Pendekar Kepala Batu Jilid 01

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Kepala Batu Jilid 01 karya Batara
Sonny Ogawa
PENDEKAR KEPALA BATU
JILID 01
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Gurun Naraka Episode Pendekar Kepala Batu
HWE-SENG-KOK (Lembah Gema Suara), adalah sebuah lembah terpencil yang terletak di kaki Pegunungan Gu-niu-san, yakni pegunungan yang berada di sebelah timur Pegunungan Cin-ling-san. Sudah lama lembah ini dikenal orang, akan tetapi tak satupun yang menaruh perhatian serius.

Lembah ini sunyi, dan sepanjang hari keadaannya seperti kuburan. Oleh sebab itu, untuk apa melihat Hwe-seng-kok? Tidak ada yang menarik di tempat ini, apalagi dengan adanya Cek-yu-tok-bu (Kabut Beracun) di dalarn lembah, maka orangpun tidak ada yang mau datang ke Hwe-Seng-kok.

Lembah ini terlalu berbahaya, dan orang-orang kang-ouw sendiripun yang biasanya suka berpetualang itu juga segan berkunjung ke tempat ini. Bukannya mereka takut, akan tetapi karena tidak adanya sesuatu yang menarik perhatian itulah yang membuat mereka ini membiarkan Hwe-seng-kok merana seorang diri. Dan hal ini telah berlangsung selama bertahun-tahun, bahkan ber-abad-abad sehingga lembah yang sunyi itu tampak semakin angker.

Kewibawaan besar dimiliki lembah Pohon-pohon raksasa yang dibiarkan tumbuh meliar di wilayah Hwe-seng-kok membuat tanaman itu semakin menjadi, dan karena tidak pernah dijamah tangan manusia, pohon-pohon inipun semakin rimbun dan luar biasa lebat. Semua ke-adaan ini membuat Hwe-seng-kok lembab dan dingin, dan akibatnya, tanaman bersulur tumbuh subur di dalam lembah. Merekat merayap di atas tanah, hijau kekuning-kuningan, mirip ular besar yang tergolek santai seperti sedang tiduran. Dan kalau ada orang berani masuk, tentu mereka sukar untuk membedakan apakah benda-benda melata di atas tanah dan yang saling belit itu ular sungguhan ataukah bukan!

Tentu saja hal ini berbahaya. Ular atau bukan ular, tetap saja memancing ketegangan manusia yang melihat pemandangan semacam itu. Dan sekali mereka salah tebak, mengira ular sungguhan sebagai tanaman bersulur, tentu si "cacing besar" ini akan menggigit korbannya. Berbahaya, bukan? Dan memang demikianlah sesungguhnya.

Akan tetapi, sebenarnya masih ada yang lebih berbahaya lagi dari ular-ularan ini, yakni adanya Cek-yu-tok-bu didalam lembah. Kabut ini sukar dilihat. Suasana lembah yang gelap pengap membuat manusia sulit untuk mengetahuinya. Dan kalau seseorang diserang Cek-yu-tok-bu, maka hal pertama yang menjadikannya sadar ialah dari bau kabut itu sendiri. Konon menurut yang sudah "pengalaman", bau kabut ini sengak dan amis mirip binatang yang hidup dalam air kotor. Akan tetapi orang yang "pengalaman" inipun tidak dapat menceritakan lebih jelas lagi tentang kabut beracun itu serta keadaan Hwe-seng-kok karena dia keburu tewas menjadi korban.

Nah, inilah berita tentang bahayanya memasuki Lembah Gema Suara dan semenjak saat itu Hwe-seng-kok tidak pernah diganggu manusia. Lembah ini masih berdiri angkuh, dan kemenangannya dalam beberapa tahun yang lalu itu tampak membuatnya sedikit sombong dan besar kepala.

Dan hari ini, pada saat perhitungan penduduk setempat jatuh di bilangan Cap-gwe-je-it (tanggal 1 bulan 10), Hwe-seng-kok juga tetap besar kepala. Pagi yang indah disambutnya dengan sikap acuh tak acuh. Sinar matahari pagi penuh seri dan tawa itupun disambutnya dingin-dingin saja. Batinnya yang gelap tampaknya tidak mau diberi penerangan, maka cahaya surya yang hendak menembus perut lembahpun ditolaknya.

Pohon-pohon besar merupakan pengawal pri-badi bagi Hwe-seng-kok, maka pohon-pohon itulah yang menghalangi dewa matahari menerobos tempat mereka. Hwe-seng-kok mahluk angkuh, dia tidak butuh penerangan. Dan kalau bendak dipaksa, mungkin hanya dengan pembakaran besar-besaran di dalam lembah itulah Hwe-seng-kok baru menyerah! Namun hal ini tidak terjadi (dan untungnya tidak pernah terjadi). Hwe-seng-kok mahluk bebas. Dia mau dingin kek, mau panas kek, atau mau apa saja orang lain nggak usah turut campur!

lnilah pendirian Hwe-seng-kok, dan menghadapi pendirian mahluk "kepala batu" begini memang runyam. Dia punya kebebasan pendapat, dan dia punya pula kebebasan menanggung resiko. Untuk apa usil? Demikian kira-kira suara dari dalam lembah itu. Dan hal ini memang menjengkelkan.

Akan tetapi yang sungguh mengagumkan adalah dewa surya itu. Meskipun dia tahu bahwa Hwe-seng-kok tidak pernah mau menerima kehangatan sinarnya, tetap saja setiap hari dia menyinari lembah itu. Diusapnya lembut permukaan lembah seperti sikap seorang ayah mengusap rambut anaknya, dan dibelainya pohon-pohon raksasa yang semalam suntuk telah kedinginan itu dengan sinarnya yang hangat, namun penerimaan Hwe-seng-kok. tetap acuh tak acuh.

Hwe-seng-kok tak tahu berterima kasih, dan butir-butir embun menangis di ujung daun. Mereka satu-persatu jatuh berderai, lunglai mendekam di bumi melihat watak Hwe-seng-kok yang demikian teguh. Diam-diam mereka mengeluh, duhai Hwe-seng-kok, mengapa demikian tegar hatimu. Tidak dapatkah kau melunakkan sikap agar sinat ayahmu mengusir segala kegelapan yang ada di dalam?

Namun Hwe-seng-kok pun membisu. Ratap tangis ini sama sekali tidak meluluhkan perasaannya, bahkan dia tersenyum mengejek. Pohon-pohon raksasa yang merupakan pengawal pribadi, diberinya makan supaya tambah gemuk dan cepat anak beranak, kemudian setelah mereka besar, pohon-pohon itu merupakan pelindung yang semakin ketat dan rapat., Sinar matahari semakin ditolaknya, dan keadaan di dalam lembah bertambah gelap.

Hal ini terjadi bertahun-tahun, malah berabad-abad dan barangkali sudah seumur dengan manusia sendiri. Akan tetapi hebatnya, sang dewa matahari yang dipukui mentah-mentah begini tidak pernah menjadi bosan. Dia sudah menganggap diri sendiri sebagai ayah, dan Hwe-seng-kok yang bandel itu adalah anaknya. Oleh sebab itu, orang tua ini tidak pernah kendor dalam mencurahkan kasih sayangnya. Kalau Hwe-seng-kok punya pendapat yang demikian kaku, biarlah, dia tidak menyesal. Matahari hanya berharap, mudah-mudahan kelak lembah itu akan menyadari kekeliruannya ini dan mau membuka hati. Membuka hati!

Demikian pentingnya kata-kata ini dan juga mengejutkan. Karena, mungkinkah seseorang berhasil disadarkan tanpa terlebih dulu siap untuk membuka hati? Jawahnya pasti tidak! Dan ini berlaku dari jaman kuno sampai sekarang, dari nenek moyang sampat jaman modern ini. Seseorang yang belum siap "membuka hati", jelas sukar dimasuki kebenaran tentang hidup yang beranekaragam.

Begitu pula keadaannya dengan Hwe-seng-kok. Semakin rapat dia menutup diri, semakin, gelap suasana di dalam. Dan matahari yang hendak memberi penerangan, menjadi semakin berat pekerjaannya. Hal ini mirip dengan seseorang yang hendak menyorot ikan di air keruh, hanya berhasil mencapai perrukaannya belaka tanpa memperoleh sasarannya.

Dan pagi itu, Lembah Gema Suara yang pendiam ini tampaknya harus mengalami hal-hal yang kurang menyenangkan, dan itu dimulai dari tampaknya dua bayangan yang saling kejar di kaki gunung. Bayangan pertama bertubuh tinggi kurus dengan pakaian serba hitam, sedangkan bayangan ke dua yang tnengejar sambil berteriak teriak marah itu mengenakan pakaian kuning berikat pinggaug merah.

Adalah sungguh aneh bahwa pagi yang demikian cerah-ceria ini diawali oleh pertikaian manusia. Akan tetapi, mengingat bahwa manusia memang mahluk yang rupanya suka ribut, maka kejanggalan itu agaknya dapat dimaklumi. Dan sedikit sayang bahwa pada jaman itu belum ada segala bentuk kontestan-kontesan. Kalau tidak, maka dua orang ini tentunya pantas disebut si raja ribut jenis "unggul".

Betapa tidak? Pagi yang seharusnya disambut dengan senyum tawa mengiringi keriangan dewa Surya itu sebetulnya kurang sedap kalau diawali dengan percekcokan, apalagi kalau sambil membawa-bawa senjata seperti orang kedua yang berteriak-teriak ini. Apa yang mereka perebutkan? Untuk apa hendak saling baku hantam?

Pertanyaan ini memang penting dan mari kita tengok sebentar. Orang berpakaian hitam dan yang sedarg dikejar-kejar itu bukan lain adalah seorang tokoh iblis daerah selatan, julukannya Leng-kwi atau Si Setan Gaib. Orang rnenyebutnya demikian karena tokoh ini memiliki ginkang yang konon dapat dipakai untuk menghilang. Demikian renurut orang-orang kang-ouw. Dan hal itu memang benar karena ilmu meringankan tubuh iblis hebat sekali. Dia memiliki kaki yang pantulannya seperti pegas (per), dimana sekali tompat dapat mencapai jarak belasan meter.

Oleb karena itu, dengan kecepatan kakinya yang amat luar biasa inilah iblis itu disebut Si Setan Gaib. Dan Leng-kwi ini memang sanggup untuk menghilang dalam jarak ratusan lie dengan waktu yang amat singkat sekali. Akan tetapi, iblis ini bukan hanya pandai ilmu ginkang saja. Oh, sekali-kali tidak begitu. Pukulan sepasang tangannya yang ampuh dan berhawa dingin cukup menggetarkan banyak lawan dan iblis itu menyebutnya dengan pukulan Ham-ping-ciang.

