PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 06
KARYA BATARA
JILID 06
KARYA BATARA
A-CHENG memutar otaknya cepat dan mata pelayan cerdik ini berputar sekejap. Mendengar bahwa bayi itu keturunan Yap-goanswe, alasan apalagi yang harus diberikan kalau bukan alasan sebelas bulan yang lalu? Hanya dari alasan arak sorgalah maka majikannya itu berhasil menjebak Yap-goanswe. Inipun kalau benar majikannya tidak omong kosong. Karena itu A-cheng lalu menjawab.
"Siocia, alasan demikian mudah mengapa mesti ditanyakan lagi? Bukankah Socia sendiri yang pada waktu itu menyuruh hamba untuk menyiapkan makanan dan minuman bagi Yap-goanswe di kamar siocia? Nah tentu dari situlah anak ini lahir. Alasan apa lagi?"
Tok-sim Sian-li terkekeh. "Bagus, rupanya otakmu encer juga. A-cheng, akan tetapi bukankah kata-katamu ini hanya untuk melenyapkan kemarahanku dari dosa yang kau perbuat pelayanku yang minis?"
Wanita itu tertawa dingin dan A-cheng terkesiap kaget. "Eh, ini… oh, tidak siocia… tidak begitu... sungguh mati hamba tidak bermaksud begitu! Kalau siocia tidak percaya, hamba masih mempunyai alasan nomor dua yang tentu tidak dapat siocia bantah kebenarannya!"
Tok-sim Sian-li menghentikan tawanya dan wanita ini tampak terkejut. Sedetik bola matanya berputar beran, namun akhirnya dia mendengus dingin. "Hem, kau hendak main-main apalagi, pelayan pengkhianat?"
A-cheng membenturkan jidatnya dengan muka pucat. "Siocia, hamba sungguh tidak main-main. Dan lagi mana berani hamba main-main terhadap Siocia? Tidak, siocia, sungguh mati demi segala iblis di dasar neraka hamba tidak sedang mempermainkan siocia. Kalau siocia tidak percaya, biarlah sekarang juga siocia membunuh hamba!"
Tok-sim Sian-li tertawa aneh. "Hi-hik, memangnya aku dapat mempercayaimu, A-cheng? Semenjak perbuatannau meloloskan sepasang kuda liar itu aku memang sudah tidak gampang lagi percaya kepadamu. Akan tetapi, sebelum kau mampus menerima hukuman, coba biar kudengarkan dulu apa alasanmu yang nomor dua itu. Kalau benar tidak dapat kubantah, berarti masih panjang dan untuk itu bersyukurlah terhadap dewa kematian. Nah, sekarang bicaralah!"
Tok-sim Sian-li memandang pelayannya itu dengan sinar mata dingin, semencara A-cheng mengangkat mukanya dengan mata terbelalak. Tapi rupanya pelayan ini memang bersungguh-sungguh, karena kalau tadi dia tampak ketakutan adalah seakarang wajaknya tiba-tiba berseri girang. Janji majikannya ini rupanya telah menenangkan perasaanya dan karena itu diapun lalu melompal bangun.
"Siocia," A-cheng berkata sambil menudingkan telunjuknya kepada bayi yang digendong, "Alasan nomor dua yang hendak hamba kemukakan di sini adalah berdasarkan kenyataan pada anak siocia itu. Lihat, bentuk tubuhnya yang sehat montok itu dan juga wajahnya yang tampan kemerahan, bukankah sudah cukup untuk dijadikan alasan lain bahwa bayi ini memang bukan anak sembarangan? Dia memiliki cahaya aneh pada roman mukanya, seperti Yap-goanswe, penuh perbawa dan kekuatan terpendam yang tidak dimiliki oleh bayi-bayi biasa. Dan lagi, tangisnya yang nyaring dan mengejutkan tadi, bukankah menunjukkan tanda-tanda yang luar biasa pada bayi siocia ini? Kelak, apabila dia sudah besar hamba yakin bahwa putera siocia itu bakal merupakan duplikat ayahnya yang gagah perkasa seperti kenyataannya! Nah, apakah kata-kata hamba ini mengandung kebohongan?"
A-cheng berhenti bicara dan Tok-sim membelalakkan matanya tertegun. Memang apa yang dikatakan pelayan itu tidak salah. Bayi yang digendongaya ini pemang menunjukkan tanda-taada seperti itu, sehat dan kuat. Bahkan kesehatan dan kekuatan yang agak luar biasa. Teringat oleh wanita ini betapa seminggu yang lalu, ketika dia mandi dan meletakkan bayinya itu di atas sebuah batu besar, tiba-tiba tanpa disangka anaknya yang tadi tidur itu mendadak bangun. Bayi yang baru berumur setengah bulan ini tahu-tahu sudah bisa tengkurap, satu hal yang amat ajaib sekali! Dan karena tengkurap-menelentang beberapa kali, tiba-tiba saja anaknya itu telah berada di pinggiran batu besar tanpa dia ketahui sampai akhirnya, sebuah tangis melengking nyaring membuatnya terkejut karena anaknya itu sudah terjatuh dari atas batu hitam!
Tentu saja ibu muda ini terkejut. Tanpa menghiraukan tubuhnya yang masih telanjang bulat, Tok-Sim Sian-li melompat dari dalam air untuk menolong anaknya yang terbanting. Hatinya sudah cemas, karena mengira anaknya laki-laki itu tentu bakal celaka, setidak-tidaknya mengalami gegar otak yang mengkhawatirkan. Namun sungguh mengherankan. Bayi yang memang terbentur dengan keras kepalanya ini ternyata tidak apa-apa. Hanya sedikit kulit kepalanya berdarah, disertai beberapa benjolan di sana-sini dan ketika dia hendak memberi obat pada luka kecil di kepala itu, mendadak saja darah berhenti meagalir dan kulit yang lecet sedikit itu tahu-tahu menutup secara ajaib!
Tentu saja Tok-sim Sian-li terbelalak beran dan diam-diam dia terkejut bukan main. Akan tetapi, teringat bahwa ayah bocah ini memang juga merupakan orang luar biasa yang tiada tandingannya, dia bahkan merasa girang dan kagum bukan kepalang. Tok-sim Sian-li terkekeh gembira dan sambil menciumi bayinya yang masih menangis itu wanita muda ini tertawa-tawa seperti orang gila. Diayun-ayunnya anak laki-laki itu, dilontar-lontarkannya ke udara seperti orang bermain bola dan akhirnya disusuinya bayi laki-lakinya ini yang segera menghentikan tangisnya ketika tersumbat oleh ujung buah dada ibunya yang kenyal segar!
Itulah kisah seminggu yang lalu dan kini, tanpa diatur oleh siapapun tiba-tiba saja A-cheng mengemukakan pendapatnya tentang bayi laki-lakinya ini yang memang tidak dapat disangkal menunjukkan tanda-tanda seperti itu. Bagaimana Sian-li tidak bakal tercengang? Sejenak wanita ini tertegun dengan mata terbeldak dan diam-diam dia harus mengakui kebenaran ucapan pelayannya itu. Memang tidak dapat dipungkiri, kata-kara A-cheng mengandung kenyataan dan tiba-tiba Tok-sim Sian-li terkekeh gembira. Biar bagaimanapun juga, ucapan pelayannya tadi sama dengan pujian untuk dirinya yang telah berhasil mendapatkan seorang anak laki-laki yang hebat.
Dan itu semua berkat jerih payahnya yang mati-matian dalam memperebutkan cinta kasih dari pemuda idamannya, Yap-goanswe yang gagah perkasa yang kini lebih dikenal dengan nama Pendekar Guru Neraka itu! Siapa tidak bakal bangga? Meskipun tidak seluruh cinta kasih pemuda itu diperolehnya, namun dia telah mendapatkan benih dari laki-laki yang dicintai akan tetapi yang sekaligus juga dibencinya itu!
Tok-sim Sian-li tertawa melengking, mula-mula penuh kegembiraan dan kepuasan yang tidak dapat ditahan, namun akhimya suara tertawa itu tiba-tiba berobah sendu dan serak seperti tangis yang tersendat-sendat. A-cheng yang mendengar ikut terpengaruh dan pelayan baju kuning ini menjadi gemetar. Dia tidak tahu, perasaan apa yang melanda murid datuk iblis itu. Kalau melihat mimik mukanya yang pertama, agaknya dia lolos dari lubang maut di tangan wanita ganas ini, Tetapi, mendengar suara tawa yang terakhir itu dan sorot matanya yang mendadak menjadi buas.
A-cheng mau tak mau menciut nyalinya. Diam-diam pelayan ini bersiap-siap. Meskipun di mulut dia rela binasa di tangan majikannya, namun sesungguhnya gagang pedang yang ada di tangannya digenggam erat-erat. Terus terang dia tidak mau mati konyol di bawah tangan murid Cheng-gan Sian-jin ini dan meskipun dia sadar bahwa kepandaiannya kalah jauh, namun A-cheng telah bertekad untuk mempertahankan diri sampai titik darah terakhir. Karena itu, senjata yang sudah di tangan ini semakin erat dipegangnya dan tiba-tiba gadis itu terkejut.
Ujung pedang mendadak bergetar aneh. A-cheng terbelatak dan pada saat itu tiba-tiba bayi di gendongan Tok- sim Sian-li menjerit nyaring. Teriakan anak laki-laki ini begitu tiba-tiba sehingga Tok-sim Sian-li tampak terkejut dan otomatis menghentikan tawanya. Dua orang wanita ini, majikan dan pelayan, sama-sama memandang bayi itu dan apa yang mereka lihat? Sesuatu yang mengejutkan telah terjadi. Anak laki-laki itu meronta, demikian kuat rontaannya sampai-sampsi Tok-Sim Sian-li sendiri yang masih dilanda kagetnya tidak mampu menahan.
Bayi itu langsung terjatuh, membuat ibunya terpekik pucat dan belum sempat Tok-sim Sian-li membungkuk untuk mengangkat anaknya, sekonyong-konyong sebuah sinar ungu kehitaman berkelebat di atas kepala bayi. Satu suara aneh memecah keheningan yang menukau itu dan Tok-sim Sian-li serta A-cheng melihat munculnya sesosok tubuh kanak-kanak berperut buncit yang terkekeh dengan matanya yang sebesar jengkol itu. Kiranya si "hantu" cebol bermuka biru!
Tentu saja dua orang wanita ini terkejut bukan main. A-cheng menjerit dengaan muka pucat, sementara Tok-sim Sian-li berseru tertahan dengan mata terbelalak lebar. Sejenak mereka berdua melupakan anak laki-laki yang terjatuh, dan tidak melihat betapa dari kepala bayi memancar sebuah sinar ungu kehitaman persis seperti yang dipunyai oleh "hantu" cebol itu. Kehadiran yang amat mendadak dari kanak-kanak berperut buncit ini telah mencekam perasaan dua orang yang berdiri di situ, namun Tok-sim Sian-li yang lebih lihai telah berhasil menguasai kekagetannya dalam beberapa detik.
"Kau siapakah, siluman kecil?" Tok-sim Sian-li membentak.
Mahluk aneh itu memutar tubuh, dia tersenyum sebelum menjawab dan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan wanita berambut riap-riapan itu. "Ibu, aku adadah anakmu sendiri. Masa tidak dikenal?"
Jawaban ini membuat Tok-sim Sian-li tersentak kaget dan ketika dia hendak mendamprat gusar, tiba-tiba saja dia terpaksa menahan seruannya. Tok-sim Sian-li berdiri terbelalak, dan mata yang jernih indah itu sekarang menatap lebar di tanah. Kiranya, bayi yang baru saja jatuh di depan kakinya ini sekarang lenyap dan sebagai gantinya adalah anak kecil yang berlutut depannya. Tentu saja wanita ini terkejut bukan main dan ketika dia hendak melompat menerkam anak "iblis" itu tiba-tiba saja mahluk ini berteriak,
"Ibu, jangan pukul aku! Aku tidak berdusta! Aku betul-betul anakmu, lihatlah.....!"
Bocah perut buncit itu mengusep mukanya satu kali dan sungguh luar biasa. Di depan Tok-sim Sian-ii tiba-tiba telah berdiri seorang anak laki-laki kecil yang rupanya mirip dengan bayinya! Tentu saja wanita ini terkesima dan "bayi besar" itu tertatih-tatih menghampiri Tok-sin Sian-li. Kemudian, setelah dekat, anak itu lalu memeluk kaki wanita ini dan berkata,
"Ibu, kenapa hendak memukul aku? bukankah aku tidak bersalah kepadamu? Jangan teruskan niatmu itu, bu, karena kau bakal celaka sendiri. Percayalah...!" dan anak itu lalu mendekap kaki ibunya kuat kuat.
Tok-sim Sian-li tertegun dan A-cheng sendiri terpukau. Hantu cebol itu ternyata sekarang berobah merijadi seorang anak laki-laki tampan dan melihat pemandangan yang terjadi itu, dia merasa seolah-olah sedang dilanda mimpi aneh. Karena itu, A-cheng yang terbuka mulutnya tanpa suara ini benar-benar terkesima bengong. Dia tidak tahu, apa yang sesunggulanya yang terjadi dan bagaimana pula, hal itu sampai bisa terjadi. Hanya samar-samar, dia lalu teringat akan adanya sebuah dongeng tentang tumimbal lahir (reinkarnasi) dari roh-roh di alam lain yang turun ke bumi mencari badan wadagnya yang baru. Inikah kenyataan dari dongeng yang pernah didengamya itu? A cheng tidak tahu.
Dan bocah yang merangkul kaki Tok-sim Sian-li itu tiba-tiba membalikkan tubuh. "Enci, kenapa kau selama ini tidak mau memberikan pedang kepadaku? Apakah minta digebug ibu?"
A-cheng terkejut dan gadis ini sadar dari bengongnya. Sedetik dia gelagapan, namun akhirnya dapat menguasai diri meskipun diam-diam jantungnya masih berdegup kencang. "Apa... apa maksud kongcu (tuan muda)?" tanyanya tida enak. "Kalau kongcu meminta pedang? Sedangkan siocia sendiri baru mendengarnya sekarang ini..."
Anak kecil itu tiba-tiba melotot dan A-cheng melihat betapa wajah yang tadi tampan itu mendadak berobah lagi seperti si hantu gundul, buruk dan menyeringai kejam! "Hemm, kau hendak dirobek beberapa potong oleh ibu dengan omonganmu yang bohong ini enci? Apakah kau masih hendak bersikeras menahan pendirian setelah ibu berada di sini? Itukah yang kau kehendaki? Kalau begitu, biar kulaporkan semua perbuatanmu semenjak di hutan pertama kali dahulu!" bocah itu berkata dan A-cheng menjadi pucat.
"Eh... ohh tidak, jangan kongcu... jangan menyiksa hamba lagi! Dahulu, mana hamba tahu kalau engkau adalah putera siocia? Kalau dari dulu kongcu mengaku, tentu hamba tidak berani menolak. Sekarang, jika kongcu menghendaki, biarlah pedang ini kuberikan kepada kongcu sebagai alat penjaga diri....!" dan A-cheng pun dengan tergesa-gesa menyodorkan pedang di tangan kepada mahluk ganjil itu.
Anak ini terkekeh. "Heh-heh, ibu, palayanmu yang manis ini tampaknya ketakutan melihat kehadiranmu. Tadi dia tidak takut kepadaku, ini kelak harus diberi hajaran. Ibu, kalau aku sudah besar, bolehkah dia nanti diberikan kepadaku? Aku ingin mencicipi tubuhnya, lalu menggurat-gurat dengan pedang ini. Kemudian kalau dia masih berani juga, maka darah di urat lehernya yang jenjang itu harus disedot perlahan-lahan. tentu nikmat kalau begitu.....!"
Anak setan itu tertawa mengerikan dan A-cheng melihat betapa Tok-sim mengaugguk-angguk seperti orang kena sihir. Tentu saja hal ini membuat gadis itu gemetar ketakutan dan si bocah aneh ini mendadak mengerakkan pedangnya di depan hidung A-cheng dengan tiba-tiba. Gerakan ini cepat, dan A-cheng mencelos kaget. Dia mengira batang hidunguya dibabat, karena itu diapun lalu memekik kaget sambil melompat mundur. Akan tetapi si mahluk aneh ini tetap mengikuti kemanapun A-cheng menghindar, ujung pedang tetap bergetar di depan hidungnya! Karena itu, A-cheng lalu berhenti dengan keringat dingin dan gadis yang dilanda ketakutan yang amat sangat ini akhimya mendeprok lumpuh.
"Ampun, kongcu.... ampun.... hamba mohon ampun...!" A-cheng berseru lemah sementara kesadarannya sendiri tinggal separo. Dia merasa seakan-akan berada ditengah-tengah langit dan bumi, di antara mati dan hidup. Karena itu gadis ini sudah berada di antara keadaan sadar dan pingsan. Satu-satunya pikiran pada saat itu hanyalah menyerahkan nasib pada dewa kematian. Kalau dia memang harus tewas, biarlah dia pasrah tanpa daya. Seperti seekor anjing yang telah dibuntungi keempat kakinya dalam sebuah wajan panas.
Namun bocah itu ternyata tidak bermaksud membunuh ataupun melukai. Dia hanya membentak bengis, "Enci A-cheng, masihkah kau ada minat untuk menentangku kelak, baik ibu ada di sampingku maupun tidak?"
A-cheng menggigil lumpuh. "Tidak, kongcu... tidak... hamba tidak berani...." gadis itu terbata-bata.
"Hemm, benarkah ucapanmu ini? Bagaimana kalau sebaliknya?"
A-cheng bersimpuh gemetar. "Kongcu, bila hamba kelak berkhianat dengan janji ini biarlah kelak pedang itu sendiri yang memenggal leher hamba!"
"Bagus...!" anak laki-laki itu terkekeh, "Ibu kau sendiri telah mendengar janji pelayanmu ini dan apabila kelak dia benar-benar berkhianat, maka jangan kita beri ampun lagi kepadanya. Baiklah, sekarang biar aku kembali dulu!"
Dan baru saja kata-kata "kembali" itu lenyap anak itu tiba-tiba menghilang. Sebuah cahaya ungu kehitaman tampak berkelebat di depan kaki Tok-sim Sian-li dan... tangis bayi yang melengking nyaring terdengar memecahkan keheningan senja yang semakin gelap. Tok-sim Sian-li dan A-cheng tersentak kaget, memandang ke bawah seperti orang bangun tidur dari suatu mimpi buruk dan mereka melihat betapa di atas tanah tergolek merenta-ronta seorang bayi laki-laki dengan sebatang pedang di atas perutnya. Bayi Tok-sim Sian-li.
Tentu saja dua orang wanita ini terkejut, sejenak saling berpandangan dan Tok-sim mengeluarkan seruan tertahan sambil memunggut anak laki-lakinya. Kejadian yang bam saja mereka itu seperti mimpi saja, amat aneh dan luar biasa. Maka Tok-sim Sian-li dan A-cheng tertegun seperti orang bingung. Dan baru saja bayi itu diangkat, sebuah suara parau terdengar mengejutkan mereka,
"Aih, hujin (nyonya), mengapa kalian membiarkan roh Kalapati memasuki tubuh anakmu? Wah, celaka seribu kali. Anak ini kelak membuat onar saja di dunia. Bunuh saja dia, hujin, bunuh saja mumpung belum terlambat!"
Daun beluntas terkuak lebar dan seorang laki-laki asing muncul dengan dialeknya yang agak sengau. Dua orang wanita ini memandang, dan alis Tok-sim Sian-li terangkat naik. Ucapan orang yang terakhir ini membuat wanita iblis ini naik darah. Tapi karena pada saat itu bayinya menangis keras tanda kelaparan, diapun menahan diri sambil membuka bajunya. Tangis segea berhenti terganti dengan suara menggelogok yang amat lahap ketika bayi itu menyentuh putting susu ibunya dan Tok-sim Sian-li mendengus.
"Manusia siluman berhidung bengkung, kau siapakah dan ada hak apa pula menyuruh bunuh anakku ini?"
Tok-sim Sian-li memandang berapi-api sementara yang dipandang tampak menatap penuh kecemasan. "Hujin," demikian laki-laki itu berkata, "aku menyesal kedatanganku ternyata sedikit terlambat. Bintang Waluku di selatan langit telah memberikan tanda akan turunnya roh Kalapati ini kepadaku, dan aku segera mengikutinya dengan tergesa-gesa. Ketahuilah bahwa aku adalah pendeta dari Thian Tiok (India) yang sengaja datang kesini untuk mencegah masuknya roh Kalapati dalam wadag seseorang di bumi ini. Karena itu begitu melihat anakmu kemasukan roh jahat ini, aku segera datang memberitahu agar kau membunuh saja anakmu itu sebelum terlambat!"
