Pendekar Kepala Batu Jilid 19 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 19
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pendekar Kepala Batu Karya Batara
MURID Ta Bhok Hwesio itu tertawa pedih. Tidak ada suara yang keluar ketika ia tertawa itu, akan tetapi mulutnya yang menyeringai dipaksa itu jelas menunjukkan betapa berat perasaannya pada saat itu. Dia telah gagal mendapatkan cintanya terhadap bekas jenderal muda itu, dan apakah Ceng Bi ini harus merasakan pula kegagalan cinta seperti yang dialaminya?

Kalau saja dulu tidak ada puteri Ok-ciangkun dia yakin bahwa cintanya tentu bakal terbalas. Tapi gara-gara gadis bernama Siu Li itulah Yap-goanswe jatuh hati terhadap puteri panglima ini. Dia bertepuk sebelah tangan, tapi begitu toh tetap saja dia tidak mampu melupakan Pendekar Gurun Neraka ini. Sikapnya yang sudah-sudah terhadap pemuda itu memang terasa pahit, dan dia harus menarik napas panjang.

Teringat oleh gadis ini betapa gara-gara dialah Siu Li sampai membuntungi lengannya dan bahkan cinta yang berkobar-kobar dari sepasang muda-mudi itu sampai kandas di tengah-tengah jalan gara-gara permusuhan di kedua pihak. Apakah yang dinamakan 'Cinta‘ itu memang harus dibumbui oleh permusuhan?

Pek Hong tertawa geli. Dia mengelus rambut Ceng Bi yang terisak-isak sesenggukan di atas dadanya itu dan diam-diam ia merasa kasihan sekali kepada gadis itu. Apakah Ceng Bi harus menderita karena cintanya? Tidak, dia tidak boleh terlalu egois. Puteri Ciok-thouw Taihiap ini adalah seorang gadis yang polos hatinya, dan terus terang dia juga merasa suka. Tapi, kenapa Ceng Bi menangis kalau benar mencintai Pendekar Gurun Neraka. Dan melihat kebenciannya yang meluap-luap terhadap bekas jenderal muda itu agaknya gadis ini sedang mengalami sakit hati. Hem! Pek Hong menarik napas panjang.

"Adik Bi, kenapa kau menangis demikian sedih?"

Ceng Bi mengangkat mukanya. "Aku melampiaskan sakit hatiku, enci, melampiaskan segala kekesalan hati ini!"

"Aih, terhadap Pendekar Gurun Neraka?"

Ceng Bi membelalakkan mata. "Dari mana kau tahu, enci?"

Pek Hong tertawa pahit. "Aku cukup dewasa, adik manis, mengapa harus heran? Nah, jawab yang jujur. Bukankah kau jatuh cinta terhadap bekas jenderal muda itu?"

Ceng Bi merenggut lepas dirinya. "Enci...!"

"Sstt, jangan berteriak, adik Bi, kita masih berada di ruang bawah tanah! Apakah aku salah bicara?" Pek Hong meraih gadis itu dan dengan lembut dia merangkul pundaknya.

Ceng Bi menangis lagi dan sambil sesenggukan dia menganggukkan kepalanya. Pek Hong terpukul, dan murid Ta Bhok Hwesio itu memejamkan mata. Akan tetapi sejenak dia terlena karena tiba-tiba dia mendorong tubuh Ceng Bi.

"Adik Bi, hapuslah air matamu itu, aku dapat menolong! Bagaimanakah asal mulanya kau menaruh sakit hati ini terhadap Pendekar Gurun Neraka? Apakah dia menolakmu, menghinamu?"

Ceng Bi gemetar mukanya. "Tidak enci, tidak... aku rasa dia bahkan sama sekali tidak tahu akan perasaan hatiku ini."

"Eh, kalau begitu mengapa kau sakit hati kepadanya? Dan di mana kalian bertemu?"

Ceng Bi menggigil. "Enci, kalau saja kau bukan orang yang kupercaya tentu sampai matipun aku tidak mau menceritakan hal ini kepadamu. Kami bertemu di tempat The-lo-hengte, enci, di markas cabang Perkumpulan Gelang Berdarah yang dipimpin oleh dua orang iblis bekas Mo-san Ngo-yu itu...!"

"He, di luar kota Hang-loh?"

"Betul. enci, dan di sanalah kakakku yang bemama Ceng Han ditangkap anak buah The-cinjin dua bersaudara itu. Aku mendatangi markasnya, dan pertempuran hebat di antara kami tak dapat dihindarkan. The-Io-hengte hampir menangkapku, tapi tiba-tiba dia muncul..."

"Pendekar Gurun Neraka?"

Ya, enci, dan dialah yang menolong kami berdua dari serangan orang-orang Hiat-goan-pang itu."

"Lalu bagaimana, adik Bi?"

"Kami selamat, enci, dan dua orang iblis tua itu tewas. Tapi bukan Pendekar Gurun Neraka yang membunuh melainkan dibokong oleh seseorang yang katanya memiliki senjata rahasia boat-beng-cui. Dia mengejar, dan twa-suhengku tiba-tiba muncul. Nah, ketika Pendekar Gurun Neraka kembali itulah sesuatu yang mengejutkan hatiku terjadi, enci, karena dia... karena dia… hu-hukk...!" Ceng Bi sudah keburu menangis lagi tak dapat melanjutkan kata-katanya dan gadis itu menubruk Pek Hong dengan isaknya yang mengguguk.

Pek Hong tertegun, dan murid Ta Bhok Hwesio ini terkejut. Tapi karena ia hendak memberi ksempatan kepada Ceng Bi untuk melonggarkan perasaannya maka ia pun hanya mengelus pundak gadis itu dengan mata berkejap-kejap. Tangis yang demikian sedih dari puteri Ciok-thouw Taihiap ini menyentuh keharuannya, dan karena ia dapat merasakan sakitnya orang jatuh cinta maka Pek Hong-pun tak terasa sampai meneteskan air mata yang membasahi pipinya. Tapi akhimya Ceng Bi reda kembali. Gadis yang basah mukanya itu tampak kemerahan, dan Pek Hong dengan lembut mengusap air mata yang masih menitik.

"Bi-moi..." suara Pek Hong agak serak, "Apakah kejadian yang mengejutkan hatimu itu? Apakah Pendekar Gurun Neraka bersikap kurang ajar kepadamu?"

Ceng Bi menggeleng. "Tidak, enci Hong. Kami Baru pertama kali itu berjumpa, eh maksudku, itu adalah yang ke dua karena sebelumnya kami telah saling bertemu di rumah makan Tiang-san. Hanya di restoran itu aku tidak tahu bahwa dia adalah Pendekar Gurun Neraka, bagaimana dia bersikap kurang ajar kepadaku?"

"Hm, lalu apa kalau begitu sesuatu yang mengejutkan hatimu itu, adik Bi?"

"Wataknya yang kotor itu, enci, perjinaannya dengan murid perempuan Cheng-gan Sian-jin. Dia kini telah mempunyai seorang anak laki-laki dari huhungan gelapnya itu!"

"Ahh…!" Pek Hong kaget bukan main dan tiba-tiba gadis itu mencelat mundur. "Dia mempunyai anak, adik Bi?"

"Ya, enci, begitulah menurut keterangan suhengku. Kenapakah?"

Pek Hong tidak menjawab dan gadis itu tiba-tiba menggigil. Suara yang aneh ke luar dari kerongkongannya, dan wajah yang sepucat kertas itu menjadikan Ceng Bi terkejut sekali.

"Enci Hong, kau kenapakah?" Ceng Si melompat menghampiri dengan mata terbelalak dan Pek Hong tiba-tiba sadar.

Shock yang dialaminya sekejap itu membuat gadis ini seakan ditimpa gunung ambruk, tapi sentuhan Ceng Bi pada lengannya tiba-tiba membuatnya sadar kembali. Pek Hong mengeluh, dan tangan Ceng Bi ganti dicengkeram gemetar.

"Bi-moi, kau jangan salah paham. Aku tidak apa-apa. Aku hanya sedikit kaget dan kasihan mendengar nasibnya yang buruk itu, adik Bi. Aku hanya kasihan… ahh...!" Pek Hong tiba-tiba menitikkan air mata dan Ceng Bi terkejut.

"Enci, kau menangis?"

"Ya, aku tak tahan mendengar beritamu itu, adik Bi...!"

"Eh, kenapa?"

"Karena dia selalu bernasib buruk, berkali-kali ditimpa kemalangan…"

"Ah...!" Ceng Bi tertegun dan tiba-tiba dia mengguncang lengan temannya. "Enci Hong, kenapa kau bilang kasihan kepadanya? Apakah kau pernah menjadi sababat dekatnya?"

Pek Hong tiba-tiba melepaskan tangannya "Adik Bi, jangan menduga terlalu jauh. Aku hanya sahabat biasa baginya, bukan sahabat dekat..." suara gadis ini terdengar getir. "Dan sebagai sahabat yang mengenal baik watak-watak pribadinya, bagaimana mungkin aku tidak terkejut dan ikut bersedih mendengar nasibnya yang selalu dirundung malang? Dahulu dia digoda murid Cheng-gan Sian-jin, dan sekarang ekor peristiwa itu berlanjut dengan kelahiran anaknya yang tidak syah. Siapa tidak kasihan dengan nasibnya ini, adik Bi?"

Ceng Bi terbelalak, "Enci..."

"Ya…"

"Kau bilang dia digoda...?"

"Begitulah sebenarnya, adik Bi, karena perjinaan itu sesungguhnya adalah perjinaan sepihak. Iblis betina murid Cheng-gan Sian-jin itulah yang tidak tahu malu. Wanita ini telah meracuni Pendekar Gurun Neraka, melolohinya dengan arak perangsang sehingga mereka berdua melakukan hubungan tidak patut itu seperti layaknya suami isteri!"

"Ahh...!"

"Kenapa, adik Bi?"

"Tidak... tidak apa-apa...!" Ceng Bi tiba-tiba menjadi gugup. "Tapi bagaimana kau bisa tahu semuanya ini, enci Hong?"

Pek Hong tersenyum pahit. "Aku kebetulan berada disana, adik Bi, bersama orang-orang lain di istana Cheng-gan Sian-jin."

"Untuk apa?"

"Untuk membebaskan pemuda itu dari cengkeraman musuh. Dia ditangkap Cheng-gan Sian-jin, dan kami datang untuk membebaskannya di gua harimau itu bersama gurunya, Malaikat Gurun Neraka!"

"Ooh...!" Ceng Bi baru mengerti dan tiba-tiba ia menggenggam lengan temannya. "Enci Hong, kalau begitu siapakah murid perempuan Cheng-gan Sian-jin itu? Dan mengapa ia membenci Pendekar Gurun Neraka?"

"Sama seperti dirimu, adik Bi, jatuh cinta tanpa mendapat balasan. Tapi keadaan kalian kini telah berbeda jauh. Dahulu Pendekar Gurun Neraka diisi hatinya oleh gadis lain namun sekarang hatinya telah kosong kembali seperti semula!"

"Ah...!" Ceng Bi terkejut. "Jadi pemuda itu telah memiliki seorang kekasih, enci?"

Pek Hong memandang wajah Ceng Bi yang pucat. "Itu dulu, adik Bi, tapi kekasih yang amat dicintainya itu telah tewas. Dan tahukah kau, siapa gadis yang mendapat kehormatan besar di hati bekas jenderal muda itu?"

Ceng Bi menggeleng. "Bukan lain adalah adik perempuan yang menawan dirimu ini, adik Bi."

"Hah?! Adik si Ui-i-siauw-kwi itu?"

"Benar."

"Aih...!" Ceng Bi kaget bukan kepalang dan gadis itu terlonjak. Seperti orang tidak percaya. Ia memandang Pek Hong, tapi temannya itu menganggukkan kepalanya dengan ketawa getir.

"Ada apa, adik Bi? Kau terkejut? Memang mengherankan barangkali adanya kenyataan ini, tapi itulah yang terjadi. Pendekar Gurun Neraka telah saling jatuh hati dengan kekasihnya itu namun orang tua pihak si gadis menolak. Mereka mengalami masa-masa yang tidak menyenangkan dalam percintaan yang penuh gejolak permusuhan itu, dan akhirnya kematianlah yang merenggut segala-galanya. Hem, omong-omong, tahukah kau siapa sebetulnya pemuda she Ok itu?"

Ceng Bi Masih terkesima. Ia tidak mampu menjawab pertanyaan ini dan satu-satunya jawaban hanyalah gelengan kepala itu disertai matanya yang terbelalak lebar.

"Dia bukan lain adalah putera Ok Ciangkun adik Bi. Dia panglima tertua dalam kelompok Wu-sam-tai-ciangkun!"

"Ah…!" Ceng Bi berseru kaget dan mata yang sudah membelalak itu kini membelalak semakin lebar. "Wu-sam-tai-ciangkun, enci Hong? Jadi orang she Ok itu adalah kaki tangan Kung Cu Kwang?"

"Ayahnya adik Bi, bukan dia, karena dia tidak langsung terlibat dalam permusuhan antar dua kerajaan itu, maka tidak aneh kalau Wu-sam-tai-ciangkun semua memusuhi Pendekar Gurun Neraka yang dulunya adalah Yap-goanswe itu!"

"Hem…!" Ceng Bi tertegun, dan mengertilah dia sekarang bagaimana kedudukan Pendekar Gurun Neraka pada saat itu. Dan membayangkan bahwa dia telah jatuh cinta terhadap pendekar muda yang amat lihai ini muka Ceng Bi menjadi merah. Entah mengapa, mendengar pemuda itu jatuh hati kepada puteri Ok-ciangkun mendadak saja dia menjadi panas. Akan tetapi, mendengar bahwa puteri itu sudah tewas sekonyong-konyong timbul keinginan tahunya bagaimana gadis puteri panglima itu bisa sampai meninggal dunia. Maka ia lalu memandang Pek Hong, dan dengan suara lirih ia bertanya, "Enci Hong, bagaimana puteri Ok-ciangkun itu bisa tewas? Cantikkah dia?"

Pek Hong memejamkan mata. "Hem, dia cantik sekali, adik Bi, jauh lebih cantik dibanding diriku. Dan kematiannya bukan disebabkan dibunuh orang melainkan karena bunuh diri!"

"Hee...?" Ceng Bi terkejut. "Bunuh diri, enci Hong?"

Gadis itu mengangguk. "Tidak salah, adik Bi, dia bunuh diri untuk menyusul kekasihnya yang disangka tewas pula."

"Eh, bagaimana ini?" Ceng Bi terbelalak heran. "Bukankah kekasihnya itu adalah Yap-goanswe, enci Hong?"

Pek Hong membuka mata dan gadis itu lalu menjawab dengan suara menggetar, "Semua karena sudah takdir, Bi-moi, demikianlah menurut Bu-beng Sian-su yang ada di tempat kejadian untuk memberikan kekuatan batin pada Pendekar Gurun Neraka itu. Yap-goanswe hampir saja gila, karena cinta kasihnya yang amat mendalam terhadap puteri panglima itu. Akan tetapi untunglah, dia berhasil disadarkan oleh kakek dewa itu dan dengan sedih lalu menguburkan jenazah kekasihnya di Bukit Kim-kee-san. Dia lalu kembali ke istana, dan dengan resmi saat itu juga dia menyatakan pengunduran dirinya dari jabatan panglima tertinggi Kerajaan Yueh kepada Pangeran Kou Cien yang menjadi atasannya. Tentu saja, sang pangeran terkejut, namun keputusan pemuda itu tak dapat dirobah lagi. Nama Yap-goanswe lalu terhapus, dan sebagai gantinya muncullah nama Pendekar Gurun Neraka yang disegani kawan ditakuti lawan itu...!"

Pek Hong lalu menceritakan dengan singkat tapi jelas kepada Ceng Bi tentang nasib bekas jenderal muda yang malang itu dan Ceng Bi yang mendengar akhirnya menjadi terharu sekali. Terutama ketika Pek Hong menceritakan kepadanya betapa Yap-goanswe menerima tusukan pedang kekasihnya tanpa mengelak dan betapa gadis puteri Panglima Ok itu akhirnya menikamkan pedang ke tubuh sendiri untuk menyusul kekasihnya yang disangka tewas.

Ceng Bi tiba-tiba saja meneteskan air matanya dengan penuh keharuan. Dia melihat, betapa hebat cinta kasih kedua orang pemuda itu, namun betapa mengharukan akhir hayat yang harus diterima oleh puteri sang panglima yang gagal untuk mati bersama. Hem, demikian dalamkah cinta di hati Pendekar Gurun Neraka itu terhadap kekasihnya? Dan sekarang masih saja goresan luka itu belum sembuh? Ceng Bi tiba-tiba merasa perih dan perasaan tertusuk menikam dirinya.

"Adik Bi, masihkah kau sekarang menaruh kebencian terhadap pemuda itu?" Pek Hong ti-ba-tiba mengejutkan Ceng Bi dengan pertanyaannya dan Ceng Bi sedikit gelagapan.

"Eh, ini... hem, kukira tidak, enci, tidak lagi! Tapi bagaimana pemuda itu sampai tertangkap Cheng-gan Sian-jin? Dan kau juga belum menjawab pertanyaanku tentang siapakah sebetulnya murid datuk iblis itu, enci Hong...?"

Pek Hong menganggukkan kepalanya. "Benar, aku kelewatan, adik Bi. Dia tertangkap akibat kecurangan Cheng-gan Sian-jin yang tidak tahu malu. Konon, ketika pemuda itu sedang bertanding dengan Hek-mo-ko tiba-tiba datuk iblis itu membokongnya dari belakang. Tapi itu kejadian yang sudah lampau, hampir setahun yang lalu. Dan sekarang kalau mereka kembali berhadapan belum tentu Cheng-gan Sian-jin mampu merobohkan murid Takla Sin-jin ini. Menurut kata gurunya sendiri, kini bekas jenderal muda itu sudah berada di atas tingkat gurunya baik sinkang maupun ginkang. Dan Cheng-gan Sian-jin yang dulu pernah dirobohkan oleh Malaikat Gurun Neraka itu tentu kini bakal mudah dirobohkan pula oleh Pendekar Gurun Neraka!"

"Ah, hebat kalau begitu!" Ceng Si berseru kagum.

"Memang, adik Bi, dia memang telah mencapai tingkat tertinggi dalam ilmu silatnya yang lihai. Dan tentang murid perempuan Cheng-gan Sian-jin yang kau tanyakan itu, ia bukan lain adalah keponakan dari mendiang Lie-thaikam, itu pembesar kebiri yang berkhianat terhadap Kerajaan Yueh."

"Ooh, begitukah...!" Ceng Bi terheran-heran.

"Ya, begitulah, adik Bi. Dia tergila-gila semenjak mereka masih sama-sama di kompleks istana. Tapi Pendekar Gurun Neraka menolak, jijik dengan kecabulannya yang suka mengobral cinta dengan banyak laki-laki. Itulah sebabnya mengapa murid Cheng-gan Sian-jin yang berjuluk Tok-sim sian-li itu sakit hati kepadanya!"

"Hmm..." Ceng Bi termenung dan tiba-tiba dia teringat akan perjumpaannya yang pertama dengan pendekar muda itu di restoran Tiang-san. Di sanalah dia pertama kali beradu pandang, dan wajah yang gagah tampan dari bekas jenderal muda itu memang menggetarkan perasaannya. Pemuda itu memang mengagumkan, tidak heran bila banyak wanita tergila-gila kepadanya!

