Pedang Medali Naga Jilid 01 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG MEDALI NAGA
JILID 01
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pedang Medali Naga Karya Batara
TEE-KONG-BIO (Kuil Dewa Bumi), pagi itu tampak sepi. Ketua kuil, yang bernama Hok Sim Cinjin saat itu masih duduk bersamadhi di kamar belakang. Dia hanya mempunyai empat orang pembantu untuk melayani kuilnya ini, terutama melayani penduduk yang hendak bersembahyang atau membayar kaul.

Dan masing-masing tosu yang berjumlah empat orang itu sudah melaksanakan pekerjaan masing-masing untuk membersihkan kuil. Ada yang menyapu halaman, ada yang menambah hio (dupa) yang habis di meja altar dan dua yang lain sedang mengisi tempayan (gentong) raksasa di kamar mandi. Semuanya pagi itu sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Maklum, hari baru saja terang tanah.

Tapi ketika semua orang sedang melaksanakan tugasnya masing-masing mendadak seorang bocah muncul dengan tiba-tiba. Bocah ini berumur sekitar sepuluh tahunan. Mukanya tampan, tapi sinar matanya yang redup sayu membayangkan sebuah himpitan batin sedang menekan jiwanya. Dia langsung menghampiri It Yang Tosu, yakni tosu yang membersihkan halaman itu. Dan begitu sampai di muka orang bocah inipun berhenti memberi hormat.

“Totiang, bolehkah aku bertanya di mana tempat tinggal Pendekar Gurun Neraka?"

It Yang Tosu terkejut. Dia menghentikan sapuannya, terbelalak dan terheran-heran melihat datangnya bocah itu. Namun melihat sikap yang halus dan sopan dari anak laki-laki ini diapun tertawa dan merangkapkan tangannya. "Siancai. siapa kau, tuan kecil? Dan kenapa datang-datang minta alamat Pendekar Gurun Neraka?"

"Aku Bu-beng Siauw-cut, totiang. Bocah yatim yang tidak memiliki tempat tinggal."

"Hah, Bu beng Siauw-cut?” It Yang Tosu tercengang. "Kenapa kau memiliki nama demikian aneh, bocah. Siapa yang memberimu nama itu?"

Namun anak laki-laki ini tak menjawab. Dia membiarkan tosu itu tercengang sendirian, karena Bu-beng Siauw-cut artinya adalah 'kerucuk", alias orang tak berharga. Lalu mengulang pertanyaannya dia memandang tajam tosu itu, "Kau tahu di mana tempat tinggal Pendekar Gurun Neraka, totiang? Kau dapat menolong aku memberi tahu di mana alamat pendekar itu?"

It Yang Tosu akhirnya menarik napas. Dia tentu saja tahu di mana tempat tinggal pendekar itu, karena Pendekar Gurun Neraka bukanlah nama yang tidak dikenal. Tapi tertarik dan terheran-heran mendengar anak laki-laki ini mau menemui pendekar itu tosu ini malah jadi curiga. Dia mengerutkan kening, dan tidak menjawab pertanyaan lawan dia justru bertanya, "Ada apakah kau hendak ke sana, bocah? Bolehkah pinto tahu?"

"Hm, beginikah watak tosu Tee-kong-bio, totiang? Kau ingin mengetahui urusan pribadi orang lain dan tidak memberikan jawaban? Kalau begitu sudahlah, aku tidak bertanya lagi padamu dan kita masing-masing tak perlu tahu..!” lalu, begitu memandang marah tosu ini anak laki-laki itupun memutar tubuh berangkat pergi!

Dia membuat It Yang Tosu terbelalak, merah mukanya. Tapi tosu yang tertampar oleh jawaban ini tiba-tiba menjadi marah. "Bocah, kau menghina pinto?“ It Yang Tosu melompat, menghadang di depan anak laki-laki yang aneh itu.

Dan anak lelaki yang menjadi terkejut melihat tosu Tee kong-bio ini menghadang di depannya mendadak gelap mukanya. "Totiang, apa yang hendak kau lakukan?" "Kau menghina pinto, bocah. Kau tak boleh pergi kalau belum menerima ganjaran!"

"Hm, ganjaran apa yang kau maksud?" bocah ini mengedikkan kepala. "Siapa yang lebih dulu bersalah?"

It Yang Tosu tertegun. Dia melihat bocah ini berani sekali, tak segan kepadanya yang bersikap garang. Dan It Yang Tosu yang menjadi penasaran oleh sikap itu tiba-tiba membentak, "Bocah, kau harus menyelesaikan pekerjaan pinto. Kau harus menyapu halaman ini sebagai hukuman atas kekurangajaranmu!"

Bocah itu mengepal tinju. "Siapa yang kurang ajar, totiang?"

"Kau!"

"Tapi bukankah baik-baik aku bertanya kepadamu? Kenapa justeru kau menyalahkan aku?"

"Karena kau menghina pinto, bocah. Karena kau tak tahu adat di depan orang yang lebih tua!" lalu mencengkeram bocah ini mendadak tosu itu telah melemparkan sapunya menyuruh bocah itu memenuhi permintaannya.

Tapi anak laki laki ini berontak, dan begitu dia mengayun tinjunya mendadak perut It Yang Tosu sudah ditonjok! "Tosu tua, kau yang tidak tahu adat....Buk!"

Dan It Yang Tosu yang kontan terdorong mundur beringas mukanya dengan mata mendelik. "Kau berani memukul pinto, bocah siluman?"

"Kalau kau menyakiti aku lebih dulu, to-tiang!"

"Ah..!" dan membentak dengan penuh kemarahan It Yang Tosu tiba-tiba menerjang ke depan. Ia mengulurkan tangannya, lalu menjambak dengan cepat tahu-tahu rambut anak laki-laki itu telah dicengkeram dan digaplok pipinya. "Anak setan, kau harus diujar adat... plak-plak-plak!" dan muka lawan yang tergeleng pulang balik oleh tamparan tosu itu tiba-tiba bengap pipinya dan matang biru.

Kontan, anak ini marah dan begitu dia berteriak panjang tiba-tiba lututnya bergerak menendang selangkangan tosu itu. Lalu begitu It Yang Tosu berteriak kesakitan mendadak mulutnyapun menggigit lengan lawan, yang tidak mau melepaskan jambakannya!

"Ah, ad... aduhh...!" It Yang Tosu menjerit, terpaksa melepaskan cengkeramannya. Dan tosu yang sudah terguling-guling sambil mendekap bawah perutnya yang ditendang lutut kecil bocah itu tiba-tiba sudah berkaok-kaok bagai kerbau disembelih. Tosu ini marah bukan main, dan tiga orang saudaranya yang cepat muncul mendengar keributan di depan tahu-tahu terbelalak melihat it Yang Tosu yang terguling-guling!

"Suheng, ada apa?"

"Sute, siapa bocah ini?"

It Yang Tosu bangun dengan mata melotot. Dia jadi malu dan gusar melihat dirinya berkaok-kaok akibat tendangan yang "fatal" itu. Dan marah melihat tiga orang saudaranya muricu! di situ melihat dirinya terguling-guling menghadapi seorang bocah mendadak tosu ini menyambar sapunya, sapu bergagang panjang yang terbuat dari rotan. Lilu, mendesis dengan muka beringas It Yang Tosu membentak, "Bocah ini anak siluman, suheng. Dia menyerangku setelah menanyakan alamat Pendekar Gurun Neraka...!"

Dan melompat ke depan tiba-tiba It Yang-Tosu menyerang bocah itu. Dia memutar sapunya dengan cepat, dan begitu angin bersiut menderu-deru tiba-tiba saja tubuh anak laki-laki itu telah digebuk berulang-ulang. Anak laki-laki ini terjengkang, terpukul gagang sapu yang menghantam berat di pundak kirinya. Dan begitu lawan menghajar pulang balik tubuh yang kecil ini tiba-tiba kulit anak laki- laki itu pecah berdarah dan robek-robek pakaiannya!

"Ah, hentikan, sute. Tahan kemarahanmu itu...!" seorang tosu di sebelah kanan tiba-tiba melompat, mencegah serangan It Yang Tosu ini. Dan begitu tangan kanannya bergerak tiba-tiba sapu di tangan It Yang Tosu telah dirampas dengan cepat.

It Yang Tosu terkejut. Dia berteriak kaget, tapi bocah yang luka-luka tubuhnya itu mendadak melompat bangun. Dia sekarang bebas, dan melihat It Yang Tosu tidak menghajarnya lagi mendadak dia menubruk tosu ini dan menggigit lehernya!

"Tosu tua, kau jahat....!"

It Yang Tosu terpekik. Lehernya tahu-tahu digigit mulut anak laki-laki itu. sakit sekali. Dan It Yang Tosu yang marah serta kaget langsung mengipatkan tubuhnya bermaksud melempar anak itu agar melepaskan gigitannya. Tapi It Yang Tosu mencelos hebat. Dia merasa gigitan si anak semakin menghurjam. dan begitu dia membentak sambil memutar tubuhnya tiba-tiba dia sendiri yang terguling roboh dengan leher terkuak lebar. Pecah berdarah!

"Ah, lepaskan pinto, bocah siluman..!"

Tapi anak laki-laki ini tak mau sudah. Dia terus menancapkan giginya, bahkan menghisap darah It Yang Tosu. Dan baru setelah It Yang Tosu menangkap dan membanting anak itu di atas tanah barulah tosu ini melompat bangun dengan leher terluka lebar, terkuak dagingnya dan masih digigit anak laki laki itu, seolah seekor anak harimau yang mendapat daging segar! It Yang Tosu marah bukan main. Dia tentu saja gusar setengih mati, tapi sebelum dia membalas serangan itu tiba-tiba tosu yang merampas sapunya memalangkan kaki.

"Sute, jangan siksa anak ini. Dia tak bersalah...!”

It Yang tosu tertegun. Dia terbelalak memandang suhengnya itu, Su Yang Tosu. Dan kaget serta penasaran oleh ucapan ini tiba-tiba It Yang Tosu berteriak, "Suheng, omongan apa yang kau ucapkan ini? Siapa bilang dia tidak bersalah?”

Tapi Su Yang Tosu menegakkan punggung. "Dia kulihat tak bersalah, sute. Dan itu jelas dari sepak terjangmu yang kasar. Kau tentu mendahuluinya bersikap tak baik, kalau tidak tentu bocah ini tak akan menyerangmu!"

It Yang Tosu terbelalak, dia jadi marah kepada suhengnya ini. Tapi sebelum dia mendamprat melampiaskan kemarahan tiba-tiba seorang tosu lain muncul, seorang kakek yang rambutnya digelung ke atas dan membawa tongkat.

"Siancai, ada apa kalian ribut-ribut, Su Yang Tosu? Kenapa It Yang Tosu terluka?"

Empat orang tosu itu serentak menjatuhkan diri berlutut. Yang datang kaii ini adalah Hok Sim Cinjin, guru dan juga ketua mereka. Maka Su Yang Tosu yang merupakan pembantu tertua dari kuil Tee-kong-lio ini langsung bicara,

"Teecu melihat It Yang sute berkelahi dengan bocah ini, suhu. Teecu sendiri belum tahu apa yang sebenarnya terjadi!"

"Hm, siapa anak itu, It Yang? Kenapa ribut-ribut di pagi hari?"

It Yang Tosu gemetar. Dia pucat mukanya, tapi menjawab apa adanya dia berkata, "Teecu didatangi bocah siluman ini, suhu. Dia datang menanyakan alamat Pendekar Gurun Neraka. Tapi belum teecu menjawab tahu-tahu dia menonjok perut teecu....!"

"Hm, siapa kau, bocah? Kenapa datang-datang membuat ribut di tempat kami?"

Anak laki-laki ini tertatih menghampiri. Dia baru saja dibanting It Yang Tosu. Membuat tulangnya seakan remuk. Tapi melihat wajah Hok Sim Cinjin yang ramah diapun bersikap baik. "Maafkan aku, totiang. Aku Bu-beng Siauw-cut, datang ke sini dan bertanya baik-baik tentang tempat tinggal Pendekar Gurun Neraka. Tapi sebelum pertanyaan itu mendapat jawaban tosu ini telah bersikap tak pantas kepadaku dan menjambak rambutku dengan kasar!"

Hok Sim Cinjin tercengang. "Bu-beng Siauw-cut...?"

"Ya, itu namaku, totiang."

"Ah, di mana tempat tinggalmu, bocah?"

"Aku tak memiliki tempat tinggal, totiang. Bagiku langit dan bumi adalah naungan hidupku."'

"Siancai, kalau begitu boleh pinto bertanya, anak baik? Apakah maksudmu mencari Pendekar Gurun Neraka?"

Mendadak, seperti tadi ketika It Yang Tosu bertanya tentang ini tiba-tiba muka anak laki-laki itu menjadi gelap. Dia kelihatan marah, dan Hok Sim Cinjin yang dipandang tajam tiba tiba ditanya, "Totiang, pantaskah pertanyaan itu kau ajukan? Pantaskah orang lain mengetahui urusan pribadi seseorang?"

Hok Sim Cinjin tertegun. Ketua Tee-kong-bio ini juga nampak tersentak, merah mukanya mendengar pertanyaan itu. Tapi tosu yang menarik napas ini tiba-tiba mergetrukkan tongkatnya. "Maaf, pinto rupanya kelepasan omong, bocah. Agaknya kau benci sekali mendengar orang bertanya tentang maksudmu itu. Baiklah, boleh pinto mengundangmu ke dalam kalau begitu? Kita bicara baik-baik dan menjadi sahabat?"

Namun anak laki-laki ini menggeleng. "Aku tak ada waktu, totiang. Maaf. Aku kemari hanya untuk menanyakan alamat Pendekar Gurun Neraka. Kalau totiang tidak dapat menjawab sudalah, aku akan pergi sekarang juga...!" lalu memutar tubuh anak laki-laki itu betul-betul meninggalkan Hok Sim Cinjin, tak bertanya sepatah lagi!

Tentu saja Hok Sim Cinjin terkejut, dan terbelalak melihat bocah itu meninggalkan dirinya tiba-tiba ketua Tee-kong-bio ini berkelebat ke depan. "Koai-tong (Anak Aneh), tunggu dulu. Pinto dapat menjawab pertanyaanmu...!"

Bocah itu berhenti. Dia memandang ketua Tee-kong-bio ini dengan muka berseri, dan tersenyum girang dia bertanya. "Kau betul dapat menolongku, totiang? Kau tahu di mana tempat tinggal Pendekar Gurun Neraka?"

Hok Sim Cmjin mengelus jenggotnya. "Tentu saja, Koai-tong. Tapi kau berani memberi imbalan untuk jasa pinto ini, bukan?"

Bocah itu mengerutkan kening. "Hm, imbalan apa, totiang? Mana dapat aku memberimu sesuatu?"

Tapi Hok Sim Cinjin tertawa. "Aku tak meminta balas jasa yang berat, Koai tong. Pinto hanya mengharap tenagamu seminggu di sini. Bagaimana kalau kau membantu pinto di kuil ini untuk jasa pinto memberitahumu alamat Pendekar Gurun Neraka?"

Bocah itu terhenyak. Tapi berpikir bahwa sudah sepantasnya dia memberi imbalan sebagai balas jasa kebaikan orang diapun mengangguk. “Boleh, aku menerimanya, totiang. Tapi kalau satu minggu terus terang saja aku keberatan!"

"Hm, berapa hari yang kau sanggup, Koai-tong?"

"Tiga hari saja. Kalau totiang setuju hari inipun aku akan membantu di kuilmu!"

Tapi Hok Sim Cinjin menggeleng. "Pinto menawarnya, Koai-tong. Jangan tiga hari tapi enam hari! Kau sanggup, bukan?"

Namun si bocah menggeleng. "Maaf. Aku tak mau terlalu lama, totiang. Aku sanggup hanya tiga hari saja!"

"Hm, bagaimana kalau lima hari, Koai-tong?"

"Tidak, tak bisa, totiang."

"Empat hari?"

Si bocah tiba-tiba mengeraskan sikap, "Totiang, kalau kau dapat menerimanya tiga hari bolehlah kita berkumpul selama itu. Tapi kalau totiang keberatan akupun akan bertanya pada orang lain saja!" dan si bocah yang sudah siap untuk memutar tubuh itu tiba-tiba disamout ketawa Hok Sim Cinjin.

"Siancai, kau benar-benar keras hati, Koaitong. Baiklah, kalau pinto tak dapat memaksamu untuk tinggal lebih dari tiga hari apa boleh buat. Pinto akan mengalah padamu!" dan Hok Sim Cinjin yang melangkah maju tiba-tiba menepuk pundak anak laki-laki ini. Dia kagum dan tertarik bukan main pada bocah yang dianggapnya luar biasa ini. Seorang bocah yang keras hati dan berani! Tapi si bocah yang melangkah mundur bertanya curiga.

"Tapi kapan kau akan memberi tahu alamat itu. totiang? Apakah setelah selesai waktu tiga liari itu?"

Hok Sim Cinjin tersenyum. "Maksud pinto memang begitu, Koai-tong. Apakah kau keberatan?"

"Hm, kalau begitu perjanjian batal, totiang. Aku tidak setuju kalau kau memberi tahu belakangan!"

"Ah, apa sebabnya, Koai tong? Kau kira pinto menipumu?"

"Aku tidak menuduhmu begitu, totiang. Tapi aku harus berhati-hati agar tidak sampai tertipu!"

Hok Sim Cinjin tertawa lebar. "Koai-tong. kau benar-benar aneh. Lalu bagaimana kalau ganti kau yang menipu pinto jika ini diberitahukan duluan?"

Bocah itu tiba-tiba mengedikkan kepala. "Aku akan memberikan jaminan, totiang. Aku akan menitipkan benda ini kepadamu!"

Hok Sim Cinjin terbelalak. Dia melihat si bocoh mengeluarkan sebuah benda berkilauan, semacam medali sebesar tutup mangkok. Dan Hok Sim Cinjin yang terkejut melihat benda itu tiba-tiba berseru tertahan. "Medali Naga...!"

Bocah ini tertegun. "Kau mengenalnya, totiang?"

"Ah...!" Hok Sim Cinjin menggigil pucat. "Dari mana kau mendapatkannya, Koai-tong? Siapa yang memberimu benda itu...?"

Anak ini terheran. "Aku mendapatkannya di tengah jalan, totiang. Kenapakah?"

Tapi Hok Sini Cinjin tiba-tiba telah menyambar medali itu. "Benda ini berbahaya untukmu. Koai-tong. Kau dapat dibunuh dan diancam orang-orang jahat!” lalu memandang jelalatan ke sana ke mari tiba-tiba ketua Tee-kong-bio itu berbisik, serak suaranya, "'It Yang, Su Yang, tutup kuil hari ini. Kita tak menerima tamu....!" dan menyambar tubuh Bu beng Siauw-cut tiba-tiba Hok Sim Cinjin memasuki ruang belakang. Dengan cepat ketua kuil yang tampak gelisah itu menuju ke kamarnya sendiri, kamar pribadi yang ada di sebelah taman bunga. Lalu menurunkan anak itu bergegas dia menutup pintu. “Koai-tong, sesungguhnya siapakah kau ini? Dan di mana kau dapatkan medali itu?"

Anak lakilaki ini mengerutkan alis. Dia terkejut dan terheran melihat sikap ketua kuil itu demikian gugup, bahkan nampaknya cemas. Tapi tersenyum kecil dia coba menenangkan hati. "To-tiang, sudah kubilang bahwa aku adalah Bu-beng Siauw-cut. Aku anak lola yang tidak mempunyai sanak-kadang Kenapa kau tampaknya gelisah dan tidak enak hati?"

