Pendekar Kepala Batu Jilid 14 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 14
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Kepala Batu
"HA-HA… HIEH! Kau membawa oleh-oleh, Siau-ji? Bagus, lohu-pun juga membawa oleh-oleh untukmu. Lihat, gadis cantik ini membutuhkan pertolongan kita. Asal dia mau membayar apa yang kita minta tentu ia selamat! Heh, kau tidak gembira, Siauw-ji?"

Kakek itu tertawa-tawa dan keempat kera-kera menubruk kakek ini seraya memekik-mekik. Kera yang dipanggil Siau-ji bercecowetan, lalu memandang Cui Ang dengan matanya yang kecil merah.

"'Ha-ha, kau setuju dengan gadis itu, Sian- ji?"

Kera itu melompat gembira, "Kerr… ciitt… kerr!" dia melompat-lompat kesenangan dan tiba-tiba dia hendak menubruk Cui Ang.

Tentu saja Cui Aug terkejut, tapi untunglah Dewa Monyet itu sekonyong-konyang mencengkeram bulunya. "Siau-ji, jangan kurang ajar! ia masih belum membuat perjanjian dengan kita. Bagaimana kau hendak memeluknya?" kakek ini membentak bengis dan kera besar itu tempak terkejut.

Monyet ini mengeluarkan cecowetan cecowetan dan Cui Ang yang tidak tahu dengan apa yang dimaksudkan kakek berwajah kera ini melotot ngeri. Dia merasa kaget mendengar monyet besar itu hendak memeluknya, karena itu Cui Ang hampir saja terkesiap. Tapi untunglah, kera berbulu coktat itu dapat dikendalikan oleh tuannya dan gadis itu merasa lega.

Tapi belum dia hilang cemasnya mendadak kakek bermuka buruk itu melompat maju. "Hiehh perawan cilik, apa kau mau kutolong?"

Ucapan ini tentu suja disambut anggukan oleh Cui Ang dan tanpa menduga sesuatu yang jelek gadis itu sudah mengeluh gemetar, "Kauw sian locianpwe, kalau kau mau menolongku tentu saja kusambut dengan girang hati. Kenapa harus berkeberatan? Asal saja kau juga menolong temanku itu…"

"Hem, dia temanmu?" kakek ini tiba-tiba menjadi keruh mukanya.

"Betul, locianpwe."

"Teman biasa?"

Cui Ang melengak. "Biasa bagaimana kau maksudkan, locianpwe?"

Dewa Monyet tiba-tiba membanting kaki. "Siluman cilik, masa kau tidak tahu maksudku? Aku tanya kau, dia teman biasa atau bukan, mengapa balik bertanya? Apa kau betul tidak mengerti atau pura-pura tidak mangerti?"

Cui Ang mendongkol dengan teguran ini. Dia memang bertanya sebenarnya, masa kakek itu harus marah-marah? Kalau tidak ingat dirinya semakin gemetar dan Ceng Han juga harus mendapat pertolongan secepatnya barangkali gadis berwatak keras itu juga sudah balas membentak marah. Tapi Cui Ang masih mengendalikan diri, bertanya dengan muka merah dibakar panas oleh racun yang mulai bekerja di dalam tubuhnya,

"Kauw-sian looanpwe, jelek-jelek aku bukanlah orang yang suka berpura-pura. Kenapa kau tampak gusar? Kalau kau merasa aku berpura-pura lebih baik kau pergi saja, tinggalkan kami di sini menolong diri sebisanya!"

"Hai, kau naik darah?"

"Tidak, tapi, sekedar mengimbangi sikapmu belaka!"

"Ha-ha... hiehh! Dia wanita jempolan, Sian-ji! Uwah, siapa yang berani berkata seperti ini terhadap lohu? Eh, anak manis, kau benar-benar menarik sekali. Tidak tahu, siapakah namamu?" kakek itu berjingkrak girang dan monyet berbulu coklat memekik kagum.

Cui Ang mereda marahnya namun tiba-tibi ia berjengit. Luka di pundak yang sudah diboreh dengan Bubuk Sari Bunga Pek mendadak menusuk pedih. "Ohh..." gadis itu berteriak kecil dan sekonyong-konyong ia memegangi kepalanya.

"Ada apa, anak manis?" Dewa Monyet melompat maju dan tanpa ragu kakek itu meraba dahi Cui Ang. "Hai...!" teriaknya. "Kau kejang, terkena dua macam racun. Wah, obat apa yang kau pakai?"

Cui Ang terkejut mendengar seruan itu namun mendadak gadis ini mengeluh pendek dan menjerit tertahan. Tubuhnya bergoyang, dan perasaan sakit yang luar biasa menyengat pundaknya. Tentu saja gadis itu kaget bukan main, tapi sebelum dia menjawab pertanyaan Dewa Monyet ini sekonyong-konyoug Cui Ang mengaduh dan roboh pingsan!

Dewa Monyet tertegun, dan kakek yang miring otaknya itu jeialatan. Dia tidak biasa mengobati seseorang tanpa imbalan. Tapi sebelum gadis itu ditanya lebih jauh tahu-tahu sudah roboh pingsan. Apa yang hendak dilakukan? Membantu atau meninggalkannya pergi? Kakek itu memutar matanya dan Siauw kera besar berbulu coklat itu mendadak cecowetan dengan mata gelisah. Monyet ini memandang tubuh Cui Ang yang tergolek di atas tanah, dan tiba-tiba melompat maju mencengkeram lengan gadis itu.

"Eh, Siau-ji! Apa yang hendak kau lakukan?" Dewa Monyet berseru kaget. Tapi kera besar ini hanya memekik panjang pendek dan sekonyong-konyong menggigit pundak Cui Ang. Kakek bermuka buruk itu terkejut dan tiba-tiba dia melompat sambil menampar kepala monyet ini.

"Siau-ji, kau gila…!" serunya pendek dan tangan yang melayang itu telah mengenai sasarannya. "Plakk…!" kera besar itu menguik dan tubuhnya terlempar roboh belasan tombak.

Dewa Monyet berdiri marah, dan dia memandang monyet coklat itu dengan mata berapi-api. "Siau-ji!" bentaknya bengis. "Sekali lagi kau berbuat seperti itu tentu lohu tidak akan mengampunimu kembali. Siapa suruh kau lancang hendak menyedot lukanya?"

Kera besar itu berdiri terhuyung. Dia mengeluh seperti orang merintih dan tangan yang menuding-nuding gemetar ke arah Cui Ang itu rupanya hendak memberitahukan bahwa gadis itu perlu segera ditolong. Dewa Monyet yang mengerti bahasa kera ini membanting kakinya.

"Aku tahu!" Dewa Monyet berseru gusar, "Tapi kau tidak boleh sembarangan bertindak. Darahnya mengandung racun, bagaimana kau hendak menghisapnya? Sekali racun memasuki tubuhmu lohu yang bakal kelabakan! Memangnya kau kira lohu mau mengobral obat? Jahanam. Kau jangan bersikap gampangan, Siau-ji,"

Kemarahan kakek itu disambut cecowetan perlahan dari kera ini dan tiba-tiba monyet besar itu menjatuhkan diri berlutut. Dia tampak ketakutan, dan tiga ekor temannya yang lain juga menguik-nguik gentar. Empat ekor kera itu hampir berbaring mendeprokkan kakinya dan Dewa Monyet melompat maju, dan Siau-ji sudah dipeluknya terharu.

"Sian- ji, apakah kau benar suka kepada gadis itu? Bagaimana kalau dia menolak lagi seperti hujin (nyonya) dahulu?"

Kera besar itu bercecowetan lirih dan tiba-tiba dia mengangguk dan menggelengkan kepala dua kali. Siau-ji memandang penuh gairah, dan Dewa Manyet berseri mukanya.

"Hem. kau suka kepadanya dan yakin tidak bakal terulang nasibmu yang sial seperti dulu?" kakek ini bertanya dan kera itu mengangguk dan bercerowetan beberapa kali.

Dewa Monyet terkekeh, dan kakek ini tiba-tiba mencium pipi kera itu. "Heh-heh, baiklah. Mari kita buktikan firasat hatimu ini. Tapi ingat, kalau dia menolak lebih baik kita bunuh saja gadis itu dan biarlah kau membujang seumur hidupmu seperti lohu! Cihh, apa sih enaknya orang kawin?"

Kakek itu membalikkan tubuhnya dan melompat menghainpiri Cui Ang. Siau-ji mengikuti sambil memekik gembira dan Dewa Monyet sudah mengeluarkan sebuah tabungnya yang berwama hijau. Cekatan sekali dia bekerja, karena tahu-tahu merdengar suara 'klik' disusul membukanya tutup tabung. Seekor katak melompat kaget, dan Siau-ji menguik girang.

"Heh-heh jangan lari anak manis. Lohu perlu air liurmu. Kemarilah, julurkan lidahmu itu dan berteriaklah!" Dewa Monyet mengulurkan tangannya dan katak berkulit merah jingga itu menjerit ketika lehernya dipencet jari Dewa Monyet. Binatang itu meronta dan tiba-tiba dia menggigit kakek itu.

Tapi Dewa Monyet terkekeh dan sebelum katak itu bergerak lebih lanjut tahu-tahu tangan kirinya ikut mencengkeram. Katak itu ditekan kepalanya, dan binatang berkaki dua ini mengeluarkan pekik kesakitan. Dan meronta sekuat tenaga, namun jari-jari kakek bermuka buruk itu tak mampu dilawannya. Kepala yang sudah tertekan ini semakin dipencet dan tiba-tiba katak itu menjulurkan lidahnya.

"Ha-ha-ha, bagus… ayo keluarkan liurmu. Lohu perlu untuk mengobati bakal menantuku! Hehh, bagus… ayo lebih banyak lagi… lebih banyak lagi… nah, cukup… cukup! Ha-ha… kerr… lohu bakal punya mantu…!" kakek itu tertawa-tawa dan katak merah yang sudah diambil liurnya ini tiba-tiba dimasukkan kembali kedalam tabungnya.

Cekatan sekali dia bekerja, karena tahu-tahu mendengar suara “klik” disusul membukanya tutup tabung. Seekor katak melompat kaget, dan Siau-ji menguik girang. 'Klik!' katak itu terkunci lagi dan suara kikik kemarahan terdengar dari dalam tabung. Tapi Dewa Monyet hanya ganda tertawa saja dan tabung yang bergerak-gerak itu ditepuknya penuh sayang. "Ha-ha, tenanglah anak manis… tenanglah, lohu tidak menyakitimu lagi!"

Kakek itu terkekeh gembira dan tiba-tiba ia mengangkat Cui Ang. Mulut yang tertutup rapat itu dibukanya, lalu liur katak merah yang ada di mangkok kecil dituangkan. Tidak lebih dari lima belas tetas, namun hasilnya sungguh mengherankan. Cui Ang tiba-tiba tersendak dan gadis itu tiba-tiba melompat bangun! sungguh mencengangkan!

"Haii…!" Cui ang berseru kaget karena melihat Dewa Monyet berdiri di situ. Tapi begitu ia sadar tentang apa yang telah terjadi, gadis inipun tahu-tahu berteriak kegirangan. Tubuh yang rasanya panas terbakar sekonyong-konyong lenyap. Dan kepala yang tadi berpusing tujuh keliling pun hilang. Cui Ang menjadi gembira bukan main dan gadis itu cepat menjatuhkan diri berlutut di depan si Dewa Monyet.

"Kauw Sian locianpwe, banyak terima kasih atas pertolongan dan budimu yang besar ini. akan tetapi mengapa hanya aku saja yang sembuh? Apakah dia belum kau obati?" Gadis itu bertanya keheranan dan ia memandang Ceng Han yang masih pingsan.

Dewa Monyet terkekeh dan kakek itu melangkah maju. "Nona cilik, hanya karena kenekatan Siau-ji inilah aku terpaksa membantumu. Dia tadi hendak menyedot lukamu. Uwahh, anak ini… sungguh membuat aku geregetan! Kalau tidak ingat dia, mana lohu mau membuang obat? Uhh, sekarang apa imbalanmu terhadap jerih payah lohu?"

Cui Ang tertegun. "Locianpwe, jadi kau menolong karena berpamrih?"

"Uwehh, tentu saja! Mana di dunia ini ada orang membantu cuma-cuma? He-he, anak tolol, jangan kau bengong saja. Lohu punya satu permintaan. Kalau kau orang yang kenal budi, tentu kau siap memenuhinya. Nah bagaimana? Apa kau mau membayar imbalan?"

Gadis itu terbelalak. Dia memang sudah mendengar tentang keanehan watak orang seperti Dewa Monyet ini. Akan tetapi diapun juga mendengar dari sifat jantan dari kakek itu yang tidak suka mengganggu wanita. Karena itu, mengandalkan kelemahan ini, gadis itupun menekan guncangan hatinya. Orang seperti Dewa Monyet itu bisa minta apa saja yang aneh-aneh, bahkan diluar akal sekalipun! Karena itu iapun menjawab hati-hati.

"Kauw Sian locianpwe, karena disengaja ataupun tidak kau telah menolong jiwaku maka sudah sepantasnya apabila aku mengimbangi kebaikanmu ini dengan satu imbalan. Akan tetapi loocianpwe, kalau kau mempunyai satu permintaan sebaliknya akupun juga mempunyai satu permohonan. Bagaimana kalau kita saling tukar?"

Kakek itu memutar matanya. "Uuehh, mengapa harus begitu?" tanyanya penuh selidik.

Tapi Cui Ang hanya tersenyum saja. "Hal ini menjadi rahasiaku, lociaapwe. Seperti juga locianpwe merahasiakan permintaan locianpwe kepadaku. Nah, bagaimana, locianpwe setuju atau tidak?"

Dewa Monyet menggaruk-garuk kepalanya. Dia memang bukan orang yang tergolong cerdas, maka dia tidak dapat menangkap apa yang kira-kira akan diminta oleh Cui Ang. Akan tetapi ketika Cui Ang memandang kepada Ceng Han. Dewa Monyet melihat hal ini segeralah kakek itu mengira permintaan Cui Ang ada hubunganya dengan pemuda itu. Seketika alisnya berkerut, dan muka kakek ini menjadi gelap,

"Gadis cilik, siapakah pemuda itu?"

Cui Ang membalikkan tubuhnya. "Putera Beng-san paicu, locianpwe...!"

"Hahh? Putera Ciok-thouw Taihiap…?"

"Benar!"

Dia mengeluarkan pekik kaget dan Cui Ang melihat kakek itu menjadi pucat, memandang kera besar di sampingnya dan berseru, "Wah, celaka, Siau-ji…! Apakah nasibmu lagi sial?"

Gadis ini tidak mengerti apa yang dimaksud tapi tiba-tiba Dewa Monyet memutar tubuhnya, "Eh, gadis cilik, apakah pemuda itu kekasihmu?"

Cui Ang tersentak kaget. Pertanyaan yang tidak disangka ini membuat mukanya merah akan tetapi dia meggelengkan kepalanya. "Tidak.., bukan, locianpwe. Ada apakah?"

Tapi mendadak Dewa Monyet tertawa terbahak. "Ha-ha, bagus... syukur kalau begitu… untung! Hiehh, Siau-ji, kau masih memiliki bintang terang... ha.ha-ha! Bagus, kita masih beruntung... kita masih beruntung... hiehh... kerr! Dewa Monyet menari-nari sambil berjingkrak dan empat ekor kera di belakangnya juga berteriak-teriak ramai mengikuti sikap kakek bermuka buruk.

Cui Ang tertegun, karena dia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada saat itu. Dan hampir dia merasa geli, akan tetapi juga ngeri ketika tiba-tiba kera besar berbulu coklat yang berjingkrak-jingkrak bersama kakek itu mendadak menempelkan jarinya di mulut lalu melemparkannya sebagai "salam" aneh kepada dirinya. Cui Ang benar-beaar terbelalak, tapi Dewa Monyet sekonyong-konyong menghentikan tariannya.

"Gadis cilik, kalau begitu dia bukan apa-apamu, bukan?"

Cui Ang mengangguk.

"Jadi, dia hanya teman biasamu, bukan?"

Cui Ang kembali mengangguk.

"Ha-ha. bagus... kalau begitu bagus! Dan kau ingin aku menyembuhkan sakitnya, bukan?"

"Kalau lociaopwe tidak keberatan," Cui Ang mulai menjawab was-was karena hatinya tiba-tiba menjadi kurang enak.

"Aha, tentu saja. Tapi kau barus membayar dobel kalau begitu! Eh, Siau-ji, bukankah gadis ini harus membayar dua kali? Pertama tentang kesembuhannya sendiri dan yang kedua tentang kesembuhan pemuda itu. Ha-ha... hiehh... kerr kita bisa menjadi sahabat kalau begitu!" kakek ini tiba-tiba malompat maju dan bertanya kepada Cui Ang,

"Anak manis, kau belum punya pacar, bukan?"

Cui Aug terkejut. "Locianpwe, pertanyaa apa ini? Kalau kau mau kurang ajar jangan harap aku akan menghormatimu lagi."

Bentakan ini disambut mata melotot oleh kakek itu, tapi Dewa Monyet tiba-tiba terkekeh. "Waduhh, galak amat..! Orang tua bertanya sungguh-sungguh kenapa mesti dipelototi? Eh, anak manis, lohu tidak main-main, juga lohu tidak bermaksud kurang ajar. Siapa yang mau kurang ajar kepadamu? Jawablah sewajarnya saja, apakah kau sudah punya pacar?"

Cui Ang hampir memaki marah namun demi dilihatnya kesungguhan sikap kakek itu yang tidak bermaksud kurang ajar gadis ini malah tertegun. Ada keheranan mendengar pertanyaan itu. Akan tetapi juga ada kecurigaan. Maka akhirnya ia menjawab sebenamya, "Belum, locianpwe Kenapakah.....?"

Dewa Monyet tiba-tiba terbabak. "Ha-ha bagus… kita berjodoh! Eh, anak manis, kalau begitu, tidak keberatan bila lohu melamarmu, bukan?"

Cui Aug mendelik, dan Dewa Monyet tiba-tiba terkejut, "Eh-eh nanti dulu…!" kakek itu melanjutkan gugup. "Bukan lohu yang ingin kawim tapi putera lohu. Aku sudah tua, mana ada gairah terbadap gadis-gadis muda? Tidak lohu melamar untuk putera lohu! Nah, kau setuju bukan?"

Kakek itu memandang gugup dan Cui Ang tertegun. Dia hampir memaki kakek ini, tapi berhenti setelah mendengar kelanjutannya. Tidak tahu lagi Cui Ang, perasaan macam apa yang melanda dirinya pada saat itu. Ia dilamar Dewa Monyet? Dilamar untuk dikawinkan dengan putera kakek bermuka buruk ini. Wah, kalau bapaknya saja seperti itu lalu bagaimana rupa anaknya?

Tak terasa Cui Ang hampir saja tertawa geli. Perasaan menggelitik yang mengusik hatinya, akan tetapi melihat mimik Dewa Monyet yang demikian penuh harap dan tatnpak gugup gadis ini menjadi tidak tega, Jelek-jelek kakek itu sudah menyembuhkannya, masa ia hendak menyakiti hatinya? Tapi kalau barus disuruh berjodoh dengan putra kakek ini, wahh… itu sih namanya kelewatan! Maka gadis ini lalu menahan kemendongkolannya dan memandang kakek itu.

"Kauw sian locianpwe, kau disini hendak memaksaku atau bagaimana?"

"Eh, tidak… lohu hanya minta imbalan berupailamaran ini!"

"Hm, kalau begitu sih mending, locianpwe. Karena kalau kau memaksaku jelas akan kutentang. Tapi, locianpwe, seingatku kau tidak punya isteri. Bagaimana bisa punya anak?"

Dewa Monyet tiba-tiba terkekeh. Sikap Cui Ang yang ramah ini dianggapnya ada harapan. Karena itu dia lalu menuding Siau-ji dan berkata dengan muka gembira, "Wehh, nona manis, orang tidak kawin mengapa mesti tidak punya anak. Lohu betul tidak menikah, tapi lohu punya anak angkat. Nah, inilah dia, Sian-ji putera lohu yang gagah dan tampan itu! Hah-hah… kerr… bukankah dia cocok bagimu nona?"

