Pendekar Kepala Batu Jilid 08

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Kepala Batu Jilid 08 karya Batara
Sonny Ogawa
PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 08
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Kepala Batu
Dan Bi Kwi yang mendengar Kun Bok tidak melanjutkan bicaranya tiba-tiba saja bangkit berdiri. "Bok-ko, kau hendak turun gunung untuk melakukan apakah? Mencari seseorang?"

Mata gadis itu menatap tajam dan Kun Bok berdesir. Hampir saja dia mengangguk, namun untunglah kesadarannya yang jernih muncul menindas pengakuannya. Kun Bok hanya mengangkat mukanya, kemudian dengan sedikit berbohong dia menjawab,

"Kwi-moi, tugas kali ini yang diberikan kepadaku memang betul menyangkut adanya seseorang, tapi ini mengenai kepentingan ayah pribadi. Dan untuk itu, setelah aku berhasil menyampaikan pesannya tentu aku akan segera kembali ke sini,"

"Hem, berapa lama, Bok-ko?"

"Aih, mana aku tahu, Kwi-moi? Barangkali saja tak sampai setahun!"

"Hahh...?" Bi Kwi terbelalak. "Jadi selama itu pula kira-kira aku kau tinggalkau, Bok-ko?"

Kun Bok tersenyum menyeringai. "Itu baru kira-kira saja, mana aku tahu persisnya?"

"Ahh....!" Bi Kwi terdiam dan tiba-tiba saja tangan gadis ini menyambar lengan Kun Bok. "Bok-ko, kalau begitu aku ikut."

Perkataan ini berar-benar mengejutkan Kun Bok dan seperti dipagut ular berbisa saja putera Bu-tiong-kiam. Kun Seng itu terlonjak. "Hahh…!" Kun Bak berseru kaget. "Kau hendak mengikuti aku, Kwi-moi?"

Bi Kwi mengangguk tegas. "Begitulah, Bok-ko!"

"Gila...!" Kun Bok berseru.

Tapi Bi Kwi menggelengkan kepalanya. "Tidak, Bok-ko, tidak gila. Apanya yang kau anggap gila di sini?"

Kun Bok tertegun dan sejenak dia tidak mampu mengeluarkan suara. Akan tetapi, setelah dia menatap gadis itu lekat-lekat akhirnya diapun berkata dengan sutra cemas, "Kwi-moi, kau ini aneh-aneh saja. Mengapa harus ikut segala? Dunia kang-ouw bukan seperti dunia di dusun Lee-kim-Chung ini. Bahaya selalu siap mengancam, dan kau yang tidak pandai silat begini, bagaimana hendak melindungi diri? Tidak... kau tidak boleh ikut, Kwi-moi, agar bebanku tidak semakin berat!"

Kan Bok berkata tegas dan Bi Kwi tiba-tiba tersenyum sinis. "Hem, Bok-ko, kau benar-benar tidak adil. Jadi karena aku kau anggap lemah beginikah maka aku tidak boleh ikut? Atau karena alasan lain? Misalnya saja, hem... misalnya saja karena orang yang akan kau cari itu wanita?"

Kun Bok seperti disengat kalajengking saja mendengar kata-kata ini dan kagetnya pemuda itu bukan main. Hampir saja dia berreriak keras, tapi untunglah dia cepat dapat menahan diri. Kun Bok hanya memandang terbelalak wajah kekasihnya yang tersenyum aneh itu, dan dia menjawab dengan suara menggetar, "Kwi-moi, apa.... apa yang kau maksudkan ini? Bagaimana kau menuduhku seperti itu?'

Bi Kwi tertawa kecil. "Bok-ko, beberapa waktu yang lalu seorang gadis jelita lawat di sini. Dia mengenakan pakaian merah, cantik dan gagah. Dia atang ke Kunlun karena katanya hendak menjumpai Bu tiong-kiam loeciapwe, ayahmu itu. Akan tetapi karena ayahmu sedang pergi, malah bersamamu pula, maka gadis itu turun gunung kembali. Kulihat kekecewaan membayang di wajahnya dan karena aku tidak tahu apa maksud kunjungannya, tentu saja aku tidak berani bertanya. Wah, dia cantik bukan main, Bok-ko, seperti bidadari. Dan kalau aku tidak salah ingat, katanya dia datang dari Beng-san!"

Keterangan ini membuat Kun Bok terkejut dan pemuda itu benar-benar kaget sekali. Dia mengeluarkan seruan tertahan, namun Bi Kwi menggoyang lengan sambil tertawa

"Eh-eh, nanti dulu, Bok-ko, jangan terburu-buru! Mengapa harus terkejut? Aku tidak mengatakan bahwa gadis itu mencarimu, melainkan mencari ayahmu. Kenapa kau tampaknya kaget sekali? Apakah gadis ini yang memang hendak kau cari, Bok-ko?"

Kun Bok tertegun dan pemuda ini terbelalak dengan muka pucat. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakan, tapi sambil mengeraskan hati akhirnya dia bangkit berdiri. "Kwi-moi..." suara Kun Bok menggetar serak, "Sesungguhnya apakah yang kau ketahui tentang diri gadis itu dengan diriku? Dan apakah pula maksudmu mencurigaiku sejauh ini...?"

Bi Kwi tersenyum manis. "Bok-ko, aku tidak mencurigaimu, hanya bertanya ala kadarnya saja. Kanapa kau tampak tidak senang? Salahkah seorang gadis jika menanya kau kepada kekasihnya tentang diri gadis lain sebagai luapan cemburu? Salahkah seorang gadis bila menjadi panas hatinya karena melihat gadis lain bertanya-tanya rumah kekasilanya? Kau anggap tidak wajarkah ini, Bok-ko? Atau kau memang sudah ada ikatan dengannya?"

Bi Kwi naemandang tajam dan Kun Bok seperti dipukul. Ucapan yang demikian tajam itu merupakan todongan langsung ke arah ulu hatinya, dan Kun Bok tak mampu membuka suara. Sabenarnya, sebagai putera jago pedang yang berwatak pendekar pemuda ini memiliki sifat-sifat kegagahan yang anti kebohongan. Tapi, semenjak perkenalannya dengan Bi Kwi yang banyak mengajarkan sikap-sikap dusta telah sedikit banyak meracuni watak aslinya. Kun Bok sekarang disuruh memilih hendak bersikap jujur ataukah masih harus mempertahankan saja rahasia perjodohannya itu dengan puteri Beng-san paicu. Dan Kun Bok akhirnya mengeraskan hati. Dia hendak berbohong saja!

Itulah keputusan yang telah diambil oleh pemuda ini. Dan kita, sebagai manusia biasa yang banyak memiliki kelemahan-kelemahan pula seperti Kun Bok, hendak bicara apa lagi? Telah menjadi kenyataan di dunia ini bahwa manusia hidup belum pernah ada yang tak berbohong dalam tindak tanduknya. Hampir semua manusia pernah berbohong, apalagi kaum pedagang! Dan di sini kebohongan seolah-olah telah merupakan suatu "keharusan". Tidak bohong tidak bakal untung, begitu pamer mereka.

Dan kita menghadapi masalah ini harus benar-benar berhati-hati sekali karena ada segolongan orang yang mengatakan bahwa "kebohongan" begitu mempunyai batas-batas tertentu. Dan barangkali hal ini ada benarnya juga. Bu-beng Siansu sendiri dalam salah satu syairnya mengupas pula tentang watak yang satu ini dalam diri manusia, yang agaknya dari jaman ke jaman telah merupakan "tradisi" yang khas. Namun untuk syair khusus itu biarlah lain waktu saja penulis kabarkan bagi Anda dalam suatu kesempatan berikutnya.

Dan Kun Bok, yang telah mengeraskan hati untuk menjalankan kemauannya ini sudah bertekad bulat. Dia tidak ingin Bi Kwi mengetahui rencana ayahnya itu, dia akan berusaha sekuat tenaga agar gadis ini selamanya tidak tahu! Itulah keputusan Kun Bok, suatu keputusan yang barangkali terlalu gegabah, Pemuda ini berpikir, bahwa kalau dia memang sudah sungguh-sungguh jatuh cinta terhadap Bi Kwi maka parjodohan yang telah dikatakan oleh kedua orang tua masing-masing pihak akan ditolaknya secara halus. Dan hal pertama yang barangkali paling aman adalah mencobanya terlebih dahulu terhadap puteri Beng-san-paicu, calon isterinya itu.

Inilah pikiran Kun Bok dan tentang pikiran manusia yang selalu beraneka-ragam begitu mana bisa kita menyatukannya dengan pikiran diri sendiri? Manusia adalah mahluk hidup yang amat kompleks sekali dengan situasi dan kondisinya, maka tidaklah terlalu aneh apabila ada yang malah bertentangan satu sama lain. Seperti di sini misalnya. Ciok-thouw Taihiap dan Bu-tiong-kiam Kun Seng menghendaki adanya perjodohan diantara anak-anak mereka, sama sekali tidak tahu betapa anak-anak mereka telah mempunyai jalan pikiran sendiri-sendiri yang agaknya bakal meruwetkan pikiran orang-orang tua! Kalau sudah begitu, apa yang akan terjadi? Tentu saja banyak macamnya. Hal ini tergantung jalannya cerita.

Kun Bok menganggap bahwa kalau dia dapat mempengaruhi calon isterinya dengan tindakan-tindakan tertentu misalnya, tentu dia akan berhasil membatalkan ikatan perjodohan itu. Dan untuk tindakan-tindakan "tertentu" begini baginya tidak kurang akal. Dapat saja dia menyakiti perasaan colon isterinya itu, misalnya. Entah dengan kata-kata ataupun perbuatan. Bukankah mereka masih belum kenal-mengenal wajah?

Nah, hal yang bagus buat menjalankan semua muslihat. Dia dapat menyelidiki terlebih dahulu tentang diri gadis itu, lalu kalau sudah tahu, dia dapat melakukan rencananya dengan sempurna. Jika gadis itu tahu bahwa temyata bakal suaminya adalah orang yang amat dibenci bukankah semuanya akan jadi beres sendiri? Dia tidak perlu berhadapan langsung dengan ayah bakal mertuanya, dan ayahnyapun juga tidak sampai terikat bentrokan langsung dengan pendekar besar yang amat mengerikan itu. Kebencian Ceng Bi saja sudah cukup untuk dijadikan pemutus hubungan yang syah!

