Pendekar Kepala Batu Jilid 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 05
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Kepala Batu
BARU sampai di sini Lek Hui berkata, raksasa muda itu terpaksa menghentikan kalimatnya karena dua buah seruan kaget terdengar hampir betbareng. Lek Hui terkejut dan dia memandang. Temyata yang mengeluarkan seruan pertama tadi adalah Pendekar Gurun Neraka sendiri sedangkan seruan ke dua terdengar dari mulut Ceng Bi.

Tentu saja raksasa muda ini merasa heran, dan kalau wajah Pendekar Gurun Neraka tampak merah adalah wajah sumoinya itu mendadak pucat seperti mayat. Lek Hui tertegun. Dia tidak mengerti mengapa sumoinya tiba-tiba bisa berhal demikian. Dan sebelum dia sadar, tiba-tiba terdengar gadis itu terisak tertahan dan memutar tubuhnya melompat pergi!

"Han-ko, aku tidak ingin mendengar kejijikan orang lain lebih lanjut. Kalau kau masih ingin di situ, silahkan, aku pergi dulu. Selamat tinggal....!" gadis itu kerseru dan sekali tubuhnya berkelebat, iapun lenyap dari tempat itu meninggalkan tiga orang laki-laki yang berdiri tertegun.

Semua orang terkejut dan wajah Pendekar Gurun Neraka tampak merah padam. Berita yang dibawa oleh Lek Hui ini benar-benar hebat sekali, luar biasa dan sungguh amat di luar dugaan! Karena itu, tidak heran apabila Bu Kong sampai tertegun dan pemuda yang biasanya amat tenang ini terguncang jiwanya. Sedetik tiga orang pemuda itu diam di tempat masing-masing, namun akhirnya Ceng Han melangkah maju. Putera Pendekar Kepala Batu ini tampak keruh mukanya, akan tetapi dia tetap bersikap hormat.

"Yap-taihiap (pendekar besar she Yap)," demikian dia bicara, sama sekali tidak mau mengubah panggilannya menjadi Yap twako, "Karena tidak biasa bagi diriku untuk mendengarkan rahasia pribadi orang lain juga karena aku sendiri harus menyusul adikku yang telah pergi lebih dahalu, maka perkenankan aku pergi. Kami kakak beradik akan tetap selalu mengingat jasa-jasa baikmu, dan kami harap pada suatu saat kami berdua akan dapat membalas semua budi kebaikan ini. Dan apabila ada sikap yang kurang pantas dari kami mohon kau suka memaafkannya."

Ceng Han berhenti dan memberi hormat dengan sikap kaku, lalu menghadapi Lek Hui. Suaranya masih dingin ketika dia melaujutkan, "Twa-suheng, apabila kau bertemu dengan ayah, harap beritahukan pada beliau bahwa kami masih belum berniat untuk pulang ke Beng-san. Karena jangau kami diganggu dan suheng sendiri juga tidak perlu mencari. Jelaskah? Baik kalau begitu. Nah, suheng, aku berangkat dulu antuk mengejar Bi-moi. Selamat tinggal!" Tanpa menunggu jawaban raksasa muda itu, Ceng Han lalu melompat pergi dan sekali tubuhnya berkelebat, putera Pendekar Kepala Batu ini sudah lenyap dalam sekejap.

Lek Hui tertegun, dan kembali raksasa muda itu termangu-mangu. Dia sudah membuka mulut, namun tidak ada sebuah seruan yang jadi dikeluarkannya. Dan sementara dia terbetalak tiba-tiba Pendekar Gurun Neraka menegur, "Saudara Lek Hui, jangan mematung saja. Sute dan sumoimu telah pergi dan mereka itu memang benar. Cerita yang menjijikkan begini memang tidak pantas didengar mereka. Nah, sekarang lanjutkanlah ceritamu yang tertunda itu!"

Lek Hui menoleh dan dia melihat betapa wajah Pendekar Gurua Neraka berkerut-kerut seperti orang menahan sakit. Raksasa muda ini tergetar. Belum pernah dia menyaksikan murid Takla Sin-jin yang amat lihai ini menyeringai seperti itu. Wajahnya buram, bibir bawahnya digigit namun mata yang mercorong tajam itu tampak berapi-api penuh kemarahan ditahan serta gejo1ak perasaan yang lain campur aduk.

Diam-diam Lek Hui merasa kasihan dan juga tidak enak. Dia sudah tahu tentang semua peristiwa buruk yang menimpa bekas jenderal muda ini. Begitu pula tentang peristiwa memalukan antara Pendekar Gurun Neraka ini dengan Tok-sim Sian-li (Dewi Berhati Racun), itu murid Cheng-gan Sian-jin yang amat lihai. Gara-gara kecurangan wanita itulah bekas jenderal muda yang gagah perkasa dan banyak digilai wanita-wanita cantik ini roboh.

Pendekar Gurun Neraka yang pada waktu itu masih dikenal dengan nama Yap-goanswe ini telah dicekoki obat beracun yang sekaligus juga merupakan obat perangsang berahi yang amat dahsyat untuk diajak bermain gila. Akibatnya, terjadilah peristiwa yang amat hebat. Jenderal muda ini hampir saja dibunuh oleh gurunya sendiri dan gara-gara kejadian inilah Malaikat Gurun Neraka muncul dan bertanding melawan Cheng-gan Sian-jin. Sebuah pertandingan yang amat seru, juga menegangkan karena telah membuat onar seluruh isi istana (baca Pendekar Gurun Neraka!)

Karena itu, tidak heran apabila di dalam hati pendekar muda ini terdapat suatu goresan mendalam akibat perbuatan murid perempuan Ceng-gan Sian-jin yang amat terkutuk itu. Dan sekarang, tenyata peristiwa itu berekor. Tok-sim Sian-li telah melahirkan anaknya Siapa tidak sakit hati? Kalau saja Pendekar Gurun Neraka tidak berkali-kali mengalami pukulan-pukulan batin yang amat hebat semenjak kelicikan ayah bekas kekasihnya yang kini sudah tewas itu, barangkali ia sudah menggeram dan mengamuk seperti iblis murka.

Namun kini pendekar muda itu semakin masak. Kepahitan-kepahitan hidup serta kegetiran-kegetiran yang diterimanya telah menempa jiwanya menjadi matang. Oleh sebab itu, meskipun berita yang diterimanya kali ini sungguh amat mengejutkan seperti gledek di musim semi namun dia tetap dapat besikap tenang. Hanya mimik mukanya serta tarikan bibir yang agak menyeringai itulah yang merupakan satu-satunya bukti bahwa pendekar ini sedang mengalami guncangan batin yang amat berat. Dan Lek Hui yang tidak tahan melihat penderitaan orang, segera melangkah maju.

"Pendekar Gurun Neraka, maafkan jika aku terlampau sembrono. Adalah kau sendiri yang tadi menyuruhku bicara di depan dua orang sute dan sumoiku. Kalau tidak, bukankah mereka tidak akan pergi dengan membawa kesan jelek tentang dirimu? Ah, aku menyesal sekali, Pendekar Gurun Neraka. Biarlah kelak kujelaskan kepada mereka tentang kekejian murid Cheng-gan Sian-jin yang menodai nama baikmu ini dan percayalah, aku sendiri tidak akan tinggal diam melihat kejahatan-kejahatan yang dilakukan dua orang manusia iblis itu. Gara-gara mereka inilah Hoa-san Siang lihiap tewas!"

Lek Hui mengepal tinjunya dan Pendekar Gurun Neraka menengadah. "Saudara Lek Hui, coba ceritakan semuanya itu kepadaku. Dan mengapakah kau sebut peristiwa ini menjadi serius dan aneh? Perbuatan terkutuk antara seorang pria dengan seorang wanita tidaklah serius dan aneh kalau dari hubungan kotor itu lahir seorang anak!"

Bekas jenderal muda itu tersenyum getir dan Lek Hui mencengkeram lengan sahabatnya penuh keharuan. "Tidak, bukan itu yang kumaksudkan, Pendekar Gurun Neraka." Lek Hui berkata serak, "Melainkan bayi laki-lakimu itu sendiri. Orok itu kini jadi rebutan orang banyak!"

"Hahh...!?" Pendekar Gurun Neraka tersentak kaget dan kali ini dia terbelalak.

Lek Hai mengengguk. "Pendekar Gurun Neraka, ekor dari kematian Hoa-san Siang-lihiap ini. Gara-gara murid Cheng-gan Sian-jin yang melahirkan anakmu telah muncul kejadian luar biasa dalam dunia hitam. Dan semuanya ini berpangkal pada Hoa-san Siang-lihiap."

Raksasa muda itu berhenti sejenak untuk mengambil napas panjang lalu dia melanjutkan "Dan peristiwa ini sekarang menyangkut beberapa orang sahabatmu, diantaranya adalah Ta Bhok Hwesio serta murid perempuannya, nona Pek Hong. Dua orang guru dan murid itu sekarang berada dalam bahaya besar, karena mereka inilah yang membunuh Hoa-san Siang-lihiap!"

Sampai di sini Lek Hui berhenti dan cerita-nya itu benar-benar membuat Bu Kong terkejut bukan main. Pendekar Gurun Neraka ini terkesiap dan dia mengeluarkan seruan tertahan. Namun Lek Hui cepat mengangkat tangannya dan buru-buru berkata,

"Nanti dulu, Pendekar Gurun Neraka, itu baru berita orang. Aku pribadi tidak segera mempercayai hal ini, akan tetapi aku juga sukar untuk menolak bukti-bukti yang ada. Kabarnya, bersamaan dengan kematian Hoa-san Siang lihiap, Hoa-san Lo-jin di puncak gunungpun terbunuh. Kakek itu tewas akibat pukulan Soat-im-ciang (Tangan Salju). Padahal kau tahu sendiri, pukulan itu merupakan satu-satunya ilmu simpanan Ta Bok Hwesio! Nah, bagaimana tidak misterius dan aneh sekali?!"

Lek Hui menghantam pahanya sendiri tanda rasa gemas dan Pendekar Gurun Neraka tertegun. Bu Kong tidak mampu bicara, karena peristiwa demi peristiwa yang diceritakan oleh raksasa muda ini benar-benar terlalu hebat. Pertama-tama tadi tentang Tok-siam Sian-li yang melahirkan anaknya laki-laki itu dijadikan rebutan orang banyak dan kini ditambah lagi dengan pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh Ta Bok Hwesio dan murid perempuannya, Pek Hong!

Bagaimana pemuda ini tidak bakal terkesima? Berita bahwa murid Ceng-gan Siang-jin melahirkan anaknya saja sudah membuat dia seperti ditampar. Dan kini disusul dengan berita-berita lain yang juga tidak kalah hebatnya. Semuanya ini membuat Bu Kong tertegun dan sejenak pemuda yang gagah perkasa itu terbelalak ke depan seperti orang yang disambar petir.

Kalau saja kejadiannya tidak begitu berturut-turut dan tiba-tiba, barangkali dia tidak begitu terpukul. Akan tetapi apa hendak dikata, justeru semua peristiwa yang dialaminya ini adalah sebalikya. Oroknya telah lahir, dari hasil perbuatan hina. Dan kini kabarnya anak itu malah sedang dijadikan rebutan orang-orang dunia hitam, siapa tidak bakal terkejut?

Pendekar ini termangu -mangu dan wajah yang tampan itu memburam gelap. Dia sama sekali tidak mengira bahwa dari perbuatan terkutuk yang membuat dia merasa geram selama hidup ini akan lahir seorang jabang bayi. Dan belum lagi keterkejutannya hilang, sekarang mendapat berita bahwa Ta Bhok Hwesio dan Pek Hong membunuh Hoa-san Lo-jin serta dua orang murid perempuannya, Hoa-san Siang-lihiap. Sungguh luar biasa!

Bu Kong terpaku kaget dan Lek Hui yang melihat keadaan pendekar muda ini merasa terharu bukan main. "Pendekar Gurun Neraka!" demikian raksasa muda itu berkata, "Harap kau tindas guncangan batin yang kau terima ini. semua peristiwa telah terjadi dan apa yang telah terjadi tak mungkin lagi kita tolak. Karena itu, sadarlah. Aku ikut berprihatin atas penderitaan batinmu ini dan aku berjanji akan membantumu sekuat tenaga dalam mengatasi kesukaran-kesukaran hidupmu, percayalah!"

Lek Hui mencengkeram lengan sahabatnya dan Pendekar Gurun Neraka menoleh. Wajah yang buram itu tampak semakin menyedihkan, namun sepasang matanya tersenyum getir. Hal ini bahkan menusuk keharuan Lek Hui dan murid tertua dari Pendekar Kepala Batu ini tersekat kerongkogannya. Dia hampir tidak mampu bicara lagi dan satu-satunya perasaan yang dapat disalurkan ialah dengan mempererat cengkeranaannya.

Karena itu, Bu Kong tersentuh hatinya. Melihat betapa raksasa muda ini benar-benar amat penuh perhatian terhadap dirinya, pendekar muda ini menarik napas panjang. Pernyataan orang membuatnya sadar dari lamunan. Karena itu dia pun cepat dapat menguasai diri. Maka dengan lembut pemuda itupun diepasnya perlahan-lahan.

"Sandara Lek Hui, banyak terima kasih atas rasa setia kawanmu yang amat besar ini. Dan memang betul kata-katamu tadi, bahwa peristiwa yang telah terjadi tidak mungkin kita tolak lagi. "Hmm, mengapa peristiwa-peristiwa buruk selalu menimpa diriku? Apakah sudah nasibku untuk mengalami kejaran karma dari jaman ke jaman ini? Ah, agaknya begitulah. Dahulu aku menyakiti hati seseorang dan kini aku ganti disakitinya. Dahulu menghina seseorang dan kini aku ganti dihinanya. Hukum sebab dan akibat masih banyak dialami manusia, dan akupun masuk diantaranya. Inikah yang dinamakan hidup?"

Bu Kong berhenti dan tersenyum pahit, sementara Lek Hui memandang sahabatnya itu dengan mata terbelalak. Dia tidak begitu mengerti tentang hukum-hukum kehidupan, karena itu raksasa muda inipun tidak membuka suara. Pengetahuannya tentang isi kehidupan boleh di bilang masih nol, maka diapun tidak berkomentar. Dan Pendekar Gurun Neraka yang juga tidak bermaksud untuk berbicara masalah filsafat hidup dengan pemuda itupun tidak melanjutkan keluhannya lagi. Dia memandang Lek Hui dengan mata seperti biasa, kembali dalam persoalan semula.

"Auw-twako, kalau boleh aku bertanya sejak kapankah peristivva yang kau ceritakan ini dimulaiiiya? Dan di manakah sekarang Ta Bhok Hwesio serta muridnya berada?"

Lek Hui menggeleng kepala. "Tentang Hwesio itu dan nona Pek Hong aku tidak tahu Pendekar Gurun Neraka. Akan tetapi tentang Tok-sim Sian-li aku mendengar kabarnya."

"Hmm..." Bu Kong mengerutkan alisnya dan jawaban yang sebenamva tidak diminta ini menggelapkan mukanya kembali. Dia tidak tahu apa yang kalak hendak dilakukannya terhadap wanita itu. Disuruh memilih, terus terang dia lebih mementingkan pencariannya terhadap Ta Bhok Hwesio dan terutama Pek Hong daripada Tok-sim Sian-li atau yang nama sebenamya adalah Lie Lan itu, keponakan bekas Lie-thaikam yang terbunuh dalam serbuan besar-besaran bala tentara Yueh beberapa waktu yang lalu. Dan belum lagi persoalannya sendiri beres kini sudah timbul persoalan lain yang sifatnya sama-sama penting. Mana yang headak didahulukan?

Pendekar Gurun Naraka manarik napas geram. Diam-diam kemarahannya bangkit kembali dan kebenciannya terhadap Cheng-gan Sian-jin makin meluap. Gara-gara kejahatan datuk ibis itulah semuanya ini terjadi. Namun seperti yang telah dikatakan Lek Hui tadi, peristiawa yang terjadi tidak mungkin ditolak lagi. Dan die harus menghadapi kejadian ini dengan sikap tabah. Dan teringat betapa murid Cheng-gan Siang-jin itu kini telah melahirkan ketutunannya, pendekar muda berwatak baja diam-diam merasa ngeri. Dia tidak berani membayangkan, bagaimanakah kelak watak dari laki-laki itu. Menjadi iblis seperti ibu atau kakek gurunya? Barangkali begitulah!

Teringat sampai di sini muka Bu Kong menjadi merah. Dia merasa marah bukan main terhadap bekas keponakan Lie thaikam ini, gadis yang berwatak cabul namun yang harus diakuinya amat mencintai dirinya itu. Akan tetapi karena dia sediri seddikitpun tidak menaruh kepercayaan terhadap cinta gadis itu yang dianggapnya sebagai cinta liar diapun menolak keras semua pernyataan keponakan Lie-thaikam ini yang juga sekaligus merupakan murid Cheng-gan Sian-jin, musuh besar yang amat dibencinya. Dan sekarang, apa yang hendak dilakukan? Kemudian bagaimanakah pula sikapnya terhadap anak laki-laki yang dilahirkan oleh gadis liar itu? mengakuinya sebagai anak? Barangkali dia tidak sudi!

Mengingat bahwa Tok-sim Sian-li seorang wanita jalang, tidak mustahil bahwa anak yang dilahirkannya itu bukan keturunannya, melainkan keturunan orang lain. Perbuatan tidak tahu malu murid Cheng gan Siang-jin ini tidak terbatas pada kecabulan-kecabulan saja, melainkan juga pada hal-hal lain. Memfitnah umpamanya. Dan tidak mustahil pula bahwa "kabar burung" tentang kelahiran bayinya laki-laki itupun hasil dari fitnahnya yang berbisa ini. Hem, dia harus berhati-hati.

Bu Kong mengepal tinjunya dan dia memandang Lek Hui. "Auw twako, kau tadi belum menjawab pertanyaanku. Sejak kapankah peristiwa itu dimulainya?"

Lek Hui menatap iba. "Sejak sebulan yang lalu, Pendekar Gurun Neraka. Tepatnya tigapuluh dua hari dengan sekarang. Hoa-san Siang-lihiaplah yang menolong kelahirannya karena dua orang murid perempuan Hoa-san Lo-jin itulah yang bertemu dengan Tok-sim Sian-li. Kabarnya mereka semula tidak tahu kalau yang mereka tolong itu adalah murid Cheng-gan Sian-jin si datuk sesat. Dan baru seminggu kemudian mereka tahu, namun Tok-sim Sian-li telah lenyap bersama bayinya. Tentu saja dua orang murid Hoa-san Lo-jin itu gemas dan memaki-maki diri sendiri lalu mencoba mencari ke segenap penjuru. Dan di dalam pencarian inilah mereka bertemu dengan murid Ta Bhok Hwesio yang akhirnya roboh dalam suatu pertempuran sengit yang aku sendiri kurang jelas asal-usulnya. Hebatnya baru beberapa jam mereka tewas, tiba-tiba saja Hoa san Lo-jin di atas gunung-pun juga binasa di bawah pukulan Soat-im-ciang Ta Bhok Hwesio!"

Lek Hui berhenti dengan alis berkerut sementara Bu Kong memandang aneh. "Hmm, siapakah yang mula-mula menjadi saksi pertama dalam peristiwa itu, Auw-twako?"

Lek Hui mengingat-ingat. "Kalau tidak salah Si Copet Seribu Tangan."

"Dan di manakah dia sekarang berada?"

"Aku kurang tahu, Pendekar Gurun Neraka. namun menurut berita yang kuterima, nona Pek Hong sendiri telah mengakui perbuatannya itu dan tidak menyangkal!"

"Hemm, memang luar biasa," Bu Kong mengeluarkan suara dari hidung dan melanjutkan petanyaannya dengan muka gelap, "Lalu mengapakah bayi laki-laki Tok-sim Sian-li itu dijadikan rebutan orang-orang dunia hitam?"

"Kabarnya karena pada tubuh anak itu melekat sebuah Sin-liong-su (Mutiara Naga Sakti) yang oleh ibunya dijadikan bandul kalung pada lehernya." Lek Hui menjawab dari Bu Kong terkejut sakali.

"Apa? Sin-liong-cu?" pendekar muda ini terbelalak.

