Pendekar Kepala Batu Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 02
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Kepala Batu
SEMUA pikiran ini membuat Lek Hui akhirnya tidak bekerja sendiri, dan oleh Kou Cien pemuda itu lalu diangkat sebagai pengawal pribadinya. Dan kedudukan ini memang tepat, apalagi setelah pangeran itu tahu bahwa raksasa muda ini adalah murid Ciok-thouw Taihiap yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw pada belasan tahun yang lalu!

Inilah sekelumit ceritera tentang Lek Hui, yang sebenarnya dapat anda ikuti dalam ceritera. Pendekar Gurun Neraka. Dan tentang Ceng Bi, si gadis baju merah di atas puggung kuda itu, iapun mempunyai ceritera tersendiri. Kemurungannya hari itu bukan lain karena disebabkan watak ayahnya itu henelak menjodohkan dirinya dengan pemuda yang tidak dikenalnya!

Tentu saja hat ini membuat gadis itu menentang. Ceng Bi marah-marah dan ayahnya juga naik darah. Ciok-thouw Taihiap memang orang yang amat keras, maka sekali dia memutuskan sesuatu yang dirasanya baik hal itu akan dipegangnya teguh.

"Bi-ji (anak Bi), Kim Bok bukanlah pemuda sembarangan. Dia adalah putera tunggal Bu-tiong-kiam Kim Seng. Orang ini baik, dan aku percaya penuh akan wataknya. Bahkan kalau tidak ada dia, barangkali ayahmu ini sudah tewas dalam luka-luka yang parah ketika terjadi pengeroyokan manusia-manusia curang pada belasan tahun yang lalu. Dan orang inilah yang menolongku dari maut, dia pendekar pedang yang amat kukagumi. Ilmu pedangnya Bu-tiong Kiam-sut (Ilmu Pedang dalam Kabut) sungguh belum ada tandingannya. Dia patut digelari Si Raja Pedang! akan tetapi dia menotak karena tidak mau menonjolkan diri. Bu-tiong-kiam memang orang rendah hati dan wataknya yang amat halus ini menarik hatiku. Maka berbesan dengan orang seperti itu sungguh merupakan satu hal yang amat baik sekali! Masa kau menolak?"

Dernikian ayahnya muiai bicara ketika Ceng Bi marah-marah. Gadis ini belum mempunyai niat menikah, maka mendengar ayahnya membujuk tentang hal itu, gadis ini segera menggelengkan kepalanya. "Ayah, aku tidak dapat menerima keputusanmu ini. Aku tidak dapat menikah sekarang dan aku ingin tetap bersamamu!" begitu mula-mula Ceng Bi menjawab dan ayahnya tertawa.

"Bi-ji, kalau itu yang kau kehendaki maka hal ini mudah diatur. Pernikahan boleh diundur dan diresmikan dengan pertunangan dulu, bukankah ini akan membuatmu tetap di samping ayah? Kau sudah cukup dewasa dan tentunya harus dapat menerima berita ini dengan gembira. Bu-tiong-kiam sendiri telah datang padaku dan dalam waktu satu bulan ini dia akan datang kembali bersama puteranya. Kau boleh lihat calon suamimu itu dan kutanggung kau pasti suka. Ha-ha!"

Ciok-thouw Taihiap tertawa akan tetapi puterinya tampak terkejut. Gadis ini tidak menyangka bahwa ayahnya sudah saling bicara dengan-pihak Bu-tiong kiam, karena dia tidak tahu kapan pendekar pedang itu datang. Rupanya tokoh itu menyelinap secara diam-diam atau memang ayahnya yang sengaja tidak memberi tahu. OLeh sebab itu, Ceng Bi menjadi pucat dengan kenyataan ini. Ayahnya orang yang amat keras dan dia kenal baik akan sifat ayahnya itu. Sekarang, setelah ayahnya tampak setuju dan Bu-tiong-kiam (Si Pedang Dalam Kabut) sendiri akan datang bersama puteranya dalam waktu dekat ini, Ceng Bi benar-benar gelisah.

"Ayah, aku aku belum niat menikah dengan siapapun dan aku juga tidak mau menjadi isteri Kun Bok!"

Orang tua itu menghentikan tawanya dan tiba-tiba sikapnya kelihatan bengis. "Bi-ji!" bentaknya marah. "Apa yang kau katakan ini? Ayah sudah saling terima dengan Bu-tiong-kiam dan kau akan hidup bahagia di samping pemuda itu. Kenapa menolak? Kun Bok bukan pemuda sembarangan, dan ilmu pedangnya hampir menyamai tingkat ayahnya sendiri. Dibanding twa-suhengmu Lek Hui, barangkali mereka setingkat. Nah, kenapa menentang? Hidup di bawah lindungan calon gak-hu-mu (mertua laki-laki) itu sama seperti kalau kau kidup di bawah lindunganku! Mengapa harus cerewet?"

Ceng Bi mulai menangis dan seperti biasa, ayahnya yang keras hati itupun lalu luluh kemarahannya melihat puteriaya ini terisak-isak. Biar bagaimanapun juga Ceng Bi adalah puteri tunggalnya, dan pendekar besar itu amat mencintainya. Dan saking cintanya inilah maka Ciok-thouw Taihiap selalu memikirkan kebahagiaan puterinya di masa depan. Masa remaja gadis ini diam-diam membuat pendekar itu harus berpikir keras.

Ceng-Bi adalah satu-satunya anak perempuan yang amat disayang, karena itu, memikirkan siapa kelak calon jodoh anaknya ini membuat hati Ciok-thouw Taihiap gelisah. Sebagai pendekar besar, tentu saja dia tidak mau kalau anak gadisnya mendapat suami yang tidak becus. Musuh-musuh mereka banyak, dan untuk ini harus dicari seorang pemuda yang memiliki kepandaian jauh lebik tinggi dari puterinya sendiri, setidak-tidaknya harus setingkat. Dan untuk hal calon jodoh yang dicari rupanya sukar.

Kepandaian Ceng Bi sekarang sudah tinggi sekali, dan ia hanya setingkat di bawah kepandaian twa-suhengnya. Diukur sepintas lalu, puterinya itu sudah dapat diandalkan untuk menghadapi jago-jago kelas satu dan dia tidak perlu khawatir. Akan tetapi, mengingat bahwa golongan hitam biasanya tidak segan-segan melakukan kecurangan maka puterinya ini harus dijaga oleh suami yang benar-benar dapat dipercaya. Dan untuk itu dia harus berusaha.

Maka sungguh kebetulan bahwa pada saat dia sedang bingung memikirkan siapa kelak calon suami bagi puterinya, tiba-tiba Bu-tiong-kiam datang berkunjung. Dan lehih kebetulan lagi bagi pendekar besar ini ketika sahabatnya itu menyatakan maksud kunjungannya yang bukan lain hendak mengusulkan niat perjodohan!

Tentu saja Ciok-thouw Taihiap girang sekali dan sekaligus dia merasa mendapatkan jawaban. Bu-tiong-kiam adalah jago pedang yang belum terkalahkan, dan sahabatnya ini memang amat lihai. Dia sendiri tidak berani membandingkan, siapakah yang lebih hebat antara dirinya dengan pendekar pedang itu.

Hanya saja, karena Bu-tiong-kiam tidak suka menonjolkan diri, maka nama besarnya di dunia kang-ouw memang kalah tenar olehnya. Akan tetapi hal ini bukan berarti pendekar pedang itu di bawah tingkatnya. Tidak, bahkan menyaksikan ilmu pedangnya yang Slat luar biasa, Ciok-thouw Taihiap yang biasanya agak tinggi hati itu tidak berani merendahkan.

Bu tiong-kiam bukan orang sembarangan, apalagi orang ini pernah melepas budi kepadanya, maka Ciok-thouw Taihiap tidak berani sembarangan meneirima tamunya itu. Dan maksud pendekar pedang ni yang hendak menjodohkan puteranya dengan Ceng Bi sungguh membuat Ciok-thouw Taihiap seperti mendapat anugerah besar! Spontan dia setuju dan malam itu mereka merayakan hari kebahagiaan ini sambil tertawa gembira.

Dan keesokan harinya, karena pendekar pedang itu tidak mau dilihat orang lain, Bu-tiong-kiam telah kembali ke tempat tinggalnya setelah berjanji akan datang lagi satu bulan kemudian bersama putera tunggalnya. Dan hal yang menggembirakan ini segera diberitahukan pada puterinya, dengan harapan Ceng Bi suka menerima dan tidak banyak bicara. Siapa tahu, penolakan anak gadisnya ini membuat pendekar itu terkejut.

Akan tetapi, karena alasan Ceng Bi masih belum mau berpisah dengannya dan ikut sang suami, Ciok-thouw Taihiap agak lega. Kalau begini, masalah pernikahan gampang diatur dan yang panting ialah mengurus secepatnya ikatan itu dalam bentuk pertunangan, Oleh sebab itu, pendekar ini lalu membujuk puterinya dengan halus dan perlahan-lahan.

Namun sungguh tak diduga. Watak keras hatinya ternyata juga "menempel" pada diri anak perempuannya ini dan sekarang Ceng Bi menyatakan bahwa penolakannya itu bukan karena masih ingin dekat orang tua, melainkan karena ia memang belum niat menikah! Ceng Bi masih ingin bebas, dan gadis itu malah membujuk ayahnya agar rencana ini dibatalkan saja!

"Ayah, aku belum memikirikan rumah tangga, dan Kim Bok sendiri juga belum kukenal sebagai pemuda macam apa. Bagaimana kalau aku tidak suka? Tidak, ayah, aku masih ingin bebas dan biarlah kelak apibila aku sudah berninat hal ini pasti kuberitahukan padamu. Pembicaraan tentang jodoh ini harap dibatalkan saja dan anggap bahwa ayah dan locianpwe Bu-tiong-kiam sedang main-main."

Ciok-thouw Taihiap mendelik. Ucapan puterinya yang mengatakan bahwa pembicaraan jodoh itu harap dianggap saja sebagai "main-main" sungguh membuatuya marah bukan kepalang. Pendekar ini menggebrak meja dan bentakannya yang mengguntur benar-benar menunjukkan kemarahannya yang amat sangat.

"Bi-ji, omongan apa ini? Bagaimana kau bisa menasihati ayahmu agar pembicaraan jodoh yang sudah sama-sama disetujui dianggap sebagai main-main? Aih, anak kurang ajar, kalau tidak ingat kau adalah puteriku sendiri tentu mulutmu itu sudah kutampar pecah!"

Ciok-thouw Taihiap marah-marah dan Ceng Bi yang tadi menangis itu kini menghapus air matanya. Gadis ini juga menjadi marah karena ayahnya bersikap mernaksa, dan dampratan ayahnya yang kasar itu membuat hatinya sakit sekali. Belum pernah ayahnya ini bersikap seperti itu, maka Ceng Bi tak dapat menahan diri.

"Ayah!" katanya lantang. "Kenapa kau begini memaksa? Perjodohan bukan kau yang mengalami, melainkan aku. Bagaimana kalau aku tidak suka? Bagaimana kalau aku tidak cinta kepada pemuda pilihanmu itu? Tidak, ayah, aku menolak maksudmu yang tidak adil ini dan biarlah kelak aku memilih sendiri! Kalau nanti aku suka kepada Kim Bok, bolehlah rencana ini dilanjutkan. Tapi kalau nanti aku tidak suka maka tidak seharusnya ayah memaksa. Aku bukanlah boneka yang dapat diatur kian kemari sesuka hati!"

Ucapan ini seperti minyak disiramkan dalam api bagi Ciok-thouw Taihiap dan muka pendekar itu menjadi merah sekali. "Bi-ji!" bentaknya geram. "Apakah kau hendak meliar dan menjadi gadis binal? Baik-baik ayahmu mencarikan jodoh, akan tetapi kau tidak tahu diri! Siapa yang mengajarimu sikap seperti ini? Kun Bok adalah pemuda yang patut menjadi calon suamimu, dan masalah suka atau tidak suka, bagaimana kau bisa bicara? Di dunia ini banyak terjadi perkawinan yang tadinya tidak saling kenal dan akhirnya merekapun dapat hidup bahagia! Kenapa membantah? Dan tentang pilihan sendiri, hemm, siapa berani menjamin hidupnya bakal bahagia? Tidak, Bi-ji, kau masih terlalu hijau untuk mengartikan rasa suka sebagai cinta atau sebaliknya dan ayahmu tidak mungkin keliru mencarikan calon menantu! Apalagi yang kucarikan ini adalah putera tunggal Bu-tiong-kiam Kun Seng yang sudah kukenal wataknya dengan baik. Tidak, kau tidak boleh menolaknya dan ayahmu berdua telah menyepakati hubungan ini. Atau, apakah kau hendak merusak nama baik ayahmu?"

Sepasang mata pendekar ini berapi-api dan Ceng Bi terbelalak. Sikap ayahnya ini semakin keras saja dan gadis itu menjadi pucat. Akan tetapi dia adalah puteri Ciok-thouw Taihiap (Pendekar Kepala Batu) dan slat-sifat "kepala batu" begini juga diwarisinya. Oleh sebab itu, melihat ayahnya bersikeras memegang pendirian dia sendiri, Ceng Bi yang merasa tidak puas dan amat kecewa dengan sikap ayahnya ini juga semakin marah. Memang dia sering membantah ayahnya maka kali inipun gadis itu tidak mau menyerah. Ayahnya biasanya amat sayang kepadanya dan kalau mereka sudah sama-sama bersitegang leher, biasanya ayahnya ini mengalah dan tidak banyak bicara.

Karena itu, meskipun tahu bahwa ayahnya marah, Ceng Bi sama sekali tidak takut dan dengan hati tabah dia berseru, "Ayah, aku tetap tidak mau dipaksa untuk menjalankan perjodohan ini! Kau terlalu berat sebelah, memikirkan kepentingan diri sendiri tanpa menghiraukan perasaanku. Bagaimana ayah bisa melakukan hal itu? Tidak, ayah, aku tidak setuju dan kalau ayah nekat, biar aku minggat saja dari rumah. ini!"

Pendekar besar itu tak dapat menahan diri lagi dan kemarahannya kali ini memang benar-benar sudah memuncak. Tak dapat disangkal bahwa biasanya dia suka mengalah terhadap puteri satu-satunya ini yang amat disayang, akan tetapi itu bukan untuk hal-hal yang bersifat serius. Sekarang, dalam persoalan yang amat penting ini, bagaimana puterinya itu berani membantah?

Sudah umum di jaman itu bahwa perkawinan biasanya dipegang orang-orang tua, dan jarang sekali ada pasangan yang menikah atas kehendaknya sendiri. Dan Bangsa Tiongkok, yang memang patuh terhadap "Hauw" atau Bakti terhadap orang tua, tidak berani melanggar pantangan ini. Karena itu, pendekar ini menggereng marah dan sekali tangan kanannya bergerak, pipi Ceng Bi ditamparnya.

"Plakk…!"

Ceng Bi mengeluh dan gadis itu roboh terpelanting. Dengan kaget sekali gadis ini menjerit kecil dan dengan pipi bengap, ia cepat melompat bangun. Sejenak matanya terbelalak seperti orang mendapat mimpi buruk, akan tetapi setelah beradu Pandang dengan sinar mata ayahnya yang berapi-api, gadis itu lalu menutupi mukanya sambil menangis tersedu-sedu. Selama hidup, belum pernah ayahnya itu menamparnya. Maka peristiwa ini benar-benar membuat Ceng Bi terpukul perasaannya. Karena itu sambil menangis gadis ini lalu menjerit sedih.

"Ayah, kenapa tidak kau bunuh saja aku? Kenapa tidak kau remukkan saja kepalaku? Bunuhlah aku, ayah bunuhlah biarlah aku menyusul ibu... biarlah aku menyusul ibu, ohh... huh-huh-hukk!"

Ceng Bi menangis sampai terguncang kedua pundaknya dan Ciok-thouw Taihiap tertegun. Setelah sekarang dia melampiaskan kemarahannya, gelora di dalam dadanya reda kembali dan diam-diam pendekar itu merasa menyesal. Ratapan puterinya memang dapat dimaklumi, karena dia sendiri belum pernah sampai bertindak demikian keras.

Akan tetapi, karena dia tidak mau gadis ini besar kepala lagi, maka Ciok-thouw Taihiap tidak beranjak dari tempatnya. Biasanya kalau sudah menangis begini Ceng Bi akan dirangkul dan di hiburnya sebagai pernyataan maaf. Namun kali ini pendekar itu tidak mau melakukannya. Dia tetap berdiri dan meskipun sinar matanya sudah melunak, akan tetapi wajah orang tua ini tetap keruh.

Puterinya ini memang sekali-kali harus diajar adat, maka dia membiarkan saja gadis itu tersedu-sedu. Sejenak ketegangan menjadi berkurang dan pintu ruangan tiba-tiba dibuka orang dari luar. Seorang pemuda berbaju putih melangkah dan wajahnya yang tampan tampak terkejut.

"Ayah, ada apakah? Kenapa Bi-moi menangis?"

Ciok-thouw Taihiap memutar tubuh dan memandang pemuda itu dengan alis terangkat, "Han-ji (anak Han), tidak usah kau tanya tentang hal ini. Lebih baik sekarang bawa adikmu itu ke Ruang Samadhi dan kurung dia selama tiga hari! Awas, tutup pintunya rapat-rapat dan jaga dia jangan sampai melarikan diri!"

"Ahh…!" pemuda baju putih mengeluarkan seruan kaget namun ayahnya sudah keluar tanpa banyak cakap lagi. Tampak olehnya bahwa kemarahan besar meliputi wajah orang tua itu dan karena dia tidak tahu ada persoalan apa, maka pemuda ini mengangkat bahu.

Tidak biasa ayahnya bersikap demikian keras, dan kalau sampai adiknya ini disuruh kurung dalam Ruang Samadhi selama tiga hari, tentu telah terjadi sesuatu yang cukup serius antara ayah dan adik perempuannya itu. Akan tetapi, persoalan apakah? Pemuda ini tidak tahu dan dia hanya dapat menarik napas panjang.

Ayahnya telah memerintahkan agar dia membawa Gang Bi ke Ruang Samadhi, maka cepat pemuda itupun melaksanakan tugasnya. Adiknya masih menangis terus, namun ketika dibawa ke ruang hukuman itu Ceng Bi tidak mambantah. Dengan halus dan penuh kasih sayang, Souw Ceng Han, demikian nama pemuda itu yang merupakan putera partama Ciok-thouw Taihiap, manjaga adiknya dengan amat telaten.

Dan di dalam ruang inilah Chang Han lalu mendengar cerita adiknya tentang rencana perjodohan itu yang dihuat ayahnya bersama pendekar pedang Bu-tiong-ki-am dari Pegunungan Kun-lun. Tantu saja pemuda ini terkejut dan heran, akan tetapi segera dia sudah berseru girang sambil tertawa, "Aha, Bi-moi, selamat selamat! sungguh kau beruntung sekali! Mengapa malah, menangis?" dan pemuda itu lalu berdiri bersoja di depan adiknya yang dianggpnya mendapat hari bahagia ini.

Namun Cheng Bi tiba-tiba melotot dan gadis itu melompat bangun. "Han-ko!" bentaknya marah. "Apakah kaupun serupa ayah? Apakah kaupun menganggap aku ini sebuah boneka yang dapat dijadikan pengantin dan dipilihkan jodohnya begitu saja? Tidak, Han-ko, aku tidak sudi dipasangkan jodoh oleh siapapun juga dan kalau ayah memaksa biarlah aku membunuh diri untuk menolak keputusan yang amat berat sebelah ini!"

Ceng Han terkejut bukan main dan pemuda ini sampai terbelalak. Hebat ucapan adiknya itu dan kalau adiknya itu sudah bicara seperti itu, hal ini menandakan bahwa Ceng Bi tidak main-main dan tentu saja dia pucat. "Bi-moi, apa apa maksudmu?"

Ceng Bi melangkah maju. Melihat betapa kakaknya ini tampak terkejut thin menjadi pucat, itu melunakkan sikapnya. "Han-ko,' jawabnya sungguh-sungguh, "Kita berdua sekarang bukanlah anak-anak kecil lagi, masa kau tidak mengerti persoalan begini? Sekarang coba kita balik, anggap bahwa masalah jodoh adalah masalahmu. Nah, apa yang hendak kau lakukan? Calon isterimu belum pernah kau jumpai, belum pernah kau kenal, buruk wajah atau tabiatnya kau sama sekali tidak tahu, masih buta. Bagaimana penerimaanmu? Mau dengan begitu saja dijodohkan ayah seperti kerbau dicocok hidungnya? Sungguh tolol, iya kalau kebetulan kalian sama-sama suka. Akan tetapi kalau yang terjadi adalah sebaliknya, bukankah seumur hidup kau bakal celaka, bakal menderita? Nah, Han-ko, bagaimana jawabanmu tentang hal ini?"

Cang Han tertegun. Setelah sekarang persoalan itu "dibalik" adiknya untuk dia sendiri, pemuda ini memang terkejut sekali. Kata-kata adiknya tak dapat dia bantah, dan diam-diam dia merasa kagum kepada adik perempuannya ini yang dapat bicara sedemikian matang. Nyatalah kini oleh pemuda itu bahwa Ceng Bi memang benar-benar sudah dewasa dan gadis itu bukanlah anak kecil lagi yang dapat di "stir" sesuka hati. Oleh sebab itu, karena dia bahwa ucapan Ceng Bi memang mengandung kebenaran maka pemuda ini tak mampu membantah. Akan tetapi, karena Bu-tiong-kiam sendiri sudah cukup mereka kenal sifat-sifatnya yang gagah dan ramah, Ceng Han mencoba memperdebatkan hal ini.

