lun-ji itu pun mengendorkan emosinya dan surut setengah tindak. Dia menyerahkah persoalan itu sepenuhnya terhadap gurunya, dan laki-laki bemama Wan Liu itu memandang kagum ke arah Lek Hui.

"Ha, muridmu ini gagah benar, Beng-san paicu, dan tampaknya berangasan juga dia. Kalau begitu, jika dia yang maju menjadi jagomu, bagaimana kalau berhadapan pula dengan muridku? mereka sama muda dan agaknya juga sama-sama bersemangat. Tapi tentang syarat pertaruhan tetap kita yang menjadi guru-gurunya yang menanggung. Bagaimana, Beng-san-paicu, kau setuju melepas muridmu?'

Ciok-thouw Taihiap tiada alasan lain. Dia memang sejak semula sudah merencanakan maksudnya itu, tapi Lek Hui yang malah kebetulan mendahuluinya itu membuat dia girang. Karena itu pendekar ini lalu mengangguk dan dengan sikap tegas dia mengiyakan.

"Baiklah, aku setuju permintaan muridku. Tapi kalau muridmu kalah barulah kau yang maju, orang she Wan!" Ciok-thouw Taihiap mulai melancarkan perang "urat syaraf" nya dan laki-laki berkedok itu tersenyum lebar.

"Jangan khawatir, Beng-san-paicu. Kalau aku yang maju kutakut muridmu yang tinggi benar itu keok dalam beberapa gebrakan saja. Sudahlah, mari kita mulai. Apakah muridmu berani pegang buah hitam?"

Ciok-thonw Taihiap mendengus. "Jangan curang, sobat. Penentuan buah hitam atau putih dipegang oleh undian. Muridku tidak biasa dibakar orang, dan permainan yang jujur harus kita ikuti. Lihat...!"

Pendekar itu sudah menyembunyikan buah hitam dan putih di kepalan tinjunya dan ketika dia menyodorkan tangan untuk dipilih maka ternyata di sini bahwa Lek Hui mendapat buah putih sedangkan lawannya mendapat buah hitam. Ini berarti kemenangan dalam membuka set pertama bagi Lek Hui dan si raksasa muda itu berseri mukanya.

"Ha-ha, sudah diramal menang, suhu, dan buah putih yang menjadi milik teecu ini pasti tidak mengecewakan kita! Eh, saudara Kui, Apakah kau tidak kecil hati dengan buah hitammu itu?" raksasa muda ini mengejek lawannya dan pemuda tampan itu menjengekkan hidungnya.

"Saudara Lek Hui, jangan buru-buru bergirang hati dulu. Hitam atau putih tidak menentukan dalam pertandingan catur, tapi otak si pemainlah yang merupakan andalan. Apakah kau cukup mahir dalam permainan ini? Kalau tidak lebih baik menonton saja, kasihan jika kau kalah!"

Lek Hui merah mukanya mendapat balasan ini dan diam-diam dia mengumpat di dalam hati-nya. Tidak dia sangka bahwa lawannya yang tampak pendiam itu ternyata pandai pula bicara, dan mereka berdua yang sudah duduk saling berhadapan itu sejenak beradu pandang. Tapi si laki-laki berkedok menepuk pundak muridnya sambil tertawa.

"Lan-ji, hayo curahkan perhatianmu pada bidak yang kau pegang. Omongan murid Souw-taihiap anggap saja angin semilir! Eh, Beng-san-paicu bukankah kita masing-masing sudah siap sebagai juri? Nah, silahkan saudara Lek Hui menjalankan caturnya kalau begitu...!"

Orang ini memandang Lek Hui dan Lek Hui tidak banyak cing-cong lagi. Buah putih yang, dia pegang sudah digerakkan, dan sekali "gebrak" dalam jurus pembukaan ini dia melangkahkan dua pionnya sekaligus di kiri kanan papan catur! Itulah pembukaan "tentara mencari kubu musuh" dan lawan Lek Hui yang dipanggil Kui Lun itu tersenyum mengejek. Pemuda ini menandingi pembukaan Lek Hui dengan langkah kuda hitamnya, dan sekali loncat dia telah menyiapkan serangan ke depan ke bidak raja.

Lek Hui ganti tersenyum sinis dan dengan cepat raksasa muda itu melangkahkan biji-biji caturnya. Lawan yang bersikap agak lambat setengah diejek, dan murid si laki-laki berkedok itu diam-diam tampaknya mendongkol. Dia mulai mengikuti permainan Lek Hui, dan dua orang muda yang kelihatannya saling gebrak dengan biji-biji catur tanpa dipikir panjang lebar itu membuat kedua guru mereka terkejut. Pemuda she Kui tampaknya kalah emosi, dan sikap serta wajah Lek Hui yang menghinanya setengah mencibir itu memanaskan perut.

Akibatnya, karena masing-masing pihak dalam permainan pertama ini bergerak sama cepat maka sebentar saja dua-duanya sudah saling terkam! Kuda Lek Hui sudah "disikat" lawan, sementara kuda lawan juga sudah "disikat" Lek Hui. Begitu Pula dengan pion, gajah serta benteng masing-masing pihak sudah saling "makan" dan akibatnya tentu saja papan catur menjadi melompong seperti ayam yang berondol bulunya! Kedua belah pihak bermain acak-acakan, dan Lek Hui yang tertawa ha-ha-he-he dengan sikapnya yang memanaskan perut itu tampak gembira larak-lirik.

Pemuda tinggi besar ini tidak perduli papan caturnya "berondol", dan tigapuluh dua biji catur hitam putih yang kini tinggal seputih buah itu disambutnya dengan ketawa gembira belaka. Kedudukan mereka sama kuat, masing-masing memiliki lima biji. Dan si laki-laki berkedok yang melihat kedudukan biji catur dua orang pemuda itu mengerayitkan keningnya. Dia melihat bahwa Lek Hui memiliki posisi yang lebih kuat, dan meskipun masing-masing pihak sama kuat karena memiliki jumlah biji catur yang sama namun sebagai orang yang mengenal baik taktik dalam permainan catur itu dia harus mengakui keunggulan murid si Pendekar Kepala Batu itu.

Karena itu dia menjadi tegang dan ketika akhirnya murid si ketua Beng-san-pai itu menyerang dengan satu langkah yang tidak terduga dengan buah menterinya, maka terkejutlah pemuda she Kui itu. Dia tersudut, buah caturnya terjebak! Dan sementara murid orang she Wan itu kebingungan mencari jalan keluar, Lek Hui sudah menutup segala penjuru dengan taktik 'mengurung raja membunuh permaisuri‘.

Celakalah sudah. Murid si orang berkedok karet itu gemrobyos. Keringatnya bercucuran tanpa disadari dan Lek Hui yang gembira melihat hasil kemenangannya ini tertawa bergelak. Si raksasa muda itu tinggal melangkahkan biji-biji caturnya tiga kali lagi dan ketika akhirnya tiga langkah itu selesai dijalankan, maka benar-benar matilah biji-biji catur lawannya yang hitam. Lek Hui mengalami kemenangan mutlak dan raja yang berhasil di 'schak mat‘ itu terbunuh tanpa daya, satu nol untuk Lek Hui.

"Ha-ha-ha, kita menang suhu. Apa kubilang tadi, bukankah kita pasti menang? Dan biji putih yang kujalankan itu memang hebat. Buah hitam saudara Kui Lun ternyata digerakkan oleh otak yang kurang mahir, dan betul juga katanya tadi kalau permainan ini ditentukan oleh otak pemainnya, bukan oleh hitam atau putihnya biji catur! Ha-ha, saudara Kui, bukankah kata-katamu itu benar belaka...?"

Lek Hui tertawa bergelak dengan sikapnya yang mengjek dan murid si orang berkedok itu merah mukanya. Dia tahu bahwa Lek Hui sengaja memanaskan perut untuk memecahkan konsentrasinya dan bahwa dalam gebrakan pertama ini dia kalah hal itu tidak dapat dipungkirinya. Karena itu dia tidak banyak komentar hanya untuk kesombongan Lek Hui ini dia berkata,

"Saudara Lek Hui, jangan kau sombong dulu. Kita baru bermain satu kali, masih ada sisanya sebanyak empat kali. Dan siapa tahu kau dalam permainan berikutnya kalah olehku? Kemenanganmu ini belum dapat diandalkan karena itu jangan besar kepala dahulu...!"

Lek Hni tertawa lagi mendengar kata-kata lawannya itu tapi tiba-tiba gurunya berseru, "Sahabat she Wan, permainan pertama sudah ada ketententuan. Bagaimana dengan janjimu tadi?"

Laki-laki bemama Wan Lui ini tersenyum. "Ciok thouw Taihiap, kuakui muridmu tidak seperti apa yang tampak di lahirnya, tapi apa perlu kubuka kedokku sekarang ini? Bagaimana kalau kedudukan berikutnya seri?"

Ciok-thouw Taihiap memandang marah. "Orang she Wan, jangan kau main gila di depanku. Kita sudah berjanji siapa yang kalah harus memenuhi permintaan yang menang. Apakah kau hendak melanggar perjanjian ini?"

"Wah-wah, jangan gusar dahulu, Beng-san-paicu. Aku hanya bertanya saja, siapa mau melanggar janji?" orang itu tertawa. "Lihatlah, kedok yang menutup mukaku akan kubuka... brett!" dia menggerakkan tangannya dan sekali renggut saja terbukalah kedok karet yang menutupi mukanya. Kini seraut wajah yang segar kemerahan tampak berseri, dan Lek Hui yang melihat ketampanan si laki-laki Wan Lui itu tertegun.

Kiranya orang ini ganteng juga, dan muka yang tampak lebih muda daripada umur sebenarnya itu benar-benar mercengangkan. Lek Hui merasa heran dan kagum, tapi gurunya mengerutkan alis dengan mata bersinar. Ketua Beng-san-pai ini menatap tajam, dan Lek Hui yang merasa aneh melihat gurunya itu tampak tidak senang tiba-tiba dikejutkan oleh bentakannya,

"Orang she Wan, kau curang...! Kenapa mukamu masih tertutup kedok juga?"

Maka Lek Hui yang mendengar bentakan ini mengeluarkan seruan kaget. Raksasa muda itu terkejut, tatapi orang yang dibentak Ciok-thouw Taihiap sendiri lebih terkejut, dibanding pemuda itu. Laki- laki ini berseru tertahan, dan matanya yang terbelalak memandang ketua Beng-san-pai itu tampak heran dan kagum!

"Aih, kau tidak percaya mukaku ini, Beng-san-paicu?" laki itu tersentak ke belakang namun Ciok-thouw Taihiap mumandang bengis.

"Jangan main gila di depanku, orang she Wan. Kau masih mengenakan kedok, apakah minta kubeset untuk membuktikan kecuranganmu ini?"

Laki-laki itu tertegun dan tiba-tiba dia tertawa gembira. "Ha-ha, kau benar-benar mengagumkan, Beng-san-paicu, matamu awas sekali, sungguh lihai...! Tapi kalau kau bilang bahwa aku curang hal ini tak dapat kuterima. Siapa yang curang dalam masalah ini? Aku sudah membuka kedokku, dan kalau aku ternyata masih berkedok juga itulah baru dapat dibuka bila kau menang untuk ke dua kalinya dalam permainan catur ini. Kita berjanji sekali menang sekali permintaan, dan itupun sudah kulakukan. Siapa bilang aku curang? Ha-ha, kau harus berpikir bijaksana, Beng-san-paicu, jangan diburu emosi belaka....!"

Ciok-thouw Taihiap tertegun oleh balasan lawannya itu dan diam-diam dia marah sekali. Omongan orang memang tak dapat disangkal, tapi siapa menduga bahwa orang itu ternyata mengenakan kedok rangkap? Dan apa maksudnya orang itu mengenakan kedok rangkap? Hm, dia ini, pasti iblis tingkat tinggi dan kecerdikannya yang amat licin ini membuat muka Ciok-thouw Taihiap merah seperti dibakar.

Ketua Beng-san-pai ini semakin waspada, dan kelicikan lawan yang amat lihai itu justeru semakin menarik hatinya untuk mengetahui siapakah gerangan orang yang bemama Wan Lui ini. Tapi Ciok-thow Taihiap bukanlah jenis orang yang berangasan. Pendekar itu sudah mencapai tingkat tertinggi dalam pengendalian hawa nafsu, maka meskipun diam-dam dia mengumpat kecurangan lawan yang betul tak juga dapat dikata "curang' ini menjadikannya untuk bicara hati-hati pada babak berikutnya.

Dia memandang lawannya itu dengan sinar mata geram, dan si laki-laki berkedok ini tersenyum lebar. "Bagaimana, Beng-san-paicu, bukankah apa yang kukatakan itu benar adanya? Nah, kalau begitu mari kita lanjutkan permainan catur ini. Muridmu berganti mainkan buah hitam dan muridku mainkan biji putih. Apakah tidak ada perubabahan di sini?"

Caok-thouw Taihiap menggeleng marah. "Tidak, muridku tetap menandingi muridmu dan sekali ini pihakmu kalah lagi kau harus membuka semua kedokmu itu, orang she Wan, tidak satu-persatu seperti cara yang licik."

"Ha-ha, itu bukan kesalahanku semata, Beng-san-paicu, mengapa hendak gusar kepadaku? Kalau seandainya kau tadi meminta agar aku menunjukkan wajah asli tentu hal itu sudah kulakukan. Tapi yang kau minta adalah membuka kedok, dan itu sudah kulakukan. Mau apa lagi?" orang ini tertawa penuh kemenangan dan Ciok-thouw Taihiap yang mendongkol hatinya itu melotot dengan tinju terkepal.

Tapi pendekar sakti ini tidak memberikan komentar, hanya keada muridnya itu dia berkata, "Hui-ji tundukkan lagi musuhmu itu dalam pertanding ke dua. Dan kalau ini berhasil kau kuberi tambahan ilmu baru!"

"Ah, baik, suhu!" Lek Hui mengiyakan girang dan dengan muka mendongkol seta terheran-heran dia mengalihkan pandangannya dari si orang berkedok itu kepada pemuda she Kui. Pemuda ini sudah duduk di depan meja catur, dan Lek Hui yang melihat lawannya itu tersenyum diam-diam memaki di dalam hati. Keparat kau, raksasa muda ini mengumpat. Orang sudah kalah kenapa berseri mukanya? Apakah geli karena suhunya dipermainkan lawan? Hem, awas kau. Sekali ini kau kalah tentu kedok gurumu itu bakal terbuka telanjang!

Maka Lek Hui yang diam-diam mendongkol seperti gurunya itu lalu tidak banyak bicara lagi dan biji-biji catur yang ada di depannya segera diatur dengan cepat. Dia mendapat biji hitam, sedangkan lawannya itu mendapat biji putih. Tapi Lek Hui tidak memperdulikan hitam atau putihnya biji catur. Lawan yang sudah keok dalam gebrakan pertama tali telah membesarkan hatinya. Dan kenyataan bahwa dia menang dengan mudah telah membuatnya sedikit besar kepala. Maka ketika lawan telah mulai bergerak lagi dan dia diserang oleh biji putih hal ini disambut Lek Hui dengan tarikan mulutnya yang memandang rendah.

Biji hitam yang ada di tangannya segera digerakkan pula, dan begitu lawan membuka posisi menyerang diapun tidak mau kalah gertak dan balas menyerang pula! Hal ini mengakibatkan permainan jadi "adu makan", tapi pemuda she Kui yang agaknya mulai berpangalaman itu ternyata kali ini tidak mau disaret Lek Hui untuk mengikuti emosinya biji catur Lek Hui yang mengajak main caplok dihindarinya dan dengan tenang serta tidak terburu-buru dia melangkahkan biji-biji catumya dengan sikap hati-hati. Karena itu sekarang gaya permainan menjadi berbeda, dan Lek Hui yang mengira lawannya itu "takut" tak terasa tertawa mengejek dengan sikap menghina.

Pemuda tinggi besar ini main cepat, dan derap biji caturnya yang seakan digarakkan tanpa banyak pikir itu merangsak terus ke depan tanpa kenal mundur. Hal ini sebenarnya berbahaya, tapi Lek Hui yang tidak mengubah gaya permainannya seperti semula itu memang sengaja mengambil resiko. Dia seakan bermain tanpa dipikir, karena hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan kepada lawan bahwa dia lebih "pintar" dari pada pemuda she Kui itu dan mengharap lawan dibikin panas perutnya. Dengan begitu kalau taktiknya ini berhasil. Lawannya itu bakal kehilangan kontrol emosi dan dengan mudah dia bakal menang kembali.

Tapi celaka. Pemuda she Kui itu ternyata cerdik. Pengalamannya pertama yang kena dikelabui sehingga mengakibatkan kekalahannya itu kini tak terjadi lagi. Lek Hui yang menggerakkan biji-biji caturnya secara "berangasan" dihadapi tenang, dan mulut yang selalu tersenyum-senyum itu menunjukkan bahwa kali ini dia tidak terpengaruh oleh sikap Lek Hui yang berusaha memanaskan perutnya. Satu demi satu dia menggerakkan biji-biji caturnya dengan mantap, dan ketika mereka mulai menginjak pada babak penentuan, tarbuktilah kini bahwa posisi Lek Hui mulai terjepit dan dia berada pada pihak yang lebih unggul!

Lek Hui terkejut melihat kenyataan ini dan diam-diam pemuda ini mengumpat. Sungguh dia tidak mengira bahwa biji caturnya yang main serang ke depan itu sekarang berbalik menghadapi "krisis kekuasaan" yang amat gawat. Kotak kotak hitam putih telah mulai dipegang lawan, dan biji-biji caturnya yang mulai terbatas ruang geraknya itu perlahan-lahan terdesak mundur. Lek Hui menjadi pucat, dan pemuda ini tiba tiba menjadi gugup. Pertahanan lawan yang tampak demikian ketat itu menggelisahkannya.

Dan ia yang main serang ke depan itu sekarang sadar akan adanya bahaya mengancam yang bakal memporak-porandakan kedudukan biji caturnya. Akan tetapi Lek Hui memang tidak kenal menyerah. Maklum bahwa dia sudah terlanjur salah raksasa muda itu memperbaiki diri. Namun sayang, semuanya itu sudah terlambat. Pemuda she Kui yang cerdik sudah mengurung seluruh jalan keluar dan akhirnya Lek Hui yang dibuat kelabakan itu menepuk dahi dengan kaget ketika sebuah menterinya yang paling diandalkan "dimakan" lawan!

"Celaka...!" Lek Hui berseru kaget dan si laki-laki berkedok tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, itu sudah nasibmu, saudara Lek Hui, kenapa harus terkejut? Lihat, otak muridku memang jauh lebih cerdik dibanding dengan otak muridmu. Kalau tidak, mana mungkin dia bisa memperoleh menterimu? Ha-ha, Ciok-thouw Taihiap kali ini kau harus menepati janji untuk membantuku selama sebulan. Dan muridmu yang berangasan itu boleh saja disuruh pulang!"

Laki laki berkedok ini tertawa bergelak dan suaranya yang menggetarkan dinding ruangan membuat Beng-san-paitu terkejut. Tapi yang paling marah agaknya Lek Hui, karena raksasa muda itu tiba-tiba bangkit berdiri dan memandang dengan mata melotot.

"Wan-locianpwe, aku masih belum kalah, pertandingan belum selesai! Siapa bilang babak ke dua ini berada pada pihakmu? Tidak, pertarungan belum selesai, dan meskipun seorang menteri hilang aku tetap bertempur sampai titik darah terakhir! Saudara Kui Lun, apakah kau kira aku bakal menyerah mentah-mentah hanya karena sebuah menteriku kau makan? Jangan mengimpi, Auw Lek Hui bukan orang yang gampang patah semangat!" lalu dengan mata berapi-api serta tinju terkepal pemuda tinggi besar itu membanting pantatnya duduk kembali.

Si laki-laki berkedok tampak tertegun, dan Ciok-thouw Taihiap yang mendengar kata-kata muridnya itu tiba-tiba tertawa. Pendekar sakti berkepala gundul itu tampak bangga, dan dengan mata bersinar-sinar dia menepuk pundak muridnya yang lebar.

