Pendekar Kepala Batu Jilid 21 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 21
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pendekar Kepala Batu Karya Batara
"ASAL tidak dikenang-kenang-lagi...." Bu Kong menjawab heran.

"Dan hatimu kosong kembali?"

"Kosong....?" Bu Kong melengak. "Apa yang kau maksud dengan kosong ini, Hong-moi? Kalau kau maksudkan kosong dari bayangan Siu Li tentu saja hal itu benar. Aku tidak mau dipermainkan bayangan dari pikiranku yang mengada-ada. Dan aku juga berusaha melenyapkan sisa-sisa kenangan terhadap mendiang gadis itu. Siu Li memang gadis malang, dan ini patut dikasihani. Namun bagaimanapun juga ia bukan jodohku. Mengapa kau menanyakan yang aneh-aneh ini, Hong-moi?"

Pek Hong tiba-tiba tersenyum. "Hm, bagus kalau begitu, Yap-koko...." gadis ini tampak gembira. "Dan tentunya kau mencari gantinya Siu Li itu, bukan? Nah, aku mempunyai calonnya, koko, seorang gadis yang tidak kalah hebat dengan mendiang puteri Ok-ciangkun itu.... bahkan tidak kalah hebat dan mulia dibanding gadis yang mana-pun juga! Dia puteri seorang pendekar besar….!"

Sampai di sini mulut Pek Hong agak menyeringai pedih dan Bu Kong yang mendengar kata-kata gadis itu terbelalak. "Hong-moi, apa-apaan ini? Dan siapa yang, kau maksudkan itu...?"

Pek Hong tampak memaksa diri. "Dia bukan lain adalah Souw Ceng Bi, koko, puteri Ciok-thouw Taihiap yang amat lihai. Gadis itu mencintaimu... dan ia amat sakit sekali mendengar semua penderitaanmu yang sudah-sudah. Gadis ini cocok untukmu, koko.... sungguh patut dan serasi sebagai pengganti Siu Li. Dia jujur, polos... dan mulia hatinya tidak seperti aku..."

Pek Hong terisak dengan bibir dikatup kuat setelah mengeluarkan semua kata-katanya ini dan Bu Kong yang mendengar gadis itu berhenti bicara tiba-tiba saja pucat mukanya.

"Hong-moi, apa kau bilang? Ceng Bi... Ceng Bi mencintaiku...?"

Pek Hong mengangguk. "Amat mencintaimu, koko... dengan seluruh jiwa raganya…."

"Astaga...!" Bu Kong berseru kaget dan tiba-tiba dia mencengkeram lengan Pek Hong. "Hong-kau…. kau kenapa bicara seperti itu? Tidak tahukah kau bahwa kata-katamu ini dapat berakibat hebat bagi Ciok--thouw Taihiap dan Pendekar pedang Bu-tiong-kiam Kun Seng? Gadis itu sudah ada yang punya ia dijodohkan oleh ayahnya dengan putera si jago pedang dari Kun-lun itu, Bu-tiong-kiam Kun Seng locianpwe!"

"Apa...?" Pek Hong menarik diri seperti disengat ular berbisa. "Apa katamu, Yap-koko....?"

Bu Kong memandang penuh keharuan. "Hong-moi, kau agaknya kelewat merasa barsalah, dan sikapmu ini sungguh luar biasa sekali, tahukah kau bahwa gadis itu sudah dijodohkan dengan orang lain...? Dan kau di sini hendak main menjodohkan orang begitu saja. Aneh sekali, luar biasa...!" pemuda ini menggeleng-gelengkan kepala dan Pek Hong berseru kaget.

"Ooh....!"gadis itu terbelalak. "Benarkah apa yang kau katakan itu, Yap-koko? Benarkah....?"

Bu Kong melangkah maju. "Hong-moi, pernahkah aku membohongimu? Pernahkah aku mendustaimu? Kalau kau tidak percaya tanyakan saja pada yang bersangkutan, dan di situ kau akan tahu aku berbohong atau tidak...." pemuda ini mengenggam lengan orang dan jari Pek Hong menggigil.

Gadis ini tampak gemetar gelisah, namun sorot matanya yang bercahaya gembira membentur sekejap dengan sinar mata Bu Kong yang penuh kemesraan. Tapi, tiba-tiba Bu Kong melepaskan tangannya.

"Hong-moi, adik Ceng Bi bangun. Dia mencarimu...!" dan baru saja ucapan ini selesai dikatakan mendadak saja bayangan Ceng Bi berkelebat dari dalam menuju belakang kuil sambil berteriak memanggil.

"Enci Hong, kau di manakah....?"

Ceng Bi tiba-tiba muncul dan Pek Hong yang berada di tengah taman terkejut. Sejenak ia tertegun, namun Ceng Bi yang sempat melihat meloncatnya bayangan Bu Kong ke atas tembok tiba-tiba sudah memburu sambil berseru kaget, "He, siapa itu, enci Hong...?"

Tapi Pek Hong masih setengah tertegun. Ia tidak menjawab, hanya bibirnya komat-kamit dengan suara seperti orang berbisik-bisik. Karena itu Ceng Bi yang keheranan akhimya melompat kembali ke dalam taman dan dengan muka terheran-heran ia menepuk pundak temannya ini.

"Enci Hong, kau melamunkan apakah? Siapa orang yang tadi bersamamu itu...?"

Pek Hong akhirnya sadar dan dengan muka merah ia menjawab perlahan, "Kenalan kita yang tadi pagi ke mari, adik Bi, si muka merah itu.."

"He, Ang-bin-siauwjin? Tapi kenapa ia pergi lagi, enci?" Ceng Bi jadi terkejut dan dengan curiga ia memandang Pek Hong.

Namun Pek Hong kini telah dapat menetapkan hati. Dia memang sedang terguncang oleh pembicaraan terakhir dengan pemuda itu tadi tentang keadaan Ceng Bi, maka kini mendengar kecurigaan gadis itu Pek Hong tiba-tiba memutar tubuh. "Adik Bi, siapakah kau kira si Ang-bin-siauwjin itu'"

Ceng Bi tercengang. "Aku memang serasa mengenalnya, enci, tapi tak tahulah, aku lupa siapa dia..."

"Hm, dan kau masih ingat kedipanku sebelum aku membuat teh, bukan?"

"Ya, tapi dia tidak mau mengaku, enci. Dan kau yang kutanya juga sama-sama tidak memberikan jawaban. Agaknya kau kenal baik dengannya!"

Pek Hong tertawa kecil. "Bukan hanya aku sendiri, adik Bi. Kaupun juga telah mengenalnya dengan baik..!"

"He, siapa kalau begitu, enci Hong?"

Tapi Pek Hong tidal buru-buru memberi jawaban. "Ah, pikirlah barang sejenak, adik Bi, jangan tergesa-gesa bertanya. Coba ingat-ingat, apakah yang membuat kau merasa kenal?"

"Sinar matanya, enci," Ceng Bi mengerutkan alis. "Dan aku serasa kenal dengan sinar matanya itu!"

"Hm, kenapa dengan sinar matanya?" Pek Hong merasa heran.

"Seperti mata naga, atau seperti juga mata iblis!"

Pek Hong tak dapat menahan geli hatinya, gadis itu tertawa. "Aih, aneh sekali caramu mengenal orang, adik Bi, tapi kukira ada benarnya juga. Baiklah, siapa kenalan baru kita itu menurut pendapatmu?"

Ceng Bi menggeleng kepala. "Sukar kuduga, enci... aku berada dalam keadaan lupa-lupa ingat. Kalau melihat sinar matanya, aku seperti melihat sinar mata ayah sendiri yang juga berkilat-kilat mencorong seperti mata naga itu. Tapi melihat usia serta bentuk tubuhnya tidak mungkin kalau dia ayah. Hem, siapa dia, enci?"

Pek Hong tersenyum "Orang yang selama ini kau impikan, adik Bi…"

"Ha?" Ceng Bi terkejut.

"Ya, bekas jenderal muda itu.... Pendekar Gurun Neraka!"

"Ahh…!" Ceng Bi terkesiap kaget dan tak terasa gadis ini melompat mundur. "Apa, enci? Bekas jenderal muda itu...? Dia Yap-goanswe...?"

Pek Hong tiba-tiba menyambar lengannya. "Adik Bi, mari kita masuk ke dalam. Ada sesuatu yang ingin kutanyakan!" gadis itu menarik Ceng Bi yang masih tertegun dan Ceng Bi yang terbelalak kaget ini tiba-tiba pucat mukanya. Dia mandah saja diseret Pek Hong dan setelah mereka berada di dalam kill baru Pek Hong melepaskan tangannya.

"Enci Hong, kenapa kenapa kau tidak mau menerangkannya tadi pagi...?" Ceng Bi menegur temannya ini dengan suara menyalahkan tapi Pek Hong tetap tersenyum.

Hanya sekarang murid Ta Bhok Hwesio itu ada terkilat rasa tidak senang pada temannya ini dan Ceng Bi mendadak tidak nyaman hatinya. Gadis itu tampak meninggikan alis, tanda orang yang sedang menahan kemendongkolan hati, dan Ceng Bi yang merasakan sedikit perubahan ini berkat ketajaman perasaannya jadi berdebar-debar. Dia tidak tahu, bahwa Pek Hong marah di dalam hati karena perjodohannya dengan putera Bu-tiong-kiam Kun Seng yang tidak diketahui dan menganggap Ceng Bi gadis tidak tahu malu karena berani mencintai lain pemuda. Maka sikap yang agak kaku dari Pek Hong ini membuat Ceng Bi jadi berdebar-debar dan heran serta tegang.

"Adik Bi..." demikian Pek Hong akhimya membuka suara. "Bisakah kau mengatakan sesuatu dengan jujur kepadaku? Kalau kau menghargai persahabatan kita tentunya kau akan berterus terang kepadaku. Nah, bisakah kau menjawab satu pertanyaan dengan jujur....?"

Pek Hong memandang tajam mata temannya ini dan Ceng Bi tiba-tiba mengedikkan kepala. "Enci Hong, adakah kau melihat aku sebagai gadis yang tidak bisa dipegang kata-katanya? Kalau kau menganggap aku begitu lebih baik kau tidak usah bertanya saja!"

"Hmm...!" Pek Hong tertegun sejenak namun dia ingin memastikan diri. "Maaf, adik Bi, aku bukannya ingin bermaksud kasar kepadamu. Namun satu urusan pribadimu yang ingin kuketahui, tidakkah kau tersinggung oleh pertanyaanku nanti...?"

Ceng Bi memandang aneh. "Enci Hong, malam ini kau terasa ganjil sekali. Ada urusan apakah kau bersikap demikian serius? Kalau kau ingin bertanya sesuatu kepadaku bertanyalah, aku tidak bakal menyimpan rahasia...!"

"Hmm, maaf, adik Bi, tentang perjodohanmu itu " Pek Hong mulai membuka "kartu" dengan hati-hati. "Bukankah kau sudah dijodohkan oleh ayahmu dengan seseorang?"

Ceng Bi tampak terkejut dan sejenak gadis ini tertegun. Pak Hong yang melihat perubahan mukanya tampak menyunggingkan senyum mengejek dan Ceng Bi yang terpukul oleh pertanyaan ini sekonyong-konyong mengepalkan tinju dengan mata berapi.

"Enci Hong, jadi persoalan inikah yang hendak kau tanyakan?"

Pek Hong menganggnk. "Ya, persoalan itu saja, adik Bi..."

"Dan kau menganggap, tahulah aku sakarang!" Ceng Bi tiba-tiba menepuk dahinya. "Kau menganggap aku gadis tak tahu malu, bukan, enci Hong? Kau mengganggap aku yang sudah dijodohkan ini masih berani tidak tahu malu mancintai orang lain? Begitukah enci? Inikah yang hendak kau lontarkan kepadaku....?" Ceng Bi menghebat dengan suaranya yang berapi-api itu namun Pek Hong menganggukkan kepalanya.

"Kau mengagumkan, adik Bi, tapi aku tidak sekasar itu..."

"Ah...!" Ceng Bi mergeluarkan seruan serak dan sekonyong-konyong ia membelalak di depan Pek Hong. "Enci Hong, kau rupanya mempunyai dugaan buruk kepadaku. Baiklah, aku terima semuanya ini. Tapi ketahuilah, enci, bahwa perjodohan yang kau dengar itu adalah perjodohan paksaan dari pihak orang-orang tua, terutama dari pihak ayahku sendiri. Dan aku yang bersangkutan dalam persoalan ini menyatakan tidak sudi! Enci Hong, dengarkah kau tentang pengakuanku. Aku tidak sudi, sekali lagi tidak sudi! Ayah main paksa dalam hal ini, dan aku yang memberontak lalu terpaksa turun gunung minggat sehingga bertemu dengan orang-orang Hiat-goan-pang, itu dan ditangkap si Ui-i-siauw-kwi..."

Ceng Bi berhenti dengan mata berapi-api dan hatinya yang terasa sakit akibat prasangka buruk dari Pek Hong itu akhirnya tak mampu membendung berderainya air mata. Sahabat yang amat disuka dan dicintainya itu ternyata menganggap ia berwatak rendah, dan Ceng Bi yang tidak tahan oleh semua kenyataan ini tiba-tiba menangis dengan suara mengguguk.

Pak Hong tertegun, dan murid Ta Bok Hwesio ini menjadi bengong. Namun sebelum ia minta maaf Ccng Bi mendadak sudah memandangnya lagi dengan air mata bercucuran. "Enci Hong, sungguh tak kusangka bahwa sahabat yang sudah kupercaya sedemikian rupa sampai hati menganggapku sedemikian hina. Tapi tidak apalah, enci…. aku tidak akan sakit hati kepadamu. Aku hanya merasa menyesal saja kepada nasibku yang buruk. Dan persahabatan yang dimulai dengan ketidak-percayaan begini, memang sebaiknya dihentikan saja. Enci Hong, silakan kau beristirahat saja di sini dan biarlah aku menyelesaikan tugasku di Puri Naga. Selamat tinggal, enci Hong, semoga kau lekas sembuh!"

Ceng Bi tiba-tiba membalikkan diri dan tanpa menanti reaksi temannya lagi iapun sudah melompat pergi dengan tangisnya yang ditahan-tahan. Pek Hong terkesiap, dan gadis ini berkelebat menyusul.

"Adik Bi, tunggu dulu....! Aku meminta maaf atas prasangkaku yang buruk…..!"

Ceng Bi sudah tidak menghiraukannya, sakit di hatinya akibat dugaan Pek Hong amat menyinggung keangkuhannya itu. Ceng Bi berlari terus di malam itu juga. Gadis ini menggigit bibir, dan seruan Pek Hong yang berkali-kali kepadanya tidak didengarkan. Maka Pek Hong lalu berdiri pucat dan ketika ia hendak menggerakkan kakinya menyusul Ceng Bi, sekonyong-konyong sebuah bayangan tinggi besar melayang di depannya.

"Hong-moi, jangan kejar dia. Gadis yang berwatak keras itu percuma saja kau lunakkan hatinya. Bersabarlah....!"

Bu Kong tahu-tahu telah berdiri di depan murid Ta Bhok Hwesio ini dan Pek Hong terisak sedih lalu menubruk dengan kakinya yang gemetar.

"Yap koko, bagaimana aku bisa berbuat salah lagi....? Bagaimana aku bisa menyakiti hatinya….? Ah, dan ia pergi ke Puri Naga, koko.... seorang diri…. padahal aku belum sempat memberitahukan kepadanya tentang kebebasan Lek Hui....!"

Pek Hong menangis penuh penyesalan dan Bu Kong mengguncang pundaknya. "Sudahlah, Hong moi, jangan pikirkan lagi hal itu. Kau tidak sengaja, dan aku sendiri juga tidak mengira bahwa perjodohannya adalah hasil paksa. Hem, bagaimana Ciok-thouw Thaihiap bisa berpandangan sepicik itu? Baiklah, mari kita bagi tugas, Hong-moi kau susul adik Ceng Bi melalui jalan potong ke arah utara ini dan aku akan mendahului ke Puri Naga lewat jalan timur. Pertemuan puncak pada hari ulang tahun pertama Perkumpulan Gelang Berdarah itu sudah dekat, dan aku tidak dapat menunda perjalanan lagi. Hong-moi, adakah pesan yang hendak kau titipkan padaku?"

Pek Hong mengangkat mukanya dan bibir yang pucat itu menggigil gemetar. "Ada, tapi tidak sekarang. koko... maukah kau memenuhinya?"

Bu Kong tersenyum mesra. "Hong-moi, kau sendiri sudah cukup menderita. Bagaimana aku tega monolaknya? Jangankan satu, sepuluh permintaan asal dapat tentu kupenuhi, Hong moi....!"

Pek Hong mengeluh perlahan mendengar kata-kata itu dan pandangan yang penuh getaran lembut dari pemuda itu membuat jantungnya berdenyut cepat. Dia menggigit bibir, dan Bu Kong tiba-tiba berbisik lirih,

"Hong-moi, adakah kesempatan hatiku untuk menikmati kebahagiaan di hatimu...?"

Pe Hong tergetar hebat dan sekonyong konyong ia merenggutkan dirinya. "Yap-koko, apa... apa yang kau maksudkan...?"

Bu Kong tersenyum getir. Dia tidak segera menjawab pertanyaan itu, melainkan memandang gadis ini dengan sinar mata penuh keharuan. Suara yang serak gemetar itu membuat hatinya tertusuk, dan pandangan yang penuh kemesraan itu seharusnya sudah merupakan jawaban yang melebihi segala-galanya. Tapi Bu Kong berkata juga,

"Hong-moi, aku tahu luka-luka yang ada di hatimu, dan aku bermaksud menghapus luka-luka itu. Apakah kau memberi kesempatan kepadaku untuk menyembuhkan luka-luka ini? Akupun ingin membalas segala kebaikanmu, Hong-moi, ingin menebus semua kesalahanku kepadamu...!"

Pemuda itu memandang penuh kelembutan dan Pek Hong tiba-tiba mengeluh sambil memejamkan matanya mendengar ucapan cinta yang terselubung halus ini. Ia menangis tanpa suara, dan bulu matanya yang bergetar seperti raisai kupu-kupu yang sedang menghisap madu itu kelihatan bergerak-gerak.

"Yap-koko... aku... aku... ah, apa yang harus kukatakan...?" gadis ini tersedu-sedu. "Padahal... padahal kau lebih cocok dengan adik Ceng, koko... dia jauh lebih baik dan mulia dibanding aku... dia jauh lebih luhur dan berharga dibanding aku..., aku gadis egois, gadis yang selalu mementingkan diri pribadi belaka...!"

Pek Hong menangis penuh kecewa terhadap diri pribadinya dan Bu Kong mengerutkan alis mendergar gadis itu menyebut-nyebut nama Ceng Bi. Sejenak dia menjadi muram, namun akhirnya menghela napas.

"Hong-moi, jangan kau banding-bandingkan dirimu dengan siapapun. Setiap orang memiliki kelemahannya sendiri-sendiri, untuk apa kau begitu menyesal? Sudahlah, Hong-moi, simpan kedukaanmu itu. Kita berdua harus secepatnya ke Puri Naga, dan tentang Souw Ceng Bi kuserahkan sepenuhnya kepadamu. Bukankah kau harus melindungi gadis itu? Dan tentang usulmu itu, hem... tidak mungkin bagiku untuk melepaskan dirimu bila kau tidak keberatan, Hong-moi. Dan urusan jodoh itu adalah persoalannya pribadi! Kenapa kau hendak mencampurkannya dalam urusan kita berdua. Sudahlah, Hong-moi, marilah kita bekerja cepat. Aku pergi ke arah timur sedangkan kau menyusul Ceng Bi lewat arah utara...!" Bu Kong tiba-tiba mengecup kening gadis ini dan Pek Hong merintih dengan suaranya yang gemetar.

Gadis itu menggigil hebat, dan sentuhan yang baru pertama kali itu diterimanya dari pendekar muda benar-benar membuat kakinya seakan lumpuh. Sungguh mati, belum pernah pemuda pujaannya itu menyentuh dia demikian mesra, meskipun hanya kecupan pada kening belaka! Maka tidak aneh kalau Pek Hong seakan melayang semangatnya pada awang-awang yang tinggi dan ketika pemuda itu sendiri sudah lenyap dari depannya gadis ini masih saja meramkan mata dengan bibir yang digigit gemetar.

Kehangatan serta kebahagiaan besar sedang melanda hatinya dan Pek Hong tidak ingin perasaan yang demikian nikmat itu segera lenyap dari hatinya. Namun kelengangan yang hening akhirnya membuat gadis itu membuka matanya juga. Suatu perubahan yang menyolok pada sinar matanya. Suatu cahaya lembut serta bersinar-sinar memancar jernih dari bola mata yang indah berseri itu, dan Pek Hong tampak demikian babagia. Pendekar Gurun Neraka telah menyatakan cinta kepadanya, dan siapa yang tidak akan menjadi demikian gembira. Padahal ia sudah amat lama sekali mengharap kejadian seperti ini, jauh beberapa waktu yang lalu ketika pendekar itu masih menjadi jenderal muda yang dibantunya!

