Pendekar Kepala Batu Jilid 09 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 09
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Kepala Batu
KARENA itu, rasa malunya berubah menjadi kegemasan ketika dia teringat kepada Si Copet Seribut Jari. Musuh-musuh telah pergi jauh, mengapa masih saja nongkrong di atas pohon. Maka Ceng Bi hendak melampiaskan kemendongkolan hatinya ini terhadap manusia yang tidak tahu diri itu.

"He, Jing-ci-touw Kam Sin, kenapa kau tidak mau turun? Apa minta kuseret terlebih dahulu baru kau tahu sudah?" Ceng Bi membentak marah dan dia menengadahkan mukanya keatas pobon.

Tapi sungguh aneh. Orang yang dipanggil temyata sama sekali tidak menampakkan gerakan apa-apa di atasnya dan Ceng Bi menjadi gusar. Dia mengira si tukang copet itu hendak bermain maka tanpa bertanya lagi diapun lalu melayang naik ke atas pohon untuk menghajar orang she Kam itu.

"Manusia busuk, setetah nonton orang lain bertanding mati-matian untuk membelanni kau lalu hendak bermain gila, ya?" Ceng Bi uring- uringan dan dia siap merontokkan gigi si tukang copet itu sampai tinggal dua biji. Namun sungguh mengherankan. Setetah Ceng Bi sendiri telah tiba di atas pohon temyata Jing-ci-touw Kam Sin itu memang benar-benar tidak berada di tempatnya tadi!

"He...!" Ceng Bi terkejut, dan tentu saja gadis ini merasa beran. Dia tercengang, tapi tiba-tiba matanva bertemu dengan guratan kasar di kulit pohon yang tadi diduduki si tukang copet itu. Ceng Bi membaca, dan tulisan itu ternyata berbunyi demikian,

Si Copet Jujur memasuki kota Bun-ki!
Sampai jumpa di sana!, Souw-lihiap.


Hanya itutah beritanya dan Ceng Bi menjadi gemas menbaca dua kalimat yang pendek itu. "Hah, Si Copet Jujur?" Ceng Bi menjadi papas perutnya oleh kata-kata itu. Orang lain menjulukinya Si Copet Seribu Jari tapi yang bersangkutan malah menyebut diri sendiri sebagai si tukang cooet yang jujur! Siapa tidak gemas bercampur geli?

Ceng Bi mengumpat di dalam hatinya dan dia melompat turun dengan muka merah. Copet itu benar-benar main gila tidak kepalang tanggung. Tadi dia disuruh menjaga orang tapi tiba-tiba kabur pada saat pertandingan sedang seru-serunya. Dan tentu pada saat dia dan si gadis baju hijau sama-sama memusatkan perhatian untuk mencari kemenangan itulah si tukang copet ini mencuri kesempatan. Kelau tidak, mana mungkin lolos dari pengamatan? Dan beraninya, tukang copet itu tidak takut memberitahukan ke mana dia pergi. Padahal, dia pasti tahu betul bahwa kalau dia pergi secara diam-diam itu tentu sang "Souw lihiap" bakal marah-marah. Namun Si Copet Seribu Jari itu toh berani melakukan!

"Hem, keparat, kau memang patut dihajar sampai patah tulang-tulangmu, orang she Kam!" Ceng Bi mengepal tinjunya dan gadis ini tanpa banyak bicara lagi lalu berkelebat ke arah timur menuju ke kota Bun-ki!

* * * * * * * *

Hari masih sore ketika Ceng Bi memasuki kota nelayan ini. Tapi anehnya, meskipun matahari sudah mulai condong ke barat kota kecil Bun-ki itu tenyata masih ramai sekali. Anak cahang Huang-ho yang mengalir di kota ini peauh dengan perahu-perahu nelayan dan ketika Ceng Bi menyelidiki, kiranya kota itu sedang berhari pasaran!

Tentu saja kenyataan ini terasa aneh. Biasanya, kota-kota kecil lain selalu mengadakan hari pasaran di waktu pagi sampai menjelang tengah hari. Bahkan, beberapa di antaranya malah sampai lewat tengah hari. Tapi karena lain lubuk lain ikan-nya demikian kata sebuah peribahasa maka rupanya sedikit kejanggalan itu bisa juga dimaklumi oleh pendatang lain daerah yang memasui kota Bun-ki ini.

Dan itu memang salah satu ciri kota ini. Penduduk Bun-ki memang sejak dahulu kala sudah mempunyai tradisi yang agak menyimpang itu dari warisan leluhurnya. Maka Ceng Bi yang tadinya agak terheran-heran dan merasa janggal itu akhirnya pula dalam kesibukan banyak orang di kota ini. Dia tidak mempersoalkan lagi keanehan itu, dan satu-satunya perhatian adalah mencari di mana kiranya Si Copet Seribu Jari berada.

Mengingat bahwa orang yang sedang dicari ini adalah seorang tukang copet, maka Ceng Bi tidak ragu-ragu lagi untuk memasuki pasar yang penuh pedagang ikan itu. Kehadirannya yang cukup menyolok menimbulkan banyak perhatian orang. Namun Ceng Bi tidak ambil perduli. Dia menjelajahi hampir seluruh pasar, menyelinap di antara pedagang dan pembeli, di antara lorong-lorong kecil dan besar dan akhimya Ceng Bi harus menggigit jari karena si tukang copet yang dicari-cari ternyata sama sekali tidak ada di tengah-tengah pasar Bun-ki.

Bahkan, Ceng Bi mulai mengumpat di dalam hatinya karena bau amis ikan dan udang serta, pakaian apek kaum nelayan yang lusuh membuat perutnya terasa mual. Dia memang tidak terbiasa, dengan bau-bau amis, maka sekali terjun di tengah pasar ikan yang becek dan licin berair itu diam-diam membuat hatinya mendongkol. Kalau saja tidak sedang mencari jejak Jing-ci-touw Kam sin, barangkali dia tidak akan sudi menginjakan kakinya di tengah-tengah kekotoran sampah ikan!

Ceng Bi mulai menggerutu, dan ia mulai melangkahkan kakinya keluar pasar. Tapi baru saja, sampai di pintu pasar bagian barat, mendadak di belakangnya terdengar suara ribut-ribut orang kecopetan!

"Copet... copet...hei, dia mencopet kantong uangku...! Teman-teman, tolong kejar dia.... tangkap...!" seorang laki-laki pendek gemuk berteriak-teriak kalang kabut dan orang yang rupanya pedagang ikan ini berlari tersaruk-saruk mengejar orang laki-laki pendek kecil yang membawa sekantong uang sebesar kepala kerbau.

Ceng Bi terkejut, dan gadis ini cepat membalikkan tubuhnya. Maka tampaklah kini siapa orang yang membuat gara-gara itu. Bukan lain Si Copet Seribu Jari, orang yang justeru sedang dicari-carinya semenjak tadi! Kontan Ceng Bi menaikkan alisnya, dan melihat betapa orang banyak sama mendelong tak bergerak oleh kejadian yang amat tiba-tiba itu Ceng Bi menjadi gusar. Maka sekali dia mengeluarkan bentakan perlahan Ceng Bi tiba-tiba sudah melompati kepala orang banyak dalam usahanya memotong jalan.

"Jing-ci-touw Kam Sin, serahkan barang curianmu itu...!" Ceng Bi membentak marah dan orang-orang di tempat itu berseru kaget ketika tahu-tahu sebuah bayangan terbang seperti burung di atas kepala mereka!

"Hai…..!"

"Wahh!"

Seruan kaget ini terdengar di sana sini dan pasar itu seketika menjadi geger. Orang banyak yang tadi sama tertegun bengong sekarang tiba-tiba saja sadar, terutama mereka yang kepalanya di "totol" kaki Ceng Bi! Maka gaduhlah suasana pasar ikan itu dan Jing-ci-touw sendiri yang mendengar bentakan Ceng Bi di belakangnya itu mengeluarkan seruan kaget dan lari semakin cepat seperti orang dikejar setan.

Maka semakin marahlah Ceng Bi. Melihat orang berlari semakin cepat dan tidak mau berhenti, maka Ceng Bi mengerahkan kepandaian ginkangnya dan tiba-tiba gadis ini meluncur kedepan dengan cepat sekali. Orang-orang di dalam pasar hanya menyaksikan sebuah bayangan merah berkelebat dan tahu-tahu si tukang copet itu tinggal dua meter saja jaraknya dengan Ceng Bi. Sekali raih, agaknya Si Copet Seribu Jari itu bakal tertangkap dan seluruh isi pasar kini sama terbelalak memandang peristiwa itu. Namun, tepat pada saat Ceng Bi mengulurkan tangannya sambil membentak agar si copet Kam Sin itu menyerah, mendadak saja sesosok bayangan kuning berkelebat dari samping ikut menangkap pundak Si Copet Seribu Jari.

"Pencopet busuk, hayo kau tinggalkan barang serobotanmu itu bayangan kuning ini membentak perlahan dan lengan kanannya yang sudah terulur maju itu menyambar punggung baju si orang she Kam. Akan tetapi, karena dari samping Ceng Bi juga sedang mengulurkan tangannya maka arah cengkeraman mereka otomatis satu tujuan. Hal ini mengakibatkan kedua lengan si bayangan kuning dan Ceng Bi sendiri saling bentur, dan tentu saja Ceng Bi terkejut.

"Plakk!" Dua tangan yang sating beradu itu menerbitkan suara nyaring dan Ceng benar benar kaget sekali. Sambaran tangannya ke arah si copet she Kam luput dan sebagai gantinya dia sendiri terpental mundur tiga langkah. Tentu saja Ceng Bi mendelik marah, dan Jing-ci-touw Kam Sin yang hampir tertangkap itu keluar melompat genting rumah penduduk dalam usahanya meloloskan diri.

Ceng Bi naik pitam, dan dia hendak memaki bayangan kuning ini. Namun, melihat Jing-ci-touw melompat di atas rumah penduduk dan hampir saja lenyap bayangannya maka Ceng Bi terpaksa menahan makiannya dan mengejar dengan mata berapi-api.

"Orang she Kam, ke mana kau akan pergi?" Ceng Bi mengeluarkan bentakan keras dan tubuhnya tahu-tahu sudah melayang ke atas genting.

Tapi begitu tubuhnya melayang naik, tiba-tiba si bayangan kuning juga ikut-ikut mengejar di atas rumah sambil berseru pula, "Pencopet hina, ke mana kau akan menyembunyikan diri?" dan dia sudah mendahului Ceng Bi yang terbelalak marah melihat sikapnya ini.

Tentu saja Ceng Bi seakan meledak dadanya dan melihat betapa si bayangan kuning itu mendahuluinya dalam usaha mengejar si Copet Seribu Jari benar-benar membuat Ceng Bi gusar bukan kepalang. Maka begitu orang melesat di depan, segera ia pun mengerahkan seluruh kepandaian ginkangnya mengejar bayangan kuning ini. tubuhnya meluncur pesat dan tahu-tahu dia telah berhasil menyamai larinya si bayangan itu.

"Setan jahanam, apakah kau mau pamer di depanku, hah?" Ceng Bi tak dapat menahan diri dan dia memaki pendatang baru yang mengganggunya ini.

Orang itu menoleh, dan Ceng Bi melihat sebuah wajah tampan yang tersenyum kecut. "Nona, kita sama-sama mengejar penjahat, untuk apa memakiku?"

Ceng Bi mendelik gusar. "Akan tetapi aku yang terlebih dulu turun tangan, kenapa kau turut campur?"

"Ah, menangkap penjahat tidak ada yang mendahului ataupun didahului, nona! Bagaimana aku bisa dibilang begitu?' orang itu memprotes dan Ceng Bi semakin marah.

"Kau... setan keparat! Apakah memang mau setori denganku?" Ceng Bi tak tahan lagi dan dia menggaplok muka orang dengan tangan kirinya.

"Wuut…..!"

"Eh....?!" orang itu terkejut, mengelak sedikit. "Kenapa nona marah-marah? Kita tidak saling kenal, juga tidak bermusuhan. Mengapa harus menggampar muka orang segala?" pemuda itu berseru tenang dan Ceng Bi melotot melihat tamparannya luput.

"Kau…. Setan kurang ajar, siapa bilang kita tidak bermusuhan? Sikapmu yang campur tangan sehingga menggagalkan keberhasilanku menangkap si copet busuk tadi, apakah tidak bisa dibilang lancang? Kau yang memulai lebih dulu, bukan aku!" Ceng Bi berteriak marah dan dia siap mengangkat tangannya lagi menggaplok muka lawan ketika tiba-tiba pemuda baju kuning itu berseru.

"He, tahan… jejak buruan kita menghilang!"

Seruan ini mengejutkan Ceng Bi dan ketika dia memandang, betul saja jejak si Copet Seribu Jari itu telah lenyap. Ceng Bi marah sekali dan dia melompat turun dengan mata berapi-api. Mereka telah tiba di pinggir kota, dan sebuah tembok gapura sebagai pintu gerbang masuk ataupun keluar menganga di situ. Ceng Bi berdiri dengan muka merah dan si pemuda baju kuning itu juga melompat turun. Keduanya memutar mata, dan tiba-tiba si baju kuning kembali berseru,

"He, itu dia... masuk ke hutan!" dan belum Ceng Bi memandang jelas, tiba-tiba dia sudah berkelebat keluar tembok kota.

Ceng Bi terbelalak kaget, tapi seruan pemuda itu memang benar. Jing-ci-touw Kam Sin tampak di sana, sedang berlari sambil menyelinap diantara semak gerumbul sedang menuju hutan. Maka gadis inipun mengumpat gemas dan tanpa banyak bicara lagi diapun mengerahkan ginkang mengejar si tukang copet yang kurang-ajar itu.

Kejar-kejaran yang seru segera terjadi. Ceng Bi dibelakang si pemuda baju kuning sedangkan pemuda baju kuning itu sendiri berada jauh di belakang si Copet Seribu Jari. Ketiga-tiganya sama berlari cepat, namun karena si Copet she Kam itu sudah mendekati hutan di depan, maka sebentar saja laki-laki itu sudah berada di mulut hutan dan empat lima langkah kemudian si tukang copet itupun lenyaplah!

"Terkutuk…..!" Ceng Bi memaki gemas dan dia menjadi khawatir sekali. Hutan di depan itu cukup lebat, mana mungkin dia berhasil mencari orang yang bersembunyi di dalam hutan? Dan belum lenyap rasa gemasnya tiba-tiba si pemuda baju kuning yang tadi berada di depannya itupun mendadak tidak kelihatan batang hidungnya. Ceng Bi menjadi heran, akan tetapi dia menduga bahwa agaknya pemuda itu telah memasuki hutan, maka iapun mempercepat larinya agar sampai di tempat itu.

Dan akhirnya Ceng Bi tiba pula di hutan ini. dia celingukan, namun sebuah bayanganpun tidak nampak. Karena itu Ceng Bi lalu menyelinap diantara pohon-pohon besar dan untuk mempermudah pencariannya, gadis itupun lalu melayang naik ke atas pohon yang paling tinggi untuk mencari dari atas.

Tapi sungguh sukar, pohon-pohon terlalu lebat dan mencoba menembus pandang ke bawah adalah sia-sia belaka. Dari atas itu yang kelihatan hanyalah puncak-puncak pohon lain dan Ceng Bi mendongkol sekali. Kalau saja tadi si pemuda baju kunging tidak ikut campur, bukankah orang she Kam itu bakal tertangkap? Tapi sekarang buruannya itu lolos dan si pemuda baju kuningpun tidak tampak batang hidungnya. Sungguh kurang-ajar!

Ceng Bi gemas sekali dan dia melompat turun. Akan tetapi baru saja kakinya menginjak tanah, tiba-tiba terdengaar bentakan di dalam hutan. Suara orang bertempur. Ceng Bi menjadi tertarik dan mukanya menjadi tegang. Siapakah yang sedang bertempur di dalam hutan itu? Si baju kuningkah? Atau si Copet Seribu Jari?

Gadis itu tidak mau berpikir panjang lebar dan begitu suara bentakan terdengar semakin hebat, diapun lalu melesat ke dalam hutan di sebelah kiri. Dari situlah asal suara terdengar, maka kesitulah dia menuju. Ceng Bi cepat mendatangi tempat itu dan begitu dia sampai di tempat tersebut segera Ceng Bi melihat belasan orang yang sedang bertempur seru! Sepuluh orang laki-laki yang berpakaian pengawal tampak bertempur sengit melindungi seorang laki-laki setengah umur melawan lima orang bertopeng hitam.

Tentu saja Ceng Bi tidak mau gegabah, dan satu-satunya tindakan yang dilakukannya pada saat itu adalah melompat ke atas pohon, melihat pertarungan yang sedang berjalan seru itu dengan mata terbelalak. Sepuluh orang laki-laki yang berpakaian pengawal tampak bertempur sengit melindungi seorang laki-laki setengah umur melawan lima orang bertopeng hitam.

Ceng Bi tertarik dan perhatiannya tertuju kepada laki-laki setengah baya yang tampak berwibawa dan jelas menunjukkan sikap kebangsawanannya itu. dia memandang laki-laki ini, karena sekaligus teringat akan pembicaraan 'Wen-taijin' seperti yang disebut-sebut oleh Si Pelajar Berjarum Perak Hok Sun ketika mereka bertemu dengannya di padang rumput. Apakah orang itu yang dimaksud mereka?

Melihat gerak-geriknya yang tenang dan agung, memang rupanya cocok sekali kalau laki-laki setengah umur ini adalah seorang pembesar. Ketenangan sikapnya yang enteng serta pakaian yang dikenakannya yang indah gemerlapan memang membuat orang cenderung pada dugaan ini. dan Ceng Bi pun juga begitu. Tetapi kalau betul orang itu adalah seorang pembesar, mengapa dia berada di dalam hutan? Apa yang sedang dikerjakan? Dan bagaimana tahu-tahu para pengawalnya bertempur dengan orang-orang bertopeng hitam? Perampokkah lima orang bertopeng itu?

Semua pertanyaan itu mengaduk pikiran Beng Bi sementara dia tertarik memperhatikan laki-laki setengah baya itu mendadak jeritan seorang pengawal memecah perhatiannya. Ceng Bi terkejut dan dia melihat betapa seorang pengawal pembesar itu robek perutnya disambar golok seorang manusia bertopeng hitam. Kejadian itu berlangsung cepat dan Ceng Bi kaget sekali menyaksikan keganasan lawn yang tidak kenal ampun.

Baru saja pengawal yang menjadi korban itu roboh, tiba-tiba orang bertopeng hitam yang lain mengikuti jejak rekannya yang pertama. Mereka itu mengelebatkan sepasang golok yang menyambar-nyambar dan ketika dua sinar putih yang saling berseliweran itu membelah dan mebacok, terdengarlah jeritan ngeri empat kali berturut-turut disusul terjungkahiya empat pengaw yang roboh mandi darah. Kaki dan tangan mereka dibabat putus, dan seorang di antaranya bahkan terbelah pinggangnya menjadi dua!

"Aihh...!" Ceng Bi membelalakkan matanya dan gadis itu berseru perlahan. Apa yang disaksikan di depan matanya ini memang hebat sekali dari lima orang pengawal sisanya yang masih hidup rnergeluarkan teriakan marah melihat teman-tema mereka dibacok rubuh. Mereka itu menggereng, dan seorang pengawal tinggi kurus yang kumisnya panjang meraung murka.

"Iblis-iblis bertoreng rendah, berani kalian membunuh Para Pengawal Istana di depan mataku? Aih, keparat, kalian benar-benar berani mati sekali!" pengawal itu berteriak gusar dan senjatanya tombak bermata pisau rnenyambar dua oran ini dengan penuh kemarahan.

Dua orang bertopeng hitam itu mendengus dan seorang di antaranya malah tertawa mengejek. "Ha-ha, Song-busu (pengawal she Song), apa kau baru tahu bahwa kami ini memang orang-orang yang berani mati? Aha, kasihan sekali! Kau rupanya memang sedang sial bertemu dengan orang-orang macam kami, Song-busu, dan karena itu kaupun akan segera kami kirim ke neraka untuk menyusul anak-anak buahmu yang tidak becus tadi."

"Trang…!" orang ini menghentikan kata-katanya karena tombak ditangan pengawal she Song itu tiba. Dia dan temannya cepat menggerakkan golok dan benturan keras diantara tiga senjata itupun tak dapat dihindari lagi. Tombak di tangan Song-busu terpental sedangkan golok di tangan dua orang lawannya terus menyambar kearah pengawal tinggi kurus berkumis panjang ini.

"Haii... !" pengawal she Song berseru kaget, dan dia ternyata merupakan seorang pengawal yang cekatan. Karena begitu tombak di tangannya mental, segera pengawal ini membanting tubuhnya dan menggerakkan tombak secara bergulingan. Di satu pihak dia menjaga tubuh dari bacokan golok namun di lain pihak dia menyerampang kaki-kaki lawannya dengan mata pisau di ujung tombaknya.