"Ha-ha, bagus. Hui-ji. Aku kagum sekali akan semangatmu yang berapi-api ini. Tapi kalah menang bukankah tidak perlu disambut dengan kemarahan? Babak ke dua kau rupanya memang sedang bernasib buruk, tapi masih ada tiga babak berikutnya yang dapat memberikan kemungkinan. Untuk apa meluapkan emosi? Sudahlah, permainan ke dua ini kau putuskan saja. Pihak orang she Wan ini memang lebih unggul. Dan kita sebagai laki-laki jantan harus berani menghadapi kenyataan. Eh, orang she Wan, muridku dengau jujur mengakui kekalahannya!" Ciok thouw Taihiap berseru kepada lawan dan Lek Hui melompat kaget.

"Suhu…!" raksasa muda itu berteriak. "Kenapa tergesa-gesa? Teecu memang terjepit, tapi teecu hendak berusaha sekuat tenaga untuk memulihkan diri. Siapa tahu keadaan berbalik seratus delapanpuluh derajat? Tidak dapat menang setidak-tidaknya berusaha remis (seri)...!"

Pemuda tinggi besar itu tampak penasaran tapi Ciok-thouw Taihiap menggelengkan kepalanya dengan sikap tegas. "Hui-ji pendekar itu berkata keren. "Apa yang sudah suhumu ucapkan tidak mungkin ditarik kembali. Aku tahu bahwa kau tidak mungkin menang. Remispun juga tidak. Mengapa harus nekat? Seorang laki-laki gagah harus tahu diri dan kenekatanmu yang didorong emosi ini tidak dapat kubenarkan! Sudahlah, kita mengakui keumggulan lawan dan menyerah kalah pada babak ke dua. Ini...!"

Ciok-touw Taihiap memandang muridnya itu dan pemuda tinggi besar ini tertegun. Lek Hui tidak berani membantah lagi kalau sudah begini, dan apa yang diucapkan gurunya itu dia tahu merupakan "ultimatum". Karena itu pemuda ini lalu mendesahkan nafas penuh penyesalan dan dengan, lemas dia duduk kembali.

"Ha-ha, muridmu itu, jelek-jelek ternyata mengagumkan sekali, Ciok-thouw Taihiap, dan aku sungguh kagum dibuatnya! Eh, jadi kau mengakui keunggulan kami, Beng-san-paicu?" laki-laki ini memandang berseri ke arah lawan dan Ciok-thauw Taihiap mengangguk.

"Kami mengakui keunggulanmu pada babak ke dua„ orang she Wan, tapi belum berarti mengakui keunggulanmu pada babak-babak berikutnya. Kita masih memiliki tiga kali kesempatan bertatanding, dan untuk itu siapa pemenang sesungguhnya masih belum diketahuil"

"Ha-ha, pihak kami pasti menang, Beng-san-paicu, dan kita boleh buktikan pernyataan ini...!"

"Hm, belum tentu, orang she Wan. Jangan berbangga dulu. Apa yang tampak meyakinkan di depan mata belum tentu begitu pula kenyataannya. Sudahlah, kita lanjutkan babak ke tiga dan tidak usah banyak bicara lagi!" Ciok-thouw Taihiap tampak mendongkol dan si orang berkedok tertawa memandangnya.

"Eh, tapi janjimu tetap kau pegang, bukan, Beng san paicu? Ingat, aku menghendaki kau membantuku selama sebulan!"

Ciok-thouw Taihiap menggerakkan leher. "Orang she Wan, jangan menghinaku secara kelewatan. Ciok-thouw Taihiap bukan model orang yang suka melanggar janji. Aku menepati permintaanmu pada babak ke dua ini, tapi ingat bahwa kalau kau kalah pada bapak ke tiga akupun juga akan balas meminta sebagai imbangan. Siapa mau menarik lidah sendiri?"

"Ha-ha, bagus, Aku kagum kepadamu. Beng san-paicu dan percayalah, apabila dalam babak ke tiga ini aku kalah dengan suka hati aku akan memperlihatkan wajah asliku!"

"Hm...!" Ciok-thouw Taihiap mendengus dan dia tidak memperdulikan omongan lawalmya lagi. Lek Hui yang dipandang tampak gelap mukanya, tapi dengan ketenangan yang meyakinkan pendekar itu menyentuh pundak muridnya. "Hui-ji lanjutkan permainanmu. Jangan menyesal!" sang guru ini memberi kekuatan namun Lek Hui tiba-tiba berdiri dengan sikap tidak enak.

"Suhu, apakah perlu suhu sendiri yang turun tangan! Kalau teecu gugup lagi dikhawatirkan suhu bakal dimintai macam-macam oleh lawan kita yang licik itu!" pemuda ini memandang muram dan Ciok-thouw Taihiap terkejut. Tapi sejenak saja pendekar ini tertegun karena tiba- tiba dengan suara geli dia tertawa memandang muridnya.

"Hui-ji, kau gugup karena ceroboh. Dan kau ceroboh karena bermain tergesa-gesa. Untuk apa harus takut? Tidak, wakililah gurumu ini sekali lagi. Dan asal kau bermain tenang tentu kemenangan dapat kau raih. Untuk apa kau harus cemas? Majulah, dan surutkan emosimu itu ganti dengan pikiran dingin!" ketua Beng san-pai ini mengusap kepala muridnya dan hawa yang dingin segar tiba-tiba memasuki ubun-ubun Lek Hui.

Lek Hui tertegun, tapi tiba-tiba pemuda itu berseri mukanya. Usapan gurunya yang mengandung hawa mujijat tenaga "Im" itu seperti es saja di kepalanya yang panas terbakar, dan secara aneh tiba-tiba semua kemarahannya lenyap. Ajaib! Lek Hui tersenyum lebar dan pemuda ini sekonyong konyong tertawa. Sentuhan tangan gurunya yang demikian ampuh itu membuatnya bangkit semangat, dan ketika dia duduk lagi menghadapi biji caturnya tampaklah sekarang sorot matanya yang penuh cahaya gembira!

Tentu saja pemuda she Kui yang ada di depannya menjadi terheran-heran melihat perubahan yang amat cepat ini, tapi dia yang tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi pada diri lawannya itu hanya mendelong tidak mengerti saja. Lain halnya dengan gurunya yang bermata tajam. Laki-laki berkedok itu tampak mengerutkan alis, dan Lek Hui yang sudah duduk memasang biji-biji caturnya itu dipandang dengan peraasaan was-was.

Dia juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diri si raksasa muda itu, tapi sebagai orang yang memiliki kepandaian tinggi dia menaruh curiga pada tangan Ciok-thouw Taihiap yang menyentuh ubun-ubun muridnya tadi. Sentuhan itu tampaknya biasa-biasa, tapi bukti bahwa si tinggi besar yang masih dibakar kemarahan akibat ejekannya tadi mendadak tersenyum lebar dan bisa tertawa-tawa begitu gembira dalam waktu sekejap saja pastilah menyembunyikan sesuatu yang amat aneh.

Karena itu dia lalu melirik ke tangan Ciok-thouw Taihiap dan begitu melirik sekonyong-konyong laki-laki berkedok ini terkesiap. Matanya yang tajam melihat adanya kepulan uap tipis yang bergetar lembut pada telapak tangan Ciok-thonw Taihiap dan begitu melihat maklumlah laki-laki ini bahwa si ketua Beng-san-pai itu baru saja mengerahkan ilmunya berhawa dingin sejenis tenaga Im-kang yang disebut "Pengusap Roh Di Kabut Bersalju!"

Astaga! laki-laki berkekok ini terkejut dan dia terbelalak sekejab ke arah si pendekar berkepala gundul itu. Bukti bahwa ketua Beng-san-pai ini mampu mempergunakan ilmunya ini sungguh menunjukkan bahwa Si Pendekar Kepala Batu itu memang orang yang amat lihai sekali! Karena itu dia lalu memandang Lek Hui dan matanya yang tadi berseri mendadak berkilat aneh.

Kini dua orang muda itu sudah saling berhadapan. Lek Hui berganti memegang biji putih sedangkan lawannya memegang biji hitam. Dua-duanya sudah siap, dan Lek Hui yang tampak gembira itu tiba tiba mendapat bisikan gurunya,

"Hui-ji, kau bersikaplah yang tenang. Langkahkan caturmu dengan seksama dan kalau kau tidak terburu-buru tentu kemenangan akan mudah berada di pihakmu. Hati-hati, orang she Wan itu rupanya akan mempengaruhimu. Waspadalah…!"

Begitu suara gurunya lenyap Lek Hui lalu mengangkat muka. "Wan-locianpwe, apakah pertandingan sudah boleh dimulai?"

Dan si laki-laki berkedok tampak terkejut. "Eh, silahkan dia menjawab kaget. "Kenapa harus bertanya? Bukankah dua kali pertandingan pertama kalian tidak meminta persetujuanku?"

Dan di sini Lek Hui tiba-tiba melihat sesuatu yang aneh pada laki-laki berkedok itu. Orang ini tampak berkemak-kemik, dan ketika dia bertanya secara mendadak itu laki-laki ini tercekat seperti orang kaget. Hem, Lek Hui menyeringaikan mulutnya dan tahulah dia sekarang bahwa orang she Wan itu kiranya sedang melancarkan ilmunya Coan-im-jip-bit kepada pemuda she Kui. Persis seperti yang baru saja dilakukan gurunya terhadap dia!

Tentu pesan untuk berhati-hati dalam pertandingan babak ke tiga ini! Ha-ha, Lek Hui tertawa di dalam hati dan tak terasa pemuda itu menjadi geli. Secara bersamaan guru masing-masing pihak membisiki muridnya untuk memenangkan pertandingan, dan kalau itu dilakukan oleh guru masing-masing pihak bukankah sudah wajar?

Maka Lek Hui lalu mulai melangkahkan biji caturnya dan tidak seperti tadi yang bergerak terburu-buru, adalah sekarang pemuda itu menggerakkan biji caturnya dengan tenang. Lawan yang tidak berhasil dipengaruhi untuk bermain cepat telah terpaksa merobah taktiknya. Karena itu, Lek Hui yang tidak berani sembrono seperti babak ke dua telah bermain lambat tetapi mantap. Dan ternyata apa yang dilakukan oleh Lek Hui ini dijalankan pula oleh lawannya.

Pemuda she Kui itu tampak berpikir serius, dan senyum keramahannya yang semula tampak perlahan-lahan lenyap dari bibirnya. Masing-masing pihak berkonsentrasi penuh, dan Lek Hui yang diam-diam mendongkol hatinya untuk menebus kekalahannya pada babak ke dua itu tampak mempergunakan bermacam-macam taktik. Dia memang getol bermain catur, karena itu tidak heran kalau murid Ciok-thouw Taihiap ini seperti orang keranjingan jika melihat orang bermain catur. Akan tetapi karena lawan yang dihadapi ini ternyata juga cukup tangguh maka Lek Hui tidak berani memandang rendah lagi. Apalagi kalah menangnya juga menentukan kalah menang suhunya!

Karena itu Lek Hui amat bersungguh-sungguh. Biji caturnya main maju dan mundur dalam taktik yang diganti-ganti. Ada kalanya dia memasang kuda akan tetapi ada kalanya pula dia memasang gajah. Tapi semuanya itu pasti mengandung jebakan tersembunyi yang amat berbahaya bagi lawan. Sekali saja lawan berani makan, mengira jebakan sebagai umpan, pastilah gebrakan berikutnya bakal memburu musuh sampai ke akar-akarnya. Itulah taktik yang sering dinamakan jago-jago catur dengan istilah "memberi babi melahap naga", memberi teri memburu kakap! Dan sekali lawannya itu terjebak pastilah dia bakal binasa!

Tapi pemuda bernama Kui Lun ini cerdik juga. Pancingan-pancingan Lek Hui yang seakan disodorkan tanpa disengaja itu dielakkannya hati-hati. Dia tidak mau gegabah, dan kalau Lek Hui melancarkan taktiknya "memberi babi melahap naga" adalah pemuda itu membalasnya dengan metode "permaisuri cantik mengundang birah". Dua-duanya sama hebat, dan dua-duanya sama-sama berbahaya!

Karena itu pertandingan babak ke tiga ini menjadi seru sekali. Waktu yang dihabiskan mereka sudah mendekati dua jam, dan lawan Lek Hui yang tampak tidak sabar tiba-tiba mengerling ke-arah suhunya. Dua orang guru dan murid itu tampak berkedip, dan si laki-laki berkedok sekonyong-konyong berkumat-kamit. Lek Hui yang sedang menyeringai gembira tiba-tiba dibuat terkejut ketika telingannya mendengar bunyi mengiang-ngiang. Pertama pemuda itu mengira nyamuk yang sedang berseliweran, akan tetapi dia tertegun ketika tiba-tiba suara yang tadi mengiang-ngiang itu mendadak bergemuruh seperti air terjun!

Tentu saja murid Ciok-thouw Taihiap ini terkejut dan belum dia sadar akan apa yang terjadi sekonyong-konyong telinganya mendengar bisikan berpengaruh yang menyuruh menterinya diajukan ke depan sebagai korban! Tentu saja raksasa muda itu kaget bukan main dan belum dia sadar akan dirinya sendiri mendadak jari tangannya sudah mengangkat buah menteri itu untuk diajukan ke depan memenuhi "suara gaib" itu. Dan sekali pemuda ini sudah meletakkan buah menterinya tentu celakalah dia. Akan tetapi untunglah, pada saat itu juga terdengarlah bentakan gurunya yang berwibawa,

"Orang she Wan, jangan lakukan kecuranganmu itu. Muridku tidak akan mengorbankan menterinya memenuhi permintaanmu...!"

Dan begitu bentakan ini habis diserukan Lek Hui tersadar seperti orang diguyur air dingin. Buah menteri yang sudah diangkat jatuh kembali, dan orang she Wan yang ditegur gurunya itu nampak terkejut. Laki-laki berkedok ini tertegun, tapi tiba-tiba dia tertawa.

"Ciok-thouw Taihiap, apa yang kau tuduhkan kepadaku ini?"

Ciok-thouw Taihiap memandang keren. "Jangan berpura-pura, orang she Wan. Kau telah mempengaruhi muridku dengan pengiriman suara untuk menyerahkan menteri. Dan selama ada aku di sini jangan harap kecuranganmu itu bakal terwujud! Hui-ji, apakah tidak betul kalau kau mendapat perintah untuk mengorbankan biji caturmu?"

Lek Hui terbelalak, "Ah, betul, suhu. Tapi teecu tidak tahu suara siapakah itu karena menyelinap di antara suara mengiang-ngiang dan suara bergemuruh seperti air terjun!"

"Nah, kau mau bicara apalagi, orang she Wan?" Ciok-thouw Taihiap memandang marah. "Masih berani menyangkal perbuatanmu? Ingat, di sini tidak ada orang lain, dan kalau kau hendak mengacau muridku maka akupun juga bisa mengacau pikiran muridmu!

Pandangan bengis dari Pendekar Kepala Batu itu disambut dengan ketawa menyengir oleh laki-laki berkedok ini dan dia yang tertangkap basah oleh Ciok-thouw Taihiap itu hanya terkekeh-kekeh saja. Akal liciknya bersinar sekejap, dan teguran ketua Beng-san-pai yang pedas itu sama sekali idak membuat mukanya berubah. Bahkan, dengan cerdik dia membela diri.

"Ah, aku hanya ingin menguji kewaspadaanmu, Ciok-thouw Taihiap, sama sekali tidak bermaksud sungguh-sungguh. Kalau tidak, bukankah sejak pertama kali aku mengacau permainannya? Tapi itu tidak kulakukan, karena aku maklum bahwa muridmu memang bukan tandinganku, heh-heh...!" dia melirik Lek Hui dengan sikap mengejek dan murid Ciok-thouw Taihiap yang dihina seperti itu hampir saja naik darah. Tapi Cok-thouw Taihiap yang tahu akan hal ini cepat-cepat menepuk pundak muridnya.

"Hui-ji, jangan terbakar oleh kata-kata lawan. Dia memang sengaja hendak malepas kontrol emosimu. Jaga baik-baik biji caturmu itu dan jangan perdulikan orang she Wan ini....!"

Tepukan pendekar sakti itu menyadarkan Lek Hui dan raksasa muda yang hampir terjebak ini diam-diam mendelik. Sungguh kurang ajar, kenapa orang she Wan itu damikian curang? Dan kalau tidak ada guranya di situ barangkali dia sudah manjadi bulan-bulanan orang ini! Hm, sungguh berbahaya. Dan dia jadi ingin membanting manusia licik yang semacam itu.

Tapi Lek Hui sadar kembali dan permainan caturnya yang dilanjutkan dengan lebih hati-hati itu kini digerakkan sepenuh perhitungan. Mereka sudah menginjak babak penentuan, dan sedikit gilangguan tadi ternyata menguntungkan dirinya. Pemuda she Kui tampak gugup. Karena perbuatan Gurunya yang "konangan" alias tertangkap basah itu membuat mukanya merah. Rupanya pemuda ini dan rasa yang tidak nyaman itu ternyata merupakan gangguan "psikis" baginya. Dia salah langkah, mengajukan pion tetapi mengangkat kuda. Dan dari kesalahan inilah akhirnya Lek Hui menjebol benteng pertahanan lawan pada gebrak-gebrak berikutnya.

Jadilah sekarang point-point kemenangan bagi murid Ciok-thouw Taihiap itu. Lawan yang semula gugup tiba-tiba menjadi panik. Dan Lek Hui yang mulai mendapat titik-titik terang ini berseri mukanya. Dia tidak ragu-ragu lagi sekarang, dan biji caturnya yang terus bergerak ke depan itu menyapu seperti angin puyuh. Satu persatu biji hitam dipretelinya, dan ketika pertandingan berjalan sepuluh menit lagi akhirnya "gundul" lah perajurit-perajurit lawan. Lek Hui mengalami kemenangan mutlak, dan pada set ke empatpuluh satu saja berhasil di-"skak-maat"!

"Ha-ha, kita menang, suhu...!" pemuda tinggi besar itu bersorak girang dan Ciok-thouw Taihiap yang melihat kemenangan muridnya ini tersenyum.

Pendekar sakti itu tampak gembira, dan si laki-laki berkedok yang meringis menyaksikan kekalahan muridnya itu dipandang dengan mata bersinar. "Orang she Wan, apakah kau melihat kekalahan muridmu itu?" Ciok-thouw Taihiap bertanya perlahan dan si berkedok menyeringaikau mulutnya masam.

"Ya, aku mengakui keunggulan pihakmu pada babak ke tiga ini, Beng-san-paicu. Tapi pertandingan masih ada dua babak lagi!"

"Hm, itu urusan nanti. Yang panting, apakah kau tetap memegang janji?"

"Ah, tentu saja, Beng-san-paicu! Apakah kau kira aku seorang pengingkar?" laki-laki itu sudah meraba kedoknya untuk siap direnggut tapi Ciok-thonw Taihiap tiba-tiba menggoyang tangannya sambil tertawa mengejek.

"Nanti dulu, sahabat she Wan, jangan tergesa-gesa. Inti perjanjian kita adalah memenuhi permintaan yang diajukan oleh si pemenang. Dan karena kali ini aku yang menang maka permintaan yang kuajukan adalah..."

"Melepas kedokku ini, bukan?" laki-laki itu memotong sambil tertawa, tapi Ciok-thouw Taihiap menggelengkan kepala.

"Tidak, itu kuajukan bila aku menang pada babak-babak berikutnya. Untuk sekarang ini aku tidak meminta itu melainkan meminta agar kau mencabut permintaanmu pada babak nomor dua!"

"Hei, apa katamu, Beng-san-paicu....?" terkejut bukan main dan dia terlonjak dengan hebatnya.

Ciok-thouw Taihiap yang ada di depan dipandang terbelalak, tapi pendekar sakti dari Beng-san-pai itu tersenyum dingin. Dia tidak melotot seperti lawannya, melainkan berdiri tenang dengan mata bersinar. Dan si laki-laki berkedok ini tertegun.

"Beng-san-paicu!" dia mengulang dengan suara serak. "Apakah yang kau minta ini tidak berarti menjilat ludahmu sendiri? Kau sudah berjanji untuk membantuku, dan itu tidak mungkin ditarik kembalil"

"Hm...!" Ciok-thouw Taihiap melangkah maju. "Memang tidak mungkin kutarik kembali kalau permainan kita hanya dua babak, orang she Wan. Tapi kau tahu sendiri bahwa kita sudah saling sepakat untuk bermain sampai lima babak. Dan siapa kalah dia harus menyerah, tanpa syarat, apapun yang diminta oleh pihak si pemenang! Apakah kau tidak bisa memenuhi permintaanku ini? Kalau kau menolak berarti kau melanggar janji, orang she Wan, dan terhadap manusia-manusia yang melanggar janji aku juga tidak segan-segan untuk mengimbanginya!"

