Pendekar Kepala Batu Jilid 16 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 16
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pendekar Kepala Batu Karya Batara
DAN piauwsu lain yang tadi hanya mendengarkan saja itu kini tiba-tiba juga berteriak ramai mendorong permintaan waktu istirahat yang diperpanjang ini agar dikabulkan oleh pemimpin mereka. Kwa Ek menaikkan keningnya, dan ketua Pek-ho-piauwkiok itu tampak marah.

"Saudara-saudara…!" sang ketua itu membentak. "Kita tidak boleh memanjakan diri! Bukankah sejak semula kita semua telah saling sepakat untuk bekerja tak mengenal lelah? Kalau kalian benar penat, baiklah, aku memperpanjang waktu istirahat kita. Akan tetapi bukan setengah jam melainkan hanya seperempat jam saja! Siapa tidak setuju...?"

Pemimpin Pek-ho-piauw-kiok ini memandang semua anak buahnya dan para piauwsu itu kelihatan mengkeret. Song Kai sendiri yang dipandang paling lama oleh sang pemimpin ini sendiri tita-tiba merundukkan mukanya, karena piauwsu itu merasa tidak enak mendapat kemarahan ketuanya ini.

Akan tetapi Kwa Ek adalah ketua bijaksana, karena melihat anak-anak buahnya sama terdiam ketakutan seperti itu diapun menjadi reda. Dia memandang Song Kai yang menjadi gara-gara, dan bekas murid Khong-thong itu berkata, "Song Kai, karena kau yang meminta untuk teman-temanmu ini maka kaulah yang kutugaskan untuk menjaga kereta. Saudara-saudara yang lain boleh istirahat, dan aku bersama Song Kai mengawasi barang titipan. Aku didepan kereta sedangkan Song Kai di belakang…!"

Kepala piauwsu itu melompat turun dari kudanya dan Song Kai-pun mengangguk. Dia memang harus konsekwen dengan ucapannya sendiri, maka perintah sang ketua itupun dipatuhinya. Para piauwsu yang lain sudah meninggalkan kudanya masing-masing sedangkan dua orang ini lalu berjaga di atas kereta. Kwa Ek duduk di tempat kusir sambil mengawasi semua anak buahnya yang turun minum dan berteduh, sedangkan Song Kai berada di belakang duduk bersandar di samping roda.

Keadaan kini menjadi berisik, karena para piauwsu itu satu sama lain saling mengeluarkan bekal masing-masing dan minum sambil makan bekal roti kering. Mereka tampak gembira, mendapakan istirahat yang tidak begitu lama ini, namun hanya Kwa Ek seorang yang tidak tenang di tempat duduknya.

Ketua Pek-ho-piauwkiok ini selalu memutar matanya, karena sebagai piauwsu berpengalaman tiba-tiba mendapat firasat mencurigakan. Ada sesuatu yang mengusik perasaannya dan piauwsu itu bersikap waspada. Kegembiraan anak-buahnya tidak mampu menggeser firasat buruk yang diterimanya, karena itu kepala Pek-ho-piauwkiok ini menjadi tidak nyaman sekali.

Lima menit sudah keadaan berlalu, dan temyata keadaan tenang-tenang saja. Para piauwsu yang sudah makan minum kini membaringkan tubuhnya di atas rerumputan, dan mereka itu mulai bicara ngalor-ngidul sambil.sesekali diseling ketawa kecil. Tidak membuat gaduh, namun entah perasaan tidak enak di hati ketua perusahaan ekspedisi ini menjadi semakin tidak tenang.

Suasana lembah yang sejuk semilir beberapa orang piauwsu menguap, namun mereka adalah piauwsu-piauwsu terlatih. Meskipun mata rasanya ingin dipejamkan tapi piauwsu-piauwsu itu tidaklah terlena. Mereka tetap tergolek santai di atas tanah, namun sewaktu-waktu dapat saja urat syaraf mereka dikejutkan oleh sesuatu kejadian yang mungkin tidak berarti. Oleh gigitan seekor semut api umpamanya, ataupun oleh sebab-sebab lain.

Dan hal yang seperti itu ternyata terjadilah. Sebuah pekik mengerikan yang memecahkan lembah sekonyong-konyong meletus, dan ringkik serta sepak kuda yang terikat di batang ponon mengejutkan semua orang. Para piauwsu seperti disengat lebah, dan tubuh yang tadi berbaring-baring santai di tanah rerumputan itupun melompatlah. Mereka berteriak kaget, dan suara yang berasal dari kereta barang itupun segera diburu!

"Song Kai...!"

Semua piauwsu berteriak ngeri dan seperti orang disambar petir para piauwsu ini menjublak di belakang kereta. Kiranya Song Kai, si piauwsu muda yang tadi berjaga di tempat sudah tewas dengan mata mendelik. Pembantu Kwa Ek itu tampak tergolek di samping roda kereta, dan sebuah gelang berwama merah menancap di dada kirinya!

"Hiat-goan-pang...!" ketua Pek-ho-piauwkiok itu berseru tertahan dan semua piauwsu terbelalak pucat. Teriakan perlahan yang diserukan oleh pemimpin mereka itu cukup membuat perasaan terguncang, dan entah dari mana datangnya tahu-tahu di depan mereka muncui seorang laki-laki yang terkekeh geli memandang mereka.

"Heh-heh, kalian sudah mengenal nama Hiat-goan-pang, para sahabat? Bagus, itu menolong jiwa kalian! Eh, Kwa-piauwsu, bukankah semakin dekat dengan tempat tujuan, berarti kita harus semakin berhati-hati? Ha-ha, pendapatmu ini benar, Kwe-piauwsu, dan aku setuju sekali. Wilayah Hong-taijin memang aman, akan tetapi aman itu sendiri belum tentu berarti tidak keruh. Dan kiriman barang untuk Hong-taijin ini bukankah berasal dari seorang wanita muda, piauwsu? Nah, aku datang untuk menjemput kiriman ini…!"

Laki-laki itu memandang Kwa-piauwsu dan ketua Pek-ho piauwkiok ini terbelalak. Dia memandang pendatang baru ini dengan muka merah, akan tetapi orang yang dipandang itu tenang-tenang saja. laki-laki ini mengenakan kedok hitam, dan raut mukanya yang disembunyikan itu tidak tampak. Hanya tanda pengenal di dada kiri bergambar gelang berdarah itulah yang merupakan satu-satunya tanda yang dijadikan pegangan oleh kepala Pek-ho piauwkiok ini untuk meluapkan kemarahannya.

"Kau dari Hiat-goan-pang, sahabat?" ketua piauwkiok ini membentak.

Dan orang yang ditanya itu mengangguk, "Benar, Kwa-piauwsu. Ada apakah?"

Jawaban yang tidak memandang mata itu membuat sang pemimpin Pek-ho piauw-kiok mengepal tinju, akan tetapi piauwsu she kwa itu masih menahan diri. Dia tidak segera turun tangan, namun kembali bertanya dengan kemarahan dikekang, "Dan apa maksudmu datang kemari lalu membunuh seorang anak buahku?"

Laki-laki itu tertawa. "Kwa-piauwsu, sudah kukatakan tadi bahwa aku datang kemari karena hendak menjemput barang kiriman untuk Hong-taijin ini. Dan karena anak buahmu itu menjemukan maka terpaksa dia kubunuh. Pembantumu itu ketiduran, padahal kau memerintahkannya untuk berjaga. Nah untuk anak buah macam begini buat apa dipakai lagi? Daripada kau melelahkan diri, maka aku tadi mewakilimu menghukum dia. Apakah kau tidak senang Kwa-piauwsu?"

Orang berkedok itu memandang dengan sikap seenaknya dan pemimpin Pek-ho piauwkok itu gusar bukan kepalang. "Sahabat dari Hiat-goan-pang, ada permusuhan apakah diantara kami dengan kalian?"

"Eh, permusuhan…?" orang itu terbelalak keheranan. "Tidak ada, Kwa-piauwsu, malah justeru kita ini sedang menggalang persahabatan. Bukankah Kwa-piauwsu ingin bertemu lagi dengan pengirim barang ini? nah, ia menantimu Kwa-piauwsu, bukan di gedung Hong-taijin melainkan di suatu tempat yang tentu akan menggembirakanmu. Kini wanita itu memerintahkan aku untuk menerima kiriman barang ini, karena Hong-taijin keburu meninggal dunia karena sakit jantungnya yang kumat!"

Orang itu kembali tertawa dan Kwa-piauwsu berdetak kaget. Omongan orang tentu saja tidak dipercayainya, akan tetapi perkataan laki-laki berkedok tentang keinginannya bertemu dengan si pengirim barang ini memang tidak salah. Seminggu yang lalu ia kedatangan seorang wanita cantik, sikapnya genit, tetapi royalnya bukan main. Dan wanita itu minta kepadanya agar mengirimkan barang ke tempat Hong-taijin. Bayarannya tinggi, tetapi dia tidak diperbolehkan mengetahui apa barang yang hendak dikirim.

Karena dia juga sudah biasa menerima permintaan semacam itu dari langganan-langganan yang lain, Kwa-piauwsu ini tidak menolak dan dia juga tidak menaruh curiga. Terlalu banyak sebab-sebab yang bisa terjadi. Umpamanya barang yang dikirim berupa emas permata atau benda-benda berharga lainnya yang bernilai tinggi.

Dan karena si pengirim khawatir, perusahaan ekspedisi akan berbuat curang dan menjadi "hijau‘ matanya melihat barang-barang berharga, maka si pemilik barang lalu mengajukan syarat seperti itu. Ini bisa saja menjadi perumpamaan. Dan kalau sebab itu bukan begitu, tentu ada sebab-sebab lain yang dia sendiri segan menyatakannya. Bagi Kwa-piauwsu, dia tidak ambil pusing untuk memikirkan apa. Asal ada kecocokan harga baginya, jadilah!

Maka kini mendengar laki-laki berkedok itu mengetahui segalanya dengan lengkap, hati piauwsu ini berdebar tegang. Tidak salah bahwa dia ingin bertemu lagi dengan si wanita cantik, hal itu karena ada sebabnya. Si wanita cantik meninggalkan sesuatu yang membuatnya tidak mengerti. Sebuah tusuk konde bertahtakan huruf-huruf Kanji. Dan dia yang bukan seorang sastrawan itu sama sekali tidak dapat membaca huruf-huruf Kanji ini, tidak mengerti artinya. Karena itu dia lalu membawa seorang kenalannya yang ahli sastera, mencoba untuk mendapat penjelasan.

Akan tetapi, apa yang diterima? Kenalannya si ahli sastera itu tiba-tiba ketakutan, mengembalikan benda itu kepadanya dan berpesan agar tusuk konde ini secepatnya dikembalikan saja kepada sang pemilik. Benda itu membawa pesan maut, dapat membawa petaka kepada Kwa-piauwsu!

Tentu saja Kwa-piauwsu terheran mendengar keterangan ini, mencoba memperoleh penjelasan lebih lanjut, namun sahabatnya si ahli sastera itu sudah buru-buru ngeloyor pergi dengan tubuh gemetar ketakutan. Kwa-piauwsu menjublak dengan muka bengong dan tusuk konde yang ditakuti kenalannya itu dibolak-balik. Dia tidak mengerti apa yang sedungguhnya terjadi dengan tusuk konde itu. Akan tetapi karena sahabatnya tidak memberi keterangan lebih lanjut, diapun lalu menyimpan benda itu untuk menunggu kedatangan pemiliknya yang mungkin mencari.

Tetapi aneh, si wanita cantik tidak datang-datang lagi. Kwa-piauwsu telah menunggu dengan sia-sia dan benda yang tidak dimengerti artinya itu dibawa saja kemana dia pergi. Dan sekarang tahu-tahu datang laki-laki berkedok dari Hiat-goan-pang itu. Menilik bicaranya, dia kenal dengan si wanita cantik. Dan menurut patut, sepantasnya mereka tidak perlu bermusuhan. Akan tetapi, nyatanya laki-laki ini telah membunuh Song Kai dengan alasan yang tidak masuk akal.

Kwa-piauwsu merah mukanya, dan ketua Pek-ho piauwkiok itu tiba-tiba mencabut pedangnya. "Sobat dari Hiat-goan-pang!" bentaknya bengis. "Apa yang kau ucapkan tidak sesuai dengan apa yang kau lakukan. Di mulut kau berkata tentang menggalang persahabatan, tapi buktinya kau telah menurunkan tangan kejam membunuh seorang anak buahku! Apakah ini dapat diterima akal?"

Laki-laki berkedok itu terkejut. "Eh, Kwa-piauwsu, apa yang hendak kau perbuat?"

Kwa Ek melangkah maju dengan pedang dicekal erat. "Memperhitungkan hutang jiwa atas nasib seorang anak buahku, penjahat keji!"

Bentakan itu disambut dengan sikap melengak oleh laki-laki dari Hiat-goan-pang ini dan mendadak ia terkekeh geli, "Heh-heh, Kwa-piauwsu, kau hendak membunuhku, begitukah maksudmu?" laki-laki itu mengejek lawannya dan ketua Pek-ho-piauwkiok ini menggeram.

Dia tidak menjawab, akan tetapi seorang piauwsu dibelakangnya tiba-tiba berteriak gusar dan ikut mencabut pedang seperti pemimpinnya. Piauwsu ini rupanya tidak dapat menahan sabar dan tanpa banyak cakap ia menerjang laki-laki itu dengan tusukan bertubi-tubi. Kwa-piauwsu hendak mencegah, namun dia tidak keburu. Anak buahnya itu sudah melompat, dan pedang di tangan yang bergerak menyilaukan itu berkelebatan dimuka lawan.

Akan tetapi aneh, orang berkedok dari Hiat-goan-pang itu sama sekali tidak mundur. Dia tetap berdiri tenang di tempatnya dan ketika pedang itu menuduk bertubi-tubi ke arahnya, laki-laki ini tiba-tiba menggerakkan kaki tangannya. Pedang didupak dan mendadak pedang itu mencelat dari pemiliknya.

"Cring…!"pedang terlempar dan piauwsu yang menyerang itu berseru kaget. Dia hanya merasakan pergelangan tangannya sakit dan tahu-tahu pedang di tangannya itu sudah melayang jauh terlempar di atas tanah.

Kwa-piauwsu terbelalak pucat, dan semua anak buah Pek-ho-piauwkiok ini terperanjat. Mereka hanya melihat kaki orang berkedok itu mencuat dan tiba-tiba saja pedang teman mereka itu sudah mencelat. Sungguh mengejutkan, tidak lebih dalam segebrakan saja! Para piauwsu terkesima sejenak, akan tetapi setelah sadar kembali mereka lalu berteriak marah dan mencabut senjata.

Laki-laki berkedok tertawa mengejek., dan dia memandang pemimpin Pek-to-plauwkiok ini. "Kwa-piauwsu, apakah aku harus membunuh semua anak buahmu ini? ingat, aku masih memberi keringanan apabila kau tahu diri. Anak buahmu yang satu ini seharusnya diberi hajaran keras, namun memandang mukamu, aku masih memberi ampun. Apakah kau hendak mengerahkan anak buahmu untuk mengeroyokku?"

Ketua Pek-ho-piauwkiok itu tertegun. Mendengan suara orang yang demikian lantang dan tidak kenal takut memang dia seharusnya berhati-hati. Orang berkedok ini berani menghadapi mereka seorang diri, itu jelas membuktikan kelihaiannya. Dan sepak terjangnya yang baru mereka saksikan dalam satu gebrakan itu memang cukup menjadikan bukti. Apakah dia harus mundur?

Kwa-piauwsu menjadi ragu. Dia memandang orang itu dengan sinar mata marah akan tetapi ketika kembali matanya membentur mayat Soug Kai kepala piauwsu menjadi berang. Lihai atau tidak orang itu baginya tidaklah menjadi soal. Dia jelek-jelek adalah ketua Pek-ho-piauwkiok, masa harus takut menghadapi kebenaran? Dan sebagai seorang bekas murid Kong-thong-pai tidak semestinya dia bersikap pengecut. Karena itu piauwsu ini lalu tiba-tiba membentak nyaring, dan pedang yang sudah di tangen itu ditudingkan ke hidung lawan.

"Penjahat keji dari Hiat-goan-pang, tanpa sebab kau telah membunuh anak buahku, bagaimana aku bisa bersahabat lagi? Kecuali kalau kau meambayar hutang jiwa ini maka barulah perhitungan diantara kita impas. Jagalah…!"

Piauwsu itu mengangkat ujung pedangnya ke langit dan dibarengi satu lengkingan marah ketua Pek-ho-piauwkiok ini tiba-tiba berkelebat ke depan menerjang lawannya. Si orang berkedok mengeluarkan jengekan dari hidung, dan mendadak dia menggerakkan tangannya. Suara berkerincing nyaring memecahkan udara dan tiba-tiba saja sepasang gelang sudah dicekal di kedua tangannya.

"Kwa-piauwsu, kau ingin kita main-main sebentar? Baiklah, mari tunjukkan permainan pedangmu yang buruk itu dari Kong-thong-pai…" Laki-laki ini mengeluarkan tawanya yang mengejek pedang di tangan Kwa-piauwsu sudah cepat ditangkisnya.

"Crang!" Pedang bertemu gelang di tangan kanan dan ketua Pek-ho- piauwkiok itu terkejut. Lengannya tergetar dan senjata yang dicekal hampir saja terlepas. Tentu saja piauwsu ini terkesiap dan sambil membentak nyaring menambah semangat diapun lalu mengrahkan kepandaiannya gencar.

Kini terjadilah pertandingan di antara dua orang. Kwa-piausu memainkan sanjata tunggalnya yang lincah menari-nari di sekitar tubuh lawan, sedangkan si orang berkedok itu menghadapi ketua Pek-ho-piauwkiok ini dengan sepasang gelang tembaganya. Dia ternyata mampu mengimbangi kecepatan pemimpin dari ketua Pek-ho-piauwkiok itu dan semua serangan Kwa-piauwsu itu selalu dapat ditangkisnya dengan baik. Bahkan, gelang kedua tangannya itu mulai berkelebtan pula membalas setiap serangan membuat pertandingan menjadi seru dan hebat bukan main. Dan setiap tangkisan laki-laki berkedok ini pasti membuat piauwsu she Kwa itu menyeringai pedih. Lengannya seakan-akan lumpuh!

Hal ini membuat pemimpin Pek-ho-piauwkiok itu gelisah dan maklum bahwa kekuatan sinkangnya kalah kuat, diapun lalu mengandalkan permainan pedangnya yang lincah dan cepat untuk mengatasi kekurangannya. Akan tetapi orang berkedok itu benar-benar lihai. Sambil tertawa mengejek dia melayani gerakan pedang yang cepat dari piauwsu itu dan kedua gelang tembaganya beterbangan berganti-ganti membentur pedang di tangan Kwa-piauwsu. Dia tampaknya tidak begitu bernapsu seperti lawannya, dan kalau pemimpin Pek-ho-piauwkiok itu kelihatan gencar bertubi-tubi menyerang adalah laki-laki ini seenaknya bergerak sambil berkelebatan mengikuti serangan lawan.

Jelas di sini bahwa orang berkedok itu memang masih lebih tinggi tingkatnya dibanding Kwa-piauwsu, dan pantas saja dia seolah-olah tidak memandang sebelah mata kepada ketua Pek-ho-piauwkiok itu. Bahkan dengan berani dia membunuh Song Kai yang dikatakan pemalas tiada guna! Hal ini semua membuat perasaan piauwsu she kwa itu bergolak, dan murid Kong-thong ini menjadi nekat.

Pedang menyambar-nyambar tanpa perhitungan lagi dan laki-laki berkedok dari Hiat-goan-pang itu terkejut. Kwa-piauwsu mulai menyerang membabi buta, tidak mempedulikan keselamatan sendiri dan orang yang diamuk kemarahan itu menjadi seperti kerbau gila. Kaena itu dia lalu mendengus dan ketika untuk kesekian kalinya pedang piauwsu itu menusuk perut, laki-laki berkedok ini membentak nyaring sambil mengerjakan gelang tembaganya. Yang kiri dipakai menangkis keras, sedangkan yang kanan menghantam pundak Kwa-piauwsu.

"Cring-plakk...!"

Pedang ditangkis gelang, sedangkan pukulan ke pundak juga mendarat dengan telak. Kwa-piauwsu berteriak mengduh dan senjata di tangannya terlepas. Lawan telah memperberat tekanannya, karena itu piauwsu ini tidak sanggup lagi bertahan. Dengan satu pekik kesakitan, tubuh piauwsu itu terjungkal roboh dan patah tulang pundaknya!