"Ah, keparat…!" dua orang bertopeng hitam itu terkejut, dan mereka mengumpat kasar. Golok yang tadi meyambar kini luput mengenai sasarannya dan sebaliknya mereka kini malah menghadapi ancaman serangan dari bawah oleh tombak yang diputar bergulingan di tangan pengawal tinggi kurus itu.

Mereka ini memaki kotor, dan dengan cepat melompat ke belakang menghindari serangan itu dengan perasaan gemas. Hal ini mengakibatkan terhentinya hujan serangan yang tadi telah mereka siapkan, dan di samping itu juga memberi kesempatan kepada lawan mereka untuk melompat berdiri. Dan Song-busu memang telah melenting bangkit dengan tombak di tangannya itu dan kini tanpa menunggu balasan lawan sudah menerjang kembali dengan serangan gencar.

Dua orang bertopeng hitam itu memekik dan hampir berbareng keduanya menyambut terjangan ini. Yang satu menangkis dari depan sedangkan yang lain menyelinap ke samping membacok pundak belakarg Song-busu. Kedua-duanya bergerak sama cepat, tapi Song-busu rupanya cerdik dalam mengambil taktik karena begitu dua lawannya menyerang dalam dua jurusan, pengawal in tiba-tiba mengeluarkan bentakan keras dan tombak di tangannya tiba- tiba dipegang bagian tengahnya. Dengan begini, pengawal itu seolah-olah mempunyai dua senjata, yakni di bagian depan merupa kan ujung tombak sedangkan di bagian belakar dipakai sebagai toya atau tongkat pendek. Dan begitu dua golok datang bersamaan segera pengawal ini menggerakkan tombaknya menangkis.

"Trang-trangg...!" dua kali suara nyaring ini terdengar dan bunga apipun muncrat berhamburan. Golok di tangan orang sebelah depan terpental ke atas sedangkan golok di tangan orang satunya juga tersipat dengan amat kerasnya. Dan Song busu yang telah berhasil menangkis serangan dua orang lawannya itu tiba-tiba melanjutkan gerakannya menjadi sodokan dan tikaman. Pangkal tombak dipakai menyodok dada lawan yang ada di belakang sedangkan mata tombak dipakai menikam ulu hati lawan yang ada di depan!

Tentu dua orang bertopeng hitam itu terkejut, dan mereka mengeluarkan teriakan keras ketika tahu-tahu pangkal tombak dan mata tombak ganti berganti mengancam dada mereka. Si topeng di depan rnembanting tubah bergulingan ke kanan sedangkan si topeng di belakang membanting tubuh bergulingan ke kiri. Mereka itu sudah tidak sempat lagi untuk menangkis, karena golok di tangan saat itu sedang terpental ke atas.

Maka inilah cara satu-satunya untuk menyelamatkan diri dan Song-busu yang melihat dua orang lawannya itu memecah diri bergulingan ke kanan dan ke kiri ini sejenak tertegun. Dia tidak dapat lagi menyerang secara bersamaan seperti tadi, karena masing-masing lawan telah terpisah. Karena itu, dia harus memilih. Hendak mengejar yang di sebelah kiri ataukah yang di sebelah kanan.

Tapi rupanya pengawal she Song ini lebih membenci lawan yang bergulingan di sebelah kiri itu daripada yang di sebelah kanan, karena terbukti pengawal ini tibi tiba berteriak geram mengejar lawan yang sedang bergulingan di sebelah kin itu. Hal ini barangkali disebabkan karena kecurangan orang itu ketika tadi membacok pundaknya dari belakang, maka kemarahan pengawal itu tampaknya memang lebih besar dibandingkan dengan teman satunya.

Maka Song-busu sudah melompat cepat mengejar orang ini sambil mengangkat batang tombaknya penuh kebencian. Dia tidak memberi kesempatan kepada orang bertopeng hitam itu untuk bangkit, dan ujung tombak bermata pisau itu tampak bergetar kemilau ketika menukik ke sasarannya yang sedang bergulingan. Akan tetapi, tepat pada saat pengawal she Song ini membalikkan tubuh mengejar lawan yang sedang tidak berdaya itu mendadak dari belakangnya menyarnbar sinar putih yang tidak disangka-sangka.

Sinar ini meluncur begitu saja tanpa diketahui asalnya, dan Ceng Bi yang berada di atas pohon menyaksikan semua kejadian di bawah itu terpekik kaget. Dia tidak tahu, Benda apakah yang menyambar punggung Song-busu itu karena kecepatannya benar-benar sukar diikuti mata. Yang jelas, pasti sebangsa amgi (senjata gelap) yang dilemparkan seorang berkepandaian tinggi, maka Ceng Bi benar-beiar kaget sekali dan sebelum dia sempat mengejapkan mata tiba tiba terdengarlah jeritan Song-busu yang terjungkal roboh. Pengawal itu terjerembab, dan tombak di tangannya terlepas.

Tentu saja Ceng Bi terbelalak, dan sekarang tampaklah apa yang sesungguhnya terjadi. Kiranya sebuah pisau belati telah menancap amblas di punggung pengawal she Song ini, tembus mengenai jantung di dada kirinya! Tentu saja pengawal itu berkelojotan, dan sebuah bayangan tiba-tiba berkelebat di belakang orang-orang bertopeng hitam. Semua orang menjadi terkejut, dan Song-busu mendelik kaget. Akan tetapi begitu melihat munculnya penyerang gelap ini pengawal she Song itu bahkan menjadi pucat mukanya. Dia tampak terkejut bukan main, dan telunjuknya menuding gemetar.

"Kau... kau...." Song-busu tergagap serak namun seruannya ini tercekik di tengah jalan. Busu itu tampak hendak bangkit berdiri, tapi rupanya pisau menancap terlalu dalam di jantung kirinya yang terkoyak. Karena itu, pengawal ini lalu menuding-nuding namun belum jelas apa yang dimaksudkan tiba-tiba busu itu mengeluarkan suara seperti babi disembelih dan tubuhnyapun keburu terguling roboh. Pengawal ini sekarat, dan tubuh yang mengejang berkelojotan itu tampak rnengerikan sekali. Dia mencoba melawan maut dengan muka beringas, tapi tiba-tiba busu itu mengaduh dan menjerit satu kali lalu diam tak bergerak lagi. Kiranya, pengawal she Song ini telah tewas tanpa sempat melanjutkan kata-katanya tadi!

Inilah kejadian yang mengejutkan semua orang, dan Ceng Bi sendiri sampai terbelalak dengan muka berobah. Kematian Song-busu yang demikian cepat serta datangnya peristiwa yang hanya sekejap itu benar-benar membuat orang sama tertegun. Ceng Bi terguncang dan tanpa terasa dia memardang penyerang gelap yang baru muncul ini dengan mata tidak berkedip. Ternyata, dia adalah seorang laki-laki yang berumur lima puluh tahun dengan roman bengis seperti iblis. Tubuhnya jangkung, lehernya panjang, dan jenggot pendek yang morat-marit tidak teratur seperti kawat baja itu membayangkan kekejamannya yang tak kenal tak batas.

Dan dari seluruh keadaannya yang rnenyenakan ini, agaknya pakaiannyalah yang paling menarik perhatian orang. Karena, tidak seperti kebanyakan orang lain, adalah pakaian orang ini dari mata kaki sampai ke atas pundaknya penuh dengan lubang-lubang pisau belati. Dan di dalam lubang-lubang ini, tersembul sedikit dan hanya tampak ujungnya, berkilatanlah pisau-pisau belati yang jumlahnya puluhan buah!

"Si Pisau Kilat…..!" Ceng Bi berseru kaget melihat keadaan orang ini dan tanpa bertanya lagi tahulah dia siapa kiranya tokoh yang baru itu. Maka begitu dia mengenal, segera Ceng Bi mengertakkan gigi dan mengepal tinju. Teringatlah olehnya sekarang akan cerita ayahnya tentang tokoh yang satu ini. Betapa kabarnya orang ini mencari ayahnya pada belasan tahun yang lalu, tapi tidak bertemu karena ayahnya itu sedang merantau keluar daerah Tiong-goan (pedalaman). Konon Si Pisau Kilat ini bersama suhengnya yang berjuluk Si Palu Baja hendak menuntut balas atas kernatian tokoh-tokoh golongan hitam di tangan ayahnya.

Tapi karena mereka tidak bertemu, maka dendam di hati dua orang ini tidak terlampiaskan. Menurut cerita ayahnya, Si Pisau Kilat adalah tokoh yang amat berhahaya sekali. Dia lebih berbahaya dibanding Mo-san Ngo-yu ataupun tokoh-tokoh golongan hitam yang lain karena pisaunya tidak pernah luput dalam setiap sambitan. Dan menurut cerita orang, konon Si Pisau Kilat ini mampu melemparkan pisaunya kebelakang tanpa perlu menoleh. Dia sanggup menimpuk semua korban dengan mata meram!

Inilah kehebatan yang ditakuti semua orang dan karena itu nama tokoh ini lalu menjadi semacam momok mengerikan bagi siapa saja. Dan menurut kebiasaannya, di mana dia muncul pasti akan ada korban. Pisau di kantong pakaiannya dikenal sebagai pisau-pisau yang haus darah. Oleh sebab itu, tidak heran jika musuh menjadi gentar melihat kehadirannya. Dan kini, untuk pertama kalinya Ceng Bi bertemu dengan tokoh itu dan untuk pertama kalinya pula dia menyaksikan kebenaran cerita di luaran tentang kelihaian serta keganasan tokoh ini. Nyawa Song-busu telah melayang dan pisau terbang yang tadi dilemparkan itu benar-benar mengejutkan sekali. Kecepatannya tidak dapat diikuti mata!

Namun Ceng Bi tidak takut. Kemarahan di hatinya sebenarnya sudah mulai bangkit sejak tadi menyaksikan kekejaman orang-orang bertopeng hitam yang membunuhi para pengawal yang dinilainya pasti berada di pihak yang benar. Dan meskipun dia belum tahu siapakah adanya para pengawal yang melindungi pembesar bersikap agung itu namun dia sudah condong untuk membela para pengawal ini.

Orang orang bertopeng hitam itu jelas bermaksud buruk, karena mereka menutupi wajah tidak ingin dikenal. Dan kenyataan ini saja sudah cukup baginya untuk menilai orang-orang macam apakah adanya mereka itu. Dan sekarang, ditambah dengan munculnya Si Pisan Kilat yang berdiri di belakaag manusia-manusia berkedok ini semakin memperkuat kebencian Ceng Bi untuk melawan orang-orang ini.

Pembesar itu menarik hatinya, maka dia hendak melindungi pembesar ini dari orang-orang jahat. Ketenangan sikapnya serta keberaniannya yang sama sekali tidak melarikan diri meskipun jelas para pengawalnya sudah mulai roboh berjatuhan mulai membangkitkan kekaguman di hati Ceng Bi. Maka keputusannya sudah bulat, sebelum semua para pengawal kembali roboh di tangan musuh dia akan turun tangan membantu.

Akan tetapi, baru saja Ceng Bi mengencangkan ikat pinggangnya dan hendak turan ke bawah tiba-tiba empat orang pengawal yang masih hidup dan sedang melanjutkan pertarungan mereka melawan tiga orang bertopeng hitam mendadak mengeluarkan jeritan ngeri dan roboh terjengkang!

Ceng Bi terkejut, dan gadis ini terbeliak. Senjata di tangan orang-orang bertopeng hitam sama sekali tidak kelihatan menyentuh tubuh para pengawal itu, bagaimana mereka tahu-tahu roboh binasa? Akan tetapi setelah dia tahu sebabnya segera Ceng Bi naik pitam. Kiranya, empat buah pisau belati telah menembus dada mereka, semuanya tepat menghunjam jantung. Perbuatan Si Pisau Kilat!

Tentu saja Ceng Bi menjadi marah sekali dan gadis ini tidak dapat menahan diri. Keganasan tokoh yang baru muncul ini benar-benar kelewat telengas, membunuh orang tidak tanggung-tanggung. Dan yang membuat dia naik darah adalah sikap yang tidak kenal ampun dari tokoh hitam itu. Masa dia baru mengencangkan ikat pinggang sekejap saja tahu-tahu empat orang pengawal telah roboh binasa? Dan dia ternyata telah terlambat untuk menolong para siwi yang malang-melintang itu. Kecepatan gerak Si Pisau Kilat ternyata benar-benar luar biasa, tidak boleh dibuat main-main!

Ceng Bi merah mukanya dan gadis ini melengking tinggi. Sepasang tangan siap dikembangkan melompat turun seperti garuda terbang namun tiba-tiba semua gerakan itu terhenti di tengah jalan. Pekik yang tadi dilengkingkan mendadak sama sekali tidak mengeluarkan suara, dan lengan yang sudah dipentang itu sekonyong-konyang lunglai ke bawah tanpa daya. Dua buah totokan lihai telah membuatnya lumpuh, dan Ceng Bi betul-betul kaget bukan main.

Kiranya, seorang berkepandaian tinggi telah membuatnya seperti itu. Totokan pertama membuat ia gagu sedangkan totokan ke dua membuat dia lumpuh. Dan ketika Ceng Bi menoleh, ternyata di bekangnya telah duduk dengan tenang seorang laki-ki yang bukan lain adalah si pemuda baju kuning!

"Kau....?!" Ceng Bi terkejut bukan main nanaun suaranya ini tidak ada yang keluar. Mulutnya terbuka dan dia seperti orang yang melengong kaget tapi rupanya pemuda baju kuning itu mengerti. Maka isyarat yang dikeluarkan pemuda ini adalah isyarat jari telunjuk di depan.

"Sstt, nona Souw, jangan kau bertindak ceroboh. Si Pisau Kilat adalah orang yang bertangan keji, bagaimana kau hendak turun menghadapinya? Kau terlalu sembrono sekali, jangan bersikap bodoh...!" pemuda itu memandang Ceng Bi dan Ceng Bi mendelik.

Kalau saja orang tidak membuatnya lumpuh seperti itu, tentu gadis ini sudah akan melayangkan tangan menggampar muka orang. Tapi pemuda itu benar-benar kurang ajar sekali, di samping menotoktnya lumpuh juga membuat dia tidak dapat memaki-maki melampiaskan kemarahan hatinya karena urat gagunya ikut pula dilumpuhkan! Kalau tidak, bukankah dia bakal mencacinya habis-babisan? Maka Ceng Bi hanya mendelik saja dan sinar matanya yang berapi-api itu pasti sudah dapat diketahui cukup baik oleh lawannya ini tentang bagaimana rasa hatinya pada saat itu.

Tapi rupanya pemuda baju kuning ini pura-pura tidak tahu saja, atau memang barangkali sengaja berpura-pura bersikap bodoh karena tiba-tiba dia menepuk pundak Ceng Bi dengan perlahan dan berkata sambil tersenyum, "Nona Souw, harap kau turuti saja permintaanku ini, karena itu semuanya adalah demi keselamatanmu belaka. Aku tidak bermaksud buruk, percayalah. Dan lagi bukankah yang hendak kau bela hanyalah pembesar itu? Nah, lihatlah baik-baik dan dengarkan percakapan mereka. Si Pisau kilat pasti tidak akan membunuh pembesar itu karena justru orang inilah yang dicari."

Pemuda itu lalu tidak bicara lagi dan dia memandang ke bawah. Ceng Bi juga lalu memandang dan meskipun hatinya marah sekali terhadap pemuda baju kuning ini namun karena dia memang ingin melihat bagaimanakah nasib sang pembesar di bawah itu maka Ceng Bi-pun lalu memandang ke bawah. Hanya, diam-diam di dalam hatinya dia sudah mengambil keputusan bahwa begitu dia bebas kembali tentu pemuda yang menotoknya ini kakal diterjangnya habis-habisan!

Si Pisau Kilat dan lima orang bertopeng hitam itu tampak berhadapan dengan si pembesar, dan Ceng Bi berdebar. Pembesar ini keruh mukanya, tapi bangsawan ini tampak bersikap tenang. Hanya matanya yang membayangan kemarahan besar itu kelihatan terkendali. Ceng Bi menjadi kagum dan lima orang bertopeng hitam yang mengurung pembesar ini tiba-tiba melangkah maju.

"Wen-taijin!" orang di depan membentak. "Masihkah kau hendak menyembunyikan Tek-pai yang kami minta? Hayo serahkan benda itu kepada kami kalau kau tidak ingin mengalami nasib seperti sepuluh orang para pengawalmu!" orang ini mencengkeram leher baju sang pembesar dengan kasar dan Ceng Bi terkejut.

Disebutnya nama pembesar itu benar-benar membuat Ceng Bi terperanjat, karena apa yang tadi hanya sekedar duaaan ternyata kini benar adanya. Wen-taijin! Ah, bukankah pembesar ini yang dicari-cari Gin-ciam Siucai Hok sun? Dan ternyata orang yang dicari-cari pemuda itu berada di hutan ini! Ceng Bi menjadi tegang dan dia memandang terbelalak.

Orang bertopeng hitam yang membentak kasar itu tampak menempelkan goloknya di leher Wen-taijin, dan melihat pembesar itu diam saja tidak mau menjawab dia menjadi gusar. "Wen taijin, apakah kau minta ditarik lidahmu agar mau bicara? Hmm, pembesar dungu, jangan kau mencoba-coba membangkitkan kemarahanku. Hayo bicara, dan serahkan Tek-pai yang kami minta!" orang ini menekan goloknya dan leher Wen-taijin tergurat merah.

"Ngo eng-busu (Busu Lima Garuda)!" Wen-taijin tiba-tiba berseru keras. "Beginikah akhirnya sikap kalian terhadap negara? Tiada segan-segan berkhianat dan berkomplot dengan orang-orang jahat? Ah, kalau saja aku tahu dari dulu tentu kalian sudah dipecat dan dihukum pancung! Sekarang, apa yang hendak kalian bicarakan? Masih tidak malu menyembunyikan muka di balik kedok?" pembesar itu memandang berapi-api dan lima orang bertopeng hitam sama mengeluarkan seruan keget.

Mereka benar-benar terkejut sekali, dan si topeng hitam yang tadi mencengkeram baju Wen-taijin sampai melompat mundur saking kagetnya. Dan sementara lima orang bertopeng ini terperanjat, tiba-tiba Si Pisau kilat yang sejak tadi belum mengeluarkan suara itu kini tertawa. Aneh suara ketawa tokoh ini, karena suaranya serak seperti kuda batuk.

"Ha-ha, Wen-taijin kiranya benar-benar pembesar yang mengagumkan. Sekali tebak dapat mengenali anak buah sendiri sungguh membuat orang tak habis mengerti. Eh, Ngo-eng-busu, kalian sudah dikenal, kenapa harus malu-malu? Hayo buka saja kedok itu dan terang-terangan di depan bekas majikan kalian, ha-ha-hah…..!"

Pisau Kilat terkekeh aneh dan lima orang bertopeng hitam itu melotot. Mereka ini ditelanjangi terang-terangan oleh Si Pisau Kilat, mana mereka dapat memungkiri diri? Kalau saja Si Pisau Kilat tidak bicara seperti itu, barangkali mereka masih dapat berpura-pura. Tapi, tokoh hitam ini telah menyudutkan mereka sedemikian rupa dan memang sudah tidak ada gunanya lagi mengelabuhi Wen-taijin yang mengenal siapa adanya mereka. Maka terpaksa dengan perasaan gemas dan sedikit marah orang-orang bertopeng hitam ini membuka kedok mereka dan sekarang tampaklah siapa sebetulnya mereka itu. Memang bukan lain adalah Ngo-eng-busu yang semestinya ada di istana melindungi keluarga raja.

Pembesar Wen mendengus, dan mata pembesar itu penuh kemarahan. "Ngo-eng-busu bentaknya dengan mata berkilat. "Hari ini kalian telah terang-terangan berkhianat terhadap kerajaan, karena itu hari ini pula nama kalian telah tercantum di dalam buku hitam induk negara. Tidak tahu iblis manakah yang telah membuat kalian berkiblat terhadap musuh? Kalau saja Jenderal Yap masih ada, tentu kalian tidak dapat pulang dengan umur panjang...!" pembesar itu tampak mengepal tinju dan lima orang ini merah mukanya.

"Wen-taijin....!" orang didepan menggeram. "Jangan kau banyak bicara lagi. Apa yang kami lakukan adalah urusan kami sendiri dan tentang nasib kami jangan kau mempersoalkannya. Nasibmu sendiri kini ada di tangan kami, bagaimana kau hendak bermulut besar?" orang itu melangkah maju tapi tiba-tiba Si Pisau Kilat membentak,

"Ngo-eng-busu, jangan lancang bicara. Siapa bilang nasib Wen-taijin berada di tangan kalian? Ah, benar-benar kucing yang kurang ajar. Nasibnya berada di tanganku, bukan di tangan kalian. Tahu? Kalian hanya ditugaskan menyingkirkan pengawal-pengawal tidak becus tadi, tapi itupun kalian ternyata tidak bisa menyelesaikannya dengan mudah. Kalau aku tidak datang, bukankah kalian membuang-buang waktu tiada guna di sini gentong-gentong kosong tiada guna, cepat kalian pergi saja sebelum aku naik darah. Lekas…!"