Kini Pek Hong seakan menjadi orang baru. Apa yang diharap tibalah sudah. Dia akhirnya mendapatkan juga kasih sayang orang yang dicinta. Tapi apakah itu sudah cukup? Tidak! Ada sesuatu kini yang mengganjal hatinya. Dan itu adalah Ceng Bi. Hm, dia harus mencari gadis itu, harus minta maaf dan mencegahnya ke Puri Naga. Tapi bagaimana caranya? Gadis itu adalah puteri Ciok-thouw Taihiap, dan sebagai puteri seorang pendekar besar yang amat dikenal watak kepala batunya itu tentu tidak mudah baginya untuk meredakan amarah yang sudah terlanjur menyinggung gadis itu. Dia harus mencari akal, dan Ceng Bi harus dapat diyakinkan sedemikian rupa agar hubungan mereka dapat kembali pulih sepetti sedia kala. Tapi bagaimana caranya? Gampang, dia akan mencari sambil berjalan!

Maka dengan adanya keputusan ini Pek Hong pun lalu menggerakkan kakinya melompat keluar kuil. Malam yang gelap tidak menjadikannya halangan, dan tenaganya yang sudah hampir pulih itu memberikan kekuatan yang cukup meyakinkan baginya. Maka berlarilah Pek Hong menuju arah utara untuk menyusul Ceng Bi itu sesuai dengan keputusannya.

* * * * * * * *

Meninggalkan sejenak tiga orang muda-mudi itu baiklah kita tengok keadaan Ciok-thouw Taihiap yang melakukan perjalanannya bersama Lek Hui. Seperti diketahui, pendekar besar ini sedang turun gunung untuk memenuhi dua hal. Pertama mencari puterinya yang minggat sedangkan yang ke dua adalah untuk memenuhi undangan Perkumpulan Gelang Berdarah.

Dan sesuai dengan wataknya pendekar ini turun gunung dengan cara terang-terangan. Dia memang tidak kenal takut, dan meskipun tahu bahwa bannyak musuh di kanan kirinya namun setitikpun pendekar itu tidak merasa gentar. Dia selama ini "bersembunyi" di Pegunungan Beng-san adalah dikarenakan untuk menjaga keselamatan putera-puterinya. Dan sekarang setelah orang-orang yang dijaga itu malah minggat tanpa kabar beritanya lagi tentu saja pendekar itu tidak mau berdiam diri.

Dia hendak mengobrak-abrik dunia kang-ouw, terutama orang-orang dari golongan hitamnya itu. Dan kalau sampai terjadi sesuatu yang mencelakakan dua orang anak-anaknya itu tentu dia tidak mau memberi ampun. Tangan besinya telah cukup dikenal orang, dan untuk ini mereka tahu bahwa dia tidak mau main-main. Sekali bentrok tentu pertumpahan darah bakal tidak dapat dihindarkan dan mereka pasti tahu rasa.

Ciok-thouw Taihiap mengertakkan gigi dan perjalanannya yang sudah melewati lima hari dengan tenang-tenang itu akhirnya membawa dia singgah di kota Wu-kiang. Kota ini termasuk kota pelabuhan, sebuah kota yang ramai, dalam wilayah Propinsi Hu-peh. Dan aliran sungai Wu-han yang membelah kota ini menjadikan Wu-kiang hiruk pikuk setiap hari.

Karena itu Ciok-thouw Taihiap akhirnya melepas kesal di kota ini. Dia mencari sebuah restoran, dan bersama Lek Hui yang tinggi besar akhirnya mereka memasuki rumah makan "Hiu-peh-lung-sia" yang berlantai dua. Kehadiran mereka berdua cukup menarik perhatian. Karena yang satu seperti raksasa muda sedangkan yang lain berkepala gundul dengan wajah angker penuh wibawa pertanda orang yang tidak suka main-main.

Dan Ciok-thouw Taihiap langsung saja naik ke loteng. Dia tidak mau makan di bawah, karena terlalu ramai di situ. Dan Lek Hui yang selalu mengikuti gurunya ini juga tidak banyak bicara. Dua orang pelayan laki-laki menyambut mereka, di tangga loteng, dan mereka tersenyum dengan basa-basinya yang usang.

"Mau makan di atas, taihiap? Ah, silahkan naik….. kami menyediakan masakan-masakan istimewa untuk jiwi berdua. Mari masuk, taihiap... mari...!" seorang diantara mereka buru-buru melangkah mendahului dan ketawanya yang termasuk keramahan komersil itu hanya disambut dengan sikap dingin-dingin saja oleh Ciok-thouw Taihiap.

Mereka diajak duduk di tengah, dan pelayan yang ha-ha-he-he ini sudah mengebut-ngebutkan serbetnya di atas meja dan kursi. "Ji-wi to hiap, mari duduk di sini, enak dan tidak berdebu....!" pelayan itu menyodorkan kursinya tapi Ciok-thouw Taihiap bersikap tak acuh.

Dia tidak mau menuruti permintaan pelayan itu melainkan terus melangkahkan kaki menuju ke sudut ruangan. Tentu saja sang pelayan itu tertegun, tapi dia cepat-cepat berlari kecil menghampiri meja yang dituju dua orang tamunya ini dengan tertawa menyeringai.

"Ah, ji-wi hendak makan di tempat itu, tai-hiap? Baiklah, tempat ini memang enak juga, sepi dan tidak terganggu. Sebentar, taihiap, biar kubersihkan dahulu tempat pilihanmu ini…." pelayan itu sudah tertawa ha-ha-he-he lagi dan serbet yang ada di tangannya itu dikebut-kebutkan cepat membersihkan meja kursi lalu mempersilakan tamunya duduk.

Ciok-thouw Taihiap bersikap tak acuh, dan dua orang pelayan lain tiba-tiba muncul di depan mereka. Mereka itu adalah gadis-gadis cantik, dan pakaian seragamnya yang biru merah itu tampak memikat dipandang.

"Ji-wi Taihiap, kalian hendak makan apakah? Kakap goreng, bistik kakap atau masakan berkuah? Kami menyediakan masakan-masakan istimewa, taihiap, dan kalau ingin hidangan berkuah kami menyediakan banyak ragamnya. Tinggal pilih, ada Hipin Kuah, Hiwan Kuah maupun Hikio Saus Tomat! Atau taihiap ingin masakan kepiting? Ada ada, taihiap.... tinggal pilih! Mau Kepiting Cai, Kepiting Kuah atau Kepiting Asem Manis serta Cinkong...?"

Lek Hui memandang gurunya. "Suhu, kita hendak makan apakah?"

Ciok-thouw Taihiap bersikap aras-arasen. "Terserah kau sajalah, Hui-ji, aku tinggal mencicipi apa yang kau ingini..."

"Hm, kalau begitu semuanya itu bawa ke sini saja, nona!" Lek Hui tiba-tiba berseru. "Dan tambahkan nasi buat lima belas orang...!"

Dua orang gadis itu terkejut. "Apa, siauw-thiap, semuanya itu dibawa kemari….!?

"Ya, dan limabelas piring nasi untuk kami berdua!"

"Ooh...!?" gadis-gadis pelayan ini terbelalak namun akhirnya mereka tersenyum-senyum kaget. Lek Hui yang memandang tajam membuat mereka tersipu-sipu gugup tapi seorang di antaranya tiba-tiba teringat akan sesuatu. "Dan minumnya, jiwi taihiap? Arak ataukah susu panas?"

"Hm, kami lebih suka minuman dingin. Adakah klengkeng atau buah lechi?"

"Ada, siauw-hiap..."

"Baik bawa sepuluh guci bersama hidangan yang kami pesan!"

Dua orang gadis itu saling pandang namun pelayan laki-laki yang tadi membersihkan meja kursi dengan tiba-tiba tertawa, "Siang-bwee, kenapa kalian bengong saja? Hayo cepat pergi dan siapkan hidangan tamu...!"

"Oh, baik.... baik...." dua orang gadis itu terkejut dan dengan kikik ditahan akhirnya mereka berdua berlari kecil menuruni tangga menyiapkan pesanan yang luar biasa itu. Sungguh tidak habis pikir oleh mereka, bagaimana dua orang tamu saja memesan makanan sedemikian banyak? Tapi melihat bentuk tubuh Lek Hui istimevva mau juga mereka itu percaya bahwa agaknya si raksasa muda itu memang amat gembul.

Dan Lek Hui yang telah mencengangkan pelayan-pelayan restoran ini sebentar saja menarik perhatian tamu-tamu lain yang ada di atas loteng. Mereka itu ada enam pasangan, dan mata yang tertuju ke meja sudut ruangan itu segera saja beradu pandang. Namun begitu bentrok dengan mata sepasang guru dan murid ini kontan orang-orang itu keder nyalinya.

Ciok-thouw Taihiap terlalu bengis sorot matanya, sedangkan Lek Hui yang tidak begitu seperti gurunya terlalu menyeramkan dengan bentuk tubuhnya. Guru dan murid itu seperti bukan manusia-manusia lumrah, dan mereka itu memancarkan perbawa yang mengerikan. Ciok-thouw Taihiap sendiri yang mendengar pesanan muridnya tentang makanan yang sebanyak itu diam-diam hanya tersenyum saja di dalam hati. Dia memang tahu "porsi" murid kepalanya ini, maka tidak merasa aneh kalau meminta hidangan sebanyak itu.

Lain halnya dengan orang-orang baru. Mereka itu tentu saja terheran-heran dan merasa takjub bahwa ada seorang manusia muda demikian gembul cara makannya. Di samping memesan masakan seperti orang main borong juga masih ditambah dengan minuman klengkeng serta buah lechi sebanyak sepuluh guci. Astaga! Mau dikemanakan saja hidangan sebanyak itu? Cukupkah perut dua orang tamu ini menampung makanan seluar biasa itu?

Tapi semua kenyataan ini akhirnya mereka buktikan juga. Dua orang gadis pelayan yang sudah muncul lagi di tangga loteng tampak lari ke sana ke mari membawa penampan-penampan panas berisi hidangan dua orang tamu istimewa itu. Satu persatu semua masakan diatur rapi, dan setelah kakap, kepiting dan nasi serta minumannya dijajar, ternyata satu meja saja tidak cukup! terpaksa sebuah meja ditarik lagi dan jadilah dua orang guru dan murid itu menghadapi dua meja besar sekaligus dengan hidangannya yang serba lezat!

Lek Hui tersenyum lebar, dan dia memandang gurunya. "Suhu, mari kita nikmati hidangan ini. Perutku sudah lapar nih...!" pemuda itu tertawa menyeringai dan Ciok-thouw Taihiap mengangguk.

"Mulailah, Hui-ji, aku pelan-pelan saja...." pendekar itu menjawab tenang dan Lek Hui tahu-tahu sudah tertawa gembira sambil menyambar seekor ikan besar yang masih mengepul panas di atas meja tanpa sungkan-sungkan lagi. Dengan nikmat dia mengunyah ikan itu. Dan lima piring nasi yang ada di atas meja tiba-tiba dituangkannya jadi satu lalu dicampur dengan segala macam saus yang semuanya serba panas!

Tentusaja gurunya tersenyum geli, namun Ciok-thouw Taihiap tidak menampakkan perasaan hatinya itu. Pendekar ini dingin-dingin saja, dan sementara Lek Hui sudah mulai menyambar satu demi satu masakan di atas meja tanpa sungkan-sungkan lagi diapun juga mulai mengisi perutnya dengan sikap tenang. Hanya bedanya, kalau Lek Hui tampak demikian gembul dan lahap adalah pendekar itu mengunyah demikian perlahan sehingga mirip seorang kakek yang tidak memiliki gigi. Tapi anehnya, apa yang "disikat" oleh Lek Hui itu ternyata sama banyak dengan yang diambil gurunya. Sungguh aneh! Lima belas piring nasi putih di atas meja itu tahu-tahu telah terbagi dua dengan rata untuk guru dan murid ini tanpa sisa. Ajaib!

Enam pasang tamu yang diam-diam melirik ke meja hidangan guru dan murid itu sama terheran-heran. Tidak tahu mereka, bagaimana caranya si tua yang berwajah angker itu menghabiskan hidangannya. Apakah disedot atau ditelan seperti angsa atau kalkun terbang? Mereka terbengong tidak mengerti dan Lek Hui yang melihat keheranan orang itu diam-diam tertawa geli.

Gurunya ini memang orang aneh. Dan salah satu dari sekian wataknya yang aneh-aneh adalah tidak kenal sungkan. Seperti sekarang itu misalnya. Meskipun mereka memesan makanan demikian banyak toh gurunya itu tidak ambil pusing. Mereka makan dengan membayar, dan hidangan yang dipesan memang sudah jatahnya, tidak dibuang-buang percuma. Untuk apa menghiraukan tanggapan orang? Kalau perutnya lapar gurunya itu memang bisa menghabiskan segentong nasi dengan lauk pauknya, jangankan hanya limabelas piring yang masih harus dibagi dua!

Maka Lek Hui yang juga makan tanpa menghiraukan tanggapan orang lain itu hanya tertawa saja di dalam hatinya dan sebentar saja hidangan untuk limabelas orang dewasa inipun tersapu bersih! Piring mangkok tinggal kuahnya melulu, dan duri-duri bekas ikan atau kepiting laut itupun berserakan di atas meja. Lek Hui mengusap mulutnya, dan sambil tertawa dia berkata kepada gurunya,

"Suhu, nikmat benar kita makan hari ini. Apakah karena masakannya yang betul-betul istimewa ataukah karena kita yang selama beberapa hari ini hanya makan daging buruan di hutan?"

Ciok-thouw Taihiap mendengus. "Hui-ji, jangan kau tertawa-tawa dulu. Apakah kau tidak merasakan sesuatu yang aneh pada hidangan yang kita santap?"

Lek Hui terkejut. "Eh, sesuatu yang aneh apa, suhu? Bukankah kita makan dengan kenyang?"

"Hm, bodoh kau. Kita telah menikmati racun yang terselubung dalam makanan dan minuman itu....!"

"Hah...?" Lek Hui terkesiap dan sekonyong-konyong pemuda itu terlonjak. "Racun, suhu...? Pada makanan dan minuman kita?"

"Ya, dan sebentar lagi harus kau muntahkan semua makanan itu kalau kau tidak ingin mampus....!"

"Ooh...?" Lek Hui terbelalak dan baru ucapan gurunya itu selesai dikeluarkan tiba-tiba saja dia merasa perutnya bergolak mendidih seperti dihuni kawah berapi. Raksasa muda ini terkejut, dan tiba-tiba dia menggereng. Makanan yang sudah memasuki perutnya itu mendadak dihisap naik dan sekali dia menepuk perutnya yang menggendut itu sekonyong-konyong semua ikan, nasi dan lauk-pauk beserta minuman yang telah dia telan tiba-tiba saja dimuntalkan keluar! Hebat cara pemuda tinggi besar ini mengeluarkan isi perutnya. Dia tidak hoak-hoek seperti umumnya orang muntah melainkan sekaligus disemprotkan dari dalam perutnya ke arah dua orang pelayan laki laki yang tadi menyambut mereka di tangga loteng!

"Proottt..!"

Dua orang pelayan itu menjerit kaget dan tiba-tiba saja mereka berteriak mengaduh sambil bergulingan di tangga loteng. Nasi, kuah dan duri-duri ikan menancap di muka mereka tanpa ampun seperti dipantekkan dan Lek Hui yang marah sekonyong-konyong itu sudah melayang ke depan sambil menggerakkan kakinya.

"Pelayan-pelayan keparat, berani kalian mencampuri racun pada masakan kami? Jahanam, pergi kalau begitu menghadap majikan kalian... des-des!" Lek Hui menendang dua orang pelayan ini dan dua orang laki-laki itu menjerit-jerit dengan kaki patah dan muka penuh darah akibat disemprot muntahan Lek Hui!

Raksasa muda ini gemetar dan kemarahannya yang menggetarkan seluruh isi ruangan di loteng atas itu membuat enam pasang tamu yang tidak menduga bakal ada kejadian seperti itu tiba-tiba saja menjadi seram. Mereka merasa ngeri dan gentar sekali melihat amukan pemuda tingg besar itu, namun sekonyong-konyong Ciok-thouw Taihiap memanggil muridnya ini.

"Hui-ji, kembalilah. Dua orang pelayan itu tidak tahu apa-apa karena biang keladinya sudah di depan mata. Lihatlah...!" Ciok-thouw Taihiap memberi isyarat dan Lek Hui yang melihat pandangan suhunya ke dekat jendela itu tiba-tiba melihat munculnya seorang laki-laki setengah umur bertubuh jangkung tahu-tahu telah berdiri di jendela loteng itu dengan sinar matanya yang keji dan kekehnya yang mengerikan!

"Heh-heh, Ciok-thouw Taihiap, sungguh matamu awas sekali..! Tidak tahu, apakah kau juga mampu mengenaliku seperti matamu yang awas dalam mengenali racun yang kutabur dalam makanan kalian? Atau kau ingin supaya aku mengenalkan diri...?"

Ciok-thouw Thaihiap tersenyum mengejek. "Sahabat yang baru datang, bukankah kau adalah Si Pisau Kilat? Mana suhengmu Si Palu Baja itu? Suruh dia keluar sekalian kalau ada, dari anak buahmu yang seperti tikus bergerombol di bawah loteng itu suruh saja sekalian naik...!"

Si iblis bertubuh jangkung ini tertegun. Dia berkilat ketika memandang Ciok-thouw Taihiap, tapi akhirnya tertawa dengan tubuh bergoyang-goyang. "Ha-ha, Ciok-thouw Taihiap, kau sungguh tidak mengecewakan sebagai ketua subuah perkumpulan di Beng-san-pai. Tapi apakah kau patut menduduki jabatan itu? Karena kudengar selama bertahun-tahun kau menyembunyikan diri di sana dan takut menghadapi lawan! Heh, Pendekar Kepala Batu, apakah kau tahu racun apa yang telah kuberikan kepada kalian....?"

Ciok-thouw Taihiap memandang dingin. "Pisau Kilat, heran amat bahwa hari ini kau lebih banyak bicara daripada bertindak. Apakah maumu? Kalau mau membunuhku dengan segala macam racun yang tidak ada gunanya itu percuma saja kau bersusah payah. Lihat, aku sama sekali telah mengeluarkan racun-racunmu yang tiada guna itu..!"

Perlahan-lahan pendekar ini bangkit berdiri dan apa yang terjadi? Suatu hal yang amat luar biasa sekali, suatu hal yang hampir tidak masuk akal! Pakaiani pendekar itu basah kuyup dan dari dalam pakaian inilah tiba-tiba keluar ribuan air mancur kecil yang menyemprot keluar dari ribuan pori-pori di kulit tubuhnya! Itulah demonstrasi sinkang yang disebut Memeras Racun Menjadikan Keringat dan si iblis bertubuh jangkung yang menyaksikan kesaktian pendekar Beng-san-pai itu berseru tertahan.

"Ah..." iblis ini terkejut dan tiba-tiba mukanya menjadi pucat. Kekuatan sinkang yang dipertunjukkan oleh Pendekar Kepala Batu itu benar-benar kelewat hebat, karena di dunia ini belum ada seorangpun yang mampu merubah racun di dalam tubuhnya menjadi keringat! Maka saking kaget dan herannya Si Pisau Kilat ini mendadak bertepuk tangan. Mulutnya bersuit nyaring dan sementara Lek Hui sendiri tertegun menyaksikan kesaktian gurunya yang amat mengagumkan itu sekonyong-konyong dari bawah loteng berkelebatan bayangan orang yang jumlahnya duapuluh lebih melayang ke atas!

Lek Hui membalikkan tubuh, dan raksasa muda ini mengepalkan tinju dengan mulut menggereng. Dia tiba-tiba sudah dikurung, dari ruangan atas di rumah makan Kupeh-lung-sia itu sekonyong-konyong gaduh. Para tamu yang ada di atas sama berteriak kaget, dan tiba-tiba saja mereka itu brrhamburan keluar dengan muka ketakutan. Enam pasang tamu yang tadi memandang seperti patung-patung hidup itu sekarang mendadak saja berlarian keluar dengan gugup dan Ciok-thouw Taihiap beserta muridnya yang tinggi besar ini dikelilingi oleh anak buah Si Pisau Kilat bersama pemimpinnya.

"Ha-ha... kau memang hebat, Ciok-thouw Taihiap, tapi tetap saja kau tidak bisa meloloskan maut dari tanganku. Racun boleh jadi tidak mempan terhadap tubuhmu, tapi pisauku ini tentu akan berbicara lain....!" Si Pisau Kilat bersikap pongah untuk menutupi rasa kagetnya dengan bermulut besar sedangkan Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba melangkah maju.

Perdekar ini tersenyum aneh, dan matanya yang berkilat-kilat menyapu semua orang yang ada di ruangan itu mengeluarkan getaran tinggi penuh wibawa. "Pisau Kilat, hari ini aku sedang malas bicara. Kalau kau mau membunuhku cepatlah kerjakan. Ingin kulihat, apakah pisau-pisaumu yang biasa kau andalkan itu cukup tajam ataukah tidak? Kalau tajam kau memang pantas mendapat penghargaan, tapi kalau tidak cepatlah pergi sebelum aku membasmi kalian semua...."