Gegerlah anak buah Pek-ho-piauwkiok. Kwa piauwsu yang roboh dengan satu pundak sengkleh dan cukup membuat mereka semua terkejut, akan tetapi melihat Kwa-piauwsu tiba-tiba melompat bangkit dan berteriak dengan mulut menyeringai menahan sakit itu memerintahkan mereka agar membunuh si orang berkedok, para piauwsu dari Pek-ho-piauwkiok ini tersadar.

Mereka cepat berseru keras, dan sambil berteriak marah, orang-orang Pek-ho-piauwkiok ini sudah meluruk maju. Senjata yang berada di tangan sudah bengerincingan nyaring dan orang berkedok yang masih berada di tempatnya itu diserbu. Kemarahan melihat ketua mereka dirobohkan dan Song Kai dibunuh membuat piauwsu-piauwsu ini marah. Mereka tidak lagi peduli akan kelihaian orang. Dan dengan bersama-sama mereka itu menyerang seperti lebah yang marah melihat keselamatannya diganggu.

Akan tetapi laki-laki berkedok ini tenang-tenang saja. diserbu demikian banyak orang dia malah mengejek. Mata yang tadi berputar kini mendadak berkedip keji dan tangan yang mencekal gelang-gelang tiba-tiba bergerak. Yang ditangan kanan disatukan ke tangan kiri, dan tangan kanan itu sendiri sudah merogoh kantong. Sekejap saja perbuatan ini dilakukannya, akan tetapi akibatnya sungguh membuat para piauwsu itu berteriak kaget. Sinar merah sekonyong-konyong berhamburan menyambut mereka dan lima orang piauwsu yang berada paling depan sendiri tiba-tiba menjerit ngeri.

Mereka itu tidak tahu apa yang terjadi, namun mendadak saja dada mereka terasa nyeri. Kiranya sebuah gelang berdarah telah menancap di tubuh bagian ini dan kontan saja lima orang piauwsu ini roboh terjungkal. Mereka hanya sempat memekik satu kali dan setelah itupun tewaslah. Jantung mereka pecah disambar Hiat Goan am-gi (senjata rahasia gelang berdarah).

Itulah peristiwa yang terjadi pada detik pertama ini dan para piauwsu lain yang melihat kejadian itu terkejut bukan main. Mereka sendiri sudah terlanjur melompat, kaki tidak keburu ditahan lagi. Dan pada saat itulah sinar-sinar merah berhamburan ke arah mereka. Para piauwsu ini terkesiap, tetapi sayang wktu sudah tidak memungkinkan lagi bagi mereka untuk menghindar. Senjata gelang terbang itu sudah mengenai sasarannya, dan jeritan-jeritan ngeri susul-menyusul memenuhi lembah itu.

Anak buah Pek-ho-piauwkiok roboh bergelimpangan dan Kwa Ek yang menyaksikan kekejaman orang berkedok itu terbelalak. Dua puluh tiga anak buahnya sekejap saja sudah tewas sembilan belas jiwa! Dan sisanya lagi empat orang lagi tampak gemetar, memandang jerih kepada laki-laki dai Hiat-goan-pang itu lalu memutar tubuh melarikan diri!

Kwa Ek tertegun, dan laki-laki berkedok itu tertawa mengejek. Empat orang yang lolos ternyata tidak dibiarkan begitu saja, karena dia tiba-tiba menggerakkan tangannya. Empat sinar merah kembati meluncur, dan empat piauwsu Pek-ho-piauwkiok itu menjerit tertahan. Punggung mereka ditembus amgi maut, dan tanpa ampun lagi mereka semuanya itupun robohlah.

"Keji...!" Kwa-piauwsu berteriak gusar dan ketua Pek-ho-piauwkiok itu hampir saja pingsan melihat keganasan orang yang tidak kenal ampun. Akan tetapi laki-laki berkedok itu terkekeh dan dia memutar tubuhnya menghadapi piauwsu yang patah tulang pundaknya itu.

"Heh-heh, Kwa-piauwsu, siapa yang berbuat keji di sini? Kalau kau tidak menyuruh anak buahmu memenyerang tentu nyawa mereka tidak melayang. Akan tetapi kau tidak menurut omonganku, kenapa menuduh keji?"

Kwa-piauwsu mendelik penuh kemarahan, melompat dengan sisa-sita tenaga yang ada dan menyerang laki-laki yang dibencinya itu, namun orang berkedok itu mendengus dan sekali tampar, tubuh tubuh piauwsu itu dibuatnya terlempat jauh.

"Bukk…!" Kwa-piauwsu meringis menahan sakit dan orang tua itu menggigit bibirnya. Dia belum sempat bangkit, tapi lawan tiba-tiba sudah melompat menghampiri.

"Orang she Kwa, diberi hati ternyata kau tidak tahu diri. Apakah minta dibunuh sekalian agar mampus seperti anak buahmu? Kalau tidak ingat pesan si pengirim barang tentu sekarang juga kau sudah kuantar ke gerbang akhirat!" laki-laki itu membentak gemas dan leber baju piauwusu dicengkeramnya kuat.

Kwa-piauwsu meronta, namun laki-laki ini menampar mukanya. "Orang the Kwa, masih kau hendak bersikap kurang ajar, hah? Plak…!" muka ketua Pek-ho-piauwkiok itu digampar dan piauwsu ini terpelanting. Orang berkedok itu hendak melampiaskan kemarahannya lagi tapi tiba-tiba Kun Bok yang sudah tidak tahan menyaksikan kejadian di bawahnya ini melayang turun dengan bentakannya yang keras,

"Setan baju hitam, jangan mengumbar hawa nafsumu. Lepaskan piauwsu she Kwa itu....!" Kun Bok membentak sambil menggerakkan kakinya dan punggung orang Hiat-goan-pang itu ditendang.

Laki-laki berkedok terkejut, tidak menyangka ada orang lain di tempat itu namun dengan cepat dia mengibaskan lengannya. "Dukk..!" tendangan Kun Bok ditangkis akan tetapi dia berteriak kaget ketika tubuhnya terhuyung tiga langkah!

"Hai....?!" orang itu memutar tubuh dan begitu dia berhadapan dengan Kun Bok tiba-tiba dia menjadi pucat. "Bok-kongcu!" seruanya ini tak terasa meluncur dan mulutnya dan Kun Bok tertegun.

"Kau mengenal aku, siluman keji?" Kun Bok terbelalak dan orang berkedok dari Hiat-goan pang itu mendadak gemetar tubuhnya. Dia tampak ketakutan dan matanya meliar ke kiri kanan. Lalu, sebelum Kun Bok yang heran dan curiga itu bertanya lebih lanjut sekonyong-konyong orang berkedok ini memutar tubuhnya dan melarikan diri.

"Hei…!" Kun Bok berseru kaget melihat kejadian ini dan dia membentak nyaring agar laki-laki berkedok itu terhenti. Akan tetapi aneh, orang ini semakin "tancap gas" dan mempercepat larinya! Karena itu Kun Bok lalu berkelebat mengejar namun tiba-tiba Kwa-pianwsu berteriak,

"Bok-kangcu awas kereta! Barang kawalanku dilarikan orang!"

Seruan itu membuat Kun Bok merandek dan ketika da menoleh ternyata benar saja kereta yang tadi di "parkir" di bawah pohon itu mendadak dilarikan seseorang! Kun Bok terkesima, dan sejenak pemuda ini menjadi bingung. Hendak mengejar si orang berkedok hitam namun terpaku oleh penculikan kereta yang sama sekali tidak disangka-sangka itu. Maka pemuda ini jadinya seperti orang bengong saja, tapi Kwa-piauwsu yang agaknya gembira bukan main melihat kehadiran putera tunggal Bu-tiong-kiam Kun Seng yang sudah dikenalnya itu sudah cepat memberikan petunjuk.

"Bok-kongcu, tolong kejar penculik kereta jangan hiraukan si iblis dari Hiat-goan-pang! Kereta barang itu melebihi nyawaku sendiri, menjaga nama baik Pek-ho-piauwkiok…!"

Kwa-piauwsu yang sudah melompat bangun dengan kaki tertatih-tatih itu memandang Kun Bok dengan peluh bercucuran, dan putera Bu-tiong-kiam ini mengertakkan gigi. Apa yang diucapkan piauwsu itu memang benar. Bagi Kwa-piauwsu, nama baik Pek-bo-piauwkiok jauh melebihi jiwa sendiri. Karena itu dia lalu mengangguk dan dengan umpatan gemas Kun Bok mengejar kereta yang dilarikan orang. Dia tidak menghiraukan lagi terhadap laki-laki berkedok dari Hiat-goan-pang, karena menolong nama baik piauwsu she Kwa itu jauh lebih penting.

Maka melompatlah pemuda itu mengejar kereta yang sudah dilarikan orang tak dikenal dan dengan ginkangnya yang tinggi sebentar saja dia dapat menyusul. Jalanan yang berbatu-batu membuat larinya sang kuda tidak lancar, maka dengan mudah dia mampu mendekati. Akan tetapi karena penculik yang melarikan kereta ini juga mencambuk kudanya berkati-kali maka kuda itupun meluncur seperti binatang gila. Dan yang ditinggalkan di belakang membuat Kun Bok mencaci-maki dan setelah sepuluh li dia mengejar akhirnya penculik itupun dicandaknya.

Akan tetapi Kun Bok kembali tertegun. Kiranya penculik kereta ini adalah seorang wanita, malah wanita yang cantik sekali! Dan wanita yang dikejar Kun Bok itu menoleh. Dan begitu menoleh hampir saja Kun Bok terjungkal kaget.

"Bi Kwi…!" Kun Bok berteriak tertahan dan seruan spontanitas itu membuatnya mencelos, namun wanita yang dipanggil terkekeh genit. Ia melambaikan tangannya kearah Kun Bok, dan dengan gerak memikat wanita itu berkata merdu,

"Bok-kongcu, kau mengenal adikku itu? Hi-hik, bagus... kita bisa bersahabat kalau begitu…!" wanita ini tertawa gembira dan cambuk di tangan tiba-tiba dilecutkan kuat ke atas kudanya. Kuda itu melonjak, dan Kun Bok yang ada di samping kereta diterjang buas.

Putera Kun Seng ini terkejut, dan jawaban wanita itu atas seruannya tadi membuat dia terkesima. Akan tetapi kereta kuda jauh mencongklan, maka Kun Bok pun mengejar lagi. Dia menjadi berdebar tidak karuan dengan wanita cantik itu, dan pengakuannya itu yang diucapkan sambil terkekeh itu benar-benar mengguncangkan perasaannya.

Tapi Kun Bok tiba-tiba sudah mengambil keputusan. Wanita cantik yang hampir serupa dengan Bi Kwi itu harus ditangkapnya. Selain karena menculik barang kawalan Kwa-piauwsu, juga karena gerak-gerik wanita itu dirasa mencurigakan. Siapakah dia? Bagaimana bisa mengetahui namanya pula? Semua pertanyaan ini mengaduk pikirannya dan Kun Bok tiba-tiba mengerahkan ilmu lari cepatnya. Kereta yang sudah kabur jauh tiba-tiba disusul dan dalam beberapa kali lompatan panjang saja akhirnya pemuda itu berhasil melampauinya.

"Nona cantik, berhenti dulu…!" Kun Bok yang bingung terus memanggil itu berteriak sebisanya dan wanita di atas kereta itu tersenyum lebar.

"Hik-hik, kau memuji aku cantik, Bok kongcu? Betulkah? Mana lebih cantik dengan Bi Kwi?" gigi yang putih rata seperti mutiara berderet itu mengguncangkan perasaan Kun Bok dan pemuda ini merah mukanya. Dia sudah ada di depan kereta, namun wanita di atas tempat duduk itu nampaknya tidak peduli. Dia melanjutkan larinya kereta dan kuda yang dicambuk mengejutkan ini tersentak.

"Hei…! Kun Bok terbelalak, tapi wanita itu terkekeh mengejeknya.

"Kudaku sedang marah, kongcu, mana bisa dihentikan? Kalau kongcu mau, kendalikanlah. Aku ingin melihatnya…!" wanita itu seakan-akan menantang dan Kun Bok menjadi marah.

Dia merasa dipermainkan orang, karena itu pemuda ini lalu melompat di tengah jalan lalu sambil berseru keras, dia mencengkram tali kuda di bawah rahang. Tetapi celaka, wanita cantik yang mengusiri kereta ini sekonyong-konyong tertawa aneh dan tiba-tiba menyambitkan tiga sinar hitam kearah lengan Kun Bok. Kun Bok tercekat, tapi putera si jago pedang dari Kun Lun ini memang lihai. Melihat tangan disambar senjata rahasia, Kun Bok buru-buru mengangkat tangan kirinya menangkis, lalu dengan gerakan serempak dia menangkap tali kendali dengan tangan satunya.

"Rttt…!" tali kuda berhasil dicengkram. Dan kuda itu meringkik keras.

"Aih…!" wanita cantik di atas kereta berseru terkejut dan tiba-tiba melayang ke depan. Kendali kuda yang dicengkeram Kun Bok sekonyong-konyong dibabat pedang dan Kun Bok yang mendapat serangan itu kaget sekali. Dia tidak menyangka wanita cantik ini bersenjata, karena itu ia hampir saja menjadi korban.

Aih…!” wanita cantik di atas kereta berseru terkejut dan tiba-tiba melayang ke depan.

Akan tetapi dasar putera seorang pendekar maka begitu dia diserang, begitu pula Kun Bok mengadakan reaksi. Pedang yang membabat lengannya ditangkap, lalu sekali sendal dia menyentakkan pergelangan lawan. Wanita cantik itu menjerit kesakitan dan pedang yang dipukul mencelat memasuki kereta. Dan kejadian berikutnya yang amat diluar dugaan Kun Bok pun terjadilah. Sebuah pekik mengerikan tiba-tiba terdengar dari dalam kereta, dan putera Bu-tiong-kiam Kun Seng itu terkesiap. Tirai kereta yang robek tersambar pedang menampakkan peristiwa di dalamnya. Dan apa yang terjadi? Kiranya seorang laki-laki yang tewas dengan tenggorokan tertancap pedang. Pedang yang tadi mencelat dipukul Kun Bok!

"Eihh…??" Kun Bok seperti disambar petir dan kagetnya pemuda itu bukan kepalang. Apa yang terjadi di depan matanya ini sungguh tidak disangkanya, karena itu dia lalu terbengong dengan muka pucat. Peristiwa yang hanya sekejap itu memang benar-benar mengguncangkannya, karena Kun Bok sama sekali tidak mengira bahwa di dalam kereta ada seorang manusianya, seorang laki-laki yang berpakaian baagsawan, seorang pembesar daerah yang bukan lain adalah Hong-taijin!

"Ahh..." Kun Bok tertegun dan mata pemuda itu terbelalak. Kejadian yang ada di depan matanya ini sungguh hebat, tidak main-main. Dia bisa dituduh membunuh seorang pembesar, seorang bangsawan tinggi kerabat istiana karena Hong-tai jin sepupu Pangeran Kou Cun!

Kun Bok menjublak dengan muka seperti di kapur, dan wanita cantik yang ada di sebelahnya itu mengerutkan kening. "Bok-kong,cu, kenapa kau membunuh Hong-taijin?" wanita ini berbisik lirih di dekat telinga Kun Bok dan putera Bu-tiong-kiam Kun Seng itu terkejut.

"Apa? Aku membunuh Hong-taijin? Ah, jangan main-main, nona, aku tidak sengaja...!" Kun Bok membelalakkan matanya marah tapi wanita itu membusungkan dadanya.

"Hm, sengaja atau tidak sengaja kau telah membuat Hong-taijin tewas, kongcu! Masa kau hendak mungkir?"

Kun Bok naik pitam. Dia memutar tubuhnya dan dengan sikap meradang dia menghardik, "Betul, akan tetapi itu semua karena gara-garamu, nona. Kalau kau tidak menyerangku tentu aku juga tidak kelewatan turun tangan! Apakah kau hendak menimpakan kesalahan ini kepadaku seorang diri?"

Wanita cantik itu terkekeh. Bok-kongcu, kau takut menerima tanggung jawabnya? Baiklah, katakan, aku saja yang membunuh kepala daerah itu dan kau boleh sembunyi di belakangku…!"

Kun Bok merah mukanya. Ejekan ini memanaskan telinganya dan dia memandang wanita ini dengan kemarahan ditahan. Gara-gara wanita inilah dia sampai kesalahan tangan, apakah dia harus diam saja? Tidak, dia harus membuat perhitungan dengan wanita. Maka Kun Bok lantas mencengkeram pundak wanita ini akan tetapi wanita cantik itu melejit.

"Eh, apa-apaan kau ini, Bok-kongcu?" wanita itu membentak marah namun Kun Bok tidak perduli. Dia tetap melompat maju dan dangan suara geram Kun Bok Was membentak,

"Nona cantik, kau telah melarikan barang Kwa-piauwsu, dan kini membuat gara-gara terbunuhnya Hoag-taijin. Apakah tidak bersedia menerima hukuman? Kau harus kubawa ke kota Ci-bun untuk mempertanggung jawabkan kesalahanmu!"

Tapi wanita cantik itu malah terkekeh geli. Bok- kongcu, kau bicara seperti anak kecil saja. Siapakah yang melarikan barang Kwa-piauwsu? ini barangku sendiri, bukan barang piauw-su she Kwa itu! Kenapa tidak menyelidiki terlebih dahulu?"

Kun Bok melengak. Dia terkejut mendengar keterangan itu akan tetapi karena mengira wanita itu hanya mengada-ada saja diapun tidak mau percaya. "Nona…"

"Stop! Kau kira aku membual, kan?" tiba-tiba wanita ini memutus omongannya. "Kalau kau tidak percaya boleh tanya pada yang bersangkutan, Bek-kongcu. Tuh, lihat... piauwsu she Kwa datang!"

Baru saja ucapan ini selesai dikatakan mendadak saja ketua Pek-ho-plauwkiok itu memang benar-benar datang. Piauwsu ini tampak tertatih-tatih, dan mukanya yang penuh keringat itu menunjukkan kelelahannya. Pundak yang patah sudah dibalut, tapi mulut yang menyeringai kesakitan itu masih belum reda. Dan melihat Kun Bok berhasil menahan kereta kawalannya, piauwsu ini tampak girang. Namun begitu dia melihat siapa yang melarikan keretanya ini piauwsu itu tiba-tiba nampak tertegun.

"Kau..?" piauwsu she Kwa itu terkejut dan wanita cantik di atas kereta terkekeh.

"Hi-hik, benar aku, Kwa-piauwsu. Kenapakah....?"

Kwa-piauwsu melenggong dan ketua Pek-ho-piauwkiok itu tampak terbelalak. Dia sama sekali tidak mengira bahwa penculik keretanya adalah wanita ini, maka tentu saja dia tidak mampu membuka suara. Dan wanita cantik yang terkekeh itu bertanya kepada piauwsu ini,

"Kwa-piauwsu, salahkah kalau aku mengambil kembali barang titipan yang hampir saja tidak mampu kau jaga ini?"

Piauwsu she Kwa itu tertegun. "He, kenapa tidak kau jawab, Kwa-piauwsu? Apakah salah kalau aku mengambil barangku sendiri?"

Ketua Pek-ho-piauwkiok ini akhirnya menelan ludah. "Nona, ini... ini… bagaimana bisa begitu? Aku memang hampir gagal, tapi aku juga sudah berjuang sungguh-sungguh untuk mempertahankan barang kawalan ini! Anak buahku tewas semua, dan kau sendiri tahu. Apa yang harus kukatakan?"

Wanita cantik itu tersenyum mengejek. "Ya, aku memang tahu. Dan kini gara-gara kecerobohan si penolongmu itu barang titipanku sudah menjadi mayat!"

"Eh, apa maksudmu, nona!" Kwa-piauwsu terkejut.

"Lihat saja sendiri! Untuk apa bertanya?" wanita itu menudingkan telunjuknya yang runcing ke dalam keteta dan piauwsu she Kwa itu melongok.

Dan begitu dia melongok tiba-tiba ketua Pek-ho-piauwkiok ini berseru kaget. "Astaga! Dia.... bukankah Hong-taijin, nona?"

Wanita itu menganggukkan kepalanya dengan mulut mencibir. "Tidak salah, Kwa-piauwsu, dia memang Hong-taijin. Aku hendak mengembalikannya ke dalam kota Ih-bun setelah dia mendapat ancaman seseorang yang hendak membunuhnya. Aku berhasii menyelamatkannya, tapi kini Bok-kongcu yang membunuhnya...!"

"Apa...?" Kwa piauwsu berteriak kaget. Bok-kongcu yang…"

"Tahan mulutmu, Kwa-piauwsu!" Kun Bok tiba-tiba membentak. "Bukan aku yang membunuh dia melainkan unsur ketidaksengajaan saja yang terjadi. Nona ini menyerangku, aku menangkis. Pedangnya terpental dan secara tidak sengaja melesat ke dalam kereta dan menancap ditenggorokan Hong-taijin!"