Bentakan si Pisau Kilat ini tampak mengejutkan lima orang Ngo-eng-busu dan bekas perwira-perwira istana itu berobah air mukanya. Sedikit kesalahan bicara tadi kiranya telah membuat Si Pisau Kilat marah, dan mereka maklum betapa berbahayanya tokoh itu. Maka orang yang di depan tadi lalu membalikkan tubuh dan dengan lutut menggigil dia berkata,

"Tai-hiap, maaf jika aku kelancangan mulut. Aku sama sekali tidak sengaja, maka biarlah kami pergi kalau itu yang taihiap kehendaki. Dan tentang upah kami, bukankah bisa kami ambil di rumah Ong-loya?"

Si Pisau Kilat memandang dingin. "Ngo eng-busu, tugas kalian mmang sudah selesai. Wen-taijin telah ketemu dan kalian dapat pulang kembali sambil mengambil hadiah di tempat yang telah kutentukan. Setelah itu, kalian dapat kembali ke istana seperti biasa."

"Akan tetapi, bukankah Wen-taijin akan dibunuh, taihiap?"

"Hmm, dibunuh atau tidak dibunuh itu adalah urusanku! Kenapa banyak cakap?" Si Pisau Kilat membelalakkan matanya dan cahaya aneh membayang di dalam mata tokoh ini.

Ngo eng-busu tergetar, tapi rupanya pemimpin mereka itu merasa bimbang. Dia mamberanikan diri dan dengan suara tergagap mencoba bertanya, "Tapi, taihiap, kalau Wen-taijin tidak dibunuh bukankah kami tidak akan dapat kembali ke istana? ini... ini…"

"Hm, kalian cerewet benar!" Si Pisau Kilat membanting kakinya. "Aku menyuruh pergi, kenapa kalian tidak mau pergi? Ah, kalian benar-benar orang yang menyebaikan sekali!"

Orang itu tampak marah dan lima kali dia membanting kaki, tiba-tiba lima kali pula sinar-sinar putih menyambar dari bawah. Lima buah pisau belati telah meluncur dengan kecepatan kilat tanpa disangka-sangka dari bawah celananya dan lima orang Ngo eng-busu yang sama sekali tidak menyangka-nyangka itu, mana tidak dibuat tersirap darahnya? Apalagi jarak mereka dekat sekali dengan tokoh hitam ini., maka tanpa sempat mengelak lagi lima orang itupun manjerit ngeri dan roboh terjengkang.

Lima batang pisau telah menancap di tubuh mereka, dua mengenai ulu hati dan yang tiga menembus leher! Tentu saja kejadian yang demikian mendadak ini mengejutkan semua orang, dan Ceng Bi yang berada di atas pohon hampir tidak percaya akan apa yang dilihatnya itu. Masa hanya dengan membanting-banting kaki begitu saja tahu-tahu pisau di kantong celana bisa "meloncat" menyambar lawan? Ah, kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri agaknya kejadian macam ini sungguh sukar dipercaya!

Ceng Bi terbelalak kaget dan diam-diam dia mengakui kehebatan yang amat luar biasa ini dari Si Pisau Kilat. Karena, siapa mengira bahwa dengan gerakan kaki yang tampaknya biasa begitu saja bisa menyerang lawan tanpa yang bersangkutan sadar akan bahaya? Dan kejadian yang hampir tidak masuk akal itu kini telah dibuktikannya sendiri. Si Pisau Kilat memang benar orang yang amat berbahaya!

Ceng Bi bergidik diam-diam dia merasa ngeri. Kalau seandainya tadi dia sedang berdiri di depan orang itu, lalu orang ini menghentakkan kakinya yang dikira tidak mengandung maksud apa-apa, bukankah nyawa bisa terbang secara konyol? Pasti pisau-pisau belati di kantong khusus yang menempe! di pakaian tokoh hitam ini menyambar ke arah mana yang dia suka. Dan Ceng Bi benar-benar merasa ngeri.

Sementara di bawah, lima orang pengkhianat itu tampak mendelik ke arah Si Pisau Kilat. Namun belum ada sepatahpun suara yang dikeluarkan tiba tiha kepala merekapun terkulai lemas. Lima orang ini telah tewas tanpa sempat memaki lawannya!

"Nona Souw, pisaunya beracun...!" tiba-tiba telinga Ceng Bi mendengar bisikan di sampingnya dan seketika Ceng Bi sadar bahwa di atas pohon itu masih ada orang lain. Dan orang itu bukan lain adalah si pemuda baju kuning. Tadi dia seakan lupa tentang keadaan dirinya, karena pikirannya sedang terpusat kepada Si Pisau kilat. Dan kini, disadarkan oleh kenyataan ini banwa masih tertotok dan orang yang menotoknya berada di situ membuat Ceng Bi ingin menangis dengan penuh kebencian.

Akan tetapi pemuda itu rupanya tidak melihat ini, dan Ceng Bi sendiri memang tidak dilihat betapa matanya sudah mulai basah. Dua orang ini sama-sama menujukan pandang ke bawah karena pada saat itu Si Pisau Kilat yang telah membunuh Ngo-eng-busu ini menghadapi Wen-taijin sambil menyeringai penuh arti.

"Wen-taijin, bukankah tindakanku ini cocok sekali dengan isi hatimu?" demikian tokoh hitam itu bicara. "Dan kukira taijin sudah tidak perlu lagi menghukum orang-orang macam itu. Sekarang, bersediakah taijin mengikuti kami ke tempat yang lebih enak?"

"Kami...?"

"Ya, aku dan beberapa pengikutku yang sejak tadi telah menanti kesempatan ini," Si Pisau Kilat tertawa.

Pembesar Wen mengangkat alisnya namun sebelum dia mengerti apa maksud perkataan lawannya ini tiba-tiba Si Pisau Kiiat bertepuk tangan. Tidak begitu keras suaranya, tapi tiba-tiba dari luar hutan terdengar derap kereta kuda disusul pekik seseorang, "Kami siap, ji-koai-hiap…!" dan tidak berapa lama kemudian muncullah sebarisan orang berkuda dengan sebuah kereta!

Wen-twin terkejut, dan pembesar itu memandang Si Pisau Kiiat. "Ini... apa maksudmu, sobat?"

Tapi Si Pisau Kilat tertawa aneh. "Ha-ha, taijin harap jangan takut. Kami tak akan mencelakakan seorang pembesar dalam upacara kehormatan begini. Asal taijin tidak merepotkan kami, bukankah kembali ke dalam istana adalah seperti pulang ke rumah sendiri? Nah, taijin, bersiaplah. Mereka telah datang!"

Barisan berkuda itu mendekat dan Ceng Bi melihat sesuatu yang mengejutkan hatinya pada orang-orang yang baru datang itu. Bukan tampang mereka yang rata-rata menyeramkan dan tinggi besar, melainkan adanya sebuah gelang yang tergantung di pinggang mereka. Gelang yang berwarna merah, gelang berdarah seperti yang dimiliki oleh anggauta-anggauta perkumpulan Hiat-goan-pang!

Tentu saja gadis ini terkejut dan keheranan besar melanda dirinya. Seingatnya, Hiat-goan-pang telah diobrak-abrik beberapa waktu yang lalu, bagaimana kini muncul orang-orang dengan seragam Hiat-goan-pang? Apakah mereka ini anak-anak buah yang tersisa? Ataukah mereka itu bukan anggauta Hiat-goan-pang? Ceng Bi tertegun sendiri dan dia melihat adanya perbedaan pakaian dari orang-orang berkuda yang baru datang ini dengan anggauta-anggauta Hiat-goan-pang yang beberapa waktu yang lalu itu diserbunya.

Kalau orang-orang Hiat goan-pang yang lalu mengenakan pakaian serba hitam, adalah orang-orang berkuda ini mengenakan pakaiah serba biru, warna biru yang agak gelap sehingga dipandang dari kejauhan tampaknya mirip warna hitam atau ungu tua. Tapi bentuk gelang yang terikat di pinggang mereka itu sama sekali tiada berbeda, bahkan mirip sekali dan tampaknya dicetak dalam satu bentuk yang sama!

Ceng Bi membelalakkan matanya dan sementara itu seorang laki-laki tinggi besar melompat turun dari atas kudanya yang meringkik pendek. Orang ini langsung menghampiri Si Pisau Kilat, dan begitu berada di hadapan orang segera dia membungkukkan tubuhnya sambil berkata,

"Ji-koai-hiap, perintah untuk kami telah siap kami laksanakan. Apakah barang hantaran hendak diantar hari ini juga? Kalau begitu, kami siap melaksanakan tugas dan bila ji-koai-hiap sendiri tidak ada keperluan lain, maka kedatangan koai-hiap amat dinanti oleh lo-pangcu kami di Kuil Hitam!"

Orang itu bicara singkat dan Si Pisau Kilat tersenyum dingin. Dia tidak menjawab perkataan laki-laki tinggi besar itu, melainkan menoleh memandang pembesar Wen. "Wen-taijin, kau sudah dengar ucapan orang ini, bukan? Dia hendak mengantarmu ke suatu tempat yang telah kami sediakan dan kuharap saja kau tidak menolak permintaan ini. Karena itu, harap taijin berangkat sekarang juga dan silahkan naik ke atas kereta yang telah kami siapkan."

Si Pisau Kilat menudingkan jarinya dan Wen-taijin terbelatak marah. "Kau hendak memaksaku, sobat?" pembesar itu mengepal tinju.

Tapi Si Pisau Kilat tertawa aneh. "Aha, agaknya itu tidak perlu kami lakukan, taijin, karena justeru kau sendiri yang sekarang ingin menuju kesana. Lihat, bukankah taijin mengenal benda ini?" tokoh hitam itu mengeluarkan sebuah kipas kayu cendana berlukiskan burung merak dan Wen-taijin segera mengeluarkan seruan kaget.

"Kau..., manusia busuk, dari mina kau dapatkan itu?" pembesar ini melangkah maju dengan muka merah namun Si Pisau Kilat telah menyimpan kembali kipas kayu cendana itu sambil tertawa dingin.

"Wen-taijin, tidak perlu kau tahu dari mana aku mendapatkan benda ini. Tapi cukup kiranya kalau kau ketahui bahwa pemilik benda ini telah berada bersama-sana kami sebagai tamu terhormat. Karena itu, masihkah kau tidak mau berangkat sekarang juga untuk bersama-sama menjadi tamu terhormat?"

Si Pisan Kilat tersenyum mengejek dan Wen-taijin tertegun sejenak. Pembesar itu mengertakkan gigi, namun akhirnya dia memutar tubuh menghampiri kereta sambil bergumam, "Terkutuk, kau benar-benar siluman keji, sobat!" dan dengan mata berapi-api penuh kemarahan ditahan pembesar ini naik ke atas kereta dan duduk dengan tinju terkepal.

Si Pisau Kilat memandang dengan wajah berseri, tapi dia rupanya sama sekali tidak menghiraukan kemarahan pembesar itu. Dan ketika tirai kereta telah ditutup secara kasar oleh Wen-taijin, tokoh hitam ini lalu memberi tanda kepada laki-laki tinggi besar yang masih berdiri di depannya "Pergilah, aku akan mendahului kalian ketempat pangcu, jaga jangan sampai terjadi sesuatu terhadap tamu agung kita ini dan siapkan mata di segala arah!"

"Baik, Ji-koai-hiap!" laki-laki tinggi besar itu mengangguk "Dan kami siap mempertaruhkan nyawa untuk menjaga barang hantaran ini!"

"Bagus !" Si Pisau Kiiat memandang puas dan setelah sekali lagi dia mengamati kereta yang telah ditumpangi pembesar Wen itu tiba-tiba tokoh hitam ini menjejakkan kakinya. Sekali berkelebat, bayangan yang seperti iblis tiba-tiba melesat ke dalam hutan. Dia seperti munculnya tadi sekejap saja lenyaplah bayangan Si Pisau Kilat ini dari pandangan mata. Si tinggi besar terbelalak kagum, tapi akhirnya dia memberi tanda kepada teman-temannya dan melompat ke atas punggung kudanya.

Kini bergeraklah barisan berkuda itu dan Ceng Bi yang semenjak tadi meayaksikan semua kejadian di bawah ini dengan tubuh tak dapat berkutik, melihat kereta yang membawa pembesar Wen itu keluar hutan menuju kebarat. Iring-iringan belasan orang berkuda itu tampak teratur rapi, sampai akhirnya mereka lenyap menuju ke tempat yang sama sekali tidak diketahuinya.

"Nona Souw, mari kita turun...!" Seruan tiba-tiba ini mengejutkan Ceng Bi yang masih melenggong jauh ke depan. Dia sedang tenggelam dalam pikirannya tentang kepergian Wen-taijin yang ditawan orang-orang bergelang merah itu ketika tiba-tiba pemuda baju kuning yang ada di belakangnya ini mendadak menepuk pundaknya secara perlahan. Tentu saja dia terkejut, dan Ceng Bi sadar kembali dari rasa bengongnya. Dan baru saja dia tersentak kaget, tahu-tahu bayangan kuning telah meluncur ke bawah dari sisinya. Ceng Bi membelalakkan mata, dan jalan darah yang tadi tertotok kini ternyata telah berjalan kembali dengan lancar. Kiranya, pemuda baju kuning itu telah membebaskannya dari siksaan.

"Bagus....!" Ceng Bi mengepalkan tinjunya dan seketika itu juga kemarahannya bangkit dan meluap. Setelah sekarang dia bebas kembaii, maka satu-satunya keinginan pada saat itu hanyalah menghajar si pemuda baju kuning! Karena itu Ceng Bi lalu memekik dan dengan sepisang lengan terkembang di kanan kiri tubuh gadis ini lalu meluncur ke bawah seperti burung garuda betina.

"Ginkang yang hebat..!" pemuda baju kuning berseru memuji ketika melihat cara Ceng Bi yang "terjun" dari atas pohon itu dengan sikap demikian ringan dan indah. Tapi Ceng Bi sendiri tidak merasa girang dengan pujian ini, malah justeru semakin naik darahnya. Kalau dia betul-betul hebat, bagaimana bisa dipermainkan orang sesuka hatinya? Maka seruan pemuda baju kuning itu bahkan dianggap sebagai sebuah hinaan!

"Hem, kau bermulut kurang ajar, berani kau menghinaku lagi, he?" Ceng Bi langsung memaki begitu kakinya turun di atas tanah.

Dan si pemuda baju kuning tampak terbelalak kaget. Dia melillat gadis ini sedang marah besar, dan sepasang mata bening yang berapi-api itu cukup membuatnya terkejut. "Nona Souw...."

"Diam!" Ceng Bi membentak dan memutus omongan orang. "Siapa yang sudi menerima manisnya mulutmu? Kau sudah kelewat bertindak keterlaluan terhadapku, maka apa lagi yang hendak dibicarakan? Hayo kita mengadu jiwa untuk menyelesaikan persoalan ini. Sratt....!" Ceng Bi melobos Pek-kong-kiam di pinggangnya dan pemuda baju kuning itu gelagapan.

"Nona Souw, kita ini… eh… oh… aku tidak bermaksud buruk... kenapa jadi marah-marah? Wah celaka, cepat simpan pedangmu itu… aku merasa ngeri…!" pemuda ini mundur-mundur namun Ceng Bi malah semakin beringas.

"Setan baju kuning!" Ceng Bi membentak sekenanya karena tidak tahu nama orang. "Berapa kali sudah kau menghinaku secara terang-terangan? Pertama kau menggagalkan buruanku yang hampir tertangkap, si copet busuk orang she Kam itu. Lalu yang kedua kalinya kau menghilang pada saat kita sama-sama mengejar Jing-ci-touw Kam sin dan ke tiga kau tiba-tiba saja menotokku secara curang di atas pohon dan ke empat kau berani mati sekali memujiku dengan mengatakan hebat segala macam padahal sebenarnya kau bermaksud mengejek! Hem, apa yang kau kehendaki dari semuanya ini? Dan berani kau menyangkal semuanya itu pula?" Ceng Bi melompat maju dengan pedang menggigil saking marahnya, sementara si pemuda baju kuning yang diberondong tuduhannya itu membuka mata lebar-lebar.

"Nona Souw, ini... eh... wah.... bagaimana aku bisa melakukan rentetan kesalahan yang demikian banyak? Aih, kau tidak adil… kau salah-paham, itu hanya perkiraanmu yang mengada-ada saja...!"

Pemuda itu berkata gugup dan Ceng Bi naik pitam mendengar kata-katanya ini. "Apa? aku mengada-ada?" gadis itu membentak. "Keparat, kaulah yang hendak membela diri! Kau pemuda tidak tahu malu, kau manusia tidak tahu diri.... kau setan jahanam yang memuakkan perutku. Ceng Bi tak dapat menahan dirinya lagi dan sekali berteriak nyaring tiba-tiba dia sudah menikam dada orang dengan kecepatan kilat.

"Nona Souw…!" pemuda baju kuning itu berseru kaget namun Ceng Bi tak dapat menghentikan serangannya. Pek-kong-kiam tetap menyambar dengan kecepatan penuh dan pemuda ini mengeluh. Dia cepat merendahkan tubuh dan ketika pedang lewat di atas kepalanya pemuda itu segera melompat ke belakang dengan muka berubah.

"Nona Souw…!" pemuda itu berseru kembali namun Ceng Bi mendelik gusar.

Gadis ini tidak menghiraukan teriakan lawannya dan begitu tikamannya yang pertama luput dia sudah menyerang lagi dengan gencar. Ceng Bi tidak mau banyak bicara, karena kemarahannya yang meluap sudah membuat dirinya seakan terbakar. Karena itu, pemuda baju kuning ini tampak seperti orang putus asa. Dan ketika Ceng Bi mulai menyerangnya secara bertubi-tubi diapun akhirnya melompat ke sana ke mari menghindarkan semua serangan dengan mulut tiada hentinya berkaok-kaok mencoba mendinginkan suasana. Tapi, mana dia berhasil memadamkan api kemarahan yang sedang hebat-hebatnya bergolak di dalam hati puteri Ciok-thouw Tai-hiap ini?

Malah, semakin dia menciap-ciap seperti anak ayam kehilangan induknya Ceng Bi menjadi semakin beringas. Gadis itu benar-banar marah sekali, kareca setiap serangannya yang susul-menyusul dan bertubi-tubi itu belum satupun yang berhasil menyentuh kulit lawan! Maka inilah yang membuat Ceng Bi benar-benar naik darah. Kalau saja dia berhasil melukai lawan, barangkali muncratnya darah bisa mendinginkan kemarahannya, Tapi apa yang terjadi? Lawannya itu seperti bayangan setan saja yang tidak dapat disentuh tubuhnya. Jangankan tubuhnya, rambutnyapun tidak dapat disambar! Nah, siapa tidak bakalan gusar?

Apalagi buat gadis semacam Ceng Bi ini, yang jelek-jelek merupakan puteri tunggal Pendekar Kepala Batu! Karena itu, tidak heran jika gadis ini lalu menggigit bibir sekuatnya dan pedang di tangan berkelebatan secara gencar menyerang pemuda baju kuning yang tidak dikenal siapa namanya itu. Dia sudah mainkan pedang sekuat tenaga, dan ilmu pedangnya yang boleh dibanggakan, yakni Cui-mo Kiam-sut sudah dikerjakan sebanyak limapuluh jurus lebih.

Tapi, iblis muda yang dibencinya ini temyata masih saja berteriak-teriak menyuruhnya berhenti. Dan yang amat menggemaskan, pemuda itu tampaknya seperti orang yang sedang mabok saja. Semua serangannya dikelit atau diegos dengan cara terhuyung-huyung bahkan kadang-kadang juga terlentang di atas tanah atau membanting pantat dengan tiba-tiba!

Inilah yang membuat Ceng Bi meledak kemarahannya dan gadis itupun juga sekaligus ingin menangis saking sesaknya dada melihat sikap pemuda Baja kuning itu. Namun, dibaik semua sakit hatinya ini mau tak mau Ceng Bi mengakui adanya sebuah kenyataan tentang kelihaian lawannya yang aneh. Hanya saja, karena dia memiliki kekerasan hati dan semangat yang melebihi baja, maka Ceng Bi sengaja menutup mata untuk melihat kenyataan itu.