"Bi-moi," Ceng Han mulai bicara. "Apa yang telah kau katakan tadi memang tak ada salahnya, namun hal ini agaknya tidak berlaku bagi keluarga Bu-tiong-kiam locianpwe. Kau tahu, bahwa Bu-tiong-kiam adalah seorang pendekar pedang yang baik dan rendah hati. Masa keturunannya tidak mewarisi watak ini? Walaupun Kun Bok memang belum pernah kita lihat rupau-nya, akan tetap jaminan watak ayahnya mungkin dapat kita andalkan. Dan ayah sendiri tentunya telah cukup berhati-hati untuk memilihkan jodoh bagimu, masa kita harus khawatir? Bi-moi, agaknya dalam hal ini kau terlalu berlebih-lebihan dan segala kekhawatiranmu itu sebenarnya kurang tepat kalau ditujukan kepada Bu-tiong-kiam locianpwe!"

Ceng Bi menarik muka mendengar debatan kakaknya itu dan gadis ini tampak gemas. "Han-ko" katanya uring-uringan, "Apakah watak seorang ayah akan betul-betul seratus prosen menurun pada diri anaknya? Apakah semua sifat-sifat baik dari orang tua sudah dapat dijadikan jaminan untuk mengukur sifat keturunannya? Kalau itu yang menjadi patokanmu, nah, sekarang lihat watakmu sendiri itu. Apakah kaupun juga benar-benar seperti ayah? Apakah kau tidak memiliki beberapa perbedaan dengan ayah? Dalam selera ruisalnya, dalam pendapat ataupun dalam perasaan? Apakah semuanya ini sama seperti benang dibelah dua? Begitukah? Kalau kau jujur dalam menjawab pertanyaan ini, maka kau pasti akan menjawabnya tidak! Memang tak dapat kita sangkal bahwa watak-watak keras ayah mengalir dalam tubuh kita, namun itu adalah garis besarnya. Dan untuk watak lain seperti cara berpikir ataupun berpendapat, kau malah sering menentang ayah. Buktinya, berapa hanyak murid yang sudah kau tolong dari hukuman ayah yang kelewat bertangan besi untuk kesalahan yang tidak seberapa? Banyak sekaIi! Dan ini menuajukkan bahwa biarpun sedikit, tetap saja kau tidak sama dengan ayah! Nah, Han-ko, berani sekarang kau memberikan jaminan bahwa dengan hanya melihat watak ayahnya lalu kita boleh berpikir bahwa anaknyapvn pasti sama dengan orang tuanya? Kalau kau ngotot dengan sanggahanmu yang memiliki kelemahan ini, berarti kau adalah orang yang mau menang sendiri saja dan untuk itu aku tidak sudi lagi berbicara denganmu!"

Ceng-Bi bicara dengan suara sengit dan bibir yang mungil itu bergerak gerak seperti beo ketemu kucing. Sepasang matanya bersinar-sinar dan gadis ini tidak menyembunyikan segala perasaan marahnya pada saat itu dan kakaknya dibakar terang-terangan. Tentu saja Ceng Han melongo, dan akhirnya pemuda itu tak dapat menahan geli hatinya lagi.

"Ha-ha-ha, Bi-moi. kau marah-marah seperti harimau diculik anaknya saja. Kepada siapakah? Kepada kakakmu ini? Aih, adikku yang minis, aku tadi hanya sekedar mengemukakan pendapat, bukan untuk menyerangmu habis-habisan, Kenapa harus naik darah? Bi-moi, aku tahu tentang itu semua dan tadi aku hanya ingin mengujimu untuk melihat sampai di manakah kematanganmu dalam berfikir. Aku tahu, bahwa ayah memang terlalu keras, dan aku pribadi kadang-kadang tak menyetujuinya. Akan tetapi, adikku, dalam masalah perjodohan aku melihat bahwa ayah bermaksud baik. Beliau hendak mencarikan pasangan yang setimpal untukmu, dan kalau kita lihat sepintas lalu memang agaknya putra tunggal Bu-tiong-kiam locianpwe itu sepadan denganmu."

"Hemm, kau hendak mendesakku untuk berjodoh dengan pemuda itu, Han-ko?" Ceng Bi mulai berapi kembali sinar matanya dan Ceng Han cepat-cepat menggoyang tangan sambil tertawa.

"Stop... stop, Bi-moi, jangan marah-marah! Aku hanya hendak mengatakan bahwa putera tunggal Bu-tiong-kiam locianpwe itu agaknya cukup nemenuhi syarat. Di samping ayahnya yang kita kenal, tentunya ayah juga sudah menyelidiki putera tuggalnya. Misalnya tindak- tanduknya dalam pergaulan, wajahnya maupun ilmu kepandaiannya. Kalau tidak, masa ayah mau menerima begitu saja!"

Ceng Bi mengerutkan alisnya, "Akan tetapi, koko, itu adalah menurut pandangan ayah. Dan apa yang dilihat ayah belum tentu sesuai dengan pandanganku, seperti juga pandanganku sendiri mungkin belum tentu sesuai dengan pandanganmu. Bagaimana berani memutuskan hal begini penting hanya sepihak saja. Tidak, Han-ko, aku tetap tidak setuju kalau ayah main paksa!"

"Hem, kalau begitu bagaimana kehendakmu?" Ceng Han mulai bersungguh-sungguh karena kalau adiknya ini benar-benar sampai bentrok dengan ayahnya yang berwatak keras itu, sungguh dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mereka berdua memang sama-sama berwatak keras, dan sekali terjadi pertentargan, tidak mustahil apabila adiknya ini sampai celaka di tangan ayah sendiri.

Ciok-thouw Taihiap adalah orang yang amat memegang teguh perjanjian dan harga diri, hal itu sudah amat dikenal baik oleh Ceng Han. namun adiknya inipun bukanlah orang yang gampang dibujuk. Sekali ia sudah mengambil keputusan, nyawanyapun berani dikorbankannya. Oleh sebab itu, diam-diam pemuda ini menjadi cemas.

"Han-ko," tiba-tiba Ceng Bi berkata dengan mata penuh selidik. "Kalau kau mau membantuku, kurasa persoalan ini dapat diambil jalan tengahnya. Hanya kau setuju atau tidak inilah aku tidak tahu."

"Hem, membantu bagaimana, ?"Ceng Han balas memandang adiknya dengan tajam karena ia merasakan adanya sesuatu di balik ucapan itu.

Ceng Bi memegang lengannya. "Han-ko, apakah kau sayang padaku?"

Pertanyaan manja dan agak menyimpang ini mau tak mau membuat pemuda itu tersenyum. "Bi-moi, kapan aku pernah menunjukkan sikap tidak sayang padamu? Kau adalah adikku, mengapa harus tidak disayang? Apalagi mempunyai adik secantik manis begini masa harus dibenci? adikku, kau ini aneh-aneh saja. Dari dulu sampai sekarang kau tahu bahwa kakakmu ini amat sayang kepadamu. Mengapa menanyakan hal semacam ini?"

Ceng Bi tertawa kecil dan nadanya seteagah mengejek sementara matanya yang jeli mengerling setengah tak percaya. "Han-ko, tidak usah kau mengada-ada. Dahulu kau memang sayang kepada adikmu ini, akan tetapi sekarang kau sudah tidak sayang lagi. Kenapa harus berbohong?"

Ceng Han terkejut dan memandang adiknya Itu dengan sikap heran. "Berbohong?" serunya. "Apa maksudmu, Bi-moi? Aku dari dulu sampai sekarang memang sayang padamu kenapa kaukatakan berbohong? Adikku, kau inilah yang mengada-ada dan bukannya aku!"

Akan tetapi Ceng Bi menggelengkan kepalanya dan mulutnya masih setengah mengejek. "Tidak, koko, aku tidak mengada-ada dan apa yang kukatakan tadi adalah kenyataan yang kita hidapi sekarang ini. Kenapa aku harus berbohong? Kaulah yang tidak jujur dan untuk itu aku dapat membuktikannya!"

Ceng Han menjadi tertarik juga mendengar kesungguhan ucapan ini dan pemuda itu meman-dang tajam. "Bi-moi, Watakmu memang aneh, dan sekarang kau mengatakan bahwa aku sudah tidak sayang lagi kepadamu. Hem, adikku yang nakal, bisakah kau menunjukkan buktinya? Awas kalau tidak benar tentu telingamu itu akan kujewer!"

Ceng Bi tertawa geli melihat kakaknya marah-naarah ini. "Han-ko, untuk apa aku mendustaimu? Kenyataan sudah di depan mata dan seharusnya tanpa kujelaskanpun kau sudah mengetahuinya. Mengapa pura-pura bertanya segala?" Ceng Han semakin penasaran. "Bi-moi, bicaramu berputaran tidak karuan. Hayo cepat tunjukkan kepada kakakmu ini di mana letak kebohongannya!" pemuda ini setengah membentak dan Ceng tersenyurn nakal.

"Koko," gadis itu menjawab sungguh-sungguh. "Kenyataan bahwa kau mengurungku di sini bukankah sudah cukup untuk dijadikan bukti bahwa kau tidak sayang lagi pada adikmu? Kalau seorang kakak menyatakan sayang pada adiknya, mengapa adiknya harus dikurung dalam ruangan tersekap begini? Tidak, koko, hal ini menunjukkan kebohonganmu dan untuk itu sekarang kaulah yang patut dihukam di ruangan ini!"

Ceng Han terkejut dan mukanya menjadi merah. Meskipun kata-kata adiknya itu berkenyataan, namun tidak tepat kalau dipakai untuk menyerangnya. Karena itu pemuda ini lalu membantah, "Bi-moi, kau bicara seenak perutmu sendiri! Mana boleh dipercaya? Adikku, kau memang nakal sekali. Kau tahu bahwa aku hanya menjalankan perintah ayah, kenapa malah dijadikan biang utama? Tidak, adikku, dalam hal ini kau ngawur saja dan semua kata-katamu tadi tidak beralasan!" serunya sungguh-sungguh.

Ceng Bi mencibir. "Hemm, biarpun perintah ayah itu salah?" tanyanya dengan sikap menantang.

Ceng Han tertegun. "Salah?" ulangnya terbelalak, "Salah bagaimana, adikku?"

Ceng Bi menarik muka. sungguh-sungguh. "Koko," jawabnya serius, "Kau tahu bahwa ayah hendak main paksa dalam masalah perjodohanku ini. Dan kau tahu pula bahwa aku paling tidak suka dipaksa orang lain. Perjodohan adalah masalah seumur hidup, dapat menjadi sorga atau neraka bagi yang bersangkutan. Dan ayah, yang tidak merasakan langsung perjodohan ini, bagaimana hendak memutuskan begitu saja? Tidak, Han-ko, aku tidak suka dijadikan boneka seperti itu dan kalau kau benar-benar sayang padaku, kau harus menolong adikmu ini dari kesulitan."

Ceng Han memandang tajam. "Bi-moi," katanya hati-hati. "Aku memang dapat menerima alasanniu ini dan paksaan dalam perjodohan memang tidak dapat kusetujui. Akan tetapi, adikku, kau juga belum mengenal Kun Bok dengan baik, bagaimana hendak menolak begitu saja? Sebagai anak yang berbakti, seharusnya kau tidak demikian keras dalam penolakan masalah jodoh ini terhadap ayah. Dan Iagi, kalau dipikir-pikir, sesungguhnya tak sulit juga untuk mencarikan calon jodoh buat mu. Kau adalah puteri seorang tokoh besar yang terkenal, masa hendak menikah dengan orang kebanyakan? Maka pendapat ayah dengan calon mantunya yang merupakan keturunan langsung dari Bu-tiong-kiam locianpwe itu tampaknya memang cocok. Namun, karena ini baru pandangan sepintas lalu maka kita tidak boleh gegabah. Betul katamu tadi bahwa tidak selamanya seorang, anak akan betul-betul mewarisi watak ayah-nya. Oleh sebab itu, bagaimana kalau engkau melihat keadaan dulu?"

"Hem, melihat keadaan bagaimana?" gadis mengerutkan alisnya.

Ceng Han menarik napas panjang. "Adikku," katanya lembut. "Ayah memang terlampau gegabah memutuskan masalah perjodohan ini tanpa menghiraukan perasaan hatimu. Aku sendiri tak dapat menyalahkanmu, akan tetapi karena ayah merupakan orang yang amat keras hati dan menjaga harga diri secara ketat, bagainiana kalau membujuk perlahan-lahan?"

"Maksudmu?" Ceng Bi memandang penuh selidik.

"Kita katakan kepada ayah bahwa keputusan jodoh lebih baik ditunda dulu. Engkau masih bebas dan dengan terus terang menyatakan belum ada niat berumah tangga."

"Hemm, kau kira semudah itu, koko?" Ceng Bi tampak mengernyitkan keningnya dan memandang kakaknya ini dengan muka muram. "Ayah tak gampang dibujuk, dan meskipun perjodohan itu diundur, akan tetapi ikatan pertunangan tak mungkin bisa dihindarkan. Tadi ayah telah bicara bahwa satu bulan lagi Bu-tiong-kiam bersama puteranya akan datang ke tempat kita dan pada pada saat itu peresmian jodoh diadakan. Dan justeru ikatan inilah yang aku tidak suka! Han-ko, cara ini menekan batinku dan kalau aku tetap di sini, ayah tentu akan memaksakan kehendaknya. Tidak, aku tidak mau dipaksa begitu dan aku ingin bebas!" Ceng Bi bangkit berdiri dan kakaknya terkejut.

"Bebas, Bi-moi? Bebas bagaimana?"

Gadis itu melangkah maju. "Han-ko," katanya dengan air mata berlinang. "Apakah kau tega menyaksikan adikmu ini menderita sengsara? Apa-kah kau tega melihat aku dirundung malapetaka? Kalau kau tidak suka aku hidup demikian, maka kau harus menolongku, koko kau harus menolongku." dan gadis ini lalu menangis terisak-isak.

Ceng Han terharu dan cepat dirangkulnya adiknya itu penuh kasih sayang. "Bi-moi," bisik-nya halus, "Harap kau tidak terlalu berduka. Perjodohan ini belumlah terjadi, masih rencana. Kenapa harus bersedih? Tidak, adikku, kesempatan masih banyak terbuka bagi kita untuk melakukan sesuatu. Dan kalau kau memang tidak setuju, percayalah, kakakmu ini yang akan maju melindungimu dari tekanan ayah!"

Ceng Han bicara dengan suara sungguh-sungguh dan Ceng Bi menangis semakin menggukguk. Gadis itu merasa terharu bukan main atas pernyataan kakaknya ini dan diam-diam ia mengeluh. Memang, semenjak ibu mereka meninggal dunia, Ceng Han inilah yang selalu membelanya dari kemarahan ayahnya yang bersikap keras terhadap siapapun itu. Dan sekarang, dalam persoalan jodoh inipun lagi-lagi kakaknya itu menyatakan siap untuk melindunginya dari kekerasan ayah mereka. Sungguh kasih sayang yang demikian besar ini tak dapat ditahan oleh Ceng Bi dan gadis ini malah menangis sesenggukan dengan air mata yang semakin deras. Ceng Han tak bicara apa-apa lagi dan pemuda ini hanya dapat mengelus rambut adiknya sambil menarik napas panjang.

Sejenak keduanya berangkulan dan akhirnya Ceng Han berkata lembut, "sudahlah, hapuslah air matamu itu dan sekarang duduklah baik-baik. Aku hendak mengambilkan makanan untukmu dan jangan menangis lagi. Terus terang aku jadi ikut sedih kalau kau menangis begini."

Pemuda itu tersenyum dan Ceng Bi menarik diri dengan mata basah. Gadis ini memang belum mampu menghilangkan tangisnya, akan tetapi hiburan kakaknya yang halus itu menyejukkan perasaannya dan Ceng Bi mulai tersenyum penuh haru.

"Han-ko," katanya perlahan. "Kau sungguh kakakku yang amat baik. Betapa bahagia hatiku mendapatkan kakak seperti dirimu ini. Terima kasih, terima kasih!"

Ceng Bi memegang lengan kakaknya dan Ceng Han tersenyum lebar. "Bi-moi, kau ini memang aneh sekali. Mengapa terhadap kakakmu sendiri harus berterima kasih? seperti orang lain saja! Kau adalah adikku satu-satunya, maka sudahlah wajar apabila aku harus membantumu dalam setiap kesulitan. Bukankah demikian, anak nakal?"

Gadis itu tersenyum dan sekarang air mata-sudah mengering. Dia tidak menangis lagi dan pipinya yang kemerahan itu mulai bersinar. "Han-ko, benar-benarkah kau mau membautuku dalam setiap kesulitan? Kalau memang benar, aku ada satu permintaan yang kuharap sudilah kau meluluskannya." Ceng Bi mulai berkata dengan suara sungguh-sungguh dan kakaknya tidak main-main lagi.

"Permintaan apakah itu, Bi-moi?" Ceng Han bertanya dan pemuda ini juga bersikap serius. "Kalau masalah perjodohanmu, jelas tanpa kau-minta sekaliplin aku mau menyanggupkan diri, untuk apa bertanya lagi?"

Akan tetapi Ceng Bi menggelengkan kepala "Bukan itu, koko, tetapi...." gadis ini tampak ragu-ragu dan kata-katanya tidak dilanjutkan.

Ceng Han menjadi tertarik. "Bi-moi, mengapa berhenti? Teruskanlah, dan aku siap mendengarkannya. Asal aku sanggup, tentu permintaan apapun akan kukerjakan."

Ceng Bi tersenyum. "Han-ko, tidakkah kau ingin melihat-lihat dunia luar?"

Pertanyaan tiba-tiba dan agak menyimpang itu membingungkan Ceng Han. Pemuda ini tidak mengerti apa yang dimaksudkan adiknya maka diapun lalu bertanya heran, "Bi-moi, apa maksudmu dengan dunia luar itu? Dan mengapa kau tampaknya berbelit-belit?"

Gadis ini tertawa kecil!. "Han-ko, yang kumaksudkan adalah, tidakkah kau ingin turun gunung?"

Ceng Han terbelalak. "Turun gunung?" serunya tercengang. "Maksudmu merantau, Bi-moi?"

Gadis itu tnengangguk. "Ya, begitulah."

Ceng Han terkejut dan mukanya tampak berobah. Sejenak pemuda ini memandang, adiknya dengan tajarn, lalu menjawab sungguh, "Bi-moi, keinginan hatimu ini sebenarnya juga sudah lama menjadi keinginan hatiku. Akan tetapi, karena ayah telah mernesan kita untuk tidak sembrono begitu saja meninggalkan rumah, maka selama ini aku menahan diri. Musuh-musuh ayah amat banyak, terutama dari golongan hitam. Dan kita tidak tahu siapa mereka itu. Bagaimana kau ada niat begini? Apalagi sekarang kau masih dalam hukuman ayah dan kalau hukuman sudah selesaipun ayah pasti melarang kita. Untuk apa mencari kesukaran?"

Ceng Bi mengerutkan alisnya. "Han-ko, kenapa kau begitu bodoh? Menunggu sampai ayah memberikan ijin adalah sama seperti menunggu jatuhnya bulan. Tidak, tidak perlu kita melapor kepada ayah dan kalau ingin cari kesempatan yang baik, sekarang inilah saatnya yang tepat!"

"Eh, kau hendak minggat secara diam-diam?" Ceng Han terkejut sekali dan Ceng Bi tersenyum simpul.

"Ko-ko, bukannya aku saja melainkan juga bersama engkau. Dengan kita berdua merantau bersama, bukankah lebih kuat dalam menjaga diri?"

Ucapan adiknya ini membuat pemuda itu tertegun. Memang sudah lama Ceng Han ada niat untuk mengembara di dunia kang ouw, apalagi setelah twa-suhengnya (kakak seperguruan tertua) Lek Hui turun gunung, diam-diam pemuda ini juga ingin mengikuti jejaknya. Akan tetapi, karena ayahnya melarang keras maka dia tidak berani melanggar. Sekarang, tiba-tiba saja adiknya itu mengajak dia pergi. Hal itu sebenarnya mengambuhkan jiwa petualangnya yang ditahan-tahan, namun karena takut pada perintah ayahnya yang keras, Ceng Han menjadi ragu-ragu.

"Bi-moi," katanya kemudian sambil menarik papas panjang. "Maksud hatimu ini sebenarnya berhahaya sekali. Pertama, ayah tentu marah kepada kita berdua yang telah dipesannya wanti-wanti itu. Ke dua, sekarang kau masih dalam hukuman ayah. Dan ke tiga..."

"Kedatangan Bu-tiong-kiam locianpwe pasti akan kita kecewakan, bukan?" Ceng Bi menerus-kan kata-kata kakaknya dengan mulut berjebi.

Ceng Han menganggukkan kepalanya. "Begitulah," jawahnya muram.

"Dan kau hendak berkeras supaya adikmu ini menerima pinangan orang?"

Ucapan yang mulai keras ini membuat Ceng Han mengangkat kepalanya. "Bi-moi, bukan itu maksudku," katanya perlahan. "Akan tetapi aku hendak berusaha supaya kedua orang tua dapat dibuat mengerti. Dan sebelum segala sesuatunya berkepanjangan, aku hendak terlebih dahulu bicara dengan ayah tentarg persoalan ini."

"Kalau ayah tetap berkeras?"

"Aku hendak mencegat kedatangan tamu kita dan berbicara secara jujur!"

Kali ini Ceng Bi yang terkejut dan wajah gadis itu berobah. "Apa, koko? Kau hendak menemui mereka?"