"Ahh…!" ketua Pek-ho-piauwkiok itu membelalakkan matanya dan wanita cantik di atas kereta tertawa.

"Memang betul begitu kejadiannya, Kwa-piauwsu. Apakah aku yang lalu hendak disalahkan?" wanita itu mengejek.

"Kalau begitu baiklah, aku yang akan bertanggung jawab!"

Kun Bok terpukul oleh kata-kata ini dan nemuda itu tiba-tiba mengedikkan kepalanya. "Tidak, Kwa-piauwsu!" dia berseru, "Aku bukan seorang pengecut. Bukan nona ini saja yang berani menghadapi kenyataan akan tetapi akupun juga berani. Kalau orang hendak menimpakan kesalahan ini kepadaku bolehlah, tapi duduk persoalannya juga harus dijelaskan!"

"Hi-hik, kalau begitu kita pikul berdua saja, Bok-kongcu. Bukankah, memang gara-gara kita berdua Hong-taijin lalu tewas? Eh, Kwa-piauwsu, antarkan jenazah Hong-taijin ini kepada keluarganya. Beritahu kepada mereka bahwa yang bertanggung-jawab dalam masalah ini adalah kami berdua, Bok-kongcu dan Bi Hwa!"

Kwa-piauwsu terkejut oleh ucapan itu namun karena Kun Bok sendiri juga tidak menyangkal maka piauwsu inipun tidak dapat berbuat apa-apa. Dia masih tertegun oleh peristiwa mendadak yang amat tidak diduga-duganya itu, dan dia sungguh tidak mengetahui bahwa isi kereta adalah seorang pembesar, Hong-taijin sendiri yang hendak diantar ke kota Ih-bun!

Maka dengan muka bingung dan mata keheranan piauwsu itupun lalu mengikuti petunjuk ini, membawa kereta yang berisi jenazah itu, sementara si wanita cantik sudah turun dari tempat duduknya dengan lenggang memikat. Dan piauwsu yang bingung serta gugup itu sampai lupa dengan tusuk konde segala macam yang sedianya akan dikembalikan kepada yang berhak!

Kereta kini berputar haluan, dan detak roda di atas tanah berbatu itu mendetakkan pula jantung Kwa-piauwsu yang terasa tidak karuan. Kuda mulai membalap dan debu di belakang mereka meninggalkan bayangan samar yang meinyimpan kebimbangan aneh di hati orang-orang yang bersangkutan.

* * * * * * * *

Kun Bok masih memandang kereta jenazah itu. Dia sendiri juga termangu-mangu, dan pemuda yang baru turun gunung ini berdebar-debar. Aneh sekali peristiwa yang dialaminya itu. Hong-taijin tanpa disangka-sangka tewas di tangannya, meskipun tidak disengaja. Dan wanita cantik yang menjadi gara-garanya itu berdiri memandangnya dengan senyum dikulum.

Kun Bak berdebar, dan pemuda ini mengalihkan perhatiannya. Terus terang dia menjadi dag-dig-dug berhadapan dengan wanita cantik yang begini memikat. Teringat kepada Bi Kwi yang juga amat menggairahkan serta menikat membuat dia terbayang kembali semua kemesraannya dengan gadis di dusun Lee-kim-chung itu. Dan Kun Bok menerawang pikirannya.

"He, kau melamunkan apa, Bok-kongcu?"

Teguran mendadak yang amat mengejutkan ini membuat Kun Bok terkesiap. Dia gelagapan oleh pertanyaan ini dan dengan muka merah memandang wanita cantik itu. Tapi yang dipandang tersenyum manis, dan wanita itu tiba-tiba menggoyangkan pinggulnya.

"Bok-kongcu, kenapa kau memandangku seperti itu?" wanita ini terkekeh. "Apakah teringat kepada Bi Kwi? Eh, dimana kau berjumpa dengan adikku itu? Apakah dia kurang ajar kepadamu, kongcu?"

Kun Bok menelan ludah. "Nona…!" "Ih, kenapa nona-nonaan segala, kongcu, Namaku Bi Hwa, kau sudah dengar itu. Mengapa, harus menyebut nona? Bi Kwi pasti kau sebut adik, dan akupun juga lebih muda darimu. Mengapa berat sebelah?" wanita itu, tertawa genit dan hati Kun Bok berdegupan.

"Ini…"

"Hm, ini apalagi, kongcu?" wanita itu menukas, "Diantara sahabat tidak perlu sungkan-sungkan lagi. Kau sahabat adikku, karena itu pula kaupun sahabatku! Atau apakah kongcu tidak suka bersahabat denganku?"

Kun Bok mati kutu. Kegenitan wanita ini dan kelincahannya bicara benar-benar membuat dia gelagapan. Akan tetapi teringat akan kematian kembali dia merasa tidak senang. Karena itu dia lalu memandang ragu ke arah wanita cantik ini dan Bi Hwa mengerlingkan genit.

"Ada apa, kongcu? Kau teringat kepada Hong-taijin? Ah, perduli amat. Pembesar itu sudah mampus, untuk apa dipikirkan lagi?"

Kun Bok terkejut. Ketajaman mata wanita ini yang dapat menebak tepat apa yang dipikirkan sungguh membuatnya terbelalak. Dan Bi Hwa yang cantik genit itu tiba-tiba terkekeh. Wanita ini memang sungguh mirip sekali dengan Bi Kwi, baik raut mukanya maupun potongan tubuhnya. Hanya bedanya, kalau Bi Kwi terutana indah matanya adalah Bi Hwa in menarik bibirnya. Dan satu lagi, kalau Bi Kwi suka menggerak-gerakkan tangan adalah Bi Hwa ini suka menggerak-gerakkan pinggul. Sungguh sama-sama merangsang!

Kun Bok berdebar oleh Pikirannya yang tiba-tiba melantur ini dan diam-diam dia merasa jengah. Kenapa sejak permainan cinta kasihnya bersama Bi Kwi dia suka memperhatikan pinggul wanita? Apakah dia kini menjadi mata keranjang? Ataukah gejolak nafsunya yang tidak mampu di tahan lagi akibat kegenitan Bi Kwi yang merangsang gairah berahinya? Kun Bok semakin berdebar dan wanita bernama Bi Hwa itu tiba-tiba melangkah maju.

"Bok-kongcu, kenapa kau diam saja? Apakah aku menyebalkan hatimu? Kalau besitu baiklah, aku pergi saja agar kau tenang kembali…!" Wanita itu benar-benar membalikkan tubuhnya dan dengan pinggul naik-turun dia meninggalkan Kun Bok!

Kun Bok terkejut, dan remuda ini melompat maju. "Nona, tunggu dulu...!"

Tapi wanita itu tidak mau berhenti. Ia malah mempercepat langkahnya dan dengan suara uring-uringan dia berkata, "Kongcu, jangan suruh aku behenti. Kau tidak mau diajak bersahabat, untuk apa bicara lagi...?" Dan dengan lenggang yang semakin aduhai wanita ini berlari kecil.

Kini Kun Bok benar-benar tertegun. Dia tidak tahu apa kesalahannya, maka sekali lagi dia berteriak, "Nona...!"

"Stop! Jangan panggil aku lagi, kongcu! Bi Kwi kau sebut adik sedangkan aku kau panggil nona. Sahabat macam apa ini?" wanita itu tiba-tiba memotong dan Kun Bok terkejut.

"Eh, Hwa-moi...!" akhirnya Kun Bok merobah sebutannya dan menghadang di depan, dan baru wanita itu menghentikan langkahnya. Ia berseri memandang Kun Bok, lalu dengan kerling tajamnya yang memikat wanita itu menjawab,

"Bok-kongcu, kenapa kau tunggu orang menjadi marah dahulu? Kalau sejak tadi kau memanggilku begitu pasti kita tidak saling pelotot seperti ini. Ih, apakah Bi Kwi tidak mengajarimu tentang watak-watak kaum wanita?"

Kun Bok memerah mukanya. Teguran Bi Hwa ini yang langsung ke sasarannya membuat dia gelagapan, akan tetapi wanita itu rupanya pandai melihat keadaan karena menyaksikan pemuda itu gugup Bi Hwa tiba-tiba tertawa lembut. Dia langsung memegang lengan Kun Bok tanpa malu-malu dan Kun Bok yang dipegang oleh jari yang lumer halus ini tersentak.

"Bok-kongu, kau hendak menanyakan sesuatu kepadaku, bukan? Nab, sekarang kesempatan itu kita punyai, mengapa tidak lekas bicara saja? Mari duduk dibawah pohon itu, kita bergembira...!"

Bi Hwa menyeret Kun Bok sambil tertawa dan Kun Bok sendiri yang mulai panas dingin ini agak menggigil, Bi Hwa sudah duduk tanpa malu-malu lagi dan Kun Bok yang setengah dipaksa duduk itu akhirnya menyerah juga. Mereka duduk berdampingan, semula agak saling menjauhi tapi Bi Hwa tiba-tiba merapatkan jubuhnya. Wanita ini tertawa genit, dan keharuman tubuhnya yang memancar keluar itu menyengat hidung Kun Bok.

"Bok-kongcu, kenapa sih kau malu-matu begini? Apakah kau tidak pernah bergaul dengan wanita?" pertanyaan yang seperti memperolok ini menggelapkan muka Kun Bok tapi pemuda itu tiba-tiba tertawa masam. Dia agak kikuk dengan sikap wanita ini, akan tetapi karena tidak mau dibilang canggung maka Kun Bok-pun nyengir dibuat- buat.

"Nona...eh, Hwa-moi!" Kun Bok membuka percakapan dengan gugup. "Kau aneh sekali cara perkenalannya denganku. Apakah betul kau ini kakak Bi Kwi? apakah kau tidak bohong?"

"Eh, kau ini meragukannya, kongcu? Astaga! Masa aku tidak mirip dengan adikku sendiri? Apakah bukti adanya Ceng Si dan Ceng Lan di dusun Lee-kim-chung tidak melenyapkan kecurigaanmu ini, Bok-kongcu? Wah, terlalu sekali. Memangnya aku wanita yang suka mengaku-aku enci Bi Kwi agar menjadi sahabatmu?" Bi Hwa membelalakkan matanya yang lebar itu dan Kun Bok naik turun jakunnya.

"Eh, bukan begitu, Hwa-moi. Kita kan baru kenal, bagaimana tidak beleh minta penjelasan? Maaf, bukannya aku tidak percaya tapi untuk melenyapkan keraguan di hatiku maka aku meminta keterangan. Tidak salah bahwa Ceng Si dan Ceng Lan ada di dusun Lee-kim-Chung, tapi dari mana kau bisa tahu semuanya ini, adik Hwa? Padahal, seingatku kau tidak pernah ke tempat Bi Kwi!"

"Hik-hik, memangnya aku harus laporan kalau ke tempat adikku itu, kengcu? Ih, kelewat sekali, Apanya yang harus diherankan? Bi Kwi memang adikku dan aku sering ke tempatnya secara diam-diam. Kau sering tidak ada di Kun- lun, pergi bersama ayahmu. Masa bisa tahu kedatanganku?"

Kun Bok terdiam. Dia memang merasa ada benarnya juga perkataan itu, akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan sesuatu. Dan sesuatu itu bukan lain adalah keadaan Bi Kwi dan Bi Hwa ini. Bi Kwi tidak bisa silat sedangkan Bi Hwa tampaknya lihai. Maka dia memandang heran ke arah Bi Hwa. "Eh, adik Hwa, kau kelihatannya pandai sekali bermain silat, bahkan tadipun aku hampir saja celaka di tanganmu. Tapi mengapa adikmu itu tampaknya lemah?"

"Hi-hik, kau mengira Bi Kwi itu gadis lemah. Bok-kongcu? Wah, bodoh sekali kau itu! Adikku itu hebat, dia tidak kalah denganku!"

"Eh..?" Kun Bok terkejut. "Begitukah?"

Bi Hwa mengangguk sambil tertawa ngikik. "Astaga, Bok-kongcu, kau ini pemuda macam apakah? Masa dikelabuhi adikku bisa saja? Wah, kita jewer nanti telinganya itu, adikku itu memang nakal...!"

Bi Hwa tertawa geli dan Kun Bok kembali merah mukanya. Entah mengapa, berhadapan dengan wanita-wanita macam Bi Kwi dan Bi Hwa ini dia merasa "mentah" sekali. Mereka itu cerdik-cerdik, dan sikapnya yang manis memikat serta lekuk tubuh yang indah menggairahkan itu serasa membuatnya mabok. Kun Bok tersipu-sipu dan Bi Hwa tiba-tiba bangkit berdiri.

"Bok-kongcu, apakah kau ingin bertemu dengan adikku?"

Kun Bok tersentak. "Dengan Bi Kwi maksudmu, adik Hwa?"

"Ya, tentu saja! Habis dengan siapa lagi?" wanita itu tertawa.

Kun Bok mendelong tapi tiba-tiba dia menekan debaran jantungnya ini. Pertanyaan Bi Hwa yang demikian langsung itu, sejenak membuatnya gugnp namun Kun Bok yang masin bersikap hati-hati dengan wanita ini tak segera menganggukkan kepalanya. "Adik Hwa." demikian akhirnya Kun Bok berkata, "Kalau saja aku bisa bertemu dengan Bi Kwi tentu saja hal itu amat menggembirakan. Akan tetapi sebelum kita kesana barangkali kulepaskan dahulu hal-hal yang masih ingin kuketahui darimu ini. Apakah engkau tidak keberatan?"

Bi Hwa tersenyum manis. "Ah, kau hendak mengajukan pertanyaan-pertanyaan, kongcu? Baiklah, aku akan menjawabnya. Pertanyaan apa yang ingin kau ketahui?" wanita itu menjatuhkan dirinya duduk kembali dan seperti tadi iapun tidak sungkan-sungkan merapatkan tubuhnya ke tubuh Kun Bok.

Kun Bok agak jengah, namun agar tidak dikira belum pernah bergaul dengan wanita diapun mendiamkan saja perbuatan Bi Hwa ini. Hanya sekarang dia agak berdegup, dan kelembutan serta kehangatan tubuh Bi Hwa itu membuat napasnya agak kencang. "Adik Hwa," Kun Bok memulai pembicaraannya, "Bagaimana kau bisa menaruh Hoag-taijin di dalam kereta? Dan apa maksudmu di dalam perbuatan yang amat aneh ini?"

Bi Hwa terkikik kecil. itu pertanyaan kecil, kongcu. Hong-taijin kusemhunyikan di dalam kereta sebagai kawalan barang adalah dikarenakan untuk menjaga keselamatannya. Dia diancam musuh, dan aku datang menyelamatkan. Pembesar itu kubawa ke kota Lam-king sebulan yang lalu, karena hanya di tempat itulah dia aman. Setelah musuhnya pergi, baru aku mengantarnya kembali melalui perantaraan Pek-ho-piauwkiok. Ada yang aneh?"

Wanita itu memandang sambil tersenyum dan Kun Bok menggelengkan kepala. "Agaknya tidak ada yang aneh, adik Hwa. Tapi bagaimana kau bisa kenal dengan pembesar itu?"

"Hm, ini karena ada hubungannya dengan pengawal pribadi pembesar itu. Pengawal ini meminta bantuanku, dan aku menyanggupinya. Hong-taijin adalah seorang kepala daerah, malah saudara sepupu Pangeran Kou Cien, mana bisa orang mengancamnya semena-mena?"

Kun Bok merenungkan jawaban ini, lalu tiba-tiba dia bertanya, "Siapakah musuh yang mengancam keselamatan Hong- taijin itu, adik Hwa?"

Bi Hwa mengerutkan alisnya yang menjelirit indah, "Wah, ini sebenarnya rahasia, Bok-kongcu. Akan tetapi mengingat parsahabatan kita biarlah kuceritakan kepadamu. Musuh Hong-taijin itu bukan lain adalah Fan-ciangkun, panglima muda yang menjadi kepercayaan Pangeran Kou Cien sendiri. Panglima itu menaruh kebencian tersembunyi terhadap Hong-taijin, dan kebenciannya yang tidak berdasar inilah yang membuat panglima itu hendak membunuh Hong-taijin secara diam-diam. Panglima itu konon telah mengirim seseorang ke kota Ih-bun, namun dia terpaksa gaga! Karena Hong-taijin sudah kularikan ke kota Lam-king!"

"Ah, begitukah, adik Hwa?" Kun Bok menjadi heran. "Lalu siapakah Fan-ciangkun itu? Aku belum pernah mendengar namanya!"

"Ih, kau agaknya kurang luas pengetahuan, kongcu!" Bi Hwa mentertawakan pemuda ini. "Masa Fan-ciangkun saja kau tidak kenal? Dia adalah orang kepercayaan Pangeran Kou Cien sekarang ini, dulu dia adalah tangan kanan Yap-goanswe! Atau kau juga tidak kenal siapa itu Yap-goanswe?"

Bi Hwa tersenyum lebar dan Kun Bok merah mukanya. "Ah, Pendekar Gurun Neraka itu maksudmu, adik Hwa?"

"Ya, bekas jenderal muda yang sombong itu!"

Bi Hwa menganggukkan kepalanya dan Kun Bok terkejut "Sombong?" pemuda ini terbelalak. "Apakah dia sombong, adik Hwa?"

"Apa bukan sombong lagi, kongcu, tapi sudah kelewat tekebur...!" Bi Hwa melanjutkan dengan suara gemas dan Kun Bok yang mendengar jadi melenggong.

Dia tidak tahu mengapa wanita ini nampaknya marah kepada bekas jenderal muda yang dia dengar amat lihai itu, akan tetapi karena dia tidak perlu bertanya maka Kun Bok-pun merasa tidak ada urusan. Hanya diam-diam dia merasa heran. Sepengetahuannya, Yap-goanswe ini adalah seorang yang gagah perkasa, jujur dan penuh wibawa. Bagaimana bisa dikata sombong? Apakah Bi Hwa ini pernah mengalami sakit hati kepada pendekar muda itu? Kun Bok tidak bertanya dan dia kembali pada persoalan semula.

"Adik Hwa, lalu atas dasar apakah kebencian Panglima Fan itu terhadap Hong-taijn? Bukankah mereka sama-sansa pembantu Pangeran Kou Cien yang sekarang menjadi raja muda itu?"

Bi Hwa tersenyum hati-hati. "Kabarnya karena Hong-taijin membantu musuh panglima kongcu, membantu karena merasa di pihak yang benar."

"Hm, membantu apa? Dan siapa yang dibantu."

"Perkumpulan Hiat-goan-pang."

"Hiat-goan-pang?"

"Ya."

Kun Bok terkejut bukan main dan pemuda ini tiba-tiba tertegun. Diingatkan tentang nama perkumpulan ini seketika dia jadi teringat akan pembunuh anak buah Pek-ho piauwkiok, orang yang tiba-tiba melarikan diri setelah melihat kedatangannya itu. Apakah sebenarnya rahasia yang tersembunyi di balik peristiwa ini? Kun Bok mendelong dan Bi Hwa yang duduk di sampingnya menarik halus.

"Kenapa, kongcu? Kau sudah pernah mendengar nama Hiat-goan-pang?"

Kun Bok menoleh kaget. "Belum, adik Hwi. tapi... senjata gelang yang dipakai orang berkedok hitam itu serasa pernah aku melihatnya, tidak asing. Tapi di mana Aku lupa mengingatnya....."

Pemuda ini termangu-mangu dan apa yang dikatakan itu memang betul. Dia serasa pernah melihat senjata gelang berdarah itu, tapi di mana dan waktunya kapan Kun Bok sudah tidak tahu lagi. Dia tidak ingat, betapa di kamar Bi Kwi dia melihat benda itu untuk pertama kalinya. Dan Bi Hwa yang melihat orang melamun tampak tersenyum penuh arti.

"Bok-kongcu, apakah yang hendak kau tanyakan lagi?"

Kun Bok termenung. "Agaknya Sudah cukup, Hwa-moi, tapi siapakah orang berkedok itu? Mengapa dia melarikan diri begitu melihat kedatanganku?"

Bi Hwa tiba-tiba tertawa. "Dia tentu saja orang Hiat-goan-pang, kongcu, Mengapa ditanyakan lagi? Dan bagaimana pendapatmu tentang perkumpulan Gelang Berdarah itu?"

Kun Bok bangkit berdiri. "Agaknya Hiat-goan-pang adalah perkumpulan iblis, adik Hwa! Dan kalau semua anggautanya seperti itu tentu mengerikan sekali!"

