Pendekar Kepala Batu Jilid 11 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 11
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pendekar Kepala Batu Karya Batara
"HEEMM..., percaya orang yang terang-terangan telah menipuku, Ok-siauw-jin (manusia rendah she Ok?) Percaya terhadap apa saja yang kau katakan dan untuk akhirnya harus mengalami hinaan?" Ceng Bi menyemprot ganas sementara pemuda itu tiba-tiba tertawa getir.

"Nona Souw, barangkali aku memang sudah tidak mendapat lagi kepercayaan darimu, akan tetapi itu memang sudah resikoku. Aih, kelau begini lalu apa yang hendak kubicarakan? Dan... eh, kenapa buburmu tidak dimakan, nona? Menjadi dingin nanti....!" pemuda itu tampak terkejut dan Ceng Bi tertawa dingin.

"Orang she Ok, jangan berpura-pura. Kau telah menotokku sedemikian rupa; bagaimana bisa menikmati hidangan? Untuk manggerakkan jari saja tidak dapat!" Ceng Bi memandang pemuda itu dengan senyum mengejek dan si pemuda baju kuning tertegun.

"Aha…" pemuda itu berseru. "Bagaimana aku bisa melupakan ini? Aih, maaf, nona Souw... maaf….!" pemuda itu cepat-cepat membungkukkan tubuh dan sekali tangannya bergerak maka jalan darah di pangkal lengan Ceng Bi dibukanya.

Ceng Bi menyeringai, dan diam-diam gadis ini mengumpat. Sekarang dia memang bisa menyentuh hidangan itu, akan tetapi tenaga sinkang yang merupakan inti kekuatannya tetap saja tidak dapat digerakkan. Karena itu, mendongkolnya kepada pemuda ini benar-benar semakin naik ke puncaknya. Dia tidak segera menyentuh bubur ayam yang masih mengepulkan uap harum itu, dan si pemuda baju kuning memandangnya heran.

"Nona Souw, totokanmu telah kubebaskan. Mengapa tidak segera dimakan?" pemuda itu Bertanya lembut namun Ceng Bi tidak menggubrisnya.

"Orang she Ok, aku tidak butuh makananmu, melainkan butuh keteranganmu! Untuk apa kau sekap aku di sini?" Ceng Bi membentak marah.

Tapi pemuda itu tetap memandangnya lembut. "Nona Souw, makanlah dahulu. Nanti kita bicarakan lagi dalam suasana yang lebih enak."

"Aku tidak dapat" Ceng Bi melotot. Akan tetapi, baru saja ucapannya ini selesai tiba-tiba tanpa disadarinya perutnya berkeruyuk. Tentu saja Ceng Bi mejadi malu dan gusar, sementara pemuda baju kuning itu menahan ketawa dengan mulut ditutup. Rupanya, keharuman babur ayam yang amat lezat itu tidak dapat dikendalikan perut Ceng Bi, dan baru saja mulut bicara tidak lapar tahu-tahu isi perut menodongkan kebohongannya! Karuan Ceng Bi malu bukan main dan saking marahnya bubur ayam itu tiba-tiba di sambarnya. Tapi, bukan untuk disantap melainkan dilemparkan ke muka si pemuda baju kuning yang sama sekali tidak menduga.

"Wuut... pyar!" mangkok bubur ayam itu tepat mengenai sasarannya dan pemuda baju kuning berseru kaget. Seketika bubur ayam di dalann mangkok muncrat-muncrat berhamburan dan kuah serta daging ayamnya memenuhi seluruh mukanya. Kuah mengalir dari hidung ke pipi dan muka pemuda itu sementara buburnya sendiri mengoteri rambut dan pakaiannya!

Pemuda ini menjadi basah kuyup, dan Ceng Bi melihat itu hampir saja tak dapat menahan gelinya. Gadis ini memang mudah marah dan mudah gembira, maka melihat sesuatu yang lucu cepat sekali menggelitik perasaannya. Akan tetapi Ceng Bi mampu menahan diri dan gadis yang sudah bersiap-siap untuk menerima kemarahan lawannya itu tiba-tiba saja tertegun.

Pemuda baju kuning ini ternyata tidak bangkit kemarahannya oleh perbuatannya yang kurang ajar itu, melainkan memandang ke arahnya dengan sinar mata sayu. "Nona Souw, makanan mengandung obat bagaimana dibuang begitu saja? Aih, kau tidak tahu betapa susah payah aku..." pemuda ini mengambil saputangannya dari baju dalam dan dengan tenang namun hati-hati dia membersihkan muka dan pakaiannya dari kuah bubur ayam.

"Kau,..." Ceng Bi terbelalak beran.

"Ada apa, nona?" pemuda itu memandangnya muram.

"Tidak marah oleh lemparan kuahku?" Ceng Bi ganti berseru bengong dan pemuda itu tiba-tiba malah tertawa pahit.

"Nona Souw, kalau dihitung-hitung kaulah yang lebih banyak menderita dibanding aku. Untuk apa aku harus marah-marah oleh sedikit pembalasanmu ini? Hanya yang kusayangkan` bubur mengandung obat kenapa dibuang mentah-mentah."

"Mengandung obat?"

"Ya!"

"Akan tetapi, aku tidak sakit…!" Ceng Bi terbelalak.

"Hm..." pemuda itu menarik napas pendek. "Sakit dalam arti kata sebenarnya sih memang belum kau rasakan, nona, karena sebelumnya aku telah memberimu obat penawar. Barangkali saja kau masih ingat ketika mula pertama kita memasuki lubang gua di atas pohon itu dan membunuh Hui-ang-coa?"

Ceng Bi mengangguk.

"Nah, bukankah pada waktu itu nona menyedot uap semburan ular ini? Akan tetapi karena racun itu tidak bekerja secara langsung maka nona tidak merasakannya. Uap berbisa yang nona sedot bekerjanya lambat, kecuali gigitan langsung Hui-ang-coa yang amat berbabaya. Dan racun dari uap itu baru bereaksi cepat apabila orang yang bersangkutan merasa terkejut atau terpukul sesuatu yang membuatnya kaget, dan reaksi pertamanya adalah rasa kelumpuhan pada kaki, baru kemudian pada bagian-bagian tubuh yang lain. Apakah nona tidak merasakan sendiri hal itu?"

Ceng Bi terkejut. Keterangan singkat dari pemuda itu persis sekali seperti apa yang di alaminya. Pantas ketika ia hendak meloncat ke bawah sungai tiba-tiba saja kedua kakinya tidak dapat digerakkan. Kiranya akibat racun ular yang tidak disadarinya! Ceng Bi membelalakkan matanya dan sekarang dia mulai percaya keterangan lawannya itu. Akan tetapi, inipun masih terbatas dalam persoalan racun Ular Merah Terbang. Maka dia memandang pemuda itu yang dibalas oleh lawannya dengan tatapan lembut dan halus yang membuat muka Ceng Bi merah.

"Bagaimana, nona? Apakah keteranganku tidak cocok?" pemuda ini mengulang pertanyaannya dan Ceng Bi terpaksa mengangguk.

"Ui-i siauw-kwi, kau benar. Aku memang merasakan semua seperti yang telah kau bicarakan tadi. Akan tetapi, aku kini merasa sehat, untuk apa segala macam obat lagi?" "Ah, nona tidak tahu...!" pemuda itu mulai berseri mukanya. "Racun Hui-ang-coa cukup ganas. Meskipun kita hanya mencium uap semburannya saja akan tetapi kalau kita tidak menyadarinya maka dalam dua hari saja tubuh kita bisa membusuk. Kelumpuhan yang terjadi akan disusul oleh rasa nyeri dan sakit luar biasa yang amat menyengat, dan setelah itu tubuh kita akan melepuh dalam beberapa jam saja untuk akhirnya mengeluarkan nanah yang berulat! Nah tidakkah ini bakal memberikan siksaan yang mengerikan sekali? Dan untuk melenyapkan sisa-sisa racun itulah orang yang terkena harus diberi obat mujarab, di samping dia harus beristirahat dan tidak boleh marah marah."

Keterangan lebih jauh ini membuat Ceng Bi pucat mukanya, akan tetapi gadis itu masih kurang percaya. Memang, penjelasan lawannya tadi mau tak mau mennimbulkan rasa ngeri juga, namun karena dia memang tidak merasakan sesuatu yang luar biasa di dalam dirinya maka Ceng Bi malah berpikir bahwa pemuda itu agaknya terlalu melebih-lebihkan. Apalagi dengan menambahkan tidak boleh marah segala!

Karena itu, untuk kalimat yang terakhir ini Ceng Bi menanggapinya dengan sinis. Bankan, teringat betapa kata-kata pernuda yang selalu bersikap manis kepada dirinya itu ternyata tidak dapat dipercaya sama sekali sehingga ia sampai terjebak, Ceng Bi malah tertawa mengejek.

"Ui-i siauw-kwi, barangkali saja semua keteranganmu tentang racun Hui-ang-coa itu benar, akan tetapi sekarang apa keteranganmu tentang penangkapan diriku ini? Apakah juga akan diuraikan seperti kau menguraikan racun ular itu?"

Pemuda ini tersenyum. "Nona Souw, sudah kukatakan tadi bahwa untuk membicarakan soal yang satu ini kau harus makan dulu. Perutmu lapar, karena sehari semalam kau pingsan, Mana bisa enak omong-omong dengan orang yang belum terisi perutnya begini? Ah, baiklah... biar kuambilkan dulu bubur ayamnya yang baru, nanti setelah itu kita bicara lagi...." pemuda ini tiba-tiba memutar tubuh dan rneninggalkan Ceng Bi, membuka pintu batu dan keluar tanpa menanti gadis itu mau atau tidak mau.

Ceng Bi terbelalak dengan mata bersinar, sementara gadis ini mulai berpikir-pikir sikap apakah yang akan diambilnya apabila pemuda itu kembali. Namun, belum juga ia memperoleh jawaban tiba-tiba pemuda baju kuning itu sudah muncul sambil membawa sebuah penampan yang mengepulkan uap bubur ayam yang lebih harum!

"Nona Souw, hayo nikmati hidangan ini. Lihat, paha ayamnya kuambilkan yang lebih besar. Makan, ya,? Tapi awas, jangan dibuang lagi....!" pemuda itu berseru gembira dan setelah menutup pintu batu diapun melangkah lebar menghampiri Ceng Bi dan meletakkan makanan itu di depan kaki gadis ini.

Ceng Bi memandang sejenak, tapi gadis itu memasang muka gelap. "Ui-i-siauw-kwi, apakah aku kau suruh makan ditunggui begini, macam anak kecil?" gadis itu berkata tidak puas dan si pemuda baju kuning tertegun.

"Ah, jadi apakah aku harus pergi, nona?"

"Tentu saja!" Ceng Bi melotot. Memangnya kau mau menonton orang yang kelaparan?"

Pemuda baju kuning itu tersenyum lebar, hampir geli, namun tidak berani dilakukannya karena dia tahu tentu gadis ini bakal marah saja yang tidak menguntungkannya. Karena itu, dia lalu mengangguk dengan wajah berseri dan berkata, "Baiklah, nona Souw, aku keluar sesuai permintaanmu. Akan tetapi, bagaimana kalau kau tidak memakannya?"

Ceng Bi mengangkat muka. "Ui-i-siauw-kwi, kenapa sih kalau aku membuang buburmu ini?"

"Ah, jangan, nona…..!" pemuda itu terkejut. "Obat yang kumasukkan dalam makananmu ini tidak banyak lagi. Bagaimana harus mencarinya? Kalau hanya sekedar bubur saja aku tidak keberatan. Akan tetapi obat untukmu itu! Aih, mana boleh disia-siakan?"

Ceng Bi tertawa dingin. "Orang she Ok, Biarpun aku lapar namun aku bukanlah orang doyan gegares. Memangnya kau bisa main rutin?" gadis ini tiba-tiba menyambar mangkok masakan itu dan melemparkannya ke dinding gua.

Si pemuda baju kuning berseru kaget, akan tetapi pemuda ini rupanya cukup waspada karena begitu dia melihat tangan Ceng Bi bergerak, tahu tahu pemuda ini sudah menggerakkan dua jarinya menotok lengan Ceng Bi. Bebur yang sudah disentuh tiba-tiba terlepas dan Ceng Bi mengeluh kaget. Gadis ini tidak dapat melampiaskan maksudnya, dan mangkok itu jatuh lagi di atas penampan!

"Nona Souw... pemuda ini berteriak gemas.

Tapi Ceng Bi sudah mendelik ke arahnya sambil berseru gusar, "Orang she Ok, kau memangnya hanya bisa menghina gadis-gadis muda, ya? Kau hanya bisa mengganggu orang yang sudah tidak berdaya, ya? Aih, bagus... sungguh kau jahanam yang tidak tahu malu!"

Ceng Bi berteriak kalap, tapi pemuda baju kuning itu tidak menghiraukan segala makian ini.

"Nona Souw, kau terlalu sekali!" pemuda ini malah setengah membentak. "Bagaimana mau main buang obat yang mahal? Sekali kau terlambat, sisa racun itu akan bekerja kembali di tubuhmu. Kenapa keras kepala?"

Namun Ceng Bi malah semakin sengit. "Jahanam she Ok, memangnya kalau aku mampus itu bukan gara-garamu, ya? Kalau aku mati, itu bukan karena perbuatanmu yang hina, ya? Aih, kalau saja aku bebas, tentu kepalamu itu akan kutelan bulat-bulat!" Ceng Bi hampir saja tidak dapat bicara saking sesaknya nafas, dan gadis itu memandang lawannya dengan bola mata yang penuh api.

Pemuda baju kuning ini merah mukanya, dan baru sekarang Ceng Bi mehhat pemuda itu bangkit kemarahannya. "Nona Souw, satu, saja pertanyaanku sekarang ini. Maukah kau makan atau tidak makanan itu demi kesehatanmu seadiri?" pemuda ini membentak berang.

Tapi Ceng Bi menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Aku tidak sudi...!" gadis itu balas membentak.

"Hmm, kalau demikian aku harus mendulangmu, nona!" pemuda itu tiba-tiba membungkukkan tubuhnya dan mangkok bubur ayam dipegangnya.

Ceng Bi terbelalak, dan kemarahan mendengar kata-kata lawannya ini benar-benar sampai ke puncaknya. Tetapi, belum sempat dia berontak sekonyong-konyong Ceng Bi menjerit ngeri. Perasaan tertikam yang amat sangat menusuk perutnya, dan Ceng Bi kaget bukan main.

"Auhh…!" Ceng Bi menggeliat dan gedis ini tiba-tiba menjadi pucat mukanya. Tusukan yang amat menyakitkan di dalam perutnya itu demikian hebat, sampai Ceng Bi tiba-tiba menyeringai. Gadis yang tadi tidak merasakan apa-apa dalam tubuhnya ini mendadak mengalami suatu penderitaan yang bukan kepalang hebatnya dan Ceng Bi melotot. Peluh yang sebesar jagung tiba-tiba keluar dari pori-pori kulitnya dan ketika rasaan nyeri dan sakit yang amat luar bias itu mencapai puncaknya, Ceng Bi sudah tidak dapat menahan diri lagi. Gadis ini mengerang kejang, dan sebelum ia memaki-maki si pemuda baju kuning yang diingatnya pada saat terakhir itu Ceng Bi pun sudah roboh pingsan tak sadarkan dirinya lagi.

"Celaka...! Gadis keras kepala…!" pemuda baju kuning berseru terkejut dan melihat Ceng Bi semaput untuk yang kedua kalinya itu pemuda ini sudah cepat menggerakkan jarinya menotok sana sini dengan muka penuh kecemasan. Sisa racun ternyata benar-benar bekerja, dan dia maklum apa penyebabnya yang demikian cepat itu. Bukan lain karena marah-marahnya gadis itu sendiri!

Maka pemuda ini menggerundel tidak karuan dan setelah tujuh totokan selesai dilakukannya di tubuh gadis itu, dia lalu menyandarkan Ceng Bi di dinding gua. Kemudian, tanpa banyak cakap lagi pemuda baju kuning inipun menyambar bubur ayam dan menyuapi Ceng Bi! Jadilah sekarang gadis itu didulang seperti anak kecil dan muka Ceng Bi yang pucat, kini perlahan-lahan pulih kembali seperti sediakala. Apalagi setelah pemuda itu menggigiti paha ayam yang dikeratnya kecil-kecil dan dimasukkan ke mulut Ceng Bi.

Tidak sampai sepuluh menitpun Ceng Bi siuman. Bubur sudah habis, dan Ceng Bi membuka matanya. Perasaan nyeri yang tadi menikam perutnya, ternyata kini sudah lenyap dan ketika benda pertama yang dipandang adalah sepasang mata si pemuda baju kuning yang lembut berseri-seri, Ceng Bi terbelalak kaget.

"Kau...?" gadis itu bangkit duduk dan kendak memaki, namun lawannya ini mendahului sambil merapatkan telunjuk di depan mulut.

"Sstt, nona Souw, jangan marah-marah lagi, lihat tuh, sisa racun ular hampir saja merenggut jiwamu. Mengapa tidak dapat mengendalikan diri? Kalau kau mau marah-marah bolehlah, tapi tunggu sampai kesehatanmu pulih…!" pemuda itu membujuk halus dan Ceng Bi menghentikan makiannya.

Gadis ini memandang sekitar, dan tiba-tiba menghentikan pandangannya di atas mangkok yang sudah kosong. Ui-i-siauw-kwi…"

"Ya...?"

"Kau... menyuapi aku sampai habis?"

"Ah, maaf, nona...." pemuda itu tersipu. "Keadaanmu yang gawat tadi membuat aku terpaksa melancangkan diri. Kalau nona sejak tadi sudah merghabiskannya bukankah tidak akan menderita? Aku terpaksa oleh sikapmu sendiri, nona dan kalau itu kau anggap kurang ajar aku tidak akan menolaknya."

"Hmm..."

"Kenapa, nona?"

Ceng Bi membalikkan tubuhnya. "Ui-i-siauw-kwi..."

"Ya..?"

"Tahukah kau betapa sakit hatiku oleh semua tingkahmu ini? Aku amat benci sekali padamu Ui-i-siauw-kwi, dan barangkali kalau aku lepas kau merupakan orang yang paling sial bertemu denganku!" Ceng Bi mengetrukkan gigi dan pemuda baju kuning itu menghela napas.

"Nona Souw, sudah menjadi keputusan tetap di hatiku bahwa kelak, jika aku selesai dalam melaksanakan tugas terakhir dalam hidupku ini aku siap mererima hukumanmu terhadap diriku. Aku tahu nona, betapa kau amat sakit hati sekali oleh sikapku ini. Akan tetapi, ahh…, apa mau dikata? Aku tidak bermaksud buruk kepadamu, nona.... tidak bermakaud untuk menyakiti hatimu. Sungguh mati! Bahkan aku benci harus memperlakukanmu seperti ini, benci musuh besarku itu yang membuat perbedaan sikap di antara kita ini, demi Tuhan...!"

Pemuda itu mengepalkan tinju-dan Ceng Bi membelalakkan matanya. Gadis ini melihat adanya suatu kesungguhan yang memancar di wajah pemuda itu dan Ceng Bi terkejut.

"Ui.i–siauw-kwi..., apa maksudmu?"

Pemuda itu mengangkat mukanya. "Nona. Souw..." kini suaranya terdengar gemetar. "Apalah kau tidak merasa adanya suatu keanehan di antara kita? Tidak merasa adanya satu persamaan di antara kita?"

Cent Bi tertegun. "Persamaan macam apa Ui-i-siauw-kwi?" gadis itu bertanya heran.