"Begitulah, Pendekar Gurun Neraka," Lek Hui mengangguk dan Bu Kong terhenyak mendengar cerita ini.

Sejenak bekas jenderal muda ini mamnu membuka suara, natuun akkimya memieis juga, "Hemm, aneh bukan main. Dari manakah gadis itu mendapatkan benda mustika ini? Dan dimanakah gurunya? Mengapa Tok-Sim Sian sendiri diam saja?"

Untuk pertanyaan itu kembali Lek Hui menjawab, "karena Cheng-gan Sian-jin sedang menghadapi urusan besar dengan suku bangsanya di luar tembok besar sana, Pendekar Gurun Neraka. Dan kabarnya kakek ini juga sedang marah bukan main karena muridnya itu diam-diam merat ketika dalam perjalanan bersamanya. Aku tidak tahu mengapa Tok-sim harus melarikan diri dari gurunya, padahal ia sedang hamil tua."

Raksasa muda ini termangu dan Bu Kong juga merasa heran. Dua orang laki-laki itu memang tidak mungkin dapat menjawab pertanyaan terakhir ini karena hal itu menyangkut urusan pribadi antara Tok-sim Sian-li dengan gurunya.

Seperti telah diceritakan dalam cerita "Pendekar Gurun Neraka" yang lalu, telah terjadi ancaman dari datuk sesat ini terhadap murid perempuannya. Yakni, apabila gadis itu melahirkan bayi perempuan, kelak bayi itu harus diserahkan kepada Cheng-gan Sian-jin untuk jadikan kekasihnya sebagai pengganti ibunya. Tapi kalau laki-laki, akan dijadikan cucu murid sebagai ahli waris tunggal yang kelak mewarisi seluruh kepandaian kakek iblis ini. Dan Lie Lan yang tidak tahu apakah bayinya bakal laki-laki atau perempuan itu tentu saja menentang keputusan yang amat menyakiti hatinya ini. Gadis ini sudah bertekad, kelak jika dia melahirkan bayi perempuan maka sebelum bayi itu besar dia sendiri sudah akan membunuh bayinya sendiri! Dan hal ini sudah menjadi keputusan tetap baginya.

Oleh sebab itn, tidak ada seorangpun yang tahu apa yang sedang dipikirkan gadis ini akibat ancaman gurunya itu. Bahkan Cheng-gan Sian-jig sendiri juga tidak menduga kalau muridnya diam-diam mempunyai sebuah rencana nekat. Kalau saja kakek iblis itu tahu, barangkali gadis ini sudah dibunuhnya dulu-dulu! Karena itu, tidak heran jika ini merupakan rahasia satu-satunya bagi Lie Lan yang akan dipegangnya teguh sampai mati. Dan gara-gara ancaman guruuya itulah gadis ini lalu merat secara diam-diam pada saat kandungannya semakin tua.

Akan tetapi semua persoalan ini tidaklah diketahui oleh orang luar. Maka tidak aneh apabila Bu Kong dan Auw Lek Hui sama sekali tidak mengetahuinya. Mereka hanya merasa heran gidis itu harus melarikan diri dari gurunya, padahal biasanya guru dan murid itu tidak pernah berpisah.

Sekarang, merasa cukup dengan semua cerita yang dibawa oleh raksasa muda ini Bu Kong menghadapi Lek Hui. "Auw-twako, kukira persoalan yang hendak kau sampaikan kepadaku kini telah kau ceritakan semua, dan untuk ini aku mengucapkan banyak terima kasih. Akan tetapi berhubung aku masih mepunyai urusan-urusan yang harus segera kuselesaikan, maka biarlah sampai di sini dalu pertemuan kita. Tugas masih banyak menantiku, dan aku harus segera melaksnakannya. Oleh sebab itu aku hendak pergi dulu dan mudah-mudahan kelak kita dapat berjumpa kembali.

Pendekar itu sudah siap memutar tubuh akan tetapi Lek Hui tiba-tiba berseru, "Pendekar Gurun Neraka, apakah kau hendak mencari Cheng-gan Siang-jin?"

Namun Peddekar Gurun Neraka menggeleng. "Untuk sementara ini belum, saudara Lek Hui."

"Ha, kalau begitu apakah hendak mencari Tok sim Sian-li?"

"Itupun juga bukan maksudku sekarang ini."

"Eh, kalau begitu tentunya mencari nona Pek Hong serta gurunya, bukan? Kalau dugaanku benar, kita dapat bersama-sama, Pendekar Gurun Neraka!"

Akan tetapi kali ini Bu Kong juga menggelengkan kepalanya. Dia memandang raksasa muda itu sejenak, lalu menjawab, "Auw-twako, aku terpaksa menyampingkan pencarian terhadap orang-orang yang telah kau katakan tadi karena saseorang yang lebih penting untuk kucari. Dan untuk tugas inilah aku harus segera pergi. Jejaknya mulai kutemukan, akan tetapi kelicinannya yang seperti setan membuat aku harus berhati-hati. Kukira, semua ceritera yang kau beberkan tadi kelak akhirnya akan berpangkal pada orang ini dan untuk itu si biang keladi ini harus segera kutangkap."

Lek Hui terbelalak. "Wah siapakah dia, Pendeker Gurun Neraka?"

Bu Kong mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang. "Auw-twako, kalau aku tidak menaruh kepercayaan penuh terhadap dirimu terus terang saja aku tidak akan memberitahukannya. Akan tetapi karena kulihat kau merupakan sahabat yang cukup dapat dipercaya, maka biarlah kujelaskan hal ini padamu. Dia bukan lain adalala susiokku sendiri yang menghuni Pulau Hek-kwi-to (Putau Iblis Hitam)."

"Eh, Sin-hwi-ciang (Si Tangan Api Sakti)?" Lek Hui terkejut.

"Begitulah," Bu Kong mengangguk. "Akan tetapi dia sekarang sudah tidak lagi berada di Hek-kwi-to dan jejaknya menunjukkan tanda-tanda bahwa dia kini sudah muncul di pedalaman sini seperti dulu-dulu lagi."

"Ahh…..!" Lek Hui berobah air mukanya dan jelas tampak bahwa pemuda ini merasa kaget sekali. "Kalau begitu dunia Kang-ouw bakal terbit onar besar, Pendekar Gurun Neraka!"

"Memang begitulah," pendekar ini mengangguk. "Dan tanda-tandanya sekarang sudah mulai tampak, antara lain dengan munculnya perkumpulan Hiat-goan-pang ini serta terbunuhnya sang ketua oleh Toat-beng-cui."

"Toat-beng-cui ? Ah, benar!" Lek Hui tiba-tiba menepuk kepalanya dengan kaget dan diingatkan tentang senjata bor beracun yang amat mematikan itu membuat pemuda ini berputar bola matanya. "Kalau begitu, apakah apakah."

"Sudahlah, Auw-twako, kita lihat saja perkembangannya nanti," Bu Kong mengulapkan tangannya dan memotong pertanyaan pemuda itu dengan putaran tubuh ke betakang dan sebelum Lek Hui bicara lebih lanjut, dia berseru, "Auw-twako, maaf waktuku habis. Aku pergi dulu!"

Dan sekali pendekar muda ini menggerakkan kakinya, tiba-tiba tubuhnya melesat ke depan seperti iblis. Lek Hui hendak berteriak, namun bayangan Pendekar Gurun Neraka telah lenyap dalam sekejap. Gerakan begitu cepat, juga luar biasa ringan sehingga Lek Hui mengurungkan niatnya untuk memanggil. Raksasa muda ini maklum bahwa sekali sahabatnya itu mau pergi, maka siapapun tak akan mampu mencegahnya. Oleh sebab itu diapun hanya dapat memandang dengan mata terbelalak dan meskipun bayangan bekas jenderal muda itu telah lenyap, pemuda tingai besar ini masih termangu-mangu di tempatnya.

Peristiwa demi peristiwa yang berlangsuug di hutan ini membuat raksasa muda itu banyak berpikir. Tadinya dia datang ke situ bukan lain karena hendak menolong sute dan sumoinya dari tangan orang-orang Hiat-goan-pang. Tidak tahunya mereka temyata telah ditolong oleh Pendekar Gurun Neraka, suatu hal yang amat kebetulan malah bagi dirinya karena dia juga sedang mencari-cari bekas jenderal muda itu untuk menceritakan ekor dari semua tindak-tanduk Tok-sim Sian-li, itu gadis iblis berwajah cantik yang tergila-gila kepada murid Malaikat Gurun Neraka ini.

Siapa sangka, gara-gara kekerasan hati dari pendekar itu sendiri yang menghendaki agar dia bercerita di depan sute dan sumoinya tentang urusan yang menyangkut pribadi pendekar muda kini Cheng Bi dan Cheng Han meninggalkan mereka dengan suatu kesan buruk tentang pribadi bekas jenderal muda ini. Dua orang adik-adik seperguruannya telah menunjukkan sikap yang tidak bersahabat lagi terhadap Pendekar Gurun Neraka, karena mereka menganggap pendekar itu seorang yang tak tahu malu, sampai-sampai sudi rendahkan diri berjina dengan seorang wanita! Bagaimana tidak jelek sekali?

Lek Hui geleng-geleng kepala. Keadaan benar-benar tidak menguntungkan bagi pendekar muda yang gagah perkasa itu. Dan agaknya pendekar itu masih selalu diburu nasib sial. Buktinya, hubungan gelap yang dilakukan akibat kecurangan murid Cheng-gan Sian-jin ini membawa ekor, berupa seorang anak laki-laki. Dan belum lagi ia tahu murid Ta Bhok Hwesio yang juga dia amat tergila-gila dan mencintai pendekar itu tiba-tiba saja membunuh Hoa-san Li-hiap. Konon katanya karena cemburu. Dan sekarang, melihat gerik-gerik sumoinya, Ceng Bi, juga gadis itu, menandakan gejala-gejala jatuh cinta terhadap jenderal muda yang memang gagah dan tampan ini. Maka tidak heran kalau begitu mendengar orang yang dicinta ternyata bermain gila. Ceng Bi merasa sakit hati dan marah-marah.

Masih teringat oleh pemuda ini akan isak tangisnya, dan Lek Hui menarik napas panjang. Diam-diam dia mengeluh, "Aih, Pendekar Gurun Neraka, mengapa dalam nasibmu yang kurang beruntung ini masih saja ada gadis-gadis cantik yang jatuh cinta kepadamu? Dan sekarang ini malah memberatkan hatiku, karena justeru sumoiku sendiri yang mulai tergila-gila terhadap dirimu. Bagaima na kalau sampai sumoiku gagal? Apakah akan mengalami nasib yang sama seperti Tok-sim Sian-li atau seperti nona Pek Hong?"

Lek Hui tidak berani melanjutkan bayangannya ini karena dia merasa ngeri. Karena itu, setelah termenung sejenak pemuda tinggi besar itupun meninggalkan tempat itu menuju ke utara. Dia juga mempunyai tugas penting, yakni mencari Cheng-gan Sian-jin yang harus dibunuhnya seperti yang diperintahkan gurunya. Kalau ini belum berhasil, dia tidak boleh menemui gurunya atau pulaag ke Beng-san.

Akan tetapi, belum juga Cheng-gan Sian-jin dapat ditemuinya karena kakek iblis itu telah melarikan diri ketika serbuan bala tentara Yap-goanswe datang, kini tiba-tiba saja dia bertemu dengan sute dan sumoinya di tengah perjalanan. Hal in sahe-tulnya menggembirakan hatinya, namun apa hendak dikata, mereka tiba-tiba saja telah meninggalkan dirinya tanpa memberi kesempatan untuk dia berbicara panjang lebar. Dan teringat pesan sutenya, ketika hendak pergi, Lek Hui mengerutkan alisnya yang tebal.

Kata-kata sutenya itu terasa aneh, juga agak mencurigakan. Mengapa tidak boleh dicari? Dan mengapa pula terdapat kata-kata "belum berniat pulang ke Beng-san?" Apakah....?"

Sampai di sini Lek Hui terbelalak. Sekarang dia tahu, apa kira-kira yang sedang dilakukara oleh sute dan sumoinya itu. Pasti mereka ini sedang merat! "Wah, celaka! Kenapa mereka melakukan hal itu?"

Lek Hui berseru sendiri teringat akan dugaannya ini dan raksasa muda itu terkejut. Kalau ini benar, tentu suhunya akan marah bukan main. Orang tua itu memang selama ini diketahuinya amat mengekang Ceng Han dan Ceng Bi. Dua orang putera-puterinya itu sama sekali tidak diperkenankan untuk turun gunung. Dan dia tahu apa sebabnya. Bukan lain adalah hendak menjaga puterinya dari bahaya kecurangan musuh-musuh gurunya yang licik.

Sekarang, justeru larangan gurunya yang amat keras ini dilanggar. Sute dan sumoinya telah melarikan diri dari atas gunung secara diam-diam. Tentu saja Lek Hui merasa terkejut dan wajah pemuda itu berobah. Namun, apa yang hendak dilakukannya? Memaksa mereka kembali? Atau lebih baik menghadap gurunya saja?

Hal pertama gampang dibicarakan akan tetapi sukar pelaksanaannya. Kakak beradik itu seperti ayahnya, amat keras hati dan keras kepada. Karena itu hanya kesia-siaanlah yang kelak bakal diperolehnya. Lagi pula, mereka telah pergi. Kemana dia hendak mencari? Sedangkan untuk hal nomor dua juga jelas tidak mungkin. Gurunva telah menegaskan bahwa jangan kembali sebelum membunuh Cheng-gan Sian-jin. Padahal dia bertemu dengan kakek iblis itu saja belum. Bagaimana mau naik gunung? Hanya mau mercari penyakit saja!

Karena itu, Lek Hui hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya saja dan sambil bergumam sendirian pemuda tinggi basar ini melanjutkan larinya. Cheng-gan Sian-jin berada di utara, dan ke arah inilah dia menuju. Masalah sute dan sumoinya untuk sementara tidak dia pikirkan dulu. Kalau mereka memang berminat untuk turus gunung untuk menjalankan perantauannya, biarlah kakak beradik itu mengenal dunia luar. Asal mereka cukup berhati-hati, agaknya mereka juga tidak gampang dicundangi orang. Dengan adanya pikiran ini maka Lek Hui menjadi tenang juga. Jelek-jelek sute dan sumoinya itu adalah murid-murid Pendekar Kepala Batu, bahkan putera-puterinya sendiri. Untuk apa cemas? Tidak perlu...!

* * * * * * * *

Kim kee-san (Bukit Ayam Emas.), adalah sebaah bukit kecil yang terletak di sebeiah utara dusun Chi-hun dan sesuai dengan namanya bukit ini memang mirip bentuk kepala seekor ayam jago. Orang menyebutnya Ayam Emas karena setiap sore mendatang, sinar keemasan dari matahari senja menyelimuti seluruh permukaan bukit ini, membuat Kim-kee-san bermandi cahaya yang indah kemilau. Itulah sebabnya lalu orang menamakan bukit ini dengan nama Bukit Ayam Emas.

Dan seperti biasa, sore itu sinar lembayung senja juga menyorot lembut di atas permukaan bukit ini. Wama keemasan yang menakjubkan mata membuat Kim-kee-san tampak berkilauan, hidup dan luar biasa sekali. Pohon-pohon yang-liu bergerak tembut, seperti dara yang menari perlahan mengikuti irama yang-khim dalam lagunya "Mengantar Kepergian Dewa Surya", itu lagu sendu ciptaan penyair besar Poo Hien dalam dinasti Couw. Dan di atas pohon-pohon ini, saputan emas dari cahaya dewa surya juga ikut bergerak, naik ke atas seperti dewa-dewi yang hendak menuju ke kahyangan.

Indah luar biasa pemandangan di atas Bukit Kim-kee-san ini, namun sayang agaknya tidak ada seorangpun yang dapat menikmatinya secara utuh. Manusia terlalu sibuk dengan urusannya sendiri, maka hal-hal seperti itu hampir tidak pernah dilihatnya dengan sungguh-sungguh, Kalau toh mereka melihat, itu paling-paling hanya terbatas pada penglihatan di luar saja, sama sekali tidak menembus pada bagian dalam yang sesungguhnyalah mengandung banyak kegaiban-kegaiban yang mengherankan.

Namun Kim-kee-san juga tidak banyak bicara kepada manusia. Bukit ini lebih banyak bersikap diam, satu palajaran baik yang sepatutnya ditiru oleh manusia, karena di dalam kediaman inilah terdapat banyak kebijaksanaan yang sejati. Seperti kata-kata seorang pujangga Tiongkok terkenal yang berbunyi:

Yang mengerti tidak bicara
yang bicara tidak mengerti
yang tahu tidak sombong
yang sombong tidak tahu


Begitu pulalah halnya kehidupan yang terjadi di dunia ini. Dua unsur pokok selalu bergerak silih berganti di atas bumi. Yang tahu dengan yang tidak tahu, sedangkan yang mengerti dengan yang tidak mengerti. Dua unsur Im Yang masih kuat saling tarik-menarik di tengah-tengah kehidupan, dan siapakah yang berhasil keluar dari cengkeraman dua unsur ini? Barangkali bisa dihitung dengan jari!

Sore itu Kim-kee-san tampak cantik bukan main, hutan cemara kecil yang terletak di perut bukit kini perlahan-lahan menunjukkan warna aslinya. Sinar keemasan telah lenyap, dan wama hijau pohon-pohon yang-liu ini kelihatan segar berseri, seperti seorang dara jelita yang baru mandi.

Dan sore itu, di saat matahari mnlai terbenam, tiba-tiba Kim-kee-san kedatangan seorang tamu. Sesosok bayangan kuning tiba-tiba muncul di kaki bukit. Dia adalah seorang wanita muda, cantik dan membawa sebatang pedang di belakang punggungnya. Melihat mukanya, dia pasti berusia duapuluhan tahun dan agaknya dugaan ini tidak akan jauh meleset. Namun, siapakah dia?

Orang tidak akan dapat segera mengenalnya. Wanita muda ini tampak biasa saja, kecuali gerala kakinya yang ringan dan gesit ketika mendaki Bukit Kim-kee-san serta warna kehijauan yang samar-samar tampak membayang di sarung pedangnya. Selain itu, dia tidak tampak menonjol, kecuali raut mukanya yang manis tentu saja.

Dan hal ini memang menarik perhatian. Sejauh orang mengingat, Kim-kee-san selamanya belum pernah dikunjungi orang asing. Kalau begitu, ada keperluan apakah wanita muda ini naik ke bukit? Dan apa pula kehendaknya? Pertanyaan ini barangkali bisa kita jawab apabila kita mau mundur sejenak, dan hal pertama yang penting untuk diketahui tentulah pertanyaan tentang siapakah sebenamya wanita itu. Ini memang pokok. Jadi, siapakah wanita itu?

Dia bukan lain adalah A-ceng. Bagi para pembaca yang telah membaca cerita "Pendekar Gurun Neraka" barangkali lupa-lupa ingat dengan wanita ini. Dan hal itu memang tidak mengherankan. A-ceng memang tidak begitu menonjol dalam cerita yang lain karena dia hanya sebagai pelayan saja, meskipun termasuk pelayan utama.

Seperti Anda ketahui, A-ceng inilah, bersama dua orang teman pelayannya yang lain, yang telah mempersiapkan makanan dan minuman perangsang di dalam kamar Li Lan untuk Yap-goanswe. Dan justeru akibat Arak Sorga itulah Yap-gaanswe masuk dalam perangkap nafsu berahi sehingga melakukan perbuatan terkutuk bersama murid perempuan Cheng-gan Sian-jin yang memang hendak membalas sakit hatinya.

Semuanya ini telah diceritakan dalam kisah yang lalu, dan A-ceng sebagai pelayan utama Tok-sim Sian-li, tentu saja mengetahui itu dengan baik. Bahkan bukan ini saja yang diketahui gadis pelayan itu, melainkan juga peristiwa-peristiwa lain. Seperti umpamanya rencana Cheng-gan Sian-jin yang hendak berkhianat terhadap Kerajaan Wu, lalu penangkapan yang dilakukan Panglima Ok terhadap putera-puterinya sendiri, dan juga maksud Cheng-gan Sian-jin hendak menggagahi Siu Li, kekasih tercinta Yap-goanswe!

