Pendekar Kepala Batu Jilid 10 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 10
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Gurun Naraka
CENG BI mencoba dirinya bersikap ketus dan pemuda baju kuning itu tersenyum pahit. "Nona Souw, aku sama sekali tidak melontarkan pujian kosong. Apa yang kukatakan adalah bukti yang sebenarnya. Karena itu, mana bisa dibilang pujian kosong? Kau semakin marah justeru malah semakin cantik, ini adalah kenyataan yang kulihat. Mana bisa dikata bohong?"

Ceng Bi merah mukanya seperti kepiting direbus, "Ui-i-siauw-kwi, jangan kau melantur yang tidak-tidak. Aku tidak suka mendengarnya!" gadis itu membentak malu namun si pemuda baju kuning malah tersenyum menggoda.

"Nona Souw, kalau tidak suka bagaimana bisa menjadi girang?"

"Apanya yang girang?" Ceng Bi melotot.

"Hati mu itu."

"Ah, setan kau!" Ceng Bi mengepal tinju. "Dari mana kau tahu?"

"Dari sinar matamu, nona...!" pemuda itu tersenyum mesra dan Ceng Bi benar-benar merah padam mukanya.

"Ui-i-siauw-kwi, kau pemuda kurang ajar!" gadis ini membentak marah dan sekali tangannya bergerak maka mulut pemuda itupun ditampamya.

"Plakk...!" Pemuda baju kuning itu tidak mengelak dan tubuhnya terjengkang roboh saking kerasnya tamparan. Dan ketika dia bangkit, temyata bibimya telah berdarah akibat gaplokan Ceng Bi tadi! Tapi anehnya, pemuda ini malah tersenyum gembira dan sambil tertawa getir dia berkata, "Aih, nona Souw, gaplokanmu yang ini sungguh mengesankan! Terima kasih....!" pemuda itu berseru tenang dan dia memandang Ceng Bi yang berdiri dengan mata terbelalak marah.

Ceng Bi melotot sengit, dan gadis ini membanting kaki. "Ui-i-siauw-kwi, sekali lagi kau pentang bacot mulutmu itu akan kusumbat. Atau, kau memang sengaja minta digitukan?" Ceng Bi melangkah menghampiri dengan muka gelap dan tiba-tiba pemuda baju kuning itu mengangkat tangannya.

"Hentikan, tunggu dulu, nona Souw... jangan sumbat mulutku! Wah, apa kau tidak ingin pergi ke Kuilit Hitam?"

Seruan tiba-tiba ini mengejutkan Ceng Bi dan seketika itu juga gadis ini menghentikan langkahnya. Disebutnya nama "Kuil Hitam" membuat kakinya merandek seperti dipantek dan Ceng Bi memandang lawannya itu dengan kaget. "Ui-i-siauw-kwi, apa maksud ucapanmu itu....?" gadis ini menatap tajam dan pemuda baju kuning itu mengingsat-ingsutkan tubuhnya dengan sukar.

"Nona Souw, ini… ah, ikatan mengapa terlampau erat? Uhh, sukar sekali aku menggerakkan tubuh..." pemuda itu meringis kecut namun Ceng Bi tidak perduli.

Gadis ini tetap memandang tajam dan ketika pemuda baju kuning itu akhirnya dapat bersandar di bawah pohon, Ceng Bi mengulang pertanyaannya, "Apa maksud ucapanmu tadi dengan menyebut nama Kuil Hitam?"

Pemuda baju kuning itu mengangkat kepalanya. "Nona Souw, kalau saja kau mau menuruti kata-kataku, maka barangkali sebaiknya sekarang ini juga kau pergi ke Kuil Hitam itu. Di sana Wen taijin bakal mengalami penderitaan hebat, karena selain dia juga terdapat isteri dan anak-anaknya yang telah ditawan Si Pisau Kilat. Di samping itu, beberapa pembeaar istana juga telah berhasil di culik oleh gerombolan liar yang dipimpin oleeh Si Pisau Kilat ini beserta suhengnya. Satu diantaranya malah bekas pembantu setia Yap-goanswe!"

"Apa? Yap-goanswe…?" Ceng Bi terbeliak.

"Ya, bekas jenderal muda itu, tapi yang kini lebih dikenal dengan julukan Pendekar Gurun Neraka!" pemuda itu mengangguk.

Ceng Bi terkejut dan gadis ini hampir saja mengeluarkan seruan tertahan. Akan tetapi untunglah, dia mampu menahan diri dan hanya wajahnya saja yang menunjukkan adanya perobahan gejolak rasa di dalam batinnya karena disebutnya nama Pendekar Gurun Neraka itu sungguh-sungguh mengguncangkan hatinya. Karena itu, Ceng Bi lalu memandang tajam pemuda baju kuning itu dan dengan suara penuh selidik dia bertanya, "Ui-i-sjauw-kwi, kau tahu dari manakah semua berita ini? Dan apakah kau dapat mempertang-gungjawabkan kata-katamu ini?"

Pemuda baju kuning itu tertawa. "Aih,... nona Souw, kenapa aku tidak dapat mempertanggung jawabkan kata-kataku sendiri? Dan apakah kau kira aku ngibul? Hmm, kau terlalu meremehkan diriku, nona, dan agaknya kau masih merasa sangsi. Baiklah, kalau nona tidak percaya boleh buktikan dulu keteranganku itu. Pertama-tama, nona bersama kakak nona bukankah sekarang ini sedang merat dari Beng-san?"

Pertanyaan ini seperti halilintar saja bagi Ceng Bi dan gadis itu sampai melompat ke belakang saking kagetnya. "Kau... dari mana tahu tentang hat ini?" Ceng Bi menudingkan telunjuknya dengan muka berobah pucat namun pemuda baju kuning itu malah tertawa perlahan.

"Nona Souw, jangan terlalu kaget. Berita sedemikian ringan saja bagaimana aku tidak tahu? Ah, itu soal kecil bagiku. Nona tidak perlu cemas, karena agaknya hal inipun hanya aku saja yang mengetahuinya. Dan kepergian nona ini, bukankah karena...maaf.. menolak maksud perjodoban dengan putera Bu-tiong-kiam Kun Seng?" pemuda itu memandang ganjil dan Ceng Bi tersentak mendengar omongan ini.

"Ui-i- siauw-kwi, kau.... kau ini siapakah? Bagaimana bisa mengetahui urusan pribadi orang lain? Apakah kau ini seorang siauw-jin (manusia rendah) yang tidak tahu malu?" Ceng Bi mulai bangkit kemarahannya tapi tiba-tiba pemuda baju kuning itu menarik napas panjang.

"Nona Souw, maaf kalau aku telah menyinggung perasaanniu. Apa yang kukatakan tadi sekedar untuk menyebabkan rasa remehmu terhadap diriku. Akan tetapi kalau nona ingin tahu, aku bukanlah seorang siauw-jin! Aku menghargai keputusanmu yang mengagumkan ini, berani menentang orang tua sendiri yang dianggap tidak benar, seperti juga aku sendiri yang telah menentang beberapa sikap suhuku yang melanggar norma-norma hukum. Akan tetapi, apakah tindakan ini kelak tidak mengundang bencana? Terus terang, aku mengkhawatirkan keselamatanmu dan karena itulah aku ingin membantumu..."

Pemuda itu berhenti sejenak dan dia memandang Ceng Bi dengan sinar mata lembut. Tapi orang yang dipandang bergetar ngeri dan Ceng Bi melengoskan kepalanya. Karena itu, pemuda ini lalu melanjutkan kata-katanya dengan suara halus, "Nona Souw, apakah kau tidak ingin menghindarkan diri dari keributan besar yang bakal terjadi di dunia kang-ouw?"

Ceng Bi terkejut dan gadis itu menoleh. "Apa... apa maksudmu?"

Pemuda baju kuning itu tiba-tiba bersikap serius. "Nona, dalam tahun ini juga dunia kang-ouw bakal mengalami kegemparan yang tidak kepalang tanggung. Beberapa orang tokoh hitam telah merencanakan sesuatu dan sasaran mereka terutama adalah kaum pendekar yang amat mereka benci. Satu diantaranya yang amat mereka musuhi adalah....ayahmu. Karena itu, apakah tidak sebaiknya kalau nona kembali saja ke Beng-san?"

Ceng Bi mengedikkan kepalanya dengan tinju terkepal. "Ui-i-sianw-kwi, aku bukan pengecut yang akan lari melihat musuh! Apakah kau hendak merendahkan diriku?"

Pemuda itu tertawa pahit. "Aih, nona Souw, kau terlalu mengagulkan diri. Terus terang, aku tidak mengurangi rasa kagumku atas keberanianmu yang berapi-api ini. Akan tetapi, nona, semua keberanian haruslah diimbangi dengan kecerdikan. Kalau tidak, bukankah peristiwa yang kau alami di perkumpulan Hiat-goan-pang bakal terulang?"

"Kau... tahu tentang hal ini juga?" Ceng Bi terbelalak kaget.

"Tidak salah nona," pemuda itu mengangguk. "Tapi itu hanya kabar berita saja yang kudengar."

"Ahh…!" Ceng Bi berseru perlahan dan gadis itu memandang pemuda baju kuning ini dengan mata tidak berkedip. Peristiwa yang terjadi di perkumpulan Hiat-goan-pang itu belumlah lama, bagaimana pemuda ini bisa tahu? Dan gerak-geriknya yang merat dari Pegunungan Beng-san pun diketahuinya! Setan, siapakah sebenarnya pemuda Kui Lun? Namanya Kui Lun....?

"Orang she Kui...." Ceng Bi mengganti pangilannya dengan suara serak, tapi, tiba-tiba pemuda baju kuning itu mengulapkan tangannya sambil tertawa,

"Noua Souw, aku bukan orang she Kui, melainkan she Ok. Nama lengkapku adalah Ok Kui Lun. Ada apakah, nona? pemuda itu menerangkan sambil tersenyum dan muka Ceng Bi merjadi merah karena salah terka.

"Hm, baiklah.... kau orang she Ok atau she Kui bagiku sama saja. Tapi barangkali lebih baik tetap kupanggil saja kau Ui-i-siauw-kwi!" Ceng Bi menjawab setengah uring-uringan dan pemuda baju kuning itu tertawa kecut. "Ui-i-siauw-kwi!" Ceng Bi setengah membentak jengkel. "Kau pringas-pringis seperti monyet kelaparan ada apakah? Memangnya minta digampar lagi?"

Gadis ini melotot marah dan pemuds baju kuning itu terpaksa menutup mulutnya. Karena itu, gadis ini lalu melangkah maju dan Ceng Bi menghardik, "kau rupanya bicara kian mengacau saja. Dan terus terang, aku lama-lama menjadi sebal. Sekarang, untuk membuktikan semua omongaumu itu apakah kau masih bisa dianggap sebagai laki-laki sejati?"

Pemuda baju kuning itu terbelalak. "Lho, laki-laki sejati macam apa yang kau maksudkan, nona?"

"Laki-Lki sejati yang tidak suka menipu wanita!"

"Maksudmu…?"

"Kau harus membuktikan semua ceritamu tadi tentang nasib Wen-taijin di Kuil Hitam!"

"Ah, dan nona sudah tahu di mana letaknya itu?"

"Tidak, karena itu kau harus ikut denganku sebagai penurjuk jalan!" Ceng Bi memandang keras dan pemuda baju kuning itu menyeringai. "Aih, none Souw, bagaimana kalau aku juga tidak tahu letak Kuil Hitam?"

Ceng-Bi tiba-tiba mencabut pedangnya, gadis ini membentak, "Gara-gara kau aku tidak dapat berbuat sesuatu ketika Wen-taijin ditawan orang-orang liar itu, dan untuk ini kau harus menebus dosa. Karena itu sekarang kau tinggal pilih, kugantung sekarang juga di atas pohon itu seperti babi disembeh atau mengantarku ke Kuil Hitam!" Ceng Bi menodongkan ujung pedangnya ke leher pemuda itu dan lawannya ini tersenyum kecut.

"Wah, nona Souw, kau temyata galak juga, ya? Tapi seandainya aku memilih yang digartung saja, apakah kau tetap menungguiku di sini?"

Ceng Bi merah mukanya. "Cih, siapa sudi mengurusimu? Begitu kugantung maka begitu pula aku akan meninggalkanmu!"

"Ah, kalau begitu aku pilih yang nomor dua saja, nona. Tentu akan selalu bersamamu sampai di tenipat tujuan," pemuda itu tertawa dan Ceng Bi mendongkol mendengar kata-katanya ini. Akan tetapi karena dia memang sudah memberikan pilihan, tiada jalan lain bagi Ceng Bi kecuali menurati permintaan itu.

Maka gadis ini lalu memasukkan pedangnya dan sehelai tambang dikeluarkamya dari saku dalamnya. Kemudian, sementara pemuda baju kuning merasa heran melihat gadis itu mengeluarkan tambang, Ceng Bi tiba-tita telah mendekatinya dan melibat-libatkan tali ini di pinggangnya.

"Lho, untuk apa lagi tali ini diikitkan ke pinggangku, nona...?" pemuda itu tak dapat menahan keheranannya untuk bertanya dan Ceng Bi menjawab singkat,

"Untuk menyeretmu sampai ke Kuil Hitam."

Pemuda itu terbelelak, dan tiba-tiba dia ter tawa geli. "Wah, nona Souw, apa-apaan ini? Kalau aku diseret, tentu bakal menarik perhatian orang! Kenapa tidak dilepas malah diikat lagi? Aih, kau terlalu sekali, nona. Padhal dengan menotokku saja kiranya sudah cukup. Mana aku bisa lari?'

Tapi Ceng Bi tidak menggubris. "Ui-i-siauw-kwi, kau adalah tawananku. Karena itu, jangan banyak cerewet lagi. Hayo berangkat.....!"

Gadis ini menyendal tali dan pemuda baju kuning itu menyeringai kesakitan. "Aduh, pelan-pelan, nona Souw... kulitku tergesek, nih!" pemuda itu berteriak pesih namun Ceng Bi tertawa.

Orang she Ok, jangan berlagak blo'on. Aku tahu bahwa kau dapat melindungi kulitmu dengan sinkang. Kalau kau membiarkannya, itulahr bukan salahku. Siapa perduli,?" gads ini bersikap tak acuh dan tiba-tiba dia berlari cepat. Tubuh dibelakang otomatis berloncatan kian kemari terbentur-bentur dan pemuda baju kuning itu mengeluh.

"Aduh. nona Souw, pelan-pelan.... bajuku robek-robek, nih... wah, celaka... celaka... siapa sangka kau bisa berlaku demikian kejam terhadap orang lain… wah, sialan aduh…!" pemuda itu berteriak-teriak di belakang Ceng Bi dan apa yang dikatakan itu memang benar. Bajunya mulai robek-robek dan sebentar saja sudah compang-camping tak karuan.

Tapi Ceng Bi tidak perduli, malah semakin pemuda itu berteriak-teriak dia semakin "tancap gass" melirikan korbannya yang terpental-pental diatas tanah itu. Akibatnya, tahu bahwa gadis itu agaknya gemas mendengar dia berkaok-kaok seperti ayam diserbu elang pemuda ini lalu menghentikan teriakannya. Dia tidak lagi berkaok-kaok malah justeru sekarang memejamkan mata meumsatkan konsentrasinya. Tubuh yang terbanting-banting pedih di atas tanah itu cepat dilindungi dengan hawa sinkang, dan ternyata pemuda itu memang kuat sekali. Seretan Ceng Bi yang keras di atas tanah sama sekali tidak melecetkan kulitnya, bahkan agaknya ikut mengeraskan tubuh pemuda ini menjadi seperti baja liat.

Dan hal ini rupanya sudah dimaklumi Ceng Bi pula. Terbukti gadis itu bersikap tidak perdulian dan menyeret lawannya sesuka hati. Karena itu, sekarang tampaklah pemandangan yang aneh, seorang gadis berlari cepat menyeret seorang penuda yang bajunya sudah hancur tidak karuan. Dan pemuda baju kuning yang diseret-seret seperti itu, tampaknya tidak menderita sedikitpun juga malah seperti orang tidur nikmat dengan kedua mata terpejam. Demikian asyiknya dia "menikmati" seretan Ceng Bi itu, sampai tidak tahu betapa tubuh dan mukanya penuh debu yang membuat keadaannya lebih kotor. Bahkan, pemuda ini juga tampaknya tidak tahu betapa celana di bagian bokongnya berlubang besar akibat seretan itu. Sungguh gila!

Dipandang dari kejauhan, dua orang ini memang benar-benar mirip orang gila. Yang perempuan seperti menyeret seekor babi saja sedangkan yang diseret enak-enakan "tidur" dengan senyum dikulum! Mana ada peristiwa demikian aneh. Tapi hal itu memang telah terjadi pada dua orang muda ini. Kemarahan Ceng Bi agaknya dapat terlampiaskan, dan gadis itu memang benar-benar melampiaskan kegemasannya. Karena itu, tidak aneh jika gadis ini bersikap keras terhadap si pemuda baju kuning yang selalu disebutnya "Ui-i-siauw-kwi" alias '"Setan Cilik Baju Kuning" ini. Dan ganjilnya, pemuda baju kuning itu sendiri tidak kelihatan sakit hati. Bahkan masih dapat menggoda lawannya dengan sikapnya yang membuat Ceng Bi semakin gemas.

Kini dua orang itu mengikuti jejak kaki kuda, dan Ceng Bi untuk sementara waktu tidak perlu bertanya kepada lawannya. Gadis ini berlari terus sampai berkeringat, untuk akhirnya ketika tiba di sebuah ngarai Ceng Bi pun kehiiangan jejaknya.

"He, bangun, setan....!" Ceng Bi membentak gemas melihat lawannya tertidur dan diam-diam gadis itu mendongkol sekali. Jauh-jauh dia berlari sambil menyeret orang sampai berpeluh, eh orang yang diseret malah mendengkur perlahan! Siapa tidak merah mukanya?

Pemuda baju kuning itu tampak terkejut, dan pemuda ini gelagapan. "He, ada apa, nona Souw…? Perang...? Peetempuran di Kuil Hitam…?" pemuda itu langsung bicara tidak karuan dan Ceng Bi mendelik gusar,

"Apanya yang perang?" gadis ini membentak. "Aku bilang kau bangun… bukan perang! Siapa Wang perang? Kau... pemalas melebihi kerbau, bagaimana bisa enak-enakan tidur mendengkur? Cih, susah payah aku membawamu ke sini dan kau tidur seperti babi saja!"

Ceng Bi uring-uringan dan pemuda baju kuning itu membelalakkan matanya. "Ah… aku mendengkur nona...? wah, tidak mungkin, itu mustahil....!" pemuda itu berseru seperti orang tidak percaya dan Ceng Bi hampir saja menggaplok mukanya lagi.

"Apanya yang tidak mungkin?" Ceng Bi membentak. "Kau memang mendengkur dan telingaku mendengar jelas, mengapa bilang tidak mungkin? Awas kau Ui-i-siauw-kui, jangan bilang telingaku yang rusak...!" gadis ini marah-marah dan pemuda baju kuning itu melenggong.

"Ah, begitukah, nona...?" hanya ini yang keluar dari mulutnya dan tiba-tiba pemuda baju kuning itu melonjak. "He, kalau begitu, kenapa nona membangunkan aku? Kita ini sekarang sedang berada di manakah?"

Pemuda itu menoleh ke kanan kiri dan akhirnya berhenti memandang Ceng Bi. Orang yang ditanya cemberutkan mulut, dan Ceng Bi mendengus. "Ui-i-siauw-kwi, kau ini rupanya bukan orang genah. Kalau tidak, mengapa panas-panas begini ngorok seperti ayam biang? Ih, mual benar perutku ini menyaksikan sikapmu itu. Kalau saja tidak kuperlukan, tentu kulempar tubuhmu ke bawah jurang itu". Ceng Bi menarik muka dengan sikap sebal dan lawannya itu tertawa ditahan.

"Kenapa kau tertawa?" Ceng Bi tiba-tiba membentak.

Pemuda baju kuning itu terkejut. "Eh, maaf, nona.... aku tidak sengaja!"

"Hm, memangnya di dunia ini ada orang yang ketawa dengan sengaja!" Ceng Bi semakin sengit dan pemuda itu tampaknya jadi serba salah.

"Wah, nona Souw, sejak tadi kau selalu marah-marah saja. Sebenamya, apa sih yang menjengkelkan dari diriku ini? Bukankah aku sudah menerima pembalasan? Lihat, bajuku sudah tidak berbentuk baju lagi dan celanakupun agaknya juga demikian, Mengapa aku masih disemprot melulu?"