Inilah pikiran Kun Bok dan pikiran pemuda yang masih belum banyak asam garam pengalaman mana bisa diandalkan? Pemuda itu meng-anggap bahwa seolah-olah dunia berada di telapak tangannya. Apa yang dipikir itu pula yang akan terjadi. Sama sekali lupa bahwa dunia tidaklah sekecil pikirannya, tidaklah semudah teorinya! Maka ketika dipandang Bi Kwi dengan sinar mata tajam penuh selidik itu tiba-tiba saja Kun Bok malah tertawa. Pemuda ini telah dapat menenangkan hati, dan dengan wajah berseri dia ganti menyambar lengan Bi Kwi.

"Aih, Kwi-moi, betul-betulkah kau menjadi panas hati melihat orang lain bertanya-tanya tantang rumahku? Dan kau bilang bahwa gadis itu cantik? moi-moi, kau itu ada-ada saja. Secantik-cantiknya bidadari kahyangan, mana bisa menandingi kecantikanmu? Dia boleh cantik, boleh gagah atau boleh apa saja tapi tidak mungkin aku bakal tergila-gila dengannya! Kau dengar ini moi-moi? Aku tidak mungkin jatuh hati terhadap gadis lain selain dirimu...!"

Kun Bok mengecup kening Bi Kwi dan Bi Kwi tersenyum aneh. "Hi-hik, Bok-ko, kau belum tahu tentang gadis itu bagaimana berani bilang seperti ini? Aku khawatir kau akan menarik ucapanmu ini!"

"Ah, tidak mungkin, Kwi-moi...!" Kun Bok membantah. "Kalau aku bohong biarlah kelak aku mati ditembus pedang!"

Bi Kwi tersentak kaget sedetik mendengar omongan ini tapi Kun Bok malah tertawa lebar. "Ha-ha, kenapa Kwi-moi? Aku menakut-nakutimu? Aih, sudahlah.... biar lain kali kita bicara lagi, kau tidak jadi ikut, bukan?"

Bi Kwi memandang kekasihnya dan gadis ini melangkah maju. "Bok-ko, kenapa kau begitu melarangku habis-habisan? Apakah hanya kalau aku dapat menjaga diri saja maka boleh ikut denganmu?"

Kon Bok tersenyum. Kurang lebih begitulah, moi-moi, demi kasih sayangku kepadamu."

"Hem, jadi karena aku tidak bisa silat, maka tidak beleh ikut?"

Kun Book tertawa lembut. "Kwi-moi, kenapa kau tampak penasaran sekali? Aku hanya mencoba melindungimu dengan cara begini. Untuk apa harus bertanya ulang? Sudahlah, moi-moi, waktuku habis sekarang. Lihat, matahari telah naik semakin tinggi dan kita tidak boleh terlalu lama berada di sini lagi. Kalau Ceng Si atau Ceng Lan datang ke mari tentu kita celaka dan, kau tinggal bersama siapa di rumah ini, Kwi-moi?"

Kun Bok tiba-tiba teringat dan pemuda itu memandang Bi Kwi. Tapi Bi Kwi malah tersenyum rahasia dan gadis ini melangkah mundur. "Bok-ko, kau sendiri masih menyembunyikan sesuatu mengapa hendak mencari tahu rahasia orang lain? Aku tinggal sendiri saja di sini, hanya ditemani Mey-hong yang setia...."

"Mey-hong, eh siapa dia, moi-moi?" Kun Bak bertanya heran.

"Kucingku...." Bi Kwi menjawab kalem dan Kun Bok terberalak.

"Kucing? Seekor kucing, moi-moi…?"

Bi Kwi mengangguk. "Ya, kenapa..? Herankah kau, Bok-ko?"

Kun Bok menganggukkan kepalanya dan mendesis. "Wah aneh sekali, rumah demikian besar hanya dihuni dua mahluk hidup saja! Kalau begitu, di mana orang tuamu, moi-moi?"

Bi Kwi tiba-tiba tertawa kecil. "Mereka sudah lama meninggal dunia, Bok-ko, dan Mey-hong itulah yang kuanggap sebagai penggantinya!"

"Hahh...?!" Kun-Bok terkejut.

Bi Kwi menganggukkan kepalanya dengan sungguh-sunguh. "Begitulah, Bok-ko, aku tidak main-main. Kau ingin melihat? Coba tunggu sebentar…..!" Bi Kwi menghampiri lemari pakaian dan dengan cepat gadis itu lalu membuka pintunya. Gadis ini tidak menunggu persetujuan Kun-Bok dan begitu lengannya terulur segera ia menangkap seekor kucing berbulu hitam yang besar mengkilat!

Kun Bok tercengang, dan pemuda itu tertegun. Kucing yang dipegang Bi Kwi ini memang lain dari yang lain, mirip seperti harimau kecil yang masih buas karena begitu melihat Kun Bok tiba-tiba saja kucing ini menggereng dan lompat menerkam! Tentu saja Kun Bok terkejut dan pemuda itu berseru tertahan, namun Bi Kwi tiba-tiba sudah membentak nyaring dari samping,

"Mey-hong, jangan serang, dia tamu sendiri!"

Dan aneh sekali, kucing hitam yang seperti harimau kecil itu menghentikan serangannya dengan mendadak. Cakar yang sudah diulur tiba-tiba dimengkeretkan lagi dan kucing itu manggeram lirih dibawah kaki Bi Kwi dengan lidah menjilat-jilat!...!

"Ah...!" Kun Bok terbelalak dan pemuda itu terkejut sekali. Selama hidup belum pernah dia menjumpai seekor kucing yang demikian buas sikap dan gerak-geriknya. Karena itu tidak aneh kalau Kun Bok lalu memandang Bi Kwi dengan sinar mata penuh keheranan dan juga sedikit ngeri.

"Kwi-moi, kau.... dari mana bisa mendapat seekor kucirg demikian buas? Dia mirip raja hutan saja, tidak patut sebagai binatang penunggu rumah!" Kun Bok berseru dan Bi Kwi tertawa.

"Jangan maki dia, Bok-ko, Mey-hong bakal bangkit kemarahannya," Bi Kwi berkata dan baru saja acapannya selesai tiba-tiba kucing hitam itu melompat berdiri. Kim Bok terkejut, dan harimau kecil ini sudah melangkah maju. Sikapnya garang, dan mata yang buas itu tampak bersinar mengerikan. Kun Bok semakin terkejut, dan tak terasa dia melangkah murdur.

"Kwi-moi, dia.... mau apakah?"

Bi Kwi tertawa lirih. "Dia akan mengoyak-ngoyak daging musuhnya, Bok-ko, karena kucing itu amat pendendam sekali. Tapi jangan khawatir, Mey-hong masih akan menuruti kata-kataku, asal kau tidak memaki-makinya...." Bi Kwi berhenti bicara dan tiba-tiba gadis ini membentak, "Mey-hong, mundur, jangan terkam dia. Bok-koko adalah suamiku sendiri....!"

Kata-kata itu diucapkan lantang dan kucing beserta Kun Bok sama-sama terkejut. Si kucing hitam terkejut karena Bi Kwi tahu-tahu menendang, pantatnya sedangkan Kun Bok terkejut karena mendengar seruan "suamiku sendiri" tadi. Pemuda ini tersentak, tapi segera mukanya yang merah sudah pulih kembali dengan cepat begitu dia beradu pandang dengan Bi Kwi. Gadis itu tersenyum dan kerling matanya yang manis menyadarkan Kun Bok.

Putera tunggal Bu-tiong-kiam Kun Sang ini tertegun. Dia melihat betapa si kucing hitam sampak ketakutan dan jerih sekali terhadap Bi Kwi sementara hatinya sendiri tiba-tiba meremang ngeri. Entah mengapa, setelah dia tidak lagi diamuk birahi seperti malam tadi kini dia melihat Bi Kwi memiliki sikap-sikap yang agak mengerikan. Dia tiba-tiba saja menjadi takut tanpa sebab. Karena itu Kun Bok pun lalu segera ingin pergi meninggalkan gadis cantik ini secepatnya.

"Bok-ko, kau memikirkan apa?"

Pertanyaan tiba-tiba ini mengejutkan Kun Bok dan dengan agak tergagap dia menjawab, "Eh, aku.....? Eh, tidak, Kwi-moi, aku hanya masih terkesan ngeri dengan kucing hitammu itu!" pemuda ini menjawab sekenanya saja namun kini hatinya sudah tetap kembali. "Kwi-moi, sekarang aku boleh pergi, bukan?" Kun Bok memandang gadis itu dan Bi Kwi menganggukkan kepalanya.

"Kalau itu menjadi keputusanmu, silahkan Bok-ko. Tapi ingat dengan janjimu sendiri. Tadi!" Bi Kwi memperingatkan dengan nada halus dan Kun Bok segera tertawa.

"Moi-moi, apakah kau masih meragukan hatiku? Sudah kubilang tadi bahwa kalau aku ingkar biarlah kelak aku tewas ditembus pedang. Masa sumpah berat begini dianggap enteng?"

Kun Bok melangkah maju dan tangannya menyambar lengan Bi Kwi. Kemudian sebelum gadis itu berkata sesuatu pemuda sudah memeluk dan mencium kekasihnya dengan mesra. Bi Kwi menggelinjang, sejenak mengeluh perlahan dalam buaian dewi asmara dan tak lama kemudian tubuh merekapun sudah saling merenggang.

"Bok-ko, kau akan kembali, bukan?" Bi Kwi bertanya lirih dan Kun Bok tersenyum lebar.

"Moi-moi, tentu saja aku akan kembali! Mengapa cemas? Tenanglah, sayang, jangan berpikir yang tidak-tidak. Percaya, bukan?"

Bi Kwi mengangkat mukanya dan perlahan- lahan gadis itu menganggukkan kepalanya. "Aku percaya, Bok-ko, aku percaya bahwa kelak kau pasti akan kembali kepadaku biar dalam keadaan yang bagaimanapun!" Kata-kata ini mengandung tekanan sesuatu namun Kun Bok Bok tidak merasa.

Pemuda itu malah tertawa geli dan sebagai pesan terakhir dia lalu mengangkat dagu Bi Kwi dan mengecup mulut yang mungil itu, baru kemudian meninggalkannya dengan melompat keluar jendela sambil membawa sebungkus pakaiannya.