Tok-sim Sian-li mengangkat alisnya. "Setan keparat! Jadi kau jauh-jauh datang kemari hanya untuk membunuh anakku ini, pendeta tua bangka jahanam? Kalau begitu, kemarilah! Biar kau rasakan terlebih dahulu nikmatnya dijemput Dewa Kematian. Haikkk..!"
Wanita itu memekik dan tubuhnya tiba-tiba berkelebat ke depan. Tangan kirinya masih menggendong anaknya yang menyusu sementara tangan kanannya bergerak menampar. Angin berkesiur dingin menyambar ke depan dan Pendeta Vijananda berseru kaget.
"Hujin, tahan, aku tidak bermakasud buruk....aihh!" Pendeta ini menghentikan seruannya dan secepat kilat dia membanting tubuh bergulingan.
"Plakk!" Tamparan luput mengenai pendeta India itu dan sebagai gantinya pohon di belakang kena sambarannya. Terdengar suara berkerotok dan tiba-tiba pohon itu roboh!
"Tok-hiat-jiu (Pukulan Darah Beracun)…..!" pendeta itu berteriak kaget ketika melihat cap lima jari berwarna merah di kulit pohon yang roboh dan sedetik matanya berkejap heran. Namun Tok-sim Sian-li yang sudah marah ini tidak memberinya ampun. Begitu tamparan luput segera dia menerjang lagi. Rambutnya kali ini ikut bicara dan bertubi-tubi serangan wanita ganas itu dilancarkan.
Vijananda tampak kewalahan, namun pendeta ini ternyata lihai juga. Meskipun dia diserang gencar, akan tetapi ketenangan sikapnya mengagumkan juga. Setiap serangan dapat dia elakkan, atau kadang-kadang terpaksa dia tangkis juga dengan amat hati-hati, selalu mengarah ke samping menghindari benturan langsung. Karena itu, Tok-sim Sian-li menjadi gemas. Bayi yang sedang digendong tiba-tiba dilemparkan ke arah A-cheng.
"A-cheng, terima dulu anakku ini!" wanita itu berteriak dan A-cheng cepat menyambut. Dan begitu bayi diterima segera wanita ini menerjang dengan lebih ganas lagi kearah Pendeta Vijananda.
Mulailah pertempuran sengit terjadi. Tok-sim Sian-li menyambar-nyambar seperti burung kelaparan sementara lawannya bertahan sambil berseru tiada henti-hentinya untuk menghabisi pertikaian ini. Namun, mana wanita itu sudi mendengar? Semakin keras pendeta itu berteriak semakin keras pula dia melancarkan serangan-serangannya yang makin dahsyat.
Hal ini membuat Vijananda mengeluh. Dua kali sudah hampir saja dia celaka dihantam pukulan Tok-hiat-jiu. Yang pertama menyerempet pundaknya hingga lengan baju pundak terbakar merah sedangkan yang ke dua hampir-hampir mengenai lehernya kalau tidak cepat-cepat dia melempar kepala ke belakang. Karena itu, menyaksikan lawan semakin ganas pendeta ini tiba-tiba mencabut tongkat ulamya dari belakang punggung.
"Hujin, kita tidak saling kenal-mengenal, mengapa kau mati-matian hendak membunuhku?" dia berteriak memperingatkan.
Akan tetari Tok-sim Sian-li bahkan naik darah. "Pendeta kelaparan tua bangka jahanam, siapa bilang kita tidak saling kenal-mengenal? Kau telah mengetahui pukulanku, dan akupun mengetahui namamu. Untuk apa banyak cerewet lagi? Hayo terima ini dan menghadaplah ke Giam-lo-ong (Raja Akherat)....!"
Wanita itu menggerakkan tangan kirinya yang kini berwama merah darah itu ke ulu hati lawan sementara jari tangan kanannya menyelinap menotok jalan darah kematian diatas kalamenjing Vijananda. Dua serangan ini hampir berbareng, dan mana yang lebih berbahaya sukar dibandingkan. Yang jelas, baik terkena di ulu hati ataupun diatas kalamenjing pendeta India itu pasti roboh binasa. Karena itu, tidak beran jika Vijananda berseru tertahan.
"Aih, ganas!" pendeta itu berteriak dan tongkat di tangan kanannya diputar cepat melindungi diri.
"Plak-crettt... ihh!"
Tongkat bertemu tangan kiri dan totokan Tok-sim Sian-li mengenai nadi di samping kalamenjing. Kiranya pendeta itu tadi telah memiringkan kepalanya sedikit dan jari wanita iblis itu menyentuh jalan darah Chi-ha-hiat yang kenyal. Biasanya, apabila jalan darah ini tertotok yang bersangkatan pasti menjerit ngeri seperti dibakar api. Tapi ternyata pendeta ini sama sekali tidak mengeluarkan teriakan, dan urat besar yang tertotok tadi ternyata "mengelincir" lunak secara tiba-tiba. Tentu saja Tok-sim Sian-li berseru tertahan dan tahulah dia bahwa lawannya itu kiranya mahir mempergunakan I-kong-hoan-hiat (Memindahkan Jalan Darah)!
Karena itu, kemarahannya semakin memuncak dan bukti bahwa tongkat lawan sama sekali tidak harcur bertemu dengan telapak tangannya yang penuh tenaga Tok-hiat-jiu membuat wanita ini memekik murka dan sekali tangan kanannya disendal ke belakang, tampaklah cahaya hitam berkelebat ke depan. Sebuah bendera kecil berbentuk segi tiga berkibar angkuh di udara, dan gambar seekor naga dengan matanya yang hijau buas menggetar seram di tangan wanita ini. Namun itu hanva sekejap saja karena begitu dicabut, segera senjata aneh ini menyambar muka Vijananda yang terbelalak kaget.
"Bendera Iblis...!"
Demikian pendeta itu berseru dan tiba-tiba ketenangannya goyah. Bendera yang menyambar dihindarinya dengan lompatan jauh ke belakang dan ketika lawannya memburu maju, pendeta ini berseru, "Hujin, ada bubungan apa kau dengan Cheng-gan Sian-jin?"
Tok sim Sian-li menjawab dingin, "Aku adalah muridnya! Kenapakah?"
"Ah, pantas...." hanya sekian pendeta itu berbicara karena segera dia menghentikan kata-kanya sebab Bendera Iblis dan pukulan Tok-hiat-jiu tiba. Dia tidak berani banyak membuka suara lagi, dan cepat tongkat ularnya diangkat menyambut lengan lawan sementara kibaran bendera hitam dihindari dengan lompatan ke kiri.
"Wuut... plakk!"
Tongkat bertemu lengan dan kali ini Vijananda berseru tertahan. Tangkisan yang kurang kuat akibat terpengaruh hadirnya Bendera Iblis membuat pendeta itu hampir saja celaka. Tongkatnya terpental, sementara tangan kiri Tok-sim Sian-li meluncur terus menghantan dadanva. Vijananda terkejut, dan secepat kilat pendeta itu membanting tubuh. Akan tetapi sayang, tindakannya ini masih saja terlambat dan meskipun dadanya selamat dari pukulan tangan beracun itu namun pundak kanannya yang menjadi korban.
"Dess... aduh!"
Vijananda merjerit keras dan pendeta ini mengeluh panjang. Tongkat dibalikkan dan tiba-tiba tubuhnya berdiri diatas tongkat. Kemudian sebelum lawannya memburu lebih lanjut, tiba-tiba orang ini sudah menekan senjatanya dan melesat di dalam gelap.
"Hujin, kuterima hukumanku ini, akan tetapi ingatlah bahwa kalau anak itu tidak kau bunuh, kelak dialah yang bakal membunuhmu. Selamat tinggal…..!" pendeta itu masih sempat berseru dari kejauhan dan Tok-sim Sian-li menjadi merah mukanya.
"Pendeta keparat, ke mana kau hendak lari?" Wanita ini mendesis marah dan dia hendak mengejar. Namun tiba-tiba bayinya menangis dan A-cheng pun berseru,
"Siocia, jangan kejar orang itu. Anakmu butuh pertolongan, dia digigit ular!"
Seruan ini membuat muka wanita itu berobah dan Tok-sin Sian li tampak terkejut sekali. Dia membatalkan niatnya mengejar dan sambil membanting kaki penuh kegemasan wanita ini melompat mendekati anaknya. Dan memang betul, anak laki-lakinya digigit ular di pergelangan tangan kirinya. Luka kecil yang tak seberapa tampak membintul di atas daging yang masih lunak itu. Namun mata Tok-sim Sian-li yang tajam dapat melihat adanya perobahan warna kehijauan di tempat luka itu dan wanita ini mengumpat.
"Setan, bagaimana anakku sampai dapat dipagut ular berbisa, A-cheng? Apakah kau sengaja membiarkannya agar mampus seperti keinginan keledai dari Thian-tiok itu?"
A-cheng menggigil dengan muka pucat. "Ampun, siocia, hamba sama sekali tidak tahu tentang kejadian ini. Hamba tadi sedang bengong memandang pertandingan di depan dan tiba-tiba saja seekor ular kecil telah melekat dan menggigit kongcu."
"Hemm, ular berkulit hijau?"
A-cheng terbelalak heran. "Betul, bagaimana siocia bisa tahu?"
Akan tetapi Tok-sim Sian-li mendengus. "Jangan banyak cerewet. A-cheng. Lebih baik sekarang lekas kau ambilkan semangkok air bersih untuk anakku ini. Cepat....!"
"Baik, siocia," A-cheng mengiyakan dan dengan tubuh gemetar gadis ini bangkit berdiri. Tapi baru beberapa langkah dia berjalan, terdengar wanita iblis itu berkata dingin, "A-cheng, kuharap kau tidak mempergunakan kesempatan ini untuk melarikan diri. Sebab kalau tidak, nyawanau bakal tidak kuampunkan lagi selama hidup. Mengerti?"
A-cheng mengangguk-anggukkan kepalanya dengan muka pucat. "Mengerti, siocia.... hamba mengerti." dan dengan tergesa-gesa diapun lalu menuruni bukit mencari air.
Sejenak Tok-sim Sian-li memandang punggung pelayan ini dengan mata bersinar, kemudian merogoh baju bagian dalam. Bayinya masih menangis kesakitan, namun wanita ini tampak barsikap tenang. Sekejap kemudian, tangan yang merogoh itupun ditarik ke luar dan... sebuah benda gemerlapan mencorong bercahaya mengusir kegelapan malam. Sedetik mulut wanita iblis itu manyungging senyum kemenangan, namun alis yang berkerut itu segera merapat kembali. Wajahnya menyinarkan cahaya aneh, dan hanya iblis serta setan-setan di dasar neraka saja yang tahu apa yang saat itu sedang dipikirkan oleh wanita ini. Tok-sim Sian-li menimang-nimang, dan benda ditelapak tangannya berkeredep semakin terang.
Sekali lihat, orang bodohpun tahu bahwa benda yang kini dipegang oleh wanita cantik beramput riap-riapan itu pastilah sebuah mustika. Dan hal ini memang benar. Benda yang dipegang oleh murid Cheng-gan Sian-jin itu bukan lain adalah benda yang dulu pernah disebut-sebut Lek Hui kepada Pendekar Gurun Neraka. Sin-hong cu (mutiara Naga Sakti)!
Inilah dia benda mustika yang dijadikan rebutan orang banyak itu. Dan Tok-sim yang sadar akan bahaya yang sewaktu-waktu datang mengancam bagi dirinya sendiri dan anak laki-lakinya, kali ini sengaja menyimpan benda langka itu di batik bajunya. Dulu dia memang melekatkan mutiara itu di leher bayinya, namun semenjak kerusuhan yang terjadi dari orang-orang dunia hitam beberapa waktu yang lalu telah merobah pikirannya untuk menyelamatkan benda ini dari perampas-perampas tak dikehendaki.
Karena itu, semenjak mustika ini disimpannya sendiri, maka hati Tok-sim Sian-li terasa lebih tenang. Itulah sebabnya dengan tidak ragu-ragu dia tadi melemparkan anaknya kepada A-cheng. Dan sekarang, dengan benda mustika ini di tangan, dia sama sekali tidak merasa khawatir akan segala jenis racun dari binatang-binatang paling berbisa sekalipun di seluruh dunia!
Itulah sebabnya dia tenang-tenang saja meskipun tahu anaknya digigit ular berbisa. Sebagai murid Cheng-gan Sian-jin, tentu saja dia tahu mengenai racun macam apa yang kini memasuki tubuh anaknya. Karena itu, dengan cepat diapun menempelkan mutiara ini di atas pergelangan tangan anaknya dan tidak sampai dua menit saja racun yang mengeram di luka kecil itu telah tersedot keluar!
Hebat memang, dan amat mengagumkan sekali daya hisap dari Mutiara Naga Sakti itu. Namun yang lebih mengagumkan lagi adalah daya penawar dari Benda mustika ini yang mampu membersihkan sisa-sisa racun di dalam darah bekas gigitan ular hijau. Dan setelah beberapa menit kemudian, bisa yang amat ganas itupun lenyap. Tok-sim Sian-li tersenyum ewah, dan wanita ini bangkit berdiri sambil menyimpan jimat pusakanya.
Bayinya tidak berteriak lagi dan pada saat itu A-cheng pun tiba membawa semangkok air bersih. Pelayan ini tidak tahu betapa sebenarnya majikannya itu hanya berpura-pura saja menyutuhnya mengambill air, karena Tok-sim Sian-li yang tidak menghendaki pelayannya itu tahu bahwa dia memiliki sebuah mustika. Dan sekarang. melihat pelayan ini datang membawa air, wanita itu lalu berobah sikapnya. Senyum manisnya muncul, dan mata yang tadi bersinar dingin itu bercahaya lembut.
"Hmm, kau sudah datang. A-cheng? Bagus, capat benar kalau begitu!" Tok-sim Sian-li membuka mulut dan A-cheng berseri girang mendengar suara yang tidak dibuat-buat ini.
"Ah, hamba sengaja mencarinya di tempat yang terdekat, siocia, khawatir jika keselamatan kongcu tarlambat."
"Hi-hik, rupanya kesetiaanmu yang lama sudah timbul kembali, A-cheng? Bagus, aku senang kalau begitu. Ih, coba kau campur bubuk kuning ini di dalam mangkok ini dan tuangkan kedalam mulut anakku dengan hati-hati."
Tok-sim Sian-li memberikan sebungkus obat dan A-cheng menerimanya dengan cekatan. Gadis palayan yang sudah mulai tenang hatinya ini sekarang dapat bekerja cepat dan dengan hati-hati dia lalu mencampur obat itu ke dalaln air lalu meminumkannya secara perlahan-lahan ke mulut putera majikannya. Dan memang kelihatannya manjur sekali obat itu. Begitu diminumkan, wajah yang tali pucat sekarang sudah mulai merah seperti biasa sebelum digigit ular. A-cheng mendesah kagum, tidak tahu betapa sebenarna itu adalah hasil perbuatan majikannya sendiri yang amat lihai.
"Wah, luar biasa sekali, siocia. Kongcu ternyata sembuh dalam beberapa kejap saja!" demikian pelayan itu berseru takjub sementara yang dipuji hanya tersenyum simpul.
"Hmm, pagutan ular yang begitu saja mana ada artinya bagiku, A-cheng? Obat peninggalan suhu memang selamanya dapat dipercaya, kenapa mesti heran?"
A-cherg mengangkat mukanya. "Akan tetapi, siocia..."
"Sstt......!" Tok-sim Sian-li memotong sambit mengerutkan ails. "Mengapa sejak tadi kau memanggilku siocia (nona) selalu A-cheng? Jelek-jelek, aku sudah menjadi isteri orang meskipun orang itu tidak mengakui diriku sebagai isterinya!"
A-cheng terkejut dan gadis ini terbelalak. "Kalau begitu...?"
"Kenapa tidak merubah panggilan menjadi hujin?" demikian Tok-sim Sian-li melanjutkan dan wajah wanita ini tiba-tiba menjadi keras. "A-cheng, Mau kau masih memanggilku siocia berarti kau tidak menghargai diriku lagi. Karena itu kuperingatkan sekali lagi kepadamu bahwa mulai detik ini kau harus menyebutku hujin!"
"Baik, sio.... eh, hujin!" A-cheng tergagap karena belum biasa dan Tok-sim Sian-li tersenyum kaku.
Wanita iblis itu menghela napas, sejenak merenung jauh memandang kegelapan malam dan tiba-tiba. bertanya, "A-cheng, apakah kita tadi bermimpi? Siapakah anak kecil itu?"
A-cheng terkejut. "Ah, mana hamba tahu, Hujin? Hamba sendiri tadi juga terasa seperti mimpi. Patera hujin yang jatuh tiba-tiba lalu lenyap terganti dengan munculnya bocah aneh itu benar-benar membuat hamba bingung. Apakah kejadian tadi itu sungguh-sungguh, hujin? Hamba kok merasa seperti berada di alam lain."
Tok-sim Sian-li mengereyitkan keningnya. "Hmm, aku sendiri juga bingung, A-cheng. Kejadian itu telah membuat diriku seperti terkena hikmat, antara sadar dan tidak. Tapi kalau hanya mimpi belaka, kenapa pendeta India itu datang kesini? Dan dia itulah menganjurkan untuk membunuh anakku ini, Keparat!"
Wanita itu mengepal tinju dan A-cheng melenggong. Dua orang ini memang sama tidak mengerti, dan mereka memang benar-benar tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Setankah yang mengganggu mereka tadi? Atau roh iblis yang sedang gentayangan?
Teringat oleh mereka ucapan Vijananda tadi yang mengatakan adanya Kalapati yang sedang turun ke bumi mencari badan wadagnya yang baru. Apakah itu Kalapati? Dan siapakah dia? Tok-sim Sian-li mengerutkan alis dan wanita ini lalu memandang anaknya. Dilihatnya bocah itu sedang tidur nyenyak, padahal baru saja dia menangis keras dipagut ular berbisa. Dan melihat wajah yang sehat kemerahan itu bersinar lembut oleh cahaya bulan yang baru muncul, membuat wanita itu berdebar keheranan.
Wajah anaknya itu tiba-tiba saja berobah seperti anak dewasa. Luka kecil di atas pergelangan tangannya telah menutup rapat dan tiba-tiba sebuah tanda hitam muncul di antara kedua keningnya. Tok-sim Sian-li merasa terkejut, dan juga heran. Seingatnya, tempat itu bersih, belum ada noda-noda macam apapun. Kenapa sekarang mendadak tumbuh bintik hitam kecil itu? Tahi lalatkah? Atau kotoran burung yang secara kebetulan menimpa tempat itu?
Tok-sim Sian-li merasa heran dan akhirnya dia menggapai pelayannya." A-cheng, coba bawa ke mari anakku itu!" serunya perlahan dan A-cheng berjalan menghampiri dengan muka beran.
"Ada apakah, hujin?" tanyanya khawatir.
Namun Tok-sim Sian-li tidak menggubris. Wanita ini menerima bayinya dan dibersihkannya. Akan tetapi ternyata bukan. Noda hitam yang seperti tahi lalat itu ternyata merupakan "cap" aneh di tengah-tengah kening anaknya. Sudah digosok berkali-kali, tapi tetap saja tidak bisa hilang. Karena itu, Tok-sim Sian-li akhirnya menghentikan pekerjaannya ini dan dia memandang bayinya lekat-lekat.
Sekarang tampaklah olehnya samar-samar akan adanya sinar aneh pada wajah anak laki-lakinya ini. Sinar kebiruan seperti bintang di langit. Lupa-lupa ingat, Tok-sim Sia-li seakan sudah pernah melihat sinar semacam itu, namun dia tidak tahu kapan terjadinya. Getaran aneh tiba-tiba terasa olehnya dan Tok-sim Sian-li terbelalak. Mata anaknya mendadak terbuka dan di dalam mata ini tiba-tiba saja dia melihat bayangan seseorang, pemuda tinggi besar bernyali naga. Yap-goanswe!
Hampir saja wanita itu terpekik namun sekejap kemudian mata anaknya inipun tertutup. Apakah gerangan yang terjadi? Sedang ngelindurkah bayinya tadi? Tok-sim Sian-li tidak mampu menjawab dan A-cheng yang sejak tadi memandang gerak-gerik majikannya yang aneh ini tiba-tiba bertanya,
"Hujin, ada apakah? Kongcu sakit?"