"Hik-hik, kau terlalu cepat menjatuhkan kesimpulan, kongcu. Mana bisa sebuah perkumpulan tingkah laku seorang anak buahnya? Kalau mereka semua begitu memang tidak salah tapi bagaimana kalau sebaliknya? Perbuatan seorang anggauta tidak boleh dijadikan pedoman untuk menjatuhkan vonis terhadap sesuatu perkumpulan. Dan Hiat-goan-pang kukira bukanlah perkumpulan keji!"

"Maksudmu?" Kun Bok terkejut.

"Kau akan kuperkenalkan dengan seseorang, kongcu, dan terus terang dia juga anggota Hiat-goan-pang. Aku yakin setelah kau mengetanui sebab-sebab yang dilakukan oleh anggauta-anggauta perkumpulan ini maka pemikiranmu tentang Hiat-goan-pang pasti berobah! Apakah kongcu ingin membuktikannya?"

Kun Bok terbelalak. "Adik Hwa, kau tampaknya membela sekali perkumpulan Hiat-goan-pang ini, Apakah kau juga anggautanya?"

Bi Hwa tersenyum rahasia. "Bolehlah disebut simpatisannya, kongcu," jawabnya diplomatis.

Dan Kun Bok yang mendenyar jadi tertegun. Pemuda itu memang belum tahu betul bagaimana dan macam apakah sebenarnya Perkumpulan Gelang Berdarah ini. Dan dia yang baru sekarang ini turun gunung seorang diri memang jadi ingin tahu. Karena itu ketika Bi Hwa merawarkan kepadanya untuk diperkenalkan dengan seorang lain dari perkumpulan itu dia menjadi berdebar. Melihat sepak terjangnya si orang berkedok hitam boleh jadi perkumpulan Hiat-goan-pang adalah perkumpulan iblis. Akan tetapi karena perbuatan seorang anggota memang tidak bisa dijadikan patokan untuk menilai perkumpulannya, maka diapun juga tidak berani tergesa-gesa menyatakan pikirannya.

Bi Hwa ini menarik perhatiannya. Wanita itu serasa menyembuyikan banyak rahasia. Dan dia yang ingin mengetahui segalanya itu jadi terangsang. Apalagi oleh kesanggupan wanita yang ingin mempertemukan dengan Bi Kwi. Dan teringat kepada Bi Kwi membuat perasaan Kun Bok berdebar. Kekasihnya itu ternyata mengelabuhinya, berpura-pura sebagai gadis lemah. dan dia ingin membuktikan kebenaran ucapapan Bi Hwa ini! Apakah betul Bi Kwi pandai silat?

Bi Hwa tiba-tiba menyambar lengannya. "Bok-kongcu, apakah kau bersedia memenuhi permintaanku? Ataukah kau takut mendengar nama, Hiat-goan-pang ini?"

Ketawa Bi Hwa yang sedikit mengejek itu membuat telinga Kun Bok meerah akan tetapi dengan tegas dia menggelengkan kepalanya, "Tida adik Hwa, aku tidak takut segala macam perkumpulan apapun! Akan tetapi, bukankah sebelumnya kau ingin membawa aku kepada Bi Kwi?"

Bi Hwa tekekeh geli„ "Ih, kau sudah rindu dengan adikku itu, kongcu? Hm, berapa lama sudah kalian berpisah? apakah sudah ada setahun?"

Kun Bok seperti udang rebus. Dia menjadi malu dengan godaan ini, namun Bi Hwa yang genit menggairahkan itu tahu-tahu sudah menarik tangannya. Pinggul yang digoyang tiba-tiba dipukulkan ke pantatnya dan ssambil terkekeh Bi Hwa berseru, "Bok-kongcu, hayo kita ke kuil Ban-se-tong! Adikku pasti ada di sana…!" dan sambil tertawa-tawa wanita itu menyeret Kun Bok yang patuh saja dibawa dengan muka merah padam itu.

Putera si jago pedang itu tersipu gugup, dan entah mengapa dia menjadi seperti orang mabok. Kaki yang melangkah ringan seakan-akan melayang dan genggaman Bi Hwa yang menyalurkan getaran lembut itu menggetarkan jiwanya. Sikap Bi Hwa yang demikian bebas dan penuh kegenitan itu menggejolakkan nafsu birahinya, akan tetapi Kun Bok yang baru kenal itu menahan diri. Dia masih ingat kedudukannya, kedudukan putera seorang jago pedang!

* * * * * * * *

Sore itu, mereka memasuki sebuah hutan, tidak begitu besar, tetapi cukup lebat kelihatannya. Dan Bi Hwa yang mengajak Kun Bok memasuki hutan ini tampak berhati-hati. Mereka sudah sehari penuh berjalan cepat, dan Kun Bok yang diam-diam mencoba kepandaian ilmu lari cepat teman seperjalanannya itu merasa terkejut. Ternyata Bi Hwa ini memiliki kepandaian tinggi. Ginkangnya tidak kalah oleh ginkang yang dimilikinya, dan kalau Bi Kwi dikatakan memiliki kepandaian tidak kalah oleh encinya, ini sungguh hal yang mengejutkan sekali.

Tapi, kenapa Bi Kwi merahasiakan kepandaiannya? Ada apa kekasihnya itu berpura-pura lemah? Inilah Kun Bok tidak mampu menebaknya. Dia hanya terheran-heran oleh semua kenyataan itu, dan ajakan Bi Hwa yang hendak mempertemukannya dengan Bi Kwi itu sungguh mendebarkan hatinya. Kini mereka sudah tiba di mulut hutan. Bi Hwa yang berjalan disampingnya tiba-tiba mengendurkan langkah dan wanita cantik ini memegang tangan Kun Bok.

"Kongcu," Bi Hwa berseru lirih, "Kita harus berhati-hati memasuki hutan ini. Di dalam banyak bahaya dan aku tidak ingin kau celaka, berpeganglah erat-erat pada tanganku dan setiap suara atau gerakan apapun yang mencurigakan hatimu, jangan ditanggapi! Dengarkah kau?"

Kun Bok menganggukkan kepalanya. "Baik adik Hwa, tapi bahaya apa saja yang kau maksudkan di sini? Apakah binatang buas?"

Bi Hwa menggelengkan kepalanya. "Itu hanya salah satu di antaranya, kongcu, tapi tidak begitu berarti. Yang penting kau diamlah turuti segala perintahku dan semuanyapun pasti selamat!"

"Hm, begitukah?" Kun Bok mengangkat bahunya dan dengan sikap seolah-olah tidak perdulian dia mengikuti wanita itu memasuki hutan. Tapi sebenarnya, dengan penuh kewaspadaan memasang mata dan telinga serta seluruh getaran rasanya untuk mengetahui setiap gerak-gerik yang mencurigakan hatinya.

Bi Hwa sudah tidak bicara lagi, dan mereka berdua sudah memasuki hutan lebat ini. Keadaan yang gelap serta lembab mulai mereka injak. Tapi Bi Hwa rupanya tenang tenang saja. Wanita cantik itu melangkah hati-hati dan Kun Bok melihat setiap langkah dari wanita ini rupanya memiliki perhitungan tersendiri.

Kaki Bi Hwa tau tidak pernah melangkah melebihi sepuluh tindak, karena setiap tujuh delapan langkah ia pasti membelok, entah ke kanan atau ke kiri. Dan Kun Bok yang diam-diam mengikuti gerak-gerik temannya ini mendapatkan kenyataan bahwa langkah kaki Bi Hwa itu mengandung unsur-unsur Pat-kwa atau langkah segi delapan. Dia terheran, namun Kun Bok diam saja.

Mereka sudah menginjak seratus langkah memasuki hutan itu dan tiba-tiba sebuah pekik parau mengejutkannya dari lamunan. Kun Bok tersentak dan seekor gorilla sekonyong-konyong berada di depan mereka dalam sebuah bayangan gelap. Binatang ini menerkam buas, dan jarak tiga meter itu sungguh membuat Kun Bok terkesiap. Secara refleks pemuda ini menggerakkan tangan, tapi tiba-tiba Bi Hwa mencekal tangannya itu dengan kuat.

"Bok-kongcu, jangan ditanggapi!' demikian wanita itu berbisik lirih di dekat Kun Bok. Dia yang ditahan lengannya itu terkejut sekali. Gorila ini kukunya sudah di depan mata, bagaimana Bi Hwa melarangnya seperti itu?"

Tapi sebelum dia membantah sekonyong-konyong satu peristiwa ajaib datang memberikan jawaban. Gorilla yang sudah menubruk maju itu mendadak berteriak, dan tangan berbulu yang sudah diajukan ke depan dengan kuku-kukunya yang mengerikan itu sekonyong-konyong terhenti di tengah jalan. Suara "blub" yang aneh terdengar, dan Kun Bok melihat binatang buas ini terjerembab di atas tanah.

Entah bagaimana terjadinya, Kun Bok tidak tahu. Mendadak saja lumpur pekat bermuncratan di depan mukanya dan gorila yang terjatuh itu meraung dengan tubuh menggelepar. Kepala yang tadi menengadah itu sekonyong-konyong semakin memandek, dan pekik yang penuh kengerian serta ketakutan dari binatang itu membuat Kun Bok terbelalak. Kiranya baru dia tahu bahwa binatang ini terjerembab diatas lumpur atau tepatnya rawa berlumpur dan gerakan kacau dari gorila ini telah mengakibatkan binatang ini melesak semakin dalam dan tidak dapat ditolong lagi.

"Ah, rawa berbahaya…!" Kun Bok mendesis dengan muka pucat dan pemandangan yang mengerikan di depannya itu membuat pemuda ini tertegun.

Gorila yang berteriak-teriak itu sudah terbenam tiga perempat lebih dalam sekejap saja dan gerakan yang penuh ketakutan itu akhirnya membuat binatang ini sebentar saja telah kehilangan segala-galanya. Kepala yang tadi nongol dengan mulut meraung itu kini tidak tampak lagi dan gema yang melengking terakhir kalinya dari binatang ini sempat menggetarkan isi hutan.

Kini semuanya sudah sunyi kembali, dan Kun Bok yang masih tertegun di tempatnya dengan muka pucat itu serasa mendapat mimpi buruk. Dia baru tersentak ketika Bi Hwa tiba-tiba menyendal lengannya, dan wanita cantik yang selalu mendampinginya ini tersenyun penuh rahasia. Bi Hwa sama sekali tidak menunjukkan rasa ngerinya, dan wanita cantik itu tampak dingin-dingin saja.

"Bok-kongcu, kau sudah mulai membuktikannya, bukan? Nah, karena itu ikutilah samua petunjukku. Kita masih banyak mendapatkan rintangan, tapi asal kau tidak gegabah pasti semuanya berjalan baik. Mari berjaian kembali...!" Bi Hwa meriarik tangan pemuda itu dan dengan langkahnya yang pasti namun penuh perhitungan wanita ini mengajak Kun Bok meneruskan perjalanannya.

Kun Bok masih termangu-mangu, dan rasa ngerinya mengingat nasib gorila tadi belum dapat dilenyapkan begitu saja. Akan tetapi setelah Bi Hwa mengajaknya berjalan lagi dan satu demi satu peristiwa-peristiwa baru kembali mereka alami sekaranglah Kun Bok benar-benar percaya. Ternyata apa yang dikatakan Bi Hwa itu tidak salah, banyak bahaya yang berada di depan mereka. Karena setelah peristiwa dengan gorila tadi selesai berturut-turut muncullah kejadian-kejadian lain yang tidak kalah mengerikannya.

Pertama-tama mereka dihadang sekelompok ular, bukan ular sembarang ular melainkan ular-ular beracun. Itu dibuktikan Kun Bok dergan rasa pening kepalanya yang tiba-tiba saja muncul setelah dia mencium bau amis dari semburan-semburan uap mereka yang mendesis-desis dengan lidah keluar masuk. Mengerikan sekali, tapi Bi Hwa ternyata tenang-tenang saja. Wanita ini malah terkekeh melihat Kun Bok terbelalak dengan muka lebih pucat dibanding dengan pertemuannya dengan gorila buas itu, dan dengan tenang Bi Hwa menaburkan bubuk putih di depan kakinya sepanjang perjalanan.

Aneh sekali. Ular-ular itu sekonyong-konyong menyingkir, dan satu jalan setapak yang lurus panjang terbentang di depan mereka. Bi Hwa tenang-enang saja melangkah, tapi Kun Bok yang berjalan di belakang wanita dengan ratusan ular di kiri kanannya membayangkan kemungkinan dipagut tanpa dia sendiri sempat mengelak sungguh terlampau mengerikan bagi Kun Bok.

Tapi untunglah, mereka temyata selamat tiba di seberang perjalanan dan Bi Hwa yang melihat muka pucat pemuda itu tersenyum geli. Dia tidak menggoda Kun Bok lagi, melainkan terus melangkah menuju ke depan. Tanah lapang yang berumput alang-alang kini merupakan rintangan ke dua, kelihatannya tidak ada apa-apa namun Kun Bok terkesiap ketika mendadak saja terdengar suara mencicit gaduh seperti tikus digebah.

Tadinya Kun Bok mengira benar-benar sebangsa tikus atau semacamnya yang kali ini mereka hadapi, tapi ternyata bukan, bahkan sama sekali di luar dugaan. Apa kalau begitu yang dilihat Kun Bok? Bukan lain kadal-kadal berbisa yang kepalanya bertanduk tunggal, kadal sebesar lengan orang dewasa yang lidahnya berwarna biru kehitaman, kadal yang di pegunungan Himalaya terkenal sebagai kadal tanduk beracun.

Tantu saja Kun Bok terkejut setengah mati melihat kadal-kadal yang bermunculan dari tengah alang-alang itu dan mata mereka yang kecil merah seperti api itu jelas menyinarkan kebuasan yang tidak kalah dengan ular-ular berbisa atau gorila pertama yang mereka jumpai!

Tapi untuk Bi hwa yang rupanya telah mengenal baik tempat berbahaya ini, melangkah saja terus kedepan. Dia menyibak-nyibak rumput alang-alang yang tinggi. Sambil berjalan wanita ini menyemprotkan cairan kuning yang berasal dari sebuah buli-buli seperti tempat arak dan bau yang sangat tajam segera keluar memenuhi padang berumput. Kadal-kadal yang saling mencicit dan tampaknya siap menyerang mereka itu sekonyong-konyong mengenduskan hidung mereka, menjilat-jilat seperti anjing mendapat air dan tiba-tiba berlari ketakutan membalikkan tubuh menjauhi Bi Hwa!

Kun Bok terbelalak dan dia heran bukan main menyaksikan kelihaian Bi Hwa menundukkan binatang beracun itu. akan tetapi Bi Hwa sendiri yang dipandang kagum tampak tenang-tenang saja. Dia seolah-olah tidak tahu pandangan Kun Bok ini, hanya kepala yang kini sedikit tetadah itu menunjukkan bahwa wanita cantik itu diam- diam merasa bangga bahwa dirinya dikagumi seorang putera jago pedang terkenal.

Dan Kun Bok yang selalu mengintil di belakang Bi Hwa ini semakin terheran-heran. Di Samping ketiga macam biaatang buas pertama, ternyata di dalam hutan itu masih terdapat banyak sekali macam binatang-binatang lain, semuanya berbahaya. Mulai dari kelabang kaki hijau sampai harimau kumbang yang siap di atas pohon untuk menerkam mereka.

Tapi Bi Hwa selalu berhasil menghalau mereka, entah dengan bubuk atau cairan penolaknya, sampai tentang pengetahuannya tentang jebakan-jebakan berbahaya yang sama sekali tidak disangka. Seperti harimau kumbang itu misalnya. Bi Hwa tidak melawannya dengan bubuk penolak atau cairan kuningnya seperti ketika menghalau kadal beracun, melainkan memasang diri sedemikian rupa sehingga raja hutan itu terjerumus kedalam sebuah jebakan yang penuh pisau-pisau tajam di dalamnya.

Harimau kumbang itu terjeblos dalam sebuah sumur buatan yang didalamnya dipasangi pisau-pisau belati yang banyaknya ratusan buah! Tentu saja raja hutan itu terpekik mengerikan. Elakan Bi Hwa yang sedemikian manisnya dan sengaja memasang diri dipinggir sumur maut itu membuat sang raja hutan mengalami bencana, seperti disate didalam lubang perangkap, dan seluruh tubuh bagian bawahnya amblas tertusuk pisau. Mengerikan!

Kun Bok hanya dapat menggeleng kepala melihat semua kejadian itu dan sekarang maklumlah dia bahwa Bi Hwa rupanya wanita yang amat lihai sekali, karena di samping lihai juga rupanya wanita itu amat cerdik dan berbahaya, mengenal baik tempat yang mereka masuki ini dengan cermat, kecermatan seseorang yang agaknya menjadi penghuni tempat itu, seseorang yang mengenal baik rumah tinggalnya sendiri!

Kun Bok tersentak oleh pikiran "rumah-sendiri" itu dan dengan kaget tiba-tiba dia memandang Bi Hwa yang berjalan tenang ini. Betulkah hutan itu "rumah sendiri" bagi Bi Hwa, tempat tinggalnya? Kalau tidak betul, lalu bagaimana wanita ini bisa mengetahui semua keadaan di situ dengan amat baiknya? Kun Bok terkejut oleh jalan pikirannya ini dan dengan jantung berdegup dia teringat akan kuil Ban-se-teng yang akan mereka datangi itu. Kuil ini dia tidak tahu letaknya di mana, dan juga dia tidak tahu mengapa mencari Bi Kwi kok harus ke kuil itu. Ada apakah?

Tapi tiba-tiba dia tertegun. Bi Hwa yang dipandang mendadak menoleh, menyambar lengannya dan berbisik, "Bok-kongcu, awas tundukkan kepalamu itu, kita memasuki, daerah terlarang, Pulau Surga…!"

Seruan perlahan itu membelalakkan Kun Bok dan putera jago pedang dari Kun-lun ini tercengang. Apa yang dilihat? Ternyata suasana baru yang serba mengherankan. Karena kalau tadi mereka memasuki hutan gelap dan menyelinap diantara pepohonan yang tinggi besar dengan daun-daunnya yang lebat, sekarang tiba-tiba saja di depan mereka terbentang sebuah telaga kecil yang airnya jarnih kebiruan. Dan di tengah-tengah telaga itu, tampak agak sedikit jauh, berdirilah sebuah kelenteng dikelilingi tiga rumah baru yang bercat kuning muda!

"Astaga...!" Kun Bok tertegun dan Bi Hwa yang menyambar lengannya itu sudah menekan pundaknya dengan desah perlahan menunjukkan keganjilannya. Dan di tengah-tengah telaga itu, tampak agak sedikit jauh, berdirilah sebuah kelenteng dikelilingi tiga rumah baru yang bercat kuning muda! Kun Bok terheran, dan dia memandang wanita itu yang tiba-tiba menghentikan langkah. "Ada apa, adik Hwa?" tanyanya lirih.

Bi Hwa mengerutkan alis, dan wanita itu tampak curiga. "Ada sesuatu yang luar biasa di Pulau Surga, kungcu, sesuatu yang belum kuketahui...."

"Ah, apa itu? Dan Pulau Surga katamu?"

"Ya, pulau kecil di tengah-tengah telaga itu. Perahunya tidak ada!"

"Perahu? Perahu apa…?" Kun Bok menjadi bingung tapi Bi Hwa tiba-tiba sudah menarik tangannya dengan sikap tergesa-gesa.

"Kita mengitari pulau, kongcu, kita periksa apa yang sedang terjadi…!" wanita itu hanya menjawab pendek dan Kun Bok yang tidak mengerti apa-apa itu menurut saja diseret Bi Hwa.

Tidak seperti tadi ketika memasuki hutan yang lebat dan berbahaya itu, adalah sekaraag Bi Hwa menggunakan langkah-langkan Pat-kwa lagi seperti semula. Wanita ini berlari cepat dengan cara biasa dan telaga kecil yang airnya jernih kebiruan itu sekejap saja sudah mereka kitari. Ternyata, mereka sekarang berada di belakang kelenteng besar yang berdiri tegak di tengah-tengah telaga itu, dan Bi Hwa yang semula tampak tegang kini kelihatan berseri mukanya.

"Ah, perahu itu ada…!" Bi Hwa berseru lega dan akhirnya wanita itu menudingkan jarinya yang lentik ke seberang telaga di belakang kelenteng dengan suara gembira.

Kun Bok mendelong tapi dia tidak memberikan komentar atas kegembiraan teman barunya ini. Sebuah perahu memang ada di kejauhan sana, namun Kun Bok yang sama sekali belum mengerti tentang maksud Bi Hwa itu merasa terheran-heran saja. Maka diapun lalu bertanya,

"Adik Hwa, apa hubunganmu dengan terdapatnya perahu itu? Dan kelenteng siapa pula yang berada di tengah-tengah telaga itu...?"


