Pendekar Kepala Batu Jilid 18 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 18
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Karya Batara
DAN sementara dia menjublak dengan mata mendelong itu tahu-tahu Bi Hwa terkekeh menyenggol kakinya. "Bok-kongcu, apaan saja yang kau lihat ini? Enci Bi Gwat menanti jawabanmu, apakah kau tetap menyebutnya nona ataukah Gwat-moi (adik Gwat)...?"

Kun Bok tersadar dengan muka kaget. Sentakan perlahan dari kaki Bi Hwa di bawah meja itu mengejutkannya, dan melihat Bi Kwi dan dua orang kakaknya memandang dia dengan senyum penuh arti seketika muka pemuda ini menjadi merah tidak karuan. Dia memang gugup, tapi dengan cepat dia sudah berhasil menindas rasa "grogi"-nya itu. Kun Bok tersipu-sipu mengalihkan pandangan, dan Bi Hwa yang tampak geli menyaksikan keadaan putera si jago pedang ini semakin tak dapat menahan diri.

"Hayo Bok kongcu, kenapa diam saja? Lihat tuh enci Bi Gwat masih akan memberikan penjelasan panjang lebar kepada kita tentang munculnya si muka hitam itu. Bukankah kau juga ingin mendengar?"

Kun Bok mengangguk dengan leher serasa seret. "Ah, adik Hwa. ini.... eh, persoalan si muka hitam itu siapa yang tidak ingin mendengarnya? Aku memang ingin mengetahui sebab-musahabnya mengapa pemuda itu sampai bertempur dengan kalian. Dan kalau nona Bi Gwat, eh maaf...!" Kun Bok buru-buru meralat,..." kalau adik Bi Gwat tidak keberatan tentu saja aku ingin mendapatkan keterangannya…!"

"Hi-hik, dan tidak menegur Bi Kwi yang telah mempermainkanmu itu, Bok-kongcu?"

"Ah, ini... hem... adik Bi Kwi memang nakal. Tapi bukankah semuanya itu juga atas permintaan kalian berdua, Hwa-moi? Dia menceritakannya kepadaku bahwa kalian telah memintanya untuk menutup mulut. Bukankah begitu pernyataanmu, Kwi-moi?"

"Ih, kenapa bertanya kepadaku, Bok-ko-ko?" Bi Kwi tertawa. "Lebih baik tanya saja langsung kepada yang bersangkutan!" gadis itu cekikikan geli dan Bi Hwa serta kakaknya ikut tertawa geli.

"Sudahlah….!" akhimya Bi Gwat mengangkat tangan. "Gurauan dapat kita lanjutkan kembali setelah pembicaraan penting kita ini selesai. Kini Bok-kongcu telah mengetahui keadaan Bi Kwi, dan masalah dia mau menjewel telinga Bi Kwi atau tidak itu adalah urusan Bok-kongcu sendiri. Pertemuan kita ini kebetulan sekali amat bertepatan dengan berita-betita baru yang kudapat dari Lo-pangcu, dan adik Bi Hwa serta Kwi-moi harap dengarkan baik-baik. Sebelumnya, apakah Bok-kongcu ada pertanyaan yang hendak didahulukan?"

Kun Bok masih terbengong heran. Pertanyaan merdu itu disambutnya dengan gelengan kepala, dan dia hanya berkata, "Adik Bi Gwat, kukira pertanyaan yang ingin kuketahui sekarang ini adalah kepentingan si muka hitam yang datang-datang mengacau tempat tinggalmu itu. Pertanyaan lain kukira nanti bisa kutanyakan pada Bi Kwi."

"Hm, baiklah. Memang kukira Bok-kongcu dan adik Bi Hwa yang tidak mengetahui persoalan ini ingin mengetahuinya, karena kalian berdua datang belakangan. Ketahuilah, Bok-kongcu, si muka hitain itu datang kemari untuk maksudnya mencari seseorang…" Bi Gwat berhenti sejenak dan Kun Bok memasang perhatiannya. "Dan orang yang dicarinya itu bukan lain adalah Pouw Kwi!"

"Pouw Kwi?" Kun Bok tercengang kaget. Siapa Pouw Kwi itu, adik Bi Gwat?"

Tapi Bi Gwat sudah mengulapkan tangannya. "Perlahan dahulu, Bok-kongcu, jangan tergesa-gesa. Pouw Kwi yang kau tanyakan itu bukan lain adalah tamuku yang datang beberapa hari yang lalu, dan dia ke mari atas suruhan gurunya yang menjadi tamu istimewa Lo-pangcu kami di markas pusat. Omong-omong, apakah kongcu pernah mendengar nama Puri Naga?"

Kun Bok semakin keheranan. Dia menggeleng kepala mendengar pertanyaan itu dan dengan terus terang menjawab, "Tidak, adik Bi Gwat, aku masih terlalu dangkal dalam petualangan di dunia kang-ouw. Tidak tahu, tempat apakah Puri Naga itu?"

Bi Gwat tersenyum kecil. Tapi sebelum dia bicara tahu-tahu Bi Hwa sudah nyeletuk, "Itulah markas besar Hiat-goan-pang, kongcu, tempat tinggal ketua pusat kami!"

"Oh, begitukah?" Kun Bok menoleh ke wanita cantik ini. "Jadi Puri Naga merupakan markas pusat kalian, Hwa-moi?"

"Tidak salah!"

Bi Hwa mengangguk sambil tersenyum penuh arti. "Dan lopangcu kami telah mengundang beberapa tokoh besar untuk menghadiri ulang tahun yang pertama dari Hiat-goan-pang, Bok kongcu. Apakah kau kelak ingin mengikutinya bersama kami?"

Kun Bok terkejut bingung. "He, jadi Hiat-goan-pang baru menginjak tahun pertama dari masa berdirinya,?"

"Ya."

"Ah, pantas saja kalau aku belum mendengar nama perkumpulan itu!" Kun Bok akhirnya memaklumi diri sendiri dan Bi Gwat yang mendengar ucapan itu menimpali sambil tertawa manis.

"Tapi yang baru muncul inipun jangan dianggap enteng, Bok-kongcu, karena Lo-pangcu kami adalah seorang tokoh besar yang namanya tidak kalah dengan orang-orang sakti di jaman ini, bahkan tidak sekalipun bagi Malaikat Gurun Neraka atau murid tunggalnya si bekas jenderal muda itu!"

"Ah, Yap-goanswe maksudmu, adik Gwat?"

"Ya, bahkan tidak kalah tenar pula oleh nama besar Ciok-thouw Taihiap yang menjadi ketua Beng-san-pai itu! Apakah kongcu tahu siapa Lo-pangcu kami?" Bi Gwat tampak vangga dengan keterangannya ini dan Kun Bok yang mendengar nama Ciok-thouw Taihiap disebut-sebut dalam hati merasa kaget bukan main.

Tapi pemuda itu mampu menahan diri, dan kata-kata itu disambutnya dengan mata terbelalak. Dia tidak tahu betapa ketika Bi Gwat menyebut-nyebut nama Si Pendekar Kepala Batu Bi Kwi tampak tersenyum sinis ke arahnya, dan Bi Hwa yang melirik adiknya itu tertawa ditahan. Pemuda ini sedang terpukau ke arah Bi Gwat, maka semua keadaan enci adik di samping dirinya itu tidak diketahuinya.

Kun Bok hanya berdesir mendengar calon ayah mertuanya itu disebut-sebut, namun dengan kepandaiannya menahan diri dia mampu mengambil sikap wajar. Hanya dia merasa kaget dan heran bahwa Bi Gwat menyebut ketua pusatnya orang yang tidak kalah terkenal dengan Malaikat Gurun Neraka. Bahkan Ciok-thouw Taihiap Souw Ki Beng!

Inilah yang Kun Bok merasa heran bukan main dan diam-diam timbul keinginan tahunya untuk mengetahui siapakah gerangan sang Lo-pangcu dari Hiat-goon-pang itu. Dan karena dia sendiri juga masih hijau dalam urusan dunia kang-ouw maka Kun Bok-pun tidak banyak tahu.

Sedangkan Bi Gwat yang melihat betapa putera si jago pecking dari Kun-lun itu terbelalak kepadanya diam-diam menjadi geli. Dia mengenal Baik keadaan pemuda itu, bahkan mengenal baik pula huhungannya dengan Bi Kwi, termasuk permainan cintanya di dusun Lee-kim-chung! Dan Kun Bok yang tidak sadar betapa dirinya memasuki perangkap berbahaya dari tiga wanita itu tampaknya tenang-tenang saja. Tidak tahu, betapa dia terjebak secara rapi di kalangan iblis-iblis berbahaya yang kelak menyulitkan dirinya sendiri!

"Bok-kongcu, apakah kira-kira engkau dapat menebak siapa Lo-pangcu kami yang tidak kalah lihainya dengan tokoh-tokoh yang kami sebutkan tali?" demikian akhirnya Bi Gwat bertanya dengan sinar mata bercahya.

Tapi tentu saja Kun Bok menggelengkan kepalanya. "Tidak, adik Gwat. Aku tidak mampu menebaknya. Siapakah gerangan?"

"Hi-hik, biarlah sementara kita rahasiakan dahulu, Bok-kongcu. Kami tidak berani melanggar pesan beliau yang amat keras. Kalau kongcu ingin tahu, bolehlah kelak bersama kami mengunjungi Puri Naga dan di sana kongcu bakal berkenalan dengan tamu-tamu istimewanya Lo-pangcu kami! Kembali pada persoalan si muka hitam, apakah kongcu mengenal siapa dia?"

Kun Bok mengerutkan alis. "Lagi-lagi aku tidak tahu siapakah dia, adik Gwat. Apakah kau mengenal siapa dia?"

Namun Bi Gwat juga menggelengkan kepala. "Sayang, aku juga tidak tahu siapa keparat jahanam itu, Bok-kongcu, tapi mengingat kepandaiannya yang tinggi agaknya dia bukan orang sembarangan. Tiga mengeroyok satu ternyata masih juga tidak berhasil, dan kalau Hu-pangcu kami berada di sini mungkin orang itu dapat dibekuk!"

"Hm, siapa itu Hu-pangcu, adik Gwat?"

"Hiu-pangcu (wakil ketua) adalah murid tunggal Lo-pangcu kami. Dia juga masih muda seperti dirimu, kongcu, tapi kepandaiannya sudah bertingkat-tingkat di atas kami. Dia dapat disejajarkan dengan ketua-ketua partai besar seperti Hoa-san ataupun Bu-tong, dan kalau Hu-pang-cu kami berada di sini tentu si muka hitam itu tak akan mampu melarikan diri!"

"Ah, hebat kalau begitu!" Kun Bok berseru kagum.

"Benar, kongcu, dan terus terang kami bertiga melawannyapun juga masih belum nempil!" Bi Gwat menyambung bangga dan mata wanita itu tampak bersinar aneh.

Kun Bok kembali terkejut dan dia semakin terheran-heran. Kalau omongan Bi Gwat ini benar berarti perkumpulan Hiat-goan-pang itu dipimpin oleh orang-orang lihai. Dan kalau Hu-pangcunya saja dikeroyok bertiga oleh Bi Gwat dan dua orang adiknya itu masih tidak nempil berarti orang-orang yang duduk di dalam perkumpulan ini sungguh orang-orang sakti.

Padahal melihat kepandaian Bi Gwat dan adik-adiknya itu tadi dia sendiri harus berpikir seribu kali untuk menang! Apakah memang betul bahwa wakil piinpinan pusatnya saja sudah sejajar dengan ketua-ketua partai besar seperti Hoa-san dan Bu-tong? Kalau benar demikian perkumpulan Gelang Berdarah itu sungguh hebat. Kun Bok termangu keheranan dan Bi Hwa tiba-tiba nyeletuk.

"Eh, Gwat-cici, bagaimana si muka hitam itu bisa masuk ke mari dan kapan tibanya?"

Bi Gwat mendadak gelap mukanya. "Dia masuk dengan cara bagaimana aku sendiri tidak mengerti, Hwa-moi, tapi kukira sudah beberapa waktu yang lalu. Kami hanya mendengar suara-suara aneh di kuil, terbukanya pintu-pintu dan suara gedobrakan di dalam kamar, tapi ketika kami datangi ternyata tidak ada siapapun di sana. Dia ginkangnya seperti siluman saja, tidak mampu kami tangkap. Dan ketika kegaduhan di atas menara kami datangi, ternyata si muka hitam itu tahu-tahu telah berada di situ. Agaknya inilah pencariannya yang terakhir, karena begitu bertemu dengan kami, dia tidak mengelak lagi. Si muka hitam itu bertanya di mana orang she Pouw, itu menyembunyikan diri, dan kami berdua tentu saja terkejut mendengar pertanyaannya ini. Dengan terus terang akhirnya kami beritahu bahwa orang yang dicari itu sudah pergi, namun dia tidak mau percaya. Kekurang-ajarannya ini membuat kami naik darah, dan begitulah, kami lalu bertempur sampai akhirnya kau datang bersama Bok kongcu…!"

"Hm, dan siapakah sebenarnya orang she Pouw itu adik Gwat?" Kun Bok tiba-tiba bertanya. Apakah dia musuh si muka hitam ini?"

Bi Gwat menggelengkan kepalanya. "Aku tidak begitu jelas, kongcu, tapi melihat kemarahan si muka hitam tentu orang yang dicari itu memang musuhnya. Pouw Kwi adalah murid mendiang Ang I Lo mo, tapi kini dia menjadi murid Ceng-gan Sian-jin!"

"Hah, Ceng-gan Sian-jin?!" Kun Bok terkejut.

"Ya, kenapakah, kungcu?" Bi Gwat memandang tamunya dan Bi Hwa serta Bi Kwi tampak melirik tajam.

Tapi Kun Bok hanya sekejap saja merasa kaget karena dengan terheran-heran dia lalu memandang Bi Gwat. "Dan orang macam itu telah menjadi tamumu, adik Gwat…?"

Pemuda itu tampaknya merasa aneh, namun tuan rumah tersenyum hati-hati. "Jangan tergesa-gesa berkesimpulan buruk Bok kongcu, karena seperti telah kukatakan tadi, dia ke sini karena membawa berita yang harus disampaikan dari Lo-pangcu kami. Pembukaan ulang tahun pertama Hiat-goan-pang telah hampir dimulai. dan Ceng-gan Sian-jin yang kebetulan diundang oleh perkumpulan kami mendapat pelayanan yang tidak berbeda dengan para undangan lain. Muridnya iseng-iseng menyampaikan berita sekaligus berkenalan dengan ketua-ketua cabang di seluruh wilayah Hiat-goan-pang. Apakah harus kutolak karena melihat kedudukan Cheng-gan Sian-jin?"

Kun Bok terdiam. "Tapi… tapi… akhirnya pemuda itu tampak tegang. "Apakah Hiat-goan-pang merupakan sebuah perkumpulan yang dengahabat dengan datuk iblis itu, Gwat-moi?"

"Hm, perkumpulan kami bersikap netral, Bok-kongcu." Bi Gwat menjawab hati-hati. "Karena bagi pimpinan pusat tidak ada golongan iblis atau yang bukan iblis. Dunia dihuni oleh sesama umat, manusia-manusia yang wataknya tidak bisa ditentukan. Dan persahabatan yang tidak memandang bulu begini apakah harus disalahkan? Hiat-goan-pang bukan melulu bersahahat, dengan orang-orang macam Cheng-gan Sian-jin belaka, tapi juga orang-orang dari kelompok pendekar. Seperti misalnya ketua Kun-lun maupun Hoa-san. Dua orang ketua ini menjadi sahabat-sahabat pula dari Hiat-goan-pang, dan kalau kongcu ingin membuktikannya bolehlah datang ke Puri Naga bersama kami untuk memeriahkan ulang tahun partai. Tentunya kong-cu mengenal Pek-mauw Sian-jin, bukan?"

"Ah, ketua Kun-lun-pai itu?"

"Ya."

"Tentu saja, adik Gwat. Dia juga sahabat ayah!" Kun Bok menganggukkan kepala dan Bi Kwi tiba-tiba menyela.

"Nah, mau apa lagi, Bok-koko? Bagi Hiat-goan-pang asal tidak mengganggu setiap orangpun tidak dianggap jahat. Begitu pula dengan Cheng-gan Sian-jin. Asal dia baik-baik terhadap kita maka kitapun juga baik-baik terhadap dia. Masalah baik buruk itulah tergantung penilaian orang luar belaka!"

Gadis itu memandang Kun Bok dan senyum manisnya yang tersungging membuat Kun Bok menyeringai penuh arti. Ucapan kekasihnya ini melepaskan konsentrasinya, dan sejenak pemuda itu menatap wajah memikat ini dengan mata bersinar. Tapi Bi Hwa tiba-tiba menyenggol kakinya lagi.

"Ih, Bok-kongcu, kenapa bengong saja memandang Bi Kwi? Lupa ya, bahwa aku telah mempertemukan kalian di sini?" wanita itu tertawa genit dan Kun Bok seketika merah mukanya.

"Ah, adik Hwa, kau ini selalu menggodaku melulu. Bukankah kau yang mengajakku kemari?"

"Hm, tapi kalau tidak menyebut nama Bi Kwi belum tentu kau mau ikut, kongcu. Apakah ini melulu ajakanku? Hi-hik, jangan berpura-pura, kongcu, kaupun memang punya niat ke mari untuk bertemu Bi Kwi...!"

Bi Hwa tiba-tiba bangkit berdiri dan dengan lenggangnya yang memikat wanita itu tertawa kepada kakaknya. "Gwat-cici, tamu sudah lama diajak mengobrol mengapa belum juga keluar minuman? Ih, pelit amat kau ini. Apakah di dalam sudah kehabisan arak? Wah, kerongkongan kering nih, biarlah aku menyuguhkan hidangan istimewa kepada tamu kita…!"

Gadis itu terkekeh geli dan dengan kerling mata yang menyambar indah dia melirik sekejap ke arah Kun Bok. Lalu ketika Bi Gwat tampak terkejut oleh teguran adiknya ini Bi Hwa sudah buru-buru lari ke belakang mengamhil minuman ringan untuk menyambut kedatangan Kun Bok itu. Kun Bok tertegun, tapi Bi Kwi tiba-tiba menggeser duduknya merapati pemuda ini.

"Bok-koko, jangan malu-malu di tempat kita. Kami tiga bersaudara memang sudah biasa saling bergurau. Apakah kau diledek terus oleh enci Bi Hwa? Hem, nanti kita hukum dia dengan permainan kartu hijau. Eh, Gwa-cici, bukankah kartu hijau ada padamu? Keluarkan dong, kita bergembira sebelum besok pagi menuju ke Puri Naga…!"

Bi Gwat tersenyum lebar dan mendengar kata-kata adiknya yang bungsu itu mendadak sinar matanya berkilat gembira. Ada nafsu tersembunyi di balik mata wanita cantik ini. Dan seperti orang main sulapan saja tahu-tahu tangannya telah memegangi sekotak kayu cendana yang berukir perak.

"Hm, kita hendak meramaikan suasana di sini, Kwi-moi? Atau di tempat lain?" wanita itu mulai membuka kotak cendananya dan Kun Bok melihat sebuah dadu dengan setumpuk kartu hijau yang tidak diketahui bagaimana cara permainannya itu.

Bi Kwi mengangguk, dan tiba-tiba sambil tertawa genit gadis itu bangkit berdiri. "Ya, enci Bi Gwat, kita main di sini saja. Bok-koko biar menjadi rajanya dan kita sebagai ratu-ratunya. Eh, bukankah Si-meh ada di luar? Kalau begitu biar kututup dahulu pintu-pintu ini agar kita tidak terganggu…!" Bi Kwi melangkah sambil tertawa kecil dan Kun Bok sekonyong-konyong merasa ngeri mendengar kekeh tawa kekasihnya itu. Seperti kuntianak yang haus berahi, atau sepasang kucing yang mengeong di musim kawin!