Tok-sim Sian-li memutar tubuh. "Hmm, aku masih terpengaruh oleh ucapan setan dari Thian-thok itu, Acheng. Bayiku tidak apa-apa, dia sehat seperti biasa dan aku tidak meragukan akan kenyataan ini. Akan tetapi tanda hitam di tengah kening itu, kapan timbulnya? Aku menjadi heran oleh kejadian ini karena seingatku, belum pernah lingkaran itu di atas dahinyal"
A-cheng mendekat dan gadis pelayan itu juga tampaknya heran mendengar kata-kata majikannya. Kalau ibu anak itu sendiri sudah bilang begitu, apalagi dia yang baru pertama kali ini bertemu. Karena itu, dia hanya terbelalak saja dan tiba-tiba seperti diingatkan sesuatu gadis ini bertanya, "Eh, hujin, hamba hampir kelupaan. Siapakah nama kongcu ini?"
Tok-sim Sian-li memandang pelayannya itu dan warita ini tampak terkejut. Sedetik bola matanya berputar, akan tetapi kemudian dia menghela napas. "Aku belum memberinya nama, A cheng..."
"Hahh...?!" A-cheng terbelatak kaget. "Jadi anak hujin ini masih bu-beng-tong (anak tanpa nama)?"
Wanita iblis itu mengangguk, "Benar. A-cheng, karena aku sendiri masih bingung untuk mencarikan sebuah nama baginya."
"Ah, hal itu tidak boleh berlarat-latut, hujin. Menurut kepercayaan kita, anak yang terlambat diberi nama kelak bakal menemui kematian tanpa lubang kubur! Mengapa hujin tidak mencegah hal ini?"
Tok-sim Sian-li mengepal tinjunya. Memang apa yang dikatakan oleh pelayannya itu adalah kepercayann golongannya pada masa itu. Dan dia sendiri sampai melalaikan hal ini bukan lain karena disebabkan kejaran kaum hek-to terhadap dirinya yang hendak merampas Mutiara Naga Sakti. Sekarang, tanpa dikehendaki tiba-tiba saja A-cheng menanyakan hal itu. Bagaimana dia tidak terkejut?
Sejenak Tok-sin Sian-li tertegun wanita cantik ini memandang bayinya. Sesuatu yang aneh mendebarkan hatinya, namun tidak tahu firasat apa itu. Melihat wajah bayinya yang demikian tenang dan tampan, timbullah kasih sayangnya dan perasaan iba. Akan tetapi teringat akan tanda hitam di tengah kening dan cahaya kebiruan yang samar-samar tampak, muncul perasaan berdebar yang tidak wajar. Dan ditambah dengan seruan pendeta India tadi yang mengatakan bahwa kelak dia akan dibunuh anak sendiri tiba-tiba membuat muka wanita ini menjadi beringas.
Apakah sebenarnya yang harus dihadapi pada masa-masa yang akan datang kelak? Benarkah pesan si pertapa bangkotan itu tentang diri anaknya? Atau, kata-kata itu sekedar untuk menakutinya sebagai balas dendam belaka? Tok-sim Sian-li menjadi marah dan dia merasa sakit hati sekali. Ucapan Vijananda tadi menumbuhkan bibit kebenciannya terhadap seseorang dan orang itu bukan lain adalah Pendekar Gurun Neraka sendiri!
Gara-gara cinta kasihnya terhadap jenderal muda itulah dia sampai mengalami sengsara. Berkali-kali terhina dan menelan empedu kehidupan. Sekarang, gagal memiliki ayahnya apakah keturunannya juga hanya memberinya kesengsaraan belaka? Inikah garis hidupnya? Kalau itu yang terjadi memang agaknya dia membunuh saja anak laki-lakinya itu! Tok-sim Sian-li memekik keras dan A.cheng tersentak kaget menyaksikan wajak yang tiba-tiba buas itu.
"Hujin!" pelayan ini berteriak dan karena mengira majikannya hendak membunuh dirinya maka cepat pedang di atas tanah disambar sekenanya.
Akan tetapi Tok-sim Sian-li seakan tuli. Wanita ini sudah menggerakkan tangannya dan A-cheng bersiap-siap, namun ternyata bukan gadis itu yang diserang, melainkan bayi laki-lakinya! Jari kanan wanita iblis bergerak dan cepat bagaikan kilat saja tahu-tahu kelima jari ini sudah mencengkeram leher bayi,
"Crett...!"
"Hujin!!" A-cheng menjerit ngeri ketika melihat betapa jari-jari wanita iblis itu menancap di sasarannya dan seperti menyaksikan setan haus darah gadis ini terpaku dengan mata terbelalak. A-cheng membayangkan bahwa tidak lama lagi tentu darah bakal muncrat-muncrat dari leher si anak kecil itu yang dicengkeram ibunya serdiri, namun alangkah bengongnya pelayan ini ketika mendengar Tok-sim Sian-li bahkan memekik tertahan. Apa yang terjadi? A-cheng tidak mengerti tapi yang jelas ialah majikannya tiba-tiba kelihatan kaget. Wanita itu tampak terkejut dan jari yang sudah dicabut ternyata sama sekali tidak berlepotan darah. Hanya anak laki-laki itu sekonyong-konyong menjerit nyaring dan menangis tersentak-sentak. A-cheng melongo dan Tok Sim Sian-li sendiri tertegun.
Kiranya, ketika tangan wanita itu tiba, Tok-sim Sian-li merasa terkejut karena jari tangan kanannya yang mercengkeram sekuat tenaga itu itu bertemu dengan leher yang seperti karet. Tentu saja wanita iblis ini kaget bukan main dan cengkeramannya menggelincir aneh seperti mencengkeram belut. Karena itu, dia mengeluarkan seruan tertahan, sementara bayinya terbangun sambil meronta kesakitan. Dan hal inilah yang tidak diketahui A-cheng.
Sekarang, melihat betapa usahanya membunyh anak itu tidak berhasil tiba-tiba membuat Tok-sim Sian-li melengking histeris. Wanita ini diam-diam merasa jerih, juga gentar tanpa sebab. Karena itu, tiba-tiba dia membentak keras, "A-cheng, sambut anak ini!"
Dan secepat kilat bayi yang masih menangis melolong-lolong itu dilontarkan ke arah pelayannya. A-cheng terkesiap, kaget dengan perobahan sikap majikannya yang tidak menentu dan karena dia disuruh menyambut, maka otomatis kedua tangannya terulur ke depan tanpa menyadari betapa tangan kanannya masih memegang sebatang pedang! Dan baru gadis ini terkejut setengah mati setelah bayi yang dilemparkan sudah teramat dekat jaraknya dan sambil berteriak ngeri A-cheng menyontekkan pedangnya ke atas.
"Aihh... brett!"
Sedetik saja kejadian ini normal, ternyata usaha A-cheng tidak sia-sia. Bayi itu tertusuk di udara, akan tetapi bukan tubuhnya yang termakan melainkan baju luarnya yang 'tersate‘ hidup-hidup! A-cheng terbelalak pucat, dan bayi yang menggelantung di udara ini tiba-tiba menghentikan tangisnya. Keadaan menjadi aneh sekali karena disatu A-cheng mendelong dengan pedang mesih menyate anak kecil itu sementara Tok-sim sendiri juga tertegun peristiwa yang di luar dugaan.
Kedua-duanya terkesima, namun segera A-cheng menjerit sambil meurunkan pedangnya. Gadis ini tampak pucat pasi, khawatir dituduh hendak membunuh putera majikannya dan Tok-sim Sian-li sudah melompat maju mendekati pelayannya. A-cheng menggigil, dan begitu majikannya tiba segera dia mengangsurkan anak itu kepada majikannya dan menjatuhkan diri berlutut.
"Bujin, hamba sungguh berdosa. Lupa akan senjata di tangan hampir-haimpir saja membunuh kongcu. Karena itu kalau hujin hendak membinasakan hamba sekarang juga hamba siap menerima hukuman..."
Namun Tok-sim Sian-li tidak menghiraukan ucapan pelayannya ini dan wanita itu membentak bengis, "Minggir...!" kakinya mendupak pada tubuh. A-cheng mencelat ditendangnya.
A-cheng menjerit tertahan, dan gadis itu dengan mata terbelalak melihat betapa Tok-sim Sian-li memandang bayinya dengan muka pucat tiba-tiba wanita iblis itu menangis menggerung-gerung! Tentu saja A-cheng terpaku, sejenak merasa ngeri menyaksikan tingkah laku majikannya, yang seperti orang tidak waras itu dan diam-diam perasaan takutnya juga semakin menghebat. Kalau dia harus melayani orang semacam itu, bagaimanakah kelak nasibnya? Karena itu diam-diam ia mengeluh mengapa nasib harus memperjumpakannya kembali dengan wanita iblis itu.
Dan Tok-sim Sian-li yang masih menangis menggerung-gerung, kini bahkan menjambak-jambak rambut sendiri sambil berteriak-teriak, "Yap- goanswe! Orang keparat she Yap! mengapa kau membuatku seperti orang gila begini? Kalau kau baik-baik mau menjadi suamiku, tentu tidak akan begini nasib jahanam mempermainkan hidupku. Akan tetapi kau telah berani menolaknya, kau telah berani menyengsarakan hidupku! Kau manusia tidak berjantung, apakah kau ingin aku menghirup darahmu yang dingin itu? Apakah kau ingin aku merobek-robek hatimu yang sama sekali tidak berperasaan itu? Kalau itu yang kau kehendaki, baiklah, manusia jahanam, tunggulah kau... tunggulah kau...! Kelak akan tiba saatnya aku mencopot jantungmu yang akan kuganyang mentah-mentah...!"
Tok-sim Sian-li memekik-mekik, dan bayi yang ada di gendongannya ikut menjerit-jerit dengan suara nyaring sehingga suara dua orang manusia itu membaur menjadi satu menciptakan suara yang tidak karuan. Dan A-cheng yang berdiri di pinggir, gemetar kedua lututnya melihat pemandangan yang seperti itu.
Gadis ini terbelatak pucat, hendak membuka mulut tidak ada suaranya yang keluar, namun tidak membuka mulut juga merasa salah. Karena itu, akhirnya dia memberanikan diri dan sambil merangkak tertatih-tatih dia berseru ketakutan, "Hujin, berikan saja anak itu kepadaku lihat dia menangis melolong-lolong. Biarkan hamba yang mendiamkannya agar tidak ketakutan!"
Suara ini agaknya menyadarkan wanita itu, karena Tok-sim Sian-li tiba-tiba menghentikan pekik histerisnya. Wanita itu menoleh, dan wajah serta sinar mata yang masih buas ini mendadak membuat A-cheng merandek. Gadis itu tidak jadi meneruskan langkahnya, karena tiba-tiba saja dia seperti dibuat lumpuh oleh tatapan mata yang menyala seperti mata harimau liar ini.
Sejenak suasana terasa mencekam, namun Tok-sim Sian-li yang melihat pelayannya ini sekonyong-konyong melunak sikapnya. Kebuasan yang tadi memancar, kini surut sepertiga bagian dan perasaan A-cheng menjadi agak tenang. Namun gadis itu tetap saja gemetar dan dengan suara menggigil serak dia berkata,
"Hujin, harap ampunkan hamba. Bukannya hamba hendak berlancang sikap, akan tetapi anak hujin yang menangis ketakutan itu, bukankah lebih baik ditenangkan dahulu? Biarlah hamba yang membopongnya, biarlah hamba yang meninabobokkannya..." Gadis itu merangkak maju dan mengulurkan tangan, namun Tok-sim Sian-li menepiskan lengannya!
"Jangan sentuh anakku!" wanita itu membentak kaku. "Tanganmu yang berdosa harus dihersihkan dahulu!"
Bentakan ini membuat A-cheng terkesiap dan dengan muka pucat gadis itu berseru, "Hujin...!"
Namun Tok-sim Sian-li tetap berwajah dingin, "A-cheng!" wanita itu membentak bengis, "Bukankah kau hampir saja membunuh anakku?"
A-cheng bersimpuh ketakutan. "Benar, hujin…. Tapi.... tapi hamba tidak bermakaud begitu. Hamba tidak sengaja!" jawabnya membela diri.
Namun Tok-sim Sian-li tersenyum mengejek. "Hmm, Sengaja atau tidak sengaja, kau tetap harus menerima hukumannya, pelayan hina. Atau kau hendak menjilat ludah sendiri yang telah mengatakan siap menerima hukuman?"
A-cheng semakin ketakutan. "Tidak... tidak, hujin…!"
"Bagus kalau begitu." Tok-sim Sian-li memperdengarkan suara dari hidungnya, lalu wanita ini menunjuk pedang yang menggeletak di atas tanah dengan muka dingin, "A-cheng, ambil pedang dan tebas ibu jari tangan kananmu yang berdosa!"
A cheng mengangkat mukanya dan sedetik gadis ini tampak terkejut, akan tetapi akhirnya dia mengeluarkan seruan girang mendapat hukuman yang "ringan" itu. Dia melompat bangkit, mengiyakan dengan wajah berseri lalu tanpa banyak mengeong lagi memunggut pedang dan benar-benar mengutungkan ibu jari tangan kanannya yang dikatakan "berdosa".
"Cratt...!" Sinar hijau berkelebat dan ibu jari gadis itu menggeletak berlumuran darah! A-cheng menyeringai pedih, namun Tok-sim Sian-li sudah melempar sebuah bangkusan.
"Sambut ini dan taburkan pada lukamu!‖ wanita itu berseru dan A-cheng segera menyambut pemberian obat ini sambil menahan sakitnya. Sejenak gadis itu terbelalak memandang kutungan ibu jarinya di atas tanah, akan tetapi cepat diusirnya pergi perasaan ngeri ini ketika dia bentrok dengan sinar mata majikannya. Pandangan wanita iblis itu seolah berkata; Apakah kau tidak ikhlas dengan hukuman ini?
Karena itu A-cheng menetapkan hatinya setelah dia menaburkan obat, pelayan ini segera menjatuhkan diri berlutut, "Hujin, hamba hanya dapat menghaturkan terima kasih atas kemurahan yang telah hujin berikan kepada hamba. Mengingat bahwa hamba tidak sampai dibunuh saja sudah dapat membuat hamba berhutang budi. Untuk itu, hamba yang hina siap mempertaruhkan jiwa dan raga demi keselamatan hujin beserta kongcu....!"
Gadis itu berseru dan Tok-sim Sian-li mendengus. "Sudahlah!" Wanita ini mengulap tangnnya. "Berikan pedang itu kepadaku."
A-cheng mengangguk dan dengan tangan kiri dia mengambil pedang, kemudian dengan kedua tangan yang masih gemetar dia mengangsurkan pedang itu. Tok-tim Sian-li menerima, sejenak mengamat-amati pedang yang bersinar kehijauan itu dan mulutnya berseru perlahan,
"Pedang bagus, mirip Cheng-liong-kiam (Pedang naga hijau)!"
Wanita itu tiba-tiba mengelebatkan pedang dan A-cheng yang berada di dekatnya hampir saja berteriak kaget. Suara yang mengaung tajam membelah udara, dan A-cheng tadi mengira bahwa majikannya hendak menyerang dia. Namun ternyata dugaannya keliru karena Tek-sim Sian-li kiranya hanya ingin mencoba saja kehebatan pedang di tangannya. Karena itu, A-cheng lega kembali dan terdengar kini pujian Tok-snm Sian li.
"Pedang ampuh, benar-benar dari logam mulia. Kelak pantas dimiliki oleh puteraku!"
Wanita itu terkekeh dan A-cheng yang melikat kegirangan memancar tiba-tiba menemukan pikiran baik. "Hujin, apa yang hujin katakan tadi? Cheng-liong-kiam?" pelayan ini berseru dan Tok-sim Sian-1i memutar tubuh.
Sejenak wanita iai tampak keheranan, namun akhirnya dia mengangguk juga. "Benar, kenapakah?" wanita itu memandang penuh selidik dan A-cheng melanjutkan pertanyaannya,
"Dan hujin tadi menyatakan pedang itu kelak pantas diwarisi putera hujin?"
Kembali Tok-aim Sian-li menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu, kenapa tidak sekarang juga putera hujin ini diberi nama."
"Eh, apa makasudmu?" kali ini Tok-sim Sian-li membelalakkan matanya dan wanita itu melompat dekat. "A-cheng, kau hendak menghinaku dengan cara apa lagi?" Wanita itu tampak marah namun gadis pelayan ini bahkan tersenyum luar biasa.
"Hujin, harap jangan naik pitam dulu. Hamba mempunyai usul, yakni tentang nama bagus untuk putera hujin itu. Kalau hujin mengatakan pedang ini kelak pantas dimilikinya, sebatang pedang yang mirip Cheng-liong-kiam, lalu kenapa hujin tidak memberinya nama yang mirip dengan nama pedang itu? Jika hujin setuju, putera hujin ini dapat saja dinamaknn Ceng Liong, dan mengingat ayahnya she Yap, maka bagaimana kalau putera hujin itu kita beri nama Yap Ceng Liong? Tentu merupakan nama yang indah dan gagah, juga sedap didengar telinga!"
A-cheng berhenti bicara dan wanita iblis yang mendengarkan kata-kata pelayannya itu tampak tertegun. Namun sekejap saja wanita ini tercengang kaget karena segera dia terkekeh gemibra. "Aih, A-cheng, saranmu benar-benar bagus sekali! Hi-hi-hik, tidak tahu, dari mana otakmu dapat merangkai semua hasil ini? Ih, Ceng Liong... Yap Ceng Liong, benar-benar sebuah nama yang tepat untuk puteraku ini! dan kelak dia harus bisa seperti ayahnya, bahkan harus melebihi ayahnya. Bagus, A-cheng... bagus... terima kasih atas usulmu itu!"
Tok-sim Sian-li tertawa gembira dan bayi yang tadi hendak dibunuhnya itu kini diciuminya berulang-ulang. Ucapan pelayannya tadi tiba-tiba menerbitkan sebuah akal di kepalanya dan sambil mengeluarkan lengking aneh wanita ini berjingkrak-jingkrak lipan dan A-cheng yang menyaksikan semua kejadian itu dengan bibir mengerang perlahan.
Pelayan ini tidak tahu, apakah di saat itu dia harus bergembira ataukah bersakit hati. Kalau mengingat hukuman yang diterima, seharusnya dia menaruh dendam terhadap majikannya yang merupakan wanita iblis itu. Tapi kalau mengingat kesengsaraan yang dialami oleh wanita ini diam-diam dia merasa iba juga. Gara-gara cinta asmara-lah maka majikannya menjadi seperti itu, dan lagi-lagi ini adalah perbuatan kaum pria! Apakah semua pria memang berwatak seperti itu? A-cheng tidak menjawab namun diam-diam gadis ini mengepal tinju tangan kirinya.
Tok-sim Sian-li telah menemukan nama bagi anak laki-lakinya, dan di dunia telah mencul sebuah nama yang baru, Yap Ceng Liong, nama yang naga-naganya kelak pasti membuat heboh dalam dunia kangouw diasuh oleh seorang wanita yang sedang dilanda api dendam, wanita yang juga menjadi murid Cheng-gan Sian-jin.
Dan itu semua bermula di bukit Kim-kee-san, di sebelah kuburan mendiang kekasih Pendekar Gurun Neraka. Apakah bakal terjadi semua kekhawatiran ini? Dunia tidak menjawab dan Kim-kee-san juga membisu. Hanya angin malam mulai mendesir dingin dan daun bambu berkeresek resah.
Dua orang laki-laki tua tampak murung. Yang tua duduk di atas batu hitam dalam bentuk Padmasana tampak merenung jauh sambil sesekali menarik nafas panjang penuh kekesalan, sementara yang muda berayun-ayun santai di atas dahan yang rendah namun dengan alis dikernyitkan.
Dua-duanya baru saja kembali dari Pegunungan Beng-san, memenuhi janji untuk menemui Beng-san-paicu (Ketua Beng-san-pai). Dan mereka ini, yang bukan lain adalah Bu-tiong-kiam Kun Seng bersama puteranya Kun Bok, ternyata harus menyimpan kekesalan dan kekecewaan. Orang yang terutama dijadikan pokok kedatangan mereka, yakni Ceng Bi si jelita puteri Beng-san paicu, ternyata minggat dari Beng-san tanpa memberi tahu ayahnya, ini sedikit banyak mengecewakan pendekar tua itu, karena perasaannya sedikit tersinganng. Namun memandang muka Ciok-thouw Taihiap dan juga mengingat bahwa gadis itu masih amat muda, pendekar ini mau mengerti tentang tingkah lakunya yang agak "liar" itu.