Iblis bertubuh jangkung itu menggeram dengan muka merah dan tiba-tiba tangannya berkelebat. Pakaiannya yang penuh kantong-kantong pisau itu disentuh, dan sekali tangannya bergerak tahu-tahu tujuh batang pisau berada di tangannya. "Ciok-thouw Taihiap, kau memang sombong sekali. Apakah kau berani menerima tujuh batang pisauku ini untuk membuktikan ketajamann ya...?" Si Pisau Kilat membentak marah. "Dan kalau kau mampus untuk kesombonganmu ini jangauln salahkan aku!"

"Hm. kau cerewet amat, iblis jangkung," Pendekar Kepala Batu menjawab dingin. "Kalau ingin melemparkan pisaumu itu kenapa tidak cepat-cepat saja? Cobalah, dan aku ingin merasakan gigitannya yang katanya beracun juga itu!"

Si Pisau Kilat membentak gusar mendengar hinaan ini dan sekonyong-konyong dia menggerakkan jarinya. Tujuh sinar putih berkelebat ke arah Ciok-thouw Taihiap, dan pendekar berkepala gundul itu tersenyum mengejek. Dia benar-benar tidak mengelak, dan tujuh pisau kecil yang ditimpukkan iblis jangkung itu mengenai tubuhnya.

"Tak-tak-takk...!"

Aneh sekali. Tujuh pisau ini mental semua dan Si Pisau Kilat yang melihat runtuhnya senjata-senjata gelap itu terbelalak. Tapi belum dia hilang dari kagetnya tiba-tiba Pendekar Kepala batu itu tertawa. Ketua Beng-san-pai ini tampak mengebutkan lengan, perlahan saja ke bawah lantai, dan begitu angin pukulannya menyambar tiba-tiba saja tujuh pisau kecil yang runtuh di atas lantai itu mencelat berhamburan. Tujuh pisau kecil ini mendadak seakan "hidup" dan begitu dikebut oleh lengan Ciok-thouw Taihiap itu sekonyong-konyong menyambar tujuh orang anak buah Si Pisau Kilat yang mengurung Lek Hui.

"Heii...?!" Si Pisau Kilat berteriak kaget dan berseru memperingatkan tapi ternyata semuanya itu sudah terlambat, Pisau yang dikebut Ciok-thouw Taihiap melesat melebihi kecepatan anak panah, dan tujuh orang yang dijadikan sasaran maut ini tidak sempat mengelak. Mereka itu hanya terkesiap sejenak, lalu tiba-tiba menjerit ngeri dan roboh terjengkang!

"Aurghh...!" Si Pisau Kilat melengking penuh kemarahan melihat kejadian ini dan tiba-tiba dia mencabut sepasang belati panjang. itulah senjata mautnya, senjata yang mambuat dia ditakuti lawan dan begitu tujuh anak buahnya roboh mandi darah, iblis bertubuh jangkung ini tiba-tiba sudah berteriak sambil menerjang Pendekar Kepala Batu.

"Theng Lui, Ma Swi, bunuh muridnya yang segede gajah itu dan penggal kepalanya untuk tumbal perkumpulan kita...!" demikian Si Pisau Kilat itu berseru kepada dua orang pengurung Lek Hui yang berada paling depan. Dia sendiri ketika melompat ke arah lawannya dan sepasang belati panjang di kedua tangannya itu menikam dengan gerakan menyilang ke arah Ciok-thouw Tailaiap dengan sikap buas.

Tapi Ciok-thouw Talhiap sendiri tenang-tenang saja, dan Lek Hui yang dikurung belasan lawannya itu juga tertawa mengejek. Pemuda tinggi besar ini sudah mencabut kampaknya, senjata pusaka hadiah dari Pangeran Kou Cien ketika dia mambantu pangeran muda itu, dan ketika orang-orang yang mengurungnya itu mulai menyerang didahului oleh sepasang laki-laki berkumis kasar yang memegang martil dan belati kecil ke arahnya segera raksasa muda itu maju menyambut dengan muka gembira.

"Ha-ha, kalian minta diantar ke akhirat, tikus-tikus busuk? Baiklah, tuan besarmu ini akan mengantar kalian menghadap Giam-lo-ong...!" Lek Hui tertawa bergelak sambil menggerakkan kampak mautnya itu dan Theng Lui serta Ma Swi yang sudah menyambarkan senjata masing-masing dengan mata melotot itu bertemu dengan kekuatan Lek Hui.

"Blangg...!" Tiga orang itu beradu tenaga dan Lek Hui yang memiliki kekuatan gajah ini terkekeh menyeringai. Kapaknya membabat martil dan belati di tangan lawan, dan begitu masing-masing bertemu tenaga tampak Theng Lui bertariak kaget dengan belati yang mencelat dari tangannya!

"Haii?" murid Si Pisau Kilat itu menjadi pucat namun tiba-tiba dengan gesit dia melompat ke udara. Senjata yang tadi lepas ditangkap kembali dan ketika dia turun ternyata Lek Hui sudah dikeroyok oleh belasan temannya yang berteriak marah.

Raksasa muda murid Pendekar Kepala Batu ini segera dikerubut, dan begitu suara senjata saling bergemerincing nyaring dalam pertemuan keras tiba-tiba saja suasana di loteng rumah makan itu menjadi gaduh. Lek Hui dikeroyok seperti gajah bertemu kera dan suara hiruk-pikuk beserta bentakan-bentakan pemuda tinggi basar itu membuat lantai ruangan seakan bergoyang. Tapi raksasa muda ini tertawa-tawa gembira. Dia melayani lawan seperti orang main-main saja, dan kampak di tangannya yang berkilauan itu menyambar nyambar tiada henti. Tiga orang yang berada depan sekaligus dibabat, dan tangkisan mereka yang mempergunakan golok ataupun pedang itu tidak mampu menahannya. Senjata mereka mencelat, dan tahu-tahu pekik mengerikan segera bergema nyaring ketika kampak di tangan murid Ciok-houw Taihiap itu menyobek leher mereka.

"Ha-ha, bagus.. ayo maju semua hai, tikus-tikus busuk agar kampakku yang haus darah ini dapat menikmati tubuh kalian. Dan kau, hei sepasang kumis kasar, kemarilah bukankah kalian disuruh memenggal kepalaku? Nah, hayo kemari, cepat tusukkan senjata kalian itu ke leherku ha-ha-ha!"

Lek Hui tertawa-tawa dengan suara menyeramkan dan kampaknya yang menyambar-nyambar itu membuat Theng Lui serta suhengnya menjadi gentar. Mo Swi tadi sudah mencoba beradu tenaga, dan martil yang hampir saja terjatuh bertemu dengan kekuatan lawan yang segede gajah itu benar-benar membuatnya kaget. Murid si Pendekar Kepala Batu ternyata tidak lumrah manusia umumnya dan ketawanya yang mengejek ke arah mereka berdua itu membuat muka Ma Swi menjadi merah.

Tapi murid si Palu Baja ini memang licik. Sadar dalam benturan pertama tadi bahwa ia kalah tenaga maka laki-laki itu menyerang dari belakang punggung teman-temannya. Dia inilah yang meneriakkan aba-aba agar terus menyerang, dan dengan martil di tangan dia membokong Lek Hui si raksasa muda itu dengan caranya yang amat curang. Dan Theng Lui murid si Pisau Kilat yang tidak kalah liciknya itu juga ikut-ikutan mencontoh suhengnya.

Laki-laki ini menyerang dari samping, dan pisaunya yang berkelebatan menusuk atau menikam dengan cara curang itu akhirnya berapa kali mengenai tubuh Lek Hui. Tapi murid Si Pisau Kilat ini menjadi kaget. Tubuh Lek Hui yang ditusuk pisaunya ternyata kebal dan kemanapun pisau ini mendarat selalu bertemu dengan daging kenyal yang membuat senjatanya mental. Tentu saja murid si Pisau Kilat ini terkejut dan Lek Hui yang diam-diam marah terhadap dirinya itu tiba-tiba membalik sambil menggertak. Kampak di tangan kanannya menangkis hujan senjata dari depan dan belakang, dan ketika pisau Theng Lui untuk ke sekian kalinya menyambar dada, si raksasa muda itu tertawa menyeramkan. Dia tidak mengelak, melainkan mengulur tangan kiri mencekik leher lawan.

Theng Lui terkesiap, dan laki-laki berkumis kasar itu berseru kaget. Pisau di tangannya seakan-akan tak diperdulikan Lek Hui, dari kenyataan bahwa pemuda tinggi besar itu kebal senjata membuat Theng Lui mencelos hebat. Karena itu dia lalu merendahkan tubuh dan pisau yang sedianya menusuk dada raksasa muda itu digentak secepat kilat untuk menikam jari-jari Lek Hui yang sudah menncengkeram di depan lehernya sambil tertawa menyeramkan itu. Pemuda ini memang sudah marah dan pisau Theng Lui yang mencoba melindung cekikannya itu dikeremus.

"Cepp-platakk…..!"

Lek Hui menggeram hebat dan tiba-tiba pilau Theng Lui yang dicengkeram oleh jari-jari tangannya itu patah menjadi dua. Theng Lui berteriak kaget, dan Lek Hui meneruskan cengkeramannya ke dada lawan. Pisau yang patah sudah disambitkan ke kanan kiri menyambar dua orang pengeroyok lain, sementara jari-jari Lek Hui tahu-tahu sudah mencengkeram dada Theng Lui.

"Ha, kau selalu membokong dari belakang, bukan? Mampuslah....!" Lek Hui menggentakkan tangannya dan sekali banting saja dia membuat murid Si Pisau Kilat itu menjerit ngeri dan menggelepar di lantai.

"Brukk....!" Theng Lui terbanting dengan amat kerasnya dan murid Si Pisau Kilat ini serasa remuk tulang-tulangnya. Dia memekik dengan penuh rasa gentar, tapi sekejap kemudian melompat lagi dengan muka pucat. Hal ini mengejutkan Lek Hui, dan raksasa muda itu tertegun sedetik. Bukti bahwa lawan tidak sampai patah tulang-tulangnya oleh bantingan yang sekeras itu menunjukkan kepadanya bahwa orang yang satu ini memang istimewa.

Tapi karena dia sedang sibuk menghadapi keroyokan banyak orang membuat Lek Hui tidak mau berpikir panjang lebar lagi. Dia hanya heran sekejap, dan sedetik kemudian sudah mengayun-ayunkan kapaknya sambil tertawa-tawa menyeramkan. Dua patahan pisau yang disambitkan tadi sudah mendapatkan tambahan jiwa lagi, dan dua orang pengeroyok yang ditimpuk oleh senjata gelap itu sudah terkapar tanpa nyawa!

Kini banjir darah mulai membasahi lantai atas rumah makan Hu-peh-lung-sia. Dan sepak terjang Lek Hui yang seperti amukan seekor gajah itu menggetarkan nyali lawan. Belum ada limabelas gebrakan saja lima orang di antara mereka sudah tewas, dan para pengeroyok itu menjadi ngeri! Theng Lui dan Ma Swi yang berteriak-teriak untuk mengepung lebih rapat itu ternyata hanya pentang bacot saja.

Dua orang murid dan murid keponakan Si Pisau Kilat ini selalu bertempur main mundur. Terutama Theng Lui itu, di mana, senjata utamanya sudah dikeremus Lek Hui seperti orang mengerumus kerupuk udang itu benar-benar sudah kelewat gentar. Laki-laki ini mulai menimpuk-nimpukkan pisaunya yang kecil-kecil sebagai senjata rahasia, dan karena maklum akan kekebalan lawan dia mengarahkan sambitan-sambitannya itu ke bagian-bagian tubuh yang dipandang lemah, yakni sepasang mata dan anggota rahasia Lek Hui.

Hal ini membuat Lek Hui geram bukan kepalang, dan ketika akhirnya suatu ketika dia berhasil merobohkan seorang lawan yang mengganggu di depan tiba-tiba dia melompat ke arah laki-laki ini. Theng Lui yang sedang menggerakkan tangan menimpuk jadi kaget, dan dua pisaunya yang meluncur ke mata raksasa muda itu tampak disampok runtuh. Lek Hui tertawa bergelak, dan Theng Lui yang tidak mengira diterjang musuh yang amat dahsyat itu mendadak berteriak tanpa malu-malu lagi kepada suhengnya,

"Ma-heng, tolong aku...!"

Dan secepat kilat dia tiba-tiba merobohkan tubuh bergulingan di atas lantai. Namun Lek Hui yang sudah dekat tidak dapat dielakkan lagi. Tubuh yang baru saja dibanting mendadak bertemu kaki yang sekeras baja, dan Theng Lui yang didupak oleh murid raksasa Ciok-thouw Taihiap ini mengaduh hebat. Kaki Lek Hui seakan godam Bima Sakti, dan si kumis yang licik itu terpental ke atas. Jeritannya yang mengerikan seolah menambah kegeraman Lek Hui, dan ketika lawan melayang di udara ini tiba-tiba saja jari tangan raksasa muda itu sudah mencengkerarm punggungnya.

"Ha-ha, kau kiranya tidak mampus oleh satu bantingan tadi, ya? Nah, sekarang coba rasakan yang ke dua ini... Brukk!"

Lek Hui melempar lawannya itu ke kosen jendela dan Theng Lui yang sudah hampir pingsan dicengkeram ini menjerit panjang. Kosen jendela yang diterjang tubuhnya bergemuruh, dan kaca serta tiang-tiangnya patah. Tubuh murid Si Pisau Kilat itu terus meluncur jatuh, dan ketika semua orang memandang ternyata laki-laki itu sudah terbanting pingsan di atas tanah dari loteng yang tinggi itu dengan punggung dan kaki tangan patah-patah! Murid Si Pisan Kilat itu terluka hebat, dan kalau tidak tewas dia tentu selamanya bakal menjadi orang bercacat!

Maka gemparlalh keadaan di tempat itu dan Ma Swi yang dimintai tolong oleh sutenya itu meraung penuh kemarahan. Dia ini sebenarnya sudah melompat maju, dan persis ketika tubuh sutenya dilempar Lek Hui dia menggerakkan tangan menghantam kepala raksasa muda itu dengan martilnya. Dan Lek Hui yang sedang melampiaskan kegeramannya terhadap si Theng Lui tadi tidak menduga. Kepalanya dengan telak dihantam martil, dan Lek Hui menggerang dengan tubuh terputar.

"Blang...!" martil menghantam tepat dan raksasa muda itu roboh tersungkur. Tapi hebat dia, kepalanya yang tidak apa-apa dipukul sekeras itu ternyata hanya terasa pusing sedikit dan Lek Hui yang naik darah dihantam secara curang dari belakang itu mendadak melompat berdiri. Murid Kepala Ciok Thouw Taihiap ini membentak. dan sekali dia membalikkan tubuh tahu-tahu murid Si Palu Baja itu ditinju oleh bogem tangan kirinya yang sebesar kelapa. Dan begitu si laki-laki berkumis kasar ini tersentak tiba-tiba gagang kapak di tangan Lek Hui mengetuk kepalanya.

"Dukk!" Ma Swi mengeluh tertahan dan tubuh si murid Palu Baja ganti terjengkang. Dia roboh dengan martil terlepas, dan kaki kanan Lek Hui tahu-tahu menendang pinggangnya.

"Dess!" laki-laki ini terpekik mengaduh dan tubuhnya yang didupak itu mencelat ke tembok ruangan. Dia serasa hancur berkeping-keping ditinju dan ditendang oleh lawannya itu tapi Lek Hui yang hendak memburu maju tiba-tiba sudah dikeroyok oleh lima orang lawan yang cepat-cepat membantunya dari tangan maut Lek Hui. Orang-orang ini memang gentar, tapi karena mereka maju berbareng hatipun terasa lebih mantap dan karena takut murid Si Palu Baja itu binasa yang akibatnya tentu mereka mendapat hukuman hebat maka lima orang pengeroyok inipun terpaksa memburu Lek Hui untuk mencegah raksasa muda itu membunuh Ma Swi.

Dan Lek Hui yang diterjang orang-orang ini mendengus. Dia tidak segan-segan lagi, dan kapak serta kaki tangannya bekerja bergantian. Lawan yang memburu seakan bertemu api, seperti laron yang tidak berarti, dan begitu kaki tangan murid Ciok-thonw Thaihiap ini bekerja begitu pula orang-orang itu terpental berhamburan. Mereka benar-benar bukan lawan Lek Hui, dan raksasa muda yang berang dalam sepak terjangnya ini membantingi mereka satu-persatu.

Maka akibatnya porak-porandalah orang-orang itu. Kemarahan Lek Hui yang tidak kenal ampun itu benar-benar menggiriskan dan tidak sampai sekejap saja akhirnya sisa-sisa para pengeroyok itu terlempar bergulingan keluar pintu. Ada yang mencelat mampus di bawah loteng, dan ada pula yang merintih-rintih dengan tulang remuk di bawah tangga!

Lek Hui benar-benar seperti gajah haus darah, dan pemuda tinggi besar yang akhirnya berdiri sendirian dengan keringat menetes-netes di tengah ruangan itu tampak menyeramkan sekali. Matanya menyapu semua tubuh yang bergelimpangan, dan diam-diam dia mencari laki-laki berkumis kasar yang menghantam kepalanya dengan martil. Tapi sialan, musuh licik yang dicarinya itu rernyata sudah tidak ada lagi. Ma Swi sudah lama melarikan diri dengan sikap amat pengecut!

Maka Lek Hui akhirnya menendangi semua tubuh yang malang-melintang di atas lantai itu dengan gemas dan suara bentakan-bentakan keras di samping kirinya membuat pemuda itu memutar tubuh. Ternyata pertempuran antara gurunya dengan Si Pisan Kilat, biang pembawa celaka yang menimbulkan gaduh di rumah makan itu. Dan melihat keadaan gurunya yang tertawa-tawa mengejek dalam menghadapi lawan membuat Lek Hui menyeringai dengan muka merah.

Kiranya keadaan di tempat ini tiada ubahnya dengan keadaan para pengeroyok yang tadi mengerubutnya. Si Pisau Kilat terdesak hebat, dari belati panjangnya yang selalu mental bertemu dengan lengan gurunya itu membuat si iblis bertubuh jangkung ini memekik-mekik. Dia tampak penasaran hebat, dan sikap Ciok-thouw Taihiap yang selalu mengejeknya itu menjadikan Si Pisau Kilat ini mendelik.

Senjata di tangan seakan tiada guna. Dan kulit Pendekar Kepala Batu yang tidak mempan ditusuk ataupun digurat oleh pisaunya yang panjang itu membuat sute Si Palu Baja ini menggeram penuh kemarahan. Lawan ternyata kelewat tangguh, dan kesaktian si ketua Beng-san-pai ini yang tidak disangkanya benar-benar membuat Si Pisau Kilat melotot penuh kebencian. Ciok-thouw Taihiap tampaknya enak-enak saja menghadapi semua serangannya, dan pendekar berkepala gundul itu yang sama sekali tidak bersenjata benar-benar menjadikan si iblis jangkung ini marah serta gentar bukan main.

Sungguh tidak disangka, bahwa pendekar kepala gundul itu demikian lihai. Dan kalau dia tahu sebelumnya tentu tidak bakalan dia menghadapi lawan yang demikian sakti ini seorang diri saja. Paling tidak, suhengnya Si Palu Baja itu tentu akan diajaknya membantu! Tapi celaka, dia sudah terlanjur bersombong diri untuk menghadapi si ketua Beng-san-pai ini dan kenyataan bahwa dia justeru terdesak hebat sungguh amat di luar perhitungannya sama sekali.

Maka Si Pisau Kilat mulai panik dan pertempuran di antara anak buahnya melawan Lek Hui yang sudah berakhir itupun sampai tidak diketahuinya. Dia terlalu gelisah kini, terlalu gugup dan marah menjadi satu. Lawan yang sama sekali tidak mempan senjata itu membuatnya kehilangan akal. Dan Si Pisau Kilat mulai mundur-mundur dengan muka pucat. Seluruh tubuh Pendekar Kepala Batu itu sudah ditikamnya bertubi-tubi, tapi tidak ada satupun yang berhasil dilukai!

Dan kalau dia mengarah pada mata atau beberapa bagian tubuh yang lunak untuk menerobos kegelisahannya ternyata ketua Beng-san--pai itu tertawa mengejek sambil menggerakkan lengannya menangkis. Dan setiap kali tangkisan tentu membuat dia tergetar hebat dan mencelat mundur!

Celaka, Si Pisau Kilat mulai bingung dan ketika untuk ke sekian kalinya dia menusuk mata kiri Pendekar Kepala Batu itu dengan penuh kebencian dengan pisau di tangan kanan tiba-tiba pisau ditangan kiripun ikut dikerjakan. Secara serentak iblis jangkung ini mencoba menyerang hampir berbareng, dan ketika lagi-lagi lawannya itu menggerakkan lengan untuk menangkis mendadak dia melayangkan kaki kirinya menendang bawah pusar Ciok-thouw Taihiap.