"Adik Bi, apa yang kau pikirkan?"

Ceng Bi tersentak. Pertanyaan temannya yang tiba-tiba ini membuyarkan lamunannya dan Ceng Bi tersipu-sipu gugup. "Eh, hem... aku tidak memikirkan apa-apa, enci Hong, hanya merasa aneh terhadap murid perempuan Cheng-gan Sian-jin itu...!"

"Hm, apanya yang aneh? Dia perempuan tidak tahu malu! Pendekar Gurun Neraka telah banyak merasakan penderitaan dari perbuatannya ini. Dan dia memang tidak pantas bersanding dengan pemuda itu. Satu-satunya orang yang kini kulihat cocok untuk mengisi kekosongan hatinya adalah kau, adik Bi, gadis yang pantas menjadi jodohnya!"

"Enci...!"

"Sstt, jangan berteriak, adik Bi. Aku tidak main-main. Percayalah, aku akan mengusahakan kebahagiaan hatimu itu dengannya. Aku telah banyak berbuat dosa kepadanya, dan aku ingin menebus semua kesalahanku ini sebelum terlambat...!" Pek Hong berkata sungguh-sungguh dan Ceng Bi merasa kaget sekali dengan ucapan-nya itu.

"Enci Hong, apa apa yang kaukatakan ini...?" gadis itu terbelalak.

Tapi Pek Hong mendekapnya dengan lembut. "Adik Bi, sudahlah jangan kau tanyakan pertanyaan itu. Aku sendiri pernah merasakan jatuh cinta terhadap seorang pemuda, dan kegagalan cintaku yang pertama itu sungguh pahit sekali rasanya. Kau jangan sampai mengalami hal yang seperti itu,. adik Bi, dan aku akan memperjuangkan kebabagiaan hidupmu ini sampai berhasil. Percayalah, pemuda itu pasti akan menjadi Jodohmu...!"

Sampai di sini suara Pek Hong bercampur isak dan Ceng Bi yang dipeluk jadi bengong. Tapi tiba-tiba Ceng Bi berontak, dan dengan muka pucat gadis itu berseru, "Enci Hong, apa yang hendak kau lakukan terhadap pemuda itu? Kau hendak memaksanya, enci?"

Pek Hong mengusap tangan Ceng Bi yang terkepal dengan mata basah dan dia menggelengkan kepala. "Tidak, adik Bi, jangan kau salah paham. Percintaan yang dipaksa tidak bakal membuahkan kebahagiaan. Siapa bilang aku hendak memakaanya? Aku mempunyai cara sendiri dalam menautkan perasaan hatimu itu, adik Bi dan percayalah, aku tidak akan mencemarkan mukamu di depannya. Jelek-jelek kita kaum wanita juga mempunyai harga diri, mengapa hendak memaksa orang lain untuk mencintai kita? Tidak, adik Bi, kau tenanglah saja. Aku mengetahui kelemahan-kelemahan pemuda idamanmu itu dan mudah-mudahan saja kelemahannya ini dapat kupakai sebagai jembatan cinta kasih kalian. Percayalah...!"

Pek Hong mengusap rambut kepala Ceng Bi dan tiba-tiba gadis itu menangis deras tanpa suara. Isak yang tercekik ditenggorokannya serasa batu yang mengganjal tanpa kendali, dan Pek Hong terguncang-guncang dengan kedua pundak naik turun. Ceng Bi terkejut, dan gadis itu merenggangkan diri.

"Enci Hong. kenapa kau menangis demikian sedih?"

Pek Hong terguguk ditahan. "Aku teringat kepada kegagalan cintaku, adik Bi, teringat semua nasib burukku dalam soal asmara...."

"Tapi kenapa kau bersedih, enci? Apakah kau masih mencintainya? Dan siapakah pemuda itu, enci Hong?"

Pek Hong tiba-tiba menahan tangisnya. Mata yang merah dengan pipi yang pucat itu tampak mengharukan, tapi gadis ini tiba-tiba melempar senyum pahit. "Adik Bi, sudahlah jangan kau korek lagi kenangan sedihku ini. Untuk apa ditanyakan? Dia sudah menemukan calon jodohnya, dan aku tinggal mendoakan agar dia hidup bahagia, habislah sudah, mengapa hendak dikenang lagi? Jodoh memang di tangan Tuhan, dan aku tidak akan memaksa-maksa persoalan jodoh ini dengan siapapun juga!"

Gadis itu bicara penuh kepahitan dan Ceng Bi yang mendengar jadi terharu sekali. Dia memeluk murid Ta Bhok Hwesio ini lalu dengan suara lirih bertanya, "Enci Hong, demikian pahitkah kegagalan cinta yang pernah kau alami itu? Hem, kalau saja aku dapat menghiburmu, enci, tentu aku akan mempertaruhkan dengan Pendekar Gurun Neraka itu apakah tidak pernah jatuh hati kepadanya? Dia gagah dan tampan lho, enci, dan aku yang pertama kali beradu pandang saja bergetar rasanya hati ini...!"

Ceng Bi tertawa kekanak-kanakan dan ucapannya yang dimaksud main-main itu sama sekali tidak diketahuinya betapa telah membuat jantung Pek Hong serasa berhenti berdetik dengan muka berobah hebat. Tapi Pek Hong berhasil menekan sentakan jiwa ini, dan dengan jari menggigil memaksa tawa yang sumbang nadanya.

"Adik Bi, apa-apaan kau ini? Waktu itu dia sudah mempunyai kekasih, masa aku harus tidak tahu malu menggodanya? Hem, kami hanya sahabat biasa, adik Bi, karena guruku dengan gurunya bersahabat sejak lama. Tidak, jangan kau bicara yang bukan-bukan...!"

Ceng Bi tiba-tiba mengangkat mukanya. "Tapi kalau kini dia jatuh hati kepadamu apakah kau tidak mau membalasnya, enci? Pemuda seperti itu tentu mampu mengobati luka-lukamu akibat patah hati...!"

"Adik Bi...!" Pek Hong terbelalak kaget. "Apa yang kau katakan ini?"

Namun Ceng Bi mencekal lengannya erat-erat. Gadis itu memandang temannya yang tampak gemetar itu, dan dengan suara sungguh-sungguh ia berkata, "Enci Hong, kau adalah wanita baik-baik, kenapa nasib harus demikian kejam kepadamu? Tidak, enci, kalau saja Pendekar Gurun Neraka mau tentu aku rela membagi cinta denganmu. Percayalah, kau yang sudah demikian baik kepadaku ini ingin pula kubalas budimu itu...!"

"Adik Bi...!" Pek Hong terpekik untuk kedua kalinya. "Apa yang kau katakan ini Kau... kau hendak membagi cinta denganku?"

"Kalau pemuda itu mencintaiku, enci. Kalau ada timbal balik di sini, dan tentu saja kalau kaupun juga setuju..."

"Ohh...!" Pek Hong menjerit hampir tak percaya dan tiba-tiba dia menubruk Ceng Bi dengan isaknya yang sesenggukan. Ucapan yang demikian penuh kejujuran dan amat tulus itu menusuk perasaannya, dan Pek Hong mendekap Ceng Bi dengan tangisnya yang berguncang-guncang. Tapi sejenak saja hal itu terjadi, karena tiba-tiba murid Ta Bhok Hwesio ini seperti orang tersentak dan sekonyong-konyong mendorong tubuh Ceng Bi.

"Ada apa, enci...?"

Pek Hong terbelalak gemetar. "Tidak... tidak apa-apa, adik Bi... aku hanya terpukul oleh pernyataanmu yang demikian sungguh-sungguh tadi. Tapi hal itu tidak mungkin terjadi, Bi-moi... tidak mungkin terjadi. Aku sudah mengucapkan ikrar untuk menjadi nikouw (pendeta wanita), dan tidak lagi berani bermain-main asmara setelah cintaku yang pertama gagal!"

"Enci...!"

"Sudahlah, adik Bi..." Pek Hong mengutapkan tangannya. "Kita hentikan dahulu percakapan tentang ini. Itu adalah urusan nanti, dan apa yang hendak digariskan Tuhan biarlah kita lihat saja. Kita sekarang masih terkurung, bagaimana hendak bicara yang melantur tidak karuan?"

Pek Hong mengusap air matanya dan Ceng Bi terkejut. Sadarlah dia sekarang, bahwa agaknya mereka telah hanyut dalam urusan yang tidak ada manfaatnya bila dibicarakan pada saat seperti ini. Maka begitu dia sadar segera Ceng Bi melangkah maju dan mencium pipi temannya itu.

"Enci Hong, kau benar. Kita hampir membicarakan hal-hal yang belum diketahtui kelanjutannya. Kalau kita tewas sebelum keluar bagaimana pembicaraan kita tadi tidak dapat dikata menggelikan? Aih, sudahlah, aku rupanya mabok tidak karuan, enci, dan kuharap kau tidak menegurku lagi...!" gadis itu tertawa manis.

Dan Pek Hong tersenyum kecil. Mata yang basah kini sudah kering kembali, dan Pek Hong memandang puteri Ciok-thouw Taihiap itu dengan penuh keharuan. Betapa polosnya gadis ini, dan betapa mulia hatinya! Pek Hong berbisik di dalam hati dan tiba-tiba sebuah rencana timbul di pikirannya.

"Adik Bi. apakah kau sudah lama terkurung di sini?"

"Baru tiga hari, enci?"

"Dan yang memberimu makan minum?"

"Orang she Kam itu, Jing-ci-touw Kam Sin!"

"He, si Copet Seribu Jari...?!?''

Ceng Bi mengangguk dengan muka merah. "Ya, si penipu berakal panjang itu enci, dia yang dulu kau cari-cari di luar kota Bun-ki."

"Oh, dan kau kenal dengannya, adik Bi?"

"Sudah semenjak lama, waktu perjumpaan kita yang pertama kali di padang rumput itu."

"He, tapi waktu itu dia tidak ada, kau?"

"Aku membohongimu, enci, dia bersembunyi di atas pohon. Aku melindunginya karena permintaannya yang ketakutan...."

"Ahh...!" Pek Hong terkejut dan Ceng Bi tampak merah mukanya karena malu.

"Maaf, enci," demikian Ceng Bi berkata. "Aku tidak tahu waktu itu siapa sebenamya Jing-ci-touw itu. Dan karena kita sendiri juga belum saling kenal maka aku juga telah berhasil ditipunya. Hem, nanti kalau kita tangkap dia kita bunuh saja si copet busuk itu...!"

Tapi Pek Hong tiba-tiba tersenyum lebar. "Ah, tidak perlu kita bunuh dia, adikku, kita masih memerlukan tenaganya. Dia disuruh majikannya, dan semua tindak-tanduknya itu berdasarkan perintah orang lain belaka. Sudahlah, sekarang kita atur rencana kita untuk meloloskan diri dari sini. Apa akalmu?"

Ceng Bi memandang lampu minyak yang bergoyang di sudut ruangan. "Tadinya aku bermaksud mempergunakan lampu itu untuk menipunya, enci, tapi karena kau sudah ada di sini biarlah kita pergunakan akal lain saja. Enci sebaiknya bersembunyi di sudut ruangan sana, dan aku pura-pura memanggil orang she Kam itu untuk minta minuman hangat. Nah, pada waktu dia masuk itulah enci menotoknya roboh dengan tiba-tiba, dan aku sendiri yang akan duduk di tengah ruangan ini pasti tidak akan membuatnya curiga. Bagaimana, enci Hong?"

Pek Hong berseri mukanya. "Bagus, akalmu itu dapat diandalkan, adik Bi, dan aku yakin kita pasti berhasil. Lakukanlah, aku mulai saja bersembunyi di sana!"

Pek Hong sudah melompat di sudut ruangan dan Ceng Bi yang melihat temannya ini sudah siap sekonyong-konyong menyambar kelenengan di atas meja dengan muka sedikit tegang. Dengan benda inilah dia biasanya memanggil Jing-ci-touw Kam Sin, dan si Copet Seribu Jari itu biasanya juga cepat datang. Maka begitu kelenengan diangkat segera Ceng Bi membunyikannya sebagai isyarat panggilan. Dan benar saja, kepala orang she Kam itu tiba-tiba nongol di lubang jendela dengan mukanya yang keheranan.

"Ada apa, Souw-lihiap? Tumben betul malam-malam begini kau membunyikan kelenengan. Apakah ada keperluan?"

Ceng Bi mengangguk. "Ya, aku haus, Jing-ci-touw, ingin minuman hangat untuk pengusir malam yang dingin ini...!"

"Hem, baiklah, harap lihiap tunggu sebentar!" copet itu tampaknya tidak curiga dan sekejap kemudian kepalanyapun lenyap kembali di balik lubang tadi yang segera menutup dengan sendirinya. Ceng Bi menunggu tegang, dan dia saling berkedip dengan Pek Hong. Waktu yang dinanti serasa tidak sabar dihabiskan, tapi beberapa saat kemudian terdengarlah langkah-langkah kaki di luar pintu batu itu. Jing-ci-touw kembati nongol untuk melihat di mana Ceng Bi berada, dan setelah merasa tenang bahwa gadis itu tetap duduk di tengah ruangan dia lalu menekan tombol pintu rahasia untuk akhirnya masuk sambil tertawa-tawa.

"Ha-ha, kubawakan arak, Souw-lihiap. Kau suka minuman ini, bukan?" copet itu berkata dengan mukanya yang berseri gembira dan Ceng Bi cepat-cepat memberinya senyum manis.

"Ah, terima kasih, Jing-ci-touw, kau memang laki-laki yang pandai melayani orang. Taruhlah di atas meja itu!"

Si Copet Seribu Jari ini tampak gembira. dan dengan cepat dia melangkah masuk bersama arak yang dibawanya itu. Tapi baru dia melangkah lima tindak sekonyong-konyong angin dingin berkesiur di belakang tubuhnya. Copet ini nampak terkejut, dan dia membalikkan tubuh. Namun terlambat. Pek Hong telah menyergapnya secepat kilat dan sebelum dia tahu apa yang terjadi tiba-tiba saja jalan darah Kai-hu-hiat di pundak kirinya tertotok orang.

"Tukk... uhh !" copet she Kam itu tak sempat mengelak dan dia terguling roboh dengan mata mendelik. Lalu ketika Pek Hong telah berdiri di mukanya dan dia melihat siapa penyerang gelapnya itu mendadak saja pencopet ini berseru kaget, "Kau...?!"

Namun Pek Hong tidak memberinya banyak bicara. Begitu orang baru berteriak satu kata ini saja murid Ta Bhok Hwesio itu tahu-tahu telah menendang urat gagunya di leher atas. Itulah jalan darah Ya-hiat, maka begitu ditotok dengan ujung sepatu kontan saja orang she Kam ini menjerit tertahan dan kelu lidahnya!

"Hi-hik, bagus, enci, itu pelajaran yang cocok untuknya...!" Ceng Bi sudah melompat banguh sambil tertawa dan Jing-ci-touw yang sadar dikelabui lawan-lawannya itu terbelalak ngeri. Dia memandang dua orang gadis itu berganti-ganti, dan Pek Hong yang gemas terhadap copet yang banyak akal ini tiba-tiba mencabut pedangnya.

"Orang she Kam, apakah kau ingin merasakan mati di ujung pedang? Nah, katakan sekarang, kau ingin hidup atau mati di tangan kami?!" gadis itu menekan ujung pedangnya di leher si tukang copet ini dan Jing-ci-touw Kam Sin tampak menggigil pucat.

"Oh, tidak… ti... dak… uh...!" Jing-ci-touw Kam Sin sukar bicara dan copet itu menggelengkan kepalanya berkali-kali.

"Hem, kau minta hidup?"

Copet Seribu Jari ini menganggukkan kepala dengan keringat sebesar jagung yang menetes-netes di atas dahinya.

"Baiklah, kalau begitu antarkan kami keluar dari ruangan bawah tanah ini. Kalau kau jujur, kami memberimu hidup. Tapi kalau kau main gila tentu kepalamu ini kupenggal putus!"

Pek Hong berkata sungguh-sungguh dan Jing-ci-touw Kam Sin yang dapat merasakan kesungguhan ucapan int menjadi ngeri. Dia terbelalak penuh rasa gentar terhadap murid Ta Bhok Hwesio itu, dan, Ceng Bi yang melihat copet ini menyatakan janjinya tiba-tiba mendupak. punggungnya.

"Orang she Kam, hayo jalan kalau begitu, jangan ndomblong saja...!"

Bentakan yang disertai dupakan itu kiranya membebaskan jalan darah kelumpuhan pada tubuh Copet Seribu Jari ini karena tiba-tiba dia dapat menggerakkan kaki tangannya kembali. Karena itu, copet ini lalu bangun berdiri dan akhirnya dengan todongan pedang di belakang punggung dia berjalan tersaruk-saruk keluar gua bawah tanah itu menuju tempat bebas dengan muka gemetar.

Lampu minyak yang ada di dalam ruangan kini dipegang di tangan kanannya, dan Pek Hong serta Ceng Bi yang selalu menjaga tawanan mereka itu tampak mengikuti dengan penuh kewaspadaan. Kaki copet itu diikat, yang kiri tali pengikatnya dipegang Ceng Bi sedangkan yang kanan tali pengikatnya dipegang Pek Hong. Maka jadilah si Copet Seribu Jari itu seorang tawanan yang benar-benar sial. Karena melarikan diri jelas sudah tidak mungkin lagi, sedangkan kalau ada apa-apa di bagian depan sana tentulah dia yang bakal jadi korhan duluan!

Tapi Jing-ci-touw Kam Sin ini rupanya tidak berani main gila. Ujung pedang yang selalu melekat di kulit lehernya itu membuatnya jerih. Dan dengan penuh kejujuran dia mengantar dua orang "tamunya" itu keluar. Malam yang gelap tidak menjadikan halangan, dan jalan yang berkelak-kelokpun juga tidak membuat mereka menemui kesulitan. Jing-ci-touw Kam Sin yang sudah hapal dan lampu minyak yang berada di tangannya itu cukup merupakan bantuan yang dapat dipercaya. Sampai akhirnya, setelah satu jam lebih berjalan di lorong bawah tanah itu tibalah mereka di mulut gua yang terang oleh sinar bulan pumania di langit yang hitam.

"Hem, kita sudah sampai. Jing-ei-touw?"

Copet itu mengangguk. Dia masih belum mampu bicara lancar karena totokan di urat gagunya. Karena itu Pek Hong lalu membalik senjatanya dan dengan gagang pedang disodokkan ke leher menotok pulih jalan darah Ya-hiat di tengkuk si tukang copet ini.

"Uhh...!" Jing-ci-touw mengeluh perlahan dan dengan mulut meringis dia mengejap-ngejapkan mata. "Aku boleh bebas. nona?"

Pek Hong mendengus. "Bebas apanya? Kami masih belum tahu mana barat mana timur, siapa bilang bebas? Kau baru mengeluarkan kami dari lorong bawah tanah. Jing-ci-touw. tapi ini belum berarti kebebasan penuh bagi kami. Hayo jalan terus sampai kami tiba di luar hutan….!"

