Pendekar Kepala Batu Jilid 12 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 12
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Kepala Batu
SEPERTI diketahui, Ceng Bi adalah gadis yang suka mengenakan pakaian merah, maka Ceng Han tentu saja merasa kaget mendengar orang menyebut-nyebut tentang kebiasaan adiknya. Meskipun belum tentu apa yang dimaksudkan gadis di atas perahu itu benar, tapi setidak-tidaknya dalam saat pencarian seperti itu semua berita-berita tentang si gadis baju merah bakal menarik perhatiannya. Maka tidak aneh kalau tiba-tiba saja Ceng Han merasa tegang hatinya. Dan sebelum sang "Li twako" memberikan keputusannya pemuda inipun sudah melompat ke dalam perahu tanpa ragu-ragu.

"Li-twako, maaf, barangkali kita harus berpisah di sini saja jika kau tidak seperjalanan...!" Ceng Han sudah berseru kepada temannya itu dam tanpa menoleh lagi kakinyapun sudah hinggap di lantai perahu dengan amat ringannya.

Pemuda baju biru itu tertegun, namun sekejap diapun akhirnya dapat pula menguasai diri. "Han-te, kebetulan kita masih sama-sama satu tujuan. Siapa bilang harus berpisah?" pemuda itu menjawab sambil tertawa dan diapun tanpa ragu-ragu sudah menyusul Ceng Han melompit ke atas perahu.

Ceng Han tercengang dan pemuda ini memandang heran. "Li-twako, kiranya kau masih seperjalanan denganku?"

Pemuda itu menganaguk. "Agaknya begitu-Han-te, karena apa yang kucari rupanya mulai dapat kutemukan jejaknya di sini."

"Ah, sama kalau begitu!" Ceng Han menjadi girang. "Apakah twako tidak menaruh curiga terhadap pengundang kita yang aneh ini?"

"Sstt...!" pemuda baju biru itu menempelkan telunjuknya di depan mulut. "Kita sama-sama belum tahu, Han-te, untuk apa berprasangka buruk terhadap orang lain? Justeru adanya aku naik ke sini karena ingin mengetahui siapakah tuan rumah yang aneh ini. Berhati-hatilah...!"

Dan baru saja mereka saling pandang itu si gadis baju hijau yang berdiri di buritan perahu sudah tertawa dengan muka berseri. "Aih, ji-wi kongcu akhirnya mau juga mampir di perahu kami ini, ya? Bagus, ayah pasti gembira sekali bertemu dengan dua jago muda yang gagah dan berani-berani ini. Ji-wi kongcu, silahkan masuk saja, ayah ada di dalam." dan begitu seruannya habis tiba-tiba ujung dayung sudah diketukkan ke dinding sungai dan seperti didorong tenaga raksasa saja perahu ini tiba-tiba melejit ke tengah seperti ikan besar di atas permukaan air! Ceng Han terkejut, dan pemuda baju biru juga terbelalak.

"Mengapa, kongcu? Kami mengejutkanmu?" si gadis cantik di atas perahu itu terkekeh genit; namun teman Ceng Han ini menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.

"Tidak, nona, kami tidak terkejut, tapi heran melihat lweekangmu yang kuat. Aih, kenapa harus menyamar sebagai tukang perahu segala?"

Gadis itu tertawa lagi. "Hik-hik, siapa menyamar, kongcu? Aku tidak menyamar karena inilah pekerjaanku semenjak kecil. Sudahlah, kalian masuk saja ke gubuk, ayah sudah lama menanti-nanti. Mengobrol saja denganku nanti membuat beliau marah...!" Gadis itu berseru sambil terkekeh kecil dan Ceng Han serta sahabat barunya itu melangkah hati-hati menghampiri gubuk di atas perahu ini dengan sikap waspada.

Dan begitu mereka masuk, seorang kakek tua tertawa menyambut mereka. "Ha-ha, selamat, datang, anak-anak muda. Apa kabar di daerah gunung dan di daerah kota? Mana lebih panas atau dingin dengan perahuku ini? Ha-ha, ayo masuklah..., masuk saja, jangan sungkan-sungkan dan silahkan duduk di lantai ini seperti lohu!"

Kakek itu melambaikan tangannya dan Ceng Han berdua tertegun mendengar sambutan kata-kata itu. Sekaligus mereka diketahui asal tempat tinggalnya, dan Chang Han beserta pemuda baju biru itu terbelalak ke arah kakek ini. Ceng Han melirik sekejap ke arah temannya. Dua-duanya mendelong, namun kakek itu tiba-tiba kembali menggapaikan lengannya sambit tertawa,

"Ha-ha, ayo duduk kenapa bengong saja di situ? Anak-anak muda, lohu tahu bahwa kalian merahasiakan diri. Tapi tidak apalah, lohu tidak akan membongkar rahasia kalian ini. Yang jelas, bukankah kau dari gunung....?" kakek ini menuding Ceng Han, "Dan temanmu ini tentulah dari kota raja....!" si pemuda baju hijau ganti dituding dan dua orang pemuda itu terkejut heran.

"Locianpwe, kau tahu dari manakah?" Ceng Han bertanya terbelalak tapi kakek itu hanya tertawa saja.

"Anak-anak muda, jangan menyelidiki sesuatu yang kurang berguna. Lohu tahu dari mana itulah lebih baik tidak usah dipersoalkan. Yang penting, bukankah kalian sedang mencari sesuatu yang lebih berharga?"

Ceng Han dan pemuda baju biru tertegun di tempat.

"Eh, kenapa mendelong saja? Hayo duduk, jangan memandang lohu seperti siluman!" kakek itu menggerakkan tangannya sambil tertawa dan dua orang pemuda ini tiba-tiba merasa adanya suatu tenaga tak tampak menekan pundak mereka dengan amat kuatnya.

Pemuda baju biru itu dan Ceng Hain terperanjat, namun sebelum mereka melawan, tahu-tahu mereka sudah tertindih dan mendeprok di lantai duduk berhadapan dengan kakek itu.

"Ah Ceng Han mengeluarkan seruan heran dan pemuda baju biru juga berteriak tertahan. Akan tetapi ketika merasa bahwa tenaga tak tampak itu tiba-tiba lenyap kembali begitu mereka duduk, Ceng Han dan temannya menjadi bengong memandang kakek ini. Tahulah mereka bahwa kakek itu tidak bermaksud menyerang, hanya menyuruh mereka duduk saja karena sejak tadi rupanya terlalu curiga terhadap tuan rumah.

Dan begitu mereka duduk berhadapan, kakek ini merepaskan goyangan tangannya seperti tidak terjadi sesuatu yang istimewa sambil tertawa lebar, "Anak-anak, lohu bukan iblis yang pelit, ditakuti. Kenapa sih harus bercuriga terlalu jauh? Lihat, lohu bahkan hendak menunjukkan kepada kalian sesuatu yang menarik hati " kakek itu menudingkan telunjuknya ke atas meja dan Ceng Han serta teman barunya memandang heran kepada seekor ikan kakap yang besarnya seperti bayi di depan kakek itu.

"Locianpwe, apa maksudmu?" kali ini pemuda Li itu yang membuka mulut dan kakek itu menggerakkan kepalanya.

"Anak muda, bukankah kau yang dulu itu bertemu dengan seorang guru silat di pantai timur?" kakek ini tiba-tiba tertanya tanpa menghiraukan pandangan orang dan pemuda baju biru itu terkejut.

"Eh, bagaimana locianpwe bisa tahu? Apakah yang locianpwe maksudkan adalah Liok-kauw-su?"

Kakek itu menganggukkan kepalanya sambil terkekeh. "Ya, guru silat she Liok itu. Apakah kau masih ingat janjinya"

Pemuda ini tertegun. "Locianpwe, janji apa yang kau maksudkan?"

"Ha, janji apalagi kalau bukan, Kutilang keluar sarang,? Aih, anak muda, apakah kau sudah begitu pelupa?"

Baru sampai di sini kakek itu bicara tiba-tiba si pemuda baju biru ini melompat kaget. "Locianpwe, kau tahu juga tentang rahasia ini? Apakah kau adalah 'Si belut merunduk masuk?"

Kakek itu terkekeh gembira. "Ha-ha, anak muda, rupanya otakmu encer juga. Kalau sudah tahu bahwa aku adalah si tukang pencari belut itu apakah kau lalu mau pasang pancing supaya sang belut tertangkap luka? Wah, jangan mimpi, Gelatik Emas. Lohu masih senang keluyuran."

Kakek itu tertawa bergelak dan Ceng Han yang mendengar pembicaraan dua orang ini terbengong heran. Dia tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh dua orang ini maka dia hanya mengernyitkan ails tanda tidak mengerti. Dan tiba-tiba kakek itu menoleh ke arahnya.

"Souw-kongcu, kau sedang mencari adikmu, bukan?"

Ceng Han terkejut dengan muka berubah. Kakek itu sekaligus menyebut nama marganya dan menebak tepat apa yang sedang dicari! Karena itu hampir dia terlonjak ketika menjawab, "Eh, bagaimana Iocianpwe tahu?"

Tapi kakek itu hanya ganda ketawa saja. "Snow-kongcu, jangan pusing-pusing memikirkan dari mana lohu tahu. Yang penting, bukankah kata-kataku tadi tidak salah?"

Ceng Han terpaksa mengangguk. "Memang tidak keliru locianpwe , tidak salah. Siapakah locianpwe ini yang agaknya tahu segala tentang diriku?"

Namun kakek itu tertekeh nyaring. "Ha-ha, Souw-kongcu, Gelatik Emas itu telah menyebutku sebagai si pencari belut yang suka keluyuran. Masa kau tidak dengar?"

"Gelatik Emas....?"

"Ya, temanmu itu," kakek ini menudingkan telunjuknya ke arah si pemuda baju biru sambil tertawa, "Dan justeru datangnya kalian berdua inilah yang sudah lama kutunggu-tunggu!"

"Ah…..!" Ceng Han tertegun dan dia memandang sahabat barunya itu. "Li-twako, kau berjuluk si Gelatik Emas?"

Tapi pemuda ini menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Bukan julukan, Han-te, melainkan hanya sebagai tanda pengenal belaka di antara orang-orang segolongan untuk memudahkan mengenal teman. Dan kau sendiri, ternyata dipanggil Souw-kongcu, Han-te? Apakah kau bernama Souw Han?"

Ceng Han gugup sejenak. "Ya....ya.... boleh dikata begitulah, Li-twako," jawabnya dengan muka merah. "Tapi kukira hal itu tidaklah amat penting. Dan kau sendiri, twako, siapakah she-mu?"

Pemuda baju biru ini tampak ragu-ragu, dia memandang si kakek akan tetapi kakek itu malah tertawa kepadanya.

"Gelatik Emas, dia bukan musuh golongan kita. Kenapa harus ragu? Kujamin pemuda ini seratus persen orang baik-baik!"

Tertawa kakek itu membuat wajah si Gelatik Emas merah karena jengah. Dia buru-buru memandang Ceng Han dan sambil tersenyum gugup dia berkata, "Han-te, maaf, bukannya aku tidak percaya namun karena kita selalu harus berhati-hati menjumpai orang baru yang belum begitu kita kenal itulah yang membuatku merahasiakan nama. Terus terang, aku yang bodoh ber-she Fan. Namaku memang Li, sebuah nama tunggal yang agaknya tidak cukup berarti. Maklumlah, Han-te.?"

Ceng Han tersenyum kecil. Keterangan orang membuat dia maklum, karena memang begitulah biasanya kehidupan orang orang kang-auw, seperti dia sendiri yang juga tidak gampang-gampang memperkenalkan diri. Apalagi setelah pertemuannya dengan orang-orang Hiat-goan-pang yang membuat dia semakin hati-hati. Maka untuk keterangan si pemuda baju biru inipun dia sama sekali tidak merasa tersinggung.

"Li-twako, keterbukaanmu itu justeru membuat aku merasa kagum. Tidak tahu, apakah pertanyaanku tadi terlampau mendesakmu? Kalau begitu halnya, biarlah di sini aku meminta maaf...!" Ceng Han menjura kepada pemuda itu dan si Gelatik Emas ini tersipu-sipu.

"Wah-wah, jangan begitu, Han-te! Siapa yang harus minta maaf? Kita adalah teman-teman sendiri, tidak perlu sungkan-sungkan...!" pemuda itu berseru sambil membalas penghormatan orang dan Ceng Han merasa lega. Sikap orang menunjukkan kejujurannya yang tidak dibuat-buat, karena itu dia menjadi tenang. Dan kakek aneh di depan mereka itu tiba-tiba mengetukkan jarinya di atas meja.

"Gelatik Emas, dan kau Souw-kongcu, malam nanti barangkali kita harus sedikit mengeluarkan keringat. Tidak tahu, apakah kalian berdua bisa berenang?"

Pertanyaan tiba-tiba ini membuat Ceng Han melengak. "Apa, locianpwe berenang…?"

"Ya…" kakek itu mengangguk. "Apakah Souw-kongcu bisa berenang?"

Ceng Han menggelengkan kepalanya terkejut. "Ah, tidak, locianpwe. Kenapakah?"

Tapi kakek ini menengok ke arah si pemuda baju biru tanpa memberikan jawaban. "Dan kau, Gelatik Emas, apakah juga tidak bisa berenang?"

Namur, pemuda ini menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. "Bisa, locianpwe, tapi sedikit-sedikit, sekedar agar tidak tenggelam saja…"

Dan tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, bagus, itu sudah cukup...! Jadi hanya Souw-kongcu saja yang tidak bisa berenang?" kakek ini menoleh ke arah Ceng Han dan Ceng Han menganggukkan kepalanya dengan sinar mata penuh pertanyaan.

"Betul, locianpwe. Ada apakah? Dan mengapa kau menanyakan hal ini?"

Kakek itu menghentikan tawanya. "Gelatik Emas, dan kau Souw-kongcu...." katanya sungguh-sungguh. "Malam nanti kita bersama barangkali harus menyingsingkan lengan menghadapi tamu-tamu tak diundang. Dan karena mereka itu adalah orang-orang yang mahir bermain di dalam air maka harus menyambutnya baik-baik. Kalian berdua orang-orang yang berlainan, tetapi ketahuliah bahwa orang-orang yang kalian cari itu berada di satu tempat yang sama. Oleh sebab itu, baik Gelatik Emas maupun Souw-kongcu tidak boleh saling berpisah. Lohu sendiri, akan melihat keadaan, kalau dedengkotnya yang muncul lohu tentu tidak akan tinggal dam. Tapi, kalau hanya anak buahnya saja kalian berdua boleh menandinginya. Dan dibantu anak perempuanku yang pandai bermain di dalam air barangkali Souw-kongcu boleh meminta pertolongannya. Sekarang, apakah kalian ada pertanyaan penting? Mumpung malam belum tiba baiklah kalian keluarkan saja semua pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal isi hati. Lohu akan menjawab sebisanya."

Kakek itu menyambar guci arak dan sekali tenggak diapun telah membasahi kerongkongannya. Ceng Han memandang kaget, dan akhirnya pemuda ini menoleh kearah terman barunya.

"Li-twako, apakah sebenarnya yang dimaksudkan oleh loeianpwe ini?"

Pemuda baju biru itu tersenyum memandang. "Hem, kenapa tidak ditanyakan saja kepada yang bersangkutan, Han-te? Aku sendiri tidak banyak pertanyaam karena kami masing-masing adalah teman yang sama-sama menjalankan tugas. Karena itu, kalau Han-te ada pertanyaan silahkan ajukan saja. Pasti tuan rumah kita akan menjawabnya."

Ceng Han mengerutkan alis, lalu memandang kakek yang masih menempelkan bibir ke guci araknya itu. "Locianbwe, terus terang aku kurang jelas disini. Apakah yang locianpwe maksudkan adalah kita akan kedatangan musuh?"

Kakek itu tiba-tiba menarik guci araknya, memandang Ceng Han lalu tertawa geli. "Ha-ha, Souw-kongcu. kau sudah tahu kenapa bertanya lagi? Memang kita akan kedatangan musuh, apakah kongcu terkejut?"

Tapi Ceng Han menggelengkan kepalanya tegas. "Tidak, locianpwe, aku tidak terkejut, hanya merasa heran saja."

"Heran…?"

"Ya…!" Ceng Han menganggukkan kepala dan kakek itu terlengak.

"Eh, Souw-kongcu, apa yang kau herankan?" akhirnya kakek ini tak dapat menahan seruannya den Ceng Han dipandang dengan mata terbelalak.

Ceng Han tidak segera menjawab, akan tetapi menarik napas berat terlebih dahulu. "Locianpwe..." pemuda ini berkata dengan suaraa tenang, "Keheranan seperti yang locianpwe tanyakan tadi bukan lain adalah berkisar tentan ceritera locianpwe sendiri. Locianpwe berkata bahwa akan datang tamu tamu tak diundang, musuh-musuh yang meluruk ke tempat ini. Padahal, aku tidak tahu siapakah musuh-musuh itu. Musuh dari locianpwe sendiri ataukah musuh dari siapa. Kalau seandainya musuh yang akan datang ini adalah musuh dari locianpwe pribadi, bukankah locianpwe hendak melibatkan diriku dalam kesulitan baru? Nah, inilah yang tidak aku mengerti dan terus terang saja aku menginginkan jawabannya!"

Pertanyaan tegas dari Ceng Han ini sejenak membelalakkan mata kakek itu, akan tetapi akhirnya kakek ini tak dapat menahan ketawa gelinya. "Ha-ha, Souw-kongcu, kau memang anak cerdik! Kalau tidak segera mendapatkan jawaban dari pertanyaan ini bukankah kau tidak bakal dapat tidur meram? Aih, Ciok-thouw Taihiap, tidak percuma kau memiiiki keturunan semacam ini. Siapa tidak akan bangga? Souw-kongcu, ketahuilah, musuh yang akan datang itu adalah musuh kita semua, antek-antek dari Perkumpulan Gelang Berdarah!"

Ucapan terakhir kakek ini mengejutkan dua orang pemuda itu, Ceng Han kaget mendengar kakek itu menyebut-nyebut nama ayahnya dan partai Perkumpulan Gelang Berdarah, sedangkan pemuda baju biru itu terkejut bukan main mendengar bahwa Ceng Han adalah putera sang jago besar Beng-san-paicu atau Ciok-thouw Taihiap si Pendekar Kepala Batu!

Dan baru saja ucapan kakek ini selesai pemuda itu yang bukan lain adalah Fan Li sudah melompat bangun dengan muka kaget. "Han-te.... Souw-siauw-hiap (Pendekar muda Souw) putera Souw-lociaapwe di Beng-san-pai? Aduh sama sekali tidak kukira... aih, Souw-siauw-hiap, maaf... maaf seribu maaf bahwa aku berani lancang mencegahmu membunuh empat orang berkuda yang kurang ajar itu! Cui-locianpwe, kenapa tidak sejak tadi memberitahukan keadaan Souw-siauw-hiap ini kepadaku?" pemuda itu buru-buru menjura di depan Ceng Han sementara dia menegur kakek aneh ini dengan muka gugup.

Dan Ceng Han sekarang yang menjadi gelagapan. "Li-twako, ini... ini eh, apa-apaan ini? Kenapa kau tiba-tiba berobah seratus delapan-puluh derajat? Kita adalah teman-teman sendiri, harap jangan terlalu berlebihan....!" Ceng Han buru-buru menjura didepan teman barunya itu dan diam-diam dia memaki si kakek tuan rumah yang membuka rahasianya. Gara-gara kakek itu-lah dia malah merasa kurang enak hati terhadap remuda baju biru yang belum dia kenal jelas siapa adanya ini. Akan tetapi karena semua sudah terjadi, Ceng Han-pun juga tidak dapat berpura-pura lagi.