Tapi Bi Gwat yang tidak melihat perobahan wajah pemuda dari Kun-lun ini menyambut kekeh Bi Kwi itu dengan senyum lebar. Wanita itu tiba-tiba mengangkat sebelah kakinya, duduk menyilang dengan paha kiri di atas paha kanan, dan Kun Bok yang berada persis di depan wanita cantik itu tersirap darahnya. Sepasang paha yang putih mulus tersingkap sekejap, dan Kun Bok yang melihat secara tidak sengaja itu berdesir jantungnya. Namun Bi Gwat seolah-olah tidak tahu, dan wanita nomor sebelas dari ketua cabang Hiat-goan-pang itu sudah mengambil mangkok pemutar dadu sambil tersenyum genit.

"Bok-kongcu, apakah kau pernah bermain kartu hijau pengiring dadu ini?" wanita itu memandang Kun Bok.

Kun Bok menggeleng. Dia masih merasa berdebar dengan pemandangan sekilas dari bawah meja tadi, dan entah mengapa tiba-tiba saja timbul perasaan tidak enak yang menghantui dirinya. Tapi untuk menghormati tuan rumah dia menjawab juga, "Tidak, adik Bi Gwat, aku bodoh dalam segala hal. Permainan seperti judi begini mana aku tahu?"

Bi Gwat tertawa "Hik-hik, kau rupanya canggung dalam segala hal, kongcu. Apakah Kwi-moi belum pernah mengajarimu permainan macam ini? Nah, lihatlah. Kami akan mengajarimu cara bermain dan tentang patut disebut judi atau tidak itutah tergantung para pelakunya saja. Kami tidak mengatakan permainan ini judi, karena tidak ada taruhannya biar yang paling kecil sekalipun. Karena itu harap kongcu perhatikan baik-balk. Permainan kartu hijau pengiring dadu ini mudah, hanya tergantung dari keluarnya angka terbanyak dari siapa yang menang. Dan untuk yang mendapatkan angka terkecil, yakni yang kalah, hanya dihukum dengan sambitan kartu hijau itu. Di mana kartu melekat. Di situlah dia harus membuang apa yang dipakai! Nah, mudah bukan?" Bi Gwat tertawa aneh dan Kun Bok terbelalak mendengar uraiannya ini.

"Apa adik Gwat, hukuman sambit kartu?" pemuda itu tercengang tidak mengerti.

"Ya, Bok-kongcu, hanya hukuman sambit kartu. Kita bisa mengadakan permainan macam ini karena sekaligus untuk melatih pukulan jarak jauh. Siapa yang lihai berarti dialah yang mencapai kemajuan!"

"Ah, jadi maksudmu...?"

Tapi Bi Hwa tiba-tiba muncul dengan seguci arak besar. Kakak Bi Kui yang nomor dua ini sudah tertawa dari dalam, dan dengan tiba-tiba dia berseru keras. "Bok-kongcu, jaga penampan ini. Awas kalau meleset…!"

Dan seperti piring terbang saja tahu-tahu sebuah penampan bulat melayang ke atas meja. Kun Bok terkejut, tapi akhirnya dia berseru kagum. Penampan bulat yang dilemparkan Bi Hwa itu meluncur dengan anginnya yang berkesiur tajam, namun begitu berada di atas meja sekonyong-konyong terhenti dan jatuh tanpa suara, seperti diletakkan oleh tangan dengan halus saja!

"Aih, hebat…!" Kun Bok memuji kagum tapi Bi Hwa telah menyusulinya dengan ketawanya yang merdu,

"Jangan memuji dulu, kongcu, ini masih ada yang terakhir. Haiitt...!"

Guci arak yang dibawa itupun mendadak dilemparkan oleh wanita ini, dan suara mendengung yang rendah mengejutkan Kun Bok untuk kedua kalinya. Tapi Bi Hwa ternyata hebat, tenaga sinkangnya mampu dikendalikan dan seperti diputar-putar tangan tak tampak saja guci arak itu sejenak berpusing di udara, lalu tiba-tiba hinggap dengan ringan di atas meja, persis di pinggir penampan itu tanpa pecah!

"Wah, luar biasa….!" Kun Bok terbelalak dengan matanya yang keheranan dan bau arak yang harum keras menyengat hidungnya. Hampir saja Kun Bok tersedak, tapi untunglah, dengan kekuatan sinkangnya dia berhasil menguasai tenggorokannya yang hampir batuk-batuk. Kun Bok terkejut, dan dia memandang guci arak yang tutupnya masih tersumbat itu. Kaget dia, belum dibuka saja sudah sedemikian keras baunya, apa-lagi kalau sampai dibuka Maka pemuda ini lalu geleng-geleng kepala dan Bi Hwa yang tampaknya bangga oleh pujian Kun Bok ini sudah melompat maju dengan wajah berseri.

"Bagaimana, Bok-kongcu, apakah tenagaku masih terlalu lemah?"

Kun Bok tersenyum masam. "Ah, sinkangmu mengagumkan sekali, Hwa moi, siapa bilang lemah? Tidak, aku kagum sekali dibuatnya!" pemuda itu berkata sungguh-sungguh dan Bi Hwa tampak girang.

Tapi Bi Kwi yang baru saja selesai menutup pintu itu tiba-tiba menyela, "Hm, namun masih kurang komplit, Bok-koko, karena dia hanya membawa penampan dan guci arak. Bagaimana cara kita minum?"

Gadis itu tiba-tiba membalikkan tubuh. "Lihat nih, aku akan melengkapi kekurangan enci Bi Hwa itu. Gwat-cici, terimalah!" dan seperti orang bermain akrobat saja sekonyong-konyong Bi Kwi melontarkan sebuah cangkir arak yang tidak diketahui dari mana diperolehnya.

Kun Bok tercengang, tapi Bi Gwat yang diperingatkan adiknya itu tahu-tahu membentak perlahan. Cangkir yang meluncur disambut tiupan mulut, dan begitu tempat arak ini berada di depan hidungnya mendadak saja cangkir itu berputar arah dan kembali ke Bi Kwi! "Kwi-moi, aku malas menaruhnya di meja. Suruh Bok-kongcu yang ganti menerima…!" begitu bentakan Bi Gwat kepada adiknya dan Bi Kwi yang melihat cangkir araknya di"retour" oleh kakak perempuannya itu tiba-tiba tertawa geli.

"Wah, Gwat-cici jual mahal, ya? Tidak mau mengotori tangan sendiri. Baiklah, biar Bok-koko yang menerima cangkir kehormatan ini. Bok-koko, awas, aku minta kau meletakkan cangkir ini di atas guci… pusshh…!" Bi Kwi meniup dan seperti kakaknya tadi tiba-tiba cangkir itu tertahan di udara, berputar sekejap dan sekonyong-konyong meluncur menyambar muka Kun Bok!

Putera Bu-tiong-kiam Kun Seng ini tercekat, dan sekaratng dia maklum bahwa kakak beradik itu masing-masing sedang mendemonstrasikan sinkang di hadapannya. Karena itu, Kun Bok lalu mengangkat tangan kanannya dan dengan jari telunjuk dia menuding ke cangkir yang menyambar dengan kecepatan kilat itu. "Kwi-moi, aku hanya bisa melakukan ini. Cangkir kehormatan itu biarlah kutaruhnya di atas guci. Hupp....!" dan bagaikan orang bermain sihir saja tiba-tiba cangkir itu melekat di jari telunjuk Kun Bok, dibanting ke lantai dan tiba-tiba mencelat jatuh persis di atas guci arak!

"Cepp!" semua orang terbelalak kagum dan Bi Kwi bersorak melihat hasil terakhir ini. Cangkir arak itu dengan tepat tengkurap di mulut dan bukti bahwa dia tidak pecah dibanting Kun Bok menandakan bahwa pemuda itu menggunakan tenaga lentur yang membuat cangkir seperti bertemu dengan benda karet! Inilah demonstrasi sinkang yang tidak kalah hebatnya dengan tiupan mulut dan tiga bersaudara kakak beradik itu akhirnya bertepuk tangan.

"Aih, Bok-kongcu benar-benar mengagumkan. Tenaganya tidak kalah oleh kami!" Bi Hwa berseru memuji tapi Kun Bok senyum-senyum tenang saja.

"Ah, tapi nyatanya kita semua tidak nempil melawan si muka hitam, adik Hwa! Untuk apa bangga?"

Tiga orang wanita itu tertegun. Memang, apa yang baru saja diucapkan pemuda ini tepat sekali. "Pamer" sinkang yang tampaknya hebat-hebat itu ternyata masih saja belum mampu untuk melawan si muka hitam yang lihai. Bahkan mereka berempat keok semua di tangan musuh!

Tapi Bi Hwa yang lincah bicara tiba-tiba sudah tertawa merdu. Wanita cantik ini sudah duduk di sebelah Kun Bok, dan dengan matanya yang bersinar aneh itu dia berjebi. "Wah, Bok-kongcu jangan mengecilkan hati kita, dong, karena si muka hitam memang bukan tandingannya! Kita memang kalah tapi dengan latihan tekun yang akan datang mungkin kita bisa menang. Eh, Gwat-cici... bukankah apa yang kukatakan ini beralasan?"

Bi Gwat tersenyum pahit. "Agaknya begitulah, adik Hwa, tapi berapa lama kita mampu menandinginya? Dia memang lihai, dan agaknya Hu-pangcu sendiri atau Lo-pangcu kita yang dapat mengatasinya!"

"Ah, kenapa semua menjadi murung?" Bi Kwi tiba-tiba menyela. "Kalau begini semua tentu kita tidak akan memperoleh kemajuan. Hayo kembali pada pokok persoalan kita sendiri, bergembira menghabiskan malam dengan kartu hijau…!"

Seruan Bi Kwi itu tiba-tiba membangkitkan kegembiraan dua orang kakaknya dan Bi Hwa serta Bi Gwat mendadak berseri. Seketika mereka melupakan persoalan si muka hitam, dan Bi Gwat yang memegang dadu tiba-tiba tertawa geli.

"Ih, betul juga ucapanmu itu, Kwi-moi. Kita memang sepantasnya melewatkan malam ini dengan kartu hijau! Eh, adik Bi Hwa, kenapa tidak dibuka tutup arakmu itu?" Bi Gwat memandang adiknya dan Bi Hwa terkekeh.

"Hi-hik, kita semua hampir saja lupa dengan kegembiraan ini, Gwat-cici, maklum, Bok-kongcu mengungkit-ungkit kembali si muka hitam yang menyebalkan itu. lh, bukankah dengan adanya Bok-kongcu sekarang kita dapat melewatkan malam panjang?" wanita itu melirik Kun Bok dan kerling matanya yang penuh gairah ini menyambar tajam. Kun Bok berdetak, tapi Bi Kwi tiba-tiba menyenggol lengannya.

"Bok-koko, sudah tahukah engkau cara permainan ini?"

Kun Bok menggeleng. "Belum. Kwi-moi."

"Nah, dengarkan kalau begitu." Bi Kwi meminta dadu, menyembunyikannya dalam mangkok putaran dan melanjutkannya sambil tersenyum gembira, "Kita hanya mengocok-ngocok dadu ini, lalu menggelindingkannya untuk melihat angka berapa yang keluar. Bok-koko. Siapa yang tertinggi, dialah yang menang. Sedangkan yang terkecil, dialah yang kalah. Nah, mudah bukan?"

"Hm, lalu untuk yang kalah menerima hukuman kartu hijau.?"

"Betul."

"Tapi bagaimana cara permainannya?"

"Kita menyambitkan kartu hijau ini, tapi tidak boleh dilempar melainkan ditiup!"

"Ah, begitu?" Kun Bok tercengang.

"Ya, dan siapa yang terkena sambaran kartu hijau ini dia harus membuang apa yang dikenakan, Bok-koko, seperti misalnya pita rambut enci Bi Hwa itu!"

Bi Kwi tiba-tiba mengambil sebuah kartu hijau, meniupkannya ke pita rambut Bi Hwa dan seperti kupu-kupu terbang saja benda itu tahu-tahu sudah menancap di rambut Bi Hwa!

"Ihh...!" wanita itu terkejut dan. Kun Bok yang melihat jadi terbelalak lebar. Dia memang kaget melihat kartu hijau seakan-akan bernyawa saja, dan rambut kepala yang semula dijadikan sasaran kiranya hanya berupa pancingan saja. Bi Hwa terjebak, dan wanita itu kena dikelabuhi! "Eh, tidak mengelak?" Kun Bok terkejut.

"Terserah pada yang bersangkutan, Bok-ko-ko. Karena kalau enci Bi Hwa mandah dihukum berarti dia menyatakan kalah, kalau dia tidak mau kalah berarti dia harus mengelak. Dan kami yang menang tentu saja harus memutar akal untuk menjebaknya. Seperti ini misalnya...." Bi Kwi berhenti sejenak, memandang encinya yang tersenyum-senyum lalu tiba-tiba berkata, "Enci Bi Hwa, mengelaklah…!"

Baru selesai seruan itu diucapkan sekonyong-konyong Bi Kwi sudah meniup sebuah kartu hijau yang menyambar gelung rambut kakaknya. Benda ini melesat cepat. Tapi Bi Hwa yang tidak mau diserang itu kini mengelak. Wanita ini bangkit berdiri, dan rambut kepala yang dijadikan sasaran itu direndahkan sedikit Kartu hijau menyambar tempat kosong, tapi aneh bin ajaib, mendadak saja benda itu menukik turun seperti belalang setan dan tahu-tahu menancap di ikat pinggang Bi Hwa!

"Nah, bagaimana, koko?" Bi Kwi tertawa. "Kita harus pandai memutar akal, bukan? Dan dengan cara permainan semacam inilah kita saling mengukur kekuatan sinkang maupun khikang masing-masing pihak untuk melihat kemajuannya. Permainan ini menggembirakan, karena selain asyik juga dapat memuaskan selera gurauan kita. Apalagi kalau ditamhah dengan minuman Arak Mawar Hitam!"

Gadis itu terkekeh dan Bi Hwa serta Bi Gwat juga ikut tertawa. Bi Hwa sendiri sudah membuka guci araknya, dan bau yang luar biasa kerasnya menguap di seluruh ruangan. Kun Bok kembali hampir saja tersedak, dan hidungnya yang disengat bau arak yang luar biasa itu mencium suatu keharuman yang aneh. Ada seperti rasa manis-manis gula pada bau arak itu, tapi ada juga ciri wewangian yang khas seperti harumnya bunga mawar. Dan melihat nama arak itu, yang dinamakan Arak Mawar Hitam, agaknya tidak berlebihan bila memang dibuat dari sari bunga-bunga mawar! Kun Bok masih tertegun oleh ban arak yang luar biasa harumnya itu tapi Bi Hwa tiba-tiba sudah menuangkan araknya di dalam cangkir sambil tertawa.

"Bok-kongcu, sebagai tamu kehormatan biarlah kau cicipi dahulu arak istimewa kami ini. Cobalah, dan kau pasti akan merasa segar!"

Cangkir itu sudah didekatkan ke mulut Kun Bok dan Kun Bok yang masih melenggong ini terkejut. Sejenak dia ragu-ragu memandang arak yang berwama hitam sesuai dengan namanya itu tapi akhirnya suara ketawa tiga orang wanita di sebelahnya ini membuat dia gugup dan kehilangan kesadaran. Bi Kwi dan dua orang ka-kaknya itu seakan-akan mengejeknya sebagai pemuda "gunung" yang tidak biasa mengenal arak, karena itu untuk menghilangkan kecanggungannya ini Kun Bok tiba-tiba menerima arak itu dan sekali tenggak saja lenyaplah minuman keras itu ke dalam kerongkongannya!

"Hi-hik, Bok-koko kiranya lahap juga meneguk arak. Lihat tuh, mukanya tiba-tiba tampak segar kemerahan….!" Bi Kwi tertawa memandang pemuda ini dan dua orang kakaknya cekikikan geli.

"Memang arak ini bukan arak sembarangan, kongcu, tapi simpanan khusus kami selama bertahun-tahun. Khasiatnya tinggi, menambah tenaga dan melancarkan jalannya darah!" demikian Bi Gwat menyambung.

Dan Kun Bok yang merasa ada benarnya juga keterangan itu menganggukkan kepalanya. Dia memang merasa tenaganya tiba-tiba bertambah, dan aliran darah yang dirasanya lebih cepat itu membuktikan kebenaran ucapan ini. Tapi sedikit yang dia merasa aneh, kenapa kepalanya mendadak saja terasa ringan. Apakah hawa arak yang naik ke atas?

Dan wajah Bi Kwi serta kakak-kakaknya itu, ah, tiba-tiba saja tampak demikian jelita dan cantik-cantik! Kun Bok merasakan detak jantungnya berdegup tidak karuan dan Bi Gwat yang duduk di depannya ini tiba-tiba mengalihkan tumpuan kakinya. Paha kiri yang tadi diletakkan di atas paha kanan itu kini diganti, dan kelebatan gempalnya sepasang paha yang putih montok membuat darah pemuda itu terkesiap.

Ahh…! Kun Bok agak sesak napasnya dan Bi Gwat yang tadi bersikap tenang itu kini agak berani. Wanita cantik ini memandang Kun Bok, dan matanya yang bercahaya redup itu mulai menyambar-nyambar. "Bok-kongcu, apakah kita mulai sekarang?"

Suara wanita ini terdengar merdu bukan main di telinga Kun Bok dan pemuda itu menganggukkan kepalanya dengan sedikit gugup. Dia hanya bisa menjawab "Ya... ya… sesukamulah, adik Gwat!"

Dan tiga orang wanita itupun mulai cekikikan sambil menggoda dengan lemparan kerling manisnya. Bahkan Bi Hwa menyenggol-nyenggol kakinya, dan dengan berani kakak Bi Kwi yang nomor dua ini tahu-tahu telah menumpangkan lengannya di atas paha Kun Bok!

Tentu saja Kun Bok terkesiap, tapi adanya Bi Kwi di tempat itu membuat dia kelabakan. Tidak tahu Kun Bok, apakah maksudnya perbuatan Bi Hwa ini. Apakah sekedar bermanja-manja ataukah sengaja hendak membuat dia 'panas dingin‘. Dan permainan kartu hijau itupun dimulailah. Bi Gwat yang mula-mula sebagai pemutar dadu. Wanita ini juga ikut mencicipi Arak Mawar Hitam, dan dia yang sebagai tuan rumah itu mulai mengocok mangkok pemutar dadu. Semua adiaknya tertawa geli.

"Jangan gusar, adik Bi Hwa. Masih ada angka dua dan satu yang masih lebih rendah daripada angkamu itu. Hayo berikan Bok-kongcu. Siapa tahu dia yang memperoleh biji paling kecil!"

Bi Gwat menghibur adiknya itu dan Bi Hwa pun dengan mulut cemberut memberikan mangkok dadu kepada Kun Bok mata diarahkan ke sini, dan ketika dadu digelindingkan di atas meja dan berhenti setelah melalui putaran enam tujuh kali tampaklah angka dadu yang merupakan titik-titik kecil berwama merah itu. Ternyata menunjukkan angka lima!

"Ah, angka besar, Gwat-cici!" Bi Hwa tertawa memuji kakaknya dan Bi Gwat segera memberikan permainan dadu itu kepada adiknya.

"Sekarang kau, adik Hwa. Hayo coba rebut angka enam!" Bi Gwat juga tertawa dan wanita ini tampak gembira.

Bi Hwa tersenyum dan dengan cepat dia sudah mengocok dadu itu. Suara berkelotekan terdengar di dalam mangkok, dan ketika tutup dibuka lalu digelindingkan di atas meja, tampaklah angka tiga buat Bi Hwa! "Aih, sialan, kau masih lebih tinggi, Gwat cici!" Bi Hwa merengutkan bibirnya.