* * * * * * * *

Sudah menjadi watak manusia barangkali bahwa manusia yang sedang menyimpan api kemarahan adalah amat mudah sekali untuk tersinggung terhadap hal-hal yang baru mengganggu ketenangan perasaannya. Dan hal seperti itu ternyata harus dialanai oleh Ceng Bi. Seperti kita ketahui, dara ini telah meninggalkan hutan dengan kemarahan ditahan ketika kakak seperguruannya membuka rahasia perzinahan Pendeker Gurun Neraka bersama iblis cantik Tok-sim Sian-li, murid Chang-gan Sian-jin yang amat cabul itu.

Dan dengan hati panas bukan main Ceng Bi mengeluarkan kata kata tajam menusuk yang amat merendahkan bekas jenderal muda itu lalu meninggalkannya pergi dengan muka merah dan dada berombak. Gadis ini memang benar-benar marah sekali, juga amat sakit hati. Karena itu, tidak heran apabila dia menerobos hutan tanpa menengok kiri kanan lagi. Dadanya sesak, dan napasnya terengah-engah akibat kemarahan yang meluap tanpa mampu untuk menyalurkannya secara wajar. Disebut tak mampu menyalurkannya secara wajar adalah dikarenakan pemuda yang besar yang gagah perkasa itu bukanlah kekasihnya.

Karena itu Ceng Bi tidak dapat melampiaskan seluruh sakit hatinya kepada pemuda yang telah memikat hatinya ini. Dia tidak dapat memaki-maki si pemuda. Pemuda itu ia pun tidak dapat mengangkat beban batu yang amat menghimpit ini. Kalau saja perkenalannya dengan Pendekar Gurun Naraka tidak meninggalkan kesan yang khas, barangkali dia boleh tidak perduli terhadap perbuatan bekas jenderal muda itu. Tapi Pendekar Gurun Neraka telah memulai membetot sukmanya, telah mulai memikat getaran perasaannya sebagai seorang wanita yang jatuh cinta terhadap seorang pria.

Dan baru saja perasaannya yang tergila-gila mulai bersemi, tiba-tiba saja dihancurkan dengan kasar oleh sikap bekas jenderal muda ini yang tidak terpuji. Hal itu bisa diibaratkan dengan menanam padi yang baru saja memuai, halus lembut dan penuh rasa. Digoyang sang bayu sedikit saja sudah menunduk malu kesipu-sipuan. Tapi baru saja sang bayu menggoda sekonyong-konyong angin topan yang besar mengamuk. Angin topan ini menggulung dan mencabut semua padi yang ada di situ. Tidak hanya merobohkannya belaka tapi juga mencabut serta akar-akarnya yang baru tumbuh. Betapa parah dan kejinya!

Itulah gambaran rasa yang kini dialami oleh Ceng Bi. Puteri Pendekar Kepala Batu ini terisak-isak dan dia benar-benar merasa sakit bukan main. Kalau saja dia tidak jatuh cinta terhadap pendekar itu, barangkali dia malah tersenyum mencibir mendengar berita yang demikian menjijikkan itu. tapi dia tidak mampu melakukan hal itu. Dia tak dapat mencibir tanpa hati sendiri tersayat berdarah. Dan Ceng Bi menangis tanpa suara.

Inilah permainan Dewa Cinta! Bahagia kalau dapat menyatukan diri namun menusuk rasa kalau harus berpisah. Itukah cinta kasih yang melanda umat manusia pada umumnya? Agaknya memang begitulah! Kenyataan telah membuktikan hal ini dari jaman ke jaman dan Ceng Bi yang juga termasuk salah satu diantaranya harus tunduk terhadap fakta.

Gadis itu tak mampu mengendalikan diri dan satu-satunya jalan hanyalah berlari sejauh-nya dari pemuda yang, amat dibencinya itu. Ceng Bi tidak tahu waktu lagi, dan dia tidak menghirankan waktu lagi. Baginya semakin jauh ia meninggalkan Pendekar Gurun Neraka adalah semakin baik. Karena itu iapun lulu mengerahkan tenaga sekuatnya sampai napasnya memburu hebat. Pertama karena dia sudah mulai lelah dan ke dua karena sakit hatinya yang menyesak dada masih belum mau padam.

Sampai akhirnya, setelah dia meninggalkan orarg-orang di dalam hutan itu puluhan lie akhirnya tibalah Ceng Bi di sebuah padang rumput yang tumbuh subur sebatas lutut. Padang ini cukup luas, dan samar-samar di kejauhan tepinya sana tampaklah sederetan rumah penduduk bergenting merah. ltulah kota kotanya kaum nelayan karena di situ terdapat anak cabang aliran Sungai Huang-ho yang berkelak kelok mirip anak naga.

Ceng Bi memperlambat larinya, dan dengan napas terengah-engah dia mengambil sapu-tangan lalu menyusut makanya yang penuh debu dan bekas-bekas air mata. Dia tidak mau menjadi perhatian orang, karena itupun dia tidak mau menangis lagi. Ceng Bi berniat mengaso dahulu di bawah sebatang pohon besar yang terdapat di tengah-tengah padang itu dan baru kemudian memasuki kota Bun-ki pada sore harinya.

Akan tetapi, baru saja dia memasuki padang ilalang itu mendadak dari belakang terdetagar teriakan seseorang. Seorang laki-iaki berlari cepat dengan muka ketakutan dan sambil berlari orang itu berteriak-teriak tidak karuan, Ceng Bi terkejnt, dan otomatis dia menghentikan langkah.

"Nona, tolong aku... di belakang ada setan perempuan....!" laki laki itu berseru dan sebentar saja dia tahu-tahu sudah di depan Ceng Bi.

Tentu saja Ceng Bi terbelalak, dan belum dia berkata sesuatu orang ini tiba-tiba sudah menyambar tangannya diajak berlari kencang. Tentu saja Ceng Bi terkejut, dan juga merasa marah. Dia sedang enak-enak mengumpulkan kembali napasnya yang ngos-ngosan akibat barlari tanpa mengenal waktu, eh tahu-tahu orang ini menyambar lengannya diajak lomba lari lagi tanpa minta kompromi! Siapa tidak bakal gusar? Ceng Bi sudah merah mukanya dan darahnya naik sampai di kepala.

"Setan kurang ajar, siapa kau berani pagang-pegang tangan orang? Apa kau tidak pernah didupak ayah ibumu sehingga berani bersikap seperti ini? Jahanam, pergi kau, jangan mengusik-usik diriku...!" Ceng Bi membetot lengannya sekuat tenaga dan begitu terlepas dia melayangkan tangannya menggaplok muka orang.

"Plakk!?

Aduh...!" orang yang tidak menyangka-nyangka ini bertariak kesakitan dan tubuhnya terpelanting ke semak belukar. Ceng Bi berhenti dan dia melihat betapa laki-laki itu terjerembab memasuki parit kecil yang penuh lumpur. Kontan, mukanya yang terperosok duluan ke depan itu menceprot nyaring di dalam lumpur dan orang ini memaki kalang-kabut!

"Eh.... oh.... nanti dulu, jangan marah-marah, aku bukan setan jahat...!" orang itu berteriak gagap dan Ceng Bi melihat wajah yang belang-blonteng seperti badut!

Ceng Bi menjadi geli, namun dia tidak mau tertawa. Wajahnya masih mengeras dingin dan laki-laki yang ketakutan itu menggigil di depannya. "Nona, eh... Souw-lihiap (pendekar wanita she Souw), ampunkan aku tidak bersalah, aku bukan orang jahat, sungguh mati. Aku sedang dikejar-kejar siluman betina di belakang dan kalau kau tidak cepat menolongku tentu aku akan mampus, aku akan mampus diterkam setan betina yang ganas itu...!"

Laki-laki pendek kecil ini menjatuhkan diri berlutut dan Ceng Bi terkejut sekali. Bukan karena melihat ketakutan pada wajah yang seperti badut sirkus itu melainkan sebutan yang diucapkan oleh laki-laki ini. Souw-lihiap! Eh, begaimana dia dapat dikenal orang sebagai puteri dari Souw-locianpwe Ciok-thouw Taihiap ayahnya? Inilah yang mengejutkan Ceng Bi dan sementara dia terkejut itulah laki-laki ini kembali sudah meratap.

"Souw lihiap, tolonglah aku.... siluman betina di belakang itu lihai sekali. Aku tak mampu melawannya dan kalau lihiap tidak sudi membantuku biarlah aku mampus saja membentur batu itu...!" laki-laki ini sudah lompat mendekati batu hitam dan Ceng Bi mengangkat tangannya.

"He, berhenti dulu. Jangan main gila di depanku! Ceng Bi membentak dan wajah si laki-laki yang belang-blonteng penuh lumpur itu tampak girang. Dia membalikkan tubuhnya, dan menyahut dengan suara penuh harap. Kontan, mukanya yang terperosok duluan ke depan itu menceprot nyaring di dalam lumpur dan orang ini memaki kalang-kabut!

"Lihiap, kau mau menolongku....?"

Tapi Ceng Bi menggelengkan kepalanya. "Itu tergantung keadaan," gadis ini menjawab dingin. "Kalau kau tidak menipu tentu aku suka menolongmu, tapi kalau kau menipu, hemm... awas batok kepalamu yang busuk itu...."

Gadis ini berkata sungguh-sungguh tapi si pendek kecil itu sudah berteriak girang dan merjatuhkan diri berlutut. "Aih, terima kasih, terima kasih! Aku memang percaya bahwa puteri Ciok-thouw Taihiap Souw-locianpwe pasti bukanlah orang yang acuh saja terhadap kejahatan seseorang. Dan aku Jing-ei-touw Si Copet Seribu Jari) Kam Sin bukanlah orang yang tidak tahu budi…!" laki-laki itu berseru dan Ceng Bi terkejut.

"Apa, kau tukang copet....?" Ceng Bi setengah berteriak dan Jing-ci-touw Kam Sin meringis.

"Aih, lihiap, itu julukan yang diberikan orang-orang kepadaku karena mereka sendiri bersikap sok suci. Padahal, sebelum aku moncopet tentu sebelumnya aku memberi tanda kepada mereka. Maka, kalau mereka sampai teledor bukankah ini adalah kesalahan sendiri?" Si Copet Seribu Jari menjawab sambil menyengir dan Ceng Bi menaikkan alisaya.