Dan kakek yang dipanggil Cui-locianpwe itu tertawa gembira. "Ha-ha, sekarang Souw-kongcu pasti menuntut balasannya. Eh, Souw-kongcu, bukankah kau ingin tahu siapakah sebenarnya aku si orang tua ini? Baiklah, untuk melenyapkan rasa curigamu terhadap lohu di sini lohu beritahukan bahwa aku adalah Cui Lek. Puluhan tahun yang lalu orang menjulukiku Si Belut Emas, suheng dari Phoa-lojin yang tinggal di Pulan Cemara. Apakah Souw kongcu puas?"

Kakek ini terkekeh dan Ceng Han terbelalak. Keterangan yang tidak terlalu panjang itu membuatnya tercengang, karena sama sekali dia tidak menyangka bahwa pada sore ini dia bertemu dengan seorang tokoh kang-ouw yang sudah dua puluh tahun tidak pernah menampakkan diri, Si Belut Emas yang menjadi suheng dari kakek Phoa! Karena itu Ceng Han lain berseru kaget, "Ah, kalau begitu locianpwe adalah orang yang dulu membantu ayah dari Tebing lblis?"

Kakek ini tertawa sambil menganggukkan kepalanya. "Tidak salah, Souw-kongcu, tapi itu adalah bantuan kecil yang tidak berarti bagi ayahmu yang amat lihai!"

"Ah...!" Ceng Han menjadi gembira dan tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut. "Cui-locianpwe, sudah lama ayah ingin bertemu denganmu. Kenapa kau tidak pernah menampakkan diri? Kalau ayah tahu bahwa locianpwe ada di sini tentu beliau akan menjadi girang luar biasa. Locianpwe, terimalah hormat dan salam ayah untukmu…..!" Ceng Han memberi hormat di depan kakek itu dan kakek ini tertawa bergelak.

"Ha-ha, Souw-kongcu, mengapa mesti terlalu banyak adat? Sudahlah, bangun dan duduklah yang baik. Aku sendiri juga merasa gembira bertemu denganmu yang sudah sebesar ini. Eh, bukankah ayahmu baik-baik saja?"

Ceng Han menganggukkan kepalanya dengan muka berseri. "Baik-baik, locianpwe, dan ayah juga mengharap locianpwe selamat sejahtera selama ini."

"Ha-ha, doa yang bagus! Akan tetapi, apakah ayahmu juga masih keras kepala?" kakek itu terkekeh.

Ceng Han merah mukanya. "Agaknya begitulah, locianpwe, maklum, sudah menjadi wataknya semenjak muda…."

"Ha-ha, dan kau, apakah juga mewarisi watak keras kepalanya ini?"

Ceng Han tersipu jengah, tidak menjawab dan tiba-tiba teman barunya yang menyela pembicaraan orang tua ini dengan mulut tersenyum, "Cui-locianpwe, ada pepatah mengatakan bahwa buah biasanya jatuh tidak jauh dari pohon. Karena itu, mana mungkin putera Beng-san-paicu tidak memiliki persamaan watak dengan ayahnya? Akan tetapi, asal tidak kaku kukira keras kepala juga tidak apa-apa. Bukankah demikian, Souw siauw-hiap?"

Ceng Han menjadi kikuk, "Li-twako, harap jangan merobah panggilanmu itu. kenapa memanggilku siauw-hiap segala? Meskipun aku putera Beng-san-paicu, namun sesungguhnya kepandaianku masih tidak berarti sama sekali, tidak akan lebih tinggi dari kepandaian twako sendiri. Karena itu, kumohon Li-twako suka menyebutku seperti biasa saja, bukankah lebih akrab?"

Pemuda baju biru ini tersenyum gembira, "Ah, maaf kalau begitu, Souw… Han-te. Aku merasa girang kalau bisa berkenalan lebih dekat lagi denganmu!"

Ceng Han lega kembali dan kakek Cui tiba-tiba berteriak keluar, "Hei, Ang-ji (anak Ang), cepat ke mari bawa minuman untuk tamu-tamu kita. Kenapa keringan begini? Wah, bisa sepat nanti kerongkongan tamu-tamu kita. Ha-ha, bukankah Souw kongcu dan si Gelatik Emas tidak biasa minum arak?"

Pemuda baju biru dan Ceng Han menganggukkan kepalanya hampir berbareng. "Memang tidak biasa, locianpwe, apalagi kalau arak keras seperti yang kau minum....!" Ceng Han tertawa kecil dan pada saat itu tiba-tiba sebuah bayangan hijau berkelebat masuk.

Inilah si gadis puteri kakek Cui, dan begitu ayahnya memanggil seketika ia sudah berada di depan pintu. "Aih, ayah, mengapa harus berteriak seperti ayam disambar elang? Sebentar, tuh airnya baru saja mendidih!" gadis ini menegur kakek itu dan secara tidak sengaja matanya bentrok dengan Ceng Han. Dan begitu mereka saling pandang, Cui gadis cantik yang menjadi puteri kakek Cui ini tersenyum genit ke arah Ceng Han sementatra Ceng Han sendiri tiba-tiba menjadi merah mukanya tanpa sebab, "Souw-kongcu, kau ingin teh panas ataukah arak dingin?" gadis itu mendadak bertanya kepada Ceng Han dan Ceng Han terkejut mendengar suara merdu ini.

"Eh… oh… sesukanyalah, nona… sesukanyalah tapi kukira teh panas lebih cocok untukku…!" Ceng Han menjawab gugup samentara gadis itu terkekeh genit sambil menutupi mulutnya.

"Dan kong-cu ini...?" ia memandang sahabat Ceng Han. "...apakah juga ingin teh panas?"

Pemuda baju biru itu mengangguk sambil tersenyum. "Bolehlah, nona dan terima kasih untuk perhatianmu ini."

Gadis itu, memutar tubuh dan melempar kerling sekali lagi ke arah Ceng Han. Lalu keluar dengan mata bersinar-sinar.

"Ha-ha, dia memang anak berandalan, Souw-kongcu! Apakah kau tidak suka melihat sikapnya yang liar?" kakek itu tiba-tiba berkata setelah anak perempuannya pergi dan Ceng Han tersentak mendengar ucapan ini.

"Eh… ah... kukira tidak, locianpwe... tidak berandal! Kenapa locianpwe bilang begitu?" Ceng Han akhirnya mernawab dengan suara gagah sementara kakek itu mentertawakan sikapnya yang membuat pemuda ini jadi semakin jengah.

"Ha, kenapa tidak, Souw-kongcu? Lihat saja sikapnya tadi. Ia berani menegurku tanpa sungkan-sungkan di hadapan dua orang tamu! Ha-ha, apakah ini bukannya tanda anak berandal?" kakek itu tertawa lagi namun Ceng Han diam saja kali ini.

Perahu terus bergoyang sementara tiga orang itu masih duduk saling berhadapan dan lima menit kemudian tiba-tiba bayangan hijau kembali berkelebat masuk. Itulah Cui Ang, si gadis cantik yang membawa minuman ringan bagi para tamunya. Akan tetapi tidak seperti tadi, wajah yang berseri gembira itu kini kelihatan sedikit berkerut. Dia meletakkan teh panas di atas meja, lalu berdiri dan memandang ayahnya.

"Ayah, tiga buah perahu menguntit di belakang kita. Apa yang harus kulakukan?"

Kakek Cui membelalakkan mata. "He, masih begini sore...?"

"Ya, tapi mereka rupanya mulai mencurigai kita. Apakah aku harus putar haluan menghadapi mereka?"

"Wah, jangan...!" kekek ini mengangkat tangan sambil tertawa. "Kau terlalu bodoh kalau melakukan itu, Ang-ji. Tidak..., jangan lakukan cara nekat ini. Telingaku masih mendengar desir empat perahu lagi di samping kiri, He, coba lihat dulu, apakah telingaku tidak keliru?" Kakek itu menudingkan tangannya kekiri dan Cui Ang tiba-tiba saja sudah berkelebat keluar.

Belum sampai sekejapan mata, mendadak gadis ini tahu-tahu sudah kembali memasuki gubuk perahu. Mukanya tampak merah, dan gadis ini mengepal tinju. "Setan, dugaanmu tepat, ayah. Empat perahu tiba-tiba muncul di sebelah kiri, pemimpinnya orang yang melemparkan belati ke arah Souw-kongcu tadi!"

"Ah, bagus...!" kekek itu tiba-tiba malah tertawa, memandang Ceng Han dan pemuda baju biru. "Anak-anak. rupanya tamu-tamu tak diundang kita kurang sabar menanti datangnya malam. Karena itu, apa yang hendak kalian perbuat?"

Ceng Han melompat bangun. "Kita sambut saja, Cui-locianpwe...!"

Tapi pemuda baju biru menggelengkan kepala. "Tidak, jangan tergesa-gesa, Han-te. Tuan rumah kita sudah mempunyai rencana bagus, Eh, Cui-locianpwe, bukankah perahumu akan menuju ke Tikungan Segi Tiga di muara Huang-ho?"

Kakek itu terkekeh." Heh-heh, Gelatik Emas, agaknya kau sudah mengenal taktik lohu, ya? Aha, bagus.... itu memang tidak salah! Ang-ji, dayung perahu kita sekuat tenaga menuju Tikungan Segi Tiga. Cepat, sebelum tikus-tikus busuk itu menahan kita…..!"

Kakek ini menoleh ke anak gadisnya dan Cui Ang menganggukkan kepalanya lalu berkelebat keluar. Ceng Han hendak membantu, sudah menyambar sebuah dayung dan mau melompat keluar tapi kakek itu mencegahnya.

"Souw-kongcu, jangan melelahkan diri! Anak perempuanku itu cukup tangguh untuk main kejar-kejaran begini. Siapa mau dibantu? Lebih baik kau siapkan saja tenagamu itu untuk menghadapi mereka di Tikungan Segi Tiga!"

"Eh, tapi... ia perempuan, locianpwe!" Ceng Han terkejut. "Masa harus dibiarkan mendayung seorang diri melawan laki-laki kasar di belakang perahu kita?"

"Ha-ha, kau tidak tahu kehebatan anakku, kongcu. Baiklah, mari kita lihat sepak terjangnya ini. Tapi ingat, jangan melakukan bantuan sedikitpun tanpa kehendaknya. Kaau tidak, ia akan marah dan sekali ia menenggelamkan perahu ini kita semua pasti celaka…..!" kakek itu terkekeh dan Ceng Han berdua tercengang.

Namun kakek itu tahu-tahu telah menyeret mereka dan sekali lompat saja tiga orang ini sudah berada di luar gubuk perahu. Dan begitu mereka berada di luar, Ceng Han berdua tertegun. Apa yang mereka lihat sungguh amat menakjubkan sekali. Cui Ang, si gadis cantik berbaju bijau ternyata menggerakkan dayung dengan amat hebatnya. Sepasang dayung berada di tangan gadis itu, dan keduanya bergerak secara serentak di kanan kiri tubuh perahu, menimbulkan cipratan nyaring di atas permukaan air, akan tetapi yang membuat perahu kecil yang mereka tumpangi ini seakan terbang!

"Ah…!" Ceng Han celangap, dan pemuda baju biru juga menbuka matanya lebar-lebar. "Hebat... sungguh hebat….. luar biasa sekali, amat mengagumkan...!" teman Ceng Han ini berseru saking takjubnya dan kakek Cui tertawa tergelak.

"Ha-ha, ini belum seberapa, Souw-kongcup karena puteriku itu mampu menerbangkan benar-benar perahu kecil ini apabila keadaan memaksa. Tapi sudahlah, kita belum perlu membuktikannya sampai nanti malam. Sekarang lihatlah di belakang itu, bukankah mereka kalah jauh....?" kakek ini menudingkan lengannya sambil berkata bangga dan Ceng Han memang melihat tiga perahu yang menguntit mereka itu tampak tertinggal di belakaug dalam sekejap mata saja, sedangkan yang empat dan tadi muncul di sebelah kiri tidak kelihatan bayangannya lagi.

"Nah, bagaimana Souw-kongcu? Kau masih perlu membantunya?"

Tawa kakek ini membuat muka Ceng Han merah dan dia menggelengkan kepala sambil memandang kagum ke arah puteri Si Belut Emas ini dengan mata bersinar. "Ah, tidak, locianpwe, putetimu itu ternyata amat dilular dugaanku semula..."

"Ha-ha, dan kau tidak merasa khawatir, bukan?"

Ceng Han mengangguk.

"Baiklah, ayo kita masuk ke dalam kalau begitu!" kakek ini berkata dengan muka berseri dan dia sendiri sudah melompat masuk ke dalam gubuk perahu, diikuti Ceng Han dan temannya yang masih terbelalak kagum, Cui Ang yang ditonton tamu-tamunya tampak tak menggubris, tapi kerling matanya yang sekilas ke arah Ceng Han tadi jelas menunjukkan kebanggaan hatinya.

"Ayah, dan ji-wi kongcu, harap kalian tenang-tenang saja di dalam. Aku tidak akan membiarkan tikus-tikus di belakang itu mengejar kita. Akan tetapi berhati-hatilah, barangkali sewaktu-waktu perahu ini akan melonjak kaget di atas air, hi-hikk…..!" gadis itu berseru memperingatkan dari luar dan ayahnya tersenyum lebar.

"Ang-ji, jangan mengejutkan tamu-tamu kita, Kalau tidak perlu sekali, jangan ugal-ugalan kau, awas?" kakek Cui berteriak. "Hanya bila ada kejadian luar biasa sajalah boleh kau memberitahuku. Mengerti?"

Gadis di ular itu tertawa. "Hi-hik, jangan khawatir, ayah. Asal kau tidak lupa menyisihkan sebagian makanan untukku masa anakmu ini akan ugal-ugalan? Sudahlah, ayah, kau siapkan saja hidangan istimewa untuk tamu-tamu kita itu! Bukankah minuman ringan sudah kusuguhkan?"

Kakek ini memaki anak perempuannya, akan tetapi dia tidak gusar. Ceng Han dan pemuda baju biru yang mendengarkan pembicaraan dua orang ayah beranak ini hanya tersenyum saja, dan mereka melihat betapa kakek itu tiba-tiba menyambar ikan sebesar bayi yang terletak di atas meja.

"Gelatik Emas, dan kau Sonw-kongcu, hampir saja lohu kelupaan memberikan hidangan kepada kalian. Eh, apakah kalian tahu ikan apa ini?" kakek itu memecet kepala ikan dan Fan Li sudah mendahului Ceng Han memberikan jawaban.

"Cui-locianpwe, bukankah itu kakap putih yang biasa terdapat di air taut?"

Kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha, Gelatik Emas, rupanya kau orang yang cerdas sekali. Memang tidak salah, ini adalah kakap putih yang lohu dapatkan secara kebetulan saja!"

"Tapi, locianowe…." Ceng Han menyela, "Bukankah kakap biasanya tidak terdapat di sungai?"

Kakek itu menggerakkan kepalanya. "Han Souw-kongcu juga berpikiran hidup. Tidak lohu sangkal, ikan ini memang bukan binatang yang suka hidup di sungai. Akan tetapi, kongcu, bukankah pemancing juga tidak hanya mengail di sungai saja? Nah, kemarin secara kebetulan belaka lohu mendapatkan ikan ini di muara Sungai Huang-ho. Lohu mendapatkannya dari seseorang dan justeru karena inilah lohu menanti-nanti datangnya si Gelatik Emas!"

"Hmm, dari Liok-su, looianpwe?" pemuda baju bitu bertanya.

"Ya...." kakek itu menganggukkan kepala. "Apakah kau sudah dapat menduga isi pembicaraan in.?"

Namun orang yang ditanya menggeleng heran. "Tidak, locianpwe. Apakah ada suatu pesan istimewa?"

Kakek ini terkekeh ditahan. "Terus terang aku juga kurang mengetahuinya, Gelatik Emas, tapi guru silat itu berkata bahwa ada suatu yang amat berharga sekali untukmu di dalam perut ikan ini."

"Ah.....!" pemuda baju biru itu terbelalak. "Kalau begitu kita belah saja, Cui-locianpwe!"

Kakek she Cui ini tertawa kembali dan tiba-tiba kuku jarinya mengurat perut ikan. "Gelatik Emas, kau rupanya terburu-buru sekali. Padahal, lohu yang sudah sehari dengan ikan ini masih tenang-tenang saja menunggu kedatanganmu. Untuk apa tergesa-gesa? kita saksikan saja petunjuk guru silat itu tentang keadaan ikan ini... brett!"

Kuku jari si kakek Cui membelah perut ikan dan seperti sebuah pisau saja tiba-tiba isi perut itu berhamburan keluar. Pemuda baju biru dan Ceng Han memandang tak berkedip, tapi sementara itu yang keluar hanyalah usus dan bagian-bagian yang lain dari kakap putih ini. Dua orang pemuda itu merasa heran, tapi si pemuda baju biru rupanya di iringi rasa tegang. Karena sampai seluruh isi perut sudah dikuras habis dan tidak ada apa-apanya yang menarik perhatian, pemuda ini membelalakkan mata dan mendesis kecewa.

"Aih, kenapa kosong, locianpwe?"

Kakek itu juga menggumam heran. "akupun tidak tahu, Gelatik Emas. Apakah guru silat she Liok itu main-main?"

Tapi tiba-tiba Ceng Han berseru mengejutkan dua orang ini. "Hei, Cui-locianpwe, apakah tangan pemuda itu?" tangan pemuda ini menuding ke kotoran dan pemuda baju biru serta si kakek aneh terbelalak kaget.

Sebuah benda hitam kecil melongok sedikit pada lubang kotoran ikan itu, dan kakek Cui cepat mencabutnya. Ternyata, sebuah gulungan kain berwarna hitam yang dilinting kecil sedemikian rupa sehingga menyelip di dalam dubur kakap putih. Dan begitu dibuka, kiranya itu adalah sebuah peta rahasia tentang sebuah bangunan kuil... Kuil Hitam.

"Aih ini dia....!" kakek berjuluk si Belut Emas itu berteriak girang, dan dia tertawa bergelak. "Ha-ha, Gelatik Emas, sekarang telah kita depatkan rahasia yang sudah lama kita cari-cari ini. Lihatlah, peta ini masih demikian jelas menunjukkan kepada kita di mana letaknya daerah yang kita cari selama ini. Wah, sungguh kita beruntung…..!"

Kakek itu terkekeh gembira dan si Gelatik Emas juga berseri mukanya. Ceng Han melihat dua orang ini seperti orang-orang yang mendapatkan anugerah dewa menemukan peta yang tidak dimengertinya itu, dan dia merasa heran.

"Li-twako, peta apakah ini?" Ceng Han bertanya tak mengerti dan pemuda itu menoleh kepadanya sambil tersenyum lebar.

"Souw Han-te, ini adalah peta yang amat penting sekali bagiku. Bahkan juga barangkali bagimu. Karena itu, memperoleh peta ini sama halnya dengan memperoleh kembali nyawa teman-teman kita yang tertawan musuh!"

"Ah, begitukah…?" Ceng Han terkejut. "Jadi orang yang twako cari itu tertangkap musuh?"

Pemuda ini menganggukkan kepalanya. "Tidak salah, Han-te, dan karena itulah aku berjuang mati-matian untuk membebaskannya."

"Berapa orang jumlahnya, twako?"

"Satu keluarga!"

"Satu keluarga...?"

"Ya! Dan untuk itulah aku siap mengorbankan nyawa sendiri, Han-te, karena mereka adalah orang-orang penting dari istana!"

"Ahh...!" Ceng Han terbelalak kaget, dan baru sekarang dia mengerti betapa pentingnya orang yang dicari-cari oleh sahabat barunya itu. "Twako, mereka... orang-orang istana katamu? Apakah kaisar atau sanak kerabatnya? Kalau begitu, aku siap membantumu, twako, menghajar orang-orang yang tidak tahu malu itu…..!" Ceng Han mengepal tinju dan jiwa patriotnya bangkit mendengar ada orang dari istana ditawan musuh.

