PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 15
KARYA BATARA
JILID 15
KARYA BATARA
"MAAF, pinceng hampir tidak dapat menepati janji sekarang, karena adanya suatu hal yang amat mendadak. Seperti yang telah kita sepakati bersama, memang pinceng seharusnya sudah tiba di Tikungan Segi Tiga setengah jam sebelumnya. Akan tetapi karena adanya gangguan di tengah jalan, pinceng menjadi sedikit terlambat. Kita harus segera ke tempat tujuan, Cui loheng, karena Hiat Goan pangcu telah mengirimkan undangan-undangan khusus kepada para pendekar dengan maksud-maksud keji. Pinceng belum tahu pasti apa yang tersembunyi di balik semua gerak-geriknya ini. Namun pinceng melihat sesuatu yag mencurigakan di sini. Karena itu sebaiknya kita berpisah. Cui-loheng mengambil arah selatan menuju tempat yang sama, dan untuk itu pinceng membutuhkan bantuan Souw siauhiap dalam hal ini!"
Ceng Han terkejut mendengar namanya disebut-sebut. Akan tetapi karena sikap dua orang tokoh tua itu kelihatan serius dan mereka menyebut-nyebut nama Hiat goan pang. Dia menjadi jadi berdebar tegang? Maka ketika orang memandangnya dia cepat-cepat menyela, "Locianpwe, kalau yang dimaksudkan untuk urusan yang menyangkut orang banyak, tanpa ragu-ragu siaute akan menyanggupkan diri, akan tetapi apakah pengalaman dan kepandaian siaute cukup dan dapat diandalkan?"
Hwesio itu tertawa lembut. "Souw kongcu, kau terlalu merendah. Kelihaianmu dalam menghadapi Dewa Monyet tadi sudah cukup bagi pinceng untuk menaksirmu. Dan lagi bukankah kongcu jelek-jelek adalah putera Ciok-thouw Taihiap?"
Ceng Han merah mukanya. "Ah, tapi siaute belajar kurang rajin dari ayah, locianpwe, mudah-mudahan memang tidak mengecewakan."
"Ha-ha, pinceng yakin tidak. Dan juga perjalanan ini juga menyangkut keselamatan ayahmu, kongcu, karena dia pinceng dengar juga mendapat undangan dari ketua Hiat-goan-pang!"
"Hey…?" Ceng Han terkejut.
"Ya, itulah kabar yang pinceng terima, kongcu. Dan ayahmu tidak tahu bahwa puterinya diam-diam sudah ditawan oleh Hiat-goan-pang. Dia sudah menjanjikan kesanggupan orang, dan seperti yang kau tahu sendiri watak ayahmu, sekali dia bilang 'ya' dilaksanakannya tanpa peduli setan yang datang mengganggu."
"Ah...!" Ceng Han tiba-tiba sekonyong-konyong perasaannya tidak enak.
Ceng Han terkejut mendengar namanya disebut-sebut. Akan tetapi karena sikap dua orang tokoh tua itu kelihatan serius dan mereka menyebut-nyebut nama Hiat goan pang. Dia menjadi jadi berdebar tegang? Maka ketika orang memandangnya dia cepat-cepat menyela, "Locianpwe, kalau yang dimaksudkan untuk urusan yang menyangkut orang banyak, tanpa ragu-ragu siaute akan menyanggupkan diri, akan tetapi apakah pengalaman dan kepandaian siaute cukup dan dapat diandalkan?"
Hwesio itu tertawa lembut. "Souw kongcu, kau terlalu merendah. Kelihaianmu dalam menghadapi Dewa Monyet tadi sudah cukup bagi pinceng untuk menaksirmu. Dan lagi bukankah kongcu jelek-jelek adalah putera Ciok-thouw Taihiap?"
Ceng Han merah mukanya. "Ah, tapi siaute belajar kurang rajin dari ayah, locianpwe, mudah-mudahan memang tidak mengecewakan."
"Ha-ha, pinceng yakin tidak. Dan juga perjalanan ini juga menyangkut keselamatan ayahmu, kongcu, karena dia pinceng dengar juga mendapat undangan dari ketua Hiat-goan-pang!"
"Hey…?" Ceng Han terkejut.
"Ya, itulah kabar yang pinceng terima, kongcu. Dan ayahmu tidak tahu bahwa puterinya diam-diam sudah ditawan oleh Hiat-goan-pang. Dia sudah menjanjikan kesanggupan orang, dan seperti yang kau tahu sendiri watak ayahmu, sekali dia bilang 'ya' dilaksanakannya tanpa peduli setan yang datang mengganggu."
"Ah...!" Ceng Han tiba-tiba sekonyong-konyong perasaannya tidak enak.
Leng Kong Hosiang sudah melanjutkan lagi. "Namun bukan itu saja, kongcu. Disamping ayahmu masih terdapat banyak para pendekar lagi. Diantaranya adalah Malaikat Gurun Neraka, sahabat Ta Bhok Hwesio dari Tibet dan juga Pendekar Gurun Neraka sendiri yang mereka ketemukan. Ini masih belum menyangkut para undangan dari pejabat-pejabat istana lainnya. Panglima Tan dan Panglima Ong rekan-rekan dari panglima Fan yang sekarang ada di sini ini! Nah, bukankah undangan yang menyangkut semua tokoh-tokoh ini mencurigakan sekali?"
Ceng Han tertegun, "Eh, kalau begitu, apa alasan dari undangan ini dan siapa pula pengundangnya, sehingga sampai ayah sendiri menyanggupi datang, locianpwe? Apakah ketua Hiat-goan-pang itu?"
Kong Hosiang menarik nafas panjang, " Dia bukan hanya pengundang utama, kongcu akan tetapi dalam undangan juga tercantum nama-nama yang lain seperti Palu Baja dan si Pisau Kilat. Maka kalau nama pengundang seperti itu dan ditujukan kepada ayahmu, tentu saja ayahmu merasa seperti setengah ditantang. Aapalagi Palu Baja dan sutenya itu dulu mencari ayahmu. Undangan menyatakan untuk mengadakan pertandingan (Pibu) dan sekaligus pula mencari Bengcu (pemimpin)! Nah, bukankan undangan semacam ini bakal disambut ayahmu deengan penuh gairah? Pinceng yakin Souw-taihiap (Pendekar Kepala Batu) tidak berniat untuk menjadi bengcu segala, namun dicantumkannnya nama dua orang iblis yang dulu pernah mencarinya itu tentu yang menjadi sebab utama dia menyatakan diri."
"Ah, gawat kalau begitu...!" Ceng Han mendesah cemas dan Leng Kong Hosiang menganggukkan kepalanya.
"Tidak salah, kongcu, akan tetapi ada sesuatu yang lebih berbahaya lagi pada surat undangan itu. Ketua Hiat-goan-pang rupanya orang cerdik dan licik. Dia mempunyai maksud yang pinceng sendiri baru meraba-rabanya. Ada sesuatu yang amat mencurigakan di sini, karena dalam setiap kartu undangan, nama-nama pengundang dibuat berlainan!"
"Eh, mengapa begitu?" Ceng Han terkejut.
"Pinceng kira hanya sebagai taktik memanaskan hati orang, kongcu. Contohnya adalah ayahmu itu. Kepada Souw Taihiap dicantumkan nama si Pisau Kilat dan Suhengnya, si Palu Baja. Tetapi kepada panglima-panglima kerajaan umpamanya dicantumkan nama Fu Chai, itu putera mendiang Raja Muda Kung Cu Kwang!"
"He...?!" Ceng Han kaget sekarang dan dia juga tercengang. "Putera mahkota kerajaan Wu, locianpwe?"
"Ya, maka tidak aneh kalau setiap orang yang menerima undangan itu serasa digelitik hatinya." Leng Kong Hosiang mengangguk. "Dan ini memang mengena sekali, kongcu, karena siapa tidak berang kalau diundang lawan? Menolak berarti menjatuhkan harga diri, karena otomatis dianggap takut. Dan bagi orang-orang gagah seperti ayahmu dan yang lain-lain, siapa yang dikira takut? Karena itulah mereka mengeraskan diri dan menerima undangan dengan sikap gagah!"
"Ahh!" Ceng Han terbelalak dan dia tidak tahu lagi apa yang harus dikatakan. Akan tetapi mendengar semua penjelasan hwesio kosen itu diam-diam dia mengenal betapa cerdik dan berbahayanya ketua Hiat-goan-pang itu! Sengaja memasang nama-nama "musuh" bagi yang diundang walaupun pernyataannya hanya sekedar ingin melakukan pertandiagan persahabatan. Sungguh licik!
"Dan Cui-loheng...." hwesio itu menoleh kepada si Belut Emas, "Pinceng kira rencana kita tetap saja berjalan seperti semula. Hanya sekarang kita harus mencar (berpisah), Cui-loheng bersama Fan-ciangkun serta nona Cui, sedangkan pinceng bersama Souw-kongcu. Tanggal undangan sudah tidak begitu jauh lagi, dan kita harus mencari tempat-tempat kelemahan pada markas besar Hiat-goan-pang di Puri Naga. Bagaimana, apakah Cui-loheng sudah siap?"
Kakek Cui menganggukkan kepalanya. "Lohu sudah siap, totiang, dan mudah-mudahan rencana kita tidak meleset!"
"Hmm, mudah-mudahan, Cui-loheng, akan tetapi berhati-hatilah. Hiat-goan-lopangcu (ketua Hiat-goan-pang) adalah orang yang amat berbahaya sekali. Dia amat cerdik dan karena itu waspadalah. Semoga Sang Buddha melindungi kita semua, omilohud...!"
Leng Kong Hosiang merangkapkan kedua tangannya dan kakek Cui balas menghormat, "Sampai bertemu di tempat tujuan, lo-heng...!" kakek itu berseru tegang dan hwesio ini mengangguk.
"Omitahud, semoga sampai di tempat tujuan, Cui-loheng...!" kata-kata ini diiringi tepukan perlahan dan hwesio itu sudah menengok ke arah Ceng Han. "Souw-kongcu, mari kita berangkat...!"
Ceng Han tersipu kaget. Dia sedang memandang Cui Ang. Gadis itu tiba-tiba tampak aneh, mukanya muram dan juga memandang dirinya seperti berat berpisah. Maka kini ketika tiba-tiba Pek Kut Hosiang berseru kepadanya Ceng Han menjadi tersentak. Cepat dia memandang kakek Cui dan buru-buru menghormat. "Cui-locianpwe, perkenankan siaute pergi dulu. Dan Li-twako, semoga selamat dalam perjalanan...!" Ceng Han membungkuk di depan dua orang itu, lalu menghadapi Cui Ang.
"Nona Cui, karena Pek Kut Hosiang locinpwe membutuhkan tenagaku maka biarlah kita berpisah di sini. Mudah-mudahan kita dapat bertemu dan sebelum kita berpisah tak lupa ucapkan banyak terima kasih atas budi pertolongan yang amat besar kepadaku! Selamat tinggal, sampai berjumpa lagi...!" Ceng Han memberi hormat di depan gadis itu dan Cui Ang tergesa-gesa, menyambut dengan mata sayu.
"Souw kongcu, berhati-hatilah dalam perjalanan. Jangan sampai ada apa-apa..." gadis itu berkata serak dan Ceng Han mengangguk sambil tersenyum. Dia pura-pura tidak melihat betapa mata gadis itu berair dan setelah sekali lagi memberi hormat, Ceng Han-pun lalu membalikkan tubuh dan menyusul Pek-kut-Hosiang yang sudah melompat duluan.
Kini keadaan di tepi sungai itu lengang, dan tiga orang yang berdiri di situ memandang bayangan Pek-kut Hosiang dan Ceng Han dengan bermacam perasaan. Kakek Cui menunjukkan ketegangan yang besar pada sinar matanya sedangkan Gelatik Emas mengerutkan kening dengan pandangan tak menentu. Hanya Cui Ang yang menunjukkan kesedihan, tidak tegang seperti ayahnya karena dia kurang tahu tentang berbahayanya keadaan yang sebenarnya dan gadis itu jelas tampak berat dan gundah harus berpisah dengan Ceng Han setelah semalam suntuk berada bersama.
Gadis itu termangu-mangu, dan akhirnya setelah bayangan dua orang itu lenyap di arah barat barulah ia sadar. Ayahnya menggamit tangannya, dan orang tua itu mengajak mereka segera pergi meninggalkan tempat itu. Hanya bedanya kalau Pek-kut Hosiang menuju arah Barat, adapun mereka kini menuju arah timur. Tampaknya bertolak belakang, namun karena masing-masing berjalan memutar, mereka pasti bertemu juga.
Dan membayangkan pertemuannya kembali dengan Ceng Han, gadis itu menjadi bergairah. Dia memang ingin bertemu lagi dengan putera Ciok Touw Taihiap yang semalam telah dipondongnya didalam air itu, dirangkul dan dipeluk dalam usahanya menyelamatkan diri dari ancaman bahaya.
Dan teringat dekapan semalam suntuk ini muka Cui Ang tiba-tiba menjadi merah. Memang Ceng Han tidak sadar waktu itu, akan tetapi sikap mereka yang selalu bersama itu bukankah meninggalkan satu kesan tersendiri yang mendebarkan? Maka sambil mengenangkan kejadian-kejadian yang mereka alami bersama, Cui Ang mengikuti langkah ayahnya menuju Puri Naga.
Laki-laki tegap itu termenung di tengah taman. Hari masih pagi ketika dia berdiri di situ dan kicau burung diselingi semilir angin gunung, yang lembut itu mengusap tubuhnya. Tapi dia tetap tidak bergerak. Tubuhnya seperti patung batu yang lagi murung. Kepalanya yang gundul mengkilap tampak bercahaya tipis. Dan uap putih yang samar-samar menyelubungi kepalanya kelihatan membumbung perlahan terbawa udara pagi.
Sudah dua jam dia dalam keadaan seperti itu. Sinar matanya yang keras tajam membayayangkan kekesalannya. Akan tetapi tetap juga dia belum berhasil mengatasi keadaan. Kerut ditengah keningnya dan gigi yang kadang berkerot itu nunjukkan bahwa laki-laki itu tampaknya sedang geram. Siapakah dia?
Bukan lain adalah Ciok-thouw Taihiap, Sang Pendekar Kepala Batu! Sudah dua bulan ini puterinya tidak ada kabar dan puteranya yang disuruh menyusul ternyata belum juga kembali. Ceng Bi dan Ceng Han seakan tidak memhawa berita lagi dan hal ini membuat pendekar itu kesal. Sebetulnya, dia marah sekali ketika mendengar Ceng Bi minggat dari rumah. Akan tetapi berkat bujukan puteranya dia mau menahan diri.
Namun mengapa mereka belum juga pulang. Apakah ada sesuatu yang terjadi pada dua orang putera puterinya itu? Semua pertanyaan yang tidak ada jawaban ini menjengkelkan pendekar besar itu. Dia tidak khawatir anak-anaknya turun gunung, akan tetapi bukan sekarang. Kepandaian Ceng Han dan Ceng Bi sebetulnya masih kurang kalau terjun ke dunia kang-ouw sekarang ini karena paling tidak merasa masih harus berlatih barang dua atau tiga tahun lagi. Tapi anaknya perempuan itu membuat gara-gara. Dia minggat ketika masih dalam hukuman.
"Sungguh kurar ajar!" Ciok-thouw Tathiap mengepal tinjunya dan pendekar ini gemas sekali. Puterinya itu memang nakal, dan kadang-kadang kelewat manja. Apakah karena ia anak perempuan satu-satunya? Hm, kalau kelak sudah tertangkap ingin rasanya di mengetok kepada anak gadis itu.
Pendekar ini merenung-renung jauh dan kerut dimukanya semakin dalam. Ketidakhadiran murid kepala yang sudah lama tidak ada kabar beritanya juga membuat dia jengkel sekali. Apakah Lek Hui tidak berhasil menunaikan tugasnya? Ataukah pemuda itu yang belum bertemu dengan Ceng-gan Sian-jin? Dia tidak tahu dan pendekar ini semakin geram. Teringat kepada Cheng-gan Sian-jin membuat dia teringat juga kepada tokoh-tokoh sesat yang dibencinya. Orang-orang dunia hitam itu memang busuk semuanya, membuat dia ingin membasmi orang-orang macam ini dari permukaan bumi. Akan tetapi apakah dia bakal berhasil mengerjakan ini semua seorang diri?
Ciok-thouw Taihiap menarik napas kesal. Dia sadar bahwa selama dunia masih berputar kejahatan memang pasti tetap ada. Dan karena itulah dia ingin mendidik para muridnya sehebat mungkin untuk membasmi orang-orang jahat setidak-tidaknya untuk menekan orang-orang itu malakukan perbuatan sewenang-wenang tapi belum juga dia merasa berhasil dengan gemblengan terhadap murid-murid yang berbakat, mereka itu sudah pada minggat seenaknya sendiri! Siapa tidak jengkel?
Sebetulnya dari semua murid yang ada hanya Lek Hui yang dapat diandalkan. Pemuda tinggi besar itu sudah mewarisi kepandaiannya delapanpuluh parsen lebih. Memang belum sempurna, namun percaya cukup untuk mewujudkan cita-citanya. Dan disamping pemuda ini masih terdapat Ceng Han dan Ceng Bi. Dua orang putera-puterinya itu mewarisi lebih dari separuh ilmu kepandaiannya, sedangkan yang lain-lain baru seperempat atau separuh kurang. Dan kini tiga murid andalannya turun gunung semua. Hanya kalau Lek Hui memang dia suruh mencari Cheng-gan Sian-jin adalah yang lain, turun diluar kehendak pribadi. Itu semua gara-gara Ceng Bi.
Ciok-thouw Tathiap kembali mengepal tinju dan dia benar-besar gemas sekali terhadap puterinya itu orang ditawari jodoh baik-baik kenapa menolak? Tidak gampang mencari jodoh bagi puterinya, dan Kun Bok putera tunggal sahabat baiknya Kun Seng si Pedang Dalam Kabut itu adalah pilihan yang tepat. Mengapa harus menolak? Hem, anak perempuannya itu benar-benar tidak tahu diri. Kalau pemuda macam Kun Bok ditolak lalu pemuda macam apa yang akan dipilih? Laki-laki lemah yang tidak ada gunanya? Dia akan membunuh pemuda macam itu kalau benar terjadi!
Mata pendekar ini mulai merah dan semakin mengingat tingkah laku puteranya itu dia semakin marah. Mau jadi apa anak perempuannya itu? Mau menurutkan adat sendiri? Tidak boleh! Dia berkuasa atas diri anak anaknya, dan mereka harus patuh dan menurut terhadap orang tua! Ini sudah prinsip baginya dan siapapun tidak akan dapat menghalanginya, biar setan sekalipun.
Kekerasan yang mulai membeku di wajah pendekar ini tampak menakutkan. Dia memainkan buku-buku jarinya dan secara aneh terdengarlah suara berkerotok dari tulang-tulang jarinya. Inilah tanda pendekar besar itu sedang mencapai puncak geramnya dan seandainya Ceng Bi ada di situ barangkali anak perempuan ini sudah dihajarnya, Sungguh mengerikan.
Ciok-thouw Taihiap memandang ke depan, dan tiba-tiba pendekar itu membalikkan tubuh. Ada suara di belakangnya, hampir tidak terdengar namun telinganya yang tajam terlatih dapat menangkapnya. Maka tentu saja pendekar ini terkejut dan merasa terganggu, dia lalu membentak keras, "Siapa di situ...?"
Pendekar itu menunggu tegang dan tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat. Ciok-thouw Taihiap sudah siap memaki pendatang liar ini namun tiba-tiba dia menahan mulutnya. Orang yang dikira murid atau tamu bermaksud buruk itu tertawa lembut, dan tahu-tahu didepan pendekar ini telah berdiri seorang laki-laki yang mukanya tertutup halimun lembut.
"Bu-beng Sian-su.....!" pendekar itu kaget sekali dan bayangan putih ini tersenyum lebar.