Ceng Bi pelototkan mata. "Memangnya kau tidak menjengkelkan, ya? Memangnya kau tidak pantas disemprot? Uh, dasar laki-laki tidak tahu diri. Lihat nih, kita berada di mana dan buka matamu itu lebar-lebar. Aku kehilangan jejak kereta Wen-taijin dan kau enak-enak mendengkur seperti kerbau malas saja! Bagaimana kau tidak minta dimaki?"

Pemuda baju kuning itu bengong, dan akhir-nya dia menggeleng-gelengkan kepalanya seperti orang tak habis pikir. Melihat dara manis mangar-mangar pipinya dia malah tertegun penuh pesona. Karena itu, tidak heran apabila Ceng Bi tiba-tiba kembali membentaknya gusar,

"Manusia she Ok, mengapa harus mendelik ke sini? Apa matamu itu minta dicukil?"

Pemuda itu terkejut. "Eh, apa, nona? Aku mendelik…? Wah, maaf… aku tidak sengaja! Ih, mengapa mataku ini? Memangnya minta digaplok?" pemuda itu tersipu kaget dan baru saja habis ucapannya tiba-tiba dia benar-benar menggaplok pelupuk matanya dua kali.

"Plak-plaakk....!"

Nyaring juga suara ini dan seketika itu juga mata pemuda itu membenglak! Ceng Bi yang melihat jadi terkejut dan kemarahannya langsung mencair setengah bagian. Ia terbelalak, dan saking tak tahan menyaksikan perbuatan itu gadis ini berseru perlahan, "Ui-i-siauw-kwi, apakah otakmu miring?"

Tapi pemuda itu malah tertawa. "Ha-ha, nona Souw, daripada dicukil olehmu bukankah lebih baik digaplok saja? Nah, inilah hukumannya bagi orang yang suka melotot jika melihat gadis cantik!"

Ceng Bi merah mukanya. "Ui-i-siauw-kwi, kau rupanya benar-benar gila. Siapa mau mencukil matamu sungguh-sungguh?"

"Ah, tapi nona tadi bilang begitu!"

"Memang, karena aku gemas dengan ulahmu itu."

"He, jadi kalau begitu nona main-main…?"

"Siapa main-main?" Ceng Bi menjawab galak, "Kalau kau benar-benar kurang ajar aku tentu tidak segan-segan mencukil matamu yang melotot tidak sopan itu!"

"Wah...."

"Apanya yang wah?!" Ceng Bi menyemprot ganas.

"He-he..." pemuda baju kuning itu meringis, "...aku jadi bingung menghadapi watakmu yang aneh ini, nona Souw! Wah, bagaimana aku bersikap terhadap gadis macammu ini, ya? Semua kurasa serba membingungkan. Aih, sudahlah, aku tidak akan menggodamu lagi. Kita sudah sampai di sini, baiklah... dan kita harus segera mencari kuil itu. Eh, bukankah di sebelah timur terdapat sebuah lembah?" pemuda itu memandang Ceng Bi. "Nona Souw, coba kau buktikan dugaanku ini…!"

Karena tidak dapat berdiri, pemuda ini menyuruh Ceng Bi yang melihat. Dia masih terlentang di atas tanah berbatu, maka apa yang dimaksud itu tidak dapat dilihatnya sendiri. Tapi Ceng Bi yang berdiri di situ, segera dapat menyaksikan adanya sebuah lembah di arah timur. Betul seperti apa yang diucapkan oleh pemuda itu. Karena itu, Ceng Bi menjadi berseri mukanya.

"Ui-i-siauw-kwi, di sebelah timur memang terdapat lembah! Apakah di situ letaknya Kuil Hitam?"

Akan tetapi pemuda baju kuning menggelengkan kepalanya. "Tidak, nona Souw. Kull Hitam bukan berada di lembah itu. Namun untuk menuju ke kuil itu kita harus melalui lembah ini. Apakah masih ada pohon siong tua di depan lembah?"

Ceng Bi mengerahkan pandangannya. "Ya, malah ada tiga buah yang berderet saling teratur..."

"Ah, bagus, itulah tiga pohon Dewa yang menjaga lembah!" pemuda itu berseru. "Nona Souw, kita tidak salah masuk, hayo cepat kesana. Dekati pohon yang di ujung kanan dan teliti apakah ada lubang sebesar tempayan di dahan yang paling bawah."

Ucapan gembira ini membangkitkan semangat Ceng Bi dan karena dia mulai percaya terhadap pemuda baju kuning itu, Ceng Bi lalu menyendal tambangnya dan berkata, "Ui-i-siauw-kwi, hayo kita berangat dan sekali tarik saja tubuh pemuda itupun di seretnya seperti tadi.

Pemuda baju kuning ini menyeringai, dan cepat dia mengerahkan sinkang untuk melindungi tubuhnya. Tapi kali ini dia tidak cerewet lagi, dan juga tidak memejamkan mata. Karena itu, dengan mata melek pemuda ini membiarkan saja tubuhnya diseret Ceng Bi yang mulai berjalan di alas rerumputan. Hal ini tidak membuat mukanya dikepul debu lagi, dan pemuda itu bersikap jadi lebih tenang daripada tald. Bahkan, sepasang matanya menyinarkan suatu kegembiraan tersembunyi yang tidak diketahui siapapun.

Sampai akhirnya, setelah berlari sepeminuman teh lamanya tibalah Ceng Bi di depan mulut lembah itu. Gadis ini melepaskan tambangnya, dan tanpa banyak bicara lagi melompat menghampiri tiga pohon raksasa yang berdiri tegak di depan lembah itu. Ceng Bi langsung menghampiri pohon di sebelah kanan, dan dengan kaki ringan melompat ke atas daha paling bawah seperti yang dibicarakan oleh pemuda baju kuning tadi. Dan begitu dia menginjakkan kakinya di dahan ini, ternyata betul saja ada sebuah lubang besar yang menganga lebar. Lubang sebesar tempayan yang dapat dimasuki orang namun yang dalamnya gelap gulita!

"Hai, kata-katamu betul Ui-i-siauw-kwi. Ada lubang dipohon ini!" Ceng Bi berseru girang. "Tapi gelap amat di dalamnya!" gadis itu menambahkan.

"Ha-ha, tentu saja, nona Souw, karena lubang itu merupakan mulut di bawah tanah. Bagaimana tidak gelap?" pemuda itu tertawa. "Dan kita harus memasuki lubang ini menembus jalan bawah tanah."

"Hm, dari mana kau tahu semua ini;, orang she Ok?" Ceng Bi mengeryitkan alisnya memandang curiga.

"Ah, nona, aku jelek-jelek begini adalah seorang kelana, bagaimana tidak tahu tentang keadaan di sini? Dua tahun yang lalu aku pernah lewat di lembah ini, dan secara kebetulan karena malam tiba akupun bermaksud melepas lelah di atas pohon ini. Dan seat itulah kuketahui adanya lubang gua itu, yang menembus masuk. Dan turun ke bawah kira-kira satu lie dalamnya. Apakah nona takut?"

Kalimat terakhir ini membuat muka Ceng Bi merah. "Orang she Ok, apakah kau kira aku takut memasuki gua gelap yang belum kukenal? Masuk ke mulut seekor nagapun aku berani! Siapa takut?"

Pemuda baju kuning itu tertawa. "Ha-ha, bagus, sungguh mengagumkan. Tidak percuma kau menjadi puteri pendekar besar macam Ciok-thouw Taihiap itu, nona Souw."

Akan tetapi Ceng Bi tidak menggubris pujian ini. Meskipun dia memang betul tidak takut memasuki lubang yang dikatakan sebagai mulut gua oleh pemuda baju kuning itu, namun Ceng Bi bukanlah gadis yang sembrono. Karena itu, dia lalu memandang lawannya, berpikir-pikir sejenak mencari akal dan tiba-tiba bertanya, kalau labang ini jauhnya satu lie, lalu di manakah Kuil Hitam berada?"

Pemuda baju kuning itu tersenymn. "Tentu saja bukan di dalam lubang itu, nona. Kuil Hitam bukan di terowongan bawah tanah melainkan di atas tanah biasa!"

"Hm, kalau begitu, mengapa mesti memasuki lubang ini?" Ceng Bi memandang tajam.

"Karena kita hendak mengambil jalan pendek."

"Jalan pendek?"

"Ya!" pemuda itu mengangguk tegas.

"Ui-i-siauw-kwi " Ceng Bi menjadi bingung. "Apa yang kau makaudkan dengan jalan pendek itu?"

"Nona Souw," pemuda ini tertawa lembut, "Apa yang kumaksudkan dengan jalan pendek itu bukan lain adalah jalan yang dapat menembus langsung ke sebuah ruangan di tengah tengah Kuil Hitam. Seperti kau ketahui, kalau Si Pisau Kilat dan kawan-kawannya berada di kuil itu, bukankah masuk secara berdepan bakal ketahuan? Nah, untuk itulah aku mengajakmu mengambil jalan pendek ini. Kita dapat memasuki kuil tanpa orang lain tahu."

"Hm, keterangan yang manis sekali, orang. she Ok!" Ceng Bi tersenyum Mengejek. "Dan kau agaknya hendak main gila di sini!"

"Ah, main gila bagaimana, nona Souw?" pemuda itu rampak terkejut.

Ceng Bi menjengekkan suaranya dari hidung. "Ui-i-siauw-kwi, dari kata-katamu tadi ada sesuatu kejanggalan yang terdapat, dan kau agaknya mengarang cerita yang teratur rapi. namun, orang she Ok, aku bukankah gadis ingusan yang bisa kau tipu mentah-mentah!"

Gadis itu memandang marah dan pemuda baju kuning membelalakkan matanya. "Aih, nona Souw, apa makaud ucapanmu ini? Aku sama sekali tidak mengerti!"

"Hm, bagus kalau begitu. Kecerdikanmu menjadi semakin sempurna, orang she Ok!" Ceng Bi mencibir. "Dan kau rupanya sedang merencanakan sesuatu untuk menjebakku dengan perantaraan lubang gua ini!"

"Ahh...!" pemuda baju kuning berseru kaget. "Dari mama kau bisa menuduhku begitu, nona Souw? Itu tidak beralasan!"

"Hm, kenapa tidak beralasan? Kejanggalan ceritamu cukup dibuat curiga!"

"Kejanggalan cerita?" pemuda itu semakin terbelalak.

"Ya!" Ceng Bi meradang pipinya. "Kejanggalan ceritamu itulah!"

"Astaga, kejanggalan ceritaku di bagian manakah, nona?" pemuda ini masih tidak mengerti dan Ceng Bi mergepal tinju.

"Ui-i-siauw-kwi, kalau kau menceritakan tentang semua keadaan gua ini, termasuk juga tempat yang dapat menembus ke dalam salah atu ruangan di tengah-tengah Kuil Hitam, lalu apakah ini tidak patut dicurigai? Kau tahu tentang itu semua dan memang ternyata benar, apakah ini tidak bisa dibilang bahwa kau adalah komplotan orang-orang di Kuil Hitam? Hanya golongan orang-orang tertentu sajalah yang bisa mengetahui keadaan bangunan yang mereka tinggali. Dan kau rupanya anggauta mereka itu!"

Ceng Bi mulai berapi sinar matanya dan pemuda baju kuning itu tampak terkejut bukan main. Wajahnya menjadi pucat, tapi hanya beberapa detik saja. Dan setelah dia mampu menguasai diri, pemuda itu berseru, "Nona Souw, kecurigaanmu kelewat besar, tidak teliti! Mana bisa dipercaya..?"

"Hm, kenapa tidak bisa dipercaya? Dan apanya yang tidak teliti?' Ceng Bi mulai gusar.

Tapi pemuda baju kuning itu tampaknya tidak perduli. Dia tetap berkeras dengan pendapatnya dan berkata, "Nona Souw, perlahan dulu. Kau memang cerdik tapi kecerdikanmu kali ini terlalu menyeleweng. Kalau kau katakan bahwa aku adalah anggota Si Pisau Kilat, katakanlah sebagai anak buahnya, lalu kenapa aku mencegah dirimu ketika hendak melawan tokoh hitam itu? Kalau aku pengikutnya, tentu aku akan membiarkanmu saja berhadapan dengan iblis itu!"

Ceng Bi tertegun, dan gadis ini terpaksa mau juga melihat kenyataan itu. "Akan tetapi," Ceng Bi tidak mau kalah. "Bagaimana kau bisa tahu persis keadaan lubang gua ini?" tangkisnya tajam.

"Hm, itu sih karena hasil penyelidikanku sendiri, nona, kareua akulah yang telah menggali jalan tembus ke ruangan di Kuil Hitam," jawab si pemuda baju kuning.

Ceng Bi hampir puas, tapi tiba-tiba gadis itu membelalakkan matanya, "Ui-i-siauw kui, kalau begitu, Kuil Hitam terletak di dalam lembah?"

Pemuda baju kuning tampak terkejut oleh pertanyaan ini namun dia rupanya juga sudah mempersiapkan jawaban, karena pemuda itu menggelengkan kepalanya tegas-tegas, "Tidak, nona So-uw, bukan di lembah "

"Kalau begitu di mana?' Ceng Bi bangkit kembali rasa curiganya dan dia memandang lawannya penuh selidik. "Kau sendiri tadi bilang bahwa gua ini menuju ke Kuil Hitam, dan melihat luasnya lembah, kalau jarak satu lie saja tentu masih berada di dalam lembah ini. Bagaimana bilang tidak?"

Pemuda itu tiba-tiba tertawa. "Nona, kau tidak tahu bahwa sesunguhnya jalan tembus di gua bawah tanah ini menurun ke bawah, terus menuju ke sebuah sungai di seberang jurang. Nah, di pinggir sungai itulah Kuil Hitam berada. Daerah ini sudah di luar lembah, jadi memang betul bukan terletak di dalam lembah. Karena itu, kalau nona ingin membuktikannya maka kita harus memasuki lubang ini. Kutanggung, mulut gua itu hanya aku sendiri yang tahu, belum ada orang lain!"

"Bagaimana kau merasa yakin?"

"Karena aku telah menaruh seekor ular di mulut gua itu."

"Ih…?" Ceng Bi terkejut. "Kau tidak main-main, Ui-i-siauw-kwi?"

"Ah, siapa main-main, nona? Kecuali kalau ular itu sudah tidak ada berarti seorang telah memasuki gua ini."

"Tapi kalau dia lepas?"

"Tidak mungkin, nona Souw!" pemuda itu membantah. "Aku telah mengikatnva sedemikian rupa."

"Hmm....." Ceng Bi terdiam sejenak, namun akhimya gadis ini menganggukkan kepala. "Baiklah, Ui-i-siauw-kwi, kalau begitu coba kubuktikan omonganmu ini..." Ceng Bi mencabut Pek-keng-kiam dan melangkah mantap menuju pohon besar yang ada lubangnya.

Pemuda baju kuning memandang, dan pemuda itu memperingatkan, "Hati-hati, nona Souw, ular itu cukup berbabaya!"

Tapi Ceng Bi hanya menjengekkan hidungnya. "Orang she Ok, jangan terlalu khawatir, aku bisa menjaga diri!"

Ucapan ini disambut dengan tarikan napas panjang dan pemuda baju kuning itu menggeleng-gelengkan kepalanya. 'Aih, gadis yang tidak kenal takut. Benar benar pantas menjadi puteri seorang pendekar besar!" dia mendesah lirih dan Ceng Bi sementara itu telah melompat ke atas dahan dengan pedang dicekal erat.

Gadis ini memang tidak bicara berlebih-lebiban, kareaa dia cukup maklum akan bahayanya seekor ular. Apalagi kalau ular itu beracun. Akan tetapi, seandainya dia celakapun tergigit ular berbisa Ceng Bi juga tidak merasa cemas. Bekal obat-obatan cukup dibawanya, termasuk obat pemunah racun ular. Maka dengan tenang saja gadis ini lalu memasuki lubang gua di atas pohon itu.

Keadaan yang gelap membuat Ceng Bi harus mengerahkan pandang matanya, dan dengan penuh kewaspadaan gadis itu melangkah maju memasuki gua. Setindak dua tindak ia melangkah, maka mulailah matanya terbiasa dengan keadaan di dalam. Akan tetapi sesuatu yang mencurigakan ternyata belum mengusik hatinya. Sampai akhirnya, ketika menginjak langkah ke lima tiba-tiba terdengarlah desis tajam seekor ular!

"Ssshh,....!"

Sepasang mata kecil yang merah mencorong tiba-tiba mengejutkan kegelapan, dan Ceng Bi melihat bangkitnya seekor benda panjang di sudut sebelah kiri. Ternyata itulah ular yang dimaksudkan si pemuda baju kuning! Maka Ceng Bi cepat bersiap dan ketika benda panjang ini tba-tiba meluncur ke arah kakinya gadis itupun menggerakkan Pek-kong-kiam ke bawah.

"Takk…!" pedang menyabet jitu namun Ceng Bi merasa kaget sekali karena ular yang menyerangnya itu melejit ke atas. Hal ini menyebabkan bacokannya luput dan sementara Pak-kong-kiam belum sempat ditarik binatang melata itu tahu-tahu sudah berada di depan perutnya menggigit pusar sambil menyemburkan uap kemerahan.

"Aih...!" Ceng Bi berseru kaget dan secepat kilat tangan kirinya menampar "pratt!" kepala ular dengan telak dapat ditimpuknya dan binatang itu mencelat sambil mendesis.

Ceng Bi berobah mukanya, dan dengan sedikit pelan dia mengumpat di dalam hati. Sungguh dia sama sekali tidak mengira bahwa ular yang menjaga pintu gua ini ternyata benar-benar cukup berbahaya. Dan belum juga detak jantungnya mereda tiba-tiba ular itu melompat ke depan dengan lidah terjulur. Gerakannya cepat bukan main, sampai Ceng Bi terkesiap saking kagetnya.

"Aih, ular terbang...!" Ceng Bi berteriak tertahan namun gadis ini sudah menggerakkan Pek kong- kiam membabat tubuh yang meluncur panjang seperti tali tambang itu.

"Tak…!" Pedang tepat membacok kepala ular, akan tetapi yang sungguh membuat Ceng Bi serasa terbamg semangatnya adalah kenyataan betapa ular itu sama sekali tidak mempan sabetan pedangnya. Kepala ular hanya tertolak ke samping, dan sebagai gantinya ekor di belakang menyambar Ceng Bi.

"Plakk...!"

Ceng Bi mencelos kaget dan gadis ini menjerit ngeri dengan mata terbelalak. Dan pada saat itu, ular terbang yang gerakannya luar biasa gesit ini tahu-tahu sudah membelokkan tubuh dan mematuk pundak Ceng Bi. Ceng Bi hampir kehilangan kesadarannya, tapi secepat kilat gadis itu sempat mengelak mundur. Pundaknya selamat dari pagutan, tapi baju luarnya ternyata kalah sebat. "Brett...!" baju itu terkuak sejengkal dan sobekannya berada di mulut ular.

"Aihh.... Ceng Bi serasa lolos dari lubang jarum dan gadis itu menjadi marah sekali. Karena itu, ketika ular jatuh lagi di atas tanah gadis ini berteriak nyaring dan membacok bertubi-tubi ke badan ular yang amat dibencinya itu. Namun sungguh luar biasa sekali. Pek-kong-kiam yang merupakan sebatang pedaag pilihan itu ternyata sama sekali tidak dapat membunuh ular ini. Binatang itu terbacok seperti orang merajang daging, tapi sedikitpun juga dia tidak terluka!

"Siluman...!" Ceng Bi berseru gusar dan dengan mata melotot gadis ini menjadi semakin sengit. Tubuh ular yang sudah rata ditusuknya bertubi-tubi itu hanya menggeliat-geliat kesakitan saja, dan sesekali ular itu berusaha membalas serangan Ceng Bi. Namun, karena Ceng Bi sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk melompat seperti tadi, maka jadilah binatang itu dihajar habis-habisan oleh gadis ini.

Ceng Bi seperti orang kesurupan saja, tapi lama-lama gadis ini menjadi ngeri sendiri. Selama hidupnya, belum pemah dia bertemu dengan ular yang kebal bacokan senjata tajam. Karena itu, tidak heran jika gadis ini lama-lama menjadi gentar dan mulai menduga bahwa ular itu agaknya hasil jadi-jadian seekor iblis seperti dalam ceritera Kauw-ce-sian.

