PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 20
KARYA BATARA
JILID 20
KARYA BATARA
GADIS itu melengking tinggi, lalu dengan permainan silatnya Hong-Chian-lo-hai-kun ia membungkus diri rapat-rapat dari sambaran gelang tembaga yang menyambar-nyambar. Suara berdenting nyaring akibat pertemuan senjata yang benntrok terdengar memekakkan telinga, dan lelatu bunga api yang muncrat berhamburan menciptakan kembang api yang indah menyilaukan. Kini pertandingan dua lawan satu itu benar-benar hebat bukan main. Empat gelang tembaga yang mendesing nyaring di udara ternyata tidak mampu memecahkan bayangan pedang yang diputar Pek Hong.
Permainan Hong-thian-lo-hai-kun di tangan Pek Hong temyata benar-benar hebat sekati. Sinar pedang itu bergulung-gulung rapat membungkus tubuh si gadis, dan bayangan lebar yang membentuk payung di luar tubuh Pek Hong in selalu menolak serangan lawan. Empat gelang itu terpental setiap kali mendekati cahaya pedang yang seakan curahan hujan lebat itu. Dan dua orang kakak beradik ini menjadi penasaran sekali melihat ketatnya lawan mempertahankan diri.
Mereka mulai memekik marah, dan gelang terbang yang berseliweran naik turun dengan kecepatan kilat itu kini mulai ditambah tenaganya. Akibatnya, benturan yang terjadi di antara pedang dan gelang menjadi semakin sering. Dan lelatu api yang muncrat di tengah udara itu kini kian hebat. Asap tipis mulai tampak mengepul, dan Pek Hong yang terlindung di tengah hujan gulungan sinar pedangnya ini tiba-tiba membaui sesuatu yang agak sengak. Gadis itu terkejut, dan dia semakin kaget kettka tiba-tiba kepalanya terasa pening.
"Celaka...!" gadis ini membatin kaget dan sekarang sadarlah dia bahwa sesuatu yang tidak beres sedang terjadi pada dirinya. Maka Pek Hong menjadi pucat namun karena in tidak tahu dari mana dia tiba-tiba menjadi pening kepala itu maka ia pun tidak menduga jelek terhadap lawan. Malam yang gelap menyembunyikan kepulan asap tipis dari gelang tembaga itu, dan Pek Hong yang memang tidak menyangka sama sekali tidak mengira bahwa bentrokan keras di antara pedangnya dengan gelang-gelang terbang itulah yang menjadi sebabnya!
Dan gadis murid tunggal Ta Bhok Hwesio ini mulai terhuyung-huyung. Putaran pedang yang tadi serapat curahan hujan deras itu kini mulai mengendor, dan tubuh Pek Hong mulai limbung. Kepala yang pemng rasa semakin berat, dan tiba-tiba tanpa dapat dihindarkan lagi untuk pertama kalinya sebuah gelang terbang menghantam pundak kirinya.
"Plakk...!" gadis itu mengeluh dan rasa pedih bercampur gatal sekonyong-konyong merayap di pundaknya. Pek Hong terbelalak. Dan tiba-tiba ia memekik gusar. "Hek-bi-kwi, kalian mempergunakan racun pada senjata? Keparat, kalian benar-benar manusia curang yang tidak tau malu. Aihh...!"
Pek Hong melengking penuh kemarahan dan mendadak ia menerjang maju sambil menikam pada si wanita baju ungu. Dia itulah yang melukai pundaknya, maka kini dengan penuh kemarahan ia melancarkan jurus Bianglala Mencari Hati. Pedang yang berkelebat sepenuhnya dituju ke depan, dan lawan yang hendak melompat mundur itu tidak diberinya kesempatan. Wanita baju ungu ini, yang bukan lain ialah Bi Gwat adanya, tentu saja merasa terkejut melihat serangan Pek Hong itu. la berusaha menghindar dengan jalan berkelit, tapi Pek Hong mengejar dengan mulut mendesis.
Gadis itu tampak mata gelap, dan ke manapun wanita itu mengelak tetap saja ujung pedangnya membayangi di depan tubuh. Hal ini membuat Bi Gwat menjadi pucat. Dan Bi Hwa yang melihat keadaan encinya itu diburu bahaya tiba-tiba membentak keras sambil melontarkan gelang terbangnya ke punnggungnya Pek Hong. Gadis itu berharap, Pek Hong terpaksa membalikkan tubuh dan melepas encinya.
Tapi celaka, Pek Hong rupanya benar-benar sudah naik pitam. Gelang yang menyambar punggungnya itu dibiarKan saja, hanya tangan kirinya dibalik sedikit untuk menangkis ke belakang sementara pedangnya sendiri tetap meluncur di depan ulu hati Bi Gwat. Tentu saja hal ini membuat Bi Gwat berteriak kaget, dan mata pedang yang sudah berada di depan hidungnya itu tidak sanggup ia elakkan lagi. Hi Gwat hanya membanting tubuh sebisanya, dan senjata di tangan murid Ta Bhok Hwesio Tibet itupun mengenai sasarannya.
"Crat-brett... plakk…!"
Bi Gwat menjerit kesakitan tapi Pek juga mengeluh tertahan. Pedangnya menggurat lebar perut atas Bi Gwat, namun lengan kirinyapun serasa remuk menerima hantaman gelang terbang yang menyambar punggungnya. Pek Hong terpelanting roboh sedangkan Bi Gwat terguling-guiing untuk akhirnya terkapar di bawah pohon!
"Enci....!" Bi Hwa memekik kaget melihat kesudahan pertandingan ini dan tiba-tiba ia melayang mendekati encinya. Ternyata Bi Gwat terluka cukup parah dan orang tertua dari Sam-hek-bi-kwi ini merintih kesakitan. Darahnya mengucur deras dan Bi Hwa yang tampak pucat itu segera menotoknya sana-sini untuk memperingankan penderitaannya.
Kini Pek Hong berdiri dengan mata berkubang-kunang, dan dua orang musuh yang meninggalkannya itu dipandang dengan penuh kebencian. Lengan kiriya sampai ke pundak serasa lumpuh, namun dia menggigit bibir menahan semua rasa sakit ini. Tubuh yang mulai bergoyang-goyang disusul pening di kepala yang semakin menghebat membuat gadis itu maklum bahwa racun yang amat berbahaya mengeram di dalan dirinya.
Permainan Hong-thian-lo-hai-kun di tangan Pek Hong temyata benar-benar hebat sekati. Sinar pedang itu bergulung-gulung rapat membungkus tubuh si gadis, dan bayangan lebar yang membentuk payung di luar tubuh Pek Hong in selalu menolak serangan lawan. Empat gelang itu terpental setiap kali mendekati cahaya pedang yang seakan curahan hujan lebat itu. Dan dua orang kakak beradik ini menjadi penasaran sekali melihat ketatnya lawan mempertahankan diri.
Mereka mulai memekik marah, dan gelang terbang yang berseliweran naik turun dengan kecepatan kilat itu kini mulai ditambah tenaganya. Akibatnya, benturan yang terjadi di antara pedang dan gelang menjadi semakin sering. Dan lelatu api yang muncrat di tengah udara itu kini kian hebat. Asap tipis mulai tampak mengepul, dan Pek Hong yang terlindung di tengah hujan gulungan sinar pedangnya ini tiba-tiba membaui sesuatu yang agak sengak. Gadis itu terkejut, dan dia semakin kaget kettka tiba-tiba kepalanya terasa pening.
"Celaka...!" gadis ini membatin kaget dan sekarang sadarlah dia bahwa sesuatu yang tidak beres sedang terjadi pada dirinya. Maka Pek Hong menjadi pucat namun karena in tidak tahu dari mana dia tiba-tiba menjadi pening kepala itu maka ia pun tidak menduga jelek terhadap lawan. Malam yang gelap menyembunyikan kepulan asap tipis dari gelang tembaga itu, dan Pek Hong yang memang tidak menyangka sama sekali tidak mengira bahwa bentrokan keras di antara pedangnya dengan gelang-gelang terbang itulah yang menjadi sebabnya!
Dan gadis murid tunggal Ta Bhok Hwesio ini mulai terhuyung-huyung. Putaran pedang yang tadi serapat curahan hujan deras itu kini mulai mengendor, dan tubuh Pek Hong mulai limbung. Kepala yang pemng rasa semakin berat, dan tiba-tiba tanpa dapat dihindarkan lagi untuk pertama kalinya sebuah gelang terbang menghantam pundak kirinya.
"Plakk...!" gadis itu mengeluh dan rasa pedih bercampur gatal sekonyong-konyong merayap di pundaknya. Pek Hong terbelalak. Dan tiba-tiba ia memekik gusar. "Hek-bi-kwi, kalian mempergunakan racun pada senjata? Keparat, kalian benar-benar manusia curang yang tidak tau malu. Aihh...!"
Pek Hong melengking penuh kemarahan dan mendadak ia menerjang maju sambil menikam pada si wanita baju ungu. Dia itulah yang melukai pundaknya, maka kini dengan penuh kemarahan ia melancarkan jurus Bianglala Mencari Hati. Pedang yang berkelebat sepenuhnya dituju ke depan, dan lawan yang hendak melompat mundur itu tidak diberinya kesempatan. Wanita baju ungu ini, yang bukan lain ialah Bi Gwat adanya, tentu saja merasa terkejut melihat serangan Pek Hong itu. la berusaha menghindar dengan jalan berkelit, tapi Pek Hong mengejar dengan mulut mendesis.
Gadis itu tampak mata gelap, dan ke manapun wanita itu mengelak tetap saja ujung pedangnya membayangi di depan tubuh. Hal ini membuat Bi Gwat menjadi pucat. Dan Bi Hwa yang melihat keadaan encinya itu diburu bahaya tiba-tiba membentak keras sambil melontarkan gelang terbangnya ke punnggungnya Pek Hong. Gadis itu berharap, Pek Hong terpaksa membalikkan tubuh dan melepas encinya.
Tapi celaka, Pek Hong rupanya benar-benar sudah naik pitam. Gelang yang menyambar punggungnya itu dibiarKan saja, hanya tangan kirinya dibalik sedikit untuk menangkis ke belakang sementara pedangnya sendiri tetap meluncur di depan ulu hati Bi Gwat. Tentu saja hal ini membuat Bi Gwat berteriak kaget, dan mata pedang yang sudah berada di depan hidungnya itu tidak sanggup ia elakkan lagi. Hi Gwat hanya membanting tubuh sebisanya, dan senjata di tangan murid Ta Bhok Hwesio Tibet itupun mengenai sasarannya.
"Crat-brett... plakk…!"
Bi Gwat menjerit kesakitan tapi Pek juga mengeluh tertahan. Pedangnya menggurat lebar perut atas Bi Gwat, namun lengan kirinyapun serasa remuk menerima hantaman gelang terbang yang menyambar punggungnya. Pek Hong terpelanting roboh sedangkan Bi Gwat terguling-guiing untuk akhirnya terkapar di bawah pohon!
"Enci....!" Bi Hwa memekik kaget melihat kesudahan pertandingan ini dan tiba-tiba ia melayang mendekati encinya. Ternyata Bi Gwat terluka cukup parah dan orang tertua dari Sam-hek-bi-kwi ini merintih kesakitan. Darahnya mengucur deras dan Bi Hwa yang tampak pucat itu segera menotoknya sana-sini untuk memperingankan penderitaannya.
Kini Pek Hong berdiri dengan mata berkubang-kunang, dan dua orang musuh yang meninggalkannya itu dipandang dengan penuh kebencian. Lengan kiriya sampai ke pundak serasa lumpuh, namun dia menggigit bibir menahan semua rasa sakit ini. Tubuh yang mulai bergoyang-goyang disusul pening di kepala yang semakin menghebat membuat gadis itu maklum bahwa racun yang amat berbahaya mengeram di dalan dirinya.
Tapi karena dia tidak mau roboh begitu saja maka pedang di tanganpun tetap dicekal erat. Musuh belum seluruhnya dia robohkan, dan selama mata masih berkejap dia tentu tidak mau sudah tapi tiba tiba Pek Hong terkejut. Bentakan nyaring diiringi pekik kesakitan di sebelah kanannya itu membuatnya sadar dan ketika dia menengok, kiranya pertempuran di antara Ceng Bi dan lawannya si wanita cantik baju hitam itupun telah berakhir Ceng Bi tampak terpukul paha kanannya sedangkan sang lawan roboh terlempar dengan senjata mencelat dari tangan.
"Aihh...!" wanita baju hitam yang bukan lain adalah Bi Kwi itu berteriak kaget dan Ceng Bi yang melihat lawannya bergulingan inu tiba-tibaa membentak sambil memburu maju,
"Siluman Hiat-goan-pang, mampuslah dan dahan yang dipakainya sebagai senjata tahu tahu menotok jalan darah Pi-peh-hiat punggung orang, sebuah jalan darah kematian. Akan tetapi tepat pada saat itu tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat mencegah.
"Nona, tahan dulu!" demiktan bayangan ini berseru perlahan dan Ceng Bi yang siap menamatkan nyawa lawannya itu sekonyong-konyong melihat sinar putih memotong dahannya.
"Crakk...!"
Ceng Bi terkejut dan ia tidak sempat mengelak. Dahan yang di tangannya tiba-tiba saja sudah terpotong menjadi dua dan ketika ia memandang, ternyata di situ telah berdiri seorang pemuda yang mukanya tampak kebingungan! Inilah pemuda yang tadi datang bersama rombongan Sam hek-bi kwi dan Ceng Bi yang melihat majunya pemuda itu tiba tiba sudah melompat mundur.
"Kau hendak mengeroyokkukah?" Ceng Bi bertanya dengan mata berapi-api, tapi pemuda itu menggelengkan kepalanya.
Dia tidak menjawab pertanyaan ini karena tiba-tiba dia memalingkan mukanya pada wanita baju hitam yang sudah melompat bangun. Wanita ini tampak gelap mukanya. Dan melihat temannya itu berdiri tertegun, ia menegur dengan suara tidak senang, "Bok-koko, kenapa kau hanya mematahkan dahannya saja? gadis seperti tiu sudah sepantasnya dipatahkan lehernya, bukan dahannya...!"
"Hm, tapi dia tidak bersalah Kwi-moi!"
"Apanya yang tidak bersalah? Dia sudah menawan Jing-ci-touw!"
"Tapi itupun karena dia ditawan, kwi-moi, bukan atas kehendaknya sendiri!"
"Ha, kau membelanya?"
"Tidak, tapi kulihat karena ia memang tidak bersalah. Apalagi kita harus memandang muka ayahnya Ciok-thouw Taihiap locianpwe!" pemuda itu tampak bersikeras dan Bi Hwa yang mendengar percakapan ini tiba-tiba melayang maju.
Wanita itu sedang menahan kemarahan akibat lukanya Bi Gwat, maka kini mendengar perdebatan ini, ia memandang pemuda itu dengan mata yang berkilat-kilat. "Bok-ko, kau melancangi peraturan kami. Siapapun orangnya yang ditawan oleh Siauw pangcu pasti mempunyai kesalahan, atas dasar apakah kau hendak mencampuri persoalan ini? kalau hanya memandang muka Ciok-thouw Taihiap saja aku kira harus meminta pertimbangan Hu-pangcu dan kami yang secara kebetulan bertemu dengan mereka ini tidak boleh melepaskannya begitu saja, apalagi enci Bi Gwat sudah terluka pula! Siapa yang hendak menghalangi kami?"
Bi Hwa memandang penuh tantangan dan pemuda tampan yang ditegur itu kelihatan mengerutkan alis. Dia hendak membantah, tapi tiba-tiba sebuah suara terdengar mengejutkan mereka semua. "Bi Hwa dan kau Bi kwi, harap kau jangan bersikap kurang-ajar kepada tamu. Bok kongcu adalah sahabat istimewaku, siapa yang hendak lancang bicara tentang dua orang tawanan kita itu? Kalau Bok kongcu menghendaki mereka bebas, biarlah, aku menyetujuinya! Memandang muka locianpwe Bu-tong-kiam Kun Seng tidak perlu kita ributkan persoalan yang kecil ini. Mundurlah...!"
Dan tiba-tiba seseorang telah berada di tempat itu tanpa mereka ketahui. Inilah hal yang mengagetkan semua orang dan ketika Ceng Bi serta Pek Hong mengangkat mukanya, tampak di situ si pemuda baju kuning bersedekap dengan tenang.
"Ui-i-siauw-kwi...!" Ceng Bi menjerit kecil tanda terkejut dan pemuda baju kuning yang dipanggil namanya itu tersenyum sekilas.
"Nona Souw, selamat malam. Kau sungguh mengagumkan hatiku. Bagaimana keadaanmu?" pemuda itu memandang Ceng Bi namun Ceng Bi malah melotot kepadanya.
"Aku baik-baik saja, orang she Ok, meskipun anak buahmu kurang ajar dan memuakkan!"
"Ha-ha, mereka memang orang-orang menyebalkan nona Souw, tapi kukira tidak selamanya, Apakah nona sudah mengenal Bok-kongcu ini?"
Ceng Bi terbelalak. "Bok-kongcu...?"
"Ya, sahabat muda dari Kun-lun-pai itu, nona, putera tunggal Bu-tiong-kiam Kun Seng yang lihai."
"Ah...!" Ceng Bi tiba-tiba memandang pemuda itu. "Kau betul putera Bu-tiong-kiam locianpwe, sobat?"
Pemuda ini mendadak tergagap. Dia memang Kun Bok adanya, namun pertemuan yang membuat dia bingung penuh kegelisahan itu tak dapat dielakkan. Terpaksa dia mengangguk dan sambil melirik hati-hati dia menjawab, "Tidak salah Souw-siocia, aku adalah Kun Bok adanya..."
"Hm, dan kau bersahabat dengan orang-orang Hiat-goan-pang saudara Kun Bok?" Ceng Bi terheran.
Tapi pemuda itu tiba-tiba kembali mengerut kau alis. "Souw-siocia, kukira bersahabat dengan siapa itulah urusanku sendiri. Kenapa nona hendak menyalahkan?"
"Ciss...!" Ceng Bi tiba-tiba menaikkan alisnya. "Siapa yang hendak menyalahkan kau? Bersahabat dengan setanpun aku juga tidak perduli kepadamu, orang she Kun, apalagi setelah melihat kau galang gulung dengan iblis-iblis betina dari perkumpulan Gelang Berdarah ini!" Ceng Bi membanting kaki lain tiba-tiba menoleh kepada si Ui-i-siauw-kwi itu, "Ui-i-siauw-kwi, kau tidak mengganggu diriku lagi biarlah semua persoalan kita dianggap impas saja, tapi lain kali kalau kita bertemu aku pasti membalas kebaikan budimu ini. Di mana sekarang pedangku?"
Gadis itu memandang marah namun orang yang diancam tenang-tenang saja. Dia meraba belakang punggungnya, dan tiba-tiba berkata sambil tertawa, "Nona Souw, kau sungguh bernyali naga, tidak kenal takut dan tidak kenal gentar. Baiklah, ini pedangmu dan terimalah wuut…!" pemuda itu melemparkan pedang Ceng Bi yang selama ini disimpannya.
Dan Ceng Bi yang tidak mengira orang demikian bermurah hati sejenak tertegun. Tapi baru dia menerima pedang sekonyong-konyong pemuda itu melemparkan sebuah bungkusan kepadanya.
"Nona Souw. Ini bubuk penawar luka untuk temanmu. Kau boleh minum yang di bungkusan putih sedangkan temanmu itu yang di bungkusan hijau. Terimalah...!"