Akan tetapi, ketika Kun Bok mengocok dadunya ternyata yang keluar bagi pemuda ini adalah angka enam! Tentu saja pemuda itu menang, dan Bi Gwat bertepuk tangan memuji keberuntungan tamunya ini. Angka enam memang yang paling tinggi, jadi dapat dipastikan kalau pemuda itulah yang menang, kecuali kalau ada "rival" yang sama kuat. Untuk ini mereka diharuskan mengulang, dan siapa pemenang terakhir itulah yang berhak menghukum yang kalah. Namun ketika Bi Kwi sebagai orang terakhir yang mendapat giliran dalam adu permainan ini membuka dadunya, ternyata gadis itu sedang "sial". Biji dadunya yang menggeletak lemah di atas meja itu menunjukkan angka satu, dan dua orang kakaknya terkekeh terpingkal-pingkal.

"Hi-hik, kau kalah, Kwi-moi. Bok-kongcu yang keluar sebagai pemenang...!" Bi Hwa berseru sambil memandang adiknya itu dan Bi Kwi menyeringai kecut.

"Benar, Bok-kongcu yang berhak menghukummu, Kwi-moi!" Bi Gwat juga menyambung sambil tertawa dan sebuah kartu hijau telah disodorkannya kepada Kun Bok.

Kun Bok tersenyum gembira, dan kekeh wanita-wanita cantik itu meramaikan suasana. Bi Kwi dipandangnya dengan geli, lalu tiba-tiba dia meniup kartu hijau itu ke kepala Bi Kwi. Pita rambut yang diincar tahu-tahu disambar kartu hijau ini, dan Bi Kwi yang rupanya menyerah itu tidak mengelak. Gadis ini membiarkan pita rambutnya dijadikan sasaran, dari ketika kartu hijau itu melekat di atas rambutnya iapun lalu merenggut pita pengikat rambutnya itu sambil tersenyum kecil.

"Hi-hik, Bok-koko rupanya ingin tahu menggerai rambut, Hwa-cici. Apakah tidak semakin jelek?" Bi Kwi tertawa merdu dan dengan bersinar-sinar dia melempar kerling kepada kekasihnya.

Kun Bok terpesona, dan hampir saja dia mengeluarkan pujian untuk kekasihnya untunglah, dia masih teringat kepada Bi Hwa dan Bi Gwat di tempat itu dan dengan mata kagum dia mendesah perlahan sambil tertawa penuh gairah. Kekasihnya itu cantik sekali sekarang, malah terlalu cantik. Wajahnya yang halus dengan mata berkedip-kedip itu tampak tak jemu untuk dipandang. Dan rambut yang berombak di belakang punggung itu kelihatan hebat bukan main, seperti seorang dewi yang haru turun dari kahyangan. Kun Bok hampir bengong oleh pemandangan luar biasa ini namun Bi Kwi tiba-tiba memencet kakinya. Pemuda itu tersadar, dan dia melihat Bi Gwat serta Bi Hwa sudah memandanginya sambil tertawa lebar.

"Bok-kongcu, sekarang giliranmu sebagai orang pertama pemutar dadu. Lalu kami bertu-rut-turut sesuai urutannya yang lebih rendah. Apakah kau masih takjub saja memandang wajah Bi Kwi?"

Tiga orang wanita itu tertawa menggairahkan dan Kun Bok dibuat merah mukanya. Dia gelagapan, sementara Bi Hwa sudah menuangkan lagi secangkir arak kepadanya. "Bok-kongcu, sudah menjadi peraturan bahwa untuk yang menang diwajibkan minum arak kehormatan. Karena itu minumlah, dan putar dadu untuk permainan yang berikutnya!"

Bi Hwa menyentuh lengannya dengan manis dan Kun Bok seperti kena strom. Kakak Bi Kwi ini juga tampak menarik sekali, dan bibir yang tersenyum setengah ketawa itu tampak memikat bukan main. Aah… Kun Bok menekan gun-cangan hatinya ini! Lalu dengan cepat dia meneguk arak itu. Kepala yang serasa tambah ringan tidak digubris. dan Kun Bok sudah memutar dadu dengan jari agak gemetar.

Maka mulailah permainan kedua kalinya ini dilanjutkan, dan tiga orang wanita muda serta seorang pria itu bermain kartu hijau dengan iringan arak hitam. Dadu susul-menyusul berkelotekan di atas meja, dan kemenangan demi kemenanganpun mulai silih berganti. Mula-mula Kun Bok yang menjadi "juara", lalu berturut-turut tiga orang yang lain menerima gilirannya.

Dan seperti peraturan yang disebutkan oleh Bi Hwa tadi, bagi setiap pemenang diwajibkan minum Arak Mawar Hitam sebagai minuman kehormatan. Tentu saja nikmat. tapi Kun Bok yang baru meneguk tiga cangkir arak dalam tiga kali kemenangannya itu sudah mulai berputar kepalanya. Pemuda ini setengah mabok, dan dia mulai tertawa ha-ha-he-he dalam permainan dadunya yang dibalas ketawa cekikikan oleh Bi Kwi dan kakak-kakaknya.

Dia tidak tahu, betapa Arak Mawar Hitam adalah arak yang amat "berbahaya" sekali karena dicampuri obat perangsang oleh tiga bersaudara itu, dan nafsu berahi yang perlahan-lahan bangkit bergerak di dalam dirinya membuat mata pemuda itu kemerahan.

Bi Kwi dan dua orang kakaknya memang mempunyai maksud keji, tapi Kun Bok yang sama sekali tidak mengetahui bahaya ini mandah saja diloloh arak serta permainan dadu berkartu hijau. Dan permainan yang semakin menjadi seru itu membuat Kun Bok semakin hebat keadaannya. Pemuda itu mulai mabok berat, dan tiga orang wanita cantik di hadapannya ini juga semakin menggila. Mereka bermain sambil terkekeh-kekeh, dan Bi Kwi yang sering kalah itu mulai meningkat pada pelepasan benda-benda lain.

Mula-mula gadis itu dikalahkan oleh Kun Bok, dan dia dipaksa mencopot pita rambut yang mengikat di atas kepalanya itu. Akan tetapi ketika Bi Kwi dikalahkan oleh Bi Hwa maupun Bi Gwat, dua orang wanita ini "menghukum" gadis itu dengan cara yang lebih hebat lagi. Bi Kwi disuruh melepas anting-anting, sepatu dan ikat pinggang, bahkan akhirnya gadis itu dipaksa melepas pakaian luarnya. Maka jadilah Bi Kwi tinggal mengenakan pakaian dalamnya belaka!

Tentu saja semuanya ini membuat Kun Bok "panas dingin" tidak karuan, tapi karena dia sendiri sudah mulai kehilangan kesadaran dan nafsu berahinya memuncak hebat pemuda itu malah tertawa-tawa dengan mulut penuh bau arak. Bi Kwi yang setengah telanjang ini malah dilahap mentah-mentah oleh Kun Bok, dan pemuda yang mabok berat akibat lolohan Arak Mawar Hitam itu sudah seperti orang sinting. Tidak ada lagi rasa malu-malu di hatinya. Bahkan ketika Bi Hwa dan Bi Gwat juga mulai mendapat giliran dan mereka juga dipaksa melepas pakaian karena benda-benda lain yang melekat sudah habis karena kalah dalam permainan, keadaan benar-benar mencapai puncaknya.

Kun Bok sudah mulai bangkit berdiri, dan tubuhnya yang bergoyang-goyang akibat banyak minum itu tampak limbung seperti kapal sedang oleng. Pemuda ini juga mengalami beberapa kekalahan. Dan satu-persatu apa yang dipunyai disambar kartu hijau. Dia tidak sanggup mengelak lagi, karena tubuhnya sudah oleng kian ke mari dan akibatnya mulailah pemuda itu juga melepaskan satu-satunya benda berharga yang melekat di tubuhnya. Sepatu dan sarung pedang juga sudah lama menjadi korban, maka giliran ikat pinggang serta pakaiannya itulah yang dijadikan sasaran.

Kini empat orang yang bermain dadu itu sudah tidak karuan ujudnya. Mereka sama-sama setengah telanjang. Dan Bi Hwa serta Bi Gwat yang terang-terangan berani menggoda pemuda itu mulai saling cubit dan saling raba. Lengan Bi Hwa yang sejak lama tertumpang di atas paha pemuda itu mulai merayap naik ke atas, dan semakin ke atas sampai akhirnya Kun Bok mengeluh dan menangkap lengan wanita ini dengan napas memburu. Bi Hwa terkekeh, dan Kun Bok yang mendengus-dengus itu tiba-tiba menerkamnya dengan mata setengah terbuka. Dua orang itu jatuh terduduk, dan dadu serta kartu hijau tiba-tiba berhamburan runtuh!

Jadilah mereka saling belit di atas lantai itu dan Bi Gwat serta Bi Kwi yang juga sama-sama dimabok berahi akibat minum arak hitam itu tiba-tiba terhuyung-huyung. Mereka tertawa aneh, lalu tiba-tiba menubruk Kun Bok hampir berbareng. Empat orang ini saling tindih, dan kejadian berikutnya mudahlah diduga. Kun Bok sudah tidak tahu apa-apa lagi, sedangkan tiga orang wanita cantik itupun juga sudah sama-sama dibakar nafsu. Masing-masing pihak menghendaki pelepasan berahi, maka ruangan tengah yang menjadi saksi bisu atas segalanya inipun porak-porandalah. Kursi-kursi tidak karuan tempatnya lagi, dan lampupun tiba-tiba padam!

* * * * * * * *

Pagi itu ketika matahari muncul dengan sinarnya yang cerah, Kun Bok terbangun seperti orang mimpi. Mula-mula dia mengejapkan mata, lalu langit-langit ruangan yang dipandangnya pertama kali tampak bergerak-gerak. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya yang pegal-pegal tampak kecapaian. Urat-urat tubuhnya serasa kaku, dan gerakan aneh di langit-langit ruangan itu membuatnya terbelalak. Dia seakan-akan menempel pada langit-langit ruangan itu. Ikut terbawa oleh perasaannya yang aneh.

Langit-langit ruangan itu seakan-akan bergoyang, membentuk gerakan awan yang melayang di angkasa yang ringan. Di situ dia seakan-akan hanyut, terbawa oleh angin yang menghembus perlahan dan tiba-tiba dia bertemu dengan tiga orang dewi yang sedang berpapasan jalan. Ajaib. Tiga orang dewi jelita itu sekonyong-konyong berhenti. Mereka tersenyum dan mengelilingi dirinya. Seorang di antaranya yang bermata seperti bintang memegang lengannya dan tertawa dengan matanya yang indah itu. Kun Bok tertegun, tapi dua orang dewi yang lain tiba-tiba juga tertawa manis dan ikut-ikut memegangi lengannya. Jadilah dia dikerubut tiga dan dewi yang cantik-cantik itu mendadak mulai menggodanya heran sekali.

Kun Bok seakan lumpuh menghadapi dewi-dewi yang cantik jelita ini. Tidak tahu dia, bagaimana harus bersikap terhadap wanita-wanita yang seperti itu gerak-geriknya. Kerling mereka dan senyum yang menyambar-nyambar mendebarkan hatinya. Dan seorang di antara mereka tiba-tiba mencium dirinya. Kun Bok terkejut, tapi belum hilang rasa kagetnya sekonyong-konyong dewi yang bermata indah membuka pakaiannya. Dewi itu bertelanjang bulat di depannya. Astaga! Kun Bok benar-benar terkejut bukan main sekarang. Dia hendak berontak, tapi tubuhnya tidak mampu bergerak. Dan belum dia sempat berbuat sesuatu tiba-tiba tiga orang dewi yang cantik-cantik itupun sudah sama-sama bugil.

Mereka terkekeh penuh nafsu, dan tubuh mulus yang padat menggairahkan itu membangkitkan darah mudanya. Kun Bok terbelalak, dan jarinya yang menggigil gemetar itu tak dapat dikuasainya lagi. Dewi bermata indah yang menubruk dirinya sudah disambut penuh nafsu, dan dua dewi lain yang ikut mengerubut membuat dia seakan kehabisan napas. Kakinya terguling, dan mereka sama-sama roboh di atas awan. Di situ mereka tenggelam dalam lautan cinta, tapi tiba-tiba awan yang mereka tiduri pecah. Dia berteriak, dan tiga orang dewi itupun jatuh.

Dengan cepat mereka meluncur ke bawah, dan bumi yang keras menerima tubuh mereka. Kun Bok terbanting dengan tubuh terasa remuk, sedangkan tiga orang dewi cantik yang terhempas itupun mengalami nasib yang sama. Mereka berempat sama-sama menderita, tapi dewi bermata indah tiba-tiba mengeluh seraya menghampirinya. Dewi itu merayap kesakitan, dan tiba-tiba memanggil namanya. "Bok-koko…!"

Kun Bok terkejut. Aneh sekali, suara itu seakan-akan benar-benar hidup di dekat telinganya. Dan ketika dia memandang mendadak saja kepalanya dipegang oleh seseorang. Jari yang gemetar lembut mengusap rambutnya, dan Kun Bak tersentak kaget. Bayangan awan di langit-langit ruangan sekonyong-konyong lenyap, terganti oleh munculnya sebuah wajah cantik yang rambutnya terurai di belakang punggung.

"Bi Kwi!" Tiba-tiba Kun Bok berteriak kaget. Dewi yang bermata indah itu temyata kini telah dikenalnya. Dan dia bukan lain adalah Bi- Kwi! Maka begitu kesadarannya bangkit Kun Bok sekonyong-konyong melompat bangun. Akan tetapi begitu berdiri Kun Bok tiba-tiba berseru tertahan. Pakaiannya tidak ada semua, dan dia bertelanjang bulat di tengah ruangan. Aih... Kun Bok seperti disengat ular berbisa. Pemuda ini tertegun dengan muka merah namun Bi Kwi tiba-tiba berdiri memegang lengannya.

Gadis itu juga telanjang bulat, dan Kun Bok terbelalak dengan matanya yang hampir tidak berkedip. Pemuda itu terkejut sekali, karena sekarang setelah dia tahu akan keadaan di sekitar dirinya ternyata mendapatkan kenyataan yang henar-benar membuat dia seperti orang disambar petir. Di ruangan itu mereka semua telanjang bulat. Ya, mereka semua, Bi Kwi dan dua orang kakaknya itu!

Dan Kun Bok yang melihat pemandangan ini mendadak bergoyang tubuhnya. Dia seakan-akan dihantam martil. Berat sekali, bahkan terlampau berat untuk diterimanya. Dan dua orang kakak Bi Kwi yang tadi masih tertidur pulas itu tiba-tiba terbangun. Mereka terjaga oleh teriakan Kun Bok, maka serentak keduanya membuka mata.

"Bok-kongcu....!" Bi Hwa yang pertama kali beradu pandang dengan pemuda itu sudah mengeluarkan seruan perlahan. Wanita ini bangkit duduk, dan Bi Gwat yang juga terbangun itu memandang Kun Bok. Dua orang wanita ini menggeliat lemas, lalu tiba-tiba mereka tersenyum.

"Bok-kongcu!" Bi Hwa mengulang seruannya dan wanita cantik itu melompat berdiri. Lalu tanpa malu-malu dia menyanggul rambutnya yang semrawut untuk kemudian menubruk Kun Bok. Wanita ini terkekeh gembira, dan keadaannya yang tanpa busana itu sama sekali tidak membuatnya canggung. Dengan manja dia melekat di tubuh pemuda itu, lalu tiba-tiba mencium mulutnya.

"Ahh…!" Kun Bok menggereng kaget dan sekonyong-konyong dia menepis kepala Bi Hwa. Rambut yang baru disanggul sederhana itu dicengkeram. dan Bi Hwa tiba-tiba dijengkang roboh.

"Aih…!" Bi Hwa menjerit kaget dan wanita itu terpelanting. Dorongan kun Bok yang amat kasar ini membuat Bi Hwa terbelalak, dan tiba-tiba wanita itu berkilat sinar matanya. Erangan kemarahan meluncur dari kerongkongannya, namun Bi Kwi tiba-tiba melompat maju.

"Bok-koko…!"

Seruan itu menyadarkan Kun Bok. Pemuda yang dilanda berbagai macam perasaan jengah ini tersentak. Dia menoleh, dan Bi Kwi sudah memeluknya dengan mata basah. Kun Bok bergetar, dan sejenak dia menggigil. "Kwi-moi, ini... ini…. apa yang kita lakukan ini...?"

Kun Bok bertanya dengan suaranya yang serak tapi Bi Kwi tiba-tiba memperkeras isaknya. "Bok-koko, kau mengapa marah-marah? Kami tidak menyakitimu, kami tidak menghinamu, kenapa kau melempar Hwa-cici?" gadis itu menyalahkan Kun Bok dan pemuda ini tertegun.

"Kwi-moi, apa katamu?" Kun Bok terbelalak. "Kau menyalahkan aku?"

Bi Kwi menggigit bibir. "Bok-koko, kau telah bersikap kasar terhadap Hwa-cici, bagaimana aku tidak menyalahkanmu?"

"Hm, tapi… tapi perbuatan dia itu, Kwi-moi.... yang…. yang.... ah, begitu tidak pantas untuk dilakukan, bagaimana tidak membuatku marah. Kakakmu itu, Bi Hwa dan Di Gwat itu mereka… mereka…. ah, kita telah berbuat yang tidak senonoh!" Kun Bok hampir seperti orang menangis dan pemuda itu tiba-tiba menyambar pakaiannya yang berceceran di atas lantai.

Bi Hwa dan Bi Gwat juga cepat menyambar pakaian masing-masing dan Bi Kwi yang masih terisak-isak itu dilempari pakaian oleh kakaknya. Gadis itu mengenakan pakaian dengan tubuh menggigil, lalu memandang Kun Bok yang berdiri dengan muka merah padam.

"Bok-koko, apakah kau masih hendak menyalahkan kami?"

Kun Bok menggeram. "Tentu saja, Kwi-moi, kalian telah menjerumuskan aku ke dalam perbuatan asusila!"

"Tapi ini atas dasar suka sama suka, Bok-koko, bagaimana kau bisa bilang begitu? Kalau mau disebut asusila kita berdua sebenarnya telah melakukannya untuk pertama kali di dusun Lee-kim-chung!"

"Hm, tapi itu tapi itu lain lagi persoalannya. Kwi-moi. Kita hanya berdua, tidak berempat seperti ini !" Kun Bok semburat mukanya.

"Ah, kau beralasan yang tidak tepat, Bok-koko. Berempat ataupun berdua sebenarnya sama saja. Kita telah sama-sama bermain cinta atas dasar suka sama suka!" Bi Kwi membantah. "Dan Gwat-cici serta Hwi-cici ini yang telah jatuh hati kepadamu dan menyerahkan tubuhnya secara suka rela, apakah kau hendak mencampakkannya begitu saja? Hm, kalau begitu kami berhak menuntut balas, Bok-koko, karena kami tiga bersaudara sebenarnya telah bersumpah untuk hidup mati bersama dengan orang yang kami cintai!"

Kun Bak terkejut. "Ah, ini…. apa yang kau katakan itu, Kwi moi?"