"Ahh...!" si laki-laki bernama Wan Lui itu terkejut dan dia memandang ketua Beng-san-pai itu dengan mata marah.

Tapi Ciok-thouw Taihiap yang berdiri tenang di depannya ini memang tidak bisa dibantah, dan keputusan tinggal di telapak tangannya. Dia menolak berarti Ciok-thouw Taihiap juga akan membatalkan perjanjiannya pada babak ke dua sedangkan dia menerima berarti lawannya itu "lepas" pula dari ikatan bulusnya. Setan! Laki-laki ini akhirnya mengumpat dan kecerdikan Ciok-touw Taihiap yang sungguh tidak disangka itu membuat dia membanting kaki dengan mata melotot. Akan tetapi akhirnya dia tertawa bergelak dan Ciok-thouw Taihiap yang dipandang melotot itu dipujinya.

"Beng-san-paicu, kau sungguh licik dan cerdik sekali! Bagaimana kau sampai hati menyudutkan orang seperti aku ini sedemikian rupa? Aih, siluman kau semoga terkutuk oleh biangnya iblis dasar neraka!"

Orang berkedok itu terkekeh-kekeh namun sinar matanya yang gemas tapi penuh kagum tak dapat disembunyikan ketika memandang ketua beng-san-pai ini. Sedang Ciok-thouw Taihiap sendiri yang dimaki lawannya hanya tersenyum tak acuh. Pendekar itu tertawa mengejek, dan kata-kata lawannya dibalas jengekan.

"Hm, bukan aku yang licik, orang she Wan, melainkan engkaulah. Aku hanya belajar darimu, maka jangan mencari kambing hitam!" dan si orang berkedok itupun hanya tertawa ha-ha-he-he saja.

"Baiklah, kau memang cerdik, Beng-san-paicu, dan kita rupanya mendapat lawan setimpal. Eh, sekarang apakah muridmu itu tetap maju ke depan? Aku ingin coba-coba, dan babak ke empat ini aku tampil sebagai jagonya! Apakah muridmu itu berani melawanku?"

Laki-laki ini mendorong muridnya dan pemuda she Kui yang duduk di kursinya tiba-tiba terpental keluar. Pemuda itu tampak terkejut, akan tetapi gurunya yang tertawa-tawa menggantikannya itu kelihatan tidak perduli. Dia malah mungibaskan lengannya ke belakang, dan sang murid yang tampak terbelalak itu diperintah.

"Lun-ji, pergi kau ke kamar belakang. Ambilkan pipa cangklongku berikut tempat abunya. Cepat, suhumu sudah gatal kerongkongannya nih!" dan pemuda yang tertegun di tempatnya itu tiba-tiba mendapat kedipan rahasia yang tidak dilihat oleh Ciok-thouw Taihiap maupun muridnya yang tinggi besar.

Maka pemuda inipun lalu mengangguk, dan dengan muka berseri tiba-tiba dia mohon pamit kepada dua orang tamunya untuk menuju ke belakang sebentar. Ciok-thouw Taihiap menanggapinya secara acuh tak acuh sedangkan Lek Hui mengerutkan kening sedikit curiga, tapi gurunya tiba-tiba menepuk bahunya.

"Hui-ji, apakah kau tidak letih? Kalau kau capai mundurlah, biar suhumu yang menghadapi lawan yang masih segar ini. Tua sama tua barang-kali lebih mengasyikkan daripada tua melawan muda..."

Tapi Lek Hui menggelengkan kepala. "Suhu, teecu ingin bertanding sekali lagi. Kalau teecu kalah biarlah suhu yang tampil ke depan. Bukankah kita masih memiliki satu babak lagi?"

"Hm, tapi kau sudah memforsir otakmu tiga kali berturtit-turut. Hui-ji. Bagaimana hendak bertanding lagi? Sebaiknya kau beristirahat saja, dan biarkan suhumu yang menggantikan permainanmu."

Lek Hui tampak mengangkat alis, dan tiba-tiba dia mengisyaratkan sebelah matanya kepada sang guru. "Suhu, teecu mohon biarlah sekali ini saja teecu bertanding lagi. Kalau teecu kalah suhu masih dapat memperbaikinya pada pertandingan terakhir. Bukankah suhu tidak keberatan?"

Pemuda itu mengejapkan mata dan Ciok-thouw Taihiap yang merasa heran ini mendadak tersenyum. "Begitukah kemauanmu, Hui ji? Baiklah, kau bertandinglah sungguh-sungguh dan engkau pasti tidak kalah dengan lawanmu yang baru!"

Ciok thouw Taihiap tampak berseri dan Lek Hui yang melihat isyarat matanya dimengeiti oleh sang guru tersenyum lega. Tapi si laki-laki berkedok tiba-tiba tertawa, dan sindirannya yang blak-blakan mengejutkan dua orang guru dan murid itu.

"Ha-ha, muridmu ini ternyata cerdik juga, Beng-san-paicu, dan aku tidak mengira akan taktiknya yang lihai ini. Sungguh pintar! Dengan membiarkan dia bertarung melawan si tolol Wan Lui ini bukankah berarti memberi kesempatan kepadamu untuk mengenal gaya permainanku? Dan sekali kau mengenal kuncinya tentu orang Wan ini bakal tak berkutik. Wah, sungguh kalian guru dan murid orang-orang yang jempolan sekali, hebat dan mengagumkan... ha-ha!"

Laki -laki itu tertawa bergelak dan Ciok-thouw Taihiap yang mendengar ucapan itu bergetar roman mukanya. Pendekar itu turkejut, tapi lawan yang pura-pura tidak mengetahui kekagetannya ini sudah memasang biji-biji caturnya sambil terkekeh. Dan pada saat itu masuklah pemuda she Kui yang membawa cangklong panjang dengan sebuah asbak menghampirinya.

"Suhu, tembakaunya sudah sekalian kumasukkan. Apakah kurang padat atau terlalu longgar?"

Si laki-laki berkedok memandang berseri. "Lun-ji, sudahkah kau siapkan arak pula untuk tamu- tamu kita? Bermain catur dengan kerongkongan kerirg begini sungguh tidak enak sekali. Eh, Ciok-thouw Taihiap, maaf bahwa aku suka mengisap tembakau. Apakah kau ingin arak wangi ataukah minuman lain?"

Namun Ciok-thouw Taihiap memandang tajam. "Orang she Wan, kami guru dan murid tidak biasa menerima suguhan lawan yang belum dikenal. Karena itu maaf saja bahwa kami menolak tawaranmu ini! Dan tentang mengisap tembakau, hem…. boleh saja asal tidak mengandung maksud lain…!"

"Ha-ha, kau kira asap tembakau ku bakal mempengaruhi muridmu, Beng-san-pai-cu? Wah, kalau begitu kau saja yang maju, suruh muridmu itu mundur!"

Lek Hui tiba-tiba bangkit berdiri. "Wan-locianpwe, kecurangan apapun jangan harap dapat kau lakukan di sini selama suhuku masih ada. Dan kalau kau ingin kita bermain jujur, nah, berlakulah secara jantan. Aku tidak takut segala asap tembakaumu itu!"

"Ha-ha, begitukah, anak muda? Bagus, kau patut menjadi murid Ciok-thouw Taihiap yang gagah perkasa! Eh, Lun-ji, kesinikan api geretannya, aku ingin menyegarkan semangatku..!" laki-laki tertawa gembira dan Ciok-thouw Taihiap yang terkejut mendengar kesembronoan muridnya itu mengerutkam alis dengan muka gelap.

Dia melihat orang memasang pipa cangklongnya, dan ketika pemuda she Kui itu menyulutkan api geretanya pada ujung tembakau segeralah asap yang harum segar memenuhi udara di sekitar mereka. Hidung pendekar sakti ini segera bekerja, dan begitu membaui asap yang tampak tidak mencurigakan ini ketua Beng-san-pai itu justeru mengenyitkan keningnya. Dia Sudah terlalu curiga terhadap lawan, dan karena itu dia tiba-tiba mengebutkan saputangannya.

"Hui-ji, pakai ini untuk menyegarkan paru-parumu. Dan kalau kau merasa pusing dengan asap tembakau berhentilah. Kita tidak boleh membiarkan lawan bermain curang...!"

Lek Hui menyambut sapu tangan gurunya itu si berkedok yang melihat kecurigaan orang tersenyum pahit.

"Wah, kalian rupanya kelewat curiga, Beng-san-paicu, dan aku jadi tidak enak hati kalau begini. Apakah tembakauku kubuang saja kalau begitu?"

Ciok--thouw Taihiap mendengus. "Tidak perlu berpura-pura, orang she Wan. Kau isaplah sepuasmu tembakau cangklongmu itu. Muridku telah bersiap-siap, dan segala macam racun apapun kiranya tidak akan berguna bagi kami!"

"Hai, betulkah itu? Bagus, mari kita mulai kalau begitu! Eh, Beng-san-paicu, apakah tetap keputusanmu untuk membiaikan muridmu ini bertanding denganku? Kalau kau hendak merobah pendapat silahkan maju sendiri, aku masih siap menunggu!"

Tapi Ciok-thouw Taihiap menggeleng tegas. "Tidak, muridku telah minta perkenan, dan aku telah menyetujuinya, Mana bisa mengecewakan murid sendiri? Apa yang sudah kusetujui tidak mungkin kutarik kembalil"

"Ha-ha, bogus, dan kau hendak menonton pertandingan ini, Beng san-paicu? menyelidiki gaya permainanku? Boleh boleh... aku tidak takut!" laki laki itu tertawa memanaskan perut dan Ciok-t iouw Taihiap yang dua kali disindir seperti ini menjadi merah mukanya.

"Orang she Wan, kau kira ilmu bermain caturmu sudah sedemikian hebat, ya? Huh, tanpa menontonpun aku bisa mengalahkanmu. Baik, aku berdiri membelakangi kalian dan dengan telingaku-pun aku bakal mengetahui setiap kecuranganmu. Awas!" Ciok-thouw Taihiap membalikkan tubuh dan dengan jengkel dia benar-benar tidak mau menonton pertandingan itu. Aneh!

Tapi si laki-laki berkedok malah tersenyum gembira. Dia berseri mukanya dan tiba-tiba diapun membalas sikap Ciok-thouw Taihiap ini. "Beng-san paicu, jangan kira aku bertindak kelewatan. Karena kau tidak mau melihat maka akupun juga tidak mau bermain utuh. Lihat, seekor kudaku kukeluarkan untuk kemenangan muridmu...!" dan benar-benar dia lalu mengangkat seekor kudanya dari papan catur sebagai "voor" terhadap Lek Hui. Hebat!

Lek Hui tercengang melihat kesombongan lawannya ini dan Ciok thouw Taihiap juga tertegun. Tapi raksasa muda ini yang justru gembira melihat perbuatan lawannya itu tiba-tiba sudah tertawa mengejek. "Wan-locianpwe, kau sendiri yang mengeluarkan kudamu dari bidaknya. Kalau kau kalah harap jangan menyalahkan orang lain. Tapi aku bukan orang yang gampang diberi kemurahan. Kalau kau takut kembalikanlah, jangan kelewat sombong!" Pemuda itu memandang lawan dengan mata bersinar-sinar, tapi si orang berkedok malah terkekeh.

"Saudara Lek Hui, jangan hiraukan kesombonganku ini. Kau sudah bermain tiga kali berturut-turut, dan kau tentu lelah. Karena itu aku hanya mengimbangi keadaanmu itu dan percayalah, kau juga belum tentu menangkan aku!"

Lek Hui menjadi marah dan dia lalu mendengus. "Wan-locianpwe, kau tampaknya orang yang tekebur sekali. Baik, mari kita mulai kalau begitu...! dan dengan sedikit mendongkol raksasa tinggi besar itupun melangkahkan biji caturnya dengan hentakan kasar.

Si laki-laki berkedok tertawa memanaskan perut dan Lek Hui yang sudah menggerakkan biji caturnya itu dibalas dengan permainan tenang tapi tidak nampak bersungguh-sungguh. Buah hitamnya digerakkan asal jadi, dan permainan Lek Hui yang berjalan serius itu diganda ketawa belaka. Hal ini membuat Lek Hui ini mendongkol tetapi maklum bahwa lawan memang sengaja hendak membuat dia gusar agar kehilangan kontrol emosi tak jadi dihiraukan.

Lawannya itu bersikap acuh tak acuh, dan Lek Hui yang dipandang rendah tertawa mengojek di dalam hatinya, Biarlah biarlah lawan menghinanya sedemikian rupa. Dan dia tidak akan masuk perangkapnya. Asal dia bermain hati-hati, bukankah kemenangan bakal diperolehnya? Apa lagi lawan telah memberinya "kemurahan" dengan seekor kuda. Sikap yang amat jumawa sekali.

Maka Lek Hui yang dipandang rendah itu lalu memusatkan seluruh kepandaiannya untuk menyerang lawan. Biji putih yang diperolehnya itu dimainkan dengan seksama, dan petak demi petak dia lalui dengan barisan perwira serta perajurit. Satu demi satu dia mengeluarkan kekuatan tempurnya, dan ketika mereka sudah sama-sama bergerak ke depan maka penuhlah papan catur oleh hitam putih yang saling berhadapan.

Kini mereka masing-mashg mulai melancarkan taktik serangannya. Lek Hui bergerak menurut aturan "memasang perajurit menangkap perwira" sedangkan lawannya memasang taktik yang membuat pemuda itu terheran-heran tapi tidak mengerti. Si laki-laki berkedok ini bergaya aneh, dan biji-biji catur ya yang bergerak asal jadi itu tampaknya seperti orang mabok yang berjalan sempoyongan.

Akan tetapi Lek Hui yang tidak menghiraukan keadaan lawannya itu tidak perduli. Dia terus saja dengan caranya yang diandalkan, dan lawan yang bergerak seperti orang mabok itu justeru membuatnya girang. Murid Ciok-thouw Taihiap kit mulai berseri, dan barisan caturnya yang berderap ke kubu musuh itu perlahan-lahan memasuki babak penentuan. Tapi tiba-tiba Lek Hui terkejut. Benteng lawan yang hampir dikurung mendadak melejitkan sebuah gajah pada petak putih dan begitu gajah ini meluncur sekonyong-konyong saja buah menterinya diserang. Astaga!

Lek Hui terbelalak dan kekagetannya yang sekejap itu membuat dia hampir saja tersirap. Namun untunglah,dia dapat menggeser menterinya itu menghindar dan begitu melangkahkan diri ke kanan tiga petak Lek Hui merasa dirinya aman. Akan tetapi... astaga setan keparat, dia tiba-tiba diserang lagi oleh kuda lawan yang tinggal satu-satunya. Kuda itu melompat, dan begitu mengancam lagi-lagi buah menterinya itu diincar! Raksasa muda ini benar-benar kaget sekali sekarang dan buah menterinya yang dalam bahaya itu secepat kilat ditarik mundur. Dia terbelalak ke arah si laki-laki berkedok ini dan orang she Wan itu tertawa bergelak.

"Ha-ha, kau menyembunyikan menterimu, saudara Lek Hui? Bagus, dan sekarang barisan caturmu tidak ada panglimanya lagi. Lihat, gaya permainanku akan mendobrak bala tentaramu!"

Dan begitu ucapan ini selesai majulah barisan armada musuh. Perajurit serta perwira mulai melompat-lompat, dan buah catur Lek Hui yang tadi mengepung itu sekonyong-konyong sudah balik diserbu dan digempur seperti air bah yang bobol dari bendungannya! Kagetlah Lek Hui oleh serangan mendadak dari barisan musuhnya itu dan biji caturnya yang main kelit mulai didesak habis-habisan oleh taktik si laki-laki berkedok. Lek Hui menjadi pucat, dan jari pemuda tinggi besar ini mulai menggigil. Sungguh dia tidak habis mengerti bagaimana kedudukannya yang semula kuat itu tiba-tiba saja menjadi demikian kacau? Dan itu diawali hanya oleh serangan seekor gajah dan kuda belaka! Bukankah sialan sekali?

Maka pemuda yang mulai gugup dan gemetar ini menjadi panik, sementara Ciok-thouw Taihiap "melihat" semuanya itu dengan ketajaman telinganya juga tampak terkejut. Pendekar sakti ini dapat mengikuti jalannya pertandingan, dan dia yang tadinya juga terheran-heran oleh gaya permainan lawan yang tampaknya asal jadi itu sekarang mendadak mengerutkan alis dengan muka kaget. Teringatlah olehnya akan adanya sebuah taktik yang konon dahulu dipakai oleh seorang jago catur dunia pada jaman Dinasti Syang, yakni jago catur bemama Shi Li Pao yang amat terkenal dengan taktiknya "Dewa Mabok Memburu Permaisuri" pernah mengalahkan jago catur istana pada Kerajaan Wu Wang. Dan kegemparan yang dibuat oleh jago catur Shi Li Pao itu akhirnya terdengar pula oleh raja Wu Wang di mana akhirnya orang itu ditarik menjadi "orang dalam" dan diangkat sebagi Menteri Kebudayaan!

Itulah sekelumit cerita tentang si jago pada. Dinasti Syang. Dan Ciok-thouw Taihiap yang tiba-tiba teringat akan cerita lama ini menjadi terkejut karena melihat persamaan gaya permainan si laki-laki berkedok. Seperti itulah dahulu kabarnya Shi Li Pao memainkan biji-biji caturnya. Bersikap asal jadi dan sempoyongan seperti perajurit mabok tapi sesungguhnya menyembunyikan "jurus" rahasia yang amat luar biasa berbahaya. Dan sekali lawan terjebak tentu celakalah dia karena menteri, buah catur yang paling berharga itu sudah mulai dikejar-kejar dan dijepit. Persis seperti kedudukan muridnya pada saat itu! Celaka!

Ciok-thouw Taihiap sendiri sampai menjadi tegang dan dahinya yang berkerut-kerut itu tampak menunjukkan kegelisahannya. Habislah sudah keunggulan Lek Hui kali ini, dan dia yang tidak mengharap kemenengan itu mendengar ketawa si laki-laki berkedok yang tampak gembira.

"Ha-ha, kedudukan biji caturmu sudah goyah, saudara Lek Hui, dan tanggung lima-enam gebrakan lagi kau pasti menyerah. Ciok-thouw Taihiap, lihat muridmu yang pucat ini, dia tampak gemetar mengangkat biji caturnya...!" laki-laki itu mengejek dengan suara gembira dan Lek Hui yang mendengar hinaan ini hampir saja bangkit berdiri dengan mata mendelik.

Tapi tiba-tiba raksasa muda itu mendengar suara tak dikenal yang menyusup ke liang telinganya, "Anak bodoh, kenapa harus naik darah? Jangan hiraukan ocehan busuk si laki-laki berkedok itu. Biarkan dia bersikap pongah, dan kau perhatikan baik-baik biji caturmu. Lekas geser bentengmu di sebelah kanan ke kotak nomor tiga, dan ancam kedudukan kudanya yang berniat jahat. Kalau dia mundurkan kuda secepatnya kau mainkan, gajah menuju kotak ke lima mencegat menterinya, dan kalau dia majukan kuda hadang segera dengan pion pada baris ke dua. Nah, bukankah ini jalan keluar yang bagus? Kau memang sudah tidak sempat menang lagi dalam kedudukan seperti ini, tapi kau dapat menundukkan dia dengan remis. Cepat!"

Suara itu penuh pengaruh memerintahkan Lek Hui dan murid Ciok-thouw Taihiap yang hampir kehabisan akal itu tiba-tiba berseri. Entah mengapa tiba-tiba dia ingin membalas sikap lawan yang tampaknya bermain asal jadi, dan kini ketika ada orang tak dikenal 'mengendalikan' dia dari jarak jauh Lek Hui tiba-tiba saja menjadi girang. Kontan dia mengangkat bantengnya, memindahkan biji caturnya itu pada kotak nomor tiga, dan ketika si orang berkedok tampak tertegun lalu memindahkan kudanya Lek Hui hampir saja bersorak girang.

Lawan memajukan kudanya, dan begitu dia menggerakkan pion pada baris ke dua sesuai dengan perintah tak dikenal sekonyong-konyong laki-laki berkedok itu berseru kaget. Kudanya tak bisa mundur lagi, dan pion Lek Hui yang mengancam di depan menjadikan dia terkejut sekali.