Pemuda itu mengangguk. "Kalau ayah tidak bisa diberi penjelasan, maka aku terpaksa manemui Bu-tiong-kiam locianpwe dan minta agar rencana ini dibatalkan atau diundur dulu. Dan mengingat bahwa pendekar pedang itu seorang yang bijaksana, aku yakin beliau dapat dibuat mengerti. Dengan demikian, kalau pihak locian-pwe Bu-tiong-kiam yang menarik diri, bukankah janji ayah juga tidak ternoda?"

Kata-kata ini dapat diterima Ceng Bi namun gadis itu tetap tidak puas. Hal ini berarti mengganggu kedatangan ayah beranak itu, seolah-olah sikapnya menyatakan setuju dan ayahnya tentu akan semakin menjadi-jadi. Tidak, ia tidak mau melakukan hal ini dan kalau putera Bu-tiong-kiam itu memang bersungguh-sungguh biarlah pemuda itu yang harus mencarinya, bukan dia yang menunggu seperti gadis gunung yang pasrah dan lemah!

Karena itu, Ceng Bi lalu menggelengkan kepalanya tegas. ''Han-ko, saranmu ini memang tampaknya cukup baik, akan tetapi aku tidak setuju, Lccianpwe Bu-tiong-kiam boleh saja datang, akan tetapi aku harus pergil"

"Eh, kenapa begitu, Bi-moi?"

Ceng Bi memandang kakaknya. "Karena aku tidak mau bertemu muka dengan Kun Bok!"

"Kau malu?" Ceng Han bertanya.

Ceng Bi menaikkan alisnya. "Siapa malu?" jengeknya marah. "Aku tidak sudi bersikap seperti seekor domba! Kalau pemuda itu memang berniat, dia harus mencariku sampai dapat dan dari sini baru aku tahu apakah dia bersungguh-sungguh ataukah tidak."

"Kalau bersungguh-sungguh?" Ceng Han mendesak. "Apakah kau lalu menerimanya?"

Gadis itu menggelengkan kepala sambil berjebi. "Siapa bilang begitu? Aku hanya bilang bahwa kalau dia bersungguh-sungguh maka dia pasti akan mencariku. Akan tetapi, masalah diterima atau tidak aku tidak berani memastikan. Han-ko, aku tidak suka ikatan membuta dan sebelum hatiku sendiri merasa yakin, bagaimana hendak menerima lamaran orang? Tidak, Han-ko, dalam hati ini aku ingin bebas dan biar ayah sekalipun tidak boleh terlalu menekanku."

Ceng Han nenarik napas panjang dan pemuda itu menggangguk-anggukkan kepalanya meskipun dia merasa bingung dan tidak mengerti akan sikap adiknya ini yang luar biasa. Tadinya dia mengira bahwa maksud adiknya untuk turun gunung itu agar "dikejar" oleh Kun Bok buat mengetahui kesungguhan mat di hati putera tunggal Bu tiong-kiam itu. Akan tetapi, setelah adiknya berkata bahwa masalah diterima atau tidak itu adalah lain, pemuda ini tidak dapat mengikuti jalan pikiran Ceng Bi. Hanya sekarang dia membenarkan bahwa sesungguhnyalah kata-kata dalam kitab kuno yang menyatakan wanita adalah mahluk yang sukar dijajaki pikirannya memang betul.

Contohnya adalah adiknya ini. Sudah belasan tahun mereka hidup bersama, dan dia merasa bahwa gerak-gerik dan sikap adiknya itu sudah diketahuinya. Namun, terbentur pada masalah ini tiba-tiba saja dia melihat adanya sesuatu yang sukar diselami dalam pikiran adiknya itu. Apakah ini yang dinamakan keganjilan? Agaknya begitulah!

Ceng Han mengangkat bahunya tanda kehabisan akal dan pemuda ini segera teringat pada rencana adiknya yang bendak turun gunung secara diam-diam. Hal itu sebetulnya, amat disetujuinya akan tetapi pergi secara diam-diam inilah yang tidak mengenakkan hatinya. Ayahnya pasti marah besar, dan tidak mustahil jika orang taa itu akan memberi hajaran keras kepada mereka berdua. Dan diamping tidak tahan apabila adik perempuaunya dihukum terlalu berat. Karena itu, Ceng Han menjadi bingung dan akhirnya pemuda ini mengutarakan kegelisahannya.

"Bi-moi, sedikit banyak aku dapat meraba maksudmu untuk turun gunung ini. Tentu untuk membalas sikap ayah, bukan? Akan tetapi, adikku, mugkinkah kita berdua dapat pergi secara diam-diam? Pada hari keempat dimana engkau telah bebas, ayah pasti sudah menunggumu di luar ruangan ini dan mengingat kata katamu tadi, beliau tentu akan meningkatkan kewaspadaannya agar kau tidak dapat pergi!"

"Hem, siapa bilang tidak bisa pergi?" Ceng Bi menjawab setengah mengejek. "Asal kau membantuku dan kita menjalankan sebuah akal, kau dan aku dapat pergi tanpa ayah terlalu dibuat marah besar."

Ceng Han terheran. "Maksudmu?" tanyanya penuh selidik dan dia melihat betapa adiknya ini tiba-tiba tersenyum aneh.

"Han-ko," Ceng Bi berkata tenang. "Pokok keberhasilan kita supaya dapat turun gunung sebenarnya berada di tanganmu. Asal kau setuju, semuanyapun pasti beres. Akan tetapi, kalau kau diliputi kebimbangan begini, mana bisa rencana kita berjalan? Oleh sebab itu, koko, jawablah pertanyaanku ini. Maukah kau turun gunung bersamaku?"

Pemuda itu mengerutkan alisnya. "Mau sih memang mau, namun kalau harus secara diam-diam begini mana aku berani, Bi-moi? Ayah pasti marah-marah dan sekali beliau dibuat naik darah, aku tidak berani membayangkan hukumannya."

"Aih, itu kan kalau kita jalankan secara bodoh, koko. Padahal, masalah ini tidak perlu sampai membuat ayah marah besar. Aku mempunyai sebuah akal yang menarik dan beralasan, kutanggung, ayah tidak bakal bertangan besi terhadap kita. Dan tentang lari secara diam-diam, siapa bilang aku dan engkau? Tidak, Han-ho, yang pergi secara diam-diam hanya aku seorang dan engkau sendiri, dapat pergi secara terang-terangan dan dengan restu ayah pula!"

Ceng Bi tertawa dan kali ini Ceng Han mendelong. "Apa?" pemuda itu berseru. "Aku dapat pergi dengan restu ayah! Bagainiana mungkin, Bi-moi? Mana ada kejadian demikian luar biasa?"

"Sstt…! Ceng Bi menaruh telunjuk di depan mulut memberi isyarat. "Jangan keras-keras, Han-ho, kalau ada telinga mendengar di luar tentu rencana kita ini berantakan. Yang penting, maukah kau turun gunung bersamaku? Kalau kau mau, segera akal ini kubeberkan dan sekali kau dengar, pasti tidak perlu takut-takut lagi. Nah, bagairnana jawabmu?"

Karena sikap adiknya semakin lama tampak semakin berahasia, Ceng Han tertarik juga dan setelah dihitung-hitung, asal betul akal adiknya ini manjur dan ayah mereka tidak terlampau marah, akhirnya pemuda ini menganggukkan kepalanya. "Hem, adikku yang nakal, kau mengaelitik hatiku dengan pandai sekali. Baiklah, asal akalmu ini bagus dan tidak terlalu berbahaya, aku mau turun gunung bersamamu. Hitung-hitung kita hendak menambah pengalaman dan meluaskan pengetahuan."

Ceng Bi sudah tertawa girang dan sekali tubruk, gadis ini telah memeluk kakaknya sambil terkeheh-kekeh. "Hi-hik, koko, kau terlalu membesar-besarkan persoalan. Nah, sekarang mari kita duduk dan dengarkanlah siasatku ini."

Gadis itu menarik lengan kakanya dan mereka lalu duduk di atas Ceng Han sedari tadi memandangi adiknya yang tersenyum-senyum ini dan setelah mereka berhadapan, Ceng Bi mulai membuka akalnya.

"Han-ko," demikian mula-mula gadis itu bicara. "Sebelum aku selesai membeberkan semua akal ini, kuharap kau hanya bersikap sebagai pendengar. Dan untuk itu, jangan tergesa-gesa memotong pembicaraanku. Berjanji?"

"Baiklah...." Ceng Han menganggukkan kepalanya.

Ceng Bi tersenyum kecil dan gadis itu mulai melanjutkan dengan suara sungguh-sungguh. "Begini, koko," katanya serius. "Karena kita sudah mempunyai keinginan yang sama untuk turun gunung, maka kita tidak perlu menunggu sampai hari ke empat segala. Itu bahkan mengagalkan rencana kita dan kalau kita hendak mulai, seperti tadi telah kukatakan, justeru sekarang inilah saatnya! Kenapa? Karena ayah tidak Bakal menduga semua maksud kita ini. Beliau telah mempercayakan dirimu untuk menjagaku, dan inilah saat lengahnya. Untuk itu, mumpung ada kesempatan demikian bagus, kenapa tidak kita gunakan saja?" Gadis berhenti sejenak dan Ceng Han mematuhi janjinya, sama sekali tidak memotong kata-kata adiknya yang belum diketahui ke arah mana hendak menuju. "Dan engkau, koko," demikian Ceng Bi berkata lagi, "Terpaksa harus sedikit berkorban untuk melancarkan siasat ini. Karena hanya denga cara inilah maka aku dapat pargi secara diam-diam dan engkau Nanti dapat pergi secara terang-terangan untuk menyusulku. Nah, sudah dapat menangkap apa yang kumaksudkan?"

Ceng Han menggelengkan kepalanya. "Bi-moi, semua kata-katamu seperti ular melingkar yang tidak diketahui mana buntut mana kepala. Bagairnana aku mengerti?"

Ceng Bi tertawa geli dan menutupi mulutnya. "Hi-hik-hik, kakakku rupanya dogol sekali. Masa rencana begini belum dapat diikuti? Aih, Han-ko, kalau kau memang tidak mengerti baiklah sekarang kaudengar lagi. Yang kumaksudkan adalah….!"

Gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya karena tiha-tiba saja jari tangan kanannya bergerak menotok jalan darah Kai-hu-hiat di pundak kakaknya. Gerakan ini dilakukan secepat kiltat dan sebelum kakaknya sadar, tahu-tahu Ceng Han telah dibuat roboh tak berkutik! Tentu saja Ceng Han terkejut, dan sementara dia berteriak tentahan mendadak tangan adiknya kembali menotok jalan darah Ya hiat di leher yang membuat orang tak bisa bersuara lagi dan kontan seruan itu berhenti di tengah karena Ceng Han menjadi gagu!

Peristiwa berturut-turut ini terjadi dengan cepat, dan Ceng Han melotot ke arah adiknya dengan mata bersinar marah. Akan tetapi Ceng Bi tertawa-tawa kecil dan sebelum kakaknya gusar, gadis ini cepat membebaskan kedua jalan darah itu sehingga Ceng Han pulih kembali seperti sediakala.

"Kau, anak nakal! Apa-apaan ini?" Ceng Han melompat bangun akan tetapi Ceng Bi menariknya duduk kembali dengan mata geli.

"Han-ko, justeru inilah jawaban akalnya. Mengapa hendak marah? Hi-hik, kakakku yang baik bukankah tadi aku sudah bilang bahwa kau harus sedikit berkorban? nah, harap kau memaafkan adikmu ini karena semuanya itu hanya untuk memberikan penjelasan secara nyata. Mengertikah, Han-ko?"

Ceng Han tertegun dan pemuda ini terbelalak. "Setan, kau hendak membuat kakakmu ini lumpuh agar kau dapat kabur? Sial dangkalan!" pemuda itu menggerutu dan adiknya kembali tertawa.

"Tidak begitu sebetulnya, koko, karena yang akan kabur nanti bukannya hanya aku saja melainkan dirimu juga. Kalau tidak diakali begini, mana bisa kita berdua turun gunung? Nah, kakak yang baik. Asal kau setuju dengan siasatku ini maka kita pasti dapat terjun di dunia luar. Atau, maukah kau seumnr hidup selalu terkurung di atas gunurg sampai menjadi kakek-kakek?"

Ceng Bi tertawa dan kakaknya terscnyum masam. "Bi-moi, sungguh kau licin seperti belut!" Ceng Han berkata setengah mendongkol. setengah geli. "Dengan memasang kakakmu ini sebagai korban, memang nampaknya maksud hatimu itu dapat terkabul. Akan tetapi, apakah akupun betul-betul dapat pergi? Engkau melumpuhkan aku, bagaimana mungkin aku bisa menyusulmu? Adikku, harap kau tidak mempermainkan kakakmu ini!"

"Ihh, siapa main-main, Han-ko?" Ceng Bi tersenyum lebar. "Justeru kelumpuhan inilah yang menjadilan kau nanti dapat pergi dengan restu ayah. Kau masih belum mengerti? Aih, kakakku mrnang terlalu polos hatinya sehingga untuk akal kecil begini saja belum paham, Han-ko, dengarlah keteranganku selenglapnya ini..!" gadis itu berhenti sejenak untuk menarik nafas panjang lalu melanjutkan, "Koko, kalau kau kuserang secara tiba- tiba seperti tadi ayah tentu menyangka bahwa semua kejadian ini bukanlah pura-pura. Dan aku sengaja membuatmu gagu pula agar nanti dapat cepat memberi alasan kepada ayah bahwa kau tidak dapat cepat memberi tahu karena tidak dapat bersuara. Totokan kubuat selama dua jam, dan setelah itu barulah kau dapat bersuara kembali sepati semula. Akan tetapi, karena tubuhmu lumpuh, maka hal yang pertama-tama kau lakukan adalah berteriak memanggil ayah setelah jalan darah Ya-hiat bebas kembali. Dengan begitu, kesempatan kabur bagiku sudah cukup jauh. Ayah memang pasti marah-marah, namun kau dapat memberi penjelasan bahwa karena menolak paksaan ayah dalam masalah jodoh ini, maka aku minggat setelah secara curang menyerangmu. Dengan begini, mengingat ayah pasti khawatir karena aku turun ke dunia ramai, beliau pasti akan menyuruhmu untuk menangkapku. Dan dalam hal ini aku yakin kaulah nanti yang bakal disuruhnya karena di tempat kita tidak ada orang lain lagi. Ayah tentu tidak turun tangan sendiri karena harus memimpin partai, apalagi Bu-tiong-kiam locianpwe juga akan datang dalam beberapa minggu lagi, maka beliau pasti menganggapmu satu-satunya orang yang tepat untuk menjalankan tugas ini. Nah, bukankah demikian maka semua akal ini akan berjalan sesuai rencana? Dan mengingat bahwa twa-suheng (maksudnya Lek Hui) sedang tidak berada di rumah, aku yakin tugas untuk menangkapku pulang itu harus dikerjakan olehmu. mengertikah, Han-ko?"

Sampai di sini Ceng Bi berhenti dan Ceng Han terbelalak, memandang adiknya dengan penuh rasa kagum akan tetapi juga gemas karena dia dijadikan kelinci percobaan oleh adiknya yang nakal ini. tetapi, karena dia melihat bahwa semua akal itu memang bagus maka pemuda ini manggutkan kepalanya beberapa kali sementara mulutnya mendesis, "Bi-moi, kau benar-benar kancil betina yang cerdik sekali. Perhitunganmu matang dan meskipun aku dijadikan korban, namun tampaknya memang inilah satu-satunya akal supaya kita dapat turun gunung! Aih, adikku yang nakal, kalau kau sudah turun gunung lalu kema-nakah aku harus menyusulmu?"

Ceng Bi tersenyum. "Kota raja adalah tempat yang ramai, maka ke sanalah kita boleh melihat-lihat."

"Jadi kau menuju arah utara?"

"Benar, koko," Ceng Bi menganggukkan kepalanya dan Ceng Han tidak membantah lagi.

Setelah mereka saling sepakat dan Ceng Han sendiri digelitik hatinya untuk merantau di dunia kang-ouw meluaskan pengalaman, pada hari itu juga siasat ini dijalankan. Ceng Bi lalu menotok roboh kakaknya dan jalan darah gagu juga tidak ketinggalan. Ini semua untuk menunjukkan kepada ayah mereka bahwa di antara mereka berdua sebenarnya tidak terdapat "kong-kalikong".

Dengan begitu, apabila ayahnya nanti muncul setelah Ceng Han bisa berteriak, maka orang tua itu tidak menaruh curiga terhadap pemuda ini. Dan seperti yang telah diperhitungkan Ceng-Bi, kakaknya itu, pasti akan diperintahkan untuk segera turun gunung menangkap adiknya yang kabur secara licik itu.

Dan hal ini mernang membuktikan bahwa kalau Ceng Bi minggat secara diam-diam adalah Ceng Han yang dapat pergi secara terang-terangan, persis seperti yang diperhitungkan oleh puteri Ciok-thouw Taihiap yang cerdik itu! Demikianlah, semuanya segera dijalankan dan Ceng Bi yang telah menotok roboh kakaknya ini lalu menyelinap keluar ruangan dan akhirnya menghilang dalam beberapa kejap saja.

* * * * * * * *

Itulah cerita tentang kakak beradik ini. Dan sekarang, pada pagi yang cerah-ceria ini Ceng Bi tiba di kota Bang-Joh. Sudah satu bulan dia turun gunung, akan tetapi kakak yang ditunggu-tunggu ternyata tidak munuh!. Tentu saja gadis ini mulai cemas. Apakah perhitungannya ada yang meleset? Apakah bukan kakaknya itu yang disuruh turun gunung?

Ceng Bi merasa tidak yakin. Menurut perhitungannya, Ceng Han pasti menyusulnya karena di Beng-san hanya pemuda itulah satu-satunya yang tepat untuk menjalankan tugas ini. Lalu, kenapa selama ini kakaknya tidak kelihatan? Apakah ada sesuatu yang menirnpa diri kakaknya itu? Ceng Bi lebih condong kepada dugaan ini dan diam-diam gadis itu menjadi gelisah. Kalau Sampai terjadi apa-apa dengan kakaknya itu, sungguh dia akan menyesal seumur hidup karena gara-gara dialah semuanya ini terjadi.

Karena itu, setelah memasuki Hang-loh, Ceng Bi 1alu melayangkan pandang ke dalam kota. Semalam ia belum makan. terhenti di sebuah hutan. Dan malam tadi ia terpaksa tidur di atas pohon. Sekarang perutuya berkeruyuk, dan bau masakan sedap dari rumah makan "Tiang-an" di ujung jalan membuat perutnya merintih.

Ceng Bi membelokkan kudanya. Pikiran yang kusut membuat gadis ini tidak memperhatikan betapa orang-orang di pinggir jalan raya terbelalak kagum ke arahnya. Semua mata pria itu tampak melotot, dan beberapa orang diantaranya bahkan ada yang berhenti untuk melalap kecantikan puteri Beng-san-paicu ini. Akan tetapi, karena Ceng Bi sedang murung dan hatinya gelisah, gadis itu tidak memperhatikan semua keadaan.

Dia tampak murung, dan ketika tiba di halaman restoran gadis ini melompat turun dari atas kudanya. Seorang pelayan tergesa-gesa menyambutnya dan kuda itu diikat di samping rumah makan, sementara Ceng Bi sendiri sudah memasuki ruangan "Tiang-an".

Ternyata rumah makan ini besar juga. Sebuah loteng tampak di atas, dan belasan tamu di pinggir baikon. tiba-tiba sama menengok ke arah gadis ini. Semua mata itu jelas menunjukkan kekaguman, akan tetapi banyak diantaranya yang agak kurang ajar. Hal ini dibuktikah dengan adanya mulut yang peringas-peringis serta kedipan mata dua orang pemuda di dekat anak tangga.

Ceng Bi menjadi gemas, dan maksud hatinya yang hendak makan di loteng untuk mencari ke-tenangan cepat dibatalkan. Orang- orang di atas itu sikapnya kurang ajar, dan dia tidak mau membuat keributan. Karena itu, gadis ini lalu melangkah terus menghampiri meja di dekat jendela yang terbuka. Suasana di tempat itu tampak sejuk, juga tidak banyak tamu dan seorang laki-laki bercaping bambu bertubuh tegap duduk makan minim sendirian.

Entah mengapa, Ceng Bi tiba-tiba saja tertarik untuk memperhatikan laki-laki ini. Dan kebetulan bahwa meja di dekat jendela itu berada di samping meja laki-laki ini. Karena itu, Ceng Bi lalu duduk di meja ini memesan makanan dari seorang pelayan yang cepat menghampirinya.

"Nona mau makan apa?" pelayan itu bertanya samba cengar-cengir.

Ceng Bi menjadi sebal. "Apa saja yang enak boleh kau hidangkan!" jawabnya kaku.

"Dan minumnya?"

"Air dingin saja!"

Jawaban ini membuat pelayan itu melenggong. "Air dingin, nona?" serunya heran.

Ceng Bi menjadi gemas. Melihat orang tampak melotot gadis ini menjadi marah. Jauh-jauh dia mencari tempat ini untuk menghindar dari gangguan orang, dan pelayan rumah makan itu kini banyak cerewet. Dia minta air dingin, kenapa mesti heran? Di gunung dia memang selalu minum air dingin yang jernih dari sumber, mengapa pelayan ini harus bertanya ulang? Karena itu Ceng Bi lalu balas mendeliki orang dan dengan muka merah dia berseru, "Ya, air dingin! Apakah telingarru tuli? Ataukah rumah makan sedemikian mentereng tidak mempunyai air dingin?"