"Hem, kalau begitu kau juga termasuk orang jahat, Sing-ci-touw!" Ceng Bi membentak dan si tukang copet itu buru-buru menyanggah.

"Eh, tidak, lihiap... bukan begitu! Meskipun aku mencopet, tapi selamanya aku bersikap jajur!"

Ceng Bi mendelik. "Jing ci-touw, mana ada tukang copet bersikap jujur?"

Tapi Sing-ci-touw ngotot. "Kenapa tidak, lihiap? Dan didunia ini memang akulah orangnya! Lihiap ingin bukti?"

Ceng Bi menjadi penasaran juga. Meskipun dia dibuat mendongkol dan marah tapi harus diakuinya pula bahwa diam-diam perasaannya ikut menjadi geli melihat sanggahan orang yang sama sekali tidak masuk akal. Karena itu dia lalu tersenyum mengejek dan dengan bentakan dingin dia berkata, "Pencopet she Kam, kau agaknya berani mati sekali! Tapi kalau kau ingin menunjukkan bukti, coba kulihat. Mana buktinya?"

Dan laki-laki bertangan seribu ini melangkah maju. "Souw-lihiap, sejelek-jeleknya orang she Kam, dia masih berpantang untuk melakukan penipuan kosong, dan Jing-ci-touw Kam Sin paling sengit dikata tidak jajur! Lihiap ingin bukti? Bukankah sudah lihiap ketahui?"

Ceng Bi terbelalak. "Eh, jangan main-main, orang she Kam!" gadis itu membentak namun Jing-ci-teuw memang tampak bersungguh-sungguh.

"Souw-lihiap, untuk apa aku bicara bohong? Bukankah pengakuanku tadi yang menyatakan bahwa diriku ini adalah pencopet sudah merupakan bukti kejujuran seperti yang kukatakan? Atau, pernahkah lihiap menemukan seorang yang mengakui dirinya pencopet?"

Ceng Bi terkejut "diputar" oleh kata-kata ini dan mau tak mau dia menjadi tertegun juga.

"Bagaimana, lihiap? Dustakah omongan tadi?" Si Copet Seribu Jari bertanya gambira dan Ceng Bi terpaksa memaki gemas.

"Jing-ci-touw Kam Sin, kau memang orang yang licin sepenti belut. Memang omonganmu tidak salah, tapi mustahil kau mencopet barang orang setelah kau memberitahunya terlebih dahulu!"

"Eh, lihiap masih menyangsikannya?"

"Tentu saja!" Ceng Bi menganggukkan kepalanya dengan sikap setengah gemas. "Siapa mau percaya omongan tukang copet yang biasanya galang-gulung dengan segala maling dan begal?"

"Ahh....!" Si Copet Seribu Jari tampak meradang dan tiba-tiba saja dia menjadi marah-marah, "Souw Lhiap, seburuk-buruknya orang she Kam dia bukanlah orang pembual kosong. Mengapa lihiap harus tidak percaya? Sedang Pendekar Gurun Neraka sendiri serta tokoh-tokoh besar yang setingkat ayahmu menghormati pendirianku ini. Mengapa kau menyagsikannya? Ketahuilah, lihiap, fitnah yang menimpa pendekar itupun aku tahu siapa biang keladinya! Nah, kau tidak percaya?"

Jing-ci-touw Kam Sin tampak sengit dan Ceng Bi terkejut. "Eh, fitnah terhadap pendekar siapa yang kau maksudkan, orang she Kam?' Ceng Bi bertanya sementara hatinya tiba-tiba menjadi berdebar.

"Hem, siapa lagi kalau bukan Pendekar Gurun Neraka."

Pencopet ini menjawab uring-uringan dan Ceng Bi sekarang tersentak kaget. Di sebutnya nama bekas janderal muda itu mamang benar-beaar telah membuat iantungnya berdesir, karena memang Ceng Bi yang baru turun gunung pertama kali ini sama sekali belum tahu segala kejadian pahit yang dialami oleh pemuda itu. Oleh sehab itu, tidak aneh kalau Ceng Bi tiba-tiba saja menjadi tertarik untuk mendengar keterangan yang amat penting baginya itu.

Namun, sebelum dia bertanya sesuatu mendadak saja muka Jing-ci-touw Kam Sin berubah pucat. "Wah, celaka, lihiap, setan betina itu datang...!" laki-laki ini berseru kaget dan Ceng Bi melihat berkelebatnya sebuah bayangan ramping seoraug wanita berbaju hijau.

Sejenak Cang Bi tertegun, tapi Si Copet Seribu Jari yang banyak akal itu ternyata lincah otaknya. Di kala gadis itu sendiri belum menemukan cara untuk menghadapi si iblis betina yang datang berlari cepat, si tukang copet yang mengaku "jujur" ini sudah berkata, "Souw-lihiap, aku bersembunyi di atas pohon itu. Harap kau lidungi aku..." dan baru saja suaranya lenyap Si Copet Seribu Jari ini tahu-tahu telah melayang cepat ke atas pohon yang dimaksud.

Pohon ini tadinya hendak dipergunakan Ceng Bi untuk berteduh, tapi sekarang dia terpaksa harus berjaga seperti orang menjaga kuda! Tentu saja diam-diam Ceng Bi mendongkol, tapi karena dia merasa tertarik untuk mendangar cerita si tukang copet itu tentang fitnah yang menimpa diri Pendekar Gurun Neraka, maka dia harus menahan kegemasan hatinya terhadap laki-laki yang baru saja dikenalnya itu.

Memang hal ini agak lucu. Ceng Bi yang biasanya dirumah justeru menyuruh orang lain untuk melakukan sesuatu, sekarang malah dia disuruh orang lain untuk malakukan sesuatu! Menggemaskan juga, tapi karena orang berdalih dengan parmintaan tolongnya mana bisa Ceng Bi boleh tidak perduli? Apa lagi orang itu memang tampaknya amat ketakutan sekali dan dia jadi tertarik untuk menyaksikan siapakah yang dimaksud "setan betina" oleh Jing-ci-touw yang lari terbirit-birit itu.

Dan baru saja Jing-ci-touw lenyap atas bayangan yang berkelebat datang itu tibalah. Ceng Bi menunggu tenang dan sekarang dia melihat bahwa pendatang ini bukan lain adalah seorang gadis cantik yang rambutaya dikepang dua serta di pinggangnya sebuah rantai perak yang indah gemerlapan. Ceng Bi tercengang, dan dia merasa heran. Melihat raut mukanya yang cantik berseri sukar baginya untuk mempercayai bahwa gadis begini manis disebut "setan betina". Apakah dia dikibuli?

Akan tetapi melihat sepasang matanya yang menyala-nyala dan wajah yang beringas itu mau juga Ceng Bi menerima kenyataan bahwa wanita ini tampaknya memang ganas juga. Karen itu, dia diam saja di tempat dan gadis berantai perak itu tiba-tiba menegumya, adik kecil, apakah kau melihat seorang laki-laki pendek kecil lewat di sini?"

Ceng Bi mengangguk. "Tidak salah, anak besar, dan dia menerobos padang ilalang ini menuju ke tepinya sana!" jawabnya sedikit mendongkol karena dipanggil adik kecil. Apakah dia masih seperti anak-anak saja yang belum cukup dewasa? Itulah pikiran Ceng Bi yang melihat sikap orang tampak agak merendahkan.

Dan gadis cantik yang melihat wajah Ceng Bi agak cemberut itu membelalakkan matanya. "Eh, kau omong terhadap siapakah?"

"Eh, terhadap siapa lagi kalau bukan terhadap dirimu? Apakah kau bukan orang?" Ceng Bi menirukan gaya lawannya dan gadis itu menaikkan alisnya.

"Bocah kurang ajar, apa kau tidak pernah mendapat didikan sopan santun?"

Bentakan ini membuat Ceng Bi menjadi merah mukanya dan dengan sengit diapun ikut membentak, "Siluman tidak tahu diri, apakah kau tidak pernah mendapat didikan gurumu untuk berterima kasih kasih terhadap seseorang?" serunya sambil mendelik dan bertolak pinggang.

Tentu saja sikapnya yang amat menantang ini membuat gadis baju hijau itu naik darah. Dan dia sendiri memang sedang beringas mencari Si Copet Seribu Jari yang melarikan diri, sekarang malah tidak disangka-sangka bertemu dengan "anak kecil" yang berlagak dewasa itu. Bagaimana dia tidak naik pitam?

"Setan cilik, kenapa bicaramu kian memerahkan telinga saja? Apa kau minta digampar biar kapok?" gadis itu mendesis sambil melangkah maju, namun Ceng Bi memang sama sekali tidak merasa takut.

"Setan gede, kau datang-datang mau cari setori, aku ada kesalahan apakah? Memangnya kau kira aku takut?" Ceng Bi menjadi panas pula hatinya dan diapun melangkah maju menyambut lawannya.

Gadis itu tertegun dan sejenak dia memandang Ceng Bi. Sikap orang yang memang sama sekali tidak jerih itu membuatnya terbelalak dan juga marah sekali. "Kau siapakah? Mengapa berani mati mencari penyakit di sini?" bentaknya sambil meloloskan rantai.

"Hemm…!" Ceng Bi mendengus. "Untuk apa tanya-tanya keadaan orang lain segala? Kalau kau mau menyerang, lebih baik lekas serang saja. kenapa banyak cakap. Cih, aku menjadi sebal saja!" Ceng Bi mencabut pedangnya Pek-kong-kiam dan bersiap-siap.

Tentu saja jawaban itu membuat lawannya tidak dapat menahan diri dan sambil berteriak gusar dia menyabetkan rantainya. "Setan kurang ajar, kau memang pantas dihajar!" pekiknya dengan kemarahan meluap.

Tetapi Ceng Bi sudah menggerakkan pedangnya sambil menangkis pula. "Setan kurang ajar, kaulah yang pantas dihajar!" serunya dengan kemarahan yang sama dan kedua macam senjata itupun beradu.

