Pendekar Kepala Batu Jilid 17 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 17
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pendekar Kepala Batu Karya Batara
BI HWA terkikik perlahan. "Itulah Ban-se-tong, kongcu! Masa kau tidak dapat menduga?"

"Ban se-tong...?"

"Ya, tempat tinggal Bi Kwi yang sesungguhnya...!"

"Ahh...! keterangan ini mengejutkan Kun Bok dan tiba-tiba perasaan pemuda itu tergetar hebat. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa Ban-se-tong sudah di depan mata, maka tentu saja keterangan Bi Hwa itu membuat mukanya berobah. Tapi Bi Hwa yang terkikik kecil ini mendadak menghentikan ketawanya.

"Eh, seseorang keluar dari kelenteng itu, kongcu…!" Bi Hwa menunjukkan jarinya dengan tiba-tiba dan Kun Bok cepat memandang.

Benar, sebuah bayangan sekonyong-konyong berkelebat keluar dari pintu gerbang kelenteng dan Kun Bok menjadi tegang. Dia mengira Bi Kwi yang keluar itu, namun ternyata bukan. Rambutnya yang panjang memang mirip Bi Kwi, tapi tubuhnya yang lebih pendek itu jelas menunjukkan bahwa wanita ini adalah orang lain. Maka Kun Bok lalu memusatkan perhatiannya kepada wanita yang baru keluar itu tapi Bi Hwa sudah berkata,

"Kongcu, kita kembali menuju ke depan. Dia pasti akan memutar...!"

Baru selesai ucapan ini tahu-tahu bayangan dari tengah telaga itu sudah menghampiri perahu dan melompat ke dalamnya, lalu mengambil dayung dan memutar perahu menuju ke depan! Kun Bok terheran, akan tetapi dia tidak banyak membantah. Tarikan lengan Bi Hwa dibiarkannya menyeret, dan dengan tergesa-gesa wanita itu sudah mendahului lajunya perahu menuju ke depan pulau.

Kini Kun Bok memandang terbelalak. Perahu yang di belakang pulau itu sudah mulai menyibak air, dan telaga yang tenang itu sekarang mulai berkeriput panjang pendek disentuh dayung yang bergerak cepat. Mereka menyelinap di antara pepohonan perdu, dan tidak sampai sepeminuman teh saja akhirnya Kun Bok dan Bi Hwa sudah berada di depan pulau.

Bi Hwa tampak mengerutkan kening, tapi tiba-tiba wanita itu tersenyum gembira. "Kongcu, kau tahu siapakah yang datang ini?"

Kun Bok tentu saja menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu, adik Hwa. Bagaimana bisa mengenalnya?"

"Hi-hik, ia adalah pelayan Bi Gwat, Bok-kongcu, pelayan tunggal dari ketua nomor sebelas perkumpulan Hiat-goan-pang!"

"Ketua nomor sebelas Hiat-goan-pang?"

"Ya, karena Hiat-goan-pang dipegang oleh tujuh belas ketua cabang di seluruh propinsi."

"Ahh…!" Kun Bok kembali menyatakan keheranannya dan baru sekarang dia tahu bahwa Hiat-goan-pang dipimpin oleh tujuh belas ketua cabang. Tapi karena perhatiannya sedang tertuju kepada wanita di atas perahu itu maka Kun Bok tidak bertanya apa-apa. Hanya dia merasa aneh bagaimana sebuah perkumpulan memiliki demikian banyak ketua cabang?

Dan kalau ketua cabangnya saja terdapat dimana-mana pasti ketua pusatnya benar-benar bukan orang sembarangan. Karena, meletakkan tujuh belas ketua pembantu di seluruh propinsi bukanlah satu pekerjaan gampang. Salah-salah bisa dibelot (dikhianati) oleh salah seorang anak buahnya sendiri...!

Dan wanita yang dikatakan sebagai pelayan ketua nomor sebelas dari Hiat-goan-pang itu kini tibalah. Dia telah sampai di daratan dan perahu kecil yang ditumpanginya itu ditambatkan pada sebuah patok tepi telaga. Lalu dengan gerakan gesit dan ringan dia melompat keluar perahu, kemudian berjalan cepat menuju ke arah timur.

Tapi Bi Hwa tiba-tiba sudah melompat menghadangnya. Wanita cantik ini berkelebat keluar, dan seruan tertahannya yang nyaring merdu mengejutkan pelayan itu. "Si-meh, berhenti dulu! Mau ke mana kau…?"

Pelayan itu membalikkan tubuh secepat kilat dengan kaget. Kedua tangannya sudah mencabut senjata dan siap dipakai menyerang tapi begitu melihat siapa yang memanggilnya ini sekonyong konyong pelayan itu berteriak lirih dan cepat membungkukkan tubuh. "Enci Bi Hwa…!" pekik kelegaannya ini menyatakan kegembiraannya dan melompat maju dengan wajah berseri.

Dua orang wanita itu saling menghampiri dan Bi Hwa tersenyum lebar melihat keheranan pelayan ini akan kedatangannya yang amat tiba-tiba.

"Mau ke mana kau, Si-meh?" Bi Hwa mengulang pertanyaannya dan pelayan itu sejenak tampak gugup.

"Eh, ini… hamba… hamba mau menyelidik hutan, enci mendengar suara gaduh di luar. Apakah enci yang menyebabkan kegaduhan itu?" pelayan ini tiba-tiba tampak mengerling ke arah Kun Bok dan dengan suara hampir tidak terdengar dia bertanya perlahan, "Enci Bi Hwa, siapakah temanmu itu?"

Bi Hwa terkikik geli, "Hi-hik, jangan curiga Si-meh. Dia adalah putera tunggal si Raja Pedang Bu Tong Kiam Kun Seng locianpwe…!"

"Ah, Bok kongcu…?" Si-meh terbelalak dengan muka merah.

"Ya!" Bi Hwa menganggukkan kepalanya. "Ada apakah, mengapa perahu disembunyikan di balik pulau, Si-meh? Dan apakah enci Bi Gwat ada di sana?"

Si-meh tiba-tiba menjadi tegang. "Seorang tamu rahasia mendatangi tempat kita, enci Bi Hwa, tapi kami tidak tahu siapa dia?"

"He…?!" Bi Hwa terkejut. "Tamu rahasia?"

"Begitulah, enci dan kami bertiga telah dibuatnya kalang kabut!"

"Eh, kami bertiga?"

"Ya, kami bertiga yang terdiri dari hamba, pangcu dan enci Bi Kwi!"

Mendengar disebutnya nama Bi Kwi itu, hati Kun Bok tiba-tiba saja berdegup kencang. Tadinya dia tertarik oleh berita yang aneh dari Si-meh ini, akan tetapi begitu mendengar nama Bi Kwi disebut kontan dia berdebar-debar tidak karuan. Namun Bi Hwa yang tampak berobah sikapnya mendengar keterangan Si-meh itu sekonyong-konyong menyambar lengan si pelayan.

"Si-meh, kalau begitu cepat antarkan kami ke sana.... !"

Pelayan itu mengangguk dan belum ia sempat bicara sesuatu Bi Hwa sudah menyendal tangan Kun Bok dan diseret ke arah perahu. "Bok kongcu, hayo ikuti kami…!"

Seruan itu tidak dijawab oleh Kun Bok, tapi pemuda ini sudah mengikuti langkah Bi Hwa melompat ke dalam perahu yang ditambat di tepi telaga. Si-meh sendiri juga sudah melompat, dan ikatan perahu itu sebentar saja sudah dilepaskan oleh pelayan ini. Lalu dengan gerakan cepat dan gesit Si-meh telah menggerakkan dayungnya meluncurkan perahunya menuju ke pulau.

Kini toga orang itu duduk bersama. Perahu kecil yang oleng ke kiri kanan itu melaju dengan kecepatan seperti angin. Dayung yang bergerak memecah telaga di tangan Si-meh tak henti-hentinya dikayuh, sampai akhirnya, tidak sampai lima menit kemudian Pulau Surga yang mereka tuju dekatlah!

Kun Bok mulai membelalakkan matanya. Sebelah pulau itu di tengah-tengah telaga itu dapat dipandang jelas, memanglah nama yang diberikan agaknya pantas sekali. Air kebiruan yang mengelilingi daratan kecil ini tampak seperti cermin yang mengelilingi sebuah jamrut, bergerak tenang dengan keriputnya yang sayup lemah mendesau lembut.

Dan daratan berpasir putih dengan batu-batu koralnya yang bersih berserakan itu bagaikan surga di atas sebuah danau. Indah dan amat mempesona mata! Kun Bok mendesah kagum dan perahu yang sampai di tepian inipun merapatlah. Si-meh melompat turun, sementara Bi Hwa menarik pundak Kun Bok membuyarkan lamunan pemuda.

"Bok-kongcu, hayo bangkit berdiri. Kita sudah sampai di Ban-se-tong…!"

Seruan itu mengagetkan pemuda ini dan dengan tersipu-sipu Kun Bok melompat turun. Bi Hwa sudah mendahuluinya, dan dengan tergesa-gesa dia mendaratkan kaki di atas pulau itu.

"Bless…!" Kun Bok terkejut ketika kakinya amblas di dalam pasir yang lunak hangat itu, akan tetapi Bi Hwa telah menyambar lengannya dengan muka dikerutkan.

"Jangan bengong saja, kongcu, pasir ini bukan rawa berlumpur!" Bi Hwa menegur pemuda ini yang terkejut oleh kelembutan pasir yang diinjaknya dan Kun Bok semburat mukanya. Memang dia otomatis teringat akan rawa berlumpur yang telah menelan gorilla di dalam hutan itu, maka tentu saja ucapan Bi Hwa yang tepat ini membuatnya merah.

Akan tetapi Bi Hwa sudah tidak banyak bicara lagi dan dengan tergesa-gesa wanita cantik itu menyeret Kun Bok menuju bangunan di tengah pulau. Sementara Kun Bok sendiri menjadi berdebar-debar hatinya oleh kenyataan Ban-se-tong di depan mata. Di situlah dia akan berjumpa dengan Bi Kwi, dan di tempat ini pulalah dia akan menghadapi kenyataan yang sesungguhnya tentang keadaan diri kekasihnya itu!

Tapi, sementara dia diseret oleh Bi Hwa, Kun Bok sudah menebarkan seluruh pandangannya ke atas pulau. Dan keindahan pulau di tengah-tengah telaga ini semakin mengagumkannya. Nyiur yang melambai-lambai di tepi pantai sungguh membuatnya tak bosan memandang, indah berjajar seperti barisan gadis cantik yang menyambut kedatangan seorang tamu agung. Dan tanaman perdu yang membentuk angka delapan di atas pulau itu berderet sambung-menyambung mengitari pulau menimbulkan kesan tersendiri yang manis dipandang.

Belum lagi dengan taman-taman mini yang diatur sedemikian rupa oleh tangan yang ahli menciptakan serumpun bunga yang berwarna-warni dengan baunya yang harum semerbak sungguh benar-benar menciptakan pulau itu seperti Pulau Surga! Kun Bok terbelalak, dan kekagumannya memuncak menyaksikan semua keindahan di atas pulau ini. Dia sampai tidak sadar betapa pintu gerhang Ban-se-tong sudah di ambang mata, dan baru dia terkejut ketika Bi Hwa tiba-tiba memencet pergelangan tangannya.

"Bok-kongcu, apakah kau sudah menjadi orang sinting? Tidak kau dengarkah suara senjata di dalam kelenteng?"

Kun Bok kaget sekali oleh teguran ini. Dia gelagapan sejenak, dan ketika bersama Bi Hwa memandang ke depan barulah dia tersentak ketika dentang senjata disusul bentakan-bentakan nyaring terdengar dari dalam kelenteng itu. Kun Bok terkejut, dan dengan muka berobah dia berdiri tertegun di halaman kuil. Sebuah nama dan huruf emas berukir tampak terpampang di atas pintu gerhang kelenteng. Menunjukkan kalimat "Ban-se-tong" yang jelas terbaca, dan Kun Bok sejenak termangu.

Bentakan-bentakan disertai bentrokan senjata di dalam kelenteng itu sejenak membuatnya tertegun, tapi Bi Hwa yang tidak sabar lagi ini sudah tidak menunggu jawaban Kun Bok. Wanita itu sudah berkelebat masuk, dan Kun Bok yang berdiri di luar ditinggal sendirian.

"Bok-kongcu, kenapa melenggong saja?"

Siapa yang bertempur di dalam?"

Si-meh yang datang menyusul tiba-tiba menyenggol pemuda itu mengejutkan Kun Bok.

"Eh… eh... aku tidak tahu. Si-meh, entahlah…!" Kun Bok tersadar dan dengan gugup pula dia tiba-tiba menggerakkan kakinya menyusul Bi Hwa. Si-meh terheran, namun pelayan ini dengan muka tegang lalu mengikuti Kun Bok memasuki kuil Ban-se-tong.

Kini suara senjata semakin terang, dan dari bentakan-bentakan nyaring di dalam itu Kun Bok mengenal suara kekasihnya, Bi Kwi! Kun Bok berdebar tidak karuan dan dengan cepat dia menuju ke suara pertempuran. Ternyata bukan di ruang sembahyang melainkan di atas loteng pada sebuah menara. Maka Kun Bok-pun lalu berkelebat ke tempat itu dan karena ingin melihat apa yang terjadi dengan jalan tidak langsung pemuda ini menyelinap di sebuah pilar, kemudian melayang naik di atas belandar. Dan apa yang dilihat Kun Bok tercengang. Seorang pemuda tinggi besar bermuka hitam dengan caping rendah di atas kepala ternyata sedang dikeroyok oleh tiga wanita cantik, masing masing adalah Bi Hwa, seorang wanita tak dikenal dan Bi Kwi!

"Ahh...!" Kun Bok membelalakkan matanya dan pemuda itu bengong bukan main. Apa yang disaksikan sekarang ini adalah suatu kenyataan yang hampir tidak dipercayainya, karena Bi Kwi yang sehari-harinya lemah tak berdaya itu ternyata kini berbalik seratus delapanpuluh derajat. Kekasihnya itu beterbangan kian kemari seperti walet menyambar-nyambar menyerang musuh dengan pekik kemarahannya.

"Luar biasa...!" Kun Bok mendesis kagum dan gerak cepat Bi Kwi yang lincah menari-nari dengan pedang pendek di tangan kanan itu benar-benar membuat Kun Bok terpukau. Tiga orang wanita ini ternyata hebat semuanya, masing-masing memiliki ginkang mengagumkan dan kepandaian tinggi! Terutama wanita berbaju ungu yang tidak dikenal Kun Bok itu.

Wanita ini selalu memimpin serangan. Bi Hwa dan Bi Kwi dikomando berkali-kali untuk menyerang dari kiri atau kanan, untuk menusuk perut atau membabat pinggang, dan semuanya itu mereka lakukan dengan cara serempak dan susul-menyusul bertubi-tubi saling ganti-berganti. Hebat dan luar biasa sekali, karena sinar pedang yang berkelebatan itu mencurah seperti hujan deras, tidak memberi waktu bagi lawan buat menarik napas sedetikpun.

Tapi anehnya, pemuda tinggi besar bermuka hitam ini enak-enak saja. Sambaran pedang yang berseliweran di muka dan belakang tubuhnya dengan gencar itu disambutnya tenang-tenang saja. Tiga senjata yang ganti-berganti menyambar itu kadang-kadang dielak atau disampok mudah, dan dari tubuhnya keluar semacam angin pukulan yang menahan lajunya senjata. Pedang di tangan Bi Kwi maupun di tangan dua orang temannya yang lain selalu berhenti di depan tubuh pemuda itu, sejengkal saja jaraknya, namun toh tidak mampu diteruskan. Senjata di tangan tiga orang wanita ini seolah-olah macet di tengah jalan, tertahan oleh suatu hawa sakti yang amat mujijat!

Kun Bok mendelong dan diam-diam dia terkejut bukan kepalang oleh kelihaian si pemuda muka hitam ini. Siapakah dia? Kun Bok membatin kaget dan tiba-tiba dia menjadi gatal tangan untuk turun membantu. Dilihat naga-naganya, tiga orang wanita itu tidak bakal mampu untuk merobohkan lawan yang demikian sakti! Apalagi selama itu pemuda tinggi hesar ini hanya mengelak dan menahan saja, tidak membalas sebuah seranganpun dengan ilmu silatnya yang hebat! Maka Kun Bok menjadi gatal tangan untuk segera melompat namun tiba-tiba pemuda aneh itu mengeluarkan satu bentakan pendek.

Pedang Bi Hwa yang menusuk mata sekonyong-konyong dijepit dengan dua jari telunjuk dan jari tengah, sementara tikaman Bi Kwi yang mengarah pinggang diegos sedikit. Dan pada saat itu, pedang di tangan si wanita baju ungu meluncur deras membacok pundaknya. Hebat serangan terakhir ini, karena pemuda muka hitam itu sudah tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak. Tapi apa yang terjadi pada detik-detik berikutnya itu sungguh mengejutkan semua pihak. Pedang Bi Hwa yang dijepit ternyata tidak dapat dilepas, dan bacokan deras ke pundak kiri itu dengan tepat mengenai sasarannya.

"Cepp...brett!"

Si wanita baju ungu mengeluarkan pekik kaget ketika pedangnya membacok tubuh lawan tapi mental seperti bertemu karet kenyal, dan pedang Bi Hwa yang dijepit dua jari baja itu sekonyong-konyong disendal kuat. Pundak yang dibacok ternyata tidak apa-apa, tapi baju yang menjadi sasaran robek lebar. Dan pada saat itu, Bi Hwa berteriak tertahan karena tidak mampu menjaga senjatanya lagi. Pedang di tangannya tahu-tahu terbetot lawan dan sementara si wanita baju ungu tertegun kaget melihat kejadian ini sekonyong-konyong gagang pedang rampasan itu telah menyambar lehernya.

"Plakk! Aduhh…!" Wanita baju ungu terpelanting roboh dan wanita itu mengeluh pendek. Tubuhnya seperti disambar petir dan leher yang terkena gagang pedang tampak biru kehitaman. Kontan dia terjungkal dan senjata yang di tanganpun ikut mencelat lepas sementara dia sudah terkapar di atas lantai dalam keadaan pingsan!

"Aih...!" Bi Hwa dan Bi Kwi kaget sekali menjaksikan kejadian ini, namun sebelum mereka berbuat sesuatu, tiba-tiba pemuda muka hitam itu sudah mendahului mereka. Lawan yang amat lihai ini tahu-tahu telah menggerakkan kaki secara aneh, melangkah zig-zag dengan kecepatan kilat dan sebelum mereka tahu apa yang terjadi tiba-tiba tengkuk mereka sudah disambar empat jari yang seperti godam.

"Duk-dukk...!

Bi Kwi dan Bi Hwa mengeluh panjang dan kedua orang wanita itu terjerembab ke depan. Tengkuk yang ditampar tangan ampuh itu serasa kejatuhan langit ambruk dan tanpa berteriak lagi keduanyapun lunglai seperti kain basah. Kakak beradik itu sama-sama roboh, dan Kun Bok yang melihat semua peristiwa itu di atas belandar tertegun kaget. Kejadian yang hanya beberapa detik ini sungguh terlampau cepat sekali berlangsungnya, dan dia yang sudah siap melompat turun itu jadi terkesima. Apa yang disaksikan ini memang luar biasa sekali, hampir tidak dapat diikutinya.