Cui Ang terkejut seperti disambar petir mendengar jawaban itu dan gadis ini berseru tertahan. Dia melihat Dewa Monyet sudah berjingkrak-jingkrak bersama keranya dan Siau-Ji tampak mengedip-ngedipkan mata kearahnya sambil menyeringai kegirangan! Seketika Cui Ang mengepal tinju dan mulutnya ditutup rapat-rapat. Ya ampun, ia hendak dijodohkan dengan seekor monyet? Gila! Kakek itu sungguh gila, otaknya tidak waras!

Cui Ang berteriak mengejutkan dua mahluk yang sedang menari-nari kegirangan itu dan Dewa Moyet tampak mencelos kaget. "Kauw Sian locianpwe, apakah kau tidak tahu malu menghinaku seperti ini?"

Dewa Monyet terbelalak bengong. "Lhoh, apanya yang tidak tahu malu, nona manis? Lohu melamarmu, siapa menghina?"

Cui Ang membanting kaki. "Tapi lamaranmu yang tidak masuk akal ini, siapa sudi berjodoh dengan seekor monyet?"

"Hehh, kau merendahkan monyet, nona! Kau tidak tahu betapa ribuan tahun yang lalu kakek moyangmu juga seekor monyet? Kerr, hati-hati kau bicara, perawan cilik, lohu bisa tidak terima!" kakek itu mulai meradang dan Siau-ji mengeluarkan pekik kecewa. Agaknya monyet itu mengerti pembicaraan, karena dia memandang Cui Ang sambil memperlihatkan taringnya.

Tapi Cui Ang tidak perduli dan gadis ini sudah menghadapi Dewa Monyet. Dia juga naik darah karena merasa terhina. Namun teringat bahwa kakek itu memang bukan orang waras, Cui Ang pun berusaha mengendalikan diri. "Kauw Sian locianpwe!" gadis itu berkata dengan mata berapi. "Kalau kau tidak menjilat kata-katamu sendiri, aku masih menaruh hormat kepadamu. Tapi kalau kau orang yang tidak punya malu, tentu saja aku akan menentangmu. Tadi kau bicara tidak memaksa, nah mengapa kau marah?"

Cui Ang bertolak pinggang, dan kakek itu tertegun. "Eh, apa tadi aku bicara begitu…?" kakek ini bertanya pikun.

"Tentu saja!" Cui Ang sedikit reda. "Mana aku membohongimu? Kau termasuk golongan tua locianpwe, karena itu kuharap kau dapat menjaga omonganmu!"

"Wehh, kalau begitu kucabut saja…!" kakek itu tiba-tiba berkata seenaknya. "Dan kau harus mau, nona. Aku sudah tidak mau gagal untuk mendapatkan menantu!"

"Gila…!" Cui ang terkejut. "Kau mau menjilat ludahmu sendiri Dewa Monyet?"

"Heh-heh, menjilat ludah atau tidak adalah urusanku, anak manis. Yang jelas Siau-ji harus mendapatkan jodohnya sekarang juga. Lihat dia hampir menangis, masa kau tidak kasihan?" kakek itu menjadi semakin sinting.

Cui Ang tak mampu membuka mulutnya lagi dan pada saat itu Ceng Han tiba-tiba mengeluh. Gadis ini terkesiap dan sekonyong-konyong ia memperoleh pikiran bagus. Bentrok dangan Dewa monyet belum tentu dia menang, kenapa tidak balas mengakali kakek itu? Orang bicara seenak perutnya sendiri, dan dia juga harus bersikap sama. Karena itu Cui Ang tiba-tiba memutar tubuhnya.

"Kauw-sian locianpwe, kalau kau mau menolong pemuda itu biarlah aku ikut denganmu, tanpa paksaan. Tapi kalau kau menolak biar sampai matipun aku juga tidak akan sudi! Nah, bagaimana?"

Dewa monyet membelalakkan mataaya yang sipit. "Kau berkata sungguh-sunguh?"

"Apakah kau kira aku main-main?"

"Baiklah..!" Dawa Monyet berseru girang. "Lohu akan menyembuhkannya. Tapi awas, perawan cilik, sekali kau menipu, lohu tidak akan memberikan ampun!"

"Eh, kau takut?" Cui Ang mengejek.

"Tidak, tapi lohu tidak suka mendapatkan menantu yang kurang ajar!"

Cui Ang merah mukanya namun kakek itu udah melompat mendekati Ceng Han. Dia meraba tubuh pemuda ini dan tiba-tiba memandag borehan luka di bawah lutut. "Eh, bubuk apa yang kau berikan dikakinya ini?"

Kakek itu bertanya kepada Cui Ang, dan gadis itu tercekat, "Obat penawar luka, Kauw-sian. Kenapakah?"

Tiba-tiba kakek itu terkekeh. "Heh-heh… anak tolol berlagak pintar kau ini, perawan cilik! Itu bukan obat melainkan bubuk perangsang racun, bagaimana kau bilang penawar luka? Wah, racun-racunnya semakin ganas dan tubuhnya seperti dibakar…!"

Cui ang terkejut dan gadis ini melompat kaget. "Apa locianpwe? Kau bilang bubuk perangsang racun? Gila kau, ini adalah bubuk Sari Bunga Pek dari ayahku sendiri, masa dibilang perangsang racun?" Gadis ini menjadi penasaran dan dia mencabut bungkusan obat itu.

Tapi baru diangkat, tahu-tahu disambar oleh Dewa Monyet. Kakek ini memeriksa, mengendus-endus baunya dan mendadak tertawa geli. "Uwah, ini tepung kerang laut, binatang beracun yang biasanya hidup sama lintah hijau. Siapa bilang obat? Uhh sembrono sekali kau perawan cilik! Ataukah kau ditipu orang?"

Gadis ini menjadi bengong dan Dewa Monyet tiba-tiba melanjutkan lagi. "Lihat, kalau Sari Bunga Pek seharusnya berwarna putih bersih, sedangkan bubuk ini agak kekuningan. Diborehkan luka tentu saja menyengat pedih dan korban langsung pingsan, apa kau tidak melihat kejanggalan?"

Cui Ang benar-benar tertegun sekarang. Keterangan itu membuat ia teringat akan keadaan Ceng Han, karena tepat ketika ia menaburkan bubuk itu kepada luka di bawah lututnya, tiba-tiba pemuda itu menjerit dan roboh pingsan. Ah, benar kalau begitu! Tetapi… Cui Ang terbelalak, bagaimana obatnya bisa berubah? Dan warna bubuk itu… sungguh mati, tidak putih bersih melainkan sedikir kuning muda!

"Ah…!" gadis itu berseru perlahan dan sekonyong-konyong teringatlah dia akan peristiwa kecil di kota Bun Ki. Seorang laki-laki bermuka jenaka bertemu dengannya di tengah jalan. Waktu itu ia hendak berbelanja keperluan dapur dan laki-laki berkumis kecil ini menubruknya. Kelihatannya tidak sengaja, karena laki-laki itu sudah cepat minta maaf kepadanya dan dia melotot gusar, tapi lali-laki yang ketakutan itu sudah pergi dengan mulut menggigil. Hanya sekejap mereka saling sentuh, tapi obatnya ternyata sudah berganti rupa!

Kini Cui Ang terbelalak. Sadarlah dia bahwa itu tentulah seorang tukang copet. Dan di dunia ini, siapa lagi tukang copet yang mahir memindahkan barang orang ke dalam kantongnya selain Jing-ci-touw Kam Sin? Ia memang belum pernah bertemu dengan orang itu, sekali jumpa ternyata meninggalkan sebuah "tanda mata" yang membuat dia naik pitam.

"Jahanam, copet busuk itu Cui Ang tiba-tiba berteriak. "Ya, pasti dialah orangnya. Siapa lagi? Jing-ci-touw Kam Sin, awas kau jika kita bertemu lagi. Aku pasti akan menebas jari-jarimu yang kurang ajar itu, siluman...!" Gadis itu mengepal tinju.

Dan Dewa Monyet yang mendengar makian ini tiba-tiba terkekeh "Hei, kiranya kau bersua dengan copet seribu jari itu, nona? Wah, jangan melotot, lohu pasti akan membantumu menangkap setan itu. Dia memang jahat, barang pusaka lohupun juga diserobotnya. Sudahlah, jangan pikirkan dia lagi dan bubuk ini lebih baik kita buang saja…!" baru habis kata-kata itu diucapkan sekonyong-konyong tangan kakek ini bergerak. Bungkusan "obat" dilempar dan sekejap kemudian jatuh ke dalam sungai!

Cui Ang tidak sempat mencegah dan gadis itu juga tidak tahu untuk apa kalau dia mencegah. Dewa Monyet sudah tertawa-tawa, dan kakek yang berotak miring itu mengeluarkan tabung hijaunya. Itulah tempat si katak merah, dan Cui Ang yan tidak tahu apa isi tabung itu sudah memandang penuh perhatian. Seperti tadi, kakek inipun memencet alat rahasianya. Suara "klik" terdengar dan disusul lompatan seekor katak yang mengagetkan Cui Ang membuat kakek itu tertawa geli. Dewa Monyet tidak membuang tempo, tangannya sagera terulur dan tahu-tahu Ang-swike itu sudah ditangkapnya.

"Heh-heh, anak manis, kau jangan kemana-mana, ya? Lohu terpaksa sekali lagi membutuhkan liurmu. Tenanglah, setelah itu kau boleh beristrahat sepuasmu. Nah, berteriaklah…!"

Kakek itu memencet kepala katak dan swike ini tiba-tiba menjerit. Dia kembali hendak menggigit namun Dewa Monyet lebih sigap. Tangan kirinya membantutu dan tahu-tahu kepala katak merah itu sudah ditekannya. Binatang ini berteriak, tapi Dewa Monyet malah terkekeh. Dia terus menekan katak inu tergencet dan ketika mulut binatang itu terbuka dalam jerit kemarahannya keluarlah liur katak merah itu. Dewa Monyet terkekeh gembira, dan liur binatang langka ini ditampungnya dalam sebuah mangkok kecil seperti tadi. Kemudian, setelah dirasa cukup tahu-tahu katak itu dilempar kembali ke dalam tabung.

"Klik!" tabung kembali tertutup dan katak merah memekik dalam tempurungnya. Namun Dewa Monyet terbahak tidak perduli dan Cui Ang yang memandang semua itu terbelalak jijik.

"Heh-heh, cukup, anak manis.... cukup! Lohu tidak akan memaksamu lagi. Dua jiwa sudah kau tolong masa lohu tidak menaruh kasihan. Uwehh... lohu bukan pembunuh kejam...!" kakek itu tertawa dan mangkok berisi liur katak merah didekatkan ke kepala Ceng Han. Kemudian setelah semuanya siap kakek ini lalu membuka mulut pemuda itu. Obat di dalam mangkok mengalir cepat, dan tidak sampai lima detik saja liur katak merah itupun tertuang ke dalam mulut Ceng Han.

Cui Ang hampir muntah, dan perutnya terasa mual. Gadis ini terbelalak, karena apa yang disaksikan tentu tidak jauh bedanya terhadap dia sendiri yang diobati oleh Dewa Monyet dalam keadaan pingsan. Jadi beginikah kira-kira dicekoki oleh kakek ini? menelan lendir seekor katak? "Hueekk...!" tiba-tiba Cui Ang benar-benar muntah dan Dewa Monyet terkejut.

"Eh, ada apa, perawan cilik?"

Tapi Cui Ang tidak sanggup menjawab, sudah keburu muntah-muntah tidak karuan dan diam-diam gadis ini jijik disertai mual. Cui Ang terbungkuk-bungkuk tubuhnya dan kalau saja liur itu bukan obat mujarab yang hebat khasiatnya, tentu dia sudah mengumpat caci kakek ini. Dan Siau-ji tiba-tiba bercecowetan aneh. Kera ini melompat maju dan tengkuk Cui Ang tahu-tahu sudah diurut-urutnya!

Semula Cui Ang tidak sadar. Akan tetapi setelah mualnya berbenti dan dia tahu siapa yang mengurut-urut tengkuknya itu kontan gadis itu membentak marah. Lengan Siau-ji dikibas, dan binatang itu terpental kaget dengan pekik herannya.

Dewa Monyet melompat bangun, dan kakek ini mendelik ke arah Cui Ang. "Eh kau kenapa memukulnya, perawan cilik? Siau-ji sayang kepadamu, mengapa harus dipukul? Kau tidak tahu diri…!"

Namun Cui Ang balas menghardik, "Aku tidak butuh disayang! Salah siapa dia harus lancang segala?"

"Hei, kau berani terhadap calon mertuamu?" kakek itu terkejut.

"Siapa calon mertuaku?"

"Lohu…!"

"Cih, tidak malu kau bilang begitu, Kauw Sian?"

"Eh, tapi kau tadi sudah janji terhadap lohu. Apa kau mengingkari omongan sendiri?" Dewa Monyet Membentak.

Dan Cui Ang kini bertolak pinggang. "Dewa Monyet, aku tidak berjanji menjadi mantumu. Aku hanya bilang suka ikut tanpa paksaan! Nah, kenapa kau tidak mengunyah dahulu arti kata-kataku? Kalau kau bersikap sebaliknya tentu akupun tidak sudi!"

"Wehh…? Jadi masih ada embel-embel barangkali, siluman cilik?"

"Betul, karena kaupun masih berhutang kepadaku suatu hal!"

"Berhutang?"

"Ya…!"

"Jagat Dewa Batara! Aku berhutang apa kepadamu, setan cilik?" kakek itu memekik. "Bukankah kau yang berhutang kepada lohu? Bukan lohu yang berhutang kepadamu? Eh, perawan cilik, jangan main-main engkau! Sekali naik darah, tentu kepalamu itu kubeset mampus. Kerr… coba bilang lohu punya hutang apa?"

Dewa Monyet mencak-mencak dan Cui Ang membusungkan dadanya. "Dewa Monyet!" gadis ini berkata sungguh-sungguh. "Bagaimanakah pembicaraan kita semula? Bukankah engkau hendak minta imbalan atas budi pertolonganmu ini?"

"Betul!" kakek itu memotong cepat. "Dan dua macam imbalan, setan kecil. Satu bagian bayar kesembuhanmu dan yang satunya lagi. Sebagai pembayar kesembuhan temanmu!"

"Bagus, itu adalah tuntutan dari pihakmu, Raja Monyet. Tapi engkau lupa bahwa akupun mengajukan sebuah tuntutan! Dua permintaanmu dibanding satu. Permintaanku ini sebenarnya sudah berat sebelah, karena dua dibanding satu. Akan tetapi tidak apalah, permintaanmu yang lama sudah kudengar, yakni imbalan tentang imbalan yang tidak tahu malu itu. Lalu apakah permintaanmu yang kedua sebagai pembayar budi pertolongan ini sebelum aku sendiri mengajukan permintaanku yang satu?"

Dewa monyet terbelalak. "Wehh, aku hanya berkata kalau kau menolak yang pertama maka kau harus menjadi budak Siau-ji selama lima tahun!"

"Hem, hanya itu?" Cui Ang berjebi.

"Ya, hanya itu!" kakek ini melotot.

"Baiklah, kalau begitu, sekarang dengar tuntutanku!" Cui Ang memandang kakek dengan senyum mengejek. "Kauw-sian locianpwe, karena kau sudah mengajukan dua tuntutan maka tidak adil kalau kau juga tidak mendengar tuntutanku. Nah, permintaanku hanya satu saja padamu yaitu: Jangan lakukan hal-hal yang tidak sasuai dengan hatiku! Nah, jelas sudah?"

Dewa Monyet terkejut. "Eh, tuntutan macam apa itu?"

"Hm, tentu saja macam biasa. Apa aneh?"

Kakek itu berjingkrak. "Tapi... tapi ini tidak adil, setan cilik. Kau mau menang sendiri saja! Dewa Monyet memekik gusar dan Cui Ang mengejek.

"Jangan memutarbalikkan fakta, locianpwe! Kaulah yang hendak menang sendiri. Kau sudah mengajukan usul, dan aku sudah mengimnbangi! Kita bisa pertandingkan usul-usul ini dan yang kalah harus menyerah!"

"Wah, kalau begitu bagaimana dengan permintaan lohu tadi?"

"Sayang sekali tidak sesuai dengan hattiku!" Cui Ang menjawab.

Baru dia selesai mengucapkan kata-katanya Dewa Monyet tiba-tiba menggereng dan mencelat maju melancarkan pukulannya, "Kau menipu lohu, siluman...!" kakek itu berteriak dan angin pukulannya yang dahsyat menampar dada Cui Ang.

Tapi Cui Ang sudah bersiap. Begitu lawannya menerjang gadis itu tahu-tahu merendahkan tubuh balas menyerang. Pukulan Dewa Monyet dielakkan, sementara tangan kirinya meluncur menyodok ulu hati kakek itu.

"Dukk...!"

Dewa Monyet tidak mengelak dan Cui Ang itu terkejut. Tangannya tepat mengenai ulu hati lawan namun kakek itu seakan tidak merasakan apa-apa. Lambungnya kenyal, dan pukulan Cui Ang mental! Tentu saja gadis ini terkesiap dan kemudian la melompat mundur sekonyong-konyong. Kakek itu terkekeh dan mencengkeram rambutnya!

"Haihh....!" Cui Ang membentak kaget dan secepat kilat kakinya menendang ke atas. Ia sudah tidak keburu untuk merendahkan tubuh lagi, karena tangan Dewa Monyet terlalu cepat datangnya. Karena itu dengan gerakan Satu Kaki Tudingkan Langit, Cui Ang menyambut cengkeraman lawan.

"Dess....!" Tendangannya berhasil dan lengan kakek itu terpental. Dewa Monyet mengeluarkan seruan kaget dan kakek ini menggoyang pantatnya. "Uwah…kau berisi juga, siluman cilik. Pantas berani melawan lohu! Awas…! kakek itu memekik seperti kera dan tiba-tiba dia menubruk kembali. Gerakannya kali ini sebat luar hiasa, dan Cui Ang diserang seperti itu berteriak tertahan.

Dewa Monyet melancarkan jurus aneh karena tangan kiri mencengkram pundak sedangkan tangan kanan tiba-tiba menepuk tangan kirinya itu. Tentu saja hal ini membuat tangan terpukul, dan sasaran yang diarah menjadi melenceng arahnya. Namun Cui Ang yang sekejap mata heran dan tercengang ini hampir saja memekik kaget. Tangan kiri yang ditepuk tangan kanan itu mendadak bergulir ke samping, lalu tiba-tiba berputar ke atas mencangkar mukanya. Dan tangan kanannya yang menepuk tangan kiri itu melejit dan tahu-tahu mencengkeram pundak.

"Aih…!" gadis ini melompat ke kanan, namun ia kalah cepat. Mukanya memang luput dari cakaran, akan tetapi tangan kanan yang mencengkram pundaknya itu kurang cepat dia elakkan.

"Brett...!" baju dari puteri kakek Cui itu dicengkeram jari si Dewa Monyet dan gadis ini melengking kaget. Cui Ang marah bukan main kepada Dewa Monyet. Dia juga jengah. Kulit pundaknya tergores kuku lawan dan Dewa Monyet yang terkekeh melihat gadis itu tersipu-sipu melemparkan sobekan kainnya kepada Siau-ji.

"Siau-ji, terimalah kenangan gadis ini. lumayan untuk dicium-cium…!" kakek itu berteriak dan kera besar yang sejak tadi bercowetan gelisah ini mengangguk girang sambil menangkap sobekan kain baju Cui Ang. Betul seperti ucapan tuannya, monyet berbulu cokelat itu lalu mencium-cium sobekan kain baju Cui Ang yang berbau harum.

"Keparat…!" Cui Ang tak tahan mengendalikan diri lagi dan tiba-tiba gadis itu menerjang Dewa Monyet. Kaki kanannya mendupak kaki lawan, sementara tangannya bekerja bergantian. Yang kiri menusuk leher, dengan jurus Luruskan Tombak mencongkel Urat, sedangkan yang kanan menampar pelipis dengan pukulan penuh. Inilah serangan yang berdasarkan rasa nekat, dan Cui Ang yang merasa dihina oleh kakek berotak miring itu menjadi mata gelap.

Tapi Dewa Monyet menyambutnya dengan terkekeh gembira. Dia tahu bahwa tingkatnya masih lebih tinggi daripada gadis itu, maka mendapat serangan inipun dia enak-enak saja. Paha yang ditendang malah dipasang kuat-kuat, dan dua serangan lain yang mengarah bagian depan tubuhnya dipapak dengan uluran tangan kanan. Kelima jari mencengkeram tusukan tangan kiri Cui Ang sedangkan tamparan ke pelipis kepalanya itu disambut dengan tekukan siku kanan.