Bi Kwi melangkah maju. Kini gadis itu tidak menangis lagi, dan dengan mata bersinar-sinar dia menghadapi Kun Bok "Bok-koko...." demikian gadis itu mulai berkata dengan suaranya yang tegas aan nyaring, "Apa yang sesungguhnya telah kami lakukan ini adalah atas dasar kesepakatan kami tiga bersaudara… Enci Bi Gwat dan Bi Hwa telah berkali-kali dikecewakan lelaki. Dan mereka telah bersumpah untuk tidak bermain cinta lagi. Karena itu, aku sebagai saudara termuda, merasa prihatin sekali. Tidak pantas kiranya bagiku mendapat kehabagiaan tanpa mereka berdua ikut menikmatinya. Maka aku lalu bersumpah. Bok-koko, bahwa siapa kelak yang menjadi kekasihku diapun juga harus mau menjadi kekasih enci-enciku! Nah, pilihanku jatuh pada diriniu. Terus terang aku lalu menceritakannya pada enci Bi Gwat dan end Bi Hwa, dan mereka temyata tidak menolak. Mereka percaya akan kejujuranmu, kegagahan watakmu dan mereka setuju penuh huhungan cinta kasih kita ini. Tapi Bok-koko, seperti yang sudah menjadi sumpahku namun yang belum pemah kuberitahukan padamu itu bahwa siapa saja yang menjadi kekasihku diapun harus suka menjadi kekasih enci-enciku pula. Mereka berdua sudah lama mendambakan cinta kasih pria, tapi teringat akan kekecewaan-kekedewaan di masa lalu mereka berdua seakan-akan putus asa. Aku tahu penderitaan dua orang enciku, Bok-koko, maka aku tidak tega membiarkan mereka hidup merana. Karena itu, kalau aku mendapatkan kebahagiaan ini dari seorang kekasih maka aku hendak membaginya sama rata dengan mereka, Bok-koko, atau mati bersamanya pula jika kami dikhianati!"

Keterangan yang diucapkan dengan mata berapi-api oleh Bi Kwi itu semakin lama membuat Kun Bok semakin terbelalak dan setelah selesai berbicara Kun Bok tiba-tiba tertegun. Dia memandang kekasihnya itu dengan mata tak berkedip, lalu memandang pula Bi Hwa dan Bi Gwat untuk kemudian akhirya Kun Buk mengeluh aneh. Bengong pemuda ini, karena apa yang baru saja didengarnya itu sungguh amat luar biasa sekali.

Bagaimana mungkin dia mendapatkan tiga orang kekasih sekaligus. Dan Bi Hwa serta Bi Gwat yang dipandang itu tampak terisak-isak. Dua orang wanita itu mengembang air mata, malah tiba-tiba menjerit perlahan dan berkelebat ke luar. Kun Bok melenggong. Apa yang diterimanya saat itu sungguh di luar dugaannya, dan Bi Kwi yang menyaksikan keadaan kekasihnya itu tiba-tiba memeluk pinggangnya dengan mata berkaca-kaca.

"Bok-koko…" Bi Kwi bersuara serak. "Tegakah kau menghancurkan perasaan dua orang enciku? Kalau mereka tidak dapat kau terima berarti akupun kau tolak, koko, dan ini berarti menghancurkan kebabagiaan kita semua...!" Bi Kwi yang menangis dengan suara sesenggukan itu membuat Kun Bok tidak karuan rasanya.

Pemuda ini sejenak terpaku. namun akhirnya dia batas mendekap kekasihnya itu. "Kwi-moi..." Kun Bok juga gemetar. Mana mungkin kejadian begini kita alami. Bagaimana kelak, kalau kau cemburu? Ah, moi-moi, aku bingung mendengar uraianmu ini…. aku bingung…"

Kun Bok meraih kepala kekasihnya dan tiba-tiba muka mereka yang bertautan itu pun sudah saling cium dengan mesra. Bi Kwi merintih dengan erangannya yang pendek sedangkan Kun Bok mengeluh dengan suaranya yang menggigil. Dua orang itu saling peluk dengan ketat, dan Bi Kwi akhirnya terengah-engah.

"Bok-koko, apa yang kau katakan itu? Mana mungkin aku cemburu terhadap dua orang enciku sendiri? Ah, koko, kau tidak mengerti. Enci Bi Hwa maupun enci Bi Gwat serasa dan sejiwa denganku. Kami tiga bersaudara memang tidak mungkin berpisah, dan karena itu kami pun senasib sependeritaan. Apa yang bisa kau berikan kepadaku harus bisa kau berikan pula kepada mereka, koko, karena ini adalah keinginanku sendiri! Nah, apa yang hendak kau bicarakan lagi?"

"Tapi... tapi, Kwi-moi…"

"Hm, kau kekasih canggung, koko. Sudahlah, jangan menolak lagi. Kebahagiaanku berarti kebahagiaan enciku pula. Bok-koko, karena itu susullah mereka enci Bi Hwa maupun enci Bi Gwat harus kau temui. Mereka harus kau terima seperti juga kau menerima diriku. Mau apalagi?"

Bi Kwi mendorong tubuh kekasihnya ini dan Kun Bok tertegun. Dia hendak membantah, tapi Bi Kwi tiba-tiba menutup bibirnya dengan jari telunjuk. "Sstt. jangan membuang waktu lagi. Bok-koko. Pergilah ke kamar Hwa-cici. Di sana biasanya mereka berkumpul kalau lagi sedih….!" gadis itu mendorong pundak Kun Bok dan dengan hati tidak karuan rasa akhirnya Kun Bok pun memutar tubuh dan menuruti kehendak kekasihnnya yang luar biasa ini. Kaki diangkat dan tubuhpun melayang keluar.

Ruangan tengah yang tadi menjadi ajang percekcokan itupun sepilah kini. Bi Kwi tersenyum dengan matanya yang aneh sedangkan Kun Bok sudah menyusul dua orang kekasihnya-yang lain dengan jantung dak-dik-duk tidak karuan.

Demikianlah, di Pulau Surga yang baru dikenalnya itulah Kun Bok mendapatkan pengalamannya yang aneh, dan putera Bu-tiong-kiam Kun Seng ini akhirnya dapat juga menyesuaikan diri. Tiga orang gadis cantik menjadi kekasihnya dengan cara yang istimewa, dan setelah dia merasa "paham'" akan watak mereka yang aneh Kun Bok-pun akhirnya tenggelam dalam lautan cinta yang menina-bobokkannya ke langit tingkat tujuh!

* * * * * * * *

Ceng Bi sudah lama tidak menangis lagi Gadis itu tidak mau bersikap cengeng. Diri yang dikurung di ruang bawah tanah itu disambutnya dingin-dingin saja. Sekarang dia mulai tenang. Dan malam yang menyelimuti kegelapan gua diterangi sebuah lampu minyak yang baru saja dipasang oleh Jing-ci-touw Kam Sin. Copet itu baik-baik saja. Dia tidak pernah mengganggu Ceng Bi.

Malah semua keperluan gadis itu dialah yang melayaninya, mulai dari makan minum sampai tidurnya. Atas perintah si pemuda baju kuning, kini di ruangan tempat Ceng Bi disekap itu terdapat sebuah dipan untuk tidur. Sederhana memang, akan tetapi cukuplah Ceng Bi tidak perlu kedinginan di atas batu dan dengan selimut bulu domba ia dapat beristirahat.

Si pemuda haju kuning tidak tampak batang hidungnya lagi. Entah ke mana dia, dan Ceng Bi mulai berdebar girang. Kalau Si pemuda baju kuning itu tidak ada berarti dia mempunyai harapan untuk mengerjai si Copet Serihu Jari. Orang she Kam itu sering masuk ke ruangannya, dan dia sewaktu-waktu bisa bertindak menguasai orang ini kalau sedang membersihkan tempat piring ataupun cangkir-cangkir yang berserakan.

Tapi copet she Kam itu rupanya cerdik juga. Dia tidak berani terlalu dekat dengan sang tawanan, dan ketawanya yang ha-ha-he-he setiap memasuki ruangan itu pasti diikuti dengan gerak matanya yang penuh kewaspadaan. Agaknya copet itu mengenal kelihaian Ceng Bi, dan kedudukan gadis itu sebagai puteri ketua Beng san-pai yang berjuluk Ciok-thouw Taihiap ini membuatnya selalu berhati-hati.

Karena itu Ceng Bi merasa kesukaran juga. Kalau saja dia membawa senjata, tentu Si copet yang menggemaskan hatinya ini dapat dia bekuk. Tapi si setan baju kuning itu telah merampas segalanya yang dimiliki. Pedang diambil, dan dia dibuat tidak berkutik seperti harimau yang kehilangan gigi. Betapa menggemaskan Ceng Bi mulai mengumpat di dalam hati terhadap perbuatan lawannya itu. Apakah dia harus mandah saja diperlakukan begini? Tidak sudi. Dia harus memutar otak, mencari akal bagus meloloskan diri dari kurungan bawah tanah itu. Dan mumpung si setan baju kuning itu tidak nongol sebaiknya dia bertindak cepat saja.

Maka Ceng Bi lalu memutar-mutar akalnya dan ia mencari pikiran bagus. Malam itu dia harus berhasil, atau kalau tidak dia bakal dikurung seumur hidup. Keparat! Apa yang hendak dia lakukan? Gadis itu menggigit bibir dan tiba-tiba saja matanya membentur lampu minyak yang bergoyang-goyang di sudut ruangan. Astaga, kenapa dia tidak melihat kenyataan ini? Lampu itu… ah, lampu itu dapat dijadikan sasaran yang amat bagus sekali!

Ceng Bi tiba-tiba berjingkrak dan matanya mulai bersinar gembira. Lampu yang bergoyang-goyang itu dapat dijadikan jalan keluarnya. Dan itu harus dimulai dengan... Ceng Bi tiba-tiba merandek. Dia terkejut karena tiba-tiba saja telinganya mendengar sesuatu yang amat aneh di langit-langit gua. Ada suara "duk-duk" yang lemah di atas sana. dan Ceng Bi terhelalak. Suara apa itu! Dia membanting kaget dan mendadak saja suara "duk-duk" itu semakin keras terdengar. Ceng Bi heran sekali dan perasaannya juga mulai was-was. Ada rasa berdebar di dalam hatinya, akan tetapi juga ada perasaan cemas.

Maka mulailah Ceng Bi bersiap-siap dan mendengar suara itu semakin keras iapun tiba-tiba melompat ke atas dan menempel di langit-langit ruangan. ltulah ilmunya Pek-houw-yu-chong atau Merayap Seperti Cecak dan mengandalkan kekuatan sinkang di telapak tangannya Ceng Bi memasang telinga. Ternyata benar, ada seseorang menggali ruangan itu dari atas!

Ceng Hi terkejut dan seketika ia menjadi tegang. Siapakah penggali di atas itu? Dan melihat kenyataan ini Ceng Bi tiba-tiba menepuk dahinya dengan kaget. Tolol amat dia, mengapa selama ini melupakan langit-langit gua? Kalau sejak dulu dia mengetuk-ngetuk bagian ini tentu jalan keluarnya sudah dapat ditemukan sejak lama! Maka saking girang dan tegangnya gadis itu lalu melompat turun dan bersembunyi di sudut ruangan.

Suara di atas gua itu kini sudah terdengar nyata. Malah mendekati lapisan terbawah. Dan Ceng Bi yang menanti di bawah itu merasa tidak sabar sekali. Ketegangannya sudah terlalu memuncak, dan ia ingin melihat siapa orang aneh yang menggali langit-langit ruangan itu. Suara duk-duk kini berganti "krok-krok" seperti orang mengorek, dan batu di atas gua tiba-tiba mulai berguguran!

Ceng Bi berdebar tidak karuan dan tiba-tiba sebuah benda mencoblos tepat di tengah-tengah atap gua itu. Ujung sebuah pedang! Ceng Bi terbelalak dengan mata tak berkedip namun sekonyong-konyong penggalian di atas gua itu berhenti. Sepasang mata jelli mengintai ke bawah, dan Ceng Bi yang tidak ingin terlihat cepat merapatkan tubuh ke dinding ruangan, ternyata orang itu sedang menyelidik. Dan melihat sikapnya yang amat berhati-hati ini agaknya dia bukan orang Hiat-goan-pang. Maka Ceng Bi menjadi heran di samping curiga.

Siapakah orang di atas gua itu? Musuh ataukah sahabat? Ceng Bi helum dapat memastikan dan tiba-tiba lubang kecil di alas gua itu kembali ditusuk-tusuk. Batu yang berguguran semakin banyak, dan akhirnya sekejap kemudian mengangalah sebuah lubang yang cukup diterobos orang dewasa! Ceng Bi memuncak rasa tegangnya dan tiba-tiba sebuah bayangan hijau melayang turun. Gadis itu tidak dapat menahan diri lagi dan begitu melihat sesosok tubuh melompat turun dia tiba-tiba berkelebat maju sambil menendangkan kakinya.

"Manusia gangsir, lepaskan pedangmu Ceng Bi membentak dan bayangan hijau terkejut.

Dia yang baru melompat turun itu terkesiap kaget melihat lengannya ditendang, tapi bayangan ini rupanya cukup lihai juga. Karena begitu lengannya didupak sekonyong-konyong dia mengangkat siku menangkis.

"Dukk!"

Ceng Bi berseru perlahan dan si bayangan hijau memekik. Lengan yang dipakai menangkis dalam keadaan darurat itu ternyata kalah tenaga, dan dia terlempar bergulingan di atas lantai batu yang keras. Tapi bayangan ini sudah melompat bangun, dan seperti kalajengking marah dia tiba-tiba sudah berdiri saling berhadapan dengan Ceng Bi. Dan saat beradu muka inilah yang membuat masing-masing pihak kaget bukan main. Ceng Bi sampai mengeluarkan seruan lirih sedangkan si baju hijau juga terpekik dengan mata terbelalak. Ternyata mereka sudah saling kenal. Dan hampir berbareng saja keduanya sating teriak.

"Kau?" lalu keduanyapun tertegun di atas Iantai dengan muka bengong.

Apa yang terjadi? Siapa bayangan hijau itu? Ternyata bukan lain adalah "sahabat" lama Ceng Bi yang dulu pernah bertempur seru di padang rumput. Pek Hong, murid si hwesio sakti dari Tibet! Maka begitu keduanya saling pandang akhirnya merekapun sama-sama melompat maju menyambut dengan muka gembira.

"Enci Hong…!"

"Adik Ceng Bi...!"

Keduanya sudah saling memegang lengan dan Ceng Bi yang dulu bermusuhan dengan bekas lawannya itu kini sudah lenyap semua sisa-sisa permusuhannya. Entah mengapa, perjumpaan mereka yang amat tiba-tiba di ruangan bawah tanah ini membuatnya girang sekali, dan Pek Hong yang juga sebenarnya tidak menyimpan kebencian kepada gadis itupun sama-sama gembira. Mereka sudah saling bertatap muka, dan Pek Hong yang heran melihat puteri Ciok-thouw Tai-hiap ini berada di tempat itu sudah bertanya dengan alis diangkat,

"Adik Bi, bagaimana kau bisa di tempat ini?"

Ceng Bi melepaskan pegangannya. "Aku ditawan siauw-pangcu dari Hiat-goan-pang, enci, ditangkap dengan cara yang amat licik!"

Pek Hong terkejut. "He, jadi kau merupakan tawanan?"

"Ya, enci."

"Ah, sama kalau begitu. Akupun juga ditawan Hiat-goan-siauw-pangcu itu, adik Bi! Bukankah dia orang she Ok?"

"Ya, si Ui-i-siauw-kwi (Setan Baju Kuning) itu!"

"Ah...!" Pek Hong membelalakkan mata dan gadis ini tiba-tiba menyimpan pedang. "Adik Bi, apakah kau tahu siapa sebetulnya dia itu?"

Ceng Bi menggeleng tidak perduli. "Aku tidak butuh mengetahui keadaannya, enci Hong, untuk apa mengenal orang macam itu? Cih, melihat saja aku ingin meremukkan kepalanya, apa-lagi kalau sampai berhasil dia roboh di tanganku!"

"Hm, tapi dia lihai, adik Bi, dan kepandaiannya sekarang ini sungguh amat mengejutkan!"

"Sekarang ini?"

"Ya, karena beberapa waktu yang lalu aku pernah bertanding dengannya."

"Dan kau roboh?"

"Sedikit selisihnya, adik Bi, tapi tidak begitu banyak seperti sekarang."

"Maksudmu?" Ceng Bi terheran.

"Begini, adik Bi. Pemuda she Ok itu sekarang ini sudah lihai luar biasa, aku roboh dalam duapuluh jurus saja. Padahal, dulu seratus jurus-pun dia belum mampu merobohkan aku! Dan tahukah kau apa sebabnya?"

Ceng Bi terbelalak. "Karena dia menjadi murid iblis Hek-kwi-to?"

"Eh, kau tahu?" Pek Hong ganti terkejut.

"Ya, karena dia menceritakannya sendiri padaku."

Pek Hong membelalakkan mata dan gadis ini tampaknya heran. "Dia menceritakannya padamu, adik Bi?"

"Betul, kenapakah, enci?"

"Hem, aneh kalau begitu…"

"Apanya yang aneh?"

Pek Hong memandang puteri Ciok-thouw Taihiap ini. "Adik Bi, ketahuilah bahwa dengan perbuatannya itu berarti penawanmu itu melanggar pesan gurunya. Dia bakal ditegur hebat, dan kalau tidak disekap tentu dia mendapat hukuman berat lainnya. Apakah kau mendapat perhatian istimewa sehingga memperoleh perbuatannya yang luar biasa itu?"

Ceng Bi memandang aneh. "Apa yang kau maksudkan ini, enci?"

Pek Hong balas memandang tajam. "Maksudku, apakah kau mepdapat perlakuan istimewa darinya, adik Bi? Kalau tidak berarti dia menyembunyikan maksud-maksud tertentu, tapi kalau ya berarti hem....."

"Kenapa, enci?"

"Berarti dia menaruh hati padamu, adik Bi."

"Enci...!"

"Sstt, jangan keras-keras, adik Bi. Aku tidak mengejekmu, apa yang kukatakan ini barulah kesimpulan-kesimpulan belaka!" Pek Hong buru-buru menutup mulut dengan telunjuknya.

Sedangkan Ceng Bi terbelalak dengan muka merah. Sejenak gadis itu mengepal tinju, dan tiba-tiba dia menggigit bibir. "Enci Hong...!"

"Ada apa, adik Bi?"

"Apakah kau tahu siapa sebenarnya dia itu? Maksudku, tahukah kau bahwa orang she Ok itu adalah sute Pendekar Gurun Neraka?"

Pek Hong terkejut. "Ah, kalau dihubungkan dengan gurunya yang sekarang memang dia terhitung sute Pendekar Gurun Neraka, adik Bi. Tapi, permusuhan yang hebat di antara gurunya dengan Malaikat Gurun Neraka tidak mungkin menyatukan suheng dan sute itu. Kenapakah?"

"Tidak apa-apa, enci. Dan semua yang masih berbau hubungan dengan Pendekar Gurun Neraka sesungguhnya amat kubenci!"

"Eh, mengapa begitu?" Pek Hong terbelalak.

Tapi Ceng Bi tiba-tiba menangis. Gadis itu tidak menjawab pertanyaan ini dan tiba-tiba dia sudah menubruk bekas lawannya itu dengan suara terisak-isak. Pek Hong tertegun, dan murid Ta Bhok Hwesio ini tiba-tiba pucat mukanya. Kaki yang menggigil menerima tubuh Ceng Bi hampir saja roboh, tapi Pek Hong mampu menguatkan diri. Sekejap saja ia tahu, apa sebenarnya yang menjadi isi hati puteri Ciok-thouw Taihiap ini dan tak terasa Pek Hong mengeluh lirih.

Cinta! Duhai cinta, mengapa kau membuat hati jadi merana begini? Pek Hong bergoyang-goyang tubuhnya dan tiba-tiba dia tersenyum pahit. Pendekar Gurun Neraka itu memang pemuda yang hebat. Bekas jenderal muda yang diam-diam dicintainya sejak dulu itupun kini mendapatkan korbannya yang baru. Dan Pek Hong tiba-tiba merintih pilu. Hem, apa yang harus dilakukannya terhadap puteri Ciiok-thouw Taihiap ini? Menyingkirkannya agar tidak mendapatkan saingan ataukah membantunya agar mencapai kebahagiaan...?