Dia tidak mau mengakui lawannya unggul, karena selama ini dialah yang menjadi penyerang. Dan lagi, pemuda itupun tampaknya juga tidak dapat membalas serangannya karena sudah didesaknya sedemikian rupa, itulah pendapat Ceng Bi! Dan rasa penasaran yang kian meningkat membuat pipi gadis ini kemerahan seperti dibakar.

Ceng Bi benar-benar marah, gemas dan kecewa menjadi satu. Kenyataan bahwa selama ini dia belum juga mampu merobohkan lawan membuat gadis itu ingin menangis dengan cara histeris. Tapi Ceng Bi mengeraskan hati menahan diri. Sampai akhirnya sebuah nasihat dari ayahnya tiba-tiha terngiang di dekat telinganya. Dan nasihat itu bunyinya adalah gegini,

"Bi ji, jika kau menghadapi lawan tangguh yang sukar dirobohkan, maka kepandaian silat harus kita campur dengan akal. Dan akal itu sesungguhnya tergantung dari kecerdikan kita sendiri. Manusia yang cerdik, dapat mempergunakan akalnya di sembarang tempat, bahkan di tempat yang paling sulit sekalipun. Karena itu, kalau kau menghadapi hal yang semacam ini maka pergunakanlah akalmu itu. Kita dapat membebaskan diri dengan segala macam akal dan kebanyakan dari kita pasti berhasil!"

Nah, inilah nasihat bagus yang diingat Ceng Bi pada sat itu. Dan gadis yang dipenuhi kemarahan ini segera memeras otaknya mencari akal. Semua kepandaian silatnya telah dicurahkan, tapi pemuda baju kunirg itu tetap saja berkelit dengan caranya yang aneh dan mabok-mabokan, namun tentu saja mampu menyelamatkan diri. Sekarang, akal apa yang hendak dilakukan?

Ceng Bi teringat akan sebuah cerita ayahnya tentang meraup pasir dan menyerang lawan pada bagian matanya. Sekali kena, tentu lawan bakal kelibakan dan mudahlah dirobohkan. Akan tetapi, tepatkah dia mempergunakan akal semacam ini pada saat itu? Kalau dia tiba-tiba membungkuk dan meraup pasir, tentu lawannya akan tahu dan mengerti maksudnya. Dan pemuda baju kuning itu tentu akan mudah menghindar. Jadi, bagaimana baiknya?

Ceng Bi masih terus menyerang sementara matanya mulai mencari-cari sesuatu yang dapat dijadikan batu loncatan akalnya. Dan tiba-tiba gadis ini melihat sesuatu yang membuat wajahnya berseri. Pohon di depan itu. Aih, bukankah ini bisa dijadikan semacam jembatan bagi akalnya? Maka Ceng Bi lalu berteriak girang dan ketika untuk ke sekian kalinya dia menyerang, kali ini Ceng Bi mengerahkan segenap kekuatan di atas kakinya. Pemuda baju kuning yang ada di depan diterkamnya buas, sedangkan pedang di tangan ditimpukkan kuat menyambar leher. Sekali kena, tentu tenggorokan pemuda itu bakal tertusuk tembus! Dan inilah yang mengejutkan si pemuda baju kuning.

Maka ketika pedang menyambar dan Ceng Bi sendiri melompat seperti harimau terbang tanpa sayap ke arah dirinya, pemuda baju kuning itu mengeluarkan seruan kaget dan mukanya menjadi pucat. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa Ceng Bi bakal melepaskan pedang dari tangan, menyambitkannya dengan kecepatan penuh sementara gadis itu sendiri masih menerkamnya seperti sikap harimau haus darah. Karena itu, dia benar-benar merasa terkejut sekali namun melihat pedang dan orang sudah sama-sama "terbang" ke arah dirinya dengan ancaman maut, maka pemuda baju kuning itu lalu cepat bertindak dan mengeluarkan seruan pendek.

Pek-kung-kiam yang menyambar disambut dengan sentilan kuku jarinya, sementara tubrukan Ceng Bi yang dilakukan seperti orang kesurupan itu dihindarkannya dengan jalan berkelit ke samping. Akibatnya, pedang yang disentil mengeluarkan suara "cring" yang nyaring dan mencelat ke atas sedangkan Ceng Bi yang dibelit tubrukannya itu meluncur terus ke depan menghantam pohon di belakang si pemuda baju kuning.

"Dukk!" kepala Ceng Bi membentur batang potion yang kokoh kuat dan gadis itu menjerit tertahan. Sekali saja tumbukan itu terjadi, namun hal ini sudah cukup mambuat Ceng Bi terkapar roboh di bawah pohon dengan tubuh tidak bergerak-gerak lagi.

"Nona Souw....!" pemuda baju kuning berteriak kaget, dan secepat kiiat pemuda itu lompat menghampiri dengan mata terbuka lebar-lebar. Robohnya Ceng Bi yang demikian tidak disangka-sangka iini memang benar-benar mengguncangkan perasaannya, karena itu diapun cepat mendekati bekas lawannya ini dengan muka pucat. Akan tetapi, begitu dia membungkukkan tubuh untuk memeriksa Ceng Bi, sesuatu yang di luar dugaannya terjadilah.

Dia tidak tahu bahwa Ceng Bi sesungguhnya sedang memainkan tipu muslihatnya, maka begitu dia membungkukkan tubuh untuk melihat keadaan gadis yang disangka pingsan ini tiba-tiba saja kaki kiri Ceng Bi mencuat menendang ulu hatinya! Peristiwa ini terjadi dengan amat mendadak, dan pemuda baju kuning itu tidak sempat mengelakkan diti. Juga dia terlampau kaget oleh kaki yang tiba-tiba dapat "bergerak sendiri" itu, maka begitu kaki Ceng Bi mengenai dadanya, kontan pemuda ini meageluh kesakitan dan tubuhnya seketiia tarjengkang roboh.

"Des!" pemuda baju kuning itu mendekap dadanya dan tanpa ampun lagi dia tersungkur di alas tanah. Gerakan kaki Ceng Bi yang amat diluar dugaan itu telah membuatnya pingsan karena ulu hati yang ditendang ini sekejap menghentikan jalan napasnya. Dan Ceng Bi yang berhasil dengan akal bulusnya ini sudah melompat bangun dengan teriakan girangnya.

"Bagus, rasain kau....!" Ceng Bi tertawa gembira dan dengan wajah berseri-seri penuh kepuasan ia menghampiri korbannya. Pemuda baju kuning tampak pucat mukanya, tapi Ceng Bi tahu bahwa tendangannya tadi tidaklah terlalu berbahaya bagi pemuda ini. Karena itu, untuk melampiaskan kemarahannya gadis inipun lalu mencari akar-akar pohon yang banyak terdapat di situ dan mengikat erat-erat tubuh pemuda baju kuning ini. Kemudian, setelah orang tidak dapat bergerak lagi ,diapun lalu menotok jalan darah Thian-tu-hiat di tubuh orang sehingga tidak mempunyai tenaga lagi.

Dimikianlah, Ceng Bi memandang dan sekarang dia berpikir-pikir akan dia apakankah pemuda yang telah bersikap kurang ajar terhadap dirinya itu. Digantung di atas pohon? Atau dibiarkan saja dalam hutan ini supaya menjadi makanan semut merah? Ceng Bi memandang gemas wajah pemuda baju kuning itu. Kalau teringat akan perbuatan lawannya ini yang menyiksa dia terutama menotoknya lumpuh di atas pohon pada saat dia sedang memandang pertempuran antara pengawal Wen-taijin dan Ngo-eng-busu, mau rasanya dia menampar muka orang sampai biru bengap. Akan tetapi, melihat muka yang halus tampan serta kerutan di atas dahi orang, entah mengapa hati Ceng Bi tiba-tiba saja terasa bergetar.

Kerut di atas dahi yang dalam itu jelas menunjukkan bahwa pemuda itu pernah mengalami suatu penderitaan batin yang hebat. Hem, pengalaman pahit macam apa yang pernah diderita oleh lawannya itu? Dan melihat mukanya yang halus tampan, apakah pemuda ini seorang anak hartawan? Atau malah putera seorang bangsawan?

Ceng Bi memandang penuh perhatian dan tiba-tiba saja mukanya menjadi merah. Hem, apa-apaan ini? Kenapa dia perduli tentang nasib orang lain? Biar pemuda itu anak hartawan ataupun bangsawan, apa perdulinya dengan semua itu? Yang jelas, pemuda itu telah berbuat "dosa" kepadanya dan untuk ini dia harus menerima hukuman!

Ceng Bi mengepalkan tinju dan dia teringat akan pedangnya. Karena itu, dia lalu mencari dan akhirnya didapatinya pedangnya itu tergeletak di atas rumput tak jauh dari pohon besar yang tadi dijadikan jembatan akalnya. Tadi dia hanya berpura-pura saja, karena sewaktu kepalanya membentur pohon sesungguhnya dia sudah mempersiapkan kedua lengannya di depan kepalanya. Karena itu, yang menumbuk batang pohon sebenarnya adalah sepasang lengannya itulah, bukan kepalanya. Dan pemuda baju kuning ini ternyata berhasil dikelabuhinya. Ceng Bi tersenyum penuh kemenangan dan teringat kembali dengan si pemuda baju kuning membuat dia berpikir-pikir lagi akan diapain pemuda ini.

Karena itu, dia lalu menujukan pandangannya kepada tubuh yang masih terbujur diam di atas tanah itu. Mencari-cari pembalasan, hukuman apakah yang hendak dijatuhkannya kepada pemuda ini. Dan tiba-tiba Ceng Bi menaikkan alis. Kalau mengingat sikap pemuda ini yang kelewat kurang ajar kepadanya, sepantasnya pemuda itu digantung semalam suntuk di atas pohon dan dijungkir balik dengan kepala di bawah. Akan tetapi, kalau pemuda itu dalam keadaan pingsan, mana mungkin dia "menikmati" hukumannya? Ah, paling baik pemuda ini disadarkan dulu, baru kemudian dijungkir balik di pohon yang paling tinggi!

Maka dengan pikiran ini Ceng Bi-pun lalu melompat mencari air untuk disiramkan ke muka lawan yang amat disergitinya jut. Dengan merle guyur muka orang, tenta pemuda ini bakal siuman, dan ini tentu memuaskan hatinya. Karena itu Ceng Bi menuju ke suara gemericik yang jauh dari tempatnya berdiri dan tidak lama keinudian gadis inipun sudah membawa air bampir dela liter banyaknya dalam sebuah daun talas hutan yang lebar dan bulat. Dengan gigi dikertak, Ceng Bi melangkah tergesa-gesa mendekati pemuda baju kuning. Akan tetapi, belum setetespun air dituang mendadak pemuda itu membuka matanya.

"Nona Souw..."

Ceng Bi terkejut. Air yang dibawa kontan tumpah dan tiada disengajanya secara kebetulan air itu menimpa muka si pemuda baju kuning! "Eh... oh...!" Ceng Bi tergagap dan pemuda baju kuning itupun juga gelagapan.

"Nona Souw, ini....eh. apa-apaan? Kenapa kau menyiram mukaku…?

Pemuda itu memandang muka Ceng Bi dengan muka terbelalak dan Ceng Bi sendiri sejanak tidak mampu membuka suara. Bukan maksudnya untuk mengguyur orang yang sudah siuman, tetapi apa hendak dikata, karena kaget airpun tumpah dari tangannya. Dan lebih celaka lagi, air menyiram muka orang yang tentu saja menjadi gelagapan!

Karena itu, Ceng Bi menjadi merah mukanya. Rasa malu sedetik memasuki hatinya, namun dasar gadis yang tidak suka kepergok rasa jengahnya maka Ceng Bi-pun lalu balas membelalaki dan dan pura-pura membentak marah, "Cih, siapa yang menyiram mukamu? Adalah kau yang mengejutkan diriku sehingga air tanpa kusengaja tumpah mengguyurmu! Kenapa hendak menyalahkan orang lain!"

Pemuda itu semakin membelalakkan matanya, "Akan tetapi, nona Souw..... bukankah kau memang ada niat untuk menyiram mukaku? Buktinya, kau menibawa air ke sini…"

"Huh, itulah salahmu sendiri. Kenapa kau pingsan?"

"Ahh....!" pemuda itu berseru perlahan dan diam-diam dia menggelengkan kepala mendengar jawaban yang amat seenaknya itu. Akan tetapi karena dia merasa dirinya sendiri tidak bersalah maka dia coba membantah lagi. "Tapi nona Souw, bukankah yang membuat aku pingsan adalah engkau sendiri. Aku tidak pingsan begitu saja. dan..."

"Ah, cerewet amat!" Ceng Bi membentak. "Kau ini laki-laki atau nenek bawel? Kalau kau merasa diri laki-laki sudah jangan banyak mulut. Aku sudah mendengar omonganmu itu. Tahu?" Ceng Bi melotot dan pemuda baju kuning terbeliak.

Namun sekejap saja pemuda ini terbeliak karena tiba-tiba saja dia tertawa geli, "Aih, nona Souw, kau benar-benar lucu sekali…! Mengapa ada kejadian aneh...?

"Hem, apanya yang aneh?" Ceng Bi mendelik.

"Kau inilah....!"

"Aku?"

"Ya!"

Ceng Bi semakin meradang. "Ui-i-siauw-kwi (Setan Baju Kuning), kau keparat benar. Apanya yang kau anggap aneh pada diriku?" Ceng Bi bersiap-siap menurunkan tangan menampar dan si pemuda baju kuning itu tersenyum lembut.

"Nona Souw, kalau kau marah-marah begini, mana aku berani bicara terus terang? Tentu kau semakin marah saja dan biarlah ucapanku yang tertahan ini kusimpan saja di dalam hati." Pemuda itu tersenyum misterius dan Ceng Bi serasa digelitik. Dia menjadi gemas karena dipermainkan, karena itu Ceng Bi terpaksa menahan diri.

"Ui-i-siauw-kwi...."

"Nona, aku punya nama, bukan... " pemuda itu memutus.

Ceng Bi melotot. "Cis, siapa ingin tahu namamu? Bagiku kau tetap adalah Ui-i-siauw-kwi....!"

Pemuda itu tertawa. "Hem, baiklah, baiklah... aku memang Ui-siauw-kwi... yang tolol dan goblok!" dia berkata sambil tersenyum lebar dan Ceng Bi hampir saja tak dapat menahan rasa gelinya mendengar orang memaki-maki diri sendiri. Akan tetapi karena dia pada saat itu sedang unjuk kemarahan, maka tetap saja mukanya dibuat kaku.

"Hem, Ui-i siauw-kwi, kau memang manusia yang tolol dan goblok. Kenapa baru tahu sekarang?" Ceng Bi mengejek.

"tulah nona, sehingga akupun dapat juga kau kelabuhi."

"Dan kau sekarang sakit hati?"

"Tidak."

Jawaban ini mencengangkan Ceng Bi tapi gadis itu tidak percaya. "Ui-i-siauw-kwi..." ejeknya sambil tersenyum mencibir. "Orang macam kau ini sungguh tidak dapat dipegang kata-katanya. Bilang hitam bisa menjadi putih dan yang putih bisa menjadi hitam. Begamana orang dikelabuhi berkata tidak sakit hati? Kau membual saja, bualan kosong...!"

"Ah, tidak, nona....!" pemuia itu menyanggah sungguh-sungguh. "Untuk tipuanmu ini aku sungguh-sunggnh tidak merasa sakit hati. Dan barangkali ini agaknya disebabkan oleh keanehanmu itulah."

"Hm, keanehan yang mana?" Cing Bi terbelalak.

Tapi penuda itu tidak membuka mulutnya.

"Ui-i-siauw-kwi...." Ceng Bi meradang. "Apakah kau minta hukumanmu ini dilaksanakan secepatnya? Kalau begitu bagus sekali. Aku hendak menggantungmu di atas pohon itu sampai kau minta ampun!"

Tapi pemuda baju kuning ini malah tertawa gembira. "Nona Souw, aku Kui Lan selamanya belum pernah digantung orang. Masa hari ini kau tega menggantungku seperti yang kau rencanakan?"

"Hm, mengapa tidak?" Ceng Bi menjawab ketus. "Dan aku malah ingin menggantungmu dengan kepala di bawah kaki di atas!"

"Wah, seperti kambing yang hendak dibelek perutnya, nona?" pemuda itu terbelalak.

"Ya, dan kau takut?" Ceng Bi tersenyum sinis.

Tapi pemuda baju kuning itu tidak menjawab dan tiba-tiba dia menghela napas panjang. Dia memandang Ceng Bi dengan lembut dan mesra, sementara yang dipandang menjadi merah mukanya karena jengah.

"Kau... setan kurang ajar, mengapa memandangku macam kucing kelaparan?" Ceng Bi membentak untuk menghilangkan rasa likatnya dan pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Nona Souw, kau ini apakah betul-betul sedang marah?"

Ceng Di mendelik. "Lha kau lihat bagaimana? Apakah matamu lamur?"

"Ah, kalau begitu, kenapa demikian aneh?"

"Apanya yang aneh?" Ceng Bi hampir tak dapat menahan diri. "Kau dari tadi bilang aneh. Apanya yang aneh, setan keparat?"

Pemuda baju kuning itu tersenyum getir. "Nona, yang kumaksud aneh di sini bukan lain adalah dirimu itu. Kalau kau betul-betul marah, kenapa mukamu itu menjadi...."

"Ya.... teruskan?"

"Hm, aku takut, nona…"

Ceng Bi semakin merah pipinya. Melihat orang tidak mau meneruskan bicaranya timbul dugaan bahwa pemuda itn sedang berpikiran kurang ajar terhadap dirinya. Karena itu, Ceng Bi langsung melompat setindak dan begitu dekat jaraknya kontan dia melayangkan tangan menggampar pipi lawannya.

"Plak- plak!" Dua kali pipi kanan dan kiri itu ditampar dan dua kali muka pemuda baju kuning itu tersentak ke kiri dan ke kanan. Namun aneh, pemuda ini sama sekali tidak naik darah diperlakukan seperti itu malah justeru dia tertawa terbahak-bahak.

"Ha-ha-ha, nona Souw, bagus sekali tamparan mu ini. Kurasa sedap dan ntkmat! Aih, sudah bertahun-tahun tidak dihajar orang, dan sekarang sekali merasakan tamparanmu terasa demikian mantap dan sejuk. Nona Souw, bisa kau tambah lagi...?" pemuda itu tertawa pahit den Ceng Bi tertegun.

"Ui-i-siauw-kwi...." kau orang gila!" Ceng Bi berteriak gemas.

Dan pemuda baju itu mengangguk. "Agaknya begitulah, nona Souw...., aku memang sedang gila. Aih, mengapa aku bisa gila begini..." pemuda itu menggeleng-gelengkan tepalanya dengan muka sedih dan tiba dia mengangkat mukanya memandang Ceng Bi.

"Nona Souw, maaf kalau aku bicara lancang. Akan tetani, sungguh aku menjadi heran sendiri. Bagaimana kau bisa semakin cantik kalau marah-marah seperti ini? Bagaimana seorang dara bisa demikian bertambah jelita pada saat dia meluapkan api kemarabannya? Aih... nona Souw, aku tidak mencoba merayumu..., apa yang kukatakan adalah sebuah kenyataan yang ada di depan sekarang ini. Dan itulah keanehanmu seperti yang kumaksudkan tadi. Marahkah nona oleh ucapanku ini? Kalau itu dianggap kurang ajar, baiklah aku boleh kau gaplok lagi sampai pingsan. Aku memang barangkali sedang gila, dan karena kegilaan aku telah menyelamatkanmu dari kebuasan Si Pisau Kilat. Padahal, ah...." pemuda ini tidak meneruskan kata-katanya dan tiba-tiba dia merenung jauh ke depan dengan muka muram.

Ceng Bi terkejut, dan dia memandang heran. Mendengar disebutnya nama Si Pisau Kilat membuat gadis ini tiba-tiba teringat akan nasib Wen-taijin. Akan tetapi, teringat betapa pemuda itu telah memujinya sedemikian blak-blakan dan tidak berpura-pura, mau tak mau membuat Ceng Bi merah mukanya sampai ke leher. Ada perasaan jengah di hatinya mendengar pujian itu, namun ada juga perasaaan gembira serta girang!

Karena itu. Ceng Bi sejenak tertegun di tempatnya, seperti perawan gunung yang sedans dilamar orang dan baru gadis ini tersipu-sipu ketika sepasang mata yang lembut serta penuh perasasn bergetar mesra menatap dirinya. Ceng gelagapan, dan tiba-tiba gadis ini marah-marah tanpa sebab.

"Ui-i-siauw-kwi...." Ceng Bi membentak mengusir debaran hatinya yang tidak karuan. Jangan kau melantur dan bicara yang kurang-ajar di depanku, aku tidak suka mendengar pujian kosongmu itu dan aku juga tidak akan mengampunimu biarpan kau memuji-mujiku setiaggi langit. Tahu...?"