Gadis itu mendorong copet ini dan Jing-ci-touw terbelalak kaget. Ada bantahan hendak diserukan iewat mulutnya. tapi melihat pandangan Pek Hong yang bengis kepadanya copet ini lalu tidak berani banyak bicara lagi. Sinar mata gadis itu cukup mengerikan hatinya, maka diam-diam dia hanya mengumpat di dalam hati.

Sementara itu Pek Hong yang melihat laki-laki ini hendak membantah dengan sikap tidak senang tiba-tiba sudah menghardiknya dingin, "Kau hendak menggerutu apa, Jing-ci-touw? Mau berontak, ya?"

Copet itu tergagap kaget. "Eh... oh… tidak, nona…. tidak! Siapa mau memberontak kepadamu?"

"Sinar matamu itu, kau nampak tidak senang. Mengapa hendak menyangkal?"

Jing-ci-touw nampak terkejut. Sejenak dia terbelalak kepada penawannya yang galak ini namun tiba-tiba Pek Hong telah mendupak pinggulnya. "Hayo jalan, kenapa berhenti?"

"Plakk...!" Jing-ci-touw nampak meringis dan dengan langkah tersaruk-saruk dia berjalan cepat tanpa berani menoleh lagi. Gadis yang amat tajam perasaannya itu benar-benar membuatnya jerih, maka tanpa banyak cakap lagi diapun membawa mereka menerobos semak belukar.

Kini lampu minyak sudah tidak dipakai lagi. Bulan yang bundar di atas sana cukup menerangi jalan, maka dengan cepat akhirnya mereka berhasil juga mencapai tepian hutan. Pek Hong dan Ceng Bi tetap memegangi tali pengikat lawan, sementara pedang di tangan murid Ta Bhok Hwesio itu tetap menodong di leher si copet yang sial. Jing-ci-touw tergesa-gesa, sedangkan dua orang gadis cantik di belakangnya itu saling memberi isyarat untuk bersikap waspada.

Sampai akhirnya, setelah mereka keluar dari hutan pohon pek yang rapat berhentilah si copet she Kam itu. "Kita sudah sampai, nona," demikian dia berkata, "apakah aku boleh kembali?"

Pek Hong tertawa mengejek. "Ha, kau minta bebas, Jing-ci-touw?"

Laki-laki itu mengangguk. "Kalau nona mengijinkan...!"

"Hm, manis juga kata-katamu ini. Tapi apakah kau betul-betul ingin cepat kembali. Jing-ci-touw?"

Pertanyaan aneh disertai pandangan sedingin es itu menggetarkan nyali si tukang copet ini. Dia merasakan sesuatu yang tidak enak, dan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dengan tubuh gemetar, "Nona Hong, harap kau suka mengampuni segala dosa-dosaku. Apakah pengorbananku ini tidak cukup?"

Tapi Pek Hong tiba-tiba menempelkan mata pedangnya di punggung lawan. "Jing-ci-touw!" gadis itu membentak. "Tahukah kau segala akibat yang kuterima gara-gara perbuatanmu yang curang?"

Copet she Kam itu menggigil. "Ampun, Hong lihiap, apa maksud ucapanmu ini...?"

Pek Hong tampak gusar. "Keparat she Kam, masih juga kau hendak berpura-pura di depanku?" gadis 'itu tiba-tiba menggurat ujung pedangnya dan Jing-ci-touw menjerit tertahan ketika mata pedang melukai kulitnya!

"Aduh, ampun, lihiap...!" laki-laki ini berteriak dan Pek Hong menyentak talinya.

"Hayo berdiri, ceritakan semua perbuatanmu itu agar didengar oleh nona Ceng Bi sebagai saksi!"

Laki-laki itu tampak pucat dan Ceng Bi melihat sesuatu yang agak menegangkan di sini. Heran dia, apa sebenamya yang dimaksud oleh temannya itu? Dan melihat kemarahan yang mulai berkobar pada sinar mata murid Ta Bhok Hwe-sio itu gadis ini menjadi tertegun. Jing-ci-touw tampak ketakutan, dan mukanya yang penuh keringat sebesar kedelai itu amat mengibakan sekali.

Maka Ceng Bi lalu melangkah maju. "Enci Hong, apakah kau hendak menyiksa orang ini?"

"Hm, disiksa sampai matipun sebenarnya belum cukup, adik Bi, karena gara-gara dialah aku dikejar-kejar orang banyak!" Pek Hong menjawab gemas dan Ceng Bi terbelalak.

"Eh, maksudmu, enci?"

"Tanyakan pada keparat busuk itu, Bi-moi, dan kaupun tentu akan segera tahu!"

"Ahh...!" Ceng Bi lalu menoleh pada si copet she Kam. "Jing-ci-touw, apa yang kau lakukan pada enci Hong?"

Tapi copet ini menggeleng kepala keras-keras. "Tidak... tidak ada sesuatu yang kulakukan padanya, Souw-lihiap... tidak ada... kecuali mungkin sakit hatinya ketika siauw-pangcu menangkapnya di luar Puri Naga...!"

Pek Hong melompat marah. "Kau masih hendak menyembunyikan rahasia, copet busuk? Kau tidak mengaku tentang kematian Hoa-san Lojin serta dua orang muridnya?" gadis itu mencengkeram leher Jing-ci-touw Kam Sin dan laki-laki yang dicekik gemas ini menggelepar.

"Aughh… lepaskan. Hong-lihiap... Lepaskan.... Itu... itu bukan perbuatanku, ohh…. dia berteriak-teriak dan Pek Hong menampar pipinya dua kali. "Plak-plak! Jing-ci-touw mengeluh pendek dan copet itu roboh terjengkang.

"Hm, jangan menyimpan tipu busukmu itu, orang she Kam, aku sudah tahu. Hanya karena ingin adik Bi menjadi saksi sajalah kau harus bicara di depan kami. Hayo bangun, dan ceritakan semua perbuatanmu yang didalangi oleh dua orang pemimpinmu itu...!" Pek Hong menyendal talinya dan copet Hiat-goan-pang ini terbanting.

Dengan muka sepucat mayat Jing-ci-touw Kam Sin merangkak bangun, lalu dengan pipi bengkak dia memandang dua orang gadis itu de-ngan kakinya yang gemetaran keras. "Hong-lihiap, ampunkan aku… aku tidak berani bicara…!" dia menjawab dengan suaranya yang menggigil dan Pek Hong naik darah.

"Hm, kalau begitu kau minta kubunuh, orang she Kam?"

Aneh, copet itu tiba-tiba mengangguk! Maka Ceng Bi dan Pek Hong tak ayal lagi menjadi bengong oleh pernyataan copet ini.

"Apa, kau berani menghadapi maut di tanganku, orang she Kam?" Pek Hong yang seakan tak percaya itu menghardik bengis namun lawan ternyata mengulang anggukannya.

"Jauh lebih baik mati di tanganmu daripada mati di tangan pemimpinku, Hong-lihiap!" demikian laki-laki itu berkata lantang dan untuk ja-waban ini Pek Hong berdua jadi tertegun.

Tapi murid Ta Bhok Hwesio ini masih kurang yakin. Melihat bahwa Jing-ci-touw Kam Sin rupanya bicara serampangan untuk membuktikan keberaniannya maka tiba-tiba ia melekatkan pedangnya di telinga copet itu. "Jing-d-touw Kam Sin!" Pek Hong membentak. "Benarkah kau tidak takut mati di tangan kami? Bagaimana kalau kukutungi dahulu telingamu yang membandel ini?"

Tapi copet itu lagi-lagi menganggukkan kepalanya. "Boleh, lihiap, bahkan kau kutungi leherkupun aku tidak mengelak!"

Ceng Bi tettegun bukan main namun Pek Hong serasa ditantang mendengar kata-kata tegas itu. Kemarahannya naik, dan Jing-ci-touw Kam Sin yang memandangnya penuh ketabahan itu dianggapnya amat menghina. Maka begitu kegusarannya memuncak sekonyong-konyong ia memhentak,

"Orang she Kam, kalau betul kau berani terimalah hajaran dariku ini. Tapi kalau kau omong kosong belaka mengelaklah. Awas! Tanpa ragu-ragu Pek Hong mengelabatkan pedangnya dan sinar putih yang menyilaukan mata menyambar telinga kanan copet she Kam itu. Tapi sungguh mengejutkan, copet itu benar-benar tidak mengelak. Dan Pek Hong yang sudah terlanjur memberikan ancamannya itu tidak dapat menahan pedangnya lagi. Senjata yang menyambar terus berkelebat, dan telinga orang she Kam itupun tak dapat diselamatkan.

"Prass !" telinga copet itu terbabat buntung dan Jing-ci-touw Kam Sin menjerit lirih satu kali. Benda selebar daun nangka jatuh terlempar, dan Pek Hong tertegun dengan mata terbelalak.

"Ha-ha, terima kasih, Hong-lihiap, itu memang hukuman yang pantas bagiku….!"

Copet itu malah tertawa dengan mulut yang menyeringai pedih dan Ceng Bi yang sejak tadi menyaksikan semuanya ini dari samping menjublak bengong Sungguh tidak dinyana kenekatan laki-laki itu, dan bukti bahwa dia lebih berani menghadapi maut di tangan Pek Hong di-banding di tangan ketua Hiat-goan-pang sendiri benar-benar menunjukkan sikap telengas dari ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu. Maka dia akhimya geleng-geleng kepala dan Jing-ci-touw Kam Sin yang berlumuran darah di sisi kepala-nya itu memungut potongan telinganya.

"Hong-lihiap, apakah sekarang aku boleh bebas?" tubuh laki-laki itu bergoyang seperti orang mabok namun Pek Hong mengeraskan hati.

"Tidak, orang she Kam, kau tidak boleh pergi! Penderitaan yang kualami jauh lebih berat dibanding hukuman potong telingamu itu. Kalau kau tidak mau bicara selamanya kau harus ikut aku untuk kuhadapkan pada kaum pendekar sebagai pencuci dosa!"

"Ahh!" Jing-ci-touw Kam Sin terkejut dan laki-laki itu tampak terkesiap. Namun sebelum ia membantah sesuatu tiba-tiba Pek Hong telah berkelebat di depannya. Dua jari yang lurus runcing menotoknya roboh, dan Pek Hong yang telah melumpuhkan lawannya itu sekonyong-konyong menyambar pula lengan Ceng Bi sambil berseru perlahan,

"Adik Bi, bersembunyi. Ada orang datang...!"

Ceng Bi terkejut namun tidak mengelak. Seruan temannya yang drucapkan tergesa-gesa itu justeru membuat ia heran tapi baru mereka menyelinap mendadak saja telinganya mendengar suara orang bercakap-cakap disusul munculnya empat buah bayangan di muka hutan! Aih, Ceng Bi tertegun dan diam-diam ia memuji ketajaman telinga murid Ta Bhok Hwesio itu.

Tapi Pek Hong yang sudah lebih dulu mengetahui kedatangan orang-orang ini tampak memandang tajam. Tiga orang wanita cantik dan seorang laki-laki tampan yang disinari bulan purnama itu tampak memasuki hutan, dan mereka yang berjalan cepat sambil tertawa-tawa gembira itu akhirnya dapat dipandang jelas. Ternyata mereka adalah orang-orang berkepandaian tinggi dan kaki mereka yang menyentuh ringan di atas tanah tanpa menimbulkan suara berkeresek itu membuktikan ilmu meringankan tubuh yang lihai.

Dan kini empat twang itu sudah berada dt depan mata. Ceng Bi dan Pek Hong yang tidak mengenal hanya mengawasi pendatang baru itu dengah sikap hati-hati namun Jing-ci-touw Kam Sin yang rupanya mengenal baik tiba-tiba sudah berseru dengan suaranya yang keras mengejutkan dua orang gadis ini,

"Sam-kouwnio (tiga wanita cantik)"

Tentu saja serentak empat orang itu memutar tubuh dan Pek Hong yang marah terhadap seruan Copet Seribu Jari itu menggaplok muka lawan, "Orang she Kam, siapa suruh kau membuka mulut? Keparat, kau sungguh kurang ajar sekali… plakk!"

Jing-ci-touw Kam Sin terlempar dan copet itu berteriak mengaduh. Pek Hong kini tidak menyembunyikan diri lagi, dan dengan muka merah ia melompat keluar. Perbuatannya itu diturut pula oleh Ceng Bi dan empat orang yang sudah berhadapan dengan mereka itu tampak tertegun.

"He, kau Jing-ci-touw ?" seorang diantara tiga wanita cantik itu berseru keheranan dan dia tiba-tiba melayang ke dekat si tukang copet ini.

Jing-ci-touw tampak menggigil tapi tiba-tiba dia memberi hormat "Maaf, cap-it-pangcu, aka ditangkap dua orang gadis itu dan mereka lobos dari ruang bawah tanah Siauw-pangcu yang menawan mereka tapi entah bagaimana mereka itu tiba-tiba bolos setelah merobohkan diriku...!"

Copet ini menuding Pek Hong dan Ceng Bi yang berdiri dengan mata bersinar-sinar dan tiga orang wanita cantik itu mendadak berseru kaget. Mereka serentak memandang dua orang gadis itu dan dua yang lain tiba-tiba melompat maju dengan sikap mengurung.

"Kalian siapakah?" seorang antara mereka yang berpakaian hitam tiba-tiba membentak nyaring kepada Pek Hong namun sebelum Pek Hong menjawab sekonyong-konyong Jing-ci-touw Kam Sin berteriak memberi tahu,

"Sam-kouwnio, mereka adalah tawanan-tawanan penting. Yang tinggi langsing itu adalah murid Ta Bhok Hwesio sedangkan yang berbaju merah adalah puteri Ciok-thouw Taihiap, none Souw Ceng Bi...!"

"Ahh...!" empat seruan berbareng ini membuat empat orang itu tertegun dan pemuda tampan yang sejak tadi tak membuka suara itu kini tiba-tiba memandang Ceng Bi dengan mata terbelalak. Dia tampak terkejut tapi Ceng Bi yang tidak mengenal itu memandang dengan sikap dingin-dingin saja sementara tiga wanita cantik yang telah maju mengurung tiba-tiba mencabut gelang-gelang tembaga.

"Hm, kau puteri Ciok-thouw Taihiap, pengacau cilik?" si baju hitam menatap Ceng Bi tapi Ceng Bi tersenyum mengejek. Gadis ini tidak menjawab pertanyaan itu melainkan menoleh ke arah Jing-ci-touw Kam Sin.

"Eh, copet she Kam, apakah wanita-wanita liar ini teman-temanmu?"

Jing-ci-touw Kam Sin melotot. "Mereka adalah ketua-ketua cabang perkumpulan Hiat-goan-pang, Souw-lihiap, jangan memandang rendah!"

Namun Ceng Bi mendengus dengan sikap menghina. "Hm, pantas kalau begitu. Kekurang-ajarannya sama denganmu, orang she Kam, tidak tahu adat dan kasar seperti wanita jalang…!"

Ceng Bi tiba-tiba melayang ke atas pohon dan mematahkan sebuah dahan lalu melompat turun lagi. "Apakah kalian mau mengeroyok berbareng? Nah, majulah kalau begitu, aku siap melayani kalian!"

Sikap Ceng Bi yang amat tinggi hati ini membuat tiga orang wanita itu mendelik dan si baju hitam yang tadi menegur Ceng Bi menggigil tangannya. Dia ini merasa seakan-akan ditampar, karena ejekan Ceng Bi yang menyebutnya sebagai wanita jalang itu sungguh mengena sekali pada sasarannya. Tapi sebelum dia maju bergerak sekonyong-konyong yang memakai baju merah muda menahan lengannya. Wanita itu tersenyum manis, namun sinar matanya yang berkilat keji tidak menunjukkan sikapnya yang bersahabat.

"Souw Ceng Bi, kau sungguh besar kepala seperti ayahmu itu. Apakah kau tidak mengenal kehebatan Perkumpulan Gelang Berdarah? Sekali kami turun tangan kau pasti tinggal nama saja. Akan tetapi mengingat bahwa Hu-pangcu kami yang menangkapmu maka sebaiknya kau menyerah saja. Kami kakak beradik Sam-hek-bi-kwi (Tiga Mawar Hitam) masih memberimu kesempatan, karena kalau kau mau menyerah baik-baik kaupun pasti selamat. Apakah kau tidak mau melihat kenyataan ini?"

Ceng Bi tertawa dingin. "Sam hek-bi-kwi, sebaiknya kailan maju saja, jangan banyak bicara. Aku sudah muak melihat tampang orang-orang Hiat-goan-pang yang suka berbuat curang itu. Nah, majulah, jangmuluentang mulut. Kalau perlu temanmu yang membelalak di pinggir itu suruh sekalian membantu saja. Aku tidak takut….!"

Ceng Bi menuding si pemuda tampan karena mengira pemuda itupun tentu orang Hiat-goan-pang sedangkan yang dituding tiba-tiba berubah pucat. Pemuda ini memang sedang terbelalak di luar Iingkaran, dan pandangan Ceng Bi yang sinis dingin kepadanya itu membuat dia tertegun.

Tapi si baju hitam tiba-tiba berteriak, dan dia yang tidak lagi dapat menahan diri itu seko-nyong-konyong berkelebat maju dengan sepasang gelang menghantam mulut Ceng Bi. Wanita ini rupanya marah bukan main, dan tantangan Ceng Bi yang dirasa amat merendahkan itu menjadikan dia naik pitam. Maka sekali serang dia hendak menghancurkan mulut Ceng Bi yang dirasa terlatu tajam.

Tapi Ceng Bi tentu saja tidak mau diserang begitu saja. Meiihat si baju hitam memekik sambil menggerakkan sepasang gelangnya iapun tiba-tiba mengelak dan sekaligus balas menyerang. Gelang yang menyambar muka dikelit ke samping dan sementara benda itu lewat di depan hidungnya dia tiba-tiba menusukkan ranting ke leher lawannya sedangkan kaki kanan diangkat untuk menendang ulu hati si baju hitam.

"Plak-dukk...!"

Serangan yang dibalas tangkisan itu membuat keduanya berseru perlahan dan Ceng Bi serta lawannya terdorong mundur. Si baju hitam bergetar lengannya bertemu kaki Ceng Bi sedangkan lengan Ceng Bi terpental ketika bertemu lengan lawan dalam tusukan rantingnya tadi. Mereka berdua sama-sama terkejut, tapi si baju hitam yang melihat ejekan kecil pada senyum Ceng Bi itu sudah melengking lagi dan menerjang dengan senjatanya.

Kini mereka berdua saling berkelebat dalam serang-menyerang yang cepat dan Ceng Bi yang mendapat kenyataan bahwa lawannya itu cukup tangguh diam-diam kembali mengumpat di dalam hati. Selama turun gunung, selalu saja ia bertemu lawan kuat, dan sialnya, mereka itu kebetulan orang-orang dari Perkumpulan Gelang Berdarah. Setan! Ceng Bi mengertak gigi dan de-ngan gemas la melayani lawan yang bertubi-tubi menyerang itu dengan permainan rantingnya dalam Ilmu Pedang Cui-mo Kiam-sut disertai totokan-totokan di sana-sini.

Maka terjadilah pertandingan menegangkan di antara dua gadis cantik itu dan Pek Hong yang melihat salah seorang teman si baju hitam tampak melangkah maju hendak mengeroyok Ceng Bi tiba-tiba sudah melompat ke depan. Gadis ini menyilangkan pedang di depan dada dan dengan suara bengis ia membentak, "Sam-hek-hi-kwi, jangan berbuat curang. Kalau mau menge-royok kerubutlah aku...!" dan orang yang di-bentak tiba-tiba menghentikan langkahnya.