"Cringg…!" Pek-kong-kiam bertemu rantai perak dan Ceng Bi mengeluarkan seruan kaget. Pedangnya terpental dan rantai ditangan lawan terus menyambar dahinya dengan kecepatan luar biasa. Tentu saja Ceng Bi terkejut dan sambil memekik marah gadis ini merendahkan tubuh lalu menangkis secepat kilat dengan gerakan Bianglala Berputar Tiga Kali. Itulah salah satu andalannya dari Ilmu Pedang Cui-mo Kiam-sut dan begitu digerakkan, kontan kedua senjata beradu.

"Trangg...!" Bunga api muncrat berhamburan dan Ceng Bi kembali mengeluh gemas dengan hati meradang. Ternyata meskipun ia sanggup menangkis sambaran rantai perak itu namun telapak tangannya terasa pedas bukan main. Tentu saja Ceng Bi semakin terkejut dan sadarlah dia bahwa agaknya dalam hal sinkang dia masih dibawah tingkat lawan! Karena itu Ceng Bi menjadi sengit sekali dan sambil membentak gusar dia menerjang ke depan dengan putaran pedangnya. Cui-mo Kiam-sut dikeluarkan dan pedang di tangannya segera menyambar-nyambar dengan kecepatan penuh.

Mulailah Ceng Bi menyerang dengan mati-matian. Gadis yang amat marah ini tidak mau lagi mengadu tenaga melainkan mencoba memperoleh kemenangan dengan jalan adu ginkang dan kecepatan pedang. Karena itu tubuhnya segera beterbangan kian kemari dan sepak terjangnya kelihatan ganas bukan main. Ditambah dengan kemarahannya yang berkobar membuat Ceng Bi menyerang agak membabi-buta. Dan si gadis baju hijau tampak terkejut melihat sikapnya ini. maka gadis itupun lalu melengking nyaring mengimbangi permainan lawan yang mendesak tanpa ampun.

Sekarang terjadilah pertarungan seru diantara dua orang gadis cantik itu. Ceng Bi menyambar-nyambar seperti elang terbang, sedangkan lawannya berkelebatan cepat seperti walet yang selalu mengikuti kemana terbangnya sang burung elang. Dua-duanya sama cepat dan Ceng Bi yang mengira lawan hanya memiliki kelebihan sinkang belaka kali ini dibuat kecelik. Si gadis baju hijau ternyata juga mahir sekali ilmu meringankan tubuhnya, dan Ceng Bi menar-benar ketemu batunya.

Karena itu Ceng Bi benar-benar marah sekali. dia baru turun gunung masa harus selalu ketanggor lawan yang lebih kuat daripada dirinya? Dahulu ketemu mendiang ketua Hiat-goan-pang dan sekarang berjumpa dengan siluman betina ini! Apa dia harus menyerah lagi? Ceng Bi menggigit bibirnya dengan kemarahan meluap dan puteri Beng-san-paicu ini menyerang semakin ganas.

Diam-diam Ceng Bi penasaran sekali. Apakah ilmu silatnya memang masih dangkal atau warisan ayahnya yang kurang bermutu? Ceng Bi condong kepada pemikirannya yang pertama daripada menjelekkan kepandaian ayahnya sendiri. Sebab, kalau ilmu silat ayahnya hanya ilmu silat pasaran saja, tidak mungkin nama ayahnya bakal tersohor dan ditakuti lawan disegani kawan. Adalah dia sendiri memang masih kurang matang, mungkin dikarenakan hal inilah ayahnya melarang dia dan Ceng Han merantau di dunia persilatan karena di dunia kangouw memang ternyata banyak sekali orang-orang berkepandaian tinggi.

Ceng Bi menggigit bibirnya dan gadis ini penasaran bukan main. Mengapa ia selalu menemui lawan-lawan kuat? Dan siapakah sebenarnya gadis baju hijau yang menjadi lawannya ini? Melihat ilmu-ilmu silatnya, jelas bukan wanita sembarangan dan rantai perak di tangannya itu selalu berhasil mengikuti ke arah mana pedangnya menyambar. Kalau saja dia berani adu tenaga, agaknya pertempuran diantara mereka penyelesaiannya bisa cepat ada ketentuan.

Tapi dia memang tidak mau melakukan kebodohan itu. Tenaga sinkangnya jelas kalah setingkat, untuk apa adu tenaga? Tentu lama-lama pedangnya bakal terlepas dan itu berarti dia harus menyerah kalah. Ceng Bi tidak sudi! Kehebatan Cui-mo Kiam-sut sudah cukup dapat diandalkan dan gadis baju hijau tampak harus bekerja keras menghadapi ilmu pedangnya ini yang memiliki jurus-jurus ampuh. Untuk apa melakukan kebodohan dengan adu sinkang? Lebih baik dia terus mempergencar saja permainan ilmu pedangnya itu sekalian mengadu nafas siapa yang lebih panjang.

Itulah keputusan Ceng Bi dan gadis inipun lalu menyerang bertubi-tubi. Ia hendak mengandalkan Cui-mo Kiam-sutnya dan juga daya mengempos semangat. Akan dilihatnya, siapa yang lebih dulu roboh dalam mengadu kepandaian ginkang dan kecepatan itu. Maka Ceng Bi-pun lalu memekik nyaring dan tiba-tiba gadis ini mempercepat gerakan pedangnya. Pek-kong-kiam dikelebatkan, dari atas ke bawah, menuju pundak lawan sebelah kiri. Namun baru tigaperempat bagian yang dikerjakan mendadak Ceng Bi sudah merobah arahnya dari gerak membabat menjadi gerak menusuk. Pedangnya mencuat ke atas, dan tahu-tahu ujung Pek-kong-kiam telah mengancam leher dalam satu tusukan kilat!

"Ihh....!" si gadis berbaju hijau mengeluarkan seruan kaget, dan dengan cepat dia melempar kepala kemudian menyabetkan rantainya menghantam pedang di tangan Ceng Bi. Tapi Ceng Bi tertawa mengejek, dan tiba-tiba gadis ini telah menyontekkan pedangnya ke bawah dan mengganti sasaran ke pinggang kiri.

"Setan...!" gadis baju hijau itu mengumpat dan rantai di tangan kanan tahu-tahu telah berberpindah ke tangan kiri. Kemudian ketika pinggnya dibabat pedang di tangan Ceng Bi gadis ini tiba-tiba sudah menggerakkan rantai peraknya menghantam Pek-kong-kiam.

"Crangng...!"

Ceng Bi tak mampu menghindari adu tenaga ini karena dia memang sama sekali tidak menduga bahwa lawanya mampu memindahkan senjata dari tangan kanan ke tangan kiri. Karena itu, diapun tak mampu mencegah terjadinya benturan di antara dua senjata mereka dan gadis ini terkejut. Pek-kong-kiam terpental, dan hampir saja mencelat dari pegangannya!

"Aihh…..!" Ceng Bi mengeluarkan seruan tertahan dan mukanya menjadi merah. Sedetik dia terlambat, barang kali pedangnya itu betul-betul telah terlempar jatuh dari tangannya. Ceng Bi menjadi marah, dan dengan satu lengkingan tinggi dia kembali menerjang lawannya yang mendengus dengan mata berapi-api.

Gadis baju hijau itu juga naik darah karena serangan Ceng Bi yang terakhir tadi mangandung dua tipuan berbahaya. Pertama seolah-olah mengancam pundak kirinya dan yang kedua seakan-akan siap menusuk leher. Dan dia yang sama sekali tidak tahu akan tipuan ini hampir saja menjadi korban. Coba sedikit kurang cekatan memindahkan senjatanya, bukankah dia sudah roboh ditangan setan cilik itu?

Maka gadis baju hijau itupun lalu balas menerjang ke depan dengan kemarahan meluap. Sebenarnya, kalau dia mampu mengadu senjata berkali-kali pasti lawannya itu bakal roboh bertekuk lutut. Dan dia sudah gemas sekali untuk memukul pantat dara cilik yang tidak mau kalah bicara ini di samping tidak mau kalah pula bertanding. Jelas dia kalah tenaga, namun kelicinannya yang cerdik menutup kekalahannya itu dengan mencoba adu ginkang dan kecepatan ilmu pedang. Hem, setan cilik dari manakah gadis itu berasal?

Si gadis baju hijau mendongkol dan panas bukan main. Setan cilik ini selalu menghindari bentrokan langsung, tidak mau keras lawan keras, dan dia tahu apa sebabnya. Tapi kalau mereka selalu adu cepat begini tanpa ada ketentuan kapan berakhirnya pertandingan itu dialah yang menjadi tidak sabar. Urusannya masih banyak, dan gara-gara siluman cilik ini benar-benar menggemaskannya. Karena itu gadis ini lalu memutar otaknya dan menemukan sebuah akal.

"He, setan kecil, apakah kau memang sedemikian pengecut dalam setiap pertandingan menghadapi musuh tangguh?" begitu gadis ini mula-mula berteriak mengejek lawannya.

Ceng Bi menaikkan alis, "Hem, musuh tangguh macam apa yang kau katakan itu, setan besar? Kalau semacam dirimu ini sungguh menggelikan jika disebut musuh tangguh!" Ceng Bi tertawa mengejek dan gadis baju hijau merah mukanya.

Dia hendak memanaskan perut orang, eh... tahu-tahu dia sendiri yang hampir saja dibuat panas perutnya oleh lawan! Karena itu gadis baju hijau ini menggebrakkan rantainya dan tiba-tiba dia balas tertawa menyindir. "Hik-hik., kalau kau tidak menganggapku sebagai masuh tangguh kenapa tidak berani adu tenaga? Hayo buktikan omonganmu itu kalau benar aku bukan musuh tangguhmu!"

Seruan manantang ini disambut Ceng Bi dengan ketawa dingin, "Setan besar, jangan coba-coba membakar hatiku. Dalam setiap pertandingan orang pandai harus menggunakan taktik, bukan hanya adu tenaga seperti kerbau dungu yang tidak berotak. Kalau kau merasa diri sendiri tangguh, kenapa tadi tidak mampu merobohkan diriku? Hah, kau cerewet sekali, mengapa harus banyak cakap? Kalau kau capai lekas buang saja senjatamu itu dan cepat minta ampun kepadaku sebelum terlambat!" Ceng Bi mengejek dengan sikapnya yang nyelekit dan gadis baja hijau itu semakin merah mukanya.