Pendekar Kepala Batu Jilid 16

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 16
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pendekar Kepala Batu Karya Batara
DAN piauwsu lain yang tadi hanya mendengarkan saja itu kini tiba-tiba juga berteriak ramai mendorong permintaan waktu istirahat yang diperpanjang ini agar dikabulkan oleh pemimpin mereka. Kwa Ek menaikkan keningnya, dan ketua Pek-ho-piauwkiok itu tampak marah.

"Saudara-saudara…!" sang ketua itu membentak. "Kita tidak boleh memanjakan diri! Bukankah sejak semula kita semua telah saling sepakat untuk bekerja tak mengenal lelah? Kalau kalian benar penat, baiklah, aku memperpanjang waktu istirahat kita. Akan tetapi bukan setengah jam melainkan hanya seperempat jam saja! Siapa tidak setuju...?"

Pemimpin Pek-ho-piauw-kiok ini memandang semua anak buahnya dan para piauwsu itu kelihatan mengkeret. Song Kai sendiri yang dipandang paling lama oleh sang pemimpin ini sendiri tita-tiba merundukkan mukanya, karena piauwsu itu merasa tidak enak mendapat kemarahan ketuanya ini.

Akan tetapi Kwa Ek adalah ketua bijaksana, karena melihat anak-anak buahnya sama terdiam ketakutan seperti itu diapun menjadi reda. Dia memandang Song Kai yang menjadi gara-gara, dan bekas murid Khong-thong itu berkata, "Song Kai, karena kau yang meminta untuk teman-temanmu ini maka kaulah yang kutugaskan untuk menjaga kereta. Saudara-saudara yang lain boleh istirahat, dan aku bersama Song Kai mengawasi barang titipan. Aku didepan kereta sedangkan Song Kai di belakang…!"

Kepala piauwsu itu melompat turun dari kudanya dan Song Kai-pun mengangguk. Dia memang harus konsekwen dengan ucapannya sendiri, maka perintah sang ketua itupun dipatuhinya. Para piauwsu yang lain sudah meninggalkan kudanya masing-masing sedangkan dua orang ini lalu berjaga di atas kereta. Kwa Ek duduk di tempat kusir sambil mengawasi semua anak buahnya yang turun minum dan berteduh, sedangkan Song Kai berada di belakang duduk bersandar di samping roda.

Keadaan kini menjadi berisik, karena para piauwsu itu satu sama lain saling mengeluarkan bekal masing-masing dan minum sambil makan bekal roti kering. Mereka tampak gembira, mendapakan istirahat yang tidak begitu lama ini, namun hanya Kwa Ek seorang yang tidak tenang di tempat duduknya.

Ketua Pek-ho-piauwkiok ini selalu memutar matanya, karena sebagai piauwsu berpengalaman tiba-tiba mendapat firasat mencurigakan. Ada sesuatu yang mengusik perasaannya dan piauwsu itu bersikap waspada. Kegembiraan anak-buahnya tidak mampu menggeser firasat buruk yang diterimanya, karena itu kepala Pek-ho-piauwkiok ini menjadi tidak nyaman sekali.

Lima menit sudah keadaan berlalu, dan temyata keadaan tenang-tenang saja. Para piauwsu yang sudah makan minum kini membaringkan tubuhnya di atas rerumputan, dan mereka itu mulai bicara ngalor-ngidul sambil.sesekali diseling ketawa kecil. Tidak membuat gaduh, namun entah perasaan tidak enak di hati ketua perusahaan ekspedisi ini menjadi semakin tidak tenang.

Suasana lembah yang sejuk semilir beberapa orang piauwsu menguap, namun mereka adalah piauwsu-piauwsu terlatih. Meskipun mata rasanya ingin dipejamkan tapi piauwsu-piauwsu itu tidaklah terlena. Mereka tetap tergolek santai di atas tanah, namun sewaktu-waktu dapat saja urat syaraf mereka dikejutkan oleh sesuatu kejadian yang mungkin tidak berarti. Oleh gigitan seekor semut api umpamanya, ataupun oleh sebab-sebab lain.

Dan hal yang seperti itu ternyata terjadilah. Sebuah pekik mengerikan yang memecahkan lembah sekonyong-konyong meletus, dan ringkik serta sepak kuda yang terikat di batang ponon mengejutkan semua orang. Para piauwsu seperti disengat lebah, dan tubuh yang tadi berbaring-baring santai di tanah rerumputan itupun melompatlah. Mereka berteriak kaget, dan suara yang berasal dari kereta barang itupun segera diburu!

"Song Kai...!"

Semua piauwsu berteriak ngeri dan seperti orang disambar petir para piauwsu ini menjublak di belakang kereta. Kiranya Song Kai, si piauwsu muda yang tadi berjaga di tempat sudah tewas dengan mata mendelik. Pembantu Kwa Ek itu tampak tergolek di samping roda kereta, dan sebuah gelang berwama merah menancap di dada kirinya!

"Hiat-goan-pang...!" ketua Pek-ho-piauwkiok itu berseru tertahan dan semua piauwsu terbelalak pucat. Teriakan perlahan yang diserukan oleh pemimpin mereka itu cukup membuat perasaan terguncang, dan entah dari mana datangnya tahu-tahu di depan mereka muncui seorang laki-laki yang terkekeh geli memandang mereka.

"Heh-heh, kalian sudah mengenal nama Hiat-goan-pang, para sahabat? Bagus, itu menolong jiwa kalian! Eh, Kwa-piauwsu, bukankah semakin dekat dengan tempat tujuan, berarti kita harus semakin berhati-hati? Ha-ha, pendapatmu ini benar, Kwe-piauwsu, dan aku setuju sekali. Wilayah Hong-taijin memang aman, akan tetapi aman itu sendiri belum tentu berarti tidak keruh. Dan kiriman barang untuk Hong-taijin ini bukankah berasal dari seorang wanita muda, piauwsu? Nah, aku datang untuk menjemput kiriman ini…!"

Laki-laki itu memandang Kwa-piauwsu dan ketua Pek-ho piauwkiok ini terbelalak. Dia memandang pendatang baru ini dengan muka merah, akan tetapi orang yang dipandang itu tenang-tenang saja. laki-laki ini mengenakan kedok hitam, dan raut mukanya yang disembunyikan itu tidak tampak. Hanya tanda pengenal di dada kiri bergambar gelang berdarah itulah yang merupakan satu-satunya tanda yang dijadikan pegangan oleh kepala Pek-ho piauwkiok ini untuk meluapkan kemarahannya.

"Kau dari Hiat-goan-pang, sahabat?" ketua piauwkiok ini membentak.

Dan orang yang ditanya itu mengangguk, "Benar, Kwa-piauwsu. Ada apakah?"

Jawaban yang tidak memandang mata itu membuat sang pemimpin Pek-ho piauw-kiok mengepal tinju, akan tetapi piauwsu she kwa itu masih menahan diri. Dia tidak segera turun tangan, namun kembali bertanya dengan kemarahan dikekang, "Dan apa maksudmu datang kemari lalu membunuh seorang anak buahku?"

Laki-laki itu tertawa. "Kwa-piauwsu, sudah kukatakan tadi bahwa aku datang kemari karena hendak menjemput barang kiriman untuk Hong-taijin ini. Dan karena anak buahmu itu menjemukan maka terpaksa dia kubunuh. Pembantumu itu ketiduran, padahal kau memerintahkannya untuk berjaga. Nah untuk anak buah macam begini buat apa dipakai lagi? Daripada kau melelahkan diri, maka aku tadi mewakilimu menghukum dia. Apakah kau tidak senang Kwa-piauwsu?"

Orang berkedok itu memandang dengan sikap seenaknya dan pemimpin Pek-ho piauwkok itu gusar bukan kepalang. "Sahabat dari Hiat-goan-pang, ada permusuhan apakah diantara kami dengan kalian?"

"Eh, permusuhan…?" orang itu terbelalak keheranan. "Tidak ada, Kwa-piauwsu, malah justeru kita ini sedang menggalang persahabatan. Bukankah Kwa-piauwsu ingin bertemu lagi dengan pengirim barang ini? nah, ia menantimu Kwa-piauwsu, bukan di gedung Hong-taijin melainkan di suatu tempat yang tentu akan menggembirakanmu. Kini wanita itu memerintahkan aku untuk menerima kiriman barang ini, karena Hong-taijin keburu meninggal dunia karena sakit jantungnya yang kumat!"

Orang itu kembali tertawa dan Kwa-piauwsu berdetak kaget. Omongan orang tentu saja tidak dipercayainya, akan tetapi perkataan laki-laki berkedok tentang keinginannya bertemu dengan si pengirim barang ini memang tidak salah. Seminggu yang lalu ia kedatangan seorang wanita cantik, sikapnya genit, tetapi royalnya bukan main. Dan wanita itu minta kepadanya agar mengirimkan barang ke tempat Hong-taijin. Bayarannya tinggi, tetapi dia tidak diperbolehkan mengetahui apa barang yang hendak dikirim.

Karena dia juga sudah biasa menerima permintaan semacam itu dari langganan-langganan yang lain, Kwa-piauwsu ini tidak menolak dan dia juga tidak menaruh curiga. Terlalu banyak sebab-sebab yang bisa terjadi. Umpamanya barang yang dikirim berupa emas permata atau benda-benda berharga lainnya yang bernilai tinggi.

Dan karena si pengirim khawatir, perusahaan ekspedisi akan berbuat curang dan menjadi "hijau‘ matanya melihat barang-barang berharga, maka si pemilik barang lalu mengajukan syarat seperti itu. Ini bisa saja menjadi perumpamaan. Dan kalau sebab itu bukan begitu, tentu ada sebab-sebab lain yang dia sendiri segan menyatakannya. Bagi Kwa-piauwsu, dia tidak ambil pusing untuk memikirkan apa. Asal ada kecocokan harga baginya, jadilah!

Maka kini mendengar laki-laki berkedok itu mengetahui segalanya dengan lengkap, hati piauwsu ini berdebar tegang. Tidak salah bahwa dia ingin bertemu lagi dengan si wanita cantik, hal itu karena ada sebabnya. Si wanita cantik meninggalkan sesuatu yang membuatnya tidak mengerti. Sebuah tusuk konde bertahtakan huruf-huruf Kanji. Dan dia yang bukan seorang sastrawan itu sama sekali tidak dapat membaca huruf-huruf Kanji ini, tidak mengerti artinya. Karena itu dia lalu membawa seorang kenalannya yang ahli sastera, mencoba untuk mendapat penjelasan.

Akan tetapi, apa yang diterima? Kenalannya si ahli sastera itu tiba-tiba ketakutan, mengembalikan benda itu kepadanya dan berpesan agar tusuk konde ini secepatnya dikembalikan saja kepada sang pemilik. Benda itu membawa pesan maut, dapat membawa petaka kepada Kwa-piauwsu!

Tentu saja Kwa-piauwsu terheran mendengar keterangan ini, mencoba memperoleh penjelasan lebih lanjut, namun sahabatnya si ahli sastera itu sudah buru-buru ngeloyor pergi dengan tubuh gemetar ketakutan. Kwa-piauwsu menjublak dengan muka bengong dan tusuk konde yang ditakuti kenalannya itu dibolak-balik. Dia tidak mengerti apa yang sedungguhnya terjadi dengan tusuk konde itu. Akan tetapi karena sahabatnya tidak memberi keterangan lebih lanjut, diapun lalu menyimpan benda itu untuk menunggu kedatangan pemiliknya yang mungkin mencari.

Tetapi aneh, si wanita cantik tidak datang-datang lagi. Kwa-piauwsu telah menunggu dengan sia-sia dan benda yang tidak dimengerti artinya itu dibawa saja kemana dia pergi. Dan sekarang tahu-tahu datang laki-laki berkedok dari Hiat-goan-pang itu. Menilik bicaranya, dia kenal dengan si wanita cantik. Dan menurut patut, sepantasnya mereka tidak perlu bermusuhan. Akan tetapi, nyatanya laki-laki ini telah membunuh Song Kai dengan alasan yang tidak masuk akal.

Kwa-piauwsu merah mukanya, dan ketua Pek-ho piauwkiok itu tiba-tiba mencabut pedangnya. "Sobat dari Hiat-goan-pang!" bentaknya bengis. "Apa yang kau ucapkan tidak sesuai dengan apa yang kau lakukan. Di mulut kau berkata tentang menggalang persahabatan, tapi buktinya kau telah menurunkan tangan kejam membunuh seorang anak buahku! Apakah ini dapat diterima akal?"

Laki-laki berkedok itu terkejut. "Eh, Kwa-piauwsu, apa yang hendak kau perbuat?"

Kwa Ek melangkah maju dengan pedang dicekal erat. "Memperhitungkan hutang jiwa atas nasib seorang anak buahku, penjahat keji!"

Bentakan itu disambut dengan sikap melengak oleh laki-laki dari Hiat-goan-pang ini dan mendadak ia terkekeh geli, "Heh-heh, Kwa-piauwsu, kau hendak membunuhku, begitukah maksudmu?" laki-laki itu mengejek lawannya dan ketua Pek-ho-piauwkiok ini menggeram.

Dia tidak menjawab, akan tetapi seorang piauwsu dibelakangnya tiba-tiba berteriak gusar dan ikut mencabut pedang seperti pemimpinnya. Piauwsu ini rupanya tidak dapat menahan sabar dan tanpa banyak cakap ia menerjang laki-laki itu dengan tusukan bertubi-tubi. Kwa-piauwsu hendak mencegah, namun dia tidak keburu. Anak buahnya itu sudah melompat, dan pedang di tangan yang bergerak menyilaukan itu berkelebatan dimuka lawan.

Akan tetapi aneh, orang berkedok dari Hiat-goan-pang itu sama sekali tidak mundur. Dia tetap berdiri tenang di tempatnya dan ketika pedang itu menuduk bertubi-tubi ke arahnya, laki-laki ini tiba-tiba menggerakkan kaki tangannya. Pedang didupak dan mendadak pedang itu mencelat dari pemiliknya.

"Cring…!"pedang terlempar dan piauwsu yang menyerang itu berseru kaget. Dia hanya merasakan pergelangan tangannya sakit dan tahu-tahu pedang di tangannya itu sudah melayang jauh terlempar di atas tanah.

Kwa-piauwsu terbelalak pucat, dan semua anak buah Pek-ho-piauwkiok ini terperanjat. Mereka hanya melihat kaki orang berkedok itu mencuat dan tiba-tiba saja pedang teman mereka itu sudah mencelat. Sungguh mengejutkan, tidak lebih dalam segebrakan saja! Para piauwsu terkesima sejenak, akan tetapi setelah sadar kembali mereka lalu berteriak marah dan mencabut senjata.

Laki-laki berkedok tertawa mengejek., dan dia memandang pemimpin Pek-to-plauwkiok ini. "Kwa-piauwsu, apakah aku harus membunuh semua anak buahmu ini? ingat, aku masih memberi keringanan apabila kau tahu diri. Anak buahmu yang satu ini seharusnya diberi hajaran keras, namun memandang mukamu, aku masih memberi ampun. Apakah kau hendak mengerahkan anak buahmu untuk mengeroyokku?"

Ketua Pek-ho-piauwkiok itu tertegun. Mendengan suara orang yang demikian lantang dan tidak kenal takut memang dia seharusnya berhati-hati. Orang berkedok ini berani menghadapi mereka seorang diri, itu jelas membuktikan kelihaiannya. Dan sepak terjangnya yang baru mereka saksikan dalam satu gebrakan itu memang cukup menjadikan bukti. Apakah dia harus mundur?

Kwa-piauwsu menjadi ragu. Dia memandang orang itu dengan sinar mata marah akan tetapi ketika kembali matanya membentur mayat Soug Kai kepala piauwsu menjadi berang. Lihai atau tidak orang itu baginya tidaklah menjadi soal. Dia jelek-jelek adalah ketua Pek-ho-piauwkiok, masa harus takut menghadapi kebenaran? Dan sebagai seorang bekas murid Kong-thong-pai tidak semestinya dia bersikap pengecut. Karena itu piauwsu ini lalu tiba-tiba membentak nyaring, dan pedang yang sudah di tangen itu ditudingkan ke hidung lawan.

"Penjahat keji dari Hiat-goan-pang, tanpa sebab kau telah membunuh anak buahku, bagaimana aku bisa bersahabat lagi? Kecuali kalau kau meambayar hutang jiwa ini maka barulah perhitungan diantara kita impas. Jagalah…!"

Piauwsu itu mengangkat ujung pedangnya ke langit dan dibarengi satu lengkingan marah ketua Pek-ho-piauwkiok ini tiba-tiba berkelebat ke depan menerjang lawannya. Si orang berkedok mengeluarkan jengekan dari hidung, dan mendadak dia menggerakkan tangannya. Suara berkerincing nyaring memecahkan udara dan tiba-tiba saja sepasang gelang sudah dicekal di kedua tangannya.

"Kwa-piauwsu, kau ingin kita main-main sebentar? Baiklah, mari tunjukkan permainan pedangmu yang buruk itu dari Kong-thong-pai…" Laki-laki ini mengeluarkan tawanya yang mengejek pedang di tangan Kwa-piauwsu sudah cepat ditangkisnya.

"Crang!" Pedang bertemu gelang di tangan kanan dan ketua Pek-ho- piauwkiok itu terkejut. Lengannya tergetar dan senjata yang dicekal hampir saja terlepas. Tentu saja piauwsu ini terkesiap dan sambil membentak nyaring menambah semangat diapun lalu mengrahkan kepandaiannya gencar.

Kini terjadilah pertandingan di antara dua orang. Kwa-piausu memainkan sanjata tunggalnya yang lincah menari-nari di sekitar tubuh lawan, sedangkan si orang berkedok itu menghadapi ketua Pek-ho-piauwkiok ini dengan sepasang gelang tembaganya. Dia ternyata mampu mengimbangi kecepatan pemimpin dari ketua Pek-ho-piauwkiok itu dan semua serangan Kwa-piauwsu itu selalu dapat ditangkisnya dengan baik. Bahkan, gelang kedua tangannya itu mulai berkelebtan pula membalas setiap serangan membuat pertandingan menjadi seru dan hebat bukan main. Dan setiap tangkisan laki-laki berkedok ini pasti membuat piauwsu she Kwa itu menyeringai pedih. Lengannya seakan-akan lumpuh!

Hal ini membuat pemimpin Pek-ho-piauwkiok itu gelisah dan maklum bahwa kekuatan sinkangnya kalah kuat, diapun lalu mengandalkan permainan pedangnya yang lincah dan cepat untuk mengatasi kekurangannya. Akan tetapi orang berkedok itu benar-benar lihai. Sambil tertawa mengejek dia melayani gerakan pedang yang cepat dari piauwsu itu dan kedua gelang tembaganya beterbangan berganti-ganti membentur pedang di tangan Kwa-piauwsu. Dia tampaknya tidak begitu bernapsu seperti lawannya, dan kalau pemimpin Pek-ho-piauwkiok itu kelihatan gencar bertubi-tubi menyerang adalah laki-laki ini seenaknya bergerak sambil berkelebatan mengikuti serangan lawan.

Jelas di sini bahwa orang berkedok itu memang masih lebih tinggi tingkatnya dibanding Kwa-piauwsu, dan pantas saja dia seolah-olah tidak memandang sebelah mata kepada ketua Pek-ho-piauwkiok itu. Bahkan dengan berani dia membunuh Song Kai yang dikatakan pemalas tiada guna! Hal ini semua membuat perasaan piauwsu she kwa itu bergolak, dan murid Kong-thong ini menjadi nekat.

Pedang menyambar-nyambar tanpa perhitungan lagi dan laki-laki berkedok dari Hiat-goan-pang itu terkejut. Kwa-piauwsu mulai menyerang membabi buta, tidak mempedulikan keselamatan sendiri dan orang yang diamuk kemarahan itu menjadi seperti kerbau gila. Kaena itu dia lalu mendengus dan ketika untuk kesekian kalinya pedang piauwsu itu menusuk perut, laki-laki berkedok ini membentak nyaring sambil mengerjakan gelang tembaganya. Yang kiri dipakai menangkis keras, sedangkan yang kanan menghantam pundak Kwa-piauwsu.

"Cring-plakk...!"

Pedang ditangkis gelang, sedangkan pukulan ke pundak juga mendarat dengan telak. Kwa-piauwsu berteriak mengduh dan senjata di tangannya terlepas. Lawan telah memperberat tekanannya, karena itu piauwsu ini tidak sanggup lagi bertahan. Dengan satu pekik kesakitan, tubuh piauwsu itu terjungkal roboh dan patah tulang pundaknya!