Tapi setelah Bi Kwi dan Bi Hwa roboh di atas lantai dalam keadaan pingsan itu tersadarlah Kun Bok dengan tiba-tiba. Dia lalu melengking tinggi, dan pemuda muka hitam yang sedang mengusap peluh di bawah itu dibuatnya terkejut. Seperti garuda terbang saja Kun Bok tahu-tahu telah hinggap di atas lantai di depan pemuda tinggi besar itu dengan kaki ringan. Pemuda muka hitam itu terkejut, dan dia memandang dengan muka gelap ke arah Kun Bok.

"Siapa kau?" bentakan perlahan yang diserukan lirih ini menggetarkan isi ruangan.

Dan Kun Bok yang dipandang tercekat kaget. Setelah sekarang putera Bu-tiong-kiam Kun Seng ini berhadapan langsung dengan lawan yang tidak dikenal itu baruiah pemuda ini merasakan perbawa yang amat besar memancar dari tubuh lawannya itu. Ternyata pemuda ini memang hebat bukan main. Sorot matanya yang mengkilat seperti mata naga sakti itu benar-benar mengguncangkan jiwanya, dan sikap lawan yang demikian tenang penuh kepercayaan terhadap diri sendiri itu sejenak membuatnya tertegun.

Tapi Kun Bok yang hendak membela Bi Kwi itu sudah menindas semua perasaannya yang berdebar tidak karuan dan pemuda ini telah mencabut pedang mengusir kegelisahannya yang sekonyong-konyong mengganggu konsentrasinya. Dia tidak menggubris pertanyaan lawan, malah sebaliknya dia yang ganti membentak,

"Sobat yang tidak tahu malu, apakah maksudmu membuat onar di rumah orang? Kalau kau hendak mengganggu wanita hadapilah aku dulu, jangan menghina wanita-wanita muda."

Pemuda muka hitam itu mendengus. "Hm, kau hendak menunjukkan kegagahanmu, sahabat? Membela wanita-wanita cantik ini? Baiklah, tapi terangkan dulu apa huhunganmu dengan mereka itu dan apakah kau juga termasuk anggota Hiat-goan-pang!"

Kun Bok tersentak mendengar orang menyebut-nyebut nama Hiat-goan-pang, namun dia menggelengkan kepala dengan tegas. "Tidak, aku bukan anggota Hiat-goan-pang dan tentang hubunganku dengan mereka itu hanyalah huhungan persababatan. Apakah kau musuh Hiat-goan-pang? Dan mengapa kau merobohkan tiga orang wanita ini?"

Pemuda tinggi besar itu tertawa dingin. "Aku merobohkan mereka karena mereka wanita-wanita licik, sahabat, dan kau yang kulihat memiliki watak gagah ini bagaimana bisa menjadi sababat siluman-siluman cantik seperti itu? Apakah kau tergiur oleh kecantikannya? Hm, sayang kalau begitu. Jika aku boleh memberi nasihat, jauhilah wanita-wanita berbahaya ini, sahabat muda, karena kau kurang patut bergaul dengan mereka. Tapi kalau kau tidak mau, terserah, itu adalah hakmu pribadi."

Kun Bok merah mukanya. "Hm, kau sombong, sobat!" bentaknya marah. "Apakah kau kira nasihatmu ini sudah tepat kau berikan kepadaku? Apakah kau sudah menjadi orang yang bersih sendiri di dunia?"

Pemuda muka hitam itu mengangkat kepalanya. "Aku tidak bermaksud begitu, saabat muda, tapi kalau kau penasaran majulah! Bukankah kau sudah siap dengan pedang di tangan?"

Kun Bok mendongkol sekali. Dia membentak sambil memasang kuda-kuda dan pedang yang lurus di tangan diacungkan ke depan. "Sobat muka hitam, cabutlah senjatamu. Aku tidak biasa menyerang lawan yang bertangan kosong."

Tapi pemuda muka hitam itu malah tertawa mengejek. "Sagabat muda, sikapmu ini justeru membuat aku melunakkan hati. Ternyata kau bukan golongan penjahat yang suka mengandalkan kelebihan. Baiklah, aku akan bermurah hati kepadamu untuk memberikan kesempatan sebanyak lima jurus. Nah, mulailah, aku sudah terbiasa menggunakan kaki tanganku dalam menghadapi serangan lawan!"

Kun Bok tertegun oleh jawaban ini namun melihat kesungguhan orang yang tampaknya kelewat percaya terhadap diri sendiri itu membuat dia naik kegusarannya. Putera si jago pedang itu merasa seakan-akan diremehkan, karena itu Kun Bok lalu membentak nyaring dan tanpa bahyak bicara lagi sudah menggerakkan pedangnya menusuk leher lawan. Jurus pembukaan It-kiam-ci-lou mulai dilancarkannya, dan mata pedang yang berkelebat ke depan itu bergetar menyilaukan pandangan.

Pemuda ini tidak mau main-main lagi, karena dia maklum bahwa si muka hitam itu memang orang yang amat lihai. Karena itu dalam sekali gebrakan ini langsung dia mengeluarkan ilmu pedangnya Bu-tiong Kiam-sut yang baru diajarkan ayahnya itu beherapa waktu yang lalu, dan dia mengharap lawan yang tidak dikenal ini dapat dibuatnya terkejut dan roboh dalam beberapa gebrakan.

Tapi apa yang dikehendaki itu ternyata tidak berjalan sesuai dengan keinginannya. Memang pemuda itu terkejut, tapi dia tidak terdesak, apalagi roboh dalam beberapa gebrakan seperti keinginan Kun Bok. Bahkan Kun Bok sendiri yang berbalik merasa kaget ketika dalam serangan pertamanya ini pemuda muka hitam itu mengebutkan lengan bajunya dan berseru perlahan,

"Aha, pembukaan jurus yang hebat sekali. Mirip gaya Kun-lun-san."

Seruan itu dibarengi kebutan tenang dan ujung pedang Kun Bok yang menusuk leher ini bertemu dengan serangkum hawa kuat yang menahan lajunya pedang. Kun Bok terkesiap, bukan oleh kebutan yang dia tahan memang amat lihai itu melainkan oleh seruan lawan yang dalam sekali gebrakan saja ternyata telah mengetahui aliran jurus pembukaan ilmu pedangnya!

Maka Kun Bok berseru kaget dan pedang yang mental oleh hawa sakti itu tiba-tiba dibalik arahnya dan membabat kaki dengan gaya Melengkung Lebar Memayungi Bulan. Inilah gerak berikutnya dari jurus It-kiam-ci-lou (Pedang Tunggal Menunjukkan Jalan), sebuah serangan berhahaya berdasarkan sikap tubuh lawan yang diserang.

Tapi pemuda muka hitam itu memang hebat sekali. Dia benar-benar menepati janji lima jurus serangan yang diberikan kepada Kun Bok tanpa membalas itu betul-betul dipegangnya teguh, dan serangan ke dua yang dilancarkan dengan gaya Melengkung Lebar Memayungi itu dihadapinya tanpa banyak gerak.

Kaki yang dibabat tidak digeser, tapi dibawa melompat tiba-tiba dengan enaknya, tidak begitu tinggi dia melompat, dan pedang yang berkesiur serambut saja di bawah kakinya itu menyambar lewat. Perbuatan ini sebenarnya terlampau berani, karena kalau tidak penuh perhitungan tentu dia bakal celaka. Namun nyatanya, pedang Kun Bok mengenai angin kosong di bawah kakinya!

"Siluman!" Kun Bok memaki marah dan pedang yang tidak mengenai sasarannya itu tiba-tiba digerakkan menyilang. Lawan sudah kembali lagi pada posisinya semula, maka dengan gerak menggunting kali ini dia mengarah pinggang lawan dengan kecepatan penuh. Kun Bok sudah menjadi gemas oleh sikap lawan yang tampak enak-enakan itu, maka kekuatan serangan yang nomor tiga ini dibuatnya dua kali lebih ganas daripada yang pertama.

Namun lagi-lagi Kun Bok dibuat tertegun. Pedang yang menyambar secepat kilat itu tahu-tahu kehilangan lawannya. Kesiur dingin angin senjatanya mendadak bertemu udara hampa membabat tanpa ada yang dihabat! Kalau begitu, apa yang terjadi? Kiranya Kun Bok baru tahu bahwa lawannya si muka hitam itu dengan kecepatan yang sukar diikuti mata ternyata telah merendahkan diri sejajar lantai dalam gayanya menghindari guntingan pedang!

"Ahh...!" Kun Bok berseru kaget dan mau tidak mau dia menjadi kagum juga. Lawan yang tadi merebahkan diri seperti papan tipis di atas lantai itu kini tahu-tahu telah melenting berdiri, dan sambil tertawa dia menghitung, "Serangan nomor tiga, sahabat muda...!"

Kun Bok merah mukanya dan sambil berteriak nyaring dia kembali menerjang maju. Peringatan lawannya itu tidak digubris, dan serangan berikutnya yang bertubi-tubi mulai dikerahkannya tanpa berhenti. Sesungguhnya dia baru mengeluarkan ilmu pedangnya Bu-tiong Kiam-sut yang biasa, bukan inti sarinya yang berjumlah tujuh jurus tapi yang baru dipelajarinya sebanyak tiga jurus itu. Bukan. Pemuda ini masih dalam taraf menjajagi ilmu kepandaian lawan, dan nasihat ayahnya agar dia tidak sembarangan mengeluarkan inti ilmu pedang Bu-tiong Kiam-sut yang disebut Butiong-hui-seng-kiam-sut itu masih diingatnya.

Karena itu, Kun Bok juga masih menahan diri dan dengan ilmu pedangnya Bu-tiong Kiam-sut yang "biasa" dia mencecar lawan yang tidak dikenal itu. Tapi ternyata semua serangannya ini kandas di tengah jalan. Si muka hitam yang amat lihai itu kalau tidak mengebut ya mengelak, dan semua serangannya yang bertubi-tubi itu tidak mendapatkan sasaran. Kun Bok menjadi gemas dan mulailah pemuda ini naik darah.

Lawan yang dihadapi seakan-akan bayangan saja, tidak pernah tesentuh. Dan getaran hawa aneh yang melindungi tubuh lawannya itu terasa semakin kuat. Hal ini terhukti apabila lawannya itu tidak sempat mengelak karena kecepatan pedangnya yang luar biasa, selalu saja ujung senjatanya itu terhenti di tengah jalan, tak dapat diteruskan dan mental karena membentur hawa sinkang yang amat mujijat!

Kun Bok naik pitam. Lima jurus cuma-cuma yang diberikan kepadanya telah habis sekarang, dan pemuda tinggi besar itu mulai memperingatkannya untuk balas menyerang. Tapi Kun Bok tidak perduli. Kenyataan bahwa lawan selama lima jurus telah berhasil menghindari semua serangannya dengan baik tanpa balas menyerang sungguh telah membuka matanya bahwa pemuda itu benar-henar hebat. Dia menghadapi lawan tangguh!

Tapi Kun Bok yang sudah bangkit kemarahannya ini tidak perduli. Dia tiba-tiba berteriak nyaring, dan pedang yang tadi diputar itu mendadak berhenti. Kun Bok melompat mundur, dan mata pedangnya sekonyong-konyong menempel di tengah kening. Inilah persiapan jurus ampuh Bu-tiong-hui-song-kiam-sut yang hendak dikeluarkan pemuda itu, dan si muka hitam yang melihat perobahan ini tertegun. Ujung pedang di tengah kening tampak bergetar, dan pemuda itu terkejut.

"Eh, kau hendak mengeluarkan jurus simpanan, sahabat?" pemuda itu berseru waspada namun Kun Bok malah memandangnya dengan sinar mata berapi.

"Jangan banyak bicara, muka hitam, jagalah seranganku tiga jurus beturut-turut ini. Kalau kau mampu menghindarinya kau sungguh patut menjadi guruku. Biar menjadi budakmupun aku rela!"

Kun Bok yang membentak marah itu disambut dengan kerutan alis dalam di wajah si muka hitam ini namun mendengar ucapan terakhir itu pemuda ini tertawa. "Hm, jangan tergesa-gesa, sahabat muda. Ketua Kun-lun-san sendiri tidak berani sembarangan omong begitu kepadaku. Ilmu pedangmu cukup hebat, tapi kau kurang matang. Melihat naga-naganya, kau jelas dari Kun-lun-san. Tapi ilmu pedangmu yang bercorak sendiri itu agaknya bukan dari perguruan Kun-lun! Siapakah kau?"

Namun Kun Bok tidak menjawab. Pemuda ini sudah mengumpulkan seluruh kekuatan dirinya untuk menyerang, dan pembukaan Bu-tiong-hui-seng-kiam-sut yang dinamakan Tit-to-pai-seng (Menuding Bumi Menyembah Bintang) itu sudah bergetar keras di tangan kanannya. Ilmu silat ini memang belum lama dipelajarinya, tapi Kun Bok yang merasa penasaran bahwa lima jurus berturut-turut, lawannya itu mengelak tanpa membalas sudah membuatnya serasa dibakar. Karena itu, ketika urat syarafnya sudah menegang hebat dan dia mencapai klimaks dari pembukaan jurusnya ini Kun Bok tiba-tiba melengking tinggi dan melompat ke atas.

Tubuh pemuda itu terbang ke langit-langit rumah, kemudian dengan satu tukikan tajam dia melayang turun. Ujung pedang menyambar ubun-ubun lawan, sedangkan jari kiri mencengkeram pundak. Hawa yang dingin segera memenuhi ruangan itu, dan pemuda muka hitam berseru aneh. Dia tampak terkejut oleh serangan yang luar biasa ini, dan tubuh Kun Bok yang meluncur ke bawah dengan ujung pedang siap menusuk ubun-ubunnya itu sejenak membuatnya terbelalak. Tapi dia tidak berani bersikap ayal. Begitu pedang hampir menyentuh kepalanya mendadak pemuda ini melompat ke samping. Kaki diputar dan tanganpun ikut digerakkan, menampar sisi pedang yang menghujam lurus ke bawah. Akibatnya, benturan pertama kali dalam adu kecepatan inipun terjadilah.

"Plak-dess!"

Kun Bok bergoyang miring ke kanan dan pemuda muka hitam berseru heran. Tamparan tangannya ke batang pedang Kun Bok bertemu dengan kekuatan sinkang yang di luar dugaan, dan pemuda tinggi besar itu terkejut. Dia merasakan perobahan luar biasa dalam adu tenaga dan pedang yang sudah dipukul miring itu ternyata masih saja meluncur lurus ke bawah.

"Cepp!" pedang amblas sepertiganya sementara Kun Bok sendiri berjungkir balik dengan ubuh seperti tonggak di atas gagang pedangnya!

"Aih, hebat…!" pemuda muka hitam memuji kaget.

Namun Kun Bok tiba-tiba sudah memekik keras sambil berjumpalitan di udara. Pedang yang menancap lantai sudah dicabut, dan kini seperti dang menyambar-nyambar tubuh putera si jago pedang itu berkelebatan di udara dalam gulungan sinar pedangnya yang lebar panjang pendek. Itulah jurus ke dua yang dinamakan Heng-hun-po-uh (Awan Berarak Hujan Mencurah), dan segera saja si pemuda tinggi besar dikurung gelombang pedang yang tiada hentinya.

"Wahh…!" pemuda muka hitam kembali mengeluarkan seruan kagetnya dan tubuh yang sudah dikelilingi awan pedang itu tampaknya tidak memiliki kesempatan keluar. Kun Bok berkelebatan di sekitar tubuhnya, dan pemuda tinggi besar ini sejenak tertegun. Terus terang dia belum pernah menjumpai ilmu silat pedang yang seperti itu hebatnya, maka tentu saja dia terkejut. Gelombang panjang pendek yang berseliweran di sekeliling dirinya itu membungkus ketat, masih mengurung dan belum menyerang, tapi mendadak saja disusul lengkingan tinggi dari pecahan sinar yang berkeredep ratusan banyaknya. Itulah saat "hujan mencurah" yang mulai dilancarkan Kun Bok!

Pemuda muka hitam terkejut bukan main menyaksikan datangnya serangan yang amat tiba tiba ini, karena seluruh permukaan tubuhnya kini menjadi sasaran. Mulai dari ujung rambutnya sampai ke bawah mata kaki! Karena itu, pemuda ini lalu berteriak menggeledek dan ratusan mata pedang yang menusuk-nusuk bukan main cepatnya itu disambut dengan kedua lengan terpentang lebar. Dia mengibas ke kanan kiri, dan serangkum angin yang amat dahsyat menghantam percikan hujan pedang itu.

"Bret-bret-bret...! Robekan kain itu terdengar berkali-kali dan Kun Bok yang menyerang dari atas itu menjerit tertahan. Dia merasa ditumbuk tangan raksasa, dan serangan Heng-hun-ouh-nya ambyar berantakan. Hujan pedang yang bertubi-tubi mendadak lenyap, dan Kun Bok yang disambar hawa Iwee-kang dahsyat ini terpental setombak lebih. Pemuda itu menyundul langit-langit ruangan, akan tetapi dasar nekat dan marah yang sudah kelewat sangat membuat pemuda ini tidak memperdulikan keselamatan dirinya lagi.

Tubuh yang tertempar itu dijejakkan silih berganti, dan ketika dia kembali melayang turun Kun Bok tiba-tiba sudah menyilangkan pedangnya dalam bentuk segi lima bintang, kecil bertubi-tubi menyambar duapuluh satu jalan darah pusat di tubuh lawan. Inilah serangan ke tiga dari ilmu pedang Bu-tiong-boan-seng-kiam-sut yang disebut Bu-tiong-boan-seng atau Bintang Bertaburan Di Dalam Kabut, maka hebatnya sungguh tidak kepalang lagi!

Pemuda muka hitam sampai terbengong melihat jurus yang amat luar biasa ini, namun dia cepat bertindak sigap. Serangan bintang lima segi yang mematuk-matuk tubuhnya itu disambut hangat, dan melihat bahwa Kun Bok tidak mau sudah dia lalu membentak geram dengan mata terbelalak. Pedang yang menyambar dirinya terang-terangan dicengkeram, buku-buku jarinya berkerotok, dan lengan kanan yang lain diulur menyambar leher Kun Bok.

Kun Bok terkesiap oleh perbuatan lawannya ini, namun dia sendiri sudah tidak ada waktu. Senjata yang meluncur tidak mungkin ditarik balik, dan dia juga sudah menjadi mata gelap. Maka begitu lawan menyambut pedangnya dengan tangan telanjang Kun Bok malah berteriak girang sambil mengerahkan segenap tenaganya.

Krak-pletak… aduhh!"

Sekejap saja kejadian berikutnya itu, namun peristiwa yang istimewa ini telah menyudahi segalanya. Pedang Kun Bok bertemu dengan jari-jari lawan, dan cengkeraman jari baja itu seperti besi panas bagi Kun Bok yang menjadi terkejut bukan main. Putera jago pedang ini tersentak karena dia tidak mengira bahwa dari jari-jari lawannya itu keluar hawa panas yang melebihi api dan sementara dia terkejut tahu-tahu pedangnya itu telah patah menjadi empat bagian disusul sentuhan bara menyala pada kulit lehernya. Itulah cekikan si muka hitam!

Kun Bok kaget bukan kepalang namun sebelum dia bergerak lebih lanjut tahu-tahu tangan yang mencengkeram lehernya itu menyentak kuat. Putera jago pedang ini hendak meronta, tapi dia kalah cepat. Leher yang ditarik itu tiba-tiba saja telah disendal dan sekali banting saja tubuh pemuda itupun tersungkur.