Konon menurut kabar, Leng-kwi melatih sepasang lengannya dalam ilmu pukulan itu di ke dua kutub. Yang tangan kiri di kutub utara, sedangkan yang tangan kanan di kutub selatan. Kehebatannya benar-benar mengagumkan dan tubuh lawan yang terkena pukulan ini katanya dapat membeku seperti es!

Tentu saja itu menurut cerita orang, tapi bagaimanapun juga iblis tinggi kurus ini memang tak boleh dibuat main-main. Yang jelas, pukulan Ham-ping-ciang (Pukulan Berhawa Dingin) ini kalau mengenai telak memang dapat merenggut putus nyawa orang dan kekejian Leng-kwi yang biasanya tak kenal ampun itu cukup mendirikan bulu roma. Sudah terkenal di wilayah selatan bahwa sekali Leng-kwi bertempur, dia tidak mau sudah sebelum salah satu binasa. Iblis ini termasuk orang yang paling berani mempertaruhkan nyawa, dan setelah dia turun tangan, musuhpun pasti korban.

Inilah yang biasanya diketahui orang tentang Leng-kwi, dan masih ada satu lagi yakni Setan Gaib ini tidak pernah lari terbirit-birit dikejar musuh! Maka sungguh aneh bukan main apabila di pagi hari yang demikian segar ini terlihat dia itu dikejar orang.

Siapakah orang yang mendapatkan keistimewaan ini? dan bagaimana pula dia dapat mengimbangi larinya Leng-kwi yang sudah amat terkenal ini? dua pertanyaan ini yang memang menarik sekali dan kalau di dunia kang-ouw tahu siapa gerangan orang berbaju kuning dan memegang pecut panjang itu tentu mereka tidak akan heran lagi.

Siapakah dia? Bukan lain adalah Hui-toh alias Si Unta terbang! Dan dama seperti Leng-kwi sendiri, tokoh kedua inipun juga amat terkenal. Hanya bedanya, kalau Leng-kui ternama di daerah Selatan, adalah Hui-toh tersohor di perbatasan Gurun Gobi. Dua-duanya sama jago ginkang yang lihai, karena kalau Leng-kui dapat memantulkan sepasang kakinya, adalah Si Unta Terbang dibantu dengan ayunan tali cambuknya dibawah kaki mirip orang bermain uding!

Nah inilah dia identitas kedua orang itu. dan sekarang kita lihat keistimewaan masing-masing pihak karena kalau Leng-kwi ditakuti dengan pukulan Nam-ping-ciangnya, adalah Unta Terbang disegani dengan ilmu pecutnya yang disebut Ngo-seng-pian (Pecut Lima Bintang). Ilmu pecut ini kalau sudah dimainkan sendiri oleh Hui-toh hebatnya sungguh bukan alang-kepalang. Senjata itu akan meledak-ledak, melingkar-lingkar dan meliak-liuk seperti ular menari-nari di udara. Dan sementara lawan sibuk dengan kelemasannya yang luar biasa, pecut ini dapat tiba-tiba berobah menjadi "pipa-besi" yang menyodok lurus ke tubuh lawan merupakan totokan maut seperti pensil baja bergagang panjang!

Tentu saja hebatnya bukan main, dan perobahan yang amat mendadak itu sukar diketahui. Orang tidak tahu di saat kapan Si Unta Terbang ini sedang mengisi pecutnya dengan tenaga lemas dan disaat kapan pula diganti dengan tenaga keras. Semuanya berlangsung dalam sekejap dan sedikit lengah saja nyawa pasti melayang. Oleh sebab itu, tidak heran jika si unta ini mampu mengimbangi lari lawannya. Dan perlu di ketahui, bahwa kejar-kejaran ini bukan baru terjadi sekarang, melainkan sudah dua hari dua malam yang lalu. Sungguh tidak masuk akal!

Akan tetapi itulah memang kenyataannya. Dan yang amat mengherankan, Leng-kwi selalu mengalah dan iblis hitam ini terus berlari ke depan dikejar-kejar lawannya yang mengumpat caci tidak karuan. Tampaknya Setan Gaib yang biasa tak takut mati itu kelihatannya jerih terhadap Si Unta Terbang, padahal sejuruspun mereka belum bergebrak. Dan memang dilihat sepintas lalu ini keadaannya seperti itu, namun sebenarnya tidaklah demikian.

Kalau begitu, apa yang menyebabkan Si Setan Gaib diburu-buru seperti maling kesiangan? Dan apa pula sebabnya Si Unta terbang mati-matian mengejar lawan tanpa mengenal lelah? Hal ini bukan lain karena disebabkan pencurian licik yang dilakukan oleh Leng-kwi.

Seperti diketahui, Si Unta Terbang letaknya utara sedangkan Si Setan Gaib tinggal di selatan. kedua-duanya sebenarnya terpisah jauh, maka adalah yang amat aneh kalau dua orang tokoh bisa bertemu. Dan ini lagi-lagi karena kelihaian Leng-kwi mengendus berita. Iblis hitam ini memang mempunyai satu keistimewaan lain, yakni berhidung tajam. Segala berita secara aneh ditangkapnya, dan kalau berita itu penting, tentu Setan Gaib ini tidak bakal menyia-nyiakannya.

Begitu pula dengan kejadian ini yang membuat Hui-toh mencak-mencak seperti kambing kebakan jenggotnya. Leng-kwi secara luar biasa sekali telah mengendus suatu penemuan langka yang didapatkan Si Unta Terbang. Apakah itu? Bukan lain penemuan kitab ilmu silat yang disebut orang Bu-kang-pit-kip. Dan bukan hanya ini saja, Leng-kwi pun tahu bahwa Si Unta Terbang masih mendapatkan benda ke dua yang tidak kalah pentingnya, yakni sebutir mutiara penawar racun yang dinamakan Pi-tok-cu.

Baik Bu-kang-pit-kip maupun Pi-tok-cu kedua-duanya adalah peninggalan seorang maha raja silat di jaman Dinasti Shang (Yin) dimana tokoh besar itu digelari orang dengan julukan Bu-tek-thi-pah-ong (Raja Maha Kuat Tanpa Tanding).

Tentu saja penemuan rahasia yang demikian langka ini tidak dilepaskan Si Setan Gaib dengan cuma-cuma. Dia mendengar berita bahwa Si Unta Terbang pergi ke suatu ternpat tertentu untuk menggali penemuan di bawah tanah itu, maka diam-diam diapun menguntit. Maklum. bahwa Hui toh bukan lawan sembarangan, Leng-kwi membuntuti secara hati-hati sampai orang benar-benar mendapatkan apa yang dicari.

Dapat dibayangkan betapa tegang perasaan Setan Gaib ini ketika melihat lawannya itu mengangkat sebuah peti hitam yang sudah tua. Dan ketika tutup peti dibuka, sebuah benda berkilau sebesar telur angsa mencorong keluar seperti sinar bintang. Itulah Pi-tok-cu (Mutiara Penawar racun). Dan ketika Si Unta Terbang mengambil barang ke dua berupa kitab tebal yang sudah ke kuning-kuningan saking tuanya, ketegangan Leng-kui mencapai puncaknya!

Dernikian dia berteriak di dalam hati dan kwi hampir tidak dapat mengendalikan diri untuk melompat keluar. Akan tetapi kecerdikannya mencegah. Iblis dari utara ini maklum bahwa kalau sampai dia bentrok dengan Si Unta Terbang yang memiliki tingkat sejajar, biarpun mungkin bisa menang namun harapan untuk keluar dengan selamat agaknya mustahil. Hui-toh pasti memptaruhkan barangnya mati-matian dan kedua pihak bakal terluka parah. Dan kalau terjadi seperti itu, bukankah lalu tidak ada gunanya? Dalam keadaan tubuh luka-luka orang pasti tidak dapat belajar ilmu silat dan kalau kebetulan seseorang memergoki keadaannya, dia tidak akan mampu melindungi diri.

Tidak, ini tidak boleh. Aku harus mencari akal lain untuk mendapatkan benda-benda mustika itu, dan satu-satunya jalan paling bagus rupanya menunggu Si Unta Terbang kembali. Dengan begitu dia dapat membokong lawannya itu dan merebut barang orang dengan mudah. Oleh sebab itu, Leng-kwi lalu menunggu dengan sabar. Meskipun hati sudah ingin menyambar peti di tangan Si Unta Terbang, Setan Gaib ini dapat mengendalikan diri. Dia hanya melotot dan mempersiapkan jarum rahasia untuk membokoug lawan sementara Si Unta Terbang sendiri tampak tertawa bergelak sambil mencak-mencak kegirangan.

Memang penemuan itu merupakan rejeki yang luar biasa bagi Hui-toh, maka tidak heran kalau dia sangat gembira sekali. Bu-kang-pit-kip akan membawanya ke jenjang paling top dalam persilatan dan kalau sudah sampai di puncak tertinggi, bukankah dia rnerupakan orang yang paling berkuasa? Dan siapa tidak mengilar menduduki kekuasaan yang dapat membuat orang lupa daratan itu?

Demikian pula halnya dengan Si Unta Terbang. Membayangkan hasil gemilangnya dalam waktu yang tak lama lagi ini membuat kewaspadaannya berkurang, tidak tahu betapa seorang lawan berbahaya mengintainya dengan mata berkilat-kilat. Akan tetapi, kali ini perhitungan Leng-kwi meleset. Setelah cukup lama menunggu dengan rnulut menyeringai dan nafsu ditahan, ternyata Si Unta Terbang tidak kembali ke tempatnya semula melainkan pergi ke timur! Tentu saja Si Setan Gaib ini mendongkol dan gemas. Lama dia menanti dengin perasaan tegang, tahu-tahu orang yang ditunggu malah pergi ke lain jurusan. Siapa tidak mendongkol?

Namun Leng-kwi memang iblis yang tahan sabar. Meskipun mangsanya lolos dari tangan, iblis ini tidak terburu-buru. Dengan berhati-hati diapun lalu bergerak mengikuti jejak lawan dan ternyata Si Unta Terbang menuju ke bukit kapur. Di sini calon korbannya lalu menyelinap di antara batu-batu karang yang banyak terdapat di situ dan Leng-kwi terpaksa harus lebih berhati-hati.

Sejenak dia kehilangan jejak lawan, namun berkat ketekunannya mencari akhirnya Si Unta Terbang diketemukan! Ternyata lawannya itu bersembunyi di sebuah guha yang memang banyak berserakan di bukit kapur ini dan Leng-kwi menjadi girang. Dengan penuh kewaspadaan dia lalu mengindap-indap memasuki guha dan dilihatnya Si Unta Terbang duduk sambil membuka-buka kitab.