"Persamaan tentang sakit hati ini." permuda itu menjawab dengan suara setengah berteriak dan Ceng Bi terkejut

. "Apa...? Persamaan tentang sakit hati?"

"Ya, nona Souw. Begitulah!"

"Ahh...!" Ceng Bi tidak mengerti maksud ucapan orang dan gadis itu terbengong.

Pemuda baju kuning tiba-tiba bangkit berdiri dan Ceng Bi melihat adanya suatu sinar menyeramkan yang amat keras pada sepasang mata pemuda itu, "Nona Souw..." pemuda ini mengepalkan tinju. Bukankan kau merasa sakit hati mendengar Pendekar Gurun Neraka?"

Pertanyaan mendadak yang menyimpang dari pokok persoalan itu benar-benar membuat Ceng Bi terkejut. Sejenak gadis ini tidak mampu membuka suara, namun akhirnya terlontar juga kaget dari mulutnya, Ui-i-siauw-kwi, ini... apa... apa maksudmu...?" gadis itu tergagap tapi si pemuda baju kuning tertawa getir.

"Nona Souw, peristiwa di tempat dua orang kakek kembar itu aku cukup tahu, karena itu tidak perlu kiranya kujelaskan satu-persatu di sini untuk membuktikanya. Akan tetapi, dugaanku yang satu tadi tentang sakit hati nona terhadap Pendekar Gurun Neraka bukankah tidak meleset?"

Ceng Bi tidak dapat menjawab segera dan gadis ini berdetak jantungnya. Diingatkan kembali kepada bekas jenderal muda yang gagah dan tampan itu memang benar-benar membuat jantungnya terguncang, karena itu tidak heran jika Ceng Bi tiba-tiba merasa kering tenggorokannya. "Ui-i-siauw-kwi, ini… ini… aku tidak tahu...!" Ceng Bi akhimya menjawab terbata-bata dengan muka merah sementara pemuda baju kuning itu memandangnya tajam.

"Nona Souw, kenyataan telah membuktikan di depan mata. Bagaimana kau bilang tidak tahu?" pemuda ini memperingatkan dengan nada tidak puas dan Ceng Bi kini telah dapat menekan debaran hatinya.

Gadis itu menatap si pemuda baju kuning, dan suaranya yang hambar dan agak dingin membalas suara orang, "Ui-i-siauw-kwi, kau tiba-tiba menyentuh urusan pribadi orang lain ada maksud apakah? Kenapa kalau aku betul menyimpan sakit hati kepada orang itu? Mau kau jadikan sekutu?" gadis ini tersenyun mengejek tapi lawannya itu tampak menggelengkan kepala.

"Tidak, nona Souw….. tidak perlu. Aku merencanakannya demikian."

"Hmm, kalau begitu apa kehendakmu?"

Pemuda baju kuning ini terdiam sejenak. "Nona Souw..." dia berkata sedikit tapi tiba-tiba berhenti lagi.

Ceng Bi menunggu, namun melihat orang diam saja akhirnya dia bertanya, "Ui-i-siauw-kwi, kau mau bicara apakah?" gadis ini tampak tidak sabar.

Pemuda baju kuning itu menengadahkan kepalanya dan tiba-tiba balik bertanya kepada Ceng Bi, "Nona, kalau seandainya aku minta pendapatmu tentang orang itu, apakah yang akan kau katakan tentang dirinya?"

Ceng Bi seperti ditiup api kemarahannya. "Dia manusia bejat moral yang tidak pantas disebut pendekar!" gadis ini berkata sengit dan pemuda baju kuning itu tiba-tiba bertepuk tangan.

"Ha-ha, bagus.... sama dengan pendapatku!" pemuda itu berseru dengan muka gembira namun Ceng Bi mendengus ke arahnya.

"Ui-i-siauw-kwi, jangan bergirang dulu, aku masih belum menambahinya karena selain bejat moral diapun juga tidak tahu malu, persis seperti dirimu!"

"Hah….?!" pemuda baju kuning menghentikan tawanya dan dia memandang Ceng Bi dengan muka berubah.

Akan tetapi Ceng Bi tidak main-main, karena gadis itu malah menjebirkan bibirnya. "Kenapa, Ui-i-siauw-kwi? Salahkah kalau kukatakan dia orang tidak tahu malu seperti dirimu? Engkau juga tidak tahu malu, karena pekerjaannya hanya menipu wanita dan gadis-gadis muda."

"Ah, akan tetapi selama hidup aku baru pertama menipu wanita, nona. Tidak selamanya!"

"Cih, kau mengaku, ya? Tapi siapa bisa percaya omonganmu?" Ceng Bi mengejek.

"Hmm...." pemuda itu merah mukanya dan dia tampaknya mendongkol. "Nona Souw, terus terang saja aku bicara dengan jujur. Tapi kalau kau tidak percaya, terserahlah... itu memang hakmu. Sekarang, kita kembali pada pokok persoalan kita sendiri. Mengapa aku sampai mengajakmu ke sini..."

"Ah, bukan diajak, Ui-i-siauw-kwi, tapi ditipu!" Ceng Bi mengejek lagi dan pemuda itu tertawa pahit.

"Baiklah, nona Souw, boleh kau katakan apa saja tentang kata-kata itu akan tetapi yang jelas, aku sama sekali tidak bermaksud buruk kepadamu. Aku bermaksud baik."

"Ha, saking baiknya sampai perlu memperlakukan orang seperti tawanan, bukan, Ui-i-siauw-kwi?" Ceng Bi menyindir.

Namun pemuda itu tidak marah. "Nona salah paham, yang ada di pikiranmu itu aku dapat menerimanya, tidak aneh. Akan tetapi secara sungguh-sunguh saja kukatakan di sini bahwa semua yang kulakukan ini hanya demi keselamatanmu belaka…"

"Aduh, terima kasih, in-kong (tuan penolong)!" Ceng Bi tersenyum sinis.

Tapi pemuda itu tidak menghiraukan ejekannya. "Nona Souw, mari kita bersikap serius. Dan kita mulai sejak dari sini..." dia berhenti sebentar lalu melanjutkan, "Nona, tahukah kau akan adanya suhu yang meningkat di kalangan kaum persilatan?"

Ceng Bi memandang dingin. "Orang she-Ok, dari dulu sampai sekarang dunia kang-ouw selalu hangat-hangat tahi ayam, mengapa harus bertanya tentang adanya suasana yang meningkat segala?"

"Ah, tapi yang sekarang ini benar-benar luar biasa, nona. Menyangkut tokoh-tokoh dari dua pihak yang sama-sama kuat."

"Maksudmu?"

"Maksudku adalah pihak golongan kang-ouw dan pihak golongan negera. Seperti kau ketahui, dua kerajaan yang sama tidak mau mengalah telah saling menyerang, dan suhengmu, saudara Lek Hui yang gagah perkasa itu telah melibatkan diri dalam salah satu kerajaan. Ini tentu tidak terlalu luar biasa apabila ayahmu yang sakti itu kelak membantu di belakangnya,, termasuk kau juga barangkali!"

"Hmm…" Ceng Bi mulai tertarik, dan gadis ini memandang penuh selidik. "Kalau begitu, lalu bagaimana kelanjutannya, Ui-i-siauw-kwi?"

Tapi pemuda itu tidak segera menjawab, melainkan menyambar sebuah sloki (gelas kecil) di atas penampan dan menuangkan arak yang memang tersedia di situ, "Nona Souw, kau tidak minum?" dia menawarkan sambil tersenyum namun Ceng Bi menggelengkan kepala.

"Tidak."

"Hmm, Baiklak, aku minum seorang diri tanpa pengiring kalau begitu!" pemuda ini tiba-tiba mengangkat slokinya dan sekali teguk lenyaplah arak itu didalam perutnya. Kemudian dia memandang Ceng Bi yang masih ingin mendengarkan ceritanya dan pemuda itu tertawa sejenak. "Nona Souw, apakah kau tidak menyimpan suatu pertanyaan tentang diriku misalnya?"

"Pertanyaan apa?" Ceng Bi mengerutkan kening.

"Yaah, pertanyaan apa saja yang terutama ingin kau tanyakan, nona..." pemuda itu tertawa. "Misalnya saja percakapan dengan Jing-ci touw Kam Sin."

"Ah, ya...!" tiba-tiba ia menepuk dahinya. "Copet busuk she Kam itu, dia tadi menyebutmu 'siauw-pangcu'! Eh, orang she Ok, apakah betul kau ini siauw-pangcu dari suatu perkumpulan?"

Pemuda itu tiba-tiba tertawa lebar. "Ha-ha., nona Souw, kalau betul memangnya kenapakah?"

Ceng Bi terkejut. "Jadi kau ini seorang ketua muda, Ui-i-siauw-kwi?"

"Tidak salah."

"Ahh…!" Ceng Bi membelalakkan mata. "Kalau begitu... perkumpulan apa yang kau pimpin, Ui-i-siauw-kwi?"

Tapi pemuda ini tiba-tiba lenyap senyumnya dan menyeringai kecut. "Sudah kau kenal, nona Souw, dan barangkali malah kurang kau senangi."

"Aih, perkumpulan apa kalau begitu?"

"Hiat-goan-pang."

"Hiat-goan-pang?!" Ceng Bi berseru kaget dan gadis ini hampir saja melompat dari duduknya kalau saja ia tidak ditotok lumpuh. Akan tetapi Ceng Bi lalu mengeluh dan seperti orang mendengar halilintar di siang bolong saja ia memandang pemuda baju kuning itu dengan muka pucat.

Tapi pemuda itu sendiri juga tiba-tiba tampak kurang gembira. "Nona Souw, tidak kau sangka, bukan?" dia tertawa getir dan Ceng Bi masih belum hilang rasa kagetnya.

"Ui-i-siauw-kwi, kau.... siauw-pangcu dari perkumpulan Hiat-goan-pang....?" Ceng Bi seolah-olah tidak percaya telinganya sendiri dan gadis itu menatap lawannya.

Akan tetapi pemuda itu menganggukkan kepalanya dengan sungguh-sungguh. "Tidak salah, nona Souw. Aku memang siauw-pangcu dari perkumpulan itu karena pucuk pimpinan tertinggi dipegang oleh guruku sendiri, Mengapakah? Kau merasa heran karena Hiat-goan-pang di kota Hang-loh seingatmu sudah dihancurkan tanpa sisa?"

Ceng Bi akhirnya kembali dapat menguasai dirinya lagi. "Betul," ia mejawab setengah heran setengah kaget. "Maka bagaimana kau bisa menjadi seorang ketua dalam perkumpulan Hiat goan-pang? Padahal..."

"Padahal kakek kembar The-mong-pa dari The Hong Gi sudah binasa, bukan?" pemuda itu menyambung kata-kata Ceng Bi dan Ceng Bi melenggong.

"Eh, Ui-i-siauw-kwi, bagaimana sesungguhnya jalan cerita pengakuanmu itu? Apakah kau tidak melempar omongan kosong kepadaku?"

Pemuda itu tertawa pahit. "Nona Souw, agaknya penipuanku terhadap dirimu itu telah meninggalkan kesan curiga yang dalam sekali kepadamu. Aih, ini memang resikoku. Akan tetapi, apa boleh buat? Aku memang telah mulai bermain-main api dan kalau sampai terbakar itu memang selayaknya. Nona Sauw, ketahuilah, Hiat-goan-pang yang terdapat di luar kota Hang-toh itu sebenamya hanya merupakan sebuah cabang saja dari perkumpulan pusat yang terletak di Kuil Hitam. Dan kakek kembar The yang telah roboh binasa itu hanya sebagai ketua-ketua cabang. Karena itu, mereka sebenamya adalah Para pembantuku yang telah dipercaya suhu untuk mengurus perkumpulan yang ada di sana dan karena mereka telah binasa maka tentu saja Hiat-guan-pang di Hang-loh itu tidak ada. Namun, hancurnya Hiat-goan-oang di kota itu bukan berarti hancurnya Hiat-goan-pang dalam arti sesungguhnya karena perkumpulan itu masih tetap ada di mama-mana."

"Di mana-mana...?"

"Ya. Hiat-goan-pang sesungguhnya terdiri dari tujubbelas cabang yang dipimpin oleh ketua pusat di tangan guruku."

"Ah...!" Ceng Bi tersentak mendengar keterangan ini dan baru sekaranglah gadis itu terkejut bukan main. "Ui-i siauw-kwi, ini... kalau begitu... kau dan gurumu menjadi pemimpin tertinggi dari perkumpulan setab itu?"

Pemuda itu tersenyum pahit. "Perkumpulan setan bagi orang-orang yang memusuhinya, nona, tapi tidak bagi golongan sendiri, yang menjunjung tinggi nama suhu!"

"Ah, itu manurut pendapatmu. Akan tetapi, apakah manusia-manusia macam kakek The yang dulunya ternyata kelempok Mo-san Ngo-yu itu bisa dikatakan manusia baik-baik? Mereka tanpa sebab menculik kakakku, dan tanpa sebab pula hendak menangkapku secara tidak tahu malu! Cihh, apakah orang-orang seperti itu kau bilang bukan manusia-manusia setan?" Ceng Bi mendelik dengan mata menyala sementara pemuda itu sendiri mengerutkan keningnya.

"Nona Souw, perbuatan mereka itu dikarenakan dendam terhadap ayahmu, maka kenapa mesti diherankan jika mereka mengganggumu?"

"Hmm, alasan yang bagus, ya? Tidak berani menghadapi ayahnya lalu menghadapi anak-anaknya!"

"Ah, bukan begitu...!" pemuda ini mengagkat lengannya. "The-lo-hengte hanya sekedar ingin menyandera kalian saja, tidak bermaksud membunuh. Bagaimana bisa dibilang tidak berani menghadapi ayahmu? Justeru kalau kalian tertangkap pasti ayahmu akan datang, dan hal inilah yang dikehendaki dua orang kakek itu."

"Dan kalau ayah datang apakah kau kira mereka tidak mengancam nyawaku? Orang-orang licik semacam itu pasti tidak dapat dipercaya itikad baiknya dan meskipun pada mulanya berkata anak-anaknya hanya disandera saja untuk ayahnya, belum tentu mereka tidak akan mempergunakan kecurangan untuk menekan ayah! Ui-i-siauw-kwi, kau hendak menutup-nutupi kejelekan dua orang kakek itu apakah karena mereka itu pembantumu?" Ceng Bi mulai meradang.

Pemuda baju kuning ini membelalakkan matanya, dan melihat Ceng Bi mulai naik pitan tiba-tiba dia menarik napas panjang. "Nona Souw, maaf, pembicaraan kita mulai melantur. The-lo-hengte telah tewas, dan untuk itu kita tidak perlu lagi bicara tentang mereka. Memang harus kuakui bahwa mereka itu orang-orang yang suka mempergunatan kecurangan, akan tetapi itupun ada sebab-sebabnya. Dan dimana ada sebab pasti timbullah akibat. Sudahlah, kita kesampingkan pembicaraan yang tiada gunanva itu untuk kembali pada maksud tujuanku semula. Bukankah nona ingin mendengarkan keteranganku lebih lanjut tentang Hiat-goan-pang?"

Ceng lsi mengangguk. "Kalau kau memang tidak mengarang cerita untuk anak-anak."

"Ah, ini serius, nona Souw, bukan karangan belaka!" pemuda itu berseru.

"Hm, baiklah... coba kudengar kalau begitu," Ceng Bi menjawab agak tak acuh dan pemuda baju kuning itu tiba-tiba bangkit dari duduknya.

"Nona Souw, sudahkah kau dengar tentang sebuah nama dari seorang tokoh yang tinggal pulau Hek-kwi-to?"

"Hek-kwi-to?" Ceng Bi terbelaak mandengar pertanyaan ini.

"Ya, Hek-kwi-to. Apakah nona pernah mendengar nama itu?"

"Tentu saja!" Cong Bi mengangguk. "Itu adalah nama sebuah pulau menyeramkan di sebelah timur Laut Tung-hai."

"Bagus. Dan apakah nona juga pernah mendengar tentang penghuni pulau itu?" pemuda isi meneruskan.

Ceng Bi semakin terbelalak dan gadis itu mengangkat mukanya. "Ui-i-siauw-kwi, kau bertanya-tanya tentang hal ini ada maksud apakah? Sepengetahuanku, Hek-kwi-to dihuni oleh seorang tokoh berjuluk Sin-hwi-ciang."

"Bagus, memang tidak salah…" pemuda itu tiba-tiba berseri mukanya! "Dan apakah nona tahu siapa sebenarnya tokoh sakti itu?"

Ceng Bi mengerutkan kening. "Kudengar dia adalah sute (adik seperguruan) Malaikat Gurun Neraka."

"Aha, tepat sekali...!" pemuda itu tiba-tiba bertepuk tangan. "Dan bagaimanakah komentar nona tentang tokoh sakti itu?"

Pertanyaan ini disambut kerut yang semakin dalam di kening Ceng Bi. "Ui-i-siauvr-kwi, menurut cerita yang kudengar dia adalah iblis sakti yang murtad dari perguruannya. Kenapakah?"

Pemuda baju kuning ini tiba-tiba mengepalkan tinju. "Nah, inilah yang harus diselesaikan, nona Souw," dia befseru geram. "Karena apa yang kau katakan itu bisa dibilang benar tapi sekaligus juga salah!"

Ceng Bi terbelalak. "Maksudmu....?" Pemuda baju kuning itu memandang Ceng Bi dengan muka merah. "Nona Souw," katanya dengan pandangan sengit. "Ketahuilah bahwa apa yang baru saja kau katakan ini memang tidak banyak berbeda dengan pendapat orang-orang golongan tertentu. Akan tetapi ketahuilah, nona, bahwa sesungguhnya si pengkhianat perguruan itu bukan lain adalah si Malaikat Gurun Neraka sendiri, bukan sutenya yang disekap dalam Pulau Hek-kwi-to!"

"Ahh...!" Ceng Bi terkejut dan heran, tidak bertanya tapi menatap lawan bicaranya dengan sikap bingung. Baru setelah pemuda itu diam saja tidak melanjutkan Ceng Bi lalu membuka mulutnya„ "Ui-i-siauw-kwi, kau membicarakan urusan perguruan orang lain ada kehendak apakah?"

Pemuda itu mengertakkan giginya. "Nona, aku tidak membicarakan urusan perguruan orang lain tetapi mengatakan urusan dalam perguruanku sendiri."

"Eh, kalau begitu…..?"

"Benar, perguruan Takla Sin-jin juga perguruan diriku."

"Ah, kau... kau murid….?"

Pemuda baju kuning itu sudah cepat meng-anggukkan kepalanya. "Tidak salah, nona Souw, aku memang murid penghuni Pulau Hek-kwi-to yang terfitnah itu!"

"Aihh…..!" Ceng Bi terkejut dan gadis ini membelalakkan matanya. Apa yang baru saja didengarnya itu memang sangat mengejutkan hatinya, kerena ia memang sama sekali tidak menyangka. Karena itu, kalau pemuda ini benar adalah murid Sin-hwi-ciang di pulau iblis itu berarti pemuda ini merupakan murid keponakan Sang Malaikat Gurun Neraka sendiri... atau sute dari Pendekar Gurun Neraka, pemuda gagah perkasa yang telah meninggalkan kesan kebencian di dalam hatinya itu! Maka sejenak Ceng Bi tertegun, dan pemuda baju kuning yang melihat keadaan gadis ini tiba-tiba melangkah maju.

"Nona Souw, sekarang kira-kira dapat menduga siapa pemimpin tunggal dalam perkumpulan Hiat-goan-pang, bukan?"

Ceng Bi meng-anggukkan kepalanya dengan muka berubah.

"Dan mulai pula dapat menduga apa yang kulakukan terhadap dirimu?" pemuda itu menyambung.