"Blukk!" Kun Bok menggelepar di atas Iantai dan putera Bu-tiong-kiam Kun Seng ini mengeluh. Dia mencoba bangkit berdiri, tapi sebuah tamparan sisi kepalanya membuat dia terputar dan tidak bangun lagi. Kun Bok pingsan, hajaran keras yang diterimanya itu ternyata telah membuat kulit lehernya bengkak dan warna kemerahan seperti cap lima jari itu jelas telah melukai pemuda ini. Memang bukan luka parah, tapi cukup untuk membuat pemuda itu beristirahat selama satu atau dua hari!

Pemuda muka hitam yang telah merobohkan lawannya ini tiba-tiba membalikkan tubuh. Bajunya sudah robek-robek tidak karuan, pertama karena bacokan wanita cantik berbaju ungu sedangkan yang lain adalah tusukan Kun Bok yang bertubi-tubi. Dia memandang ke arah sebuah pilar, dan dengan bengis membentak nyaring, "Pelayan baju kuning, kau keluarlah…!"

Si-meh yang sedari tadi memandang pucat di tempat persemhunyiannya kini keluar dengan tubuh gemetar. Dia menyaksikan semua kejadian di dalam Kuil Ban-se-tong ini, akan tetapi karena tidak mengira bahwa para majikannya roboh satu-persatu oleh pemuda bermuka hitam itu ia menjadi kecut hatinya. Kini, dipanggil geram oleh pemuda lihai itu Si-meh merasa gentar tidak karuan. Dia cepat menampakkan diri, karena tetap bersembunyi memang sudah tidak ada gunanya lagi. Pemuda tinggi besar yang lihai itu telah mengetahui kehadirannya, maka dengan tubuh menggigil ia melangkah maju. Kakinya tersaruk-saruk, dan wajah Si-meh yang cantik itu terbelalak ngeri.

"Taihiap, kau... kau hendak bicara apakah? Hendak membutuhkan diriku? Ah, aku siap, taihiap kamar disebelah kosong! Apakah taihiap… menghendaki aku sebagai penghibur? Asal tidak kau bunuh aku siap melayanimu, taihiap aku siap melayanimu... aduhh… plakk!"

Si-meh tiba-tiba terpelanting ketika bayangan pemuda tinggi besar itu berkelebat di depannya. Si muka hitam ini memaki gusar mendengar ucapan yang tidak senonoh itu dan sekali tampar saja Si-meh dibuatnya terlempar. Lalu ketika pelayan itu bangkit berdiri dengan tubuh gemetar tahu-tahu punggung Si-meh sudah diangkatnya seperti orang menenteng kucing.

"Pelayan bermulut kotor, kau ternyata tidak berbeda dengan majikanmu, ya? Keparat, jangan main-main di depanku. Hanya tunjukkan di mana tamu kalian bersembunyi! Atau, kau minta kubanting mampus!" pemuda itu menyentuh urat nadi di belakang punggung dan Si-meh menjerit kesakitan.

"Aduh, ampun, taihiap ampun aku tidak tahu tamu siapa yang kau maksudkan itu!" Si-meh meronta ngeri tapi si muka hitam mendengus.

"Hm, kau berpura-pura, ya? Aku mencari orang she Pouw itu, jahanam busuk yang suka memfitnah orang!"

"Ah. Pouw-kongcu, taihiap? Dia... dia..."

"Ya... di mana dia sekarang...?" pemuda itu mengendorkan cengkeramannya dan Si-meh megap-megap.

"Dia sudah kembali, taihiap dia sudah pulang...."

"Kau tidak bohong?"

"Sungguh mati!"

Pemuda muka hitam tiba-tiba mengeraskan kembali tekanannya dan Si-meh menjerit kesakitan. "Aduh, aku tidak bohong, taihiap… tidak bohong… sungguh mati….." Pelayan itu meronta sambil berteriak tapi si muka hitam ini tampaknya tidak perduli.

"Kau tidak bisa dipercaya, pelayan busuk, kau membohongiku! Jelas orang she Pouw itu tidak keluar dari pulau ini bagaimana bisa dikatakan pulang? Hayo bicara yang betul, di mana jahanam cilik situ!"

Si-meh menjerit-jerit dicengkeram urat nadinya yang menimbulkan perasaan nyeri yang amat menusuk itu dan pelayan ini bercucuran peluh. "Aduh, kendorkan tekananmu, taihiap… kendorkan dulu… aku tidak main-main. Pouw-kongcu benar-benar sudah meninggalkan pulau ini beberapa saat yang lalu. Dia datang dan pergi lewat pintu rahasia. Aduhh… lepaskan cengkeramanmu, taihiap…!"

Si-meh menggeliat nyeri dan pemuda tinggi besar itu mengendorkan cengkeramannya mendengar pelayan itu berteriak kesakitan. Dia tampaknya dapat menerima keterangan ini dan sinar matanya yang tadi berapi itu kini sedikit melunak. Si-meh dilempar, dan pelayan wanita itu terjerembab di atas Iantai. "Hm, kau bisa membuktikannya, pelayan busuk?"

Si-meh tertatih-tatih berdiri. "Bisa, taihiap… bisa. Kenapa tidak? Kalau aku bohong biarlah kau bunuh saja aku…!" pelayan itu gemetar pucat dan pemuda muka hitam mengangkat alisnya.

"Baiklah, coba tunjukkan kalau begitu pintu rahasia yang kau maksudkan itu. Hayo jalan....!" pemuda itu menendang Si-meh dan pelayan yang ketakutan ini hampir saja menumbuk pilar. Dia terkejut, dan dengan kaki menggigil akhirnya berjalan sempoyongan menuju bangunan rumah di sebelah kanan kuil. Si pemuda muka hitam mengikuti dari belakang, dan ketika pelayan itu memasuki kamar paling depan pelayan ini berhenti.

"Di sinilah, taihiap. Pintu rahasia itu menjadi satu dengan dinding ruangan. Pouw-kongcu melalui tempat ini."

"Hm, kamar siapa ini? Kamar majikan-mu?"

Si-meh menggelengkan kepala. "Bukan, taihiap, tapi kamar cap-ji-pangcu'."

"Wanita cantik yang datang bersamaan dengan pemuda terakhir itu?"

"Ya."

"Siapa dia?"

"Bok-kongcu, taihiap."

"Aku tidak tanya namanya!" pemuda ini membentak. "Aku tanya asal-usulnya!"

"Ah, dia… dia putera Bu-tiong-kiam Kun Seng, taihiap. Jago pedang dari Kun-lun-san itu."

"Hee...!" pemuda itu terkejut. "Putera Bu-tiong-kiam Kun Seng?"

"Ya." Si-meh menganggukkan kepalanya dan pemuda tinggi besar itu tertegun. Akan tetapi hanya sekejap saja dia terkejut karena tiba-tiba sinar matanya yang mencorong berkilat kembali. Dia mendorong Si-meh memasuki kamar dan ketika mereka berdua sudah berada di dalam kamar pemuda muka hitam itu berkata keren,

"Pelayan busuk, hayo cepat tunjukkan pintu rahasia itu kepadaku. Kalau kau tidak bohong, nyawamu kuampuni!"

Si-meh menggigil ketakutan. Dia memandang lawan yang amat lihai ini akan tetapi karena terpaksa iapun lalu melangkah maju. Kamar wanita yang berbau harum ini terisi sebuah tempat tidur besar, cukup untuk tiga atau empat orang dewasa, dan kelambu merah muda yang menutupi tempat tidur itu dibuka oleh si-meh. Dan Si-meh membungkuk, dan ketika sebuah tombol kecil berwarna hitam dipencet oleh pelayan ini tiba-tiba terdengarlah suara tembok terbuka. Dinding di balik tempat tidur itu terangkat, dan sebuah pintu dengan tangga tampak di depan mata. Terowongan rahasia!

Pemuda muka hitam berkilat gembira namun tiba-tiba dia melompat maju menerkam Si-meh. Si-meh terkejut, tapi jalan darah di pundaknya tahu-tahu sudah ditekan orang. "Jangan macam-macam, kau harus bersamaku sampai keluar dari terowongan ini! demiklan pemuda itu membentak, dan Si-meh yang sudah didorong memasuki pintu rahasia itu terperanjat.

"Ah, tapi... tapi aku tidak berani, taihiap Cap-ji-pangcu pasti menghukumku dengan hukuman berat!"

"Hm, itu urusanmu, pelayan busuk. Atau, kau ingin merasakan siksaan nyeri di sekujur tubuhmu?" pemuda ini memencet urat nadi di punggung Si-meh dan Si-meh seperti disengat listrik. Dia berteriak tertahan, dan setelah sejenak memandang ngeri ke arah pemuda muka hitam itu akhirnya sambil menangis pelayan ini menuruni tangga terowongan. Pintu rahasia sudah tertutup lagi, dan Si-meh tersaruk-saruk menunjukkan jalan kepada lawannya itu dengan muka pucat.

Demikiantah, dua orang itu lalu berjalan di terowongan rahasia dan Si-meh yang menjadi penunjuk jalan ini menggigil terus sepanjang langkah. Pelayan itu sepucat kertas mukanya, tapi karena tidak berdaya maka diapun melangkah terus sambil terisak-isak. Jalan yang mereka lalui tidak gelap, bahkan cukup terang dengan adanya lampu-lampu minyak yang tersebar di bawah tanah. Namun langkah mereka sama sekali tidak menunjukkan rasa terang itu sendiri.

Di satu pihak si muka hitam tetap bercuriga dan memasang penuh kewaspadaannya terhadap kemungkinan-kemungkinan jebakan, sedangkan di lain pihak Si-meh mencari-cari akal untuk menyelamatkan dirinya. Baik dari lawannya itu maupun dari hukuman majikannya. Akan tetapi semuanya itu tidak satupun yang dapat diraba, dan dua orang tawanan serta penawannya itu berjalan dengan pikiran masing-masing. Dinding demi dinding telah mereka lalui. Dan beberapa ruangan berhenti beristitahat. Ia tidak ikut campur dan ruangan demi ruangan yang miripnya seperti goa-goa alam itu mereka lewati tanpa berhenti. Kaki terus melangkah dan lika-liku terowonganpun sudah tidak dapat mereka hitung lagi.

* * * * * * * *

"Bok-kongcu… Bok-koko…!"

Kun Bok serasa mimpi. Panggilan yang terus-menerus memasuki telinganya itu seakan-akan sayup sampai, merdu seperti suara dewi tapi dia tidak tahu di mana dia pada saat itu. Dia merasa seakan-akan berada di tengah mega, terapung tak menentu pada ketinggian yang aneh. Dan suara panggilan yang berkali-kali itu terasa menghanyutkannya pada sisi yang lain dari tepi langit. Kun Bok setengah mimpi, tidak tahu betapa tubuhnya digoyang-goyang lemah oleh jari.. jari yang gemetar.

"Bok-kongcu… Bok-koko…!"

Kembali suara itu terdengar. Kun Bok terheran dan dia mencoba memasang telingagya dengan baik. Dan ketika suara panggilan itu terdengar lagi tiba-tiba Kun Bok merasa terkejut. Dia seakan-akan telah mengenal baik suara yang memanggilnya ini. Tapi siapa? Kun Bok terlena dan sementara kesadarannya mulai pulih mendadak saja pemuda itu tersentak.

"Bi Kwi…!" Kun Bok tiba-tiba tertegun dan pemuda ini membuka mata. Rasa setengah sadar yang seolah-olah mengangkatnya ke awan khayangan itu sekonyong-konyong saja lenyap. Kun Bok terkejut dan ketika untuk ke sekian kalinya kembali suara merdu itu menyusup ke telinga tiba-tiba Kun Bok terjaga. Pemuda itu tersentak, dan begitu dia membuka mata tampaklah olehnya seorang gadis berpakaian hitam berjongkok di sebelah kirinya dengan air mata basah.

"Bi Kwi… Kwi- moi…!"

Kun Bok berseru tertahan dan seperti orang kaget dari tidurnya pemuda ini tiba-tiba saja melompat bangun. Akan tetapi, baru dia mengangkat kepala mendadak pemuda itu mengaduh. Lehernya terasa sakit bukan main, sakit dan panas. Karena itu Kun Bok terkejut dan Bi Kwi yang melihat kekasihnya ini sadar kembali sekonyong-konyong tampak gembira.

"Bok-koko...!" gadis itu berseru Iirih dan Kun Bok yang hampir roboh kembali ini sudah disanggahnya cepat. "Kau… tidak apa-apa, Bok-koko…? Lehermu sakit?"

Belaian lembut yang disusul kecupan sayang di leher yang panas itu serasa es atau embun pagi yang segar bagi Kun Bok. Dia merasa nikmat, tapi begitu bibir kekasihnya lepas lagi Kun Bok tiba-tiba merasa pedih. Pikirannya kini telah jernih kembali, dan semua ingatan tentang kejadian di Kuil Ban-sen-tong itu mulai menyerbunya.

"Kwi-moi… di mana musuh kita itu? Di mana si muka hitam yang keparat kurang ajar itu?" Kun Bok datang-datang memaki kalang-kabut dan dengan leher pedih dia menoleh ke sana-sini untuk mencari orang yang dimaksud.

Tapi Bi Kwi menutup mulutnya dengan dua jari yang lemhut. "Sstt. jangan berteriak-teriak seperti orang gila, koko. Pemuda itu sudah pergi. Apakah kau bisa berdiri? Lihat, dua orang kakakku masih pingsan!"

Kun Bok terkejut dan dia memandang ke lantai. Sekaranglah dia terbelalak karena Bi Hwa yang datang bersamanya itu ternyata benar saja masih menggeletak di atas lantai. Dan di sebelah kanan Bi Hwa itu terdapatlah si wanita cantik berbaju ungu, sementara jauh di sudut sana tampak patahan pedangnya yang menjadi empat potong!

"Ahh…!" Kun Bok berseru tertahan dan dengan menahan sakit dia tiba-tiba melompat bangun. "Kwi-moi, kau bilang bahwa mereka berdua itu kakakmu?" pemuda itu terbelalak ke arah kekasihnya tapi Bi Kwi menganggukkan kepalanya dengan senyum aneh.

"Ya, Bok-koko, mereka memang benar adalah enci-enciku sendiri. Ada apakah?"

Kun Bok tertegun. "Kalau begitu… kalau begitu...!"

"Kalau begitu mengapa, Bok-ko? Kau sudah berkenalan dengan enci Bi Hwa, bukan? Ia adalah kakakku yang nomor dua. Yang pertama adalah enci Bi Gwat!" gadis itu menuding ke wanita baju ungu dan Kun Bok kembali tertegun.

"Ah, kalau begitu kalian tiga bersaudara, Kwi-moi?"

"Ya."

"Kalau begitu kenapa tidak menceritakannya dulu-dulu kepadaku?"

"Hm, itu sih atas permintaan kedua enciku sendiri, "Bok-ko, kenapa hendak menyalahkan aku?" Bi Kwi memandang cemberut ke arah Kun Bok dan pemuda ini terheran. Lalu dia melanjutkan dengan nada setengah gemas. "Kita mengobrol melulu di sini, Bok-ko, tidak menolong mereka."

Kun Bok tersipu-sipu kaget. "Eh.... oh... tentu saja tidak, Kwi-moi tentu saja tidak! Apakah mereka mengalami luka?" Kun Bok buru-buru menghampiri yang menggeletak di atas lantai dan karena dia lebih dulu kenal dengan Bi Hwa maka pertama-tama pemuda itupun menghampiri wanita cantik ini. Bi Kwi mengerutkan alis, tapi tiba-tiba gadis itu berseri mukanya.

"Hm, kau hendak menolong enci Bi Hwa dahulu, Bok-ko? Baiklah, ia memang yang paling cantik di antara kita! Siapa tidak tahu ia sudah menggodamu di tengah jalan?"

Kun Bok terkejut. "Eh, apa maksudmu, Kwi-moi? Bukankah kita berdua hendak menolong mereka?"

"Ya, tapi kenapa enci Bi Hwa yang lebih dulu kau hampiri?" Bi Kwi Pura-pura merengut dan Kun Bok terasa merah mukanya.

"Kwi-moi, ini… ini... eh, bukankah tidak ada salahnya? Bi Hwa maupun Bi Gwat sama-sama pingsan, kenapa kau marah-marah?"

Bi Kwi tiba-tiba membanting kaki. "Cih, siapa marah-marah? Aku hanya tanya kau mengapa enci Bi Hwa yang lebih dahulu kau hampiri. Apakah pertanyaan ini terlalu luar biasa? Sudahlah, kau urus enci Bi Hwa itu dan aku mengurus enci Bi Gwat!" Bi Kwi memutar tubuh tanpa banyak bicara dan dengan sikap cemberut gadis itu menghampiri kakaknya yang tertua ini.

Kun Bok melenggong, dan tanpa terasa pemuda itu menjadi panas mukanya. Sikap Bi Kwi yang uring-uringan itu terasa aneh baginya, akan tetapi karena dia tahu bahwa Bi Kwi memang kadang-kadang suka "angot" kumatnya kalau lagi timbul maka diapun menarik bahu dan cepat memeriksa Bi Hwa. Lehernya sendiri sabenarnya terasa sakit, tapi karena mengkhawatirkan keadaan dua orang enci kekasihnya ini diapun memaksa diri.

Tapi temyata Bi Hwa pingsan biasa saja. Pukulan tangan miring yang mengenai tengkuknya tidak terlalu berat, barangkali si muka hitam memang sengaja memberi "keringanan". Maka dengan totokan di atas pundak dan punggung sekejap kemudian sadarlah wanita itu. Bi Hwa menggeliat dan bulu mata yang lentik halus itu terbuka.

"Bok-kongcu...!" Bi Hwa segera berseru lirih begitu matanya menatap Kun Bok dan dengan cepat wanita itu melompat berdiri.

Tapi Kun Bok yang hendak menenangkan hatinya tahu-lahu menekan pundak dengan halus. "Adik Hwa, jangan tergesa-gesa. Aliran darahmu baru saja normal kembali. Duduklah…!"

Namun Bi Hwa sudah mengelit cepat. Dia melihat Bi Kwi yang berjongkok di samping Bi Gwat, maka dengan muka cemas tahu-tahu dia telah melompat mendekati adiknya itu. "Kwi-moi, terluka parahkah dia?"

Namun Bi Kwi menggelengkan kepala. "Tampaknya tidak, ji-ci (enci nomor dua), hanya lehernya yang matang biru. Agaknya Gwat-ci terluka luar."

"Ih, kalau begitu berikan penawar bengkak, Kwi-moi, dan totok jalan darah Tai-ceng-hiat-nya!"

Bi Kwi mengangguk. "Sudah kulakukan, ji-ci…" dan pada saat itu Kun Bok tahu-tahu juga telah berada di belakang mereka.

Tidak apa-apakah keadaannya, Kwi-moi?" pemuda itu bertanya lirih tapi Bi Kwi tidak menjawab.

Kun Bok tersenyum kecut dan dia melihat keadaan Bi Gwat yang sudah ditotok oleh kekekasihnya Ternyata Bi Gwat sedikit lebih berat dibanding adik-adiknya tadi, karena kalau Bi Kwi maupun Bi Hwa sama sekali tidak ada luka luar adalah wanita baju ungu ini kulit lehernya biru kehitaman. Agaknya sambaran gagang pedang yang dipukulkan si muka hitam cukup keras, akan tetapi biar bagaimanapun juga masih untung karena Gwat tidak sampai terluka parah. Wanita itu hanya mengalami guncangan urat kecil, dan pukulan yang membuatnya pingsan itu melecetkan sedikit kulit lehernya yang putih mulus.