Tentu saja Leng-kwi nienjadi tegang dan di balik sebuah batu yang menonjol di dalam guha ia berpakaian hitam itu berlindung. Diam-diam mengepal tinju. Posisi lawan untuk dibokong sekarang terlampau sulit. Mereka berhadapan dan kalau desir angin jarum beracunnya didengar lawan, tentu Hui-toh akan tahu bahwa seorarg musuh sedang rnembokong. Ini tentu saja tidak dikehendakinya. Dia mau sekali serang menewaskan lawannya, dan tidak memberi kesempatan kepada Si Unta Terbang untuk mempersiapkan diri.

Oleh sebab itu, kembali Si Setan Gaib harus bersabar, dan rupanya kesabaran yang dimiliki ada hasilnya. Si Unta Terbang yang tampak kegerahan, lalu membuka baju dan karena sama sekali tidak menyangka dirinya dibuntuti orang, dengan tenang dia lalu meletakkan peti tua di sudut guha kemudian keluar untuk mandi membersihkan diri. Dan kesempatan inilah yang diambil oleh Leng-kwi. Begitu lawan keluar, cepat dia muncul dan sekali sambar saja peti tua di lantai guha itu telah berada di tangannya!

Lalu, seperti gerak rusa diburu harimau, sepasang kaki yang dapat memantul itu melesat keluar belasan tombak. Setan Gaib ini sudah merasa gembira karena pekerjaannya tidak sia-sia, dan dia siap untuk menghilang dengan wajah berseri. Namun alangkah kagetnya iblis berpakaian hitam itu ketika baru saja kakinya menginjak mulut guha tiba-tiba Si Unta Terbang kembali tanpa diduga! Rupanya, si unta berpakaian kuning ini mendapat firasat tidak enak dan biarpun dia hendak mandi disumber air yang ada di depan guha tetap saja orang ini merasa kurang nyaman.

Karena itu, dia lalu masuk lagi dengan maksud untuk mengambil peti pusaka dan mandi dengan membawa pusaka di dekat dirinya. Sispa tahu, begitu dia masuk sekonyong-konyong bayangan hitam berkelebat keluar dan peti hitam yang tadi diletakkannya di sudut guha itu ternyata di bawa pencuri! Tentu saja si Unta Terbang marah dan sekali mengeluarkan teriakan nyaring tubuhnya meluncur ke depan menghantam... Plakk…!

Leng-kwi menangkis dan kontan mengerahkan tenaga Ham-ping-ciang. Akan tetapi karena amat tergesa-gesa dan terkejut, serangannja ini kurang tepat dan Si Unta Terbang berseru tertahan dengan tubuh terpental sementara si Setan Gaib sendiri juga terhuyung-huyung. Cepat iblis berpakaian hitam itu tegak kembali dan sebelum lawan menyerang membabi-buta, dia melompat gesit sambil berseru,

"Hui Toh, karena kau telah menukarkan nyawamu dengan benda-benda berharga ini maka biarlah kuberikan kau hidup beberapa tahun lagi. Selamat tinggal!"

Leng-kwi melesat dan Si Unta Terbang terbelalak. Tadi dia tidak mengira bahwa pencuri itu ternjata Si Setan Gaib adanya, maka dia terkejut sekali dan terhenyak. Akan tetapi setelah dia sadar dan lawan pergi dengan ucapan yang amat jumawa si unta ini marah bukan main.

"Setan Gaib, pengecut kau manusia jahanam! Kalau tidak segera kau kembalikan barang-barangku itu, jaagan panggil aku Si Unta Terbang, keparat. Tar-tar-tarrr...!"

Hui-toh mencabut senjatanya dan pecut di tangan menjetar berkali-kali sebagai luapan amarah. Kemudian, sekali putar lengan seperti orang main uding tubuh Si Unta Terbang ini meluncur seperti roket. Leag-kwi dikejar, dan iblis berpakaian hitam itu mendengus, Diam-diam orang ini marah dan mendongkol sekali. Dia sudah mengalah namun Si Unta Terrbang tak tahu diri. Kalau saja tidak ingat bahwa peti yang dibawanya teramat penting, tentu dia akan berhenti dan menghajar si Unta Terbang yang memaki-maki di belakang itu.

Akan tetapi hal ini tidak boleh dilakukannya dan Leng-kwi memang tidak mau mangambil resiko terlalu besar. Barang yang dikempitnya ini tak ternilai harganya, sedikit lengah tentu diserobot orang. Karena itu, terpaksa dia harus "mengalah" dan dikejar-kejar seperti anjing diburu tuannya.

Memang lucu jalan pikiran Setan Gaib ini, dan bagi orang berotak waras tentu akan terpingkal-pingkal. Akan tetapi Setan Gaib memang bersungguh-sungguh. Tidak biasa bagi dirinya dimaki-maki orang seperti sekarang ini, juga tidak biasa baginya sampai lari-lari seperti orang ketakutan. Sebenarnya dia sama sekali tidak takut, berhati-hati saja dan oleh karena itulah sambil berlari otaknya juga diputar cepat seperti gerakan kakinya.

Dia berpikir kalau sampai dia dapat menuju ke suatu tempat yang aman dimana Hui-toh tidak mampu berkutik lagi tentu orang yang menjengkelkan ini akan bebas darinya. Dan kalau dapat mencari tempat itu, sungguh dia akan gembira sekali. Namun, tempat apa yang aman ini? Apalagi Si Unta Terbang itu tidak pernah berkurang jaraknya. Sedari tadi jarak mereka tetap sama, dari tadi sampai sekarang. Dan hal ini membuat Leng-kwi lama-lama naik darah. Kalau begini terus-terusan, si orang bangsat itu akan merepotinya selalu!

Sampai di sini hampir saja Leng-kwi berputus-asa, sudah siap menghentikan larinya dan hendak melabrak lawannya itu ketika mendadak seperti kilat menyamkar tiba-tiba sebuah nama diingatnya. Dan nama ini bukan lain Hwe Seng kok! Tentu saja Leng-kwi gembira sekali dan iblis terpakaian hitam itu tiba-tiba terkekeh nyaring.

"Hui-toh, kau tidak rela aku mendapatkan barang ini sebagai pengganti jiwamu? Aih, unta tolol, kau memang bodoh sekali. Kekalahan jelas berada di pihakmu namun kau tidak terima. Hemm, baiklah. Mari kita lihat siapa sebenarnya yang berhak atas benda-benda di dalam peti ini. Ayo kita berpacu dan siapa dulu masuk ke Lembah Hwe-seng-kok berarti dialah yang menang. Haiikkk...!"

Si Setan Gaib ini mendadak memekik tinggi dan begitu seruannya lenyap, dia melesat seperti meteor jatuh yang membuat Si Unta Terbang terpengaruh kagum. Pengerahan tenaga terakhir dari ginkang Leng-kwi itu memang mengguncangkan hati orang ini. Namun yang lebih mengejutkan lagi adalah sebutan Hwe seng kok. Si Unta Terbang terkesiap, dan tanpa terasa mukanya menjadi pucat. Dia sendiri tadinya tidak pernah berpikir untuk menuju ke lembah itu, akan tetapi Si Setan Gaib yang cerdik ini ternyata hendak ke sana.

Dan ini mungkin saja bagi orang yang telah membawa Pi-tok-cu, padahal mutiara yang langka itu kini berada di tangan Si Setan Gaib. Tentu saja Hui-toh kelabakan. Kalau lawannya itu sempat memasuki Hwe-seng-kok sebelum dia berhasil menangkapnya, alamat dia harus gigit jari. Dan Si Unta Terbang tidak menghendaki hal ini terjadi. Karena ita didorong kegelisahan hebat serta kemarahannya yang menggelegak, si unta berpakaian kuning ini menjerit nyaring dan memutar pecut panjang di tangannya itu semakin gencar.

"Wut-wuut-wuutt...!" permainan uding orang ini bersiutan keras dan sekonyong-konyong tubuh Si Unta Terbang berjungkir-balik ratusan kali di udara! Tentu saja demonstrasi ginkang ini hebat bukan main dan Leng-kwi mengeluarkan seruan tertahan. Kalau tadinya dia telah berhasil menambah jarak, adalah sekarang kembali diperpendek oleh gerakan si Unta Terbang yang berjungkir-balik secara luar biasa itu!

"Keparat!" si Setan Gaib mendesis gemas dan iblis berbaju hitam ini mengempos seluruh semangatnya untuk berlari cepat. Dia tidak mau dirinya disusul, karena itu dia harus berjuang mati-matian, dan hal ini mengakibatkan keduanya harus berusaha keras. Yang satu hendak menangkap sedangkan yang lain hendak meloloskan diri.

Maka hebat sekali pemandangan yang terjadi. Tubuh Leng-kui dan si Unta Terbang benar-benar sudah tidak mirip manusia lagi, mereka mirip bayangan setan yang terbang di atas bumi. Pohon-pohon berlari kencang, angin bertiup santer dan dua pakaian hitam dan kuning berkelebat silih berganti, sungguh menakjubkan!

Akan tetapi, mereka adalah manusia yang terdiri dari darah dan dagigg, bukan mesin yang dapat bergerak siang dan malam. Oleh karena itu setelah dua hari saling mengudak, Leng-kwi dan si Unta Terbang mulai ngos-ngosan. Keduanya mandi keringat, dan pakaian melekat di tubuh seperti lintah, Namun karena Si Setan gaib terus berlari si Hui toh pun terpaksa mengikuti. Unta terbang ini tidak mau kehilangan jejak. Maka kemanapun Leng-kui pergi, disitulah dia membayangi.

Dan ahkirnya, setelah mereka berlari pada hari ke tiga, tibalah dua orang yang sama-sama ngotot ini di Pegunungan Gui-niu-san. Si Setan Gaib benar-benar kepayahan, namun begitu melihat lembah Hwe-seng-kok di depan iblis baju hitam ini menggigit bibirnya mengerahkan tenaga.

Dia harus segera tiba di lembah itu, dan kalau usahanya ini berhasil, maka amanlah dirinya dari kejaran si unta bangsat. Dan pikiran ini menambah tenaga bagi Si Setan Gaib, membuat kedua kakinya yang sudah gemetaran itu tiba-tiba seperti terisi kekuatan baru. Karena itu, meski napas sudah memburu orang ini tetap bertahan diri untuk menjaga diri dari bahaya kabut Cek-yu-to-bu yang sudah semakin didekatinya. Si Setan Gaib mengambil mutiara penawar racun dari peti hitam. Cahaya terang berkilauan tajam ketika Pi-tok-cu telah digenggam oleh si Leng-kwi, dan Hui-toh yang melihat hal itu mengeluarkan pekik marah.