Bentakan ini membuat kuncup nyali si pelayan yang tidak menyangka bahwa tamunya galak, karena itu pelayan ini lalu cepat-cepat mengiyakan dan membalikkan tubuh ngeloyor pergi. Ceng Bi reda kembali dan pada saat itu si laki-laki bercaping bambu mengangkat mukanya. Sedikit saja gerakan ini, namun Ceng Bi terkejut bukan main melihat sorot mata yang tajam mencorong seperti mata seekor raga sakti.

Tentu saja gadis ini tercekat, dan lebih tergetar lagi hatinya ketika mengetahui bahwa laki-laki yang duduk tenang di samping mejanya itu ternyata masih muda. Wajahnya tampan, alisnya seperti golok dan dagu berlekuk itu menunjukkan kejantanannya yang memikat. Ceng Bi berdebar dan sekilas senyum dari pemuda bercaping itu membuat mukanya merah sampai ke telinga. Mengapa hatinya tiba-tiba terasa tidak karuan dan sementara dia menjadi gugup, laki-laki itu berbatuk kecil lalu menundukkan mukanya lagi, asyik menyumpiti daging di dalam mangkok secara tenang.

Ceng Bi tertegun. Ia tidak mengenal laki-la-ki muda ini, namun perasaan hatinya mendadak berdebaran tidak karuan. Senyum yang sekilas itu membuat jantungnya tergetar, dan selama hidup belum pernah ia mengalami hal semacam ini. Apakah itu? Ceng Bi tidak mampu menjawabnya. Dan pada saat itu si pelayan yang tadi dibentaknya telah muncul bersama hidangan di atas penampan, Asap mengepul harum dan saos tomat di daging babi serta bermacam masakan lain yang sedap-sedap membuat gadis ini menjadi lapar sekali.

Namun karena tidak berada di rumah sendiri maka gadis itu tidak mau tergesa-gesa. Setelah pelayan yang kini tidak berani cengar-cengir lagi itu pergi, barulah Ceng Bi menyentuh hidangannya. Perlahan tahan dia meneguk air putih yang dingin itu untuk membasahi kerongkongannya yang haus, lalu baru menikmati makanannya secara tenang.

Dan memang masakan restoran "Tiang-an" hebat sekali. Ceng-Bi yang biasa hidup di gunung dan makan makanan sederhana, kini tiba-tiba dirangsang nafsu makannya sehingga semua dengan di atas meja hampir tersapu bersih! Tentu saja hal ini membuat beberapa tamu terbelalak, namun Ceng Ei tidak perduli. masakan itu dia dapat dengan membayar, untuk apa sungkan. Apalagi perutnya sejak semalam dibiarkan kelaparan. Maka gadis inipun tidak kikuk dalam menyambar hidangan di atas meja.

Ceng Bi memang gadis yang masih polos untuk ukuran kota, maka semua basa-basi orang kota tidak dikenalnya. Dan lagi, seumpama dia kenalpun tentu tidak akan diambil pusing! Karena itu, walaupun pesanan di atas meja termasuk porsi "besar" akan tetapi Ceng Bi yang keruyukan perutnya tidak ambil perduli. Yang penting saat ini adalah makan, dan masalah habis atau tidak hidangan di atas meja itu, inilah tergantung perutnya. Kalau dia masih lapar, makanlah kalau tidak, ya sudahlah. Inilah didikan ayahnya yang paling benci terhadap kepura-puraan sikap manusia. Oleh sebab itu, Ceng Bi-pun juga tidak menyembunyikan rasa laparnya ini dan masalah tanggapan orang lain, baginya adalah persetan.

Akhirnya, setelah dia kenyang betul gadis itu lalu menyusut mulutnya yang berminyak dengan saputangan. Ceng Bi tampak puas, dan masakan kota ini benar-benar dinikmatinya. Sekarang dia mulai teringat keadaan sekeliling, dan juga pemuda bercaping rendah yang menyembunyikan sebagian besar wajahnya itu. Akan tetapi ketika Ceng Bi menoleh ke meja di samping kirinya itu ternyata orang yang dirnaksud tidak ada lagi.

Ceng Bi merasa heran, dan diam-diam juga terkejut. Apakah saking asyiknya dia makan tadi tidak mengetahui perginya pemuda bermata naga itu? Ataukah laki-laki yang sikapnya tenang itu yang bergerak cepat sehingga lolos dari perhatiannya? Ceng Bi tidak dapat menjawab dan gadis ini tiba-tiba merasa seperti kehilangan sesuatu. Dia tidak tahu, apakah yang hilang ini. Akan tetapi, semenjak senyum sekilas dari pemuda aneh itu menyambar dirinya, gadis ini merasa berdebar jantungnya. Sesuatu yang ganjil menarik perhatiannya. Ceng Bi tidak tahu, apakah itu. Namun kepergian yang amat misterius dari laki-laki itu mernbuat dia tidak nyaman.

Ceng Bi menjadi jengkel dengan perasaan anehnya ini, sama sekali tidak mengenal laki-laki mengapa harus pusing? Kalau orang itu pergi kenapakah? Kalau tidak pergi juga kenapakah? Ceng Bi marah-marah terhadap dirinya sendiri dan gadis ini berusaha melenyapkan perasaannya yang dianggapnya tidak wajar itu. Akan tetapi aneh. Senyum sekilas dan wajah tampan serta sinar mata yang mencorong sedemikian tajamnya itu membayang saja di pelupuk matanya. Ceng Bi uring-uringan dan pada saat dia sedang mencaci diri sendiri itu tiba-tiba di luar jendela rumah makan berkelebat tiga buah bayangan.

Gadis ini terkejut dan cepat dia menoleh. Tiga orang laki-laki berwajah hitam tahu-tahu berdiri di muka jendela. Mereka memandangnya dengan sinar mata dingin dan orang di depan mengangkat tangannya. "Nona, kaukah adik Ceng Han?"

Pertanyaan tiba-tiba ini mengejutkan Ceng Bi. Sejenak gadis itu terbelalak, dan disebutnya nama Ceng Han ini membuat hati gadis ltu berdebar. Dia tidak mengenal tiga orang ini, dan ketika orang pertama itu berbicara sambil mengangkat tangannya, Ceng Bi meiihat sebuah gelang berwarna merah seperti darah melingkar di pergelangan tangannya. Ceng Bi menjadi waspada, Sinar mata orang yang dingin dan tampak tidak bersahabat membisikkan suatu ancaman baginya. Namun, karena laki-laki muka hitam itu menyebut nyebut nama kakaknya Ceng Bi lalu bangkit berdiri dengan sikap berhati-hati.

"Sam-wi (tuan bertiga) siapakah? Ada hubungan apa menyebut-nyebut nama kakakku? Aku memang betul adik Ceng Han-ko. Tidak tahu, ada maksud apakah sam-wi mencariku?" Ceng Bi lain menjawab pertanyaan orang dari gadis ini memandang tiga orang laki-laki bermuka hitam itu ganti-berganti.

Si laki-laki pertama tertawa dingin. "Bagus, kalau begitu kau adalah Ceng Bi, bukan? Nona, kakakmu sedang berada di markas kami. Kalau kau ingin menengoknya, harap pergi ke hutan sebelah timur. Pangcu tidak bolehkan kami terlalu lama di sini. Karena itu, kalau kau sudah siap silahkan nona datang di Hiat-goan-pang (Perkumpulan Gelang Berdarah)!"

Ceng Bi terkejut dan sebelum ia berkata sesuatu, tiga orang di muka jendela itu tiba-tiba berkelebat lenyap. Tentu saja Ceng Bi tidak mau membiarkan orang berlalu begitu saja dan sekali dia mengeluarben seruan keras, dia ini telah melayang kearah jendela. Dan tampaklah tiga orang laki-laki bermuka hitam ini bergerak ke arah Timur. Ceng Bi tidak mau membuang waktu dan sekali totolkan kaki gadis mengerahkan ginkangnya mengejar orang-orang Hiat-goan-pang itu. Gerakannya cepat, luncuran kakinyapun ringan dan tiga orang laki-laki bermuka hitam yang tadi bergerak mendahului itu sebentar saja hampir ditangkapnya.

Tentu saja mereka terkejut dan laki-laki pertama membentak nyaring sambil melemparkan belasan senjata rahasia berupa gelang-gelang kecil berwarna merah. Benda-benda ini menyarnbar tubuh Ceng-Bi dari atas ke bawah, namun puteri Ciok-thouw Taihiap itu tertawa mengejek. Lengan kirinya diputar dan sekali dorong maka belasan senjata rahasia itu tersampok runtuh seperti disapu angin puyuh!

Hal ini membuat tiga orang itu berseru kaget dan dalam waktu yang hampir berbareng laki-laki kedua dan ketiga serentak menggerakkan tangan masing-masing menyerang dengan senjata seperti rekannya tadi. Kini puluhan gelang berkerinting nyaring menghujani Ceng Bi dan gadis itu menjadi gusar.

"Manusia-manusia curang, berani kalian main gila dihadapan nonamu? Hemm, kalau begitu kalian pantas dihajar!" Ceng Bi membentak dan kalau tadi dia hanya menyampok runtuh, dan sekarang gadis ini melompat tinggi ke atas lalu menyambar tiga gelang terakhir untuk disambitkan ke arah tiga orang laki-laki bermuka hitam.

Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba terdengar seruan perlahan dari seseorang tak dikenal, "Nona, jangan pegang gelang itu. Mereka beracun....!" dan tepat saat tangan kanan gadis ini hampir menyentuh tiga gelang terakhir, sekonyong-konyong tiga sinar hitam melesat dari sebelah kiri gelang-gelang kecil itu.

"Tak-tak-takk!"

Tiga gelang yang hendak ditangkap Ceng Bi hancur berantakan dan gadis itu terkejut bukan main. Tangannya ditarik mundur dan Ceng Bi berjungkir balik dengan muka pucat. Kelihaian sinar hitam yang membentur gelang kecil sungguh luar biasa, namun peringatan orang tak dikenal lebih mengejutkanya lagi. Ceng Bi terbelalak, dan tiga orang lawannya telah lenyap dalam sekejap. Gadis ini tertegun, dan memandang sekeliling dengan keringat dingin.

Peringatan tadi memang tampaknya tidak bohong, karena ketika jari tangannya hampir menyentuh gelang, tiba-tiba rasa gatal menjalar di kulitnya. Karena itu, gadis ini lalu memeriksa tangannya dan dengan hati terkesiap Ceng Bi melihat adanya totol-totol merah di ruas jarinya. Tentu saja gadis ini terkejut dan pada saat itu tiba-tiba sebuah benda putih menyambarnya. Ceng Bi hendak mengelak namun sebuah suara halus mencegahnya,

"Nona, ini obat untukmu. Terimalah dan jangan terlalu bercuriga kepadaku!"

Ceng Bi tidak jadi mengelak dan bungkusan putih itu disambutnya. Benar saja, isinya memang obat dan karena suara itu juga adalah suara yang pertama, gadis ini tidak ragu-ragu lagi untuk memakainya. Ditaburkannya bubuk putih berbau harum itu dan sekali usap, totol-totol merah di ruas jarinya hilang. Gadis itu menjadi kagum dan cepat dia memandang ke kiri. "Sahabat yang bersembunyi, harap keluarlah. Aku hendak menyampaikan terima kasihku yang tak terhingga kepadamu...!" Ceng Bi herseru nyaring namun orang yang dimaksud tidak mau muncul.

Ceng Bi menarik nafas panjang, dan setelah tiga kali dia mengulang seruannya tetap saja tidak berhasil, gadis ini lalu menjura ke tempat itu dan berkata dengan mendongkol. "Sahabat yang tinggi hati, karena kau tidak mau menerima ucapan terima kasihku maka biarlah aku berlutut sehari penuh di sini agar tidak terikat budi!" dan gadis itu lalu benar-benar menjatuhkan diri dan berlutut.

Tentu saja hal ini amat aneh, namun Ceng Bi memang bersungguh-sungguh. Tidak biasa baginya untuk menerima budi orang lain begitu saja, maka diapun tidak mau sudah. Hal ini ada kaitannya dengan nasehat ayahnya tentang watak manusia, dimana biasanya mereka suka mengungkit-ungkit masalah budi jika orang yang bersangkutan sudah tidak disukai. Apalagi kalau terjadi pertentangan antara si pelepas budi dengan si penerima budi, maka biasanya si penerima budi lebih tertekan hatinya dalam masalah ini.

"Oleh sebab itu, Bi-ji," demikian ayahnya bicara. "Apabila kau mendapat hutang demikian, lebih baik secepatnya kau lunasi saja. Kebanyakan manusia merupakan mahluk yang amat palsu dan semua sikapnya terhadap kita tidak ada yang jujur. Memang tidak semuanya begitu, akan tetapi sebagian besar diantara mereka adalah orang-orang demikian. Maka, berhati-hatilah terhadap segala macam hutang yang kauterima karena sekali kita diikat hal-hal semacam ini, kebebasan kitapun seakan-akan sudah dibelinya!"

Itulah nasihat ayahnya tentang segala macam bentuk hutang, terutarna hutang budi, dan Ceng Bi memang selalu mengingat-ingat nasehat ini. Apalagi kalau mendapat hutang dari seseorang yang belum dikenal, gadis itu amat berhati-hati sekali. Dan sekarang, karena dia mengalami hal semacam itu dan si orang tak dikenal tetap tak mau unjukkan diri, Ceng Bi melakukan "pembayaran" yang amat aneh sifatnya itu. Memang ganjil sekali watak gadis ini, akan tetapi kalau diingat dia adalah puteri Ciok-thouw Tai-hiap maka kejadian itu agaknya dapat dimaklumi.

Ceng Bi memang tidak main-main, dan dia benar-benar berlutut di tempat itu. Di samping untuk menepati kata-katanya, juga sekaligus untuk menguji apakah si penolong rahasia itu ternpasuk orang baik-baik ataukah bukan. Kalau orang baik-baik, tentu tidak akan membiarkan dia daim keadaan begini, apalagi kakaknya jelas sedang membutuhkan bantuan. Akan tetapi, kalau orang itu bukan orang baik-baik maka dia dapat menentukan sikap dan semua pertolongannya tadi tentu menyernbunyikan maksud yang tidak murni. Dan orang yang demikian adalah orang yang tidak periu dihargai.

Betul saja. Baru beberapa saat Ceng Bi berlutut, tiba-tiba seseorang muncul sambil tertawa getir dan menegurnya, "Nona, untuk apa kau melakukan perbuatan yang amat aneh ini, Kakakmu sedang membutuhkan pertolongan, ditawan orang-orang Hiat-goan-pang. Bagaimana kau tidak cepat pergi menolongnya?"

Ceng Bi berseri girang dan seketika gadis itu mengangkat mukanya. Dia mengenal suara ini yang bukan lain adalah suara penolongnya namun ketika gadis ini memandang, Ceng Bi lebih terkejut lagi dan berseru tertahan. "Kau....?"

Kata-kata ini berhcnti di tengah jalan dan Ceng Bi terbelalak. Orang itu menganggukkan kepalanya dan dengan senyum pahit dia menjawab, "Benar, akulah ini. Mengapa nona?"

Ceng Bi tak dapat mengeluarkan suara dan sedetik gadis itu tertegun. Kenapakah? Karena orang yang dillatnya ini bukan lain adalan si pemuda bercaping rendah yang memiliki sepasang mata naga! Tentu saja gadis itu terkejut dan tiba-tiba hatinya terguncang. Ceng Bi memang sama sekali tidak mengira bahwa orang yang telah menolongnya ini adalah pemuda di rumah makan Tiang-an itu. Dan kalau tadinya dia belum melihat bentuk tubuh orang secara nyata karena pemuda itu duduk dimeja makannya, adalah sekarang Ceng Bi dapat menyaksikan decara jelas dan diam-diam gadis ini kagum bukan main.

Ternyata selain tegap juga pemuda ini memiliki tubuh yang tinggi besar. Sepasang lengannya tampak kokoh dan dadanya yang bidang itu lebar sekali, menyangga sebatang leher yang nampak kuat seperti pilar sebuah benteng. Dan melihat bentuk tubuh yang tinggi besar ini seketika mengingatkan Ceng Bi akan twa-suhengnya sendiri yakni Lek Hui yang sudah turun gunung pada bulan yang lalu.

Oleh sebeb itu, karena tidak menyangka bahwa ‗sahabat yang tinggi hati‘ ini bukan lain adalah pemuda yang diam-diam membuat perasaannya tidak karuan dengan senyumannya yang sekilas itu, Ceng Bi terbelalak dengan bulu mata terangkat. Dan pemuda itupun memandangnya dengan penuh perhatian, lalu mengalihkan perhatian setelah menindas debaran jantungnya ditatap mata yang demikian jeli dan indah itu.

"Nona," demikian pemuda yang gagah perkasa ini kembali membuka suara, "Apakah kehadiranku terampau mengejutkanmu? Kalau begitu baiklah aku pergi. ucapan terima kasihmu telah kuterima dan harap kau tidak berlutut lagi seperti tadi. Kakakmu membutuhkan bantuan secepatnya, maka kau harus segera menolongnya. Kalau tidak, orang-orang Hiat-goan-pang mungkin akan membunuh kakakmu itu. Nah, aku pergi dulu dan ini buntalan yang kau tinggalkan di rumah makan Tiang-an. Rekening makanpun tidak perlu kau pikirkan karena aku telah memberikan kelebihan pada kasir di sana dan harap secepatnya kau pergi membebaskan kakakmu itu. Selamat tinggal…..!" Pemuda itu membungkukkan tubuh menjura di depan Ceng Bi lulu pergi dengan tenang setelah gadis itu menerima buntalannya.

Ceng Bi terbelalak, dan tiba-tiba gadis ini berseru gugup, "Sahabat, eh.... twako (kakak), tunggu dulu! aku hendak bertanya sesuatu!" Gadis itu melompat dan pemuda tinggi besar ini berhenti.

"Ada apakah, nona?" tanyauya dengan sikap heran.

Ceng Bi memandang dengan muka merah, akan tetapi segera gadis itu dapat melenyapkan rasa likatnya. Tadi ia memang berdebar jengah dan agak kikuk, namun setelah orang ini bicara tentang nasib kakaknya, Ceng Bi lalu memandang pemuda itu dengan sinar mata tajam.

"Twako, kau siapakah sebenarnya? Bagaimana bisa tahu bahwa kakakku ditangkap orang-orang Hiat-gown-pang? Dan mengapa pula kau berbaik hati dengan menolongku dari gelang-gelang beracun itu serta membayar makananku di restoran Tiang-an?"

Pertanyaan ini jelas diucapkan dengan rasa curiga dan pemuda itu menarik napas panjang. "Nona," jawabnya tenang. "Masalah siapa sebenarnya aku barangkali tidak perlu dipersoalkan. Cukup kalau nona mengetahui bahwa aku adalah orang she Yap. Dan mengenai bagaimana aku bisa tahu kakakmu ditangkap orang Hiat-goan pang, bukan lain adalah dari pembicaraan tiga orang tadi di muka jendela restoran yang sempat kutangkap. Kemudian kalau nona bertanya mengapa aku berbaik hati, aihh.... siapa yang berbaik hati? Aku hanya tidak suka melihat orang-orang Hiat-goan-pang mengganggumu."

"Hem, kenapa?" Ceng Bi mendesak dengan pandangan menyelidik.

Pemuda itu tersenyum. "Karena kau adalah sumoi saudara Lek Hui yang cukup kukenal baik."

Ceng Bi terkejut dan gadis ini tercengang. "Eh, dari mana kau bisa tahu?" serunya heran.

"Dari ucapan tiga orang Hiat-goan-pang yang mengganggumu tadi."

Jawaban singkat ini membuat Ceng Bi terbelalak dan gadis itu kembali tumbuh kecurigaannya. Seingatnya tiga orang bermuka hitam itu sama sekali tidak menyebut-nyebut nama twa-suhengnya, lalu bagaimana pemuda ini bisa tahu? Karena itu Ceng Bi tidak menyembunyikan keheranannya ini dan dengan hati-hati ia bertanya, "Sahabat she Yap, penjelasanmu ini tidak memuaskan hatiku. Kau bilang bahwa pembicaraan tiga orang bermuka hitam itu telah kau tangkap, padahal mereka sama sekali tidak menyinggung-nyinggung nama twa-suheng. Lalu bagaimana kau bisa bilang begitu?"

Pemuda ini menarik napas panjang. "Nona? jawabnya sungguh-sungguh. "Memang betul bahwa mereka tidak menyebut-nyebut nama suhengmu itu. Akan tetapi bukankah mereka menyebutkan bahwa engkau adalah puteri Ciok-thouw Taihiap locianpwe? Dan mengingat bahwa saudara Lek Hui yang gagah perkasa juga murid pendekar sakti itu, maka mudahlah diduga kalau kaupun pasti sumoinya, melihat usiamu yang jauh lebih muda. Nah, jelaskah sekarang?"

Pemuda itu memandang dan muka Ceng Bi menjadi merah. Keterangan ini diucapkan dengan sungguh-sungguh, maka semua kesangsian gadis itupun lenyaplah. Ceng Bi menjadi malu sendiri dan dengan jujur ia lalu menjura sambil berkata, "Yap-twako, harap kau maafkan kecurigaanku. Bukannya aku tidak percaya, namun nasihat ayah agar selalu berhati-hati di dalam dunia kang-ouw, mungkin telah membuat hatimu tidak senang. Oleh sebab itu maafkanlah, twako, dan harap kau tidak kecil hati!"

Gadis ini membungkulkan tubuhnya dan pemuda itu tersenyum. Namun hanya sekejap saja senyum ini timbul karena segera pemuda itu menjadi muram seperti semula seolah-olah sedang memikirkan suatu urusan berat...