Toso ini gemetar. "Tapi benda ini... kapan kau mendapatkannya, Koai-tong? Dan di mana?”

"Aku mendapatkannya sebulan yang lalu, totiang. Di bukit...”

"Tengkorak Hitam?" Hok Sim Cinjin memotong, membuat anak laki-laki itu tertegun.

"Eh, bagaimana kau tahu, totiang? Apakah kau ke sana waktu itu?" bocah ini malah terbelalak, heran mendengar ucipan tosu itu.

Tapi Hok Sim Cinjin yang mendengar pengakuan ini tiba-tiba mengeluh dan memegangi kepalanya. "Sobat, bagaimana kau bisa mendapat benda ini, Koai-tong? Kenapa tidak kau buang saja jauh-jauh?”

Anak Ini terkejut. "Aku tertarik melihat benda itu, totiang. Aku suka karena bentuknya bagus! Kenapa malah harus dibuang?"

"Hm, tapi tidak ada seseorang yang membuntuti perjalananmu, Koai-tong? Kau tidak melihat orang lain diam-diam mengejarmu?"

Anak ini tak nyaman juga. "Totiang, kenapa kau tampaknya demikian takut? Ada apakah sebenarnya dengan benda ini?"

Hok Sim Cinjin mengusap keringatnya. "Benda ini dapat mencelakakan orang lain, Koai-tong. Terutama pembawanya dan rumah di mana dia masuk!"

"Ah, jadi juga mengancam keselamatan kuilmu, totiang?"

"Kalau tidak salah. Aku mendapat firasat bahwa seseorang selama ini telah membuntutimu secara diam-diam. Dan, kau hendak menemui Pendekar Gurun Neraka atas keinginan pribadimu, bukan? Artinya, kau tidak diperalat seseorang untuk menemui pendekar itu. Koai-tong?"

Anak ini bersinar mukanya. "Aku datang atas kemauanku sendiri, totiang. Aku datang bukan diperalat seseorang!"

"Bagus, pinto percaya. Tapi bukankah kau selamat lewat di bukit Tengkorak Hiram, Koai-tong? Tidakkah seseorang menghadangmu di tengah jalan?"

"Hm, apa maksudmu, totiang? Dan kenapa dengan bukit Tengkorak Hitam itu?"

"Ah, kau memang masih terlalu hijau Koai-tong. Kau agaknya tidak tahu bahwa siapapun tak bakalan selamat jika lewat di bukit itu. Seseorang menjadi penunggunya. Maka aneh sekali kalau kau tetap hidup setelah melalui bukit itu!"

Anak ini terkejut. "Bukit Tengkorak Hitam ada penunggunya, totiang? Apakah iblis gentayangan yang kau maksud?"

"Ah...!" Hok Sim Cinjin, mengeluh. "Kau tidak tahu, Koai-tong. Iblis itu bukan iblis sembarang iblis, bukan iblis gentayangan. Tapi iblis pembunuh yang kejam sekali terhadap setiap korbannya!"

Anak ini tergetar ngeri. "Masa begitu, totiang?"

"Ya, dan orang tidak tahu bagaimana rupanya iblis ini, Koai-tong. Karena setiap korban yang bertemu dengannya pasti binasa. Dia tidak meninggalkan jejak, kecuali tanda bagi setiap korban yang akan dibunuh!"

"Ih!" anak itu mengerutkan kening. "Lalu kenapa dia harus membunuh orang, totiang?"

"Pinto tidak tahu, Koai-tong. Tapi pinto dengar berita selentingan bahwa dia membunuh untuk melampiaskan nafsu dendamnya. Dia jahat, kejam sekali. Dan siapapun yang lewat di bukit Tengkorak Hitam biasanya tak ada yang dapat berlalu dengan tubuh masih bernyawa!"

Anak laki-laki ini berobah. Sekejap mukanya pucat, tapi bibir yang tiba-tiba menyungging senyum mengejek itu tersembul sinis. "Tapi aku tak kenal iblis itu, totiang. Juga aku tak melakukan kesalahan kepadanya."

"Ya, semua korban yang tewas di tangannya mula-mula juga tak ada kesalahan dengan iblis itu. Koai-tong. Tapi akhirnya mereka dibunuh juga!"

"Hm, lalu kenapa dia harus bersikap sekejam itu?"

"Karena nafsu dendamnya, Koai-tong. Dendam terhadap seseorang yang tidak diketahui siapa!"'

"Lalu tanda yang dia tinggalkan?"

"Berupa tapak jari merah. Berapa yang akan dibunuh biasanya dapat dibaca dari jumlah tapak jari itu!"

Anak ini tertegan. Dia melihat Hok Sim Cinjin memandang seluruh dinding kamar, mukanya pucat dan dahinya berkeringat. Tapi melihat dinding kamarnya bersih-bersih saja tosu itu sedikit tenang. Tapi anak laki-laki ini tiba tiba menunjuk ke atas, dan suaranya yang tersentak kaget menunjukkan rasa herannya yang besar,

"Ah, seperti itukah tapak jarinya, totiang?"

Hok Sim Cinjin kaget bukan main. Dia mengikuti tudingan si anak, dan begitu pandangannya membentur langit-langit kamar sekonyong-konyong tosu ini mengeluarkan keluhan tertahan dengan mata terbelalak. "Ah, benar.. benar, Koai-tong. Dia datang dan itulah tandanya...!"

Anak ini terkejut. "Jadi benar itu tanda si iblis dari Tengkorak Hitam, totiang?"

Hok Sim Cinjin tak menjawab. Dia sudah menyambar tongkat, dan baru tosu ini membuka pintu tiba-tiba terdengar pekik ngeri susul-menyusul di depan kelenteng. Hok Sim Cinjin pucat mukanya, dan begitu dia menjejakkan kaki, ketua Tee kong-bio ini telah berkelebat ke asal suara. "Koai tong, larilah. Iblis itu mengancam pinto....!"

Tapi anak laki-laki ini justeru mengejarnya. Dia mengikuti Hok Simi Cinjin, menuju ke depan kuil. Dan begitu dia tiba di tempat ini mendadak bocah itu menjublak dengan mata tak berkedip. Hok Sim Cinjin ada di situ, terbelalak dan berdiri mematung. Tapi empat sosok mayat yang terkapar malang-melintang di halaman kuil ternyata sudah terpotong dua bagian dengan kepala dan kaki terpisah!

"Ah, keji...!" anak itu melompat marah. "Empat orang pembantumu binasa semua, totiang!"

Hok Sim Cinjin menggigil. Dia memang melihat empat pembantunya itu terkapar binasa, tewas dengan mengerikan. Tapi ketua kuil yang gemetar ini tiba-tiba beringas mukanya. Dia melompat mendekati anak laki-laki ini, lalu begitu tongkatnya bergerak tiba-tiba dia menusuk dadanya sendiri!

"Koai-tong, cari Pendekar Gurun Neraka. Laporkan pinto tewas oleh kekejaman So-beng (Penagih Nyawa)....!" lalu begitu tongkat menghunjam dadanya tahu-tahu ketua Tee-kong-bio ini telah terkapar mandi darah dan roboh terjengkang!

"Totiang...!" anak laki-laki itu menjerit. "Kenapa kau lakukan ini?"

Namun Hok Sim Cinjin sudah tergolek. Tosu ini tak mungkin diselamatkan nyawanya, karena tongkat sudah menembus jantungnya. Tapi ketika bocah itu mengguncang-guncang tubuhnya tiba-tiba ketua kuil ini masih dapat membuka matanya. "...ad...ada apa, Koai-tong...?"

Anak itu menggigil. "Aku belum tahu alamat Pendekar Gurun Neraka, totiang! Mana bisa mencari pendekar itu?"

"Ah..." Hok Sim Cinjin menggeliat. Dia sukar bicara, tapi jari tangannya yang menuding ke barat bicara gemetar, "...dia.... dia ada di sana, Koai-tong... pendekar itu tinggal di Ta-pie-san...!"

"Di puncak gunung itu, totiang?"

Tapi Hok Sim Cinjin mengeluh. Dia tak dapat menjawab, karena begitu dia kejang-kejang mendadak tosu ini sudah terguling dan tak dapat bicara lagi untuk selama-lamanya. Ketua Tee-kong-bio itu tewas, dan anak lelaki yang tertegun dengan muka pucat ini tiba tiba mencucurkan air mata dengan penuh kesedihan. Dia tak menyangka kedatangannya membawa malapetaka bagi orang lain. Tapi ketika dia tersedu-sedu menangisi mayat ketua Tee-kong-bio ini mendadak tiga buah bayangan berkelebat menghampiri.

“Hei, apa yang terjadi di sini, ibu? Kenapa keledai-keledai gundu! ini mampus semua?"

Bocah itu terkejut. Dia melihat tiga orang muncul di situ, dua wanita dan seorang lagi adalah seorang anak laki-laki yang seumur dengannya, bocah yang berteriak nyaring dengan suara kasar. Dan melihat mayat malang-melintang di tempat itu mendadak wanita yang ada di depan dan yang paling cantik mencengkeram bahunya.

"Bocah, apa yang terjadi di sini? Siapa yang membunuh tosu-tosu itu?"

Anak laki laki ini tertegun. Sinar matanya bentrok dengan sepasang mata yang bening indah, mata seorang wanita cantik, mata yang tajam tapi menyimpan kedukaan besar. Dan tertegun oleh sinar mata wanita cantik itu yang mirip dengun matanya sendiri mendadak anak lelaki ini bengong.

"Hei, kau tak menjawab pertanyaan ibu?"

Bocah itu tersentak. Dia dihardik oleh anak lelaki yang berteriak pertama kalinya itu, anak lelaki yang agaknya merupakan putera wanita cantik ini. Maka terkejut dan kaget oleh bentakan itu tiba-tiba dia menarik dirinya, melepaskan pundak dari cengkeraman wanita ini. "Kouwnio, kau siapakah dan mengapa datang-datang anakmu yang kasar itu memaki-maki mayat yang sudah tak bernyawa?"

Wanita cantik ini mengerutkan kening, la juga tertegun melihat wajah anak laki-laki ini, wajah yang tampan dan memiliki sinar mata yang pemberani gagah. Tapi melihat lawan tak menjawab pertanyaannya malah bertanya padanya tiba-tiba wanita cantik ini tersenyum dingin. "Bocah, kau siapakah dan kenapa balik bertanya duluun padaku? Siapa tosu-tosu ini?"

Anak laki-laki itu menegakkan kepalanya. "Aku Bu-beng Siauw-cut. kouwnio. Dan mereka adalah penghuni Tee-kong-bio ini!"

"Bu-beng Siauw cut?" wanita cantik itu membelalakan matanya. "Kenapa kau memiliki nama demikian aneh, bocah'' Siapa orang tuamu dan apa hubunganmu dengan tosu-tosu ini? Kacungnyakah?"

Anak laki-laki itu memandang marah. "Aku bukan kacung kuil ini. kouwnio. Aku perantau bebas yang tidak terikat dengan seseorang!"

"Hm, dan namamu itu, siapa orang tuamu?"

Bocah ini mengedikkan kepalanya. "Kouw-nio, siapakah kau ini hingga datang-datang ingin mengetahui diri pribadi orang lain? Tidakkah kau tahu bahwa itu tak pantas kau lakukan?"

"Keparat!" bocah di samping tiba-tiba membentak. "Kau berani bicara kasar pada ibuku, setan cilik? Kau tidak tahu bahwa ibuku adalah Tok-sim Sian-li yang bisa membunuhmu tanpa mengejapkan mata?”

Anak ini terkejut. "Kau orang jahat, kouwnio? Kau dewi berhati racun (Tok-sim)?"

Bocah di samping tiba-tiba melompat maju. "Keparat, kau semakin kurang ajar, setan buduk. Kalau begitu belum jera jika belum kutampar... plak!" dan pipi Bu-beng Siauw-cut yang tiba- tiba digampar membuat anak laki-laki ini terpelanting roboh dengan bibir pecah berdarah!

Bu-beng Siauw-cut terkejut. Dia terbelalak marah memandang bocah di samping wanita cantik itu, tapi melompat bangun dia mendesis pada wanita ini, "Kouwnio, kau tidak dapat mengajar adat pada anakmu itu? Kau membiarkan saja dia menampar orang yang bukan sanak bukan kadangnya?"

Bocah di samping wanita ini tertawa geli. "Ibu dia rupanya anak tolol. Bagaimana kalau kuhajar lagi?"

Tapi wanita cantik ini mendengus. "Ceng Liong, diam kau!" lalu memandang anak yang pecah bibirnya itu wanita ini bertanya. "Bu-beng Siauw-cut, berani kau melawan anakku? Kau tidak ingin membalas pukulannya kepadamu?"

Anak ini terbelalak. "Kau justeru mengadu kami, kouwnio? Kau menyuruh kami berkelahi?"

"Kalau kau berani, Bu-beng Siauw-cut. Juga kalau kau penasaran oleh tamparan anakku tadi."

"Ah...!" dan melangkah maju tiba-tiba anak laki-laki itu mengepalkan tinjunya. "Kouwnio, aku tak takut pada puteramu. Juga aku tak gentar padamu! Kenapa mesti jerih menghadapi orang-orang macam kalian?"

"Kalau begitu kau berani melawan puteraku ini?"

'Tentu saja. Bahkan kalau kau ingin membelanya sekalian!"

Wanita itu tersenyum. Ia tak dapat menahan gelinya, terkekeh mendengar kata-kata itu. Tapi menoleh ke kiri ia menggapaikan lengannya. "A-cheng, bagaimana pendapatmu dengan anak ini? Tidakkah dia menarik untuk menjadi teman Ceng Liong?"

Wanita ke dua yang ada di samping wanita itu berseri. "Agaknya wawasanmu tepat. hujin. Anak ini pemberani dan cocok sekali untuk dijadikan teman Liong-siauwya!"

"Nah, kalau begitu dia akan kuambil sebagai muridku. Ceng Liong, hajar lawanmu ini dan kita lihat sampai kapan dia akan menyerah!" lalu mundur dengan mata bersinar-sinar wanita cantik yang berjuluk Tok-sim Sian-li itu menyuruh puteranya maju.

Anak lelaki yang bernama Ceng Liong melompat ke depan. Dia gembira sekali mendengar perintah ibunya itu, tapi memandang ke kanan dia bertanya, "Dan dia boleh kupatahkan kakinya. ibu? Bagaimana kalau dia tak mau menyerah?"

"Hm, tak perlu sejauh itu, Liong-ji. Kau robohkan saja lawanmu itu dan himpit lehernya ajar dia tak berdaya."

"Kalau dia nekat, ibu?"

"Tak mungkin. Pencet saja jalan darah Pi-kang-hiatnya!"

Anak bernama Ceng Liong ini tertawa. Dia berseri-seri memandang lawannya, sementara si bocah tanggung yang bernama Bu-beng Siauw-cut iiu bersiap-siap. Dia mengerutkan kening mendengar pembicaraan ibu dan anak itu, tapi melihat anak bernama Ceng Liong sudah maju menghampirinya diapun tak banyak cakap lagi.

"Berapa jurus kau ingin kurobohkan, Siauw-cut?"

"Hm... tak perlu sombong, Ceng Liong. Kau boleh robohkan aku dalam berapa jurus saja, asal kau bisa!"

"Baik, kalau begitu tiga jurus saja aku akan merobohkanmu. Nah, bersiaplah...!" dan baru ucapan ini diselesaikan tahu-tahu lengan putera wanita cantik itu menjulur maju, menangkap leher lawan. Dan begitu Bu-beng Siauw-cut tersentak tiba-tiba kakinya sudah dijegal dan diangkat di atas punggung lawan, dibanting di atas tanah!

"Brukk...!"

"Ha-ha, satu jurus. Siauw-cut. Kau roboh dalam satu jurus saja!" si anak bernama Ceng Liong terbahak, gembira melihat lawannya roboh demikian mudah.

Tapi Bu-beng Siauw cut yang beringas oleh bantingan ini tiba-tiba melompat bangun. "Aku belum kalah, bocah kurang ajar. Aku masih dapat bangun dan akan membalasmu. Awas...!" dan anak laki-laki yang sudah medekatii lawannya itu mendadak bertubi-tubi melancarkan serangan. Dia memukul dan menonjok, bahkan menendang dengan kedua kakinya yang kecil pendek.

Tapi Ceng Liong yang lincah gesit ternyata dapat menghindari semua serangan itu. Anak ini tertawa-tawa, geli melihat lawan berkali-kali luput menghantam tubuhnya, terhuyung dan bahkan hampir terjerembab sendiri. Dan ketika suatu saat kembali pukulan lawan meleset di sisi tubuhnya mendadak anak ini berseru nyaring.

"Siauw-cut, hati-hati. Aku akan merobohkanmu kembali.... dess!" dan kakinya yang tahu-tahu mendupak pantat lawan tiba-tiba membuat Bu-beng Siauw-cut terlempar bergulingan. Bocah ini marah bukan main. dan Ceng Liong yang tertawa bergelak oleh hasil serangannya itu mengejek.

"Ha-ha, dua kali kau roboh, Siauw-cut. kau harus menyerah kalah!"

Tapi Bu-beng Siauw-cut melompat bangun. Dia menggigil dan mengerot gigi penuh kemarahan, lalu begitu berteriak keras tahu-tahu diapun nienyerang kembali. "Aku tak akan mengaku kalah padamu, bocah kurang ajar. Aku yang bertarung sampai mati....!"

Putera Dewi Hati Racun ini terbelalak. "Kau nekat, Siauw-cut?"

"Tak perlu banyak cakap!"

Maka bocah bernama Ceng Liong itu marah. Dia beringas, dan ketika Bu-beng Siauw-cut menubruknya dengan tangan terulur mendadak dia berkelit ke samping. Sekali geserkan kaki tahu-tahu dia sudah berada di belakang orang, dan begitu dia membentak sambil mencengkeram sekonyong-konyong Bu-beng Siauw-cut sudah di tangkap tangannya. Lalu menyentak dan membanting lawan yang berteriak tertahan itu tiba-tiba Bu-beng Siauw-cut sudah roboh tersungkur dengan lengan ditelikung ke belakang!

"Brukk.....!" Bu-beng Siauw-cut tak berdaya kini. Dia roboh di atas tanah, mengeluh dan menggigit bibir menahan sakit. Tapi anak yang coba berontak ini tiba-tiba diinjak punggungnya oleh putera Dewi Berhati Racun.

"Kau tidak menyerah kalah, Siauw-cut?"

Tapi Bu-beng Siauw-cut mendesis. Dia tidak menjawab, dan Ceng Liong yang marah oleh sikap lawan yang dirasa bandel tiba-tiba menekuk tangan lawannya ke atas, siap mematahkan lengan yang ditelikung itu! "Kau tidak menyerah, Siauw-cut?"

Tapi Bu-beng Siauw-cut menggigit bibirnya kuat-kuat. Dia mendesis menahan rasa sakit yang amat sangat, lalu membentak marah dia menggelengkan kepalanya tegas, "Aku tak akan mengaku kalah, Ceng Liong! Aku boleh kau bunuh tapi jangan harap terlontar permintaan ampunku kepadamu...!''

"Hm, meskipun kupatahkan tangasmu ini?"

"Boleh kau coba!"

Dan baru ucapan ini dikeluarkan mendadak Ceng Liong yang marah mendapat tantangan itu tiba-tiba menyendat tangannya ke atas. Dia menekuk telikungannya ke depan, dan begitu lawan menjerit tiba-tiba lengan Bu-beng Siauw-cut sudah dia patahkan benar-benar!