Pendekar Kepala Batu Jilid 18

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 18
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Karya Batara
DAN sementara dia menjublak dengan mata mendelong itu tahu-tahu Bi Hwa terkekeh menyenggol kakinya. "Bok-kongcu, apaan saja yang kau lihat ini? Enci Bi Gwat menanti jawabanmu, apakah kau tetap menyebutnya nona ataukah Gwat-moi (adik Gwat)...?"

Kun Bok tersadar dengan muka kaget. Sentakan perlahan dari kaki Bi Hwa di bawah meja itu mengejutkannya, dan melihat Bi Kwi dan dua orang kakaknya memandang dia dengan senyum penuh arti seketika muka pemuda ini menjadi merah tidak karuan. Dia memang gugup, tapi dengan cepat dia sudah berhasil menindas rasa "grogi"-nya itu. Kun Bok tersipu-sipu mengalihkan pandangan, dan Bi Hwa yang tampak geli menyaksikan keadaan putera si jago pedang ini semakin tak dapat menahan diri.

"Hayo Bok kongcu, kenapa diam saja? Lihat tuh enci Bi Gwat masih akan memberikan penjelasan panjang lebar kepada kita tentang munculnya si muka hitam itu. Bukankah kau juga ingin mendengar?"

Kun Bok mengangguk dengan leher serasa seret. "Ah, adik Hwa. ini.... eh, persoalan si muka hitam itu siapa yang tidak ingin mendengarnya? Aku memang ingin mengetahui sebab-musahabnya mengapa pemuda itu sampai bertempur dengan kalian. Dan kalau nona Bi Gwat, eh maaf...!" Kun Bok buru-buru meralat,..." kalau adik Bi Gwat tidak keberatan tentu saja aku ingin mendapatkan keterangannya…!"

"Hi-hik, dan tidak menegur Bi Kwi yang telah mempermainkanmu itu, Bok-kongcu?"

"Ah, ini... hem... adik Bi Kwi memang nakal. Tapi bukankah semuanya itu juga atas permintaan kalian berdua, Hwa-moi? Dia menceritakannya kepadaku bahwa kalian telah memintanya untuk menutup mulut. Bukankah begitu pernyataanmu, Kwi-moi?"

"Ih, kenapa bertanya kepadaku, Bok-ko-ko?" Bi Kwi tertawa. "Lebih baik tanya saja langsung kepada yang bersangkutan!" gadis itu cekikikan geli dan Bi Hwa serta kakaknya ikut tertawa geli.

"Sudahlah….!" akhimya Bi Gwat mengangkat tangan. "Gurauan dapat kita lanjutkan kembali setelah pembicaraan penting kita ini selesai. Kini Bok-kongcu telah mengetahui keadaan Bi Kwi, dan masalah dia mau menjewel telinga Bi Kwi atau tidak itu adalah urusan Bok-kongcu sendiri. Pertemuan kita ini kebetulan sekali amat bertepatan dengan berita-betita baru yang kudapat dari Lo-pangcu, dan adik Bi Hwa serta Kwi-moi harap dengarkan baik-baik. Sebelumnya, apakah Bok-kongcu ada pertanyaan yang hendak didahulukan?"

Kun Bok masih terbengong heran. Pertanyaan merdu itu disambutnya dengan gelengan kepala, dan dia hanya berkata, "Adik Bi Gwat, kukira pertanyaan yang ingin kuketahui sekarang ini adalah kepentingan si muka hitam yang datang-datang mengacau tempat tinggalmu itu. Pertanyaan lain kukira nanti bisa kutanyakan pada Bi Kwi."

"Hm, baiklah. Memang kukira Bok-kongcu dan adik Bi Hwa yang tidak mengetahui persoalan ini ingin mengetahuinya, karena kalian berdua datang belakangan. Ketahuilah, Bok-kongcu, si muka hitain itu datang kemari untuk maksudnya mencari seseorang…" Bi Gwat berhenti sejenak dan Kun Bok memasang perhatiannya. "Dan orang yang dicarinya itu bukan lain adalah Pouw Kwi!"

"Pouw Kwi?" Kun Bok tercengang kaget. Siapa Pouw Kwi itu, adik Bi Gwat?"

Tapi Bi Gwat sudah mengulapkan tangannya. "Perlahan dahulu, Bok-kongcu, jangan tergesa-gesa. Pouw Kwi yang kau tanyakan itu bukan lain adalah tamuku yang datang beberapa hari yang lalu, dan dia ke mari atas suruhan gurunya yang menjadi tamu istimewa Lo-pangcu kami di markas pusat. Omong-omong, apakah kongcu pernah mendengar nama Puri Naga?"

Kun Bok semakin keheranan. Dia menggeleng kepala mendengar pertanyaan itu dan dengan terus terang menjawab, "Tidak, adik Bi Gwat, aku masih terlalu dangkal dalam petualangan di dunia kang-ouw. Tidak tahu, tempat apakah Puri Naga itu?"

Bi Gwat tersenyum kecil. Tapi sebelum dia bicara tahu-tahu Bi Hwa sudah nyeletuk, "Itulah markas besar Hiat-goan-pang, kongcu, tempat tinggal ketua pusat kami!"

"Oh, begitukah?" Kun Bok menoleh ke wanita cantik ini. "Jadi Puri Naga merupakan markas pusat kalian, Hwa-moi?"

"Tidak salah!"

Bi Hwa mengangguk sambil tersenyum penuh arti. "Dan lopangcu kami telah mengundang beberapa tokoh besar untuk menghadiri ulang tahun yang pertama dari Hiat-goan-pang, Bok kongcu. Apakah kau kelak ingin mengikutinya bersama kami?"

Kun Bok terkejut bingung. "He, jadi Hiat-goan-pang baru menginjak tahun pertama dari masa berdirinya,?"

"Ya."

"Ah, pantas saja kalau aku belum mendengar nama perkumpulan itu!" Kun Bok akhirnya memaklumi diri sendiri dan Bi Gwat yang mendengar ucapan itu menimpali sambil tertawa manis.

"Tapi yang baru muncul inipun jangan dianggap enteng, Bok-kongcu, karena Lo-pangcu kami adalah seorang tokoh besar yang namanya tidak kalah dengan orang-orang sakti di jaman ini, bahkan tidak sekalipun bagi Malaikat Gurun Neraka atau murid tunggalnya si bekas jenderal muda itu!"

"Ah, Yap-goanswe maksudmu, adik Gwat?"

"Ya, bahkan tidak kalah tenar pula oleh nama besar Ciok-thouw Taihiap yang menjadi ketua Beng-san-pai itu! Apakah kongcu tahu siapa Lo-pangcu kami?" Bi Gwat tampak vangga dengan keterangannya ini dan Kun Bok yang mendengar nama Ciok-thouw Taihiap disebut-sebut dalam hati merasa kaget bukan main.

Tapi pemuda itu mampu menahan diri, dan kata-kata itu disambutnya dengan mata terbelalak. Dia tidak tahu betapa ketika Bi Gwat menyebut-nyebut nama Si Pendekar Kepala Batu Bi Kwi tampak tersenyum sinis ke arahnya, dan Bi Hwa yang melirik adiknya itu tertawa ditahan. Pemuda ini sedang terpukau ke arah Bi Gwat, maka semua keadaan enci adik di samping dirinya itu tidak diketahuinya.

Kun Bok hanya berdesir mendengar calon ayah mertuanya itu disebut-sebut, namun dengan kepandaiannya menahan diri dia mampu mengambil sikap wajar. Hanya dia merasa kaget dan heran bahwa Bi Gwat menyebut ketua pusatnya orang yang tidak kalah terkenal dengan Malaikat Gurun Neraka. Bahkan Ciok-thouw Taihiap Souw Ki Beng!

Inilah yang Kun Bok merasa heran bukan main dan diam-diam timbul keinginan tahunya untuk mengetahui siapakah gerangan sang Lo-pangcu dari Hiat-goon-pang itu. Dan karena dia sendiri juga masih hijau dalam urusan dunia kang-ouw maka Kun Bok-pun tidak banyak tahu.

Sedangkan Bi Gwat yang melihat betapa putera si jago pecking dari Kun-lun itu terbelalak kepadanya diam-diam menjadi geli. Dia mengenal Baik keadaan pemuda itu, bahkan mengenal baik pula huhungannya dengan Bi Kwi, termasuk permainan cintanya di dusun Lee-kim-chung! Dan Kun Bok yang tidak sadar betapa dirinya memasuki perangkap berbahaya dari tiga wanita itu tampaknya tenang-tenang saja. Tidak tahu, betapa dia terjebak secara rapi di kalangan iblis-iblis berbahaya yang kelak menyulitkan dirinya sendiri!

"Bok-kongcu, apakah kira-kira engkau dapat menebak siapa Lo-pangcu kami yang tidak kalah lihainya dengan tokoh-tokoh yang kami sebutkan tali?" demikian akhirnya Bi Gwat bertanya dengan sinar mata bercahya.

Tapi tentu saja Kun Bok menggelengkan kepalanya. "Tidak, adik Gwat. Aku tidak mampu menebaknya. Siapakah gerangan?"

"Hi-hik, biarlah sementara kita rahasiakan dahulu, Bok-kongcu. Kami tidak berani melanggar pesan beliau yang amat keras. Kalau kongcu ingin tahu, bolehlah kelak bersama kami mengunjungi Puri Naga dan di sana kongcu bakal berkenalan dengan tamu-tamu istimewanya Lo-pangcu kami! Kembali pada persoalan si muka hitam, apakah kongcu mengenal siapa dia?"

Kun Bok mengerutkan alis. "Lagi-lagi aku tidak tahu siapakah dia, adik Gwat. Apakah kau mengenal siapa dia?"

Namun Bi Gwat juga menggelengkan kepala. "Sayang, aku juga tidak tahu siapa keparat jahanam itu, Bok-kongcu, tapi mengingat kepandaiannya yang tinggi agaknya dia bukan orang sembarangan. Tiga mengeroyok satu ternyata masih juga tidak berhasil, dan kalau Hu-pangcu kami berada di sini mungkin orang itu dapat dibekuk!"

"Hm, siapa itu Hu-pangcu, adik Gwat?"

"Hiu-pangcu (wakil ketua) adalah murid tunggal Lo-pangcu kami. Dia juga masih muda seperti dirimu, kongcu, tapi kepandaiannya sudah bertingkat-tingkat di atas kami. Dia dapat disejajarkan dengan ketua-ketua partai besar seperti Hoa-san ataupun Bu-tong, dan kalau Hu-pang-cu kami berada di sini tentu si muka hitam itu tak akan mampu melarikan diri!"

"Ah, hebat kalau begitu!" Kun Bok berseru kagum.

"Benar, kongcu, dan terus terang kami bertiga melawannyapun juga masih belum nempil!" Bi Gwat menyambung bangga dan mata wanita itu tampak bersinar aneh.

Kun Bok kembali terkejut dan dia semakin terheran-heran. Kalau omongan Bi Gwat ini benar berarti perkumpulan Hiat-goan-pang itu dipimpin oleh orang-orang lihai. Dan kalau Hu-pangcunya saja dikeroyok bertiga oleh Bi Gwat dan dua orang adiknya itu masih tidak nempil berarti orang-orang yang duduk di dalam perkumpulan ini sungguh orang-orang sakti.

Padahal melihat kepandaian Bi Gwat dan adik-adiknya itu tadi dia sendiri harus berpikir seribu kali untuk menang! Apakah memang betul bahwa wakil piinpinan pusatnya saja sudah sejajar dengan ketua-ketua partai besar seperti Hoa-san dan Bu-tong? Kalau benar demikian perkumpulan Gelang Berdarah itu sungguh hebat. Kun Bok termangu keheranan dan Bi Hwa tiba-tiba nyeletuk.

"Eh, Gwat-cici, bagaimana si muka hitam itu bisa masuk ke mari dan kapan tibanya?"

Bi Gwat mendadak gelap mukanya. "Dia masuk dengan cara bagaimana aku sendiri tidak mengerti, Hwa-moi, tapi kukira sudah beberapa waktu yang lalu. Kami hanya mendengar suara-suara aneh di kuil, terbukanya pintu-pintu dan suara gedobrakan di dalam kamar, tapi ketika kami datangi ternyata tidak ada siapapun di sana. Dia ginkangnya seperti siluman saja, tidak mampu kami tangkap. Dan ketika kegaduhan di atas menara kami datangi, ternyata si muka hitam itu tahu-tahu telah berada di situ. Agaknya inilah pencariannya yang terakhir, karena begitu bertemu dengan kami, dia tidak mengelak lagi. Si muka hitam itu bertanya di mana orang she Pouw, itu menyembunyikan diri, dan kami berdua tentu saja terkejut mendengar pertanyaannya ini. Dengan terus terang akhirnya kami beritahu bahwa orang yang dicari itu sudah pergi, namun dia tidak mau percaya. Kekurang-ajarannya ini membuat kami naik darah, dan begitulah, kami lalu bertempur sampai akhirnya kau datang bersama Bok kongcu…!"

"Hm, dan siapakah sebenarnya orang she Pouw itu adik Gwat?" Kun Bok tiba-tiba bertanya. Apakah dia musuh si muka hitam ini?"

Bi Gwat menggelengkan kepalanya. "Aku tidak begitu jelas, kongcu, tapi melihat kemarahan si muka hitam tentu orang yang dicari itu memang musuhnya. Pouw Kwi adalah murid mendiang Ang I Lo mo, tapi kini dia menjadi murid Ceng-gan Sian-jin!"

"Hah, Ceng-gan Sian-jin?!" Kun Bok terkejut.

"Ya, kenapakah, kungcu?" Bi Gwat memandang tamunya dan Bi Hwa serta Bi Kwi tampak melirik tajam.

Tapi Kun Bok hanya sekejap saja merasa kaget karena dengan terheran-heran dia lalu memandang Bi Gwat. "Dan orang macam itu telah menjadi tamumu, adik Gwat…?"

Pemuda itu tampaknya merasa aneh, namun tuan rumah tersenyum hati-hati. "Jangan tergesa-gesa berkesimpulan buruk Bok kongcu, karena seperti telah kukatakan tadi, dia ke sini karena membawa berita yang harus disampaikan dari Lo-pangcu kami. Pembukaan ulang tahun pertama Hiat-goan-pang telah hampir dimulai. dan Ceng-gan Sian-jin yang kebetulan diundang oleh perkumpulan kami mendapat pelayanan yang tidak berbeda dengan para undangan lain. Muridnya iseng-iseng menyampaikan berita sekaligus berkenalan dengan ketua-ketua cabang di seluruh wilayah Hiat-goan-pang. Apakah harus kutolak karena melihat kedudukan Cheng-gan Sian-jin?"

Kun Bok terdiam. "Tapi… tapi… akhirnya pemuda itu tampak tegang. "Apakah Hiat-goan-pang merupakan sebuah perkumpulan yang dengahabat dengan datuk iblis itu, Gwat-moi?"

"Hm, perkumpulan kami bersikap netral, Bok-kongcu." Bi Gwat menjawab hati-hati. "Karena bagi pimpinan pusat tidak ada golongan iblis atau yang bukan iblis. Dunia dihuni oleh sesama umat, manusia-manusia yang wataknya tidak bisa ditentukan. Dan persahabatan yang tidak memandang bulu begini apakah harus disalahkan? Hiat-goan-pang bukan melulu bersahahat, dengan orang-orang macam Cheng-gan Sian-jin belaka, tapi juga orang-orang dari kelompok pendekar. Seperti misalnya ketua Kun-lun maupun Hoa-san. Dua orang ketua ini menjadi sahabat-sahabat pula dari Hiat-goan-pang, dan kalau kongcu ingin membuktikannya bolehlah datang ke Puri Naga bersama kami untuk memeriahkan ulang tahun partai. Tentunya kong-cu mengenal Pek-mauw Sian-jin, bukan?"

"Ah, ketua Kun-lun-pai itu?"

"Ya."

"Tentu saja, adik Gwat. Dia juga sahabat ayah!" Kun Bok menganggukkan kepala dan Bi Kwi tiba-tiba menyela.

"Nah, mau apa lagi, Bok-koko? Bagi Hiat-goan-pang asal tidak mengganggu setiap orangpun tidak dianggap jahat. Begitu pula dengan Cheng-gan Sian-jin. Asal dia baik-baik terhadap kita maka kitapun juga baik-baik terhadap dia. Masalah baik buruk itulah tergantung penilaian orang luar belaka!"

Gadis itu memandang Kun Bok dan senyum manisnya yang tersungging membuat Kun Bok menyeringai penuh arti. Ucapan kekasihnya ini melepaskan konsentrasinya, dan sejenak pemuda itu menatap wajah memikat ini dengan mata bersinar. Tapi Bi Hwa tiba-tiba menyenggol kakinya lagi.

"Ih, Bok-kongcu, kenapa bengong saja memandang Bi Kwi? Lupa ya, bahwa aku telah mempertemukan kalian di sini?" wanita itu tertawa genit dan Kun Bok seketika merah mukanya.

"Ah, adik Hwa, kau ini selalu menggodaku melulu. Bukankah kau yang mengajakku kemari?"

"Hm, tapi kalau tidak menyebut nama Bi Kwi belum tentu kau mau ikut, kongcu. Apakah ini melulu ajakanku? Hi-hik, jangan berpura-pura, kongcu, kaupun memang punya niat ke mari untuk bertemu Bi Kwi...!"

Bi Hwa tiba-tiba bangkit berdiri dan dengan lenggangnya yang memikat wanita itu tertawa kepada kakaknya. "Gwat-cici, tamu sudah lama diajak mengobrol mengapa belum juga keluar minuman? Ih, pelit amat kau ini. Apakah di dalam sudah kehabisan arak? Wah, kerongkongan kering nih, biarlah aku menyuguhkan hidangan istimewa kepada tamu kita…!"

Gadis itu terkekeh geli dan dengan kerling mata yang menyambar indah dia melirik sekejap ke arah Kun Bok. Lalu ketika Bi Gwat tampak terkejut oleh teguran adiknya ini Bi Hwa sudah buru-buru lari ke belakang mengamhil minuman ringan untuk menyambut kedatangan Kun Bok itu. Kun Bok tertegun, tapi Bi Kwi tiba-tiba menggeser duduknya merapati pemuda ini.

"Bok-koko, jangan malu-malu di tempat kita. Kami tiga bersaudara memang sudah biasa saling bergurau. Apakah kau diledek terus oleh enci Bi Hwa? Hem, nanti kita hukum dia dengan permainan kartu hijau. Eh, Gwa-cici, bukankah kartu hijau ada padamu? Keluarkan dong, kita bergembira sebelum besok pagi menuju ke Puri Naga…!"

Bi Gwat tersenyum lebar dan mendengar kata-kata adiknya yang bungsu itu mendadak sinar matanya berkilat gembira. Ada nafsu tersembunyi di balik mata wanita cantik ini. Dan seperti orang main sulapan saja tahu-tahu tangannya telah memegangi sekotak kayu cendana yang berukir perak.

"Hm, kita hendak meramaikan suasana di sini, Kwi-moi? Atau di tempat lain?" wanita itu mulai membuka kotak cendananya dan Kun Bok melihat sebuah dadu dengan setumpuk kartu hijau yang tidak diketahui bagaimana cara permainannya itu.

Bi Kwi mengangguk, dan tiba-tiba sambil tertawa genit gadis itu bangkit berdiri. "Ya, enci Bi Gwat, kita main di sini saja. Bok-koko biar menjadi rajanya dan kita sebagai ratu-ratunya. Eh, bukankah Si-meh ada di luar? Kalau begitu biar kututup dahulu pintu-pintu ini agar kita tidak terganggu…!" Bi Kwi melangkah sambil tertawa kecil dan Kun Bok sekonyong-konyong merasa ngeri mendengar kekeh tawa kekasihnya itu. Seperti kuntianak yang haus berahi, atau sepasang kucing yang mengeong di musim kawin!