Pendekar Kepala Batu Jilid 02

PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 02
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Kepala Batu
SEMUA pikiran ini membuat Lek Hui akhirnya tidak bekerja sendiri, dan oleh Kou Cien pemuda itu lalu diangkat sebagai pengawal pribadinya. Dan kedudukan ini memang tepat, apalagi setelah pangeran itu tahu bahwa raksasa muda ini adalah murid Ciok-thouw Taihiap yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw pada belasan tahun yang lalu!

Inilah sekelumit ceritera tentang Lek Hui, yang sebenarnya dapat anda ikuti dalam ceritera. Pendekar Gurun Neraka. Dan tentang Ceng Bi, si gadis baju merah di atas puggung kuda itu, iapun mempunyai ceritera tersendiri. Kemurungannya hari itu bukan lain karena disebabkan watak ayahnya itu henelak menjodohkan dirinya dengan pemuda yang tidak dikenalnya!

Tentu saja hat ini membuat gadis itu menentang. Ceng Bi marah-marah dan ayahnya juga naik darah. Ciok-thouw Taihiap memang orang yang amat keras, maka sekali dia memutuskan sesuatu yang dirasanya baik hal itu akan dipegangnya teguh.

"Bi-ji (anak Bi), Kim Bok bukanlah pemuda sembarangan. Dia adalah putera tunggal Bu-tiong-kiam Kim Seng. Orang ini baik, dan aku percaya penuh akan wataknya. Bahkan kalau tidak ada dia, barangkali ayahmu ini sudah tewas dalam luka-luka yang parah ketika terjadi pengeroyokan manusia-manusia curang pada belasan tahun yang lalu. Dan orang inilah yang menolongku dari maut, dia pendekar pedang yang amat kukagumi. Ilmu pedangnya Bu-tiong Kiam-sut (Ilmu Pedang dalam Kabut) sungguh belum ada tandingannya. Dia patut digelari Si Raja Pedang! akan tetapi dia menotak karena tidak mau menonjolkan diri. Bu-tiong-kiam memang orang rendah hati dan wataknya yang amat halus ini menarik hatiku. Maka berbesan dengan orang seperti itu sungguh merupakan satu hal yang amat baik sekali! Masa kau menolak?"

Dernikian ayahnya muiai bicara ketika Ceng Bi marah-marah. Gadis ini belum mempunyai niat menikah, maka mendengar ayahnya membujuk tentang hal itu, gadis ini segera menggelengkan kepalanya. "Ayah, aku tidak dapat menerima keputusanmu ini. Aku tidak dapat menikah sekarang dan aku ingin tetap bersamamu!" begitu mula-mula Ceng Bi menjawab dan ayahnya tertawa.

"Bi-ji, kalau itu yang kau kehendaki maka hal ini mudah diatur. Pernikahan boleh diundur dan diresmikan dengan pertunangan dulu, bukankah ini akan membuatmu tetap di samping ayah? Kau sudah cukup dewasa dan tentunya harus dapat menerima berita ini dengan gembira. Bu-tiong-kiam sendiri telah datang padaku dan dalam waktu satu bulan ini dia akan datang kembali bersama puteranya. Kau boleh lihat calon suamimu itu dan kutanggung kau pasti suka. Ha-ha!"

Ciok-thouw Taihiap tertawa akan tetapi puterinya tampak terkejut. Gadis ini tidak menyangka bahwa ayahnya sudah saling bicara dengan-pihak Bu-tiong kiam, karena dia tidak tahu kapan pendekar pedang itu datang. Rupanya tokoh itu menyelinap secara diam-diam atau memang ayahnya yang sengaja tidak memberi tahu. OLeh sebab itu, Ceng Bi menjadi pucat dengan kenyataan ini. Ayahnya orang yang amat keras dan dia kenal baik akan sifat ayahnya itu. Sekarang, setelah ayahnya tampak setuju dan Bu-tiong-kiam (Si Pedang Dalam Kabut) sendiri akan datang bersama puteranya dalam waktu dekat ini, Ceng Bi benar-benar gelisah.

"Ayah, aku aku belum niat menikah dengan siapapun dan aku juga tidak mau menjadi isteri Kun Bok!"

Orang tua itu menghentikan tawanya dan tiba-tiba sikapnya kelihatan bengis. "Bi-ji!" bentaknya marah. "Apa yang kau katakan ini? Ayah sudah saling terima dengan Bu-tiong-kiam dan kau akan hidup bahagia di samping pemuda itu. Kenapa menolak? Kun Bok bukan pemuda sembarangan, dan ilmu pedangnya hampir menyamai tingkat ayahnya sendiri. Dibanding twa-suhengmu Lek Hui, barangkali mereka setingkat. Nah, kenapa menentang? Hidup di bawah lindungan calon gak-hu-mu (mertua laki-laki) itu sama seperti kalau kau kidup di bawah lindunganku! Mengapa harus cerewet?"

Ceng Bi mulai menangis dan seperti biasa, ayahnya yang keras hati itupun lalu luluh kemarahannya melihat puteriaya ini terisak-isak. Biar bagaimanapun juga Ceng Bi adalah puteri tunggalnya, dan pendekar besar itu amat mencintainya. Dan saking cintanya inilah maka Ciok-thouw Taihiap selalu memikirkan kebahagiaan puterinya di masa depan. Masa remaja gadis ini diam-diam membuat pendekar itu harus berpikir keras.

Ceng-Bi adalah satu-satunya anak perempuan yang amat disayang, karena itu, memikirkan siapa kelak calon jodoh anaknya ini membuat hati Ciok-thouw Taihiap gelisah. Sebagai pendekar besar, tentu saja dia tidak mau kalau anak gadisnya mendapat suami yang tidak becus. Musuh-musuh mereka banyak, dan untuk ini harus dicari seorang pemuda yang memiliki kepandaian jauh lebik tinggi dari puterinya sendiri, setidak-tidaknya harus setingkat. Dan untuk hal calon jodoh yang dicari rupanya sukar.

Kepandaian Ceng Bi sekarang sudah tinggi sekali, dan ia hanya setingkat di bawah kepandaian twa-suhengnya. Diukur sepintas lalu, puterinya itu sudah dapat diandalkan untuk menghadapi jago-jago kelas satu dan dia tidak perlu khawatir. Akan tetapi, mengingat bahwa golongan hitam biasanya tidak segan-segan melakukan kecurangan maka puterinya ini harus dijaga oleh suami yang benar-benar dapat dipercaya. Dan untuk itu dia harus berusaha.

Maka sungguh kebetulan bahwa pada saat dia sedang bingung memikirkan siapa kelak calon suami bagi puterinya, tiba-tiba Bu-tiong-kiam datang berkunjung. Dan lehih kebetulan lagi bagi pendekar besar ini ketika sahabatnya itu menyatakan maksud kunjungannya yang bukan lain hendak mengusulkan niat perjodohan!

Tentu saja Ciok-thouw Taihiap girang sekali dan sekaligus dia merasa mendapatkan jawaban. Bu-tiong-kiam adalah jago pedang yang belum terkalahkan, dan sahabatnya ini memang amat lihai. Dia sendiri tidak berani membandingkan, siapakah yang lebih hebat antara dirinya dengan pendekar pedang itu.

Hanya saja, karena Bu-tiong-kiam tidak suka menonjolkan diri, maka nama besarnya di dunia kang-ouw memang kalah tenar olehnya. Akan tetapi hal ini bukan berarti pendekar pedang itu di bawah tingkatnya. Tidak, bahkan menyaksikan ilmu pedangnya yang Slat luar biasa, Ciok-thouw Taihiap yang biasanya agak tinggi hati itu tidak berani merendahkan.

Bu tiong-kiam bukan orang sembarangan, apalagi orang ini pernah melepas budi kepadanya, maka Ciok-thouw Taihiap tidak berani sembarangan meneirima tamunya itu. Dan maksud pendekar pedang ni yang hendak menjodohkan puteranya dengan Ceng Bi sungguh membuat Ciok-thouw Taihiap seperti mendapat anugerah besar! Spontan dia setuju dan malam itu mereka merayakan hari kebahagiaan ini sambil tertawa gembira.

Dan keesokan harinya, karena pendekar pedang itu tidak mau dilihat orang lain, Bu-tiong-kiam telah kembali ke tempat tinggalnya setelah berjanji akan datang lagi satu bulan kemudian bersama putera tunggalnya. Dan hal yang menggembirakan ini segera diberitahukan pada puterinya, dengan harapan Ceng Bi suka menerima dan tidak banyak bicara. Siapa tahu, penolakan anak gadisnya ini membuat pendekar itu terkejut.

Akan tetapi, karena alasan Ceng Bi masih belum mau berpisah dengannya dan ikut sang suami, Ciok-thouw Taihiap agak lega. Kalau begini, masalah pernikahan gampang diatur dan yang panting ialah mengurus secepatnya ikatan itu dalam bentuk pertunangan, Oleh sebab itu, pendekar ini lalu membujuk puterinya dengan halus dan perlahan-lahan.

Namun sungguh tak diduga. Watak keras hatinya ternyata juga "menempel" pada diri anak perempuannya ini dan sekarang Ceng Bi menyatakan bahwa penolakannya itu bukan karena masih ingin dekat orang tua, melainkan karena ia memang belum niat menikah! Ceng Bi masih ingin bebas, dan gadis itu malah membujuk ayahnya agar rencana ini dibatalkan saja!

"Ayah, aku belum memikirikan rumah tangga, dan Kim Bok sendiri juga belum kukenal sebagai pemuda macam apa. Bagaimana kalau aku tidak suka? Tidak, ayah, aku masih ingin bebas dan biarlah kelak apibila aku sudah berninat hal ini pasti kuberitahukan padamu. Pembicaraan tentang jodoh ini harap dibatalkan saja dan anggap bahwa ayah dan locianpwe Bu-tiong-kiam sedang main-main."

Ciok-thouw Taihiap mendelik. Ucapan puterinya yang mengatakan bahwa pembicaraan jodoh itu harap dianggap saja sebagai "main-main" sungguh membuatuya marah bukan kepalang. Pendekar ini menggebrak meja dan bentakannya yang mengguntur benar-benar menunjukkan kemarahannya yang amat sangat.

"Bi-ji, omongan apa ini? Bagaimana kau bisa menasihati ayahmu agar pembicaraan jodoh yang sudah sama-sama disetujui dianggap sebagai main-main? Aih, anak kurang ajar, kalau tidak ingat kau adalah puteriku sendiri tentu mulutmu itu sudah kutampar pecah!"

Ciok-thouw Taihiap marah-marah dan Ceng Bi yang tadi menangis itu kini menghapus air matanya. Gadis ini juga menjadi marah karena ayahnya bersikap mernaksa, dan dampratan ayahnya yang kasar itu membuat hatinya sakit sekali. Belum pernah ayahnya ini bersikap seperti itu, maka Ceng Bi tak dapat menahan diri.

"Ayah!" katanya lantang. "Kenapa kau begini memaksa? Perjodohan bukan kau yang mengalami, melainkan aku. Bagaimana kalau aku tidak suka? Bagaimana kalau aku tidak cinta kepada pemuda pilihanmu itu? Tidak, ayah, aku menolak maksudmu yang tidak adil ini dan biarlah kelak aku memilih sendiri! Kalau nanti aku suka kepada Kim Bok, bolehlah rencana ini dilanjutkan. Tapi kalau nanti aku tidak suka maka tidak seharusnya ayah memaksa. Aku bukanlah boneka yang dapat diatur kian kemari sesuka hati!"

Ucapan ini seperti minyak disiramkan dalam api bagi Ciok-thouw Taihiap dan muka pendekar itu menjadi merah sekali. "Bi-ji!" bentaknya geram. "Apakah kau hendak meliar dan menjadi gadis binal? Baik-baik ayahmu mencarikan jodoh, akan tetapi kau tidak tahu diri! Siapa yang mengajarimu sikap seperti ini? Kun Bok adalah pemuda yang patut menjadi calon suamimu, dan masalah suka atau tidak suka, bagaimana kau bisa bicara? Di dunia ini banyak terjadi perkawinan yang tadinya tidak saling kenal dan akhirnya merekapun dapat hidup bahagia! Kenapa membantah? Dan tentang pilihan sendiri, hemm, siapa berani menjamin hidupnya bakal bahagia? Tidak, Bi-ji, kau masih terlalu hijau untuk mengartikan rasa suka sebagai cinta atau sebaliknya dan ayahmu tidak mungkin keliru mencarikan calon menantu! Apalagi yang kucarikan ini adalah putera tunggal Bu-tiong-kiam Kun Seng yang sudah kukenal wataknya dengan baik. Tidak, kau tidak boleh menolaknya dan ayahmu berdua telah menyepakati hubungan ini. Atau, apakah kau hendak merusak nama baik ayahmu?"

Sepasang mata pendekar ini berapi-api dan Ceng Bi terbelalak. Sikap ayahnya ini semakin keras saja dan gadis itu menjadi pucat. Akan tetapi dia adalah puteri Ciok-thouw Taihiap (Pendekar Kepala Batu) dan slat-sifat "kepala batu" begini juga diwarisinya. Oleh sebab itu, melihat ayahnya bersikeras memegang pendirian dia sendiri, Ceng Bi yang merasa tidak puas dan amat kecewa dengan sikap ayahnya ini juga semakin marah. Memang dia sering membantah ayahnya maka kali inipun gadis itu tidak mau menyerah. Ayahnya biasanya amat sayang kepadanya dan kalau mereka sudah sama-sama bersitegang leher, biasanya ayahnya ini mengalah dan tidak banyak bicara.

Karena itu, meskipun tahu bahwa ayahnya marah, Ceng Bi sama sekali tidak takut dan dengan hati tabah dia berseru, "Ayah, aku tetap tidak mau dipaksa untuk menjalankan perjodohan ini! Kau terlalu berat sebelah, memikirkan kepentingan diri sendiri tanpa menghiraukan perasaanku. Bagaimana ayah bisa melakukan hal itu? Tidak, ayah, aku tidak setuju dan kalau ayah nekat, biar aku minggat saja dari rumah. ini!"

Pendekar besar itu tak dapat menahan diri lagi dan kemarahannya kali ini memang benar-benar sudah memuncak. Tak dapat disangkal bahwa biasanya dia suka mengalah terhadap puteri satu-satunya ini yang amat disayang, akan tetapi itu bukan untuk hal-hal yang bersifat serius. Sekarang, dalam persoalan yang amat penting ini, bagaimana puterinya itu berani membantah?

Sudah umum di jaman itu bahwa perkawinan biasanya dipegang orang-orang tua, dan jarang sekali ada pasangan yang menikah atas kehendaknya sendiri. Dan Bangsa Tiongkok, yang memang patuh terhadap "Hauw" atau Bakti terhadap orang tua, tidak berani melanggar pantangan ini. Karena itu, pendekar ini menggereng marah dan sekali tangan kanannya bergerak, pipi Ceng Bi ditamparnya.

"Plakk…!"

Ceng Bi mengeluh dan gadis itu roboh terpelanting. Dengan kaget sekali gadis ini menjerit kecil dan dengan pipi bengap, ia cepat melompat bangun. Sejenak matanya terbelalak seperti orang mendapat mimpi buruk, akan tetapi setelah beradu Pandang dengan sinar mata ayahnya yang berapi-api, gadis itu lalu menutupi mukanya sambil menangis tersedu-sedu. Selama hidup, belum pernah ayahnya itu menamparnya. Maka peristiwa ini benar-benar membuat Ceng Bi terpukul perasaannya. Karena itu sambil menangis gadis ini lalu menjerit sedih.

"Ayah, kenapa tidak kau bunuh saja aku? Kenapa tidak kau remukkan saja kepalaku? Bunuhlah aku, ayah bunuhlah biarlah aku menyusul ibu... biarlah aku menyusul ibu, ohh... huh-huh-hukk!"

Ceng Bi menangis sampai terguncang kedua pundaknya dan Ciok-thouw Taihiap tertegun. Setelah sekarang dia melampiaskan kemarahannya, gelora di dalam dadanya reda kembali dan diam-diam pendekar itu merasa menyesal. Ratapan puterinya memang dapat dimaklumi, karena dia sendiri belum pernah sampai bertindak demikian keras.

Akan tetapi, karena dia tidak mau gadis ini besar kepala lagi, maka Ciok-thouw Taihiap tidak beranjak dari tempatnya. Biasanya kalau sudah menangis begini Ceng Bi akan dirangkul dan di hiburnya sebagai pernyataan maaf. Namun kali ini pendekar itu tidak mau melakukannya. Dia tetap berdiri dan meskipun sinar matanya sudah melunak, akan tetapi wajah orang tua ini tetap keruh.

Puterinya ini memang sekali-kali harus diajar adat, maka dia membiarkan saja gadis itu tersedu-sedu. Sejenak ketegangan menjadi berkurang dan pintu ruangan tiba-tiba dibuka orang dari luar. Seorang pemuda berbaju putih melangkah dan wajahnya yang tampan tampak terkejut.

"Ayah, ada apakah? Kenapa Bi-moi menangis?"

Ciok-thouw Taihiap memutar tubuh dan memandang pemuda itu dengan alis terangkat, "Han-ji (anak Han), tidak usah kau tanya tentang hal ini. Lebih baik sekarang bawa adikmu itu ke Ruang Samadhi dan kurung dia selama tiga hari! Awas, tutup pintunya rapat-rapat dan jaga dia jangan sampai melarikan diri!"

"Ahh…!" pemuda baju putih mengeluarkan seruan kaget namun ayahnya sudah keluar tanpa banyak cakap lagi. Tampak olehnya bahwa kemarahan besar meliputi wajah orang tua itu dan karena dia tidak tahu ada persoalan apa, maka pemuda ini mengangkat bahu.

Tidak biasa ayahnya bersikap demikian keras, dan kalau sampai adiknya ini disuruh kurung dalam Ruang Samadhi selama tiga hari, tentu telah terjadi sesuatu yang cukup serius antara ayah dan adik perempuannya itu. Akan tetapi, persoalan apakah? Pemuda ini tidak tahu dan dia hanya dapat menarik napas panjang.

Ayahnya telah memerintahkan agar dia membawa Gang Bi ke Ruang Samadhi, maka cepat pemuda itupun melaksanakan tugasnya. Adiknya masih menangis terus, namun ketika dibawa ke ruang hukuman itu Ceng Bi tidak mambantah. Dengan halus dan penuh kasih sayang, Souw Ceng Han, demikian nama pemuda itu yang merupakan putera partama Ciok-thouw Taihiap, manjaga adiknya dengan amat telaten.

Dan di dalam ruang inilah Chang Han lalu mendengar cerita adiknya tentang rencana perjodohan itu yang dihuat ayahnya bersama pendekar pedang Bu-tiong-ki-am dari Pegunungan Kun-lun. Tantu saja pemuda ini terkejut dan heran, akan tetapi segera dia sudah berseru girang sambil tertawa, "Aha, Bi-moi, selamat selamat! sungguh kau beruntung sekali! Mengapa malah, menangis?" dan pemuda itu lalu berdiri bersoja di depan adiknya yang dianggpnya mendapat hari bahagia ini.

Namun Cheng Bi tiba-tiba melotot dan gadis itu melompat bangun. "Han-ko!" bentaknya marah. "Apakah kaupun serupa ayah? Apakah kaupun menganggap aku ini sebuah boneka yang dapat dijadikan pengantin dan dipilihkan jodohnya begitu saja? Tidak, Han-ko, aku tidak sudi dipasangkan jodoh oleh siapapun juga dan kalau ayah memaksa biarlah aku membunuh diri untuk menolak keputusan yang amat berat sebelah ini!"

Ceng Han terkejut bukan main dan pemuda ini sampai terbelalak. Hebat ucapan adiknya itu dan kalau adiknya itu sudah bicara seperti itu, hal ini menandakan bahwa Ceng Bi tidak main-main dan tentu saja dia pucat. "Bi-moi, apa apa maksudmu?"

Ceng Bi melangkah maju. Melihat betapa kakaknya ini tampak terkejut thin menjadi pucat, itu melunakkan sikapnya. "Han-ko,' jawabnya sungguh-sungguh, "Kita berdua sekarang bukanlah anak-anak kecil lagi, masa kau tidak mengerti persoalan begini? Sekarang coba kita balik, anggap bahwa masalah jodoh adalah masalahmu. Nah, apa yang hendak kau lakukan? Calon isterimu belum pernah kau jumpai, belum pernah kau kenal, buruk wajah atau tabiatnya kau sama sekali tidak tahu, masih buta. Bagaimana penerimaanmu? Mau dengan begitu saja dijodohkan ayah seperti kerbau dicocok hidungnya? Sungguh tolol, iya kalau kebetulan kalian sama-sama suka. Akan tetapi kalau yang terjadi adalah sebaliknya, bukankah seumur hidup kau bakal celaka, bakal menderita? Nah, Han-ko, bagaimana jawabanmu tentang hal ini?"

Cang Han tertegun. Setelah sekarang persoalan itu "dibalik" adiknya untuk dia sendiri, pemuda ini memang terkejut sekali. Kata-kata adiknya tak dapat dia bantah, dan diam-diam dia merasa kagum kepada adik perempuannya ini yang dapat bicara sedemikian matang. Nyatalah kini oleh pemuda itu bahwa Ceng Bi memang benar-benar sudah dewasa dan gadis itu bukanlah anak kecil lagi yang dapat di "stir" sesuka hati. Oleh sebab itu, karena dia bahwa ucapan Ceng Bi memang mengandung kebenaran maka pemuda ini tak mampu membantah. Akan tetapi, karena Bu-tiong-kiam sendiri sudah cukup mereka kenal sifat-sifatnya yang gagah dan ramah, Ceng Han mencoba memperdebatkan hal ini.