"Plak-duk-duk!"

Cui Ang mengeluh menahan nyeri. Kaki yang menendang serasa bertemu tonggak baja, sedangkan tangkisan tangan kanan kakek itu membuat kedua lengannya seperti patah. Gadis ini berputar dan Dewa Monyet tiba-tiba menyambar pinggangnya .

"Heh-heh, tertangkap sekarang kau, siluman cilik. Lohu akan menawanmu sampai jinak..." kakek ita berseru girang dan tangan kirinya sudah diulur itu menotok cepat ke jalan darah Pi-keng-hiat. Sekali kena, tentu Cui Ang akan lumpuh.

Tapi tiba-tiba terjadilah suatu hal yang mengejutkan kakek ini. Sebuah bayangan berkelebat, dan tangan Dewa Monyet yang hendak mencengkeram pinggang gadis itu tahu-tahu bertemu dengan sebatang lengan yang seperti kayu disusul bentakan perlahan seorang pemuda. "Kau tidak tahu diri, jangan bersikap kurang ajar terhadap wanita muda....dukk!"

Dewa Monyet terpekik kaget dan Ceng Han sudah berdiri di depannya dengan alis dikerutkan. Kiranya, pemuda ini sudah siuman dari pingsannya dan melihat muka yang merah sehat itu pemuda ini sembuh!

"Kau...?" kakek itu melotot tapi Ceng yang tidak tahu oleh siapa dia disembuhkan sudah bertolak pinggang.

"Hmm, Kiauw-sian locianpwe... bukankah kau ini adalah Kauw-sian locianpwe dari Bu-Ang-bhok-san? Mengapa mengganggu seorang gadis tanpa sebab?" pemuda itu bertanya dengan muka tidak senang dan kakek ini berjingkrak marah.

"Kerr... kau sungguh pemuda yang tak kenal budi, putera Beng-san-paicu! Apakah memang itu didikan ayahmu terbadap seorang penolong?"

Ceng Han terkejat. "Apa maksudmu....?"

Dewa Monyet tiba-tiba memutar tubuh, Ia menuding Cui Ang yang berkeringat dingin dan dengan suara gusar kakek ini berseru. "Anak muda, kau tanyalah kepada gadis itu siapakah yang telah menyembuhkan dari luka keracunan itu? Dan siapa pula yang telah membebaskan kalian dari bahaya maut?"

Ceng Han terbelalak tidak mengerti. "Eh nona Cui, apa maksud ucapannya ini? Bakankah kau yang telah menolongku?" pemuda ini bertanya heran tapi Cui Ang tiba-tiba menggelengkan kepalanya.

Gadis itu melangkah maju, lalu dengan mata berapi dia berkata, "Tidak, Souw-kongcu, memang bukan aku yang telah menolongmu dari bahaya keracunan itu melainkan kakek inilah! Akan tetapi dia juga tidak beritikad baik, karena dibalik maksudnya yang tampak luhur ini dia menyembunyikan suatu pikiran yang tidak tahu malu…!"

Ceng han semakin membelalakkan mata dan tiba-tiba pemuda ini memandang kakek itu dengan sorot mata tajam. Keterangan Cui Ang tentang pikiran buruk yang tak tahu malu ditangkapnya sebagai sikap Dewa Monyet yang hendak berkurang-ajar kepada Cui ang. Karena itu dia menjadi marah. Akan tetapi karena kakek ini pula yang telah menyembuhkan dari bahaya keracunan maka diapun tertegun.

Tidak disangkanya Dewa Monyet yang sudah setengah umur itu masih tergila-gila kepada wajah cantik. Dan gadis yang diganggu oleh kakek bermuka buruk ini siapa yang tidak marah? Dia sendiri yang melihat perbuatan itu juga merasa tidak senang, meskipun Dewa Monyet telah menolongnya dari bahaya keracunan. Karena itu Ceng Han lalu mengerutkan alis dan dengan sungguh-sungguh dia berkata,

"Kauw-sian locianpwe, sungguh tidak kuduga bahwa orang setua engkau ternyata masih suka mengganggu gadis muda. Lalu dimanakah mukamu hendak ditaruh? Dunia masih banyak gadis-gadis cantik, kalau mereka mau tentu dapat kau peristeri. Tetapi jangan main paksa. Meskipun kau adalah orang yang telah menolongku, namun kalau kau hendak mengganggu seorang wanita tentu aku tidak dapat tinggal diam. Lainnya kalau orang yang kau ganggu tidak marah-marah. Tapi nona Cui ini, ia tidak suka padamu, mengapa main paksa…?"

Dewa Monyet mendelik mendengar teguran ini, namun tiba-tiba dia tertawa terbahak. "Uweehh…kerr! Siapa mau kawin dengan wanita muda, bocah ingusan? Eh, sembarangan saja kau bicara. Mentang-mentang putera Beng-san paicu ya? Setan, enak saja kau menuduh lohu memaksa gadis siluman itu menjadi isteriku? Wah, kau salah bicara…!" kakek itu berjingkrak dan Ceng Han terkejut.

"Eh, tapi bukankah yang bersangkutan sendiri sudah menyatakan seperti itu? locianpwe mempunyai pikiran buruk dan tidak tahu malu-malu bagi seorang laki-laki yang berpikiran buruk terhadap seorang wanita lalu apa lagi namanya kalau bukan niat untuk… untuk main paksa? Ceng Han membantah dan pemuda itu melirik Cui Ang.

Gadis yang dilirik ternyata juga tersipu, namun belum Cui Ang memberi penjelasan, tiba-tiba Dewa Monyet sudah keburu menjawab dengan sikap berang, "Anak muda, kau menduga terlalu jelek. Apa kau kira lohu tua bangka yang mata keranjang? Ketahuilah putera Beng-san paicu, lohu sama sekali tidak bermaksud kurang ajar pada gadis itu, melainkan hanya sekedar menagih janjinya terhadap putera lohu. Temanmu, siluman betina itu sudah berjanji untuk memberi imbalan yang lohu berikan kepada kalian berdua yang sudah lohu sembuhkan dari luka-luka berat, tapi dia ternyata bersikap licik dalam hal ini. lohu ditipunya mentah-mentah! Nah, bagaimana lohu tidak boleh menghajarnya?"

"Eh, kau ditipu, locianpwe?" Ceng Han tercengang.

"Ya, dan lohu hendak menghukumnya!"

"Wah…! Ceng Han terbelalak kaget, ia memandang Cui Ang dan bertanya, "Nona Cui, tipuan apa yang kau lakukan terhadap kakek ini?"

Cui ang mengepal tinju. Gadis ini merah mukanya karena jengah akan tetapi sekaligus marah dan mendongkol. Dia agak tersipu untuk menerangkan jalannya kejadian. Akan tetapi demi untuk membersihkan diri apa boleh buat…, dia harus menjelaskan duduk persoalan. Maka dia memandang Dewa Monyet dengan pipi seperti terbakar, dan dengan suara nyaring dia berkata,

"Hauw-kongcu, kakek itu memang orang gila, apa mau menuruti kata-katanya? Dia hendak menjodohkan aku dengan puteranya, katanya sebagai imbalan budi baiknya terhadap kita berdua. Karena itu siapa yang mau memenuhi permintaan gila ini? biarpun dia membunuhku sekalipun, aku tetap tidak sudi! Kau tahu, siapa putera kakek gila itu?

Ceng Han menggeleng. "Tidak, nona Cui. Siapa dia?"

Dan tiba-tiba Cui Ang menuding telunjuknya kepada kera besar dibelakang kakek itu dengan sengit. "Dialah mahluknya, Souw-kongcu, monyet yang besar itulah! Nah siapa mau dikawinkan dengan binatang menjijikkan itu? kalau Dewa Monyet memaksa biarlah aku mempertaruhkan nyawa!"

"Hahh…?! Ceng Han benar-benar tertegun sekarang dan pemuda itu tiba-tiba saja hampir tertawa geli. Sungguh tidak dikiranya bahwa Dewa Monyet meminta imbalan jasa kepada Cui Ang berupa perjodohan yang amat mustahil itu. maka kalau tadi dia sudah akan menegur Cui Ang yang disangkanya mempermainkan kakek itu, sekarang Ceng Han malah menghadapi Dewa Monyet dengan sikap tegas.

"Wah, locianpwe, kau terlalu sekali!" Ceng Han akhirnya menegur. "Mengapa harus memikir yang tidak-tidak? Kau tahu bawa hal itu tidak mungkin. Masa manusia harus berjodoh dengan seekor monyet? Sungguh terlalu sekali kau locianpwe, dan aku terus terang tidak membenarkan caramu itu. Kalau kau hendak meminta imbalan, biarlah aku saja yang membayarnya. Nona Cui boleh bebas, tapi itupun pemintaanmu cukup pantas kepadaku. Bagaimana?"

Ceng Han memandang kakek itu tapi Dewa Monyet tiba-tiba berjingkrak marah. Kera yang ada dibelakangnya juga memekik dan matanya itu melotot ke arah Ceng Han dengan kaki dibanting. Rupanya binatang ini juga marah seperti tuannya dan dua mahluk berlainan jenis itu mencak-mencak.

"Heh, orang muda, berani kau bicara seenaknya terhadap lohu...? Dia sudah mengikat janji dengan lohu, dan siapapun tidak dapat melindunginya!" kakek itu berteriak marah dan Cai Ang mengepal tinju.

"Dewa Monyet, jangan sembarangan kau membuka mulut. Siapa yang berjanji denganmu? Aku tidak berjanji apa-apa dan juga tidak sudi dipaksa! Cihh, beginikah sikap seorang angkatan tua?"

Kakek itu menggereng murka. "Tapi kau menerima dua syaratku, perawan cilik. Siapa bilang itu tidak saling berjanji?"

"Hem, dan kaupun juga sudah mendengar syaratku, tua bangka tidak tahu malu. Kenapa kau bendak menang sendiri?"

Dua orang itu saling ngotot dan sejenak kakek ini tertegun. Memang, walaupun dia sudah membicarakan "pembayaraanya" namun gadis itupun juga punya hak mengajukan syarat. Hanya satu saja malah, tapi cukup "mencuci" semua kehendaknya karena gadis itu hanya mau melakukan imbalan apa saja asal "sesuai" dengan hatinya sendiri. Dan ternyata gadis itu merasa tidak sesuai dengan permintaannya dan karena itu Cui Ang berani menolak. "Celaka Siau-ji, alamat tidak mendapat jodoh lagi untuk yang kedua kalinya ini!"

Dewa Monyet terbeliak marah dan kakek ini memandang gusar. Dulu dia sudah gagal, lalu apakah sekarang juga harus kembali tidak berhasil? Teringatlah olehnya akan kegagalannya dahulu, beberapa bulan yang lalu, di mana seorang gadis juga telah menolak mentah-mentah pinangan dirinya untuk Siau-ji itu.

Seorang gadis cantik yang juga tidak kalah galak rupanya dengan gadis yang sekarang berada di depannya ini. Akan tetapi kalau gadis yang dulu menolak karena sudah punya 'suami‘ adalah gadis ini menolak karena alasan licik dan seenak udelnya sendiri!

Bagi para pembaca Pendekar Gurun Neraka tentu masih ingat akan peristiwa antara kakek ini dengan Pek Hong sedang mengantarkan Yap Bu Kong yang keracunan hebat oleh perbuatan keji Ceng-gan Sian-jin. Gadis itu membawa Bu Kong dengan susah payah ke Buk Ang bhok-san, bertemu dengan Dewa Monyet yang tidak beres otaknya dan hampir saja terjadi bentrok diantara mereka berdua ini. Tetapi untunglah puteri Panglima Ok tiba-tiba muncul. Siu Li, gadis penolong ini berhasil menundukkan Dewa Monyet, berkat pengaruh subonya, mendiang Mo-I Thai-houw yang dikira masih hidup oleh kakek itu.

Dan dengan perantaraan Siu Li inilah akhirnya Dewa Moyet mengobati luka-luka pemuda itu sampai sembuh. Bahkan akhirnya kakek yang miring otaknya ini tunduk kepada jenderal muda itu yang kini berjuluk Pendekar Gurun Neraka dan menyebutnya Yap-siauwya (majikan muda she Yap) serta Yap Hujin (nyonya Yap) kepada Pek Hong.

Maka sekarang, kembali membentur kegagalan ini Dewa Monyet benar-benar marah. Dia tidak kenal gadis itu, tetapi dia tertarik untuk mengambilnya sebagai 'mantu‘. Boleh tidak boleh hendak memaksa. Dan kalau putera Pendekar Kepala Batu itu ikut campur, biarlah dia membereskannya sekalian.

Maka tiba-tiba kakek ini memekik parau dan maklum Ceng Han lebih kuat daripada Cui Ang, kakek itu sudah menubruk Ceng Han dengan dua jari tangannya, sementara dia memberi tanda kepada Siau-ji dan kawan-kawan untuk menyerang Cui Ang.

"Pemuda usil, biarlah lohu robohkan dulu orang yang tidak tahu diri ini. Haitt…..!" Kakek itu menerjang dengan ilmu silat keranya dan angin dingin berkesyur menampar.

Ceng Han terkejut, tidak mengira Dewa Monyet akan berlaku nekat itu, namun diapun tidak mau bersikap ayal. Melihat kakek itu sudah mulai menyerang, dia juga menggerakkan kaki memasang kuda-kuda dan mengangkat lengan menangkis sambil mengerahkan sinkang.

"Dukk....!" pertemuan kedua kali ini membuat Dewa Monyet terkesiap. Tangannya tergetar sementara tubuhnya terdorong ke belakang sampai tiga tindak. Dan di pihak Ceng Han, pemuda ini juga terhuyung ke belakang akan tetapi tidak roboh.

"Heehh.... kau hebat, anak muda, tapi jangan kira lohu tidak sanggup merobohkanmu, Awas…!" kakek ini berriak marah melihat Ceng Han tersenyum dan tiba-tiba dia mencakar hidung Ceng Han dan menubruk dengan kaki berputar membabat pinggang sementara tangan kiri meninju perut. Gerak-geriknya mirip kera kalap dan kakek itu memang sedang mengerahkan kepandaiannya mainkan Sin-kauw-hoat (Silat Kera Sakti).

Tapi Ceng Han yang mendapat didikan langsung dan ayahnya yang menjadi ketua Beng-san-pai juga tidak bisa dipandang ringan. Begitu melihat kakek itu mulai menyerang dengan jurus-jurusnya yang aneh segera pemuda inipun memainkan ilmu silat ularnya yang dinamalkan Sin-coa hoat (Silat Ular Sakti). Ilmu ini ia mainkan sebagai tandingan Ilmu Silat Kera Sakti maka begitu mereka saling tempur segera saja pertandingan menjadi seru.

Keduanya segera terlibat dalam pertempuran sengit, dan sepak terjang Dewa Monyet yang ganas seperti monyet gila itu kali ini mendapat sambutan hangat dari lawannya yang masih muda. Ceng Han menghadapi kakek itu dengan tidak kalah berbahayanya, tapi kalau lawannya memaki-maki dan mencak-mencak seperti monyet yang sedang murka adalah dia bersikap tenang namun penuh perhatian.

Gerak-gerik Dewa Monyet yang kasar benar-benar mirip seekor kera yang kalap. Tapi dari sikap gerak-gerik itu selalu muncul cengkeraman-cengkeraman berbahaya ataupun tendangan-tendangan kaki yang tiba-tiba melonjak tanpa aturan seperti layaknya seekor kera gila. Dan dari setiap serangan ini tidak ada satupun yang tidak ganas.

Semuanya dapat berakibat maut apabila mengenai sasarannya. Maka Ceng Han berhati-hati sekali dalam mengbadapi kebuasan kakek ini dan dia selalu waspada mengikuti gerak-gerik kaki dan tangan yang tampaknya berseliweran tanpa ampun itu. Dan satu kali pernah kakek ini mempergunakan giginya. Dia mengigit lengan Ceng Han ketika pemuda itu tertangkap sikutnya!

Tentu saja Ceng Han terkejut tapi dengan kecepatan geraknya pemuda itu akhirnya mampu membebaskan diri. Dia menampar kepala kakek itu dengan tangan sebelahnya dan Dewa Monyet yang merasakan datangnya bahaya ini sudah memekik sambil melompat mundur. Ceng Han bebas, tapi sekarang dia memperoleh pengalaman baru dari ilmu si lawan yang aneh. Ternyata giginyapun dapat dipergunakan untuk menyerang. Gila!

Maka Ceng Han bersikap lebih hati-hati lagi dan dia mainkan Sin-coa-hoat dengan lebih seksama. Tubrukan-tubrukan Dewa Monyet semua dia kelit, dan tubuhnya yang meliuk-liuk, mulai mengheret seperti ular itu mampu menyelamatkannya dari serangan lawan yang berbahaya. Tapi semua itu bukan berarti Ceng Han lalu tidak pernah membalas serangan lawan. Tidak, pemuda itu bahkan pasti membalas setiap serangan dengan serangan lain pula.

Patukan-patukan tangannya yang membentuk kepala ular, sering kali membuat Dewa Monyet berseru kaget. Belum lagi kalau tiba-tiba kaki Ceng Han juga ikut bekerja, menebas atau membelit ke arah tubuh lawan yang semuanya dapat saja membuat kakek itu roboh tersungkur! Maka saling balas membalas diantara kedua orang menjadikan pertempuran itu benar-benar menjadi seru.

Dewa Monyet yang merasakan benturan lengan Ceng Han diam-diam mengumpat didalam hatinya. Lengan lawan seperti kayu besi saja kerasnya, liat dan mengandung getaran sinkang yang mampu menandingi kekuatan sinkangnya sendiri.

Sementara itu dilain pihak, Cui Ang yang diserbu tiga ekor monyet besar yang semenjak tadi tidak ikut 'bicara‘ itu kini juga kewalahan. Memang mereka tidak memiliki ilmu silat tinggi, kecuali Siau-ji yang memiliki ilmu silat lumayan. Namun kuku-kuku mereka yang main cakar, main cengkeram itu cukup membuatnya kelabakan.

Berkali-kali mereka berhasil dipukul mundur, namun setiap kali itu juga mereka maju menyerang dengan pekik yang tidak kenal menyerah. Dan tiga ekor binatang ini, Siau-ji-lah yang paling menggemaskan Cui Ang. Kera itu paling cerdik, juga dia paling 'lihai‘. Dua kawannya mengerubut dari depan, sedangkan dia sendiri membokong dari belakang.

Melompat, mencengkram dan menggigit sambil mencakar apa saja yang dikenainya. Karena itu, tidak heran kalau baju Cui Ang kembali robek dicakar kuku-kuku binatang yang tidak kenal takut ini. Apalagi Cui ang juga masih menahan diri tidak menurunkan tangan maut kepada tiga ekor binatang Dewa Monyet yang jelek-jelek sudah membantunya itu.

Dan hal ini rupanya dimaklumi tiga ekor kera itu, terutama Siau-ji, dan karenanya menjadi semakin tidak tahu diri dan bercecowetan dengan suara riuh. Pekik mereka yang menyakitkan telinga ini lama-lama membuat Cui Ang marah, dan gadis itu mulai bersikap keras. Dua yang menyerang dari depan ditampar gemas, dan mereka yang tidak mahir ilmu silat itu terkena tempelengan Cui Ang yang sedang marah. Gadis itu mengerahkan tenaga lweekangnya, maka tidak aneh jika kedua lawannya menjerit dan terlempar roboh.

"Creeitt...!" mereka memekik kesakitan dan Siau-ji yang ada di belakang gadis tiba-tiba menggereng. Kera itu melompat, dan rambut Cui Ang yang disambar berkibar oleh jari-jari yang berbulu.

Tentu saja Cui Ang terkejut, dan gadis itu membalikkan tubuh sambil menendang. "Blukk...!" perut kera itu ditendangnya keras namun rambutnya keburu dicengkeram. Siau-ji memekik kesakitan mendapat dupakan yang membuat ia rasanya seperti jungkir balik itu namun dia masih mencengkram dengan penuh kemarahan. Kera ini berteriak gusar dan rambut Cui Ang dijambak kasar.

"Aihh...!" Cui Ang menjerit kecil dan gadis ini kaget bukan main. Rambut yang ditarik rasanya terkelupas, dan mata Siau-ji yang merah bersinar-sinar itu membuatnya ngeri. Otomatis gadis ini menundukkan kepalanya dan menyeruduk kera itu sambil memukul dan dua jari menusuk Siau-ji.