Pemuda itu menyambitkan dua buah bungkusan kecil dan Ceng Hi yang diingatkan tentang hal ini mendadak saja terkejut. Dia tiba-tiba merasa adanya rasa panas dan gatal di paha kanannya yang tadi terpukul, dan ketika ia memandang Pek Hong ternyata temannya itu sudah roboh terguling dalam keadaan pingsan! Ceng Bi terkejut bukan main, dan sambil menerima bungkusan obat itu ia lalu menyambar tubuh temannya. Kemudian, maklum bahwa dia tidak boleh lama-lama berada di tempat itu maka Ceng Bi pun lalu melompat keluar hutan.
"Ui-i-siauw kwi, terima kasih atas bantuanmu. Tapi awas sekali obatmu ini palsu aku tentu akan mencarimu sampai ke ujung dunia!" gadis itu sempat memberikan ancamannya.
Dan siauw pangcu dari Hiat-goan-pang itu tertawa hambar mendengar kata-katanya ini. Dia bersikap tak acuh, sementara Ceng Bi yang sudah kabur itu hanya dipandangnya saja dengan mata bersinar ganjil. Dan Ceng Bi yang merasa cemas akan nasib temannya ini berlari secepatnya meninggalkan tempat berbahaya itu tanpa menoleh lagi. Tubuh temannya yang panas seperti terbakar membuat dia gelisah, akan tetapi teringat bungkusan obat dari ketua muda Perkumpulan Gelang Berdarah itu diam-diam hatinya tenang juga. Namun, benarkah bungkusan obat itu? Dia tidak tahu. Dan untuk ini dia harus mencobanya terlebih dahulu.
Kini malam sudah hampir menjadi pagi. Suasana remang-remang yang menggantikan gelap tampak mulai menerangi tanah. Dan Ceng Bi yang sudah jauh keluar dari hutan tempat pertempuran seru itu berkeringat seluruh tubuhnya. la hendak mencari tempat berteduh sebuah geubuk atau kuil tua. akan tetapi kenapa belum tampak juga?
Diam-diam Ceng Bi merasa gemas pula. Padang ilalang yang terakhir dilaluinya tadi hampir membuat ia kesal. Demikian panjang dan hampir tiada bertepi. Tapi kini ia mulai lega. Sebuah tempat yang datar namun sedikit berbatu mulai diinjaknya. Dan samar-samar di kejauhan sana tampak atap sebuah kelenteng. Ceng Bi menjadi girang dan tanpa mengenal lelah, kakinya yang sudah penat berlarian semalam suntuk ia tiba-tiba melompat ke depan dan meluncur menuju tempat itu.
Ternyata memang benar sebuah kelenteng, malah kuil yang tampaknya kosong. Dan Ceng Bi yang sekejap saja sudah tiba di tempat ini menjadi girang hatinya. Ia sudah menginjak halaman kelenteng dan siap melompat masuk ketika tiba-tiba suara batuk seseorang mengejutkannya dari kegembiraan.
"Ah...!" gadis itu tertegun dan sejenak ia menjadi kaget. Suara batuk-batuk itu terdengar dari samping kanan kuil, dan ketika ia menengok. Ternyata seorang laki-laki duduk melenggut di sudut pilar!
Dan bersamaan gadis itu menengok ternyata si laki laki inipun mengangkat kepalanya memandang gadis itu. Dia tampak terkejut sejenak, tapi Ceng Bi yang memanggul Pek Hong ini tiba-tiba mendahuluinya bertanya dengan bentakaan curiga,
"Kau siapakah?"
Namun laki-laki ini tersenyum. Dia tidak menjawab tapi tiba-tiba bangkit berdiri. Dan Ceng Bi yang melihat bentuk tubuh orang mendadak saja terkejut. Laki-laki itu tinggi besar, mukanya merah dan pakaiannya serba longar. Dilihat sekilas, dia ini tampak seperti pengembala domba yang lagi kesasar. Tapi sinar matanya yang berkilat seperti mata seekor naga itu jeias membuktikan dia bukan orang biasa!
Maka Ceng Bi menjadi semakin terkejut dan entah mengapa melihat sepasang mata yang bercahaya mencorong itu ia seakan-akan sudah mengenal orang inibertemurnah bertemu! Akan tetapi aneh. Si muka merah itu bersikap biasa saja kepadanya dan ketika Ceng Bi memandangnya terbelalak tiba-tiba dia membungkukkan tubuhnya memberi hormat.
"Nona Souw... apakah betul aku berjumpa dengan nona Souw?"
Ceng Bi terkejut bukan main di dalam hatinya. "Kau siapakah, sahabat? Mengapa menduga aku nona Souw?"
Orang itu tersenyum. "Seseorang menyuruhku menunggu kedatangan nona Souw di sini, nona. Apakah kau bukan nona Souw?"
Ceng Bi menjadi tertegun. Terus terang ia ragu-ragu untuk mengakui dirinya, karena orang sama sekali belum dikenal. Dan dia yang sedang gelisah memikirkan nasib Pek Hong itu mana bisa mengaku sembarangan saja? Syukur kalau laki-laki ini bukan lawan, itu mending. Tapi kalau malah sebaliknya bukankah ia bakal repot? Dan si muka merah yang menyatakan "disuruh" seseorang itu sungguh membuat ia curiga. Karena itu Ceng Bi tidak segera menjawab dan laki-laki aneh ini memandangnya penuh penantian.
"Bagaimana, nona, apakah kau bukan nona Souw?"
Ceng Bi menatap tajam. "Sahabat, wanita she Souw di dunia ini bukan satu dua, bagaimana kau mencari orang dengan nama tunggal itu saja? Kalau aku boleh bertanya, siapakah nama lengkap orang yang kau tunggu itu? Dan... maaf, siapa pula orang yang menyuruhmu?"
Si laki-laki aneh tertawa kecil. "Ah, kau benar, nona, aku kurang jelas. Nona Souw yang kutunggu itu adalah puteri locianpwe Souw Ki Beng, ketua Beng-san-pai yang berjuluk Ciok-thouw Taihiap. Sedangkan orang yang menyuruhku itu tidak mau disebut namanya, kecuali meninggalkan sebuah tanda pengenal yang kubawa."
Orang ini diam sejenak dan Ceng Bi yang mendengar keterangannya itu kembali kaget bukan main di dalam hatinya. Gadis itu memandang terbelalak ke atah muka merah ini, akan tetapi si muka merah itu bersikap tenang saja dalam kewajarannya yang tidak dibuat-buat, Dan Ceng Bi yang melihat kesungguhan sikap kini tertegun. Orang tampaknya tidak bermaksud buruk, dan sinar matanya yang memandang tajam itu rupanya dapat dipercaya.
Akan tetapi betulkah laki-laki ini dapat dipercaya hanya mengandalkan sikap dan wajahnya yang cukup meyakinkan? Karena, setelah ia mulai terjun ke dunia kang-ouw dan bertemu banyak orang jahat ternyata apa yang dilihat luarnya itu belum tentu sama dengan apa yang terdapat di dalam. Seperti Ui-i-siauw-kwi itu misalnya. Siapa menyangka bahwa dengan melihat wajahnya yang meyakinkan dan gerak-geriknya yang tenang orang bakal menduga dia adalah tokoh nomor dua dari Hiat-guan-pang?
Hm, ia harus berhati-hati. Laki-laki ini baru dikenal, belum diketahui siapa gerangan. Dan dia yang seakan sudah pernah bertemu muka itu malah jadi waspada. Hanya sayang, di mana ia bertemu dengan orang aneh ini sudah tidak diingatnya lagi. Kalau tidak, tentu ia dapat mengetahui laki-laki itu sahabat ataukah musuh. Dan yang sedikit aneh, ia selalu berdebar setiap kali beradu pandang dengan mata yang mencorong tajam itu. Firasat apakah ini? Ceng Bi tiba-tiba memandang penuh selidik. Dia menekan debaran hatinya yang bergetar ketika bertemu dengan mata si muka merah itu dan dengan suara perlahan ia bertanya,
"Sahabat, tadi kau menyebut-nyebut tentang sebuah tanda pengenal. Bolehkah aku melihatnya?"
Laki-laki itu tersenyum lebar. Dia mengangukkan kepalanya dengan cepat dan sebuah benda tahu-tahu telah dicabutnya sambil tertawa. "Tentu saja, nona, kenapa tidak boleh? Nah, inilah barangnya!"
Si muka merah itu sudah membuka telapak tangannya dan Ceng Bi yang melihat sekonyong-onyong berseru kaget, "Ciangbun-tang-hu…?"
"Ya, Ciang-bun-tang-hu, nona. Kalau begitu bukankah kau Souw-lihiap puteri Beng-san-pai-cu?" si laki-laki aneh ini sudah tertawa dengan muka gembira dan Ceng Si tertegun dengan mata terbelalak lebar.
Gadis itu tampak terkejut, akan tetapi kecurigaannya sekarang lenyap. Dan sebagai gantinya Ceng Bi tampak terheran-heran sambil memandangi wajah bening. Memang gadis itu tercengang, karena Ciangbun-tang-hu (jimat tanda pengenal ketua) itu adalah tanda pengenal dari ayahnya sendiri, sebagai bukti bahwa orang yang membawa itu adalah orang kepercayaan ayahnya yang dapat mewakili ketua Beng san-paicu dalam banyak hal! Dan tentu saja mengingat berharganya benda ini tidak semua orang memilikinya. Ayahnya itu sangat ketat, lagi keras dalam memilih orang kepercayaan. Maka bagaimana si muka merah ini bisa memilikinya?
Ceng Bi terbelalak tidak mengerti dan diam-diam ia menduga siapa gerangan orang yang begini hebat bisa mendapatkan tanda pengenal dari ayahnya itu. Apakah dari hasil mencuri? Rasanya tidak mungkin Ciangbun-tang-hu sendiri ada di saku ayahnya, dan tidak mungkin kiranya orang bisa mencuri benda itu. Jangankan sedang sadar, sedang tidur nyenyakpun ayahnya mampu merobohkan orang yang berani main gila kepadanya!
Maka sutu-satunya dugaan ialah si muka merah ini memang mendapatkannya secara baik-baik dari ayahnya, bukan hasil dari perbuatan curang. Dan orang yang telah mendapat kepercayaan ayahnya sampai sedemikian rupa itu tentu orang yang benar-benar istimewa. Maka Ceng Bi menjadi bengong dan si laki-laki aneh yang dipandangi tanpa berkedip tampak tersipu-sipu.
"Sahabat, kau siapakah akhirnya Ceng Bi bertanya dengan muka keheranan, namun si muka merah itu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum hambar.
"Souw-lihiap, kukira pertanyaan itu tidak begitu penting untuk diajukan. Tapi kalau kau ingin memanggilku bolehlah sebut saja Ang-bin-siauwjin!"
"Ang-bin-siauwjin (Manusia Rendah Bermuka Merah)?" Ceng Bi terbelalak.
"Ya, kalau nona ingin memanggilku."
"Ahh...!" Ceng Bi mendelong dan gadis itu merasa terkejut. Ucapan orang yang demikian getir tampak pahit nadanya. Tapi sebelum ia bertanya lebih lanjut si orang aneh itu sudah mendahuluinya.
"Souw lihiap, kau terluka bukan?"
Ceng Bi tersadar. Pertanyaan orang yang demikian langsung membuat ia terkejut dan tiba-tiba saja Ceng Bi merasakan paha kanannya gemetar. Tadi tidak memperdulikan rasa sakit dan panas di kakinya ini karena selain ia berlari sepanjang malam mencemaskan nasib Pek Hong hingga karena ia sengaja melupakan kenyerian di paha kanannya itu.
Kini, setelah berhasil menemukan sebuah kelenteng dan secara kebetulan bertemu pula dengan si muka merah yang menarik perhatiannya itu sekonyong-konyong rasa sakit serta nyerinya timbul. Ceng Bi menggigit bibir, dan tiba-tiba ja kepalanya berputar seperti mau ambruk. Gadis itu terkejut dan mendadak ia mengeluh. Kepala yang bergoyang-goyang serasa mau pecah dan paha kanan yang terpukul gelang berdarah si wanita baju hitam di tepi hutan itu tiba-tiba saja juga terasa terbakar.
"ooh...!" Ceng Bi memegangi sisi kepalanya dan gadis ini menjadi gelisah. Pek Hong yang dipondong seakan-akan merupakan beban yang amat berat kini, dan tanpa dapat dicegah tiba-tiba tubuhnya terhuyung ke depan.
"Souw-lihiap...!" si laki-laki aneh berseru perlahan dan Ceng Bi merasa pundaknya ditahan orang. Sejenak gadis itu terkejut, tapi si muka merah yang tampak bersungguh-sungguh itu tahu-tahu telah mengambil Pek Hong dari pondongannya dan melompat ke dalam kuil. Ceng Bi tertegun sejenak, tapi lengannya telah disambar orang puta "Souw lihiap, mari kita masuk ke dalam. Kalian berada dalam bahaya!" laki-laki itu berkata singkat dan Ceng Bi tahu-tahu saja merasa tubuhnya sangat ringan melayang memasuki kuil dan tiba-tiba sudah berada di ruangan dalam.
"Kau... mau apakah...?" Ceng Hi bertanya gemetar.
"Mau menolong kalian, lihiap, tenanglah...!"
"Tapi... tapi aku bisa menolong diri sendiri, Ang-bin-twako, aku mempunyai obat penawar...!" Ceng Bi mengambil bungkusan obat yang tadi diperolehnya dari si pemuda baju kuning dan dengan tangan menggigil ia membuka bungkusan obat itu. Kebetulan yang berwarna hijau obat yang sebetulnya untuk Pek Hong, dan si muka merah yang melihat ini tiba-tiba melompat mendekati.
"Obat apakah itu, Iihiap? He...?! Dari pemuda baju kuning itu, lihiap?"
"Ya..." Ceng Hi mengangguk dan tiba-tiba si muka merah itu menyambar bungkusan obatnya tanpa dapat dicegah.
"Maaf, lihiap, kuperiksa dulu...!" laki-laki itu berseru perlahan dan Ceng Bi yang terbelalak marah tidak dihiraukannya. Obat dicium, diendus lalu tiba-tiba dibanting mengejutkan Ceng Bi.
"Keparat, ini bubuk beracun, nona Souw!" Laki-laki itu berteriak kaget. "Kau malah hendak dibunuhnya bila minum obat ini. Lihat...!" si muka merah itu melemparkan sisa bubuk yang ada di tangannya pada dinding ruangan dan sekonyong-konyong Ceng Bi berseru tertahan melihat dinding yang putih itu sudah berobah hitam mengepulkan asap!
"Ahh..!" gadis ini terpukau dan bungkusan putih yang ada di tangannya tiba-tiba saja jatuh tanpa disadarinya. Bukti bahwa ia hampir saja celaka oleh kepercayaannya terhadap 'obat penawar‘ si Ui-i-siauw-kwi itu membuatnya kaget dan Ceng Bi sekonyong-konyong mengeluh. Ia yang sudah menggigil itu tak dapat menahan diri, dan Ceng Bi tiba-tiba roboh pingsan.
Gadis yang sudah keracunan oleh pukulan gelang berdarah itu memang sebenarnya tidak kuat lagi bertahan lebih lama, karena tenaganya sudah kelewat banyak diperas dalam perjalanan semalam. Tapi karena ia terluka bagian luar tubuh, maka gadis itu in masih mampu bertahan. Lain halnya dengan Pek Hong yang terpukul dua kali berturut-turut sehingga kulitnya pecah. Darah yang mengalir dimasuki racun dengan cara langsung, dan ini memang lebih berbahaya. Maka tidak heran kalau murid Ta Bhok Hwesio itu sampai belum sadarkan diri setelah semalam penuh ia pingsan. Sedangkan Ceng Bi yang dapat mengerahkan sinkang menahan bekas pukulan itu baru sekarang roboh setelah ia terlampau payah.
Tentu saja si muka merah itu kerepotan, dan dua orang gadis yang sama-sama roboh pingsan di depan kakinya ini membuat dia bingung untuk mendahulukan. Tapi akhirnya dia menotok Ceng Bi dalam keadaan darurat, lalu melompat ke tempat Pek Hong yang sudah sepucat mayat mukanya itu. Dengan hati-hati ia menotok pula murid Ta Bhok Hwesio ini, kemudian melihat luka di pundak kiri dan lengan yang tampak membengkak biru kehitaman tiba-tiba dia mencabut cermin baja dibalik bajunya dan sebuah pisau kecil.
Dengan senjata tajam ini dia menusuk lengan atas, lalu ketika darah yang kental kehitaman mengalir perlahan-lahan si muka merah itu menempelkan cermin bajanya. Aneh, sekonyong-konyong darah kental itu tersedot, dan bau yang amis busuk menguar di dalam ruangan itu. Si muka merah tampak mengerutkan alis dan berkeringat dahinya. Sedangkan cermin di tangan kanannya tampak gemetar seperti orang kedinginan. Akan tetapi hal ini tidak lama. Pek Hong yang sudah disedot darahnya oleh cermin di tangan si muka merah itu tiba-tiba mengeluh.
Gadis ini menggeliat, dan si muka merah tiba-tiba kembali menotoknya dua kali. Namun murid Ta Bhok Hwesio itu masih belum sadar, maka si muka merah lalu mengambil sebuah pil sebesar kedelai yang berwarna hitam. Dengan hati-hati pil itu dimasukkan ke dalam mulut Pek Hong, lalu dengan hati-hati pula dia menempelkan tangan kanannya di atas pundak gadis itu. Inilah pertolongan dengan tenaga sinkang dan tiba-tiba saja hawa yang sedingin es keluar dari telapak tangan laki-laki aneh itu. Pundak Pek Hong yang disentuh mendadak saja mengeluarkan suara mendesis seperti api bertemu air dan panas yang membakar di tubuh gadis itu sekonyong-konyong turun cepat.
Itulah akibat gelombang dingin yang dilancarkan si muka merah dan muka Pek Hong yang tadi sepucat mayat itu sebentar saja tahu-tahu telah menjadi merah. Hebat! inilah hasil tenaga sakti yang luar biasa dan hanya orang-orang dengan kepandaian tinggi sajalah yang mampu memulihkan keadaan seseorang yang terserang racun dalam waktu sesingkat itu!
Dan si muka merah yang melihat hasilnya ini tampak bersinar lega. Dia melihat darah busuk yang kental kehitaman di atas luka Pek Hong pun sudah berhenti mengalir, tanda telah tersedot semua, dan dia tiba-tiba melepaskan tangannya. Muka Pek Hong yang sudah kemerahan serta tubuhnya yang mulai menghangat itu membuat dia bangkit berdiri untuk menghampiri Ceng Bi sebagai gantinya, dan persis pada saat itu, si gadis yang masih terbaring tiba-tiba mengeluh sadar sambil membuka kelopak matanya.
Pek Hong sudah siuman, dan kebetulan sinar matanya langsung bentrok dengan mata si muka merah ini. Gadis ini terkejut, dan tiba tiba ia bangkit duduk. "Kau siapakah…?" Pek Hong memegangi kepalanya yang masih terasa berputar dengan pandangan kaget namun si muka merah itu mendesis perlahan,
"Adik Hong, berbaringlah. Kau perlu beristirahat barang setengah jam lagi untuk memulihkan keadaanmu!"
"Ohh...!" Pek Hong terkejut dan gadis itu tiba-tiba terbelalak. "Kau... Yap-twako gadis ini berseru kaget dan tiba-tiba ia tertegun. Suara orang yang sudah dikenal baik itu tak mampu disembunyikan dan si laki-laki muka merah itu mendadak tertawa getir.