Hebat serangan yang tidak diduga-duga ini. Tapi agaknya lebih hebat lagi ketua Beng-san-pai itu. Dua tikaman beruntun ke arah mata disampok lengan kanannya, dan ketika si iblis bertubuh jangkung itu tergetar hebat tiba-tiba dia menggerakkan tangan kirinya ke bawah. Tendangan si Pisau Kilat ditangkap, dan Si Pisau Kilat yang tidak menduga kejadian itu berteriak kaget. Kaki sudah terlanjur dilayangkan, dan tidak mungkin baginya menarik dadakan dalam suasana secepat itu. Karena itu satu-satunya jalan bagi iblis bertubuh jangkung ini adalah membentak hebat dan dengan tenaga sekuatnya dia menghantam talapak kiri lawan yang melindungi bawah pusar.

"Dukk...!" dua tenaga sakti itu bertemu hebat dan Si Pisau Kilat mungeluh tertahan. Kaki yang ditangkap tidak dapat dilepas, dan jari Ciok-thouw Taihiap yang mencengkenam kakinya itu tiba-tiba mengeluarkan hawa panas yang seperti api membara. lblis jangkung ini terkejut, dan dia tiba-tiba berseru keras. Kaki yang dicengkeram digentak sekuatnya, dan siku kanan yang dia tekuk sudah disodokkan ke leher pendekar berkepala gundul itu dengan cepat untuk membebaskan diri.

Akan tetapi celaka. Ciok-thouw Taihiap tertawa mengejek. Rontaan si iblis jangkung yang hendak melepaskan diri itu. ternyata di balas dengan cengkeraman yang semakin diperkeras dan ketika iblis itu mendoyongkan tubuhnya dengan siku menghantam leher, sekonyong-konyong ketua Beng-san-pai ini menyendalkan tangannya. Hal itu mengakibatkan keseimbangan yang tidak karuan lagi bagi Si Pisau Kilat tepat tubuhnya tertarik maju tiba-tiba pendekar berkepala gundul itu berseru pendek. Kaki yang disendal sekonyong-konyong diangkat, dan Pisau Kilat yang sudah terhuyung ke depan itu berteriak kaget. Dia tidak mampu menahan diri, dan akibatnya tubuh yang diangkat naik itu tiba tiba sudah diputar seperti baling-baling oleh Ciok- thouw Taihiap sambil tertawa bergelak.

"Ha-ha, iblis tua bangkotan, dengan kepandaianmu yang masih mentah begini kau hendak membunuhku? Hem, kau benar-benar tidak tahu diri. Patut dihajar agar mengenal aturan. Hui-ji, terima musuh kita ini dan lempar dia ke bawah sana... wuutl" Ciok-thouw Taihiap melepaskan cekalannya dan Lek Hui yang diteriaki gurunya untuk menerima tubuh Si Pisau Kilat itu berseru girang.

Pemuda tinggi besar ini tidak kepalang tanggung. Si Pisau Kilat yang meluncur ke arahnya itu mengaduh tertahan. Kaki Lek Hui yang sebesar gajah mendupak pinggangnya, dan sekali dia terputar akhirnyapun melayang ke bawah rumah makan dongan suara berdebuk nyaring.

"Blukk!" sute dari Si Palu Baja ini menyeringai kesakitan dan guru serta murid di atas sana itu tertawa mengejeknya. Si Pisau Kilat melompat bangun, dan dengan mata mendelik penuh kemarahan dia mendongakkan kepalanya.

"Ciok-thouw Taihiap...!" iblis itu berteriak gusar. "Hari ini kalian guru dan murid telah menghinaku kelewat batas. Baiklah, awas kalian di lain sempatan. Sekali kita bertemu lagi tentu aku tidak mau memberi ampun...!" lblis itu memutar diri dan dengan terpincang-pincang dia lalu ngeloyor pergi sambil mengertakkan gigi penuh kebencian. Dia sekarang baru sadar bahwa semua anak buahnya sudah pada roboh, dan tahu bahwa dia mengalami kegagalan total membuat iblis berkerat penuh kemarahan. Akan tetapi baru dia melangkah beberapa tindak sekonyong-konyong Theng Lui berseru memanggilnya,

"Suhu, tolong... teecu tidak dapat berdiri…!"

Iblis jangkung itu terkejut dan ketika dia membalikkan tubuh ternyata muridnya itu luka berat. Si Pisau Kilat tertegun, namun tiba-tiba dia melompat maju. Theng Lui yang patah-patah tulangnya itu dikempit, dan sekali dia berkelebat akhirnya iblis inipun benar-benar lenyap meninggalkan rumah makan itu.

Keadaan kini sepi kembali dan Ciok-thouw Taihiap yang berdiri mengejek di atas loteng itu memandang kepergian musuhnya dengan dingin-dingin saja. Dia tidak tersentuh oleh semuanya ini, dan kenyataan bahwa kepandaian Si Pisau Kilat ternyata tidak "seberapa" membuat pendekar itu berdiri angkuh. Pantang baginya membunuh musuh yang tidak "seberapa", dan karena itu dengan tidak khawatir sedikitpun dia melepas lawannya.

Tapi Lek Hui yang berdiri di sebelah mengerutkan alis. Pemuda ini berpikir lain. Si Pisau Kilat yang dianggap musuh berbahaya itu tidak seharusnya diberi keringanan. Karena bukti bahwa iblis itu tidak cidera oleh tendangannya tadi membuktikan bahwa Si Pisau Kilat memang orang yang cukup tangguh. Dan orang yang seperti ini tidak seharusnya dilepas begitu saja. Kenapa gurunya memberi ampun? Karena itu Lek Hui tiba-tiba lalu bertanya kepada gurunya itu,

"Suhu, kenapa orang seperti itu dibiarkan pergi? Seharusnya dia dibunuh saja daripada kelak membikin repot kita...!"

"Hm, saat ini kulihat belum perlu, Hui-ji." Ciok-thouw Taihiap membalikkan tubuh. "Karena ada sesuatu yang kulihat sedikit ganjil pada iblis jangkung itu. Dia biasanya selalu berdua dengan suhengnya, dan kenyataan bahwa dia muncul seorang diri menunjukkan ada sesuatu yang belum kuketahui. Sudahlah, kau urus keonaran ini dan beri ganti rugi pada pemilik restoran. Setelah itu kita mencari rumah penginapan karena aku mendapat firasat bakal bertemu dengan seorang lawan tangguh yang jauh melebihi Si Pisau Kilat!"

Lek Hui terkejut dan pemuda tinggi besar itu tertegun. Tapi gurunya yang sudah tidak mau diganggu lagi itu telah duduk kembali di meja makan mereka yang masih utuh dan Ciok-thouw Taihiap yang menenggak sisa minumannya yang terakhir itu tampak mengeraskan dagu. Lek Hui tidak berani lagi banyak cing-cong kalau begini dan kenyataan bahwa gurunya itu bicara sungguh-sungguh membuat ia mengangkat bahu.

Dengan cepat dia lalu turun, dan pemilik restoran yang hendak diganti rugi itu dicarinya. Tapi aneh. Pemilik restoran yang didatangi ini malah mundur-mundur dengan muka pucat. Dia menyangka Lek Hui hendak membunuhnya karena bukti bahwa si raksasa muda ini melahap semua masakan beracun membuat dia kecut dan ketakutan. Lek Hui yang bicara baik-baik diterimanya salah, dan sodoran ganti rugi ditolaknya dengan tubuh gemetaran.

"Tidak, tidak, tidak, taihiap tidak perlu ganti semuanya itu. Kami yang bersalah, tidak tahu kalau ada orang-orangku yang bermain gila. Kau tidak membunuhku saja sudah merupakan anugerah besar di sini. Siapa hendak menagih ganti rugi? Sudahlah, taihiap ampunilah jiwaku in,i aku tidak tahu apa-apa, tidak tahu kalau ada orang menaruh racun pada makananmu!" si pemiiik restoran itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Lek Hui.

Dan si raksasa muda yang biasanya berangasan itu tertegun. Dia memang tadinya menaruh kecurigaan pada pemilik rumah makan ini, bermaksud hendak memberinya sedikit hajaran karena menyangka anak buah Si Pisau Kilat adalah orang-orang yang ditanam di situ. Tapi akhirnya dia mendapat kenyataan bahwa iblis-iblis di rumah makan itu adalah orang-orang selundupan. Mereka telah memaksa pemilik restoran itu menyerah, dan dengan keji lalu menaburi racun pada masakan yang dipesan oleh guru dan murid dari Beng-san-pai itu atas perintah Si Pisau Kilat.

Dan ketika Si Pisau Kilat muncul, mereka itu tiba-tiba saja telah berada di atas loteng mengurung Lek Hui karena sebelumnya memang telah bersembunyi di tempat itu secara diam-diam. Maka begitulah jadinya. Lek Hui lalu naik kembali menemui gurunya dan keterangan Lek Hui tentang orang-orang yang menjadikan rumah makan itu "markas" busuknya hanya diganda ketawa hambar saja oleh pendekar berkepala gundut ini. Dia bersikap tidak perdulian, dan setelah tidak ada perlunya lagi di tempat itu Ciok-thouw Taihiap lalu mengajak Lek Hui mencari sebuah penginapan.

* * * * * * * *

Malam itu Ciok-thouw Taihiap duduk diserambi depan. Dia baru saja melepas lelah, dan Lek Hui yang selalu mengikuti ke mana gurunya itu pergi tampak sedikit bingung. Wajah gurunya tidak gembira, dan dia yang ingin menghibur ini jadi serba salah. Apa yang hendak dipercakapkan dengan gurunya itu?

Lek Hui tiba-tiba memandang ke depan. Dua orang pemain tioki (catur ) yang tampak asyik di taman penginapan itu sekonyong-konyong menimbulkan gagasannya. Dia dapat mengajak gurunya berbicara tentang itu, dan barangkali kemurungan ini dapat terhibur. Siapa tahu? Maka Lek Hui lalu berkata kepada gurunya itu,

"Suhu, apakah kita tidak perlu mengisi kekosongan ini? Bermain catur misalnya...?"

Pendekar Kepala Batu tiba-tiba mengangkat kepalanya. "Hm, kau hendak bergabung dengan mereka itu, Hui-ji? Bermain catur bersama dua orang di taman itu? Pergilah, aku tidak berminat...!"

Jawaban singkat ini membuat Lek Hui terpaku dan sejenak kebingungannya timbul kembali. Akan tetapi dia lalu menyeringai kecut dan sam-bil memandang gurunya dia menjawab, "Tapi, suhu, bagaimana hendak bermain ganjil dengan mereka? Tidak, kalau suhu tidak berminat teecu juga tidak ingin bermain catur."

"Hm, kalau begitu tidur saja kau di kamar. Atau bersamadhi mengendorkan urat syaraf."

"Dan suhu sendiri?"

"Aku ingin menyendiri di sini. Tinggalkanlah!"

"Ah, baik, suhu….!" Lek Hui terpaksa ngeloyor pergi dan dengan muka muram diapun memasuki kamar. Gurunya tidak dapat dihibur. Dan percuma saja dia hendak mencari-cari alasan. Karena itu membiarkan gurunya menyendiri di serambi depan seperti itu memang agaknya jauh lebih baik dari pada dia memaksa diri untuk menghibur tanpa dikehendaki. Bahkan, jika hal itu dia paksakan tentu bukannya kegembiraan yang didapat malah mungkin bentakan.

Baiklah, dia menyingkir saja kalau begitu dan beristirahat di dalam kamar barangkali dapat mengusir kemurungannya sendiri. Maka Lek Hui membuka pintu kamarnya dan dengan kaki malas dia melangkah masuk. Akan tetapi he...! Sesuatu tiba-tiba mengejutkan pemuda ini. Secarik kertas berisi undangan tiba-tiba saja telah ada di dinding kamarnya, tertempel rapi dengan hurut besar-besar. Apa itu? Lek Hui cepat membaca dan begitu selesai mendadak dia tertegun. Kiranya undangan untuk bermain catur!

Lima kata singkat terbaca di situ, dan bunyinya yang setengah menantang membuat pemuda ini merah mukanya. Tulisan bagaimanakah itu? Pendek saja, bunyinya demikian; KALAU BERANI. MARI BERMAIN CATUR!

Nah, inilah kalimat undangan itu dan Lek Hui yang tertegun di tempatnya tiba-tiba sudah melompat maju sambil merenggut kertas itu. Sekali sambar dia sudah berkelebat keluar kamar dan suhunya yang masih termenung diserambi depan itu diteriaki, "Suhu, ada orang mengundang kita dan suhunya yang duduk di kursi itu terkejut.

Serentak Ciok-thouw Taihiap menoleh dan melihat muridnya tampak terburu-buru itu dia bangkit berdiri. "Apa, Hui-ji, kita menerima undangan orang....?"

Lek Hui mengangguk dan dengan muka cemas dia cepat menyerahkan kertas undangan itu. "Betul, suhu, lihat ini. Tertempel tanpa teecu ketahui di kamar teecu...!" pemuda itu memandang suhunya dan Ciok-thouw Taihiap mengetutkan alis sambil membuka gulungan kertas itu. Setelah membaca dia lalu memanggutkan kepala, dan matanya yang melirik ke arah dua orang di luar taman itu tampak bersinar.

"Merekakah kiranya...?"

Lek Hui mengepal tinju. "Tentu saja, suhu. Siapa lagi orang bermain catur di tempat ini kalau bukannya mereka? Apakah perlu teecu gebrak mejanya agar dua orang itu tahu diri?"

"Hm, jangan. Kita datangi saja mereka itu dan rupanya mereka orang-orang yang menarik. Mari, Hui-ji, kita kesana...!" Ciok-thouw Taihiap sudah melangkah lebar ke taman di depan rumah penginapan itu dan Lek Hui yang dicegah gurunya bermain serampangan menaikkan kening tanda tidak puas.

Namun pemuda tinggi besar ini mengikuti gurunya juga. Dia berjalan tegak di belakang gurunya dan matanya yang bersinar-sinar marah itu agaknya seolah-olah tidak sabar lagi untuk menghajar orang yang telah main gila di kamarnya. Akan tetapi Ciok-thouw Taihiap tidak seperti muridnya yang berangasan itu. Pendekar ini tenang-tenang saja, dan setelah mereka sampai di depan orang pemain catur yang tampak tenggelam dalam keasyikannya itu tiba-tiba pendekar ini berseru,

"Sahabat, apakah betul kalian berdua yang telah mengundang kami?"

Dua orang pemain catur itu tampak terkejut. Mereka serentak mengangkat muka dari papan caturnya dan begitu melihat Ciok-thouw Taihiap berdiri di depan mereka sambil memperlihatkan surat undangan itu tiba-tiba seorang di antaranya buru-buru bangkit berdiri sambil tertawa.

"Aih, Ciok-thouw Taihiapkah kiranya? tidak salah, taihiap....tidak salah. Kamilah yang telah mengundangmu itu dan kalau cara kami kurang berkenan di hatimu sukalah kau memaafkannya. Lun-ji, tamu agung di depan mata kenapa kau diam saja? Hayo cepat beri hormat kepada Beng-san-paicu yang gagah perkasa ini dan menyatakan kekaguman...!"

Orang itu sudah menjura di depan Ciok-thouw Taihiap dan teman satunya yang masih muda tiba-tiba juga buru-buru bangkit berdiri dan memberi hormat di depan ketua Beng-san-pai itu. Ciok-thouw Taihiap membalas penghormatan orang, dan matanya yang menyambar tajam ke laki-laki pertama bertemu dengan kilatan mata yang bersinar penuh pengaruh seperti mata seekor naga. Pendekar ini terkejut, dan diam-diam dia kaget sekali. Bola mata orang yang mencorong penuh tenaga mujijat itu membuatnya tertegun dan Pendekar Kepala Batu ini berdetak.

"Sahabat, kau siapakah gerangan?" akhimya ketua Beng-san-pai ini berhasil juga menenangkan perasaannya dan bukti bahwa dia menerima getaran hebat yang tersembunyi di dalam tubuh laki-laki itu menjadikannya waspada.

Tapi laki-laki itu tertawa. "Ciok-thouw Taihiap, dibanding nama besarmu yang sudah kelewat tersohor itu mana ada harganya aku memperkenalkan diri? Tapi kalau kau ingin mengetahuinya juga baiklah, aku orang she Wan namaku Lui, dan ini adalah muridku yang tolol bemama Lun she-nya Lui. Kami berdua orang-orang yang getol bermain catur. Dan tadi mendengar permintaan muridmu untuk bermain membuat hatiku jadi tergelitik. Apakah taihiap sudi memenuhi undangan kami?"

Ciok-thouw Taihiap tidak sagera menjawab, Dia memandang penuh selidik wajah laki-laki di depannya itu dan matanya yang tajam serta awas mendapatkan kenyataan bahwa orang ini mangenakan sebuah kedok! Hem, Ciok-thouw Taihiap tersenyum mengejek dan sinar matanya yang berkilat penuh pengaruh itu tiba-tiba menunjukkan kekerasan hatinya. "Sahabat she Wan, apakah kau jujur dalam mengundang kami ini?"

"Eh, maksud taihiap?" orang itu terbetalak.

"Aku merasakan adanya sesuatu yang tersembunyi di balik undanganmu. Ada sesuatu yang kau sembunyikan, dan kalau kau jujur mestinya tidak perlu kau menyembunyikan diri seperti itu!"

"Hem...!" orang ini tampak terkejut tapi tiba-tiba dia tertawa. "Ciok-thouw Taihiap, pembicaraanmu terasa aneh sekali. Apa yang kau maksudkan dengan kata-katamu itu? Apa yang kau curigai pada diriku ini....?"

Ciok-thouw Taihiap mendengus. "Orang she Wan, lebih baik kau bicara terus terang saja di depanku. Seorang laki-laki sejati tidak perlu menyembunyikan muka, kenapa kau takut dilihat orang?"

Sekarang laki-laki ini benar-benar tampak kaget dan dia mengeluarkan seruan kagum sambil melangkah mundur setindak. "Astaga, Ciok-thouw Taihiap benar-benar bermata awas! Bagaimana kau bisa tahu aku menyembunyikan muka? Eh, Beng-san paicu, kau tampaknya lihai benar, dan Pisau Kilat yang kau kalahkan sedemikian mudahnya itu benar-benar menarik hatiku. Bagaimana kalau kita menggunakan catur sebagai alat taruhan? Kalau kau menang aku membuka kedokku dan kalau aku yang menang kau ganti yang mengenakan kedokku. Tidak usah lama, seminggu saja cukup dan kalau kau penasaran boleh kita lanjutkan permainan ini sampai lima kali. Masing-masing yang kalah itu tidak boleh menolak! Bagaimana, Beng-san-paicu?"

Laki-laki ini tertawa aneh dan Ciok-thouw Taihiap mengerutkan kening. Dia mendengar muslihat yang licik pada ketawa orang she Wan itu namun pendekar sakti dari Beng-san-paicu ini bersikap sinis. Dia tidak acuh tak acuh, tapi seorang lawan yang belum dikenal baik telah berani berkata seperti itu di depannya cukup mendapat perhatian serius.

Apalagi pernyataan orang tentang komentarnya terhadap Si Pisau Kilat yang lari terbirit-bitit tapi masih berani menantangnya hal itu benar-benar menunjukkan bahwa orang yang menyembunyikan diri dalam kedok karet ini tentu bukan orang sembarangan. Dan Ciok-thouw Taihiap yang merasakan adanya suatu kekuatan mujijat yang tersembunyi pada diri lawannya itu membuat dia jadi gatal hati.

Tapi pendekar ini juga bukan orang yang gampang dibodohi. Jelek-jelek dia adalah ketua sebuah partai persilatan, dan bahwa orang mengajaknya bertaruh seperti itu tentu mempunyai maksud-malasud tersembunyi. Heran dia, siapakah laki-laki itu? Dan mengapa mengusulkan dia ganti mengenakan kedok kalau kalah dalam sekali permainan? Ah, ini pasti muslihat keji seorang musuh dan dia yang belum mengukur sampai di mana kepandaian lawannya itu masa harus mandah saja menerima pertaruhan itu? Bagaimana kalau lawannya ini "tidak sepadan"? Bukankan dia bakal rugi? Dan membayangkan bahwa dia sebagai seorang ketua partai hendak dipermainkan lawan yang belum dilihat jenis "teri atau "kakap" nya itu tiba-tiba membuat pendekar sakti ini menggeram.

"Sahabat she Wan, kau agaknya termasuk manusia yang cerdik juga. Tapi apakah kau sehebat kecerdikanmu itu? Hm, aku harus melihatnya dahulu sebelum memutuskan untuk menerima atau menolak. Jagalah...!"

Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba menggerakkan lengannya dan orang yang ada di belakang meja catur itu sekonyong-konyong mendengar suara bercuit ketika jari ketua Beng-san-pai itu monotok jalan darahnya!

"Wahh...!" orang ini berteriak kaget namun rupanya dia sudah berjaga-jaga. Totokan yang mengarah leher tanpa disentuh itu mendadak dibalas tudingan jari dan begitu dia menuding sekonyong-konyong jarinya juga mengeluarkan suara mencicit seperti jari Ciok-thouw Taihiap! Dan begitu kedua tangan mereka bertemu mendadak terdengar suara mendesis seperti ular marah atau tikus terjepit...