"He, mengapa begini...?" laki-laki itu mengeluh kaget dan Lek Hui yang berhasil menjebak kuda lawannya itu tak tahan untuk tertawa bergelak.

"Ha-ha, kau bilang aku bakal menyerah pada lima-enam gebrakkan lagi, Wan-locianpwe. Dan kalau belum apa-apa kudamu ternyata menjadi korban sungguh itu patut dikasihani sekali! Eh. kalau begitu apakah perlu dibetulkan kembali, Wan-locianpwe. Aku siap melapangkan dada, ha-ha...."

Lek Hui mengejek, lawannya itu dan balasan kata-katanya ini membuat orang she Wan itu menyeringai masam. Dia tidak marah, tapi justeru tertawa dipaksa. "Jangan tergesa-gesa, anak muda. Kedudukanku masih cukup kuat meskipun kuda harus kuserahkan padamu. Hem, lihatlah ini dia membiarkan kudanya menjadi korban dan seekor gajah yang berdiri di sudut tiba-tiba ditarik dua langkah.

Lek Hui hendak mencaplok kuda lawannya tapi tiba-tiba suara tak dikenal itu kembali menyusup di telinganya, "Anak bodoh, jangan tergesa-gesa bermain catur. Gajah lawan hendak mengancam rajamu, lebih baik jepit sekalian gajah keparat itu. Majukan pion di sebelah kiri pada petak ke empat, dan lihat apa sekarang yang hendak dilakukannya. Kalau dia mundurkan gajah baru kau sikat kudanya itu. Tapi kalau dia mundurkan kuda baru kau sikat gajahnya, cepat...!"

Lek Hui terkejut lagi tapi tanpa banyak pikir panjang diapun mengikuti nasihat yang aneh. Pion di sebelah kiri dia majukan pada petak ke empat, dan gajah lawan yang hendak menerobos itu dia "bunuh" gerak majunya. Si laki-laki berkedok tampak terkejut, dan orang she Wan ini mengeluarkan seruan tertahan. Gajah dan kudanya sekaligus diancam, dan dia harus memilih hendak menyelamatkan gajah atau kudanya! Maka hal ini membuat dia mengumpat.

Dan Lek Hui yang geli melihat kegemasan lawannya itu tertawa. "Wan Locianpwe, ini adalah gebrakan ke dua. Bagaimana kau bisa menyuruh aku menyerah pada lima-enam gebrakat lagi?"

"Keparat, kau rupanya dibantu malaikat iblis, saudara Lek Hui. Dan kalau tidak mata gurumu membelakangi kita tentu aku sudah menuduhnya bermain gila!"

"Ha-ha, jangan mengada-ada, Wan-locianpwe. Suhu sama sekali tidak mempergunakan matanya. Beliau hanya mempergunakan telinga untuk mengikuti pertandingan ini!"

"Itulah, aku jadi curiga tanpa dasar!" laki-laki she Wan itu mengetrukkan pipa cangklongnya dan tembakau yang diisap mendadak saja dia padamkan apinya. Kerut di matanya menunjukkan dia mulai penasaran, dan gajah yang dicegat gerak majunya itu dia tarik mundur. Kudanya sudah terlanjur tidak dapat dia selamatkan lagi, dan Lek Hui yang tidak menyia-nyiakan kesempatan bagus itu sudah mencaploknya dengan tertawa gembira.

"Ha-ha, kudamu ini cukup gemuk, Wan-locianpwe. Agaknya perutnya sudah terlampau kenyang menyikat anak buahku!" Lek Hui menyambar kuda hitam yang tidak berdaya itu sambil ejekan dan si laki-laki berkedok yang menyeringai masam melihat biji caturnya dimakan mentah-mentah tampak mendongkol.

Tapi dia tidak khawatir. Buah caturnya masih banyak. Dan Lek Hui yang dihitung-hitung masih kalah dua perwira itu disambutnya dengan ketawa memandang rendah. Gajah dan perwira lain yang ada digerakkan ke depan dan Lek Hui yang dikira secara kebetulan saja menemukan jalan "keluarnya" itu dianggap ringan. Satu demi satu armadanya yang mengurung dia langkahkan lagi, namun betapa kagetnya si laki-laki berkedok itu ketika mendapat kenyataan betapa satu demi satu pula lawannya ini mampu menahan setiap serangannya. Lek Hui mulai tangguh, dan murid Ciok-thouw Taihitip itu yang tadi ibarat harimau kehilangau cakarnya mendadak saja menjadi lihai.

"Heii….! Laki-laki berkedok ini membelalakkan matanya dan Lek Hui yang dipandang seperti orang ketemu setan itu jadi terkejut sendiri.

Raksasa muda ini melihat betapa mata lawan tiba tiba saja menjadi mencorong, dan sinar yang berkilauau seperti mata iblis tampak menyorot keluar! Ah, Lek Hui terkesiap kaget dan Ciok-thouw Taihiap yang agaknya merasa adanya keganjilan di belakang tubuhnya itu tiba-tiba berseru,

"Orang she Wan, pertandingan belum selesai. Kenapa kau berhenti?" Maka si laki-laki berkedok itupun terkejut. Dia sadar kembali dan muridnya yang semenjak tadi berdiri di belakangnya itu tiba-tiba juga berkata heran.

"Suhu, saudara Lek Hui ini tampaknya dibantu iblis! Kalau tidak, bagaimana dia bisa memperbaiki posisinya yang hampir jatuh bangun? Hm, sungguh aneh sekali…, agaknya dia dibantu setan...!" berkata begini pemuda itu melirik kepada Ciok-thouw Taihiap dan pendekar sakti yang merasakan dijadikan sasaran ini membalikkan tubuh.

"Bocah she Kui, kau hendak mencurigaiku membantu murid sendiri? Hati-hati kau bicara, Ciok-thouw Taihiap bukan model orang yang seperti gurumu!"

Pemuda ini terkejut. "Ah, tidak... aku tidak menuduhmu demikian, Souw-taihiap! Aku hanya bicara melepas keherananku!"

"Hmm!" Ciok-thouw Taihiap mendengus. "Sekali lagi kalian melempar dugaan buruk, jangan tanya dosa kepadaku. Orang she Wan, apakah kau masih menduga pihakku bermain kotor?"

Laki-laki ini cepat menggelengkan kepalanya sambil tertawa. "Wah-Wah, tidak sejauh itu kecurigaanku, Beng-san-paicu. Harap jangan gusar! Muridmu memang hebat, dan rupanya dia memiliki kelihaian terpendam!"

Maka dengan begini selesailah sudah prasangka orang yang tidak-tidak terhadap keanehan Lek Hui. Raksasa muda itu sendiri hanya senyum-senyum gembira, dan si laki-laki berkedok yang diam-diam terheran bukan main itu harus mendesah dengan mulut menyeringai. Dia tidak mencurigai lagi Ciok-thouw Taihiap, karena sebagai tokoh besar yang punya nama tidak mungkin ketua Beng-san-pai itu berbohong. Tapi gaya Lek Hui yang luar biasa anehnya itu tetap menimbulkan prasangka di hati.

Karena itu dia lain menyelidiki secara diam-diam. Permainan catur tetap dia lanjutkan, sementara wajah Lek Hui mulai sering dilirik secara halus. Dan gebrak demi gebrak yang mengherankan hatinya ini mulai membuat laki-laki berkedok itu tertegun dengan mata semakin terbelalak lebar.

Permainan asal jadinya dibalas pula dengan permain yang "asal jadi" oleh murid Ciok- thouw Taihiap itu, dan buah caturnya yang tadi ganas menyerbu kini membertur benteng pertahanan yang luar biasa kuatnya. Biji-biji catur pemuda itu tampak kokoh menantang dan kalau tadi dia kalah dua perwira adalah sekarang raksasa tinggi besar ini sudah berhasil memperbaiki kedudukannya menjadi sama. Dua perwira lawan juga sudah disikatnya, dan kedudukan mereka jadi sama kuat!

"Iblis!" Laki-laki ini mengumpat dan Lek Hui yang tertawa-tawa sambil menggerakkan biji caturnya itu benar-benar membuatnya tak habis pikir. Main makan mulai terjadi di antara mereka, dan karena ini hanyalah satu-satunya jalan maka tidak berapa lamapun biji-biji catur mereka akhirnya sama "gundul" dan tepat pada langkah ke tigapuluh delapan masing-masing pihak tak dapat melanjutkan jalannya pertandingan. Remis!

Itulah yang terjadi dan Lek Hui yang kegirangan luar biasa oleh hasil yang amat di luar dugaan ini sudah melonjak dari kursinya. "Ha-ha kita bertading seri, suhu, tidak ada yang menang ataupun kalah. Masing-masing pihak sama kuat. dan Wan-locianpwe meleset perhitungan lima enam gebraknya..!" Raksasa muda itu tertawa bergelak dan Ciok-thouw Taihiap memutar tubuh dengan mata bersinar. Dia tampak bangga, akan tetapi juga takjub.

Dan si laki-laki berkedok yang tampak lemas di atas kursinya itu mendelong bengong. Dia juga terheran-heran melihat kejadian yang membuatnya tak habis pikir itu, dan karena fakta telah berbicara di depan mereka maka diapun terkesima saja. Sampai akhirnya, laki-laki she Wan yang merasa penasaran itu tiba-tiba bangkit berdiri. "Ciok-thouw Taihiap, muridmu memang hebat. Akan tetapi beranikah dia maju lagi pada babak terakhir? Kalau dia tidak berani silakan kau yang maju. Tapi kalau kau tidak keberatan silakan dia bermain lagi!"

"Hm...." Ciok-thouw Taihiap mengerutkan alis, dan Lek Hui yang ditantang cepat-cepat menyela dengan mata berseri.

"Suhu, perkenankan teecu melawannya sekali lagi pada babak terakhir ini. Percayalah, teecu pasti menang....!"

Namun Ciok-thouw Taihiap memandang ragu. "Kau sudah empat kali bertandiug, Hui-ji, dan tadipun kau minta hanya bertanding sekali saja. Mana mungkin minta tambah? Lawanmu orang kuat, dia memiliki gaya permainan tinggalan mendiang Shi Li Pao!" berkata begitu si pendekar Beng-san ini melirik lawannya dan si laki-laki berkedok itu tampak tercekat.

Akan tetapi akhirnya orang ini tertawa lebar dan ucapan Ciok-thouw Taihiap yang jitu itu disambutnya seruan kagum. ''Wah, pandanganmu tajam benar, Beng-san-paicu, sungguh membuat aku terkejut!"

Dan Lek Hui yang mendengar itu jadi tertegun. Namun raksasa muda ini tampaknya tidak gentar, karena matanya yang terbelalak sekejap itu sudah berseri lagi. Gurunya yang memandang khawatir digoyangi lengan, dan Lek Hui yang terus mendapat bisikan-bisikan "gaib" itu berkata sambil tertawa,

"Suhu, jangan terlalu mencemaskan teecu. Teecu tahu bahwa lawan kita ini mempergunakan gaya permainan mendiang Shi Li Pao yang tersohor. Tapi bukankah kita juga mempunyai kunci-kunci kelemahannya? Nah, mengandalkan ini teecu yakin bahwa pada babak terakhir pihak kita pasti memperoleh kemenangan! Bukankah begitu, suhu?"

Ciok-thouw Taihiap tertegun. Isyarat muridnya yang dia terima belum dapat ditangkap jelas, karena sesungguhnya dia sendiri tidak pernah berkata kepada Lek Hui bahwa mereka mempunyai "kunci-kunci" kelemahan dari gaya permainan si mendiang jago catur itu. Akan tetapi baru dia hendak menggelengkan kepala tiba-tiba saja seruan seseorang yang dilancarkan dengan ilmu mengirim suara jarak jauh menyusup di dekat telinganya,

"Ciok-thouw Taihiap, jangan ragu-ragu mengabulkan permintaan muridmu. Ketahuilah, secara diam-diam aku telah membantunya dari jauh dan sekali lawanmu itu mamperoleh kemenangan tentu kau bakal terjebak dalam perangkap liciknya. Dia pencuri ulung, manusia berbahaya yang harus ditundukkan...!"

Maka begitu seruan Coan-im-jip-bit ini selesai diucapkan Ciok-thouw Taihiap jadinya malah melonggong sekejap. Dia tidak tahu siapa orang yang ikut campur tangan ini, tapi bukti bahwa Lek Hui telah memperoleh kemenangan gemilang dalam kehancurannya pada babak keempat tadi telah menunjukkan bahwa si pengirim suara itu pasti seseorang yang bermaksud baik. Dan kenyataan bahwa si laki-laki she Wan itu memang orang yang licik membuat Ciok-thouw Taihiap mengambil keputusan cepat.

Karena itu Ciok-thouw Taihiap lalu mengangguk, dan Lek Hui yang mendapat perkenan gurunya itu tampak girang luar biasa. "Hui-ji, kau kuperkenankan melanjutkan pertandingan pada babak ke lima ini. Akan tetapi ingat, ini adalah pertarungan terakhir dan kalah menang permainan caturmu merupakan kalah menang gurumu pula!"

Maka Lek Hui yang mendapat kepercayaan gurunya itu berjingkrak gembira dengan muka berseri-seri. Dia duduk kembali, dan pantatnya yang dilempar begitu saja di atas kursi itu membuat kaki kursi berderak seakan patah! "Ha-ha, jangan khawatir, suhu. Teccu akan berjuang sekuat tenaga untuk memenangkan pertandingan terakhir ini. Percayalah, teccu, tidak akan kalah dan kalau teecu kalah teccu juga siap menjadi budaknya pemuda she Kui itu selama satu bulan...ha-ha!" Lek Hui tampak antusias sekali dengan permainan babak terakhir ini dan Ciok-thouw Taihiap terkejut mendengar janji muridnya.

Tapi si laki-laki berkedok malah terkekeh. "Wah, kau telah mengeluarkan janji sendiri, sahabat muda, jangan dijilat kalau benar kalah!"

Dan Lek Hui menjawab gagah, "Jangan khawatir, Wan-locianpwe. Orang she Auw bukan manusia murahan!"

Maka mulailah babak terakhir itu. Lek Hui ganti mamegang buah hitam sedangkan lawannya memegang buah putih. Dan si laki-laki berkedok ternyata tidak berani memandang rendah lagi. Hal ini terbukti ketika Lek Hui bertanya sambil tertawa apakah dia akan memberi kemurahan lagi dengan seekor kuda di jawab oleh si orang she Wan itu bahwa kepandaian mereka sudah "setingkat". Maka Lek Hui yang mendengar jadi tertawa mengejek sedangkan lawannya menyengir dengan muka merah.

Ciok-thouw Taihiap sendiri sudah tidak lagi membelakangi mereka. Dia tidak perlu diduga karena ternyata pertandingan babak terakhir itu tetap dijalankan oleh Lek Hui. Dan si laki-laki berkedok tampak memberikan isyarat kepada muridnya. Pipa cangklong yang tadi dipadamkan sekarang tiba-tiba disulut, dan asap yang tebal harum segera memenuhi udara...



Pendekar Kepala Batu Jilid 22

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 22
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Kepala Batu Karya Batara
"CIT..." asap mengepul dan dua tenaga sakti yang tidak tampak pandangan mata ini bentrok di udara. Ciok-thouw Taihiap tergetar jarinya dan terbelalak kaget sedangkan lawannya berseru tertahan dengan muka berubah. Pertemuan dua kekuatan mujijat itu sama-sama mengejutkan masing-masing pihak, tapi Ciok -thouw Taihiap yang tidak bermaksud menotok sungguh-sungguh ini tiba-tiba membentak perlahan sambil menggerakkan tangan kirinya. Lawan yang sedang tertegun tahu-tahu dicengkeram mukanya, dan sekali renggut tentu kedoknya bakal terbuka!

Akan tetapi si laki-laki aneh itu ternyata benar-benar lihai. Dia tidak tampak gugup mendapat serangan tiba-tiba ini, melainkan tertawa dengan suara tidak dibuat-buat. Lengan Ciok-thouw Taihiap yang diulur untuk menyambar kedoknya itu di sambut dengan tangkisan lengan kirinya, dan karena masing-masing pihak bergerak sama cepat maka benturan kedua kalinya inipun tak dapat dihindarkan lagi.

"Dukk!" Suara yang menggetarkan tanah di sekitar mereka itu benar-benar mengejutkan semua orang dan Ciok-thouw Taihiap yang kembali gagal dalam serangannya yang ke dua ini tersentak. Ketua Beng-san-pai itu terdorong mundur setengah tindak sedangkan lawannya itu terhuyung ke belakang setengah langkah. Nyata, kekuatan mereka kiranya seri! Dan Ciok thouw-Taihiap yang terkejut bukan main itu tiba-tiba merasa gembira. Ketua Beng-san-pai ini tertawa bergelak, dan matanya yang berkilat girang itu seolah mendapat kebabagiaan besar!

"Ha-ha, orang she Wan, kau kiranya kakap bukan sembarang kakap. Dua kali pertempuran tenaga kita menunjukkan bahwa kau cukup berharga untuk menjadi teman bermainku. Marilah, maju ke mari dan kita tentukan siapa yang lebih unggul di antara kita berdua, ha-ha!"

Pendekar kepala gundul itu menyingsingkan lengan bajunya dengan wajah berseri tapi si laki-laki berkedok karet menggoyangkan tangannya. "Beng-san-paicu, bukan maksudku untuk mengukur kepandaian di tempat ini. Kita sedang bertaruh dalam permainan catur, mengapa hendak mengadu tenaga? Tidak, hal itu bisa kita rundingkan nanti. Yang penting adalah penerimaanmu, apakah mau bertanding catur dengan syarat-syarat seperti yang telah kuusulkan? Mengadu otot adalah persoalan gampang, tapi mengadu kecerdikan otak adalah di atas segala-galanya. Bagaimana, Beng-san-paicu, kau berani menerimanya?"

Ciok-thouw Taihiap mengangguk gembira. "Boleh... boleh, orang she Wan, kau cukup berbobot untuk menjadi lawanku. Tapi apakah syarat-syarat yang hendak kau ajukan itu?"

"Hm, ini sebaiknya dibuka apabila salah satu pihak memperoleh kemenangan Beng-san-paicu, sementara kita masih belum bertanding sebaiknya dirahasiahn dulu. Aku tidak ingin mengetahui syarat-syaratmu kalau kau menang dan kaupun juga tidak usah bertanya apa syarat-syaratku kalau aku yang menang. Masing-masing pihak sebaiknya berdiam diri dengan segala akalnya, dan siapa yang unggul itulah yang menang. Bagaimana, Beng-san-paicu, kau berani menerima taruhan ini?"

"Setan, kau cerdik, orang she Wan...!" Ciok-thouw Taihiap memaki. "Karena kau yang sudah bersiap terlebih dahulu dengan segala macam akal ini bukankah sudah menang di atas angin? Tidak, kau jangan mengibuliku. Pertandingan harus diketahui syarat-syarat permintaannya, dan kalau kau hendak bermain curang jangan harap bisa di depanku. Orang she Wan, katakan saja, kalau kebetulan aku yang kalah apakah yang hendak kau minta dariku? Kepala orang she Souw ini kah?"

Laki-laki yang bemama Wan Lui itu tertawa. "Ciok-thouw Taihiap, kau agaknya terlalu curiga sekali. Mana mungkin kalah bermain catur lalu hendak minta kepala orang? Ah, tidak tidak itu bukan maksudku. Kita bermain tanpa mempertaruhkan nyawa, cukup dengan kehormatan saja. Begini misalnya, umpama kau kalah, bagaimana kalau seandainya kau membantuku untuk suatu urusan penting selama satu bulan saja? Kita berdua bekerja sama, dan kalau urusan itu selesai, tidak sampai satu bulan kau bebas kembali seperti sedia kala. Itu kalau aku yang menang. Tapi kalau kau yang menang aku tidak bertanya apa yang hendak kau lakukan terhadap diriku ini. Semuanya terserah kebijaksanaanmu, dan sebagai ketua sebuah partai persilatan tentunya kau juga tidak akan sembarangan saja menghukumku. Nah, bagaimana pendapatmu?"

Ciok-thouw Taihiap mengerutkan kening. "Hm, belangmu mulai tampak, orang she Wan," pendekar kepala gundul itu berkata mengejek. "Jadi inikah maksud tujuanmu yang terselubung dalam undangan bermain catur? Kau hendak menarik diriku sebagai pembantumu, begitukah....?"