Semuanya itu diketahui oleh gadis pelayan dan Cheng-gan Sian-jin datuk iblis yang suka memandang rendah orang lain itu, kali ini mengalami "kejutan" tak terduga yang dilakukan oleh pelayan muridnya sendiri. Siu Li, puteri Panglima Ok yang berwajah jelita an ! yang rencananya hendak digagahi itu, tiba-tiba lolos dari kamar tahanan bawah tanah. Dan bersama lenyapnya gadis cantik ini, juga kakak kandungnya ikut menghilang!

Tentu saja Cheng-gan mencak-mencak penuh kemarahan. Dia baru saja pulang dari kubu pasukan Yap-goanswe sebagai utusan raja Muda Kung Cu Kwang, bermaksud mengadakan sekongkol dengan jenderal muda yang gagah perkasa itu. Akan tetapi sayang, bukannya kegembiraan yang didapat melainkan hinaan yang membuat dia hampir saja kehilangan muka. Jenderal muda yang dulu pernah ditawannya dengan mudah itu tiba-tiba saja menjadi lihai bukan main. Pukulan jarak jauhnya yang dilakukan secara diam-diam, tiba-tiba terpental balik ketika lawannya ini mengangkat lengannya dengan kibasan perlahan!

Tentu saja datuk iblis itu terkejut bukan main dan kalau dia nekat, barangkali dia harus benar-benar jatuh di tangan orang yang dulu pemah dipermainkannya! Karena itu, hal ini membuat Cheng-gan Sian-jin menekan gejolak perasaannya dan dengan muka gelap dia kembali ke benteng setelah mengancam jenderal muda itu untuk manggagahi kekasihnya dengan ilmunya Coan-im-jip-bit. Akan tetapi sungguh tak terduga. Puteri Panglima Ok yang hendak dipermainkannya itu tiba-tiba saja sudah lenyap dari kamar tahanan!

Hal ini membuat kemarahan yang sudah timbul akibat kepergiannya ke kubu musuh menjadi meluap kembali. Cheng-gan Sian-jin marah-marah, mukanya yang sudah merah itu semakin menyala dan saking murkanya iblis ini lama menghantam pintu-pintu gerbang kota raja di empat penjuru sampai ambrol. Tentu saja tindakannya itu mengejutkan semua orang. Pihak Wu terkejut karena sama sekali tidak menyangka, sedangkan pihak pasukan musuh terkejut bercampur gembira. Jebolnya pintu-pintu gerbang itu benar-benar meluapkan semangat mereka dan seperti setan kelaparan saja mereka ini lalu menyerbu masuk sambil berteriak-teriak.

Akibatnya, semrawutlah pasukan Wu ini diserbu oleh orang-orang yang sudah seperti iblis. Dendam setinggi langit dari pasukan Jenderal Yap tak dapat mereka bendung, dan akhirnya, satu-persatu mereka roboh mandi darah dibabat senjata lawan. Kota raja berobah menjadi telaga darah dan tidak sampai satu hari saja bala tentara Yueh berhasil merebut apa yang menjadi hak mereka. Mulailah pembersihan dilakukan di sana-sini dan dalam peperangan antara dua kerajaan ini raja Muda Kung Cu Kwang benar-benar mengalami kekalahan total. Dia sendiri tewas dan tiga orang panglima utamanya, yakni Wu-sam-tai- ciangkun, juga roboh binasa di bawah pukulan Cheng-gan Sian-jin yang berkhianat.

Itulah sekelumit cerita tentang Chang-gan Sian-jin serta tindak-tanduknya, dan A-cheng yang ditiaggalkan seorang diri oleh datuk iblis itu yang melarikan diri lewat terowongan bawah tanah, berliasil juga menyelamatkan nyawanya melalui jalan lainnya yang tidak disangka oleh pelayan ini adalah kematian Siu Li. Dengan susah payah dia membebaskan kakak beradik itu, akan tetapi toh akhirnya kekasih Yap-goanswe ini tewas juga. Sungguh usahanya menemui kagagalan di tengah jalan. Padahal, justeru terutama untuk keselamatan puteri Panglima Ok itulah dia sampai berani menyerempet-nyerempet bahaya!

Akan tetapi semua itu sudah terjadi dan manusia tidak dapat berbuat apa-apa. A-cheng hanya mampu menitikkan air mata kesedihannya belaka dan ketika pada suatu malam dia tidur di sebuah kuil tua, tiba-tiba saja keesokan harinya sebatang pedang telah berada di sisinya. Tentu saja gadis ini terkejut, dan ketika dia melompat bangun, temyata di lantai kuil itu terdapat goresan-goresan lembut yang berbunyi:

"Ambillah pedang itu dan simpanlah. Cari kakak pemilik pedang ini dan kalau tidak berhasil, tanam saja dimakamnya yang bersangkutan di Bukit Kim-kee-san.

Bu-beng"

Hanya itulah pesan yang ditinggalkan di atas lantai ini dan A-cheng terbelalak. Dia tidak tahu, siapakah orang yang bemama "Bu-beng" (Tanga Nama) ini. Setankah? Manusiakah? A-cheng termangu-mangu dan sehari penuh dia tidak meninggalkan kuil. Akhirnya, karena ingin meragetahni lebih lanjut, dia lalu melolos pedang itu dan seketika A-Cheng mengeluarkan seruan perlahan. Sinar kehijauan yang mengandung hawa dingin tiba-tiba memancar dari badan pedang ini dan A-cheng terkejut. Sekarang dia mengenal pedang milik siapakah itu. Kiranya milik puteri Panglima Ok Siu Li!

Tentu saja gadis ini terperanjat dan melihat betapa pedang sudah tidak lagi berada di tangan majikannya membuat A-cheng terkejut bukan main. Dia lalu membaca lagi tulisan di atas lantai dan sekarang mengertilah dia siapa kiranya yang dimakamkan di Bukit Kim-kee-san itu. Ternyata bukan lain adalah puteri Panglima Ok itu juga!

Hal ini membuat A-cheng tertegun dan akhirya gadis itu menagis penuh kesedihan. Diam-diam hatinya kecewa bukan main, mengapa jerih payahnya gagal juga? Apakah Tuhan tidak menaruh kasihan kepada puteri Panglima Ok yang hidupnya selalu sengsara itu? Gadis ini tidak dapat menjawab dan setelah sehari penuh menumpahkan kekecewaannya melalui air mata, A-cheng bangkit juga memenuhi permintaan serius dari orang yang bemama Bu-beng itu.

Berbulan-bulan dia mencari, namun orang yang dicari ternyata tidak ketemu juga. Karena itu, A-cheng lalu mengambil keputusan untuk pergi saja ke Bukit Kim-kee-san mengubur pedang yang kian lama kian berhawa dingin itu bersama tubuh majikannya. Hai ini dilakukan A-cheng karena akhir-akhir ini dia merasa seram sendiri terhadap pedang itu. Ada sesuatu yang aneh terjadi. Dan itu dimulai kira-kira satu bulan yang lalu.

Pada saat itu dia sedang bermalam di tengah hutan, bersandar di sebatang pohon besar sambil menyalakan api unggun sebagai pengusir nyamuk dan binatang-binatang buas seperti ular berbisa dan sebagainya. Dan tepat pada saat dia mulai terlelap, tiba-tiba terdengar kekeh tawa seorang anak kecil. Tentu saja dia terkejut, dan cepat membuka mata sambil melompat bangun.

Dan apa yang dilihat? Ternyata seorang bocah berkepala gundul menari-nari di depannya. Anak kecil itu terkekeh-kekeh, tawanya nyaring namun juga menyeramkan karena dia tertawa sambil melotot. Dan anehnya, kedua kaki bocah berperut buncit ini sama sekali tidak menginjak tanah. Dia menari sambil melayang!

Tentu saja semangat A-cheng seperti terbang. Dia sedang enak-enaknya tidur, dan tiba-tiba saja dibangunkan dengan mendadak oleh tawa bocah gundul ini. Sekarang, melihat betapa walk laki-laki itu menari tanpa menyeatula bumi, A-cheng benar-benar hampir pingsan. Akan tetapi untung-jelek-jelek dia bukanlah wanita lemah. A-cheng mengeluarkan pekik nyaring dan sekali tubuhnya bergerak, tiba-tiba saja dia sudah menampar kepala bocah iblis ini sambil membentak,

"Setan cebol, pergilah kau jangan menggangguku di sini!"

Tamparannya membawa kesiur angin tajam namun bocah itu tiba-tiba berkelebat lenyap. Dan sementara gadis ini terkejut, sekonyong-konyong dari belakangnya terdengar tawa anak kecil itu.

"Heh-heh, enci galak, jangan kau mengusirku begitu saja. Kecuali kalau kau mau berikan pedang itu, baru aku mau sudah. Wah, aku sudah ingin menghirup darah segar, nih!"

Bocah itu terkekeh dan A-cheng maremang bulu kuduknya. Anak kecil ini dilihat bentuk tubuhnya paling-paling baru berusia empat atau lima tahun, akan tetapi omongannya separti iblis saja. Karena itu, A-cheng merinding ngeri namun cepat dia mengusir rasa takutnya. Sikap anak kecil ini yang mempermainkan dirinya memuuat kemarahannya lebih besar dari pada rasa takutnya. Oleh sebab itu, diapun lalu membalikkan tubuh dan kembali membentak nyaring sambil memukul.

Dan apa yang dilihat? Ternyata seorang bocah berkepala gundul menari-nari di depannya. Akan tetapi sungguh ganjil. Pukulan yang sudah dilancarkan secepat kilat itu ternyata mengalami kegagalan lagi, persis seperti yang pertama. Anak iblis itu sudah berkelebat, dan sebelum pukulannya tiba, lawan aneh ini sudah lenyap nambil tertawa terkekeh-kekeh. Hal ini membuat A-cheng marah bukan main dan pukulan-pukulannya mulai membabi buta.

Diseranglah anak itu bertubi-tubi, sampai gadis ini lupa tentang keanehan lawannya yang sama sekali tidak menyentuh bumi. A-cheng sudah tidak ingat lagi tentang itu semua dan yang ada di pikirannya hanyalah membunuh anak ini. Sampai akhirnya, karena naik pitam dipermainkan seperti itu, A-cheng tiba-tiba mencabut pedangnya. Dan sungguh mengherankan, bocah iblis itu mendadak berteriak ketakutan sambil melompat mundur.

"Eh-eh, enci galak, gunakan pedang itu untuk membunuhku. Kalau kau tidak mau menyerahkan, ya sudahlah. Mengapa harus marah-marah? Tidak berhasil sekarang kumiliki, biarlah lain waktu saja kucoba lagi. Nah, selamat tinggal, cici galak …!" Anak setan itu berseru dan tiba-tiba secara aneh api unggun yang tadi menyala mendadak padam.

Tentu saja A-cheng menjadi terkejut dan bayangan bocah gundul itu lenyep seketika. A-cheng mengkirik ngeri dan ketika dengan cepat di menyalakan api unggun lagi, ternya keadaan di sekitar situ biasa-biasa saja. Hal ini malah membuat gadis itu terbelalak dan diam-diam hatinya gentar bukan main. Apakah dia sedang digoda iblis penjaga hutan? Ataukah suatu mimpi buruk sedang mengganggunya?

A-cheng tidak mampu menjawab dan karena gangguan tadi dia semalam suntuk malah tidak bisa tidur. Gadis ini termangu-mangu, sementara mukanya menjadi pucat turingat peristiwa luar biasa yang baru saja dia alami. Selama hidup, baru saat itulah dia menjumpai hal yang demikian sukar untuk dipecahkan, antara kenyataan yang sebenarnya ataukah hanya suatu mimpi buruk belaka.

Dan akibatnya, pada saat matahari baru saja terbit dari ufuk timur, gadis ini sudah cepat-cepat mininggalkan hutan. Dia lebih condong merasa sedang diganggu setan penjaga hutan daripada kenyataan yang sesungguhnya ada. Karena itu, meninggalkan hutan secepat mungkin baginya adalah jauh lebih baik daripada tinggal di situ. Dan hal ini memang segera dilakukan gadis itu.

Bagi A-cheng, gangguan seekor mahluk halus lebih menyeramhan dibanding gangguan seorang manusia, dia menjadi lega setelah tempat yang menyeramkan itu sudah jauh ditinggalkannya. Akan tetapi celaka duabelas! Ketika dia bermalam di sebuah dusun dalam usahanya menghindari hutan menjauhi yang "bau-rekso", eh... tiba-tiba saja si bocah gundul itu muncul lagi! Seperti yang sudah-sudah, kali inipun anak setan itu mengagetkannya dari tidur dengan kekeh tawanya yang nyaring menyeramkan. A-cheng terkesiap dan secepat kilat dia melompat bangun. Dan ternyata bocah itu sudah berada di depannya, menari-sari dengan mulut menyeringai!

Tentu saja A-cheng menjadi takut dan juga marah. Akan tetapi, karena dia tidak berada di hutan melainkan sebuan rumah penduduk yang berpenghuni, gadis ini menjadi tabah. Kekeh anak itu nyaring sekaii, dan A-cheng berharap bahwa orang serumah bakal mendengar ketawa bocah iblis itu. Maka tanpa banyak cakap diapun lalu mengeluarkan bentakan dan menyerang anak cebol yang ganjil itu.

Namun sungguh mengherankan. Semua pukulan-pukulannya, seperti dulu juga, tidak satupun yang mengenai sasarannya, hal ini membangkitkan kemarahan A-cheng dan tanpa banyak cerewet lagi diapun mencabut pedang bersinar hijau. Sekali tarik dalam gerakan cepat gadis ini sudah melakukan tusukan enam kali bertubi-tubi. Terdengar anak setan itu menjerit dan enam kali tusukannya mengenai sasaran.

"Kres-kres-kress...!"

A-cheng berseru girang dan pedang di tangannya melakukan gerakan silang. Akan tetapi ajaib, bocah gundul itu sekonyong-konyong lenyap dan seebagai gantinya, terdengar suara gedobrakan disusul robohnya dinding rumah yang terbuat dari bambu. Tentu saja A-cheng kaget bukan main dan gadis ini terbelalak dengan muka pucat. Dia berdiri tertegun dan pada saat itu, pemilik rumah beserta anak cucunya berteriak-teriak gaduh meneriakkan ada maling masuk rumah seraya memburu ke kamarnya!

A-cheng benar-benar terkejut. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa hasil babatan pedangnya tadibukannya mengenai si setan melainkan membabat dinding kamar yang ditempatinya. Dan sekarang, mendengar suara gedobrakkan akibat robohnya dinding dan pintu kamar di mana dia baru saja "mengamuk", tuan rumah dan para pembantunya tanpa selidik lagi sudah bertertak "maling-maling" mengejutkan tetangga sekitar.

Kontan saja rumah itu menjadi geger dan sekejap kemudian semua orang dusun pun gempar. Anjing anjing ikut menggonggong dan suasana makin berobah menjadi hiruk-pikuk setelah kentongan titir dipukul bertalu-tatu. Hal ini membuat A-cheng munjadi gugup, juga malu. Dia, kalau diketahui keadaannya ini, pasti akan dianggap orang gila oleh penduduk satu dusun. Dan daripada dia harus menderita malu, lebih baik merat saja!

Pikiran ini sedetik, menyelinap dalam keadaan yang amat gawat itu dan A cheng pun tidak mau berayal. Sebelum pemilik rumah yang berkoar seperti ayam biang kehilangan anaknya itu tiba, gadis in sudah menyambar buntalan pakaiannya dan sekali berkelebat, tubuhnya melesat keluar jendela. A-cheng tidak mau kehilangan muka, maka tindakannya itu memang tepat sekali karena persis dia pergi, orang sekampungpun sudah berdiri mengelilingi kamarnya yang roboh dengan senjata di tangan. Ada yang membawa pentungan, pacul, sabit dan tidak ketinggalan pula senjata ganco bermata dua!

Lucunya, orang-orang itu pada berteriak-teriak menyuruh sang "maling" keluar, tidak sadar betapa si pembuat heboh sudah jauh melarikan diri meninggalkan tempat celaka itu sambil mengumpat caci. Inilah cerita A-cheng yang sedang sial itu, dan gadis ini dengan napasterengah-engah malam itu kembali tidak dapat tidur. Gangguan yang kedua kalinva dari setan cebol ini terasa lebih berat daripada yang pertama bagi A-cheng, dan dia mulai menjadi was-was. Gadis itu mulai dihantui perasaan takut, juga marah yang sayang tidak dapat dilampiaskan.

Karena itu, A-cheng menjadi ingin supaya cepat-cepat tiba di Bukit Kim-kee-san untuk mengubur pedang itu yang selama ini dikejar-kejar si iblis cebol dengan sikapnya yang mengerikan itu. Dan si cebol yang aneh itu ternyata memang tidak membiarkan dia lari begitu saja. Semakin dekat jaraknya dengan Kim-kee-san, semakin seringlah "hantu" ini mengganggu dirinya. Dan yang diminta selalu pedang itu. Dan A-cheng yang hampir putus asa ini hampir saja menyerahkan senjata itu. Namun tiba-tiba sesuatu yang aneh kembali terjadi. Pedang itu tidak mau dikeluarkan dari sarungnya. Sungguh aneh!

Hampir saja A-cheng tidak mempercayai dirinya, akan tetapi kenyataan itu memang ternyata betul-betul terjadi. Pedang milik puteri Ok ini sekarang sudah tidak dapat dilobos lagi. A-cheng terbelalak dengan muka pucat melihat peristiwa yang luar biasa ganjilnya itu dan gadis ini menjadi gemetar. Sungguh mati, kejadian-kejadian iblis begini salamanya belum pernah dia alami! Apa-apaan itu?

Namun A-cheng juga tidak mampu menjawab semua misteri ini dan hal yang dapat dilakukannya adalah pergi ke Bukit Kim-kee-san. Barangkali di sanalah dia bakal terbebas dari perasaan takut dan gentarnya ini, maka siang malam-pun gadis ini tidak mau berhenti. Sampai akhirnya, sore itu tiba jugalah di tempat tujuan. Kim-kee-san sudah mulai gelap, akan tetepi A-scheng tidak perduli. Hutan cemara yang berada di depannya itu terus dimasukinya saja dan untunglah, berkat adanya sisa-sisa senja yang terakhir, akhirnya makam yang dicari-cari ketemu juga.

Sebuah batu nisan berdiri tegak di tengah-tengah hutan kecil ini, dan bayangan gelap dari pohon-pohon cemara mengelilingi kuburan itu, seakan turut menjaga agar yang membujur diam di bawah itu tidak diganggu siapapun. A-cheng merasa sedikit seram, dan sejenak dia berdiri terhenyak di depan makam ini. Dia belum tahu apakah betul makam ini yang dicarinya, maka diapun berlutut membaca tulisan di batu nisan. Dan di situ terdapet tulisan yang berbunyi:

MAKAM KEKASIHKU, SIU LI.
WAFAT AKIBAT KEKEJAMAN PERANG.

Dan dibawah kata-kata ini, terukir halus sebuah syair yang penuh kesedihan berbunyi:

Duhai kasih pujaan beta
demikian kejamkah hukum dunia
menimpa kita rasakan sengsara
sampai ajal merenggut nyawa?

Oh, Dewa Penguasa Dunia…!
inikah yang harus kami alami berdua?
hanya derita dan derita belaka
dalam ayunan Dewi Asmara?
begitukah…?

Duh, kasih penyusup sukma
aku tak mampu bicara apa-apa
selain harapan kau hidup bahagia
berteduh tenang di alam baka
semoga...!


Itulah tiga bait syair yang dibaca gadis itu dan A-cheng menangis terisak-isak. Sekarang yakinilah dia bahwa makam yang dicari memang benar dan syair yang membuat itu, siapa lagi kalau bukan Yap-goanswe? Muka A-cheng lalu menjatuhkan diri berlutut memeluk batu nisan itu dengan air mata bercucuran.

"Duh, siocia, bagaimana nasibmu menjadi demikian malang? Mati-matian aku menyelamatkan dirimu, akan tetapi akhirnya kau tewas juga." gadis ini mendekap makam sambil mengguguk dan diam-diam dia menyesal bukan main.