Dia tahu apa yang dipikirkan lawannya, dan ini membuat Si Unta Terbang beringas. Diapun juga sudah kepayahan, lututnya gemetar dan kedua tangan yang selalu memutar-mutar "uding" itu juga sudah terasa sengkleh. Namun, begitu melihat Si Setan Gaib mengeluarkan Pi-tole-cu, Si Unta Terbang melengking tinggi dan gemetar di kedua kaki serta rasa sengkleh di sepasang lengannya lenyap.

Kekhawatiran hebat membangkitkan tenaga ajaib di dalam tubuh Hui-toh, dan tiba-tiba tubuhnyapun melesat seperti bidikan anak panah di tangan raksasa muda. Dan memang mengagumkan sekali kekuatan terakhir yang timbul pada diri orang ini. Leng-kwi yang tadinya sudah merasa girang karena Si Unta Terbang mulai tertinggal di belakang, kini kembali tersusul seperti semula, bahkan rupanya keajaiban tiba-tiba yang diperoleh Hui-toh melebihi tenaganya sendiri sehingga lawannya. itu tahu-tahu telah berada lima meter di belakangnya!

Tentu saja Si Setan Gaib mencelos kaget. Tadi jarak yang paling pendek di antara mereka adalah dua puluhan meter. Sekarang, sekonyong-konyong Si Unta Terbang tinggal lima meter lagi. Bagaimana dia tidak terkejut? Dan sementara jantungnya berdetak kencang tiba-tiba si unta kuning itu sudah berseru di belakangnya dengan penuh kemarahan,

"Leng-kwi pencuri busuk, masib berani kau mengangkangi niilik orang lain? Hayo kembalikan petiku itu. Kalau tidak, Ngo-seng-pian akan membeset kulitmu menjadi cacahan bakso....!"

Ancaman ini disusul suara "tar-tarr" nyaring dan telinga Si Setan Gaib terasa mendengung. Tentu saja dia naik darah, namun karena Hwe-seng-kok sudah hampir dicapainya maka terpaksa dia menulikan telinga. Hanya di dalam hati ini berjanji bahwa kelak, apabila dia telah berhasil menguasai seluruh isi dalam kitab ilmu Bu-kang-pit-kip, maka orang pertama-tama yang dijadikan korbannya adalah Si Unta Terbang itu.

Namun pikiran ini tidak boleh terlalu lama hingap di otaknya karena dia harus memperjuangkan sisa-sisa terakhir dari kekuatannya untuk menaju ke Hwe-seng kok. Karena itu, Leng-kwi tidak menggubris kata-kata lawannya dan orang ini terus berlari kencang menuju ke depan. Dia harus segera menuju ke tempat itu harus segera!

Demikian tekadnya dan dengan mati-matian Si Setan Gaib memang berusaha. Akan tetapi... aihh! Nasib rupanya sedang sial bagi Si Setan Gaib. Lembah Hwe-seng-kok yang tadinya masih sendiri itu sekarang tiba-tiba sudah tidak sendiri lagi! Seseorang menghadang didepan berdiri tenang di mulut lembah dengan kedua tangan bersilang. Siapakah dia? Entahlah, si Setan Gaib tidak mengenalnya.

Yang jelas laki-laki itu tinggi tegap, tidak begitu besar, namun kekuatan tubuhnya cukup menonjol. Mulutnya tersenyum-senyum, pakaiannya berwarna hijau dan wajahnya tampak simpatik, akan tetapi sepasang matanya menunjukkan sesuatu yang aneh, sesuatu yang menakutkan dan dingin menyeramkan. Perbawa ganjil menyelubungi diri orang ini dan sikapnya yang dingin tenang itu meremangkan bulu tengkuk. Keadaannya mirip Hwe-seng-kok sendiri, kalem namun menggetarkan.

Si Setan Gaib naik pitam. Orang jelas menghadang di mulut Hwe-seng-kok, padahal dia hendak memasuki lembah itu. Mana dia mau berdiam diri? Oleh sebab itu dari jauh Leng-kwi sudah mengeluarkan teriakan mengancam dengan tinju kiri terkepal, "Hei, kutu busuk di depan, minggirr...! Tuanmu mau masuk ke tempat itu dan enyahlah dari sini kalau tidak kutampar mulutmu yang pringas-pringis itu… Cepat!"

Bentakan ini menggetarkan isi lembah, dan orang biasa yang mendengarnya tentu akan ketakutan. Namun sayang, orang itu rupanya bukan orang "biasa". Dia bahkan tersenyum lebar dan tiba-tiba malah tertawa bergelak. 

"Ha-ha-ha-ha, Setan Gaib benar-benar makhluk mengagumkan. Berani memasuki Hwe-seng-kok dengan mulut sebesar ini pasti ada andalannya. Eh, Setan Gaib, kenapa berkaok-kaok seperti kambing kebakaran jenggotnya? Aku sejak tadi sudah berdiri di sini, kenapa hendak mengusirku? Tidak, aku orang bebas dan siapapun tidak berhak memerintahkan orang lain seenak perutnya sendiri. Semua harus pakai aturan dan kaisar sendiri yang bisa dikatakan orang paling top di dunia juga masih pakai aturan kalau memerintah orang lain. Kenapa kau hendak sewenang-wenang? Kalau mau mengusir boleh lempar dulu tubuhku ini dan baru setelah itu kau bebas bertindak terhadap orang lain. Bukankah begitu, Si Unta Terbang yang gagah perkasa?"

Orang ini menoleh ke arah Hui-toh dan Si Unta Terbang merasa girang ada orang membantunya. Biarpun laki-laki tegap itu belum diketahui namanya siapa, namun sikap orang yang ramah dan tampak bersahabat itu membuatnya girang bukan main, bukan girang karena orang itu manis budi kepadanya, melainkan girang karena orang itu telah menghadang larinya Si Setan Gaib yang hendak memasuki lembah!

Namun, agar orang di depan tidak tersinggung maka Si Unta Terbang inipun menjawah nyaring, "Sicu (orang gagah) yang bijaksana, kata-katamu sungguh tepat sekaIi. Aku Si Unta Terbang hanya dapat menyatakan kagum. Leng-kwi memang manusia busuk, maka sudah sepatutnya orang ini diajar adat. Apalagi dia telah mencurl barang-barangku, maka tolong kau cegat dia, jangan diperkenankan masuk ke Hwe seng-kok!"

"Oh, begitukah? Jadi iblis hitam ini sekarang jadi pencuri. Waduh sayang sekali. Aih, Setan Gaib, kau harus diadili! Hayo kembalikan barang orang lain dan Si Unta Terbang pasti mengampunimu. Bukankah demikian, Si Unta Terbang?"

Hui-toh sudah merasa gembira, maka kata-kata itupun diterimanya dengan wajah berseri. Kalau Lang-kwi benar mau mengembalikan peti pusakanya, diapun juga tidak keberatan mengampuni Si Setan Gaib. Dan untuk keuntungan karena setan hitam itu telah membawanya ke Hwe-seng kok, dialah nanti yang akan memasuki lembah itu dan mempelajari semua isi kitab Bu-kang pit kip dengan perasaan lega. Hwe seng kok adalah tempat paling aman di dunia, dan dengan adanya Pi-tok-cu di tangan memang tidak usah takut terhadap segala bahaya racun termasuk Cek-yu-tok-bu. Karena itu, diapun lalu menganggukkan kepalanya.

"Asal Leng-kwi mengembalikan barang barangku maka akupun rela mengampuni jiwa anjingnya. Dan untuk bantuan sicu yang gagah perkasa inipun aku pasti akan memberi kau imbalannya!"

"Hai, jadi akupun dapat hadiah?!" orang itu berseru kaget.

"Benar!" Si Unta Terbang menjawab dan laki-laki itu tampak girang.

"Wah, kalau begitu aku harus dapat menundukkan pencuri liar itu!" orang itu berseru sambil tertawa dan tiba-tiba sikapnya berobah, lebih serius dan kelihatan sungguh-sungguh. Hui-toh melihat orang tak dikenal ini merapatkan kedua kakinya, lalu kedua tangan bertolak pinggang di samping tubuh sambil membusungkan dadanya, "Hei, Setan Gaib, berhentilah. Sekarang lebih baik kita berdamai dan patuhilah perintah Si Unta Terbang untuk mengembalikan barang barangnya. Dengan demikian, kau diampuni jiwamu dan aku-pun tidak usah menanggung resiko menerima kemarahanmu. Bukankah ini jalan paling bagus?"

Akan tetapi mana seruan itu digubris Leng-kwi? Setan Gaib ini malah mendelik dan menyaksikan sikap orang yang berdiri menantang itu iblis baju hitam ini menggereng. Dia sudah tiba di depan, dan karena tangan kananya sedang memegang Pi-tok-cu, maka tangan kirinyalah yang bekerja. Dengan satu bentakan pendek iblis hitam ini menghantamkan tangan kirinya ke dada lawan dan cahaya putih berkeredep dingin. Itulah pukulan Ham-ping-ciang (Pukulan Hawa Dingin) yang di dapat Heng kwi dalam latihan di kutub utara. Biasanya pukulan ini jarang ada yang berani menerima karena sekali terpukul badan tentu membeku seperti es.

Namun sungguh mengejutkan. Orang itu malah tertawa mengejek melihat pukulan Si Setan Gaib dan dia sama sekali tidak mengelak maupun menangkis. Dengn tenang dan mulut tersenyum-senyum laki laki ini memandang lawannya dan ketika pukulan itu tiba, dadanya yang tadi dibusungkan penuh hawa itu sedikit dikempeskan.

Terdengar suara "blukk" yang keras dan Si Setan Gaib menjerit tertahan. Iblis hitam ini merasa betapa pukulannya mendarat di tempat yang lunak dan sebelum dia sempat berbuat sesuatu, tiba-tiba tangan kirinya tersedot dan sedetik kemudian suatu tenaga tolak yang amat dahsyat membalikkan pukulan sinkangnya. Tentu saja Leng-kwi mencelos kaget namun semuanya sudah terlambat. Dengan satu bentakan pendek laki-laki itu berseru,

"Pergilah....!" dan tubuhnya benar-benar "pergi" ke atas dan akhirnya jatuh terbanting dengan pantat lebih dulu!

"Bukk!" Si Setan Gaib menyeringai dan pada saat yang bersamaan Si Unta Terbang menghantam tengkuknya dengan pukulan tangan miring. Leng-kwi tidak sempat mengelak, dan iblis hitam itu roboh terkapar dengan kepala terkulai.