Akan tetapi Bi Kwi yang sudah bekerja menolong kakak perempuannya ini telah menunjukkan hasil. Bi Gwat mulai bergerak-gerak, dan wanita cantik itu mengeluh perlahan. Kulit leher yang sudah dibalur minyak gosok oleh Bi Kwi ini kelihatan khasiatnya, karena wama biru sekejap saja mulai lenyap. Bi Gwat membuka mata, dan begitu melihat Bi Kwi dan Bi Hwa ada di sampingnya wanita itu tahu-tahu melompat bangun.

"Kwi-moi… Hwa-moi, di mana si muka hitam itu?" wanita itu membentak marah dengan sinar mata berapi namun Bi Hwa sudah memegang lengannya dengan lembut.

"Gwat-ci, jangan menghamburkan kemarahan dengan percuma. Si muka hitam sudah pergi, agaknya diusir oleh Bok-kongcu ini…!" Bi Hwa menunjuk kepada Kun Bok dan Kun Bok terkejut.

Bi Gwat sendiri agaknya baru sadar bahwa di tempat itu selain mereka bertiga juga terdapat seorang tamu, dan begitu memandang Kun Bok wanita cantik ini tampak tertegun. Tapi sebelum dia melangkah maju Kun Bok yang gugup dikira dirinya yang berhasil menghalau si muka hitam yang lihai sudah buru-buru membungkukkan tubuh.

"Ah, maaf adik Hwa, dan engkau juga, nona Gwat, sesungguhnya si muka hitam bukan aku yang mengusirnya. Terus terang aku sendiri juga roboh di tangannya, maaf… harap kalian tidak salah sangka….!" Kun Bok berkata dengan muka merah dan Bi Gwat serta Bi Hwa terbelalak heran.

"Eh, begitukah, Bok-kongcu?" Bi Hwa seakan tak percaya. "Kalau begitu, kemana dia sekarang?"

Semua orang memandang sekeliling dan tiba-tiba Bi Hwa melanjutkan pertanyaan dengan kaget sambil menepuk dahinya, "He, kemana pula pelayanmu itu, Gwat-ci? Tadi Si-meh datang bersamaku!"

Bi Hwa tampak terkejut dan wanita itu akhirnya menoleh ke kanan. "Bok-kongcu, apakah Si-meh tidak bersamamu, tadi?"

Kun Bok mengerutkan ails. "Tadi ia memang bersamaku, adik Hwa, tapi di mana ia sekarang terus terang aku juga tidak tahu. Apakah kiranya ia bersembunyi?"

"Hm, kalau bersembunyi dia pasti keluar, kongcu, tidak mungkin sembunyi terus. Ataukah si muka hitam...?"

"Benar..!" tiba-tiba omongan yang belum selesai dari Bi Gwat itu sudah dilanjutkan Bi Hwa. "Tentu si muka hitam yang kembali membuat gara-gara ini. Si-meh tentu ditangkap! Eh, Gwat-ci, Kwi-moi, apakah kalian tidak ingin mencarinya di luar? Susullah, aku mencarinya duluan...!"

Bi Hwa tiba-tiba sudah berkelebat keluar dan Bi Kwi serta Bi Gwat saling pandang sejenak. Memang apa yang dikatakan oleh Bi Hwa itu bisa saja terjadi, maka akhirnya dua orang enci adik inipun berkelebat keluar mengikuti Bi Hwa, sementara Kun Bok sudah ditarik lengannya, oleh Bi Kwi. Mereka berempat segera mencari di sekeliling kuil, namun bayangan Si-meh yang tidak tampak batang hidungnya itu mulai diselidiki di dalam rumah yang masing-masing berdiri tidak berjauhan.

Bi Hwa mencari ke rumah di sebelah kanan kuil sedangkan Bi Gwat serta Kun Bok mencari di bangunan rumah di sebelah kiri. Untuk ini Bi Gwat dan dua orang temannya tidak menemukan sesuatu, tapi Bi Hwa yang berada di rumah sebelah kanan kuil berteriak. Agaknya dia menemukan jejak, dan Bi Gwat serta yang lain berkelebat mendatangi tempat itu. Dan benarlah. Bi Hwa berada di kamar depan, menyingkap kelambu yang agak kusut.

Inilah kamar Bi Hwa sendiri, dan memang di tempat itu pulalah Si-meh menunjukkan jalan rahasia yang menuju terowongan bawah tanah. Maka ketika semua orang sudah berada di situ dan Bi Hwa menunjukkan tapak-tapak kaki yang terus ke bawah seketika semua orang sama maklum bahwa si muka hitam telah memaksa Si-meh menunjukkan terowongan rahasia!

"Keparat! Si muka hitam itu sungguh kurang ajar sekali, Gwat-ci. Dia memasuki kamarku tanpa aturan!" Bi Hwa mengepal tinju tapi kakaknya mengatupkan gigi.

"Hm. ini atas pengkhianatan Si-meh Hwa moi, dan kita perlu menghukum pelayan itu. Mari kita cari!" Bi Gwat sudah melompat masuk dan dengan muka merah wanita cantik itu berlari di dalam terowongan.

Bi Hwa dan Bi Kwi saling pandang, akan tetapi dua orang wanita inipun akhirnya sama-sama menganggukkan kepala. Dengan tanpa banyak cakap lagi keduanyapun melompat turun dan Kun Bok yang selalu digandeng Bi Kwi itu juga diajak serta. Pemuda ini sebenarnya ingin banyak bicara dengan kekasihnya itu, namun karena keadaan masih tidak mengijinkan diapun terpaksa menunda keinginannya.

Si-meh memang perlu dicari dan si muka hitam itupun juga perlu diketahui jejaknya Dan teringat kepada kelihaian si muka hitam yang amat luar biasa itu hati Kun Bok berdebar tegang. Sungguh tidak dinyana bahwa dalam sepuluh jurus saja bahkan kurang. Dia roboh di tangan orang. Padahal dia sudah melawan sekuat tenaga. "Siapakah pemuda itu?"

Pertanyaan ini mulai menghantui dirinya. Kedatangan si muka hitam ke Kuil Ban-se tong yang tidak diketahui maksudnya juga diam-diam menimbulkan pertanyaan. Karena itu dia ingin sekali berbicara dengan Bi Kwi, berbicara apa saja yang bertumpuk-tumpuk di dalam hatinya. Mulai dari bagaimana kekasihnya itu bisa berada di Pulau Surga ini sampai pengelabuannya yang pura-pura tidak bisa silat. Apakah sebenamya yang tersembunyi di balik gerak-gerik kekasihnya yang aneh ini? Kun Bok tidak tahu.

Terowongan yang mereka lalui sudah mencapai akhir. Lubang gua yang terang benderang tampak di depan. Bi Gwat sudah melompat keluar sementara mereka bertiga juga ikut melayang naik. Sekaranglah Kun Bok tahu bahwa mereka ternyata sudah berada di sebuah lembah dengan sungai yang gemericik di bawah tebing! Ah, indah sekali!

Tapi Kun Bok tidak sempat menikmati panorama ini karena matanya membentur seseorang di belakang pohon. Si-meh! Pelayan itu menggeletak di atas rumput tanpa berdaya, dan matanya yang terbelalak ke arah rombongan Bi Kwi ini jelas menunjukkan rasa takutnya. Bi Gwat sudah melompat mendekati pelayan itu, dan Si-meh yang rupanya tertotok gagu gemetar ketakutan melihat sorot mata majikannya.

Namun Bi Gwat rupanya cukup menahan nafsu. Si-meh yang tertotok tak berdaya itu dibebaskannya, dan ketika pelayan yang menggigil ini sudah dapat menggerakkan tubuhnya segera wanita itu menjatuhkan diri berlutut dengan muka sepucat kertas.

"Ampun, pangcu, ampun... hamba dipaksa si muka hitam itu untuk menunjukkan terowongan rahasia. Jalan darah hamba dipencet, dan hamba menderita kesakitan yang amat sangat. Kalau pangcu menganggap hamba bersalah hamba rela menerima hukuman…!" Si-meh menggigil di kaki majikannya.

Dan Bi Gwat tiba-tiba menendang pelayannya itu. "Manusia keparat, siapa bilang kau tidak dianggap bersalah? Berkhianat macam ini saja sudah cukup untuk dijadikan alasan membunuhmu. Sratt...!" Bi Gwat menarik pedangnya dan Si-meh terbelalak gemetar. Pelayan ini hendak bicara, namun mulutnya kelu. Untunglah pada saat itu Bi Hwa tiba-tiba sudah melompat di depan kakaknya ini

"Adik Hwa, apa yang hendak kau maui? Si-meh sudah melanggar aturan nomor tiga kita, dan manusia macam ini tidak perlu diampuni!"

"Hm, itu kalau atas kesengajaan dirinya, enci. Tapi pelayanmu itu berbuat alas paksaan di luar dirinya. Siapa bilang dia melanggar aturan kita nomor tiga? Tidak, Si-meh memang boleh dihukum akan tetapi bukan hukuman menghabiskan nyawa! Dia terlalu berat kalau dijatuhi tuduhan seperti itu. Jasanya yang telah bertahun-tahun cukup untuk dijadikan pertimbangan, masa hendak dibunuh?"

"Hm, kalau begitu, apa yang hendak kau berikan kepadanya, Hwa-moi?" Bi Gwat mulai marah tapi Bi Hwa tenang-tenang saja. Wanita itu menoleh kepada Kun Bok, dan dengan suara-nya yang lantang dia berkata,

"Mengingat hadirnya seorang tamu agung di tempat kita, biarlah Si-meh dibebaskan! Bagaimana Kwi-moi, apakah kau setuju?"

Bi Hwa mencari dukungan ke arah adiknya yang paling muda Bi Kwi tiba-tiba tersenyum dikulum. "Ih, kalau Bok-koko kau jadikan alasan tentu saja aku tidak berani menolak, enci Bi Hwa. Siapa ingin dianggap keji oleh seorang tamu istimewa yang berada di depan mata?" gadis itu tertawa kecil dan tanpa diketahui Kun Bok ia memberikan isyarat sebelah mata kepada encinya yang menghunus pedang itu.

Bi Gwat tertegun, dan seperti orang di sadarkan tiba-tiba ia memasukkan senjatanya kembali. "Ah, maaf, Bok-kongcu, aku hampir lupa diri!" wanita cantik itu buru-buru merendahkan tubuh dan dengan cepat dia sudah memutar tubuh lagi ke arah Si-meh.

"Manusia tak tahu diuntung, bersyukurlah kepada Bok-kongcu. Karena kehadirannya aku memberimu kebebasan dari tuduhan berkhianat. Pergilah...!" kaki Bi Gwat bergerak gemas dan tubuh Si-meh terpelanting.

Pelayan itu bangkit berdiri dengan kaki tertatih-tatih, tapi kegembiraan matanya tak dapat disembunyikan lagi. Dia membungkukkan tubuhnya di depan sang majikan, mengucapkan terima kasih atas pengampunan yang diberikan, lalu berlutut pula di depan Kun Bok dengan wajah berseri. "Bok-kongcu, hamba menghaturkan beribu terima kasih atas pertolongan kongcu yang tak terhingga. Atas kehadiran kongcu jiwa hamba selamat. Semoga kongcu hidup gembira sebagai tamu agung...!" pelayan itu mengerling genit dan Kun Bok merasa tidak enak.

"Sudahlah, Si-meh, kau kembalilah. Majikanmu terlalu memandang tinggi kepadaku. Siapa yang hendak kelewat bangga?"

Si-meh membenturkan jidatnya sekali lagi lalu tanpa banyak cakap dia ngeloyor pergi meninggalkan empat orang itu memasuki terowongan rahasia. Bi Gwat sejenak mengawasi kepergian pelayannya ini, lalu diapun mengajak teman-temannya kembali ke Ban-se-tong.

Di sini Kun Bok merasa keadaan sudah mulai tenang kembali, dan dia bersama tiga orang wanita cantik itu menyusul Si-meh memasuki jalan rahasia. Akan tetapi karena Bi Gwat dan Bi Hwa masih mengiringnya dalam perjalanan diapun kurang leluasa untuk bercakap-cakap dengan Bi Kwi. Tiga wanita bersaudara ini mulai menarik perhatiannya, dan tempat tinggal mereka yang demikian terpencil serta amat rahasia itu betul-betul menimbulkan banyak pertanyaan di dalam hatinya.

Tapi Kun Bok masih menahan diri. Bi Hwa yang merupakan pengajak tunggal dalam petualangannya ke Pulau Surga ini juga belum menerangkan segala sesuatunya dengan jelas, karena mereka keburu bertanding dengan musuh lihai yang mampu menyelundup ke dalam pulau.

Dan teringat kepada si muka hitam itu lagi lagi jantung Kun Bok tergetar. Hebat sekali pemuda tinggi besar itu, siapakah dia? Namun pertanyaan inipun masih merupakan teka-teki sampai akhinya mereka kembali muncul di kamar Bi Hwa untuk menuju pada rumah di samping kiri Ban-se-tong yang menjadi tempat tinggal Bi Gwat, pangcu nomor sebelas dari perkumpulan Hiat-goan-pang itu!

Mereka sudah duduk mengelilingi meja bundar. Bi Gwat yang merupakan tuan rumah duduk di kursi kepala, sementara Kun Bok dan dua orang adiknya duduk di kiri kanan berhadapan langsung dengan wanita cantik berbaju ungu ini. Dan setelah keadaan tidak diganggu segala macam pertempuran sekaranglah Kun Bok dapat mengamati jelas wajah kakak tertua Bi Kwi ini.

Ternyata wanita itupun cantik bukan main. Hidungnya yang kecil mancung dengan bibir yang tipis kemerahan tanpa gincu memikat sekali untuk dipandang. Dan sinar matanya yang berkilat penuh wibawa menunjukkan kesannya yang tegas dan agak dingin. Berbeda dengan Bi Kwi maupun Bi Hwa yang mempunyai bentuk muka sedikit bulat, adalah wanita ini memiliki wajah melonjung telur. Dahinya sedikit lebar, namun rambut yang tertutup di atas kening itu menyembunyikan kelemahannya ini dan malah menampilkan sebentuk wajah yang tersendiri cantiknya. Mereka memang sama-sama menarik, sama-sama muda dan memiliki sama-sama kelebihan tertentu.

Seperti Bi Kwi misalnya. Gadis itu memiliki daya pikat pada matanya yang jeli genit, sedangkan Bi Hwa pada sepasang bibirnya yang indah menggairahkan. Tidak tahu Kun Bok, yang mana sebenamya di antara Bi Kwi dan Bi Hwa ini yang paling menarik. Dan sekarang bertemu dengan Bi Gwat yang juga tidak kalah cantiknya itu Kun Bok jadi tidak karuan rasa. Kakak Bi Kwi yang tertua ini mulai memandanginya terang-terangan, dan hidungnya yang kecil mancung itu tampak berkembang-kempis manis.

Ada sesuatu yang amat memikat sekali pada diri ketua Hiat-goan-pang nomor sebelas ini. Dan sesuatu itu agaknya hidung yang mancung manis itulah! Kun Bok menyeringai masam di dalam hatinya. Heran dia, bagaimana sekarang pandai menaksir wanita cantik pada daya pikatnya? Hem, ini tentu gara-gara Bi Kwi! Kun Bok menekan debaran jantungnya dan pada saat itu Bi Gwat-pun membuka percakapan.

"Bok-kongcu, maaf sebelumnya bahwa kami tiga bersaudara tidak dapat menyambut kedatanganmu sebagaimana layaknya seorang tamu. Pertama karena gangguan si muka hitam dan ke dua karena aku pribadi tidak menyangka sama sekali bahwa adikku Bi Hwa bakal membawamu ke tempat ini. Apakah kongcu mempunyai kesan tidak senang oleh semuanya ini? Kalau begitu sukalah kongcu memaafkannya. Kami tiga bersaudara memang mungkin wanita-wanita kasar, oleh sebab itu sukalah kongcu memakluminya!"

Suara merdu yang nyaring halus itu mulai memecahkan suasana, dan Kun Bok yang dijadikan sasaran penghormatan tersipu-sipu gugup. "Ah, nona Bi Gwat, harap jangan berlebihan!" pemuda itu bangkit berdiri dan menjura kepada tuan rumah dengan tergesa-gesa. lalu dengan suara merendah dia meneruskan, "Aku pribadi datang atas undangan adik Bi Hwa, karena itu bila nona Bi Gwat merasa terganggu bicaralah terus terang. Kita adalah orang-orang dunia persilatan, maka sudah biasa kalau ada gangguan-gangguan dari luar. Apakah si muka hitam itu memang musuh kalian?"

Kun Bok duduk kembali, dan Bi Gwat tiba-tiba mengerutkan alis. "Bok-kongcu, sebelum kita melanjutkan pembicaraan sukalah kau membuang sebutan nona itu. Aku memang saudara tertua dari tiga bersaudara, namun kukira masih lebih muda juga darimu. Apakah tidak enak jika kongcu memanggilku sama seperti sebutan terhadap Bi Kwi dan Bi Hwa?"

Kun Bok memerah mukanya. "Ah, ini… ini jelek-jelek kau adalah seorang pangcu, nona, bagaimana aku berani lancang memanggilmu seperti itu?"

"Hi-hik, Bok-koko memang belum kuberi tahu Gwat-ci, harap cici tidak gusar!" Bi Kwi tiba-tiba tertawa geli dan Kun Bok serta dua orang lain memandang terkejut.

"Eh, begitukah kiranya, Kwi-moi!" Bi Gwat tampak terbelalak.

"Ya, begitukah enci!"

"Ah... kau nakal, Kwi-moi!" Bi Gwat berseru. "Kenapa menyembunyikan rahasia kepada sababat sendiri?"

Wanita itu lalu memandang Kun Bok. "Bok-kongcu, maafkan kenakalan adikku ini. Memang kami tidak boleh sembarangan memberitahukannya pada orang luar, tapi karena kongcu sudah menjadi sababat adikku maka kukira persoalan ini tidak perlu disembunyikan lagi. Ketahuilah, kongcu, kalau kau sungkan kepadaku karena kedudukanku sebagai seorang ketua cabang Hiat-goan-pang yang nomor sebelas adalah dua orang adik perempuanku itupun juga memiliki kedudukan yang sama denganku. Mereka adalah sama-sama ketua cabang pula, hanya kalau adik Bi Hwa merupakan ketua cabang nomor duabelas adalah Bi Kwi merupakan ketua cabang nomor tigabelas dari perkumpulan kami Hiat-goan-pang!"

"Ahh....!" Kun Bok terkejut seperti disengat lebah dan dengan mata terbelalak dia memandang Bi Kwi. "Kwi-moi… ini… ini betulkah itu?"

Tapi Bi Kwi menganggukkan kepalanya dengan tenang. Gadis itu tersenyum manja kepada Kun Bok, dan dengan suaranya yang merdu ia menjawab, "Tidak salah, Bok-ko. kenapakah? Maaf bahwa aku selama ini menyembunyikannya kepadamu "

"Ah...." Kun Bok tertegun lagi dan pemuda itu menjadi bengong. Sungguh mati dia tidak mengira bahwa kekasihnya ini seorang ketua perkumpulan, meskipun ketua cabang. Dan jawaban itu membuat dia seperti disengat kalajengking. Dugaan bahwa Bi Kwi seorang gadis dusun ternyata menghadapi kenyataan luar biasa. Bi Kwi seorang tokoh persilatan, jelek-jelek adalah ketua cabang perkumpulan Hiat-goan-pang...!