Dia memang bukan lain Bu-beng Sian-su adanya, dan kakek dewa itu sudah cepat menjura di depan Ciok-thouw Taibiap sambil tertawa ramah, "Ah, aku mengejutkanmu, taihiap? Maaf... lohu tidak sengaja....!" kakek itu berseru perlahan dan Ciok-thouw Taihiap buru-buru membalas penghormatan orang dangan sikap tersipu-sipu.
Dia memang sama sekali tidak menyangka bakal kedatangan manusia istimewa ini, maka tidak aneh kalau sejenak pendekar itu merasa terkejut. Akan tetapi setelah hatinya tenang, Ciok-thouw Taihiap lalu memandang tamunya ini dan merasa heran melihat kakek itu memondong seseorang.
"Eh, siapa dia, Sian-su...?" pendekar itu bertanya dan Bu-beng Sian-su menghela napas,
"Muridmu sendiri, taihiap, dia terluka parah..." kakek itu menurunkan pondongannya dan pendekar ini terkejut mendengar jawaban itu.
Orang yang dipanggul memang di belakang punggung kepalanya, maka dia tidak tahu siapa adanya. Akan tetapi setelah kakek itu mengatakan bahwa orang yang dibawa ini adalah muridnya sendiri seketika Ciok-thouw Taihiap tersentak. "Muridku?"
"Ya...!"
Ciok-thouw Taihiap melompat maju dan sekarang tampaklah olehnya bahwa laki-laki yang dibawa oleh manusia dewa itu ternyata adalah Lek Hui! "Aih!" pendekar ini berseru tertahan dan dia melihat keadaan muridnya yang mengerikan. Lek Hui matang biru mukanya, dan pemuda itu luka parah disebagian tubuhnya. Darah yang mengental kering melekat di bajunya, dan Lek Hui tampaknya benar-benar payah!
"Sian-su... ini... siapa yang telah melukainya...?" pendekar itu bertanya gemetar dan kakek ini tertawa pahit.
"Cheng-gan Sian-jin, taihiap, orang yang kau suruh penggal kepalanya itu."
"Keparat...." Ciok-thouw menggereng dan muka pendekar itu tiba-tiba merah gelap.
Akan tetapi sebelum dia melanjutkan makiannya Bu-beng Sian-su mengangkat tangan, "Stop, jangan marah-marah di sini, taihiap, tidak ada gunanya lagi. Setiap kekerasan memang menghasilkan kekerasan pula, bukankah taihiap sudah memakluminya? Nah, lebih baik kau rawat muridmu ini dengan tenang. Lohu sudah memberikan bantuan sementara, dan untuk selanjutnya tinggal kau beri obat-obatan luka seperti biasa. Pembuluh darahnya hampir pecah, akan tetapi untunglah, muridmu kuat sekali. Lohu sungguh kagum akan daya tahannya...!"
Kakek itu memberi petunjuk dan Ciok-thouw Taihiap menahan kegusarannya. Memang apa yang dikatakan betul juga, maka dia tidak mau marah-marah di tempat itu. Murid yang diberi tugas ternyata gagal dan masih untung Bu-beng Sian-su mau membawanya kemari. Kalau tidak bukankah murid kepalanya itu sudah tewas, mengingat luka-lukanya demikian parah? Ciok-touw Taihiap lalu bangkit berdiri dan dia bersuit nyaring. Seorang murid kepala pengganti muncul, dan melihat gurunya berdua bersama seseorang yang tidak dikenalnya, murid itu tampak terkejut.
"Suhu.....!" murid itu hendak melanjutkan bicaranya, namun Ciok-thouw Taihiap keburu membentak. "Jangn cerewet, bawa twa-suhengmu ini ke kamar tidurku. Beri dia obat Lwe-keh to dan balur tubuhnya dengan minyak Urat Naga...!"
Bentakan penuh wibawa itu membuat sang murid mengiyakan gugup dan dengan langkah tergesa-gesa dia menghampiri Lek Hui. Melihat keadaan suhengnya yang terluka parah ini, murid itu tampak kaget. Tapi tanpa banyak cakap dia sudah mengangkat tubuh Lek Hui dan membawanya pergi. Keadaan di luar segera menjadi gempar ketika murid-murid yang lain tahu, namun tak seorangpun yang berani bertanya kepada guru mereka.
Apalagi setelah murid kepala pengganti ini bercerita bahwa guru mereka kedatangan seorang tamu aneh yang tidak dikenal mereka, semua otomatis tertegun. Diam-diam mereka merasa khawatir, apakah guru mereka tidak akan menghukum karena kedatangan tamu tidak diketahui oleh penjaga? Namun karena semuanya sudah terjadi, maka merekapun hanya menanti dengan hati tegang.
Sementara itu, Pendekar Kepala Batu sudah memutar tubuhnya menghadapi kakek dewa ini. Wajahnya masih berkerut. Tapi kemarahannya yang terkendali itu menenangkan sinar matanya. Dia tidak lagi mengepal tinju, namun Bu-beng Sian-su maklum sepenuhnya betapa kemarahan besar sedang melanda perasaan pendekar itu.
Karena itu Bu-beng Sian-su lalu bertanya lirih, "Taihiap, bagaimana sikapmu selanjutnya mengenai hal ini?"
Pendekar itu mengangkat kepalanya. "Tentu saja mencari Cheng-gan Sian-jin, Sian-su! Apakah aku harus berdiam diri saja?"
Kakek itu tersenyum getir. "Sudah kuduga, lalu apakan taihiap hendak membunuh datuk itu?"
"Tentu saja! Apakah Iblis macam itu harus dibiarkan hidup di muka bumi, Sian-su?"
"Hm, rupanya memang tidak... tapi rupanya juga iya... ah, sudahlah taihiap, aku tidak ingin membicarakan urusan ini. Biarlah kita serahkan saja sepenuhnya kepada Thian Yang Maha Agung. Apa yang terjadi tentu terjadilah. Sekarang, taihiap bolehkah aku menanyakan sesuatu?"
Kakek ini memandang ke depan dan tiba-tiba sepasang cahaya menyorot dari balik halimun. Ciok Thouw Taihiap terkejut ditatap seperti itu dan diam-diam pendekar itu kaget bukan main. Orang yang mampu menggetarkan perasaannya hanya dengan pandangan mata saja sungguh belum pernah dijumpainya! Maka tidak aneh kalau dia tercekat dan Pendekar Kepala Batu cepat mengerahkan iweekangnya menindih guncangan perasaannya. Kemudian setelah dia tenang kembali, pendekar itu berkata,
"Sian-su, apa yang hendak kau tanyakan silakan ajukan saja. Aku tentu dengan senang hati akan menjawabnya. Apakah yang menjadi pertanyaanmu, siansu?"
Kakek itu batuk-batuk kecil. "Maaf sedikit menyangkut masalah pribadimu, taihiap. Apakah engkau tidak keberatan?"
Ciok-thouw Taihiap tercengang. Menyengkut urusan pribadiku, Sian-su? Ah boleh saja, aku tidak menyimpan rahasia!"
Bu-beng Sian-su tersenyum gembira dan kakek itu tiba-tiba tertawa. "Aih, terbuka sekali sikapmu, taihiap. Betulkah tidak merasa tersinggung?"
Pendekar itu tertawa hambar. "Pertanyaan jujur, meskipun menusuk tidaklah menyinggung, Sian-su. Untuk apa harus marah?"
"Bagus, aku memang mengagumi kegagahanmu ini, taihiap!" Bu-beng Sian-su bertepuk tangan. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita berbicara sambil berjalan-jalan? Aku ingin meninggalkan sesuatu di dalam rumahmu ini, taihiap!" kakek itu berkata ganjil dan Ciok-thouw Taihiap terkejut mendengar permintaan yang dirasa aneh ini. Akan tetapi karena dia tahu dengan siapa dia berhadapan, maka pendekar itupun menganggukkan kepalanya.
"Aku tidak keberatan, Sian-su. Kita hendak berjalan kemana? Melihat-lihat ruang berlatih silat, ruang samadhi ataukah ruang depan?"
Bu-beng Sian-su tertawa. "Ah, semuanya saja taihiap. Aku ingin melihat yang mana paling cocok!"
Permintaan itu disambut hangat oleh Pendekar Kepala Batu dan Ciok-thouw Taihiap ini segera mengajak tamunya melangkahkan kaki. Segera keduanya mulai berjalan-jalan dan Bu-beng Sian-su tampak gembira.
"Taihiap, nasibmu sungguh beruntung. Disamping hidup tenang di alam pegunungan, juga memiliki putera-puteri yang gagah perkasa dan ditambah para murid yang begini setia, sungguh merasa bahagia sekali!" kakek itu mulai memuji tuan rumah, tapi pendekar itu sendiri tiba-tiba menjadi muram.
"Hm, bahagia bagaimana, Sian-su? Anak-anakku nakal semua, terutama yang perempuan itu. Dia sekarang minggat turun gunung tanpa meminta ijin!"
Bu-beng Sian-su tertawa. "Karena hendak kau jodohkan dengan seseorang bukan?" kakek itu menoleh ke kiri dan Ciok-thouw Taihiap mengangguk.
"Tidak salah, Sian-su, tapi gadis itu tidak tahu diri!"
"Ah, jangan tergesa-gesa menarik kesimpulannya, taihiap...!" Bu-beng Sian-su menggoyangkan tangannya. "Karena ada akibat pastilah ada sebab-sebabnya. Sudahkan taihiap menyelidiki sebab-sebabnya?"
Pendekar itu mengerutkan keningnya. "Sebabnya bukan lain karena anak itu keras kepala, Sian-su dan aku sungguh jengkel melihat wataknya ini. Kalau saja dia bukan puteriku tentu sudah kuhajar habis-habisan. Hm, orang tua sudah saling mengikat janji, bagaimana dia hendak menolak begitu saja? Ini tidak boleh terjadi. Dia puteriku satu-satunya dan aku hendak membahagiakannya dengan perjodohan ini. Mengapa harus menolak? Kukira di dunia ini tidak ada orang tua yang tidak bakal gembira kalau melihat anaknya bisa hidup berbahagia!"
Bu-beng Sian-su mendengarkan dengan tenang dan tiba-tiba kakek itu bertanya. "Taihiap, betulkah engkau akan bergembira kalau melihat puterimu hidup berbahagia?"
"Ah, tentu saja, Sian-su. Kenapa mesti dipertanyakan lagi?"
"Kalau begitu mesti sebaliknya yang terjadi apabila puterimu itu tidak bahagia?"
"Maksud Sian-su?"
"Maksudku adalah engkau akan ikut merasa sengsara sengsara jika puterimu itu menderita?"
"Tentu saja. Dimana ada seorang ayah bisa bahagia kalau putera-puterinya sendiri tidak merasa bahagia, Sian-su?"
"Bagus, jawabanmu tidak keluar dari batas akal sehat, taihiap. Dan sekarang dalam contoh puterimu itu, apakah taihiap akan merasa bahagia kalau melihat puterimu itu dapat berjodoh? Maksud lohu, dia berjodoh dengan laki-laki yang mungkin tidak mengena dihatinya?"
Ciok-houw Taihiap terkejut. "Tidak mengena dihatinya, Sian-su? Hm, apakah Sian-su tahu siapa orang yang hendak kujodohkan dengan puteriku itu?"
Manusia Dewa ini menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. "Aku tahu, taihiap. Bukankah putera pendekar pedang Kun Seng yang lihai dan berbudi luhur itu?"
"Benar! Nah, apakah orang macam itu masih tidak pantas menjadi pilihanku, Sian-su?" pendekar ini berseru girang dan Ciok-thouw Taihiap seakan-akan mendapat hati.
Akan tetapi Bu-beng Sian-su ternyata menggelengkan kepalanya. "Taihiap, masalah pantas atau kurang pantas itu di dalam perjodohan sesungguhnya bukanlah masalah utama. Yang pokok dalam perjodohan adalah masalah suka atau tidak suka, cinta atau tidak cinta. Dan urusan puterimu itu, apakah dia suka dengan calan jodoh yang kau pilihkan ini? Bicara tentang perjodohan bagi sepasang remaja berarti membicarakan pula tentang masa depan mereka. Kalau yang bersangkutan menolak, mengapa kita sebagai manusia tidak bersikap bijaksana? Taihiap, seperti yang kukatakan tadi, kebahagiaan seorang anak berarti kebahagiaan pula bagi sang orang tua. Hal ini berarti sang orang tua haruslah mengikuti dan mencoba menyelami isi hati sang anak pula. Kalau anak tidak setuju, kita haruslah mengetahui sebab-sebab apa dia tidak setuju. Kalau sebab itu masuk akal kita bolehlah menghargainya. Akan tetapi kalau sebaliknya, tentulah kita berusaha sedemikian rupa agar si anak bersangkutan yang masih dangkal pengetahuan kita beri bimbingan. Sekarang dalam masalah perjodohan puterimu apakah sebab utama yang membuat kau gagal? Maksudku sebelum kau melangkah lebih jauh, bagaimanakah tanggapan puterimu itu? Apakah ia menolak atau menerima?"
Ciok-thouw Taihiap mengepal tinju. "Ia menolak, Sian-su, agaknya Sian-su sudah tahu tentang hal ini. Anak perempuanku itu memang tidak tahu diri. Orang tua mencarikan jodoh baik-baik kenapa harus cerewet segala macam? Puteriku itu memang terlalu, tidak tahu betapa orang tuanya berjuang demi kebahagiaannya sendiri di dalam memilih jodohnya!"
"Hm, begitukah pendapatmu, taihiap? Betulkah engkau berjuang untuk si anak dalam perjodohannya ini demi kebahagiaannya sendiri? ataukah bukan memburu kesenanganmu pribadi?"
Ciok-thouw Taihiap terkejut. "Memburu kesenanganku pribadi, Sian-su? Eh, apa maksud ucapan ini?"
Pendekar itu memandang tidak senang, namun Bu-beng Sian-su tertawa lembut. "Taihiap, ingat janjimu tadi, bukankah engkau tidak bakal tersinggung meskipun pertanyaanku menusuk tajam? Aku tidak bermaksud mencampuri perjodohanmu ini sampai sedalam-dalamnya, hanya bermaksud untuk mengadakan dialog guna dicari sari patinya. Kalau benar, kita pakai bersama. Tapi kalau salah, kita cari kesalahan-kesalahannya. Apakah pembicaran ini boleh kita lanjutkan?"
Kakek itu memandang sambil tersenyum dan Ciok-thouw Taihiap merah mukanya. Entah mengapa, suara kakek itu yang ramah dan selalu lembut menyejukkan kemarahannya, dan pertanyan yang dilakukan dengan tawa renyah itu membuatnya tersipu-sipu sendiri. Berhadapah dengan manusia dewa ini seakan-akan berhadapan dengan angin semilir yang sepoi-sepoi segar menyejukkannya, tidak membuatnya panas. Sejuk-sejuk hangat begitulah! Maka pendekar ini lalu tergesa-gesa menjura dan berkata.
"Aih, maaf Sian-su, aku tidak tersinggung....! Hanya terus terang saja aku merasa kurang senang dengan tuduhanmu itu. Apakah benar aku memburu kesenangan pribadiku, Sian-su? Dapatkah hal ini dibuktikan?"
Kakek dewa itu terkekeh kecil, "Memburu atau tidak biarlah kita masuki persoalan ini perlahan-lahan, dan kuharap engkau kelak dapat memahaminya secara objektif. Masalah ini adalah masalah yang cukup rumit, karena itu kita harus berhati-hati untuk menemukan kebijaksanaannya. Sekarang, taihiap, apakah yang dijadikan dasar penolakan puterimu itu?"
Pendekar Kepala Batu mengerutkan keningnya, "Dia menyatakan niatnya yang belum tertarik sama sekali untuk berumah tangga, Sian-su, disamping belum kenalnya terhadap sang calon suami."
"Hm, hanya itukah?"
Ciok-thouw Taihiap menggeleng ragu, "Mungkin hanya itu, Sian-su, tapi mungkin juga ada hal-hal lain yang tidak kuketahui. Apakah salah kalau aku menyatakan perjodohan ini kepada puteriku sendiri?"
Bu-beng Sian-su tersenyum. "Ah, menyatakan perjodoban kepada puterimu itu tentu saja tidak salah, taihiap. Akan tetapi kalau sampai puterimu itu minggat turun gunung hanya gara-gara pemyataan begitu saja tentu juga terasa aneh. Apakah taihiap tidak melakukan paksaan di sini?"
Pendekar itu merah mukanya. Dia mulai 'ditodong' langsung oleh manusia dewa ini, akan tetapi karena dia merasa diri sendiri benar maka pendekar itupun tidak takut untuk menjawabnya. Dengan muka tengadah dan kepala dikedikkan Ciok-thouw Taihiap menukas,
"Sian-su, kalau aku dikatakan memaksa agaknya dalam persoalan ini kurang dapat kuterima. Tapi kalau dikatakan aku berkeras memang tidak kusangkal! Anak itu masih remaja, pengalamannya masih dangkal dan urusan perjodohan yang bakal menyangkut urusan mati hidupnya sepanjang masa ini bagaimana aku boleh bersikap lunak? Puteriku itu suka membawa adat sendiri, dan aku yang biasanya suka memanjakannya itu memang kadang-kadang banyak mengalah. Tapi sekarang, dalam urusan perjodohan yang sudah saling kami sepakati bersama dengan Bu-tiong-kiam Kun Seng itu bagaimana boleh dibatalkan begitu saja oleh puteriku ini dengan alasannya yang kekanak-kanakan? Kalau betul dia behun berniat untuk berumah tangga, baiklah pernikahan dapat diundur. Dan kalau dia menyatakan belum kenal baik dengan watak calon suaminya itupun boleh juga kuterima. Mareka tidak perlu tergesa-gesa merayakan hari pernikahan, jadi bisa diatur dan biarlah mereka bertunangan dahulu. Akan tetapi kalau usul yang sedemikian rupa ternyata juga masih ditolaknya bukankah puteriku itu kelewatan? Anak manja itu harus dikerasi, dan dia harus tunduk kepada orang tuanya!"
Ucapan berapi-api yang penuh semangat dari pendekar besar ini disambut senyum lebar oleh Bu-beng Sian-su. Kakek itu tidak memutus omongan orang, dan baru setelah Ciok-thouw Tathiap selesai bicara dia berkata, "Aha, sikap yang gagah sekali, tathiap, aku sungguh amat menghargainya! Tapi, taihiap, terlepas dari penolakan maupun penerimaan puterimu itu, ada dasar apakah taihiap merasa setuju sekali dengan calon pilihanmu itu? Apakah karena alasan 'pantas‘ saja dari kedudukan Bu-tiong-kiam Kun Seng untuk dijodohkan dengan puterimu itu ataukah karena keinginanmu sendiri yang menghendaki calon mantumu harus orang macam begitu seperti yang kau idam-idamkan?"
Ciok-thouw Taihiap melengak tidak mengerti. Ucapan Bu-beng Sian-su dirasakan masih kabur dan dia belum dapat menangkap apa yang dimaksudkan. Karena itu dia lalu bertanya, "Sian-su, apa yang kau maksudkan di sini?!"
Bu-berg Sian-su menahan langkahnya. "Maksudku taihiap, apakah kau menghendaki calon suami puterimu itu harus sesuai angan-anganmu? Seorang gagah dan cocok dengan seleramu? Ataukah justeru sebaliknya, kau memperhatikan selera puterimu?"
Ciok-thouw Taihiap tertegun. "Ah, tentu saja kedua-duanya, Sian-su."
"Hm, jadi taihiap hendak mengatakan bahwa dalam hal ini taihiap sekaligus memperhatikan selera taihiap sendiri dan puteri taihiap?"
Pendekar itu mengangguk. "Agaknya begitulah, Sian-su."
"Ah, mangapa mesti ditambahi agaknya, taihiap? Tidakkah tentu baik taihiap bersikap jujur saja?"