"Crett!" kepala Siau-ji terdongak ke belakang dan tangan kanan Cui Ang menghantam lehernya. "Dess!" kera itu telah terkena pukulan dua kali berturut-turut dan Siau-ji berteriak kesakitan. Akan tetapi kera ini sungguh luar biasa. Tusukan dan pukulan yang membuatnya terpelanting itu sama sekali tidak mempengaruhi cengkramannya, karena rambut Cui Ang masih tetap dijambak! Dan dia yang terlempar itu membetot rambut gadis ini sehingga Cui Ang berteriak mengaduh dan terseret mengikuti kera itu.

"Aduh…!" Cui Ang benar-benar kesakitan dijambak seperti ini dan kemarahan gadis itu semakin meluap. Siau-ji yang belum sempat melompat bagun kembali ditendangnya dan sisi punggung kera itu menjadi sasaran.

"Bukk…!" Siau-ji menjerit gusar dan kera itu kembali terpelanting. Akan tetapi hebatnya monyet ini sama sekali tidak melepaskan jambakannya dan begitu tubuhnya terlempar pula rambut lawan semakin ditariknya! Tentu saja hal ini menimbulkan rasa pedih dan sakit yang amat sangat di kepala Cui Ang dan tiba-tiba gadis itu menghantam lengan Siau-ji.

"Plakk…!" Kera itu memekik, tapi ternyata cengkeraman pada rambut belum juga dilepas. Cui Ang menjadi marah bukan main sekarang, dan gadis itu tiba-tiba melengking tinggi, menerkam sisi atas Siau-ji. Tangan kanan menyentak keatas sedangkan tangan kiri menyentak kebawah. Ini gerak mematahkan tulang dan Siau-ji yang tidak tahu apa yang terjadi itu sekonyong-konyong menjerit ngeri. Siku atasnya telah ditekuk sedemikian rupa oleh Cui Ang dan kontan siku di tengah lengannya patah.

"Pletak... krakk!" Siku lengan itu patah sekarang dan Siau-ji meraung kesakitan. Monyet ini berteriak ngeri dan cengkeramannya ke rambut Cui Ang terlepas sekarang. Bebaslah gadis itu, namun Cui Ang yang tidak dapat mengendalikan kemarahan lagi sekarang ini tidak memberi ampun. Monyet yang berputar-putar kesakitan itu didupaknya, Siau-ji terlempar jauh dengan muka tersungkur.

"Brukk…!" kera itu menguik sekali, lalu menggelepar perlahan dan akhirnya tidak dapat bangkit kembali. Patahnya lengan dan tendangan keras yang mengenai iganya itu membuat Siau-ji terkapar dan monyet ini roboh pingsan!

Kini Cui Ang berdiri terengah, memandang musuh yang sudah malang melintang di depan kakinya itu. Ada perasaan lega di dalam hatinya, akan tetapi ada juga perasaan tidak enak yang sedikit mengganggu. Dia telah melukai monyet-monyet kakek bermuka buruk itu, akan tetapi apa boleh buat, keadaan telah memaksanya sedemikian rupa. Maka Cui Ang menarik napas berat dan gadis ini memutar tubuh.

Tapi baru setengah lingkaran, mendadak terdengar pekik parau yang menggetarkan. Sebuan bayangan tiba-tiba berkelebat, dan sepasang tangan berkuku panjang yang mengerikan menyambar muka gadis ini. Yang satu mencekik leher, sedangkan yang lain mncengkeram ulu hatinya. Itulah serangan Dewa Monyet!

Cui Ang yang tidak bersiap menjadi terkejut sekali melihat perbuatan kakek itu. Dia tadi sedang bertempur dengn Ceng Han, bagaimana tahu-tahu menyambar dirinya? Maka diserang dengan tiba-tiba ini membuat Cui Ang berseru kaget, Ia tidak sempat menghindar, maka tangan kirinya diangkat menangkis dengan kekuatan sebisanya.

Dewa monyet berteriak menyeramkan dan Cui Ang menjerit panjang. Gadis ini terlempar dan lengan kirinya terpental! Cui Ang terguling-guling dan kakek itu tiba-tiba memekik buas dan memburu korbannya.

"Mampus kau, siluman cilik…!" Dewa Monyet menggeram penuh kemarahan dan tubrukannya yang berbahaya ini membayangkan ancaman maut yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Agaknya robohnya Siau-ji yang disangka mati itulah yang membuat kakek ini menjadi buas. Dan Cui Ang yang masih terlempar bergulingan itu tidak sempat menyelamatkan diri.

Kejadian yang amat mendadak ini membuat Ceng Han terbelalak. Dia terkejut lagi ketika melihat Dewa Monyet tiba-tiba menyerang Cui Ang dengan tubrukan yang amat berbahaya itu. jarak diantara mereka terlalu jauh, tidak ada kesempatan lagi baginya untuk membantu. Maka satu-satunya jalan adalah mencoba mengisi detik-detik yang amat menentukan ini dengan pertolongan jarak jauh, yakni menimpuk kakek itu dengan senjata rahasia. Dan Ceng Han sudah melakukan ini. Pemuda itu menyambar batu sekepalan tangan, lalu sambil berteriak memperingatkan Cui Ang dia menyambit sisi kepala Dewa Monyet.

Batu meluncur deras, dan benda yang dapat memecahkan kepala orang ini melayang seperti kecepatan pelor. Tenaga sinkang yang dikerahkan Ceng Han melalui batu ini luar biasa kuatnya, dan biarpun Dewa Monyet berhasil membunuh Cui Ang, kakek itu tentu tidak terluput dari bencana. Akan tetapi… sungguh mengejutkan! Suasana yang serba runyam ini mengalami perubahan yang tidak disangka-sangka. Dewa monyet yang mata gelap yang sedang menubruk Cui Ang itu sekonyong-konyong terhenti langkahnya, begitu mendadak seperti ditahan oleh suatu kekuatan raksasa yang tidak kelihatan.

Dan batu yang menyambar kepala kakek itu juga tiba-tiba terhenti di tengah udara. Sebuah bayangan kuning tiba-tiba berada di situ, tidak tahu kapan munculnya dan kedua lengan bayangan tinggi besar ini mementang ke kanan kiri. Yang satu ke arah Dewa Monyet sedangkan yang lain ke arah batu hitam. Berbareng dengan munculnya bayangan tinggi besar ini terdengarlah seruannya yang halus berpengaruh,

"Omitohud, jangan nafsu angkara, Dewa Monyet…!"

Dan di tempat itu tahu-tahu telah berdiri seorang hwesio dengan tertawa lebar. Itulah Leng Kong Hosiang! Tiga orang yang sedang bertanding tertegun sejenak, dan Cui Ang yang nyaris terbunuh sudah melompat bangun. Dia dan Ceng Han memandang terbelalak, tapi Dewa Monyet agaknya mengenal hwesio tinggi besar ini berseru kaget.

"Leng-kong Hosiang...!" kakek itu berteriak gentar dan hwesio yang dipanggil memandang tajam.

"Hm, kau mengenal pinceng, Kauw-sian? Bagus rupanya ingatanmu masih baik. Tetapi kenapa engkau mengganggu anak-anak muda?!"

Pandangan keren yang penuh pengaruh membuat Dewa Monyet menyeringai kecut, kakek ini mundur selangkah. Kehadiran hwesio kosen itu sungguh di luar dugaannya, karena itu dia menjadi gentar. Akan tetapi karena dia merasa marah dengan lawan-lawannya itu maka kakek inipun tidak mau menyerah.

"Mereka yang menggangguku, Hosiang, bukan lohu. Gadis itu membunuh anak buahku yang paling kusayang!" kakek itu menjawab lantang dan hwesio ini mengerutkan alisnya.

"Hm, betulkah begitu Dewa Monyet? Seingat pinceng, kau adalah orang yang suka ugal-ugalan, seperti tuuh tahun yang lalu ketika pertama kalinya bertemu. Apakah kata-katamu ini dapat dipercaya?" Hwesio itu lalu menoleh kepada Cui Ang. "Nona Cui, apakah benar kalian yang lebih dulu mengganggu kakek itu?"

Cui Ang terkejut. Mendengar hwesio itu telah mengenal namanya, ia merasa heran. Akan tetapi mendengar Dewa Monyet memutar balik kenyataan, dia menjadi marah. Karena itu ia lalu melompat maju dan sambil menuding ke arah Dewa Monyet, gadis itu berseru, "Lo-suhu, apa yang dikatakan kakek itu bohong belaka. Bukan kami yang lebih dulu mengganggunya, melainkan Dewa Monyet itulah! Kami sedang terluka ketika berada disini dan secara kebetulan ia muncul lalu menolong kami, lalu meminta imbalan jasa atas budi pertolongannya itu. Nah siapa yang salah?"

Leng Kong Hosiang memandang Dewa Monyet. "Eh, kau meminta imbalan jasa, Kauw-sian?"

Dewa monyet tersipu merah. "Betul, Hosiang, karena obat yang kuberikan pada mereka adalah mustika tiada taranya berupa liur katak merah. Mereka keracunan dan kalau lohu tidak datang tentu tewas tanpa liang kubur…!"

"Hm, tapi sebagai sesamanya, tidak layak kalau kau meminta imbalan, Kauw-sian. Dan imbalan apakah yang kau minta sehingga hampir terjadi pertumpahan darah?"

Kini Cui Ang yang tiba-tiba menuding sengit ke arah kakek itu. "Dewa monyet hendak mengambilku sebagai mantu, lo-suhu dan aku dengan tegas telah menolaknya! Kakek itu marah-marah dan akhirnya kami bertarung!"

"Eh…?" Leng Kong Hosiang terheran. "Kau hendak mengambilnya sebagai mantu, Dewa Monyet? Lalu siapakah puteramu itu? seingat pinceng kau tidak memiliki keturunan!"

Teguran ini membuat muka Dewa Monyet berkerut, tapi lagi-lagi Cui Ang mendahului. "Nah, justeru hal yang tidak masuk akal itu yang hendak dipaksakan kakek itu, locianpwe, itu tentu saja tidak dapat diterima dengan akal sehat!"

"Kerr…! Jadi kau membela anak-anak muda itu, Hosiang? "Dewa Monyet mulai melotot.

"Tidak…" hwesio ini tiba-tiba bersikap keren. "Tapi sekedar melindungi yang benar sebagai yang benar. Kalau kau memaksakan kehendakmu, berarti kau salah, Dewa Monyet, dan tentu pinceng dalam hal ini harus ikut campur!"

"Heihh....!" kakek itu tiba-tiba memekik gusar. "Atas dasar apakah kau ikut campur, Leng Kong Hosiang?"

Hweslo ini mengerutkan keningnya. "Atas dasar sikapmu yang suka membawa adat sendiri, Dewa Monyet."

"Keparat! Dan bagimana perhitungan mereka dengan nyawa Sian-ji?"

Ceng Han tiba-tiba mengangkat tangannya. locianpwe, jangan terburu nafsu. Anak buahmu tidak tewas, siapa yang berhutang nyawa? Lihat kera itu bergerak!"

Dewa Monyet cepat memalingkan mukanya, rasa kalap yang hampir menggelapkan matanya itu mendadak tertahan. Dia mengikuti seruan Ceng Han dan ketika betul dilihatnya kera itu bergerak kakek ini tiba-tiba berseru girang dan cepat menghampiri. Diperiksanya kera itu, dirabanya, dielusnya dan akhirnya setelah mendapat kenyataan bahwa Sian-ji benar-benar masih selamat, Dewa Monyet terkekeh gembira. Binatang kesayangan itu diciuminya, tapi ketika Siau-ji merintih dan Dewa Monyet melihat tulang lengan yang patah kakek ini tiba-tiba menggereng.

"Kerr.... kau menciderainya, setan betina?" Dewa Monyet mendelik ke arah Cui Ang, tapi Cui Ang tenang saja melihat tatapan mata yang penuh kemarahan itu.

Gadis ini malah tersenyum mengejek dan menjawab, "Salahnya sendiri, Dewa Monyet. Dia mejambak rambutku sampai hampir terkelupas!"

Dewa Monyet kembali menggereng, namun ketika sinar matanya secara tidak sengaja bertemu dengan pandang mata penuh wibawa dari Leng Kong Hosiang sekonyong-konyong kakek ini sadar. Di situ telah ada seseoraag yang ditakutinya, dan dia tidak berani berlaku nekat. Kalau saja Sian-ji benar-benar tewas barangkali dia tidak mau perduli terhadap siapapun. Tapi kali ini Siau-ji masih hidup, dan binatang kesayangan itu perlu pertolongan. Untuk apa bersitegang lebih lama.

Maka Dewa Monyet tiba-tiba melompat bangun sambil menyambar Kera ini dikempit di bawah ketiak kanan, sedangkan dua ekor anak buahnya yang lain di pondong dengan lengan kiri. Kemudian dengan mata bersinar marah dia memandang Cui Ang. "Siluman betina, beruntung hari ini kau dibantu Leng Kong Hosiang. Akan tetapi jangan kau tertawa gembira dahulu, karena kelak perhitungan diantara kita harus kita selesaikan. Memandang muka keledai gundul itu biarlah lohu mengampunimu, tapi awas sekali kita bertemu lagi pasti lohu akan menghajarmu habis-babisan!"

Kakek itu berhenti sejenak dan dia lalu menoleh ke arah hwesio tinggi besar itu. "Dan kau, Leng Kong Hosiang, semua sikapmu hari ini tentu lohu akan laporkan kepada majikan muda. Kalau kau tidak penakut tunggulah sebulan dua bulan lagi. Tentu majikan muda akan menemuimu untuk meminta pertanggungan jawab. Tapi kalau kau takut boleh datangi Ang-bhok-san untuk minta maaf!"

Dewa Monyet melampiaskan rasa penasarannya dan kata-katanya yang terakhir itu tampak sedikit pongah. Namun Leng Kong Hosiang tenang-tenang saja. Hwesio ini malah tersenyum tawar dan melihat lawan memandang penuh kebencian dia berseru lirih, "Omitohud, semoga kau dilindungi Buddha Maha Pengasih, Dewa Monyet, dan sekarang pergilah baik-baik. Pinceng ucapkan terima kasih atas pengertianmu itu dan biarlah kelak pinceng ingin berkenalan dengan majikan mudamu itu. Pergilah…!"

Seruan itu tidak perlu diulangi dua kali lagi karena Dewa Monyet sudah mengeluarkan pekik kegusarannya dan membalikkan tubuh. Kakek itu melompat sambil membawa tiga ekor anak buahnya dan sekejap kemudian diapun sudah berkelebat lenyap meninggalkan tempat itu.

Ceng Han dan Cui Ang saling pandang lalu mereka menghadap Leng Kong Hosiang. Cui Ang sudah melompat maju dan menjatuhkan diri berlutut, lalu gadis itu berkata dengan suara terharu, "Locianpwe, banyak terima kasih atas budi pertolongan locianpwe terhadap teecu. Tidak dapat teecu bayangkan, seandainya locianpwe datang terlambat entah bagaimana jadinya dengan nasib teecu. Apakah locianpwe ada nasihat untuk teecu. Dan bagaimana locianpwe tahu nama teecu?"

Hwesio tinggi besar itu tertawa kecil. "Nona Cui, tidak usah kau herankan bagaimana pinceng bisa mengetahui namamu. Sesungguhnya pinceng sudah bertemu dengan ayahmu di Tikungan Segi Tiga sana, dan justeru karena itu pinceng lalu kemari."

"Ah, jadi locianpwe sengaja mencari teecu?"

"Ya."

Cui Ang terkejut mendengar jawaban itu gadis ini tiba-tiba teringat ayahnya. Oleh sebab itu mukanya menjadi pucat ketika bertanya kepada hwesio tinggi besar inu, "Kaiau begitu, bagaimana keadaan ayah di sana, locianpwe...?"

Leng Kong Hosiang menghela papas. "Tidak terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan, tapi sepak terjang Palu Baja tentu akan menjadi lebih serius di masa yang akan datang. Pinceng terlambat sedikit ketika melihat kau tercebur di dalam air, karena itu pinceng lalu tergesa-gesa menyusulmu. Dan sahabat muda ini, bukankah souw-siauwhiap dari Beng san-pai?"

Ceng Han yang dipandang buru-buru menjadi gugup. "Ah, locanpwe.... terimalah hormat teecu. Teecu memang betul dari Bang-san-pai, apakah Cui-locianpwe yang memberi tahu?"

Hwesio itu tersenyum gembira. "Betul, Souw-souwhiap. Bagaimana kabar ayahmu?"

Ceng Han tersipu-sipu. "Baik-baik saja, Locianpwe, terima kasih!"

"Dan kau datang untuk mencari adikmu, bukan?"

"Benar, apakah Cui-locianpwe yang kembali memberi tahu?" Ceng Han sedikit terkejut, tapi hwesio ini mengulapkan jubahnya.

"Tidak, Souw-kongcu, tetapi pinceng melihat sendiri keadaannya di dalam ruang tahanan itu."

"Ahh...!" Ceng Han terbelalak dan hatinya tiba-tiba berdebar tegang. "Locianpwe melihat sendiri keadaan adik teecu itu?"

"Ya, tapi dia selamat. Barangkali kau berpikir mengapa pinceng tidak menolongnya, bukan?"

Cen Han terentak kaget. Memang ada pertanyaan seperti itu di dalam pikirannya, namun bagaimana hwesio ini bisa tahu? Karena itu ia menjadi gugup, tapi karena dia orang jujur, maka Ceng Han pun tidak berpura-pura. Dia menganggukkan kepalanya dan Leng Kong Hosiang tersenyum lebar.

"Sayang, waktu tidak banyak untuk menceritakannya, kongcu, biarlah nanti saja pinceng berikan penjelasan. Sekarang kita lihat siapa yang datang itu...!" Hwesio ini memutar tubuhnya dan Ceng Han serta Cui Ang serentak memandang. Tidak ada bayangan apa-apa yang mereka lihat, namun mendadak kemudian dua sosok tubuh muncul di Timur.

Ceng Han dan puteri kakek Cui terkejut, akan tetapi sejenak kemudian gadis itu berseru girang dengan wajah berseri, "Ayah…!" Gadis itu bersorak gembira dan dua bayangan dari Timur ini tiba-tiba sudah berada di depan mereka.

Memang betul dua orang itu adalah Cui Lok dan Panglima Fan, dan kakek Cui yang melihat puterinya selamat ini sudah berseru girang dengan wajah berseri. Dua orang itu berlari lebih cepat, dan mereka sudah berdiri saling behadapan Kakek Cui mengelus jenggotnya sambil tertawa sedangkan Cui Ang menubruk ayahnya dengan sikap manja.

"Ha-ha, kalian selamat, anak-anak? Syukurlah, aku menjadi girang kalau begitu. Apakah locianpwe yang membantu kalian di sini?" Kakek, Cui menoleh kepada Leng Kong Hosiang, akan tetapi Cui Ang sudah nyerocos, mendahului,

"Wahh, hampir saja anakmu celaka, ayah. Dewa Monyet membuat gara-gara dan untung saja locianpwe ini cepat datang. Kalau tidak, mungkin aku sudah menjadi mayat dipukul kakek bermuka buruk itu....!"

"He… Dewa Monyet...?" kakek Cui terkejut. jadi kalian bertemu dengan orang gila itu?"

"Ya, ayah, dia hampir saja membuatku mati pesasaran. Kakek itu sungguh kurang ajar, tidak tahu malu dan berotak miring!" Cui Ang lalu menceritakan kejadian yang baru saja mereka alami dan kakek Cui terbelalak.

Setelah anak gadisnya selesai berceritera dia lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Hm, sungguh orang tidak waras pikirannya dan biarlah kelak ayahmu yang menghajar sakit hatimu Ang-ji. Akan tetapi di samping itu semua bukankah dia telah menolong kalian? Menurut patut, budi ini harus kita balas dengan kebaikan. Namun kalau kau penasaran bolehlah kelak balaskan kemendongkolanmu itu. Akan tetapi sudahlah, Ang-ji, bukankah kalian kini telah selamat tidak kurang suatu apa? Masih ada persoalan penting yang harus kita selesaikan. Eh, losuhu, bagaimana kini saranmu? Dan mengapa kau terlamhat datang di Tikungan?" kakek Cui menoleh kepada hwesio tinggi besar itu dan Leng Kong Hosiang mengerutkan keningnya....