Pendekar Kepala Batu Jilid 17

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 17
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pendekar Kepala Batu Karya Batara
BI HWA terkikik perlahan. "Itulah Ban-se-tong, kongcu! Masa kau tidak dapat menduga?"

"Ban se-tong...?"

"Ya, tempat tinggal Bi Kwi yang sesungguhnya...!"

"Ahh...! keterangan ini mengejutkan Kun Bok dan tiba-tiba perasaan pemuda itu tergetar hebat. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa Ban-se-tong sudah di depan mata, maka tentu saja keterangan Bi Hwa itu membuat mukanya berobah. Tapi Bi Hwa yang terkikik kecil ini mendadak menghentikan ketawanya.

"Eh, seseorang keluar dari kelenteng itu, kongcu…!" Bi Hwa menunjukkan jarinya dengan tiba-tiba dan Kun Bok cepat memandang.

Benar, sebuah bayangan sekonyong-konyong berkelebat keluar dari pintu gerbang kelenteng dan Kun Bok menjadi tegang. Dia mengira Bi Kwi yang keluar itu, namun ternyata bukan. Rambutnya yang panjang memang mirip Bi Kwi, tapi tubuhnya yang lebih pendek itu jelas menunjukkan bahwa wanita ini adalah orang lain. Maka Kun Bok lalu memusatkan perhatiannya kepada wanita yang baru keluar itu tapi Bi Hwa sudah berkata,

"Kongcu, kita kembali menuju ke depan. Dia pasti akan memutar...!"

Baru selesai ucapan ini tahu-tahu bayangan dari tengah telaga itu sudah menghampiri perahu dan melompat ke dalamnya, lalu mengambil dayung dan memutar perahu menuju ke depan! Kun Bok terheran, akan tetapi dia tidak banyak membantah. Tarikan lengan Bi Hwa dibiarkannya menyeret, dan dengan tergesa-gesa wanita itu sudah mendahului lajunya perahu menuju ke depan pulau.

Kini Kun Bok memandang terbelalak. Perahu yang di belakang pulau itu sudah mulai menyibak air, dan telaga yang tenang itu sekarang mulai berkeriput panjang pendek disentuh dayung yang bergerak cepat. Mereka menyelinap di antara pepohonan perdu, dan tidak sampai sepeminuman teh saja akhirnya Kun Bok dan Bi Hwa sudah berada di depan pulau.

Bi Hwa tampak mengerutkan kening, tapi tiba-tiba wanita itu tersenyum gembira. "Kongcu, kau tahu siapakah yang datang ini?"

Kun Bok tentu saja menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu, adik Hwa. Bagaimana bisa mengenalnya?"

"Hi-hik, ia adalah pelayan Bi Gwat, Bok-kongcu, pelayan tunggal dari ketua nomor sebelas perkumpulan Hiat-goan-pang!"

"Ketua nomor sebelas Hiat-goan-pang?"

"Ya, karena Hiat-goan-pang dipegang oleh tujuh belas ketua cabang di seluruh propinsi."

"Ahh…!" Kun Bok kembali menyatakan keheranannya dan baru sekarang dia tahu bahwa Hiat-goan-pang dipimpin oleh tujuh belas ketua cabang. Tapi karena perhatiannya sedang tertuju kepada wanita di atas perahu itu maka Kun Bok tidak bertanya apa-apa. Hanya dia merasa aneh bagaimana sebuah perkumpulan memiliki demikian banyak ketua cabang?

Dan kalau ketua cabangnya saja terdapat dimana-mana pasti ketua pusatnya benar-benar bukan orang sembarangan. Karena, meletakkan tujuh belas ketua pembantu di seluruh propinsi bukanlah satu pekerjaan gampang. Salah-salah bisa dibelot (dikhianati) oleh salah seorang anak buahnya sendiri...!

Dan wanita yang dikatakan sebagai pelayan ketua nomor sebelas dari Hiat-goan-pang itu kini tibalah. Dia telah sampai di daratan dan perahu kecil yang ditumpanginya itu ditambatkan pada sebuah patok tepi telaga. Lalu dengan gerakan gesit dan ringan dia melompat keluar perahu, kemudian berjalan cepat menuju ke arah timur.

Tapi Bi Hwa tiba-tiba sudah melompat menghadangnya. Wanita cantik ini berkelebat keluar, dan seruan tertahannya yang nyaring merdu mengejutkan pelayan itu. "Si-meh, berhenti dulu! Mau ke mana kau…?"

Pelayan itu membalikkan tubuh secepat kilat dengan kaget. Kedua tangannya sudah mencabut senjata dan siap dipakai menyerang tapi begitu melihat siapa yang memanggilnya ini sekonyong konyong pelayan itu berteriak lirih dan cepat membungkukkan tubuh. "Enci Bi Hwa…!" pekik kelegaannya ini menyatakan kegembiraannya dan melompat maju dengan wajah berseri.

Dua orang wanita itu saling menghampiri dan Bi Hwa tersenyum lebar melihat keheranan pelayan ini akan kedatangannya yang amat tiba-tiba.

"Mau ke mana kau, Si-meh?" Bi Hwa mengulang pertanyaannya dan pelayan itu sejenak tampak gugup.

"Eh, ini… hamba… hamba mau menyelidik hutan, enci mendengar suara gaduh di luar. Apakah enci yang menyebabkan kegaduhan itu?" pelayan ini tiba-tiba tampak mengerling ke arah Kun Bok dan dengan suara hampir tidak terdengar dia bertanya perlahan, "Enci Bi Hwa, siapakah temanmu itu?"

Bi Hwa terkikik geli, "Hi-hik, jangan curiga Si-meh. Dia adalah putera tunggal si Raja Pedang Bu Tong Kiam Kun Seng locianpwe…!"

"Ah, Bok kongcu…?" Si-meh terbelalak dengan muka merah.

"Ya!" Bi Hwa menganggukkan kepalanya. "Ada apakah, mengapa perahu disembunyikan di balik pulau, Si-meh? Dan apakah enci Bi Gwat ada di sana?"

Si-meh tiba-tiba menjadi tegang. "Seorang tamu rahasia mendatangi tempat kita, enci Bi Hwa, tapi kami tidak tahu siapa dia?"

"He…?!" Bi Hwa terkejut. "Tamu rahasia?"

"Begitulah, enci dan kami bertiga telah dibuatnya kalang kabut!"

"Eh, kami bertiga?"

"Ya, kami bertiga yang terdiri dari hamba, pangcu dan enci Bi Kwi!"

Mendengar disebutnya nama Bi Kwi itu, hati Kun Bok tiba-tiba saja berdegup kencang. Tadinya dia tertarik oleh berita yang aneh dari Si-meh ini, akan tetapi begitu mendengar nama Bi Kwi disebut kontan dia berdebar-debar tidak karuan. Namun Bi Hwa yang tampak berobah sikapnya mendengar keterangan Si-meh itu sekonyong-konyong menyambar lengan si pelayan.

"Si-meh, kalau begitu cepat antarkan kami ke sana.... !"

Pelayan itu mengangguk dan belum ia sempat bicara sesuatu Bi Hwa sudah menyendal tangan Kun Bok dan diseret ke arah perahu. "Bok kongcu, hayo ikuti kami…!"

Seruan itu tidak dijawab oleh Kun Bok, tapi pemuda ini sudah mengikuti langkah Bi Hwa melompat ke dalam perahu yang ditambat di tepi telaga. Si-meh sendiri juga sudah melompat, dan ikatan perahu itu sebentar saja sudah dilepaskan oleh pelayan ini. Lalu dengan gerakan cepat dan gesit Si-meh telah menggerakkan dayungnya meluncurkan perahunya menuju ke pulau.

Kini toga orang itu duduk bersama. Perahu kecil yang oleng ke kiri kanan itu melaju dengan kecepatan seperti angin. Dayung yang bergerak memecah telaga di tangan Si-meh tak henti-hentinya dikayuh, sampai akhirnya, tidak sampai lima menit kemudian Pulau Surga yang mereka tuju dekatlah!

Kun Bok mulai membelalakkan matanya. Sebelah pulau itu di tengah-tengah telaga itu dapat dipandang jelas, memanglah nama yang diberikan agaknya pantas sekali. Air kebiruan yang mengelilingi daratan kecil ini tampak seperti cermin yang mengelilingi sebuah jamrut, bergerak tenang dengan keriputnya yang sayup lemah mendesau lembut.

Dan daratan berpasir putih dengan batu-batu koralnya yang bersih berserakan itu bagaikan surga di atas sebuah danau. Indah dan amat mempesona mata! Kun Bok mendesah kagum dan perahu yang sampai di tepian inipun merapatlah. Si-meh melompat turun, sementara Bi Hwa menarik pundak Kun Bok membuyarkan lamunan pemuda.

"Bok-kongcu, hayo bangkit berdiri. Kita sudah sampai di Ban-se-tong…!"

Seruan itu mengagetkan pemuda ini dan dengan tersipu-sipu Kun Bok melompat turun. Bi Hwa sudah mendahuluinya, dan dengan tergesa-gesa dia mendaratkan kaki di atas pulau itu.

"Bless…!" Kun Bok terkejut ketika kakinya amblas di dalam pasir yang lunak hangat itu, akan tetapi Bi Hwa telah menyambar lengannya dengan muka dikerutkan.

"Jangan bengong saja, kongcu, pasir ini bukan rawa berlumpur!" Bi Hwa menegur pemuda ini yang terkejut oleh kelembutan pasir yang diinjaknya dan Kun Bok semburat mukanya. Memang dia otomatis teringat akan rawa berlumpur yang telah menelan gorilla di dalam hutan itu, maka tentu saja ucapan Bi Hwa yang tepat ini membuatnya merah.

Akan tetapi Bi Hwa sudah tidak banyak bicara lagi dan dengan tergesa-gesa wanita cantik itu menyeret Kun Bok menuju bangunan di tengah pulau. Sementara Kun Bok sendiri menjadi berdebar-debar hatinya oleh kenyataan Ban-se-tong di depan mata. Di situlah dia akan berjumpa dengan Bi Kwi, dan di tempat ini pulalah dia akan menghadapi kenyataan yang sesungguhnya tentang keadaan diri kekasihnya itu!

Tapi, sementara dia diseret oleh Bi Hwa, Kun Bok sudah menebarkan seluruh pandangannya ke atas pulau. Dan keindahan pulau di tengah-tengah telaga ini semakin mengagumkannya. Nyiur yang melambai-lambai di tepi pantai sungguh membuatnya tak bosan memandang, indah berjajar seperti barisan gadis cantik yang menyambut kedatangan seorang tamu agung. Dan tanaman perdu yang membentuk angka delapan di atas pulau itu berderet sambung-menyambung mengitari pulau menimbulkan kesan tersendiri yang manis dipandang.

Belum lagi dengan taman-taman mini yang diatur sedemikian rupa oleh tangan yang ahli menciptakan serumpun bunga yang berwarna-warni dengan baunya yang harum semerbak sungguh benar-benar menciptakan pulau itu seperti Pulau Surga! Kun Bok terbelalak, dan kekagumannya memuncak menyaksikan semua keindahan di atas pulau ini. Dia sampai tidak sadar betapa pintu gerhang Ban-se-tong sudah di ambang mata, dan baru dia terkejut ketika Bi Hwa tiba-tiba memencet pergelangan tangannya.

"Bok-kongcu, apakah kau sudah menjadi orang sinting? Tidak kau dengarkah suara senjata di dalam kelenteng?"

Kun Bok kaget sekali oleh teguran ini. Dia gelagapan sejenak, dan ketika bersama Bi Hwa memandang ke depan barulah dia tersentak ketika dentang senjata disusul bentakan-bentakan nyaring terdengar dari dalam kelenteng itu. Kun Bok terkejut, dan dengan muka berobah dia berdiri tertegun di halaman kuil. Sebuah nama dan huruf emas berukir tampak terpampang di atas pintu gerhang kelenteng. Menunjukkan kalimat "Ban-se-tong" yang jelas terbaca, dan Kun Bok sejenak termangu.

Bentakan-bentakan disertai bentrokan senjata di dalam kelenteng itu sejenak membuatnya tertegun, tapi Bi Hwa yang tidak sabar lagi ini sudah tidak menunggu jawaban Kun Bok. Wanita itu sudah berkelebat masuk, dan Kun Bok yang berdiri di luar ditinggal sendirian.

"Bok-kongcu, kenapa melenggong saja?"

Siapa yang bertempur di dalam?"

Si-meh yang datang menyusul tiba-tiba menyenggol pemuda itu mengejutkan Kun Bok.

"Eh… eh... aku tidak tahu. Si-meh, entahlah…!" Kun Bok tersadar dan dengan gugup pula dia tiba-tiba menggerakkan kakinya menyusul Bi Hwa. Si-meh terheran, namun pelayan ini dengan muka tegang lalu mengikuti Kun Bok memasuki kuil Ban-se-tong.

Kini suara senjata semakin terang, dan dari bentakan-bentakan nyaring di dalam itu Kun Bok mengenal suara kekasihnya, Bi Kwi! Kun Bok berdebar tidak karuan dan dengan cepat dia menuju ke suara pertempuran. Ternyata bukan di ruang sembahyang melainkan di atas loteng pada sebuah menara. Maka Kun Bok-pun lalu berkelebat ke tempat itu dan karena ingin melihat apa yang terjadi dengan jalan tidak langsung pemuda ini menyelinap di sebuah pilar, kemudian melayang naik di atas belandar. Dan apa yang dilihat Kun Bok tercengang. Seorang pemuda tinggi besar bermuka hitam dengan caping rendah di atas kepala ternyata sedang dikeroyok oleh tiga wanita cantik, masing masing adalah Bi Hwa, seorang wanita tak dikenal dan Bi Kwi!

"Ahh...!" Kun Bok membelalakkan matanya dan pemuda itu bengong bukan main. Apa yang disaksikan sekarang ini adalah suatu kenyataan yang hampir tidak dipercayainya, karena Bi Kwi yang sehari-harinya lemah tak berdaya itu ternyata kini berbalik seratus delapanpuluh derajat. Kekasihnya itu beterbangan kian kemari seperti walet menyambar-nyambar menyerang musuh dengan pekik kemarahannya.

"Luar biasa...!" Kun Bok mendesis kagum dan gerak cepat Bi Kwi yang lincah menari-nari dengan pedang pendek di tangan kanan itu benar-benar membuat Kun Bok terpukau. Tiga orang wanita ini ternyata hebat semuanya, masing-masing memiliki ginkang mengagumkan dan kepandaian tinggi! Terutama wanita berbaju ungu yang tidak dikenal Kun Bok itu.

Wanita ini selalu memimpin serangan. Bi Hwa dan Bi Kwi dikomando berkali-kali untuk menyerang dari kiri atau kanan, untuk menusuk perut atau membabat pinggang, dan semuanya itu mereka lakukan dengan cara serempak dan susul-menyusul bertubi-tubi saling ganti-berganti. Hebat dan luar biasa sekali, karena sinar pedang yang berkelebatan itu mencurah seperti hujan deras, tidak memberi waktu bagi lawan buat menarik napas sedetikpun.

Tapi anehnya, pemuda tinggi besar bermuka hitam ini enak-enak saja. Sambaran pedang yang berseliweran di muka dan belakang tubuhnya dengan gencar itu disambutnya tenang-tenang saja. Tiga senjata yang ganti-berganti menyambar itu kadang-kadang dielak atau disampok mudah, dan dari tubuhnya keluar semacam angin pukulan yang menahan lajunya senjata. Pedang di tangan Bi Kwi maupun di tangan dua orang temannya yang lain selalu berhenti di depan tubuh pemuda itu, sejengkal saja jaraknya, namun toh tidak mampu diteruskan. Senjata di tangan tiga orang wanita ini seolah-olah macet di tengah jalan, tertahan oleh suatu hawa sakti yang amat mujijat!

Kun Bok mendelong dan diam-diam dia terkejut bukan kepalang oleh kelihaian si pemuda muka hitam ini. Siapakah dia? Kun Bok membatin kaget dan tiba-tiba dia menjadi gatal tangan untuk turun membantu. Dilihat naga-naganya, tiga orang wanita itu tidak bakal mampu untuk merobohkan lawan yang demikian sakti! Apalagi selama itu pemuda tinggi hesar ini hanya mengelak dan menahan saja, tidak membalas sebuah seranganpun dengan ilmu silatnya yang hebat! Maka Kun Bok menjadi gatal tangan untuk segera melompat namun tiba-tiba pemuda aneh itu mengeluarkan satu bentakan pendek.

Pedang Bi Hwa yang menusuk mata sekonyong-konyong dijepit dengan dua jari telunjuk dan jari tengah, sementara tikaman Bi Kwi yang mengarah pinggang diegos sedikit. Dan pada saat itu, pedang di tangan si wanita baju ungu meluncur deras membacok pundaknya. Hebat serangan terakhir ini, karena pemuda muka hitam itu sudah tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak. Tapi apa yang terjadi pada detik-detik berikutnya itu sungguh mengejutkan semua pihak. Pedang Bi Hwa yang dijepit ternyata tidak dapat dilepas, dan bacokan deras ke pundak kiri itu dengan tepat mengenai sasarannya.

"Cepp...brett!"

Si wanita baju ungu mengeluarkan pekik kaget ketika pedangnya membacok tubuh lawan tapi mental seperti bertemu karet kenyal, dan pedang Bi Hwa yang dijepit dua jari baja itu sekonyong-konyong disendal kuat. Pundak yang dibacok ternyata tidak apa-apa, tapi baju yang menjadi sasaran robek lebar. Dan pada saat itu, Bi Hwa berteriak tertahan karena tidak mampu menjaga senjatanya lagi. Pedang di tangannya tahu-tahu terbetot lawan dan sementara si wanita baju ungu tertegun kaget melihat kejadian ini sekonyong-konyong gagang pedang rampasan itu telah menyambar lehernya.

"Plakk! Aduhh…!" Wanita baju ungu terpelanting roboh dan wanita itu mengeluh pendek. Tubuhnya seperti disambar petir dan leher yang terkena gagang pedang tampak biru kehitaman. Kontan dia terjungkal dan senjata yang di tanganpun ikut mencelat lepas sementara dia sudah terkapar di atas lantai dalam keadaan pingsan!

"Aih...!" Bi Hwa dan Bi Kwi kaget sekali menjaksikan kejadian ini, namun sebelum mereka berbuat sesuatu, tiba-tiba pemuda muka hitam itu sudah mendahului mereka. Lawan yang amat lihai ini tahu-tahu telah menggerakkan kaki secara aneh, melangkah zig-zag dengan kecepatan kilat dan sebelum mereka tahu apa yang terjadi tiba-tiba tengkuk mereka sudah disambar empat jari yang seperti godam.

"Duk-dukk...!

Bi Kwi dan Bi Hwa mengeluh panjang dan kedua orang wanita itu terjerembab ke depan. Tengkuk yang ditampar tangan ampuh itu serasa kejatuhan langit ambruk dan tanpa berteriak lagi keduanyapun lunglai seperti kain basah. Kakak beradik itu sama-sama roboh, dan Kun Bok yang melihat semua peristiwa itu di atas belandar tertegun kaget. Kejadian yang hanya beberapa detik ini sungguh terlampau cepat sekali berlangsungnya, dan dia yang sudah siap melompat turun itu jadi terkesima. Apa yang disaksikan ini memang luar biasa sekali, hampir tidak dapat diikutinya.