Tapi, tepat pada saat gadis ini mulai pucat mukanya tiba-tiba terdengar seruan dari luar gua, "Nona Souw, pakai senjata ini. Cepat, sebelum dia membuatmu pingsan di dalam...!"

Dan tiba-tiba malayanglah sapotong bambu kuning sebesar jari kelingking. Benda ini menyambar Ceng Bi, dan Ceng Bi yang mendengar suara si pemuda baju kuning di luar gua itu cepat menerima benda ini. Akan tetapi, ketika tahu bahwa benda yang disambar ternyata hanyalah sepotong bambu yang tidak ada harganya, Ceng Bi berteriak marah.

"Ui-i-siauw-kwi, kau setan keparat jahanam! dengan senjata tajam saja tidak mempan dibacok bagaimana mempergunakan bambu tiada guna begini?"

Gadis itu memaki lawannya di luar namun belum habis ucapannya itu tiba-tiba terjadi sesuatu keganjiian yang mengherankan hatinya. Si ular terbang yang tadi dia bacok bertubi-tui dengan padangnya itu mendadak mendesis ketakutan dan lari ke tempat asalnya menuju ke sudut ruangan begitu melihat bambu kuning ini! Dan si pemuda baju kuning yang tadi dimaki Ceng Bi juga mejawab kecurigaan Ceng Bi.

"Nona, jangan menganggap enteng. Ular itu memang apesnya dengan bambu ini. sekali kau pukul tentu dia akan roboh binasa….!"

Maka Ceng Bi pun akhirnya percaya juga. pemuda itu, gadis ini lalu mengejar dan dengan Pek-kong-kiam masih tetap di tangan kanan sementara bambu kuning di tangan kiri diapun mengepruk ular itu tepat di bagian kepalanya. Ular ini berusaha melejit, namun agaknya karena sudah merasa ketakutan dengan bambu di tangan Ceng Bi maka gerakanya kalah cepat. Bambu kuning itu sudah mendahuluinya dan sekali Ceng Bi mengayunkan senjatanya ini, terdengarlah suara "prak" disusul terkulainya binatang itu.

Ceng Bi masih curiga, akan tetapi didorong juga oleh rasa marahnya terhadap ular ini gadis itupun masih menambahinya sekali. Maka kembali suara "Trak" ketika gadis itu menghantam bambu kuningnya. Bambu ini retak, dan ternyata ular itu sudah tidak bergerak-gerak lagi. Kepala yang tadi tidak mempan dibacok pedang, kini ternyata remuk dikepruk bambu yang tadinya dianggap Ceng Bi "tiada guna" itu!

Maka Ceng Bi berdiri tertegun, dan gadis ini benar-benar percaya sekarang. Di dalam hatinya, dia merasa aneh dengan kejadian itu. Tetapi, karena kenyataan sudah bicara di depan matanya Ceng Bi pun tidak mampu mengusir keheranannya. Hanya sekaraag Ceng Bi menjadi ingin tahu, ular macam apakah yang amat luar biasa ini. Karena itu, Ceng Bi lalu menyontek ular ini dan dengan Pek kong-kiam menjepit di tengahnya, gadis itu melompat keluar dari datam gua.

Dan begitu tiba di tempat terang, segera Ceng Bi melihat sejelasnya keadaan ular itu. "Aih, kiranya Hui-ang-coa (Ular Merah Terbang)" Ceng Bi berseru kaget dan dengan mata terbelalak dia memandang bangkai ular ini. Menurut apa yang didengar, Ular Merah Terbang memang merupakan satu-satunya jenis ular yang konon katanya tahan bacokan senjata tajam. Tapi itu oleh orang-orang yang menceritakannya dianggap sebagai ular yang ada dalam dongeng saja. Dan ayahnya sendiri yang pernah bercerita tentang ular terbang itu, juga menyatakan sambil tertawa bahwa Hui-ang-coa memang sebangsa ular dalam dongeng.

Hal-ini disebabkan karena selama puluhan tahun ayahnya malang-melintang di dunia kang-ouw, belum sekalipun ular jenis itu pernah dijumpainya. Siapa sangka, Ceng Bi yang belum banyak pengalaman itu temyata hari ini menemukan ular jenis "dongeng" itu dengan mata kepalanya sendiri. Bahkan, dengan mata kepala sendiri dia telah bertempur dengan Hui-ang-coa!

Ceng Bi terkesima, dan pemuda baju kuning yang melihat keadaan gads itu tertawa. "Nona Souw, kenapa bengong di situ? Dia sudah mampus. Lihat, tengkorak kepalanya retak dua bagian!"

Seruan ini menyadarkan Ceng Bi dan gadis itu menoleh. "Ui-i siauw-kwi, kau dari mana bisa memperoleh ular macam ini?" Ceng Bi bertanya dengan beran dan diam-diam timbul rasa anehnya terhadap pemuda itu.

Namun si pemuda baju kuning tersenyum kecil. "Nona, untuk apa mengajukan pertanyaan demikian remeh? Aku hanya memperolehnya secara kebetulan seja, di lembah ini. Dan karena kebetulan aku tahu kelemahannya, maka dia kutangkap sebagai penjaga gua."

Keterangan ini tampaknya sepele, tapi Ceng Bi merasakan adanya sesuatu yang disembunyikan. Akan tetapi, karena dia sendiri tidak tahu apa yang tersembunyi itu, diapun tidak banyak bicara. Hanya, ketika tiba-tiba teringat akan bantuan pemuda itu kepadanya Ceng Bi tiba-tiba membelalakkan mata.

"Ui-i-siauw-kwi, kau.... bagaimana dapat melemparkan bambu kuning tadi kepadaku? Dan dari mana pula kau mendapatkannyn?" Ceng Bi memandang tajam tapi pemuda itu tetap tersanyum-senyum saja.

"Nona Souw, kau ini agaknya type gadis yang paling mudah curiga. Kalau kau bertanya bagaimanakah aku bisa melemparkan bambu itu, aih.... bukankah ini jawabannya mudah saja? Aku menjentikkan jari kakiku, dan benda itupun meluncurlah ke arahmu. Masa harus dicurigai segala?"

"Dan tentang cara mendapatkannya?" Ceng Bi mengulang penuh selidik.

"Ah, itu sudah lama ada di sini, nona!" pemuda baju kuning menjawa sambil tertawa. "Karena ketika aku menangkap ular itu maka bambunya kusembunyikan di semak gerumbul itu!" pemuda ini menuding ke kiri, "...dan kalau kau tanya bagaimana aku bisa ketempat itu, wahh..., dengan berguling masa tidak bisa?"

Dia tertawa lebar dan Ceng Bi mengerutkan alisnya. Keterangan yang memang dapat diterima akal ini mau tak mau membuat gadis itu menerima juga. Hanya, tersusun rapinya jawaban itu, apakah memang betul ataukah berupa karangan belaka? Ceng Bi kembali tak dapat menjawab pertanyaan ini dan dia terpaksa menurut saja.

Karena itu, Ceng Bi lalu mergalihkan pandangannya ke bangkai ular. Menurut cerita yang pernah di dengar, ular ini mempunyai khasiat luar biasa pada bagian jantungnya. Konon, siapa yang dapat menikmati jantung Hui-ang-coa katanya dapat menjadi kebal pula terhadap segala senjata tajam seperti keadaan ular itu! Akan tetapi benarkah demikian? Kalau benar, mengapa pemuda baju kuning yang menangkap ular itu tidak membunuhnya dari dulu? Tidak tahukah dia? Atau ada maksud lain....?

Ceng Bi kembali timbul rasa curiganya. Pemuda baju kuning itu tiba-tiba saja menjadi misterius sekali baginya. Siapakah dia itu? Orang jahat atau orang baik? Kalau jahat, mengapa tidak menunjukkan gejaia-gejala kejahatan? Tapi kalau orang baik, mengapa tidak menentang Si Pisau Kilat dan gerombolanaya? Padahal, melihat kepandaiannya dia cukup lihai, bahkan barangkali terlampau lihai…!

"Ui-i-siauw-kwi...!" Ceng Bi tiba-tiba membalikkan tubuhnya. "Kau ini sebenamya siapakah?"

Pemuda baju kuning tampak terkejut oleh pertanyaan yang mendadak ini, tapi akhirnya diapun tersenyum lebar, "Nona Souw, kau selama ini tidak pernah bertanya-tanya tentang siapakah diriku ini sebenamya. Bagaimana mendadak sontak jadi ingin tahu?"

Ceng Bi merah pipinya. "Ui-i-siauw-kwi, kau jangan main-main, Aku bertanya serius!" gadis itu membentak. "Kau ini sebenarnya siapakah? Kawan ataukah lawan?" Ceng Bi melompat maju dan pemuda itu menyeringai kecut.

"Nona Souw...."

"Stop! Kau tahu dari mana bahwa aku nona Souw?" Ceng Bi memotong. "Padahal, kita selamanya belum pernah bertemu muka. Eh, orang she Ok, kuharap kau bicara jujur saja tentang hal ini jika tidak ingin aku membunuhmu!" Ceng Bi mengancam galak tapi pemuda itu tiba-tiba tertawa lepas.

"Aih, nona, mana mungkin kau akan membunuhku padahal tenagaku masih kau butuhkan? Ha-ha, berkali-kali sudah aku mendapat ancaman, akan tetapi aku percaya bahwa nona bukanlah orang kejam. Bukankah begitu, nona Souw…?"

Ceng Bi meradang. "Orang she Ok, barangkali terkaanmu itu benar sebagian tapi barangkali juga salah. Aku tidak suka bergurau kali ini dan katakan, kau ini kawan ataukah lawan? Dan bagaimana pula kau tahu bahwa aku puteri Ciok-thouw Tai-hiap?

Pemuda baju kuning itu menarik keningnya. "Nona, ayahmu adalah orang terkenal, bagaimana anak-anaknya tidak akan terkenal juga? Maka ketika untuk pertama kalinya aku berjumpa dengannau saat itu jugalah aku lalu tahu bahwa kau adalah nona Souw. Ciri-cirimu yang khas telah memberitahuku dan sebab itulah aku mengenalmu."

"Ciri-ciriku yang khas?"

"Ya," pemuda itu menganggukkan kepalanya.

"Khas bagaimana?" Ceng Bi jadi ingin tahu. "Kekhasan gadis berbaju merah."

"Ah, tapi banyak gadis berbaju merah di dunia ini!'

"Betul, pemuda itu tersenyum. "Tapi yang seberani dan secantik denganmu tidaklah banyak!"

"Ihh. Ceng Hi merah mukanya dan pujian polos ini menggetarkan jantungnya.

"Dan lagi," pemuda baju kuning itu melanjutkan, kalau toh ada gadis lain yang secantik dan seberani engkau, nona, pastilah mereka tidak dapat menyamai sinar matamu. Engkau memiliki sinar mata yang berapi-api, penuh semangat dan tidak kenal takut, juga disamping itu, sinar matamu indah sekali, nona Souw!"

"Ui-i-siauw-kwi!" Ceng Bi terbelalak tapi pemuda baju kuning itu malah memandangnya mesra. Ceng Bi jadi jengah, dan gadis ini cepat melengoskan matanya ke arah lain. Dia tidak tahan dipandang seperti itu, dan jantung Ceng Bi tiba-tiba berdebaran tidak karuan. Ada perasaan gembira mendengar kata-kata pemuda itu, akan tetapi juga ada rasa malu dan marah. Ceng Bi tidak tahu, harus bagaimanakah sikapnya dalam menghadapi pemuda yang membuatnya likat sejenak itu. Namun teringat bahwa pemuda itu belum menjelaskan tentang keadaan dirinya membuat Ceng Bi dapat menguasai kembali keadaan dirinya.

"Ui-i-siauw-kwi, jangan kau melontarkan rayuan kosong di sini. Kita tidak sedang bercanda!" Ceng Bi membentak. "kau masih belum menjawab pertanyaanku yang pokok, yakni, kau ini kawan ataukah lawan? Dan siapa engkau sebenarnya?"

Pemuda baju kuning itu menghela nafas panjang. "Nona Souw, tanpa bertanya seharusnya engkau tahu, apakah aku ini lawan atau kawan. Tapi kau masih bertanya juga. Aih… nona, tidak cukupkah sikap bersahabat orang telah kutunjukkan ini? aku jelas bukan lawanmu. Melainkan kawan yang justeru ingin melindungimu. Kalau tidak mana mungkin aku mau membantumu mencari kuil hitam?"

"Akan tetapi, kalau kau mengaku kawan, mengapa tidak menghadapi si Pisau Terbang itu? Bahkan kau malah menotokku secara licik di atas pohon!" Ceng Bi membantah.

"Benar, nona…" pemuda itu tiba-tiba muram mukanya. "Tapi apa yang kulakukan itu justeru demi keselamatan dirimu. Si Pisau Kilat terlalu berbahaya, dan barangkali tanaga kita berdua saja belum cukup. Nah melihat sikap hati-hati inilah aku terpaksa mencegahmu."

"Hm, manis juga pembelaanmu ini," Ceng Bi mengejek. "Padahal kita belum membuktikannya sendiri."

Pemuda baju kuning itu diam.

"Ui-i-siauw-kwi!" Ceng Bi membentak galak. "Apa keteranganmu sekarang untuk yang terakhir?"

"Keterangan terakhir apa lagi nona?" pemuda itu mengangkat kepalanya.

"Tentang siapa engkau ini! Keterangan apa lagi?" Ceng Bi melotot.

"Ah, bukankah sudah kuberitahukan?" pemuda itu berseru heran. "Aku adalah orang she Ok, lengkapnya Ok Kui Lun, seorang pengelana biasa saja yang sedang menimba pengetahuan di dunia kangouw."

"Hm, hanya itu saja?"

"Lha, mau bagaimana lagi nona?" pemuda ini tertawa. "Aku tidak mempunyai sesuatu yang menonjol. Keluargapun sudah tak punya lagi dan aku hidup sebatangkara saja di dunia ini, kecuali dengan guruku….!" Pemuda baju kuning ini tiba-tiba nampak muram mukanya dan kesedihan terpendam membayang di wajahnya.

Ceng Bi tersentuh, dan gadis ini tidak bertanya lagi. Hanya diam-diam didalam hatinya timbul suatu keinginan lebih jauh untuk mengetahui lebih dalam siapakah pemuda itu sebetulnya. Tetapi karena melihat muka orang tampak sedih, maka diapun mengendalikan dirinya. "Ui-i-siauw-kwi..." Ceng Bi berkata agak lunak, kalau kau benar-benar seorang kawan, biarlau aku mengakuinya juga. Namun hal ini baru kita buktikan setelah kita berada di Kuil Hitam. Untuk sementara kau harus begini dulu sampai kita tiba di sana dan karena gua itu tampaknya tidak begitu lebar, maka kau kubebaskan sebagian. Nah…!"

Ceng Bi menghentikan kata-katanya dan sebelum pemuda itu mengerti penuh apa yang dimaksudkan gadis ini, tahu-tahu Ceng Bi telah menotok dua jalan darah dipundak kirinya. Pemuda itu menggeliat dan Ceng Bi menyentuh segumpal daging yang bergetar aneh. Sedetik gadis itu terkejut, namun melihat pemuda itu meringis dan roboh dengan mulut menyeringai, Ceng Bi hilang kecurigaannya.

"Maaf, Ui-i-siauw-kwi, sinkangmu kubuyarkan dahulu untuk beberapa jam. Setelah itu kau akan pulih kembali seperti sedia kala." Ceng Bi membuka suara dan begitu habis kata-katanya ini, Pek Kong Kiam tiba-tiba berkelebat memutus ikatan di tubuh pemuda itu.

"Prat-prat-pratt …!" pedang bergerak dan semua tali itupun rantaslah. Si pemuda baju kuning bebas, dan begitu bebas, pemuda ini segera melompat bangun. akan tetapi baru saja dia melompat, tiba-tiba pemuda itu sudah menjerit kaget. Kiranya dia langsung jatuh terjerembab, karena tenaga sinkang yang ada di dalam tubuhnya benar-benar lumpuh!

"Aih…!" pemuda itu berteriak dan dia memandang Ceng Bi dengan muka merah. "Nona Souw, kenapa aku ditotok lumpuh sinkangnya begini? Kalau ada apa-apa di gua ini aku tentu tidak berdaya!"

"Hm, ada apa lagi di gua ini? kalau Hui Ang Coa ternyata masih ada di tempatnya berarti keadaan di dalam goa itu masih tidak berobah. Sama seperti yang kau masuki dulu, kosong. Kenapa harus gelisah?" Ceng Bi menjawab tak acuh dan pemuda itu terbelalak.

Nyata, dari sini kecerdikan Ceng Bi benar-benar nampak. Gadis itu agaknya masih tidak mau percaya begitu saja, dan kalau ada apa-apa di dalam sana yang tidak diketahuinya akibat permainan gila pemuda ini maka pemuda itulah yong akan menjadi korbannya yang pertama. Taruh kata, masa ada ada lagi seekor ular berbahaya di dalam gua. Maka bukankah pemuda itu yong bakal mendapat hukuman? Karena tidak bicara sebenarnya maka pemuda itulah yang akan menerima hasil kebohongannya!

Pcmuda baju kuning mengumpat di dalam hatinya, namun dia tidak berkomentar apa-apa. Memang, apa yang telah dikatakan gadis itu adalah berdasarkan ucapannya sendiri, karena untuk apa cemas? Maka diapun menurut saja ketika akhirnya Ceng Bi menyuruh dia jalan di depan memasuki mulut gua di atas pohpn besar itu sambil membawa bangkai ular Hui-ang-coa. Ceng Bi sengaja "menggiring" pemuda ini di belakang, sementara Pek-kong-kiam tetap siap di tangan untuk dipergunakan sewaktu-waktu.

Dia percaya bahwa pemuda itu tidak akan dapat lari, karena tenaga sinkang yang dimiliki pemuda itu telah dilumpuhkannya. Karena itu, Ceng menjadi tenang dan ruangan gua yang gelap lama-lama menjadi terbiasa juga bagi mereka. Apalagi pemuda itu sebelumnya sudah pernah memasuki gua ini, maka segala liku-likunya sudah dihafal betul.

Dan ternyata gua bawah tanah ini panjang sekali. Jalan yang berkelak-kelok terasa juga naik turun. Tetapi lebih banyak turunannya dibanding naik. Dan Ceng Bi mulai melihat beberapa lubang-lubang kecil di atas gua yang menyorotkan masuknya sinar matahari. Hal ini malah kebetulan sekali, karena dengan begitu, suasana jadi cukup terang dan tidak gelap seperti di bagian mukanya tadi. Dan Ceng Bi menjadi lebih tenang. Sampai akhirnya, setelah beberapa waktu lamanya yang tidak diketahui tiba-tiba cahaya terang muncul di depan mereka dan bersamaan dengan terlihatnya sinar terang itu terdengarlah pula gemercik air sungai!

"Ah, kita sudah sampai, Ui-i-siauw-kwi?" Ceng Bi berdebar girang dan pemuda itu menganggukkan kepalanya.

"Betul, nona Souw, dan kalau kita sudah sampai di mulut gua sebelah sana itu maka akan tampaklah segalanya."

Ceng Bi menjadi tidak sabar data dia menyuruh pemuda baju kuning itu berjalan lebih cepat. "Ui-i-siauw-kwi, hayo cepatan sedikit. Aku butuh udara segar untuk mengusir kelembaban gua ini!"

Pemuda itu kembali menganggukkan kepalanya dan dengan langkah lebar dia menuju kedepan. Suara air gemercik semakin keras suaranya dan tidak sampai seratus tindak akhirnyapun mereka tiba di lorong terakhir ini!

"Ahh...!" Ceng bersera kagum dan gadis itu terbelalak. Sebuah tebing yang merupakan jurang curam berada di depan mereka, dan di bagian bawah, ada sepuluh tombak jaraknya tampaklah sebuah sungai yang mengalirkan airnya yang yang amat jernih! Ceng Bi memandang kagum dan gadis itu sejenak menjadi bengong. Akan tetapi ketika teringat akan maksud tujuannya yang mencari Kuil Hitam dan ternyata tidak melihat sebuah bangunanpun di tepi sungai, Ceng Bi menoleh ke arah lawannya.

"Ui-i-siauw-kwi, mana itu Kuil Hitam?" gadis ini bertanya.