Pendekar Kepala Batu semburat mukanya. Ucapan Bu-beng Sian-su itu membuatnya tersipu bingung, dan entah mengapa tiba-tiba hatinya berdebar tidak nyaman. Pembicaraan orang yang kian meningkat itu mendadak saja menjadikan dia gelisah. Bu-beng Siansu tampaknya hendak 'menggiring‘ dia ke satu tempat dari apa yang sebenarnya akan dituju oleh manusia dewa itu, dia sama sekali belum tahu! Maka Ciok-thouw Taihiap lalu memandang kakek itu dan yang dipandangnya balas menatapnya dengan senyum dikulum.
"Bagaimana, taihiap? Apakah tidak sebaiknya taihiap bersikap jujur saja?"
Pendekar besar itu memandang ragu. Dia belum menjawab, akan tetapi pikirannya mulai bekerja hati-hati. Sampai akhirnya, setelah dia dapat menetapkan hatinya sendiri barulah pendekar itu berkata, "Sian-su, kalau Sian-su merasa kurang sreg dengan tambahan kata 'agaknya‘ tadi baiklah, boleh kuhilangkan saja. Sekarang apa yang hendak Sian-su katakan?"
"Hm, jadi taihiap hendak menyatakan bahwa dalam masalah perjodohan puterimu ini, taihiap mempertimbangkan selera kedua belah pihak, yakni selera taihiap sendiri yang tidak ingin mendapatkan menantu lemah dan bagaimana dengan selera nona Ceng Bi?"
"Begitulah, Sian-su!"
"Tapi bagaimana kenyataannya, taihiap? Kenapa taihiap bertindak berat sebelah?" tiba-tiba Bu-beng Sian-su menyerang.
Ciok-thouw Taihiap terkejut, dan pendekar kepala gundul ini terbelalak ke arah lawan bicaranya. "Aku bertindak berat sebelah, Sian-su?" Ciok-thouw Taihiap berseru heran. "Eh, mana buktinya?"
Kakek dewa itu tersenyum lembut. "Ah, taihiap, bukti sudah demikian gamblang, mengapa mesti ditanyakan lagi? Bukankah kepergian puterimu itu karena berat sebelahnya sikapmu? Kalau taihiap tidak terlalu ngotot karena kehendak sendiri yang didasari kecocokan selera pribadi, tentu nona Ceng Bi tidak bakalan turun gunung. Tapi taihiap terlalu egois, maaf, taihiap tidak memperdulikan keinginan puteri taihiap sendiri dan akibatnya puteri taihiap kini turun gunung memasuki daerah yang penuh bahaya. Aih, taihiap, bukankah ini adalah bukti yang taihiap ingin jawabannya?"
Pendekar kepala batu tertegun, dia memandang Bu-beng Sian-su dengan alis terangkat, akan tetapi karena mau tidak mau apa yang dikatakan oleh manusia dewa itu memang benar adanya maka diapun tidak membantah. Namun, karena menganggap Ceng Bi masih merupakan 'anak kecil‘ dan belum mengenyam pahit-getirnya dunia, maka diapun tidak mau sudah didebat seperti itu. Dengan kening yang semakin dikerutkan, pendekar ini lalu menjawab,
"Sian-su, apa yang kau katakan ini , memang tidak kusangkal. Aku memang kurang memperhatikan keinginan puteriku itu dikarenakan ia masih terlalu remaja, masih kanak-kanak! Dan pandangan seorang kanak-kanak tentang perjodohan, mana bisa diandalkan, Sian-su? Tidak, ia belum tahu baik-buruknya seorang laki-laki, belum tahu culas-curangnya seorang pria! Dan kalau sampai dia keliru mendapatkan jodoh, bukankah kebahagiaan hidupnya bakal rusak binasa? Hanya dengan ikatan jodoh bersama keluarga sahabatku Bu-tiong-kiam Kun Seng itulah aku yakin kebahagiaan anakku bakal terpenuhi. Atau, apakah Sian-su meragukan keluhuran budi Bu-tiong-kiam Kun Seng?"
Bu-beng Sian-su tertawa lembut. "Taihiap, kau bicara demikian mudah tentang kebahagiaan seseorang. Apakah engkau tahu apa yang disebut bahagia itu? Dan apakah taihiap benar-benar yakin bahwa kelak puterimu itu betul-betul akan dapat hidup bahagia bersama calon pilihanmu? Mungkin keluhuran budi si Raja Pedang itu memang aku tidak meragukannya. Akan tetapi, taihiap, bukankah yang hendak berjodoh adalah orang lain, bukan Bu-tong-kiam Kun Seng sendiri?"
"Ah, tapi orang lain itu adalah keturunan Bu-tiong-kiam sendiri, Sian-su, putera tunggalnya! Masa boleh disebut 'orang lain'?" Ciok-thouw Taihiap membantah.
"Benar, namun dia tetap bukan Bu-tiong-kiam Kun Seng, taihiap, dan segala sesuatu yang terpisah berarti bukan sang obyek tunggal. Seperti juga taihiap dan puteri taihiap, atau taihiap dengan putera taihiap. Masing-masing telah menjadi individu tersendiri yang berisi jiwa yang berlainan. Bagaimana taihiap hendak menjadikannya satu?"
Pendekar Kepala Batu terhenyak, dia agak disudutkan oleh kata-kata manusia dewa akan tetapi dasar dia sendiri juga merasa punya pegangan maka diapun tidak mau kalah. "Baiklah, Sian-su," pendekar ini menjawab, "Kalau Sian-su mendebat begitu bolehlah kuterimanya, Tetapi Sian-su, bukankah ada pepatah yang mengatakan bahwa buah selamanya jatuh tidak jauh dari pohonnya? Nah, meskipun putera Bu-tiong-kiam Kun Seng bukanlah Bu-tiong-kiatn Kun Seng sendiri namun aku yakin dia tidak akan jauh berbeda dangan ayahnya!"
"Hm, jadi taihiap merasa yakin akan pilihan sendiri? Merasa yakin akan kebahagiaan puteri taihiap jika berjodoh dengan putera si raja pedang itu?" Bu-beng Sian-su tetap tersenyum.
"Begitulah!" pendekar ini menganggukkan kepalanya dengan pasti.
"Dan tidak menghiraukan perasaan puteri taihiap sendiri?"
"Ini....!" Ciok-thouw Taihiap agak terkejut. "Apa yang Sian- su maksudkan?"
Bu-beng Sian-su tersenyum lebar. "Taihiap...." kakek itu tersenyum. "Bukankah tadi sudah kau sebutkan bahwa dalam masalah perjodohan ini harus dipandang dari dua sudut? Pertama dari sudut pihakmu sebagai orang yang bersangkutan. Kalau kau mengambil tindakan seenaknya tanpa menghiraukan perasaan puterimu, lalu di manakah bisanya bertwmu 'selera' seperti yang kau sebut-sebut tadi? Seleramu tentang keadaan putera Bu-tiong-kiam Kun Seng boleh dibilang cocok, sedangkan 'selera' puterimu sendiri tentang pemuda pilihanmu ini bertolak belakang. Kalau demikian jadinya, lalu mungkinkah puterimu itu bisa hidup bahagia, taihiap? Tidakkah di sini kau amat berat sebelah? Mungkinkah puterimu itu betul-betul bisa bahagia dalam perjodohan yang kau paksa begini, taihiap? Ataukah sebenamya kau sedang memburu keinginan pribadi? Memburu kesenangan diri pribadi melalui puterimu?"
Ucapan yang mulai menajam ini membuat muka pendekar sakti itu merah, akan tetapi karena Bu-beng Sian-su mengeluarkannya dengan halus dan ramah maka Ciok-thouw Taihiap tidak merasa dilukai. Hanya diam-diam dia mulai semakin tidak enak berbicara dengan kakek dewa itu, dan pendekar ini menjadi gelisah. "Sian-su, apa sebenarnya yang kau maksudkan dengan keinginan pribadiku itu?"
"Ah, jelas taihiap. Di sini dimaksudkan bahwa kau hendak mencapai sesuatu yang menggembirakan hatimu. Bukankah kalau perjodohan ini berhasil hatimu pasti gembira?"
Pendekar Kepala Batu tidak segera menjawab. Dia khawatir "terpancing" oleh pertanyaan-pertanyaan manusia dewa itu, akan tetapi karena tidak ada jalan lain untuk menjawab pertanyaan itu selain menganggukkan kepalanya, maka pendekar inipun terpaksa mengiyakan.
"Tidak salah. Memang aku pasti gembira apabila perjodoban puteriku berhasil. Akan tetapi, salahkah hal ini, Sian-su? Salahkah bila aku memikirkan nasib puteriku agar mendapat jodoh yang baik, mendapat jodoh yang berharga? Dan kukira putera Bu-tiong-kiam Kun Seng itu adalah pemuda yang cukup berharga untuk disandingkan dengan puteriku!"
"Ah, jangan tergesa-gesa, taihiap. Bukan masalah berharga atau tidak berharga calon pendamping puterimu itu, melainkan masalah cocok atau tidakanya bagi yang bersangkutan! Apakah, taihiap yakin bahwa puterimu itu kelak merasa cocok dengan calon pilihanmu?"
Pendekar sakti ini terdiam, tapi hanya sejenak saja dia tidak membuka suara karena tiba-tiba dengan sikap tegas dia menganggukkan kepalanya. "Aku merasa yakin, Sian-su!"
"Hm, taihiap yakin akan kecocokan puterimu? Atas dasar apakah, taihiap?"
"Atas dasar persamaan watak di antara keluarga Bu-tiong-kiam Kun Seng dengan keluargaku!" Jawab pendekar itu mantap.
Dan Bu-beng Sian-su yang mendengar ini tertawa renyah. Kakek itu memandang Ciok-thouw Taihiap sambil tersenyum lebar, dan kakek itu rupanya geli. "Aih, taihiap, persamaan watak yang bagaimanakah yang kau maksudkan di sini? Apakah persamaan watak kalian yang sama-sama dari golongan kaum pendekar? Ah, kalau begitu terlalu sempit, taihiap, karena hal itu sedikit sekali untuk menolong kebahagiaan sepasang muda-mudi yang hendak hidup bersama. Memang mendapatkan jodoh dari kelompok segolongan lebih baik daripada mendapatkan jodoh dari kelompok yang berlainan. Akan tetapi itu hanya garis pintas yang masih dangkal sekali bagi sebuah perjodohan, taihiap, bagi terciptanya sebuah kebahagiaan! Apakah taihiap kira orang yang tidak segolongan tidak bakal merasakan arti sebuah kebahagiaan dalam sebuah perkawinan? Ah, dugaan yang keliru, taihiap, sangkaan yang kurang benar. Perjodohan dasar utamanya adalah adanya saling kecocokan, karena kecocokan menimbulkan rasa suka. Dan kalau masing-masing pihak sudah sama-sama suka, lalu sulitkah kiranya terbit sang dewa cinta? Tidak, taihiap, kau terlalu sembrono kalau bertindak serampangan saja. Puterimu bukanlah kau, dan kau bukanlah puterimu. Memang sebagai orang tua kau berkewajiban memikirkan masa depan anakmu, akan tetapi jangan terlalu mencengkeram. Bukankah setiap orang mendambakan kebebasan? Nah, berilah kebebasan kepada puterimu itu namun kebebasan di sini tentu saja kebebasan yang terarah, kebebasan yang bijaksana! Apakah taihiap mulai dapat menangkap apa yang kumaksudkan?"
Ciok-thouw Taihiap tidak menjawab. Dia memandang jauh kedepan dengan mata merenung dan semua ucapan manusia dewa itu dikunyahnya. Memang tidak salah nasihat itu, bahwa dia juga harus memperhatikan perasaan Ceng Bi sebagai orang yang bersangkutan. Akan tetapi masalah suka atau tidak suka, bukankah ini bisa saja berubah sewaktu-waku? Seperti anaknya sendiri itu umpamaanya.
Sekarang boleh jadi tidak suka kepada calon pilihannya itu dikarenakan belum saling mengenal, akan tetapi lain waktu mungkin saja perasaan tidak suka itu berubah menjadi suka! Dan kalau bukan putera si raja pedang itu, lalu siapakah pemuda yang pantas dijadikan suami puterinya? Memang banyak pemuda-pemuda di dunia ini, akan tetapi yang dirasa cocok menurutnya hanyalah putera Bu-tiong-kiam Kun Seug. Apalagi dia sudah saling mengikat janji dengan Bu-tiong-kiam Kun Sang sendiri.
Hm... Ciok-thouw Taihiap mulai kebingungan. Terus terang dia khawatir kalau puterinya itu menolak. Bukan karena takut kegagalannya mengurus perjodohan ini, melainkan takut tersentuh harga dirinya. Sebagai seorang pendekar sejati, dia selalu memegang teguh setiap janji. Dan janji yang telah diberikan kepada sahabatnya, si raja pedang itu tidak mungkin dicabutnya. Dia lebih baik kehilangan Ceng Bi daripada harus mengingkari janji!
Inilah kekerasan watak sang pendekar Kepala Batu. Sekali dia sudah mengeluarkan omongan, tidak perduli anak sendiri akan diterjangnya. Dan kalau betul Ceng Bi menolak, tentu dia tidak akan segan-segan menghukum puterinya itu, demi terutuhnya rasa harga diri! Benar-benar melebihi baja!
Dan Bu-beng Sian-su yang melihat pendekar itu diam dengan mata memandang jauh tampak tidak mengganggu. Kakek ini maklum, pergolakan apa yang kiranya sedang terjadi di dalam hati pendekar itu. Namun dia sabar menunggu dan Pendekar Kepala Batu yang berjalan disampingnya itu tampak gelisah.
Cok-thouw Taihiap memang sedang bergulat dengan pikirannya sendiri. Disatu pihak dia tetap berkeras dengan keinginannya sendiri, sedangkan dilain pihak dia merasa didesak oleh kata-kata Bu-beng Sian-su. Memang dia agak keras menghadapi puterinya itu, namun bukankah ini demi kebahagiaan puterinya sendiri?
Maka pendekar itu lalu tiba-tiba bertanya, "Sian-su, kalau begitu apa yang harus kulakukan menurut pendapatmu?"
Bu-beng Sian-su tersenyum. "Taihiap, seperti yang sulah kita bicarakan tadi, bukankah masalah perjodohan ini harus dipertimbangkan masak-masak? Yang menjalani adalah anak perempuanmu, dan tentu saja nona Ceng Bi harus dimintai pendapatnya. Kalau dia menolak, kita selidiki sebab-sebab penolakannya. Tapi kalau setuju, tentu saja tidak ada masalah lagi. Dan tentang pendapat puterimu itu, tidakkah taihiap sebaiknya menyelidikinya dahulu?"
"Hm, menurut penyelidikanku sebab penolakannya hanya dikarenakan dia belum belum berniat untuk berumah tangga, Sian-su, dan kukira itu hanya alasan yang dicari-cari. Anak perempuanku itu memang kadang-kadang tidak tahu diri, suka membawa adat sendiri dan sikapnya yang terakhir ini dalam masalah perjodohan sungguh menggemaskan hatiku. Dia belum kenal Kun Bok, putera Bu-tiong-kiam Kun Seng itu. Dan sekali dia kenal, tentu kerewelannya itu akan sirna. Terus terang aku ingin memperkenalkan dengan pemuda itu, tapi belum terwujud keinginanku ini tahu-tahu dia sudah minggat.
Bu-beng-Sian-su tersenyum mendengar kata-kata itu. "Mungkin karena kau terlalu keras kepala, taihiap!" Kakek itu menukas.
"Barangkali Sian-su," Ciok-thouw Taihiap menjawab. "Karena dia juga keas kepala dan tidak mau melihat keadaan."
Bu-beng Sian-su tertawa mendengar kata-kata ini dan kakek itu mengebutkan lengan bajunya. "Ah, apa yang kau maksud dengan melihat keadaan itu, taihiap?" tanyanya lembut.
Ciok-thouw Taihiap menoleh dan pendekar ini berkata, "Bukan lain kenyataan yang seharusnya menggembirakan hatinya itu, Sian-su. Karena bukankah seharusnya puteriku itu bergembira bahwa putera Bu-tiong-kiam Kun Seng melamarnya? Dia pemuda baik-baik, tinggi ilmu silatnya dan kedudukan ayahnya yang sejajar dengaku itu cukup merupakan jaminan bagi masa depannya. Dan kalau dia belum suka karena belum kenal, bukankah masa seperti ini dapat dikenalinya?"
"Ah, itu menurut pendapatmu, taihiap, dan pendapat puterimu barangkali lain lagi. Tidak salah bahwa Bu-tiong-kiam Kun Seng adalah seorang pendekar yang dapat dipercaya, akan tetapi, kalau puterimu tidak ada kecocokan dengan putera pendekar itu, tentu saja kita tidak boleh main paksa!"
"Hm, tapi anakku belum bergaul dengan pemuda itu, Sian-su, bagaimana kita sudah tahu bahwa tidak ada kecocokan dihatinya?"
"Itulah, taihiap,!" Bu-beng Sian-su berseru. "Dan kita juga belum tahu bahwa puterimupun sudah ada kecocokan dengan putera Bu-tiong-kiam Kun Seng! Kalau sudah begini, bukankah sebaiknya kita memberikan kebebasan bagi yang bersangkutan?"
"Maksud Sian-su?"
"Kita atur keadaan sedemikian rupa, agar masing-masing pihak saling mengenal. Dan kalau sudah terjadi seperti itu, barulah kita sebagai orang tuanya bertindak. Jika mereka saling tertarik, kita urus perjodohannya. Tapi kalau tidak, tentu saja tidak perlu memaksa-maksa. Dan sikap taihiap yang telah terlanjur mendahului ini, bukankah tidak bijaksana?"
Pendekar sakti itu merah mukanya. Dia merasa ditampar dengan ucapan yang terakhir ini, namun dia membela diri, "Akan tetapi, itu kulakukan karena kepercayaanku yang penuh terhadap Bu-tiong-kiam Kun Seng, Sian-su. Dan juga karena keyakinanku akan persetujuan puteriku sendiri!"
"Tapi, nyatanya puterimu tidak setuju bukan?" Bu-beng Sian-su menyela. "Dan barangkali karena sikapmu yang mengabaikan dirinya itulah yang membuat puterimu itu menolak, taihiap, karena mungkin ia merasa diremehkan! Taihiap terlalu ambil gampang dengan perasaan puteri taihiap sendiri, dan akibatnya nona Ceng Bi bereaksi seperti itu…..!"
Bu-beng Sian-su seolah menyesalkan sikap pendekar sakti itu dan Ciok-thouw Taihiap agak terpukul. Dia memang merasa ada benarnya juga teguran kakek dewa itu, dan pendekar ini menjadi tidak enak.
"Tapi, Sian-su…" Ciok-thouw Taihiap masih bersikeras. "Aku sama sekali tidak bermaksud merusak kebahagiaan hidupnya. Bahkan aku berusaha menjodohkannya dengan putera si Raja Pedang itu agar puteriku hidup bahagia! Dan kalau aku dinyatakan bersalah karena melancangi perasaannya, bukankah sudah kuberi kesempatan untuk saling mengenal watak masing-masing pihak? Kalau mereka sudah saling mengenal, tentu perjodohan ini berjalan juga!"
"Ah, taihiap, lagi-lagi kau bersikap sembarangan. Kalau betul mereka berdua sudah saling kenal, lalu apa dapat dijamin keduanya ada kecocokan? Apakah perjodohan tetap dijalankan? Ah, kalau begini, berarti paksaan yang terjadi, taihiap, bukannya kebebasan…"
Ciok-thouw Taihiap merasa tergetar perasaannya mendengar kata-kata itu, dan sekejap mukanya menjadi pucat. Gambaran yang baru direka-rekanya itu membuatnya cemas, namun pendekar ini cepat mampu mengendalikan diri. Apa yang disampaikan Bu-beng Sian-su hanyalah pengandaian saja, dan dia masih tidak merasa yakin. Keluhuran budi dan kebijaksanaan keluarga Bu-tong-kiam Kun Seng pasti akan dapat menundukkan puterinya yang keras kepala itu, dan dia masih merasa ada harapan untuk melanjutkan ikatan perjodohan ini.