Pendekar Kepala Batu Jilid 14

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 14
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Kepala Batu
"HA-HA… HIEH! Kau membawa oleh-oleh, Siau-ji? Bagus, lohu-pun juga membawa oleh-oleh untukmu. Lihat, gadis cantik ini membutuhkan pertolongan kita. Asal dia mau membayar apa yang kita minta tentu ia selamat! Heh, kau tidak gembira, Siauw-ji?"

Kakek itu tertawa-tawa dan keempat kera-kera menubruk kakek ini seraya memekik-mekik. Kera yang dipanggil Siau-ji bercecowetan, lalu memandang Cui Ang dengan matanya yang kecil merah.

"'Ha-ha, kau setuju dengan gadis itu, Sian- ji?"

Kera itu melompat gembira, "Kerr… ciitt… kerr!" dia melompat-lompat kesenangan dan tiba-tiba dia hendak menubruk Cui Ang.

Tentu saja Cui Aug terkejut, tapi untunglah Dewa Monyet itu sekonyong-konyang mencengkeram bulunya. "Siau-ji, jangan kurang ajar! ia masih belum membuat perjanjian dengan kita. Bagaimana kau hendak memeluknya?" kakek ini membentak bengis dan kera besar itu tempak terkejut.

Monyet ini mengeluarkan cecowetan cecowetan dan Cui Ang yang tidak tahu dengan apa yang dimaksudkan kakek berwajah kera ini melotot ngeri. Dia merasa kaget mendengar monyet besar itu hendak memeluknya, karena itu Cui Ang hampir saja terkesiap. Tapi untunglah, kera berbulu coktat itu dapat dikendalikan oleh tuannya dan gadis itu merasa lega.

Tapi belum dia hilang cemasnya mendadak kakek bermuka buruk itu melompat maju. "Hiehh perawan cilik, apa kau mau kutolong?"

Ucapan ini tentu suja disambut anggukan oleh Cui Ang dan tanpa menduga sesuatu yang jelek gadis itu sudah mengeluh gemetar, "Kauw sian locianpwe, kalau kau mau menolongku tentu saja kusambut dengan girang hati. Kenapa harus berkeberatan? Asal saja kau juga menolong temanku itu…"

"Hem, dia temanmu?" kakek ini tiba-tiba menjadi keruh mukanya.

"Betul, locianpwe."

"Teman biasa?"

Cui Ang melengak. "Biasa bagaimana kau maksudkan, locianpwe?"

Dewa Monyet tiba-tiba membanting kaki. "Siluman cilik, masa kau tidak tahu maksudku? Aku tanya kau, dia teman biasa atau bukan, mengapa balik bertanya? Apa kau betul tidak mengerti atau pura-pura tidak mangerti?"

Cui Ang mendongkol dengan teguran ini. Dia memang bertanya sebenarnya, masa kakek itu harus marah-marah? Kalau tidak ingat dirinya semakin gemetar dan Ceng Han juga harus mendapat pertolongan secepatnya barangkali gadis berwatak keras itu juga sudah balas membentak marah. Tapi Cui Ang masih mengendalikan diri, bertanya dengan muka merah dibakar panas oleh racun yang mulai bekerja di dalam tubuhnya,

"Kauw-sian looanpwe, jelek-jelek aku bukanlah orang yang suka berpura-pura. Kenapa kau tampak gusar? Kalau kau merasa aku berpura-pura lebih baik kau pergi saja, tinggalkan kami di sini menolong diri sebisanya!"

"Hai, kau naik darah?"

"Tidak, tapi, sekedar mengimbangi sikapmu belaka!"

"Ha-ha... hiehh! Dia wanita jempolan, Sian-ji! Uwah, siapa yang berani berkata seperti ini terhadap lohu? Eh, anak manis, kau benar-benar menarik sekali. Tidak tahu, siapakah namamu?" kakek itu berjingkrak girang dan monyet berbulu coklat memekik kagum.

Cui Ang mereda marahnya namun tiba-tibi ia berjengit. Luka di pundak yang sudah diboreh dengan Bubuk Sari Bunga Pek mendadak menusuk pedih. "Ohh..." gadis itu berteriak kecil dan sekonyong-konyong ia memegangi kepalanya.

"Ada apa, anak manis?" Dewa Monyet melompat maju dan tanpa ragu kakek itu meraba dahi Cui Ang. "Hai...!" teriaknya. "Kau kejang, terkena dua macam racun. Wah, obat apa yang kau pakai?"

Cui Ang terkejut mendengar seruan itu namun mendadak gadis ini mengeluh pendek dan menjerit tertahan. Tubuhnya bergoyang, dan perasaan sakit yang luar biasa menyengat pundaknya. Tentu saja gadis itu kaget bukan main, tapi sebelum dia menjawab pertanyaan Dewa Monyet ini sekonyong-konyoug Cui Ang mengaduh dan roboh pingsan!

Dewa Monyet tertegun, dan kakek yang miring otaknya itu jeialatan. Dia tidak biasa mengobati seseorang tanpa imbalan. Tapi sebelum gadis itu ditanya lebih jauh tahu-tahu sudah roboh pingsan. Apa yang hendak dilakukan? Membantu atau meninggalkannya pergi? Kakek itu memutar matanya dan Siauw kera besar berbulu coklat itu mendadak cecowetan dengan mata gelisah. Monyet ini memandang tubuh Cui Ang yang tergolek di atas tanah, dan tiba-tiba melompat maju mencengkeram lengan gadis itu.

"Eh, Siau-ji! Apa yang hendak kau lakukan?" Dewa Monyet berseru kaget. Tapi kera besar ini hanya memekik panjang pendek dan sekonyong-konyong menggigit pundak Cui Ang. Kakek bermuka buruk itu terkejut dan tiba-tiba dia melompat sambil menampar kepala monyet ini.

"Siau-ji, kau gila…!" serunya pendek dan tangan yang melayang itu telah mengenai sasarannya. "Plakk…!" kera besar itu menguik dan tubuhnya terlempar roboh belasan tombak.

Dewa Monyet berdiri marah, dan dia memandang monyet coklat itu dengan mata berapi-api. "Siau-ji!" bentaknya bengis. "Sekali lagi kau berbuat seperti itu tentu lohu tidak akan mengampunimu kembali. Siapa suruh kau lancang hendak menyedot lukanya?"

Kera besar itu berdiri terhuyung. Dia mengeluh seperti orang merintih dan tangan yang menuding-nuding gemetar ke arah Cui Ang itu rupanya hendak memberitahukan bahwa gadis itu perlu segera ditolong. Dewa Monyet yang mengerti bahasa kera ini membanting kakinya.

"Aku tahu!" Dewa Monyet berseru gusar, "Tapi kau tidak boleh sembarangan bertindak. Darahnya mengandung racun, bagaimana kau hendak menghisapnya? Sekali racun memasuki tubuhmu lohu yang bakal kelabakan! Memangnya kau kira lohu mau mengobral obat? Jahanam. Kau jangan bersikap gampangan, Siau-ji,"

Kemarahan kakek itu disambut cecowetan perlahan dari kera ini dan tiba-tiba monyet besar itu menjatuhkan diri berlutut. Dia tampak ketakutan, dan tiga ekor temannya yang lain juga menguik-nguik gentar. Empat ekor kera itu hampir berbaring mendeprokkan kakinya dan Dewa Monyet melompat maju, dan Siau-ji sudah dipeluknya terharu.

"Sian- ji, apakah kau benar suka kepada gadis itu? Bagaimana kalau dia menolak lagi seperti hujin (nyonya) dahulu?"

Kera besar itu bercecowetan lirih dan tiba-tiba dia mengangguk dan menggelengkan kepala dua kali. Siau-ji memandang penuh gairah, dan Dewa Manyet berseri mukanya.

"Hem. kau suka kepadanya dan yakin tidak bakal terulang nasibmu yang sial seperti dulu?" kakek ini bertanya dan kera itu mengangguk dan bercerowetan beberapa kali.

Dewa Monyet terkekeh, dan kakek ini tiba-tiba mencium pipi kera itu. "Heh-heh, baiklah. Mari kita buktikan firasat hatimu ini. Tapi ingat, kalau dia menolak lebih baik kita bunuh saja gadis itu dan biarlah kau membujang seumur hidupmu seperti lohu! Cihh, apa sih enaknya orang kawin?"

Kakek itu membalikkan tubuhnya dan melompat menghainpiri Cui Ang. Siau-ji mengikuti sambil memekik gembira dan Dewa Monyet sudah mengeluarkan sebuah tabungnya yang berwama hijau. Cekatan sekali dia bekerja, karena tahu-tahu merdengar suara 'klik' disusul membukanya tutup tabung. Seekor katak melompat kaget, dan Siau-ji menguik girang.

"Heh-heh jangan lari anak manis. Lohu perlu air liurmu. Kemarilah, julurkan lidahmu itu dan berteriaklah!" Dewa Monyet mengulurkan tangannya dan katak berkulit merah jingga itu menjerit ketika lehernya dipencet jari Dewa Monyet. Binatang itu meronta dan tiba-tiba dia menggigit kakek itu.

Tapi Dewa Monyet terkekeh dan sebelum katak itu bergerak lebih lanjut tahu-tahu tangan kirinya ikut mencengkeram. Katak itu ditekan kepalanya, dan binatang berkaki dua ini mengeluarkan pekik kesakitan. Dan meronta sekuat tenaga, namun jari-jari kakek bermuka buruk itu tak mampu dilawannya. Kepala yang sudah tertekan ini semakin dipencet dan tiba-tiba katak itu menjulurkan lidahnya.

"Ha-ha-ha, bagus… ayo keluarkan liurmu. Lohu perlu untuk mengobati bakal menantuku! Hehh, bagus… ayo lebih banyak lagi… lebih banyak lagi… nah, cukup… cukup! Ha-ha… kerr… lohu bakal punya mantu…!" kakek itu tertawa-tawa dan katak merah yang sudah diambil liurnya ini tiba-tiba dimasukkan kembali kedalam tabungnya.

Cekatan sekali dia bekerja, karena tahu-tahu mendengar suara “klik” disusul membukanya tutup tabung. Seekor katak melompat kaget, dan Siau-ji menguik girang. 'Klik!' katak itu terkunci lagi dan suara kikik kemarahan terdengar dari dalam tabung. Tapi Dewa Monyet hanya ganda tertawa saja dan tabung yang bergerak-gerak itu ditepuknya penuh sayang. "Ha-ha, tenanglah anak manis… tenanglah, lohu tidak menyakitimu lagi!"

Kakek itu terkekeh gembira dan tiba-tiba ia mengangkat Cui Ang. Mulut yang tertutup rapat itu dibukanya, lalu liur katak merah yang ada di mangkok kecil dituangkan. Tidak lebih dari lima belas tetas, namun hasilnya sungguh mengherankan. Cui Ang tiba-tiba tersendak dan gadis itu tiba-tiba melompat bangun! sungguh mencengangkan!

"Haii…!" Cui ang berseru kaget karena melihat Dewa Monyet berdiri di situ. Tapi begitu ia sadar tentang apa yang telah terjadi, gadis inipun tahu-tahu berteriak kegirangan. Tubuh yang rasanya panas terbakar sekonyong-konyong lenyap. Dan kepala yang tadi berpusing tujuh keliling pun hilang. Cui Ang menjadi gembira bukan main dan gadis itu cepat menjatuhkan diri berlutut di depan si Dewa Monyet.

"Kauw Sian locianpwe, banyak terima kasih atas pertolongan dan budimu yang besar ini. akan tetapi mengapa hanya aku saja yang sembuh? Apakah dia belum kau obati?" Gadis itu bertanya keheranan dan ia memandang Ceng Han yang masih pingsan.

Dewa Monyet terkekeh dan kakek itu melangkah maju. "Nona cilik, hanya karena kenekatan Siau-ji inilah aku terpaksa membantumu. Dia tadi hendak menyedot lukamu. Uwahh, anak ini… sungguh membuat aku geregetan! Kalau tidak ingat dia, mana lohu mau membuang obat? Uhh, sekarang apa imbalanmu terhadap jerih payah lohu?"

Cui Ang tertegun. "Locianpwe, jadi kau menolong karena berpamrih?"

"Uwehh, tentu saja! Mana di dunia ini ada orang membantu cuma-cuma? He-he, anak tolol, jangan kau bengong saja. Lohu punya satu permintaan. Kalau kau orang yang kenal budi, tentu kau siap memenuhinya. Nah bagaimana? Apa kau mau membayar imbalan?"

Gadis itu terbelalak. Dia memang sudah mendengar tentang keanehan watak orang seperti Dewa Monyet ini. Akan tetapi diapun juga mendengar dari sifat jantan dari kakek itu yang tidak suka mengganggu wanita. Karena itu, mengandalkan kelemahan ini, gadis itupun menekan guncangan hatinya. Orang seperti Dewa Monyet itu bisa minta apa saja yang aneh-aneh, bahkan diluar akal sekalipun! Karena itu iapun menjawab hati-hati.

"Kauw Sian locianpwe, karena disengaja ataupun tidak kau telah menolong jiwaku maka sudah sepantasnya apabila aku mengimbangi kebaikanmu ini dengan satu imbalan. Akan tetapi loocianpwe, kalau kau mempunyai satu permintaan sebaliknya akupun juga mempunyai satu permohonan. Bagaimana kalau kita saling tukar?"

Kakek itu memutar matanya. "Uuehh, mengapa harus begitu?" tanyanya penuh selidik.

Tapi Cui Ang hanya tersenyum saja. "Hal ini menjadi rahasiaku, lociaapwe. Seperti juga locianpwe merahasiakan permintaan locianpwe kepadaku. Nah, bagaimana, locianpwe setuju atau tidak?"

Dewa Monyet menggaruk-garuk kepalanya. Dia memang bukan orang yang tergolong cerdas, maka dia tidak dapat menangkap apa yang kira-kira akan diminta oleh Cui Ang. Akan tetapi ketika Cui Ang memandang kepada Ceng Han. Dewa Monyet melihat hal ini segeralah kakek itu mengira permintaan Cui Ang ada hubunganya dengan pemuda itu. Seketika alisnya berkerut, dan muka kakek ini menjadi gelap,

"Gadis cilik, siapakah pemuda itu?"

Cui Ang membalikkan tubuhnya. "Putera Beng-san paicu, locianpwe...!"

"Hahh? Putera Ciok-thouw Taihiap…?"

"Benar!"

Dia mengeluarkan pekik kaget dan Cui Ang melihat kakek itu menjadi pucat, memandang kera besar di sampingnya dan berseru, "Wah, celaka, Siau-ji…! Apakah nasibmu lagi sial?"

Gadis ini tidak mengerti apa yang dimaksud tapi tiba-tiba Dewa Monyet memutar tubuhnya, "Eh, gadis cilik, apakah pemuda itu kekasihmu?"

Cui Ang tersentak kaget. Pertanyaan yang tidak disangka ini membuat mukanya merah akan tetapi dia meggelengkan kepalanya. "Tidak.., bukan, locianpwe. Ada apakah?"

Tapi mendadak Dewa Monyet tertawa terbahak. "Ha-ha, bagus... syukur kalau begitu… untung! Hiehh, Siau-ji, kau masih memiliki bintang terang... ha.ha-ha! Bagus, kita masih beruntung... kita masih beruntung... hiehh... kerr! Dewa Monyet menari-nari sambil berjingkrak dan empat ekor kera di belakangnya juga berteriak-teriak ramai mengikuti sikap kakek bermuka buruk.

Cui Ang tertegun, karena dia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada saat itu. Dan hampir dia merasa geli, akan tetapi juga ngeri ketika tiba-tiba kera besar berbulu coklat yang berjingkrak-jingkrak bersama kakek itu mendadak menempelkan jarinya di mulut lalu melemparkannya sebagai "salam" aneh kepada dirinya. Cui Ang benar-beaar terbelalak, tapi Dewa Monyet sekonyong-konyong menghentikan tariannya.

"Gadis cilik, kalau begitu dia bukan apa-apamu, bukan?"

Cui Ang mengangguk.

"Jadi, dia hanya teman biasamu, bukan?"

Cui Ang kembali mengangguk.

"Ha-ha. bagus... kalau begitu bagus! Dan kau ingin aku menyembuhkan sakitnya, bukan?"

"Kalau lociaopwe tidak keberatan," Cui Ang mulai menjawab was-was karena hatinya tiba-tiba menjadi kurang enak.

"Aha, tentu saja. Tapi kau barus membayar dobel kalau begitu! Eh, Siau-ji, bukankah gadis ini harus membayar dua kali? Pertama tentang kesembuhannya sendiri dan yang kedua tentang kesembuhan pemuda itu. Ha-ha... hiehh... kerr kita bisa menjadi sahabat kalau begitu!" kakek ini tiba-tiba malompat maju dan bertanya kepada Cui Ang,

"Anak manis, kau belum punya pacar, bukan?"

Cui Aug terkejut. "Locianpwe, pertanyaa apa ini? Kalau kau mau kurang ajar jangan harap aku akan menghormatimu lagi."

Bentakan ini disambut mata melotot oleh kakek itu, tapi Dewa Monyet tiba-tiba terkekeh. "Waduhh, galak amat..! Orang tua bertanya sungguh-sungguh kenapa mesti dipelototi? Eh, anak manis, lohu tidak main-main, juga lohu tidak bermaksud kurang ajar. Siapa yang mau kurang ajar kepadamu? Jawablah sewajarnya saja, apakah kau sudah punya pacar?"

Cui Ang hampir memaki marah namun demi dilihatnya kesungguhan sikap kakek itu yang tidak bermaksud kurang ajar gadis ini malah tertegun. Ada keheranan mendengar pertanyaan itu. Akan tetapi juga ada kecurigaan. Maka akhirnya ia menjawab sebenamya, "Belum, locianpwe Kenapakah.....?"

Dewa Monyet tiba-tiba terbabak. "Ha-ha bagus… kita berjodoh! Eh, anak manis, kalau begitu, tidak keberatan bila lohu melamarmu, bukan?"

Cui Aug mendelik, dan Dewa Monyet tiba-tiba terkejut, "Eh-eh nanti dulu…!" kakek itu melanjutkan gugup. "Bukan lohu yang ingin kawim tapi putera lohu. Aku sudah tua, mana ada gairah terbadap gadis-gadis muda? Tidak lohu melamar untuk putera lohu! Nah, kau setuju bukan?"

Kakek itu memandang gugup dan Cui Ang tertegun. Dia hampir memaki kakek ini, tapi berhenti setelah mendengar kelanjutannya. Tidak tahu lagi Cui Ang, perasaan macam apa yang melanda dirinya pada saat itu. Ia dilamar Dewa Monyet? Dilamar untuk dikawinkan dengan putera kakek bermuka buruk ini. Wah, kalau bapaknya saja seperti itu lalu bagaimana rupa anaknya?

Tak terasa Cui Ang hampir saja tertawa geli. Perasaan menggelitik yang mengusik hatinya, akan tetapi melihat mimik Dewa Monyet yang demikian penuh harap dan tatnpak gugup gadis ini menjadi tidak tega, Jelek-jelek kakek itu sudah menyembuhkannya, masa ia hendak menyakiti hatinya? Tapi kalau barus disuruh berjodoh dengan putra kakek ini, wahh… itu sih namanya kelewatan! Maka gadis ini lalu menahan kemendongkolannya dan memandang kakek itu.

"Kauw sian locianpwe, kau disini hendak memaksaku atau bagaimana?"

"Eh, tidak… lohu hanya minta imbalan berupailamaran ini!"

"Hm, kalau begitu sih mending, locianpwe. Karena kalau kau memaksaku jelas akan kutentang. Tapi, locianpwe, seingatku kau tidak punya isteri. Bagaimana bisa punya anak?"

Dewa Monyet tiba-tiba terkekeh. Sikap Cui Ang yang ramah ini dianggapnya ada harapan. Karena itu dia lalu menuding Siau-ji dan berkata dengan muka gembira, "Wehh, nona manis, orang tidak kawin mengapa mesti tidak punya anak. Lohu betul tidak menikah, tapi lohu punya anak angkat. Nah, inilah dia, Sian-ji putera lohu yang gagah dan tampan itu! Hah-hah… kerr… bukankah dia cocok bagimu nona?"