"Di bawah kita, nona,"

"Tapi kau bilang terletak di pinggir sungai!" Ceng Bi memperingatkan. "Dan mengapa aku tidak melihatnya?"

"Ah, kita melihatnya bukan dari sini, nona Souw, melainkan dari bawah. Kita terhalang oleh kaki jurang yang agak menjorok itu," pemuda ini menjawab tenang.

"Hm, kalau begitu bagaimana cara mencapainya?"

"Kita harus turun."

"Turun?"

"Ya. Mari ikuti aku, nona Souw...!" pemuda baju kuning itu tidak banyak bicara lagi dan tanpa menunggu Ceng Bi bertanya ini-itu diapun sudah mulai menurunken kakinya ke dinding tebing yang menuju ke bawah sungai.

Ceng Bi ragu-ragu, dan entah mengapa tiba-tiba saja perasaannya berdebar tegang. Ada firasat tidak enak di dalam hatinya, tapi karena pemuda itu sudah mulai turun maka diapun lalu mengikuti. Dinding tebing yang menuju ke bawah sungai itu temyata cukup terjal, tapi di sini kiranya telah ada lubang-lubang untuk menancapkan kaki. Ceng Bi berpikir, bahwa barangkali pemuda baju kuning itulah yang membuatnya, maka dia cepat mengikuti dengan kaki ringan.

Akan tetapi, baru merayap lima tombak saja ke bawah tiba-tiba pemuda baju kuning yang tadi berada di bawah kaki Ceng Bi hilang. Gadis ini terkejut, namun baru saja dia hendak berteriak sekonyong-konyong kepala pemuda itu nampak.

"Nona Souw, di tengah-tengah dinding ini ada gua kecil. Silahkan masuk!" dan tahulah sekarang gadis itu bahwa kiranya di tengah-tengah tempat yang terjal itu terdapat lagi sebuah gua. Pantas, pemuda baju kuning tadi seakan-akan lenyap begitu saja, tidak tahunya telah memasuki gua di bawah! Maka Ceng Bi lalu setengah melompat dan ketika dia tiba di tempat ini, tampaklah pemuda baju kuning itu memandangnya sambil tersenyum-senyum aneh.

"Selamat, nona Souw, kau telah berada di tempat yang aman!" pemuda itu berseru gembira dan Ceng Bi memandangnya tajam.

"Ui-i-siauw-kwi, apa maksud ucapanmu ini?"

Tapi pemuda baju kuning itu tersenyum lebar saja. "Nona, Kuil telah kelihatan dari sini. Lihatlah, itu dia.....!" pemuda ini menuding ke depan dan Ceng Bi menengok.

Akan tetapi apa yang dilihatnya? Bukan sebuah melainkan sebuah rumah papan yang catnya berwama hitam, rumah biasa yang tidak ada keanehannya kecuali nongkrongnya sesosok tubuh di wawungan rumah. Dan ketika Ceng Bi melihat siapa orang yang ada di atas rumah itu seketika gadis ini berseru keget. "Jing-ci-touw Kam Sin!" Ceng Bi berteriak heran dan orang yang nongkrong di atas rumah tiba-tiba melambaikan tangannya sambil tertawa.

"Ha-ha, Souw-lihiap, selamat bertemu lagi!" Orang she Kam itu mendadak bangkit berdiri dan membungkukkan tubuhnya menghormat Ceng Bi.

Ceng Bi terkejut, dan seketika itu juga darahnya berdesir. Gadis ini merasakan adanya sesuatu yang tidak wajar, maka cepat dia mambalikkan tubuh. Akan tetapi, apa yang disaksikan? Pemuda Baju kuning itu tiba-tiba saja sudah berada di belakangnya dalam jarak sepuluh meter lebih!

Pemuda ini masih tersenyum-senyum, dan kaki kirinya menginjak batu segi empat yang atasnya terkait sebuah gelang tembaga, gelang yang berwarna merah! Dan sementara Ceng Bi terbelalak di mulut gua itu pemuda ini juga membungkukkan tubuh menjura, "Nona Souw, selamat atas kehadiranmu yang menggembirakan ini...!" dan baru saja kata-katanya itu selssai, Ceng Bi mendengar suara gemuruh disusul berdentangnya besi yang memekakkan telinga.

Gua kecil itu seakan-akan hendak roboh, dan debu yang menggelapkan pandangan tiba-tiba berhamburan keluar. Ceng Bi berteriak nyaring, dan sadarlah dia sekarang bahwa dirinya tertipu. Terjebak! Maka gadis ini lalu melompat terjun ke bawah sungai yang tinggal lima tombak lagi itu, namun alangkah kagetnya ketika tiba-tiba dia merasakan kedua kakinya lumpuh!

Ceng Bi terbelalak pucat, dan pada saat itu terdengarlah suara "brukk" yang amat keras sekali disusul jatuhnya sebuah kerangkeng besi dari atas gua. Benda ini meluncur ke bawah di antara debu-debu yang berhamburan, dan Ceng Bi yang terkejut karena tidak dapat menggerakkan kedua kakinya itu tahu-tahu telah berada di dalam kerangkeng ini dalam keadaan terkesima!

"Ahh !" Ceng Bi mengeluarkan seruan kaget namun sebelum ia meloncat untuk menghantam kerangkeng besi itu dengan kemarahan meluap mendadak saja kepalanya terasa pening. Demikian hebat perasaan pening yang datang dengan amat tiba-tiba ini sampai Ceng Bi mengeluh. Bumi rasanya berputar dan pandang matanya tiba-tiba saja menjadi gelap tanpa disadarinya. Ceng Bi mencoba mempertahankan diri, akan tetapi gadis ini tiba-tiba roboh di lantai dengan satu keluhan kecil. Ceng Bi tidak ingat apa-apa lagi, dan gadis itu telah pingsan di balik kerangkeng besi pada lantai gua!

* * * * * * *

Ketika gadis ini sadar, alam di sekelilingnya ternyata sudah berubah. Tidak ada lagi kerangkeng besi itu, dan tidak terdengar lagi suara gemuruh yang memekakkan telinga itu. Suasana di sekelilingnya tampak sunyi, namun suara air yang gemericik temyata masih terdengar, meskipun itu hanya sayup-sayup sampai saja yang malah menimbulkan perasaan nikmat bagi seseorang yang suka sendirian.

Namun Ceng Bi tidaklah suka menyendiri, apalagi seperti keadaan pada saat itu. Gadis ini sedang mengumpulkan seluruh ingatannya dan ketika ia teringat akan kecurangan si pemuda baju kuning tiba-tiba saja kemarahan gadis ini bangkit seperti api yang disiram bersin. Ceng Bi mengepal tinjunya, dan gadis itu melompat bangun. Akan tetapi, baru saja ia melompat Ceng Bi tiba-tiba mengeluh kaget. Kiranya, dia tidak dapat menggerakkan tubuh sama sekali karena ditotok lumpuh!

Ceng Bi menjadi marah bukan main dan gadis ini mengertakkan giginya sampai berketrukan. Tanpa bertanya lagi, tahulah dia siapa orangnya yang telah membuat keadaannya seperti itu. Pasti si pemuda baju kuning! Maka Ceng Bi naik marahnya sampai ke-atas kepala. Kalau saja lawannya itu berada di depannya, barangkali mau dia melumat habis pemuda yang amat dibencinya itu. Apalagi kalau mengingat akan kebodohan sendiri yang mudah diperdayai lawan. Akan tetapi Ceng Bi hanya mampu mengepalkan tinjunya saja dan gadis ini menanti semua perkembangan dengan mata berapi-api.

Dia tidak dapat berbuat banyak, dan satu-satunya jalan pada saat itu hanyalah barsabar dan menunggu semua kejadian-kejadian berikutnya dengan perasaan tidak tenang. Karena itu, Ceng Bi lalu berusaha membangkitkan tenaga sinkangnya melalui pusar. Kalau ini berhasil, tentu jalan darah yang tertotok dapat dibukanya. Akan tetapi Ceng Bi kembali mengumpat. Totokan yang dilakukan lawan ternyata totokan "mati", yakni tidak dapat dibuka jika jalan darah Thai-liong-hiat di belakang punggung, persis berhadapan dengan pusat tenaga sakti di pusar pada bagian perut, tidak dibuka terlebih dahulu.

Hal ini berarti harus ada orang ke dua untuk membukanya, dan itu tentu saja harus si pemuda baju kuning. Atau kalau tidak, merayapnya waktu selama dua atau tiga jam bakal memulihkan lancarnya jalan darah di belakang punggung itu. Sedangkan Ceng Bi tidak tahu, berapa lamakah dia sudah tertotok seperti itu.

Maka Ceng Bi menjadi semakin sengit saja dan kemarahan serta kegelisahan hati ini mengacaukan konsentrasinya. Ceng Bi tidak dapat lagi berpikir baik, dan satu-satunya pikian pada saat itu hanyalah ingin memaki dan menyerang habis-habisan si pamuda baju kuning. Itupun kalau bisa! Maka Ceng Bi hanya menunggu dan menungau saja, sementara matanya mulai berputar ke sekelling ruangan untuk mengetahui dimanakah sebenamya dia sekarang ini berada.

Dan Ceng Bi merasa terkejut. Kiranya dia tidak lagi berada di gua kecil yang terletak di atas sungai itu melainkan di sebuah lubang semacam sumur yang amat dalam. Dan menaksir ketinggian dinding sumur ini sampai ke atas, agaknya tidak kurang dari puluhan tombak. "Keparat!"

Ceng Bi mendesis dengan mata menyala sementara tiba-tiba dinding di sebelah kanannya mengeluarkan suara berdetak. Ceng Bi terbelalak dan baru saja ia menengok tiba-tiba dinding pada bagian itu terkuak dengan suara keras. Ternyata, sebuah pintu batu yang amat tebal serta berat. Dan bersamaan dengan terbukanya pintu ini muncullah seseorang yang sudah amat di kenal Ceng Bi. Si Copet Seribu Jari!

"Jing-ci-touw…!" Ceng Bi berteriak sambil pelototkan mata, akan tetapi si tukang copet ini malah tersenyum-senyum lebar.

"Ha-ha, selamat pagi, Souw-lihiap selamat pagi! Aih, kau sudah sadar kembali seperti sedia kala lihiap? Bagus... sampai cemas majikan mudaku menunggu siumanmu ini. Sehari semalam kau pingsan, dan racun uap Hui-ang-coa yang tersedot olehmu itu ternyata berbahaya sekali. Kalau siauw-pangcu tidak turun tangan, barangkali bukan hanya kedua kakimu saja yang lumpuh melainkan seluruh tubuhmu. Wah, berbahaya sekali, lihiap sungguh amat berbahaya! Akan tetapi, bukankah sekarang kau sudah merasa sehat kembali, lihiap? Dan tentu juga merasa lapar. Nih, siauw-pongcu menyuruhku membawakan bubur untukmu. Makanlah...!" tukang copet ini menurunkan penampan yang dibawanya dan meletakkaan bubur ayam yang masih mengepul hangat ini di depan Ceng Bi. Dia pura-pura tidak tahu betapa Ceng Bi memandangnya dengan penuh kemarahan, dan begitu selesai dia langsung bangkit berdiri dan menjura.

"Souw-lihiap, silahkan dahar. Jika kurang aku nanti akan kembali lagi!" tukang copet ini berkata dengan suara hormat dan tanpa menunggu balasan Ceng Bi dia sudah membalikkan tubuh dan ngeloyor pergi.

Akan tetapi Ceng Bi tiba-tiba membentaknya, "Jing-ci-touw....!" copet she Kam itu sampai menjumbul kaget. "Mana temanmu yang busuk itu? Suruh dia kemari menemuiku. Aku tidak butuh makanan melainkan butuh kedatangannya. Hayo, panggil ke sini si Ui-i-siauw-kwi itu!"

Si Copet she Kam menoleh terkejut. "Apa. lihiap? Ui-i-siauw-kwi….?"

"Ya, Setan Baju kuning itu!" Ceng Bi mendelik.

"Wah..." laki-laki kecil ini berseru heran. Di sini tidak ada yang bernama Ui-i-siauw-kwi, Souw-lihiap, mana mungkin aku memanggilnya untukmu?"

Akan tetapi Ceng Bi malah naik pitam. "Copet busuk she Kam, jangan kau pura-rura tidak tahu! Aku tidak perduli sikap blo'onmu ini dan mau tidak mau kau harus menyuruh temanmu itu kemari.!"

"Oh, pemuda yang kau seret-seret itu, lihiap?"

"Ya, manusia she Ok yang tidak tahu malu itu!"

"Ah, dialah Ok-siauw-pangcu (ketua muda Ok), bukannya Ui-i-siaw-kwi!" akhirnya tukang copet ini berseru dengan mulut meringis dan sebelum Ceng Bi membentaknya lagi tukang copet itu sudah memyambung. "Sudah Souw-lihiap... jangan semprot aku lagi! Bersabarlah, siauw-pangcu akan datang ke sini tanpa kau perintah lagi. Dia sedang bersamadhi, tunggulah…!"

Dan tanpa menoleh lagi copet itupun sudah keluar lalu menutup pintu batu dengan rapat. Sekilas Ceng Bi melihat adanya sebuah lorong yang memanjang di luar pintu itu, namun akhirnya pandangan ini lenyap bersama merapatnya pintu batu yang telah menjadi satu dengan dinding sumur itu. Ceng Bi tertegun dan gadis itu menjadi berdebar.

Sekaranglah ia melihat adanya jalan keluar yang bagus, tapi agaknya hal ini tidak segampang apa yang di lihat. Dan ketika ia mencari-cari pedangnya, ternyata Pek-kong-kiam tidak ada di situ. Tentu di "aman" kan si pemuda baju kuning, orang she Ok yang tidak tahu malu itu dan yang tadi disebut-sebut sebagai Ok-siauw-pangcu oleh Jing-ci-touw Kam Sin!

Eh, kenapa bisa begitu? Mengapa dipanggil siauw-pangcu (sang ketua muda)? Ceng Bi menjadi heran dan tiba-tiba ia teringat akan sebuah gelang yang diinjak lawannya itu ketika mereka berada di gua kecil. Teringatlah oleh Ceng Bi akan adanya sebuah batu segi empat yang atasnya dilekati sebuah gelang yang mengingatkannya pada gelang dari perkumpulan Hiat-goan-pang. Dan teringat akan keanehan itu segera Ceng Bi menjadi tegang. Siapakah sebenarnya pemuda itu?

Seorang ketua perkumpulan? Ataukah wakil sebuah "pang" (perkumpulan) yang bergerak di balik gerak-gerik sesuatu gerombolan? Dan kalau benar dia seorang siauw-pangcu, lalu pangcu dari perkumpulan manakah? Ceng Bi menjadi hati-hati sekali dan perasaan was-was mulai menyelinap di kalbunya. Pemuda baju kuning itu terasa misterius sekali, hanya memperkenalkan diri sebagai pemuda she Ok bernama Kui Lun. Padahal ia tidak tahu siapakah sebetulnya Ok Kui Lun ini!

Namun, bagi para pembaca yang telah mengikuti cerita sebelum ini dalam serial Yap-goanswe pasti tahu dan cukup mengenal baik siapakah sebetulnya pemuda yang tidak dikenal Ceng Bi itu. Benar, dia memang Kui Lun putera panglima besar Ok-ciangkun yang tewas dalam peperangan antar kerajaan itu. Dan pemuda inilah yang menjadi kakak kandung kekasih Pendekar Gurun Neraka, gadis yang bernama Siu Li itu namun yang tewas karena bunuh diri!

Inilah dia Ok Kui Lun itu, pemuda sebatangkara yang ditinggal mati oleh adik kandung serta ayahnya sendiri itu, bahkan juga oleh nenek sakti Mo-i Thai-houw yang menjadi gurunya! Inilah pemuda yang memendam dendam kesumat terhadap banyak orang itu, dan salah satu di antaranya adalah Sang Pendekar Gurun Neraka yang telah mengakibatkan tewasnya adik kandungnya yang tercinta!

Kui Lun memang sedang mabok dendam, dan kematian orang-orang yang merupakan keluarga dekat baginya itu terlalu hebat untuk pemuda ini. Bahkan, kalau dia tidak cepat bertindak barangkali dulu itupun dia juga sudah binasa dalam kepungan bala tentara Yueh yang telah mengurung kota raja itu. Namun syukurlah, berkat nasibnya yang masih mujur akhirnya dia dapat juga lolos dari istana yang telah diserbu habis-habisan oleh anak buah Yap-goanswe itu meskipun dia sendiri tidak luput dari luka-luka di sekujur tubuhnya.

Pemuda ini melarikan diri, jauh dari kota raja yang telah menjadi kota neraka itu sampai akhirnya dia roboh tidak sadarkan diri di suatu tempat sunyi di sebuah pegunungan. Pemuda ini hampir saja mati kehabisan darah, akan tetapi seseorang ternyata telah menolongnya dari renggutan elmaut. Dan berkat bantuan orang itulah Kui Lun selamat, bahkan diambil murid oleh bintang penolongnya itu yang ternyata adalah seorang tokoh besar yang sudah lama tidak menampakkan diri!

Inilah sekelumit cerita menyedihkan dari putera mendiang Ok-ciangkun itu, dan Kui Lun sendiri yang menghadapi kenyataan ini ternyata sama sekali tidak menolak. Bahkan pemuda itu bangkit semangatnya begitu dia tahu siapakah gerangan gurunya yang nomor dua ini, seorang jago besar yang bukan lain adalah susiok (paman guru) Yap-goanswe sendiri, adik seperguruan (sute) dari Malaikat Gurun Neraka yang dikenal bemama Sin-hwi-ciang, pelarian dari Pulau Hek-kwi-to!

Maka dari sini dapatlah kita bayangkan, betapa akan hebat jadinya apabila bekas murid nenek sakti Mo-i Thai-houw itu kelak berhadapan dengan suhengnya sendiri, Pendekar Gurun Neraka yang menjadi niurid tunggal sang pendekar besar. Takla Sin-jin. Sin-hwi ciang akan menghadapi Malaikat Gurun Neraka sedangkan Kui Lun akan menghadapi bekas Jendral muda Yap.

Dua orang kakak beradik seperguruan itu akan saling tempur, dan kesudahan dari pertandingan besar macam ini sungguh sukar untuk diramalkan. Yang jelas, tentu dari pertempuran adu jiwa begini tidak boleh tidak bakal menimbulkan korban jiwa. Hanya, siapakah yang harus menyerah? hal itu belumlah dapat di ketahui!

Dan Cang Bi yang tidak mengetahui rahasia ini memang sama sekali tidak mengerti. Gadis itu tidak tahu, betapa besar sakit hati yang menggerogoti batin hati iblis dari Hek-kwi-to itu, seperti juga gadis ini tidak tahu betapa besar dendam yang tersimpan di dalam hati Ui-i-siauw-kwi". Karena itu, meskipun Ceng Bi sudah berusaha memeras otaknya, tetap saja ia tidak mampu memecahkan rahasia tentang siapakah sebetulnya pemuda baju kuning itu.

Juga ia tidak tahu, mengapakah ia dijebak dalam tempat yang seperti ini oleh lawannya itu. Aaplagi hadirnya Jing-ci-touw Kam sin di tempat itu benar-benar semakin membingungkan pikirannya. Dan sementara Ceng Bi termenung ini tiba-tiba dinding sebelah kanan kembali berdetak. Ceng Bi terkejut, dan cepat gadis ini menoleh. Kiranya, yang datang adalah orang yang selama ini ditunggu-tunggunya. Si pemuda baju kuning!

"Ui-i-siauw-kwi!" Ceng Bi berseru perlahan dan pemuda itu melangkah lebar sambil tetsenyum.

"Nona Souw, selamat pagi....!" pemuda itu menegur halus namun muka Ceng Bi sudah marah padam dan gelap seperti awan hitam di langit bersih.

Gadis ini tidak menjawab, malah mendelik dengan sinar mata berapi-api. "Manusia she Ok, iblis jahanam yang tidak tahu malu, kenapa kau menawanku di sini? Apa maksudmu dengan perbuatanmu yang amat licik ini?" Ceng Bi membentak dengan suara gusar.

Sementara pemuda itu tiba-tiba menghela napas panjang. Dia tidak segera menjawab, melainkan menutup pintu dan Baru setelah itu kembali menghampiri Ceng Bi dengan muka muram. "Nona Souw, maafkan aku. Karena terlampau memikirkan keselamatanmu maka aku terpaksa melakukan hal ini. Aku tidak bermaksud buruk, percayalah...!"