Tapi untuk pertanyaan ini Ceng Bi mengernyitkan alisnya. "Ui-i-siauw-kwi, aku tidak tahu apa hubungannya ceritamu itu dengan segala perbuatanmu ini," ia menjawab datar sementara pemuda baju kuning itu menarik napas panjang.

"Nona, guruku merencanakan suatu pembalasan besar-besaran terhadap orang-orang yang tidak disukainya, dan karena orang-orang itu adalah manusia-manusia licik yang amat berbahaya, maka suhu tidak mau gagal dalam gerakan ini. Pembasmian besar-besaran sedang disusun oleh guruku, dan suhengmu, saudara Lek Hui yang kukagumi itu barang kali tidak akan menyeret-nyeret pula ayahmu dalam pertikaian ini. Oleh sebab itu, aku perlu mencegahnya sedini mungkin agar engkau sekeluarga, kecuali suhengmu itu barangkali, tidak sampai terlibat dalam urusan yang amat berbabaya ini. Pahamkah, nona?"

Pemuda itu memandang Ceng Bi dan Ceng Bi membelalakkan matanya. "Ui-i-siauw-kwi, pembasmian besar-besaran katamu?" gadis itu terkejut.

"Ya..." pemuda ini menganggukkan kepalanya, "Kecuali kalau mereka tidak ikut campur tangan."

"Ah, siapa yang kau maksudkan dengan mereka itu, Ui-i-siauw-kwi?" Ceng Bi bertanya kaget sementara lawan bicaranya tersenyum getir.

"Nona Souw, yang kumaksudkan dengan mereka itu bukan lain adalah teman-teman atau sahabat-sahabat musuh guruku. Seperti kau ketahui, Malaikat Gurun Neraka memiliki banyak sahabat, terutama murid tunggalnya itu. Dan Pendekar Gurun Neraka, yang jelek-jelek adalah bekas seorng jenderal itu tentu akan melibatkan orang-orang kerajaan. Apalagi, suhengmu sendiri juga masih membantu Kerajaan Yueh yang pernah dipimpin oleh Yap-goanswe dan memusuhi pula orang-orang dari golongan hek-to. Karena itu, melihat semuanya ini, bukankah kelak orang-orang yang semestinya tidak perlu terlibat bakal tersangkut? Seperti ayahmu itu misalnya." pemuda ini menarik napas penyesalan dan Ceng Bi mulai berdebar hatinya.

"Ui-siauw-kwi, bagaimana kau bisa bilang bahwa ayah bakal terlibat?"

Pemuda itu menoleh sayu, "Mengapa tidak, nona? dengan adanya suhengmu membantu bekas jenderal muda itu tentu ayahmu juga tidak akan tinggal diam kalau muridnya mendapat bencana. Dan kalau sudah begini, bukankah semuanya bakal bertambah runyam?"

"Hm, kau maksudkan suheng terbunuh?"

"Yaah, kalau itu tidak terlalu kasar mengucapkannya, nona." pemuda ini mengerutkan kening dan Ceng Gi berdetak jantungnya.

"Ui-i-siauw-kwi..."

"Ya...?"

"Kau pikir suhengku itu gampang dibunuh?"

Pemuda itu membalikkan tubuhnya. "Barangkali tidak, nona Souw. Tapi watak keras kepalanya yang tidak jauh berbeda dengan ayahmu bisa saja keadaan jadi terbalik."

"Maksudmu...?"

"Maksudku adalah...." pemuda ini menarik napas panjang, "suhengmu orang yang sukar ditekuk hatinya. Dia kurang pandai melihat keadaan, dan hal ini barangkali kurang menguntungkannya jika dia berhadapan dengan orang yang memiliki kekerasan hati yang lebih lagi. Dan ayahmu, yang mengirimkannya untuk membunuh seseorang itu sungguh terlalu sembrono sekali. Sekarang dia tertangkap, dan nasib baiknya kini hanya bergantung pada wataknya sendiri belaka."

"Hahh….?" Ceng Bi terlonjak. "Twa-suheng tertangkap?"

Pemuda itu menganggukkan kepalanya. "Benar, nona, dan kalau guruku tidak cepat datang agaknya dia sudah tewas di tangan musuhnya."

"Siapa?"

"Cheng-gan Sian-jin!"

"Cheng-gan Sian-jin...?"

"Ya, siapa lagi?"

"Aihh...!" Ceng Bi terhenyak dan gadis ini terbelalak dengan muka pucat. Apa yang didengar itu benar-benar berita luar biasa baginya, karena itu tidak heran kalau sampai Ceng Bi tertegun. Tapi pemuda baju kuning itu tiba-tiba sudah menepuk pundaknya dengan sentuhan lembut.

"Nona Souw, kau ingin melihat keadaannya?"

Ceng Bi hampir tak mampu membuka suara. Ajakan pemuda itu hanya dibalasnya deagan anggukan kecil saja dan begitu dia mengangguk tiba-tiba pemuda baju kuning ini sudah menyambar tubuhnya. Ceng Bi tersentak, tapi pemuda ita berbisik perlahan di dekat telinganya, "Nona, jangan bersangka buruk! Aku hanya ingin membuktikamya kepadamu tentang nasib suhengmu itu, tenanglah dan jangan mengeluarkan suara...!"

Dan begitu ucapannya selesai pemuda inipun sudah membuka pintu batu dan melompat keluar. Ceng Bi terkejut dan hendak meronta, namun pemuda itu tiba-tiba sudah keburu menotok urat gagunya dan sekaligus membuat tubuhnya lumpuh! Tentu saja Ceng Bi merasa gusar, hampir meludahi muka orang akan tetapi Jing-ci-touw Kam Sin mendadak muncul di lorong gua.

"Siauw-pangcu, kau hendak ke manakah?" copet itu berteriak beran namun si pemuda baju kuning ini mengibaskan tangannya.

"Jing-ci-touw, jangan berteriak-teriak. Aku hendak ke Puri Naga bersama nona Souw. Apakah suhu ada sana?"

Copet itu menggelengkan kepala. "Tidak; siauw-pangcu, akan tetapi tamu agung kita itu yang berada di sana?"

"Hem, Cheng-gan Sian-jin?"

"Benar, siauw-pangcu..."

"Baiklah, kau jaga tempat ini sampai aku kembali!" pemuda itu menggerakkan kakinya dan tahu-tahu Jing-ci-touw sudah dilompati kepalanya dan ditinggal mendelong seperti orang kebingungan.

Ceng Bi tidak dapat bergerak, juga tidak dapat bersuara. Namun semua percakapan itu dapat didengarnya dengan baik dan begitu ia mendengar datuk iblis itu ada di depan sudah membuat hatinya merasa tegang. Dia dipanggul dengan kaki depan dada orang, karena itu kepalanya yang beradu punggung dengan pemuda baju kuning terpaksa diterimanya dengan kemarahan ditahan. Kalau saja ia tidak di totok, barangkali Ceng Bi sudah menggigit lawannya ini sampai berdarah. Tapi pemuda itu sudah menotok urat gagunya, dan ia sama sekali tidak mampu menggerakkan mulut, Sungguh menggeramkan!

"Nona Souw, kau telah mendengar percakapan kecil tadi, bukan?" pemuda itu tiba-tiba membuka suara sementara kakinya terus bergerak melewati lorong-lorong panjang yang tidak dikenal Ceng Bi. "Dan kau sebentar lagi akan melihat bagaimanakah rupanya orang yang disebut Cheng-gan Sian-jin itu. Bukankah nona belum pernah bertemu muka? Nah, sekarang kita akan menyaksikannya, tapi itu semua kita lihat dari jauh saja. Datuk sesat itu tajam telinganya, maka kita harus berhati-hati."

Pemuda ini berbicara sendiri sambil terus melompat-lompat dan tiba-tiba sinar yang terang menunjukkan kepada Ceng Bi bahwa mereka telah berada di suatu tempat terbuka. Ceng Bi tidak menjawab semua kata-kata pemuda itu, namun gadis ini sudah ingin cepat-cepat melihat keadaan suhengnya. Dan baru saja mereka keluar dari mulut gua yang tidak dikenal Ceng Bi, pemuda baju kuning itu tiba-tiba kembali menggerakkan jarinya. Ceng Bi menggeliat nyeri ketika satu totokan aneh menyentuh belakang kuduknya, dan diam-diam gadis ini mengertakkan giginya.

"Nona Souw, maaf, aku terpaksa menotokmu seperti ini agar kau tidak mengacaukan keadaan. Kita hanya melihat sebentar dan setelah itu kembali lagi ke dalam gua. Maaf, harap kau maklumi…..!" demikian pemuda itu mencoba meredakan kemarahan orang dan kakinya sudah melompat dalam seraak gerumbul yang penuh bunga.

Kiranya, mereka telah tiba di sebuah taman yang luas dan sebuah bangunan kecil tampak menjulang anggun di tengah sepasang kolam yang indah berseri. Ceng Bi tidak tahu mereka tiba di mana, akan tetapi itulah sebenarnya tempat yang disebut Puri Naga! Ceng Bi membelalakkan matanya, dan pemuda baju kuning itu tiba-tiba menudingkan telunjuknya,

"Nona Souw, lihatlah. Itu suhengmu, terikat di tiang bangunan..!"

Dan begitu Ceng Bi mengikuti jari telunjuk pemuda baju kuning itu, tampaklah sesosok tubuh tinggi besar yang terikat kaki tangannya di tengak bangunan Puri Naga. Itulah Lek Hui, suhengnya sendiri yang menjadi murid kapala ayahnya! Ceng Bi bampir menjerit keras, namun tidak ada sedikitpun suara yang berhasil dikeluarkannya. Totokan pada urat gagu di lehernya telah membuatnya tidak banyak berdaya, dan pemuda baju kuning itu memandangnya muram.

"Bagaimana, nona? Bukankah aku tidak mendustaimu?"

Ceng Bi hanya mampu mengangguk kecil dengan muka pucat dan siauw-pangcu dari perkampulan Hiat-goan-pang ini sudah melanjutkan bicaranya sambil menuding lebih ke kiri,

"Dan itu nona, dialah Cheng-gan Sian-jin yang merobohkan twa-suhengmu itu. Duduk di sebelah kanannya itu adalah Hek-mo-ko dan pemuda baju hitam yang berdiri di samping datuk sesat itu bukan lain adalah muridnya yang baru, Pouw Kwi, bekas murid mendiang Ang-i Lo-mo yang tewas di tangan Yap-goanswe!"

"Ah…!" Ceng Bi tertegun di dalam hatinya dan matanya yang bulat membelalak itu menatap lekat ke arah seorang kakek tinggi besar yang berambut kemerahan. Baru sekaranglah ia tahu tentang kakek iblis itu, dan melihat potongannya yang tinggi menyeramkan ini jantung Ceng Bi berdetak kencang. Kakek itu tampak hebat bukan main, dan wajahnya yang bengis kehijauan benar-benar cukup merontokkan nyali seorang pendekar kelas menengah. Pantas kalau suhengnya roboh di tangan kakek ini karena memang seluruh wibawa datuk iblis itu teramat menyeramkan!

Dan manusia hitam legam yang duduk di sebelah kanan Cheng-gan Sian-jin itu juga tidak kalah menyeramkannya. Tubuhnya sedang-sedang saja, akan tetapi matanya yang selalu mendelik dan putih membelalak itu cukup meremangkan bulu kuduk, tidak seperti pemuda baju hitam yang berdiri di samping kakek iblis itu. Karena walaupun pemuda ini juga disebut sebagai murid Cheng-gan Sian-iin yang baru, namun pamuda itu tidaklah tampak menakutkan. Wajahnya yang putih halus cukup tampan, akan tetapi sinar matanya yang dingin diiringi senyum bibirnya yang mengejek itu juga tidak menimbulkan rasa suka bagi yang memandang.

Ceng Bi tidak tahu, siapakah Pouw Kwi ini. Akan tetapi mengenai Hek-mo-ko dan terutama Cheng-gan Sian-jin, sudah lama dia mendengar nama-nama dua orang itu sebagai orang-orang golongan sesat yang berbahaya. Padahal, pemuda yang kini berdiri di samping datuk iblis itu juga bukanlah manusia yang tidak kalah berbahayanya. Dan justeru gara-gara pemuda inilah awal bencana menimpa Kerajaan Yueh, akibat fitnah yang melumuri muka Yap Bu Kong, bekas jederal muda yang kini berjuluk Pendekar Gurun Neraka itu!

Akan tetapi Ceng Bi tidak mengetahui peristiwa hebat itu, peristiwi yang sanggup merubah jalan hidup seseorang menjadi berlainan dari asalnya karena selama ini memang la belum pernah turun gunung. Maka sekarang, melihat tiga orang itu mengelilingi sebuah meja kecil sambil minum arak wangi dan berbicara sambil tertawa-tawa. Ceng Bi serasa diremas hatinya. Suhengnya ditangkap orang, dan ia sendiri hanya mampu memandang tubuh yang terikat di tengah tiang itu tanpa berdaya. Siapa tidak akan pedih? Namun sebelum keadaan berlarut-larut tiba-tiba pemuda baju kuning itu sudah menyambar tubuhnya.

"Nona Souw, cukup sudah kita menyaksikan keadaan suhengmu itu. Mari kita kembali...!" dan sebelum Ceng Bi memprotes tahu-tahu dia sudah dibawa melompat ke sebuah lobang yang merupakan mulut gua yang tertutup semak belukar.

Ceng Bi hanya mampu mengeluh, dan siauw-pangcu dari Hiat-goan-pang itu sudah menyelinap keluar masuk di lorong-lorong gua kembali ke asal mereka. Kali ini pemuda itu tidak banyak bicara, dan ketika mereka tiba di pintu batu pada ruangan di mama Ceng Bi ditahan tahu-tahu Jing-ci-touw Ham Sin kembali muncul.

"Bagaimana, souw-pangcu? Ada perintah untuk hamba?" copet seribu jari itu membungkukkan tuhuhnya di depan sang majikan muda namun pemuda itu menggoyang lengannya.

"Tidak... tidak, Jing-ci-touw. Aku hanya mau kau menjaga di luar saja. Nona Souw letih, dia hendak beristirahat. Jangan mengganggu lagi."

"Ah, baik, siauw-pangcu. Akan tetapi, tadi lo-pangcu datang ke mari menanyakan siauw-pangcu...!"

"Hah? Suhu datang ke mari?" pemuda itu terkejut.

"Benar, siauw-pangcu." Jing-ci-touw mengangguk. "Tapi beliau hanya berpesan supaya kalau siauw-pangcu datang diharap lekas menuju ke Ruang Maklumat…"

"Ah..!" pemuda ini berobah mukanya. "Apa suhu mendapat kesulitan, Jing-ci-touw?"

"Entahlah, siauw-pangcu. Akan tetapi beliau tampaknya juga tergesa-gesa. Tamu-tamu undangan telah tiba di Kuil Hitam, dan agaknya ada suatu perobahan rencana yang mendadak."

"Ah, baiklah, aku segera datang kalau begitu! Nona Souw, maaf, aku tidak dapat menemanimu lagi lebih lama karena suhu mencariku..." pemuda ini membuka pintu batu dan sekali tendang dia telah melompat masuk. Sikapnya tampak tergesa-gesa, dan begitu meletakkan Ceng Bi di lantai diapun membebaskan tawanannya ini dari totokan.

Ceng Bi dapat bicara lagi, dan kaki tangannyapun juga dapat digerakkan. Akan tetapi, tenaga sinkangnya ternyata tidak mampu disalurkan dan hal ini membuat gadis itu mendongkol. Tapi dia menindas semua perasaan marahnya ini dan si pemuda baju kuning itu berkata,

"Nona, Jing-ci-touw akan melayanimu baik-baik di sini, kalau perlu sesuatu, bunyikan saja kelenengan ini dan dia pasti datang. Sekarang harap nona beristirahat saja dan semoga semua keteranganku tadi dapat kau terima," pemuda ini menyerahkan sebnah kelenengan kecil seperti kelenengan kuda dan Ceng Bi menerimanya.

"Ui-i-siauw-kwi, kau rampas di manakah pedangku itu? Apakah aku tidak boleh menjaga diri jika seseorang nanti bermaksud jahat?" Ceng Bi bertanya dengan alis dikerutkan sementara pemuda itu tertawa masam.

"Nona Souw, di tempat ini tidak ada orang yang berani mengganggumu, Jing-ci-touw akan memberi tanda kepadaku begitu sesuatu terjadi di sini. Percayalah. Dan tentang pedang, masih kusimpan baik-baik sampai kelak engkau memerlukannya..." pemuda itu mengangguk lalu sekali memutar tubuh diapun melompat keluar dan menutup pintu batu rapat-rapat.

Ceng Bi melenggong, dan gadis ini hampir saja berteriak gemas melampiaskan rasa gusarnya tidak kepalang tanggung. Akan tetapi ia menahan diri dan begitu ia ditinggal sendirian di ruangan ini segera gadis itu bangun dan memeriksa kamar gua itu. Pertama-tama yang dituju adalah pintu batu itu, namun Ceng Bi menjadi kecewa mendapat kenyataan bahwa tanpa tenaga sinkang mustahillah mendorong pintu batu yang amat berat itu.

Diam-diam Ceng Bi mengumpat, dan rasa marahnya kepada pemuda baju kuning itu semakin meningkat. Karena itu, iapun lalu memeriksa bagian-bagian lain seperti dinding dan juga lantai, diketuk-ketuk dan ditendang-tendang, akan tetapi ternyata semuanya itu sia-sia belaka.

Tidak terdengar suara yang "kosong" pada dindig maupun lantai, dan hal itu menandakan bahwa seluruh ruangan di kamar tahanannya ini benar-benar terdiri dari batu melulu. Mana mungkin menjebolnya keluar? Kecuali kalau ada pedang di tangan barangkali ia bisa mencokel-cokel dinding dan menerobos keluar, namun senjata satu-satunya itu ternyata "disimpan" oleh pemuda baju kuning itu. Mau berbuat apalagi?

Ceng Bi mengumpat gemas, dan akhirnya ia duduk bersila di tengah-tengah ruangan itu dengan tinju terkepal. Harus diakuinya, pemuda baju kuning itu memang selama ini tidak menunjukkan sikapnya yang kurang ajar, apalagi jahat. Dan satu-satunya "kejahatan" yang dlakukan lawannya itu, kalau inipun boleh dikatakan kejahatan, adalah mengurungnya dengan cara yang licik di kamar gua itu.

Inipun karena katanya agar supaya ia tidak terlibat dalam perang besar-besaran yang bakal terjadi di antara tokoh-tokoh dunia persilatan plus orang-orang kerajaan. Dan melihat naga-naganya, memang barangkali Hiat-goan-pang sedang merencanakan sesuatu yang mengerikan. Apalagi kalau ketuanya adalah bekas penghuni Pulau Hek-kwi-to! Akan tetapi, apakah semua keterargan yang diberikan pemuda itu kepadanya benar belaka?

Ceng Bi menarik napas dan tiba-tiba pikirannya tertunju kepada Lek Hui. Aneh. Bagaimana twa-suhengnya itu bisa tertangkap? Dan di manakah kakak seperguruannya itu bertemu dengan Cheng-gan Sian-jin? Melihat suhengnya itu pingsan dengan kaki tangan terikat, agaknya cukup menderita juga kakak seperguruannya itu. Tapi ternyata ia hanya bisa memandang saja tanpa dapat menolong. Ah, kenapa nasibnya demiki sial?

Dahulu kakak kandungnya yang tertangkap, dan sekarang dia sendiri yang merjadi korban. Lalu, dimana kini kakaknya itu? Aih, dia merasa menyesal sekali telah membawa-bawa Ceng Han dalam perjalanan yang demikian tidak menyenangkan ini. Bersalahkah dia? Atau ayahnya?