Ada dua kesimpulan yang dapat ditarik dari minggatnya sang calon menantu itu. Pertama, gadis itu tidak setuju atau yang ke dua, gadis itu malu-malu karena memang baru pertama kali inilah dia dilamar orang. Dan Bu-tiong-kiam mengharap kecondongannya pada kesimpulan nomor dua. Dia sendiri memang suka terhadap puteri sahabatnya itu. Selain cantik, juga lihai ilmu silat dalam gemblengan ayahnya sendiri, Ciok-thouw Taihiap si pendekar kenamaan.
Dan ini dirasa cocok untuk menjalin ikatan keluarga yang lebih erat lagi dalam bentuk sebuah perkawinan dengan putera tunggalnya sendiri, Kun Bok. Karena itu, tidak haran kalau dia jauh-jauh datang mengunjungi sahabatnya itu untuk membicarakan masalah ini, dan betapa. girang hatinya ketika mengetahui bahwa puteri sahabatnya itu masih "single". Belum ada orang yang datang mendahuluinya, dan ini merupakan harapaa besar baginya.
Namum siapa menduga? Ternyata ketika gadis itu sendiri telah mengetahui maksud perjodohan ini dari ayahnya, mendadak saja dia meninggalkan rumah tanpa pamit! Sedikit tertusuk perasaan pendekar pedang ini namun orang tua yang berpandangan jauh, dia dapat menindas perasaan keeewanya itu.
"Ayah, bagaimana sekarang dengan diriku?" Pemuda yang berayun-ayun santai di atas dahan itu tiba-tiba bertanya. Dia memang mirip ayah nya, bertubuh sedang namun singsat dengan mata yang tajam bersinar.
Bu-tiong-kiam menarik napas panjang. "Bok-ji (anak Bok)," orang tua itu berkata sambil memandang anaknya, "Menurut pendapatku dan juga menurut pendapat calon gakhumu (calon mertua) ketika kita datang di sana, adalah sebaiknya jika kau turun gunung juga. Ceng Han telah mencari adiknya itu, dan tidak ada jeleknya apabila kaupun turut membantu mencari Ceng Bi. Buktikan kau tidak keberatan?"
Kun Bok memandang ayahnya. "Hmm, keberatan sih jelas tidak, ayah. Akan tetapi, kalau seandainya aku berhasil menemukan gadis itu, lalu apa yang harus kulakukan? Aku serdiri belum tau bagaimana wajahnya, juga belum tahu sifat-sifatnya. Bagaimana kalau dia menolak mentah-mentah? Tentu hilang mukaku ini!"
Pemuda itu mengerutkan alis dan ayahnya tersenyum. "Bok-ji, mencari calon isterimu itu bukannya lalu berarti menyeretnya pulang ke Beng san. Tidak begitu, anakku, akan tetapi mencari di sini terkandung maksud untuk mengenalinya lebih dekat setelah kau berhasil menemuinya. Paham?"
"Jadi maksud ayah?"
"Carilah gadis itu. Kalau sudah ketemu, dekatitah dia, bersikaplah seolah-olah, sebagai sahabat baru yang belum saling kenal-mengenal."
"Hem, bagaimana jika dia sukar didekati, ayah?"
"Aih, kau punya akal, kan? Nah, gunakan otakmu itu sendiri jangan terlalu cengeng seperti anal kecil!"
Kun Bok merah mukanya. "Tapi, ayah..."
"Hem, apa lagi?"
"Aku belum tahu bagaimana wajahnya. Mana mungkin bisa mencari? Kalau ada gadis yang mirip dia, lalu kusangka dia, bukankah berabe?"
Ayahnya tertawa. "Bok-ji, kau ini aneh. Kita sudah tahu ciri-cirinya, seorang gadis tujuh belas tahun, wajahnya bulat telur, cantik dengan mata yang seperti bintang dan selalu mengenakan pakaian merah. Bukankah ini dapat dijadikan pegangan?"
"Ah, ayah gampang saja bicara. Gadis dengan ciri-ciri sepintas begitu hanyak sekali ayah, bukan satu dua." Kun Bok mencela.
"Betul, tapi yang menjadi puteri Beng-san-paicu juga hanya seorang saja, Bok-ji!" ayahnya menjawab. "Dan kau dapat menanya namanya, atau setidak-tidaknya melihat dasar-dasar ilmu silatnya. Bukankah kau sedikit banyak sudah tahu?"
Kun Bok terdiam, dan pemuda ini akhirnya mengangkat bahu. Ditangkis ayahnya dalam jawaban-jawaban yang tepat begini memang susah juga baginya untuk membantah. Karena itu diapun lalu berkata, "Hem, baiklah, ayah. Dan kapan kira-kira dimulainya aku melasanakan tugas ini? Dan kemana pula kira-kira arah yang harus kutuju?"
Pendekar pedang itu tersenyum. "Bok-ji, untuk melaksanakan tugas begini mengapa masih harus tunggu-tunggu waktu? Sekarang inilah kau boleh berangkat dan tentang arah tujuan, barangkali yang lebih tepat adalah menuju ke kota, raja."
"Eh, demikian cepat, ayah?"
"Cepat apanya?" Bu-tiong-kiam menaikkan alisnya. "Kita sudah terlambat sebulan dan waktu sekian lama itu saja sudah cukup untuk membuat perobahan-perobaban yang tidak kita sangka!"
Kun Bok kembali terdiam dan pemuda ini bangkit berdiri. Sejenak dia memandang ayahnya, seolah-olah ada sesuatu yang hendak dibicarakan namun urung dikeluarkan.
Bu-tiong-kiam melihat ini dan orang tua itu menggapai. "Kau hendak bicara apakah?" tanyanya.
Pemuda itu melangkah maju. "Ayah, aku teringat janjimu sebulan yang lalu. Kapan aku bisa menerimanya?"
Orang tua itu terkejut, namun segera dia tertawa, "Aih, Bok-ji, demikian meluapkah hasratmu untuk segera mewrisi Bu-tiong-hui- seng-kiam-sut (Ilmu Padang Bintang Terbang Dalam Kabut)?"
"Tentu saja, ayah. Bukankah kepandaian itu merupakan kunci dari ilmu silat pedang kita Bu-tiong-kiam? Dan mengingat bahwa aku sebentar lagi merantau di dunia persitatan yang ayah katakan banyak bahaya dan manusia-manusia curang, bukankah sebaiknya mewarisi ilmu pedang simpanan itu sebagai pelindung diri?"
Ayahnya tertawa dan orang tua itu tiba-tiba mencelat dari daduknva. "Ha-ha-ha, baiklah baiklah. Bicara tentang ilmu pedang membuat tangan ayahmu gatal-gatal. Hayo kemarilah, Bok-ji, lihat baik-baik pelajaran terrakhir yang akan kuberikan kepadamu ini. Singg...!"
Entah kapan dicabutnya, tiba-tiba saja sebatang pedang telah mendesing di tangan orang tua ini. Mendengar desingnya, tentu sebatang logam yang ampun. Akan tetapi betapa herannya kita setelah melihat jelas ternyata di tangan pendekar tua itu hanyalah sebatang pedang kayu belaka. Dan dengan pedang kayu begini, ternyata Bu-tiong-kiam mampu memperdengarkan suara mendesing persis seperti sebatang pedang baja. Benar-benar luar biasa!
Dan Kun Bok yang melihat ayahnya mulai bergerak, menjadi bersinar-sinar matanya, kontan dia meloncat maju dan dengan wajah berseri pemuda ini berseru, "Bagus, ayah. Coba perlihatkan dan ajari aku ilmu simpananmu itu." dan dia sudah mendekati ayahnya yang telah memasang kuda-kuda.
Bu-tiong-kiam tersenyum, dan pendekar pedang yang dikagunii Ciok-touw Taihiap itu menempelkan Ujung pedangnya di tengah-tengah kening. "Bok-ji," demikikian orang tua itu berkata gembira "Harap kau perhatikan baik-baik jurus pembukaan ini yang kunamakan Tit-te-pai-seng (Tudingan Bumi Menyembah Bintang). Ada empat gerakan yang menjadi pokok dasar dari jurus pertama ini. Yakni mula-mula mengumpulkan seluruh kekuatan di pergelangan tangan kanan lalu kita memecahnya di tiga bagian masing-masing pada ujung jari-jari kaki kiri dan kanan serta yang terakhir adalah pemusatan tenaga sinkang di daerah tan-tian. Semua gerakan ini haruslah mengalir serentak, dan begitu tenaga sakti sudah mulai bekerja maka kita harus secepatnya bergerak menyalurkan kekuatan sinkang itu. Untuk jelasnya, saksikan apa yang hendak kuperbuat ini. Lihatlah!"
Orang tua itu berseru dan tiba-tiba Ujung pedang di tengah keningnya bergetar. Kim Bok melihat betapa getaran itu semakin mengeras dan berbareng dengan gerakan tangan kiri ayahnya yang menempel di sisi pedang dalam satu tepukan pendek, orang tua itu tiba-tiba membentak nyaring dan sekali kedua kakinya bergerak tahu-tahu tubuh ayahnya telah terbang di udara sambil memutar pedang!
Hebat dan cepat luar biasa gerakan ini, sampai-sampi mata Kun Bok hampir saja terasa kabur. Karena itu, pemuda ini merasa terkejut dan dia lalu mempertajam penglihatannya agar dapat mengikuti semua gerakan-gerakan ayahnya. Dilihatnya tangan ayahnya berputar lima kali berturut-turut dan terciptalah lima buah lingkaran lebar atau gelang besar-besar membungkus tubuh ayahnya dalam sinar yang menyilaukan. Angin pedang bercuitan, dan lima cahaya berkeredep itu tampak saling belit-membelit seperti ular.
Kun Bok terkesima, dan tubuh ayahnya kini lenyap tergulung oleh lima "gelang" besar yang berputaran cepat dengan amat indahnya itu. Namun hal ini tidak terlampau lama, karena tiba-tiba saja lima cahaya di udara mendadak pecah berhamburan terganti dengan satu sinar yang tipis dan kuat menukik membelah ke bawah seperti halilintar. Dan berbareng dengan sambaran sinar yang tajam itu terdengarlah seruan Bu-tiong-kiam kepada puteranya,
"Bok-ji, awas perhatikan baik-baik!"
Dan belum lenyap suara ini tiba-tiba saja sinar yang menyilaukan mata itu telah tiba bawah. Kun Bok melihat betapa tubuh ayahnya meluncur turun dengan kepala di bawah serta kaki di atas dan pedang di tangan ayahnya menukik tajam dengan kecepatan penuh. Pesat bukan main gerakan ini, seperti elang yang menukik turun menyambar anak ayam dan belum lagi pemuda itu sadar akan apa yang sesungguhnya terjadi, tiba-tiba saja terdengar suara"cepp" dan pedang ayahnya menancap amblas di dalam bumi.
Dan bersamaan dengan terhentinya gerakan pedang, tubuh Bu-tiong-kiam juga ikut terhenti di tengah udara, berjungkir balik dengan kaki di atas dan kepala di bawah sementara tangan kanannya masih memegang gagang pedang dalam posisi menunjang! Inilah suatu demonstmsi yang hebat bukan main dari jago pedang itu dan Kun Bok sendiri yang melihat perbuatan ayahnya ini sampai celangap. Pemuda terkesima, dan sedetik dia terbelalak bengong. Akan tetapi, begitu rasa kejutnya hilang segera Kun Bok mengeluarkan tepukan kagum dan pemuda ini berjingkrak girang sambil berseru,
"Wah, hebat sekali, ayah! Sungguh hebat… juga luar blasa!"
Pemuda itu berterlak-teriak dan Bu-tiong-kiam tertawa, mencabut pedangnya samba me-lompat berdiri seperti biasa di atas tanah. "Ha-ha, Bok-ji, baru melihat jurus pembukaan ini saja kau sudah mirip orang kesurupan. Bagaimana kalau sudah melihat semua tujuh jurus simpananku ini?"
Pendekar pedang itu tertawa geli dan Kun Bok memandang ayahnya dengan takjub. "Aih, ayah bagaimana kau bisa mencipta jurus pembukaan ilmu pedang sehebat itu? Dan kenapa pula baru kali ini aku tahu? Aih ayah, kau harus segera mengajarkan ilmu itu kepadaku, ayah. Aku ingin selihai engkau...!"
Pemuda ini berseru getengah merengek dan Bu-tiong-kiam tersenyum lebar. "Bok-ji, menuntut ilmu jangan tergesa-gesa. Kukira untuk mempelajari Tit-te-pai-seng itu saja kau harus melatihnya barang dua tiga bulan baru mahir. Mana bisa cepat-cepat? Ilmu yang hebat harus dipelajari perlahan-lahan, butuh ketekunan, keuletan dan kesabaran. Karena itu kau tidak boleh tergesa-gesa."
"Ahh...!" Kum Bok terkejut dan memandang ayahnya dengan mata terbelalak. "Dua sampai tiga bulan, ayah?" serunya kaget. "Hanya untuk melatih jurus pembukaan ini saja!"
Pendekar ini mengangguk dan tersenyuru geli. "Betul, Bok-ji. Kau tidak percaya?"
"Akan tetapi... akan tetapi...."
"Hem, jangan main tetapi saja. Sekarang kalau tidak percaya mari kita buktikan. Kau sudah melihat semua gerakanku tadi, bukan? Nah, ini pedangku, pakai dan lakukan seperti apa yang telah kulakukan tadi,"
Bu-tiong-kiam memberikan pedangnya dan Kun Bok tampak terkejut. Baru sekarang pemuda itu sadar bahwa pedang yang dipakai ayahnya tadi bukanlah sebatang pedang tulen melainkan hanya sebatang pedang kayu belaka. Dan dengan mempergunakan pedang kayu seperti itu, ternyata ayahnya berhasil menusuk tembus sampai tinggal gagangnya!
"Ah,....!" Kan Bok terbelalak dan dia memandang ayahnya seperti orang bengong.
Bu tiong-kiam tertawa dan orang tua ini tahu apa yang sedang dikagetkan oleh puteranya. Karena itu dia lalu berkata, "Nah Bok-ji. Kau sekarang sudah tahu kesulitannya, bukan? Pedang yang tadi kupergunakan itu hanyalah pedang kayu, dan tanpa memiliki sinkang yang terlatih mana bisa menancapkan amblas di dalam tanah? Karena itu, kau harus sabar, Bok-ji, jangan tergesa-gesa. Memang tidak kusangkal bahwa Ilmu Silat Bu-tiong Kiam-sut baik teori maupun prakteknya telah kau warisi dengan cukup baik, Akan tetapi dalam sinkang, kau masih harus banyak berlatih, anakku, maka harus tidak bosan-bosannya belajar. Kalau sekarang kau ragu-ragu mempergunakan pedang kayu ini untuk melatih jurus pembukaan dari Bu tiong-hui-seng-kiam-sut, boleh kau pergunakan pedangmu sendiri, Nah, cabutlah dan ikuti petunjuk-petunjukku."
Kun Bok mengangguk namun pemuda itu masih tertegun, dan baru setelah ayahnya mengulang perintahnya dua kali pemuda ini terkejut dan tersipu-sipu mencabut pedang sendiri setelah mengembalikan pedang ayahnya. Mulailah Kun Bok berlatih, mengikuti petunjuk-petunjuk ayahnya dengan amat hati-hati. Dan seperti kata ayahnya tadi, jurus Tit-te pai-seng itu memang benar-benar tidak mudah.
Pedangnya sendiri yang terbuat dari baja pilihan dan bukan pedang kayu, ternyata masih belum berhasil dia tancapkan tembus sampai ke gagang. Dia hanya dapat menusuk separoh lebih, itupun setelah belajar dua jam lamanya! Juga tubuhnya yang menjungkir dengan kepala di bawan kaki di atas masih belum tenang, bergoyang-goyang hendak roboh, tidak dapat seperti ayahnya yang menyerupai sebatang tonggak kokoh yang kuat.
Namun dengan ketekunan yang luar biasa, akhimya lama-kelamaan dapat juga pemuda itu berhasil. Sedikit demi sedikit gerakan tubuhnya mulai mantap dan setelah dia mengulang-ulang jurus pembukaan Tit-te-pai-seng itu selama hampir empat jam, barulah tubuhnya yang berdiri terbalik di atas gagang pedang itu tidak bergoyang-goyang.
Hal ini menggembirakan hati Bu-tiong-kiam dan orang tua itu tersenyum bangga. "Ha-ha bagus, Bok-ji. Kau hanya tinggal giat melatihnya setiap hari. Jika kau tekun, kurang dari dua bulan saja jurus ini sudah benar-benar mahir kau mainkan."
Orang tua itu berseru dan wajah Kun Bok berseri gembira. Pujian ayahnya ini membangkitkan semangatnya dan meskipun peluh sudah penuh membasahi sekujur tubuhnya namun dia tampaknya tidak kenal lelah. Pemuda ini sudah siap memasang kuda-kuda kembali, hendak melanjutkan latihannya namun tiba-tiba pundanya ditepuk perlahan.
"Cukup, cukup sampai di sini dulu, Bok-ji! Jangan kelewat batas. Masih ada dua jurus lagi yang hendak kuberikan padamu!"
Seruan ayahnya ini membuat Kun Bok terhenti dan orang tua itu sudah melanjutkan kata-katanya lagi sambil tertawa, "Eh, anak gila, apakah kau sudah lupa dengan pesanku tadi? Berlatih ya berlatih, tapi dilakukan sambil jalan saja. Kenapa hendak ngotot? Terlalu lama calon isterimu dibiarkan aku khawatir dia diserobot orang! Apa kau tidak ingin mencari puteri Bong-san-paicu?"
Diingatkan tentang calon jodohnya ini membuat Kun Bok terkejut dan seketika mukanya merjadi merah. "Ah, ayah, kau ada-ada saja," katanya main-main. "Orang lagi asyik berlatih begini masa diputus di tengah jalan?"
Bu-tiong-kiam tertawa. "Bok-ji, untuk jurus pembukaan ini saja kau sudah menghabiskan waktu empat jam. Mana bisa seluruhnya dihabiskan dalam satu hari? Tidak, anakku, kau harus istirahat dan bersabar. Aku sudah memutuskan bahwa hari ini juga kau sudah harus mencari calon isterimu dan sebagai bekal di jalan cukup untuk sementara kau mewarisi dulu tiga jurus inti ilmu silat kita Bu-tiong-hui-seng-kiam-sut. Setelah ini di dalam perjalanan kau bisa melatihnya perlahan-lahan dan kelak apabila kau sudah kembali, maka sisanya dapat kau pelajari lagi. Bukankah ini memberikan kesempatan kepadamu untuk mematangkan semua pelajaran baru?"
Kun Bok memandang ayahnya, sejenak bertatapan pandang namun akhirnya pemuda ini menghela napas panjang. "Aih, ayah, kalau itu sudah menjadi keputusanmu baiklah akan kujalankan semua pekerjaan ini sungguh-sungguh. Tapi ayah, berapa lama aku harus melakukan pencarian ini?"
Pendekar pedang itu tertawa, "Bokji, pertanyaanmu itu agak aneh kedengarannya. Mencari calon isteri sendiri mengapa harus dipakai ukuran waktu? Kalau belum ketemu ya tentu saja jangan kembali!"
"Eh...?" Kun Bok terkejut. "Mana bisa begitu, ayah?"
"Hmm, mangapa tidak?" Bu-tiong- kiam memandang puteranya. "Kalau kau tidak bersungguh-sungguh tentu saja tidak bakal ketemu. Bukankah akhir-akhir ini kau selalu melamunkan gadis itu?"
Bu-tiong-kiam tertawa dan muka Kun Bok Menjadi merah. Memang tidak disangkal, bahwa akhir-akhir ini dia banyak melamun. Tapi yang dilamunkan bukanlah puteri Beng-san-paicu itu melainkan Bi Kwi, gadis cantik yang agak genit dari dusun di bawah gunung. Dan ayahnya salah mengira, menyangka dia sedang merindukam Ceng Bi puteri Beng-san-paicu.
Kun Bok menekan debaran jantungnya yang tiba-tiba berdegup aneh dan terbayanglah olehnya perkenalannya sebulan yang lalu tanpa disengaja dengan si gadis di bawah gunung. Bi Kwi, gadis yang suka mengenakan pakaian serba hitam itu kertemu secara kebetulan saja dengannya. Gadis itu sedang pergi ke sendang, membawa setumpuk pakaian dan rupanya juga bermaksud hendak mandi. Dia berjalan bersama dua orang temannya yang lain, bergurau sambil menyanyi-nyanyi seperti layaknya perawan gunung yang sedang bergembira.
Pada waktu itu mereka tiba di sebuah tikungan tajam, dan jalan ini merupakan jalan setapak yang amat sempit. Dia sendiri pada saat itu sedang turun, dan Bi Kwi bersama teman-temannya sedang naik. Entah bagaimana asal mulanya. Tiga orang gadis yang sedang bergurau itu tiba-tiba saja menjerit.