Karena itu Ciok-thouw Taihiap lalu memandang tamunya ini dan mereka mulai memasuki ruangan berlatih silat. "Sian-su, kalau begitu, apa yang harus kita lakukan kini? Mencabut kembali ikatan perjodohan ini dan meminta maaf kepada Bu-tiong-kiam Kun Seng?"
Suara Ciok-thouw Taihiap agak meninggi dan Bu-beng Sian-su merasakan perubahan nada suara itu. Kakek ini tahu bahwa Pendekar Kepala Batu agak mendongkol, tapi kakek itu tenang-tenang saja, Dia malah tertawa kecil mendengar pertanyaan itu dan Bu-beng Sian-su menjawab,
"Taihiap, kalau kukatakan bahwa kau bersalah dalam masalah ini itulah hal yang tidak adil. Bu-tiong-kiam Kun Seng juga ikut campur dalam persoalan ini, bagaimana seandainya kau bicarakan kembali hal-hal yang lebih pokok dengan pendekar pedang itu? Maksudku, bagaimana kalau kalian berdua sebagai orang-orang tua menahan diri dulu, tidak tergesa-gesa mengambil keputusan sebelum yang bersangkutan saling kenal mengenal? Kalau hal yang lebih pokok ini sudah dilakukan, tentulah kita akan melihat baik buruknya perkembangan masing-masing pihak. Melihat cocok tidaknya hubungan mereka berdua. Kalau cocok, baiklah, baru kita lancarkan maksud semula yang sudah direncanakan. Tapi kalau tidak tentu saja sebagai pendekar-perdekar berpikiran bijaksana taihiap berdua mestinya berpandangan luas. Tidakkah ini jalan tengah yang bagus?"
Ciok-thouw Taibiap mengerutkan alis, "Jadi hal itu berarti membatalkan ikatan janji yang telah kami buat untuk sementara, Sian-su?"
"Ah, jangan terlalu keras mengucapkannya, Aku tidak mengatakan ikatan jodoh ini harus dibatalkan, entah itu sementara ataupun selamanya. Aku hanya menyarankan, taihtap dan Bu-tiong kiam Kun Seng menahan diri, masing-masing pihak melihat keadaan, Seandainya memang sudah jodoh, mengapa taihiap harus cemas?"
"Hm, tapi aku sudah kelewat jauh melangkah, Sian-su. Mana mungkin harus mundur lagi?"
"Ah, bukan engkau sendiri yang melangkah terlalu jauh, taihiap, melainkan juga sahabatmu si raja pedang itu. Rupanya karena dimabuk kegembiraan taihiap berdua melupakan orang-orang yang bersangkutan, dalam hal ini puterimu. Dan orang yang lupa akan sesuatu mana boleh terlalu disalahkan? Tidak, taihiap, rencana kalian berdua, boleh saja tetap berjalan, Tapi harap kalian ingat bahwa persoalan jodoh sepenuhnya berada di tangan orang-orang yang hendak menjalani. Kulau di sini tidak ada kesepakatan, janganlah dipaksa. Kalau memangnya sudah setuju, tentu saja tidak ada persoalan. Pahamkah taihiap akan perkataanku?"
Ciok-touw Taihiap mengangguk. "Aku mengerti, Sian-su, tapi barangkali ada kesukaran di sini!"
"Ah, setiap persoalan pasti ada kesukarannya sendiri-sendiri, taihiap!" Bu-beng Sian-su tertawa. "Mengapa mesti dirisaukan?"
"Baiklah, aku akan coba mengikuti petunjukmu ini, Sian-su, mudah-mudahan berhasil. Akan tetapi, apakah Sian-su ada jalan keluar lain?"
Bu-beng Sian-su memandang heran. "Maksudmu, taihiap?"
"Maksudku....." Pendekar Kepala Batu agak meragu. "....apakah Sian-su ada pertimbangan-pertimbangan lain selain itu…?"
"Hm, umpamanya apa, taihiap?"
"Umpamanya, hem… ah tidak… tidak apa-apalah Sian-su, biarlah aku merenungkan dahulu semua petunjuk-petunjukmu tadi!" Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba tersipu gugup dan pendekar ini jelas sedang menyembunyikan sesuatu yang tidak jadi diutarakan.
Akan tetapi Bu-beng Sian-su tersenyum tenang saja dan kakek yang waspada itu tampaknya dapat merasakan sesuatu yang dirahasiakan ini. Buktinya kakek itu tiba-tiba memandang Ciok-thouw Taihiap dan bertanya dengan lirih. "Taihiap, apakah kau hendak bertanya tentang keberhasilan keinginanmu?"
Ciok-thouw Taihiap terkejut. "Eh, bagaimana Sian-su bisa menduga begitu?"
"Ah, aku tidak menduga, taihiap, hanya sekedar bertanya. Bukankah taihiap berpikir tentang jadi atau tidaknya perjodohan puterimu ini dengan keturunan Bu-tiong-kiam Kun Seng? Bukankah taihiap memiliki suatu cita-cita terselubung melalui perantaraan puterimu itu?"
Pendekar ini terbelalak. "Sian-su…!"
"Aih, jangan berteriak, taihiap!" Bu-beng Sian-su mengangkat tangannya. "Aku hanya bertanya saja. Kalau tidak, sudahlah, maafkan lohu yang mungkin salah omong…"
Kakek dewa itu buru-buru mengusap tubuh pendekar ini dan Ciok-thouw Taihiap tertegun. Ruangan berlatih silat sudah mereka masuki, dan Bu-beng Sian-su pura-pura tidak melihat perubahan hebat di wajah tuan rumah. Akan tetapi itu hanya sekejap saja terjadi pada diri pendekar besar ini dan Ciok-thouw Taihiap sudah pulih lagi seperti sedia kala dan memandang gentar kepada Bu-beng Sian-su.
Bu-beng Sian-su sendiri sudah memandang kagum ke seluruh ruangan dan kakek itu tampaknya mencari-cari. "Taihiap, apakah ini ruang lian-bu-tia (ruangan berlatih silat)?"
Ciok-thouw Taihiap mengangguk dengan hati masih berdebar. "Betul, Sian-su. Apakah ada yang Sian-su cari? Pendekar itu mengikuti pandangan tamunya yang aneh menebar ke seluruh ruangan yang luas itu, namun Bu-beng Sian-su hanya tersenyum saja.
"Ah, bagus dan lega sekali ruangan ini, taihiap. Sungguh cocok untuk tempat berlatih silat!" kakek itu seakan-akan bicara sendiri, tapi kakinya terus melangkah menuju ruang depan. "Dan itu, tentu serambi depan tempat menerima tamu, bukan?"
Ciok-thouw Taihiap kembali mengangguk. "Tidak salah, Sian-su, tetapi terus terang aku sendiri jarang menerima tamu."
"Hm, cukup indah dan bersih!" Bu-beng Sian-su memuji. "Dan permadani lembut yang menghampar berukir di atas lantai itu, tentu hasil karyamu sendiri bukan, taihiap?"
Pendekar ini tersenyum kecut. "Benar, Sian-su, tapi yang mengerjakan adalah anak-anak muridku yang bodoh!"
"Ah, kau terlampau merendah, taihiap. Di alam pegunungan yang begini sepi, bisa terdapat karya seni yang demikian indah, sungguh patut dihargai! Akan tetapi, taihiap, dimanakah ruangan semadhimu?" kakek itu menoleh ke arah Ciok-thouw Taihap dan tuan rumah ini segera menudingkan telunjuknya.
"Ya, ada sesuatu yang ingin kutinggalkan disana, taihiap." Bu-beng Sian-su tersenyum. "Tapi tentu saja jika kau tidak keberatan!"
Kakek itu memandang tuan rumah dan Ciok-thouw Taihiap segera mengajak tamunya itu menuju ke ruang semadhi. Ternyata ruangan ini berhadapan dengan sebuah kolam ikan, lalu Ciok-thouw Taihiap berkata, "Mendapat kehormatan kunjungan Sian-su, bagiku adalah anugrah besar. Siapa keberatan jika Sian-su ingin meninggalkan sesuatu di sini? Silakan, Sian-su…, silakan bersikap bebas saja!"
Pendekar itu berkata jujur, dan Bu-beng Sian-su tertawa. Tanpa ragu-ragu kakek itu memasuki ruangan semadhi, dan begitu masuk segera aroma harum menyengat hidung mereka. Ruang semadhi ini tidak begitu besar, namun lantainya yang bersih dan temboknya yang terbuat dari marmer itu memantulkan kesejukan yang hening.
Bu-beng Sian-su tampak mengamati setiap ruangan, dan ketika matanya membentur atap ruangan nampaklah lukisan sepasang raga berebut mustika. Lukisan ini diukir indah, dan bayang. Dan bayang-bayang mega yang seakan menelan sepasang naga di angkasa itu kelihatan hidup benar. Kakek ini tampak tertarik, dan tiba-tiba dia bertanya kepada tuan rumah, "Taihiap, bolehkah lukisan di atas itu kutambahi sesuatu?"
Ciok-thouw Taihiap tercengang, "Sian-su hendak berbuat apakah?"
Kakek itu tersenyum. "Mengukir buat yang kelak ada gunanya untukmu, taihiap!"
"Ah, kalau begitu silakan, Sian-su. Aku tidak keberatan!"
Baru habis kata-kata ini diucapkan sekonyong-konyong Bu-beng Sian-su mengucapkan terima kasih dan berkelebat ke atas. Demikian hebat gerakan kakek itu sampai Ciok-thouw Tathiap sendiri yang ada disampingnya merasa terkejut sekali dan ketika pendekar itu memandang... apa yang dilihat hampir tak masuk akal!
Halaman 53-54 Hilang
Pendekar itu berdiri mematung. Perjumpaannya yang tidak disangka-sangka dengan manusia dewa itu meninggalkan kesan khusus di dalam hatinya. Dan diam-diam ada suatu perasaan tidak enak yang menggelisahkannya tanpa sebab. Kakek sakti itu sudah terkenal tidak pernah datang percuma kepada orang-orang yang dijumpainya, dan kali ini ia mendapat giliran!
Apakah yang Akan terjadi? suatu yang buruk? Atau sesuatu yang menguntungkan? Dia tidak tahu! Dan sesuatu yang tidak diketahui namun dicoba untuk meraba-rabanya begini memang selalu menimbulkan perasaan tidak nyaman. Pendekar Kepala Batu termangu-mangu, dan akhirnya setelah bayangan kakek dewa itu sudah lama lenyap barulah dia membalikkan tubuh dan kembali ke kamarnya.
Kini sudah seminggu pendekar besar itu menekuri perjumpaannya dengan Bu-beng Sian-su. Lek Hui sudah berangsur-angsur sembuh, dan semua peristiwa yang dialami murid kepalanya itu mulai didengar. Sejak persekutuannya dengan pangeran Kou Cien dan pertemuannya dengan Pendekar Gurun Neraka sampai hancurnya bala tentara Wu-sam-tai Ciangkun yang dibantu oleh Ceng-gan Sian-jin.
Dan bercerita tentang datuk iblis ini selalu muka pendekar besar itu merah padam. Apalagi ketika Lek Hui menceritakan perjumpaannya dengan iblis sakti itu yang merobohkannya dalam satu pertempuran sengit dan hampir saja membunuhnya, Ciok-thouw Taihiap benar-benar berkerot giginya. Pendekar ini naik darah, dan kemarahannya terhadap Cheng-gan Sian-jin memuncak. Sudah mengambil keputusan untuk turun gunug dan berhadapan dengan datuk iblis yang hampir membunuh muridnya ini.
Ciok-thouw Taihiap sudah kelewat berangnya, dan dia tidak akan memberi ampun semua kebenciannya terhadap orang-orang golongan hitam bangkit kembali dan ditambah kepergian dua orang putera-puterinya yang sampai kini belum pulang itu benar-benar membuat pendekar ini marah bukan main. Ciok-thouw Taihiap benar-benar sudah tidak dapat menahan kesabarannya lagi, dan cerita Lek Hui tentang perjumpaannya dengan putera puterinya yang baru saja terlepas dari cengkeraman dua iblis The-lo-hengte itu semakin membulatkan tekadnya.
Apalagi ketika seminggu kemudia dia mendapat undangan dari ketua Hiat-goan-pang itu. Undangan ini sungguh mengejutkannya. Dia tidak kenal siapa dan macam apa perkumpulan Hiat-goan-pang itu. Akan tetapi dicantumkannya nama Cheng-gan Sian-jin di samping nama ketua perkumpulan itu sendiri sudah cukup membuatnya mengepal tinju. Hiat-goan pang mengundang karena hendak merayakan ulang tahun pertama perkumpulan itu, di samping katanya hendak memilih atau mengadakan pemilihan seorang bengcu (pemimpin persilatan). Benar-benar menyiram minyak pada api yang sedang menyala!
Itulah keadaan yang kini diterima oleh pendekar besar ini. Suasana yang serba tidak menyenangkan mulai bermunculan di sekitarnya. Dan sebagai seorang pendekar yang keras hati, tentu saja dia tidak takut menerima undangan semacam itu. Jangankan undangan Cheng-gan Sian-jin, biar undangan setan sekalipun dia tidak gentar menerimanya! Maka Ciok-thouw Taihiap lantas menyampaikan kesanggupannya dan kurir yang menerima janji pendekar sakti itu sudah terburu-buru pulang dengan gembira.
Dia tidak tahu betapa Ciok-thouw Taihiap hampir saja meluapkan kemarahannya kepada sang kurir, akan tetapi berkat kesadarannya sebagai seorang ketua partai Ciok-thouw Taihiap masih mampu mengendalikan diri. Dan sekarang, setelah dua minggu lewat semenjak kedatangan Bu-beng Sian-su, luka-luka murid kepalanya sudah hampir sembuh.
Lek Hui sudah mulai bisa berjalan-jalan, dan pemuda tinggi besar itu hanya tingal memulihkan kesehatan tubuhmya di samping memulihkan kembalinya tenaga sinkang yang hampir saja macet. Urat nadi, penting pemuda tinggi besar ini hampir saja pecah. Dan kalau itu terjadi, jika tidak tewas tentu muridnya itu bakal cacat seumur hidup. Akan tetapi untunglah, Bu beng Sian-su telah menyelamatkan jiwa muridnya ini dan Lek Hui lolos dari bahaya maut.
Kini Ciok-thouw Taihiap menahan kesabarannya untuk yang terakhir kali. Dia masih harus menunggu kurang lebih dua minggu lagi untuk kesehatan muridnya yang sempurna. Dan setelah waktu itu ternyata Lek Hui betul-betul sudah pulih lagi seperti sedia kala. Empat minggu sudah pendekar itu bersabar, dan setelah masa ini lewat pada pagi hari itu wajahnya berseri gembira. Pendekar Kepala Batu sudah siap-siap turun gunung, dan sepasang matanya yang berkilat-kilat ditahan itu memancarkan sesuatu yang menakutkan.
Lek Hui sudah menghadap gurunya yang bersikap keren itu, dan di samping pemuda ini, hadir pula seorang murid lain yang biasanya menjadi wakil murid kepala. Pemuda itu bernama Wi Kong, murid yang dahulu dipanggil Ciok-thouw Taihiap ketika Bu-beng Sian-su datang membawa Lek Hui yang terluka parah. Dan kini, di depan guru mereka yang duduk angker di ruang depan itu Ciok-thouw Taihiap meninggalkan pesannya.
"Wi Kong," demikian pendekar itu berkata. "Aku dan twa-suhengmu akan turun gunung untuk memenuhi undangan Hiat-goan-pangcu. sebetulnya masih kurang beberapa minggu lagi, namun sambil mencari suheng dan sumoimu yang minggat beberapa waktu yang lalu itu, maka kami hendak sekalian menemukannya. Kalau berhasil, kami akan langsung menuju ke Puri Naga tempat markas besar perkumpulan Hiat goan-pang. Tapi kalau belum berhasil, kami akan terus ke sana memenuhi undangan ini. Kau jagalah baik-baik perkumpulan kita dan bimbinglah adik-adik seperguruanmu. Kau mengerti?"
Wi Kong cepat menjatuhkan diri berlutut. "Teecu (murid) mengerti, suhu!"
"Hm, baiklah. Aku pergi dulu dan tunggu sampai aku kembali!" pendekar itu memutar tubuh dan bersama Lek Hui dia lalu meninggalkan tempat itu untuk memulai perjalanannya yang kedua kali sebagai ketua Beng-san-pai untuk memenuhi "undangan" Cheng-gan Sian-jin. Hanya kalau yang pertama dahulu dia turun sunung sebagai orang kang-ouw biasa yang belum menjabat sesuatu apa, adalah sekarang pendekar itu turun gunung sebagai seorang ketua partai.
Petualangan dengan 'posisi‘ baru akan dimulai oleh pendekar ini, derap langkah guru dan murid itu mendatangkan suara gemuruh yang akan menggegerkan dunia kang-ouw. Pendekar Kepala Batu turun gunung, dan sekarang pendekar itu memasuki dunia persilatan pasti kegegeran yang akan terjadi!
Kun Bok berjalan dengan muka berseri. Dusun Lee-kim-chung sudah jauh ditinggalkannya dan sekarang dia memasuki lembah bertanah datar dengan rumputnya yang hijau. Bayangan Bi Kwi masih melekat di benaknya, akan tetapi tiba-tiba buyar ketika mendadak terdengar suara kareta, disusul belasan ekor kuda yang meluncur memasuki lembah itu.
Kun Bok tertegun, dan pemuda ini berhenti. Dia ingin melihat rombongan siapakah itu, maka tiba-tiba pemuda itu menyelinap dan bersembunyi di balik sebatang pobon. Dengan matanya yang tajam akhirnya rombongan orang-orang berkuda yang sudah sampai di mulut lembah itu diketahuinya. Kiranya pasukan pengawal barang (piauwkiok) rombongan piauwsu dari Pek-ho Piauwkiok (Piauwkiok Bangau Putih)! Kun Bok tercengang melihat kehadiran para piauwsu dari Pek-ho Piauwkiok itu, karena pusat mereka di kota Lam-king, sungguh ribuan li jauhnya dari tempat ini.
Karena itu Kun Bok tertarik, dan rombongan berkuda yang mengawal sebuah tenda itu dijadikan perhatiannya. Dia mengenal ketua perusahaan ekspedisi ini, seorang laki-laki tua yang gagah perkasa, bekas murid Kim-sin San-jin ketua Kong-thong-pai!. Maka Kun Bok lalu melompat naik ke atas pohon agar lebih leluasa dalam pengintaiannya dan pemuda itu memandang ke bawah.
Kereta yang dikawal para piauwsu itu kini tibalah. Dan Kwa Ek, sang pemimpin rombongan yang menjadi pula ketua Pek-ho piauwkiok itu untuk berjalan di depan sendiri di atas kudanya yang berbulu merah. Laki-laki bekas murid Kong-thong ini tampak gagah. Meskipun sudah tua dengan rambutnya yang mulai memutih namun dia cukup berwibawa dengan wajahnya yang selalu keren itu.
Kwa Ek memasuki lembah dengan langkahnya yang pasti, dan rombongan yang penuh debu pertanda melakukan perjalanan jauh dengan sedikit istirahat itu menunjukkan kelelahannya, Para piauwsu yang lain jelas kepayahan, mereka tampak sedikit sempoyongan di atas kudanya dan ketua Pek-ho piauwkiok yang melihat keadaan anak buahnya mulai menghentikan kudanya. Dia memberi aba-aba, dan kereta beserta belasan ekor kuda itu menahan langkah. Semua orang memandang dan ketua ekspedisi angkutan barang itu membuka suara.
"Saudara-saudara, kita istirahat sejenak di tempat ini. Akan tetapi ingat, kita tidak boleh terlampau lama. Lima menit saja kukira cukup dan setelah itu kita harus berangkat lagi....!"