Gegerlah anak buah Pek-ho-piauwkiok. Kwa piauwsu yang roboh dengan satu pundak sengkleh dan cukup membuat mereka semua terkejut, akan tetapi melihat Kwa-piauwsu tiba-tiba melompat bangkit dan berteriak dengan mulut menyeringai menahan sakit itu memerintahkan mereka agar membunuh si orang berkedok, para piauwsu dari Pek-ho-piauwkiok ini tersadar.

Mereka cepat berseru keras, dan sambil berteriak marah, orang-orang Pek-ho-piauwkiok ini sudah meluruk maju. Senjata yang berada di tangan sudah bengerincingan nyaring dan orang berkedok yang masih berada di tempatnya itu diserbu. Kemarahan melihat ketua mereka dirobohkan dan Song Kai dibunuh membuat piauwsu-piauwsu ini marah. Mereka tidak lagi peduli akan kelihaian orang. Dan dengan bersama-sama mereka itu menyerang seperti lebah yang marah melihat keselamatannya diganggu.

Akan tetapi laki-laki berkedok ini tenang-tenang saja. diserbu demikian banyak orang dia malah mengejek. Mata yang tadi berputar kini mendadak berkedip keji dan tangan yang mencekal gelang-gelang tiba-tiba bergerak. Yang ditangan kanan disatukan ke tangan kiri, dan tangan kanan itu sendiri sudah merogoh kantong. Sekejap saja perbuatan ini dilakukannya, akan tetapi akibatnya sungguh membuat para piauwsu itu berteriak kaget. Sinar merah sekonyong-konyong berhamburan menyambut mereka dan lima orang piauwsu yang berada paling depan sendiri tiba-tiba menjerit ngeri.

Mereka itu tidak tahu apa yang terjadi, namun mendadak saja dada mereka terasa nyeri. Kiranya sebuah gelang berdarah telah menancap di tubuh bagian ini dan kontan saja lima orang piauwsu ini roboh terjungkal. Mereka hanya sempat memekik satu kali dan setelah itupun tewaslah. Jantung mereka pecah disambar Hiat Goan am-gi (senjata rahasia gelang berdarah).

Itulah peristiwa yang terjadi pada detik pertama ini dan para piauwsu lain yang melihat kejadian itu terkejut bukan main. Mereka sendiri sudah terlanjur melompat, kaki tidak keburu ditahan lagi. Dan pada saat itulah sinar-sinar merah berhamburan ke arah mereka. Para piauwsu ini terkesiap, tetapi sayang wktu sudah tidak memungkinkan lagi bagi mereka untuk menghindar. Senjata gelang terbang itu sudah mengenai sasarannya, dan jeritan-jeritan ngeri susul-menyusul memenuhi lembah itu.

Anak buah Pek-ho-piauwkiok roboh bergelimpangan dan Kwa Ek yang menyaksikan kekejaman orang berkedok itu terbelalak. Dua puluh tiga anak buahnya sekejap saja sudah tewas sembilan belas jiwa! Dan sisanya lagi empat orang lagi tampak gemetar, memandang jerih kepada laki-laki dai Hiat-goan-pang itu lalu memutar tubuh melarikan diri!

Kwa Ek tertegun, dan laki-laki berkedok itu tertawa mengejek. Empat orang yang lolos ternyata tidak dibiarkan begitu saja, karena dia tiba-tiba menggerakkan tangannya. Empat sinar merah kembati meluncur, dan empat piauwsu Pek-ho-piauwkiok itu menjerit tertahan. Punggung mereka ditembus amgi maut, dan tanpa ampun lagi mereka semuanya itupun robohlah.

"Keji...!" Kwa-piauwsu berteriak gusar dan ketua Pek-ho-piauwkiok itu hampir saja pingsan melihat keganasan orang yang tidak kenal ampun. Akan tetapi laki-laki berkedok itu terkekeh dan dia memutar tubuhnya menghadapi piauwsu yang patah tulang pundaknya itu.

"Heh-heh, Kwa-piauwsu, siapa yang berbuat keji di sini? Kalau kau tidak menyuruh anak buahmu memenyerang tentu nyawa mereka tidak melayang. Akan tetapi kau tidak menurut omonganku, kenapa menuduh keji?"

Kwa-piauwsu mendelik penuh kemarahan, melompat dengan sisa-sita tenaga yang ada dan menyerang laki-laki yang dibencinya itu, namun orang berkedok itu mendengus dan sekali tampar, tubuh tubuh piauwsu itu dibuatnya terlempat jauh.

"Bukk…!" Kwa-piauwsu meringis menahan sakit dan orang tua itu menggigit bibirnya. Dia belum sempat bangkit, tapi lawan tiba-tiba sudah melompat menghampiri.

"Orang she Kwa, diberi hati ternyata kau tidak tahu diri. Apakah minta dibunuh sekalian agar mampus seperti anak buahmu? Kalau tidak ingat pesan si pengirim barang tentu sekarang juga kau sudah kuantar ke gerbang akhirat!" laki-laki itu membentak gemas dan leber baju piauwusu dicengkeramnya kuat.

Kwa-piauwsu meronta, namun laki-laki ini menampar mukanya. "Orang the Kwa, masih kau hendak bersikap kurang ajar, hah? Plak…!" muka ketua Pek-ho-piauwkiok itu digampar dan piauwsu ini terpelanting. Orang berkedok itu hendak melampiaskan kemarahannya lagi tapi tiba-tiba Kun Bok yang sudah tidak tahan menyaksikan kejadian di bawahnya ini melayang turun dengan bentakannya yang keras,

"Setan baju hitam, jangan mengumbar hawa nafsumu. Lepaskan piauwsu she Kwa itu....!" Kun Bok membentak sambil menggerakkan kakinya dan punggung orang Hiat-goan-pang itu ditendang.

Laki-laki berkedok terkejut, tidak menyangka ada orang lain di tempat itu namun dengan cepat dia mengibaskan lengannya. "Dukk..!" tendangan Kun Bok ditangkis akan tetapi dia berteriak kaget ketika tubuhnya terhuyung tiga langkah!

"Hai....?!" orang itu memutar tubuh dan begitu dia berhadapan dengan Kun Bok tiba-tiba dia menjadi pucat. "Bok-kongcu!" seruanya ini tak terasa meluncur dan mulutnya dan Kun Bok tertegun.

"Kau mengenal aku, siluman keji?" Kun Bok terbelalak dan orang berkedok dari Hiat-goan pang itu mendadak gemetar tubuhnya. Dia tampak ketakutan dan matanya meliar ke kiri kanan. Lalu, sebelum Kun Bok yang heran dan curiga itu bertanya lebih lanjut sekonyong-konyong orang berkedok ini memutar tubuhnya dan melarikan diri.

"Hei…!" Kun Bok berseru kaget melihat kejadian ini dan dia membentak nyaring agar laki-laki berkedok itu terhenti. Akan tetapi aneh, orang ini semakin "tancap gas" dan mempercepat larinya! Karena itu Kun Bok lalu berkelebat mengejar namun tiba-tiba Kwa-pianwsu berteriak,

"Bok-kangcu awas kereta! Barang kawalanku dilarikan orang!"

Seruan itu membuat Kun Bok merandek dan ketika da menoleh ternyata benar saja kereta yang tadi di "parkir" di bawah pohon itu mendadak dilarikan seseorang! Kun Bok terkesima, dan sejenak pemuda ini menjadi bingung. Hendak mengejar si orang berkedok hitam namun terpaku oleh penculikan kereta yang sama sekali tidak disangka-sangka itu. Maka pemuda ini jadinya seperti orang bengong saja, tapi Kwa-piauwsu yang agaknya gembira bukan main melihat kehadiran putera tunggal Bu-tiong-kiam Kun Seng yang sudah dikenalnya itu sudah cepat memberikan petunjuk.

"Bok-kongcu, tolong kejar penculik kereta jangan hiraukan si iblis dari Hiat-goan-pang! Kereta barang itu melebihi nyawaku sendiri, menjaga nama baik Pek-ho-piauwkiok…!"

Kwa-piauwsu yang sudah melompat bangun dengan kaki tertatih-tatih itu memandang Kun Bok dengan peluh bercucuran, dan putera Bu-tiong-kiam ini mengertakkan gigi. Apa yang diucapkan piauwsu itu memang benar. Bagi Kwa-piauwsu, nama baik Pek-bo-piauwkiok jauh melebihi jiwa sendiri. Karena itu dia lalu mengangguk dan dengan umpatan gemas Kun Bok mengejar kereta yang dilarikan orang. Dia tidak menghiraukan lagi terhadap laki-laki berkedok dari Hiat-goan-pang, karena menolong nama baik piauwsu she Kwa itu jauh lebih penting.

Maka melompatlah pemuda itu mengejar kereta yang sudah dilarikan orang tak dikenal dan dengan ginkangnya yang tinggi sebentar saja dia dapat menyusul. Jalanan yang berbatu-batu membuat larinya sang kuda tidak lancar, maka dengan mudah dia mampu mendekati. Akan tetapi karena penculik yang melarikan kereta ini juga mencambuk kudanya berkati-kali maka kuda itupun meluncur seperti binatang gila. Dan yang ditinggalkan di belakang membuat Kun Bok mencaci-maki dan setelah sepuluh li dia mengejar akhirnya penculik itupun dicandaknya.

Akan tetapi Kun Bok kembali tertegun. Kiranya penculik kereta ini adalah seorang wanita, malah wanita yang cantik sekali! Dan wanita yang dikejar Kun Bok itu menoleh. Dan begitu menoleh hampir saja Kun Bok terjungkal kaget.

"Bi Kwi…!" Kun Bok berteriak tertahan dan seruan spontanitas itu membuatnya mencelos, namun wanita yang dipanggil terkekeh genit. Ia melambaikan tangannya kearah Kun Bok, dan dengan gerak memikat wanita itu berkata merdu,

"Bok-kongcu, kau mengenal adikku itu? Hi-hik, bagus... kita bisa bersahabat kalau begitu…!" wanita ini tertawa gembira dan cambuk di tangan tiba-tiba dilecutkan kuat ke atas kudanya. Kuda itu melonjak, dan Kun Bok yang ada di samping kereta diterjang buas.

Putera Kun Seng ini terkejut, dan jawaban wanita itu atas seruannya tadi membuat dia terkesima. Akan tetapi kereta kuda jauh mencongklan, maka Kun Bok pun mengejar lagi. Dia menjadi berdebar tidak karuan dengan wanita cantik itu, dan pengakuannya itu yang diucapkan sambil terkekeh itu benar-benar mengguncangkan perasaannya.

Tapi Kun Bok tiba-tiba sudah mengambil keputusan. Wanita cantik yang hampir serupa dengan Bi Kwi itu harus ditangkapnya. Selain karena menculik barang kawalan Kwa-piauwsu, juga karena gerak-gerik wanita itu dirasa mencurigakan. Siapakah dia? Bagaimana bisa mengetahui namanya pula? Semua pertanyaan ini mengaduk pikirannya dan Kun Bok tiba-tiba mengerahkan ilmu lari cepatnya. Kereta yang sudah kabur jauh tiba-tiba disusul dan dalam beberapa kali lompatan panjang saja akhirnya pemuda itu berhasil melampauinya.

"Nona cantik, berhenti dulu…!" Kun Bok yang bingung terus memanggil itu berteriak sebisanya dan wanita di atas kereta itu tersenyum lebar.

"Hik-hik, kau memuji aku cantik, Bok kongcu? Betulkah? Mana lebih cantik dengan Bi Kwi?" gigi yang putih rata seperti mutiara berderet itu mengguncangkan perasaan Kun Bok dan pemuda ini merah mukanya. Dia sudah ada di depan kereta, namun wanita di atas tempat duduk itu nampaknya tidak peduli. Dia melanjutkan larinya kereta dan kuda yang dicambuk mengejutkan ini tersentak.

"Hei…! Kun Bok terbelalak, tapi wanita itu terkekeh mengejeknya.

"Kudaku sedang marah, kongcu, mana bisa dihentikan? Kalau kongcu mau, kendalikanlah. Aku ingin melihatnya…!" wanita itu seakan-akan menantang dan Kun Bok menjadi marah.

Dia merasa dipermainkan orang, karena itu pemuda ini lalu melompat di tengah jalan lalu sambil berseru keras, dia mencengkram tali kuda di bawah rahang. Tetapi celaka, wanita cantik yang mengusiri kereta ini sekonyong-konyong tertawa aneh dan tiba-tiba menyambitkan tiga sinar hitam kearah lengan Kun Bok. Kun Bok tercekat, tapi putera si jago pedang dari Kun Lun ini memang lihai. Melihat tangan disambar senjata rahasia, Kun Bok buru-buru mengangkat tangan kirinya menangkis, lalu dengan gerakan serempak dia menangkap tali kendali dengan tangan satunya.

"Rttt…!" tali kuda berhasil dicengkram. Dan kuda itu meringkik keras.

"Aih…!" wanita cantik di atas kereta berseru terkejut dan tiba-tiba melayang ke depan. Kendali kuda yang dicengkeram Kun Bok sekonyong-konyong dibabat pedang dan Kun Bok yang mendapat serangan itu kaget sekali. Dia tidak menyangka wanita cantik ini bersenjata, karena itu ia hampir saja menjadi korban.

Aih…!” wanita cantik di atas kereta berseru terkejut dan tiba-tiba melayang ke depan.

Akan tetapi dasar putera seorang pendekar maka begitu dia diserang, begitu pula Kun Bok mengadakan reaksi. Pedang yang membabat lengannya ditangkap, lalu sekali sendal dia menyentakkan pergelangan lawan. Wanita cantik itu menjerit kesakitan dan pedang yang dipukul mencelat memasuki kereta. Dan kejadian berikutnya yang amat diluar dugaan Kun Bok pun terjadilah. Sebuah pekik mengerikan tiba-tiba terdengar dari dalam kereta, dan putera Bu-tiong-kiam Kun Seng itu terkesiap. Tirai kereta yang robek tersambar pedang menampakkan peristiwa di dalamnya. Dan apa yang terjadi? Kiranya seorang laki-laki yang tewas dengan tenggorokan tertancap pedang. Pedang yang tadi mencelat dipukul Kun Bok!

"Eihh…??" Kun Bok seperti disambar petir dan kagetnya pemuda itu bukan kepalang. Apa yang terjadi di depan matanya ini sungguh tidak disangkanya, karena itu dia lalu terbengong dengan muka pucat. Peristiwa yang hanya sekejap itu memang benar-benar mengguncangkannya, karena Kun Bok sama sekali tidak mengira bahwa di dalam kereta ada seorang manusianya, seorang laki-laki yang berpakaian baagsawan, seorang pembesar daerah yang bukan lain adalah Hong-taijin!

"Ahh..." Kun Bok tertegun dan mata pemuda itu terbelalak. Kejadian yang ada di depan matanya ini sungguh hebat, tidak main-main. Dia bisa dituduh membunuh seorang pembesar, seorang bangsawan tinggi kerabat istiana karena Hong-tai jin sepupu Pangeran Kou Cun!

Kun Bok menjublak dengan muka seperti di kapur, dan wanita cantik yang ada di sebelahnya itu mengerutkan kening. "Bok-kong,cu, kenapa kau membunuh Hong-taijin?" wanita ini berbisik lirih di dekat telinga Kun Bok dan putera Bu-tiong-kiam Kun Seng itu terkejut.

"Apa? Aku membunuh Hong-taijin? Ah, jangan main-main, nona, aku tidak sengaja...!" Kun Bok membelalakkan matanya marah tapi wanita itu membusungkan dadanya.

"Hm, sengaja atau tidak sengaja kau telah membuat Hong-taijin tewas, kongcu! Masa kau hendak mungkir?"

Kun Bok naik pitam. Dia memutar tubuhnya dan dengan sikap meradang dia menghardik, "Betul, akan tetapi itu semua karena gara-garamu, nona. Kalau kau tidak menyerangku tentu aku juga tidak kelewatan turun tangan! Apakah kau hendak menimpakan kesalahan ini kepadaku seorang diri?"

Wanita cantik itu terkekeh. Bok-kongcu, kau takut menerima tanggung jawabnya? Baiklah, katakan, aku saja yang membunuh kepala daerah itu dan kau boleh sembunyi di belakangku…!"

Kun Bok merah mukanya. Ejekan ini memanaskan telinganya dan dia memandang wanita ini dengan kemarahan ditahan. Gara-gara wanita inilah dia sampai kesalahan tangan, apakah dia harus diam saja? Tidak, dia harus membuat perhitungan dengan wanita. Maka Kun Bok lantas mencengkeram pundak wanita ini akan tetapi wanita cantik itu melejit.

"Eh, apa-apaan kau ini, Bok-kongcu?" wanita itu membentak marah namun Kun Bok tidak perduli. Dia tetap melompat maju dan dangan suara geram Kun Bok Was membentak,

"Nona cantik, kau telah melarikan barang Kwa-piauwsu, dan kini membuat gara-gara terbunuhnya Hoag-taijin. Apakah tidak bersedia menerima hukuman? Kau harus kubawa ke kota Ci-bun untuk mempertanggung jawabkan kesalahanmu!"

Tapi wanita cantik itu malah terkekeh geli. Bok- kongcu, kau bicara seperti anak kecil saja. Siapakah yang melarikan barang Kwa-piauwsu? ini barangku sendiri, bukan barang piauw-su she Kwa itu! Kenapa tidak menyelidiki terlebih dahulu?"

Kun Bok melengak. Dia terkejut mendengar keterangan itu akan tetapi karena mengira wanita itu hanya mengada-ada saja diapun tidak mau percaya. "Nona…"

"Stop! Kau kira aku membual, kan?" tiba-tiba wanita ini memutus omongannya. "Kalau kau tidak percaya boleh tanya pada yang bersangkutan, Bek-kongcu. Tuh, lihat... piauwsu she Kwa datang!"

Baru saja ucapan ini selesai dikatakan mendadak saja ketua Pek-ho-plauwkiok itu memang benar-benar datang. Piauwsu ini tampak tertatih-tatih, dan mukanya yang penuh keringat itu menunjukkan kelelahannya. Pundak yang patah sudah dibalut, tapi mulut yang menyeringai kesakitan itu masih belum reda. Dan melihat Kun Bok berhasil menahan kereta kawalannya, piauwsu ini tampak girang. Namun begitu dia melihat siapa yang melarikan keretanya ini piauwsu itu tiba-tiba nampak tertegun.

"Kau..?" piauwsu she Kwa itu terkejut dan wanita cantik di atas kereta terkekeh.

"Hi-hik, benar aku, Kwa-piauwsu. Kenapakah....?"

Kwa-piauwsu melenggong dan ketua Pek-ho-piauwkiok itu tampak terbelalak. Dia sama sekali tidak mengira bahwa penculik keretanya adalah wanita ini, maka tentu saja dia tidak mampu membuka suara. Dan wanita cantik yang terkekeh itu bertanya kepada piauwsu ini,

"Kwa-piauwsu, salahkah kalau aku mengambil kembali barang titipan yang hampir saja tidak mampu kau jaga ini?"

Piauwsu she Kwa itu tertegun. "He, kenapa tidak kau jawab, Kwa-piauwsu? Apakah salah kalau aku mengambil barangku sendiri?"

Ketua Pek-ho-piauwkiok ini akhirnya menelan ludah. "Nona, ini... ini… bagaimana bisa begitu? Aku memang hampir gagal, tapi aku juga sudah berjuang sungguh-sungguh untuk mempertahankan barang kawalan ini! Anak buahku tewas semua, dan kau sendiri tahu. Apa yang harus kukatakan?"

Wanita cantik itu tersenyum mengejek. "Ya, aku memang tahu. Dan kini gara-gara kecerobohan si penolongmu itu barang titipanku sudah menjadi mayat!"

"Eh, apa maksudmu, nona!" Kwa-piauwsu terkejut.

"Lihat saja sendiri! Untuk apa bertanya?" wanita itu menudingkan telunjuknya yang runcing ke dalam keteta dan piauwsu she Kwa itu melongok.

Dan begitu dia melongok tiba-tiba ketua Pek-ho-piauwkiok ini berseru kaget. "Astaga! Dia.... bukankah Hong-taijin, nona?"

Wanita itu menganggukkan kepalanya dengan mulut mencibir. "Tidak salah, Kwa-piauwsu, dia memang Hong-taijin. Aku hendak mengembalikannya ke dalam kota Ih-bun setelah dia mendapat ancaman seseorang yang hendak membunuhnya. Aku berhasii menyelamatkannya, tapi kini Bok-kongcu yang membunuhnya...!"

"Apa...?" Kwa piauwsu berteriak kaget. Bok-kongcu yang…"

"Tahan mulutmu, Kwa-piauwsu!" Kun Bok tiba-tiba membentak. "Bukan aku yang membunuh dia melainkan unsur ketidaksengajaan saja yang terjadi. Nona ini menyerangku, aku menangkis. Pedangnya terpental dan secara tidak sengaja melesat ke dalam kereta dan menancap ditenggorokan Hong-taijin!"