"Adik Hong, kau ternyata bermata tajam. Orang sudah memulas mukanya bagaimana masih kau kenal juga? Ah, sudahlah, nanti kita bicara lagi, Hong-moi kau beristirahatlah, biar aku menolong puteri Ciok-thouw Taihiap" si muka merah itu memutar tubuh namun baru dua langkah tiba-tiba membalik sejenak "Hong-moi, jangan sebut namaku di depan puteri Ciok-thouw Taihiap ini. Aku memperkenalkan diri sebagai Ang-bin siauwjin…"
"Ahh...!" Pek Hong terheran lirih dan tiba-tiba gadis itu terisak. Pemuda yang sama sekali tidak disangka bakal muncul menolongnya ini ternyata telah menyembunyikan diri sedemikian rupa sampai namapun dirobahnya menjadi Ang-bin-siauwjin. Dan sebutan "siauwjin" itu dia tahu betul apa artinya. Sebuah sebutan untuk diri seorang manusia hina yang tidak pantas disebut "orang" lagi. Julukan bagi diri sendiri yang merasa malu atas semua perbuatan yang telah dilakukan pada masa yang telah silam. Hinaan bagi diri sendiri akibat perjinaannya dengan murid perempuan Cheng-gan Sian-jin!
"Ah, Yap-twako..." Pek Hong merintih dengan hati yang amat pilu memandangi orang yang sudah berlutut di samping puteri Ciok-thouw Taihiap itu. Ia hanya dapat mengawasi punggung orang, dan tiba-tiba murid Ta Bhok Hwesio itu meramkan mata sambil menggigit bibir. Perasaan nyeri serta keharuan yang amat besar tak mampu dibendungnya, dan Pek Hong tiba-tiba menangis tanpa suara. Gadis yang diguncang oleh pertemuan tak disangka ini tak dapat menahan diri lagi, maka sambil duduk bersila iapun terisak-isak tanpa suara.
Sementara itu, si muka merah yang sebenarnya bukan lain adalah Pendekar Gurun Neraka atau Yap Bu Kong yang sedang menyamar ini sudah bekerja cepat menolong Ceng Bi, puteri Ciok-thouw Taihiap yang pingsan akibat kelelahan serta keracunan gelang berdarah itu sudah ditotoknya dua kali berturut-turut, lalu seperti ketika mengobati Pek Hong, diapun telah menjejalkan pil hitam ke dalam mulut gadis itu kemudian menempelkan cermin mustikanya di paha Ceng Bi.
Pekerjaan ini dilakukan dengan sedikit gemetar, karena bagian tubuh yang cukup peka untuk diraba itu sebenarnya terpaksa sekali untuk disentuh. Namun pemuda ini adalah seorang gemblengan. Dengan pemusatan konsentrasi serta penindasan terhadap pikiran yang tidak-tidak, sekejap saja dia telah berhasil menenangkan diri.
Ceng Bi yang pingsan harus segera ditolong. Gadis ini menderita kelelahan yang amat sangat. Dan luka di paha kanannya yang membengkak kehitaman itu sungguh tak boleh dibiarkan terlalu lama. Maka sambil menahan debaran hatinya namun cepat dan mantap dia sudah menyingkap celana gadis itu. Paha yang putih mulus, sejenak membuat darahnya berdesir, akan tetapi dengan kekuatan sinkangnya Bu Kong dapat mengendalikan diri.
Kini cermin penghisap racun sudah ditempelkan di atas paha Ceng Bi dan dua totokan di pangkal pahanya tadi telah menahan naiknya racun. Warna biru kehitaman di bagian kaki ini tampak terkumpul di satu daerah, dan ketika cermin mustika itu dilekatkan di atas paha ini tiba-tiba saja hawa beracun itu terhisap naik. Mengagumkan sekali! Logam baja putih yang tadi bersih itu sekarang mendadak biru kehitaman, dan panas yang membakar di tubuh Ceng Bi sekonyong-konyong menurun cepat dan akhirnya menjadi hangat!
Itulah tanda berhasilnya menyedot racun dan Bu Kong yang melihat perobahan ini berseri mukanya. Cermin mustikanya tidak sampai lima menit dipakai, dan sekarangpun semua racun di tempat itu lenyaplah! Kini dia ganti menempel kau tangan kirinya di atas paha itu dan cermin mustika disimpan kembali sambil duduk bersila. Pengobatan terhadap Ceng Bi harus tidak tanggung-tanggung, karena dikhawatirkan hawa beracun masih mengeram di lain tubuh.
Karena itu, dengan bantuan sinkang yang mengalirkan hawa hangat itu dia hendak mendesak semua sisa-sisa racun yang barangkali ada supaya tubuh gadis ini benar-benar bersih. Dan dengan demikian berarti lengkaplah pertolongannya kepada puteri Ciok-thouw Tathiap ini yang tidak perlu dikhawatirkan lagi nasibnya.
Benar saja. Getaran sinkang yang dia salurkan mendorong hawa beracun di tubuh Ceng Bi ini menunjukkan hasilnya. Muka Ceng Bi yang tadi pucat kini tiba-tiba mulai kemerahan dan beberapa detik kemudian gadis itu tiba-tiba membuka mata! Ceng Bi siuman!
Puteri Ciok-thouw Taihiap itu tampak tertegun, namun tiba-tiba ia terbelalak. Si muka merah yang dikenalnya sebagai Ang-bin-siauwjin itu ternyata duduk disampingnya, dan mulut orang yang tampak tersenyum itu membuat ia kaget sekali. Celananya disingkap, dan paha kanannya yang terbuka penutup itu disentuh Ang-bin-siauwjin!
"Aihh...!" Ceng Bi tiba-tiba berteriak marah. "Berani kau bersikap kurang ajar kepadaku, Ang-bin-siauwjin? Keparat, kau manusia jahanam... plakk!" Ceng Bi tahu-tahu telah melenting berdiri dan sekali berkelebat ia telah menampar pipi orang dengan amat kerasnya.
Si muka merah terpelanting, dan orang itu berseru kaget. Namun Ceng Bi sudah memburunya. Gadis yang tiba-tiba seperti orang kesetanan ini tidak memberinya ampun. Lawan yang masih terbelalak kaget itu sudah diterjangnya dan empat kali berturut-turut tangan Ceng Bi melayang, maka empat kali berturut-turut itu pula muka orang sudah digamparnya pulang-balik seperti orang kesurupan.
"Plak-plak-plakk...!"
Suara nyaring bertubi-tubi itu membuktikan betapa kuatnya ceng Bi menampar, dan laki-laki yang ditampar pecah mulutnya! Dia tidak mengelak, dan Ceng Bi yang melihat lawannya itu terbelalak dengan bibir pecah jadi tertegun.
"Kau...!" gadis tni menggigil dengan mata berapi-api, tapi tiba tiba Pek Hong telah berkelebat di sampingnya.
"Adik Bi, tahan, kau salah paham!" murid Ta Bhok Hwesio itu berseru kaget dan Ceng Bi terkejut. Lengannya sudah dipegang orang, dan ketika to menoleh ternyata temannya itu memandangnya dengan muka pucat, Ceng Bi jadi menjublak, dan sekaranglah dia teringat bahwa sebenarnya dia di tempat itu tidak sendirian!
"Oh... enci…!" Ceng Bi berseru lirih dan Pek Hong yang melihat sinar mata gadis ini masih berapi-api penuh kemarahan sekonyong-konyong meremas tetapaknya.
"Adik Bi, tenanglah... kau baru saja sadar. Bagaimana memukul orang tanpa sebab? Hem, kau salah paham, adikku... tenanglah... biar redakan dahulu kemarahanmu itu!"
"Akan tetapi... akan tetapi... jahanam itu menyingkap celanaku. enci, dia kurang ajar menyentuh pahaku!"
"Hus, akan tetapi itu bukan maksudnya, adik Bi. Kau baru saja terluka dan... si Ang-ben siauwjin itu berusaha menolongmu. Dia menyalurkan sinkang mengusir racun, apakah kau tidak ingat...?"
Ceng Bi terbelalak lebar. Ucapan temannya itu menyentakkan dia dari kegelapan, dan ketika sekarang ia sadar bahwa ternyata benar paha kanannya sudah sembuh, tiba-tiba Ceng Bi mengeluh tertahan. Laki-laki aneh yang berpakaian seperti gembala domba yang kesasar itu dipandangnya, dan melihat bibir orang yang pecah berdarah, sekonyong konyong ia melompat maju dengan tubuh gemetar.
"Ang-bin-siauwjin... eh, Ang bin twako, kenapa kau tidak mengelak seranganku? Dan aku... aku telah menamparmu berturut-turut sampai pe ah bibirmu, twako? Aduh... ya Tuhan... apa yang kulakukan ini? Ang-bin-twako, maafkan aku... aku tidak sengaja...!" Ceng Di melompat maju dan tiba-tiba ia sudah membersihkan mulut orang dengan saputangannya!
"Ahh...!" si laki-laki aneh tertegundan sapan yang dilakukan dengan jari jari gemetar serta air mata basah itu membumnya terkejut. Sejenak dia terkesima, namun tiba-tiba menyingkirkan lengan Ceng Bi dengan halus.
"Nona Souw, tak pertu menyesal. Kau Baru saja dalam keadaan siuman, bagaimana tidak terkejut melihat sikapku? Sudahlah nona, aku yang lancang karena mengobatimu dalam keadaan pingsan. Maaf... maafkan aku pula, nona..." laki-laki itu menjura gugup di depan Ceng Bi sementara matanya diam-diam melirik ke arah Pek Hong.
Ceng Bi merasa tidak enak, dan gadis itu-pun cepat-cepat membalas penghormatan orang. "Ang-bin-twako, harap kau maafkan aku. Aku sungguh menyesal sekali. Tidak kusangka bahwa kau telah mengobatiku. Aku tadi mengira kau... kau... mau kurang ajar kepadaku..." Ceng Bi merah mukanya waktu mengucapkan kata-kata ini dan Pek Hong tiba-tiba tertawa lega.
"Adik Bi, kau memang baru saja sadar, maka tidak aneh kalau kau terkejut melihat perbuatan Ang-bin-siauwjin ini. Tapi sudahlah, bukankah Ang-bin-twako dapat memakluminya? Dia telah menolong kita berdua, dan sepatutnya kita membalas budi baiknya ini, setidak-tidaknya membuat minuman untuk dinikmati bersama. Eh, adik Bi, aku ke belakang dulu, membuat teh yang masih ada pada bekalku!" gadis itu sudah memutar tubuh sambil mengedipkan sebelah mata kepada Ceng Bi dan dengan mulut tersenyum-senyum aneh ia melangkahkan kakinya ke belakang.
Ceng Bi tertegun, dan si muka merah yang bukan lain adalah Bu Kong itu tampak terkejut. Dia merasa heran melihat sikap Pek Hong ini, karena dia merasa bahwa murid Ta Bhok Hwesio itu sengaja "menahan" dia di sini untuk menghadapi Ceng Bi. Karera merasa gugup dan tidak enak tiba-tiba tanpa terasa dia sudah berseru,
"Hong-moi, jangan repot repot. Aku hendak segera pergi…!"
Ceng Bi yang mendengar ini terkejut. "Eh, kau sudah mengenal enci Hong, Ang-bin-twako?"
Pemuda itu kaget sekali. Suaranya yang terlepas tanpa disengaja itu memang menunjukkan sikap orang yang sudah lama kenal dengan Pek Hong, dan seruannya "Hong-mo" yang terdengar mesra serta dekat seperti layaknya dua orang sahabat yang sudah lama bergaul itu benar-benar membuat dia jadi tertegun. Karena itu, pertanyaan Ceng Bi yang diucapkan dengan muka keheranan itu sejenak membuat dia hampir saja membuka diri. Namun untunglah, Pek Hong yang sudah lenyap tanpa menghiraukan seruannya itu membuat dia mendapatkan ketenangannya kembali dan dengan sikap sedikit gugup dia menjawab,
"Ah kami baru saling kenal di tempat ini, Souw-lihiap, seperti juga kau baru mengenalku beberapa saat yang lalu….!"
"Hmm...." Ceng Bi sedikit tidak percaya akan tetapi gadis itu memandang orang dengan mulut tersenyum. "Ang-bin twako, kau tadi tidak mengelak tamparanku. Kenapakah?"
Pemuda ini tersipu-sipu. "Ah, aku terlampau kaget melihat kemarahanmu, nona, dan lagi, gerakanmu yang begitu cepat mana sanggup kutangkis? Biar kemanapun juga aku lari tentu bakal kau kejar kalau belum kemarahanmu terlampiaskan. Bukankah begitu, nona Souw?"
Ceng Bi tersenyum kecil! "Twako, sakitkah tamparanku tadi?"
Pemuda itu terbelalak. "Ah, tentu saja nona eh, maksudku tidak begitu sesakit hatimu kalau benar aku berbuat kurang ajar kepadamu...!" pemuda ini sedikit tergagap dan Ceng Bi tiba-tiba memandangnya tajam.
"Ang-bin twako, apakah betul bahwa baru pertama ini kita bertemu muka?"
Pemuda itu kembali terkejut. "Eh, maksud nona...?"
Ceng Bi mengerutkan alisnya. "Aku rasa pernah jumpa denganmu. Akan tetapi di mana dan kapan aku lupa!"
"Hem," si muka merah itu membelalakkan mata dan diam-diam Bu Kong kaget bukan main. Tajam benar perasaan gadis ini, cerdik dan juga kelihatannya suka penasaran untuk memecahkan sesuatu yang menjadi ganjalannya. Dan berbicara lama-lama dengan gadis seperti itu tentu bakal terbongkar kedoknya. Celaka! Kenapa dia harus berhadapan dengan puteri Ciok-thouw Taihiap.
Padahal, bukan maksudnya untuk begitu. Dia hanya sekedar hendak mengobati mereka, lalu pergi setelah selesai. Tapi Pak Hong yang entah sedang merencanakan akal bulus apa itu telah menahannya. Dia "dikunci" untuk melayani bercakap-cakap dengan gadis puteri Beng-san-paicu ini, dan mata jeli yang memandangnya bersinar-sinar itu benar-benar membuat dia jadi gelisah.
"Eh, twako, bagaimana dengan pertanyaanku tadi?"
Pemuda itu tersentak kaget. "Eh… pertanyaan apa, nona?"
Ceng Bi tertawa geli. "Hm, kau agaknya melamun. Pertanyaan belum dijawab bagaimana sampai melamun demikian jauh? Kau belum menjawab pertanyaanku tentang pertemuan kita ini Ang-bin-twako, bahwa agaknya kita sudah pernah bertemu sebelum ini!"
Bu Kong terkejut, "Ah, kukira tidak, nona Souw! Bagaimana kau bisa menyimpulkan begitu?"
Ceng Bi tersenyum manis. "Karena ada sesuatu tanda yang kurasa kenal darimu, twako, sorot matamu itu...."
"Sorot mataku?"
"Ya! Aku merasa pernah bertemu dengan sorot matamu di suatu tempat!"
"Ah, akan tetapi mungkin itu adalah orang lain, nona, bukan aku. Dan kenapa dengan sorot mataku?"
Untuk ini Ceng Si tersipu-sipu. ia merasa jangah dan karena tidak mungkin baginya untuk berterus terang maka iapun terpaksa diam. Pada saat itu Pek Hong tiba-tiba muncul dan Ceng Bi yang merasa tertolong oleh kemunculan temannya ini menjadi girang.
"Enci Hong, apakah betul kau baru kali ini mengenal Ang-bin-twako?"
Pertanyaan tiba-tiba yang amat mengejutkan Pek Hong ini sejenak membuat gadis ini tertegun. Akan tetapi isyarat sebelah mata dari "tuan penolongnya" itu membuat ia tiba-tiba tersenyum lebar. "Adik Bi, apa maksud pertanyaanmu. Tentu saja dengan Ang-bin-twako baru ini kita saling berkenalan. Apakah kau berpikir lain?"
Pek Hong meletakkan teh panas yang dibawanya dan Ceng Bi tertawa kecil!. "Ah, tidak, enci, hanya seruannya tadi yang tampak akrab denganmu kukira kalian sudah saling kenal dengan baik. Eh, Ang-bin twako, hayo minim nih, enci Hong telah membuatkan untuk kita bertiga…!"
Puteri Beng-san-paicu yang cantik itu sudah menyambar cangkir teh sambil tersenyum manis dan dengan tiba-tiba memberikan minuman itu kepada si muka merah. Bu Kong terkejut, akan tetapi ia menerima juga. Ceng Bi memandangnya dengan mata berseri dan secara tidak sengaja jari jari mereka saling sentuh. Pemuda itu berdetak dan tiba-tiba saking gugup ia meneguk habis teh yang masih panas itu!
"Ih, kau tidak sabaran, twako?" Ceng Bi ketawa geli. "Masa minuman panas ditenggak habis dalam satu sedotan saja! Enci Hong, apakah kau hanya membuat tiga cangkir ini saja?"
Pek Hong hanya mengangukkan kepalanya dengan geli ditahan sementara orang yang dijadikan pembicaraan tersipu-sipu kemerahan mukanya.
"Ah. sudah, nona Souw. sudah cukup! Aka buru buru sekali sekarang ini, maaf kalau tidak sadar meneguk habis minaman itu. Aih, ji wi siocia (nona berdua), harap kalian tidak kecil hati. Aku harus segera pergi mencari seseorang, perkenankanlah….!" Pemuda itu sudah bangkit berdiri.
Dan Ceng Bi serta Pek Hong terkejut. "Hai, masa terburu-buru amat, twako? Dan kau hendak ke manakah?" Ceng Bi bertanya.
Tapi si muka merah melirik Pek Hong. "Aku hendak ke Puri Naga, nona, dan kalian sebaiknya beristirahatlah saja di tempat ini sampai besok...."
"He. Puri Naga?" Ceng Si tiba-tiba terkejut. "Kalau begitu kebetulan sekali twako, akupun juga mau ke sana!"
"Hm, untuk apa, nona?" pemuda itu terbelalak.
"Untuk membebaskan twa-suhengku, Auw Lek Hui yang ditangkap Cheng-gan Sianjin….!"
"Ah...!" pemuda ini tertegun dan tiba-tiba diam memandang kepada Ceng Bi. "Nona Souw, kapankah kau mengetahui hal ini?"
"Beberapa hari yang lalu, twako, ketika aku diajak si Ui-i-siauw-kwi ke sana. Kenapakah?"
Namun pemuda ini manggelengkan kapalanya. "Tidak apa-apa, nona Souw... tidak apa-apa. Baiklah, aku permisi dulu kalau begitu. Dan kalau kalian mau kesana harap berhati-hatilah. Tempat itu berbahaya sekali, jangan sampai kalian terjebak lagi. Selamat tinggal...!" pemuda ini sudah memutar tubuh dan sekali barkelebat saja tahu-tahu diapun tetah lenyap dari tampat itu seperti bayangan iblis.
Ceng Bi terkejut dan gadis itu tiba-tiba barteriak sambil mengejar, "Ang-bin-twako, tunggu dulu…!"
Tapi orang yang dipanggil ternyata sudah tidak tampak batang hidungnya lagi. Ceng Bi penasaran dan gadis ini tiba-tiba melayang ke atas pohon. Dan apa yang dilihat? Ternyata si Ang bin-twako itu sudah jauh di kaki gunung berlari cepat seperti manusia terbang!
"Ooh…!" gadis ini tertegun dan tiba-tiba Pak Hong sudah memegang lengannya dengan halus.
"Adik Bi, kau mau bicara apakah? Dia sudah pergi, dan tiada gunanya kalau kita memanggil-manggil lagi. Lebih baik kita turun saja dulu beristirahat seperti nasihatnya tadi. Marilah...!"
Pek Hong menarik gadis itu melompat turun dan Ceng Bi yang mendelong oleh kepergian si muka merah yang amat luar biasa cepatnya itu mendesahkan mulut dengan mata terbelilak.
"Ih, luar biasa sekali si Ang-bin-twako enci Hong. Ginkangnya seperti siluman saja…!"