Para pisauwsu mengeluarkan seruan gembira mendeagar kata-kata itu akan tetapi mereka mengerutken alis ketika mendengar waktu yang amat pendek ini. Lima menit saja bukanlah istirahat yang memuaskan, karena itu seorang diantara mereka lain berbicara.
"Kwa-twako, masa kita mengaso hanya lima menit saja? Perjalanan yang kita tempuh sungguh panjang, kukira waktu itu terlampau sempit!"
"Kita terburu-buru, Song Kai, dan barang yang kita bawa tidak boleh terlambat satu menitpun ke alamat yang dituju! Siapa yang berani menjamin keamanan di lembah ini?"
"Ah, tapi kita sudah dekat, twako, dan wilayah Hong taijin siapa yang bilang keruh?" laki-laki yang dipanggil Song Kai membantah.
"Benar, dan justeru semakin dekat kita seharusnya malah bersikap lebih berhati-hati lagi, song Kai. Dan pengalaman kita bertemu dengan orang-orang bergelang merah itu apakah tidak cukup dijadikan pelajaran? Tidak, di kota Si-bun kita sudah bersua dengan orang-orang yang mencurigakan, dan mereka yang patut dicurigai gerak-geriknya itu masih belum juga bertindak. Apakah kalian tidak merasakan keganjilan ini?"
Para piauwsu tiba-tiba terdiam dan mereka mendadak saja menunjukkan muka gelisah. Akan tetapi Song Kai rupanya masih penasaran karena piauwsu muda itu lagi-lagi membantah,
"Ah, tapi itu mungkin dugaan yang keliru, Kwa-twako. Siapa tahu mereka bukan golongan penjahat? Sebab kalau mereka benar dari golongan penjahat tentu sudah berhari-hari yang lalu mereka menunjukkan niatnya yang tidak baik dan menyerang kita! Akan tetapi buktinya sampai kinipun kita tidak diganggu dan kekhawatiran twa-ko yang berlebihan kiranya tidak perlu ditonjolkan."
"Hm, kau tetap hendak istirahat lebih lama di sini, Song Kai? Begitukah maksudmu?"
"Kalau twako tidak keberatan. Tapi kalau twako keberatan tentu saja aku tidak akan membantah. Aku hanya kasihan terhadap teman-teman yang lain, Kwa-twako karena mereka telah bekerja keras sepanjang hari!"
Dan seorang piauwsu lain yang merasa mendapat pelopor dalam pembicaraan ini tiba-tiba juga menyeletuk. "Benar, Kwa-toako, kami memang penat sekali. apakah tidak bisa waktu yang lima menit itu ditambah lagi menjadi setengah jam...?"
Ceng Han tertegun, "Eh, kalau begitu, apa alasan dari undangan ini dan siapa pula pengundangnya, sehingga sampai ayah sendiri menyanggupi datang, locianpwe? Apakah ketua Hiat-goan-pang itu?"
Kong Hosiang menarik nafas panjang, " Dia bukan hanya pengundang utama, kongcu akan tetapi dalam undangan juga tercantum nama-nama yang lain seperti Palu Baja dan si Pisau Kilat. Maka kalau nama pengundang seperti itu dan ditujukan kepada ayahmu, tentu saja ayahmu merasa seperti setengah ditantang. Aapalagi Palu Baja dan sutenya itu dulu mencari ayahmu. Undangan menyatakan untuk mengadakan pertandingan (Pibu) dan sekaligus pula mencari Bengcu (pemimpin)! Nah, bukankan undangan semacam ini bakal disambut ayahmu deengan penuh gairah? Pinceng yakin Souw-taihiap (Pendekar Kepala Batu) tidak berniat untuk menjadi bengcu segala, namun dicantumkannnya nama dua orang iblis yang dulu pernah mencarinya itu tentu yang menjadi sebab utama dia menyatakan diri."
"Ah, gawat kalau begitu...!" Ceng Han mendesah cemas dan Leng Kong Hosiang menganggukkan kepalanya.
"Tidak salah, kongcu, akan tetapi ada sesuatu yang lebih berbahaya lagi pada surat undangan itu. Ketua Hiat-goan-pang rupanya orang cerdik dan licik. Dia mempunyai maksud yang pinceng sendiri baru meraba-rabanya. Ada sesuatu yang amat mencurigakan di sini, karena dalam setiap kartu undangan, nama-nama pengundang dibuat berlainan!"
"Eh, mengapa begitu?" Ceng Han terkejut.
"Pinceng kira hanya sebagai taktik memanaskan hati orang, kongcu. Contohnya adalah ayahmu itu. Kepada Souw Taihiap dicantumkan nama si Pisau Kilat dan Suhengnya, si Palu Baja. Tetapi kepada panglima-panglima kerajaan umpamanya dicantumkan nama Fu Chai, itu putera mendiang Raja Muda Kung Cu Kwang!"
"He...?!" Ceng Han kaget sekarang dan dia juga tercengang. "Putera mahkota kerajaan Wu, locianpwe?"
"Ya, maka tidak aneh kalau setiap orang yang menerima undangan itu serasa digelitik hatinya." Leng Kong Hosiang mengangguk. "Dan ini memang mengena sekali, kongcu, karena siapa tidak berang kalau diundang lawan? Menolak berarti menjatuhkan harga diri, karena otomatis dianggap takut. Dan bagi orang-orang gagah seperti ayahmu dan yang lain-lain, siapa yang dikira takut? Karena itulah mereka mengeraskan diri dan menerima undangan dengan sikap gagah!"
"Ahh!" Ceng Han terbelalak dan dia tidak tahu lagi apa yang harus dikatakan. Akan tetapi mendengar semua penjelasan hwesio kosen itu diam-diam dia mengenal betapa cerdik dan berbahayanya ketua Hiat-goan-pang itu! Sengaja memasang nama-nama "musuh" bagi yang diundang walaupun pernyataannya hanya sekedar ingin melakukan pertandiagan persahabatan. Sungguh licik!
"Dan Cui-loheng...." hwesio itu menoleh kepada si Belut Emas, "Pinceng kira rencana kita tetap saja berjalan seperti semula. Hanya sekarang kita harus mencar (berpisah), Cui-loheng bersama Fan-ciangkun serta nona Cui, sedangkan pinceng bersama Souw-kongcu. Tanggal undangan sudah tidak begitu jauh lagi, dan kita harus mencari tempat-tempat kelemahan pada markas besar Hiat-goan-pang di Puri Naga. Bagaimana, apakah Cui-loheng sudah siap?"
Kakek Cui menganggukkan kepalanya. "Lohu sudah siap, totiang, dan mudah-mudahan rencana kita tidak meleset!"
"Hmm, mudah-mudahan, Cui-loheng, akan tetapi berhati-hatilah. Hiat-goan-lopangcu (ketua Hiat-goan-pang) adalah orang yang amat berbahaya sekali. Dia amat cerdik dan karena itu waspadalah. Semoga Sang Buddha melindungi kita semua, omilohud...!"
Leng Kong Hosiang merangkapkan kedua tangannya dan kakek Cui balas menghormat, "Sampai bertemu di tempat tujuan, lo-heng...!" kakek itu berseru tegang dan hwesio ini mengangguk.
"Omitahud, semoga sampai di tempat tujuan, Cui-loheng...!" kata-kata ini diiringi tepukan perlahan dan hwesio itu sudah menengok ke arah Ceng Han. "Souw-kongcu, mari kita berangkat...!"
Ceng Han tersipu kaget. Dia sedang memandang Cui Ang. Gadis itu tiba-tiba tampak aneh, mukanya muram dan juga memandang dirinya seperti berat berpisah. Maka kini ketika tiba-tiba Pek Kut Hosiang berseru kepadanya Ceng Han menjadi tersentak. Cepat dia memandang kakek Cui dan buru-buru menghormat. "Cui-locianpwe, perkenankan siaute pergi dulu. Dan Li-twako, semoga selamat dalam perjalanan...!" Ceng Han membungkuk di depan dua orang itu, lalu menghadapi Cui Ang.
"Nona Cui, karena Pek Kut Hosiang locinpwe membutuhkan tenagaku maka biarlah kita berpisah di sini. Mudah-mudahan kita dapat bertemu dan sebelum kita berpisah tak lupa ucapkan banyak terima kasih atas budi pertolongan yang amat besar kepadaku! Selamat tinggal, sampai berjumpa lagi...!" Ceng Han memberi hormat di depan gadis itu dan Cui Ang tergesa-gesa, menyambut dengan mata sayu.
"Souw kongcu, berhati-hatilah dalam perjalanan. Jangan sampai ada apa-apa..." gadis itu berkata serak dan Ceng Han mengangguk sambil tersenyum. Dia pura-pura tidak melihat betapa mata gadis itu berair dan setelah sekali lagi memberi hormat, Ceng Han-pun lalu membalikkan tubuh dan menyusul Pek-kut-Hosiang yang sudah melompat duluan.
Kini keadaan di tepi sungai itu lengang, dan tiga orang yang berdiri di situ memandang bayangan Pek-kut Hosiang dan Ceng Han dengan bermacam perasaan. Kakek Cui menunjukkan ketegangan yang besar pada sinar matanya sedangkan Gelatik Emas mengerutkan kening dengan pandangan tak menentu. Hanya Cui Ang yang menunjukkan kesedihan, tidak tegang seperti ayahnya karena dia kurang tahu tentang berbahayanya keadaan yang sebenarnya dan gadis itu jelas tampak berat dan gundah harus berpisah dengan Ceng Han setelah semalam suntuk berada bersama.
Gadis itu termangu-mangu, dan akhirnya setelah bayangan dua orang itu lenyap di arah barat barulah ia sadar. Ayahnya menggamit tangannya, dan orang tua itu mengajak mereka segera pergi meninggalkan tempat itu. Hanya bedanya kalau Pek-kut Hosiang menuju arah Barat, adapun mereka kini menuju arah timur. Tampaknya bertolak belakang, namun karena masing-masing berjalan memutar, mereka pasti bertemu juga.
Dan membayangkan pertemuannya kembali dengan Ceng Han, gadis itu menjadi bergairah. Dia memang ingin bertemu lagi dengan putera Ciok Touw Taihiap yang semalam telah dipondongnya didalam air itu, dirangkul dan dipeluk dalam usahanya menyelamatkan diri dari ancaman bahaya.
Dan teringat dekapan semalam suntuk ini muka Cui Ang tiba-tiba menjadi merah. Memang Ceng Han tidak sadar waktu itu, akan tetapi sikap mereka yang selalu bersama itu bukankah meninggalkan satu kesan tersendiri yang mendebarkan? Maka sambil mengenangkan kejadian-kejadian yang mereka alami bersama, Cui Ang mengikuti langkah ayahnya menuju Puri Naga.
* * * * * * * *
Laki-laki tegap itu termenung di tengah taman. Hari masih pagi ketika dia berdiri di situ dan kicau burung diselingi semilir angin gunung, yang lembut itu mengusap tubuhnya. Tapi dia tetap tidak bergerak. Tubuhnya seperti patung batu yang lagi murung. Kepalanya yang gundul mengkilap tampak bercahaya tipis. Dan uap putih yang samar-samar menyelubungi kepalanya kelihatan membumbung perlahan terbawa udara pagi.
Sudah dua jam dia dalam keadaan seperti itu. Sinar matanya yang keras tajam membayayangkan kekesalannya. Akan tetapi tetap juga dia belum berhasil mengatasi keadaan. Kerut ditengah keningnya dan gigi yang kadang berkerot itu nunjukkan bahwa laki-laki itu tampaknya sedang geram. Siapakah dia?
Bukan lain adalah Ciok-thouw Taihiap, Sang Pendekar Kepala Batu! Sudah dua bulan ini puterinya tidak ada kabar dan puteranya yang disuruh menyusul ternyata belum juga kembali. Ceng Bi dan Ceng Han seakan tidak memhawa berita lagi dan hal ini membuat pendekar itu kesal. Sebetulnya, dia marah sekali ketika mendengar Ceng Bi minggat dari rumah. Akan tetapi berkat bujukan puteranya dia mau menahan diri.
Namun mengapa mereka belum juga pulang. Apakah ada sesuatu yang terjadi pada dua orang putera puterinya itu? Semua pertanyaan yang tidak ada jawaban ini menjengkelkan pendekar besar itu. Dia tidak khawatir anak-anaknya turun gunung, akan tetapi bukan sekarang. Kepandaian Ceng Han dan Ceng Bi sebetulnya masih kurang kalau terjun ke dunia kang-ouw sekarang ini karena paling tidak merasa masih harus berlatih barang dua atau tiga tahun lagi. Tapi anaknya perempuan itu membuat gara-gara. Dia minggat ketika masih dalam hukuman.
"Sungguh kurar ajar!" Ciok-thouw Tathiap mengepal tinjunya dan pendekar ini gemas sekali. Puterinya itu memang nakal, dan kadang-kadang kelewat manja. Apakah karena ia anak perempuan satu-satunya? Hm, kalau kelak sudah tertangkap ingin rasanya di mengetok kepada anak gadis itu.
Pendekar ini merenung-renung jauh dan kerut dimukanya semakin dalam. Ketidakhadiran murid kepala yang sudah lama tidak ada kabar beritanya juga membuat dia jengkel sekali. Apakah Lek Hui tidak berhasil menunaikan tugasnya? Ataukah pemuda itu yang belum bertemu dengan Ceng-gan Sian-jin? Dia tidak tahu dan pendekar ini semakin geram. Teringat kepada Cheng-gan Sian-jin membuat dia teringat juga kepada tokoh-tokoh sesat yang dibencinya. Orang-orang dunia hitam itu memang busuk semuanya, membuat dia ingin membasmi orang-orang macam ini dari permukaan bumi. Akan tetapi apakah dia bakal berhasil mengerjakan ini semua seorang diri?
Ciok-thouw Taihiap menarik napas kesal. Dia sadar bahwa selama dunia masih berputar kejahatan memang pasti tetap ada. Dan karena itulah dia ingin mendidik para muridnya sehebat mungkin untuk membasmi orang-orang jahat setidak-tidaknya untuk menekan orang-orang itu malakukan perbuatan sewenang-wenang tapi belum juga dia merasa berhasil dengan gemblengan terhadap murid-murid yang berbakat, mereka itu sudah pada minggat seenaknya sendiri! Siapa tidak jengkel?
Sebetulnya dari semua murid yang ada hanya Lek Hui yang dapat diandalkan. Pemuda tinggi besar itu sudah mewarisi kepandaiannya delapanpuluh parsen lebih. Memang belum sempurna, namun percaya cukup untuk mewujudkan cita-citanya. Dan disamping pemuda ini masih terdapat Ceng Han dan Ceng Bi. Dua orang putera-puterinya itu mewarisi lebih dari separuh ilmu kepandaiannya, sedangkan yang lain-lain baru seperempat atau separuh kurang. Dan kini tiga murid andalannya turun gunung semua. Hanya kalau Lek Hui memang dia suruh mencari Cheng-gan Sian-jin adalah yang lain, turun diluar kehendak pribadi. Itu semua gara-gara Ceng Bi.
Ciok-thouw Tathiap kembali mengepal tinju dan dia benar-besar gemas sekali terhadap puterinya itu orang ditawari jodoh baik-baik kenapa menolak? Tidak gampang mencari jodoh bagi puterinya, dan Kun Bok putera tunggal sahabat baiknya Kun Seng si Pedang Dalam Kabut itu adalah pilihan yang tepat. Mengapa harus menolak? Hem, anak perempuannya itu benar-benar tidak tahu diri. Kalau pemuda macam Kun Bok ditolak lalu pemuda macam apa yang akan dipilih? Laki-laki lemah yang tidak ada gunanya? Dia akan membunuh pemuda macam itu kalau benar terjadi!
Mata pendekar ini mulai merah dan semakin mengingat tingkah laku puteranya itu dia semakin marah. Mau jadi apa anak perempuannya itu? Mau menurutkan adat sendiri? Tidak boleh! Dia berkuasa atas diri anak anaknya, dan mereka harus patuh dan menurut terhadap orang tua! Ini sudah prinsip baginya dan siapapun tidak akan dapat menghalanginya, biar setan sekalipun.
Kekerasan yang mulai membeku di wajah pendekar ini tampak menakutkan. Dia memainkan buku-buku jarinya dan secara aneh terdengarlah suara berkerotok dari tulang-tulang jarinya. Inilah tanda pendekar besar itu sedang mencapai puncak geramnya dan seandainya Ceng Bi ada di situ barangkali anak perempuan ini sudah dihajarnya, Sungguh mengerikan.
Ciok-thouw Taihiap memandang ke depan, dan tiba-tiba pendekar itu membalikkan tubuh. Ada suara di belakangnya, hampir tidak terdengar namun telinganya yang tajam terlatih dapat menangkapnya. Maka tentu saja pendekar ini terkejut dan merasa terganggu, dia lalu membentak keras, "Siapa di situ...?"
Pendekar itu menunggu tegang dan tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat. Ciok-thouw Taihiap sudah siap memaki pendatang liar ini namun tiba-tiba dia menahan mulutnya. Orang yang dikira murid atau tamu bermaksud buruk itu tertawa lembut, dan tahu-tahu didepan pendekar ini telah berdiri seorang laki-laki yang mukanya tertutup halimun lembut.
"Bu-beng Sian-su.....!" pendekar itu kaget sekali dan bayangan putih ini tersenyum lebar.
Dia memang bukan lain Bu-beng Sian-su adanya, dan kakek dewa itu sudah cepat menjura di depan Ciok-thouw Taibiap sambil tertawa ramah, "Ah, aku mengejutkanmu, taihiap? Maaf... lohu tidak sengaja....!" kakek itu berseru perlahan dan Ciok-thouw Taihiap buru-buru membalas penghormatan orang dangan sikap tersipu-sipu.
Dia memang sama sekali tidak menyangka bakal kedatangan manusia istimewa ini, maka tidak aneh kalau sejenak pendekar itu merasa terkejut. Akan tetapi setelah hatinya tenang, Ciok-thouw Taihiap lalu memandang tamunya ini dan merasa heran melihat kakek itu memondong seseorang.
"Eh, siapa dia, Sian-su...?" pendekar itu bertanya dan Bu-beng Sian-su menghela napas,
"Muridmu sendiri, taihiap, dia terluka parah..." kakek itu menurunkan pondongannya dan pendekar ini terkejut mendengar jawaban itu.
Orang yang dipanggul memang di belakang punggung kepalanya, maka dia tidak tahu siapa adanya. Akan tetapi setelah kakek itu mengatakan bahwa orang yang dibawa ini adalah muridnya sendiri seketika Ciok-thouw Taihiap tersentak. "Muridku?"
"Ya...!"
Ciok-thouw Taihiap melompat maju dan sekarang tampaklah olehnya bahwa laki-laki yang dibawa oleh manusia dewa itu ternyata adalah Lek Hui! "Aih!" pendekar ini berseru tertahan dan dia melihat keadaan muridnya yang mengerikan. Lek Hui matang biru mukanya, dan pemuda itu luka parah disebagian tubuhnya. Darah yang mengental kering melekat di bajunya, dan Lek Hui tampaknya benar-benar payah!
"Sian-su... ini... siapa yang telah melukainya...?" pendekar itu bertanya gemetar dan kakek ini tertawa pahit.
"Cheng-gan Sian-jin, taihiap, orang yang kau suruh penggal kepalanya itu."
"Keparat...." Ciok-thouw menggereng dan muka pendekar itu tiba-tiba merah gelap.
Akan tetapi sebelum dia melanjutkan makiannya Bu-beng Sian-su mengangkat tangan, "Stop, jangan marah-marah di sini, taihiap, tidak ada gunanya lagi. Setiap kekerasan memang menghasilkan kekerasan pula, bukankah taihiap sudah memakluminya? Nah, lebih baik kau rawat muridmu ini dengan tenang. Lohu sudah memberikan bantuan sementara, dan untuk selanjutnya tinggal kau beri obat-obatan luka seperti biasa. Pembuluh darahnya hampir pecah, akan tetapi untunglah, muridmu kuat sekali. Lohu sungguh kagum akan daya tahannya...!"