"Bi-moi," Ceng Han mulai bicara. "Apa yang telah kau katakan tadi memang tak ada salahnya, namun hal ini agaknya tidak berlaku bagi keluarga Bu-tiong-kiam locianpwe. Kau tahu, bahwa Bu-tiong-kiam adalah seorang pendekar pedang yang baik dan rendah hati. Masa keturunannya tidak mewarisi watak ini? Walaupun Kun Bok memang belum pernah kita lihat rupau-nya, akan tetap jaminan watak ayahnya mungkin dapat kita andalkan. Dan ayah sendiri tentunya telah cukup berhati-hati untuk memilihkan jodoh bagimu, masa kita harus khawatir? Bi-moi, agaknya dalam hal ini kau terlalu berlebih-lebihan dan segala kekhawatiranmu itu sebenarnya kurang tepat kalau ditujukan kepada Bu-tiong-kiam locianpwe!"

Ceng Bi menarik muka mendengar debatan kakaknya itu dan gadis ini tampak gemas. "Han-ko" katanya uring-uringan, "Apakah watak seorang ayah akan betul-betul seratus prosen menurun pada diri anaknya? Apakah semua sifat-sifat baik dari orang tua sudah dapat dijadikan jaminan untuk mengukur sifat keturunannya? Kalau itu yang menjadi patokanmu, nah, sekarang lihat watakmu sendiri itu. Apakah kaupun juga benar-benar seperti ayah? Apakah kau tidak memiliki beberapa perbedaan dengan ayah? Dalam selera ruisalnya, dalam pendapat ataupun dalam perasaan? Apakah semuanya ini sama seperti benang dibelah dua? Begitukah? Kalau kau jujur dalam menjawab pertanyaan ini, maka kau pasti akan menjawabnya tidak! Memang tak dapat kita sangkal bahwa watak-watak keras ayah mengalir dalam tubuh kita, namun itu adalah garis besarnya. Dan untuk watak lain seperti cara berpikir ataupun berpendapat, kau malah sering menentang ayah. Buktinya, berapa hanyak murid yang sudah kau tolong dari hukuman ayah yang kelewat bertangan besi untuk kesalahan yang tidak seberapa? Banyak sekaIi! Dan ini menuajukkan bahwa biarpun sedikit, tetap saja kau tidak sama dengan ayah! Nah, Han-ko, berani sekarang kau memberikan jaminan bahwa dengan hanya melihat watak ayahnya lalu kita boleh berpikir bahwa anaknyapvn pasti sama dengan orang tuanya? Kalau kau ngotot dengan sanggahanmu yang memiliki kelemahan ini, berarti kau adalah orang yang mau menang sendiri saja dan untuk itu aku tidak sudi lagi berbicara denganmu!"

Ceng-Bi bicara dengan suara sengit dan bibir yang mungil itu bergerak gerak seperti beo ketemu kucing. Sepasang matanya bersinar-sinar dan gadis ini tidak menyembunyikan segala perasaan marahnya pada saat itu dan kakaknya dibakar terang-terangan. Tentu saja Ceng Han melongo, dan akhirnya pemuda itu tak dapat menahan geli hatinya lagi.

"Ha-ha-ha, Bi-moi. kau marah-marah seperti harimau diculik anaknya saja. Kepada siapakah? Kepada kakakmu ini? Aih, adikku yang minis, aku tadi hanya sekedar mengemukakan pendapat, bukan untuk menyerangmu habis-habisan, Kenapa harus naik darah? Bi-moi, aku tahu tentang itu semua dan tadi aku hanya ingin mengujimu untuk melihat sampai di manakah kematanganmu dalam berfikir. Aku tahu, bahwa ayah memang terlalu keras, dan aku pribadi kadang-kadang tak menyetujuinya. Akan tetapi, adikku, dalam masalah perjodohan aku melihat bahwa ayah bermaksud baik. Beliau hendak mencarikan pasangan yang setimpal untukmu, dan kalau kita lihat sepintas lalu memang agaknya putra tunggal Bu-tiong-kiam locianpwe itu sepadan denganmu."

"Hemm, kau hendak mendesakku untuk berjodoh dengan pemuda itu, Han-ko?" Ceng Bi mulai berapi kembali sinar matanya dan Ceng Han cepat-cepat menggoyang tangan sambil tertawa.

"Stop... stop, Bi-moi, jangan marah-marah! Aku hanya hendak mengatakan bahwa putera tunggal Bu-tiong-kiam locianpwe itu agaknya cukup nemenuhi syarat. Di samping ayahnya yang kita kenal, tentunya ayah juga sudah menyelidiki putera tuggalnya. Misalnya tindak- tanduknya dalam pergaulan, wajahnya maupun ilmu kepandaiannya. Kalau tidak, masa ayah mau menerima begitu saja!"

Ceng Bi mengerutkan alisnya, "Akan tetapi, koko, itu adalah menurut pandangan ayah. Dan apa yang dilihat ayah belum tentu sesuai dengan pandanganku, seperti juga pandanganku sendiri mungkin belum tentu sesuai dengan pandanganmu. Bagaimana berani memutuskan hal begini penting hanya sepihak saja. Tidak, Han-ko, aku tetap tidak setuju kalau ayah main paksa!"

"Hem, kalau begitu bagaimana kehendakmu?" Ceng Han mulai bersungguh-sungguh karena kalau adiknya ini benar-benar sampai bentrok dengan ayahnya yang berwatak keras itu, sungguh dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mereka berdua memang sama-sama berwatak keras, dan sekali terjadi pertentargan, tidak mustahil apabila adiknya ini sampai celaka di tangan ayah sendiri.

Ciok-thouw Taihiap adalah orang yang amat memegang teguh perjanjian dan harga diri, hal itu sudah amat dikenal baik oleh Ceng Han. namun adiknya inipun bukanlah orang yang gampang dibujuk. Sekali ia sudah mengambil keputusan, nyawanyapun berani dikorbankannya. Oleh sebab itu, diam-diam pemuda ini menjadi cemas.

"Han-ko," tiba-tiba Ceng Bi berkata dengan mata penuh selidik. "Kalau kau mau membantuku, kurasa persoalan ini dapat diambil jalan tengahnya. Hanya kau setuju atau tidak inilah aku tidak tahu."

"Hem, membantu bagaimana, ?"Ceng Han balas memandang adiknya dengan tajam karena ia merasakan adanya sesuatu di balik ucapan itu.

Ceng Bi memegang lengannya. "Han-ko, apakah kau sayang padaku?"

Pertanyaan manja dan agak menyimpang ini mau tak mau membuat pemuda itu tersenyum. "Bi-moi, kapan aku pernah menunjukkan sikap tidak sayang padamu? Kau adalah adikku, mengapa harus tidak disayang? Apalagi mempunyai adik secantik manis begini masa harus dibenci? adikku, kau ini aneh-aneh saja. Dari dulu sampai sekarang kau tahu bahwa kakakmu ini amat sayang kepadamu. Mengapa menanyakan hal semacam ini?"

Ceng Bi tertawa kecil dan nadanya seteagah mengejek sementara matanya yang jeli mengerling setengah tak percaya. "Han-ko, tidak usah kau mengada-ada. Dahulu kau memang sayang kepada adikmu ini, akan tetapi sekarang kau sudah tidak sayang lagi. Kenapa harus berbohong?"

Ceng Han terkejut dan memandang adiknya Itu dengan sikap heran. "Berbohong?" serunya. "Apa maksudmu, Bi-moi? Aku dari dulu sampai sekarang memang sayang padamu kenapa kaukatakan berbohong? Adikku, kau inilah yang mengada-ada dan bukannya aku!"

Akan tetapi Ceng Bi menggelengkan kepalanya dan mulutnya masih setengah mengejek. "Tidak, koko, aku tidak mengada-ada dan apa yang kukatakan tadi adalah kenyataan yang kita hidapi sekarang ini. Kenapa aku harus berbohong? Kaulah yang tidak jujur dan untuk itu aku dapat membuktikannya!"

Ceng Han menjadi tertarik juga mendengar kesungguhan ucapan ini dan pemuda itu meman-dang tajam. "Bi-moi, Watakmu memang aneh, dan sekarang kau mengatakan bahwa aku sudah tidak sayang lagi kepadamu. Hem, adikku yang nakal, bisakah kau menunjukkan buktinya? Awas kalau tidak benar tentu telingamu itu akan kujewer!"

Ceng Bi tertawa geli melihat kakaknya marah-naarah ini. "Han-ko, untuk apa aku mendustaimu? Kenyataan sudah di depan mata dan seharusnya tanpa kujelaskanpun kau sudah mengetahuinya. Mengapa pura-pura bertanya segala?" Ceng Han semakin penasaran. "Bi-moi, bicaramu berputaran tidak karuan. Hayo cepat tunjukkan kepada kakakmu ini di mana letak kebohongannya!" pemuda ini setengah membentak dan Ceng tersenyurn nakal.

"Koko," gadis itu menjawab sungguh-sungguh. "Kenyataan bahwa kau mengurungku di sini bukankah sudah cukup untuk dijadikan bukti bahwa kau tidak sayang lagi pada adikmu? Kalau seorang kakak menyatakan sayang pada adiknya, mengapa adiknya harus dikurung dalam ruangan tersekap begini? Tidak, koko, hal ini menunjukkan kebohonganmu dan untuk itu sekarang kaulah yang patut dihukam di ruangan ini!"

Ceng Han terkejut dan mukanya menjadi merah. Meskipun kata-kata adiknya itu berkenyataan, namun tidak tepat kalau dipakai untuk menyerangnya. Karena itu pemuda ini lalu membantah, "Bi-moi, kau bicara seenak perutmu sendiri! Mana boleh dipercaya? Adikku, kau memang nakal sekali. Kau tahu bahwa aku hanya menjalankan perintah ayah, kenapa malah dijadikan biang utama? Tidak, adikku, dalam hal ini kau ngawur saja dan semua kata-katamu tadi tidak beralasan!" serunya sungguh-sungguh.

Ceng Bi mencibir. "Hemm, biarpun perintah ayah itu salah?" tanyanya dengan sikap menantang.

Ceng Han tertegun. "Salah?" ulangnya terbelalak, "Salah bagaimana, adikku?"

Ceng Bi menarik muka. sungguh-sungguh. "Koko," jawabnya serius, "Kau tahu bahwa ayah hendak main paksa dalam masalah perjodohanku ini. Dan kau tahu pula bahwa aku paling tidak suka dipaksa orang lain. Perjodohan adalah masalah seumur hidup, dapat menjadi sorga atau neraka bagi yang bersangkutan. Dan ayah, yang tidak merasakan langsung perjodohan ini, bagaimana hendak memutuskan begitu saja? Tidak, Han-ko, aku tidak suka dijadikan boneka seperti itu dan kalau kau benar-benar sayang padaku, kau harus menolong adikmu ini dari kesulitan."

Ceng Han memandang tajam. "Bi-moi," katanya hati-hati. "Aku memang dapat menerima alasanniu ini dan paksaan dalam perjodohan memang tidak dapat kusetujui. Akan tetapi, adikku, kau juga belum mengenal Kun Bok dengan baik, bagaimana hendak menolak begitu saja? Sebagai anak yang berbakti, seharusnya kau tidak demikian keras dalam penolakan masalah jodoh ini terhadap ayah. Dan Iagi, kalau dipikir-pikir, sesungguhnya tak sulit juga untuk mencarikan calon jodoh buat mu. Kau adalah puteri seorang tokoh besar yang terkenal, masa hendak menikah dengan orang kebanyakan? Maka pendapat ayah dengan calon mantunya yang merupakan keturunan langsung dari Bu-tiong-kiam locianpwe itu tampaknya memang cocok. Namun, karena ini baru pandangan sepintas lalu maka kita tidak boleh gegabah. Betul katamu tadi bahwa tidak selamanya seorang, anak akan betul-betul mewarisi watak ayah-nya. Oleh sebab itu, bagaimana kalau engkau melihat keadaan dulu?"

"Hem, melihat keadaan bagaimana?" gadis mengerutkan alisnya.

Ceng Han menarik napas panjang. "Adikku," katanya lembut. "Ayah memang terlampau gegabah memutuskan masalah perjodohan ini tanpa menghiraukan perasaan hatimu. Aku sendiri tak dapat menyalahkanmu, akan tetapi karena ayah merupakan orang yang amat keras hati dan menjaga harga diri secara ketat, bagainiana kalau membujuk perlahan-lahan?"

"Maksudmu?" Ceng Bi memandang penuh selidik.

"Kita katakan kepada ayah bahwa keputusan jodoh lebih baik ditunda dulu. Engkau masih bebas dan dengan terus terang menyatakan belum ada niat berumah tangga."

"Hemm, kau kira semudah itu, koko?" Ceng Bi tampak mengernyitkan keningnya dan memandang kakaknya ini dengan muka muram. "Ayah tak gampang dibujuk, dan meskipun perjodohan itu diundur, akan tetapi ikatan pertunangan tak mungkin bisa dihindarkan. Tadi ayah telah bicara bahwa satu bulan lagi Bu-tiong-kiam bersama puteranya akan datang ke tempat kita dan pada pada saat itu peresmian jodoh diadakan. Dan justeru ikatan inilah yang aku tidak suka! Han-ko, cara ini menekan batinku dan kalau aku tetap di sini, ayah tentu akan memaksakan kehendaknya. Tidak, aku tidak mau dipaksa begitu dan aku ingin bebas!" Ceng Bi bangkit berdiri dan kakaknya terkejut.

"Bebas, Bi-moi? Bebas bagaimana?"

Gadis itu melangkah maju. "Han-ko," katanya dengan air mata berlinang. "Apakah kau tega menyaksikan adikmu ini menderita sengsara? Apa-kah kau tega melihat aku dirundung malapetaka? Kalau kau tidak suka aku hidup demikian, maka kau harus menolongku, koko kau harus menolongku." dan gadis ini lalu menangis terisak-isak.

Ceng Han terharu dan cepat dirangkulnya adiknya itu penuh kasih sayang. "Bi-moi," bisik-nya halus, "Harap kau tidak terlalu berduka. Perjodohan ini belumlah terjadi, masih rencana. Kenapa harus bersedih? Tidak, adikku, kesempatan masih banyak terbuka bagi kita untuk melakukan sesuatu. Dan kalau kau memang tidak setuju, percayalah, kakakmu ini yang akan maju melindungimu dari tekanan ayah!"

Ceng Han bicara dengan suara sungguh-sungguh dan Ceng Bi menangis semakin menggukguk. Gadis itu merasa terharu bukan main atas pernyataan kakaknya ini dan diam-diam ia mengeluh. Memang, semenjak ibu mereka meninggal dunia, Ceng Han inilah yang selalu membelanya dari kemarahan ayahnya yang bersikap keras terhadap siapapun itu. Dan sekarang, dalam persoalan jodoh inipun lagi-lagi kakaknya itu menyatakan siap untuk melindunginya dari kekerasan ayah mereka. Sungguh kasih sayang yang demikian besar ini tak dapat ditahan oleh Ceng Bi dan gadis ini malah menangis sesenggukan dengan air mata yang semakin deras. Ceng Han tak bicara apa-apa lagi dan pemuda ini hanya dapat mengelus rambut adiknya sambil menarik napas panjang.

Sejenak keduanya berangkulan dan akhirnya Ceng Han berkata lembut, "sudahlah, hapuslah air matamu itu dan sekarang duduklah baik-baik. Aku hendak mengambilkan makanan untukmu dan jangan menangis lagi. Terus terang aku jadi ikut sedih kalau kau menangis begini."

Pemuda itu tersenyum dan Ceng Bi menarik diri dengan mata basah. Gadis ini memang belum mampu menghilangkan tangisnya, akan tetapi hiburan kakaknya yang halus itu menyejukkan perasaannya dan Ceng Bi mulai tersenyum penuh haru.

"Han-ko," katanya perlahan. "Kau sungguh kakakku yang amat baik. Betapa bahagia hatiku mendapatkan kakak seperti dirimu ini. Terima kasih, terima kasih!"

Ceng Bi memegang lengan kakaknya dan Ceng Han tersenyum lebar. "Bi-moi, kau ini memang aneh sekali. Mengapa terhadap kakakmu sendiri harus berterima kasih? seperti orang lain saja! Kau adalah adikku satu-satunya, maka sudahlah wajar apabila aku harus membantumu dalam setiap kesulitan. Bukankah demikian, anak nakal?"

Gadis itu tersenyum dan sekarang air mata-sudah mengering. Dia tidak menangis lagi dan pipinya yang kemerahan itu mulai bersinar. "Han-ko, benar-benarkah kau mau membautuku dalam setiap kesulitan? Kalau memang benar, aku ada satu permintaan yang kuharap sudilah kau meluluskannya." Ceng Bi mulai berkata dengan suara sungguh-sungguh dan kakaknya tidak main-main lagi.

"Permintaan apakah itu, Bi-moi?" Ceng Han bertanya dan pemuda ini juga bersikap serius. "Kalau masalah perjodohanmu, jelas tanpa kau-minta sekaliplin aku mau menyanggupkan diri, untuk apa bertanya lagi?"

Akan tetapi Ceng Bi menggelengkan kepala "Bukan itu, koko, tetapi...." gadis ini tampak ragu-ragu dan kata-katanya tidak dilanjutkan.

Ceng Han menjadi tertarik. "Bi-moi, mengapa berhenti? Teruskanlah, dan aku siap mendengarkannya. Asal aku sanggup, tentu permintaan apapun akan kukerjakan."

Ceng Bi tersenyum. "Han-ko, tidakkah kau ingin melihat-lihat dunia luar?"

Pertanyaan tiba-tiba dan agak menyimpang itu membingungkan Ceng Han. Pemuda ini tidak mengerti apa yang dimaksudkan adiknya maka diapun lalu bertanya heran, "Bi-moi, apa maksudmu dengan dunia luar itu? Dan mengapa kau tampaknya berbelit-belit?"

Gadis ini tertawa kecil!. "Han-ko, yang kumaksudkan adalah, tidakkah kau ingin turun gunung?"

Ceng Han terbelalak. "Turun gunung?" serunya tercengang. "Maksudmu merantau, Bi-moi?"

Gadis itu tnengangguk. "Ya, begitulah."

Ceng Han terkejut dan mukanya tampak berobah. Sejenak pemuda ini memandang, adiknya dengan tajarn, lalu menjawab sungguh, "Bi-moi, keinginan hatimu ini sebenarnya juga sudah lama menjadi keinginan hatiku. Akan tetapi, karena ayah telah mernesan kita untuk tidak sembrono begitu saja meninggalkan rumah, maka selama ini aku menahan diri. Musuh-musuh ayah amat banyak, terutama dari golongan hitam. Dan kita tidak tahu siapa mereka itu. Bagaimana kau ada niat begini? Apalagi sekarang kau masih dalam hukuman ayah dan kalau hukuman sudah selesaipun ayah pasti melarang kita. Untuk apa mencari kesukaran?"

Ceng Bi mengerutkan alisnya. "Han-ko, kenapa kau begitu bodoh? Menunggu sampai ayah memberikan ijin adalah sama seperti menunggu jatuhnya bulan. Tidak, tidak perlu kita melapor kepada ayah dan kalau ingin cari kesempatan yang baik, sekarang inilah saatnya yang tepat!"

"Eh, kau hendak minggat secara diam-diam?" Ceng Han terkejut sekali dan Ceng Bi tersenyum simpul.

"Ko-ko, bukannya aku saja melainkan juga bersama engkau. Dengan kita berdua merantau bersama, bukankah lebih kuat dalam menjaga diri?"

Ucapan adiknya ini membuat pemuda itu tertegun. Memang sudah lama Ceng Han ada niat untuk mengembara di dunia kang ouw, apalagi setelah twa-suhengnya (kakak seperguruan tertua) Lek Hui turun gunung, diam-diam pemuda ini juga ingin mengikuti jejaknya. Akan tetapi, karena ayahnya melarang keras maka dia tidak berani melanggar. Sekarang, tiba-tiba saja adiknya itu mengajak dia pergi. Hal itu sebenarnya mengambuhkan jiwa petualangnya yang ditahan-tahan, namun karena takut pada perintah ayahnya yang keras, Ceng Han menjadi ragu-ragu.

"Bi-moi," katanya kemudian sambil menarik papas panjang. "Maksud hatimu ini sebenarnya berhahaya sekali. Pertama, ayah tentu marah kepada kita berdua yang telah dipesannya wanti-wanti itu. Ke dua, sekarang kau masih dalam hukuman ayah. Dan ke tiga..."

"Kedatangan Bu-tiong-kiam locianpwe pasti akan kita kecewakan, bukan?" Ceng Bi menerus-kan kata-kata kakaknya dengan mulut berjebi.

Ceng Han menganggukkan kepalanya. "Begitulah," jawahnya muram.

"Dan kau hendak berkeras supaya adikmu ini menerima pinangan orang?"

Ucapan yang mulai keras ini membuat Ceng Han mengangkat kepalanya. "Bi-moi, bukan itu maksudku," katanya perlahan. "Akan tetapi aku hendak berusaha supaya kedua orang tua dapat dibuat mengerti. Dan sebelum segala sesuatunya berkepanjangan, aku hendak terlebih dahulu bicara dengan ayah tentarg persoalan ini."

"Kalau ayah tetap berkeras?"

"Aku hendak mencegat kedatangan tamu kita dan berbicara secara jujur!"

Kali ini Ceng Bi yang terkejut dan wajah gadis itu berobah. "Apa, koko? Kau hendak menemui mereka?"