"Ahh…!" ketua Pek-ho-piauwkiok itu membelalakkan matanya dan wanita cantik di atas kereta tertawa.

"Memang betul begitu kejadiannya, Kwa-piauwsu. Apakah aku yang lalu hendak disalahkan?" wanita itu mengejek.

"Kalau begitu baiklah, aku yang akan bertanggung jawab!"

Kun Bok terpukul oleh kata-kata ini dan nemuda itu tiba-tiba mengedikkan kepalanya. "Tidak, Kwa-piauwsu!" dia berseru, "Aku bukan seorang pengecut. Bukan nona ini saja yang berani menghadapi kenyataan akan tetapi akupun juga berani. Kalau orang hendak menimpakan kesalahan ini kepadaku bolehlah, tapi duduk persoalannya juga harus dijelaskan!"

"Hi-hik, kalau begitu kita pikul berdua saja, Bok-kongcu. Bukankah, memang gara-gara kita berdua Hong-taijin lalu tewas? Eh, Kwa-piauwsu, antarkan jenazah Hong-taijin ini kepada keluarganya. Beritahu kepada mereka bahwa yang bertanggung-jawab dalam masalah ini adalah kami berdua, Bok-kongcu dan Bi Hwa!"

Kwa-piauwsu terkejut oleh ucapan itu namun karena Kun Bok sendiri juga tidak menyangkal maka piauwsu inipun tidak dapat berbuat apa-apa. Dia masih tertegun oleh peristiwa mendadak yang amat tidak diduga-duganya itu, dan dia sungguh tidak mengetahui bahwa isi kereta adalah seorang pembesar, Hong-taijin sendiri yang hendak diantar ke kota Ih-bun!

Maka dengan muka bingung dan mata keheranan piauwsu itupun lalu mengikuti petunjuk ini, membawa kereta yang berisi jenazah itu, sementara si wanita cantik sudah turun dari tempat duduknya dengan lenggang memikat. Dan piauwsu yang bingung serta gugup itu sampai lupa dengan tusuk konde segala macam yang sedianya akan dikembalikan kepada yang berhak!

Kereta kini berputar haluan, dan detak roda di atas tanah berbatu itu mendetakkan pula jantung Kwa-piauwsu yang terasa tidak karuan. Kuda mulai membalap dan debu di belakang mereka meninggalkan bayangan samar yang meinyimpan kebimbangan aneh di hati orang-orang yang bersangkutan.

* * * * * * * *

Kun Bok masih memandang kereta jenazah itu. Dia sendiri juga termangu-mangu, dan pemuda yang baru turun gunung ini berdebar-debar. Aneh sekali peristiwa yang dialaminya itu. Hong-taijin tanpa disangka-sangka tewas di tangannya, meskipun tidak disengaja. Dan wanita cantik yang menjadi gara-garanya itu berdiri memandangnya dengan senyum dikulum.

Kun Bak berdebar, dan pemuda ini mengalihkan perhatiannya. Terus terang dia menjadi dag-dig-dug berhadapan dengan wanita cantik yang begini memikat. Teringat kepada Bi Kwi yang juga amat menggairahkan serta menikat membuat dia terbayang kembali semua kemesraannya dengan gadis di dusun Lee-kim-chung itu. Dan Kun Bok menerawang pikirannya.

"He, kau melamunkan apa, Bok-kongcu?"

Teguran mendadak yang amat mengejutkan ini membuat Kun Bok terkesiap. Dia gelagapan oleh pertanyaan ini dan dengan muka merah memandang wanita cantik itu. Tapi yang dipandang tersenyum manis, dan wanita itu tiba-tiba menggoyangkan pinggulnya.

"Bok-kongcu, kenapa kau memandangku seperti itu?" wanita ini terkekeh. "Apakah teringat kepada Bi Kwi? Eh, dimana kau berjumpa dengan adikku itu? Apakah dia kurang ajar kepadamu, kongcu?"

Kun Bok menelan ludah. "Nona…!" "Ih, kenapa nona-nonaan segala, kongcu, Namaku Bi Hwa, kau sudah dengar itu. Mengapa, harus menyebut nona? Bi Kwi pasti kau sebut adik, dan akupun juga lebih muda darimu. Mengapa berat sebelah?" wanita itu, tertawa genit dan hati Kun Bok berdegupan.

"Ini…"

"Hm, ini apalagi, kongcu?" wanita itu menukas, "Diantara sahabat tidak perlu sungkan-sungkan lagi. Kau sahabat adikku, karena itu pula kaupun sahabatku! Atau apakah kongcu tidak suka bersahabat denganku?"

Kun Bok mati kutu. Kegenitan wanita ini dan kelincahannya bicara benar-benar membuat dia gelagapan. Akan tetapi teringat akan kematian kembali dia merasa tidak senang. Karena itu dia lalu memandang ragu ke arah wanita cantik ini dan Bi Hwa mengerlingkan genit.

"Ada apa, kongcu? Kau teringat kepada Hong-taijin? Ah, perduli amat. Pembesar itu sudah mampus, untuk apa dipikirkan lagi?"

Kun Bok terkejut. Ketajaman mata wanita ini yang dapat menebak tepat apa yang dipikirkan sungguh membuatnya terbelalak. Dan Bi Hwa yang cantik genit itu tiba-tiba terkekeh. Wanita ini memang sungguh mirip sekali dengan Bi Kwi, baik raut mukanya maupun potongan tubuhnya. Hanya bedanya, kalau Bi Kwi terutana indah matanya adalah Bi Hwa in menarik bibirnya. Dan satu lagi, kalau Bi Kwi suka menggerak-gerakkan tangan adalah Bi Hwa ini suka menggerak-gerakkan pinggul. Sungguh sama-sama merangsang!

Kun Bok berdebar oleh Pikirannya yang tiba-tiba melantur ini dan diam-diam dia merasa jengah. Kenapa sejak permainan cinta kasihnya bersama Bi Kwi dia suka memperhatikan pinggul wanita? Apakah dia kini menjadi mata keranjang? Ataukah gejolak nafsunya yang tidak mampu di tahan lagi akibat kegenitan Bi Kwi yang merangsang gairah berahinya? Kun Bok semakin berdebar dan wanita bernama Bi Hwa itu tiba-tiba melangkah maju.

"Bok-kongcu, kenapa kau diam saja? Apakah aku menyebalkan hatimu? Kalau besitu baiklah, aku pergi saja agar kau tenang kembali…!" Wanita itu benar-benar membalikkan tubuhnya dan dengan pinggul naik-turun dia meninggalkan Kun Bok!

Kun Bok terkejut, dan remuda ini melompat maju. "Nona, tunggu dulu...!"

Tapi wanita itu tidak mau berhenti. Ia malah mempercepat langkahnya dan dengan suara uring-uringan dia berkata, "Kongcu, jangan suruh aku behenti. Kau tidak mau diajak bersahabat, untuk apa bicara lagi...?" Dan dengan lenggang yang semakin aduhai wanita ini berlari kecil.

Kini Kun Bok benar-benar tertegun. Dia tidak tahu apa kesalahannya, maka sekali lagi dia berteriak, "Nona...!"

"Stop! Jangan panggil aku lagi, kongcu! Bi Kwi kau sebut adik sedangkan aku kau panggil nona. Sahabat macam apa ini?" wanita itu tiba-tiba memotong dan Kun Bok terkejut.

"Eh, Hwa-moi...!" akhirnya Kun Bok merobah sebutannya dan menghadang di depan, dan baru wanita itu menghentikan langkahnya. Ia berseri memandang Kun Bok, lalu dengan kerling tajamnya yang memikat wanita itu menjawab,

"Bok-kongcu, kenapa kau tunggu orang menjadi marah dahulu? Kalau sejak tadi kau memanggilku begitu pasti kita tidak saling pelotot seperti ini. Ih, apakah Bi Kwi tidak mengajarimu tentang watak-watak kaum wanita?"

Kun Bok memerah mukanya. Teguran Bi Hwa ini yang langsung ke sasarannya membuat dia gelagapan, akan tetapi wanita itu rupanya pandai melihat keadaan karena menyaksikan pemuda itu gugup Bi Hwa tiba-tiba tertawa lembut. Dia langsung memegang lengan Kun Bok tanpa malu-malu dan Kun Bok yang dipegang oleh jari yang lumer halus ini tersentak.

"Bok-kongu, kau hendak menanyakan sesuatu kepadaku, bukan? Nab, sekarang kesempatan itu kita punyai, mengapa tidak lekas bicara saja? Mari duduk dibawah pohon itu, kita bergembira...!"

Bi Hwa menyeret Kun Bok sambil tertawa dan Kun Bok sendiri yang mulai panas dingin ini agak menggigil, Bi Hwa sudah duduk tanpa malu-malu lagi dan Kun Bok yang setengah dipaksa duduk itu akhirnya menyerah juga. Mereka duduk berdampingan, semula agak saling menjauhi tapi Bi Hwa tiba-tiba merapatkan jubuhnya. Wanita ini tertawa genit, dan keharuman tubuhnya yang memancar keluar itu menyengat hidung Kun Bok.

"Bok-kongcu, kenapa sih kau malu-matu begini? Apakah kau tidak pernah bergaul dengan wanita?" pertanyaan yang seperti memperolok ini menggelapkan muka Kun Bok tapi pemuda itu tiba-tiba tertawa masam. Dia agak kikuk dengan sikap wanita ini, akan tetapi karena tidak mau dibilang canggung maka Kun Bok-pun nyengir dibuat- buat.

"Nona...eh, Hwa-moi!" Kun Bok membuka percakapan dengan gugup. "Kau aneh sekali cara perkenalannya denganku. Apakah betul kau ini kakak Bi Kwi? apakah kau tidak bohong?"

"Eh, kau ini meragukannya, kongcu? Astaga! Masa aku tidak mirip dengan adikku sendiri? Apakah bukti adanya Ceng Si dan Ceng Lan di dusun Lee-kim-chung tidak melenyapkan kecurigaanmu ini, Bok-kongcu? Wah, terlalu sekali. Memangnya aku wanita yang suka mengaku-aku enci Bi Kwi agar menjadi sahabatmu?" Bi Hwa membelalakkan matanya yang lebar itu dan Kun Bok naik turun jakunnya.

"Eh, bukan begitu, Hwa-moi. Kita kan baru kenal, bagaimana tidak beleh minta penjelasan? Maaf, bukannya aku tidak percaya tapi untuk melenyapkan keraguan di hatiku maka aku meminta keterangan. Tidak salah bahwa Ceng Si dan Ceng Lan ada di dusun Lee-kim-Chung, tapi dari mana kau bisa tahu semuanya ini, adik Hwa? Padahal, seingatku kau tidak pernah ke tempat Bi Kwi!"

"Hik-hik, memangnya aku harus laporan kalau ke tempat adikku itu, kengcu? Ih, kelewat sekali, Apanya yang harus diherankan? Bi Kwi memang adikku dan aku sering ke tempatnya secara diam-diam. Kau sering tidak ada di Kun- lun, pergi bersama ayahmu. Masa bisa tahu kedatanganku?"

Kun Bok terdiam. Dia memang merasa ada benarnya juga perkataan itu, akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan sesuatu. Dan sesuatu itu bukan lain adalah keadaan Bi Kwi dan Bi Hwa ini. Bi Kwi tidak bisa silat sedangkan Bi Hwa tampaknya lihai. Maka dia memandang heran ke arah Bi Hwa. "Eh, adik Hwa, kau kelihatannya pandai sekali bermain silat, bahkan tadipun aku hampir saja celaka di tanganmu. Tapi mengapa adikmu itu tampaknya lemah?"

"Hi-hik, kau mengira Bi Kwi itu gadis lemah. Bok-kongcu? Wah, bodoh sekali kau itu! Adikku itu hebat, dia tidak kalah denganku!"

"Eh..?" Kun Bok terkejut. "Begitukah?"

Bi Hwa mengangguk sambil tertawa ngikik. "Astaga, Bok-kongcu, kau ini pemuda macam apakah? Masa dikelabuhi adikku bisa saja? Wah, kita jewer nanti telinganya itu, adikku itu memang nakal...!"

Bi Hwa tertawa geli dan Kun Bok kembali merah mukanya. Entah mengapa, berhadapan dengan wanita-wanita macam Bi Kwi dan Bi Hwa ini dia merasa "mentah" sekali. Mereka itu cerdik-cerdik, dan sikapnya yang manis memikat serta lekuk tubuh yang indah menggairahkan itu serasa membuatnya mabok. Kun Bok tersipu-sipu dan Bi Hwa tiba-tiba bangkit berdiri.

"Bok-kongcu, apakah kau ingin bertemu dengan adikku?"

Kun Bok tersentak. "Dengan Bi Kwi maksudmu, adik Hwa?"

"Ya, tentu saja! Habis dengan siapa lagi?" wanita itu tertawa.

Kun Bok mendelong tapi tiba-tiba dia menekan debaran jantungnya ini. Pertanyaan Bi Hwa yang demikian langsung itu, sejenak membuatnya gugnp namun Kun Bok yang masin bersikap hati-hati dengan wanita ini tak segera menganggukkan kepalanya. "Adik Hwa." demikian akhirnya Kun Bok berkata, "Kalau saja aku bisa bertemu dengan Bi Kwi tentu saja hal itu amat menggembirakan. Akan tetapi sebelum kita kesana barangkali kulepaskan dahulu hal-hal yang masih ingin kuketahui darimu ini. Apakah engkau tidak keberatan?"

Bi Hwa tersenyum manis. "Ah, kau hendak mengajukan pertanyaan-pertanyaan, kongcu? Baiklah, aku akan menjawabnya. Pertanyaan apa yang ingin kau ketahui?" wanita itu menjatuhkan dirinya duduk kembali dan seperti tadi iapun tidak sungkan-sungkan merapatkan tubuhnya ke tubuh Kun Bok.

Kun Bok agak jengah, namun agar tidak dikira belum pernah bergaul dengan wanita diapun mendiamkan saja perbuatan Bi Hwa ini. Hanya sekarang dia agak berdegup, dan kelembutan serta kehangatan tubuh Bi Hwa itu membuat napasnya agak kencang. "Adik Hwa," Kun Bok memulai pembicaraannya, "Bagaimana kau bisa menaruh Hoag-taijin di dalam kereta? Dan apa maksudmu di dalam perbuatan yang amat aneh ini?"

Bi Hwa terkikik kecil. itu pertanyaan kecil, kongcu. Hong-taijin kusemhunyikan di dalam kereta sebagai kawalan barang adalah dikarenakan untuk menjaga keselamatannya. Dia diancam musuh, dan aku datang menyelamatkan. Pembesar itu kubawa ke kota Lam-king sebulan yang lalu, karena hanya di tempat itulah dia aman. Setelah musuhnya pergi, baru aku mengantarnya kembali melalui perantaraan Pek-ho-piauwkiok. Ada yang aneh?"

Wanita itu memandang sambil tersenyum dan Kun Bok menggelengkan kepala. "Agaknya tidak ada yang aneh, adik Hwa. Tapi bagaimana kau bisa kenal dengan pembesar itu?"

"Hm, ini karena ada hubungannya dengan pengawal pribadi pembesar itu. Pengawal ini meminta bantuanku, dan aku menyanggupinya. Hong-taijin adalah seorang kepala daerah, malah saudara sepupu Pangeran Kou Cien, mana bisa orang mengancamnya semena-mena?"

Kun Bok merenungkan jawaban ini, lalu tiba-tiba dia bertanya, "Siapakah musuh yang mengancam keselamatan Hong- taijin itu, adik Hwa?"

Bi Hwa mengerutkan alisnya yang menjelirit indah, "Wah, ini sebenarnya rahasia, Bok-kongcu. Akan tetapi mengingat parsahabatan kita biarlah kuceritakan kepadamu. Musuh Hong-taijin itu bukan lain adalah Fan-ciangkun, panglima muda yang menjadi kepercayaan Pangeran Kou Cien sendiri. Panglima itu menaruh kebencian tersembunyi terhadap Hong-taijin, dan kebenciannya yang tidak berdasar inilah yang membuat panglima itu hendak membunuh Hong-taijin secara diam-diam. Panglima itu konon telah mengirim seseorang ke kota Ih-bun, namun dia terpaksa gaga! Karena Hong-taijin sudah kularikan ke kota Lam-king!"

"Ah, begitukah, adik Hwa?" Kun Bok menjadi heran. "Lalu siapakah Fan-ciangkun itu? Aku belum pernah mendengar namanya!"

"Ih, kau agaknya kurang luas pengetahuan, kongcu!" Bi Hwa mentertawakan pemuda ini. "Masa Fan-ciangkun saja kau tidak kenal? Dia adalah orang kepercayaan Pangeran Kou Cien sekarang ini, dulu dia adalah tangan kanan Yap-goanswe! Atau kau juga tidak kenal siapa itu Yap-goanswe?"

Bi Hwa tersenyum lebar dan Kun Bok merah mukanya. "Ah, Pendekar Gurun Neraka itu maksudmu, adik Hwa?"

"Ya, bekas jenderal muda yang sombong itu!"

Bi Hwa menganggukkan kepalanya dan Kun Bok terkejut "Sombong?" pemuda ini terbelalak. "Apakah dia sombong, adik Hwa?"

"Apa bukan sombong lagi, kongcu, tapi sudah kelewat tekebur...!" Bi Hwa melanjutkan dengan suara gemas dan Kun Bok yang mendengar jadi melenggong.

Dia tidak tahu mengapa wanita ini nampaknya marah kepada bekas jenderal muda yang dia dengar amat lihai itu, akan tetapi karena dia tidak perlu bertanya maka Kun Bok-pun merasa tidak ada urusan. Hanya diam-diam dia merasa heran. Sepengetahuannya, Yap-goanswe ini adalah seorang yang gagah perkasa, jujur dan penuh wibawa. Bagaimana bisa dikata sombong? Apakah Bi Hwa ini pernah mengalami sakit hati kepada pendekar muda itu? Kun Bok tidak bertanya dan dia kembali pada persoalan semula.

"Adik Hwa, lalu atas dasar apakah kebencian Panglima Fan itu terhadap Hong-taijn? Bukankah mereka sama-sansa pembantu Pangeran Kou Cien yang sekarang menjadi raja muda itu?"

Bi Hwa tersenyum hati-hati. "Kabarnya karena Hong-taijin membantu musuh panglima kongcu, membantu karena merasa di pihak yang benar."

"Hm, membantu apa? Dan siapa yang dibantu."

"Perkumpulan Hiat-goan-pang."

"Hiat-goan-pang?"

"Ya."

Kun Bok terkejut bukan main dan pemuda ini tiba-tiba tertegun. Diingatkan tentang nama perkumpulan ini seketika dia jadi teringat akan pembunuh anak buah Pek-ho piauwkiok, orang yang tiba-tiba melarikan diri setelah melihat kedatangannya itu. Apakah sebenarnya rahasia yang tersembunyi di balik peristiwa ini? Kun Bok mendelong dan Bi Hwa yang duduk di sampingnya menarik halus.

"Kenapa, kongcu? Kau sudah pernah mendengar nama Hiat-goan-pang?"

Kun Bok menoleh kaget. "Belum, adik Hwi. tapi... senjata gelang yang dipakai orang berkedok hitam itu serasa pernah aku melihatnya, tidak asing. Tapi di mana Aku lupa mengingatnya....."

Pemuda ini termangu-mangu dan apa yang dikatakan itu memang betul. Dia serasa pernah melihat senjata gelang berdarah itu, tapi di mana dan waktunya kapan Kun Bok sudah tidak tahu lagi. Dia tidak ingat, betapa di kamar Bi Kwi dia melihat benda itu untuk pertama kalinya. Dan Bi Hwa yang melihat orang melamun tampak tersenyum penuh arti.

"Bok-kongcu, apakah yang hendak kau tanyakan lagi?"

Kun Bok termenung. "Agaknya Sudah cukup, Hwa-moi, tapi siapakah orang berkedok itu? Mengapa dia melarikan diri begitu melihat kedatanganku?"

Bi Hwa tiba-tiba tertawa. "Dia tentu saja orang Hiat-goan-pang, kongcu, Mengapa ditanyakan lagi? Dan bagaimana pendapatmu tentang perkumpulan Gelang Berdarah itu?"

Kun Bok bangkit berdiri. "Agaknya Hiat-goan-pang adalah perkumpulan iblis, adik Hwa! Dan kalau semua anggautanya seperti itu tentu mengerikan sekali!"