"Krek!" Bu-beng Siauw-cut roboh pingsan. Dia tak kuat menahan rasa sakit yang amat sangat itu, Bu-beng Siauw-cut roboh pingsan.

“Kenapa kau patahkan lengannya? Kurang ajar.... plak!" dan anak laki-laki yang ganti terpelanting roboh oleh tamparan ibunya itu menjerit dengan tubuh terguling-guling.

"Ibu, kenapa kau memukul aku?"

Tok-sim Sian-li merah padam mukanya. Ia benar-benar marah, dan melihat puteranya berdiri menegur tanpa rasa takut sedikitpun juga mendadak wanita ini naik pitam. Entah kenapa ia gusar sekali oleh sikap puteranya itu. Maka begitu ia melangkah maju tiba-tiba rambut anaknya sudah dijambak! "Liong ji, kau tidak dengar larangan ibumu? Kau selalu membantah dan ingin melawan ibumu?"

Anak ini terbelalak. "Tapi bocah itu menantangku, ibu. Dia perlu dihajar dan kalau perlu dibunuh!"

"Plak...!" Tok-sim Sian-li kembali menampar anaknya, la marah sekali oleh bantahan itu, dan jengkel serta gusar oleh semuanya ini tiba-tiba ia membanting anaknya dan mengayun kaki menendang. "Liong-ji. kau anak keparat! Kau bocah tak dapat diatur... des-dess!"

Dan anak laki-laki yang tiba-tiba dihujani tamparan dan pukulan oleh ibunya ini mendadak mengaduh dan terlempar bergulingan. Bocah bernama Ceng Liong itu menjerit jerit, dan ketika dia melompat bangun tahu-tahu ibunya kembali sudah mencengkeram pundaknya.

"Kau masih mau membantah lagi. Liong-ji? Kau ingin kuhajar sampai babak belur?"

Bocah ini menggigil. "Ampun...ampun, ibu... aku tidak bermaksud melawanmu. Siauw-cut sendiri yang menantangku untuk dipatahkan lengannya....!"

"Tapi kau tahu pesanku, bukan?"

"Ya...ya, tapi....tapi..."

"Tak perlu banyak omong, Liong-ji. Aku akan mengambil bocah ini untuk teman sepermainanmu. Ibu akan mengambilnya sebagai murid!" Tok-sim Sian-li membentak.

Dan bocah bernama Ceng Liong itu tertegun. "Kau akan membawa anak tolol ini untuk teman sepermainanku, ibu?"

"Ya. Kenapa?"

Bocah itu tak menjawab. Dia rupanya takut, dan wanita bernama A cheng yang sejak tadi terbelalak di belakang tiba-tiba menyahut, "Hujin, rupanya Liong-siauwya kurang setuju. Bagaimana kalau bocah itu nanti dendam padanya? Bu-beng Siauw-cut ini rupanya keras hati dia berbahaya kalau dibiarkan kumpul bersama dengan Liong-siauwya!"

Wanita cantik itu mendengus. "Tapi aku suka padanya, A-cheng. Anak ini gagah dan berani!"

"Tapi bagaimana kalau selalu bermusuhan dengan siauw-ya (tuan muda), hujin? Bukankah bisa runyam? Apalagi kalau hujin mengambilnya sebagai murid!"

"Hm..." wanita ini tertegun. "Kalau begitu dia akan kujadikan kacung saja, membantu Ceng Liong!"

Tapi wanita bernama A-cheng itu menjawab. "Kalau dia mau, hujin. Tapi bagaimana kalau anak itu menolak? Lihat, wataknya keras sekali. Dia tak mau menyerah meskipun kalah!"

"Hm, karena itulah, A-cheng. Aku suka anak semacam ini. Dia persis orang yang kucintai"

"Pendekar Gurun Neraka, ibu?" Ceng Liong, anak laki-laki itu tiba-tiba menyahut, membuat muka ibunya bersinar tapi kemudian muram kembali.

"Ya, seperti ayahmu itu, Liong-ji. Tapi heran sekali kau tak memiliki kegagahan bapakmu!"

Anak laki-laki ini semburat merah. Dia mendongkol dan marah oleh dampratan ibunya, tapi bocah yang takut digaplok lagi itu diam saja tak menjawab. Dia menunduk, tak berani mengadu pandang dengan ibunya. Tapi sinar matanya yang diam-diam melirik ke bawah memandang benci ke arah si Bu beng Siauw-cut!

"Hm, Kalau ibu menyuruhmu menjadi kacungku awas kau, kerucuk hina. Aku benar-benar akan menjadikan kamu Bu-beng Siauw-jin (manusia hina) yang tidak ada harganya lagi!'' anak ini membatin, mengancam di dalam hati untuk kelak membalas sikap ibunya yang menyakitkan itu.

Tapi Tok sim Sian-li menoleh ke kiri. "Bagaimana, A cheng? Apa yang sebaiknya kita lakukan pada diri bocah ini?"

"Sebaiknya kita tanya kalau dia sudah sadar, hujin. Kalau dia menolak kita tinggalkan saja dia di sini!"

"Hm, kalau begitu obati dia. Beri obat penyembuh tulang dan sadarkan anak itu!"

A-cheng mengangguk. Ia sudah berjongkok di dekat anak laki-laki ini, dan wanita yang sudah mengurut sambil menotok beberapa jalan darah itu sebentar saja membuat anak laki laki ini siuman. Bu-beng Siauw-cut bangkit duduk, tertegun sejenak. Tapi melihat Ceng Liong ada di situ tiba-tiba dia melompat bangun dan memandang beringas.

"Bocah she Ceng, aku akan membalas kekejamanmu hari ini!"

Ceng Liong tersenyum mengejek. "Aku bukan she Ceng, Bu-beng Siauw-cut. Aku orang she Yap.., Yap Ceng Liong namaku!"

Bu-beng Siauw - cut terkejut. "Kau she Yap?"

"Ya, aku she Yap, Siauw-cut. Aku putera orang terkenal di dunia ini, Pendekar Gurun Neraka Yap Bu Kong!"

"Ah..!" Bu-beng Siauw-cut tiba-tiba menggigil. Sinar matanya penuh kebencian hebat, tapi baru dia mau maju menyerang mendadak A cheng menotoknya roboh.

"Bocah hina, kau tak boleh kurang ajar di sini. Hujin akan bertanya kepadamu!"

Anak itu mendelik. "Apa yang hendak di tanyakan, wanita iblis? Bukankah kalian tahu aku takkan tunduk pada bocah itu?'"

Namun Tok-sim Sian-li membebaskan totokannya. "Siauw-cut. Aku suka padamu. Kau berani dan gagah. Bagaimana bila ikut kami?'

"Hm..." anak ini mendesis "Kau nyonya Pendekar Gurun Neraka, hujin? Kau betul isteri pendekar itu?”

Wanita itu mengerutkan kening. "Aku isterinya atau bukan ada apa kau tanyakan ini, Siauw-cut? Apa hubungannya itu dengan pertanyaanku?"

Namun bocah ini mengedikkan kepala. "Pendekar Gurun Neraka adalah musuhku, hu-jin. Aku tak suka ikut apalagi tunduk pada pendekar itu dan keluarganya!"

"Ah, kau memusuhi pendekar itu?" Tok-sim Sian-li terkejut, membelalakkan matanya yang bening indah. Dan terheran serta hampir geli oleh ucapan lantang itu wanita ini tiba-tiba terkekeh. "Bu-beng Siauw-cut. siapa kau ini hingga mendendam pada pendekar itu? Apa salah dirinya hingga kau yang sekecil ini berani memusuhi Pendekar Gurun Neraka?"

"Karena dia menyengsarakan ibuku, Tok-sim. Karena aku dibuat terlunta-lunta oleh perbuatannya yang tidak bertanggung jawab itu!"

Tok-sim Sian-li terkejut, la tersentak oleh seruan keras ini, kaget dan tercengang oleh bicara Bu beng Siauw-cut yang penuh kebencian. Tapi terkekeh nyaring tiba-tiba wanita cantik ini mengebutkan lengannya. "Bu-beng Siauw-cut, siapa kau ini hingga menaruh sakit hati pada Pendekar Gurun Neraka? Siapakah ibumu yang dibuat sengsara itu?"

Anak ini hampir menjawab. Tapi teringat bahwa wanita yang bertanya kepadanya itu adalah "musuh" tiba-tiba dia mengatupkan mulut. "Tak perlu kau tahu, Tok-sim. Pokoknya kalau benar kau isteri Pendekar Gurun Neraka berarti aku tak mau bersahabat denganmu!"

"Dan kau mau membalas dendam pada pendekar itu?"

"Tentu saja!"

"Hi-hik, kau lucu, Siauw-cut! Menghadapi Ceng Liong saja kau tak menang, mana mungkin menghadapi suamiku itu? Hm, kau gila. Rupanya di samping tolol kau juga memiliki otak yang tidak waras. Eh, anak menarik, bagaimana kalau kau hapus saja api dendammu itu dan ikut baik-baik denganku? Aku akan mendidikmu ilmu silat. Dan kau tidak akan roboh lagi bila menghadapi lawan seperti anakku ini!" Tok-sim Siin-li semakin tertarik, berseri matanya memandang bocah yang luar biasa itu.

Tapi Bu-beng Siauw-cut yang mengangkat kepalanya ini menggeleng tegas. "Tak perlu kau membujukku, Tok-sim. Aku benci pada nama dan keluarga Pendekar Gurun Neraka.”

"Dan kau ingin menjadi gelandangan seumur hidup?"

"Apa maksudmu?" anak itu membentak. "Kau kira nasib orang akan tetap begitu saja selama hidup...?!"

"Hm, tetap tidak tetap tergantung nasib baiknya, Siauw-cut. Dan kau jelas bernasib baik kalau mau ikut denganku!"

'Cih, kau kira dengan menjadi muridmu aku akan gembira. Tok sim? Kau keliru, aku tak suka dan tak akan ikut denganmu.'" anak ini meludah.

Tok-sim Sian-li semburat merah. Ia tersinggung benar oleh sikap dan kata-kata bocah itu, tapi ketika tangannya terangkat siap menggaplok muka orang tiba-tiba matanya membentur sinar mata yang tajam penuh keberanian dari bocah ini. Tak ayal Tok-sim Sian-li tertegun dan wanita yang kaget serta marah itu mendadak mengulurkan jirinya, mencengkeram lengan Bu-beng Siauw-cut yang baru disambung!

"Kau berani menghinaku seperti itu, bocah setan?"

Anak ini mendesis. Terang dia kesakitan, tapi bibirnya yang dikatup rapat tidak membuat dia mengeluh. "Kau beraninya hanya dengan anak kecil, Tok sim Sian-li? Kau tidak malu memaksa seorang anak yang tidak mau ikut denganmu?"

Wanita ini terkejut. Ia marah sekali, hampir mencengkeram remuk lengan yang patah. Tapi membentur mata yang penuh keberanian itu mendadak ia melepaskan tangannya ganti mencengkeram leher baju si anak. Lalu, membentak geram tiba tiba ia membanting Bu-beng Siauw-cut di atas tanah. "Bocah hina, kau benar-benar kelewatan. Kalau tidak menyadari kau seorang anak tak berguna tentu sudah kuhancurkan kepalamu ini.... brukk!" dan Bu-beng Siauw-cut yang terguling-guling mengaduh ketika tulang lengannya yang patah membentur tanah.

Tapi anak ini sudah bangun kembali. Dia siap memaki-maki wanita itu. tapi ketika dia mendengar isak tertahan dari wanita cantik ini mendadak dia tertegun. Dia melihat Tok-sim Sian-li menangis, menggigit bibirnya. Dan warita cantik yang tiba-tiba memutar tubuhnya itu berkelebat pergi.

"A-cheng, Liong-ji, tinggalkan setan ini. Biar dia kelaparan di sini..." dan Tok-sim Sian li yang terisak dengan muka merah itu meninggalkannya seorang diri di kuil Tee kong-bio.

Bu-beng Siauw-cut benar-benar tertegun. Dia mengira wanita itu akan menghajarnya habis-habisan, mungkin bahkan membunuhnya. Tapi melihat wanita itu malah berangkat pergi diapun tadi bengong dan terlongong-longong. Dan anak bernama Ceng Liong itupan tiba-tiba menghamparinya,

"Bu-beng Siauw-cut, kau benar-benar anak siluman. Kau membuat ibu berduka.....plak!" seru anak yang sudah njeloyor pergi setelah menampar kepalanya itu dipandang bingung oleh anak laki-laki ini.

Dia tak tahu kenapa wanita itu menangis. Tapi melihat Ceng Liong sudah jauh mengejar ibunya disusul wanita bernama A-cheng itupun termangu dengan mata tidak berkedip. Dan sesosok bayangan tiba-tiba muncul.

"Hm, apa yang kau pikir, anak baik? Kenapa kau tidak mau ikut wanita itu?"

Ba-beng Siauw-cut tersentak. Dia kaget melihat seorang kakek muncul di situ, kakek berwajah gagah tapi muram dan melihat kakek ini muncul seperti iblis tiba-tiba diapun melangkah mundur dengan alis berkerut. "Locianpwe, kau siapakah? Teman wanita itukah?"

Kakek ini menghela napas. "Bukan, aku pengelana sebatangkara, bocah. Namaku Kun Seng. Secara kebetulan saja aku tiba di sini dan melihat gerak-gerikmu yang aneh!"

"Hm... kalau begitu sudah lama kau di sini locianpwe?"

"Baru saja datang, anak baik. Aku melihat jejak So-beng di sini! Para tosu itu terbunuh olehnya, bukan?"

Bu-beng Siauw-cut tiba-tiba mengetukkan giginya. "Ya, para tosu ini terbunuh, locianpwe. Kecuali yang tua itu. Dia membunuh diri begitu melihat empat pembantunya tewas terbunuh!"

"Hm, aku terlambat. Sayang sekali..." kakek itu bergumam. Lalu menghampiri mayat Hok Sim Cinjin tiba-tiba dia berseru kaget, "Ah, dia membawa Medali Naga?" dan begitu dia berjongkok di samping mayat ketua Tee-kong-bio ini mendadak kakek itu menyambar medali yang tergulir dari baju Hok Sin Cmjin. Dia tampak terkejut, tapi Bu beng Siauw cut yang tercekat melihat benda miliknya diambil kakek ini tiba tiba melompat ke depan.

"Locianpwe, jangan ambil benda itu. Medali itu aku yang punya....!"

Si kakek tertegun. "Kau yang punya benda ini, anak baik?"

"Ya, aku yang mempunyainya, locianpwe. Tadi benda itu dibawa tosu ini sebelum tewas membunuh diri!"

"Hm.." kakek itu memandang tajam. Dia-ragu sejenak, menatap penuh selidik bocah yang mengaku memiliki benda itu. Tapi melihat mata yang jujur bening tiba-tiba dia menarik napas dan menimang-nimang benda ini. "Aneh sekali. Kau mendapatkannya di mana, bocah?"

Bu beng Siauw-cut mengulurkan lengan. "Aku mendapatkannya di bukit Tengkorak Hitam, locianpwe Kebetulan ketika aku menemukannya di tengah jalan."

"Dan kau tidak bertemu penunggu bukit itu?"

"Si Setan Penagih Nyawa?"

"Ya. Dari mana kau tahu?"

"Kakek ini. Tosu tua itulah yang memberi tahu padaku bahwa bukit Tengkorak Hitam katanya dijaga iblis bernama So-beng!" Bu-beng Siauw-cut menuding mayat Hok Sim Cinjin, masih belum menerima medalinya dan karena itu maju dua tindak untuk meminta benda miliknya. "Locianpwe, kenapa tidak segera kau berikan benda itu kepadaku?"

Kakek ini tersenyum berat. "Anak baik, aku tidak akan merampas benda milikmu ini dengan iktikad buruk. Tapi tahukah kau benda ini berbahaya untukmu? Tidakkah kau tahu bahwa benda ini milik kerajaan?"

Bocah itu terkejut. "Milik kerajaan, locianpwe? Kerajaan mana?"

“Hm, aku tidak mendustaimu, bocah. Tapi harap kau ketahui saja bahwa siapa yang memegang Medali Naga ini berarti dia menjadi kurir (utusan) Kerajaan Yueh! Bagaimana kau bisa mendapatkan benda ini dan bisa lolos dari bukit Tengkorak Hitam? Apakah tidak ada seseorang yang kau lihat di sekitar tempat penemuanmu itu?"

Bocah ini tertegun. "Tidak, locianpwe."

"Dan kau tidak menjumpai jejak-jejak atau suara seseorang di sekitar lokasi itu?"

"Tidak, locianpwe."

"Hm, aneh kalau begitu. Baiklah, boleh kutanya siapa namamu, bocah? Apa tujuanmu mendatangi kuil Tee-kong-bio ini?"

"Aku Bu-beng Siauw-cut, locianpwe. Datang ke sini secara kebetulan saja untuk menanyakan alamat seseorang."

"Siapa?"

"Pendekar Gurun Neraka!"

"Ah, untuk apa kau mencari pendekar sakti itu? Kau utusan Ho-han-hwe?” kakek ini terbelalak, heran dan terkejut mendengar anak itu mencari Pendekar Gurun Neraka.

Tapi Bu-beng Siauw-cut yang ganti tercengang mendengar kakek ini menyebut nyebut nama Ho-han-hwe (perkumpulan para patriot) tiba-tiba bersinar matanya dengan muka berseri. "Locianpwe, di mana itu pusat perkumpulan Ho-han-hwe? Dan apa pekerjaan mereka?"

Kakek ini ganti terbelalak. "Jadi kau tidak tahu tentang nama perkumpulan ini, bocah? Dan kau, siapa namamu tadi?"

"Bu-beng Siauw-cut, locianpwe."

"Bu-beng Siauw-cut....?” kakek itu tertegun. "Kenapa namamu demikian aneh, anak baik? Siapakah orang tuamu dan di mana mereka tinggal?"

"Hm, aku anak Iola, locianpwe. Aku perantau jalanan yang tidak mempunyai orang tua dan tempat tinggal!"

"Jadi kau sebatangkara?"

"Ya...!"

"Ah, sama kalau begitu," kakek ini menarik napas.

“Sama apanya, locianpwe?" anak itu bertanya.

"Sama sebatangkaranya ini, anak baik. Aku juga hidup tanpa sanak tanpa kadang!"

"Ah, masa begitu? Bukankah kau tentunya punya anak punya isteri?"

Kakek itu tiba-tiba sedih. "Itu dulu, Bu-beng. Tapi sekarang semuanya telah musnah."

"Locianpwe, panggil saja aku Siauw-cut, jangan Bu-beng!"

"Hm, Siauw-cut artinya hina, anak baik. Tidak berharga. Padahal, kau kulihat berharga sekali. Gagah dan berani. Mana bisa aku menyebutmu begitu? Tidak, aku akan memanggilmu Bu-beng saja. Tampaknya ini lebih manis dan bersahabat daripada panggilan yang lain. Kau tentunya menyimpan kepahitan hidup, bukan? Hm, aku tahu, anak baik. Rupanya kita mengalami persamaan dalam hal ini. Kau dan aku yang jelas sama-sama sebatangkara! Ha-ha, bagaimana kalau kau ikut denganku, Bu-beng? Kita bersama-sama menghadapi hidup yang keras ini?"' kakek itu tertawa, mencoba tersenyum dan memandang si bocah.

Tapi Bu-beng yang mengeras dagunya ini tiba-tiba mengepal tinju. "Tidak, maafkan aku, locianpwe. Aku ingin hidup sendiri dan tidak mau tergantung pada orang lain!"

"Ah, ikut bersamaku bukan berarti tergantung, Bu-beng. Kita bersama-sama menghadapi hidup ini dengan mengerjakannya bersama."