"Ah, aku tidak berani berkata seperti itu, Ciek-thouw Taihiap, karena terus terang kau barangkali tidak disebelah bawah kedudukanku. Kita agaknya seimbang, dan untuk ini sebenarnya kita tidak perlu bermusuhan. Menambah sahabat bukankah jauh lebih baik daripada menambah musuh?" laki-laki she Wan ini tertawa dan ucapan nya yang merendah tampaknya memuji Ciok-thouw Taihiap tapi kalimat "kau barangkali tidak berada di sebelah bawah kedudukanku" itu membuat merah muka Pendekar Kepala Batu ini.

Ciok-thouw Taihiap memang maklum bahwa laki-laki bernama Wan Lui itu kelihatannya bukan orang sembarang, namun bicaranya yang demikian tinggi hati itu membuatnya panas perut juga. Orang ini aneh, menyimpan rahasia misterius yang tampaknya besar. Dan dia yang ingin tahu siapa wajah di balik kedok itu jadi penasaran sekali. Baik, orang tidak mengarah nyawa dalam adu catur ini, dan dia yang mulai penasaran untuk mengetahui siapa orang bermulut besar itu sudah gatal-gatal tangannya untuk bertanding.

Tapi, apakah dijamin bahwa Wan Liu ini tidak bakalan main curang? Dia belum -mengenal lawannya itu, sebaliknya lawan telah mengenal baik siapa dia. Bagaimana kalau masih ada sesuatu yang disembunyikan lawan dalam gerak-geriknya yang penuh rahasia itu? Dan seumpama dia yang menang, cukupkah imbalannya, dengan melihat muka orang belaka? Tidakkah dia bakal ditipu mentah-mentah oleh orang ini?

Melihat kecerdikannya, Wan Liu itu jelas orang yang amat berbahaya sekali. Dan dua gebrakan "eksperimen" tadi menunjukkan bahwa orang ini memang benar-benar lihai. Tapi, apakah dia harus takut akan semuanya itu? Hem... itu benar-benar kelewat di luar garis. Kapankah Ciok-thouw Tai-hiap mengenal gentar dan takut terhadap lawan, betapapun lihainya Lawan itu? Tidak. Pertandingan adu otak itu tidak hanya sekali, melainkan lima kali.

Dan agaknya orang she Wan itu sengaja mengatur semuanya ini. Taruh kata mereka beradu seri selama empat permainan, bukankah permainan ke lima dapat dijadikan penentuan terakhir? Dan justetu agaknya hal inilah yang akan merupakan "puncak" acara di antara mereka. Baik, dia akan melayani tantangan itu dan karena hatinya sudah gatal-gatal unttik segera bertanding maka Ciok-thouw Taihiappun lalu melangkah maju.

"Sahabat she Wan, kau memang siluman ular yang cerdik sekali. Tantanganmu kuterima. Tapi kalau permintaanmu nanti keluar garis jelas bakal kutolak! Apakah kau mengerti apa yang kumaksudkan?"

Si laki-laki berkedok karet melegak kaget. "Eh, apa yang kau maksudkan, Ciok thouw Taihiap?"

Pendekar Kepala Batu menegakkan kepalanya. "Orang she Wan, kali ini aku mengajakmu bertanding dengan cara jantan. Kita berdua yang berurusan dengan permainan kita masing-masing. Jelasnya, permintaan bagi yang menang harus melibatkan diri yang kalah, tidak perlu menghukum orang-orang lain yang tidak tahu apa-apa tentang masalah. Mengertikah kau?"

Si laki-laki bemama Wan Liu itu tampak mengerutkan alis. Dia agaknya kurang setuju dengan usul Ciok-thouw Taihiap ini, tapi muridnya tiba-tiba menginjak kakinya dengan halus. "Suhu, apa yang diusulkan Ciok-thouw Tai-hiap locianpwe memang beralasan, tidak menyeret-nyaret umum? tidak beriktikad jelek, dan sudah semestinya kita menerima baik tawaran ini. Bukankah begitu, suhu?"

Orang she Wan itu tampak terkejut tapi dia tertawa gembira. "Ha- ha, kau benar, Lun-ji. Tawaran Ciok-thouw Taihiap memang masuk di akal. Kenapa aku harus keberatan? Eh, Beng-san-paicu, kami guru dan murid memang tidak beriktikad buruk, karena itu dengan senang hati kuterima usul mu ini! Nah, bisakah sekarang kita mulai?" orang itu melirik muridnya dan Lek Hui yang berdiri di samping menangkap isyarat mata yang mencurigakan dari laki-laki ini.

Karena itat Lek Hui tiba-tiba melangkah maju, dan dengan suaranya yang lantang raksasa muda ini berkata, "Suhu, kalau begitu biarkan teecu yang menjadi jagomu. Hendak kita lihat sampai dimanakah kepandaian Wan-taihiap ini? Kalau dua kali teecu kalah melawannya biarlah suhu yang maju menggantikan. Tapi kalau teecu yang menang barangkali suhu perlu mengawasi teecu dari belakang! Siapa tahu kita bakal dicurangi orang? Orang she Wan ini agaknya licik, suhu, karena itu kita perlu berhati-hati!"

Hebat dan tajam sekali kata-kata murid Ciok-thouw Taihiap itu, tapi lawan yang mendapat sikap kasar ini hanya ganda ketawa saja. Laki-laki berkedok itu sama sekali tidak menampakkan perubahan muka, hanya muridnya yang tampak tersinggung memandang Lek Hui dengan air muka berkilat. Tapi ketika si laki-laki berkedok mengamit lengannya pemuda yang dipanggil Lun-ji itu pun mengendorkan emosinya dan surut setengah tindak. Dia menyerahkah persoalan itu sepenuhnya terhadap gurunya, dan laki-laki bemama Wan Liu itu memandang kagum ke arah Lek Hui.

"Ha, muridmu ini gagah benar, Beng-san paicu, dan tampaknya berangasan juga dia. Kalau begitu, jika dia yang maju menjadi jagomu, bagaimana kalau berhadapan pula dengan muridku? mereka sama muda dan agaknya juga sama-sama bersemangat. Tapi tentang syarat pertaruhan tetap kita yang menjadi guru-gurunya yang menanggung. Bagaimana, Beng-san-paicu, kau setuju melepas muridmu?'

Ciok-thouw Taihiap tiada alasan lain. Dia memang sejak semula sudah merencanakan maksudnya itu, tapi Lek Hui yang malah kebetulan mendahuluinya itu membuat dia girang. Karena itu pendekar ini lalu mengangguk dan dengan sikap tegas dia mengiyakan.

"Baiklah, aku setuju permintaan muridku. Tapi kalau muridmu kalah barulah kau yang maju, orang she Wan!" Ciok-thouw Taihiap mulai melancarkan perang "urat syaraf" nya dan laki-laki berkedok itu tersenyum lebar.

"Jangan khawatir, Beng-san-paicu. Kalau aku yang maju kutakut muridmu yang tinggi benar itu keok dalam beberapa gebrakan saja. Sudahlah, mari kita mulai. Apakah muridmu berani pegang buah hitam?"

Ciok-thonw Taihiap mendengus. "Jangan curang, sobat. Penentuan buah hitam atau putih dipegang oleh undian. Muridku tidak biasa dibakar orang, dan permainan yang jujur harus kita ikuti. Lihat...!"

Pendekar itu sudah menyembunyikan buah hitam dan putih di kepalan tinjunya dan ketika dia menyodorkan tangan untuk dipilih maka ternyata di sini bahwa Lek Hui mendapat buah putih sedangkan lawannya mendapat buah hitam. Ini berarti kemenangan dalam membuka set pertama bagi Lek Hui dan si raksasa muda itu berseri mukanya.

"Ha-ha, sudah diramal menang, suhu, dan buah putih yang menjadi milik teecu ini pasti tidak mengecewakan kita! Eh, saudara Kui, Apakah kau tidak kecil hati dengan buah hitammu itu?" raksasa muda ini mengejek lawannya dan pemuda tampan itu menjengekkan hidungnya.

"Saudara Lek Hui, jangan buru-buru bergirang hati dulu. Hitam atau putih tidak menentukan dalam pertandingan catur, tapi otak si pemainlah yang merupakan andalan. Apakah kau cukup mahir dalam permainan ini? Kalau tidak lebih baik menonton saja, kasihan jika kau kalah!"

Lek Hui merah mukanya mendapat balasan ini dan diam-diam dia mengumpat di dalam hati-nya. Tidak dia sangka bahwa lawannya yang tampak pendiam itu ternyata pandai pula bicara, dan mereka berdua yang sudah duduk saling berhadapan itu sejenak beradu pandang. Tapi si laki-laki berkedok menepuk pundak muridnya sambil tertawa.

"Lan-ji, hayo curahkan perhatianmu pada bidak yang kau pegang. Omongan murid Souw-taihiap anggap saja angin semilir! Eh, Beng-san-paicu bukankah kita masing-masing sudah siap sebagai juri? Nah, silahkan saudara Lek Hui menjalankan caturnya kalau begitu...!"

Orang ini memandang Lek Hui dan Lek Hui tidak banyak cing-cong lagi. Buah putih yang, dia pegang sudah digerakkan, dan sekali "gebrak" dalam jurus pembukaan ini dia melangkahkan dua pionnya sekaligus di kiri kanan papan catur! Itulah pembukaan "tentara mencari kubu musuh" dan lawan Lek Hui yang dipanggil Kui Lun itu tersenyum mengejek. Pemuda ini menandingi pembukaan Lek Hui dengan langkah kuda hitamnya, dan sekali loncat dia telah menyiapkan serangan ke depan ke bidak raja.

Lek Hui ganti tersenyum sinis dan dengan cepat raksasa muda itu melangkahkan biji-biji caturnya. Lawan yang bersikap agak lambat setengah diejek, dan murid si laki-laki berkedok itu diam-diam tampaknya mendongkol. Dia mulai mengikuti permainan Lek Hui, dan dua orang muda yang kelihatannya saling gebrak dengan biji-biji catur tanpa dipikir panjang lebar itu membuat kedua guru mereka terkejut. Pemuda she Kui tampaknya kalah emosi, dan sikap serta wajah Lek Hui yang menghinanya setengah mencibir itu memanaskan perut.

Akibatnya, karena masing-masing pihak dalam permainan pertama ini bergerak sama cepat maka sebentar saja dua-duanya sudah saling terkam! Kuda Lek Hui sudah "disikat" lawan, sementara kuda lawan juga sudah "disikat" Lek Hui. Begitu Pula dengan pion, gajah serta benteng masing-masing pihak sudah saling "makan" dan akibatnya tentu saja papan catur menjadi melompong seperti ayam yang berondol bulunya! Kedua belah pihak bermain acak-acakan, dan Lek Hui yang tertawa ha-ha-he-he dengan sikapnya yang memanaskan perut itu tampak gembira larak-lirik.

Pemuda tinggi besar ini tidak perduli papan caturnya "berondol", dan tigapuluh dua biji catur hitam putih yang kini tinggal seputih buah itu disambutnya dengan ketawa gembira belaka. Kedudukan mereka sama kuat, masing-masing memiliki lima biji. Dan si laki-laki berkedok yang melihat kedudukan biji catur dua orang pemuda itu mengerayitkan keningnya. Dia melihat bahwa Lek Hui memiliki posisi yang lebih kuat, dan meskipun masing-masing pihak sama kuat karena memiliki jumlah biji catur yang sama namun sebagai orang yang mengenal baik taktik dalam permainan catur itu dia harus mengakui keunggulan murid si Pendekar Kepala Batu itu.

Karena itu dia menjadi tegang dan ketika akhirnya murid si ketua Beng-san-pai itu menyerang dengan satu langkah yang tidak terduga dengan buah menterinya, maka terkejutlah pemuda she Kui itu. Dia tersudut, buah caturnya terjebak! Dan sementara murid orang she Wan itu kebingungan mencari jalan keluar, Lek Hui sudah menutup segala penjuru dengan taktik 'mengurung raja membunuh permaisuri‘.

Celakalah sudah. Murid si orang berkedok karet itu gemrobyos. Keringatnya bercucuran tanpa disadari dan Lek Hui yang gembira melihat hasil kemenangannya ini tertawa bergelak. Si raksasa muda itu tinggal melangkahkan biji-biji caturnya tiga kali lagi dan ketika akhirnya tiga langkah itu selesai dijalankan, maka benar-benar matilah biji-biji catur lawannya yang hitam. Lek Hui mengalami kemenangan mutlak dan raja yang berhasil di 'schak mat‘ itu terbunuh tanpa daya, satu nol untuk Lek Hui.

"Ha-ha-ha, kita menang suhu. Apa kubilang tadi, bukankah kita pasti menang? Dan biji putih yang kujalankan itu memang hebat. Buah hitam saudara Kui Lun ternyata digerakkan oleh otak yang kurang mahir, dan betul juga katanya tadi kalau permainan ini ditentukan oleh otak pemainnya, bukan oleh hitam atau putihnya biji catur! Ha-ha, saudara Kui, bukankah kata-katamu itu benar belaka...?"

Lek Hui tertawa bergelak dengan sikapnya yang mengjek dan murid si orang berkedok itu merah mukanya. Dia tahu bahwa Lek Hui sengaja memanaskan perut untuk memecahkan konsentrasinya dan bahwa dalam gebrakan pertama ini dia kalah hal itu tidak dapat dipungkirinya. Karena itu dia tidak banyak komentar hanya untuk kesombongan Lek Hui ini dia berkata,

"Saudara Lek Hui, jangan kau sombong dulu. Kita baru bermain satu kali, masih ada sisanya sebanyak empat kali. Dan siapa tahu kau dalam permainan berikutnya kalah olehku? Kemenanganmu ini belum dapat diandalkan karena itu jangan besar kepala dahulu...!"

Lek Hni tertawa lagi mendengar kata-kata lawannya itu tapi tiba-tiba gurunya berseru, "Sahabat she Wan, permainan pertama sudah ada ketententuan. Bagaimana dengan janjimu tadi?"

Laki-laki bemama Wan Lui ini tersenyum. "Ciok thouw Taihiap, kuakui muridmu tidak seperti apa yang tampak di lahirnya, tapi apa perlu kubuka kedokku sekarang ini? Bagaimana kalau kedudukan berikutnya seri?"

Ciok-thouw Taihiap memandang marah. "Orang she Wan, jangan kau main gila di depanku. Kita sudah berjanji siapa yang kalah harus memenuhi permintaan yang menang. Apakah kau hendak melanggar perjanjian ini?"

"Wah-wah, jangan gusar dahulu, Beng-san-paicu. Aku hanya bertanya saja, siapa mau melanggar janji?" orang itu tertawa. "Lihatlah, kedok yang menutup mukaku akan kubuka... brett!" dia menggerakkan tangannya dan sekali renggut saja terbukalah kedok karet yang menutupi mukanya. Kini seraut wajah yang segar kemerahan tampak berseri, dan Lek Hui yang melihat ketampanan si laki-laki Wan Lui itu tertegun.

Kiranya orang ini ganteng juga, dan muka yang tampak lebih muda daripada umur sebenarnya itu benar-benar mercengangkan. Lek Hui merasa heran dan kagum, tapi gurunya mengerutkan alis dengan mata bersinar. Ketua Beng-san-pai ini menatap tajam, dan Lek Hui yang merasa aneh melihat gurunya itu tampak tidak senang tiba-tiba dikejutkan oleh bentakannya,

"Orang she Wan, kau curang...! Kenapa mukamu masih tertutup kedok juga?"

Maka Lek Hui yang mendengar bentakan ini mengeluarkan seruan kaget. Raksasa muda itu terkejut, tatapi orang yang dibentak Ciok-thouw Taihiap sendiri lebih terkejut, dibanding pemuda itu. Laki- laki ini berseru tertahan, dan matanya yang terbelalak memandang ketua Beng-san-pai itu tampak heran dan kagum!

"Aih, kau tidak percaya mukaku ini, Beng-san-paicu?" laki itu tersentak ke belakang namun Ciok-thouw Taihiap mumandang bengis.

"Jangan main gila di depanku, orang she Wan. Kau masih mengenakan kedok, apakah minta kubeset untuk membuktikan kecuranganmu ini?"

Laki-laki itu tertegun dan tiba-tiba dia tertawa gembira. "Ha-ha, kau benar-benar mengagumkan, Beng-san-paicu, matamu awas sekali, sungguh lihai...! Tapi kalau kau bilang bahwa aku curang hal ini tak dapat kuterima. Siapa yang curang dalam masalah ini? Aku sudah membuka kedokku, dan kalau aku ternyata masih berkedok juga itulah baru dapat dibuka bila kau menang untuk ke dua kalinya dalam permainan catur ini. Kita berjanji sekali menang sekali permintaan, dan itupun sudah kulakukan. Siapa bilang aku curang? Ha-ha, kau harus berpikir bijaksana, Beng-san-paicu, jangan diburu emosi belaka....!"

Ciok-thouw Taihiap tertegun oleh balasan lawannya itu dan diam-diam dia marah sekali. Omongan orang memang tak dapat disangkal, tapi siapa menduga bahwa orang itu ternyata mengenakan kedok rangkap? Dan apa maksudnya orang itu mengenakan kedok rangkap? Hm, dia ini, pasti iblis tingkat tinggi dan kecerdikannya yang amat licin ini membuat muka Ciok-thouw Taihiap merah seperti dibakar.

Ketua Beng-san-pai ini semakin waspada, dan kelicikan lawan yang amat lihai itu justeru semakin menarik hatinya untuk mengetahui siapakah gerangan orang yang bemama Wan Lui ini. Tapi Ciok-thow Taihiap bukanlah jenis orang yang berangasan. Pendekar itu sudah mencapai tingkat tertinggi dalam pengendalian hawa nafsu, maka meskipun diam-dam dia mengumpat kecurangan lawan yang betul tak juga dapat dikata "curang' ini menjadikannya untuk bicara hati-hati pada babak berikutnya.

Dia memandang lawannya itu dengan sinar mata geram, dan si laki-laki berkedok ini tersenyum lebar. "Bagaimana, Beng-san-paicu, bukankah apa yang kukatakan itu benar adanya? Nah, kalau begitu mari kita lanjutkan permainan catur ini. Muridmu berganti mainkan buah hitam dan muridku mainkan biji putih. Apakah tidak ada perubabahan di sini?"

Caok-thouw Taihiap menggeleng marah. "Tidak, muridku tetap menandingi muridmu dan sekali ini pihakmu kalah lagi kau harus membuka semua kedokmu itu, orang she Wan, tidak satu-persatu seperti cara yang licik."

"Ha-ha, itu bukan kesalahanku semata, Beng-san-paicu, mengapa hendak gusar kepadaku? Kalau seandainya kau tadi meminta agar aku menunjukkan wajah asli tentu hal itu sudah kulakukan. Tapi yang kau minta adalah membuka kedok, dan itu sudah kulakukan. Mau apa lagi?" orang ini tertawa penuh kemenangan dan Ciok-thouw Taihiap yang mendongkol hatinya itu melotot dengan tinju terkepal.

Tapi pendekar sakti ini tidak memberikan komentar, hanya keada muridnya itu dia berkata, "Hui-ji tundukkan lagi musuhmu itu dalam pertanding ke dua. Dan kalau ini berhasil kau kuberi tambahan ilmu baru!"

"Ah, baik, suhu!" Lek Hui mengiyakan girang dan dengan muka mendongkol seta terheran-heran dia mengalihkan pandangannya dari si orang berkedok itu kepada pemuda she Kui. Pemuda ini sudah duduk di depan meja catur, dan Lek Hui yang melihat lawannya itu tersenyum diam-diam memaki di dalam hati. Keparat kau, raksasa muda ini mengumpat. Orang sudah kalah kenapa berseri mukanya? Apakah geli karena suhunya dipermainkan lawan? Hem, awas kau. Sekali ini kau kalah tentu kedok gurumu itu bakal terbuka telanjang!

Maka Lek Hui yang diam-diam mendongkol seperti gurunya itu lalu tidak banyak bicara lagi dan biji-biji catur yang ada di depannya segera diatur dengan cepat. Dia mendapat biji hitam, sedangkan lawannya itu mendapat biji putih. Tapi Lek Hui tidak memperdulikan hitam atau putihnya biji catur. Lawan yang sudah keok dalam gebrakan pertama tali telah membesarkan hatinya. Dan kenyataan bahwa dia menang dengan mudah telah membuatnya sedikit besar kepala. Maka ketika lawan telah mulai bergerak lagi dan dia diserang oleh biji putih hal ini disambut Lek Hui dengan tarikan mulutnya yang memandang rendah.