"Ya, dia memang hebat, adik Bi, karena itu tidak mungkin kalau kita mau mengejarnya."
"Dan kau tampaknya kenal baik dengannya, bukan?"
Pek Hong tertawa kecil "Agaknya seperti kau pula, adik Bi, sama-sama mengenal di kuil ini dengan caranya yang aneh."
"Hmm...!" Ceng Bi melirik dengan mata curiga dan mereka berdua sudah memasuki lagi ruang dalam tanpa banyak bicara. Pek Hong tampak tersenyum-senyum aneh sedangkan Ceng Bi diam mengerutkan kening dengan sikap kurang puas.
Malam itu mereka benar-benar menuruti saran si muka merah, karena Pek Hong yang kelihatannya belum kuat untuk berjalan jauh itu harus memulihkan tenaganya dahulu sampai benar-benar kuat. Dan murid Ta Bhok Hwesio itulah yang sebetulnya mengalami luka lebih berat dibanding Ceng Bi, karena kalau Ceng Bi hanya ringan dan cukup beristirahat barang dua atau tiga jam adalah Pak Hong ini yang harus memulihkan tenaga lebih lama. Paling tidak, waktu semalam itulah ia dapat mengembalikan kekuatannya untuk mulai melakukan perjalanannya di esok pagi.
Dan Ceng Bi yang malam itu berbaring disisi temannya gelisah tidak dapat tidur. Berbagai pikiran mengaduk kepalanya. Pertama-tama tentang perstiwa di luar hutan bersama-saama Sam-hek bi-kwi. Heran dia, bagaimana Kun Bok bisa berada di tempat itu, bersahabat dengan orang-orang Hiat goan pang? Dan tentang pertemuannya yang baru pertama kali itu dengan putera si Jago pedang Kun lun yang hendak dijodohkan dengannya itu. Ceng Bi mencibirkan bibir.
Memang tampan pemuda itu, cukup dan tidak buruk. Akan tetapi entah mengapa toh tidak ada rasa tertarik sama sekali. Pemuda itu kelihatannya lihai, terbukti bahwa sekali gerak saja tiba-tiba pedangnya membacok putus dahan yang dipegang untuk menghabisi nyawa si gadis baju hitam. Gerakannya demikian cepat, dan ia sampai terkejut.
Tapi itu tetap saja tidak membuat ia kagum. Kun Bok di matanya tampak biasa-biasa saja. tidak memiliki kelebihan yang berarti. Lain halnya misalnya dengan hem... Pendekar Gurun Neraka umpamanya. Dan membandingkan pemuda itu dengan bekas jenderal muda itu sungguh jauh sekali perbedaannya. Pendekar Gurun Neraka demikian tinggi ilmu silatnya, bahkan Pek Hong mengatakan bahwa pemuda itu kini memiliki tingkat kesaktian yang sudah di atas gurunya sendiri. Dan pemuda yang dikatakan hebat itu juga masih jauh lebih pantas dibanding Kun Bok!
Hem, apa itu Kun Bok? Tidak ada sepersepuluhnya dibanding Pendekar Gurun Neraka. Dan pergaulan pemuda itu bersama wanita-wanita cantik dari Hiat goan-pang membuat dia bahkan merasa tidak suka. Orang-orang Hiat -goan-pang itu manusia-manusia iblis, bagaimana putera Bu-tiong-kiam Kun Seng itu bisa bersahabat dengan manusia-manusia macam itu? Dan sikap Sam-hek-bi-kwi yang demikian mesra serta genit terhadap pemuda itu malah menimbulkan rasa muak di perut Ceng Bi.
Tiga wanita cantik itu tampak liar sinar matanya, dan dia yang sama-sama wanita ini dapat merasakan adanya sesuatu yang tidak beres pada watak mereka. Kelihatannya seperti orang-orang cabul, pengumbar nafsu berahi. Maka bagaimana Kun Bok bisa bergaul dengan wanita-wanita samacam itu? Dan pemuda seperti ini handak dijodohkan dengannya?
Cihh! Ceng Bi tiba-tiba meludah jijik dan sekarang pikirannya beralih pada si Aug-bin-twako. Laki-laki muka merah itu menarik perhatiannya. Pertama karena ia merasa sudah pernah bertemu muka dan kedua karena ia heran bagaimana Ciang-bun-tang-hu bisa berada di tangan orang itu. Sebenarnya hendak menanyakan hal itu ketika seorang melompat pergi, namun ginkang yang seperti siluman terbang itu membuat orang tahu-tahu telah berada di kaki gunung dalam waktu sekejap saja. Ceng Bi jadi kaget dan kagum doleh kelihaian yang demikian luar biasa itu, dan keinginannya untuk bertemu kembali semakin besar. Tapi sayang, belum sempat ia berbicara si Ang-bin--twako itu sudah keburu lenyap.
Orang tampaknya tergesa-gesa, dan ia yang ingin bertanya lagi ini jadi mendongkol dibuatnya. Tapi bukankah mereka akan bertemu lagi? Dan pertemuan itu bisa diadakan di Puri Naga. Ya, dia akan ke Puri Naga. Selain ingin berjumpa dengan si "panggembala" yang aneh itu juga karena ia ingin membebaskan twa-suhengnya! Maka dengan pikiran ini Ceng Bi mulai tersenyum dan perlahan-lahan kemudian iapun tertidur dengan wajah berseri di lantai kuil bersama Pek Hong yang nampaknya sudah pulas duluan itu.
Akan tetapi, benarkah Pek Hong sudah pulas di samping Ceng Bi? Sesungguhnya tidak, gadis inipun juga mempunyai bermacam-macam pikiran yang membuat ia gelisah, tapi karena tak ingin membuat Ceng Bi curiga maka ia berpura-pura seakan sudah tidur lelap. Dan hal sebenarnya tentu saja tidaklah demikian.
Pek Hong gelisah akibat pertemuannya dengan pemuda itu. Pendekar Gurun Neraka yang menyamar jadi si muka merah. Dan perjumpaannya yang amat tiba-tiba itu sungguh mengejutkan hatinya. Tidak disangka sama sekali bahwa ia bakal bertemu dengan orang yang selama ini diharap-harapkannya di kuil itu. Dan rasa gembira serta camas mengusik hatinya. Apakah yang hendak dilakukannya kini?? Tak dapat disangkal bahwa ia tadi memang sengaja "menahan" pemuda itu untuk bercakap-cakap dengan Ceng Bi. Maksudnya agar mereka dapat berbicara leluasa dan Ceng Bi mengetahui penyamaran orang yang sebetulnya dicintainya itu.
Tapi celaka, Ceng Bi rupanya memang betul dapat menangkap sesuatu yang disembunyikan oleh pemuda itu namun Pendekar Gurun Neraka sendiri sudah terburu-buru pergi. Bekas jenderal muda itu kelihatannya gugup dan gelisah, dan Ia hampir tertawa geli oleh kenyataan ini. Dan Ceng Bi yang tajam perasaannya itu mulai curiga. Puteri Ciok-thouw Taihiap ini bertanya kepadanya, apakah ia mengenal pemuda itu. Dan hampir saja ia kelepasan bicara. Aih, adik Ceng Bi, siapa bilang aku tidak kenal kepadanya? Bahkan barangkali mengenalnya "kelewat baik"! Dan Pek Hong tersenyum serta mengeluh sekaligus dengan perasaan tidak karuan.
Pengalaman beberapa bulan yang lalu bersama Pendekar Gurun Neraka itu sudah cukup menggores segala kenangan pahitnya, dan ia harus menerima semua kenyataan itu dengan getir. Apalagi yang hendak dialaminya? Pek Hong menarik napas panjang. Ceng Bi yang sudah tidur di sampingnya itu dipandang terharu. Betapa polos dan murninya puteri Pendekar Kepala Batu ini, betapa baikny dia. Teringat oleh Pak Hong ketika mereka masih berada di gua bawah tanah betapa Ceng Bi dengan kepolosannya yang tidak dibuat-buat telah menyatakan keinginannya untuk mengajak dia hidup bersama Pendekar Gurun Neraka, membagi dalam sebuah rumah tangga!
Ah, siapa tidak akan terpukul? Pek Hong menangis di dalam hatinya mendengar itu. Tampak olehnya kini, betapa puteri Ciok-thouw Taihiap itu bukanlah gadis yang egois seperti dirinya, tidak mengejar kebahagiaan diri sendiri dan masih ingat akan nasib orang lain yang sama-sama menderita. Hm, mana ada gadis semacam itu di dunia ini? Apalagi kalau sudah menyangkut masalah cinta pribadinya! Tidak seperti dia yang ingin monopoli sayang orang yang dicinta bagi dirinya piibadi. Tapi, salahkah sikapnya itu? Salahkah bila seseorang wanita ingin mendapatkan kasih sayang sepenuhnya dari pria yang dipuja? Salahkah itu? Tidak normalkah dia? Atau puteri Ciok-thouw Taihiap ini yang justeru tidak "normal"?
Pek Hong memghela napas dan tidak tahu jawabannya yang benar. Memang aneh Ceng Bi ini. Rela membagi cinta dengannya. Apakah yang menjadi dasar sehingga gadis itu bisa menyatakan ini? Apakah karena masing-masing merasa sama-sama saling suka? Ataukah sekedar kasihan belaka karena mendengar gagalnya dia menggalang cinta?
Agaknya kedua-duanya itulah. Ceng Bi merasa suka dan kasihan kepadanya, merasa mungkin sama-sama "senasib". Mengapa senasib? Karena gadis itu sendiri juga belum tahu apakah orang yang dicinta belas mencinta dirinya! Hm, inilah agaknya. Dan "kengerian" membayangkan kegagalan cinta itu memang menakutkan sekali, jauh lebih menakutkan daripada melihat jin, setan atau iblis di dasar neraka terkutuk. Maka Pek Hong lalu menarik napas panjang dan secara diam-diam ia mencium pipi puteri Ciok-thouw Taihiap ini dengan penuh keharuan.
Namun tiba-tiba ia tersentak kaget. Suara seseorang di luar kuil memanggihiya lirih, dan Pek Hong tertegun. Ia seakan kurang percaya tapi suara panggilan itu tiba-tiba terdengar lagi mamasuki telinganya dengan halus,
"Hong-moi, maafkan aku. Bisakah kau keluar sebentar di taman belakang? Ada sesuatu yang penting ingin kubicarakan denganmu....!"
Pek Hong berubah mukanya dan tiba-tiba ia melompat bangun. Itulah suara Pendekar Gum Neraka. Astaga! Bagaimana dia tiba-tiba kembali? Maka menjadi tegang dan gembira oleh kedatangan pemuda yang selama ini direnungkan gadis itu tiba-tiba sudah keluar setelah terlebih dahulu memandang Ceng Bi yang pulas di lantai. Pek Hong langsung berkelabat menuju ke ruang balakang, dan ketika ia sampai di tempat itu betul saja, sesosok bayangan tinggi besar dengan pakaian gembalanya yang serba longgar berdiri menanti di tengah taman dengan mulut tersenyum.
"Yap-koko...!" Pek Hong menghambur dengan wajah berseri dan sekali lompatan saja la pun tiba-tiba telah berada di depan pemuda itu.
Bu Kong tertawa kecil, dan pemuda melangkah maju memegang lengan orang. "Hong moi, kau belum tidur?" tanyanya dengan suara lembut. "Apa saja yang kau pikirkan? Hm, sejak tadi kulihat kau gelisah di samping puteri Ciok-thouw Taihiap itu. Mangapakah?"
Pek Hong merah mukanya dan gadis ini tersipu-sipu. Tangan orang yang memeganginya membuat ia sedikit gemetar, namun dengan halus ia cepat menarik lengannya itu seraya manegur, "Yap-koko, kau agaknya mengintai kami, ya? Hm, laki-laki apa ini? Gadis tidur diintai pemuda! Yap-koko, kau memanggilku ke mari ada apakah? Dan kenapa kau kembali...?"
Bu-Kong menarik napas panjang. "Aku tadi hanya berpura-pura saja, Hong moi, karena sebetulnya aku ada perlu dengartmu. Tapi karena ada nona Ceng Bi di sana aku jadi kurang leluasa dan segera pergi untuk mengelabuhi kalian. Ketahuilah, aku ingin menanyakan tentang terbunuhnya Hoa-san Siang-lihiap serta gurunya itu kepadamu, Hong-moi. Benarkah mereka terbunuh olehmu?"
Pek Hong tiba-tiba memancarkan sinar marah, "Hm, justeru hal inilah yang mengganjal hatiku dan suhu, Yap-koko, karena kami sebetulnya difitnah orang! Iblis-iblis keji telah mempergunakan nama kami untuk melakukan perbuatan terkutuk itu, dan dunia kang-ouw telah mempercayainya. Sialan, siapa yang tidak naik pitam mendengar ini?" gadis itu membanting kakinya.
Dan Bu Kong mengerutkan "Hm, jadi seseorang telah memfitnah kalian Hong-moi?"
"Begitulah, Yap-koko, dan aku serta suhu dicari-cari kaum pendekar untuk meminta portanggungan jawabnya!"
"Tapi apakah mereka tidak mencurigai kejanggalan ini, Hong-moi? seharusnya kaum pendekar itu tidak boleh bertindak asal menurutkan hawa napsu. Dan Ta Bbok-losuhu, gurumu dimana beliau sekarang?"
Pek Hong menarik napas kesal. "Suhu dibawa seseorang, koko, dan katanya mereka pergi ke suatu tempat untuk menemui seorang pangeran. Suhu tidak memberi tahu di mana tempat itu, dan beliau tampaknya merahasiakan. Yang kuherankan bagaimana suhu mandah saja pergi barsama orang yang baru kali itu kukenal? Dan anehnya, suhu seperti tersihir oleh semua sikap dan kata-kata orang itu yang mangaku sebagai sahabat suhu. Padahal gerak-geriknya kurasa mencurigakan sekali!"
"Hm, bagaimana perawakannya, Hong-moi?"
"Sedang-sedang saja, ramah dan tampaknya cerdik!"
"Dan kau tahu namanya?"
"Tidak!" Pek Hong menggeleng. "Tapi suhu menyebutnya "saudara Yu", Apakah kau kenal dengan nama ini, koko?"
Bu Kong mengerutkan alisnya. "Nama Yu belum parnah kukenal, Hong-moi, tetapi barang-kali betul sahabat gurumu yang lama tidak bersua. Mungkin saja dari Tibet, atau mungkin pula dari tempat lain. Baiklah, kita selidiki hal ini lain kali saja. Kembali pada persoalanmu semula, apakah kau telah dapat menangkap siapa orang yang telah melontarkan fitnah ini?"
Pek Hong tiba-tiba mengepal tinju. "Orang Hiat-goan-pang, koko, dan mulai disiarkan lewat mulut Jing-ci-touw Kam Sin!"
"Hm, sudah kuduga, Hong-moi. Dan kau sudah menangkap orang she Kam itu, bukan?"
"Ya, tapi dia tidak mau mengaku!" Pek Hong mengepal gemas. "Dan sekarang kutahu bahwa si biang keladi jahanam itu tentulah manusia she Ok yang menjadi hu-pangcu dalam Perkumpulan Gelang Berdarah itu. Eh, Yap koko, apakah kau tahu siapa pemimpin pemimpin perkumpulan setan itu?"
Bu Kong menaikkan alis dengan wajah muram "Aku tahu, Hong moi, putera mendiang Ok-ciangkun, bukan? Dan ini berarti menjepit kedudukanku menjadi semakin berat…..!" Pemuda itu tampak berduka dan Pek Hong mamandang terharu. "Tapi, koko, yang berbahaya adalah gurunya, ketua pusat Hiat-goan-pang itu. Apakah kau tahu siapa orang itu?"
Bu Kong mengangguk "Tentu saja, Hong-moi, aku telah menyelidiki markas pusat perkumpulan itu. Dia bukan lain adalah susiokku sendiri yang minggat dari Palau Hek-kui-to. Bukankah orang ini yang kau maksudkan?"
"Ya...!" Pek Hong tercengang. "Dan kau bilang telah mermasuki markas mereka, Yap-koko? Aih, berbahaya sekali....!" gadis itu berseru keheranan namun Bu Kong menank napas kesal.
"Memang berbahaya, Hong-moi, tapi kukira tidak lebih berbahaya dibanding tokoh-tokohnya. Apalagi sekarang di tempat itu telah hadir iblis-iblis macam Cheng-gan Sian-jin serta kakak beradik Si Palu Baja dan Si Pisau Kilat yang merencanakan sasuatu yang keji namun belum kuketahui jelas apa rencana mereka itu!"
"Hm, kau melihat Chang-gan Sian-jin di sana koko?"
Ya.!"
"Dan... dan muid perempuannya...!"
"Tidak... " Bu Kong tiba-tiba merah mukanya. "Ada apakah, Hong-moi"
Pek Hong terbatuk kecil dan gadis ini juga tiba-tiba merah pipinya. "Yap koko...." ia berkata agak tersendat,.. apakah... apakah kau tahu tentang sesuatu yang terjadi dengan Iblis wanita itu?"
"Maksudmu...?" Bu Kong agak tergetar.
"Dia... dia telah..." Pek Hong agak sukar melanjutkan bicaranya. ''.... telah melahirkan bayimu, koko apakah kau tahu hal ini?"
Pek Hong berkata serak ketika mengucapkan kata-katanya itu dan pendekar muda ini merasa tartampar mukanya. Sejenak dia terpukul, tapi akhirnya menganggukkan kepala dengan sikap lemas. "Ya, akupun tahu hal ini, Hong moi, tapi mungkinkah berita itu benar...?"
"Apanya yang benar, koko?"
"Bayinya laki-laki itu. Benarkah keturunanku?"
"Hm, kalau begitu jangan-jangan Tok-sim Sian-li melemparkan kotoran busuk kepadamu, Yap-koko. Dan kalau melihat watak cabulnya yang tidak tahu malu, beralasan juga keraguanmu itu. Ah, mudah-mudahan anak iblis betina itu betul bukan keturunanmu, koko...." Pek Hong merasa ngeri membayangkan peristiwa ini namun Bu Kong tersenyum getir.
"Sudahlah, Hong-moi, jangan bicarakan lagi hal itu. Kau tahu betapa aku amat menderita oleh nasib burukku ini. Sekarang ingin kutanya, apakah kau mau menemani puteri Ciok-thouw Taihiap itu ke Puri Naga?"
Pek Hong tiba-tiba teringat. Ia menganggukkan kepalanya dan dengan muka heran ia balas bertanya, "Tidak salah, koko, aku ingin menemani adik Ceng Bi menolong suhengnya di tempat itu. apakah kau ada petunjuk?"
"Ya, sedikit saja, yakni kalau bisa kalian tidak usah ke tempat berbahaya itu!"
"Kenapa, koko?"
"Karena suheng gadis itu sudah dibebaskan seseorang beberapa waktu yang lalu!"
"Ah...!" Pek Hong berseru heran. "Kalau begitu kenapa tidak kau katakan pagi tadi di depan orang yang bersangkutan, Yap-koko?"
Bu Kong mengerutkan keningnya. "Aku memang sengaja hendak memberitahukannya kepadamu Hong-moi, dari dari mulutmu itulah nona Ceng Bi kau beritahu. Tadi pagi kau bersikap aneh meninggalkan aku sendirian dengan puteri Ciok-thouw Taihiap itu. Mengapakah, Hong-moi?"
Pek Hong semburat mukanya. Sejenak ia tersipu gugup, akan tetapi akhirnya tertawa dipaksa. "Ah, maaf, koko, aku hanya ingin memberi kesempatan kepada adik Ceng Bi agar bercakap-cakap lebih leluasa denganmu..."
"Hem, dan membiarkan aku gugup didepannya?"