Pendekar Kepala Batu Jilid 09

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 09
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Kepala Batu
KARENA itu, rasa malunya berubah menjadi kegemasan ketika dia teringat kepada Si Copet Seribut Jari. Musuh-musuh telah pergi jauh, mengapa masih saja nongkrong di atas pohon. Maka Ceng Bi hendak melampiaskan kemendongkolan hatinya ini terhadap manusia yang tidak tahu diri itu.

"He, Jing-ci-touw Kam Sin, kenapa kau tidak mau turun? Apa minta kuseret terlebih dahulu baru kau tahu sudah?" Ceng Bi membentak marah dan dia menengadahkan mukanya keatas pobon.

Tapi sungguh aneh. Orang yang dipanggil temyata sama sekali tidak menampakkan gerakan apa-apa di atasnya dan Ceng Bi menjadi gusar. Dia mengira si tukang copet itu hendak bermain maka tanpa bertanya lagi diapun lalu melayang naik ke atas pohon untuk menghajar orang she Kam itu.

"Manusia busuk, setetah nonton orang lain bertanding mati-matian untuk membelanni kau lalu hendak bermain gila, ya?" Ceng Bi uring- uringan dan dia siap merontokkan gigi si tukang copet itu sampai tinggal dua biji. Namun sungguh mengherankan. Setetah Ceng Bi sendiri telah tiba di atas pohon temyata Jing-ci-touw Kam Sin itu memang benar-benar tidak berada di tempatnya tadi!

"He...!" Ceng Bi terkejut, dan tentu saja gadis ini merasa beran. Dia tercengang, tapi tiba-tiba matanva bertemu dengan guratan kasar di kulit pohon yang tadi diduduki si tukang copet itu. Ceng Bi membaca, dan tulisan itu ternyata berbunyi demikian,

Si Copet Jujur memasuki kota Bun-ki!
Sampai jumpa di sana!, Souw-lihiap.


Hanya itutah beritanya dan Ceng Bi menjadi gemas menbaca dua kalimat yang pendek itu. "Hah, Si Copet Jujur?" Ceng Bi menjadi papas perutnya oleh kata-kata itu. Orang lain menjulukinya Si Copet Seribu Jari tapi yang bersangkutan malah menyebut diri sendiri sebagai si tukang cooet yang jujur! Siapa tidak gemas bercampur geli?

Ceng Bi mengumpat di dalam hatinya dan dia melompat turun dengan muka merah. Copet itu benar-benar main gila tidak kepalang tanggung. Tadi dia disuruh menjaga orang tapi tiba-tiba kabur pada saat pertandingan sedang seru-serunya. Dan tentu pada saat dia dan si gadis baju hijau sama-sama memusatkan perhatian untuk mencari kemenangan itulah si tukang copet ini mencuri kesempatan. Kelau tidak, mana mungkin lolos dari pengamatan? Dan beraninya, tukang copet itu tidak takut memberitahukan ke mana dia pergi. Padahal, dia pasti tahu betul bahwa kalau dia pergi secara diam-diam itu tentu sang "Souw lihiap" bakal marah-marah. Namun Si Copet Seribu Jari itu toh berani melakukan!

"Hem, keparat, kau memang patut dihajar sampai patah tulang-tulangmu, orang she Kam!" Ceng Bi mengepal tinjunya dan gadis ini tanpa banyak bicara lagi lalu berkelebat ke arah timur menuju ke kota Bun-ki!

* * * * * * * *

Hari masih sore ketika Ceng Bi memasuki kota nelayan ini. Tapi anehnya, meskipun matahari sudah mulai condong ke barat kota kecil Bun-ki itu tenyata masih ramai sekali. Anak cahang Huang-ho yang mengalir di kota ini peauh dengan perahu-perahu nelayan dan ketika Ceng Bi menyelidiki, kiranya kota itu sedang berhari pasaran!

Tentu saja kenyataan ini terasa aneh. Biasanya, kota-kota kecil lain selalu mengadakan hari pasaran di waktu pagi sampai menjelang tengah hari. Bahkan, beberapa di antaranya malah sampai lewat tengah hari. Tapi karena lain lubuk lain ikan-nya demikian kata sebuah peribahasa maka rupanya sedikit kejanggalan itu bisa juga dimaklumi oleh pendatang lain daerah yang memasui kota Bun-ki ini.

Dan itu memang salah satu ciri kota ini. Penduduk Bun-ki memang sejak dahulu kala sudah mempunyai tradisi yang agak menyimpang itu dari warisan leluhurnya. Maka Ceng Bi yang tadinya agak terheran-heran dan merasa janggal itu akhirnya pula dalam kesibukan banyak orang di kota ini. Dia tidak mempersoalkan lagi keanehan itu, dan satu-satunya perhatian adalah mencari di mana kiranya Si Copet Seribu Jari berada.

Mengingat bahwa orang yang sedang dicari ini adalah seorang tukang copet, maka Ceng Bi tidak ragu-ragu lagi untuk memasuki pasar yang penuh pedagang ikan itu. Kehadirannya yang cukup menyolok menimbulkan banyak perhatian orang. Namun Ceng Bi tidak ambil perduli. Dia menjelajahi hampir seluruh pasar, menyelinap di antara pedagang dan pembeli, di antara lorong-lorong kecil dan besar dan akhimya Ceng Bi harus menggigit jari karena si tukang copet yang dicari-cari ternyata sama sekali tidak ada di tengah-tengah pasar Bun-ki.

Bahkan, Ceng Bi mulai mengumpat di dalam hatinya karena bau amis ikan dan udang serta, pakaian apek kaum nelayan yang lusuh membuat perutnya terasa mual. Dia memang tidak terbiasa, dengan bau-bau amis, maka sekali terjun di tengah pasar ikan yang becek dan licin berair itu diam-diam membuat hatinya mendongkol. Kalau saja tidak sedang mencari jejak Jing-ci-touw Kam sin, barangkali dia tidak akan sudi menginjakan kakinya di tengah-tengah kekotoran sampah ikan!

Ceng Bi mulai menggerutu, dan ia mulai melangkahkan kakinya keluar pasar. Tapi baru saja, sampai di pintu pasar bagian barat, mendadak di belakangnya terdengar suara ribut-ribut orang kecopetan!

"Copet... copet...hei, dia mencopet kantong uangku...! Teman-teman, tolong kejar dia.... tangkap...!" seorang laki-laki pendek gemuk berteriak-teriak kalang kabut dan orang yang rupanya pedagang ikan ini berlari tersaruk-saruk mengejar orang laki-laki pendek kecil yang membawa sekantong uang sebesar kepala kerbau.

Ceng Bi terkejut, dan gadis ini cepat membalikkan tubuhnya. Maka tampaklah kini siapa orang yang membuat gara-gara itu. Bukan lain Si Copet Seribu Jari, orang yang justeru sedang dicari-carinya semenjak tadi! Kontan Ceng Bi menaikkan alisnya, dan melihat betapa orang banyak sama mendelong tak bergerak oleh kejadian yang amat tiba-tiba itu Ceng Bi menjadi gusar. Maka sekali dia mengeluarkan bentakan perlahan Ceng Bi tiba-tiba sudah melompati kepala orang banyak dalam usahanya memotong jalan.

"Jing-ci-touw Kam Sin, serahkan barang curianmu itu...!" Ceng Bi membentak marah dan orang-orang di tempat itu berseru kaget ketika tahu-tahu sebuah bayangan terbang seperti burung di atas kepala mereka!

"Hai…..!"

"Wahh!"

Seruan kaget ini terdengar di sana sini dan pasar itu seketika menjadi geger. Orang banyak yang tadi sama tertegun bengong sekarang tiba-tiba saja sadar, terutama mereka yang kepalanya di "totol" kaki Ceng Bi! Maka gaduhlah suasana pasar ikan itu dan Jing-ci-touw sendiri yang mendengar bentakan Ceng Bi di belakangnya itu mengeluarkan seruan kaget dan lari semakin cepat seperti orang dikejar setan.

Maka semakin marahlah Ceng Bi. Melihat orang berlari semakin cepat dan tidak mau berhenti, maka Ceng Bi mengerahkan kepandaian ginkangnya dan tiba-tiba gadis ini meluncur kedepan dengan cepat sekali. Orang-orang di dalam pasar hanya menyaksikan sebuah bayangan merah berkelebat dan tahu-tahu si tukang copet itu tinggal dua meter saja jaraknya dengan Ceng Bi. Sekali raih, agaknya Si Copet Seribu Jari itu bakal tertangkap dan seluruh isi pasar kini sama terbelalak memandang peristiwa itu. Namun, tepat pada saat Ceng Bi mengulurkan tangannya sambil membentak agar si copet Kam Sin itu menyerah, mendadak saja sesosok bayangan kuning berkelebat dari samping ikut menangkap pundak Si Copet Seribu Jari.

"Pencopet busuk, hayo kau tinggalkan barang serobotanmu itu bayangan kuning ini membentak perlahan dan lengan kanannya yang sudah terulur maju itu menyambar punggung baju si orang she Kam. Akan tetapi, karena dari samping Ceng Bi juga sedang mengulurkan tangannya maka arah cengkeraman mereka otomatis satu tujuan. Hal ini mengakibatkan kedua lengan si bayangan kuning dan Ceng Bi sendiri saling bentur, dan tentu saja Ceng Bi terkejut.

"Plakk!" Dua tangan yang sating beradu itu menerbitkan suara nyaring dan Ceng benar benar kaget sekali. Sambaran tangannya ke arah si copet she Kam luput dan sebagai gantinya dia sendiri terpental mundur tiga langkah. Tentu saja Ceng Bi mendelik marah, dan Jing-ci-touw Kam Sin yang hampir tertangkap itu keluar melompat genting rumah penduduk dalam usahanya meloloskan diri.

Ceng Bi naik pitam, dan dia hendak memaki bayangan kuning ini. Namun, melihat Jing-ci-touw melompat di atas rumah penduduk dan hampir saja lenyap bayangannya maka Ceng Bi terpaksa menahan makiannya dan mengejar dengan mata berapi-api.

"Orang she Kam, ke mana kau akan pergi?" Ceng Bi mengeluarkan bentakan keras dan tubuhnya tahu-tahu sudah melayang ke atas genting.

Tapi begitu tubuhnya melayang naik, tiba-tiba si bayangan kuning juga ikut-ikut mengejar di atas rumah sambil berseru pula, "Pencopet hina, ke mana kau akan menyembunyikan diri?" dan dia sudah mendahului Ceng Bi yang terbelalak marah melihat sikapnya ini.

Tentu saja Ceng Bi seakan meledak dadanya dan melihat betapa si bayangan kuning itu mendahuluinya dalam usaha mengejar si Copet Seribu Jari benar-benar membuat Ceng Bi gusar bukan kepalang. Maka begitu orang melesat di depan, segera ia pun mengerahkan seluruh kepandaian ginkangnya mengejar bayangan kuning ini. tubuhnya meluncur pesat dan tahu-tahu dia telah berhasil menyamai larinya si bayangan itu.

"Setan jahanam, apakah kau mau pamer di depanku, hah?" Ceng Bi tak dapat menahan diri dan dia memaki pendatang baru yang mengganggunya ini.

Orang itu menoleh, dan Ceng Bi melihat sebuah wajah tampan yang tersenyum kecut. "Nona, kita sama-sama mengejar penjahat, untuk apa memakiku?"

Ceng Bi mendelik gusar. "Akan tetapi aku yang terlebih dulu turun tangan, kenapa kau turut campur?"

"Ah, menangkap penjahat tidak ada yang mendahului ataupun didahului, nona! Bagaimana aku bisa dibilang begitu?' orang itu memprotes dan Ceng Bi semakin marah.

"Kau... setan keparat! Apakah memang mau setori denganku?" Ceng Bi tak tahan lagi dan dia menggaplok muka orang dengan tangan kirinya.

"Wuut…..!"

"Eh....?!" orang itu terkejut, mengelak sedikit. "Kenapa nona marah-marah? Kita tidak saling kenal, juga tidak bermusuhan. Mengapa harus menggampar muka orang segala?" pemuda itu berseru tenang dan Ceng Bi melotot melihat tamparannya luput.

"Kau…. Setan kurang ajar, siapa bilang kita tidak bermusuhan? Sikapmu yang campur tangan sehingga menggagalkan keberhasilanku menangkap si copet busuk tadi, apakah tidak bisa dibilang lancang? Kau yang memulai lebih dulu, bukan aku!" Ceng Bi berteriak marah dan dia siap mengangkat tangannya lagi menggaplok muka lawan ketika tiba-tiba pemuda baju kuning itu berseru.

"He, tahan… jejak buruan kita menghilang!"

Seruan ini mengejutkan Ceng Bi dan ketika dia memandang, betul saja jejak si Copet Seribu Jari itu telah lenyap. Ceng Bi marah sekali dan dia melompat turun dengan mata berapi-api. Mereka telah tiba di pinggir kota, dan sebuah tembok gapura sebagai pintu gerbang masuk ataupun keluar menganga di situ. Ceng Bi berdiri dengan muka merah dan si pemuda baju kuning itu juga melompat turun. Keduanya memutar mata, dan tiba-tiba si baju kuning kembali berseru,

"He, itu dia... masuk ke hutan!" dan belum Ceng Bi memandang jelas, tiba-tiba dia sudah berkelebat keluar tembok kota.

Ceng Bi terbelalak kaget, tapi seruan pemuda itu memang benar. Jing-ci-touw Kam Sin tampak di sana, sedang berlari sambil menyelinap diantara semak gerumbul sedang menuju hutan. Maka gadis inipun mengumpat gemas dan tanpa banyak bicara lagi diapun mengerahkan ginkang mengejar si tukang copet yang kurang-ajar itu.

Kejar-kejaran yang seru segera terjadi. Ceng Bi dibelakang si pemuda baju kuning sedangkan pemuda baju kuning itu sendiri berada jauh di belakang si Copet Seribu Jari. Ketiga-tiganya sama berlari cepat, namun karena si Copet she Kam itu sudah mendekati hutan di depan, maka sebentar saja laki-laki itu sudah berada di mulut hutan dan empat lima langkah kemudian si tukang copet itupun lenyaplah!

"Terkutuk…..!" Ceng Bi memaki gemas dan dia menjadi khawatir sekali. Hutan di depan itu cukup lebat, mana mungkin dia berhasil mencari orang yang bersembunyi di dalam hutan? Dan belum lenyap rasa gemasnya tiba-tiba si pemuda baju kuning yang tadi berada di depannya itupun mendadak tidak kelihatan batang hidungnya. Ceng Bi menjadi heran, akan tetapi dia menduga bahwa agaknya pemuda itu telah memasuki hutan, maka iapun mempercepat larinya agar sampai di tempat itu.

Dan akhirnya Ceng Bi tiba pula di hutan ini. dia celingukan, namun sebuah bayanganpun tidak nampak. Karena itu Ceng Bi lalu menyelinap diantara pohon-pohon besar dan untuk mempermudah pencariannya, gadis itupun lalu melayang naik ke atas pohon yang paling tinggi untuk mencari dari atas.

Tapi sungguh sukar, pohon-pohon terlalu lebat dan mencoba menembus pandang ke bawah adalah sia-sia belaka. Dari atas itu yang kelihatan hanyalah puncak-puncak pohon lain dan Ceng Bi mendongkol sekali. Kalau saja tadi si pemuda baju kunging tidak ikut campur, bukankah orang she Kam itu bakal tertangkap? Tapi sekarang buruannya itu lolos dan si pemuda baju kuningpun tidak tampak batang hidungnya. Sungguh kurang-ajar!

Ceng Bi gemas sekali dan dia melompat turun. Akan tetapi baru saja kakinya menginjak tanah, tiba-tiba terdengaar bentakan di dalam hutan. Suara orang bertempur. Ceng Bi menjadi tertarik dan mukanya menjadi tegang. Siapakah yang sedang bertempur di dalam hutan itu? Si baju kuningkah? Atau si Copet Seribu Jari?

Gadis itu tidak mau berpikir panjang lebar dan begitu suara bentakan terdengar semakin hebat, diapun lalu melesat ke dalam hutan di sebelah kiri. Dari situlah asal suara terdengar, maka kesitulah dia menuju. Ceng Bi cepat mendatangi tempat itu dan begitu dia sampai di tempat tersebut segera Ceng Bi melihat belasan orang yang sedang bertempur seru! Sepuluh orang laki-laki yang berpakaian pengawal tampak bertempur sengit melindungi seorang laki-laki setengah umur melawan lima orang bertopeng hitam.

Tentu saja Ceng Bi tidak mau gegabah, dan satu-satunya tindakan yang dilakukannya pada saat itu adalah melompat ke atas pohon, melihat pertarungan yang sedang berjalan seru itu dengan mata terbelalak. Sepuluh orang laki-laki yang berpakaian pengawal tampak bertempur sengit melindungi seorang laki-laki setengah umur melawan lima orang bertopeng hitam.

Ceng Bi tertarik dan perhatiannya tertuju kepada laki-laki setengah baya yang tampak berwibawa dan jelas menunjukkan sikap kebangsawanannya itu. dia memandang laki-laki ini, karena sekaligus teringat akan pembicaraan 'Wen-taijin' seperti yang disebut-sebut oleh Si Pelajar Berjarum Perak Hok Sun ketika mereka bertemu dengannya di padang rumput. Apakah orang itu yang dimaksud mereka?

Melihat gerak-geriknya yang tenang dan agung, memang rupanya cocok sekali kalau laki-laki setengah umur ini adalah seorang pembesar. Ketenangan sikapnya yang enteng serta pakaian yang dikenakannya yang indah gemerlapan memang membuat orang cenderung pada dugaan ini. dan Ceng Bi pun juga begitu. Tetapi kalau betul orang itu adalah seorang pembesar, mengapa dia berada di dalam hutan? Apa yang sedang dikerjakan? Dan bagaimana tahu-tahu para pengawalnya bertempur dengan orang-orang bertopeng hitam? Perampokkah lima orang bertopeng itu?

Semua pertanyaan itu mengaduk pikiran Beng Bi sementara dia tertarik memperhatikan laki-laki setengah baya itu mendadak jeritan seorang pengawal memecah perhatiannya. Ceng Bi terkejut dan dia melihat betapa seorang pengawal pembesar itu robek perutnya disambar golok seorang manusia bertopeng hitam. Kejadian itu berlangsung cepat dan Ceng Bi kaget sekali menyaksikan keganasan lawn yang tidak kenal ampun.

Baru saja pengawal yang menjadi korban itu roboh, tiba-tiba orang bertopeng hitam yang lain mengikuti jejak rekannya yang pertama. Mereka itu mengelebatkan sepasang golok yang menyambar-nyambar dan ketika dua sinar putih yang saling berseliweran itu membelah dan mebacok, terdengarlah jeritan ngeri empat kali berturut-turut disusul terjungkahiya empat pengaw yang roboh mandi darah. Kaki dan tangan mereka dibabat putus, dan seorang di antaranya bahkan terbelah pinggangnya menjadi dua!

"Aihh...!" Ceng Bi membelalakkan matanya dan gadis itu berseru perlahan. Apa yang disaksikan di depan matanya ini memang hebat sekali dari lima orang pengawal sisanya yang masih hidup rnergeluarkan teriakan marah melihat teman-tema mereka dibacok rubuh. Mereka itu menggereng, dan seorang pengawal tinggi kurus yang kumisnya panjang meraung murka.

"Iblis-iblis bertoreng rendah, berani kalian membunuh Para Pengawal Istana di depan mataku? Aih, keparat, kalian benar-benar berani mati sekali!" pengawal itu berteriak gusar dan senjatanya tombak bermata pisau rnenyambar dua oran ini dengan penuh kemarahan.

Dua orang bertopeng hitam itu mendengus dan seorang di antaranya malah tertawa mengejek. "Ha-ha, Song-busu (pengawal she Song), apa kau baru tahu bahwa kami ini memang orang-orang yang berani mati? Aha, kasihan sekali! Kau rupanya memang sedang sial bertemu dengan orang-orang macam kami, Song-busu, dan karena itu kaupun akan segera kami kirim ke neraka untuk menyusul anak-anak buahmu yang tidak becus tadi."

"Trang…!" orang ini menghentikan kata-katanya karena tombak ditangan pengawal she Song itu tiba. Dia dan temannya cepat menggerakkan golok dan benturan keras diantara tiga senjata itupun tak dapat dihindari lagi. Tombak di tangan Song-busu terpental sedangkan golok di tangan dua orang lawannya terus menyambar kearah pengawal tinggi kurus berkumis panjang ini.

"Haii... !" pengawal she Song berseru kaget, dan dia ternyata merupakan seorang pengawal yang cekatan. Karena begitu tombak di tangannya mental, segera pengawal ini membanting tubuhnya dan menggerakkan tombak secara bergulingan. Di satu pihak dia menjaga tubuh dari bacokan golok namun di lain pihak dia menyerampang kaki-kaki lawannya dengan mata pisau di ujung tombaknya.