Biji hitam yang ada di tangannya segera digerakkan pula, dan begitu lawan membuka posisi menyerang diapun tidak mau kalah gertak dan balas menyerang pula! Hal ini mengakibatkan permainan jadi "adu makan", tapi pemuda she Kui yang agaknya mulai berpangalaman itu ternyata kali ini tidak mau disaret Lek Hui untuk mengikuti emosinya biji catur Lek Hui yang mengajak main caplok dihindarinya dan dengan tenang serta tidak terburu-buru dia melangkahkan biji-biji catumya dengan sikap hati-hati. Karena itu sekarang gaya permainan menjadi berbeda, dan Lek Hui yang mengira lawannya itu "takut" tak terasa tertawa mengejek dengan sikap menghina.

Pemuda tinggi besar ini main cepat, dan derap biji caturnya yang seakan digarakkan tanpa banyak pikir itu merangsak terus ke depan tanpa kenal mundur. Hal ini sebenarnya berbahaya, tapi Lek Hui yang tidak mengubah gaya permainannya seperti semula itu memang sengaja mengambil resiko. Dia seakan bermain tanpa dipikir, karena hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan kepada lawan bahwa dia lebih "pintar" dari pada pemuda she Kui itu dan mengharap lawan dibikin panas perutnya. Dengan begitu kalau taktiknya ini berhasil. Lawannya itu bakal kehilangan kontrol emosi dan dengan mudah dia bakal menang kembali.

Tapi celaka. Pemuda she Kui itu ternyata cerdik. Pengalamannya pertama yang kena dikelabui sehingga mengakibatkan kekalahannya itu kini tak terjadi lagi. Lek Hui yang menggerakkan biji-biji caturnya secara "berangasan" dihadapi tenang, dan mulut yang selalu tersenyum-senyum itu menunjukkan bahwa kali ini dia tidak terpengaruh oleh sikap Lek Hui yang berusaha memanaskan perutnya. Satu demi satu dia menggerakkan biji-biji caturnya dengan mantap, dan ketika mereka mulai menginjak pada babak penentuan, tarbuktilah kini bahwa posisi Lek Hui mulai terjepit dan dia berada pada pihak yang lebih unggul!

Lek Hui terkejut melihat kenyataan ini dan diam-diam pemuda ini mengumpat. Sungguh dia tidak mengira bahwa biji caturnya yang main serang ke depan itu sekarang berbalik menghadapi "krisis kekuasaan" yang amat gawat. Kotak kotak hitam putih telah mulai dipegang lawan, dan biji-biji caturnya yang mulai terbatas ruang geraknya itu perlahan-lahan terdesak mundur. Lek Hui menjadi pucat, dan pemuda ini tiba tiba menjadi gugup. Pertahanan lawan yang tampak demikian ketat itu menggelisahkannya.

Dan ia yang main serang ke depan itu sekarang sadar akan adanya bahaya mengancam yang bakal memporak-porandakan kedudukan biji caturnya. Akan tetapi Lek Hui memang tidak kenal menyerah. Maklum bahwa dia sudah terlanjur salah raksasa muda itu memperbaiki diri. Namun sayang, semuanya itu sudah terlambat. Pemuda she Kui yang cerdik sudah mengurung seluruh jalan keluar dan akhirnya Lek Hui yang dibuat kelabakan itu menepuk dahi dengan kaget ketika sebuah menterinya yang paling diandalkan "dimakan" lawan!

"Celaka...!" Lek Hui berseru kaget dan si laki-laki berkedok tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, itu sudah nasibmu, saudara Lek Hui, kenapa harus terkejut? Lihat, otak muridku memang jauh lebih cerdik dibanding dengan otak muridmu. Kalau tidak, mana mungkin dia bisa memperoleh menterimu? Ha-ha, Ciok-thouw Taihiap kali ini kau harus menepati janji untuk membantuku selama sebulan. Dan muridmu yang berangasan itu boleh saja disuruh pulang!"

Laki laki berkedok ini tertawa bergelak dan suaranya yang menggetarkan dinding ruangan membuat Beng-san-paitu terkejut. Tapi yang paling marah agaknya Lek Hui, karena raksasa muda itu tiba-tiba bangkit berdiri dan memandang dengan mata melotot.

"Wan-locianpwe, aku masih belum kalah, pertandingan belum selesai! Siapa bilang babak ke dua ini berada pada pihakmu? Tidak, pertarungan belum selesai, dan meskipun seorang menteri hilang aku tetap bertempur sampai titik darah terakhir! Saudara Kui Lun, apakah kau kira aku bakal menyerah mentah-mentah hanya karena sebuah menteriku kau makan? Jangan mengimpi, Auw Lek Hui bukan orang yang gampang patah semangat!" lalu dengan mata berapi-api serta tinju terkepal pemuda tinggi besar itu membanting pantatnya duduk kembali.

Si laki-laki berkedok tampak tertegun, dan Ciok-thouw Taihiap yang mendengar kata-kata muridnya itu tiba-tiba tertawa. Pendekar sakti berkepala gundul itu tampak bangga, dan dengan mata bersinar-sinar dia menepuk pundak muridnya yang lebar.

"Ha-ha, bagus. Hui-ji. Aku kagum sekali akan semangatmu yang berapi-api ini. Tapi kalah menang bukankah tidak perlu disambut dengan kemarahan? Babak ke dua kau rupanya memang sedang bernasib buruk, tapi masih ada tiga babak berikutnya yang dapat memberikan kemungkinan. Untuk apa meluapkan emosi? Sudahlah, permainan ke dua ini kau putuskan saja. Pihak orang she Wan ini memang lebih unggul. Dan kita sebagai laki-laki jantan harus berani menghadapi kenyataan. Eh, orang she Wan, muridku dengau jujur mengakui kekalahannya!" Ciok thouw Taihiap berseru kepada lawan dan Lek Hui melompat kaget.

"Suhu…!" raksasa muda itu berteriak. "Kenapa tergesa-gesa? Teecu memang terjepit, tapi teecu hendak berusaha sekuat tenaga untuk memulihkan diri. Siapa tahu keadaan berbalik seratus delapanpuluh derajat? Tidak dapat menang setidak-tidaknya berusaha remis (seri)...!"

Pemuda tinggi besar itu tampak penasaran tapi Ciok-thouw Taihiap menggelengkan kepalanya dengan sikap tegas. "Hui-ji pendekar itu berkata keren. "Apa yang sudah suhumu ucapkan tidak mungkin ditarik kembali. Aku tahu bahwa kau tidak mungkin menang. Remispun juga tidak. Mengapa harus nekat? Seorang laki-laki gagah harus tahu diri dan kenekatanmu yang didorong emosi ini tidak dapat kubenarkan! Sudahlah, kita mengakui keumggulan lawan dan menyerah kalah pada babak ke dua. Ini...!"

Ciok-touw Taihiap memandang muridnya itu dan pemuda tinggi besar ini tertegun. Lek Hui tidak berani membantah lagi kalau sudah begini, dan apa yang diucapkan gurunya itu dia tahu merupakan "ultimatum". Karena itu pemuda ini lalu mendesahkan nafas penuh penyesalan dan dengan, lemas dia duduk kembali.

"Ha-ha, muridmu itu, jelek-jelek ternyata mengagumkan sekali, Ciok-thouw Taihiap, dan aku sungguh kagum dibuatnya! Eh, jadi kau mengakui keunggulan kami, Beng-san-paicu?" laki-laki ini memandang berseri ke arah lawan dan Ciok-thauw Taihiap mengangguk.

"Kami mengakui keunggulanmu pada babak ke dua„ orang she Wan, tapi belum berarti mengakui keunggulanmu pada babak-babak berikutnya. Kita masih memiliki tiga kali kesempatan bertatanding, dan untuk itu siapa pemenang sesungguhnya masih belum diketahuil"

"Ha-ha, pihak kami pasti menang, Beng-san-paicu, dan kita boleh buktikan pernyataan ini...!"

"Hm, belum tentu, orang she Wan. Jangan berbangga dulu. Apa yang tampak meyakinkan di depan mata belum tentu begitu pula kenyataannya. Sudahlah, kita lanjutkan babak ke tiga dan tidak usah banyak bicara lagi!" Ciok-thouw Taihiap tampak mendongkol dan si orang berkedok tertawa memandangnya.

"Eh, tapi janjimu tetap kau pegang, bukan, Beng san paicu? Ingat, aku menghendaki kau membantuku selama sebulan!"

Ciok-thouw Taihiap menggerakkan leher. "Orang she Wan, jangan menghinaku secara kelewatan. Ciok-thouw Taihiap bukan model orang yang suka melanggar janji. Aku menepati permintaanmu pada babak ke dua ini, tapi ingat bahwa kalau kau kalah pada bapak ke tiga akupun juga akan balas meminta sebagai imbangan. Siapa mau menarik lidah sendiri?"

"Ha-ha, bagus, Aku kagum kepadamu. Beng san-paicu dan percayalah, apabila dalam babak ke tiga ini aku kalah dengan suka hati aku akan memperlihatkan wajah asliku!"

"Hm...!" Ciok-thouw Taihiap mendengus dan dia tidak memperdulikan omongan lawalmya lagi. Lek Hui yang dipandang tampak gelap mukanya, tapi dengan ketenangan yang meyakinkan pendekar itu menyentuh pundak muridnya. "Hui-ji lanjutkan permainanmu. Jangan menyesal!" sang guru ini memberi kekuatan namun Lek Hui tiba-tiba berdiri dengan sikap tidak enak.

"Suhu, apakah perlu suhu sendiri yang turun tangan! Kalau teecu gugup lagi dikhawatirkan suhu bakal dimintai macam-macam oleh lawan kita yang licik itu!" pemuda ini memandang muram dan Ciok-thouw Taihiap terkejut. Tapi sejenak saja pendekar ini tertegun karena tiba- tiba dengan suara geli dia tertawa memandang muridnya.

"Hui-ji, kau gugup karena ceroboh. Dan kau ceroboh karena bermain tergesa-gesa. Untuk apa harus takut? Tidak, wakililah gurumu ini sekali lagi. Dan asal kau bermain tenang tentu kemenangan dapat kau raih. Untuk apa kau harus cemas? Majulah, dan surutkan emosimu itu ganti dengan pikiran dingin!" ketua Beng san-pai ini mengusap kepala muridnya dan hawa yang dingin segar tiba-tiba memasuki ubun-ubun Lek Hui.

Lek Hui tertegun, tapi tiba-tiba pemuda itu berseri mukanya. Usapan gurunya yang mengandung hawa mujijat tenaga "Im" itu seperti es saja di kepalanya yang panas terbakar, dan secara aneh tiba-tiba semua kemarahannya lenyap. Ajaib! Lek Hui tersenyum lebar dan pemuda ini sekonyong konyong tertawa. Sentuhan tangan gurunya yang demikian ampuh itu membuatnya bangkit semangat, dan ketika dia duduk lagi menghadapi biji caturnya tampaklah sekarang sorot matanya yang penuh cahaya gembira!

Tentu saja pemuda she Kui yang ada di depannya menjadi terheran-heran melihat perubahan yang amat cepat ini, tapi dia yang tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi pada diri lawannya itu hanya mendelong tidak mengerti saja. Lain halnya dengan gurunya yang bermata tajam. Laki-laki berkedok itu tampak mengerutkan alis, dan Lek Hui yang sudah duduk memasang biji-biji caturnya itu dipandang dengan peraasaan was-was.

Dia juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diri si raksasa muda itu, tapi sebagai orang yang memiliki kepandaian tinggi dia menaruh curiga pada tangan Ciok-thouw Taihiap yang menyentuh ubun-ubun muridnya tadi. Sentuhan itu tampaknya biasa-biasa, tapi bukti bahwa si tinggi besar yang masih dibakar kemarahan akibat ejekannya tadi mendadak tersenyum lebar dan bisa tertawa-tawa begitu gembira dalam waktu sekejap saja pastilah menyembunyikan sesuatu yang amat aneh.

Karena itu dia lalu melirik ke tangan Ciok-thouw Taihiap dan begitu melirik sekonyong-konyong laki-laki berkedok ini terkesiap. Matanya yang tajam melihat adanya kepulan uap tipis yang bergetar lembut pada telapak tangan Ciok-thonw Taihiap dan begitu melihat maklumlah laki-laki ini bahwa si ketua Beng-san-pai itu baru saja mengerahkan ilmunya berhawa dingin sejenis tenaga Im-kang yang disebut "Pengusap Roh Di Kabut Bersalju!"

Astaga! laki-laki berkekok ini terkejut dan dia terbelalak sekejab ke arah si pendekar berkepala gundul itu. Bukti bahwa ketua Beng-san-pai ini mampu mempergunakan ilmunya ini sungguh menunjukkan bahwa Si Pendekar Kepala Batu itu memang orang yang amat lihai sekali! Karena itu dia lalu memandang Lek Hui dan matanya yang tadi berseri mendadak berkilat aneh.

Kini dua orang muda itu sudah saling berhadapan. Lek Hui berganti memegang biji putih sedangkan lawannya memegang biji hitam. Dua-duanya sudah siap, dan Lek Hui yang tampak gembira itu tiba tiba mendapat bisikan gurunya,

"Hui-ji, kau bersikaplah yang tenang. Langkahkan caturmu dengan seksama dan kalau kau tidak terburu-buru tentu kemenangan akan mudah berada di pihakmu. Hati-hati, orang she Wan itu rupanya akan mempengaruhimu. Waspadalah…!"

Begitu suara gurunya lenyap Lek Hui lalu mengangkat muka. "Wan-locianpwe, apakah pertandingan sudah boleh dimulai?"

Dan si laki-laki berkedok tampak terkejut. "Eh, silahkan dia menjawab kaget. "Kenapa harus bertanya? Bukankah dua kali pertandingan pertama kalian tidak meminta persetujuanku?"

Dan di sini Lek Hui tiba-tiba melihat sesuatu yang aneh pada laki-laki berkedok itu. Orang ini tampak berkemak-kemik, dan ketika dia bertanya secara mendadak itu laki-laki ini tercekat seperti orang kaget. Hem, Lek Hui menyeringaikan mulutnya dan tahulah dia sekarang bahwa orang she Wan itu kiranya sedang melancarkan ilmunya Coan-im-jip-bit kepada pemuda she Kui. Persis seperti yang baru saja dilakukan gurunya terhadap dia!

Tentu pesan untuk berhati-hati dalam pertandingan babak ke tiga ini! Ha-ha, Lek Hui tertawa di dalam hati dan tak terasa pemuda itu menjadi geli. Secara bersamaan guru masing-masing pihak membisiki muridnya untuk memenangkan pertandingan, dan kalau itu dilakukan oleh guru masing-masing pihak bukankah sudah wajar?

Maka Lek Hui lalu mulai melangkahkan biji caturnya dan tidak seperti tadi yang bergerak terburu-buru, adalah sekarang pemuda itu menggerakkan biji caturnya dengan tenang. Lawan yang tidak berhasil dipengaruhi untuk bermain cepat telah terpaksa merobah taktiknya. Karena itu, Lek Hui yang tidak berani sembrono seperti babak ke dua telah bermain lambat tetapi mantap. Dan ternyata apa yang dilakukan oleh Lek Hui ini dijalankan pula oleh lawannya.

Pemuda she Kui itu tampak berpikir serius, dan senyum keramahannya yang semula tampak perlahan-lahan lenyap dari bibirnya. Masing-masing pihak berkonsentrasi penuh, dan Lek Hui yang diam-diam mendongkol hatinya untuk menebus kekalahannya pada babak ke dua itu tampak mempergunakan bermacam-macam taktik. Dia memang getol bermain catur, karena itu tidak heran kalau murid Ciok-thouw Taihiap ini seperti orang keranjingan jika melihat orang bermain catur. Akan tetapi karena lawan yang dihadapi ini ternyata juga cukup tangguh maka Lek Hui tidak berani memandang rendah lagi. Apalagi kalah menangnya juga menentukan kalah menang suhunya!

Karena itu Lek Hui amat bersungguh-sungguh. Biji caturnya main maju dan mundur dalam taktik yang diganti-ganti. Ada kalanya dia memasang kuda akan tetapi ada kalanya pula dia memasang gajah. Tapi semuanya itu pasti mengandung jebakan tersembunyi yang amat berbahaya bagi lawan. Sekali saja lawan berani makan, mengira jebakan sebagai umpan, pastilah gebrakan berikutnya bakal memburu musuh sampai ke akar-akarnya. Itulah taktik yang sering dinamakan jago-jago catur dengan istilah "memberi babi melahap naga", memberi teri memburu kakap! Dan sekali lawannya itu terjebak pastilah dia bakal binasa!

Tapi pemuda bernama Kui Lun ini cerdik juga. Pancingan-pancingan Lek Hui yang seakan disodorkan tanpa disengaja itu dielakkannya hati-hati. Dia tidak mau gegabah, dan kalau Lek Hui melancarkan taktiknya "memberi babi melahap naga" adalah pemuda itu membalasnya dengan metode "permaisuri cantik mengundang birah". Dua-duanya sama hebat, dan dua-duanya sama-sama berbahaya!

Karena itu pertandingan babak ke tiga ini menjadi seru sekali. Waktu yang dihabiskan mereka sudah mendekati dua jam, dan lawan Lek Hui yang tampak tidak sabar tiba-tiba mengerling ke-arah suhunya. Dua orang guru dan murid itu tampak berkedip, dan si laki-laki berkedok sekonyong-konyong berkumat-kamit. Lek Hui yang sedang menyeringai gembira tiba-tiba dibuat terkejut ketika telingannya mendengar bunyi mengiang-ngiang. Pertama pemuda itu mengira nyamuk yang sedang berseliweran, akan tetapi dia tertegun ketika tiba-tiba suara yang tadi mengiang-ngiang itu mendadak bergemuruh seperti air terjun!

Tentu saja murid Ciok-thouw Taihiap ini terkejut dan belum dia sadar akan apa yang terjadi sekonyong-konyong telinganya mendengar bisikan berpengaruh yang menyuruh menterinya diajukan ke depan sebagai korban! Tentu saja raksasa muda itu kaget bukan main dan belum dia sadar akan dirinya sendiri mendadak jari tangannya sudah mengangkat buah menteri itu untuk diajukan ke depan memenuhi "suara gaib" itu. Dan sekali pemuda ini sudah meletakkan buah menterinya tentu celakalah dia. Akan tetapi untunglah, pada saat itu juga terdengarlah bentakan gurunya yang berwibawa,

"Orang she Wan, jangan lakukan kecuranganmu itu. Muridku tidak akan mengorbankan menterinya memenuhi permintaanmu...!"

Dan begitu bentakan ini habis diserukan Lek Hui tersadar seperti orang diguyur air dingin. Buah menteri yang sudah diangkat jatuh kembali, dan orang she Wan yang ditegur gurunya itu nampak terkejut. Laki-laki berkedok ini tertegun, tapi tiba-tiba dia tertawa.

"Ciok-thouw Taihiap, apa yang kau tuduhkan kepadaku ini?"

Ciok-thouw Taihiap memandang keren. "Jangan berpura-pura, orang she Wan. Kau telah mempengaruhi muridku dengan pengiriman suara untuk menyerahkan menteri. Dan selama ada aku di sini jangan harap kecuranganmu itu bakal terwujud! Hui-ji, apakah tidak betul kalau kau mendapat perintah untuk mengorbankan biji caturmu?"

Lek Hui terbelalak, "Ah, betul, suhu. Tapi teecu tidak tahu suara siapakah itu karena menyelinap di antara suara mengiang-ngiang dan suara bergemuruh seperti air terjun!"

"Nah, kau mau bicara apalagi, orang she Wan?" Ciok-thouw Taihiap memandang marah. "Masih berani menyangkal perbuatanmu? Ingat, di sini tidak ada orang lain, dan kalau kau hendak mengacau muridku maka akupun juga bisa mengacau pikiran muridmu!

Pandangan bengis dari Pendekar Kepala Batu itu disambut dengan ketawa menyengir oleh laki-laki berkedok ini dan dia yang tertangkap basah oleh Ciok-thouw Taihiap itu hanya terkekeh-kekeh saja. Akal liciknya bersinar sekejap, dan teguran ketua Beng-san-pai yang pedas itu sama sekali idak membuat mukanya berubah. Bahkan, dengan cerdik dia membela diri.