Cui Ang terkejut seperti disambar petir mendengar jawaban itu dan gadis ini berseru tertahan. Dia melihat Dewa Monyet sudah berjingkrak-jingkrak bersama keranya dan Siau-Ji tampak mengedip-ngedipkan mata kearahnya sambil menyeringai kegirangan! Seketika Cui Ang mengepal tinju dan mulutnya ditutup rapat-rapat. Ya ampun, ia hendak dijodohkan dengan seekor monyet? Gila! Kakek itu sungguh gila, otaknya tidak waras!

Cui Ang berteriak mengejutkan dua mahluk yang sedang menari-nari kegirangan itu dan Dewa Moyet tampak mencelos kaget. "Kauw Sian locianpwe, apakah kau tidak tahu malu menghinaku seperti ini?"

Dewa Monyet terbelalak bengong. "Lhoh, apanya yang tidak tahu malu, nona manis? Lohu melamarmu, siapa menghina?"

Cui Ang membanting kaki. "Tapi lamaranmu yang tidak masuk akal ini, siapa sudi berjodoh dengan seekor monyet?"

"Hehh, kau merendahkan monyet, nona! Kau tidak tahu betapa ribuan tahun yang lalu kakek moyangmu juga seekor monyet? Kerr, hati-hati kau bicara, perawan cilik, lohu bisa tidak terima!" kakek itu mulai meradang dan Siau-ji mengeluarkan pekik kecewa. Agaknya monyet itu mengerti pembicaraan, karena dia memandang Cui Ang sambil memperlihatkan taringnya.

Tapi Cui Ang tidak perduli dan gadis ini sudah menghadapi Dewa Monyet. Dia juga naik darah karena merasa terhina. Namun teringat bahwa kakek itu memang bukan orang waras, Cui Ang pun berusaha mengendalikan diri. "Kauw Sian locianpwe!" gadis itu berkata dengan mata berapi. "Kalau kau tidak menjilat kata-katamu sendiri, aku masih menaruh hormat kepadamu. Tapi kalau kau orang yang tidak punya malu, tentu saja aku akan menentangmu. Tadi kau bicara tidak memaksa, nah mengapa kau marah?"

Cui Ang bertolak pinggang, dan kakek itu tertegun. "Eh, apa tadi aku bicara begitu…?" kakek ini bertanya pikun.

"Tentu saja!" Cui Ang sedikit reda. "Mana aku membohongimu? Kau termasuk golongan tua locianpwe, karena itu kuharap kau dapat menjaga omonganmu!"

"Wehh, kalau begitu kucabut saja…!" kakek itu tiba-tiba berkata seenaknya. "Dan kau harus mau, nona. Aku sudah tidak mau gagal untuk mendapatkan menantu!"

"Gila…!" Cui ang terkejut. "Kau mau menjilat ludahmu sendiri Dewa Monyet?"

"Heh-heh, menjilat ludah atau tidak adalah urusanku, anak manis. Yang jelas Siau-ji harus mendapatkan jodohnya sekarang juga. Lihat dia hampir menangis, masa kau tidak kasihan?" kakek itu menjadi semakin sinting.

Cui Ang tak mampu membuka mulutnya lagi dan pada saat itu Ceng Han tiba-tiba mengeluh. Gadis ini terkesiap dan sekonyong-konyong ia memperoleh pikiran bagus. Bentrok dangan Dewa monyet belum tentu dia menang, kenapa tidak balas mengakali kakek itu? Orang bicara seenak perutnya sendiri, dan dia juga harus bersikap sama. Karena itu Cui Ang tiba-tiba memutar tubuhnya.

"Kauw-sian locianpwe, kalau kau mau menolong pemuda itu biarlah aku ikut denganmu, tanpa paksaan. Tapi kalau kau menolak biar sampai matipun aku juga tidak akan sudi! Nah, bagaimana?"

Dewa monyet membelalakkan mataaya yang sipit. "Kau berkata sungguh-sunguh?"

"Apakah kau kira aku main-main?"

"Baiklah..!" Dawa Monyet berseru girang. "Lohu akan menyembuhkannya. Tapi awas, perawan cilik, sekali kau menipu, lohu tidak akan memberikan ampun!"

"Eh, kau takut?" Cui Ang mengejek.

"Tidak, tapi lohu tidak suka mendapatkan menantu yang kurang ajar!"

Cui Ang merah mukanya namun kakek itu udah melompat mendekati Ceng Han. Dia meraba tubuh pemuda ini dan tiba-tiba memandag borehan luka di bawah lutut. "Eh, bubuk apa yang kau berikan dikakinya ini?"

Kakek itu bertanya kepada Cui Ang, dan gadis itu tercekat, "Obat penawar luka, Kauw-sian. Kenapakah?"

Tiba-tiba kakek itu terkekeh. "Heh-heh… anak tolol berlagak pintar kau ini, perawan cilik! Itu bukan obat melainkan bubuk perangsang racun, bagaimana kau bilang penawar luka? Wah, racun-racunnya semakin ganas dan tubuhnya seperti dibakar…!"

Cui ang terkejut dan gadis ini melompat kaget. "Apa locianpwe? Kau bilang bubuk perangsang racun? Gila kau, ini adalah bubuk Sari Bunga Pek dari ayahku sendiri, masa dibilang perangsang racun?" Gadis ini menjadi penasaran dan dia mencabut bungkusan obat itu.

Tapi baru diangkat, tahu-tahu disambar oleh Dewa Monyet. Kakek ini memeriksa, mengendus-endus baunya dan mendadak tertawa geli. "Uwah, ini tepung kerang laut, binatang beracun yang biasanya hidup sama lintah hijau. Siapa bilang obat? Uhh sembrono sekali kau perawan cilik! Ataukah kau ditipu orang?"

Gadis ini menjadi bengong dan Dewa Monyet tiba-tiba melanjutkan lagi. "Lihat, kalau Sari Bunga Pek seharusnya berwarna putih bersih, sedangkan bubuk ini agak kekuningan. Diborehkan luka tentu saja menyengat pedih dan korban langsung pingsan, apa kau tidak melihat kejanggalan?"

Cui Ang benar-benar tertegun sekarang. Keterangan itu membuat ia teringat akan keadaan Ceng Han, karena tepat ketika ia menaburkan bubuk itu kepada luka di bawah lututnya, tiba-tiba pemuda itu menjerit dan roboh pingsan. Ah, benar kalau begitu! Tetapi… Cui Ang terbelalak, bagaimana obatnya bisa berubah? Dan warna bubuk itu… sungguh mati, tidak putih bersih melainkan sedikir kuning muda!

"Ah…!" gadis itu berseru perlahan dan sekonyong-konyong teringatlah dia akan peristiwa kecil di kota Bun Ki. Seorang laki-laki bermuka jenaka bertemu dengannya di tengah jalan. Waktu itu ia hendak berbelanja keperluan dapur dan laki-laki berkumis kecil ini menubruknya. Kelihatannya tidak sengaja, karena laki-laki itu sudah cepat minta maaf kepadanya dan dia melotot gusar, tapi lali-laki yang ketakutan itu sudah pergi dengan mulut menggigil. Hanya sekejap mereka saling sentuh, tapi obatnya ternyata sudah berganti rupa!

Kini Cui Ang terbelalak. Sadarlah dia bahwa itu tentulah seorang tukang copet. Dan di dunia ini, siapa lagi tukang copet yang mahir memindahkan barang orang ke dalam kantongnya selain Jing-ci-touw Kam Sin? Ia memang belum pernah bertemu dengan orang itu, sekali jumpa ternyata meninggalkan sebuah "tanda mata" yang membuat dia naik pitam.

"Jahanam, copet busuk itu Cui Ang tiba-tiba berteriak. "Ya, pasti dialah orangnya. Siapa lagi? Jing-ci-touw Kam Sin, awas kau jika kita bertemu lagi. Aku pasti akan menebas jari-jarimu yang kurang ajar itu, siluman...!" Gadis itu mengepal tinju.

Dan Dewa Monyet yang mendengar makian ini tiba-tiba terkekeh "Hei, kiranya kau bersua dengan copet seribu jari itu, nona? Wah, jangan melotot, lohu pasti akan membantumu menangkap setan itu. Dia memang jahat, barang pusaka lohupun juga diserobotnya. Sudahlah, jangan pikirkan dia lagi dan bubuk ini lebih baik kita buang saja…!" baru habis kata-kata itu diucapkan sekonyong-konyong tangan kakek ini bergerak. Bungkusan "obat" dilempar dan sekejap kemudian jatuh ke dalam sungai!

Cui Ang tidak sempat mencegah dan gadis itu juga tidak tahu untuk apa kalau dia mencegah. Dewa Monyet sudah tertawa-tawa, dan kakek yang berotak miring itu mengeluarkan tabung hijaunya. Itulah tempat si katak merah, dan Cui Ang yan tidak tahu apa isi tabung itu sudah memandang penuh perhatian. Seperti tadi, kakek inipun memencet alat rahasianya. Suara "klik" terdengar dan disusul lompatan seekor katak yang mengagetkan Cui Ang membuat kakek itu tertawa geli. Dewa Monyet tidak membuang tempo, tangannya sagera terulur dan tahu-tahu Ang-swike itu sudah ditangkapnya.

"Heh-heh, anak manis, kau jangan kemana-mana, ya? Lohu terpaksa sekali lagi membutuhkan liurmu. Tenanglah, setelah itu kau boleh beristrahat sepuasmu. Nah, berteriaklah…!"

Kakek itu memencet kepala katak dan swike ini tiba-tiba menjerit. Dia kembali hendak menggigit namun Dewa Monyet lebih sigap. Tangan kirinya membantutu dan tahu-tahu kepala katak merah itu sudah ditekannya. Binatang ini berteriak, tapi Dewa Monyet malah terkekeh. Dia terus menekan katak inu tergencet dan ketika mulut binatang itu terbuka dalam jerit kemarahannya keluarlah liur katak merah itu. Dewa Monyet terkekeh gembira, dan liur binatang langka ini ditampungnya dalam sebuah mangkok kecil seperti tadi. Kemudian, setelah dirasa cukup tahu-tahu katak itu dilempar kembali ke dalam tabung.

"Klik!" tabung kembali tertutup dan katak merah memekik dalam tempurungnya. Namun Dewa Monyet terbahak tidak perduli dan Cui Ang yang memandang semua itu terbelalak jijik.

"Heh-heh, cukup, anak manis.... cukup! Lohu tidak akan memaksamu lagi. Dua jiwa sudah kau tolong masa lohu tidak menaruh kasihan. Uwehh... lohu bukan pembunuh kejam...!" kakek itu tertawa dan mangkok berisi liur katak merah didekatkan ke kepala Ceng Han. Kemudian setelah semuanya siap kakek ini lalu membuka mulut pemuda itu. Obat di dalam mangkok mengalir cepat, dan tidak sampai lima detik saja liur katak merah itupun tertuang ke dalam mulut Ceng Han.

Cui Ang hampir muntah, dan perutnya terasa mual. Gadis ini terbelalak, karena apa yang disaksikan tentu tidak jauh bedanya terhadap dia sendiri yang diobati oleh Dewa Monyet dalam keadaan pingsan. Jadi beginikah kira-kira dicekoki oleh kakek ini? menelan lendir seekor katak? "Hueekk...!" tiba-tiba Cui Ang benar-benar muntah dan Dewa Monyet terkejut.

"Eh, ada apa, perawan cilik?"

Tapi Cui Ang tidak sanggup menjawab, sudah keburu muntah-muntah tidak karuan dan diam-diam gadis ini jijik disertai mual. Cui Ang terbungkuk-bungkuk tubuhnya dan kalau saja liur itu bukan obat mujarab yang hebat khasiatnya, tentu dia sudah mengumpat caci kakek ini. Dan Siau-ji tiba-tiba bercecowetan aneh. Kera ini melompat maju dan tengkuk Cui Ang tahu-tahu sudah diurut-urutnya!

Semula Cui Ang tidak sadar. Akan tetapi setelah mualnya berbenti dan dia tahu siapa yang mengurut-urut tengkuknya itu kontan gadis itu membentak marah. Lengan Siau-ji dikibas, dan binatang itu terpental kaget dengan pekik herannya.

Dewa Monyet melompat bangun, dan kakek ini mendelik ke arah Cui Ang. "Eh kau kenapa memukulnya, perawan cilik? Siau-ji sayang kepadamu, mengapa harus dipukul? Kau tidak tahu diri…!"

Namun Cui Ang balas menghardik, "Aku tidak butuh disayang! Salah siapa dia harus lancang segala?"

"Hei, kau berani terhadap calon mertuamu?" kakek itu terkejut.

"Siapa calon mertuaku?"

"Lohu…!"

"Cih, tidak malu kau bilang begitu, Kauw Sian?"

"Eh, tapi kau tadi sudah janji terhadap lohu. Apa kau mengingkari omongan sendiri?" Dewa Monyet Membentak.

Dan Cui Ang kini bertolak pinggang. "Dewa Monyet, aku tidak berjanji menjadi mantumu. Aku hanya bilang suka ikut tanpa paksaan! Nah, kenapa kau tidak mengunyah dahulu arti kata-kataku? Kalau kau bersikap sebaliknya tentu akupun tidak sudi!"

"Wehh…? Jadi masih ada embel-embel barangkali, siluman cilik?"

"Betul, karena kaupun masih berhutang kepadaku suatu hal!"

"Berhutang?"

"Ya…!"

"Jagat Dewa Batara! Aku berhutang apa kepadamu, setan cilik?" kakek itu memekik. "Bukankah kau yang berhutang kepada lohu? Bukan lohu yang berhutang kepadamu? Eh, perawan cilik, jangan main-main engkau! Sekali naik darah, tentu kepalamu itu kubeset mampus. Kerr… coba bilang lohu punya hutang apa?"

Dewa Monyet mencak-mencak dan Cui Ang membusungkan dadanya. "Dewa Monyet!" gadis ini berkata sungguh-sungguh. "Bagaimanakah pembicaraan kita semula? Bukankah engkau hendak minta imbalan atas budi pertolonganmu ini?"

"Betul!" kakek itu memotong cepat. "Dan dua macam imbalan, setan kecil. Satu bagian bayar kesembuhanmu dan yang satunya lagi. Sebagai pembayar kesembuhan temanmu!"

"Bagus, itu adalah tuntutan dari pihakmu, Raja Monyet. Tapi engkau lupa bahwa akupun mengajukan sebuah tuntutan! Dua permintaanmu dibanding satu. Permintaanku ini sebenarnya sudah berat sebelah, karena dua dibanding satu. Akan tetapi tidak apalah, permintaanmu yang lama sudah kudengar, yakni imbalan tentang imbalan yang tidak tahu malu itu. Lalu apakah permintaanmu yang kedua sebagai pembayar budi pertolongan ini sebelum aku sendiri mengajukan permintaanku yang satu?"

Dewa monyet terbelalak. "Wehh, aku hanya berkata kalau kau menolak yang pertama maka kau harus menjadi budak Siau-ji selama lima tahun!"

"Hem, hanya itu?" Cui Ang berjebi.

"Ya, hanya itu!" kakek ini melotot.

"Baiklah, kalau begitu, sekarang dengar tuntutanku!" Cui Ang memandang kakek dengan senyum mengejek. "Kauw-sian locianpwe, karena kau sudah mengajukan dua tuntutan maka tidak adil kalau kau juga tidak mendengar tuntutanku. Nah, permintaanku hanya satu saja padamu yaitu: Jangan lakukan hal-hal yang tidak sasuai dengan hatiku! Nah, jelas sudah?"

Dewa Monyet terkejut. "Eh, tuntutan macam apa itu?"

"Hm, tentu saja macam biasa. Apa aneh?"

Kakek itu berjingkrak. "Tapi... tapi ini tidak adil, setan cilik. Kau mau menang sendiri saja! Dewa Monyet memekik gusar dan Cui Ang mengejek.

"Jangan memutarbalikkan fakta, locianpwe! Kaulah yang hendak menang sendiri. Kau sudah mengajukan usul, dan aku sudah mengimnbangi! Kita bisa pertandingkan usul-usul ini dan yang kalah harus menyerah!"

"Wah, kalau begitu bagaimana dengan permintaan lohu tadi?"

"Sayang sekali tidak sesuai dengan hattiku!" Cui Ang menjawab.

Baru dia selesai mengucapkan kata-katanya Dewa Monyet tiba-tiba menggereng dan mencelat maju melancarkan pukulannya, "Kau menipu lohu, siluman...!" kakek itu berteriak dan angin pukulannya yang dahsyat menampar dada Cui Ang.

Tapi Cui Ang sudah bersiap. Begitu lawannya menerjang gadis itu tahu-tahu merendahkan tubuh balas menyerang. Pukulan Dewa Monyet dielakkan, sementara tangan kirinya meluncur menyodok ulu hati kakek itu.

"Dukk...!"

Dewa Monyet tidak mengelak dan Cui Ang itu terkejut. Tangannya tepat mengenai ulu hati lawan namun kakek itu seakan tidak merasakan apa-apa. Lambungnya kenyal, dan pukulan Cui Ang mental! Tentu saja gadis ini terkesiap dan kemudian la melompat mundur sekonyong-konyong. Kakek itu terkekeh dan mencengkeram rambutnya!

"Haihh....!" Cui Ang membentak kaget dan secepat kilat kakinya menendang ke atas. Ia sudah tidak keburu untuk merendahkan tubuh lagi, karena tangan Dewa Monyet terlalu cepat datangnya. Karena itu dengan gerakan Satu Kaki Tudingkan Langit, Cui Ang menyambut cengkeraman lawan.

"Dess....!" Tendangannya berhasil dan lengan kakek itu terpental. Dewa Monyet mengeluarkan seruan kaget dan kakek ini menggoyang pantatnya. "Uwah…kau berisi juga, siluman cilik. Pantas berani melawan lohu! Awas…! kakek itu memekik seperti kera dan tiba-tiba dia menubruk kembali. Gerakannya kali ini sebat luar hiasa, dan Cui Ang diserang seperti itu berteriak tertahan.

Dewa Monyet melancarkan jurus aneh karena tangan kiri mencengkram pundak sedangkan tangan kanan tiba-tiba menepuk tangan kirinya itu. Tentu saja hal ini membuat tangan terpukul, dan sasaran yang diarah menjadi melenceng arahnya. Namun Cui Ang yang sekejap mata heran dan tercengang ini hampir saja memekik kaget. Tangan kiri yang ditepuk tangan kanan itu mendadak bergulir ke samping, lalu tiba-tiba berputar ke atas mencangkar mukanya. Dan tangan kanannya yang menepuk tangan kiri itu melejit dan tahu-tahu mencengkeram pundak.

"Aih…!" gadis ini melompat ke kanan, namun ia kalah cepat. Mukanya memang luput dari cakaran, akan tetapi tangan kanan yang mencengkram pundaknya itu kurang cepat dia elakkan.

"Brett...!" baju dari puteri kakek Cui itu dicengkeram jari si Dewa Monyet dan gadis ini melengking kaget. Cui Ang marah bukan main kepada Dewa Monyet. Dia juga jengah. Kulit pundaknya tergores kuku lawan dan Dewa Monyet yang terkekeh melihat gadis itu tersipu-sipu melemparkan sobekan kainnya kepada Siau-ji.

"Siau-ji, terimalah kenangan gadis ini. lumayan untuk dicium-cium…!" kakek itu berteriak dan kera besar yang sejak tadi bercowetan gelisah ini mengangguk girang sambil menangkap sobekan kain baju Cui Ang. Betul seperti ucapan tuannya, monyet berbulu cokelat itu lalu mencium-cium sobekan kain baju Cui Ang yang berbau harum.

"Keparat…!" Cui Ang tak tahan mengendalikan diri lagi dan tiba-tiba gadis itu menerjang Dewa Monyet. Kaki kanannya mendupak kaki lawan, sementara tangannya bekerja bergantian. Yang kiri menusuk leher, dengan jurus Luruskan Tombak mencongkel Urat, sedangkan yang kanan menampar pelipis dengan pukulan penuh. Inilah serangan yang berdasarkan rasa nekat, dan Cui Ang yang merasa dihina oleh kakek berotak miring itu menjadi mata gelap.

Tapi Dewa Monyet menyambutnya dengan terkekeh gembira. Dia tahu bahwa tingkatnya masih lebih tinggi daripada gadis itu, maka mendapat serangan inipun dia enak-enak saja. Paha yang ditendang malah dipasang kuat-kuat, dan dua serangan lain yang mengarah bagian depan tubuhnya dipapak dengan uluran tangan kanan. Kelima jari mencengkeram tusukan tangan kiri Cui Ang sedangkan tamparan ke pelipis kepalanya itu disambut dengan tekukan siku kanan.