Tapi si Gelatik Emas ini tersenyum getir, dan dia memandang Ceng Han dengan muka muram. "Souw Han-te, agaknya tanpa kuberi tahu bahwa ada seorang pembesar istana yang ditangkap musuh kaupun pasti juga akan meluruk ke tempat itu karena, konon kudengar kabar berita bahwa twa-suhengmu sendiri, saudara Lek Hui yang sudah diangkat oleh sri baginda sebagai pembantu panglima itu juga ditawan oleh manusia-manusia terkutuk ini."

"Apa....?" Ceng Han melonjak terkejut. "Twa-suhengku ditangkap orang?"

Pemuda baju biru itu menganggukkan kepalanya dengan pasti. "Begitulah menurut berita yang dapat dipercaya, Souw Han-te. Maka untuk inilah aku juga siap membebaskan saudara seperguruanmu yang gagah perkasa itu."

"Ahh...!" Ceng Han tertegun tak mampu membuka mulut dan kakek Cui tiba-tiba bangkit berdiri memasang lampu.

"Souw kongcu, jangan berkecil hati. Lohu juga siap menghadapi orang-orang yang tidak tahu malu itu karena di samping twa-suhengmu yang tertangkap, juga lohu mendengar bahwa adikmu perempuan juga ditawan oleh siauw-pangcu dari perkumpulan setan itu."

"Hiat-goan-pang….?"

"Ya."

Ceng Han terbengong kaget mendengar jawaban singkat ini dan tiba-tiba dia merasa matanya nanar. "Loecanpwe, ini… bagaimana Hiat-goan-pang bisa muncul kembali?"

"Maksudmu?!" kakek Cui bertanya heran.

"Karena delapan hari yang lalu Perkumpulan Gelang Berdarah itu telah kami hancurkan!"

"Kami..?"

"Ya, aku dan adik perempuanku itu, ditambah lagi oleh Pendekar Gurun Neraka yang datang secara tidak disangka!"

"Aih...!" mendadak pemuda baju biru mengeluarkau seruan kaget. "Kau bertemu dengan Pendekar Gurun Neraka, Han-te?"

Ceng Han menatap muram. "Begitulah, twa-ko, dan justeru kedatangannya itulah yang telah membebaskan diriku dari tawanan ketua Thiat-goan-pang yang ternyata dulunya adalah orang-orang dari kelompok Me-sau Ngo-yu itu." Ceng Han lalu menceritakan serba singkat keadaannya beberapa waktu yang lalu itu dan untuk nama Pendekar Gurun Neraka sendiri tidak terlalu banyak disebutnya.

"Maka tidak aneh kalau aku menjadi heran mengapa Cui-locianpwe menyebut-nyebut kembali nama perkumpulan itu karena, bukankah Hiat-goan-pang sudah kami hancurkan?" demikian Ceng Han akhirnya memberikan komentarnya dan kakek Cui mendadak tersenyum lebar.

"Ha-ha, Souw-kongcu, apa yang kau kira ini sesungguhnya masih jauh dari kebenarannya. Sepasang ketua Hiat-goan-pang yang kau sebut-sebut tadi sesungguhnya bukanlah ketua pusat. Ketua pusat sendiri berada di tangan seorang yang kelihaiannya jauh di atas mendiang The-lo-heng-te. Wah, tidak aneh kalau kau menjadi bingung! tahunya, kau sudah pernah terjebak oleh perbuatan dua orang kakek iblis itu, kung-cu? Ha-ha, dan mereka ternyata sudah mampus oleh tangan besi Pendekar Gurun Neraka. Bagus, sang ketua pusat tentu bakal jingkrak-jingkrak mendengar kabar ini...!" kakek itu menyambar guci araknya dan dia tertawa-tawa gembira dengan wajah berseri.

Tapi Ceng Han tiba-tiba melompat bangun. "Cui-locianpwe, kau salah kalau mengira The-lo-hengte tewas di tangan Pendekar Gurun Neraka. Dua orang kakek itu tewas karena serangan gelap dari belakang!"

"Hehh…?" kakek Cui terkejut. "Bukan dibunuh Pendekar Gurun Neraka, Souw-kongcu?"

Ceng Ran mengangguk. "Memang bukan, Cui-locianpwe, dan Pendekar Gurun Neraka sendiri merasa kaget dengan kecurangan ini."

"Hai…!" kakek ini terbelalak. "Tapi bekas jenderal muda itu tentu tahu siapa si penyerang gelap itu, Souw-kongcu?"

Ceng Han menggelengkan kepalanya. "Menyesal, locianpwe, Pendekar Gurun Neraka tidak dapat menangkap orang itu karena katanya gerakannya luar biasa hebat. Dia sendiri menyatakan kagum akan kelihaian ginkang si penyerang ini dan hanya pakaiannya yang berwarna hijau itu sajalah yang sempat di tangkap. Selebihnya, Pendekar Gurun Neraka tidak tahu apa-apa kecuali am-gi itu rupanya..." Ceng Han menghentikan keterangannya dan kakek Cui tertegun.

"Am-gi?"

"Ya"

"Berujud pisau, kongcu....?"

"Bukan, locianpwe, melainkan senjata gelap yang aku sendiri baru pertama kali itu tahu."

"Wah, apa gerangan?" kakek Cui tertarik. "Seperti paku, locianpwe, tapi berulir hingga mirip sebuah bor....."

"Hei, Toat-beng-cui....!" kakek ini tiba-tiba berteriak dan Ceng Han menganggukkan kepalanya.

"Tidak salah. Cui-locianpwe, karena kudengar Pendekar Gurun Neraka sendiri juga menyebutnya demikian."

"Ahh… kakek ini membelalakkan matanya dan tiba-tiba dia menoleh ke arah si pemuda baju biru. "Gelatik Emas, rupanya iblis itu muncul lagi?"

Pemuda yang di tanya menganggukkan kepala dengan sinar mata gentar. "Agaknya begitulah, locianpwe, karena kudengar Pendekar Gurun Neraka dahulu juga pernah menyinggung-nyinggung orang itu sebelum kami saling berpisah."

"Akan tetapi, apa hubungannya dengan Perkumpulan Gelang Berdarah?" Ceng Han tiba-tiba menyela dan kakek Cui itu memandangnya.

"Hm, tentu saja ada hubungannya, Souw. kongcu. Kalau tidak, mengapa dia ikut campur dalam urusan ini?" kakek itu menoleh kembali ke arah si pemuda baju biru dan bertanya, "Gelatik Emas, apakah kau dapat menduga apa yang terjadi dalam peristiwa ini?"

Pemuda baju biru itu mengerutkan alis. Dia tidak segera menjawab, melainkan memandang ke arah Ceng Han, "Souw Han-te, apakah kau tidak tahu apa kira-kira yang menyebabkan dua iblis The-lo-hengte itu dibunuh secara gelap?"

Ceng Han mengingat-ingat, dan pemuda ini tiba-tiba menepuk dahinya. "Ah, ada, Li-twako... ada sesuatu yang memang aneh. Ah, agaknya itulah yang menyebabkannya!" Ceng Han tidak meneruskan bicaranya ini dan dua orang itu memandangnya penuh perhatian.

"Apa yang aneh, Han-te?"

Ceng Han menatap pemuda baju biru itu. "Li-twako, barangkall inilah satu-satunya jawaban tentang pertanyaan itu, karena ketika The-lo-hengte diserang orang justeru Pendekar Gurun Neraka sedang menanyakan seseorang yang aku sendiri tidak tahu siapa."

"Hem, apa pertanyaannya, Han-te?"

"Dia hanya menanyakan di manakah orang yang dia cari itu berada dan menyebut dua orang kakek The itu sebagai anjing-anjing penjaga orang yang dicari."

"Ah…!" pemuda baju biru dan kakek Cui mengeluarkan seruan hampir berbareng dan secara aneh keduanya tiba-tiba sating pandang.

"Getatik Emas, kalau begitu murid Takla Sin-jin itu sudah menemukan jejak musuhnya?" kakek ini tiba tiba mengemukakan pendapatnya dan, pemuda baju biru itu terbelalak di tempat itu.

"Agaknya begitulah, locianpwe. Tapi bagaimanakah kesimpulan locianpwe sendiri tentang kejadian ini?"

Kakek Cui merenung, "Tentu gerakan tutup mulut, apalagi?" Ucapan kakek ini disambut anggukan oleh pemuda baju biru itu dan si Gelatik Emas mendongakkan kepala.

"Cui-locianpwe, rupanya pekerjaan kita benar-benar berat sekali. Apakah locianpwe tetap pada rencana semula untuk memasuki sarang berbahaya itu?"

Kakek ini menegakkan lehernya. "Wah, tentu saja, Gelatik Emas! Apakah kau merasa jerih?"

Pemuda itu semburat mukanya. "Bukan begitu, locianpwe. Tapi kalau kita sudah mulai dapat menduga siapa-siapa yang ada disana, bukankah semestinya kita harus lebih berhati-hati? Dengan menambah teman yang dapat diandalkan misalnya, barangkali kita tidak perlu bekerja dua kali. Pahamkah locianpwe tentang apa yang kumaksudkan?"

"Ha-ha, Gelatik Emas, rupanya pengaruh ilmu perangmu masih melekat kuat di sini. Bagus, itu memang baik-baik saja! Akan tetapi, apakah kau kira lohu juga berani sembarangan bergerak apabila tidak memperhitungkan segalanya dengan masak? Sudahlah, anak muda, percaya pada lohu dan kita tetap maju seperti rencana yang telah kubuat!"

"Hm, kalau locianpwe ternyata mempunyai rencana yang belum kuketahui, baiklah, aku tidak akan menolaknya. Tapi bagaimana dengan saudara Souw ini, locianpwe?" pemuda baju biru itu mengangkat bahunya dan kakek Cui tertawa.

"Ha, kalau Souw-kongcu ini tentu saja ikut kita, Gelatik Emas. Eh, bukankah begitu, Souw-kongcu?" kakek ini meuoleh ke arah Ceng Han dan Ceng Han mengangguk hati-hati.

"Kalau itu adalah suatu perjuangan luhur mengapa aku mesti menolaknya, locianpwe? Akan tetapi, bagaimana dengan adikku sendiri juga twa suheng? Dan terus terang aku masih kurang jelas dengan maksud tujuan locianpwe ini. Karena itu, kalau boleh aku bertanya, siapakah orang istana yang tertawan itu, locianpwe? Dan siapa pula pembunuh The-lo-hengte? Melihat sikap locian-pwe, agaknya locianpwe tahu tentang kesemuanya ini."

Kakek itu tertawa lagi "Souw-kongcu, memang apa yang kau tanyakan itu betul. Maka untuk membuat hatimu tidak penasaran lagi baiklah lohu beritahukan di sini bahwa orang yang tertawan itu bukan lain adalah Wen-taijin! Kong-cu kenal dengan pembesar itu? Dia bukan lain adalah tangan kanan sri baginda sendiri, orang kepercayaan yang sedang membawa suatu benda amat berharga bagi negara. Dan sekarang, orang yang amat penting ini jatuh ketangan musuh yakni orang-orang dari Perkumpulan Gelang Berdarah beserta seluruh keluarganya sebagai sandera! Apakah kongcu mulai puas?"

Ceng Han terkejut. "Wen-taijin, locianpwe?"

"Ya!"

"Ah, bagaimana hal itu bisa terjadi?" pemuda ini terbelalak.

Pemuda baju biru kini tiba-tiba menyeta di tengah pembicaraan, "Sauw Han-te, itu semua berkat kelicikan dari tokoh Hiat-goan-pang. Menurut kabar yang baru saja kuterima, konon ada pengawal dalam istana yang berkhianat. Dan gara-gara mereka itulah Wen-taijin terjebak."

"Ah... Dan Perkumpulan Gelang Berdarah yang menangkapnya, Li-twako?" Ceng Han tertegun.

"Begitulah menurut kabar yang kuterima." si Gelatik Emas ini menganggukkan. kepala, "Tapi yang mengerjakan itu semua katanya adalah Si Pisau Kilat!"

"Si Pisau Kilat...?" Ceng Han mendelong dan kakek Cui tiba-tiba menepuk pundaknya sambil terrawa.

"Souw-kongcu, jangan mendelong saja. Apakah kau tidak ada pertanyaan lain?"

Ceng Han terkejut. "Ah, ada, masih ada satu Lagi, yaitu tentang pembunuh dua iblis The-lo-heugte itu."

Kakek Cui mengerutkan alis. "Hm, pertanyaan ini? Wah, aku baru mulai menduganya saja, kongcu, tapi kukira hasilnya juga tidak akan meleset jauh. Sebelum menjawab, apakah kongcu pernah mendengar nama seorang tokoh dari Pulau Hek-kwi-to?"

Ceng Han tersentak mendengar pertanyaan int. "Hek-kwi-to, locianpwe?"

"Ya, tokoh yang tinggal di pulau itu."

"Ah, tentu saja. Bukankah dia adalah susiok Pendekar Gurun Neraka serdiri?"

"Benar," kakek Cui tersenyum. Dan orang itulah yang menjadi dugaan lohu sebagai pembunuh dua iblis The-lo-hengte bersaudara, Souw-kongcu."

Ceng Han celangap dan muka pemuda ini beruhah seketika, jadi orang itu yang menjadi pembunuh dua iblis The itu, Cui-locianpwe?"

Kakek ini mengangguk, "Baru dugaanku saja, kongcu, mengingat senjata gelapnya yang terkenal puluhan tahun yang lalu itu. Akan tetapi, kongcu juga sudah mendengar kelihaiannya, bukan?"

"Ya… ya, ayah memang pernah menceritakan tentang tokoh itu kepada kami berdua. Tetapi, locianpwe, bukankah orang ini sedang dihukum di Pulau Hek-kwi-to? Bagaimana dia bisa muncul?" Ceng Han menjadi heran dari kakek itu menarik napas berat.

"Hm, kau rupanya belum tahu, kongcu. Dia telah lolos semenjak satu tahun yang lalu."

"Lolos....?" Ceng Han terkejut. "Bagaimana dia bisa tolos, locianpwe?"

"Entahlah mana lohu tahu? Tapi yang jelas dia adalah orang yang amat tinggi kepandaiannya. Dan dengan munculnya dia sekarang ini, dunia kang-ouw pasti bakal gempar oleh sepak terjangnya! Tidak tahu, apakah kongcu dapat menduga kelanjutan cerita ini?"

Ceng Han melengeong tidak mengerti. "Kelanjutan ceritera tentang apakah, loeianpwe?"

"Hm, kelanjutan ceritera tentang hubungannya dengan Hiat-goan-pang tentu saja! Habis tentang apalagi?"

Ceng .Han terbelalak. "Hitt-goan-pang? Jadi locianpwe yakin tokoh ini ada hubungannya dengan Perkumpulan Gelang Berdarah itu, locian-pwe? Jadi kalau begitu, dia... dia.... ah, tahu aku sekarang! Locianpwe hendak mengatakan bahwa susiok Pendekar Gurun Neraka ini sebagai ketua pusatnya?" Ceng Han menepuk dahi dengan kaget dan kakek Cui itu tertawa pahit.

"Ha, kau rupanya cerdas juga, Souw-kongcu. Tidak salah, lohu dan si Gelatik Emas ini memang mulai menduga bahwa si biang keladi dalam urusan Hiat-goan-pang itu pasti tokoh dari Pulau Hek-kwi-to ini. Kalau tidak, masa dia bisa mengumpulkan iblis iblis macam Si Pisau Kilat itu dan yang lain? Maka, ada kabar terakhir yang lohu terima bahwa Cheng-gan Sian-jin, datuk sesat yang pandai sihir itu juga kini telah bekerja sama di dalam Perkumpulan Gelang Berdarah itu! Bayangkan, kalau bukan orang yang berkepandaian tinggi mana bisa mengumpulkan iblis-iblis seperti Cheng-gan Sian-jin segala? Dan yang lebih berbahaya lagi, orang-orang ini mengadakan persekutuan untuk merobohkan sri baginda Kou Cien dengan sisa-sisa bala-tentara Wu yang telah porak-poranda itu. Hem, bagaimana persoalannya tidak boleh di bilang serius?"

Ceng Han terhenyak sekarang dan pemuda ini membuka matanya lebar-lebar. "Persekutuan untuk merobohkan kerajaan, locianpwe?"

"Ya," kakek itu mengangguk. "Dan mereka sudah mulai menawan. Wen-taijin sebagai sandera penting!"

"Ah, dan adik serta twa-suhengku ditangkap oleh manusia-manusia iblis macam itu?"

"Begitulah, kongcu, menurut apa yang baru saja kuterima kabar beritanya."

"Keparat...!" Ceng Han menggeram dan mengepal tinju. "Aku harus membuat perhitungan dengan orang-orang yang tidak tahu malu ini, locianpwe!"

"Ya, tentu saja, Souw-kongcu. Dan kita sekarang ini justeru sedang pergi ke tempat mereka. Dengan peta yang sudah ada di tangan, kita dapat menyelundup masuk tanpa harus menghadapi resiko yang lebih besar mengingat hadirnya iblis-iblis macam Si Pisau Kilat itu serta Cheng-gan Sian-jin sendiri di dalam markas besar Perkumpulan Gelang Berdarah. Bukankah begitu, Gelatik Emas?" kakek ini menoleh kepada pemuda baju biru dan pemuda itu menganggukkan kepalanya.

"Apa yang locianpwe katakan memang benar. Bertindak nekat tanpa perhitungan cermat adalah suatu gegabahan yang sia-sia belaka. Dan Souw Han-te tentunya tidak menghendaki kegagalan dalam pekerjaan ini, bukan?"

Ganti Ceng Han yang dipandang dan pemuda baju biru itu tersenyum dalam bicaranya. Ceng Han mengerti, bahwa sahabat barunya itu hendak menyadarkan dia dari emosi yang keluar garis kewaspadaan, maka diapun dapat menerimanya dangan mata terbuka, karena itu diapun lalu memandang teman barunya itu dengan muka sungguh-suagguh. 

"Li-twako, harap jangan khawatir tenting tindakanku nanti, biarpun aku marah melihat kecurangan ini namun aku bukanlah orang yang suka sembrono. Dengan pimpinan Cui-locianpwe, kuharap kita semua dapat menyelesaikan pekerjaan yang berat ini sampai berhasil. Bukankah begitu, Cui-locianpwe?!

Kakek ini tertawa kecil. "Souw-kongcu, dan kau Gelatik Emas, lohu harap kalian tidak hanyut dalam gelora jiwa muda apabila melihat hal-hal yang dapat menaikkan darah kalian. Karena pekerjaan ini menyangkut adik dan twa-suheng Souw-kongcu, juga Wen-taijin sekeluarga yang amat penting sekali artinya bagi kerajaan Yueh, maka lohu harap kalian berdua benar-benar suka menuruti nasihat lohu. Sekarang baliklah kita mengisi perut dahulu dengan ikan panggang ini dan untuk peta biarlah si Gelatik Emas yang menyimpannya. Gelatik Ennas, terimalah benda ini untukmu. Lohu sudah melihatnya!" kakek Cui melemparkan peta rahasia tentang Kuil Hitam itu dan si Gelatik Emas menyambut.

Mereka bertiga lalu bicara diseling dengan memanggang ikan, din Ceng Han mendengarkan rencana kakek Cui tentang penyelundupan ke Kuil Hitam yang baru sekali ini didengar namanya. Membayangkan hadirnya tokoh-tokoh seperti Si Pisau Kilat dan Cheng-gan Sian-jin di markas besar Perkumpulan Gelang Berdarah memang dapat mendirikan bulu roma, akan tetapi karena Ceng Han bukanlah seorang penakut maka diapun sama sekali tidak merasa gentar.