Pendekar Kepala Batu Jilid 21

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 21
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pendekar Kepala Batu Karya Batara
"ASAL tidak dikenang-kenang-lagi...." Bu Kong menjawab heran.

"Dan hatimu kosong kembali?"

"Kosong....?" Bu Kong melengak. "Apa yang kau maksud dengan kosong ini, Hong-moi? Kalau kau maksudkan kosong dari bayangan Siu Li tentu saja hal itu benar. Aku tidak mau dipermainkan bayangan dari pikiranku yang mengada-ada. Dan aku juga berusaha melenyapkan sisa-sisa kenangan terhadap mendiang gadis itu. Siu Li memang gadis malang, dan ini patut dikasihani. Namun bagaimanapun juga ia bukan jodohku. Mengapa kau menanyakan yang aneh-aneh ini, Hong-moi?"

Pek Hong tiba-tiba tersenyum. "Hm, bagus kalau begitu, Yap-koko...." gadis ini tampak gembira. "Dan tentunya kau mencari gantinya Siu Li itu, bukan? Nah, aku mempunyai calonnya, koko, seorang gadis yang tidak kalah hebat dengan mendiang puteri Ok-ciangkun itu.... bahkan tidak kalah hebat dan mulia dibanding gadis yang mana-pun juga! Dia puteri seorang pendekar besar….!"

Sampai di sini mulut Pek Hong agak menyeringai pedih dan Bu Kong yang mendengar kata-kata gadis itu terbelalak. "Hong-moi, apa-apaan ini? Dan siapa yang, kau maksudkan itu...?"

Pek Hong tampak memaksa diri. "Dia bukan lain adalah Souw Ceng Bi, koko, puteri Ciok-thouw Taihiap yang amat lihai. Gadis itu mencintaimu... dan ia amat sakit sekali mendengar semua penderitaanmu yang sudah-sudah. Gadis ini cocok untukmu, koko.... sungguh patut dan serasi sebagai pengganti Siu Li. Dia jujur, polos... dan mulia hatinya tidak seperti aku..."

Pek Hong terisak dengan bibir dikatup kuat setelah mengeluarkan semua kata-katanya ini dan Bu Kong yang mendengar gadis itu berhenti bicara tiba-tiba saja pucat mukanya.

"Hong-moi, apa kau bilang? Ceng Bi... Ceng Bi mencintaiku...?"

Pek Hong mengangguk. "Amat mencintaimu, koko... dengan seluruh jiwa raganya…."

"Astaga...!" Bu Kong berseru kaget dan tiba-tiba dia mencengkeram lengan Pek Hong. "Hong-kau…. kau kenapa bicara seperti itu? Tidak tahukah kau bahwa kata-katamu ini dapat berakibat hebat bagi Ciok--thouw Taihiap dan Pendekar pedang Bu-tiong-kiam Kun Seng? Gadis itu sudah ada yang punya ia dijodohkan oleh ayahnya dengan putera si jago pedang dari Kun-lun itu, Bu-tiong-kiam Kun Seng locianpwe!"

"Apa...?" Pek Hong menarik diri seperti disengat ular berbisa. "Apa katamu, Yap-koko....?"

Bu Kong memandang penuh keharuan. "Hong-moi, kau agaknya kelewat merasa barsalah, dan sikapmu ini sungguh luar biasa sekali, tahukah kau bahwa gadis itu sudah dijodohkan dengan orang lain...? Dan kau di sini hendak main menjodohkan orang begitu saja. Aneh sekali, luar biasa...!" pemuda ini menggeleng-gelengkan kepala dan Pek Hong berseru kaget.

"Ooh....!"gadis itu terbelalak. "Benarkah apa yang kau katakan itu, Yap-koko? Benarkah....?"

Bu Kong melangkah maju. "Hong-moi, pernahkah aku membohongimu? Pernahkah aku mendustaimu? Kalau kau tidak percaya tanyakan saja pada yang bersangkutan, dan di situ kau akan tahu aku berbohong atau tidak...." pemuda ini mengenggam lengan orang dan jari Pek Hong menggigil.

Gadis ini tampak gemetar gelisah, namun sorot matanya yang bercahaya gembira membentur sekejap dengan sinar mata Bu Kong yang penuh kemesraan. Tapi, tiba-tiba Bu Kong melepaskan tangannya.

"Hong-moi, adik Ceng Bi bangun. Dia mencarimu...!" dan baru saja ucapan ini selesai dikatakan mendadak saja bayangan Ceng Bi berkelebat dari dalam menuju belakang kuil sambil berteriak memanggil.

"Enci Hong, kau di manakah....?"

Ceng Bi tiba-tiba muncul dan Pek Hong yang berada di tengah taman terkejut. Sejenak ia tertegun, namun Ceng Bi yang sempat melihat meloncatnya bayangan Bu Kong ke atas tembok tiba-tiba sudah memburu sambil berseru kaget, "He, siapa itu, enci Hong...?"

Tapi Pek Hong masih setengah tertegun. Ia tidak menjawab, hanya bibirnya komat-kamit dengan suara seperti orang berbisik-bisik. Karena itu Ceng Bi yang keheranan akhimya melompat kembali ke dalam taman dan dengan muka terheran-heran ia menepuk pundak temannya ini.

"Enci Hong, kau melamunkan apakah? Siapa orang yang tadi bersamamu itu...?"

Pek Hong akhirnya sadar dan dengan muka merah ia menjawab perlahan, "Kenalan kita yang tadi pagi ke mari, adik Bi, si muka merah itu.."

"He, Ang-bin-siauwjin? Tapi kenapa ia pergi lagi, enci?" Ceng Bi jadi terkejut dan dengan curiga ia memandang Pek Hong.

Namun Pek Hong kini telah dapat menetapkan hati. Dia memang sedang terguncang oleh pembicaraan terakhir dengan pemuda itu tadi tentang keadaan Ceng Bi, maka kini mendengar kecurigaan gadis itu Pek Hong tiba-tiba memutar tubuh. "Adik Bi, siapakah kau kira si Ang-bin-siauwjin itu'"

Ceng Bi tercengang. "Aku memang serasa mengenalnya, enci, tapi tak tahulah, aku lupa siapa dia..."

"Hm, dan kau masih ingat kedipanku sebelum aku membuat teh, bukan?"

"Ya, tapi dia tidak mau mengaku, enci. Dan kau yang kutanya juga sama-sama tidak memberikan jawaban. Agaknya kau kenal baik dengannya!"

Pek Hong tertawa kecil. "Bukan hanya aku sendiri, adik Bi. Kaupun juga telah mengenalnya dengan baik..!"

"He, siapa kalau begitu, enci Hong?"

Tapi Pek Hong tidal buru-buru memberi jawaban. "Ah, pikirlah barang sejenak, adik Bi, jangan tergesa-gesa bertanya. Coba ingat-ingat, apakah yang membuat kau merasa kenal?"

"Sinar matanya, enci," Ceng Bi mengerutkan alis. "Dan aku serasa kenal dengan sinar matanya itu!"

"Hm, kenapa dengan sinar matanya?" Pek Hong merasa heran.

"Seperti mata naga, atau seperti juga mata iblis!"

Pek Hong tak dapat menahan geli hatinya, gadis itu tertawa. "Aih, aneh sekali caramu mengenal orang, adik Bi, tapi kukira ada benarnya juga. Baiklah, siapa kenalan baru kita itu menurut pendapatmu?"

Ceng Bi menggeleng kepala. "Sukar kuduga, enci... aku berada dalam keadaan lupa-lupa ingat. Kalau melihat sinar matanya, aku seperti melihat sinar mata ayah sendiri yang juga berkilat-kilat mencorong seperti mata naga itu. Tapi melihat usia serta bentuk tubuhnya tidak mungkin kalau dia ayah. Hem, siapa dia, enci?"

Pek Hong tersenyum "Orang yang selama ini kau impikan, adik Bi…"

"Ha?" Ceng Bi terkejut.

"Ya, bekas jenderal muda itu.... Pendekar Gurun Neraka!"

"Ahh…!" Ceng Bi terkesiap kaget dan tak terasa gadis ini melompat mundur. "Apa, enci? Bekas jenderal muda itu...? Dia Yap-goanswe...?"

Pek Hong tiba-tiba menyambar lengannya. "Adik Bi, mari kita masuk ke dalam. Ada sesuatu yang ingin kutanyakan!" gadis itu menarik Ceng Bi yang masih tertegun dan Ceng Bi yang terbelalak kaget ini tiba-tiba pucat mukanya. Dia mandah saja diseret Pek Hong dan setelah mereka berada di dalam kill baru Pek Hong melepaskan tangannya.

"Enci Hong, kenapa kenapa kau tidak mau menerangkannya tadi pagi...?" Ceng Bi menegur temannya ini dengan suara menyalahkan tapi Pek Hong tetap tersenyum.

Hanya sekarang murid Ta Bhok Hwesio itu ada terkilat rasa tidak senang pada temannya ini dan Ceng Bi mendadak tidak nyaman hatinya. Gadis itu tampak meninggikan alis, tanda orang yang sedang menahan kemendongkolan hati, dan Ceng Bi yang merasakan sedikit perubahan ini berkat ketajaman perasaannya jadi berdebar-debar. Dia tidak tahu, bahwa Pek Hong marah di dalam hati karena perjodohannya dengan putera Bu-tiong-kiam Kun Seng yang tidak diketahui dan menganggap Ceng Bi gadis tidak tahu malu karena berani mencintai lain pemuda. Maka sikap yang agak kaku dari Pek Hong ini membuat Ceng Bi jadi berdebar-debar dan heran serta tegang.

"Adik Bi..." demikian Pek Hong akhimya membuka suara. "Bisakah kau mengatakan sesuatu dengan jujur kepadaku? Kalau kau menghargai persahabatan kita tentunya kau akan berterus terang kepadaku. Nah, bisakah kau menjawab satu pertanyaan dengan jujur....?"

Pek Hong memandang tajam mata temannya ini dan Ceng Bi tiba-tiba mengedikkan kepala. "Enci Hong, adakah kau melihat aku sebagai gadis yang tidak bisa dipegang kata-katanya? Kalau kau menganggap aku begitu lebih baik kau tidak usah bertanya saja!"

"Hmm...!" Pek Hong tertegun sejenak namun dia ingin memastikan diri. "Maaf, adik Bi, aku bukannya ingin bermaksud kasar kepadamu. Namun satu urusan pribadimu yang ingin kuketahui, tidakkah kau tersinggung oleh pertanyaanku nanti...?"

Ceng Bi memandang aneh. "Enci Hong, malam ini kau terasa ganjil sekali. Ada urusan apakah kau bersikap demikian serius? Kalau kau ingin bertanya sesuatu kepadaku bertanyalah, aku tidak bakal menyimpan rahasia...!"

"Hmm, maaf, adik Bi, tentang perjodohanmu itu " Pek Hong mulai membuka "kartu" dengan hati-hati. "Bukankah kau sudah dijodohkan oleh ayahmu dengan seseorang?"

Ceng Bi tampak terkejut dan sejenak gadis ini tertegun. Pak Hong yang melihat perubahan mukanya tampak menyunggingkan senyum mengejek dan Ceng Bi yang terpukul oleh pertanyaan ini sekonyong-konyong mengepalkan tinju dengan mata berapi.

"Enci Hong, jadi persoalan inikah yang hendak kau tanyakan?"

Pek Hong menganggnk. "Ya, persoalan itu saja, adik Bi..."

"Dan kau menganggap, tahulah aku sakarang!" Ceng Bi tiba-tiba menepuk dahinya. "Kau menganggap aku gadis tak tahu malu, bukan, enci Hong? Kau mengganggap aku yang sudah dijodohkan ini masih berani tidak tahu malu mancintai orang lain? Begitukah enci? Inikah yang hendak kau lontarkan kepadaku....?" Ceng Bi menghebat dengan suaranya yang berapi-api itu namun Pek Hong menganggukkan kepalanya.

"Kau mengagumkan, adik Bi, tapi aku tidak sekasar itu..."

"Ah...!" Ceng Bi mergeluarkan seruan serak dan sekonyong-konyong ia membelalak di depan Pek Hong. "Enci Hong, kau rupanya mempunyai dugaan buruk kepadaku. Baiklah, aku terima semuanya ini. Tapi ketahuilah, enci, bahwa perjodohan yang kau dengar itu adalah perjodohan paksaan dari pihak orang-orang tua, terutama dari pihak ayahku sendiri. Dan aku yang bersangkutan dalam persoalan ini menyatakan tidak sudi! Enci Hong, dengarkah kau tentang pengakuanku. Aku tidak sudi, sekali lagi tidak sudi! Ayah main paksa dalam hal ini, dan aku yang memberontak lalu terpaksa turun gunung minggat sehingga bertemu dengan orang-orang Hiat-goan-pang, itu dan ditangkap si Ui-i-siauw-kwi..."

Ceng Bi berhenti dengan mata berapi-api dan hatinya yang terasa sakit akibat prasangka buruk dari Pek Hong itu akhirnya tak mampu membendung berderainya air mata. Sahabat yang amat disuka dan dicintainya itu ternyata menganggap ia berwatak rendah, dan Ceng Bi yang tidak tahan oleh semua kenyataan ini tiba-tiba menangis dengan suara mengguguk.

Pak Hong tertegun, dan murid Ta Bok Hwesio ini menjadi bengong. Namun sebelum ia minta maaf Ccng Bi mendadak sudah memandangnya lagi dengan air mata bercucuran. "Enci Hong, sungguh tak kusangka bahwa sahabat yang sudah kupercaya sedemikian rupa sampai hati menganggapku sedemikian hina. Tapi tidak apalah, enci…. aku tidak akan sakit hati kepadamu. Aku hanya merasa menyesal saja kepada nasibku yang buruk. Dan persahabatan yang dimulai dengan ketidak-percayaan begini, memang sebaiknya dihentikan saja. Enci Hong, silakan kau beristirahat saja di sini dan biarlah aku menyelesaikan tugasku di Puri Naga. Selamat tinggal, enci Hong, semoga kau lekas sembuh!"

Ceng Bi tiba-tiba membalikkan diri dan tanpa menanti reaksi temannya lagi iapun sudah melompat pergi dengan tangisnya yang ditahan-tahan. Pek Hong terkesiap, dan gadis ini berkelebat menyusul.

"Adik Bi, tunggu dulu....! Aku meminta maaf atas prasangkaku yang buruk…..!"

Ceng Bi sudah tidak menghiraukannya, sakit di hatinya akibat dugaan Pek Hong amat menyinggung keangkuhannya itu. Ceng Bi berlari terus di malam itu juga. Gadis ini menggigit bibir, dan seruan Pek Hong yang berkali-kali kepadanya tidak didengarkan. Maka Pek Hong lalu berdiri pucat dan ketika ia hendak menggerakkan kakinya menyusul Ceng Bi, sekonyong-konyong sebuah bayangan tinggi besar melayang di depannya.

"Hong-moi, jangan kejar dia. Gadis yang berwatak keras itu percuma saja kau lunakkan hatinya. Bersabarlah....!"

Bu Kong tahu-tahu telah berdiri di depan murid Ta Bhok Hwesio ini dan Pek Hong terisak sedih lalu menubruk dengan kakinya yang gemetar.

"Yap koko, bagaimana aku bisa berbuat salah lagi....? Bagaimana aku bisa menyakiti hatinya….? Ah, dan ia pergi ke Puri Naga, koko.... seorang diri…. padahal aku belum sempat memberitahukan kepadanya tentang kebebasan Lek Hui....!"

Pek Hong menangis penuh penyesalan dan Bu Kong mengguncang pundaknya. "Sudahlah, Hong moi, jangan pikirkan lagi hal itu. Kau tidak sengaja, dan aku sendiri juga tidak mengira bahwa perjodohannya adalah hasil paksa. Hem, bagaimana Ciok-thouw Thaihiap bisa berpandangan sepicik itu? Baiklah, mari kita bagi tugas, Hong-moi kau susul adik Ceng Bi melalui jalan potong ke arah utara ini dan aku akan mendahului ke Puri Naga lewat jalan timur. Pertemuan puncak pada hari ulang tahun pertama Perkumpulan Gelang Berdarah itu sudah dekat, dan aku tidak dapat menunda perjalanan lagi. Hong-moi, adakah pesan yang hendak kau titipkan padaku?"

Pek Hong mengangkat mukanya dan bibir yang pucat itu menggigil gemetar. "Ada, tapi tidak sekarang. koko... maukah kau memenuhinya?"

Bu Kong tersenyum mesra. "Hong-moi, kau sendiri sudah cukup menderita. Bagaimana aku tega monolaknya? Jangankan satu, sepuluh permintaan asal dapat tentu kupenuhi, Hong moi....!"

Pek Hong mengeluh perlahan mendengar kata-kata itu dan pandangan yang penuh getaran lembut dari pemuda itu membuat jantungnya berdenyut cepat. Dia menggigit bibir, dan Bu Kong tiba-tiba berbisik lirih,

"Hong-moi, adakah kesempatan hatiku untuk menikmati kebahagiaan di hatimu...?"

Pe Hong tergetar hebat dan sekonyong konyong ia merenggutkan dirinya. "Yap-koko, apa... apa yang kau maksudkan...?"

Bu Kong tersenyum getir. Dia tidak segera menjawab pertanyaan itu, melainkan memandang gadis ini dengan sinar mata penuh keharuan. Suara yang serak gemetar itu membuat hatinya tertusuk, dan pandangan yang penuh kemesraan itu seharusnya sudah merupakan jawaban yang melebihi segala-galanya. Tapi Bu Kong berkata juga,

"Hong-moi, aku tahu luka-luka yang ada di hatimu, dan aku bermaksud menghapus luka-luka itu. Apakah kau memberi kesempatan kepadaku untuk menyembuhkan luka-luka ini? Akupun ingin membalas segala kebaikanmu, Hong-moi, ingin menebus semua kesalahanku kepadamu...!"

Pemuda itu memandang penuh kelembutan dan Pek Hong tiba-tiba mengeluh sambil memejamkan matanya mendengar ucapan cinta yang terselubung halus ini. Ia menangis tanpa suara, dan bulu matanya yang bergetar seperti raisai kupu-kupu yang sedang menghisap madu itu kelihatan bergerak-gerak.

"Yap-koko... aku... aku... ah, apa yang harus kukatakan...?" gadis ini tersedu-sedu. "Padahal... padahal kau lebih cocok dengan adik Ceng, koko... dia jauh lebih baik dan mulia dibanding aku... dia jauh lebih luhur dan berharga dibanding aku..., aku gadis egois, gadis yang selalu mementingkan diri pribadi belaka...!"

Pek Hong menangis penuh kecewa terhadap diri pribadinya dan Bu Kong mengerutkan alis mendergar gadis itu menyebut-nyebut nama Ceng Bi. Sejenak dia menjadi muram, namun akhirnya menghela napas.

"Hong-moi, jangan kau banding-bandingkan dirimu dengan siapapun. Setiap orang memiliki kelemahannya sendiri-sendiri, untuk apa kau begitu menyesal? Sudahlah, Hong-moi, simpan kedukaanmu itu. Kita berdua harus secepatnya ke Puri Naga, dan tentang Souw Ceng Bi kuserahkan sepenuhnya kepadamu. Bukankah kau harus melindungi gadis itu? Dan tentang usulmu itu, hem... tidak mungkin bagiku untuk melepaskan dirimu bila kau tidak keberatan, Hong-moi. Dan urusan jodoh itu adalah persoalannya pribadi! Kenapa kau hendak mencampurkannya dalam urusan kita berdua. Sudahlah, Hong-moi, marilah kita bekerja cepat. Aku pergi ke arah timur sedangkan kau menyusul Ceng Bi lewat arah utara...!" Bu Kong tiba-tiba mengecup kening gadis ini dan Pek Hong merintih dengan suaranya yang gemetar.

Gadis itu menggigil hebat, dan sentuhan yang baru pertama kali itu diterimanya dari pendekar muda benar-benar membuat kakinya seakan lumpuh. Sungguh mati, belum pernah pemuda pujaannya itu menyentuh dia demikian mesra, meskipun hanya kecupan pada kening belaka! Maka tidak aneh kalau Pek Hong seakan melayang semangatnya pada awang-awang yang tinggi dan ketika pemuda itu sendiri sudah lenyap dari depannya gadis ini masih saja meramkan mata dengan bibir yang digigit gemetar.

Kehangatan serta kebahagiaan besar sedang melanda hatinya dan Pek Hong tidak ingin perasaan yang demikian nikmat itu segera lenyap dari hatinya. Namun kelengangan yang hening akhirnya membuat gadis itu membuka matanya juga. Suatu perubahan yang menyolok pada sinar matanya. Suatu cahaya lembut serta bersinar-sinar memancar jernih dari bola mata yang indah berseri itu, dan Pek Hong tampak demikian babagia. Pendekar Gurun Neraka telah menyatakan cinta kepadanya, dan siapa yang tidak akan menjadi demikian gembira. Padahal ia sudah amat lama sekali mengharap kejadian seperti ini, jauh beberapa waktu yang lalu ketika pendekar itu masih menjadi jenderal muda yang dibantunya!