"Siocia, alasan demikian mudah mengapa mesti ditanyakan lagi? Bukankah Socia sendiri yang pada waktu itu menyuruh hamba untuk menyiapkan makanan dan minuman bagi Yap-goanswe di kamar siocia? Nah tentu dari situlah anak ini lahir. Alasan apa lagi?"
Tok-sim Sian-li terkekeh. "Bagus, rupanya otakmu encer juga. A-cheng, akan tetapi bukankah kata-katamu ini hanya untuk melenyapkan kemarahanku dari dosa yang kau perbuat pelayanku yang minis?"
Wanita itu tertawa dingin dan A-cheng terkesiap kaget. "Eh, ini… oh, tidak siocia… tidak begitu... sungguh mati hamba tidak bermaksud begitu! Kalau siocia tidak percaya, hamba masih mempunyai alasan nomor dua yang tentu tidak dapat siocia bantah kebenarannya!"
Tok-sim Sian-li menghentikan tawanya dan wanita ini tampak terkejut. Sedetik bola matanya berputar beran, namun akhirnya dia mendengus dingin. "Hem, kau hendak main-main apalagi, pelayan pengkhianat?"
A-cheng membenturkan jidatnya dengan muka pucat. "Siocia, hamba sungguh tidak main-main. Dan lagi mana berani hamba main-main terhadap Siocia? Tidak, siocia, sungguh mati demi segala iblis di dasar neraka hamba tidak sedang mempermainkan siocia. Kalau siocia tidak percaya, biarlah sekarang juga siocia membunuh hamba!"
Tok-sim Sian-li tertawa aneh. "Hi-hik, memangnya aku dapat mempercayaimu, A-cheng? Semenjak perbuatannau meloloskan sepasang kuda liar itu aku memang sudah tidak gampang lagi percaya kepadamu. Akan tetapi, sebelum kau mampus menerima hukuman, coba biar kudengarkan dulu apa alasanmu yang nomor dua itu. Kalau benar tidak dapat kubantah, berarti masih panjang dan untuk itu bersyukurlah terhadap dewa kematian. Nah, sekarang bicaralah!"
Tok-sim Sian-li memandang pelayannya itu dengan sinar mata dingin, semencara A-cheng mengangkat mukanya dengan mata terbelalak. Tapi rupanya pelayan ini memang bersungguh-sungguh, karena kalau tadi dia tampak ketakutan adalah seakarang wajaknya tiba-tiba berseri girang. Janji majikannya ini rupanya telah menenangkan perasaanya dan karena itu diapun lalu melompal bangun.
"Siocia," A-cheng berkata sambil menudingkan telunjuknya kepada bayi yang digendong, "Alasan nomor dua yang hendak hamba kemukakan di sini adalah berdasarkan kenyataan pada anak siocia itu. Lihat, bentuk tubuhnya yang sehat montok itu dan juga wajahnya yang tampan kemerahan, bukankah sudah cukup untuk dijadikan alasan lain bahwa bayi ini memang bukan anak sembarangan? Dia memiliki cahaya aneh pada roman mukanya, seperti Yap-goanswe, penuh perbawa dan kekuatan terpendam yang tidak dimiliki oleh bayi-bayi biasa. Dan lagi, tangisnya yang nyaring dan mengejutkan tadi, bukankah menunjukkan tanda-tanda yang luar biasa pada bayi siocia ini? Kelak, apabila dia sudah besar hamba yakin bahwa putera siocia itu bakal merupakan duplikat ayahnya yang gagah perkasa seperti kenyataannya! Nah, apakah kata-kata hamba ini mengandung kebohongan?"
A-cheng berhenti bicara dan Tok-sim membelalakkan matanya tertegun. Memang apa yang dikatakan pelayan itu tidak salah. Bayi yang digendongaya ini pemang menunjukkan tanda-taada seperti itu, sehat dan kuat. Bahkan kesehatan dan kekuatan yang agak luar biasa. Teringat oleh wanita ini betapa seminggu yang lalu, ketika dia mandi dan meletakkan bayinya itu di atas sebuah batu besar, tiba-tiba tanpa disangka anaknya yang tadi tidur itu mendadak bangun. Bayi yang baru berumur setengah bulan ini tahu-tahu sudah bisa tengkurap, satu hal yang amat ajaib sekali! Dan karena tengkurap-menelentang beberapa kali, tiba-tiba saja anaknya itu telah berada di pinggiran batu besar tanpa dia ketahui sampai akhirnya, sebuah tangis melengking nyaring membuatnya terkejut karena anaknya itu sudah terjatuh dari atas batu hitam!
Tentu saja ibu muda ini terkejut. Tanpa menghiraukan tubuhnya yang masih telanjang bulat, Tok-Sim Sian-li melompat dari dalam air untuk menolong anaknya yang terbanting. Hatinya sudah cemas, karena mengira anaknya laki-laki itu tentu bakal celaka, setidak-tidaknya mengalami gegar otak yang mengkhawatirkan. Namun sungguh mengherankan. Bayi yang memang terbentur dengan keras kepalanya ini ternyata tidak apa-apa. Hanya sedikit kulit kepalanya berdarah, disertai beberapa benjolan di sana-sini dan ketika dia hendak memberi obat pada luka kecil di kepala itu, mendadak saja darah berhenti meagalir dan kulit yang lecet sedikit itu tahu-tahu menutup secara ajaib!
Tentu saja Tok-sim Sian-li terbelalak beran dan diam-diam dia terkejut bukan main. Akan tetapi, teringat bahwa ayah bocah ini memang juga merupakan orang luar biasa yang tiada tandingannya, dia bahkan merasa girang dan kagum bukan kepalang. Tok-sim Sian-li terkekeh gembira dan sambil menciumi bayinya yang masih menangis itu wanita muda ini tertawa-tawa seperti orang gila. Diayun-ayunnya anak laki-laki itu, dilontar-lontarkannya ke udara seperti orang bermain bola dan akhirnya disusuinya bayi laki-lakinya ini yang segera menghentikan tangisnya ketika tersumbat oleh ujung buah dada ibunya yang kenyal segar!
Itulah kisah seminggu yang lalu dan kini, tanpa diatur oleh siapapun tiba-tiba saja A-cheng mengemukakan pendapatnya tentang bayi laki-lakinya ini yang memang tidak dapat disangkal menunjukkan tanda-tanda seperti itu. Bagaimana Sian-li tidak bakal tercengang? Sejenak wanita ini tertegun dengan mata terbeldak dan diam-diam dia harus mengakui kebenaran ucapan pelayannya itu. Memang tidak dapat dipungkiri, kata-kara A-cheng mengandung kenyataan dan tiba-tiba Tok-sim Sian-li terkekeh gembira. Biar bagaimanapun juga, ucapan pelayannya tadi sama dengan pujian untuk dirinya yang telah berhasil mendapatkan seorang anak laki-laki yang hebat.
Dan itu semua berkat jerih payahnya yang mati-matian dalam memperebutkan cinta kasih dari pemuda idamannya, Yap-goanswe yang gagah perkasa yang kini lebih dikenal dengan nama Pendekar Guru Neraka itu! Siapa tidak bakal bangga? Meskipun tidak seluruh cinta kasih pemuda itu diperolehnya, namun dia telah mendapatkan benih dari laki-laki yang dicintai akan tetapi yang sekaligus juga dibencinya itu!
Tok-sim Sian-li tertawa melengking, mula-mula penuh kegembiraan dan kepuasan yang tidak dapat ditahan, namun akhimya suara tertawa itu tiba-tiba berobah sendu dan serak seperti tangis yang tersendat-sendat. A-cheng yang mendengar ikut terpengaruh dan pelayan baju kuning ini menjadi gemetar. Dia tidak tahu, perasaan apa yang melanda murid datuk iblis itu. Kalau melihat mimik mukanya yang pertama, agaknya dia lolos dari lubang maut di tangan wanita ganas ini, Tetapi, mendengar suara tawa yang terakhir itu dan sorot matanya yang mendadak menjadi buas.
A-cheng mau tak mau menciut nyalinya. Diam-diam pelayan ini bersiap-siap. Meskipun di mulut dia rela binasa di tangan majikannya, namun sesungguhnya gagang pedang yang ada di tangannya digenggam erat-erat. Terus terang dia tidak mau mati konyol di bawah tangan murid Cheng-gan Sian-jin ini dan meskipun dia sadar bahwa kepandaiannya kalah jauh, namun A-cheng telah bertekad untuk mempertahankan diri sampai titik darah terakhir. Karena itu, senjata yang sudah di tangan ini semakin erat dipegangnya dan tiba-tiba gadis itu terkejut.
Ujung pedang mendadak bergetar aneh. A-cheng terbelatak dan pada saat itu tiba-tiba bayi di gendongan Tok- sim Sian-li menjerit nyaring. Teriakan anak laki-laki ini begitu tiba-tiba sehingga Tok-sim Sian-li tampak terkejut dan otomatis menghentikan tawanya. Dua orang wanita ini, majikan dan pelayan, sama-sama memandang bayi itu dan apa yang mereka lihat? Sesuatu yang mengejutkan telah terjadi. Anak laki-laki itu meronta, demikian kuat rontaannya sampai-sampsi Tok-Sim Sian-li sendiri yang masih dilanda kagetnya tidak mampu menahan.
Bayi itu langsung terjatuh, membuat ibunya terpekik pucat dan belum sempat Tok-sim Sian-li membungkuk untuk mengangkat anaknya, sekonyong-konyong sebuah sinar ungu kehitaman berkelebat di atas kepala bayi. Satu suara aneh memecah keheningan yang menukau itu dan Tok-sim Sian-li serta A-cheng melihat munculnya sesosok tubuh kanak-kanak berperut buncit yang terkekeh dengan matanya yang sebesar jengkol itu. Kiranya si "hantu" cebol bermuka biru!
Tentu saja dua orang wanita ini terkejut bukan main. A-cheng menjerit dengaan muka pucat, sementara Tok-sim Sian-li berseru tertahan dengan mata terbelalak lebar. Sejenak mereka berdua melupakan anak laki-laki yang terjatuh, dan tidak melihat betapa dari kepala bayi memancar sebuah sinar ungu kehitaman persis seperti yang dipunyai oleh "hantu" cebol itu. Kehadiran yang amat mendadak dari kanak-kanak berperut buncit ini telah mencekam perasaan dua orang yang berdiri di situ, namun Tok-sim Sian-li yang lebih lihai telah berhasil menguasai kekagetannya dalam beberapa detik.
"Kau siapakah, siluman kecil?" Tok-sim Sian-li membentak.
Mahluk aneh itu memutar tubuh, dia tersenyum sebelum menjawab dan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan wanita berambut riap-riapan itu. "Ibu, aku adadah anakmu sendiri. Masa tidak dikenal?"
Jawaban ini membuat Tok-sim Sian-li tersentak kaget dan ketika dia hendak mendamprat gusar, tiba-tiba saja dia terpaksa menahan seruannya. Tok-sim Sian-li berdiri terbelalak, dan mata yang jernih indah itu sekarang menatap lebar di tanah. Kiranya, bayi yang baru saja jatuh di depan kakinya ini sekarang lenyap dan sebagai gantinya adalah anak kecil yang berlutut depannya. Tentu saja wanita ini terkejut bukan main dan ketika dia hendak melompat menerkam anak "iblis" itu tiba-tiba saja mahluk ini berteriak,
"Ibu, jangan pukul aku! Aku tidak berdusta! Aku betul-betul anakmu, lihatlah.....!"
Bocah perut buncit itu mengusep mukanya satu kali dan sungguh luar biasa. Di depan Tok-sim Sian-ii tiba-tiba telah berdiri seorang anak laki-laki kecil yang rupanya mirip dengan bayinya! Tentu saja wanita ini terkesima dan "bayi besar" itu tertatih-tatih menghampiri Tok-sin Sian-li. Kemudian, setelah dekat, anak itu lalu memeluk kaki wanita ini dan berkata,
"Ibu, kenapa hendak memukul aku? bukankah aku tidak bersalah kepadamu? Jangan teruskan niatmu itu, bu, karena kau bakal celaka sendiri. Percayalah...!" dan anak itu lalu mendekap kaki ibunya kuat kuat.
Tok-sim Sian-li tertegun dan A-cheng sendiri terpukau. Hantu cebol itu ternyata sekarang berobah merijadi seorang anak laki-laki tampan dan melihat pemandangan yang terjadi itu, dia merasa seolah-olah sedang dilanda mimpi aneh. Karena itu, A-cheng yang terbuka mulutnya tanpa suara ini benar-benar terkesima bengong. Dia tidak tahu, apa yang sesunggulanya yang terjadi dan bagaimana pula, hal itu sampai bisa terjadi. Hanya samar-samar, dia lalu teringat akan adanya sebuah dongeng tentang tumimbal lahir (reinkarnasi) dari roh-roh di alam lain yang turun ke bumi mencari badan wadagnya yang baru. Inikah kenyataan dari dongeng yang pernah didengamya itu? A cheng tidak tahu.
Dan bocah yang merangkul kaki Tok-sim Sian-li itu tiba-tiba membalikkan tubuh. "Enci, kenapa kau selama ini tidak mau memberikan pedang kepadaku? Apakah minta digebug ibu?"
A-cheng terkejut dan gadis ini sadar dari bengongnya. Sedetik dia gelagapan, namun akhirnya dapat menguasai diri meskipun diam-diam jantungnya masih berdegup kencang. "Apa... apa maksud kongcu (tuan muda)?" tanyanya tida enak. "Kalau kongcu meminta pedang? Sedangkan siocia sendiri baru mendengarnya sekarang ini..."
Anak kecil itu tiba-tiba melotot dan A-cheng melihat betapa wajah yang tadi tampan itu mendadak berobah lagi seperti si hantu gundul, buruk dan menyeringai kejam! "Hemm, kau hendak dirobek beberapa potong oleh ibu dengan omonganmu yang bohong ini enci? Apakah kau masih hendak bersikeras menahan pendirian setelah ibu berada di sini? Itukah yang kau kehendaki? Kalau begitu, biar kulaporkan semua perbuatanmu semenjak di hutan pertama kali dahulu!" bocah itu berkata dan A-cheng menjadi pucat.
"Eh... ohh tidak, jangan kongcu... jangan menyiksa hamba lagi! Dahulu, mana hamba tahu kalau engkau adalah putera siocia? Kalau dari dulu kongcu mengaku, tentu hamba tidak berani menolak. Sekarang, jika kongcu menghendaki, biarlah pedang ini kuberikan kepada kongcu sebagai alat penjaga diri....!" dan A-cheng pun dengan tergesa-gesa menyodorkan pedang di tangan kepada mahluk ganjil itu.
Anak ini terkekeh. "Heh-heh, ibu, palayanmu yang manis ini tampaknya ketakutan melihat kehadiranmu. Tadi dia tidak takut kepadaku, ini kelak harus diberi hajaran. Ibu, kalau aku sudah besar, bolehkah dia nanti diberikan kepadaku? Aku ingin mencicipi tubuhnya, lalu menggurat-gurat dengan pedang ini. Kemudian kalau dia masih berani juga, maka darah di urat lehernya yang jenjang itu harus disedot perlahan-lahan. tentu nikmat kalau begitu.....!"
Anak setan itu tertawa mengerikan dan A-cheng melihat betapa Tok-sim mengaugguk-angguk seperti orang kena sihir. Tentu saja hal ini membuat gadis itu gemetar ketakutan dan si bocah aneh ini mendadak mengerakkan pedangnya di depan hidung A-cheng dengan tiba-tiba. Gerakan ini cepat, dan A-cheng mencelos kaget. Dia mengira batang hidunguya dibabat, karena itu diapun lalu memekik kaget sambil melompat mundur. Akan tetapi si mahluk aneh ini tetap mengikuti kemanapun A-cheng menghindar, ujung pedang tetap bergetar di depan hidungnya! Karena itu, A-cheng lalu berhenti dengan keringat dingin dan gadis yang dilanda ketakutan yang amat sangat ini akhimya mendeprok lumpuh.
"Ampun, kongcu.... ampun.... hamba mohon ampun...!" A-cheng berseru lemah sementara kesadarannya sendiri tinggal separo. Dia merasa seakan-akan berada ditengah-tengah langit dan bumi, di antara mati dan hidup. Karena itu gadis ini sudah berada di antara keadaan sadar dan pingsan. Satu-satunya pikiran pada saat itu hanyalah menyerahkan nasib pada dewa kematian. Kalau dia memang harus tewas, biarlah dia pasrah tanpa daya. Seperti seekor anjing yang telah dibuntungi keempat kakinya dalam sebuah wajan panas.
Namun bocah itu ternyata tidak bermaksud membunuh ataupun melukai. Dia hanya membentak bengis, "Enci A-cheng, masihkah kau ada minat untuk menentangku kelak, baik ibu ada di sampingku maupun tidak?"
A-cheng menggigil lumpuh. "Tidak, kongcu... tidak... hamba tidak berani...." gadis itu terbata-bata.
"Hemm, benarkah ucapanmu ini? Bagaimana kalau sebaliknya?"
A-cheng bersimpuh gemetar. "Kongcu, bila hamba kelak berkhianat dengan janji ini biarlah kelak pedang itu sendiri yang memenggal leher hamba!"
"Bagus...!" anak laki-laki itu terkekeh, "Ibu kau sendiri telah mendengar janji pelayanmu ini dan apabila kelak dia benar-benar berkhianat, maka jangan kita beri ampun lagi kepadanya. Baiklah, sekarang biar aku kembali dulu!"
Dan baru saja kata-kata "kembali" itu lenyap anak itu tiba-tiba menghilang. Sebuah cahaya ungu kehitaman tampak berkelebat di depan kaki Tok-sim Sian-li dan... tangis bayi yang melengking nyaring terdengar memecahkan keheningan senja yang semakin gelap. Tok-sim Sian-li dan A-cheng tersentak kaget, memandang ke bawah seperti orang bangun tidur dari suatu mimpi buruk dan mereka melihat betapa di atas tanah tergolek merenta-ronta seorang bayi laki-laki dengan sebatang pedang di atas perutnya. Bayi Tok-sim Sian-li.
Tentu saja dua orang wanita ini terkejut, sejenak saling berpandangan dan Tok-sim mengeluarkan seruan tertahan sambil memunggut anak laki-lakinya. Kejadian yang bam saja mereka itu seperti mimpi saja, amat aneh dan luar biasa. Maka Tok-sim Sian-li dan A-cheng tertegun seperti orang bingung. Dan baru saja bayi itu diangkat, sebuah suara parau terdengar mengejutkan mereka,
"Aih, hujin (nyonya), mengapa kalian membiarkan roh Kalapati memasuki tubuh anakmu? Wah, celaka seribu kali. Anak ini kelak membuat onar saja di dunia. Bunuh saja dia, hujin, bunuh saja mumpung belum terlambat!"
Daun beluntas terkuak lebar dan seorang laki-laki asing muncul dengan dialeknya yang agak sengau. Dua orang wanita ini memandang, dan alis Tok-sim Sian-li terangkat naik. Ucapan orang yang terakhir ini membuat wanita iblis ini naik darah. Tapi karena pada saat itu bayinya menangis keras tanda kelaparan, diapun menahan diri sambil membuka bajunya. Tangis segea berhenti terganti dengan suara menggelogok yang amat lahap ketika bayi itu menyentuh putting susu ibunya dan Tok-sim Sian-li mendengus.
"Manusia siluman berhidung bengkung, kau siapakah dan ada hak apa pula menyuruh bunuh anakku ini?"
Tok-sim Sian-li memandang berapi-api sementara yang dipandang tampak menatap penuh kecemasan. "Hujin," demikian laki-laki itu berkata, "aku menyesal kedatanganku ternyata sedikit terlambat. Bintang Waluku di selatan langit telah memberikan tanda akan turunnya roh Kalapati ini kepadaku, dan aku segera mengikutinya dengan tergesa-gesa. Ketahuilah bahwa aku adalah pendeta dari Thian Tiok (India) yang sengaja datang kesini untuk mencegah masuknya roh Kalapati dalam wadag seseorang di bumi ini. Karena itu begitu melihat anakmu kemasukan roh jahat ini, aku segera datang memberitahu agar kau membunuh saja anakmu itu sebelum terlambat!"
Tok-sim Sian-li mengangkat alisnya. "Setan keparat! Jadi kau jauh-jauh datang kemari hanya untuk membunuh anakku ini, pendeta tua bangka jahanam? Kalau begitu, kemarilah! Biar kau rasakan terlebih dahulu nikmatnya dijemput Dewa Kematian. Haikkk..!"