"Tapi aku masih mempunyai pekerjaan sendiri, locianpwe. Tugas yang belum kulaksanakan hampai hari ini."

"Menemui Pendekar Gurun Neraka itu?"

Anak ini tertegun. Tapi akhirnya dia mengangguk. "Ya."

“Hm, kilau begitu aku dapat mengantarmu Bu-beng. Aku akan membawamu pada pendekar itu dan minta dia mengabulkan apa yang kau minta!"

"Ai....!" anak ini terkejut. "Tak mungkin kau dapat melaksanakan keinginanmu, locianpwe. Tak mungkin kau dapat memaksa pendekar itu untuk memenuhi permintaanku!"

"Hm, permintaan anak kecil saja kenapa sukar melakukannya. Bu-beng?" kakek ini tertawa. "Bukankah kau meminta yang tidak kelewat berat?"

Anak itu termangu. Dia mengepal tinju, tapi menggelengkan kepala tiba-tiba dia berkata, "Tidak, tak perlu kau bantu aku. locianpwe Aku ingin melaksanakan tugasku ini seorang diri!"

"Wah. apa yang kau inginkan dari pendekar itu, anak baik?"

"Aku ingin membunuhnya, locianpwe! Aku ingin membalas dendam atas kematian ibuku!"

"Hah..?!" kakek itu terkejut bukan main. "Kau ingin membunuh Pendekar Gurun Neraka, Bu-beng? Jadi ini maksud hatimu mencari pendekar itu?" lalu sadar dari kekagetannya tiba-tiba kakek ini tertawa bergelak sampai terbatuk-batuk. Dia tampaknya geli bukan main mendengar kata-kata bocah itu.

Tapi melibat Bu-beng Siauw-cut memandangnya berapi-api tiba-tiba dia menghentikan tawanya. "Maaf....maaf, Bu-beng. Aku agaknya menyinggung perasaanmu!" dan buru-buru memperbaiki sikap kakek ini memasang muka serius, menarik napas dan menepuk-nepuk pundak si himk. "Bu-beng, kau rupanya benci sekali pada pendekar itu. Tapi tahukah kau siapa pendekar ini? Dia seorang pendekar sakti, nak. Pendekar besar yang memiliki kepandaian tinggi. Bahkan gurunya pun tak sanggup mengalahkan muridnya ini. Begitu pula dengan mertuanya. Ciok-thouw Taihiap Souw Ki Beng itu. Mana mungkin kau dapat membunuh pendekar ini? Dan, mengherankan sekali kau membenci pendekar itu. Bu-beng. Karena Pendekar Gurun Neraka adalah pendekar sejati yang gagah perkasa, tidak jahat sepak terjangnya dan selalu membela kebenaran. Bagaimana kau bisa memusuhinya? Apakah ibumu seorang golongan hek-to (hitam)?"

Anak ini memandang marah. "Ibuku orang baik-baik, locianpwe. Dia bukan wanita iblis hingga tak boleh dibilang jahat!"

"Hm, kalau begitu siapa ibumu itu?"

Anak ini menolak. "Tak bisa kuberitahukan sekarang, locianpwe. Itu rahasia pribadiku yang orang lain tak boleh dengar!"

"Ah, maaf....!" kakek ini terpukul, sedikit merah mukanya. Tapi tersenyum pahit dia menganggukkan kepalanya. "Baiklah, kau rupanya tak suka orang lain mendengar riwayatmu, Bu-beng. Kalau begitu bagaimana jika kuulang permintaanku tadi? Maukah kau ikut bersamaku?'

Anak ini menggeleng. "Aku tak mau bergantung pada orang lain,, locianpwe. Aku tak mau ikut denganmu atau siapapun juga!"

"Tapi kau seorang diri, anak baik. Mana mungkin tak menjalin hubungan dengan orang-lain?”

"Hm, lebih baik begitu daripada berkumpul tapi mendapat teman yang jahat, locianpwe. Aku lebih baik hidup sendiri daripada berkawan!"

"Tapi tidak semua orang jahat, Bu-beng. Mana bisa kau pertahankan pendapatmu itu?"

"Ya, tapi berkali-kali aku mendapat kekecewaan, locianpwe. Bahwa sebagian besar manusia yang kutemui banyak yang tidak baik daripada yang baik!"

"Hm..." kakek ini manggut-manggut. "Memang itu benar, Bu-beng. Aku si tua bangka ini juga mendapat kenyataan bahwa dunia kita ini lebih banyak berisi orang jahat daripada yang baik. Itu kualami sendiri. Tapi tidakkah kita dapat memilih teman, Bu-beng? Kita mestinya tahu siapa yang boleh kita jadikan sahabat yang sebenarnya atau siapa yang harus kita jauhi karena sifatnya yang membahayakan diri kita. Kau tentu dapat mengerti ini, bukan?"

"Ya."

"Dan bagaimana pandanganmu terhadap aku si tua bangka ini? Termasuk orang jahatkah aku ini?"

Bn-beng Siauw-cut terkejut. "Aku belum mengenalmu secara baik, locianpwe. Bagaimana bisa bilang kau ini orang jahat atau tidak?"

"Nah, itulah...!" kakek ini tertawa. "Karena itu aku ingin mengajakmu hidup bersama, Bu-beng. Aku ingin kau ikut aku dan melihat sepak terjangku!"

Anak ini mengeratkan kening. "Kau membujukku dengan cara berputar, locianpwe?"

"Ha-ha, karena aku tertarik padamu, Bu-beng!"

"Hm, tapi aku sudah bilang tak mau ikut siapapun juga, locianpwe. Aku tak mau ikut denganmu meskipun kau paksa!"

Kakek ini tertegun Dia melihat si bocah bicara sungguh-sungguh, menonjol sekali kekerasan hatinya saat itu. Tapi tak kurang akal tiba-tiba dia menyeringai pahit, "Bu-beng, kau rupanya benar-benar tak mau ikut orang lain. Kalau begitu bagaimana jika kubalik dengan aku yang ikut dirimu? Kau tentu tak keberatan, bukan?"

Anak ini terkejut. "Kau ikut aku, locianpwe?"

"Ya" kakek ini tersenyum. "Dan kau boleh memerintah apa saja kepadaku si tua bangka ini, anak baik. Tapi tentu saja yang tidak melanggar tatanan kebenaran!"

"Ah." anak itu mengeluh, bingung. Tapi tertawa masam diapun tiba-tiba mendesis, "Locianpwe, kau cerdik. Kau rupanya benar-benar ingin mengganggu dan menggodaku!"

Kakek ini tertawa. 'Tidak begitu. Bu-beng. Aku tidak mengganggumu kalau kau menolak. Mana bisa aku ikut denganmu kalau yang diikuti tidak senang?"

"Hm, baiklah..." anak ini menyerah. "Tapi itu terbatas, locianpwe. Artinya kau boleh ikut aku sampai di gunung itu saja. Setelah itu kita masing masing berpisah!"

“Jadi kau akan ke Ta-pie-san, anak baik?"

"Benar...!"

"Baiklah, kalau begitu aku siap mengantarku!" kakek ini gembira. "Tapi sebelumnya kita harus mengubur mayat-mayat ini dulu. Bu-beng. Kau boleh bantu aku kalau mau...!" dan kakek yang sudah berseri mukanya isi tiba-tiba mengambil tongkat di tangan mayat Hok Sim Cinjin. Lalu, begitu dia menggerakkan tangannya tahu-tahu tanah sudah ditusuk dan dicongkel hingga sekejap saja mengangalah sebuah lubang besar. Cukup untuk lima mayat sekaligus!

"Ah, kau hebat sekali, locianpwe!' Bu-beng Siauw-cut berseru kagum, terkejut sekali. "Kesaktian apakah yang kau tunjukkan ini?"

Si kakek tertawa tak acuh. "Ini bukan sesuatu yang luar biasa, Bu-beng. Pendekar Gurun Neraka bahkan dapat melakukan sesuatu yang jauh lebih hebat dari aku si tua bangka ini!"

"Hm...." Bu beng Siauw-cut tertegun. Dia melihat kakek itu telah memasukkan mayat Hok Sim Cinjin, disusul yang lain. Dan dia yang cepat membantu kakek ini mengubur lima mayat itu sebentar saja sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik.

Kini kakek itu menguruk tanah, membuat gundukan besar Lalu mengibaskan bajunya dari debu yang menempel di tubuhnya dia bergumam, "Semua orang akhirnya akan mengalami hal seperti ini, Bu-beng. Tak ada bedanya antara yang bodoh dan yang pintar. Antara yang jahat dan yang baik. Kau tahu, bukan?'”

“Ya...”

"Dan apa yang akan kau lakukan kalau kau mengetahui hal ini?"

Si bocah termangu.

"Kau harus banyak melakukan kebaikan, Bu-beng. Agar kelak kalau kita meninggal, maka bukan kisah buruk yang kita wariskan pada anak cucu kita melainkan nama harum dan kebijaksanaan yang kita berikan pada mereka! Kau setuju pada pendapatku, bukan?"

Bu-beng Siauw-cut mengangguk. "Ya, itu benar, locianpwe."

"Dan sekarang, bagaimana pendapatmu tentang pembunuhan ini?"

"Itu perbuatan jahat, locianpwe. Kekejian yang tidak dapat dibenarkan!"

Kakek ini tertawa. "Bagus. Tapi nyatanya pernyataanmu kontras dengan isi hatimu, Bu-beng. Kau menyatakan pembunuhan adalah keji tapi kau sendiri justeru ingin melakukan pembunuhan terhadap Pendekar Gurun Neraka!"

"Ah, tapi itu lain, locianpwe. Aku membunuh karena Pendekar Gurun Neraka berhutang dua jiwa kepadaku!"

"Ayah ibumu itu?"

"Ya. Mereka tewas gara-gara pendekar itu. Dan aku akan menuntut balas untuk kekejamannya, itu!"

Kakek itu tertawa "Bu-beng, kau masih terlalu muda untuk mengetahui inti sari hidup. Apapun alasannya membunuh adalah sesuatu yang mengerikan, sesuatu yang sebenarnya tak patut dilakukan sesama manusia. Tapi karena kita mempunyai pendapat sendiri-sendiri maka terjadilah semuanya itu. Yang jelas, kalau kau mempunyai cita-cita membunuh Pendekar Gurun Neraka maka cita-citamu itu salah, anak baik. Karena pendekar itu bukanlah seorang jahat yang sepantasnya dimusuhi orang baik-baik macam dirimu ini?”

Anak itu menggeleng. "Tapi aku ingin membalas dendam, locianpwe. Dan tak perlu kau meredakan kebencianku dengan nasihat-nasihat kosong!"'

"Tapi, tak mungkin kau berhasil, anak baik. Pendekar Gurun Neraka adalah laki-laki tiada bandingnya yang gagah perkasa!"

"Betul, aku sudah mendengarnya, locianpwe. Tapi sebelum berhadapan sendiri tak puas rasanya hati ini?"

"Hm...." kakek itu menganggukkan kepalanya. "Baiklah itu urusanmu sendiri. Bu-beng. Aku si tua bangka ini tak akan mencampurinya. Tapi satu nasihatku, kau akan menemui banyak kegagalan jika tak memiliki kepandaian tinggi?"

Si bocah terbelalak. "Aku akan mencari ilmu sebanyak mungkin, locianpwe. Dan aku tak mau sudah jika belum berhasil!"

"Dan kau sudah mendapatkan calon gurumu itu?"

Bu-beng Siauw-cut tertegun. "Ini... hem, belum, locianpwe. Aku belum berpikir sampai sejauh itu!"

"Lalu bagaimana caramu dengan membalas dendam itu?"

"Aku akan datang ke Ta-pie-san. Akan kutantang Pendekar Gurun Neraka itu. Dan aku telah mempersiapkan pisau belati ini untuknya!" '

Si kakek terkejut . Dia melihat anak laki laki itu mencabut sebuah pisau dari balik pinggang kirinya, rupanya sudah lama mempersiapkan benda itu di situ Tapi tersenyum geli tiba tiba ketawanya meledak terbahak.

"Ha-ha. kau lucu Bu-beng. Kau benar-benar menggelikan sekali! Kau kira dengan benda sekecil itu kau dapat membunuh Pendekar Gurun Neraka? Kau kira dia dapat terbunuh oleh pisau kecilmu ini?"

"Tapi aku akan mencobanya, locianpwe. Aku tidak takut, aku siap membunuh atau dibunuh!"

"Ah, bukan begitu, Bu-beng. Tapi Pendekar Gurun Neraka orangnya kebal, tak mempan terhadap semua bacokan senjata tajam. Mana mungkin kau dapat membunuh lawanmu itu. Sedang melawan putera si iblis betina Tok-sim Sian-li sija kau tak dapat menang, mana bisa merobohkan Pendekar Gurun Neraka? Ha-ha, kau tak tahu tingginya langit dalamnya bumi, Bu-beng. Kau tak tahu betapa hebatnya kesaktian Pendekar Gurun Neraka itu!"

Anak ini marah. "Tapi aku tak takut, locianpwe. Aku tak gentar meskipun kepandaiannya melebihi setan!"

Si kakek tertegun. Dia melihat mata anak itu berkilat-kilat, tak dapat dicegah. Dan maklum bahwa anak ini harus "dibentur" dengan kenyataan maka diapun tersenyum dan menghela napas. "Baiklah... baiklah, Bu-beng. Aku tak akan mengecilkan arti perjuanganmu. Kau boleh bunuh musuhmu itu dan lihatlah apa yang terjadi!" lalu, memandang ke depan kakek ini bertanya sambil menepuk pundak si bocah, "Sekarang kita akan melanjutkan perjalanan bukan? Nah, aku siap mengikutimu, Bu-beng. Aku akan ikut denganmu sampai di kaki gunung itu!''

Bu-beng Siauw-cut mengangguk. "Ya, aku ingin menemui pendekar itu, locianpwe. Aku tak sabar dan ingin segera melaksanakan tugasku ini. Mari....!" dan si bocah yang sudah memutar tubuh itu tiba-tiba mengayun langkah meninggalkan kuil Tee-kong-bio. Dia tak tahu betapa si kakek di sebelahnya tersenyum menyeringai, mukanya kecut. Tapi kakek yang menggelengkan kepala dengan mata penuh kagum ini sudah mengikuti anak laki-laki itu tanpa banyak-bicara.

Dan aneh. Keduanya tidak banyak cakap. Baik Bu-beng Siauw-cut maupun si orang tua tak menyinggung-nyinggung masalah pribadi mereka. Terutama si bocah laki-laki ini. Dia tak menanya siapa kakek tua itu, umpamanya. Di mana tempat tinggalnya dan apa pula julukannya. Dan si kakek yang diam tertegun oleh sikap anak laki laki ini jadi mendesis sendirian, dengan mata terbelalak. Tapi ketika anak itu teringat tentang Ho-han-hwe sekonyong-konyong dia membuka percakapan,

"Locianpwe, siapakah sebetulnya orang-orang Ho-han-hwe itu? Dan di mana markas besar mereka?"

Kakek ini tersenyum. “Ho-han-hwe perkumpulan orang-orang gagah, Bu-beng. Mereka itu merupakan simpatisan Pangeran Kou Cien dari Kerajaan Yueh."

"Dan markas besar mereka?"

"Kau akan tahu sendiri Bu-beng. Tak perlu kujawab. Hanya barangkali ketua perkumpulan ini akan mengejutkan dirimu."

"Siapa, locianpwe?"

"Pendekar Gurun Neraka!"

"Hah?" si bocah! terkejut. Tapi menoleh sejenak tiba-tiba diapun telah meneruskan langkah, tak bertanya apa-apa lagi sampai mereka tiba di kaki gunung Ta-pie-san!

Pagi itu Ta-pie-san memang masih malas. Kabut di atas gunung berarak ayal - ayalan, sementara kicau burung yang biasa ramai kali ini sedikit hening. Maklum, hawa pegunungan masih terlampau dingin untuk disambut. Dan sinar matahari yang menerobos celah-celah dedaunan tampak melorong (membentuk lorong) yang kuning keemasan ke kaki bukit.

Pagi itu dua bocah memasuki hutan cemara. Mereka terdiri dari seorang anak laki-laki yang tampan gagah dengan usia sembilan tahun dan seorang anak perempuan cantik yang usianya delapan tahunan. Mereka hampir sebaya, tampaknya kakak beradik. Dan wajah mereka yang terang jernih dengan mata yang tajam bening jelas menunjukkan bahwa mereka bukanlah anak-anak sembarangan. Dan ini diperkuat oleh gerak-gerik langkah kaki mereka yang ringan.

Siapakah mereka itu? Bukan lain Sin Hong dan Bi Lan. Mereka adalah putera-puteri Pendekar Gurun Neraka. Yang laki-laki dari isteri pertamanya bernama Pek Hong sedang yang perempuan itu adalah puteri mereka dari isteri kedua Ceng Bi, puteri pendekar besar Ciok thouw Taihiap Souw Ki Beng itu, gak-hu atau ayah mertua Pendekar Gurun Neraka. Dan seperti diketahui bersama dalam cerita "Pendekar Kepala Batu" dulu pendekar muda ini bersama dua orang isterinya tinggal bersama di Pegunungan Ta-pie-sin.

Pek Hong telah melahirkan anak laki-lakinya itu, sembilan tahun yang lalu, yang diberi nama Sin Hong atau Yap Sin Hong oleh Pendekar Gurun Neraka. Sedang Ceng Bi yang melahirkan anak perempuan delapan tahun yang lalu kemudian memberi nama Bi Lan atau Yap Bi Lan pada anak mereka yang nomor dua itu.

Baik Pek Hong maupun Ceng Bi tak ada perasaan saling cemburu dalam memiliki orang yang mereka cinta, yakni Pendekar Gurun Neraka atau yang pada belasan tahun yang silam lebih dikenal orang sebagai Yap-goanswe itu, jenderal muda Yap yang gagah perkasa pada Kerajaan Yueh. Tapi karena bekas jenderal muda ini telah mengundurkan diri dari jabatannya maka dia lebih dikenal dengan nama barunya itu, julukan yang membuat dia tersohor. Baik di dalam maupun di luar Tiong-goan ( pedalaman ).

Dan pagi itu, apa yang akan dilakukan dua orang anak laki-laki dan perempuan ini? Bukan lain latihan. Latihan ilmu silat yang sudah diajarkan kepada mereka oleh sang ayah sejak mereka baru belajar merangkak! Memang Pendekar Gurun Neraka keras sekali dalam mendidik putera puterinya ini. Dia tak kenal siang maupun malam, dingin ataupun panas. Pokoknya kalau waktu latihan sudah tiba saatnya maka Sin Hong dan Bi Lan harus berlatih, biarpun saat itu hawa pegunungan masih dingin. Seperti saat itu misalnya!

Dan Sin Hong serta Bi Lan lama-lama akhirnya terbiasa juga. Sikap ayah mereka yang keras dan amat berdisiplin dalam mendidik ilmu silat membuat mereka tak cengeng seperti anak-anak kebanyakan. Mereka sudah terbiasa untuk berlatih keras, melawan dingin dan panas di alam terbuka. Tapi ketika mereka baru memasuki hutan cemara dimana mereka biasanya berlatih itu, mendadak tiga buah bayangan muncul di depan mereka.

"Ha-ha, kalian siapa, tikus-tikus kecil?"

Sin Hong dan Bi Lan terkejut. Mereka melihat dua wanita cantik muncul di situ, sementara orang ke tiga yang, merupakan seorang anak laki-laki yang usianya sepuluh tahunan dan bicara congkak di depan mereka membuat Sin Hong dan Bi Lan mengerutkan alis...