Tak terasa Ceng Bi menjadi basah matanya dan teringat akan kakak kaudungnya itu membuat gadis ini mengeluh. Gara-gara dialah semuanya itu terjadi, dan kini kakaknya ikut-ikutan menjadi korban. Tetapi, betulkah dia bersalah? Tidakkah ayahnya yang menjadi gara-gara tunggal dalam peristiwa ini? Kalau saja ayahnya itu tidak main paksa barangkali dia tentu juga masih berpikir-pikir untuk minggat dengan caranya yang seperti ini. Akan tetap' karena ayahnya telah memaksa dia dalam perjodohan maka semuanya itu-pun terjadilah.

Dan sekarang ia tertangkap. Celaka! Tidak seoraugpun yang tahu, kecuali tentu saja musuh-musuhnya itu. Lalu bagaimana kelak nasibnya? Tetap terkurung di situ sampai waktu yang tidak diketahu;? Ceng Bi menggigit bibir dan gadis ini tiba-tiba menangis. Sungguh, belum pernah ia merasa sakit hati seperti ini. Baru turun gunung saja tahu-tahu sudah dipecundangi lawan berkali-kali. Kalau begitu benarlah ucapan ayahnya dahulu bahwa sesungguhnya kepandaiannya masih kurang masak. Dunia kang-ouw penuh dengan orang-orang lihai, dan seperti inilah sekarang keadaannya!

Ceng Bi mengeluh dan karena maklum bahwa ia sudah benar-benar tidak berdaya lagi gadis itupun lalu memejamkan mata dan mulai bersemadhi. Hanya inilah cara satu-satunya untuk menenangkan hati, karena di samping mencoba menghimpun tenaga sakti juga sekaligus menenteramkan pikiran yang kacau. Karena itu, sepuluh menit kemudian Ceng Bi-pun sudah khusuk semadhinya dan berada seperti orang tidur. Keadaan sekeliling sudah tidak disadarinya lagi dan puteri Ciok-thouw Taihiap yang terkurung di ruangan gua itupun lelaplah.

* * * * * * * *

Ceng Han keluar hutan dengan pikiran kusut. Pencarian adiknya yang sudah berjalan satu minggu penuh itu temyata masih saja nihil hasilnya. Diam-diam ia merasa beran, akan tetapi juga cemas. Jejak Ceng Bi sama sekali lenyap tanpa diketahui arahnya. Dan hal ini membuat wajah yang putih tampan itu berkerut muram. Ke manakah larinya Ceng Bi?

Pertanyaan ini sudah berkali-kali menghantui pikirannya namun sebegitu jauh belum juga memperoleh jawaban yang memuaskan. Hutan di mana pertemuan mereka dengan Pendekar Gurun Neraka sudah jauh tertinggal di belakang. Dan dia sudah menyelusuri lembah dan sungai-sungai yang panjang berkelak-kelok, namun jejak adik satu-satunya itu ternyata sama sekali tidak diketahui rimbanya.

Ceng Han diam-diam mengerutkan alis, dan rasa mendongkolnya terhadap Pendekar Gurun Neraka meningkat. Kalau saja pendekar bernama besar itu tidak membuat gara-gara, tentu adiknya tidak bakal meninggalkan mereka sambil marah-marah. Tapi pendekar yang dikagumi adiknya itu ternyata manusia yang pantas tidak mendapat penghargaan. Aneh, bagaimana suhengnya bisa membantu bekas jenderal muda itu sampai demikian lama?

Putera pertama Pendekar Kepala Batu ini tak mampu menjawabnya. Hari ke delapan itu dia tiba di sebuah kota nelayan, dan dia tidak tahu sama sekali bahwa dia sedang memasuki kota Bun-ki, kota yang dulu pernah dimasuki Ceng Bi dalam pengejarannya terhadap Si Copet Seribu Jari Kam Sin!

Ceng Han datang secara kebetulan saja, karena memang arah yang dia tuju sesungguhuya sama dengan larinya Ceng Bi. Karena itu, tidak aneh kalau Ceng Han yang tiba di kola kacil nelayan terheran, pandangannya melihaat keramaian yang ganjil pada sore hari itu. Dia tidak tahu, bahwa sesungguhnya kota Bun-ki sedang berhari pasaran, persis seperti adiknya dahulu memasuki kota ini pada sore hari pula.

Dan Can Han yang terheran-beran dengan keramaian di pusat sungai ita terbelalak menyaksikan hilir-mudiknya perahu-perahu nelayan yang penuh ikan. Sejenak pemuda ini menghentikan langkaknya, dan dia tertegun. Sebuah perahu nelayan bercat hijau menarik perhatiannya. Bukan oleh perahunya yang indah, melainkan oleh juru mudinya yang cantik pesolek dengan bibir yang tersenyum-senyum genit.

Sengguh mati Ceng Han melenggong. Selama hidup, baru satu kali inilah dia melihat perahu "disopiri" seorang wanita. Malah, gadis lagi yang masih muda belia! Aih, apakah dunia sudah sedemikian aneh? Ceng Han terbelalak heran dan pemuda ini bengong dengan mata tidak berkedip. Putera Pendekar Kepala Batu ini sampai tidak sadar, betapa dia masih berdiri di persimpangan jalan antara tiga belokan.

Karena itu, ketika terdengar derap kaki kuda yang melaju ke tempat itu disusul teriakan empat penunggangnya yang melecut-lecutkan cambuk ke jalan persimpangan ini Ceng Han menjadi kaget sekali. Dia sedang tertegun ke arah sungai, dan pada saat yang cepat tahu-tahu empa ekor kuda itu telah tiba seperti terbang saja, Maka tidak heran kalau pemuda ini mencelos kaget dan baru saja meloncat minggir tahu-tahu kuda yang paling depan sendiri sudah menyerempet bajunya dengan derap yang mengejutkan. Tentu saja Ceng Han terperanjat, dan pada saat itu si penunggang kuda yang tinggi kurus melecutkan cambuknya sambil membentak kasar,

"He, kutu busuk sialan, kau tidak tahu tuanmu lewat, ya? Keparat, kau memang pantas dihajar kalau begitu, tarr...!"

Cambuk meledak dan telinga kanan Ceng Han disambar. Tentu saja pemuda ini mengelak, namun tiba-tiba pennggang nomor dua dan tiga ikut-ikutan melecutkan cambuknya pula. Mereka itu melihat Ceng Han mengelakkan sambaran pecut temannya yang paling depan, karena itu mereka lalu menyusulinya sambil tertawa bergelak.

"Ha, ha, kucing kecil, kau tidak mau menerima hukuman, ya? Bagus, coba hindarkan yang ini kalau begitu. "Tar-tarr...!" susul-menyusul mereka itu menggerakkan cambuk dan Ceng Han meugumpat marah.

Dua cambuk yang datang bersamaan itu ditangkisnya dengan kepretan empat jari tangan, dan semua serangan itupun luputlah. Bahkan penunggang nomor dua dan nomor tiga ini mengeluarkan seruan kaget karena tiba-tiba ujung pecut yang tadi menyambar lawan tahu-tahu kini membalik ke arah muka sendiri, Tentu saja mereka ini terkejut, dan tanpa ampun lagi ujung pecut meledak di pipi mereka.

"Tar-tarr!" dua cambuk itu menghantam tuannya dan dua orang itu berteriak kesakitan. Akan tetapi mereka tidak berhenti untuk membalas, melainkan mengeprak kuda sambil memaki-maki.

Dan pada saat itulah, sewaktu Ceng Han Han baru saja selesai menghajar balik penunggang nomor dua dan nomor tiga tahu-tahu penungggang kuda yang paling akhir tiba. Dia ini adalah seorang laki-laki bermuka kuning, matanya sipit dan bibir atasnya tertarik sedikit seperti orang tersenyum. Melihat tiga orang temannya menghajar seseorang pemuda tapi gagal, orang itu tiba-tiba memindahkan pecut ke tangan kiri dan merogoh sesuatu di kantong bajunya dengan tangan kanan. Dan begitu dia lewat di depan Ceng Han, laki-laki ini menjetarkan pecutnya di muka Ceng Han sambil tertawa mengejek.

"Aha, anak muda, kiranya kau bukan sebangsa kutu busuk biasa, ya? Wah, aku jadi ingin berkenalan, nih! Lihat, cambukku ingin mencium hidungmu, hati-hati..... tarr!"

Pecut meledak dan hidung Ceng Han benar-benar disambar. Tentu saja pemuda ini naik darah dan begitu ujung cambuk mendekati hidungnya Ceng Han-pun lalu menggerakkan tangan menangkap pecut itu. Dia tidak menangkis dengan kepretan jarinya seperti tadi, melainkan sekaligus menarik agar orang terjungkal roboh.

Tapi tiba-tiba laki-laki ini sudah tertawa nyaring, dan begitu ujung pecutnya hampir ditangkap Ceng Han mendadak dia melakukan gerak sendal pancing. Hal ini mengakibatkan cambuknya membalik, dan begitu Ceng Han luput menyambar pecutnya, laki-laki ini sudah menggerakkan tangan kanannya melempar amgi (senjata gelap), berupa empat batang pisau yang menyamambar tubuh Ceng Han mulai dari kepala sampai ke kaki!

Tentu saja Ceng Han terkejut, dan secepat itu pula pemuda ini sudah berteriak keras sambil membanting tubuh. Empat batang pisau bercuitan di samping tubuhnya, dan ketika dia melompat bangun, ternyata empat senjata gelap ini berjajar rapi di atas tanah tinggal gagangnya saja!

"Keparat..!" Ceng Han mendesis geram namun laki-laki muka kuning itu telah meninggalkan dirinya sambil terkekeh nyaring di atas punggung kudanya yang kabur memasuki kota Bun-ki.

Ceng Han mengepal tinju, dan wajahnya merah membara. Perbuatan empat orang penunggang kuda itu betul-betul membangkitkan kemarahannya, karena itu dia hendak mengejar untuk memberikan hajaran. Tapi Baru saja dia mau angkat kaki, mendadak seorang pemuda berbaju biru berkelebat di sampingnya.

"Saudara yang gagah, jangan mengejar mereka. Kota Bun-ki saat ini sedang penuh dengan kawan-kawan empat penunggang kuda ita maka harap jangan sembrono..!" seruan ini mengejutkan Ceng Han dan ketika dia menoleh, tahu-tahu seorang pemuda tampan telah menjura di depannya.

Ceng Han terkejut, dan sejenak dia tertegun. "Kau, siapakah?"

Pemuda itu tersenyum ramah, "Aku termasuk golonganmu, saudara yang gagah, karena itu aku mencoba mencegahmu untuk mengejar orang-orang itu di dalam kota dan membuat keributan di sana. Perkenalkan, aku yang bodoh bernama Li dan sekarang ini baru berumur duapuluh dua tahun, Siapakah saudara?"

Ceng Han agak gelagapan. Pemuda yang baru datang ini tampaknya orang jujur, cerdik tapi juga berhati-hati. Buktinya meskipun sudah memberi tahu nama namun menyembunyikan she (marga). Hem, kebetulan kalau begitu. Diapun juga tidak mau sembarangan memperkenalkan nama di depan orang lain, apalagi memberitahukan bahwa dia adalah putera seorang tokoh besar di Pegunungan Beng-san. Kalau orang itu cukup memberitahukan namanya tanpa she, bukankah dia juga bisa melakukan hal yang serupa?

Karena itu Ceng-Han lalu tersenyum. "Li-twako, kau agaknya orang yang suka bicara tanpa sembanyi-sembunyi. Karena kau sudah memberi tahu nama terlebih dahulu, mana bisa aku menyembunyikan diri? Aku bemama Han, umur duapuluh tahun lebih sedikit. Tidak tahu, apakah Li-twako ada maksud-maksud lain di samping pencegahan itu?"

Pemuda ini tersenyum kecil!. "Han-te (adik Han), aku tidak ada maksud-maksud lain kecuali kagum terhadap kepandaianmu tadi. Terus terang, lemparan pisau yang dilontarkan oleh perguruan Pisau Kilat biasanya jarang ada yang luput. Maka bagaimana aku tidak menaruh kagum atas keberhasilanmu tadi?"

"Pisau Kilat?" Ceng Han terkejut.

"Ya..." pemuda itu menganggukkan kepalanya, "Apakah Han-te tidak tahu?"

"Ah, sama sekali tidak!" Ceng Han berubah air mukanya. "Kalau begitu, apakah si muka kuning tadi adalah Si Pisau Kilat?"

Tapi pemuda ini tertawa. "Tidak, Han-te. Dia hanya muridnya."

"Aah...." Ceng Han mengeluarkan seruan pendek dan dia terbelalak memandang pemuda baju biru itu. "Li-twako, kau.., bagaimana bisa tahu bahwa musuhku tadi adalah mumd Si Pisau Kilat?"

Pemuda ini menarik napas berat. "Hem, aku sudah lama mengikutinya, Han-te. Maka aku-pun tahu segala gerak-geriknya. Eh, maaf, bukankah Han-te ada keperluan penting memasuki kota ini?" pemuda itu tiba-tiba menyimpangkan pembicaraan.

Dan Ceng Han terkejut. Sejenak dia tidak menjawab, namun akhir-nya mengangguk juga "Tidak salah, Li-twako, dan twako sendiri, bukankah juga ada maksud tertentu memasuki kota ini?"

Pemuda itu tertawa. "Agaknya begitulah, Han-te, dan rupanya kita memiliki banvak persamaan. Tidak tahu, siapakah yang Han-te cari itu? Seseorang ataukah suatu benda?"

Ceng Han tersenyum hati-hati. "Seseorang, Li-twako. Dan twako sendiri, manusia ataukah benda yang dicari?"

"Kedua-duanya, saudara Han. Tapi yang pertama itu barangkali yang lebil sulit dicariaya," pemuda ini tertawa kecil. "Dan kalau boleh aku bertanya lebih lanjut, llaki-laki ataukah wanita, yang Han-te cari itu?"

Ceng Han agak ragu-ragu. "Seorang wanita, Li-twako, seorang gadis!"

"Wah, pacar sendiri?"

Ceng Han merah mukanya. "Bukan, tapi adikku sendiri, Li-twako."

"Ooh...." pemuda itu tersenyum lebar. "Kalau begitu, apakah dia itu yang kau cari, Han-te?" Dia menudingkan telunjuk ke tengah sungai dan Ceng Han cepat mengikuti.

Akan tetapi begitu Ceng Han menengok, kontan pemuda ini tersipu-sipu malu. Kiranya, yang dituding oleh pemuda baju biru itu bukan lain adalah si gadis cantik di perahu hijau yang tersenyum-senyum genit ke arahnya! "Ah, bukan bukan dia, Li-twako!" Ceng Han cepat-cepat menjawab gugup sementara temannya itu tertawa kecii.

"Kalau begitu, kenapa ia selalu memandangmu tadi, Han- te?" pemuda itu menggoda. "Dan kulihat ia tampaknya terkesan oleh perbuatanmu tadi."

Ceng Han berdegun jantungnya. "Entahlah, twako, tapi yang jelas aku sama sekali tidak mengenalnya...." demikian dia menutupi rasa jengahnya namun tiba-tiba dari tengah sungai terdengar suara "trek" yang nyaring lembut. Ceng Han terkejut dan pemuda baju biru itupun menoleh.

Kiranya, gadis di atas perahu yang baru saja mereka bicarakan itu menjentrekkan dua jari tangannya. Dan begitu dua orang pemuda in menengok tiba-tiba gadis itu tertawa sambil melambaikan tangannya, "kongcu (tuan muda berdua), apakah hendak menyewa perahuku kok memandang-mandang ke sini? Aih, turunlah ke mari kalau begitu. Aku sanggup mengantarkan kalian ke manapun juga. Lihat, aku cukup kuat mendayung perahu melawan arus..!"

Dan baru saja ucapannya selesai gadis itu-pun tiba-tiba memukulkan dayung ke permukaan air dan melaju ke tempat mereka. Ceng Han menjadi gugup, tapi pemuda baju biru itu berseri mukanya.

"Wah, dia tampaknya seorang pendayung istimewa, Han-te. Lihat, pukulan dayungnya sama sekali tidak memercikkan banyak air namun lajunya perahu itu pesat bukan main. Wah, hebat gadis itu... lihat, kecekatannya mengagumkan sekali....!" pemuda itu berteriak heran ketika dalam dua tiga kali gerakan saja perahu itu tahu-tahu telah mendekat ke arah, mereka!

Tentu saja Ceng Han juga ikut tercengang, dan gadis di atas perahu hijau itu kini tampak lebih jelas lagi mukanya. Ternyata ia memang cantik bukan main, dan mata yang berseri-seri hidup itu seperti bintang timur yang lagi gembira.

"Ji-wi kongcu, mau minta diantar ke mana?" demikian gadis itu berseru nyaring di atas pera-hunya dan sekali lompat ia telah berdiri dengan dayung menyangga tubuh. Dan begitu berdiri, tampaklah tubuhnya yang tinggi semampai meliuk indah dengan goyangan memikat.

Ceng Han terbelalak, dan pemuda baju biru itupun juga tertegun. Sebenarnya, mereka berdua tidak ada niat untuk menyewa perahu. Hanya karena gadis di atas perahu selalu memandang ke arah Ceng Han itulah ia lalu menjadi bahan pembicaraan. Tidak tahunya, gadis cantik di atas perahu ini telah mendekati mereka karena menyangka hendak disewa perahunya. Siapa bersalah?

Pemuda baju biru itu tiba-tiba memutar tubuhnya. "Han-te, apakah kau berniat menyewa perahunya?"

Ceng Han menjadi gugup. "Li-twako, ini... ini… aku tidak tahu bagaimana menjawabnya. Bagaimana aku harus bilang. Dan lagi…" Ceng Han merah mukanya. "... aku tidak membawa banyak bekal…"

Kalimat terakhir itu diucapkannya lirih tapi tiba-tiba suara yang serak parau meluncur dari dalam perahu, "Anak-anak muda, tidak membawa bekal mengapa berani keluar rumah? Kalau diri sendiri tahu masih bodoh lebih baik, lekas lompat saja ke perahu lohu. Jangan khawatir, untuk yang tong-pes kantongnya lohu tidak akan memungut bayaran! Hayo cepat ke mari, kenapa saling pandang? Cepat, sebelum empat kuda binal tadi datang meluruk kailan....!"

Dan begitu ucapannya selesai perahu di atas air itu tiba-tiba bergoyang-goyang. Pemuda baju biru dan Ceng Han terkejut, tapi mereka juga sekaligus menjadi tegang. Ceng Han terkejut karena tidak menyangka bahwa kata-katanya yang lirih dapat didengar orang di atas perahu yang bergubug rendah itu, sedangkan temannya terkejut karena tanpa sebab perahu di atas air yang mengalir tenang itu mendadak saja bergoyang-goyang seperti didorong-dorong tangan tak tampak.

Keduanya memandang ke arah perahu dengan mata terbelalak, dan si gadis cantik yang tidak mendapat sambutan calon penumpangnya ini tiba-tiba menghantamkan tumitnya ke lantai perahu.

"Ji-wi kongcu, ayah sudah memanggil kalian kenapa masih melenggong saja di situ? Ayo cepat naiklah, kalau tidak si gadis baju merah dan si pendekar naga yang kalian cari-cari itu, bakal kabur ke tempat lain! Atau, kalian memang mau pamer otot duluan di tempat...?"

Gadis itu memandang marah dan Ceng Han serta sahabat barunya terkejut. Ucapan yang seperti perintah gila-gilaan itu meragukan mereka berdua, tapi ucapan tentang si gadis "baju merah" dan "si pendekar naga" segala itu membuat keduanya tertegun kaget...