Pok Hong torbelalak. "Ih, Yap-koko, kenapa kau harus gugup di depan puteri Ciok-thouw taihiap itu? Bukankah ia bersikap biasa saja..?"
Bu Kong tiba-tiba melangkah maju setengah tindak. "Hong-moi, aku merasa bahwa kau menyembunyikan sesuatu yang lebih jauh daripada sekedar membiarkan gadis itu bercakap-cakap secara leluasa denganku. Apakah yang kau sembunyikan? Kita sudah sama-sama dewasa, Hong-moi, sama-sama mangenal gerak-gerik masing-masing pihak. Ada maksud apakah kau mencoba mendekatkan gadis itu denganku....?"
Pek Hong tiba tiba menjadi pucat. Dia terkejut oleh todongan pertanyaan itu dan seperti disentak ia melangkah mundur dengan kaget. "Yap-koko ...!"
Tapi Bu Kong tahu-tahu menyambar lengannya dengan mata tajam, "Hong-moi, Jangan berdusta di depanku. Apakah yang kau kehendaki dari sikapmu yang aneh itu? Mengapa kau tiba-tiba berobah jadi begini? Katakanlah, Hong-Moi.... katakanlah....!"
Bu Kong mengguncang lengan gadis ini dan Pek Hong tiba-tiba menangis. Gadis ini tidak menjawab malah sabaliknya terisak-isak dengan suara ditahan. Karena itu Bu Kong jadi tertegun dan seperti orang bingung dia memandang bengong murid Ta Bhok Hwesio itu. Tapi akhimya perlahan-lahan dia menyentuh dagu gadis itu.
"Hong-moi, katakanlah ... apa sesungguhnya yang mendorongmu bersikap seaneh itu? Apa maksudmu mendekatkan gadis itu kapadaku...?" pertanyaan lembut ini disusul pegangan pada pipi dan perlahan-lahan muka gadis itu diangkat. Pek Hong beradu pandang, dan mata yang dengan air-mata yang deras mengucur itu tampak sendu dengan kaki gemetar.
"Yap-koko...."
"Ya...."
"Apakah kau...?"
"Kenapa, Hong-moi?"
"....masih... masih menderita akibat kegagalammu dahulu dengan puteri Ok-cangkun itu...?"
Bu Kong tersentak kaget. "Hong-moi, apa maksudmu itu...?"
Pek Hong memandang sayu. "Tidak bermaksud apa-apa, koko, selain ingin tahu jawabannya, sebelum kita melanjutkan pembicaraan ini...."
"Ah....! Bu Kong surut selangkah dan pemuda itu tiba-tiba menggigil. "Hong moi, kenapa kau hendak mengungkit-ungkit peristiwa lama itu? Kenapa kau hendak meremas hatiku dengan pertanyaan itu?"
Pek Hong memandang dengan bibir gemetar "Maaf, Yap koko, aku tidak bermaksud meremas hatimu.... aku hanya ingin menyatakan penyesalanku yang tiada habisnya atas segala duka nestapa-mu itu... aku ingin menebus dosa kepadamu, koko… aku ingin menembus dosa....!" Pek Hong tiba-tiba menangis lagi dan Bu Kong manatap terbelalak dengan muka pucat.
"Eh, apa maksudmu, Hong-moi? Apa yang kau maksudkan dengan manebus dosa itu….?" pemuda ini memegang pundak Pek Hong tapi tiba-tiba Pak Hong malah menangis semakin sedih!
"Tidak... tidak, koko.... jangan sentuh aku….!" gadis itu mendadak manepis tangan orang dan Bu Kong terkejut.
"Hong-moi, apa maksudmu...?" pemuda itu menjadi pucat dan murid Ta Bhok tiba-tiba mengangkat mukanya.
"Yap-koko...." demikian Pek Hong mulai bicara dengan suaranya yang menggigil, "Apakah kau tidak tahu perasaan adik Ceng Bi. Apakah kau tidak tahu apa yang berkecamuk di dalam hatinya...?"
Bu Kong mengerutkan kening. "Hm, apa hubungannya pertanyaan ini dengan hal itu, Hong-moi. Dia membenciku, itu yang kutahu, dan karena itulah aku menyamar menjadi Ang-bin siauw-jin!"
Tapi Pak Hong manggelengkan kepalanya keras-karas. "Tidak... tidak... kau salah, Yap-koko, bahkan sebaliknya dia amat iba melihat nasibmu yang buruk...!"
"Hm, dari mana dia tahu?"
"Aku yang menceritakannya, koko, aku yang manjelaskan semua kesalahpahamannya tentang dirimu. Bukankah semula dia marah-marah ketika perjumpaannya di luar hutan kota Hang-loh akibat kelancangan Lek Hui?"
Bu Kong mengangkat alisnya. "Untuk apa kau beri keterangan tentang itu, Hong moi? Biar saja dia marah-marah dan membenciku. Aku memang manusia tidak tahu malu, siauwjin (manusia rendah) yang pantas mendapat semua kemalangan itu!"
"Ah, tidak, koko….!" Pek Hong terisak sedih. "Kau sudah cukup banyak merasakan duka. Kenapa harus berlarut-larut menenggelamkan diri? Yap-koko, sebelum aku menjelaskan semuanya kepadamu, apakah kini masih berduka setelah kematian… kekasihmu itu?"
Bu Kong menjadi gelap mukanya. "Hong-moi, kau tahu bahwa aku tidak suka membicarakan tentang mendiang gadis itu. Siu Lei sudah tiada dan tidak perlu kiranya kita mengenang kembali hal-hal yang sudah lewat. Kenapa kau handak membicarakan hal itu?"
"Tapi, ko-ko, aku tidak berbicara tentang diri gadis itu, melainkan berbicara mengenai perasaan hatimu! Apakah kau masih berduka?" Pek Hong berusaha mempertahankan diri.
Bu Kong nampak merasa heran, namun akhirnya pemuda ini menarik napas panjang. "Hong-moi, kau aneh. Ada apa menanyakan parasaan hatiku? Memang tidak kusangkal bahwa beberapa bulan yang lalu aku amat berduka sekali, tapi sekarang perasaan ini sudah berhasil kuhapus. Tuhan telah manghendaki lain, dan kematian gadis itu sudah takdir. Untuk apa aku harus berduka selalu?"
"Jadi sekarang kau sudah tidak berduka lagi, koko?" Pek Hong bersinar matanya...
"Aihh...!" wanita baju hitam yang bukan lain adalah Bi Kwi itu berteriak kaget dan Ceng Bi yang melihat lawannya bergulingan inu tiba-tibaa membentak sambil memburu maju,
"Siluman Hiat-goan-pang, mampuslah dan dahan yang dipakainya sebagai senjata tahu tahu menotok jalan darah Pi-peh-hiat punggung orang, sebuah jalan darah kematian. Akan tetapi tepat pada saat itu tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat mencegah.
"Nona, tahan dulu!" demiktan bayangan ini berseru perlahan dan Ceng Bi yang siap menamatkan nyawa lawannya itu sekonyong-konyong melihat sinar putih memotong dahannya.
"Crakk...!"
Ceng Bi terkejut dan ia tidak sempat mengelak. Dahan yang di tangannya tiba-tiba saja sudah terpotong menjadi dua dan ketika ia memandang, ternyata di situ telah berdiri seorang pemuda yang mukanya tampak kebingungan! Inilah pemuda yang tadi datang bersama rombongan Sam hek-bi kwi dan Ceng Bi yang melihat majunya pemuda itu tiba tiba sudah melompat mundur.
"Kau hendak mengeroyokkukah?" Ceng Bi bertanya dengan mata berapi-api, tapi pemuda itu menggelengkan kepalanya.
Dia tidak menjawab pertanyaan ini karena tiba-tiba dia memalingkan mukanya pada wanita baju hitam yang sudah melompat bangun. Wanita ini tampak gelap mukanya. Dan melihat temannya itu berdiri tertegun, ia menegur dengan suara tidak senang, "Bok-koko, kenapa kau hanya mematahkan dahannya saja? gadis seperti tiu sudah sepantasnya dipatahkan lehernya, bukan dahannya...!"
"Hm, tapi dia tidak bersalah Kwi-moi!"
"Apanya yang tidak bersalah? Dia sudah menawan Jing-ci-touw!"
"Tapi itupun karena dia ditawan, kwi-moi, bukan atas kehendaknya sendiri!"
"Ha, kau membelanya?"
"Tidak, tapi kulihat karena ia memang tidak bersalah. Apalagi kita harus memandang muka ayahnya Ciok-thouw Taihiap locianpwe!" pemuda itu tampak bersikeras dan Bi Hwa yang mendengar percakapan ini tiba-tiba melayang maju.
Wanita itu sedang menahan kemarahan akibat lukanya Bi Gwat, maka kini mendengar perdebatan ini, ia memandang pemuda itu dengan mata yang berkilat-kilat. "Bok-ko, kau melancangi peraturan kami. Siapapun orangnya yang ditawan oleh Siauw pangcu pasti mempunyai kesalahan, atas dasar apakah kau hendak mencampuri persoalan ini? kalau hanya memandang muka Ciok-thouw Taihiap saja aku kira harus meminta pertimbangan Hu-pangcu dan kami yang secara kebetulan bertemu dengan mereka ini tidak boleh melepaskannya begitu saja, apalagi enci Bi Gwat sudah terluka pula! Siapa yang hendak menghalangi kami?"
Bi Hwa memandang penuh tantangan dan pemuda tampan yang ditegur itu kelihatan mengerutkan alis. Dia hendak membantah, tapi tiba-tiba sebuah suara terdengar mengejutkan mereka semua. "Bi Hwa dan kau Bi kwi, harap kau jangan bersikap kurang-ajar kepada tamu. Bok kongcu adalah sahabat istimewaku, siapa yang hendak lancang bicara tentang dua orang tawanan kita itu? Kalau Bok kongcu menghendaki mereka bebas, biarlah, aku menyetujuinya! Memandang muka locianpwe Bu-tong-kiam Kun Seng tidak perlu kita ributkan persoalan yang kecil ini. Mundurlah...!"
Dan tiba-tiba seseorang telah berada di tempat itu tanpa mereka ketahui. Inilah hal yang mengagetkan semua orang dan ketika Ceng Bi serta Pek Hong mengangkat mukanya, tampak di situ si pemuda baju kuning bersedekap dengan tenang.
"Ui-i-siauw-kwi...!" Ceng Bi menjerit kecil tanda terkejut dan pemuda baju kuning yang dipanggil namanya itu tersenyum sekilas.
"Nona Souw, selamat malam. Kau sungguh mengagumkan hatiku. Bagaimana keadaanmu?" pemuda itu memandang Ceng Bi namun Ceng Bi malah melotot kepadanya.
"Aku baik-baik saja, orang she Ok, meskipun anak buahmu kurang ajar dan memuakkan!"
"Ha-ha, mereka memang orang-orang menyebalkan nona Souw, tapi kukira tidak selamanya, Apakah nona sudah mengenal Bok-kongcu ini?"
Ceng Bi terbelalak. "Bok-kongcu...?"
"Ya, sahabat muda dari Kun-lun-pai itu, nona, putera tunggal Bu-tiong-kiam Kun Seng yang lihai."
"Ah...!" Ceng Bi tiba-tiba memandang pemuda itu. "Kau betul putera Bu-tiong-kiam locianpwe, sobat?"
Pemuda ini mendadak tergagap. Dia memang Kun Bok adanya, namun pertemuan yang membuat dia bingung penuh kegelisahan itu tak dapat dielakkan. Terpaksa dia mengangguk dan sambil melirik hati-hati dia menjawab, "Tidak salah Souw-siocia, aku adalah Kun Bok adanya..."
"Hm, dan kau bersahabat dengan orang-orang Hiat-goan-pang saudara Kun Bok?" Ceng Bi terheran.
Tapi pemuda itu tiba-tiba kembali mengerut kau alis. "Souw-siocia, kukira bersahabat dengan siapa itulah urusanku sendiri. Kenapa nona hendak menyalahkan?"
"Ciss...!" Ceng Bi tiba-tiba menaikkan alisnya. "Siapa yang hendak menyalahkan kau? Bersahabat dengan setanpun aku juga tidak perduli kepadamu, orang she Kun, apalagi setelah melihat kau galang gulung dengan iblis-iblis betina dari perkumpulan Gelang Berdarah ini!" Ceng Bi membanting kaki lain tiba-tiba menoleh kepada si Ui-i-siauw-kwi itu, "Ui-i-siauw-kwi, kau tidak mengganggu diriku lagi biarlah semua persoalan kita dianggap impas saja, tapi lain kali kalau kita bertemu aku pasti membalas kebaikan budimu ini. Di mana sekarang pedangku?"
Gadis itu memandang marah namun orang yang diancam tenang-tenang saja. Dia meraba belakang punggungnya, dan tiba-tiba berkata sambil tertawa, "Nona Souw, kau sungguh bernyali naga, tidak kenal takut dan tidak kenal gentar. Baiklah, ini pedangmu dan terimalah wuut…!" pemuda itu melemparkan pedang Ceng Bi yang selama ini disimpannya.
Dan Ceng Bi yang tidak mengira orang demikian bermurah hati sejenak tertegun. Tapi baru dia menerima pedang sekonyong-konyong pemuda itu melemparkan sebuah bungkusan kepadanya.
"Nona Souw. Ini bubuk penawar luka untuk temanmu. Kau boleh minum yang di bungkusan putih sedangkan temanmu itu yang di bungkusan hijau. Terimalah...!"
Pemuda itu menyambitkan dua buah bungkusan kecil dan Ceng Hi yang diingatkan tentang hal ini mendadak saja terkejut. Dia tiba-tiba merasa adanya rasa panas dan gatal di paha kanannya yang tadi terpukul, dan ketika ia memandang Pek Hong ternyata temannya itu sudah roboh terguling dalam keadaan pingsan! Ceng Bi terkejut bukan main, dan sambil menerima bungkusan obat itu ia lalu menyambar tubuh temannya. Kemudian, maklum bahwa dia tidak boleh lama-lama berada di tempat itu maka Ceng Bi pun lalu melompat keluar hutan.
"Ui-i-siauw kwi, terima kasih atas bantuanmu. Tapi awas sekali obatmu ini palsu aku tentu akan mencarimu sampai ke ujung dunia!" gadis itu sempat memberikan ancamannya.
Dan siauw pangcu dari Hiat-goan-pang itu tertawa hambar mendengar kata-katanya ini. Dia bersikap tak acuh, sementara Ceng Bi yang sudah kabur itu hanya dipandangnya saja dengan mata bersinar ganjil. Dan Ceng Bi yang merasa cemas akan nasib temannya ini berlari secepatnya meninggalkan tempat berbahaya itu tanpa menoleh lagi. Tubuh temannya yang panas seperti terbakar membuat dia gelisah, akan tetapi teringat bungkusan obat dari ketua muda Perkumpulan Gelang Berdarah itu diam-diam hatinya tenang juga. Namun, benarkah bungkusan obat itu? Dia tidak tahu. Dan untuk ini dia harus mencobanya terlebih dahulu.
Kini malam sudah hampir menjadi pagi. Suasana remang-remang yang menggantikan gelap tampak mulai menerangi tanah. Dan Ceng Bi yang sudah jauh keluar dari hutan tempat pertempuran seru itu berkeringat seluruh tubuhnya. la hendak mencari tempat berteduh sebuah geubuk atau kuil tua. akan tetapi kenapa belum tampak juga?
Diam-diam Ceng Bi merasa gemas pula. Padang ilalang yang terakhir dilaluinya tadi hampir membuat ia kesal. Demikian panjang dan hampir tiada bertepi. Tapi kini ia mulai lega. Sebuah tempat yang datar namun sedikit berbatu mulai diinjaknya. Dan samar-samar di kejauhan sana tampak atap sebuah kelenteng. Ceng Bi menjadi girang dan tanpa mengenal lelah, kakinya yang sudah penat berlarian semalam suntuk ia tiba-tiba melompat ke depan dan meluncur menuju tempat itu.
Ternyata memang benar sebuah kelenteng, malah kuil yang tampaknya kosong. Dan Ceng Bi yang sekejap saja sudah tiba di tempat ini menjadi girang hatinya. Ia sudah menginjak halaman kelenteng dan siap melompat masuk ketika tiba-tiba suara batuk seseorang mengejutkannya dari kegembiraan.
"Ah...!" gadis itu tertegun dan sejenak ia menjadi kaget. Suara batuk-batuk itu terdengar dari samping kanan kuil, dan ketika ia menengok. Ternyata seorang laki-laki duduk melenggut di sudut pilar!
Dan bersamaan gadis itu menengok ternyata si laki laki inipun mengangkat kepalanya memandang gadis itu. Dia tampak terkejut sejenak, tapi Ceng Bi yang memanggul Pek Hong ini tiba-tiba mendahuluinya bertanya dengan bentakaan curiga,
"Kau siapakah?"
Namun laki-laki ini tersenyum. Dia tidak menjawab tapi tiba-tiba bangkit berdiri. Dan Ceng Bi yang melihat bentuk tubuh orang mendadak saja terkejut. Laki-laki itu tinggi besar, mukanya merah dan pakaiannya serba longar. Dilihat sekilas, dia ini tampak seperti pengembala domba yang lagi kesasar. Tapi sinar matanya yang berkilat seperti mata seekor naga itu jeias membuktikan dia bukan orang biasa!
Maka Ceng Bi menjadi semakin terkejut dan entah mengapa melihat sepasang mata yang bercahaya mencorong itu ia seakan-akan sudah mengenal orang inibertemurnah bertemu! Akan tetapi aneh. Si muka merah itu bersikap biasa saja kepadanya dan ketika Ceng Bi memandangnya terbelalak tiba-tiba dia membungkukkan tubuhnya memberi hormat.
"Nona Souw... apakah betul aku berjumpa dengan nona Souw?"
Ceng Bi terkejut bukan main di dalam hatinya. "Kau siapakah, sahabat? Mengapa menduga aku nona Souw?"
Orang itu tersenyum. "Seseorang menyuruhku menunggu kedatangan nona Souw di sini, nona. Apakah kau bukan nona Souw?"
Ceng Bi menjadi tertegun. Terus terang ia ragu-ragu untuk mengakui dirinya, karena orang sama sekali belum dikenal. Dan dia yang sedang gelisah memikirkan nasib Pek Hong itu mana bisa mengaku sembarangan saja? Syukur kalau laki-laki ini bukan lawan, itu mending. Tapi kalau malah sebaliknya bukankah ia bakal repot? Dan si muka merah yang menyatakan "disuruh" seseorang itu sungguh membuat ia curiga. Karena itu Ceng Bi tidak segera menjawab dan laki-laki aneh ini memandangnya penuh penantian.
"Bagaimana, nona, apakah kau bukan nona Souw?"
Ceng Bi menatap tajam. "Sahabat, wanita she Souw di dunia ini bukan satu dua, bagaimana kau mencari orang dengan nama tunggal itu saja? Kalau aku boleh bertanya, siapakah nama lengkap orang yang kau tunggu itu? Dan... maaf, siapa pula orang yang menyuruhmu?"
Si laki-laki aneh tertawa kecil. "Ah, kau benar, nona, aku kurang jelas. Nona Souw yang kutunggu itu adalah puteri locianpwe Souw Ki Beng, ketua Beng-san-pai yang berjuluk Ciok-thouw Taihiap. Sedangkan orang yang menyuruhku itu tidak mau disebut namanya, kecuali meninggalkan sebuah tanda pengenal yang kubawa."
Orang ini diam sejenak dan Ceng Bi yang mendengar keterangannya itu kembali kaget bukan main di dalam hatinya. Gadis itu memandang terbelalak ke atah muka merah ini, akan tetapi si muka merah itu bersikap tenang saja dalam kewajarannya yang tidak dibuat-buat, Dan Ceng Bi yang melihat kesungguhan sikap kini tertegun. Orang tampaknya tidak bermaksud buruk, dan sinar matanya yang memandang tajam itu rupanya dapat dipercaya.