Sungguh tidak disangka bahwa lawannya yang lebih muda ini memiliki mulut yang sedemikian tajam. Menyebut diri sendiri si orang pandai yang pinter mencari taktik dan menyindirnya kerbau dungu yang tidak berotak! Siapa yang tidak naik darah? Gadis baju hijau ini memekik dan rantai peraknya menyambar. "Kaparat cilik, mulutmu sungguh tajam sekali. Kalau begitu coba kau rasakan hajaran senjataku ini!" Dia berteriak gemas dan rantai peraknya melakukan satu lingkaran panjang lalu menukik kaki kaki lawan.

Ceng Bi mendengus dan diapun tidak mau kalah. "Keparat gede, sikapmu sungguh sombong sekali. Siapa bilang kau hendak menghajarku? Justeru akulah yang ingin menggoreskan pedangku ini di kulitmu!"

Sambil berteriak Ceng Bi melompat ke atas dan Pek-kong-kiam di tangannya melakukan jurus Mo-kiam-liak-sui (Pedang Setan Menyambar Air). Sambaran rantai ke bawah kakinya mengenai angin dan pada saat itu secepat kilat ujung pedangnya ganti menukik ke ulu hati lawaanya. Tapi si gadis baju hijau mau mengeluarkan jengekan dan tiba-tiba tangannya setelah kiri diulur menangkap pedang!

Ceng Bi terkejut namun ia justeru merasa girang Pek-kong-kiam adalah pedang yang terbuat dari baja pilihan, kalau gadis itu berani menerima tentu akan celaka seadiri. Maka diapun malah tidak ragu-ragu lagi untuk sekalian membabat jari-jari lawan.

"Trikk" Pek-kong-kiam bertemu benda kecil dan Ceng Bi kaget setengah mati. Jari lawan yang digambarkan bakal terbabat putus itu ternyata sama sekali tidak apa-apa dan sebagai gantinya pedang di tangannya itulah yang terpental dan meleset arahnya.

Kiranya, dengan keberanian luar biasa si gadis baju hijau melakukan gerak tipu yang disebut Ulurkan Cakar Sembunyikan Taji. Dan dengan "taji!" berbentuk kuku jari malah dia menyentil Pek-kong-kiam, tentu saja setelah merubah sikap cengkeraman menjadi sentilan. Sungguh luar biasa! Dan Ceng Bi yang melihat pedangnya telah melanjutkan sentilannya dengan totokan kilat ke atas sikunya.

"Aihh....!" Ceng Bi berseru tertahan dan kali ini ia terpaksa menggerakkan lengan kirinya menangkis. Waktu sudah tidak memungkinkan lagi baginya untuk mengelak, maka satu-satunya jalan ialah memapak totokan itu sambil mengerahkan sinkang.

"Plakk!" Dua lengan yang sama halus saling brtemu dan Ceng Bi menggigit bibir. Totokan lawan berhasil dibalas namun tulang lengannya terasa ngilu!

"Kau.... keparat!" Ceng Bi mendesis marah dan dengan gusar dia memutar pedangnya membentuk gulungan besar. Kemudian setelah sinar pedangnya bergulung-gulung, tiba-tiba gadis ini menggetarkan mata pedang menjadi belasan batang. Lalu dengan kemarahan meluap dia menyerang si baju hijau dengan jurus inti yang dinamakan Hun Kiam Kik Ing (Memencar Pedang Menyerang Bayangan), sebuah jurus ke duapuluh satu dari ilmu pedangnya Cui-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengejar Iblis). Hebatnya memang bukan kepalang, karena Pek-kun-kiam kini telah berubah menjadi belasan batang yang saling berkelebatan menyambar-nyambar. Dan si gadis baju hijan terkejut kagum.

"Ihh, ilmu pedang yang hebat!" gadis itu berseru memuji dan rantai peraknya bekerja. Kalau Ceng Bi mainkan Cui-mo Kiam-sut adalah dia yang segera mainkan Hong kiam-lohai-kun (Badai Mengamuk Di Samudra). Cahaya putih tampak berkeredepan ketika gadis ini membentak nyaring dan begitu dia menyambut, segera muncullah dua buah gulungan sinar putih yang saling menyambar-nyambar di udara.

Indah dan mempesona sekali pertandingan seru yang terjadi di antra dua orang gadis itu. Yang satu membabat dan menusuk bertubi-tubi sedangkan yang lain membelit dan naik turun seperti gelombang pasang yang hendak menelan gulungan sinar pedang. Namun kedua-duanya sama unggul dan pedang serta rantai perak tampak sama unggul.

Akan tetapi karena pada dasarnya Ceng Bi kalah setingkat tenaga sinkangnya, maka rantai perak kini kian lama menindih berat gulungan sinar pedangnya. Gadis ini tidak dapat terus-menerus menghindari bentrokan langsung, dan beberapa kali akibat kecerdikan si gadis baju hijau dia terpaksa mengadu tenaga. Seperti tadi misalnya. Dengan jurus Mengulur Cakar Menyembunyikan Taji membuat puteri Pendekar Kepala Batu ini terdesak posisinya. Mengelak totokan sudah tidak memungkinkan lagi sedangkan menangkis dirasa agak menegankan. Tapi, karena itu merupakan jalan satu-satunya bagaimana Ceng Bi harus mengelak selalu? Maka mau tidak mau puteri ketua Beng-san-pai inipun terpaksa adu tenaga!

Tidak terlalu sering memang, namun hal itu sudah cukup membuat gadis ini mengumpat didalam hati. Diam-diam Ceng Bi mulai mengeluh, dan tangannya yang memegang pedang mulai gemetar. Hanya karena sifat kepala batunya yang luar biasa bandel sajalah yang memungkinkan pertandingan tidak dapat segera diselesaikan. Dan si gadis baju hijau semakin penasaran. Perasaan marahnya bercampur kekaguman dan melihat kenekatan Ceng Bi yang luar biasa itu mau tak man rasa kagumnya tak dapat disembunyikan lagi. Sepasang matanya bersinar-sinar, dan wajah yang tadi beringas itu kini agak berobah melunak.

"He, setan kecil, lebih baik kau menyerah saja. Lihat, tanganmu yang memegang pedang sudah menggigil!" gadis itu berteriak memanaskan perut Ceng Bi dan gulungan rantai peraknya kian melebar, bergulung naik turun menciutkan lingkaran sinar pedang di tangan lawan yang memang agak mengendor.

Ceng Bi menggigit bibirnya. "Setan besar, jangan takabur kau! Siapa mengharuskan aku menyerah? Hanya kalau mayatku telah menggeletak mampus saja kau baru dapat merampas senjataku ini!"

Si gadis baju hijau tertawa. "Ha, kau rupanya keras kepala, ya? Hem, baiklah kalau begitu. Mari kita lihat apakah kau masih mampu bertahan dalam sepuluh jurus lagi!" gadis itu, mengejek dan tekanan-tekanan rantai peraknya semakin berat.

Ceng Bi tidak menggubris dan mata gadis ini sudah berapi-api. Ejekan lawan yang memang ada buktinya itu benar-benar telah membuat dadanya serasa meledak. Karena itu dia tidak mau lagi melayani sikap lawannya dan dengan sekuat tenaga dia mencoba untuk mendobrak kurungan lebar rantai perak yang menindih sinar pedang itu. Namun usahanya ini agaknya sia-sia belaka. Jurus Hun-kiam-kik-ing yang telah dilancarkan mati-matian itu ternyata menghadapi tembok baja yang kuat sekali.

Belasan sinar pedangnya yang bertubi-tubi dari udara selalu bertemu dengan gulungan sinar perak yang bergulung-gulung menahan setiap serangannya. Maka Ceng Bi-pun menjadi gemas dan hampir saja dia menangis saking jengkelnya!. Tujuh kali sudah dia mengulang-ulang jurus yang satu itu, namun "bayangan" yang hendak disambar pedang setannya ternyata belum juga berhasil. Dan Ceng Bi terpaksa harus mengakui kenyataan pahit ini dengan dada berombak.

Pek-kong-kiam selalu membentur tembok Baja yang tidak kelihatan itu, dan selama tiga kali berturut-turut dia dipepet untuk beradu senjata. Akibatnya, telapak tangan yang memegang pedang semakin gemetar dan Ceng Bi merasa betapa tangannya mulai berdarah. Itulah akibat mempertahankan pedang secara nekat dan Cang Bi menjadi gelap mata.

Jurus Hun-kim-kik-ing sebenarnya merupakan jurus terakhir dari ilmu pedang Cui-mo Kiam-sut. Karena itu, kalau jurus ini tidak berhasil digunakan menghadapi lawan berarti dia sudah tidak tahu lagi harus menggunakan jurus apa. Maka tidak heran kalau tadi dia mengulang-ulang jurus ini sampai tujuh kali dan tetap saja kedudukannnya semakin terdesak. Hawa pukulan rantai tampak semakin kuat dan napasnya mulai sesak oleh sambaran sinkang lawan lewat rantai peraknya.

Karena itn Ceng Bi menjadi marah sekali dan tiba-tiba dia teringat akan satu jurus berbahaya yang disebut Kan-mo-kiam-tin (Barisan Pedang Pengejar Iblis). Jurus ini sebenarnya merupakan jurus pamungkas, dan digunakan kalau seseorang hendak mengadu jiwa. Dan Ceng Bi yang sudah kalap tidak teringat lagi akan nasihat ayahnya untuk tidak mengeluarkan jurus tersebut apa bila keadaan benar-benar tidak perlu sekali.

Maka begitu kemarahannya meledak akibat ejekan lawan diapun sudah tisak menghiraukan keadaan sekitar lagi. Kan-no-kiam-tin baru dilatihnya dua bulan, namun hal itu baginya tidak dijadikan soal. Meskipun belum sempurna benar, tapi agaknya dapat dibuat semacam "kejutan" bagi lawannya. Inilah yang penting!

Maka Ceng Bi lalu berteriak tinggi dan pedang ditangannya pecah menjadi delapan bagian. Masing-masing menduduki delapan penjuru dan begitu dia mengerahkan sinkangnya, segara sinar yang tadi bergulung-gulung membungkus dirinya berhasil diterobos keluar!