Wanita itu memekik dan tubuhnya tiba-tiba berkelebat ke depan. Tangan kirinya masih menggendong anaknya yang menyusu sementara tangan kanannya bergerak menampar. Angin berkesiur dingin menyambar ke depan dan Pendeta Vijananda berseru kaget.
"Hujin, tahan, aku tidak bermakasud buruk....aihh!" Pendeta ini menghentikan seruannya dan secepat kilat dia membanting tubuh bergulingan.
"Plakk!" Tamparan luput mengenai pendeta India itu dan sebagai gantinya pohon di belakang kena sambarannya. Terdengar suara berkerotok dan tiba-tiba pohon itu roboh!
"Tok-hiat-jiu (Pukulan Darah Beracun)…..!" pendeta itu berteriak kaget ketika melihat cap lima jari berwarna merah di kulit pohon yang roboh dan sedetik matanya berkejap heran. Namun Tok-sim Sian-li yang sudah marah ini tidak memberinya ampun. Begitu tamparan luput segera dia menerjang lagi. Rambutnya kali ini ikut bicara dan bertubi-tubi serangan wanita ganas itu dilancarkan.
Vijananda tampak kewalahan, namun pendeta ini ternyata lihai juga. Meskipun dia diserang gencar, akan tetapi ketenangan sikapnya mengagumkan juga. Setiap serangan dapat dia elakkan, atau kadang-kadang terpaksa dia tangkis juga dengan amat hati-hati, selalu mengarah ke samping menghindari benturan langsung. Karena itu, Tok-sim Sian-li menjadi gemas. Bayi yang sedang digendong tiba-tiba dilemparkan ke arah A-cheng.
"A-cheng, terima dulu anakku ini!" wanita itu berteriak dan A-cheng cepat menyambut. Dan begitu bayi diterima segera wanita ini menerjang dengan lebih ganas lagi kearah Pendeta Vijananda.
Mulailah pertempuran sengit terjadi. Tok-sim Sian-li menyambar-nyambar seperti burung kelaparan sementara lawannya bertahan sambil berseru tiada henti-hentinya untuk menghabisi pertikaian ini. Namun, mana wanita itu sudi mendengar? Semakin keras pendeta itu berteriak semakin keras pula dia melancarkan serangan-serangannya yang makin dahsyat.
Hal ini membuat Vijananda mengeluh. Dua kali sudah hampir saja dia celaka dihantam pukulan Tok-hiat-jiu. Yang pertama menyerempet pundaknya hingga lengan baju pundak terbakar merah sedangkan yang ke dua hampir-hampir mengenai lehernya kalau tidak cepat-cepat dia melempar kepala ke belakang. Karena itu, menyaksikan lawan semakin ganas pendeta ini tiba-tiba mencabut tongkat ulamya dari belakang punggung.
"Hujin, kita tidak saling kenal-mengenal, mengapa kau mati-matian hendak membunuhku?" dia berteriak memperingatkan.
Akan tetari Tok-sim Sian-li bahkan naik darah. "Pendeta kelaparan tua bangka jahanam, siapa bilang kita tidak saling kenal-mengenal? Kau telah mengetahui pukulanku, dan akupun mengetahui namamu. Untuk apa banyak cerewet lagi? Hayo terima ini dan menghadaplah ke Giam-lo-ong (Raja Akherat)....!"
Wanita itu menggerakkan tangan kirinya yang kini berwama merah darah itu ke ulu hati lawan sementara jari tangan kanannya menyelinap menotok jalan darah kematian diatas kalamenjing Vijananda. Dua serangan ini hampir berbareng, dan mana yang lebih berbahaya sukar dibandingkan. Yang jelas, baik terkena di ulu hati ataupun diatas kalamenjing pendeta India itu pasti roboh binasa. Karena itu, tidak beran jika Vijananda berseru tertahan.
"Aih, ganas!" pendeta itu berteriak dan tongkat di tangan kanannya diputar cepat melindungi diri.
"Plak-crettt... ihh!"
Tongkat bertemu tangan kiri dan totokan Tok-sim Sian-li mengenai nadi di samping kalamenjing. Kiranya pendeta itu tadi telah memiringkan kepalanya sedikit dan jari wanita iblis itu menyentuh jalan darah Chi-ha-hiat yang kenyal. Biasanya, apabila jalan darah ini tertotok yang bersangkatan pasti menjerit ngeri seperti dibakar api. Tapi ternyata pendeta ini sama sekali tidak mengeluarkan teriakan, dan urat besar yang tertotok tadi ternyata "mengelincir" lunak secara tiba-tiba. Tentu saja Tok-sim Sian-li berseru tertahan dan tahulah dia bahwa lawannya itu kiranya mahir mempergunakan I-kong-hoan-hiat (Memindahkan Jalan Darah)!
Karena itu, kemarahannya semakin memuncak dan bukti bahwa tongkat lawan sama sekali tidak harcur bertemu dengan telapak tangannya yang penuh tenaga Tok-hiat-jiu membuat wanita ini memekik murka dan sekali tangan kanannya disendal ke belakang, tampaklah cahaya hitam berkelebat ke depan. Sebuah bendera kecil berbentuk segi tiga berkibar angkuh di udara, dan gambar seekor naga dengan matanya yang hijau buas menggetar seram di tangan wanita ini. Namun itu hanva sekejap saja karena begitu dicabut, segera senjata aneh ini menyambar muka Vijananda yang terbelalak kaget.
"Bendera Iblis...!"
Demikian pendeta itu berseru dan tiba-tiba ketenangannya goyah. Bendera yang menyambar dihindarinya dengan lompatan jauh ke belakang dan ketika lawannya memburu maju, pendeta ini berseru, "Hujin, ada bubungan apa kau dengan Cheng-gan Sian-jin?"
Tok sim Sian-li menjawab dingin, "Aku adalah muridnya! Kenapakah?"
"Ah, pantas...." hanya sekian pendeta itu berbicara karena segera dia menghentikan kata-kanya sebab Bendera Iblis dan pukulan Tok-hiat-jiu tiba. Dia tidak berani banyak membuka suara lagi, dan cepat tongkat ularnya diangkat menyambut lengan lawan sementara kibaran bendera hitam dihindari dengan lompatan ke kiri.
"Wuut... plakk!"
Tongkat bertemu lengan dan kali ini Vijananda berseru tertahan. Tangkisan yang kurang kuat akibat terpengaruh hadirnya Bendera Iblis membuat pendeta itu hampir saja celaka. Tongkatnya terpental, sementara tangan kiri Tok-sim Sian-li meluncur terus menghantan dadanva. Vijananda terkejut, dan secepat kilat pendeta itu membanting tubuh. Akan tetapi sayang, tindakannya ini masih saja terlambat dan meskipun dadanya selamat dari pukulan tangan beracun itu namun pundak kanannya yang menjadi korban.
"Dess... aduh!"
Vijananda merjerit keras dan pendeta ini mengeluh panjang. Tongkat dibalikkan dan tiba-tiba tubuhnya berdiri diatas tongkat. Kemudian sebelum lawannya memburu lebih lanjut, tiba-tiba orang ini sudah menekan senjatanya dan melesat di dalam gelap.
"Hujin, kuterima hukumanku ini, akan tetapi ingatlah bahwa kalau anak itu tidak kau bunuh, kelak dialah yang bakal membunuhmu. Selamat tinggal…..!" pendeta itu masih sempat berseru dari kejauhan dan Tok-sim Sian-li menjadi merah mukanya.
"Pendeta keparat, ke mana kau hendak lari?" Wanita ini mendesis marah dan dia hendak mengejar. Namun tiba-tiba bayinya menangis dan A-cheng pun berseru,
"Siocia, jangan kejar orang itu. Anakmu butuh pertolongan, dia digigit ular!"
Seruan ini membuat muka wanita itu berobah dan Tok-sin Sian li tampak terkejut sekali. Dia membatalkan niatnya mengejar dan sambil membanting kaki penuh kegemasan wanita ini melompat mendekati anaknya. Dan memang betul, anak laki-lakinya digigit ular di pergelangan tangan kirinya. Luka kecil yang tak seberapa tampak membintul di atas daging yang masih lunak itu. Namun mata Tok-sim Sian-li yang tajam dapat melihat adanya perobahan warna kehijauan di tempat luka itu dan wanita ini mengumpat.
"Setan, bagaimana anakku sampai dapat dipagut ular berbisa, A-cheng? Apakah kau sengaja membiarkannya agar mampus seperti keinginan keledai dari Thian-tiok itu?"
A-cheng menggigil dengan muka pucat. "Ampun, siocia, hamba sama sekali tidak tahu tentang kejadian ini. Hamba tadi sedang bengong memandang pertandingan di depan dan tiba-tiba saja seekor ular kecil telah melekat dan menggigit kongcu."
"Hemm, ular berkulit hijau?"
A-cheng terbelalak heran. "Betul, bagaimana siocia bisa tahu?"
Akan tetapi Tok-sim Sian-li mendengus. "Jangan banyak cerewet. A-cheng. Lebih baik sekarang lekas kau ambilkan semangkok air bersih untuk anakku ini. Cepat....!"
"Baik, siocia," A-cheng mengiyakan dan dengan tubuh gemetar gadis ini bangkit berdiri. Tapi baru beberapa langkah dia berjalan, terdengar wanita iblis itu berkata dingin, "A-cheng, kuharap kau tidak mempergunakan kesempatan ini untuk melarikan diri. Sebab kalau tidak, nyawanau bakal tidak kuampunkan lagi selama hidup. Mengerti?"
A-cheng mengangguk-anggukkan kepalanya dengan muka pucat. "Mengerti, siocia.... hamba mengerti." dan dengan tergesa-gesa diapun lalu menuruni bukit mencari air.
Sejenak Tok-sim Sian-li memandang punggung pelayan ini dengan mata bersinar, kemudian merogoh baju bagian dalam. Bayinya masih menangis kesakitan, namun wanita ini tampak barsikap tenang. Sekejap kemudian, tangan yang merogoh itupun ditarik ke luar dan... sebuah benda gemerlapan mencorong bercahaya mengusir kegelapan malam. Sedetik mulut wanita iblis itu manyungging senyum kemenangan, namun alis yang berkerut itu segera merapat kembali. Wajahnya menyinarkan cahaya aneh, dan hanya iblis serta setan-setan di dasar neraka saja yang tahu apa yang saat itu sedang dipikirkan oleh wanita ini. Tok-sim Sian-li menimang-nimang, dan benda ditelapak tangannya berkeredep semakin terang.
Sekali lihat, orang bodohpun tahu bahwa benda yang kini dipegang oleh wanita cantik beramput riap-riapan itu pastilah sebuah mustika. Dan hal ini memang benar. Benda yang dipegang oleh murid Cheng-gan Sian-jin itu bukan lain adalah benda yang dulu pernah disebut-sebut Lek Hui kepada Pendekar Gurun Neraka. Sin-hong cu (mutiara Naga Sakti)!
Inilah dia benda mustika yang dijadikan rebutan orang banyak itu. Dan Tok-sim yang sadar akan bahaya yang sewaktu-waktu datang mengancam bagi dirinya sendiri dan anak laki-lakinya, kali ini sengaja menyimpan benda langka itu di batik bajunya. Dulu dia memang melekatkan mutiara itu di leher bayinya, namun semenjak kerusuhan yang terjadi dari orang-orang dunia hitam beberapa waktu yang lalu telah merobah pikirannya untuk menyelamatkan benda ini dari perampas-perampas tak dikehendaki.
Karena itu, semenjak mustika ini disimpannya sendiri, maka hati Tok-sim Sian-li terasa lebih tenang. Itulah sebabnya dengan tidak ragu-ragu dia tadi melemparkan anaknya kepada A-cheng. Dan sekarang, dengan benda mustika ini di tangan, dia sama sekali tidak merasa khawatir akan segala jenis racun dari binatang-binatang paling berbisa sekalipun di seluruh dunia!
Itulah sebabnya dia tenang-tenang saja meskipun tahu anaknya digigit ular berbisa. Sebagai murid Cheng-gan Sian-jin, tentu saja dia tahu mengenai racun macam apa yang kini memasuki tubuh anaknya. Karena itu, dengan cepat diapun menempelkan mutiara ini di atas pergelangan tangan anaknya dan tidak sampai dua menit saja racun yang mengeram di luka kecil itu telah tersedot keluar!
Hebat memang, dan amat mengagumkan sekali daya hisap dari Mutiara Naga Sakti itu. Namun yang lebih mengagumkan lagi adalah daya penawar dari Benda mustika ini yang mampu membersihkan sisa-sisa racun di dalam darah bekas gigitan ular hijau. Dan setelah beberapa menit kemudian, bisa yang amat ganas itupun lenyap. Tok-sim Sian-li tersenyum ewah, dan wanita ini bangkit berdiri sambil menyimpan jimat pusakanya.
Bayinya tidak berteriak lagi dan pada saat itu A-cheng pun tiba membawa semangkok air bersih. Pelayan ini tidak tahu betapa sebenarnya majikannya itu hanya berpura-pura saja menyutuhnya mengambill air, karena Tok-sim Sian-li yang tidak menghendaki pelayannya itu tahu bahwa dia memiliki sebuah mustika. Dan sekarang. melihat pelayan ini datang membawa air, wanita itu lalu berobah sikapnya. Senyum manisnya muncul, dan mata yang tadi bersinar dingin itu bercahaya lembut.
"Hmm, kau sudah datang. A-cheng? Bagus, capat benar kalau begitu!" Tok-sim Sian-li membuka mulut dan A-cheng berseri girang mendengar suara yang tidak dibuat-buat ini.
"Ah, hamba sengaja mencarinya di tempat yang terdekat, siocia, khawatir jika keselamatan kongcu tarlambat."
"Hi-hik, rupanya kesetiaanmu yang lama sudah timbul kembali, A-cheng? Bagus, aku senang kalau begitu. Ih, coba kau campur bubuk kuning ini di dalam mangkok ini dan tuangkan kedalam mulut anakku dengan hati-hati."
Tok-sim Sian-li memberikan sebungkus obat dan A-cheng menerimanya dengan cekatan. Gadis palayan yang sudah mulai tenang hatinya ini sekarang dapat bekerja cepat dan dengan hati-hati dia lalu mencampur obat itu ke dalaln air lalu meminumkannya secara perlahan-lahan ke mulut putera majikannya. Dan memang kelihatannya manjur sekali obat itu. Begitu diminumkan, wajah yang tali pucat sekarang sudah mulai merah seperti biasa sebelum digigit ular. A-cheng mendesah kagum, tidak tahu betapa sebenarna itu adalah hasil perbuatan majikannya sendiri yang amat lihai.
"Wah, luar biasa sekali, siocia. Kongcu ternyata sembuh dalam beberapa kejap saja!" demikian pelayan itu berseru takjub sementara yang dipuji hanya tersenyum simpul.
"Hmm, pagutan ular yang begitu saja mana ada artinya bagiku, A-cheng? Obat peninggalan suhu memang selamanya dapat dipercaya, kenapa mesti heran?"
A-cherg mengangkat mukanya. "Akan tetapi, siocia..."
"Sstt......!" Tok-sim Sian-li memotong sambit mengerutkan ails. "Mengapa sejak tadi kau memanggilku siocia (nona) selalu A-cheng? Jelek-jelek, aku sudah menjadi isteri orang meskipun orang itu tidak mengakui diriku sebagai isterinya!"
A-cheng terkejut dan gadis ini terbelalak. "Kalau begitu...?"
"Kenapa tidak merubah panggilan menjadi hujin?" demikian Tok-sim Sian-li melanjutkan dan wajah wanita ini tiba-tiba menjadi keras. "A-cheng, Mau kau masih memanggilku siocia berarti kau tidak menghargai diriku lagi. Karena itu kuperingatkan sekali lagi kepadamu bahwa mulai detik ini kau harus menyebutku hujin!"
"Baik, sio.... eh, hujin!" A-cheng tergagap karena belum biasa dan Tok-sim Sian-li tersenyum kaku.
Wanita iblis itu menghela napas, sejenak merenung jauh memandang kegelapan malam dan tiba-tiba. bertanya, "A-cheng, apakah kita tadi bermimpi? Siapakah anak kecil itu?"
A-cheng terkejut. "Ah, mana hamba tahu, Hujin? Hamba sendiri tadi juga terasa seperti mimpi. Patera hujin yang jatuh tiba-tiba lalu lenyap terganti dengan munculnya bocah aneh itu benar-benar membuat hamba bingung. Apakah kejadian tadi itu sungguh-sungguh, hujin? Hamba kok merasa seperti berada di alam lain."
Tok-sim Sian-li mengereyitkan keningnya. "Hmm, aku sendiri juga bingung, A-cheng. Kejadian itu telah membuat diriku seperti terkena hikmat, antara sadar dan tidak. Tapi kalau hanya mimpi belaka, kenapa pendeta India itu datang kesini? Dan dia itulah menganjurkan untuk membunuh anakku ini, Keparat!"
Wanita itu mengepal tinju dan A-cheng melenggong. Dua orang ini memang sama tidak mengerti, dan mereka memang benar-benar tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Setankah yang mengganggu mereka tadi? Atau roh iblis yang sedang gentayangan?
Teringat oleh mereka ucapan Vijananda tadi yang mengatakan adanya Kalapati yang sedang turun ke bumi mencari badan wadagnya yang baru. Apakah itu Kalapati? Dan siapakah dia? Tok-sim Sian-li mengerutkan alis dan wanita ini lalu memandang anaknya. Dilihatnya bocah itu sedang tidur nyenyak, padahal baru saja dia menangis keras dipagut ular berbisa. Dan melihat wajah yang sehat kemerahan itu bersinar lembut oleh cahaya bulan yang baru muncul, membuat wanita itu berdebar keheranan.
Wajah anaknya itu tiba-tiba saja berobah seperti anak dewasa. Luka kecil di atas pergelangan tangannya telah menutup rapat dan tiba-tiba sebuah tanda hitam muncul di antara kedua keningnya. Tok-sim Sian-li merasa terkejut, dan juga heran. Seingatnya, tempat itu bersih, belum ada noda-noda macam apapun. Kenapa sekarang mendadak tumbuh bintik hitam kecil itu? Tahi lalatkah? Atau kotoran burung yang secara kebetulan menimpa tempat itu?
Tok-sim Sian-li merasa heran dan akhirnya dia menggapai pelayannya." A-cheng, coba bawa ke mari anakku itu!" serunya perlahan dan A-cheng berjalan menghampiri dengan muka beran.
"Ada apakah, hujin?" tanyanya khawatir.
Namun Tok-sim Sian-li tidak menggubris. Wanita ini menerima bayinya dan dibersihkannya. Akan tetapi ternyata bukan. Noda hitam yang seperti tahi lalat itu ternyata merupakan "cap" aneh di tengah-tengah kening anaknya. Sudah digosok berkali-kali, tapi tetap saja tidak bisa hilang. Karena itu, Tok-sim Sian-li akhirnya menghentikan pekerjaannya ini dan dia memandang bayinya lekat-lekat.
Sekarang tampaklah olehnya samar-samar akan adanya sinar aneh pada wajah anak laki-lakinya ini. Sinar kebiruan seperti bintang di langit. Lupa-lupa ingat, Tok-sim Sia-li seakan sudah pernah melihat sinar semacam itu, namun dia tidak tahu kapan terjadinya. Getaran aneh tiba-tiba terasa olehnya dan Tok-sim Sian-li terbelalak. Mata anaknya mendadak terbuka dan di dalam mata ini tiba-tiba saja dia melihat bayangan seseorang, pemuda tinggi besar bernyali naga. Yap-goanswe!
Hampir saja wanita itu terpekik namun sekejap kemudian mata anaknya inipun tertutup. Apakah gerangan yang terjadi? Sedang ngelindurkah bayinya tadi? Tok-sim Sian-li tidak mampu menjawab dan A-cheng yang sejak tadi memandang gerak-gerik majikannya yang aneh ini tiba-tiba bertanya,
"Hujin, ada apakah? Kongcu sakit?"
Tok-sim Sian-li memutar tubuh. "Hmm, aku masih terpengaruh oleh ucapan setan dari Thian-thok itu, Acheng. Bayiku tidak apa-apa, dia sehat seperti biasa dan aku tidak meragukan akan kenyataan ini. Akan tetapi tanda hitam di tengah kening itu, kapan timbulnya? Aku menjadi heran oleh kejadian ini karena seingatku, belum pernah lingkaran itu di atas dahinyal"
A-cheng mendekat dan gadis pelayan itu juga tampaknya heran mendengar kata-kata majikannya. Kalau ibu anak itu sendiri sudah bilang begitu, apalagi dia yang baru pertama kali ini bertemu. Karena itu, dia hanya terbelalak saja dan tiba-tiba seperti diingatkan sesuatu gadis ini bertanya, "Eh, hujin, hamba hampir kelupaan. Siapakah nama kongcu ini?"