Memang barangkali agak aneh kejadian ini, namun sesungganya tidak perlu diherankan apabila kita tahu latar belakangnya, karena meskipun A-Cheng merupakan pelayan pribadi Tok-sin Sian-li, gadis inipun merupakan pelayan di gedung Parglima Ok. Hanya setelah Cieng-gan Sian-jin datang memperkuat kedudukan di Kerajaan Wu, maka gadis itu oleh Ok-ciangkun lalu diserahkan kepada Cheng-gan Sian-jin untuk melayani koksu baru itu beserta muridnya.

Dan demikianlah, sejak saat itu gadis ini lalu menjadi pelayan di gedung koksu dan karera sama-sama muda usianya dengan murid datuk iblis itu, A-cheng lalu menjadi pelayan pribadi Lie Lan atau yang berjuluk Tok- sim Sian-li itu.

Inilah sekelumit cerita mengapa A-cheng menangis didepan makam mendiang puteri panglima Ok dan sekerang, melibat bahwa benar-benar puteri bekas majikannya. yang pertama ini meninggal dunia, gadis ini menangis sedih. Sedikit banyak, dia merasa berduka dengan nasib buruk yang menimpa puteri majikannya yang pertama itu dan karena dia sendiri kurang suka tinggal di gedung Koksu yang sikapnya kadang-kadang buas seperti iblis itu maka dia menaruh iba yang dalam terhadap kematian kekasihnya Yap-goanswe ini.

Apalagi ketika baru seminggu saja dia tinggal di gedung koksu sudah harus mengalami hinaan dari datuk iblis itu dengan menyerahkan tubuhnya kepada Cheng-gan Sian-jin, maka diam-diam bibit kebencian di dalam hatinya timbul. Hanya karena takut menghadapi kengerian lebih lanjut dari iblis tua itu sajalah maka dia mandah dipermainkan. Dan Cheng-gan Sian-jin memang betul-betul iblis tua yang sangat kurang ajar. Setelah puas menikmati dirinya, diapun lalu diberikan kepada pembantu-pembantunya yang lain, terutama Hek-mo-ko si iblis berkulit hitam legam itu.

Membayangkan kebuasan Hek-mo-ko dalam mempermainkan dirinya saja sudah membuat A-cheng, hampir muntah-muntah. Betapa tidak? Dia disuruh melakukan perbuatan-perbuatan yang hanya dilakukan oleh binatang saja, dan kalau tidak ingat bahwa mereka adalah orang-orang lihai yang mampu mengerjakan kekejaman-kekejaman lebih hebat lagi, barangkali dia sudah berusaha mencoba untuk membunuh orang-orang itu.

Teringat oleh gadis ini, betapa seorang pelayan lain yang juga menerima nasib seperti dirinya, pada suatu hari mencoba menaruh racun pada minuman manusia-manusia iblis itu. A-hwi, demikian nama temannya itu, dalam usahanya membalas dendam telah coba-coba untuk membinasakan Cheng-gan Sian-jin dan anak buahnya dalam suatu jamuan makan malam. Ditaruhnya racun kelabang putih yang tanpa rasa itu di dalam guci arak wangi, lalu disuguhkan kepada manusia-manusia iblis itu.

Namun apa yang terjadi? Cheng-gan Sian-jin temyata orang yang amat cerdik dia berhati-hati. Meskipun racun kelabang putih ini tanpa rasa, akan tetapi kakek iblis ini memiliki sebatang tusuk konde penyerap bisa. Dengan benda ini, sebelum minuman diteguk, datuk iblis itu mencoba semua hidangan di atas meja, termasuk makanan dan nyamikan kecil yang dihidangkan A-hwi.

Dan akibatnya, semua makanan maupun minuman yang mengandung racun bakal ketahuan karena tusuk konde yang berwama bersih itu segera berobah warnanya menjadi merah kehitam-hitaman. Dan dari sinilah nasib sial menimpa A-hwi. Gadis itu kepergok, mencoaa melarikan diri namun tidak ada gunanya sama sekali. Dan Cheng-gan Sian-jin yang sudah marah itu tidak memberinya ampun. Terang-terangan gadis itu dicengkeram, lalu satu persatu pakaiannya dicabiki sampai telanjang bulat di depan kaum laki-laki yang memandang hal itu dengan mata melotot.

Dan akhirnya, kekejian yang dilakukan kakek iblis ini meningkat. A-hwi dilolohi racun perangsang yang biasanya digunakan untuk mengawinkan kuda. Gadis itu menjerit-jerit, akan tetapi sepasang tangan yang kuat dari Cheng-gan Sian-jin tak mampu dilepaskannya. Sampai akhirnya tubuh yang tadi menggantung ketakutan di tangan datuk iblis ini berobah. A-hwi sudah tidak meronta-ronta lagi dan gadis itu mulai menggelit-geliat kepanasan penuh nafsu birahi. Kesadarannya sudah lenyap dan apapun yang diminta Cheng-gan Sian-jin kini dipatuhinya tanpa banyak cakap.

Gadis itu disuruh menari, tetap telanjang bulat, dan itupun ditaatinya. Lalu disuruh membersihkan sepatu semua orang yang ada di situ dengan lidahnya yang menjilat-jilat seperti lidah ular dan itupun juga dilakukannya. Pendeknya, A-hwi sudah tidak seperti manusia lagi. Gadis itu mirip dengan binatang jalang yang dipermainkan sesukanya oleh manusia-manusia iblis macam Cheng-gan Sian-jin beserta antek-anteknya dan akhirnya ketika datuk iblis itu memberi tanda dengan tepukan tangannya tiga kali, berebutanlah orang-orang di dekat itu menyambar tubuh A-hwi yang sudah menutup matanya dengan nafas terengah-engah ini.

A-hwi diperkosa bergantian, ditonton sambil tertawa oleh Cheng-gan Sian-jin yang memandang semuanya itu sebagai permainan menarik yang amat mengasyikkan dan keesokan harinya, gadis bernasib malang ini sudah tewas dengan mulut membuih dan mata mendelik. Ternyata, setelah puas diperkosa oleh iblis-iblis jahanam itu, dipaksa minum racun yang tadi dihidangkannya di atas meja. Gadis ini meninggal dalam keadaan yang mengerikan!

Itulah kenangan buruk yang dilihat oleh A-cheng, dan gadis pelayan ini tidak berani main-main sembarangan. Dia hanya dapat menghela nafas panjang, ikut bersedih atas kematian rekannya namun tetap tidak berdaya untuk menolong. Ia sendiripun kalau salah langkah tentu mengalami nasib yang tidak jauh berbeda. Maka, daripada mencoba-coba sesuatu yang tidak akan berhasil, untuk apa membahayakan diri?

A-cheng tidak berani bermain api. Dia hanya dapat menekan semua penderitaan batinnya dan karena sering menjumpai seperti itu, akhirnya diapun tak terasa menjadi kebal terhadap peristiwa-petistiwa demikian. Hanya ketika mendengar maksud Cheng-gan Sian-jin yang hendak memperkosa Siu Li, gadis ini terkejut sekali. Seketika mukanya menjadi pucat dan membayangkan perlakuan apa yang bakal diterima bekas junjungannya yang lama ini sudah membuat A-cheng gemetar seluruh tubuhnya.

Karena itu, mulailah secara diam-diam dia mencari akal. Dan akal itupun akhimya tiba juga. Cheng-gan Sian-jin pergi keluar benteng, kesempatan yang amat bagus sekali baginya dan pada saat itu juga dia tidak mau membuang-buang waktu. Kekasih Yap-goanswe ini dibebaskannya, berikut kakak kandungnya sekali yang juga mendekam di situ. Akan tetapi apa yang terjadi? Ternyata gadis cantik itu tewas juga, meskipun bukan karena perkosaan Cheng-gan Sian-jin!

Ah, A-cheng mengeluh dan tiba-tiba dia teringat akan maksud kedatangannya ke tempat itu, Mengapa harus menangis melulu? Bukankah dia datang ke makam ini karena hendak mengembalikan pedang kepada pemiliknya? Maka A-cheng pun lalu bangkit berdiri sambil mengusap matanya,

"Siocia, hamba sungguh tidak mengira kalau keadaan menjadi begini rupa. Mengapa kau tergesa-gesa pulang ke alam baka? Apakah Yap-goanswe menyakiti hatimu? Kalau itu yang terjadi, biarlah kelak kucoba balaskan sakit hatimu ini kepadanya. Laki-laki memang mahluk jahanam semua, dan hamba juga benci mereka itu. Akan tetapi, siocia, barangkali kematianmu ini memang lebih baik bagimu. Dengan begitu, segala penderitaan di dunia yang penuh kekejaman ini berakhirlah sudah. Berbeda dengan diriku, yang barangkali masih harus menerima hal-hal yang tidak menyenangkan. Bukankah kalau begitu, kaulah lebih beruntung daripada diriku, siocia? Dan sekarang, memenuhi pesanan seorang yang tidak kukenal, aku hendak mengembalikan pedang yang dulu menjadi teman setiamu ini kepadamu. Harap siocia tenangkan hati dan bila kelak Kui Lun Siauwya berhasil kujumpai, biarlah akan kuberitahukan hal ini kepadanya."

A-cheng bergumam perlahan seperti orang berdoa didepan makam, lalu gadis itu bersoja tujuh kali sebagai penghormatan terhadap arwah majikannya dan tiba-tiba dia merenggut lepas pedang di belakang punggungnya. Sinar kehijauan berkeredep dingin, dan tampaklah sebatang pedang yang tajam berkilauan dengan cahayanya yang terang. Sebatang pedang pusaka!

Itulah peninggalan nenek Mo-i Thai-houw (Ratu Baju Iblis) dalam jamannya mendiang Ang-i Lo-mo dan begitu pedang dicabut, keadaan sekitar yang tadi remang-remang, seketika menjadi terang kehijauan. A-cheng mematung kagum untuk yang kesekian dari sejenak gadis ini memandang penuh pesona. Kalau saja dirinya tidak diganggu "hantu cebol" itu barangkali terus terang saja dia merasa berat untuk melepaskan pedang pusaka ini. Namun sesuatu yang mengguncangkan jiwanya terjadi, dan dia tidak berani mengangkangi senjata itu. Apalagi pedang itu sendiri juga memancarkan perbawa dingin yang mengerikan hatinya, maka A-cheng pun tidak berani main-main.

Begitu pedang dicatut, gadis ini segera maju ke depan. Pedang dia angkat dengan ujung menghadap bumi, sementara gagangnya dia dekap penuh hormat dengan kedua tangan sambil berbisik perlahan di depan makam, "Siocia. mengiringi kehendak seseorang, malam ini hambamu datang menyerahkan pedang yang dulu selalu setia menemani dirimu semasih hidup. Dan sekarang, setelah kau meninggal, teman setiamu inipun hendak kukuburkan bersama jazadmu. Karena itu, terimalah...!"

A-cheng berseru perlahan dan tiba-tiba gadis itu bergerak. Pedang di tangannya berkelebat enam kali di atas gundukan makam dan tahu-tahu sebuah lubang telah dibuatnya. Cepat pekerjaannya ini dan cepat pula dia membersihkan pedang dari rumput yang terbabat. Namun, ketika gadis itu hendak meletakkan pedang di dalam lubang untuk dikubur, mendadak sehuah jerit histeris memecahkan kesunyian senja membuat A-cheng tersentak kaget.

Jerit atau pekik itu amat tiba-tiba sekali, dan yang membuat gadis ini tetkesiap adalah karena jerit itu terdengar tepat di belakangya. Karena itu, serentak A-cheng menoleh dan gadis ini hampir saja terjengkang roboh dengan seruan tertahan. Apa yang terjadi? Kiranya sesosok tubuh dengan rambut riap-riapan telah berdiri sejak tadi di situ!

Tentu saja A-cheng seperti disambar petir dan kalau saja akhir-akhir ini dia tidak mengalami kejutan-kejutan yang mengguncangkan jantungnya barangkati pada saat itu juga dia sudah roboh pingsan. Karena itu A-cheng mencelos seperti di terkam hantu dan secara reflek gadis ini melompat kaget dengan mata terbelalak sementara mulutnya menjerit tertahan.

Sejenak A-cheng memandang, dan bayangan itu tiba-tiba terkekeh. Suara tawanya merdu, namun bagi A-cheng suara ketawa itu tiada ubahnya dengan suara kuntilanak yang membuat tengkuknya terasa dingin. Dan ketika gadis itu mengamati penuh perhatian tentang wajah dan bentuk tubuh wanita berambut riap-riapan ini, sekonyong-konyong semangat A-cheng seperti terbang.

"Siocia...!" Gadis itu berteriak ngeri dan kalau tadi wajahnya sudah mulai putih adalah sekarang tiba-tiba menjadi pucat melebihi mayat. A-cheng langsung mendeprok dengan kaki gemetaran dan gadis itu terbelalak dengan muka ketakutan. Apa yang dilihat? Ternyata kehadiran Tok-sim Sian-li murid Ceng-gan Sian-jin! Tentu saja A-cheng kaget bukan main.

Dan Tok-sim Sian-li, yang kini telah dikenal oleh pelayannya itu terkekeh menyeramkan dengan suaranya yang dingin menusuk tulang. "Hik-hik, A-cheng, jadi kiranya kaulah yang melepas dua ekor kuda jantan dan betina itu dari ruang bawah tanah? Aih, kalau kutahu dari dulu tentu sudah menyuguhkan sebuah permainan baru yang menarik untukmu, A-cheng!"

Tok-sim Sian-li tertawa aneh dan A-cheng membenturkan jidatnya dengan tubuh menggigil. "Ampun... siocia... hamba mohon ampun… bukan sekali-kali maksud hamba hendak berkhianat, namun yang hamba lakukan hanyalah sekedar kasihan belaka terhadap junjungan hamba yang lama. Karena itu, harap siocia bermurah hati atas kesalahan hamba ini dan untuk itu biarlah kelak hamba korbankan jiwa buat kesetamatan siocia….!"

A-cheng meratap sambil menunduk sementara diam-diam hatinya kebat-kebit tidak karuan. Dia cukup mengenal watak majikannya yang satu ini, maka diam-diam dia merasa gentar sekali. akan tetapi aneh, Tok-sim Sian-li yang biasanya kalau sudah marah ini biasanya tak mau banyak bicara, sekarang ternyata agak lain. Wanita itu hanya mengejek saja dan tiba-tiba membentak bengis.

"A-cheng, benarkah pengkhianatanmu itu hanya disebabkan oleh rasa kasihan belaka terhadap bekas majikanmu yang lama?"

A-cheng membentur-benturkan jidatnya. "Sungguh mati siocia, benar-benar hanya disebabkan oleh perasaan itulah maka hamba terpaksa berbuat nekat!"

"Jadi tidak ada dorongan perasaan lain?"

"Tidak, siocia, tidak ada!"

"Berani sumpah?"

"Berani!" A-cheng mengangkat mukanya dan tanpa disuruh lagi pelayan yang ketakutan ini sudah bersumpah dengan muka pucat. "Demi langit dan bumi, jika pernyataan hamba tadi lain dibibir lain dihati, biarlah kelak hamba mati disambar gledek!"

Ucapan ini disambut tertawa dingin oleh Tok-sim Sian-li dan tiba-tiba A-cheng seakan berhenti berdenyut jantungnya ketika wanita itu berkata. "Bagus, A-cheng, pembelaanmu terhadap betina liar itu sungguh mengagumkan. Hik-hik, dengan begitu bukankah kau hendak mengatakan bahwa terhadap majikan lama kau menaruh kasihan dan siap membela mati-matian sedangkan terhadap majikan baru kau boleh acuh tak acuh saja? Begitukah, A-cheng? Aih, bagus sekali... bagus….!"

Tok-sim Sian-li tertaw mengerikan dan muka A-cheng tersirap darahnya. "Ah, tidak... tidak... bukan begitu, siocia hamba sama sekali tidak bermaksud seperti itu....!" A-cheng menjawab gugup dan ketakutannya semakin betambah.

Akan tetapi Tok-sim Sian-li tiba-tiba membentak bengis, "Tutup mulutmu, A-cheng, tidak perlu kau berdusta! Bukti telah berada di depan ata, berani kau menyangkal?'

Wanita ini melangkah maju dan A-cheng mengingsut mundur-mundur dengan muka pucat. Dia melihat betapa wajah Tok-sim Sian-li menyinarkan hawa pembunuhan dan sepasang mata yang jeli itu berapi-api. Tentu saja A-cheng seakan copot nyalinya dan pada saat itu tiba-tiba terdengar tangis bayi. Gadis ini terkejut, dan Tok-sim Sian-li juga tertegun. Wanita itu berhenti, dan A-cheng melihat betapa wajah yang tadi penuh kebengisan itu sekonyong-konyong lenyap terganti sikap penuh kelembutan.

Tangis bayi semakin keras dan Tok-sim Sian-li tiba-tiba menggerakkan lengannya ke belakang. Ternyata, bayi yang menangis itu berada di belakang punggung wanita ini! A-cheng melongo dan Tok-sim Sian-li menaruh telunjuknya di depan mulut sambil mendesis, "Ssstt, anak nakal, mengapa menguanggu ibu? Kau lapar, nak? Kau ingin mimik? diamlah.... jangan menangis lagi. Nih, minumlah susu... cup-cup...!"

Tok-sinn Sian-li berkata lembut dan dengan cepat wanita itu membuka kancing bajunya. Bukit dada yang membusung penuh tampak tersembul, putih halus dan padat menggairahkan. Kemudian, ketika wanita ini mendekatkan kepala bayinya ke ujung buah dadanya, seketika tangis bayi itu terhenti. A-cheng melihat betapa bayi ini menggelogok air susu ibunya dengan amat lahap dan rakus, sementara wajah Tok-sim Sian-li sendiri tampak berseri-seri!

Diam-diam perasaan A-cheng tergetar. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa majikannya itu sekarang sudah mempunyai anak. Dan membayangkan bahwa murid Cheng-gan Sian-jin ini bermain gila dengan banyak laki-laki hidung belang, dia tidak tahu dari benih siapakah bayi itu lahir!

"Apa yang kau pikir, A-cheng?" tiba-tiba Tok-sim Sian-li membentak.

A-cheng terkejut dan gadis ini gelagapan. "Eh,. tidak apa-apa, tidak memikirkan apa-apa.....!" A-cheng menjawab sekenanya namun Tok-sim mendelik.

"Hemm, tidak memikirkan apa-apa, ya? Tapi matamu melotot penuh sinis ke arah bayiku! Bukankah kau hendak mengatakan bahwa anakku ini keturunan haram jadah?"

A-cheng terkejut bukan main dan cepat gadis ini menjatuhkan diri berlutut sambil berseru gagap, "Tidak, siocia... tidak! Saya tidak berani menduga, begitu? Kalau hamba berpikiran yang tidak-tidak, biarlah sekarang juga hamba mampus di tangan siocia!"

Gadis itu berkata sungguh-sungguh dan Tok-sim Sian-li meudengus. Sedetik sinar matanya berkilat marah, akan tetapi sebentar kemudian lenyap kembali. "A-cheng!" wanita itu membentak. "Kalau kau benar-benar berpikir seperti itu, tentu sekarang juga kepalamu sudah kupecahkan. Akan tetapi dengarlah, pelayan bodoh bahwa bayiku ini bukan anak sembarangan. Dia adalah keturunan Yap-goanswe!"

Tok-sim berhenti bicara dengan nada penuh kebanggaan, akan tetapi di balik suara ini juga tersembunyi suatu kepahitan. A-cheng meng-angkat mukanya, dan gads ini tampak seakan tak percaya. Namun begitu matanya bentrok dengan sinar mata yang tajam menusuk dari majikannya, A-cheng menundukkan kepaianya dengan jantung berdegup.

"Hem, kau tentu tak percaya, bukan?" kata-kata ini halus dan lirih, akan tetapi A-cheng bahkan menjadi semakin pucat.

"Eh, tidak... eh, maksud hamba, tentu saja hamba percaya, siocia! Kenapa harus tidak percaya? Tidak, hamba percaya penuh, percaya seratus persen! A-cheng terbata-bata dan Tok-sim Sian-li terkekeh.

"Heh-heh, A-Cheng, atas dasar apa kepercayaan yang kau berikan kepadaku itu...?"