Pendekar Kepala Batu Jilid 10

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 10
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Gurun Naraka
CENG BI mencoba dirinya bersikap ketus dan pemuda baju kuning itu tersenyum pahit. "Nona Souw, aku sama sekali tidak melontarkan pujian kosong. Apa yang kukatakan adalah bukti yang sebenarnya. Karena itu, mana bisa dibilang pujian kosong? Kau semakin marah justeru malah semakin cantik, ini adalah kenyataan yang kulihat. Mana bisa dikata bohong?"

Ceng Bi merah mukanya seperti kepiting direbus, "Ui-i-siauw-kwi, jangan kau melantur yang tidak-tidak. Aku tidak suka mendengarnya!" gadis itu membentak malu namun si pemuda baju kuning malah tersenyum menggoda.

"Nona Souw, kalau tidak suka bagaimana bisa menjadi girang?"

"Apanya yang girang?" Ceng Bi melotot.

"Hati mu itu."

"Ah, setan kau!" Ceng Bi mengepal tinju. "Dari mana kau tahu?"

"Dari sinar matamu, nona...!" pemuda itu tersenyum mesra dan Ceng Bi benar-benar merah padam mukanya.

"Ui-i-siauw-kwi, kau pemuda kurang ajar!" gadis ini membentak marah dan sekali tangannya bergerak maka mulut pemuda itupun ditampamya.

"Plakk...!" Pemuda baju kuning itu tidak mengelak dan tubuhnya terjengkang roboh saking kerasnya tamparan. Dan ketika dia bangkit, temyata bibimya telah berdarah akibat gaplokan Ceng Bi tadi! Tapi anehnya, pemuda ini malah tersenyum gembira dan sambil tertawa getir dia berkata, "Aih, nona Souw, gaplokanmu yang ini sungguh mengesankan! Terima kasih....!" pemuda itu berseru tenang dan dia memandang Ceng Bi yang berdiri dengan mata terbelalak marah.

Ceng Bi melotot sengit, dan gadis ini membanting kaki. "Ui-i-siauw-kwi, sekali lagi kau pentang bacot mulutmu itu akan kusumbat. Atau, kau memang sengaja minta digitukan?" Ceng Bi melangkah menghampiri dengan muka gelap dan tiba-tiba pemuda baju kuning itu mengangkat tangannya.

"Hentikan, tunggu dulu, nona Souw... jangan sumbat mulutku! Wah, apa kau tidak ingin pergi ke Kuilit Hitam?"

Seruan tiba-tiba ini mengejutkan Ceng Bi dan seketika itu juga gadis ini menghentikan langkahnya. Disebutnya nama "Kuil Hitam" membuat kakinya merandek seperti dipantek dan Ceng Bi memandang lawannya itu dengan kaget. "Ui-i-siauw-kwi, apa maksud ucapanmu itu....?" gadis ini menatap tajam dan pemuda baju kuning itu mengingsat-ingsutkan tubuhnya dengan sukar.

"Nona Souw, ini… ah, ikatan mengapa terlampau erat? Uhh, sukar sekali aku menggerakkan tubuh..." pemuda itu meringis kecut namun Ceng Bi tidak perduli.

Gadis ini tetap memandang tajam dan ketika pemuda baju kuning itu akhirnya dapat bersandar di bawah pohon, Ceng Bi mengulang pertanyaannya, "Apa maksud ucapanmu tadi dengan menyebut nama Kuil Hitam?"

Pemuda baju kuning itu mengangkat kepalanya. "Nona Souw, kalau saja kau mau menuruti kata-kataku, maka barangkali sebaiknya sekarang ini juga kau pergi ke Kuil Hitam itu. Di sana Wen taijin bakal mengalami penderitaan hebat, karena selain dia juga terdapat isteri dan anak-anaknya yang telah ditawan Si Pisau Kilat. Di samping itu, beberapa pembeaar istana juga telah berhasil di culik oleh gerombolan liar yang dipimpin oleeh Si Pisau Kilat ini beserta suhengnya. Satu diantaranya malah bekas pembantu setia Yap-goanswe!"

"Apa? Yap-goanswe…?" Ceng Bi terbeliak.

"Ya, bekas jenderal muda itu, tapi yang kini lebih dikenal dengan julukan Pendekar Gurun Neraka!" pemuda itu mengangguk.

Ceng Bi terkejut dan gadis ini hampir saja mengeluarkan seruan tertahan. Akan tetapi untunglah, dia mampu menahan diri dan hanya wajahnya saja yang menunjukkan adanya perobahan gejolak rasa di dalam batinnya karena disebutnya nama Pendekar Gurun Neraka itu sungguh-sungguh mengguncangkan hatinya. Karena itu, Ceng Bi lalu memandang tajam pemuda baju kuning itu dan dengan suara penuh selidik dia bertanya, "Ui-i-sjauw-kwi, kau tahu dari manakah semua berita ini? Dan apakah kau dapat mempertang-gungjawabkan kata-katamu ini?"

Pemuda baju kuning itu tertawa. "Aih,... nona Souw, kenapa aku tidak dapat mempertanggung jawabkan kata-kataku sendiri? Dan apakah kau kira aku ngibul? Hmm, kau terlalu meremehkan diriku, nona, dan agaknya kau masih merasa sangsi. Baiklah, kalau nona tidak percaya boleh buktikan dulu keteranganku itu. Pertama-tama, nona bersama kakak nona bukankah sekarang ini sedang merat dari Beng-san?"

Pertanyaan ini seperti halilintar saja bagi Ceng Bi dan gadis itu sampai melompat ke belakang saking kagetnya. "Kau... dari mana tahu tentang hat ini?" Ceng Bi menudingkan telunjuknya dengan muka berobah pucat namun pemuda baju kuning itu malah tertawa perlahan.

"Nona Souw, jangan terlalu kaget. Berita sedemikian ringan saja bagaimana aku tidak tahu? Ah, itu soal kecil bagiku. Nona tidak perlu cemas, karena agaknya hal inipun hanya aku saja yang mengetahuinya. Dan kepergian nona ini, bukankah karena...maaf.. menolak maksud perjodoban dengan putera Bu-tiong-kiam Kun Seng?" pemuda itu memandang ganjil dan Ceng Bi tersentak mendengar omongan ini.

"Ui-i- siauw-kwi, kau.... kau ini siapakah? Bagaimana bisa mengetahui urusan pribadi orang lain? Apakah kau ini seorang siauw-jin (manusia rendah) yang tidak tahu malu?" Ceng Bi mulai bangkit kemarahannya tapi tiba-tiba pemuda baju kuning itu menarik napas panjang.

"Nona Souw, maaf kalau aku telah menyinggung perasaanniu. Apa yang kukatakan tadi sekedar untuk menyebabkan rasa remehmu terhadap diriku. Akan tetapi kalau nona ingin tahu, aku bukanlah seorang siauw-jin! Aku menghargai keputusanmu yang mengagumkan ini, berani menentang orang tua sendiri yang dianggap tidak benar, seperti juga aku sendiri yang telah menentang beberapa sikap suhuku yang melanggar norma-norma hukum. Akan tetapi, apakah tindakan ini kelak tidak mengundang bencana? Terus terang, aku mengkhawatirkan keselamatanmu dan karena itulah aku ingin membantumu..."

Pemuda itu berhenti sejenak dan dia memandang Ceng Bi dengan sinar mata lembut. Tapi orang yang dipandang bergetar ngeri dan Ceng Bi melengoskan kepalanya. Karena itu, pemuda ini lalu melanjutkan kata-katanya dengan suara halus, "Nona Souw, apakah kau tidak ingin menghindarkan diri dari keributan besar yang bakal terjadi di dunia kang-ouw?"

Ceng Bi terkejut dan gadis itu menoleh. "Apa... apa maksudmu?"

Pemuda baju kuning itu tiba-tiba bersikap serius. "Nona, dalam tahun ini juga dunia kang-ouw bakal mengalami kegemparan yang tidak kepalang tanggung. Beberapa orang tokoh hitam telah merencanakan sesuatu dan sasaran mereka terutama adalah kaum pendekar yang amat mereka benci. Satu diantaranya yang amat mereka musuhi adalah....ayahmu. Karena itu, apakah tidak sebaiknya kalau nona kembali saja ke Beng-san?"

Ceng Bi mengedikkan kepalanya dengan tinju terkepal. "Ui-i-sianw-kwi, aku bukan pengecut yang akan lari melihat musuh! Apakah kau hendak merendahkan diriku?"

Pemuda itu tertawa pahit. "Aih, nona Souw, kau terlalu mengagulkan diri. Terus terang, aku tidak mengurangi rasa kagumku atas keberanianmu yang berapi-api ini. Akan tetapi, nona, semua keberanian haruslah diimbangi dengan kecerdikan. Kalau tidak, bukankah peristiwa yang kau alami di perkumpulan Hiat-goan-pang bakal terulang?"

"Kau... tahu tentang hal ini juga?" Ceng Bi terbelalak kaget.

"Tidak salah nona," pemuda itu mengangguk. "Tapi itu hanya kabar berita saja yang kudengar."

"Ahh…!" Ceng Bi berseru perlahan dan gadis itu memandang pemuda baju kuning ini dengan mata tidak berkedip. Peristiwa yang terjadi di perkumpulan Hiat-goan-pang itu belumlah lama, bagaimana pemuda ini bisa tahu? Dan gerak-geriknya yang merat dari Pegunungan Beng-san pun diketahuinya! Setan, siapakah sebenarnya pemuda Kui Lun? Namanya Kui Lun....?

"Orang she Kui...." Ceng Bi mengganti pangilannya dengan suara serak, tapi, tiba-tiba pemuda baju kuning itu mengulapkan tangannya sambil tertawa,

"Noua Souw, aku bukan orang she Kui, melainkan she Ok. Nama lengkapku adalah Ok Kui Lun. Ada apakah, nona? pemuda itu menerangkan sambil tersenyum dan muka Ceng Bi merjadi merah karena salah terka.

"Hm, baiklah.... kau orang she Ok atau she Kui bagiku sama saja. Tapi barangkali lebih baik tetap kupanggil saja kau Ui-i-siauw-kwi!" Ceng Bi menjawab setengah uring-uringan dan pemuda baju kuning itu tertawa kecut. "Ui-i-siauw-kwi!" Ceng Bi setengah membentak jengkel. "Kau pringas-pringis seperti monyet kelaparan ada apakah? Memangnya minta digampar lagi?"

Gadis ini melotot marah dan pemuds baju kuning itu terpaksa menutup mulutnya. Karena itu, gadis ini lalu melangkah maju dan Ceng Bi menghardik, "kau rupanya bicara kian mengacau saja. Dan terus terang, aku lama-lama menjadi sebal. Sekarang, untuk membuktikan semua omongaumu itu apakah kau masih bisa dianggap sebagai laki-laki sejati?"

Pemuda baju kuning itu terbelalak. "Lho, laki-laki sejati macam apa yang kau maksudkan, nona?"

"Laki-Lki sejati yang tidak suka menipu wanita!"

"Maksudmu…?"

"Kau harus membuktikan semua ceritamu tadi tentang nasib Wen-taijin di Kuil Hitam!"

"Ah, dan nona sudah tahu di mana letaknya itu?"

"Tidak, karena itu kau harus ikut denganku sebagai penurjuk jalan!" Ceng Bi memandang keras dan pemuda baju kuning itu menyeringai. "Aih, none Souw, bagaimana kalau aku juga tidak tahu letak Kuil Hitam?"

Ceng-Bi tiba-tiba mencabut pedangnya, gadis ini membentak, "Gara-gara kau aku tidak dapat berbuat sesuatu ketika Wen-taijin ditawan orang-orang liar itu, dan untuk ini kau harus menebus dosa. Karena itu sekarang kau tinggal pilih, kugantung sekarang juga di atas pohon itu seperti babi disembeh atau mengantarku ke Kuil Hitam!" Ceng Bi menodongkan ujung pedangnya ke leher pemuda itu dan lawannya ini tersenyum kecut.

"Wah, nona Souw, kau temyata galak juga, ya? Tapi seandainya aku memilih yang digartung saja, apakah kau tetap menungguiku di sini?"

Ceng Bi merah mukanya. "Cih, siapa sudi mengurusimu? Begitu kugantung maka begitu pula aku akan meninggalkanmu!"

"Ah, kalau begitu aku pilih yang nomor dua saja, nona. Tentu akan selalu bersamamu sampai di tenipat tujuan," pemuda itu tertawa dan Ceng Bi mendongkol mendengar kata-katanya ini. Akan tetapi karena dia memang sudah memberikan pilihan, tiada jalan lain bagi Ceng Bi kecuali menurati permintaan itu.

Maka gadis ini lalu memasukkan pedangnya dan sehelai tambang dikeluarkamya dari saku dalamnya. Kemudian, sementara pemuda baju kuning merasa heran melihat gadis itu mengeluarkan tambang, Ceng Bi tiba-tita telah mendekatinya dan melibat-libatkan tali ini di pinggangnya.

"Lho, untuk apa lagi tali ini diikitkan ke pinggangku, nona...?" pemuda itu tak dapat menahan keheranannya untuk bertanya dan Ceng Bi menjawab singkat,

"Untuk menyeretmu sampai ke Kuil Hitam."

Pemuda itu terbelelak, dan tiba-tiba dia ter tawa geli. "Wah, nona Souw, apa-apaan ini? Kalau aku diseret, tentu bakal menarik perhatian orang! Kenapa tidak dilepas malah diikat lagi? Aih, kau terlalu sekali, nona. Padhal dengan menotokku saja kiranya sudah cukup. Mana aku bisa lari?'

Tapi Ceng Bi tidak menggubris. "Ui-i-siauw-kwi, kau adalah tawananku. Karena itu, jangan banyak cerewet lagi. Hayo berangkat.....!"

Gadis ini menyendal tali dan pemuda baju kuning itu menyeringai kesakitan. "Aduh, pelan-pelan, nona Souw... kulitku tergesek, nih!" pemuda itu berteriak pesih namun Ceng Bi tertawa.

Orang she Ok, jangan berlagak blo'on. Aku tahu bahwa kau dapat melindungi kulitmu dengan sinkang. Kalau kau membiarkannya, itulahr bukan salahku. Siapa perduli,?" gads ini bersikap tak acuh dan tiba-tiba dia berlari cepat. Tubuh dibelakang otomatis berloncatan kian kemari terbentur-bentur dan pemuda baju kuning itu mengeluh.

"Aduh. nona Souw, pelan-pelan.... bajuku robek-robek, nih... wah, celaka... celaka... siapa sangka kau bisa berlaku demikian kejam terhadap orang lain… wah, sialan aduh…!" pemuda itu berteriak-teriak di belakang Ceng Bi dan apa yang dikatakan itu memang benar. Bajunya mulai robek-robek dan sebentar saja sudah compang-camping tak karuan.

Tapi Ceng Bi tidak perduli, malah semakin pemuda itu berteriak-teriak dia semakin "tancap gass" melirikan korbannya yang terpental-pental diatas tanah itu. Akibatnya, tahu bahwa gadis itu agaknya gemas mendengar dia berkaok-kaok seperti ayam diserbu elang pemuda ini lalu menghentikan teriakannya. Dia tidak lagi berkaok-kaok malah justeru sekarang memejamkan mata meumsatkan konsentrasinya. Tubuh yang terbanting-banting pedih di atas tanah itu cepat dilindungi dengan hawa sinkang, dan ternyata pemuda itu memang kuat sekali. Seretan Ceng Bi yang keras di atas tanah sama sekali tidak melecetkan kulitnya, bahkan agaknya ikut mengeraskan tubuh pemuda ini menjadi seperti baja liat.

Dan hal ini rupanya sudah dimaklumi Ceng Bi pula. Terbukti gadis itu bersikap tidak perdulian dan menyeret lawannya sesuka hati. Karena itu, sekarang tampaklah pemandangan yang aneh, seorang gadis berlari cepat menyeret seorang penuda yang bajunya sudah hancur tidak karuan. Dan pemuda baju kuning yang diseret-seret seperti itu, tampaknya tidak menderita sedikitpun juga malah seperti orang tidur nikmat dengan kedua mata terpejam. Demikian asyiknya dia "menikmati" seretan Ceng Bi itu, sampai tidak tahu betapa tubuh dan mukanya penuh debu yang membuat keadaannya lebih kotor. Bahkan, pemuda ini juga tampaknya tidak tahu betapa celana di bagian bokongnya berlubang besar akibat seretan itu. Sungguh gila!

Dipandang dari kejauhan, dua orang ini memang benar-benar mirip orang gila. Yang perempuan seperti menyeret seekor babi saja sedangkan yang diseret enak-enakan "tidur" dengan senyum dikulum! Mana ada peristiwa demikian aneh. Tapi hal itu memang telah terjadi pada dua orang muda ini. Kemarahan Ceng Bi agaknya dapat terlampiaskan, dan gadis itu memang benar-benar melampiaskan kegemasannya. Karena itu, tidak aneh jika gadis ini bersikap keras terhadap si pemuda baju kuning yang selalu disebutnya "Ui-i-siauw-kwi" alias '"Setan Cilik Baju Kuning" ini. Dan ganjilnya, pemuda baju kuning itu sendiri tidak kelihatan sakit hati. Bahkan masih dapat menggoda lawannya dengan sikapnya yang membuat Ceng Bi semakin gemas.

Kini dua orang itu mengikuti jejak kaki kuda, dan Ceng Bi untuk sementara waktu tidak perlu bertanya kepada lawannya. Gadis ini berlari terus sampai berkeringat, untuk akhirnya ketika tiba di sebuah ngarai Ceng Bi pun kehiiangan jejaknya.

"He, bangun, setan....!" Ceng Bi membentak gemas melihat lawannya tertidur dan diam-diam gadis itu mendongkol sekali. Jauh-jauh dia berlari sambil menyeret orang sampai berpeluh, eh orang yang diseret malah mendengkur perlahan! Siapa tidak merah mukanya?

Pemuda baju kuning itu tampak terkejut, dan pemuda ini gelagapan. "He, ada apa, nona Souw…? Perang...? Peetempuran di Kuil Hitam…?" pemuda itu langsung bicara tidak karuan dan Ceng Bi mendelik gusar,

"Apanya yang perang?" gadis ini membentak. "Aku bilang kau bangun… bukan perang! Siapa Wang perang? Kau... pemalas melebihi kerbau, bagaimana bisa enak-enakan tidur mendengkur? Cih, susah payah aku membawamu ke sini dan kau tidur seperti babi saja!"

Ceng Bi uring-uringan dan pemuda baju kuning itu membelalakkan matanya. "Ah… aku mendengkur nona...? wah, tidak mungkin, itu mustahil....!" pemuda itu berseru seperti orang tidak percaya dan Ceng Bi hampir saja menggaplok mukanya lagi.

"Apanya yang tidak mungkin?" Ceng Bi membentak. "Kau memang mendengkur dan telingaku mendengar jelas, mengapa bilang tidak mungkin? Awas kau Ui-i-siauw-kui, jangan bilang telingaku yang rusak...!" gadis ini marah-marah dan pemuda baju kuning itu melenggong.

"Ah, begitukah, nona...?" hanya ini yang keluar dari mulutnya dan tiba-tiba pemuda baju kuning itu melonjak. "He, kalau begitu, kenapa nona membangunkan aku? Kita ini sekarang sedang berada di manakah?"

Pemuda itu menoleh ke kanan kiri dan akhirnya berhenti memandang Ceng Bi. Orang yang ditanya cemberutkan mulut, dan Ceng Bi mendengus. "Ui-i-siauw-kwi, kau ini rupanya bukan orang genah. Kalau tidak, mengapa panas-panas begini ngorok seperti ayam biang? Ih, mual benar perutku ini menyaksikan sikapmu itu. Kalau saja tidak kuperlukan, tentu kulempar tubuhmu ke bawah jurang itu". Ceng Bi menarik muka dengan sikap sebal dan lawannya itu tertawa ditahan.

"Kenapa kau tertawa?" Ceng Bi tiba-tiba membentak.

Pemuda baju kuning itu terkejut. "Eh, maaf, nona.... aku tidak sengaja!"

"Hm, memangnya di dunia ini ada orang yang ketawa dengan sengaja!" Ceng Bi semakin sengit dan pemuda itu tampaknya jadi serba salah.

"Wah, nona Souw, sejak tadi kau selalu marah-marah saja. Sebenamya, apa sih yang menjengkelkan dari diriku ini? Bukankah aku sudah menerima pembalasan? Lihat, bajuku sudah tidak berbentuk baju lagi dan celanakupun agaknya juga demikian, Mengapa aku masih disemprot melulu?"