"Ah, keparat…!" dua orang bertopeng hitam itu terkejut, dan mereka mengumpat kasar. Golok yang tadi meyambar kini luput mengenai sasarannya dan sebaliknya mereka kini malah menghadapi ancaman serangan dari bawah oleh tombak yang diputar bergulingan di tangan pengawal tinggi kurus itu.

Mereka ini memaki kotor, dan dengan cepat melompat ke belakang menghindari serangan itu dengan perasaan gemas. Hal ini mengakibatkan terhentinya hujan serangan yang tadi telah mereka siapkan, dan di samping itu juga memberi kesempatan kepada lawan mereka untuk melompat berdiri. Dan Song-busu memang telah melenting bangkit dengan tombak di tangannya itu dan kini tanpa menunggu balasan lawan sudah menerjang kembali dengan serangan gencar.

Dua orang bertopeng hitam itu memekik dan hampir berbareng keduanya menyambut terjangan ini. Yang satu menangkis dari depan sedangkan yang lain menyelinap ke samping membacok pundak belakarg Song-busu. Kedua-duanya bergerak sama cepat, tapi Song-busu rupanya cerdik dalam mengambil taktik karena begitu dua lawannya menyerang dalam dua jurusan, pengawal in tiba-tiba mengeluarkan bentakan keras dan tombak di tangannya tiba- tiba dipegang bagian tengahnya. Dengan begini, pengawal itu seolah-olah mempunyai dua senjata, yakni di bagian depan merupa kan ujung tombak sedangkan di bagian belakar dipakai sebagai toya atau tongkat pendek. Dan begitu dua golok datang bersamaan segera pengawal ini menggerakkan tombaknya menangkis.

"Trang-trangg...!" dua kali suara nyaring ini terdengar dan bunga apipun muncrat berhamburan. Golok di tangan orang sebelah depan terpental ke atas sedangkan golok di tangan orang satunya juga tersipat dengan amat kerasnya. Dan Song busu yang telah berhasil menangkis serangan dua orang lawannya itu tiba-tiba melanjutkan gerakannya menjadi sodokan dan tikaman. Pangkal tombak dipakai menyodok dada lawan yang ada di belakang sedangkan mata tombak dipakai menikam ulu hati lawan yang ada di depan!

Tentu dua orang bertopeng hitam itu terkejut, dan mereka mengeluarkan teriakan keras ketika tahu-tahu pangkal tombak dan mata tombak ganti berganti mengancam dada mereka. Si topeng di depan rnembanting tubah bergulingan ke kanan sedangkan si topeng di belakang membanting tubuh bergulingan ke kiri. Mereka itu sudah tidak sempat lagi untuk menangkis, karena golok di tangan saat itu sedang terpental ke atas.

Maka inilah cara satu-satunya untuk menyelamatkan diri dan Song-busu yang melihat dua orang lawannya itu memecah diri bergulingan ke kanan dan ke kiri ini sejenak tertegun. Dia tidak dapat lagi menyerang secara bersamaan seperti tadi, karena masing-masing lawan telah terpisah. Karena itu, dia harus memilih. Hendak mengejar yang di sebelah kiri ataukah yang di sebelah kanan.

Tapi rupanya pengawal she Song ini lebih membenci lawan yang bergulingan di sebelah kiri itu daripada yang di sebelah kanan, karena terbukti pengawal ini tibi tiba berteriak geram mengejar lawan yang sedang bergulingan di sebelah kin itu. Hal ini barangkali disebabkan karena kecurangan orang itu ketika tadi membacok pundaknya dari belakang, maka kemarahan pengawal itu tampaknya memang lebih besar dibandingkan dengan teman satunya.

Maka Song-busu sudah melompat cepat mengejar orang ini sambil mengangkat batang tombaknya penuh kebencian. Dia tidak memberi kesempatan kepada orang bertopeng hitam itu untuk bangkit, dan ujung tombak bermata pisau itu tampak bergetar kemilau ketika menukik ke sasarannya yang sedang bergulingan. Akan tetapi, tepat pada saat pengawal she Song ini membalikkan tubuh mengejar lawan yang sedang tidak berdaya itu mendadak dari belakangnya menyarnbar sinar putih yang tidak disangka-sangka.

Sinar ini meluncur begitu saja tanpa diketahui asalnya, dan Ceng Bi yang berada di atas pohon menyaksikan semua kejadian di bawah itu terpekik kaget. Dia tidak tahu, Benda apakah yang menyambar punggung Song-busu itu karena kecepatannya benar-benar sukar diikuti mata. Yang jelas, pasti sebangsa amgi (senjata gelap) yang dilemparkan seorang berkepandaian tinggi, maka Ceng Bi benar-beiar kaget sekali dan sebelum dia sempat mengejapkan mata tiba tiba terdengarlah jeritan Song-busu yang terjungkal roboh. Pengawal itu terjerembab, dan tombak di tangannya terlepas.

Tentu saja Ceng Bi terbelalak, dan sekarang tampaklah apa yang sesungguhnya terjadi. Kiranya sebuah pisau belati telah menancap amblas di punggung pengawal she Song ini, tembus mengenai jantung di dada kirinya! Tentu saja pengawal itu berkelojotan, dan sebuah bayangan tiba-tiba berkelebat di belakang orang-orang bertopeng hitam. Semua orang menjadi terkejut, dan Song-busu mendelik kaget. Akan tetapi begitu melihat munculnya penyerang gelap ini pengawal she Song itu bahkan menjadi pucat mukanya. Dia tampak terkejut bukan main, dan telunjuknya menuding gemetar.

"Kau... kau...." Song-busu tergagap serak namun seruannya ini tercekik di tengah jalan. Busu itu tampak hendak bangkit berdiri, tapi rupanya pisau menancap terlalu dalam di jantung kirinya yang terkoyak. Karena itu, pengawal ini lalu menuding-nuding namun belum jelas apa yang dimaksudkan tiba-tiba busu itu mengeluarkan suara seperti babi disembelih dan tubuhnyapun keburu terguling roboh. Pengawal ini sekarat, dan tubuh yang mengejang berkelojotan itu tampak rnengerikan sekali. Dia mencoba melawan maut dengan muka beringas, tapi tiba-tiba busu itu mengaduh dan menjerit satu kali lalu diam tak bergerak lagi. Kiranya, pengawal she Song ini telah tewas tanpa sempat melanjutkan kata-katanya tadi!

Inilah kejadian yang mengejutkan semua orang, dan Ceng Bi sendiri sampai terbelalak dengan muka berobah. Kematian Song-busu yang demikian cepat serta datangnya peristiwa yang hanya sekejap itu benar-benar membuat orang sama tertegun. Ceng Bi terguncang dan tanpa terasa dia memardang penyerang gelap yang baru muncul ini dengan mata tidak berkedip. Ternyata, dia adalah seorang laki-laki yang berumur lima puluh tahun dengan roman bengis seperti iblis. Tubuhnya jangkung, lehernya panjang, dan jenggot pendek yang morat-marit tidak teratur seperti kawat baja itu membayangkan kekejamannya yang tak kenal tak batas.

Dan dari seluruh keadaannya yang rnenyenakan ini, agaknya pakaiannyalah yang paling menarik perhatian orang. Karena, tidak seperti kebanyakan orang lain, adalah pakaian orang ini dari mata kaki sampai ke atas pundaknya penuh dengan lubang-lubang pisau belati. Dan di dalam lubang-lubang ini, tersembul sedikit dan hanya tampak ujungnya, berkilatanlah pisau-pisau belati yang jumlahnya puluhan buah!

"Si Pisau Kilat…..!" Ceng Bi berseru kaget melihat keadaan orang ini dan tanpa bertanya lagi tahulah dia siapa kiranya tokoh yang baru itu. Maka begitu dia mengenal, segera Ceng Bi mengertakkan gigi dan mengepal tinju. Teringatlah olehnya sekarang akan cerita ayahnya tentang tokoh yang satu ini. Betapa kabarnya orang ini mencari ayahnya pada belasan tahun yang lalu, tapi tidak bertemu karena ayahnya itu sedang merantau keluar daerah Tiong-goan (pedalaman). Konon Si Pisau Kilat ini bersama suhengnya yang berjuluk Si Palu Baja hendak menuntut balas atas kernatian tokoh-tokoh golongan hitam di tangan ayahnya.

Tapi karena mereka tidak bertemu, maka dendam di hati dua orang ini tidak terlampiaskan. Menurut cerita ayahnya, Si Pisau Kilat adalah tokoh yang amat berhahaya sekali. Dia lebih berbahaya dibanding Mo-san Ngo-yu ataupun tokoh-tokoh golongan hitam yang lain karena pisaunya tidak pernah luput dalam setiap sambitan. Dan menurut cerita orang, konon Si Pisau Kilat ini mampu melemparkan pisaunya kebelakang tanpa perlu menoleh. Dia sanggup menimpuk semua korban dengan mata meram!

Inilah kehebatan yang ditakuti semua orang dan karena itu nama tokoh ini lalu menjadi semacam momok mengerikan bagi siapa saja. Dan menurut kebiasaannya, di mana dia muncul pasti akan ada korban. Pisau di kantong pakaiannya dikenal sebagai pisau-pisau yang haus darah. Oleh sebab itu, tidak heran jika musuh menjadi gentar melihat kehadirannya. Dan kini, untuk pertama kalinya Ceng Bi bertemu dengan tokoh itu dan untuk pertama kalinya pula dia menyaksikan kebenaran cerita di luaran tentang kelihaian serta keganasan tokoh ini. Nyawa Song-busu telah melayang dan pisau terbang yang tadi dilemparkan itu benar-benar mengejutkan sekali. Kecepatannya tidak dapat diikuti mata!

Namun Ceng Bi tidak takut. Kemarahan di hatinya sebenarnya sudah mulai bangkit sejak tadi menyaksikan kekejaman orang-orang bertopeng hitam yang membunuhi para pengawal yang dinilainya pasti berada di pihak yang benar. Dan meskipun dia belum tahu siapakah adanya para pengawal yang melindungi pembesar bersikap agung itu namun dia sudah condong untuk membela para pengawal ini.

Orang orang bertopeng hitam itu jelas bermaksud buruk, karena mereka menutupi wajah tidak ingin dikenal. Dan kenyataan ini saja sudah cukup baginya untuk menilai orang-orang macam apakah adanya mereka itu. Dan sekarang, ditambah dengan munculnya Si Pisan Kilat yang berdiri di belakaag manusia-manusia berkedok ini semakin memperkuat kebencian Ceng Bi untuk melawan orang-orang ini.

Pembesar itu menarik hatinya, maka dia hendak melindungi pembesar ini dari orang-orang jahat. Ketenangan sikapnya serta keberaniannya yang sama sekali tidak melarikan diri meskipun jelas para pengawalnya sudah mulai roboh berjatuhan mulai membangkitkan kekaguman di hati Ceng Bi. Maka keputusannya sudah bulat, sebelum semua para pengawal kembali roboh di tangan musuh dia akan turun tangan membantu.

Akan tetapi, baru saja Ceng Bi mengencangkan ikat pinggangnya dan hendak turan ke bawah tiba-tiba empat orang pengawal yang masih hidup dan sedang melanjutkan pertarungan mereka melawan tiga orang bertopeng hitam mendadak mengeluarkan jeritan ngeri dan roboh terjengkang!

Ceng Bi terkejut, dan gadis ini terbeliak. Senjata di tangan orang-orang bertopeng hitam sama sekali tidak kelihatan menyentuh tubuh para pengawal itu, bagaimana mereka tahu-tahu roboh binasa? Akan tetapi setelah dia tahu sebabnya segera Ceng Bi naik pitam. Kiranya, empat buah pisau belati telah menembus dada mereka, semuanya tepat menghunjam jantung. Perbuatan Si Pisau Kilat!

Tentu saja Ceng Bi menjadi marah sekali dan gadis ini tidak dapat menahan diri. Keganasan tokoh yang baru muncul ini benar-benar kelewat telengas, membunuh orang tidak tanggung-tanggung. Dan yang membuat dia naik darah adalah sikap yang tidak kenal ampun dari tokoh hitam itu. Masa dia baru mengencangkan ikat pinggang sekejap saja tahu-tahu empat orang pengawal telah roboh binasa? Dan dia ternyata telah terlambat untuk menolong para siwi yang malang-melintang itu. Kecepatan gerak Si Pisau Kilat ternyata benar-benar luar biasa, tidak boleh dibuat main-main!

Ceng Bi merah mukanya dan gadis ini melengking tinggi. Sepasang tangan siap dikembangkan melompat turun seperti garuda terbang namun tiba-tiba semua gerakan itu terhenti di tengah jalan. Pekik yang tadi dilengkingkan mendadak sama sekali tidak mengeluarkan suara, dan lengan yang sudah dipentang itu sekonyong-konyang lunglai ke bawah tanpa daya. Dua buah totokan lihai telah membuatnya lumpuh, dan Ceng Bi betul-betul kaget bukan main.

Kiranya, seorang berkepandaian tinggi telah membuatnya seperti itu. Totokan pertama membuat ia gagu sedangkan totokan ke dua membuat dia lumpuh. Dan ketika Ceng Bi menoleh, ternyata di bekangnya telah duduk dengan tenang seorang laki-ki yang bukan lain adalah si pemuda baju kuning!

"Kau....?!" Ceng Bi terkejut bukan main nanaun suaranya ini tidak ada yang keluar. Mulutnya terbuka dan dia seperti orang yang melengong kaget tapi rupanya pemuda baju kuning itu mengerti. Maka isyarat yang dikeluarkan pemuda ini adalah isyarat jari telunjuk di depan.

"Sstt, nona Souw, jangan kau bertindak ceroboh. Si Pisau Kilat adalah orang yang bertangan keji, bagaimana kau hendak turun menghadapinya? Kau terlalu sembrono sekali, jangan bersikap bodoh...!" pemuda itu memandang Ceng Bi dan Ceng Bi mendelik.

Kalau saja orang tidak membuatnya lumpuh seperti itu, tentu gadis ini sudah akan melayangkan tangan menggampar muka orang. Tapi pemuda itu benar-benar kurang ajar sekali, di samping menotoktnya lumpuh juga membuat dia tidak dapat memaki-maki melampiaskan kemarahan hatinya karena urat gagunya ikut pula dilumpuhkan! Kalau tidak, bukankah dia bakal mencacinya habis-babisan? Maka Ceng Bi hanya mendelik saja dan sinar matanya yang berapi-api itu pasti sudah dapat diketahui cukup baik oleh lawannya ini tentang bagaimana rasa hatinya pada saat itu.

Tapi rupanya pemuda baju kuning ini pura-pura tidak tahu saja, atau memang barangkali sengaja berpura-pura bersikap bodoh karena tiba-tiba dia menepuk pundak Ceng Bi dengan perlahan dan berkata sambil tersenyum, "Nona Souw, harap kau turuti saja permintaanku ini, karena itu semuanya adalah demi keselamatanmu belaka. Aku tidak bermaksud buruk, percayalah. Dan lagi bukankah yang hendak kau bela hanyalah pembesar itu? Nah, lihatlah baik-baik dan dengarkan percakapan mereka. Si Pisau kilat pasti tidak akan membunuh pembesar itu karena justru orang inilah yang dicari."

Pemuda itu lalu tidak bicara lagi dan dia memandang ke bawah. Ceng Bi juga lalu memandang dan meskipun hatinya marah sekali terhadap pemuda baju kuning ini namun karena dia memang ingin melihat bagaimanakah nasib sang pembesar di bawah itu maka Ceng Bi-pun lalu memandang ke bawah. Hanya, diam-diam di dalam hatinya dia sudah mengambil keputusan bahwa begitu dia bebas kembali tentu pemuda yang menotoknya ini kakal diterjangnya habis-habisan!

Si Pisau Kilat dan lima orang bertopeng hitam itu tampak berhadapan dengan si pembesar, dan Ceng Bi berdebar. Pembesar ini keruh mukanya, tapi bangsawan ini tampak bersikap tenang. Hanya matanya yang membayangan kemarahan besar itu kelihatan terkendali. Ceng Bi menjadi kagum dan lima orang bertopeng hitam yang mengurung pembesar ini tiba-tiba melangkah maju.

"Wen-taijin!" orang di depan membentak. "Masihkah kau hendak menyembunyikan Tek-pai yang kami minta? Hayo serahkan benda itu kepada kami kalau kau tidak ingin mengalami nasib seperti sepuluh orang para pengawalmu!" orang ini mencengkeram leher baju sang pembesar dengan kasar dan Ceng Bi terkejut.

Disebutnya nama pembesar itu benar-benar membuat Ceng Bi terperanjat, karena apa yang tadi hanya sekedar duaaan ternyata kini benar adanya. Wen-taijin! Ah, bukankah pembesar ini yang dicari-cari Gin-ciam Siucai Hok sun? Dan ternyata orang yang dicari-cari pemuda itu berada di hutan ini! Ceng Bi menjadi tegang dan dia memandang terbelalak.

Orang bertopeng hitam yang membentak kasar itu tampak menempelkan goloknya di leher Wen-taijin, dan melihat pembesar itu diam saja tidak mau menjawab dia menjadi gusar. "Wen taijin, apakah kau minta ditarik lidahmu agar mau bicara? Hmm, pembesar dungu, jangan kau mencoba-coba membangkitkan kemarahanku. Hayo bicara, dan serahkan Tek-pai yang kami minta!" orang ini menekan goloknya dan leher Wen-taijin tergurat merah.

"Ngo eng-busu (Busu Lima Garuda)!" Wen-taijin tiba-tiba berseru keras. "Beginikah akhirnya sikap kalian terhadap negara? Tiada segan-segan berkhianat dan berkomplot dengan orang-orang jahat? Ah, kalau saja aku tahu dari dulu tentu kalian sudah dipecat dan dihukum pancung! Sekarang, apa yang hendak kalian bicarakan? Masih tidak malu menyembunyikan muka di balik kedok?" pembesar itu memandang berapi-api dan lima orang bertopeng hitam sama mengeluarkan seruan keget.

Mereka benar-benar terkejut sekali, dan si topeng hitam yang tadi mencengkeram baju Wen-taijin sampai melompat mundur saking kagetnya. Dan sementara lima orang bertopeng ini terperanjat, tiba-tiba Si Pisau kilat yang sejak tadi belum mengeluarkan suara itu kini tertawa. Aneh suara ketawa tokoh ini, karena suaranya serak seperti kuda batuk.

"Ha-ha, Wen-taijin kiranya benar-benar pembesar yang mengagumkan. Sekali tebak dapat mengenali anak buah sendiri sungguh membuat orang tak habis mengerti. Eh, Ngo-eng-busu, kalian sudah dikenal, kenapa harus malu-malu? Hayo buka saja kedok itu dan terang-terangan di depan bekas majikan kalian, ha-ha-hah…..!"

Pisau Kilat terkekeh aneh dan lima orang bertopeng hitam itu melotot. Mereka ini ditelanjangi terang-terangan oleh Si Pisau Kilat, mana mereka dapat memungkiri diri? Kalau saja Si Pisau Kilat tidak bicara seperti itu, barangkali mereka masih dapat berpura-pura. Tapi, tokoh hitam ini telah menyudutkan mereka sedemikian rupa dan memang sudah tidak ada gunanya lagi mengelabuhi Wen-taijin yang mengenal siapa adanya mereka. Maka terpaksa dengan perasaan gemas dan sedikit marah orang-orang bertopeng hitam ini membuka kedok mereka dan sekarang tampaklah siapa sebetulnya mereka itu. Memang bukan lain adalah Ngo-eng-busu yang semestinya ada di istana melindungi keluarga raja.

Pembesar Wen mendengus, dan mata pembesar itu penuh kemarahan. "Ngo-eng-busu bentaknya dengan mata berkilat. "Hari ini kalian telah terang-terangan berkhianat terhadap kerajaan, karena itu hari ini pula nama kalian telah tercantum di dalam buku hitam induk negara. Tidak tahu iblis manakah yang telah membuat kalian berkiblat terhadap musuh? Kalau saja Jenderal Yap masih ada, tentu kalian tidak dapat pulang dengan umur panjang...!" pembesar itu tampak mengepal tinju dan lima orang ini merah mukanya.

"Wen-taijin....!" orang didepan menggeram. "Jangan kau banyak bicara lagi. Apa yang kami lakukan adalah urusan kami sendiri dan tentang nasib kami jangan kau mempersoalkannya. Nasibmu sendiri kini ada di tangan kami, bagaimana kau hendak bermulut besar?" orang itu melangkah maju tapi tiba-tiba Si Pisau Kilat membentak,

"Ngo-eng-busu, jangan lancang bicara. Siapa bilang nasib Wen-taijin berada di tangan kalian? Ah, benar-benar kucing yang kurang ajar. Nasibnya berada di tanganku, bukan di tangan kalian. Tahu? Kalian hanya ditugaskan menyingkirkan pengawal-pengawal tidak becus tadi, tapi itupun kalian ternyata tidak bisa menyelesaikannya dengan mudah. Kalau aku tidak datang, bukankah kalian membuang-buang waktu tiada guna di sini gentong-gentong kosong tiada guna, cepat kalian pergi saja sebelum aku naik darah. Lekas…!"