Kini Pek Hong seakan menjadi orang baru. Apa yang diharap tibalah sudah. Dia akhirnya mendapatkan juga kasih sayang orang yang dicinta. Tapi apakah itu sudah cukup? Tidak! Ada sesuatu kini yang mengganjal hatinya. Dan itu adalah Ceng Bi. Hm, dia harus mencari gadis itu, harus minta maaf dan mencegahnya ke Puri Naga. Tapi bagaimana caranya? Gadis itu adalah puteri Ciok-thouw Taihiap, dan sebagai puteri seorang pendekar besar yang amat dikenal watak kepala batunya itu tentu tidak mudah baginya untuk meredakan amarah yang sudah terlanjur menyinggung gadis itu. Dia harus mencari akal, dan Ceng Bi harus dapat diyakinkan sedemikian rupa agar hubungan mereka dapat kembali pulih sepetti sedia kala. Tapi bagaimana caranya? Gampang, dia akan mencari sambil berjalan!

Maka dengan adanya keputusan ini Pek Hong pun lalu menggerakkan kakinya melompat keluar kuil. Malam yang gelap tidak menjadikannya halangan, dan tenaganya yang sudah hampir pulih itu memberikan kekuatan yang cukup meyakinkan baginya. Maka berlarilah Pek Hong menuju arah utara untuk menyusul Ceng Bi itu sesuai dengan keputusannya.

* * * * * * * *

Meninggalkan sejenak tiga orang muda-mudi itu baiklah kita tengok keadaan Ciok-thouw Taihiap yang melakukan perjalanannya bersama Lek Hui. Seperti diketahui, pendekar besar ini sedang turun gunung untuk memenuhi dua hal. Pertama mencari puterinya yang minggat sedangkan yang ke dua adalah untuk memenuhi undangan Perkumpulan Gelang Berdarah.

Dan sesuai dengan wataknya pendekar ini turun gunung dengan cara terang-terangan. Dia memang tidak kenal takut, dan meskipun tahu bahwa bannyak musuh di kanan kirinya namun setitikpun pendekar itu tidak merasa gentar. Dia selama ini "bersembunyi" di Pegunungan Beng-san adalah dikarenakan untuk menjaga keselamatan putera-puterinya. Dan sekarang setelah orang-orang yang dijaga itu malah minggat tanpa kabar beritanya lagi tentu saja pendekar itu tidak mau berdiam diri.

Dia hendak mengobrak-abrik dunia kang-ouw, terutama orang-orang dari golongan hitamnya itu. Dan kalau sampai terjadi sesuatu yang mencelakakan dua orang anak-anaknya itu tentu dia tidak mau memberi ampun. Tangan besinya telah cukup dikenal orang, dan untuk ini mereka tahu bahwa dia tidak mau main-main. Sekali bentrok tentu pertumpahan darah bakal tidak dapat dihindarkan dan mereka pasti tahu rasa.

Ciok-thouw Taihiap mengertakkan gigi dan perjalanannya yang sudah melewati lima hari dengan tenang-tenang itu akhirnya membawa dia singgah di kota Wu-kiang. Kota ini termasuk kota pelabuhan, sebuah kota yang ramai, dalam wilayah Propinsi Hu-peh. Dan aliran sungai Wu-han yang membelah kota ini menjadikan Wu-kiang hiruk pikuk setiap hari.

Karena itu Ciok-thouw Taihiap akhirnya melepas kesal di kota ini. Dia mencari sebuah restoran, dan bersama Lek Hui yang tinggi besar akhirnya mereka memasuki rumah makan "Hiu-peh-lung-sia" yang berlantai dua. Kehadiran mereka berdua cukup menarik perhatian. Karena yang satu seperti raksasa muda sedangkan yang lain berkepala gundul dengan wajah angker penuh wibawa pertanda orang yang tidak suka main-main.

Dan Ciok-thouw Taihiap langsung saja naik ke loteng. Dia tidak mau makan di bawah, karena terlalu ramai di situ. Dan Lek Hui yang selalu mengikuti gurunya ini juga tidak banyak bicara. Dua orang pelayan laki-laki menyambut mereka, di tangga loteng, dan mereka tersenyum dengan basa-basinya yang usang.

"Mau makan di atas, taihiap? Ah, silahkan naik….. kami menyediakan masakan-masakan istimewa untuk jiwi berdua. Mari masuk, taihiap... mari...!" seorang diantara mereka buru-buru melangkah mendahului dan ketawanya yang termasuk keramahan komersil itu hanya disambut dengan sikap dingin-dingin saja oleh Ciok-thouw Taihiap.

Mereka diajak duduk di tengah, dan pelayan yang ha-ha-he-he ini sudah mengebut-ngebutkan serbetnya di atas meja dan kursi. "Ji-wi to hiap, mari duduk di sini, enak dan tidak berdebu....!" pelayan itu menyodorkan kursinya tapi Ciok-thouw Taihiap bersikap tak acuh.

Dia tidak mau menuruti permintaan pelayan itu melainkan terus melangkahkan kaki menuju ke sudut ruangan. Tentu saja sang pelayan itu tertegun, tapi dia cepat-cepat berlari kecil menghampiri meja yang dituju dua orang tamunya ini dengan tertawa menyeringai.

"Ah, ji-wi hendak makan di tempat itu, tai-hiap? Baiklah, tempat ini memang enak juga, sepi dan tidak terganggu. Sebentar, taihiap, biar kubersihkan dahulu tempat pilihanmu ini…." pelayan itu sudah tertawa ha-ha-he-he lagi dan serbet yang ada di tangannya itu dikebut-kebutkan cepat membersihkan meja kursi lalu mempersilakan tamunya duduk.

Ciok-thouw Taihiap bersikap tak acuh, dan dua orang pelayan lain tiba-tiba muncul di depan mereka. Mereka itu adalah gadis-gadis cantik, dan pakaian seragamnya yang biru merah itu tampak memikat dipandang.

"Ji-wi Taihiap, kalian hendak makan apakah? Kakap goreng, bistik kakap atau masakan berkuah? Kami menyediakan masakan-masakan istimewa, taihiap, dan kalau ingin hidangan berkuah kami menyediakan banyak ragamnya. Tinggal pilih, ada Hipin Kuah, Hiwan Kuah maupun Hikio Saus Tomat! Atau taihiap ingin masakan kepiting? Ada ada, taihiap.... tinggal pilih! Mau Kepiting Cai, Kepiting Kuah atau Kepiting Asem Manis serta Cinkong...?"

Lek Hui memandang gurunya. "Suhu, kita hendak makan apakah?"

Ciok-thouw Taihiap bersikap aras-arasen. "Terserah kau sajalah, Hui-ji, aku tinggal mencicipi apa yang kau ingini..."

"Hm, kalau begitu semuanya itu bawa ke sini saja, nona!" Lek Hui tiba-tiba berseru. "Dan tambahkan nasi buat lima belas orang...!"

Dua orang gadis itu terkejut. "Apa, siauw-thiap, semuanya itu dibawa kemari….!?

"Ya, dan limabelas piring nasi untuk kami berdua!"

"Ooh...!?" gadis-gadis pelayan ini terbelalak namun akhirnya mereka tersenyum-senyum kaget. Lek Hui yang memandang tajam membuat mereka tersipu-sipu gugup tapi seorang di antaranya tiba-tiba teringat akan sesuatu. "Dan minumnya, jiwi taihiap? Arak ataukah susu panas?"

"Hm, kami lebih suka minuman dingin. Adakah klengkeng atau buah lechi?"

"Ada, siauw-hiap..."

"Baik bawa sepuluh guci bersama hidangan yang kami pesan!"

Dua orang gadis itu saling pandang namun pelayan laki-laki yang tadi membersihkan meja kursi dengan tiba-tiba tertawa, "Siang-bwee, kenapa kalian bengong saja? Hayo cepat pergi dan siapkan hidangan tamu...!"

"Oh, baik.... baik...." dua orang gadis itu terkejut dan dengan kikik ditahan akhirnya mereka berdua berlari kecil menuruni tangga menyiapkan pesanan yang luar biasa itu. Sungguh tidak habis pikir oleh mereka, bagaimana dua orang tamu saja memesan makanan sedemikian banyak? Tapi melihat bentuk tubuh Lek Hui istimevva mau juga mereka itu percaya bahwa agaknya si raksasa muda itu memang amat gembul.

Dan Lek Hui yang telah mencengangkan pelayan-pelayan restoran ini sebentar saja menarik perhatian tamu-tamu lain yang ada di atas loteng. Mereka itu ada enam pasangan, dan mata yang tertuju ke meja sudut ruangan itu segera saja beradu pandang. Namun begitu bentrok dengan mata sepasang guru dan murid ini kontan orang-orang itu keder nyalinya.

Ciok-thouw Taihiap terlalu bengis sorot matanya, sedangkan Lek Hui yang tidak begitu seperti gurunya terlalu menyeramkan dengan bentuk tubuhnya. Guru dan murid itu seperti bukan manusia-manusia lumrah, dan mereka itu memancarkan perbawa yang mengerikan. Ciok-thouw Taihiap sendiri yang mendengar pesanan muridnya tentang makanan yang sebanyak itu diam-diam hanya tersenyum saja di dalam hati. Dia memang tahu "porsi" murid kepalanya ini, maka tidak merasa aneh kalau meminta hidangan sebanyak itu.

Lain halnya dengan orang-orang baru. Mereka itu tentu saja terheran-heran dan merasa takjub bahwa ada seorang manusia muda demikian gembul cara makannya. Di samping memesan masakan seperti orang main borong juga masih ditambah dengan minuman klengkeng serta buah lechi sebanyak sepuluh guci. Astaga! Mau dikemanakan saja hidangan sebanyak itu? Cukupkah perut dua orang tamu ini menampung makanan seluar biasa itu?

Tapi semua kenyataan ini akhirnya mereka buktikan juga. Dua orang gadis pelayan yang sudah muncul lagi di tangga loteng tampak lari ke sana ke mari membawa penampan-penampan panas berisi hidangan dua orang tamu istimewa itu. Satu persatu semua masakan diatur rapi, dan setelah kakap, kepiting dan nasi serta minumannya dijajar, ternyata satu meja saja tidak cukup! terpaksa sebuah meja ditarik lagi dan jadilah dua orang guru dan murid itu menghadapi dua meja besar sekaligus dengan hidangannya yang serba lezat!

Lek Hui tersenyum lebar, dan dia memandang gurunya. "Suhu, mari kita nikmati hidangan ini. Perutku sudah lapar nih...!" pemuda itu tertawa menyeringai dan Ciok-thouw Taihiap mengangguk.

"Mulailah, Hui-ji, aku pelan-pelan saja...." pendekar itu menjawab tenang dan Lek Hui tahu-tahu sudah tertawa gembira sambil menyambar seekor ikan besar yang masih mengepul panas di atas meja tanpa sungkan-sungkan lagi. Dengan nikmat dia mengunyah ikan itu. Dan lima piring nasi yang ada di atas meja tiba-tiba dituangkannya jadi satu lalu dicampur dengan segala macam saus yang semuanya serba panas!

Tentusaja gurunya tersenyum geli, namun Ciok-thouw Taihiap tidak menampakkan perasaan hatinya itu. Pendekar ini dingin-dingin saja, dan sementara Lek Hui sudah mulai menyambar satu demi satu masakan di atas meja tanpa sungkan-sungkan lagi diapun juga mulai mengisi perutnya dengan sikap tenang. Hanya bedanya, kalau Lek Hui tampak demikian gembul dan lahap adalah pendekar itu mengunyah demikian perlahan sehingga mirip seorang kakek yang tidak memiliki gigi. Tapi anehnya, apa yang "disikat" oleh Lek Hui itu ternyata sama banyak dengan yang diambil gurunya. Sungguh aneh! Lima belas piring nasi putih di atas meja itu tahu-tahu telah terbagi dua dengan rata untuk guru dan murid ini tanpa sisa. Ajaib!

Enam pasang tamu yang diam-diam melirik ke meja hidangan guru dan murid itu sama terheran-heran. Tidak tahu mereka, bagaimana caranya si tua yang berwajah angker itu menghabiskan hidangannya. Apakah disedot atau ditelan seperti angsa atau kalkun terbang? Mereka terbengong tidak mengerti dan Lek Hui yang melihat keheranan orang itu diam-diam tertawa geli.

Gurunya ini memang orang aneh. Dan salah satu dari sekian wataknya yang aneh-aneh adalah tidak kenal sungkan. Seperti sekarang itu misalnya. Meskipun mereka memesan makanan demikian banyak toh gurunya itu tidak ambil pusing. Mereka makan dengan membayar, dan hidangan yang dipesan memang sudah jatahnya, tidak dibuang-buang percuma. Untuk apa menghiraukan tanggapan orang? Kalau perutnya lapar gurunya itu memang bisa menghabiskan segentong nasi dengan lauk pauknya, jangankan hanya limabelas piring yang masih harus dibagi dua!

Maka Lek Hui yang juga makan tanpa menghiraukan tanggapan orang lain itu hanya tertawa saja di dalam hatinya dan sebentar saja hidangan untuk limabelas orang dewasa inipun tersapu bersih! Piring mangkok tinggal kuahnya melulu, dan duri-duri bekas ikan atau kepiting laut itupun berserakan di atas meja. Lek Hui mengusap mulutnya, dan sambil tertawa dia berkata kepada gurunya,

"Suhu, nikmat benar kita makan hari ini. Apakah karena masakannya yang betul-betul istimewa ataukah karena kita yang selama beberapa hari ini hanya makan daging buruan di hutan?"

Ciok-thouw Taihiap mendengus. "Hui-ji, jangan kau tertawa-tawa dulu. Apakah kau tidak merasakan sesuatu yang aneh pada hidangan yang kita santap?"

Lek Hui terkejut. "Eh, sesuatu yang aneh apa, suhu? Bukankah kita makan dengan kenyang?"

"Hm, bodoh kau. Kita telah menikmati racun yang terselubung dalam makanan dan minuman itu....!"

"Hah...?" Lek Hui terkesiap dan sekonyong-konyong pemuda itu terlonjak. "Racun, suhu...? Pada makanan dan minuman kita?"

"Ya, dan sebentar lagi harus kau muntahkan semua makanan itu kalau kau tidak ingin mampus....!"

"Ooh...?" Lek Hui terbelalak dan baru ucapan gurunya itu selesai dikeluarkan tiba-tiba saja dia merasa perutnya bergolak mendidih seperti dihuni kawah berapi. Raksasa muda ini terkejut, dan tiba-tiba dia menggereng. Makanan yang sudah memasuki perutnya itu mendadak dihisap naik dan sekali dia menepuk perutnya yang menggendut itu sekonyong-konyong semua ikan, nasi dan lauk-pauk beserta minuman yang telah dia telan tiba-tiba saja dimuntalkan keluar! Hebat cara pemuda tinggi besar ini mengeluarkan isi perutnya. Dia tidak hoak-hoek seperti umumnya orang muntah melainkan sekaligus disemprotkan dari dalam perutnya ke arah dua orang pelayan laki laki yang tadi menyambut mereka di tangga loteng!

"Proottt..!"

Dua orang pelayan itu menjerit kaget dan tiba-tiba saja mereka berteriak mengaduh sambil bergulingan di tangga loteng. Nasi, kuah dan duri-duri ikan menancap di muka mereka tanpa ampun seperti dipantekkan dan Lek Hui yang marah sekonyong-konyong itu sudah melayang ke depan sambil menggerakkan kakinya.

"Pelayan-pelayan keparat, berani kalian mencampuri racun pada masakan kami? Jahanam, pergi kalau begitu menghadap majikan kalian... des-des!" Lek Hui menendang dua orang pelayan ini dan dua orang laki-laki itu menjerit-jerit dengan kaki patah dan muka penuh darah akibat disemprot muntahan Lek Hui!

Raksasa muda ini gemetar dan kemarahannya yang menggetarkan seluruh isi ruangan di loteng atas itu membuat enam pasang tamu yang tidak menduga bakal ada kejadian seperti itu tiba-tiba saja menjadi seram. Mereka merasa ngeri dan gentar sekali melihat amukan pemuda tingg besar itu, namun sekonyong-konyong Ciok-thouw Taihiap memanggil muridnya ini.

"Hui-ji, kembalilah. Dua orang pelayan itu tidak tahu apa-apa karena biang keladinya sudah di depan mata. Lihatlah...!" Ciok-thouw Taihiap memberi isyarat dan Lek Hui yang melihat pandangan suhunya ke dekat jendela itu tiba-tiba melihat munculnya seorang laki-laki setengah umur bertubuh jangkung tahu-tahu telah berdiri di jendela loteng itu dengan sinar matanya yang keji dan kekehnya yang mengerikan!

"Heh-heh, Ciok-thouw Taihiap, sungguh matamu awas sekali..! Tidak tahu, apakah kau juga mampu mengenaliku seperti matamu yang awas dalam mengenali racun yang kutabur dalam makanan kalian? Atau kau ingin supaya aku mengenalkan diri...?"

Ciok-thouw Thaihiap tersenyum mengejek. "Sahabat yang baru datang, bukankah kau adalah Si Pisau Kilat? Mana suhengmu Si Palu Baja itu? Suruh dia keluar sekalian kalau ada, dari anak buahmu yang seperti tikus bergerombol di bawah loteng itu suruh saja sekalian naik...!"

Si iblis bertubuh jangkung ini tertegun. Dia berkilat ketika memandang Ciok-thouw Taihiap, tapi akhirnya tertawa dengan tubuh bergoyang-goyang. "Ha-ha, Ciok-thouw Taihiap, kau sungguh tidak mengecewakan sebagai ketua subuah perkumpulan di Beng-san-pai. Tapi apakah kau patut menduduki jabatan itu? Karena kudengar selama bertahun-tahun kau menyembunyikan diri di sana dan takut menghadapi lawan! Heh, Pendekar Kepala Batu, apakah kau tahu racun apa yang telah kuberikan kepada kalian....?"

Ciok-thouw Taihiap memandang dingin. "Pisau Kilat, heran amat bahwa hari ini kau lebih banyak bicara daripada bertindak. Apakah maumu? Kalau mau membunuhku dengan segala macam racun yang tidak ada gunanya itu percuma saja kau bersusah payah. Lihat, aku sama sekali telah mengeluarkan racun-racunmu yang tiada guna itu..!"

Perlahan-lahan pendekar ini bangkit berdiri dan apa yang terjadi? Suatu hal yang amat luar biasa sekali, suatu hal yang hampir tidak masuk akal! Pakaiani pendekar itu basah kuyup dan dari dalam pakaian inilah tiba-tiba keluar ribuan air mancur kecil yang menyemprot keluar dari ribuan pori-pori di kulit tubuhnya! Itulah demonstrasi sinkang yang disebut Memeras Racun Menjadikan Keringat dan si iblis bertubuh jangkung yang menyaksikan kesaktian pendekar Beng-san-pai itu berseru tertahan.

"Ah..." iblis ini terkejut dan tiba-tiba mukanya menjadi pucat. Kekuatan sinkang yang dipertunjukkan oleh Pendekar Kepala Batu itu benar-benar kelewat hebat, karena di dunia ini belum ada seorangpun yang mampu merubah racun di dalam tubuhnya menjadi keringat! Maka saking kaget dan herannya Si Pisau Kilat ini mendadak bertepuk tangan. Mulutnya bersuit nyaring dan sementara Lek Hui sendiri tertegun menyaksikan kesaktian gurunya yang amat mengagumkan itu sekonyong-konyong dari bawah loteng berkelebatan bayangan orang yang jumlahnya duapuluh lebih melayang ke atas!

Lek Hui membalikkan tubuh, dan raksasa muda ini mengepalkan tinju dengan mulut menggereng. Dia tiba-tiba sudah dikurung, dari ruangan atas di rumah makan Kupeh-lung-sia itu sekonyong-konyong gaduh. Para tamu yang ada di atas sama berteriak kaget, dan tiba-tiba saja mereka itu brrhamburan keluar dengan muka ketakutan. Enam pasang tamu yang tadi memandang seperti patung-patung hidup itu sekarang mendadak saja berlarian keluar dengan gugup dan Ciok-thouw Taihiap beserta muridnya yang tinggi besar ini dikelilingi oleh anak buah Si Pisau Kilat bersama pemimpinnya.

"Ha-ha... kau memang hebat, Ciok-thouw Taihiap, tapi tetap saja kau tidak bisa meloloskan maut dari tanganku. Racun boleh jadi tidak mempan terhadap tubuhmu, tapi pisauku ini tentu akan berbicara lain....!" Si Pisau Kilat bersikap pongah untuk menutupi rasa kagetnya dengan bermulut besar sedangkan Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba melangkah maju.

Perdekar ini tersenyum aneh, dan matanya yang berkilat-kilat menyapu semua orang yang ada di ruangan itu mengeluarkan getaran tinggi penuh wibawa. "Pisau Kilat, hari ini aku sedang malas bicara. Kalau kau mau membunuhku cepatlah kerjakan. Ingin kulihat, apakah pisau-pisaumu yang biasa kau andalkan itu cukup tajam ataukah tidak? Kalau tajam kau memang pantas mendapat penghargaan, tapi kalau tidak cepatlah pergi sebelum aku membasmi kalian semua...."