Ceng Bi pelototkan mata. "Memangnya kau tidak menjengkelkan, ya? Memangnya kau tidak pantas disemprot? Uh, dasar laki-laki tidak tahu diri. Lihat nih, kita berada di mana dan buka matamu itu lebar-lebar. Aku kehilangan jejak kereta Wen-taijin dan kau enak-enak mendengkur seperti kerbau malas saja! Bagaimana kau tidak minta dimaki?"

Pemuda baju kuning itu bengong, dan akhir-nya dia menggeleng-gelengkan kepalanya seperti orang tak habis pikir. Melihat dara manis mangar-mangar pipinya dia malah tertegun penuh pesona. Karena itu, tidak heran apabila Ceng Bi tiba-tiba kembali membentaknya gusar,

"Manusia she Ok, mengapa harus mendelik ke sini? Apa matamu itu minta dicukil?"

Pemuda itu terkejut. "Eh, apa, nona? Aku mendelik…? Wah, maaf… aku tidak sengaja! Ih, mengapa mataku ini? Memangnya minta digaplok?" pemuda itu tersipu kaget dan baru saja habis ucapannya tiba-tiba dia benar-benar menggaplok pelupuk matanya dua kali.

"Plak-plaakk....!"

Nyaring juga suara ini dan seketika itu juga mata pemuda itu membenglak! Ceng Bi yang melihat jadi terkejut dan kemarahannya langsung mencair setengah bagian. Ia terbelalak, dan saking tak tahan menyaksikan perbuatan itu gadis ini berseru perlahan, "Ui-i-siauw-kwi, apakah otakmu miring?"

Tapi pemuda itu malah tertawa. "Ha-ha, nona Souw, daripada dicukil olehmu bukankah lebih baik digaplok saja? Nah, inilah hukumannya bagi orang yang suka melotot jika melihat gadis cantik!"

Ceng Bi merah mukanya. "Ui-i-siauw-kwi, kau rupanya benar-benar gila. Siapa mau mencukil matamu sungguh-sungguh?"

"Ah, tapi nona tadi bilang begitu!"

"Memang, karena aku gemas dengan ulahmu itu."

"He, jadi kalau begitu nona main-main…?"

"Siapa main-main?" Ceng Bi menjawab galak, "Kalau kau benar-benar kurang ajar aku tentu tidak segan-segan mencukil matamu yang melotot tidak sopan itu!"

"Wah...."

"Apanya yang wah?!" Ceng Bi menyemprot ganas.

"He-he..." pemuda baju kuning itu meringis, "...aku jadi bingung menghadapi watakmu yang aneh ini, nona Souw! Wah, bagaimana aku bersikap terhadap gadis macammu ini, ya? Semua kurasa serba membingungkan. Aih, sudahlah, aku tidak akan menggodamu lagi. Kita sudah sampai di sini, baiklah... dan kita harus segera mencari kuil itu. Eh, bukankah di sebelah timur terdapat sebuah lembah?" pemuda itu memandang Ceng Bi. "Nona Souw, coba kau buktikan dugaanku ini…!"

Karena tidak dapat berdiri, pemuda ini menyuruh Ceng Bi yang melihat. Dia masih terlentang di atas tanah berbatu, maka apa yang dimaksud itu tidak dapat dilihatnya sendiri. Tapi Ceng Bi yang berdiri di situ, segera dapat menyaksikan adanya sebuah lembah di arah timur. Betul seperti apa yang diucapkan oleh pemuda itu. Karena itu, Ceng Bi menjadi berseri mukanya.

"Ui-i-siauw-kwi, di sebelah timur memang terdapat lembah! Apakah di situ letaknya Kuil Hitam?"

Akan tetapi pemuda baju kuning menggelengkan kepalanya. "Tidak, nona Souw. Kull Hitam bukan berada di lembah itu. Namun untuk menuju ke kuil itu kita harus melalui lembah ini. Apakah masih ada pohon siong tua di depan lembah?"

Ceng Bi mengerahkan pandangannya. "Ya, malah ada tiga buah yang berderet saling teratur..."

"Ah, bagus, itulah tiga pohon Dewa yang menjaga lembah!" pemuda itu berseru. "Nona Souw, kita tidak salah masuk, hayo cepat kesana. Dekati pohon yang di ujung kanan dan teliti apakah ada lubang sebesar tempayan di dahan yang paling bawah."

Ucapan gembira ini membangkitkan semangat Ceng Bi dan karena dia mulai percaya terhadap pemuda baju kuning itu, Ceng Bi lalu menyendal tambangnya dan berkata, "Ui-i-siauw-kwi, hayo kita berangat dan sekali tarik saja tubuh pemuda itupun di seretnya seperti tadi.

Pemuda baju kuning ini menyeringai, dan cepat dia mengerahkan sinkang untuk melindungi tubuhnya. Tapi kali ini dia tidak cerewet lagi, dan juga tidak memejamkan mata. Karena itu, dengan mata melek pemuda ini membiarkan saja tubuhnya diseret Ceng Bi yang mulai berjalan di alas rerumputan. Hal ini tidak membuat mukanya dikepul debu lagi, dan pemuda itu bersikap jadi lebih tenang daripada tald. Bahkan, sepasang matanya menyinarkan suatu kegembiraan tersembunyi yang tidak diketahui siapapun.

Sampai akhirnya, setelah berlari sepeminuman teh lamanya tibalah Ceng Bi di depan mulut lembah itu. Gadis ini melepaskan tambangnya, dan tanpa banyak bicara lagi melompat menghampiri tiga pohon raksasa yang berdiri tegak di depan lembah itu. Ceng Bi langsung menghampiri pohon di sebelah kanan, dan dengan kaki ringan melompat ke atas daha paling bawah seperti yang dibicarakan oleh pemuda baju kuning tadi. Dan begitu dia menginjakkan kakinya di dahan ini, ternyata betul saja ada sebuah lubang besar yang menganga lebar. Lubang sebesar tempayan yang dapat dimasuki orang namun yang dalamnya gelap gulita!

"Hai, kata-katamu betul Ui-i-siauw-kwi. Ada lubang dipohon ini!" Ceng Bi berseru girang. "Tapi gelap amat di dalamnya!" gadis itu menambahkan.

"Ha-ha, tentu saja, nona Souw, karena lubang itu merupakan mulut di bawah tanah. Bagaimana tidak gelap?" pemuda itu tertawa. "Dan kita harus memasuki lubang ini menembus jalan bawah tanah."

"Hm, dari mana kau tahu semua ini;, orang she Ok?" Ceng Bi mengeryitkan alisnya memandang curiga.

"Ah, nona, aku jelek-jelek begini adalah seorang kelana, bagaimana tidak tahu tentang keadaan di sini? Dua tahun yang lalu aku pernah lewat di lembah ini, dan secara kebetulan karena malam tiba akupun bermaksud melepas lelah di atas pohon ini. Dan seat itulah kuketahui adanya lubang gua itu, yang menembus masuk. Dan turun ke bawah kira-kira satu lie dalamnya. Apakah nona takut?"

Kalimat terakhir ini membuat muka Ceng Bi merah. "Orang she Ok, apakah kau kira aku takut memasuki gua gelap yang belum kukenal? Masuk ke mulut seekor nagapun aku berani! Siapa takut?"

Pemuda baju kuning itu tertawa. "Ha-ha, bagus, sungguh mengagumkan. Tidak percuma kau menjadi puteri pendekar besar macam Ciok-thouw Taihiap itu, nona Souw."

Akan tetapi Ceng Bi tidak menggubris pujian ini. Meskipun dia memang betul tidak takut memasuki lubang yang dikatakan sebagai mulut gua oleh pemuda baju kuning itu, namun Ceng Bi bukanlah gadis yang sembrono. Karena itu, dia lalu memandang lawannya, berpikir-pikir sejenak mencari akal dan tiba-tiba bertanya, kalau labang ini jauhnya satu lie, lalu di manakah Kuil Hitam berada?"

Pemuda baju kuning itu tersenymn. "Tentu saja bukan di dalam lubang itu, nona. Kuil Hitam bukan di terowongan bawah tanah melainkan di atas tanah biasa!"

"Hm, kalau begitu, mengapa mesti memasuki lubang ini?" Ceng Bi memandang tajam.

"Karena kita hendak mengambil jalan pendek."

"Jalan pendek?"

"Ya!" pemuda itu mengangguk tegas.

"Ui-i-siauw-kwi " Ceng Bi menjadi bingung. "Apa yang kau makaudkan dengan jalan pendek itu?"

"Nona Souw," pemuda ini tertawa lembut, "Apa yang kumaksudkan dengan jalan pendek itu bukan lain adalah jalan yang dapat menembus langsung ke sebuah ruangan di tengah tengah Kuil Hitam. Seperti kau ketahui, kalau Si Pisau Kilat dan kawan-kawannya berada di kuil itu, bukankah masuk secara berdepan bakal ketahuan? Nah, untuk itulah aku mengajakmu mengambil jalan pendek ini. Kita dapat memasuki kuil tanpa orang lain tahu."

"Hm, keterangan yang manis sekali, orang. she Ok!" Ceng Bi tersenyum Mengejek. "Dan kau agaknya hendak main gila di sini!"

"Ah, main gila bagaimana, nona Souw?" pemuda itu rampak terkejut.

Ceng Bi menjengekkan suaranya dari hidung. "Ui-i-siauw-kwi, dari kata-katamu tadi ada sesuatu kejanggalan yang terdapat, dan kau agaknya mengarang cerita yang teratur rapi. namun, orang she Ok, aku bukankah gadis ingusan yang bisa kau tipu mentah-mentah!"

Gadis itu memandang marah dan pemuda baju kuning membelalakkan matanya. "Aih, nona Souw, apa makaud ucapanmu ini? Aku sama sekali tidak mengerti!"

"Hm, bagus kalau begitu. Kecerdikanmu menjadi semakin sempurna, orang she Ok!" Ceng Bi mencibir. "Dan kau rupanya sedang merencanakan sesuatu untuk menjebakku dengan perantaraan lubang gua ini!"

"Ahh...!" pemuda baju kuning berseru kaget. "Dari mama kau bisa menuduhku begitu, nona Souw? Itu tidak beralasan!"

"Hm, kenapa tidak beralasan? Kejanggalan ceritamu cukup dibuat curiga!"

"Kejanggalan cerita?" pemuda itu semakin terbelalak.

"Ya!" Ceng Bi meradang pipinya. "Kejanggalan ceritamu itulah!"

"Astaga, kejanggalan ceritaku di bagian manakah, nona?" pemuda ini masih tidak mengerti dan Ceng Bi mergepal tinju.

"Ui-i-siauw-kwi, kalau kau menceritakan tentang semua keadaan gua ini, termasuk juga tempat yang dapat menembus ke dalam salah atu ruangan di tengah-tengah Kuil Hitam, lalu apakah ini tidak patut dicurigai? Kau tahu tentang itu semua dan memang ternyata benar, apakah ini tidak bisa dibilang bahwa kau adalah komplotan orang-orang di Kuil Hitam? Hanya golongan orang-orang tertentu sajalah yang bisa mengetahui keadaan bangunan yang mereka tinggali. Dan kau rupanya anggauta mereka itu!"

Ceng Bi mulai berapi sinar matanya dan pemuda baju kuning itu tampak terkejut bukan main. Wajahnya menjadi pucat, tapi hanya beberapa detik saja. Dan setelah dia mampu menguasai diri, pemuda itu berseru, "Nona Souw, kecurigaanmu kelewat besar, tidak teliti! Mana bisa dipercaya..?"

"Hm, kenapa tidak bisa dipercaya? Dan apanya yang tidak teliti?' Ceng Bi mulai gusar.

Tapi pemuda baju kuning itu tampaknya tidak perduli. Dia tetap berkeras dengan pendapatnya dan berkata, "Nona Souw, perlahan dulu. Kau memang cerdik tapi kecerdikanmu kali ini terlalu menyeleweng. Kalau kau katakan bahwa aku adalah anggota Si Pisau Kilat, katakanlah sebagai anak buahnya, lalu kenapa aku mencegah dirimu ketika hendak melawan tokoh hitam itu? Kalau aku pengikutnya, tentu aku akan membiarkanmu saja berhadapan dengan iblis itu!"

Ceng Bi tertegun, dan gadis ini terpaksa mau juga melihat kenyataan itu. "Akan tetapi," Ceng Bi tidak mau kalah. "Bagaimana kau bisa tahu persis keadaan lubang gua ini?" tangkisnya tajam.

"Hm, itu sih karena hasil penyelidikanku sendiri, nona, kareua akulah yang telah menggali jalan tembus ke ruangan di Kuil Hitam," jawab si pemuda baju kuning.

Ceng Bi hampir puas, tapi tiba-tiba gadis itu membelalakkan matanya, "Ui-i-siauw kui, kalau begitu, Kuil Hitam terletak di dalam lembah?"

Pemuda baju kuning tampak terkejut oleh pertanyaan ini namun dia rupanya juga sudah mempersiapkan jawaban, karena pemuda itu menggelengkan kepalanya tegas-tegas, "Tidak, nona So-uw, bukan di lembah "

"Kalau begitu di mana?' Ceng Bi bangkit kembali rasa curiganya dan dia memandang lawannya penuh selidik. "Kau sendiri tadi bilang bahwa gua ini menuju ke Kuil Hitam, dan melihat luasnya lembah, kalau jarak satu lie saja tentu masih berada di dalam lembah ini. Bagaimana bilang tidak?"

Pemuda itu tiba-tiba tertawa. "Nona, kau tidak tahu bahwa sesunguhnya jalan tembus di gua bawah tanah ini menurun ke bawah, terus menuju ke sebuah sungai di seberang jurang. Nah, di pinggir sungai itulah Kuil Hitam berada. Daerah ini sudah di luar lembah, jadi memang betul bukan terletak di dalam lembah. Karena itu, kalau nona ingin membuktikannya maka kita harus memasuki lubang ini. Kutanggung, mulut gua itu hanya aku sendiri yang tahu, belum ada orang lain!"

"Bagaimana kau merasa yakin?"

"Karena aku telah menaruh seekor ular di mulut gua itu."

"Ih…?" Ceng Bi terkejut. "Kau tidak main-main, Ui-i-siauw-kwi?"

"Ah, siapa main-main, nona? Kecuali kalau ular itu sudah tidak ada berarti seorang telah memasuki gua ini."

"Tapi kalau dia lepas?"

"Tidak mungkin, nona Souw!" pemuda itu membantah. "Aku telah mengikatnva sedemikian rupa."

"Hmm....." Ceng Bi terdiam sejenak, namun akhimya gadis ini menganggukkan kepala. "Baiklah, Ui-i-siauw-kwi, kalau begitu coba kubuktikan omonganmu ini..." Ceng Bi mencabut Pek-keng-kiam dan melangkah mantap menuju pohon besar yang ada lubangnya.

Pemuda baju kuning memandang, dan pemuda itu memperingatkan, "Hati-hati, nona Souw, ular itu cukup berbabaya!"

Tapi Ceng Bi hanya menjengekkan hidungnya. "Orang she Ok, jangan terlalu khawatir, aku bisa menjaga diri!"

Ucapan ini disambut dengan tarikan napas panjang dan pemuda baju kuning itu menggeleng-gelengkan kepalanya. 'Aih, gadis yang tidak kenal takut. Benar benar pantas menjadi puteri seorang pendekar besar!" dia mendesah lirih dan Ceng Bi sementara itu telah melompat ke atas dahan dengan pedang dicekal erat.

Gadis ini memang tidak bicara berlebih-lebiban, kareaa dia cukup maklum akan bahayanya seekor ular. Apalagi kalau ular itu beracun. Akan tetapi, seandainya dia celakapun tergigit ular berbisa Ceng Bi juga tidak merasa cemas. Bekal obat-obatan cukup dibawanya, termasuk obat pemunah racun ular. Maka dengan tenang saja gadis ini lalu memasuki lubang gua di atas pohon itu.

Keadaan yang gelap membuat Ceng Bi harus mengerahkan pandang matanya, dan dengan penuh kewaspadaan gadis itu melangkah maju memasuki gua. Setindak dua tindak ia melangkah, maka mulailah matanya terbiasa dengan keadaan di dalam. Akan tetapi sesuatu yang mencurigakan ternyata belum mengusik hatinya. Sampai akhirnya, ketika menginjak langkah ke lima tiba-tiba terdengarlah desis tajam seekor ular!

"Ssshh,....!"

Sepasang mata kecil yang merah mencorong tiba-tiba mengejutkan kegelapan, dan Ceng Bi melihat bangkitnya seekor benda panjang di sudut sebelah kiri. Ternyata itulah ular yang dimaksudkan si pemuda baju kuning! Maka Ceng Bi cepat bersiap dan ketika benda panjang ini tba-tiba meluncur ke arah kakinya gadis itupun menggerakkan Pek-kong-kiam ke bawah.

"Takk…!" pedang menyabet jitu namun Ceng Bi merasa kaget sekali karena ular yang menyerangnya itu melejit ke atas. Hal ini menyebabkan bacokannya luput dan sementara Pak-kong-kiam belum sempat ditarik binatang melata itu tahu-tahu sudah berada di depan perutnya menggigit pusar sambil menyemburkan uap kemerahan.

"Aih...!" Ceng Bi berseru kaget dan secepat kilat tangan kirinya menampar "pratt!" kepala ular dengan telak dapat ditimpuknya dan binatang itu mencelat sambil mendesis.

Ceng Bi berobah mukanya, dan dengan sedikit pelan dia mengumpat di dalam hati. Sungguh dia sama sekali tidak mengira bahwa ular yang menjaga pintu gua ini ternyata benar-benar cukup berbahaya. Dan belum juga detak jantungnya mereda tiba-tiba ular itu melompat ke depan dengan lidah terjulur. Gerakannya cepat bukan main, sampai Ceng Bi terkesiap saking kagetnya.

"Aih, ular terbang...!" Ceng Bi berteriak tertahan namun gadis ini sudah menggerakkan Pek kong- kiam membabat tubuh yang meluncur panjang seperti tali tambang itu.

"Tak…!" Pedang tepat membacok kepala ular, akan tetapi yang sungguh membuat Ceng Bi serasa terbamg semangatnya adalah kenyataan betapa ular itu sama sekali tidak mempan sabetan pedangnya. Kepala ular hanya tertolak ke samping, dan sebagai gantinya ekor di belakang menyambar Ceng Bi.

"Plakk...!"

Ceng Bi mencelos kaget dan gadis ini menjerit ngeri dengan mata terbelalak. Dan pada saat itu, ular terbang yang gerakannya luar biasa gesit ini tahu-tahu sudah membelokkan tubuh dan mematuk pundak Ceng Bi. Ceng Bi hampir kehilangan kesadarannya, tapi secepat kilat gadis itu sempat mengelak mundur. Pundaknya selamat dari pagutan, tapi baju luarnya ternyata kalah sebat. "Brett...!" baju itu terkuak sejengkal dan sobekannya berada di mulut ular.

"Aihh.... Ceng Bi serasa lolos dari lubang jarum dan gadis itu menjadi marah sekali. Karena itu, ketika ular jatuh lagi di atas tanah gadis ini berteriak nyaring dan membacok bertubi-tubi ke badan ular yang amat dibencinya itu. Namun sungguh luar biasa sekali. Pek-kong-kiam yang merupakan sebatang pedaag pilihan itu ternyata sama sekali tidak dapat membunuh ular ini. Binatang itu terbacok seperti orang merajang daging, tapi sedikitpun juga dia tidak terluka!

"Siluman...!" Ceng Bi berseru gusar dan dengan mata melotot gadis ini menjadi semakin sengit. Tubuh ular yang sudah rata ditusuknya bertubi-tubi itu hanya menggeliat-geliat kesakitan saja, dan sesekali ular itu berusaha membalas serangan Ceng Bi. Namun, karena Ceng Bi sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk melompat seperti tadi, maka jadilah binatang itu dihajar habis-habisan oleh gadis ini.

Ceng Bi seperti orang kesurupan saja, tapi lama-lama gadis ini menjadi ngeri sendiri. Selama hidupnya, belum pemah dia bertemu dengan ular yang kebal bacokan senjata tajam. Karena itu, tidak heran jika gadis ini lama-lama menjadi gentar dan mulai menduga bahwa ular itu agaknya hasil jadi-jadian seekor iblis seperti dalam ceritera Kauw-ce-sian.