Tertangkapnya Ceng Bi dan twa-suhengnya di tempat itu sudah membuat Ceng Han naik darah, apalagi masih ditambah lagi dengan tertawannya Wen-taijin di perkumpulan itu. Maka hal ini malah membuat dua keuntungan sekaligus, yakni di samping mencoba membebaskan adik dan kakak seperguruannya juga sekalian membebaskan pembesar Wen sekeluarga yang berarti menambah jasa bagi negara!

Dengan begitu, Ceng Han bahkan menjadi semakin mantap dan dengan bimbingan si kakek Cui yang banyak pengalaman itu dia berharap semua pekerjaan yang akan mereka lakukan ini berhasil dengan baik. Tidak memperhitungkan resiko-resiko yang mungkin harus mereka bayar dengan mahal!

* * * * * * * *

Malam sudah mulai datang. Bulan yang muncul sepotong di atas pohon memantulkan cahayanya yang keemasan di atas permukaan air sungai. Tapi perahu kakek Cui masih terus melaju. Kecipak air yang mendesau lembut di kedua sisi kendaraan air menunjukkan bahwa pengemudinya, Cui Ang yang mendayung sambil tersenyum gembira itu tampaknya tidak mengenal lelah. Dan gadis itu tampaknya memang demikian.

Kegelapan malam yang meliputi seluruh permukaan sungai tidak berpengaruh baginya, karena sinar bulan yang remang-remang keemasan cukup membuatnya tenang. Akan tetapi, meskipun demikian Cui Ang tidaklah meninggalkan kewaspadaannya. Dan hal ini rupanya memang tidak sia-sia.

Derap seekor kuda cukup mengoyak perhatiannya, akan tetapi derap itu yang jauh terdengar di tepi sungai sana tidak mampu menembus pandangannya dalam tirai malam yang pekat itu. Cui Ang mengecilkan lampu Ling yang ada di atas perahu. Dayung sepasang dilempar sebuah, yang kanan tetap mengayuh tapi yang kiri menggerayangi kantung baju meraba senjata am-gi.

Memang sudah biasa bagi kaum persilatan untuk selalu membawa-bawa senjata gelap begitu, hanya bedanya bagi yang berwatak bersih tidak melumuri racun sedangkan bagi yang kotor adalah sebaliknya. Derap kuda yang terdengar jauh di sana tiba-tiba berhenti, dan Cui Ang mencurahkan pendengarannya sepenuh perhatian. Tidak terdengar apa-apa.

Malam masih sama pekatnya, dan desir air juga masih sama bunyinya. Tetapi kesenyapan ini hanya sekejap saja, karena begitu ringkik kuda terdengar maka derap itu berdetak lagi. Sesosok bayangan muncul di kegelapan sana, dan seekor kuda tinggi besar mambayang samar-samar tanpa penunggang.

Cui Ang merasa heran, akan tetapi kecurigaannya seketika timbul, Dan belum dia berbuat sesuatu tiba-tiba tiga desir angin meluncur dari dalam gubuk perahu. ltulah kakek Cui dan dua orang tamunya.

"Siapa, Ang-ji?" Cui Ang mengerutkan alis.

"Seekor kuda, ayah... tanpa penunggang!"

"Hmm, benarkah? Gelatik Emas, apa yang kau lihat?"

"Sama, Cui-locianpwe. Seekor kuda tanpa penunggang," si pemuda baju biru menjawab.

"Dan kau, Souw-kong-cu?"

Ceng Han menjawab lirih, "Dengan penunggang, locianpwe, seorang laki-laki...."

Cui Ang dan si Gelatik Emas berbareng mengeluarkan seruan, tapi kakek Cui terkekeh kecil. "Bagus, pandanganmu tajam, Souw-kongcu! Akan tetapi di manakah penunggannya?"

"Di bawah perut kuda, locianpwe, menyelinap di antara keempat kakinya!"

"Wah...!" Cui Ang dan pemuda baju biru terbelalak dan ketika mereka melihat bahwa memang benar di antara keempat kaki kuda itu terdapat seorang laki-laki yang menyelinap di perut kuda! Cui Ang tertegun, dan pemuda baju biru juga tercengang. Kelihaian putera Ciok-thouw Taihiap itu dalam mengawasi kepekatan malam kiranya telah membuktikan kepada mereka berdua bahwa tingkat mereka masih berada di bawah pemuda ini, dan puteri kakek Cui itu melirik kagum.

"Souw-kongcu, apakah dia hanya seorang diri saja?"

Ceng Han menoleh. "Untuk sementara ini nona."

"Untuk sementara ini...?"

"Ya, karena kudengar derap kaki kuda yang lain datang menyusul. Bukankah demikian, Cui-locianpwe?" Ceng Han memandang kakek Cui dan kakek ini terkekeh kagum.

"Ha, telingamu tajam juga, kongcu. Tidak tahu, berapa ekorkah yang datang menurut pendengaranmu?"

Ceng Han memasang telinganya. "Enam ekor, locianpwe, kalau pendengaranku cukup sempurna."

Tapi kakek Cui menggoyang lengannya sambil tertawa. "Salah, kongcu. Bukan enam melainkan tujuh. Dengarlah…..!"

Dan baru saja ucapan ini selesai tiba-tiba terdengarlah derap kaki kuda yang berdetak nyaring di kesunyian malam itu. Cui Aug dan pemuda baju biru terbelalak heran dan mereka semakin kagum akan kelihaian pendengaran Ceng Han yang ternyata sudah mendengar derap kaki-kaki kuda itu sebelum mereka. Dan tepat ketika mereka menengok, tampaklah apa yang mereka tunggu-tunggu ini.

Beberapa bayangan gelap muncul di kejauhan sana, tidak begitu jelas namun cukup untuk bisa dihitung. Satu, dua... empat, dan akhirnya enam ekor kuda berpacu cepat menyusuri tepi sungai mendekati tempat mereka!

Si Gelatik Emas tertegun, dan Cui Ang juga menoleh memandang ayahnya. "Ayah, hanya enam ekor saja. Bagaimana kau bilang tujuh?"

Tapi baru saja kata-kata ini lenyap tiba-tiba di belakang enam elor kuda yang sedang berpacu itu mendadak terdengar derap seekor kuda yang terakhir. Ternyata inilah pendatang baru yang tidak tertangkap telinga Ceng Han dan begitu puteri kakek Cui ini menutup mulutnya munculah penunggang kuda itu!

"Ah, tujuh ekor, Cui-locianpwe. Tepat seperti terkaanmu!" Gelatik Emas berseru kagum dan Cui Ang kali ini tercengang.

"Hei, benar, ayah tujuh ekor!" gadis itu akhirnya menyambung pula dan kakek Cui tertawa kecil.

"Anak-anak, kalian masuklah. Biar lohu yang mengemudikan perahu kali ini. Ang-ji, serahkan dayung…!" kakek itu menggerakkan tangannya dan Cui Ang sudah melempar dayung begitu ayahnya meminta. Tapi gadis ini tidak segera masuk dan Ceng Han serta temannya juga masih berdiri di situ.

"Ayah, aku ingin melihat mereka. Kenapa disuruh masuk?"

Kakek ini melotot. "Bocah bandel, aku suruh kau masuk kenapa mesti banyak bicara lagi? Cepat, kalian bertiga masuk semua! Atau kalian minta aku menjungkir perahu ini…"

Bentakan kakek itu membuat ketiganya terkejut dan Cui Ang seketika menutup mulut. Si Gelatik Emas rupanya mau membuka suara tapi kakek yang tiba-tiba menjadi galak ini memukulkan dayungnya ke bokong pemuda itu.

"Setan cilik, kau juga jangan banyak bertanya lagi. Hayo turut perintah lohu.... plakk!"

Bokong itu dipukul nyaring dan pemuda ini menyeringai pedas. Tubuhnya terlempar memasuki gubuk perahu dan diam-diam dia memaki kakek itu. Tapi Cui Ang tertawa kecil melihat kejadian ini dan Ceng Han juga tersenyum geli.

"Li-twako, jangan layani dia lagi. Kenapa kau mau menentangnya?" Ceng Han berkata geli sementara yang diajak bicara mmggerutu perlahan.

"Sialan, kenapa belum bicara sudah digebuk duluan? Uhh, kakek Cui terlalu sekali! Masa main hantam pantat orang?"

"Hi-hik, itu salahmu sendiri, Li-kongcu. Kenapa mau bertanya lagi? Aku saja sebagai puterinya tidak berani banyak tanya begitu dia membentak kita. Tapi kau, hi-hik... rupanya belum kenal watak ayah, kongcu, dan itulah akibatnya...!" Cui Ang mentertawakan tamunya ini dan pemuda baju biru itu menyeringai masam.

"Nona Cui, tidak kusangka ayahmu itu galak. Apakah kau juga seaneh itu?"

Ceng Han menyela maju sambil tersenyum. "Twako, sudahlah jangan kau penasaran lagi. Cui-locianpwe memang menyuruh kita masuk akan tetapi dia tidak melarang kita mengintai. Nah, mengapa tidak mengintai saja? Dari pada menggerutu di sini lebih baik kita mengintai orang-orang berkuda itu yang barangkali adalah musuh-musuh kita!"

Si Gelatik Einas itu tiba-tiba berseri mukanya. "Wah, kau betul, Souw Han-te! Mengapa aku harus penasaran? Tidak boleh melihat dari luar biarlah melihat dari dalam!" dan begitu habis dia bicara pemuda inipun sudah mendahului Ceng Han mendekati dinding perahu dan mengintai sambil tertawa.

Ceng Han dan Cui Ang juga sudah ikut mengintai dan derap kaki kuda yang berpacu di tepi sungai itu kini semakin dekat jaraknya. Kakek Cui tampak mengayuh dengan tenang dan lampu ting yang terpasang redup di atas gubuk kelihatan bergoyang oleh olengnya perahu. Diam-diam Ceng Han membatin. Kalau orang-orang berkuda itu berhenti dan menyerang mereka pasti dia tidak akan berdiam diri. Meskipun kakek Cui sudah melarang mereka untuk keluar tapi kalau keadaan berbahaya tentu dia tidak akan mematuhi lagi larangan kakek ini.

Namun untunglah, tujuh ekor kuda yang kini sudah ada di sebelah mereka itu tidak mengadakan tindakan apa-apa. Enam ekor yang di depan hanya berhenti sebentar, memandang ke perahu yang didayung oleh kakek Cui lalu berderap lagi menuju ke utara tanpa banyak bertanya. Tapi tidak demikian halnya dengan penunggang kuda yang terakhir. Dia ini berhenti paling lama, mengawasi perahu kakek Cui dan tiba-tiba membentak,

"Hei, tua bangka rambut putih, apakah kau melihat sebuah perahu yang dikemudikan oleh seorang gadis baju hijau?"

Kakek Cui menoleh, pura-pura terkejut dan menjawab gemetar, "Apa… apa, kongsu (tuan yang gagah)...? Perahu yang dikemudikan gadis berbaju hijau? Oh, tidak... tidak.... lohu sama sekali tidak melihat perahu seperti yang kau tanyakan itu, kongsu. Apakah kau kehilangan isteri…?"

"Keparat! Siapa yang mencari isteri malam-malam begini? Tua bangka jahanam, kau minta dihajar, ya? Setan, terima ini kalau begitu..!" laki-taki itu membentak marah dan sekali dia mengayunkan tangan maka sebilah pisau meluncur pesat ke arah tenggorokan kakek Cui.

Kakek ini pura-pura berseru kaget mengangkat kedua tangannya seperti menangkis tapi pisau itu rupanya terlalu cepat baginya. Karena begitu dia mengangkat tangannya, pisau tahu-tahu tetah menancap di tenggorokan kakek ini. "Kongsu... ohh...capp!" kakek Cui berteriak tapi tiba-tiba tubuhnya sudah terjungkal roboh dari atas perahu!

Ceng Han dan Gelatik Emas terkejut menyaksikan kejadian ini, namun sebuah tepukan lembut menyadarkan mereka. "Ji-wi kongcu, ayah hanya bersandiwara saja. Jangan tertipu…!" seruan lirih itu membuat mereka terbelalak tapi Cui Ang yang bicara sungguh-sungguh itu tampak tersenyum mantap.

"Nona, ayahmu,...?"

"Tidak apa-apa, kongcu, jangan khawatir" Dan baru saja gadis itu menganggukkan kepalanya tiba-tiba si penunggang keda yang menyambit kakek Cui ini mengeprakkan kudanya kabur ke utara sambil tertawa mengejek. Da tidak menoleh lagi ke belakang dan juga tidak memperdulikan nasib korbannya yang dianggap tewas oleh pisau belatinya.

Akan tetapi, benarkah demikian? Tentu saja tidak. Kakek Cui telah secara lihai mengelabuhi orang ini, menjepit pisau yang disambitkan ke tenggorokannya itu sedemikian rupa sehingga Ceng Han dan si Gelatik Emaspun ikut terkecoh oleh perbuatannya yang sungguh-sungguh!

Maka begitu si penyerang belati itu kabur kakek inipun tahu-tahu telah muncul kembali di atas permukaan air sambil mengumpat dengan mulut tertawa. "Katak buduk! Siapa suruh murid keponakan Si Pisan Kilat itu muncul di sini? Uh, kalau saja tidak ingat Tikungan Segi Tiga tentu lohu sudah benamkan kepalanya itu ke dalam sungai. Hai, Ang-ji, cepat ambilkan handuk buat ayahmu ini. Keluar, setan cilik!" kakek itu berseru uring-uringan dan Cui Ang serta dua orang temannya melompat keluar.

"Ayah, kenapa tidak kau hajar orang itu tadi? Dia sombong benar, muak perutku melihatnya!" Cui Ang datang-datang sudah menegur ayah ini dan kakek itu melotot kepadanya.

"Setan cilik, gampang saja kau bicara. Atau minta rencana ayahmu ini rusak berantakan? Cuh, di Tikungan Segi Tiga nanti boleh kau balaskan perbuatannya ini terhadap ayahmu. Akan tetapi sebelum kita semua tiba di sana jangan berbuat yang tidak-tidak. Sekarang, mana pakaian kering ayahmu? Apa kau minta ayahmu mati kedinginan?"

Cui Ang tersenyum geli dan cepat dia memberikan apa yang diminta olen ayahnya itu sementara Ceng Han dan si Gelatik Enaas mengerutkan ails.

"Cui-locianpwe, kau bilang tadi bahwa orang itu adalah murid keponakan Si Pisau Kilat?"

"Ya, mengapa?"

"Jadi kalau begitu dia adalah murid dari…."

"Betul" kakek ini sudah memotong ucapan Ceng Han, "Dia memang murid Si Palu Baja!"

"Aih!" Ceng Han terkejut dan teman barunya itu juga tertegun. "Cui-locianpwe, kalau tahu begitu barangkali aku tadi tidak akan melepaskannya begitu saja."

"Hm, kenapa?"

"Karena gurunya itu dahulu mencari ayah!"

"Ha-ha, mengapa tergesa-gesa, kongcu? Di Tikungan Segi Tiga nantipun kau pasti akan bertemu. Sudahlah, harap bersabar dulu. Kita sebentar lagi akan menguras keringat dan lebih baik sekarang kalian semua masuk kembali ke gubuk perahu. Biarkan Ang-ji yang jalan lagi karena aku ingin mengawasi keadaan sekeliling..." kakek itu memegang dayungnya dan tiga orang anak-anak muda ini tidak berani membantah.

Hanya Ceng Han yang agaknya ingin tahu sesuatu itu coba-toba bertanya, "Locianpwe, masih berapa jauhkah perjalanan ke Tikungan Segi Tiga itu?"

Kakek ini menengok. "Enam lie lagi, kongcu. Ada apa?"

"Tidak apa-apa. Baiklah kalau begitu."

Ceng Han memutar tubuhnya setelah saling pandang dengan temannya dan tiga orang itupun melompat ke gubuk perahu. Dihitung-hitung, perjalanan enam lie tidaklah jauh. Akan tetapi karena dilakukan lewat sungai maka cukup memakan waktu juga. Dan Ceng Han yang tidak sabar menunggu itu sudah ingin cepat-cepat sampai ke sana. Namun tentu saja hal ini tidaklah mungkin dapat terjadi begitu saja.

Bulan yang semakin tinggi di angkasa kini tampak sedikit buram. Ada awan yang menghalang permukaannya. Tidak begitu tebal, tapi sudah cukup mengganggu sinarnya yang keemasan di atas bumi. Dan perahu kakek Cui yang masih terus melaju itu tampaknya tidak perduli. Kakek ini sendiri kelihatan tenang-tenang di atas perahunya, sementara kedua lengan bajunya sudah dia singsingkan sampai ke atas siku.

Seperempat jam sudah perahu itu melaju, dan tikungan Segi Tiga kini sudah membayang di depan mata. Tebing yang menjorok terjal di kedua sisinya menunjukkan hal itu, dan kakek Cui tampak menegang kedua urat lengannya. Dayung sebuah yang tadi dipergunakan kini tiba-tiba di tambah, dan kakek itu menatap tajam ke depan sungai yang gelap kehitaman di kejauhan sana.

Cui Ang tiba-tiba berkelebat keluar. "Ayah, kita sudah sampai di tempat tujuan?"

Kakek itu menengok. "Ang-ji lebih baik kau mengambil dayung daripada bertanya. Bersiap-siaplah, aku melihat sesuatu yang mencurigakan di sana…!"

Dan baru saja kakek itu babis bicara tiba-tiba Ceng Han dan temannya juga berkelebat keluar. "Cui-locianpwe, apakah kita sudah sampai di Tikungan Segi Tiga?"

Kakek ini kembali tidak menengok. "Souw-kongcu, dan kau Gelatik Emas, bersiap-siaplah. Lohu melihat keriput air yang mencurigakan di depan itu. Hei.... awas!" belum habis ucapan kakek ini mendadak di sekeliling tempat itu terdengar suitan panjang disusul gemebyarnya lampu-lampu yang terang benderang!

"Byar-byar-byarr....!" tujuh lampu hampir serentak hidup berbareng dan tahu-tahu di depan kakek Cui menghadang tujuh buah perahu nelayan yang bercat hitam!

"Ahh...!" Ceng Han berseru kaget dan gerak menyeramkan sekonyong-konyong muncul dari tengah-tengah kelompok perahu itu.

Kakek Cui mengeluarkan seruan perlahan dan Ceng Han melihat kakek itu berobah roman mukanya. Tapi sebelum kakek ini berbuat sesuatu tiba-tiba tujuh perahu hitam itu sudah meluncur ke arahnya gerak menyeramkan ini dengan kecepatan penuh siap menubruk hancur, dikemudikan oleh orang-orang berwajah bengis yang memandang mereka dengan mulut tertutup rapat namun mata melotot keji!

Kakek Cui termangu sejenak, menghentikan garakan dayungnya dan tampak tertegun. Tapi begitu orang-orang ini sudah tinggal lima meter lagi di depan perahunya mendadak kakek itu berteriak keras, "Ang-ji, Souw-kongcu, pegang perahu erat-erat. Awas... haiitt!"

Sekali bentakan nyaring ini terdengar tiba-tiba sepasang dayung di tangan kakek itu bekerja. Permukaan air dipukul kuat-kuat, kemudian kakinya menjepit tempat duduk yang bersatu dengan tubuh perahu dan begitu dia mengerahkan sinkang sambil melompat, maka perahu beserta empat orang penumpangnya inipun terbang ke atas perahu lawan dan jatuh di belakang mereka!

Akan tetapi, sunuguh celaka. Begitu perahu kakek ini berhasil melewati atas perahu-perahu lawan, mendadak saja tanpa disangka-sangka dari bawah muncul sebuah perahu dalam keadaan terbalik. Perahu ini muncul dengan tiba-tiba, dan keadaannya yang tengkurap itu persis di bawah perahu kakek Cui yang sedang meluncur dari atas. Maka kontan saja benturanpun tidak dapat dihindari lagi. Kakek Cui berseru kaget, dan Ceng Han bersama dua orang temannya juga berteriak terkejut...