Tapi Bi Gwat yang tidak melihat perobahan wajah pemuda dari Kun-lun ini menyambut kekeh Bi Kwi itu dengan senyum lebar. Wanita itu tiba-tiba mengangkat sebelah kakinya, duduk menyilang dengan paha kiri di atas paha kanan, dan Kun Bok yang berada persis di depan wanita cantik itu tersirap darahnya. Sepasang paha yang putih mulus tersingkap sekejap, dan Kun Bok yang melihat secara tidak sengaja itu berdesir jantungnya. Namun Bi Gwat seolah-olah tidak tahu, dan wanita nomor sebelas dari ketua cabang Hiat-goan-pang itu sudah mengambil mangkok pemutar dadu sambil tersenyum genit.

"Bok-kongcu, apakah kau pernah bermain kartu hijau pengiring dadu ini?" wanita itu memandang Kun Bok.

Kun Bok menggeleng. Dia masih merasa berdebar dengan pemandangan sekilas dari bawah meja tadi, dan entah mengapa tiba-tiba saja timbul perasaan tidak enak yang menghantui dirinya. Tapi untuk menghormati tuan rumah dia menjawab juga, "Tidak, adik Bi Gwat, aku bodoh dalam segala hal. Permainan seperti judi begini mana aku tahu?"

Bi Gwat tertawa "Hik-hik, kau rupanya canggung dalam segala hal, kongcu. Apakah Kwi-moi belum pernah mengajarimu permainan macam ini? Nah, lihatlah. Kami akan mengajarimu cara bermain dan tentang patut disebut judi atau tidak itutah tergantung para pelakunya saja. Kami tidak mengatakan permainan ini judi, karena tidak ada taruhannya biar yang paling kecil sekalipun. Karena itu harap kongcu perhatikan baik-balk. Permainan kartu hijau pengiring dadu ini mudah, hanya tergantung dari keluarnya angka terbanyak dari siapa yang menang. Dan untuk yang mendapatkan angka terkecil, yakni yang kalah, hanya dihukum dengan sambitan kartu hijau itu. Di mana kartu melekat. Di situlah dia harus membuang apa yang dipakai! Nah, mudah bukan?" Bi Gwat tertawa aneh dan Kun Bok terbelalak mendengar uraiannya ini.

"Apa adik Gwat, hukuman sambit kartu?" pemuda itu tercengang tidak mengerti.

"Ya, Bok-kongcu, hanya hukuman sambit kartu. Kita bisa mengadakan permainan macam ini karena sekaligus untuk melatih pukulan jarak jauh. Siapa yang lihai berarti dialah yang mencapai kemajuan!"

"Ah, jadi maksudmu...?"

Tapi Bi Hwa tiba-tiba muncul dengan seguci arak besar. Kakak Bi Kui yang nomor dua ini sudah tertawa dari dalam, dan dengan tiba-tiba dia berseru keras. "Bok-kongcu, jaga penampan ini. Awas kalau meleset…!"

Dan seperti piring terbang saja tahu-tahu sebuah penampan bulat melayang ke atas meja. Kun Bok terkejut, tapi akhirnya dia berseru kagum. Penampan bulat yang dilemparkan Bi Hwa itu meluncur dengan anginnya yang berkesiur tajam, namun begitu berada di atas meja sekonyong-konyong terhenti dan jatuh tanpa suara, seperti diletakkan oleh tangan dengan halus saja!

"Aih, hebat…!" Kun Bok memuji kagum tapi Bi Hwa telah menyusulinya dengan ketawanya yang merdu,

"Jangan memuji dulu, kongcu, ini masih ada yang terakhir. Haiitt...!"

Guci arak yang dibawa itupun mendadak dilemparkan oleh wanita ini, dan suara mendengung yang rendah mengejutkan Kun Bok untuk kedua kalinya. Tapi Bi Hwa ternyata hebat, tenaga sinkangnya mampu dikendalikan dan seperti diputar-putar tangan tak tampak saja guci arak itu sejenak berpusing di udara, lalu tiba-tiba hinggap dengan ringan di atas meja, persis di pinggir penampan itu tanpa pecah!

"Wah, luar biasa….!" Kun Bok terbelalak dengan matanya yang keheranan dan bau arak yang harum keras menyengat hidungnya. Hampir saja Kun Bok tersedak, tapi untunglah, dengan kekuatan sinkangnya dia berhasil menguasai tenggorokannya yang hampir batuk-batuk. Kun Bok terkejut, dan dia memandang guci arak yang tutupnya masih tersumbat itu. Kaget dia, belum dibuka saja sudah sedemikian keras baunya, apa-lagi kalau sampai dibuka Maka pemuda ini lalu geleng-geleng kepala dan Bi Hwa yang tampaknya bangga oleh pujian Kun Bok ini sudah melompat maju dengan wajah berseri.

"Bagaimana, Bok-kongcu, apakah tenagaku masih terlalu lemah?"

Kun Bok tersenyum masam. "Ah, sinkangmu mengagumkan sekali, Hwa moi, siapa bilang lemah? Tidak, aku kagum sekali dibuatnya!" pemuda itu berkata sungguh-sungguh dan Bi Hwa tampak girang.

Tapi Bi Kwi yang baru saja selesai menutup pintu itu tiba-tiba menyela, "Hm, namun masih kurang komplit, Bok-koko, karena dia hanya membawa penampan dan guci arak. Bagaimana cara kita minum?"

Gadis itu tiba-tiba membalikkan tubuh. "Lihat nih, aku akan melengkapi kekurangan enci Bi Hwa itu. Gwat-cici, terimalah!" dan seperti orang bermain akrobat saja sekonyong-konyong Bi Kwi melontarkan sebuah cangkir arak yang tidak diketahui dari mana diperolehnya.

Kun Bok tercengang, tapi Bi Gwat yang diperingatkan adiknya itu tahu-tahu membentak perlahan. Cangkir yang meluncur disambut tiupan mulut, dan begitu tempat arak ini berada di depan hidungnya mendadak saja cangkir itu berputar arah dan kembali ke Bi Kwi! "Kwi-moi, aku malas menaruhnya di meja. Suruh Bok-kongcu yang ganti menerima…!" begitu bentakan Bi Gwat kepada adiknya dan Bi Kwi yang melihat cangkir araknya di"retour" oleh kakak perempuannya itu tiba-tiba tertawa geli.

"Wah, Gwat-cici jual mahal, ya? Tidak mau mengotori tangan sendiri. Baiklah, biar Bok-koko yang menerima cangkir kehormatan ini. Bok-koko, awas, aku minta kau meletakkan cangkir ini di atas guci… pusshh…!" Bi Kwi meniup dan seperti kakaknya tadi tiba-tiba cangkir itu tertahan di udara, berputar sekejap dan sekonyong-konyong meluncur menyambar muka Kun Bok!

Putera Bu-tiong-kiam Kun Seng ini tercekat, dan sekaratng dia maklum bahwa kakak beradik itu masing-masing sedang mendemonstrasikan sinkang di hadapannya. Karena itu, Kun Bok lalu mengangkat tangan kanannya dan dengan jari telunjuk dia menuding ke cangkir yang menyambar dengan kecepatan kilat itu. "Kwi-moi, aku hanya bisa melakukan ini. Cangkir kehormatan itu biarlah kutaruhnya di atas guci. Hupp....!" dan bagaikan orang bermain sihir saja tiba-tiba cangkir itu melekat di jari telunjuk Kun Bok, dibanting ke lantai dan tiba-tiba mencelat jatuh persis di atas guci arak!

"Cepp!" semua orang terbelalak kagum dan Bi Kwi bersorak melihat hasil terakhir ini. Cangkir arak itu dengan tepat tengkurap di mulut dan bukti bahwa dia tidak pecah dibanting Kun Bok menandakan bahwa pemuda itu menggunakan tenaga lentur yang membuat cangkir seperti bertemu dengan benda karet! Inilah demonstrasi sinkang yang tidak kalah hebatnya dengan tiupan mulut dan tiga bersaudara kakak beradik itu akhirnya bertepuk tangan.

"Aih, Bok-kongcu benar-benar mengagumkan. Tenaganya tidak kalah oleh kami!" Bi Hwa berseru memuji tapi Kun Bok senyum-senyum tenang saja.

"Ah, tapi nyatanya kita semua tidak nempil melawan si muka hitam, adik Hwa! Untuk apa bangga?"

Tiga orang wanita itu tertegun. Memang, apa yang baru saja diucapkan pemuda ini tepat sekali. "Pamer" sinkang yang tampaknya hebat-hebat itu ternyata masih saja belum mampu untuk melawan si muka hitam yang lihai. Bahkan mereka berempat keok semua di tangan musuh!

Tapi Bi Hwa yang lincah bicara tiba-tiba sudah tertawa merdu. Wanita cantik ini sudah duduk di sebelah Kun Bok, dan dengan matanya yang bersinar aneh itu dia berjebi. "Wah, Bok-kongcu jangan mengecilkan hati kita, dong, karena si muka hitam memang bukan tandingannya! Kita memang kalah tapi dengan latihan tekun yang akan datang mungkin kita bisa menang. Eh, Gwat-cici... bukankah apa yang kukatakan ini beralasan?"

Bi Gwat tersenyum pahit. "Agaknya begitulah, adik Hwa, tapi berapa lama kita mampu menandinginya? Dia memang lihai, dan agaknya Hu-pangcu sendiri atau Lo-pangcu kita yang dapat mengatasinya!"

"Ah, kenapa semua menjadi murung?" Bi Kwi tiba-tiba menyela. "Kalau begini semua tentu kita tidak akan memperoleh kemajuan. Hayo kembali pada pokok persoalan kita sendiri, bergembira menghabiskan malam dengan kartu hijau…!"

Seruan Bi Kwi itu tiba-tiba membangkitkan kegembiraan dua orang kakaknya dan Bi Hwa serta Bi Gwat mendadak berseri. Seketika mereka melupakan persoalan si muka hitam, dan Bi Gwat yang memegang dadu tiba-tiba tertawa geli.

"Ih, betul juga ucapanmu itu, Kwi-moi. Kita memang sepantasnya melewatkan malam ini dengan kartu hijau! Eh, adik Bi Hwa, kenapa tidak dibuka tutup arakmu itu?" Bi Gwat memandang adiknya dan Bi Hwa terkekeh.

"Hi-hik, kita semua hampir saja lupa dengan kegembiraan ini, Gwat-cici, maklum, Bok-kongcu mengungkit-ungkit kembali si muka hitam yang menyebalkan itu. lh, bukankah dengan adanya Bok-kongcu sekarang kita dapat melewatkan malam panjang?" wanita itu melirik Kun Bok dan kerling matanya yang penuh gairah ini menyambar tajam. Kun Bok berdetak, tapi Bi Kwi tiba-tiba menyenggol lengannya.

"Bok-koko, sudah tahukah engkau cara permainan ini?"

Kun Bok menggeleng. "Belum. Kwi-moi."

"Nah, dengarkan kalau begitu." Bi Kwi meminta dadu, menyembunyikannya dalam mangkok putaran dan melanjutkannya sambil tersenyum gembira, "Kita hanya mengocok-ngocok dadu ini, lalu menggelindingkannya untuk melihat angka berapa yang keluar. Bok-koko. Siapa yang tertinggi, dialah yang menang. Sedangkan yang terkecil, dialah yang kalah. Nah, mudah bukan?"

"Hm, lalu untuk yang kalah menerima hukuman kartu hijau.?"

"Betul."

"Tapi bagaimana cara permainannya?"

"Kita menyambitkan kartu hijau ini, tapi tidak boleh dilempar melainkan ditiup!"

"Ah, begitu?" Kun Bok tercengang.

"Ya, dan siapa yang terkena sambaran kartu hijau ini dia harus membuang apa yang dikenakan, Bok-koko, seperti misalnya pita rambut enci Bi Hwa itu!"

Bi Kwi tiba-tiba mengambil sebuah kartu hijau, meniupkannya ke pita rambut Bi Hwa dan seperti kupu-kupu terbang saja benda itu tahu-tahu sudah menancap di rambut Bi Hwa!

"Ihh...!" wanita itu terkejut dan. Kun Bok yang melihat jadi terbelalak lebar. Dia memang kaget melihat kartu hijau seakan-akan bernyawa saja, dan rambut kepala yang semula dijadikan sasaran kiranya hanya berupa pancingan saja. Bi Hwa terjebak, dan wanita itu kena dikelabuhi! "Eh, tidak mengelak?" Kun Bok terkejut.

"Terserah pada yang bersangkutan, Bok-ko-ko. Karena kalau enci Bi Hwa mandah dihukum berarti dia menyatakan kalah, kalau dia tidak mau kalah berarti dia harus mengelak. Dan kami yang menang tentu saja harus memutar akal untuk menjebaknya. Seperti ini misalnya...." Bi Kwi berhenti sejenak, memandang encinya yang tersenyum-senyum lalu tiba-tiba berkata, "Enci Bi Hwa, mengelaklah…!"

Baru selesai seruan itu diucapkan sekonyong-konyong Bi Kwi sudah meniup sebuah kartu hijau yang menyambar gelung rambut kakaknya. Benda ini melesat cepat. Tapi Bi Hwa yang tidak mau diserang itu kini mengelak. Wanita ini bangkit berdiri, dan rambut kepala yang dijadikan sasaran itu direndahkan sedikit Kartu hijau menyambar tempat kosong, tapi aneh bin ajaib, mendadak saja benda itu menukik turun seperti belalang setan dan tahu-tahu menancap di ikat pinggang Bi Hwa!

"Nah, bagaimana, koko?" Bi Kwi tertawa. "Kita harus pandai memutar akal, bukan? Dan dengan cara permainan semacam inilah kita saling mengukur kekuatan sinkang maupun khikang masing-masing pihak untuk melihat kemajuannya. Permainan ini menggembirakan, karena selain asyik juga dapat memuaskan selera gurauan kita. Apalagi kalau ditamhah dengan minuman Arak Mawar Hitam!"

Gadis itu terkekeh dan Bi Hwa serta Bi Gwat juga ikut tertawa. Bi Hwa sendiri sudah membuka guci araknya, dan bau yang luar biasa kerasnya menguap di seluruh ruangan. Kun Bok kembali hampir saja tersedak, dan hidungnya yang disengat bau arak yang luar biasa itu mencium suatu keharuman yang aneh. Ada seperti rasa manis-manis gula pada bau arak itu, tapi ada juga ciri wewangian yang khas seperti harumnya bunga mawar. Dan melihat nama arak itu, yang dinamakan Arak Mawar Hitam, agaknya tidak berlebihan bila memang dibuat dari sari bunga-bunga mawar! Kun Bok masih tertegun oleh ban arak yang luar biasa harumnya itu tapi Bi Hwa tiba-tiba sudah menuangkan araknya di dalam cangkir sambil tertawa.

"Bok-kongcu, sebagai tamu kehormatan biarlah kau cicipi dahulu arak istimewa kami ini. Cobalah, dan kau pasti akan merasa segar!"

Cangkir itu sudah didekatkan ke mulut Kun Bok dan Kun Bok yang masih melenggong ini terkejut. Sejenak dia ragu-ragu memandang arak yang berwama hitam sesuai dengan namanya itu tapi akhirnya suara ketawa tiga orang wanita di sebelahnya ini membuat dia gugup dan kehilangan kesadaran. Bi Kwi dan dua orang ka-kaknya itu seakan-akan mengejeknya sebagai pemuda "gunung" yang tidak biasa mengenal arak, karena itu untuk menghilangkan kecanggungannya ini Kun Bok tiba-tiba menerima arak itu dan sekali tenggak saja lenyaplah minuman keras itu ke dalam kerongkongannya!

"Hi-hik, Bok-koko kiranya lahap juga meneguk arak. Lihat tuh, mukanya tiba-tiba tampak segar kemerahan….!" Bi Kwi tertawa memandang pemuda ini dan dua orang kakaknya cekikikan geli.

"Memang arak ini bukan arak sembarangan, kongcu, tapi simpanan khusus kami selama bertahun-tahun. Khasiatnya tinggi, menambah tenaga dan melancarkan jalannya darah!" demikian Bi Gwat menyambung.

Dan Kun Bok yang merasa ada benarnya juga keterangan itu menganggukkan kepalanya. Dia memang merasa tenaganya tiba-tiba bertambah, dan aliran darah yang dirasanya lebih cepat itu membuktikan kebenaran ucapan ini. Tapi sedikit yang dia merasa aneh, kenapa kepalanya mendadak saja terasa ringan. Apakah hawa arak yang naik ke atas?

Dan wajah Bi Kwi serta kakak-kakaknya itu, ah, tiba-tiba saja tampak demikian jelita dan cantik-cantik! Kun Bok merasakan detak jantungnya berdegup tidak karuan dan Bi Gwat yang duduk di depannya ini tiba-tiba mengalihkan tumpuan kakinya. Paha kiri yang tadi diletakkan di atas paha kanan itu kini diganti, dan kelebatan gempalnya sepasang paha yang putih montok membuat darah pemuda itu terkesiap.

Ahh…! Kun Bok agak sesak napasnya dan Bi Gwat yang tadi bersikap tenang itu kini agak berani. Wanita cantik ini memandang Kun Bok, dan matanya yang bercahaya redup itu mulai menyambar-nyambar. "Bok-kongcu, apakah kita mulai sekarang?"

Suara wanita ini terdengar merdu bukan main di telinga Kun Bok dan pemuda itu menganggukkan kepalanya dengan sedikit gugup. Dia hanya bisa menjawab "Ya... ya… sesukamulah, adik Gwat!"

Dan tiga orang wanita itupun mulai cekikikan sambil menggoda dengan lemparan kerling manisnya. Bahkan Bi Hwa menyenggol-nyenggol kakinya, dan dengan berani kakak Bi Kwi yang nomor dua ini tahu-tahu telah menumpangkan lengannya di atas paha Kun Bok!

Tentu saja Kun Bok terkesiap, tapi adanya Bi Kwi di tempat itu membuat dia kelabakan. Tidak tahu Kun Bok, apakah maksudnya perbuatan Bi Hwa ini. Apakah sekedar bermanja-manja ataukah sengaja hendak membuat dia 'panas dingin‘. Dan permainan kartu hijau itupun dimulailah. Bi Gwat yang mula-mula sebagai pemutar dadu. Wanita ini juga ikut mencicipi Arak Mawar Hitam, dan dia yang sebagai tuan rumah itu mulai mengocok mangkok pemutar dadu. Semua adiaknya tertawa geli.

"Jangan gusar, adik Bi Hwa. Masih ada angka dua dan satu yang masih lebih rendah daripada angkamu itu. Hayo berikan Bok-kongcu. Siapa tahu dia yang memperoleh biji paling kecil!"

Bi Gwat menghibur adiknya itu dan Bi Hwa pun dengan mulut cemberut memberikan mangkok dadu kepada Kun Bok mata diarahkan ke sini, dan ketika dadu digelindingkan di atas meja dan berhenti setelah melalui putaran enam tujuh kali tampaklah angka dadu yang merupakan titik-titik kecil berwama merah itu. Ternyata menunjukkan angka lima!

"Ah, angka besar, Gwat-cici!" Bi Hwa tertawa memuji kakaknya dan Bi Gwat segera memberikan permainan dadu itu kepada adiknya.

"Sekarang kau, adik Hwa. Hayo coba rebut angka enam!" Bi Gwat juga tertawa dan wanita ini tampak gembira.

Bi Hwa tersenyum dan dengan cepat dia sudah mengocok dadu itu. Suara berkelotekan terdengar di dalam mangkok, dan ketika tutup dibuka lalu digelindingkan di atas meja, tampaklah angka tiga buat Bi Hwa! "Aih, sialan, kau masih lebih tinggi, Gwat cici!" Bi Hwa merengutkan bibirnya.