Pendekar Kepala Batu Jilid 05

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 05
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Kepala Batu
BARU sampai di sini Lek Hui berkata, raksasa muda itu terpaksa menghentikan kalimatnya karena dua buah seruan kaget terdengar hampir betbareng. Lek Hui terkejut dan dia memandang. Temyata yang mengeluarkan seruan pertama tadi adalah Pendekar Gurun Neraka sendiri sedangkan seruan ke dua terdengar dari mulut Ceng Bi.

Tentu saja raksasa muda ini merasa heran, dan kalau wajah Pendekar Gurun Neraka tampak merah adalah wajah sumoinya itu mendadak pucat seperti mayat. Lek Hui tertegun. Dia tidak mengerti mengapa sumoinya tiba-tiba bisa berhal demikian. Dan sebelum dia sadar, tiba-tiba terdengar gadis itu terisak tertahan dan memutar tubuhnya melompat pergi!

"Han-ko, aku tidak ingin mendengar kejijikan orang lain lebih lanjut. Kalau kau masih ingin di situ, silahkan, aku pergi dulu. Selamat tinggal....!" gadis itu kerseru dan sekali tubuhnya berkelebat, iapun lenyap dari tempat itu meninggalkan tiga orang laki-laki yang berdiri tertegun.

Semua orang terkejut dan wajah Pendekar Gurun Neraka tampak merah padam. Berita yang dibawa oleh Lek Hui ini benar-benar hebat sekali, luar biasa dan sungguh amat di luar dugaan! Karena itu, tidak heran apabila Bu Kong sampai tertegun dan pemuda yang biasanya amat tenang ini terguncang jiwanya. Sedetik tiga orang pemuda itu diam di tempat masing-masing, namun akhirnya Ceng Han melangkah maju. Putera Pendekar Kepala Batu ini tampak keruh mukanya, akan tetapi dia tetap bersikap hormat.

"Yap-taihiap (pendekar besar she Yap)," demikian dia bicara, sama sekali tidak mau mengubah panggilannya menjadi Yap twako, "Karena tidak biasa bagi diriku untuk mendengarkan rahasia pribadi orang lain juga karena aku sendiri harus menyusul adikku yang telah pergi lebih dahalu, maka perkenankan aku pergi. Kami kakak beradik akan tetap selalu mengingat jasa-jasa baikmu, dan kami harap pada suatu saat kami berdua akan dapat membalas semua budi kebaikan ini. Dan apabila ada sikap yang kurang pantas dari kami mohon kau suka memaafkannya."

Ceng Han berhenti dan memberi hormat dengan sikap kaku, lalu menghadapi Lek Hui. Suaranya masih dingin ketika dia melaujutkan, "Twa-suheng, apabila kau bertemu dengan ayah, harap beritahukan pada beliau bahwa kami masih belum berniat untuk pulang ke Beng-san. Karena jangau kami diganggu dan suheng sendiri juga tidak perlu mencari. Jelaskah? Baik kalau begitu. Nah, suheng, aku berangkat dulu antuk mengejar Bi-moi. Selamat tinggal!" Tanpa menunggu jawaban raksasa muda itu, Ceng Han lalu melompat pergi dan sekali tubuhnya berkelebat, putera Pendekar Kepala Batu ini sudah lenyap dalam sekejap.

Lek Hui tertegun, dan kembali raksasa muda itu termangu-mangu. Dia sudah membuka mulut, namun tidak ada sebuah seruan yang jadi dikeluarkannya. Dan sementara dia terbetalak tiba-tiba Pendekar Gurun Neraka menegur, "Saudara Lek Hui, jangan mematung saja. Sute dan sumoimu telah pergi dan mereka itu memang benar. Cerita yang menjijikkan begini memang tidak pantas didengar mereka. Nah, sekarang lanjutkanlah ceritamu yang tertunda itu!"

Lek Hui menoleh dan dia melihat betapa wajah Pendekar Gurua Neraka berkerut-kerut seperti orang menahan sakit. Raksasa muda ini tergetar. Belum pernah dia menyaksikan murid Takla Sin-jin yang amat lihai ini menyeringai seperti itu. Wajahnya buram, bibir bawahnya digigit namun mata yang mercorong tajam itu tampak berapi-api penuh kemarahan ditahan serta gejo1ak perasaan yang lain campur aduk.

Diam-diam Lek Hui merasa kasihan dan juga tidak enak. Dia sudah tahu tentang semua peristiwa buruk yang menimpa bekas jenderal muda ini. Begitu pula tentang peristiwa memalukan antara Pendekar Gurun Neraka ini dengan Tok-sim Sian-li (Dewi Berhati Racun), itu murid Cheng-gan Sian-jin yang amat lihai. Gara-gara kecurangan wanita itulah bekas jenderal muda yang gagah perkasa dan banyak digilai wanita-wanita cantik ini roboh.

Pendekar Gurun Neraka yang pada waktu itu masih dikenal dengan nama Yap-goanswe ini telah dicekoki obat beracun yang sekaligus juga merupakan obat perangsang berahi yang amat dahsyat untuk diajak bermain gila. Akibatnya, terjadilah peristiwa yang amat hebat. Jenderal muda ini hampir saja dibunuh oleh gurunya sendiri dan gara-gara kejadian inilah Malaikat Gurun Neraka muncul dan bertanding melawan Cheng-gan Sian-jin. Sebuah pertandingan yang amat seru, juga menegangkan karena telah membuat onar seluruh isi istana (baca Pendekar Gurun Neraka!)

Karena itu, tidak heran apabila di dalam hati pendekar muda ini terdapat suatu goresan mendalam akibat perbuatan murid perempuan Ceng-gan Sian-jin yang amat terkutuk itu. Dan sekarang, tenyata peristiwa itu berekor. Tok-sim Sian-li telah melahirkan anaknya Siapa tidak sakit hati? Kalau saja Pendekar Gurun Neraka tidak berkali-kali mengalami pukulan-pukulan batin yang amat hebat semenjak kelicikan ayah bekas kekasihnya yang kini sudah tewas itu, barangkali ia sudah menggeram dan mengamuk seperti iblis murka.

Namun kini pendekar muda itu semakin masak. Kepahitan-kepahitan hidup serta kegetiran-kegetiran yang diterimanya telah menempa jiwanya menjadi matang. Oleh sebab itu, meskipun berita yang diterimanya kali ini sungguh amat mengejutkan seperti gledek di musim semi namun dia tetap dapat besikap tenang. Hanya mimik mukanya serta tarikan bibir yang agak menyeringai itulah yang merupakan satu-satunya bukti bahwa pendekar ini sedang mengalami guncangan batin yang amat berat. Dan Lek Hui yang tidak tahan melihat penderitaan orang, segera melangkah maju.

"Pendekar Gurun Neraka, maafkan jika aku terlampau sembrono. Adalah kau sendiri yang tadi menyuruhku bicara di depan dua orang sute dan sumoiku. Kalau tidak, bukankah mereka tidak akan pergi dengan membawa kesan jelek tentang dirimu? Ah, aku menyesal sekali, Pendekar Gurun Neraka. Biarlah kelak kujelaskan kepada mereka tentang kekejian murid Cheng-gan Sian-jin yang menodai nama baikmu ini dan percayalah, aku sendiri tidak akan tinggal diam melihat kejahatan-kejahatan yang dilakukan dua orang manusia iblis itu. Gara-gara mereka inilah Hoa-san Siang lihiap tewas!"

Lek Hui mengepal tinjunya dan Pendekar Gurun Neraka menengadah. "Saudara Lek Hui, coba ceritakan semuanya itu kepadaku. Dan mengapakah kau sebut peristiwa ini menjadi serius dan aneh? Perbuatan terkutuk antara seorang pria dengan seorang wanita tidaklah serius dan aneh kalau dari hubungan kotor itu lahir seorang anak!"

Bekas jenderal muda itu tersenyum getir dan Lek Hui mencengkeram lengan sahabatnya penuh keharuan. "Tidak, bukan itu yang kumaksudkan, Pendekar Gurun Neraka." Lek Hui berkata serak, "Melainkan bayi laki-lakimu itu sendiri. Orok itu kini jadi rebutan orang banyak!"

"Hahh...!?" Pendekar Gurun Neraka tersentak kaget dan kali ini dia terbelalak.

Lek Hai mengengguk. "Pendekar Gurun Neraka, ekor dari kematian Hoa-san Siang-lihiap ini. Gara-gara murid Cheng-gan Sian-jin yang melahirkan anakmu telah muncul kejadian luar biasa dalam dunia hitam. Dan semuanya ini berpangkal pada Hoa-san Siang-lihiap."

Raksasa muda itu berhenti sejenak untuk mengambil napas panjang lalu dia melanjutkan "Dan peristiwa ini sekarang menyangkut beberapa orang sahabatmu, diantaranya adalah Ta Bhok Hwesio serta murid perempuannya, nona Pek Hong. Dua orang guru dan murid itu sekarang berada dalam bahaya besar, karena mereka inilah yang membunuh Hoa-san Siang-lihiap!"

Sampai di sini Lek Hui berhenti dan cerita-nya itu benar-benar membuat Bu Kong terkejut bukan main. Pendekar Gurun Neraka ini terkesiap dan dia mengeluarkan seruan tertahan. Namun Lek Hui cepat mengangkat tangannya dan buru-buru berkata,

"Nanti dulu, Pendekar Gurun Neraka, itu baru berita orang. Aku pribadi tidak segera mempercayai hal ini, akan tetapi aku juga sukar untuk menolak bukti-bukti yang ada. Kabarnya, bersamaan dengan kematian Hoa-san Siang lihiap, Hoa-san Lo-jin di puncak gunungpun terbunuh. Kakek itu tewas akibat pukulan Soat-im-ciang (Tangan Salju). Padahal kau tahu sendiri, pukulan itu merupakan satu-satunya ilmu simpanan Ta Bok Hwesio! Nah, bagaimana tidak misterius dan aneh sekali?!"

Lek Hui menghantam pahanya sendiri tanda rasa gemas dan Pendekar Gurun Neraka tertegun. Bu Kong tidak mampu bicara, karena peristiwa demi peristiwa yang diceritakan oleh raksasa muda ini benar-benar terlalu hebat. Pertama-tama tadi tentang Tok-siam Sian-li yang melahirkan anaknya laki-laki itu dijadikan rebutan orang banyak dan kini ditambah lagi dengan pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh Ta Bok Hwesio dan murid perempuannya, Pek Hong!

Bagaimana pemuda ini tidak bakal terkesima? Berita bahwa murid Ceng-gan Siang-jin melahirkan anaknya saja sudah membuat dia seperti ditampar. Dan kini disusul dengan berita-berita lain yang juga tidak kalah hebatnya. Semuanya ini membuat Bu Kong tertegun dan sejenak pemuda yang gagah perkasa itu terbelalak ke depan seperti orang yang disambar petir.

Kalau saja kejadiannya tidak begitu berturut-turut dan tiba-tiba, barangkali dia tidak begitu terpukul. Akan tetapi apa hendak dikata, justeru semua peristiwa yang dialaminya ini adalah sebalikya. Oroknya telah lahir, dari hasil perbuatan hina. Dan kini kabarnya anak itu malah sedang dijadikan rebutan orang-orang dunia hitam, siapa tidak bakal terkejut?

Pendekar ini termangu -mangu dan wajah yang tampan itu memburam gelap. Dia sama sekali tidak mengira bahwa dari perbuatan terkutuk yang membuat dia merasa geram selama hidup ini akan lahir seorang jabang bayi. Dan belum lagi keterkejutannya hilang, sekarang mendapat berita bahwa Ta Bhok Hwesio dan Pek Hong membunuh Hoa-san Lo-jin serta dua orang murid perempuannya, Hoa-san Siang-lihiap. Sungguh luar biasa!

Bu Kong terpaku kaget dan Lek Hui yang melihat keadaan pendekar muda ini merasa terharu bukan main. "Pendekar Gurun Neraka!" demikian raksasa muda itu berkata, "Harap kau tindas guncangan batin yang kau terima ini. semua peristiwa telah terjadi dan apa yang telah terjadi tak mungkin lagi kita tolak. Karena itu, sadarlah. Aku ikut berprihatin atas penderitaan batinmu ini dan aku berjanji akan membantumu sekuat tenaga dalam mengatasi kesukaran-kesukaran hidupmu, percayalah!"

Lek Hui mencengkeram lengan sahabatnya dan Pendekar Gurun Neraka menoleh. Wajah yang buram itu tampak semakin menyedihkan, namun sepasang matanya tersenyum getir. Hal ini bahkan menusuk keharuan Lek Hui dan murid tertua dari Pendekar Kepala Batu ini tersekat kerongkogannya. Dia hampir tidak mampu bicara lagi dan satu-satunya perasaan yang dapat disalurkan ialah dengan mempererat cengkeranaannya.

Karena itu, Bu Kong tersentuh hatinya. Melihat betapa raksasa muda ini benar-benar amat penuh perhatian terhadap dirinya, pendekar muda ini menarik napas panjang. Pernyataan orang membuatnya sadar dari lamunan. Karena itu dia pun cepat dapat menguasai diri. Maka dengan lembut pemuda itupun diepasnya perlahan-lahan.

"Sandara Lek Hui, banyak terima kasih atas rasa setia kawanmu yang amat besar ini. Dan memang betul kata-katamu tadi, bahwa peristiwa yang telah terjadi tidak mungkin kita tolak lagi. "Hmm, mengapa peristiwa-peristiwa buruk selalu menimpa diriku? Apakah sudah nasibku untuk mengalami kejaran karma dari jaman ke jaman ini? Ah, agaknya begitulah. Dahulu aku menyakiti hati seseorang dan kini aku ganti disakitinya. Dahulu menghina seseorang dan kini aku ganti dihinanya. Hukum sebab dan akibat masih banyak dialami manusia, dan akupun masuk diantaranya. Inikah yang dinamakan hidup?"

Bu Kong berhenti dan tersenyum pahit, sementara Lek Hui memandang sahabatnya itu dengan mata terbelalak. Dia tidak begitu mengerti tentang hukum-hukum kehidupan, karena itu raksasa muda inipun tidak membuka suara. Pengetahuannya tentang isi kehidupan boleh di bilang masih nol, maka diapun tidak berkomentar. Dan Pendekar Gurun Neraka yang juga tidak bermaksud untuk berbicara masalah filsafat hidup dengan pemuda itupun tidak melanjutkan keluhannya lagi. Dia memandang Lek Hui dengan mata seperti biasa, kembali dalam persoalan semula.

"Auw-twako, kalau boleh aku bertanya sejak kapankah peristivva yang kau ceritakan ini dimulaiiiya? Dan di manakah sekarang Ta Bhok Hwesio serta muridnya berada?"

Lek Hui menggeleng kepala. "Tentang Hwesio itu dan nona Pek Hong aku tidak tahu Pendekar Gurun Neraka. Akan tetapi tentang Tok-sim Sian-li aku mendengar kabarnya."

"Hmm..." Bu Kong mengerutkan alisnya dan jawaban yang sebenamva tidak diminta ini menggelapkan mukanya kembali. Dia tidak tahu apa yang kalak hendak dilakukannya terhadap wanita itu. Disuruh memilih, terus terang dia lebih mementingkan pencariannya terhadap Ta Bhok Hwesio dan terutama Pek Hong daripada Tok-sim Sian-li atau yang nama sebenamya adalah Lie Lan itu, keponakan bekas Lie-thaikam yang terbunuh dalam serbuan besar-besaran bala tentara Yueh beberapa waktu yang lalu. Dan belum lagi persoalannya sendiri beres kini sudah timbul persoalan lain yang sifatnya sama-sama penting. Mana yang headak didahulukan?

Pendekar Gurun Naraka manarik napas geram. Diam-diam kemarahannya bangkit kembali dan kebenciannya terhadap Cheng-gan Sian-jin makin meluap. Gara-gara kejahatan datuk ibis itulah semuanya ini terjadi. Namun seperti yang telah dikatakan Lek Hui tadi, peristiawa yang terjadi tidak mungkin ditolak lagi. Dan die harus menghadapi kejadian ini dengan sikap tabah. Dan teringat betapa murid Cheng-gan Siang-jin itu kini telah melahirkan ketutunannya, pendekar muda berwatak baja diam-diam merasa ngeri. Dia tidak berani membayangkan, bagaimanakah kelak watak dari laki-laki itu. Menjadi iblis seperti ibu atau kakek gurunya? Barangkali begitulah!

Teringat sampai di sini muka Bu Kong menjadi merah. Dia merasa marah bukan main terhadap bekas keponakan Lie thaikam ini, gadis yang berwatak cabul namun yang harus diakuinya amat mencintai dirinya itu. Akan tetapi karena dia sediri seddikitpun tidak menaruh kepercayaan terhadap cinta gadis itu yang dianggapnya sebagai cinta liar diapun menolak keras semua pernyataan keponakan Lie-thaikam ini yang juga sekaligus merupakan murid Cheng-gan Sian-jin, musuh besar yang amat dibencinya. Dan sekarang, apa yang hendak dilakukan? Kemudian bagaimanakah pula sikapnya terhadap anak laki-laki yang dilahirkan oleh gadis liar itu? mengakuinya sebagai anak? Barangkali dia tidak sudi!

Mengingat bahwa Tok-sim Sian-li seorang wanita jalang, tidak mustahil bahwa anak yang dilahirkannya itu bukan keturunannya, melainkan keturunan orang lain. Perbuatan tidak tahu malu murid Cheng gan Siang-jin ini tidak terbatas pada kecabulan-kecabulan saja, melainkan juga pada hal-hal lain. Memfitnah umpamanya. Dan tidak mustahil pula bahwa "kabar burung" tentang kelahiran bayinya laki-laki itupun hasil dari fitnahnya yang berbisa ini. Hem, dia harus berhati-hati.

Bu Kong mengepal tinjunya dan dia memandang Lek Hui. "Auw twako, kau tadi belum menjawab pertanyaanku. Sejak kapankah peristiwa itu dimulainya?"

Lek Hui menatap iba. "Sejak sebulan yang lalu, Pendekar Gurun Neraka. Tepatnya tigapuluh dua hari dengan sekarang. Hoa-san Siang-lihiaplah yang menolong kelahirannya karena dua orang murid perempuan Hoa-san Lo-jin itulah yang bertemu dengan Tok-sim Sian-li. Kabarnya mereka semula tidak tahu kalau yang mereka tolong itu adalah murid Cheng-gan Sian-jin si datuk sesat. Dan baru seminggu kemudian mereka tahu, namun Tok-sim Sian-li telah lenyap bersama bayinya. Tentu saja dua orang murid Hoa-san Lo-jin itu gemas dan memaki-maki diri sendiri lalu mencoba mencari ke segenap penjuru. Dan di dalam pencarian inilah mereka bertemu dengan murid Ta Bhok Hwesio yang akhirnya roboh dalam suatu pertempuran sengit yang aku sendiri kurang jelas asal-usulnya. Hebatnya baru beberapa jam mereka tewas, tiba-tiba saja Hoa san Lo-jin di atas gunung-pun juga binasa di bawah pukulan Soat-im-ciang Ta Bhok Hwesio!"

Lek Hui berhenti dengan alis berkerut sementara Bu Kong memandang aneh. "Hmm, siapakah yang mula-mula menjadi saksi pertama dalam peristiwa itu, Auw-twako?"

Lek Hui mengingat-ingat. "Kalau tidak salah Si Copet Seribu Tangan."

"Dan di manakah dia sekarang berada?"

"Aku kurang tahu, Pendekar Gurun Neraka. namun menurut berita yang kuterima, nona Pek Hong sendiri telah mengakui perbuatannya itu dan tidak menyangkal!"

"Hemm, memang luar biasa," Bu Kong mengeluarkan suara dari hidung dan melanjutkan petanyaannya dengan muka gelap, "Lalu mengapakah bayi laki-laki Tok-sim Sian-li itu dijadikan rebutan orang-orang dunia hitam?"

"Kabarnya karena pada tubuh anak itu melekat sebuah Sin-liong-su (Mutiara Naga Sakti) yang oleh ibunya dijadikan bandul kalung pada lehernya." Lek Hui menjawab dari Bu Kong terkejut sakali.

"Apa? Sin-liong-cu?" pendekar muda ini terbelalak.