Iblis bertubuh jangkung itu menggeram dengan muka merah dan tiba-tiba tangannya berkelebat. Pakaiannya yang penuh kantong-kantong pisau itu disentuh, dan sekali tangannya bergerak tahu-tahu tujuh batang pisau berada di tangannya. "Ciok-thouw Taihiap, kau memang sombong sekali. Apakah kau berani menerima tujuh batang pisauku ini untuk membuktikan ketajamann ya...?" Si Pisau Kilat membentak marah. "Dan kalau kau mampus untuk kesombonganmu ini jangauln salahkan aku!"

"Hm. kau cerewet amat, iblis jangkung," Pendekar Kepala Batu menjawab dingin. "Kalau ingin melemparkan pisaumu itu kenapa tidak cepat-cepat saja? Cobalah, dan aku ingin merasakan gigitannya yang katanya beracun juga itu!"

Si Pisau Kilat membentak gusar mendengar hinaan ini dan sekonyong-konyong dia menggerakkan jarinya. Tujuh sinar putih berkelebat ke arah Ciok-thouw Taihiap, dan pendekar berkepala gundul itu tersenyum mengejek. Dia benar-benar tidak mengelak, dan tujuh pisau kecil yang ditimpukkan iblis jangkung itu mengenai tubuhnya.

"Tak-tak-takk...!"

Aneh sekali. Tujuh pisau ini mental semua dan Si Pisau Kilat yang melihat runtuhnya senjata-senjata gelap itu terbelalak. Tapi belum dia hilang dari kagetnya tiba-tiba Pendekar Kepala batu itu tertawa. Ketua Beng-san-pai ini tampak mengebutkan lengan, perlahan saja ke bawah lantai, dan begitu angin pukulannya menyambar tiba-tiba saja tujuh pisau kecil yang runtuh di atas lantai itu mencelat berhamburan. Tujuh pisau kecil ini mendadak seakan "hidup" dan begitu dikebut oleh lengan Ciok-thouw Taihiap itu sekonyong-konyong menyambar tujuh orang anak buah Si Pisau Kilat yang mengurung Lek Hui.

"Heii...?!" Si Pisau Kilat berteriak kaget dan berseru memperingatkan tapi ternyata semuanya itu sudah terlambat, Pisau yang dikebut Ciok-thouw Taihiap melesat melebihi kecepatan anak panah, dan tujuh orang yang dijadikan sasaran maut ini tidak sempat mengelak. Mereka itu hanya terkesiap sejenak, lalu tiba-tiba menjerit ngeri dan roboh terjengkang!

"Aurghh...!" Si Pisau Kilat melengking penuh kemarahan melihat kejadian ini dan tiba-tiba dia mencabut sepasang belati panjang. itulah senjata mautnya, senjata yang mambuat dia ditakuti lawan dan begitu tujuh anak buahnya roboh mandi darah, iblis bertubuh jangkung ini tiba-tiba sudah berteriak sambil menerjang Pendekar Kepala Batu.

"Theng Lui, Ma Swi, bunuh muridnya yang segede gajah itu dan penggal kepalanya untuk tumbal perkumpulan kita...!" demikian Si Pisau Kilat itu berseru kepada dua orang pengurung Lek Hui yang berada paling depan. Dia sendiri ketika melompat ke arah lawannya dan sepasang belati panjang di kedua tangannya itu menikam dengan gerakan menyilang ke arah Ciok-thouw Tailaiap dengan sikap buas.

Tapi Ciok-thouw Talhiap sendiri tenang-tenang saja, dan Lek Hui yang dikurung belasan lawannya itu juga tertawa mengejek. Pemuda tinggi besar ini sudah mencabut kampaknya, senjata pusaka hadiah dari Pangeran Kou Cien ketika dia mambantu pangeran muda itu, dan ketika orang-orang yang mengurungnya itu mulai menyerang didahului oleh sepasang laki-laki berkumis kasar yang memegang martil dan belati kecil ke arahnya segera raksasa muda itu maju menyambut dengan muka gembira.

"Ha-ha, kalian minta diantar ke akhirat, tikus-tikus busuk? Baiklah, tuan besarmu ini akan mengantar kalian menghadap Giam-lo-ong...!" Lek Hui tertawa bergelak sambil menggerakkan kampak mautnya itu dan Theng Lui serta Ma Swi yang sudah menyambarkan senjata masing-masing dengan mata melotot itu bertemu dengan kekuatan Lek Hui.

"Blangg...!" Tiga orang itu beradu tenaga dan Lek Hui yang memiliki kekuatan gajah ini terkekeh menyeringai. Kapaknya membabat martil dan belati di tangan lawan, dan begitu masing-masing bertemu tenaga tampak Theng Lui bertariak kaget dengan belati yang mencelat dari tangannya!

"Haii?" murid Si Pisau Kilat itu menjadi pucat namun tiba-tiba dengan gesit dia melompat ke udara. Senjata yang tadi lepas ditangkap kembali dan ketika dia turun ternyata Lek Hui sudah dikeroyok oleh belasan temannya yang berteriak marah.

Raksasa muda murid Pendekar Kepala Batu ini segera dikerubut, dan begitu suara senjata saling bergemerincing nyaring dalam pertemuan keras tiba-tiba saja suasana di loteng rumah makan itu menjadi gaduh. Lek Hui dikeroyok seperti gajah bertemu kera dan suara hiruk-pikuk beserta bentakan-bentakan pemuda tinggi basar itu membuat lantai ruangan seakan bergoyang. Tapi raksasa muda ini tertawa-tawa gembira. Dia melayani lawan seperti orang main-main saja, dan kampak di tangannya yang berkilauan itu menyambar nyambar tiada henti. Tiga orang yang berada depan sekaligus dibabat, dan tangkisan mereka yang mempergunakan golok ataupun pedang itu tidak mampu menahannya. Senjata mereka mencelat, dan tahu-tahu pekik mengerikan segera bergema nyaring ketika kampak di tangan murid Ciok-houw Taihiap itu menyobek leher mereka.

"Ha-ha, bagus.. ayo maju semua hai, tikus-tikus busuk agar kampakku yang haus darah ini dapat menikmati tubuh kalian. Dan kau, hei sepasang kumis kasar, kemarilah bukankah kalian disuruh memenggal kepalaku? Nah, hayo kemari, cepat tusukkan senjata kalian itu ke leherku ha-ha-ha!"

Lek Hui tertawa-tawa dengan suara menyeramkan dan kampaknya yang menyambar-nyambar itu membuat Theng Lui serta suhengnya menjadi gentar. Mo Swi tadi sudah mencoba beradu tenaga, dan martil yang hampir saja terjatuh bertemu dengan kekuatan lawan yang segede gajah itu benar-benar membuatnya kaget. Murid si Pendekar Kepala Batu ternyata tidak lumrah manusia umumnya dan ketawanya yang mengejek ke arah mereka berdua itu membuat muka Ma Swi menjadi merah.

Tapi murid si Palu Baja ini memang licik. Sadar dalam benturan pertama tadi bahwa ia kalah tenaga maka laki-laki itu menyerang dari belakang punggung teman-temannya. Dia inilah yang meneriakkan aba-aba agar terus menyerang, dan dengan martil di tangan dia membokong Lek Hui si raksasa muda itu dengan caranya yang amat curang. Dan Theng Lui murid si Pisau Kilat yang tidak kalah liciknya itu juga ikut-ikutan mencontoh suhengnya.

Laki-laki ini menyerang dari samping, dan pisaunya yang berkelebatan menusuk atau menikam dengan cara curang itu akhirnya berapa kali mengenai tubuh Lek Hui. Tapi murid Si Pisau Kilat ini menjadi kaget. Tubuh Lek Hui yang ditusuk pisaunya ternyata kebal dan kemanapun pisau ini mendarat selalu bertemu dengan daging kenyal yang membuat senjatanya mental. Tentu saja murid si Pisau Kilat ini terkejut dan Lek Hui yang diam-diam marah terhadap dirinya itu tiba-tiba membalik sambil menggertak. Kampak di tangan kanannya menangkis hujan senjata dari depan dan belakang, dan ketika pisau Theng Lui untuk ke sekian kalinya menyambar dada, si raksasa muda itu tertawa menyeramkan. Dia tidak mengelak, melainkan mengulur tangan kiri mencekik leher lawan.

Theng Lui terkesiap, dan laki-laki berkumis kasar itu berseru kaget. Pisau di tangannya seakan-akan tak diperdulikan Lek Hui, dari kenyataan bahwa pemuda tinggi besar itu kebal senjata membuat Theng Lui mencelos hebat. Karena itu dia lalu merendahkan tubuh dan pisau yang sedianya menusuk dada raksasa muda itu digentak secepat kilat untuk menikam jari-jari Lek Hui yang sudah menncengkeram di depan lehernya sambil tertawa menyeramkan itu. Pemuda ini memang sudah marah dan pisau Theng Lui yang mencoba melindung cekikannya itu dikeremus.

"Cepp-platakk…..!"

Lek Hui menggeram hebat dan tiba-tiba pilau Theng Lui yang dicengkeram oleh jari-jari tangannya itu patah menjadi dua. Theng Lui berteriak kaget, dan Lek Hui meneruskan cengkeramannya ke dada lawan. Pisau yang patah sudah disambitkan ke kanan kiri menyambar dua orang pengeroyok lain, sementara jari-jari Lek Hui tahu-tahu sudah mencengkeram dada Theng Lui.

"Ha, kau selalu membokong dari belakang, bukan? Mampuslah....!" Lek Hui menggentakkan tangannya dan sekali banting saja dia membuat murid Si Pisau Kilat itu menjerit ngeri dan menggelepar di lantai.

"Brukk....!" Theng Lui terbanting dengan amat kerasnya dan murid Si Pisau Kilat ini serasa remuk tulang-tulangnya. Dia memekik dengan penuh rasa gentar, tapi sekejap kemudian melompat lagi dengan muka pucat. Hal ini mengejutkan Lek Hui, dan raksasa muda itu tertegun sedetik. Bukti bahwa lawan tidak sampai patah tulang-tulangnya oleh bantingan yang sekeras itu menunjukkan kepadanya bahwa orang yang satu ini memang istimewa.

Tapi karena dia sedang sibuk menghadapi keroyokan banyak orang membuat Lek Hui tidak mau berpikir panjang lebar lagi. Dia hanya heran sekejap, dan sedetik kemudian sudah mengayun-ayunkan kapaknya sambil tertawa-tawa menyeramkan. Dua patahan pisau yang disambitkan tadi sudah mendapatkan tambahan jiwa lagi, dan dua orang pengeroyok yang ditimpuk oleh senjata gelap itu sudah terkapar tanpa nyawa!

Kini banjir darah mulai membasahi lantai atas rumah makan Hu-peh-lung-sia. Dan sepak terjang Lek Hui yang seperti amukan seekor gajah itu menggetarkan nyali lawan. Belum ada limabelas gebrakan saja lima orang di antara mereka sudah tewas, dan para pengeroyok itu menjadi ngeri! Theng Lui dan Ma Swi yang berteriak-teriak untuk mengepung lebih rapat itu ternyata hanya pentang bacot saja.

Dua orang murid dan murid keponakan Si Pisau Kilat ini selalu bertempur main mundur. Terutama Theng Lui itu, di mana, senjata utamanya sudah dikeremus Lek Hui seperti orang mengerumus kerupuk udang itu benar-benar sudah kelewat gentar. Laki-laki ini mulai menimpuk-nimpukkan pisaunya yang kecil-kecil sebagai senjata rahasia, dan karena maklum akan kekebalan lawan dia mengarahkan sambitan-sambitannya itu ke bagian-bagian tubuh yang dipandang lemah, yakni sepasang mata dan anggota rahasia Lek Hui.

Hal ini membuat Lek Hui geram bukan kepalang, dan ketika akhirnya suatu ketika dia berhasil merobohkan seorang lawan yang mengganggu di depan tiba-tiba dia melompat ke arah laki-laki ini. Theng Lui yang sedang menggerakkan tangan menimpuk jadi kaget, dan dua pisaunya yang meluncur ke mata raksasa muda itu tampak disampok runtuh. Lek Hui tertawa bergelak, dan Theng Lui yang tidak mengira diterjang musuh yang amat dahsyat itu mendadak berteriak tanpa malu-malu lagi kepada suhengnya,

"Ma-heng, tolong aku...!"

Dan secepat kilat dia tiba-tiba merobohkan tubuh bergulingan di atas lantai. Namun Lek Hui yang sudah dekat tidak dapat dielakkan lagi. Tubuh yang baru saja dibanting mendadak bertemu kaki yang sekeras baja, dan Theng Lui yang didupak oleh murid raksasa Ciok-thouw Taihiap ini mengaduh hebat. Kaki Lek Hui seakan godam Bima Sakti, dan si kumis yang licik itu terpental ke atas. Jeritannya yang mengerikan seolah menambah kegeraman Lek Hui, dan ketika lawan melayang di udara ini tiba-tiba saja jari tangan raksasa muda itu sudah mencengkerarm punggungnya.

"Ha-ha, kau kiranya tidak mampus oleh satu bantingan tadi, ya? Nah, sekarang coba rasakan yang ke dua ini... Brukk!"

Lek Hui melempar lawannya itu ke kosen jendela dan Theng Lui yang sudah hampir pingsan dicengkeram ini menjerit panjang. Kosen jendela yang diterjang tubuhnya bergemuruh, dan kaca serta tiang-tiangnya patah. Tubuh murid Si Pisau Kilat itu terus meluncur jatuh, dan ketika semua orang memandang ternyata laki-laki itu sudah terbanting pingsan di atas tanah dari loteng yang tinggi itu dengan punggung dan kaki tangan patah-patah! Murid Si Pisan Kilat itu terluka hebat, dan kalau tidak tewas dia tentu selamanya bakal menjadi orang bercacat!

Maka gemparlalh keadaan di tempat itu dan Ma Swi yang dimintai tolong oleh sutenya itu meraung penuh kemarahan. Dia ini sebenarnya sudah melompat maju, dan persis ketika tubuh sutenya dilempar Lek Hui dia menggerakkan tangan menghantam kepala raksasa muda itu dengan martilnya. Dan Lek Hui yang sedang melampiaskan kegeramannya terhadap si Theng Lui tadi tidak menduga. Kepalanya dengan telak dihantam martil, dan Lek Hui menggerang dengan tubuh terputar.

"Blang...!" martil menghantam tepat dan raksasa muda itu roboh tersungkur. Tapi hebat dia, kepalanya yang tidak apa-apa dipukul sekeras itu ternyata hanya terasa pusing sedikit dan Lek Hui yang naik darah dihantam secara curang dari belakang itu mendadak melompat berdiri. Murid Kepala Ciok Thouw Taihiap ini membentak. dan sekali dia membalikkan tubuh tahu-tahu murid Si Palu Baja itu ditinju oleh bogem tangan kirinya yang sebesar kelapa. Dan begitu si laki-laki berkumis kasar ini tersentak tiba-tiba gagang kapak di tangan Lek Hui mengetuk kepalanya.

"Dukk!" Ma Swi mengeluh tertahan dan tubuh si murid Palu Baja ganti terjengkang. Dia roboh dengan martil terlepas, dan kaki kanan Lek Hui tahu-tahu menendang pinggangnya.

"Dess!" laki-laki ini terpekik mengaduh dan tubuhnya yang didupak itu mencelat ke tembok ruangan. Dia serasa hancur berkeping-keping ditinju dan ditendang oleh lawannya itu tapi Lek Hui yang hendak memburu maju tiba-tiba sudah dikeroyok oleh lima orang lawan yang cepat-cepat membantunya dari tangan maut Lek Hui. Orang-orang ini memang gentar, tapi karena mereka maju berbareng hatipun terasa lebih mantap dan karena takut murid Si Palu Baja itu binasa yang akibatnya tentu mereka mendapat hukuman hebat maka lima orang pengeroyok inipun terpaksa memburu Lek Hui untuk mencegah raksasa muda itu membunuh Ma Swi.

Dan Lek Hui yang diterjang orang-orang ini mendengus. Dia tidak segan-segan lagi, dan kapak serta kaki tangannya bekerja bergantian. Lawan yang memburu seakan bertemu api, seperti laron yang tidak berarti, dan begitu kaki tangan murid Ciok-thonw Thaihiap ini bekerja begitu pula orang-orang itu terpental berhamburan. Mereka benar-benar bukan lawan Lek Hui, dan raksasa muda yang berang dalam sepak terjangnya ini membantingi mereka satu-persatu.

Maka akibatnya porak-porandalah orang-orang itu. Kemarahan Lek Hui yang tidak kenal ampun itu benar-benar menggiriskan dan tidak sampai sekejap saja akhirnya sisa-sisa para pengeroyok itu terlempar bergulingan keluar pintu. Ada yang mencelat mampus di bawah loteng, dan ada pula yang merintih-rintih dengan tulang remuk di bawah tangga!

Lek Hui benar-benar seperti gajah haus darah, dan pemuda tinggi besar yang akhirnya berdiri sendirian dengan keringat menetes-netes di tengah ruangan itu tampak menyeramkan sekali. Matanya menyapu semua tubuh yang bergelimpangan, dan diam-diam dia mencari laki-laki berkumis kasar yang menghantam kepalanya dengan martil. Tapi sialan, musuh licik yang dicarinya itu rernyata sudah tidak ada lagi. Ma Swi sudah lama melarikan diri dengan sikap amat pengecut!

Maka Lek Hui akhirnya menendangi semua tubuh yang malang-melintang di atas lantai itu dengan gemas dan suara bentakan-bentakan keras di samping kirinya membuat pemuda itu memutar tubuh. Ternyata pertempuran antara gurunya dengan Si Pisan Kilat, biang pembawa celaka yang menimbulkan gaduh di rumah makan itu. Dan melihat keadaan gurunya yang tertawa-tawa mengejek dalam menghadapi lawan membuat Lek Hui menyeringai dengan muka merah.

Kiranya keadaan di tempat ini tiada ubahnya dengan keadaan para pengeroyok yang tadi mengerubutnya. Si Pisau Kilat terdesak hebat, dari belati panjangnya yang selalu mental bertemu dengan lengan gurunya itu membuat si iblis bertubuh jangkung ini memekik-mekik. Dia tampak penasaran hebat, dan sikap Ciok-thouw Taihiap yang selalu mengejeknya itu menjadikan Si Pisau Kilat ini mendelik.

Senjata di tangan seakan tiada guna. Dan kulit Pendekar Kepala Batu yang tidak mempan ditusuk ataupun digurat oleh pisaunya yang panjang itu membuat sute Si Palu Baja ini menggeram penuh kemarahan. Lawan ternyata kelewat tangguh, dan kesaktian si ketua Beng-san-pai ini yang tidak disangkanya benar-benar membuat Si Pisau Kilat melotot penuh kebencian. Ciok-thouw Taihiap tampaknya enak-enak saja menghadapi semua serangannya, dan pendekar berkepala gundul itu yang sama sekali tidak bersenjata benar-benar menjadikan si iblis jangkung ini marah serta gentar bukan main.

Sungguh tidak disangka, bahwa pendekar kepala gundul itu demikian lihai. Dan kalau dia tahu sebelumnya tentu tidak bakalan dia menghadapi lawan yang demikian sakti ini seorang diri saja. Paling tidak, suhengnya Si Palu Baja itu tentu akan diajaknya membantu! Tapi celaka, dia sudah terlanjur bersombong diri untuk menghadapi si ketua Beng-san-pai ini dan kenyataan bahwa dia justeru terdesak hebat sungguh amat di luar perhitungannya sama sekali.

Maka Si Pisau Kilat mulai panik dan pertempuran di antara anak buahnya melawan Lek Hui yang sudah berakhir itupun sampai tidak diketahuinya. Dia terlalu gelisah kini, terlalu gugup dan marah menjadi satu. Lawan yang sama sekali tidak mempan senjata itu membuatnya kehilangan akal. Dan Si Pisau Kilat mulai mundur-mundur dengan muka pucat. Seluruh tubuh Pendekar Kepala Batu itu sudah ditikamnya bertubi-tubi, tapi tidak ada satupun yang berhasil dilukai!

Dan kalau dia mengarah pada mata atau beberapa bagian tubuh yang lunak untuk menerobos kegelisahannya ternyata ketua Beng-san--pai itu tertawa mengejek sambil menggerakkan lengannya menangkis. Dan setiap kali tangkisan tentu membuat dia tergetar hebat dan mencelat mundur!

Celaka, Si Pisau Kilat mulai bingung dan ketika untuk ke sekian kalinya dia menusuk mata kiri Pendekar Kepala Batu itu dengan penuh kebencian dengan pisau di tangan kanan tiba-tiba pisau ditangan kiripun ikut dikerjakan. Secara serentak iblis jangkung ini mencoba menyerang hampir berbareng, dan ketika lagi-lagi lawannya itu menggerakkan lengan untuk menangkis mendadak dia melayangkan kaki kirinya menendang bawah pusar Ciok-thouw Taihiap.