Pendekar Kepala Batu Jilid 11

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 11
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Pendekar Kepala Batu Karya Batara
"HEEMM..., percaya orang yang terang-terangan telah menipuku, Ok-siauw-jin (manusia rendah she Ok?) Percaya terhadap apa saja yang kau katakan dan untuk akhirnya harus mengalami hinaan?" Ceng Bi menyemprot ganas sementara pemuda itu tiba-tiba tertawa getir.

"Nona Souw, barangkali aku memang sudah tidak mendapat lagi kepercayaan darimu, akan tetapi itu memang sudah resikoku. Aih, kelau begini lalu apa yang hendak kubicarakan? Dan... eh, kenapa buburmu tidak dimakan, nona? Menjadi dingin nanti....!" pemuda itu tampak terkejut dan Ceng Bi tertawa dingin.

"Orang she Ok, jangan berpura-pura. Kau telah menotokku sedemikian rupa; bagaimana bisa menikmati hidangan? Untuk manggerakkan jari saja tidak dapat!" Ceng Bi memandang pemuda itu dengan senyum mengejek dan si pemuda baju kuning tertegun.

"Aha…" pemuda itu berseru. "Bagaimana aku bisa melupakan ini? Aih, maaf, nona Souw... maaf….!" pemuda itu cepat-cepat membungkukkan tubuh dan sekali tangannya bergerak maka jalan darah di pangkal lengan Ceng Bi dibukanya.

Ceng Bi menyeringai, dan diam-diam gadis ini mengumpat. Sekarang dia memang bisa menyentuh hidangan itu, akan tetapi tenaga sinkang yang merupakan inti kekuatannya tetap saja tidak dapat digerakkan. Karena itu, mendongkolnya kepada pemuda ini benar-benar semakin naik ke puncaknya. Dia tidak segera menyentuh bubur ayam yang masih mengepulkan uap harum itu, dan si pemuda baju kuning memandangnya heran.

"Nona Souw, totokanmu telah kubebaskan. Mengapa tidak segera dimakan?" pemuda itu Bertanya lembut namun Ceng Bi tidak menggubrisnya.

"Orang she Ok, aku tidak butuh makananmu, melainkan butuh keteranganmu! Untuk apa kau sekap aku di sini?" Ceng Bi membentak marah.

Tapi pemuda itu tetap memandangnya lembut. "Nona Souw, makanlah dahulu. Nanti kita bicarakan lagi dalam suasana yang lebih enak."

"Aku tidak dapat" Ceng Bi melotot. Akan tetapi, baru saja ucapannya ini selesai tiba-tiba tanpa disadarinya perutnya berkeruyuk. Tentu saja Ceng Bi mejadi malu dan gusar, sementara pemuda baju kuning itu menahan ketawa dengan mulut ditutup. Rupanya, keharuman babur ayam yang amat lezat itu tidak dapat dikendalikan perut Ceng Bi, dan baru saja mulut bicara tidak lapar tahu-tahu isi perut menodongkan kebohongannya! Karuan Ceng Bi malu bukan main dan saking marahnya bubur ayam itu tiba-tiba di sambarnya. Tapi, bukan untuk disantap melainkan dilemparkan ke muka si pemuda baju kuning yang sama sekali tidak menduga.

"Wuut... pyar!" mangkok bubur ayam itu tepat mengenai sasarannya dan pemuda baju kuning berseru kaget. Seketika bubur ayam di dalann mangkok muncrat-muncrat berhamburan dan kuah serta daging ayamnya memenuhi seluruh mukanya. Kuah mengalir dari hidung ke pipi dan muka pemuda itu sementara buburnya sendiri mengoteri rambut dan pakaiannya!

Pemuda ini menjadi basah kuyup, dan Ceng Bi melihat itu hampir saja tak dapat menahan gelinya. Gadis ini memang mudah marah dan mudah gembira, maka melihat sesuatu yang lucu cepat sekali menggelitik perasaannya. Akan tetapi Ceng Bi mampu menahan diri dan gadis yang sudah bersiap-siap untuk menerima kemarahan lawannya itu tiba-tiba saja tertegun.

Pemuda baju kuning ini ternyata tidak bangkit kemarahannya oleh perbuatannya yang kurang ajar itu, melainkan memandang ke arahnya dengan sinar mata sayu. "Nona Souw, makanan mengandung obat bagaimana dibuang begitu saja? Aih, kau tidak tahu betapa susah payah aku..." pemuda ini mengambil saputangannya dari baju dalam dan dengan tenang namun hati-hati dia membersihkan muka dan pakaiannya dari kuah bubur ayam.

"Kau,..." Ceng Bi terbelalak beran.

"Ada apa, nona?" pemuda itu memandangnya muram.

"Tidak marah oleh lemparan kuahku?" Ceng Bi ganti berseru bengong dan pemuda itu tiba-tiba malah tertawa pahit.

"Nona Souw, kalau dihitung-hitung kaulah yang lebih banyak menderita dibanding aku. Untuk apa aku harus marah-marah oleh sedikit pembalasanmu ini? Hanya yang kusayangkan` bubur mengandung obat kenapa dibuang mentah-mentah."

"Mengandung obat?"

"Ya!"

"Akan tetapi, aku tidak sakit…!" Ceng Bi terbelalak.

"Hm..." pemuda itu menarik napas pendek. "Sakit dalam arti kata sebenarnya sih memang belum kau rasakan, nona, karena sebelumnya aku telah memberimu obat penawar. Barangkali saja kau masih ingat ketika mula pertama kita memasuki lubang gua di atas pohon itu dan membunuh Hui-ang-coa?"

Ceng Bi mengangguk.

"Nah, bukankah pada waktu itu nona menyedot uap semburan ular ini? Akan tetapi karena racun itu tidak bekerja secara langsung maka nona tidak merasakannya. Uap berbisa yang nona sedot bekerjanya lambat, kecuali gigitan langsung Hui-ang-coa yang amat berbabaya. Dan racun dari uap itu baru bereaksi cepat apabila orang yang bersangkutan merasa terkejut atau terpukul sesuatu yang membuatnya kaget, dan reaksi pertamanya adalah rasa kelumpuhan pada kaki, baru kemudian pada bagian-bagian tubuh yang lain. Apakah nona tidak merasakan sendiri hal itu?"

Ceng Bi terkejut. Keterangan singkat dari pemuda itu persis sekali seperti apa yang di alaminya. Pantas ketika ia hendak meloncat ke bawah sungai tiba-tiba saja kedua kakinya tidak dapat digerakkan. Kiranya akibat racun ular yang tidak disadarinya! Ceng Bi membelalakkan matanya dan sekarang dia mulai percaya keterangan lawannya itu. Akan tetapi, inipun masih terbatas dalam persoalan racun Ular Merah Terbang. Maka dia memandang pemuda itu yang dibalas oleh lawannya dengan tatapan lembut dan halus yang membuat muka Ceng Bi merah.

"Bagaimana, nona? Apakah keteranganku tidak cocok?" pemuda ini mengulang pertanyaannya dan Ceng Bi terpaksa mengangguk.

"Ui-i siauw-kwi, kau benar. Aku memang merasakan semua seperti yang telah kau bicarakan tadi. Akan tetapi, aku kini merasa sehat, untuk apa segala macam obat lagi?" "Ah, nona tidak tahu...!" pemuda itu mulai berseri mukanya. "Racun Hui-ang-coa cukup ganas. Meskipun kita hanya mencium uap semburannya saja akan tetapi kalau kita tidak menyadarinya maka dalam dua hari saja tubuh kita bisa membusuk. Kelumpuhan yang terjadi akan disusul oleh rasa nyeri dan sakit luar biasa yang amat menyengat, dan setelah itu tubuh kita akan melepuh dalam beberapa jam saja untuk akhirnya mengeluarkan nanah yang berulat! Nah tidakkah ini bakal memberikan siksaan yang mengerikan sekali? Dan untuk melenyapkan sisa-sisa racun itulah orang yang terkena harus diberi obat mujarab, di samping dia harus beristirahat dan tidak boleh marah marah."

Keterangan lebih jauh ini membuat Ceng Bi pucat mukanya, akan tetapi gadis itu masih kurang percaya. Memang, penjelasan lawannya tadi mau tak mau mennimbulkan rasa ngeri juga, namun karena dia memang tidak merasakan sesuatu yang luar biasa di dalam dirinya maka Ceng Bi malah berpikir bahwa pemuda itu agaknya terlalu melebih-lebihkan. Apalagi dengan menambahkan tidak boleh marah segala!

Karena itu, untuk kalimat yang terakhir ini Ceng Bi menanggapinya dengan sinis. Bankan, teringat betapa kata-kata pernuda yang selalu bersikap manis kepada dirinya itu ternyata tidak dapat dipercaya sama sekali sehingga ia sampai terjebak, Ceng Bi malah tertawa mengejek.

"Ui-i siauw-kwi, barangkali saja semua keteranganmu tentang racun Hui-ang-coa itu benar, akan tetapi sekarang apa keteranganmu tentang penangkapan diriku ini? Apakah juga akan diuraikan seperti kau menguraikan racun ular itu?"

Pemuda ini tersenyum. "Nona Souw, sudah kukatakan tadi bahwa untuk membicarakan soal yang satu ini kau harus makan dulu. Perutmu lapar, karena sehari semalam kau pingsan, Mana bisa enak omong-omong dengan orang yang belum terisi perutnya begini? Ah, baiklah... biar kuambilkan dulu bubur ayamnya yang baru, nanti setelah itu kita bicara lagi...." pemuda ini tiba-tiba memutar tubuh dan rneninggalkan Ceng Bi, membuka pintu batu dan keluar tanpa menanti gadis itu mau atau tidak mau.

Ceng Bi terbelalak dengan mata bersinar, sementara gadis ini mulai berpikir-pikir sikap apakah yang akan diambilnya apabila pemuda itu kembali. Namun, belum juga ia memperoleh jawaban tiba-tiba pemuda baju kuning itu sudah muncul sambil membawa sebuah penampan yang mengepulkan uap bubur ayam yang lebih harum!

"Nona Souw, hayo nikmati hidangan ini. Lihat, paha ayamnya kuambilkan yang lebih besar. Makan, ya,? Tapi awas, jangan dibuang lagi....!" pemuda itu berseru gembira dan setelah menutup pintu batu diapun melangkah lebar menghampiri Ceng Bi dan meletakkan makanan itu di depan kaki gadis ini.

Ceng Bi memandang sejenak, tapi gadis itu memasang muka gelap. "Ui-i-siauw-kwi, apakah aku kau suruh makan ditunggui begini, macam anak kecil?" gadis itu berkata tidak puas dan si pemuda baju kuning tertegun.

"Ah, jadi apakah aku harus pergi, nona?"

"Tentu saja!" Ceng Bi melotot. Memangnya kau mau menonton orang yang kelaparan?"

Pemuda baju kuning itu tersenyum lebar, hampir geli, namun tidak berani dilakukannya karena dia tahu tentu gadis ini bakal marah saja yang tidak menguntungkannya. Karena itu, dia lalu mengangguk dengan wajah berseri dan berkata, "Baiklah, nona Souw, aku keluar sesuai permintaanmu. Akan tetapi, bagaimana kalau kau tidak memakannya?"

Ceng Bi mengangkat muka. "Ui-i-siauw-kwi, kenapa sih kalau aku membuang buburmu ini?"

"Ah, jangan, nona…..!" pemuda itu terkejut. "Obat yang kumasukkan dalam makananmu ini tidak banyak lagi. Bagaimana harus mencarinya? Kalau hanya sekedar bubur saja aku tidak keberatan. Akan tetapi obat untukmu itu! Aih, mana boleh disia-siakan?"

Ceng Bi tertawa dingin. "Orang she Ok, Biarpun aku lapar namun aku bukanlah orang doyan gegares. Memangnya kau bisa main rutin?" gadis ini tiba-tiba menyambar mangkok masakan itu dan melemparkannya ke dinding gua.

Si pemuda baju kuning berseru kaget, akan tetapi pemuda ini rupanya cukup waspada karena begitu dia melihat tangan Ceng Bi bergerak, tahu tahu pemuda ini sudah menggerakkan dua jarinya menotok lengan Ceng Bi. Bebur yang sudah disentuh tiba-tiba terlepas dan Ceng Bi mengeluh kaget. Gadis ini tidak dapat melampiaskan maksudnya, dan mangkok itu jatuh lagi di atas penampan!

"Nona Souw... pemuda ini berteriak gemas.

Tapi Ceng Bi sudah mendelik ke arahnya sambil berseru gusar, "Orang she Ok, kau memangnya hanya bisa menghina gadis-gadis muda, ya? Kau hanya bisa mengganggu orang yang sudah tidak berdaya, ya? Aih, bagus... sungguh kau jahanam yang tidak tahu malu!"

Ceng Bi berteriak kalap, tapi pemuda baju kuning itu tidak menghiraukan segala makian ini.

"Nona Souw, kau terlalu sekali!" pemuda ini malah setengah membentak. "Bagaimana mau main buang obat yang mahal? Sekali kau terlambat, sisa racun itu akan bekerja kembali di tubuhmu. Kenapa keras kepala?"

Namun Ceng Bi malah semakin sengit. "Jahanam she Ok, memangnya kalau aku mampus itu bukan gara-garamu, ya? Kalau aku mati, itu bukan karena perbuatanmu yang hina, ya? Aih, kalau saja aku bebas, tentu kepalamu itu akan kutelan bulat-bulat!" Ceng Bi hampir saja tidak dapat bicara saking sesaknya nafas, dan gadis itu memandang lawannya dengan bola mata yang penuh api.

Pemuda baju kuning ini merah mukanya, dan baru sekarang Ceng Bi mehhat pemuda itu bangkit kemarahannya. "Nona Souw, satu, saja pertanyaanku sekarang ini. Maukah kau makan atau tidak makanan itu demi kesehatanmu seadiri?" pemuda ini membentak berang.

Tapi Ceng Bi menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Aku tidak sudi...!" gadis itu balas membentak.

"Hmm, kalau demikian aku harus mendulangmu, nona!" pemuda itu tiba-tiba membungkukkan tubuhnya dan mangkok bubur ayam dipegangnya.

Ceng Bi terbelalak, dan kemarahan mendengar kata-kata lawannya ini benar-benar sampai ke puncaknya. Tetapi, belum sempat dia berontak sekonyong-konyong Ceng Bi menjerit ngeri. Perasaan tertikam yang amat sangat menusuk perutnya, dan Ceng Bi kaget bukan main.

"Auhh…!" Ceng Bi menggeliat dan gedis ini tiba-tiba menjadi pucat mukanya. Tusukan yang amat menyakitkan di dalam perutnya itu demikian hebat, sampai Ceng Bi tiba-tiba menyeringai. Gadis yang tadi tidak merasakan apa-apa dalam tubuhnya ini mendadak mengalami suatu penderitaan yang bukan kepalang hebatnya dan Ceng Bi melotot. Peluh yang sebesar jagung tiba-tiba keluar dari pori-pori kulitnya dan ketika rasaan nyeri dan sakit yang amat luar bias itu mencapai puncaknya, Ceng Bi sudah tidak dapat menahan diri lagi. Gadis ini mengerang kejang, dan sebelum ia memaki-maki si pemuda baju kuning yang diingatnya pada saat terakhir itu Ceng Bi pun sudah roboh pingsan tak sadarkan dirinya lagi.

"Celaka...! Gadis keras kepala…!" pemuda baju kuning berseru terkejut dan melihat Ceng Bi semaput untuk yang kedua kalinya itu pemuda ini sudah cepat menggerakkan jarinya menotok sana sini dengan muka penuh kecemasan. Sisa racun ternyata benar-benar bekerja, dan dia maklum apa penyebabnya yang demikian cepat itu. Bukan lain karena marah-marahnya gadis itu sendiri!

Maka pemuda ini menggerundel tidak karuan dan setelah tujuh totokan selesai dilakukannya di tubuh gadis itu, dia lalu menyandarkan Ceng Bi di dinding gua. Kemudian, tanpa banyak cakap lagi pemuda baju kuning inipun menyambar bubur ayam dan menyuapi Ceng Bi! Jadilah sekarang gadis itu didulang seperti anak kecil dan muka Ceng Bi yang pucat, kini perlahan-lahan pulih kembali seperti sediakala. Apalagi setelah pemuda itu menggigiti paha ayam yang dikeratnya kecil-kecil dan dimasukkan ke mulut Ceng Bi.

Tidak sampai sepuluh menitpun Ceng Bi siuman. Bubur sudah habis, dan Ceng Bi membuka matanya. Perasaan nyeri yang tadi menikam perutnya, ternyata kini sudah lenyap dan ketika benda pertama yang dipandang adalah sepasang mata si pemuda baju kuning yang lembut berseri-seri, Ceng Bi terbelalak kaget.

"Kau...?" gadis itu bangkit duduk dan kendak memaki, namun lawannya ini mendahului sambil merapatkan telunjuk di depan mulut.

"Sstt, nona Souw, jangan marah-marah lagi, lihat tuh, sisa racun ular hampir saja merenggut jiwamu. Mengapa tidak dapat mengendalikan diri? Kalau kau mau marah-marah bolehlah, tapi tunggu sampai kesehatanmu pulih…!" pemuda itu membujuk halus dan Ceng Bi menghentikan makiannya.

Gadis ini memandang sekitar, dan tiba-tiba menghentikan pandangannya di atas mangkok yang sudah kosong. Ui-i-siauw-kwi…"

"Ya...?"

"Kau... menyuapi aku sampai habis?"

"Ah, maaf, nona...." pemuda itu tersipu. "Keadaanmu yang gawat tadi membuat aku terpaksa melancangkan diri. Kalau nona sejak tadi sudah merghabiskannya bukankah tidak akan menderita? Aku terpaksa oleh sikapmu sendiri, nona dan kalau itu kau anggap kurang ajar aku tidak akan menolaknya."

"Hmm..."

"Kenapa, nona?"

Ceng Bi membalikkan tubuhnya. "Ui-i-siauw-kwi..."

"Ya..?"

"Tahukah kau betapa sakit hatiku oleh semua tingkahmu ini? Aku amat benci sekali padamu Ui-i-siauw-kwi, dan barangkali kalau aku lepas kau merupakan orang yang paling sial bertemu denganku!" Ceng Bi mengetrukkan gigi dan pemuda baju kuning itu menghela napas.

"Nona Souw, sudah menjadi keputusan tetap di hatiku bahwa kelak, jika aku selesai dalam melaksanakan tugas terakhir dalam hidupku ini aku siap mererima hukumanmu terhadap diriku. Aku tahu nona, betapa kau amat sakit hati sekali oleh sikapku ini. Akan tetapi, ahh…, apa mau dikata? Aku tidak bermaksud buruk kepadamu, nona.... tidak bermakaud untuk menyakiti hatimu. Sungguh mati! Bahkan aku benci harus memperlakukanmu seperti ini, benci musuh besarku itu yang membuat perbedaan sikap di antara kita ini, demi Tuhan...!"

Pemuda itu mengepalkan tinju-dan Ceng Bi membelalakkan matanya. Gadis ini melihat adanya suatu kesungguhan yang memancar di wajah pemuda itu dan Ceng Bi terkejut.

"Ui.i–siauw-kwi..., apa maksudmu?"

Pemuda itu mengangkat mukanya. "Nona. Souw..." kini suaranya terdengar gemetar. "Apalah kau tidak merasa adanya suatu keanehan di antara kita? Tidak merasa adanya satu persamaan di antara kita?"

Cent Bi tertegun. "Persamaan macam apa Ui-i-siauw-kwi?" gadis itu bertanya heran.