Pendekar Kepala Batu Jilid 12

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 12
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Kepala Batu
SEPERTI diketahui, Ceng Bi adalah gadis yang suka mengenakan pakaian merah, maka Ceng Han tentu saja merasa kaget mendengar orang menyebut-nyebut tentang kebiasaan adiknya. Meskipun belum tentu apa yang dimaksudkan gadis di atas perahu itu benar, tapi setidak-tidaknya dalam saat pencarian seperti itu semua berita-berita tentang si gadis baju merah bakal menarik perhatiannya. Maka tidak aneh kalau tiba-tiba saja Ceng Han merasa tegang hatinya. Dan sebelum sang "Li twako" memberikan keputusannya pemuda inipun sudah melompat ke dalam perahu tanpa ragu-ragu.

"Li-twako, maaf, barangkali kita harus berpisah di sini saja jika kau tidak seperjalanan...!" Ceng Han sudah berseru kepada temannya itu dam tanpa menoleh lagi kakinyapun sudah hinggap di lantai perahu dengan amat ringannya.

Pemuda baju biru itu tertegun, namun sekejap diapun akhirnya dapat pula menguasai diri. "Han-te, kebetulan kita masih sama-sama satu tujuan. Siapa bilang harus berpisah?" pemuda itu menjawab sambil tertawa dan diapun tanpa ragu-ragu sudah menyusul Ceng Han melompit ke atas perahu.

Ceng Han tercengang dan pemuda ini memandang heran. "Li-twako, kiranya kau masih seperjalanan denganku?"

Pemuda itu menganaguk. "Agaknya begitu-Han-te, karena apa yang kucari rupanya mulai dapat kutemukan jejaknya di sini."

"Ah, sama kalau begitu!" Ceng Han menjadi girang. "Apakah twako tidak menaruh curiga terhadap pengundang kita yang aneh ini?"

"Sstt...!" pemuda baju biru itu menempelkan telunjuknya di depan mulut. "Kita sama-sama belum tahu, Han-te, untuk apa berprasangka buruk terhadap orang lain? Justeru adanya aku naik ke sini karena ingin mengetahui siapakah tuan rumah yang aneh ini. Berhati-hatilah...!"

Dan baru saja mereka saling pandang itu si gadis baju hijau yang berdiri di buritan perahu sudah tertawa dengan muka berseri. "Aih, ji-wi kongcu akhirnya mau juga mampir di perahu kami ini, ya? Bagus, ayah pasti gembira sekali bertemu dengan dua jago muda yang gagah dan berani-berani ini. Ji-wi kongcu, silahkan masuk saja, ayah ada di dalam." dan begitu seruannya habis tiba-tiba ujung dayung sudah diketukkan ke dinding sungai dan seperti didorong tenaga raksasa saja perahu ini tiba-tiba melejit ke tengah seperti ikan besar di atas permukaan air! Ceng Han terkejut, dan pemuda baju biru juga terbelalak.

"Mengapa, kongcu? Kami mengejutkanmu?" si gadis cantik di atas perahu itu terkekeh genit; namun teman Ceng Han ini menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.

"Tidak, nona, kami tidak terkejut, tapi heran melihat lweekangmu yang kuat. Aih, kenapa harus menyamar sebagai tukang perahu segala?"

Gadis itu tertawa lagi. "Hik-hik, siapa menyamar, kongcu? Aku tidak menyamar karena inilah pekerjaanku semenjak kecil. Sudahlah, kalian masuk saja ke gubuk, ayah sudah lama menanti-nanti. Mengobrol saja denganku nanti membuat beliau marah...!" Gadis itu berseru sambil terkekeh kecil dan Ceng Han serta sahabat barunya itu melangkah hati-hati menghampiri gubuk di atas perahu ini dengan sikap waspada.

Dan begitu mereka masuk, seorang kakek tua tertawa menyambut mereka. "Ha-ha, selamat, datang, anak-anak muda. Apa kabar di daerah gunung dan di daerah kota? Mana lebih panas atau dingin dengan perahuku ini? Ha-ha, ayo masuklah..., masuk saja, jangan sungkan-sungkan dan silahkan duduk di lantai ini seperti lohu!"

Kakek itu melambaikan tangannya dan Ceng Han berdua tertegun mendengar sambutan kata-kata itu. Sekaligus mereka diketahui asal tempat tinggalnya, dan Chang Han beserta pemuda baju biru itu terbelalak ke arah kakek ini. Ceng Han melirik sekejap ke arah temannya. Dua-duanya mendelong, namun kakek itu tiba-tiba kembali menggapaikan lengannya sambit tertawa,

"Ha-ha, ayo duduk kenapa bengong saja di situ? Anak-anak muda, lohu tahu bahwa kalian merahasiakan diri. Tapi tidak apalah, lohu tidak akan membongkar rahasia kalian ini. Yang jelas, bukankah kau dari gunung....?" kakek ini menuding Ceng Han, "Dan temanmu ini tentulah dari kota raja....!" si pemuda baju hijau ganti dituding dan dua orang pemuda itu terkejut heran.

"Locianpwe, kau tahu dari manakah?" Ceng Han bertanya terbelalak tapi kakek itu hanya tertawa saja.

"Anak-anak muda, jangan menyelidiki sesuatu yang kurang berguna. Lohu tahu dari mana itulah lebih baik tidak usah dipersoalkan. Yang penting, bukankah kalian sedang mencari sesuatu yang lebih berharga?"

Ceng Han dan pemuda baju biru tertegun di tempat.

"Eh, kenapa mendelong saja? Hayo duduk, jangan memandang lohu seperti siluman!" kakek itu menggerakkan tangannya sambil tertawa dan dua orang pemuda ini tiba-tiba merasa adanya suatu tenaga tak tampak menekan pundak mereka dengan amat kuatnya.

Pemuda baju biru itu dan Ceng Hain terperanjat, namun sebelum mereka melawan, tahu-tahu mereka sudah tertindih dan mendeprok di lantai duduk berhadapan dengan kakek itu.

"Ah Ceng Han mengeluarkan seruan heran dan pemuda baju biru juga berteriak tertahan. Akan tetapi ketika merasa bahwa tenaga tak tampak itu tiba-tiba lenyap kembali begitu mereka duduk, Ceng Han dan temannya menjadi bengong memandang kakek ini. Tahulah mereka bahwa kakek itu tidak bermaksud menyerang, hanya menyuruh mereka duduk saja karena sejak tadi rupanya terlalu curiga terhadap tuan rumah.

Dan begitu mereka duduk berhadapan, kakek ini merepaskan goyangan tangannya seperti tidak terjadi sesuatu yang istimewa sambil tertawa lebar, "Anak-anak, lohu bukan iblis yang pelit, ditakuti. Kenapa sih harus bercuriga terlalu jauh? Lihat, lohu bahkan hendak menunjukkan kepada kalian sesuatu yang menarik hati " kakek itu menudingkan telunjuknya ke atas meja dan Ceng Han serta teman barunya memandang heran kepada seekor ikan kakap yang besarnya seperti bayi di depan kakek itu.

"Locianpwe, apa maksudmu?" kali ini pemuda Li itu yang membuka mulut dan kakek itu menggerakkan kepalanya.

"Anak muda, bukankah kau yang dulu itu bertemu dengan seorang guru silat di pantai timur?" kakek ini tiba-tiba tertanya tanpa menghiraukan pandangan orang dan pemuda baju biru itu terkejut.

"Eh, bagaimana locianpwe bisa tahu? Apakah yang locianpwe maksudkan adalah Liok-kauw-su?"

Kakek itu menganggukkan kepalanya sambil terkekeh. "Ya, guru silat she Liok itu. Apakah kau masih ingat janjinya"

Pemuda ini tertegun. "Locianpwe, janji apa yang kau maksudkan?"

"Ha, janji apalagi kalau bukan, Kutilang keluar sarang,? Aih, anak muda, apakah kau sudah begitu pelupa?"

Baru sampai di sini kakek itu bicara tiba-tiba si pemuda baju biru ini melompat kaget. "Locianpwe, kau tahu juga tentang rahasia ini? Apakah kau adalah 'Si belut merunduk masuk?"

Kakek itu terkekeh gembira. "Ha-ha, anak muda, rupanya otakmu encer juga. Kalau sudah tahu bahwa aku adalah si tukang pencari belut itu apakah kau lalu mau pasang pancing supaya sang belut tertangkap luka? Wah, jangan mimpi, Gelatik Emas. Lohu masih senang keluyuran."

Kakek itu tertawa bergelak dan Ceng Han yang mendengar pembicaraan dua orang ini terbengong heran. Dia tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh dua orang ini maka dia hanya mengernyitkan ails tanda tidak mengerti. Dan tiba-tiba kakek itu menoleh ke arahnya.

"Souw-kongcu, kau sedang mencari adikmu, bukan?"

Ceng Han terkejut dengan muka berubah. Kakek itu sekaligus menyebut nama marganya dan menebak tepat apa yang sedang dicari! Karena itu hampir dia terlonjak ketika menjawab, "Eh, bagaimana Iocianpwe tahu?"

Tapi kakek itu hanya ganda ketawa saja. "Snow-kongcu, jangan pusing-pusing memikirkan dari mana lohu tahu. Yang penting, bukankah kata-kataku tadi tidak salah?"

Ceng Han terpaksa mengangguk. "Memang tidak keliru locianpwe , tidak salah. Siapakah locianpwe ini yang agaknya tahu segala tentang diriku?"

Namun kakek itu tertekeh nyaring. "Ha-ha, Souw-kongcu, Gelatik Emas itu telah menyebutku sebagai si pencari belut yang suka keluyuran. Masa kau tidak dengar?"

"Gelatik Emas....?"

"Ya, temanmu itu," kakek ini menudingkan telunjuknya ke arah si pemuda baju biru sambil tertawa, "Dan justeru datangnya kalian berdua inilah yang sudah lama kutunggu-tunggu!"

"Ah…..!" Ceng Han tertegun dan dia memandang sahabat barunya itu. "Li-twako, kau berjuluk si Gelatik Emas?"

Tapi pemuda ini menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Bukan julukan, Han-te, melainkan hanya sebagai tanda pengenal belaka di antara orang-orang segolongan untuk memudahkan mengenal teman. Dan kau sendiri, ternyata dipanggil Souw-kongcu, Han-te? Apakah kau bernama Souw Han?"

Ceng Han gugup sejenak. "Ya....ya.... boleh dikata begitulah, Li-twako," jawabnya dengan muka merah. "Tapi kukira hal itu tidaklah amat penting. Dan kau sendiri, twako, siapakah she-mu?"

Pemuda baju biru ini tampak ragu-ragu, dia memandang si kakek akan tetapi kakek itu malah tertawa kepadanya.

"Gelatik Emas, dia bukan musuh golongan kita. Kenapa harus ragu? Kujamin pemuda ini seratus persen orang baik-baik!"

Tertawa kakek itu membuat wajah si Gelatik Emas merah karena jengah. Dia buru-buru memandang Ceng Han dan sambil tersenyum gugup dia berkata, "Han-te, maaf, bukannya aku tidak percaya namun karena kita selalu harus berhati-hati menjumpai orang baru yang belum begitu kita kenal itulah yang membuatku merahasiakan nama. Terus terang, aku yang bodoh ber-she Fan. Namaku memang Li, sebuah nama tunggal yang agaknya tidak cukup berarti. Maklumlah, Han-te.?"

Ceng Han tersenyum kecil. Keterangan orang membuat dia maklum, karena memang begitulah biasanya kehidupan orang orang kang-auw, seperti dia sendiri yang juga tidak gampang-gampang memperkenalkan diri. Apalagi setelah pertemuannya dengan orang-orang Hiat-goan-pang yang membuat dia semakin hati-hati. Maka untuk keterangan si pemuda baju biru inipun dia sama sekali tidak merasa tersinggung.

"Li-twako, keterbukaanmu itu justeru membuat aku merasa kagum. Tidak tahu, apakah pertanyaanku tadi terlampau mendesakmu? Kalau begitu halnya, biarlah di sini aku meminta maaf...!" Ceng Han menjura kepada pemuda itu dan si Gelatik Emas ini tersipu-sipu.

"Wah-wah, jangan begitu, Han-te! Siapa yang harus minta maaf? Kita adalah teman-teman sendiri, tidak perlu sungkan-sungkan...!" pemuda itu berseru sambil membalas penghormatan orang dan Ceng Han merasa lega. Sikap orang menunjukkan kejujurannya yang tidak dibuat-buat, karena itu dia menjadi tenang. Dan kakek aneh di depan mereka itu tiba-tiba mengetukkan jarinya di atas meja.

"Gelatik Emas, dan kau Souw-kongcu, malam nanti barangkali kita harus sedikit mengeluarkan keringat. Tidak tahu, apakah kalian berdua bisa berenang?"

Pertanyaan tiba-tiba ini membuat Ceng Han melengak. "Apa, locianpwe berenang…?"

"Ya…" kakek itu mengangguk. "Apakah Souw-kongcu bisa berenang?"

Ceng Han menggelengkan kepalanya terkejut. "Ah, tidak, locianpwe. Kenapakah?"

Tapi kakek ini menengok ke arah si pemuda baju biru tanpa memberikan jawaban. "Dan kau, Gelatik Emas, apakah juga tidak bisa berenang?"

Namur, pemuda ini menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. "Bisa, locianpwe, tapi sedikit-sedikit, sekedar agar tidak tenggelam saja…"

Dan tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, bagus, itu sudah cukup...! Jadi hanya Souw-kongcu saja yang tidak bisa berenang?" kakek ini menoleh ke arah Ceng Han dan Ceng Han menganggukkan kepalanya dengan sinar mata penuh pertanyaan.

"Betul, locianpwe. Ada apakah? Dan mengapa kau menanyakan hal ini?"

Kakek itu menghentikan tawanya. "Gelatik Emas, dan kau Souw-kongcu...." katanya sungguh-sungguh. "Malam nanti kita bersama barangkali harus menyingsingkan lengan menghadapi tamu-tamu tak diundang. Dan karena mereka itu adalah orang-orang yang mahir bermain di dalam air maka harus menyambutnya baik-baik. Kalian berdua orang-orang yang berlainan, tetapi ketahuliah bahwa orang-orang yang kalian cari itu berada di satu tempat yang sama. Oleh sebab itu, baik Gelatik Emas maupun Souw-kongcu tidak boleh saling berpisah. Lohu sendiri, akan melihat keadaan, kalau dedengkotnya yang muncul lohu tentu tidak akan tinggal dam. Tapi, kalau hanya anak buahnya saja kalian berdua boleh menandinginya. Dan dibantu anak perempuanku yang pandai bermain di dalam air barangkali Souw-kongcu boleh meminta pertolongannya. Sekarang, apakah kalian ada pertanyaan penting? Mumpung malam belum tiba baiklah kalian keluarkan saja semua pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal isi hati. Lohu akan menjawab sebisanya."

Kakek itu menyambar guci arak dan sekali tenggak diapun telah membasahi kerongkongannya. Ceng Han memandang kaget, dan akhirnya pemuda ini menoleh kearah terman barunya.

"Li-twako, apakah sebenarnya yang dimaksudkan oleh loeianpwe ini?"

Pemuda baju biru itu tersenyum memandang. "Hem, kenapa tidak ditanyakan saja kepada yang bersangkutan, Han-te? Aku sendiri tidak banyak pertanyaam karena kami masing-masing adalah teman yang sama-sama menjalankan tugas. Karena itu, kalau Han-te ada pertanyaan silahkan ajukan saja. Pasti tuan rumah kita akan menjawabnya."

Ceng Han mengerutkan alis, lalu memandang kakek yang masih menempelkan bibir ke guci araknya itu. "Locianbwe, terus terang aku kurang jelas disini. Apakah yang locianpwe maksudkan adalah kita akan kedatangan musuh?"

Kakek itu tiba-tiba menarik guci araknya, memandang Ceng Han lalu tertawa geli. "Ha-ha, Souw-kongcu. kau sudah tahu kenapa bertanya lagi? Memang kita akan kedatangan musuh, apakah kongcu terkejut?"

Tapi Ceng Han menggelengkan kepalanya tegas. "Tidak, locianpwe, aku tidak terkejut, hanya merasa heran saja."

"Heran…?"

"Ya…!" Ceng Han menganggukkan kepala dan kakek itu terlengak.

"Eh, Souw-kongcu, apa yang kau herankan?" akhirnya kakek ini tak dapat menahan seruannya den Ceng Han dipandang dengan mata terbelalak.

Ceng Han tidak segera menjawab, akan tetapi menarik napas berat terlebih dahulu. "Locianpwe..." pemuda ini berkata dengan suaraa tenang, "Keheranan seperti yang locianpwe tanyakan tadi bukan lain adalah berkisar tentan ceritera locianpwe sendiri. Locianpwe berkata bahwa akan datang tamu tamu tak diundang, musuh-musuh yang meluruk ke tempat ini. Padahal, aku tidak tahu siapakah musuh-musuh itu. Musuh dari locianpwe sendiri ataukah musuh dari siapa. Kalau seandainya musuh yang akan datang ini adalah musuh dari locianpwe pribadi, bukankah locianpwe hendak melibatkan diriku dalam kesulitan baru? Nah, inilah yang tidak aku mengerti dan terus terang saja aku menginginkan jawabannya!"

Pertanyaan tegas dari Ceng Han ini sejenak membelalakkan mata kakek itu, akan tetapi akhirnya kakek ini tak dapat menahan ketawa gelinya. "Ha-ha, Souw-kongcu, kau memang anak cerdik! Kalau tidak segera mendapatkan jawaban dari pertanyaan ini bukankah kau tidak bakal dapat tidur meram? Aih, Ciok-thouw Taihiap, tidak percuma kau memiiiki keturunan semacam ini. Siapa tidak akan bangga? Souw-kongcu, ketahuilah, musuh yang akan datang itu adalah musuh kita semua, antek-antek dari Perkumpulan Gelang Berdarah!"

Ucapan terakhir kakek ini mengejutkan dua orang pemuda itu, Ceng Han kaget mendengar kakek itu menyebut-nyebut nama ayahnya dan partai Perkumpulan Gelang Berdarah, sedangkan pemuda baju biru itu terkejut bukan main mendengar bahwa Ceng Han adalah putera sang jago besar Beng-san-paicu atau Ciok-thouw Taihiap si Pendekar Kepala Batu!

Dan baru saja ucapan kakek ini selesai pemuda itu yang bukan lain adalah Fan Li sudah melompat bangun dengan muka kaget. "Han-te.... Souw-siauw-hiap (Pendekar muda Souw) putera Souw-lociaapwe di Beng-san-pai? Aduh sama sekali tidak kukira... aih, Souw-siauw-hiap, maaf... maaf seribu maaf bahwa aku berani lancang mencegahmu membunuh empat orang berkuda yang kurang ajar itu! Cui-locianpwe, kenapa tidak sejak tadi memberitahukan keadaan Souw-siauw-hiap ini kepadaku?" pemuda itu buru-buru menjura di depan Ceng Han sementara dia menegur kakek aneh ini dengan muka gugup.

Dan Ceng Han sekarang yang menjadi gelagapan. "Li-twako, ini... ini eh, apa-apaan ini? Kenapa kau tiba-tiba berobah seratus delapan-puluh derajat? Kita adalah teman-teman sendiri, harap jangan terlalu berlebihan....!" Ceng Han buru-buru menjura didepan teman barunya itu dan diam-diam dia memaki si kakek tuan rumah yang membuka rahasianya. Gara-gara kakek itu-lah dia malah merasa kurang enak hati terhadap remuda baju biru yang belum dia kenal jelas siapa adanya ini. Akan tetapi karena semua sudah terjadi, Ceng Han-pun juga tidak dapat berpura-pura lagi.