Tapi setelah Bi Kwi dan Bi Hwa roboh di atas lantai dalam keadaan pingsan itu tersadarlah Kun Bok dengan tiba-tiba. Dia lalu melengking tinggi, dan pemuda muka hitam yang sedang mengusap peluh di bawah itu dibuatnya terkejut. Seperti garuda terbang saja Kun Bok tahu-tahu telah hinggap di atas lantai di depan pemuda tinggi besar itu dengan kaki ringan. Pemuda muka hitam itu terkejut, dan dia memandang dengan muka gelap ke arah Kun Bok.

"Siapa kau?" bentakan perlahan yang diserukan lirih ini menggetarkan isi ruangan.

Dan Kun Bok yang dipandang tercekat kaget. Setelah sekarang putera Bu-tiong-kiam Kun Seng ini berhadapan langsung dengan lawan yang tidak dikenal itu baruiah pemuda ini merasakan perbawa yang amat besar memancar dari tubuh lawannya itu. Ternyata pemuda ini memang hebat bukan main. Sorot matanya yang mengkilat seperti mata naga sakti itu benar-benar mengguncangkan jiwanya, dan sikap lawan yang demikian tenang penuh kepercayaan terhadap diri sendiri itu sejenak membuatnya tertegun.

Tapi Kun Bok yang hendak membela Bi Kwi itu sudah menindas semua perasaannya yang berdebar tidak karuan dan pemuda ini telah mencabut pedang mengusir kegelisahannya yang sekonyong-konyong mengganggu konsentrasinya. Dia tidak menggubris pertanyaan lawan, malah sebaliknya dia yang ganti membentak,

"Sobat yang tidak tahu malu, apakah maksudmu membuat onar di rumah orang? Kalau kau hendak mengganggu wanita hadapilah aku dulu, jangan menghina wanita-wanita muda."

Pemuda muka hitam itu mendengus. "Hm, kau hendak menunjukkan kegagahanmu, sahabat? Membela wanita-wanita cantik ini? Baiklah, tapi terangkan dulu apa huhunganmu dengan mereka itu dan apakah kau juga termasuk anggota Hiat-goan-pang!"

Kun Bok tersentak mendengar orang menyebut-nyebut nama Hiat-goan-pang, namun dia menggelengkan kepala dengan tegas. "Tidak, aku bukan anggota Hiat-goan-pang dan tentang hubunganku dengan mereka itu hanyalah huhungan persababatan. Apakah kau musuh Hiat-goan-pang? Dan mengapa kau merobohkan tiga orang wanita ini?"

Pemuda tinggi besar itu tertawa dingin. "Aku merobohkan mereka karena mereka wanita-wanita licik, sahabat, dan kau yang kulihat memiliki watak gagah ini bagaimana bisa menjadi sababat siluman-siluman cantik seperti itu? Apakah kau tergiur oleh kecantikannya? Hm, sayang kalau begitu. Jika aku boleh memberi nasihat, jauhilah wanita-wanita berbahaya ini, sahabat muda, karena kau kurang patut bergaul dengan mereka. Tapi kalau kau tidak mau, terserah, itu adalah hakmu pribadi."

Kun Bok merah mukanya. "Hm, kau sombong, sobat!" bentaknya marah. "Apakah kau kira nasihatmu ini sudah tepat kau berikan kepadaku? Apakah kau sudah menjadi orang yang bersih sendiri di dunia?"

Pemuda muka hitam itu mengangkat kepalanya. "Aku tidak bermaksud begitu, saabat muda, tapi kalau kau penasaran majulah! Bukankah kau sudah siap dengan pedang di tangan?"

Kun Bok mendongkol sekali. Dia membentak sambil memasang kuda-kuda dan pedang yang lurus di tangan diacungkan ke depan. "Sobat muka hitam, cabutlah senjatamu. Aku tidak biasa menyerang lawan yang bertangan kosong."

Tapi pemuda muka hitam itu malah tertawa mengejek. "Sagabat muda, sikapmu ini justeru membuat aku melunakkan hati. Ternyata kau bukan golongan penjahat yang suka mengandalkan kelebihan. Baiklah, aku akan bermurah hati kepadamu untuk memberikan kesempatan sebanyak lima jurus. Nah, mulailah, aku sudah terbiasa menggunakan kaki tanganku dalam menghadapi serangan lawan!"

Kun Bok tertegun oleh jawaban ini namun melihat kesungguhan orang yang tampaknya kelewat percaya terhadap diri sendiri itu membuat dia naik kegusarannya. Putera si jago pedang itu merasa seakan-akan diremehkan, karena itu Kun Bok lalu membentak nyaring dan tanpa bahyak bicara lagi sudah menggerakkan pedangnya menusuk leher lawan. Jurus pembukaan It-kiam-ci-lou mulai dilancarkannya, dan mata pedang yang berkelebat ke depan itu bergetar menyilaukan pandangan.

Pemuda ini tidak mau main-main lagi, karena dia maklum bahwa si muka hitam itu memang orang yang amat lihai. Karena itu dalam sekali gebrakan ini langsung dia mengeluarkan ilmu pedangnya Bu-tiong Kiam-sut yang baru diajarkan ayahnya itu beherapa waktu yang lalu, dan dia mengharap lawan yang tidak dikenal ini dapat dibuatnya terkejut dan roboh dalam beberapa gebrakan.

Tapi apa yang dikehendaki itu ternyata tidak berjalan sesuai dengan keinginannya. Memang pemuda itu terkejut, tapi dia tidak terdesak, apalagi roboh dalam beberapa gebrakan seperti keinginan Kun Bok. Bahkan Kun Bok sendiri yang berbalik merasa kaget ketika dalam serangan pertamanya ini pemuda muka hitam itu mengebutkan lengan bajunya dan berseru perlahan,

"Aha, pembukaan jurus yang hebat sekali. Mirip gaya Kun-lun-san."

Seruan itu dibarengi kebutan tenang dan ujung pedang Kun Bok yang menusuk leher ini bertemu dengan serangkum hawa kuat yang menahan lajunya pedang. Kun Bok terkesiap, bukan oleh kebutan yang dia tahan memang amat lihai itu melainkan oleh seruan lawan yang dalam sekali gebrakan saja ternyata telah mengetahui aliran jurus pembukaan ilmu pedangnya!

Maka Kun Bok berseru kaget dan pedang yang mental oleh hawa sakti itu tiba-tiba dibalik arahnya dan membabat kaki dengan gaya Melengkung Lebar Memayungi Bulan. Inilah gerak berikutnya dari jurus It-kiam-ci-lou (Pedang Tunggal Menunjukkan Jalan), sebuah serangan berhahaya berdasarkan sikap tubuh lawan yang diserang.

Tapi pemuda muka hitam itu memang hebat sekali. Dia benar-benar menepati janji lima jurus serangan yang diberikan kepada Kun Bok tanpa membalas itu betul-betul dipegangnya teguh, dan serangan ke dua yang dilancarkan dengan gaya Melengkung Lebar Memayungi itu dihadapinya tanpa banyak gerak.

Kaki yang dibabat tidak digeser, tapi dibawa melompat tiba-tiba dengan enaknya, tidak begitu tinggi dia melompat, dan pedang yang berkesiur serambut saja di bawah kakinya itu menyambar lewat. Perbuatan ini sebenarnya terlampau berani, karena kalau tidak penuh perhitungan tentu dia bakal celaka. Namun nyatanya, pedang Kun Bok mengenai angin kosong di bawah kakinya!

"Siluman!" Kun Bok memaki marah dan pedang yang tidak mengenai sasarannya itu tiba-tiba digerakkan menyilang. Lawan sudah kembali lagi pada posisinya semula, maka dengan gerak menggunting kali ini dia mengarah pinggang lawan dengan kecepatan penuh. Kun Bok sudah menjadi gemas oleh sikap lawan yang tampak enak-enakan itu, maka kekuatan serangan yang nomor tiga ini dibuatnya dua kali lebih ganas daripada yang pertama.

Namun lagi-lagi Kun Bok dibuat tertegun. Pedang yang menyambar secepat kilat itu tahu-tahu kehilangan lawannya. Kesiur dingin angin senjatanya mendadak bertemu udara hampa membabat tanpa ada yang dihabat! Kalau begitu, apa yang terjadi? Kiranya Kun Bok baru tahu bahwa lawannya si muka hitam itu dengan kecepatan yang sukar diikuti mata ternyata telah merendahkan diri sejajar lantai dalam gayanya menghindari guntingan pedang!

"Ahh...!" Kun Bok berseru kaget dan mau tidak mau dia menjadi kagum juga. Lawan yang tadi merebahkan diri seperti papan tipis di atas lantai itu kini tahu-tahu telah melenting berdiri, dan sambil tertawa dia menghitung, "Serangan nomor tiga, sahabat muda...!"

Kun Bok merah mukanya dan sambil berteriak nyaring dia kembali menerjang maju. Peringatan lawannya itu tidak digubris, dan serangan berikutnya yang bertubi-tubi mulai dikerahkannya tanpa berhenti. Sesungguhnya dia baru mengeluarkan ilmu pedangnya Bu-tiong Kiam-sut yang biasa, bukan inti sarinya yang berjumlah tujuh jurus tapi yang baru dipelajarinya sebanyak tiga jurus itu. Bukan. Pemuda ini masih dalam taraf menjajagi ilmu kepandaian lawan, dan nasihat ayahnya agar dia tidak sembarangan mengeluarkan inti ilmu pedang Bu-tiong Kiam-sut yang disebut Butiong-hui-seng-kiam-sut itu masih diingatnya.

Karena itu, Kun Bok juga masih menahan diri dan dengan ilmu pedangnya Bu-tiong Kiam-sut yang "biasa" dia mencecar lawan yang tidak dikenal itu. Tapi ternyata semua serangannya ini kandas di tengah jalan. Si muka hitam yang amat lihai itu kalau tidak mengebut ya mengelak, dan semua serangannya yang bertubi-tubi itu tidak mendapatkan sasaran. Kun Bok menjadi gemas dan mulailah pemuda ini naik darah.

Lawan yang dihadapi seakan-akan bayangan saja, tidak pernah tesentuh. Dan getaran hawa aneh yang melindungi tubuh lawannya itu terasa semakin kuat. Hal ini terhukti apabila lawannya itu tidak sempat mengelak karena kecepatan pedangnya yang luar biasa, selalu saja ujung senjatanya itu terhenti di tengah jalan, tak dapat diteruskan dan mental karena membentur hawa sinkang yang amat mujijat!

Kun Bok naik pitam. Lima jurus cuma-cuma yang diberikan kepadanya telah habis sekarang, dan pemuda tinggi besar itu mulai memperingatkannya untuk balas menyerang. Tapi Kun Bok tidak perduli. Kenyataan bahwa lawan selama lima jurus telah berhasil menghindari semua serangannya dengan baik tanpa balas menyerang sungguh telah membuka matanya bahwa pemuda itu benar-henar hebat. Dia menghadapi lawan tangguh!

Tapi Kun Bok yang sudah bangkit kemarahannya ini tidak perduli. Dia tiba-tiba berteriak nyaring, dan pedang yang tadi diputar itu mendadak berhenti. Kun Bok melompat mundur, dan mata pedangnya sekonyong-konyong menempel di tengah kening. Inilah persiapan jurus ampuh Bu-tiong-hui-song-kiam-sut yang hendak dikeluarkan pemuda itu, dan si muka hitam yang melihat perobahan ini tertegun. Ujung pedang di tengah kening tampak bergetar, dan pemuda itu terkejut.

"Eh, kau hendak mengeluarkan jurus simpanan, sahabat?" pemuda itu berseru waspada namun Kun Bok malah memandangnya dengan sinar mata berapi.

"Jangan banyak bicara, muka hitam, jagalah seranganku tiga jurus beturut-turut ini. Kalau kau mampu menghindarinya kau sungguh patut menjadi guruku. Biar menjadi budakmupun aku rela!"

Kun Bok yang membentak marah itu disambut dengan kerutan alis dalam di wajah si muka hitam ini namun mendengar ucapan terakhir itu pemuda ini tertawa. "Hm, jangan tergesa-gesa, sahabat muda. Ketua Kun-lun-san sendiri tidak berani sembarangan omong begitu kepadaku. Ilmu pedangmu cukup hebat, tapi kau kurang matang. Melihat naga-naganya, kau jelas dari Kun-lun-san. Tapi ilmu pedangmu yang bercorak sendiri itu agaknya bukan dari perguruan Kun-lun! Siapakah kau?"

Namun Kun Bok tidak menjawab. Pemuda ini sudah mengumpulkan seluruh kekuatan dirinya untuk menyerang, dan pembukaan Bu-tiong-hui-seng-kiam-sut yang dinamakan Tit-to-pai-seng (Menuding Bumi Menyembah Bintang) itu sudah bergetar keras di tangan kanannya. Ilmu silat ini memang belum lama dipelajarinya, tapi Kun Bok yang merasa penasaran bahwa lima jurus berturut-turut, lawannya itu mengelak tanpa membalas sudah membuatnya serasa dibakar. Karena itu, ketika urat syarafnya sudah menegang hebat dan dia mencapai klimaks dari pembukaan jurusnya ini Kun Bok tiba-tiba melengking tinggi dan melompat ke atas.

Tubuh pemuda itu terbang ke langit-langit rumah, kemudian dengan satu tukikan tajam dia melayang turun. Ujung pedang menyambar ubun-ubun lawan, sedangkan jari kiri mencengkeram pundak. Hawa yang dingin segera memenuhi ruangan itu, dan pemuda muka hitam berseru aneh. Dia tampak terkejut oleh serangan yang luar biasa ini, dan tubuh Kun Bok yang meluncur ke bawah dengan ujung pedang siap menusuk ubun-ubunnya itu sejenak membuatnya terbelalak. Tapi dia tidak berani bersikap ayal. Begitu pedang hampir menyentuh kepalanya mendadak pemuda ini melompat ke samping. Kaki diputar dan tanganpun ikut digerakkan, menampar sisi pedang yang menghujam lurus ke bawah. Akibatnya, benturan pertama kali dalam adu kecepatan inipun terjadilah.

"Plak-dess!"

Kun Bok bergoyang miring ke kanan dan pemuda muka hitam berseru heran. Tamparan tangannya ke batang pedang Kun Bok bertemu dengan kekuatan sinkang yang di luar dugaan, dan pemuda tinggi besar itu terkejut. Dia merasakan perobahan luar biasa dalam adu tenaga dan pedang yang sudah dipukul miring itu ternyata masih saja meluncur lurus ke bawah.

"Cepp!" pedang amblas sepertiganya sementara Kun Bok sendiri berjungkir balik dengan ubuh seperti tonggak di atas gagang pedangnya!

"Aih, hebat…!" pemuda muka hitam memuji kaget.

Namun Kun Bok tiba-tiba sudah memekik keras sambil berjumpalitan di udara. Pedang yang menancap lantai sudah dicabut, dan kini seperti dang menyambar-nyambar tubuh putera si jago pedang itu berkelebatan di udara dalam gulungan sinar pedangnya yang lebar panjang pendek. Itulah jurus ke dua yang dinamakan Heng-hun-po-uh (Awan Berarak Hujan Mencurah), dan segera saja si pemuda tinggi besar dikurung gelombang pedang yang tiada hentinya.

"Wahh…!" pemuda muka hitam kembali mengeluarkan seruan kagetnya dan tubuh yang sudah dikelilingi awan pedang itu tampaknya tidak memiliki kesempatan keluar. Kun Bok berkelebatan di sekitar tubuhnya, dan pemuda tinggi besar ini sejenak tertegun. Terus terang dia belum pernah menjumpai ilmu silat pedang yang seperti itu hebatnya, maka tentu saja dia terkejut. Gelombang panjang pendek yang berseliweran di sekeliling dirinya itu membungkus ketat, masih mengurung dan belum menyerang, tapi mendadak saja disusul lengkingan tinggi dari pecahan sinar yang berkeredep ratusan banyaknya. Itulah saat "hujan mencurah" yang mulai dilancarkan Kun Bok!

Pemuda muka hitam terkejut bukan main menyaksikan datangnya serangan yang amat tiba tiba ini, karena seluruh permukaan tubuhnya kini menjadi sasaran. Mulai dari ujung rambutnya sampai ke bawah mata kaki! Karena itu, pemuda ini lalu berteriak menggeledek dan ratusan mata pedang yang menusuk-nusuk bukan main cepatnya itu disambut dengan kedua lengan terpentang lebar. Dia mengibas ke kanan kiri, dan serangkum angin yang amat dahsyat menghantam percikan hujan pedang itu.

"Bret-bret-bret...! Robekan kain itu terdengar berkali-kali dan Kun Bok yang menyerang dari atas itu menjerit tertahan. Dia merasa ditumbuk tangan raksasa, dan serangan Heng-hun-ouh-nya ambyar berantakan. Hujan pedang yang bertubi-tubi mendadak lenyap, dan Kun Bok yang disambar hawa Iwee-kang dahsyat ini terpental setombak lebih. Pemuda itu menyundul langit-langit ruangan, akan tetapi dasar nekat dan marah yang sudah kelewat sangat membuat pemuda ini tidak memperdulikan keselamatan dirinya lagi.

Tubuh yang tertempar itu dijejakkan silih berganti, dan ketika dia kembali melayang turun Kun Bok tiba-tiba sudah menyilangkan pedangnya dalam bentuk segi lima bintang, kecil bertubi-tubi menyambar duapuluh satu jalan darah pusat di tubuh lawan. Inilah serangan ke tiga dari ilmu pedang Bu-tiong-boan-seng-kiam-sut yang disebut Bu-tiong-boan-seng atau Bintang Bertaburan Di Dalam Kabut, maka hebatnya sungguh tidak kepalang lagi!

Pemuda muka hitam sampai terbengong melihat jurus yang amat luar biasa ini, namun dia cepat bertindak sigap. Serangan bintang lima segi yang mematuk-matuk tubuhnya itu disambut hangat, dan melihat bahwa Kun Bok tidak mau sudah dia lalu membentak geram dengan mata terbelalak. Pedang yang menyambar dirinya terang-terangan dicengkeram, buku-buku jarinya berkerotok, dan lengan kanan yang lain diulur menyambar leher Kun Bok.

Kun Bok terkesiap oleh perbuatan lawannya ini, namun dia sendiri sudah tidak ada waktu. Senjata yang meluncur tidak mungkin ditarik balik, dan dia juga sudah menjadi mata gelap. Maka begitu lawan menyambut pedangnya dengan tangan telanjang Kun Bok malah berteriak girang sambil mengerahkan segenap tenaganya.

Krak-pletak… aduhh!"

Sekejap saja kejadian berikutnya itu, namun peristiwa yang istimewa ini telah menyudahi segalanya. Pedang Kun Bok bertemu dengan jari-jari lawan, dan cengkeraman jari baja itu seperti besi panas bagi Kun Bok yang menjadi terkejut bukan main. Putera jago pedang ini tersentak karena dia tidak mengira bahwa dari jari-jari lawannya itu keluar hawa panas yang melebihi api dan sementara dia terkejut tahu-tahu pedangnya itu telah patah menjadi empat bagian disusul sentuhan bara menyala pada kulit lehernya. Itulah cekikan si muka hitam!

Kun Bok kaget bukan kepalang namun sebelum dia bergerak lebih lanjut tahu-tahu tangan yang mencengkeram lehernya itu menyentak kuat. Putera jago pedang ini hendak meronta, tapi dia kalah cepat. Leher yang ditarik itu tiba-tiba saja telah disendal dan sekali banting saja tubuh pemuda itupun tersungkur.