Akan tetapi betulkah laki-laki ini dapat dipercaya hanya mengandalkan sikap dan wajahnya yang cukup meyakinkan? Karena, setelah ia mulai terjun ke dunia kang-ouw dan bertemu banyak orang jahat ternyata apa yang dilihat luarnya itu belum tentu sama dengan apa yang terdapat di dalam. Seperti Ui-i-siauw-kwi itu misalnya. Siapa menyangka bahwa dengan melihat wajahnya yang meyakinkan dan gerak-geriknya yang tenang orang bakal menduga dia adalah tokoh nomor dua dari Hiat-guan-pang?
Hm, ia harus berhati-hati. Laki-laki ini baru dikenal, belum diketahui siapa gerangan. Dan dia yang seakan sudah pernah bertemu muka itu malah jadi waspada. Hanya sayang, di mana ia bertemu dengan orang aneh ini sudah tidak diingatnya lagi. Kalau tidak, tentu ia dapat mengetahui laki-laki itu sahabat ataukah musuh. Dan yang sedikit aneh, ia selalu berdebar setiap kali beradu pandang dengan mata yang mencorong tajam itu. Firasat apakah ini? Ceng Bi tiba-tiba memandang penuh selidik. Dia menekan debaran hatinya yang bergetar ketika bertemu dengan mata si muka merah itu dan dengan suara perlahan ia bertanya,
"Sahabat, tadi kau menyebut-nyebut tentang sebuah tanda pengenal. Bolehkah aku melihatnya?"
Laki-laki itu tersenyum lebar. Dia mengangukkan kepalanya dengan cepat dan sebuah benda tahu-tahu telah dicabutnya sambil tertawa. "Tentu saja, nona, kenapa tidak boleh? Nah, inilah barangnya!"
Si muka merah itu sudah membuka telapak tangannya dan Ceng Bi yang melihat sekonyong-onyong berseru kaget, "Ciangbun-tang-hu…?"
"Ya, Ciang-bun-tang-hu, nona. Kalau begitu bukankah kau Souw-lihiap puteri Beng-san-pai-cu?" si laki-laki aneh ini sudah tertawa dengan muka gembira dan Ceng Si tertegun dengan mata terbelalak lebar.
Gadis itu tampak terkejut, akan tetapi kecurigaannya sekarang lenyap. Dan sebagai gantinya Ceng Bi tampak terheran-heran sambil memandangi wajah bening. Memang gadis itu tercengang, karena Ciangbun-tang-hu (jimat tanda pengenal ketua) itu adalah tanda pengenal dari ayahnya sendiri, sebagai bukti bahwa orang yang membawa itu adalah orang kepercayaan ayahnya yang dapat mewakili ketua Beng san-paicu dalam banyak hal! Dan tentu saja mengingat berharganya benda ini tidak semua orang memilikinya. Ayahnya itu sangat ketat, lagi keras dalam memilih orang kepercayaan. Maka bagaimana si muka merah ini bisa memilikinya?
Ceng Bi terbelalak tidak mengerti dan diam-diam ia menduga siapa gerangan orang yang begini hebat bisa mendapatkan tanda pengenal dari ayahnya itu. Apakah dari hasil mencuri? Rasanya tidak mungkin Ciangbun-tang-hu sendiri ada di saku ayahnya, dan tidak mungkin kiranya orang bisa mencuri benda itu. Jangankan sedang sadar, sedang tidur nyenyakpun ayahnya mampu merobohkan orang yang berani main gila kepadanya!
Maka sutu-satunya dugaan ialah si muka merah ini memang mendapatkannya secara baik-baik dari ayahnya, bukan hasil dari perbuatan curang. Dan orang yang telah mendapat kepercayaan ayahnya sampai sedemikian rupa itu tentu orang yang benar-benar istimewa. Maka Ceng Bi menjadi bengong dan si laki-laki aneh yang dipandangi tanpa berkedip tampak tersipu-sipu.
"Sahabat, kau siapakah akhirnya Ceng Bi bertanya dengan muka keheranan, namun si muka merah itu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum hambar.
"Souw-lihiap, kukira pertanyaan itu tidak begitu penting untuk diajukan. Tapi kalau kau ingin memanggilku bolehlah sebut saja Ang-bin-siauwjin!"
"Ang-bin-siauwjin (Manusia Rendah Bermuka Merah)?" Ceng Bi terbelalak.
"Ya, kalau nona ingin memanggilku."
"Ahh...!" Ceng Bi mendelong dan gadis itu merasa terkejut. Ucapan orang yang demikian getir tampak pahit nadanya. Tapi sebelum ia bertanya lebih lanjut si orang aneh itu sudah mendahuluinya.
"Souw lihiap, kau terluka bukan?"
Ceng Bi tersadar. Pertanyaan orang yang demikian langsung membuat ia terkejut dan tiba-tiba saja Ceng Bi merasakan paha kanannya gemetar. Tadi tidak memperdulikan rasa sakit dan panas di kakinya ini karena selain ia berlari sepanjang malam mencemaskan nasib Pek Hong hingga karena ia sengaja melupakan kenyerian di paha kanannya itu.
Kini, setelah berhasil menemukan sebuah kelenteng dan secara kebetulan bertemu pula dengan si muka merah yang menarik perhatiannya itu sekonyong-konyong rasa sakit serta nyerinya timbul. Ceng Bi menggigit bibir, dan tiba-tiba ja kepalanya berputar seperti mau ambruk. Gadis itu terkejut dan mendadak ia mengeluh. Kepala yang bergoyang-goyang serasa mau pecah dan paha kanan yang terpukul gelang berdarah si wanita baju hitam di tepi hutan itu tiba-tiba saja juga terasa terbakar.
"ooh...!" Ceng Bi memegangi sisi kepalanya dan gadis ini menjadi gelisah. Pek Hong yang dipondong seakan-akan merupakan beban yang amat berat kini, dan tanpa dapat dicegah tiba-tiba tubuhnya terhuyung ke depan.
"Souw-lihiap...!" si laki-laki aneh berseru perlahan dan Ceng Bi merasa pundaknya ditahan orang. Sejenak gadis itu terkejut, tapi si muka merah yang tampak bersungguh-sungguh itu tahu-tahu telah mengambil Pek Hong dari pondongannya dan melompat ke dalam kuil. Ceng Bi tertegun sejenak, tapi lengannya telah disambar orang puta "Souw lihiap, mari kita masuk ke dalam. Kalian berada dalam bahaya!" laki-laki itu berkata singkat dan Ceng Bi tahu-tahu saja merasa tubuhnya sangat ringan melayang memasuki kuil dan tiba-tiba sudah berada di ruangan dalam.
"Kau... mau apakah...?" Ceng Hi bertanya gemetar.
"Mau menolong kalian, lihiap, tenanglah...!"
"Tapi... tapi aku bisa menolong diri sendiri, Ang-bin-twako, aku mempunyai obat penawar...!" Ceng Bi mengambil bungkusan obat yang tadi diperolehnya dari si pemuda baju kuning dan dengan tangan menggigil ia membuka bungkusan obat itu. Kebetulan yang berwarna hijau obat yang sebetulnya untuk Pek Hong, dan si muka merah yang melihat ini tiba-tiba melompat mendekati.
"Obat apakah itu, Iihiap? He...?! Dari pemuda baju kuning itu, lihiap?"
"Ya..." Ceng Hi mengangguk dan tiba-tiba si muka merah itu menyambar bungkusan obatnya tanpa dapat dicegah.
"Maaf, lihiap, kuperiksa dulu...!" laki-laki itu berseru perlahan dan Ceng Bi yang terbelalak marah tidak dihiraukannya. Obat dicium, diendus lalu tiba-tiba dibanting mengejutkan Ceng Bi.
"Keparat, ini bubuk beracun, nona Souw!" Laki-laki itu berteriak kaget. "Kau malah hendak dibunuhnya bila minum obat ini. Lihat...!" si muka merah itu melemparkan sisa bubuk yang ada di tangannya pada dinding ruangan dan sekonyong-konyong Ceng Bi berseru tertahan melihat dinding yang putih itu sudah berobah hitam mengepulkan asap!
"Ahh..!" gadis ini terpukau dan bungkusan putih yang ada di tangannya tiba-tiba saja jatuh tanpa disadarinya. Bukti bahwa ia hampir saja celaka oleh kepercayaannya terhadap 'obat penawar‘ si Ui-i-siauw-kwi itu membuatnya kaget dan Ceng Bi sekonyong-konyong mengeluh. Ia yang sudah menggigil itu tak dapat menahan diri, dan Ceng Bi tiba-tiba roboh pingsan.
Gadis yang sudah keracunan oleh pukulan gelang berdarah itu memang sebenarnya tidak kuat lagi bertahan lebih lama, karena tenaganya sudah kelewat banyak diperas dalam perjalanan semalam. Tapi karena ia terluka bagian luar tubuh, maka gadis itu in masih mampu bertahan. Lain halnya dengan Pek Hong yang terpukul dua kali berturut-turut sehingga kulitnya pecah. Darah yang mengalir dimasuki racun dengan cara langsung, dan ini memang lebih berbahaya. Maka tidak heran kalau murid Ta Bhok Hwesio itu sampai belum sadarkan diri setelah semalam penuh ia pingsan. Sedangkan Ceng Bi yang dapat mengerahkan sinkang menahan bekas pukulan itu baru sekarang roboh setelah ia terlampau payah.
Tentu saja si muka merah itu kerepotan, dan dua orang gadis yang sama-sama roboh pingsan di depan kakinya ini membuat dia bingung untuk mendahulukan. Tapi akhirnya dia menotok Ceng Bi dalam keadaan darurat, lalu melompat ke tempat Pek Hong yang sudah sepucat mayat mukanya itu. Dengan hati-hati ia menotok pula murid Ta Bhok Hwesio ini, kemudian melihat luka di pundak kiri dan lengan yang tampak membengkak biru kehitaman tiba-tiba dia mencabut cermin baja dibalik bajunya dan sebuah pisau kecil.
Dengan senjata tajam ini dia menusuk lengan atas, lalu ketika darah yang kental kehitaman mengalir perlahan-lahan si muka merah itu menempelkan cermin bajanya. Aneh, sekonyong-konyong darah kental itu tersedot, dan bau yang amis busuk menguar di dalam ruangan itu. Si muka merah tampak mengerutkan alis dan berkeringat dahinya. Sedangkan cermin di tangan kanannya tampak gemetar seperti orang kedinginan. Akan tetapi hal ini tidak lama. Pek Hong yang sudah disedot darahnya oleh cermin di tangan si muka merah itu tiba-tiba mengeluh.
Gadis ini menggeliat, dan si muka merah tiba-tiba kembali menotoknya dua kali. Namun murid Ta Bhok Hwesio itu masih belum sadar, maka si muka merah lalu mengambil sebuah pil sebesar kedelai yang berwarna hitam. Dengan hati-hati pil itu dimasukkan ke dalam mulut Pek Hong, lalu dengan hati-hati pula dia menempelkan tangan kanannya di atas pundak gadis itu. Inilah pertolongan dengan tenaga sinkang dan tiba-tiba saja hawa yang sedingin es keluar dari telapak tangan laki-laki aneh itu. Pundak Pek Hong yang disentuh mendadak saja mengeluarkan suara mendesis seperti api bertemu air dan panas yang membakar di tubuh gadis itu sekonyong-konyong turun cepat.
Itulah akibat gelombang dingin yang dilancarkan si muka merah dan muka Pek Hong yang tadi sepucat mayat itu sebentar saja tahu-tahu telah menjadi merah. Hebat! inilah hasil tenaga sakti yang luar biasa dan hanya orang-orang dengan kepandaian tinggi sajalah yang mampu memulihkan keadaan seseorang yang terserang racun dalam waktu sesingkat itu!
Dan si muka merah yang melihat hasilnya ini tampak bersinar lega. Dia melihat darah busuk yang kental kehitaman di atas luka Pek Hong pun sudah berhenti mengalir, tanda telah tersedot semua, dan dia tiba-tiba melepaskan tangannya. Muka Pek Hong yang sudah kemerahan serta tubuhnya yang mulai menghangat itu membuat dia bangkit berdiri untuk menghampiri Ceng Bi sebagai gantinya, dan persis pada saat itu, si gadis yang masih terbaring tiba-tiba mengeluh sadar sambil membuka kelopak matanya.
Pek Hong sudah siuman, dan kebetulan sinar matanya langsung bentrok dengan mata si muka merah ini. Gadis ini terkejut, dan tiba tiba ia bangkit duduk. "Kau siapakah…?" Pek Hong memegangi kepalanya yang masih terasa berputar dengan pandangan kaget namun si muka merah itu mendesis perlahan,
"Adik Hong, berbaringlah. Kau perlu beristirahat barang setengah jam lagi untuk memulihkan keadaanmu!"
"Ohh...!" Pek Hong terkejut dan gadis itu tiba-tiba terbelalak. "Kau... Yap-twako gadis ini berseru kaget dan tiba-tiba ia tertegun. Suara orang yang sudah dikenal baik itu tak mampu disembunyikan dan si laki-laki muka merah itu mendadak tertawa getir.
"Adik Hong, kau ternyata bermata tajam. Orang sudah memulas mukanya bagaimana masih kau kenal juga? Ah, sudahlah, nanti kita bicara lagi, Hong-moi kau beristirahatlah, biar aku menolong puteri Ciok-thouw Taihiap" si muka merah itu memutar tubuh namun baru dua langkah tiba-tiba membalik sejenak "Hong-moi, jangan sebut namaku di depan puteri Ciok-thouw Taihiap ini. Aku memperkenalkan diri sebagai Ang-bin siauwjin…"
"Ahh...!" Pek Hong terheran lirih dan tiba-tiba gadis itu terisak. Pemuda yang sama sekali tidak disangka bakal muncul menolongnya ini ternyata telah menyembunyikan diri sedemikian rupa sampai namapun dirobahnya menjadi Ang-bin-siauwjin. Dan sebutan "siauwjin" itu dia tahu betul apa artinya. Sebuah sebutan untuk diri seorang manusia hina yang tidak pantas disebut "orang" lagi. Julukan bagi diri sendiri yang merasa malu atas semua perbuatan yang telah dilakukan pada masa yang telah silam. Hinaan bagi diri sendiri akibat perjinaannya dengan murid perempuan Cheng-gan Sian-jin!
"Ah, Yap-twako..." Pek Hong merintih dengan hati yang amat pilu memandangi orang yang sudah berlutut di samping puteri Ciok-thouw Taihiap itu. Ia hanya dapat mengawasi punggung orang, dan tiba-tiba murid Ta Bhok Hwesio itu meramkan mata sambil menggigit bibir. Perasaan nyeri serta keharuan yang amat besar tak mampu dibendungnya, dan Pek Hong tiba-tiba menangis tanpa suara. Gadis yang diguncang oleh pertemuan tak disangka ini tak dapat menahan diri lagi, maka sambil duduk bersila iapun terisak-isak tanpa suara.
Sementara itu, si muka merah yang sebenarnya bukan lain adalah Pendekar Gurun Neraka atau Yap Bu Kong yang sedang menyamar ini sudah bekerja cepat menolong Ceng Bi, puteri Ciok-thouw Taihiap yang pingsan akibat kelelahan serta keracunan gelang berdarah itu sudah ditotoknya dua kali berturut-turut, lalu seperti ketika mengobati Pek Hong, diapun telah menjejalkan pil hitam ke dalam mulut gadis itu kemudian menempelkan cermin mustikanya di paha Ceng Bi.
Pekerjaan ini dilakukan dengan sedikit gemetar, karena bagian tubuh yang cukup peka untuk diraba itu sebenarnya terpaksa sekali untuk disentuh. Namun pemuda ini adalah seorang gemblengan. Dengan pemusatan konsentrasi serta penindasan terhadap pikiran yang tidak-tidak, sekejap saja dia telah berhasil menenangkan diri.
Ceng Bi yang pingsan harus segera ditolong. Gadis ini menderita kelelahan yang amat sangat. Dan luka di paha kanannya yang membengkak kehitaman itu sungguh tak boleh dibiarkan terlalu lama. Maka sambil menahan debaran hatinya namun cepat dan mantap dia sudah menyingkap celana gadis itu. Paha yang putih mulus, sejenak membuat darahnya berdesir, akan tetapi dengan kekuatan sinkangnya Bu Kong dapat mengendalikan diri.
Kini cermin penghisap racun sudah ditempelkan di atas paha Ceng Bi dan dua totokan di pangkal pahanya tadi telah menahan naiknya racun. Warna biru kehitaman di bagian kaki ini tampak terkumpul di satu daerah, dan ketika cermin mustika itu dilekatkan di atas paha ini tiba-tiba saja hawa beracun itu terhisap naik. Mengagumkan sekali! Logam baja putih yang tadi bersih itu sekarang mendadak biru kehitaman, dan panas yang membakar di tubuh Ceng Bi sekonyong-konyong menurun cepat dan akhirnya menjadi hangat!
Itulah tanda berhasilnya menyedot racun dan Bu Kong yang melihat perobahan ini berseri mukanya. Cermin mustikanya tidak sampai lima menit dipakai, dan sekarangpun semua racun di tempat itu lenyaplah! Kini dia ganti menempel kau tangan kirinya di atas paha itu dan cermin mustika disimpan kembali sambil duduk bersila. Pengobatan terhadap Ceng Bi harus tidak tanggung-tanggung, karena dikhawatirkan hawa beracun masih mengeram di lain tubuh.
Karena itu, dengan bantuan sinkang yang mengalirkan hawa hangat itu dia hendak mendesak semua sisa-sisa racun yang barangkali ada supaya tubuh gadis ini benar-benar bersih. Dan dengan demikian berarti lengkaplah pertolongannya kepada puteri Ciok-thouw Tathiap ini yang tidak perlu dikhawatirkan lagi nasibnya.
Benar saja. Getaran sinkang yang dia salurkan mendorong hawa beracun di tubuh Ceng Bi ini menunjukkan hasilnya. Muka Ceng Bi yang tadi pucat kini tiba-tiba mulai kemerahan dan beberapa detik kemudian gadis itu tiba-tiba membuka mata! Ceng Bi siuman!
Puteri Ciok-thouw Taihiap itu tampak tertegun, namun tiba-tiba ia terbelalak. Si muka merah yang dikenalnya sebagai Ang-bin-siauwjin itu ternyata duduk disampingnya, dan mulut orang yang tampak tersenyum itu membuat ia kaget sekali. Celananya disingkap, dan paha kanannya yang terbuka penutup itu disentuh Ang-bin-siauwjin!
"Aihh...!" Ceng Bi tiba-tiba berteriak marah. "Berani kau bersikap kurang ajar kepadaku, Ang-bin-siauwjin? Keparat, kau manusia jahanam... plakk!" Ceng Bi tahu-tahu telah melenting berdiri dan sekali berkelebat ia telah menampar pipi orang dengan amat kerasnya.
Si muka merah terpelanting, dan orang itu berseru kaget. Namun Ceng Bi sudah memburunya. Gadis yang tiba-tiba seperti orang kesetanan ini tidak memberinya ampun. Lawan yang masih terbelalak kaget itu sudah diterjangnya dan empat kali berturut-turut tangan Ceng Bi melayang, maka empat kali berturut-turut itu pula muka orang sudah digamparnya pulang-balik seperti orang kesurupan.
"Plak-plak-plakk...!"
Suara nyaring bertubi-tubi itu membuktikan betapa kuatnya ceng Bi menampar, dan laki-laki yang ditampar pecah mulutnya! Dia tidak mengelak, dan Ceng Bi yang melihat lawannya itu terbelalak dengan bibir pecah jadi tertegun.