Pedang Medali Naga Jilid 01

PEDANG MEDALI NAGA
JILID 01
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pedang Medali Naga Karya Batara
TEE-KONG-BIO (Kuil Dewa Bumi), pagi itu tampak sepi. Ketua kuil, yang bernama Hok Sim Cinjin saat itu masih duduk bersamadhi di kamar belakang. Dia hanya mempunyai empat orang pembantu untuk melayani kuilnya ini, terutama melayani penduduk yang hendak bersembahyang atau membayar kaul.

Dan masing-masing tosu yang berjumlah empat orang itu sudah melaksanakan pekerjaan masing-masing untuk membersihkan kuil. Ada yang menyapu halaman, ada yang menambah hio (dupa) yang habis di meja altar dan dua yang lain sedang mengisi tempayan (gentong) raksasa di kamar mandi. Semuanya pagi itu sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Maklum, hari baru saja terang tanah.

Tapi ketika semua orang sedang melaksanakan tugasnya masing-masing mendadak seorang bocah muncul dengan tiba-tiba. Bocah ini berumur sekitar sepuluh tahunan. Mukanya tampan, tapi sinar matanya yang redup sayu membayangkan sebuah himpitan batin sedang menekan jiwanya. Dia langsung menghampiri It Yang Tosu, yakni tosu yang membersihkan halaman itu. Dan begitu sampai di muka orang bocah inipun berhenti memberi hormat.

“Totiang, bolehkah aku bertanya di mana tempat tinggal Pendekar Gurun Neraka?"

It Yang Tosu terkejut. Dia menghentikan sapuannya, terbelalak dan terheran-heran melihat datangnya bocah itu. Namun melihat sikap yang halus dan sopan dari anak laki-laki ini diapun tertawa dan merangkapkan tangannya. "Siancai. siapa kau, tuan kecil? Dan kenapa datang-datang minta alamat Pendekar Gurun Neraka?"

"Aku Bu-beng Siauw-cut, totiang. Bocah yatim yang tidak memiliki tempat tinggal."

"Hah, Bu beng Siauw-cut?” It Yang Tosu tercengang. "Kenapa kau memiliki nama demikian aneh, bocah. Siapa yang memberimu nama itu?"

Namun anak laki-laki ini tak menjawab. Dia membiarkan tosu itu tercengang sendirian, karena Bu-beng Siauw-cut artinya adalah 'kerucuk", alias orang tak berharga. Lalu mengulang pertanyaannya dia memandang tajam tosu itu, "Kau tahu di mana tempat tinggal Pendekar Gurun Neraka, totiang? Kau dapat menolong aku memberi tahu di mana alamat pendekar itu?"

It Yang Tosu akhirnya menarik napas. Dia tentu saja tahu di mana tempat tinggal pendekar itu, karena Pendekar Gurun Neraka bukanlah nama yang tidak dikenal. Tapi tertarik dan terheran-heran mendengar anak laki-laki ini mau menemui pendekar itu tosu ini malah jadi curiga. Dia mengerutkan kening, dan tidak menjawab pertanyaan lawan dia justru bertanya, "Ada apakah kau hendak ke sana, bocah? Bolehkah pinto tahu?"

"Hm, beginikah watak tosu Tee-kong-bio, totiang? Kau ingin mengetahui urusan pribadi orang lain dan tidak memberikan jawaban? Kalau begitu sudahlah, aku tidak bertanya lagi padamu dan kita masing-masing tak perlu tahu..!” lalu, begitu memandang marah tosu ini anak laki-laki itupun memutar tubuh berangkat pergi!

Dia membuat It Yang Tosu terbelalak, merah mukanya. Tapi tosu yang tertampar oleh jawaban ini tiba-tiba menjadi marah. "Bocah, kau menghina pinto?“ It Yang Tosu melompat, menghadang di depan anak laki-laki yang aneh itu.

Dan anak lelaki yang menjadi terkejut melihat tosu Tee kong-bio ini menghadang di depannya mendadak gelap mukanya. "Totiang, apa yang hendak kau lakukan?" "Kau menghina pinto, bocah. Kau tak boleh pergi kalau belum menerima ganjaran!"

"Hm, ganjaran apa yang kau maksud?" bocah ini mengedikkan kepala. "Siapa yang lebih dulu bersalah?"

It Yang Tosu tertegun. Dia melihat bocah ini berani sekali, tak segan kepadanya yang bersikap garang. Dan It Yang Tosu yang menjadi penasaran oleh sikap itu tiba-tiba membentak, "Bocah, kau harus menyelesaikan pekerjaan pinto. Kau harus menyapu halaman ini sebagai hukuman atas kekurangajaranmu!"

Bocah itu mengepal tinju. "Siapa yang kurang ajar, totiang?"

"Kau!"

"Tapi bukankah baik-baik aku bertanya kepadamu? Kenapa justeru kau menyalahkan aku?"

"Karena kau menghina pinto, bocah. Karena kau tak tahu adat di depan orang yang lebih tua!" lalu mencengkeram bocah ini mendadak tosu itu telah melemparkan sapunya menyuruh bocah itu memenuhi permintaannya.

Tapi anak laki laki ini berontak, dan begitu dia mengayun tinjunya mendadak perut It Yang Tosu sudah ditonjok! "Tosu tua, kau yang tidak tahu adat....Buk!"

Dan It Yang Tosu yang kontan terdorong mundur beringas mukanya dengan mata mendelik. "Kau berani memukul pinto, bocah siluman?"

"Kalau kau menyakiti aku lebih dulu, to-tiang!"

"Ah..!" dan membentak dengan penuh kemarahan It Yang Tosu tiba-tiba menerjang ke depan. Ia mengulurkan tangannya, lalu menjambak dengan cepat tahu-tahu rambut anak laki-laki itu telah dicengkeram dan digaplok pipinya. "Anak setan, kau harus diujar adat... plak-plak-plak!" dan muka lawan yang tergeleng pulang balik oleh tamparan tosu itu tiba-tiba bengap pipinya dan matang biru.

Kontan, anak ini marah dan begitu dia berteriak panjang tiba-tiba lututnya bergerak menendang selangkangan tosu itu. Lalu begitu It Yang Tosu berteriak kesakitan mendadak mulutnyapun menggigit lengan lawan, yang tidak mau melepaskan jambakannya!

"Ah, ad... aduhh...!" It Yang Tosu menjerit, terpaksa melepaskan cengkeramannya. Dan tosu yang sudah terguling-guling sambil mendekap bawah perutnya yang ditendang lutut kecil bocah itu tiba-tiba sudah berkaok-kaok bagai kerbau disembelih. Tosu ini marah bukan main, dan tiga orang saudaranya yang cepat muncul mendengar keributan di depan tahu-tahu terbelalak melihat it Yang Tosu yang terguling-guling!

"Suheng, ada apa?"

"Sute, siapa bocah ini?"

It Yang Tosu bangun dengan mata melotot. Dia jadi malu dan gusar melihat dirinya berkaok-kaok akibat tendangan yang "fatal" itu. Dan marah melihat tiga orang saudaranya muricu! di situ melihat dirinya terguling-guling menghadapi seorang bocah mendadak tosu ini menyambar sapunya, sapu bergagang panjang yang terbuat dari rotan. Lilu, mendesis dengan muka beringas It Yang Tosu membentak, "Bocah ini anak siluman, suheng. Dia menyerangku setelah menanyakan alamat Pendekar Gurun Neraka...!"

Dan melompat ke depan tiba-tiba It Yang-Tosu menyerang bocah itu. Dia memutar sapunya dengan cepat, dan begitu angin bersiut menderu-deru tiba-tiba saja tubuh anak laki-laki itu telah digebuk berulang-ulang. Anak laki-laki ini terjengkang, terpukul gagang sapu yang menghantam berat di pundak kirinya. Dan begitu lawan menghajar pulang balik tubuh yang kecil ini tiba-tiba kulit anak laki- laki itu pecah berdarah dan robek-robek pakaiannya!

"Ah, hentikan, sute. Tahan kemarahanmu itu...!" seorang tosu di sebelah kanan tiba-tiba melompat, mencegah serangan It Yang Tosu ini. Dan begitu tangan kanannya bergerak tiba-tiba sapu di tangan It Yang Tosu telah dirampas dengan cepat.

It Yang Tosu terkejut. Dia berteriak kaget, tapi bocah yang luka-luka tubuhnya itu mendadak melompat bangun. Dia sekarang bebas, dan melihat It Yang Tosu tidak menghajarnya lagi mendadak dia menubruk tosu ini dan menggigit lehernya!

"Tosu tua, kau jahat....!"

It Yang Tosu terpekik. Lehernya tahu-tahu digigit mulut anak laki-laki itu. sakit sekali. Dan It Yang Tosu yang marah serta kaget langsung mengipatkan tubuhnya bermaksud melempar anak itu agar melepaskan gigitannya. Tapi It Yang Tosu mencelos hebat. Dia merasa gigitan si anak semakin menghurjam. dan begitu dia membentak sambil memutar tubuhnya tiba-tiba dia sendiri yang terguling roboh dengan leher terkuak lebar. Pecah berdarah!

"Ah, lepaskan pinto, bocah siluman..!"

Tapi anak laki-laki ini tak mau sudah. Dia terus menancapkan giginya, bahkan menghisap darah It Yang Tosu. Dan baru setelah It Yang Tosu menangkap dan membanting anak itu di atas tanah barulah tosu ini melompat bangun dengan leher terluka lebar, terkuak dagingnya dan masih digigit anak laki laki itu, seolah seekor anak harimau yang mendapat daging segar! It Yang Tosu marah bukan main. Dia tentu saja gusar setengih mati, tapi sebelum dia membalas serangan itu tiba-tiba tosu yang merampas sapunya memalangkan kaki.

"Sute, jangan siksa anak ini. Dia tak bersalah...!”

It Yang tosu tertegun. Dia terbelalak memandang suhengnya itu, Su Yang Tosu. Dan kaget serta penasaran oleh ucapan ini tiba-tiba It Yang Tosu berteriak, "Suheng, omongan apa yang kau ucapkan ini? Siapa bilang dia tidak bersalah?”

Tapi Su Yang Tosu menegakkan punggung. "Dia kulihat tak bersalah, sute. Dan itu jelas dari sepak terjangmu yang kasar. Kau tentu mendahuluinya bersikap tak baik, kalau tidak tentu bocah ini tak akan menyerangmu!"

It Yang Tosu terbelalak, dia jadi marah kepada suhengnya ini. Tapi sebelum dia mendamprat melampiaskan kemarahan tiba-tiba seorang tosu lain muncul, seorang kakek yang rambutnya digelung ke atas dan membawa tongkat.

"Siancai, ada apa kalian ribut-ribut, Su Yang Tosu? Kenapa It Yang Tosu terluka?"

Empat orang tosu itu serentak menjatuhkan diri berlutut. Yang datang kaii ini adalah Hok Sim Cinjin, guru dan juga ketua mereka. Maka Su Yang Tosu yang merupakan pembantu tertua dari kuil Tee-kong-lio ini langsung bicara,

"Teecu melihat It Yang sute berkelahi dengan bocah ini, suhu. Teecu sendiri belum tahu apa yang sebenarnya terjadi!"

"Hm, siapa anak itu, It Yang? Kenapa ribut-ribut di pagi hari?"

It Yang Tosu gemetar. Dia pucat mukanya, tapi menjawab apa adanya dia berkata, "Teecu didatangi bocah siluman ini, suhu. Dia datang menanyakan alamat Pendekar Gurun Neraka. Tapi belum teecu menjawab tahu-tahu dia menonjok perut teecu....!"

"Hm, siapa kau, bocah? Kenapa datang-datang membuat ribut di tempat kami?"

Anak laki-laki ini tertatih menghampiri. Dia baru saja dibanting It Yang Tosu. Membuat tulangnya seakan remuk. Tapi melihat wajah Hok Sim Cinjin yang ramah diapun bersikap baik. "Maafkan aku, totiang. Aku Bu-beng Siauw-cut, datang ke sini dan bertanya baik-baik tentang tempat tinggal Pendekar Gurun Neraka. Tapi sebelum pertanyaan itu mendapat jawaban tosu ini telah bersikap tak pantas kepadaku dan menjambak rambutku dengan kasar!"

Hok Sim Cinjin tercengang. "Bu-beng Siauw-cut...?"

"Ya, itu namaku, totiang."

"Ah, di mana tempat tinggalmu, bocah?"

"Aku tak memiliki tempat tinggal, totiang. Bagiku langit dan bumi adalah naungan hidupku."'

"Siancai, kalau begitu boleh pinto bertanya, anak baik? Apakah maksudmu mencari Pendekar Gurun Neraka?"

Mendadak, seperti tadi ketika It Yang Tosu bertanya tentang ini tiba-tiba muka anak laki-laki itu menjadi gelap. Dia kelihatan marah, dan Hok Sim Cinjin yang dipandang tajam tiba tiba ditanya, "Totiang, pantaskah pertanyaan itu kau ajukan? Pantaskah orang lain mengetahui urusan pribadi seseorang?"

Hok Sim Cinjin tertegun. Ketua Tee-kong-bio ini juga nampak tersentak, merah mukanya mendengar pertanyaan itu. Tapi tosu yang menarik napas ini tiba-tiba mergetrukkan tongkatnya. "Maaf, pinto rupanya kelepasan omong, bocah. Agaknya kau benci sekali mendengar orang bertanya tentang maksudmu itu. Baiklah, boleh pinto mengundangmu ke dalam kalau begitu? Kita bicara baik-baik dan menjadi sahabat?"

Namun anak laki-laki ini menggeleng. "Aku tak ada waktu, totiang. Maaf. Aku kemari hanya untuk menanyakan alamat Pendekar Gurun Neraka. Kalau totiang tidak dapat menjawab sudalah, aku akan pergi sekarang juga...!" lalu memutar tubuh anak laki-laki itu betul-betul meninggalkan Hok Sim Cinjin, tak bertanya sepatah lagi!

Tentu saja Hok Sim Cinjin terkejut, dan terbelalak melihat bocah itu meninggalkan dirinya tiba-tiba ketua Tee-kong-bio ini berkelebat ke depan. "Koai-tong (Anak Aneh), tunggu dulu. Pinto dapat menjawab pertanyaanmu...!"

Bocah itu berhenti. Dia memandang ketua Tee-kong-bio ini dengan muka berseri, dan tersenyum girang dia bertanya. "Kau betul dapat menolongku, totiang? Kau tahu di mana tempat tinggal Pendekar Gurun Neraka?"

Hok Sim Cmjin mengelus jenggotnya. "Tentu saja, Koai-tong. Tapi kau berani memberi imbalan untuk jasa pinto ini, bukan?"

Bocah itu mengerutkan kening. "Hm, imbalan apa, totiang? Mana dapat aku memberimu sesuatu?"

Tapi Hok Sim Cinjin tertawa. "Aku tak meminta balas jasa yang berat, Koai tong. Pinto hanya mengharap tenagamu seminggu di sini. Bagaimana kalau kau membantu pinto di kuil ini untuk jasa pinto memberitahumu alamat Pendekar Gurun Neraka?"

Bocah itu terhenyak. Tapi berpikir bahwa sudah sepantasnya dia memberi imbalan sebagai balas jasa kebaikan orang diapun mengangguk. “Boleh, aku menerimanya, totiang. Tapi kalau satu minggu terus terang saja aku keberatan!"

"Hm, berapa hari yang kau sanggup, Koai-tong?"

"Tiga hari saja. Kalau totiang setuju hari inipun aku akan membantu di kuilmu!"

Tapi Hok Sim Cinjin menggeleng. "Pinto menawarnya, Koai-tong. Jangan tiga hari tapi enam hari! Kau sanggup, bukan?"

Namun si bocah menggeleng. "Maaf. Aku tak mau terlalu lama, totiang. Aku sanggup hanya tiga hari saja!"

"Hm, bagaimana kalau lima hari, Koai-tong?"

"Tidak, tak bisa, totiang."

"Empat hari?"

Si bocah tiba-tiba mengeraskan sikap, "Totiang, kalau kau dapat menerimanya tiga hari bolehlah kita berkumpul selama itu. Tapi kalau totiang keberatan akupun akan bertanya pada orang lain saja!" dan si bocah yang sudah siap untuk memutar tubuh itu tiba-tiba disamout ketawa Hok Sim Cinjin.

"Siancai, kau benar-benar keras hati, Koaitong. Baiklah, kalau pinto tak dapat memaksamu untuk tinggal lebih dari tiga hari apa boleh buat. Pinto akan mengalah padamu!" dan Hok Sim Cinjin yang melangkah maju tiba-tiba menepuk pundak anak laki-laki ini. Dia kagum dan tertarik bukan main pada bocah yang dianggapnya luar biasa ini. Seorang bocah yang keras hati dan berani! Tapi si bocah yang melangkah mundur bertanya curiga.

"Tapi kapan kau akan memberi tahu alamat itu. totiang? Apakah setelah selesai waktu tiga liari itu?"

Hok Sim Cinjin tersenyum. "Maksud pinto memang begitu, Koai-tong. Apakah kau keberatan?"

"Hm, kalau begitu perjanjian batal, totiang. Aku tidak setuju kalau kau memberi tahu belakangan!"

"Ah, apa sebabnya, Koai tong? Kau kira pinto menipumu?"

"Aku tidak menuduhmu begitu, totiang. Tapi aku harus berhati-hati agar tidak sampai tertipu!"

Hok Sim Cinjin tertawa lebar. "Koai-tong. kau benar-benar aneh. Lalu bagaimana kalau ganti kau yang menipu pinto jika ini diberitahukan duluan?"

Bocah itu tiba-tiba mengedikkan kepala. "Aku akan memberikan jaminan, totiang. Aku akan menitipkan benda ini kepadamu!"

Hok Sim Cinjin terbelalak. Dia melihat si bocoh mengeluarkan sebuah benda berkilauan, semacam medali sebesar tutup mangkok. Dan Hok Sim Cinjin yang terkejut melihat benda itu tiba-tiba berseru tertahan. "Medali Naga...!"

Bocah ini tertegun. "Kau mengenalnya, totiang?"

"Ah...!" Hok Sim Cinjin menggigil pucat. "Dari mana kau mendapatkannya, Koai-tong? Siapa yang memberimu benda itu...?"

Anak ini terheran. "Aku mendapatkannya di tengah jalan, totiang. Kenapakah?"

Tapi Hok Sini Cinjin tiba-tiba telah menyambar medali itu. "Benda ini berbahaya untukmu. Koai-tong. Kau dapat dibunuh dan diancam orang-orang jahat!” lalu memandang jelalatan ke sana ke mari tiba-tiba ketua Tee-kong-bio itu berbisik, serak suaranya, "'It Yang, Su Yang, tutup kuil hari ini. Kita tak menerima tamu....!" dan menyambar tubuh Bu beng Siauw-cut tiba-tiba Hok Sim Cinjin memasuki ruang belakang. Dengan cepat ketua kuil yang tampak gelisah itu menuju ke kamarnya sendiri, kamar pribadi yang ada di sebelah taman bunga. Lalu menurunkan anak itu bergegas dia menutup pintu. “Koai-tong, sesungguhnya siapakah kau ini? Dan di mana kau dapatkan medali itu?"

Anak lakilaki ini mengerutkan alis. Dia terkejut dan terheran melihat sikap ketua kuil itu demikian gugup, bahkan nampaknya cemas. Tapi tersenyum kecil dia coba menenangkan hati. "To-tiang, sudah kubilang bahwa aku adalah Bu-beng Siauw-cut. Aku anak lola yang tidak mempunyai sanak-kadang Kenapa kau tampaknya gelisah dan tidak enak hati?"