"Blukk!" Kun Bok menggelepar di atas Iantai dan putera Bu-tiong-kiam Kun Seng ini mengeluh. Dia mencoba bangkit berdiri, tapi sebuah tamparan sisi kepalanya membuat dia terputar dan tidak bangun lagi. Kun Bok pingsan, hajaran keras yang diterimanya itu ternyata telah membuat kulit lehernya bengkak dan warna kemerahan seperti cap lima jari itu jelas telah melukai pemuda ini. Memang bukan luka parah, tapi cukup untuk membuat pemuda itu beristirahat selama satu atau dua hari!

Pemuda muka hitam yang telah merobohkan lawannya ini tiba-tiba membalikkan tubuh. Bajunya sudah robek-robek tidak karuan, pertama karena bacokan wanita cantik berbaju ungu sedangkan yang lain adalah tusukan Kun Bok yang bertubi-tubi. Dia memandang ke arah sebuah pilar, dan dengan bengis membentak nyaring, "Pelayan baju kuning, kau keluarlah…!"

Si-meh yang sedari tadi memandang pucat di tempat persemhunyiannya kini keluar dengan tubuh gemetar. Dia menyaksikan semua kejadian di dalam Kuil Ban-se-tong ini, akan tetapi karena tidak mengira bahwa para majikannya roboh satu-persatu oleh pemuda bermuka hitam itu ia menjadi kecut hatinya. Kini, dipanggil geram oleh pemuda lihai itu Si-meh merasa gentar tidak karuan. Dia cepat menampakkan diri, karena tetap bersembunyi memang sudah tidak ada gunanya lagi. Pemuda tinggi besar yang lihai itu telah mengetahui kehadirannya, maka dengan tubuh menggigil ia melangkah maju. Kakinya tersaruk-saruk, dan wajah Si-meh yang cantik itu terbelalak ngeri.

"Taihiap, kau... kau hendak bicara apakah? Hendak membutuhkan diriku? Ah, aku siap, taihiap kamar disebelah kosong! Apakah taihiap… menghendaki aku sebagai penghibur? Asal tidak kau bunuh aku siap melayanimu, taihiap aku siap melayanimu... aduhh… plakk!"

Si-meh tiba-tiba terpelanting ketika bayangan pemuda tinggi besar itu berkelebat di depannya. Si muka hitam ini memaki gusar mendengar ucapan yang tidak senonoh itu dan sekali tampar saja Si-meh dibuatnya terlempar. Lalu ketika pelayan itu bangkit berdiri dengan tubuh gemetar tahu-tahu punggung Si-meh sudah diangkatnya seperti orang menenteng kucing.

"Pelayan bermulut kotor, kau ternyata tidak berbeda dengan majikanmu, ya? Keparat, jangan main-main di depanku. Hanya tunjukkan di mana tamu kalian bersembunyi! Atau, kau minta kubanting mampus!" pemuda itu menyentuh urat nadi di belakang punggung dan Si-meh menjerit kesakitan.

"Aduh, ampun, taihiap ampun aku tidak tahu tamu siapa yang kau maksudkan itu!" Si-meh meronta ngeri tapi si muka hitam mendengus.

"Hm, kau berpura-pura, ya? Aku mencari orang she Pouw itu, jahanam busuk yang suka memfitnah orang!"

"Ah. Pouw-kongcu, taihiap? Dia... dia..."

"Ya... di mana dia sekarang...?" pemuda itu mengendorkan cengkeramannya dan Si-meh megap-megap.

"Dia sudah kembali, taihiap dia sudah pulang...."

"Kau tidak bohong?"

"Sungguh mati!"

Pemuda muka hitam tiba-tiba mengeraskan kembali tekanannya dan Si-meh menjerit kesakitan. "Aduh, aku tidak bohong, taihiap… tidak bohong… sungguh mati….." Pelayan itu meronta sambil berteriak tapi si muka hitam ini tampaknya tidak perduli.

"Kau tidak bisa dipercaya, pelayan busuk, kau membohongiku! Jelas orang she Pouw itu tidak keluar dari pulau ini bagaimana bisa dikatakan pulang? Hayo bicara yang betul, di mana jahanam cilik situ!"

Si-meh menjerit-jerit dicengkeram urat nadinya yang menimbulkan perasaan nyeri yang amat menusuk itu dan pelayan ini bercucuran peluh. "Aduh, kendorkan tekananmu, taihiap… kendorkan dulu… aku tidak main-main. Pouw-kongcu benar-benar sudah meninggalkan pulau ini beberapa saat yang lalu. Dia datang dan pergi lewat pintu rahasia. Aduhh… lepaskan cengkeramanmu, taihiap…!"

Si-meh menggeliat nyeri dan pemuda tinggi besar itu mengendorkan cengkeramannya mendengar pelayan itu berteriak kesakitan. Dia tampaknya dapat menerima keterangan ini dan sinar matanya yang tadi berapi itu kini sedikit melunak. Si-meh dilempar, dan pelayan wanita itu terjerembab di atas Iantai. "Hm, kau bisa membuktikannya, pelayan busuk?"

Si-meh tertatih-tatih berdiri. "Bisa, taihiap… bisa. Kenapa tidak? Kalau aku bohong biarlah kau bunuh saja aku…!" pelayan itu gemetar pucat dan pemuda muka hitam mengangkat alisnya.

"Baiklah, coba tunjukkan kalau begitu pintu rahasia yang kau maksudkan itu. Hayo jalan....!" pemuda itu menendang Si-meh dan pelayan yang ketakutan ini hampir saja menumbuk pilar. Dia terkejut, dan dengan kaki menggigil akhirnya berjalan sempoyongan menuju bangunan rumah di sebelah kanan kuil. Si pemuda muka hitam mengikuti dari belakang, dan ketika pelayan itu memasuki kamar paling depan pelayan ini berhenti.

"Di sinilah, taihiap. Pintu rahasia itu menjadi satu dengan dinding ruangan. Pouw-kongcu melalui tempat ini."

"Hm, kamar siapa ini? Kamar majikan-mu?"

Si-meh menggelengkan kepala. "Bukan, taihiap, tapi kamar cap-ji-pangcu'."

"Wanita cantik yang datang bersamaan dengan pemuda terakhir itu?"

"Ya."

"Siapa dia?"

"Bok-kongcu, taihiap."

"Aku tidak tanya namanya!" pemuda ini membentak. "Aku tanya asal-usulnya!"

"Ah, dia… dia putera Bu-tiong-kiam Kun Seng, taihiap. Jago pedang dari Kun-lun-san itu."

"Hee...!" pemuda itu terkejut. "Putera Bu-tiong-kiam Kun Seng?"

"Ya." Si-meh menganggukkan kepalanya dan pemuda tinggi besar itu tertegun. Akan tetapi hanya sekejap saja dia terkejut karena tiba-tiba sinar matanya yang mencorong berkilat kembali. Dia mendorong Si-meh memasuki kamar dan ketika mereka berdua sudah berada di dalam kamar pemuda muka hitam itu berkata keren,

"Pelayan busuk, hayo cepat tunjukkan pintu rahasia itu kepadaku. Kalau kau tidak bohong, nyawamu kuampuni!"

Si-meh menggigil ketakutan. Dia memandang lawan yang amat lihai ini akan tetapi karena terpaksa iapun lalu melangkah maju. Kamar wanita yang berbau harum ini terisi sebuah tempat tidur besar, cukup untuk tiga atau empat orang dewasa, dan kelambu merah muda yang menutupi tempat tidur itu dibuka oleh si-meh. Dan Si-meh membungkuk, dan ketika sebuah tombol kecil berwarna hitam dipencet oleh pelayan ini tiba-tiba terdengarlah suara tembok terbuka. Dinding di balik tempat tidur itu terangkat, dan sebuah pintu dengan tangga tampak di depan mata. Terowongan rahasia!

Pemuda muka hitam berkilat gembira namun tiba-tiba dia melompat maju menerkam Si-meh. Si-meh terkejut, tapi jalan darah di pundaknya tahu-tahu sudah ditekan orang. "Jangan macam-macam, kau harus bersamaku sampai keluar dari terowongan ini! demiklan pemuda itu membentak, dan Si-meh yang sudah didorong memasuki pintu rahasia itu terperanjat.

"Ah, tapi... tapi aku tidak berani, taihiap Cap-ji-pangcu pasti menghukumku dengan hukuman berat!"

"Hm, itu urusanmu, pelayan busuk. Atau, kau ingin merasakan siksaan nyeri di sekujur tubuhmu?" pemuda ini memencet urat nadi di punggung Si-meh dan Si-meh seperti disengat listrik. Dia berteriak tertahan, dan setelah sejenak memandang ngeri ke arah pemuda muka hitam itu akhirnya sambil menangis pelayan ini menuruni tangga terowongan. Pintu rahasia sudah tertutup lagi, dan Si-meh tersaruk-saruk menunjukkan jalan kepada lawannya itu dengan muka pucat.

Demikiantah, dua orang itu lalu berjalan di terowongan rahasia dan Si-meh yang menjadi penunjuk jalan ini menggigil terus sepanjang langkah. Pelayan itu sepucat kertas mukanya, tapi karena tidak berdaya maka diapun melangkah terus sambil terisak-isak. Jalan yang mereka lalui tidak gelap, bahkan cukup terang dengan adanya lampu-lampu minyak yang tersebar di bawah tanah. Namun langkah mereka sama sekali tidak menunjukkan rasa terang itu sendiri.

Di satu pihak si muka hitam tetap bercuriga dan memasang penuh kewaspadaannya terhadap kemungkinan-kemungkinan jebakan, sedangkan di lain pihak Si-meh mencari-cari akal untuk menyelamatkan dirinya. Baik dari lawannya itu maupun dari hukuman majikannya. Akan tetapi semuanya itu tidak satupun yang dapat diraba, dan dua orang tawanan serta penawannya itu berjalan dengan pikiran masing-masing. Dinding demi dinding telah mereka lalui. Dan beberapa ruangan berhenti beristitahat. Ia tidak ikut campur dan ruangan demi ruangan yang miripnya seperti goa-goa alam itu mereka lewati tanpa berhenti. Kaki terus melangkah dan lika-liku terowonganpun sudah tidak dapat mereka hitung lagi.

* * * * * * * *

"Bok-kongcu… Bok-koko…!"

Kun Bok serasa mimpi. Panggilan yang terus-menerus memasuki telinganya itu seakan-akan sayup sampai, merdu seperti suara dewi tapi dia tidak tahu di mana dia pada saat itu. Dia merasa seakan-akan berada di tengah mega, terapung tak menentu pada ketinggian yang aneh. Dan suara panggilan yang berkali-kali itu terasa menghanyutkannya pada sisi yang lain dari tepi langit. Kun Bok setengah mimpi, tidak tahu betapa tubuhnya digoyang-goyang lemah oleh jari.. jari yang gemetar.

"Bok-kongcu… Bok-koko…!"

Kembali suara itu terdengar. Kun Bok terheran dan dia mencoba memasang telingagya dengan baik. Dan ketika suara panggilan itu terdengar lagi tiba-tiba Kun Bok merasa terkejut. Dia seakan-akan telah mengenal baik suara yang memanggilnya ini. Tapi siapa? Kun Bok terlena dan sementara kesadarannya mulai pulih mendadak saja pemuda itu tersentak.

"Bi Kwi…!" Kun Bok tiba-tiba tertegun dan pemuda ini membuka mata. Rasa setengah sadar yang seolah-olah mengangkatnya ke awan khayangan itu sekonyong-konyong saja lenyap. Kun Bok terkejut dan ketika untuk ke sekian kalinya kembali suara merdu itu menyusup ke telinga tiba-tiba Kun Bok terjaga. Pemuda itu tersentak, dan begitu dia membuka mata tampaklah olehnya seorang gadis berpakaian hitam berjongkok di sebelah kirinya dengan air mata basah.

"Bi Kwi… Kwi- moi…!"

Kun Bok berseru tertahan dan seperti orang kaget dari tidurnya pemuda ini tiba-tiba saja melompat bangun. Akan tetapi, baru dia mengangkat kepala mendadak pemuda itu mengaduh. Lehernya terasa sakit bukan main, sakit dan panas. Karena itu Kun Bok terkejut dan Bi Kwi yang melihat kekasihnya ini sadar kembali sekonyong-konyong tampak gembira.

"Bok-koko...!" gadis itu berseru Iirih dan Kun Bok yang hampir roboh kembali ini sudah disanggahnya cepat. "Kau… tidak apa-apa, Bok-koko…? Lehermu sakit?"

Belaian lembut yang disusul kecupan sayang di leher yang panas itu serasa es atau embun pagi yang segar bagi Kun Bok. Dia merasa nikmat, tapi begitu bibir kekasihnya lepas lagi Kun Bok tiba-tiba merasa pedih. Pikirannya kini telah jernih kembali, dan semua ingatan tentang kejadian di Kuil Ban-sen-tong itu mulai menyerbunya.

"Kwi-moi… di mana musuh kita itu? Di mana si muka hitam yang keparat kurang ajar itu?" Kun Bok datang-datang memaki kalang-kabut dan dengan leher pedih dia menoleh ke sana-sini untuk mencari orang yang dimaksud.

Tapi Bi Kwi menutup mulutnya dengan dua jari yang lemhut. "Sstt. jangan berteriak-teriak seperti orang gila, koko. Pemuda itu sudah pergi. Apakah kau bisa berdiri? Lihat, dua orang kakakku masih pingsan!"

Kun Bok terkejut dan dia memandang ke lantai. Sekaranglah dia terbelalak karena Bi Hwa yang datang bersamanya itu ternyata benar saja masih menggeletak di atas lantai. Dan di sebelah kanan Bi Hwa itu terdapatlah si wanita cantik berbaju ungu, sementara jauh di sudut sana tampak patahan pedangnya yang menjadi empat potong!

"Ahh…!" Kun Bok berseru tertahan dan dengan menahan sakit dia tiba-tiba melompat bangun. "Kwi-moi, kau bilang bahwa mereka berdua itu kakakmu?" pemuda itu terbelalak ke arah kekasihnya tapi Bi Kwi menganggukkan kepalanya dengan senyum aneh.

"Ya, Bok-koko, mereka memang benar adalah enci-enciku sendiri. Ada apakah?"

Kun Bok tertegun. "Kalau begitu… kalau begitu...!"

"Kalau begitu mengapa, Bok-ko? Kau sudah berkenalan dengan enci Bi Hwa, bukan? Ia adalah kakakku yang nomor dua. Yang pertama adalah enci Bi Gwat!" gadis itu menuding ke wanita baju ungu dan Kun Bok kembali tertegun.

"Ah, kalau begitu kalian tiga bersaudara, Kwi-moi?"

"Ya."

"Kalau begitu kenapa tidak menceritakannya dulu-dulu kepadaku?"

"Hm, itu sih atas permintaan kedua enciku sendiri, "Bok-ko, kenapa hendak menyalahkan aku?" Bi Kwi memandang cemberut ke arah Kun Bok dan pemuda ini terheran. Lalu dia melanjutkan dengan nada setengah gemas. "Kita mengobrol melulu di sini, Bok-ko, tidak menolong mereka."

Kun Bok tersipu-sipu kaget. "Eh.... oh... tentu saja tidak, Kwi-moi tentu saja tidak! Apakah mereka mengalami luka?" Kun Bok buru-buru menghampiri yang menggeletak di atas lantai dan karena dia lebih dulu kenal dengan Bi Hwa maka pertama-tama pemuda itupun menghampiri wanita cantik ini. Bi Kwi mengerutkan alis, tapi tiba-tiba gadis itu berseri mukanya.

"Hm, kau hendak menolong enci Bi Hwa dahulu, Bok-ko? Baiklah, ia memang yang paling cantik di antara kita! Siapa tidak tahu ia sudah menggodamu di tengah jalan?"

Kun Bok terkejut. "Eh, apa maksudmu, Kwi-moi? Bukankah kita berdua hendak menolong mereka?"

"Ya, tapi kenapa enci Bi Hwa yang lebih dulu kau hampiri?" Bi Kwi Pura-pura merengut dan Kun Bok terasa merah mukanya.

"Kwi-moi, ini… ini... eh, bukankah tidak ada salahnya? Bi Hwa maupun Bi Gwat sama-sama pingsan, kenapa kau marah-marah?"

Bi Kwi tiba-tiba membanting kaki. "Cih, siapa marah-marah? Aku hanya tanya kau mengapa enci Bi Hwa yang lebih dahulu kau hampiri. Apakah pertanyaan ini terlalu luar biasa? Sudahlah, kau urus enci Bi Hwa itu dan aku mengurus enci Bi Gwat!" Bi Kwi memutar tubuh tanpa banyak bicara dan dengan sikap cemberut gadis itu menghampiri kakaknya yang tertua ini.

Kun Bok melenggong, dan tanpa terasa pemuda itu menjadi panas mukanya. Sikap Bi Kwi yang uring-uringan itu terasa aneh baginya, akan tetapi karena dia tahu bahwa Bi Kwi memang kadang-kadang suka "angot" kumatnya kalau lagi timbul maka diapun menarik bahu dan cepat memeriksa Bi Hwa. Lehernya sendiri sabenarnya terasa sakit, tapi karena mengkhawatirkan keadaan dua orang enci kekasihnya ini diapun memaksa diri.

Tapi temyata Bi Hwa pingsan biasa saja. Pukulan tangan miring yang mengenai tengkuknya tidak terlalu berat, barangkali si muka hitam memang sengaja memberi "keringanan". Maka dengan totokan di atas pundak dan punggung sekejap kemudian sadarlah wanita itu. Bi Hwa menggeliat dan bulu mata yang lentik halus itu terbuka.

"Bok-kongcu...!" Bi Hwa segera berseru lirih begitu matanya menatap Kun Bok dan dengan cepat wanita itu melompat berdiri.

Tapi Kun Bok yang hendak menenangkan hatinya tahu-lahu menekan pundak dengan halus. "Adik Hwa, jangan tergesa-gesa. Aliran darahmu baru saja normal kembali. Duduklah…!"

Namun Bi Hwa sudah mengelit cepat. Dia melihat Bi Kwi yang berjongkok di samping Bi Gwat, maka dengan muka cemas tahu-tahu dia telah melompat mendekati adiknya itu. "Kwi-moi, terluka parahkah dia?"

Namun Bi Kwi menggelengkan kepala. "Tampaknya tidak, ji-ci (enci nomor dua), hanya lehernya yang matang biru. Agaknya Gwat-ci terluka luar."

"Ih, kalau begitu berikan penawar bengkak, Kwi-moi, dan totok jalan darah Tai-ceng-hiat-nya!"

Bi Kwi mengangguk. "Sudah kulakukan, ji-ci…" dan pada saat itu Kun Bok tahu-tahu juga telah berada di belakang mereka.

Tidak apa-apakah keadaannya, Kwi-moi?" pemuda itu bertanya lirih tapi Bi Kwi tidak menjawab.

Kun Bok tersenyum kecut dan dia melihat keadaan Bi Gwat yang sudah ditotok oleh kekekasihnya Ternyata Bi Gwat sedikit lebih berat dibanding adik-adiknya tadi, karena kalau Bi Kwi maupun Bi Hwa sama sekali tidak ada luka luar adalah wanita baju ungu ini kulit lehernya biru kehitaman. Agaknya sambaran gagang pedang yang dipukulkan si muka hitam cukup keras, akan tetapi biar bagaimanapun juga masih untung karena Gwat tidak sampai terluka parah. Wanita itu hanya mengalami guncangan urat kecil, dan pukulan yang membuatnya pingsan itu melecetkan sedikit kulit lehernya yang putih mulus.