"Kau...!" gadis tni menggigil dengan mata berapi-api, tapi tiba tiba Pek Hong telah berkelebat di sampingnya.
"Adik Bi, tahan, kau salah paham!" murid Ta Bhok Hwesio itu berseru kaget dan Ceng Bi terkejut. Lengannya sudah dipegang orang, dan ketika to menoleh ternyata temannya itu memandangnya dengan muka pucat, Ceng Bi jadi menjublak, dan sekaranglah dia teringat bahwa sebenarnya dia di tempat itu tidak sendirian!
"Oh... enci…!" Ceng Bi berseru lirih dan Pek Hong yang melihat sinar mata gadis ini masih berapi-api penuh kemarahan sekonyong-konyong meremas tetapaknya.
"Adik Bi, tenanglah... kau baru saja sadar. Bagaimana memukul orang tanpa sebab? Hem, kau salah paham, adikku... tenanglah... biar redakan dahulu kemarahanmu itu!"
"Akan tetapi... akan tetapi... jahanam itu menyingkap celanaku. enci, dia kurang ajar menyentuh pahaku!"
"Hus, akan tetapi itu bukan maksudnya, adik Bi. Kau baru saja terluka dan... si Ang-ben siauwjin itu berusaha menolongmu. Dia menyalurkan sinkang mengusir racun, apakah kau tidak ingat...?"
Ceng Bi terbelalak lebar. Ucapan temannya itu menyentakkan dia dari kegelapan, dan ketika sekarang ia sadar bahwa ternyata benar paha kanannya sudah sembuh, tiba-tiba Ceng Bi mengeluh tertahan. Laki-laki aneh yang berpakaian seperti gembala domba yang kesasar itu dipandangnya, dan melihat bibir orang yang pecah berdarah, sekonyong konyong ia melompat maju dengan tubuh gemetar.
"Ang-bin-siauwjin... eh, Ang bin twako, kenapa kau tidak mengelak seranganku? Dan aku... aku telah menamparmu berturut-turut sampai pe ah bibirmu, twako? Aduh... ya Tuhan... apa yang kulakukan ini? Ang-bin-twako, maafkan aku... aku tidak sengaja...!" Ceng Di melompat maju dan tiba-tiba ia sudah membersihkan mulut orang dengan saputangannya!
"Ahh...!" si laki-laki aneh tertegundan sapan yang dilakukan dengan jari jari gemetar serta air mata basah itu membumnya terkejut. Sejenak dia terkesima, namun tiba-tiba menyingkirkan lengan Ceng Bi dengan halus.
"Nona Souw, tak pertu menyesal. Kau Baru saja dalam keadaan siuman, bagaimana tidak terkejut melihat sikapku? Sudahlah nona, aku yang lancang karena mengobatimu dalam keadaan pingsan. Maaf... maafkan aku pula, nona..." laki-laki itu menjura gugup di depan Ceng Bi sementara matanya diam-diam melirik ke arah Pek Hong.
Ceng Bi merasa tidak enak, dan gadis itu-pun cepat-cepat membalas penghormatan orang. "Ang-bin-twako, harap kau maafkan aku. Aku sungguh menyesal sekali. Tidak kusangka bahwa kau telah mengobatiku. Aku tadi mengira kau... kau... mau kurang ajar kepadaku..." Ceng Bi merah mukanya waktu mengucapkan kata-kata ini dan Pek Hong tiba-tiba tertawa lega.
"Adik Bi, kau memang baru saja sadar, maka tidak aneh kalau kau terkejut melihat perbuatan Ang-bin-siauwjin ini. Tapi sudahlah, bukankah Ang-bin-twako dapat memakluminya? Dia telah menolong kita berdua, dan sepatutnya kita membalas budi baiknya ini, setidak-tidaknya membuat minuman untuk dinikmati bersama. Eh, adik Bi, aku ke belakang dulu, membuat teh yang masih ada pada bekalku!" gadis itu sudah memutar tubuh sambil mengedipkan sebelah mata kepada Ceng Bi dan dengan mulut tersenyum-senyum aneh ia melangkahkan kakinya ke belakang.
Ceng Bi tertegun, dan si muka merah yang bukan lain adalah Bu Kong itu tampak terkejut. Dia merasa heran melihat sikap Pek Hong ini, karena dia merasa bahwa murid Ta Bhok Hwesio itu sengaja "menahan" dia di sini untuk menghadapi Ceng Bi. Karera merasa gugup dan tidak enak tiba-tiba tanpa terasa dia sudah berseru,
"Hong-moi, jangan repot repot. Aku hendak segera pergi…!"
Ceng Bi yang mendengar ini terkejut. "Eh, kau sudah mengenal enci Hong, Ang-bin-twako?"
Pemuda itu kaget sekali. Suaranya yang terlepas tanpa disengaja itu memang menunjukkan sikap orang yang sudah lama kenal dengan Pek Hong, dan seruannya "Hong-mo" yang terdengar mesra serta dekat seperti layaknya dua orang sahabat yang sudah lama bergaul itu benar-benar membuat dia jadi tertegun. Karena itu, pertanyaan Ceng Bi yang diucapkan dengan muka keheranan itu sejenak membuat dia hampir saja membuka diri. Namun untunglah, Pek Hong yang sudah lenyap tanpa menghiraukan seruannya itu membuat dia mendapatkan ketenangannya kembali dan dengan sikap sedikit gugup dia menjawab,
"Ah kami baru saling kenal di tempat ini, Souw-lihiap, seperti juga kau baru mengenalku beberapa saat yang lalu….!"
"Hmm...." Ceng Bi sedikit tidak percaya akan tetapi gadis itu memandang orang dengan mulut tersenyum. "Ang-bin twako, kau tadi tidak mengelak tamparanku. Kenapakah?"
Pemuda ini tersipu-sipu. "Ah, aku terlampau kaget melihat kemarahanmu, nona, dan lagi, gerakanmu yang begitu cepat mana sanggup kutangkis? Biar kemanapun juga aku lari tentu bakal kau kejar kalau belum kemarahanmu terlampiaskan. Bukankah begitu, nona Souw?"
Ceng Bi tersenyum kecil! "Twako, sakitkah tamparanku tadi?"
Pemuda itu terbelalak. "Ah, tentu saja nona eh, maksudku tidak begitu sesakit hatimu kalau benar aku berbuat kurang ajar kepadamu...!" pemuda ini sedikit tergagap dan Ceng Bi tiba-tiba memandangnya tajam.
"Ang-bin twako, apakah betul bahwa baru pertama ini kita bertemu muka?"
Pemuda itu kembali terkejut. "Eh, maksud nona...?"
Ceng Bi mengerutkan alisnya. "Aku rasa pernah jumpa denganmu. Akan tetapi di mana dan kapan aku lupa!"
"Hem," si muka merah itu membelalakkan mata dan diam-diam Bu Kong kaget bukan main. Tajam benar perasaan gadis ini, cerdik dan juga kelihatannya suka penasaran untuk memecahkan sesuatu yang menjadi ganjalannya. Dan berbicara lama-lama dengan gadis seperti itu tentu bakal terbongkar kedoknya. Celaka! Kenapa dia harus berhadapan dengan puteri Ciok-thouw Taihiap.
Padahal, bukan maksudnya untuk begitu. Dia hanya sekedar hendak mengobati mereka, lalu pergi setelah selesai. Tapi Pak Hong yang entah sedang merencanakan akal bulus apa itu telah menahannya. Dia "dikunci" untuk melayani bercakap-cakap dengan gadis puteri Beng-san-paicu ini, dan mata jeli yang memandangnya bersinar-sinar itu benar-benar membuat dia jadi gelisah.
"Eh, twako, bagaimana dengan pertanyaanku tadi?"
Pemuda itu tersentak kaget. "Eh… pertanyaan apa, nona?"
Ceng Bi tertawa geli. "Hm, kau agaknya melamun. Pertanyaan belum dijawab bagaimana sampai melamun demikian jauh? Kau belum menjawab pertanyaanku tentang pertemuan kita ini Ang-bin-twako, bahwa agaknya kita sudah pernah bertemu sebelum ini!"
Bu Kong terkejut, "Ah, kukira tidak, nona Souw! Bagaimana kau bisa menyimpulkan begitu?"
Ceng Bi tersenyum manis. "Karena ada sesuatu tanda yang kurasa kenal darimu, twako, sorot matamu itu...."
"Sorot mataku?"
"Ya! Aku merasa pernah bertemu dengan sorot matamu di suatu tempat!"
"Ah, akan tetapi mungkin itu adalah orang lain, nona, bukan aku. Dan kenapa dengan sorot mataku?"
Untuk ini Ceng Si tersipu-sipu. ia merasa jangah dan karena tidak mungkin baginya untuk berterus terang maka iapun terpaksa diam. Pada saat itu Pek Hong tiba-tiba muncul dan Ceng Bi yang merasa tertolong oleh kemunculan temannya ini menjadi girang.
"Enci Hong, apakah betul kau baru kali ini mengenal Ang-bin-twako?"
Pertanyaan tiba-tiba yang amat mengejutkan Pek Hong ini sejenak membuat gadis ini tertegun. Akan tetapi isyarat sebelah mata dari "tuan penolongnya" itu membuat ia tiba-tiba tersenyum lebar. "Adik Bi, apa maksud pertanyaanmu. Tentu saja dengan Ang-bin-twako baru ini kita saling berkenalan. Apakah kau berpikir lain?"
Pek Hong meletakkan teh panas yang dibawanya dan Ceng Bi tertawa kecil!. "Ah, tidak, enci, hanya seruannya tadi yang tampak akrab denganmu kukira kalian sudah saling kenal dengan baik. Eh, Ang-bin twako, hayo minim nih, enci Hong telah membuatkan untuk kita bertiga…!"
Puteri Beng-san-paicu yang cantik itu sudah menyambar cangkir teh sambil tersenyum manis dan dengan tiba-tiba memberikan minuman itu kepada si muka merah. Bu Kong terkejut, akan tetapi ia menerima juga. Ceng Bi memandangnya dengan mata berseri dan secara tidak sengaja jari jari mereka saling sentuh. Pemuda itu berdetak dan tiba-tiba saking gugup ia meneguk habis teh yang masih panas itu!
"Ih, kau tidak sabaran, twako?" Ceng Bi ketawa geli. "Masa minuman panas ditenggak habis dalam satu sedotan saja! Enci Hong, apakah kau hanya membuat tiga cangkir ini saja?"
Pek Hong hanya mengangukkan kepalanya dengan geli ditahan sementara orang yang dijadikan pembicaraan tersipu-sipu kemerahan mukanya.
"Ah. sudah, nona Souw. sudah cukup! Aka buru buru sekali sekarang ini, maaf kalau tidak sadar meneguk habis minaman itu. Aih, ji wi siocia (nona berdua), harap kalian tidak kecil hati. Aku harus segera pergi mencari seseorang, perkenankanlah….!" Pemuda itu sudah bangkit berdiri.
Dan Ceng Bi serta Pek Hong terkejut. "Hai, masa terburu-buru amat, twako? Dan kau hendak ke manakah?" Ceng Bi bertanya.
Tapi si muka merah melirik Pek Hong. "Aku hendak ke Puri Naga, nona, dan kalian sebaiknya beristirahatlah saja di tempat ini sampai besok...."
"He. Puri Naga?" Ceng Si tiba-tiba terkejut. "Kalau begitu kebetulan sekali twako, akupun juga mau ke sana!"
"Hm, untuk apa, nona?" pemuda itu terbelalak.
"Untuk membebaskan twa-suhengku, Auw Lek Hui yang ditangkap Cheng-gan Sianjin….!"
"Ah...!" pemuda ini tertegun dan tiba-tiba diam memandang kepada Ceng Bi. "Nona Souw, kapankah kau mengetahui hal ini?"
"Beberapa hari yang lalu, twako, ketika aku diajak si Ui-i-siauw-kwi ke sana. Kenapakah?"
Namun pemuda ini manggelengkan kapalanya. "Tidak apa-apa, nona Souw... tidak apa-apa. Baiklah, aku permisi dulu kalau begitu. Dan kalau kalian mau kesana harap berhati-hatilah. Tempat itu berbahaya sekali, jangan sampai kalian terjebak lagi. Selamat tinggal...!" pemuda ini sudah memutar tubuh dan sekali barkelebat saja tahu-tahu diapun tetah lenyap dari tampat itu seperti bayangan iblis.
Ceng Bi terkejut dan gadis itu tiba-tiba barteriak sambil mengejar, "Ang-bin-twako, tunggu dulu…!"
Tapi orang yang dipanggil ternyata sudah tidak tampak batang hidungnya lagi. Ceng Bi penasaran dan gadis ini tiba-tiba melayang ke atas pohon. Dan apa yang dilihat? Ternyata si Ang bin-twako itu sudah jauh di kaki gunung berlari cepat seperti manusia terbang!
"Ooh…!" gadis ini tertegun dan tiba-tiba Pak Hong sudah memegang lengannya dengan halus.
"Adik Bi, kau mau bicara apakah? Dia sudah pergi, dan tiada gunanya kalau kita memanggil-manggil lagi. Lebih baik kita turun saja dulu beristirahat seperti nasihatnya tadi. Marilah...!"
Pek Hong menarik gadis itu melompat turun dan Ceng Bi yang mendelong oleh kepergian si muka merah yang amat luar biasa cepatnya itu mendesahkan mulut dengan mata terbelilak.
"Ih, luar biasa sekali si Ang-bin-twako enci Hong. Ginkangnya seperti siluman saja…!"
"Ya, dia memang hebat, adik Bi, karena itu tidak mungkin kalau kita mau mengejarnya."
"Dan kau tampaknya kenal baik dengannya, bukan?"
Pek Hong tertawa kecil "Agaknya seperti kau pula, adik Bi, sama-sama mengenal di kuil ini dengan caranya yang aneh."
"Hmm...!" Ceng Bi melirik dengan mata curiga dan mereka berdua sudah memasuki lagi ruang dalam tanpa banyak bicara. Pek Hong tampak tersenyum-senyum aneh sedangkan Ceng Bi diam mengerutkan kening dengan sikap kurang puas.
Malam itu mereka benar-benar menuruti saran si muka merah, karena Pek Hong yang kelihatannya belum kuat untuk berjalan jauh itu harus memulihkan tenaganya dahulu sampai benar-benar kuat. Dan murid Ta Bhok Hwesio itulah yang sebetulnya mengalami luka lebih berat dibanding Ceng Bi, karena kalau Ceng Bi hanya ringan dan cukup beristirahat barang dua atau tiga jam adalah Pak Hong ini yang harus memulihkan tenaga lebih lama. Paling tidak, waktu semalam itulah ia dapat mengembalikan kekuatannya untuk mulai melakukan perjalanannya di esok pagi.
Dan Ceng Bi yang malam itu berbaring disisi temannya gelisah tidak dapat tidur. Berbagai pikiran mengaduk kepalanya. Pertama-tama tentang perstiwa di luar hutan bersama-saama Sam-hek bi-kwi. Heran dia, bagaimana Kun Bok bisa berada di tempat itu, bersahabat dengan orang-orang Hiat goan pang? Dan tentang pertemuannya yang baru pertama kali itu dengan putera si Jago pedang Kun lun yang hendak dijodohkan dengannya itu. Ceng Bi mencibirkan bibir.
Memang tampan pemuda itu, cukup dan tidak buruk. Akan tetapi entah mengapa toh tidak ada rasa tertarik sama sekali. Pemuda itu kelihatannya lihai, terbukti bahwa sekali gerak saja tiba-tiba pedangnya membacok putus dahan yang dipegang untuk menghabisi nyawa si gadis baju hitam. Gerakannya demikian cepat, dan ia sampai terkejut.
Tapi itu tetap saja tidak membuat ia kagum. Kun Bok di matanya tampak biasa-biasa saja. tidak memiliki kelebihan yang berarti. Lain halnya misalnya dengan hem... Pendekar Gurun Neraka umpamanya. Dan membandingkan pemuda itu dengan bekas jenderal muda itu sungguh jauh sekali perbedaannya. Pendekar Gurun Neraka demikian tinggi ilmu silatnya, bahkan Pek Hong mengatakan bahwa pemuda itu kini memiliki tingkat kesaktian yang sudah di atas gurunya sendiri. Dan pemuda yang dikatakan hebat itu juga masih jauh lebih pantas dibanding Kun Bok!
Hem, apa itu Kun Bok? Tidak ada sepersepuluhnya dibanding Pendekar Gurun Neraka. Dan pergaulan pemuda itu bersama wanita-wanita cantik dari Hiat goan-pang membuat dia bahkan merasa tidak suka. Orang-orang Hiat -goan-pang itu manusia-manusia iblis, bagaimana putera Bu-tiong-kiam Kun Seng itu bisa bersahabat dengan manusia-manusia macam itu? Dan sikap Sam-hek-bi-kwi yang demikian mesra serta genit terhadap pemuda itu malah menimbulkan rasa muak di perut Ceng Bi.
Tiga wanita cantik itu tampak liar sinar matanya, dan dia yang sama-sama wanita ini dapat merasakan adanya sesuatu yang tidak beres pada watak mereka. Kelihatannya seperti orang-orang cabul, pengumbar nafsu berahi. Maka bagaimana Kun Bok bisa bergaul dengan wanita-wanita samacam itu? Dan pemuda seperti ini handak dijodohkan dengannya?
Cihh! Ceng Bi tiba-tiba meludah jijik dan sekarang pikirannya beralih pada si Aug-bin-twako. Laki-laki muka merah itu menarik perhatiannya. Pertama karena ia merasa sudah pernah bertemu muka dan kedua karena ia heran bagaimana Ciang-bun-tang-hu bisa berada di tangan orang itu. Sebenarnya hendak menanyakan hal itu ketika seorang melompat pergi, namun ginkang yang seperti siluman terbang itu membuat orang tahu-tahu telah berada di kaki gunung dalam waktu sekejap saja. Ceng Bi jadi kaget dan kagum doleh kelihaian yang demikian luar biasa itu, dan keinginannya untuk bertemu kembali semakin besar. Tapi sayang, belum sempat ia berbicara si Ang-bin--twako itu sudah keburu lenyap.
Orang tampaknya tergesa-gesa, dan ia yang ingin bertanya lagi ini jadi mendongkol dibuatnya. Tapi bukankah mereka akan bertemu lagi? Dan pertemuan itu bisa diadakan di Puri Naga. Ya, dia akan ke Puri Naga. Selain ingin berjumpa dengan si "panggembala" yang aneh itu juga karena ia ingin membebaskan twa-suhengnya! Maka dengan pikiran ini Ceng Bi mulai tersenyum dan perlahan-lahan kemudian iapun tertidur dengan wajah berseri di lantai kuil bersama Pek Hong yang nampaknya sudah pulas duluan itu.
Akan tetapi, benarkah Pek Hong sudah pulas di samping Ceng Bi? Sesungguhnya tidak, gadis inipun juga mempunyai bermacam-macam pikiran yang membuat ia gelisah, tapi karena tak ingin membuat Ceng Bi curiga maka ia berpura-pura seakan sudah tidur lelap. Dan hal sebenarnya tentu saja tidaklah demikian.
Pek Hong gelisah akibat pertemuannya dengan pemuda itu. Pendekar Gurun Neraka yang menyamar jadi si muka merah. Dan perjumpaannya yang amat tiba-tiba itu sungguh mengejutkan hatinya. Tidak disangka sama sekali bahwa ia bakal bertemu dengan orang yang selama ini diharap-harapkannya di kuil itu. Dan rasa gembira serta camas mengusik hatinya. Apakah yang hendak dilakukannya kini?? Tak dapat disangkal bahwa ia tadi memang sengaja "menahan" pemuda itu untuk bercakap-cakap dengan Ceng Bi. Maksudnya agar mereka dapat berbicara leluasa dan Ceng Bi mengetahui penyamaran orang yang sebetulnya dicintainya itu.