Dia ini adalah si wanita cantik nomor dua. yang mengenakan pakaian merah muda, dan mendengar bentakan Pek Hong itu ia tersenyum mengejek, "kau murid si keledai gundul itu enci yang manis? Ah, pantas kalau begitu aku ingin menjajal kepandaianmu. Apakah kau biasa memakai pedang? Nah, mari kita main-main sebentar kalau begitu. Lihat dalam berapa jurus aku akan merobohkanmu!"

Wanita itu tertawa mengejek dan sepasang gelang di tangannya diputar-putar membentuk lingkaran lebar dan sekonyong-konyong dia menyerang Pek Hong dengan timpukan gelang di tangan kiri! "Siutt …!" gelang itu menyambar kening Pek Hong dan Pek Hong yang diserang tanpa pemberitahuan lehih dahulu ini terkejut sekali. Dia memaki kecurangan lawan dan pedang di tangannya bergerak ke atas.

"Trangg...!" gelang itu membalik dan tahu-tahu telah kembali pada tangan kiri si wanita cantik yang terkekeh gembira. "Hi-hik, kau tangkas, enci yang manis !" dia memuji.

"Dan kau curang, siluman betina...!" Pek Hong membalas.

Tapi lawannya itu hanya tersenyum saja dan Pek Hong yang kini tahu bahwa di lingkaran gelang itu terdapat seutas talinya yang amat halus sekarang menjadi lebih berhati-hati lagi. Dia sekelebatan melihat adanya sinar yang keperakan pada waktu gelang itu ditimpukkan, dan rupanya itu adalah sejenis tali yang terbuat dari baja halus. Maka diam-diam ia lalu meraba kantong senjata rahasianya dan maklum bahwa orang-orang dari Perkumpulan Getang Berdarah itu rupanya tidak segan-segan untuk melakukan kecurangan iapun lalu bersiap-siap dengan penuh kewaspadaan.

Wanita cantik berbaju merah muda itu sudah melangkah maju, dan lenggangnya yang agak dibuat-buat itu membuat Pek Hong mengerutkan alis. Melihat gerak-geriknya agaknya wanita ini seorang hamba nafsu berahi. Dan sinar matanya yang berkilat penuh akal licik itu menunjukkan kekejiannya yang berhahaya. Tapi Pek Hong tidak gentar. Sudah mulai banyak ia "berkenalan" dengan orang-orang dunia hitam, karena itu ia menjadi waspada. Dan wanita cantik yang sudah berdiri di depannya itu dihadapi dengan tenang.

"Kau sudah siap, enci?" wanita itu tersenyum mengejek.

"Tidak usah berpura-pura, siluman betina. Majulah...!"

"Hm, bagus kalau begitu. Lihat serangan...!" belum habis ucapan ini diserukan tahu-tahu tubuh wanita itu sudah berkelebat ke depan. Gelang di tangan kanan menyambar dada Pek Hong sedangkan gelang di tangan kirinya melesat menyambar pelipis kanan.

Pek Hong mendengus, dan gadis ini tiba-tiba menggeser kaki ke belakang satu tindak. Gelung yang menyambar dada ditangkis pedang sedangkan yang menghantam pelipisnya dikelit sedikit. Maka terjadilah bentrokan nyaring pada gebrakan pertama ini.

"Trangg…..!"

Pedang bertemu gelang dan wanita cantik itu memekik kaget. Gelang di tangannya terpental sedangkan ujung pedang di tangan lawannya tahu-tahu mluncur menyambar teuggorokannya!

"Aih...!" wanita itu berseru lirih dan kaki kanannya tiba-tiba diangkat secepat kilat menendang ke atas.

"Dukk...!" Pergelangan Pek Hong bertemu ujung sepatu dan murid Ta Bhok Hwesio itu terkejut. Kecepatan lawan dalam mematahkan serangannya ini sungguh mengagumkan, dan mau tak mau ia berseru memuji,

"Bagus...!" Pek Hong menyatakan kekagumannya ini dan tiba-tiba ia melengking keras. Pedang yang ditangkis terpental mendadak ia putar setengah bagian, lalu diiringi bentakan pendek gadis itu sudah berkelebat ke depan mendahului serangan lawan. Senjata di tangan menusuk empat kali berturut-turut ke arah pusar sampai ke atas leher sedangkan tangan kirinya masih ikut digerakkan menampar pelipis dengan tamparan maut.

"Ihh...!" wanita cantik itu terkejut marah dan ia membelalakkan mata. Tusukan pedang yang bertubi-tubi ditangkis dengan gelangnya sementara tamparan ke pelipis dikelit dengan cara menundukkan kepala ke bawah. Maka terjadilah benturan nyaring untuk kedua kalinya dalam pertemuan dua senjata itu yang mengakihatkan bunga api muncrat berhamburan.

"Crang-crang-crang-crang!"

Pedang dan gelang sama terpental akan tetapi Pek Hong sudah menyusuli lagi serangannya yang gagal ini. Dia tidak mengurangi kecepatan geraknya, malah kini gadis itu menerjang semakin gencar. Pedang yang ditangkis sudah berkelebatan menyambar-nyambar, dan tikaman serta bacokannya yang bertubi-tubi tampak berkiatan saling susul seperti layaknya gelombang samodra. Gaya serangannya ini mirip lingkaran rantai putih, berkeredep keperakan dalam tusukan cepat atau sabetan meliuk naik turun, dan lawannya si wanita baju merah itu dibuatnya kebingungan untuk mengikuti apa sebenarnya aliran ilmu pedang murid Ta Bhok Hweslo itu.

Dan hal ini memang tidak terlalu mengherankan. Pek Hong sebenarnya terbiasa dalam permainan rantai peraknya, akan tetapi karena senjata kebiasaannya itu diambil siauw-pangcu dari perkumpulan Hiat-goan-pang itu waktu dia tertangkap maka sebagai gantinya ia memakai pedang ini. Senjata itu ia dapatkan di ruang bawah tanah, milik seorang penjaga yang diam-diam berhasil ia robohkan.

Karena itu, dalam menghadapi lawan dalam keadaan darurat ini ia mainkan pedang seperti orang mainkan rantai dan wanita baju merah yang belum mengenal sifat permainan ilmu silatnya itu dibuat kaget berkali-kali. Pedang yang berseliweran menyambar tiada ubahnya seperti badai yang mengamuk di atas sebuah samodra, dan ginkang cepat yang dikerahkan Pek Hong seperti walet liar menyambar-nyambar itu sungguh membuat si wanita cantik menjadi pucat.

Murid Ta Bhok Hwesio itu seakan-akan tak memberinya kesempatan untuk melonggarkan napas, dan sepasang gelang di tangannya yang dikurung gulungan pedang yang amat rapat itu membuatnya marah. Pek Hong seakan-akan hendak main cepat dalam pertandingan ini, bermaksud merobohkannya dalam jangka waktu pendek dan dia yang sama sekali didesak hingga sulit untuk bernapas itu memekik gusar. Lawan Pek Hong ini naik pitam, dan gelang di tangannya mulai berkerincingan nyaring saling bentur.

Pedang lawan yang menusuk bertubi-tubi disambut tangkisan gelang, dan setiap kali bentrokan itu terjadi pastilah si wanita cantik ini menahan pedih. Tangannya linu tergetar dan ia hampir tidak kuat untuk menggigit bibir. Ternyata sinkang lawan memang kuat, dan wanita cantik itu diam-diam mengeluh gelisah. Dia yang tidak diberi kesempatan untuk menerobos kurungan sinar pedang ini diam-diam mulai berpikir kotor, namun karena Pek Hong menggencetnya sedemikian rupa maka ia belum berhasil juga.

Dan Pek Hong memang tidak memberi kesempatan lawan untuk berbuat curang. Murid Ta Bhok Hwesio itu tahu mempergunakan taktik, dan gelang lawan yang diberi tali baja secara diam-diam itu dibuatnya tak berkutik dalam pertandingan jarak dekat. Pek Hong memang cerdik. Dengan cara yang sekarang ini dilakukannya berarti dia telah membuat lawan jadi mati kutu. Gelang-gelang yang dapat dilempar jarak jauh itu kini sama sekali tidak dapat lagi disambitkan. Dan hal inilah yang menjadikan lawannya itu marah sekali!

Wanita baju merah yang seakan-akan dikurung sinar pedang itu tak mampu lagi untuk banyak bergerak Gelang di tangannya hanya dapat dipakai menangkis, sama sekali tak dapat dipakai menyerang. Padahal kedudukan demikian pada sebuah pertandingan sungguh bukanlah hal yang amat menyenangkan. Dan tentu saja semuanya ini membuat kedudukan si wanita haju merah itu tersudut. Serangan Pek Hong yang seperti gelombang pasang ini tiada hentinya menyerbu, dan tekanan demi tekanan mulai membuat lawannya itu berkeringat dingin.

Pek Hong mulai mantap gerakannya, dan pedang yang menusuk serta membacok dalam setiap serangannya itu mulai mendapatkan sasarannya. Pundak si wanita cantik mulai terluka, dan paha kirinya yang juga tergores mata pedang itu menjadikan lawannya ini mengeluh gentar. Tidak tahu dia, bahwa Pek Hong memang telah mainkan ilmu sitatnya yang paling diandalkan selama ini yang disebut Hong-thian-lo-hai-kun (Badai Mengamuk di Samudra) dan dengan ilmu silat inilah murid Ta Bhok Hwesio itu mendapatkan nama di kalangan dunia persilatan!

Maka tentu saja lawannya itu mulai gelisah tidak karuan dan pertemuan senjata yang selalu melumpuhkan tangannya ini sedikit demi sedikit membuat telapak tangannya mulai pecah. Namun wanita baju merah ini ternyata keras hati juga. Posisi yang sudah semakin buruk pada pihaknya itu sama sekali belum membuatnya menyerah, dan Pek Hong yang diam-diam merasa gemas juga terhadap lawan yang bandel ini semakin memperhebat desakannya. Dan lawan yang ditekan sedemikian rupa ini mulal kehabisan napas.

Nyata dalam pertandingan ini bahwa Pek Hong masih menang segala-galanya. Baik sinkang maupun ginkang. Dan wanita cantik yang keras kepala itu mau tak mau harus mengakui pula kenyataan ini. Ia terus didesak hebat, sementara pedang di tangan lawannya berkelebatan menyambar-nyambar seperti topan yang kesetanan. Sampai akhirnya, dalam gulungan pedang yang mempersempit ruang geraknya itu tiba-tiba gelang di tangan kanannya bertemu dengan pedang.

"Trang...!" benturan keras di antara dua senjata itu membuat si wanita cantik berseru kaget. Telapak tangannya yang sudah pecah ternyata kali ini tak dapat menahan pukulan itu. Akibatnya, gelang dalam tangan yang sudah lumpuh itu terlepas sedangkan Pek Hong masih menyusuli lagi dalam satu tikaman tajam ke ulu hatinya.

"Aihh...!" wanita itu menjerit kaget dan tiba-tiba ia membanting diri ke tanah. Pedang yang menyambar lewat di atas perutnya tapi Pek Hong yang menggerakkan kaki menendang tanpa disangka-sangka itu tak dapat dihindarkan mendupak pinggulnya yang baru saja membanting diri.

'Dess!" lawan gadis itu terpental berguling dan gelang satunya yang masih dicekal tiba-tiba ikut terlempar jatuh! Wanita cantik ini menjadi pucat, namun sekonyong-konyong ia berteriak ngeri ketika melihat bayangan Pek Hong memburu ke arahnya dalam satu bacokan maut.

"Gwat-cici...!" wanita baju merah itu menjerit dan Pek Hong yang siap membunuh lawannya ini mendadak berseru kaget. Sebuah gelang sekonyong-konyong menyambar punggungnya dan dia yang siap menurunkan tangan maut itu secepat kilat merendahkan tubuh dan memutar pedang ke belakang.

"Crangg...!"

Tumpukan senjata gelap itu berhasil ditangkisnya baik dan Pek Hong terkesiap kaget. Lengannya yang memegang pedang tergetar keras, dan sebuah bayangan tiba-tiba sudah berkelebat di depannya.

"Hm, kau jangan sembarangan membunuh adikku, murid Ta Bhok Hwesio, karena masih ada aku encinya di sini...!" bentakan ditigin yang disusul gencrangan nyaring dari sepasang gelang yang diadu itu mengejutkan Pek Hong dan ketika gadis ini memandang, kiranya itu bukan lain adalah si wanita terakhir yang tadi berdiri di samping si pemuda tampan. Dia inilah yang dipanggil Gwat-cici, dan Pek Hong yang melihat lawan sudah maju berdua itu cepat bersiap dengan ketawanya yang mengejek.

"Hm, kau rupanya orang tertua dari Sam-hek-bi-kwi, siluman betina? Bagus, aku memang mengharapkan kemajuanmu ini. Majulah, dan suruh adikmu itu mengerubut pula...!" Pek Hong menantang dan diam-diam ia melirik pula ke arah si pemuda tampan yang tampak berkerut-kerut alisnya itu.

Dia tidak tahu, siapakah sebenamya pemuda itu. Namun karena datang bersama rombongan Sam-hek-bi-kwi dari Hiat-goan-pang tentu mudah diduga bahwa pemuda itu pastilah orang dari Hiat-goan-pang pula, Setidak-tidaknya, tentu merupakan sahabat tiga iblis betina ini. Tapi aneh, orang yang dipandang Pek Hong itu tampaknya kebingungan. Dia ini bersikap gelisah, dan majunya Sam-hek-bi-kwi melawan dua orang gadis cantik itu kelihatannya membuat dia sama sekali tidak bisa tenang.

Namun wanita yang sudah berdiri di depan Pek Hong ini mendengus dingin. Sebenarnya dia itu bukan lain adalah Bi Gwat, dan kakak tertua dari Bi Kwi ini marah bukan main. Dia melihat adiknya, Bi Hwa, hampir saja celaka di tangan Pek Hong, sedangkan adiknya yang terakhir Bi Kwi, juga kelihatannya sedikit terdesak oleh Ceng Bi. Karena itu dibakar oleh kemarahan melihat adik-adiknya di permalukan lawan ia menjadi naik darah. Hanya kareha malu terhadap si pemuda tampan yang menemani mereka itulah ia tadi tidak mengeroyok Pek, Hong. Baru bergerak setelah Bi Hwa diburu oleh lawan.

Tapi sekarang, karena Pek Hong sendiri yang menantang diapun tidak malu-malu lagi. Bi Hwa ternyata berat menghadapi sendirian saja, dan mau tak man dia memang harus membantu. Karena itu Bi Gwat yang bersifat pendiam ini memainkan gelangnya dengan senyum dingin.

"Hm, kau sendiri yang memintanya, sobat cantik, jangan salahkan kami kalau begitu!" Bi Gwat memandang lawannya dengan mata berkilat tapi Pek Hong menarik bibirnya.

"Aih, jangan berlagak alim, Hek-bi-kwi, aku sudah tahu watak orang-orang Hiat-goan-pang yang suka main keroyok. Majulah, jangan banyak bicara lagi!" Pek Hong tiba-tiba membentak sambil melancarkan serangannya.

Gelang di tangan kiri menyambar kepala Pek Hong, sedangkan gelang di tangan kanan meluncur ke jalan darah U-peh-hiat. Semuanya menyambar dari jarak jauh, karena wanita itu menyambitkannya dengan jalan ditimpuk, seperti ketika tadi Bi Gwat menolong Bi Hwa dengan bokongannya.

Dan Pek Hong yang mendapat serangan ini bertindak cepat. Pedang di tangannya digerakkan memutar, tidak menyongsong gelang melainkan membabat tali bajanya yang halus, dan tubuh yang dijadikan sasaran sudah dibungkukkan sambil melompat ke samping.

"Tring-tringg...!" Suara yang nyaring kecil ini terdengar begitu pedang bertemu tali baja di tengah udara, dan Pek Hong terkejut karena pedangnya tidak mampu memutuskan kawat baja yang halus itu. Kiranya, benang baja yang diulur pada gelang tembaga itu merupakan kawat pilihan, tidak mudah putus dtbacok senjata tajam! Dan Bi Gwat yang melihat kekagetan muka lawannya itu tertawa dingin.

"Hi-hik… kau kira gelangku dapat kau tabas talinya, keledai betina? Aih, kau sungguh bermimpi besar…!" wanita itu mengejek Pek Hong dan tali gelang yang bergetar ketika bertemu dengan pedang itu tiba-tiba sudah membalik dan menyambar pundak dengan kecepatan kilat.

Pek Hong merah mukanya, dan sekarang dia tahu keistimewaan senjata lawannya itu. Karena itu dia lalu berkelebat maju dan maklum bahwa satu-satunya cara untuk memperoleh kemenangan hanyalah bertempur dengan jarak dekat maka ia-pun memutar pedangnya menerjang maju. Tapi celaka, Bi Gwat yang sudah mengenal taktiknya itu tidak mau didekati.

Pek Hong yang melompat maju dibalas dengan lompatan mundur ke belakang, dan sambil tertawa wanita itu mengejek, "Keledai betina, apakah kau hendak mengulang pertandingan jarak pendek sepeti dengan adikku? Hi-hik, jangan mimpi, aku tetap akan menjaga jarak!" dan betul saja Bi Gwat benar-benar membuktikan omongannya yang selaiu menyerang Pek Hong dari jarak jauh.

Wanita itu selalu melompat mundur bila didekati Pek Hong, dan sepasang gelangnya yang menyambar-nyambar dari jarak jauh itu kini menjadikan Pek Hong tertegun marah. Dia tidak dapat memainkan Hong-thian-lo-hat-kun-nya dan pedang yang ada di tangan kini hanya menangkis gelang yang beterbangan menyambar nyambar itu.

Dan belum dia berhasil mengatasi keadaan sekonyong-konyong wanita cantik baju merah yang tadi sudah toboh bergulingan itu kini tiba-tiba bangkit berdiri dan ikut menyerang dari samping. Dan seperti kakaknya, diapun memainkan gelang dari jarak jauh mengandalkan talinya yang tahan bacokan senjata tajam.

"Keparat, kalian memang orang licik. Hek-bi-kwi...!" Pek Hong memaki lawan dengan kemarahan ditahan namun dua orang kakak beradik itu tertawa menghina. Mereka tidak menghiraukan makian itu bahkan sebaliknya malah memperhebat serangan sehingga Pek Hong harus melompat-lompat mengerahkan ginkangnya.

Sekarang murid Ta Bhok Hwesio ini benar-benar mengalami nasib buruk. Hong-thian-lo-hai-kunnya yang tidak dapat dimainkan sempurna menjadikan dia harus selalu bertahan, sama sekali tidak diberi kesempatan untuk menyerang. Dan dua orang kakak beradik yang selalu bertempur menjaga jarak itu benar-benar merepotkan. Mereka selalu menyerang dari jarak jauh, memainkan gelang yang menyambar-nyambar naik turun itu seperti piring terbang. Dan empat gelang yang bertubi-tubi menyerang dari udara tanpa dapat didekati ini benar-benar membuat Pek Hong marah bukan main...