Akan tetapi Bi Kwi yang sudah bekerja menolong kakak perempuannya ini telah menunjukkan hasil. Bi Gwat mulai bergerak-gerak, dan wanita cantik itu mengeluh perlahan. Kulit leher yang sudah dibalur minyak gosok oleh Bi Kwi ini kelihatan khasiatnya, karena wama biru sekejap saja mulai lenyap. Bi Gwat membuka mata, dan begitu melihat Bi Kwi dan Bi Hwa ada di sampingnya wanita itu tahu-tahu melompat bangun.

"Kwi-moi… Hwa-moi, di mana si muka hitam itu?" wanita itu membentak marah dengan sinar mata berapi namun Bi Hwa sudah memegang lengannya dengan lembut.

"Gwat-ci, jangan menghamburkan kemarahan dengan percuma. Si muka hitam sudah pergi, agaknya diusir oleh Bok-kongcu ini…!" Bi Hwa menunjuk kepada Kun Bok dan Kun Bok terkejut.

Bi Gwat sendiri agaknya baru sadar bahwa di tempat itu selain mereka bertiga juga terdapat seorang tamu, dan begitu memandang Kun Bok wanita cantik ini tampak tertegun. Tapi sebelum dia melangkah maju Kun Bok yang gugup dikira dirinya yang berhasil menghalau si muka hitam yang lihai sudah buru-buru membungkukkan tubuh.

"Ah, maaf adik Hwa, dan engkau juga, nona Gwat, sesungguhnya si muka hitam bukan aku yang mengusirnya. Terus terang aku sendiri juga roboh di tangannya, maaf… harap kalian tidak salah sangka….!" Kun Bok berkata dengan muka merah dan Bi Gwat serta Bi Hwa terbelalak heran.

"Eh, begitukah, Bok-kongcu?" Bi Hwa seakan tak percaya. "Kalau begitu, kemana dia sekarang?"

Semua orang memandang sekeliling dan tiba-tiba Bi Hwa melanjutkan pertanyaan dengan kaget sambil menepuk dahinya, "He, kemana pula pelayanmu itu, Gwat-ci? Tadi Si-meh datang bersamaku!"

Bi Hwa tampak terkejut dan wanita itu akhirnya menoleh ke kanan. "Bok-kongcu, apakah Si-meh tidak bersamamu, tadi?"

Kun Bok mengerutkan ails. "Tadi ia memang bersamaku, adik Hwa, tapi di mana ia sekarang terus terang aku juga tidak tahu. Apakah kiranya ia bersembunyi?"

"Hm, kalau bersembunyi dia pasti keluar, kongcu, tidak mungkin sembunyi terus. Ataukah si muka hitam...?"

"Benar..!" tiba-tiba omongan yang belum selesai dari Bi Gwat itu sudah dilanjutkan Bi Hwa. "Tentu si muka hitam yang kembali membuat gara-gara ini. Si-meh tentu ditangkap! Eh, Gwat-ci, Kwi-moi, apakah kalian tidak ingin mencarinya di luar? Susullah, aku mencarinya duluan...!"

Bi Hwa tiba-tiba sudah berkelebat keluar dan Bi Kwi serta Bi Gwat saling pandang sejenak. Memang apa yang dikatakan oleh Bi Hwa itu bisa saja terjadi, maka akhirnya dua orang enci adik inipun berkelebat keluar mengikuti Bi Hwa, sementara Kun Bok sudah ditarik lengannya, oleh Bi Kwi. Mereka berempat segera mencari di sekeliling kuil, namun bayangan Si-meh yang tidak tampak batang hidungnya itu mulai diselidiki di dalam rumah yang masing-masing berdiri tidak berjauhan.

Bi Hwa mencari ke rumah di sebelah kanan kuil sedangkan Bi Gwat serta Kun Bok mencari di bangunan rumah di sebelah kiri. Untuk ini Bi Gwat dan dua orang temannya tidak menemukan sesuatu, tapi Bi Hwa yang berada di rumah sebelah kanan kuil berteriak. Agaknya dia menemukan jejak, dan Bi Gwat serta yang lain berkelebat mendatangi tempat itu. Dan benarlah. Bi Hwa berada di kamar depan, menyingkap kelambu yang agak kusut.

Inilah kamar Bi Hwa sendiri, dan memang di tempat itu pulalah Si-meh menunjukkan jalan rahasia yang menuju terowongan bawah tanah. Maka ketika semua orang sudah berada di situ dan Bi Hwa menunjukkan tapak-tapak kaki yang terus ke bawah seketika semua orang sama maklum bahwa si muka hitam telah memaksa Si-meh menunjukkan terowongan rahasia!

"Keparat! Si muka hitam itu sungguh kurang ajar sekali, Gwat-ci. Dia memasuki kamarku tanpa aturan!" Bi Hwa mengepal tinju tapi kakaknya mengatupkan gigi.

"Hm. ini atas pengkhianatan Si-meh Hwa moi, dan kita perlu menghukum pelayan itu. Mari kita cari!" Bi Gwat sudah melompat masuk dan dengan muka merah wanita cantik itu berlari di dalam terowongan.

Bi Hwa dan Bi Kwi saling pandang, akan tetapi dua orang wanita inipun akhirnya sama-sama menganggukkan kepala. Dengan tanpa banyak cakap lagi keduanyapun melompat turun dan Kun Bok yang selalu digandeng Bi Kwi itu juga diajak serta. Pemuda ini sebenarnya ingin banyak bicara dengan kekasihnya itu, namun karena keadaan masih tidak mengijinkan diapun terpaksa menunda keinginannya.

Si-meh memang perlu dicari dan si muka hitam itupun juga perlu diketahui jejaknya Dan teringat kepada kelihaian si muka hitam yang amat luar biasa itu hati Kun Bok berdebar tegang. Sungguh tidak dinyana bahwa dalam sepuluh jurus saja bahkan kurang. Dia roboh di tangan orang. Padahal dia sudah melawan sekuat tenaga. "Siapakah pemuda itu?"

Pertanyaan ini mulai menghantui dirinya. Kedatangan si muka hitam ke Kuil Ban-se tong yang tidak diketahui maksudnya juga diam-diam menimbulkan pertanyaan. Karena itu dia ingin sekali berbicara dengan Bi Kwi, berbicara apa saja yang bertumpuk-tumpuk di dalam hatinya. Mulai dari bagaimana kekasihnya itu bisa berada di Pulau Surga ini sampai pengelabuannya yang pura-pura tidak bisa silat. Apakah sebenamya yang tersembunyi di balik gerak-gerik kekasihnya yang aneh ini? Kun Bok tidak tahu.

Terowongan yang mereka lalui sudah mencapai akhir. Lubang gua yang terang benderang tampak di depan. Bi Gwat sudah melompat keluar sementara mereka bertiga juga ikut melayang naik. Sekaranglah Kun Bok tahu bahwa mereka ternyata sudah berada di sebuah lembah dengan sungai yang gemericik di bawah tebing! Ah, indah sekali!

Tapi Kun Bok tidak sempat menikmati panorama ini karena matanya membentur seseorang di belakang pohon. Si-meh! Pelayan itu menggeletak di atas rumput tanpa berdaya, dan matanya yang terbelalak ke arah rombongan Bi Kwi ini jelas menunjukkan rasa takutnya. Bi Gwat sudah melompat mendekati pelayan itu, dan Si-meh yang rupanya tertotok gagu gemetar ketakutan melihat sorot mata majikannya.

Namun Bi Gwat rupanya cukup menahan nafsu. Si-meh yang tertotok tak berdaya itu dibebaskannya, dan ketika pelayan yang menggigil ini sudah dapat menggerakkan tubuhnya segera wanita itu menjatuhkan diri berlutut dengan muka sepucat kertas.

"Ampun, pangcu, ampun... hamba dipaksa si muka hitam itu untuk menunjukkan terowongan rahasia. Jalan darah hamba dipencet, dan hamba menderita kesakitan yang amat sangat. Kalau pangcu menganggap hamba bersalah hamba rela menerima hukuman…!" Si-meh menggigil di kaki majikannya.

Dan Bi Gwat tiba-tiba menendang pelayannya itu. "Manusia keparat, siapa bilang kau tidak dianggap bersalah? Berkhianat macam ini saja sudah cukup untuk dijadikan alasan membunuhmu. Sratt...!" Bi Gwat menarik pedangnya dan Si-meh terbelalak gemetar. Pelayan ini hendak bicara, namun mulutnya kelu. Untunglah pada saat itu Bi Hwa tiba-tiba sudah melompat di depan kakaknya ini

"Adik Hwa, apa yang hendak kau maui? Si-meh sudah melanggar aturan nomor tiga kita, dan manusia macam ini tidak perlu diampuni!"

"Hm, itu kalau atas kesengajaan dirinya, enci. Tapi pelayanmu itu berbuat alas paksaan di luar dirinya. Siapa bilang dia melanggar aturan kita nomor tiga? Tidak, Si-meh memang boleh dihukum akan tetapi bukan hukuman menghabiskan nyawa! Dia terlalu berat kalau dijatuhi tuduhan seperti itu. Jasanya yang telah bertahun-tahun cukup untuk dijadikan pertimbangan, masa hendak dibunuh?"

"Hm, kalau begitu, apa yang hendak kau berikan kepadanya, Hwa-moi?" Bi Gwat mulai marah tapi Bi Hwa tenang-tenang saja. Wanita itu menoleh kepada Kun Bok, dan dengan suara-nya yang lantang dia berkata,

"Mengingat hadirnya seorang tamu agung di tempat kita, biarlah Si-meh dibebaskan! Bagaimana Kwi-moi, apakah kau setuju?"

Bi Hwa mencari dukungan ke arah adiknya yang paling muda Bi Kwi tiba-tiba tersenyum dikulum. "Ih, kalau Bok-koko kau jadikan alasan tentu saja aku tidak berani menolak, enci Bi Hwa. Siapa ingin dianggap keji oleh seorang tamu istimewa yang berada di depan mata?" gadis itu tertawa kecil dan tanpa diketahui Kun Bok ia memberikan isyarat sebelah mata kepada encinya yang menghunus pedang itu.

Bi Gwat tertegun, dan seperti orang di sadarkan tiba-tiba ia memasukkan senjatanya kembali. "Ah, maaf, Bok-kongcu, aku hampir lupa diri!" wanita cantik itu buru-buru merendahkan tubuh dan dengan cepat dia sudah memutar tubuh lagi ke arah Si-meh.

"Manusia tak tahu diuntung, bersyukurlah kepada Bok-kongcu. Karena kehadirannya aku memberimu kebebasan dari tuduhan berkhianat. Pergilah...!" kaki Bi Gwat bergerak gemas dan tubuh Si-meh terpelanting.

Pelayan itu bangkit berdiri dengan kaki tertatih-tatih, tapi kegembiraan matanya tak dapat disembunyikan lagi. Dia membungkukkan tubuhnya di depan sang majikan, mengucapkan terima kasih atas pengampunan yang diberikan, lalu berlutut pula di depan Kun Bok dengan wajah berseri. "Bok-kongcu, hamba menghaturkan beribu terima kasih atas pertolongan kongcu yang tak terhingga. Atas kehadiran kongcu jiwa hamba selamat. Semoga kongcu hidup gembira sebagai tamu agung...!" pelayan itu mengerling genit dan Kun Bok merasa tidak enak.

"Sudahlah, Si-meh, kau kembalilah. Majikanmu terlalu memandang tinggi kepadaku. Siapa yang hendak kelewat bangga?"

Si-meh membenturkan jidatnya sekali lagi lalu tanpa banyak cakap dia ngeloyor pergi meninggalkan empat orang itu memasuki terowongan rahasia. Bi Gwat sejenak mengawasi kepergian pelayannya ini, lalu diapun mengajak teman-temannya kembali ke Ban-se-tong.

Di sini Kun Bok merasa keadaan sudah mulai tenang kembali, dan dia bersama tiga orang wanita cantik itu menyusul Si-meh memasuki jalan rahasia. Akan tetapi karena Bi Gwat dan Bi Hwa masih mengiringnya dalam perjalanan diapun kurang leluasa untuk bercakap-cakap dengan Bi Kwi. Tiga wanita bersaudara ini mulai menarik perhatiannya, dan tempat tinggal mereka yang demikian terpencil serta amat rahasia itu betul-betul menimbulkan banyak pertanyaan di dalam hatinya.

Tapi Kun Bok masih menahan diri. Bi Hwa yang merupakan pengajak tunggal dalam petualangannya ke Pulau Surga ini juga belum menerangkan segala sesuatunya dengan jelas, karena mereka keburu bertanding dengan musuh lihai yang mampu menyelundup ke dalam pulau.

Dan teringat kepada si muka hitam itu lagi lagi jantung Kun Bok tergetar. Hebat sekali pemuda tinggi besar itu, siapakah dia? Namun pertanyaan inipun masih merupakan teka-teki sampai akhinya mereka kembali muncul di kamar Bi Hwa untuk menuju pada rumah di samping kiri Ban-se-tong yang menjadi tempat tinggal Bi Gwat, pangcu nomor sebelas dari perkumpulan Hiat-goan-pang itu!

Mereka sudah duduk mengelilingi meja bundar. Bi Gwat yang merupakan tuan rumah duduk di kursi kepala, sementara Kun Bok dan dua orang adiknya duduk di kiri kanan berhadapan langsung dengan wanita cantik berbaju ungu ini. Dan setelah keadaan tidak diganggu segala macam pertempuran sekaranglah Kun Bok dapat mengamati jelas wajah kakak tertua Bi Kwi ini.

Ternyata wanita itupun cantik bukan main. Hidungnya yang kecil mancung dengan bibir yang tipis kemerahan tanpa gincu memikat sekali untuk dipandang. Dan sinar matanya yang berkilat penuh wibawa menunjukkan kesannya yang tegas dan agak dingin. Berbeda dengan Bi Kwi maupun Bi Hwa yang mempunyai bentuk muka sedikit bulat, adalah wanita ini memiliki wajah melonjung telur. Dahinya sedikit lebar, namun rambut yang tertutup di atas kening itu menyembunyikan kelemahannya ini dan malah menampilkan sebentuk wajah yang tersendiri cantiknya. Mereka memang sama-sama menarik, sama-sama muda dan memiliki sama-sama kelebihan tertentu.

Seperti Bi Kwi misalnya. Gadis itu memiliki daya pikat pada matanya yang jeli genit, sedangkan Bi Hwa pada sepasang bibirnya yang indah menggairahkan. Tidak tahu Kun Bok, yang mana sebenamya di antara Bi Kwi dan Bi Hwa ini yang paling menarik. Dan sekarang bertemu dengan Bi Gwat yang juga tidak kalah cantiknya itu Kun Bok jadi tidak karuan rasa. Kakak Bi Kwi yang tertua ini mulai memandanginya terang-terangan, dan hidungnya yang kecil mancung itu tampak berkembang-kempis manis.

Ada sesuatu yang amat memikat sekali pada diri ketua Hiat-goan-pang nomor sebelas ini. Dan sesuatu itu agaknya hidung yang mancung manis itulah! Kun Bok menyeringai masam di dalam hatinya. Heran dia, bagaimana sekarang pandai menaksir wanita cantik pada daya pikatnya? Hem, ini tentu gara-gara Bi Kwi! Kun Bok menekan debaran jantungnya dan pada saat itu Bi Gwat-pun membuka percakapan.

"Bok-kongcu, maaf sebelumnya bahwa kami tiga bersaudara tidak dapat menyambut kedatanganmu sebagaimana layaknya seorang tamu. Pertama karena gangguan si muka hitam dan ke dua karena aku pribadi tidak menyangka sama sekali bahwa adikku Bi Hwa bakal membawamu ke tempat ini. Apakah kongcu mempunyai kesan tidak senang oleh semuanya ini? Kalau begitu sukalah kongcu memaafkannya. Kami tiga bersaudara memang mungkin wanita-wanita kasar, oleh sebab itu sukalah kongcu memakluminya!"

Suara merdu yang nyaring halus itu mulai memecahkan suasana, dan Kun Bok yang dijadikan sasaran penghormatan tersipu-sipu gugup. "Ah, nona Bi Gwat, harap jangan berlebihan!" pemuda itu bangkit berdiri dan menjura kepada tuan rumah dengan tergesa-gesa. lalu dengan suara merendah dia meneruskan, "Aku pribadi datang atas undangan adik Bi Hwa, karena itu bila nona Bi Gwat merasa terganggu bicaralah terus terang. Kita adalah orang-orang dunia persilatan, maka sudah biasa kalau ada gangguan-gangguan dari luar. Apakah si muka hitam itu memang musuh kalian?"

Kun Bok duduk kembali, dan Bi Gwat tiba-tiba mengerutkan alis. "Bok-kongcu, sebelum kita melanjutkan pembicaraan sukalah kau membuang sebutan nona itu. Aku memang saudara tertua dari tiga bersaudara, namun kukira masih lebih muda juga darimu. Apakah tidak enak jika kongcu memanggilku sama seperti sebutan terhadap Bi Kwi dan Bi Hwa?"

Kun Bok memerah mukanya. "Ah, ini… ini jelek-jelek kau adalah seorang pangcu, nona, bagaimana aku berani lancang memanggilmu seperti itu?"

"Hi-hik, Bok-koko memang belum kuberi tahu Gwat-ci, harap cici tidak gusar!" Bi Kwi tiba-tiba tertawa geli dan Kun Bok serta dua orang lain memandang terkejut.

"Eh, begitukah kiranya, Kwi-moi!" Bi Gwat tampak terbelalak.

"Ya, begitukah enci!"

"Ah... kau nakal, Kwi-moi!" Bi Gwat berseru. "Kenapa menyembunyikan rahasia kepada sababat sendiri?"

Wanita itu lalu memandang Kun Bok. "Bok-kongcu, maafkan kenakalan adikku ini. Memang kami tidak boleh sembarangan memberitahukannya pada orang luar, tapi karena kongcu sudah menjadi sababat adikku maka kukira persoalan ini tidak perlu disembunyikan lagi. Ketahuilah, kongcu, kalau kau sungkan kepadaku karena kedudukanku sebagai seorang ketua cabang Hiat-goan-pang yang nomor sebelas adalah dua orang adik perempuanku itupun juga memiliki kedudukan yang sama denganku. Mereka adalah sama-sama ketua cabang pula, hanya kalau adik Bi Hwa merupakan ketua cabang nomor duabelas adalah Bi Kwi merupakan ketua cabang nomor tigabelas dari perkumpulan kami Hiat-goan-pang!"

"Ahh....!" Kun Bok terkejut seperti disengat lebah dan dengan mata terbelalak dia memandang Bi Kwi. "Kwi-moi… ini… ini betulkah itu?"

Tapi Bi Kwi menganggukkan kepalanya dengan tenang. Gadis itu tersenyum manja kepada Kun Bok, dan dengan suaranya yang merdu ia menjawab, "Tidak salah, Bok-ko. kenapakah? Maaf bahwa aku selama ini menyembunyikannya kepadamu "

"Ah...." Kun Bok tertegun lagi dan pemuda itu menjadi bengong. Sungguh mati dia tidak mengira bahwa kekasihnya ini seorang ketua perkumpulan, meskipun ketua cabang. Dan jawaban itu membuat dia seperti disengat kalajengking. Dugaan bahwa Bi Kwi seorang gadis dusun ternyata menghadapi kenyataan luar biasa. Bi Kwi seorang tokoh persilatan, jelek-jelek adalah ketua cabang perkumpulan Hiat-goan-pang...!