"Ah, aku hanya ingin menguji kewaspadaanmu, Ciok-thouw Taihiap, sama sekali tidak bermaksud sungguh-sungguh. Kalau tidak, bukankah sejak pertama kali aku mengacau permainannya? Tapi itu tidak kulakukan, karena aku maklum bahwa muridmu memang bukan tandinganku, heh-heh...!" dia melirik Lek Hui dengan sikap mengejek dan murid Ciok-thouw Taihiap yang dihina seperti itu hampir saja naik darah. Tapi Cok-thouw Taihiap yang tahu akan hal ini cepat-cepat menepuk pundak muridnya.

"Hui-ji, jangan terbakar oleh kata-kata lawan. Dia memang sengaja hendak malepas kontrol emosimu. Jaga baik-baik biji caturmu itu dan jangan perdulikan orang she Wan ini....!"

Tepukan pendekar sakti itu menyadarkan Lek Hui dan raksasa muda yang hampir terjebak ini diam-diam mendelik. Sungguh kurang ajar, kenapa orang she Wan itu damikian curang? Dan kalau tidak ada guranya di situ barangkali dia sudah manjadi bulan-bulanan orang ini! Hm, sungguh berbahaya. Dan dia jadi ingin membanting manusia licik yang semacam itu.

Tapi Lek Hui sadar kembali dan permainan caturnya yang dilanjutkan dengan lebih hati-hati itu kini digerakkan sepenuh perhitungan. Mereka sudah menginjak babak penentuan, dan sedikit gilangguan tadi ternyata menguntungkan dirinya. Pemuda she Kui tampak gugup. Karena perbuatan Gurunya yang "konangan" alias tertangkap basah itu membuat mukanya merah. Rupanya pemuda ini dan rasa yang tidak nyaman itu ternyata merupakan gangguan "psikis" baginya. Dia salah langkah, mengajukan pion tetapi mengangkat kuda. Dan dari kesalahan inilah akhirnya Lek Hui menjebol benteng pertahanan lawan pada gebrak-gebrak berikutnya.

Jadilah sekarang point-point kemenangan bagi murid Ciok-thouw Taihiap itu. Lawan yang semula gugup tiba-tiba menjadi panik. Dan Lek Hui yang mulai mendapat titik-titik terang ini berseri mukanya. Dia tidak ragu-ragu lagi sekarang, dan biji caturnya yang terus bergerak ke depan itu menyapu seperti angin puyuh. Satu persatu biji hitam dipretelinya, dan ketika pertandingan berjalan sepuluh menit lagi akhirnya "gundul" lah perajurit-perajurit lawan. Lek Hui mengalami kemenangan mutlak, dan pada set ke empatpuluh satu saja berhasil di-"skak-maat"!

"Ha-ha, kita menang, suhu...!" pemuda tinggi besar itu bersorak girang dan Ciok-thouw Taihiap yang melihat kemenangan muridnya ini tersenyum.

Pendekar sakti itu tampak gembira, dan si laki-laki berkedok yang meringis menyaksikan kekalahan muridnya itu dipandang dengan mata bersinar. "Orang she Wan, apakah kau melihat kekalahan muridmu itu?" Ciok-thouw Taihiap bertanya perlahan dan si berkedok menyeringaikau mulutnya masam.

"Ya, aku mengakui keunggulan pihakmu pada babak ke tiga ini, Beng-san-paicu. Tapi pertandingan masih ada dua babak lagi!"

"Hm, itu urusan nanti. Yang panting, apakah kau tetap memegang janji?"

"Ah, tentu saja, Beng-san-paicu! Apakah kau kira aku seorang pengingkar?" laki-laki itu sudah meraba kedoknya untuk siap direnggut tapi Ciok-thonw Taihiap tiba-tiba menggoyang tangannya sambil tertawa mengejek.

"Nanti dulu, sahabat she Wan, jangan tergesa-gesa. Inti perjanjian kita adalah memenuhi permintaan yang diajukan oleh si pemenang. Dan karena kali ini aku yang menang maka permintaan yang kuajukan adalah..."

"Melepas kedokku ini, bukan?" laki-laki itu memotong sambil tertawa, tapi Ciok-thouw Taihiap menggelengkan kepala.

"Tidak, itu kuajukan bila aku menang pada babak-babak berikutnya. Untuk sekarang ini aku tidak meminta itu melainkan meminta agar kau mencabut permintaanmu pada babak nomor dua!"

"Hei, apa katamu, Beng-san-paicu....?" terkejut bukan main dan dia terlonjak dengan hebatnya.

Ciok-thouw Taihiap yang ada di depan dipandang terbelalak, tapi pendekar sakti dari Beng-san-pai itu tersenyum dingin. Dia tidak melotot seperti lawannya, melainkan berdiri tenang dengan mata bersinar. Dan si laki-laki berkedok ini tertegun.

"Beng-san-paicu!" dia mengulang dengan suara serak. "Apakah yang kau minta ini tidak berarti menjilat ludahmu sendiri? Kau sudah berjanji untuk membantuku, dan itu tidak mungkin ditarik kembalil"

"Hm...!" Ciok-thouw Taihiap melangkah maju. "Memang tidak mungkin kutarik kembali kalau permainan kita hanya dua babak, orang she Wan. Tapi kau tahu sendiri bahwa kita sudah saling sepakat untuk bermain sampai lima babak. Dan siapa kalah dia harus menyerah, tanpa syarat, apapun yang diminta oleh pihak si pemenang! Apakah kau tidak bisa memenuhi permintaanku ini? Kalau kau menolak berarti kau melanggar janji, orang she Wan, dan terhadap manusia-manusia yang melanggar janji aku juga tidak segan-segan untuk mengimbanginya!"

"Ahh...!" si laki-laki bernama Wan Lui itu terkejut dan dia memandang ketua Beng-san-pai itu dengan mata marah.

Tapi Ciok-thouw Taihiap yang berdiri tenang di depannya ini memang tidak bisa dibantah, dan keputusan tinggal di telapak tangannya. Dia menolak berarti Ciok-thouw Taihiap juga akan membatalkan perjanjiannya pada babak ke dua sedangkan dia menerima berarti lawannya itu "lepas" pula dari ikatan bulusnya. Setan! Laki-laki ini akhirnya mengumpat dan kecerdikan Ciok-touw Taihiap yang sungguh tidak disangka itu membuat dia membanting kaki dengan mata melotot. Akan tetapi akhirnya dia tertawa bergelak dan Ciok-thouw Taihiap yang dipandang melotot itu dipujinya.

"Beng-san-paicu, kau sungguh licik dan cerdik sekali! Bagaimana kau sampai hati menyudutkan orang seperti aku ini sedemikian rupa? Aih, siluman kau semoga terkutuk oleh biangnya iblis dasar neraka!"

Orang berkedok itu terkekeh-kekeh namun sinar matanya yang gemas tapi penuh kagum tak dapat disembunyikan ketika memandang ketua beng-san-pai ini. Sedang Ciok-thouw Taihiap sendiri yang dimaki lawannya hanya tersenyum tak acuh. Pendekar itu tertawa mengejek, dan kata-kata lawannya dibalas jengekan.

"Hm, bukan aku yang licik, orang she Wan, melainkan engkaulah. Aku hanya belajar darimu, maka jangan mencari kambing hitam!" dan si orang berkedok itupun hanya tertawa ha-ha-he-he saja.

"Baiklah, kau memang cerdik, Beng-san-paicu, dan kita rupanya mendapat lawan setimpal. Eh, sekarang apakah muridmu itu tetap maju ke depan? Aku ingin coba-coba, dan babak ke empat ini aku tampil sebagai jagonya! Apakah muridmu itu berani melawanku?"

Laki-laki ini mendorong muridnya dan pemuda she Kui yang duduk di kursinya tiba-tiba terpental keluar. Pemuda itu tampak terkejut, akan tetapi gurunya yang tertawa-tawa menggantikannya itu kelihatan tidak perduli. Dia malah mungibaskan lengannya ke belakang, dan sang murid yang tampak terbelalak itu diperintah.

"Lun-ji, pergi kau ke kamar belakang. Ambilkan pipa cangklongku berikut tempat abunya. Cepat, suhumu sudah gatal kerongkongannya nih!" dan pemuda yang tertegun di tempatnya itu tiba-tiba mendapat kedipan rahasia yang tidak dilihat oleh Ciok-thouw Taihiap maupun muridnya yang tinggi besar.

Maka pemuda inipun lalu mengangguk, dan dengan muka berseri tiba-tiba dia mohon pamit kepada dua orang tamunya untuk menuju ke belakang sebentar. Ciok-thouw Taihiap menanggapinya secara acuh tak acuh sedangkan Lek Hui mengerutkan kening sedikit curiga, tapi gurunya tiba-tiba menepuk bahunya.

"Hui-ji, apakah kau tidak letih? Kalau kau capai mundurlah, biar suhumu yang menghadapi lawan yang masih segar ini. Tua sama tua barang-kali lebih mengasyikkan daripada tua melawan muda..."

Tapi Lek Hui menggelengkan kepala. "Suhu, teecu ingin bertanding sekali lagi. Kalau teecu kalah biarlah suhu yang tampil ke depan. Bukankah kita masih memiliki satu babak lagi?"

"Hm, tapi kau sudah memforsir otakmu tiga kali berturtit-turut. Hui-ji. Bagaimana hendak bertanding lagi? Sebaiknya kau beristirahat saja, dan biarkan suhumu yang menggantikan permainanmu."

Lek Hui tampak mengangkat alis, dan tiba-tiba dia mengisyaratkan sebelah matanya kepada sang guru. "Suhu, teecu mohon biarlah sekali ini saja teecu bertanding lagi. Kalau teecu kalah suhu masih dapat memperbaikinya pada pertandingan terakhir. Bukankah suhu tidak keberatan?"

Pemuda itu mengejapkan mata dan Ciok-thouw Taihiap yang merasa heran ini mendadak tersenyum. "Begitukah kemauanmu, Hui ji? Baiklah, kau bertandinglah sungguh-sungguh dan engkau pasti tidak kalah dengan lawanmu yang baru!"

Ciok thouw Taihiap tampak berseri dan Lek Hui yang melihat isyarat matanya dimengeiti oleh sang guru tersenyum lega. Tapi si laki-laki berkedok tiba-tiba tertawa, dan sindirannya yang blak-blakan mengejutkan dua orang guru dan murid itu.

"Ha-ha, muridmu ini ternyata cerdik juga, Beng-san-paicu, dan aku tidak mengira akan taktiknya yang lihai ini. Sungguh pintar! Dengan membiarkan dia bertarung melawan si tolol Wan Lui ini bukankah berarti memberi kesempatan kepadamu untuk mengenal gaya permainanku? Dan sekali kau mengenal kuncinya tentu orang Wan ini bakal tak berkutik. Wah, sungguh kalian guru dan murid orang-orang yang jempolan sekali, hebat dan mengagumkan... ha-ha!"

Laki -laki itu tertawa bergelak dan Ciok-thouw Taihiap yang mendengar ucapan itu bergetar roman mukanya. Pendekar itu turkejut, tapi lawan yang pura-pura tidak mengetahui kekagetannya ini sudah memasang biji-biji caturnya sambil terkekeh. Dan pada saat itu masuklah pemuda she Kui yang membawa cangklong panjang dengan sebuah asbak menghampirinya.

"Suhu, tembakaunya sudah sekalian kumasukkan. Apakah kurang padat atau terlalu longgar?"

Si laki-laki berkedok memandang berseri. "Lun-ji, sudahkah kau siapkan arak pula untuk tamu- tamu kita? Bermain catur dengan kerongkongan kerirg begini sungguh tidak enak sekali. Eh, Ciok-thouw Taihiap, maaf bahwa aku suka mengisap tembakau. Apakah kau ingin arak wangi ataukah minuman lain?"

Namun Ciok-thouw Taihiap memandang tajam. "Orang she Wan, kami guru dan murid tidak biasa menerima suguhan lawan yang belum dikenal. Karena itu maaf saja bahwa kami menolak tawaranmu ini! Dan tentang mengisap tembakau, hem…. boleh saja asal tidak mengandung maksud lain…!"

"Ha-ha, kau kira asap tembakau ku bakal mempengaruhi muridmu, Beng-san-pai-cu? Wah, kalau begitu kau saja yang maju, suruh muridmu itu mundur!"

Lek Hui tiba-tiba bangkit berdiri. "Wan-locianpwe, kecurangan apapun jangan harap dapat kau lakukan di sini selama suhuku masih ada. Dan kalau kau ingin kita bermain jujur, nah, berlakulah secara jantan. Aku tidak takut segala asap tembakaumu itu!"

"Ha-ha, begitukah, anak muda? Bagus, kau patut menjadi murid Ciok-thouw Taihiap yang gagah perkasa! Eh, Lun-ji, kesinikan api geretannya, aku ingin menyegarkan semangatku..!" laki-laki tertawa gembira dan Ciok-thouw Taihiap yang terkejut mendengar kesembronoan muridnya itu mengerutkam alis dengan muka gelap.

Dia melihat orang memasang pipa cangklongnya, dan ketika pemuda she Kui itu menyulutkan api geretanya pada ujung tembakau segeralah asap yang harum segar memenuhi udara di sekitar mereka. Hidung pendekar sakti ini segera bekerja, dan begitu membaui asap yang tampak tidak mencurigakan ini ketua Beng-san-pai itu justeru mengenyitkan keningnya. Dia Sudah terlalu curiga terhadap lawan, dan karena itu dia tiba-tiba mengebutkan saputangannya.

"Hui-ji, pakai ini untuk menyegarkan paru-parumu. Dan kalau kau merasa pusing dengan asap tembakau berhentilah. Kita tidak boleh membiarkan lawan bermain curang...!"

Lek Hui menyambut sapu tangan gurunya itu si berkedok yang melihat kecurigaan orang tersenyum pahit.

"Wah, kalian rupanya kelewat curiga, Beng-san-paicu, dan aku jadi tidak enak hati kalau begini. Apakah tembakauku kubuang saja kalau begitu?"

Ciok--thouw Taihiap mendengus. "Tidak perlu berpura-pura, orang she Wan. Kau isaplah sepuasmu tembakau cangklongmu itu. Muridku telah bersiap-siap, dan segala macam racun apapun kiranya tidak akan berguna bagi kami!"

"Hai, betulkah itu? Bagus, mari kita mulai kalau begitu! Eh, Beng-san-paicu, apakah tetap keputusanmu untuk membiaikan muridmu ini bertanding denganku? Kalau kau hendak merobah pendapat silahkan maju sendiri, aku masih siap menunggu!"

Tapi Ciok-thouw Taihiap menggeleng tegas. "Tidak, muridku telah minta perkenan, dan aku telah menyetujuinya, Mana bisa mengecewakan murid sendiri? Apa yang sudah kusetujui tidak mungkin kutarik kembalil"

"Ha-ha, bogus, dan kau hendak menonton pertandingan ini, Beng san-paicu? menyelidiki gaya permainanku? Boleh boleh... aku tidak takut!" laki laki itu tertawa memanaskan perut dan Ciok-t iouw Taihiap yang dua kali disindir seperti ini menjadi merah mukanya.

"Orang she Wan, kau kira ilmu bermain caturmu sudah sedemikian hebat, ya? Huh, tanpa menontonpun aku bisa mengalahkanmu. Baik, aku berdiri membelakangi kalian dan dengan telingaku-pun aku bakal mengetahui setiap kecuranganmu. Awas!" Ciok-thouw Taihiap membalikkan tubuh dan dengan jengkel dia benar-benar tidak mau menonton pertandingan itu. Aneh!

Tapi si laki-laki berkedok malah tersenyum gembira. Dia berseri mukanya dan tiba-tiba diapun membalas sikap Ciok-thouw Taihiap ini. "Beng-san paicu, jangan kira aku bertindak kelewatan. Karena kau tidak mau melihat maka akupun juga tidak mau bermain utuh. Lihat, seekor kudaku kukeluarkan untuk kemenangan muridmu...!" dan benar-benar dia lalu mengangkat seekor kudanya dari papan catur sebagai "voor" terhadap Lek Hui. Hebat!

Lek Hui tercengang melihat kesombongan lawannya ini dan Ciok thouw Taihiap juga tertegun. Tapi raksasa muda ini yang justru gembira melihat perbuatan lawannya itu tiba-tiba sudah tertawa mengejek. "Wan-locianpwe, kau sendiri yang mengeluarkan kudamu dari bidaknya. Kalau kau kalah harap jangan menyalahkan orang lain. Tapi aku bukan orang yang gampang diberi kemurahan. Kalau kau takut kembalikanlah, jangan kelewat sombong!" Pemuda itu memandang lawan dengan mata bersinar-sinar, tapi si orang berkedok malah terkekeh.

"Saudara Lek Hui, jangan hiraukan kesombonganku ini. Kau sudah bermain tiga kali berturut-turut, dan kau tentu lelah. Karena itu aku hanya mengimbangi keadaanmu itu dan percayalah, kau juga belum tentu menangkan aku!"

Lek Hui menjadi marah dan dia lalu mendengus. "Wan-locianpwe, kau tampaknya orang yang tekebur sekali. Baik, mari kita mulai kalau begitu...! dan dengan sedikit mendongkol raksasa tinggi besar itupun melangkahkan biji caturnya dengan hentakan kasar.

Si laki-laki berkedok tertawa memanaskan perut dan Lek Hui yang sudah menggerakkan biji caturnya itu dibalas dengan permainan tenang tapi tidak nampak bersungguh-sungguh. Buah hitamnya digerakkan asal jadi, dan permainan Lek Hui yang berjalan serius itu diganda ketawa belaka. Hal ini membuat Lek Hui ini mendongkol tetapi maklum bahwa lawan memang sengaja hendak membuat dia gusar agar kehilangan kontrol emosi tak jadi dihiraukan.

Lawannya itu bersikap acuh tak acuh, dan Lek Hui yang dipandang rendah tertawa mengojek di dalam hatinya, Biarlah biarlah lawan menghinanya sedemikian rupa. Dan dia tidak akan masuk perangkapnya. Asal dia bermain hati-hati, bukankah kemenangan bakal diperolehnya? Apa lagi lawan telah memberinya "kemurahan" dengan seekor kuda. Sikap yang amat jumawa sekali.

Maka Lek Hui yang dipandang rendah itu lalu memusatkan seluruh kepandaiannya untuk menyerang lawan. Biji putih yang diperolehnya itu dimainkan dengan seksama, dan petak demi petak dia lalui dengan barisan perwira serta perajurit. Satu demi satu dia mengeluarkan kekuatan tempurnya, dan ketika mereka sudah sama-sama bergerak ke depan maka penuhlah papan catur oleh hitam putih yang saling berhadapan.

Kini mereka masing-mashg mulai melancarkan taktik serangannya. Lek Hui bergerak menurut aturan "memasang perajurit menangkap perwira" sedangkan lawannya memasang taktik yang membuat pemuda itu terheran-heran tapi tidak mengerti. Si laki-laki berkedok ini bergaya aneh, dan biji-biji catur ya yang bergerak asal jadi itu tampaknya seperti orang mabok yang berjalan sempoyongan.

Akan tetapi Lek Hui yang tidak menghiraukan keadaan lawannya itu tidak perduli. Dia terus saja dengan caranya yang diandalkan, dan lawan yang bergerak seperti orang mabok itu justeru membuatnya girang. Murid Ciok-thouw Taihiap kit mulai berseri, dan barisan caturnya yang berderap ke kubu musuh itu perlahan-lahan memasuki babak penentuan. Tapi tiba-tiba Lek Hui terkejut. Benteng lawan yang hampir dikurung mendadak melejitkan sebuah gajah pada petak putih dan begitu gajah ini meluncur sekonyong-konyong saja buah menterinya diserang. Astaga!

Lek Hui terbelalak dan kekagetannya yang sekejap itu membuat dia hampir saja tersirap. Namun untunglah,dia dapat menggeser menterinya itu menghindar dan begitu melangkahkan diri ke kanan tiga petak Lek Hui merasa dirinya aman. Akan tetapi... astaga setan keparat, dia tiba-tiba diserang lagi oleh kuda lawan yang tinggal satu-satunya. Kuda itu melompat, dan begitu mengancam lagi-lagi buah menterinya itu diincar! Raksasa muda ini benar-benar kaget sekali sekarang dan buah menterinya yang dalam bahaya itu secepat kilat ditarik mundur. Dia terbelalak ke arah si laki-laki berkedok ini dan orang she Wan itu tertawa bergelak.