Pendekar Kepala Batu Jilid 19

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 19
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pendekar Kepala Batu Karya Batara
MURID Ta Bhok Hwesio itu tertawa pedih. Tidak ada suara yang keluar ketika ia tertawa itu, akan tetapi mulutnya yang menyeringai dipaksa itu jelas menunjukkan betapa berat perasaannya pada saat itu. Dia telah gagal mendapatkan cintanya terhadap bekas jenderal muda itu, dan apakah Ceng Bi ini harus merasakan pula kegagalan cinta seperti yang dialaminya?

Kalau saja dulu tidak ada puteri Ok-ciangkun dia yakin bahwa cintanya tentu bakal terbalas. Tapi gara-gara gadis bernama Siu Li itulah Yap-goanswe jatuh hati terhadap puteri panglima ini. Dia bertepuk sebelah tangan, tapi begitu toh tetap saja dia tidak mampu melupakan Pendekar Gurun Neraka ini. Sikapnya yang sudah-sudah terhadap pemuda itu memang terasa pahit, dan dia harus menarik napas panjang.

Teringat oleh gadis ini betapa gara-gara dialah Siu Li sampai membuntungi lengannya dan bahkan cinta yang berkobar-kobar dari sepasang muda-mudi itu sampai kandas di tengah-tengah jalan gara-gara permusuhan di kedua pihak. Apakah yang dinamakan 'Cinta‘ itu memang harus dibumbui oleh permusuhan?

Pek Hong tertawa geli. Dia mengelus rambut Ceng Bi yang terisak-isak sesenggukan di atas dadanya itu dan diam-diam ia merasa kasihan sekali kepada gadis itu. Apakah Ceng Bi harus menderita karena cintanya? Tidak, dia tidak boleh terlalu egois. Puteri Ciok-thouw Taihiap ini adalah seorang gadis yang polos hatinya, dan terus terang dia juga merasa suka. Tapi, kenapa Ceng Bi menangis kalau benar mencintai Pendekar Gurun Neraka. Dan melihat kebenciannya yang meluap-luap terhadap bekas jenderal muda itu agaknya gadis ini sedang mengalami sakit hati. Hem! Pek Hong menarik napas panjang.

"Adik Bi, kenapa kau menangis demikian sedih?"

Ceng Bi mengangkat mukanya. "Aku melampiaskan sakit hatiku, enci, melampiaskan segala kekesalan hati ini!"

"Aih, terhadap Pendekar Gurun Neraka?"

Ceng Bi membelalakkan mata. "Dari mana kau tahu, enci?"

Pek Hong tertawa pahit. "Aku cukup dewasa, adik manis, mengapa harus heran? Nah, jawab yang jujur. Bukankah kau jatuh cinta terhadap bekas jenderal muda itu?"

Ceng Bi merenggut lepas dirinya. "Enci...!"

"Sstt, jangan berteriak, adik Bi, kita masih berada di ruang bawah tanah! Apakah aku salah bicara?" Pek Hong meraih gadis itu dan dengan lembut dia merangkul pundaknya.

Ceng Bi menangis lagi dan sambil sesenggukan dia menganggukkan kepalanya. Pek Hong terpukul, dan murid Ta Bhok Hwesio itu memejamkan mata. Akan tetapi sejenak dia terlena karena tiba-tiba dia mendorong tubuh Ceng Bi.

"Adik Bi, hapuslah air matamu itu, aku dapat menolong! Bagaimanakah asal mulanya kau menaruh sakit hati ini terhadap Pendekar Gurun Neraka? Apakah dia menolakmu, menghinamu?"

Ceng Bi gemetar mukanya. "Tidak enci, tidak... aku rasa dia bahkan sama sekali tidak tahu akan perasaan hatiku ini."

"Eh, kalau begitu mengapa kau sakit hati kepadanya? Dan di mana kalian bertemu?"

Ceng Bi menggigil. "Enci, kalau saja kau bukan orang yang kupercaya tentu sampai matipun aku tidak mau menceritakan hal ini kepadamu. Kami bertemu di tempat The-lo-hengte, enci, di markas cabang Perkumpulan Gelang Berdarah yang dipimpin oleh dua orang iblis bekas Mo-san Ngo-yu itu...!"

"He, di luar kota Hang-loh?"

"Betul. enci, dan di sanalah kakakku yang bemama Ceng Han ditangkap anak buah The-cinjin dua bersaudara itu. Aku mendatangi markasnya, dan pertempuran hebat di antara kami tak dapat dihindarkan. The-Io-hengte hampir menangkapku, tapi tiba-tiba dia muncul..."

"Pendekar Gurun Neraka?"

Ya, enci, dan dialah yang menolong kami berdua dari serangan orang-orang Hiat-goan-pang itu."

"Lalu bagaimana, adik Bi?"

"Kami selamat, enci, dan dua orang iblis tua itu tewas. Tapi bukan Pendekar Gurun Neraka yang membunuh melainkan dibokong oleh seseorang yang katanya memiliki senjata rahasia boat-beng-cui. Dia mengejar, dan twa-suhengku tiba-tiba muncul. Nah, ketika Pendekar Gurun Neraka kembali itulah sesuatu yang mengejutkan hatiku terjadi, enci, karena dia... karena dia… hu-hukk...!" Ceng Bi sudah keburu menangis lagi tak dapat melanjutkan kata-katanya dan gadis itu menubruk Pek Hong dengan isaknya yang mengguguk.

Pek Hong tertegun, dan murid Ta Bhok Hwesio ini terkejut. Tapi karena ia hendak memberi ksempatan kepada Ceng Bi untuk melonggarkan perasaannya maka ia pun hanya mengelus pundak gadis itu dengan mata berkejap-kejap. Tangis yang demikian sedih dari puteri Ciok-thouw Taihiap ini menyentuh keharuannya, dan karena ia dapat merasakan sakitnya orang jatuh cinta maka Pek Hong-pun tak terasa sampai meneteskan air mata yang membasahi pipinya. Tapi akhimya Ceng Bi reda kembali. Gadis yang basah mukanya itu tampak kemerahan, dan Pek Hong dengan lembut mengusap air mata yang masih menitik.

"Bi-moi..." suara Pek Hong agak serak, "Apakah kejadian yang mengejutkan hatimu itu? Apakah Pendekar Gurun Neraka bersikap kurang ajar kepadamu?"

Ceng Bi menggeleng. "Tidak, enci Hong. Kami Baru pertama kali itu berjumpa, eh maksudku, itu adalah yang ke dua karena sebelumnya kami telah saling bertemu di rumah makan Tiang-san. Hanya di restoran itu aku tidak tahu bahwa dia adalah Pendekar Gurun Neraka, bagaimana dia bersikap kurang ajar kepadaku?"

"Hm, lalu apa kalau begitu sesuatu yang mengejutkan hatimu itu, adik Bi?"

"Wataknya yang kotor itu, enci, perjinaannya dengan murid perempuan Cheng-gan Sian-jin. Dia kini telah mempunyai seorang anak laki-laki dari huhungan gelapnya itu!"

"Ahh…!" Pek Hong kaget bukan main dan tiba-tiba gadis itu mencelat mundur. "Dia mempunyai anak, adik Bi?"

"Ya, enci, begitulah menurut keterangan suhengku. Kenapakah?"

Pek Hong tidak menjawab dan gadis itu tiba-tiba menggigil. Suara yang aneh ke luar dari kerongkongannya, dan wajah yang sepucat kertas itu menjadikan Ceng Bi terkejut sekali.

"Enci Hong, kau kenapakah?" Ceng Si melompat menghampiri dengan mata terbelalak dan Pek Hong tiba-tiba sadar.

Shock yang dialaminya sekejap itu membuat gadis ini seakan ditimpa gunung ambruk, tapi sentuhan Ceng Bi pada lengannya tiba-tiba membuatnya sadar kembali. Pek Hong mengeluh, dan tangan Ceng Bi ganti dicengkeram gemetar.

"Bi-moi, kau jangan salah paham. Aku tidak apa-apa. Aku hanya sedikit kaget dan kasihan mendengar nasibnya yang buruk itu, adik Bi. Aku hanya kasihan… ahh...!" Pek Hong tiba-tiba menitikkan air mata dan Ceng Bi terkejut.

"Enci, kau menangis?"

"Ya, aku tak tahan mendengar beritamu itu, adik Bi...!"

"Eh, kenapa?"

"Karena dia selalu bernasib buruk, berkali-kali ditimpa kemalangan…"

"Ah...!" Ceng Bi tertegun dan tiba-tiba dia mengguncang lengan temannya. "Enci Hong, kenapa kau bilang kasihan kepadanya? Apakah kau pernah menjadi sababat dekatnya?"

Pek Hong tiba-tiba melepaskan tangannya "Adik Bi, jangan menduga terlalu jauh. Aku hanya sahabat biasa baginya, bukan sahabat dekat..." suara gadis ini terdengar getir. "Dan sebagai sahabat yang mengenal baik watak-watak pribadinya, bagaimana mungkin aku tidak terkejut dan ikut bersedih mendengar nasibnya yang selalu dirundung malang? Dahulu dia digoda murid Cheng-gan Sian-jin, dan sekarang ekor peristiwa itu berlanjut dengan kelahiran anaknya yang tidak syah. Siapa tidak kasihan dengan nasibnya ini, adik Bi?"

Ceng Bi terbelalak, "Enci..."

"Ya…"

"Kau bilang dia digoda...?"

"Begitulah sebenarnya, adik Bi, karena perjinaan itu sesungguhnya adalah perjinaan sepihak. Iblis betina murid Cheng-gan Sian-jin itulah yang tidak tahu malu. Wanita ini telah meracuni Pendekar Gurun Neraka, melolohinya dengan arak perangsang sehingga mereka berdua melakukan hubungan tidak patut itu seperti layaknya suami isteri!"

"Ahh...!"

"Kenapa, adik Bi?"

"Tidak... tidak apa-apa...!" Ceng Bi tiba-tiba menjadi gugup. "Tapi bagaimana kau bisa tahu semuanya ini, enci Hong?"

Pek Hong tersenyum pahit. "Aku kebetulan berada disana, adik Bi, bersama orang-orang lain di istana Cheng-gan Sian-jin."

"Untuk apa?"

"Untuk membebaskan pemuda itu dari cengkeraman musuh. Dia ditangkap Cheng-gan Sian-jin, dan kami datang untuk membebaskannya di gua harimau itu bersama gurunya, Malaikat Gurun Neraka!"

"Ooh...!" Ceng Bi baru mengerti dan tiba-tiba ia menggenggam lengan temannya. "Enci Hong, kalau begitu siapakah murid perempuan Cheng-gan Sian-jin itu? Dan mengapa ia membenci Pendekar Gurun Neraka?"

"Sama seperti dirimu, adik Bi, jatuh cinta tanpa mendapat balasan. Tapi keadaan kalian kini telah berbeda jauh. Dahulu Pendekar Gurun Neraka diisi hatinya oleh gadis lain namun sekarang hatinya telah kosong kembali seperti semula!"

"Ah...!" Ceng Bi terkejut. "Jadi pemuda itu telah memiliki seorang kekasih, enci?"

Pek Hong memandang wajah Ceng Bi yang pucat. "Itu dulu, adik Bi, tapi kekasih yang amat dicintainya itu telah tewas. Dan tahukah kau, siapa gadis yang mendapat kehormatan besar di hati bekas jenderal muda itu?"

Ceng Bi menggeleng. "Bukan lain adalah adik perempuan yang menawan dirimu ini, adik Bi."

"Hah?! Adik si Ui-i-siauw-kwi itu?"

"Benar."

"Aih...!" Ceng Bi kaget bukan kepalang dan gadis itu terlonjak. Seperti orang tidak percaya. Ia memandang Pek Hong, tapi temannya itu menganggukkan kepalanya dengan ketawa getir.

"Ada apa, adik Bi? Kau terkejut? Memang mengherankan barangkali adanya kenyataan ini, tapi itulah yang terjadi. Pendekar Gurun Neraka telah saling jatuh hati dengan kekasihnya itu namun orang tua pihak si gadis menolak. Mereka mengalami masa-masa yang tidak menyenangkan dalam percintaan yang penuh gejolak permusuhan itu, dan akhirnya kematianlah yang merenggut segala-galanya. Hem, omong-omong, tahukah kau siapa sebetulnya pemuda she Ok itu?"

Ceng Bi Masih terkesima. Ia tidak mampu menjawab pertanyaan ini dan satu-satunya jawaban hanyalah gelengan kepala itu disertai matanya yang terbelalak lebar.

"Dia bukan lain adalah putera Ok Ciangkun adik Bi. Dia panglima tertua dalam kelompok Wu-sam-tai-ciangkun!"

"Ah…!" Ceng Bi berseru kaget dan mata yang sudah membelalak itu kini membelalak semakin lebar. "Wu-sam-tai-ciangkun, enci Hong? Jadi orang she Ok itu adalah kaki tangan Kung Cu Kwang?"

"Ayahnya adik Bi, bukan dia, karena dia tidak langsung terlibat dalam permusuhan antar dua kerajaan itu, maka tidak aneh kalau Wu-sam-tai-ciangkun semua memusuhi Pendekar Gurun Neraka yang dulunya adalah Yap-goanswe itu!"

"Hem…!" Ceng Bi tertegun, dan mengertilah dia sekarang bagaimana kedudukan Pendekar Gurun Neraka pada saat itu. Dan membayangkan bahwa dia telah jatuh cinta terhadap pendekar muda yang amat lihai ini muka Ceng Bi menjadi merah. Entah mengapa, mendengar pemuda itu jatuh hati kepada puteri Ok-ciangkun mendadak saja dia menjadi panas. Akan tetapi, mendengar bahwa puteri itu sudah tewas sekonyong-konyong timbul keinginan tahunya bagaimana gadis puteri panglima itu bisa sampai meninggal dunia. Maka ia lalu memandang Pek Hong, dan dengan suara lirih ia bertanya, "Enci Hong, bagaimana puteri Ok-ciangkun itu bisa tewas? Cantikkah dia?"

Pek Hong memejamkan mata. "Hem, dia cantik sekali, adik Bi, jauh lebih cantik dibanding diriku. Dan kematiannya bukan disebabkan dibunuh orang melainkan karena bunuh diri!"

"Hee...?" Ceng Bi terkejut. "Bunuh diri, enci Hong?"

Gadis itu mengangguk. "Tidak salah, adik Bi, dia bunuh diri untuk menyusul kekasihnya yang disangka tewas pula."

"Eh, bagaimana ini?" Ceng Bi terbelalak heran. "Bukankah kekasihnya itu adalah Yap-goanswe, enci Hong?"

Pek Hong membuka mata dan gadis itu lalu menjawab dengan suara menggetar, "Semua karena sudah takdir, Bi-moi, demikianlah menurut Bu-beng Sian-su yang ada di tempat kejadian untuk memberikan kekuatan batin pada Pendekar Gurun Neraka itu. Yap-goanswe hampir saja gila, karena cinta kasihnya yang amat mendalam terhadap puteri panglima itu. Akan tetapi untunglah, dia berhasil disadarkan oleh kakek dewa itu dan dengan sedih lalu menguburkan jenazah kekasihnya di Bukit Kim-kee-san. Dia lalu kembali ke istana, dan dengan resmi saat itu juga dia menyatakan pengunduran dirinya dari jabatan panglima tertinggi Kerajaan Yueh kepada Pangeran Kou Cien yang menjadi atasannya. Tentu saja, sang pangeran terkejut, namun keputusan pemuda itu tak dapat dirobah lagi. Nama Yap-goanswe lalu terhapus, dan sebagai gantinya muncullah nama Pendekar Gurun Neraka yang disegani kawan ditakuti lawan itu...!"

Pek Hong lalu menceritakan dengan singkat tapi jelas kepada Ceng Bi tentang nasib bekas jenderal muda yang malang itu dan Ceng Bi yang mendengar akhirnya menjadi terharu sekali. Terutama ketika Pek Hong menceritakan kepadanya betapa Yap-goanswe menerima tusukan pedang kekasihnya tanpa mengelak dan betapa gadis puteri Panglima Ok itu akhirnya menikamkan pedang ke tubuh sendiri untuk menyusul kekasihnya yang disangka tewas.

Ceng Bi tiba-tiba saja meneteskan air matanya dengan penuh keharuan. Dia melihat, betapa hebat cinta kasih kedua orang pemuda itu, namun betapa mengharukan akhir hayat yang harus diterima oleh puteri sang panglima yang gagal untuk mati bersama. Hem, demikian dalamkah cinta di hati Pendekar Gurun Neraka itu terhadap kekasihnya? Dan sekarang masih saja goresan luka itu belum sembuh? Ceng Bi tiba-tiba merasa perih dan perasaan tertusuk menikam dirinya.

"Adik Bi, masihkah kau sekarang menaruh kebencian terhadap pemuda itu?" Pek Hong ti-ba-tiba mengejutkan Ceng Bi dengan pertanyaannya dan Ceng Bi sedikit gelagapan.

"Eh, ini... hem, kukira tidak, enci, tidak lagi! Tapi bagaimana pemuda itu sampai tertangkap Cheng-gan Sian-jin? Dan kau juga belum menjawab pertanyaanku tentang siapakah sebetulnya murid datuk iblis itu, enci Hong...?"

Pek Hong menganggukkan kepalanya. "Benar, aku kelewatan, adik Bi. Dia tertangkap akibat kecurangan Cheng-gan Sian-jin yang tidak tahu malu. Konon, ketika pemuda itu sedang bertanding dengan Hek-mo-ko tiba-tiba datuk iblis itu membokongnya dari belakang. Tapi itu kejadian yang sudah lampau, hampir setahun yang lalu. Dan sekarang kalau mereka kembali berhadapan belum tentu Cheng-gan Sian-jin mampu merobohkan murid Takla Sin-jin ini. Menurut kata gurunya sendiri, kini bekas jenderal muda itu sudah berada di atas tingkat gurunya baik sinkang maupun ginkang. Dan Cheng-gan Sian-jin yang dulu pernah dirobohkan oleh Malaikat Gurun Neraka itu tentu kini bakal mudah dirobohkan pula oleh Pendekar Gurun Neraka!"

"Ah, hebat kalau begitu!" Ceng Si berseru kagum.

"Memang, adik Bi, dia memang telah mencapai tingkat tertinggi dalam ilmu silatnya yang lihai. Dan tentang murid perempuan Cheng-gan Sian-jin yang kau tanyakan itu, ia bukan lain adalah keponakan dari mendiang Lie-thaikam, itu pembesar kebiri yang berkhianat terhadap Kerajaan Yueh."

"Ooh, begitukah...!" Ceng Bi terheran-heran.

"Ya, begitulah, adik Bi. Dia tergila-gila semenjak mereka masih sama-sama di kompleks istana. Tapi Pendekar Gurun Neraka menolak, jijik dengan kecabulannya yang suka mengobral cinta dengan banyak laki-laki. Itulah sebabnya mengapa murid Cheng-gan Sian-jin yang berjuluk Tok-sim sian-li itu sakit hati kepadanya!"

"Hmm..." Ceng Bi termenung dan tiba-tiba dia teringat akan perjumpaannya yang pertama dengan pendekar muda itu di restoran Tiang-san. Di sanalah dia pertama kali beradu pandang, dan wajah yang gagah tampan dari bekas jenderal muda itu memang menggetarkan perasaannya. Pemuda itu memang mengagumkan, tidak heran bila banyak wanita tergila-gila kepadanya!