Kakek itu memberi petunjuk dan Ciok-thouw Taihiap menahan kegusarannya. Memang apa yang dikatakan betul juga, maka dia tidak mau marah-marah di tempat itu. Murid yang diberi tugas ternyata gagal dan masih untung Bu-beng Sian-su mau membawanya kemari. Kalau tidak bukankah murid kepalanya itu sudah tewas, mengingat luka-lukanya demikian parah? Ciok-touw Taihiap lalu bangkit berdiri dan dia bersuit nyaring. Seorang murid kepala pengganti muncul, dan melihat gurunya berdua bersama seseorang yang tidak dikenalnya, murid itu tampak terkejut.
"Suhu.....!" murid itu hendak melanjutkan bicaranya, namun Ciok-thouw Taihiap keburu membentak. "Jangn cerewet, bawa twa-suhengmu ini ke kamar tidurku. Beri dia obat Lwe-keh to dan balur tubuhnya dengan minyak Urat Naga...!"
Bentakan penuh wibawa itu membuat sang murid mengiyakan gugup dan dengan langkah tergesa-gesa dia menghampiri Lek Hui. Melihat keadaan suhengnya yang terluka parah ini, murid itu tampak kaget. Tapi tanpa banyak cakap dia sudah mengangkat tubuh Lek Hui dan membawanya pergi. Keadaan di luar segera menjadi gempar ketika murid-murid yang lain tahu, namun tak seorangpun yang berani bertanya kepada guru mereka.
Apalagi setelah murid kepala pengganti ini bercerita bahwa guru mereka kedatangan seorang tamu aneh yang tidak dikenal mereka, semua otomatis tertegun. Diam-diam mereka merasa khawatir, apakah guru mereka tidak akan menghukum karena kedatangan tamu tidak diketahui oleh penjaga? Namun karena semuanya sudah terjadi, maka merekapun hanya menanti dengan hati tegang.
Sementara itu, Pendekar Kepala Batu sudah memutar tubuhnya menghadapi kakek dewa ini. Wajahnya masih berkerut. Tapi kemarahannya yang terkendali itu menenangkan sinar matanya. Dia tidak lagi mengepal tinju, namun Bu-beng Sian-su maklum sepenuhnya betapa kemarahan besar sedang melanda perasaan pendekar itu.
Karena itu Bu-beng Sian-su lalu bertanya lirih, "Taihiap, bagaimana sikapmu selanjutnya mengenai hal ini?"
Pendekar itu mengangkat kepalanya. "Tentu saja mencari Cheng-gan Sian-jin, Sian-su! Apakah aku harus berdiam diri saja?"
Kakek itu tersenyum getir. "Sudah kuduga, lalu apakan taihiap hendak membunuh datuk itu?"
"Tentu saja! Apakah Iblis macam itu harus dibiarkan hidup di muka bumi, Sian-su?"
"Hm, rupanya memang tidak... tapi rupanya juga iya... ah, sudahlah taihiap, aku tidak ingin membicarakan urusan ini. Biarlah kita serahkan saja sepenuhnya kepada Thian Yang Maha Agung. Apa yang terjadi tentu terjadilah. Sekarang, taihiap bolehkah aku menanyakan sesuatu?"
Kakek ini memandang ke depan dan tiba-tiba sepasang cahaya menyorot dari balik halimun. Ciok Thouw Taihiap terkejut ditatap seperti itu dan diam-diam pendekar itu kaget bukan main. Orang yang mampu menggetarkan perasaannya hanya dengan pandangan mata saja sungguh belum pernah dijumpainya! Maka tidak aneh kalau dia tercekat dan Pendekar Kepala Batu cepat mengerahkan iweekangnya menindih guncangan perasaannya. Kemudian setelah dia tenang kembali, pendekar itu berkata,
"Sian-su, apa yang hendak kau tanyakan silakan ajukan saja. Aku tentu dengan senang hati akan menjawabnya. Apakah yang menjadi pertanyaanmu, siansu?"
Kakek itu batuk-batuk kecil. "Maaf sedikit menyangkut masalah pribadimu, taihiap. Apakah engkau tidak keberatan?"
Ciok-thouw Taihiap tercengang. Menyengkut urusan pribadiku, Sian-su? Ah boleh saja, aku tidak menyimpan rahasia!"
Bu-beng Sian-su tersenyum gembira dan kakek itu tiba-tiba tertawa. "Aih, terbuka sekali sikapmu, taihiap. Betulkah tidak merasa tersinggung?"
Pendekar itu tertawa hambar. "Pertanyaan jujur, meskipun menusuk tidaklah menyinggung, Sian-su. Untuk apa harus marah?"
"Bagus, aku memang mengagumi kegagahanmu ini, taihiap!" Bu-beng Sian-su bertepuk tangan. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita berbicara sambil berjalan-jalan? Aku ingin meninggalkan sesuatu di dalam rumahmu ini, taihiap!" kakek itu berkata ganjil dan Ciok-thouw Taihiap terkejut mendengar permintaan yang dirasa aneh ini. Akan tetapi karena dia tahu dengan siapa dia berhadapan, maka pendekar itupun menganggukkan kepalanya.
"Aku tidak keberatan, Sian-su. Kita hendak berjalan kemana? Melihat-lihat ruang berlatih silat, ruang samadhi ataukah ruang depan?"
Bu-beng Sian-su tertawa. "Ah, semuanya saja taihiap. Aku ingin melihat yang mana paling cocok!"
Permintaan itu disambut hangat oleh Pendekar Kepala Batu dan Ciok-thouw Taihiap ini segera mengajak tamunya melangkahkan kaki. Segera keduanya mulai berjalan-jalan dan Bu-beng Sian-su tampak gembira.
"Taihiap, nasibmu sungguh beruntung. Disamping hidup tenang di alam pegunungan, juga memiliki putera-puteri yang gagah perkasa dan ditambah para murid yang begini setia, sungguh merasa bahagia sekali!" kakek itu mulai memuji tuan rumah, tapi pendekar itu sendiri tiba-tiba menjadi muram.
"Hm, bahagia bagaimana, Sian-su? Anak-anakku nakal semua, terutama yang perempuan itu. Dia sekarang minggat turun gunung tanpa meminta ijin!"
Bu-beng Sian-su tertawa. "Karena hendak kau jodohkan dengan seseorang bukan?" kakek itu menoleh ke kiri dan Ciok-thouw Taihiap mengangguk.
"Tidak salah, Sian-su, tapi gadis itu tidak tahu diri!"
"Ah, jangan tergesa-gesa menarik kesimpulannya, taihiap...!" Bu-beng Sian-su menggoyangkan tangannya. "Karena ada akibat pastilah ada sebab-sebabnya. Sudahkan taihiap menyelidiki sebab-sebabnya?"
Pendekar itu mengerutkan keningnya. "Sebabnya bukan lain karena anak itu keras kepala, Sian-su dan aku sungguh jengkel melihat wataknya ini. Kalau saja dia bukan puteriku tentu sudah kuhajar habis-habisan. Hm, orang tua sudah saling mengikat janji, bagaimana dia hendak menolak begitu saja? Ini tidak boleh terjadi. Dia puteriku satu-satunya dan aku hendak membahagiakannya dengan perjodohan ini. Mengapa harus menolak? Kukira di dunia ini tidak ada orang tua yang tidak bakal gembira kalau melihat anaknya bisa hidup berbahagia!"
Bu-beng Sian-su mendengarkan dengan tenang dan tiba-tiba kakek itu bertanya. "Taihiap, betulkah engkau akan bergembira kalau melihat puterimu hidup berbahagia?"
"Ah, tentu saja, Sian-su. Kenapa mesti dipertanyakan lagi?"
"Kalau begitu mesti sebaliknya yang terjadi apabila puterimu itu tidak bahagia?"
"Maksud Sian-su?"
"Maksudku adalah engkau akan ikut merasa sengsara sengsara jika puterimu itu menderita?"
"Tentu saja. Dimana ada seorang ayah bisa bahagia kalau putera-puterinya sendiri tidak merasa bahagia, Sian-su?"
"Bagus, jawabanmu tidak keluar dari batas akal sehat, taihiap. Dan sekarang dalam contoh puterimu itu, apakah taihiap akan merasa bahagia kalau melihat puterimu itu dapat berjodoh? Maksud lohu, dia berjodoh dengan laki-laki yang mungkin tidak mengena dihatinya?"
Ciok-houw Taihiap terkejut. "Tidak mengena dihatinya, Sian-su? Hm, apakah Sian-su tahu siapa orang yang hendak kujodohkan dengan puteriku itu?"
Manusia Dewa ini menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. "Aku tahu, taihiap. Bukankah putera pendekar pedang Kun Seng yang lihai dan berbudi luhur itu?"
"Benar! Nah, apakah orang macam itu masih tidak pantas menjadi pilihanku, Sian-su?" pendekar ini berseru girang dan Ciok-thouw Taihiap seakan-akan mendapat hati.
Akan tetapi Bu-beng Sian-su ternyata menggelengkan kepalanya. "Taihiap, masalah pantas atau kurang pantas itu di dalam perjodohan sesungguhnya bukanlah masalah utama. Yang pokok dalam perjodohan adalah masalah suka atau tidak suka, cinta atau tidak cinta. Dan urusan puterimu itu, apakah dia suka dengan calan jodoh yang kau pilihkan ini? Bicara tentang perjodohan bagi sepasang remaja berarti membicarakan pula tentang masa depan mereka. Kalau yang bersangkutan menolak, mengapa kita sebagai manusia tidak bersikap bijaksana? Taihiap, seperti yang kukatakan tadi, kebahagiaan seorang anak berarti kebahagiaan pula bagi sang orang tua. Hal ini berarti sang orang tua haruslah mengikuti dan mencoba menyelami isi hati sang anak pula. Kalau anak tidak setuju, kita haruslah mengetahui sebab-sebab apa dia tidak setuju. Kalau sebab itu masuk akal kita bolehlah menghargainya. Akan tetapi kalau sebaliknya, tentulah kita berusaha sedemikian rupa agar si anak bersangkutan yang masih dangkal pengetahuan kita beri bimbingan. Sekarang dalam masalah perjodohan puterimu apakah sebab utama yang membuat kau gagal? Maksudku sebelum kau melangkah lebih jauh, bagaimanakah tanggapan puterimu itu? Apakah ia menolak atau menerima?"
Ciok-thouw Taihiap mengepal tinju. "Ia menolak, Sian-su, agaknya Sian-su sudah tahu tentang hal ini. Anak perempuanku itu memang tidak tahu diri. Orang tua mencarikan jodoh baik-baik kenapa harus cerewet segala macam? Puteriku itu memang terlalu, tidak tahu betapa orang tuanya berjuang demi kebahagiaannya sendiri di dalam memilih jodohnya!"
"Hm, begitukah pendapatmu, taihiap? Betulkah engkau berjuang untuk si anak dalam perjodohannya ini demi kebahagiaannya sendiri? ataukah bukan memburu kesenanganmu pribadi?"
Ciok-thouw Taihiap terkejut. "Memburu kesenanganku pribadi, Sian-su? Eh, apa maksud ucapan ini?"
Pendekar itu memandang tidak senang, namun Bu-beng Sian-su tertawa lembut. "Taihiap, ingat janjimu tadi, bukankah engkau tidak bakal tersinggung meskipun pertanyaanku menusuk tajam? Aku tidak bermaksud mencampuri perjodohanmu ini sampai sedalam-dalamnya, hanya bermaksud untuk mengadakan dialog guna dicari sari patinya. Kalau benar, kita pakai bersama. Tapi kalau salah, kita cari kesalahan-kesalahannya. Apakah pembicaran ini boleh kita lanjutkan?"
Kakek itu memandang sambil tersenyum dan Ciok-thouw Taihiap merah mukanya. Entah mengapa, suara kakek itu yang ramah dan selalu lembut menyejukkan kemarahannya, dan pertanyan yang dilakukan dengan tawa renyah itu membuatnya tersipu-sipu sendiri. Berhadapah dengan manusia dewa ini seakan-akan berhadapan dengan angin semilir yang sepoi-sepoi segar menyejukkannya, tidak membuatnya panas. Sejuk-sejuk hangat begitulah! Maka pendekar ini lalu tergesa-gesa menjura dan berkata.
"Aih, maaf Sian-su, aku tidak tersinggung....! Hanya terus terang saja aku merasa kurang senang dengan tuduhanmu itu. Apakah benar aku memburu kesenangan pribadiku, Sian-su? Dapatkah hal ini dibuktikan?"
Kakek dewa itu terkekeh kecil, "Memburu atau tidak biarlah kita masuki persoalan ini perlahan-lahan, dan kuharap engkau kelak dapat memahaminya secara objektif. Masalah ini adalah masalah yang cukup rumit, karena itu kita harus berhati-hati untuk menemukan kebijaksanaannya. Sekarang, taihiap, apakah yang dijadikan dasar penolakan puterimu itu?"
Pendekar Kepala Batu mengerutkan keningnya, "Dia menyatakan niatnya yang belum tertarik sama sekali untuk berumah tangga, Sian-su, disamping belum kenalnya terhadap sang calon suami."
"Hm, hanya itukah?"
Ciok-thouw Taihiap menggeleng ragu, "Mungkin hanya itu, Sian-su, tapi mungkin juga ada hal-hal lain yang tidak kuketahui. Apakah salah kalau aku menyatakan perjodohan ini kepada puteriku sendiri?"
Bu-beng Sian-su tersenyum. "Ah, menyatakan perjodoban kepada puterimu itu tentu saja tidak salah, taihiap. Akan tetapi kalau sampai puterimu itu minggat turun gunung hanya gara-gara pemyataan begitu saja tentu juga terasa aneh. Apakah taihiap tidak melakukan paksaan di sini?"
Pendekar itu merah mukanya. Dia mulai 'ditodong' langsung oleh manusia dewa ini, akan tetapi karena dia merasa diri sendiri benar maka pendekar itupun tidak takut untuk menjawabnya. Dengan muka tengadah dan kepala dikedikkan Ciok-thouw Taihiap menukas,
"Sian-su, kalau aku dikatakan memaksa agaknya dalam persoalan ini kurang dapat kuterima. Tapi kalau dikatakan aku berkeras memang tidak kusangkal! Anak itu masih remaja, pengalamannya masih dangkal dan urusan perjodohan yang bakal menyangkut urusan mati hidupnya sepanjang masa ini bagaimana aku boleh bersikap lunak? Puteriku itu suka membawa adat sendiri, dan aku yang biasanya suka memanjakannya itu memang kadang-kadang banyak mengalah. Tapi sekarang, dalam urusan perjodohan yang sudah saling kami sepakati bersama dengan Bu-tiong-kiam Kun Seng itu bagaimana boleh dibatalkan begitu saja oleh puteriku ini dengan alasannya yang kekanak-kanakan? Kalau betul dia behun berniat untuk berumah tangga, baiklah pernikahan dapat diundur. Dan kalau dia menyatakan belum kenal baik dengan watak calon suaminya itupun boleh juga kuterima. Mareka tidak perlu tergesa-gesa merayakan hari pernikahan, jadi bisa diatur dan biarlah mereka bertunangan dahulu. Akan tetapi kalau usul yang sedemikian rupa ternyata juga masih ditolaknya bukankah puteriku itu kelewatan? Anak manja itu harus dikerasi, dan dia harus tunduk kepada orang tuanya!"
Ucapan berapi-api yang penuh semangat dari pendekar besar ini disambut senyum lebar oleh Bu-beng Sian-su. Kakek itu tidak memutus omongan orang, dan baru setelah Ciok-thouw Tathiap selesai bicara dia berkata, "Aha, sikap yang gagah sekali, tathiap, aku sungguh amat menghargainya! Tapi, taihiap, terlepas dari penolakan maupun penerimaan puterimu itu, ada dasar apakah taihiap merasa setuju sekali dengan calon pilihanmu itu? Apakah karena alasan 'pantas‘ saja dari kedudukan Bu-tiong-kiam Kun Seng untuk dijodohkan dengan puterimu itu ataukah karena keinginanmu sendiri yang menghendaki calon mantumu harus orang macam begitu seperti yang kau idam-idamkan?"
Ciok-thouw Taihiap melengak tidak mengerti. Ucapan Bu-beng Sian-su dirasakan masih kabur dan dia belum dapat menangkap apa yang dimaksudkan. Karena itu dia lalu bertanya, "Sian-su, apa yang kau maksudkan di sini?!"
Bu-berg Sian-su menahan langkahnya. "Maksudku taihiap, apakah kau menghendaki calon suami puterimu itu harus sesuai angan-anganmu? Seorang gagah dan cocok dengan seleramu? Ataukah justeru sebaliknya, kau memperhatikan selera puterimu?"
Ciok-thouw Taihiap tertegun. "Ah, tentu saja kedua-duanya, Sian-su."
"Hm, jadi taihiap hendak mengatakan bahwa dalam hal ini taihiap sekaligus memperhatikan selera taihiap sendiri dan puteri taihiap?"
Pendekar itu mengangguk. "Agaknya begitulah, Sian-su."
"Ah, mangapa mesti ditambahi agaknya, taihiap? Tidakkah tentu baik taihiap bersikap jujur saja?"
Pendekar Kepala Batu semburat mukanya. Ucapan Bu-beng Sian-su itu membuatnya tersipu bingung, dan entah mengapa tiba-tiba hatinya berdebar tidak nyaman. Pembicaraan orang yang kian meningkat itu mendadak saja menjadikan dia gelisah. Bu-beng Siansu tampaknya hendak 'menggiring‘ dia ke satu tempat dari apa yang sebenarnya akan dituju oleh manusia dewa itu, dia sama sekali belum tahu! Maka Ciok-thouw Taihiap lalu memandang kakek itu dan yang dipandangnya balas menatapnya dengan senyum dikulum.
"Bagaimana, taihiap? Apakah tidak sebaiknya taihiap bersikap jujur saja?"
Pendekar besar itu memandang ragu. Dia belum menjawab, akan tetapi pikirannya mulai bekerja hati-hati. Sampai akhirnya, setelah dia dapat menetapkan hatinya sendiri barulah pendekar itu berkata, "Sian-su, kalau Sian-su merasa kurang sreg dengan tambahan kata 'agaknya‘ tadi baiklah, boleh kuhilangkan saja. Sekarang apa yang hendak Sian-su katakan?"
"Hm, jadi taihiap hendak menyatakan bahwa dalam masalah perjodohan puterimu ini, taihiap mempertimbangkan selera kedua belah pihak, yakni selera taihiap sendiri yang tidak ingin mendapatkan menantu lemah dan bagaimana dengan selera nona Ceng Bi?"
"Begitulah, Sian-su!"
"Tapi bagaimana kenyataannya, taihiap? Kenapa taihiap bertindak berat sebelah?" tiba-tiba Bu-beng Sian-su menyerang.
Ciok-thouw Taihiap terkejut, dan pendekar kepala gundul ini terbelalak ke arah lawan bicaranya. "Aku bertindak berat sebelah, Sian-su?" Ciok-thouw Taihiap berseru heran. "Eh, mana buktinya?"
Kakek dewa itu tersenyum lembut. "Ah, taihiap, bukti sudah demikian gamblang, mengapa mesti ditanyakan lagi? Bukankah kepergian puterimu itu karena berat sebelahnya sikapmu? Kalau taihiap tidak terlalu ngotot karena kehendak sendiri yang didasari kecocokan selera pribadi, tentu nona Ceng Bi tidak bakalan turun gunung. Tapi taihiap terlalu egois, maaf, taihiap tidak memperdulikan keinginan puteri taihiap sendiri dan akibatnya puteri taihiap kini turun gunung memasuki daerah yang penuh bahaya. Aih, taihiap, bukankah ini adalah bukti yang taihiap ingin jawabannya?"