Toso ini gemetar. "Tapi benda ini... kapan kau mendapatkannya, Koai-tong? Dan di mana?”

"Aku mendapatkannya sebulan yang lalu, totiang. Di bukit...”

"Tengkorak Hitam?" Hok Sim Cinjin memotong, membuat anak laki-laki itu tertegun.

"Eh, bagaimana kau tahu, totiang? Apakah kau ke sana waktu itu?" bocah ini malah terbelalak, heran mendengar ucipan tosu itu.

Tapi Hok Sim Cinjin yang mendengar pengakuan ini tiba-tiba mengeluh dan memegangi kepalanya. "Sobat, bagaimana kau bisa mendapat benda ini, Koai-tong? Kenapa tidak kau buang saja jauh-jauh?”

Anak Ini terkejut. "Aku tertarik melihat benda itu, totiang. Aku suka karena bentuknya bagus! Kenapa malah harus dibuang?"

"Hm, tapi tidak ada seseorang yang membuntuti perjalananmu, Koai-tong? Kau tidak melihat orang lain diam-diam mengejarmu?"

Anak ini tak nyaman juga. "Totiang, kenapa kau tampaknya demikian takut? Ada apakah sebenarnya dengan benda ini?"

Hok Sim Cinjin mengusap keringatnya. "Benda ini dapat mencelakakan orang lain, Koai-tong. Terutama pembawanya dan rumah di mana dia masuk!"

"Ah, jadi juga mengancam keselamatan kuilmu, totiang?"

"Kalau tidak salah. Aku mendapat firasat bahwa seseorang selama ini telah membuntutimu secara diam-diam. Dan, kau hendak menemui Pendekar Gurun Neraka atas keinginan pribadimu, bukan? Artinya, kau tidak diperalat seseorang untuk menemui pendekar itu. Koai-tong?"

Anak ini bersinar mukanya. "Aku datang atas kemauanku sendiri, totiang. Aku datang bukan diperalat seseorang!"

"Bagus, pinto percaya. Tapi bukankah kau selamat lewat di bukit Tengkorak Hiram, Koai-tong? Tidakkah seseorang menghadangmu di tengah jalan?"

"Hm, apa maksudmu, totiang? Dan kenapa dengan bukit Tengkorak Hitam itu?"

"Ah, kau memang masih terlalu hijau Koai-tong. Kau agaknya tidak tahu bahwa siapapun tak bakalan selamat jika lewat di bukit itu. Seseorang menjadi penunggunya. Maka aneh sekali kalau kau tetap hidup setelah melalui bukit itu!"

Anak ini terkejut. "Bukit Tengkorak Hitam ada penunggunya, totiang? Apakah iblis gentayangan yang kau maksud?"

"Ah...!" Hok Sim Cinjin, mengeluh. "Kau tidak tahu, Koai-tong. Iblis itu bukan iblis sembarang iblis, bukan iblis gentayangan. Tapi iblis pembunuh yang kejam sekali terhadap setiap korbannya!"

Anak ini tergetar ngeri. "Masa begitu, totiang?"

"Ya, dan orang tidak tahu bagaimana rupanya iblis ini, Koai-tong. Karena setiap korban yang bertemu dengannya pasti binasa. Dia tidak meninggalkan jejak, kecuali tanda bagi setiap korban yang akan dibunuh!"

"Ih!" anak itu mengerutkan kening. "Lalu kenapa dia harus membunuh orang, totiang?"

"Pinto tidak tahu, Koai-tong. Tapi pinto dengar berita selentingan bahwa dia membunuh untuk melampiaskan nafsu dendamnya. Dia jahat, kejam sekali. Dan siapapun yang lewat di bukit Tengkorak Hitam biasanya tak ada yang dapat berlalu dengan tubuh masih bernyawa!"

Anak laki-laki ini berobah. Sekejap mukanya pucat, tapi bibir yang tiba-tiba menyungging senyum mengejek itu tersembul sinis. "Tapi aku tak kenal iblis itu, totiang. Juga aku tak melakukan kesalahan kepadanya."

"Ya, semua korban yang tewas di tangannya mula-mula juga tak ada kesalahan dengan iblis itu. Koai-tong. Tapi akhirnya mereka dibunuh juga!"

"Hm, lalu kenapa dia harus bersikap sekejam itu?"

"Karena nafsu dendamnya, Koai-tong. Dendam terhadap seseorang yang tidak diketahui siapa!"'

"Lalu tanda yang dia tinggalkan?"

"Berupa tapak jari merah. Berapa yang akan dibunuh biasanya dapat dibaca dari jumlah tapak jari itu!"

Anak ini tertegan. Dia melihat Hok Sim Cinjin memandang seluruh dinding kamar, mukanya pucat dan dahinya berkeringat. Tapi melihat dinding kamarnya bersih-bersih saja tosu itu sedikit tenang. Tapi anak laki-laki ini tiba tiba menunjuk ke atas, dan suaranya yang tersentak kaget menunjukkan rasa herannya yang besar,

"Ah, seperti itukah tapak jarinya, totiang?"

Hok Sim Cinjin kaget bukan main. Dia mengikuti tudingan si anak, dan begitu pandangannya membentur langit-langit kamar sekonyong-konyong tosu ini mengeluarkan keluhan tertahan dengan mata terbelalak. "Ah, benar.. benar, Koai-tong. Dia datang dan itulah tandanya...!"

Anak ini terkejut. "Jadi benar itu tanda si iblis dari Tengkorak Hitam, totiang?"

Hok Sim Cinjin tak menjawab. Dia sudah menyambar tongkat, dan baru tosu ini membuka pintu tiba-tiba terdengar pekik ngeri susul-menyusul di depan kelenteng. Hok Sim Cinjin pucat mukanya, dan begitu dia menjejakkan kaki, ketua Tee kong-bio ini telah berkelebat ke asal suara. "Koai tong, larilah. Iblis itu mengancam pinto....!"

Tapi anak laki-laki ini justeru mengejarnya. Dia mengikuti Hok Simi Cinjin, menuju ke depan kuil. Dan begitu dia tiba di tempat ini mendadak bocah itu menjublak dengan mata tak berkedip. Hok Sim Cinjin ada di situ, terbelalak dan berdiri mematung. Tapi empat sosok mayat yang terkapar malang-melintang di halaman kuil ternyata sudah terpotong dua bagian dengan kepala dan kaki terpisah!

"Ah, keji...!" anak itu melompat marah. "Empat orang pembantumu binasa semua, totiang!"

Hok Sim Cinjin menggigil. Dia memang melihat empat pembantunya itu terkapar binasa, tewas dengan mengerikan. Tapi ketua kuil yang gemetar ini tiba-tiba beringas mukanya. Dia melompat mendekati anak laki-laki ini, lalu begitu tongkatnya bergerak tiba-tiba dia menusuk dadanya sendiri!

"Koai-tong, cari Pendekar Gurun Neraka. Laporkan pinto tewas oleh kekejaman So-beng (Penagih Nyawa)....!" lalu begitu tongkat menghunjam dadanya tahu-tahu ketua Tee-kong-bio ini telah terkapar mandi darah dan roboh terjengkang!

"Totiang...!" anak laki-laki itu menjerit. "Kenapa kau lakukan ini?"

Namun Hok Sim Cinjin sudah tergolek. Tosu ini tak mungkin diselamatkan nyawanya, karena tongkat sudah menembus jantungnya. Tapi ketika bocah itu mengguncang-guncang tubuhnya tiba-tiba ketua kuil ini masih dapat membuka matanya. "...ad...ada apa, Koai-tong...?"

Anak itu menggigil. "Aku belum tahu alamat Pendekar Gurun Neraka, totiang! Mana bisa mencari pendekar itu?"

"Ah..." Hok Sim Cinjin menggeliat. Dia sukar bicara, tapi jari tangannya yang menuding ke barat bicara gemetar, "...dia.... dia ada di sana, Koai-tong... pendekar itu tinggal di Ta-pie-san...!"

"Di puncak gunung itu, totiang?"

Tapi Hok Sim Cinjin mengeluh. Dia tak dapat menjawab, karena begitu dia kejang-kejang mendadak tosu ini sudah terguling dan tak dapat bicara lagi untuk selama-lamanya. Ketua Tee-kong-bio itu tewas, dan anak lelaki yang tertegun dengan muka pucat ini tiba tiba mencucurkan air mata dengan penuh kesedihan. Dia tak menyangka kedatangannya membawa malapetaka bagi orang lain. Tapi ketika dia tersedu-sedu menangisi mayat ketua Tee-kong-bio ini mendadak tiga buah bayangan berkelebat menghampiri.

“Hei, apa yang terjadi di sini, ibu? Kenapa keledai-keledai gundu! ini mampus semua?"

Bocah itu terkejut. Dia melihat tiga orang muncul di situ, dua wanita dan seorang lagi adalah seorang anak laki-laki yang seumur dengannya, bocah yang berteriak nyaring dengan suara kasar. Dan melihat mayat malang-melintang di tempat itu mendadak wanita yang ada di depan dan yang paling cantik mencengkeram bahunya.

"Bocah, apa yang terjadi di sini? Siapa yang membunuh tosu-tosu itu?"

Anak laki laki ini tertegun. Sinar matanya bentrok dengan sepasang mata yang bening indah, mata seorang wanita cantik, mata yang tajam tapi menyimpan kedukaan besar. Dan tertegun oleh sinar mata wanita cantik itu yang mirip dengun matanya sendiri mendadak anak lelaki ini bengong.

"Hei, kau tak menjawab pertanyaan ibu?"

Bocah itu tersentak. Dia dihardik oleh anak lelaki yang berteriak pertama kalinya itu, anak lelaki yang agaknya merupakan putera wanita cantik ini. Maka terkejut dan kaget oleh bentakan itu tiba-tiba dia menarik dirinya, melepaskan pundak dari cengkeraman wanita ini. "Kouwnio, kau siapakah dan mengapa datang-datang anakmu yang kasar itu memaki-maki mayat yang sudah tak bernyawa?"

Wanita cantik ini mengerutkan kening, la juga tertegun melihat wajah anak laki-laki ini, wajah yang tampan dan memiliki sinar mata yang pemberani gagah. Tapi melihat lawan tak menjawab pertanyaannya malah bertanya padanya tiba-tiba wanita cantik ini tersenyum dingin. "Bocah, kau siapakah dan kenapa balik bertanya duluun padaku? Siapa tosu-tosu ini?"

Anak laki-laki itu menegakkan kepalanya. "Aku Bu-beng Siauw-cut. kouwnio. Dan mereka adalah penghuni Tee-kong-bio ini!"

"Bu-beng Siauw cut?" wanita cantik itu membelalakan matanya. "Kenapa kau memiliki nama demikian aneh, bocah'' Siapa orang tuamu dan apa hubunganmu dengan tosu-tosu ini? Kacungnyakah?"

Anak laki-laki itu memandang marah. "Aku bukan kacung kuil ini. kouwnio. Aku perantau bebas yang tidak terikat dengan seseorang!"

"Hm, dan namamu itu, siapa orang tuamu?"

Bocah ini mengedikkan kepalanya. "Kouw-nio, siapakah kau ini hingga datang-datang ingin mengetahui diri pribadi orang lain? Tidakkah kau tahu bahwa itu tak pantas kau lakukan?"

"Keparat!" bocah di samping tiba-tiba membentak. "Kau berani bicara kasar pada ibuku, setan cilik? Kau tidak tahu bahwa ibuku adalah Tok-sim Sian-li yang bisa membunuhmu tanpa mengejapkan mata?”

Anak ini terkejut. "Kau orang jahat, kouwnio? Kau dewi berhati racun (Tok-sim)?"

Bocah di samping tiba-tiba melompat maju. "Keparat, kau semakin kurang ajar, setan buduk. Kalau begitu belum jera jika belum kutampar... plak!" dan pipi Bu-beng Siauw-cut yang tiba- tiba digampar membuat anak laki-laki ini terpelanting roboh dengan bibir pecah berdarah!

Bu-beng Siauw-cut terkejut. Dia terbelalak marah memandang bocah di samping wanita cantik itu, tapi melompat bangun dia mendesis pada wanita ini, "Kouwnio, kau tidak dapat mengajar adat pada anakmu itu? Kau membiarkan saja dia menampar orang yang bukan sanak bukan kadangnya?"

Bocah di samping wanita ini tertawa geli. "Ibu dia rupanya anak tolol. Bagaimana kalau kuhajar lagi?"

Tapi wanita cantik ini mendengus. "Ceng Liong, diam kau!" lalu memandang anak yang pecah bibirnya itu wanita ini bertanya. "Bu-beng Siauw-cut, berani kau melawan anakku? Kau tidak ingin membalas pukulannya kepadamu?"

Anak ini terbelalak. "Kau justeru mengadu kami, kouwnio? Kau menyuruh kami berkelahi?"

"Kalau kau berani, Bu-beng Siauw-cut. Juga kalau kau penasaran oleh tamparan anakku tadi."

"Ah...!" dan melangkah maju tiba-tiba anak laki-laki itu mengepalkan tinjunya. "Kouwnio, aku tak takut pada puteramu. Juga aku tak gentar padamu! Kenapa mesti jerih menghadapi orang-orang macam kalian?"

"Kalau begitu kau berani melawan puteraku ini?"

'Tentu saja. Bahkan kalau kau ingin membelanya sekalian!"

Wanita itu tersenyum. Ia tak dapat menahan gelinya, terkekeh mendengar kata-kata itu. Tapi menoleh ke kiri ia menggapaikan lengannya. "A-cheng, bagaimana pendapatmu dengan anak ini? Tidakkah dia menarik untuk menjadi teman Ceng Liong?"

Wanita ke dua yang ada di samping wanita itu berseri. "Agaknya wawasanmu tepat. hujin. Anak ini pemberani dan cocok sekali untuk dijadikan teman Liong-siauwya!"

"Nah, kalau begitu dia akan kuambil sebagai muridku. Ceng Liong, hajar lawanmu ini dan kita lihat sampai kapan dia akan menyerah!" lalu mundur dengan mata bersinar-sinar wanita cantik yang berjuluk Tok-sim Sian-li itu menyuruh puteranya maju.

Anak lelaki yang bernama Ceng Liong melompat ke depan. Dia gembira sekali mendengar perintah ibunya itu, tapi memandang ke kanan dia bertanya, "Dan dia boleh kupatahkan kakinya. ibu? Bagaimana kalau dia tak mau menyerah?"

"Hm, tak perlu sejauh itu, Liong-ji. Kau robohkan saja lawanmu itu dan himpit lehernya ajar dia tak berdaya."

"Kalau dia nekat, ibu?"

"Tak mungkin. Pencet saja jalan darah Pi-kang-hiatnya!"

Anak bernama Ceng Liong ini tertawa. Dia berseri-seri memandang lawannya, sementara si bocah tanggung yang bernama Bu-beng Siauw-cut iiu bersiap-siap. Dia mengerutkan kening mendengar pembicaraan ibu dan anak itu, tapi melihat anak bernama Ceng Liong sudah maju menghampirinya diapun tak banyak cakap lagi.

"Berapa jurus kau ingin kurobohkan, Siauw-cut?"

"Hm... tak perlu sombong, Ceng Liong. Kau boleh robohkan aku dalam berapa jurus saja, asal kau bisa!"

"Baik, kalau begitu tiga jurus saja aku akan merobohkanmu. Nah, bersiaplah...!" dan baru ucapan ini diselesaikan tahu-tahu lengan putera wanita cantik itu menjulur maju, menangkap leher lawan. Dan begitu Bu-beng Siauw-cut tersentak tiba-tiba kakinya sudah dijegal dan diangkat di atas punggung lawan, dibanting di atas tanah!

"Brukk...!"

"Ha-ha, satu jurus. Siauw-cut. Kau roboh dalam satu jurus saja!" si anak bernama Ceng Liong terbahak, gembira melihat lawannya roboh demikian mudah.

Tapi Bu-beng Siauw cut yang beringas oleh bantingan ini tiba-tiba melompat bangun. "Aku belum kalah, bocah kurang ajar. Aku masih dapat bangun dan akan membalasmu. Awas...!" dan anak laki-laki yang sudah medekatii lawannya itu mendadak bertubi-tubi melancarkan serangan. Dia memukul dan menonjok, bahkan menendang dengan kedua kakinya yang kecil pendek.

Tapi Ceng Liong yang lincah gesit ternyata dapat menghindari semua serangan itu. Anak ini tertawa-tawa, geli melihat lawan berkali-kali luput menghantam tubuhnya, terhuyung dan bahkan hampir terjerembab sendiri. Dan ketika suatu saat kembali pukulan lawan meleset di sisi tubuhnya mendadak anak ini berseru nyaring.

"Siauw-cut, hati-hati. Aku akan merobohkanmu kembali.... dess!" dan kakinya yang tahu-tahu mendupak pantat lawan tiba-tiba membuat Bu-beng Siauw-cut terlempar bergulingan. Bocah ini marah bukan main. dan Ceng Liong yang tertawa bergelak oleh hasil serangannya itu mengejek.

"Ha-ha, dua kali kau roboh, Siauw-cut. kau harus menyerah kalah!"

Tapi Bu-beng Siauw-cut melompat bangun. Dia menggigil dan mengerot gigi penuh kemarahan, lalu begitu berteriak keras tahu-tahu diapun nienyerang kembali. "Aku tak akan mengaku kalah padamu, bocah kurang ajar. Aku yang bertarung sampai mati....!"

Putera Dewi Hati Racun ini terbelalak. "Kau nekat, Siauw-cut?"

"Tak perlu banyak cakap!"

Maka bocah bernama Ceng Liong itu marah. Dia beringas, dan ketika Bu-beng Siauw-cut menubruknya dengan tangan terulur mendadak dia berkelit ke samping. Sekali geserkan kaki tahu-tahu dia sudah berada di belakang orang, dan begitu dia membentak sambil mencengkeram sekonyong-konyong Bu-beng Siauw-cut sudah di tangkap tangannya. Lalu menyentak dan membanting lawan yang berteriak tertahan itu tiba-tiba Bu-beng Siauw-cut sudah roboh tersungkur dengan lengan ditelikung ke belakang!

"Brukk.....!" Bu-beng Siauw-cut tak berdaya kini. Dia roboh di atas tanah, mengeluh dan menggigit bibir menahan sakit. Tapi anak yang coba berontak ini tiba-tiba diinjak punggungnya oleh putera Dewi Berhati Racun.

"Kau tidak menyerah kalah, Siauw-cut?"

Tapi Bu-beng Siauw-cut mendesis. Dia tidak menjawab, dan Ceng Liong yang marah oleh sikap lawan yang dirasa bandel tiba-tiba menekuk tangan lawannya ke atas, siap mematahkan lengan yang ditelikung itu! "Kau tidak menyerah, Siauw-cut?"

Tapi Bu-beng Siauw-cut menggigit bibirnya kuat-kuat. Dia mendesis menahan rasa sakit yang amat sangat, lalu membentak marah dia menggelengkan kepalanya tegas, "Aku tak akan mengaku kalah, Ceng Liong! Aku boleh kau bunuh tapi jangan harap terlontar permintaan ampunku kepadamu...!''

"Hm, meskipun kupatahkan tangasmu ini?"

"Boleh kau coba!"

Dan baru ucapan ini dikeluarkan mendadak Ceng Liong yang marah mendapat tantangan itu tiba-tiba menyendat tangannya ke atas. Dia menekuk telikungannya ke depan, dan begitu lawan menjerit tiba-tiba lengan Bu-beng Siauw-cut sudah dia patahkan benar-benar!