"Adik Bi, apa yang kau pikirkan?"

Ceng Bi tersentak. Pertanyaan temannya yang tiba-tiba ini membuyarkan lamunannya dan Ceng Bi tersipu-sipu gugup. "Eh, hem... aku tidak memikirkan apa-apa, enci Hong, hanya merasa aneh terhadap murid perempuan Cheng-gan Sian-jin itu...!"

"Hm, apanya yang aneh? Dia perempuan tidak tahu malu! Pendekar Gurun Neraka telah banyak merasakan penderitaan dari perbuatannya ini. Dan dia memang tidak pantas bersanding dengan pemuda itu. Satu-satunya orang yang kini kulihat cocok untuk mengisi kekosongan hatinya adalah kau, adik Bi, gadis yang pantas menjadi jodohnya!"

"Enci...!"

"Sstt, jangan berteriak, adik Bi. Aku tidak main-main. Percayalah, aku akan mengusahakan kebahagiaan hatimu itu dengannya. Aku telah banyak berbuat dosa kepadanya, dan aku ingin menebus semua kesalahanku ini sebelum terlambat...!" Pek Hong berkata sungguh-sungguh dan Ceng Bi merasa kaget sekali dengan ucapan-nya itu.

"Enci Hong, apa apa yang kaukatakan ini...?" gadis itu terbelalak.

Tapi Pek Hong mendekapnya dengan lembut. "Adik Bi, sudahlah jangan kau tanyakan pertanyaan itu. Aku sendiri pernah merasakan jatuh cinta terhadap seorang pemuda, dan kegagalan cintaku yang pertama itu sungguh pahit sekali rasanya. Kau jangan sampai mengalami hal yang seperti itu,. adik Bi, dan aku akan memperjuangkan kebabagiaan hidupmu ini sampai berhasil. Percayalah, pemuda itu pasti akan menjadi Jodohmu...!"

Sampai di sini suara Pek Hong bercampur isak dan Ceng Bi yang dipeluk jadi bengong. Tapi tiba-tiba Ceng Bi berontak, dan dengan muka pucat gadis itu berseru, "Enci Hong, apa yang hendak kau lakukan terhadap pemuda itu? Kau hendak memaksanya, enci?"

Pek Hong mengusap tangan Ceng Bi yang terkepal dengan mata basah dan dia menggelengkan kepala. "Tidak, adik Bi, jangan kau salah paham. Percintaan yang dipaksa tidak bakal membuahkan kebahagiaan. Siapa bilang aku hendak memakaanya? Aku mempunyai cara sendiri dalam menautkan perasaan hatimu itu, adik Bi dan percayalah, aku tidak akan mencemarkan mukamu di depannya. Jelek-jelek kita kaum wanita juga mempunyai harga diri, mengapa hendak memaksa orang lain untuk mencintai kita? Tidak, adik Bi, kau tenanglah saja. Aku mengetahui kelemahan-kelemahan pemuda idamanmu itu dan mudah-mudahan saja kelemahannya ini dapat kupakai sebagai jembatan cinta kasih kalian. Percayalah...!"

Pek Hong mengusap rambut kepala Ceng Bi dan tiba-tiba gadis itu menangis deras tanpa suara. Isak yang tercekik ditenggorokannya serasa batu yang mengganjal tanpa kendali, dan Pek Hong terguncang-guncang dengan kedua pundak naik turun. Ceng Bi terkejut, dan gadis itu merenggangkan diri.

"Enci Hong. kenapa kau menangis demikian sedih?"

Pek Hong terguguk ditahan. "Aku teringat kepada kegagalan cintaku, adik Bi, teringat semua nasib burukku dalam soal asmara...."

"Tapi kenapa kau bersedih, enci? Apakah kau masih mencintainya? Dan siapakah pemuda itu, enci Hong?"

Pek Hong tiba-tiba menahan tangisnya. Mata yang merah dengan pipi yang pucat itu tampak mengharukan, tapi gadis ini tiba-tiba melempar senyum pahit. "Adik Bi, sudahlah jangan kau korek lagi kenangan sedihku ini. Untuk apa ditanyakan? Dia sudah menemukan calon jodohnya, dan aku tinggal mendoakan agar dia hidup bahagia, habislah sudah, mengapa hendak dikenang lagi? Jodoh memang di tangan Tuhan, dan aku tidak akan memaksa-maksa persoalan jodoh ini dengan siapapun juga!"

Gadis itu bicara penuh kepahitan dan Ceng Bi yang mendengar jadi terharu sekali. Dia memeluk murid Ta Bhok Hwesio ini lalu dengan suara lirih bertanya, "Enci Hong, demikian pahitkah kegagalan cinta yang pernah kau alami itu? Hem, kalau saja aku dapat menghiburmu, enci, tentu aku akan mempertaruhkan dengan Pendekar Gurun Neraka itu apakah tidak pernah jatuh hati kepadanya? Dia gagah dan tampan lho, enci, dan aku yang pertama kali beradu pandang saja bergetar rasanya hati ini...!"

Ceng Bi tertawa kekanak-kanakan dan ucapannya yang dimaksud main-main itu sama sekali tidak diketahuinya betapa telah membuat jantung Pek Hong serasa berhenti berdetik dengan muka berobah hebat. Tapi Pek Hong berhasil menekan sentakan jiwa ini, dan dengan jari menggigil memaksa tawa yang sumbang nadanya.

"Adik Bi, apa-apaan kau ini? Waktu itu dia sudah mempunyai kekasih, masa aku harus tidak tahu malu menggodanya? Hem, kami hanya sahabat biasa, adik Bi, karena guruku dengan gurunya bersahabat sejak lama. Tidak, jangan kau bicara yang bukan-bukan...!"

Ceng Bi tiba-tiba mengangkat mukanya. "Tapi kalau kini dia jatuh hati kepadamu apakah kau tidak mau membalasnya, enci? Pemuda seperti itu tentu mampu mengobati luka-lukamu akibat patah hati...!"

"Adik Bi...!" Pek Hong terbelalak kaget. "Apa yang kau katakan ini?"

Namun Ceng Bi mencekal lengannya erat-erat. Gadis itu memandang temannya yang tampak gemetar itu, dan dengan suara sungguh-sungguh ia berkata, "Enci Hong, kau adalah wanita baik-baik, kenapa nasib harus demikian kejam kepadamu? Tidak, enci, kalau saja Pendekar Gurun Neraka mau tentu aku rela membagi cinta denganmu. Percayalah, kau yang sudah demikian baik kepadaku ini ingin pula kubalas budimu itu...!"

"Adik Bi...!" Pek Hong terpekik untuk kedua kalinya. "Apa yang kau katakan ini Kau... kau hendak membagi cinta denganku?"

"Kalau pemuda itu mencintaiku, enci. Kalau ada timbal balik di sini, dan tentu saja kalau kaupun juga setuju..."

"Ohh...!" Pek Hong menjerit hampir tak percaya dan tiba-tiba dia menubruk Ceng Bi dengan isaknya yang sesenggukan. Ucapan yang demikian penuh kejujuran dan amat tulus itu menusuk perasaannya, dan Pek Hong mendekap Ceng Bi dengan tangisnya yang berguncang-guncang. Tapi sejenak saja hal itu terjadi, karena tiba-tiba murid Ta Bhok Hwesio ini seperti orang tersentak dan sekonyong-konyong mendorong tubuh Ceng Bi.

"Ada apa, enci...?"

Pek Hong terbelalak gemetar. "Tidak... tidak apa-apa, adik Bi... aku hanya terpukul oleh pernyataanmu yang demikian sungguh-sungguh tadi. Tapi hal itu tidak mungkin terjadi, Bi-moi... tidak mungkin terjadi. Aku sudah mengucapkan ikrar untuk menjadi nikouw (pendeta wanita), dan tidak lagi berani bermain-main asmara setelah cintaku yang pertama gagal!"

"Enci...!"

"Sudahlah, adik Bi..." Pek Hong mengutapkan tangannya. "Kita hentikan dahulu percakapan tentang ini. Itu adalah urusan nanti, dan apa yang hendak digariskan Tuhan biarlah kita lihat saja. Kita sekarang masih terkurung, bagaimana hendak bicara yang melantur tidak karuan?"

Pek Hong mengusap air matanya dan Ceng Bi terkejut. Sadarlah dia sekarang, bahwa agaknya mereka telah hanyut dalam urusan yang tidak ada manfaatnya bila dibicarakan pada saat seperti ini. Maka begitu dia sadar segera Ceng Bi melangkah maju dan mencium pipi temannya itu.

"Enci Hong, kau benar. Kita hampir membicarakan hal-hal yang belum diketahtui kelanjutannya. Kalau kita tewas sebelum keluar bagaimana pembicaraan kita tadi tidak dapat dikata menggelikan? Aih, sudahlah, aku rupanya mabok tidak karuan, enci, dan kuharap kau tidak menegurku lagi...!" gadis itu tertawa manis.

Dan Pek Hong tersenyum kecil. Mata yang basah kini sudah kering kembali, dan Pek Hong memandang puteri Ciok-thouw Taihiap itu dengan penuh keharuan. Betapa polosnya gadis ini, dan betapa mulia hatinya! Pek Hong berbisik di dalam hati dan tiba-tiba sebuah rencana timbul di pikirannya.

"Adik Bi. apakah kau sudah lama terkurung di sini?"

"Baru tiga hari, enci?"

"Dan yang memberimu makan minum?"

"Orang she Kam itu, Jing-ci-touw Kam Sin!"

"He, si Copet Seribu Jari...?!?''

Ceng Bi mengangguk dengan muka merah. "Ya, si penipu berakal panjang itu enci, dia yang dulu kau cari-cari di luar kota Bun-ki."

"Oh, dan kau kenal dengannya, adik Bi?"

"Sudah semenjak lama, waktu perjumpaan kita yang pertama kali di padang rumput itu."

"He, tapi waktu itu dia tidak ada, kau?"

"Aku membohongimu, enci, dia bersembunyi di atas pohon. Aku melindunginya karena permintaannya yang ketakutan...."

"Ahh...!" Pek Hong terkejut dan Ceng Bi tampak merah mukanya karena malu.

"Maaf, enci," demikian Ceng Bi berkata. "Aku tidak tahu waktu itu siapa sebenamya Jing-ci-touw itu. Dan karena kita sendiri juga belum saling kenal maka aku juga telah berhasil ditipunya. Hem, nanti kalau kita tangkap dia kita bunuh saja si copet busuk itu...!"

Tapi Pek Hong tiba-tiba tersenyum lebar. "Ah, tidak perlu kita bunuh dia, adikku, kita masih memerlukan tenaganya. Dia disuruh majikannya, dan semua tindak-tanduknya itu berdasarkan perintah orang lain belaka. Sudahlah, sekarang kita atur rencana kita untuk meloloskan diri dari sini. Apa akalmu?"

Ceng Bi memandang lampu minyak yang bergoyang di sudut ruangan. "Tadinya aku bermaksud mempergunakan lampu itu untuk menipunya, enci, tapi karena kau sudah ada di sini biarlah kita pergunakan akal lain saja. Enci sebaiknya bersembunyi di sudut ruangan sana, dan aku pura-pura memanggil orang she Kam itu untuk minta minuman hangat. Nah, pada waktu dia masuk itulah enci menotoknya roboh dengan tiba-tiba, dan aku sendiri yang akan duduk di tengah ruangan ini pasti tidak akan membuatnya curiga. Bagaimana, enci Hong?"

Pek Hong berseri mukanya. "Bagus, akalmu itu dapat diandalkan, adik Bi, dan aku yakin kita pasti berhasil. Lakukanlah, aku mulai saja bersembunyi di sana!"

Pek Hong sudah melompat di sudut ruangan dan Ceng Bi yang melihat temannya ini sudah siap sekonyong-konyong menyambar kelenengan di atas meja dengan muka sedikit tegang. Dengan benda inilah dia biasanya memanggil Jing-ci-touw Kam Sin, dan si Copet Seribu Jari itu biasanya juga cepat datang. Maka begitu kelenengan diangkat segera Ceng Bi membunyikannya sebagai isyarat panggilan. Dan benar saja, kepala orang she Kam itu tiba-tiba nongol di lubang jendela dengan mukanya yang keheranan.

"Ada apa, Souw-lihiap? Tumben betul malam-malam begini kau membunyikan kelenengan. Apakah ada keperluan?"

Ceng Bi mengangguk. "Ya, aku haus, Jing-ci-touw, ingin minuman hangat untuk pengusir malam yang dingin ini...!"

"Hem, baiklah, harap lihiap tunggu sebentar!" copet itu tampaknya tidak curiga dan sekejap kemudian kepalanyapun lenyap kembali di balik lubang tadi yang segera menutup dengan sendirinya. Ceng Bi menunggu tegang, dan dia saling berkedip dengan Pek Hong. Waktu yang dinanti serasa tidak sabar dihabiskan, tapi beberapa saat kemudian terdengarlah langkah-langkah kaki di luar pintu batu itu. Jing-ci-touw kembati nongol untuk melihat di mana Ceng Bi berada, dan setelah merasa tenang bahwa gadis itu tetap duduk di tengah ruangan dia lalu menekan tombol pintu rahasia untuk akhirnya masuk sambil tertawa-tawa.

"Ha-ha, kubawakan arak, Souw-lihiap. Kau suka minuman ini, bukan?" copet itu berkata dengan mukanya yang berseri gembira dan Ceng Bi cepat-cepat memberinya senyum manis.

"Ah, terima kasih, Jing-ci-touw, kau memang laki-laki yang pandai melayani orang. Taruhlah di atas meja itu!"

Si Copet Seribu Jari ini tampak gembira. dan dengan cepat dia melangkah masuk bersama arak yang dibawanya itu. Tapi baru dia melangkah lima tindak sekonyong-konyong angin dingin berkesiur di belakang tubuhnya. Copet ini nampak terkejut, dan dia membalikkan tubuh. Namun terlambat. Pek Hong telah menyergapnya secepat kilat dan sebelum dia tahu apa yang terjadi tiba-tiba saja jalan darah Kai-hu-hiat di pundak kirinya tertotok orang.

"Tukk... uhh !" copet she Kam itu tak sempat mengelak dan dia terguling roboh dengan mata mendelik. Lalu ketika Pek Hong telah berdiri di mukanya dan dia melihat siapa penyerang gelapnya itu mendadak saja pencopet ini berseru kaget, "Kau...?!"

Namun Pek Hong tidak memberinya banyak bicara. Begitu orang baru berteriak satu kata ini saja murid Ta Bhok Hwesio itu tahu-tahu telah menendang urat gagunya di leher atas. Itulah jalan darah Ya-hiat, maka begitu ditotok dengan ujung sepatu kontan saja orang she Kam ini menjerit tertahan dan kelu lidahnya!

"Hi-hik, bagus, enci, itu pelajaran yang cocok untuknya...!" Ceng Bi sudah melompat banguh sambil tertawa dan Jing-ci-touw yang sadar dikelabui lawan-lawannya itu terbelalak ngeri. Dia memandang dua orang gadis itu berganti-ganti, dan Pek Hong yang gemas terhadap copet yang banyak akal ini tiba-tiba mencabut pedangnya.

"Orang she Kam, apakah kau ingin merasakan mati di ujung pedang? Nah, katakan sekarang, kau ingin hidup atau mati di tangan kami?!" gadis itu menekan ujung pedangnya di leher si tukang copet ini dan Jing-ci-touw Kam Sin tampak menggigil pucat.

"Oh, tidak… ti... dak… uh...!" Jing-ci-touw Kam Sin sukar bicara dan copet itu menggelengkan kepalanya berkali-kali.

"Hem, kau minta hidup?"

Copet Seribu Jari ini menganggukkan kepala dengan keringat sebesar jagung yang menetes-netes di atas dahinya.

"Baiklah, kalau begitu antarkan kami keluar dari ruangan bawah tanah ini. Kalau kau jujur, kami memberimu hidup. Tapi kalau kau main gila tentu kepalamu ini kupenggal putus!"

Pek Hong berkata sungguh-sungguh dan Jing-ci-touw Kam Sin yang dapat merasakan kesungguhan ucapan int menjadi ngeri. Dia terbelalak penuh rasa gentar terhadap murid Ta Bhok Hwesio itu, dan, Ceng Bi yang melihat copet ini menyatakan janjinya tiba-tiba mendupak. punggungnya.

"Orang she Kam, hayo jalan kalau begitu, jangan ndomblong saja...!"

Bentakan yang disertai dupakan itu kiranya membebaskan jalan darah kelumpuhan pada tubuh Copet Seribu Jari ini karena tiba-tiba dia dapat menggerakkan kaki tangannya kembali. Karena itu, copet ini lalu bangun berdiri dan akhirnya dengan todongan pedang di belakang punggung dia berjalan tersaruk-saruk keluar gua bawah tanah itu menuju tempat bebas dengan muka gemetar.

Lampu minyak yang ada di dalam ruangan kini dipegang di tangan kanannya, dan Pek Hong serta Ceng Bi yang selalu menjaga tawanan mereka itu tampak mengikuti dengan penuh kewaspadaan. Kaki copet itu diikat, yang kiri tali pengikatnya dipegang Ceng Bi sedangkan yang kanan tali pengikatnya dipegang Pek Hong. Maka jadilah si Copet Seribu Jari itu seorang tawanan yang benar-benar sial. Karena melarikan diri jelas sudah tidak mungkin lagi, sedangkan kalau ada apa-apa di bagian depan sana tentulah dia yang bakal jadi korhan duluan!

Tapi Jing-ci-touw Kam Sin ini rupanya tidak berani main gila. Ujung pedang yang selalu melekat di kulit lehernya itu membuatnya jerih. Dan dengan penuh kejujuran dia mengantar dua orang "tamunya" itu keluar. Malam yang gelap tidak menjadikan halangan, dan jalan yang berkelak-kelokpun juga tidak membuat mereka menemui kesulitan. Jing-ci-touw Kam Sin yang sudah hapal dan lampu minyak yang berada di tangannya itu cukup merupakan bantuan yang dapat dipercaya. Sampai akhirnya, setelah satu jam lebih berjalan di lorong bawah tanah itu tibalah mereka di mulut gua yang terang oleh sinar bulan pumania di langit yang hitam.

"Hem, kita sudah sampai. Jing-ei-touw?"

Copet itu mengangguk. Dia masih belum mampu bicara lancar karena totokan di urat gagunya. Karena itu Pek Hong lalu membalik senjatanya dan dengan gagang pedang disodokkan ke leher menotok pulih jalan darah Ya-hiat di tengkuk si tukang copet ini.

"Uhh...!" Jing-ci-touw mengeluh perlahan dan dengan mulut meringis dia mengejap-ngejapkan mata. "Aku boleh bebas. nona?"

Pek Hong mendengus. "Bebas apanya? Kami masih belum tahu mana barat mana timur, siapa bilang bebas? Kau baru mengeluarkan kami dari lorong bawah tanah. Jing-ci-touw. tapi ini belum berarti kebebasan penuh bagi kami. Hayo jalan terus sampai kami tiba di luar hutan….!"