Pemuda itu mengangguk. "Kalau ayah tidak bisa diberi penjelasan, maka aku terpaksa manemui Bu-tiong-kiam locianpwe dan minta agar rencana ini dibatalkan atau diundur dulu. Dan mengingat bahwa pendekar pedang itu seorang yang bijaksana, aku yakin beliau dapat dibuat mengerti. Dengan demikian, kalau pihak locian-pwe Bu-tiong-kiam yang menarik diri, bukankah janji ayah juga tidak ternoda?"

Kata-kata ini dapat diterima Ceng Bi namun gadis itu tetap tidak puas. Hal ini berarti mengganggu kedatangan ayah beranak itu, seolah-olah sikapnya menyatakan setuju dan ayahnya tentu akan semakin menjadi-jadi. Tidak, ia tidak mau melakukan hal ini dan kalau putera Bu-tiong-kiam itu memang bersungguh-sungguh biarlah pemuda itu yang harus mencarinya, bukan dia yang menunggu seperti gadis gunung yang pasrah dan lemah!

Karena itu, Ceng Bi lalu menggelengkan kepalanya tegas. ''Han-ko, saranmu ini memang tampaknya cukup baik, akan tetapi aku tidak setuju, Lccianpwe Bu-tiong-kiam boleh saja datang, akan tetapi aku harus pergil"

"Eh, kenapa begitu, Bi-moi?"

Ceng Bi memandang kakaknya. "Karena aku tidak mau bertemu muka dengan Kun Bok!"

"Kau malu?" Ceng Han bertanya.

Ceng Bi menaikkan alisnya. "Siapa malu?" jengeknya marah. "Aku tidak sudi bersikap seperti seekor domba! Kalau pemuda itu memang berniat, dia harus mencariku sampai dapat dan dari sini baru aku tahu apakah dia bersungguh-sungguh ataukah tidak."

"Kalau bersungguh-sungguh?" Ceng Han mendesak. "Apakah kau lalu menerimanya?"

Gadis itu menggelengkan kepala sambil berjebi. "Siapa bilang begitu? Aku hanya bilang bahwa kalau dia bersungguh-sungguh maka dia pasti akan mencariku. Akan tetapi, masalah diterima atau tidak aku tidak berani memastikan. Han-ko, aku tidak suka ikatan membuta dan sebelum hatiku sendiri merasa yakin, bagaimana hendak menerima lamaran orang? Tidak, Han-ko, dalam hati ini aku ingin bebas dan biar ayah sekalipun tidak boleh terlalu menekanku."

Ceng Han nenarik napas panjang dan pemuda itu menggangguk-anggukkan kepalanya meskipun dia merasa bingung dan tidak mengerti akan sikap adiknya ini yang luar biasa. Tadinya dia mengira bahwa maksud adiknya untuk turun gunung itu agar "dikejar" oleh Kun Bok buat mengetahui kesungguhan mat di hati putera tunggal Bu tiong-kiam itu. Akan tetapi, setelah adiknya berkata bahwa masalah diterima atau tidak itu adalah lain, pemuda ini tidak dapat mengikuti jalan pikiran Ceng Bi. Hanya sekarang dia membenarkan bahwa sesungguhnyalah kata-kata dalam kitab kuno yang menyatakan wanita adalah mahluk yang sukar dijajaki pikirannya memang betul.

Contohnya adalah adiknya ini. Sudah belasan tahun mereka hidup bersama, dan dia merasa bahwa gerak-gerik dan sikap adiknya itu sudah diketahuinya. Namun, terbentur pada masalah ini tiba-tiba saja dia melihat adanya sesuatu yang sukar diselami dalam pikiran adiknya itu. Apakah ini yang dinamakan keganjilan? Agaknya begitulah!

Ceng Han mengangkat bahunya tanda kehabisan akal dan pemuda ini segera teringat pada rencana adiknya yang bendak turun gunung secara diam-diam. Hal itu sebetulnya, amat disetujuinya akan tetapi pergi secara diam-diam inilah yang tidak mengenakkan hatinya. Ayahnya pasti marah besar, dan tidak mustahil jika orang taa itu akan memberi hajaran keras kepada mereka berdua. Dan diamping tidak tahan apabila adik perempuaunya dihukum terlalu berat. Karena itu, Ceng Han menjadi bingung dan akhirnya pemuda ini mengutarakan kegelisahannya.

"Bi-moi, sedikit banyak aku dapat meraba maksudmu untuk turun gunung ini. Tentu untuk membalas sikap ayah, bukan? Akan tetapi, adikku, mugkinkah kita berdua dapat pergi secara diam-diam? Pada hari keempat dimana engkau telah bebas, ayah pasti sudah menunggumu di luar ruangan ini dan mengingat kata katamu tadi, beliau tentu akan meningkatkan kewaspadaannya agar kau tidak dapat pergi!"

"Hem, siapa bilang tidak bisa pergi?" Ceng Bi menjawab setengah mengejek. "Asal kau membantuku dan kita menjalankan sebuah akal, kau dan aku dapat pergi tanpa ayah terlalu dibuat marah besar."

Ceng Han terheran. "Maksudmu?" tanyanya penuh selidik dan dia melihat betapa adiknya ini tiba-tiba tersenyum aneh.

"Han-ko," Ceng Bi berkata tenang. "Pokok keberhasilan kita supaya dapat turun gunung sebenarnya berada di tanganmu. Asal kau setuju, semuanyapun pasti beres. Akan tetapi, kalau kau diliputi kebimbangan begini, mana bisa rencana kita berjalan? Oleh sebab itu, koko, jawablah pertanyaanku ini. Maukah kau turun gunung bersamaku?"

Pemuda itu mengerutkan alisnya. "Mau sih memang mau, namun kalau harus secara diam-diam begini mana aku berani, Bi-moi? Ayah pasti marah-marah dan sekali beliau dibuat naik darah, aku tidak berani membayangkan hukumannya."

"Aih, itu kan kalau kita jalankan secara bodoh, koko. Padahal, masalah ini tidak perlu sampai membuat ayah marah besar. Aku mempunyai sebuah akal yang menarik dan beralasan, kutanggung, ayah tidak bakal bertangan besi terhadap kita. Dan tentang lari secara diam-diam, siapa bilang aku dan engkau? Tidak, Han-ho, yang pergi secara diam-diam hanya aku seorang dan engkau sendiri, dapat pergi secara terang-terangan dan dengan restu ayah pula!"

Ceng Bi tertawa dan kali ini Ceng Han mendelong. "Apa?" pemuda itu berseru. "Aku dapat pergi dengan restu ayah! Bagainiana mungkin, Bi-moi? Mana ada kejadian demikian luar biasa?"

"Sstt…! Ceng Bi menaruh telunjuk di depan mulut memberi isyarat. "Jangan keras-keras, Han-ho, kalau ada telinga mendengar di luar tentu rencana kita ini berantakan. Yang penting, maukah kau turun gunung bersamaku? Kalau kau mau, segera akal ini kubeberkan dan sekali kau dengar, pasti tidak perlu takut-takut lagi. Nah, bagairnana jawabmu?"

Karena sikap adiknya semakin lama tampak semakin berahasia, Ceng Han tertarik juga dan setelah dihitung-hitung, asal betul akal adiknya ini manjur dan ayah mereka tidak terlampau marah, akhirnya pemuda ini menganggukkan kepalanya. "Hem, adikku yang nakal, kau mengaelitik hatiku dengan pandai sekali. Baiklah, asal akalmu ini bagus dan tidak terlalu berbahaya, aku mau turun gunung bersamamu. Hitung-hitung kita hendak menambah pengalaman dan meluaskan pengetahuan."

Ceng Bi sudah tertawa girang dan sekali tubruk, gadis ini telah memeluk kakaknya sambil terkeheh-kekeh. "Hi-hik, koko, kau terlalu membesar-besarkan persoalan. Nah, sekarang mari kita duduk dan dengarkanlah siasatku ini."

Gadis itu menarik lengan kakanya dan mereka lalu duduk di atas Ceng Han sedari tadi memandangi adiknya yang tersenyum-senyum ini dan setelah mereka berhadapan, Ceng Bi mulai membuka akalnya.

"Han-ko," demikian mula-mula gadis itu bicara. "Sebelum aku selesai membeberkan semua akal ini, kuharap kau hanya bersikap sebagai pendengar. Dan untuk itu, jangan tergesa-gesa memotong pembicaraanku. Berjanji?"

"Baiklah...." Ceng Han menganggukkan kepalanya.

Ceng Bi tersenyum kecil dan gadis itu mulai melanjutkan dengan suara sungguh-sungguh. "Begini, koko," katanya serius. "Karena kita sudah mempunyai keinginan yang sama untuk turun gunung, maka kita tidak perlu menunggu sampai hari ke empat segala. Itu bahkan mengagalkan rencana kita dan kalau kita hendak mulai, seperti tadi telah kukatakan, justeru sekarang inilah saatnya! Kenapa? Karena ayah tidak Bakal menduga semua maksud kita ini. Beliau telah mempercayakan dirimu untuk menjagaku, dan inilah saat lengahnya. Untuk itu, mumpung ada kesempatan demikian bagus, kenapa tidak kita gunakan saja?" Gadis berhenti sejenak dan Ceng Han mematuhi janjinya, sama sekali tidak memotong kata-kata adiknya yang belum diketahui ke arah mana hendak menuju. "Dan engkau, koko," demikian Ceng Bi berkata lagi, "Terpaksa harus sedikit berkorban untuk melancarkan siasat ini. Karena hanya denga cara inilah maka aku dapat pargi secara diam-diam dan engkau Nanti dapat pergi secara terang-terangan untuk menyusulku. Nah, sudah dapat menangkap apa yang kumaksudkan?"

Ceng Han menggelengkan kepalanya. "Bi-moi, semua kata-katamu seperti ular melingkar yang tidak diketahui mana buntut mana kepala. Bagairnana aku mengerti?"

Ceng Bi tertawa geli dan menutupi mulutnya. "Hi-hik-hik, kakakku rupanya dogol sekali. Masa rencana begini belum dapat diikuti? Aih, Han-ko, kalau kau memang tidak mengerti baiklah sekarang kaudengar lagi. Yang kumaksudkan adalah….!"

Gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya karena tiha-tiba saja jari tangan kanannya bergerak menotok jalan darah Kai-hu-hiat di pundak kakaknya. Gerakan ini dilakukan secepat kiltat dan sebelum kakaknya sadar, tahu-tahu Ceng Han telah dibuat roboh tak berkutik! Tentu saja Ceng Han terkejut, dan sementara dia berteriak tentahan mendadak tangan adiknya kembali menotok jalan darah Ya hiat di leher yang membuat orang tak bisa bersuara lagi dan kontan seruan itu berhenti di tengah karena Ceng Han menjadi gagu!

Peristiwa berturut-turut ini terjadi dengan cepat, dan Ceng Han melotot ke arah adiknya dengan mata bersinar marah. Akan tetapi Ceng Bi tertawa-tawa kecil dan sebelum kakaknya gusar, gadis ini cepat membebaskan kedua jalan darah itu sehingga Ceng Han pulih kembali seperti sediakala.

"Kau, anak nakal! Apa-apaan ini?" Ceng Han melompat bangun akan tetapi Ceng Bi menariknya duduk kembali dengan mata geli.

"Han-ko, justeru inilah jawaban akalnya. Mengapa hendak marah? Hi-hik, kakakku yang baik bukankah tadi aku sudah bilang bahwa kau harus sedikit berkorban? nah, harap kau memaafkan adikmu ini karena semuanya itu hanya untuk memberikan penjelasan secara nyata. Mengertikah, Han-ko?"

Ceng Han tertegun dan pemuda ini terbelalak. "Setan, kau hendak membuat kakakmu ini lumpuh agar kau dapat kabur? Sial dangkalan!" pemuda itu menggerutu dan adiknya kembali tertawa.

"Tidak begitu sebetulnya, koko, karena yang akan kabur nanti bukannya hanya aku saja melainkan dirimu juga. Kalau tidak diakali begini, mana bisa kita berdua turun gunung? Nah, kakak yang baik. Asal kau setuju dengan siasatku ini maka kita pasti dapat terjun di dunia luar. Atau, maukah kau seumnr hidup selalu terkurung di atas gunurg sampai menjadi kakek-kakek?"

Ceng Bi tertawa dan kakaknya terscnyum masam. "Bi-moi, sungguh kau licin seperti belut!" Ceng Han berkata setengah mendongkol. setengah geli. "Dengan memasang kakakmu ini sebagai korban, memang nampaknya maksud hatimu itu dapat terkabul. Akan tetapi, apakah akupun betul-betul dapat pergi? Engkau melumpuhkan aku, bagaimana mungkin aku bisa menyusulmu? Adikku, harap kau tidak mempermainkan kakakmu ini!"

"Ihh, siapa main-main, Han-ko?" Ceng Bi tersenyum lebar. "Justeru kelumpuhan inilah yang menjadilan kau nanti dapat pergi dengan restu ayah. Kau masih belum mengerti? Aih, kakakku mrnang terlalu polos hatinya sehingga untuk akal kecil begini saja belum paham, Han-ko, dengarlah keteranganku selenglapnya ini..!" gadis itu berhenti sejenak untuk menarik nafas panjang lalu melanjutkan, "Koko, kalau kau kuserang secara tiba- tiba seperti tadi ayah tentu menyangka bahwa semua kejadian ini bukanlah pura-pura. Dan aku sengaja membuatmu gagu pula agar nanti dapat cepat memberi alasan kepada ayah bahwa kau tidak dapat cepat memberi tahu karena tidak dapat bersuara. Totokan kubuat selama dua jam, dan setelah itu barulah kau dapat bersuara kembali sepati semula. Akan tetapi, karena tubuhmu lumpuh, maka hal yang pertama-tama kau lakukan adalah berteriak memanggil ayah setelah jalan darah Ya-hiat bebas kembali. Dengan begitu, kesempatan kabur bagiku sudah cukup jauh. Ayah memang pasti marah-marah, namun kau dapat memberi penjelasan bahwa karena menolak paksaan ayah dalam masalah jodoh ini, maka aku minggat setelah secara curang menyerangmu. Dengan begini, mengingat ayah pasti khawatir karena aku turun ke dunia ramai, beliau pasti akan menyuruhmu untuk menangkapku. Dan dalam hal ini aku yakin kaulah nanti yang bakal disuruhnya karena di tempat kita tidak ada orang lain lagi. Ayah tentu tidak turun tangan sendiri karena harus memimpin partai, apalagi Bu-tiong-kiam locianpwe juga akan datang dalam beberapa minggu lagi, maka beliau pasti menganggapmu satu-satunya orang yang tepat untuk menjalankan tugas ini. Nah, bukankah demikian maka semua akal ini akan berjalan sesuai rencana? Dan mengingat bahwa twa-suheng (maksudnya Lek Hui) sedang tidak berada di rumah, aku yakin tugas untuk menangkapku pulang itu harus dikerjakan olehmu. mengertikah, Han-ko?"

Sampai di sini Ceng Bi berhenti dan Ceng Han terbelalak, memandang adiknya dengan penuh rasa kagum akan tetapi juga gemas karena dia dijadikan kelinci percobaan oleh adiknya yang nakal ini. tetapi, karena dia melihat bahwa semua akal itu memang bagus maka pemuda ini manggutkan kepalanya beberapa kali sementara mulutnya mendesis, "Bi-moi, kau benar-benar kancil betina yang cerdik sekali. Perhitunganmu matang dan meskipun aku dijadikan korban, namun tampaknya memang inilah satu-satunya akal supaya kita dapat turun gunung! Aih, adikku yang nakal, kalau kau sudah turun gunung lalu kema-nakah aku harus menyusulmu?"

Ceng Bi tersenyum. "Kota raja adalah tempat yang ramai, maka ke sanalah kita boleh melihat-lihat."

"Jadi kau menuju arah utara?"

"Benar, koko," Ceng Bi menganggukkan kepalanya dan Ceng Han tidak membantah lagi.

Setelah mereka saling sepakat dan Ceng Han sendiri digelitik hatinya untuk merantau di dunia kang-ouw meluaskan pengalaman, pada hari itu juga siasat ini dijalankan. Ceng Bi lalu menotok roboh kakaknya dan jalan darah gagu juga tidak ketinggalan. Ini semua untuk menunjukkan kepada ayah mereka bahwa di antara mereka berdua sebenarnya tidak terdapat "kong-kalikong".

Dengan begitu, apabila ayahnya nanti muncul setelah Ceng Han bisa berteriak, maka orang tua itu tidak menaruh curiga terhadap pemuda ini. Dan seperti yang telah diperhitungkan Ceng-Bi, kakaknya itu, pasti akan diperintahkan untuk segera turun gunung menangkap adiknya yang kabur secara licik itu.

Dan hal ini mernang membuktikan bahwa kalau Ceng Bi minggat secara diam-diam adalah Ceng Han yang dapat pergi secara terang-terangan, persis seperti yang diperhitungkan oleh puteri Ciok-thouw Taihiap yang cerdik itu! Demikianlah, semuanya segera dijalankan dan Ceng Bi yang telah menotok roboh kakaknya ini lalu menyelinap keluar ruangan dan akhirnya menghilang dalam beberapa kejap saja.

* * * * * * * *

Itulah cerita tentang kakak beradik ini. Dan sekarang, pada pagi yang cerah-ceria ini Ceng Bi tiba di kota Bang-Joh. Sudah satu bulan dia turun gunung, akan tetapi kakak yang ditunggu-tunggu ternyata tidak munuh!. Tentu saja gadis ini mulai cemas. Apakah perhitungannya ada yang meleset? Apakah bukan kakaknya itu yang disuruh turun gunung?

Ceng Bi merasa tidak yakin. Menurut perhitungannya, Ceng Han pasti menyusulnya karena di Beng-san hanya pemuda itulah satu-satunya yang tepat untuk menjalankan tugas ini. Lalu, kenapa selama ini kakaknya tidak kelihatan? Apakah ada sesuatu yang menirnpa diri kakaknya itu? Ceng Bi lebih condong kepada dugaan ini dan diam-diam gadis itu menjadi gelisah. Kalau Sampai terjadi apa-apa dengan kakaknya itu, sungguh dia akan menyesal seumur hidup karena gara-gara dialah semuanya ini terjadi.

Karena itu, setelah memasuki Hang-loh, Ceng Bi 1alu melayangkan pandang ke dalam kota. Semalam ia belum makan. terhenti di sebuah hutan. Dan malam tadi ia terpaksa tidur di atas pohon. Sekarang perutuya berkeruyuk, dan bau masakan sedap dari rumah makan "Tiang-an" di ujung jalan membuat perutnya merintih.

Ceng Bi membelokkan kudanya. Pikiran yang kusut membuat gadis ini tidak memperhatikan betapa orang-orang di pinggir jalan raya terbelalak kagum ke arahnya. Semua mata pria itu tampak melotot, dan beberapa orang diantaranya bahkan ada yang berhenti untuk melalap kecantikan puteri Beng-san-paicu ini. Akan tetapi, karena Ceng Bi sedang murung dan hatinya gelisah, gadis itu tidak memperhatikan semua keadaan.

Dia tampak murung, dan ketika tiba di halaman restoran gadis ini melompat turun dari atas kudanya. Seorang pelayan tergesa-gesa menyambutnya dan kuda itu diikat di samping rumah makan, sementara Ceng Bi sendiri sudah memasuki ruangan "Tiang-an".

Ternyata rumah makan ini besar juga. Sebuah loteng tampak di atas, dan belasan tamu di pinggir baikon. tiba-tiba sama menengok ke arah gadis ini. Semua mata itu jelas menunjukkan kekaguman, akan tetapi banyak diantaranya yang agak kurang ajar. Hal ini dibuktikah dengan adanya mulut yang peringas-peringis serta kedipan mata dua orang pemuda di dekat anak tangga.

Ceng Bi menjadi gemas, dan maksud hatinya yang hendak makan di loteng untuk mencari ke-tenangan cepat dibatalkan. Orang- orang di atas itu sikapnya kurang ajar, dan dia tidak mau membuat keributan. Karena itu, gadis ini lalu melangkah terus menghampiri meja di dekat jendela yang terbuka. Suasana di tempat itu tampak sejuk, juga tidak banyak tamu dan seorang laki-laki bercaping bambu bertubuh tegap duduk makan minim sendirian.

Entah mengapa, Ceng Bi tiba-tiba saja tertarik untuk memperhatikan laki-laki ini. Dan kebetulan bahwa meja di dekat jendela itu berada di samping meja laki-laki ini. Karena itu, Ceng Bi lalu duduk di meja ini memesan makanan dari seorang pelayan yang cepat menghampirinya.

"Nona mau makan apa?" pelayan itu bertanya samba cengar-cengir.

Ceng Bi menjadi sebal. "Apa saja yang enak boleh kau hidangkan!" jawabnya kaku.

"Dan minumnya?"

"Air dingin saja!"

Jawaban ini membuat pelayan itu melenggong. "Air dingin, nona?" serunya heran.

Ceng Bi menjadi gemas. Melihat orang tampak melotot gadis ini menjadi marah. Jauh-jauh dia mencari tempat ini untuk menghindar dari gangguan orang, dan pelayan rumah makan itu kini banyak cerewet. Dia minta air dingin, kenapa mesti heran? Di gunung dia memang selalu minum air dingin yang jernih dari sumber, mengapa pelayan ini harus bertanya ulang? Karena itu Ceng Bi lalu balas mendeliki orang dan dengan muka merah dia berseru, "Ya, air dingin! Apakah telingarru tuli? Ataukah rumah makan sedemikian mentereng tidak mempunyai air dingin?"