Dan kakek yang dipanggil Cui-locianpwe itu tertawa gembira. "Ha-ha, sekarang Souw-kongcu pasti menuntut balasannya. Eh, Souw-kongcu, bukankah kau ingin tahu siapakah sebenarnya aku si orang tua ini? Baiklah, untuk melenyapkan rasa curigamu terhadap lohu di sini lohu beritahukan bahwa aku adalah Cui Lek. Puluhan tahun yang lalu orang menjulukiku Si Belut Emas, suheng dari Phoa-lojin yang tinggal di Pulan Cemara. Apakah Souw kongcu puas?"

Kakek ini terkekeh dan Ceng Han terbelalak. Keterangan yang tidak terlalu panjang itu membuatnya tercengang, karena sama sekali dia tidak menyangka bahwa pada sore ini dia bertemu dengan seorang tokoh kang-ouw yang sudah dua puluh tahun tidak pernah menampakkan diri, Si Belut Emas yang menjadi suheng dari kakek Phoa! Karena itu Ceng Han lain berseru kaget, "Ah, kalau begitu locianpwe adalah orang yang dulu membantu ayah dari Tebing lblis?"

Kakek ini tertawa sambil menganggukkan kepalanya. "Tidak salah, Souw-kongcu, tapi itu adalah bantuan kecil yang tidak berarti bagi ayahmu yang amat lihai!"

"Ah...!" Ceng Han menjadi gembira dan tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut. "Cui-locianpwe, sudah lama ayah ingin bertemu denganmu. Kenapa kau tidak pernah menampakkan diri? Kalau ayah tahu bahwa locianpwe ada di sini tentu beliau akan menjadi girang luar biasa. Locianpwe, terimalah hormat dan salam ayah untukmu…..!" Ceng Han memberi hormat di depan kakek itu dan kakek ini tertawa bergelak.

"Ha-ha, Souw-kongcu, mengapa mesti terlalu banyak adat? Sudahlah, bangun dan duduklah yang baik. Aku sendiri juga merasa gembira bertemu denganmu yang sudah sebesar ini. Eh, bukankah ayahmu baik-baik saja?"

Ceng Han menganggukkan kepalanya dengan muka berseri. "Baik-baik, locianpwe, dan ayah juga mengharap locianpwe selamat sejahtera selama ini."

"Ha-ha, doa yang bagus! Akan tetapi, apakah ayahmu juga masih keras kepala?" kakek itu terkekeh.

Ceng Han merah mukanya. "Agaknya begitulah, locianpwe, maklum, sudah menjadi wataknya semenjak muda…."

"Ha-ha, dan kau, apakah juga mewarisi watak keras kepalanya ini?"

Ceng Han tersipu jengah, tidak menjawab dan tiba-tiba teman barunya yang menyela pembicaraan orang tua ini dengan mulut tersenyum, "Cui-locianpwe, ada pepatah mengatakan bahwa buah biasanya jatuh tidak jauh dari pohon. Karena itu, mana mungkin putera Beng-san-paicu tidak memiliki persamaan watak dengan ayahnya? Akan tetapi, asal tidak kaku kukira keras kepala juga tidak apa-apa. Bukankah demikian, Souw siauw-hiap?"

Ceng Han menjadi kikuk, "Li-twako, harap jangan merobah panggilanmu itu. kenapa memanggilku siauw-hiap segala? Meskipun aku putera Beng-san-paicu, namun sesungguhnya kepandaianku masih tidak berarti sama sekali, tidak akan lebih tinggi dari kepandaian twako sendiri. Karena itu, kumohon Li-twako suka menyebutku seperti biasa saja, bukankah lebih akrab?"

Pemuda baju biru ini tersenyum gembira, "Ah, maaf kalau begitu, Souw… Han-te. Aku merasa girang kalau bisa berkenalan lebih dekat lagi denganmu!"

Ceng Han lega kembali dan kakek Cui tiba-tiba berteriak keluar, "Hei, Ang-ji (anak Ang), cepat ke mari bawa minuman untuk tamu-tamu kita. Kenapa keringan begini? Wah, bisa sepat nanti kerongkongan tamu-tamu kita. Ha-ha, bukankah Souw kongcu dan si Gelatik Emas tidak biasa minum arak?"

Pemuda baju biru dan Ceng Han menganggukkan kepalanya hampir berbareng. "Memang tidak biasa, locianpwe, apalagi kalau arak keras seperti yang kau minum....!" Ceng Han tertawa kecil dan pada saat itu tiba-tiba sebuah bayangan hijau berkelebat masuk.

Inilah si gadis puteri kakek Cui, dan begitu ayahnya memanggil seketika ia sudah berada di depan pintu. "Aih, ayah, mengapa harus berteriak seperti ayam disambar elang? Sebentar, tuh airnya baru saja mendidih!" gadis ini menegur kakek itu dan secara tidak sengaja matanya bentrok dengan Ceng Han. Dan begitu mereka saling pandang, Cui gadis cantik yang menjadi puteri kakek Cui ini tersenyum genit ke arah Ceng Han sementatra Ceng Han sendiri tiba-tiba menjadi merah mukanya tanpa sebab, "Souw-kongcu, kau ingin teh panas ataukah arak dingin?" gadis itu mendadak bertanya kepada Ceng Han dan Ceng Han terkejut mendengar suara merdu ini.

"Eh… oh… sesukanyalah, nona… sesukanyalah tapi kukira teh panas lebih cocok untukku…!" Ceng Han menjawab gugup samentara gadis itu terkekeh genit sambil menutupi mulutnya.

"Dan kong-cu ini...?" ia memandang sahabat Ceng Han. "...apakah juga ingin teh panas?"

Pemuda baju biru itu mengangguk sambil tersenyum. "Bolehlah, nona dan terima kasih untuk perhatianmu ini."

Gadis itu, memutar tubuh dan melempar kerling sekali lagi ke arah Ceng Han. Lalu keluar dengan mata bersinar-sinar.

"Ha-ha, dia memang anak berandalan, Souw-kongcu! Apakah kau tidak suka melihat sikapnya yang liar?" kakek itu tiba-tiba berkata setelah anak perempuannya pergi dan Ceng Han tersentak mendengar ucapan ini.

"Eh… ah... kukira tidak, locianpwe... tidak berandal! Kenapa locianpwe bilang begitu?" Ceng Han akhirnya mernawab dengan suara gagah sementara kakek itu mentertawakan sikapnya yang membuat pemuda ini jadi semakin jengah.

"Ha, kenapa tidak, Souw-kongcu? Lihat saja sikapnya tadi. Ia berani menegurku tanpa sungkan-sungkan di hadapan dua orang tamu! Ha-ha, apakah ini bukannya tanda anak berandal?" kakek itu tertawa lagi namun Ceng Han diam saja kali ini.

Perahu terus bergoyang sementara tiga orang itu masih duduk saling berhadapan dan lima menit kemudian tiba-tiba bayangan hijau kembali berkelebat masuk. Itulah Cui Ang, si gadis cantik yang membawa minuman ringan bagi para tamunya. Akan tetapi tidak seperti tadi, wajah yang berseri gembira itu kini kelihatan sedikit berkerut. Dia meletakkan teh panas di atas meja, lalu berdiri dan memandang ayahnya.

"Ayah, tiga buah perahu menguntit di belakang kita. Apa yang harus kulakukan?"

Kakek Cui membelalakkan mata. "He, masih begini sore...?"

"Ya, tapi mereka rupanya mulai mencurigai kita. Apakah aku harus putar haluan menghadapi mereka?"

"Wah, jangan...!" kekek ini mengangkat tangan sambil tertawa. "Kau terlalu bodoh kalau melakukan itu, Ang-ji. Tidak..., jangan lakukan cara nekat ini. Telingaku masih mendengar desir empat perahu lagi di samping kiri, He, coba lihat dulu, apakah telingaku tidak keliru?" Kakek itu menudingkan tangannya kekiri dan Cui Ang tiba-tiba saja sudah berkelebat keluar.

Belum sampai sekejapan mata, mendadak gadis ini tahu-tahu sudah kembali memasuki gubuk perahu. Mukanya tampak merah, dan gadis ini mengepal tinju. "Setan, dugaanmu tepat, ayah. Empat perahu tiba-tiba muncul di sebelah kiri, pemimpinnya orang yang melemparkan belati ke arah Souw-kongcu tadi!"

"Ah, bagus...!" kekek itu tiba-tiba malah tertawa, memandang Ceng Han dan pemuda baju biru. "Anak-anak. rupanya tamu-tamu tak diundang kita kurang sabar menanti datangnya malam. Karena itu, apa yang hendak kalian perbuat?"

Ceng Han melompat bangun. "Kita sambut saja, Cui-locianpwe...!"

Tapi pemuda baju biru menggelengkan kepala. "Tidak, jangan tergesa-gesa, Han-te. Tuan rumah kita sudah mempunyai rencana bagus, Eh, Cui-locianpwe, bukankah perahumu akan menuju ke Tikungan Segi Tiga di muara Huang-ho?"

Kakek itu terkekeh." Heh-heh, Gelatik Emas, agaknya kau sudah mengenal taktik lohu, ya? Aha, bagus.... itu memang tidak salah! Ang-ji, dayung perahu kita sekuat tenaga menuju Tikungan Segi Tiga. Cepat, sebelum tikus-tikus busuk itu menahan kita…..!"

Kakek ini menoleh ke anak gadisnya dan Cui Ang menganggukkan kepalanya lalu berkelebat keluar. Ceng Han hendak membantu, sudah menyambar sebuah dayung dan mau melompat keluar tapi kakek itu mencegahnya.

"Souw-kongcu, jangan melelahkan diri! Anak perempuanku itu cukup tangguh untuk main kejar-kejaran begini. Siapa mau dibantu? Lebih baik kau siapkan saja tenagamu itu untuk menghadapi mereka di Tikungan Segi Tiga!"

"Eh, tapi... ia perempuan, locianpwe!" Ceng Han terkejut. "Masa harus dibiarkan mendayung seorang diri melawan laki-laki kasar di belakang perahu kita?"

"Ha-ha, kau tidak tahu kehebatan anakku, kongcu. Baiklah, mari kita lihat sepak terjangnya ini. Tapi ingat, jangan melakukan bantuan sedikitpun tanpa kehendaknya. Kaau tidak, ia akan marah dan sekali ia menenggelamkan perahu ini kita semua pasti celaka…..!" kakek itu terkekeh dan Ceng Han berdua tercengang.

Namun kakek itu tahu-tahu telah menyeret mereka dan sekali lompat saja tiga orang ini sudah berada di luar gubuk perahu. Dan begitu mereka berada di luar, Ceng Han berdua tertegun. Apa yang mereka lihat sungguh amat menakjubkan sekali. Cui Ang, si gadis cantik berbaju bijau ternyata menggerakkan dayung dengan amat hebatnya. Sepasang dayung berada di tangan gadis itu, dan keduanya bergerak secara serentak di kanan kiri tubuh perahu, menimbulkan cipratan nyaring di atas permukaan air, akan tetapi yang membuat perahu kecil yang mereka tumpangi ini seakan terbang!

"Ah…!" Ceng Han celangap, dan pemuda baju biru juga menbuka matanya lebar-lebar. "Hebat... sungguh hebat….. luar biasa sekali, amat mengagumkan...!" teman Ceng Han ini berseru saking takjubnya dan kakek Cui tertawa tergelak.

"Ha-ha, ini belum seberapa, Souw-kongcup karena puteriku itu mampu menerbangkan benar-benar perahu kecil ini apabila keadaan memaksa. Tapi sudahlah, kita belum perlu membuktikannya sampai nanti malam. Sekarang lihatlah di belakang itu, bukankah mereka kalah jauh....?" kakek ini menudingkan lengannya sambil berkata bangga dan Ceng Han memang melihat tiga perahu yang menguntit mereka itu tampak tertinggal di belakaug dalam sekejap mata saja, sedangkan yang empat dan tadi muncul di sebelah kiri tidak kelihatan bayangannya lagi.

"Nah, bagaimana Souw-kongcu? Kau masih perlu membantunya?"

Tawa kakek ini membuat muka Ceng Han merah dan dia menggelengkan kepala sambil memandang kagum ke arah puteri Si Belut Emas ini dengan mata bersinar. "Ah, tidak, locianpwe, putetimu itu ternyata amat dilular dugaanku semula..."

"Ha-ha, dan kau tidak merasa khawatir, bukan?"

Ceng Han mengangguk.

"Baiklah, ayo kita masuk ke dalam kalau begitu!" kakek ini berkata dengan muka berseri dan dia sendiri sudah melompat masuk ke dalam gubuk perahu, diikuti Ceng Han dan temannya yang masih terbelalak kagum, Cui Ang yang ditonton tamu-tamunya tampak tak menggubris, tapi kerling matanya yang sekilas ke arah Ceng Han tadi jelas menunjukkan kebanggaan hatinya.

"Ayah, dan ji-wi kongcu, harap kalian tenang-tenang saja di dalam. Aku tidak akan membiarkan tikus-tikus di belakang itu mengejar kita. Akan tetapi berhati-hatilah, barangkali sewaktu-waktu perahu ini akan melonjak kaget di atas air, hi-hikk…..!" gadis itu berseru memperingatkan dari luar dan ayahnya tersenyum lebar.

"Ang-ji, jangan mengejutkan tamu-tamu kita, Kalau tidak perlu sekali, jangan ugal-ugalan kau, awas?" kakek Cui berteriak. "Hanya bila ada kejadian luar biasa sajalah boleh kau memberitahuku. Mengerti?"

Gadis di ular itu tertawa. "Hi-hik, jangan khawatir, ayah. Asal kau tidak lupa menyisihkan sebagian makanan untukku masa anakmu ini akan ugal-ugalan? Sudahlah, ayah, kau siapkan saja hidangan istimewa untuk tamu-tamu kita itu! Bukankah minuman ringan sudah kusuguhkan?"

Kakek ini memaki anak perempuannya, akan tetapi dia tidak gusar. Ceng Han dan pemuda baju biru yang mendengarkan pembicaraan dua orang ayah beranak ini hanya tersenyum saja, dan mereka melihat betapa kakek itu tiba-tiba menyambar ikan sebesar bayi yang terletak di atas meja.

"Gelatik Emas, dan kau Sonw-kongcu, hampir saja lohu kelupaan memberikan hidangan kepada kalian. Eh, apakah kalian tahu ikan apa ini?" kakek itu memecet kepala ikan dan Fan Li sudah mendahului Ceng Han memberikan jawaban.

"Cui-locianpwe, bukankah itu kakap putih yang biasa terdapat di air taut?"

Kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha, Gelatik Emas, rupanya kau orang yang cerdas sekali. Memang tidak salah, ini adalah kakap putih yang lohu dapatkan secara kebetulan saja!"

"Tapi, locianowe…." Ceng Han menyela, "Bukankah kakap biasanya tidak terdapat di sungai?"

Kakek itu menggerakkan kepalanya. "Han Souw-kongcu juga berpikiran hidup. Tidak lohu sangkal, ikan ini memang bukan binatang yang suka hidup di sungai. Akan tetapi, kongcu, bukankah pemancing juga tidak hanya mengail di sungai saja? Nah, kemarin secara kebetulan belaka lohu mendapatkan ikan ini di muara Sungai Huang-ho. Lohu mendapatkannya dari seseorang dan justeru karena inilah lohu menanti-nanti datangnya si Gelatik Emas!"

"Hmm, dari Liok-su, looianpwe?" pemuda baju bitu bertanya.

"Ya...." kakek itu menganggukkan kepala. "Apakah kau sudah dapat menduga isi pembicaraan in.?"

Namun orang yang ditanya menggeleng heran. "Tidak, locianpwe. Apakah ada suatu pesan istimewa?"

Kakek ini terkekeh ditahan. "Terus terang aku juga kurang mengetahuinya, Gelatik Emas, tapi guru silat itu berkata bahwa ada suatu yang amat berharga sekali untukmu di dalam perut ikan ini."

"Ah.....!" pemuda baju biru itu terbelalak. "Kalau begitu kita belah saja, Cui-locianpwe!"

Kakek she Cui ini tertawa kembali dan tiba-tiba kuku jarinya mengurat perut ikan. "Gelatik Emas, kau rupanya terburu-buru sekali. Padahal, lohu yang sudah sehari dengan ikan ini masih tenang-tenang saja menunggu kedatanganmu. Untuk apa tergesa-gesa? kita saksikan saja petunjuk guru silat itu tentang keadaan ikan ini... brett!"

Kuku jari si kakek Cui membelah perut ikan dan seperti sebuah pisau saja tiba-tiba isi perut itu berhamburan keluar. Pemuda baju biru dan Ceng Han memandang tak berkedip, tapi sementara itu yang keluar hanyalah usus dan bagian-bagian yang lain dari kakap putih ini. Dua orang pemuda itu merasa heran, tapi si pemuda baju biru rupanya di iringi rasa tegang. Karena sampai seluruh isi perut sudah dikuras habis dan tidak ada apa-apanya yang menarik perhatian, pemuda ini membelalakkan mata dan mendesis kecewa.

"Aih, kenapa kosong, locianpwe?"

Kakek itu juga menggumam heran. "akupun tidak tahu, Gelatik Emas. Apakah guru silat she Liok itu main-main?"

Tapi tiba-tiba Ceng Han berseru mengejutkan dua orang ini. "Hei, Cui-locianpwe, apakah tangan pemuda itu?" tangan pemuda ini menuding ke kotoran dan pemuda baju biru serta si kakek aneh terbelalak kaget.

Sebuah benda hitam kecil melongok sedikit pada lubang kotoran ikan itu, dan kakek Cui cepat mencabutnya. Ternyata, sebuah gulungan kain berwarna hitam yang dilinting kecil sedemikian rupa sehingga menyelip di dalam dubur kakap putih. Dan begitu dibuka, kiranya itu adalah sebuah peta rahasia tentang sebuah bangunan kuil... Kuil Hitam.

"Aih ini dia....!" kakek berjuluk si Belut Emas itu berteriak girang, dan dia tertawa bergelak. "Ha-ha, Gelatik Emas, sekarang telah kita depatkan rahasia yang sudah lama kita cari-cari ini. Lihatlah, peta ini masih demikian jelas menunjukkan kepada kita di mana letaknya daerah yang kita cari selama ini. Wah, sungguh kita beruntung…..!"

Kakek itu terkekeh gembira dan si Gelatik Emas juga berseri mukanya. Ceng Han melihat dua orang ini seperti orang-orang yang mendapatkan anugerah dewa menemukan peta yang tidak dimengertinya itu, dan dia merasa heran.

"Li-twako, peta apakah ini?" Ceng Han bertanya tak mengerti dan pemuda itu menoleh kepadanya sambil tersenyum lebar.

"Souw Han-te, ini adalah peta yang amat penting sekali bagiku. Bahkan juga barangkali bagimu. Karena itu, memperoleh peta ini sama halnya dengan memperoleh kembali nyawa teman-teman kita yang tertawan musuh!"

"Ah, begitukah…?" Ceng Han terkejut. "Jadi orang yang twako cari itu tertangkap musuh?"

Pemuda ini menganggukkan kepalanya. "Tidak salah, Han-te, dan karena itulah aku berjuang mati-matian untuk membebaskannya."

"Berapa orang jumlahnya, twako?"

"Satu keluarga!"

"Satu keluarga...?"

"Ya! Dan untuk itulah aku siap mengorbankan nyawa sendiri, Han-te, karena mereka adalah orang-orang penting dari istana!"

"Ahh...!" Ceng Han terbelalak kaget, dan baru sekarang dia mengerti betapa pentingnya orang yang dicari-cari oleh sahabat barunya itu. "Twako, mereka... orang-orang istana katamu? Apakah kaisar atau sanak kerabatnya? Kalau begitu, aku siap membantumu, twako, menghajar orang-orang yang tidak tahu malu itu…..!" Ceng Han mengepal tinju dan jiwa patriotnya bangkit mendengar ada orang dari istana ditawan musuh.