"Begitulah, Pendekar Gurun Neraka," Lek Hui mengangguk dan Bu Kong terhenyak mendengar cerita ini.

Sejenak bekas jenderal muda ini mamnu membuka suara, natuun akkimya memieis juga, "Hemm, aneh bukan main. Dari manakah gadis itu mendapatkan benda mustika ini? Dan dimanakah gurunya? Mengapa Tok-Sim Sian sendiri diam saja?"

Untuk pertanyaan itu kembali Lek Hui menjawab, "karena Cheng-gan Sian-jin sedang menghadapi urusan besar dengan suku bangsanya di luar tembok besar sana, Pendekar Gurun Neraka. Dan kabarnya kakek ini juga sedang marah bukan main karena muridnya itu diam-diam merat ketika dalam perjalanan bersamanya. Aku tidak tahu mengapa Tok-sim harus melarikan diri dari gurunya, padahal ia sedang hamil tua."

Raksasa muda ini termangu dan Bu Kong juga merasa heran. Dua orang laki-laki itu memang tidak mungkin dapat menjawab pertanyaan terakhir ini karena hal itu menyangkut urusan pribadi antara Tok-sim Sian-li dengan gurunya.

Seperti telah diceritakan dalam cerita "Pendekar Gurun Neraka" yang lalu, telah terjadi ancaman dari datuk sesat ini terhadap murid perempuannya. Yakni, apabila gadis itu melahirkan bayi perempuan, kelak bayi itu harus diserahkan kepada Cheng-gan Sian-jin untuk jadikan kekasihnya sebagai pengganti ibunya. Tapi kalau laki-laki, akan dijadikan cucu murid sebagai ahli waris tunggal yang kelak mewarisi seluruh kepandaian kakek iblis ini. Dan Lie Lan yang tidak tahu apakah bayinya bakal laki-laki atau perempuan itu tentu saja menentang keputusan yang amat menyakiti hatinya ini. Gadis ini sudah bertekad, kelak jika dia melahirkan bayi perempuan maka sebelum bayi itu besar dia sendiri sudah akan membunuh bayinya sendiri! Dan hal ini sudah menjadi keputusan tetap baginya.

Oleh sebab itn, tidak ada seorangpun yang tahu apa yang sedang dipikirkan gadis ini akibat ancaman gurunya itu. Bahkan Cheng-gan Sian-jig sendiri juga tidak menduga kalau muridnya diam-diam mempunyai sebuah rencana nekat. Kalau saja kakek iblis itu tahu, barangkali gadis ini sudah dibunuhnya dulu-dulu! Karena itu, tidak heran jika ini merupakan rahasia satu-satunya bagi Lie Lan yang akan dipegangnya teguh sampai mati. Dan gara-gara ancaman guruuya itulah gadis ini lalu merat secara diam-diam pada saat kandungannya semakin tua.

Akan tetapi semua persoalan ini tidaklah diketahui oleh orang luar. Maka tidak aneh apabila Bu Kong dan Auw Lek Hui sama sekali tidak mengetahuinya. Mereka hanya merasa heran gidis itu harus melarikan diri dari gurunya, padahal biasanya guru dan murid itu tidak pernah berpisah.

Sekarang, merasa cukup dengan semua cerita yang dibawa oleh raksasa muda ini Bu Kong menghadapi Lek Hui. "Auw-twako, kukira persoalan yang hendak kau sampaikan kepadaku kini telah kau ceritakan semua, dan untuk ini aku mengucapkan banyak terima kasih. Akan tetapi berhubung aku masih mepunyai urusan-urusan yang harus segera kuselesaikan, maka biarlah sampai di sini dalu pertemuan kita. Tugas masih banyak menantiku, dan aku harus segera melaksnakannya. Oleh sebab itu aku hendak pergi dulu dan mudah-mudahan kelak kita dapat berjumpa kembali.

Pendekar itu sudah siap memutar tubuh akan tetapi Lek Hui tiba-tiba berseru, "Pendekar Gurun Neraka, apakah kau hendak mencari Cheng-gan Siang-jin?"

Namun Peddekar Gurun Neraka menggeleng. "Untuk sementara ini belum, saudara Lek Hui."

"Ha, kalau begitu apakah hendak mencari Tok sim Sian-li?"

"Itupun juga bukan maksudku sekarang ini."

"Eh, kalau begitu tentunya mencari nona Pek Hong serta gurunya, bukan? Kalau dugaanku benar, kita dapat bersama-sama, Pendekar Gurun Neraka!"

Akan tetapi kali ini Bu Kong juga menggelengkan kepalanya. Dia memandang raksasa muda itu sejenak, lalu menjawab, "Auw-twako, aku terpaksa menyampingkan pencarian terhadap orang-orang yang telah kau katakan tadi karena saseorang yang lebih penting untuk kucari. Dan untuk tugas inilah aku harus segera pergi. Jejaknya mulai kutemukan, akan tetapi kelicinannya yang seperti setan membuat aku harus berhati-hati. Kukira, semua ceritera yang kau beberkan tadi kelak akhirnya akan berpangkal pada orang ini dan untuk itu si biang keladi ini harus segera kutangkap."

Lek Hui terbelalak. "Wah siapakah dia, Pendeker Gurun Neraka?"

Bu Kong mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang. "Auw-twako, kalau aku tidak menaruh kepercayaan penuh terhadap dirimu terus terang saja aku tidak akan memberitahukannya. Akan tetapi karena kulihat kau merupakan sahabat yang cukup dapat dipercaya, maka biarlah kujelaskan hal ini padamu. Dia bukan lain adalala susiokku sendiri yang menghuni Pulau Hek-kwi-to (Putau Iblis Hitam)."

"Eh, Sin-hwi-ciang (Si Tangan Api Sakti)?" Lek Hui terkejut.

"Begitulah," Bu Kong mengangguk. "Akan tetapi dia sekarang sudah tidak lagi berada di Hek-kwi-to dan jejaknya menunjukkan tanda-tanda bahwa dia kini sudah muncul di pedalaman sini seperti dulu-dulu lagi."

"Ahh…..!" Lek Hui berobah air mukanya dan jelas tampak bahwa pemuda ini merasa kaget sekali. "Kalau begitu dunia Kang-ouw bakal terbit onar besar, Pendekar Gurun Neraka!"

"Memang begitulah," pendekar ini mengangguk. "Dan tanda-tandanya sekarang sudah mulai tampak, antara lain dengan munculnya perkumpulan Hiat-goan-pang ini serta terbunuhnya sang ketua oleh Toat-beng-cui."

"Toat-beng-cui ? Ah, benar!" Lek Hui tiba-tiba menepuk kepalanya dengan kaget dan diingatkan tentang senjata bor beracun yang amat mematikan itu membuat pemuda ini berputar bola matanya. "Kalau begitu, apakah apakah."

"Sudahlah, Auw-twako, kita lihat saja perkembangannya nanti," Bu Kong mengulapkan tangannya dan memotong pertanyaan pemuda itu dengan putaran tubuh ke betakang dan sebelum Lek Hui bicara lebih lanjut, dia berseru, "Auw-twako, maaf waktuku habis. Aku pergi dulu!"

Dan sekali pendekar muda ini menggerakkan kakinya, tiba-tiba tubuhnya melesat ke depan seperti iblis. Lek Hui hendak berteriak, namun bayangan Pendekar Gurun Neraka telah lenyap dalam sekejap. Gerakan begitu cepat, juga luar biasa ringan sehingga Lek Hui mengurungkan niatnya untuk memanggil. Raksasa muda ini maklum bahwa sekali sahabatnya itu mau pergi, maka siapapun tak akan mampu mencegahnya. Oleh sebab itu diapun hanya dapat memandang dengan mata terbelalak dan meskipun bayangan bekas jenderal muda itu telah lenyap, pemuda tingai besar ini masih termangu-mangu di tempatnya.

Peristiwa demi peristiwa yang berlangsuug di hutan ini membuat raksasa muda itu banyak berpikir. Tadinya dia datang ke situ bukan lain karena hendak menolong sute dan sumoinya dari tangan orang-orang Hiat-goan-pang. Tidak tahunya mereka temyata telah ditolong oleh Pendekar Gurun Neraka, suatu hal yang amat kebetulan malah bagi dirinya karena dia juga sedang mencari-cari bekas jenderal muda itu untuk menceritakan ekor dari semua tindak-tanduk Tok-sim Sian-li, itu gadis iblis berwajah cantik yang tergila-gila kepada murid Malaikat Gurun Neraka ini.

Siapa sangka, gara-gara kekerasan hati dari pendekar itu sendiri yang menghendaki agar dia bercerita di depan sute dan sumoinya tentang urusan yang menyangkut pribadi pendekar muda kini Cheng Bi dan Cheng Han meninggalkan mereka dengan suatu kesan buruk tentang pribadi bekas jenderal muda ini. Dua orang adik-adik seperguruannya telah menunjukkan sikap yang tidak bersahabat lagi terhadap Pendekar Gurun Neraka, karena mereka menganggap pendekar itu seorang yang tak tahu malu, sampai-sampai sudi rendahkan diri berjina dengan seorang wanita! Bagaimana tidak jelek sekali?

Lek Hui geleng-geleng kepala. Keadaan benar-benar tidak menguntungkan bagi pendekar muda yang gagah perkasa itu. Dan agaknya pendekar itu masih selalu diburu nasib sial. Buktinya, hubungan gelap yang dilakukan akibat kecurangan murid Cheng-gan Sian-jin ini membawa ekor, berupa seorang anak laki-laki. Dan belum lagi ia tahu murid Ta Bhok Hwesio yang juga dia amat tergila-gila dan mencintai pendekar itu tiba-tiba saja membunuh Hoa-san Li-hiap. Konon katanya karena cemburu. Dan sekarang, melihat gerik-gerik sumoinya, Ceng Bi, juga gadis itu, menandakan gejala-gejala jatuh cinta terhadap jenderal muda yang memang gagah dan tampan ini. Maka tidak heran kalau begitu mendengar orang yang dicinta ternyata bermain gila. Ceng Bi merasa sakit hati dan marah-marah.

Masih teringat oleh pemuda ini akan isak tangisnya, dan Lek Hui menarik napas panjang. Diam-diam dia mengeluh, "Aih, Pendekar Gurun Neraka, mengapa dalam nasibmu yang kurang beruntung ini masih saja ada gadis-gadis cantik yang jatuh cinta kepadamu? Dan sekarang ini malah memberatkan hatiku, karena justeru sumoiku sendiri yang mulai tergila-gila terhadap dirimu. Bagaima na kalau sampai sumoiku gagal? Apakah akan mengalami nasib yang sama seperti Tok-sim Sian-li atau seperti nona Pek Hong?"

Lek Hui tidak berani melanjutkan bayangannya ini karena dia merasa ngeri. Karena itu, setelah termenung sejenak pemuda tinggi besar itupun meninggalkan tempat itu menuju ke utara. Dia juga mempunyai tugas penting, yakni mencari Cheng-gan Sian-jin yang harus dibunuhnya seperti yang diperintahkan gurunya. Kalau ini belum berhasil, dia tidak boleh menemui gurunya atau pulaag ke Beng-san.

Akan tetapi, belum juga Cheng-gan Sian-jin dapat ditemuinya karena kakek iblis itu telah melarikan diri ketika serbuan bala tentara Yap-goanswe datang, kini tiba-tiba saja dia bertemu dengan sute dan sumoinya di tengah perjalanan. Hal in sahe-tulnya menggembirakan hatinya, namun apa hendak dikata, mereka tiba-tiba saja telah meninggalkan dirinya tanpa memberi kesempatan untuk dia berbicara panjang lebar. Dan teringat pesan sutenya, ketika hendak pergi, Lek Hui mengerutkan alisnya yang tebal.

Kata-kata sutenya itu terasa aneh, juga agak mencurigakan. Mengapa tidak boleh dicari? Dan mengapa pula terdapat kata-kata "belum berniat pulang ke Beng-san?" Apakah....?"

Sampai di sini Lek Hui terbelalak. Sekarang dia tahu, apa kira-kira yang sedang dilakukara oleh sute dan sumoinya itu. Pasti mereka ini sedang merat! "Wah, celaka! Kenapa mereka melakukan hal itu?"

Lek Hui berseru sendiri teringat akan dugaannya ini dan raksasa muda itu terkejut. Kalau ini benar, tentu suhunya akan marah bukan main. Orang tua itu memang selama ini diketahuinya amat mengekang Ceng Han dan Ceng Bi. Dua orang putera-puterinya itu sama sekali tidak diperkenankan untuk turun gunung. Dan dia tahu apa sebabnya. Bukan lain adalah hendak menjaga puterinya dari bahaya kecurangan musuh-musuh gurunya yang licik.

Sekarang, justeru larangan gurunya yang amat keras ini dilanggar. Sute dan sumoinya telah melarikan diri dari atas gunung secara diam-diam. Tentu saja Lek Hui merasa terkejut dan wajah pemuda itu berobah. Namun, apa yang hendak dilakukannya? Memaksa mereka kembali? Atau lebih baik menghadap gurunya saja?

Hal pertama gampang dibicarakan akan tetapi sukar pelaksanaannya. Kakak beradik itu seperti ayahnya, amat keras hati dan keras kepada. Karena itu hanya kesia-siaanlah yang kelak bakal diperolehnya. Lagi pula, mereka telah pergi. Kemana dia hendak mencari? Sedangkan untuk hal nomor dua juga jelas tidak mungkin. Gurunva telah menegaskan bahwa jangan kembali sebelum membunuh Cheng-gan Sian-jin. Padahal dia bertemu dengan kakek iblis itu saja belum. Bagaimana mau naik gunung? Hanya mau mercari penyakit saja!

Karena itu, Lek Hui hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya saja dan sambil bergumam sendirian pemuda tinggi basar ini melanjutkan larinya. Cheng-gan Sian-jin berada di utara, dan ke arah inilah dia menuju. Masalah sute dan sumoinya untuk sementara tidak dia pikirkan dulu. Kalau mereka memang berminat untuk turus gunung untuk menjalankan perantauannya, biarlah kakak beradik itu mengenal dunia luar. Asal mereka cukup berhati-hati, agaknya mereka juga tidak gampang dicundangi orang. Dengan adanya pikiran ini maka Lek Hui menjadi tenang juga. Jelek-jelek sute dan sumoinya itu adalah murid-murid Pendekar Kepala Batu, bahkan putera-puterinya sendiri. Untuk apa cemas? Tidak perlu...!

* * * * * * * *

Kim kee-san (Bukit Ayam Emas.), adalah sebaah bukit kecil yang terletak di sebeiah utara dusun Chi-hun dan sesuai dengan namanya bukit ini memang mirip bentuk kepala seekor ayam jago. Orang menyebutnya Ayam Emas karena setiap sore mendatang, sinar keemasan dari matahari senja menyelimuti seluruh permukaan bukit ini, membuat Kim-kee-san bermandi cahaya yang indah kemilau. Itulah sebabnya lalu orang menamakan bukit ini dengan nama Bukit Ayam Emas.

Dan seperti biasa, sore itu sinar lembayung senja juga menyorot lembut di atas permukaan bukit ini. Wama keemasan yang menakjubkan mata membuat Kim-kee-san tampak berkilauan, hidup dan luar biasa sekali. Pohon-pohon yang-liu bergerak tembut, seperti dara yang menari perlahan mengikuti irama yang-khim dalam lagunya "Mengantar Kepergian Dewa Surya", itu lagu sendu ciptaan penyair besar Poo Hien dalam dinasti Couw. Dan di atas pohon-pohon ini, saputan emas dari cahaya dewa surya juga ikut bergerak, naik ke atas seperti dewa-dewi yang hendak menuju ke kahyangan.

Indah luar biasa pemandangan di atas Bukit Kim-kee-san ini, namun sayang agaknya tidak ada seorangpun yang dapat menikmatinya secara utuh. Manusia terlalu sibuk dengan urusannya sendiri, maka hal-hal seperti itu hampir tidak pernah dilihatnya dengan sungguh-sungguh, Kalau toh mereka melihat, itu paling-paling hanya terbatas pada penglihatan di luar saja, sama sekali tidak menembus pada bagian dalam yang sesungguhnyalah mengandung banyak kegaiban-kegaiban yang mengherankan.

Namun Kim-kee-san juga tidak banyak bicara kepada manusia. Bukit ini lebih banyak bersikap diam, satu palajaran baik yang sepatutnya ditiru oleh manusia, karena di dalam kediaman inilah terdapat banyak kebijaksanaan yang sejati. Seperti kata-kata seorang pujangga Tiongkok terkenal yang berbunyi:

Yang mengerti tidak bicara
yang bicara tidak mengerti
yang tahu tidak sombong
yang sombong tidak tahu


Begitu pulalah halnya kehidupan yang terjadi di dunia ini. Dua unsur pokok selalu bergerak silih berganti di atas bumi. Yang tahu dengan yang tidak tahu, sedangkan yang mengerti dengan yang tidak mengerti. Dua unsur Im Yang masih kuat saling tarik-menarik di tengah-tengah kehidupan, dan siapakah yang berhasil keluar dari cengkeraman dua unsur ini? Barangkali bisa dihitung dengan jari!

Sore itu Kim-kee-san tampak cantik bukan main, hutan cemara kecil yang terletak di perut bukit kini perlahan-lahan menunjukkan warna aslinya. Sinar keemasan telah lenyap, dan wama hijau pohon-pohon yang-liu ini kelihatan segar berseri, seperti seorang dara jelita yang baru mandi.

Dan sore itu, di saat matahari mnlai terbenam, tiba-tiba Kim-kee-san kedatangan seorang tamu. Sesosok bayangan kuning tiba-tiba muncul di kaki bukit. Dia adalah seorang wanita muda, cantik dan membawa sebatang pedang di belakang punggungnya. Melihat mukanya, dia pasti berusia duapuluhan tahun dan agaknya dugaan ini tidak akan jauh meleset. Namun, siapakah dia?

Orang tidak akan dapat segera mengenalnya. Wanita muda ini tampak biasa saja, kecuali gerala kakinya yang ringan dan gesit ketika mendaki Bukit Kim-kee-san serta warna kehijauan yang samar-samar tampak membayang di sarung pedangnya. Selain itu, dia tidak tampak menonjol, kecuali raut mukanya yang manis tentu saja.

Dan hal ini memang menarik perhatian. Sejauh orang mengingat, Kim-kee-san selamanya belum pernah dikunjungi orang asing. Kalau begitu, ada keperluan apakah wanita muda ini naik ke bukit? Dan apa pula kehendaknya? Pertanyaan ini barangkali bisa kita jawab apabila kita mau mundur sejenak, dan hal pertama yang penting untuk diketahui tentulah pertanyaan tentang siapakah sebenamya wanita itu. Ini memang pokok. Jadi, siapakah wanita itu?

Dia bukan lain adalah A-ceng. Bagi para pembaca yang telah membaca cerita "Pendekar Gurun Neraka" barangkali lupa-lupa ingat dengan wanita ini. Dan hal itu memang tidak mengherankan. A-ceng memang tidak begitu menonjol dalam cerita yang lain karena dia hanya sebagai pelayan saja, meskipun termasuk pelayan utama.

Seperti Anda ketahui, A-ceng inilah, bersama dua orang teman pelayannya yang lain, yang telah mempersiapkan makanan dan minuman perangsang di dalam kamar Li Lan untuk Yap-goanswe. Dan justeru akibat Arak Sorga itulah Yap-gaanswe masuk dalam perangkap nafsu berahi sehingga melakukan perbuatan terkutuk bersama murid perempuan Cheng-gan Sian-jin yang memang hendak membalas sakit hatinya.

Semuanya ini telah diceritakan dalam kisah yang lalu, dan A-ceng sebagai pelayan utama Tok-sim Sian-li, tentu saja mengetahui itu dengan baik. Bahkan bukan ini saja yang diketahui gadis pelayan itu, melainkan juga peristiwa-peristiwa lain. Seperti umpamanya rencana Cheng-gan Sian-jin yang hendak berkhianat terhadap Kerajaan Wu, lalu penangkapan yang dilakukan Panglima Ok terhadap putera-puterinya sendiri, dan juga maksud Cheng-gan Sian-jin hendak menggagahi Siu Li, kekasih tercinta Yap-goanswe!