Gadis itu mendorong copet ini dan Jing-ci-touw terbelalak kaget. Ada bantahan hendak diserukan iewat mulutnya. tapi melihat pandangan Pek Hong yang bengis kepadanya copet ini lalu tidak berani banyak bicara lagi. Sinar mata gadis itu cukup mengerikan hatinya, maka diam-diam dia hanya mengumpat di dalam hati.

Sementara itu Pek Hong yang melihat laki-laki ini hendak membantah dengan sikap tidak senang tiba-tiba sudah menghardiknya dingin, "Kau hendak menggerutu apa, Jing-ci-touw? Mau berontak, ya?"

Copet itu tergagap kaget. "Eh... oh… tidak, nona…. tidak! Siapa mau memberontak kepadamu?"

"Sinar matamu itu, kau nampak tidak senang. Mengapa hendak menyangkal?"

Jing-ci-touw nampak terkejut. Sejenak dia terbelalak kepada penawannya yang galak ini namun tiba-tiba Pek Hong telah mendupak pinggulnya. "Hayo jalan, kenapa berhenti?"

"Plakk...!" Jing-ci-touw nampak meringis dan dengan langkah tersaruk-saruk dia berjalan cepat tanpa berani menoleh lagi. Gadis yang amat tajam perasaannya itu benar-benar membuatnya jerih, maka tanpa banyak cakap lagi diapun membawa mereka menerobos semak belukar.

Kini lampu minyak sudah tidak dipakai lagi. Bulan yang bundar di atas sana cukup menerangi jalan, maka dengan cepat akhirnya mereka berhasil juga mencapai tepian hutan. Pek Hong dan Ceng Bi tetap memegangi tali pengikat lawan, sementara pedang di tangan murid Ta Bhok Hwesio itu tetap menodong di leher si copet yang sial. Jing-ci-touw tergesa-gesa, sedangkan dua orang gadis cantik di belakangnya itu saling memberi isyarat untuk bersikap waspada.

Sampai akhirnya, setelah mereka keluar dari hutan pohon pek yang rapat berhentilah si copet she Kam itu. "Kita sudah sampai, nona," demikian dia berkata, "apakah aku boleh kembali?"

Pek Hong tertawa mengejek. "Ha, kau minta bebas, Jing-ci-touw?"

Laki-laki itu mengangguk. "Kalau nona mengijinkan...!"

"Hm, manis juga kata-katamu ini. Tapi apakah kau betul-betul ingin cepat kembali. Jing-ci-touw?"

Pertanyaan aneh disertai pandangan sedingin es itu menggetarkan nyali si tukang copet ini. Dia merasakan sesuatu yang tidak enak, dan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dengan tubuh gemetar, "Nona Hong, harap kau suka mengampuni segala dosa-dosaku. Apakah pengorbananku ini tidak cukup?"

Tapi Pek Hong tiba-tiba menempelkan mata pedangnya di punggung lawan. "Jing-ci-touw!" gadis itu membentak. "Tahukah kau segala akibat yang kuterima gara-gara perbuatanmu yang curang?"

Copet she Kam itu menggigil. "Ampun, Hong lihiap, apa maksud ucapanmu ini...?"

Pek Hong tampak gusar. "Keparat she Kam, masih juga kau hendak berpura-pura di depanku?" gadis 'itu tiba-tiba menggurat ujung pedangnya dan Jing-ci-touw menjerit tertahan ketika mata pedang melukai kulitnya!

"Aduh, ampun, lihiap...!" laki-laki ini berteriak dan Pek Hong menyentak talinya.

"Hayo berdiri, ceritakan semua perbuatanmu itu agar didengar oleh nona Ceng Bi sebagai saksi!"

Laki-laki itu tampak pucat dan Ceng Bi melihat sesuatu yang agak menegangkan di sini. Heran dia, apa sebenamya yang dimaksud oleh temannya itu? Dan melihat kemarahan yang mulai berkobar pada sinar mata murid Ta Bhok Hwe-sio itu gadis ini menjadi tertegun. Jing-ci-touw tampak ketakutan, dan mukanya yang penuh keringat sebesar kedelai itu amat mengibakan sekali.

Maka Ceng Bi lalu melangkah maju. "Enci Hong, apakah kau hendak menyiksa orang ini?"

"Hm, disiksa sampai matipun sebenarnya belum cukup, adik Bi, karena gara-gara dialah aku dikejar-kejar orang banyak!" Pek Hong menjawab gemas dan Ceng Bi terbelalak.

"Eh, maksudmu, enci?"

"Tanyakan pada keparat busuk itu, Bi-moi, dan kaupun tentu akan segera tahu!"

"Ahh...!" Ceng Bi lalu menoleh pada si copet she Kam. "Jing-ci-touw, apa yang kau lakukan pada enci Hong?"

Tapi copet ini menggeleng kepala keras-keras. "Tidak... tidak ada sesuatu yang kulakukan padanya, Souw-lihiap... tidak ada... kecuali mungkin sakit hatinya ketika siauw-pangcu menangkapnya di luar Puri Naga...!"

Pek Hong melompat marah. "Kau masih hendak menyembunyikan rahasia, copet busuk? Kau tidak mengaku tentang kematian Hoa-san Lojin serta dua orang muridnya?" gadis itu mencengkeram leher Jing-ci-touw Kam Sin dan laki-laki yang dicekik gemas ini menggelepar.

"Aughh… lepaskan. Hong-lihiap... Lepaskan.... Itu... itu bukan perbuatanku, ohh…. dia berteriak-teriak dan Pek Hong menampar pipinya dua kali. "Plak-plak! Jing-ci-touw mengeluh pendek dan copet itu roboh terjengkang.

"Hm, jangan menyimpan tipu busukmu itu, orang she Kam, aku sudah tahu. Hanya karena ingin adik Bi menjadi saksi sajalah kau harus bicara di depan kami. Hayo bangun, dan ceritakan semua perbuatanmu yang didalangi oleh dua orang pemimpinmu itu...!" Pek Hong menyendal talinya dan copet Hiat-goan-pang ini terbanting.

Dengan muka sepucat mayat Jing-ci-touw Kam Sin merangkak bangun, lalu dengan pipi bengkak dia memandang dua orang gadis itu de-ngan kakinya yang gemetaran keras. "Hong-lihiap, ampunkan aku… aku tidak berani bicara…!" dia menjawab dengan suaranya yang menggigil dan Pek Hong naik darah.

"Hm, kalau begitu kau minta kubunuh, orang she Kam?"

Aneh, copet itu tiba-tiba mengangguk! Maka Ceng Bi dan Pek Hong tak ayal lagi menjadi bengong oleh pernyataan copet ini.

"Apa, kau berani menghadapi maut di tanganku, orang she Kam?" Pek Hong yang seakan tak percaya itu menghardik bengis namun lawan ternyata mengulang anggukannya.

"Jauh lebih baik mati di tanganmu daripada mati di tangan pemimpinku, Hong-lihiap!" demikian laki-laki itu berkata lantang dan untuk ja-waban ini Pek Hong berdua jadi tertegun.

Tapi murid Ta Bhok Hwesio ini masih kurang yakin. Melihat bahwa Jing-ci-touw Kam Sin rupanya bicara serampangan untuk membuktikan keberaniannya maka tiba-tiba ia melekatkan pedangnya di telinga copet itu. "Jing-d-touw Kam Sin!" Pek Hong membentak. "Benarkah kau tidak takut mati di tangan kami? Bagaimana kalau kukutungi dahulu telingamu yang membandel ini?"

Tapi copet itu lagi-lagi menganggukkan kepalanya. "Boleh, lihiap, bahkan kau kutungi leherkupun aku tidak mengelak!"

Ceng Bi tettegun bukan main namun Pek Hong serasa ditantang mendengar kata-kata tegas itu. Kemarahannya naik, dan Jing-ci-touw Kam Sin yang memandangnya penuh ketabahan itu dianggapnya amat menghina. Maka begitu kegusarannya memuncak sekonyong-konyong ia memhentak,

"Orang she Kam, kalau betul kau berani terimalah hajaran dariku ini. Tapi kalau kau omong kosong belaka mengelaklah. Awas! Tanpa ragu-ragu Pek Hong mengelabatkan pedangnya dan sinar putih yang menyilaukan mata menyambar telinga kanan copet she Kam itu. Tapi sungguh mengejutkan, copet itu benar-benar tidak mengelak. Dan Pek Hong yang sudah terlanjur memberikan ancamannya itu tidak dapat menahan pedangnya lagi. Senjata yang menyambar terus berkelebat, dan telinga orang she Kam itupun tak dapat diselamatkan.

"Prass !" telinga copet itu terbabat buntung dan Jing-ci-touw Kam Sin menjerit lirih satu kali. Benda selebar daun nangka jatuh terlempar, dan Pek Hong tertegun dengan mata terbelalak.

"Ha-ha, terima kasih, Hong-lihiap, itu memang hukuman yang pantas bagiku….!"

Copet itu malah tertawa dengan mulut yang menyeringai pedih dan Ceng Bi yang sejak tadi menyaksikan semuanya ini dari samping menjublak bengong Sungguh tidak dinyana kenekatan laki-laki itu, dan bukti bahwa dia lebih berani menghadapi maut di tangan Pek Hong di-banding di tangan ketua Hiat-goan-pang sendiri benar-benar menunjukkan sikap telengas dari ketua Perkumpulan Gelang Berdarah itu. Maka dia akhimya geleng-geleng kepala dan Jing-ci-touw Kam Sin yang berlumuran darah di sisi kepala-nya itu memungut potongan telinganya.

"Hong-lihiap, apakah sekarang aku boleh bebas?" tubuh laki-laki itu bergoyang seperti orang mabok namun Pek Hong mengeraskan hati.

"Tidak, orang she Kam, kau tidak boleh pergi! Penderitaan yang kualami jauh lebih berat dibanding hukuman potong telingamu itu. Kalau kau tidak mau bicara selamanya kau harus ikut aku untuk kuhadapkan pada kaum pendekar sebagai pencuci dosa!"

"Ahh!" Jing-ci-touw Kam Sin terkejut dan laki-laki itu tampak terkesiap. Namun sebelum ia membantah sesuatu tiba-tiba Pek Hong telah berkelebat di depannya. Dua jari yang lurus runcing menotoknya roboh, dan Pek Hong yang telah melumpuhkan lawannya itu sekonyong-konyong menyambar pula lengan Ceng Bi sambil berseru perlahan,

"Adik Bi, bersembunyi. Ada orang datang...!"

Ceng Bi terkejut namun tidak mengelak. Seruan temannya yang drucapkan tergesa-gesa itu justeru membuat ia heran tapi baru mereka menyelinap mendadak saja telinganya mendengar suara orang bercakap-cakap disusul munculnya empat buah bayangan di muka hutan! Aih, Ceng Bi tertegun dan diam-diam ia memuji ketajaman telinga murid Ta Bhok Hwesio itu.

Tapi Pek Hong yang sudah lebih dulu mengetahui kedatangan orang-orang ini tampak memandang tajam. Tiga orang wanita cantik dan seorang laki-laki tampan yang disinari bulan purnama itu tampak memasuki hutan, dan mereka yang berjalan cepat sambil tertawa-tawa gembira itu akhirnya dapat dipandang jelas. Ternyata mereka adalah orang-orang berkepandaian tinggi dan kaki mereka yang menyentuh ringan di atas tanah tanpa menimbulkan suara berkeresek itu membuktikan ilmu meringankan tubuh yang lihai.

Dan kini empat twang itu sudah berada dt depan mata. Ceng Bi dan Pek Hong yang tidak mengenal hanya mengawasi pendatang baru itu dengah sikap hati-hati namun Jing-ci-touw Kam Sin yang rupanya mengenal baik tiba-tiba sudah berseru dengan suaranya yang keras mengejutkan dua orang gadis ini,

"Sam-kouwnio (tiga wanita cantik)"

Tentu saja serentak empat orang itu memutar tubuh dan Pek Hong yang marah terhadap seruan Copet Seribu Jari itu menggaplok muka lawan, "Orang she Kam, siapa suruh kau membuka mulut? Keparat, kau sungguh kurang ajar sekali… plakk!"

Jing-ci-touw Kam Sin terlempar dan copet itu berteriak mengaduh. Pek Hong kini tidak menyembunyikan diri lagi, dan dengan muka merah ia melompat keluar. Perbuatannya itu diturut pula oleh Ceng Bi dan empat orang yang sudah berhadapan dengan mereka itu tampak tertegun.

"He, kau Jing-ci-touw ?" seorang diantara tiga wanita cantik itu berseru keheranan dan dia tiba-tiba melayang ke dekat si tukang copet ini.

Jing-ci-touw tampak menggigil tapi tiba-tiba dia memberi hormat "Maaf, cap-it-pangcu, aka ditangkap dua orang gadis itu dan mereka lobos dari ruang bawah tanah Siauw-pangcu yang menawan mereka tapi entah bagaimana mereka itu tiba-tiba bolos setelah merobohkan diriku...!"

Copet ini menuding Pek Hong dan Ceng Bi yang berdiri dengan mata bersinar-sinar dan tiga orang wanita cantik itu mendadak berseru kaget. Mereka serentak memandang dua orang gadis itu dan dua yang lain tiba-tiba melompat maju dengan sikap mengurung.

"Kalian siapakah?" seorang antara mereka yang berpakaian hitam tiba-tiba membentak nyaring kepada Pek Hong namun sebelum Pek Hong menjawab sekonyong-konyong Jing-ci-touw Kam Sin berteriak memberi tahu,

"Sam-kouwnio, mereka adalah tawanan-tawanan penting. Yang tinggi langsing itu adalah murid Ta Bhok Hwesio sedangkan yang berbaju merah adalah puteri Ciok-thouw Taihiap, none Souw Ceng Bi...!"

"Ahh...!" empat seruan berbareng ini membuat empat orang itu tertegun dan pemuda tampan yang sejak tadi tak membuka suara itu kini tiba-tiba memandang Ceng Bi dengan mata terbelalak. Dia tampak terkejut tapi Ceng Bi yang tidak mengenal itu memandang dengan sikap dingin-dingin saja sementara tiga wanita cantik yang telah maju mengurung tiba-tiba mencabut gelang-gelang tembaga.

"Hm, kau puteri Ciok-thouw Taihiap, pengacau cilik?" si baju hitam menatap Ceng Bi tapi Ceng Bi tersenyum mengejek. Gadis ini tidak menjawab pertanyaan itu melainkan menoleh ke arah Jing-ci-touw Kam Sin.

"Eh, copet she Kam, apakah wanita-wanita liar ini teman-temanmu?"

Jing-ci-touw Kam Sin melotot. "Mereka adalah ketua-ketua cabang perkumpulan Hiat-goan-pang, Souw-lihiap, jangan memandang rendah!"

Namun Ceng Bi mendengus dengan sikap menghina. "Hm, pantas kalau begitu. Kekurang-ajarannya sama denganmu, orang she Kam, tidak tahu adat dan kasar seperti wanita jalang…!"

Ceng Bi tiba-tiba melayang ke atas pohon dan mematahkan sebuah dahan lalu melompat turun lagi. "Apakah kalian mau mengeroyok berbareng? Nah, majulah kalau begitu, aku siap melayani kalian!"

Sikap Ceng Bi yang amat tinggi hati ini membuat tiga orang wanita itu mendelik dan si baju hitam yang tadi menegur Ceng Bi menggigil tangannya. Dia ini merasa seakan-akan ditampar, karena ejekan Ceng Bi yang menyebutnya sebagai wanita jalang itu sungguh mengena sekali pada sasarannya. Tapi sebelum dia maju bergerak sekonyong-konyong yang memakai baju merah muda menahan lengannya. Wanita itu tersenyum manis, namun sinar matanya yang berkilat keji tidak menunjukkan sikapnya yang bersahabat.

"Souw Ceng Bi, kau sungguh besar kepala seperti ayahmu itu. Apakah kau tidak mengenal kehebatan Perkumpulan Gelang Berdarah? Sekali kami turun tangan kau pasti tinggal nama saja. Akan tetapi mengingat bahwa Hu-pangcu kami yang menangkapmu maka sebaiknya kau menyerah saja. Kami kakak beradik Sam-hek-bi-kwi (Tiga Mawar Hitam) masih memberimu kesempatan, karena kalau kau mau menyerah baik-baik kaupun pasti selamat. Apakah kau tidak mau melihat kenyataan ini?"

Ceng Bi tertawa dingin. "Sam hek-bi-kwi, sebaiknya kailan maju saja, jangan banyak bicara. Aku sudah muak melihat tampang orang-orang Hiat-goan-pang yang suka berbuat curang itu. Nah, majulah, jangmuluentang mulut. Kalau perlu temanmu yang membelalak di pinggir itu suruh sekalian membantu saja. Aku tidak takut….!"

Ceng Bi menuding si pemuda tampan karena mengira pemuda itupun tentu orang Hiat-goan-pang sedangkan yang dituding tiba-tiba berubah pucat. Pemuda ini memang sedang terbelalak di luar Iingkaran, dan pandangan Ceng Bi yang sinis dingin kepadanya itu membuat dia tertegun.

Tapi si baju hitam tiba-tiba berteriak, dan dia yang tidak lagi dapat menahan diri itu seko-nyong-konyong berkelebat maju dengan sepasang gelang menghantam mulut Ceng Bi. Wanita ini rupanya marah bukan main, dan tantangan Ceng Bi yang dirasa amat merendahkan itu menjadikan dia naik pitam. Maka sekali serang dia hendak menghancurkan mulut Ceng Bi yang dirasa terlatu tajam.

Tapi Ceng Bi tentu saja tidak mau diserang begitu saja. Meiihat si baju hitam memekik sambil menggerakkan sepasang gelangnya iapun tiba-tiba mengelak dan sekaligus balas menyerang. Gelang yang menyambar muka dikelit ke samping dan sementara benda itu lewat di depan hidungnya dia tiba-tiba menusukkan ranting ke leher lawannya sedangkan kaki kanan diangkat untuk menendang ulu hati si baju hitam.

"Plak-dukk...!"

Serangan yang dibalas tangkisan itu membuat keduanya berseru perlahan dan Ceng Bi serta lawannya terdorong mundur. Si baju hitam bergetar lengannya bertemu kaki Ceng Bi sedangkan lengan Ceng Bi terpental ketika bertemu lengan lawan dalam tusukan rantingnya tadi. Mereka berdua sama-sama terkejut, tapi si baju hitam yang melihat ejekan kecil pada senyum Ceng Bi itu sudah melengking lagi dan menerjang dengan senjatanya.

Kini mereka berdua saling berkelebat dalam serang-menyerang yang cepat dan Ceng Bi yang mendapat kenyataan bahwa lawannya itu cukup tangguh diam-diam kembali mengumpat di dalam hati. Selama turun gunung, selalu saja ia bertemu lawan kuat, dan sialnya, mereka itu kebetulan orang-orang dari Perkumpulan Gelang Berdarah. Setan! Ceng Bi mengertak gigi dan de-ngan gemas la melayani lawan yang bertubi-tubi menyerang itu dengan permainan rantingnya dalam Ilmu Pedang Cui-mo Kiam-sut disertai totokan-totokan di sana-sini.