Tapi si Gelatik Emas ini tersenyum getir, dan dia memandang Ceng Han dengan muka muram. "Souw Han-te, agaknya tanpa kuberi tahu bahwa ada seorang pembesar istana yang ditangkap musuh kaupun pasti juga akan meluruk ke tempat itu karena, konon kudengar kabar berita bahwa twa-suhengmu sendiri, saudara Lek Hui yang sudah diangkat oleh sri baginda sebagai pembantu panglima itu juga ditawan oleh manusia-manusia terkutuk ini."

"Apa....?" Ceng Han melonjak terkejut. "Twa-suhengku ditangkap orang?"

Pemuda baju biru itu menganggukkan kepalanya dengan pasti. "Begitulah menurut berita yang dapat dipercaya, Souw Han-te. Maka untuk inilah aku juga siap membebaskan saudara seperguruanmu yang gagah perkasa itu."

"Ahh...!" Ceng Han tertegun tak mampu membuka mulut dan kakek Cui tiba-tiba bangkit berdiri memasang lampu.

"Souw kongcu, jangan berkecil hati. Lohu juga siap menghadapi orang-orang yang tidak tahu malu itu karena di samping twa-suhengmu yang tertangkap, juga lohu mendengar bahwa adikmu perempuan juga ditawan oleh siauw-pangcu dari perkumpulan setan itu."

"Hiat-goan-pang….?"

"Ya."

Ceng Han terbengong kaget mendengar jawaban singkat ini dan tiba-tiba dia merasa matanya nanar. "Loecanpwe, ini… bagaimana Hiat-goan-pang bisa muncul kembali?"

"Maksudmu?!" kakek Cui bertanya heran.

"Karena delapan hari yang lalu Perkumpulan Gelang Berdarah itu telah kami hancurkan!"

"Kami..?"

"Ya, aku dan adik perempuanku itu, ditambah lagi oleh Pendekar Gurun Neraka yang datang secara tidak disangka!"

"Aih...!" mendadak pemuda baju biru mengeluarkau seruan kaget. "Kau bertemu dengan Pendekar Gurun Neraka, Han-te?"

Ceng Han menatap muram. "Begitulah, twa-ko, dan justeru kedatangannya itulah yang telah membebaskan diriku dari tawanan ketua Thiat-goan-pang yang ternyata dulunya adalah orang-orang dari kelompok Me-sau Ngo-yu itu." Ceng Han lalu menceritakan serba singkat keadaannya beberapa waktu yang lalu itu dan untuk nama Pendekar Gurun Neraka sendiri tidak terlalu banyak disebutnya.

"Maka tidak aneh kalau aku menjadi heran mengapa Cui-locianpwe menyebut-nyebut kembali nama perkumpulan itu karena, bukankah Hiat-goan-pang sudah kami hancurkan?" demikian Ceng Han akhirnya memberikan komentarnya dan kakek Cui mendadak tersenyum lebar.

"Ha-ha, Souw-kongcu, apa yang kau kira ini sesungguhnya masih jauh dari kebenarannya. Sepasang ketua Hiat-goan-pang yang kau sebut-sebut tadi sesungguhnya bukanlah ketua pusat. Ketua pusat sendiri berada di tangan seorang yang kelihaiannya jauh di atas mendiang The-lo-heng-te. Wah, tidak aneh kalau kau menjadi bingung! tahunya, kau sudah pernah terjebak oleh perbuatan dua orang kakek iblis itu, kung-cu? Ha-ha, dan mereka ternyata sudah mampus oleh tangan besi Pendekar Gurun Neraka. Bagus, sang ketua pusat tentu bakal jingkrak-jingkrak mendengar kabar ini...!" kakek itu menyambar guci araknya dan dia tertawa-tawa gembira dengan wajah berseri.

Tapi Ceng Han tiba-tiba melompat bangun. "Cui-locianpwe, kau salah kalau mengira The-lo-hengte tewas di tangan Pendekar Gurun Neraka. Dua orang kakek itu tewas karena serangan gelap dari belakang!"

"Hehh…?" kakek Cui terkejut. "Bukan dibunuh Pendekar Gurun Neraka, Souw-kongcu?"

Ceng Ran mengangguk. "Memang bukan, Cui-locianpwe, dan Pendekar Gurun Neraka sendiri merasa kaget dengan kecurangan ini."

"Hai…!" kakek ini terbelalak. "Tapi bekas jenderal muda itu tentu tahu siapa si penyerang gelap itu, Souw-kongcu?"

Ceng Han menggelengkan kepalanya. "Menyesal, locianpwe, Pendekar Gurun Neraka tidak dapat menangkap orang itu karena katanya gerakannya luar biasa hebat. Dia sendiri menyatakan kagum akan kelihaian ginkang si penyerang ini dan hanya pakaiannya yang berwarna hijau itu sajalah yang sempat di tangkap. Selebihnya, Pendekar Gurun Neraka tidak tahu apa-apa kecuali am-gi itu rupanya..." Ceng Han menghentikan keterangannya dan kakek Cui tertegun.

"Am-gi?"

"Ya"

"Berujud pisau, kongcu....?"

"Bukan, locianpwe, melainkan senjata gelap yang aku sendiri baru pertama kali itu tahu."

"Wah, apa gerangan?" kakek Cui tertarik. "Seperti paku, locianpwe, tapi berulir hingga mirip sebuah bor....."

"Hei, Toat-beng-cui....!" kakek ini tiba-tiba berteriak dan Ceng Han menganggukkan kepalanya.

"Tidak salah. Cui-locianpwe, karena kudengar Pendekar Gurun Neraka sendiri juga menyebutnya demikian."

"Ahh… kakek ini membelalakkan matanya dan tiba-tiba dia menoleh ke arah si pemuda baju biru. "Gelatik Emas, rupanya iblis itu muncul lagi?"

Pemuda yang di tanya menganggukkan kepala dengan sinar mata gentar. "Agaknya begitulah, locianpwe, karena kudengar Pendekar Gurun Neraka dahulu juga pernah menyinggung-nyinggung orang itu sebelum kami saling berpisah."

"Akan tetapi, apa hubungannya dengan Perkumpulan Gelang Berdarah?" Ceng Han tiba-tiba menyela dan kakek Cui itu memandangnya.

"Hm, tentu saja ada hubungannya, Souw. kongcu. Kalau tidak, mengapa dia ikut campur dalam urusan ini?" kakek itu menoleh kembali ke arah si pemuda baju biru dan bertanya, "Gelatik Emas, apakah kau dapat menduga apa yang terjadi dalam peristiwa ini?"

Pemuda baju biru itu mengerutkan alis. Dia tidak segera menjawab, melainkan memandang ke arah Ceng Han, "Souw Han-te, apakah kau tidak tahu apa kira-kira yang menyebabkan dua iblis The-lo-hengte itu dibunuh secara gelap?"

Ceng Han mengingat-ingat, dan pemuda ini tiba-tiba menepuk dahinya. "Ah, ada, Li-twako... ada sesuatu yang memang aneh. Ah, agaknya itulah yang menyebabkannya!" Ceng Han tidak meneruskan bicaranya ini dan dua orang itu memandangnya penuh perhatian.

"Apa yang aneh, Han-te?"

Ceng Han menatap pemuda baju biru itu. "Li-twako, barangkall inilah satu-satunya jawaban tentang pertanyaan itu, karena ketika The-lo-hengte diserang orang justeru Pendekar Gurun Neraka sedang menanyakan seseorang yang aku sendiri tidak tahu siapa."

"Hem, apa pertanyaannya, Han-te?"

"Dia hanya menanyakan di manakah orang yang dia cari itu berada dan menyebut dua orang kakek The itu sebagai anjing-anjing penjaga orang yang dicari."

"Ah…!" pemuda baju biru dan kakek Cui mengeluarkan seruan hampir berbareng dan secara aneh keduanya tiba-tiba sating pandang.

"Getatik Emas, kalau begitu murid Takla Sin-jin itu sudah menemukan jejak musuhnya?" kakek ini tiba tiba mengemukakan pendapatnya dan, pemuda baju biru itu terbelalak di tempat itu.

"Agaknya begitulah, locianpwe. Tapi bagaimanakah kesimpulan locianpwe sendiri tentang kejadian ini?"

Kakek Cui merenung, "Tentu gerakan tutup mulut, apalagi?" Ucapan kakek ini disambut anggukan oleh pemuda baju biru itu dan si Gelatik Emas mendongakkan kepala.

"Cui-locianpwe, rupanya pekerjaan kita benar-benar berat sekali. Apakah locianpwe tetap pada rencana semula untuk memasuki sarang berbahaya itu?"

Kakek ini menegakkan lehernya. "Wah, tentu saja, Gelatik Emas! Apakah kau merasa jerih?"

Pemuda itu semburat mukanya. "Bukan begitu, locianpwe. Tapi kalau kita sudah mulai dapat menduga siapa-siapa yang ada disana, bukankah semestinya kita harus lebih berhati-hati? Dengan menambah teman yang dapat diandalkan misalnya, barangkali kita tidak perlu bekerja dua kali. Pahamkah locianpwe tentang apa yang kumaksudkan?"

"Ha-ha, Gelatik Emas, rupanya pengaruh ilmu perangmu masih melekat kuat di sini. Bagus, itu memang baik-baik saja! Akan tetapi, apakah kau kira lohu juga berani sembarangan bergerak apabila tidak memperhitungkan segalanya dengan masak? Sudahlah, anak muda, percaya pada lohu dan kita tetap maju seperti rencana yang telah kubuat!"

"Hm, kalau locianpwe ternyata mempunyai rencana yang belum kuketahui, baiklah, aku tidak akan menolaknya. Tapi bagaimana dengan saudara Souw ini, locianpwe?" pemuda baju biru itu mengangkat bahunya dan kakek Cui tertawa.

"Ha, kalau Souw-kongcu ini tentu saja ikut kita, Gelatik Emas. Eh, bukankah begitu, Souw-kongcu?" kakek ini meuoleh ke arah Ceng Han dan Ceng Han mengangguk hati-hati.

"Kalau itu adalah suatu perjuangan luhur mengapa aku mesti menolaknya, locianpwe? Akan tetapi, bagaimana dengan adikku sendiri juga twa suheng? Dan terus terang aku masih kurang jelas dengan maksud tujuan locianpwe ini. Karena itu, kalau boleh aku bertanya, siapakah orang istana yang tertawan itu, locianpwe? Dan siapa pula pembunuh The-lo-hengte? Melihat sikap locian-pwe, agaknya locianpwe tahu tentang kesemuanya ini."

Kakek itu tertawa lagi "Souw-kongcu, memang apa yang kau tanyakan itu betul. Maka untuk membuat hatimu tidak penasaran lagi baiklah lohu beritahukan di sini bahwa orang yang tertawan itu bukan lain adalah Wen-taijin! Kong-cu kenal dengan pembesar itu? Dia bukan lain adalah tangan kanan sri baginda sendiri, orang kepercayaan yang sedang membawa suatu benda amat berharga bagi negara. Dan sekarang, orang yang amat penting ini jatuh ketangan musuh yakni orang-orang dari Perkumpulan Gelang Berdarah beserta seluruh keluarganya sebagai sandera! Apakah kongcu mulai puas?"

Ceng Han terkejut. "Wen-taijin, locianpwe?"

"Ya!"

"Ah, bagaimana hal itu bisa terjadi?" pemuda ini terbelalak.

Pemuda baju biru kini tiba-tiba menyeta di tengah pembicaraan, "Sauw Han-te, itu semua berkat kelicikan dari tokoh Hiat-goan-pang. Menurut kabar yang baru saja kuterima, konon ada pengawal dalam istana yang berkhianat. Dan gara-gara mereka itulah Wen-taijin terjebak."

"Ah... Dan Perkumpulan Gelang Berdarah yang menangkapnya, Li-twako?" Ceng Han tertegun.

"Begitulah menurut kabar yang kuterima." si Gelatik Emas ini menganggukkan. kepala, "Tapi yang mengerjakan itu semua katanya adalah Si Pisau Kilat!"

"Si Pisau Kilat...?" Ceng Han mendelong dan kakek Cui tiba-tiba menepuk pundaknya sambil terrawa.

"Souw-kongcu, jangan mendelong saja. Apakah kau tidak ada pertanyaan lain?"

Ceng Han terkejut. "Ah, ada, masih ada satu Lagi, yaitu tentang pembunuh dua iblis The-lo-heugte itu."

Kakek Cui mengerutkan alis. "Hm, pertanyaan ini? Wah, aku baru mulai menduganya saja, kongcu, tapi kukira hasilnya juga tidak akan meleset jauh. Sebelum menjawab, apakah kongcu pernah mendengar nama seorang tokoh dari Pulau Hek-kwi-to?"

Ceng Han tersentak mendengar pertanyaan int. "Hek-kwi-to, locianpwe?"

"Ya, tokoh yang tinggal di pulau itu."

"Ah, tentu saja. Bukankah dia adalah susiok Pendekar Gurun Neraka serdiri?"

"Benar," kakek Cui tersenyum. Dan orang itulah yang menjadi dugaan lohu sebagai pembunuh dua iblis The-lo-hengte bersaudara, Souw-kongcu."

Ceng Han celangap dan muka pemuda ini beruhah seketika, jadi orang itu yang menjadi pembunuh dua iblis The itu, Cui-locianpwe?"

Kakek ini mengangguk, "Baru dugaanku saja, kongcu, mengingat senjata gelapnya yang terkenal puluhan tahun yang lalu itu. Akan tetapi, kongcu juga sudah mendengar kelihaiannya, bukan?"

"Ya… ya, ayah memang pernah menceritakan tentang tokoh itu kepada kami berdua. Tetapi, locianpwe, bukankah orang ini sedang dihukum di Pulau Hek-kwi-to? Bagaimana dia bisa muncul?" Ceng Han menjadi heran dari kakek itu menarik napas berat.

"Hm, kau rupanya belum tahu, kongcu. Dia telah lolos semenjak satu tahun yang lalu."

"Lolos....?" Ceng Han terkejut. "Bagaimana dia bisa tolos, locianpwe?"

"Entahlah mana lohu tahu? Tapi yang jelas dia adalah orang yang amat tinggi kepandaiannya. Dan dengan munculnya dia sekarang ini, dunia kang-ouw pasti bakal gempar oleh sepak terjangnya! Tidak tahu, apakah kongcu dapat menduga kelanjutan cerita ini?"

Ceng Han melengeong tidak mengerti. "Kelanjutan ceritera tentang apakah, loeianpwe?"

"Hm, kelanjutan ceritera tentang hubungannya dengan Hiat-goan-pang tentu saja! Habis tentang apalagi?"

Ceng .Han terbelalak. "Hitt-goan-pang? Jadi locianpwe yakin tokoh ini ada hubungannya dengan Perkumpulan Gelang Berdarah itu, locian-pwe? Jadi kalau begitu, dia... dia.... ah, tahu aku sekarang! Locianpwe hendak mengatakan bahwa susiok Pendekar Gurun Neraka ini sebagai ketua pusatnya?" Ceng Han menepuk dahi dengan kaget dan kakek Cui itu tertawa pahit.

"Ha, kau rupanya cerdas juga, Souw-kongcu. Tidak salah, lohu dan si Gelatik Emas ini memang mulai menduga bahwa si biang keladi dalam urusan Hiat-goan-pang itu pasti tokoh dari Pulau Hek-kwi-to ini. Kalau tidak, masa dia bisa mengumpulkan iblis iblis macam Si Pisau Kilat itu dan yang lain? Maka, ada kabar terakhir yang lohu terima bahwa Cheng-gan Sian-jin, datuk sesat yang pandai sihir itu juga kini telah bekerja sama di dalam Perkumpulan Gelang Berdarah itu! Bayangkan, kalau bukan orang yang berkepandaian tinggi mana bisa mengumpulkan iblis-iblis seperti Cheng-gan Sian-jin segala? Dan yang lebih berbahaya lagi, orang-orang ini mengadakan persekutuan untuk merobohkan sri baginda Kou Cien dengan sisa-sisa bala-tentara Wu yang telah porak-poranda itu. Hem, bagaimana persoalannya tidak boleh di bilang serius?"

Ceng Han terhenyak sekarang dan pemuda ini membuka matanya lebar-lebar. "Persekutuan untuk merobohkan kerajaan, locianpwe?"

"Ya," kakek itu mengangguk. "Dan mereka sudah mulai menawan. Wen-taijin sebagai sandera penting!"

"Ah, dan adik serta twa-suhengku ditangkap oleh manusia-manusia iblis macam itu?"

"Begitulah, kongcu, menurut apa yang baru saja kuterima kabar beritanya."

"Keparat...!" Ceng Han menggeram dan mengepal tinju. "Aku harus membuat perhitungan dengan orang-orang yang tidak tahu malu ini, locianpwe!"

"Ya, tentu saja, Souw-kongcu. Dan kita sekarang ini justeru sedang pergi ke tempat mereka. Dengan peta yang sudah ada di tangan, kita dapat menyelundup masuk tanpa harus menghadapi resiko yang lebih besar mengingat hadirnya iblis-iblis macam Si Pisau Kilat itu serta Cheng-gan Sian-jin sendiri di dalam markas besar Perkumpulan Gelang Berdarah. Bukankah begitu, Gelatik Emas?" kakek ini menoleh kepada pemuda baju biru dan pemuda itu menganggukkan kepalanya.

"Apa yang locianpwe katakan memang benar. Bertindak nekat tanpa perhitungan cermat adalah suatu gegabahan yang sia-sia belaka. Dan Souw Han-te tentunya tidak menghendaki kegagalan dalam pekerjaan ini, bukan?"

Ganti Ceng Han yang dipandang dan pemuda baju biru itu tersenyum dalam bicaranya. Ceng Han mengerti, bahwa sahabat barunya itu hendak menyadarkan dia dari emosi yang keluar garis kewaspadaan, maka diapun dapat menerimanya dangan mata terbuka, karena itu diapun lalu memandang teman barunya itu dengan muka sungguh-suagguh. 

"Li-twako, harap jangan khawatir tenting tindakanku nanti, biarpun aku marah melihat kecurangan ini namun aku bukanlah orang yang suka sembrono. Dengan pimpinan Cui-locianpwe, kuharap kita semua dapat menyelesaikan pekerjaan yang berat ini sampai berhasil. Bukankah begitu, Cui-locianpwe?!

Kakek ini tertawa kecil. "Souw-kongcu, dan kau Gelatik Emas, lohu harap kalian tidak hanyut dalam gelora jiwa muda apabila melihat hal-hal yang dapat menaikkan darah kalian. Karena pekerjaan ini menyangkut adik dan twa-suheng Souw-kongcu, juga Wen-taijin sekeluarga yang amat penting sekali artinya bagi kerajaan Yueh, maka lohu harap kalian berdua benar-benar suka menuruti nasihat lohu. Sekarang baliklah kita mengisi perut dahulu dengan ikan panggang ini dan untuk peta biarlah si Gelatik Emas yang menyimpannya. Gelatik Ennas, terimalah benda ini untukmu. Lohu sudah melihatnya!" kakek Cui melemparkan peta rahasia tentang Kuil Hitam itu dan si Gelatik Emas menyambut.

Mereka bertiga lalu bicara diseling dengan memanggang ikan, din Ceng Han mendengarkan rencana kakek Cui tentang penyelundupan ke Kuil Hitam yang baru sekali ini didengar namanya. Membayangkan hadirnya tokoh-tokoh seperti Si Pisau Kilat dan Cheng-gan Sian-jin di markas besar Perkumpulan Gelang Berdarah memang dapat mendirikan bulu roma, akan tetapi karena Ceng Han bukanlah seorang penakut maka diapun sama sekali tidak merasa gentar.