Semuanya itu diketahui oleh gadis pelayan dan Cheng-gan Sian-jin datuk iblis yang suka memandang rendah orang lain itu, kali ini mengalami "kejutan" tak terduga yang dilakukan oleh pelayan muridnya sendiri. Siu Li, puteri Panglima Ok yang berwajah jelita an ! yang rencananya hendak digagahi itu, tiba-tiba lolos dari kamar tahanan bawah tanah. Dan bersama lenyapnya gadis cantik ini, juga kakak kandungnya ikut menghilang!

Tentu saja Cheng-gan mencak-mencak penuh kemarahan. Dia baru saja pulang dari kubu pasukan Yap-goanswe sebagai utusan raja Muda Kung Cu Kwang, bermaksud mengadakan sekongkol dengan jenderal muda yang gagah perkasa itu. Akan tetapi sayang, bukannya kegembiraan yang didapat melainkan hinaan yang membuat dia hampir saja kehilangan muka. Jenderal muda yang dulu pernah ditawannya dengan mudah itu tiba-tiba saja menjadi lihai bukan main. Pukulan jarak jauhnya yang dilakukan secara diam-diam, tiba-tiba terpental balik ketika lawannya ini mengangkat lengannya dengan kibasan perlahan!

Tentu saja datuk iblis itu terkejut bukan main dan kalau dia nekat, barangkali dia harus benar-benar jatuh di tangan orang yang dulu pemah dipermainkannya! Karena itu, hal ini membuat Cheng-gan Sian-jin menekan gejolak perasaannya dan dengan muka gelap dia kembali ke benteng setelah mengancam jenderal muda itu untuk manggagahi kekasihnya dengan ilmunya Coan-im-jip-bit. Akan tetapi sungguh tak terduga. Puteri Panglima Ok yang hendak dipermainkannya itu tiba-tiba saja sudah lenyap dari kamar tahanan!

Hal ini membuat kemarahan yang sudah timbul akibat kepergiannya ke kubu musuh menjadi meluap kembali. Cheng-gan Sian-jin marah-marah, mukanya yang sudah merah itu semakin menyala dan saking murkanya iblis ini lama menghantam pintu-pintu gerbang kota raja di empat penjuru sampai ambrol. Tentu saja tindakannya itu mengejutkan semua orang. Pihak Wu terkejut karena sama sekali tidak menyangka, sedangkan pihak pasukan musuh terkejut bercampur gembira. Jebolnya pintu-pintu gerbang itu benar-benar meluapkan semangat mereka dan seperti setan kelaparan saja mereka ini lalu menyerbu masuk sambil berteriak-teriak.

Akibatnya, semrawutlah pasukan Wu ini diserbu oleh orang-orang yang sudah seperti iblis. Dendam setinggi langit dari pasukan Jenderal Yap tak dapat mereka bendung, dan akhirnya, satu-persatu mereka roboh mandi darah dibabat senjata lawan. Kota raja berobah menjadi telaga darah dan tidak sampai satu hari saja bala tentara Yueh berhasil merebut apa yang menjadi hak mereka. Mulailah pembersihan dilakukan di sana-sini dan dalam peperangan antara dua kerajaan ini raja Muda Kung Cu Kwang benar-benar mengalami kekalahan total. Dia sendiri tewas dan tiga orang panglima utamanya, yakni Wu-sam-tai- ciangkun, juga roboh binasa di bawah pukulan Cheng-gan Sian-jin yang berkhianat.

Itulah sekelumit cerita tentang Chang-gan Sian-jin serta tindak-tanduknya, dan A-cheng yang ditiaggalkan seorang diri oleh datuk iblis itu yang melarikan diri lewat terowongan bawah tanah, berliasil juga menyelamatkan nyawanya melalui jalan lainnya yang tidak disangka oleh pelayan ini adalah kematian Siu Li. Dengan susah payah dia membebaskan kakak beradik itu, akan tetapi toh akhirnya kekasih Yap-goanswe ini tewas juga. Sungguh usahanya menemui kagagalan di tengah jalan. Padahal, justeru terutama untuk keselamatan puteri Panglima Ok itulah dia sampai berani menyerempet-nyerempet bahaya!

Akan tetapi semua itu sudah terjadi dan manusia tidak dapat berbuat apa-apa. A-cheng hanya mampu menitikkan air mata kesedihannya belaka dan ketika pada suatu malam dia tidur di sebuah kuil tua, tiba-tiba saja keesokan harinya sebatang pedang telah berada di sisinya. Tentu saja gadis ini terkejut, dan ketika dia melompat bangun, temyata di lantai kuil itu terdapat goresan-goresan lembut yang berbunyi:

"Ambillah pedang itu dan simpanlah. Cari kakak pemilik pedang ini dan kalau tidak berhasil, tanam saja dimakamnya yang bersangkutan di Bukit Kim-kee-san.

Bu-beng"

Hanya itulah pesan yang ditinggalkan di atas lantai ini dan A-cheng terbelalak. Dia tidak tahu, siapakah orang yang bemama "Bu-beng" (Tanga Nama) ini. Setankah? Manusiakah? A-cheng termangu-mangu dan sehari penuh dia tidak meninggalkan kuil. Akhirnya, karena ingin meragetahni lebih lanjut, dia lalu melolos pedang itu dan seketika A-Cheng mengeluarkan seruan perlahan. Sinar kehijauan yang mengandung hawa dingin tiba-tiba memancar dari badan pedang ini dan A-cheng terkejut. Sekarang dia mengenal pedang milik siapakah itu. Kiranya milik puteri Panglima Ok Siu Li!

Tentu saja gadis ini terperanjat dan melihat betapa pedang sudah tidak lagi berada di tangan majikannya membuat A-cheng terkejut bukan main. Dia lalu membaca lagi tulisan di atas lantai dan sekarang mengertilah dia siapa kiranya yang dimakamkan di Bukit Kim-kee-san itu. Ternyata bukan lain adalah puteri Panglima Ok itu juga!

Hal ini membuat A-cheng tertegun dan akhirya gadis itu menagis penuh kesedihan. Diam-diam hatinya kecewa bukan main, mengapa jerih payahnya gagal juga? Apakah Tuhan tidak menaruh kasihan kepada puteri Panglima Ok yang hidupnya selalu sengsara itu? Gadis ini tidak dapat menjawab dan setelah sehari penuh menumpahkan kekecewaannya melalui air mata, A-cheng bangkit juga memenuhi permintaan serius dari orang yang bemama Bu-beng itu.

Berbulan-bulan dia mencari, namun orang yang dicari ternyata tidak ketemu juga. Karena itu, A-cheng lalu mengambil keputusan untuk pergi saja ke Bukit Kim-kee-san mengubur pedang yang kian lama kian berhawa dingin itu bersama tubuh majikannya. Hai ini dilakukan A-cheng karena akhir-akhir ini dia merasa seram sendiri terhadap pedang itu. Ada sesuatu yang aneh terjadi. Dan itu dimulai kira-kira satu bulan yang lalu.

Pada saat itu dia sedang bermalam di tengah hutan, bersandar di sebatang pohon besar sambil menyalakan api unggun sebagai pengusir nyamuk dan binatang-binatang buas seperti ular berbisa dan sebagainya. Dan tepat pada saat dia mulai terlelap, tiba-tiba terdengar kekeh tawa seorang anak kecil. Tentu saja dia terkejut, dan cepat membuka mata sambil melompat bangun.

Dan apa yang dilihat? Ternyata seorang bocah berkepala gundul menari-nari di depannya. Anak kecil itu terkekeh-kekeh, tawanya nyaring namun juga menyeramkan karena dia tertawa sambil melotot. Dan anehnya, kedua kaki bocah berperut buncit ini sama sekali tidak menginjak tanah. Dia menari sambil melayang!

Tentu saja semangat A-cheng seperti terbang. Dia sedang enak-enaknya tidur, dan tiba-tiba saja dibangunkan dengan mendadak oleh tawa bocah gundul ini. Sekarang, melihat betapa walk laki-laki itu menari tanpa menyeatula bumi, A-cheng benar-benar hampir pingsan. Akan tetapi untung-jelek-jelek dia bukanlah wanita lemah. A-cheng mengeluarkan pekik nyaring dan sekali tubuhnya bergerak, tiba-tiba saja dia sudah menampar kepala bocah iblis ini sambil membentak,

"Setan cebol, pergilah kau jangan menggangguku di sini!"

Tamparannya membawa kesiur angin tajam namun bocah itu tiba-tiba berkelebat lenyap. Dan sementara gadis ini terkejut, sekonyong-konyong dari belakangnya terdengar tawa anak kecil itu.

"Heh-heh, enci galak, jangan kau mengusirku begitu saja. Kecuali kalau kau mau berikan pedang itu, baru aku mau sudah. Wah, aku sudah ingin menghirup darah segar, nih!"

Bocah itu terkekeh dan A-cheng maremang bulu kuduknya. Anak kecil ini dilihat bentuk tubuhnya paling-paling baru berusia empat atau lima tahun, akan tetapi omongannya separti iblis saja. Karena itu, A-cheng merinding ngeri namun cepat dia mengusir rasa takutnya. Sikap anak kecil ini yang mempermainkan dirinya memuuat kemarahannya lebih besar dari pada rasa takutnya. Oleh sebab itu, diapun lalu membalikkan tubuh dan kembali membentak nyaring sambil memukul.

Dan apa yang dilihat? Ternyata seorang bocah berkepala gundul menari-nari di depannya. Akan tetapi sungguh ganjil. Pukulan yang sudah dilancarkan secepat kilat itu ternyata mengalami kegagalan lagi, persis seperti yang pertama. Anak iblis itu sudah berkelebat, dan sebelum pukulannya tiba, lawan aneh ini sudah lenyap nambil tertawa terkekeh-kekeh. Hal ini membuat A-cheng marah bukan main dan pukulan-pukulannya mulai membabi buta.

Diseranglah anak itu bertubi-tubi, sampai gadis ini lupa tentang keanehan lawannya yang sama sekali tidak menyentuh bumi. A-cheng sudah tidak ingat lagi tentang itu semua dan yang ada di pikirannya hanyalah membunuh anak ini. Sampai akhirnya, karena naik pitam dipermainkan seperti itu, A-cheng tiba-tiba mencabut pedangnya. Dan sungguh mengherankan, bocah iblis itu mendadak berteriak ketakutan sambil melompat mundur.

"Eh-eh, enci galak, gunakan pedang itu untuk membunuhku. Kalau kau tidak mau menyerahkan, ya sudahlah. Mengapa harus marah-marah? Tidak berhasil sekarang kumiliki, biarlah lain waktu saja kucoba lagi. Nah, selamat tinggal, cici galak …!" Anak setan itu berseru dan tiba-tiba secara aneh api unggun yang tadi menyala mendadak padam.

Tentu saja A-cheng menjadi terkejut dan bayangan bocah gundul itu lenyep seketika. A-cheng mengkirik ngeri dan ketika dengan cepat di menyalakan api unggun lagi, ternya keadaan di sekitar situ biasa-biasa saja. Hal ini malah membuat gadis itu terbelalak dan diam-diam hatinya gentar bukan main. Apakah dia sedang digoda iblis penjaga hutan? Ataukah suatu mimpi buruk sedang mengganggunya?

A-cheng tidak mampu menjawab dan karena gangguan tadi dia semalam suntuk malah tidak bisa tidur. Gadis ini termangu-mangu, sementara mukanya menjadi pucat turingat peristiwa luar biasa yang baru saja dia alami. Selama hidup, baru saat itulah dia menjumpai hal yang demikian sukar untuk dipecahkan, antara kenyataan yang sebenarnya ataukah hanya suatu mimpi buruk belaka.

Dan akibatnya, pada saat matahari baru saja terbit dari ufuk timur, gadis ini sudah cepat-cepat mininggalkan hutan. Dia lebih condong merasa sedang diganggu setan penjaga hutan daripada kenyataan yang sesungguhnya ada. Karena itu, meninggalkan hutan secepat mungkin baginya adalah jauh lebih baik daripada tinggal di situ. Dan hal ini memang segera dilakukan gadis itu.

Bagi A-cheng, gangguan seekor mahluk halus lebih menyeramhan dibanding gangguan seorang manusia, dia menjadi lega setelah tempat yang menyeramkan itu sudah jauh ditinggalkannya. Akan tetapi celaka duabelas! Ketika dia bermalam di sebuah dusun dalam usahanya menghindari hutan menjauhi yang "bau-rekso", eh... tiba-tiba saja si bocah gundul itu muncul lagi! Seperti yang sudah-sudah, kali inipun anak setan itu mengagetkannya dari tidur dengan kekeh tawanya yang nyaring menyeramkan. A-cheng terkesiap dan secepat kilat dia melompat bangun. Dan ternyata bocah itu sudah berada di depannya, menari-sari dengan mulut menyeringai!

Tentu saja A-cheng menjadi takut dan juga marah. Akan tetapi, karena dia tidak berada di hutan melainkan sebuan rumah penduduk yang berpenghuni, gadis ini menjadi tabah. Kekeh anak itu nyaring sekaii, dan A-cheng berharap bahwa orang serumah bakal mendengar ketawa bocah iblis itu. Maka tanpa banyak cakap diapun lalu mengeluarkan bentakan dan menyerang anak cebol yang ganjil itu.

Namun sungguh mengherankan. Semua pukulan-pukulannya, seperti dulu juga, tidak satupun yang mengenai sasarannya, hal ini membangkitkan kemarahan A-cheng dan tanpa banyak cerewet lagi diapun mencabut pedang bersinar hijau. Sekali tarik dalam gerakan cepat gadis ini sudah melakukan tusukan enam kali bertubi-tubi. Terdengar anak setan itu menjerit dan enam kali tusukannya mengenai sasaran.

"Kres-kres-kress...!"

A-cheng berseru girang dan pedang di tangannya melakukan gerakan silang. Akan tetapi ajaib, bocah gundul itu sekonyong-konyong lenyap dan seebagai gantinya, terdengar suara gedobrakan disusul robohnya dinding rumah yang terbuat dari bambu. Tentu saja A-cheng kaget bukan main dan gadis ini terbelalak dengan muka pucat. Dia berdiri tertegun dan pada saat itu, pemilik rumah beserta anak cucunya berteriak-teriak gaduh meneriakkan ada maling masuk rumah seraya memburu ke kamarnya!

A-cheng benar-benar terkejut. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa hasil babatan pedangnya tadibukannya mengenai si setan melainkan membabat dinding kamar yang ditempatinya. Dan sekarang, mendengar suara gedobrakkan akibat robohnya dinding dan pintu kamar di mana dia baru saja "mengamuk", tuan rumah dan para pembantunya tanpa selidik lagi sudah bertertak "maling-maling" mengejutkan tetangga sekitar.

Kontan saja rumah itu menjadi geger dan sekejap kemudian semua orang dusun pun gempar. Anjing anjing ikut menggonggong dan suasana makin berobah menjadi hiruk-pikuk setelah kentongan titir dipukul bertalu-tatu. Hal ini membuat A-cheng munjadi gugup, juga malu. Dia, kalau diketahui keadaannya ini, pasti akan dianggap orang gila oleh penduduk satu dusun. Dan daripada dia harus menderita malu, lebih baik merat saja!

Pikiran ini sedetik, menyelinap dalam keadaan yang amat gawat itu dan A cheng pun tidak mau berayal. Sebelum pemilik rumah yang berkoar seperti ayam biang kehilangan anaknya itu tiba, gadis in sudah menyambar buntalan pakaiannya dan sekali berkelebat, tubuhnya melesat keluar jendela. A-cheng tidak mau kehilangan muka, maka tindakannya itu memang tepat sekali karena persis dia pergi, orang sekampungpun sudah berdiri mengelilingi kamarnya yang roboh dengan senjata di tangan. Ada yang membawa pentungan, pacul, sabit dan tidak ketinggalan pula senjata ganco bermata dua!

Lucunya, orang-orang itu pada berteriak-teriak menyuruh sang "maling" keluar, tidak sadar betapa si pembuat heboh sudah jauh melarikan diri meninggalkan tempat celaka itu sambil mengumpat caci. Inilah cerita A-cheng yang sedang sial itu, dan gadis ini dengan napasterengah-engah malam itu kembali tidak dapat tidur. Gangguan yang kedua kalinva dari setan cebol ini terasa lebih berat daripada yang pertama bagi A-cheng, dan dia mulai menjadi was-was. Gadis itu mulai dihantui perasaan takut, juga marah yang sayang tidak dapat dilampiaskan.

Karena itu, A-cheng menjadi ingin supaya cepat-cepat tiba di Bukit Kim-kee-san untuk mengubur pedang itu yang selama ini dikejar-kejar si iblis cebol dengan sikapnya yang mengerikan itu. Dan si cebol yang aneh itu ternyata memang tidak membiarkan dia lari begitu saja. Semakin dekat jaraknya dengan Kim-kee-san, semakin seringlah "hantu" ini mengganggu dirinya. Dan yang diminta selalu pedang itu. Dan A-cheng yang hampir putus asa ini hampir saja menyerahkan senjata itu. Namun tiba-tiba sesuatu yang aneh kembali terjadi. Pedang itu tidak mau dikeluarkan dari sarungnya. Sungguh aneh!

Hampir saja A-cheng tidak mempercayai dirinya, akan tetapi kenyataan itu memang ternyata betul-betul terjadi. Pedang milik puteri Ok ini sekarang sudah tidak dapat dilobos lagi. A-cheng terbelalak dengan muka pucat melihat peristiwa yang luar biasa ganjilnya itu dan gadis ini menjadi gemetar. Sungguh mati, kejadian-kejadian iblis begini salamanya belum pernah dia alami! Apa-apaan itu?

Namun A-cheng juga tidak mampu menjawab semua misteri ini dan hal yang dapat dilakukannya adalah pergi ke Bukit Kim-kee-san. Barangkali di sanalah dia bakal terbebas dari perasaan takut dan gentarnya ini, maka siang malam-pun gadis ini tidak mau berhenti. Sampai akhirnya, sore itu tiba jugalah di tempat tujuan. Kim-kee-san sudah mulai gelap, akan tetepi A-scheng tidak perduli. Hutan cemara yang berada di depannya itu terus dimasukinya saja dan untunglah, berkat adanya sisa-sisa senja yang terakhir, akhirnya makam yang dicari-cari ketemu juga.

Sebuah batu nisan berdiri tegak di tengah-tengah hutan kecil ini, dan bayangan gelap dari pohon-pohon cemara mengelilingi kuburan itu, seakan turut menjaga agar yang membujur diam di bawah itu tidak diganggu siapapun. A-cheng merasa sedikit seram, dan sejenak dia berdiri terhenyak di depan makam ini. Dia belum tahu apakah betul makam ini yang dicarinya, maka diapun berlutut membaca tulisan di batu nisan. Dan di situ terdapet tulisan yang berbunyi:

MAKAM KEKASIHKU, SIU LI.
WAFAT AKIBAT KEKEJAMAN PERANG.

Dan dibawah kata-kata ini, terukir halus sebuah syair yang penuh kesedihan berbunyi:

Duhai kasih pujaan beta
demikian kejamkah hukum dunia
menimpa kita rasakan sengsara
sampai ajal merenggut nyawa?

Oh, Dewa Penguasa Dunia…!
inikah yang harus kami alami berdua?
hanya derita dan derita belaka
dalam ayunan Dewi Asmara?
begitukah…?

Duh, kasih penyusup sukma
aku tak mampu bicara apa-apa
selain harapan kau hidup bahagia
berteduh tenang di alam baka
semoga...!


Itulah tiga bait syair yang dibaca gadis itu dan A-cheng menangis terisak-isak. Sekarang yakinilah dia bahwa makam yang dicari memang benar dan syair yang membuat itu, siapa lagi kalau bukan Yap-goanswe? Muka A-cheng lalu menjatuhkan diri berlutut memeluk batu nisan itu dengan air mata bercucuran.

"Duh, siocia, bagaimana nasibmu menjadi demikian malang? Mati-matian aku menyelamatkan dirimu, akan tetapi akhirnya kau tewas juga." gadis ini mendekap makam sambil mengguguk dan diam-diam dia menyesal bukan main.