"Persamaan tentang sakit hati ini." permuda itu menjawab dengan suara setengah berteriak dan Ceng Bi terkejut

. "Apa...? Persamaan tentang sakit hati?"

"Ya, nona Souw. Begitulah!"

"Ahh...!" Ceng Bi tidak mengerti maksud ucapan orang dan gadis itu terbengong.

Pemuda baju kuning tiba-tiba bangkit berdiri dan Ceng Bi melihat adanya suatu sinar menyeramkan yang amat keras pada sepasang mata pemuda itu, "Nona Souw..." pemuda ini mengepalkan tinju. Bukankan kau merasa sakit hati mendengar Pendekar Gurun Neraka?"

Pertanyaan mendadak yang menyimpang dari pokok persoalan itu benar-benar membuat Ceng Bi terkejut. Sejenak gadis ini tidak mampu membuka suara, namun akhirnya terlontar juga kaget dari mulutnya, Ui-i-siauw-kwi, ini... apa... apa maksudmu...?" gadis itu tergagap tapi si pemuda baju kuning tertawa getir.

"Nona Souw, peristiwa di tempat dua orang kakek kembar itu aku cukup tahu, karena itu tidak perlu kiranya kujelaskan satu-persatu di sini untuk membuktikanya. Akan tetapi, dugaanku yang satu tadi tentang sakit hati nona terhadap Pendekar Gurun Neraka bukankah tidak meleset?"

Ceng Bi tidak dapat menjawab segera dan gadis ini berdetak jantungnya. Diingatkan kembali kepada bekas jenderal muda yang gagah dan tampan itu memang benar-benar membuat jantungnya terguncang, karena itu tidak heran jika Ceng Bi tiba-tiba merasa kering tenggorokannya. "Ui-i-siauw-kwi, ini… ini… aku tidak tahu...!" Ceng Bi akhimya menjawab terbata-bata dengan muka merah sementara pemuda baju kuning itu memandangnya tajam.

"Nona Souw, kenyataan telah membuktikan di depan mata. Bagaimana kau bilang tidak tahu?" pemuda ini memperingatkan dengan nada tidak puas dan Ceng Bi kini telah dapat menekan debaran hatinya.

Gadis itu menatap si pemuda baju kuning, dan suaranya yang hambar dan agak dingin membalas suara orang, "Ui-i-siauw-kwi, kau tiba-tiba menyentuh urusan pribadi orang lain ada maksud apakah? Kenapa kalau aku betul menyimpan sakit hati kepada orang itu? Mau kau jadikan sekutu?" gadis ini tersenyun mengejek tapi lawannya itu tampak menggelengkan kepala.

"Tidak, nona Souw….. tidak perlu. Aku merencanakannya demikian."

"Hmm, kalau begitu apa kehendakmu?"

Pemuda baju kuning ini terdiam sejenak. "Nona Souw..." dia berkata sedikit tapi tiba-tiba berhenti lagi.

Ceng Bi menunggu, namun melihat orang diam saja akhirnya dia bertanya, "Ui-i-siauw-kwi, kau mau bicara apakah?" gadis ini tampak tidak sabar.

Pemuda baju kuning itu menengadahkan kepalanya dan tiba-tiba balik bertanya kepada Ceng Bi, "Nona, kalau seandainya aku minta pendapatmu tentang orang itu, apakah yang akan kau katakan tentang dirinya?"

Ceng Bi seperti ditiup api kemarahannya. "Dia manusia bejat moral yang tidak pantas disebut pendekar!" gadis ini berkata sengit dan pemuda baju kuning itu tiba-tiba bertepuk tangan.

"Ha-ha, bagus.... sama dengan pendapatku!" pemuda itu berseru dengan muka gembira namun Ceng Bi mendengus ke arahnya.

"Ui-i-siauw-kwi, jangan bergirang dulu, aku masih belum menambahinya karena selain bejat moral diapun juga tidak tahu malu, persis seperti dirimu!"

"Hah….?!" pemuda baju kuning menghentikan tawanya dan dia memandang Ceng Bi dengan muka berubah.

Akan tetapi Ceng Bi tidak main-main, karena gadis itu malah menjebirkan bibirnya. "Kenapa, Ui-i-siauw-kwi? Salahkah kalau kukatakan dia orang tidak tahu malu seperti dirimu? Engkau juga tidak tahu malu, karena pekerjaannya hanya menipu wanita dan gadis-gadis muda."

"Ah, akan tetapi selama hidup aku baru pertama menipu wanita, nona. Tidak selamanya!"

"Cih, kau mengaku, ya? Tapi siapa bisa percaya omonganmu?" Ceng Bi mengejek.

"Hmm...." pemuda itu merah mukanya dan dia tampaknya mendongkol. "Nona Souw, terus terang saja aku bicara dengan jujur. Tapi kalau kau tidak percaya, terserahlah... itu memang hakmu. Sekarang, kita kembali pada pokok persoalan kita sendiri. Mengapa aku sampai mengajakmu ke sini..."

"Ah, bukan diajak, Ui-i-siauw-kwi, tapi ditipu!" Ceng Bi mengejek lagi dan pemuda itu tertawa pahit.

"Baiklah, nona Souw, boleh kau katakan apa saja tentang kata-kata itu akan tetapi yang jelas, aku sama sekali tidak bermaksud buruk kepadamu. Aku bermaksud baik."

"Ha, saking baiknya sampai perlu memperlakukan orang seperti tawanan, bukan, Ui-i-siauw-kwi?" Ceng Bi menyindir.

Namun pemuda itu tidak marah. "Nona salah paham, yang ada di pikiranmu itu aku dapat menerimanya, tidak aneh. Akan tetapi secara sungguh-sunguh saja kukatakan di sini bahwa semua yang kulakukan ini hanya demi keselamatanmu belaka…"

"Aduh, terima kasih, in-kong (tuan penolong)!" Ceng Bi tersenyum sinis.

Tapi pemuda itu tidak menghiraukan ejekannya. "Nona Souw, mari kita bersikap serius. Dan kita mulai sejak dari sini..." dia berhenti sebentar lalu melanjutkan, "Nona, tahukah kau akan adanya suhu yang meningkat di kalangan kaum persilatan?"

Ceng Bi memandang dingin. "Orang she-Ok, dari dulu sampai sekarang dunia kang-ouw selalu hangat-hangat tahi ayam, mengapa harus bertanya tentang adanya suasana yang meningkat segala?"

"Ah, tapi yang sekarang ini benar-benar luar biasa, nona. Menyangkut tokoh-tokoh dari dua pihak yang sama-sama kuat."

"Maksudmu?"

"Maksudku adalah pihak golongan kang-ouw dan pihak golongan negera. Seperti kau ketahui, dua kerajaan yang sama tidak mau mengalah telah saling menyerang, dan suhengmu, saudara Lek Hui yang gagah perkasa itu telah melibatkan diri dalam salah satu kerajaan. Ini tentu tidak terlalu luar biasa apabila ayahmu yang sakti itu kelak membantu di belakangnya,, termasuk kau juga barangkali!"

"Hmm…" Ceng Bi mulai tertarik, dan gadis ini memandang penuh selidik. "Kalau begitu, lalu bagaimana kelanjutannya, Ui-i-siauw-kwi?"

Tapi pemuda itu tidak segera menjawab, melainkan menyambar sebuah sloki (gelas kecil) di atas penampan dan menuangkan arak yang memang tersedia di situ, "Nona Souw, kau tidak minum?" dia menawarkan sambil tersenyum namun Ceng Bi menggelengkan kepala.

"Tidak."

"Hmm, Baiklak, aku minum seorang diri tanpa pengiring kalau begitu!" pemuda ini tiba-tiba mengangkat slokinya dan sekali teguk lenyaplah arak itu didalam perutnya. Kemudian dia memandang Ceng Bi yang masih ingin mendengarkan ceritanya dan pemuda itu tertawa sejenak. "Nona Souw, apakah kau tidak menyimpan suatu pertanyaan tentang diriku misalnya?"

"Pertanyaan apa?" Ceng Bi mengerutkan kening.

"Yaah, pertanyaan apa saja yang terutama ingin kau tanyakan, nona..." pemuda itu tertawa. "Misalnya saja percakapan dengan Jing-ci touw Kam Sin."

"Ah, ya...!" tiba-tiba ia menepuk dahinya. "Copet busuk she Kam itu, dia tadi menyebutmu 'siauw-pangcu'! Eh, orang she Ok, apakah betul kau ini siauw-pangcu dari suatu perkumpulan?"

Pemuda itu tiba-tiba tertawa lebar. "Ha-ha., nona Souw, kalau betul memangnya kenapakah?"

Ceng Bi terkejut. "Jadi kau ini seorang ketua muda, Ui-i-siauw-kwi?"

"Tidak salah."

"Ahh…!" Ceng Bi membelalakkan mata. "Kalau begitu... perkumpulan apa yang kau pimpin, Ui-i-siauw-kwi?"

Tapi pemuda ini tiba-tiba lenyap senyumnya dan menyeringai kecut. "Sudah kau kenal, nona Souw, dan barangkali malah kurang kau senangi."

"Aih, perkumpulan apa kalau begitu?"

"Hiat-goan-pang."

"Hiat-goan-pang?!" Ceng Bi berseru kaget dan gadis ini hampir saja melompat dari duduknya kalau saja ia tidak ditotok lumpuh. Akan tetapi Ceng Bi lalu mengeluh dan seperti orang mendengar halilintar di siang bolong saja ia memandang pemuda baju kuning itu dengan muka pucat.

Tapi pemuda itu sendiri juga tiba-tiba tampak kurang gembira. "Nona Souw, tidak kau sangka, bukan?" dia tertawa getir dan Ceng Bi masih belum hilang rasa kagetnya.

"Ui-i-siauw-kwi, kau.... siauw-pangcu dari perkumpulan Hiat-goan-pang....?" Ceng Bi seolah-olah tidak percaya telinganya sendiri dan gadis itu menatap lawannya.

Akan tetapi pemuda itu menganggukkan kepalanya dengan sungguh-sungguh. "Tidak salah, nona Souw. Aku memang siauw-pangcu dari perkumpulan itu karena pucuk pimpinan tertinggi dipegang oleh guruku sendiri, Mengapakah? Kau merasa heran karena Hiat-goan-pang di kota Hang-loh seingatmu sudah dihancurkan tanpa sisa?"

Ceng Bi akhirnya kembali dapat menguasai dirinya lagi. "Betul," ia mejawab setengah heran setengah kaget. "Maka bagaimana kau bisa menjadi seorang ketua dalam perkumpulan Hiat goan-pang? Padahal..."

"Padahal kakek kembar The-mong-pa dari The Hong Gi sudah binasa, bukan?" pemuda itu menyambung kata-kata Ceng Bi dan Ceng Bi melenggong.

"Eh, Ui-i-siauw-kwi, bagaimana sesungguhnya jalan cerita pengakuanmu itu? Apakah kau tidak melempar omongan kosong kepadaku?"

Pemuda itu tertawa pahit. "Nona Souw, agaknya penipuanku terhadap dirimu itu telah meninggalkan kesan curiga yang dalam sekali kepadamu. Aih, ini memang resikoku. Akan tetapi, apa boleh buat? Aku memang telah mulai bermain-main api dan kalau sampai terbakar itu memang selayaknya. Nona Sauw, ketahuilah, Hiat-goan-pang yang terdapat di luar kota Hang-toh itu sebenamya hanya merupakan sebuah cabang saja dari perkumpulan pusat yang terletak di Kuil Hitam. Dan kakek kembar The yang telah roboh binasa itu hanya sebagai ketua-ketua cabang. Karena itu, mereka sebenamya adalah Para pembantuku yang telah dipercaya suhu untuk mengurus perkumpulan yang ada di sana dan karena mereka telah binasa maka tentu saja Hiat-guan-pang di Hang-loh itu tidak ada. Namun, hancurnya Hiat-goan-oang di kota itu bukan berarti hancurnya Hiat-goan-pang dalam arti sesungguhnya karena perkumpulan itu masih tetap ada di mama-mana."

"Di mana-mana...?"

"Ya. Hiat-goan-pang sesungguhnya terdiri dari tujubbelas cabang yang dipimpin oleh ketua pusat di tangan guruku."

"Ah...!" Ceng Bi tersentak mendengar keterangan ini dan baru sekaranglah gadis itu terkejut bukan main. "Ui-i siauw-kwi, ini... kalau begitu... kau dan gurumu menjadi pemimpin tertinggi dari perkumpulan setab itu?"

Pemuda itu tersenyum pahit. "Perkumpulan setan bagi orang-orang yang memusuhinya, nona, tapi tidak bagi golongan sendiri, yang menjunjung tinggi nama suhu!"

"Ah, itu manurut pendapatmu. Akan tetapi, apakah manusia-manusia macam kakek The yang dulunya ternyata kelempok Mo-san Ngo-yu itu bisa dikatakan manusia baik-baik? Mereka tanpa sebab menculik kakakku, dan tanpa sebab pula hendak menangkapku secara tidak tahu malu! Cihh, apakah orang-orang seperti itu kau bilang bukan manusia-manusia setan?" Ceng Bi mendelik dengan mata menyala sementara pemuda itu sendiri mengerutkan keningnya.

"Nona Souw, perbuatan mereka itu dikarenakan dendam terhadap ayahmu, maka kenapa mesti diherankan jika mereka mengganggumu?"

"Hmm, alasan yang bagus, ya? Tidak berani menghadapi ayahnya lalu menghadapi anak-anaknya!"

"Ah, bukan begitu...!" pemuda ini mengagkat lengannya. "The-lo-hengte hanya sekedar ingin menyandera kalian saja, tidak bermaksud membunuh. Bagaimana bisa dibilang tidak berani menghadapi ayahmu? Justeru kalau kalian tertangkap pasti ayahmu akan datang, dan hal inilah yang dikehendaki dua orang kakek itu."

"Dan kalau ayah datang apakah kau kira mereka tidak mengancam nyawaku? Orang-orang licik semacam itu pasti tidak dapat dipercaya itikad baiknya dan meskipun pada mulanya berkata anak-anaknya hanya disandera saja untuk ayahnya, belum tentu mereka tidak akan mempergunakan kecurangan untuk menekan ayah! Ui-i-siauw-kwi, kau hendak menutup-nutupi kejelekan dua orang kakek itu apakah karena mereka itu pembantumu?" Ceng Bi mulai meradang.

Pemuda baju kuning ini membelalakkan matanya, dan melihat Ceng Bi mulai naik pitan tiba-tiba dia menarik napas panjang. "Nona Souw, maaf, pembicaraan kita mulai melantur. The-lo-hengte telah tewas, dan untuk itu kita tidak perlu lagi bicara tentang mereka. Memang harus kuakui bahwa mereka itu orang-orang yang suka mempergunatan kecurangan, akan tetapi itupun ada sebab-sebabnya. Dan dimana ada sebab pasti timbullah akibat. Sudahlah, kita kesampingkan pembicaraan yang tiada gunanva itu untuk kembali pada maksud tujuanku semula. Bukankah nona ingin mendengarkan keteranganku lebih lanjut tentang Hiat-goan-pang?"

Ceng lsi mengangguk. "Kalau kau memang tidak mengarang cerita untuk anak-anak."

"Ah, ini serius, nona Souw, bukan karangan belaka!" pemuda itu berseru.

"Hm, baiklah... coba kudengar kalau begitu," Ceng Bi menjawab agak tak acuh dan pemuda baju kuning itu tiba-tiba bangkit dari duduknya.

"Nona Souw, sudahkah kau dengar tentang sebuah nama dari seorang tokoh yang tinggal pulau Hek-kwi-to?"

"Hek-kwi-to?" Ceng Bi terbelaak mandengar pertanyaan ini.

"Ya, Hek-kwi-to. Apakah nona pernah mendengar nama itu?"

"Tentu saja!" Cong Bi mengangguk. "Itu adalah nama sebuah pulau menyeramkan di sebelah timur Laut Tung-hai."

"Bagus. Dan apakah nona juga pernah mendengar tentang penghuni pulau itu?" pemuda isi meneruskan.

Ceng Bi semakin terbelalak dan gadis itu mengangkat mukanya. "Ui-i-siauw-kwi, kau bertanya-tanya tentang hal ini ada maksud apakah? Sepengetahuanku, Hek-kwi-to dihuni oleh seorang tokoh berjuluk Sin-hwi-ciang."

"Bagus, memang tidak salah…" pemuda itu tiba-tiba berseri mukanya! "Dan apakah nona tahu siapa sebenarnya tokoh sakti itu?"

Ceng Bi mengerutkan kening. "Kudengar dia adalah sute (adik seperguruan) Malaikat Gurun Neraka."

"Aha, tepat sekali...!" pemuda itu tiba-tiba bertepuk tangan. "Dan bagaimanakah komentar nona tentang tokoh sakti itu?"

Pertanyaan ini disambut kerut yang semakin dalam di kening Ceng Bi. "Ui-i-siauvr-kwi, menurut cerita yang kudengar dia adalah iblis sakti yang murtad dari perguruannya. Kenapakah?"

Pemuda baju kuning ini tiba-tiba mengepalkan tinju. "Nah, inilah yang harus diselesaikan, nona Souw," dia befseru geram. "Karena apa yang kau katakan itu bisa dibilang benar tapi sekaligus juga salah!"

Ceng Bi terbelalak. "Maksudmu....?" Pemuda baju kuning itu memandang Ceng Bi dengan muka merah. "Nona Souw," katanya dengan pandangan sengit. "Ketahuilah bahwa apa yang baru saja kau katakan ini memang tidak banyak berbeda dengan pendapat orang-orang golongan tertentu. Akan tetapi ketahuilah, nona, bahwa sesungguhnya si pengkhianat perguruan itu bukan lain adalah si Malaikat Gurun Neraka sendiri, bukan sutenya yang disekap dalam Pulau Hek-kwi-to!"

"Ahh...!" Ceng Bi terkejut dan heran, tidak bertanya tapi menatap lawan bicaranya dengan sikap bingung. Baru setelah pemuda itu diam saja tidak melanjutkan Ceng Bi lalu membuka mulutnya„ "Ui-i-siauw-kwi, kau membicarakan urusan perguruan orang lain ada kehendak apakah?"

Pemuda itu mengertakkan giginya. "Nona, aku tidak membicarakan urusan perguruan orang lain tetapi mengatakan urusan dalam perguruanku sendiri."

"Eh, kalau begitu…..?"

"Benar, perguruan Takla Sin-jin juga perguruan diriku."

"Ah, kau... kau murid….?"

Pemuda baju kuning itu sudah cepat meng-anggukkan kepalanya. "Tidak salah, nona Souw, aku memang murid penghuni Pulau Hek-kwi-to yang terfitnah itu!"

"Aihh…..!" Ceng Bi terkejut dan gadis ini membelalakkan matanya. Apa yang baru saja didengarnya itu memang sangat mengejutkan hatinya, kerena ia memang sama sekali tidak menyangka. Karena itu, kalau pemuda ini benar adalah murid Sin-hwi-ciang di pulau iblis itu berarti pemuda ini merupakan murid keponakan Sang Malaikat Gurun Neraka sendiri... atau sute dari Pendekar Gurun Neraka, pemuda gagah perkasa yang telah meninggalkan kesan kebencian di dalam hatinya itu! Maka sejenak Ceng Bi tertegun, dan pemuda baju kuning yang melihat keadaan gadis ini tiba-tiba melangkah maju.

"Nona Souw, sekarang kira-kira dapat menduga siapa pemimpin tunggal dalam perkumpulan Hiat-goan-pang, bukan?"

Ceng Bi meng-anggukkan kepalanya dengan muka berubah.

"Dan mulai pula dapat menduga apa yang kulakukan terhadap dirimu?" pemuda itu menyambung.