Tertangkapnya Ceng Bi dan twa-suhengnya di tempat itu sudah membuat Ceng Han naik darah, apalagi masih ditambah lagi dengan tertawannya Wen-taijin di perkumpulan itu. Maka hal ini malah membuat dua keuntungan sekaligus, yakni di samping mencoba membebaskan adik dan kakak seperguruannya juga sekalian membebaskan pembesar Wen sekeluarga yang berarti menambah jasa bagi negara!

Dengan begitu, Ceng Han bahkan menjadi semakin mantap dan dengan bimbingan si kakek Cui yang banyak pengalaman itu dia berharap semua pekerjaan yang akan mereka lakukan ini berhasil dengan baik. Tidak memperhitungkan resiko-resiko yang mungkin harus mereka bayar dengan mahal!

* * * * * * * *

Malam sudah mulai datang. Bulan yang muncul sepotong di atas pohon memantulkan cahayanya yang keemasan di atas permukaan air sungai. Tapi perahu kakek Cui masih terus melaju. Kecipak air yang mendesau lembut di kedua sisi kendaraan air menunjukkan bahwa pengemudinya, Cui Ang yang mendayung sambil tersenyum gembira itu tampaknya tidak mengenal lelah. Dan gadis itu tampaknya memang demikian.

Kegelapan malam yang meliputi seluruh permukaan sungai tidak berpengaruh baginya, karena sinar bulan yang remang-remang keemasan cukup membuatnya tenang. Akan tetapi, meskipun demikian Cui Ang tidaklah meninggalkan kewaspadaannya. Dan hal ini rupanya memang tidak sia-sia.

Derap seekor kuda cukup mengoyak perhatiannya, akan tetapi derap itu yang jauh terdengar di tepi sungai sana tidak mampu menembus pandangannya dalam tirai malam yang pekat itu. Cui Ang mengecilkan lampu Ling yang ada di atas perahu. Dayung sepasang dilempar sebuah, yang kanan tetap mengayuh tapi yang kiri menggerayangi kantung baju meraba senjata am-gi.

Memang sudah biasa bagi kaum persilatan untuk selalu membawa-bawa senjata gelap begitu, hanya bedanya bagi yang berwatak bersih tidak melumuri racun sedangkan bagi yang kotor adalah sebaliknya. Derap kuda yang terdengar jauh di sana tiba-tiba berhenti, dan Cui Ang mencurahkan pendengarannya sepenuh perhatian. Tidak terdengar apa-apa.

Malam masih sama pekatnya, dan desir air juga masih sama bunyinya. Tetapi kesenyapan ini hanya sekejap saja, karena begitu ringkik kuda terdengar maka derap itu berdetak lagi. Sesosok bayangan muncul di kegelapan sana, dan seekor kuda tinggi besar mambayang samar-samar tanpa penunggang.

Cui Ang merasa heran, akan tetapi kecurigaannya seketika timbul, Dan belum dia berbuat sesuatu tiba-tiba tiga desir angin meluncur dari dalam gubuk perahu. ltulah kakek Cui dan dua orang tamunya.

"Siapa, Ang-ji?" Cui Ang mengerutkan alis.

"Seekor kuda, ayah... tanpa penunggang!"

"Hmm, benarkah? Gelatik Emas, apa yang kau lihat?"

"Sama, Cui-locianpwe. Seekor kuda tanpa penunggang," si pemuda baju biru menjawab.

"Dan kau, Souw-kong-cu?"

Ceng Han menjawab lirih, "Dengan penunggang, locianpwe, seorang laki-laki...."

Cui Ang dan si Gelatik Emas berbareng mengeluarkan seruan, tapi kakek Cui terkekeh kecil. "Bagus, pandanganmu tajam, Souw-kongcu! Akan tetapi di manakah penunggannya?"

"Di bawah perut kuda, locianpwe, menyelinap di antara keempat kakinya!"

"Wah...!" Cui Ang dan pemuda baju biru terbelalak dan ketika mereka melihat bahwa memang benar di antara keempat kaki kuda itu terdapat seorang laki-laki yang menyelinap di perut kuda! Cui Ang tertegun, dan pemuda baju biru juga tercengang. Kelihaian putera Ciok-thouw Taihiap itu dalam mengawasi kepekatan malam kiranya telah membuktikan kepada mereka berdua bahwa tingkat mereka masih berada di bawah pemuda ini, dan puteri kakek Cui itu melirik kagum.

"Souw-kongcu, apakah dia hanya seorang diri saja?"

Ceng Han menoleh. "Untuk sementara ini nona."

"Untuk sementara ini...?"

"Ya, karena kudengar derap kaki kuda yang lain datang menyusul. Bukankah demikian, Cui-locianpwe?" Ceng Han memandang kakek Cui dan kakek ini terkekeh kagum.

"Ha, telingamu tajam juga, kongcu. Tidak tahu, berapa ekorkah yang datang menurut pendengaranmu?"

Ceng Han memasang telinganya. "Enam ekor, locianpwe, kalau pendengaranku cukup sempurna."

Tapi kakek Cui menggoyang lengannya sambil tertawa. "Salah, kongcu. Bukan enam melainkan tujuh. Dengarlah…..!"

Dan baru saja ucapan ini selesai tiba-tiba terdengarlah derap kaki kuda yang berdetak nyaring di kesunyian malam itu. Cui Aug dan pemuda baju biru terbelalak heran dan mereka semakin kagum akan kelihaian pendengaran Ceng Han yang ternyata sudah mendengar derap kaki-kaki kuda itu sebelum mereka. Dan tepat ketika mereka menengok, tampaklah apa yang mereka tunggu-tunggu ini.

Beberapa bayangan gelap muncul di kejauhan sana, tidak begitu jelas namun cukup untuk bisa dihitung. Satu, dua... empat, dan akhirnya enam ekor kuda berpacu cepat menyusuri tepi sungai mendekati tempat mereka!

Si Gelatik Emas tertegun, dan Cui Ang juga menoleh memandang ayahnya. "Ayah, hanya enam ekor saja. Bagaimana kau bilang tujuh?"

Tapi baru saja kata-kata ini lenyap tiba-tiba di belakang enam elor kuda yang sedang berpacu itu mendadak terdengar derap seekor kuda yang terakhir. Ternyata inilah pendatang baru yang tidak tertangkap telinga Ceng Han dan begitu puteri kakek Cui ini menutup mulutnya munculah penunggang kuda itu!

"Ah, tujuh ekor, Cui-locianpwe. Tepat seperti terkaanmu!" Gelatik Emas berseru kagum dan Cui Ang kali ini tercengang.

"Hei, benar, ayah tujuh ekor!" gadis itu akhirnya menyambung pula dan kakek Cui tertawa kecil.

"Anak-anak, kalian masuklah. Biar lohu yang mengemudikan perahu kali ini. Ang-ji, serahkan dayung…!" kakek itu menggerakkan tangannya dan Cui Ang sudah melempar dayung begitu ayahnya meminta. Tapi gadis ini tidak segera masuk dan Ceng Han serta temannya juga masih berdiri di situ.

"Ayah, aku ingin melihat mereka. Kenapa disuruh masuk?"

Kakek ini melotot. "Bocah bandel, aku suruh kau masuk kenapa mesti banyak bicara lagi? Cepat, kalian bertiga masuk semua! Atau kalian minta aku menjungkir perahu ini…"

Bentakan kakek itu membuat ketiganya terkejut dan Cui Ang seketika menutup mulut. Si Gelatik Emas rupanya mau membuka suara tapi kakek yang tiba-tiba menjadi galak ini memukulkan dayungnya ke bokong pemuda itu.

"Setan cilik, kau juga jangan banyak bertanya lagi. Hayo turut perintah lohu.... plakk!"

Bokong itu dipukul nyaring dan pemuda ini menyeringai pedas. Tubuhnya terlempar memasuki gubuk perahu dan diam-diam dia memaki kakek itu. Tapi Cui Ang tertawa kecil melihat kejadian ini dan Ceng Han juga tersenyum geli.

"Li-twako, jangan layani dia lagi. Kenapa kau mau menentangnya?" Ceng Han berkata geli sementara yang diajak bicara mmggerutu perlahan.

"Sialan, kenapa belum bicara sudah digebuk duluan? Uhh, kakek Cui terlalu sekali! Masa main hantam pantat orang?"

"Hi-hik, itu salahmu sendiri, Li-kongcu. Kenapa mau bertanya lagi? Aku saja sebagai puterinya tidak berani banyak tanya begitu dia membentak kita. Tapi kau, hi-hik... rupanya belum kenal watak ayah, kongcu, dan itulah akibatnya...!" Cui Ang mentertawakan tamunya ini dan pemuda baju biru itu menyeringai masam.

"Nona Cui, tidak kusangka ayahmu itu galak. Apakah kau juga seaneh itu?"

Ceng Han menyela maju sambil tersenyum. "Twako, sudahlah jangan kau penasaran lagi. Cui-locianpwe memang menyuruh kita masuk akan tetapi dia tidak melarang kita mengintai. Nah, mengapa tidak mengintai saja? Dari pada menggerutu di sini lebih baik kita mengintai orang-orang berkuda itu yang barangkali adalah musuh-musuh kita!"

Si Gelatik Einas itu tiba-tiba berseri mukanya. "Wah, kau betul, Souw Han-te! Mengapa aku harus penasaran? Tidak boleh melihat dari luar biarlah melihat dari dalam!" dan begitu habis dia bicara pemuda inipun sudah mendahului Ceng Han mendekati dinding perahu dan mengintai sambil tertawa.

Ceng Han dan Cui Ang juga sudah ikut mengintai dan derap kaki kuda yang berpacu di tepi sungai itu kini semakin dekat jaraknya. Kakek Cui tampak mengayuh dengan tenang dan lampu ting yang terpasang redup di atas gubuk kelihatan bergoyang oleh olengnya perahu. Diam-diam Ceng Han membatin. Kalau orang-orang berkuda itu berhenti dan menyerang mereka pasti dia tidak akan berdiam diri. Meskipun kakek Cui sudah melarang mereka untuk keluar tapi kalau keadaan berbahaya tentu dia tidak akan mematuhi lagi larangan kakek ini.

Namun untunglah, tujuh ekor kuda yang kini sudah ada di sebelah mereka itu tidak mengadakan tindakan apa-apa. Enam ekor yang di depan hanya berhenti sebentar, memandang ke perahu yang didayung oleh kakek Cui lalu berderap lagi menuju ke utara tanpa banyak bertanya. Tapi tidak demikian halnya dengan penunggang kuda yang terakhir. Dia ini berhenti paling lama, mengawasi perahu kakek Cui dan tiba-tiba membentak,

"Hei, tua bangka rambut putih, apakah kau melihat sebuah perahu yang dikemudikan oleh seorang gadis baju hijau?"

Kakek Cui menoleh, pura-pura terkejut dan menjawab gemetar, "Apa… apa, kongsu (tuan yang gagah)...? Perahu yang dikemudikan gadis berbaju hijau? Oh, tidak... tidak.... lohu sama sekali tidak melihat perahu seperti yang kau tanyakan itu, kongsu. Apakah kau kehilangan isteri…?"

"Keparat! Siapa yang mencari isteri malam-malam begini? Tua bangka jahanam, kau minta dihajar, ya? Setan, terima ini kalau begitu..!" laki-taki itu membentak marah dan sekali dia mengayunkan tangan maka sebilah pisau meluncur pesat ke arah tenggorokan kakek Cui.

Kakek ini pura-pura berseru kaget mengangkat kedua tangannya seperti menangkis tapi pisau itu rupanya terlalu cepat baginya. Karena begitu dia mengangkat tangannya, pisau tahu-tahu tetah menancap di tenggorokan kakek ini. "Kongsu... ohh...capp!" kakek Cui berteriak tapi tiba-tiba tubuhnya sudah terjungkal roboh dari atas perahu!

Ceng Han dan Gelatik Emas terkejut menyaksikan kejadian ini, namun sebuah tepukan lembut menyadarkan mereka. "Ji-wi kongcu, ayah hanya bersandiwara saja. Jangan tertipu…!" seruan lirih itu membuat mereka terbelalak tapi Cui Ang yang bicara sungguh-sungguh itu tampak tersenyum mantap.

"Nona, ayahmu,...?"

"Tidak apa-apa, kongcu, jangan khawatir" Dan baru saja gadis itu menganggukkan kepalanya tiba-tiba si penunggang keda yang menyambit kakek Cui ini mengeprakkan kudanya kabur ke utara sambil tertawa mengejek. Da tidak menoleh lagi ke belakang dan juga tidak memperdulikan nasib korbannya yang dianggap tewas oleh pisau belatinya.

Akan tetapi, benarkah demikian? Tentu saja tidak. Kakek Cui telah secara lihai mengelabuhi orang ini, menjepit pisau yang disambitkan ke tenggorokannya itu sedemikian rupa sehingga Ceng Han dan si Gelatik Emaspun ikut terkecoh oleh perbuatannya yang sungguh-sungguh!

Maka begitu si penyerang belati itu kabur kakek inipun tahu-tahu telah muncul kembali di atas permukaan air sambil mengumpat dengan mulut tertawa. "Katak buduk! Siapa suruh murid keponakan Si Pisan Kilat itu muncul di sini? Uh, kalau saja tidak ingat Tikungan Segi Tiga tentu lohu sudah benamkan kepalanya itu ke dalam sungai. Hai, Ang-ji, cepat ambilkan handuk buat ayahmu ini. Keluar, setan cilik!" kakek itu berseru uring-uringan dan Cui Ang serta dua orang temannya melompat keluar.

"Ayah, kenapa tidak kau hajar orang itu tadi? Dia sombong benar, muak perutku melihatnya!" Cui Ang datang-datang sudah menegur ayah ini dan kakek itu melotot kepadanya.

"Setan cilik, gampang saja kau bicara. Atau minta rencana ayahmu ini rusak berantakan? Cuh, di Tikungan Segi Tiga nanti boleh kau balaskan perbuatannya ini terhadap ayahmu. Akan tetapi sebelum kita semua tiba di sana jangan berbuat yang tidak-tidak. Sekarang, mana pakaian kering ayahmu? Apa kau minta ayahmu mati kedinginan?"

Cui Ang tersenyum geli dan cepat dia memberikan apa yang diminta olen ayahnya itu sementara Ceng Han dan si Gelatik Enaas mengerutkan ails.

"Cui-locianpwe, kau bilang tadi bahwa orang itu adalah murid keponakan Si Pisau Kilat?"

"Ya, mengapa?"

"Jadi kalau begitu dia adalah murid dari…."

"Betul" kakek ini sudah memotong ucapan Ceng Han, "Dia memang murid Si Palu Baja!"

"Aih!" Ceng Han terkejut dan teman barunya itu juga tertegun. "Cui-locianpwe, kalau tahu begitu barangkali aku tadi tidak akan melepaskannya begitu saja."

"Hm, kenapa?"

"Karena gurunya itu dahulu mencari ayah!"

"Ha-ha, mengapa tergesa-gesa, kongcu? Di Tikungan Segi Tiga nantipun kau pasti akan bertemu. Sudahlah, harap bersabar dulu. Kita sebentar lagi akan menguras keringat dan lebih baik sekarang kalian semua masuk kembali ke gubuk perahu. Biarkan Ang-ji yang jalan lagi karena aku ingin mengawasi keadaan sekeliling..." kakek itu memegang dayungnya dan tiga orang anak-anak muda ini tidak berani membantah.

Hanya Ceng Han yang agaknya ingin tahu sesuatu itu coba-toba bertanya, "Locianpwe, masih berapa jauhkah perjalanan ke Tikungan Segi Tiga itu?"

Kakek ini menengok. "Enam lie lagi, kongcu. Ada apa?"

"Tidak apa-apa. Baiklah kalau begitu."

Ceng Han memutar tubuhnya setelah saling pandang dengan temannya dan tiga orang itupun melompat ke gubuk perahu. Dihitung-hitung, perjalanan enam lie tidaklah jauh. Akan tetapi karena dilakukan lewat sungai maka cukup memakan waktu juga. Dan Ceng Han yang tidak sabar menunggu itu sudah ingin cepat-cepat sampai ke sana. Namun tentu saja hal ini tidaklah mungkin dapat terjadi begitu saja.

Bulan yang semakin tinggi di angkasa kini tampak sedikit buram. Ada awan yang menghalang permukaannya. Tidak begitu tebal, tapi sudah cukup mengganggu sinarnya yang keemasan di atas bumi. Dan perahu kakek Cui yang masih terus melaju itu tampaknya tidak perduli. Kakek ini sendiri kelihatan tenang-tenang di atas perahunya, sementara kedua lengan bajunya sudah dia singsingkan sampai ke atas siku.

Seperempat jam sudah perahu itu melaju, dan tikungan Segi Tiga kini sudah membayang di depan mata. Tebing yang menjorok terjal di kedua sisinya menunjukkan hal itu, dan kakek Cui tampak menegang kedua urat lengannya. Dayung sebuah yang tadi dipergunakan kini tiba-tiba di tambah, dan kakek itu menatap tajam ke depan sungai yang gelap kehitaman di kejauhan sana.

Cui Ang tiba-tiba berkelebat keluar. "Ayah, kita sudah sampai di tempat tujuan?"

Kakek itu menengok. "Ang-ji lebih baik kau mengambil dayung daripada bertanya. Bersiap-siaplah, aku melihat sesuatu yang mencurigakan di sana…!"

Dan baru saja kakek itu babis bicara tiba-tiba Ceng Han dan temannya juga berkelebat keluar. "Cui-locianpwe, apakah kita sudah sampai di Tikungan Segi Tiga?"

Kakek ini kembali tidak menengok. "Souw-kongcu, dan kau Gelatik Emas, bersiap-siaplah. Lohu melihat keriput air yang mencurigakan di depan itu. Hei.... awas!" belum habis ucapan kakek ini mendadak di sekeliling tempat itu terdengar suitan panjang disusul gemebyarnya lampu-lampu yang terang benderang!

"Byar-byar-byarr....!" tujuh lampu hampir serentak hidup berbareng dan tahu-tahu di depan kakek Cui menghadang tujuh buah perahu nelayan yang bercat hitam!

"Ahh...!" Ceng Han berseru kaget dan gerak menyeramkan sekonyong-konyong muncul dari tengah-tengah kelompok perahu itu.

Kakek Cui mengeluarkan seruan perlahan dan Ceng Han melihat kakek itu berobah roman mukanya. Tapi sebelum kakek ini berbuat sesuatu tiba-tiba tujuh perahu hitam itu sudah meluncur ke arahnya gerak menyeramkan ini dengan kecepatan penuh siap menubruk hancur, dikemudikan oleh orang-orang berwajah bengis yang memandang mereka dengan mulut tertutup rapat namun mata melotot keji!

Kakek Cui termangu sejenak, menghentikan garakan dayungnya dan tampak tertegun. Tapi begitu orang-orang ini sudah tinggal lima meter lagi di depan perahunya mendadak kakek itu berteriak keras, "Ang-ji, Souw-kongcu, pegang perahu erat-erat. Awas... haiitt!"

Sekali bentakan nyaring ini terdengar tiba-tiba sepasang dayung di tangan kakek itu bekerja. Permukaan air dipukul kuat-kuat, kemudian kakinya menjepit tempat duduk yang bersatu dengan tubuh perahu dan begitu dia mengerahkan sinkang sambil melompat, maka perahu beserta empat orang penumpangnya inipun terbang ke atas perahu lawan dan jatuh di belakang mereka!

Akan tetapi, sunuguh celaka. Begitu perahu kakek ini berhasil melewati atas perahu-perahu lawan, mendadak saja tanpa disangka-sangka dari bawah muncul sebuah perahu dalam keadaan terbalik. Perahu ini muncul dengan tiba-tiba, dan keadaannya yang tengkurap itu persis di bawah perahu kakek Cui yang sedang meluncur dari atas. Maka kontan saja benturanpun tidak dapat dihindari lagi. Kakek Cui berseru kaget, dan Ceng Han bersama dua orang temannya juga berteriak terkejut...