Tapi, tepat pada saat gadis ini mulai pucat mukanya tiba-tiba terdengar seruan dari luar gua, "Nona Souw, pakai senjata ini. Cepat, sebelum dia membuatmu pingsan di dalam...!"

Dan tiba-tiba malayanglah sapotong bambu kuning sebesar jari kelingking. Benda ini menyambar Ceng Bi, dan Ceng Bi yang mendengar suara si pemuda baju kuning di luar gua itu cepat menerima benda ini. Akan tetapi, ketika tahu bahwa benda yang disambar ternyata hanyalah sepotong bambu yang tidak ada harganya, Ceng Bi berteriak marah.

"Ui-i-siauw-kwi, kau setan keparat jahanam! dengan senjata tajam saja tidak mempan dibacok bagaimana mempergunakan bambu tiada guna begini?"

Gadis itu memaki lawannya di luar namun belum habis ucapannya itu tiba-tiba terjadi sesuatu keganjiian yang mengherankan hatinya. Si ular terbang yang tadi dia bacok bertubi-tui dengan padangnya itu mendadak mendesis ketakutan dan lari ke tempat asalnya menuju ke sudut ruangan begitu melihat bambu kuning ini! Dan si pemuda baju kuning yang tadi dimaki Ceng Bi juga mejawab kecurigaan Ceng Bi.

"Nona, jangan menganggap enteng. Ular itu memang apesnya dengan bambu ini. sekali kau pukul tentu dia akan roboh binasa….!"

Maka Ceng Bi pun akhirnya percaya juga. pemuda itu, gadis ini lalu mengejar dan dengan Pek-kong-kiam masih tetap di tangan kanan sementara bambu kuning di tangan kiri diapun mengepruk ular itu tepat di bagian kepalanya. Ular ini berusaha melejit, namun agaknya karena sudah merasa ketakutan dengan bambu di tangan Ceng Bi maka gerakanya kalah cepat. Bambu kuning itu sudah mendahuluinya dan sekali Ceng Bi mengayunkan senjatanya ini, terdengarlah suara "prak" disusul terkulainya binatang itu.

Ceng Bi masih curiga, akan tetapi didorong juga oleh rasa marahnya terhadap ular ini gadis itupun masih menambahinya sekali. Maka kembali suara "Trak" ketika gadis itu menghantam bambu kuningnya. Bambu ini retak, dan ternyata ular itu sudah tidak bergerak-gerak lagi. Kepala yang tadi tidak mempan dibacok pedang, kini ternyata remuk dikepruk bambu yang tadinya dianggap Ceng Bi "tiada guna" itu!

Maka Ceng Bi berdiri tertegun, dan gadis ini benar-benar percaya sekarang. Di dalam hatinya, dia merasa aneh dengan kejadian itu. Tetapi, karena kenyataan sudah bicara di depan matanya Ceng Bi pun tidak mampu mengusir keheranannya. Hanya sekaraag Ceng Bi menjadi ingin tahu, ular macam apakah yang amat luar biasa ini. Karena itu, Ceng Bi lalu menyontek ular ini dan dengan Pek kong-kiam menjepit di tengahnya, gadis itu melompat keluar dari datam gua.

Dan begitu tiba di tempat terang, segera Ceng Bi melihat sejelasnya keadaan ular itu. "Aih, kiranya Hui-ang-coa (Ular Merah Terbang)" Ceng Bi berseru kaget dan dengan mata terbelalak dia memandang bangkai ular ini. Menurut apa yang didengar, Ular Merah Terbang memang merupakan satu-satunya jenis ular yang konon katanya tahan bacokan senjata tajam. Tapi itu oleh orang-orang yang menceritakannya dianggap sebagai ular yang ada dalam dongeng saja. Dan ayahnya sendiri yang pernah bercerita tentang ular terbang itu, juga menyatakan sambil tertawa bahwa Hui-ang-coa memang sebangsa ular dalam dongeng.

Hal-ini disebabkan karena selama puluhan tahun ayahnya malang-melintang di dunia kang-ouw, belum sekalipun ular jenis itu pernah dijumpainya. Siapa sangka, Ceng Bi yang belum banyak pengalaman itu temyata hari ini menemukan ular jenis "dongeng" itu dengan mata kepalanya sendiri. Bahkan, dengan mata kepala sendiri dia telah bertempur dengan Hui-ang-coa!

Ceng Bi terkesima, dan pemuda baju kuning yang melihat keadaan gads itu tertawa. "Nona Souw, kenapa bengong di situ? Dia sudah mampus. Lihat, tengkorak kepalanya retak dua bagian!"

Seruan ini menyadarkan Ceng Bi dan gadis itu menoleh. "Ui-i siauw-kwi, kau dari mana bisa memperoleh ular macam ini?" Ceng Bi bertanya dengan beran dan diam-diam timbul rasa anehnya terhadap pemuda itu.

Namun si pemuda baju kuning tersenyum kecil. "Nona, untuk apa mengajukan pertanyaan demikian remeh? Aku hanya memperolehnya secara kebetulan seja, di lembah ini. Dan karena kebetulan aku tahu kelemahannya, maka dia kutangkap sebagai penjaga gua."

Keterangan ini tampaknya sepele, tapi Ceng Bi merasakan adanya sesuatu yang disembunyikan. Akan tetapi, karena dia sendiri tidak tahu apa yang tersembunyi itu, diapun tidak banyak bicara. Hanya, ketika tiba-tiba teringat akan bantuan pemuda itu kepadanya Ceng Bi tiba-tiba membelalakkan mata.

"Ui-i-siauw-kwi, kau.... bagaimana dapat melemparkan bambu kuning tadi kepadaku? Dan dari mana pula kau mendapatkannyn?" Ceng Bi memandang tajam tapi pemuda itu tetap tersanyum-senyum saja.

"Nona Souw, kau ini agaknya type gadis yang paling mudah curiga. Kalau kau bertanya bagaimanakah aku bisa melemparkan bambu itu, aih.... bukankah ini jawabannya mudah saja? Aku menjentikkan jari kakiku, dan benda itupun meluncurlah ke arahmu. Masa harus dicurigai segala?"

"Dan tentang cara mendapatkannya?" Ceng Bi mengulang penuh selidik.

"Ah, itu sudah lama ada di sini, nona!" pemuda baju kuning menjawa sambil tertawa. "Karena ketika aku menangkap ular itu maka bambunya kusembunyikan di semak gerumbul itu!" pemuda ini menuding ke kiri, "...dan kalau kau tanya bagaimana aku bisa ketempat itu, wahh..., dengan berguling masa tidak bisa?"

Dia tertawa lebar dan Ceng Bi mengerutkan alisnya. Keterangan yang memang dapat diterima akal ini mau tak mau membuat gadis itu menerima juga. Hanya, tersusun rapinya jawaban itu, apakah memang betul ataukah berupa karangan belaka? Ceng Bi kembali tak dapat menjawab pertanyaan ini dan dia terpaksa menurut saja.

Karena itu, Ceng Bi lalu mergalihkan pandangannya ke bangkai ular. Menurut cerita yang pernah di dengar, ular ini mempunyai khasiat luar biasa pada bagian jantungnya. Konon, siapa yang dapat menikmati jantung Hui-ang-coa katanya dapat menjadi kebal pula terhadap segala senjata tajam seperti keadaan ular itu! Akan tetapi benarkah demikian? Kalau benar, mengapa pemuda baju kuning yang menangkap ular itu tidak membunuhnya dari dulu? Tidak tahukah dia? Atau ada maksud lain....?

Ceng Bi kembali timbul rasa curiganya. Pemuda baju kuning itu tiba-tiba saja menjadi misterius sekali baginya. Siapakah dia itu? Orang jahat atau orang baik? Kalau jahat, mengapa tidak menunjukkan gejaia-gejala kejahatan? Tapi kalau orang baik, mengapa tidak menentang Si Pisau Kilat dan gerombolanaya? Padahal, melihat kepandaiannya dia cukup lihai, bahkan barangkali terlampau lihai…!

"Ui-i-siauw-kwi...!" Ceng Bi tiba-tiba membalikkan tubuhnya. "Kau ini sebenamya siapakah?"

Pemuda baju kuning tampak terkejut oleh pertanyaan yang mendadak ini, tapi akhirnya diapun tersenyum lebar, "Nona Souw, kau selama ini tidak pernah bertanya-tanya tentang siapakah diriku ini sebenamya. Bagaimana mendadak sontak jadi ingin tahu?"

Ceng Bi merah pipinya. "Ui-i-siauw-kwi, kau jangan main-main, Aku bertanya serius!" gadis itu membentak. "Kau ini sebenarnya siapakah? Kawan ataukah lawan?" Ceng Bi melompat maju dan pemuda itu menyeringai kecut.

"Nona Souw...."

"Stop! Kau tahu dari mana bahwa aku nona Souw?" Ceng Bi memotong. "Padahal, kita selamanya belum pernah bertemu muka. Eh, orang she Ok, kuharap kau bicara jujur saja tentang hal ini jika tidak ingin aku membunuhmu!" Ceng Bi mengancam galak tapi pemuda itu tiba-tiba tertawa lepas.

"Aih, nona, mana mungkin kau akan membunuhku padahal tenagaku masih kau butuhkan? Ha-ha, berkali-kali sudah aku mendapat ancaman, akan tetapi aku percaya bahwa nona bukanlah orang kejam. Bukankah begitu, nona Souw…?"

Ceng Bi meradang. "Orang she Ok, barangkali terkaanmu itu benar sebagian tapi barangkali juga salah. Aku tidak suka bergurau kali ini dan katakan, kau ini kawan ataukah lawan? Dan bagaimana pula kau tahu bahwa aku puteri Ciok-thouw Tai-hiap?

Pemuda baju kuning itu menarik keningnya. "Nona, ayahmu adalah orang terkenal, bagaimana anak-anaknya tidak akan terkenal juga? Maka ketika untuk pertama kalinya aku berjumpa dengannau saat itu jugalah aku lalu tahu bahwa kau adalah nona Souw. Ciri-cirimu yang khas telah memberitahuku dan sebab itulah aku mengenalmu."

"Ciri-ciriku yang khas?"

"Ya," pemuda itu menganggukkan kepalanya.

"Khas bagaimana?" Ceng Bi jadi ingin tahu. "Kekhasan gadis berbaju merah."

"Ah, tapi banyak gadis berbaju merah di dunia ini!'

"Betul, pemuda itu tersenyum. "Tapi yang seberani dan secantik denganmu tidaklah banyak!"

"Ihh. Ceng Hi merah mukanya dan pujian polos ini menggetarkan jantungnya.

"Dan lagi," pemuda baju kuning itu melanjutkan, kalau toh ada gadis lain yang secantik dan seberani engkau, nona, pastilah mereka tidak dapat menyamai sinar matamu. Engkau memiliki sinar mata yang berapi-api, penuh semangat dan tidak kenal takut, juga disamping itu, sinar matamu indah sekali, nona Souw!"

"Ui-i-siauw-kwi!" Ceng Bi terbelalak tapi pemuda baju kuning itu malah memandangnya mesra. Ceng Bi jadi jengah, dan gadis ini cepat melengoskan matanya ke arah lain. Dia tidak tahan dipandang seperti itu, dan jantung Ceng Bi tiba-tiba berdebaran tidak karuan. Ada perasaan gembira mendengar kata-kata pemuda itu, akan tetapi juga ada rasa malu dan marah. Ceng Bi tidak tahu, harus bagaimanakah sikapnya dalam menghadapi pemuda yang membuatnya likat sejenak itu. Namun teringat bahwa pemuda itu belum menjelaskan tentang keadaan dirinya membuat Ceng Bi dapat menguasai kembali keadaan dirinya.

"Ui-i-siauw-kwi, jangan kau melontarkan rayuan kosong di sini. Kita tidak sedang bercanda!" Ceng Bi membentak. "kau masih belum menjawab pertanyaanku yang pokok, yakni, kau ini kawan ataukah lawan? Dan siapa engkau sebenarnya?"

Pemuda baju kuning itu menghela nafas panjang. "Nona Souw, tanpa bertanya seharusnya engkau tahu, apakah aku ini lawan atau kawan. Tapi kau masih bertanya juga. Aih… nona, tidak cukupkah sikap bersahabat orang telah kutunjukkan ini? aku jelas bukan lawanmu. Melainkan kawan yang justeru ingin melindungimu. Kalau tidak mana mungkin aku mau membantumu mencari kuil hitam?"

"Akan tetapi, kalau kau mengaku kawan, mengapa tidak menghadapi si Pisau Terbang itu? Bahkan kau malah menotokku secara licik di atas pohon!" Ceng Bi membantah.

"Benar, nona…" pemuda itu tiba-tiba muram mukanya. "Tapi apa yang kulakukan itu justeru demi keselamatan dirimu. Si Pisau Kilat terlalu berbahaya, dan barangkali tanaga kita berdua saja belum cukup. Nah melihat sikap hati-hati inilah aku terpaksa mencegahmu."

"Hm, manis juga pembelaanmu ini," Ceng Bi mengejek. "Padahal kita belum membuktikannya sendiri."

Pemuda baju kuning itu diam.

"Ui-i-siauw-kwi!" Ceng Bi membentak galak. "Apa keteranganmu sekarang untuk yang terakhir?"

"Keterangan terakhir apa lagi nona?" pemuda itu mengangkat kepalanya.

"Tentang siapa engkau ini! Keterangan apa lagi?" Ceng Bi melotot.

"Ah, bukankah sudah kuberitahukan?" pemuda itu berseru heran. "Aku adalah orang she Ok, lengkapnya Ok Kui Lun, seorang pengelana biasa saja yang sedang menimba pengetahuan di dunia kangouw."

"Hm, hanya itu saja?"

"Lha, mau bagaimana lagi nona?" pemuda ini tertawa. "Aku tidak mempunyai sesuatu yang menonjol. Keluargapun sudah tak punya lagi dan aku hidup sebatangkara saja di dunia ini, kecuali dengan guruku….!" Pemuda baju kuning ini tiba-tiba nampak muram mukanya dan kesedihan terpendam membayang di wajahnya.

Ceng Bi tersentuh, dan gadis ini tidak bertanya lagi. Hanya diam-diam didalam hatinya timbul suatu keinginan lebih jauh untuk mengetahui lebih dalam siapakah pemuda itu sebetulnya. Tetapi karena melihat muka orang tampak sedih, maka diapun mengendalikan dirinya. "Ui-i-siauw-kwi..." Ceng Bi berkata agak lunak, kalau kau benar-benar seorang kawan, biarlau aku mengakuinya juga. Namun hal ini baru kita buktikan setelah kita berada di Kuil Hitam. Untuk sementara kau harus begini dulu sampai kita tiba di sana dan karena gua itu tampaknya tidak begitu lebar, maka kau kubebaskan sebagian. Nah…!"

Ceng Bi menghentikan kata-katanya dan sebelum pemuda itu mengerti penuh apa yang dimaksudkan gadis ini, tahu-tahu Ceng Bi telah menotok dua jalan darah dipundak kirinya. Pemuda itu menggeliat dan Ceng Bi menyentuh segumpal daging yang bergetar aneh. Sedetik gadis itu terkejut, namun melihat pemuda itu meringis dan roboh dengan mulut menyeringai, Ceng Bi hilang kecurigaannya.

"Maaf, Ui-i-siauw-kwi, sinkangmu kubuyarkan dahulu untuk beberapa jam. Setelah itu kau akan pulih kembali seperti sedia kala." Ceng Bi membuka suara dan begitu habis kata-katanya ini, Pek Kong Kiam tiba-tiba berkelebat memutus ikatan di tubuh pemuda itu.

"Prat-prat-pratt …!" pedang bergerak dan semua tali itupun rantaslah. Si pemuda baju kuning bebas, dan begitu bebas, pemuda ini segera melompat bangun. akan tetapi baru saja dia melompat, tiba-tiba pemuda itu sudah menjerit kaget. Kiranya dia langsung jatuh terjerembab, karena tenaga sinkang yang ada di dalam tubuhnya benar-benar lumpuh!

"Aih…!" pemuda itu berteriak dan dia memandang Ceng Bi dengan muka merah. "Nona Souw, kenapa aku ditotok lumpuh sinkangnya begini? Kalau ada apa-apa di gua ini aku tentu tidak berdaya!"

"Hm, ada apa lagi di gua ini? kalau Hui Ang Coa ternyata masih ada di tempatnya berarti keadaan di dalam goa itu masih tidak berobah. Sama seperti yang kau masuki dulu, kosong. Kenapa harus gelisah?" Ceng Bi menjawab tak acuh dan pemuda itu terbelalak.

Nyata, dari sini kecerdikan Ceng Bi benar-benar nampak. Gadis itu agaknya masih tidak mau percaya begitu saja, dan kalau ada apa-apa di dalam sana yang tidak diketahuinya akibat permainan gila pemuda ini maka pemuda itulah yong akan menjadi korbannya yang pertama. Taruh kata, masa ada ada lagi seekor ular berbahaya di dalam gua. Maka bukankah pemuda itu yong bakal mendapat hukuman? Karena tidak bicara sebenarnya maka pemuda itulah yang akan menerima hasil kebohongannya!

Pcmuda baju kuning mengumpat di dalam hatinya, namun dia tidak berkomentar apa-apa. Memang, apa yang telah dikatakan gadis itu adalah berdasarkan ucapannya sendiri, karena untuk apa cemas? Maka diapun menurut saja ketika akhirnya Ceng Bi menyuruh dia jalan di depan memasuki mulut gua di atas pohpn besar itu sambil membawa bangkai ular Hui-ang-coa. Ceng Bi sengaja "menggiring" pemuda ini di belakang, sementara Pek-kong-kiam tetap siap di tangan untuk dipergunakan sewaktu-waktu.

Dia percaya bahwa pemuda itu tidak akan dapat lari, karena tenaga sinkang yang dimiliki pemuda itu telah dilumpuhkannya. Karena itu, Ceng menjadi tenang dan ruangan gua yang gelap lama-lama menjadi terbiasa juga bagi mereka. Apalagi pemuda itu sebelumnya sudah pernah memasuki gua ini, maka segala liku-likunya sudah dihafal betul.

Dan ternyata gua bawah tanah ini panjang sekali. Jalan yang berkelak-kelok terasa juga naik turun. Tetapi lebih banyak turunannya dibanding naik. Dan Ceng Bi mulai melihat beberapa lubang-lubang kecil di atas gua yang menyorotkan masuknya sinar matahari. Hal ini malah kebetulan sekali, karena dengan begitu, suasana jadi cukup terang dan tidak gelap seperti di bagian mukanya tadi. Dan Ceng Bi menjadi lebih tenang. Sampai akhirnya, setelah beberapa waktu lamanya yang tidak diketahui tiba-tiba cahaya terang muncul di depan mereka dan bersamaan dengan terlihatnya sinar terang itu terdengarlah pula gemercik air sungai!

"Ah, kita sudah sampai, Ui-i-siauw-kwi?" Ceng Bi berdebar girang dan pemuda itu menganggukkan kepalanya.

"Betul, nona Souw, dan kalau kita sudah sampai di mulut gua sebelah sana itu maka akan tampaklah segalanya."

Ceng Bi menjadi tidak sabar data dia menyuruh pemuda baju kuning itu berjalan lebih cepat. "Ui-i-siauw-kwi, hayo cepatan sedikit. Aku butuh udara segar untuk mengusir kelembaban gua ini!"

Pemuda itu kembali menganggukkan kepalanya dan dengan langkah lebar dia menuju kedepan. Suara air gemercik semakin keras suaranya dan tidak sampai seratus tindak akhirnyapun mereka tiba di lorong terakhir ini!

"Ahh...!" Ceng bersera kagum dan gadis itu terbelalak. Sebuah tebing yang merupakan jurang curam berada di depan mereka, dan di bagian bawah, ada sepuluh tombak jaraknya tampaklah sebuah sungai yang mengalirkan airnya yang yang amat jernih! Ceng Bi memandang kagum dan gadis itu sejenak menjadi bengong. Akan tetapi ketika teringat akan maksud tujuannya yang mencari Kuil Hitam dan ternyata tidak melihat sebuah bangunanpun di tepi sungai, Ceng Bi menoleh ke arah lawannya.

"Ui-i-siauw-kwi, mana itu Kuil Hitam?" gadis ini bertanya.