Pendekar kepala batu tertegun, dia memandang Bu-beng Sian-su dengan alis terangkat, akan tetapi karena mau tidak mau apa yang dikatakan oleh manusia dewa itu memang benar adanya maka diapun tidak membantah. Namun, karena menganggap Ceng Bi masih merupakan 'anak kecil‘ dan belum mengenyam pahit-getirnya dunia, maka diapun tidak mau sudah didebat seperti itu. Dengan kening yang semakin dikerutkan, pendekar ini lalu menjawab,
"Sian-su, apa yang kau katakan ini , memang tidak kusangkal. Aku memang kurang memperhatikan keinginan puteriku itu dikarenakan ia masih terlalu remaja, masih kanak-kanak! Dan pandangan seorang kanak-kanak tentang perjodohan, mana bisa diandalkan, Sian-su? Tidak, ia belum tahu baik-buruknya seorang laki-laki, belum tahu culas-curangnya seorang pria! Dan kalau sampai dia keliru mendapatkan jodoh, bukankah kebahagiaan hidupnya bakal rusak binasa? Hanya dengan ikatan jodoh bersama keluarga sahabatku Bu-tiong-kiam Kun Seng itulah aku yakin kebahagiaan anakku bakal terpenuhi. Atau, apakah Sian-su meragukan keluhuran budi Bu-tiong-kiam Kun Seng?"
Bu-beng Sian-su tertawa lembut. "Taihiap, kau bicara demikian mudah tentang kebahagiaan seseorang. Apakah engkau tahu apa yang disebut bahagia itu? Dan apakah taihiap benar-benar yakin bahwa kelak puterimu itu betul-betul akan dapat hidup bahagia bersama calon pilihanmu? Mungkin keluhuran budi si Raja Pedang itu memang aku tidak meragukannya. Akan tetapi, taihiap, bukankah yang hendak berjodoh adalah orang lain, bukan Bu-tong-kiam Kun Seng sendiri?"
"Ah, tapi orang lain itu adalah keturunan Bu-tiong-kiam sendiri, Sian-su, putera tunggalnya! Masa boleh disebut 'orang lain'?" Ciok-thouw Taihiap membantah.
"Benar, namun dia tetap bukan Bu-tiong-kiam Kun Seng, taihiap, dan segala sesuatu yang terpisah berarti bukan sang obyek tunggal. Seperti juga taihiap dan puteri taihiap, atau taihiap dengan putera taihiap. Masing-masing telah menjadi individu tersendiri yang berisi jiwa yang berlainan. Bagaimana taihiap hendak menjadikannya satu?"
Pendekar Kepala Batu terhenyak, dia agak disudutkan oleh kata-kata manusia dewa akan tetapi dasar dia sendiri juga merasa punya pegangan maka diapun tidak mau kalah. "Baiklah, Sian-su," pendekar ini menjawab, "Kalau Sian-su mendebat begitu bolehlah kuterimanya, Tetapi Sian-su, bukankah ada pepatah yang mengatakan bahwa buah selamanya jatuh tidak jauh dari pohonnya? Nah, meskipun putera Bu-tiong-kiam Kun Seng bukanlah Bu-tiong-kiatn Kun Seng sendiri namun aku yakin dia tidak akan jauh berbeda dangan ayahnya!"
"Hm, jadi taihiap merasa yakin akan pilihan sendiri? Merasa yakin akan kebahagiaan puteri taihiap jika berjodoh dengan putera si raja pedang itu?" Bu-beng Sian-su tetap tersenyum.
"Begitulah!" pendekar ini menganggukkan kepalanya dengan pasti.
"Dan tidak menghiraukan perasaan puteri taihiap sendiri?"
"Ini....!" Ciok-thouw Taihiap agak terkejut. "Apa yang Sian- su maksudkan?"
Bu-beng Sian-su tersenyum lebar. "Taihiap...." kakek itu tersenyum. "Bukankah tadi sudah kau sebutkan bahwa dalam masalah perjodohan ini harus dipandang dari dua sudut? Pertama dari sudut pihakmu sebagai orang yang bersangkutan. Kalau kau mengambil tindakan seenaknya tanpa menghiraukan perasaan puterimu, lalu di manakah bisanya bertwmu 'selera' seperti yang kau sebut-sebut tadi? Seleramu tentang keadaan putera Bu-tiong-kiam Kun Seng boleh dibilang cocok, sedangkan 'selera' puterimu sendiri tentang pemuda pilihanmu ini bertolak belakang. Kalau demikian jadinya, lalu mungkinkah puterimu itu bisa hidup bahagia, taihiap? Tidakkah di sini kau amat berat sebelah? Mungkinkah puterimu itu betul-betul bisa bahagia dalam perjodohan yang kau paksa begini, taihiap? Ataukah sebenamya kau sedang memburu keinginan pribadi? Memburu kesenangan diri pribadi melalui puterimu?"
Ucapan yang mulai menajam ini membuat muka pendekar sakti itu merah, akan tetapi karena Bu-beng Sian-su mengeluarkannya dengan halus dan ramah maka Ciok-thouw Taihiap tidak merasa dilukai. Hanya diam-diam dia mulai semakin tidak enak berbicara dengan kakek dewa itu, dan pendekar ini menjadi gelisah. "Sian-su, apa sebenarnya yang kau maksudkan dengan keinginan pribadiku itu?"
"Ah, jelas taihiap. Di sini dimaksudkan bahwa kau hendak mencapai sesuatu yang menggembirakan hatimu. Bukankah kalau perjodohan ini berhasil hatimu pasti gembira?"
Pendekar Kepala Batu tidak segera menjawab. Dia khawatir "terpancing" oleh pertanyaan-pertanyaan manusia dewa itu, akan tetapi karena tidak ada jalan lain untuk menjawab pertanyaan itu selain menganggukkan kepalanya, maka pendekar inipun terpaksa mengiyakan.
"Tidak salah. Memang aku pasti gembira apabila perjodoban puteriku berhasil. Akan tetapi, salahkah hal ini, Sian-su? Salahkah bila aku memikirkan nasib puteriku agar mendapat jodoh yang baik, mendapat jodoh yang berharga? Dan kukira putera Bu-tiong-kiam Kun Seng itu adalah pemuda yang cukup berharga untuk disandingkan dengan puteriku!"
"Ah, jangan tergesa-gesa, taihiap. Bukan masalah berharga atau tidak berharga calon pendamping puterimu itu, melainkan masalah cocok atau tidakanya bagi yang bersangkutan! Apakah, taihiap yakin bahwa puterimu itu kelak merasa cocok dengan calon pilihanmu?"
Pendekar sakti ini terdiam, tapi hanya sejenak saja dia tidak membuka suara karena tiba-tiba dengan sikap tegas dia menganggukkan kepalanya. "Aku merasa yakin, Sian-su!"
"Hm, taihiap yakin akan kecocokan puterimu? Atas dasar apakah, taihiap?"
"Atas dasar persamaan watak di antara keluarga Bu-tiong-kiam Kun Seng dengan keluargaku!" Jawab pendekar itu mantap.
Dan Bu-beng Sian-su yang mendengar ini tertawa renyah. Kakek itu memandang Ciok-thouw Taihiap sambil tersenyum lebar, dan kakek itu rupanya geli. "Aih, taihiap, persamaan watak yang bagaimanakah yang kau maksudkan di sini? Apakah persamaan watak kalian yang sama-sama dari golongan kaum pendekar? Ah, kalau begitu terlalu sempit, taihiap, karena hal itu sedikit sekali untuk menolong kebahagiaan sepasang muda-mudi yang hendak hidup bersama. Memang mendapatkan jodoh dari kelompok segolongan lebih baik daripada mendapatkan jodoh dari kelompok yang berlainan. Akan tetapi itu hanya garis pintas yang masih dangkal sekali bagi sebuah perjodohan, taihiap, bagi terciptanya sebuah kebahagiaan! Apakah taihiap kira orang yang tidak segolongan tidak bakal merasakan arti sebuah kebahagiaan dalam sebuah perkawinan? Ah, dugaan yang keliru, taihiap, sangkaan yang kurang benar. Perjodohan dasar utamanya adalah adanya saling kecocokan, karena kecocokan menimbulkan rasa suka. Dan kalau masing-masing pihak sudah sama-sama suka, lalu sulitkah kiranya terbit sang dewa cinta? Tidak, taihiap, kau terlalu sembrono kalau bertindak serampangan saja. Puterimu bukanlah kau, dan kau bukanlah puterimu. Memang sebagai orang tua kau berkewajiban memikirkan masa depan anakmu, akan tetapi jangan terlalu mencengkeram. Bukankah setiap orang mendambakan kebebasan? Nah, berilah kebebasan kepada puterimu itu namun kebebasan di sini tentu saja kebebasan yang terarah, kebebasan yang bijaksana! Apakah taihiap mulai dapat menangkap apa yang kumaksudkan?"
Ciok-thouw Taihiap tidak menjawab. Dia memandang jauh kedepan dengan mata merenung dan semua ucapan manusia dewa itu dikunyahnya. Memang tidak salah nasihat itu, bahwa dia juga harus memperhatikan perasaan Ceng Bi sebagai orang yang bersangkutan. Akan tetapi masalah suka atau tidak suka, bukankah ini bisa saja berubah sewaktu-waku? Seperti anaknya sendiri itu umpamaanya.
Sekarang boleh jadi tidak suka kepada calon pilihannya itu dikarenakan belum saling mengenal, akan tetapi lain waktu mungkin saja perasaan tidak suka itu berubah menjadi suka! Dan kalau bukan putera si raja pedang itu, lalu siapakah pemuda yang pantas dijadikan suami puterinya? Memang banyak pemuda-pemuda di dunia ini, akan tetapi yang dirasa cocok menurutnya hanyalah putera Bu-tiong-kiam Kun Seug. Apalagi dia sudah saling mengikat janji dengan Bu-tiong-kiam Kun Sang sendiri.
Hm... Ciok-thouw Taihiap mulai kebingungan. Terus terang dia khawatir kalau puterinya itu menolak. Bukan karena takut kegagalannya mengurus perjodohan ini, melainkan takut tersentuh harga dirinya. Sebagai seorang pendekar sejati, dia selalu memegang teguh setiap janji. Dan janji yang telah diberikan kepada sahabatnya, si raja pedang itu tidak mungkin dicabutnya. Dia lebih baik kehilangan Ceng Bi daripada harus mengingkari janji!
Inilah kekerasan watak sang pendekar Kepala Batu. Sekali dia sudah mengeluarkan omongan, tidak perduli anak sendiri akan diterjangnya. Dan kalau betul Ceng Bi menolak, tentu dia tidak akan segan-segan menghukum puterinya itu, demi terutuhnya rasa harga diri! Benar-benar melebihi baja!
Dan Bu-beng Sian-su yang melihat pendekar itu diam dengan mata memandang jauh tampak tidak mengganggu. Kakek ini maklum, pergolakan apa yang kiranya sedang terjadi di dalam hati pendekar itu. Namun dia sabar menunggu dan Pendekar Kepala Batu yang berjalan disampingnya itu tampak gelisah.
Cok-thouw Taihiap memang sedang bergulat dengan pikirannya sendiri. Disatu pihak dia tetap berkeras dengan keinginannya sendiri, sedangkan dilain pihak dia merasa didesak oleh kata-kata Bu-beng Sian-su. Memang dia agak keras menghadapi puterinya itu, namun bukankah ini demi kebahagiaan puterinya sendiri?
Maka pendekar itu lalu tiba-tiba bertanya, "Sian-su, kalau begitu apa yang harus kulakukan menurut pendapatmu?"
Bu-beng Sian-su tersenyum. "Taihiap, seperti yang sulah kita bicarakan tadi, bukankah masalah perjodohan ini harus dipertimbangkan masak-masak? Yang menjalani adalah anak perempuanmu, dan tentu saja nona Ceng Bi harus dimintai pendapatnya. Kalau dia menolak, kita selidiki sebab-sebab penolakannya. Tapi kalau setuju, tentu saja tidak ada masalah lagi. Dan tentang pendapat puterimu itu, tidakkah taihiap sebaiknya menyelidikinya dahulu?"
"Hm, menurut penyelidikanku sebab penolakannya hanya dikarenakan dia belum belum berniat untuk berumah tangga, Sian-su, dan kukira itu hanya alasan yang dicari-cari. Anak perempuanku itu memang kadang-kadang tidak tahu diri, suka membawa adat sendiri dan sikapnya yang terakhir ini dalam masalah perjodohan sungguh menggemaskan hatiku. Dia belum kenal Kun Bok, putera Bu-tiong-kiam Kun Seng itu. Dan sekali dia kenal, tentu kerewelannya itu akan sirna. Terus terang aku ingin memperkenalkan dengan pemuda itu, tapi belum terwujud keinginanku ini tahu-tahu dia sudah minggat.
Bu-beng-Sian-su tersenyum mendengar kata-kata itu. "Mungkin karena kau terlalu keras kepala, taihiap!" Kakek itu menukas.
"Barangkali Sian-su," Ciok-thouw Taihiap menjawab. "Karena dia juga keas kepala dan tidak mau melihat keadaan."
Bu-beng Sian-su tertawa mendengar kata-kata ini dan kakek itu mengebutkan lengan bajunya. "Ah, apa yang kau maksud dengan melihat keadaan itu, taihiap?" tanyanya lembut.
Ciok-thouw Taihiap menoleh dan pendekar ini berkata, "Bukan lain kenyataan yang seharusnya menggembirakan hatinya itu, Sian-su. Karena bukankah seharusnya puteriku itu bergembira bahwa putera Bu-tiong-kiam Kun Seng melamarnya? Dia pemuda baik-baik, tinggi ilmu silatnya dan kedudukan ayahnya yang sejajar dengaku itu cukup merupakan jaminan bagi masa depannya. Dan kalau dia belum suka karena belum kenal, bukankah masa seperti ini dapat dikenalinya?"
"Ah, itu menurut pendapatmu, taihiap, dan pendapat puterimu barangkali lain lagi. Tidak salah bahwa Bu-tiong-kiam Kun Seng adalah seorang pendekar yang dapat dipercaya, akan tetapi, kalau puterimu tidak ada kecocokan dengan putera pendekar itu, tentu saja kita tidak boleh main paksa!"
"Hm, tapi anakku belum bergaul dengan pemuda itu, Sian-su, bagaimana kita sudah tahu bahwa tidak ada kecocokan dihatinya?"
"Itulah, taihiap,!" Bu-beng Sian-su berseru. "Dan kita juga belum tahu bahwa puterimupun sudah ada kecocokan dengan putera Bu-tiong-kiam Kun Seng! Kalau sudah begini, bukankah sebaiknya kita memberikan kebebasan bagi yang bersangkutan?"
"Maksud Sian-su?"
"Kita atur keadaan sedemikian rupa, agar masing-masing pihak saling mengenal. Dan kalau sudah terjadi seperti itu, barulah kita sebagai orang tuanya bertindak. Jika mereka saling tertarik, kita urus perjodohannya. Tapi kalau tidak, tentu saja tidak perlu memaksa-maksa. Dan sikap taihiap yang telah terlanjur mendahului ini, bukankah tidak bijaksana?"
Pendekar sakti itu merah mukanya. Dia merasa ditampar dengan ucapan yang terakhir ini, namun dia membela diri, "Akan tetapi, itu kulakukan karena kepercayaanku yang penuh terhadap Bu-tiong-kiam Kun Seng, Sian-su. Dan juga karena keyakinanku akan persetujuan puteriku sendiri!"
"Tapi, nyatanya puterimu tidak setuju bukan?" Bu-beng Sian-su menyela. "Dan barangkali karena sikapmu yang mengabaikan dirinya itulah yang membuat puterimu itu menolak, taihiap, karena mungkin ia merasa diremehkan! Taihiap terlalu ambil gampang dengan perasaan puteri taihiap sendiri, dan akibatnya nona Ceng Bi bereaksi seperti itu…..!"
Bu-beng Sian-su seolah menyesalkan sikap pendekar sakti itu dan Ciok-thouw Taihiap agak terpukul. Dia memang merasa ada benarnya juga teguran kakek dewa itu, dan pendekar ini menjadi tidak enak.
"Tapi, Sian-su…" Ciok-thouw Taihiap masih bersikeras. "Aku sama sekali tidak bermaksud merusak kebahagiaan hidupnya. Bahkan aku berusaha menjodohkannya dengan putera si Raja Pedang itu agar puteriku hidup bahagia! Dan kalau aku dinyatakan bersalah karena melancangi perasaannya, bukankah sudah kuberi kesempatan untuk saling mengenal watak masing-masing pihak? Kalau mereka sudah saling mengenal, tentu perjodohan ini berjalan juga!"
"Ah, taihiap, lagi-lagi kau bersikap sembarangan. Kalau betul mereka berdua sudah saling kenal, lalu apa dapat dijamin keduanya ada kecocokan? Apakah perjodohan tetap dijalankan? Ah, kalau begini, berarti paksaan yang terjadi, taihiap, bukannya kebebasan…"
Ciok-thouw Taihiap merasa tergetar perasaannya mendengar kata-kata itu, dan sekejap mukanya menjadi pucat. Gambaran yang baru direka-rekanya itu membuatnya cemas, namun pendekar ini cepat mampu mengendalikan diri. Apa yang disampaikan Bu-beng Sian-su hanyalah pengandaian saja, dan dia masih tidak merasa yakin. Keluhuran budi dan kebijaksanaan keluarga Bu-tong-kiam Kun Seng pasti akan dapat menundukkan puterinya yang keras kepala itu, dan dia masih merasa ada harapan untuk melanjutkan ikatan perjodohan ini.
Karena itu Ciok-thouw Taihiap lalu memandang tamunya ini dan mereka mulai memasuki ruangan berlatih silat. "Sian-su, kalau begitu, apa yang harus kita lakukan kini? Mencabut kembali ikatan perjodohan ini dan meminta maaf kepada Bu-tiong-kiam Kun Seng?"
Suara Ciok-thouw Taihiap agak meninggi dan Bu-beng Sian-su merasakan perubahan nada suara itu. Kakek ini tahu bahwa Pendekar Kepala Batu agak mendongkol, tapi kakek itu tenang-tenang saja, Dia malah tertawa kecil mendengar pertanyaan itu dan Bu-beng Sian-su menjawab,
"Taihiap, kalau kukatakan bahwa kau bersalah dalam masalah ini itulah hal yang tidak adil. Bu-tiong-kiam Kun Seng juga ikut campur dalam persoalan ini, bagaimana seandainya kau bicarakan kembali hal-hal yang lebih pokok dengan pendekar pedang itu? Maksudku, bagaimana kalau kalian berdua sebagai orang-orang tua menahan diri dulu, tidak tergesa-gesa mengambil keputusan sebelum yang bersangkutan saling kenal mengenal? Kalau hal yang lebih pokok ini sudah dilakukan, tentulah kita akan melihat baik buruknya perkembangan masing-masing pihak. Melihat cocok tidaknya hubungan mereka berdua. Kalau cocok, baiklah, baru kita lancarkan maksud semula yang sudah direncanakan. Tapi kalau tidak tentu saja sebagai pendekar-perdekar berpikiran bijaksana taihiap berdua mestinya berpandangan luas. Tidakkah ini jalan tengah yang bagus?"
Ciok-thouw Taibiap mengerutkan alis, "Jadi hal itu berarti membatalkan ikatan janji yang telah kami buat untuk sementara, Sian-su?"
"Ah, jangan terlalu keras mengucapkannya, Aku tidak mengatakan ikatan jodoh ini harus dibatalkan, entah itu sementara ataupun selamanya. Aku hanya menyarankan, taihtap dan Bu-tiong kiam Kun Seng menahan diri, masing-masing pihak melihat keadaan, Seandainya memang sudah jodoh, mengapa taihiap harus cemas?"
"Hm, tapi aku sudah kelewat jauh melangkah, Sian-su. Mana mungkin harus mundur lagi?"