Memang barangkali agak aneh kejadian ini, namun sesungganya tidak perlu diherankan apabila kita tahu latar belakangnya, karena meskipun A-Cheng merupakan pelayan pribadi Tok-sin Sian-li, gadis inipun merupakan pelayan di gedung Parglima Ok. Hanya setelah Cieng-gan Sian-jin datang memperkuat kedudukan di Kerajaan Wu, maka gadis itu oleh Ok-ciangkun lalu diserahkan kepada Cheng-gan Sian-jin untuk melayani koksu baru itu beserta muridnya.

Dan demikianlah, sejak saat itu gadis ini lalu menjadi pelayan di gedung koksu dan karera sama-sama muda usianya dengan murid datuk iblis itu, A-cheng lalu menjadi pelayan pribadi Lie Lan atau yang berjuluk Tok- sim Sian-li itu.

Inilah sekelumit cerita mengapa A-cheng menangis didepan makam mendiang puteri panglima Ok dan sekerang, melibat bahwa benar-benar puteri bekas majikannya. yang pertama ini meninggal dunia, gadis ini menangis sedih. Sedikit banyak, dia merasa berduka dengan nasib buruk yang menimpa puteri majikannya yang pertama itu dan karena dia sendiri kurang suka tinggal di gedung Koksu yang sikapnya kadang-kadang buas seperti iblis itu maka dia menaruh iba yang dalam terhadap kematian kekasihnya Yap-goanswe ini.

Apalagi ketika baru seminggu saja dia tinggal di gedung koksu sudah harus mengalami hinaan dari datuk iblis itu dengan menyerahkan tubuhnya kepada Cheng-gan Sian-jin, maka diam-diam bibit kebencian di dalam hatinya timbul. Hanya karena takut menghadapi kengerian lebih lanjut dari iblis tua itu sajalah maka dia mandah dipermainkan. Dan Cheng-gan Sian-jin memang betul-betul iblis tua yang sangat kurang ajar. Setelah puas menikmati dirinya, diapun lalu diberikan kepada pembantu-pembantunya yang lain, terutama Hek-mo-ko si iblis berkulit hitam legam itu.

Membayangkan kebuasan Hek-mo-ko dalam mempermainkan dirinya saja sudah membuat A-cheng, hampir muntah-muntah. Betapa tidak? Dia disuruh melakukan perbuatan-perbuatan yang hanya dilakukan oleh binatang saja, dan kalau tidak ingat bahwa mereka adalah orang-orang lihai yang mampu mengerjakan kekejaman-kekejaman lebih hebat lagi, barangkali dia sudah berusaha mencoba untuk membunuh orang-orang itu.

Teringat oleh gadis ini, betapa seorang pelayan lain yang juga menerima nasib seperti dirinya, pada suatu hari mencoba menaruh racun pada minuman manusia-manusia iblis itu. A-hwi, demikian nama temannya itu, dalam usahanya membalas dendam telah coba-coba untuk membinasakan Cheng-gan Sian-jin dan anak buahnya dalam suatu jamuan makan malam. Ditaruhnya racun kelabang putih yang tanpa rasa itu di dalam guci arak wangi, lalu disuguhkan kepada manusia-manusia iblis itu.

Namun apa yang terjadi? Cheng-gan Sian-jin temyata orang yang amat cerdik dia berhati-hati. Meskipun racun kelabang putih ini tanpa rasa, akan tetapi kakek iblis ini memiliki sebatang tusuk konde penyerap bisa. Dengan benda ini, sebelum minuman diteguk, datuk iblis itu mencoba semua hidangan di atas meja, termasuk makanan dan nyamikan kecil yang dihidangkan A-hwi.

Dan akibatnya, semua makanan maupun minuman yang mengandung racun bakal ketahuan karena tusuk konde yang berwama bersih itu segera berobah warnanya menjadi merah kehitam-hitaman. Dan dari sinilah nasib sial menimpa A-hwi. Gadis itu kepergok, mencoaa melarikan diri namun tidak ada gunanya sama sekali. Dan Cheng-gan Sian-jin yang sudah marah itu tidak memberinya ampun. Terang-terangan gadis itu dicengkeram, lalu satu persatu pakaiannya dicabiki sampai telanjang bulat di depan kaum laki-laki yang memandang hal itu dengan mata melotot.

Dan akhirnya, kekejian yang dilakukan kakek iblis ini meningkat. A-hwi dilolohi racun perangsang yang biasanya digunakan untuk mengawinkan kuda. Gadis itu menjerit-jerit, akan tetapi sepasang tangan yang kuat dari Cheng-gan Sian-jin tak mampu dilepaskannya. Sampai akhirnya tubuh yang tadi menggantung ketakutan di tangan datuk iblis ini berobah. A-hwi sudah tidak meronta-ronta lagi dan gadis itu mulai menggelit-geliat kepanasan penuh nafsu birahi. Kesadarannya sudah lenyap dan apapun yang diminta Cheng-gan Sian-jin kini dipatuhinya tanpa banyak cakap.

Gadis itu disuruh menari, tetap telanjang bulat, dan itupun ditaatinya. Lalu disuruh membersihkan sepatu semua orang yang ada di situ dengan lidahnya yang menjilat-jilat seperti lidah ular dan itupun juga dilakukannya. Pendeknya, A-hwi sudah tidak seperti manusia lagi. Gadis itu mirip dengan binatang jalang yang dipermainkan sesukanya oleh manusia-manusia iblis macam Cheng-gan Sian-jin beserta antek-anteknya dan akhirnya ketika datuk iblis itu memberi tanda dengan tepukan tangannya tiga kali, berebutanlah orang-orang di dekat itu menyambar tubuh A-hwi yang sudah menutup matanya dengan nafas terengah-engah ini.

A-hwi diperkosa bergantian, ditonton sambil tertawa oleh Cheng-gan Sian-jin yang memandang semuanya itu sebagai permainan menarik yang amat mengasyikkan dan keesokan harinya, gadis bernasib malang ini sudah tewas dengan mulut membuih dan mata mendelik. Ternyata, setelah puas diperkosa oleh iblis-iblis jahanam itu, dipaksa minum racun yang tadi dihidangkannya di atas meja. Gadis ini meninggal dalam keadaan yang mengerikan!

Itulah kenangan buruk yang dilihat oleh A-cheng, dan gadis pelayan ini tidak berani main-main sembarangan. Dia hanya dapat menghela nafas panjang, ikut bersedih atas kematian rekannya namun tetap tidak berdaya untuk menolong. Ia sendiripun kalau salah langkah tentu mengalami nasib yang tidak jauh berbeda. Maka, daripada mencoba-coba sesuatu yang tidak akan berhasil, untuk apa membahayakan diri?

A-cheng tidak berani bermain api. Dia hanya dapat menekan semua penderitaan batinnya dan karena sering menjumpai seperti itu, akhirnya diapun tak terasa menjadi kebal terhadap peristiwa-petistiwa demikian. Hanya ketika mendengar maksud Cheng-gan Sian-jin yang hendak memperkosa Siu Li, gadis ini terkejut sekali. Seketika mukanya menjadi pucat dan membayangkan perlakuan apa yang bakal diterima bekas junjungannya yang lama ini sudah membuat A-cheng gemetar seluruh tubuhnya.

Karena itu, mulailah secara diam-diam dia mencari akal. Dan akal itupun akhimya tiba juga. Cheng-gan Sian-jin pergi keluar benteng, kesempatan yang amat bagus sekali baginya dan pada saat itu juga dia tidak mau membuang-buang waktu. Kekasih Yap-goanswe ini dibebaskannya, berikut kakak kandungnya sekali yang juga mendekam di situ. Akan tetapi apa yang terjadi? Ternyata gadis cantik itu tewas juga, meskipun bukan karena perkosaan Cheng-gan Sian-jin!

Ah, A-cheng mengeluh dan tiba-tiba dia teringat akan maksud kedatangannya ke tempat itu, Mengapa harus menangis melulu? Bukankah dia datang ke makam ini karena hendak mengembalikan pedang kepada pemiliknya? Maka A-cheng pun lalu bangkit berdiri sambil mengusap matanya,

"Siocia, hamba sungguh tidak mengira kalau keadaan menjadi begini rupa. Mengapa kau tergesa-gesa pulang ke alam baka? Apakah Yap-goanswe menyakiti hatimu? Kalau itu yang terjadi, biarlah kelak kucoba balaskan sakit hatimu ini kepadanya. Laki-laki memang mahluk jahanam semua, dan hamba juga benci mereka itu. Akan tetapi, siocia, barangkali kematianmu ini memang lebih baik bagimu. Dengan begitu, segala penderitaan di dunia yang penuh kekejaman ini berakhirlah sudah. Berbeda dengan diriku, yang barangkali masih harus menerima hal-hal yang tidak menyenangkan. Bukankah kalau begitu, kaulah lebih beruntung daripada diriku, siocia? Dan sekarang, memenuhi pesanan seorang yang tidak kukenal, aku hendak mengembalikan pedang yang dulu menjadi teman setiamu ini kepadamu. Harap siocia tenangkan hati dan bila kelak Kui Lun Siauwya berhasil kujumpai, biarlah akan kuberitahukan hal ini kepadanya."

A-cheng bergumam perlahan seperti orang berdoa didepan makam, lalu gadis itu bersoja tujuh kali sebagai penghormatan terhadap arwah majikannya dan tiba-tiba dia merenggut lepas pedang di belakang punggungnya. Sinar kehijauan berkeredep dingin, dan tampaklah sebatang pedang yang tajam berkilauan dengan cahayanya yang terang. Sebatang pedang pusaka!

Itulah peninggalan nenek Mo-i Thai-houw (Ratu Baju Iblis) dalam jamannya mendiang Ang-i Lo-mo dan begitu pedang dicabut, keadaan sekitar yang tadi remang-remang, seketika menjadi terang kehijauan. A-cheng mematung kagum untuk yang kesekian dari sejenak gadis ini memandang penuh pesona. Kalau saja dirinya tidak diganggu "hantu cebol" itu barangkali terus terang saja dia merasa berat untuk melepaskan pedang pusaka ini. Namun sesuatu yang mengguncangkan jiwanya terjadi, dan dia tidak berani mengangkangi senjata itu. Apalagi pedang itu sendiri juga memancarkan perbawa dingin yang mengerikan hatinya, maka A-cheng pun tidak berani main-main.

Begitu pedang dicatut, gadis ini segera maju ke depan. Pedang dia angkat dengan ujung menghadap bumi, sementara gagangnya dia dekap penuh hormat dengan kedua tangan sambil berbisik perlahan di depan makam, "Siocia. mengiringi kehendak seseorang, malam ini hambamu datang menyerahkan pedang yang dulu selalu setia menemani dirimu semasih hidup. Dan sekarang, setelah kau meninggal, teman setiamu inipun hendak kukuburkan bersama jazadmu. Karena itu, terimalah...!"

A-cheng berseru perlahan dan tiba-tiba gadis itu bergerak. Pedang di tangannya berkelebat enam kali di atas gundukan makam dan tahu-tahu sebuah lubang telah dibuatnya. Cepat pekerjaannya ini dan cepat pula dia membersihkan pedang dari rumput yang terbabat. Namun, ketika gadis itu hendak meletakkan pedang di dalam lubang untuk dikubur, mendadak sehuah jerit histeris memecahkan kesunyian senja membuat A-cheng tersentak kaget.

Jerit atau pekik itu amat tiba-tiba sekali, dan yang membuat gadis ini tetkesiap adalah karena jerit itu terdengar tepat di belakangya. Karena itu, serentak A-cheng menoleh dan gadis ini hampir saja terjengkang roboh dengan seruan tertahan. Apa yang terjadi? Kiranya sesosok tubuh dengan rambut riap-riapan telah berdiri sejak tadi di situ!

Tentu saja A-cheng seperti disambar petir dan kalau saja akhir-akhir ini dia tidak mengalami kejutan-kejutan yang mengguncangkan jantungnya barangkati pada saat itu juga dia sudah roboh pingsan. Karena itu A-cheng mencelos seperti di terkam hantu dan secara reflek gadis ini melompat kaget dengan mata terbelalak sementara mulutnya menjerit tertahan.

Sejenak A-cheng memandang, dan bayangan itu tiba-tiba terkekeh. Suara tawanya merdu, namun bagi A-cheng suara ketawa itu tiada ubahnya dengan suara kuntilanak yang membuat tengkuknya terasa dingin. Dan ketika gadis itu mengamati penuh perhatian tentang wajah dan bentuk tubuh wanita berambut riap-riapan ini, sekonyong-konyong semangat A-cheng seperti terbang.

"Siocia...!" Gadis itu berteriak ngeri dan kalau tadi wajahnya sudah mulai putih adalah sekarang tiba-tiba menjadi pucat melebihi mayat. A-cheng langsung mendeprok dengan kaki gemetaran dan gadis itu terbelalak dengan muka ketakutan. Apa yang dilihat? Ternyata kehadiran Tok-sim Sian-li murid Ceng-gan Sian-jin! Tentu saja A-cheng kaget bukan main.

Dan Tok-sim Sian-li, yang kini telah dikenal oleh pelayannya itu terkekeh menyeramkan dengan suaranya yang dingin menusuk tulang. "Hik-hik, A-cheng, jadi kiranya kaulah yang melepas dua ekor kuda jantan dan betina itu dari ruang bawah tanah? Aih, kalau kutahu dari dulu tentu sudah menyuguhkan sebuah permainan baru yang menarik untukmu, A-cheng!"

Tok-sim Sian-li tertawa aneh dan A-cheng membenturkan jidatnya dengan tubuh menggigil. "Ampun... siocia... hamba mohon ampun… bukan sekali-kali maksud hamba hendak berkhianat, namun yang hamba lakukan hanyalah sekedar kasihan belaka terhadap junjungan hamba yang lama. Karena itu, harap siocia bermurah hati atas kesalahan hamba ini dan untuk itu biarlah kelak hamba korbankan jiwa buat kesetamatan siocia….!"

A-cheng meratap sambil menunduk sementara diam-diam hatinya kebat-kebit tidak karuan. Dia cukup mengenal watak majikannya yang satu ini, maka diam-diam dia merasa gentar sekali. akan tetapi aneh, Tok-sim Sian-li yang biasanya kalau sudah marah ini biasanya tak mau banyak bicara, sekarang ternyata agak lain. Wanita itu hanya mengejek saja dan tiba-tiba membentak bengis.

"A-cheng, benarkah pengkhianatanmu itu hanya disebabkan oleh rasa kasihan belaka terhadap bekas majikanmu yang lama?"

A-cheng membentur-benturkan jidatnya. "Sungguh mati siocia, benar-benar hanya disebabkan oleh perasaan itulah maka hamba terpaksa berbuat nekat!"

"Jadi tidak ada dorongan perasaan lain?"

"Tidak, siocia, tidak ada!"

"Berani sumpah?"

"Berani!" A-cheng mengangkat mukanya dan tanpa disuruh lagi pelayan yang ketakutan ini sudah bersumpah dengan muka pucat. "Demi langit dan bumi, jika pernyataan hamba tadi lain dibibir lain dihati, biarlah kelak hamba mati disambar gledek!"

Ucapan ini disambut tertawa dingin oleh Tok-sim Sian-li dan tiba-tiba A-cheng seakan berhenti berdenyut jantungnya ketika wanita itu berkata. "Bagus, A-cheng, pembelaanmu terhadap betina liar itu sungguh mengagumkan. Hik-hik, dengan begitu bukankah kau hendak mengatakan bahwa terhadap majikan lama kau menaruh kasihan dan siap membela mati-matian sedangkan terhadap majikan baru kau boleh acuh tak acuh saja? Begitukah, A-cheng? Aih, bagus sekali... bagus….!"

Tok-sim Sian-li tertaw mengerikan dan muka A-cheng tersirap darahnya. "Ah, tidak... tidak... bukan begitu, siocia hamba sama sekali tidak bermaksud seperti itu....!" A-cheng menjawab gugup dan ketakutannya semakin betambah.

Akan tetapi Tok-sim Sian-li tiba-tiba membentak bengis, "Tutup mulutmu, A-cheng, tidak perlu kau berdusta! Bukti telah berada di depan ata, berani kau menyangkal?'

Wanita ini melangkah maju dan A-cheng mengingsut mundur-mundur dengan muka pucat. Dia melihat betapa wajah Tok-sim Sian-li menyinarkan hawa pembunuhan dan sepasang mata yang jeli itu berapi-api. Tentu saja A-cheng seakan copot nyalinya dan pada saat itu tiba-tiba terdengar tangis bayi. Gadis ini terkejut, dan Tok-sim Sian-li juga tertegun. Wanita itu berhenti, dan A-cheng melihat betapa wajah yang tadi penuh kebengisan itu sekonyong-konyong lenyap terganti sikap penuh kelembutan.

Tangis bayi semakin keras dan Tok-sim Sian-li tiba-tiba menggerakkan lengannya ke belakang. Ternyata, bayi yang menangis itu berada di belakang punggung wanita ini! A-cheng melongo dan Tok-sim Sian-li menaruh telunjuknya di depan mulut sambil mendesis, "Ssstt, anak nakal, mengapa menguanggu ibu? Kau lapar, nak? Kau ingin mimik? diamlah.... jangan menangis lagi. Nih, minumlah susu... cup-cup...!"

Tok-sinn Sian-li berkata lembut dan dengan cepat wanita itu membuka kancing bajunya. Bukit dada yang membusung penuh tampak tersembul, putih halus dan padat menggairahkan. Kemudian, ketika wanita ini mendekatkan kepala bayinya ke ujung buah dadanya, seketika tangis bayi itu terhenti. A-cheng melihat betapa bayi ini menggelogok air susu ibunya dengan amat lahap dan rakus, sementara wajah Tok-sim Sian-li sendiri tampak berseri-seri!

Diam-diam perasaan A-cheng tergetar. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa majikannya itu sekarang sudah mempunyai anak. Dan membayangkan bahwa murid Cheng-gan Sian-jin ini bermain gila dengan banyak laki-laki hidung belang, dia tidak tahu dari benih siapakah bayi itu lahir!

"Apa yang kau pikir, A-cheng?" tiba-tiba Tok-sim Sian-li membentak.

A-cheng terkejut dan gadis ini gelagapan. "Eh,. tidak apa-apa, tidak memikirkan apa-apa.....!" A-cheng menjawab sekenanya namun Tok-sim mendelik.

"Hemm, tidak memikirkan apa-apa, ya? Tapi matamu melotot penuh sinis ke arah bayiku! Bukankah kau hendak mengatakan bahwa anakku ini keturunan haram jadah?"

A-cheng terkejut bukan main dan cepat gadis ini menjatuhkan diri berlutut sambil berseru gagap, "Tidak, siocia... tidak! Saya tidak berani menduga, begitu? Kalau hamba berpikiran yang tidak-tidak, biarlah sekarang juga hamba mampus di tangan siocia!"

Gadis itu berkata sungguh-sungguh dan Tok-sim Sian-li meudengus. Sedetik sinar matanya berkilat marah, akan tetapi sebentar kemudian lenyap kembali. "A-cheng!" wanita itu membentak. "Kalau kau benar-benar berpikir seperti itu, tentu sekarang juga kepalamu sudah kupecahkan. Akan tetapi dengarlah, pelayan bodoh bahwa bayiku ini bukan anak sembarangan. Dia adalah keturunan Yap-goanswe!"

Tok-sim berhenti bicara dengan nada penuh kebanggaan, akan tetapi di balik suara ini juga tersembunyi suatu kepahitan. A-cheng meng-angkat mukanya, dan gads ini tampak seakan tak percaya. Namun begitu matanya bentrok dengan sinar mata yang tajam menusuk dari majikannya, A-cheng menundukkan kepaianya dengan jantung berdegup.

"Hem, kau tentu tak percaya, bukan?" kata-kata ini halus dan lirih, akan tetapi A-cheng bahkan menjadi semakin pucat.

"Eh, tidak... eh, maksud hamba, tentu saja hamba percaya, siocia! Kenapa harus tidak percaya? Tidak, hamba percaya penuh, percaya seratus persen! A-cheng terbata-bata dan Tok-sim Sian-li terkekeh.

"Heh-heh, A-Cheng, atas dasar apa kepercayaan yang kau berikan kepadaku itu...?"