"Plak-duk-duk!"

Cui Ang mengeluh menahan nyeri. Kaki yang menendang serasa bertemu tonggak baja, sedangkan tangkisan tangan kanan kakek itu membuat kedua lengannya seperti patah. Gadis ini berputar dan Dewa Monyet tiba-tiba menyambar pinggangnya .

"Heh-heh, tertangkap sekarang kau, siluman cilik. Lohu akan menawanmu sampai jinak..." kakek ita berseru girang dan tangan kirinya sudah diulur itu menotok cepat ke jalan darah Pi-keng-hiat. Sekali kena, tentu Cui Ang akan lumpuh.

Tapi tiba-tiba terjadilah suatu hal yang mengejutkan kakek ini. Sebuah bayangan berkelebat, dan tangan Dewa Monyet yang hendak mencengkeram pinggang gadis itu tahu-tahu bertemu dengan sebatang lengan yang seperti kayu disusul bentakan perlahan seorang pemuda. "Kau tidak tahu diri, jangan bersikap kurang ajar terhadap wanita muda....dukk!"

Dewa Monyet terpekik kaget dan Ceng Han sudah berdiri di depannya dengan alis dikerutkan. Kiranya, pemuda ini sudah siuman dari pingsannya dan melihat muka yang merah sehat itu pemuda ini sembuh!

"Kau...?" kakek itu melotot tapi Ceng yang tidak tahu oleh siapa dia disembuhkan sudah bertolak pinggang.

"Hmm, Kiauw-sian locianpwe... bukankah kau ini adalah Kauw-sian locianpwe dari Bu-Ang-bhok-san? Mengapa mengganggu seorang gadis tanpa sebab?" pemuda itu bertanya dengan muka tidak senang dan kakek ini berjingkrak marah.

"Kerr... kau sungguh pemuda yang tak kenal budi, putera Beng-san-paicu! Apakah memang itu didikan ayahmu terbadap seorang penolong?"

Ceng Han terkejat. "Apa maksudmu....?"

Dewa Monyet tiba-tiba memutar tubuh, Ia menuding Cui Ang yang berkeringat dingin dan dengan suara gusar kakek ini berseru. "Anak muda, kau tanyalah kepada gadis itu siapakah yang telah menyembuhkan dari luka keracunan itu? Dan siapa pula yang telah membebaskan kalian dari bahaya maut?"

Ceng Han terbelalak tidak mengerti. "Eh nona Cui, apa maksud ucapannya ini? Bakankah kau yang telah menolongku?" pemuda ini bertanya heran tapi Cui Ang tiba-tiba menggelengkan kepalanya.

Gadis itu melangkah maju, lalu dengan mata berapi dia berkata, "Tidak, Souw-kongcu, memang bukan aku yang telah menolongmu dari bahaya keracunan itu melainkan kakek inilah! Akan tetapi dia juga tidak beritikad baik, karena dibalik maksudnya yang tampak luhur ini dia menyembunyikan suatu pikiran yang tidak tahu malu…!"

Ceng han semakin membelalakkan mata dan tiba-tiba pemuda ini memandang kakek itu dengan sorot mata tajam. Keterangan Cui Ang tentang pikiran buruk yang tak tahu malu ditangkapnya sebagai sikap Dewa Monyet yang hendak berkurang-ajar kepada Cui ang. Karena itu dia menjadi marah. Akan tetapi karena kakek ini pula yang telah menyembuhkan dari bahaya keracunan maka diapun tertegun.

Tidak disangkanya Dewa Monyet yang sudah setengah umur itu masih tergila-gila kepada wajah cantik. Dan gadis yang diganggu oleh kakek bermuka buruk ini siapa yang tidak marah? Dia sendiri yang melihat perbuatan itu juga merasa tidak senang, meskipun Dewa Monyet telah menolongnya dari bahaya keracunan. Karena itu Ceng Han lalu mengerutkan alis dan dengan sungguh-sungguh dia berkata,

"Kauw-sian locianpwe, sungguh tidak kuduga bahwa orang setua engkau ternyata masih suka mengganggu gadis muda. Lalu dimanakah mukamu hendak ditaruh? Dunia masih banyak gadis-gadis cantik, kalau mereka mau tentu dapat kau peristeri. Tetapi jangan main paksa. Meskipun kau adalah orang yang telah menolongku, namun kalau kau hendak mengganggu seorang wanita tentu aku tidak dapat tinggal diam. Lainnya kalau orang yang kau ganggu tidak marah-marah. Tapi nona Cui ini, ia tidak suka padamu, mengapa main paksa…?"

Dewa Monyet mendelik mendengar teguran ini, namun tiba-tiba dia tertawa terbahak. "Uweehh…kerr! Siapa mau kawin dengan wanita muda, bocah ingusan? Eh, sembarangan saja kau bicara. Mentang-mentang putera Beng-san paicu ya? Setan, enak saja kau menuduh lohu memaksa gadis siluman itu menjadi isteriku? Wah, kau salah bicara…!" kakek itu berjingkrak dan Ceng Han terkejut.

"Eh, tapi bukankah yang bersangkutan sendiri sudah menyatakan seperti itu? locianpwe mempunyai pikiran buruk dan tidak tahu malu-malu bagi seorang laki-laki yang berpikiran buruk terhadap seorang wanita lalu apa lagi namanya kalau bukan niat untuk… untuk main paksa? Ceng Han membantah dan pemuda itu melirik Cui Ang.

Gadis yang dilirik ternyata juga tersipu, namun belum Cui Ang memberi penjelasan, tiba-tiba Dewa Monyet sudah keburu menjawab dengan sikap berang, "Anak muda, kau menduga terlalu jelek. Apa kau kira lohu tua bangka yang mata keranjang? Ketahuilah putera Beng-san paicu, lohu sama sekali tidak bermaksud kurang ajar pada gadis itu, melainkan hanya sekedar menagih janjinya terhadap putera lohu. Temanmu, siluman betina itu sudah berjanji untuk memberi imbalan yang lohu berikan kepada kalian berdua yang sudah lohu sembuhkan dari luka-luka berat, tapi dia ternyata bersikap licik dalam hal ini. lohu ditipunya mentah-mentah! Nah, bagaimana lohu tidak boleh menghajarnya?"

"Eh, kau ditipu, locianpwe?" Ceng Han tercengang.

"Ya, dan lohu hendak menghukumnya!"

"Wah…! Ceng Han terbelalak kaget, ia memandang Cui Ang dan bertanya, "Nona Cui, tipuan apa yang kau lakukan terhadap kakek ini?"

Cui ang mengepal tinju. Gadis ini merah mukanya karena jengah akan tetapi sekaligus marah dan mendongkol. Dia agak tersipu untuk menerangkan jalannya kejadian. Akan tetapi demi untuk membersihkan diri apa boleh buat…, dia harus menjelaskan duduk persoalan. Maka dia memandang Dewa Monyet dengan pipi seperti terbakar, dan dengan suara nyaring dia berkata,

"Hauw-kongcu, kakek itu memang orang gila, apa mau menuruti kata-katanya? Dia hendak menjodohkan aku dengan puteranya, katanya sebagai imbalan budi baiknya terhadap kita berdua. Karena itu siapa yang mau memenuhi permintaan gila ini? biarpun dia membunuhku sekalipun, aku tetap tidak sudi! Kau tahu, siapa putera kakek gila itu?

Ceng Han menggeleng. "Tidak, nona Cui. Siapa dia?"

Dan tiba-tiba Cui Ang menuding telunjuknya kepada kera besar dibelakang kakek itu dengan sengit. "Dialah mahluknya, Souw-kongcu, monyet yang besar itulah! Nah siapa mau dikawinkan dengan binatang menjijikkan itu? kalau Dewa Monyet memaksa biarlah aku mempertaruhkan nyawa!"

"Hahh…?! Ceng Han benar-benar tertegun sekarang dan pemuda itu tiba-tiba saja hampir tertawa geli. Sungguh tidak dikiranya bahwa Dewa Monyet meminta imbalan jasa kepada Cui Ang berupa perjodohan yang amat mustahil itu. maka kalau tadi dia sudah akan menegur Cui Ang yang disangkanya mempermainkan kakek itu, sekarang Ceng Han malah menghadapi Dewa Monyet dengan sikap tegas.

"Wah, locianpwe, kau terlalu sekali!" Ceng Han akhirnya menegur. "Mengapa harus memikir yang tidak-tidak? Kau tahu bawa hal itu tidak mungkin. Masa manusia harus berjodoh dengan seekor monyet? Sungguh terlalu sekali kau locianpwe, dan aku terus terang tidak membenarkan caramu itu. Kalau kau hendak meminta imbalan, biarlah aku saja yang membayarnya. Nona Cui boleh bebas, tapi itupun pemintaanmu cukup pantas kepadaku. Bagaimana?"

Ceng Han memandang kakek itu tapi Dewa Monyet tiba-tiba berjingkrak marah. Kera yang ada dibelakangnya juga memekik dan matanya itu melotot ke arah Ceng Han dengan kaki dibanting. Rupanya binatang ini juga marah seperti tuannya dan dua mahluk berlainan jenis itu mencak-mencak.

"Heh, orang muda, berani kau bicara seenaknya terhadap lohu...? Dia sudah mengikat janji dengan lohu, dan siapapun tidak dapat melindunginya!" kakek itu berteriak marah dan Cai Ang mengepal tinju.

"Dewa Monyet, jangan sembarangan kau membuka mulut. Siapa yang berjanji denganmu? Aku tidak berjanji apa-apa dan juga tidak sudi dipaksa! Cihh, beginikah sikap seorang angkatan tua?"

Kakek itu menggereng murka. "Tapi kau menerima dua syaratku, perawan cilik. Siapa bilang itu tidak saling berjanji?"

"Hem, dan kaupun juga sudah mendengar syaratku, tua bangka tidak tahu malu. Kenapa kau bendak menang sendiri?"

Dua orang itu saling ngotot dan sejenak kakek ini tertegun. Memang, walaupun dia sudah membicarakan "pembayaraanya" namun gadis itupun juga punya hak mengajukan syarat. Hanya satu saja malah, tapi cukup "mencuci" semua kehendaknya karena gadis itu hanya mau melakukan imbalan apa saja asal "sesuai" dengan hatinya sendiri. Dan ternyata gadis itu merasa tidak sesuai dengan permintaannya dan karena itu Cui Ang berani menolak. "Celaka Siau-ji, alamat tidak mendapat jodoh lagi untuk yang kedua kalinya ini!"

Dewa Monyet terbeliak marah dan kakek ini memandang gusar. Dulu dia sudah gagal, lalu apakah sekarang juga harus kembali tidak berhasil? Teringatlah olehnya akan kegagalannya dahulu, beberapa bulan yang lalu, di mana seorang gadis juga telah menolak mentah-mentah pinangan dirinya untuk Siau-ji itu.

Seorang gadis cantik yang juga tidak kalah galak rupanya dengan gadis yang sekarang berada di depannya ini. Akan tetapi kalau gadis yang dulu menolak karena sudah punya 'suami‘ adalah gadis ini menolak karena alasan licik dan seenak udelnya sendiri!

Bagi para pembaca Pendekar Gurun Neraka tentu masih ingat akan peristiwa antara kakek ini dengan Pek Hong sedang mengantarkan Yap Bu Kong yang keracunan hebat oleh perbuatan keji Ceng-gan Sian-jin. Gadis itu membawa Bu Kong dengan susah payah ke Buk Ang bhok-san, bertemu dengan Dewa Monyet yang tidak beres otaknya dan hampir saja terjadi bentrok diantara mereka berdua ini. Tetapi untunglah puteri Panglima Ok tiba-tiba muncul. Siu Li, gadis penolong ini berhasil menundukkan Dewa Monyet, berkat pengaruh subonya, mendiang Mo-I Thai-houw yang dikira masih hidup oleh kakek itu.

Dan dengan perantaraan Siu Li inilah akhirnya Dewa Moyet mengobati luka-luka pemuda itu sampai sembuh. Bahkan akhirnya kakek yang miring otaknya ini tunduk kepada jenderal muda itu yang kini berjuluk Pendekar Gurun Neraka dan menyebutnya Yap-siauwya (majikan muda she Yap) serta Yap Hujin (nyonya Yap) kepada Pek Hong.

Maka sekarang, kembali membentur kegagalan ini Dewa Monyet benar-benar marah. Dia tidak kenal gadis itu, tetapi dia tertarik untuk mengambilnya sebagai 'mantu‘. Boleh tidak boleh hendak memaksa. Dan kalau putera Pendekar Kepala Batu itu ikut campur, biarlah dia membereskannya sekalian.

Maka tiba-tiba kakek ini memekik parau dan maklum Ceng Han lebih kuat daripada Cui Ang, kakek itu sudah menubruk Ceng Han dengan dua jari tangannya, sementara dia memberi tanda kepada Siau-ji dan kawan-kawan untuk menyerang Cui Ang.

"Pemuda usil, biarlah lohu robohkan dulu orang yang tidak tahu diri ini. Haitt…..!" Kakek itu menerjang dengan ilmu silat keranya dan angin dingin berkesyur menampar.

Ceng Han terkejut, tidak mengira Dewa Monyet akan berlaku nekat itu, namun diapun tidak mau bersikap ayal. Melihat kakek itu sudah mulai menyerang, dia juga menggerakkan kaki memasang kuda-kuda dan mengangkat lengan menangkis sambil mengerahkan sinkang.

"Dukk....!" pertemuan kedua kali ini membuat Dewa Monyet terkesiap. Tangannya tergetar sementara tubuhnya terdorong ke belakang sampai tiga tindak. Dan di pihak Ceng Han, pemuda ini juga terhuyung ke belakang akan tetapi tidak roboh.

"Heehh.... kau hebat, anak muda, tapi jangan kira lohu tidak sanggup merobohkanmu, Awas…!" kakek ini berriak marah melihat Ceng Han tersenyum dan tiba-tiba dia mencakar hidung Ceng Han dan menubruk dengan kaki berputar membabat pinggang sementara tangan kiri meninju perut. Gerak-geriknya mirip kera kalap dan kakek itu memang sedang mengerahkan kepandaiannya mainkan Sin-kauw-hoat (Silat Kera Sakti).

Tapi Ceng Han yang mendapat didikan langsung dan ayahnya yang menjadi ketua Beng-san-pai juga tidak bisa dipandang ringan. Begitu melihat kakek itu mulai menyerang dengan jurus-jurusnya yang aneh segera pemuda inipun memainkan ilmu silat ularnya yang dinamalkan Sin-coa hoat (Silat Ular Sakti). Ilmu ini ia mainkan sebagai tandingan Ilmu Silat Kera Sakti maka begitu mereka saling tempur segera saja pertandingan menjadi seru.

Keduanya segera terlibat dalam pertempuran sengit, dan sepak terjang Dewa Monyet yang ganas seperti monyet gila itu kali ini mendapat sambutan hangat dari lawannya yang masih muda. Ceng Han menghadapi kakek itu dengan tidak kalah berbahayanya, tapi kalau lawannya memaki-maki dan mencak-mencak seperti monyet yang sedang murka adalah dia bersikap tenang namun penuh perhatian.

Gerak-gerik Dewa Monyet yang kasar benar-benar mirip seekor kera yang kalap. Tapi dari sikap gerak-gerik itu selalu muncul cengkeraman-cengkeraman berbahaya ataupun tendangan-tendangan kaki yang tiba-tiba melonjak tanpa aturan seperti layaknya seekor kera gila. Dan dari setiap serangan ini tidak ada satupun yang tidak ganas.

Semuanya dapat berakibat maut apabila mengenai sasarannya. Maka Ceng Han berhati-hati sekali dalam mengbadapi kebuasan kakek ini dan dia selalu waspada mengikuti gerak-gerik kaki dan tangan yang tampaknya berseliweran tanpa ampun itu. Dan satu kali pernah kakek ini mempergunakan giginya. Dia mengigit lengan Ceng Han ketika pemuda itu tertangkap sikutnya!

Tentu saja Ceng Han terkejut tapi dengan kecepatan geraknya pemuda itu akhirnya mampu membebaskan diri. Dia menampar kepala kakek itu dengan tangan sebelahnya dan Dewa Monyet yang merasakan datangnya bahaya ini sudah memekik sambil melompat mundur. Ceng Han bebas, tapi sekarang dia memperoleh pengalaman baru dari ilmu si lawan yang aneh. Ternyata giginyapun dapat dipergunakan untuk menyerang. Gila!

Maka Ceng Han bersikap lebih hati-hati lagi dan dia mainkan Sin-coa-hoat dengan lebih seksama. Tubrukan-tubrukan Dewa Monyet semua dia kelit, dan tubuhnya yang meliuk-liuk, mulai mengheret seperti ular itu mampu menyelamatkannya dari serangan lawan yang berbahaya. Tapi semua itu bukan berarti Ceng Han lalu tidak pernah membalas serangan lawan. Tidak, pemuda itu bahkan pasti membalas setiap serangan dengan serangan lain pula.

Patukan-patukan tangannya yang membentuk kepala ular, sering kali membuat Dewa Monyet berseru kaget. Belum lagi kalau tiba-tiba kaki Ceng Han juga ikut bekerja, menebas atau membelit ke arah tubuh lawan yang semuanya dapat saja membuat kakek itu roboh tersungkur! Maka saling balas membalas diantara kedua orang menjadikan pertempuran itu benar-benar menjadi seru.

Dewa Monyet yang merasakan benturan lengan Ceng Han diam-diam mengumpat didalam hatinya. Lengan lawan seperti kayu besi saja kerasnya, liat dan mengandung getaran sinkang yang mampu menandingi kekuatan sinkangnya sendiri.

Sementara itu dilain pihak, Cui Ang yang diserbu tiga ekor monyet besar yang semenjak tadi tidak ikut 'bicara‘ itu kini juga kewalahan. Memang mereka tidak memiliki ilmu silat tinggi, kecuali Siau-ji yang memiliki ilmu silat lumayan. Namun kuku-kuku mereka yang main cakar, main cengkeram itu cukup membuatnya kelabakan.

Berkali-kali mereka berhasil dipukul mundur, namun setiap kali itu juga mereka maju menyerang dengan pekik yang tidak kenal menyerah. Dan tiga ekor binatang ini, Siau-ji-lah yang paling menggemaskan Cui Ang. Kera itu paling cerdik, juga dia paling 'lihai‘. Dua kawannya mengerubut dari depan, sedangkan dia sendiri membokong dari belakang.

Melompat, mencengkram dan menggigit sambil mencakar apa saja yang dikenainya. Karena itu, tidak heran kalau baju Cui Ang kembali robek dicakar kuku-kuku binatang yang tidak kenal takut ini. Apalagi Cui ang juga masih menahan diri tidak menurunkan tangan maut kepada tiga ekor binatang Dewa Monyet yang jelek-jelek sudah membantunya itu.

Dan hal ini rupanya dimaklumi tiga ekor kera itu, terutama Siau-ji, dan karenanya menjadi semakin tidak tahu diri dan bercecowetan dengan suara riuh. Pekik mereka yang menyakitkan telinga ini lama-lama membuat Cui Ang marah, dan gadis itu mulai bersikap keras. Dua yang menyerang dari depan ditampar gemas, dan mereka yang tidak mahir ilmu silat itu terkena tempelengan Cui Ang yang sedang marah. Gadis itu mengerahkan tenaga lweekangnya, maka tidak aneh jika kedua lawannya menjerit dan terlempar roboh.

"Creeitt...!" mereka memekik kesakitan dan Siau-ji yang ada di belakang gadis tiba-tiba menggereng. Kera itu melompat, dan rambut Cui Ang yang disambar berkibar oleh jari-jari yang berbulu.

Tentu saja Cui Ang terkejut, dan gadis itu membalikkan tubuh sambil menendang. "Blukk...!" perut kera itu ditendangnya keras namun rambutnya keburu dicengkeram. Siau-ji memekik kesakitan mendapat dupakan yang membuat ia rasanya seperti jungkir balik itu namun dia masih mencengkram dengan penuh kemarahan. Kera ini berteriak gusar dan rambut Cui Ang dijambak kasar.

"Aihh...!" Cui Ang menjerit kecil dan gadis ini kaget bukan main. Rambut yang ditarik rasanya terkelupas, dan mata Siau-ji yang merah bersinar-sinar itu membuatnya ngeri. Otomatis gadis ini menundukkan kepalanya dan menyeruduk kera itu sambil memukul dan dua jari menusuk Siau-ji.