Akan tetapi, ketika Kun Bok mengocok dadunya ternyata yang keluar bagi pemuda ini adalah angka enam! Tentu saja pemuda itu menang, dan Bi Gwat bertepuk tangan memuji keberuntungan tamunya ini. Angka enam memang yang paling tinggi, jadi dapat dipastikan kalau pemuda itulah yang menang, kecuali kalau ada "rival" yang sama kuat. Untuk ini mereka diharuskan mengulang, dan siapa pemenang terakhir itulah yang berhak menghukum yang kalah. Namun ketika Bi Kwi sebagai orang terakhir yang mendapat giliran dalam adu permainan ini membuka dadunya, ternyata gadis itu sedang "sial". Biji dadunya yang menggeletak lemah di atas meja itu menunjukkan angka satu, dan dua orang kakaknya terkekeh terpingkal-pingkal.

"Hi-hik, kau kalah, Kwi-moi. Bok-kongcu yang keluar sebagai pemenang...!" Bi Hwa berseru sambil memandang adiknya itu dan Bi Kwi menyeringai kecut.

"Benar, Bok-kongcu yang berhak menghukummu, Kwi-moi!" Bi Gwat juga menyambung sambil tertawa dan sebuah kartu hijau telah disodorkannya kepada Kun Bok.

Kun Bok tersenyum gembira, dan kekeh wanita-wanita cantik itu meramaikan suasana. Bi Kwi dipandangnya dengan geli, lalu tiba-tiba dia meniup kartu hijau itu ke kepala Bi Kwi. Pita rambut yang diincar tahu-tahu disambar kartu hijau ini, dan Bi Kwi yang rupanya menyerah itu tidak mengelak. Gadis ini membiarkan pita rambutnya dijadikan sasaran, dari ketika kartu hijau itu melekat di atas rambutnya iapun lalu merenggut pita pengikat rambutnya itu sambil tersenyum kecil.

"Hi-hik, Bok-koko rupanya ingin tahu menggerai rambut, Hwa-cici. Apakah tidak semakin jelek?" Bi Kwi tertawa merdu dan dengan bersinar-sinar dia melempar kerling kepada kekasihnya.

Kun Bok terpesona, dan hampir saja dia mengeluarkan pujian untuk kekasihnya untunglah, dia masih teringat kepada Bi Hwa dan Bi Gwat di tempat itu dan dengan mata kagum dia mendesah perlahan sambil tertawa penuh gairah. Kekasihnya itu cantik sekali sekarang, malah terlalu cantik. Wajahnya yang halus dengan mata berkedip-kedip itu tampak tak jemu untuk dipandang. Dan rambut yang berombak di belakang punggung itu kelihatan hebat bukan main, seperti seorang dewi yang haru turun dari kahyangan. Kun Bok hampir bengong oleh pemandangan luar biasa ini namun Bi Kwi tiba-tiba memencet kakinya. Pemuda itu tersadar, dan dia melihat Bi Gwat serta Bi Hwa sudah memandanginya sambil tertawa lebar.

"Bok-kongcu, sekarang giliranmu sebagai orang pertama pemutar dadu. Lalu kami bertu-rut-turut sesuai urutannya yang lebih rendah. Apakah kau masih takjub saja memandang wajah Bi Kwi?"

Tiga orang wanita itu tertawa menggairahkan dan Kun Bok dibuat merah mukanya. Dia gelagapan, sementara Bi Hwa sudah menuangkan lagi secangkir arak kepadanya. "Bok-kongcu, sudah menjadi peraturan bahwa untuk yang menang diwajibkan minum arak kehormatan. Karena itu minumlah, dan putar dadu untuk permainan yang berikutnya!"

Bi Hwa menyentuh lengannya dengan manis dan Kun Bok seperti kena strom. Kakak Bi Kwi ini juga tampak menarik sekali, dan bibir yang tersenyum setengah ketawa itu tampak memikat bukan main. Aah… Kun Bok menekan gun-cangan hatinya ini! Lalu dengan cepat dia meneguk arak itu. Kepala yang serasa tambah ringan tidak digubris. dan Kun Bok sudah memutar dadu dengan jari agak gemetar.

Maka mulailah permainan kedua kalinya ini dilanjutkan, dan tiga orang wanita muda serta seorang pria itu bermain kartu hijau dengan iringan arak hitam. Dadu susul-menyusul berkelotekan di atas meja, dan kemenangan demi kemenanganpun mulai silih berganti. Mula-mula Kun Bok yang menjadi "juara", lalu berturut-turut tiga orang yang lain menerima gilirannya.

Dan seperti peraturan yang disebutkan oleh Bi Hwa tadi, bagi setiap pemenang diwajibkan minum Arak Mawar Hitam sebagai minuman kehormatan. Tentu saja nikmat. tapi Kun Bok yang baru meneguk tiga cangkir arak dalam tiga kali kemenangannya itu sudah mulai berputar kepalanya. Pemuda ini setengah mabok, dan dia mulai tertawa ha-ha-he-he dalam permainan dadunya yang dibalas ketawa cekikikan oleh Bi Kwi dan kakak-kakaknya.

Dia tidak tahu, betapa Arak Mawar Hitam adalah arak yang amat "berbahaya" sekali karena dicampuri obat perangsang oleh tiga bersaudara itu, dan nafsu berahi yang perlahan-lahan bangkit bergerak di dalam dirinya membuat mata pemuda itu kemerahan.

Bi Kwi dan dua orang kakaknya memang mempunyai maksud keji, tapi Kun Bok yang sama sekali tidak mengetahui bahaya ini mandah saja diloloh arak serta permainan dadu berkartu hijau. Dan permainan yang semakin menjadi seru itu membuat Kun Bok semakin hebat keadaannya. Pemuda itu mulai mabok berat, dan tiga orang wanita cantik di hadapannya ini juga semakin menggila. Mereka bermain sambil terkekeh-kekeh, dan Bi Kwi yang sering kalah itu mulai meningkat pada pelepasan benda-benda lain.

Mula-mula gadis itu dikalahkan oleh Kun Bok, dan dia dipaksa mencopot pita rambut yang mengikat di atas kepalanya itu. Akan tetapi ketika Bi Kwi dikalahkan oleh Bi Hwa maupun Bi Gwat, dua orang wanita ini "menghukum" gadis itu dengan cara yang lebih hebat lagi. Bi Kwi disuruh melepas anting-anting, sepatu dan ikat pinggang, bahkan akhirnya gadis itu dipaksa melepas pakaian luarnya. Maka jadilah Bi Kwi tinggal mengenakan pakaian dalamnya belaka!

Tentu saja semuanya ini membuat Kun Bok "panas dingin" tidak karuan, tapi karena dia sendiri sudah mulai kehilangan kesadaran dan nafsu berahinya memuncak hebat pemuda itu malah tertawa-tawa dengan mulut penuh bau arak. Bi Kwi yang setengah telanjang ini malah dilahap mentah-mentah oleh Kun Bok, dan pemuda yang mabok berat akibat lolohan Arak Mawar Hitam itu sudah seperti orang sinting. Tidak ada lagi rasa malu-malu di hatinya. Bahkan ketika Bi Hwa dan Bi Gwat juga mulai mendapat giliran dan mereka juga dipaksa melepas pakaian karena benda-benda lain yang melekat sudah habis karena kalah dalam permainan, keadaan benar-benar mencapai puncaknya.

Kun Bok sudah mulai bangkit berdiri, dan tubuhnya yang bergoyang-goyang akibat banyak minum itu tampak limbung seperti kapal sedang oleng. Pemuda ini juga mengalami beberapa kekalahan. Dan satu-persatu apa yang dipunyai disambar kartu hijau. Dia tidak sanggup mengelak lagi, karena tubuhnya sudah oleng kian ke mari dan akibatnya mulailah pemuda itu juga melepaskan satu-satunya benda berharga yang melekat di tubuhnya. Sepatu dan sarung pedang juga sudah lama menjadi korban, maka giliran ikat pinggang serta pakaiannya itulah yang dijadikan sasaran.

Kini empat orang yang bermain dadu itu sudah tidak karuan ujudnya. Mereka sama-sama setengah telanjang. Dan Bi Hwa serta Bi Gwat yang terang-terangan berani menggoda pemuda itu mulai saling cubit dan saling raba. Lengan Bi Hwa yang sejak lama tertumpang di atas paha pemuda itu mulai merayap naik ke atas, dan semakin ke atas sampai akhirnya Kun Bok mengeluh dan menangkap lengan wanita ini dengan napas memburu. Bi Hwa terkekeh, dan Kun Bok yang mendengus-dengus itu tiba-tiba menerkamnya dengan mata setengah terbuka. Dua orang itu jatuh terduduk, dan dadu serta kartu hijau tiba-tiba berhamburan runtuh!

Jadilah mereka saling belit di atas lantai itu dan Bi Gwat serta Bi Kwi yang juga sama-sama dimabok berahi akibat minum arak hitam itu tiba-tiba terhuyung-huyung. Mereka tertawa aneh, lalu tiba-tiba menubruk Kun Bok hampir berbareng. Empat orang ini saling tindih, dan kejadian berikutnya mudahlah diduga. Kun Bok sudah tidak tahu apa-apa lagi, sedangkan tiga orang wanita cantik itupun juga sudah sama-sama dibakar nafsu. Masing-masing pihak menghendaki pelepasan berahi, maka ruangan tengah yang menjadi saksi bisu atas segalanya inipun porak-porandalah. Kursi-kursi tidak karuan tempatnya lagi, dan lampupun tiba-tiba padam!

* * * * * * * *

Pagi itu ketika matahari muncul dengan sinarnya yang cerah, Kun Bok terbangun seperti orang mimpi. Mula-mula dia mengejapkan mata, lalu langit-langit ruangan yang dipandangnya pertama kali tampak bergerak-gerak. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya yang pegal-pegal tampak kecapaian. Urat-urat tubuhnya serasa kaku, dan gerakan aneh di langit-langit ruangan itu membuatnya terbelalak. Dia seakan-akan menempel pada langit-langit ruangan itu. Ikut terbawa oleh perasaannya yang aneh.

Langit-langit ruangan itu seakan-akan bergoyang, membentuk gerakan awan yang melayang di angkasa yang ringan. Di situ dia seakan-akan hanyut, terbawa oleh angin yang menghembus perlahan dan tiba-tiba dia bertemu dengan tiga orang dewi yang sedang berpapasan jalan. Ajaib. Tiga orang dewi jelita itu sekonyong-konyong berhenti. Mereka tersenyum dan mengelilingi dirinya. Seorang di antaranya yang bermata seperti bintang memegang lengannya dan tertawa dengan matanya yang indah itu. Kun Bok tertegun, tapi dua orang dewi yang lain tiba-tiba juga tertawa manis dan ikut-ikut memegangi lengannya. Jadilah dia dikerubut tiga dan dewi yang cantik-cantik itu mendadak mulai menggodanya heran sekali.

Kun Bok seakan lumpuh menghadapi dewi-dewi yang cantik jelita ini. Tidak tahu dia, bagaimana harus bersikap terhadap wanita-wanita yang seperti itu gerak-geriknya. Kerling mereka dan senyum yang menyambar-nyambar mendebarkan hatinya. Dan seorang di antara mereka tiba-tiba mencium dirinya. Kun Bok terkejut, tapi belum hilang rasa kagetnya sekonyong-konyong dewi yang bermata indah membuka pakaiannya. Dewi itu bertelanjang bulat di depannya. Astaga! Kun Bok benar-benar terkejut bukan main sekarang. Dia hendak berontak, tapi tubuhnya tidak mampu bergerak. Dan belum dia sempat berbuat sesuatu tiba-tiba tiga orang dewi yang cantik-cantik itupun sudah sama-sama bugil.

Mereka terkekeh penuh nafsu, dan tubuh mulus yang padat menggairahkan itu membangkitkan darah mudanya. Kun Bok terbelalak, dan jarinya yang menggigil gemetar itu tak dapat dikuasainya lagi. Dewi bermata indah yang menubruk dirinya sudah disambut penuh nafsu, dan dua dewi lain yang ikut mengerubut membuat dia seakan kehabisan napas. Kakinya terguling, dan mereka sama-sama roboh di atas awan. Di situ mereka tenggelam dalam lautan cinta, tapi tiba-tiba awan yang mereka tiduri pecah. Dia berteriak, dan tiga orang dewi itupun jatuh.

Dengan cepat mereka meluncur ke bawah, dan bumi yang keras menerima tubuh mereka. Kun Bok terbanting dengan tubuh terasa remuk, sedangkan tiga orang dewi cantik yang terhempas itupun mengalami nasib yang sama. Mereka berempat sama-sama menderita, tapi dewi bermata indah tiba-tiba mengeluh seraya menghampirinya. Dewi itu merayap kesakitan, dan tiba-tiba memanggil namanya. "Bok-koko…!"

Kun Bok terkejut. Aneh sekali, suara itu seakan-akan benar-benar hidup di dekat telinganya. Dan ketika dia memandang mendadak saja kepalanya dipegang oleh seseorang. Jari yang gemetar lembut mengusap rambutnya, dan Kun Bak tersentak kaget. Bayangan awan di langit-langit ruangan sekonyong-konyong lenyap, terganti oleh munculnya sebuah wajah cantik yang rambutnya terurai di belakang punggung.

"Bi Kwi!" Tiba-tiba Kun Bok berteriak kaget. Dewi yang bermata indah itu temyata kini telah dikenalnya. Dan dia bukan lain adalah Bi- Kwi! Maka begitu kesadarannya bangkit Kun Bok sekonyong-konyong melompat bangun. Akan tetapi begitu berdiri Kun Bok tiba-tiba berseru tertahan. Pakaiannya tidak ada semua, dan dia bertelanjang bulat di tengah ruangan. Aih... Kun Bok seperti disengat ular berbisa. Pemuda ini tertegun dengan muka merah namun Bi Kwi tiba-tiba berdiri memegang lengannya.

Gadis itu juga telanjang bulat, dan Kun Bok terbelalak dengan matanya yang hampir tidak berkedip. Pemuda itu terkejut sekali, karena sekarang setelah dia tahu akan keadaan di sekitar dirinya ternyata mendapatkan kenyataan yang henar-benar membuat dia seperti orang disambar petir. Di ruangan itu mereka semua telanjang bulat. Ya, mereka semua, Bi Kwi dan dua orang kakaknya itu!

Dan Kun Bok yang melihat pemandangan ini mendadak bergoyang tubuhnya. Dia seakan-akan dihantam martil. Berat sekali, bahkan terlampau berat untuk diterimanya. Dan dua orang kakak Bi Kwi yang tadi masih tertidur pulas itu tiba-tiba terbangun. Mereka terjaga oleh teriakan Kun Bok, maka serentak keduanya membuka mata.

"Bok-kongcu....!" Bi Hwa yang pertama kali beradu pandang dengan pemuda itu sudah mengeluarkan seruan perlahan. Wanita ini bangkit duduk, dan Bi Gwat yang juga terbangun itu memandang Kun Bok. Dua orang wanita ini menggeliat lemas, lalu tiba-tiba mereka tersenyum.

"Bok-kongcu!" Bi Hwa mengulang seruannya dan wanita cantik itu melompat berdiri. Lalu tanpa malu-malu dia menyanggul rambutnya yang semrawut untuk kemudian menubruk Kun Bok. Wanita ini terkekeh gembira, dan keadaannya yang tanpa busana itu sama sekali tidak membuatnya canggung. Dengan manja dia melekat di tubuh pemuda itu, lalu tiba-tiba mencium mulutnya.

"Ahh…!" Kun Bok menggereng kaget dan sekonyong-konyong dia menepis kepala Bi Hwa. Rambut yang baru disanggul sederhana itu dicengkeram. dan Bi Hwa tiba-tiba dijengkang roboh.

"Aih…!" Bi Hwa menjerit kaget dan wanita itu terpelanting. Dorongan kun Bok yang amat kasar ini membuat Bi Hwa terbelalak, dan tiba-tiba wanita itu berkilat sinar matanya. Erangan kemarahan meluncur dari kerongkongannya, namun Bi Kwi tiba-tiba melompat maju.

"Bok-koko…!"

Seruan itu menyadarkan Kun Bok. Pemuda yang dilanda berbagai macam perasaan jengah ini tersentak. Dia menoleh, dan Bi Kwi sudah memeluknya dengan mata basah. Kun Bok bergetar, dan sejenak dia menggigil. "Kwi-moi, ini... ini…. apa yang kita lakukan ini...?"

Kun Bok bertanya dengan suaranya yang serak tapi Bi Kwi tiba-tiba memperkeras isaknya. "Bok-koko, kau mengapa marah-marah? Kami tidak menyakitimu, kami tidak menghinamu, kenapa kau melempar Hwa-cici?" gadis itu menyalahkan Kun Bok dan pemuda ini tertegun.

"Kwi-moi, apa katamu?" Kun Bok terbelalak. "Kau menyalahkan aku?"

Bi Kwi menggigit bibir. "Bok-koko, kau telah bersikap kasar terhadap Hwa-cici, bagaimana aku tidak menyalahkanmu?"

"Hm, tapi… tapi perbuatan dia itu, Kwi-moi.... yang…. yang.... ah, begitu tidak pantas untuk dilakukan, bagaimana tidak membuatku marah. Kakakmu itu, Bi Hwa dan Di Gwat itu mereka… mereka…. ah, kita telah berbuat yang tidak senonoh!" Kun Bok hampir seperti orang menangis dan pemuda itu tiba-tiba menyambar pakaiannya yang berceceran di atas lantai.

Bi Hwa dan Bi Gwat juga cepat menyambar pakaian masing-masing dan Bi Kwi yang masih terisak-isak itu dilempari pakaian oleh kakaknya. Gadis itu mengenakan pakaian dengan tubuh menggigil, lalu memandang Kun Bok yang berdiri dengan muka merah padam.

"Bok-koko, apakah kau masih hendak menyalahkan kami?"

Kun Bok menggeram. "Tentu saja, Kwi-moi, kalian telah menjerumuskan aku ke dalam perbuatan asusila!"

"Tapi ini atas dasar suka sama suka, Bok-koko, bagaimana kau bisa bilang begitu? Kalau mau disebut asusila kita berdua sebenarnya telah melakukannya untuk pertama kali di dusun Lee-kim-chung!"

"Hm, tapi itu tapi itu lain lagi persoalannya. Kwi-moi. Kita hanya berdua, tidak berempat seperti ini !" Kun Bok semburat mukanya.

"Ah, kau beralasan yang tidak tepat, Bok-koko. Berempat ataupun berdua sebenarnya sama saja. Kita telah sama-sama bermain cinta atas dasar suka sama suka!" Bi Kwi membantah. "Dan Gwat-cici serta Hwi-cici ini yang telah jatuh hati kepadamu dan menyerahkan tubuhnya secara suka rela, apakah kau hendak mencampakkannya begitu saja? Hm, kalau begitu kami berhak menuntut balas, Bok-koko, karena kami tiga bersaudara sebenarnya telah bersumpah untuk hidup mati bersama dengan orang yang kami cintai!"

Kun Bak terkejut. "Ah, ini…. apa yang kau katakan itu, Kwi moi?"