Tok-sim Sian-li memandang pelayannya itu dan warita ini tampak terkejut. Sedetik bola matanya berputar, akan tetapi kemudian dia menghela napas. "Aku belum memberinya nama, A cheng..."
"Hahh...?!" A-cheng terbelatak kaget. "Jadi anak hujin ini masih bu-beng-tong (anak tanpa nama)?"
Wanita iblis itu mengangguk, "Benar. A-cheng, karena aku sendiri masih bingung untuk mencarikan sebuah nama baginya."
"Ah, hal itu tidak boleh berlarat-latut, hujin. Menurut kepercayaan kita, anak yang terlambat diberi nama kelak bakal menemui kematian tanpa lubang kubur! Mengapa hujin tidak mencegah hal ini?"
Tok-sim Sian-li mengepal tinjunya. Memang apa yang dikatakan oleh pelayannya itu adalah kepercayann golongannya pada masa itu. Dan dia sendiri sampai melalaikan hal ini bukan lain karena disebabkan kejaran kaum hek-to terhadap dirinya yang hendak merampas Mutiara Naga Sakti. Sekarang, tanpa dikehendaki tiba-tiba saja A-cheng menanyakan hal itu. Bagaimana dia tidak terkejut?
Sejenak Tok-sin Sian-li tertegun wanita cantik ini memandang bayinya. Sesuatu yang aneh mendebarkan hatinya, namun tidak tahu firasat apa itu. Melihat wajah bayinya yang demikian tenang dan tampan, timbullah kasih sayangnya dan perasaan iba. Akan tetapi teringat akan tanda hitam di tengah kening dan cahaya kebiruan yang samar-samar tampak, muncul perasaan berdebar yang tidak wajar. Dan ditambah dengan seruan pendeta India tadi yang mengatakan bahwa kelak dia akan dibunuh anak sendiri tiba-tiba membuat muka wanita ini menjadi beringas.
Apakah sebenarnya yang harus dihadapi pada masa-masa yang akan datang kelak? Benarkah pesan si pertapa bangkotan itu tentang diri anaknya? Atau, kata-kata itu sekedar untuk menakutinya sebagai balas dendam belaka? Tok-sim Sian-li menjadi marah dan dia merasa sakit hati sekali. Ucapan Vijananda tadi menumbuhkan bibit kebenciannya terhadap seseorang dan orang itu bukan lain adalah Pendekar Gurun Neraka sendiri!
Gara-gara cinta kasihnya terhadap jenderal muda itulah dia sampai mengalami sengsara. Berkali-kali terhina dan menelan empedu kehidupan. Sekarang, gagal memiliki ayahnya apakah keturunannya juga hanya memberinya kesengsaraan belaka? Inikah garis hidupnya? Kalau itu yang terjadi memang agaknya dia membunuh saja anak laki-lakinya itu! Tok-sim Sian-li memekik keras dan A.cheng tersentak kaget menyaksikan wajak yang tiba-tiba buas itu.
"Hujin!" pelayan ini berteriak dan karena mengira majikannya hendak membunuh dirinya maka cepat pedang di atas tanah disambar sekenanya.
Akan tetapi Tok-sim Sian-li seakan tuli. Wanita ini sudah menggerakkan tangannya dan A-cheng bersiap-siap, namun ternyata bukan gadis itu yang diserang, melainkan bayi laki-lakinya! Jari kanan wanita iblis bergerak dan cepat bagaikan kilat saja tahu-tahu kelima jari ini sudah mencengkeram leher bayi,
"Crett...!"
"Hujin!!" A-cheng menjerit ngeri ketika melihat betapa jari-jari wanita iblis itu menancap di sasarannya dan seperti menyaksikan setan haus darah gadis ini terpaku dengan mata terbelalak. A-cheng membayangkan bahwa tidak lama lagi tentu darah bakal muncrat-muncrat dari leher si anak kecil itu yang dicengkeram ibunya serdiri, namun alangkah bengongnya pelayan ini ketika mendengar Tok-sim Sian-li bahkan memekik tertahan. Apa yang terjadi? A-cheng tidak mengerti tapi yang jelas ialah majikannya tiba-tiba kelihatan kaget. Wanita itu tampak terkejut dan jari yang sudah dicabut ternyata sama sekali tidak berlepotan darah. Hanya anak laki-laki itu sekonyong-konyong menjerit nyaring dan menangis tersentak-sentak. A-cheng melongo dan Tok Sim Sian-li sendiri tertegun.
Kiranya, ketika tangan wanita itu tiba, Tok-sim Sian-li merasa terkejut karena jari tangan kanannya yang mercengkeram sekuat tenaga itu itu bertemu dengan leher yang seperti karet. Tentu saja wanita iblis ini kaget bukan main dan cengkeramannya menggelincir aneh seperti mencengkeram belut. Karena itu, dia mengeluarkan seruan tertahan, sementara bayinya terbangun sambil meronta kesakitan. Dan hal inilah yang tidak diketahui A-cheng.
Sekarang, melihat betapa usahanya membunyh anak itu tidak berhasil tiba-tiba membuat Tok-sim Sian-li melengking histeris. Wanita ini diam-diam merasa jerih, juga gentar tanpa sebab. Karena itu, tiba-tiba dia membentak keras, "A-cheng, sambut anak ini!"
Dan secepat kilat bayi yang masih menangis melolong-lolong itu dilontarkan ke arah pelayannya. A-cheng terkesiap, kaget dengan perobahan sikap majikannya yang tidak menentu dan karena dia disuruh menyambut, maka otomatis kedua tangannya terulur ke depan tanpa menyadari betapa tangan kanannya masih memegang sebatang pedang! Dan baru gadis ini terkejut setengah mati setelah bayi yang dilemparkan sudah teramat dekat jaraknya dan sambil berteriak ngeri A-cheng menyontekkan pedangnya ke atas.
"Aihh... brett!"
Sedetik saja kejadian ini normal, ternyata usaha A-cheng tidak sia-sia. Bayi itu tertusuk di udara, akan tetapi bukan tubuhnya yang termakan melainkan baju luarnya yang 'tersate‘ hidup-hidup! A-cheng terbelalak pucat, dan bayi yang menggelantung di udara ini tiba-tiba menghentikan tangisnya. Keadaan menjadi aneh sekali karena disatu A-cheng mendelong dengan pedang mesih menyate anak kecil itu sementara Tok-sim sendiri juga tertegun peristiwa yang di luar dugaan.
Kedua-duanya terkesima, namun segera A-cheng menjerit sambil meurunkan pedangnya. Gadis ini tampak pucat pasi, khawatir dituduh hendak membunuh putera majikannya dan Tok-sim Sian-li sudah melompat maju mendekati pelayannya. A-cheng menggigil, dan begitu majikannya tiba segera dia mengangsurkan anak itu kepada majikannya dan menjatuhkan diri berlutut.
"Bujin, hamba sungguh berdosa. Lupa akan senjata di tangan hampir-haimpir saja membunuh kongcu. Karena itu kalau hujin hendak membinasakan hamba sekarang juga hamba siap menerima hukuman..."
Namun Tok-sim Sian-li tidak menghiraukan ucapan pelayannya ini dan wanita itu membentak bengis, "Minggir...!" kakinya mendupak pada tubuh. A-cheng mencelat ditendangnya.
A-cheng menjerit tertahan, dan gadis itu dengan mata terbelalak melihat betapa Tok-sim Sian-li memandang bayinya dengan muka pucat tiba-tiba wanita iblis itu menangis menggerung-gerung! Tentu saja A-cheng terpaku, sejenak merasa ngeri menyaksikan tingkah laku majikannya, yang seperti orang tidak waras itu dan diam-diam perasaan takutnya juga semakin menghebat. Kalau dia harus melayani orang semacam itu, bagaimanakah kelak nasibnya? Karena itu diam-diam ia mengeluh mengapa nasib harus memperjumpakannya kembali dengan wanita iblis itu.
Dan Tok-sim Sian-li yang masih menangis menggerung-gerung, kini bahkan menjambak-jambak rambut sendiri sambil berteriak-teriak, "Yap- goanswe! Orang keparat she Yap! mengapa kau membuatku seperti orang gila begini? Kalau kau baik-baik mau menjadi suamiku, tentu tidak akan begini nasib jahanam mempermainkan hidupku. Akan tetapi kau telah berani menolaknya, kau telah berani menyengsarakan hidupku! Kau manusia tidak berjantung, apakah kau ingin aku menghirup darahmu yang dingin itu? Apakah kau ingin aku merobek-robek hatimu yang sama sekali tidak berperasaan itu? Kalau itu yang kau kehendaki, baiklah, manusia jahanam, tunggulah kau... tunggulah kau...! Kelak akan tiba saatnya aku mencopot jantungmu yang akan kuganyang mentah-mentah...!"
Tok-sim Sian-li memekik-mekik, dan bayi yang ada di gendongannya ikut menjerit-jerit dengan suara nyaring sehingga suara dua orang manusia itu membaur menjadi satu menciptakan suara yang tidak karuan. Dan A-cheng yang berdiri di pinggir, gemetar kedua lututnya melihat pemandangan yang seperti itu.
Gadis ini terbelatak pucat, hendak membuka mulut tidak ada suaranya yang keluar, namun tidak membuka mulut juga merasa salah. Karena itu, akhirnya dia memberanikan diri dan sambil merangkak tertatih-tatih dia berseru ketakutan, "Hujin, berikan saja anak itu kepadaku lihat dia menangis melolong-lolong. Biarkan hamba yang mendiamkannya agar tidak ketakutan!"
Suara ini agaknya menyadarkan wanita itu, karena Tok-sim Sian-li tiba-tiba menghentikan pekik histerisnya. Wanita itu menoleh, dan wajah serta sinar mata yang masih buas ini mendadak membuat A-cheng merandek. Gadis itu tidak jadi meneruskan langkahnya, karena tiba-tiba saja dia seperti dibuat lumpuh oleh tatapan mata yang menyala seperti mata harimau liar ini.
Sejenak suasana terasa mencekam, namun Tok-sim Sian-li yang melihat pelayannya ini sekonyong-konyong melunak sikapnya. Kebuasan yang tadi memancar, kini surut sepertiga bagian dan perasaan A-cheng menjadi agak tenang. Namun gadis itu tetap saja gemetar dan dengan suara menggigil serak dia berkata,
"Hujin, harap ampunkan hamba. Bukannya hamba hendak berlancang sikap, akan tetapi anak hujin yang menangis ketakutan itu, bukankah lebih baik ditenangkan dahulu? Biarlah hamba yang membopongnya, biarlah hamba yang meninabobokkannya..." Gadis itu merangkak maju dan mengulurkan tangan, namun Tok-sim Sian-li menepiskan lengannya!
"Jangan sentuh anakku!" wanita itu membentak kaku. "Tanganmu yang berdosa harus dihersihkan dahulu!"
Bentakan ini membuat A-cheng terkesiap dan dengan muka pucat gadis itu berseru, "Hujin...!"
Namun Tok-sim Sian-li tetap berwajah dingin, "A-cheng!" wanita itu membentak bengis, "Bukankah kau hampir saja membunuh anakku?"
A-cheng bersimpuh ketakutan. "Benar, hujin…. Tapi.... tapi hamba tidak bermakaud begitu. Hamba tidak sengaja!" jawabnya membela diri.
Namun Tok-sim Sian-li tersenyum mengejek. "Hmm, Sengaja atau tidak sengaja, kau tetap harus menerima hukumannya, pelayan hina. Atau kau hendak menjilat ludah sendiri yang telah mengatakan siap menerima hukuman?"
A-cheng semakin ketakutan. "Tidak... tidak, hujin…!"
"Bagus kalau begitu." Tok-sim Sian-li memperdengarkan suara dari hidungnya, lalu wanita ini menunjuk pedang yang menggeletak di atas tanah dengan muka dingin, "A-cheng, ambil pedang dan tebas ibu jari tangan kananmu yang berdosa!"
A cheng mengangkat mukanya dan sedetik gadis ini tampak terkejut, akan tetapi akhirnya dia mengeluarkan seruan girang mendapat hukuman yang "ringan" itu. Dia melompat bangkit, mengiyakan dengan wajah berseri lalu tanpa banyak mengeong lagi memunggut pedang dan benar-benar mengutungkan ibu jari tangan kanannya yang dikatakan "berdosa".
"Cratt...!" Sinar hijau berkelebat dan ibu jari gadis itu menggeletak berlumuran darah! A-cheng menyeringai pedih, namun Tok-sim Sian-li sudah melempar sebuah bangkusan.
"Sambut ini dan taburkan pada lukamu!‖ wanita itu berseru dan A-cheng segera menyambut pemberian obat ini sambil menahan sakitnya. Sejenak gadis itu terbelalak memandang kutungan ibu jarinya di atas tanah, akan tetapi cepat diusirnya pergi perasaan ngeri ini ketika dia bentrok dengan sinar mata majikannya. Pandangan wanita iblis itu seolah berkata; Apakah kau tidak ikhlas dengan hukuman ini?
Karena itu A-cheng menetapkan hatinya setelah dia menaburkan obat, pelayan ini segera menjatuhkan diri berlutut, "Hujin, hamba hanya dapat menghaturkan terima kasih atas kemurahan yang telah hujin berikan kepada hamba. Mengingat bahwa hamba tidak sampai dibunuh saja sudah dapat membuat hamba berhutang budi. Untuk itu, hamba yang hina siap mempertaruhkan jiwa dan raga demi keselamatan hujin beserta kongcu....!"
Gadis itu berseru dan Tok-sim Sian-li mendengus. "Sudahlah!" Wanita ini mengulap tangnnya. "Berikan pedang itu kepadaku."
A-cheng mengangguk dan dengan tangan kiri dia mengambil pedang, kemudian dengan kedua tangan yang masih gemetar dia mengangsurkan pedang itu. Tok-tim Sian-li menerima, sejenak mengamat-amati pedang yang bersinar kehijauan itu dan mulutnya berseru perlahan,
"Pedang bagus, mirip Cheng-liong-kiam (Pedang naga hijau)!"
Wanita itu tiba-tiba mengelebatkan pedang dan A-cheng yang berada di dekatnya hampir saja berteriak kaget. Suara yang mengaung tajam membelah udara, dan A-cheng tadi mengira bahwa majikannya hendak menyerang dia. Namun ternyata dugaannya keliru karena Tek-sim Sian-li kiranya hanya ingin mencoba saja kehebatan pedang di tangannya. Karena itu, A-cheng lega kembali dan terdengar kini pujian Tok-snm Sian li.
"Pedang ampuh, benar-benar dari logam mulia. Kelak pantas dimiliki oleh puteraku!"
Wanita itu terkekeh dan A-cheng yang melikat kegirangan memancar tiba-tiba menemukan pikiran baik. "Hujin, apa yang hujin katakan tadi? Cheng-liong-kiam?" pelayan ini berseru dan Tok-sim Sian-1i memutar tubuh.
Sejenak wanita iai tampak keheranan, namun akhirnya dia mengangguk juga. "Benar, kenapakah?" wanita itu memandang penuh selidik dan A-cheng melanjutkan pertanyaannya,
"Dan hujin tadi menyatakan pedang itu kelak pantas diwarisi putera hujin?"
Kembali Tok-aim Sian-li menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu, kenapa tidak sekarang juga putera hujin ini diberi nama."
"Eh, apa makasudmu?" kali ini Tok-sim Sian-li membelalakkan matanya dan wanita itu melompat dekat. "A-cheng, kau hendak menghinaku dengan cara apa lagi?" Wanita itu tampak marah namun gadis pelayan ini bahkan tersenyum luar biasa.
"Hujin, harap jangan naik pitam dulu. Hamba mempunyai usul, yakni tentang nama bagus untuk putera hujin itu. Kalau hujin mengatakan pedang ini kelak pantas dimilikinya, sebatang pedang yang mirip Cheng-liong-kiam, lalu kenapa hujin tidak memberinya nama yang mirip dengan nama pedang itu? Jika hujin setuju, putera hujin ini dapat saja dinamaknn Ceng Liong, dan mengingat ayahnya she Yap, maka bagaimana kalau putera hujin itu kita beri nama Yap Ceng Liong? Tentu merupakan nama yang indah dan gagah, juga sedap didengar telinga!"
A-cheng berhenti bicara dan wanita iblis yang mendengarkan kata-kata pelayannya itu tampak tertegun. Namun sekejap saja wanita ini tercengang kaget karena segera dia terkekeh gemibra. "Aih, A-cheng, saranmu benar-benar bagus sekali! Hi-hi-hik, tidak tahu, dari mana otakmu dapat merangkai semua hasil ini? Ih, Ceng Liong... Yap Ceng Liong, benar-benar sebuah nama yang tepat untuk puteraku ini! dan kelak dia harus bisa seperti ayahnya, bahkan harus melebihi ayahnya. Bagus, A-cheng... bagus... terima kasih atas usulmu itu!"
Tok-sim Sian-li tertawa gembira dan bayi yang tadi hendak dibunuhnya itu kini diciuminya berulang-ulang. Ucapan pelayannya tadi tiba-tiba menerbitkan sebuah akal di kepalanya dan sambil mengeluarkan lengking aneh wanita ini berjingkrak-jingkrak lipan dan A-cheng yang menyaksikan semua kejadian itu dengan bibir mengerang perlahan.
Pelayan ini tidak tahu, apakah di saat itu dia harus bergembira ataukah bersakit hati. Kalau mengingat hukuman yang diterima, seharusnya dia menaruh dendam terhadap majikannya yang merupakan wanita iblis itu. Tapi kalau mengingat kesengsaraan yang dialami oleh wanita ini diam-diam dia merasa iba juga. Gara-gara cinta asmara-lah maka majikannya menjadi seperti itu, dan lagi-lagi ini adalah perbuatan kaum pria! Apakah semua pria memang berwatak seperti itu? A-cheng tidak menjawab namun diam-diam gadis ini mengepal tinju tangan kirinya.
Tok-sim Sian-li telah menemukan nama bagi anak laki-lakinya, dan di dunia telah mencul sebuah nama yang baru, Yap Ceng Liong, nama yang naga-naganya kelak pasti membuat heboh dalam dunia kangouw diasuh oleh seorang wanita yang sedang dilanda api dendam, wanita yang juga menjadi murid Cheng-gan Sian-jin.
Dan itu semua bermula di bukit Kim-kee-san, di sebelah kuburan mendiang kekasih Pendekar Gurun Neraka. Apakah bakal terjadi semua kekhawatiran ini? Dunia tidak menjawab dan Kim-kee-san juga membisu. Hanya angin malam mulai mendesir dingin dan daun bambu berkeresek resah.
* * * * * * * *
Dua orang laki-laki tua tampak murung. Yang tua duduk di atas batu hitam dalam bentuk Padmasana tampak merenung jauh sambil sesekali menarik nafas panjang penuh kekesalan, sementara yang muda berayun-ayun santai di atas dahan yang rendah namun dengan alis dikernyitkan.
Dua-duanya baru saja kembali dari Pegunungan Beng-san, memenuhi janji untuk menemui Beng-san-paicu (Ketua Beng-san-pai). Dan mereka ini, yang bukan lain adalah Bu-tiong-kiam Kun Seng bersama puteranya Kun Bok, ternyata harus menyimpan kekesalan dan kekecewaan. Orang yang terutama dijadikan pokok kedatangan mereka, yakni Ceng Bi si jelita puteri Beng-san paicu, ternyata minggat dari Beng-san tanpa memberi tahu ayahnya, ini sedikit banyak mengecewakan pendekar tua itu, karena perasaannya sedikit tersinganng. Namun memandang muka Ciok-thouw Taihiap dan juga mengingat bahwa gadis itu masih amat muda, pendekar ini mau mengerti tentang tingkah lakunya yang agak "liar" itu.
Ada dua kesimpulan yang dapat ditarik dari minggatnya sang calon menantu itu. Pertama, gadis itu tidak setuju atau yang ke dua, gadis itu malu-malu karena memang baru pertama kali inilah dia dilamar orang. Dan Bu-tiong-kiam mengharap kecondongannya pada kesimpulan nomor dua. Dia sendiri memang suka terhadap puteri sahabatnya itu. Selain cantik, juga lihai ilmu silat dalam gemblengan ayahnya sendiri, Ciok-thouw Taihiap si pendekar kenamaan.