Hebat serangan yang tidak diduga-duga ini. Tapi agaknya lebih hebat lagi ketua Beng-san-pai itu. Dua tikaman beruntun ke arah mata disampok lengan kanannya, dan ketika si iblis bertubuh jangkung itu tergetar hebat tiba-tiba dia menggerakkan tangan kirinya ke bawah. Tendangan si Pisau Kilat ditangkap, dan Si Pisau Kilat yang tidak menduga kejadian itu berteriak kaget. Kaki sudah terlanjur dilayangkan, dan tidak mungkin baginya menarik dadakan dalam suasana secepat itu. Karena itu satu-satunya jalan bagi iblis bertubuh jangkung ini adalah membentak hebat dan dengan tenaga sekuatnya dia menghantam talapak kiri lawan yang melindungi bawah pusar.

"Dukk...!" dua tenaga sakti itu bertemu hebat dan Si Pisau Kilat mungeluh tertahan. Kaki yang ditangkap tidak dapat dilepas, dan jari Ciok-thouw Taihiap yang mencengkenam kakinya itu tiba-tiba mengeluarkan hawa panas yang seperti api membara. lblis jangkung ini terkejut, dan dia tiba-tiba berseru keras. Kaki yang dicengkeram digentak sekuatnya, dan siku kanan yang dia tekuk sudah disodokkan ke leher pendekar berkepala gundul itu dengan cepat untuk membebaskan diri.

Akan tetapi celaka. Ciok-thouw Taihiap tertawa mengejek. Rontaan si iblis jangkung yang hendak melepaskan diri itu. ternyata di balas dengan cengkeraman yang semakin diperkeras dan ketika iblis itu mendoyongkan tubuhnya dengan siku menghantam leher, sekonyong-konyong ketua Beng-san-pai ini menyendalkan tangannya. Hal itu mengakibatkan keseimbangan yang tidak karuan lagi bagi Si Pisau Kilat tepat tubuhnya tertarik maju tiba-tiba pendekar berkepala gundul itu berseru pendek. Kaki yang disendal sekonyong-konyong diangkat, dan Pisau Kilat yang sudah terhuyung ke depan itu berteriak kaget. Dia tidak mampu menahan diri, dan akibatnya tubuh yang diangkat naik itu tiba tiba sudah diputar seperti baling-baling oleh Ciok- thouw Taihiap sambil tertawa bergelak.

"Ha-ha, iblis tua bangkotan, dengan kepandaianmu yang masih mentah begini kau hendak membunuhku? Hem, kau benar-benar tidak tahu diri. Patut dihajar agar mengenal aturan. Hui-ji, terima musuh kita ini dan lempar dia ke bawah sana... wuutl" Ciok-thouw Taihiap melepaskan cekalannya dan Lek Hui yang diteriaki gurunya untuk menerima tubuh Si Pisau Kilat itu berseru girang.

Pemuda tinggi besar ini tidak kepalang tanggung. Si Pisau Kilat yang meluncur ke arahnya itu mengaduh tertahan. Kaki Lek Hui yang sebesar gajah mendupak pinggangnya, dan sekali dia terputar akhirnyapun melayang ke bawah rumah makan dongan suara berdebuk nyaring.

"Blukk!" sute dari Si Palu Baja ini menyeringai kesakitan dan guru serta murid di atas sana itu tertawa mengejeknya. Si Pisau Kilat melompat bangun, dan dengan mata mendelik penuh kemarahan dia mendongakkan kepalanya.

"Ciok-thouw Taihiap...!" iblis itu berteriak gusar. "Hari ini kalian guru dan murid telah menghinaku kelewat batas. Baiklah, awas kalian di lain sempatan. Sekali kita bertemu lagi tentu aku tidak mau memberi ampun...!" lblis itu memutar diri dan dengan terpincang-pincang dia lalu ngeloyor pergi sambil mengertakkan gigi penuh kebencian. Dia sekarang baru sadar bahwa semua anak buahnya sudah pada roboh, dan tahu bahwa dia mengalami kegagalan total membuat iblis berkerat penuh kemarahan. Akan tetapi baru dia melangkah beberapa tindak sekonyong-konyong Theng Lui berseru memanggilnya,

"Suhu, tolong... teecu tidak dapat berdiri…!"

Iblis jangkung itu terkejut dan ketika dia membalikkan tubuh ternyata muridnya itu luka berat. Si Pisau Kilat tertegun, namun tiba-tiba dia melompat maju. Theng Lui yang patah-patah tulangnya itu dikempit, dan sekali dia berkelebat akhirnya iblis inipun benar-benar lenyap meninggalkan rumah makan itu.

Keadaan kini sepi kembali dan Ciok-thouw Taihiap yang berdiri mengejek di atas loteng itu memandang kepergian musuhnya dengan dingin-dingin saja. Dia tidak tersentuh oleh semuanya ini, dan kenyataan bahwa kepandaian Si Pisau Kilat ternyata tidak "seberapa" membuat pendekar itu berdiri angkuh. Pantang baginya membunuh musuh yang tidak "seberapa", dan karena itu dengan tidak khawatir sedikitpun dia melepas lawannya.

Tapi Lek Hui yang berdiri di sebelah mengerutkan alis. Pemuda ini berpikir lain. Si Pisau Kilat yang dianggap musuh berbahaya itu tidak seharusnya diberi keringanan. Karena bukti bahwa iblis itu tidak cidera oleh tendangannya tadi membuktikan bahwa Si Pisau Kilat memang orang yang cukup tangguh. Dan orang yang seperti ini tidak seharusnya dilepas begitu saja. Kenapa gurunya memberi ampun? Karena itu Lek Hui tiba-tiba lalu bertanya kepada gurunya itu,

"Suhu, kenapa orang seperti itu dibiarkan pergi? Seharusnya dia dibunuh saja daripada kelak membikin repot kita...!"

"Hm, saat ini kulihat belum perlu, Hui-ji." Ciok-thouw Taihiap membalikkan tubuh. "Karena ada sesuatu yang kulihat sedikit ganjil pada iblis jangkung itu. Dia biasanya selalu berdua dengan suhengnya, dan kenyataan bahwa dia muncul seorang diri menunjukkan ada sesuatu yang belum kuketahui. Sudahlah, kau urus keonaran ini dan beri ganti rugi pada pemilik restoran. Setelah itu kita mencari rumah penginapan karena aku mendapat firasat bakal bertemu dengan seorang lawan tangguh yang jauh melebihi Si Pisau Kilat!"

Lek Hui terkejut dan pemuda tinggi besar itu tertegun. Tapi gurunya yang sudah tidak mau diganggu lagi itu telah duduk kembali di meja makan mereka yang masih utuh dan Ciok-thouw Taihiap yang menenggak sisa minumannya yang terakhir itu tampak mengeraskan dagu. Lek Hui tidak berani lagi banyak cing-cong kalau begini dan kenyataan bahwa gurunya itu bicara sungguh-sungguh membuat ia mengangkat bahu.

Dengan cepat dia lalu turun, dan pemilik restoran yang hendak diganti rugi itu dicarinya. Tapi aneh. Pemilik restoran yang didatangi ini malah mundur-mundur dengan muka pucat. Dia menyangka Lek Hui hendak membunuhnya karena bukti bahwa si raksasa muda ini melahap semua masakan beracun membuat dia kecut dan ketakutan. Lek Hui yang bicara baik-baik diterimanya salah, dan sodoran ganti rugi ditolaknya dengan tubuh gemetaran.

"Tidak, tidak, tidak, taihiap tidak perlu ganti semuanya itu. Kami yang bersalah, tidak tahu kalau ada orang-orangku yang bermain gila. Kau tidak membunuhku saja sudah merupakan anugerah besar di sini. Siapa hendak menagih ganti rugi? Sudahlah, taihiap ampunilah jiwaku in,i aku tidak tahu apa-apa, tidak tahu kalau ada orang menaruh racun pada makananmu!" si pemiiik restoran itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Lek Hui.

Dan si raksasa muda yang biasanya berangasan itu tertegun. Dia memang tadinya menaruh kecurigaan pada pemilik rumah makan ini, bermaksud hendak memberinya sedikit hajaran karena menyangka anak buah Si Pisau Kilat adalah orang-orang yang ditanam di situ. Tapi akhirnya dia mendapat kenyataan bahwa iblis-iblis di rumah makan itu adalah orang-orang selundupan. Mereka telah memaksa pemilik restoran itu menyerah, dan dengan keji lalu menaburi racun pada masakan yang dipesan oleh guru dan murid dari Beng-san-pai itu atas perintah Si Pisau Kilat.

Dan ketika Si Pisau Kilat muncul, mereka itu tiba-tiba saja telah berada di atas loteng mengurung Lek Hui karena sebelumnya memang telah bersembunyi di tempat itu secara diam-diam. Maka begitulah jadinya. Lek Hui lalu naik kembali menemui gurunya dan keterangan Lek Hui tentang orang-orang yang menjadikan rumah makan itu "markas" busuknya hanya diganda ketawa hambar saja oleh pendekar berkepala gundut ini. Dia bersikap tidak perdulian, dan setelah tidak ada perlunya lagi di tempat itu Ciok-thouw Taihiap lalu mengajak Lek Hui mencari sebuah penginapan.

* * * * * * * *

Malam itu Ciok-thouw Taihiap duduk diserambi depan. Dia baru saja melepas lelah, dan Lek Hui yang selalu mengikuti ke mana gurunya itu pergi tampak sedikit bingung. Wajah gurunya tidak gembira, dan dia yang ingin menghibur ini jadi serba salah. Apa yang hendak dipercakapkan dengan gurunya itu?

Lek Hui tiba-tiba memandang ke depan. Dua orang pemain tioki (catur ) yang tampak asyik di taman penginapan itu sekonyong-konyong menimbulkan gagasannya. Dia dapat mengajak gurunya berbicara tentang itu, dan barangkali kemurungan ini dapat terhibur. Siapa tahu? Maka Lek Hui lalu berkata kepada gurunya itu,

"Suhu, apakah kita tidak perlu mengisi kekosongan ini? Bermain catur misalnya...?"

Pendekar Kepala Batu tiba-tiba mengangkat kepalanya. "Hm, kau hendak bergabung dengan mereka itu, Hui-ji? Bermain catur bersama dua orang di taman itu? Pergilah, aku tidak berminat...!"

Jawaban singkat ini membuat Lek Hui terpaku dan sejenak kebingungannya timbul kembali. Akan tetapi dia lalu menyeringai kecut dan sam-bil memandang gurunya dia menjawab, "Tapi, suhu, bagaimana hendak bermain ganjil dengan mereka? Tidak, kalau suhu tidak berminat teecu juga tidak ingin bermain catur."

"Hm, kalau begitu tidur saja kau di kamar. Atau bersamadhi mengendorkan urat syaraf."

"Dan suhu sendiri?"

"Aku ingin menyendiri di sini. Tinggalkanlah!"

"Ah, baik, suhu….!" Lek Hui terpaksa ngeloyor pergi dan dengan muka muram diapun memasuki kamar. Gurunya tidak dapat dihibur. Dan percuma saja dia hendak mencari-cari alasan. Karena itu membiarkan gurunya menyendiri di serambi depan seperti itu memang agaknya jauh lebih baik dari pada dia memaksa diri untuk menghibur tanpa dikehendaki. Bahkan, jika hal itu dia paksakan tentu bukannya kegembiraan yang didapat malah mungkin bentakan.

Baiklah, dia menyingkir saja kalau begitu dan beristirahat di dalam kamar barangkali dapat mengusir kemurungannya sendiri. Maka Lek Hui membuka pintu kamarnya dan dengan kaki malas dia melangkah masuk. Akan tetapi he...! Sesuatu tiba-tiba mengejutkan pemuda ini. Secarik kertas berisi undangan tiba-tiba saja telah ada di dinding kamarnya, tertempel rapi dengan hurut besar-besar. Apa itu? Lek Hui cepat membaca dan begitu selesai mendadak dia tertegun. Kiranya undangan untuk bermain catur!

Lima kata singkat terbaca di situ, dan bunyinya yang setengah menantang membuat pemuda ini merah mukanya. Tulisan bagaimanakah itu? Pendek saja, bunyinya demikian; KALAU BERANI. MARI BERMAIN CATUR!

Nah, inilah kalimat undangan itu dan Lek Hui yang tertegun di tempatnya tiba-tiba sudah melompat maju sambil merenggut kertas itu. Sekali sambar dia sudah berkelebat keluar kamar dan suhunya yang masih termenung diserambi depan itu diteriaki, "Suhu, ada orang mengundang kita dan suhunya yang duduk di kursi itu terkejut.

Serentak Ciok-thouw Taihiap menoleh dan melihat muridnya tampak terburu-buru itu dia bangkit berdiri. "Apa, Hui-ji, kita menerima undangan orang....?"

Lek Hui mengangguk dan dengan muka cemas dia cepat menyerahkan kertas undangan itu. "Betul, suhu, lihat ini. Tertempel tanpa teecu ketahui di kamar teecu...!" pemuda itu memandang suhunya dan Ciok-thouw Taihiap mengetutkan alis sambil membuka gulungan kertas itu. Setelah membaca dia lalu memanggutkan kepala, dan matanya yang melirik ke arah dua orang di luar taman itu tampak bersinar.

"Merekakah kiranya...?"

Lek Hui mengepal tinju. "Tentu saja, suhu. Siapa lagi orang bermain catur di tempat ini kalau bukannya mereka? Apakah perlu teecu gebrak mejanya agar dua orang itu tahu diri?"

"Hm, jangan. Kita datangi saja mereka itu dan rupanya mereka orang-orang yang menarik. Mari, Hui-ji, kita kesana...!" Ciok-thouw Taihiap sudah melangkah lebar ke taman di depan rumah penginapan itu dan Lek Hui yang dicegah gurunya bermain serampangan menaikkan kening tanda tidak puas.

Namun pemuda tinggi besar ini mengikuti gurunya juga. Dia berjalan tegak di belakang gurunya dan matanya yang bersinar-sinar marah itu agaknya seolah-olah tidak sabar lagi untuk menghajar orang yang telah main gila di kamarnya. Akan tetapi Ciok-thouw Taihiap tidak seperti muridnya yang berangasan itu. Pendekar ini tenang-tenang saja, dan setelah mereka sampai di depan orang pemain catur yang tampak tenggelam dalam keasyikannya itu tiba-tiba pendekar ini berseru,

"Sahabat, apakah betul kalian berdua yang telah mengundang kami?"

Dua orang pemain catur itu tampak terkejut. Mereka serentak mengangkat muka dari papan caturnya dan begitu melihat Ciok-thouw Taihiap berdiri di depan mereka sambil memperlihatkan surat undangan itu tiba-tiba seorang di antaranya buru-buru bangkit berdiri sambil tertawa.

"Aih, Ciok-thouw Taihiapkah kiranya? tidak salah, taihiap....tidak salah. Kamilah yang telah mengundangmu itu dan kalau cara kami kurang berkenan di hatimu sukalah kau memaafkannya. Lun-ji, tamu agung di depan mata kenapa kau diam saja? Hayo cepat beri hormat kepada Beng-san-paicu yang gagah perkasa ini dan menyatakan kekaguman...!"

Orang itu sudah menjura di depan Ciok-thouw Taihiap dan teman satunya yang masih muda tiba-tiba juga buru-buru bangkit berdiri dan memberi hormat di depan ketua Beng-san-pai itu. Ciok-thouw Taihiap membalas penghormatan orang, dan matanya yang menyambar tajam ke laki-laki pertama bertemu dengan kilatan mata yang bersinar penuh pengaruh seperti mata seekor naga. Pendekar ini terkejut, dan diam-diam dia kaget sekali. Bola mata orang yang mencorong penuh tenaga mujijat itu membuatnya tertegun dan Pendekar Kepala Batu ini berdetak.

"Sahabat, kau siapakah gerangan?" akhimya ketua Beng-san-pai ini berhasil juga menenangkan perasaannya dan bukti bahwa dia menerima getaran hebat yang tersembunyi di dalam tubuh laki-laki itu menjadikannya waspada.

Tapi laki-laki itu tertawa. "Ciok-thouw Taihiap, dibanding nama besarmu yang sudah kelewat tersohor itu mana ada harganya aku memperkenalkan diri? Tapi kalau kau ingin mengetahuinya juga baiklah, aku orang she Wan namaku Lui, dan ini adalah muridku yang tolol bemama Lun she-nya Lui. Kami berdua orang-orang yang getol bermain catur. Dan tadi mendengar permintaan muridmu untuk bermain membuat hatiku jadi tergelitik. Apakah taihiap sudi memenuhi undangan kami?"

Ciok-thouw Taihiap tidak sagera menjawab, Dia memandang penuh selidik wajah laki-laki di depannya itu dan matanya yang tajam serta awas mendapatkan kenyataan bahwa orang ini mangenakan sebuah kedok! Hem, Ciok-thouw Taihiap tersenyum mengejek dan sinar matanya yang berkilat penuh pengaruh itu tiba-tiba menunjukkan kekerasan hatinya. "Sahabat she Wan, apakah kau jujur dalam mengundang kami ini?"

"Eh, maksud taihiap?" orang itu terbetalak.

"Aku merasakan adanya sesuatu yang tersembunyi di balik undanganmu. Ada sesuatu yang kau sembunyikan, dan kalau kau jujur mestinya tidak perlu kau menyembunyikan diri seperti itu!"

"Hem...!" orang ini tampak terkejut tapi tiba-tiba dia tertawa. "Ciok-thouw Taihiap, pembicaraanmu terasa aneh sekali. Apa yang kau maksudkan dengan kata-katamu itu? Apa yang kau curigai pada diriku ini....?"

Ciok-thouw Taihiap mendengus. "Orang she Wan, lebih baik kau bicara terus terang saja di depanku. Seorang laki-laki sejati tidak perlu menyembunyikan muka, kenapa kau takut dilihat orang?"

Sekarang laki-laki ini benar-benar tampak kaget dan dia mengeluarkan seruan kagum sambil melangkah mundur setindak. "Astaga, Ciok-thouw Taihiap benar-benar bermata awas! Bagaimana kau bisa tahu aku menyembunyikan muka? Eh, Beng-san paicu, kau tampaknya lihai benar, dan Pisau Kilat yang kau kalahkan sedemikian mudahnya itu benar-benar menarik hatiku. Bagaimana kalau kita menggunakan catur sebagai alat taruhan? Kalau kau menang aku membuka kedokku dan kalau aku yang menang kau ganti yang mengenakan kedokku. Tidak usah lama, seminggu saja cukup dan kalau kau penasaran boleh kita lanjutkan permainan ini sampai lima kali. Masing-masing yang kalah itu tidak boleh menolak! Bagaimana, Beng-san-paicu?"

Laki-laki ini tertawa aneh dan Ciok-thouw Taihiap mengerutkan kening. Dia mendengar muslihat yang licik pada ketawa orang she Wan itu namun pendekar sakti dari Beng-san-paicu ini bersikap sinis. Dia tidak acuh tak acuh, tapi seorang lawan yang belum dikenal baik telah berani berkata seperti itu di depannya cukup mendapat perhatian serius.

Apalagi pernyataan orang tentang komentarnya terhadap Si Pisau Kilat yang lari terbirit-bitit tapi masih berani menantangnya hal itu benar-benar menunjukkan bahwa orang yang menyembunyikan diri dalam kedok karet ini tentu bukan orang sembarangan. Dan Ciok-thouw Taihiap yang merasakan adanya suatu kekuatan mujijat yang tersembunyi pada diri lawannya itu membuat dia jadi gatal hati.

Tapi pendekar ini juga bukan orang yang gampang dibodohi. Jelek-jelek dia adalah ketua sebuah partai persilatan, dan bahwa orang mengajaknya bertaruh seperti itu tentu mempunyai maksud-malasud tersembunyi. Heran dia, siapakah laki-laki itu? Dan mengapa mengusulkan dia ganti mengenakan kedok kalau kalah dalam sekali permainan? Ah, ini pasti muslihat keji seorang musuh dan dia yang belum mengukur sampai di mana kepandaian lawannya itu masa harus mandah saja menerima pertaruhan itu? Bagaimana kalau lawannya ini "tidak sepadan"? Bukankan dia bakal rugi? Dan membayangkan bahwa dia sebagai seorang ketua partai hendak dipermainkan lawan yang belum dilihat jenis "teri atau "kakap" nya itu tiba-tiba membuat pendekar sakti ini menggeram.

"Sahabat she Wan, kau agaknya termasuk manusia yang cerdik juga. Tapi apakah kau sehebat kecerdikanmu itu? Hm, aku harus melihatnya dahulu sebelum memutuskan untuk menerima atau menolak. Jagalah...!"

Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba menggerakkan lengannya dan orang yang ada di belakang meja catur itu sekonyong-konyong mendengar suara bercuit ketika jari ketua Beng-san-pai itu monotok jalan darahnya!

"Wahh...!" orang ini berteriak kaget namun rupanya dia sudah berjaga-jaga. Totokan yang mengarah leher tanpa disentuh itu mendadak dibalas tudingan jari dan begitu dia menuding sekonyong-konyong jarinya juga mengeluarkan suara mencicit seperti jari Ciok-thouw Taihiap! Dan begitu kedua tangan mereka bertemu mendadak terdengar suara mendesis seperti ular marah atau tikus terjepit...