Bentakan si Pisau Kilat ini tampak mengejutkan lima orang Ngo-eng-busu dan bekas perwira-perwira istana itu berobah air mukanya. Sedikit kesalahan bicara tadi kiranya telah membuat Si Pisau Kilat marah, dan mereka maklum betapa berbahayanya tokoh itu. Maka orang yang di depan tadi lalu membalikkan tubuh dan dengan lutut menggigil dia berkata,

"Tai-hiap, maaf jika aku kelancangan mulut. Aku sama sekali tidak sengaja, maka biarlah kami pergi kalau itu yang taihiap kehendaki. Dan tentang upah kami, bukankah bisa kami ambil di rumah Ong-loya?"

Si Pisau Kilat memandang dingin. "Ngo eng-busu, tugas kalian mmang sudah selesai. Wen-taijin telah ketemu dan kalian dapat pulang kembali sambil mengambil hadiah di tempat yang telah kutentukan. Setelah itu, kalian dapat kembali ke istana seperti biasa."

"Akan tetapi, bukankah Wen-taijin akan dibunuh, taihiap?"

"Hmm, dibunuh atau tidak dibunuh itu adalah urusanku! Kenapa banyak cakap?" Si Pisau Kilat membelalakkan matanya dan cahaya aneh membayang di dalam mata tokoh ini.

Ngo eng-busu tergetar, tapi rupanya pemimpin mereka itu merasa bimbang. Dia mamberanikan diri dan dengan suara tergagap mencoba bertanya, "Tapi, taihiap, kalau Wen-taijin tidak dibunuh bukankah kami tidak akan dapat kembali ke istana? ini... ini…"

"Hm, kalian cerewet benar!" Si Pisau Kilat membanting kakinya. "Aku menyuruh pergi, kenapa kalian tidak mau pergi? Ah, kalian benar-benar orang yang menyebaikan sekali!"

Orang itu tampak marah dan lima kali dia membanting kaki, tiba-tiba lima kali pula sinar-sinar putih menyambar dari bawah. Lima buah pisau belati telah meluncur dengan kecepatan kilat tanpa disangka-sangka dari bawah celananya dan lima orang Ngo eng-busu yang sama sekali tidak menyangka-nyangka itu, mana tidak dibuat tersirap darahnya? Apalagi jarak mereka dekat sekali dengan tokoh hitam ini., maka tanpa sempat mengelak lagi lima orang itupun manjerit ngeri dan roboh terjengkang.

Lima batang pisau telah menancap di tubuh mereka, dua mengenai ulu hati dan yang tiga menembus leher! Tentu saja kejadian yang demikian mendadak ini mengejutkan semua orang, dan Ceng Bi yang berada di atas pohon hampir tidak percaya akan apa yang dilihatnya itu. Masa hanya dengan membanting-banting kaki begitu saja tahu-tahu pisau di kantong celana bisa "meloncat" menyambar lawan? Ah, kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri agaknya kejadian macam ini sungguh sukar dipercaya!

Ceng Bi terbelalak kaget dan diam-diam dia mengakui kehebatan yang amat luar biasa ini dari Si Pisau Kilat. Karena, siapa mengira bahwa dengan gerakan kaki yang tampaknya biasa begitu saja bisa menyerang lawan tanpa yang bersangkutan sadar akan bahaya? Dan kejadian yang hampir tidak masuk akal itu kini telah dibuktikannya sendiri. Si Pisau Kilat memang benar orang yang amat berbahaya!

Ceng Bi bergidik diam-diam dia merasa ngeri. Kalau seandainya tadi dia sedang berdiri di depan orang itu, lalu orang ini menghentakkan kakinya yang dikira tidak mengandung maksud apa-apa, bukankah nyawa bisa terbang secara konyol? Pasti pisau-pisau belati di kantong khusus yang menempe! di pakaian tokoh hitam ini menyambar ke arah mana yang dia suka. Dan Ceng Bi benar-benar merasa ngeri.

Sementara di bawah, lima orang pengkhianat itu tampak mendelik ke arah Si Pisau Kilat. Namun belum ada sepatahpun suara yang dikeluarkan tiba tiha kepala merekapun terkulai lemas. Lima orang ini telah tewas tanpa sempat memaki lawannya!

"Nona Souw, pisaunya beracun...!" tiba-tiba telinga Ceng Bi mendengar bisikan di sampingnya dan seketika Ceng Bi sadar bahwa di atas pohon itu masih ada orang lain. Dan orang itu bukan lain adalah si pemuda baju kuning. Tadi dia seakan lupa tentang keadaan dirinya, karena pikirannya sedang terpusat kepada Si Pisau kilat. Dan kini, disadarkan oleh kenyataan ini banwa masih tertotok dan orang yang menotoknya berada di situ membuat Ceng Bi ingin menangis dengan penuh kebencian.

Akan tetapi pemuda itu rupanya tidak melihat ini, dan Ceng Bi sendiri memang tidak dilihat betapa matanya sudah mulai basah. Dua orang ini sama-sama menujukan pandang ke bawah karena pada saat itu Si Pisau Kilat yang telah membunuh Ngo-eng-busu ini menghadapi Wen-taijin sambil menyeringai penuh arti.

"Wen-taijin, bukankah tindakanku ini cocok sekali dengan isi hatimu?" demikian tokoh hitam itu bicara. "Dan kukira taijin sudah tidak perlu lagi menghukum orang-orang macam itu. Sekarang, bersediakah taijin mengikuti kami ke tempat yang lebih enak?"

"Kami...?"

"Ya, aku dan beberapa pengikutku yang sejak tadi telah menanti kesempatan ini," Si Pisau Kilat tertawa.

Pembesar Wen mengangkat alisnya namun sebelum dia mengerti apa maksud perkataan lawannya ini tiba-tiba Si Pisau Kiiat bertepuk tangan. Tidak begitu keras suaranya, tapi tiba-tiba dari luar hutan terdengar derap kereta kuda disusul pekik seseorang, "Kami siap, ji-koai-hiap…!" dan tidak berapa lama kemudian muncullah sebarisan orang berkuda dengan sebuah kereta!

Wen-twin terkejut, dan pembesar itu memandang Si Pisau Kiiat. "Ini... apa maksudmu, sobat?"

Tapi Si Pisau Kilat tertawa aneh. "Ha-ha, taijin harap jangan takut. Kami tak akan mencelakakan seorang pembesar dalam upacara kehormatan begini. Asal taijin tidak merepotkan kami, bukankah kembali ke dalam istana adalah seperti pulang ke rumah sendiri? Nah, taijin, bersiaplah. Mereka telah datang!"

Barisan berkuda itu mendekat dan Ceng Bi melihat sesuatu yang mengejutkan hatinya pada orang-orang yang baru datang itu. Bukan tampang mereka yang rata-rata menyeramkan dan tinggi besar, melainkan adanya sebuah gelang yang tergantung di pinggang mereka. Gelang yang berwarna merah, gelang berdarah seperti yang dimiliki oleh anggauta-anggauta perkumpulan Hiat-goan-pang!

Tentu saja gadis ini terkejut dan keheranan besar melanda dirinya. Seingatnya, Hiat-goan-pang telah diobrak-abrik beberapa waktu yang lalu, bagaimana kini muncul orang-orang dengan seragam Hiat-goan-pang? Apakah mereka ini anak-anak buah yang tersisa? Ataukah mereka itu bukan anggauta Hiat-goan-pang? Ceng Bi tertegun sendiri dan dia melihat adanya perbedaan pakaian dari orang-orang berkuda yang baru datang ini dengan anggauta-anggauta Hiat-goan-pang yang beberapa waktu yang lalu itu diserbunya.

Kalau orang-orang Hiat goan-pang yang lalu mengenakan pakaian serba hitam, adalah orang-orang berkuda ini mengenakan pakaiah serba biru, warna biru yang agak gelap sehingga dipandang dari kejauhan tampaknya mirip warna hitam atau ungu tua. Tapi bentuk gelang yang terikat di pinggang mereka itu sama sekali tiada berbeda, bahkan mirip sekali dan tampaknya dicetak dalam satu bentuk yang sama!

Ceng Bi membelalakkan matanya dan sementara itu seorang laki-laki tinggi besar melompat turun dari atas kudanya yang meringkik pendek. Orang ini langsung menghampiri Si Pisau Kilat, dan begitu berada di hadapan orang segera dia membungkukkan tubuhnya sambil berkata,

"Ji-koai-hiap, perintah untuk kami telah siap kami laksanakan. Apakah barang hantaran hendak diantar hari ini juga? Kalau begitu, kami siap melaksanakan tugas dan bila ji-koai-hiap sendiri tidak ada keperluan lain, maka kedatangan koai-hiap amat dinanti oleh lo-pangcu kami di Kuil Hitam!"

Orang itu bicara singkat dan Si Pisau Kilat tersenyum dingin. Dia tidak menjawab perkataan laki-laki tinggi besar itu, melainkan menoleh memandang pembesar Wen. "Wen-taijin, kau sudah dengar ucapan orang ini, bukan? Dia hendak mengantarmu ke suatu tempat yang telah kami sediakan dan kuharap saja kau tidak menolak permintaan ini. Karena itu, harap taijin berangkat sekarang juga dan silahkan naik ke atas kereta yang telah kami siapkan."

Si Pisau Kilat menudingkan jarinya dan Wen-taijin terbelatak marah. "Kau hendak memaksaku, sobat?" pembesar itu mengepal tinju.

Tapi Si Pisau Kilat tertawa aneh. "Aha, agaknya itu tidak perlu kami lakukan, taijin, karena justeru kau sendiri yang sekarang ingin menuju kesana. Lihat, bukankah taijin mengenal benda ini?" tokoh hitam itu mengeluarkan sebuah kipas kayu cendana berlukiskan burung merak dan Wen-taijin segera mengeluarkan seruan kaget.

"Kau..., manusia busuk, dari mina kau dapatkan itu?" pembesar ini melangkah maju dengan muka merah namun Si Pisau Kilat telah menyimpan kembali kipas kayu cendana itu sambil tertawa dingin.

"Wen-taijin, tidak perlu kau tahu dari mana aku mendapatkan benda ini. Tapi cukup kiranya kalau kau ketahui bahwa pemilik benda ini telah berada bersama-sana kami sebagai tamu terhormat. Karena itu, masihkah kau tidak mau berangkat sekarang juga untuk bersama-sama menjadi tamu terhormat?"

Si Pisan Kilat tersenyum mengejek dan Wen-taijin tertegun sejenak. Pembesar itu mengertakkan gigi, namun akhirnya dia memutar tubuh menghampiri kereta sambil bergumam, "Terkutuk, kau benar-benar siluman keji, sobat!" dan dengan mata berapi-api penuh kemarahan ditahan pembesar ini naik ke atas kereta dan duduk dengan tinju terkepal.

Si Pisau Kilat memandang dengan wajah berseri, tapi dia rupanya sama sekali tidak menghiraukan kemarahan pembesar itu. Dan ketika tirai kereta telah ditutup secara kasar oleh Wen-taijin, tokoh hitam ini lalu memberi tanda kepada laki-laki tinggi besar yang masih berdiri di depannya "Pergilah, aku akan mendahului kalian ketempat pangcu, jaga jangan sampai terjadi sesuatu terhadap tamu agung kita ini dan siapkan mata di segala arah!"

"Baik, Ji-koai-hiap!" laki-laki tinggi besar itu mengangguk "Dan kami siap mempertaruhkan nyawa untuk menjaga barang hantaran ini!"

"Bagus !" Si Pisau Kiiat memandang puas dan setelah sekali lagi dia mengamati kereta yang telah ditumpangi pembesar Wen itu tiba-tiba tokoh hitam ini menjejakkan kakinya. Sekali berkelebat, bayangan yang seperti iblis tiba-tiba melesat ke dalam hutan. Dia seperti munculnya tadi sekejap saja lenyaplah bayangan Si Pisau Kilat ini dari pandangan mata. Si tinggi besar terbelalak kagum, tapi akhirnya dia memberi tanda kepada teman-temannya dan melompat ke atas punggung kudanya.

Kini bergeraklah barisan berkuda itu dan Ceng Bi yang semenjak tadi meayaksikan semua kejadian di bawah ini dengan tubuh tak dapat berkutik, melihat kereta yang membawa pembesar Wen itu keluar hutan menuju kebarat. Iring-iringan belasan orang berkuda itu tampak teratur rapi, sampai akhirnya mereka lenyap menuju ke tempat yang sama sekali tidak diketahuinya.

"Nona Souw, mari kita turun...!" Seruan tiba-tiba ini mengejutkan Ceng Bi yang masih melenggong jauh ke depan. Dia sedang tenggelam dalam pikirannya tentang kepergian Wen-taijin yang ditawan orang-orang bergelang merah itu ketika tiba-tiba pemuda baju kuning yang ada di belakangnya ini mendadak menepuk pundaknya secara perlahan. Tentu saja dia terkejut, dan Ceng Bi sadar kembali dari rasa bengongnya. Dan baru saja dia tersentak kaget, tahu-tahu bayangan kuning telah meluncur ke bawah dari sisinya. Ceng Bi membelalakkan mata, dan jalan darah yang tadi tertotok kini ternyata telah berjalan kembali dengan lancar. Kiranya, pemuda baju kuning itu telah membebaskannya dari siksaan.

"Bagus....!" Ceng Bi mengepalkan tinjunya dan seketika itu juga kemarahannya bangkit dan meluap. Setelah sekarang dia bebas kembaii, maka satu-satunya keinginan pada saat itu hanyalah menghajar si pemuda baju kuning! Karena itu Ceng Bi lalu memekik dan dengan sepisang lengan terkembang di kanan kiri tubuh gadis ini lalu meluncur ke bawah seperti burung garuda betina.

"Ginkang yang hebat..!" pemuda baju kuning berseru memuji ketika melihat cara Ceng Bi yang "terjun" dari atas pohon itu dengan sikap demikian ringan dan indah. Tapi Ceng Bi sendiri tidak merasa girang dengan pujian ini, malah justeru semakin naik darahnya. Kalau dia betul-betul hebat, bagaimana bisa dipermainkan orang sesuka hatinya? Maka seruan pemuda baju kuning itu bahkan dianggap sebagai sebuah hinaan!

"Hem, kau bermulut kurang ajar, berani kau menghinaku lagi, he?" Ceng Bi langsung memaki begitu kakinya turun di atas tanah.

Dan si pemuda baju kuning tampak terbelalak kaget. Dia melillat gadis ini sedang marah besar, dan sepasang mata bening yang berapi-api itu cukup membuatnya terkejut. "Nona Souw...."

"Diam!" Ceng Bi membentak dan memutus omongan orang. "Siapa yang sudi menerima manisnya mulutmu? Kau sudah kelewat bertindak keterlaluan terhadapku, maka apa lagi yang hendak dibicarakan? Hayo kita mengadu jiwa untuk menyelesaikan persoalan ini. Sratt....!" Ceng Bi melobos Pek-kong-kiam di pinggangnya dan pemuda baju kuning itu gelagapan.

"Nona Souw, kita ini… eh… oh… aku tidak bermaksud buruk... kenapa jadi marah-marah? Wah celaka, cepat simpan pedangmu itu… aku merasa ngeri…!" pemuda ini mundur-mundur namun Ceng Bi malah semakin beringas.

"Setan baju kuning!" Ceng Bi membentak sekenanya karena tidak tahu nama orang. "Berapa kali sudah kau menghinaku secara terang-terangan? Pertama kau menggagalkan buruanku yang hampir tertangkap, si copet busuk orang she Kam itu. Lalu yang kedua kalinya kau menghilang pada saat kita sama-sama mengejar Jing-ci-touw Kam sin dan ke tiga kau tiba-tiba saja menotokku secara curang di atas pohon dan ke empat kau berani mati sekali memujiku dengan mengatakan hebat segala macam padahal sebenarnya kau bermaksud mengejek! Hem, apa yang kau kehendaki dari semuanya ini? Dan berani kau menyangkal semuanya itu pula?" Ceng Bi melompat maju dengan pedang menggigil saking marahnya, sementara si pemuda baju kuning yang diberondong tuduhannya itu membuka mata lebar-lebar.

"Nona Souw, ini... eh... wah.... bagaimana aku bisa melakukan rentetan kesalahan yang demikian banyak? Aih, kau tidak adil… kau salah-paham, itu hanya perkiraanmu yang mengada-ada saja...!"

Pemuda itu berkata gugup dan Ceng Bi naik pitam mendengar kata-katanya ini. "Apa? aku mengada-ada?" gadis itu membentak. "Keparat, kaulah yang hendak membela diri! Kau pemuda tidak tahu malu, kau manusia tidak tahu diri.... kau setan jahanam yang memuakkan perutku. Ceng Bi tak dapat menahan dirinya lagi dan sekali berteriak nyaring tiba-tiba dia sudah menikam dada orang dengan kecepatan kilat.

"Nona Souw…!" pemuda baju kuning itu berseru kaget namun Ceng Bi tak dapat menghentikan serangannya. Pek-kong-kiam tetap menyambar dengan kecepatan penuh dan pemuda ini mengeluh. Dia cepat merendahkan tubuh dan ketika pedang lewat di atas kepalanya pemuda itu segera melompat ke belakang dengan muka berubah.

"Nona Souw…!" pemuda itu berseru kembali namun Ceng Bi mendelik gusar.

Gadis ini tidak menghiraukan teriakan lawannya dan begitu tikamannya yang pertama luput dia sudah menyerang lagi dengan gencar. Ceng Bi tidak mau banyak bicara, karena kemarahannya yang meluap sudah membuat dirinya seakan terbakar. Karena itu, pemuda baju kuning ini tampak seperti orang putus asa. Dan ketika Ceng Bi mulai menyerangnya secara bertubi-tubi diapun akhirnya melompat ke sana ke mari menghindarkan semua serangan dengan mulut tiada hentinya berkaok-kaok mencoba mendinginkan suasana. Tapi, mana dia berhasil memadamkan api kemarahan yang sedang hebat-hebatnya bergolak di dalam hati puteri Ciok-thouw Tai-hiap ini?

Malah, semakin dia menciap-ciap seperti anak ayam kehilangan induknya Ceng Bi menjadi semakin beringas. Gadis itu benar-banar marah sekali, kareca setiap serangannya yang susul-menyusul dan bertubi-tubi itu belum satupun yang berhasil menyentuh kulit lawan! Maka inilah yang membuat Ceng Bi benar-benar naik darah. Kalau saja dia berhasil melukai lawan, barangkali muncratnya darah bisa mendinginkan kemarahannya, Tapi apa yang terjadi? Lawannya itu seperti bayangan setan saja yang tidak dapat disentuh tubuhnya. Jangankan tubuhnya, rambutnyapun tidak dapat disambar! Nah, siapa tidak bakalan gusar?

Apalagi buat gadis semacam Ceng Bi ini, yang jelek-jelek merupakan puteri tunggal Pendekar Kepala Batu! Karena itu, tidak heran jika gadis ini lalu menggigit bibir sekuatnya dan pedang di tangan berkelebatan secara gencar menyerang pemuda baju kuning yang tidak dikenal siapa namanya itu. Dia sudah mainkan pedang sekuat tenaga, dan ilmu pedangnya yang boleh dibanggakan, yakni Cui-mo Kiam-sut sudah dikerjakan sebanyak limapuluh jurus lebih.

Tapi, iblis muda yang dibencinya ini temyata masih saja berteriak-teriak menyuruhnya berhenti. Dan yang amat menggemaskan, pemuda itu tampaknya seperti orang yang sedang mabok saja. Semua serangannya dikelit atau diegos dengan cara terhuyung-huyung bahkan kadang-kadang juga terlentang di atas tanah atau membanting pantat dengan tiba-tiba!

Inilah yang membuat Ceng Bi meledak kemarahannya dan gadis itupun juga sekaligus ingin menangis saking sesaknya dada melihat sikap pemuda Baja kuning itu. Namun, dibaik semua sakit hatinya ini mau tak mau Ceng Bi mengakui adanya sebuah kenyataan tentang kelihaian lawannya yang aneh. Hanya saja, karena dia memiliki kekerasan hati dan semangat yang melebihi baja, maka Ceng Bi sengaja menutup mata untuk melihat kenyataan itu.