"Di bawah kita, nona,"

"Tapi kau bilang terletak di pinggir sungai!" Ceng Bi memperingatkan. "Dan mengapa aku tidak melihatnya?"

"Ah, kita melihatnya bukan dari sini, nona Souw, melainkan dari bawah. Kita terhalang oleh kaki jurang yang agak menjorok itu," pemuda ini menjawab tenang.

"Hm, kalau begitu bagaimana cara mencapainya?"

"Kita harus turun."

"Turun?"

"Ya. Mari ikuti aku, nona Souw...!" pemuda baju kuning itu tidak banyak bicara lagi dan tanpa menunggu Ceng Bi bertanya ini-itu diapun sudah mulai menurunken kakinya ke dinding tebing yang menuju ke bawah sungai.

Ceng Bi ragu-ragu, dan entah mengapa tiba-tiba saja perasaannya berdebar tegang. Ada firasat tidak enak di dalam hatinya, tapi karena pemuda itu sudah mulai turun maka diapun lalu mengikuti. Dinding tebing yang menuju ke bawah sungai itu temyata cukup terjal, tapi di sini kiranya telah ada lubang-lubang untuk menancapkan kaki. Ceng Bi berpikir, bahwa barangkali pemuda baju kuning itulah yang membuatnya, maka dia cepat mengikuti dengan kaki ringan.

Akan tetapi, baru merayap lima tombak saja ke bawah tiba-tiba pemuda baju kuning yang tadi berada di bawah kaki Ceng Bi hilang. Gadis ini terkejut, namun baru saja dia hendak berteriak sekonyong-konyong kepala pemuda itu nampak.

"Nona Souw, di tengah-tengah dinding ini ada gua kecil. Silahkan masuk!" dan tahulah sekarang gadis itu bahwa kiranya di tengah-tengah tempat yang terjal itu terdapat lagi sebuah gua. Pantas, pemuda baju kuning tadi seakan-akan lenyap begitu saja, tidak tahunya telah memasuki gua di bawah! Maka Ceng Bi lalu setengah melompat dan ketika dia tiba di tempat ini, tampaklah pemuda baju kuning itu memandangnya sambil tersenyum-senyum aneh.

"Selamat, nona Souw, kau telah berada di tempat yang aman!" pemuda itu berseru gembira dan Ceng Bi memandangnya tajam.

"Ui-i-siauw-kwi, apa maksud ucapanmu ini?"

Tapi pemuda baju kuning itu tersenyum lebar saja. "Nona, Kuil telah kelihatan dari sini. Lihatlah, itu dia.....!" pemuda ini menuding ke depan dan Ceng Bi menengok.

Akan tetapi apa yang dilihatnya? Bukan sebuah melainkan sebuah rumah papan yang catnya berwama hitam, rumah biasa yang tidak ada keanehannya kecuali nongkrongnya sesosok tubuh di wawungan rumah. Dan ketika Ceng Bi melihat siapa orang yang ada di atas rumah itu seketika gadis ini berseru keget. "Jing-ci-touw Kam Sin!" Ceng Bi berteriak heran dan orang yang nongkrong di atas rumah tiba-tiba melambaikan tangannya sambil tertawa.

"Ha-ha, Souw-lihiap, selamat bertemu lagi!" Orang she Kam itu mendadak bangkit berdiri dan membungkukkan tubuhnya menghormat Ceng Bi.

Ceng Bi terkejut, dan seketika itu juga darahnya berdesir. Gadis ini merasakan adanya sesuatu yang tidak wajar, maka cepat dia mambalikkan tubuh. Akan tetapi, apa yang disaksikan? Pemuda Baju kuning itu tiba-tiba saja sudah berada di belakangnya dalam jarak sepuluh meter lebih!

Pemuda ini masih tersenyum-senyum, dan kaki kirinya menginjak batu segi empat yang atasnya terkait sebuah gelang tembaga, gelang yang berwarna merah! Dan sementara Ceng Bi terbelalak di mulut gua itu pemuda ini juga membungkukkan tubuh menjura, "Nona Souw, selamat atas kehadiranmu yang menggembirakan ini...!" dan baru saja kata-katanya itu selssai, Ceng Bi mendengar suara gemuruh disusul berdentangnya besi yang memekakkan telinga.

Gua kecil itu seakan-akan hendak roboh, dan debu yang menggelapkan pandangan tiba-tiba berhamburan keluar. Ceng Bi berteriak nyaring, dan sadarlah dia sekarang bahwa dirinya tertipu. Terjebak! Maka gadis ini lalu melompat terjun ke bawah sungai yang tinggal lima tombak lagi itu, namun alangkah kagetnya ketika tiba-tiba dia merasakan kedua kakinya lumpuh!

Ceng Bi terbelalak pucat, dan pada saat itu terdengarlah suara "brukk" yang amat keras sekali disusul jatuhnya sebuah kerangkeng besi dari atas gua. Benda ini meluncur ke bawah di antara debu-debu yang berhamburan, dan Ceng Bi yang terkejut karena tidak dapat menggerakkan kedua kakinya itu tahu-tahu telah berada di dalam kerangkeng ini dalam keadaan terkesima!

"Ahh !" Ceng Bi mengeluarkan seruan kaget namun sebelum ia meloncat untuk menghantam kerangkeng besi itu dengan kemarahan meluap mendadak saja kepalanya terasa pening. Demikian hebat perasaan pening yang datang dengan amat tiba-tiba ini sampai Ceng Bi mengeluh. Bumi rasanya berputar dan pandang matanya tiba-tiba saja menjadi gelap tanpa disadarinya. Ceng Bi mencoba mempertahankan diri, akan tetapi gadis ini tiba-tiba roboh di lantai dengan satu keluhan kecil. Ceng Bi tidak ingat apa-apa lagi, dan gadis itu telah pingsan di balik kerangkeng besi pada lantai gua!

* * * * * * *

Ketika gadis ini sadar, alam di sekelilingnya ternyata sudah berubah. Tidak ada lagi kerangkeng besi itu, dan tidak terdengar lagi suara gemuruh yang memekakkan telinga itu. Suasana di sekelilingnya tampak sunyi, namun suara air yang gemericik temyata masih terdengar, meskipun itu hanya sayup-sayup sampai saja yang malah menimbulkan perasaan nikmat bagi seseorang yang suka sendirian.

Namun Ceng Bi tidaklah suka menyendiri, apalagi seperti keadaan pada saat itu. Gadis ini sedang mengumpulkan seluruh ingatannya dan ketika ia teringat akan kecurangan si pemuda baju kuning tiba-tiba saja kemarahan gadis ini bangkit seperti api yang disiram bersin. Ceng Bi mengepal tinjunya, dan gadis itu melompat bangun. Akan tetapi, baru saja ia melompat Ceng Bi tiba-tiba mengeluh kaget. Kiranya, dia tidak dapat menggerakkan tubuh sama sekali karena ditotok lumpuh!

Ceng Bi menjadi marah bukan main dan gadis ini mengertakkan giginya sampai berketrukan. Tanpa bertanya lagi, tahulah dia siapa orangnya yang telah membuat keadaannya seperti itu. Pasti si pemuda baju kuning! Maka Ceng Bi naik marahnya sampai ke-atas kepala. Kalau saja lawannya itu berada di depannya, barangkali mau dia melumat habis pemuda yang amat dibencinya itu. Apalagi kalau mengingat akan kebodohan sendiri yang mudah diperdayai lawan. Akan tetapi Ceng Bi hanya mampu mengepalkan tinjunya saja dan gadis ini menanti semua perkembangan dengan mata berapi-api.

Dia tidak dapat berbuat banyak, dan satu-satunya jalan pada saat itu hanyalah barsabar dan menunggu semua kejadian-kejadian berikutnya dengan perasaan tidak tenang. Karena itu, Ceng Bi lalu berusaha membangkitkan tenaga sinkangnya melalui pusar. Kalau ini berhasil, tentu jalan darah yang tertotok dapat dibukanya. Akan tetapi Ceng Bi kembali mengumpat. Totokan yang dilakukan lawan ternyata totokan "mati", yakni tidak dapat dibuka jika jalan darah Thai-liong-hiat di belakang punggung, persis berhadapan dengan pusat tenaga sakti di pusar pada bagian perut, tidak dibuka terlebih dahulu.

Hal ini berarti harus ada orang ke dua untuk membukanya, dan itu tentu saja harus si pemuda baju kuning. Atau kalau tidak, merayapnya waktu selama dua atau tiga jam bakal memulihkan lancarnya jalan darah di belakang punggung itu. Sedangkan Ceng Bi tidak tahu, berapa lamakah dia sudah tertotok seperti itu.

Maka Ceng Bi menjadi semakin sengit saja dan kemarahan serta kegelisahan hati ini mengacaukan konsentrasinya. Ceng Bi tidak dapat lagi berpikir baik, dan satu-satunya pikian pada saat itu hanyalah ingin memaki dan menyerang habis-habisan si pamuda baju kuning. Itupun kalau bisa! Maka Ceng Bi hanya menunggu dan menungau saja, sementara matanya mulai berputar ke sekelling ruangan untuk mengetahui dimanakah sebenamya dia sekarang ini berada.

Dan Ceng Bi merasa terkejut. Kiranya dia tidak lagi berada di gua kecil yang terletak di atas sungai itu melainkan di sebuah lubang semacam sumur yang amat dalam. Dan menaksir ketinggian dinding sumur ini sampai ke atas, agaknya tidak kurang dari puluhan tombak. "Keparat!"

Ceng Bi mendesis dengan mata menyala sementara tiba-tiba dinding di sebelah kanannya mengeluarkan suara berdetak. Ceng Bi terbelalak dan baru saja ia menengok tiba-tiba dinding pada bagian itu terkuak dengan suara keras. Ternyata, sebuah pintu batu yang amat tebal serta berat. Dan bersamaan dengan terbukanya pintu ini muncullah seseorang yang sudah amat di kenal Ceng Bi. Si Copet Seribu Jari!

"Jing-ci-touw…!" Ceng Bi berteriak sambil pelototkan mata, akan tetapi si tukang copet ini malah tersenyum-senyum lebar.

"Ha-ha, selamat pagi, Souw-lihiap selamat pagi! Aih, kau sudah sadar kembali seperti sedia kala lihiap? Bagus... sampai cemas majikan mudaku menunggu siumanmu ini. Sehari semalam kau pingsan, dan racun uap Hui-ang-coa yang tersedot olehmu itu ternyata berbahaya sekali. Kalau siauw-pangcu tidak turun tangan, barangkali bukan hanya kedua kakimu saja yang lumpuh melainkan seluruh tubuhmu. Wah, berbahaya sekali, lihiap sungguh amat berbahaya! Akan tetapi, bukankah sekarang kau sudah merasa sehat kembali, lihiap? Dan tentu juga merasa lapar. Nih, siauw-pongcu menyuruhku membawakan bubur untukmu. Makanlah...!" tukang copet ini menurunkan penampan yang dibawanya dan meletakkaan bubur ayam yang masih mengepul hangat ini di depan Ceng Bi. Dia pura-pura tidak tahu betapa Ceng Bi memandangnya dengan penuh kemarahan, dan begitu selesai dia langsung bangkit berdiri dan menjura.

"Souw-lihiap, silahkan dahar. Jika kurang aku nanti akan kembali lagi!" tukang copet ini berkata dengan suara hormat dan tanpa menunggu balasan Ceng Bi dia sudah membalikkan tubuh dan ngeloyor pergi.

Akan tetapi Ceng Bi tiba-tiba membentaknya, "Jing-ci-touw....!" copet she Kam itu sampai menjumbul kaget. "Mana temanmu yang busuk itu? Suruh dia kemari menemuiku. Aku tidak butuh makanan melainkan butuh kedatangannya. Hayo, panggil ke sini si Ui-i-siauw-kwi itu!"

Si Copet she Kam menoleh terkejut. "Apa. lihiap? Ui-i-siauw-kwi….?"

"Ya, Setan Baju kuning itu!" Ceng Bi mendelik.

"Wah..." laki-laki kecil ini berseru heran. Di sini tidak ada yang bernama Ui-i-siauw-kwi, Souw-lihiap, mana mungkin aku memanggilnya untukmu?"

Akan tetapi Ceng Bi malah naik pitam. "Copet busuk she Kam, jangan kau pura-rura tidak tahu! Aku tidak perduli sikap blo'onmu ini dan mau tidak mau kau harus menyuruh temanmu itu kemari.!"

"Oh, pemuda yang kau seret-seret itu, lihiap?"

"Ya, manusia she Ok yang tidak tahu malu itu!"

"Ah, dialah Ok-siauw-pangcu (ketua muda Ok), bukannya Ui-i-siaw-kwi!" akhirnya tukang copet ini berseru dengan mulut meringis dan sebelum Ceng Bi membentaknya lagi tukang copet itu sudah memyambung. "Sudah Souw-lihiap... jangan semprot aku lagi! Bersabarlah, siauw-pangcu akan datang ke sini tanpa kau perintah lagi. Dia sedang bersamadhi, tunggulah…!"

Dan tanpa menoleh lagi copet itupun sudah keluar lalu menutup pintu batu dengan rapat. Sekilas Ceng Bi melihat adanya sebuah lorong yang memanjang di luar pintu itu, namun akhirnya pandangan ini lenyap bersama merapatnya pintu batu yang telah menjadi satu dengan dinding sumur itu. Ceng Bi tertegun dan gadis itu menjadi berdebar.

Sekaranglah ia melihat adanya jalan keluar yang bagus, tapi agaknya hal ini tidak segampang apa yang di lihat. Dan ketika ia mencari-cari pedangnya, ternyata Pek-kong-kiam tidak ada di situ. Tentu di "aman" kan si pemuda baju kuning, orang she Ok yang tidak tahu malu itu dan yang tadi disebut-sebut sebagai Ok-siauw-pangcu oleh Jing-ci-touw Kam Sin!

Eh, kenapa bisa begitu? Mengapa dipanggil siauw-pangcu (sang ketua muda)? Ceng Bi menjadi heran dan tiba-tiba ia teringat akan sebuah gelang yang diinjak lawannya itu ketika mereka berada di gua kecil. Teringatlah oleh Ceng Bi akan adanya sebuah batu segi empat yang atasnya dilekati sebuah gelang yang mengingatkannya pada gelang dari perkumpulan Hiat-goan-pang. Dan teringat akan keanehan itu segera Ceng Bi menjadi tegang. Siapakah sebenarnya pemuda itu?

Seorang ketua perkumpulan? Ataukah wakil sebuah "pang" (perkumpulan) yang bergerak di balik gerak-gerik sesuatu gerombolan? Dan kalau benar dia seorang siauw-pangcu, lalu pangcu dari perkumpulan manakah? Ceng Bi menjadi hati-hati sekali dan perasaan was-was mulai menyelinap di kalbunya. Pemuda baju kuning itu terasa misterius sekali, hanya memperkenalkan diri sebagai pemuda she Ok bernama Kui Lun. Padahal ia tidak tahu siapakah sebetulnya Ok Kui Lun ini!

Namun, bagi para pembaca yang telah mengikuti cerita sebelum ini dalam serial Yap-goanswe pasti tahu dan cukup mengenal baik siapakah sebetulnya pemuda yang tidak dikenal Ceng Bi itu. Benar, dia memang Kui Lun putera panglima besar Ok-ciangkun yang tewas dalam peperangan antar kerajaan itu. Dan pemuda inilah yang menjadi kakak kandung kekasih Pendekar Gurun Neraka, gadis yang bernama Siu Li itu namun yang tewas karena bunuh diri!

Inilah dia Ok Kui Lun itu, pemuda sebatangkara yang ditinggal mati oleh adik kandung serta ayahnya sendiri itu, bahkan juga oleh nenek sakti Mo-i Thai-houw yang menjadi gurunya! Inilah pemuda yang memendam dendam kesumat terhadap banyak orang itu, dan salah satu di antaranya adalah Sang Pendekar Gurun Neraka yang telah mengakibatkan tewasnya adik kandungnya yang tercinta!

Kui Lun memang sedang mabok dendam, dan kematian orang-orang yang merupakan keluarga dekat baginya itu terlalu hebat untuk pemuda ini. Bahkan, kalau dia tidak cepat bertindak barangkali dulu itupun dia juga sudah binasa dalam kepungan bala tentara Yueh yang telah mengurung kota raja itu. Namun syukurlah, berkat nasibnya yang masih mujur akhirnya dia dapat juga lolos dari istana yang telah diserbu habis-habisan oleh anak buah Yap-goanswe itu meskipun dia sendiri tidak luput dari luka-luka di sekujur tubuhnya.

Pemuda ini melarikan diri, jauh dari kota raja yang telah menjadi kota neraka itu sampai akhirnya dia roboh tidak sadarkan diri di suatu tempat sunyi di sebuah pegunungan. Pemuda ini hampir saja mati kehabisan darah, akan tetapi seseorang ternyata telah menolongnya dari renggutan elmaut. Dan berkat bantuan orang itulah Kui Lun selamat, bahkan diambil murid oleh bintang penolongnya itu yang ternyata adalah seorang tokoh besar yang sudah lama tidak menampakkan diri!

Inilah sekelumit cerita menyedihkan dari putera mendiang Ok-ciangkun itu, dan Kui Lun sendiri yang menghadapi kenyataan ini ternyata sama sekali tidak menolak. Bahkan pemuda itu bangkit semangatnya begitu dia tahu siapakah gerangan gurunya yang nomor dua ini, seorang jago besar yang bukan lain adalah susiok (paman guru) Yap-goanswe sendiri, adik seperguruan (sute) dari Malaikat Gurun Neraka yang dikenal bemama Sin-hwi-ciang, pelarian dari Pulau Hek-kwi-to!

Maka dari sini dapatlah kita bayangkan, betapa akan hebat jadinya apabila bekas murid nenek sakti Mo-i Thai-houw itu kelak berhadapan dengan suhengnya sendiri, Pendekar Gurun Neraka yang menjadi niurid tunggal sang pendekar besar. Takla Sin-jin. Sin-hwi ciang akan menghadapi Malaikat Gurun Neraka sedangkan Kui Lun akan menghadapi bekas Jendral muda Yap.

Dua orang kakak beradik seperguruan itu akan saling tempur, dan kesudahan dari pertandingan besar macam ini sungguh sukar untuk diramalkan. Yang jelas, tentu dari pertempuran adu jiwa begini tidak boleh tidak bakal menimbulkan korban jiwa. Hanya, siapakah yang harus menyerah? hal itu belumlah dapat di ketahui!

Dan Cang Bi yang tidak mengetahui rahasia ini memang sama sekali tidak mengerti. Gadis itu tidak tahu, betapa besar sakit hati yang menggerogoti batin hati iblis dari Hek-kwi-to itu, seperti juga gadis ini tidak tahu betapa besar dendam yang tersimpan di dalam hati Ui-i-siauw-kwi". Karena itu, meskipun Ceng Bi sudah berusaha memeras otaknya, tetap saja ia tidak mampu memecahkan rahasia tentang siapakah sebetulnya pemuda baju kuning itu.

Juga ia tidak tahu, mengapakah ia dijebak dalam tempat yang seperti ini oleh lawannya itu. Aaplagi hadirnya Jing-ci-touw Kam sin di tempat itu benar-benar semakin membingungkan pikirannya. Dan sementara Ceng Bi termenung ini tiba-tiba dinding sebelah kanan kembali berdetak. Ceng Bi terkejut, dan cepat gadis ini menoleh. Kiranya, yang datang adalah orang yang selama ini ditunggu-tunggunya. Si pemuda baju kuning!

"Ui-i-siauw-kwi!" Ceng Bi berseru perlahan dan pemuda itu melangkah lebar sambil tetsenyum.

"Nona Souw, selamat pagi....!" pemuda itu menegur halus namun muka Ceng Bi sudah marah padam dan gelap seperti awan hitam di langit bersih.

Gadis ini tidak menjawab, malah mendelik dengan sinar mata berapi-api. "Manusia she Ok, iblis jahanam yang tidak tahu malu, kenapa kau menawanku di sini? Apa maksudmu dengan perbuatanmu yang amat licik ini?" Ceng Bi membentak dengan suara gusar.

Sementara pemuda itu tiba-tiba menghela napas panjang. Dia tidak segera menjawab, melainkan menutup pintu dan Baru setelah itu kembali menghampiri Ceng Bi dengan muka muram. "Nona Souw, maafkan aku. Karena terlampau memikirkan keselamatanmu maka aku terpaksa melakukan hal ini. Aku tidak bermaksud buruk, percayalah...!"