Hui-toh cepat merampas kembali peti pusakanya dan Pi tok-cu di tangan Setan Gaib juga segera diambil. Kemudian dengan wajah berseri dan pakaian dikebutkan Si Unta Terbang menghampiri "sabahat" yang telah menolongnya secara demikian mudah ini. Ia menjura di depan orang itu sambil berkata dengan mulut tersenyum,

"Sicu yang gagah perkasa benar-benar lihai aku Si Unta Terbang sungguh kagum melihat sicu berani menerima pukulan Ham-ping-ciang dari Si Setan Gaib. Tidak tahu, apakah sicu tidak terluka olehnya? Ham-ping-ciang sedikit banyak mengandung racun dingin, maka kalau sicu keracunan, boleh diisap sedikit dengan mutiara ini dan tubuhpun pasti sehat seperti sedia kala."

"Ah, begitukah?" orang itu terbelalak. "Dan, ehh... dadaku tiba-tiba terasa dingin. Apakah ini gejala keracunan dari pukulan Leng-kui? Aduh, celaka kalau begitu. Unta Terbang, tolong berikan mutiara itu kepadaku agar aku tidak mati konyol!"

Melihat orang menjadi pucat Si Unta Terbang tersenyum aneh dan tiba-tiba matanya berkilat keji. Tadi menyaksikan kehebatan orang ini menerima pukutan Si Setan Gaib, hati Si Unta Terbang terkesiap kaget. Tidak sembarang orang berani menerima begitu saja pukulan Ham-ping-ciang yang dimiliki Leng-kwi. Dan di dunia ini mungkin hanya beberapa orang saja yang berani menerimanya mentah-mentah, seperti misalnya Malaikat Gurun Neraka atau murid tunggalnya yang perkasa itu, yakni Pendekar Gurun Neraka sendiri. Selain dua orang ini, barangkali tidak ada orang ke tiga yang mampu melakukannya.

Maka ketika tadi dia melihat laki-laki tak dikenal itu berani menerima pukulan Si Setan Gaib, diam-diam Si Unta Terbang ini menduga-duga siapa gerangan orang lihai ini. Siapa sangka, sikapnya tadi itu ternyata hanya untuk gagah-gagahan belaka. Buktinya, sekarang orang ini mengeluh kedinginan karena terserang racun!

Hmm, ini menunjukkan bahwa laki-taki itu bukanlah orang yang terlalu berbahaya, dan dia tidak usah perduli dengan orang macam ini. Sebab, kalau orang itu benar-benar memiliki tingkat yang sejajar dengan dua orang tokoh dari Gurun Neraka, maka kepandaiannya sendiri masih dibawah tingkat oran-orang sakti ini. Dan mengingat bahwa peti tua yang dibawanya itu berisi benda-benda pusaka yang tidak boleh diketahui orang lain, maka menghadapi lawan lebih kuat haruslah bermanis muka. Itulah tadi persangkaannya terhadap orang itu.

Sekarang, setelah dia tahu bahwa laki-laki ini ternyata bukan orang yang perlu ditakuti dan malah sudah terserang racun dingin dari pukulan Ham-ping ciang, adalah lebih baik membereskannya saja. Penemuannya ini amat berbahnya, dan dia sendiri masih terheran-heran bagaimana Leng-kwi bisa mengetahui penemuannya itu. Kini Si Setan Gaib melingkar pingsan, dan sebelum dia membunuh iblis hitam itu, adalah lebih baik membunuh laki-laki tak dikenal yang telah menolongnya ini.

Memang Si Unta Terbang itu bukanlah manusia baik-baik. Dia dan Leng-kwi adalah oran yang sama-sama busuk, masing-masing setali tiga uang. Oleh sebab itu, setelah memutuskan rencananya ini Si Unta Terbang dengan mulut tersenyum maju ke depan. "Sicu, jadi dadamu terasa dingin?" tanyanya halus sambil meraba tubuh orang.

Dan orang itupun mengangguk. "Ya, dingin sekali. Malah sekarang seluruh tubuhku juga ikut-ikutan menjadi dingin, hiihh… aduhh, bagaimana ini? Unta Terbang, cepat tolong aku sebelum tubuhku menjadi beku...!" orang itu menggigil dan mulutnya berketrukan, sementara mukanya mulai kebiruan.

Sekarang Si Unta Terbang benar-benar yakin. Tubuh orang memang dingin, seperti direndam dalam sebuah tong es, dan dari rabaannya tadi dia tidak ragu-ragu lagi bahwa orang ini tidak berpura-pura. Karena itu, dengan senyum iblis dia-pun lalu menggerakkan tangan kirinya secepat kilat menghantam ubun-ubun kepala orang sambil bereru, "Sicu, keadaanmu memang gawat. Biarlah kutolong kau ke akhirat!" dan berbareng dengan ucapan ini, hantaman Si Unta Terbang menimpa kepala lawan.

Orang itu tampaknya terkejut, akan tetapi dia tidak sempat mengelak. Mulutnya hanya mengeluarkan suara "ahh" dan tangan kiri Unta Terbang pun tiba. Terdengar suara "plakkl" yang nyaring ketika ubun-ubun itu terpukul dan Si Unta Terbang menjerit ngeri.

Apa yang terjadi? Sungguh tak masuk akal Suatu keajaiban! Dan hal itu dialami Si Unta Terbang yang kini terbelalak pucat memandang laki-taki berpakaian hijau itu. Kiranya tadi, para saat pukulan Hui-toh mendarat di kepala orang, tiba-tiba suatu keanehan terjadi di tempat ini. Tangan kiri Si Unta Terbang bertemu dengan ubun-ubun yang lunak dan tangan itupun tak mampu ditarik kembali, melengket seperti karet di besi panas.

Tentu saja Si Unta Terbang kaget setengah mati. Dia merasakan suatu daya hisap yang amat kuat menyedot tangannya, tak mampu dilawan dan seluruh tenaga sinkang yang dikerahkan, lenyap di kepala orang ini. Dan sementara dia terkejut tak mengerti, mendadak suara "ohh" tadi dibarengi dengan menjalarnya hawa dingin ke telapak tangannya. Ubun-ubun orang aneh ini mengeluarkan suatu kekuatan mujijat, hawa dingin yang membekukan kelima jari tangan kirinya dan tanpa dapat dicegah lagi, karena tangan Si Unta Terbang melengket ketat, membanjirlah tenaga dingin yang luar biasa ke tubuh Si Unta Terbang!

Kini ganti si Unta kuning itulah yang kedinginan dan laki-laki berpakaian hijau itu terkekeh. Sekarang Hui-toh sadar bahwa dia ternyata masuk perangkap dan si Unta ini menjadi pucat!. Maklumlah dia bahwa orang aneh itu telah mempergunakan kepandaiannya "menyimpan" pukulan Ham-ping-ciang yang tadi diterimanya dari Leng-kwi, dan kini setelah dia menyerang laki laki itu, mempergunakan tenaga dan memindahkan racun dingin Ham-ping-ciang ke dalam tubuhnya!

Tentu saja Si Unta Terbang menjadi ketakutan. Sungguh mati dia tidak tahu siapa adanya orang luar biasa ini. Sekarang, setelah tangannya dibuat lengket begitu, unta kuning ini menjadi gugup bukan main. Kenyataan bahwa orang ini ternyata manusia sakti yang amat lihai sehingga mampu "menyimpan" serangan musuh dan dipakai lagi untuk menyerang orang lain secara diam-diam adalah merupakan suatu kepandaian tingkat tinggi yang hanya dimiliki tokoh tokoh besar dunia saja.

Oleh sebab itu, sadar akan kesalahan yang telah dibuat membuat Hui-toh meraung nekat. Orang ini memekik gusar dan sekali tangan kanannya diayun, maka pukulan keduapun menyusul. Orang itu hanya menjengek, dan hantaman tangan kanan ini dibiarkannya saja. Si Unta Terbang yang kalap hanya mengharap agar dia dapat melepaskan diri, akan tetapi keinginan itupun sia-sia.

Ubun-ubun lawan kembali dipukulnya dan seperti tadi, suara "plak" yang keras nyaring meledak tiba tiba. Namun bukannya laki-laki itu yang mengeluh, melainkan Hui toh sendiri karena seperti tangan kirinya, tangan kanan inipun melekat di atas kepala orang seperti karet di besi panas!

Tentu saja Si Unta Terbang kelabakan, dan dia hendak menggerakkan kakinya menendang tangan lawan yang merupakan tempat paling, vital bagi laki laki itu, Akan tetapi sayang, gerakannya telah didahului. Orang itu terkekeh kecil dan sehelum kaki Si Unta Terbang melayang jari tangan kirinya menotok paha Hui-toh dan kontan si unta licik ini berdiri kaku dengan mata mendelik!

"Ha ha, Unta Terbang memang orang tidak kenal budi, dibantu kawan malah menjadi lawan. Aih, Unta Terbang, dari mana kau belajar kelakuan buruk ini? Si paderi pesek dari Gobikah Ha-ha, Pek-kit Hosiang memang harus diketok kepalanya yang gundul itu. Siapa suruh muridnya kurang ajar? Hem, aku harus menemui gurumu itu dan menyerahkan kepalamu yang banyak akal ini kepadanya dengan utuh. Maukah kau, Unta Terbang?" Orang itu tertawa-tawa geli dan sekali kepalanya disentakkan, kedua tangan Si Un Terbang yang tadi lengket di atas kepalanya itu kini terlepas. Tubuh Si Unta Terbang ambruk seperti batang pisang dan laki laki ini mengeluh.

"Kau, siapakah....?" Hui-toh bertanya gagap, sementara matanya memandang ngeri. Orang telah menyebut-nyebut nama gurunya, berarti laki laki itu mengenal Pek kut Hosiang dengan baik. Kalau begitu, siapakah dia? Melihat kepandaiannya yang luar biasa serta cara bicaranya terhada Pek kut Hosiang seolah-olah menunjukkan orang ini setingkat dengan gurunya. Dan itu agaknya memang benar. Kepandaiannya yang luar biasa memang dapat disejajarkan dengan hwesio Go-bi itu, atau mungkin malah lebih hebat lagi, Si Unta Terbang tidak tahu dan justeru karena tidak tahunya inilah maka dia menjadi semakin gelisah.

Orang itu tertawa. "Unta Terbang, untuk apa menanyakan siapa diriku? Nyawamu sudah tinggal serambut saja dengan pintu gerbang akhirat maka tahupun juga tiada gunanya lagi. Lebih baik kau jawab saja pertanyaanku tadi, maukah kepala mu kubawa ke Pak-kut Hosiang? Kalau kau mau, gurumu itu tentu akan girang sekali karena dapat mempergunakan kepala muridnya sebagai tumbal di sana, ha-ha-ha....!"