Bentakan ini membuat kuncup nyali si pelayan yang tidak menyangka bahwa tamunya galak, karena itu pelayan ini lalu cepat-cepat mengiyakan dan membalikkan tubuh ngeloyor pergi. Ceng Bi reda kembali dan pada saat itu si laki-laki bercaping bambu mengangkat mukanya. Sedikit saja gerakan ini, namun Ceng Bi terkejut bukan main melihat sorot mata yang tajam mencorong seperti mata seekor raga sakti.

Tentu saja gadis ini tercekat, dan lebih tergetar lagi hatinya ketika mengetahui bahwa laki-laki yang duduk tenang di samping mejanya itu ternyata masih muda. Wajahnya tampan, alisnya seperti golok dan dagu berlekuk itu menunjukkan kejantanannya yang memikat. Ceng Bi berdebar dan sekilas senyum dari pemuda bercaping itu membuat mukanya merah sampai ke telinga. Mengapa hatinya tiba-tiba terasa tidak karuan dan sementara dia menjadi gugup, laki-laki itu berbatuk kecil lalu menundukkan mukanya lagi, asyik menyumpiti daging di dalam mangkok secara tenang.

Ceng Bi tertegun. Ia tidak mengenal laki-la-ki muda ini, namun perasaan hatinya mendadak berdebaran tidak karuan. Senyum yang sekilas itu membuat jantungnya tergetar, dan selama hidup belum pernah ia mengalami hal semacam ini. Apakah itu? Ceng Bi tidak mampu menjawabnya. Dan pada saat itu si pelayan yang tadi dibentaknya telah muncul bersama hidangan di atas penampan, Asap mengepul harum dan saos tomat di daging babi serta bermacam masakan lain yang sedap-sedap membuat gadis ini menjadi lapar sekali.

Namun karena tidak berada di rumah sendiri maka gadis itu tidak mau tergesa-gesa. Setelah pelayan yang kini tidak berani cengar-cengir lagi itu pergi, barulah Ceng Bi menyentuh hidangannya. Perlahan tahan dia meneguk air putih yang dingin itu untuk membasahi kerongkongannya yang haus, lalu baru menikmati makanannya secara tenang.

Dan memang masakan restoran "Tiang-an" hebat sekali. Ceng-Bi yang biasa hidup di gunung dan makan makanan sederhana, kini tiba-tiba dirangsang nafsu makannya sehingga semua dengan di atas meja hampir tersapu bersih! Tentu saja hal ini membuat beberapa tamu terbelalak, namun Ceng Ei tidak perduli. masakan itu dia dapat dengan membayar, untuk apa sungkan. Apalagi perutnya sejak semalam dibiarkan kelaparan. Maka gadis inipun tidak kikuk dalam menyambar hidangan di atas meja.

Ceng Bi memang gadis yang masih polos untuk ukuran kota, maka semua basa-basi orang kota tidak dikenalnya. Dan lagi, seumpama dia kenalpun tentu tidak akan diambil pusing! Karena itu, walaupun pesanan di atas meja termasuk porsi "besar" akan tetapi Ceng Bi yang keruyukan perutnya tidak ambil perduli. Yang penting saat ini adalah makan, dan masalah habis atau tidak hidangan di atas meja itu, inilah tergantung perutnya. Kalau dia masih lapar, makanlah kalau tidak, ya sudahlah. Inilah didikan ayahnya yang paling benci terhadap kepura-puraan sikap manusia. Oleh sebab itu, Ceng Bi-pun juga tidak menyembunyikan rasa laparnya ini dan masalah tanggapan orang lain, baginya adalah persetan.

Akhirnya, setelah dia kenyang betul gadis itu lalu menyusut mulutnya yang berminyak dengan saputangan. Ceng Bi tampak puas, dan masakan kota ini benar-benar dinikmatinya. Sekarang dia mulai teringat keadaan sekeliling, dan juga pemuda bercaping rendah yang menyembunyikan sebagian besar wajahnya itu. Akan tetapi ketika Ceng Bi menoleh ke meja di samping kirinya itu ternyata orang yang dirnaksud tidak ada lagi.

Ceng Bi merasa heran, dan diam-diam juga terkejut. Apakah saking asyiknya dia makan tadi tidak mengetahui perginya pemuda bermata naga itu? Ataukah laki-laki yang sikapnya tenang itu yang bergerak cepat sehingga lolos dari perhatiannya? Ceng Bi tidak dapat menjawab dan gadis ini tiba-tiba merasa seperti kehilangan sesuatu. Dia tidak tahu, apakah yang hilang ini. Akan tetapi, semenjak senyum sekilas dari pemuda aneh itu menyambar dirinya, gadis ini merasa berdebar jantungnya. Sesuatu yang ganjil menarik perhatiannya. Ceng Bi tidak tahu, apakah itu. Namun kepergian yang amat misterius dari laki-laki itu mernbuat dia tidak nyaman.

Ceng Bi menjadi jengkel dengan perasaan anehnya ini, sama sekali tidak mengenal laki-laki mengapa harus pusing? Kalau orang itu pergi kenapakah? Kalau tidak pergi juga kenapakah? Ceng Bi marah-marah terhadap dirinya sendiri dan gadis ini berusaha melenyapkan perasaannya yang dianggapnya tidak wajar itu. Akan tetapi aneh. Senyum sekilas dan wajah tampan serta sinar mata yang mencorong sedemikian tajamnya itu membayang saja di pelupuk matanya. Ceng Bi uring-uringan dan pada saat dia sedang mencaci diri sendiri itu tiba-tiba di luar jendela rumah makan berkelebat tiga buah bayangan.

Gadis ini terkejut dan cepat dia menoleh. Tiga orang laki-laki berwajah hitam tahu-tahu berdiri di muka jendela. Mereka memandangnya dengan sinar mata dingin dan orang di depan mengangkat tangannya. "Nona, kaukah adik Ceng Han?"

Pertanyaan tiba-tiba ini mengejutkan Ceng Bi. Sejenak gadis itu terbelalak, dan disebutnya nama Ceng Han ini membuat hati gadis ltu berdebar. Dia tidak mengenal tiga orang ini, dan ketika orang pertama itu berbicara sambil mengangkat tangannya, Ceng Bi meiihat sebuah gelang berwarna merah seperti darah melingkar di pergelangan tangannya. Ceng Bi menjadi waspada, Sinar mata orang yang dingin dan tampak tidak bersahabat membisikkan suatu ancaman baginya. Namun, karena laki-laki muka hitam itu menyebut nyebut nama kakaknya Ceng Bi lalu bangkit berdiri dengan sikap berhati-hati.

"Sam-wi (tuan bertiga) siapakah? Ada hubungan apa menyebut-nyebut nama kakakku? Aku memang betul adik Ceng Han-ko. Tidak tahu, ada maksud apakah sam-wi mencariku?" Ceng Bi lain menjawab pertanyaan orang dari gadis ini memandang tiga orang laki-laki bermuka hitam itu ganti-berganti.

Si laki-laki pertama tertawa dingin. "Bagus, kalau begitu kau adalah Ceng Bi, bukan? Nona, kakakmu sedang berada di markas kami. Kalau kau ingin menengoknya, harap pergi ke hutan sebelah timur. Pangcu tidak bolehkan kami terlalu lama di sini. Karena itu, kalau kau sudah siap silahkan nona datang di Hiat-goan-pang (Perkumpulan Gelang Berdarah)!"

Ceng Bi terkejut dan sebelum ia berkata sesuatu, tiga orang di muka jendela itu tiba-tiba berkelebat lenyap. Tentu saja Ceng Bi tidak mau membiarkan orang berlalu begitu saja dan sekali dia mengeluarben seruan keras, dia ini telah melayang kearah jendela. Dan tampaklah tiga orang laki-laki bermuka hitam ini bergerak ke arah Timur. Ceng Bi tidak mau membuang waktu dan sekali totolkan kaki gadis mengerahkan ginkangnya mengejar orang-orang Hiat-goan-pang itu. Gerakannya cepat, luncuran kakinyapun ringan dan tiga orang laki-laki bermuka hitam yang tadi bergerak mendahului itu sebentar saja hampir ditangkapnya.

Tentu saja mereka terkejut dan laki-laki pertama membentak nyaring sambil melemparkan belasan senjata rahasia berupa gelang-gelang kecil berwarna merah. Benda-benda ini menyarnbar tubuh Ceng-Bi dari atas ke bawah, namun puteri Ciok-thouw Taihiap itu tertawa mengejek. Lengan kirinya diputar dan sekali dorong maka belasan senjata rahasia itu tersampok runtuh seperti disapu angin puyuh!

Hal ini membuat tiga orang itu berseru kaget dan dalam waktu yang hampir berbareng laki-laki kedua dan ketiga serentak menggerakkan tangan masing-masing menyerang dengan senjata seperti rekannya tadi. Kini puluhan gelang berkerinting nyaring menghujani Ceng Bi dan gadis itu menjadi gusar.

"Manusia-manusia curang, berani kalian main gila dihadapan nonamu? Hemm, kalau begitu kalian pantas dihajar!" Ceng Bi membentak dan kalau tadi dia hanya menyampok runtuh, dan sekarang gadis ini melompat tinggi ke atas lalu menyambar tiga gelang terakhir untuk disambitkan ke arah tiga orang laki-laki bermuka hitam.

Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba terdengar seruan perlahan dari seseorang tak dikenal, "Nona, jangan pegang gelang itu. Mereka beracun....!" dan tepat saat tangan kanan gadis ini hampir menyentuh tiga gelang terakhir, sekonyong-konyong tiga sinar hitam melesat dari sebelah kiri gelang-gelang kecil itu.

"Tak-tak-takk!"

Tiga gelang yang hendak ditangkap Ceng Bi hancur berantakan dan gadis itu terkejut bukan main. Tangannya ditarik mundur dan Ceng Bi berjungkir balik dengan muka pucat. Kelihaian sinar hitam yang membentur gelang kecil sungguh luar biasa, namun peringatan orang tak dikenal lebih mengejutkanya lagi. Ceng Bi terbelalak, dan tiga orang lawannya telah lenyap dalam sekejap. Gadis ini tertegun, dan memandang sekeliling dengan keringat dingin.

Peringatan tadi memang tampaknya tidak bohong, karena ketika jari tangannya hampir menyentuh gelang, tiba-tiba rasa gatal menjalar di kulitnya. Karena itu, gadis ini lalu memeriksa tangannya dan dengan hati terkesiap Ceng Bi melihat adanya totol-totol merah di ruas jarinya. Tentu saja gadis ini terkejut dan pada saat itu tiba-tiba sebuah benda putih menyambarnya. Ceng Bi hendak mengelak namun sebuah suara halus mencegahnya,

"Nona, ini obat untukmu. Terimalah dan jangan terlalu bercuriga kepadaku!"

Ceng Bi tidak jadi mengelak dan bungkusan putih itu disambutnya. Benar saja, isinya memang obat dan karena suara itu juga adalah suara yang pertama, gadis ini tidak ragu-ragu lagi untuk memakainya. Ditaburkannya bubuk putih berbau harum itu dan sekali usap, totol-totol merah di ruas jarinya hilang. Gadis itu menjadi kagum dan cepat dia memandang ke kiri. "Sahabat yang bersembunyi, harap keluarlah. Aku hendak menyampaikan terima kasihku yang tak terhingga kepadamu...!" Ceng Bi herseru nyaring namun orang yang dimaksud tidak mau muncul.

Ceng Bi menarik nafas panjang, dan setelah tiga kali dia mengulang seruannya tetap saja tidak berhasil, gadis ini lalu menjura ke tempat itu dan berkata dengan mendongkol. "Sahabat yang tinggi hati, karena kau tidak mau menerima ucapan terima kasihku maka biarlah aku berlutut sehari penuh di sini agar tidak terikat budi!" dan gadis itu lalu benar-benar menjatuhkan diri dan berlutut.

Tentu saja hal ini amat aneh, namun Ceng Bi memang bersungguh-sungguh. Tidak biasa baginya untuk menerima budi orang lain begitu saja, maka diapun tidak mau sudah. Hal ini ada kaitannya dengan nasehat ayahnya tentang watak manusia, dimana biasanya mereka suka mengungkit-ungkit masalah budi jika orang yang bersangkutan sudah tidak disukai. Apalagi kalau terjadi pertentangan antara si pelepas budi dengan si penerima budi, maka biasanya si penerima budi lebih tertekan hatinya dalam masalah ini.

"Oleh sebab itu, Bi-ji," demikian ayahnya bicara. "Apabila kau mendapat hutang demikian, lebih baik secepatnya kau lunasi saja. Kebanyakan manusia merupakan mahluk yang amat palsu dan semua sikapnya terhadap kita tidak ada yang jujur. Memang tidak semuanya begitu, akan tetapi sebagian besar diantara mereka adalah orang-orang demikian. Maka, berhati-hatilah terhadap segala macam hutang yang kauterima karena sekali kita diikat hal-hal semacam ini, kebebasan kitapun seakan-akan sudah dibelinya!"

Itulah nasihat ayahnya tentang segala macam bentuk hutang, terutarna hutang budi, dan Ceng Bi memang selalu mengingat-ingat nasehat ini. Apalagi kalau mendapat hutang dari seseorang yang belum dikenal, gadis itu amat berhati-hati sekali. Dan sekarang, karena dia mengalami hal semacam itu dan si orang tak dikenal tetap tak mau unjukkan diri, Ceng Bi melakukan "pembayaran" yang amat aneh sifatnya itu. Memang ganjil sekali watak gadis ini, akan tetapi kalau diingat dia adalah puteri Ciok-thouw Tai-hiap maka kejadian itu agaknya dapat dimaklumi.

Ceng Bi memang tidak main-main, dan dia benar-benar berlutut di tempat itu. Di samping untuk menepati kata-katanya, juga sekaligus untuk menguji apakah si penolong rahasia itu ternpasuk orang baik-baik ataukah bukan. Kalau orang baik-baik, tentu tidak akan membiarkan dia daim keadaan begini, apalagi kakaknya jelas sedang membutuhkan bantuan. Akan tetapi, kalau orang itu bukan orang baik-baik maka dia dapat menentukan sikap dan semua pertolongannya tadi tentu menyernbunyikan maksud yang tidak murni. Dan orang yang demikian adalah orang yang tidak periu dihargai.

Betul saja. Baru beberapa saat Ceng Bi berlutut, tiba-tiba seseorang muncul sambil tertawa getir dan menegurnya, "Nona, untuk apa kau melakukan perbuatan yang amat aneh ini, Kakakmu sedang membutuhkan pertolongan, ditawan orang-orang Hiat-goan-pang. Bagaimana kau tidak cepat pergi menolongnya?"

Ceng Bi berseri girang dan seketika gadis itu mengangkat mukanya. Dia mengenal suara ini yang bukan lain adalah suara penolongnya namun ketika gadis ini memandang, Ceng Bi lebih terkejut lagi dan berseru tertahan. "Kau....?"

Kata-kata ini berhcnti di tengah jalan dan Ceng Bi terbelalak. Orang itu menganggukkan kepalanya dan dengan senyum pahit dia menjawab, "Benar, akulah ini. Mengapa nona?"

Ceng Bi tak dapat mengeluarkan suara dan sedetik gadis itu tertegun. Kenapakah? Karena orang yang dillatnya ini bukan lain adalan si pemuda bercaping rendah yang memiliki sepasang mata naga! Tentu saja gadis itu terkejut dan tiba-tiba hatinya terguncang. Ceng Bi memang sama sekali tidak mengira bahwa orang yang telah menolongnya ini adalah pemuda di rumah makan Tiang-an itu. Dan kalau tadinya dia belum melihat bentuk tubuh orang secara nyata karena pemuda itu duduk dimeja makannya, adalah sekarang Ceng Bi dapat menyaksikan decara jelas dan diam-diam gadis ini kagum bukan main.

Ternyata selain tegap juga pemuda ini memiliki tubuh yang tinggi besar. Sepasang lengannya tampak kokoh dan dadanya yang bidang itu lebar sekali, menyangga sebatang leher yang nampak kuat seperti pilar sebuah benteng. Dan melihat bentuk tubuh yang tinggi besar ini seketika mengingatkan Ceng Bi akan twa-suhengnya sendiri yakni Lek Hui yang sudah turun gunung pada bulan yang lalu.

Oleh sebeb itu, karena tidak menyangka bahwa ‗sahabat yang tinggi hati‘ ini bukan lain adalah pemuda yang diam-diam membuat perasaannya tidak karuan dengan senyumannya yang sekilas itu, Ceng Bi terbelalak dengan bulu mata terangkat. Dan pemuda itupun memandangnya dengan penuh perhatian, lalu mengalihkan perhatian setelah menindas debaran jantungnya ditatap mata yang demikian jeli dan indah itu.

"Nona," demikian pemuda yang gagah perkasa ini kembali membuka suara, "Apakah kehadiranku terampau mengejutkanmu? Kalau begitu baiklah aku pergi. ucapan terima kasihmu telah kuterima dan harap kau tidak berlutut lagi seperti tadi. Kakakmu membutuhkan bantuan secepatnya, maka kau harus segera menolongnya. Kalau tidak, orang-orang Hiat-goan-pang mungkin akan membunuh kakakmu itu. Nah, aku pergi dulu dan ini buntalan yang kau tinggalkan di rumah makan Tiang-an. Rekening makanpun tidak perlu kau pikirkan karena aku telah memberikan kelebihan pada kasir di sana dan harap secepatnya kau pergi membebaskan kakakmu itu. Selamat tinggal…..!" Pemuda itu membungkukkan tubuh menjura di depan Ceng Bi lulu pergi dengan tenang setelah gadis itu menerima buntalannya.

Ceng Bi terbelalak, dan tiba-tiba gadis ini berseru gugup, "Sahabat, eh.... twako (kakak), tunggu dulu! aku hendak bertanya sesuatu!" Gadis itu melompat dan pemuda tinggi besar ini berhenti.

"Ada apakah, nona?" tanyauya dengan sikap heran.

Ceng Bi memandang dengan muka merah, akan tetapi segera gadis itu dapat melenyapkan rasa likatnya. Tadi ia memang berdebar jengah dan agak kikuk, namun setelah orang ini bicara tentang nasib kakaknya, Ceng Bi lalu memandang pemuda itu dengan sinar mata tajam.

"Twako, kau siapakah sebenarnya? Bagaimana bisa tahu bahwa kakakku ditangkap orang-orang Hiat-gown-pang? Dan mengapa pula kau berbaik hati dengan menolongku dari gelang-gelang beracun itu serta membayar makananku di restoran Tiang-an?"

Pertanyaan ini jelas diucapkan dengan rasa curiga dan pemuda itu menarik napas panjang. "Nona," jawabnya tenang. "Masalah siapa sebenarnya aku barangkali tidak perlu dipersoalkan. Cukup kalau nona mengetahui bahwa aku adalah orang she Yap. Dan mengenai bagaimana aku bisa tahu kakakmu ditangkap orang Hiat-goan pang, bukan lain adalah dari pembicaraan tiga orang tadi di muka jendela restoran yang sempat kutangkap. Kemudian kalau nona bertanya mengapa aku berbaik hati, aihh.... siapa yang berbaik hati? Aku hanya tidak suka melihat orang-orang Hiat-goan-pang mengganggumu."

"Hem, kenapa?" Ceng Bi mendesak dengan pandangan menyelidik.

Pemuda itu tersenyum. "Karena kau adalah sumoi saudara Lek Hui yang cukup kukenal baik."

Ceng Bi terkejut dan gadis ini tercengang. "Eh, dari mana kau bisa tahu?" serunya heran.

"Dari ucapan tiga orang Hiat-goan-pang yang mengganggumu tadi."

Jawaban singkat ini membuat Ceng Bi terbelalak dan gadis itu kembali tumbuh kecurigaannya. Seingatnya tiga orang bermuka hitam itu sama sekali tidak menyebut-nyebut nama twa-suhengnya, lalu bagaimana pemuda ini bisa tahu? Karena itu Ceng Bi tidak menyembunyikan keheranannya ini dan dengan hati-hati ia bertanya, "Sahabat she Yap, penjelasanmu ini tidak memuaskan hatiku. Kau bilang bahwa pembicaraan tiga orang bermuka hitam itu telah kau tangkap, padahal mereka sama sekali tidak menyinggung-nyinggung nama twa-suheng. Lalu bagaimana kau bisa bilang begitu?"

Pemuda ini menarik napas panjang. "Nona? jawabnya sungguh-sungguh. "Memang betul bahwa mereka tidak menyebut-nyebut nama suhengmu itu. Akan tetapi bukankah mereka menyebutkan bahwa engkau adalah puteri Ciok-thouw Taihiap locianpwe? Dan mengingat bahwa saudara Lek Hui yang gagah perkasa juga murid pendekar sakti itu, maka mudahlah diduga kalau kaupun pasti sumoinya, melihat usiamu yang jauh lebih muda. Nah, jelaskah sekarang?"

Pemuda itu memandang dan muka Ceng Bi menjadi merah. Keterangan ini diucapkan dengan sungguh-sungguh, maka semua kesangsian gadis itupun lenyaplah. Ceng Bi menjadi malu sendiri dan dengan jujur ia lalu menjura sambil berkata, "Yap-twako, harap kau maafkan kecurigaanku. Bukannya aku tidak percaya, namun nasihat ayah agar selalu berhati-hati di dalam dunia kang-ouw, mungkin telah membuat hatimu tidak senang. Oleh sebab itu maafkanlah, twako, dan harap kau tidak kecil hati!"

Gadis ini membungkulkan tubuhnya dan pemuda itu tersenyum. Namun hanya sekejap saja senyum ini timbul karena segera pemuda itu menjadi muram seperti semula seolah-olah sedang memikirkan suatu urusan berat...