Bi Kwi melangkah maju. Kini gadis itu tidak menangis lagi, dan dengan mata bersinar-sinar dia menghadapi Kun Bok "Bok-koko...." demikian gadis itu mulai berkata dengan suaranya yang tegas aan nyaring, "Apa yang sesungguhnya telah kami lakukan ini adalah atas dasar kesepakatan kami tiga bersaudara… Enci Bi Gwat dan Bi Hwa telah berkali-kali dikecewakan lelaki. Dan mereka telah bersumpah untuk tidak bermain cinta lagi. Karena itu, aku sebagai saudara termuda, merasa prihatin sekali. Tidak pantas kiranya bagiku mendapat kehabagiaan tanpa mereka berdua ikut menikmatinya. Maka aku lalu bersumpah. Bok-koko, bahwa siapa kelak yang menjadi kekasihku diapun juga harus mau menjadi kekasih enci-enciku! Nah, pilihanku jatuh pada diriniu. Terus terang aku lalu menceritakannya pada enci Bi Gwat dan end Bi Hwa, dan mereka temyata tidak menolak. Mereka percaya akan kejujuranmu, kegagahan watakmu dan mereka setuju penuh huhungan cinta kasih kita ini. Tapi Bok-koko, seperti yang sudah menjadi sumpahku namun yang belum pemah kuberitahukan padamu itu bahwa siapa saja yang menjadi kekasihku diapun harus suka menjadi kekasih enci-enciku pula. Mereka berdua sudah lama mendambakan cinta kasih pria, tapi teringat akan kekecewaan-kekedewaan di masa lalu mereka berdua seakan-akan putus asa. Aku tahu penderitaan dua orang enciku, Bok-koko, maka aku tidak tega membiarkan mereka hidup merana. Karena itu, kalau aku mendapatkan kebahagiaan ini dari seorang kekasih maka aku hendak membaginya sama rata dengan mereka, Bok-koko, atau mati bersamanya pula jika kami dikhianati!"

Keterangan yang diucapkan dengan mata berapi-api oleh Bi Kwi itu semakin lama membuat Kun Bok semakin terbelalak dan setelah selesai berbicara Kun Bok tiba-tiba tertegun. Dia memandang kekasihnya itu dengan mata tak berkedip, lalu memandang pula Bi Hwa dan Bi Gwat untuk kemudian akhirya Kun Buk mengeluh aneh. Bengong pemuda ini, karena apa yang baru saja didengarnya itu sungguh amat luar biasa sekali.

Bagaimana mungkin dia mendapatkan tiga orang kekasih sekaligus. Dan Bi Hwa serta Bi Gwat yang dipandang itu tampak terisak-isak. Dua orang wanita itu mengembang air mata, malah tiba-tiba menjerit perlahan dan berkelebat ke luar. Kun Bok melenggong. Apa yang diterimanya saat itu sungguh di luar dugaannya, dan Bi Kwi yang menyaksikan keadaan kekasihnya itu tiba-tiba memeluk pinggangnya dengan mata berkaca-kaca.

"Bok-koko…" Bi Kwi bersuara serak. "Tegakah kau menghancurkan perasaan dua orang enciku? Kalau mereka tidak dapat kau terima berarti akupun kau tolak, koko, dan ini berarti menghancurkan kebabagiaan kita semua...!" Bi Kwi yang menangis dengan suara sesenggukan itu membuat Kun Bok tidak karuan rasanya.

Pemuda ini sejenak terpaku. namun akhirnya dia batas mendekap kekasihnya itu. "Kwi-moi..." Kun Bok juga gemetar. Mana mungkin kejadian begini kita alami. Bagaimana kelak, kalau kau cemburu? Ah, moi-moi, aku bingung mendengar uraianmu ini…. aku bingung…"

Kun Bok meraih kepala kekasihnya dan tiba-tiba muka mereka yang bertautan itu pun sudah saling cium dengan mesra. Bi Kwi merintih dengan erangannya yang pendek sedangkan Kun Bok mengeluh dengan suaranya yang menggigil. Dua orang itu saling peluk dengan ketat, dan Bi Kwi akhirnya terengah-engah.

"Bok-koko, apa yang kau katakan itu? Mana mungkin aku cemburu terhadap dua orang enciku sendiri? Ah, koko, kau tidak mengerti. Enci Bi Hwa maupun enci Bi Gwat serasa dan sejiwa denganku. Kami tiga bersaudara memang tidak mungkin berpisah, dan karena itu kami pun senasib sependeritaan. Apa yang bisa kau berikan kepadaku harus bisa kau berikan pula kepada mereka, koko, karena ini adalah keinginanku sendiri! Nah, apa yang hendak kau bicarakan lagi?"

"Tapi... tapi, Kwi-moi…"

"Hm, kau kekasih canggung, koko. Sudahlah, jangan menolak lagi. Kebahagiaanku berarti kebahagiaan enciku pula. Bok-koko, karena itu susullah mereka enci Bi Hwa maupun enci Bi Gwat harus kau temui. Mereka harus kau terima seperti juga kau menerima diriku. Mau apalagi?"

Bi Kwi mendorong tubuh kekasihnya ini dan Kun Bok tertegun. Dia hendak membantah, tapi Bi Kwi tiba-tiba menutup bibirnya dengan jari telunjuk. "Sstt. jangan membuang waktu lagi. Bok-koko. Pergilah ke kamar Hwa-cici. Di sana biasanya mereka berkumpul kalau lagi sedih….!" gadis itu mendorong pundak Kun Bok dan dengan hati tidak karuan rasa akhirnya Kun Bok pun memutar tubuh dan menuruti kehendak kekasihnnya yang luar biasa ini. Kaki diangkat dan tubuhpun melayang keluar.

Ruangan tengah yang tadi menjadi ajang percekcokan itupun sepilah kini. Bi Kwi tersenyum dengan matanya yang aneh sedangkan Kun Bok sudah menyusul dua orang kekasihnya-yang lain dengan jantung dak-dik-duk tidak karuan.

Demikianlah, di Pulau Surga yang baru dikenalnya itulah Kun Bok mendapatkan pengalamannya yang aneh, dan putera Bu-tiong-kiam Kun Seng ini akhirnya dapat juga menyesuaikan diri. Tiga orang gadis cantik menjadi kekasihnya dengan cara yang istimewa, dan setelah dia merasa "paham'" akan watak mereka yang aneh Kun Bok-pun akhirnya tenggelam dalam lautan cinta yang menina-bobokkannya ke langit tingkat tujuh!

* * * * * * * *

Ceng Bi sudah lama tidak menangis lagi Gadis itu tidak mau bersikap cengeng. Diri yang dikurung di ruang bawah tanah itu disambutnya dingin-dingin saja. Sekarang dia mulai tenang. Dan malam yang menyelimuti kegelapan gua diterangi sebuah lampu minyak yang baru saja dipasang oleh Jing-ci-touw Kam Sin. Copet itu baik-baik saja. Dia tidak pernah mengganggu Ceng Bi.

Malah semua keperluan gadis itu dialah yang melayaninya, mulai dari makan minum sampai tidurnya. Atas perintah si pemuda baju kuning, kini di ruangan tempat Ceng Bi disekap itu terdapat sebuah dipan untuk tidur. Sederhana memang, akan tetapi cukuplah Ceng Bi tidak perlu kedinginan di atas batu dan dengan selimut bulu domba ia dapat beristirahat.

Si pemuda haju kuning tidak tampak batang hidungnya lagi. Entah ke mana dia, dan Ceng Bi mulai berdebar girang. Kalau Si pemuda baju kuning itu tidak ada berarti dia mempunyai harapan untuk mengerjai si Copet Serihu Jari. Orang she Kam itu sering masuk ke ruangannya, dan dia sewaktu-waktu bisa bertindak menguasai orang ini kalau sedang membersihkan tempat piring ataupun cangkir-cangkir yang berserakan.

Tapi copet she Kam itu rupanya cerdik juga. Dia tidak berani terlalu dekat dengan sang tawanan, dan ketawanya yang ha-ha-he-he setiap memasuki ruangan itu pasti diikuti dengan gerak matanya yang penuh kewaspadaan. Agaknya copet itu mengenal kelihaian Ceng Bi, dan kedudukan gadis itu sebagai puteri ketua Beng san-pai yang berjuluk Ciok-thouw Taihiap ini membuatnya selalu berhati-hati.

Karena itu Ceng Bi merasa kesukaran juga. Kalau saja dia membawa senjata, tentu Si copet yang menggemaskan hatinya ini dapat dia bekuk. Tapi si setan baju kuning itu telah merampas segalanya yang dimiliki. Pedang diambil, dan dia dibuat tidak berkutik seperti harimau yang kehilangan gigi. Betapa menggemaskan Ceng Bi mulai mengumpat di dalam hati terhadap perbuatan lawannya itu. Apakah dia harus mandah saja diperlakukan begini? Tidak sudi. Dia harus memutar otak, mencari akal bagus meloloskan diri dari kurungan bawah tanah itu. Dan mumpung si setan baju kuning itu tidak nongol sebaiknya dia bertindak cepat saja.

Maka Ceng Bi lalu memutar-mutar akalnya dan ia mencari pikiran bagus. Malam itu dia harus berhasil, atau kalau tidak dia bakal dikurung seumur hidup. Keparat! Apa yang hendak dia lakukan? Gadis itu menggigit bibir dan tiba-tiba saja matanya membentur lampu minyak yang bergoyang-goyang di sudut ruangan. Astaga, kenapa dia tidak melihat kenyataan ini? Lampu itu… ah, lampu itu dapat dijadikan sasaran yang amat bagus sekali!

Ceng Bi tiba-tiba berjingkrak dan matanya mulai bersinar gembira. Lampu yang bergoyang-goyang itu dapat dijadikan jalan keluarnya. Dan itu harus dimulai dengan... Ceng Bi tiba-tiba merandek. Dia terkejut karena tiba-tiba saja telinganya mendengar sesuatu yang amat aneh di langit-langit gua. Ada suara "duk-duk" yang lemah di atas sana. dan Ceng Bi terhelalak. Suara apa itu! Dia membanting kaget dan mendadak saja suara "duk-duk" itu semakin keras terdengar. Ceng Bi heran sekali dan perasaannya juga mulai was-was. Ada rasa berdebar di dalam hatinya, akan tetapi juga ada perasaan cemas.

Maka mulailah Ceng Bi bersiap-siap dan mendengar suara itu semakin keras iapun tiba-tiba melompat ke atas dan menempel di langit-langit ruangan. ltulah ilmunya Pek-houw-yu-chong atau Merayap Seperti Cecak dan mengandalkan kekuatan sinkang di telapak tangannya Ceng Bi memasang telinga. Ternyata benar, ada seseorang menggali ruangan itu dari atas!

Ceng Hi terkejut dan seketika ia menjadi tegang. Siapakah penggali di atas itu? Dan melihat kenyataan ini Ceng Bi tiba-tiba menepuk dahinya dengan kaget. Tolol amat dia, mengapa selama ini melupakan langit-langit gua? Kalau sejak dulu dia mengetuk-ngetuk bagian ini tentu jalan keluarnya sudah dapat ditemukan sejak lama! Maka saking girang dan tegangnya gadis itu lalu melompat turun dan bersembunyi di sudut ruangan.

Suara di atas gua itu kini sudah terdengar nyata. Malah mendekati lapisan terbawah. Dan Ceng Bi yang menanti di bawah itu merasa tidak sabar sekali. Ketegangannya sudah terlalu memuncak, dan ia ingin melihat siapa orang aneh yang menggali langit-langit ruangan itu. Suara duk-duk kini berganti "krok-krok" seperti orang mengorek, dan batu di atas gua tiba-tiba mulai berguguran!

Ceng Bi berdebar tidak karuan dan tiba-tiba sebuah benda mencoblos tepat di tengah-tengah atap gua itu. Ujung sebuah pedang! Ceng Bi terbelalak dengan mata tak berkedip namun sekonyong-konyong penggalian di atas gua itu berhenti. Sepasang mata jelli mengintai ke bawah, dan Ceng Bi yang tidak ingin terlihat cepat merapatkan tubuh ke dinding ruangan, ternyata orang itu sedang menyelidik. Dan melihat sikapnya yang amat berhati-hati ini agaknya dia bukan orang Hiat-goan-pang. Maka Ceng Bi menjadi heran di samping curiga.

Siapakah orang di atas gua itu? Musuh ataukah sahabat? Ceng Bi helum dapat memastikan dan tiba-tiba lubang kecil di alas gua itu kembali ditusuk-tusuk. Batu yang berguguran semakin banyak, dan akhirnya sekejap kemudian mengangalah sebuah lubang yang cukup diterobos orang dewasa! Ceng Bi memuncak rasa tegangnya dan tiba-tiba sebuah bayangan hijau melayang turun. Gadis itu tidak dapat menahan diri lagi dan begitu melihat sesosok tubuh melompat turun dia tiba-tiba berkelebat maju sambil menendangkan kakinya.

"Manusia gangsir, lepaskan pedangmu Ceng Bi membentak dan bayangan hijau terkejut.

Dia yang baru melompat turun itu terkesiap kaget melihat lengannya ditendang, tapi bayangan ini rupanya cukup lihai juga. Karena begitu lengannya didupak sekonyong-konyong dia mengangkat siku menangkis.

"Dukk!"

Ceng Bi berseru perlahan dan si bayangan hijau memekik. Lengan yang dipakai menangkis dalam keadaan darurat itu ternyata kalah tenaga, dan dia terlempar bergulingan di atas lantai batu yang keras. Tapi bayangan ini sudah melompat bangun, dan seperti kalajengking marah dia tiba-tiba sudah berdiri saling berhadapan dengan Ceng Bi. Dan saat beradu muka inilah yang membuat masing-masing pihak kaget bukan main. Ceng Bi sampai mengeluarkan seruan lirih sedangkan si baju hijau juga terpekik dengan mata terbelalak. Ternyata mereka sudah saling kenal. Dan hampir berbareng saja keduanya sating teriak.

"Kau?" lalu keduanyapun tertegun di atas Iantai dengan muka bengong.

Apa yang terjadi? Siapa bayangan hijau itu? Ternyata bukan lain adalah "sahabat" lama Ceng Bi yang dulu pernah bertempur seru di padang rumput. Pek Hong, murid si hwesio sakti dari Tibet! Maka begitu keduanya saling pandang akhirnya merekapun sama-sama melompat maju menyambut dengan muka gembira.

"Enci Hong…!"

"Adik Ceng Bi...!"

Keduanya sudah saling memegang lengan dan Ceng Bi yang dulu bermusuhan dengan bekas lawannya itu kini sudah lenyap semua sisa-sisa permusuhannya. Entah mengapa, perjumpaan mereka yang amat tiba-tiba di ruangan bawah tanah ini membuatnya girang sekali, dan Pek Hong yang juga sebenarnya tidak menyimpan kebencian kepada gadis itupun sama-sama gembira. Mereka sudah saling bertatap muka, dan Pek Hong yang heran melihat puteri Ciok-thouw Tai-hiap ini berada di tempat itu sudah bertanya dengan alis diangkat,

"Adik Bi, bagaimana kau bisa di tempat ini?"

Ceng Bi melepaskan pegangannya. "Aku ditawan siauw-pangcu dari Hiat-goan-pang, enci, ditangkap dengan cara yang amat licik!"

Pek Hong terkejut. "He, jadi kau merupakan tawanan?"

"Ya, enci."

"Ah, sama kalau begitu. Akupun juga ditawan Hiat-goan-siauw-pangcu itu, adik Bi! Bukankah dia orang she Ok?"

"Ya, si Ui-i-siauw-kwi (Setan Baju Kuning) itu!"

"Ah...!" Pek Hong membelalakkan mata dan gadis ini tiba-tiba menyimpan pedang. "Adik Bi, apakah kau tahu siapa sebetulnya dia itu?"

Ceng Bi menggeleng tidak perduli. "Aku tidak butuh mengetahui keadaannya, enci Hong, untuk apa mengenal orang macam itu? Cih, melihat saja aku ingin meremukkan kepalanya, apa-lagi kalau sampai berhasil dia roboh di tanganku!"

"Hm, tapi dia lihai, adik Bi, dan kepandaiannya sekarang ini sungguh amat mengejutkan!"

"Sekarang ini?"

"Ya, karena beberapa waktu yang lalu aku pernah bertanding dengannya."

"Dan kau roboh?"

"Sedikit selisihnya, adik Bi, tapi tidak begitu banyak seperti sekarang."

"Maksudmu?" Ceng Bi terheran.

"Begini, adik Bi. Pemuda she Ok itu sekarang ini sudah lihai luar biasa, aku roboh dalam duapuluh jurus saja. Padahal, dulu seratus jurus-pun dia belum mampu merobohkan aku! Dan tahukah kau apa sebabnya?"

Ceng Bi terbelalak. "Karena dia menjadi murid iblis Hek-kwi-to?"

"Eh, kau tahu?" Pek Hong ganti terkejut.

"Ya, karena dia menceritakannya sendiri padaku."

Pek Hong membelalakkan mata dan gadis ini tampaknya heran. "Dia menceritakannya padamu, adik Bi?"

"Betul, kenapakah, enci?"

"Hem, aneh kalau begitu…"

"Apanya yang aneh?"

Pek Hong memandang puteri Ciok-thouw Taihiap ini. "Adik Bi, ketahuilah bahwa dengan perbuatannya itu berarti penawanmu itu melanggar pesan gurunya. Dia bakal ditegur hebat, dan kalau tidak disekap tentu dia mendapat hukuman berat lainnya. Apakah kau mendapat perhatian istimewa sehingga memperoleh perbuatannya yang luar biasa itu?"

Ceng Bi memandang aneh. "Apa yang kau maksudkan ini, enci?"

Pek Hong balas memandang tajam. "Maksudku, apakah kau mepdapat perlakuan istimewa darinya, adik Bi? Kalau tidak berarti dia menyembunyikan maksud-maksud tertentu, tapi kalau ya berarti hem....."

"Kenapa, enci?"

"Berarti dia menaruh hati padamu, adik Bi."

"Enci...!"

"Sstt, jangan keras-keras, adik Bi. Aku tidak mengejekmu, apa yang kukatakan ini barulah kesimpulan-kesimpulan belaka!" Pek Hong buru-buru menutup mulut dengan telunjuknya.

Sedangkan Ceng Bi terbelalak dengan muka merah. Sejenak gadis itu mengepal tinju, dan tiba-tiba dia menggigit bibir. "Enci Hong...!"

"Ada apa, adik Bi?"

"Apakah kau tahu siapa sebenarnya dia itu? Maksudku, tahukah kau bahwa orang she Ok itu adalah sute Pendekar Gurun Neraka?"

Pek Hong terkejut. "Ah, kalau dihubungkan dengan gurunya yang sekarang memang dia terhitung sute Pendekar Gurun Neraka, adik Bi. Tapi, permusuhan yang hebat di antara gurunya dengan Malaikat Gurun Neraka tidak mungkin menyatukan suheng dan sute itu. Kenapakah?"

"Tidak apa-apa, enci. Dan semua yang masih berbau hubungan dengan Pendekar Gurun Neraka sesungguhnya amat kubenci!"

"Eh, mengapa begitu?" Pek Hong terbelalak.

Tapi Ceng Bi tiba-tiba menangis. Gadis itu tidak menjawab pertanyaan ini dan tiba-tiba dia sudah menubruk bekas lawannya itu dengan suara terisak-isak. Pek Hong tertegun, dan murid Ta Bhok Hwesio ini tiba-tiba pucat mukanya. Kaki yang menggigil menerima tubuh Ceng Bi hampir saja roboh, tapi Pek Hong mampu menguatkan diri. Sekejap saja ia tahu, apa sebenarnya yang menjadi isi hati puteri Ciok-thouw Taihiap ini dan tak terasa Pek Hong mengeluh lirih.

Cinta! Duhai cinta, mengapa kau membuat hati jadi merana begini? Pek Hong bergoyang-goyang tubuhnya dan tiba-tiba dia tersenyum pahit. Pendekar Gurun Neraka itu memang pemuda yang hebat. Bekas jenderal muda yang diam-diam dicintainya sejak dulu itupun kini mendapatkan korbannya yang baru. Dan Pek Hong tiba-tiba merintih pilu. Hem, apa yang harus dilakukannya terhadap puteri Ciiok-thouw Taihiap ini? Menyingkirkannya agar tidak mendapatkan saingan ataukah membantunya agar mencapai kebahagiaan...?