Laki-taki baju hijau itu tertawa bergetak dan Si Unta Terbang menjadi pucat. Orang ini bicaranya seperti orang main-main saja, akan tetapi sinar matanya jelas tidak main-main. Malah senyum yang tadi biasa ramah itu sekarang mulai menyeringai seperti iblis haus darah dan Hui-toh tergetar perasaannya. Dia sudah jatuh di tangan lawan, dan apapun yang akan dilakukan orang itu terhadap dirinya tentu dia tidak dapat mengelak.

Namun, mati di tangan orang yang sikapnya menyeramkan ini rupanya bukan mati yang enak. Apalagi pertanyaannya tadi yang menyatakan apakah dia mau di penggal kepalanya ini sudah membuat hati Si Unta Terbang benar-benar seakan terbang! Mana dia mau membayangkan hal yang ngeri in!? Tidak, Unta Terbang harus mancari akal. Oleb sebab itu, dengan suara menggigil diapun merobah sikap, merunduk-runduk mohon belas kasihan dan berkata dengan tubuih gemetar,

"Taihiap (pendekar besar), harap kau maafkan kesalahanku tadi. Aku tidak mengenal dirimu dan telah berlancang sikap. Untuk ini, mernang sepantasnya apabila aku dihukum. Akan tetapi, kalau taihiap sudi mengampuni jiwaku maka biarlah semua pusaka-pusaka itu menjadi milikrnu sebagai penebus dosaku dan...."

Sampai di sini Si Unta Terbang terpaksa berbenti bicara karena laki-laki baju hijau itu tiba-siba mendelik penuh kemarahan. "Unta Terbang!" orang itu membentak bengis. "Berani kau mengadakan transaksi dagang pada saat nyawamu tinggal seujung rambut? Cihh, manusia tidak tahu diri, kata-katamu jadi malah menambah dosamu yang tak berampun! Siapa bilang pusaka pusaka-pusaka itu punyamu? Keparat, akulah pemilik tunggal sekarang ini dan untuk kata-katamu yang kurang ajar itu hayo kau tampar mulutmu seratus kali....!"

Sehabis bicara, orang ini lalu menggerakkan jari tangan kirinya dan kedua lengan Si Unta Terbang yang tadi tertotok sekarang bebas kembali. Si Unta Terbang terbelalak, dan mukanya merah padam. Tidak biasa dia menerima hinaan orang, akan tetapi hari ini rupanya dia harus menerima nasib. Kalau saja kakinya dapat digerakkan, tentu dia sudah menerjang lawannya ini dengan nekat. Namun sayang, hal itu tidak dapat dilakukannya dan si laki-laki baju hijau berdiri di depan sambil bertolak pinggaag dengan sikap mengancam.

Kini, melihat Hui-toh masih menjublak disitu tidak segera menjalankan perintah, orang itu semakin marah dan membentak nyaring, "Unta Terbang, apakah daun telingarnu juga minta dibeset? Tulikah kau sehingga tidak cepat menjalankan hukuman ini? Hayo kerjakan, sebelum aku sendiri yang turun tangan!"

Si Unta Terbang seperti disengat lebah dan dia sadar kembali. Tadi dia sedang berpikir apakah permintaan ini perlu dituruti ataukah tidak. Kalau dituruti apa untungnya dan kalau tidak dituruti apa ruginya. Dan dalam waktu beberapa detik itu otaknya yang encer telah mengambil keputusan. Jelas orang ini bukan tandingannya, dan melawan musuh yang jauh lebih kuat adalah satu perbuatan bodoh. Oleb sebab itu, kalau dia menolak tentu keadaannya bakal lebih celaka lagi. Apalagi kalau hukuman tampar mulut ini belum apa-apa sudah mau ditambah dengan membeset daun telinga, kan lebih runyam?

Karena itu karena orang telah tidak sabar menunggu Si Unta Terbang tidak berani ayal. Begitu matanya beradu dengan sorot mata lawan yang dingin menyeramkan, Si Unta Terbang tergagap gentar, dari sebelum orang itu mengulangi untuk yang ketiga kalinya. murid Pek-kut Hosiang ini lalu cepat cepat menggaplok mulutnya dengan kedua targan berganti-ganti. Maka terdengarlah suara "plak-plok" bertubi-tubi dan laki-laki baju hijau tersenyum puas sambil mulai menghitung. "Satu dua... tiga begitu seterusnya mengikuti gamparan mulut yang dilakukan Si Unta Terbang.

Dan terjadilah pemandangan yang luar biasa lucunya di tempat ini. Si Unta Terbang yang biasa malang-melintang di daerah utara itu seperti bocah yang dimarahi tuannya. Apapun yang dikatakan tuannya, Unta Terbang itupun patuhlah. Sama sekali dia tidak berani menentang dan gaplokan bertubi-tubi itu akhirnya membuat muka Hui-toh bengap-bengap matang. Akan tetapi laki-laki baju hijau rupanya orang sadis. Melihat Hui-toh mulai lambat pada gaplokan ke tujuh puluh, dia lalu membentak keras dan memerintahkan lawannya untuk menampar lebih kuat.

Hal ini tentu saja membakar kemarahan Si Unta Terbang, akan tetapi karena dia tidak berani menolak, maka jadilah permintaan itu dituruti. Unta Terbang benar-benar menampar mulutnya kuat-kuat dan pada hitungan ke delapan puluh lima, mulutnya pecah berdarah. Orang itu tertawa bergelak dan akhirnya, setelah lengkap seratus tamparan, Si Unta Terbang terengah-engah dengan mata berapi api. Kebencian serta kemarahannya kali ini tak dapat disembunyikan, maka dengan terang terangan dia memandang lawannya itu seperti orang hendak menelan bulat-bulat.

Laki-laki baju hijau mengerutkan alisnya, "Unta Terbang," katanya dingin. "Jangan memandangiku seperti itu. Kalau kemarahanku bangkit, aku khawatir engkau nanti akan mengalami nasib yang lebih mengerikan lagi."

Kata-kata ini membuat Si Unta Terbang sadar dan cepat dia menindas gejolak hatinya yang hampir tidak kuat ditahan itu. Orang aneh ni memang tidak boleh dibuat main-main, dan biar bagaimanapun juga dia harus pandai melihat keadaan. Menghadapi orang kuat adalah jauh lebih menguntungkan kalau tidak menentangnya. Oleh sebab itu, dengan perasaan marah ditahan Si Unta Terbang lalu bertanya serak, "Sobat, kau telah selesai menghinaku sedemikian rupa, Masihkah kau tidak membebaskan aku?"

"Eh, membebaskan engkau? orang itu menjawab heran. "Siapa bilang aku akan membebebaskan engkau, Unta Terbang? Tidak, justeru aku hendak minta kepalamu itu untuk kuberikan pada gurumu. Bukankah kau tidak keberatan? Dan masalah hinaan, siapa yang telah menghina dirimu? Adalah engkau sendiri yang membuka mulut seenaknya sehingga kau merasakan hukuman yang pantas. Siapa menghinamu? Aih, orang berotak miring agaknya semakin dekat dengan ajal pikiranmu jadi semakin tidak karuan, ha-ha-ha…..!"

Orang itu tertawa keras dan Si Unta Terbang menjadi pucat. "Kau... bangsat jahanam, ada permusuhan apakah maka kau sampai menghendaki jiwaku? Apa dosaku maka disamping merampas pusaka juga masih hendak merampas nyawa orang? Iblis keji, kau sungguh terlalu, semoga kelak setan sendiri akan menarikmu menjadi inti neraka!"

Hui-toh berteriak-teriak kalap dari sebutan "taihiap" sudah tidak dipakainya lagi. Orang jelas hendak membunuhnya, maka bagaimanapun juga kemarahannya tidak dapat dibendung. Sesabar-sabarnya manusia dia bukanlah dewa, maka begitu lawan tetap hendak membunuh dirinya membuat perasasaan Si Unta Terbang mendidih.

Akan tetapi laki baju hijau itu malah tertawa semakin keras. Maki-makian Si Unta Terbang sangat dirasakan menggelitik perutnya, maka ia tertawa sampai terpingkal-pingkal.

"Ha-ha-ha, Unta Terbang, siapa yang akan menjadi entip neraka? Kau ataukah aku? Dilihat sekarang saja sudah jelas bahwa kaulah yang bakal bertemu setan-setan penasaran di neraka. Dan masalah keji, he-he, siapa yang keji? Tadi kau mencoba untuk membunuhku, dan kalau aku tidak kuat, bukankah aku yang akan binasa ditanganmu? Aih, Unta Terbang, bicaramu semakin meluncur tidak karuan! Dan telingaku ini tidak tahan. Hemm, sekarang aku tidak sudi membawa kepalamu ke Go-bi. Biarlah nanti dipasang di mulut Hwe-seng-kok saja untuk pengusir burung, ha-ha-ha!"

Orang itu tertawa menyeramkan dan tiba-tiba kaki kirinya bergerak. Pecut Ngo-seng-pian yang menggeletak di atas tanah tahu-tahu melayang ke atas dan sekali sambar tangan kanannya menyarnbut. Si Unta Terbang gemetar, mukanya pucat seperti kertas. Dia melihat betapa orang itu memutar-mutar cambuk di udara dan terdengarlah ledakan seperti halilintar memekakkan telinga.

"Kau... kau mau apakah?" Si Unta Terbang bertanya serak dan matanya terbelalak ke arah laki-laki baju hijau yang tersenyum-senyurn mengerikan ini.

Namun laki-saki itu bersikap acuh tak acuh. "Unta Terbang, kau jawab saja pertanyaanku ini. Ingin mati secara cepat ataukah lambat?"

Si Unta Terbang menggigil. "Iblis keji, tidak cukupkah dengan merampas kitab orang saja. Mengapa aku yang sudah kau siksa ini masih juga harus kau bunuh?" teriakannya marah.

Akan tetapi orang itu tersenyum dingin! "Unta Terbang, jangan banyak cerewet lagi. Aku sudah tidak punya waktu untuk melayaninnu dan sekarang pilihlah, ingin mati cepat atau lambat?" orang ini mendesis dan Si Unta Terbang mulai ketakutan.

"Tidak... jangan, aku tidak mau kedua-duanya!" Si Unta Terbang berseru dan orang itu mendengus.

"Kau harus memilih, Unta Terbang, dan ini satu kehomastan bagimu!" laki-laki baju hijau membentak marah dan cambuk di tangannya mengaung berputaran di atas kepala Hui-toh.