"Krek!" Bu-beng Siauw-cut roboh pingsan. Dia tak kuat menahan rasa sakit yang amat sangat itu, Bu-beng Siauw-cut roboh pingsan.

“Kenapa kau patahkan lengannya? Kurang ajar.... plak!" dan anak laki-laki yang ganti terpelanting roboh oleh tamparan ibunya itu menjerit dengan tubuh terguling-guling.

"Ibu, kenapa kau memukul aku?"

Tok-sim Sian-li merah padam mukanya. Ia benar-benar marah, dan melihat puteranya berdiri menegur tanpa rasa takut sedikitpun juga mendadak wanita ini naik pitam. Entah kenapa ia gusar sekali oleh sikap puteranya itu. Maka begitu ia melangkah maju tiba-tiba rambut anaknya sudah dijambak! "Liong ji, kau tidak dengar larangan ibumu? Kau selalu membantah dan ingin melawan ibumu?"

Anak ini terbelalak. "Tapi bocah itu menantangku, ibu. Dia perlu dihajar dan kalau perlu dibunuh!"

"Plak...!" Tok-sim Sian-li kembali menampar anaknya, la marah sekali oleh bantahan itu, dan jengkel serta gusar oleh semuanya ini tiba-tiba ia membanting anaknya dan mengayun kaki menendang. "Liong-ji. kau anak keparat! Kau bocah tak dapat diatur... des-dess!"

Dan anak laki-laki yang tiba-tiba dihujani tamparan dan pukulan oleh ibunya ini mendadak mengaduh dan terlempar bergulingan. Bocah bernama Ceng Liong itu menjerit jerit, dan ketika dia melompat bangun tahu-tahu ibunya kembali sudah mencengkeram pundaknya.

"Kau masih mau membantah lagi. Liong-ji? Kau ingin kuhajar sampai babak belur?"

Bocah ini menggigil. "Ampun...ampun, ibu... aku tidak bermaksud melawanmu. Siauw-cut sendiri yang menantangku untuk dipatahkan lengannya....!"

"Tapi kau tahu pesanku, bukan?"

"Ya...ya, tapi....tapi..."

"Tak perlu banyak omong, Liong-ji. Aku akan mengambil bocah ini untuk teman sepermainanmu. Ibu akan mengambilnya sebagai murid!" Tok-sim Sian-li membentak.

Dan bocah bernama Ceng Liong itu tertegun. "Kau akan membawa anak tolol ini untuk teman sepermainanku, ibu?"

"Ya. Kenapa?"

Bocah itu tak menjawab. Dia rupanya takut, dan wanita bernama A cheng yang sejak tadi terbelalak di belakang tiba-tiba menyahut, "Hujin, rupanya Liong-siauwya kurang setuju. Bagaimana kalau bocah itu nanti dendam padanya? Bu-beng Siauw-cut ini rupanya keras hati dia berbahaya kalau dibiarkan kumpul bersama dengan Liong-siauwya!"

Wanita cantik itu mendengus. "Tapi aku suka padanya, A-cheng. Anak ini gagah dan berani!"

"Tapi bagaimana kalau selalu bermusuhan dengan siauw-ya (tuan muda), hujin? Bukankah bisa runyam? Apalagi kalau hujin mengambilnya sebagai murid!"

"Hm..." wanita ini tertegun. "Kalau begitu dia akan kujadikan kacung saja, membantu Ceng Liong!"

Tapi wanita bernama A-cheng itu menjawab. "Kalau dia mau, hujin. Tapi bagaimana kalau anak itu menolak? Lihat, wataknya keras sekali. Dia tak mau menyerah meskipun kalah!"

"Hm, karena itulah, A-cheng. Aku suka anak semacam ini. Dia persis orang yang kucintai"

"Pendekar Gurun Neraka, ibu?" Ceng Liong, anak laki-laki itu tiba-tiba menyahut, membuat muka ibunya bersinar tapi kemudian muram kembali.

"Ya, seperti ayahmu itu, Liong-ji. Tapi heran sekali kau tak memiliki kegagahan bapakmu!"

Anak laki-laki ini semburat merah. Dia mendongkol dan marah oleh dampratan ibunya, tapi bocah yang takut digaplok lagi itu diam saja tak menjawab. Dia menunduk, tak berani mengadu pandang dengan ibunya. Tapi sinar matanya yang diam-diam melirik ke bawah memandang benci ke arah si Bu beng Siauw-cut!

"Hm, Kalau ibu menyuruhmu menjadi kacungku awas kau, kerucuk hina. Aku benar-benar akan menjadikan kamu Bu-beng Siauw-jin (manusia hina) yang tidak ada harganya lagi!'' anak ini membatin, mengancam di dalam hati untuk kelak membalas sikap ibunya yang menyakitkan itu.

Tapi Tok sim Sian-li menoleh ke kiri. "Bagaimana, A cheng? Apa yang sebaiknya kita lakukan pada diri bocah ini?"

"Sebaiknya kita tanya kalau dia sudah sadar, hujin. Kalau dia menolak kita tinggalkan saja dia di sini!"

"Hm, kalau begitu obati dia. Beri obat penyembuh tulang dan sadarkan anak itu!"

A-cheng mengangguk. Ia sudah berjongkok di dekat anak laki-laki ini, dan wanita yang sudah mengurut sambil menotok beberapa jalan darah itu sebentar saja membuat anak laki laki ini siuman. Bu-beng Siauw-cut bangkit duduk, tertegun sejenak. Tapi melihat Ceng Liong ada di situ tiba-tiba dia melompat bangun dan memandang beringas.

"Bocah she Ceng, aku akan membalas kekejamanmu hari ini!"

Ceng Liong tersenyum mengejek. "Aku bukan she Ceng, Bu-beng Siauw-cut. Aku orang she Yap.., Yap Ceng Liong namaku!"

Bu-beng Siauw - cut terkejut. "Kau she Yap?"

"Ya, aku she Yap, Siauw-cut. Aku putera orang terkenal di dunia ini, Pendekar Gurun Neraka Yap Bu Kong!"

"Ah..!" Bu-beng Siauw-cut tiba-tiba menggigil. Sinar matanya penuh kebencian hebat, tapi baru dia mau maju menyerang mendadak A cheng menotoknya roboh.

"Bocah hina, kau tak boleh kurang ajar di sini. Hujin akan bertanya kepadamu!"

Anak itu mendelik. "Apa yang hendak di tanyakan, wanita iblis? Bukankah kalian tahu aku takkan tunduk pada bocah itu?'"

Namun Tok-sim Sian-li membebaskan totokannya. "Siauw-cut. Aku suka padamu. Kau berani dan gagah. Bagaimana bila ikut kami?'

"Hm..." anak ini mendesis "Kau nyonya Pendekar Gurun Neraka, hujin? Kau betul isteri pendekar itu?”

Wanita itu mengerutkan kening. "Aku isterinya atau bukan ada apa kau tanyakan ini, Siauw-cut? Apa hubungannya itu dengan pertanyaanku?"

Namun bocah ini mengedikkan kepala. "Pendekar Gurun Neraka adalah musuhku, hu-jin. Aku tak suka ikut apalagi tunduk pada pendekar itu dan keluarganya!"

"Ah, kau memusuhi pendekar itu?" Tok-sim Sian-li terkejut, membelalakkan matanya yang bening indah. Dan terheran serta hampir geli oleh ucapan lantang itu wanita ini tiba-tiba terkekeh. "Bu-beng Siauw-cut. siapa kau ini hingga mendendam pada pendekar itu? Apa salah dirinya hingga kau yang sekecil ini berani memusuhi Pendekar Gurun Neraka?"

"Karena dia menyengsarakan ibuku, Tok-sim. Karena aku dibuat terlunta-lunta oleh perbuatannya yang tidak bertanggung jawab itu!"

Tok-sim Sian-li terkejut, la tersentak oleh seruan keras ini, kaget dan tercengang oleh bicara Bu beng Siauw-cut yang penuh kebencian. Tapi terkekeh nyaring tiba-tiba wanita cantik ini mengebutkan lengannya. "Bu-beng Siauw-cut, siapa kau ini hingga menaruh sakit hati pada Pendekar Gurun Neraka? Siapakah ibumu yang dibuat sengsara itu?"

Anak ini hampir menjawab. Tapi teringat bahwa wanita yang bertanya kepadanya itu adalah "musuh" tiba-tiba dia mengatupkan mulut. "Tak perlu kau tahu, Tok-sim. Pokoknya kalau benar kau isteri Pendekar Gurun Neraka berarti aku tak mau bersahabat denganmu!"

"Dan kau mau membalas dendam pada pendekar itu?"

"Tentu saja!"

"Hi-hik, kau lucu, Siauw-cut! Menghadapi Ceng Liong saja kau tak menang, mana mungkin menghadapi suamiku itu? Hm, kau gila. Rupanya di samping tolol kau juga memiliki otak yang tidak waras. Eh, anak menarik, bagaimana kalau kau hapus saja api dendammu itu dan ikut baik-baik denganku? Aku akan mendidikmu ilmu silat. Dan kau tidak akan roboh lagi bila menghadapi lawan seperti anakku ini!" Tok-sim Siin-li semakin tertarik, berseri matanya memandang bocah yang luar biasa itu.

Tapi Bu-beng Siauw-cut yang mengangkat kepalanya ini menggeleng tegas. "Tak perlu kau membujukku, Tok-sim. Aku benci pada nama dan keluarga Pendekar Gurun Neraka.”

"Dan kau ingin menjadi gelandangan seumur hidup?"

"Apa maksudmu?" anak itu membentak. "Kau kira nasib orang akan tetap begitu saja selama hidup...?!"

"Hm, tetap tidak tetap tergantung nasib baiknya, Siauw-cut. Dan kau jelas bernasib baik kalau mau ikut denganku!"

'Cih, kau kira dengan menjadi muridmu aku akan gembira. Tok sim? Kau keliru, aku tak suka dan tak akan ikut denganmu.'" anak ini meludah.

Tok-sim Sian-li semburat merah. Ia tersinggung benar oleh sikap dan kata-kata bocah itu, tapi ketika tangannya terangkat siap menggaplok muka orang tiba-tiba matanya membentur sinar mata yang tajam penuh keberanian dari bocah ini. Tak ayal Tok-sim Sian-li tertegun dan wanita yang kaget serta marah itu mendadak mengulurkan jirinya, mencengkeram lengan Bu-beng Siauw-cut yang baru disambung!

"Kau berani menghinaku seperti itu, bocah setan?"

Anak ini mendesis. Terang dia kesakitan, tapi bibirnya yang dikatup rapat tidak membuat dia mengeluh. "Kau beraninya hanya dengan anak kecil, Tok sim Sian-li? Kau tidak malu memaksa seorang anak yang tidak mau ikut denganmu?"

Wanita ini terkejut. Ia marah sekali, hampir mencengkeram remuk lengan yang patah. Tapi membentur mata yang penuh keberanian itu mendadak ia melepaskan tangannya ganti mencengkeram leher baju si anak. Lalu, membentak geram tiba tiba ia membanting Bu-beng Siauw-cut di atas tanah. "Bocah hina, kau benar-benar kelewatan. Kalau tidak menyadari kau seorang anak tak berguna tentu sudah kuhancurkan kepalamu ini.... brukk!" dan Bu-beng Siauw-cut yang terguling-guling mengaduh ketika tulang lengannya yang patah membentur tanah.

Tapi anak ini sudah bangun kembali. Dia siap memaki-maki wanita itu. tapi ketika dia mendengar isak tertahan dari wanita cantik ini mendadak dia tertegun. Dia melihat Tok-sim Sian-li menangis, menggigit bibirnya. Dan warita cantik yang tiba-tiba memutar tubuhnya itu berkelebat pergi.

"A-cheng, Liong-ji, tinggalkan setan ini. Biar dia kelaparan di sini..." dan Tok-sim Sian li yang terisak dengan muka merah itu meninggalkannya seorang diri di kuil Tee kong-bio.

Bu-beng Siauw-cut benar-benar tertegun. Dia mengira wanita itu akan menghajarnya habis-habisan, mungkin bahkan membunuhnya. Tapi melihat wanita itu malah berangkat pergi diapun tadi bengong dan terlongong-longong. Dan anak bernama Ceng Liong itupan tiba-tiba menghamparinya,

"Bu-beng Siauw-cut, kau benar-benar anak siluman. Kau membuat ibu berduka.....plak!" seru anak yang sudah njeloyor pergi setelah menampar kepalanya itu dipandang bingung oleh anak laki-laki ini.

Dia tak tahu kenapa wanita itu menangis. Tapi melihat Ceng Liong sudah jauh mengejar ibunya disusul wanita bernama A-cheng itupun termangu dengan mata tidak berkedip. Dan sesosok bayangan tiba-tiba muncul.

"Hm, apa yang kau pikir, anak baik? Kenapa kau tidak mau ikut wanita itu?"

Ba-beng Siauw-cut tersentak. Dia kaget melihat seorang kakek muncul di situ, kakek berwajah gagah tapi muram dan melihat kakek ini muncul seperti iblis tiba-tiba diapun melangkah mundur dengan alis berkerut. "Locianpwe, kau siapakah? Teman wanita itukah?"

Kakek ini menghela napas. "Bukan, aku pengelana sebatangkara, bocah. Namaku Kun Seng. Secara kebetulan saja aku tiba di sini dan melihat gerak-gerikmu yang aneh!"

"Hm... kalau begitu sudah lama kau di sini locianpwe?"

"Baru saja datang, anak baik. Aku melihat jejak So-beng di sini! Para tosu itu terbunuh olehnya, bukan?"

Bu-beng Siauw-cut tiba-tiba mengetukkan giginya. "Ya, para tosu ini terbunuh, locianpwe. Kecuali yang tua itu. Dia membunuh diri begitu melihat empat pembantunya tewas terbunuh!"

"Hm, aku terlambat. Sayang sekali..." kakek itu bergumam. Lalu menghampiri mayat Hok Sim Cinjin tiba-tiba dia berseru kaget, "Ah, dia membawa Medali Naga?" dan begitu dia berjongkok di samping mayat ketua Tee-kong-bio ini mendadak kakek itu menyambar medali yang tergulir dari baju Hok Sin Cmjin. Dia tampak terkejut, tapi Bu beng Siauw cut yang tercekat melihat benda miliknya diambil kakek ini tiba tiba melompat ke depan.

"Locianpwe, jangan ambil benda itu. Medali itu aku yang punya....!"

Si kakek tertegun. "Kau yang punya benda ini, anak baik?"

"Ya, aku yang mempunyainya, locianpwe. Tadi benda itu dibawa tosu ini sebelum tewas membunuh diri!"

"Hm.." kakek itu memandang tajam. Dia-ragu sejenak, menatap penuh selidik bocah yang mengaku memiliki benda itu. Tapi melihat mata yang jujur bening tiba-tiba dia menarik napas dan menimang-nimang benda ini. "Aneh sekali. Kau mendapatkannya di mana, bocah?"

Bu beng Siauw-cut mengulurkan lengan. "Aku mendapatkannya di bukit Tengkorak Hitam, locianpwe Kebetulan ketika aku menemukannya di tengah jalan."

"Dan kau tidak bertemu penunggu bukit itu?"

"Si Setan Penagih Nyawa?"

"Ya. Dari mana kau tahu?"

"Kakek ini. Tosu tua itulah yang memberi tahu padaku bahwa bukit Tengkorak Hitam katanya dijaga iblis bernama So-beng!" Bu-beng Siauw-cut menuding mayat Hok Sim Cinjin, masih belum menerima medalinya dan karena itu maju dua tindak untuk meminta benda miliknya. "Locianpwe, kenapa tidak segera kau berikan benda itu kepadaku?"

Kakek ini tersenyum berat. "Anak baik, aku tidak akan merampas benda milikmu ini dengan iktikad buruk. Tapi tahukah kau benda ini berbahaya untukmu? Tidakkah kau tahu bahwa benda ini milik kerajaan?"

Bocah itu terkejut. "Milik kerajaan, locianpwe? Kerajaan mana?"

“Hm, aku tidak mendustaimu, bocah. Tapi harap kau ketahui saja bahwa siapa yang memegang Medali Naga ini berarti dia menjadi kurir (utusan) Kerajaan Yueh! Bagaimana kau bisa mendapatkan benda ini dan bisa lolos dari bukit Tengkorak Hitam? Apakah tidak ada seseorang yang kau lihat di sekitar tempat penemuanmu itu?"

Bocah ini tertegun. "Tidak, locianpwe."

"Dan kau tidak menjumpai jejak-jejak atau suara seseorang di sekitar lokasi itu?"

"Tidak, locianpwe."

"Hm, aneh kalau begitu. Baiklah, boleh kutanya siapa namamu, bocah? Apa tujuanmu mendatangi kuil Tee-kong-bio ini?"

"Aku Bu-beng Siauw-cut, locianpwe. Datang ke sini secara kebetulan saja untuk menanyakan alamat seseorang."

"Siapa?"

"Pendekar Gurun Neraka!"

"Ah, untuk apa kau mencari pendekar sakti itu? Kau utusan Ho-han-hwe?” kakek ini terbelalak, heran dan terkejut mendengar anak itu mencari Pendekar Gurun Neraka.

Tapi Bu-beng Siauw-cut yang ganti tercengang mendengar kakek ini menyebut nyebut nama Ho-han-hwe (perkumpulan para patriot) tiba-tiba bersinar matanya dengan muka berseri. "Locianpwe, di mana itu pusat perkumpulan Ho-han-hwe? Dan apa pekerjaan mereka?"

Kakek ini ganti terbelalak. "Jadi kau tidak tahu tentang nama perkumpulan ini, bocah? Dan kau, siapa namamu tadi?"

"Bu-beng Siauw-cut, locianpwe."

"Bu-beng Siauw-cut....?” kakek itu tertegun. "Kenapa namamu demikian aneh, anak baik? Siapakah orang tuamu dan di mana mereka tinggal?"

"Hm, aku anak Iola, locianpwe. Aku perantau jalanan yang tidak mempunyai orang tua dan tempat tinggal!"

"Jadi kau sebatangkara?"

"Ya...!"

"Ah, sama kalau begitu," kakek ini menarik napas.

“Sama apanya, locianpwe?" anak itu bertanya.

"Sama sebatangkaranya ini, anak baik. Aku juga hidup tanpa sanak tanpa kadang!"

"Ah, masa begitu? Bukankah kau tentunya punya anak punya isteri?"

Kakek itu tiba-tiba sedih. "Itu dulu, Bu-beng. Tapi sekarang semuanya telah musnah."

"Locianpwe, panggil saja aku Siauw-cut, jangan Bu-beng!"

"Hm, Siauw-cut artinya hina, anak baik. Tidak berharga. Padahal, kau kulihat berharga sekali. Gagah dan berani. Mana bisa aku menyebutmu begitu? Tidak, aku akan memanggilmu Bu-beng saja. Tampaknya ini lebih manis dan bersahabat daripada panggilan yang lain. Kau tentunya menyimpan kepahitan hidup, bukan? Hm, aku tahu, anak baik. Rupanya kita mengalami persamaan dalam hal ini. Kau dan aku yang jelas sama-sama sebatangkara! Ha-ha, bagaimana kalau kau ikut denganku, Bu-beng? Kita bersama-sama menghadapi hidup yang keras ini?"' kakek itu tertawa, mencoba tersenyum dan memandang si bocah.

Tapi Bu-beng yang mengeras dagunya ini tiba-tiba mengepal tinju. "Tidak, maafkan aku, locianpwe. Aku ingin hidup sendiri dan tidak mau tergantung pada orang lain!"

"Ah, ikut bersamaku bukan berarti tergantung, Bu-beng. Kita bersama-sama menghadapi hidup ini dengan mengerjakannya bersama."