Si gadis baju hijau mengeluarkan pekik kaget, dan kalau tadi dia yang mangelilingi lawan adalah sekararg dia balik dikelilingi lawan! Tentu saja gadis ini terkejut, dan pada saat itu sinar Pek-kong-kiam yang menyilaukan menusuk bertubi-tubi sebanyak delapan kali ke delapan titik berbahaya di tubuhnya. Gadis ini melengking marah, dan dia seakan dikejar oleh tusukan pedang yang tiada hentinya itu. Maka gadis inipan lalu mengerahkan ginkangnya dan dengan ilmu meringankankan tubuh yang. disebut Coan-goat hui (Terbang Menerjang Bulan) si gadis baju hijau memutar rantai peraknya seperti hujan di musim dingin.

Ceng Bi sudah nekat, dan gadis baju itupun sudah marah. Kedua-duanya sama-sama mencurahkan seluruh kepandaian terakhir dan sikap Ceng Bi yang kini menyerang mati-matian tanpa menghiraukan diri sendiri itu memang agaknya mau adu jiwa benar-benar. Si gadis baju hijau terkeiut, dan mukanya merah gelap. Bukan maksudnya untuk saling membunuh dalam pertempuran ini, tapi lawannya itu agaknya sudah tidak perduli lagi akan keselamatan diri sendiri. Ceng Bi menyerang dengan gencar, dan pedang yang pecah menjadi delapan bagian itu seolah-olah dipegang oleh delapan tangan yang sama cepat dan cekatan. Delapan sinar pedang itu seakan-akan delapan barisan yang sejajar dan menyerangnya ganti berganti.

Tentu saja gadis ini naik darah. Dia tidak mau mati konyol, maka diapun lalu memekik nyaring dan mengeluarkan jurus simpanannya yang disebut Mengelilingi Bulan Menunggang Naga. Rantai peraknya berputaran, dan karena Ceng Bi memang sudah nekat maka bentrokan langsung di antara kedua senjata tidak ditolak lagi oleh puteri Beng-san-paicu ini. Mau bentrok boleh bentrok dan mau sambar boleh sambar!

Itulah ketetapan tekad gadis berkepala batu ini dan seluruh konsentrasinya dicurahkan pada serangan dan serangan belaka. Ceng Bi sudah tidak menghiraukan prrtahanan diri sendiri, yang penting bagi dia hanyalah menyerang dan mengalahkan lawan. Maka tidak heran ketika si gadis baju hijau mulai melakukan gerak Mengelilingi Bulan Menunggang Naga kedua senjatapun saling beradu berkali-kali.

"Crang-crang-criingng...!" rantai dan pedang memuncratkan bunga api untuk kesekian kalinya dan si gadis baju hijau terkejut. Dia mendapatkan kenyataan betapa tenaga lawan tiba-tiba menjadi kuat bukan main dan mampu menggetarkan lengannya! Tentu saja gadis ini terperanjat dan dia tidak tahu bagaimana tiba-tiba ada keajaiban semacam ini. Dia tidak mengerti betapa Ceng Bi yang sudah gelap mata dan tidak mempedulikan segalanya itu telah mendapat tambahan tenaga baru akibat emposan semangat yang berlebih-lebihan. Karena itu tidak aneh jika gadis ini mampu menandingi tenaganya. Dan hal ini membuat marahnya si gadis baju hijau.

Pek-kong-kiam seakan-akan dikendalikan oleh iblis saja, kemana dia menuju, kesitu pula dia menyerang. Tidak ada tipu-tipu kembangan lagi, tidak ada gerak-gerak mengecoh lagi. Maka ganas dan berbahayanya sungguh bukan kepalang. Karena itu gadis baju hijau ini mengarahkan perhatiannya untuk menangkap pedang yang menyambar-nyambar kesetanan itu. Adu tenaga agaknya percuma karena Pek-kong-kiam dicekal erat oleh pemiliknya yang seakan-akan sudah senyawa. Maka satu-satunya jalan agaknya hanya mencoba membelit dan merampas pedang dengan gerakan tiba-tiba. Dan jurus yang paling tepat untuk melakukan tipu ini hanyalah Mengelilingi Bulan Menunggang Naga. Itulah!

Maka gadis baju hijau ini sudah mempersiapkan segalanya dan begitu untuk yang kesekian kalinya pedang dan rantai perak kembali saling benterok, gadis ini mendadak mengeluarkan pekik aneh dan sekonyong-konyong rantai berputar empat kali di tubuh Pek-kong-kiam. Cepat kejadian ini dan cepat pula akibat yang ditimbulkan. Pedang di tangan Ceng Bi tahu-tahu telah terlibat seperti dibelit ular putih dan begitu pedang tergubat, Ceng Bi tidak dapat lagi menarik Pek-kong-kiam.

"Rrrrtt…!"

"Aih…..!" Ceng Bi berseru kaget, pedang di tangannya tiba-tiba saja menegang bersama rantai. Tentu saja gadis ini terkejut, sementara gadis baju hijau mengeluarkan bentakan nyaring.

"Lepaskan pedangmu...!" gadis itu membentak dan betotan yang kuat hampir saja membuat Ceng Bi terjerembab. Namun mana puteri Pendekar Kepala Batu ini mau menyerah mentah-mentah? Melihat lawan menggubat pedangnya Ceng Bi malah menjadi semakin naik pitam.

"Siluman Betina, siapa sudi melepas pedang? Hanya kalau nyawaku melayang saja kau akan berhasil!" ia membentak sengit dan tarik menarikpun segera terjadi.

Si gadis baju hijau mendengus gemas, akan tetapi kali ini dia sama sekali tiddak mau menanggapi makian lawan. Dia menambah tenaganya dan tiba-tiba uap utih muncul di sekitar lengannya. Itulah penyaluran hawa sinkang dan Ceng Bi menggigit bibir sekuatnya. Tenaga lawan tampak kuat bukan main. hawa panas tiba-tiba menyengat telapak tangan.

Tentu saja Ceng Bi semakin terkejut dan gadis ini menjadi pucat. Dia balas mengerahkan sinkang dan mendorong balik kekuatan lawan. Tetapi, karena harus diakui bahwa dalam adu sinkang begini dia masih kalah setingkat, maka belum sampai semenit saja lengan Ceng Bi sudah gemetar. Pek-liong-kiam mulai menggigil, namun semangat dan tekad yang berapi-api dari puteri Ciok-thouw Taihiap ini benar-benar mengejutkan sekali. Pedang jelas sudah sudah terseret satu inchi, tetapi Ceng Bi tetap bertahan dan tidak mau melepaskan pedangnya. Benar-benar luar biasa!

Si gadis baju hijau tampak terbelalak, tapi dia tidak mau mengurangi tenaganya. Bahkan melihat kenekatan orang gadis ini mau tak mau mendesis kagum, "Setan cilik berkepala batu, kenapa kau hendak ngotot mempertahankan senjata. Lepaskan pedangmu dan kau tak akan terpukul hawa sinkang. Cepat, sebelum kedudukanmu terlambat!"

Tapi mana Ceng Bi mau mendengar bujukan itu? dia malah mendeliki lawannya dan dengan wajah berapi-api gadis ini membentak marah. "Setan besar mulut sombong, untuk apa kau membuang suara? Simpan saja ocehanmu itu untuk hari esok dan tentang mati hidupku, kenapa kau peduli?" Demikian Ceng Bi berteriak gusar namun capat dia menutup mulut.

Sedikit bicara tadi telah membuat sinkangnya berkurang dan kini terasa betapa gencetan hawa sinkang lawan menindih batang pedang membuat telapak tangannya semakin gemetar. Karena itu Ceng Bi lalu memejamkan matanya dan dengan tekad bahwa pedang adalah nyawanya dia mati-matian mempertahankan diri.

Si gadis baju hijau menarik nafas panjang dan diam-diam perasaan gemasnya menjadi rasa penasaran. Lawannya itu jelas sudah semakin terseret maju, tetapi tetap saja tidak menyerah kalah. Benar-benar gadis amat keras kepala! Demikian ia membatin dan begitu Ceng Bi sekarang memejamkan mata dalam pemusatan konsentrasinya dia tiba-tiba menggerakkan tangan kirinya menotok jalan darah Thian-hu-hiat untuk melumpuhkan lawan.

"Plak…!" jari tangannya tepat mengenai pundak Ceng Bi namun gadis baju hijau ini malah mengeluarkan seruan tertahan. Apa yang terjadi? Kiranya Ceng Bi telah melindungi diri dengan ilmunya yang disebut Pi-ki-hu-hiat (Tutup hawa lindungi jalan darah). Maka begitu totokannya mengenai jalan darah ini, kontan ujung jarinya terpental seperti bertemu dengan karet kenyal! Tentu saja di gadis baju hijau ini terbelalak kagum dan sementara dia terkejut heran menyaksikan kemahiran lawannya dalam mempergunakan Pi-ki-hu-hiat tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat.

"Hong-moi, lepaskan dia…..!"

Teriakan nyaring ini datang dari mulut bayangan itu dan si gadis baju hijau yang dipanggil namanya tampak terkejut. Namun belum sempat dia memandang muka pendatang baru ini tiba-tiba sinar hitam yang agak lebar disusul sebuah sinar putih yang kecil panjang berkelebat di tengah-tengah pedang dan rantai yang sedang mati-matian saling betot.

"Plak! Cringg…!" tidak begitu keras suara benturan ini tapi dua orang gadis yang sama-sama bersitegang itu tampak terkejut. Si gadis baju hijau mengeluarkan pekik kaget sedangkan Ceng Bi berteriak kecil sambil membuka matanya. Pek-kong-kiam dan rantai perak terpisah dan akibatnya masing-masing pemilik senjata terjengkang ke belakang.

"Ihh....!" Ceng Bi dan lawannya berseru hampir berbareng dan kedua-duanya cepat mengendalikan tubuh. Si gadis baju hijau berjungkir balik meneruskan gaya dorong yang membuatnya terjengkang sementara Ceng Bi sendiri juga melakukan salto untuk mematahkan pentalan tenaga yang terjadi amat tiba-tiba itu. Kedua-duanya sama merasa kaget., dan ketika Ceng Bi sudah berdiri kembali seperti biasa tampaklah disitu berdiri seorang pemuda baju putih yang memegang kipas hitam dan jarum perak yang panjangnya sekitar lima inchi.