Si Unta Terbang, mulai histeris. Melihat maut di depan mata ini dia mulai berteriak-teriak dan cambuk di tangan si baju hijau meledak-ledak nyaring di etas kepalanya. Orang itu tampak gemas dan ketika Si Unta Terbang masih saja memaki-maki seperti orang gila, laki-laki ini hilang sabar.

"Unta Terbang, mengingat kau telah melepas budi dengan memberikan pusakamu kepadaku maka kuberi kehormatan padamu untuk jalan kematian. Akan tetapi, karena kau tidak tahu diberi keistimewaan, nah, biarlah kuputuskan sendiri saja. Sekarang bersiaplah, temui nenek moyangmu di dasar neraka sana!"

Orang ini menggerakkan cambuknya di udara dan ledakan seperti suari halilintar terdengar memekakkan telinga. Si Unta Terbang ngeri, dan dia melihat betapa cambuk yang tadi lemas itu tiba-tiba berobah kaku seperti toya dan sekali tangan orang ini membalik tahu-tahu cambuk yang sudah seperti besi kerasnya itu menyambar leher.

"Tidak... jangan... hekk!" Si Unta Terbang terlolong namun kalimatnya teputus di tengah jalan. Senjata istimewa itu dengan tepat mengenai lehernya dan seperti sebatang pedang saja tahu-tahu kepala Si Unta Terbang mencelat terbabat cambuk di tangan laki-laki baju hijau. Sunggah mengerikan!

Namun itulah yang terjadi dan Unta Terbang tewas dengan keadaan yang amat menyedihkan. Sejenak laki-laki itu memandang mayat korbannya, dan senyum dingin terus timbul di ujung mulutnya. Suasana menjadi sunyi dan Lembah Hwe-seng-kok tampak semakin hening. Tiba-tiba orang ini memutar tubuh,

"Leng-kwi, bangunlah! Kenapa harus berpura-pura pingsan seperti orang mati? Kau sudah sadar sejak tadi dan tidak mau meninggalkan tempat ini, sungguh nyalimu besar sekali. Hemm, apa kehendakmu?" orang itu tiba-tiba membentak dan Si Setan Gaib melompat dengan mata terbeliak.

Sesungguhnya dia memang sudah sadar dan hanya karena berat untuk meninggalkan warisan Bu-tek-thi-pah-ong itulah maka dia masih terus berpura-pura pingsan. Kini, laki-laki baju hijau yang amat lihai itu ternyata mengetahui keadaannya maka apa gunanya berpura-pura lagi?

Setan Gaib berdiri dan dengan mata terkejut dia memandang orang aneh ini. Diam-diarn dia menduga, siapakah sebenarnya laki-laki itu dan melihat kepandaiannya yang luar biasa, agaknya tidak salah kalau orang aneh ini termasuk salah-seorang tokoh besar dunia persilatan. Akan tetapi, siapa gerangan? Watak dinginnya patut kalau dia dimasukkan dalam golongan kaum sesat, namun siapa? Setan Gaib belum pernah mendengar tentang kali-laki ini dan diam-diam jantungnya terdebar tegang.

Baju hijau itu melangkah maju. Melihat Leng-kwi berdiri tertegun, dia lalu melempar cambuk di tangan yang berlepotan darah. "Setan Gaib, mau apa kau memandangku seperti orang kelaparan? Kenapa tidak segera mencabut belatimu dan membunuh diri?"

Setan Gaib tercekat. Suara orang yang demikian dingin menyeramkan membuat bulu tengkuknya meremang. Dan diam-diam hatinya kaget sekali melihat orang itu tahu bahwa dia memiliki sebilah pisau. Pada hal senjata ini tersimpan di balik bajunya yang rapat. Sungguh orang ini lihai sekali!

"Kau siapakah, sobat? Mengapa menyuruhku bunuh diri? Aku tidak melakukan kesalahan dan kita juga tidak pernah saling kenal. Kenapa kau demiklan enak bicara?" iblis baju hitam ini menindas guncangan batinnya dan dengan suara lantang dia menjawab.

Laki-laki itu menyeringai, sepasang matanya berkilat tajam dan Setan Gaib terkejut bukan main melihat sinar mata yang mencorong seperti mata seekor harimau. Belum pernah dia melihat mata yang seperti itu, dan jantung Leng kwi berdetak kencang. Perbawa yang timbul dalam diri laki-laki baju hijau ini sungguh hebat dan Setan Gaib tanpa terasa lalu mundur selangkah.

"Hemm, kau semakin menambah dosa saja dengan bantahan ini, Setan Gaib. Akan tetapi kalau itu sudah menjadi keinginiamu, baiklah. Kau ingin kenal siapa aku, bukan? Nah, sekarang lihatlah, barangkali kau tahu tentang ini....?"

Laki-laki itu membuka baju luarnya dan Leng-kwi melihat betapa di atas baju dalam ini terdapat gambar sebuah tengkorak yang terapung di atas sebuah pulau. Lukisan ini indah, terbuat dari sulaman benang emas akan tetapi Setan Gaib tiba-tiba menjadi pucat mukanya.

"Kau kau dari Hek-kwi-to?" Leng-kwi terbelalak dan laki-laki itu tertawa bergelak.

"Ha-ha, matamu sungguh tajam, Setan Gaib, sekali pandang sudah tahu siapa aku. Nah, masihkah kau menolak perintahku tadi?" orang ini memandang lawannya dan iblis baju hitam itu menggigil.

Nama Hek kwi to (Pulau Iblis Hitam) adalah ama yang amat gawat bagi orang kebanyakan, dan orang-orang kang-ouw tidak ada yang berani main-main dengan nama ini. Seorang sakti tinggal di situ, dan dia bukan lain adalah sute (adik seperguruan) dari Malaikat Gurun Neraka yang amat terkenal. Orang tidak tahu mengapa belasan tahun penghuni Hek-kwi-to itu tidak pernah muncul, namun mengingat nama besar Malaikat Gurun neraka mereka sama sekali tidak berani bertanya.

Hanya desas-desus mengatakan bahwa sute dari pendekar besar Gurun Neraka itu sedang menjalani masa hukuman. Apa kesalahan yang telah dibuat tidak ada seorangpun yang tahu namun sebagian besar dari orang-orang kang-ouw cukup mengenal watak yang amat ganas dari penghuni Pulau Hek kwi to ini. Dan sekarang, tanpa disangka-sangka sama sekali tiba-tiba penghuni pulau itu muncul di mulut Hwe song kok tepat pada saat terjadi perebutan kitab pusaka Bu-tek-thi-pah-ong! 

Bagaimana Leng kwi tidak akan kaget? Sute Malaikat Gurun Neraka ini terkenal bertangan besi terhadap para penjahat, maka Si Setan Gaib menjadi pucat bertemu dengan orang sakti ini yang baru sekali ini dijumpainya. Dan sekarang maklumlah dia mengapa Si Unta Terbang dapat dipermainkan orang ini, tidak tahunya penghuni Hek kwi-to yang keluar secara tiba-tiba.

Tentu saja Si Setan Gaib menjadi gentar Kepandaian Unta Terbang dan dirinya setingkat, maka kalau sekarang harus melawan penghuni Pulau Hek-kwi-to itu adalah seperti kucing berhadapan dengan si raja hutan. Mana mungkin menang. Seberani-beraninya Setan Gaib dia tetap bukanlah manusia yang mau disuruh mati konyol. Oleh sebab itu, sekali mengeluarkan lengking tinggi, tiba-tiba Si Setan Gaib memutar tubuh dan melarikan diri!

Orang baju hijau itu mendengus, dan dia tidak mengejar. Akan tetapi cambuk di atas tanah itu tahu telah berada di tangannya dan sekali sambit senjata panjang ini melingkar-lingkar menyambar ke depan. Gerakannya seperti lasso, terbang melesat secepat kilat. Dan Si Setan Gaib yang merasa girang, karena tidak mendengar suara orang mengejar, sudah hampir menarik napas lega, Mengandalkan ginkangnya dia coba melarikan diri dari tokoh berbahaya itu dan masalah pusaka didalam kotak hitam, biarlah kelak dicari akal.

Namun alangkah kagetnya iblis berbaju hitam ini ketika mendadak, pada saat kedua kakinya melayang di udara, tiba tiba sebuah benda menggubat kakinya sampai tak dapat bergerak! tentu saja Leng-kwi mengeluarkan seruan tertahan dan tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya roboh ke depan. Setan Gaib terkesiap kaget dan ketika dia lihat, ternyata yang menggubat kakinya tadi bukan lain adalah cambuk Si Unta Terbang. Dan ketika dia melompat bangun, tahu-tahu penghuni Tek- kwi-to yang mengerikan itu telah berada di depannya dengan senyum dingin. Setan Gaib terbelalak, dan mukanya semakin pucat.

"Kau kau….!" kata-kata ini tidak dilanjutkannya karena dengan penuh kemarahan iblis hitam itu sudah menerjang ke depan.

Si baju hijau menjengek. Pukulan tangan kanan Si Setan Gaib yang menuju kepadanya dielakkan sedikit dan dengan tenang diterima pundak kirinya, sedangkan hantaman tagan kiri lawan yang menyambar dadanya dibiarkan begitu saja. "Plak-dukk...!" dua macam pukulan ini mendarat di tubuh laki-laki baju hijau dan Setan Gaib berteriak kaget karena tiba-tiba pukulan hawa dinginnya bertemu dengan hawa panas yang mencairkan pukulan dinginnya.

Tentu saja Leng kwi terkejut, dan sebelum hawa panas itu menembus lengannya dia sudah cepat menarik diri. Akan tetapi kakagetan besar dialami Si Setan Gaib. Kedua tangannya yang menghantam tubuh lawan tiba-tiba dihisap suatu kekuatan mujijat yang amat aneh dan tanpa dapat dikuasai lagi kedua tangan iblis baju hitam ini melekat pada tubuh penghuni Pulau Hek kwi-to itu! 

"Ahh…..!" Leng-kwi berseru pucat dan sementara dia gugup, tiba-tiba tangan kiri lawan menyambar dadanya. Perlahan saja serangan itu dan tampaknya dada Si Setan Gaib disentuh seperti orang main-main. Akan tetapi akibatnya hebat bukan main. Si Setan Gaib menjerit ngeri karena dia melihat betapa telapak tangan orang ini mengenai dadanya, Si Setan Gaib melengking tinggi dan roboh dengan baju terbakar sementara kulitnya merah seperti daging dipanggang!