"Tapi aku masih mempunyai pekerjaan sendiri, locianpwe. Tugas yang belum kulaksanakan hampai hari ini."

"Menemui Pendekar Gurun Neraka itu?"

Anak ini tertegun. Tapi akhirnya dia mengangguk. "Ya."

“Hm, kilau begitu aku dapat mengantarmu Bu-beng. Aku akan membawamu pada pendekar itu dan minta dia mengabulkan apa yang kau minta!"

"Ai....!" anak ini terkejut. "Tak mungkin kau dapat melaksanakan keinginanmu, locianpwe. Tak mungkin kau dapat memaksa pendekar itu untuk memenuhi permintaanku!"

"Hm, permintaan anak kecil saja kenapa sukar melakukannya. Bu-beng?" kakek ini tertawa. "Bukankah kau meminta yang tidak kelewat berat?"

Anak itu termangu. Dia mengepal tinju, tapi menggelengkan kepala tiba-tiba dia berkata, "Tidak, tak perlu kau bantu aku. locianpwe Aku ingin melaksanakan tugasku ini seorang diri!"

"Wah. apa yang kau inginkan dari pendekar itu, anak baik?"

"Aku ingin membunuhnya, locianpwe! Aku ingin membalas dendam atas kematian ibuku!"

"Hah..?!" kakek itu terkejut bukan main. "Kau ingin membunuh Pendekar Gurun Neraka, Bu-beng? Jadi ini maksud hatimu mencari pendekar itu?" lalu sadar dari kekagetannya tiba-tiba kakek ini tertawa bergelak sampai terbatuk-batuk. Dia tampaknya geli bukan main mendengar kata-kata bocah itu.

Tapi melibat Bu-beng Siauw-cut memandangnya berapi-api tiba-tiba dia menghentikan tawanya. "Maaf....maaf, Bu-beng. Aku agaknya menyinggung perasaanmu!" dan buru-buru memperbaiki sikap kakek ini memasang muka serius, menarik napas dan menepuk-nepuk pundak si himk. "Bu-beng, kau rupanya benci sekali pada pendekar itu. Tapi tahukah kau siapa pendekar ini? Dia seorang pendekar sakti, nak. Pendekar besar yang memiliki kepandaian tinggi. Bahkan gurunya pun tak sanggup mengalahkan muridnya ini. Begitu pula dengan mertuanya. Ciok-thouw Taihiap Souw Ki Beng itu. Mana mungkin kau dapat membunuh pendekar ini? Dan, mengherankan sekali kau membenci pendekar itu. Bu-beng. Karena Pendekar Gurun Neraka adalah pendekar sejati yang gagah perkasa, tidak jahat sepak terjangnya dan selalu membela kebenaran. Bagaimana kau bisa memusuhinya? Apakah ibumu seorang golongan hek-to (hitam)?"

Anak ini memandang marah. "Ibuku orang baik-baik, locianpwe. Dia bukan wanita iblis hingga tak boleh dibilang jahat!"

"Hm, kalau begitu siapa ibumu itu?"

Anak ini menolak. "Tak bisa kuberitahukan sekarang, locianpwe. Itu rahasia pribadiku yang orang lain tak boleh dengar!"

"Ah, maaf....!" kakek ini terpukul, sedikit merah mukanya. Tapi tersenyum pahit dia menganggukkan kepalanya. "Baiklah, kau rupanya tak suka orang lain mendengar riwayatmu, Bu-beng. Kalau begitu bagaimana jika kuulang permintaanku tadi? Maukah kau ikut bersamaku?'

Anak ini menggeleng. "Aku tak mau bergantung pada orang lain,, locianpwe. Aku tak mau ikut denganmu atau siapapun juga!"

"Tapi kau seorang diri, anak baik. Mana mungkin tak menjalin hubungan dengan orang-lain?”

"Hm, lebih baik begitu daripada berkumpul tapi mendapat teman yang jahat, locianpwe. Aku lebih baik hidup sendiri daripada berkawan!"

"Tapi tidak semua orang jahat, Bu-beng. Mana bisa kau pertahankan pendapatmu itu?"

"Ya, tapi berkali-kali aku mendapat kekecewaan, locianpwe. Bahwa sebagian besar manusia yang kutemui banyak yang tidak baik daripada yang baik!"

"Hm..." kakek ini manggut-manggut. "Memang itu benar, Bu-beng. Aku si tua bangka ini juga mendapat kenyataan bahwa dunia kita ini lebih banyak berisi orang jahat daripada yang baik. Itu kualami sendiri. Tapi tidakkah kita dapat memilih teman, Bu-beng? Kita mestinya tahu siapa yang boleh kita jadikan sahabat yang sebenarnya atau siapa yang harus kita jauhi karena sifatnya yang membahayakan diri kita. Kau tentu dapat mengerti ini, bukan?"

"Ya."

"Dan bagaimana pandanganmu terhadap aku si tua bangka ini? Termasuk orang jahatkah aku ini?"

Bn-beng Siauw-cut terkejut. "Aku belum mengenalmu secara baik, locianpwe. Bagaimana bisa bilang kau ini orang jahat atau tidak?"

"Nah, itulah...!" kakek ini tertawa. "Karena itu aku ingin mengajakmu hidup bersama, Bu-beng. Aku ingin kau ikut aku dan melihat sepak terjangku!"

Anak ini mengeratkan kening. "Kau membujukku dengan cara berputar, locianpwe?"

"Ha-ha, karena aku tertarik padamu, Bu-beng!"

"Hm, tapi aku sudah bilang tak mau ikut siapapun juga, locianpwe. Aku tak mau ikut denganmu meskipun kau paksa!"

Kakek ini tertegun Dia melihat si bocah bicara sungguh-sungguh, menonjol sekali kekerasan hatinya saat itu. Tapi tak kurang akal tiba-tiba dia menyeringai pahit, "Bu-beng, kau rupanya benar-benar tak mau ikut orang lain. Kalau begitu bagaimana jika kubalik dengan aku yang ikut dirimu? Kau tentu tak keberatan, bukan?"

Anak ini terkejut. "Kau ikut aku, locianpwe?"

"Ya" kakek ini tersenyum. "Dan kau boleh memerintah apa saja kepadaku si tua bangka ini, anak baik. Tapi tentu saja yang tidak melanggar tatanan kebenaran!"

"Ah." anak itu mengeluh, bingung. Tapi tertawa masam diapun tiba-tiba mendesis, "Locianpwe, kau cerdik. Kau rupanya benar-benar ingin mengganggu dan menggodaku!"

Kakek ini tertawa. 'Tidak begitu. Bu-beng. Aku tidak mengganggumu kalau kau menolak. Mana bisa aku ikut denganmu kalau yang diikuti tidak senang?"

"Hm, baiklah..." anak ini menyerah. "Tapi itu terbatas, locianpwe. Artinya kau boleh ikut aku sampai di gunung itu saja. Setelah itu kita masing masing berpisah!"

“Jadi kau akan ke Ta-pie-san, anak baik?"

"Benar...!"

"Baiklah, kalau begitu aku siap mengantarku!" kakek ini gembira. "Tapi sebelumnya kita harus mengubur mayat-mayat ini dulu. Bu-beng. Kau boleh bantu aku kalau mau...!" dan kakek yang sudah berseri mukanya isi tiba-tiba mengambil tongkat di tangan mayat Hok Sim Cinjin. Lalu, begitu dia menggerakkan tangannya tahu-tahu tanah sudah ditusuk dan dicongkel hingga sekejap saja mengangalah sebuah lubang besar. Cukup untuk lima mayat sekaligus!

"Ah, kau hebat sekali, locianpwe!' Bu-beng Siauw-cut berseru kagum, terkejut sekali. "Kesaktian apakah yang kau tunjukkan ini?"

Si kakek tertawa tak acuh. "Ini bukan sesuatu yang luar biasa, Bu-beng. Pendekar Gurun Neraka bahkan dapat melakukan sesuatu yang jauh lebih hebat dari aku si tua bangka ini!"

"Hm...." Bu beng Siauw-cut tertegun. Dia melihat kakek itu telah memasukkan mayat Hok Sim Cinjin, disusul yang lain. Dan dia yang cepat membantu kakek ini mengubur lima mayat itu sebentar saja sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik.

Kini kakek itu menguruk tanah, membuat gundukan besar Lalu mengibaskan bajunya dari debu yang menempel di tubuhnya dia bergumam, "Semua orang akhirnya akan mengalami hal seperti ini, Bu-beng. Tak ada bedanya antara yang bodoh dan yang pintar. Antara yang jahat dan yang baik. Kau tahu, bukan?'”

“Ya...”

"Dan apa yang akan kau lakukan kalau kau mengetahui hal ini?"

Si bocah termangu.

"Kau harus banyak melakukan kebaikan, Bu-beng. Agar kelak kalau kita meninggal, maka bukan kisah buruk yang kita wariskan pada anak cucu kita melainkan nama harum dan kebijaksanaan yang kita berikan pada mereka! Kau setuju pada pendapatku, bukan?"

Bu-beng Siauw-cut mengangguk. "Ya, itu benar, locianpwe."

"Dan sekarang, bagaimana pendapatmu tentang pembunuhan ini?"

"Itu perbuatan jahat, locianpwe. Kekejian yang tidak dapat dibenarkan!"

Kakek ini tertawa. "Bagus. Tapi nyatanya pernyataanmu kontras dengan isi hatimu, Bu-beng. Kau menyatakan pembunuhan adalah keji tapi kau sendiri justeru ingin melakukan pembunuhan terhadap Pendekar Gurun Neraka!"

"Ah, tapi itu lain, locianpwe. Aku membunuh karena Pendekar Gurun Neraka berhutang dua jiwa kepadaku!"

"Ayah ibumu itu?"

"Ya. Mereka tewas gara-gara pendekar itu. Dan aku akan menuntut balas untuk kekejamannya, itu!"

Kakek itu tertawa "Bu-beng, kau masih terlalu muda untuk mengetahui inti sari hidup. Apapun alasannya membunuh adalah sesuatu yang mengerikan, sesuatu yang sebenarnya tak patut dilakukan sesama manusia. Tapi karena kita mempunyai pendapat sendiri-sendiri maka terjadilah semuanya itu. Yang jelas, kalau kau mempunyai cita-cita membunuh Pendekar Gurun Neraka maka cita-citamu itu salah, anak baik. Karena pendekar itu bukanlah seorang jahat yang sepantasnya dimusuhi orang baik-baik macam dirimu ini?”

Anak itu menggeleng. "Tapi aku ingin membalas dendam, locianpwe. Dan tak perlu kau meredakan kebencianku dengan nasihat-nasihat kosong!"'

"Tapi, tak mungkin kau berhasil, anak baik. Pendekar Gurun Neraka adalah laki-laki tiada bandingnya yang gagah perkasa!"

"Betul, aku sudah mendengarnya, locianpwe. Tapi sebelum berhadapan sendiri tak puas rasanya hati ini?"

"Hm...." kakek itu menganggukkan kepalanya. "Baiklah itu urusanmu sendiri. Bu-beng. Aku si tua bangka ini tak akan mencampurinya. Tapi satu nasihatku, kau akan menemui banyak kegagalan jika tak memiliki kepandaian tinggi?"

Si bocah terbelalak. "Aku akan mencari ilmu sebanyak mungkin, locianpwe. Dan aku tak mau sudah jika belum berhasil!"

"Dan kau sudah mendapatkan calon gurumu itu?"

Bu-beng Siauw-cut tertegun. "Ini... hem, belum, locianpwe. Aku belum berpikir sampai sejauh itu!"

"Lalu bagaimana caramu dengan membalas dendam itu?"

"Aku akan datang ke Ta-pie-san. Akan kutantang Pendekar Gurun Neraka itu. Dan aku telah mempersiapkan pisau belati ini untuknya!" '

Si kakek terkejut . Dia melihat anak laki laki itu mencabut sebuah pisau dari balik pinggang kirinya, rupanya sudah lama mempersiapkan benda itu di situ Tapi tersenyum geli tiba tiba ketawanya meledak terbahak.

"Ha-ha. kau lucu Bu-beng. Kau benar-benar menggelikan sekali! Kau kira dengan benda sekecil itu kau dapat membunuh Pendekar Gurun Neraka? Kau kira dia dapat terbunuh oleh pisau kecilmu ini?"

"Tapi aku akan mencobanya, locianpwe. Aku tidak takut, aku siap membunuh atau dibunuh!"

"Ah, bukan begitu, Bu-beng. Tapi Pendekar Gurun Neraka orangnya kebal, tak mempan terhadap semua bacokan senjata tajam. Mana mungkin kau dapat membunuh lawanmu itu. Sedang melawan putera si iblis betina Tok-sim Sian-li sija kau tak dapat menang, mana bisa merobohkan Pendekar Gurun Neraka? Ha-ha, kau tak tahu tingginya langit dalamnya bumi, Bu-beng. Kau tak tahu betapa hebatnya kesaktian Pendekar Gurun Neraka itu!"

Anak ini marah. "Tapi aku tak takut, locianpwe. Aku tak gentar meskipun kepandaiannya melebihi setan!"

Si kakek tertegun. Dia melihat mata anak itu berkilat-kilat, tak dapat dicegah. Dan maklum bahwa anak ini harus "dibentur" dengan kenyataan maka diapun tersenyum dan menghela napas. "Baiklah... baiklah, Bu-beng. Aku tak akan mengecilkan arti perjuanganmu. Kau boleh bunuh musuhmu itu dan lihatlah apa yang terjadi!" lalu, memandang ke depan kakek ini bertanya sambil menepuk pundak si bocah, "Sekarang kita akan melanjutkan perjalanan bukan? Nah, aku siap mengikutimu, Bu-beng. Aku akan ikut denganmu sampai di kaki gunung itu!''

Bu-beng Siauw-cut mengangguk. "Ya, aku ingin menemui pendekar itu, locianpwe. Aku tak sabar dan ingin segera melaksanakan tugasku ini. Mari....!" dan si bocah yang sudah memutar tubuh itu tiba-tiba mengayun langkah meninggalkan kuil Tee-kong-bio. Dia tak tahu betapa si kakek di sebelahnya tersenyum menyeringai, mukanya kecut. Tapi kakek yang menggelengkan kepala dengan mata penuh kagum ini sudah mengikuti anak laki-laki itu tanpa banyak-bicara.

Dan aneh. Keduanya tidak banyak cakap. Baik Bu-beng Siauw-cut maupun si orang tua tak menyinggung-nyinggung masalah pribadi mereka. Terutama si bocah laki-laki ini. Dia tak menanya siapa kakek tua itu, umpamanya. Di mana tempat tinggalnya dan apa pula julukannya. Dan si kakek yang diam tertegun oleh sikap anak laki laki ini jadi mendesis sendirian, dengan mata terbelalak. Tapi ketika anak itu teringat tentang Ho-han-hwe sekonyong-konyong dia membuka percakapan,

"Locianpwe, siapakah sebetulnya orang-orang Ho-han-hwe itu? Dan di mana markas besar mereka?"

Kakek ini tersenyum. “Ho-han-hwe perkumpulan orang-orang gagah, Bu-beng. Mereka itu merupakan simpatisan Pangeran Kou Cien dari Kerajaan Yueh."

"Dan markas besar mereka?"

"Kau akan tahu sendiri Bu-beng. Tak perlu kujawab. Hanya barangkali ketua perkumpulan ini akan mengejutkan dirimu."

"Siapa, locianpwe?"

"Pendekar Gurun Neraka!"

"Hah?" si bocah! terkejut. Tapi menoleh sejenak tiba-tiba diapun telah meneruskan langkah, tak bertanya apa-apa lagi sampai mereka tiba di kaki gunung Ta-pie-san!

Pagi itu Ta-pie-san memang masih malas. Kabut di atas gunung berarak ayal - ayalan, sementara kicau burung yang biasa ramai kali ini sedikit hening. Maklum, hawa pegunungan masih terlampau dingin untuk disambut. Dan sinar matahari yang menerobos celah-celah dedaunan tampak melorong (membentuk lorong) yang kuning keemasan ke kaki bukit.

Pagi itu dua bocah memasuki hutan cemara. Mereka terdiri dari seorang anak laki-laki yang tampan gagah dengan usia sembilan tahun dan seorang anak perempuan cantik yang usianya delapan tahunan. Mereka hampir sebaya, tampaknya kakak beradik. Dan wajah mereka yang terang jernih dengan mata yang tajam bening jelas menunjukkan bahwa mereka bukanlah anak-anak sembarangan. Dan ini diperkuat oleh gerak-gerik langkah kaki mereka yang ringan.

Siapakah mereka itu? Bukan lain Sin Hong dan Bi Lan. Mereka adalah putera-puteri Pendekar Gurun Neraka. Yang laki-laki dari isteri pertamanya bernama Pek Hong sedang yang perempuan itu adalah puteri mereka dari isteri kedua Ceng Bi, puteri pendekar besar Ciok thouw Taihiap Souw Ki Beng itu, gak-hu atau ayah mertua Pendekar Gurun Neraka. Dan seperti diketahui bersama dalam cerita "Pendekar Kepala Batu" dulu pendekar muda ini bersama dua orang isterinya tinggal bersama di Pegunungan Ta-pie-sin.

Pek Hong telah melahirkan anak laki-lakinya itu, sembilan tahun yang lalu, yang diberi nama Sin Hong atau Yap Sin Hong oleh Pendekar Gurun Neraka. Sedang Ceng Bi yang melahirkan anak perempuan delapan tahun yang lalu kemudian memberi nama Bi Lan atau Yap Bi Lan pada anak mereka yang nomor dua itu.

Baik Pek Hong maupun Ceng Bi tak ada perasaan saling cemburu dalam memiliki orang yang mereka cinta, yakni Pendekar Gurun Neraka atau yang pada belasan tahun yang silam lebih dikenal orang sebagai Yap-goanswe itu, jenderal muda Yap yang gagah perkasa pada Kerajaan Yueh. Tapi karena bekas jenderal muda ini telah mengundurkan diri dari jabatannya maka dia lebih dikenal dengan nama barunya itu, julukan yang membuat dia tersohor. Baik di dalam maupun di luar Tiong-goan ( pedalaman ).

Dan pagi itu, apa yang akan dilakukan dua orang anak laki-laki dan perempuan ini? Bukan lain latihan. Latihan ilmu silat yang sudah diajarkan kepada mereka oleh sang ayah sejak mereka baru belajar merangkak! Memang Pendekar Gurun Neraka keras sekali dalam mendidik putera puterinya ini. Dia tak kenal siang maupun malam, dingin ataupun panas. Pokoknya kalau waktu latihan sudah tiba saatnya maka Sin Hong dan Bi Lan harus berlatih, biarpun saat itu hawa pegunungan masih dingin. Seperti saat itu misalnya!

Dan Sin Hong serta Bi Lan lama-lama akhirnya terbiasa juga. Sikap ayah mereka yang keras dan amat berdisiplin dalam mendidik ilmu silat membuat mereka tak cengeng seperti anak-anak kebanyakan. Mereka sudah terbiasa untuk berlatih keras, melawan dingin dan panas di alam terbuka. Tapi ketika mereka baru memasuki hutan cemara dimana mereka biasanya berlatih itu, mendadak tiga buah bayangan muncul di depan mereka.

"Ha-ha, kalian siapa, tikus-tikus kecil?"

Sin Hong dan Bi Lan terkejut. Mereka melihat dua wanita cantik muncul di situ, sementara orang ke tiga yang, merupakan seorang anak laki-laki yang usianya sepuluh tahunan dan bicara congkak di depan mereka membuat Sin Hong dan Bi Lan mengerutkan alis...