"Hik-hik, kau terlalu cepat menjatuhkan kesimpulan, kongcu. Mana bisa sebuah perkumpulan tingkah laku seorang anak buahnya? Kalau mereka semua begitu memang tidak salah tapi bagaimana kalau sebaliknya? Perbuatan seorang anggauta tidak boleh dijadikan pedoman untuk menjatuhkan vonis terhadap sesuatu perkumpulan. Dan Hiat-goan-pang kukira bukanlah perkumpulan keji!"

"Maksudmu?" Kun Bok terkejut.

"Kau akan kuperkenalkan dengan seseorang, kongcu, dan terus terang dia juga anggota Hiat-goan-pang. Aku yakin setelah kau mengetanui sebab-sebab yang dilakukan oleh anggauta-anggauta perkumpulan ini maka pemikiranmu tentang Hiat-goan-pang pasti berobah! Apakah kongcu ingin membuktikannya?"

Kun Bok terbelalak. "Adik Hwa, kau tampaknya membela sekali perkumpulan Hiat-goan-pang ini, Apakah kau juga anggautanya?"

Bi Hwa tersenyum rahasia. "Bolehlah disebut simpatisannya, kongcu," jawabnya diplomatis.

Dan Kun Bok yang mendenyar jadi tertegun. Pemuda itu memang belum tahu betul bagaimana dan macam apakah sebenarnya Perkumpulan Gelang Berdarah ini. Dan dia yang baru sekarang ini turun gunung seorang diri memang jadi ingin tahu. Karena itu ketika Bi Hwa merawarkan kepadanya untuk diperkenalkan dengan seorang lain dari perkumpulan itu dia menjadi berdebar. Melihat sepak terjangnya si orang berkedok hitam boleh jadi perkumpulan Hiat-goan-pang adalah perkumpulan iblis. Akan tetapi karena perbuatan seorang anggota memang tidak bisa dijadikan patokan untuk menilai perkumpulannya, maka diapun juga tidak berani tergesa-gesa menyatakan pikirannya.

Bi Hwa ini menarik perhatiannya. Wanita itu serasa menyembuyikan banyak rahasia. Dan dia yang ingin mengetahui segalanya itu jadi terangsang. Apalagi oleh kesanggupan wanita yang ingin mempertemukan dengan Bi Kwi. Dan teringat kepada Bi Kwi membuat perasaan Kun Bok berdebar. Kekasihnya itu ternyata mengelabuhinya, berpura-pura sebagai gadis lemah. dan dia ingin membuktikan kebenaran ucapapan Bi Hwa ini! Apakah betul Bi Kwi pandai silat?

Bi Hwa tiba-tiba menyambar lengannya. "Bok-kongcu, apakah kau bersedia memenuhi permintaanku? Ataukah kau takut mendengar nama, Hiat-goan-pang ini?"

Ketawa Bi Hwa yang sedikit mengejek itu membuat telinga Kun Bok meerah akan tetapi dengan tegas dia menggelengkan kepalanya, "Tida adik Hwa, aku tidak takut segala macam perkumpulan apapun! Akan tetapi, bukankah sebelumnya kau ingin membawa aku kepada Bi Kwi?"

Bi Hwa tekekeh geli„ "Ih, kau sudah rindu dengan adikku itu, kongcu? Hm, berapa lama sudah kalian berpisah? apakah sudah ada setahun?"

Kun Bok seperti udang rebus. Dia menjadi malu dengan godaan ini, namun Bi Hwa yang genit menggairahkan itu tahu-tahu sudah menarik tangannya. Pinggul yang digoyang tiba-tiba dipukulkan ke pantatnya dan ssambil terkekeh Bi Hwa berseru, "Bok-kongcu, hayo kita ke kuil Ban-se-tong! Adikku pasti ada di sana…!" dan sambil tertawa-tawa wanita itu menyeret Kun Bok yang patuh saja dibawa dengan muka merah padam itu.

Putera si jago pedang itu tersipu gugup, dan entah mengapa dia menjadi seperti orang mabok. Kaki yang melangkah ringan seakan-akan melayang dan genggaman Bi Hwa yang menyalurkan getaran lembut itu menggetarkan jiwanya. Sikap Bi Hwa yang demikian bebas dan penuh kegenitan itu menggejolakkan nafsu birahinya, akan tetapi Kun Bok yang baru kenal itu menahan diri. Dia masih ingat kedudukannya, kedudukan putera seorang jago pedang!

* * * * * * * *

Sore itu, mereka memasuki sebuah hutan, tidak begitu besar, tetapi cukup lebat kelihatannya. Dan Bi Hwa yang mengajak Kun Bok memasuki hutan ini tampak berhati-hati. Mereka sudah sehari penuh berjalan cepat, dan Kun Bok yang diam-diam mencoba kepandaian ilmu lari cepat teman seperjalanannya itu merasa terkejut. Ternyata Bi Hwa ini memiliki kepandaian tinggi. Ginkangnya tidak kalah oleh ginkang yang dimilikinya, dan kalau Bi Kwi dikatakan memiliki kepandaian tidak kalah oleh encinya, ini sungguh hal yang mengejutkan sekali.

Tapi, kenapa Bi Kwi merahasiakan kepandaiannya? Ada apa kekasihnya itu berpura-pura lemah? Inilah Kun Bok tidak mampu menebaknya. Dia hanya terheran-heran oleh semua kenyataan itu, dan ajakan Bi Hwa yang hendak mempertemukannya dengan Bi Kwi itu sungguh mendebarkan hatinya. Kini mereka sudah tiba di mulut hutan. Bi Hwa yang berjalan disampingnya tiba-tiba mengendurkan langkah dan wanita cantik ini memegang tangan Kun Bok.

"Kongcu," Bi Hwa berseru lirih, "Kita harus berhati-hati memasuki hutan ini. Di dalam banyak bahaya dan aku tidak ingin kau celaka, berpeganglah erat-erat pada tanganku dan setiap suara atau gerakan apapun yang mencurigakan hatimu, jangan ditanggapi! Dengarkah kau?"

Kun Bok menganggukkan kepalanya. "Baik adik Hwa, tapi bahaya apa saja yang kau maksudkan di sini? Apakah binatang buas?"

Bi Hwa menggelengkan kepalanya. "Itu hanya salah satu di antaranya, kongcu, tapi tidak begitu berarti. Yang penting kau diamlah turuti segala perintahku dan semuanyapun pasti selamat!"

"Hm, begitukah?" Kun Bok mengangkat bahunya dan dengan sikap seolah-olah tidak perdulian dia mengikuti wanita itu memasuki hutan. Tapi sebenarnya, dengan penuh kewaspadaan memasang mata dan telinga serta seluruh getaran rasanya untuk mengetahui setiap gerak-gerik yang mencurigakan hatinya.

Bi Hwa sudah tidak bicara lagi, dan mereka berdua sudah memasuki hutan lebat ini. Keadaan yang gelap serta lembab mulai mereka injak. Tapi Bi Hwa rupanya tenang tenang saja. Wanita cantik itu melangkah hati-hati dan Kun Bok melihat setiap langkah dari wanita ini rupanya memiliki perhitungan tersendiri.

Kaki Bi Hwa tau tidak pernah melangkah melebihi sepuluh tindak, karena setiap tujuh delapan langkah ia pasti membelok, entah ke kanan atau ke kiri. Dan Kun Bok yang diam-diam mengikuti gerak-gerik temannya ini mendapatkan kenyataan bahwa langkah kaki Bi Hwa itu mengandung unsur-unsur Pat-kwa atau langkah segi delapan. Dia terheran, namun Kun Bok diam saja.

Mereka sudah menginjak seratus langkah memasuki hutan itu dan tiba-tiba sebuah pekik parau mengejutkannya dari lamunan. Kun Bok tersentak dan seekor gorilla sekonyong-konyong berada di depan mereka dalam sebuah bayangan gelap. Binatang ini menerkam buas, dan jarak tiga meter itu sungguh membuat Kun Bok terkesiap. Secara refleks pemuda ini menggerakkan tangan, tapi tiba-tiba Bi Hwa mencekal tangannya itu dengan kuat.

"Bok-kongcu, jangan ditanggapi!' demikian wanita itu berbisik lirih di dekat Kun Bok. Dia yang ditahan lengannya itu terkejut sekali. Gorila ini kukunya sudah di depan mata, bagaimana Bi Hwa melarangnya seperti itu?"

Tapi sebelum dia membantah sekonyong-konyong satu peristiwa ajaib datang memberikan jawaban. Gorilla yang sudah menubruk maju itu mendadak berteriak, dan tangan berbulu yang sudah diajukan ke depan dengan kuku-kukunya yang mengerikan itu sekonyong-konyong terhenti di tengah jalan. Suara "blub" yang aneh terdengar, dan Kun Bok melihat binatang buas ini terjerembab di atas tanah.

Entah bagaimana terjadinya, Kun Bok tidak tahu. Mendadak saja lumpur pekat bermuncratan di depan mukanya dan gorila yang terjatuh itu meraung dengan tubuh menggelepar. Kepala yang tadi menengadah itu sekonyong-konyong semakin memandek, dan pekik yang penuh kengerian serta ketakutan dari binatang itu membuat Kun Bok terbelalak. Kiranya baru dia tahu bahwa binatang ini terjerembab diatas lumpur atau tepatnya rawa berlumpur dan gerakan kacau dari gorila ini telah mengakibatkan binatang ini melesak semakin dalam dan tidak dapat ditolong lagi.

"Ah, rawa berbahaya…!" Kun Bok mendesis dengan muka pucat dan pemandangan yang mengerikan di depannya itu membuat pemuda ini tertegun.

Gorila yang berteriak-teriak itu sudah terbenam tiga perempat lebih dalam sekejap saja dan gerakan yang penuh ketakutan itu akhirnya membuat binatang ini sebentar saja telah kehilangan segala-galanya. Kepala yang tadi nongol dengan mulut meraung itu kini tidak tampak lagi dan gema yang melengking terakhir kalinya dari binatang ini sempat menggetarkan isi hutan.

Kini semuanya sudah sunyi kembali, dan Kun Bok yang masih tertegun di tempatnya dengan muka pucat itu serasa mendapat mimpi buruk. Dia baru tersentak ketika Bi Hwa tiba-tiba menyendal lengannya, dan wanita cantik yang selalu mendampinginya ini tersenyun penuh rahasia. Bi Hwa sama sekali tidak menunjukkan rasa ngerinya, dan wanita cantik itu tampak dingin-dingin saja.

"Bok-kongcu, kau sudah mulai membuktikannya, bukan? Nah, karena itu ikutilah samua petunjukku. Kita masih banyak mendapatkan rintangan, tapi asal kau tidak gegabah pasti semuanya berjalan baik. Mari berjaian kembali...!" Bi Hwa meriarik tangan pemuda itu dan dengan langkahnya yang pasti namun penuh perhitungan wanita ini mengajak Kun Bok meneruskan perjalanannya.

Kun Bok masih termangu-mangu, dan rasa ngerinya mengingat nasib gorila tadi belum dapat dilenyapkan begitu saja. Akan tetapi setelah Bi Hwa mengajaknya berjalan lagi dan satu demi satu peristiwa-peristiwa baru kembali mereka alami sekaranglah Kun Bok benar-benar percaya. Ternyata apa yang dikatakan Bi Hwa itu tidak salah, banyak bahaya yang berada di depan mereka. Karena setelah peristiwa dengan gorila tadi selesai berturut-turut muncullah kejadian-kejadian lain yang tidak kalah mengerikannya.

Pertama-tama mereka dihadang sekelompok ular, bukan ular sembarang ular melainkan ular-ular beracun. Itu dibuktikan Kun Bok dergan rasa pening kepalanya yang tiba-tiba saja muncul setelah dia mencium bau amis dari semburan-semburan uap mereka yang mendesis-desis dengan lidah keluar masuk. Mengerikan sekali, tapi Bi Hwa ternyata tenang-tenang saja. Wanita ini malah terkekeh melihat Kun Bok terbelalak dengan muka lebih pucat dibanding dengan pertemuannya dengan gorila buas itu, dan dengan tenang Bi Hwa menaburkan bubuk putih di depan kakinya sepanjang perjalanan.

Aneh sekali. Ular-ular itu sekonyong-konyong menyingkir, dan satu jalan setapak yang lurus panjang terbentang di depan mereka. Bi Hwa tenang-enang saja melangkah, tapi Kun Bok yang berjalan di belakang wanita dengan ratusan ular di kiri kanannya membayangkan kemungkinan dipagut tanpa dia sendiri sempat mengelak sungguh terlampau mengerikan bagi Kun Bok.

Tapi untunglah, mereka temyata selamat tiba di seberang perjalanan dan Bi Hwa yang melihat muka pucat pemuda itu tersenyum geli. Dia tidak menggoda Kun Bok lagi, melainkan terus melangkah menuju ke depan. Tanah lapang yang berumput alang-alang kini merupakan rintangan ke dua, kelihatannya tidak ada apa-apa namun Kun Bok terkesiap ketika mendadak saja terdengar suara mencicit gaduh seperti tikus digebah.

Tadinya Kun Bok mengira benar-benar sebangsa tikus atau semacamnya yang kali ini mereka hadapi, tapi ternyata bukan, bahkan sama sekali di luar dugaan. Apa kalau begitu yang dilihat Kun Bok? Bukan lain kadal-kadal berbisa yang kepalanya bertanduk tunggal, kadal sebesar lengan orang dewasa yang lidahnya berwarna biru kehitaman, kadal yang di pegunungan Himalaya terkenal sebagai kadal tanduk beracun.

Tantu saja Kun Bok terkejut setengah mati melihat kadal-kadal yang bermunculan dari tengah alang-alang itu dan mata mereka yang kecil merah seperti api itu jelas menyinarkan kebuasan yang tidak kalah dengan ular-ular berbisa atau gorila pertama yang mereka jumpai!

Tapi untuk Bi hwa yang rupanya telah mengenal baik tempat berbahaya ini, melangkah saja terus kedepan. Dia menyibak-nyibak rumput alang-alang yang tinggi. Sambil berjalan wanita ini menyemprotkan cairan kuning yang berasal dari sebuah buli-buli seperti tempat arak dan bau yang sangat tajam segera keluar memenuhi padang berumput. Kadal-kadal yang saling mencicit dan tampaknya siap menyerang mereka itu sekonyong-konyong mengenduskan hidung mereka, menjilat-jilat seperti anjing mendapat air dan tiba-tiba berlari ketakutan membalikkan tubuh menjauhi Bi Hwa!

Kun Bok terbelalak dan dia heran bukan main menyaksikan kelihaian Bi Hwa menundukkan binatang beracun itu. akan tetapi Bi Hwa sendiri yang dipandang kagum tampak tenang-tenang saja. Dia seolah-olah tidak tahu pandangan Kun Bok ini, hanya kepala yang kini sedikit tetadah itu menunjukkan bahwa wanita cantik itu diam- diam merasa bangga bahwa dirinya dikagumi seorang putera jago pedang terkenal.

Dan Kun Bok yang selalu mengintil di belakang Bi Hwa ini semakin terheran-heran. Di Samping ketiga macam biaatang buas pertama, ternyata di dalam hutan itu masih terdapat banyak sekali macam binatang-binatang lain, semuanya berbahaya. Mulai dari kelabang kaki hijau sampai harimau kumbang yang siap di atas pohon untuk menerkam mereka.

Tapi Bi Hwa selalu berhasil menghalau mereka, entah dengan bubuk atau cairan penolaknya, sampai tentang pengetahuannya tentang jebakan-jebakan berbahaya yang sama sekali tidak disangka. Seperti harimau kumbang itu misalnya. Bi Hwa tidak melawannya dengan bubuk penolak atau cairan kuningnya seperti ketika menghalau kadal beracun, melainkan memasang diri sedemikian rupa sehingga raja hutan itu terjerumus kedalam sebuah jebakan yang penuh pisau-pisau tajam di dalamnya.

Harimau kumbang itu terjeblos dalam sebuah sumur buatan yang didalamnya dipasangi pisau-pisau belati yang banyaknya ratusan buah! Tentu saja raja hutan itu terpekik mengerikan. Elakan Bi Hwa yang sedemikian manisnya dan sengaja memasang diri dipinggir sumur maut itu membuat sang raja hutan mengalami bencana, seperti disate didalam lubang perangkap, dan seluruh tubuh bagian bawahnya amblas tertusuk pisau. Mengerikan!

Kun Bok hanya dapat menggeleng kepala melihat semua kejadian itu dan sekarang maklumlah dia bahwa Bi Hwa rupanya wanita yang amat lihai sekali, karena di samping lihai juga rupanya wanita itu amat cerdik dan berbahaya, mengenal baik tempat yang mereka masuki ini dengan cermat, kecermatan seseorang yang agaknya menjadi penghuni tempat itu, seseorang yang mengenal baik rumah tinggalnya sendiri!

Kun Bok tersentak oleh pikiran "rumah-sendiri" itu dan dengan kaget tiba-tiba dia memandang Bi Hwa yang berjalan tenang ini. Betulkah hutan itu "rumah sendiri" bagi Bi Hwa, tempat tinggalnya? Kalau tidak betul, lalu bagaimana wanita ini bisa mengetahui semua keadaan di situ dengan amat baiknya? Kun Bok terkejut oleh jalan pikirannya ini dan dengan jantung berdegup dia teringat akan kuil Ban-se-teng yang akan mereka datangi itu. Kuil ini dia tidak tahu letaknya di mana, dan juga dia tidak tahu mengapa mencari Bi Kwi kok harus ke kuil itu. Ada apakah?

Tapi tiba-tiba dia tertegun. Bi Hwa yang dipandang mendadak menoleh, menyambar lengannya dan berbisik, "Bok-kongcu, awas tundukkan kepalamu itu, kita memasuki, daerah terlarang, Pulau Surga…!"

Seruan perlahan itu membelalakkan Kun Bok dan putera jago pedang dari Kun-lun ini tercengang. Apa yang dilihat? Ternyata suasana baru yang serba mengherankan. Karena kalau tadi mereka memasuki hutan gelap dan menyelinap diantara pepohonan yang tinggi besar dengan daun-daunnya yang lebat, sekarang tiba-tiba saja di depan mereka terbentang sebuah telaga kecil yang airnya jarnih kebiruan. Dan di tengah-tengah telaga itu, tampak agak sedikit jauh, berdirilah sebuah kelenteng dikelilingi tiga rumah baru yang bercat kuning muda!

"Astaga...!" Kun Bok tertegun dan Bi Hwa yang menyambar lengannya itu sudah menekan pundaknya dengan desah perlahan menunjukkan keganjilannya. Dan di tengah-tengah telaga itu, tampak agak sedikit jauh, berdirilah sebuah kelenteng dikelilingi tiga rumah baru yang bercat kuning muda! Kun Bok terheran, dan dia memandang wanita itu yang tiba-tiba menghentikan langkah. "Ada apa, adik Hwa?" tanyanya lirih.

Bi Hwa mengerutkan alis, dan wanita itu tampak curiga. "Ada sesuatu yang luar biasa di Pulau Surga, kungcu, sesuatu yang belum kuketahui...."

"Ah, apa itu? Dan Pulau Surga katamu?"

"Ya, pulau kecil di tengah-tengah telaga itu. Perahunya tidak ada!"

"Perahu? Perahu apa…?" Kun Bok menjadi bingung tapi Bi Hwa tiba-tiba sudah menarik tangannya dengan sikap tergesa-gesa.

"Kita mengitari pulau, kongcu, kita periksa apa yang sedang terjadi…!" wanita itu hanya menjawab pendek dan Kun Bok yang tidak mengerti apa-apa itu menurut saja diseret Bi Hwa.

Tidak seperti tadi ketika memasuki hutan yang lebat dan berbahaya itu, adalah sekaraag Bi Hwa menggunakan langkah-langkan Pat-kwa lagi seperti semula. Wanita ini berlari cepat dengan cara biasa dan telaga kecil yang airnya jernih kebiruan itu sekejap saja sudah mereka kitari. Ternyata, mereka sekarang berada di belakang kelenteng besar yang berdiri tegak di tengah-tengah telaga itu, dan Bi Hwa yang semula tampak tegang kini kelihatan berseri mukanya.

"Ah, perahu itu ada…!" Bi Hwa berseru lega dan akhirnya wanita itu menudingkan jarinya yang lentik ke seberang telaga di belakang kelenteng dengan suara gembira.

Kun Bok mendelong tapi dia tidak memberikan komentar atas kegembiraan teman barunya ini. Sebuah perahu memang ada di kejauhan sana, namun Kun Bok yang sama sekali belum mengerti tentang maksud Bi Hwa itu merasa terheran-heran saja. Maka diapun lalu bertanya,

"Adik Hwa, apa hubunganmu dengan terdapatnya perahu itu? Dan kelenteng siapa pula yang berada di tengah-tengah telaga itu...?"