Leng-kwi tewas seketika dan laki-laki baju hijau tersenyum mengejek. Dia memang tidak mau membiarkan Unta terbang dan Si Setan Gaib untuk hidup lebih lama, karena hal itu dapat membahayakannya. Penemuan pusaka Bu-tek-thi poh-ong ini tidak boleh diketahui siapapun, karena sekali lawan tahu tentu dirinya tidak bakal aman, oleh sebab itu dua orang ini memang harus dibunuh untuk menutup mulut.

Sekarang, setelah dua orang itu tewas laki-laki baju hijau ini melangkah tenang memasuki Hwe seng-kok Pi-tok-cu berada di tangan kanannya, maka dengan bebas dia bisa ke luar masuk menghirup kabut Cek-yu tok-bu yang beracun, dan hal ini memang bisa dilakukannya mengingat Pi-tok-cu adalah penawar segala jenis bisa. Oleh sebab itu, Hwe seng-kok yang biasanya ditakuti orang itu kini berhasil ditundukkan. Lembah ini tampak lumpuh, dan kehadiran tocu (majikan pulau) dari Hek-kwi-to itu tak mampu dielakkannya.

Pagi yang sunyi kini tenang kembali. Matahari naik semakin tinggi dan bayangan laki-laki baju hijau telah lenyap di perut lembah. Semua keadaan hening seperti sedia kala dan Hwe seng kok juga tidak bicara. Hanya pemandangan kurang sedap dari dua mayat di muka lembah membuat pagi yang indah sedikit ternoda. Namun Hwe-seng-kok tidak ambil perduli. Kematian seseorang sama sekali tidak menyedihkan hatinya dan ia tahu bahwa itu memang bukan tugasnya.

Dan ini agaknya betul. Hwe-seng-kok memang selamanya tidak mau mencampuri urusan orang lain, maka semua peristiwa yang terjadi luar dirinya dia sama sekali tidak ambil pusing. Manusia diketahuinya sebagai mahluk yang suka ribut, maka kalau mereka harus menerima akibat dari keributan yang dibuat, hal itu sudahlah wajar. Untuk apa turut campur? Hanya akan melibatkan diri dalam rantai setan yang tiada habisnya saja.

* * * * * * * *

Gadis baju merah di atas punggung kuda itu manis sekali. Wajahnya bulat telur, hidungnya mancung dan sepasang alis hitam di atas kening yang halus itu menjelirit seperti bulan sabit. Ia tidak memakai yanci, namun pipinya merah segar seperti tomat masak. Ia tidak berdandan berlebihan, namun kecantikannya tetap menonjol. Gadis ini memang manis, dan pakaiannya yang terbuat dari kain sederhana itu tidak dapat menyembunyikan kepadatan tubuhnya yang ranum menggairahkan.

Melihat usianya, ia pasti tidak akan lebih dari delapan belas tahun. Dan dugaan ini memang betul. Gadis itu memang baru berumur tujuh belas tahun lebih sedikit, usia yang sedang hangat-hagatnya bagi setiap gadis remaja. Akan tetapi tidak seperti gadis-gadis lain yang tentu bergembira dengan usia seperti itu, adalah gadis ini tampak murung.

Alis yang selalu berkerut itu menunjukkan bahwa ada suatu kejadian tidak enak dialami gadis ini, dan sikapnya yang agak melamun di atas punggung kuda semakin memperkuat dugaan ini. Apa yang sedang dipikirkannya? Dan siapakah gadis jelita itu?

Ia bukan lain adalah puteri tunggal atau anak ke dua dari Beng san-paicu (ketua Beng san pai) yang bernama Souw Ceng Bi. Dan yang sedang membuatnya murung bukan lain adalah percekcokan yang baru-baru ini terjadi antara dirinya dengan ayahnya itu, ketua Beng san pai yang berjuluk Ciok-thouw Taihiap (Pendekar Kepala Batu).

Seperti yang para pembaca ketahui, Ciok-houw Taihiap adalah seorang tokoh besar yang baru saja pulang dari perantauannya belasan tahun di luar Tiongkok. Sepak terjangnya yang menggegerkan dunia kangouw, terutama bagi kaum hek-to (golongan hitam), membuat pendekar sakti ini dimusuhi banyak orang. Tentu saja orang-orang dari golongan hek-to itu yang disakiti hatinya oleh Ciok theuw Taihiap.

Pendekar ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, apalagi setelah dia merantau sampai jauh keluar perbatasan, meliputi wilayah-wilayah Bhutan, Nepal dan India sendiri, ilmu silatnya menjadi meningkat hebat bukan main. Banyak ilmu-ilmu dari luar Tionggoan berhasil diperolehnya, dan perkenalannya dengan para pertapa di Pegunungan Himalaya membuat pendekar besar itu semakin lihai.

Sudah amat terkenal di kalangan persilatan bahwa Ciok-thouw Thaihiap adalah seorang pendekar yang keras hati, keras kemauan dan keras kepala. Sepak terjangnya yang ganas terhadap golongan hitam membuat pendekar besar ini ditakuti. Dan dia memang seorang manusia bertangan besi. kebenciannya pada kaum penjahat membuat orang-orang golongan hitam itu ketakutan. Dia tidak pernah memberi ampun, dan para penjahat yang bertemu dengan pendekar ini pasti celaka.

Karena itu, nama Ciok-thouw Thaihiap menyolok hebat pada belasan tahun yang lalu. Apa lagi setelah terjadi pengeroyokan terakhir terhadap pendekar yang gagah perkasa ini, namannya benar-benar melambung di tingkat paling tinggi. Tujuh pentolan golongan sesat mengepungnya dan mereka itu masih dibantu puluhan anak buahnya. Namun Ciok-thouw Taihiap tetap unggul dan semua musuhnya dibasmi habis.

Tentu saja hal ini menggoncangkan dunia kang-ouw dan kegemparan dilakukannya setingkat dengan kegemparan yang pernah dilakukan Cheng-gan Sian-jin pada tiga puluhan tahun berselang. Hanya bedanya, kalau Cheng-gan Sian-jin (Manusia Suci Bermata Hijau) menggemparkan golongan putih, adalah Ciok-thouw Taihiap menggegerkan golongan hitam. Orang tidak tahu, siapa sebenarnya yang lebih hebat dari kedua tokoh besar ini karena pada waktu Ciok-thouw Taihiap muncul, Cheng-gan Sian-jin tidak pernah kedengaran beritanya lagi semenjak kekalahannya di tangan seorang tokoh misterius.

Dalam masalah ini, tentang siapa adanya Cheng-gan Sian-jin kami persilahkan Pembaca untuk membaca ceritera "Pendekar Gurun Neraka" karena penulis tidak memperpanjang uraian raja iblis itu. Hanya perlu diketahui bahwa Cheng-gan Siang-jin memang bukanlah orang sembarangan. Dia merupakan suku campuran antara Bangsa Han dan Bangsa Arya dan mendirikan pasukan secara diam-diam di luar Tembok Besar.

Untuk itu, penjelasan lengkap terdapat dalam cerita silat "Pendekar Gurun Neraka" dan bagi anda yang sudah mengikuti cerita tersebut, tentu telah mengenalnya dengan baik. Dan sekarang kita kembali kepada Ciok-thouw Taihiap karena cerita "Gurun" tokoh ini baru dikupas sedikit saja.

Oleh sebab itu, penulis hendak mengajak anda berkenalan dengan tokoh ini yang sekarang berdiam di Pegunungan Beng-san. Perantauannya belasan tahun di luar perbatasan membuat Ciok-thouw Taihiap menjadi rindu akan kampung halaman sendiri dan karena itu, dia akhirnya kembali dan memilih Pegunungan Beng-san sebagai tempat tinggal.

Mengingat bahwa dahulu diri mempunyai banyak musuh, Ciok-thouw taihiap lalu mulai mengumpulkan murid dan mendirikan sebuah partai yang disebut Beng-san pai. Sebelumnya dia memang sudah punya tiga orang murid, yaitu dua orang terdiri dari putera-puterinya sendiri, sedangkan yang ke tiga adalah seorang pemuda tinggi besar bernama Lek Hui.

Namun untuk memperkuat diri tidaklah cukup hanya empat orang saja, apalagi dia semakin tua dan kedua orang murid serta anak-anaknya masih muda. Kaum penjahat adalah orang-orang yang licik dan curang, karena itu, mendirikan sebuah partai di tempat terpencil adalah seperti mendirikan benteng yang memperkuat keadaan diri sendiri.

Ciok-thouw Taihiap sebenarnya bukanlah seorang penakut, bahkan jauh dari pada itu. Dia mendirikan Beng-san-pai sebetulnya lebih tepat kalau dikatakan untuk melindungi anak anaknya dari pembalasan dendam orang jahat. Ketiga orang muridnya itu masih muda, terutama puterinya yang bungsu, Ceng Bi, masih amat hijau untuk menghadapi tipu muslihat lawan. Karena itu, mendirikan sebuah partai di pegunungan ini adalah cocok sekali. Musuh tidak gampang masuk dengan sembunyi, dan para murid yang selalu siap di bawah gunung pasti akan mengetahui kedatangan tamu-tamu tak diundang.

Dan untuk ini, dia menggembleng para muridnya dengan ilmu-ilmu silat tinggi sehingga mereka itu menjadi orang-orang tangguh. Tentu saja yang paling lihai adalah tiga orang murid kepala, yakni dua orang anaknya serta Lek Hui. Akan tetapi Lek Hui telah disuruhnya turun gunung karena Ciok-thouw Taihiap mendengar kabar bahwa Ceng-gan Sian-jin muncul kembali membuat onar dan raja iblis itu membantu Wu.

Dia memang sengaja memerintahkan pemuda tinggi besar itu untuk menghadapi Cheng-gan Sian-jin dan tidak boleh pulang sebelum murid tertua ini membawa kepala Cheng-gan Sian-jin. Sungguh satu perintah yang terlalu sombong! Namun ini memang sudah menjadi watak Ciok-thouw Taihiap, yakni agak sombong dan memandang rendah orang lain, terutama golongan sesat. Oleh sebab itu, Lek Hui tidak berani membantah gurunya ini dan dia lalu mulai menjalankan tugasnya, dimana secara kebetulan dia bertemu dengan Pangeran Kou Cien dari Kerajaan Yueh dan karena pangeran itu memusuhi Wu.

Maka amat kebeulan untuk ikut bersama pangeran ini Cheng-gan Sian-jin berada di Kerajaan Wu, dan raja iblis itu konon menjadi koksu. Karena itu menemui datuk sesat yang terlindung dalam istana sungguh adalah hal yang sukar. Lain halnya kalau dia ikut Pangeran Kou Cien, dimana pangeran ini telah mempersiapkan bala tentaranya untuk menyerbu lawan dan di sana bisa diharapkan perjumpaannya dengan Cheng-gan Sian-jin...


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.