"Ah, bukan engkau sendiri yang melangkah terlalu jauh, taihiap, melainkan juga sahabatmu si raja pedang itu. Rupanya karena dimabuk kegembiraan taihiap berdua melupakan orang-orang yang bersangkutan, dalam hal ini puterimu. Dan orang yang lupa akan sesuatu mana boleh terlalu disalahkan? Tidak, taihiap, rencana kalian berdua, boleh saja tetap berjalan, Tapi harap kalian ingat bahwa persoalan jodoh sepenuhnya berada di tangan orang-orang yang hendak menjalani. Kulau di sini tidak ada kesepakatan, janganlah dipaksa. Kalau memangnya sudah setuju, tentu saja tidak ada persoalan. Pahamkah taihiap akan perkataanku?"
Ciok-touw Taihiap mengangguk. "Aku mengerti, Sian-su, tapi barangkali ada kesukaran di sini!"
"Ah, setiap persoalan pasti ada kesukarannya sendiri-sendiri, taihiap!" Bu-beng Sian-su tertawa. "Mengapa mesti dirisaukan?"
"Baiklah, aku akan coba mengikuti petunjukmu ini, Sian-su, mudah-mudahan berhasil. Akan tetapi, apakah Sian-su ada jalan keluar lain?"
Bu-beng Sian-su memandang heran. "Maksudmu, taihiap?"
"Maksudku....." Pendekar Kepala Batu agak meragu. "....apakah Sian-su ada pertimbangan-pertimbangan lain selain itu…?"
"Hm, umpamanya apa, taihiap?"
"Umpamanya, hem… ah tidak… tidak apa-apalah Sian-su, biarlah aku merenungkan dahulu semua petunjuk-petunjukmu tadi!" Ciok-thouw Taihiap tiba-tiba tersipu gugup dan pendekar ini jelas sedang menyembunyikan sesuatu yang tidak jadi diutarakan.
Akan tetapi Bu-beng Sian-su tersenyum tenang saja dan kakek yang waspada itu tampaknya dapat merasakan sesuatu yang dirahasiakan ini. Buktinya kakek itu tiba-tiba memandang Ciok-thouw Taihiap dan bertanya dengan lirih. "Taihiap, apakah kau hendak bertanya tentang keberhasilan keinginanmu?"
Ciok-thouw Taihiap terkejut. "Eh, bagaimana Sian-su bisa menduga begitu?"
"Ah, aku tidak menduga, taihiap, hanya sekedar bertanya. Bukankah taihiap berpikir tentang jadi atau tidaknya perjodohan puterimu ini dengan keturunan Bu-tiong-kiam Kun Seng? Bukankah taihiap memiliki suatu cita-cita terselubung melalui perantaraan puterimu itu?"
Pendekar ini terbelalak. "Sian-su…!"
"Aih, jangan berteriak, taihiap!" Bu-beng Sian-su mengangkat tangannya. "Aku hanya bertanya saja. Kalau tidak, sudahlah, maafkan lohu yang mungkin salah omong…"
Kakek dewa itu buru-buru mengusap tubuh pendekar ini dan Ciok-thouw Taihiap tertegun. Ruangan berlatih silat sudah mereka masuki, dan Bu-beng Sian-su pura-pura tidak melihat perubahan hebat di wajah tuan rumah. Akan tetapi itu hanya sekejap saja terjadi pada diri pendekar besar ini dan Ciok-thouw Taihiap sudah pulih lagi seperti sedia kala dan memandang gentar kepada Bu-beng Sian-su.
Bu-beng Sian-su sendiri sudah memandang kagum ke seluruh ruangan dan kakek itu tampaknya mencari-cari. "Taihiap, apakah ini ruang lian-bu-tia (ruangan berlatih silat)?"
Ciok-thouw Taihiap mengangguk dengan hati masih berdebar. "Betul, Sian-su. Apakah ada yang Sian-su cari? Pendekar itu mengikuti pandangan tamunya yang aneh menebar ke seluruh ruangan yang luas itu, namun Bu-beng Sian-su hanya tersenyum saja.
"Ah, bagus dan lega sekali ruangan ini, taihiap. Sungguh cocok untuk tempat berlatih silat!" kakek itu seakan-akan bicara sendiri, tapi kakinya terus melangkah menuju ruang depan. "Dan itu, tentu serambi depan tempat menerima tamu, bukan?"
Ciok-thouw Taihiap kembali mengangguk. "Tidak salah, Sian-su, tetapi terus terang aku sendiri jarang menerima tamu."
"Hm, cukup indah dan bersih!" Bu-beng Sian-su memuji. "Dan permadani lembut yang menghampar berukir di atas lantai itu, tentu hasil karyamu sendiri bukan, taihiap?"
Pendekar ini tersenyum kecut. "Benar, Sian-su, tapi yang mengerjakan adalah anak-anak muridku yang bodoh!"
"Ah, kau terlampau merendah, taihiap. Di alam pegunungan yang begini sepi, bisa terdapat karya seni yang demikian indah, sungguh patut dihargai! Akan tetapi, taihiap, dimanakah ruangan semadhimu?" kakek itu menoleh ke arah Ciok-thouw Taihap dan tuan rumah ini segera menudingkan telunjuknya.
"Ya, ada sesuatu yang ingin kutinggalkan disana, taihiap." Bu-beng Sian-su tersenyum. "Tapi tentu saja jika kau tidak keberatan!"
Kakek itu memandang tuan rumah dan Ciok-thouw Taihiap segera mengajak tamunya itu menuju ke ruang semadhi. Ternyata ruangan ini berhadapan dengan sebuah kolam ikan, lalu Ciok-thouw Taihiap berkata, "Mendapat kehormatan kunjungan Sian-su, bagiku adalah anugrah besar. Siapa keberatan jika Sian-su ingin meninggalkan sesuatu di sini? Silakan, Sian-su…, silakan bersikap bebas saja!"
Pendekar itu berkata jujur, dan Bu-beng Sian-su tertawa. Tanpa ragu-ragu kakek itu memasuki ruangan semadhi, dan begitu masuk segera aroma harum menyengat hidung mereka. Ruang semadhi ini tidak begitu besar, namun lantainya yang bersih dan temboknya yang terbuat dari marmer itu memantulkan kesejukan yang hening.
Bu-beng Sian-su tampak mengamati setiap ruangan, dan ketika matanya membentur atap ruangan nampaklah lukisan sepasang raga berebut mustika. Lukisan ini diukir indah, dan bayang. Dan bayang-bayang mega yang seakan menelan sepasang naga di angkasa itu kelihatan hidup benar. Kakek ini tampak tertarik, dan tiba-tiba dia bertanya kepada tuan rumah, "Taihiap, bolehkah lukisan di atas itu kutambahi sesuatu?"
Ciok-thouw Taihiap tercengang, "Sian-su hendak berbuat apakah?"
Kakek itu tersenyum. "Mengukir buat yang kelak ada gunanya untukmu, taihiap!"
"Ah, kalau begitu silakan, Sian-su. Aku tidak keberatan!"
Baru habis kata-kata ini diucapkan sekonyong-konyong Bu-beng Sian-su mengucapkan terima kasih dan berkelebat ke atas. Demikian hebat gerakan kakek itu sampai Ciok-thouw Tathiap sendiri yang ada disampingnya merasa terkejut sekali dan ketika pendekar itu memandang... apa yang dilihat hampir tak masuk akal!
Halaman 53-54 Hilang
Pendekar itu berdiri mematung. Perjumpaannya yang tidak disangka-sangka dengan manusia dewa itu meninggalkan kesan khusus di dalam hatinya. Dan diam-diam ada suatu perasaan tidak enak yang menggelisahkannya tanpa sebab. Kakek sakti itu sudah terkenal tidak pernah datang percuma kepada orang-orang yang dijumpainya, dan kali ini ia mendapat giliran!
Apakah yang Akan terjadi? suatu yang buruk? Atau sesuatu yang menguntungkan? Dia tidak tahu! Dan sesuatu yang tidak diketahui namun dicoba untuk meraba-rabanya begini memang selalu menimbulkan perasaan tidak nyaman. Pendekar Kepala Batu termangu-mangu, dan akhirnya setelah bayangan kakek dewa itu sudah lama lenyap barulah dia membalikkan tubuh dan kembali ke kamarnya.
* * * * * * * *
Kini sudah seminggu pendekar besar itu menekuri perjumpaannya dengan Bu-beng Sian-su. Lek Hui sudah berangsur-angsur sembuh, dan semua peristiwa yang dialami murid kepalanya itu mulai didengar. Sejak persekutuannya dengan pangeran Kou Cien dan pertemuannya dengan Pendekar Gurun Neraka sampai hancurnya bala tentara Wu-sam-tai Ciangkun yang dibantu oleh Ceng-gan Sian-jin.
Dan bercerita tentang datuk iblis ini selalu muka pendekar besar itu merah padam. Apalagi ketika Lek Hui menceritakan perjumpaannya dengan iblis sakti itu yang merobohkannya dalam satu pertempuran sengit dan hampir saja membunuhnya, Ciok-thouw Taihiap benar-benar berkerot giginya. Pendekar ini naik darah, dan kemarahannya terhadap Cheng-gan Sian-jin memuncak. Sudah mengambil keputusan untuk turun gunug dan berhadapan dengan datuk iblis yang hampir membunuh muridnya ini.
Ciok-thouw Taihiap sudah kelewat berangnya, dan dia tidak akan memberi ampun semua kebenciannya terhadap orang-orang golongan hitam bangkit kembali dan ditambah kepergian dua orang putera-puterinya yang sampai kini belum pulang itu benar-benar membuat pendekar ini marah bukan main. Ciok-thouw Taihiap benar-benar sudah tidak dapat menahan kesabarannya lagi, dan cerita Lek Hui tentang perjumpaannya dengan putera puterinya yang baru saja terlepas dari cengkeraman dua iblis The-lo-hengte itu semakin membulatkan tekadnya.
Apalagi ketika seminggu kemudia dia mendapat undangan dari ketua Hiat-goan-pang itu. Undangan ini sungguh mengejutkannya. Dia tidak kenal siapa dan macam apa perkumpulan Hiat-goan-pang itu. Akan tetapi dicantumkannya nama Cheng-gan Sian-jin di samping nama ketua perkumpulan itu sendiri sudah cukup membuatnya mengepal tinju. Hiat-goan pang mengundang karena hendak merayakan ulang tahun pertama perkumpulan itu, di samping katanya hendak memilih atau mengadakan pemilihan seorang bengcu (pemimpin persilatan). Benar-benar menyiram minyak pada api yang sedang menyala!
Itulah keadaan yang kini diterima oleh pendekar besar ini. Suasana yang serba tidak menyenangkan mulai bermunculan di sekitarnya. Dan sebagai seorang pendekar yang keras hati, tentu saja dia tidak takut menerima undangan semacam itu. Jangankan undangan Cheng-gan Sian-jin, biar undangan setan sekalipun dia tidak gentar menerimanya! Maka Ciok-thouw Taihiap lantas menyampaikan kesanggupannya dan kurir yang menerima janji pendekar sakti itu sudah terburu-buru pulang dengan gembira.
Dia tidak tahu betapa Ciok-thouw Taihiap hampir saja meluapkan kemarahannya kepada sang kurir, akan tetapi berkat kesadarannya sebagai seorang ketua partai Ciok-thouw Taihiap masih mampu mengendalikan diri. Dan sekarang, setelah dua minggu lewat semenjak kedatangan Bu-beng Sian-su, luka-luka murid kepalanya sudah hampir sembuh.
Lek Hui sudah mulai bisa berjalan-jalan, dan pemuda tinggi besar itu hanya tingal memulihkan kesehatan tubuhmya di samping memulihkan kembalinya tenaga sinkang yang hampir saja macet. Urat nadi, penting pemuda tinggi besar ini hampir saja pecah. Dan kalau itu terjadi, jika tidak tewas tentu muridnya itu bakal cacat seumur hidup. Akan tetapi untunglah, Bu beng Sian-su telah menyelamatkan jiwa muridnya ini dan Lek Hui lolos dari bahaya maut.
Kini Ciok-thouw Taihiap menahan kesabarannya untuk yang terakhir kali. Dia masih harus menunggu kurang lebih dua minggu lagi untuk kesehatan muridnya yang sempurna. Dan setelah waktu itu ternyata Lek Hui betul-betul sudah pulih lagi seperti sedia kala. Empat minggu sudah pendekar itu bersabar, dan setelah masa ini lewat pada pagi hari itu wajahnya berseri gembira. Pendekar Kepala Batu sudah siap-siap turun gunung, dan sepasang matanya yang berkilat-kilat ditahan itu memancarkan sesuatu yang menakutkan.
Lek Hui sudah menghadap gurunya yang bersikap keren itu, dan di samping pemuda ini, hadir pula seorang murid lain yang biasanya menjadi wakil murid kepala. Pemuda itu bernama Wi Kong, murid yang dahulu dipanggil Ciok-thouw Taihiap ketika Bu-beng Sian-su datang membawa Lek Hui yang terluka parah. Dan kini, di depan guru mereka yang duduk angker di ruang depan itu Ciok-thouw Taihiap meninggalkan pesannya.
"Wi Kong," demikian pendekar itu berkata. "Aku dan twa-suhengmu akan turun gunung untuk memenuhi undangan Hiat-goan-pangcu. sebetulnya masih kurang beberapa minggu lagi, namun sambil mencari suheng dan sumoimu yang minggat beberapa waktu yang lalu itu, maka kami hendak sekalian menemukannya. Kalau berhasil, kami akan langsung menuju ke Puri Naga tempat markas besar perkumpulan Hiat goan-pang. Tapi kalau belum berhasil, kami akan terus ke sana memenuhi undangan ini. Kau jagalah baik-baik perkumpulan kita dan bimbinglah adik-adik seperguruanmu. Kau mengerti?"
Wi Kong cepat menjatuhkan diri berlutut. "Teecu (murid) mengerti, suhu!"
"Hm, baiklah. Aku pergi dulu dan tunggu sampai aku kembali!" pendekar itu memutar tubuh dan bersama Lek Hui dia lalu meninggalkan tempat itu untuk memulai perjalanannya yang kedua kali sebagai ketua Beng-san-pai untuk memenuhi "undangan" Cheng-gan Sian-jin. Hanya kalau yang pertama dahulu dia turun sunung sebagai orang kang-ouw biasa yang belum menjabat sesuatu apa, adalah sekarang pendekar itu turun gunung sebagai seorang ketua partai.
Petualangan dengan 'posisi‘ baru akan dimulai oleh pendekar ini, derap langkah guru dan murid itu mendatangkan suara gemuruh yang akan menggegerkan dunia kang-ouw. Pendekar Kepala Batu turun gunung, dan sekarang pendekar itu memasuki dunia persilatan pasti kegegeran yang akan terjadi!
* * * * * * * *
Kun Bok berjalan dengan muka berseri. Dusun Lee-kim-chung sudah jauh ditinggalkannya dan sekarang dia memasuki lembah bertanah datar dengan rumputnya yang hijau. Bayangan Bi Kwi masih melekat di benaknya, akan tetapi tiba-tiba buyar ketika mendadak terdengar suara kareta, disusul belasan ekor kuda yang meluncur memasuki lembah itu.
Kun Bok tertegun, dan pemuda ini berhenti. Dia ingin melihat rombongan siapakah itu, maka tiba-tiba pemuda itu menyelinap dan bersembunyi di balik sebatang pobon. Dengan matanya yang tajam akhirnya rombongan orang-orang berkuda yang sudah sampai di mulut lembah itu diketahuinya. Kiranya pasukan pengawal barang (piauwkiok) rombongan piauwsu dari Pek-ho Piauwkiok (Piauwkiok Bangau Putih)! Kun Bok tercengang melihat kehadiran para piauwsu dari Pek-ho Piauwkiok itu, karena pusat mereka di kota Lam-king, sungguh ribuan li jauhnya dari tempat ini.
Karena itu Kun Bok tertarik, dan rombongan berkuda yang mengawal sebuah tenda itu dijadikan perhatiannya. Dia mengenal ketua perusahaan ekspedisi ini, seorang laki-laki tua yang gagah perkasa, bekas murid Kim-sin San-jin ketua Kong-thong-pai!. Maka Kun Bok lalu melompat naik ke atas pohon agar lebih leluasa dalam pengintaiannya dan pemuda itu memandang ke bawah.
Kereta yang dikawal para piauwsu itu kini tibalah. Dan Kwa Ek, sang pemimpin rombongan yang menjadi pula ketua Pek-ho piauwkiok itu untuk berjalan di depan sendiri di atas kudanya yang berbulu merah. Laki-laki bekas murid Kong-thong ini tampak gagah. Meskipun sudah tua dengan rambutnya yang mulai memutih namun dia cukup berwibawa dengan wajahnya yang selalu keren itu.
Kwa Ek memasuki lembah dengan langkahnya yang pasti, dan rombongan yang penuh debu pertanda melakukan perjalanan jauh dengan sedikit istirahat itu menunjukkan kelelahannya, Para piauwsu yang lain jelas kepayahan, mereka tampak sedikit sempoyongan di atas kudanya dan ketua Pek-ho piauwkiok yang melihat keadaan anak buahnya mulai menghentikan kudanya. Dia memberi aba-aba, dan kereta beserta belasan ekor kuda itu menahan langkah. Semua orang memandang dan ketua ekspedisi angkutan barang itu membuka suara.
"Saudara-saudara, kita istirahat sejenak di tempat ini. Akan tetapi ingat, kita tidak boleh terlampau lama. Lima menit saja kukira cukup dan setelah itu kita harus berangkat lagi....!"
Para pisauwsu mengeluarkan seruan gembira mendeagar kata-kata itu akan tetapi mereka mengerutken alis ketika mendengar waktu yang amat pendek ini. Lima menit saja bukanlah istirahat yang memuaskan, karena itu seorang diantara mereka lain berbicara.
"Kwa-twako, masa kita mengaso hanya lima menit saja? Perjalanan yang kita tempuh sungguh panjang, kukira waktu itu terlampau sempit!"
"Kita terburu-buru, Song Kai, dan barang yang kita bawa tidak boleh terlambat satu menitpun ke alamat yang dituju! Siapa yang berani menjamin keamanan di lembah ini?"
"Ah, tapi kita sudah dekat, twako, dan wilayah Hong taijin siapa yang bilang keruh?" laki-laki yang dipanggil Song Kai membantah.
"Benar, dan justeru semakin dekat kita seharusnya malah bersikap lebih berhati-hati lagi, song Kai. Dan pengalaman kita bertemu dengan orang-orang bergelang merah itu apakah tidak cukup dijadikan pelajaran? Tidak, di kota Si-bun kita sudah bersua dengan orang-orang yang mencurigakan, dan mereka yang patut dicurigai gerak-geriknya itu masih belum juga bertindak. Apakah kalian tidak merasakan keganjilan ini?"
Para piauwsu tiba-tiba terdiam dan mereka mendadak saja menunjukkan muka gelisah. Akan tetapi Song Kai rupanya masih penasaran karena piauwsu muda itu lagi-lagi membantah,
"Ah, tapi itu mungkin dugaan yang keliru, Kwa-twako. Siapa tahu mereka bukan golongan penjahat? Sebab kalau mereka benar dari golongan penjahat tentu sudah berhari-hari yang lalu mereka menunjukkan niatnya yang tidak baik dan menyerang kita! Akan tetapi buktinya sampai kinipun kita tidak diganggu dan kekhawatiran twa-ko yang berlebihan kiranya tidak perlu ditonjolkan."
"Hm, kau tetap hendak istirahat lebih lama di sini, Song Kai? Begitukah maksudmu?"
"Kalau twako tidak keberatan. Tapi kalau twako keberatan tentu saja aku tidak akan membantah. Aku hanya kasihan terhadap teman-teman yang lain, Kwa-twako karena mereka telah bekerja keras sepanjang hari!"
Dan seorang piauwsu lain yang merasa mendapat pelopor dalam pembicaraan ini tiba-tiba juga menyeletuk. "Benar, Kwa-toako, kami memang penat sekali. apakah tidak bisa waktu yang lima menit itu ditambah lagi menjadi setengah jam...?"