Tapi celaka, Ceng Bi rupanya memang betul dapat menangkap sesuatu yang disembunyikan oleh pemuda itu namun Pendekar Gurun Neraka sendiri sudah terburu-buru pergi. Bekas jenderal muda itu kelihatannya gugup dan gelisah, dan Ia hampir tertawa geli oleh kenyataan ini. Dan Ceng Bi yang tajam perasaannya itu mulai curiga. Puteri Ciok-thouw Taihiap ini bertanya kepadanya, apakah ia mengenal pemuda itu. Dan hampir saja ia kelepasan bicara. Aih, adik Ceng Bi, siapa bilang aku tidak kenal kepadanya? Bahkan barangkali mengenalnya "kelewat baik"! Dan Pek Hong tersenyum serta mengeluh sekaligus dengan perasaan tidak karuan.
Pengalaman beberapa bulan yang lalu bersama Pendekar Gurun Neraka itu sudah cukup menggores segala kenangan pahitnya, dan ia harus menerima semua kenyataan itu dengan getir. Apalagi yang hendak dialaminya? Pek Hong menarik napas panjang. Ceng Bi yang sudah tidur di sampingnya itu dipandang terharu. Betapa polos dan murninya puteri Pendekar Kepala Batu ini, betapa baikny dia. Teringat oleh Pak Hong ketika mereka masih berada di gua bawah tanah betapa Ceng Bi dengan kepolosannya yang tidak dibuat-buat telah menyatakan keinginannya untuk mengajak dia hidup bersama Pendekar Gurun Neraka, membagi dalam sebuah rumah tangga!
Ah, siapa tidak akan terpukul? Pek Hong menangis di dalam hatinya mendengar itu. Tampak olehnya kini, betapa puteri Ciok-thouw Taihiap itu bukanlah gadis yang egois seperti dirinya, tidak mengejar kebahagiaan diri sendiri dan masih ingat akan nasib orang lain yang sama-sama menderita. Hm, mana ada gadis semacam itu di dunia ini? Apalagi kalau sudah menyangkut masalah cinta pribadinya! Tidak seperti dia yang ingin monopoli sayang orang yang dicinta bagi dirinya piibadi. Tapi, salahkah sikapnya itu? Salahkah bila seseorang wanita ingin mendapatkan kasih sayang sepenuhnya dari pria yang dipuja? Salahkah itu? Tidak normalkah dia? Atau puteri Ciok-thouw Taihiap ini yang justeru tidak "normal"?
Pek Hong memghela napas dan tidak tahu jawabannya yang benar. Memang aneh Ceng Bi ini. Rela membagi cinta dengannya. Apakah yang menjadi dasar sehingga gadis itu bisa menyatakan ini? Apakah karena masing-masing merasa sama-sama saling suka? Ataukah sekedar kasihan belaka karena mendengar gagalnya dia menggalang cinta?
Agaknya kedua-duanya itulah. Ceng Bi merasa suka dan kasihan kepadanya, merasa mungkin sama-sama "senasib". Mengapa senasib? Karena gadis itu sendiri juga belum tahu apakah orang yang dicinta belas mencinta dirinya! Hm, inilah agaknya. Dan "kengerian" membayangkan kegagalan cinta itu memang menakutkan sekali, jauh lebih menakutkan daripada melihat jin, setan atau iblis di dasar neraka terkutuk. Maka Pek Hong lalu menarik napas panjang dan secara diam-diam ia mencium pipi puteri Ciok-thouw Taihiap ini dengan penuh keharuan.
Namun tiba-tiba ia tersentak kaget. Suara seseorang di luar kuil memanggihiya lirih, dan Pek Hong tertegun. Ia seakan kurang percaya tapi suara panggilan itu tiba-tiba terdengar lagi mamasuki telinganya dengan halus,
"Hong-moi, maafkan aku. Bisakah kau keluar sebentar di taman belakang? Ada sesuatu yang penting ingin kubicarakan denganmu....!"
Pek Hong berubah mukanya dan tiba-tiba ia melompat bangun. Itulah suara Pendekar Gum Neraka. Astaga! Bagaimana dia tiba-tiba kembali? Maka menjadi tegang dan gembira oleh kedatangan pemuda yang selama ini direnungkan gadis itu tiba-tiba sudah keluar setelah terlebih dahulu memandang Ceng Bi yang pulas di lantai. Pek Hong langsung berkelabat menuju ke ruang balakang, dan ketika ia sampai di tempat itu betul saja, sesosok bayangan tinggi besar dengan pakaian gembalanya yang serba longgar berdiri menanti di tengah taman dengan mulut tersenyum.
"Yap-koko...!" Pek Hong menghambur dengan wajah berseri dan sekali lompatan saja la pun tiba-tiba telah berada di depan pemuda itu.
Bu Kong tertawa kecil, dan pemuda melangkah maju memegang lengan orang. "Hong moi, kau belum tidur?" tanyanya dengan suara lembut. "Apa saja yang kau pikirkan? Hm, sejak tadi kulihat kau gelisah di samping puteri Ciok-thouw Taihiap itu. Mangapakah?"
Pek Hong merah mukanya dan gadis ini tersipu-sipu. Tangan orang yang memeganginya membuat ia sedikit gemetar, namun dengan halus ia cepat menarik lengannya itu seraya manegur, "Yap-koko, kau agaknya mengintai kami, ya? Hm, laki-laki apa ini? Gadis tidur diintai pemuda! Yap-koko, kau memanggilku ke mari ada apakah? Dan kenapa kau kembali...?"
Bu-Kong menarik napas panjang. "Aku tadi hanya berpura-pura saja, Hong moi, karena sebetulnya aku ada perlu dengartmu. Tapi karena ada nona Ceng Bi di sana aku jadi kurang leluasa dan segera pergi untuk mengelabuhi kalian. Ketahuilah, aku ingin menanyakan tentang terbunuhnya Hoa-san Siang-lihiap serta gurunya itu kepadamu, Hong-moi. Benarkah mereka terbunuh olehmu?"
Pek Hong tiba-tiba memancarkan sinar marah, "Hm, justeru hal inilah yang mengganjal hatiku dan suhu, Yap-koko, karena kami sebetulnya difitnah orang! Iblis-iblis keji telah mempergunakan nama kami untuk melakukan perbuatan terkutuk itu, dan dunia kang-ouw telah mempercayainya. Sialan, siapa yang tidak naik pitam mendengar ini?" gadis itu membanting kakinya.
Dan Bu Kong mengerutkan "Hm, jadi seseorang telah memfitnah kalian Hong-moi?"
"Begitulah, Yap-koko, dan aku serta suhu dicari-cari kaum pendekar untuk meminta portanggungan jawabnya!"
"Tapi apakah mereka tidak mencurigai kejanggalan ini, Hong-moi? seharusnya kaum pendekar itu tidak boleh bertindak asal menurutkan hawa napsu. Dan Ta Bbok-losuhu, gurumu dimana beliau sekarang?"
Pek Hong menarik napas kesal. "Suhu dibawa seseorang, koko, dan katanya mereka pergi ke suatu tempat untuk menemui seorang pangeran. Suhu tidak memberi tahu di mana tempat itu, dan beliau tampaknya merahasiakan. Yang kuherankan bagaimana suhu mandah saja pergi barsama orang yang baru kali itu kukenal? Dan anehnya, suhu seperti tersihir oleh semua sikap dan kata-kata orang itu yang mangaku sebagai sahabat suhu. Padahal gerak-geriknya kurasa mencurigakan sekali!"
"Hm, bagaimana perawakannya, Hong-moi?"
"Sedang-sedang saja, ramah dan tampaknya cerdik!"
"Dan kau tahu namanya?"
"Tidak!" Pek Hong menggeleng. "Tapi suhu menyebutnya "saudara Yu", Apakah kau kenal dengan nama ini, koko?"
Bu Kong mengerutkan alisnya. "Nama Yu belum parnah kukenal, Hong-moi, tetapi barang-kali betul sahabat gurumu yang lama tidak bersua. Mungkin saja dari Tibet, atau mungkin pula dari tempat lain. Baiklah, kita selidiki hal ini lain kali saja. Kembali pada persoalanmu semula, apakah kau telah dapat menangkap siapa orang yang telah melontarkan fitnah ini?"
Pek Hong tiba-tiba mengepal tinju. "Orang Hiat-goan-pang, koko, dan mulai disiarkan lewat mulut Jing-ci-touw Kam Sin!"
"Hm, sudah kuduga, Hong-moi. Dan kau sudah menangkap orang she Kam itu, bukan?"
"Ya, tapi dia tidak mau mengaku!" Pek Hong mengepal gemas. "Dan sekarang kutahu bahwa si biang keladi jahanam itu tentulah manusia she Ok yang menjadi hu-pangcu dalam Perkumpulan Gelang Berdarah itu. Eh, Yap koko, apakah kau tahu siapa pemimpin pemimpin perkumpulan setan itu?"
Bu Kong menaikkan alis dengan wajah muram "Aku tahu, Hong moi, putera mendiang Ok-ciangkun, bukan? Dan ini berarti menjepit kedudukanku menjadi semakin berat…..!" Pemuda itu tampak berduka dan Pek Hong mamandang terharu. "Tapi, koko, yang berbahaya adalah gurunya, ketua pusat Hiat-goan-pang itu. Apakah kau tahu siapa orang itu?"
Bu Kong mengangguk "Tentu saja, Hong-moi, aku telah menyelidiki markas pusat perkumpulan itu. Dia bukan lain adalah susiokku sendiri yang minggat dari Palau Hek-kui-to. Bukankah orang ini yang kau maksudkan?"
"Ya...!" Pek Hong tercengang. "Dan kau bilang telah mermasuki markas mereka, Yap-koko? Aih, berbahaya sekali....!" gadis itu berseru keheranan namun Bu Kong menank napas kesal.
"Memang berbahaya, Hong-moi, tapi kukira tidak lebih berbahaya dibanding tokoh-tokohnya. Apalagi sekarang di tempat itu telah hadir iblis-iblis macam Cheng-gan Sian-jin serta kakak beradik Si Palu Baja dan Si Pisau Kilat yang merencanakan sasuatu yang keji namun belum kuketahui jelas apa rencana mereka itu!"
"Hm, kau melihat Chang-gan Sian-jin di sana koko?"
Ya.!"
"Dan... dan muid perempuannya...!"
"Tidak... " Bu Kong tiba-tiba merah mukanya. "Ada apakah, Hong-moi"
Pek Hong terbatuk kecil dan gadis ini juga tiba-tiba merah pipinya. "Yap koko...." ia berkata agak tersendat,.. apakah... apakah kau tahu tentang sesuatu yang terjadi dengan Iblis wanita itu?"
"Maksudmu...?" Bu Kong agak tergetar.
"Dia... dia telah..." Pek Hong agak sukar melanjutkan bicaranya. ''.... telah melahirkan bayimu, koko apakah kau tahu hal ini?"
Pek Hong berkata serak ketika mengucapkan kata-katanya itu dan pendekar muda ini merasa tartampar mukanya. Sejenak dia terpukul, tapi akhirnya menganggukkan kepala dengan sikap lemas. "Ya, akupun tahu hal ini, Hong moi, tapi mungkinkah berita itu benar...?"
"Apanya yang benar, koko?"
"Bayinya laki-laki itu. Benarkah keturunanku?"
"Hm, kalau begitu jangan-jangan Tok-sim Sian-li melemparkan kotoran busuk kepadamu, Yap-koko. Dan kalau melihat watak cabulnya yang tidak tahu malu, beralasan juga keraguanmu itu. Ah, mudah-mudahan anak iblis betina itu betul bukan keturunanmu, koko...." Pek Hong merasa ngeri membayangkan peristiwa ini namun Bu Kong tersenyum getir.
"Sudahlah, Hong-moi, jangan bicarakan lagi hal itu. Kau tahu betapa aku amat menderita oleh nasib burukku ini. Sekarang ingin kutanya, apakah kau mau menemani puteri Ciok-thouw Taihiap itu ke Puri Naga?"
Pek Hong tiba-tiba teringat. Ia menganggukkan kepalanya dan dengan muka heran ia balas bertanya, "Tidak salah, koko, aku ingin menemani adik Ceng Bi menolong suhengnya di tempat itu. apakah kau ada petunjuk?"
"Ya, sedikit saja, yakni kalau bisa kalian tidak usah ke tempat berbahaya itu!"
"Kenapa, koko?"
"Karena suheng gadis itu sudah dibebaskan seseorang beberapa waktu yang lalu!"
"Ah...!" Pek Hong berseru heran. "Kalau begitu kenapa tidak kau katakan pagi tadi di depan orang yang bersangkutan, Yap-koko?"
Bu Kong mengerutkan keningnya. "Aku memang sengaja hendak memberitahukannya kepadamu Hong-moi, dari dari mulutmu itulah nona Ceng Bi kau beritahu. Tadi pagi kau bersikap aneh meninggalkan aku sendirian dengan puteri Ciok-thouw Taihiap itu. Mengapakah, Hong-moi?"
Pek Hong semburat mukanya. Sejenak ia tersipu gugup, akan tetapi akhirnya tertawa dipaksa. "Ah, maaf, koko, aku hanya ingin memberi kesempatan kepada adik Ceng Bi agar bercakap-cakap lebih leluasa denganmu..."
"Hem, dan membiarkan aku gugup didepannya?"
Pok Hong torbelalak. "Ih, Yap-koko, kenapa kau harus gugup di depan puteri Ciok-thouw taihiap itu? Bukankah ia bersikap biasa saja..?"
Bu Kong tiba-tiba melangkah maju setengah tindak. "Hong-moi, aku merasa bahwa kau menyembunyikan sesuatu yang lebih jauh daripada sekedar membiarkan gadis itu bercakap-cakap secara leluasa denganku. Apakah yang kau sembunyikan? Kita sudah sama-sama dewasa, Hong-moi, sama-sama mangenal gerak-gerik masing-masing pihak. Ada maksud apakah kau mencoba mendekatkan gadis itu denganku....?"
Pek Hong tiba tiba menjadi pucat. Dia terkejut oleh todongan pertanyaan itu dan seperti disentak ia melangkah mundur dengan kaget. "Yap-koko ...!"
Tapi Bu Kong tahu-tahu menyambar lengannya dengan mata tajam, "Hong-moi, Jangan berdusta di depanku. Apakah yang kau kehendaki dari sikapmu yang aneh itu? Mengapa kau tiba-tiba berobah jadi begini? Katakanlah, Hong-Moi.... katakanlah....!"
Bu Kong mengguncang lengan gadis ini dan Pek Hong tiba-tiba menangis. Gadis ini tidak menjawab malah sabaliknya terisak-isak dengan suara ditahan. Karena itu Bu Kong jadi tertegun dan seperti orang bingung dia memandang bengong murid Ta Bhok Hwesio itu. Tapi akhimya perlahan-lahan dia menyentuh dagu gadis itu.
"Hong-moi, katakanlah ... apa sesungguhnya yang mendorongmu bersikap seaneh itu? Apa maksudmu mendekatkan gadis itu kapadaku...?" pertanyaan lembut ini disusul pegangan pada pipi dan perlahan-lahan muka gadis itu diangkat. Pek Hong beradu pandang, dan mata yang dengan air-mata yang deras mengucur itu tampak sendu dengan kaki gemetar.
"Yap-koko...."
"Ya...."
"Apakah kau...?"
"Kenapa, Hong-moi?"
"....masih... masih menderita akibat kegagalammu dahulu dengan puteri Ok-cangkun itu...?"
Bu Kong tersentak kaget. "Hong-moi, apa maksudmu itu...?"
Pek Hong memandang sayu. "Tidak bermaksud apa-apa, koko, selain ingin tahu jawabannya, sebelum kita melanjutkan pembicaraan ini...."
"Ah....! Bu Kong surut selangkah dan pemuda itu tiba-tiba menggigil. "Hong moi, kenapa kau hendak mengungkit-ungkit peristiwa lama itu? Kenapa kau hendak meremas hatiku dengan pertanyaan itu?"
Pek Hong memandang dengan bibir gemetar "Maaf, Yap koko, aku tidak bermaksud meremas hatimu.... aku hanya ingin menyatakan penyesalanku yang tiada habisnya atas segala duka nestapa-mu itu... aku ingin menebus dosa kepadamu, koko… aku ingin menembus dosa....!" Pek Hong tiba-tiba menangis lagi dan Bu Kong manatap terbelalak dengan muka pucat.
"Eh, apa maksudmu, Hong-moi? Apa yang kau maksudkan dengan manebus dosa itu….?" pemuda ini memegang pundak Pek Hong tapi tiba-tiba Pak Hong malah menangis semakin sedih!
"Tidak... tidak, koko.... jangan sentuh aku….!" gadis itu mendadak manepis tangan orang dan Bu Kong terkejut.
"Hong-moi, apa maksudmu...?" pemuda itu menjadi pucat dan murid Ta Bhok tiba-tiba mengangkat mukanya.
"Yap-koko...." demikian Pek Hong mulai bicara dengan suaranya yang menggigil, "Apakah kau tidak tahu perasaan adik Ceng Bi. Apakah kau tidak tahu apa yang berkecamuk di dalam hatinya...?"
Bu Kong mengerutkan kening. "Hm, apa hubungannya pertanyaan ini dengan hal itu, Hong-moi. Dia membenciku, itu yang kutahu, dan karena itulah aku menyamar menjadi Ang-bin siauw-jin!"
Tapi Pak Hong manggelengkan kepalanya keras-karas. "Tidak... tidak... kau salah, Yap-koko, bahkan sebaliknya dia amat iba melihat nasibmu yang buruk...!"
"Hm, dari mana dia tahu?"
"Aku yang menceritakannya, koko, aku yang manjelaskan semua kesalahpahamannya tentang dirimu. Bukankah semula dia marah-marah ketika perjumpaannya di luar hutan kota Hang-loh akibat kelancangan Lek Hui?"
Bu Kong mengangkat alisnya. "Untuk apa kau beri keterangan tentang itu, Hong moi? Biar saja dia marah-marah dan membenciku. Aku memang manusia tidak tahu malu, siauwjin (manusia rendah) yang pantas mendapat semua kemalangan itu!"
"Ah, tidak, koko….!" Pek Hong terisak sedih. "Kau sudah cukup banyak merasakan duka. Kenapa harus berlarut-larut menenggelamkan diri? Yap-koko, sebelum aku menjelaskan semuanya kepadamu, apakah kini masih berduka setelah kematian… kekasihmu itu?"
Bu Kong menjadi gelap mukanya. "Hong-moi, kau tahu bahwa aku tidak suka membicarakan tentang mendiang gadis itu. Siu Lei sudah tiada dan tidak perlu kiranya kita mengenang kembali hal-hal yang sudah lewat. Kenapa kau handak membicarakan hal itu?"
"Tapi, ko-ko, aku tidak berbicara tentang diri gadis itu, melainkan berbicara mengenai perasaan hatimu! Apakah kau masih berduka?" Pek Hong berusaha mempertahankan diri.
Bu Kong nampak merasa heran, namun akhirnya pemuda ini menarik napas panjang. "Hong-moi, kau aneh. Ada apa menanyakan parasaan hatiku? Memang tidak kusangkal bahwa beberapa bulan yang lalu aku amat berduka sekali, tapi sekarang perasaan ini sudah berhasil kuhapus. Tuhan telah manghendaki lain, dan kematian gadis itu sudah takdir. Untuk apa aku harus berduka selalu?"
"Jadi sekarang kau sudah tidak berduka lagi, koko?" Pek Hong bersinar matanya...