Tapi untuk pertanyaan ini Ceng Bi mengernyitkan alisnya. "Ui-i-siauw-kwi, aku tidak tahu apa hubungannya ceritamu itu dengan segala perbuatanmu ini," ia menjawab datar sementara pemuda baju kuning itu menarik napas panjang.

"Nona, guruku merencanakan suatu pembalasan besar-besaran terhadap orang-orang yang tidak disukainya, dan karena orang-orang itu adalah manusia-manusia licik yang amat berbahaya, maka suhu tidak mau gagal dalam gerakan ini. Pembasmian besar-besaran sedang disusun oleh guruku, dan suhengmu, saudara Lek Hui yang kukagumi itu barang kali tidak akan menyeret-nyeret pula ayahmu dalam pertikaian ini. Oleh sebab itu, aku perlu mencegahnya sedini mungkin agar engkau sekeluarga, kecuali suhengmu itu barangkali, tidak sampai terlibat dalam urusan yang amat berbabaya ini. Pahamkah, nona?"

Pemuda itu memandang Ceng Bi dan Ceng Bi membelalakkan matanya. "Ui-i-siauw-kwi, pembasmian besar-besaran katamu?" gadis itu terkejut.

"Ya..." pemuda ini menganggukkan kepalanya, "Kecuali kalau mereka tidak ikut campur tangan."

"Ah, siapa yang kau maksudkan dengan mereka itu, Ui-i-siauw-kwi?" Ceng Bi bertanya kaget sementara lawan bicaranya tersenyum getir.

"Nona Souw, yang kumaksudkan dengan mereka itu bukan lain adalah teman-teman atau sahabat-sahabat musuh guruku. Seperti kau ketahui, Malaikat Gurun Neraka memiliki banyak sahabat, terutama murid tunggalnya itu. Dan Pendekar Gurun Neraka, yang jelek-jelek adalah bekas seorng jenderal itu tentu akan melibatkan orang-orang kerajaan. Apalagi, suhengmu sendiri juga masih membantu Kerajaan Yueh yang pernah dipimpin oleh Yap-goanswe dan memusuhi pula orang-orang dari golongan hek-to. Karena itu, melihat semuanya ini, bukankah kelak orang-orang yang semestinya tidak perlu terlibat bakal tersangkut? Seperti ayahmu itu misalnya." pemuda ini menarik napas penyesalan dan Ceng Bi mulai berdebar hatinya.

"Ui-siauw-kwi, bagaimana kau bisa bilang bahwa ayah bakal terlibat?"

Pemuda itu menoleh sayu, "Mengapa tidak, nona? dengan adanya suhengmu membantu bekas jenderal muda itu tentu ayahmu juga tidak akan tinggal diam kalau muridnya mendapat bencana. Dan kalau sudah begini, bukankah semuanya bakal bertambah runyam?"

"Hm, kau maksudkan suheng terbunuh?"

"Yaah, kalau itu tidak terlalu kasar mengucapkannya, nona." pemuda ini mengerutkan kening dan Ceng Gi berdetak jantungnya.

"Ui-i-siauw-kwi..."

"Ya...?"

"Kau pikir suhengku itu gampang dibunuh?"

Pemuda itu membalikkan tubuhnya. "Barangkali tidak, nona Souw. Tapi watak keras kepalanya yang tidak jauh berbeda dengan ayahmu bisa saja keadaan jadi terbalik."

"Maksudmu...?"

"Maksudku adalah...." pemuda ini menarik napas panjang, "suhengmu orang yang sukar ditekuk hatinya. Dia kurang pandai melihat keadaan, dan hal ini barangkali kurang menguntungkannya jika dia berhadapan dengan orang yang memiliki kekerasan hati yang lebih lagi. Dan ayahmu, yang mengirimkannya untuk membunuh seseorang itu sungguh terlalu sembrono sekali. Sekarang dia tertangkap, dan nasib baiknya kini hanya bergantung pada wataknya sendiri belaka."

"Hahh….?" Ceng Bi terlonjak. "Twa-suheng tertangkap?"

Pemuda itu menganggukkan kepalanya. "Benar, nona, dan kalau guruku tidak cepat datang agaknya dia sudah tewas di tangan musuhnya."

"Siapa?"

"Cheng-gan Sian-jin!"

"Cheng-gan Sian-jin...?"

"Ya, siapa lagi?"

"Aihh...!" Ceng Bi terhenyak dan gadis ini terbelalak dengan muka pucat. Apa yang didengar itu benar-benar berita luar biasa baginya, karena itu tidak heran kalau sampai Ceng Bi tertegun. Tapi pemuda baju kuning itu tiba-tiba sudah menepuk pundaknya dengan sentuhan lembut.

"Nona Souw, kau ingin melihat keadaannya?"

Ceng Bi hampir tak mampu membuka suara. Ajakan pemuda itu hanya dibalasnya deagan anggukan kecil saja dan begitu dia mengangguk tiba-tiba pemuda baju kuning ini sudah menyambar tubuhnya. Ceng Bi tersentak, tapi pemuda ita berbisik perlahan di dekat telinganya, "Nona, jangan bersangka buruk! Aku hanya ingin membuktikamya kepadamu tentang nasib suhengmu itu, tenanglah dan jangan mengeluarkan suara...!"

Dan begitu ucapannya selesai pemuda inipun sudah membuka pintu batu dan melompat keluar. Ceng Bi terkejut dan hendak meronta, namun pemuda itu tiba-tiba sudah keburu menotok urat gagunya dan sekaligus membuat tubuhnya lumpuh! Tentu saja Ceng Bi merasa gusar, hampir meludahi muka orang akan tetapi Jing-ci-touw Kam Sin mendadak muncul di lorong gua.

"Siauw-pangcu, kau hendak ke manakah?" copet itu berteriak beran namun si pemuda baju kuning ini mengibaskan tangannya.

"Jing-ci-touw, jangan berteriak-teriak. Aku hendak ke Puri Naga bersama nona Souw. Apakah suhu ada sana?"

Copet itu menggelengkan kepala. "Tidak; siauw-pangcu, akan tetapi tamu agung kita itu yang berada di sana?"

"Hem, Cheng-gan Sian-jin?"

"Benar, siauw-pangcu..."

"Baiklah, kau jaga tempat ini sampai aku kembali!" pemuda itu menggerakkan kakinya dan tahu-tahu Jing-ci-touw sudah dilompati kepalanya dan ditinggal mendelong seperti orang kebingungan.

Ceng Bi tidak dapat bergerak, juga tidak dapat bersuara. Namun semua percakapan itu dapat didengarnya dengan baik dan begitu ia mendengar datuk iblis itu ada di depan sudah membuat hatinya merasa tegang. Dia dipanggul dengan kaki depan dada orang, karena itu kepalanya yang beradu punggung dengan pemuda baju kuning terpaksa diterimanya dengan kemarahan ditahan. Kalau saja ia tidak di totok, barangkali Ceng Bi sudah menggigit lawannya ini sampai berdarah. Tapi pemuda itu sudah menotok urat gagunya, dan ia sama sekali tidak mampu menggerakkan mulut, Sungguh menggeramkan!

"Nona Souw, kau telah mendengar percakapan kecil tadi, bukan?" pemuda itu tiba-tiba membuka suara sementara kakinya terus bergerak melewati lorong-lorong panjang yang tidak dikenal Ceng Bi. "Dan kau sebentar lagi akan melihat bagaimanakah rupanya orang yang disebut Cheng-gan Sian-jin itu. Bukankah nona belum pernah bertemu muka? Nah, sekarang kita akan menyaksikannya, tapi itu semua kita lihat dari jauh saja. Datuk sesat itu tajam telinganya, maka kita harus berhati-hati."

Pemuda ini berbicara sendiri sambil terus melompat-lompat dan tiba-tiba sinar yang terang menunjukkan kepada Ceng Bi bahwa mereka telah berada di suatu tempat terbuka. Ceng Bi tidak menjawab semua kata-kata pemuda itu, namun gadis ini sudah ingin cepat-cepat melihat keadaan suhengnya. Dan baru saja mereka keluar dari mulut gua yang tidak dikenal Ceng Bi, pemuda baju kuning itu tiba-tiba kembali menggerakkan jarinya. Ceng Bi menggeliat nyeri ketika satu totokan aneh menyentuh belakang kuduknya, dan diam-diam gadis ini mengertakkan giginya.

"Nona Souw, maaf, aku terpaksa menotokmu seperti ini agar kau tidak mengacaukan keadaan. Kita hanya melihat sebentar dan setelah itu kembali lagi ke dalam gua. Maaf, harap kau maklumi…..!" demikian pemuda itu mencoba meredakan kemarahan orang dan kakinya sudah melompat dalam seraak gerumbul yang penuh bunga.

Kiranya, mereka telah tiba di sebuah taman yang luas dan sebuah bangunan kecil tampak menjulang anggun di tengah sepasang kolam yang indah berseri. Ceng Bi tidak tahu mereka tiba di mana, akan tetapi itulah sebenarnya tempat yang disebut Puri Naga! Ceng Bi membelalakkan matanya, dan pemuda baju kuning itu tiba-tiba menudingkan telunjuknya,

"Nona Souw, lihatlah. Itu suhengmu, terikat di tiang bangunan..!"

Dan begitu Ceng Bi mengikuti jari telunjuk pemuda baju kuning itu, tampaklah sesosok tubuh tinggi besar yang terikat kaki tangannya di tengak bangunan Puri Naga. Itulah Lek Hui, suhengnya sendiri yang menjadi murid kapala ayahnya! Ceng Bi bampir menjerit keras, namun tidak ada sedikitpun suara yang berhasil dikeluarkannya. Totokan pada urat gagu di lehernya telah membuatnya tidak banyak berdaya, dan pemuda baju kuning itu memandangnya muram.

"Bagaimana, nona? Bukankah aku tidak mendustaimu?"

Ceng Bi hanya mampu mengangguk kecil dengan muka pucat dan siauw-pangcu dari perkampulan Hiat-goan-pang ini sudah melanjutkan bicaranya sambil menuding lebih ke kiri,

"Dan itu nona, dialah Cheng-gan Sian-jin yang merobohkan twa-suhengmu itu. Duduk di sebelah kanannya itu adalah Hek-mo-ko dan pemuda baju hitam yang berdiri di samping datuk sesat itu bukan lain adalah muridnya yang baru, Pouw Kwi, bekas murid mendiang Ang-i Lo-mo yang tewas di tangan Yap-goanswe!"

"Ah…!" Ceng Bi tertegun di dalam hatinya dan matanya yang bulat membelalak itu menatap lekat ke arah seorang kakek tinggi besar yang berambut kemerahan. Baru sekaranglah ia tahu tentang kakek iblis itu, dan melihat potongannya yang tinggi menyeramkan ini jantung Ceng Bi berdetak kencang. Kakek itu tampak hebat bukan main, dan wajahnya yang bengis kehijauan benar-benar cukup merontokkan nyali seorang pendekar kelas menengah. Pantas kalau suhengnya roboh di tangan kakek ini karena memang seluruh wibawa datuk iblis itu teramat menyeramkan!

Dan manusia hitam legam yang duduk di sebelah kanan Cheng-gan Sian-jin itu juga tidak kalah menyeramkannya. Tubuhnya sedang-sedang saja, akan tetapi matanya yang selalu mendelik dan putih membelalak itu cukup meremangkan bulu kuduk, tidak seperti pemuda baju hitam yang berdiri di samping kakek iblis itu. Karena walaupun pemuda ini juga disebut sebagai murid Cheng-gan Sian-iin yang baru, namun pamuda itu tidaklah tampak menakutkan. Wajahnya yang putih halus cukup tampan, akan tetapi sinar matanya yang dingin diiringi senyum bibirnya yang mengejek itu juga tidak menimbulkan rasa suka bagi yang memandang.

Ceng Bi tidak tahu, siapakah Pouw Kwi ini. Akan tetapi mengenai Hek-mo-ko dan terutama Cheng-gan Sian-jin, sudah lama dia mendengar nama-nama dua orang itu sebagai orang-orang golongan sesat yang berbahaya. Padahal, pemuda yang kini berdiri di samping datuk iblis itu juga bukanlah manusia yang tidak kalah berbahayanya. Dan justeru gara-gara pemuda inilah awal bencana menimpa Kerajaan Yueh, akibat fitnah yang melumuri muka Yap Bu Kong, bekas jederal muda yang kini berjuluk Pendekar Gurun Neraka itu!

Akan tetapi Ceng Bi tidak mengetahui peristiwa hebat itu, peristiwi yang sanggup merubah jalan hidup seseorang menjadi berlainan dari asalnya karena selama ini memang la belum pernah turun gunung. Maka sekarang, melihat tiga orang itu mengelilingi sebuah meja kecil sambil minum arak wangi dan berbicara sambil tertawa-tawa. Ceng Bi serasa diremas hatinya. Suhengnya ditangkap orang, dan ia sendiri hanya mampu memandang tubuh yang terikat di tengah tiang itu tanpa berdaya. Siapa tidak akan pedih? Namun sebelum keadaan berlarut-larut tiba-tiba pemuda baju kuning itu sudah menyambar tubuhnya.

"Nona Souw, cukup sudah kita menyaksikan keadaan suhengmu itu. Mari kita kembali...!" dan sebelum Ceng Bi memprotes tahu-tahu dia sudah dibawa melompat ke sebuah lobang yang merupakan mulut gua yang tertutup semak belukar.

Ceng Bi hanya mampu mengeluh, dan siauw-pangcu dari Hiat-goan-pang itu sudah menyelinap keluar masuk di lorong-lorong gua kembali ke asal mereka. Kali ini pemuda itu tidak banyak bicara, dan ketika mereka tiba di pintu batu pada ruangan di mama Ceng Bi ditahan tahu-tahu Jing-ci-touw Ham Sin kembali muncul.

"Bagaimana, souw-pangcu? Ada perintah untuk hamba?" copet seribu jari itu membungkukkan tuhuhnya di depan sang majikan muda namun pemuda itu menggoyang lengannya.

"Tidak... tidak, Jing-ci-touw. Aku hanya mau kau menjaga di luar saja. Nona Souw letih, dia hendak beristirahat. Jangan mengganggu lagi."

"Ah, baik, siauw-pangcu. Akan tetapi, tadi lo-pangcu datang ke mari menanyakan siauw-pangcu...!"

"Hah? Suhu datang ke mari?" pemuda itu terkejut.

"Benar, siauw-pangcu." Jing-ci-touw mengangguk. "Tapi beliau hanya berpesan supaya kalau siauw-pangcu datang diharap lekas menuju ke Ruang Maklumat…"

"Ah..!" pemuda ini berobah mukanya. "Apa suhu mendapat kesulitan, Jing-ci-touw?"

"Entahlah, siauw-pangcu. Akan tetapi beliau tampaknya juga tergesa-gesa. Tamu-tamu undangan telah tiba di Kuil Hitam, dan agaknya ada suatu perobahan rencana yang mendadak."

"Ah, baiklah, aku segera datang kalau begitu! Nona Souw, maaf, aku tidak dapat menemanimu lagi lebih lama karena suhu mencariku..." pemuda ini membuka pintu batu dan sekali tendang dia telah melompat masuk. Sikapnya tampak tergesa-gesa, dan begitu meletakkan Ceng Bi di lantai diapun membebaskan tawanannya ini dari totokan.

Ceng Bi dapat bicara lagi, dan kaki tangannyapun juga dapat digerakkan. Akan tetapi, tenaga sinkangnya ternyata tidak mampu disalurkan dan hal ini membuat gadis itu mendongkol. Tapi dia menindas semua perasaan marahnya ini dan si pemuda baju kuning itu berkata,

"Nona, Jing-ci-touw akan melayanimu baik-baik di sini, kalau perlu sesuatu, bunyikan saja kelenengan ini dan dia pasti datang. Sekarang harap nona beristirahat saja dan semoga semua keteranganku tadi dapat kau terima," pemuda ini menyerahkan sebnah kelenengan kecil seperti kelenengan kuda dan Ceng Bi menerimanya.

"Ui-i-siauw-kwi, kau rampas di manakah pedangku itu? Apakah aku tidak boleh menjaga diri jika seseorang nanti bermaksud jahat?" Ceng Bi bertanya dengan alis dikerutkan sementara pemuda itu tertawa masam.

"Nona Souw, di tempat ini tidak ada orang yang berani mengganggumu, Jing-ci-touw akan memberi tanda kepadaku begitu sesuatu terjadi di sini. Percayalah. Dan tentang pedang, masih kusimpan baik-baik sampai kelak engkau memerlukannya..." pemuda itu mengangguk lalu sekali memutar tubuh diapun melompat keluar dan menutup pintu batu rapat-rapat.

Ceng Bi melenggong, dan gadis ini hampir saja berteriak gemas melampiaskan rasa gusarnya tidak kepalang tanggung. Akan tetapi ia menahan diri dan begitu ia ditinggal sendirian di ruangan ini segera gadis itu bangun dan memeriksa kamar gua itu. Pertama-tama yang dituju adalah pintu batu itu, namun Ceng Bi menjadi kecewa mendapat kenyataan bahwa tanpa tenaga sinkang mustahillah mendorong pintu batu yang amat berat itu.

Diam-diam Ceng Bi mengumpat, dan rasa marahnya kepada pemuda baju kuning itu semakin meningkat. Karena itu, iapun lalu memeriksa bagian-bagian lain seperti dinding dan juga lantai, diketuk-ketuk dan ditendang-tendang, akan tetapi ternyata semuanya itu sia-sia belaka.

Tidak terdengar suara yang "kosong" pada dindig maupun lantai, dan hal itu menandakan bahwa seluruh ruangan di kamar tahanannya ini benar-benar terdiri dari batu melulu. Mana mungkin menjebolnya keluar? Kecuali kalau ada pedang di tangan barangkali ia bisa mencokel-cokel dinding dan menerobos keluar, namun senjata satu-satunya itu ternyata "disimpan" oleh pemuda baju kuning itu. Mau berbuat apalagi?

Ceng Bi mengumpat gemas, dan akhirnya ia duduk bersila di tengah-tengah ruangan itu dengan tinju terkepal. Harus diakuinya, pemuda baju kuning itu memang selama ini tidak menunjukkan sikapnya yang kurang ajar, apalagi jahat. Dan satu-satunya "kejahatan" yang dlakukan lawannya itu, kalau inipun boleh dikatakan kejahatan, adalah mengurungnya dengan cara yang licik di kamar gua itu.

Inipun karena katanya agar supaya ia tidak terlibat dalam perang besar-besaran yang bakal terjadi di antara tokoh-tokoh dunia persilatan plus orang-orang kerajaan. Dan melihat naga-naganya, memang barangkali Hiat-goan-pang sedang merencanakan sesuatu yang mengerikan. Apalagi kalau ketuanya adalah bekas penghuni Pulau Hek-kwi-to! Akan tetapi, apakah semua keterargan yang diberikan pemuda itu kepadanya benar belaka?

Ceng Bi menarik napas dan tiba-tiba pikirannya tertunju kepada Lek Hui. Aneh. Bagaimana twa-suhengnya itu bisa tertangkap? Dan di manakah kakak seperguruannya itu bertemu dengan Cheng-gan Sian-jin? Melihat suhengnya itu pingsan dengan kaki tangan terikat, agaknya cukup menderita juga kakak seperguruannya itu. Tapi ternyata ia hanya bisa memandang saja tanpa dapat menolong. Ah, kenapa nasibnya demiki sial?

Dahulu kakak kandungnya yang tertangkap, dan sekarang dia sendiri yang merjadi korban. Lalu, dimana kini kakaknya itu? Aih, dia merasa menyesal sekali telah membawa-bawa Ceng Han dalam perjalanan yang demikian tidak menyenangkan ini. Bersalahkah dia? Atau ayahnya?