"Crett!" kepala Siau-ji terdongak ke belakang dan tangan kanan Cui Ang menghantam lehernya. "Dess!" kera itu telah terkena pukulan dua kali berturut-turut dan Siau-ji berteriak kesakitan. Akan tetapi kera ini sungguh luar biasa. Tusukan dan pukulan yang membuatnya terpelanting itu sama sekali tidak mempengaruhi cengkramannya, karena rambut Cui Ang masih tetap dijambak! Dan dia yang terlempar itu membetot rambut gadis ini sehingga Cui Ang berteriak mengaduh dan terseret mengikuti kera itu.

"Aduh…!" Cui Ang benar-benar kesakitan dijambak seperti ini dan kemarahan gadis itu semakin meluap. Siau-ji yang belum sempat melompat bagun kembali ditendangnya dan sisi punggung kera itu menjadi sasaran.

"Bukk…!" Siau-ji menjerit gusar dan kera itu kembali terpelanting. Akan tetapi hebatnya monyet ini sama sekali tidak melepaskan jambakannya dan begitu tubuhnya terlempar pula rambut lawan semakin ditariknya! Tentu saja hal ini menimbulkan rasa pedih dan sakit yang amat sangat di kepala Cui Ang dan tiba-tiba gadis itu menghantam lengan Siau-ji.

"Plakk…!" Kera itu memekik, tapi ternyata cengkeraman pada rambut belum juga dilepas. Cui Ang menjadi marah bukan main sekarang, dan gadis itu tiba-tiba melengking tinggi, menerkam sisi atas Siau-ji. Tangan kanan menyentak keatas sedangkan tangan kiri menyentak kebawah. Ini gerak mematahkan tulang dan Siau-ji yang tidak tahu apa yang terjadi itu sekonyong-konyong menjerit ngeri. Siku atasnya telah ditekuk sedemikian rupa oleh Cui Ang dan kontan siku di tengah lengannya patah.

"Pletak... krakk!" Siku lengan itu patah sekarang dan Siau-ji meraung kesakitan. Monyet ini berteriak ngeri dan cengkeramannya ke rambut Cui Ang terlepas sekarang. Bebaslah gadis itu, namun Cui Ang yang tidak dapat mengendalikan kemarahan lagi sekarang ini tidak memberi ampun. Monyet yang berputar-putar kesakitan itu didupaknya, Siau-ji terlempar jauh dengan muka tersungkur.

"Brukk…!" kera itu menguik sekali, lalu menggelepar perlahan dan akhirnya tidak dapat bangkit kembali. Patahnya lengan dan tendangan keras yang mengenai iganya itu membuat Siau-ji terkapar dan monyet ini roboh pingsan!

Kini Cui Ang berdiri terengah, memandang musuh yang sudah malang melintang di depan kakinya itu. Ada perasaan lega di dalam hatinya, akan tetapi ada juga perasaan tidak enak yang sedikit mengganggu. Dia telah melukai monyet-monyet kakek bermuka buruk itu, akan tetapi apa boleh buat, keadaan telah memaksanya sedemikian rupa. Maka Cui Ang menarik napas berat dan gadis ini memutar tubuh.

Tapi baru setengah lingkaran, mendadak terdengar pekik parau yang menggetarkan. Sebuan bayangan tiba-tiba berkelebat, dan sepasang tangan berkuku panjang yang mengerikan menyambar muka gadis ini. Yang satu mencekik leher, sedangkan yang lain mncengkeram ulu hatinya. Itulah serangan Dewa Monyet!

Cui Ang yang tidak bersiap menjadi terkejut sekali melihat perbuatan kakek itu. Dia tadi sedang bertempur dengn Ceng Han, bagaimana tahu-tahu menyambar dirinya? Maka diserang dengan tiba-tiba ini membuat Cui Ang berseru kaget, Ia tidak sempat menghindar, maka tangan kirinya diangkat menangkis dengan kekuatan sebisanya.

Dewa monyet berteriak menyeramkan dan Cui Ang menjerit panjang. Gadis ini terlempar dan lengan kirinya terpental! Cui Ang terguling-guling dan kakek itu tiba-tiba memekik buas dan memburu korbannya.

"Mampus kau, siluman cilik…!" Dewa Monyet menggeram penuh kemarahan dan tubrukannya yang berbahaya ini membayangkan ancaman maut yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Agaknya robohnya Siau-ji yang disangka mati itulah yang membuat kakek ini menjadi buas. Dan Cui Ang yang masih terlempar bergulingan itu tidak sempat menyelamatkan diri.

Kejadian yang amat mendadak ini membuat Ceng Han terbelalak. Dia terkejut lagi ketika melihat Dewa Monyet tiba-tiba menyerang Cui Ang dengan tubrukan yang amat berbahaya itu. jarak diantara mereka terlalu jauh, tidak ada kesempatan lagi baginya untuk membantu. Maka satu-satunya jalan adalah mencoba mengisi detik-detik yang amat menentukan ini dengan pertolongan jarak jauh, yakni menimpuk kakek itu dengan senjata rahasia. Dan Ceng Han sudah melakukan ini. Pemuda itu menyambar batu sekepalan tangan, lalu sambil berteriak memperingatkan Cui Ang dia menyambit sisi kepala Dewa Monyet.

Batu meluncur deras, dan benda yang dapat memecahkan kepala orang ini melayang seperti kecepatan pelor. Tenaga sinkang yang dikerahkan Ceng Han melalui batu ini luar biasa kuatnya, dan biarpun Dewa Monyet berhasil membunuh Cui Ang, kakek itu tentu tidak terluput dari bencana. Akan tetapi… sungguh mengejutkan! Suasana yang serba runyam ini mengalami perubahan yang tidak disangka-sangka. Dewa monyet yang mata gelap yang sedang menubruk Cui Ang itu sekonyong-konyong terhenti langkahnya, begitu mendadak seperti ditahan oleh suatu kekuatan raksasa yang tidak kelihatan.

Dan batu yang menyambar kepala kakek itu juga tiba-tiba terhenti di tengah udara. Sebuah bayangan kuning tiba-tiba berada di situ, tidak tahu kapan munculnya dan kedua lengan bayangan tinggi besar ini mementang ke kanan kiri. Yang satu ke arah Dewa Monyet sedangkan yang lain ke arah batu hitam. Berbareng dengan munculnya bayangan tinggi besar ini terdengarlah seruannya yang halus berpengaruh,

"Omitohud, jangan nafsu angkara, Dewa Monyet…!"

Dan di tempat itu tahu-tahu telah berdiri seorang hwesio dengan tertawa lebar. Itulah Leng Kong Hosiang! Tiga orang yang sedang bertanding tertegun sejenak, dan Cui Ang yang nyaris terbunuh sudah melompat bangun. Dia dan Ceng Han memandang terbelalak, tapi Dewa Monyet agaknya mengenal hwesio tinggi besar ini berseru kaget.

"Leng-kong Hosiang...!" kakek itu berteriak gentar dan hwesio yang dipanggil memandang tajam.

"Hm, kau mengenal pinceng, Kauw-sian? Bagus rupanya ingatanmu masih baik. Tetapi kenapa engkau mengganggu anak-anak muda?!"

Pandangan keren yang penuh pengaruh membuat Dewa Monyet menyeringai kecut, kakek ini mundur selangkah. Kehadiran hwesio kosen itu sungguh di luar dugaannya, karena itu dia menjadi gentar. Akan tetapi karena dia merasa marah dengan lawan-lawannya itu maka kakek inipun tidak mau menyerah.

"Mereka yang menggangguku, Hosiang, bukan lohu. Gadis itu membunuh anak buahku yang paling kusayang!" kakek itu menjawab lantang dan hwesio ini mengerutkan alisnya.

"Hm, betulkah begitu Dewa Monyet? Seingat pinceng, kau adalah orang yang suka ugal-ugalan, seperti tuuh tahun yang lalu ketika pertama kalinya bertemu. Apakah kata-katamu ini dapat dipercaya?" Hwesio itu lalu menoleh kepada Cui Ang. "Nona Cui, apakah benar kalian yang lebih dulu mengganggu kakek itu?"

Cui Ang terkejut. Mendengar hwesio itu telah mengenal namanya, ia merasa heran. Akan tetapi mendengar Dewa Monyet memutar balik kenyataan, dia menjadi marah. Karena itu ia lalu melompat maju dan sambil menuding ke arah Dewa Monyet, gadis itu berseru, "Lo-suhu, apa yang dikatakan kakek itu bohong belaka. Bukan kami yang lebih dulu mengganggunya, melainkan Dewa Monyet itulah! Kami sedang terluka ketika berada disini dan secara kebetulan ia muncul lalu menolong kami, lalu meminta imbalan jasa atas budi pertolongannya itu. Nah siapa yang salah?"

Leng Kong Hosiang memandang Dewa Monyet. "Eh, kau meminta imbalan jasa, Kauw-sian?"

Dewa monyet tersipu merah. "Betul, Hosiang, karena obat yang kuberikan pada mereka adalah mustika tiada taranya berupa liur katak merah. Mereka keracunan dan kalau lohu tidak datang tentu tewas tanpa liang kubur…!"

"Hm, tapi sebagai sesamanya, tidak layak kalau kau meminta imbalan, Kauw-sian. Dan imbalan apakah yang kau minta sehingga hampir terjadi pertumpahan darah?"

Kini Cui Ang yang tiba-tiba menuding sengit ke arah kakek itu. "Dewa monyet hendak mengambilku sebagai mantu, lo-suhu dan aku dengan tegas telah menolaknya! Kakek itu marah-marah dan akhirnya kami bertarung!"

"Eh…?" Leng Kong Hosiang terheran. "Kau hendak mengambilnya sebagai mantu, Dewa Monyet? Lalu siapakah puteramu itu? seingat pinceng kau tidak memiliki keturunan!"

Teguran ini membuat muka Dewa Monyet berkerut, tapi lagi-lagi Cui Ang mendahului. "Nah, justeru hal yang tidak masuk akal itu yang hendak dipaksakan kakek itu, locianpwe, itu tentu saja tidak dapat diterima dengan akal sehat!"

"Kerr…! Jadi kau membela anak-anak muda itu, Hosiang? "Dewa Monyet mulai melotot.

"Tidak…" hwesio ini tiba-tiba bersikap keren. "Tapi sekedar melindungi yang benar sebagai yang benar. Kalau kau memaksakan kehendakmu, berarti kau salah, Dewa Monyet, dan tentu pinceng dalam hal ini harus ikut campur!"

"Heihh....!" kakek itu tiba-tiba memekik gusar. "Atas dasar apakah kau ikut campur, Leng Kong Hosiang?"

Hweslo ini mengerutkan keningnya. "Atas dasar sikapmu yang suka membawa adat sendiri, Dewa Monyet."

"Keparat! Dan bagimana perhitungan mereka dengan nyawa Sian-ji?"

Ceng Han tiba-tiba mengangkat tangannya. locianpwe, jangan terburu nafsu. Anak buahmu tidak tewas, siapa yang berhutang nyawa? Lihat kera itu bergerak!"

Dewa Monyet cepat memalingkan mukanya, rasa kalap yang hampir menggelapkan matanya itu mendadak tertahan. Dia mengikuti seruan Ceng Han dan ketika betul dilihatnya kera itu bergerak kakek ini tiba-tiba berseru girang dan cepat menghampiri. Diperiksanya kera itu, dirabanya, dielusnya dan akhirnya setelah mendapat kenyataan bahwa Sian-ji benar-benar masih selamat, Dewa Monyet terkekeh gembira. Binatang kesayangan itu diciuminya, tapi ketika Siau-ji merintih dan Dewa Monyet melihat tulang lengan yang patah kakek ini tiba-tiba menggereng.

"Kerr.... kau menciderainya, setan betina?" Dewa Monyet mendelik ke arah Cui Ang, tapi Cui Ang tenang saja melihat tatapan mata yang penuh kemarahan itu.

Gadis ini malah tersenyum mengejek dan menjawab, "Salahnya sendiri, Dewa Monyet. Dia mejambak rambutku sampai hampir terkelupas!"

Dewa Monyet kembali menggereng, namun ketika sinar matanya secara tidak sengaja bertemu dengan pandang mata penuh wibawa dari Leng Kong Hosiang sekonyong-konyong kakek ini sadar. Di situ telah ada seseoraag yang ditakutinya, dan dia tidak berani berlaku nekat. Kalau saja Sian-ji benar-benar tewas barangkali dia tidak mau perduli terhadap siapapun. Tapi kali ini Siau-ji masih hidup, dan binatang kesayangan itu perlu pertolongan. Untuk apa bersitegang lebih lama.

Maka Dewa Monyet tiba-tiba melompat bangun sambil menyambar Kera ini dikempit di bawah ketiak kanan, sedangkan dua ekor anak buahnya yang lain di pondong dengan lengan kiri. Kemudian dengan mata bersinar marah dia memandang Cui Ang. "Siluman betina, beruntung hari ini kau dibantu Leng Kong Hosiang. Akan tetapi jangan kau tertawa gembira dahulu, karena kelak perhitungan diantara kita harus kita selesaikan. Memandang muka keledai gundul itu biarlah lohu mengampunimu, tapi awas sekali kita bertemu lagi pasti lohu akan menghajarmu habis-babisan!"

Kakek itu berhenti sejenak dan dia lalu menoleh ke arah hwesio tinggi besar itu. "Dan kau, Leng Kong Hosiang, semua sikapmu hari ini tentu lohu akan laporkan kepada majikan muda. Kalau kau tidak penakut tunggulah sebulan dua bulan lagi. Tentu majikan muda akan menemuimu untuk meminta pertanggungan jawab. Tapi kalau kau takut boleh datangi Ang-bhok-san untuk minta maaf!"

Dewa Monyet melampiaskan rasa penasarannya dan kata-katanya yang terakhir itu tampak sedikit pongah. Namun Leng Kong Hosiang tenang-tenang saja. Hwesio ini malah tersenyum tawar dan melihat lawan memandang penuh kebencian dia berseru lirih, "Omitohud, semoga kau dilindungi Buddha Maha Pengasih, Dewa Monyet, dan sekarang pergilah baik-baik. Pinceng ucapkan terima kasih atas pengertianmu itu dan biarlah kelak pinceng ingin berkenalan dengan majikan mudamu itu. Pergilah…!"

Seruan itu tidak perlu diulangi dua kali lagi karena Dewa Monyet sudah mengeluarkan pekik kegusarannya dan membalikkan tubuh. Kakek itu melompat sambil membawa tiga ekor anak buahnya dan sekejap kemudian diapun sudah berkelebat lenyap meninggalkan tempat itu.

Ceng Han dan Cui Ang saling pandang lalu mereka menghadap Leng Kong Hosiang. Cui Ang sudah melompat maju dan menjatuhkan diri berlutut, lalu gadis itu berkata dengan suara terharu, "Locianpwe, banyak terima kasih atas budi pertolongan locianpwe terhadap teecu. Tidak dapat teecu bayangkan, seandainya locianpwe datang terlambat entah bagaimana jadinya dengan nasib teecu. Apakah locianpwe ada nasihat untuk teecu. Dan bagaimana locianpwe tahu nama teecu?"

Hwesio tinggi besar itu tertawa kecil. "Nona Cui, tidak usah kau herankan bagaimana pinceng bisa mengetahui namamu. Sesungguhnya pinceng sudah bertemu dengan ayahmu di Tikungan Segi Tiga sana, dan justeru karena itu pinceng lalu kemari."

"Ah, jadi locianpwe sengaja mencari teecu?"

"Ya."

Cui Ang terkejut mendengar jawaban itu gadis ini tiba-tiba teringat ayahnya. Oleh sebab itu mukanya menjadi pucat ketika bertanya kepada hwesio tinggi besar inu, "Kaiau begitu, bagaimana keadaan ayah di sana, locianpwe...?"

Leng Kong Hosiang menghela papas. "Tidak terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan, tapi sepak terjang Palu Baja tentu akan menjadi lebih serius di masa yang akan datang. Pinceng terlambat sedikit ketika melihat kau tercebur di dalam air, karena itu pinceng lalu tergesa-gesa menyusulmu. Dan sahabat muda ini, bukankah souw-siauwhiap dari Beng san-pai?"

Ceng Han yang dipandang buru-buru menjadi gugup. "Ah, locanpwe.... terimalah hormat teecu. Teecu memang betul dari Bang-san-pai, apakah Cui-locianpwe yang memberi tahu?"

Hwesio itu tersenyum gembira. "Betul, Souw-souwhiap. Bagaimana kabar ayahmu?"

Ceng Han tersipu-sipu. "Baik-baik saja, Locianpwe, terima kasih!"

"Dan kau datang untuk mencari adikmu, bukan?"

"Benar, apakah Cui-locianpwe yang kembali memberi tahu?" Ceng Han sedikit terkejut, tapi hwesio ini mengulapkan jubahnya.

"Tidak, Souw-kongcu, tetapi pinceng melihat sendiri keadaannya di dalam ruang tahanan itu."

"Ahh...!" Ceng Han terbelalak dan hatinya tiba-tiba berdebar tegang. "Locianpwe melihat sendiri keadaan adik teecu itu?"

"Ya, tapi dia selamat. Barangkali kau berpikir mengapa pinceng tidak menolongnya, bukan?"

Cen Han terentak kaget. Memang ada pertanyaan seperti itu di dalam pikirannya, namun bagaimana hwesio ini bisa tahu? Karena itu ia menjadi gugup, tapi karena dia orang jujur, maka Ceng Han pun tidak berpura-pura. Dia menganggukkan kepalanya dan Leng Kong Hosiang tersenyum lebar.

"Sayang, waktu tidak banyak untuk menceritakannya, kongcu, biarlah nanti saja pinceng berikan penjelasan. Sekarang kita lihat siapa yang datang itu...!" Hwesio ini memutar tubuhnya dan Ceng Han serta Cui Ang serentak memandang. Tidak ada bayangan apa-apa yang mereka lihat, namun mendadak kemudian dua sosok tubuh muncul di Timur.

Ceng Han dan puteri kakek Cui terkejut, akan tetapi sejenak kemudian gadis itu berseru girang dengan wajah berseri, "Ayah…!" Gadis itu bersorak gembira dan dua bayangan dari Timur ini tiba-tiba sudah berada di depan mereka.

Memang betul dua orang itu adalah Cui Lok dan Panglima Fan, dan kakek Cui yang melihat puterinya selamat ini sudah berseru girang dengan wajah berseri. Dua orang itu berlari lebih cepat, dan mereka sudah berdiri saling behadapan Kakek Cui mengelus jenggotnya sambil tertawa sedangkan Cui Ang menubruk ayahnya dengan sikap manja.

"Ha-ha, kalian selamat, anak-anak? Syukurlah, aku menjadi girang kalau begitu. Apakah locianpwe yang membantu kalian di sini?" Kakek, Cui menoleh kepada Leng Kong Hosiang, akan tetapi Cui Ang sudah nyerocos, mendahului,

"Wahh, hampir saja anakmu celaka, ayah. Dewa Monyet membuat gara-gara dan untung saja locianpwe ini cepat datang. Kalau tidak, mungkin aku sudah menjadi mayat dipukul kakek bermuka buruk itu....!"

"He… Dewa Monyet...?" kakek Cui terkejut. jadi kalian bertemu dengan orang gila itu?"

"Ya, ayah, dia hampir saja membuatku mati pesasaran. Kakek itu sungguh kurang ajar, tidak tahu malu dan berotak miring!" Cui Ang lalu menceritakan kejadian yang baru saja mereka alami dan kakek Cui terbelalak.

Setelah anak gadisnya selesai berceritera dia lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Hm, sungguh orang tidak waras pikirannya dan biarlah kelak ayahmu yang menghajar sakit hatimu Ang-ji. Akan tetapi di samping itu semua bukankah dia telah menolong kalian? Menurut patut, budi ini harus kita balas dengan kebaikan. Namun kalau kau penasaran bolehlah kelak balaskan kemendongkolanmu itu. Akan tetapi sudahlah, Ang-ji, bukankah kalian kini telah selamat tidak kurang suatu apa? Masih ada persoalan penting yang harus kita selesaikan. Eh, losuhu, bagaimana kini saranmu? Dan mengapa kau terlamhat datang di Tikungan?" kakek Cui menoleh kepada hwesio tinggi besar itu dan Leng Kong Hosiang mengerutkan keningnya....