"Ha-ha, kau menyembunyikan menterimu, saudara Lek Hui? Bagus, dan sekarang barisan caturmu tidak ada panglimanya lagi. Lihat, gaya permainanku akan mendobrak bala tentaramu!"

Dan begitu ucapan ini selesai majulah barisan armada musuh. Perajurit serta perwira mulai melompat-lompat, dan buah catur Lek Hui yang tadi mengepung itu sekonyong-konyong sudah balik diserbu dan digempur seperti air bah yang bobol dari bendungannya! Kagetlah Lek Hui oleh serangan mendadak dari barisan musuhnya itu dan biji caturnya yang main kelit mulai didesak habis-habisan oleh taktik si laki-laki berkedok. Lek Hui menjadi pucat, dan jari pemuda tinggi besar ini mulai menggigil. Sungguh dia tidak habis mengerti bagaimana kedudukannya yang semula kuat itu tiba-tiba saja menjadi demikian kacau? Dan itu diawali hanya oleh serangan seekor gajah dan kuda belaka! Bukankah sialan sekali?

Maka pemuda yang mulai gugup dan gemetar ini menjadi panik, sementara Ciok-thouw Taihiap "melihat" semuanya itu dengan ketajaman telinganya juga tampak terkejut. Pendekar sakti ini dapat mengikuti jalannya pertandingan, dan dia yang tadinya juga terheran-heran oleh gaya permainan lawan yang tampaknya asal jadi itu sekarang mendadak mengerutkan alis dengan muka kaget. Teringatlah olehnya akan adanya sebuah taktik yang konon dahulu dipakai oleh seorang jago catur dunia pada jaman Dinasti Syang, yakni jago catur bemama Shi Li Pao yang amat terkenal dengan taktiknya "Dewa Mabok Memburu Permaisuri" pernah mengalahkan jago catur istana pada Kerajaan Wu Wang. Dan kegemparan yang dibuat oleh jago catur Shi Li Pao itu akhirnya terdengar pula oleh raja Wu Wang di mana akhirnya orang itu ditarik menjadi "orang dalam" dan diangkat sebagi Menteri Kebudayaan!

Itulah sekelumit cerita tentang si jago pada. Dinasti Syang. Dan Ciok-thouw Taihiap yang tiba-tiba teringat akan cerita lama ini menjadi terkejut karena melihat persamaan gaya permainan si laki-laki berkedok. Seperti itulah dahulu kabarnya Shi Li Pao memainkan biji-biji caturnya. Bersikap asal jadi dan sempoyongan seperti perajurit mabok tapi sesungguhnya menyembunyikan "jurus" rahasia yang amat luar biasa berbahaya. Dan sekali lawan terjebak tentu celakalah dia karena menteri, buah catur yang paling berharga itu sudah mulai dikejar-kejar dan dijepit. Persis seperti kedudukan muridnya pada saat itu! Celaka!

Ciok-thouw Taihiap sendiri sampai menjadi tegang dan dahinya yang berkerut-kerut itu tampak menunjukkan kegelisahannya. Habislah sudah keunggulan Lek Hui kali ini, dan dia yang tidak mengharap kemenengan itu mendengar ketawa si laki-laki berkedok yang tampak gembira.

"Ha-ha, kedudukan biji caturmu sudah goyah, saudara Lek Hui, dan tanggung lima-enam gebrakan lagi kau pasti menyerah. Ciok-thouw Taihiap, lihat muridmu yang pucat ini, dia tampak gemetar mengangkat biji caturnya...!" laki-laki itu mengejek dengan suara gembira dan Lek Hui yang mendengar hinaan ini hampir saja bangkit berdiri dengan mata mendelik.

Tapi tiba-tiba raksasa muda itu mendengar suara tak dikenal yang menyusup ke liang telinganya, "Anak bodoh, kenapa harus naik darah? Jangan hiraukan ocehan busuk si laki-laki berkedok itu. Biarkan dia bersikap pongah, dan kau perhatikan baik-baik biji caturmu. Lekas geser bentengmu di sebelah kanan ke kotak nomor tiga, dan ancam kedudukan kudanya yang berniat jahat. Kalau dia mundurkan kuda secepatnya kau mainkan, gajah menuju kotak ke lima mencegat menterinya, dan kalau dia majukan kuda hadang segera dengan pion pada baris ke dua. Nah, bukankah ini jalan keluar yang bagus? Kau memang sudah tidak sempat menang lagi dalam kedudukan seperti ini, tapi kau dapat menundukkan dia dengan remis. Cepat!"

Suara itu penuh pengaruh memerintahkan Lek Hui dan murid Ciok-thouw Taihiap yang hampir kehabisan akal itu tiba-tiba berseri. Entah mengapa tiba-tiba dia ingin membalas sikap lawan yang tampaknya bermain asal jadi, dan kini ketika ada orang tak dikenal 'mengendalikan' dia dari jarak jauh Lek Hui tiba-tiba saja menjadi girang. Kontan dia mengangkat bantengnya, memindahkan biji caturnya itu pada kotak nomor tiga, dan ketika si orang berkedok tampak tertegun lalu memindahkan kudanya Lek Hui hampir saja bersorak girang.

Lawan memajukan kudanya, dan begitu dia menggerakkan pion pada baris ke dua sesuai dengan perintah tak dikenal sekonyong-konyong laki-laki berkedok itu berseru kaget. Kudanya tak bisa mundur lagi, dan pion Lek Hui yang mengancam di depan menjadikan dia terkejut sekali.

"He, mengapa begini...?" laki-laki itu mengeluh kaget dan Lek Hui yang berhasil menjebak kuda lawannya itu tak tahan untuk tertawa bergelak.

"Ha-ha, kau bilang aku bakal menyerah pada lima-enam gebrakkan lagi, Wan-locianpwe. Dan kalau belum apa-apa kudamu ternyata menjadi korban sungguh itu patut dikasihani sekali! Eh. kalau begitu apakah perlu dibetulkan kembali, Wan-locianpwe. Aku siap melapangkan dada, ha-ha...."

Lek Hui mengejek, lawannya itu dan balasan kata-katanya ini membuat orang she Wan itu menyeringai masam. Dia tidak marah, tapi justeru tertawa dipaksa. "Jangan tergesa-gesa, anak muda. Kedudukanku masih cukup kuat meskipun kuda harus kuserahkan padamu. Hem, lihatlah ini dia membiarkan kudanya menjadi korban dan seekor gajah yang berdiri di sudut tiba-tiba ditarik dua langkah.

Lek Hui hendak mencaplok kuda lawannya tapi tiba-tiba suara tak dikenal itu kembali menyusup di telinganya, "Anak bodoh, jangan tergesa-gesa bermain catur. Gajah lawan hendak mengancam rajamu, lebih baik jepit sekalian gajah keparat itu. Majukan pion di sebelah kiri pada petak ke empat, dan lihat apa sekarang yang hendak dilakukannya. Kalau dia mundurkan gajah baru kau sikat kudanya itu. Tapi kalau dia mundurkan kuda baru kau sikat gajahnya, cepat...!"

Lek Hui terkejut lagi tapi tanpa banyak pikir panjang diapun mengikuti nasihat yang aneh. Pion di sebelah kiri dia majukan pada petak ke empat, dan gajah lawan yang hendak menerobos itu dia "bunuh" gerak majunya. Si laki-laki berkedok tampak terkejut, dan orang she Wan ini mengeluarkan seruan tertahan. Gajah dan kudanya sekaligus diancam, dan dia harus memilih hendak menyelamatkan gajah atau kudanya! Maka hal ini membuat dia mengumpat.

Dan Lek Hui yang geli melihat kegemasan lawannya itu tertawa. "Wan Locianpwe, ini adalah gebrakan ke dua. Bagaimana kau bisa menyuruh aku menyerah pada lima-enam gebrakat lagi?"

"Keparat, kau rupanya dibantu malaikat iblis, saudara Lek Hui. Dan kalau tidak mata gurumu membelakangi kita tentu aku sudah menuduhnya bermain gila!"

"Ha-ha, jangan mengada-ada, Wan-locianpwe. Suhu sama sekali tidak mempergunakan matanya. Beliau hanya mempergunakan telinga untuk mengikuti pertandingan ini!"

"Itulah, aku jadi curiga tanpa dasar!" laki-laki she Wan itu mengetrukkan pipa cangklongnya dan tembakau yang diisap mendadak saja dia padamkan apinya. Kerut di matanya menunjukkan dia mulai penasaran, dan gajah yang dicegat gerak majunya itu dia tarik mundur. Kudanya sudah terlanjur tidak dapat dia selamatkan lagi, dan Lek Hui yang tidak menyia-nyiakan kesempatan bagus itu sudah mencaploknya dengan tertawa gembira.

"Ha-ha, kudamu ini cukup gemuk, Wan-locianpwe. Agaknya perutnya sudah terlampau kenyang menyikat anak buahku!" Lek Hui menyambar kuda hitam yang tidak berdaya itu sambil ejekan dan si laki-laki berkedok yang menyeringai masam melihat biji caturnya dimakan mentah-mentah tampak mendongkol.

Tapi dia tidak khawatir. Buah caturnya masih banyak. Dan Lek Hui yang dihitung-hitung masih kalah dua perwira itu disambutnya dengan ketawa memandang rendah. Gajah dan perwira lain yang ada digerakkan ke depan dan Lek Hui yang dikira secara kebetulan saja menemukan jalan "keluarnya" itu dianggap ringan. Satu demi satu armadanya yang mengurung dia langkahkan lagi, namun betapa kagetnya si laki-laki berkedok itu ketika mendapat kenyataan betapa satu demi satu pula lawannya ini mampu menahan setiap serangannya. Lek Hui mulai tangguh, dan murid Ciok-thouw Taihitip itu yang tadi ibarat harimau kehilangau cakarnya mendadak saja menjadi lihai.

"Heii….! Laki-laki berkedok ini membelalakkan matanya dan Lek Hui yang dipandang seperti orang ketemu setan itu jadi terkejut sendiri.

Raksasa muda ini melihat betapa mata lawan tiba tiba saja menjadi mencorong, dan sinar yang berkilauau seperti mata iblis tampak menyorot keluar! Ah, Lek Hui terkesiap kaget dan Ciok-thouw Taihiap yang agaknya merasa adanya keganjilan di belakang tubuhnya itu tiba-tiba berseru,

"Orang she Wan, pertandingan belum selesai. Kenapa kau berhenti?" Maka si laki-laki berkedok itupun terkejut. Dia sadar kembali dan muridnya yang semenjak tadi berdiri di belakangnya itu tiba-tiba juga berkata heran.

"Suhu, saudara Lek Hui ini tampaknya dibantu iblis! Kalau tidak, bagaimana dia bisa memperbaiki posisinya yang hampir jatuh bangun? Hm, sungguh aneh sekali…, agaknya dia dibantu setan...!" berkata begini pemuda itu melirik kepada Ciok-thouw Taihiap dan pendekar sakti yang merasakan dijadikan sasaran ini membalikkan tubuh.

"Bocah she Kui, kau hendak mencurigaiku membantu murid sendiri? Hati-hati kau bicara, Ciok-thouw Taihiap bukan model orang yang seperti gurumu!"

Pemuda ini terkejut. "Ah, tidak... aku tidak menuduhmu demikian, Souw-taihiap! Aku hanya bicara melepas keherananku!"

"Hmm!" Ciok-thouw Taihiap mendengus. "Sekali lagi kalian melempar dugaan buruk, jangan tanya dosa kepadaku. Orang she Wan, apakah kau masih menduga pihakku bermain kotor?"

Laki-laki ini cepat menggelengkan kepalanya sambil tertawa. "Wah-Wah, tidak sejauh itu kecurigaanku, Beng-san-paicu. Harap jangan gusar! Muridmu memang hebat, dan rupanya dia memiliki kelihaian terpendam!"

Maka dengan begini selesailah sudah prasangka orang yang tidak-tidak terhadap keanehan Lek Hui. Raksasa muda itu sendiri hanya senyum-senyum gembira, dan si laki-laki berkedok yang diam-diam terheran bukan main itu harus mendesah dengan mulut menyeringai. Dia tidak mencurigai lagi Ciok-thouw Taihiap, karena sebagai tokoh besar yang punya nama tidak mungkin ketua Beng-san-pai itu berbohong. Tapi gaya Lek Hui yang luar biasa anehnya itu tetap menimbulkan prasangka di hati.

Karena itu dia lain menyelidiki secara diam-diam. Permainan catur tetap dia lanjutkan, sementara wajah Lek Hui mulai sering dilirik secara halus. Dan gebrak demi gebrak yang mengherankan hatinya ini mulai membuat laki-laki berkedok itu tertegun dengan mata semakin terbelalak lebar.

Permainan asal jadinya dibalas pula dengan permain yang "asal jadi" oleh murid Ciok- thouw Taihiap itu, dan buah caturnya yang tadi ganas menyerbu kini membertur benteng pertahanan yang luar biasa kuatnya. Biji-biji catur pemuda itu tampak kokoh menantang dan kalau tadi dia kalah dua perwira adalah sekarang raksasa tinggi besar ini sudah berhasil memperbaiki kedudukannya menjadi sama. Dua perwira lawan juga sudah disikatnya, dan kedudukan mereka jadi sama kuat!

"Iblis!" Laki-laki ini mengumpat dan Lek Hui yang tertawa-tawa sambil menggerakkan biji caturnya itu benar-benar membuatnya tak habis pikir. Main makan mulai terjadi di antara mereka, dan karena ini hanyalah satu-satunya jalan maka tidak berapa lamapun biji-biji catur mereka akhirnya sama "gundul" dan tepat pada langkah ke tigapuluh delapan masing-masing pihak tak dapat melanjutkan jalannya pertandingan. Remis!

Itulah yang terjadi dan Lek Hui yang kegirangan luar biasa oleh hasil yang amat di luar dugaan ini sudah melonjak dari kursinya. "Ha-ha kita bertading seri, suhu, tidak ada yang menang ataupun kalah. Masing-masing pihak sama kuat. dan Wan-locianpwe meleset perhitungan lima enam gebraknya..!" Raksasa muda itu tertawa bergelak dan Ciok-thouw Taihiap memutar tubuh dengan mata bersinar. Dia tampak bangga, akan tetapi juga takjub.

Dan si laki-laki berkedok yang tampak lemas di atas kursinya itu mendelong bengong. Dia juga terheran-heran melihat kejadian yang membuatnya tak habis pikir itu, dan karena fakta telah berbicara di depan mereka maka diapun terkesima saja. Sampai akhirnya, laki-laki she Wan yang merasa penasaran itu tiba-tiba bangkit berdiri. "Ciok-thouw Taihiap, muridmu memang hebat. Akan tetapi beranikah dia maju lagi pada babak terakhir? Kalau dia tidak berani silakan kau yang maju. Tapi kalau kau tidak keberatan silakan dia bermain lagi!"

"Hm...." Ciok-thouw Taihiap mengerutkan alis, dan Lek Hui yang ditantang cepat-cepat menyela dengan mata berseri.

"Suhu, perkenankan teecu melawannya sekali lagi pada babak terakhir ini. Percayalah, teecu pasti menang....!"

Namun Ciok-thouw Taihiap memandang ragu. "Kau sudah empat kali bertandiug, Hui-ji, dan tadipun kau minta hanya bertanding sekali saja. Mana mungkin minta tambah? Lawanmu orang kuat, dia memiliki gaya permainan tinggalan mendiang Shi Li Pao!" berkata begitu si pendekar Beng-san ini melirik lawannya dan si laki-laki berkedok itu tampak tercekat.

Akan tetapi akhirnya orang ini tertawa lebar dan ucapan Ciok-thouw Taihiap yang jitu itu disambutnya seruan kagum. ''Wah, pandanganmu tajam benar, Beng-san-paicu, sungguh membuat aku terkejut!"

Dan Lek Hui yang mendengar itu jadi tertegun. Namun raksasa muda ini tampaknya tidak gentar, karena matanya yang terbelalak sekejap itu sudah berseri lagi. Gurunya yang memandang khawatir digoyangi lengan, dan Lek Hui yang terus mendapat bisikan-bisikan "gaib" itu berkata sambil tertawa,

"Suhu, jangan terlalu mencemaskan teecu. Teecu tahu bahwa lawan kita ini mempergunakan gaya permainan mendiang Shi Li Pao yang tersohor. Tapi bukankah kita juga mempunyai kunci-kunci kelemahannya? Nah, mengandalkan ini teecu yakin bahwa pada babak terakhir pihak kita pasti memperoleh kemenangan! Bukankah begitu, suhu?"

Ciok-thouw Taihiap tertegun. Isyarat muridnya yang dia terima belum dapat ditangkap jelas, karena sesungguhnya dia sendiri tidak pernah berkata kepada Lek Hui bahwa mereka mempunyai "kunci-kunci" kelemahan dari gaya permainan si mendiang jago catur itu. Akan tetapi baru dia hendak menggelengkan kepala tiba-tiba saja seruan seseorang yang dilancarkan dengan ilmu mengirim suara jarak jauh menyusup di dekat telinganya,

"Ciok-thouw Taihiap, jangan ragu-ragu mengabulkan permintaan muridmu. Ketahuilah, secara diam-diam aku telah membantunya dari jauh dan sekali lawanmu itu mamperoleh kemenangan tentu kau bakal terjebak dalam perangkap liciknya. Dia pencuri ulung, manusia berbahaya yang harus ditundukkan...!"

Maka begitu seruan Coan-im-jip-bit ini selesai diucapkan Ciok-thouw Taihiap jadinya malah melonggong sekejap. Dia tidak tahu siapa orang yang ikut campur tangan ini, tapi bukti bahwa Lek Hui telah memperoleh kemenangan gemilang dalam kehancurannya pada babak keempat tadi telah menunjukkan bahwa si pengirim suara itu pasti seseorang yang bermaksud baik. Dan kenyataan bahwa si laki-laki she Wan itu memang orang yang licik membuat Ciok-thouw Taihiap mengambil keputusan cepat.

Karena itu Ciok-thouw Taihiap lalu mengangguk, dan Lek Hui yang mendapat perkenan gurunya itu tampak girang luar biasa. "Hui-ji, kau kuperkenankan melanjutkan pertandingan pada babak ke lima ini. Akan tetapi ingat, ini adalah pertarungan terakhir dan kalah menang permainan caturmu merupakan kalah menang gurumu pula!"

Maka Lek Hui yang mendapat kepercayaan gurunya itu berjingkrak gembira dengan muka berseri-seri. Dia duduk kembali, dan pantatnya yang dilempar begitu saja di atas kursi itu membuat kaki kursi berderak seakan patah! "Ha-ha, jangan khawatir, suhu. Teccu akan berjuang sekuat tenaga untuk memenangkan pertandingan terakhir ini. Percayalah, teccu, tidak akan kalah dan kalau teecu kalah teccu juga siap menjadi budaknya pemuda she Kui itu selama satu bulan...ha-ha!" Lek Hui tampak antusias sekali dengan permainan babak terakhir ini dan Ciok-thouw Taihiap terkejut mendengar janji muridnya.

Tapi si laki-laki berkedok malah terkekeh. "Wah, kau telah mengeluarkan janji sendiri, sahabat muda, jangan dijilat kalau benar kalah!"

Dan Lek Hui menjawab gagah, "Jangan khawatir, Wan-locianpwe. Orang she Auw bukan manusia murahan!"

Maka mulailah babak terakhir itu. Lek Hui ganti mamegang buah hitam sedangkan lawannya memegang buah putih. Dan si laki-laki berkedok ternyata tidak berani memandang rendah lagi. Hal ini terbukti ketika Lek Hui bertanya sambil tertawa apakah dia akan memberi kemurahan lagi dengan seekor kuda di jawab oleh si orang she Wan itu bahwa kepandaian mereka sudah "setingkat". Maka Lek Hui yang mendengar jadi tertawa mengejek sedangkan lawannya menyengir dengan muka merah.

Ciok-thouw Taihiap sendiri sudah tidak lagi membelakangi mereka. Dia tidak perlu diduga karena ternyata pertandingan babak terakhir itu tetap dijalankan oleh Lek Hui. Dan si laki-laki berkedok tampak memberikan isyarat kepada muridnya. Pipa cangklong yang tadi dipadamkan sekarang tiba-tiba disulut, dan asap yang tebal harum segera memenuhi udara...