Maka terjadilah pertandingan menegangkan di antara dua gadis cantik itu dan Pek Hong yang melihat salah seorang teman si baju hitam tampak melangkah maju hendak mengeroyok Ceng Bi tiba-tiba sudah melompat ke depan. Gadis ini menyilangkan pedang di depan dada dan dengan suara bengis ia membentak, "Sam-hek-hi-kwi, jangan berbuat curang. Kalau mau menge-royok kerubutlah aku...!" dan orang yang di-bentak tiba-tiba menghentikan langkahnya.

Dia ini adalah si wanita cantik nomor dua. yang mengenakan pakaian merah muda, dan mendengar bentakan Pek Hong itu ia tersenyum mengejek, "kau murid si keledai gundul itu enci yang manis? Ah, pantas kalau begitu aku ingin menjajal kepandaianmu. Apakah kau biasa memakai pedang? Nah, mari kita main-main sebentar kalau begitu. Lihat dalam berapa jurus aku akan merobohkanmu!"

Wanita itu tertawa mengejek dan sepasang gelang di tangannya diputar-putar membentuk lingkaran lebar dan sekonyong-konyong dia menyerang Pek Hong dengan timpukan gelang di tangan kiri! "Siutt …!" gelang itu menyambar kening Pek Hong dan Pek Hong yang diserang tanpa pemberitahuan lehih dahulu ini terkejut sekali. Dia memaki kecurangan lawan dan pedang di tangannya bergerak ke atas.

"Trangg...!" gelang itu membalik dan tahu-tahu telah kembali pada tangan kiri si wanita cantik yang terkekeh gembira. "Hi-hik, kau tangkas, enci yang manis !" dia memuji.

"Dan kau curang, siluman betina...!" Pek Hong membalas.

Tapi lawannya itu hanya tersenyum saja dan Pek Hong yang kini tahu bahwa di lingkaran gelang itu terdapat seutas talinya yang amat halus sekarang menjadi lebih berhati-hati lagi. Dia sekelebatan melihat adanya sinar yang keperakan pada waktu gelang itu ditimpukkan, dan rupanya itu adalah sejenis tali yang terbuat dari baja halus. Maka diam-diam ia lalu meraba kantong senjata rahasianya dan maklum bahwa orang-orang dari Perkumpulan Getang Berdarah itu rupanya tidak segan-segan untuk melakukan kecurangan iapun lalu bersiap-siap dengan penuh kewaspadaan.

Wanita cantik berbaju merah muda itu sudah melangkah maju, dan lenggangnya yang agak dibuat-buat itu membuat Pek Hong mengerutkan alis. Melihat gerak-geriknya agaknya wanita ini seorang hamba nafsu berahi. Dan sinar matanya yang berkilat penuh akal licik itu menunjukkan kekejiannya yang berhahaya. Tapi Pek Hong tidak gentar. Sudah mulai banyak ia "berkenalan" dengan orang-orang dunia hitam, karena itu ia menjadi waspada. Dan wanita cantik yang sudah berdiri di depannya itu dihadapi dengan tenang.

"Kau sudah siap, enci?" wanita itu tersenyum mengejek.

"Tidak usah berpura-pura, siluman betina. Majulah...!"

"Hm, bagus kalau begitu. Lihat serangan...!" belum habis ucapan ini diserukan tahu-tahu tubuh wanita itu sudah berkelebat ke depan. Gelang di tangan kanan menyambar dada Pek Hong sedangkan gelang di tangan kirinya melesat menyambar pelipis kanan.

Pek Hong mendengus, dan gadis ini tiba-tiba menggeser kaki ke belakang satu tindak. Gelung yang menyambar dada ditangkis pedang sedangkan yang menghantam pelipisnya dikelit sedikit. Maka terjadilah bentrokan nyaring pada gebrakan pertama ini.

"Trangg…..!"

Pedang bertemu gelang dan wanita cantik itu memekik kaget. Gelang di tangannya terpental sedangkan ujung pedang di tangan lawannya tahu-tahu mluncur menyambar teuggorokannya!

"Aih...!" wanita itu berseru lirih dan kaki kanannya tiba-tiba diangkat secepat kilat menendang ke atas.

"Dukk...!" Pergelangan Pek Hong bertemu ujung sepatu dan murid Ta Bhok Hwesio itu terkejut. Kecepatan lawan dalam mematahkan serangannya ini sungguh mengagumkan, dan mau tak mau ia berseru memuji,

"Bagus...!" Pek Hong menyatakan kekagumannya ini dan tiba-tiba ia melengking keras. Pedang yang ditangkis terpental mendadak ia putar setengah bagian, lalu diiringi bentakan pendek gadis itu sudah berkelebat ke depan mendahului serangan lawan. Senjata di tangan menusuk empat kali berturut-turut ke arah pusar sampai ke atas leher sedangkan tangan kirinya masih ikut digerakkan menampar pelipis dengan tamparan maut.

"Ihh...!" wanita cantik itu terkejut marah dan ia membelalakkan mata. Tusukan pedang yang bertubi-tubi ditangkis dengan gelangnya sementara tamparan ke pelipis dikelit dengan cara menundukkan kepala ke bawah. Maka terjadilah benturan nyaring untuk kedua kalinya dalam pertemuan dua senjata itu yang mengakihatkan bunga api muncrat berhamburan.

"Crang-crang-crang-crang!"

Pedang dan gelang sama terpental akan tetapi Pek Hong sudah menyusuli lagi serangannya yang gagal ini. Dia tidak mengurangi kecepatan geraknya, malah kini gadis itu menerjang semakin gencar. Pedang yang ditangkis sudah berkelebatan menyambar-nyambar, dan tikaman serta bacokannya yang bertubi-tubi tampak berkiatan saling susul seperti layaknya gelombang samodra. Gaya serangannya ini mirip lingkaran rantai putih, berkeredep keperakan dalam tusukan cepat atau sabetan meliuk naik turun, dan lawannya si wanita baju merah itu dibuatnya kebingungan untuk mengikuti apa sebenarnya aliran ilmu pedang murid Ta Bhok Hweslo itu.

Dan hal ini memang tidak terlalu mengherankan. Pek Hong sebenarnya terbiasa dalam permainan rantai peraknya, akan tetapi karena senjata kebiasaannya itu diambil siauw-pangcu dari perkumpulan Hiat-goan-pang itu waktu dia tertangkap maka sebagai gantinya ia memakai pedang ini. Senjata itu ia dapatkan di ruang bawah tanah, milik seorang penjaga yang diam-diam berhasil ia robohkan.

Karena itu, dalam menghadapi lawan dalam keadaan darurat ini ia mainkan pedang seperti orang mainkan rantai dan wanita baju merah yang belum mengenal sifat permainan ilmu silatnya itu dibuat kaget berkali-kali. Pedang yang berseliweran menyambar tiada ubahnya seperti badai yang mengamuk di atas sebuah samodra, dan ginkang cepat yang dikerahkan Pek Hong seperti walet liar menyambar-nyambar itu sungguh membuat si wanita cantik menjadi pucat.

Murid Ta Bhok Hwesio itu seakan-akan tak memberinya kesempatan untuk melonggarkan napas, dan sepasang gelang di tangannya yang dikurung gulungan pedang yang amat rapat itu membuatnya marah. Pek Hong seakan-akan hendak main cepat dalam pertandingan ini, bermaksud merobohkannya dalam jangka waktu pendek dan dia yang sama sekali didesak hingga sulit untuk bernapas itu memekik gusar. Lawan Pek Hong ini naik pitam, dan gelang di tangannya mulai berkerincingan nyaring saling bentur.

Pedang lawan yang menusuk bertubi-tubi disambut tangkisan gelang, dan setiap kali bentrokan itu terjadi pastilah si wanita cantik ini menahan pedih. Tangannya linu tergetar dan ia hampir tidak kuat untuk menggigit bibir. Ternyata sinkang lawan memang kuat, dan wanita cantik itu diam-diam mengeluh gelisah. Dia yang tidak diberi kesempatan untuk menerobos kurungan sinar pedang ini diam-diam mulai berpikir kotor, namun karena Pek Hong menggencetnya sedemikian rupa maka ia belum berhasil juga.

Dan Pek Hong memang tidak memberi kesempatan lawan untuk berbuat curang. Murid Ta Bhok Hwesio itu tahu mempergunakan taktik, dan gelang lawan yang diberi tali baja secara diam-diam itu dibuatnya tak berkutik dalam pertandingan jarak dekat. Pek Hong memang cerdik. Dengan cara yang sekarang ini dilakukannya berarti dia telah membuat lawan jadi mati kutu. Gelang-gelang yang dapat dilempar jarak jauh itu kini sama sekali tidak dapat lagi disambitkan. Dan hal inilah yang menjadikan lawannya itu marah sekali!

Wanita baju merah yang seakan-akan dikurung sinar pedang itu tak mampu lagi untuk banyak bergerak Gelang di tangannya hanya dapat dipakai menangkis, sama sekali tak dapat dipakai menyerang. Padahal kedudukan demikian pada sebuah pertandingan sungguh bukanlah hal yang amat menyenangkan. Dan tentu saja semuanya ini membuat kedudukan si wanita haju merah itu tersudut. Serangan Pek Hong yang seperti gelombang pasang ini tiada hentinya menyerbu, dan tekanan demi tekanan mulai membuat lawannya itu berkeringat dingin.

Pek Hong mulai mantap gerakannya, dan pedang yang menusuk serta membacok dalam setiap serangannya itu mulai mendapatkan sasarannya. Pundak si wanita cantik mulai terluka, dan paha kirinya yang juga tergores mata pedang itu menjadikan lawannya ini mengeluh gentar. Tidak tahu dia, bahwa Pek Hong memang telah mainkan ilmu sitatnya yang paling diandalkan selama ini yang disebut Hong-thian-lo-hai-kun (Badai Mengamuk di Samudra) dan dengan ilmu silat inilah murid Ta Bhok Hwesio itu mendapatkan nama di kalangan dunia persilatan!

Maka tentu saja lawannya itu mulai gelisah tidak karuan dan pertemuan senjata yang selalu melumpuhkan tangannya ini sedikit demi sedikit membuat telapak tangannya mulai pecah. Namun wanita baju merah ini ternyata keras hati juga. Posisi yang sudah semakin buruk pada pihaknya itu sama sekali belum membuatnya menyerah, dan Pek Hong yang diam-diam merasa gemas juga terhadap lawan yang bandel ini semakin memperhebat desakannya. Dan lawan yang ditekan sedemikian rupa ini mulal kehabisan napas.

Nyata dalam pertandingan ini bahwa Pek Hong masih menang segala-galanya. Baik sinkang maupun ginkang. Dan wanita cantik yang keras kepala itu mau tak mau harus mengakui pula kenyataan ini. Ia terus didesak hebat, sementara pedang di tangan lawannya berkelebatan menyambar-nyambar seperti topan yang kesetanan. Sampai akhirnya, dalam gulungan pedang yang mempersempit ruang geraknya itu tiba-tiba gelang di tangan kanannya bertemu dengan pedang.

"Trang...!" benturan keras di antara dua senjata itu membuat si wanita cantik berseru kaget. Telapak tangannya yang sudah pecah ternyata kali ini tak dapat menahan pukulan itu. Akibatnya, gelang dalam tangan yang sudah lumpuh itu terlepas sedangkan Pek Hong masih menyusuli lagi dalam satu tikaman tajam ke ulu hatinya.

"Aihh...!" wanita itu menjerit kaget dan tiba-tiba ia membanting diri ke tanah. Pedang yang menyambar lewat di atas perutnya tapi Pek Hong yang menggerakkan kaki menendang tanpa disangka-sangka itu tak dapat dihindarkan mendupak pinggulnya yang baru saja membanting diri.

'Dess!" lawan gadis itu terpental berguling dan gelang satunya yang masih dicekal tiba-tiba ikut terlempar jatuh! Wanita cantik ini menjadi pucat, namun sekonyong-konyong ia berteriak ngeri ketika melihat bayangan Pek Hong memburu ke arahnya dalam satu bacokan maut.

"Gwat-cici...!" wanita baju merah itu menjerit dan Pek Hong yang siap membunuh lawannya ini mendadak berseru kaget. Sebuah gelang sekonyong-konyong menyambar punggungnya dan dia yang siap menurunkan tangan maut itu secepat kilat merendahkan tubuh dan memutar pedang ke belakang.

"Crangg...!"

Tumpukan senjata gelap itu berhasil ditangkisnya baik dan Pek Hong terkesiap kaget. Lengannya yang memegang pedang tergetar keras, dan sebuah bayangan tiba-tiba sudah berkelebat di depannya.

"Hm, kau jangan sembarangan membunuh adikku, murid Ta Bhok Hwesio, karena masih ada aku encinya di sini...!" bentakan ditigin yang disusul gencrangan nyaring dari sepasang gelang yang diadu itu mengejutkan Pek Hong dan ketika gadis ini memandang, kiranya itu bukan lain adalah si wanita terakhir yang tadi berdiri di samping si pemuda tampan. Dia inilah yang dipanggil Gwat-cici, dan Pek Hong yang melihat lawan sudah maju berdua itu cepat bersiap dengan ketawanya yang mengejek.

"Hm, kau rupanya orang tertua dari Sam-hek-bi-kwi, siluman betina? Bagus, aku memang mengharapkan kemajuanmu ini. Majulah, dan suruh adikmu itu mengerubut pula...!" Pek Hong menantang dan diam-diam ia melirik pula ke arah si pemuda tampan yang tampak berkerut-kerut alisnya itu.

Dia tidak tahu, siapakah sebenamya pemuda itu. Namun karena datang bersama rombongan Sam-hek-bi-kwi dari Hiat-goan-pang tentu mudah diduga bahwa pemuda itu pastilah orang dari Hiat-goan-pang pula, Setidak-tidaknya, tentu merupakan sahabat tiga iblis betina ini. Tapi aneh, orang yang dipandang Pek Hong itu tampaknya kebingungan. Dia ini bersikap gelisah, dan majunya Sam-hek-bi-kwi melawan dua orang gadis cantik itu kelihatannya membuat dia sama sekali tidak bisa tenang.

Namun wanita yang sudah berdiri di depan Pek Hong ini mendengus dingin. Sebenarnya dia itu bukan lain adalah Bi Gwat, dan kakak tertua dari Bi Kwi ini marah bukan main. Dia melihat adiknya, Bi Hwa, hampir saja celaka di tangan Pek Hong, sedangkan adiknya yang terakhir Bi Kwi, juga kelihatannya sedikit terdesak oleh Ceng Bi. Karena itu dibakar oleh kemarahan melihat adik-adiknya di permalukan lawan ia menjadi naik darah. Hanya kareha malu terhadap si pemuda tampan yang menemani mereka itulah ia tadi tidak mengeroyok Pek, Hong. Baru bergerak setelah Bi Hwa diburu oleh lawan.

Tapi sekarang, karena Pek Hong sendiri yang menantang diapun tidak malu-malu lagi. Bi Hwa ternyata berat menghadapi sendirian saja, dan mau tak man dia memang harus membantu. Karena itu Bi Gwat yang bersifat pendiam ini memainkan gelangnya dengan senyum dingin.

"Hm, kau sendiri yang memintanya, sobat cantik, jangan salahkan kami kalau begitu!" Bi Gwat memandang lawannya dengan mata berkilat tapi Pek Hong menarik bibirnya.

"Aih, jangan berlagak alim, Hek-bi-kwi, aku sudah tahu watak orang-orang Hiat-goan-pang yang suka main keroyok. Majulah, jangan banyak bicara lagi!" Pek Hong tiba-tiba membentak sambil melancarkan serangannya.

Gelang di tangan kiri menyambar kepala Pek Hong, sedangkan gelang di tangan kanan meluncur ke jalan darah U-peh-hiat. Semuanya menyambar dari jarak jauh, karena wanita itu menyambitkannya dengan jalan ditimpuk, seperti ketika tadi Bi Gwat menolong Bi Hwa dengan bokongannya.

Dan Pek Hong yang mendapat serangan ini bertindak cepat. Pedang di tangannya digerakkan memutar, tidak menyongsong gelang melainkan membabat tali bajanya yang halus, dan tubuh yang dijadikan sasaran sudah dibungkukkan sambil melompat ke samping.

"Tring-tringg...!" Suara yang nyaring kecil ini terdengar begitu pedang bertemu tali baja di tengah udara, dan Pek Hong terkejut karena pedangnya tidak mampu memutuskan kawat baja yang halus itu. Kiranya, benang baja yang diulur pada gelang tembaga itu merupakan kawat pilihan, tidak mudah putus dtbacok senjata tajam! Dan Bi Gwat yang melihat kekagetan muka lawannya itu tertawa dingin.

"Hi-hik… kau kira gelangku dapat kau tabas talinya, keledai betina? Aih, kau sungguh bermimpi besar…!" wanita itu mengejek Pek Hong dan tali gelang yang bergetar ketika bertemu dengan pedang itu tiba-tiba sudah membalik dan menyambar pundak dengan kecepatan kilat.

Pek Hong merah mukanya, dan sekarang dia tahu keistimewaan senjata lawannya itu. Karena itu dia lalu berkelebat maju dan maklum bahwa satu-satunya cara untuk memperoleh kemenangan hanyalah bertempur dengan jarak dekat maka ia-pun memutar pedangnya menerjang maju. Tapi celaka, Bi Gwat yang sudah mengenal taktiknya itu tidak mau didekati.

Pek Hong yang melompat maju dibalas dengan lompatan mundur ke belakang, dan sambil tertawa wanita itu mengejek, "Keledai betina, apakah kau hendak mengulang pertandingan jarak pendek sepeti dengan adikku? Hi-hik, jangan mimpi, aku tetap akan menjaga jarak!" dan betul saja Bi Gwat benar-benar membuktikan omongannya yang selaiu menyerang Pek Hong dari jarak jauh.

Wanita itu selalu melompat mundur bila didekati Pek Hong, dan sepasang gelangnya yang menyambar-nyambar dari jarak jauh itu kini menjadikan Pek Hong tertegun marah. Dia tidak dapat memainkan Hong-thian-lo-hat-kun-nya dan pedang yang ada di tangan kini hanya menangkis gelang yang beterbangan menyambar nyambar itu.

Dan belum dia berhasil mengatasi keadaan sekonyong-konyong wanita cantik baju merah yang tadi sudah toboh bergulingan itu kini tiba-tiba bangkit berdiri dan ikut menyerang dari samping. Dan seperti kakaknya, diapun memainkan gelang dari jarak jauh mengandalkan talinya yang tahan bacokan senjata tajam.

"Keparat, kalian memang orang licik. Hek-bi-kwi...!" Pek Hong memaki lawan dengan kemarahan ditahan namun dua orang kakak beradik itu tertawa menghina. Mereka tidak menghiraukan makian itu bahkan sebaliknya malah memperhebat serangan sehingga Pek Hong harus melompat-lompat mengerahkan ginkangnya.

Sekarang murid Ta Bhok Hwesio ini benar-benar mengalami nasib buruk. Hong-thian-lo-hai-kunnya yang tidak dapat dimainkan sempurna menjadikan dia harus selalu bertahan, sama sekali tidak diberi kesempatan untuk menyerang. Dan dua orang kakak beradik yang selalu bertempur menjaga jarak itu benar-benar merepotkan. Mereka selalu menyerang dari jarak jauh, memainkan gelang yang menyambar-nyambar naik turun itu seperti piring terbang. Dan empat gelang yang bertubi-tubi menyerang dari udara tanpa dapat didekati ini benar-benar membuat Pek Hong marah bukan main...