Dan ini dirasa cocok untuk menjalin ikatan keluarga yang lebih erat lagi dalam bentuk sebuah perkawinan dengan putera tunggalnya sendiri, Kun Bok. Karena itu, tidak haran kalau dia jauh-jauh datang mengunjungi sahabatnya itu untuk membicarakan masalah ini, dan betapa. girang hatinya ketika mengetahui bahwa puteri sahabatnya itu masih "single". Belum ada orang yang datang mendahuluinya, dan ini merupakan harapaa besar baginya.
Namum siapa menduga? Ternyata ketika gadis itu sendiri telah mengetahui maksud perjodohan ini dari ayahnya, mendadak saja dia meninggalkan rumah tanpa pamit! Sedikit tertusuk perasaan pendekar pedang ini namun orang tua yang berpandangan jauh, dia dapat menindas perasaan keeewanya itu.
"Ayah, bagaimana sekarang dengan diriku?" Pemuda yang berayun-ayun santai di atas dahan itu tiba-tiba bertanya. Dia memang mirip ayah nya, bertubuh sedang namun singsat dengan mata yang tajam bersinar.
Bu-tiong-kiam menarik napas panjang. "Bok-ji (anak Bok)," orang tua itu berkata sambil memandang anaknya, "Menurut pendapatku dan juga menurut pendapat calon gakhumu (calon mertua) ketika kita datang di sana, adalah sebaiknya jika kau turun gunung juga. Ceng Han telah mencari adiknya itu, dan tidak ada jeleknya apabila kaupun turut membantu mencari Ceng Bi. Buktikan kau tidak keberatan?"
Kun Bok memandang ayahnya. "Hmm, keberatan sih jelas tidak, ayah. Akan tetapi, kalau seandainya aku berhasil menemukan gadis itu, lalu apa yang harus kulakukan? Aku serdiri belum tau bagaimana wajahnya, juga belum tahu sifat-sifatnya. Bagaimana kalau dia menolak mentah-mentah? Tentu hilang mukaku ini!"
Pemuda itu mengerutkan alis dan ayahnya tersenyum. "Bok-ji, mencari calon isterimu itu bukannya lalu berarti menyeretnya pulang ke Beng san. Tidak begitu, anakku, akan tetapi mencari di sini terkandung maksud untuk mengenalinya lebih dekat setelah kau berhasil menemuinya. Paham?"
"Jadi maksud ayah?"
"Carilah gadis itu. Kalau sudah ketemu, dekatitah dia, bersikaplah seolah-olah, sebagai sahabat baru yang belum saling kenal-mengenal."
"Hem, bagaimana jika dia sukar didekati, ayah?"
"Aih, kau punya akal, kan? Nah, gunakan otakmu itu sendiri jangan terlalu cengeng seperti anal kecil!"
Kun Bok merah mukanya. "Tapi, ayah..."
"Hem, apa lagi?"
"Aku belum tahu bagaimana wajahnya. Mana mungkin bisa mencari? Kalau ada gadis yang mirip dia, lalu kusangka dia, bukankah berabe?"
Ayahnya tertawa. "Bok-ji, kau ini aneh. Kita sudah tahu ciri-cirinya, seorang gadis tujuh belas tahun, wajahnya bulat telur, cantik dengan mata yang seperti bintang dan selalu mengenakan pakaian merah. Bukankah ini dapat dijadikan pegangan?"
"Ah, ayah gampang saja bicara. Gadis dengan ciri-ciri sepintas begitu hanyak sekali ayah, bukan satu dua." Kun Bok mencela.
"Betul, tapi yang menjadi puteri Beng-san-paicu juga hanya seorang saja, Bok-ji!" ayahnya menjawab. "Dan kau dapat menanya namanya, atau setidak-tidaknya melihat dasar-dasar ilmu silatnya. Bukankah kau sedikit banyak sudah tahu?"
Kun Bok terdiam, dan pemuda ini akhirnya mengangkat bahu. Ditangkis ayahnya dalam jawaban-jawaban yang tepat begini memang susah juga baginya untuk membantah. Karena itu diapun lalu berkata, "Hem, baiklah, ayah. Dan kapan kira-kira dimulainya aku melasanakan tugas ini? Dan kemana pula kira-kira arah yang harus kutuju?"
Pendekar pedang itu tersenyum. "Bok-ji, untuk melaksanakan tugas begini mengapa masih harus tunggu-tunggu waktu? Sekarang inilah kau boleh berangkat dan tentang arah tujuan, barangkali yang lebih tepat adalah menuju ke kota, raja."
"Eh, demikian cepat, ayah?"
"Cepat apanya?" Bu-tiong-kiam menaikkan alisnya. "Kita sudah terlambat sebulan dan waktu sekian lama itu saja sudah cukup untuk membuat perobahan-perobaban yang tidak kita sangka!"
Kun Bok kembali terdiam dan pemuda ini bangkit berdiri. Sejenak dia memandang ayahnya, seolah-olah ada sesuatu yang hendak dibicarakan namun urung dikeluarkan.
Bu-tiong-kiam melihat ini dan orang tua itu menggapai. "Kau hendak bicara apakah?" tanyanya.
Pemuda itu melangkah maju. "Ayah, aku teringat janjimu sebulan yang lalu. Kapan aku bisa menerimanya?"
Orang tua itu terkejut, namun segera dia tertawa, "Aih, Bok-ji, demikian meluapkah hasratmu untuk segera mewrisi Bu-tiong-hui- seng-kiam-sut (Ilmu Padang Bintang Terbang Dalam Kabut)?"
"Tentu saja, ayah. Bukankah kepandaian itu merupakan kunci dari ilmu silat pedang kita Bu-tiong-kiam? Dan mengingat bahwa aku sebentar lagi merantau di dunia persitatan yang ayah katakan banyak bahaya dan manusia-manusia curang, bukankah sebaiknya mewarisi ilmu pedang simpanan itu sebagai pelindung diri?"
Ayahnya tertawa dan orang tua itu tiba-tiba mencelat dari daduknva. "Ha-ha-ha, baiklah baiklah. Bicara tentang ilmu pedang membuat tangan ayahmu gatal-gatal. Hayo kemarilah, Bok-ji, lihat baik-baik pelajaran terrakhir yang akan kuberikan kepadamu ini. Singg...!"
Entah kapan dicabutnya, tiba-tiba saja sebatang pedang telah mendesing di tangan orang tua ini. Mendengar desingnya, tentu sebatang logam yang ampun. Akan tetapi betapa herannya kita setelah melihat jelas ternyata di tangan pendekar tua itu hanyalah sebatang pedang kayu belaka. Dan dengan pedang kayu begini, ternyata Bu-tiong-kiam mampu memperdengarkan suara mendesing persis seperti sebatang pedang baja. Benar-benar luar biasa!
Dan Kun Bok yang melihat ayahnya mulai bergerak, menjadi bersinar-sinar matanya, kontan dia meloncat maju dan dengan wajah berseri pemuda ini berseru, "Bagus, ayah. Coba perlihatkan dan ajari aku ilmu simpananmu itu." dan dia sudah mendekati ayahnya yang telah memasang kuda-kuda.
Bu-tiong-kiam tersenyum, dan pendekar pedang yang dikagunii Ciok-touw Taihiap itu menempelkan Ujung pedangnya di tengah-tengah kening. "Bok-ji," demikikian orang tua itu berkata gembira "Harap kau perhatikan baik-baik jurus pembukaan ini yang kunamakan Tit-te-pai-seng (Tudingan Bumi Menyembah Bintang). Ada empat gerakan yang menjadi pokok dasar dari jurus pertama ini. Yakni mula-mula mengumpulkan seluruh kekuatan di pergelangan tangan kanan lalu kita memecahnya di tiga bagian masing-masing pada ujung jari-jari kaki kiri dan kanan serta yang terakhir adalah pemusatan tenaga sinkang di daerah tan-tian. Semua gerakan ini haruslah mengalir serentak, dan begitu tenaga sakti sudah mulai bekerja maka kita harus secepatnya bergerak menyalurkan kekuatan sinkang itu. Untuk jelasnya, saksikan apa yang hendak kuperbuat ini. Lihatlah!"
Orang tua itu berseru dan tiba-tiba Ujung pedang di tengah keningnya bergetar. Kim Bok melihat betapa getaran itu semakin mengeras dan berbareng dengan gerakan tangan kiri ayahnya yang menempel di sisi pedang dalam satu tepukan pendek, orang tua itu tiba-tiba membentak nyaring dan sekali kedua kakinya bergerak tahu-tahu tubuh ayahnya telah terbang di udara sambil memutar pedang!
Hebat dan cepat luar biasa gerakan ini, sampai-sampi mata Kun Bok hampir saja terasa kabur. Karena itu, pemuda ini merasa terkejut dan dia lalu mempertajam penglihatannya agar dapat mengikuti semua gerakan-gerakan ayahnya. Dilihatnya tangan ayahnya berputar lima kali berturut-turut dan terciptalah lima buah lingkaran lebar atau gelang besar-besar membungkus tubuh ayahnya dalam sinar yang menyilaukan. Angin pedang bercuitan, dan lima cahaya berkeredep itu tampak saling belit-membelit seperti ular.
Kun Bok terkesima, dan tubuh ayahnya kini lenyap tergulung oleh lima "gelang" besar yang berputaran cepat dengan amat indahnya itu. Namun hal ini tidak terlampau lama, karena tiba-tiba saja lima cahaya di udara mendadak pecah berhamburan terganti dengan satu sinar yang tipis dan kuat menukik membelah ke bawah seperti halilintar. Dan berbareng dengan sambaran sinar yang tajam itu terdengarlah seruan Bu-tiong-kiam kepada puteranya,
"Bok-ji, awas perhatikan baik-baik!"
Dan belum lenyap suara ini tiba-tiba saja sinar yang menyilaukan mata itu telah tiba bawah. Kun Bok melihat betapa tubuh ayahnya meluncur turun dengan kepala di bawah serta kaki di atas dan pedang di tangan ayahnya menukik tajam dengan kecepatan penuh. Pesat bukan main gerakan ini, seperti elang yang menukik turun menyambar anak ayam dan belum lagi pemuda itu sadar akan apa yang sesungguhnya terjadi, tiba-tiba saja terdengar suara"cepp" dan pedang ayahnya menancap amblas di dalam bumi.
Dan bersamaan dengan terhentinya gerakan pedang, tubuh Bu-tiong-kiam juga ikut terhenti di tengah udara, berjungkir balik dengan kaki di atas dan kepala di bawah sementara tangan kanannya masih memegang gagang pedang dalam posisi menunjang! Inilah suatu demonstmsi yang hebat bukan main dari jago pedang itu dan Kun Bok sendiri yang melihat perbuatan ayahnya ini sampai celangap. Pemuda terkesima, dan sedetik dia terbelalak bengong. Akan tetapi, begitu rasa kejutnya hilang segera Kun Bok mengeluarkan tepukan kagum dan pemuda ini berjingkrak girang sambil berseru,
"Wah, hebat sekali, ayah! Sungguh hebat… juga luar blasa!"
Pemuda itu berterlak-teriak dan Bu-tiong-kiam tertawa, mencabut pedangnya samba me-lompat berdiri seperti biasa di atas tanah. "Ha-ha, Bok-ji, baru melihat jurus pembukaan ini saja kau sudah mirip orang kesurupan. Bagaimana kalau sudah melihat semua tujuh jurus simpananku ini?"
Pendekar pedang itu tertawa geli dan Kun Bok memandang ayahnya dengan takjub. "Aih, ayah bagaimana kau bisa mencipta jurus pembukaan ilmu pedang sehebat itu? Dan kenapa pula baru kali ini aku tahu? Aih ayah, kau harus segera mengajarkan ilmu itu kepadaku, ayah. Aku ingin selihai engkau...!"
Pemuda ini berseru getengah merengek dan Bu-tiong-kiam tersenyum lebar. "Bok-ji, menuntut ilmu jangan tergesa-gesa. Kukira untuk mempelajari Tit-te-pai-seng itu saja kau harus melatihnya barang dua tiga bulan baru mahir. Mana bisa cepat-cepat? Ilmu yang hebat harus dipelajari perlahan-lahan, butuh ketekunan, keuletan dan kesabaran. Karena itu kau tidak boleh tergesa-gesa."
"Ahh...!" Kum Bok terkejut dan memandang ayahnya dengan mata terbelalak. "Dua sampai tiga bulan, ayah?" serunya kaget. "Hanya untuk melatih jurus pembukaan ini saja!"
Pendekar ini mengangguk dan tersenyuru geli. "Betul, Bok-ji. Kau tidak percaya?"
"Akan tetapi... akan tetapi...."
"Hem, jangan main tetapi saja. Sekarang kalau tidak percaya mari kita buktikan. Kau sudah melihat semua gerakanku tadi, bukan? Nah, ini pedangku, pakai dan lakukan seperti apa yang telah kulakukan tadi,"
Bu-tiong-kiam memberikan pedangnya dan Kun Bok tampak terkejut. Baru sekarang pemuda itu sadar bahwa pedang yang dipakai ayahnya tadi bukanlah sebatang pedang tulen melainkan hanya sebatang pedang kayu belaka. Dan dengan mempergunakan pedang kayu seperti itu, ternyata ayahnya berhasil menusuk tembus sampai tinggal gagangnya!
"Ah,....!" Kan Bok terbelalak dan dia memandang ayahnya seperti orang bengong.
Bu tiong-kiam tertawa dan orang tua ini tahu apa yang sedang dikagetkan oleh puteranya. Karena itu dia lalu berkata, "Nah Bok-ji. Kau sekarang sudah tahu kesulitannya, bukan? Pedang yang tadi kupergunakan itu hanyalah pedang kayu, dan tanpa memiliki sinkang yang terlatih mana bisa menancapkan amblas di dalam tanah? Karena itu, kau harus sabar, Bok-ji, jangan tergesa-gesa. Memang tidak kusangkal bahwa Ilmu Silat Bu-tiong Kiam-sut baik teori maupun prakteknya telah kau warisi dengan cukup baik, Akan tetapi dalam sinkang, kau masih harus banyak berlatih, anakku, maka harus tidak bosan-bosannya belajar. Kalau sekarang kau ragu-ragu mempergunakan pedang kayu ini untuk melatih jurus pembukaan dari Bu tiong-hui-seng-kiam-sut, boleh kau pergunakan pedangmu sendiri, Nah, cabutlah dan ikuti petunjuk-petunjukku."
Kun Bok mengangguk namun pemuda itu masih tertegun, dan baru setelah ayahnya mengulang perintahnya dua kali pemuda ini terkejut dan tersipu-sipu mencabut pedang sendiri setelah mengembalikan pedang ayahnya. Mulailah Kun Bok berlatih, mengikuti petunjuk-petunjuk ayahnya dengan amat hati-hati. Dan seperti kata ayahnya tadi, jurus Tit-te pai-seng itu memang benar-benar tidak mudah.
Pedangnya sendiri yang terbuat dari baja pilihan dan bukan pedang kayu, ternyata masih belum berhasil dia tancapkan tembus sampai ke gagang. Dia hanya dapat menusuk separoh lebih, itupun setelah belajar dua jam lamanya! Juga tubuhnya yang menjungkir dengan kepala di bawan kaki di atas masih belum tenang, bergoyang-goyang hendak roboh, tidak dapat seperti ayahnya yang menyerupai sebatang tonggak kokoh yang kuat.
Namun dengan ketekunan yang luar biasa, akhimya lama-kelamaan dapat juga pemuda itu berhasil. Sedikit demi sedikit gerakan tubuhnya mulai mantap dan setelah dia mengulang-ulang jurus pembukaan Tit-te-pai-seng itu selama hampir empat jam, barulah tubuhnya yang berdiri terbalik di atas gagang pedang itu tidak bergoyang-goyang.
Hal ini menggembirakan hati Bu-tiong-kiam dan orang tua itu tersenyum bangga. "Ha-ha bagus, Bok-ji. Kau hanya tinggal giat melatihnya setiap hari. Jika kau tekun, kurang dari dua bulan saja jurus ini sudah benar-benar mahir kau mainkan."
Orang tua itu berseru dan wajah Kun Bok berseri gembira. Pujian ayahnya ini membangkitkan semangatnya dan meskipun peluh sudah penuh membasahi sekujur tubuhnya namun dia tampaknya tidak kenal lelah. Pemuda ini sudah siap memasang kuda-kuda kembali, hendak melanjutkan latihannya namun tiba-tiba pundanya ditepuk perlahan.
"Cukup, cukup sampai di sini dulu, Bok-ji! Jangan kelewat batas. Masih ada dua jurus lagi yang hendak kuberikan padamu!"
Seruan ayahnya ini membuat Kun Bok terhenti dan orang tua itu sudah melanjutkan kata-katanya lagi sambil tertawa, "Eh, anak gila, apakah kau sudah lupa dengan pesanku tadi? Berlatih ya berlatih, tapi dilakukan sambil jalan saja. Kenapa hendak ngotot? Terlalu lama calon isterimu dibiarkan aku khawatir dia diserobot orang! Apa kau tidak ingin mencari puteri Bong-san-paicu?"
Diingatkan tentang calon jodohnya ini membuat Kun Bok terkejut dan seketika mukanya merjadi merah. "Ah, ayah, kau ada-ada saja," katanya main-main. "Orang lagi asyik berlatih begini masa diputus di tengah jalan?"
Bu-tiong-kiam tertawa. "Bok-ji, untuk jurus pembukaan ini saja kau sudah menghabiskan waktu empat jam. Mana bisa seluruhnya dihabiskan dalam satu hari? Tidak, anakku, kau harus istirahat dan bersabar. Aku sudah memutuskan bahwa hari ini juga kau sudah harus mencari calon isterimu dan sebagai bekal di jalan cukup untuk sementara kau mewarisi dulu tiga jurus inti ilmu silat kita Bu-tiong-hui-seng-kiam-sut. Setelah ini di dalam perjalanan kau bisa melatihnya perlahan-lahan dan kelak apabila kau sudah kembali, maka sisanya dapat kau pelajari lagi. Bukankah ini memberikan kesempatan kepadamu untuk mematangkan semua pelajaran baru?"
Kun Bok memandang ayahnya, sejenak bertatapan pandang namun akhirnya pemuda ini menghela napas panjang. "Aih, ayah, kalau itu sudah menjadi keputusanmu baiklah akan kujalankan semua pekerjaan ini sungguh-sungguh. Tapi ayah, berapa lama aku harus melakukan pencarian ini?"
Pendekar pedang itu tertawa, "Bokji, pertanyaanmu itu agak aneh kedengarannya. Mencari calon isteri sendiri mengapa harus dipakai ukuran waktu? Kalau belum ketemu ya tentu saja jangan kembali!"
"Eh...?" Kun Bok terkejut. "Mana bisa begitu, ayah?"
"Hmm, mangapa tidak?" Bu-tiong- kiam memandang puteranya. "Kalau kau tidak bersungguh-sungguh tentu saja tidak bakal ketemu. Bukankah akhir-akhir ini kau selalu melamunkan gadis itu?"
Bu-tiong-kiam tertawa dan muka Kun Bok Menjadi merah. Memang tidak disangkal, bahwa akhir-akhir ini dia banyak melamun. Tapi yang dilamunkan bukanlah puteri Beng-san-paicu itu melainkan Bi Kwi, gadis cantik yang agak genit dari dusun di bawah gunung. Dan ayahnya salah mengira, menyangka dia sedang merindukam Ceng Bi puteri Beng-san-paicu.
Kun Bok menekan debaran jantungnya yang tiba-tiba berdegup aneh dan terbayanglah olehnya perkenalannya sebulan yang lalu tanpa disengaja dengan si gadis di bawah gunung. Bi Kwi, gadis yang suka mengenakan pakaian serba hitam itu kertemu secara kebetulan saja dengannya. Gadis itu sedang pergi ke sendang, membawa setumpuk pakaian dan rupanya juga bermaksud hendak mandi. Dia berjalan bersama dua orang temannya yang lain, bergurau sambil menyanyi-nyanyi seperti layaknya perawan gunung yang sedang bergembira.
Pada waktu itu mereka tiba di sebuah tikungan tajam, dan jalan ini merupakan jalan setapak yang amat sempit. Dia sendiri pada saat itu sedang turun, dan Bi Kwi bersama teman-temannya sedang naik. Entah bagaimana asal mulanya. Tiga orang gadis yang sedang bergurau itu tiba-tiba saja menjerit.
Seekor tikus sawah yang amat besar hampir sebesar kucing dengan bulunya yang berwarna coklat kehitaman, mendadak saja menyeberang jalan mengejutkan tiga perawan gunung ini. Bi Kwi terkejut dan otomatis gadis itu melompat, lari sambil menjerit-jerit ngeri keatas bukit, menuju tikungan tajam yang berada di depan...