Tak terasa Ceng Bi menjadi basah matanya dan teringat akan kakak kaudungnya itu membuat gadis ini mengeluh. Gara-gara dialah semuanya itu terjadi, dan kini kakaknya ikut-ikutan menjadi korban. Tetapi, betulkah dia bersalah? Tidakkah ayahnya yang menjadi gara-gara tunggal dalam peristiwa ini? Kalau saja ayahnya itu tidak main paksa barangkali dia tentu juga masih berpikir-pikir untuk minggat dengan caranya yang seperti ini. Akan tetap' karena ayahnya telah memaksa dia dalam perjodohan maka semuanya itu-pun terjadilah.

Dan sekarang ia tertangkap. Celaka! Tidak seoraugpun yang tahu, kecuali tentu saja musuh-musuhnya itu. Lalu bagaimana kelak nasibnya? Tetap terkurung di situ sampai waktu yang tidak diketahu;? Ceng Bi menggigit bibir dan gadis ini tiba-tiba menangis. Sungguh, belum pernah ia merasa sakit hati seperti ini. Baru turun gunung saja tahu-tahu sudah dipecundangi lawan berkali-kali. Kalau begitu benarlah ucapan ayahnya dahulu bahwa sesungguhnya kepandaiannya masih kurang masak. Dunia kang-ouw penuh dengan orang-orang lihai, dan seperti inilah sekarang keadaannya!

Ceng Bi mengeluh dan karena maklum bahwa ia sudah benar-benar tidak berdaya lagi gadis itupun lalu memejamkan mata dan mulai bersemadhi. Hanya inilah cara satu-satunya untuk menenangkan hati, karena di samping mencoba menghimpun tenaga sakti juga sekaligus menenteramkan pikiran yang kacau. Karena itu, sepuluh menit kemudian Ceng Bi-pun sudah khusuk semadhinya dan berada seperti orang tidur. Keadaan sekeliling sudah tidak disadarinya lagi dan puteri Ciok-thouw Taihiap yang terkurung di ruangan gua itupun lelaplah.

* * * * * * * *

Ceng Han keluar hutan dengan pikiran kusut. Pencarian adiknya yang sudah berjalan satu minggu penuh itu temyata masih saja nihil hasilnya. Diam-diam ia merasa beran, akan tetapi juga cemas. Jejak Ceng Bi sama sekali lenyap tanpa diketahui arahnya. Dan hal ini membuat wajah yang putih tampan itu berkerut muram. Ke manakah larinya Ceng Bi?

Pertanyaan ini sudah berkali-kali menghantui pikirannya namun sebegitu jauh belum juga memperoleh jawaban yang memuaskan. Hutan di mana pertemuan mereka dengan Pendekar Gurun Neraka sudah jauh tertinggal di belakang. Dan dia sudah menyelusuri lembah dan sungai-sungai yang panjang berkelak-kelok, namun jejak adik satu-satunya itu ternyata sama sekali tidak diketahui rimbanya.

Ceng Han diam-diam mengerutkan alis, dan rasa mendongkolnya terhadap Pendekar Gurun Neraka meningkat. Kalau saja pendekar bernama besar itu tidak membuat gara-gara, tentu adiknya tidak bakal meninggalkan mereka sambil marah-marah. Tapi pendekar yang dikagumi adiknya itu ternyata manusia yang pantas tidak mendapat penghargaan. Aneh, bagaimana suhengnya bisa membantu bekas jenderal muda itu sampai demikian lama?

Putera pertama Pendekar Kepala Batu ini tak mampu menjawabnya. Hari ke delapan itu dia tiba di sebuah kota nelayan, dan dia tidak tahu sama sekali bahwa dia sedang memasuki kota Bun-ki, kota yang dulu pernah dimasuki Ceng Bi dalam pengejarannya terhadap Si Copet Seribu Jari Kam Sin!

Ceng Han datang secara kebetulan saja, karena memang arah yang dia tuju sesungguhuya sama dengan larinya Ceng Bi. Karena itu, tidak aneh kalau Ceng Han yang tiba di kola kacil nelayan terheran, pandangannya melihaat keramaian yang ganjil pada sore hari itu. Dia tidak tahu, bahwa sesungguhnya kota Bun-ki sedang berhari pasaran, persis seperti adiknya dahulu memasuki kota ini pada sore hari pula.

Dan Can Han yang terheran-beran dengan keramaian di pusat sungai ita terbelalak menyaksikan hilir-mudiknya perahu-perahu nelayan yang penuh ikan. Sejenak pemuda ini menghentikan langkaknya, dan dia tertegun. Sebuah perahu nelayan bercat hijau menarik perhatiannya. Bukan oleh perahunya yang indah, melainkan oleh juru mudinya yang cantik pesolek dengan bibir yang tersenyum-senyum genit.

Sengguh mati Ceng Han melenggong. Selama hidup, baru satu kali inilah dia melihat perahu "disopiri" seorang wanita. Malah, gadis lagi yang masih muda belia! Aih, apakah dunia sudah sedemikian aneh? Ceng Han terbelalak heran dan pemuda ini bengong dengan mata tidak berkedip. Putera Pendekar Kepala Batu ini sampai tidak sadar, betapa dia masih berdiri di persimpangan jalan antara tiga belokan.

Karena itu, ketika terdengar derap kaki kuda yang melaju ke tempat itu disusul teriakan empat penunggangnya yang melecut-lecutkan cambuk ke jalan persimpangan ini Ceng Han menjadi kaget sekali. Dia sedang tertegun ke arah sungai, dan pada saat yang cepat tahu-tahu empa ekor kuda itu telah tiba seperti terbang saja, Maka tidak heran kalau pemuda ini mencelos kaget dan baru saja meloncat minggir tahu-tahu kuda yang paling depan sendiri sudah menyerempet bajunya dengan derap yang mengejutkan. Tentu saja Ceng Han terperanjat, dan pada saat itu si penunggang kuda yang tinggi kurus melecutkan cambuknya sambil membentak kasar,

"He, kutu busuk sialan, kau tidak tahu tuanmu lewat, ya? Keparat, kau memang pantas dihajar kalau begitu, tarr...!"

Cambuk meledak dan telinga kanan Ceng Han disambar. Tentu saja pemuda ini mengelak, namun tiba-tiba pennggang nomor dua dan tiga ikut-ikutan melecutkan cambuknya pula. Mereka itu melihat Ceng Han mengelakkan sambaran pecut temannya yang paling depan, karena itu mereka lalu menyusulinya sambil tertawa bergelak.

"Ha, ha, kucing kecil, kau tidak mau menerima hukuman, ya? Bagus, coba hindarkan yang ini kalau begitu. "Tar-tarr...!" susul-menyusul mereka itu menggerakkan cambuk dan Ceng Han meugumpat marah.

Dua cambuk yang datang bersamaan itu ditangkisnya dengan kepretan empat jari tangan, dan semua serangan itupun luputlah. Bahkan penunggang nomor dua dan nomor tiga ini mengeluarkan seruan kaget karena tiba-tiba ujung pecut yang tadi menyambar lawan tahu-tahu kini membalik ke arah muka sendiri, Tentu saja mereka ini terkejut, dan tanpa ampun lagi ujung pecut meledak di pipi mereka.

"Tar-tarr!" dua cambuk itu menghantam tuannya dan dua orang itu berteriak kesakitan. Akan tetapi mereka tidak berhenti untuk membalas, melainkan mengeprak kuda sambil memaki-maki.

Dan pada saat itulah, sewaktu Ceng Han Han baru saja selesai menghajar balik penunggang nomor dua dan nomor tiga tahu-tahu penungggang kuda yang paling akhir tiba. Dia ini adalah seorang laki-laki bermuka kuning, matanya sipit dan bibir atasnya tertarik sedikit seperti orang tersenyum. Melihat tiga orang temannya menghajar seseorang pemuda tapi gagal, orang itu tiba-tiba memindahkan pecut ke tangan kiri dan merogoh sesuatu di kantong bajunya dengan tangan kanan. Dan begitu dia lewat di depan Ceng Han, laki-laki ini menjetarkan pecutnya di muka Ceng Han sambil tertawa mengejek.

"Aha, anak muda, kiranya kau bukan sebangsa kutu busuk biasa, ya? Wah, aku jadi ingin berkenalan, nih! Lihat, cambukku ingin mencium hidungmu, hati-hati..... tarr!"

Pecut meledak dan hidung Ceng Han benar-benar disambar. Tentu saja pemuda ini naik darah dan begitu ujung cambuk mendekati hidungnya Ceng Han-pun lalu menggerakkan tangan menangkap pecut itu. Dia tidak menangkis dengan kepretan jarinya seperti tadi, melainkan sekaligus menarik agar orang terjungkal roboh.

Tapi tiba-tiba laki-laki ini sudah tertawa nyaring, dan begitu ujung pecutnya hampir ditangkap Ceng Han mendadak dia melakukan gerak sendal pancing. Hal ini mengakibatkan cambuknya membalik, dan begitu Ceng Han luput menyambar pecutnya, laki-laki ini sudah menggerakkan tangan kanannya melempar amgi (senjata gelap), berupa empat batang pisau yang menyamambar tubuh Ceng Han mulai dari kepala sampai ke kaki!

Tentu saja Ceng Han terkejut, dan secepat itu pula pemuda ini sudah berteriak keras sambil membanting tubuh. Empat batang pisau bercuitan di samping tubuhnya, dan ketika dia melompat bangun, ternyata empat senjata gelap ini berjajar rapi di atas tanah tinggal gagangnya saja!

"Keparat..!" Ceng Han mendesis geram namun laki-laki muka kuning itu telah meninggalkan dirinya sambil terkekeh nyaring di atas punggung kudanya yang kabur memasuki kota Bun-ki.

Ceng Han mengepal tinju, dan wajahnya merah membara. Perbuatan empat orang penunggang kuda itu betul-betul membangkitkan kemarahannya, karena itu dia hendak mengejar untuk memberikan hajaran. Tapi Baru saja dia mau angkat kaki, mendadak seorang pemuda berbaju biru berkelebat di sampingnya.

"Saudara yang gagah, jangan mengejar mereka. Kota Bun-ki saat ini sedang penuh dengan kawan-kawan empat penunggang kuda ita maka harap jangan sembrono..!" seruan ini mengejutkan Ceng Han dan ketika dia menoleh, tahu-tahu seorang pemuda tampan telah menjura di depannya.

Ceng Han terkejut, dan sejenak dia tertegun. "Kau, siapakah?"

Pemuda itu tersenyum ramah, "Aku termasuk golonganmu, saudara yang gagah, karena itu aku mencoba mencegahmu untuk mengejar orang-orang itu di dalam kota dan membuat keributan di sana. Perkenalkan, aku yang bodoh bernama Li dan sekarang ini baru berumur duapuluh dua tahun, Siapakah saudara?"

Ceng Han agak gelagapan. Pemuda yang baru datang ini tampaknya orang jujur, cerdik tapi juga berhati-hati. Buktinya meskipun sudah memberi tahu nama namun menyembunyikan she (marga). Hem, kebetulan kalau begitu. Diapun juga tidak mau sembarangan memperkenalkan nama di depan orang lain, apalagi memberitahukan bahwa dia adalah putera seorang tokoh besar di Pegunungan Beng-san. Kalau orang itu cukup memberitahukan namanya tanpa she, bukankah dia juga bisa melakukan hal yang serupa?

Karena itu Ceng-Han lalu tersenyum. "Li-twako, kau agaknya orang yang suka bicara tanpa sembanyi-sembunyi. Karena kau sudah memberi tahu nama terlebih dahulu, mana bisa aku menyembunyikan diri? Aku bemama Han, umur duapuluh tahun lebih sedikit. Tidak tahu, apakah Li-twako ada maksud-maksud lain di samping pencegahan itu?"

Pemuda ini tersenyum kecil!. "Han-te (adik Han), aku tidak ada maksud-maksud lain kecuali kagum terhadap kepandaianmu tadi. Terus terang, lemparan pisau yang dilontarkan oleh perguruan Pisau Kilat biasanya jarang ada yang luput. Maka bagaimana aku tidak menaruh kagum atas keberhasilanmu tadi?"

"Pisau Kilat?" Ceng Han terkejut.

"Ya..." pemuda itu menganggukkan kepalanya, "Apakah Han-te tidak tahu?"

"Ah, sama sekali tidak!" Ceng Han berubah air mukanya. "Kalau begitu, apakah si muka kuning tadi adalah Si Pisau Kilat?"

Tapi pemuda ini tertawa. "Tidak, Han-te. Dia hanya muridnya."

"Aah...." Ceng Han mengeluarkan seruan pendek dan dia terbelalak memandang pemuda baju biru itu. "Li-twako, kau.., bagaimana bisa tahu bahwa musuhku tadi adalah mumd Si Pisau Kilat?"

Pemuda ini menarik napas berat. "Hem, aku sudah lama mengikutinya, Han-te. Maka aku-pun tahu segala gerak-geriknya. Eh, maaf, bukankah Han-te ada keperluan penting memasuki kota ini?" pemuda itu tiba-tiba menyimpangkan pembicaraan.

Dan Ceng Han terkejut. Sejenak dia tidak menjawab, namun akhir-nya mengangguk juga "Tidak salah, Li-twako, dan twako sendiri, bukankah juga ada maksud tertentu memasuki kota ini?"

Pemuda itu tertawa. "Agaknya begitulah, Han-te, dan rupanya kita memiliki banvak persamaan. Tidak tahu, siapakah yang Han-te cari itu? Seseorang ataukah suatu benda?"

Ceng Han tersenyum hati-hati. "Seseorang, Li-twako. Dan twako sendiri, manusia ataukah benda yang dicari?"

"Kedua-duanya, saudara Han. Tapi yang pertama itu barangkali yang lebil sulit dicariaya," pemuda ini tertawa kecil. "Dan kalau boleh aku bertanya lebih lanjut, llaki-laki ataukah wanita, yang Han-te cari itu?"

Ceng Han agak ragu-ragu. "Seorang wanita, Li-twako, seorang gadis!"

"Wah, pacar sendiri?"

Ceng Han merah mukanya. "Bukan, tapi adikku sendiri, Li-twako."

"Ooh...." pemuda itu tersenyum lebar. "Kalau begitu, apakah dia itu yang kau cari, Han-te?" Dia menudingkan telunjuk ke tengah sungai dan Ceng Han cepat mengikuti.

Akan tetapi begitu Ceng Han menengok, kontan pemuda ini tersipu-sipu malu. Kiranya, yang dituding oleh pemuda baju biru itu bukan lain adalah si gadis cantik di perahu hijau yang tersenyum-senyum genit ke arahnya! "Ah, bukan bukan dia, Li-twako!" Ceng Han cepat-cepat menjawab gugup sementara temannya itu tertawa kecii.

"Kalau begitu, kenapa ia selalu memandangmu tadi, Han- te?" pemuda itu menggoda. "Dan kulihat ia tampaknya terkesan oleh perbuatanmu tadi."

Ceng Han berdegun jantungnya. "Entahlah, twako, tapi yang jelas aku sama sekali tidak mengenalnya...." demikian dia menutupi rasa jengahnya namun tiba-tiba dari tengah sungai terdengar suara "trek" yang nyaring lembut. Ceng Han terkejut dan pemuda baju biru itupun menoleh.

Kiranya, gadis di atas perahu yang baru saja mereka bicarakan itu menjentrekkan dua jari tangannya. Dan begitu dua orang pemuda in menengok tiba-tiba gadis itu tertawa sambil melambaikan tangannya, "kongcu (tuan muda berdua), apakah hendak menyewa perahuku kok memandang-mandang ke sini? Aih, turunlah ke mari kalau begitu. Aku sanggup mengantarkan kalian ke manapun juga. Lihat, aku cukup kuat mendayung perahu melawan arus..!"

Dan baru saja ucapannya selesai gadis itu-pun tiba-tiba memukulkan dayung ke permukaan air dan melaju ke tempat mereka. Ceng Han menjadi gugup, tapi pemuda baju biru itu berseri mukanya.

"Wah, dia tampaknya seorang pendayung istimewa, Han-te. Lihat, pukulan dayungnya sama sekali tidak memercikkan banyak air namun lajunya perahu itu pesat bukan main. Wah, hebat gadis itu... lihat, kecekatannya mengagumkan sekali....!" pemuda itu berteriak heran ketika dalam dua tiga kali gerakan saja perahu itu tahu-tahu telah mendekat ke arah, mereka!

Tentu saja Ceng Han juga ikut tercengang, dan gadis di atas perahu hijau itu kini tampak lebih jelas lagi mukanya. Ternyata ia memang cantik bukan main, dan mata yang berseri-seri hidup itu seperti bintang timur yang lagi gembira.

"Ji-wi kongcu, mau minta diantar ke mana?" demikian gadis itu berseru nyaring di atas pera-hunya dan sekali lompat ia telah berdiri dengan dayung menyangga tubuh. Dan begitu berdiri, tampaklah tubuhnya yang tinggi semampai meliuk indah dengan goyangan memikat.

Ceng Han terbelalak, dan pemuda baju biru itupun juga tertegun. Sebenarnya, mereka berdua tidak ada niat untuk menyewa perahu. Hanya karena gadis di atas perahu selalu memandang ke arah Ceng Han itulah ia lalu menjadi bahan pembicaraan. Tidak tahunya, gadis cantik di atas perahu ini telah mendekati mereka karena menyangka hendak disewa perahunya. Siapa bersalah?

Pemuda baju biru itu tiba-tiba memutar tubuhnya. "Han-te, apakah kau berniat menyewa perahunya?"

Ceng Han menjadi gugup. "Li-twako, ini... ini… aku tidak tahu bagaimana menjawabnya. Bagaimana aku harus bilang. Dan lagi…" Ceng Han merah mukanya. "... aku tidak membawa banyak bekal…"

Kalimat terakhir itu diucapkannya lirih tapi tiba-tiba suara yang serak parau meluncur dari dalam perahu, "Anak-anak muda, tidak membawa bekal mengapa berani keluar rumah? Kalau diri sendiri tahu masih bodoh lebih baik, lekas lompat saja ke perahu lohu. Jangan khawatir, untuk yang tong-pes kantongnya lohu tidak akan memungut bayaran! Hayo cepat ke mari, kenapa saling pandang? Cepat, sebelum empat kuda binal tadi datang meluruk kailan....!"

Dan begitu ucapannya selesai perahu di atas air itu tiba-tiba bergoyang-goyang. Pemuda baju biru dan Ceng Han terkejut, tapi mereka juga sekaligus menjadi tegang. Ceng Han terkejut karena tidak menyangka bahwa kata-katanya yang lirih dapat didengar orang di atas perahu yang bergubug rendah itu, sedangkan temannya terkejut karena tanpa sebab perahu di atas air yang mengalir tenang itu mendadak saja bergoyang-goyang seperti didorong-dorong tangan tak tampak.

Keduanya memandang ke arah perahu dengan mata terbelalak, dan si gadis cantik yang tidak mendapat sambutan calon penumpangnya ini tiba-tiba menghantamkan tumitnya ke lantai perahu.

"Ji-wi kongcu, ayah sudah memanggil kalian kenapa masih melenggong saja di situ? Ayo cepat naiklah, kalau tidak si gadis baju merah dan si pendekar naga yang kalian cari-cari itu, bakal kabur ke tempat lain! Atau, kalian memang mau pamer otot duluan di tempat...?"

Gadis itu memandang marah dan Ceng Han serta sahabat barunya terkejut. Ucapan yang seperti perintah gila-gilaan itu meragukan mereka berdua, tapi ucapan tentang si gadis "baju merah" dan "si pendekar naga" segala itu membuat keduanya tertegun kaget...