"Gin-ciam Siucai…..!" si gadis baju hijau berteriak girang dan pemuda baju putih itu tersenyum.

"Hong-moi, maafkan aku. Terpaksa memisahkan kalian dengan cara begini....!" pemuda itu membungkukkan tubuhnya sedikit lalu memutar tubuh menghadapi Ceng Bi. "Nona, harap kau maafkan aku pula yang barangkali telah ikut mengejutkan dirimu. Tapi ketahuilah nona, aku sama sekali tidak bermaksud buruk. Pertandingan diantara kalian tidak ada gunanya dan kalau tidak salah lihat, bukankah nona adalah puteri Ciok Thouw Taihiap locianpwe?"

Pemuda itu menjura di depan Ceng Bi dan Ceng Bi terkejut. Dia masih belum dapat melenyapkan kemarahannya akibat pertandingan tadi, namun melihat si pemuda baju putih bersikap sopan dan hormat kepadanya mau tak mau gadis ini menahan diri. Akan tetapi, karena pemuda itu tampaknya jelas merupakan kawan si wanita baju hijau dia tidak mau menunjukkan sikap bersahabat. Bahkan, mendengar orang mengetahui siapa dirinya membuat Ceng Bi menatap penuh curiga dan mukanya masih kaku.

"Kau....siapakah?" Ceng Bi malah balas bertanya lalu menudingkan telunjuknya dengan mata berapi-api. "Apakah masih kerabat siluman betina itu?"

Tudingan ini menunjuk ke arah si gadis baju hijou dengan sikap kasar dan pemuda baju putih itu tersenyum kecut. "Nona, pertama-tama kuharap kau dapat mengendalikan kemarahanmu ini terhadap kami berdua. Kita bukanlah musuh-musuh besar, melainkan sahabat-sahabat sealiran. Tidak tahu, apakah saudara Lek Hui pernah menceritakan tentang diri kami kepadamu? ketahuilah nona, aku adalah orang she Hok bernama Sun. Orang-orang kang-ouw menjuluki Gin-kiam Siucai. Sedangkan dia itu bukan lain adalah nona Pek Hong, murid tunggal locianpwe Ta Bhok Hwesio yang sakti dari Tibet. Apakah nona pernah mendengar nama beliau?"

Pemuda itu berhenti sejenak dan Ceng Bi terkejut. Diperkenalkannya nama Gian-ciam Siucai sama sekali tidak mengejutkan hatinya karena dia memang tidak tahu, tapi nama Ta Bhok Hwetio yang sakti dari Tibet siapa tidak kenal? Maka tidak heran kalau Ceng Bi merasa kaget mendengar keterangan itu dan sungguh sama sekali tidak diduganya bahwa si gadis baju hijau yang telah bertanding mati-matian dengannya itu ternyata adalah murid si hwesio sakti. Pantas demikian lihai!

Dan kalau Ceng Bi terkejut mendengar lawannya adalah murid si hwesio Tibet, adalah si gadis berbaju hijau sendiri juga merasa kaget mendengar lawannya adalah puteri Pendekar Kepala Batu. Pantas sikapnya demikian nekat dan keras kepala, persis seperti watak ayahnya yang konon juga amat keras kepala dan kepala batu. Dua orang gadis itu sama-sama terkejut dan seperti tidak disadari saja keduanya lalu saling pandang dan begitu bentrok segera muka keduanya menjadi sama-sama merah. Ceng Bi merasa malu dan likat, sedangkan lawan juga merasa malu dan canggung.

Si pemuda baju putih tertawa menyaksikan sikap keduanya, dan dia lalu melanjutkan kata-katanya lagi, "Nah, nona Souw, bukankah kita adalah sahabat-sahabat sendiri? Maka harap nona menyimpan kembali kemarahanmu itu dan aku percaya bahwa bentrokan yang terjadi di antara kalian berdua ini pasti akibat ulah orang lain. Tidak tahu, apakah nona dapat memberi keterangan kepadaku?"

Ceng Bi yang menjadi malu tidak mau membuka mulut. Omongan pemuda baju putih ini yang tepat dugaannya memang tidak dapat disangkal. Karena, bukankah disebabkan seseorang maka dia dan gadis baju hijau menjadi bentrok? Gara-gara Ji-cit-ouw Kam Sin-lah semuanya itu terjadi, dan kini si biang keladi sedang enak-enak nongkrong dalam persembuyiannya di atas pohon! Ceng Bi menjadi panas mukannya dan si pemuda baju putih yang tidak dijawab kini mengalihkan perhatiannya ke arah si gadis berbaju hijau.

"Hong-moi, dapatkah kau memberi penjeasan kepadaku?" pemuda itu bertanya dengan sikap halus dan si gadis baju hijau menyimpan rantainya dengan muka merah.

"Sun-twako, dugaanmu memang tidak keliru. Aku sedang mencari seseorang, ketika bertemu dengan... dengan adik ini….!" gadis itu menjawab kikuk karena harus merobah panggilannya dari si "setan kecil" menjadi si "adik ini" dalam suasana yang agak canggung.

Tapi si pemuda baju putih tidak menghiraukan kecanggungan murid perempuan Ta Bhok Hwesia itu karena begitu mendengar dugaannya tidak salah dia sudah menjadi tertarik. "Hem, kalau begitu siapakah, Hong moi?" dia bertanya melanjutkan dan jantung Ceng Bi berdebar.

"Bukan lain Jing-ci-touw Kam Sin, Sun-twako!"

"Ah, Si Copet Seribu Jari?" pemuda itu terbelalak.

"Benar."

Jawaban ini mengejutkan si Pelajar Berjarum Perak dan pemuda itu mengeluarkan seruan heran. Tapi hanya sekejap dia membelalakkan matanya karena tiba-tiba dia bertanya kepada Ceng Bi, "Nona Souw, apakah gara-gara orang ini kau lalu bertempur dengan adik Hong?"

Ceng Bi sedikit terkejut oleh pertanyaan tiba-tiba ini namun ia sudah cepat dapat menetapkan hati. Karena itu, ketika orang memandang ia lalu menganggukkan kepalanya dengan sikap sedikit tak acuh. "Tidak salah," jawabnya singkat dan si pemuda baju putih itu kembali mengeluarkan seruan heran.

"Ah, kalau begitu, apakah nona juga melihat kemana larinya orang itu?"

Untuk pertanyaan ini Ceng Bi menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu," jawabaya hambar. "Hanya tadi kulihat ada sebuah bayangan yang lari ke arah utara menyeberangi padang rumput ini menuju ke tepian sana," ia menuding seperti orang bicara sungguh-sungguh dan pemuda baju putih itu tampak berubah air mukanya.

"Aih, kenapa aku tidak melihatnya?" pemuda itu berseru aneh. "Dan berapa lama kira-kira nona melihatnya?"

Ceng Bi mengernyitkan alis. "Kurang lebih satu jam yang lalu," ia menjawab asal jadi dan pemuda itu tiba-tiba memandang si gadis baju hijau.

"Hong-moi, kau tadi datang dari arah manakah?"

Si gadis baju hijau memandang heran. "Dari selatan. Kenapakah, twako?" ia menjawab pendek namun pemuda baju putih itu kembali telah melanjutkan pertanyaannya tanpa menggubris dirinya.

"Dan kau tidak bersua dengan orang lain atau sesuatu rombongan misalnya?"

"Eh, sama sekali tidak! Dan rombongan siapakah yang kau maksudkan itu, Sun-twako?" si gadis baju hijau tampak semakin heran dan dia memandang terbelalak.

"Rombongan Wen-taijin."

"Wen-taijin (Pembesar Wen) gadis baju hijau mengeluarkan seruan kaget dan pemuda baju putih itu menganggukkan kepalanya.

"Benar, rombongan Wen-taijin. Dia datang dari arah Selatan, maka sungguh aneh kalau kau tidak berjurnpa dengan rombongan ini, Hong-moi!" pemuda itu menjawab pertanyaan orang dan tiba-tiba mukanya menjadi gelisah.

"Ahh....!" si gadis baju hijau membelalakkan matanya dan Ceng Bi melihat perasaan kaget membayang pada sinar mata gadis itu.

Namun sebelum semua orang ada yang bicara tibia-tiba pemuda baju putih itu sudah memutar tubuhnya menghadap Ceng Bi dengan sikap terburu-buru. "Nona Souw, maafkan kami kalau begitu. Karena harus menemui rombongan Wen-taijn serta mecari Si Copet Seribu Jari, waktu kami menjadi sempit sekali. Kami tidak dapat menemuimu lama-lama lagi dan biarlah kelak kita bicara lagi dalam suasana yang lebih menyenangkan. Adik Hong, mari kita pergi…!" pemuda itu menjura di depan Ceng Bi dan sebelum Ceng Bi sendiri membuka mulut tiba-tiba Gin ciam siucai (Pelajar Berjarum Perak) Hok Sun ini sudah melompat jauh sambil menyambar lengan si gadis baju hijau!

"Hei…!" Ceng Bi tertegun, namun bayangan dua orang itu sudah mencapai belasan tombak. Tentu saja dia terkejut, tapi si gadis baju hijau sempat menoleh sambil tersenyum sebelum bayangan keduanya lenyap ditelan padang tumput ilalang yang setinggi manusia.

Ceng Bi terbelalak, dan dia melenggong di tempatnya seperti orang bengong. Kepergian yang amat mendadak dari pemuda baju putih itu sebenarnya meninggalkan bermacam perasaan di dalam hatinya. Ada rasa tidak enak, namun juga ada rasa ingin tahu. Dia merasa tidak enak karena telah membohongi dua orang itu tentang Si Copet Seribu Jari. Padahal, orang yang dicari-cari sesuagguhnya sedang bersembunyi di dekat mereka.

Apalagi mengingat bahwa dua orang itu ternyata sahabat-sahabat kakak seperguruannya sendiri seperti apa yang telah mereka akui. Bagaimana dia mempermainkan dua orang itu? Sedangkan rasa ingin tahunya adalah disebabkan kabar tentang Wen-taijin itu. Hem, siapakah pembesar Wen yang dimaksudkan ini? Kenapa dia tidak tahu apa-apa tentang keadaan dunia sekitar? Ceng Bi menjadi malu hati karena dia merasa betapa dia masih bodoh sekali, kurang pengalaman dan tidak banyak pengetahuan...


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.