Dia tidak mau mengakui lawannya unggul, karena selama ini dialah yang menjadi penyerang. Dan lagi, pemuda itupun tampaknya juga tidak dapat membalas serangannya karena sudah didesaknya sedemikian rupa, itulah pendapat Ceng Bi! Dan rasa penasaran yang kian meningkat membuat pipi gadis ini kemerahan seperti dibakar.

Ceng Bi benar-benar marah, gemas dan kecewa menjadi satu. Kenyataan bahwa selama ini dia belum juga mampu merobohkan lawan membuat gadis itu ingin menangis dengan cara histeris. Tapi Ceng Bi mengeraskan hati menahan diri. Sampai akhirnya sebuah nasihat dari ayahnya tiba-tiha terngiang di dekat telinganya. Dan nasihat itu bunyinya adalah gegini,

"Bi ji, jika kau menghadapi lawan tangguh yang sukar dirobohkan, maka kepandaian silat harus kita campur dengan akal. Dan akal itu sesungguhnya tergantung dari kecerdikan kita sendiri. Manusia yang cerdik, dapat mempergunakan akalnya di sembarang tempat, bahkan di tempat yang paling sulit sekalipun. Karena itu, kalau kau menghadapi hal yang semacam ini maka pergunakanlah akalmu itu. Kita dapat membebaskan diri dengan segala macam akal dan kebanyakan dari kita pasti berhasil!"

Nah, inilah nasihat bagus yang diingat Ceng Bi pada sat itu. Dan gadis yang dipenuhi kemarahan ini segera memeras otaknya mencari akal. Semua kepandaian silatnya telah dicurahkan, tapi pemuda baju kunirg itu tetap saja berkelit dengan caranya yang aneh dan mabok-mabokan, namun tentu saja mampu menyelamatkan diri. Sekarang, akal apa yang hendak dilakukan?

Ceng Bi teringat akan sebuah cerita ayahnya tentang meraup pasir dan menyerang lawan pada bagian matanya. Sekali kena, tentu lawan bakal kelibakan dan mudahlah dirobohkan. Akan tetapi, tepatkah dia mempergunakan akal semacam ini pada saat itu? Kalau dia tiba-tiba membungkuk dan meraup pasir, tentu lawannya akan tahu dan mengerti maksudnya. Dan pemuda baju kuning itu tentu akan mudah menghindar. Jadi, bagaimana baiknya?

Ceng Bi masih terus menyerang sementara matanya mulai mencari-cari sesuatu yang dapat dijadikan batu loncatan akalnya. Dan tiba-tiba gadis ini melihat sesuatu yang membuat wajahnya berseri. Pohon di depan itu. Aih, bukankah ini bisa dijadikan semacam jembatan bagi akalnya? Maka Ceng Bi lalu berteriak girang dan ketika untuk ke sekian kalinya dia menyerang, kali ini Ceng Bi mengerahkan segenap kekuatan di atas kakinya. Pemuda baju kuning yang ada di depan diterkamnya buas, sedangkan pedang di tangan ditimpukkan kuat menyambar leher. Sekali kena, tentu tenggorokan pemuda itu bakal tertusuk tembus! Dan inilah yang mengejutkan si pemuda baju kuning.

Maka ketika pedang menyambar dan Ceng Bi sendiri melompat seperti harimau terbang tanpa sayap ke arah dirinya, pemuda baju kuning itu mengeluarkan seruan kaget dan mukanya menjadi pucat. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa Ceng Bi bakal melepaskan pedang dari tangan, menyambitkannya dengan kecepatan penuh sementara gadis itu sendiri masih menerkamnya seperti sikap harimau haus darah. Karena itu, dia benar-benar merasa terkejut sekali namun melihat pedang dan orang sudah sama-sama "terbang" ke arah dirinya dengan ancaman maut, maka pemuda baju kuning itu lalu cepat bertindak dan mengeluarkan seruan pendek.

Pek-kung-kiam yang menyambar disambut dengan sentilan kuku jarinya, sementara tubrukan Ceng Bi yang dilakukan seperti orang kesurupan itu dihindarkannya dengan jalan berkelit ke samping. Akibatnya, pedang yang disentil mengeluarkan suara "cring" yang nyaring dan mencelat ke atas sedangkan Ceng Bi yang dibelit tubrukannya itu meluncur terus ke depan menghantam pohon di belakang si pemuda baju kuning.

"Dukk!" kepala Ceng Bi membentur batang potion yang kokoh kuat dan gadis itu menjerit tertahan. Sekali saja tumbukan itu terjadi, namun hal ini sudah cukup mambuat Ceng Bi terkapar roboh di bawah pohon dengan tubuh tidak bergerak-gerak lagi.

"Nona Souw....!" pemuda baju kuning berteriak kaget, dan secepat kiiat pemuda itu lompat menghampiri dengan mata terbuka lebar-lebar. Robohnya Ceng Bi yang demikian tidak disangka-sangka iini memang benar-benar mengguncangkan perasaannya, karena itu diapun cepat mendekati bekas lawannya ini dengan muka pucat. Akan tetapi, begitu dia membungkukkan tubuh untuk memeriksa Ceng Bi, sesuatu yang di luar dugaannya terjadilah.

Dia tidak tahu bahwa Ceng Bi sesungguhnya sedang memainkan tipu muslihatnya, maka begitu dia membungkukkan tubuh untuk melihat keadaan gadis yang disangka pingsan ini tiba-tiba saja kaki kiri Ceng Bi mencuat menendang ulu hatinya! Peristiwa ini terjadi dengan amat mendadak, dan pemuda baju kuning itu tidak sempat mengelakkan diti. Juga dia terlampau kaget oleh kaki yang tiba-tiba dapat "bergerak sendiri" itu, maka begitu kaki Ceng Bi mengenai dadanya, kontan pemuda ini meageluh kesakitan dan tubuhnya seketiia tarjengkang roboh.

"Des!" pemuda baju kuning itu mendekap dadanya dan tanpa ampun lagi dia tersungkur di alas tanah. Gerakan kaki Ceng Bi yang amat diluar dugaan itu telah membuatnya pingsan karena ulu hati yang ditendang ini sekejap menghentikan jalan napasnya. Dan Ceng Bi yang berhasil dengan akal bulusnya ini sudah melompat bangun dengan teriakan girangnya.

"Bagus, rasain kau....!" Ceng Bi tertawa gembira dan dengan wajah berseri-seri penuh kepuasan ia menghampiri korbannya. Pemuda baju kuning tampak pucat mukanya, tapi Ceng Bi tahu bahwa tendangannya tadi tidaklah terlalu berbahaya bagi pemuda ini. Karena itu, untuk melampiaskan kemarahannya gadis inipun lalu mencari akar-akar pohon yang banyak terdapat di situ dan mengikat erat-erat tubuh pemuda baju kuning ini. Kemudian, setelah orang tidak dapat bergerak lagi ,diapun lalu menotok jalan darah Thian-tu-hiat di tubuh orang sehingga tidak mempunyai tenaga lagi.

Dimikianlah, Ceng Bi memandang dan sekarang dia berpikir-pikir akan dia apakankah pemuda yang telah bersikap kurang ajar terhadap dirinya itu. Digantung di atas pohon? Atau dibiarkan saja dalam hutan ini supaya menjadi makanan semut merah? Ceng Bi memandang gemas wajah pemuda baju kuning itu. Kalau teringat akan perbuatan lawannya ini yang menyiksa dia terutama menotoknya lumpuh di atas pohon pada saat dia sedang memandang pertempuran antara pengawal Wen-taijin dan Ngo-eng-busu, mau rasanya dia menampar muka orang sampai biru bengap. Akan tetapi, melihat muka yang halus tampan serta kerutan di atas dahi orang, entah mengapa hati Ceng Bi tiba-tiba saja terasa bergetar.

Kerut di atas dahi yang dalam itu jelas menunjukkan bahwa pemuda itu pernah mengalami suatu penderitaan batin yang hebat. Hem, pengalaman pahit macam apa yang pernah diderita oleh lawannya itu? Dan melihat mukanya yang halus tampan, apakah pemuda ini seorang anak hartawan? Atau malah putera seorang bangsawan?

Ceng Bi memandang penuh perhatian dan tiba-tiba saja mukanya menjadi merah. Hem, apa-apaan ini? Kenapa dia perduli tentang nasib orang lain? Biar pemuda itu anak hartawan ataupun bangsawan, apa perdulinya dengan semua itu? Yang jelas, pemuda itu telah berbuat "dosa" kepadanya dan untuk ini dia harus menerima hukuman!

Ceng Bi mengepalkan tinju dan dia teringat akan pedangnya. Karena itu, dia lalu mencari dan akhirnya didapatinya pedangnya itu tergeletak di atas rumput tak jauh dari pohon besar yang tadi dijadikan jembatan akalnya. Tadi dia hanya berpura-pura saja, karena sewaktu kepalanya membentur pohon sesungguhnya dia sudah mempersiapkan kedua lengannya di depan kepalanya. Karena itu, yang menumbuk batang pohon sebenarnya adalah sepasang lengannya itulah, bukan kepalanya. Dan pemuda baju kuning ini ternyata berhasil dikelabuhinya. Ceng Bi tersenyum penuh kemenangan dan teringat kembali dengan si pemuda baju kuning membuat dia berpikir-pikir lagi akan diapain pemuda ini.

Karena itu, dia lalu menujukan pandangannya kepada tubuh yang masih terbujur diam di atas tanah itu. Mencari-cari pembalasan, hukuman apakah yang hendak dijatuhkannya kepada pemuda ini. Dan tiba-tiba Ceng Bi menaikkan alis. Kalau mengingat sikap pemuda ini yang kelewat kurang ajar kepadanya, sepantasnya pemuda itu digantung semalam suntuk di atas pohon dan dijungkir balik dengan kepala di bawah. Akan tetapi, kalau pemuda itu dalam keadaan pingsan, mana mungkin dia "menikmati" hukumannya? Ah, paling baik pemuda ini disadarkan dulu, baru kemudian dijungkir balik di pohon yang paling tinggi!

Maka dengan pikiran ini Ceng Bi-pun lalu melompat mencari air untuk disiramkan ke muka lawan yang amat disergitinya jut. Dengan merle guyur muka orang, tenta pemuda ini bakal siuman, dan ini tentu memuaskan hatinya. Karena itu Ceng Bi menuju ke suara gemericik yang jauh dari tempatnya berdiri dan tidak lama keinudian gadis inipun sudah membawa air bampir dela liter banyaknya dalam sebuah daun talas hutan yang lebar dan bulat. Dengan gigi dikertak, Ceng Bi melangkah tergesa-gesa mendekati pemuda baju kuning. Akan tetapi, belum setetespun air dituang mendadak pemuda itu membuka matanya.

"Nona Souw..."

Ceng Bi terkejut. Air yang dibawa kontan tumpah dan tiada disengajanya secara kebetulan air itu menimpa muka si pemuda baju kuning! "Eh... oh...!" Ceng Bi tergagap dan pemuda baju kuning itupun juga gelagapan.

"Nona Souw, ini....eh. apa-apaan? Kenapa kau menyiram mukaku…?

Pemuda itu memandang muka Ceng Bi dengan muka terbelalak dan Ceng Bi sendiri sejanak tidak mampu membuka suara. Bukan maksudnya untuk mengguyur orang yang sudah siuman, tetapi apa hendak dikata, karena kaget airpun tumpah dari tangannya. Dan lebih celaka lagi, air menyiram muka orang yang tentu saja menjadi gelagapan!

Karena itu, Ceng Bi menjadi merah mukanya. Rasa malu sedetik memasuki hatinya, namun dasar gadis yang tidak suka kepergok rasa jengahnya maka Ceng Bi-pun lalu balas membelalaki dan dan pura-pura membentak marah, "Cih, siapa yang menyiram mukamu? Adalah kau yang mengejutkan diriku sehingga air tanpa kusengaja tumpah mengguyurmu! Kenapa hendak menyalahkan orang lain!"

Pemuda itu semakin membelalakkan matanya, "Akan tetapi, nona Souw..... bukankah kau memang ada niat untuk menyiram mukaku? Buktinya, kau menibawa air ke sini…"

"Huh, itulah salahmu sendiri. Kenapa kau pingsan?"

"Ahh....!" pemuda itu berseru perlahan dan diam-diam dia menggelengkan kepala mendengar jawaban yang amat seenaknya itu. Akan tetapi karena dia merasa dirinya sendiri tidak bersalah maka dia coba membantah lagi. "Tapi nona Souw, bukankah yang membuat aku pingsan adalah engkau sendiri. Aku tidak pingsan begitu saja. dan..."

"Ah, cerewet amat!" Ceng Bi membentak. "Kau ini laki-laki atau nenek bawel? Kalau kau merasa diri laki-laki sudah jangan banyak mulut. Aku sudah mendengar omonganmu itu. Tahu?" Ceng Bi melotot dan pemuda baju kuning terbeliak.

Namun sekejap saja pemuda ini terbeliak karena tiba-tiba saja dia tertawa geli, "Aih, nona Souw, kau benar-benar lucu sekali…! Mengapa ada kejadian aneh...?

"Hem, apanya yang aneh?" Ceng Bi mendelik.

"Kau inilah....!"

"Aku?"

"Ya!"

Ceng Bi semakin meradang. "Ui-i-siauw-kwi (Setan Baju Kuning), kau keparat benar. Apanya yang kau anggap aneh pada diriku?" Ceng Bi bersiap-siap menurunkan tangan menampar dan si pemuda baju kuning itu tersenyum lembut.

"Nona Souw, kalau kau marah-marah begini, mana aku berani bicara terus terang? Tentu kau semakin marah saja dan biarlah ucapanku yang tertahan ini kusimpan saja di dalam hati." Pemuda itu tersenyum misterius dan Ceng Bi serasa digelitik. Dia menjadi gemas karena dipermainkan, karena itu Ceng Bi terpaksa menahan diri.

"Ui-i-siauw-kwi...."

"Nona, aku punya nama, bukan... " pemuda itu memutus.

Ceng Bi melotot. "Cis, siapa ingin tahu namamu? Bagiku kau tetap adalah Ui-i-siauw-kwi....!"

Pemuda itu tertawa. "Hem, baiklah, baiklah... aku memang Ui-siauw-kwi... yang tolol dan goblok!" dia berkata sambil tersenyum lebar dan Ceng Bi hampir saja tak dapat menahan rasa gelinya mendengar orang memaki-maki diri sendiri. Akan tetapi karena dia pada saat itu sedang unjuk kemarahan, maka tetap saja mukanya dibuat kaku.

"Hem, Ui-i siauw-kwi, kau memang manusia yang tolol dan goblok. Kenapa baru tahu sekarang?" Ceng Bi mengejek.

"tulah nona, sehingga akupun dapat juga kau kelabuhi."

"Dan kau sekarang sakit hati?"

"Tidak."

Jawaban ini mencengangkan Ceng Bi tapi gadis itu tidak percaya. "Ui-i-siauw-kwi..." ejeknya sambil tersenyum mencibir. "Orang macam kau ini sungguh tidak dapat dipegang kata-katanya. Bilang hitam bisa menjadi putih dan yang putih bisa menjadi hitam. Begamana orang dikelabuhi berkata tidak sakit hati? Kau membual saja, bualan kosong...!"

"Ah, tidak, nona....!" pemuia itu menyanggah sungguh-sungguh. "Untuk tipuanmu ini aku sungguh-sunggnh tidak merasa sakit hati. Dan barangkali ini agaknya disebabkan oleh keanehanmu itulah."

"Hm, keanehan yang mana?" Cing Bi terbelalak.

Tapi penuda itu tidak membuka mulutnya.

"Ui-i-siauw-kwi...." Ceng Bi meradang. "Apakah kau minta hukumanmu ini dilaksanakan secepatnya? Kalau begitu bagus sekali. Aku hendak menggantungmu di atas pohon itu sampai kau minta ampun!"

Tapi pemuda baju kuning ini malah tertawa gembira. "Nona Souw, aku Kui Lan selamanya belum pernah digantung orang. Masa hari ini kau tega menggantungku seperti yang kau rencanakan?"

"Hm, mengapa tidak?" Ceng Bi menjawab ketus. "Dan aku malah ingin menggantungmu dengan kepala di bawah kaki di atas!"

"Wah, seperti kambing yang hendak dibelek perutnya, nona?" pemuda itu terbelalak.

"Ya, dan kau takut?" Ceng Bi tersenyum sinis.

Tapi pemuda baju kuning itu tidak menjawab dan tiba-tiba dia menghela napas panjang. Dia memandang Ceng Bi dengan lembut dan mesra, sementara yang dipandang menjadi merah mukanya karena jengah.

"Kau... setan kurang ajar, mengapa memandangku macam kucing kelaparan?" Ceng Bi membentak untuk menghilangkan rasa likatnya dan pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Nona Souw, kau ini apakah betul-betul sedang marah?"

Ceng Di mendelik. "Lha kau lihat bagaimana? Apakah matamu lamur?"

"Ah, kalau begitu, kenapa demikian aneh?"

"Apanya yang aneh?" Ceng Bi hampir tak dapat menahan diri. "Kau dari tadi bilang aneh. Apanya yang aneh, setan keparat?"

Pemuda baju kuning itu tersenyum getir. "Nona, yang kumaksud aneh di sini bukan lain adalah dirimu itu. Kalau kau betul-betul marah, kenapa mukamu itu menjadi...."

"Ya.... teruskan?"

"Hm, aku takut, nona…"

Ceng Bi semakin merah pipinya. Melihat orang tidak mau meneruskan bicaranya timbul dugaan bahwa pemuda itn sedang berpikiran kurang ajar terhadap dirinya. Karena itu, Ceng Bi langsung melompat setindak dan begitu dekat jaraknya kontan dia melayangkan tangan menggampar pipi lawannya.

"Plak- plak!" Dua kali pipi kanan dan kiri itu ditampar dan dua kali muka pemuda baju kuning itu tersentak ke kiri dan ke kanan. Namun aneh, pemuda ini sama sekali tidak naik darah diperlakukan seperti itu malah justeru dia tertawa terbahak-bahak.

"Ha-ha-ha, nona Souw, bagus sekali tamparan mu ini. Kurasa sedap dan ntkmat! Aih, sudah bertahun-tahun tidak dihajar orang, dan sekarang sekali merasakan tamparanmu terasa demikian mantap dan sejuk. Nona Souw, bisa kau tambah lagi...?" pemuda itu tertawa pahit den Ceng Bi tertegun.

"Ui-i-siauw-kwi...." kau orang gila!" Ceng Bi berteriak gemas.

Dan pemuda baju itu mengangguk. "Agaknya begitulah, nona Souw...., aku memang sedang gila. Aih, mengapa aku bisa gila begini..." pemuda itu menggeleng-gelengkan tepalanya dengan muka sedih dan tiba dia mengangkat mukanya memandang Ceng Bi.

"Nona Souw, maaf kalau aku bicara lancang. Akan tetani, sungguh aku menjadi heran sendiri. Bagaimana kau bisa semakin cantik kalau marah-marah seperti ini? Bagaimana seorang dara bisa demikian bertambah jelita pada saat dia meluapkan api kemarabannya? Aih... nona Souw, aku tidak mencoba merayumu..., apa yang kukatakan adalah sebuah kenyataan yang ada di depan sekarang ini. Dan itulah keanehanmu seperti yang kumaksudkan tadi. Marahkah nona oleh ucapanku ini? Kalau itu dianggap kurang ajar, baiklah aku boleh kau gaplok lagi sampai pingsan. Aku memang barangkali sedang gila, dan karena kegilaan aku telah menyelamatkanmu dari kebuasan Si Pisau Kilat. Padahal, ah...." pemuda ini tidak meneruskan kata-katanya dan tiba-tiba dia merenung jauh ke depan dengan muka muram.

Ceng Bi terkejut, dan dia memandang heran. Mendengar disebutnya nama Si Pisau Kilat membuat gadis ini tiba-tiba teringat akan nasib Wen-taijin. Akan tetapi, teringat betapa pemuda itu telah memujinya sedemikian blak-blakan dan tidak berpura-pura, mau tak mau membuat Ceng Bi merah mukanya sampai ke leher. Ada perasaan jengah di hatinya mendengar pujian itu, namun ada juga perasaaan gembira serta girang!

Karena itu. Ceng Bi sejenak tertegun di tempatnya, seperti perawan gunung yang sedans dilamar orang dan baru gadis ini tersipu-sipu ketika sepasang mata yang lembut serta penuh perasasn bergetar mesra menatap dirinya. Ceng gelagapan, dan tiba-tiba gadis ini marah-marah tanpa sebab.

"Ui-i-siauw-kwi...." Ceng Bi membentak mengusir debaran hatinya yang tidak karuan. Jangan kau melantur dan bicara yang kurang-ajar di depanku, aku tidak suka mendengar pujian kosongmu itu dan aku juga tidak akan mengampunimu biarpan kau memuji-mujiku setiaggi langit. Tahu...?"